kasus rgb fix

76
LAPORAN KASUS RGB SEORANG LAKI-LAKI 76 TAHUN DENGAN PERITONITIS GENERALISATA et causa PERFORASI GASTER Oleh: Dokter Muda Stase Bedah Periode : 6 Oktober - 30 November 2014 Pembimbing: dr. Darmawan Ismail, Sp.BTKV KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH

Upload: tatas-bayu-mursito

Post on 24-Dec-2015

282 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

z

TRANSCRIPT

Page 1: Kasus RGB Fix

LAPORAN KASUS RGB

SEORANG LAKI-LAKI 76 TAHUN DENGAN PERITONITIS

GENERALISATA et causa PERFORASI GASTER

Oleh:

Dokter Muda Stase Bedah

Periode : 6 Oktober - 30 November 2014

Pembimbing:

dr. Darmawan Ismail, Sp.BTKV

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR. MOEWARDI

SURAKARTA

2014

Page 2: Kasus RGB Fix

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PENDERITA

Nama : Tn. Sw

Umur : 76 tahun

Jenis Kelamin : Laki Laki

Pekerjaan : Swasta

Agama : Islam

Alamat : Karanganyar

Tanggal masuk : 11 November 2014

Tanggal pemeriksaan : 18 November 2014

No. RM : 01272273

II. ANAMNESIS

A. Keluhan Utama

Nyeri seluruh lapang perut

B. Riwayat Penyakit Sekarang

6 jam sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh nyeri perut.

Keluhan dirasakan tiba-tiba dan terus menerus, awalnya dirasakan di sekitar

ulu hati, kemudian nyeri dirasakan diseluruh lapang perut. Pasien juga

mengaku tidak bisa kentut, muntah 1x. demam (-). Oleh keluarga pasien

dibawa ke rumah sakit umum daerah karanganyar, di infus, diinjeksi obat,

selang hidung, periksa darah dan direncanakan operasi karena keinginan

keluarga pasien dirujuk ke Rumah Sakit Dr Moewardi.

C. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat hipertensi : disangkal

Riwayat DM : disangkal

Riwayat asma : disangkal

Riwayat alergi : disangkal

Riwayat penyakit jantung/ ginjal/ liver : disangkal

Page 3: Kasus RGB Fix

C. Riwayat Penyakit Keluarga dan Lingkungan

Riwayat hipertensi : disangkal

Riwayat DM : disangkal

Riwayat asma : disangkal

Riwayat alergi : disangkal

Riwayat penyakit jantung/ ginjal/ liver : disangkal

C. Riwayat Kebiasaan

Pasien mengatakan sering minum jamu-jamuan sejak 1 tahun yang lalu

III. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaaan umum : compos mentis, tampak sakit sedang

Vital Sign:

TekananDarah : 130/90 mmHg

FrekuensiNadi : 88x/menit

Frekuensinafas : 18x/menit

Suhu : 36,5 C

VAS : 5

Kepala : mesochepal.

Mata : konjungtiva pucat (-/-), sclera ikterik (-/-), pupil isokor

(3mm/3mm), oedem palpebra (-/-), refleks cahaya (+/+),

hematom periorbita (-/-), diplopia (-/-)

Hidung : deviasi septum (-), discharge (-)

Telinga : sekret (-/-), darah (-/-)

Mulut : ulserasi (-)

Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-)

Thorax : bentuk normochest, ketertinggalan gerak (-), retraksi (-),

nyeri tekan (-), flailchest (-)

Jantung :

Inspeksi : ictus cordis tidak tampak

Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat

Page 4: Kasus RGB Fix

Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar

Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bising (-)

Pulmo :

Inspeksi : Pengembangan dada kanan= kiri

Palpasi : Fremitus raba kanan=kiri

Perkusi : sonor/sonor

Auskultasi : SDV (+/+), ST Ronki (-/-)

Abdomen :

Inspeksi : distensi (+)

Auskultasi : Bising usus (+) menurun

Perkusi : Hipertympani, pekak hepar menghilang

Palpasi : Nyeri tekan (+) seluruh lapang perut, defans muskuler (+)

Ekstremitas :

Superior Dx : akral dingin (-), edema (-), nyeri (+), deformitas (-),

krepitasi (-)

Superior Sn : akral dingin (-), edema (-), nyeri (+), deformitas (-),

krepitasi (-), parese (-)

Inferior Dx : akral dingin (-), edema (-), nyeri (+), deformitas (-),

krepitasi (-)

Inferior Sn : akral dingin (-), edema (-), nyeri (+), deformitas (-),

krepitasi (-), parese (-)

Rectal Toucher :

TMSA (N), mukosa licin, ampula normal, NT (+) seluruh lapang toucher, STLD

(-), faeces (+)

IV. STATUS LOKALIS

Abdomen :

Inspeksi : distensi (+)

Auskultasi : Bising usus (+) menurun

Perkusi : Hipertympani, pekak hepar menghilang

Palpasi : Nyeri tekan (+) seluruh lapang perut, defans muskuler (+)

Page 5: Kasus RGB Fix

V. ASSESMENT I

Peritonitis Generalisata ec susp perforasi gaster

VI. PLANNING I

1. IVFD RL 30 tpm

2. O2 3 lpm

3. Injeksi analgetik (metamizol 1 g/8 jam)

4. Injeksi ranitidin 50 mg/12 jam

5. Cek DR3, PT/APTT,ureum, creatinin, albumin, SGOT/PT, elektrolit

6. Rontgen Thorak

7. Ro Abdomen 3 posisi

Page 6: Kasus RGB Fix

VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG

A. Hasil Laboratorium (RSDM, 11 November 2014)

Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan

Hemoglobin 14,2 g/dL 13,5 – 17,5

Hematokrit 43 % 33 – 45

Leukosit 4.3 Ribu/µl 4,5 – 11,0

Trombosit 154 Ribu/µl 150 – 450

Eritrosit 4,63 Juta/µl 4,50 – 5,90

Golongan Daarah B

PT 12,6 Detik 10,0 – 15,0

APTT 24,6 Detik 20,0 – 40,0

INR 0,960

GDS 141 90 – 140 mg/dl

SGOT 28 u/l < 35

SGPT 17 u/l < 45

Creatinin 0.7 mg/dl 60 – 140

Ureum 42 mg/dl < 50

Kalium 3.4 Mmol/L 3.3-5.1

Natrium 140 Mmol/L 136-145

Klorida 108 Mmol/L 98-105

Kalsium Ion 1,16 Mmol/L 1,0 – 1,4

Albumin 3.3 g/dl 3,2 – 5,2

HBsAg Non reactive Non reactive

Page 7: Kasus RGB Fix

B. Foto Thorax PA (RSDM, 11 November 2014)

- Cor : besar dan bentuk normal

- Pulmo : tak tampak infiltrat di kedua lapang paru,

corakan bronkovaskuler normal,

sinus phrenicocostalis kanan kiri tajam,

hemidiaphragma kanan kiri normal,

- Trakea di tengah

- Sistema tulang baik

- Kesimpulan : Cor dan pulmo tak tampak kelainan.

C. Foto Abdomen 3 posisi (RSDM, 11 November 2014)

Page 8: Kasus RGB Fix

- Bayangan gas usus tampak normal dengan distribusi merata pada

usus halus dan usus besar

- Tak tampak gambaran coilled spring/herring bone sign

- Tampak gambaran udara bebas sub diaphragma dan suprahepatal

- Tak tampak gambaran step ladder pathologis

- Pre peritoneal fat line tampak kabur

Kesimpulan :

- Menyokong gambaran perforasi dengan kemungkinan peritonitis

VIII. ASSESMENT II

Peritonitis Generalisata ec susp perforasi gaster

IX. PLANNING II

1. Konsul Jantung

2. Konsul Anestesi

3. Konsul RGB

4. Pro Laparatomi

X. LAPORAN OPERASI

A. Tanggal dilakukan operasi : 11 November 2014

Leader Tim Operasi : dr. Ida Bagus Budhi, Sp.B-(K)BD

Leader Tim Anestesi : dr. Bambang Sp.An

Jenis Anestesi : General Anaesthesia dengan Endotracheal tube

Operator : dr. Ida bagus Budhi, Sp.B-(K)BD

Diagnosis Pre-Op : Peritonitis generalisata ec perforasi gaster

Diagnosis Post-Op : Peritonitis generalisata ec perforasi gaster bagian

antrum

Nama Tindakan : Graham patch procedure

Page 9: Kasus RGB Fix

Laporan Operasi :

1. Posisi supine dalam general anesthesia, toilet medan operasi, tutup duk

steril berlubang

2. Incisi midline 2 jari di bawah processus xiphoideus sampai 5 cm di atas

suprapubic, perdalam lapis demi lapis.

3. Identifikasi peritoneum, peritoneum dibuka secara tajam keluar udara dan

cairan kekuningan serta bercampur dengan sisa makanan.

4. Cuci cavum abdomen dengan NaCl 0,9% hangat sampai bersih.

5. Identifikasi gaster, terdapat perforasi di bagian antrum gaster dengan

diameter 1 cm.

6. Pasang NGT 18 Fr untuk decompresi dan NGT 12 Fr diteruskan ke

duodenum untuk bending.

7. Incisi tepi perforasi, material kirim PA.

8. Dilakukan graham patch procedure, cuci bersih dengan NaCl 0,9%.

9. Jahit luka operasi lapis demi lapis.

10. Operasi selesai.

XI. ASSESSMENT POST OPERASI

Post laparotomi a.i. peritonitis generalisata e.c. perforasi gaster bagian antrum

XII. PLAN

Mondok bangsal RGB

Perawatan post operasi

Cek Laboratorium Patologi Anatomi

Cek darah rutin post operasi

XIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG PASCA OPERASI

A. Laboratorium Patologi Anatomi (RSDM, 11 November 2014)

Jaringan yang diambil saat operasi

Makroskopis : diterima jaringan 2 buah ukuran 1,5 cm dan 1 cm, putih-

kecoklatan, cetak semua.

Page 10: Kasus RGB Fix

Mikroskopis : Biopsi berasal dari gaster terdiri atas keping-keping lapisan

muskularis tanpa mukosa yang sembab, nekrotik dengan

sebaran sel radang kronis.

Diagnosis PA: Radang Kronik

B. LaboratoriumDarah (RSDM, 12 November 2014)

Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan

Hemoglobin 11,0 g/dL 13,5 – 17,5

Hematokrit 33 % 33 – 45

Leukosit 10,9 Ribu/µl 4,5 – 11,0

Trombosit 169 Ribu/µl 150 – 450

Eritrosit 3,60 Juta/µl 4,50 – 5,90

Kalium 3,2 Mmol/L 3.3-5.1

Natrium 137 Mmol/L 136-145

Chlorida 104 Mmol/L 1,0 – 1,4

Page 11: Kasus RGB Fix

  12/11 13/11 14/11 15/11 16/11 17/11 18/11 19/11

Teka-

nan

Darah

S: BAB (-),

flatus (-)

mual (-),

muntah (-),

nyeri bekas

operasi (+)

KU: CM

TD :129/79

S: Flatus

(-), BAB

(+) encer,

warna

kekuninga

n , Nyeri

Bekas

operasi (+)

KU: CM

TD:128/60

S: Nyeri

Bekas Operasi

(+), flatus (+),

BAB (+)

KU: CM

TD: 142/64

S: Nyeri

Bekas

Operasi (+) ↓

KU: CM

TD: 128/64

S: Nyeri

Bekas Operasi

(+)↓

KU: CM

TD:129/68

S: Nyeri Bekas

Operasi (-)

KU: CM

TD:128/74

S: Nyeri Bekas

Operasi (-)

KU: CM

TD:131/80

S : (-)

KU : CM

TD : 110/70

Nadi 66 88 60 88 88 84 88

Suhu 36,6 36,8 36,4 36,0 36,2 36,4 36.5

Input

Cairan

2500 2500 2500 2500 2500 2500 2500

Output

Cairan

2150 1780 1920 1850 1920 2100 1800

BC +350 +720 +480 +650 +580 +400 +700

PERAWATAN PASCA OPERASI (FOLLOW UP)

Page 12: Kasus RGB Fix

Px fisik Tampak

terpasang

NGT dengan

residu 50 cc,

serous,

Abdomen :

I : distensi

(-), luka

operasi

rembes (-),

drain ±50 cc

kemerahan

A : BU (+) N

P : tympani

P : supel, NT

(+) bekas

operasi

Tampak

terpasang

NGT kecil

untuk

feeding test

D5%

Dilakukan

feeding test

100 cc,

residu 50

cc.

Abdomen :

I : distensi

(-), luka

operasi

rembes (-),

drain ±50

cc

kemerahan

Abdomen :

I : distensi (-),

luka operasi

rembes (-),

drain ± 40 cc

kemerahan

A : BU (+) N

P : tympani

P : supel, NT

(+) bekas

operasi

Abdomen :

I : distensi

(-), luka

operasi

rembes (-),

drain ± 20 cc

kemerahan

A : BU (+) N

P : tympani

P : supel, NT

(+) bekas

operasi

Abdomen :

I : distensi (-),

luka operasi

rembes (-),

drain ± 10 cc

kemerahan

A : BU (+) N

P : tympani

P : supel, NT

(+) bekas

operasi

Abdomen :

I : distensi (-

9), luka

operasi

rembes (-),

drain ± 10 cc

kemerahan

A : BU (+) N

P : tympani

P : supel, NT

(+) bekas

operasi

Abdomen :

I : distensi (-9),

luka operasi

rembes (-), drain

± 10 cc

kemerahan

A : BU (+) N

P : tympani

P : supel, NT (-)

bekas operasi

Abdomen :

I : distensi (-),

luka operasi

rembes (-), pus

(-)

A : BU (+) N

P : tympani

P : supel, NT (-)

bekas operasi

Page 13: Kasus RGB Fix

A : BU (+)

N

P : tympani

P : supel,

NT (+)

bekas

operasi

Terapi 1. IVFD

NaCl 0.9% :

Kaen 3B:

Aminofel :

RL= 1 : 1 :

1 : 1 /24jam

2. Inj

Ciproflo-

xacin

500mg/8

jam

1. IVF

D NaCl

0.9% :

Kaen 3B:

Aminofel

: RL= 1 :

1 : 1 : 1 /

24jam

2. Inj

Ceftri-

axon

1. Mobilisasi

gerak

2. Medikasi

luka

3. IVFD NaCl

0.9% :

Kaen 3B:

Aminofel :

RL= 1 : 1 :

1 : 1 /

1. Mobilisasi

gerak

2. Aff Drain

3. Medikasi

Luka

4. Diet Lunak

1700 kkal.

5. IVFD

NaCl 20

tpm

1. Mobili

sasi miring

kanan kiri,

duduk

2. NGT

feeding d5%

3. Puasa oral

lanjut

4. IVFD

Nacl :

Aminofel :

1. Diet bubur

TKTP

2. Aff drain

3. Klem NGT

4. Mobilisasi

duduk

5. Pindah

bangsal

6. IVFD NaCl

0.9%:Amin

ofel:d5 % =

1. Diet bubur

TKTP

2. Aff drain

3. Klem NGT

4. Mobilisasi

duduk

5. Medikasi

luka

6. Pindah

bangsal

7. IVFD NaCl

1. Inj ceftriaxone

1gr/12jam

2. Inj

metronidazole

500mg/8jam

3. Inj Ketorolac

30mg/8jam

4. Inj Ranitidin

50mg/8jam

5. Inf

aminofuchsin :

Page 14: Kasus RGB Fix

3. Inj Raniti-

din

50mg/12

jam

4. Inj

Metami-

zol 1gr/24

jam

5. Inf

metroni-

dazol

500mg/8j

am

6. D5%

(feeding)

7. Medikasi

1gr/24

jam

3. Inj

Raniti-

din 50

mg/12

jam

4. Inj

Meta-

mizol

1gr/24

jam

1. D5 %

(fee-

ding)

24jam

4. Inj

Ceftriaxon

1gr/24 jam

5. Inj

Ranitidin

50 mg/12

jam

6. Inj

Metamizol

1gr/24 jam

6. Inj Ceftri-

axon

1gr/24

jam

7. Inj

Ranitidin

50 mg/12

jam

8. Inj

Metami-

zol 1gr/24

jam

d5 % =

2:1:1/24 jam

5. Inj

Ranitidin50

mg/8jam

6. Inj

Metamizol

1gr/24 jam

7. Inf

metroni-

dazol

500mg/8jam

II:I:I/24jam

7. Inj ciproflo-

xacin

500mg/8ja

m

8. Inj

Ranitidin 50

mg/12 jam

9. Inj

Metamizol

1gr/24 jam

10. Inf

metronidazol

500mg/8jam

0.9%:Amino

fel:d5 % =

II:I:I/24jam

8. Inj ciproflo-

xacin

500mg/8jam

9. Inj Ranitidin

50 mg/12

jam

10. Inj

Metamizol

1gr/24 jam

11. Inf

metroni-

dazol

500mg/8jam

Kaen 3B :

NaCl 0.9% :

RL = 1:1:1:1

Page 15: Kasus RGB Fix

PENDAHULUAN

Perforasi gastrointestinal adalah penyebab umum dari akut abdomen.

Penyebab perforasi gastrointestinal adalah ulkus peptik, inflamasi divertikulum

kolon sigmoid, kerusakan akibat trauma, perubahan pada kasus penyakit Crohn,

kolitis ulserasi, dan tumor ganas di sistem gastrointestinal. Perforasi paling sering

adalah akibat ulkus peptik lambung dan duodenum. Perforasi dapat terjadi di

rongga abdomen (perforatio libera) atau adesi kantung buatan (perforatio tecta).

Pada tahun 1799 gejala klinik ulkus perforasi dikenali untuk pertama kali,

meskipun baru pada tahun 1892, Ludwig Hensner, seorang Jerman, pertama kali

melakukan tindakan bedah pada ulkus peptik lambung. Pada tahun 1894, Henry

Percy Dean melakukan tindakan bedah pada ulkus perforasi usus kecil duodenum.

Gastrektomi parsial, meskipun sudah dilaksanakan untuk ulkus gaster perforasi

dari awal 1892, tidak menjadi terapi populer sampai tahun 1940. Hal ini karena

dirasakan adanya rekurensi yang tinggi dari gejala-gejala setelah perbaikan

sederhana. Efek fisiologis vagotomi trunkal pada sekresi asam telah diketahui

sejak awal abad 19, dan pendekatan ini diperkenalkan sebagai terapi ulkus

duodenum pada tahun 1940. Perkembangan selanjutnya terapi ulkus peptik adalah

diperkenalkannya vagotomi selektif tinggi pada akhir 1960. Namun, tidak ada

satupun pencapaian ini yang terbukti berhasil, dan beberapa komplikasi

postoperatif, termasuk angka rekurensi ulkus yang tinggi, telah membatasi

penggunaan teknik-teknik ini. Akhir-akhir ini, pada pasien dengan perforasi

gaster, penutupan sederhana lebih umum dikerjakan daripada reseksi gaster.

Perforasi gastrointestinal, termasuk di dalamnya perforasi appendiks,

perforasi gaster dan penyakit duodenale, serta perforasi kolon, merupakan salah

satu penyebab paling sering dari peritonitis. Peritonitis adalah peradangan yang

disebabkan oleh infeksi pada selaput organ perut (peritonieum).  Tanda-tanda

peritonitis yaitu demam tinggi dan mengigil, bisa menjadi hipotermia, takikardi,

dehidrasi hingga menjadi hipotensi. Nyeri  abdomen yang hebat, dinding perut

akan terasa tegang karena iritasi peritoneum. Tatalaksana utama pada peritonitis

antara lain pemberian cairan dan elektrolit, kontrol operatif terhadap sepsis dan

Page 16: Kasus RGB Fix

pemberian antibiotik sistemik. Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus

segera diambil karena setiap keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang

berakibat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Faktor-faktor yang

mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara lain tipe penyakit primer dan

durasinya, keterlibatan kegagalan organ multipel sebelum pengobatan, serta usia

dan kondisi kesehatan awal pasien. Tingkat mortalitas sekitar 10% pada pasien

dengan ulkus perforata atau apendisitis, pada usia muda, pada pasien dengan

sedikit kontaminasi bakteri, dan pada pasien yang terdiagnosis lebih awal

(Doherty, 2006).

Page 17: Kasus RGB Fix

TINJAUAN PUSTAKA

I. PERITONITIS

A. Definisi

Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada

selaput organ perut (peritoneum). Peritoneum adalah selaput tipis dan

jernih yang membungkus organ perut dan dinding perut sebelah dalam.

Lokasi peritonitis bisa terlokalisir atau difus, riwayat akut atau kronik dan

patogenesis disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan

suatu kegawatdaruratan  yang biasanya disertai dengan bakterisemia atau

sepsis. Akut peritonitis sering menular dan sering dikaitkan dengan

perforasi viskus (secondary peritonitis). Apabila tidak ditemukan sumber

infeksi pada intraabdominal, peritonitis diketagori sebagai primary

peritonitis. (Fauci et al, 2008)

Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya

yang sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ

abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus

gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi post operasi, iritasi

kimiawi, atau dari luka tembus abdomen. Pada keadaan normal,

peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara inokulasi kecil-

kecilan); kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen, resistensi

yang menurun, dan adanya benda asing atau enzim pencerna aktif,

merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya peritonitis.

Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena

setiap keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat

meningkatkan morbiditas dan mortalitas.

Page 18: Kasus RGB Fix

B. Anatomi dan Fisiologi Peritoneum

Peritoneum merupakan membran yang terdiri dari satu lapis sel

mesothel yang dipisah dari jaringan ikat vaskuler dibawahnya oleh

membrane basalis. Peritoneum membentuk kantong tertutup dimana visera

dapat bergerak bebas didalamnya. Peritoneum meliputi rongga abdomen

sebagai peritoneum parietalis dan melekuk ke organ sebagai peritoneum

viseralis (Marshall, 2003).

Luas permukaannya mendekati luas permukaan tubuh yang pada

orang dewasa mencapai 1,7m2 dan berfungsi sebagai membran

semipermeabel untuk difusi 2 arah untuk cairan dan partikel. Luas

permukaan untuk difusi seluas ± 1m2 (Heemken, 1997). Pada rongga

peritoneum dewasa sehat terdapat ± 100cc cairan peritoneal yang

mengandung protein 3 g/dl yang sebagian besar berupa albumin. Jumlah

sel normal adalah 33/mm3 yang terdiri  yang terdiri dari 45% makrofag,

45% sel T, 8% sisanya terdiri dari NK, sel B, eosinofil, dan sel mast serta

sekretnya terutama prostasiklin dan PGE2. Apabila terjadi peradangan

jumlah PMN dapat meningkat sampai >3000/mm3 (Marshall, 2003).Dalam

keadaan normal, 1/3 cairan dalam peritoneum di drainase melalui limfe

diafragma sedang sisanya melalui peritoneum parietalis (Evans, 2001).

Relaksasi diafragma menimbulkan tekanan negatif sehingga cairan dan

partikel termasuk bakteri akan tersedot ke stomata yaitu celah di mesothel

difragma yang berhubungan dengan lacuna limfe untuk bergerak le limfe

substernal. Kontraksi diafragma menutup stomata dan mendorong limfe ke

mediastinum (Hau, 2003). Oleh karena itu, sangat penting menjamin

berlangsungnya pernapasan spontan yang baik agar clearance bakteri

peritoneum dapat berlangsung (Evans, 2001).      

Dalam keadaan normal, peritoneum dapat mengadakan fibrinolisis

dan mencegah terjadinya perlekatan. Peritoneum menangani infeksi

dengan 3 cara:

Page 19: Kasus RGB Fix

1. Absorbsi cepat bakteri melalui stomata diafragma

Pompa diafragma akan menarik cairan dan partikel termasuk bakteri

ke arah stomata. Oleh karena itu bila terdapat infeksi di peritoneum

bagian bawah, bakteri yang turut dalam aliran dapat bersarang di bagian

atas dan dapat menimbulkan sindroma Fitz-Hugh-Curtis, yaitu nyeri perut

atas yang disebabkan perihepatitis yang menyertai infeksi tuba falopii

(Evans, 2001). Peritonitis menyebabkan pergeseran cepat cairan

intravaskuler dan intersisiel ke rongga peritoneum, sehingga dapat terjadi

hipovolemia. Empedu, asam lambung, dan enzim pancreas memperbesar

pergeseran cairan ini (Heemken, 1997).

2. Penghancuran bakteri oleh sel imun

Bakteri atau produknya akan mengaktivasi sel mesothel, netrofil,

makrofag, sel mast, dan limfosit untuk menimbulkan reaksi inflamasi

(Iwagaki, 1997). Selain melepas mediator inflamasi ia dapat mengadakan

degranulasi zat vasoaktif yang mengandung histamine dan prostaglandin.

Histamine dan prostaglandin yang dilepas sel mast dan makrofag

menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh

peritoneum sehingga menimbulkan eksudasi cairan kaya komplemen,

immunoglobulin, faktor pembekuan, dan fibrin (Marshall, 2003).

Sudah diketahui bahwa untuk penyembuhan jaringan diperlukan

respon mediator pro-inflamasi di daerah sakit sampai terjadi kesembuhan

dimana mulai timbul mediator anti-inflamasi yang menghentikan proses

pro-inflamasi. Keadaan ini menunjukkan adanya keseimbangan fungsi

antara respon pro- dan anti-inflamasi. Tetapi pada keadaan tertentu dapat

terjadi ketidakseimbangan dimana salah satu yaitu pro-inflamasi atau anti-

inflamasi atau bahkan keduanya sekaligus meningkat hebat diluar

kebutuhan penderita. Dalam keadaan ini kedua mediator yang

bertentangan dapat menimbulkan kerusakan organ hebat sehingga terjadi

kegagalan organ (Marshall, 2003).

Page 20: Kasus RGB Fix

3. Lokalisasi infeksi sebagai abses

Pada peningkatan permeabilitas venula terjadi eksudasi cairan kaya

protein yang mengandung fibrinogen. Sel rusak mengeluarkan

tromboplastin yang mengubah protrombin menjadi thrombin dan

fibrinogen menjadi fibrin. Fibrin akan menangkap bakteri dan

memprosesnya hingga terbentuk abses. Hal ini dimaksud untuk

menghentikan penyebaran bakteri dalam peritoneum dan mencegah

masuknya ke sistemik. Dalam keadaan normal fibrin dapat dihancurkan

antifibrinolitik, tetapi pada inflamasi mekanisme ini tak berfungsi (Evans,

2001).

C. Etiologi

Infeksi peritoneal dapat diklasifikasikan sebagai bentuk: ·       

1. Peritonitis primer (Spontaneus)

Disebabkan oleh invasi hematogen dari organ peritoneal yang

langsung dari rongga peritoneum. Penyebab paling sering dari

peritonitis primer adalah spontaneous bacterial peritonitis (SBP)

akibat penyakit hepar kronis. Kira-kira 10-30% pasien dengan

sirosis hepatis dengan ascites akan berkembang menjadi peritonitis

bakterial. ·

2. Peritonitis sekunder

Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi

appendicitis, perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenale,

perforasi kolon (paling sering kolon sigmoid) akibat divertikulitis,

volvulus, kanker serta strangulasi usus halus (Brian,2011).

Tabel 1. Penyebab Peritonitis Sekunder

Regio Asal Penyebab

Esophagus Boerhaave syndrome

Malignancy

Trauma (mostly penetrating)

Iatrogenic*

Page 21: Kasus RGB Fix

Stomach Peptic ulcer perforation

Malignancy (eg, adenocarcinoma,

lymphoma, gastrointestinal stromal tumor)

Trauma (mostly penetrating)

Iatrogenic*

Duodenum Peptic ulcer pe Peptic ulcer perforation

Trauma (blunt and penetrating) Iatrogenic*

Biliary tract Cholecystitis Stone perforation from

gallbladder (ie, gallstone ileus) or common

duct

Malignancy

Choledochal cyst (rare)

Trauma (mostly penetrating) Iatrogenic*

Pancreas Pancreatitis (eg, alcohol, drugs, gallstones)

Trauma (blunt and penetrating)

Iatrogenic*

Small bowel Ischemic bowel

Incarcerated hernia (internal and external)

Closed loop obstruction Crohn disease

Malignancy (rare)

Meckel diverticulum

Trauma (mostly penetrating)

Large bowel and

appendix

Ischemic bowel

Diverticulitis Malignancy

Ulcerative colitis and Crohn disease

Appendicitis

Colonic volvulus

Trauma (mostly penetrating)

Iatrogenic

Uterus, salpinx, and

ovaries

Pelvic inflammatory disease (eg, salpingo-

oophoritis, tubo-ovarian abscess, ovarian

Page 22: Kasus RGB Fix

cyst) Malignancy (rare)

Trauma (uncommon) ·       

3. Peritonitis tertier

Peritonitis yang mendapat terapi tidak adekuat, superinfeksi

kuman, dan akibat tindakan operasi sebelumnya. Sedangkan

infeksi intraabdomen biasanya dibagi

menjadi generalized (peritonitis) dan localized (abses intra

abdomen).

D. Patofisiologi

Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri

adalah keluarnya eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah

(abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel

menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi.

Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat

menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat  mengakibatkan

obstuksi usus (Fauci et al, 2008).

Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler

dan membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak

dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian

sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti interleukin, dapat memulai

respon hiperinflamasi sehingga menyebabkan kegagalan banyak organ.

Hal ini terjadi karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara

retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga

ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini

segera gagal begitu terjadi hipovolemia (Fauci et al, 2008).

Organ-organ di dalam cavum peritoneum termasuk dinding

abdomen mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas

pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan

Page 23: Kasus RGB Fix

cairan di dalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem

seluruh organ intra peritoneal, dinding abdomen dan jaringan

retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah

dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.

Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut

meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh

menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi (Fauci et al, 2008).

Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada

permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul

peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum,

aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus

kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke

dalam lumen usus mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan

oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung usus yang meregang

dan mengganggu pulihnya pergerakan usus serta dapat mengakibatkan

obstruksi usus (Fauci et al, 2008). Sumbatan yang lama pada usus atau

obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena adanya gangguan mekanik

(sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha

untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu

obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat

bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai

terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir

dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan

karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi

peritonitis (Fauci et al, 2008).

Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan

peritoneum yang mulai di epigastrium dan meluas keseluruh peritonium

akibat peritonitis generalisata. Perforasi lambung dan duodenum

bagian depan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang

mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut.

Nyeri ini timbul mendadak terutama dirasakan di daerah

Page 24: Kasus RGB Fix

epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam lambung, empedu

dan atau enzim pankreas. Kemudian menyebar ke seluruh perut

menimbulkan nyeri seluruh perut pada awal perforasi, belum ada infeksi

bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya nyeri di

bahu menunjukkan rangsangan peritoneum berupa pengenceran zat asam

garam yang merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara

sampai kemudian terjadi peritonitis bacteria (Fauci et al, 2008).

E. Manifestasi Klinis             

Gejala dan tanda biasanya berhubungan dengan proses penyebaran

di dalam rongga abdomen. Beratnya gejala berhubungan dengan beberapa

faktor yaitu: lamanya penyakit, perluasan dari kontaminasi cavum

peritoneum dan kemampuan tubuh untuk melawan, usia serta tingkat

kesehatan penderita secara umum (Cole et al,1970).

Manifestasi klinis dapat dibagi menjadi (1) tanda abdomen yang

berasal dari awal peradangan dan (2) manifestasi dari infeksi sistemik.

1. Penemuan lokal meliputi nyeri abdomen, nyeri tekan, kekakuan dari

dinding abdomen, distensi, adanya udara bebas pada cavum peritoneum

dan menurunnya bising usus yang merupakan tanda iritasi dari

peritoneum parietalis dan menyebabkan ileus.

2. Penemuan sistemik meliputi demam, menggigil, takikardi,

berkeringat, takipneu, gelisah, dehidrasi, oliguria, disorientasi dan pada

akhirnya dapat menjadi syok (Doherty, 2006).

Gejala

1. Nyeri abdomen

Nyeri abdomen merupakan gejala yang hampir selalu ada pada

peritonitis. Nyeri biasanya datang dengan onset yang tiba-tiba, hebat

dan pada penderita dengan perforasi nyerinya didapatkan pada seluruh

bagian abdomen (Doherty, 2006). Seiring dengan berjalannya penyakit,

nyeri dirasakan terus-menerus, tidak ada henti-hentinya, rasa seperti

terbakar dan timbul dengan berbagai gerakan. Nyeri biasanya lebih

Page 25: Kasus RGB Fix

terasa pada daerah dimana terjadi peradangan peritoneum. Menurunnya

intensitas dan penyebaran dari nyeri menandakan adanya lokalisasi dari

proses peradangan, ketika intensitasnya bertambah meningkat diserta

dengan perluasan daerah nyeri menandakan penyebaran dari peritonitis

(Schwartz et al, 1989). ·        

2. Anoreksia, mual, muntah dan demam

Pada penderita juga sering didapatkan anoreksia, mual dan dapat

diikuti dengan muntah. Penderita biasanya juga mengeluh haus dan

badan terasa seperti demam dansering disertai badan menggigil yang

hilang timbul. Meningkatnya suhu tubuh biasanya sekitar 38OC sampai

40OC (Schwartz et al, 1989). ·        

3. Facies Hipocrates

Pada peritonitis berat dapat ditemukan fascies Hipocrates. Gejala

ini termasuk ekspresi yang tampak gelisah, pandangan kosong, mata

cowong, kedua telinga menjadi dingin, dan muka yang tampak

pucat (Cole et al,1970). Penderita dengan peritonitis lanjut dengan

fascies Hipocrates biasanya berada pada stadium pre terminal. Hal ini

ditandai dengan posisi mereka berbaring dengan lutut di fleksikan dan

respirasi interkosta yang terbatas karena setiap gerakan dapat

menyebabkan nyeri pada abdomen (Schwartz et al, 1989). Tanda ini

merupakan patognomonis untuk peritonitis berat dengan tingkat

kematian yang tinggi, akan tetapi dengan mengetahui lebih awal

diagnosis dan perawatan yang lebih baik, angka kematian dapat lebih

banyak berkurang (Cole et al,1970).  

4. Syok

Pada beberapa kasus berat, syok dapat terjadi oleh karena dua

factor. Pertama akibat perpindahan cairan intravaskuler ke cavum

peritoneum atau ke lumen dari intestinal. Yang kedua dikarenakan

terjadinya sepsis generalisata (Coleet al,1970). Yang utama dari

septicemia pada peritonitis generalisata melibatkan kuman gram

negative yang dapat menyebabkan terjadinya tahap yang menyerupai

Page 26: Kasus RGB Fix

syok. Mekanisme dari fenomena ini belum jelas, akan tetapi dari

penelitian diketahui bahwa efek dari endotoksin pada binatang dapat

memperlihatkan sindrom atau gejala-gejala yang mirip seperti

gambaran yang terlihat pada manusia (Cole et al,1970).

Tanda

1. Tanda Vital

Tanda vital sangat berguna untuk menilai derajat keparahan atau

komplikasi yang timbul pada peritonitis. Pada keadaan asidosis

metabolik dapat dilihat dari frekuensi pernafasan yang lebih cepat

daripada normal sebagai mekanisme kompensasi untuk mengembalikan

ke keadaan normal. Takikardi, berkurangnya volume nadi perifer dan

tekanan nadi yang menyempit dapat menandakan adanya syok

hipovolemik. Hal-hal seperti ini harus segera diketahui dan

pemeriksaan yang lebih lengkap harus dilakukan dengan bagian tertentu

mendapat perhatian khusus untuk mencegah keadaan yang lebih buruk

(Schwartzet al, 1989). ·        

2. Inspeksi

Tanda paling nyata pada penderita dengan peritonitis adalah

adanya distensi dari abdomen. Akan tetapi, tidak adanya tanda distensi

abdomen tidak menyingkirkan diagnosis peritonitis, terutama jika

penderita diperiksa pada awal dari perjalanan penyakit, karena dalam 2-

3 hari baru terdapat tanda-tanda distensi abdomen. Hal ini terjadi akibat

penumpukan dari cairan eksudat tapi kebanyakan distensi abdomen

terjadi akibat ileus paralitik (Cole et al,1970). ·        

3. Auskultasi

Auskultasi harus dilakukan dengan teliti dan penuh perhatian.

Suara usus dapat bervariasi dari yang bernada tinggi pada seperti

obstruksi intestinal sampai hampir tidak terdengar suara bising usus

pada peritonitis berat dengan ileus. Adanya suara borborygmi dan

peristaltic yang terdengar tanpa stetoskop lebih baik daripada suara

perut yang tenang. Ketika suara bernada tinggi tiba-tiba hilang pada

Page 27: Kasus RGB Fix

abdomen akut, penyebabnya kemungkinan adalah perforasi dari usus

yang mengalami strangulasi (Cole et al,1970). ·        

4. Perkusi

Penilaian dari perkusi dapat berbeda tergantung dari pengalaman

pemeriksa. Hilangnya pekak hepar merupakan tanda dari adanya

perforasi intestinal, hal ini menandakan adanya udara bebas dalam

cavum peritoneum yang berasal dari intestinal yang mengalami

perforasi. Biasanya ini merupakan tanda awal dari peritonitis (Cole et

al,1970). Jika terjadi pneumoperitoneum karena rupture dari organ

berongga, udara akan menumpuk di bagian kanan abdomen di bawah

diafragma, sehingga akan ditemukan pekak hepar yang menghilang

(Schwartz et al, 1989). ·        

5. Palpasi

Palpasi adalah bagian yang terpenting dari pemeriksaan abdomen

pada kondisi ini. Kaidah dasar dari pemeriksaan ini adalah dengan

palpasi daerah yang kurang terdapat nyeri tekan sebelum berpindah

pada daerah yang dicurigai terdapat nyeri tekan. Ini terutama dilakukan

pada anak dengan palpasi yang kuat langsung pada daerah yang nyeri

membuat semua pemeriksaan tidak berguna. Kelompok orang dengan

kelemahan dinding abdomen seperti pada wanita yang sudah sering

melahirkan banyak anak dan orang yang sudah tua, sulit untuk menilai

adanya kekakuan atau spasme dari otot dinding abdomen. Penemuan

yang paling penting adalah adanya nyeri tekan yang menetap lebih dari

satu titik. Pada stadium lanjut nyeri tekan akan menjadi lebih luas dan

biasanya didapatkan spasme otot abdomen secara involunter. Orang

yang cemas atau yang mudah dirangsang mungkin cukup gelisah,

namun pada kebanyakan kasus hal tersebut dapat dilakukan dengan

mengalihkan perhatiannya. Nyeri tekan lepas timbul akibat iritasi dari

peritoneum oleh suatu proses inflamasi. Proses ini dapat terlokalisir

pada apendisitis dengan perforasi local, atau dapat menjadi menyebar

seperti pada pancreatitis berat. Nyeri tekan lepas dapat hanya

Page 28: Kasus RGB Fix

terlokalisir pada daerah tersebut atau menjalar ke titik peradangan yang

maksimal (Cole et al,1970). Pada peradangan di peritoneum parietalis,

otot dinding perut melakukan spasme secara involunter sebagai

mekanisme pertahanan. Pada peritonitis, reflek spasme otot menjadi

sangat berat seperti papan (Schwartz et al, 1989).

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Laboratorium

Evaluasi laboratotium hanya dilakukan jika adanya hubungan

antara riwayat penyakit dengan pemeriksaan fisik. Tes yang paling

sederhana dilakukan adalah termasuk hitung sel darah dan urinalisis.

Pada kasus peritonitis hitung sel darah putih biasanya lebih dari

20.000/mm3, kecuali pada penderita yang sangat tua atau seseorang

yang sebelumnya terdapat infeksi dan tubuh tidak dapat mengerahkan

mekanisme pertahanannya (Cole et al,1970). Pada perhitungan

diferensial menunjukkan pergeseran ke kiri dan didominasi oleh

polimorfonuklear yang memberikan bukti adanya peradangan,

meskipun jumlah leukosit tidak menunjukkan peningkatan yang nyata

(Schwartz et al, 1989). Analisa gas darah, serum elektrolit, faal

pembekuan darah serta tes fungsi hepar dan ginjal dapat

dilakukan (Doherty, 2006).

2. Radiologi

Pemeriksaan radiologi pada kebanyakan kasus peritonitis hanya

mencakup foto thorak PA dan lateral serta foto polos abdomen. Pada

foto thorak dapat memperlihatkan proses pengisian udara di lobus

inferior yang menunjukkan proses intraabdomen. Dengan

menggunakan foto polos thorak diafragma dapat terlihat terangkat

pada satu sisi atau keduanya akibat adanya udara bebas dalam cavum

peritoneum daripada dengan menggunakan foto polos

abdomen (Cole et al,1970). Ileus merupakan penemuan yang tidak

khas pada peritonitis, usus halus dan usus besar mengalami dilatasi,

Page 29: Kasus RGB Fix

udara bebas dapat terlihat pada kasus perforasi. Foto polos abdomen

paling tidak dilakukan dengan dua posisi, yaitu posisi berdiri/tegak

lurus atau lateral decubitus atau keduanya. Foto harus dilihat ada

tidaknya udara bebas. Gas harus dievaluasi dengan memperhatikan

pola, lokasi dan jumlah udara di usus besar dan usus halus (Cole et

al,1970).

G. PENATATALAKSANAAN

Penatalaksanaan utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan

dan elektrolit, kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik

sistemik (Doherty, 2006).

Penanganan Perioperatif

1. Resusitasi Cairan                        

Peradangan yang menyeluruh pada membran peritoneum

menyebabkan perpindahan cairan (Schwartz et al, 1989).

Pengembalian volume dalam jumlah yang cukup besar melalui

intravaskular sangat diperlukan untuk menjaga produksi urin tetap

baik dan status hemodinamik tubuh. Jika terdapat anemia dan

terdapat penurunan dari hematokrit dapat diberikan transfusi PRC

(Packed Red Cells) atau WB (Whole Blood). Larutan kristaloid dan

koloid harus diberikan untuk mengganti cairan yang hilang (Doherty,

2006). Secara teori, cairan koloid lebih efektif untuk mengatasi

kehilangan cairan intravaskuler, tapi cairan ini lebih mahal.

Sedangkan cairan kristaloid lebih murah, mudah didapat tetapi

membutuhkan jumlah yang lebih besar karena kemudian akan

dikeluarkan lewat ginjal (Schwartz et al, 1989). Suplemen kalium

sebaiknya tidak diberikan hingga perfusi dari jaringan dan ginjal

telah adekuat dan urin telah diprodukasi (Doherty, 2006).

2. Antibiotik

Page 30: Kasus RGB Fix

Bakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat dibedakan

menjadi bakteri aerob yaitu E.

Coli, golongan Enterobacteriaceae dan Streptococcus, sedangkan

bakteri anaerob yang tersering adalah Bacteriodes spp, Clostridium,

Peptostreptococci. Antibiotik berperan penting dalam terapi

peritonitis, pemberian antibiotik secara empiris harus dapat melawan

kuman aerob atau anaerob yang menginfeksi

peritoneum (Schwartz et al, 1989). Pemberian antibiotik secara

empiris dilakukan sebelum didapatkan hasil kultur dan dapat diubah

sesuai dengan hasil kultur dan uji sensitivitas jika masih terdapat

tanda infeksi. Jika terjadi perbaikan secara klinis yang ditandai

dengan penurunan demam dan menurunnya hitung sel darah putih,

perubahan antibiotik harus dilakukan dengan hati-hati meskipun

sudah didapatkan hasil dari uji sensitivitas (Cole et al,1970).

Efek pemberian antibiotik pada peritonitis tergantung

kondisi-kondisi seperti: (1) besar kecilnya kontaminasi bakteri, (2)

penyebab dari peritonitis trauma atau nontrauma, (3) ada tidaknya

kuman oportunistik seperti candida. Agar terapi menjadi lebih

efektif, terpai antibiotik harus diberikan lebih dulu, selama dan

setelah operasi (Schwartz et al, 1989). Pada umumnya Penicillin G

1.000.000 IU dan streptomycin 1 gram harus segera diberikan.

Kedua obat ini merupakan bakterisidal jika dipertahankan dalam

dosis tinggi dalam plasma. Kombinasi dari penicillin dan

streptomycin juga memberikan cakupan dari bakteri gram negatif.

Penggunaan beberapa juta unit dari penisilin dan 2 gram

streptomycin sehari sampai didapatkan hasil kultur merupakan

regimen terpai yang logis. Pada penderita yang sensitif terhadap

penicillin, tetracycline dosis tinggi yang diberikan secara parenteral

lebih baik daripada chloramphenicol pada stadium awal infeksi

(Cole et al,1970). Pemberian clindamycin atau metronidazole yang

Page 31: Kasus RGB Fix

dikombinasi dengan aminoglikosida sama baiknya jika memberikan

cephalosporin generasi kedua (Schwartz et al, 1989).

Antibiotik awal yang digunakan cephalosporin generasi

ketiga untuk gram negatif, metronidazole dan clindamycin untuk

organisme anaerob (Doherty, 2006). Daya cakupan dari

mikroorganisme aerob dan anerob lebih penting daripada pemilihan

terapi tunggal atau kombinasi. Pemberian dosis antibiotikal awal

yang kurang adekuat berperan dalam kegagalan terapi. Penggunaan

aminoglikosida harus diberikan dengan hati-hati, karena gangguan

ginjal merupakan salah satu gambaran klinis dari peritonitis dan

penurunan pH intraperitoneum dapat mengganggu aktivitas obat

dalam sel. Pemberian antibiotik diberikan sampai penderita tidak

didapatkan demam, dengan hitung sel darah putih yang normal

(Doherty, 2006).

3. Oksigen dan Ventilator

Pemberian oksigen pada hipoksemia ringan yang timbul pada

peritonitis cukup diperlukan, karena pada peritonitis terjadi

peningkatan dari metabolisme tubuh akibat adanya infeksi, adanya

gangguan pada ventilasi paru-paru. Ventilator dapat diberikan jika

terdapat kondisi-kondisi seperti (1) ketidakmampuan untuk menjaga

ventilasi alveolar yang dapat ditandai dengan meningkatnya

PaCO2 50 mmHg atau lebih tinggi lagi, (2) hipoksemia yang

ditandai dengan PaO2 kurang dari 55 mmHg, (3) adanya nafas yang

cepat dan dangkal (Schwartz et al, 1989).

4. Intubasi

5. Pemasangan Kateter Urin dan Monitoring Hemodinamik

Pemasangan nasogastric tube dilakukan untuk dekompresi

dari abdomen, mencegah muntah, aspirasi dan yang lebih penting

mengurangi jumlah udara pada usus. Pemasangan kateter untuk

mengetahui fungsi dari kandung kemih dan pengeluaran urin.

Page 32: Kasus RGB Fix

6. Tanda vital (temperature, tekanan darah, nadi dan respiration rate)

Tanda vital dicatat paling tidak tiap 4 jam. Evaluasi biokimia

preoperative termasuk serum elektrolit, kratinin, glukosa darah,

bilirubin, alkali fosfatase dan urinalisis (Schwartz et al, 1989).

Penanganan Operatif

1. Operasi

Operasi biasanya dilakukan untuk mengontrol sumber dari

kontaminasi peritoneum. Tindakan ini berupa penutupan perforasi

usus, reseksi usus dengan anstomosis primer atau dengan exteriorasi.

Prosedur operasi yang spesifik tergantung dari apa yang didapatkan

selama operasi berlangsung, serta membuang bahan-bahan dari

cavum peritoneum seperti fibrin, feses, cairan empedu, darah, mucus

lambung dan membuat irigasi untuk mengurangi ukuran dan jumlah

dari bakteri virulen (Schwartz et al, 1989).

2. Kontrol Sepsis

Tujuan dari penanganan operatif pada peritonitis adalah untuk

menghilangkan semua material-material yang terinfeksi,

mengkoreksi penyebab utama peritonitis dan mencegah komplikasi

lanjut.Kecuali pada peritonitis yang terlokalisasi, insisi midline

merupakan teknik operasi yang terbaik. Jika didapatkan jaringan

yang terkontaminasi dan menjadi fibrotik atau nekrosis, jaringan

tersebut harus dibuang.

Radikal debridement yang rutin dari seluruh permukaan

peritoneum dan organ dalam tidak meningkatkan tingkat bertahan

hidup. Penyakit primer lalu diobati, dan mungkin memerlukan

tindakan reseksi (ruptur apendik atau kandung empedu), perbaikan

(ulkus perforata) atau drainase (pankreatitis akut). Pemeriksaan

kultur cairan dan jaringan yang yang terinfeksi baik aerob maupun

anaerob segera dilakukan setelah memasuki kavum peritoneum

(Doherty, 2006).

Page 33: Kasus RGB Fix

3. Peritoneal Lavage

Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik

(> 3 liter) dapat menghilangkan material-material seperti darah,

gumpalan fibrin, serta bakteri. Penambahan antiseptik atau antibiotik

pada cairan irigasi tidak berguna bahkan berbahaya karena dapat

memicu adhesi (misal: tetrasiklin, povidone-iodine). Antibiotik yang

diberikan cecara parenteral akan mencapai level bakterisidal pada

cairan peritoneum dan tidak ada efek tambahan pada pemberian

bersama lavage. Terlebih lagi, lavage dengan menggunakan

aminoglikosida dapat menyebabkan depresi nafas dan komplikasi

anestesi karena kelompok obat ini menghambat kerja dari

neuromuscular junction. Setelah dilakukan lavage, semua cairan di

kavum peritoneum harus diaspirasi karena dapat menghambat

mekanisme pertahanan lokal dengan melarutkan benda asing dan

membuang permukaan dimana fagosit menghancurkan bakteri

(Doherty, 2006).

4. Peritoneal Drainage

Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal

dan peritonitis lokal dengan cairan yang cukup banyak. Drainase dari

kavum peritoneal bebas tidak efektif dan tidak sering dilakukan,

karena drainase yang terpasang merupakan penghubung dengan

udara luar yang dapat menyebabkan kontaminasi.Drainase

profilaksis pada peritonitis difus tidak dapat mencegah pembentukan

abses, bahkan dapat memicu terbentuknya abses atau

fistula.Drainase berguna p pada infeksi fokal residual atau pada

kontaminasi lanjutan. Drainase diindikasikan untuk peradangan

massa terlokalisasi atau kavitas yang tidak dapat direseksi (Doherty,

2006).

Page 34: Kasus RGB Fix

Penanganan Postoperatif

1. Monitor intensif

Bantuan ventilator mutlak dilakukan pada pasien yang tidak

stabil. Tujuan utama adalah untuk mencapai stabilitas hemodinamik

untuk perfusi organ-organ vital., dan mungkin dibutuhkan agen

inotropik disamping pemberian cairan. Antibiotik diberikan selama

10-14 hari, bergantung pada keparahan peritonitis. Respon klinis

yang baik ditandai dengan produksi urin yang normal, penurunan

demam dan leukositosis, ileus menurun, dan keadaan umum

membaik. Tingkat kesembuhan bervariasi tergantung pada durasi

dan keparahan peritonitis.

2. Pelepasan kateter (arterial, CVP, urin, nasogastric) lebih awal dapat

menurunkan resiko infeksi sekunder (Doherty, 2006).

H. KOMPLIKASI

Komplikasi postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi

komplikasi lokal dan sistemik.Infeksi pada luka dalam, abses residual dan

sepsis intraperitoneal, pembentukan fistula biasanya muncul pada akhir

minggu pertama postoperasi. Demam tinggi yang persisten, edema

generalisata, peningkatan distensi abdomen, apatis yang berkepanjangan

merupakan indikator adanya infeksi abdomen residual. Hal ini

membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut misalnya CT-Scan abdomen.

Sepsis yang tidak terkontrol dapat menyebabkan kegagalan organ yang

multipel yaitu organ respirasi, ginjal, hepar, perdarahan, dan sistem imun

(Doherty, 2006).

I. PROGNOSIS

Tingkat mortalitas dari peritonitis generalisata adalah sekitar 40%.

Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara lain

tipe penyakit primer dan durasinya, keterlibatan kegagalan organ multipel

sebelum pengobatan, serta usia dan kondisi kesehatan awal pasien. Tingkat

Page 35: Kasus RGB Fix

mortalitas sekitar 10% pada pasien dengan ulkus perforata atau apendisitis,

pada usia muda, pada pasien dengan sedikit kontaminasi bakteri, dan pada

pasien yang terdiagnosis lebih awal (Doherty, 2006).

II. PERFORASI GASTER

A. Anatomi Lambung

Lambung merupakan bagian sistem gastrointestinal yang terletak di

antara esofagus dan duodenum. Dari hubungan anatomi topografik

lambung-duodenum dengan hati, pankreas, dan limpa, dapat diperkirakan

bahwa tukak peptik akan mengalami perforasi ke rongga sekitarnya secara

bebas atau penetrasi ke dalam organ di dekatnya, bergantung pada letak

tukak. Berdasarkan faalnya, lambung dibagi dalam dua bagian. Tiga

perempat proksimal yang terdiri dari fundus dan korpus, berfungsi sebagai

penampung makanan yang ditelan serta tempat produksi asam lambung

dan pepsin, sedangkan dinding korpus, apalagi antrum, tebal, dan kuat

lapisan ototnya. Ciri yang cukup menonjol pada anatomi lambung adalah

peredaran darahnya yang sangat kaya dan berasal dari empat jurusan

dengan pembuluh nadi besar di pinggir kurvatura mayor dan minor serta

dalam dinding lambung. Di belakang dan tepi medial duodenum, juga

ditemukan arteri besar (a.gastroduodenalis). Perdarahan hebat bisa terjadi

karena erosi dinding arteri itu pada tukak peptik lambung atau duodenum.

Vena dari lambung duodenum bermuara ke vena porta. Peredaran vena ini

kaya sekali dengan hubungan kolateral ke organ yang ada hubungan

embrional dengan lambung dan duodenum. Saluran limfe dari lambung

juga cukup rumit. Semuanya akan berakhir di kelenjar paraaorta dan

preaorta di pangkal mesenterium embrional. Antara lambung dan pangkal

embrional itu terdapat kelenjar limfe yang letaknya tersebar di mana-mana

akibat putaran embrional.

Persarafan simpatis lambung seperti biasa melalui serabut saraf

yang menyertai arteri. Impuls nyeri dihantarkan melalui serabut eferen

saraf simpatis. Serabut parasimpatis berasal dari n.vagus dan mengurus sel

Page 36: Kasus RGB Fix

parietal di fundus dan korpus lambung. Nervus vagus anterior (sinister)

memberikan cabang ke kandung empedu, hati dan antrum sebagai saraf

Laterjet anterior, sedangkan n.vagus posterior (dekstra) memberikan

cabang ke ganglion seliakus untuk visera lain di perut kan ke antrum

sebagai saraf Laterjet posterior.

B. Fisiologi Lambung

Fungsi utama lambung adalah penerima makanan dan minuman,

dikerjakan oleh fundus dan korpus, dan penghancur dikerjakan oleh

antrum, selain turut bekerja dalam pencernaan awal berkat kerja kimiawi

asam lambung dan pepsin. Motilitas fungsi lambung yang berkaitan

dengan gerakan adalah penyimpanan dan pencampuran makanan serta

pengosongan lambung. Kemampuan lambung menampung makanan

mencapai 1500 ml karena mampu menyesuaikan ukurannya dengan

kenaikan tekanan intraluminal tanpa peregangan dinding (relaksasi

reseptif).

Fungsi ini diatur oleh n.vagus dan hilang setelah vagotomi. Ini

antara lain yang mendasari turunnya kapasitas penampungan pada

penderita tumor lambung lanjut sehingga cepat kenyang. Peristalsis terjadi

bila lambung mengambang akibat adanya makanan dan minuman.

Kontraksi yang kuat pada antrum (dindingnya paling tebal) akan

mencampur makanan dengan enzim lambung, kemudian

mengosongkannya ke duodenum secara bertahap. Daging tidak berlemak,

nasi, dan sayuran meninggalkan lambung dalam tiga jam, sedangkan

makanan yang tinggi lemak dapat bertahan di lambung 6-12 jam. Cairan

lambung Cairan lambung yang jumlahnya bervariasi antara 500-1500

ml/hari mengandung lendir, pepsinogen, faktor intrinsik dan elektrolit,

terutama larutan HCl. Sekresi basal cairan ini selalu ada dalam jumlah

sedikit.

Produksi asam merupakan hal yang kompleks, namun secara

sederhana dibagi atas tiga fase perangsangan. Ketiga fase, yaitu fase

Page 37: Kasus RGB Fix

sefalik, fase gastrik, dan fase intestinal ini saling mempengaruhi dan

berhubungan. Fase sefalik rangsang yang timbul akibat melihat,

menghirup, merasakan, bahkan berpikir tentang makanan akan

meningkatkan produksi asam melalui aktivitas n.vagus. Fase gastrik

distensi lambung akibat adanya makanan atau zat kimia, seperti kalsium,

asam amino, dan peptida dalam makanan akan merangsang produksi

gastrin, refleks vagus, dan reflek kolinergik intramural. Semua itu akan

merangsang sel parietal untuk memproduksi asam lambung. Fase intestinal

hormon enterooksintin merangsang produksi asam lambung setelah

makanan sampai di usus halus. Seperti halnya proses sekresi dalam tubuh,

cairan lambung bertindak sebagai penghambat sekresinya sendiri

berdasarkan prinsip umpan balik. Keasaman yang tinggi di daerah antrum

akan menghambat produksi gastrin oleh sel G sehingga sekresi fase gastrik

akan berksekresi fase gastrik akan berkurang. Pada pH di bawah 2.5

produksi gastrin mulai dihambat.

C. Perforasi Gaster

Pada orang dewasa, perforasi ulkus peptik adalah penyebab umum

dari morbiditas dan mortalitas akut abdomen sampai sekitar 30 tahun lalu.

Angka kejadian menurun secara paralel dengan penurunan umum dari

prevalensi ulkus peptic .Ulkus duodenum 2-3 kali lebih sering dari

perforasi ulkus gaster. Sekitar satu pertiga perforasi gaster berkaitan

dengan karsinoma gaster.

D. Etiologi

a. Perforasi non-trauma, misalnya :

Akibat volvulus gaster karena overdistensi dan iskemia

Spontan pasa bayi baru lahir yang terimplikasi syok dan stress

ulcer.

Ingesti aspirin, anti inflamasi non steroid, dan steroid : terutama

pada pasien usia lanjut.

Page 38: Kasus RGB Fix

Adanya faktor predisposisi, termasuk ulkus peptik

Perforasi oleh malignansi intraabdomen atau limfoma

Benda asing dapat menyebabkan perforasi esofagus, gaster, atau

usus dengan infeksi intraabdomen, peritonitis, dan sepsis.

b. Perforasi trauma (tajam atau tumpul), misalnya :

Trauma iatrogenik setelah pemasangan pipa nasogastrik saat

endoskopi.

Luka penetrasi ke dada bagian bawah atau abdomen (misalnya

tusukan pisau)

Trauma tumpul pada gaster, trauma seperti ini lebih umum pada

anak daripada dewasa dan termasuk trauma yang berhubungan

dengan pemasangan alat, cedera gagang kemudi sepeda, dan

sindrom sabuk pengaman.

Dari hasil penelitian di RS Hasan Sadikin Bandung sejak akhir

tahun 2006 terhadap 38 kasus perforasi gaster, 32 orang di antaranya

adalah pengonsumsi jamu (84,2 persen) dan dari jumlah itu, sebanyak 18

orang mengonsumsi jamu lebih dari 1 tahun (56,25 persen). Pasien yang

paling lama mengonsumsi jamu adalah sekitar 5 tahun. Frekuensi tersering

mengonsumsi jamu adalah seminggu tiga kali. Namun jamu yang mereka

konsumsi adalah jamu plus obat kimia atau yang sering dikenal dengan

jamu oplosan. Dari uji laboratorium, ternyata jamu tersebut mengandung

bahan kimia. Sebagian besar zat kimia tersebut merupakan golongan obat

yang bersifat antiperadangan dan antinyeri (anti-inflamasi) nonsteroid

(NSAID) di antaranya fenilbutazon, antalgin, dan natrium diclofenac, serta

golongan obat anti-inflamasi steroid di antaranya deksametosan dan

prednisone. Ruptur lambung akan melepaskan udara dan kandungan

lambung ke dalam peritoneum. pasien akan menunjukkan rasa nyeri hebat,

akut, disertai peritonitis. Dari radiologis, sejumlah besar udara bebas akan

tampak di peritoneum dan ligamentum falsiparum tampak dikelilingi

udara.

Page 39: Kasus RGB Fix

E. Patofisiologi

Dalam keadaan normal, lambung relatif bersih dari bakteri dan

mikroorganisme lain karena kadar asam intraluminalnya yang tinggi.

Kebanyakan orang yang mengalami trauma abdominal memiliki fungsi

gaster normal dan tidak berada dalam resiko kontaminasi bakteri setelah

perforasi gaster. Namun, mereka yang sebelumnya sudah memiliki

masalah gaster beresiko terhadap kontaminasi peritoneal dengan perforasi

gaster. Kebocoran cairan asam lambung ke rongga peritoneal sering

berakibat peritonitis kimia yang dalam. Jika kebocoran tidak ditutup dan

partikel makanan mencapai rongga peritoneal, peritonitis kimia bertahap

menjadi peritonitis bakterial. Pasien mungkin bebas gejala untuk beberapa

jam antara peritonitis kimia awal sampai peritonitis bakterial kemudian.

Adanya bakteri di rongga peritoneal merangsang influks sel-sel inflamasi

akut. Omentum dan organ dalam cenderung untuk melokalisasi tempat

inflamasi, membentuk flegmon (ini biasanya terjadi pada perforasi usus

besar). Hipoksia yang diakibatkan di area memfasilitasi pertumbuhan

bakteri anaerob dan menyebabkan pelemahan aktivitas bakterisid dari

granulosit, yang mengarah pada peningkatan aktivitas fagosit granulosit,

degradasi sel, hipertonisitas cairan membentuk abses, efek osmotik,

mengalirnya lebih banyak cairan ke area abses, dan pembesaran abses

abdomen. Jika tidak diterapi, bakteremia, sepsis general, kegagalan multi

organ, dan syok dapat terjadi.

Tanda dan gejala perforasi gaster akan menyebabkan peritonitis

akut. Penderita yang mengalami perforasi akan tampak kesakitan hebat,

seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak, terutama dirasakan di

daerah epigastrium karena rangsang peritoneum oleh asam lambung,

empedu dan/atau enzim pankreas. Cairan lambung akan mengalir ke kelok

parakolika kanan, menimbulkan nyeri perut kanan bawah, kemudian

menyebar ke seluruh perut menimbulkan nyeri seluruh perut. Pada awal

perforasi, belum ada infeksi bakteria, fase ini disebut fase peritonitis

kimia.

Page 40: Kasus RGB Fix

Adanya nyeri di bahu menunjukkan adanya rangsangan peritoneum

di permukaan bawah diafragma. Reaksi peritoneum berupa pengenceran

zat asam yang merangsang itu akan mengurangi keluhan untuk sementara

sampai kemudian terjadi peritonitis bakteria. Rangsangan peritoneum

menimbulkan nyeri tekan dan defans muskuler. Pekak hati bisa hilang

karena adanya udara bebas di bawah diafragma. Peristaltis usus menurun

sampai menghilang akibat kelumpuhan sementara usus. Bila telah terjadi

peritonitis bakteria, suhu badan penderita akan naik dan terjadi takikardia,

hipotensi, dan penderita tampak letargik karena syok toksik. Rangsangan

peritoneum menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan

pergeseran peritoneum dengan peritoneum. Nyeri subjektif dirasakan

waktu penderita bergerak, seperti berjalan, bernapas, menggerakkan

badan, batuk, dan mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri ketika digerakkan

seperti pada saat palpasi, tekanan dilepaskan, colok dubur, tes psoas, dan

tes obturator.

F. Pemeriksaan Penunjang

Sejalan dengan penemuan klinis, metode tambahan yang dapat

dilakukan adalah : foto polos abdomen pada posisi berdiri, ultrasonografi

dengan vesika urinaria penuh, CT-scan murni dan CT-scan dengan

kontras. Jika temuan foto Rontgen dan ultrasonografi tidak jelas,

sebaiknya jangan ragu untuk menggunakan CT-scan, dengan

pertimbangan metode ini dapat mendeteksi cairandan jumlah udara yang

sangat sedikit sekali pun yang tidak terdeteksi oleh metode yang

disebutkan sebelumnya.

a. Radiologi

Perforasi gastrointestinal adalah penyebab umum dari akut

abdomen. Isi yang keluar dari perforasi dapat mengandung udara,

cairan lambung dan duodenum, empedu, makanan, dan bakteri. Udara

bebas atau pneumoperitoneum terbentuk jika udara keluar dari sistem

gastrointestinal. Hal ini terjadi setelah perforasi lambung, bagian oral

Page 41: Kasus RGB Fix

duodenum, dan usus besar. Pada kasus perforasi usus kecil, yang

dalam keadaan normal tidak mengandung udara, jumlah udara yang

sangat kecil dilepaskan. Udara bebas terjadi di rongga peritoneum 20

menit setelah perforasi. Manfaat penemuan dini dan pasti dari perforasi

gaster sangat penting, karena keadaan ini biasanya memerlukan

intervensi bedah. Radiologis memiliki peran nyata dalam menolong

ahli bedah dalam memilih prosedur diagnostik dan untuk memutuskan

apakah pasien perlu dioperasi. Deteksi pneumoperitoneum minimal

pada pasien dengan nyeri akut abdomen karena perforasi gaster adalah

tugas diagnostik yang paling penting dalam status kegawatdaruratan

abdomen.

Seorang dokter yang berpengalaman, dengan menggunakan teknik

radiologi, dapat mendeteksi jumlah udara sebanyak 1 ml. dalam

melakukannya, ia menggunakan teknik foto abdomen klasik dalam

posisi berdiri dan posisi lateral decubitus kiri. Untuk melihat udara

bebas dan membuat interpretasi radiologi dapat dipercaya, kualitas

film pajanan dan posisi yang benar sangat penting. Setiap pasien harus

mengambil posisi adekuat 10 menit sebelum pengambilan foto, maka,

pada saat pengambilan udara bebas dapat mencapai titik tertinggi di

abdomen.Banyak peneliti menunjukkan kehadiran udara bebas dapat

terlihat pada 75-80% kasus. Udara bebas tampak pada posisi berdiri

atau posisi decubitus lateral kiri.

Pada kasus perforasi karena trauma, perforasi dapat

tersembunyi dan tertutup oleh kondisi bedah patologis lain. Posisi

supine menunjukkan pneumoperitoneum pada hanya 56% kasus.

Sekitar 50% pasien menunjukkan kumpulan udara di abdomen atas

kanan, lainnya adalah subhepatika atau di ruang hepatorenal. Di sini

dapat terlihat gambaran oval kecil atau linear. Gambaran udara bentuk

segitiga kecil juga dapat tampak di antara lekukan usus. Meskipun,

paling sering terlihat dalam bentuk seperti kubah atau bentuk bulan

setengah di bawah diafragma pada posisi berdiri. Football sign

Page 42: Kasus RGB Fix

menggambarkan adanya udara bebas di atas kumpulan cairan di bagian

tengah abdomen. Ultrasonografi Ultrasonografi adalah metode awal

untuk kebanyakan kondisi akut abdomen. Pemeriksaan ini berguna

untuk mendeteksi cairan bebas dengan berbagai densitas, yang pada

kasus ini adalah sangat tidak homogen karena terdapat kandungan

lambung. Pemeriksaan ini khususnya berharga untuk mendeteksi

cairan bebas di pelvik kecil menggunakan teknik kandung kemih

penuh. Kebanyakan, ultrasonografi tidak dapat mendeteksi udara

bebas. CT scan abdomen adalah metode yang jauh lebih sensitif untuk

mendeteksi udara setelah perforasi, bahkan jika udara tampak seperti

gelembung dan saat pada foto rontgen murni dinyatakan negatif. Oleh

karena itu, CT scan sangat efisien untuk deteksi dini perforasi gaster.

Ketika melakukan pemeriksaan, kita perlu menyetel jendelanya agar

dapat membedakan antara lemak dengan udara, karena keduanya

tampak sebagai area hipodens dengan densitas negatif. Jendela untuk

parenkim paru adalah yang terbaik untuk mengatasi masalah ini. Saat

CT scan dilakukan dalam posisi supine, gelembung udara pada CT

scan terutama berlokasi di depan bagian abdomen. Kita dapat melihat

gelembung udara bergerak jika pasien setelah itu mengambil posisi

decubitus kiri. CT scan juga jauh lebih baik dalam mendeteksi

kumpulan cairan di bursa omentalis dan retroperitoneal. Walaupun

sensitivitasnya tinggi, CT scan tidak selalu diperlukan berkaitan

dengan biaya yang tinggi dan efek radiasinya. Jika kita menduga

seseorang mengalami perforasi, dan udara bebas tidak terlihat pada

scan murni klasik, kita dapat menggunakan substansi kontras nonionik

untuk membuktikan keraguan kita. Salah satu caranya adalah dengan

menggunakan udara melalui pipa nasogastrik 10 menit sebelum

scanning. Cara kedua adalah dengan memberikan kontras yang dapat

larut secara oral minimal 250 ml 5 menit sebelum scanning, yang

membantu untuk menunjukkan kontras tapi bukan udara. Komponen

barium tidak dapat diberikan pada keadaan ini karena mereka dapat

Page 43: Kasus RGB Fix

menyebabkan pembentukkan granuloma dan adesi peritoneum.

Beberapa penulis menyatakan bahwa CT scan dapat memberi

ketepatan sampai 95%. Prognosis apabila tindakan operasi dan

pemberian antibiotik berspektrum luas cepat dilakukan adalah dubia ad

bonam. Sedangkan bila diagnosis, tindakan, dan pemberian antibiotik

terlambat dilakukan maka prognosisnya menjadi dubia ad malam.

Hasil terapi meningkat dengan diagnosis dan penatalaksanaan dini.

Faktor-faktor berikut akan meningkatkan resiko kematian :

• Usia lanjut

• Adanya penyakit yang mendasari sebelumnya

• Malnutrisi

• Timbulnya komplikasi

Penatalaksanaan Penderita yang lambungnya mengalami

perforasi harus diperbaiki keadaan umumnya sebelum operasi.

Pemberian cairan dan koreksi elektrolit, pemasangan pipa nasogastrik,

dan pemberian antibiotik mutlak diberikan. Jika gejala dan tanda-

tanda peritonitis umum tidak ada, kebijakan nonoperatif mungkin

digunakan dengan terapi antibiotik langsung terhadap bakteri gram-

negatif dan anaerob. Tujuan dari terapi bedah adalah :

a. Koreksi masalah anatomi yang mendasari

b. Koreksi penyebab peritonitis

c. Membuang setiap material asing di rongga peritoneum yang dapat

menghambat fungsi leukosit dan mendorong pertumbuhan bakteri

(seperti darah, makanan, sekresi lambung)

Laparotomi dilakukan segera setelah upaya suportif

dikerjakan. Jahitan saja setelah eksisi tukak yang perforasi belum

mengatasi penyakit primernya, tetapi tindakan ini dianjurkan bila

keadaan umum kurang baik, penderita usia lanjut, dan terdapat

peritonitis purulenta. Bila keadaan memungkinkan, tambahan tindakan

vagotomi dan antrektomi dianjurkan untuk mencegah kekambuhan.

perforasi gaster pada periode neonatal. Meskipun perforasi gaster

Page 44: Kasus RGB Fix

jarang terjadi, penyakit ini lebih sering terjadi pada anak daripada

dewasa, dan biasanya terjadi di ICU neonatal. Tiga mekanisme telah

diajukan untuk perforasi gaster pada neonatal : traumatik, iskemik,

dan spontan. Etiologi spesifik dapat sulit ditentukan karena bayi

biasanya sakit dan patologi aktual menyediakan hanya sedikit

petunjuk.

Kebanyakan perforasi gaster adalah akibat trauma iatrogenik.

Cedera paling umum adalah akibat pemasangan pipa orogastrik atau

nasogastrik yang terlalu bertenaga. Perforasi biasanya di sepanjang

kurvatura mayor dan tampak sebagai luka tusuk atau laserasi pendek.

Perforasi gaster traumatik dapat muncul sebagai akibat distensi gaster

yang hebat selama ventilasi tekanan positif selama resusitasi bag-mask

atau ventilasi mekanik untuk gagal napas. Mekanisme perforasi

iskemik sulit diterangkan karena kasus ini dihubungkan dengan

kondisi stress fisiologis berat seperti prematuritas hebat, sepsis, dan

asfiksia neonatal. Perforasi gastrik iskemik telah dilaporkan dalam

hubungan dengan enterokolitis nekrotikans. Karena stress ulcer gaster

telah dilaporkan pada berbagai bayi yang sakit kritis, telah diajukan

bahwa perforasi gaster sebagai akibat dari nekrosis transmural.

Perforasi gaster spontan pernah dilaporkan terjadi pada bayi yang

sehat, biasanya dalam minggu pertama kehidupan biasanya dalam

minggu pertama kehidupan terutama antara hari ke 2 sampai ke 7.

Istilah spontan menyatakan penyebab yang bukan akibat enterokolitis

nekrotikan atau iskemia, trauma dari intubasi gastrik, obstruksi

intestinal atau insuflasi aksidental selama bantuan ventilasi. Meskipun

stress perinatal dan prematuritas tidak umum dihubungkan, tidak ada

faktor predisposisi yang dapat diidentifikasi pada setidaknya 20%

kasus. Satu hipotesis adalah bahwa perforasi spontan berkaitan dengan

defek kongenital dinding muskuler gaster. Namun penemuan patologis

yang sama belum pernah dilaporkan. Perforasi gastroduodenal telah

dihubungkan dengan terapi steroid postnatal untuk mencegah atau

Page 45: Kasus RGB Fix

terapi BPD. Kebanyakan bayi diberi makan secara normal sampai saat

terjadi perforasi. Gambaran patologis dan klinis konsisten dengan

overdistensi mekanik daripada iskemia sebagai penyebab perforasi.

Tanda dan gejala perforasi gaster biasanya mereka dengan gejala akut

abdomen disertai sepsis dan gagal napas. Pemeriksaan abdominal

adanya distensi abdominal yang signifikan. Vomitus adalah gejala

yang tidak konsisten. Konfirmasi radiografi akan pneumoperitoneum

masif adalah sugestif dan studi kontras untuk mengkonfirmasi

diagnosis tidak diindikasikan. Tanda-tanda syok hipovolemik dan

sepsis melengkapi gambaran klinik. Perforasi pada bayi baru lahir

merupakan kegawatdaruratan bedah.Karena ukuran yang besar dan

tempat perforasi yang proksimal, bayi-bayi ini dapat mendapat

pneumoperitoneum dengan progresifitas cepat yang dihubungkan

dengan bahaya kardiopulmoner. Sebelum intervensi bedah, selama

evaluasi dan resusitasi bayi, dekompresi jarum abdomen dengan

kateter intravena besar mungkin diperlukan. Pipa nasogastrik

sebaiknya dipasang ketika resusitasi cepat dikerjakan. Pada bayi

dengan berat lahir yang sangat rendah yang mengalami perforasi

terisolasi, drainase peritonel saja dapat mencukupi. Udara bebas

persisten atau asidosis berkelanjutan dan bukti peritonitis

mengamanatkan eksplorasi bedah. Perbaikan bedah kebanyakan

perforasi terdiri dari debrideman dan penutupan dua lapis gaster.

Suatu gastrostomi mungkin menjamin reseksi lambung signifikan

sebaiknya dihindari. Kerusakan sering melibatkan dinding posterior

lambung sepanjang kurvatura mayor membuat pembagian omentum

gastrokolik dan eksplorasi dinding lambung posterior diperlukan

bahkan jika gangguan ditemukan juga di dinding anterior. Area

multipel dari cedera harus dikecualikan. Terapi suportif yang giat post

operatif bersama dengan penggunaan antibiotik spektrum luas secara

intravena diperlukan. Faktor yang paling penting yang mempengaruhi

angka ketahanan hidup tampaknya adalah interval antara onset gejala

Page 46: Kasus RGB Fix

dan dimulainya terapi definitif, luas kontaminasi peritonel, derajat

prematuritas dan keparahan konsekuensi asfiksia. Berkaitan dengan

masalah-masalah yang berhubungan dengan sepsis dan gagal napas

sering ditemukan pada bayi prematur, angka mortalitas perforasi

gaster menjadi tinggi, berkisar antara 45% sampai 58%.

G. Komplikasi

a. Infeksi Luka, angka kejadian infeksi berkaitan dengan muatan

bakteri pada gaster

b. Kegagalan luka operasi (kerusakan parsial atau total pada setiap

lapisan luka operasi) dapat terjadi segera atau lambat. Faktor-

faktor yang dapat dihubungkan dengan kegagalan luka operasi

yaitu malnutrisi, sepsis, uremia, diabetes mellitus, terapi

kortikosteroid, obesitas , batuk yang berat, hematoma (dengan

atau tanpa infeksi), abses abdominal terlokalisasi, kegagalan

multiorgan dan syok septic, septikemia

c. Perdarahan mukosa gaster. Komplikasi ini biasanya dihubungkan

dengan kegagalan sistem multipel organ dan mungkin

berhubungan dengan defek proteksioleh mukosa gaster

d. Obstruksi mekanik, sering disebabkan karena adesi postoperatif

e. Delirium post-operatif. Faktor berikut dapat menyebabkan

predisposisi delirium postoperatif: usia lanjut, ketergantungan

obat, demensia, abnormalitas metabolic, infeksi, riwayat delirium

sebelumnya, hipoksia, hipotensi intraoperatif/postoperative

Page 47: Kasus RGB Fix

DAFTAR PUSTAKA

Azer, Samy A., Intestinal Perforation – emedicine available

from, http://www.emedicine.com/med/topic2822.htm

Brian, J. 2011, Peritonitis and Abdominal Sepsis.Diakses pada 6 Juni

2012. http://emedicine.medscape.com/article/180234overview#aw2aab6b

2b4aa Cole et al. 1970.

Cole and Zollinger Textbook of Surgery 9th Edition. Appelton-Century Corp, Hal

784-795 Doherty, Gerard. 2006. Peritoneal Cavity in Current Surgical

Diagnosis & Treatment 12ed. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.

Evans, HL. 2001. Tertiary Peritonitis (Recurrent Diffuse or Localized Disease) is

not An Independent Predictor of Mortality in Surgical Patients with Intra

Abdominal Infection. Surgical Infection (Larchmt); 2(4) : 255-63

Fauci et al, 2008, Harrison’s Principal Of Internal Medicine Volume 1,

McGraw Hill, Peritonitis halaman 808-810, 1916-1917

Gharehbaghy, Manizheh M., Rafeey, Mandana., Acute Gastric Perforation in

Neonatal Period, available

from http://www.medicaljournal-ias.org/14_2/Gharehbaghy.pdf

Hau, T. 2003. Peritoneal Defense Mechanisms. Turk J Med Sci; 33: 131-4

Heemken, R. 1997. Peritonitis: Pathophydiology and Local Defense

Mechanisms. Hepatogastroenterology; Jul-Aug; 44(16): 927-36 Iwagaki,

H. 1997. Clinical Value of Cytokine Antagonists in Infectious

Complications. Res CommunMol Pathol Pathol Pharmacol; Apr: 96(1):

25-34

Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga, Jilid 2, editor : Mansjoer, Arif.,

Suprohalta., Wardhani, Wahyu Ika., Setiowulan, Wiwiek., Fakultas

Kedokteran UI, Media Aesculapius, Jakarta : 2000

Page 48: Kasus RGB Fix

Marshall, JC. 2003. Intensive Care Management of Intra Abdominal Infection.

Critical Care Medicine; 31(8) : 2228-37 Schwartz et al. 1989. Priciple of

Surgery 5th Edition. Singapore: Mc.Graw-Hill, Hal 1459-1467

Medcyclopaedia – Gastric rupture, available

from http://www.medcyclopaedia.com/library/topics/volume_vii/g/gastri

c_rupture

Pieter, John, editor : Sjamsuhidajat,R. dan De Jong, Wim, Bab 31 : Lambung dan

Duodenum, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, EGC : Jakarta, 2004.

Hal.541-59. 

Sofić, Amela., Bešlić, Šerif., Linceder, Lidija., Vrcić, Dunja., Early radiological

diagnostics of gastrointestinal perforation, available

from http://www.onko-i.si/uploads/articles/Radiology_40_2_2.pdf