kasus debb recovered
DESCRIPTION
Kasus Debb RecoveredTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Hidung merupakan salah satu organ pelindung tubuh terpenting terhadap
lingkungan yang tidak menguntungkan. Rongga hidung kaya dengan pembuluh darah.
Pada rongga bagian depan, tepatnya pada sekat yang membagi rongga hidung kita
menjadi dua, terdapat anyaman pembuluh darah yang disebut pleksus Kiesselbach. Pada
rongga bagian belakang juga terdapat banyak cabang-cabang dari pembuluh darah yang
cukup besar antara lain dari arteri sphenopalatina.
Epistaksis atau perdarahan dari hidung banyak dijumpai sehari – hari baik pada
anak maupun usia lanjut. Epistaksis seringkali merupakan gejala atau manisfestasi
penyakit lain. Hal ini disebabkan oleh kelainan lokal maupun sistemik dan sumber
perdarahan yang paling sering adalah dari pleksus Kiessel-bach’s. Epistaksis bukan suatu
penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang mana hampir 90 % dapat berhenti
sendiri. Epistaksis terbanyak dijumpai pada usia 2-10 tahun dan 50-80 tahun, sering
dijumpai pada musim dingin dan kering.
Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa diketahui penyebabnya, kadang-kadang
jelas disebabkan karena trauma. Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal pada
hidung atau kelainan sistemik. Kelainan lokal misalnya trauma,kelainan anatomi,kelainan
pembuluh darah,infeksi lokal, benda asing,tumor,pengaruh udara lingkungan. Kelainan
sistemik seperti penyakit kardiovaskuler,kelainan darah,infeksi sistemik, perubahan
tekanan atmosfir, kelainan hormonal dan kelainan kongenital.
BAB II
STATUS PASIEN
II.1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn.S
Usia : 73 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Magelang
Pekerjaan : Pensiunan PNS
Agama : Islam
II.2. ANAMNESIS
• Keluhan Utama : Mimisan
• Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke UGD RST dr.Soedjono tanggal 18 Agustus 2013 pukul 22.30
WIB. Dengan keluhan mimisan (keluar darah dari lubang hidung). Mimisan
terjadi pada lubang hidung yang sebelah kanan, banyaknya darah yang keluar
sekitar ½ gelas dalam sekali mimisan, pertama kali keluar darah pada pukul 04.00
dini hari setelah 10 – 15 menit kemudian berhenti setelah memencet hidung dan
sumpal dengan daun sirih, setelah itu darahnya keluar lagi pada pukul 08.00 pagi,
banyaknya sekitar ¼ gelas, darahnya berwarna merah terang.
Pasien tidak merasa seperti menelan darah di tengorokannya, pasien
menyangkal adanya kebiasaan mengorek – ngorek hidung atau mengeluarkan
ingus dengan keras sebelum keluhan tersebut muncul. Pasien juga tidak
mengeluhkan adanya nyeri, demam, batuk atau pilek sebelum keluhan tersebut
muncul.
Riwayat Penyakit Dahulu
Sebelumnya tidak pernah seperti ini, HT (+) dan tidak minum obat untuk
hipertensinya, DM (-), penyakit kelainan darah (-), riwayat trauma pada
wajah/hidung (-)
Riwayat Pengobatan
Tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan antikoagulan seperti aspirin, dan belum
pernah diobati ke dokter
Riwayat Penyakit Keluarga:
Dikeluarga tidak ada yang mempunyai keluhan yang sama
Riwayat Sosial Ekonomi
Kesan ekonomi cukup
II.3. PEMERIKSAAN FISIK
Status generalisata
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital :
TD : 180/100 mmHg
N : 88 x/min
S : 36.2oC
RR : 20x/min
Aktivitas : Normoaktif
Sikap : Kooperatif
Status gizi : Baik
Status lokalis (THT)
Kepala & leher :
• Kepala : mesocephale
• Wajah : simetris
• Leher : pembesaran kelj.limfe (-)
TELINGA
Bagian Auricula Dextra Sinistra
Auricula
Bentuk normal,
nyeri tarik (-)
nyeri tragus (-)
Bentuk normal
nyeri tarik (-)
nyeri tragus (-)
Pre auricular Bengkak (-)
nyeri tekan (-)
Bengkak (-)
nyeri tekan (-)
fistula (-) fistula (-)
Retro auricularBengkak (-)
Nyeri tekan (-)
Bengkak (-)
Nyeri tekan (-)
MastoidBengkak (-)
Nyeri tekan (-)
Bengkak (-),
Nyeri tekan (-)
CAE
Serumen (+)
hiperemis (-)
Sekret (-)
Serumen (+)
hiperemis (-)
Sekret (-)
Membran
timpani
Intak
putih mengkilat
refleks cahaya (+)
Intak
putih mengkilat
refleks cahaya (+)
HIDUNG DAN SINUS PARANASAL
Luar: Kanan Kiri
Bentuk Normal Normal
Sinus Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Inflamasi/tumor (-) (-)
Rhinoskopi Anterior Kanan Kiri
Cavum nasi
Sekret
Bekuan darah di daerah
pleksus Kiesselbach
darah (+) (-)
Mukosa hiperemis (-)
edema (-)
basah (+)
pucat (-)
hiperemis (-)
edema (-)
basah (-)
pucat (-)
Konka Media hipertrofi (-)
hiperemis (-)
hipertrofi (-)
hiperemis (-)
Konka Inferior hipertrofi (-)
hiperemis (-)
hipertrofi (-)
hiperemis (-)
Tumor (-) (-)
Septum Deviasi (-)
Massa (-) (-)
TENGGOROKAN
Lidah Ulcus (-) Stomatitis (-)
Uvula Bentuk normal, di tengah, hiperemis (-)
Tonsil Dextra Sinistra
Ukuran T1 T1
Permukaan Rata Rata
Warna Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Kripte Melebar (-) Melebar (-)
Detritus (-) (-)
Faring Mukosa hiperemis (-), dinding rata, granular (-)
II.4. RINGKASAN
o Anamnesis
o Epistaksis (+), pada lubang hidung kanan, darah yang keluar agak
banyak, dapat berhenti sendiri dengan melakukan tekanan pada hidung
o Seperti ini baru pertama kali
o Trauma hidung (-)
o Riw HT (+)
o Penyakit kelainan darah (-)
o Riw konsumsi obat-obatan seperti aspirin (-)
o Vital sign: Tekanan darah 180/100 mmhg
o Pemeriksaan Fisik
o Pada pemeriksaan hidung tidak ditemukan kelainan, ditemukan darah
dan bekuan darah didaerah pleksus kiesselbach
II.5. USULAN PEMERIKSAAN
Darah Lengkap
Parameter Hasil Nilai rujukan
WBC (103/mm3) 9.8 4.0-10.0
RBC (106/mm3) 4,24 3.50 – 5.50
HGB (gr/dl) 11,6 11.0 – 15.0
HCT (%) 33,4 36.8 – 48.0
PLT (103/mm3) 268 158 - 458
PCT (%) 0.35 .18 - .28
MCV (µm3) 78,8 80.0 – 99.0
MCH (pg) 27,3 26.0 – 32.0
MCHC (gr/dl) 34,7 32.0 – 36.0
RDW (%) 11.5 11.5 – 14.5
MPV ( µm3) 13,4 7.4 – 10.4
PDW (%) 10,8 10.0 – 14.0
% Lym 8,3 20.0 – 40.0
% Mon 5,3 1.0 – 15.0
% Gran 86,4 50.0 – 70.0
# Lym 0,8 0.6 - 4.1
# Mon 0,5 0.1 – 1.8
# Gran 8,5 2.8 – 7.0
GDS
SGPT/SGOT
Ureum/creatinin
CT/BT/ faktor pembekuan darah
Glukosa 161 mg/dl 70 - 110
Ureum 57 mg/dl 0 -50
creatinin 0,5 mg/dl 0 – 1,3
SGOT 24 U/I 3 - 35
SGPT 15 U/I 0 - 41
II.6. DIAGNOSIS BANDING
Epistaksis anterior
Epistaksis posterior
II.7. DIAGNOSIS SEMENTARA
Epistaksis anterior
II.8. USULAN TERAPI:
Nonmedikamentosa
o Pasang tampon anterior
Medikamentosa
o Infus RL 20 tpm
o Zibac (Ceftadizim 2x1 gr)
o Asam traneksamat 3x500
o Dycinon 3x1 amp
o Captopril 3x12,5 mg
II.9. EDUKASI
Segera hubungi dokter apabila terjadi mimisan kembali
II.10. PROGNOSA:
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionales : dubia ad bonam
II.11.RUJUKAN
Dalam kasus ini perlu dilakukan rujukan ke disiplin ilmu kedokteran lainnya, karena
dari pemeriksaan klinis dan ditemukan kelainan yang berkaitan dengan disiplin ilmu
kedokteran lainnya yaitu ke bagian ilmu penyakit dalam.
II.12.FOLLOW UP
Tanggal 19-8-2013
S : sudah tidak mimisan, pusing (-), lemas (-)
O :
Status generalis dbn
TD 130/90 mmHg, N 88x/min, S 36,3oC, RR 20x/min
Status THT :
Telinga
Sekret -/-, serumen -/-, membran timpani intak/intak
Hidung
Sekret -/-, bekuan darah (+/-), konka hiperemis -/-, konka hipertrofi -/-
Tenggorokan
Uvula ditengah, T1/T1, detritus -, kripte melebar -
A : epistaksis anterior
P : Infus RL 20 tpm
Zibac 2x1 gr
Kalnex 3x1 amp
Dycinon 3x1 amp
Tanggal 20-8-2013
S : mimisan (-).
O :
Status generalis dbn
TD 110/80 mmHg, N 88x/min, S 36,2oC, RR 20x/min
Status THT :
Telinga
Sekret -/-, serumen -/-, membran timpani intak/intak
Hidung
Sekret -/-, konka hiperemis -/-, konka hipertrofi -/-
Tenggorokan
Uvula ditengah, T1/T1, detritus -, kripte melebar -
A : epistaksis anterior
P : boleh pulang
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
III.1. Anatomi dan Fisiologi Hidung
Hidung terdiri dari hidung luar dan hidung dalam. Hidung luar berbentuk piramid,
bagiannya (dari atas ke bawah) yaitu pangkal hidung (bridge), dorsum nasi, puncak
hidung, ala nasi, kolumela, lubang hidung (nares anterior). Sedangkan bagian hidung
dalam terdiri dari vestibulum dan cavum nasi. Tiap kavum nasi memiliki 4 buah dinding
yaitu :
- medial adalah septum nasi yang dibentuk oleh tulang dan tulang rawan yaitu lamina
prependikularis, vomer, krista nasalis os maksilla, krista nasalis os palatina, kartilago
septum, dan kolumela
- lateral adalah konka yang terdiri dari konka inferior, media, dan superior. Diantara
konka tersebut dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus.
1. Concha nasalis superior
... Meatus nasi superior...
2. Concha nasalis media
... Meatus nasi medius...
3. Concha nasalis inferior
... Meatus nasi inferior...
4. Concha nasalis suprema
Dasar cavum nasi
Pada meatus medius terdapat muara sinus frontalis, maksila, dan etmoid anterior. Pada
meatus superior terdapat muara sinus etmoid posterior dan sfenoid.
- inferior adalah os maksilla & os palatum
- superior adalah lamina kribiformis
Vaskularisasi
Bagian bawah hidung mendapat perdarahan dari cabang a.maksilaris interna, di
antaranya adalah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen
sfenopalatina lalu memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media.
Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.fasialis.
Bagian atas rongga hidung mendapat vaskularisasi dari a.etmoid aanterior dan
posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika dari a.karotis interna. Bagian depan
septum, terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoid anterior,
a.labialis superior, a.palatina mayor (Pleksus Kiesselbach) .
Vena-vena di hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan
dengan arterinya. Vena di vestibulum & struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika
yang berhubungan dengan sinus kavernosus.
Inervasi
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus
etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari
nervus oftalmikus. Saraf sensoris untuk hidung terutama berasal dari cabang oftalmikus
dan cabang maksilaris nervus trigeminus. Cabang pertama nervus trigeminus yaitu nervus
oftalmikus memberikan cabang nervus nasosiliaris yang kemudian bercabang lagi
menjadi nervus etmoidalis anterior dan etmoidalis posterior dan nervus infratroklearis.
Nervus etmoidalis anterior berjalan melewati lamina kribrosa bagian anterior dan
memasuki hidung bersama arteri etmoidalis anterior melalui foramen etmoidalis anterior,
dan disini terbagi lagi menjadi cabang nasalis internus medial dan lateral. Rongga hidung
lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari nervus maksila melalui
ganglion sfenopalatinum
Ganglion sfenopalatina, selain memberi persarafan sensoris, juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut
serabut sensorid dari nervus maksila.Serabut parasimpatis dari nervus petrosus
profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak dibelakang dan sedikit diatas ujung
posterior konkha media. Nervus Olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan
bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada
mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.
Fisiologi
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi hidung
dan sinus paranasal adalah :
1. Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara, penyaring udara, humidifikasi,
penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal
2. Fungsi penghidu karema terdapatnya mukosa olfaktorus dan reservoir udara untuk
menampung stimulus penghidu
3. Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses biacara dan
mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang
4. Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap
trauma dan pelindung panas
5. Refleks nasal.
Mukosa hidung merupakan reseptor reflex yang berhubungan dengan saluran
cerna,kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan
reflex bersin dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi
kelenjar liur, lambung, dan pancreas.
III.2.EPISTAKSIS
III.2.1.Definisi
Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung. Epistaksis bukan suatu penyakit,
melainkan gejala dari suatu kelainan yang hampir 90 % dapat berhenti sendiri.
Perdarahan dari hidung dapat merupakan gejala yang sangat mengganggu dan dapat
mengancam nyawa. Faktor etiologi harus dicari dan dikoreksi untuk mengobati epistaksis
secara efektif.
III.2.2.Epidemiologi
Epistaksis jarang ditemukan pada bayi, sering pada anak, agak jarang pada orang
dewasa muda, dan lebih banyak lagi pada orang dewasa tua. Epistaksis atau perdarahan
hidung dilaporkan timbul pada 60% populasi umum. Puncak kejadian dari epistaksis
didapatkan berupa dua puncak (bimodal) yaitu pada usia <10 tahun dan >50 tahun.
Epistaksis anterior lebih sering terjadi pada anak- anak dan dewasa muda, sedangkan
epistaksis posterior lebih sering terjadi pada usia lebih tua, terutama pada laki- laki
berusia ≥ 50 tahun dengan penyakit hipertensi dan arteriosklerosis. Pasien yang
menderita alergi, inflamasi hidung dan penyakit hidung lebih rentan terhadap terjadinya
epistaksis, karena mukosanya lebih kering dan hiperemis yang disebabkan oleh reaksi
inflamasi.
Kira- kira 10% dari penduduk dunia mempunyai riwayat hidung berdarah
beberapa kali dalam hidupnya. Sekitar 30% anak- anak umut 0-5 tahun, 56% umur 6-10
tahun dan 64% berumur 11- 15 tahun mengalami satu kali epistaksis. Sebagai tambahan,
56% orang dewasa dengan perdarahan hidung berulang pernah mengalami kejadian
serupa pada saat kecil.
III.2.3.Etiologi
Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam selaput
mukosa hidung. Delapan puluh persen perdarahan berasal dari pembuluh darah Pleksus
Kiesselbach (area Little). Pleksus Kiesselbach terletak di septum nasi bagian anterior, di
belakang persambungan mukokutaneus tempat pembuluh darah yang kaya anastomosis .
Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab-sebab lokal dan umum atau kelainan sistemik
1) Lokal
a) Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung, benturan
ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau sebagai akibat trauma yang
lebih hebat seperti kena pukul, jatuh atau kecelakaan lalu lintas. Trauma karena sering
mengorek hidung dapat menyebabkan ulserasi dan perdarahan di mukosa bagian septum
anterior. Selain itu epistaksis juga bisa terjadi akibat adanya benda asing tajam atau
trauma pembedahan.
Epistaksis sering juga terjadi karena adanya spina septum yang tajam. Perdarahan
dapat terjadi di tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka yang berhadapan bila
konka itu sedang mengalami pembengkakan. Bagian anterior septum nasi, bila
mengalami deviasi atau perforasi, akan terpapar aliran udara pernafasan yang cenderung
mengeringkan sekresi hidung. Pembentukan krusta yang keras dan usaha melepaskan
dengan jari menimbulkan trauma digital. Pengeluaran krusta berulang menyebabkan erosi
membrana mukosa septum dan kemudian perdarahan.
Benda asing yang berada di hidung dapat menyebabkan trauma local, misalnya pada
pipa nasogastrik dan pipa nasotrakea yang menyebakan trauma pada mukosa hidung.
Trauma hidung dan wajah sering menyebabkan epistaksis. Jika perdarahan
disebabkan karena laserasi minimal dari mukosa biasanya perdarahan yang terjadi sedikit
tetapi trauma wajah yang berat dapat menyebabkan perdarahan yang banyak.
b) Infeksi lokal
Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rhinitis atau
sinusitis. Bisa juga pda infeksi spesifik seperti rhinitis jamur, tuberkulosis, lupus,
sifilis atau lepra.
Infeksi akan menyebabkan inflamasi yang akan merusak mukosa. Inflamasi akan
menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah setempat sehingga
memudahkan terjadinya perdarahan di hidung.
c) Neoplasma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan intermiten,
kadang-kadang ditandai dengan mukus yang bernoda darah, Hemangioma,
angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis berat. Karena pada tumor terjadi
pertumbuhan sel yang abnormal dan pembentukan pembuluh darah yang baru
(neovaskularisasi) yang bersifat rapuh sehingga memudahkan terjadinya perdarahan.
Gambar: Epistaksis pada neoplasma
d) Kelainan kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah perdarahan
telangiektasis heriditer (hereditary hemorrhagic telangiectasia/Osler's disease). Juga
sering terjadi pada Von Willendbrand disease. Telengiectasis hemorrhagic hereditary
adalah kelainan bentuk pembuluh darah dimana terjadi pelebaran kapiler yang bersifat
rapuh sehingga memudah kan terjadinya perdarahan.
e) Pengaruh lingkungan
Kelembaban udara yang rendah dapat menyebabkan iritasi mukosa. Epistaksis
sering terjadi pada udara yang kering dan saat musim dingin yang disebabkan oleh
dehumidifikasi mukosa nasal selain itu bisa di sebabkan oleh zat-zat kimia yang
bersifat korosif yang dapat menyebabkan kekeringan mukosa sehingga pembuluh
darah gampang pecah.
f) Deviasi septum
Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi dari septum
nasi dari letaknya yang berada di garis medial tubuh. Selain itu dapat menyebabkan
turbulensi udara yang dapat menyebabkan terbentuknya krusta. Pembuluh darah
mengalami ruptur bahkan oleh trauma yang sangat ringan seperti mengosok-gosok
hidung.
2) Sistemik
a) Kelainan darah
Beberapa kelainan darah yang dapat menyebabkan epistaksis adalah trombositopenia,
hemofilia dan leukemia.
Trombosit adalah fragmen sitoplasma megakariosit yang tidak berinti dan dibentuk di
sumsum tulang. Trombosit berfungsi untuk pembekuan darah bila terjadi trauma.
Trombosit pada pembuluh darah yang rusak akan melepaskan serotonin dan tromboksan
A₂ (prostaglandin), hal ini menyebabkan otot polos dinding pembuluh darah
berkonstriksi. Pada awalnya akan mengurangi darah yang hilang. Kemudian trombosit
membengkak, menjadi lengket, dan menempel pada serabut kolagen dinding pembuluh
darah yang rusak danmembentuk plug trombosit. Trombosit juga akan melepas ADP
untuk mengaktivasi trombosit lain, sehingga mengakibatkan agregasi trombosit untuk
memperkuat plug. Trombositopenia adalah keadaan dimana jumlah trombosit kurang dari
150.000/ µl. Trombositopenia akan memperlama waktu koagulasi dan memperbesar
resiko terjadinya perdarahan dalam pembuluh darah kecil di seluruh tubuh sehingga dapat
terjadi epistaksis pada keadaan trombositopenia.
Hemofilia adalah penyakit gangguan koagulasi herediter yang diturunkan secara X-
linked resesif. Gangguan terjadi pada jalur intrinsik mekanisme hemostasis herediter,
dimana terjadi defisiensi atau defek dari faktor pembekuan VIII (hemofilia A) atau IX
(hemofilia B). Darah pada penderita hemofilia tidak dapat membeku dengan sendirinya
secara normal. Proses pembekuan darah berjalan amat lambat. Hal ini dapat
menyebabkan terjadinya epistaksis.
Leukemia adalah jenis penyakit kanker yang menyerang sel-sel darah putih yang
diproduksi oleh .sumsum tulang (bone marrow). Sumsum tulang atau bone marrow ini
dalam tubuh manusia memproduksi tiga tipe sel darah diantaranya sel darah putih
(berfungsi sebagai daya tahan tubuh melawan infeksi), sel darah merah (berfungsi
membawa oksigen kedalam tubuh) dan trombosit (bagian kecil sel darah yang membantu
proses pembekuan darah). Pada Leukemia terjadi peningkatan pembentukan sel leukosit
sehingga menyebabkan penekanan atau gangguan pembentukan sel-sel darah yang lain di
sumsum tulang termasuk trombosit. Sehingga terjadi keadaan trombositpenia yang
menyebabkan perdarahan mudah terjadi.
Obat-obatan seperti terapi antikoagulan, aspirin dan fenilbutazon dapat pula
mempredisposisi epistaksis berulang. Aspirin mempunyai efek antiplatelet yaitu dengan
menginhibisi produksi tromboksan, yang pada keadaan normal akan mengikat molekul-
molekul trombosit untuk membuat suatu sumbatan pada dinding pembuluh darah yang
rusak. Aspirin dapat menyebabkan peoses pembekuan darah menjadi lebih lama sehingga
dapat terjadi perdarahan. Oleh karena itu,aspirin dapat menyebabkan epistaksis.
b) Penyakit kardiovaskuler dan penyakit sistemik
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada aterosklerosis, sirosis
hepatis, diabetes melitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis akibat hipertensi
biasanya hebat, sering kambuh dan prognosisnya tidak baik.
1. Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHG
dan tekanan darah diastolic lebih dari 90 mmhg. Epistaksis sering terjadi pada
tekanan darah tinggi karena kerapuhan pembuluh darah yang di sebabkan oleh
penyakit hipertensi yang kronis terjadilah kontraksi pembuluh darah terus
menerus yang mengakibatkan mudah pecahnya pembuluh darah yang tipis.
2. Arteriosklerosis
Pada arteriosklerosis terjadi kekakuan pembuluh darah. Jika terjadi keadaan
tekanan darah meningkat, pembuluh darah tidak bisa mengompensasi dengan
vasodilatasi, menyebabkan rupture dari pembuluh darah.
3. Sirosis hepatis
Hati merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein yang berkaitan dengan
koagulasi darah, misalnya: membentuk fibrinogen, protrombin, faktor V, VII, IX,
X dan vitamin K. Pada sirosis hepatis fungsi sintesis protein-protein dan vitamin
yang dibutuhkan untuk pembekuan darah terganggu sehingga mudah terjadinya
perdarahan. Sehingga epistaksis bisa terjadi pada penderita sirosis hepatis.
4. Diabetes mellitus
Terjadi peningkatan gula darah yang meyebabkan kerusakan mikroangiopati
dan makroangiopati. Kadar gula darah yang tinggi dapat menyebabkan sel
endotelial pada pembuluh darah mengambil glukosa lebih dari normal sehingga
terbentuklah lebih banyak glikoprotein pada permukaannya dan hal ini juga
menyebabkan basal membran semakin menebal dan lemah. Dinding pembuluh
darah menjadi lebih tebal tapi lemah sehingga mudah terjadi perdarahan.
Sehingga epistaksis dapat terjadi pada pasien diabetes mellitus.
c) Infeksi akut
Demam berdarah
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-
antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi
trombosit dan mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel
pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada
DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-
antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di
phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan menyebabkan
trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi
trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet
faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi
intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen
degredation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan. Oleh karena
itu epistaksis sering terjadi pada kasus demam berdarah.
d) Gangguan hormonal
Pada saat hamil terjadi peningkatan estrogen dan progestron yang tinggi di
pembuluh darah yang menuju ke semua membran mukosa di tubuh termasuk di hidung
yang menyebabkan mukosa bengkak dan rapuh dan akhirnya terjadinya epistaksis.
e) Alkoholisme
Alkohol dapat menyebabkan sel darah merah menggumpal sehingga
menyebabkan terjadinya sumbatan pada pembuluh darah. Hal ini menyebabkan
terjadinya hipoksia dan kematian sel. Selain itu hal ini menyebabkan peningkatan
tekanan intravascular yang dapat mengakibatkan pecahnya pembuluh darah sehingga
dapat terjadi epistaksis.
III.2.4.Sumber perdarahan
Sumber perdarahan berasal dari bagian anterior atau posterior rongga hidung.
Epistaksis anterior
Berasal dari pleksus Kiesselbach atau a.etmoidalis anterior. Perdarahan biasanya
ringan, mudah diatasi dan dapat berhenti sendiri.
Pada saat pemeriksaan dengan lampu kepala, periksalah pleksus Kiesselbach yang
berada di septum bagian anterior yang merupakan area terpenting pada epistaksis. la
merupakan anastomosis cabang a.etmoidalis anterior, a.sfenopaltina, a. palatina
asendens dan a.labialis superior. Terutama pada anak pleksus ini di dalam mukosa
terletak lebih superfisial, mudah pecan dan menjadi penyebab hampir semua
epistaksis pada anak.
Epistaksis posterior
umumnya berat sehingga sumber perdarahan seringkali sulit dicari. Umumnya
berasal dari a.sfenopalatina dan a.etmoidalis posterior. Sebagian besar darah mengalir ke
rongga mulut dan memerlukan pemasangan tampon posterior untuk mengatasi
perdarahan. Sering terjadi pada penderita usia lanjut dengan hipertensi.
III.2.5.Patofisiologi
Rongga hidung mendapat aliran darah dari cabang arteri maksilaris interna yaitu
arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina. Bagian depan hidung mendapat perdarahan
dari arteri fasialis. Bagian depan septum terdapat anastomosis (gabungan) dari cabang-
cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri
palatina mayor yang disebut sebagai pleksus kiesselbach (little’s area).
Jika pembuluh darah tersebut luka atau rusak, darah akan mengalir keluar melalui
dua jalan, yaitu lewat depan melalui lubang hidung, dan lewat belakang masuk ke
tenggorokan.
Epistaksis dibagi menjadi 2 yaitu anterior (depan) dan posterior (belakang). Kasus
epistaksis anterior terutama berasal dari bagian depan hidung dengan asal perdarahan
berasal dari pleksus kiesselbach. Epistaksis posterior umumnya berasal dari rongga
hidung posterior melalui cabang a.sfenopalatina.
Epistaksis anterior menunjukkan gejala klinik yang jelas berupa perdarahan dari
lubang hidung. Epistaksis posterior seringkali menunjukkan gejala yang tidak terlalu jelas
seperti mual, muntah darah, batuk darah, anemia dan biasanya epistaksis posterior
melibatkan pembuluh darah besar sehingga perdarahan lebih hebat jarang berhenti
spontan.
Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia menengah dan
lanjut,terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media
menjadi jaringan kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial sampai
perubahan yang komplet menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut memperlihatkan
gagalnya kontraksi pembuluh darah karena hilangnya otot tunika media sehingga
mengakibatkan perdarahan yang banyak dan lama.
Pada orang yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah terjadinya
epistaksis memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kelemahan dinding pembuluh
darah ini disebabkan oleh iskemia lokal atau trauma.
Hipertensi dapat membuat kerusakan yang berat pada pembuluh darah di hidung
(terjadi proses degenerasi perubahan jaringan fibrous di tunika media) yang dalam jangka
waktu yang lama merupakan faktor risiko terjadinya epistaksis
III.2.6.Diagnosis
Penegakkan diagnosis epistaksis memerlukan ketelitian dalam melakukan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan tambahan jika diperlukan bersamaan
dengan persiapan untuk menghentikan epistaksis. Setelah perdarahan berhenti, lakukan
evaluasi untuk menentukan penyebab.
Dari anamnesis yang dapat digali adalah :
1. Riwayat perdarahan sebelumnya
2. Lokasi perdarahan
3. Apakah darah terutama mengalir ke dalam tenggorokan (ke posterior) ataukah
keluar dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak?
4. Lama perdarahan dan frekuensinya
5. Kecenderungan perdarahan
6. Hipertensi
7. Diabetes mellitus
8. Penyakit hati
9. Penggunaan antikoagulan
10. Trauma hidung yang belum lama
11. Obat-obatan, seperti aspirin, fenibutazon
Pada pemeriksaan fisik diawali dengan kesadaran, tanda vital, pemeriksaan kepala
sampai ekstremitas. Pada epistaksis anterior, keadaan umum pasien baik, tidak ada
gangguan tanda vital, dan tidak ditemukannya tanda hipoperfusi. Sedangkan pada
epistaksis posterior, pemeriksaan fisik sangat bergantung dengan jumlah dan waktu
perdarahan. Kesadaran pasien dapat menurun, dapat terjadi gangguan tanda vital hingga
menunjukkan tanda syok seperti nadi lemah, hipotensi, takipnea, akral dingin.
Epistaksis posterior dicurigai bila (1) sebagian besar perdarahan terjadi ke dalam
faring, (2) suatu tampon anterior gagal mengontrol perdarahan, atau (3) nyata dari
pemeriksaan hidung bahwa perdarahan terletak posterior dan superior.
Pemeriksaan yang diperlukan berupa :
1. Rinoskopi anterior
Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior.
Vestibulum,mukosa hidung dan septum nasi, dindng lateral hidung dan konkha inferior
harus diperiksa dengan cermat
2. Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan
epistaksis dan secret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma
3. Pengukuran tekanan darah
Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena
hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang
4. Rontgen sinus
Rontgen sinus penting mengenali neoplasma atau infeksi
5. Endoskopi hidung untuk melihat atau menyingkirkan kemungkinan penyakit lainnya
6. Skrinning terhadap koagulopati
Tes-tes yang tepat termasuk waktu protombin serum,waktu tromboplastin parsial,
jumlah platlet dan waktu perdarahan
III.2.6.Penatalaksanaan
Terdapat 3 prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan
perdarahan, mencegah komplikasi, dan mencegah berulang nya epistaksis.
Bila pasien datang dengan epistaksis, perhatikan keadaan umumnya, nadi,
pernapasan serta tekanan darahnya. Bila ada kelainan, atasi terlebih dahulu misalnya
dengan memasang infus. Jalan napas dapat tersumbat oleh darah atau bekuan darah, perlu
dibersihkan atau dihisap. Untuk dapat menghentikan perdarahan perlu dicari sumbernya,
setidaknya dilihat apakah perdarahan dari anterior atau posterior.
Pasien dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, biarkan darah mengalir
keluar dari hidung sehingga bisa dimonitor. Kalau keadaannya lemah sebaiknya setengah
duduk atau berbaring dengan kepala ditinggikan. Harus diperhatikan jangan sampai darah
masuk ke saluran napas bagian bawah. Pasien anak duduk dipangku, badan dan tangan
dipeluk, kepala dipegangi agar tegak dan tidak bergerak-gerak.
Sumber perdarahan dicari untuk membersihkan hidung dari darah dan bekuan
darah dengan bantuan alat penghisap. Kemudian dipasang tampon sementara yaitu kapas
yang telah dibasahi dengan adrenalin 1/5000 – 1/10.000 dan pantocain atau lidocain 2%
dimasukan ke dalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa
nyeri pada saat dilakukan tindakan selanjutnya. Tampon itu dibiarkan selama 10-15
menit. Setelah terjadi vasokonstriksi biasanya dapat dilihat apakah perdarahan berasal
dari bagian anterior atau posterior hidung.
Perdarahan Anterior
Perdarahan seringkali berasal dari pleksus Kisselbach di septum bagian depan.
Apabila tidak berhenti dengan sendirinya, perdarahan anterior, terutama pada anak, dapat
dicoba dihentikan dengan menekan hidung luar selama 10-15 menit, seringkali berhasil.
Pasien dengan perdarahan aktif lewat bagian depan hidung harus duduk tegak,
menggunakan apron plastic serta memegang suatu wadah berbentuk ginjal untuk
melindungi pakaiannya. Gulungan kapas yang telah dibasahi larutan kokain 4%
dimasukkan dengan hati-hati ke dalam hidung sambil mengaaspirasi darah yang
berlebihan.
Gambar. Metode Trotter
Bila sumber perdarahan dapat terlihat, tempat asal perdarahan dikaustik dengan
larutan Nitras Argenti (AgNO3) 25-30%. Sesudahnya area tersebut diberi krim antibiotik.
Bila dengan cara ini perdarahan masih berlangsung, maka perlu dilakukan
pemasangan tampon anterior yang dibuat dari kapas atau kasa yang diberi pelumas
vaselin atau salep antibiotik. Tampon dimasukkan sebanyak 2-4 buah, disusun dengan
teratur dari dasar hingga atap hidung dan meluas hingga ke seluruh panjang rongga
hidung, serta harus dapat menekan asal perdarahan. Tampon dipertahankan selama 2x24
jam, harus dikeluarkan untuk mencegah infeksi hidung. Selama 2 hari ini dilaukan
pemeriksaan penunjang untuk mencari faktor penyebab epistaksis. Bila perdarahan belum
berhenti dipasang tampon baru.
Bila hanya memerlukan tampon anterior tanpa adanya gangguan medis primer,
pasien dapat diperlakukan ssebagai pasien rawat jalan dan diberitahu untuk duduk tegak
dengan tenang sepanjang hari, serta kepala ditinggikan pada malam hari. Pasien tua
dengan kemunduran fisik harus dirawat di rumah sakit.
Perdarahan Posterior
Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab perdarahan hebat dan
sulit dicari sumbernya dengan pemeriksaan rinoskopi anterior. Penanganan epistaksis
posterior antara lain adalah blok ganglion sfenopalatinum, tampon hidung posterior, atau
ligase pembuluh spesifik.
Blok Ganglion Sfenopalatinum
Pada kasus epistaksis posterior, blok sfenopalatinum dapat bersifat diagnostik dan
terapeutik. Injeksi 0,5 ml Xilokain 1% dengan epinefrin 1:100.000 secara hati-hati ke
dalam kanalis palatina mayor yang akan menyebabkan vasokontriksi arteri sfenopalatina.
Disamping vasokontriksi, injeksi ini juga menimbulkan anastesia untuk prosedur
pemasangan tampon hidung posterior. Bila perdarahan berasal dari cabang arteri
sfenopalatina, maka epistaksis akan berkurang dalam beberapa menit. Berkurangnya
perdarahan ini hanya berlangsung singkat hingga Xilokain diabsorbsi, untuk itu dapat
digunakan Gliserin (USP 2%) dan Xilokain untuk efek yang lebih lama. Jika injeksi tidak
member efek, maka perdarahan mungkin berasal dari arteri etmoidalis posterior. Metode
ini lebih sering digunakan oleh spesialis karena komplikasinya ke okular.
Tampon Hidung Posterior
Suatu tampon posterior yang dimasukkan melalui mulut dapat ditarik memakai
kateter melalui hidung ke dalam koana posterior. Suatu spons berukuran 4x4 inchi yang
digulung erat dan diikat dengan benang sutera No.1 merupakan tampon yang baik. Dapat
diolesi dengan salep antibiotic topikal untuk mengurangi insidens infeksi. Untuk
menanggulangi perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon posterior (tampon
Bellocq). Tampon ini dibuat dari kasa padat dibentuk kubus atau bulat dengan diameter 3
cm. Pada tampon ini terikat 3 utas benang, 2 buah di satu sisi dan sebuah di sisi
berlawanan.
Untuk memasang tampon posterior pada perdarahan satu sisi, digunakan bantuan
kateter karet yang dimasukan dari lubang hidung sampai tampak di orofaring, lalu ditarik
keluar dari mulut. Pada ujung kateter ini diikatkan 2 benang tampon Bellocq tadi,
kemudian kateter ditarik kembali melalui hidung sampai benang keluar dan dapat ditarik.
Tampon perlu didorong dengan bantuan jari telunjuk untuk dapat melewati palatum mole
masuk ke nasofaring. Bila masih ada perdarahan, maka dapat ditambah tampon anterior
ke dalam kavum nasi. Kedua benang yang keluar dari hidung diikat pada sebuah
gulungan kain kasa di depan nares anterior, supaya tampon yang terletak di nasofaring
tetap ditempatnya. Benang lain yang keluar dari mulut diikatkan secara longgar pada pipi
pasien. Gunanya ialah untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari. Hati-
hati mencabut tampon karena dapat menyebabkan laserasi mukosa.
Tamponade dengan berbagai balon hidung komersial yang dimasukkan lewat
depan dan kemudian ditiup, dapat pula dilakukan. Beberapa pabrik membuat balon
dengan dua ruang terpisah, yang satu berfungsi sebagai tampon anterior, dan yang
satunya sebagai tampon posterior. Suatu kateter Folay no.14 biasa dengan suatu kantung
15cc juga dapat dimasukan tranasal, dikembangkan dan ditarik rapat pada koana
posterior. Posisi kateter dapat dipertahankan dengan suatu klem umbilicus. Yang paling
sering dilakukan adalah memasukan suatu kateter melalui hidung, ditangkap pada faring
dan kemudian dikeluarkan lewat mulut. Dua benang yang melekat pada tampon diikatkan
pada kateter yang menjulur dari mulut. Tali ketiga yang melekat pada tampon dibiarkan
menggantung dalam faring sebagai tali penarik. Kateter kemudian ditarik keluar melalui
hidung depan untuk menempatkan tampon pada koana. Jika perlu, tampon dapat dibantu
penempatannya dengan jari dokter hingga berada diatas palatum mole. Posisi tampon
harus cukup kuat dan tidak boleh menekan palatum mole. Sementara tegangan
dipertahankan melalui kedua tali yang keluar dari hidung depan, dokter harus
menempatkan tampon anterior diantara kedua tali dan kedua tali diikatkan simpul pada
gulungan kasa kecil. Kedua tali harus dikeluarkan lewat lubang hidung yang sama dan
tidak diikatkan pada kolumela, hal ini dapat menimbulkan nekrosis jaringan lunak. Pasien
yang memasang tampon harus dirawat dirumah sakit.
Bila perdarahan berat dari kedua sisi, misalnya pada kasus angiofibroma,
digunakan bantuan dua kateter masing-masing melalui kavum nasi kanan dan kiri, dan
tampon posterior terpasang di tengah-tengah nasofaring. Sebagai pengganti tampon
Bellocq, dapat digunakan kateter Folley dengan balon. Akhir-akhir ini juga banyak
tersedia tampon buatan pabrik dengan balon yang khusus untuk hidung atau tampon dari
bahan gel hemostatik. Dengan semakin meningkatnya pemakaian endoskop, akhir-akhir
ini juga dikembangkan teknik kauterisasi atau ligasi a. sfenopalatina dengan panduan
endoskop.
Ligasi Pembuluh Spesifik
Bila tampon posterior dan anterior gagal mengendalikan epistaksis, maka perlu
dilakukan ligase arteri spesifik. Arteri tersebut antara lain arteri karotis eksterna, arteri
maksilaris interna dengan cabang terminusnya, arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis
posterior anterior.
III.2.7.Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksisnya sendiri atau sebagai
akibat dari usaha penanggulangan epistaksis.
Akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi aspirasi darah ke dalam saluran napas
bagian bawah, nekrosis septum, aspirasim sinusitis, eksaserbasi dari sleep obstructive
apnea, hipoksia, syok, anemia, hipotensi, iskemia serebri, insufisiensi koroner, sampai
infark miokard dan hingga kematian. Dalam hal ini pemberian infus atau transfusi darah
harus dilakukan secepatnya.
Akibat pembuluh darah yang terbuka dapat terjadi infeksi, sehingga perlu
diberikan antibiotik.
Pemasangan tampon dapat menyebabkan rino-sinusitis, otitis media, septikemia
atau toxic shock syndrome. Oleh karena itu, harus selalu diberikan antibiotik pada setiap
pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon harus dicabut. Bila perdarahan
masih berlanjut dipasang tampon baru. Selain itu dapat terjadi hemotimpanum sebagai
akibat mengalirnya darah melalui tuba Eustachius, dan air mata berdarah (bloody tears),
akibat mengalirnya darah secara retrograd melalui duktus nasolakrimalis. Pemasangan
tampon posterior (tampon Belloq) dapat menyebabkan laserasi palatum mole atau sudut
bibir, jika benang yang keluar dari mulut terlalu ketat dilekatkan pada pipi. Kateter balon
atau tampon balon tidak boleh dipompa terlalu keras karena dapat menyebabkan nekrosis
mukosa hidung dan septum.
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien datang ke UGD RST dr.Soedjono tanggal 18 Agustus 2013 pukul 22.30
WIB. Dengan keluhan mimisan (keluar darah dari lubang hidung). Mimisan terjadi pada
lubang hidung yang sebelah kanan, banyaknya darah yang keluar sekitar ½ gelas dalam
sekali mimisan, pertama kali keluar darah pada pukul 04.00 dini hari setelah 10 – 15
menit kemudian berhenti setelah memencet hidung dan sumpal dengan daun sirih, setelah
itu darahnya keluar lagi pada pukul 08.00 pagi, banyaknya sekitar ¼ gelas, darahnya
berwarna merah terang. Pasien tidak merasa seperti menelan darah di tengorokannya,
pasien menyangkal adanya kebiasaan mengorek – ngorek hidung atau mengeluarkan
ingus dengan keras sebelum keluhan tersebut muncul. Pasien juga tidak mengeluhkan
adanya nyeri, demam, batuk atau pilek sebelum keluhan tersebut muncul.
Riwayat penyakit dahulu sebelumnya tidak pernah seperti ini, HT, DM, dan
penyakit kelainan darah (-), riwayat trauma pada wajah/hidung (-). Riwayat pengobatan
tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan seperti aspirin, dan belum pernah diobati ke
dokter. Riwayat Penyakit Keluarga dikeluarga tidak ada yang seperti ini
Pemeriksaan hidung ditemukan darah dan bekuan darah. Pada pemeriksaan lab
darah tidak ditemukan kelainan yang bermakna, kecuali peningkatan kadar ureum darah
yang menandakan hipertensi pada pasien kemungkinan sudah kronik mengarah kearah
komplikasi.
Maka dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka dapat diambil diagnosis
sementara yaitu epistaksis anterior. Mekanisme epistaksis dari pasien adalah :
Etiologi (hipertensi)
↓
Peningkatan resistensi Pembuluh darah
↓
Kerusakan endotel
↓
Pecahnya pleksus Kiesselbach atau a.etmoidalis anterior
↓
Epiktaksis
Pasien diberikan terapi berupa :
Nonmedikamentosa
o Pasang tampon anterior
Medikamentosa
o Infus RL 20 tpm
Mengandung Na, K, Ca, Cl, Basa. Diindikasikan untuk mengembalikan
keseimbangan elektrolit pada keadaan dehidrasi dan syok hipovolemik.
o Zybac 2x1gr
Mengandung ceftrazidime pentahydrate. Diindikasikan untuk infeksi
saluran pernafasan bagian bawah, ISK, infeksi kulit, infeksi abdominal,
dialisis. Dosis diberikan 1 gr tiap 8-12 jam.
o Kalnex 3x1 amp
Mengandung asam traneksamat. Diindikasikan untuk fibrinolisis lokal
(epistaksis), edema angioneurotik hereditas, perdarahan abnormal sesudah
operasi, perdarahan setelah operasi, menoragia. Dosis yang diberikan
injeksi 1-2 x/hr ,oral 3-4 x 500 mg.
o Dicynone
Mengandung etamsilat. Diindikasikan untuk perdarahan efusi (pencegahan
& pengobatan pada bedah umum, bedah saraf, THT, mata, & rongga
mulut), pengobatan internal (perdarahan pada pencernaan, mimisan), dan
kandungan, pengobatan kerapuhan pembuluh kapiler. Dosis : 3x500 mg.
DAFTAR PUSTAKA
Efiaty A.S. dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT Ed 6. Jakarta. 2007
FKUI. Farmakologi Dan Terapi Edisi 5. FKUI. Jakarta.2007
Higler, B.A. Buku Ajar Penyakit THT Boies Ed.6. Jakarta
ISO Indonesia Volume 43. Jakarta. 2008
Moore,K.L.dkk. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta.2000
Schlosser RJ. Epistaxis. New England Journal Of Medicine [serial online] 2009 feb 19 [cited 2009 feb http://content.nejm.org/cgi/content/full/360/8/784
Snell, Richard S. Buku Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran edisi 6. EGC.2006.hal 803-805