kasus 3 luka mahir

Upload: dewi-sartika

Post on 14-Jul-2015

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN

1. 2. 3. 4. 5.

Latar Belakang Tujuan Ruang Lingkup Masalah Metode Penulisan Sistematika Penulisan

BAB II TINJAUAN TEORI

1.

Mekanisme Pertahanan Kulit Mekanisme pertahanan tubuh untuk melindungi kulit terhadap jasad renik ternyata

bermacam-macam caranya. Mekanisme itupun bersifat umum karena tidak dapat memisahkan apakah jasad renik tersebut patogen atau tidak. Secara alami kulit mempunyai mekanisme pertahanan terhadap efek yang merugikan dari sinar matahari, antara lain penebalan stratum corneum, pengeluaran keringat, dan pembentukan melanin (Kreps etal, 1972). Secara normal kulit memiliki perlindungan alami terhadap sengatan sinar matahari yang merugikan, yaitu dengan penebalan stratum korneum, pengeluaran keringat, dan pigmentasi kulit. Radiasi sinar matahari dapat menambah mitosis sel epidermis yang menyebabkan penebalan stratum korneum. Sedangkan pigmentasi terjadi karena migrasi granul-granul melanin dari sel basal kulit ke stratum korneum di permukaan kulit. Jika kulit mengelupas, butir melanin akan lepas, sehingga kulit kehilangan pelindung terhadap sinar matahari.

1.1.

Penebalan Stratum Korneum Lapisan tanduk (stratum corneum), merupakan lapisan epidermis yang paling atas,

dan menutupi semua lapisan epiderma lebih ke dalam. Lapisan tanduk terdiri atas beberapa lapis sel pipih, tidak memiliki inti, tidak mengalami proses metabolisme, tidak berwarna dan sangat sedikit mengandung air. Pada telapak tangan dan telapak kaki jumlah baris keratinosit jauh lebih banyak, karena di bagian ini lapisan tanduk jauh lebih tebal. Lapisan tanduk ini sebagian besar terdiri atas keratin yaitu sejenis protein yang tidak larut dalam air dan sangat resisten terhadap bahan-bahan kimia. Lapisan ini dikenal dengan lapisan horny, terdiri dari milyaran sel pipih yang mudah terlepas dan digantikan oleh sel yang baru setiap 4 minggu, karena usia setiap sel biasanya hanya 28 hari. Pada saat terlepas, kondisi kulit akan terasa sedikit kasar sampai muncul lapisan baru. Proses pembaruan lapisan tanduk, terus berlangsung sepanjang hidup, menjadikan kulit ari memiliki self repairing capacity atau kemampuan memperbaiki diri.

Bertambahnya usia dapat menyebabkan proses keratinisasi berjalan lebih lambat. Ketika usia mencapai sekitar 60 tahunan, proses keratinisasi, membutuhkan waktu sekitar 4550 hari, akibatnya lapisan tanduk yang sudah menjadi lebih kasar, lebih kering, lebih tebal, timbul bercak-bercak putih karena melanosit lambat bekerja dan penyebaran melanin tidak lagi merata serta tidak lagi cepat digantikan oleh lapisan

tanduk baru. Daya elastisitas kulit pada lapisan ini sangat kecil, dan lapisan ini sangat efektif untuk mencegah terjadinya penguapan air dari lapis-lapis kulit lebih dalam sehingga mampu memelihara tonus dan turgor kulit, tetapi lapisan tanduk memiliki daya serap air yang cukup besar.

1.2.

Pengeluaran Keringat

Proses pengeluaran keringat diatur oleh hipotalamus (otak). Hipotalamus dapat menghasilkan enzim bradikinin yang bekerja mempengaruhi kegiatan kelenjar keringat. Jika hipotalamus mendapat rangsangan, misalnya berupa perubahan suhu pada pembuluh darah, maka rangsangan tersebut diteruskan oleh saraf simpatik ke kelenjar keringat. Selanjutnya kelenjar keringat akan menyerap air garam dan sedikit urea dari kapiler darah dan kemudian mengirimnya ke permukaan kulit dalam bentuk keringat. Umumnya keringat diproduksi karena rangsang dari luar seperti perubahan panas atau suhu. Hal ini dilakukan sebagai mekanisme tubuh dalam mempertahankan kelembaban kulit. Selain itu produksi keringat juga bisa disebabkan rangsangan dari

dalam seperti emosi, rasa takut dan gugup. Jadi produksi keringat ini bisa dipengaruhi faktor dari dalam atau faktor dari luar berupa perubahan lingkungan. Pengeluaran keringat melalui kulit terjadi sebagai efek peningkatan suhu yang melewati batas kritis, yaitu 37C. pengeluaran keringat menyebabkan peningkatan pengeluaran panas melalui evaporasi. Peningkatan suhu tubuh sebesar 1C akan menyebabkan pengeluaran keringat yang cukup banyak sehingga mampu membuang panas tubuh yang dihasilkan dari metabolisme basal 10 kali lebih besar. Pengeluaran keringat merupakan salah satu mekanisme tubuh ketika suhu meningkat melampaui ambang kritis. Pengeluaran keringat dirangsang oleh pengeluaran impuls di area preoptik anterior hipotalamus melalui jaras saraf simpatis ke seluruh kulit tubuh kemudian menyebabkan rangsangan pada saraf kolinergik kelenjar keringat, yang merangsang produksi keringat. Kelenjar keringat juga dapat mengeluarkan keringat karena rangsangan dari epinefrin dan norefineprin.

1.3.

Pembentukan Melanin Didalam epidermis terdapat sel sel epitel yang mengandung melanosit. Dalam

melanosit terbentuk oraganela khusus warna coklat yang disebut melanosom. Melanonosom berisi enzim tirosinase yang menkatalis oksidasi tirosin menjadi 5,6 quinan. Quinan bersama sama dengan senyawa antara (intermediat) tirosin yang lain berpolimensasi membentuk substansi yang terikat kuat pada melano protein. Polimer polimer melanin inilah yang dapat menyerap radiasi lembayung ultra dan sinar tampak. Melanin dibentuk oleh melanosit dengan enzim tirosinase memainkan peranan penting dalam proses pembentukannya. Sebagai akibat dari kerja enzim tironase, tiroksin diubah menjadi 3,4 dihidroksiferil alanin (DOPA) dan kemudian menjadi dopaquinone, yang kemudian dikonversi, setelah melalui beberapa tahap transformasi menjadi melanin. Enzim tirosinase dibentuk dalam ribosom, ditransfer dalam lumer retikulum endoplasma kasar, melanosit diakumulasi dalam vesikel yang dibentuk oleh kompleks golgi. 4 tahapan yang dapat dibedakan pada pembentukan granul melanin yang matang.

Gambar 4. Diagram Melanosit, ilustrasi gambaran utama melanogenesis. Tirosinase di sintesis dalam retikulum endoplasma yang kasar dan

diakumulasikan dalam vesikel kompleks Golgi. Vesikel yang bebas sekarang dinamakan melanosom. Sintesis melanin dimulai pada melanosom tahap II, di mana melanin diakumulasikan dan membentuk melanosom tahap III. Terakhir struktur ini hilang dengan aktivitas tirosinase dan membentuk granul melanin. Granul melanin bermigrasi ke arah juluran melanosit dan masuk ke dalam keratinosit. Tahap 1 : Sebuah vesikel dikelilingi oleh membran dan menunjukkan awal proses dari aktivitas enzim tirosinase dan pembentukan substansi granul halus; pada bagian perifernya. Untaian-untaian padat elektron memiliki suatu susunan molekul tirosinase yang rapi pada sebuah matrik protein. Tahap 2 : Vesikel (melanosom) berbentuk oval dan memperlihatkan pada bagian dalam filamen-filamen dengan jarak sekitar 10 nm atau lintang dengan jarak sama. Melanin disimpan dalam matriks protein. Tahap 3 : Peningkatan pembentukan melanin membuat struktur halus agak sulit terlihat. Tahap 4 : Granul melanin matang dapat terlihat dengan mikroskop cahaya dan melanin secara sempurna mengisi vesikel. Ultrastruktur tidak ada yang terlihat. Granul yang matang berbentuk elips, dengan panjang 1 m dan diameter 0,4 m.

Ketika dibentuk granul melanin migrasi di dalam perluasan sitoplasma melanosit dan ditransfer ke sel-sel dalam stratum germinativum dan spinosum dari epidermis. Proses transfer ini telah diobservasi secara langsung pada kultur jaringan kulit. Granul melanin pada dasarnya diinjeksikan ke dalam keratinosit. Ketika di dalam keratinosit, granul melanin berakumulasi di dalam sitoplasma di daerah atas inti (supranuklear), jadi melindungi nukleus dari efek merusak radiasi matahari. Meskipun melanosit yang membentuk melanin, namun sel-sel epitel/keratinositlah yang menjadi gudang dan berisi lebih banyak melanin, dibandingkan melanosit sendiri. Di dalam keratinosit, granul melanin bergabung dengan lisosom alasan mengapa melanin menghilang pada sel epitel bagian atas.

1.4.

Reaksi Inflamasi (C1-C2) Untuk menginaktifkan mikroorganisme selain antibodi masih diperlukan bantuan

dari komplemen.

Komplemen adalah kumpulan sembilan protein plasma (C1-C9)

bukan antibodi yang diperlukan pada reaksi antigen-antibodi sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kematian mikroba serta lisis sel. Komplemen merupakan molekul dari sistem nonspesifik larut dalam keadaan tidak aktif, tetapi setiap waktu dapat diaktifkan oleh berbagai bahan seperti antigen, komplek imun dan sebagainya. Hasil aktivasi ini akan menghasilkan berbagai mediator yang mempunyai sifat biologik aktif dan beberapa diantaranya merupakan enzim untuk reaksi berikutnya. Komplemen merupakan salah satu enzim serum yang berfungsi dalam inflamasi, opsonisasi partikel antigen dan menimbulkan kerusakan membrane pathogen. Mediator yang dilepaskan pada waktu komplemen diaktifkan : a. C1qrs b. C2 : permeabilitas vaskuler : mengaktifkan kinin

c. C3a dan C5a : bersifat kemotaksis mengerahkan leukosit juga sebagai anafilatoksin yang mempengaruhi mastosit. d. C3b e. C4b f. C5,6-7 g. C8-9 : opsonin, adherens Imun : opsonin : kemotaksis : ikut diaktifkan, akan dilepaskan sitolisin, yang dapat menghancurkan sel.

Efek biologi dari hasil aktivasi sistem komplemen : Komplek terlibat C1,4 C1,4,2 C3b C3a C3b,C5a C5a Netralisasi virus Herpes simplek dgn Ig M Pembentukan kinin, permeabilitas vaskuler Immune adherence Anafilatoksin Stimulasi metabolisme oksidatif fagosit Kemotaksis anafilaktoksin, perlekatan leukosit pada endotel vaskuler C5-9 C8,9 Lisis bakteri /sel yang peka Efek sitotoksik dan komponen yang Aktivasi

Inflamasi merupakan reaksi tubuh terhadap masuknya benda asing, invasi mikroorganisme, kerusakan jaringan. Reaksi inflamasi adalah langkah awal untuk menghancurkan benda asing dan mikroorganisme serta membersihkan jaringan yang rusak Tubuh mengerahkan elemen-elemen system imun ke tempat benda asing dan mikroorganisme yang masuk ke tubuh atau jaringan yang rusak tersebut. Fagositosis merupakan komponen penting pada inflamasi. 1. Inflamasi/ Peradangan : a b Merupakan respons lokal tubuh terhadap infeksi atau perlukaan. Tidak spesifik hanya untuk infeksi mikroba, tetapi respons yagn sama juga terjadi pada perlukaan akibat suhu dingin, panas, atau trauma. c 2. Pemeran utama: fagosit, antara lain neutrofil, monosit, & makrofag.

Tahap inflamasi, yaitu : a b Masuknya bakteri ke dalam jaringan Vasodilatasi sistem mikrosirkulasi area yg terinfeksi pmeningkatkan aliran darah (RUBOR/kemerahan & CALOR/panas)

c

Permeabilitas kapiler & venul yang terinfeksi terhadap protein meningkat p difusi protein & filtrasi air ke interstisial (TUMOR/bengkak &

DOLOR/nyeri) d e f Keluarnya neutrofil lalu monosit dari kapiler & venula ke interstisial Penghancuran bakteri di jaringan p fagositosis (respons sistemik: demam) Perbaikan jaringan

Secara lebih ringkas, dalam inflamasi ada 3 hal yang terjadi, yaitu: 1. Peningkatan pasokan darah ke tempat benda asing dan mikrorganisme atau jaringan yang rusak 2. Peningkatan permeabilitas kapiler yang ditimbulkan oleh pengerutan sel endotel yang memungkinkan molekul yang lebih besar seperti antibody, dan 3. Leukosit , terutama fagosit PMN dan Makrofag dikerahkan dari sirkulasi dan bergerak ketempat benda asing. Dalam proses ini banyak leukosit dihancurkan, kemudian makrofag masuk ke daerah tersebut mengakhiri inflamasi.

C3a dan C5a merupakan anafilatoksin, anafilatoksin adalah bahan dengan berat molekul kecil yang dapat menimbulkan degranulasi mastosit dan atau basofil dimana mengakibatkan pengelepasan histamin. Histamin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan kontraksi otot polos dan menimbulkan gejala-gejala lain pada reaksi alergi. Terjadinya peningkatan permeabilitas vaskuler menimbulkan udem. Udem adalah akumulasi cairan jaringan yang mengandung lebih banyak antibodi dan komponen komplemen sehingga meningkatkan lagi penglepasan anafilaktoksin dan memperluas reaksi. Dalam proses inflamasi, banyak leukosit yang dihancurkan, kemudian makrofag lain memasuki daerah tersebut dan mengakhiri reaksi inflamasi. Fagositosis merupakan komponen penting pada inflamasi. Fagositosis yaitu proses menghancurkan pathogen dalam sel tanpa kerusakan jaringan sekitarnya. Proses ini terjadi bila neutrofil,monosit, makrofag, dan eosinofil kontak dengan sasaran inflamasi (bakteri,parasit, bahan asing, dsb). Fagosit akhirnya memakan benda asing mikrorganisme atau jaringan yang rusak. Selama proses tersebut, enzim lisosom dilepas oleh makrofag ke luar sel sehingga dapat merusak jaringan sekitar. Akibat kerja sama sistem imun non spesifik dan spesifik dapat

terjadi reaksi tubuh seperti panas, bengkak, sakit dan kerusakan jaringan sekitar (tandatanda inflamasi). Sel PMN lebih sering ditemukan pada inflamasi akut sedangkan proliferasi monosit ditemukan pada inflamasi kronik. Eosinofil kurang berfungsi sebagai fagosit dibandingkan dengan neutrofil. Sasaran eosinofil biasanya parasit ukuran besar. Kemotaksis adalah gerakan fagosit ke tempat infeksi yang merupakan respon terhadap berbagai faktor bakteri dan faktor bikimiawi yang lepas pada aktivasi komplemen. Jaringan yang rusak atau mati dapat juga melepaskan faktor kemotaksis. Sel PMN bergerak cepat yang hanya memerlukan waktu 2-4 jam untuk berada ditempat infeksi sedangkan monosit bergerak lebih lambat yang memerlukan waktu 7-8 jam untuk sampai di tujuan. Kemotaksin adalah bahan-bahan yang dapat menarik dan mengarahkan sel sel fagosit. C3a, C5a,dan C5-6-76 merupakan kemotaksin. Proses melapisi partikel antigen oleh antibodi dan atau oleh komponen komplemen sehingga lebih mudah dan cepat dimakan fagosit disebut opsonisasi. Ikatan tersebut dimungkinkan oleh adanya reseptor untuk fraksi Fc dari IgG, C3b dan CRP yang berfungsi sebagai opsonin. Eosinofil dan sel PMN mempunyai res eptor untuk C3b dan IgG. C3b dapat mengaktifkan sitotoksisitas selefektor ADCC ( Antibody Dependant Cellular) yang kerjanya tergantung IgG. Sel darah merah yang disensitasi C3b dapat dihancurkan oleh makrofag tanpa fagositosis, disebut kerusakan kontak (contactual damage). Akhir aktivasi komplemen, C8-9 merusak membrane sebagai akibat lisis osmotik. Adherens imun merupakan fenomena dari partikel antigen yang dilapisi antibodi dan atas pengartuh komplemen melekat pada berbagai permukaan, misalnya pemukaan darah. Akibatnya antigen akan mudah dimakan fagosit. C3b berfungsi dalam adherens imun. Sistem komplemen dapat diaktifkan melalui tiga jalur, yaitu jalur lektin, jalur klasik, dan jalur alternative. Aktivasi tersebut terjadi secara beruntun, berarti bahwa produk yang timbul pada satu reaksi akan merupakan enzim untuk reaksi berikutnya. Aktivasi jalur klasik dimulai dengan C1, sedangkan aktivasi jalur alternatif dimulai dengan C3. Aktivasi jalur klasik diaktifkan oleh kompleks imun/ antigen/ antibody sedangkan jalur alternative dan jalur lektin tidak. Pada jalur lektin diawali dengan pengenalan manosa dari karbohidrat membran patogen oleh lektin dan jalur alternatif diawali oleh pengenalan permukaan sel asing. Meskipun

aktivasi sistem komplemen diawali oleh tiga jalur yang berbeda, namun semua jalur berakhir dalam produksi C3b.

Jalur Aktivasi Komplemen

Aktivasi komplemen melalui jalur lektin (MBL) Mannan Binding Lektin (MBL) adalah kolektin yang dapat diikat memalui bagian lektin oleh hidrat arang kuman. Setelah MBL diikat kuman lektin tersebut, MBL segera mengaktifkan C3. Aktivasi komplemen melalui jalur klasik Penggunaan istilah klasik berdasarkan ditemukannya yang pertama kali, meskipun reaksi melalui jalur klasik terjadi sesudah reaksi jalur lainnya. Aktivasi jalur klasik dimulai dengan C1 yang dicetuskan oleh kompleks imun antibody dan antigen. IgM memiliki sebanyak 5 Fc mudah diikat oleh C1 . meskipun C1 tidak mempunyai sifat enzim, namun setelah dia berikatan dengan Fc dapat mengakifkan C2 dan C4 yang selanjtunya mengkatifkan C3. IgM dan IgG1, IgG2, IgG3 (IgM lebih kuat dibandingkan dengan IgG) yang membentuk kompleks imun dengan antigen, dapat mengaktifkan komplemen melalui jalur klasik, jalur klasik melibatkan 9 komplemen protein utama yaitu C1-C9. Selama aktivasi, protein-protein tersebut diaktifkan secara berurutan. Produk yang dihasilkan menjadi katalisator dalam reaksi berikutnya. Jadi stimulus kecil dapat menimbulkan reaksi aktivasi komplemen berantai. Lipid A dari

endotoksin, protease, Kristal urat, polinukleotida, membaran virus tertentu dan CRP dapat mengakifkan komplemen melalui jalur klasik. Aktivasi komplemen melalui jalur alternatif Jalur alternatif tidak terjadi melalui tiga reaksi pertama yang terdapat pada jalur klasik (C1, C4 dan C2). Aktivasi jalur alternatif dimulai dari C3 yang merupakan molekul yang tidak stabil dan terus menerus ada dalam aktivasi spontan derajat rendah dan klinis yang tidak berarti. Aktivasi spontan C3 diduga terjadi pada permukaan sel, meskipun sel normal mengekspresikan inhibitor permukaan yang mencegah aktifasi C3.

1.5.

Mekanisme Reaksi Inflamasi (C1-C2) Reaksi inflamasi (C1-C2) aktivasi komplemen yang disebut jalur klasik, dimulai

saat sistem imun membentuk kompleks imun (antigen-antibodi) yang mengaktifkan C1. C1 terdiri atas C1q, C1r, dan C1s. Komplemen pertama C1q melekat pada daerah Fc pada dua molekul IgG yang berdekatan yang menjadi saling berdekatan karena berikatan pada suatu permukaan asing. Aktivasi C1q memerlukan ikatan subunit C1q dengan sedikitnya 2 fraksi Fc dari IgG1, IgG2 atau IgG3. Selain itu, satu molekul IgM dapat menarik C1q karena IgM mempunyai lima daerah Fc, IgM merupakan antibodi yang efisien yang mengaktifkan komplemen. Selanjutnya, subunit C1r dan C1s terikat pada C1q. Subunit-subunit ini mempunyai aktivitas enzimatik atau kovertase yang memecah dua komponen lain (C4 menjadi C4a dan C4b, dan C2 menjadi C2a dan C2b). C4 berikatan langsung dengan permukaan dekat tempat aktivasinya, dan C2a berikatan dengan C4b. Kompleks C4bC2a kemudian memecah C3 menjadi C3a dan C3b, yang pada akhirnya melekat dipermukaan yang berdekatan. Interaksi antara C2a dan C3b akan memecah C5 (Konvertase C5) menjadi C5a dan C5b. Fragmen C3a dan C5a yang merupakan anafilatoksin yang dapat memacu degranulasi sel mast dan atau basofil untuk melepas histamin. Histamin yang dilepas sel mast atas pengaruh komplemen, meningkatkan permeabilitas vascular dan kontraksi otot polos dan memberikan jalan untuk migrasi sel-sel leukosit dan keluarnya plasma yang mengandung banyak antibodi, opsonin dan komplemen jaringan. Komplemen sangat sensitive terhadap sinyal kecil, misalnya jumlah bakteri yang sangat sedikit sudah dapat menimbulkan reaksi beruntun yang biasanya menimbulkan respon local.

Setiap sel yang tidak dilindungi oleh inhibitor komplemen akan diserang oleh komplemen. Aktivasi komplemen yang berlebihan tidak diinginkan oleh karena itu menimbulkan inflamasi dan kematian sel yang luas. Mekanisme Inflamasi melalui jalur klasik:

2.

Pruritus Pruritus (gatal-gatal) merupakan salah satu dari sejumlah keluhan yang paling

sering dijumpai pada gangguan dermatologik yang menimbulkan gangguan rasa

nyaman dan perubahan integritas kulit jika pasien meresponnya dengan garukan (Brunner & Suddarth, 2001). Pruritus, atau gatal, adalah sensasi yang menimbulkan keinginan kuat untuk melakukan penggarukan. Definisi ini bahkan telah diungkapkan oleh Samuel Hafenreffer sekitar 340 tahun yang lalu. Secara umum, pruritus adalah gejala dari pelbagai penyakit kulit, baik lesi primer maupun lesi sekunder, meskipun ada pruritus yang ditimbulkan akibat faktor sistemik non-lesi kulit. Pruritus yang tidak disertai kelainan kulit disebut pruritus esensial (pruritus sine materia). Lesi kulit primer yang merupakan tahap diagnostik utama dapat mengalami obiterasi atau perubahan menjadi bentuk lesi kulit sekunder, sehingga diagnosis menjadi sulit ditegakkan. Pruritus adalah sensasi kulit yang iritatif dan menimbulkan rasa ingin menggaruk. Bila tidak disertai kelainan kulit, maka disebut pruritus sine materia atau pruritus esensial. Pruritus esensial disebabkan oleh atau berasosiasi dengan banyak keadaan seperti pada kehamilan, penyakit hepar, endokrin, ginjal, neoplastik, mikosis fungoides, pruritus neurologik dan psikologik. Pruritus merupakan hasil stimulasi gradasi ringan pada serat saraf. Bila gradasi berubah, maka mungkin tidak akan timbul pruritus, tetapi rasa nyeri. Sensitivitas pruritus bervariasi, bergantung pada perbedaan perseorangan dan region yang terkena. Faktor yang dapat Menimbulkan Gatal 1. Faktor eksogen antara lain: a. Penyakit dermatologik b. Dermatitis kontak (dengan pakaian, logam, serta benda asing) c. Rangsangan dari ektoparasit (misal: serangga, tungau skabies, pedikulus, larva migrans) d. Faktor lingkungan (menyebabkan kulit kering atau lembab) 2. Faktor endogen antara lain adanya reaksi obat atau adanya penyakit. Penyakit sistemik dapat menimbulkan gejala pruritus di kulit. Pruritus ini disebut dengan pruritus primer, dan dapa bersifat lokalista atau generalista. Bahkan pruritus psikogenik cenderung dapat muncul pada seseorang yang sering merasa malu, memiliki perasaan bersealah, masokisme, serta ekshibisonisme.

Pruritus yang timbul akibat faktor sistemik antara lain disebabkan oleh: a. Kehamilan Pruritus gravidarum, melibatkan induks oleh estrogen dan kadang berhubungan dengan kolestasis. Terjadi terutama di trimester terakhir kehamilan. b. Penuaan Pruritus yang timbul akibat kulit yang sudah tua dan bisa terjadi akibat stimulasi yang sangat ringan. c. Penyakit hepar Gejala berhubungan dengan kolestasis. Adanya kolestasis ini mengakibatkan peningkatan sintesis opioid. d. Penyakit endokrin Terjadi pada pasien diabetes, terjadi akibat hiperglikemi. e. Penyakit ginjal, neoplastik, dan penyakit lain.

MEKANISME TERJADINYA PRURITUS Pruritus dapat dipicu oleh berbagai stimulus yaitu mekanik, elektris, panas, dan bahan kimiawi, termasuk kontak dengan bahan iritan. Beragam proses patologis juga dapat memicu pruritus seperti seperti inflamasi, reaksi hipersensitivitas, proses degenerasi, keganasan, dan masalah kejiwaan. Bahan kimia yang menyebabkan pruritus disebut zat pruritogen, misalnya histamin, serotonin, sitokin, neuropeptida, eicosanoid, takikinin, protease. Pruritus merupakan proses yang kompleks, dimulai dari stimulasi ujung saraf bebas kulit. Ada 2 jenis ujung saraf bebas: 1) Serabut A bermielin untuk nosiseptif 2) Serabut C tidak bermielin di dermoepidermal junction, yaitu : a) 80% mekanosensitif (nosiseptif) b) respon untuk kimia (5%: pruritoseptif)20% mekanoinsensitif. Sensasi gatal akan diteruskan melalui serabut aferen yakni serabut C tidak bermielin ke kornu dorsalis medula spinalis. Selanjutnya, melalui traktus

spinotalamikus sampai di korteks serebri untuk diproses di area sensorik girus postsentralis. Pada proses ini akan ditentukan lokasi, intensitas, dan berbagai karakteristik sensasi gatal lainnya. Dari penelitian dengan injeksi histamine intrakutan, diketahui bahwa proses tersebut juga akan mengaktivasi area parietalis inferior, lokasi yang akan mengawali gerakan dalam hal ini suatu hubungan yang memicu garukan.

Berbagai bahan kimia dapat memicu atau meningkatkan sensasi gatal. Bahan kimia/ mediator ini dapat bekerja di perifer (pada reseptor) maupun pada sel atau serabut saraf. Sebagian bekerja langsung pada ujung saraf bebas, sebagian lainnya bekerja tidak langsung melalui sel, misalnya sel mast. 1) Histamin merupakan mediator yang pertama dikenal dan paling utama. Lokasi terutama di dalam granul sel mast, yang saat terlepas akan merangsang reseptor H1, menimbulkan gatal yang biasanya disertai eritema dan urtikaria. Aplikasi histamin intraepidermal akan memicu gatal, tetapi saat dilepas jauh ke dalam dermis akan menyebabkan nyeri dan edema. Histamin bekerja pada neuron dengan cara meningkatkan kadar c-AMP. 2) Prostaglandin khususnya PGE2 sebenarnya tidak langsung memicu gatal, tetapi menurunkan ambang rangsang dan meningkatkan respons gatal yang dipicu histamin. PGE merupakan vasodilator yang banyak dijumpai pada penyembuhan luka. 3) Serotonin merupakan bahan neurotransmitter yang dapat memicu pelepasan histamin. 4) Substansi P (SP) merupakan neuropeptida yang dihasilkan oleh ganglia dorsalis, yang mampu memicu gatal melalui pelepasan histamin dari sel mast. Di kulit, SP dapat menimbulkan eritema, edema, dan inflamasi neurogenik. 5) 6) Di antara berbagai sitokin, interleukin2 merupakan penyebab utama gatal. Protease dan peptidase seperti papain, tripsin, khemotripsin, kalikrein juga dapat memicu gatal. 7) 8) Garam empedu merupakan pruritogen pada kasus obstructive jaundice. Opioid dan sejenisnya, memicu gatal secara sentral maupun perifer. (Ardhie, 2008)

3.

Mekanisme Terjadinya Hipopigmentasi

4.

Mekanisme Terjadinya Vesikel

5.

Pemeriksaan Penunjang 1) Pemeriksaan langsung dengan KOH 10-20%. Bahan-bahan kerokan kulit diambil dengan cara mengerok bagian kulit yang

mengalami lesi. Sebelumnya kulit dibersihkan, lalu dikerok dengan skalpel steril dan jatuhannya ditampung dalam lempeng-lempeng steril pula atau ditempel pada selotip. Sebagian dari bahan tersebut diperiksa langsung dengan KOH 10% yang diberi tinta Parker biru hitam atau biru laktofenol, dipanaskan sebentar, ditutup dengan gelas penutup dan diperiksa di bawah mikroskop. Bila penyebabnya memang jamur, maka kelihatan garis yang memiliki indeks bias lain dari sekitarnya dan jarak-jarak tertentu dipisahkan oleh sekat-sekat yang dikenal dengan hifa. Pada pitiriasis versikolor hifa tampak pendek-pendek, lurus atau bengkok dengan banyak spora bergerombol sehingga sering disebut dengan gambaran spaghetti and meatballs atau bacon and eggs.

Gambaran sediaan langsung dengan KOH memperlihatkan hifa pendek-pendek dengan spora yang bergerombol. 2) Pemeriksaan dengan sinar wood Dapat memberikan perubahan warna pada seluruh daerah lesi sehingga batas lesi lebih mudah dilihat. Daerah yang terkena infeksi akan memperlihatkan fluoresensi warna kuning keemasan sampai orange. Pemeriksaan ini memungkinkan untuk melihat dengan lebih jelas perubaha pigmentasi yang menyertai kelainan ini.

Lampu wood, yang merupakan sumber sinar ultraviolet yang difilter dengan nikel oksida, digunakan untuk memperjelas 3 gambaran penyakit kulit : y Organisme tertentu penyebab bercak-bercak jamur (ringworm) pada kulit kepala memberikan fluorensi hijau (berguna untuk menentukan diagnosa awal dan membantu dalam memantau terapi). y Organisme yang berperan dalam eritrasma memberikan fluoresensi merah terang. y Beberapa kelainan pigmen lebih jelas terlihat terutama bercak-bercak pucat pada sklerosis tuberosa, dan tanda cafeau-lait pada

neurofibromatosa. Lampu wood juga bisa digunakan untuk menginduksi fluoresensi urine pada beberapa kasus porfiria. 3) Biopsi Kulit Biopsi kulit merupakan teknik pemeriksaan yang penting untuk menentukan diagnosis pada banyak kelainan kulit. Kadang-kadang hal ini sangat diperlukan untuk mendapatkan kepastian diagnosis klinis sebelum memulai pengobatan. Ada dua cara yang biasa digunakan untuk memperoleh sampel kulit untuk pemeriksaan laboratorium : y Biopsi eksisi / insisi Tindakan ini membutuhkan sampel pemeriksaan yang cukup besar ukurannya (bila dibutuhkan, dapat dibagi-bagi untuk tujuan yang berbeda) dan dapat juga dipakai untuk mengangkat lesi yang sangat besar. y Punch biopsi Cara ini jauh lebih cepat, namun hanya memperoleh sampel yang kecil dan hanya cocok untuk biopsi diagnostik atau mengangkat lesi yang kecil.

4) Tes tempel Bila dicurigai terdapat dermatitis kontak alergi, lakukan tes tempel. Pada pemeriksaan ini alergen yang kemungkinan menjadi penyebab dilarutkan dalam media yang sesuai. Bahan-bahan tes ditempatkan pada lempengan-lempengan tipis yang ditempelkan pada kulit (biasanya di daerah punggung) selama 48 jam. Reaksi positif (sesudah 48 jam, atau kadang-kadang lebih lambat) memastikan adanya reaksi hipersensitifitas tipe lambat (tipe IV) terhadap penyebab alergi tadi. Sediaan yang didapatkan melalui kedua cara tersebut bisa dikirim untuk pemeriksaan hispatologi yang konvensional. Biasanya segera difiksasi dalam larutan salin dan atau pemeriksaan khusus lainnya, misalnya untuk mengetahui fenotipe DNA dari sel-sel spesifik atau untuk DNA virus. Untuk imunopatologi, kulit biasa dibekukan dengan cepat sedangkan untuk mikroskopi elektron, kulit paling baik difiksasi dalam glutaraldehida.

6. 7. 8.

Prinsip Pengobatan Topikal Prinsip Pengobatan Sistemik Tinea Kruris Gejala klinis Tinea Kruris adalah infeksi jamur yang sering terjadi, yang hampir hanya mengenai

laki-laki. Infeksi ini seringkali terjadi bersamaan dengan infeksi tinea pada kaki. Pruritus sering terjadi, dan nyeri dapat timbul jika area yang terkena mengalami maserasi atau infeksi sekunder. Infeksi diawali dengan pembentukan sisik dan eritema dari lipatan inguinal dan berkembang mengenai aspek anterior paha. Ruam juga dapat menyebar ke celah anus. Tinea kruris berbatas tegas dan jarang mengenai skrotum. Kedua gambaran ini membedakan penyakit ini dari kandidiasis. Patofisiologi Tinea kruris adalah suatu infeksi jamur yang mengenai lipat paha, kadang-kadang disebut sebagai gatal joki.

Dermatofit yang sering menyebabkan infeksi pada lipat paha adalah Trichophyton rubrum, Epidermophyton floccosum, dan Trichophyton mentagrophytes. Diagnosis Organisme dapat terlihat pada preparat kalium hidroksida (KOH) dari kerokan sisik bagian tepi yang meluas. Kultur jamur juga dapat membantu mengkonfirmasi diagnosis. Tinea kruris tidak berfluoresensi di bawah sinar lampu wood. Tata Laksana Infeksi dermatofit dapat dibatasi dengan dua cara: mengubah lingkungannya sehingga tidak menguntungkan bagi jamur tersebut untuk melakukan propagasi, dan penggunaan obat antijamur topikal. Untuk mengurangi kelembapan dari lingkungan sekitar, maka pasien disarankan untuk menggunakan pakaian yang menyerap keringat atau longgar. Antijamur topikal meliputi obat golongan azol, seperti klotrimazol, ketokonazol, atau mikonazol. Obat-obat tersebut memiliki spektrum aktivitas yang luas dengan cakupan beberapa jamur Gram-positif juga. Alilamin adalah golongan antijamur utama lain yang meliputi terbinafin dan naftifin. Obat tersebut memerlukan pemakaian tiap hari dan tetap aktif di kulit selama 1 minggu setelah pemakaian. Obat yang lebih baru seperti ciclopirox, butenafin, dan haloprogin telah dicoba dengan hasil beragam. Mikostatin (nistatin) tidak ditemukan efektif pada pengobatan tinea kruris. Pengobatan topikal tersebut harus mencakup 2 cm melewati tepi lesi yang terkena. Steroid topikal dapat digunakan sebagai tambahan pada kasus inflamasi berat. Untuk pasien dengan penekanan sistem imun, pasien dengan penyakit yang luas, dan pasien yang gagal diobati dengan pengobatan topikal, maka flukonazol, itrakonazol, atau terbinafin dapat diberikan per oral. Pengobatan tinea pedis pada orang yang terkena tinea kruris diperlukan untuk mencegah rekurensi.

9.

Tinea Versicolor Gejala Klinis Pasien datang dengan kelenjar sebasea yang terkena pada batang tubuh bagian atas,

leher, dan lengan. Pasien anak dapat datang dengan lesi di wajah. Lesi tampak eritematosa; dapat terdiri dari makula hipopigmentasi atau hiperpigmentasi, atau dapat berkelompok. Terjadi pembentukan sisik dan pruritus yang beragam. Area yang terkena

cenderung tidak menjadi kecoklatan sebanyak area yang tidak terkena. Ruam biasanya tidak terlihat bersih secara spontan, sehingga pasien dapat datang dengan gejala yang sudah berlangsung lama. Patofisiologi Tinea versikolor, atau pitiriasis versikolor, adalah suatu infeksi mikotik superfisial. Keadaan ini bukan merupakan infeksi tinea sejati, karena organisme yang menyebabkan infeksi bukan dermatofit tetapi ragi (yeast). Tinea versikolor disebabkan oleh Malassezia furfur, suatu ragi lipofilik. Suhu dan kelembapan yang tinggi berperan pada perkembangan infeksi, demikian pula penggunaan pakaian yang tertutup (oklusif) dan kulit berminyak. Diagnosis Diagnosis sering ditegakkan di unit gawat darurat (UGD) berdasarkan gambaran ruam saja. Hal ini dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan menggunakan lampu wood atau pemeriksaan mikroskopik preparat kalium hidroksida (KOH). Lampu wood memperlihatkan fluoresensi M. Furfur yang berwarna kuning pucat. Hifa angular yang pendek dan ragi yang mengalami budding dapat terlihat pada evaluasi mikroskopik. Komplikasi Klinis Komplikasi tinea versikolor yang paling sering terjadi adalah reinfeksi. Tingkat reinfeksi dilaporkan setinggi 80% setelah 2 tahun. Tata Laksana Pengobatan tinea versikolor melibatkan terapi antijamur topikal atau oral. Obat topikal meliputi losio atau sampo selenium sulfida, biarkan selama 15 menit, dipakai setiap hari selama 2 minggu dan kemudian sekali sebulan. Pengobatan topikal lain meliputi terbinafin atau pengobatan dengan ekonazol atau ketokonazol. Rekurensi jarang terjadi jika diberikan terapi oral.

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM INTEGUMEN

Tn. Slamet 40 tahun, mengeluh pada saudara karena sejak tiga bulan yang lalu timbul gatal dilipat paha terutama saat bedinas. Kulit yang di bagian gatal terlihat berwarna merah bersisik dan di tepinya terdapat bruntus merah dan lenting berair, di punggung terdapat bercak-bercak putih dan tersa gatal. . Pengkajian a. Identitas Pasien : nama, jenis kelamin, agama, alamat, pendidikan b. Keluhan Utama. Pasien mengeluh gatal c. Riwayat Kesehatan 1. Riwayat Penyakit Sekarang : Tanyakan sejak kapan pasien merasakan keluhan seperti yang ada pada keluhan utama dan tindakan apa saja yang dilakukan pasien untuk menanggulanginya, memiliki riwayat penyakit alergi atau tidak 2. Riwayat Penyakit Dahulu : Apakah pasien dulu pernah menderita penyakit seperti ini atau penyakit kulit lainnya 3. Riwayat Penyakit Keluarga : Apakah ada keluarga yang pernah menderita penyakit seperti ini atau penyakit kulit lainnya. 4. Pola Kebiasaan Penggunaan handuk bersama atau sendiri, pola aktifitas . d. Pemeriksaan Fisik 1. Subjektif : Gatal 2. Objektif : Terdapat makula di lipat paha, axila ( ketiak ) dan punggung pasien. yang dapat hipopigmentasi, kecokletan, keabuan atau kehitam-hitaman dalam berbagai ukuran, dengan skuama halus di atasnya. Makula, berbatas tegas (sharply marginated), berbentuk bundar atau oval, dan ukurannya bervariasi.

B. Diagnosa Keperawatan 1. Risiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit akibat pitiriasis vesikolor. 2. Perubahan rasa nyaman berhubungan dengan pruritus. 3. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan pitiriasis vesikolor C. Intervensi Keperawatan Dx 1 Risiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit akibat pitiriasis vesikolor Intervensi : 1. Kaji keadaan kulit Rasional : Mengetahui dan mengidetifikasi kerusakan kulit untuk melakukan intervensi yang tepat. 2. Kaji keadaan umum dan observasi TTV. Rasional : Mengetahui perubahan status kesehatan pasien. 3. Kaji perubahan warna kulit. Rasional : Megetahui keefektifan sirkulasi dan mengidentifikasi terjadinya komplikasi. 4. Pertahankan agar daerah yang terinfeksi tetap bersih dan kering. Rasional : Membantu mempercepat proses penyembuhan. 5. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat-obatan. - Oleskan salep pada kulit yang telah bersih, setelah mandi atau sebelum tidur, meskipun lesinya telah hilang. Menghentikan pengobatan dengan salep dapat menimbulkan kekambuhan. Pasalnya jamur belum terbasmi dengan tuntas. - Bila lesinya minimal atau terbatas, dapat diberikan secara topikal dengan golongan imidazol, misalnya ketoconazole dalam bentuk krim. Pengobatan harus dilakukan menyeluruh, tekun, dan konsisten, karena penyakit panu sering kambuh dan untuk mencegah serangan ulang. Dx 2 Perubahan rasa nyaman berhubungan dengan pruritus

Intervensi : 1. Jelaskan gejala gatal berhubungan dengan penyebabnya (misal keringnya kulit) dan prinsip terapinya (misal hidrasi) dan siklus gatal-garuk-gatal-garuk. Rasionalisasi dengan mengetahui proses fisiologis dan psikologis dan prinsip gatal serta penangannya akan meningkatkan rasa kooperatif 2. Cuci semua pakaian sebelum digunakan untuk menghilangkan formaldehid dan bahan kimia lain serta hindari menggunakan pelembut pakaian buatan pabrik. Rasionalisasi pruritus sering disebabkan oleh dampak iritan atau allergen dari bahan kimia atau komponen pelembut pakaian. 3. Gunakan deterjen ringan dan bilas pakaian untuk memastikan sudah tidak ada sabun yang tertinggal. Rasionalisasi bahan yang tertinggal (deterjen) pada pencucian pakaian dapat menyebabkan iritasi. Dx 3 Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penampakan kulit akibat pitiriasis vesikolor Intervensi : 1. Kaji adanya gangguan citra diri (menghindari kontak mata,ucapan merendahkan diri sendiri. Rasional: Gangguan citra diri akan menyertai setiap penyakit/keadaan yang tampak nyata bagi klien, kesan orang terhadap dirinya berpengaruh terhadap konsep diri. 2. Kaji perubahan perilaku pasien seperti menutup diri, malu berhadapan dengan orang lain. Rasional : Mengetahui tingkat ketidakpercayaan diri pasien dalam menentukan intervensi selanjutnya. 3. Bersikap realistis dan positif selama pengobatan, pada penyuluhan pasien. Rasional : Meningkatkan kepercayaan dan mengadakan hubungan antara perawat-pasien. .

4. Berikan penguatan positif terhadap kemajuan. Rasional : Kata-kata penguatan dapat mendukung terjadinya perilaku koping positif. 5. Dorong interaksi keluarga. Rasional : Mempertahankan garis komunikasi dan memberikan dukungan terusmenerus pada pasien. . E. Evaluasi Keperawatan 1. Gangguan integritas kulit teratasi 2. Gatal hilang/berkurang 3. Komplikasi dan keparahan tidak terjadi 4. pasien percaya diri

BAB IV PENUTUP

1. 2.

Kesimpulan Saran

DAFTAR PUSTAKA