kaspan trauma okuli - copy (autosaved).docx

Upload: mayaaffrita

Post on 10-Oct-2015

79 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB 1PENDAHULUAN 1.1 Latar BelakangMata merupakan salah satu organ manusia yang terekspos dengan dunia luar yang mau tidak mau akan rentan untuk mendapatkan trauma dari luar dan tentu saja akan mengakibatkan penyulit hingga dapat mengganggu fungsi penglihatan. Struktur bola mata manusia mempunyai sistem pelindung yang cukup baik seperti rongga orbita yang dikelilingi oleh tulang - tulang kuat, kelopak mata dengan refleks memejam atau mengedip, serta jaringan lemak retrobulbar. Meskipun demikian, mata masih sering mendapatkan trauma dari dunia luar yang dapat mengenai jaringan-jaringan mata seperti: palpebrae, konjungtiva, kornea, uvea, lensa, retina, papil saraf optik, dan cavumorbita (Ilyas dan Yulianti, 2011).Trauma kimia pada mata, merupakan suatu terminolog yang enandai adanya trauma yang disebabkan oleh bahan kimia yang dapat berupa kimia asam maupun kimia basa, baik berupa bahan padatan, cairan, maupun aerosol, yang mengenai bagian mata. Trauma kimia pada mata merupakan salah satu kasus emergensi yang membutuhkan penanganan dengan segera. Biasanya trauma kimia pada mata terjadi pada lingkungan industri (Spector, 2008).Bahan kimia yang mengenai mata dapat menyebabkan kerusakan yang signifikan pada mata, mulai dari epitel, kornea, dan segmen anterior. Bahkan trauma kimia yang parah dapat berakibat hilangnya fungsi penglihatan (Spector, 2008). Data yang diperoleh di Amerika Serikat menunjukkan, Pada makalah ini penulis melaporkan pasien Tn. A usia 30 tahun dengan diagnosa OD trauma chemical e.c lem alteco dengan komplikasi defek epitel kornea.1.2 Rumusan Masalaha. Apakah definisi trauma kimia mata?b. Apakah etiologi trauma kimia mata?c. Bagaimana patogenesis trauma kimia mata?d. Bagaimana klasifikasi derajat berat trauma kimia mata?e. Bagaimana gejala klinis trauma kimia mata?f. Apa saja temuan pada anamnesis pada trauma kimia mata?g. Apa saja temuan klinis pada pemeriksan fisik pada trauma kimia mata?h. Apakah pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada trauma kimia mata?i. Bagaimana penatalaksanaan trauma kimia mata?j. Apa saja komplikasi pada trauma kimia mata?k. Bagaimana prognosis pasien dengan trauma kimia mata?l. Bagaimana pencegahan trauma kimia mata?1.3 Tujuana. Untuk mengetahui definisi trauma kimia mata.b. Untuk mengetahui etiologi trauma kimia mata.c. Untuk mengetahui pathogenesis trauma kimia mata.d. Untuk mengetahui klasifikasi derajat berat trauma kimia mata.e. Untuk mengetahui temuan anamnesis pada trauma kimia mata.f. Untuk mengetahui gejala klinis trauma kimia mata.g. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada trauma kimia mata.h. Untuk mengetahui penatalaksanaan trauma kimia mata.i. Untuk mengetahui komplikasi yang dapat terjadi pada trauma kimia mata.j. Untuk mengetahui prognosis trauma kimia mata.k. Untuk mengetahui pencegahan trauma kimia mata.

BAB 2TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi 2.2 Trauma Kimia Mata2.2.1 DefinisiTrauma kimia pada mata merupakan kedaruratan di bidang penyakit mata, terutama yang melibatkan kornea. Trauma kimia pada mata memerlukan perawatan segera, sebelum dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap. Trauma kimia dapat disebabkan oleh bahan alkali kuat maupun bahan asam kuat (Kanski, 2011) . Pengaruh bahan kimia tersebut sangat tergantung pada pH, kecepatan dan jumlah bahan kimia. Oleh karena itu trauma karena asam dan basa kuat lebih berbahaya. Trauma karena bahan alkali dua kali lebih sering dibandingkan karena bahan asam, karena alkali lebih banyak digunakan dalam industri dan rumah tangga. Trauma yang disebabkan oleh bahan alkali lebih cepat merusak dan menembus kornea dibandingkan bahan asam. Trauma asam kuat dapat menyebabkan pengendapan dan penggumpalan protein, sementara trauma basa dapat menyebabkan penghancuran jaringan kolagen kornea. Pada trauma kimia basa dapat menembus ke dalam bilik mata depan dalam waktu 7 detik, karena sifat bahan basa yaitu koagulasi sel dan proses penyabunan yang disertai dengan dehidrasi (Ilyas, 2010). Penatalaksanaan yang diberikan terutama melakukan irigasi secepatnya dengan bahan fisiologis atau air bersih. Irigasi sebaiknya dilakukan sesegera mungkin dan cukup lama, paling sedikit 15-30 menit (Ilyas, 2010). Selain itu perlu juga ditentukan jenis bahan kimia yang mengenai mata, hal ini bisa didapatkan dari anamnesis serta pemeriksaan dengan kertas lakmus untuk menentukan sifat bahan, apakah sifat asam kuat atau basa kuat. Hal ini penting dilakukan karena dalam tatalaksana diperlukan langkah untuk menetralisasi bahan. Trauma kimia yang parah memerlukan perawatan yang lama dan intensif di rumah sakit serta kunjungan rawat jalan yang juga berlangsung lama. Pemulihan dan rehabilitasi membutuhkan waktu berbulan-bulan. Sebagai akibat dari kehilangan penglihatan sesisi atau kedua-duanya maka pasien bisa kehilangan kemampuan mengemudi, kehilangan pekerjaan dan menjadi tergantung dengan orang lain (Weaver, 2011). A. Trauma Asam Asam terdisosiasi menjadi ion-ion hidrogen dan anion di kornea. Molekul hidrogen merusak permukaan bola mata dengan merubah pH, sedangkan anion menyebabkan denaturasi, presipitasi dan koagulasi protein pada epitel epitel kornea yang terpajan (Weaver, 2011). Presipitasi dan koagulasi permukaan bola mata disebut nekrosis koagulatif (Brooker, 2000). Koagulasi protein mencegah terjadinya penetrasi asam lebih dalam, sehingga bila konsentrasi tidak tinggi tidak akan bersifat destruktif seperti trauma alkali. Umumnya kerusakan yang terjadi bersifat nonprogresif dan hanya pada bagian superfisial saja (Randleman, 2012). Asam hidrofluorat adalah pengecualian dalam kasus trauma akibat asam. Asam hidrofluorat adalah asam lemah yang dapat melewati membran sel dengan cepat, dalam keadaan tetap tidak terionisasi, sementara ion fluoride berpenetrasi lebih baik ke stroma dibanding asam lainnya sehingga menyebabkan kerusakan yang lebih parah di segmen anterior. Karena itu asam hidrofluorat bekerja seperti basa, menyebabkan nekrosis liquefactive. Ion fluoride yang dilepaskan ke dalam sel dapat menginhibisi enzim glikolitik dan dapat bergabung dengan kalsium dan magnesium, membentuk kompleks tidak larut. Nyeri lokal yang hebat diduga sebagai akibat dari kegagalan imobilisasi kalsium, yang kemudian mendorong stimulasi syaraf oleh perpindahan potassium (Weaver, 2011). Komplikasi paling serius dari trauma asam adalah jaringan parut konjungtiva dan kornea, vaskularisasi kornea, glaukoma dan uveitis (Ashbury, 2007). Biasanya trauma akibat asam akan normal kembali, sehingga tajam penglihatan tidak banyak terganggu (Ilyas, 2010).B. Trauma Basa Basa terdisosiasi menjadi ion hidroksil dan kation di permukaan bola mata. Ion hidroksil membuat reaksi saponifikasi pada membran sel asam lemak, sedangkan kation berinteraksi dengan kolagen stroma dan glikosaminoglikan. Jaringan yang rusak ini menstimulasi respon inflamasi, yang merangsang pelepasan enzim proteolitik, sehingga memperberat kerusakan jaringan. Interaksi ini menyebabkan penetrasi lebih dalam melalui kornea dan segmen anterior. Hidrasi lanjut dari glikosaminoglikan menyebabkan kekeruhan kornea. Kolagenase yang terbentuk akan menambah kerusakan kolagen kornea. Berlanjutnya aktivitas kolagenase menyebabkan terjadinya perlunakan kornea (Ashbury, 2007). Hidrasi kolagen menyebabkan distorsi dan pemendekan fibril sehingga terjadi perubahan pada jalinan trabekulum yang selanjutnya dapat menyebabkan peningkatan tekanan intraokular. Mediator inflamasi yang dikeluarkan pada proses ini merangsang pelepasan prostaglandin yang juga dapat menyebabkan peningkatan tekanan intraokular. Basa yang menembus dalam bola mata akan dapat merusak retina sehingga akan berakhir dengan kebutaan penderita (Ilyas, 2010). Trauma akibat bahan kimia basa akan memberikan akibat yang sangat gawat pada mata. Basa akan menembus dengan cepat ke kornea, bilik mata depan dan sampai pada jaringan retina. Proses yang terjadi disebut nekrosis liquefactive. Bahan akustik soda dapat menembus ke dalam bilik mata depan dalam waktu 7 detik (Ilyas, 2010). Penyulit yang dapat ditimbulkan oleh trauma basa adalah simblefaron, kekeruhan kornea, edema dan neovaskularisasi kornea, katarak, disertai dengan terjadi ftisis bola mata. Penyulit jangka panjang dari luka bakar kimia adalah glaukoma sudut tertutup, pembentukan jaringan parut kornea, simblefaron, entropion, dan keratitis sika (Ashbury, 2007). 2.2.2 Etiologi Alkali: Ammonia , Lye, Potassium hydroxide, Magnesium hydroxide,Lime Produk yang mengandung alkali : Fertilizers, produk pembersih(ammonia), drain cleaners (lye), Oven cleaners, Potash (potassium hydroxide), Fireworks (magnesium hydroxide),Cement (lime) Asam: Sulfuric acid, Sulfurous acid (paling sering), Hydrofluoric acid (paling fatal) , Acetic acid, Chromic acid, Hydrochloric acid Produk yang mengandung asam : Baterai(sulfuric), Glass polish (hydrofluoric), Vinegar (acetic) Produk yang mengandung iritan : Pepper spray2.2.3 Patogenesis Bahan asam dan basa menyebabkan trauma dengan mekanisme yang berbeda. Baik bahan asam dapat menyebabkan terjadinya trauma kimia. Kerusakan jaringan akibat trauma kimia ini secara primer akibat proses denaturasi dan koagulasi protein selular, dan secara sekunder melalui kerusakan iskemia vaskular. Bahan asam menyebabkan terjadinya nekrosis koagulasi dengan denaturasi protein pada jaringan yang berkontak. Hal ini disebabkan karena bahan asam cenderung berikatan dengan protein jaringan dan menyebabkan koagulasi pada epitel permukaaan. Timbulnya lapisan koagulasi ini nerupakan barier terjadinya penetrasi lebih dalam dari bahan asam sehingga membatasi kerusakan lebih lanjut. Oleh karena itu trauma asam sering terbatas pada jaringan superfisial (Rhee, 1999). Terdapat pengecualian yaitu asam hidrofluorik yang dapat menyebabkan nekrosis likuefaksi yang mirip pada alkali. Bahan asam hidrofluorik ini dapat dengan cepat menembus kulit sampai ke pembuluh darah sehingga terjadi diseminasi ion fluoride. Ion fluoride ini kemudian mempresipitasi kalsium sehingga menyebabkan hipokalsemi dan metastasis kalsifikasi yang dapat mengancam jiwa (Rhee, 1999). Bahan alkali dapat menyebabkan nekrosis likuefaksi yang potensial lebih berbahaya dibandingkan bahan asam. Larutan alkali mencairkan jaringan dengan jalan mendenaturasi protein dan saponifikasi jaringan lemak. Larutan alkali ini dapat terus mempenetrasi lapisan kornea bahkan lama setelah trauma terjadi (Rhee, 1999). Kerusakan jangka panjang pada konjungtiva dan kornea meliputi defek pada epitel kornea, simblefaron serta pembentukan jaringan sikatriks. Penetrasi yang dalam dapat menyebabkan pemecahan dan presipitasi glikosaminoglikan dan opasitas lapisan stroma kornea. Jika terjadi penetrasi pada bilik mata depan, dapat terjadi kerusakan iris dan lensa. Kerusakan epitel silier dapat menggangu sekresi asam askorbat yang diperlukan untuk produksi kolagen dan repair kornea. Selain itu dapat terjadi hipotoni dan ptisis bulbi. Proses penyembuhan dapat terjadi pada epitel kornea dan stroma melalui proses migrasi sel epitel dari stem cells pada daerah limbus. Kolagen stroma yang rusak akan difagositosis dan dibentuk kembali (Khanski, 2011). 2.2.4 Klasifikasi Derajat Berat Trauma KimiaGradasi dan prognosis trauma kimia ditentukan berdasarkan kerusakan kornea dan iskemia limbus. Iskemia limbus merupakan faktor klinis yang sangat penting karena menunjukkan level kerusakan pada pembuluh darah di limbus dan mengindikasikan kemampuan stem sel kornea (yang terdapat di limbus) untuk regenerasi kornea yang rusak. Oleh karena itu, pada trauma kimia mata putih lebih berbahaya dibanding mata merah. Ada 2 jenis klasifikasi derajat trauma kimia yang sering digunakan pada praktek sehari-hari. Derajat beratnya trauma kimia (menurut Roper-Hall) dibagi atas : Grade I: kornea jernih, tidak terdapat iskemia limbus (prognosis sangat baik) Grade II: kornea hazy tetapi detail iris masih tampak, dengan iskemia limbus < sepertiga (prognosis baik) Grade III:detail iris tidak terlihat, iskemia limbus antara sepertiga sampai setengah Grade IV: kornea opak, dengan iskemia limbus lebih dari setengah (prognosis sangat buruk)

Gradasi klinis berdasarkan kerusakan stem sel limbus (menurut kriteria Hughes), yang digunakan di departemen mata RSCM yaitu :Grade I: Iskemia limbus yang minimal atau tidak adaGrade II: Iskemia kurang dari 2 kuadran limbusGrade III: Iskemia lebih dari 3 kuadran limbusGrade IV: Iskemia pada seluruh limbus, seluruh permukaan epitel konjungtiva dan bilik mata depan

Selain pembagian tersebut diatas, khusus untuk trauma basa dapat diklasifikasikan menurut Thoft menjadi :Derajat 1 : hiperemi konjungtiva disertai dengan keratitis pungtataDerajat 2 : hiperemi konjungtiva disertai dengan hilangnya epitel korneaDerajat 3 : hiperemi disertai dengan nekrosis konjungtiva dan lepasnya epitel korneaDerajat 4: konjungtiva perilimal nekrosis sebanyak 50%2.2.5 Gejala KlinisDiagnosis trauma kimia pada mata lebih sering didasarkan pada anamnesis dibandingkan atas dasar tanda dan gejala. Pasien biasanya mengeluhkan nyeri dengan derajat yang bervariasi, fotofobia, penurunan penglihatan serta adanya halo di sekitar cahaya. Umumnya pasien datang dengan keluhan adanya riwayat terpajan cairan atau gas kimia pada mata. Keluhan pasien biasanya nyeri setelah terpajan, rasa mengganjal di mata, pandangan kabur, fotofobia, mata merah dan rasa terbakar (Randleman, 2012).2.2.6 AnamnesisAnamnesis jenis bahan penyebab sebaiknya digali, misalnya dengan menunjukkan botol bahan kimia, hal ini dapat membantu menentukan jenis bahan kimia yang mengenai mata. Waktu dan durasi dari pajanan, gejala yang timbul segera setelah pajanan, serta penatalaksanaan yang telah diberikan di tempat kejadian juga merupakan anamnesis yang dapat membantu dalam diagnosis (Rhee, 1999).2.2.7 Pemeriksaan FisikPemeriksaan fisik yang cermat harus ditunda setelah dilakukan irigasi yang banyak pada mata yang terkena dan pH mata telah netral. Setelah dilakukan irigasi, dilakukan pemeriksaan dengan seksama terutama melihat kejernihan dan integritas kornea, iskemia limbus dan tekanan intraokular. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan pemberian anestesi topikal. Tanda-tanda yang dapat ditemui pada pemeriksaan fisik dan oftalmologi adalah : Defek epitel kornea, dapat ringan berupa keratitis pungtata sampai kerusakan seluruh epitel. Kerusakan semua epitel kornea dapat tidak meng-up take fluoresin secepat abrasi kornea sehingga dapat tidak teridentifikasi. Kekeruhan kornea yang dapat bervariasi dari kornea jernih sampai opasifikasi total sehingga menutupi gambaran bilik mata depan. Perforasi kornea. Sangat jarang terjadi, biasa pada trauma berat yang penyembuhannya tidak baik. Reaksi inflamasi bilik mata depan, dalam bentuk flare dan cells. Temuan ini biasa terjadi pada trauma basa dan berhubungan dengan penetrasi yang lebih dalam. Peningkatan tekanan intraokular Kerusakan / jaringan parut pada adneksa. Pada kelopak mata hal ini menyebabkan kesulitan menutup mata sehingga meng-exspose permukaan bola yang telah terkena trauma. Inflamasi konjungtiva. Iskemia perilimbus Penurunan tajam penglihatan . Terjadi karena kerusakan epitel, kekeruhan kornea, banyaknya air mata. Pada trauma derajat ringan sampai sedang biasanya yang dapat ditemukan berupa kemosis, edema pada kelopak mata, luka bakar derajat satu pada kulit sekitar, serta adanya sel dan flare pada bilik mata depan. Pada kornea dapat ditemukan keratitis punktata sampai erosi epitel kornea dengan kekeruhan pada stroma. Sedangkan pada derajat berat mata tidak merah, melainkan putih karena terjadinya iskemia pada pembuluh darah konjungtiva. Kemosis lebih jelas, dengan derajat luka bakar yang lebih berat pada kulit sekitar mata, serta opasitas pada kornea (Randleman, 2012).2.2.8 Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan pH permukaan bola mata secara periodik dan melanjutkan irigasi sampai PH netral . Selain itu, pemeriksaan seperti tes flourescein, tes tonometri Goldman, tes Schimmer, tes sitologi impresi juga perlu dilakukan. Pemeriksaan laboratorium diperlukan jika terdapat kelainan sistemik lain. 2.2.9 TatalaksanaTrauma kimia merupakan trauma mata yang membutuhkan tatalaksana sesegera mungkin. Tujuan utama dari terapi adalah menekan inflamasi, nyeri, dan risiko inflamasi. (Weaver, 2011) Tatalaksana emergensi yang diberikan yaitu: (Rhee, 1999)1. Irigasi mata, sebaiknya menggunakan larutan Salin atau Ringer laktat selama minimal 30 menit. Jika hanya tersedia air non steril, maka air tersebut dapat digunakan. Larutan asam tidak boleh digunakan untuk menetralisasi trauma basa. Spekulum kelopak mata dan anestetik topikal dapat digunakan sebelum dilakukan irigasi. Tarik kelopak mata bawah dan eversi kelopak mata atas untuk dapat mengirigasi fornices. 2. Lima sampai sepuluh menit setelah irigasi dihentikan, ukurlah pH dengan menggunakan kertas lakmus. Irigasi diteruskan hingga mencapai pH netral (pH=7.0)3. Jika pH masih tetap tinggi, konjungtiva fornices diswab dengan menggunakan moistened cotton-tipped applicator atau glass rod. Penggunaan Desmarres eyelid retractor dapat membantu dalam pembersihan partikel dari fornix dalam. Selanjutnya, tatalaksana untuk trauma kimia derajat ringan hingga sedang meliputi: (Rhee, 1999)1. Fornices diswab dengan menggunakan moistened cotton-tipped applicator atau glass rod untuk membersihkan partikel, konjungtiva dan kornea yang nekrosis yang mungkin masih mengandung bahan kimia. Partikel kalsium hidroksida lebih mudah dibersihkan dengan menambahkan EDTA.2. Siklopegik (Scopolamin 0,25%; Atropin 1%) dapat diberikan untuk mencegah spasme silier dan memiliki efek menstabilisasi permeabilitas pembuluh darah dan mengurangi inflamasi.3. Antibiotik topikal spektrum luas sebagai profilaksis untuk infeksi. (tobramisin, gentamisin, ciprofloxacin, norfloxacin, basitrasin, eritromisin) 4. Analgesik oral, seperti acetaminofen dapat diberikan untuk mengatasi nyeri. 5. Jika terjadi peningkatan tekanan intraokular > 30 mmHg dapat diberikan Acetazolamid (4x250 mg atau 2x500 mg ,oral), beta blocker (Timolol 0,5% atau Levobunolol 0,5%).6. Dapat diberikan air mata artifisial (jika tidak dilakukan pressure patch).Tatalaksana untuk trauma kimia derajat berat setelah dilakukan irigasi, meliputi: (Rhee, 1999)1. Rujuk ke rumah sakit untuk dilakukan monitor secara intensif mengenai tekanan intraokular dan penyembuhan kornea.2. Debridement jaringan nekrotik yang mengandung bahan asing3. Siklopegik (Scopolamin 0,25%; Atropin 1%) diberikan 3-4 kali sehari. 4. Antibiotik topikal (Trimetoprim/polymixin-Polytrim 4 kali sehari; eritromisin 2-4 kali sehari)5. Steroid topikal ( Prednisolon acetate 1%; dexametasone 0,1% 4-9 kali per hari). Steroid dapat mengurangi inflamasi dan infiltrasi netrofil yang menghambat reepitelisasi. Hanya boleh digunakan selama 7-10 hari pertama karena jika lebih lama dapat menghambat sintesis kolagen dan migrasi fibroblas sehingga proses penyembuhan terhambat, selain itu juga meningkatkan risiko untuk terjadinya lisis kornea (keratolisis). Dapat diganti dengan non-steroid anti inflammatory agent.6. Medikasi antiglaukoma jika terjadi peningkatan tekanan intraokular. Peningkatan TIO bisa terjadi sebagai komplikasi lanjut akibat blokade jaringan trabekulum oleh debris inflamasi.7. Diberikan pressure patch di setelah diberikan tetes atau salep mata.8. Dapat diberikan air mata artifisial.

Selain pengobatan tersebut diatas, pemberian obat-obatan lain juga bermanfaat dalam menurunkan proses inflamasi, meningkatkan regenerasi epitel dan mencegah ulserasi kornea. Obat tambahan yang biasa diberikan: (Kanski, 2011) Asam askorbat : berfungsi untuk meningkatkan produksi kolagen, diberikan secara topikal dan sistemik. Beberapa riset menunjukkan pemberian topikal asam askorbat 10% terbukti dapat menekan perforasi kornea. Akan tetapi, tatalaksana ini baru digunakan pada tahap eksperimental (asam askorbat topikal 10% , setiap 2 jam dan sistemik 4x 2 g per hari). Asam sitrat : merupakan inhibitor kuat terhadap aktivitas neutrofil. Pemberian topikal 10% setiap 2 jam selama 10 hari. Tetrasiklin : membantu menghambat proses kolagenase, menghambat neutrofil dan mengurangi ulserasi. Biasanya pemberian secara topikal dan sistemik (doksisiklin 2 x 100 mg)4 Untuk tatalaksana trauma oleh asam hidrofluorat, medikasi yang optimum masih belum dilakukan. Beberapa studi menggunakan 1% calcium gluconate sebagai media irigasi atau untuk tetes mata. Bahan bahan mengandung Magnesium juga digunakan pada kasus ini. Sayangnya, masih sedikit penelitian yang mendukung efektifitas terapi terapi tersebut. Irigasi mengunakan magnesium klorida terbukti tidak bersifat toksik terhadap mata. Efek positif dari terapi ini dilaporkan masih dapat ditemukan walaupun pada pemberian 24 jam setelah cedera, dimana medikasi lainnya sudah tidak berguna. Beberapa penulis merekomendasikan penggunaan sebagai tetes mata setiap 2 3 jam atas pertimbangan irigasi dapat mengiritasi mata dan menimbulkan ulserasi kornea (Weaver, 2011) Injeksi subkonjungtival kalsium glukonat dan kalsium klorida tidak direkomendasikan karena terbukti tidak bermanfaat dalam terapi (Weaver, 2011) Terapi bedah dini penting untuk revaskularisasi limbus, restorasi populasi sel limbus dan membentuk fornises. Sedangkan terapi bedah lanjutan meliputi graft konjungtiva atau membran mukosa, koreksi deformitas kelopak mata, keratoplasti, serta keratoprostheses (Kanski, 2011)

Tatalaksana berdasarkan prosedur standar di bagian IP mata RSCM berdasarkan gradasi, dan lamanya trauma kimia tersebut.Berdasarkan fase lamanya trauma kimia, dibagi menjadi :I. Fase kejadian (immediate)Tujuan : menghilangkan materi penyebab sebersih mungkinTindakan :Irigasi Bahan Kimia Pembilasan dilakukan segera, bila mungkin berikan anastesi topikal terlebih dahulu. Pembilasan dengan larutan non-toxic (NaCl 0.9%, Ringer Lactat dsb), sampai pH air mata kembali normal (dinilai dengan kertas Lakmus).Pembilasan dilakukan segera, bila mungkin berikan anastesi terlebih dahulu. Pembilasan dengan larutan non-tosis (NaCl 0.9%, RL dsb), sampai pH air mata kembali normal (dinilai dengan kertas Lakmus). Pembilasan dilakukan selama mungkin dan paling sedikit 15-30 menit (60 mnt untuk trauma basa). Untuk bahan asam dipergunakan larutan natrium bikarbonat 3%, sedangkan untuk basa digunakan larutan asam borat, asam asetat 0,5% atau buffer asam asetat pH 4,5% untuk menetralisir. Pendapat lain menganjurkan untuk memakai cairan yang netral. Benda Asing yang melekat dan jaringan bola mata yang nekrosis harus dibuang (pada anak-anak, jika perlu dalam narkose). Bila diduga telah terjadi penetrasi bahan kimia kedalam bilik mata depan (BMD), dilakukan irigasi BMD dengan larutan RL. Diagnosa berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, oftalmologis dan penentuan gradasi klinis.Penderita dirawat bila sesuai indikasi

II. Phase Akut (sampai hari ke 7)Tujuan : Mencegah terjadinya penyulitPrinsip :1. Mempercepat proses re-epitelisasi kornea2. Mengontrol tingkat peradangan3. Mencegah infiltrasi sel-sel radang4. Mencegah pembentukan enzim kolagenase5. Mencegah infeksi sekunder6. Mencegah peningkatan tekanan bola mata7. Suplement / anti oksidan

III. Phase Pemulihan Dini (early repair : hari ke 7 21)Tujuan : Membatasi tingkat penyulitProblem: Hambatan re-epitelisasi kornea Gangguan fungsi kelopak mata Hilangnya sel Goblet Ulserasi stroma perforasi kornea Prinsip : sesuai dengan Phase II

IV. Phase Pemulihan Akhir (late repair : setelah hari ke 21)Tujuan : Rehabilitasi fungsi penglihatanMasalah : Disfungsi sel Goblet Hambatan re-epitelisasi Kornea Ulserasi stroma (gradasi III dan IV) Prinsip :Mempercepat proses re-epitelisasi kornea, atau optimalisasi fungsi epitel permukaanDan seterusnya sesuai dengan phase II

Rujukan Setelah terapi inisial dan irigasi, pasien harus dirujuk ke fasilitas dimana terdapat dokter mata. 2.2.10 Komplikasi2.2.11 Prognosa2.2.12 PencegahanEdukasi dan pelatihan untuk mencegah pajanan zat kimia di tempat kerja dapat mencegah terjadinya trauma kimia pada mata. Pekerja yang dapat terpajan zat kimia di tempat kerja harus menggunakan safety goggles. Trauma kimia pada anak sering terjadi karena tidak adanya pengawasan. Letakkan semua produk rumah tangga yang dapat menimbulkan bahaya di tempat yang tidak dapat dijangkau oleh anak-anak (Weaver, 2011).

BAB 3LAPORAN KASUS

3.1 Identitas PasienNama: Tn. AUmur: 30 tahunAlamat: Poncokususmo, MalangAgama: IslamPekerjaan : SopirRegister: 11190xxx

3.2 Anamnesis (Autoanamnesis pada tanggal 7 Agustus 2014)Keluhan Utama: Mata kanan terkena lem G (sejenis alteco)Riwayat penyakit sekarang:Mata kanan terkena lem alteco tanggal 6 Agustus 2014 pukul 20.00 WIB. Setelah terkena lem, pasien tidak bisa membuka kelopak mata karena lengket. Mata sebelah kanan terasa nyeri. Mata merah (+), nrocoh (+), mengganjal (+), sekret (-), pandangan kabur (+) sebelah kanan.Dibawa berobat ke dokter umum (tanggal 6 Agustus 2014, segera setelah terkena lem) kemudian dirujuk ke RSSA.Riwayat pengobatan: Tanggal 6 Agustus 2014 pukul 20.00Dibawa berobat ke dokter umum segera setelah terkena lem. Di dokter umum mata dibersihkan dari lem yang menempel dengan air hangat kemudian dirujuk ke RSSA Tanggal 6 Agustus 2014 pukul 21.30Pasien sampai di RSSA, mendapat terapi irigasi pada mata kanan. Tobroson 6x1 tetes pada mata kanan, EDTA 4x1 tetes pada mata kanan, Repithel 6x1 tetes pada mata kanan, dan vitamin C 4x500 mg Pasien tidak sedang menjalani pengobatan apapunRiwayat penyakit dahulu : Diabetes Mellitus (-), Hipertensi (-), peggunaan kacamata (-), riwayat trauma okuli lain sebelumnya (-), riwayat trauma (-), epilepsi (-)

3.3 Pemeriksaan Fisik: Pemeriksaan visus, segment anterior, dan schziot:Tanggal 6 Agustus 2014 pukul 21.00 di UGD RSSA

Mata KananParameterMata Kiri

20/30 ph 20/25Visus20/20

OrthoforiaPosisi Bola MataOrthoforia

Tidak diperiksaGerakan BolaMataTidak diperiksa

Spasme (-), edema (+), silia terpotong (+)PalpebraSpasme (-), edema (-)

CI (+), PCI(+)KonjungtivaCI (-), PCI (-),

Defek epitel (+), FL test (+), Iskemik limbus (-), sisa lem (-)KorneaJernih

Dalam COADalam

Radline (+)IrisRadline (+)

round, 3mm, RP (+) Pupilround, 3mm, RP (+)

jernihLensaJernih

n/pTIOn/p

Pemeriksaan Laksmus (6 Agustus 2014)

Pemeriksaan visus, segment anterior,dan schiotz :Pemeriksaan tanggal 7 Agustus 2014 pukul 09.00di poli mata RSSA

Mata KananParameterMata Kiri

20/50 ph 20/25Visus20/20

OrthoforiaPosisi Bola MataOrthoforia

Tidak diperiksaGerakan BolaMataTidak diperiksa

Spasme (-), edema (-)PalpebraSpasme (-), edema (-)

CI (+), PCI(+)KonjungtivaCI (-), PCI (-),

Defek epitel (+), FL test (+), Iskemik limbus (-)KorneaJernih

Dalam COADalam

Radline (+)IrisRadline (+)

round, 3mm, RP (+) Pupilround, 3mm, RP (+)

jernihLensaJernih

n/pTIOn/p

Penampakan kedua mata pasien sebelum dilakukan irigasi ke -2 tanggal 7 Agustus 2014 Mata Kanan Mata KiriPemeriksaan Lakmus tanggal 7 Agustus 2014

Pemeriksaan Fluoresin tanggal 7 Agustus 2014

3.4.Diagnosis- OD trauma oculi khemis e.c lem alteco dengan komplikasi defek epithel kornea3.5 Rencana Diagnosa : -3.6 Rencana Terapi- Irigasi OD hari ke-2 dengan RL 2 liter/mata ampai pH normal- Tobroson ed 6x1 gtt OD- EDTA ed 4x1 gtt OD- Rephitel ed 6x1 gtt OD- Vitamin C 4x500 mg- kontrol tanggal 8 Agustus 2014KIE :Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, ppasien didiagnosa menderita trauma oculi khemis dengan penyebab lem dengan komplikasi adanya defek pada kornea mata kanan. Dimana pada kasus dengan trauma okuli khemis akibat cairan basa dapat terjadi nekrosis atau kematian sel dengan cara merusak protein dan jaringan lemak pada mata. Pada pasien direncanakan untuk dilakukan terapi irigasi/pencucian mata kanan, untuk menghilangkan penyebab (cairan basa), membersihkan mata dari sisa cairan basa khemis yang tertinggal, dan mencegah perburukan perjalanan penyakit. Pencucian dilakukan dengan cairan RL sebanyak 2 liter pada mata kanan, setelah sebelumnya diberi analgesik topical. Pasien akan dilakukan pencucian mata sebanyak 5x dalam 5 hari atau sampai pH mata normal. Selain itu pasien diberi terapi yang dilakukan di rumah berupa tetes mata Tobrososn, EDTA, dan Repithel. Juga terapi oral berupa vitamin C. Pasien diminta kontrol keesokan hari untuk melihat hasil terapi serta untuk melanjutkan pencucian mata. Komplikasi yang dapat terjadi pada kasus ini jika tidak ditangani secara cepat dan tepat adalah kerusakan kornea, infeksi, hingga hilangnya fungsi penglihatan.3.7 Rencana Monitoring : Subyektif Visus naturalis Respon terapi Efek samping terapi Lakmus Fluorescin test3.8 Follow Up (8 Agustus 2014)Subjektif : Keluhan membaik, nyeri (-), terasa mengganjal (+), pandangan kabur (+), nrocoh (+), mata merah (+)Objektif : Pemeriksaan visus, segment anterior, lakmus, dan fluoresin tes

Mata KananParameterMata Kiri

20/30 ph 20/20Visus20/20

OrthoforiaPosisi Bola MataOrthoforia

Tidak diperiksaGerakan BolaMataTidak diperiksa

Spasme (-), edema (-)PalpebraSpasme (-), edema (-)

CI (+), PCI(+)KonjungtivaCI (-), PCI (-),

Defek epitel (+), FL test (+) berkurang, Iskemik limbus (-)KorneaJernih

Dalam COADalam

Radline (+)IrisRadline (+)

round, 3mm, RP (+) Pupilround, 3mm, RP (+)

jernihLensajernih

n/pTIOn/p

Pemeriksaan Lakmus tanggal 8 Agustus 2014

Pemeriksaan Fluoresin tanggal 8 Agustus 2014

Diagnosis: OD trauma oculi chemise c lem Alteco hari ke 3 dengan komplikasi defek epitel kornea dengan perbaikanRencana Diagnosa: -Rencana Terapi:- Irigasi OD hari ke-3 dengan RL 2 liter/mata ampai pH normal- Tobroson ed 6x1 gtt OD- EDTA ed 4x1 gtt OD- Rephitel ed 6x1 gtt OD- Vitamin C 4x500 mg- kontrol tanggal 9 Agustus 2014Rencana Monitoring: Subyektif Visus naturalis Respon terapi Efek samping terapi Lakmus Fluorescin test

3.9 Follow Up (9 Agustus 2014)Subjektif : Keluhan membaik, nyeri (-), terasa mengganjal (+) berkurang, pandangan kabur (+) berkurang, nrocoh (-), mata merah (+) minimalObjektif : Pemeriksaan visus, segment anterior, dan fluoresin tes

Mata KananParameterMata Kiri

20/30 ph 20/20Visus20/20

OrthoforiaPosisi Bola MataOrthoforia

Tidak diperiksaGerakan BolaMataTidak diperiksa

Spasme (-), edema (-)PalpebraSpasme (-), edema (-)

CI (+), PCI(-)KonjungtivaCI (-), PCI (-),

Defek epitel (+), FL test (+) defek epitel minimal, Iskemik limbus (-)KorneaJernih

Dalam COADalam

Radline (+)IrisRadline (+)

round, 3mm, RP (+) Pupilround, 3mm, RP (+)

jernihLensajernih

n/pTIOn/p

Diagnosis: OD trauma oculi chemise c lem Alteco hari ke 4 dengan komplikasi defek epitel kornea dengan perbaikanRencana Diagnosa: -Rencana Terapi:- Irigasi OD hari ke-4 dengan RL 2 liter/mata ampai pH normal- Tobroson ed 6x1 gtt OD- EDTA ed 4x1 gtt OD- Rephitel ed 6x1 gtt OD- Vitamin C 4x500 mg- kontrol tanggal 9 Agustus 2014Rencana Monitoring: Subyektif Visus naturalis Respon terapi Efek samping terapi Lakmus Fluorescin test

BAB 4PEMBAHASAN

Trauma Khemis ec Lem Alteco dengan Komplikasi Defek Epitel KorneaPasien berobat ke poliklinik mata RSSA pada tanggal 7 Agustusri 2014. Setelah dilakukan anamnesis didapatkan bahwa pasien datang dengan keluhan utama mata kanan terkena lem pada tanggal 6 Agustus 2014, pukul 20.00. Pasien datang ke poliklinik untuk melanjutkan terapi irigasi. Sebelumnya pada tanggal 6 Agustus 2014 pukul 21.30 telah dilakukan irigasi I pada mata kanan pasien. Dari pemeriksaan visus dan segmen anterior yang telah dilakukan, kelainan yang ditemukan pada mata kiri didapatkan visus 20/200 dengan pinhole menjadi 20/100, adanya spasme pada palpebra, pada pupil RAPD (+), lensa keruh tidak merata, tekanan intraokuli 26 mmHg. Hal tersebut mendukung data yang diperoleh saat anamnesa yang berarti bahwa visus pasien menurun disertai adanya tanda kelainan refraksi, dimana pemeriksaan visus dengan pinhole terdapat kemajuan. Selain itu, pada pemeriksaan tonometri didapatkan adanya peningkatan tekanan intraokuli. Pada beberapa penelitian ditunjukkan bahwa tekanan intraokular di atas 21 mmHg menunjukkan peningkatan persentase defek lapangan pandang, dan kebanyakan ditemukan pada pasien dengan tekanan intraokuler berkisar 26-30 mmHg. Penderita dengan tekanan intraokuler diatas 28 mmHg 15 kali beresiko menderita defek lapangan pandang daripada penderita dengan tekanan intraokular berkisar 22 mmHg (Vaughan,2009). Pernyataan tersebut mendukung data dari anamnesa bahwa pasien juga mengeluhkan pandangannya yang mulai sempit. Dari pemeriksaan lebih lanjut dengan perimetri dapat disimpulkan bahwa pada pasien memang sudah terjadi defek lapangan pandang di mata kirinya. Dengan perimetri didapatkan hasil yang akurat, perimetri merupakan pemeriksaan penunjang yang digunakan untuk uji lapangan pandang masing-masing mata, yang bertujuan untuk melihat luasnya kerusakan syaraf mata. Hasil yang didapatkan dari perimetri lebih akurat dibandingkan dengan pemeriksaan lapangan pandang dengan uji konfrontasi. Uji lapangan pandang sangat penting untuk mendeteksi glaukoma sudut terbuka dan tertutup serta memantau penurunan visus. Setiap penderita yang diduga menderita glaukoma harus diperiksa secara periodik (Kanski, 2007).Pada pemeriksaan funduskopi didapatkan kelainan pada mata kiri berupa C/D ratio 0.5, adanya atrofi papil optik, nasalisasi, dan bayonet sign. Pada kondisi ini pasien telah mengalami kerusakan pada papil nervus optikus dimana sudah tampak cupping of the disc dengan cup disk ratio membesar (normal