kasbes pneumonia anak zsa2 baru
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Pneumonia adalah merupakan radang paru-paru yang disebabkan oleh bermacam-macam
etiologi, yaitu bakteri, virus, jamur dan benda asing. Berdasarkan anatomis dari struktur paru
yang terkena infeksi, pneumonia dibagi menjadi pneumonia lobaris, pneumonia lobularis
(bronkopneumonia), dan pneumonia intersitialis (bronkiolitis). Keadaan yang menyebabkan
turunnya daya tahan tubuh, yaitu aspirasi, penyakit menahun, gizi kurang/malnutrisi energi
protein (MEP), faktor iatrogenik seperti trauma pada paru, anestesia, pengobatan dengan
antibiotika yang tidak sempurna merupakan faktor yang mempengaruhi terjadinya
pneumonia.
Pneumonia hingga saat ini masih merupakan masalah kesehatan utama pada anak di
negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak
berusia di bawah 5 tahun (balita). Menurut survei kesehatan nasional (SKN) 2001, 27,6%
kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit sistem
respiratori, terutama pneumonia.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pneumonia pada anak di bawah lima tahun di
antaranya usia, jenis kelamin, status gizi, dan riwayat imunisasi. Disamping faktor-faktor
tersebut ada juga faktor ekstrinsik seperti tingkat pendidikan dan pekerjaan orang tua,
ventilasi, dan kebiasaan merokok di sekitar anak.
Berikut ini adalah sebuah laporan kasus pada seorang bayi laki - laki umur 4 tahun yang
berobat ke Puskesmas Welahan II.
1.2 Tujuan penulisan
Tujuan dari penulisan laporan ini adalah untuk mengetahui cara mendiagnosis dan
mengelola pasien dengan pneumonia sekaligus untuk mengevaluasi tindakan yang telah
diberikan dengan kepustakaan yang ada.
Tujuan umum
Untuk mengetahui penyakit pneumonia, cara mendiagnosis dan mengelola penderita
pneumonia sesuai kepustakaan yang ada.
Tujuan Khusus
1. Dokter muda mengetahui teori penyakit pneumonia sesuai kepustakaan yang ada
1
2. Dokter muda mampu melakukan autoanamnesa dan alloanamnesa kepada penderita
pneumonia
3. Dokter muda mampu melakukan pemeriksaan fisik dan mengerti pemeriksaan
penunjang untuk diagnosis pasti pneumonia
4. Dokter muda mampu melakukan pengelolaan secara komprehensif pada kasus ini.
1.3 Manfaat penulisan
Penulisan laporan kasus ini diharapkan dapat dijadikan media belajar bagi mahasiswa
agar dapat mendiagnosis dan mengelola pneumonia secara tepat.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. Berdasarkan tempat
terjadinya infeksi, dikenal dua bentuk pneumonia, yaitu : 1. Community acquired pneumonia,
bila infeksinya terjadi di lingkungan masyarakat dan 2. Pneumonia nosokomial, bila
infeksinya terdapat di rumah sakit.
Batasan pengertian dari Community acquired pneumonia (CAP) adalah suatu infeksi
akut pada parenkim paru yang diperoleh di luar rumah sakit. Diagnosa umumnya didapat
dari anamnesis dan bukti klinis dari suatu proses infeksi akut dengan ditemukan demam dan
tanda serta gejala distres respirasi atau dari bukti radiologi dengan suatu infiltrat yang akut.
Pneumonia nosokomial atau Hospital Acquired pneumonia (HAP) adalah suatu
infeksi akut pada parenkim paru yang didapat saat maupun setelah mendapat perawatan di
rumah sakit, untuk di Indonesia sendiri saat memakai batasan waktu, yaitu infeksi yang
didapat setelah ≥72 jam mendapat perawatan di rumah sakit.
2.2 Etiologi
Sampai saat ini etiologi pasti jarang teridentifikasi, bisa karena bakteri atau virus atau
keduanya. Bakteri patogen yang sering ditemukan adalah S pneumoniae, Moraxella
catharalis dan H influenzae, M pneumoniae, C pneumoniae, sedangkan dari virus adalah
RSV dan influenzae Adan B. Etiologi karena virus menurun dengan bertambahnya usia
sedangkan etiologi karena C pneumoniae dan M pneumoniae meningkat sesuai usia.
Streptococcus pneumoniae merupakan penyebab bakteri tersering menyebabkan pneumonia
pada semua kelompok umur. Virus paling sering mengenai anak usia kurang dari 5 tahun dan
Respiratory syncytial virus (RSV ) merupakan penyebab infeksi tersering pada anak usia di
bawah 3 tahun, sedangkan Adenovirus, Parainfluenzae dan Influenzae pada bayi.
Mycoplasma pneumoniae dan Clamydia pneumoniae merupakan penyebab CAP tersering
pada anak usia sekolah atau usia diatas 5 tahun namun jarang terjadi pada anak usia pra
sekolah.
Etiologi pneumonia dapat dibagi menjadi 2, yaitu yang penyebabnya bukan bakteri
(tabel) dan pneumonia karena bakteri. Agen yang nonbakteri terdiri dari 3 Mycoplasma spp, 1
Rickettsia spp, Chlamydia spp, 1 protozoan parasite dan yang terakhir 16 grup virus yang
berbeda. Pada tabel dapat dilihat agen utama dengan variasi umur, dengan frekuensi
3
kejadian, tipe derajat beratnya dan cara penyebaran ke paru. Sedangkan agen bakteri meliputi
S pneumoniae, H influenzae dan S aureus sebagai patogen yang berperan penting. Selain itu
agen yang lain adalah Streptococcus grup B, Streptococcus grup A, bakteri anaerob,
Legionella pneumophila, Neisseria meningitidis dan bakteri enterik gram negatif.
Age Group Common Pathogens (in Order of Frequency)
Newborn Group B Streptococci
Gram-negative bacilli
Listeria monocytogenes
Herpes Simplex
Cytomegalovirus
Rubella
1-3 months Chlamydia trachomatis
Respiratory Syncytial virus
Other respiratory viruses
3-12 months Respiratory Syncytial virus
Other respiratory viruses
Streptococcus pneumoniae
Haemophilus influenzae
Chlamydia trachomatis
Mycoplasma pneumoniae
Age Group Common Pathogens (in Order of Frequency)
2-5 years Respiratory Viruses
Streptococcus pneumoniae
Haemophilus influenzae
Mycoplasma pneumoniae
Chlamydia pneumoniae
5-18 years Mycoplasma pneumoniae
Streptococcus pneumoniae
Chlamydia pneumoniae
Haemophilus influenzae
4
Influenza viruses A and B
Adenoviruses
Other respiratory viruses
2.3 Epidemiologi Pneumonia
Pneumonia masih menjadi penyakit terbesar penyebab kematian anak dan juga
penyebab kematian pada banyak kaum lanjut usia di dunia. World Health organization
(WHO) tahun 2005 memperkirakan kematian balita akibat pneumonia di seluruh dunia
sekitar 19 persen atau berkisar 1,6 – 2,2 juta, di mana sekitar 70 persennya terjadi di negara-
negara berkembang, terutama Afrika dan Asia Tenggara.
Berdasarkan data WHO/UNICEF tahun 2006 dalam “Pneumonia: The Forgotten
Killer of Children”, Indonesia menduduki peringkat ke-6 dunia untuk kasus pneumonia pada
balita dengan jumlah penderita mencapai 6 juta jiwa. Diperkirakan sekitar separuh dari total
kasus kematian pada anak yang menderita pneumonia di dunia disebabkan oleh bakteri
pneumokokus.
Meskipun sudah dilakukan berbagai upaya untuk penanggulangan penumonia, tetapi
kasus pneumonia masih tetap tinggi. Menurut WHO, angka kematian bayi di atas 40 per 1000
kelahiran hidup (di Indonesia : 41 per 1000 kelahiran hidup), angka kematian balita di atas 15
per 1000 balita (di Indonesia : 81 per 1000 kelahiran hidup). Proporsi kematian balita akibat
pneumonia lebih dari 20 % (di Indonesia 30 %) angka kematian pneumonia balita di atas 4
per 1000 kelahiran hidup (di Indonesia diperkirakan masih di atas 4 per 1000 kelahiran
hidup). Menurut SKRT 2001 urutan penyakit menular penyebab kematian pada bayi adalah
pneumonia, diare, tetanus, ISPA sementara proporsi penyakit menular penyebab kematian
pada balita yaitu pneumonia (22,5%), diare (19,2%) infeksi saluran pernafasan akut (7,5%),
malaria (7%), serta campak (5,2%).
Angka kejadian pneumonia di Indonesia dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2006
mengalami penurunan. Kasus pneumonia pada tahun 2004 sebanyak 293.184 kasus dengan
kasus Angka Insiden (AI) 13,7; tahun 2005 sebanyak 193.689 kasus dengan AI 8,95;dan pada
tahun 2006 sebanyak 146.437 kasus dengan AI 6,7.
Di Propinsi Jawa Tengah, sebesar 80% - 90% dari seluruh kasus kematian ISPA
disebabkan pneumonia. Angka kejadian pneumonia balita di Jawa Tengah pada tahun 2004
sebanyak 424 dengan AI 0,13, tahun 2005 sebanyak 1.093 dengan AI 0,33, dan tahun 2006
5
sebanyak 3.624 dengan AI 11,0. Untuk data mengenai pelaporan penyakit ISPA pada anak
usia < 5 tahun di Puskesmas Welahan 2, dapat dilihat pada tabel di bawah.
No
DESA
PUSKESMAS PUSTU BIDAN DI DESA
BUKAN PNEMO
NIA
PNEMONIA
PNEMONIA
BERAT
BUKAN PNEMON
IA
PNEMONIA
PNEMONIA
BERAT
BUKAN PNEMON
IA
PNEMONIA
PNEMONIA
BERAT
<2BL
2BL-1TH
1-5TH
2BL-1TH
1-5TH
<2BL
2BL-1TH
1-5TH
<2BL
2BL-1TH
1-5TH
2BL-1TH
1-5TH
<2BL
2BL-1TH
1-5TH
<2BL
2BL-1TH
1-5TH
2BL-1TH
1-5TH
<2BL
2BL-1TH
1-5TH
1 UJUNGPANDAN
1 11121
- 1 - - - 1 63363
1 11 - - - - 3 6 - - - - -
2 KARANGANYAR
3 12 98 - 1 - - - - - 1 - - - - - 8 23177
- - - - -
3 GUWOSOBOKERTO
3108
487
- 14 - - - - - - - - - - - 4 9100
- - - - -
4 KEDUNGSARIMULYO
- 2 9 - - - - - - - - - - - - - 23 43264
- 7 - - -
5 BUGO - - 4 - - - - - - - - - - - - - 20 48202
- - - - -
6 KENDENGSIDIALIT
1 11112
- 2 - - - - - - - - - - - 4 44203
- 6 - - -
7 SIDIGEDE 6120
902
1 10 - - - - - - - - - - - 19 29321
1 2 - - -
2.4 Klasifikasi
Program Pemberantasan ISPA (P2 ISPA) mengklasifikasi ISPA sebagai berikut:
o Pneumonia berat: ditandai secara klinis oleh adanya tarikan dinding dada
kedalam (chest indrawing).
o Pneumonia: ditandai secara klinis oleh adanya napas cepat.
o Bukan pneumonia: ditandai secara klinis oleh batuk pilek, bisa disertai demam,
tanpa tarikan dinding dada kedalam, tanpa napas cepat. Rinofaringitis, faringitis
dan tonsilitis tergolong bukan pneumonia
Berdasarkan hasil pemeriksaan dapat dibuat suatu klasifikasi penyakit ISPA. Klasifikasi ini
dibedakan untuk golongan umur dibawah 2 bulan dan untuk golongan umur 2 bulan-5 tahun.
Untuk golongan umur <2 bulan ada 2 klasifikasi penyakit yaitu :
Pneumonia berada: diisolasi dari cacing tanah oleh Ruiz dan kuat dinding pada
bagian bawah atau napas cepat. Batas napas cepat untuk golongan umur kurang 2
bulan yaitu 60 kali per menit atau lebih.
• Bukan pneumonia: batuk pilek biasa, bila tidak ditemukan tanda tarikan kuat
dinding dada bagian bawah atau napas cepat.
Untuk golongan umur 2 bulan-5 tahun ada 3 klasifikasi penyakit yaitu :
6
• Pneumonia berat: bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan dinding dada
bagian bawah kedalam pada waktu anak menarik napas (pada saat diperiksa anak
harus dalam keadaan tenang tldak menangis atau meronta).
• Pneumonia: bila disertai napas cepat. Batas napas cepat ialah untuk usia 2 -12
bulan adalah 50 kali per menit atau lebih dan untuk usia 1-4 tahun adalah 40 kali
per menit atau lebih.
• Bukan pneumonia: batuk pilek biasa, bila tidak ditemukan tarikan dinding dada
bagian bawah dan tidak ada napas cepat.
2.5 Patogenesis
Pneumonia merupakan hasil dari inflamasi langsung pada jaringan paru. Dengan kata
lain pneumonia terjadi karena adanya inflamasi pada ruang alveolar dan menyebabkan
terganggunya pertukaran udara. Komplikasi infeksi lain yang sering terjadi yaitu bronkiolitis
atau laringotrakeobronkitis. Pneumonia juga terjadi melalui penyebaran hematogen atau
karena aspirasi. Pada umumnya inflamasi terjadi karena invasi dari bakteri, virus, atau jamur
tetapi dapat juga terjadi kerusakan akibat bahan kimia
Setelah agen virus yang menyebabkan pneumonia inokulasi pada saluran pernapasan
bagian atas akan mengalami proliferasi dan menyebar secara kontiniutatum dan mengenai
saluran pernapasan bagian bawah sampai ke bagian distal. Infeksi pada epitel menyebabkan
hilangnya epitel beserta silia dengan terjadi pelepasan dan penumpukan sisa-sisa jaringan
bersama mukus yang menetap serta terjadi akumulasi. Pada saat infeksi melanjut ke jalan
napas bagian terminal terjadi hilangnya integritas batas antara sel-sel alveolus dan membran
hialin sehingga dapat terjadi edema paru. Terjadi respon inflamasi pada tempat dimana terjadi
kerusakan jaringan yang mengakibatkan infiltrasi sel-sel mononuklear pada lapisan
submukosa dan jaringan interstisial yang lebih lanjut memberi kontribusi terjadi penyempitan
jalan napas dan menghambat pertukaran gas antara alveolus dan kapiler. Terjadi obstruksi
yang relatif dan menimbulkan hiperinflasi dan “air trapping”. Obstruksi yang komplit atau
“mekanisme penutupan katup” menyebabkan terjadi atelektasis. Lebih lanjut terjadi
ketidakseimbangan ventilasi-perfusi yang menimbulkan hipoksia.
Terdapat lima penemuan gambaran patologi utama pada penderita dengan infeksi
yang fatal yaitu bronkiolitis akut, bronkiolitis nekrotising, pneumonia interstisial, pneumonia
alveolus dan kerusakan alveolus yang difus. Karakteristik dari bronkiolitis akut yaitu adanya
kerusakan dari epitel bersilia yang superfisial dan reversibel disertai dengan infiltrasi dari sel
mononuklear. Bronkiolitis nekrotising meluas sampai ke dalam lapisan submukosa saluran
7
pernapasan dan mungkin tidak reversibel. Kondisi ini terutama dihubungkan dengan
pneumonia karena adenovirus. Pneumonia interstisial merupakan kelainan yang difus
dimana terjadi respon inflamasi dengan sel mononuklear yang dominan dan melibatkan
septum alveolus peribronkial. Pada pneumonia alveolus dimana alveolus terisi oleh lapisan
sel-sel yang degenerasi dan inflamasi dari sel-sel mononuklear atau polimorfonuklear dengan
atau tanpa membran hialin. Membran hialin terdiri dari endapan-endapan fibrin yang
dicetuskan oleh pelepasan lokal dari kompleks faktor-faktor VII jaringan seperti inhibitor
fibrinolisis. Ketika membran hialin terjadi, proses ini menggambarkan kerusakan alveolus
yang difus. Tanda histopatologi ini menunjukkan fase akut dari ARDS. Bronkiolitis akut dan
pneumonia interstisial adalah kasus fatal dari pneumonia nonbakteri yang tersering.
Pneumonia alveolus merupakan perwujudan dari superinfeksi bakteri, ARDS atau perubahan-
perubahan yang dihubungkan dengan pemakaian ventilator dan toksisitas oksigen. Tiga
faktor penting yang berpengaruh terhadap gambaran patologi pada pneumonia nonbakteri
pada anak adalah anatomi, penyakit paru yang ada dan imunitas. Pada bayi yang lebih muda
dengan kemampuan jalan napas yang kecil serta tidak ada hubungan antara ruang-ruang
alveolus memberi kontribusi terjadi wheezing dan atelektasis lobaris. Penyakit paru yang ada
seperti displasia bronkopulmonari adalah karakteristik dari emfisema, metaplasia skuamosa
dari cabang bronkus, hipertropi dari sel-sela goblet dan meningkatnya reaktivitas dari otot
polos. Ketidakmampuan untuk membersihkan sekret yang terjadi akibat infeksi pada pasien
dengan displasia bronkopulmonari sering terjadi bronkospasme, atelektasis dan gagal napas.
Gambaran imunopatologi karena infeksi dengan RSV dan M pneumoniae berbeda antara
bayi dan anak yang lebih tua. Terjadi interaksi antara virus RSV dengan sel-sel epitel serta
IgE spesifik dan selanjutnya terjadi pelepasan histamin yang yang diyakinkan sebagai suatu
mekanisme bronkospasme pada penyakit virus. Akumulasi dari imun setelah infeksi yang
berulang oleh M pneumoniae gambaran klinis penyakitnya lebih nyata pada anak yang lebih
tua dan orang dewasa. Sel mediated immunity spesifik dapat dideteksi dengan kadar yang
rendah pada anak yang lebih muda namun meningkat pada dewasa serta mungkin memberi
kontribusi untuk patogenesisnya. Berbagai variasi yang unik dari infeksi pneumonia karena
virus meliputi pneumonia giant sel (leukemia atau infeksi HIV dengan superinfeksi campak),
pneumonia interstisial limfoid atau hiperplasia limfoid paru (HIV dengan infeksi EBV).
Pada umumnya pneumonia karena bakteri terjadi kolonisasi pada nasofaring akibat
aspirasi atau inhalasi dari organisma tersebut. Paru mempunyai mekanisme perlindungan
terhadap bakteri dengan mekanisme yang bervariasi meliputi filtrasi partikel-partikel di
hidung, pencegahan terhadap aspirasi sekret yang terinfeksi oleh refleks epiglotis,
8
pengeluaran bahan-bahan yang teraspirasi dengan refleks batuk, pengeluaran organisma oleh
sekresi mukus dan sel-sel bersilia, memakan dan membunuh bakteri oleh makrofag alveolus,
netralisasi bakteri oleh komponen imun lokal yang spesifik dan nonspesifik (contohnya
komplemen, opsonin dan antibodi) dan partikel-partikel yang di transport dari paru melalui
aliran limfe. Infeksi pada paru mungkin terjadi apabila satu atau lebih barier ini berubah,
terhambat atau rusak. Penyebaran hematogen terjadi dengan cara emboli infeksi yang berasal
dari fokal infeksi yang supuratif seperti abses pada kulit atau jaringan lunak yang disebabkan
oleh S aureus yang kejadiannya jarang. Pneumonia karena S pneumoniae dimulai dengan
inflamasi akut dan hiperemis pada mukosa saluran pernapasan bawah, terjadi eksudasi dari
cairan edema, penumpukan fibrin dan infiltrasi dari lekosit PMN pada alveolus (hepatisasi
merah ), dikuti oleh dengan penumpukan fibrin yang dominan dan aktivitas dari makrofag
(hepatisasi kelabu). Eksudat pada alveolus dicerna secara enzimatik dan diabsorbsi atau
dikeluarkan oleh reflek batuk. Terjadinya resolusi dengan kembalinya morfologi dan fisiologi
ka arah normal pada paru. Berbeda dengan pneumonia yang disebabkan oleh S.aureus dan
C.pneumonia dimana frekuensi terjadinya kerusakan struktur jaringan oleh abses yang
multipel sedikit.
Ada 4 stadium dari pneumonia lobaris. Pada stadium kongestif terjadi dalam 24 jam
pertama paru terdapat konsistensi yang nyata dan karakteristik secara mikroskopik
didapatkan vaskuler yang kongestif serta edema pada alveolar. Terdapat beberapa bakteri dan
sedikit netrofil. Pada stadium hepatisasi merah terjadi pada hari kedua dan ketiga. Dinamakan
hepatisasi merah karena konsistensinya mirip dengan hepar dengan ciri-ciri adanya beberpa
eritrosit, netrofil serta deskuamasi dari sel epitel dan fibrin di dalam alveolar. Pada stadium
hepatisasi kelabu terjadi pada hari kedua dan ketiga setelah hepatisasi merah dimana paru
warna coklat keabuan menjadi kuning karena eksudat yang fibrinopurulen, kerusakan
eritrosit dan hemosiderin. Stadium akhir adalah stadium resolusi dengan ciri-ciri terjadinya
resorpsi dan perubahan dari struktur paru. Inflamasi dengan adanya fibrin mungkin meluas
dan melewati ruang pleura menyebabkan terdengar suara rub pada auskultasi dan mungkin
berperan dalam proses resolusi atau organisasi serta perlekatan dari pleura.
Bronkopneumonia merupakan bagian dari konsolidasi satu atau lebih dari lobus paru.,
biasanya melibatkan zona paru yang berkaitan, bisa karena suatu aspirasi yang berasal dari
orofaring. Eksudat netrofil terdapat di tengah bronkus dan bronkiolus dengan penyebaran dari
tengah ke tepi dan berdekatan dengan alveolus.
Pada pneumonia interstisial inflamasi yang sebagian atau yang difus melibatkan
interstisial dengan karakteristik adanya infiltrasi dari limfosit, makrofag, dan sel-sel plasma.
9
Alveolus tidak mengandung eksudat yang bermakna, tetapi membran hialin kaya protein
mirip dengan yang ditemukan pada ARDS mungkin berbatasan dengan ruang alveolar.
Superinfeksi karena bakteri pada pneumonia karena virus dapat juga menghasilkan
peradangan pada sebagian interstisial dan ruang alveolus.
Pneumonia miliaris menggunakan suatu batasan yang bervariasi dengan ciri-ciri lesi
yang dihasilkan dari penyebaran patogen ke paru melalui sirkulasi darah. Derajat
imunokompromais berhubungan dengan lesi dari tuberkulosis miliaris, histoplasmosis dan
kokidioidomikosis mungkin bermanifestasi sebagai granuloma dengan nekrosis kaseosa
dengan fokus nekrosis. Infeksi miliar bisa karena herpes virus, sitomegalovirus atau infeksi
karena virus varisela zoster. Pada pasien dengan imunokompromais berat menghasilkan
sejumlah lesi perdarahan nekrosis akut. Faktor-faktor yang mempermudah atau menurunkan
pertahanan lokal (misalnya pemasangan ET, sindrom gangguan motilitas silia) sebagai
predisposisi untuk terjadi pneumonia pada anak. Agen penyebab mungkin banyak terdapat di
paru karena penyebaran hematogen atau secara langsung lewat inhalasi. Apapun penyebab
yang mendasar peranan respon inflamasi penting untuk meningkatkan aktivitas netrofil dan
melepaskan mediator inflamasi ke jaringan. Proses ini akhirnya menimbulkan perembesan
plasma dan enzim-enzim oksidasi kedalam jaringan. Akibatnya hilangnya aktifitas surfaktan
dengan terjadi kolaps dan konsolidasi.
Pada anak, agen penyebab, usia anak dan penyakit mendasar semuanya menampakkan
gambaran dari penyakitnya.
Defek pada anatomi, fisiologi dan imunologi merupakan faktor predisposisi terjadinya
infeksi pada saluran pernapasan bawah. Defek ini meliputi anomali kongenital (seperti
palatoschizis, fistula trakeoesofageal atau sekuestrasi dari paru), defek pada fungsi imun yang
didapat atau kongenital, aspirasi (seperti anak dengan disautonomia yang familial, pasien
koma, anak dengan pemberian makanan lewat NGT, setelah kejang, selama anastesi) dan
perubahan dari kwalitas sekret mukus (seperti pasien dengan fibrosis kistik). Variasi dari tipe
infeksi pada paru mungkin berkembang pada anak yang mendapat terapi dengan obat-obat
sitostatika dan imunosupresif karena penyakit keganasan atau penyakit pembuluh darah
kolagen atau pada orang yang mendapat transplantasi organ. Pasien dengan defisiensi imun
mungkin berkembang menjadi pneumonia yang disebabkan oleh bakteri aerob dan anaerob
gram negatif, Staphylococcus, Legionella spp, Nocardia, berbagai macam jamur (meliputi
Aspergillus dan Candida spp serta Pneumocystis carinii) dan virus seperti sitomegalovirus.
Beberapa pasien yang mengalami penekanan respon imun terjadi reaktivasi dari infeksi yang
laten.
10
Bayi yang baru lahir menderita pneumonia yang didapat dari berbagai rute yang
meliputi infeksi transplasenta, aspirasi dari organisma yang terjadi saat lahir melalui jalan
lahir serta postnatal selama perawatan atau di rumah yang berasal dari sumber penularan atau
kontaminasi dari peralatan atau bahan-bahan.
2.6 Faktor Risiko
Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian pneumonia terbagi atas dua
kelompok besar yaitu faktor instrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor instrinsik meliputi umur,
jenis kelamin, status gizi, berat badan lahir rendah, status imunisasi, pemberian ASI, dan
pemberian vitamin A. Faktor ekstrinsik meliputi kepadatan tempat tinggal, polusi udara, tipe
rumah, ventilasi, kelembaban, letak dapur, jenis bahan bakar, penggunaan obat nyamuk, asap
rokok, penghasilan keluarga serta faktor ibu baik pendidikan, umur ibu, maupun pengetahuan
ibu. Salah satu sumber media penularan penyakit pneumonia adalah kondisi fisik rumah serta
lingkungannya yang merupakan tempat hunian dan langsung berinteraksi dengan
penghuninya.
a. Faktor ekstrinsik
Ventilasi Rumah
Ventilasi adalah proses penyediaan udara segar dan pengeluaran udara kotor secara
alamiah atau mekanis. Fungsi ventilasi adalah untuk menjaga agar aliran udara di
dalam rumah tetap segar, sehingga keseimbangan oksigen yang diperlukan tetap
terjaga. Disamping itu, juga berfungsi sebagai lubang masuknya cahaya alam atau
matahari ke dalam ruangan. Kurangnya udara segar yang masuk ke dalam ruangan
dan kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan pening katan risiko kejadian ISPA.
Kurangnya oksigen dan meningkatnya kadar karbondioksida di dalam rumah yang
bersifat racun bagi penghuninya, karena akan menghambat afinitas oksigen terhadap
hemoglobin darah. Selain itu ventilasi yang buruk menyebabkan aliran udara tidak
lancar, sehingga bakteri patogen sulit untuk keluar karena tidak ada aliran udara yang
cukup untuk membawa bakteri keluar rumah.
Kepadatan Hunian
Standar luas ruang tidur menurut Kepmenkes RI nomor 829 tahun 1999 adalah
minimal 8 m2, tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang tidur dalam satu ruang
tidur, kecuali anak di bawah umur 5 tahun. Kepadatan hunian yang berlebihan
memudahkan penularan penyakit infeksi pernapasan, tuberkulosis, meningitis, dan
parasit usus dari satu orang ke yang lain.
11
Pencemaran udara dalam rumah
Pencemaran udara dalam rumah biasanya berasal dari asap dapur, asap rokok, dan
asap obat nyamuk bakar. Ketiga bahan pencemar udara tersebut bila berada dalam
rumah menjadi faktor risiko terhadap infeksi pneumonia pada balita. Asap rokok dan
debu dapat menyebabakan iritasi mukosa saluran pernafasan sehingga merusak sistem
mekanisme pertahanan di saluran pernafasan, akibatnya bakteri mudah masuk ke
dalam saluran nafas dan anak akan mudah terkena ISPA berulang. Pembakaran
minyak tanah, kayu bakar dan asap kendaraan bermotor disamping akan
menghasilkan zat pollutan dalam bentuk debu (partikel) juga menghasilkan zat
pencemar kimia berupa karbondioksida, karbonmonoksida, oksida sulfur, oksida
nitrogen dan hydrocarbon yang berbahaya bagi kesehatan karena zat-zat tersebut
menyebabkan reaksi peradangan pada saluran pernafasan dan bisa menyebabkan
produksi lender meningkat yang dapat menurunkan mekanisme pertahanan di saluran
pernafasan.
Lingkungan tumbuh
Lingkungan tumbuh balita yang mempengaruhi terhadap terjadinya pneumonia adalah
kondisi sirkulasi udara di sekitar rumah dan lingkungan perumahan yang padat.
Pendidikan Ibu Anak Balita
Tingkat pendidikan ibu yang rendah diduga sebagai salah satu faktor risiko yang
dapat meningkatkan angka kematian akibat penyakit pneumonia pada anak Balita.
Dengan semakin tingginya pendidikan seorang ibu diharapkan akan lebih mudah
menerima pesan kesehatan dan cara pencegahan penyakit.
Pengetahuan Ibu Anak Balita
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan
seseorang.
Pendapatan Keluarga
Pendapatan merupakan salah satu wujud dari sumber daya, merupakan faktor yang
mempengaruhi perilaku, khususnya yang berhubungan dengan kesehatan.
Kondisi sosial ekonomi orangtua
Kemampuan orantua dalam menyediakan lingkungan tumbuh yang sehat pada balita
sangat mempengaruhi terhadap terjadinya pneumonia
Kebersihan rumah
Kebersihan rumah adalah salah satu faktor yang berpengaruh terhadap penghuninya,
khususnya pada anak balita.
12
b. Faktor Intrinsik
Umur Anak Balita
Kejadian pneumonia erat kaitannya dengan umur, risiko untuk terkena pneumonia
pada anak yang lebih muda lebih besar dibandingkan dengan anak yang lebih tua
umurnya.
Jenis Kelamin Anak Balita
Penyakit pneumonia dapat terjadi pada setiap orang dengan tidak memandang ras,
agama, suku, jenis kelamin dan status sosial. Namun insiden terjadi ISPA
(pneumonia) pada anak balita berdasarkan jenis kelamin disebutkan banyak terjadi
pada anak perempuan,
Status gizi bayi
Status gizi adalah ukuran keberhasilan dalam pemenuhan nutrisi untuk anak yang
diindikasikan oleh berat badan dan tinggi badan anak. Status gzi juga didefinisikan
sebagai status kesehatan yang dihasilkan oleh keseimbangan antara kebutuhan dan
masukan nutrien.
Riwayat persalinan
Riwayat persalinan yang mempengaruhi terjadinya pneumonia adalah ketuban pecah
dini dan persalinan preterm.
Konsumsi ASI
ASI merupakan sumber kalori dan protein yang sangat penting bagi anak khususnya
anak dibawah usia 1 tahun serta melindungi bayi terhadap infeksi karena ASI
mengandung antibodi yang penting dalam meningkatkan kekebalan tubuh. Bayi yang
diberi susu botol atau susu formula rata-rata mengalami dua kali lebih banyak
serangan pneumonia dibanding bayi yang mendapatkan ASI. Jumlah konsumsi ASI
saat bayi akan sangat mempengaruhi imunitas anak. Bayi yang diberi ASI secara
eksklusif akan memiliki daya tahan tubuh yang lebih baik dibandingkan dengan bayi
yang tidak diberi ASI secara eksklusif. Nilai gizi ASI yang lebih tinggi dan adanya
antibodi, sel-sel leukosit serta enzim dan hormone melindungi bayi terhadap berbagai
infeksi.
2.7 Gambaran Klinis dan Diagnosis
Manifestasi klinis ISPA dapat berupa batuk, kesulitan bernafas, sakit tenggorokan, pilek,
demam dan sakit telinga.
Menurut berat ringanya, ISPA dibagi menjadi 3 golongan,yaitu:
13
1. ISPA Ringan, dengan gejala yaitu:
Batuk
Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suaranya, misalnya
pada waktu berbicara atau menangis
Pilek, yaitu mengeluarkan lendir dari hidung
Demam, yaitu suhu badan anak lebih dari 37ºC
2. ISPA Sedang yaitu jika dijumpai gejala-gejala seperti ISPA ringan dan disertai dengan
gejala:
Pernafasan lebih dari 50x/menit (anak umur kurang dari 1 tahun) dan lebih dari
40x/menit (anak umur lebih dari 1 tahun)
Suhu lebih dari 39ºC
Tenggorokan berwarna merah
Timbul bercak-bercak campak
Telinga sakit atau mnegeluarkan nanah dari lubang telinga
Pernafasan berbunyi/ wheezing
3. ISPA Berat yaitu jika seorang anak dijumpai gejala-gejala seperti ISPA ringan atau
sedang ditambah dengan gejala sebagai berikut:
Bibir atau kulit membiru
Pernafasan cuping hidung
Anak tidak sadar atau kesadarannya menurun
Bunyi nafas gargling, atau snorring
Dijumpai adanya terraksi otot-otot bantu pernafasan, seperti intercostal,
sternal,suprasternal
Nadi cepat dan lemah >160x/menit (anak umur < 1 tahun)
Tenggorokan berwarna merah
Diagnosis klinis ditegakkan dengan adanya batuk, sesak napas atau ronki dan distres
respirasi, namun penelitian menunjukkan bahwa prediktor terbaik adalah takipnu. Pada balita
takipnu dan retraksi adalah indikator pneumonia. Penatalaksanaan pneumonia pada balita
menurut WHO menggunakan kedua indikator ini pada fasilitas primer agar dapat digunakan
oleh semua tenaga kesehatan.
Usia Respiratory RateIndication of severe
infection
< 2 bulan > 60 >70
14
2 -12 bulan > 50
12 bulan-5 tahun > 40>50
>5 tahun > 20
Secara praktis penyebab pneumonia dapat diduga bedasarkan data klinik dan
epidemiologi, penemuan dari foto polos dada dan dari tes labaratorium seperti darah lengkap,
jumlah sedimen eritrosit dan kadar dari protein C reaktif. Meskipun hal ini sulit untuk
menentukan etiologinya karena pendekatannya secara nonmikrobiologi dimana etiologi
sebagai gold standar tidak diketahui. Ada beberapa usaha untuk menghubungkan kondisi
nonmikrobiologi dengan penyebab mikrobiologi. Misalnya perbedaan antara pneumonia
karena tipikal (contohnya bakteri) dan atipikal pneumonia (virus atau mikoplasma) yang
mungkin berguna pada kasus remaja dan dewasa namun pada bayi dan anak pra sekolah tidak
ditemukan. Dalam suatu studi, pneumonia karena bakteri dan virus dihubungkan dengan
insiden konjungtivitis (27% dibandingkan 8 %) dan otitis media ( 42% dibanding dengan
22%). Dalam dua studi, wheezing ditemukan lebih sering pada pasien dengan pneumonia
karena viral daripada karena pneumonia bakteri (43% dengan 16% dan 56% dengan 16%).
Foto polos dada pembacaannya secara subyektif tidak dapat digunakan untuk membedakan
antara penyakit bakteri dan virus.
Ada beberapa pemeriksaan laboratorium terutama yang berguna dalam mengevaluasi
anak dengan pneumonia. Beberapa organisma penyebab mungkin diidentifikasi dari kultur
atau dengan teknik antibodi immunoflurosensi, namun dalam prakteknya terlalu mahal dan
butuh waktu untuk pemeriksaan rutin. Tes ini jarang tersedia dan jarang digunakan pada
keadaan emergensi. Pada pemeriksaan darah lengkap dengan kasus pneumonia
pneumococcus, jumlah lekosit meningkat secara dramatis, namun tes ini tidak spesifik dan
digunakan dalam manajemen pasien rawat jalan. Namun dianjurkan bahwa lekosit dapat
digunakan sebagai pedoman untuk tes pada bayi atau anak yang demam dengan jumlah
kenaikan lekosit yang bermakna dan tidak ada sumber infeksi lain. Ada beberapa penyokong
yang didapatkan dari foto polos dada dengan pemeriksaan fisik normal. Pemeriksaan darah
lengkap perlu dipertimbangkan pada anak yang sakit berat dengan imunokompromais.
Kultur darah jarang positif pada anak dengan pneumonia. Kultur darah hanya
diperoleh pada pasien yang sakit berat, imunokompromais atau mempunyai gejala-gejala
yang menetap. Kultur sputum dan tes antibodi imunofluerosensi dilakukan pada kasus pasien-
pasien yang sakit berat.
15
Pengecatan gram dilakukan pada anak yang lebih tua dan remaja yang sudah
kooperatif dengan batuk yang produktif. Pengecatan sputum dan kultur mungkin diperoleh.
Syarat dari kegunaan spesimen ini harus mengandung 10 sel-sel epitel dan lekosit lebih dari
25 per lapangan pandang besar.
Tes antibodi cepat tersedia untuk RSV, virus influenzae tipe 1, 2 dan 3, virus
influenzae A dan B serta adenovirus. Test antibodi ini dapat membantu menentukan
penyebab dari pneumonia karena virus. Spesimen yang diambil dari nasofaring untuk kultur
dan tes antibodi assay kurang bermanfaat karena akan dikacaukan dengan bakteri komensal
nasofaring. Tes antigen antibodi assay untuk infeksi karena pneumokokus kurang sensitif
dalam membantu diagnosis infeksi karena S pneumonia. Lebih lanjut, deteksi kompleks imun
pneumokokus mungkin membantu menentukan penyebab pada anak usia di atas 2 tahun.
Tes serologi untuk IgM atau suatu peningkatan dari titer IgG menunjukkan infeksi
oleh spesies Mycoplasma dan Chlamydia. Kultur Mycoplasma dan Chlamydia tidak rutin
direkomendasikan. Tes PCR tidak mudah diperoleh dan hasil positif tidak menyatakan secara
langsung penyebabnya. Pemeriksaan darah lengkap dan hitung jenis, kadar protein C reaktif
serta jumlah sedimen eritrosit tidak membedakan infeksi bakteri dari virus serta tidak
dilakukan secara rutin.
Saturasi oksigen juga diperiksa dengan pulse oximetry pada anak dengan distres
respirasi, takipnu yang bermakna atau pucat.
Selama beberapa tahun kriteria standar untuk tes diagnosis dari pneumonia adalah
dengan gambaran foto polos dada. Namun foto polos dada merupakan gambaran secara
subyektif dimana tidak dapat di bedakan antara infeksi karena virus dan bakteri. Gambaran
radiologi tidak menggambarkan secara pasti dalam membedakan antara dua kelas etiologi
utama.
Pada infeksi virus ada 4 penemuan radiologi yang dideteksi yaitu infiltrat parahiler
peribronkial, hiperekpansi, atelektasis lobar atau segmental dan pelebaran limfonodi hilus.
Meskipun penemuan radiologi tidak spesifik untuk C pneumonia suatu kombinasi dari
klinik dan radiologi menunjukkan diagnosis sebelum ada hasil laboratorium. Dalam studi
dari 125 kasus dengan C pneumoniae, Radkowski dan kawan kawan menunjukkan bahwa
gambaran foto dada menampakkan hiperekspansi yang bilateral dan infiltrat yang difus
dengan pola radiologi yang bervariasi termasuk infiltrat, nodul retikuler, atelektasis,
campuran dan bronkopneumonia. Efusi pleura dan konsolidasi lobaris tidak terlihat.
Foto polos dada tidak membedakan agen penyebab infeksi pneumonia. Konsolidasi
lobaris yang klasik dihubungkan dengan infeksi pneumococcus serta infiltrat interstisial
16
dihubungkan dengan pneumonia karena virus. Namun kedua kondisi ini baik konsolidasi
lobaris maupun infiltrat pneumonia telah diidentifikasi pada semua tipe infeksi karena virus
saja, infeksi bakteri saja dan pada infeksi campuran. Foto polos dada tidak rutin anak dengan
infeksi saluran pernapasan bawah ringan tanpa komplikasi. Indikasi untuk foto polos dada
adalah pada penemuan klinis yang meragukan, pneumonia yang lama, pneumonia yang tidak
berespon terhadap terapi antibiotika serta kemungkinan komplikasi seperti efusi pleura.
Ada beberapa tes yang dilakukan seperti tes aglutinin dingin dan tes aglutinasi urin
latex.
1. Tes aglutinin dingin.
Pada anak yang muda atau anak sekolah dengan pneumonia, terutama pasien dengan
onset gejala yang bertahap dan gejala prodormal yang terdiri dari nyeri kepala, gejala-gejala
abdomen, tes aglutinin dingin mungkin membantu konfirmasi untuk kecurigaan klinik ke
arah infeksi mycoplasma. Tes ini sangat mudah dengan menyediakan satu tempat dengan
sedikit darah dalam suatu pipa spesimen yang mengandung antikoagulan dan masukkan ke
dalam suatu cangkir yang berisi air es. Sesudah beberapa menit di dalam air es pipa diangkat
ke tempat terang dan sedikit dimiringkan serta secara perlahan diputar. Adanya lapisan
gumpalan kecil eritrosit pada pipa merupakan indikasi bahwa tes ini positif. Sayangnya tes ini
hasilnya hanya positif pada separuh kasus dari infeksi mycoplasma dan mungkin beberapa
infeksi yang lain serta kondisi-kondisi yang menyebabkan tes aglutinin dingin positif. 1
2. tes aglutinasi urin latex
Tes ini mungkin membantu untuk mengidentifikasi organisma yang sesuai. Namun
demikian teknologi saat ini tidak memberikan semua strain agen infeksi yang umum untuk
diidentifikasi. Tes ini sangat jarang tersedia saat penanganan akut pada anak dengan
pneumonia.
Thorakosintesis dilakukan pada anak dengan efusi pleura yang diidentifikasi melalui
foto polos dada. Tes ini merupakan tindakan untuk diagnosis dan terapi yang dapat
membantu mengidentifikasi sumber infeksi dan dapat mengurangi distres respirasi.
Pengambilan cairan dari kavum pleura akan dikirim untuk dilakukan pengecatan gram dan
kultur bersamaan tes rutin yang lain. Jika thorasintesis terdapat suatu empiema maka
diperlukan tindakan thoracostomi.
17
2.9 Pengelolaan
Pengelolaan pasien meliputi:
1. Perawatan sebelum di rumah sakit
a.Perawatan anak di luar rumah sakit dengan pneumonia terbatas pada bantuan
respirasi.
b.Pengukuran saturasi dengan pulse oksimetri untuk evaluasi pemberian oksigen
pada anak selama di luar rumah sakit
c.Anak yang mengalami distres respirasi akan dilakukan pemasangan intubasi.
2. Perawatan di bagian Unit gawat darurat
18
a. Mengidentifikasi dan mengelola anak dengan distres respirasi, hipoksemi, dan
hiperkarbi. Merintih, napas cuping hidung, takipnu berat dan distres respirasi
merupakan indikasi untuk segera memberikan bantuan pernapasan.
b. Mayoritas anak yang didiagnosa dengan pneumonia di unit gawat darurat
diterapi sebagai pasien rawat jalan dengan antibiotika oral.
- Konfirmasi dengan foto polos dada mungkin dilakukan pada pasien ini
namun tidak terlalu berguna.
- Antibiotika yang sesuai diberikan pada anak dengan panas tinggi dan ada
penemuan klinik yang mengarah kuat ke penyakit pneumococcal
meliputi amoksisilin, penisilin dan kombinasi eritromisin dan
sulfisoxazole. Antibiotika alternatif lain yang dapat diberikan adalah
azithromycin dan clarithromycin. Anak yang lain mendapat eritromisin
dosis tunggal atau kombinasi dengan sulfisoxazole atau mendapat
azithromycin dan clarithromycin.
c. Untuk infeksi karena pneumonia virus yaitu RSV terutama pada bayi dengan
penyakit dasar pada paru dan infeksinya berat dapat diberikan Ribavirin
aerosol. Obat ini tidak mungkin diberikan di unit gawat darurat karena
ditakutkan petugas kesehatan terpapar terhadap obat ini. Oleh karena itu pasien
harus dirawat di ruang isolasi. Antibodi spesifik terhadap RSV saat ini tersedia
dan diberikan pada anak dengan risiko tinggi. Herpes virus pada bayi
umumnya disebabkan karena agen herpes simpleks dan pada anak yang lebih
tua terjadi pneumonia akibat komplikasi dengan infeksi varisela. Asiklovir
tersedia untuk mengobati pneumonia ini. Pneumonia karena influenzae A
terutama yang berat atau yang terjadi pada risiko tinggi diterapi dengan
amantadine. Hanya sedikit data untuk anti influensa lain (contohnya
oseltamivir) pada pneumonia influenzae.
d. Anak yang terkena toksin mendapat resusitasi dan bantuan napas. Hasil foto
polos dada akan menunjukkan suatu efusi atau empiema. Terapi antibiotika
meliputi vancomisin (terutama digunakan pada daerah dimana streptokokus
resisten terhadap penisilin) dan sefalosporin. Sefuroksim merupakan pilihan
yang baik karena aktivitasnya terhadap agen streptokokus
Perawatan pasien rawat jalan lebih lanjut.
- Kebanyakan anak dengan pneumonia tanpa komplikasi mengalami
pemulihan tanpa sequele.
19
- Pada anak yang kelihatan baik namun memiliki gejala-gejala kronik atau
berulang, tes lebih lanjut diperlukan. Tes lebih lanjut meliputi tes kulit untuk
mengidentifikasi patogen karena jamur dan tuberkulosis, tes keringat untuk
mengidentifikasi kistik fibrosis, titer terhadap organisma jarang dan
bronkoskopi.
- Beberapa hal yang perlu dikerjakan seorang ibu untuk mengatasi anaknya
yang menderita ISPA, antara lain:
Mengatasi panas (demam)
Untuk anak usia 2 bulan - 5 tahun demam diatasi dengan memberikan
parasetamol atau dengan kompres, bayi <2 bulan dengan demam
harus segera dirujuk. Parasetamol diberikan 4 kali tiap 6 jam untuk
waktu 2 hari. Cara pemberiannya, tablet dibagi sesuai dengan
dosisnya, kemudian digerus dan diminumkan. Memberikan kompres,
dengan menggunakan kain bersih, celupkan pada air (tidak perlu air
es).
Mengatasi batuk
Dianjurkan memberi obat batuk yang aman yaitu ramuan tradisional
yaitu jeruk nipis ½ sendok teh dicampur dengan kecap atau madu ½
sendok teh , diberikan tiga kali sehari.
Pemberian makanan
Berikan makanan yang cukup gizi, sedikit-sedikit tetapi berulang-
ulang yaitu lebih sering dari biasanya, lebih-lebih jika muntah.
Pemberian ASI pada bayi yang menyusu tetap diteruskan.
Pemberian minuman
Usahakan pemberian cairan (air putih, air buah dan sebagainya) lebih
banyak dari biasanya. Ini akan membantu mengencerkan dahak,
kekurangan cairan akan menambah parah sakit yang diderita.
Lain-lain
Tidak dianjurkan mengenakan pakaian atau selimut yang terlalu tebal
dan rapat, lebih-lebih pada anak dengan demam. Jika pilek, bersihkan
hidung yang berguna untuk mempercepat kesembuhan dan
menghindari komplikasi yang lebih parah. Usahakan lingkungan
tempat tinggal yang sehat yaitu yang berventilasi cukup dan tidak
berasap. Apabila selama perawatan dirumah keadaan anak memburuk
20
maka dianjurkan untuk membawa kedokter atau petugas kesehatan.
Untuk penderita yang mendapat obat antibiotik, selain tindakan diatas
usahakan agar obat yang diperoleh tersebut diberikan dengan benar
selama 5 hari penuh. Dan untuk penderita yang mendapatkan
antibiotik, usahakan agar setelah 2 hari anak dibawa kembali
kepetugas kesehatan untuk pemeriksaan ulang
Pengobatan pada pasien rawat inap dan rawat jalan
Awal pengobatan pasien rawat jalan pada anak dengan pneumonia
tergantung penemuan klinik dan usia pasien.
Anak yang dicurigai menderita penyakit pneumonia awalnya akan diobati
dengan amoksisilin atau penisilin.
eritromisin dengan dosis tunggal atau kombinasi dengan sulfisoxazole
atau sefalosporin oral merupakan obat alternatif.
Untuk anak yang lain terutama anak usia sekolah, eritromisin dosis
tunggal atau kombinasi dengan sulfixosazole dapat diberikan. Agen
makrolid lain dapat diberikan sebagai alternatif seperti eritromisin.
Anak yang mendapat perawatan akan mendapat pengobatan dengan
sefuroksim atau sefalosporin lain yang broad spektrum.
Vancomisin diberikan pada pasien dengan pneumonia karena toksik pada
pasien yang resisten penisilin dari pneumokokus yang diisolasi.
Asiklovir diindikasikan untuk pengobatan pneumonia yang disebabkan
oleh herpes virus.
Pasien rujukan
Bayi atau anak yang dirawat karena pneumonia mungkin dirujuk karena
mereka membutuhkan perawatan pada unit penyakit kritis atau karena rumah
sakit asal penderita dirawat tidak mempunyai fasilitas untuk perawatan anak.
Rujukan dipertimbangkan bila penderita pneumonia mengalami komplikasi
ke penyakit kronis. Pasien ditransfer dengan tujuan pasien mendapat
perawatan lanjut dengan subspesialis anak.
Unit yang merujuk pasien akan merasa nyaman bila pasien rujukannya
dengan pneumonia yang mengalami gangguan respirasi, mendapat dukungan
respirasi pada unit yang dirujuk.
Sasaran dari farmakoterapi adalah untuk menghilangkan infeksi, menurunkan
kesakitan dan mencegah komplikasi.
21
Saat ini berbagai macam antibiotika baru telah dipasarkan di Indonesia. Sebagian
telah mendapat rekomendasi untuk anak. Antibiotika tersebut umumnya sangat selektif untuk
bakteri tertentu dan harganyapun masih mahal, sehingga dalam penentuan penggunaannya
kita harus sangat rasional. Termasuk dalam kelompok antibiotika baru ini Cephalosporin,
Macrolide, Carbapenem, dan Quinolon. Antibiotika Beta Lactam cukup banyak dan sudah
lama dikenal antara lain golongan penisilin, cephalosporin, carbapenem dan monobactam.
Pengobatan didasarkan atas umur anak keadaan klinik serta faktor-faktor
epidemiologi. Terapi antibiotika mulai diberikan sesuai pada anak dengan CAP karena
bakteri. Karena informasi definitif tentang organisma penyebab biasanya tidak diketahui
maka pilihan antibiotika berdasarkan terapi empiris.
Pemberian antibiotika atau lama terapi selama 7-10 hari pada pasien CAP tanpa
komplikasi. Meskipun tidak ada studi yang mengontrol lama pemberian antibiotika yang
optimal. Evaluasi pada pasien rawat jalan dilakukan 24-72 jam setelah terdiagnosis. Evaluasi
ulang penting pada anak yang gejalanya tidak hilang atau berlanjut atau panas 48 jam setelah
diagnosis.
Pada anak dengan gejala asimtomatik dengan pemeriksaan fisik yang normal setelah
terapi tidak perlu evaluasi dengan foto polos dada. Foto polos dada ulang dan CT scan
direkomendasikan pada pasien dengan sakit lama dan terjadi komplikasi seperti empiema.7
Pneumokokus resisten penisilin terjadi pada terapi CAP. Terdapat bukti yang
mengindikasikan bahwa pada pasien rawat inap terapi intravena dengan penisilin atau
sefalosporin lebih efektif melawan pneumokokus resisten penisilin. Antibiotika oral β laktam
tepat sebagai pilihan pertama terapi pada pasien rawat jalan dengan CAP.
Dari kepustakaan yang lain mengemukakan mengenai pemberian beberapa
antimikroba sesuai empiris terapi antara lain kotrimoksazol dengan dosis 40mgkg/hari
(sulfamethoksazol)+8mg/kg/hati (trimethroprim) dibagi dalam 2 dosis, amoksisilin dengan
dosis 40 mg/kgbb/ hari dibagi 3 dosis PO ( BB 5 kg : 62,5 mg; 5-10 kg :125 mg; > 10kg :
250 mg), Penisilin VK PO dengan dosis 40 mg/kg/hari dibagi 3 dosis, Cefuroxime dengan
dosis untuk tablet : 250 mg tiap 12 jam dan IV : 150-200 mg/kg/hari dibagi 3 dosis atau tiap 8
jam, Cefpodoxime dengan dosis 10 mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis, Cefprozil dosis 30
mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis, Ceftriaxone dengan dosis 50-75 mg/kgbb/hari secara IV atau IM
sehari sekali, Cefotaxime dengan dosis < 50kg : 100-200 mg/kgbb/hari secara IV atau IM tiap
6-8 jam pemberian dan > 50kg : sesuai dosis dewasa ( 1-2 gram IV/IM tiap 6-8 jam maksimal
12 gram/hari), EritromisinS (EES, Eryc, E-Mycin) dosis untuk neonatus 50 mg/kgbb/hari
(base) PO dibagi 4 dosis selama 14 hari atau 30-50 mg/kgbb/hari (base dan etilsuksinat) PO
22
tiap 6-8 jam, Eritromisin dan Sulfisoxazole dimana untuk anak < 2 bulan tidak
direkomendasi dan untuk anak >2 bulan 50 mg/kgbb/hari dibagi 3 atau 4 dosis,
Clarithromycin dosis 15 mg/kgbb/hari tiap 12 jam, Azithromycin dengan dosis hari ke 1 :10
mg/kgbb PO sekali, tidak boleh lebih dari 500 mg/hari dan hari ke 2 sampai 5 : 5 mg/kgbb
PO dibagi 4 dosis tidak boleh lebih dari 250 mg/hari. Untuk anti virus sebagai inhibitor
sintesis DNA dan replikasi virus. Acyclovir dosis 10 mg/kgbb/dosis secara IV tiap 8 jam,
Ribavirin dengan dosis 2 gram aerosol diatas 2 jam 3 kali selama 3 hari dengan menggunakan
generator aerosol partikel kecil Viratex.
Pencegahan dengan vaksin yang dikeluarkan mungkin mencegah dengan tepat tipe-
tipe pneumonia. Vaksin pneumonia akan diberikan secara rutin untuk anak dengan penyakit
kronik, terutama yang asplenik atau lien yang tidak berfungsi. Ini tidak rutin diberikan pada
anak. Namun suatu vaksin pneumonia baru telah berkembang dan akan diberikan pada bayi
sebagai bagian dari jadwal imunisasi rutin pada masa anak. Vaksin influenzae umumnya
diberikan hanya pada anak dengan sakit kronik. Vaksin H influenzae tipe B diberikan dengan
baik pada anak dan telah menurunkan insiden infeksi yang disebabkan oleh organisma ini.
Vaksin varisela mempunyai pengaruh kuat yang mendadak pada insiden varisela. Suatu
injeksi imunoglobulin spesifik dari RSV memegang peranan untuk mencegah infeksi berat
karena RSV dengan tepat pada anak.
Imunisasi pada masa anak-anak telah membantu mencegah pneumonia pada anak.
Pneumonia diketahui merupakan komplikasi dari rubela, varisela dan pertusis. Kejadian
pneumonia dari penyakit ini jarang terjadi karena imunisasi rutin yang diberikan pada masa
anak-anak. Pneumonia karena H influenzae tipe B juga jarang terjadi karena pemberian rutin
vaksin Hib.
Pada anak dengan pneumonia, penentuan rawat inap diputuskan apabila terdapat:
Penderita tampak toksik
Umur kurang dari 6 bulan
Distress pernapasan berat
Hipoksemia
Dehidrasi atau muntah
Terdapat efusi pleura atau abses paru
Kondisi imunokompromised
Ketidakmampuan orangtua untuk merawat
Didapatkan penyakit penyerta lain, misalnya penyakit jantung bawaan
Pasien membutuhkan pemberian antibiotika secara parenteral
23
2.10 Komplikasi
1. Komplikasi intra pulmoner : Cor pulmonal sub akutum, abses paru, emfiema,
atelektasis, pneumotoraks, bronkiektasis.
2. Komplikasi ekstra pulmoner : otitis media akut, perikarditis, syok septik, peritonitis,
artritis, dan endokarditis.
Cor pulmonal sub akutum (CPSA) adalah hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan tanpa
atau dengan gagal jantung kanan akibat penyakit yang menyerang struktur atau fungsi
paru-paru atau pembuluh darahnya. CPSA ditandai dengan frekuensi nafas > 60 x/menit,
denyut jantung > 160 x/menit disertai dengan hepatomegali dengan tepi tumpul.
2.11 Prognosis
Prognosis pada penderita pneumonia adalah baik. Pada pasien yang mendapat
penanganan sesuai protokol pneumonia outcomenya baik. Beberapa kasus dengan pneumonia
karena virus membaik tanpa pengobatan. Umumnya bakteri patogen dan organisma yang
atipikal respon terhadap terapi antimikroba. Prognosis pneumonia karena varisela sedikit
berisiko. Pneumonia karena staphylococcus meskipun jarang dapat sangat berat dan
walaupun diobati. Anak dengan imunokompromais dengan penyakit dasar paru serta
neonatus berisiko tinggi terjadi sekuele berat. Beberapa pneumonia karena virus, terutama
penyakit adenovirus, kecenderungan menyebabkan bronkiolitis obliteran dan sindroma paru
yang hiperlusen
Edukasi yang diberikan pada orang tua agar berhati-hati dalam melihat tanda-tanda
distres respirasi dan mencari pertolongan medis segera bila ditemukan tanda tersebut.
Kebanyakan anak diterapi dengan antibiotika untuk rawat jalan dan akan membaik setelah 48
jam terapi. Jika tidak ada perbaikan harus dipikirkan untuk terapi lebih lanjut. Pada pasien
dengan pendidikan yang tinggi dapat melihat di website.emedicine pneumoni senter, dapat
juga melihat juga pada artikel lain di bakterial pneumonia dan viral pneumonia.
2.12 Faktor-faktor yang mempengaruhi ketuntasan dalam penangangan penyakit
pneumonia balita
2.12.1 Faktor Predisposing (Faktor Permudah)
Faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi
dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai
24
yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya. Hal ini
dapat dijelaskan sebagai berikut: untuk berperilaku kesehatan, misalnya dalam pencegahan
penyakit pneumonia diperlukan pengetahuan dan kesadaran ibu tentang penyakit pneumonia.
Di samping itu, kepercayaan dari tradisi dapat menghambat ibu untuk memeriksakan anak ke
sarana kesehatan. Karena faktor-faktor ini terutama yang positif mempermudah terwujudnya
perilaku maka sering disebut faktor pemudah.
a) Pendidikan
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang pendidikan, pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan kesehatan yang didasarkan kepada pengetahuan dan kesadaran melalui
proses pembelajaran diharapkan akan berlangsung lama (long lasting) dan menetap,
karena didasari oleh kesadaran. Memang kelemahan dari pendekatan pendidikan
kesehatan ini adalah hasilnya lama, karena perubahan perilaku melalui proses
pembelajaran pada umumnya memerlukan waktu yang lama (Notoatmodjo, 2005).
Menurut Notoatmodjo (2003), orang dengan pendidikan formal yang lebih tinggi akan
mempunyai pengetahuan yang lebih tinggi dibanding orang dengan tingkat
pendidikan formal yang lebih rendah, karena akan lebih mampu dan mudah
memahami arti dan pentingnya kesehatan serta pemanfaatan pelayanan kesehatan.
Menurut Feldstein dalam Nainggolan (2008), bahwa tingkat pendidikan dipercaya
memengaruhi permintaan akan pelayanan kesehatan. Pendidikan yang tinggi akan
memungkinkan seseorang untuk mengetahui dan mengenal gejala-gejala awal.
Kunjungan ke dokter yang rendah adalah sebagai akibat rendahnya pendidikan dan sikap
yang masa bodoh terhadap pelayanan kesehatan.
b) Pekerjaan
Pekerjaan adalah suatu kegiatan/aktivitas yang dilakukan seseorang untuk
memperoleh imbalan guna memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Anderson
dalam Notoatmodjo (2003), menyatakan bahwa struktur sosial yang salah satu
diantaranya adalah pekerjaan menentukan dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan.
c) Penghasilan Keluarga
Masyarakat berpenghasilan rendah mempunyai suatu prevalensi sakit, kelemahan,
kronitas penyakit dan keterbatasan kegiatan karena masalah kesehatan. Ditambah
25
pula bahwa mereka lebih sukar mencapai pelayanan kesehatan, dan bila dapat
mencapainya akan memperoleh mutu pelayanan kesehatan yang lebih rendah
dibanding dengan lapisan masyarakat menengah atas (Zulikfan, 2004).
Tingkat penghasilan merupakan penghasilan yang diperoleh bapak dan ibu yang
digunakan untuk kehidupan sehari-hari, sehingga semakin besar jumlah pendapatannya,
maka taraf kehidupan akan semakin baik. Status sosial ekonomi dianggap sebagai salah
satu faktor risiko penting untuk pneumonia, karena penderita pneumonia pada balita
banyak ditemukan pada kelompok keluarga dengan sosial ekonomi rendah (Kartasasmita,
1993).
d) Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2003), pengertahuan adalah apa yang diketahui oleh seseorang
tentang sesuatu hal yang didapat secara formal maupun informal. Pengetahuan adalah
merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan
terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia,
yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar
pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
Pengetahuan terdiri dari 6 (enam) tingkatan, yaitu:
Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat sesuatu yang telah dipelajari sebelumnya,
termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah kembali (recall) terhadap suatu
yang spesifik dari seluruh badan yang dipelajari atau rangsangan yang telah
diterima.
Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu untuk menjelaskan secara benar tentang objek
yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang
yang telah paham terhadap objek atau materi dan dapat menjelaskan,
menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan terhadap objek yang
dipelajari.
Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya. Aplikasi disini dapat
diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan buku-buku, rumus, metode, prinsip
dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
26
Analisa (Analysis)
Analisa adalah suatu kemampuan untuk menjelaskan materi atau objek analisa
komponen-komponen tetapi di dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan
masih ada kaitannya satu sama lain.
Sintesa (Synthesis)
Sintesa menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu keseluruhan yang baru atau
kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang telah ada.
Evaluasi (Evaluation)
Kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi
atau objek.
2.12.2 Faktor Enabling (Faktor Pendukung)
Faktor ini mencakup ketersediaan sarana/fasilitas bagi masyarakat misalnya
puskesmas, rumah sakit, polindes, dokter atau bidan swasta, dan lain-lain. Fasilitas ini pada
hakikatnya mendukung terwujudnya perilaku kesehatan maka disebut juga faktor pendukung.
a) Ketersediaan sarana kesehatan
Menurut Notoatmodjo (2007), meskipun kesadaran dan pengetahuan masyarakat
tinggi tentang kesehatan, namun fasilitas kesehatan yang tidak mendukung maka
tindakan tentang kesehatan tidak akan terwujud. Oleh karena itu pengetahuan dan
kesadaran yang tinggi harus diikuti dengan ketersediaan sarana kesehatan yang baik
sehingga terwujud perilaku hidup sehat.
b) Jarak ke sarana kesehatan
Rochman (1994) menyatakan bahwa keterjangkauan/jarak merupakan salah satu
faktor yang memengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan.
2.12.3 Faktor Reinforcing (Faktor Penguat)
Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku petugas kesehatan. Untuk
berperilaku sehat, masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu pengetahuan yang positif
dan dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan perilaku contoh/acuan yang diberikan oleh
petugas kesehatan, keluarga, maupun tokoh panutan dalam masyarakat. Faktor ini disebut
juga sebagai faktor penguat.
Dukungan Tokoh Panutan
27
Tokoh panutan (Reference Group) adalah sekelompok social yang menjadi acuan bagi
seseorang untuk membentuk pribadi dan perilakunya (Soekanto, 2007). Tokoh panutan
merupakan faktor social yang sangat penting dalam suatu proses adopsi atau perubahan.
Perilaku orang lebih banyak dipengaruhi oleh orang-orang yang dianggap penting. Apabila
seseorang penting bagi seseorang individu, maka apa yang dia katakana atau perbuatannya
cenderung untuk dicontoh oleh individu tersebut. Demikian halnya dalam keinginan
seseorang untuk meminum obat secara teratur, keberadaan tokoh panutan akan sangat
menentukan dalam pengambilan keputusan. Apabila seorang tokoh panutan mendukung atau
ikut berpartisipasi dalam mengontrol pengobatan kusta, maka orang-orang yang
mengangapnya sebagai panutan akan cenderung untuk mengikutinya dan demikian juga
sebaliknya.
Berhasil atau tidak suatau program pemerintah khususnya program pengobatan kusta tidak
cukup hanya dengan tersedianya obat dan logistic lainnya, tetapi juga diperlukan petugas
kesehatan yang berdedikasi, dukungan lintas program dan lintas sektoral serta yang tidak
kalah pentingnya adalah dukungan atau peran serta masyarakart agar tujuan program
pengobatan kusta tercapai sesuai dengan yang diharapkan maka dukungan dari berbagai
pihak di wilayah Puskesmas sangat dibutuhkan baik dari tokoh masyarakat, tokoh agama,
guru, LSM, serta kelompok-kelompok khususnya lainnya yang berada di wilayah tersebut.
Notoatmodjo (2007) menyebutkan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap perilaku
kesehatan selain adanya dukungan dari keluarga juga adanya dukungan dari tokoh
masyarakat di sekitarnya.
Dukungan dari Petugas Kesehatan.
Menurut Nur (2004) kerjasama dan penyuluhan dari petugas kesehatan sangat
diperlukan sebagai contoh/acuan dalam melakukan tindakan kesehatan. Peran petugas
kesehatan mempunyai pengaruh terhadap perilaku ibu dalam kaitannya dengan pencegahan
penyakit pneumonia.
Menurut Sarfino dalam Smet (1994), dukungan petugas kesehatan merupakan
dukungan sosial dalam bentuk dukungan informatif, di mana perasaan subjek bahwa
lingkungan memberikan keterangan yang cukup jelas mengenai hal-hal yang diketahui.
Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam kesehatan serta memiliki
pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis
tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan (Kepmenkes RI, 2005).
28
Dari uraian di atas, disimpulkan bahwa dukungan petugas kesehatan adalah dukungan yang
diberikan oleh petugas kesehatan dalam melakukan upaya kesehatan baik itu berupa
penyuluhan, saran dan tindakan petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan kepada ibu.
Dukungan keluarga
Keluarga merupakan sebagai lembaga sosial yang mempunyai fungsi tradisional
keluarga seperti fungsi sosial ekonomi, karena sebagian hasil kerja yang dilakukan di dalam
atau di luar rumah dikelola dalam keluarga, yang ditunjukkan dengan adanya pembentukan
kerabat, keturunan dan hubungan sosial melalui keluarga dan fungsi proses pendidikan
termasuk di dalamnya penanaman nilai dan ideologi kepada anggota keluarga, oleh karena itu
penangan yang baik terhadap persoalan keluarga akan memberikan kontribusi yang positif
bagi upaya kesehatan para anggotanya (Notosoedirdjo&Latipun, 2005). Orang-orang yang
mendapat perhatian dan penghiburan maupun pertolongan dari keluarganya cenderung lebih
mudah mengikuti nasehat medis, karenanya peranan keluarga sangat besar bagi penderita
dalam mendukung perilaku atau tindakan dalam memamfaatkan pelayanan kesehatan.
Menurut hasil penelitian Rachmalina dan Sunanti (2004) di Kabupaten Bangkalan peran
anggota keluarga membantu penderita kusta teratur minum obat.
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Penderita
Nama : An. RA
Jenis kelamin : Laki - laki
Umur /Tanggal lahir : 4 tahun/ 7 Maret 2008
Pendidikan : TK Kecil
Alamat : Sidigede RT/RW 004/001, Welahan
Identitas Orang Tua
29
Nama ayah : Tn. NK
Umur : 32 tahun
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Sidigede RT/RW 004/001, Welahan
Nama ibu : Ny. PM
Umur : 20 tahun
Pendidikan : MTS
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Sidigede RT/RW 004/001, Welahan
3.2 Data Dasar
Anamnesis (Alloanamnesis)
Anamnesis diperoleh dari orangtua pasien.
a. Keluhan Utama :sesak nafas
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
1 minggu penderita batuk, hilang timbul, terutama pada malam hari, disertai
pilek, ingus putih kental, sesak (-), panas nglemeng (+), keringat malam hari (-),
menggigil (-), muntah (-). Penderita dibawa berobat ke bidan, oleh bidan diberi
obat puyer namun tidak ada perubahan.
3 hari batuk semakin berat dan semakin sering, disertai panas tinggi, terus
menerus, menggigil (-), muntah (-), batuk ngekel, sesak (-), rewel, mencret (+), 5
kali/ hari, @ 2-3 sendok makan, warna kuning, cair, ampas (+), darah (-), lendir (-),
nyemprot (-), bau asam (-), mata cekung (-). Oleh ibu penderita diberi obat dari
bidan namun tidak membaik.
1 hari batuk semakin berat, ngekel, anak tampak sesak, sesak dirasakan
terus menerus, tidak dipengaruhi oleh aktivitas, mengi (-), biru – biru (-), bengkak-
bengkak(-). Mencret sudah berhenti, anak rewel, masih mau minum sedikit–
sedikit, kencing seperti biasa, warna kuning jernih, jumlah cukup. Kemudian
penderita dibawa ke Puskesmas Welahan 2.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Anak sudah pernah sakit seperti ini (sering kambuh-kambuhan sejak usia 1 tahun)
Penyakit yang sering diderita batuk, pilek
30
Riwayat panas nglemeng, nafsu makan menurun dan keringat dingin malam hari
serta riwayat berat badan tidak naik disangkal
Riwayat kontak dengan penderita batuk lama atau batuk disertai darah disangkal
Riwayat sesak nafas jika udara dingin, terkena debu dan bulu hewan disangkal
Riwayat alergi terhadap makanan dan obat-obatan disangkal
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang sakit seperti ini
Riwayat asma pada anggota keluarga tidak ada
Riwayat anggota keluarga dan tetangga yang menderita batuk lama dan
disertai darah disangkal
Pohon keluarga
Keterangan :
: Penderita
e. Riwayat Penyakit yang Pernah Diderita
Morbili : belum pernah
Pertusis : belum pernah
Varisela : belum pernah
Difteri : belum pernah
Malaria : belum pernah
Tetanus : belum pernah
Fraktur : belum pernah
Pneumoni : belum pernah
Bronkhitis : belum pernah
Kejang : belum pernah
Diare : (-)
Disentri basiler : belum pernah
Disentri amoeba : belum pernah
Demam tifoid : belum pernah
Cacingan : belum pernah
Operasi : belum pernah
Tuberkulosis : belum pernah
Alergi obat/makanan : belum pernah
Demam berdarah : belum pernah
Hepatitis :belum pernah
31
Pilek dan batuk: (+)
f. Riwayat Perinatal
Saat mengandung penderita, ibu periksa kehamilan di bidan lebih 4x, dan disuntik TT
1 x. Riwayat penyakit selama kehamilan disangkal, riwayat perdarahan saat kehamilan
disangkal. Riwayat pernah keguguran disangkal, riwayat sakit panas selama
kehamilan disangkal. Obat-obatan yang diminum selama kehamilan yaitu vitamin dan
tablet penambah darah dari bidan.
g. Riwayat persalinan dan kehamilan
Anak laki - laki lahir dari ibu berusia 20 tahun, hamil aterm (9 bulan), lahir secara
spontan ditolong oleh bidan, bayi langsung menangis, tidak ada biru-biru, tidak ada
cacat lahir, berat lahir 2800 gram, panjang badan dan lingkar kepala saat lahir ibu lupa.
No Kelahiran dan Persalinan Umur Meninggal Penyebab meninggal
1 Laki-laki, aterm, spontan, di bidan, 2800 gram
4 tahun
h. Riwayat Pemeliharaan Postnatal
Setelah lahir, anak di periksakan di balai kesehatan desa dan bidan, dinyatakan sehat
i. Riwayat Imunisasi :
- BCG : 1 kali, (1 bulan, scar (+))
- DPT : 3 kali, ( 2, 4, 6 bulan )
- Polio : 4 kali, ( 0, 2, 4, 6 bulan)
- Hep. B : 3 kali, ( 1, 4, 6 bulan )
- Campak : 1 kali, ( 9 bulan )
Kesan : imunisasi dasar lengkap sesuai umur
j. Riwayat Perkembangan dan Pertumbuhan Anak
Pertumbuhan
32
Berat badan lahir 2800 gram, panjang badan lahir ibu lupa, berat badan bulan lalu kg,
berat badan sekarang 13,5 kg, tinggi badan sekarang 101 cm. Usia saat ini 4 tahun.
Berdasarkan status antropometri WHO anthro, sebagai berikut:
WHZ score
WAZ score
33
HAZ score
Kesan : Gizi baik dan perawakan normal
Perkembangan
Senyum : 2 bulan
Miring : 3 bulan
Tengkurap : 4 bulan
Duduk : 5 bulan
Gigi keluar : 7 bulan
Merangkak : 9 bulan
Berdiri : 11 bulan
Berjalan : 13 bulan
Kesan: Perkembangan sesuai umur
34
k. Riwayat Makan dan Minum anak
a. ASI : diberikan sejak lahir hingga anak usia 2 tahun
b. Susu formula : 2 tahun – sekarang kadang diberikan susu formula,
@120cc, 4 sendok takar, kadang tidak habis
c. Makanan sapihan :
Usia 4 bulan : anak diberikan bubur instan, 2 X @ 2-3 sendok teh, kadang habis
Usia 8 bulan : nasi uleg 3x sehari, @ ½ mangkok, kadang habis (tahu, tempe.
sayur)
Usia 12 bulan – sekarang : makanan padat seperti orang dewasa, 1 piring kecil,
(tahu, tempe, sayur, ikan)
Kesan: ASI tidak exclusive, penyapihan dini (+)
Kualitas kurang, kuantitas cukup
l. Riwayat Keluarga Berencana
Ibu pasien memakai KB suntik. Sikap terhadap KB yang dipilih adalah yakin dan percaya.
m. Riwayat Sosial Ekonomi
Kedua orangtua pasien bekerja sebagai wiraswasta. Penghasilan sebulan ± Rp 900.000,-.
Tanggungan satu anak belum mandiri. Biaya pengobatan ditanggung Jamkesmas.
Kriteria Sosial Ekonomi menurut BPS (Badan Pusat Statistik)
1. Jumlah anggota keluarga (3) (skor : 0)
2. Luas lantai bangunan :
a. < 8 m2 per kapita
b. > 8 m2 per kapita (skor : 0)
3. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terluas :
a. Bambu/ rumbia/ kayu berkualitas rendah/ tembok tanpa diplester
b. Semen/ keramik/ kayu berkualitas tinggi (skor : 0)
4. Jenis dinding bangunan tempat tinggal terluas :
a. Bambu/ rumbia/ kayu berkualitas rendah
b. Tembok/ kayu berkualitas tinggi (skor : 0)
5. Fasilitas untuk buang air besar :
a. Bersama/ umum/ lainnya
b. Sendiri (skor : 1)
6. Sumber air minum :
a. Sumur atau mata air tak terlindungi/ sungai/ air hujan
35
b. Air kemasan/ledeng/pompa/sumur atau mata air terlindungi (skor : 0)
7. Sumber penerangan utama :
a. Bukan listrik
b. Listrik (PLN/non PLN) (skor : 1)
8. Jenis bahan bakar untuk memasak sehari-hari :
a. Kayu/ arang/ minyak tanah
b. Gas/ listrik (skor : 0)
9. Berapa kali dalam seminggu rumah tangga membeli daging/ susu/ ayam :
a. Tidak pernah membeli/ satu kali (skor : 0)
b. Dua kali atau lebih
10. Berapa kali sehari biasanya rumah tangga makan :
a. Satu kali/ dua kali (skor : 1)
b. Tiga kali atau lebih
11. Berapa stel pakaian baru dalam setahun biasanya dibeli oleh/ untuk setiap/ sebagian besar
anggota keluarga :
a. Tidak pernah membeli/ satu kali (skor : 0)
b. Lebih dari satu kali
12. Apabila ada anggota keluarga yang sakit apakah mampu berobat ke Puskesmas atau
Poliklinik :
a. Ya (skor : 1)
b. Tidak
13. Lapangan pekerjaan utama kepala rumah tangga :
a. Tidak bekerja/ pertanian padi/ palawija
b. Perkebunan/ peternakan/ perikanan/ industri/ perdagangan/ angkutan/ jasa lainnya
(skor : 1)
14. Pendidikan tertinggi yang ditamatkan kepala keluarga :
a. SD/ MI ke bawah/ SLTP
b. SLTA ke atas (skor : 0)
15. Apakah keluarga memiliki barang-barang berikut yang masing-masing bernilai paling sedikit
Rp 500.000,- :
a. Tidak ada
b. Tabungan/emas/TV berwarna/ternak/sepeda motor (skor : 1)
16. Apakah rumah tangga pernah menerima kredit UKM/KUKM setahun lalu?
a. Tidak
b. Ya (skor: 0)
Jumlah skor : 6
36
Kriteria BPS: Jumlah skor <10 = miskin, jumlah skor ≥ 10 = tidak miskin. Keluarga ini
termasuk dalam keluarga tidak miskin menurut kriteria BPS.
Kesimpulan : Keluarga miskin menurut BPS.
3.3 Pemeriksaan Fisik
Dilakukan pada tanggal 8 September 2012 pukul 12.00 WIB. Laki - laki, 4 tahun, BB:
13,5 kg, TB: 101 cm
Kesan Umum : Sadar, kurang aktif, napas spontan (+)
Tanda vital
HR : 115 x / menit, nadi : reguler, isi dan tegangan cukup
RR : 32x / menit
Suhu : 37,2°C (Aksiler)
Status Internus
Turgor : kembali cepat
Tonus : normotonus
Rambut : hitam, tidak mudah dicabut
Kulit : ikterik (-), sianosis (-), anemi (-)
Edema : -
Serebral : kejang (-)
Kepala : Mesocephal
Mata : konjungtiva palpebra anemis (-), pupil isokor Ǿ 3mm/3mm, refleks
kornea, bulu mata, dan cahaya normal
Telinga : discharge (-).
Hidung : nafas cuping (-), discharge (+)
Mulut : mukosa kering (-), bibir sianosis (-)
Gigi geligi : karies (-)
Leher : pembesaran kelenjar limfe leher (-)
Tenggorok : T1-1 hiperemis (-), faring hiperemis (-)
Dada : Simetris statis dinamis, retraksisuprasternal (-)
Pulmo :
Inspeksi : simetris statis dinamis, retraksisuprasternal (-), interkostal (-),
barrel chest (-), pectus carinatum/excavatus (-)
Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor seluruh lapangan paru
37
Auskultasi : Suara dasar : vesikuler
Suara Tambahan : Ronkhi basah halus +/+;
Hantaran +/+
RBH (+)
Hantaran (+)
Jantung :
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba sela iga ke IV 2 cm sebelah medial
linea medioclavikula sinistra, tidak kuat angkat,
tidak melebar.
Perkusi : Konfigurasi jantung dalam batas normal
Auskultasi : BJ I-II murni, M1>M2, A1<A2, P1<P2, Bising (-), Gallop(-).
Abdomen :
Inspeksi : datar, lemas, bising usus (+) N
Palpasi : supel,hepar tak teraba, lien tak teraba
Perkusi : pekak sisi (+) normal, pekak alih (-)
Auskultas: bising usus (+) normal.
Ekstremitas
superior inferior
Sianosis - / - - / -
Akral dingin - / - -/ -
Capillary refill <2” <2”
Pucat -/- -/-
Tonus +N/+N +N/+N
Klonus -/-
Kekuatan otot 5/5/5 5/5/5
Kelenjar getah bening : Tidak terdapat pembesaran kelenjar limfe di leher, aksila maupun
inguinal
Genital : Laki - laki, phimosis (-)
38
Pemeriksaan Penunjang
SKOR TB
NO SKOR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Kontak TB
Uji tuberkulin
Berat badan / gizi
Demam yang tidak diketahui penyebabnya
Batuk kronik
Pembesaran KGB colli, axilla, inguinal
Pembengkakan sendi / tulang, panggul, falang
Foto thorax
0
-
0
0
0
0
0
-
TOTAL
3.3 Diagnosis Kerja
- Diagnosa Utama : Pneumonia
- Diagnosa Comorbid : -
- Diagnosa Komplikasi : -
- Diagnosa Pertumbuhan : Berat Badan Normal, Perawakan Normal
- Diagnosa Gizi : Gizi baik
- Diagnosa Perkembangan : Perkembangan sesuai umur
- Diagnosa Imunisasi : Imunisasi dasar lengkap, sesuai umur
- Diagnosa Sosial-Ekonomi : Sosial ekonomi kurang
3.4 Penatalaksanaan
Medikamentosa:
Rx : - Kotrimoksazol syrup 2x10ml
- Paracetamol syrup 3x 7,5ml
- vitamin B kompleks 3 x ½ tablet
- vitamin C 3 x ½ tablet
Mx : Evaluasi keadaan umum, tanda distress respirasi, jaga jalan napas,
follow up respon terhadap pengobatan
Ex :
o Menjelaskan kepada orangtua mengenai penyakit yang diderita dan
pengenalan tanda-tanda bahaya dari penyakit pneumonia yang diderita anak
39
o Menjelaskan kepada orangtua mengenai perlunya menjaga status gizi dan
asupan nutrisi agar dapat meningkatkan status imunitas penderita
o Menjelaskan kepada orangtua mengenai faktor resiko terjadinya pneumonia,
dan menganjurkan untuk menghindari faktor resiko tersebut
o Menjelaskan pada orang tua agar selalu menjaga kebersihan lingkungan rumah
dan membiasakan membuka jendela rumah pada siang hari untuk sirkulasi
o Memotivasi orang tua agar membawa anak untuk kontrol ke bidan maupun
puskesmas guna memantau kemajuan anak.
3.5 HASIL KUNJUNGAN RUMAH
Kunjungan rumah tanggal 8 September 2012
Keadaan Rumah
Status : Rumah milik kakek-nenek penderita, penghuni 6 orang
Ukuran : 12 m x 7 m
Teras rumah : ada
Halaman rumah : ada (halaman depan dan belakang)
Dinding rumah : sebagian kayu, dan sebagian tembok bata
Lantai rumah : tanah
Ruangan : 3 kamar tidur @ berukuran 3m x 3m, 1 ruang tamu, 1 dapur, 1 kamar
mandi, 1 ruang kerja
Ventilasi : ada, kurang memadai ( 1m x 0,5m)
Pencahayaan : pencahayaan kurang, ruang tidur tidak memiliki jendela, jendela di
ruang tamu jarang di buka , sinar matahari tidak dapat
masuk ke setiap ruangan dalam rumah
Kebersihan : kurang, membersihkan rumah (1 kali sehari)
Sumber : air sumur, jumlah air cukup, air dipergunakan untuk minum,
mandi, memasak dan mencuci
Kebiasaan Sehari-hari
Asuh :
Kedua orangtua penderita bekerja sebagai wiraswasta, lokasi bekerja di rumah.
Perawatan pasien sehari- hari oleh ayah, ibu, kakek, dan nenek.
40
Bila sakit penderita berobat ke Puskesmas atau bidan. Jarak Puskesmas terdekat
dari tempat tinggal ±500 m, dijangkau dengan berjalan kaki.
Keinginan anak dipenuhi jika ada uang.
Asih: Kasih sayang diberikan oleh ibu, ayah, saudara sepupu, kakek, dan nenek.
Asah:
Stimulasi mental diperoleh terutama dari ayah dan ibu yang berpendidikan tamat
SMP dan Madrasah.
Bermain dengan saudara sepupu yang berusia 10 tahun yang masih sekolah.
Alat bermain: sepeda, mobil-mobilan, dan lain-lain
Penderita saat ini sekolah kelas TK kecil, kedua orangtua penderita bekerja sebagai
wiraswasta di rumah. Penderita tinggal bersama ayah, ibu, sepupu, kakek, dan nenek
penderita. Makanan dan minuman dimasak sebelum dimakan. Sumber air minum dari air
sumur. Alat makan dicuci dengan sabun. Mandi dua kali sehari dengan sabun mandi. Rumah
dibersihkan sekali sehari, sampah dibuang di halaman belakang rumah dan dibakar. Jika ada
keluarga yang sakit maka langsung berobat ke Puskesmas atau bidan.
Lingkungan
Rumah penderita terletak di Desa Sidigede, terletak di perkampungan yang berpenduduk
cukup padat. Rumah berjarak + 1 meter dengan tetangga, memiliki teras, memiliki halaman
depan dan belakang, keadaan sekitar kurang bersih dan selokan mengalir dengan lancar.
Rumah penderita berdinding tembok bata dan sebagian kayu, jendela kurang sehingga
ventilasi dan pencahayaan kurang. Kamar mandi dan WC tidak menyatu dalam rumah.
Penghuni rumah 6 orang
Kesan : ukuran rumah kurang memadai bagi penghuni, kondisi bangunan rumah dan
kebersihan kurang baik, ventilasi dan pencahayaan kurang, kebiasaan sehari-hari
cukup, lingkungan sekitar rumah cukup padat.
41
KM & WC
DENAH RUMAH
Halaman Belakang
BAB III
42
Kamar tidur 1
Kamar tidur 2
Kamar tidur 3
Ruang kerjaRuang tamu
Dapur
Teras Depan
TCP
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada anamnesis pneumonia, biasanya didahului dengan infeksi saluran pernapasan
bagian atas selama beberapa hari. Panas tinggi biasanya 39º - 40ºC, sehingga dapat terjadi
kejang pada individu tersebut. Selain itu penderita biasanya berkeringat dan menggigil. Anak
sangat gelisah, sesak napas, napas cepat dan dangkal serta napas cuping hidung, pernapasan
dari mulut disertai nyeri dada sehingga penderita memfiksir dada yang sakit.Penderita juga
batuk-batuk, kadang-kadang disertai muntah dan diare. Batuk mula-mula kering, kemudian
menjadi produktif sebagai produk mukopurulen dari proses radang yang terjadi.
Hasil pemeriksaan fisik pada pneumonia tergantung dari luas daerah yang terkena
proses infamasi. Biasanya didapatkan batuk, napas cepat, sesak napas, napas cuping hidung,
retraksi suprasternal/ retraksi epigastrial, takikardi, lemah, sianosis sekitar mulut dan hidung
serta panas tinggi.Pada perkusi dada sering tidak didapatkan kelainan dan pada auskultasi
didapatkan ronkhi basah halus nyaring. Bila sarang pneumonianya menjadi satu, mungkin
pada perkusi terdengar keredupan, suara pernapasan terdengar mengeras, pada auskultasi
didapatkan ronkhi basah halus nyaring. Jika didapatkan tanda-tanda sumbatan saluran napas
bagian bawah berupa wheezing ekspirator dan eksperium yang memanjang maka disebut
pneumonia dengan komponen asmatik. Hepar dapat terdorong kebawah atau dapat
membesar. Bila terjadi komplikasi gagal jantung kongestif maka didapatkan hepar membesar
dengan tepi tumpul disertai dengan frekuensi napas > 60 x/menit dan nadi 160 x/menit.5,6
Pada kasus ini, dari anamnesis didapatkan bahwa penderita mengalami riwayat batuk
pilek sebelumnya disertai panas nglemeng selama 1 minggu, 3 hari panas terus-menerus,
sesak nafas, dan pernafasan cepat. Sedangkan dari pemeriksaan fisik didapatkan sesak nafas,
tidak sianosis, auskultasi suara dasar vesikuler dengan suara tambahan hantaran dan ronki
basah halus nyaring. Sakit yang seperti ini sering kambuh-kambuhan dialami penderita sejak
berumur 1 tahun. Orangtua pasien sering memeriksakan ke bidan desa dan puskesmas.
Diagnosis pasien ini dibedakan dari bronkiolitis karena pada bronkiolitis pada
anamnesis biasanya didahului infeksi saluran nafas, disertai batuk, pilek, tanpa kenaikan suhu
atau dengan panas tidak tinggi (subfebril).Adanya sesak nafas yang makin hebat, pernafasan
yang cepat dan dangkal dan disertai serangan batuk.Dari pemeriksaan fisik didapatkan sesak
nafas, nafas cepat dan dangkal. Terlihat juga nafas cuping hidung disertai retraksi intercostal
dan suprasternal, anak gelisah dan sianotik. Pada pemeriksaan paru didapatkan hipersonor,
43
ekspirium diperpanjang, wheezing, ronki basah halus nyaring kadang terdengar pada akhir
ekspirasi. Pada pasien ini dapat diusulkan untuk melakukan x-foto lateral untuk melihat
gambaran hiperaerasi dan pembesaran diameter anteroposterior.
Pneumonia dapat disebabkan oleh kuman non spesifik maupun kuman spesifik seperti
Mycobacterium tuberculosis. Gejala klinik pada pneumonia karena proses spesifik tidak khas,
tetapi pada umumnya didapatkan keluhan badan lemah, kehilangan nafsu makan, berat badan
sulit naik bahkan menurun, panas sub febril yang berlangsung lama. Bila gejala tersebut
diperkuat dengan adanya riwayat kontak dengan penderita tuberculosa maka dugaan anak
tersebut terinfeksi Mycobacterium tuberculosis semakin kuat.
Pemeriksaan fisik paru sering tidak menunjukkan kelainan meskipun daerah perifokal
luas. Dapat ditemukan manifestasi tuberkulosis ekstra torakal misalnya konjungtivitis
fliktenularis, skrofuloderma, benjolan pada tulang punggung, selangkangan dan lutut,
manifestasi pada tulang, dan tanda meningitis tuberkulosa seperti penurunan kesadaran,
kejang, kaku kuduk, rangsang meningeal dan defisit neurologis. Pemeriksaan penunjang yang
penting adalah tes PPD5TU. Tes BCG biasanya dilakukan bila dicurigai atau pada keadaan
anergi. Jumlah leukosit yang meninggi, monosit yang relatif tinggi dan laju endap darah yang
meningkat akan menyongsong diagnosis. Sedangkan pemeriksaan foto rontgen toraks
memberi gambaran pembesaran kelenjar para trakeal, penyebaran milier, bronkogen,
atelektasis atau efusi pleura. Gold standart adalah ditemukan kuman gram positif tahan asam
berbentuk batang pada pemerksaan bakteriologis dengan pengecatan Ziehl Nielsen.
Keluhan badan lemah, kehilangan nafsu makan, berat badan sulit naik bahkan
menurun, panas sub febril yang berlangsung lama, serta riwayat kontak dengan penderita
tuberkulosa pada anak ini disangkal. Penderita pun telah mendapat imunisasi BCG satu kali
ketika berumur 1 tahun. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan ekstra torakal dan
intra torakal yang mengarah ke diagnosis pneumonia yang disebabkan mycobacterium
tuberculosa.
Prinsip pengelolaan pendetita sebaiknya dilakukan secara komprehensif, meliputi aspek
kuratif, promotif, preventif, dan rehabilitatif yang pelaksanaannya disesuaikan dengan
kondisi penderita saat ini. Upaya promotif dan preventif dilakukan agar tidak ada penularan
dan tidak mengalami komplikasi, sedang upaya kuratif dan rehabilitatif dilakukan agar
penderita sembuh.
Antibiotik diberikan pada penderita pneumonia berdasarkan umur, keadaan umum
penderita dan dugaan penyebab sebagai terapi inisial secara empiris. Untuk menurunkan
44
panas diberikan Paracetamol dengan dosis 10–15 mg/kgBB sekali pemberian serta pemberian
ambroksol untuk mengencerkan lendir sehingga mudah dikeluarkan.
Pada pasien ini, pengelolaan pneumonia dengan pemberian antibiotika berupa
kotrimoksazol syrup 2x10ml injeksiampisilin 4 x 125 mg. Untuk penurun panas pada pasien
ini diberikan paracetamol syrup 3x7,5ml bila panas dan sebagai roboransia diberikan vitamin
B kompleks 3 x ½ tablet dan vitamin C 3 x ½ tablet.
Meskipun termasuk dalam gizi baik, anak tersebut juga memerlukan pengelolaan di
bagian gizi di samping pengobatan bronkopnemonia yang sedang dijalaninya. Pada infeksi
akut yang disertai kenaikan suhu tubuh, penderita memerlukan tambahan energi, protein, air
dan elektrolit. Sebaliknya nafsu makan mereka sangat berkurang sehingga makanan yang
biasa dimakan ditolak. Penyakit pnemonia yang sifatnya akut biasanya tidak berlangsung
lama, maka tidak perlu memaksa anak untuk menghabiskan jumlah makanan yang telah
ditentukan atas dasar kebutuhannya. Makanan sebaiknya diberikan sering kali dalam jumlah
yang sedikit setiap kalinya, akan tetapi jumlah air harus dipenuhi. Dapat juga diberikan
tambahan air buah seperti jus jeruk dan sebagainya.
Dari segi preventif upaya pencegahan yang dapat dilakukan yaitu pencegahan primer,
sekunder dan tertier. Pencegahan primer merupakan tingkat pencegahan awal untuk
menghindari risiko tertular. Pencegahan sekunder untuk deteksi dini penyakit sebelum
penyakit menimbulkan gejala yang khas dan pengobatan penderita untuk memutus mata
rantai. Pencegahan tertier dengan melakukan tindakan klinis untuk mencegah kerusakan lebih
lanjut atau mengurangi komplikasi setelah penyakit tersebut diketahui. Upaya pencegahan
tersebut dapat dilakukan dengan menjaga keadaan gizi agar tetap baik, immunisasi, menjaga
kebersihan prorangan dan lingkungan dengan memperhatikan kriteria rumah sehat, mencegah
anak berhubungan dengan penderita pneumonia.
Dalam upaya promotif dilakukan berupa penyuluhan yang bertujuan untuk merubah
kebiasaan yang kurang baik dalam masyarakat agar berperilaku sehat dan ikut serta berperan
aktif dalam bidang kesehatan. Upaya promotif dan preventif kepada keluarga dan tetangga
penderita, dan masyarakat,, yaitu dengan memberikan penyuluhan tentang pneumonia.
Penyuluhan yang diberikan tentang penyakit pneumonia adalah proses peningkatan
pengetahuan, kemauan dan kemampuan masyarakat yang belum menderita sakit sehingga
dapat memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya dari penyakit pneumoia.
Langkah-langkah yang bisa dicapai dalam melakukan upaya promotif dan preventif ini
antara lain:
45
- Melakukan supervisi dan memberikan bimbingan penatalaksanaan standar kasus-
kasus pneumonia kepada perawat atau paramedis
- Melakukan pemeriksaan pengobatan kasus- kasus pneumonia berat/ penyakit dengan
tanda-tanda bahaya yang dirujuk oleh perawat/ paramedis dan merujuknya ke rumah
sakit bila dianggap perlu
- Memberikan pengobatan kasus pneumonia berat yang tidak bisa dirujuk ke rumah
sakit
- Bersama dengan staff puskesmas memberi kan penyuluhan kepada ibu-ibu yang
mempunyai balita perihal pengenalan tanda-tanda penyakit pneumonia serta tindakan
penunjang di rumah,
- Melatih semua petugas kesehatan di wilayah puskesmas yang diberi wewenang
mengobati penderita penyakit penumonia
- Melatih kader untuk bisa, mengenal kasus pneumonia serta dapat memberikan
penyuluhan terhadap ibu-ibu tentang penyakit tersebut,
- Memantau aktifitas pemberantasan dan melakukan evaluasi keberhasilan
pemberantasan penyakit pneumonia. Mendeteksi hambatan yang ada serta
menanggulanginya termasuk aktifitas pencatatan dan pelaporan serta pencapaian
target.
- Menganjurkan memberikan makanan yang mengandung gizi yang cukup yang
meliputi karbohidrat, protein, dan lemak untuk penderita
- Menasehatkan supaya selalu menjaga kebersihan diri dan lingkungan terutama
lingkungan rumah antara lain dengan menambah ventilasi agar sirkulasi udara lancar.
Dalam upaya rehabilitatif perlu dilakukan langkah untuk menganjurkan agar anak selalu
diperiksakan kesehatannya secara rutin di Posyandu atau Puskesmas setiap bulan untuk
memantau kesehatan, pertumbuhan, dan perkembangan anak, serta menjalankan terapi.
Selain itu, dapat pula memberikan nasehat kepada orang tua penderita untuk secara optimal
berusaha mencukupi kebutuhan dasar anak untuk mencapai tumbuh kembang optimal yang
meliputi :
Asuh : memenuhi kebutuhan akan pangan/gizi, papan/pemukiman yang layak,
perawatan kesehatan dasar antara lain :imunisasi, penimbangan anak yang teratur
dan pengobatan kalau sakit.
Asih : memberikan kasih sayang dan perhatian pada penderita supaya pengobatan
berjalan sampai tuntas dan mencegah berulangnya penyakit.
46
Asah : memberikan stimulasi mental psikososial dengan alat pengasah edukatif
yang dapat berupa gambar dan suara.
Dalam menangani penyakit pneumonia pada balita, maka puskesmas Welahan 2 melalui
program P2M telah melakukan beberapa upaya kuratif, promotif, preventif maupun
rehabilitatif seperti :
- Penanganan kasus penumonia sesuai standar yang ada
- Merujuk kasus-kasus pneumonia berat
- Melakukan pelaporan dan pencatatan kasus pneumonia yang baru dan lama secara
berkala
- Melakukan kunjungan rumah (2 hari setelah menerima pengobatan) dalam rangka
follow up penderita, melihat respon pengobatan, menentukan langkah penanganan
selajutnya
- Melakukan penyuluhan mengenai pneumonia bersama dengan penyuluhan P2M
yang lain
Prognosis penderita pneumonia secara mum tergantung dari ada tidaknya komplikasi
selain faktor usia, status gizi, kecepatan dan ketepatan pengobatan yang diberikan. Dengan
pemberian antibiotika yang tepat secara dini dan pemberian diet yang tepat mortalitas
penyakit dapat diturunkan. Prognosis penderita ini untuk kehidupan (quo ad vitam) adalah ad
bonam karena pasien mendapat penanganan segera, prognosis terhadap kesembuhan (quo ad
sanam) adalah ad bonam karena status gizi anak baik. Prognosis terhadap fungsi paru (quo ad
fungsionam) adalah dubia ad bonam, karena status gizi anak yang baik dapat mempercepat
penyembuhan dan mengembalikan fungsi paru semula tetapi karena anak juga menderita
asma episodik sering, maka dapat terjadi penurunan fungsi paru.
47
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru yang sering disebabkan
oleh bakteri patogen seperti Streptococcus pneumoniae, Moraxella catharalis, Haemofilus
Influenza, Micoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae. Sedangkan penyebab dari
golongan virus antara lain Respiratory Syncytial Virus, Influenzae virus A dan B. Pneumonia
dapat terjadi karena adanya faktor ekstrinsik yang meliputi ventilasi rumah, kepadatan
hunian, pencemaran udara dalam rumah, lingkungan tumbuh sang anak, pendidikan ibu
balita, pengetahuan ibu balita, pendapatan keluarga, kondisi sosial ekonomi orangtua, dan
kebersihan, sedangkan faktor intrinsik dari pneumonia antara lain umur balita, jenis kelamin
balita, status gizi, riwayat persalinan, dan konsumsi ASI. Diagnosis klinis pneumonia dapat
ditegakkan dengan adanya batuk, sesak napas atau ronki dan distres respirasi, namun
penelitian menunjukkan bahwa prediktor terbaik adalah takipnu. Klasifikasi World Health
Organization (WHO) mengenai pneumonia pada balita dapat dipakai untuk menentukan
tingkat keparahan dan langkah penanganan segera oleh petugas kesehatan. Prinsip
pengelolaan penderita pneumonia pada balita dilakukan secara komprehensif dan holistik,
meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Upaya promotif dan preventif
dilakukan agar tidak ada penularan dan tidak mengalami komplikasi lanjut, sedang upaya
kuratif dan rehabilitatif dilakukan agar penderita sembuh dan dapat mencapai tumbuh
kembang yang optimal.
5.2 Saran
Perlu adanya upaya promotif dan preventif kepada keluarga dan tetangga penderita serta
masyarakat, yaitu dengan memberikan penyuluhan untuk mengenal tanda-tanda
pneumonia, faktor resiko, bahaya penyakit pneumonia, dan langkah-langkah yang harus
dilakukan jika anak dicurigai menderita pneumonia.
Perlu adanya langkah-langkah promotif dan preventif secara edukatif dan persuasif untuk
pencapaian kriteria rumah sehat maupun perilaku hidup sehat dan bersih agar tidak
menyebabkan penyakit
Pembentukan kader P2M dan pembinaan secara berkala kepada kadernya dalam rangka
membantu deteksi dini penyakit pneumonia.
48
DAFTAR PUSTAKA
1. Retno A.S, Landia S, Makmuri MS. Pneumonia. Naskah
LengkapContinuingEducation Ilmu Kesehatan Anak; 2006
2. Behrman RE, Kleigman,Arvin,Nelson WE. Nelson. Ilmu kesehatan anak edisi ke-1.
Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2000 : 883-4
3. Sidhartani ZM. Pneumonia pada Anak. Dalam : Peranan dan penatalaksanaan pada
infeksi saluran napas. Semarang : Hoechst Mosion Rusel, 1998, 1-8.
4. Rodriguez JAG, Martinez MJF. Dynamics of Nasopharyngeal Colonization By
Potential Respiratory Pathogen. Journal Antimicrobial Chemotherapy. 2002; 50 : 59 -
73.
5. Trastenojo MS, Sidhartani : Pulmonologi Dalam : Pedoman Pelayanan Medik Anak
RSDK / Fk UNDIP Semarang : Laboratorium FK UNDIP / UPF Kesehatan Anak
RSDK, 1989 : 30 – 97
6. Rachmatullah P. Ilmu Penyakit Paru Buku II. Semarang : Bagian Ilmu Penyakit
Dalam FK UNDIP, 1993 : 1 – 24
7. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI. Ilmu Kesehatan Anak Jilid 3.
Jakarta,1991: 1228-39.
8. Starke JR. Tuberkulosis. Dalam:Nelson Texbook of Pediatrics 15 thed. WB Saunders
Company, Philadelphia, Pennsylvania. 1996:1028-43.
9. Sidhartani M. Epidemiologi Community Acquired Pneumonia Pada Anak. Kumpulan
Makalah Simposium Respirologi Anak Masa Kini : 11 – 12 Desember 1998 :
Bandung. Bandung Bagian IKA FK UNPAD, 1998 11 – 14.
49
50