karya tulis lkti-isi

23
Page 1 of 23 BAB I PENDAHULUAN Di Indonesia, cabai merupakan komoditas penting dalam kehidupan sehari-hari, biasanya digunakan sebagai pelengkap hidangan keluarga. Akan tetapi, pada kenyataannya, konsumsi masyarakat Indonesia terhadap cabai bisa dikatakan masih rendah. Hal tersebut dapat dilihat dari konsumsi cabai per kapita per orang tiap tahunnya. "Secara keseluruhan, total konsumsi cabai kita 1.2 juta ton per tahun dibagi 250 juta penduduk Indonesia. Itu setengah kilogram per tahun," ujar Wakil Menteri Pertanian, Bayu Krisnamurthi. Jadi, secara keseluruhan, konsumsi cabai per kapita per orang di Indonesia hanya sekitar 0.5 kg per tahun. Namun, selama beberapa pekan terakhir konsumsi cabai per kapita per orang di Indonesia semakin turun, hal ini dikarenakan kenaikan harga cabai yang mencapai Rp 100 ribu hingga Rp 150 ribu per kg. "Sebelum Tahun Baru harga cabai mencapai Rp 80 ribu per kg lalu turun Rp 60 ribu. Setelah itu naik lagi Rp 70 ribu sampai sekarang naik terus," tutur Aman, pedagang cabai di Pasar Pandansari (06 Januari 2011). Bahkan di pasar tradisional, harga cabai berkisar Rp 80 ribu hingga Rp 100 ribu per kg, yang menurut beberapa pedagang bandrol Rp 100 ribu per kg merupakan harga terendah sebab sebelumnya harga berkisar Rp 120 ribu per kg. Jika diecer, yang biasanya dengan Rp 2 ribu pembeli bisa mendapatkan cabai, maka sekarang uang yang harus dikeluarkan adalah minimal Rp 5 ribu," keluh pedagang. Berikut adalah data kenaikan harga cabai yang didapatkan dari Badan Pusat Statistik Jawa Barat: untuk cabai merah besar, kenaikannya mencapai 102%, sedangkan untuk cabai rawit, kenaikannya mencapai 127%. Padahal pantauan BPS sebelumnya di 7 Kota di Jawa Barat saat Desember 2010, kenaikan harga cabai masih sekitar 60% untuk cabai merah dan 65% untuk cabai rawit. Kenaikan ini mempengaruhi inflasi bahan pangan di Indonesia. “Untuk cabai sendiri, andil inflasi terhadap kelompok bahan makanan adalah sebesar 0.28% untuk cabai merah dan 0.12% untuk cabe rawit,” ujar Kepala Badan Pusat Statistik Jawa Barat, Lukman Ismail. Semua kenaikan ini dikarenakan permintaan cabai yang meningkat dan musim hujan yang berlangsung pada beberapa pekan terakhir yang mengakibatkan menurunnya jumlah produksi cabai. “Produksi cabai merah di Jawa Barat pada tahun 2009 mencapai 209 ribu ton dengan luas area lahan 16 ribu hektar, sedangkan untuk cabai rawit adalah 106 ribu ton dengan area lahan

Upload: riaranovita

Post on 01-Jul-2015

340 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Karya Tulis LKTI-isi

Page 1 of 23

BAB I

PENDAHULUAN

Di Indonesia, cabai merupakan komoditas penting dalam kehidupan sehari-hari, biasanya digunakan sebagai pelengkap

hidangan keluarga. Akan tetapi, pada kenyataannya, konsumsi masyarakat Indonesia terhadap cabai bisa dikatakan masih rendah. Hal

tersebut dapat dilihat dari konsumsi cabai per kapita per orang tiap tahunnya. "Secara keseluruhan, total konsumsi cabai kita 1.2 juta

ton per tahun dibagi 250 juta penduduk Indonesia. Itu setengah kilogram per tahun," ujar Wakil Menteri Pertanian, Bayu

Krisnamurthi. Jadi, secara keseluruhan, konsumsi cabai per kapita per orang di Indonesia hanya sekitar 0.5 kg per tahun.

Namun, selama beberapa pekan terakhir konsumsi cabai per kapita per orang di Indonesia semakin turun, hal ini dikarenakan

kenaikan harga cabai yang mencapai Rp 100 ribu hingga Rp 150 ribu per kg. "Sebelum Tahun Baru harga cabai mencapai Rp 80 ribu

per kg lalu turun Rp 60 ribu. Setelah itu naik lagi Rp 70 ribu sampai sekarang naik terus," tutur Aman, pedagang cabai di Pasar

Pandansari (06 Januari 2011). Bahkan di pasar tradisional, harga cabai berkisar Rp 80 ribu hingga Rp 100 ribu per kg, yang menurut

beberapa pedagang bandrol Rp 100 ribu per kg merupakan harga terendah sebab sebelumnya harga berkisar Rp 120 ribu per kg. Jika

diecer, yang biasanya dengan Rp 2 ribu pembeli bisa mendapatkan cabai, maka sekarang uang yang harus dikeluarkan adalah minimal

Rp 5 ribu," keluh pedagang. Berikut adalah data kenaikan harga cabai yang didapatkan dari Badan Pusat Statistik Jawa Barat: untuk

cabai merah besar, kenaikannya mencapai 102%, sedangkan untuk cabai rawit, kenaikannya mencapai 127%. Padahal pantauan BPS

sebelumnya di 7 Kota di Jawa Barat saat Desember 2010, kenaikan harga cabai masih sekitar 60% untuk cabai merah dan 65% untuk

cabai rawit. Kenaikan ini mempengaruhi inflasi bahan pangan di Indonesia. “Untuk cabai sendiri, andil inflasi terhadap kelompok

bahan makanan adalah sebesar 0.28% untuk cabai merah dan 0.12% untuk cabe rawit,” ujar Kepala Badan Pusat Statistik Jawa Barat,

Lukman Ismail. Semua kenaikan ini dikarenakan permintaan cabai yang meningkat dan musim hujan yang berlangsung pada

beberapa pekan terakhir yang mengakibatkan menurunnya jumlah produksi cabai. “Produksi cabai merah di Jawa Barat pada tahun

2009 mencapai 209 ribu ton dengan luas area lahan 16 ribu hektar, sedangkan untuk cabai rawit adalah 106 ribu ton dengan area lahan

Page 2: Karya Tulis LKTI-isi

Page 2 of 23

7.849 hektar. Sedangkan data pada bulan Oktober lalu menyatakan bahwa jumlah panen cabai merah menurun menjadi 175 ribu ton

dengan luas lahan yang sama.”

Meroketnya harga cabai yang semakin tak terkendali sangat mempengaruhi usaha Unit Kecil Menengah (UKM), salah satu

contohnya adalah pengelola rumah makan Padang. Umumnya, para pedagang tidak mungkin mengurangi jumlah cabai yang dimasak

apalagi menaikkan harga, karena hal tersebut dapat mengurangi kualitas dari produk yang dihasilkan dan jika kualitas suatu produk

menurun, maka tidak menutup kemungkinan jumlah pelanggan pada UKM yang bersangkutan juga menurun. Untuk bisa bertahan

dengan keadaan yang ada, maka UKM tersebut haruslah memiliki strategi untuk menyiasati kenaikan harga cabai yang terjadi

sekarang ini, salah satu contoh strategi yang digunakan adalah mengganti cabai merah dengan cabai hijau. Hal ini dikarenakan harga

cabai rawit merah lebih mahal dibanding cabai rawit hijau. Namun, kebanyakan strategi yang diterapkan tidak terlalu mempengaruhi

keadaan cabai itu sendiri sebagai salah satu bahan baku, baik dari sisi harganya yang melonjak maupun ketersediannya yang menurun.

Oleh karena itu, essay ini dibuat dengan maksud untuk membahas dampak harga cabai terhadap Unit Kecil Menengah (UKM)

yang menggunakan cabai sebagai bahan bakunya dan bagaimana cara UKM tersebut mengatasi produksinya dengan kondisi harga

cabai yang tinggi dan ketersediannya yang menurun, baik secara jangka pendek maupun jangka panjang. Untuk menganalisis

penyebab, dampak, dan penanggulangan kenaikan harga cabai, kami menggunakan beberapa Quality tools dan melakukan

brainstorming.

Page 3: Karya Tulis LKTI-isi

Page 3 of 23

BAB II

DASAR TEORI

II.1. Cabai

Bagi masyarakat Indonesia, buah cabai merupakan salah satu bahan yang tidak bisa dipisahkan dengan masakan sehari-hari.

Cabai rawit terdiri dari tiga varietas, yaitu cengek leutik, cengek domba (cengek bodas), ceplik. Ciri khasnya, cabai rawit (cengek

leutik) ukuran buahnya kecil dan bediri tegak pada tangkainya, warna buah muda yaitu hijau dan setelah tua akan berwarna merah.

Cabai Domba (cengek bodas) ukuran buahnya lebih besar dari cengek leutik, ketika muda berwarna putih, dan ketika tua berwarna

jingga. Ceplik ukurannya buahnya besar, berwarna hijau waktu masih muda, setelah tua berubah menjadi merah.

(http://www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat).

Di dalam cabai rawit tiap 100 gram mengandung 103 kal energi, 4.7g protein, 2.4g lemak, 19.9g karbohidrat, 45mg kalsium,

85mg fosfor, 11.050 SI vitamin A, 70mg vitamin C (Husna Amin, 2007). Selain itu, dengan kandungan zat antioksidan yang cukup

tinggi (seperti vitamin C dan beta karoten), cabai rawit dapat digunakan untuk mengatasi ketidaksuburan (infertilitas), afrodisiak,

danmemperlambat proses penuaan (http://www.iptek.net.id/ind/obat).

Buahnya mengandung kapsaisin, kapsantin, karotenoid, alkaloid atsiri, resin, minyak menguap, vitamin (A dan C). Kapsaisin

memberikan rasa pedas pada cabai, berkhasiat untuk melancarkan aliran darah serta pematirasa kulit. Biji cabai rawit mengandung

solanine, solamidine, solamargine, solasodine, solasomine, dan steroid saponin (kapsisidin). (http://www.iptek.net.id/ind/pdtanobat).

Varietas cabai sendiri bermacam-macam. Yang pertama meliputi Cabai kecil (cabai jeprit), Cabai putih (cabai cengek), Cabai

hijau (cabai ceplik). Menurut Departemen RI, cabai dibedakan menjadi tiga macam, yaitu Cabai rawit (cengek leutik), Cabai domba

(cengek bodas), Ceplik. Sedangkan masyarakat tani di Kutoarjo, Jawa Tengah terdapat tiga macam jenis cabai, yaitu Cabai rawit kecil

(cengek leutik), Cabai rawit putih (cengek bodas), dan Cabai rawit hijau (Husna Amin,2007).

Asam askorbat (vitamin C) adalah suatu zat organik yang merupakan koenzim pada berbagai reaksi biokimia tubuh.

Mempunyai BM = 176,13. Vitamin C merupakan vitamin yang mudah rusak, disamping mudah larut dalam air. Vitamin C mudah

Page 4: Karya Tulis LKTI-isi

Page 4 of 23

teroksidasi dan proses tersebut dipercepat oleh panas, sinar, alkali, enzim, oksidator, serta oleh katalis tembaga dan besi. Sehingga

diperlukan penelitian untuk mengetahui kadar vitamin C pada cabai rawit berbagai varietas. Cabai diketahui mempunyai khasiat

dalam menyembuhkan berbagai penyakit dan juga untuk bahan industri farmasi (obat-obatan).

II.2. Unit Kecil Menegah (UKM)

Secara keseluruhan, sektor UKM diperkirakan menyumbang sekitar lebih dari 50% PDB (kebanyakan berada di sektor

perdagangan dan pertanian) dan sekitar 10 % dari ekspor. Meski tidak tersedia data yang terpercaya, ada indikasi bahwa pekerja

industri skala menengah telah menurun secara relatif dari sebesar 10 % dari keseluruhan pekerja pada pertengahan tahun 1980an

menjadi sekitar 5 % di akhir tahun 1990an. Dibandingkan dengan negara maju, Indonesia kehilangan kelompok industri menengah

dalam struktur industrinya. Akibatnya disatu sisi terdapat sejumlah kecil perusahaan besar dan di sisi lain melimpahnya usaha kecil

yang berorientasi pasar domestik.

Usaha Menengah sebagaimana dimaksud Inpres No.10 tahun 1998 adalah usaha bersifat produktif yang memenuhi kriteria

kekayaan usaha bersih lebih besar dari Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak sebesar

Rp10.000.000.000,00, (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha serta dapat menerima kredit dari bank

sebesar Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) s/d Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

Ciri-ciri usaha menengah

▪ Pada umumnya telah memiliki manajemen dan organisasi yang lebih baik, lebih teratur bahkan lebih modern, dengan pembagian

tugas yang jelas antara lain, bagian keuangan, bagian pemasaran dan bagian produksi;

▪ Telah melakukan manajemen keuangan dengan menerapkan sistem akuntansi dengan teratur, sehingga memudahkan untuk auditing

dan penilaian atau pemeriksaan termasuk oleh perbankan;

▪ Telah melakukan aturan atau pengelolaan dan organisasi perburuhan, telah ada Jamsostek, pemeliharaan kesehatan dll;

Page 5: Karya Tulis LKTI-isi

Page 5 of 23

▪ Sudah memiliki segala persyaratan legalitas antara lain izin tetangga, izin usaha, izin tempat, NPWP, upaya pengelolaan

lingkungan dll;

▪ Sudah akses kepada sumber-sumber pendanaan perbankan;

▪ Pada umumnya telah memiliki sumber daya manusia yang terlatih dan terdidik.

Contoh usaha menengah

Jenis atau macam usaha menengah hampir menggarap komoditi dari hampir seluruh sektor mungkin hampir secara merata, yaitu:

▪ Usaha pertanian, perternakan, perkebunan, kehutanan skala menengah;

▪ Usaha perdagangan (grosir) termasuk expor dan impor;

▪ Usaha jasa EMKL (Ekspedisi Muatan Kapal Laut), garment dan jasa transportasi taxi dan bus antar proponsi;

▪ Usaha industri makanan dan minuman, elektronik dan logam;

▪ Usaha pertambangan batu gunung untuk kontruksi dan marmer buatan.

Page 6: Karya Tulis LKTI-isi

Page 6 of 23

BAB III

METODOLOGI

Pada penulisan paper ini, secara umum kami menggunakan 2 metode yaitu metode studi literatur dan observasi. Untuk langkah

pengerjaan penulisan paper ini, berikut kami tampilkan flowchart proses penulisan yang kami lakukan:

Gambar 1. Flowchart Pengerjaan

Page 7: Karya Tulis LKTI-isi

Page 7 of 23

Implementasi Metode

Pada penulisan paper ini kami juga menggunakan metode brainstorming dan diskusi kelompok (grup discussion). Setelah

mendapat topik penulisan kami melakukan brainstorming untuk mendapatkan inti masalah yang akan kami jabarkan. Setelah

mendapat kesepahaman dalam kelompok mengenai inti masalah, kami mulai mencari data-data yang dibutuhkan dengan studi

literatur.

Kami menulis paper ini berdasarkan dari data-data yang kami dapatkan dalam studi literatur. Metode diskusi kelompok (grup

discussion) kami gunakan untuk menentukan perangkat-perangkat (tools) apa saja yang akan kami gunakan untuk menganalisis

masalah. Penentuan tools yang kami gunakan juga berdasarkan data-data apa saja yang kami dapatkan sehingga sesuai (match).

Analisis solusi yang kami tawarkan juga merupakan hasil analisis dengan menggunakan perangkat-perangkat yang merupakan core

competence dari ilmu teknik industri.

Metode yang digunakan dalam paper ini diantaranya adalah penggunaan tools interrelationship diagram. Interrelationship

diagram kami gunakan pada tahap pembahasan dan analisis masalah Interrelationship diagram merupakan salah satu perangkat dalam

metode berfikir sistem yang berfungsi untuk mengurai suatu masalah utama hingga akar masalah (root cause) yang menjadi

penyebabnya. Perangkat tersebut juga dapat digunakan untuk menganalisis dampak-dampak yang ditimbulkan oleh suatu

permasalahan. Dari interrelationship diagram, kami dapat menemukan beberapa root cause dari masalah utama kenaikan harga cabai

dan dampak dari kenaikan harga cabai bagi industri makanan kecil dan menengah.

Metode analisis yang kami gunakan dalam tahap menemukan solusi adalah Nominal Group Techniques (NGT), Diagram

Afinitas (Affinity Diagram), dan Process Decision Program Chart (PDPC). NGT kami gunakan untuk menemukan beberapa

kemungkinan solusi yang dapat dilakukan untuk menangani dampak dari kenaikan harga cabai bagi industri makanan kecil dan

menengah. Kemudian, kami kelompokkan lagi berdasarkan karakteristik masing-masing solusi dengan menggunakan diagram afinitas.

Selanjutnya, Process Decision Program Chart (PDPC) kami gunakan untuk analisis penentuan akhir solusi mana yang kami nilai

tepat untuk diaplikasikan.

Page 8: Karya Tulis LKTI-isi

Page 8 of 23

BAB IV

PEMBAHASAN DAN ANALISIS

IV.1. Permasalahan

Gambar 2. Interrelationship Diagram

Page 9: Karya Tulis LKTI-isi

Page 9 of 23

Matrix Interrelationship Diagram

No Jenis Masalah 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Total Dampak yang Ditimbulkan

1 Spekulasi Tengkulak > > > 3 2 Buruknya pengelolaan stok nasional > > > 3

3 Lemahnya regulasi mengenai kebijakan harga cabai > > 2

4 Hasil panen buruk > > 2 5 Hama dan Penyakit > 1 6 Cuaca dan iklim > 1 7 Kontrak Ekspor > 1 8 Meningkatnya permintaan > 1 9 Pasokan menurun > 1 10 Kepanikan masyarakat > 1 11 Distribusi produk yang tidak merata > 1 12 Sentra cabai yang tidak merata > 1 13 Kegagalan mengantisipasi kelangkaan > 1

14 Ketidaksiapan menghadapi penurunan produksi > 1

15 Keengganan petani untuk menanam cabai > 1 16 Harga cabai naik

Tabel 1. Matrix Interrelationship Diagram

Dalam identifikasi masalah ini, kelompok kami berusaha melihat kenaikan harga cabai ini dalam diagram keterkaitan untuk bisa

melakukan pemetaan masalah secara jelas dan benar-benar bisa identifikasi penyebabnya sehingga solusi yang direkomendasikan

benar-benar dapat menyelesaikan masalah ini secara tuntas dan jelas. Langkah awal untuk identifikasi masalah tersebut dilakukan

Page 10: Karya Tulis LKTI-isi

Page 10 of 23

dengan cara menggunakan interrelationship diagram untuk dengan jelas melihat hubungan dari masalah ini. Langkah selanjutnya,

kami menggunakan Matrix interrelationship diagram yang berguna untuk menentukan faktor utama dari masalah ini, untuk bisa dicari

solusi permasalahan tersebut nantinya.

Dari studi kasus mengenai penanggulangan kenaikan harga cabai oleh Usaha Kecil Menengah (UKM), kami menemukan

beberapa masalah yang akan kami jabarkan pada bagian ini. Masalah utama yang dihadapi dari studi kasus ini adalah kenaikan harga

cabai. Kami menemukan empat hal yang menjadi akar masalah (root cause) dari kenaikan harga cabai.

Pertama, buruknya hasil panen cabai nasional pada tahun 2010 yaitu hanya sebesar 1,3 juta ton dibandingkan pada tahun 2009

yang sebesar 1,38 juta ton (sumber: data BPS). Penurunan produksi cabai nasional tersebut disebabkan oleh curah hujan yang tinggi

sehingga produktifitas tanaman cabai bisa merosot hingga 30%. Sebagai contoh jika biasanya dalam kondisi normal satu hektar lahan

mampu menghasilkan 12 ton cabai merah, pada tahun 2010 rata-rata produksi menurun menjadi sekitar 8,4 ton per hektar (sumber:

Ketua Agrobisnis Cabai Indonesia Dadi Sudiyana). Selain itu, hasil panen yang buruk juga disebabkan oleh serangan hama penyakit

pada tanaman cabai seperti ulat tanah (Agrotis ipsilon) dan ulat grayak (Spodoptera litura). Buruknya hasil panen ini berimbas pada

menurunnya pasokan cabai di pasar yang ikut mendongkrak kenaikan harga cabai.

Kedua, spekulasi yang dilakukan para tengkulak terhadap hasil produksi cabai dari petani. Para tengkulak menghembuskan isu

kalau cabai sulit didapat dipasar dikarenakan pasokan yang tersendat dari petani sehingga menyebabkan kepanikan di pasar.

Sebenarnya ulah para tengkulak yang mencari untung dengan cara seperti itu tidak akan berhasil jika masyarakat juga tidak bertindak

panik. Ternyata kenaikan harga cabai tersebut tidak juga mendongkrak keuntungan yang diterima oleh petani cabai. Jika di pasar

harga cabai bisa mencapai Rp 50.000 – Rp 60.000 per kg, di tingkat petani harga cabai masih di kisaran Rp 17.000 – Rp 20.000 per kg

(sumber: Dirjen Hortikultura Hasanuddin Ibrahim). Margin keuntungan sebesar itu hanya dinikmati segelintir pemain yang menguasai

mata rantai perdagangan, mulai dari tengkulak, spekulan hingga pedagang besar. Ulah penyebaran spekulasi dan penimbunan yang

dilakukan para tengkulak ini juga menyebabkan distribusi komoditas cabai yang tidak merata sehingga berdampak pada penurunan

pasokan produk cabai.

Page 11: Karya Tulis LKTI-isi

Page 11 of 23

Ketiga, buruknya pengelolaan stok bahan pangan nasional khususnya komoditas cabai. Rata-rata konsumsi cabai nasional setiap

tahunnya adalah sebesar 1,2 juta ton (sumber: Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi). Dengan produksi cabai nasional yang

rata-rata 1,3 – 1,4 juta ton per tahun, pemerintah sebenarnya bisa melakukan sesuatu dengan pengelolaan kelebihan sekitar 0,1 juta ton

stok cabai setiap tahunnya. Dengan adanya lonjakan harga cabai yang terjadi belakangan ini, membuktikan bahwa pemerintah telah

gagal mengantisipasi kelangkaan komoditas cabai yang terjadi di pasar. Buruknya pengelolaan stok pangan nasional khususnya

komoditas cabai berakibat pada distribusi komoditas cabai yang tidak merata karena sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar

yang sebenarnya dikuasai oleh para tengkulak, spekulan dan para pedagang besar.

Keempat, lemahnya regulasi pengaturan harga komoditas bahan pangan oleh pemerintah. Pemerintah seharusnya bisa menjadi

garda terdepan ketika kenaikan harga komoditas bahan pangan terjadi. Kenaikan harga komoditas cabai seharusnya bisa dikendalikan

oleh pemerintah jika pemerintah memiliki regulasi yang jelas dalam penanganan hal tersebut. Regulasi tersebut dapat diwujudkan

dengan operasi pasar atau bahkan pemerintah seharusnya dapat secara langsung mengintervensi pasar dengan penetapan harga

komoditas cabai agar sesuai dengan keinginan masyarakat sebagai konsumen.

Itulah keempat hal yang kami nilai menjadi akar masalah (root cause) dari inti masalah kenaikan harga cabai. Pada bagian

selanjutnya kami akan berfokus pada analisis mengenai masalah-masalah tersebut. Pada bagian akhir kami akan memberikan solusi-

solusi yang diharapkan mampu untuk menjawab masalah-masalah tersebut.

Page 12: Karya Tulis LKTI-isi

Page 12 of 23

IV.2. Dampak Kenaikan Harga Cabai

Gambar 3. Interrelationship Diagram Dampak Kenaikan Harga Cabai

Page 13: Karya Tulis LKTI-isi

Page 13 of 23

Pada analisis kenaikan harga cabai ini, berdasarkan interrelationship diagram yang sudah dibuat sebelumnya, dapat dilihat

bahwa kenaikan harga cabai ini merupakan kebijakan yang memiliki dampak sistemik bagi ekonomi Indonesia dan kondisi industri.

Secara umum dampak ini bisa dibedakan menjadi dua yaitu yang terkait dengan kenaikan biaya bahan baku bagi industri makanan dan

inflasi pada perekonomian di Indonesia.

Dari segi dampak terhadap industri makanan, secara jelas dapat dilihat bahwa kenaikan ini berpengaruh terhadap besarnya

biaya bahan baku yang harus ditanggung oleh para pelaku industri. Dengan kondisi harga cabai merah yang mengalami kenaikan

hingga 102,43 persen dan harga cabai rawit mengalami kenaikkan hingga 127,33 persen, hal ini memberatkan para pelaku usaha yang

bergerak di bidang makanan Contoh kasusnya adalah yang terjadi pada salah satu pengelola warung nasi di Palmerah. Dia

menuturkan, sebelum harga cabai naik sampai Rp 100.000 per kg, sehari dia bisa belanja 2 kg, dengan harga cabai sekitar Rp 20.000-

Rp 30.000, semahal-mahalnya sekitar Rp 50.000. Sekarang, dia terpaksa mengurangi pembelian cabai menjadi 1 kg saja sehari. Dalam

hitungannya, untuk membeli cabai 1 kg saja sebenarnya sudah berat karena berarti keuntungannya sudah terkurangi sekitar Rp 50.000

sehari. Apalagi seandainya harus membeli 2 kg cabai, artinya keuntungannya harus terkurangi sekitar Rp 150.000. Selain itu dari

diagram keterkaitan dampak diatas juga bisa dilihat pada dasarnya tiap kenaikan biaya ini akan menimbulkan dampak lain baik secara

langsung maupun tidak langsung terhadap daya saing UKM itu sendiri. Dengan melihat kenaikan biaya produksi ini akan ikut

mendorong pendapatan menjadi menurun, sehingga membuat mereka berusaha melakukan penekanan produksi seefisien mungkin,

yang akan menyebakan gangguan produksi di Industri tersebut. Hal ini juga ikut mendorong penurunan kualitas produk yang

mengakibatkan masyarakat menjadi kecewa. Selain itu dampak yang terjadi adalah UKM yaitu melalui pemutusan hubungan kerja

pegawainya. Salah satu kasusnya adalah yang terjadi di salah satu industri pengolahan cabai. Industri ini merupakan salah satu industri

yang terkena pengaruh dari kenaikan harga ini sehingga mendorong mereka untuk mengurangi jumlah tenaga kerja. Pengurangan

tenaga kerja ini juga sebenarnya ikut berpengaruh bagi tingkat pengangguran secara nasional. Jadi, dilihat dari kenyataan tersebut,

terlihat jelas bahwa kenaikan harga cabai ini pada dasarnya merupakan hal yang kontraproduktif dari usaha yang peningkatan daya

saing UKM itu sendiri.

Page 14: Karya Tulis LKTI-isi

Page 14 of 23

Bagi ekonomi Indonesia, dampak yang terjadi adalah kenaikan harga cabai ini mendorong timbulnya inflasi. Sebagai

gambaran, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) , ternyata cabai merah memiliki persentaseterhadap kelompok bahan makanan

0,28 persen dan cabai rawit 0,12 persen. Kenaikan inflasi ini pada dasarnya merupakan sesuatu yang cukup besar dan cukup

mempengaruhi kondisi ekonomi di Indonesia. Dengan kenaikan inflansi ini membuat pertumbuhan ekonomi di Indonesia menjadi

terhambat. Terhambatnya pertumbuhan ekonomi ini juga berakibat pada penurunan daya beli masyarakat yang turut berkontribusi

terhadap menrunnya tingkat permintaan produk industry. Selain itu, dampak lainnya adalah mendorong penurunan tingkat penyerapan

tenaga kerja yang berarti semakin meningkatnya pengangguran.

IV.3. Analisis Penyelesaian

Setelah masalah dan dampak kasus telah teridentifikasi dengan baik pada bagian sebelumnya, tahap selanjutnya yang dapat

dilakukan dalam membangun suatu solusi yang menyeluruh adalah dengan menganalisis masalah-masalah pokok dari sistem tersebut.

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa ada beberapa akar permasalahan yang menyebabkan harga cabai naik, diantaranya adalah

hasil panen yang buruk, pengelolaan stok pangan nasional yang masih buruk, spekulasi dari tengkulak dan lemahnya regulasi

pengaturan harga oleh pemerintah. Beberapa faktor ini tanpa disadari berpengaruh secara signifikan terhadap kelangsungan UKM

yang berkaitan, yakni usaha kuliner. Dampak terbesarnya bagi UKM pun telah dijelaskan sebelumnya yakni menurunnya keuntungan

akibat kenaikan harga cabai. Oleh karena itu, kami melakukan brainstorming kembali untuk membuat daftar kemungkinan apa saja

usaha yang dapat dilakukan dalam menghadapi akar permasalahan tersebut. Proses ini menggunakan Nominal Group Technique

(NGT) yaitu merupakan proses brainstorming terstruktur yang ditujukan untuk mendapatkan ide solusi atas permasalahan.

Diawali dari akar permasalahan yang pertama yakni hasil panen yang buruk, buruknya hasil panen ini didominasi karena

permasalahan cuaca yang belum kondusif akhir-akhir ini, diantaranya proses recovery pertanian yang belum sempurna di daerah

bencana seperti di sekitar merapi, dan diakibatkan juga karena curah hujan yang tinggi. Pada musim penghujan, buah cabai cenderung

dapat cepat membusuk karena kadar air di dalam tanah yang terlalu tinggi. Dari beberapa analisis ini, upaya solusi yang dapat

Page 15: Karya Tulis LKTI-isi

Page 15 of 23

dilakukan adalah dengan mengembangkan teknologi agar cabai tidak cepat busuk di musim penghujan. Pengembangan teknologi ini

sebaiknya dilakukan di dalam negeri, sehingga bibit-bibit tanaman unggul tak perlu harus impor dari luar negeri.

Permasalahan selanjutnya yakni buruknya pengelolaan stok pangan nasional. Sejauh ini pemerintah belum melakukan

inventarisasi dan pengamanan stok disaat produksi cabai sedang panen raya. Kalau saja pemerintah bisa mengamankan dan

menginventarisasi stok dan kebutuhan secara akurat, maka gejolak harga pangan yang fenomenal sekarang ini tidak harus terjadi.

Usaha untuk menanggulangi menipisnya stok cabe antara lain adalah dengan mengolah kelebihan stok pada saat produksi berlebih.

Beberapa alternatif pengolahan yang dapat dilakukan antara lain adalah mengolahnya menjadi cabe kering/cabe bubuk, cabe kaleng

dan pasta cabe. Pengolahan pascapanen cabe tersebut selain dapat meningkatkan nilai tambah produk juga merupakan solusi yang

layak dipertimbangkan dalam mengatasi kenaikan harga yang terjadi setiap tahun. Tidak hanya dari sisi suplai, dari sisi demand

masyarakat perlu mendapatkan edukasi mengenai selera konsumsinya. Selama ini masyarakat terbiasa mengkonsumsi cabe dalam

bentuk segar. Dalam kondisi normal dan tidak ada gangguan suplai hal ini tentu bukanlah masalah besar, tetapi pada saat terjadi

penurunan pasokan, perlu dikembangkan cara-cara konsumsi lain misalnya dalam bentuk cabe kering/cabe bubuk, pasta cabe dan lain-

lain.

Selain itu semua negara di dunia memang sedang dilanda iklim yang buruk yang membuat produksi pangan mereka terganggu.

Kondisi ini menjadikan mereka lebih memilih melakukan stok bahan pangan ketimbang menjualnya ke luar negeri.

Pemerintah sebenarnya punya Badan Urusan Logistik (BULOG) untuk mengendalikan harga bahan pangan di pasaran. Tapi

sejak tahun 1997, kewenangan BULOG hanya dipersempit ke beras, setelah Indonesia berhutang pada lembaga keuangan

Internasional, IMF. IMF memang mengajukan syarat kepada pemerintah untuk melepas peran mengendalikan harga jual pangan.

Sehingga amat penting nampaknya jika dibangun sebuah badan pengurus logistik pangan yang tidak hanya terfokus pada beras saja

seperti BULOG, melainkan mengatur berbagai hal yang berkaitan dengan harga dan stok berbagai macam bahan pangan.

Regulasi yang tegas tentang penetapan harga juga belum diterapkan oleh pemerintah. Ini menyebabkan peran pemerintah

dalam mengontrol harga di pasaran sangat lemah, sehingga perlu dibuat suatu regulasi tentang pengaturan harga, seperti misalnya

regulasi penetapan harga maksimal yang telah diterapkan di Malaysia.

Page 16: Karya Tulis LKTI-isi

Page 16 of 23

Kenaikan harga cabe ini juga sudah membuat panik pasar. Kepanikan terjadi lantaran para tengkulak menghembuskan isu

kalau cabe sulit didapat di pasar oleh karena pasokan dari petani tersendat atau karena cuaca buruk. Selain itu, kelangkaan cabe merah

di pasaran juga dimanfaatkan para spekulan untuk menimbun komoditi tersebut. Tingginya marjin pemasaran antara produsen (petani

cabe) dan konsumen akhir yang dinikmati oleh tengkulak menggambarkan bahwa rantai pemasaran yang ada mengalami inefisiensi.

Untuk itulah pemerintah perlu melakukan kajian mengenai rantai pemasaran cabe dan bahan pangan lainnya sehingga dapat diketahui

pada titik mana terjadi inefisiensi pemasaran untuk selanjutnya dapat diambil langkah-langkah penanggulangannya.

Selain itu dari segi UKM, kenaikan harga cabai ini sering dikeluhkan karena menyebabkan keuntungan yang mereka dapatkan

menurun. Hal ini diantisipasi dengan berbagai macam cara oleh para pengusaha, diantaranya dengan menggunakan bahan baku yang

lebih murah dengan mengoplos cabai rawit dengan cabai jenis lain atau mensubstitusinya dengan bahan lain seperti sambal botol,

mengurangi proporsi cabai dalam produk masakannya, hingga menaikkan harga jual.

Atas dasar alasan-alasan tersebut dari hasil proses brainstorming yang baru saja kami lakukan tersebut, secara ringkas hasilnya

dapat ditunjukkan dalam tabel berikut ini:

Beberapa kemungkinan upaya yang dapat dilakukan Mengembangkan teknologi dan inovasi bidang pertanian

Mengembangkan industri baru pengolahan cabai

Membuat badan logistik pangan

Membuat regulasi pengaturan harga

Memotong mata rantai tengkulak

Substitusi bahan baku cabai

Mengurangi proporsi cabai pada proses produksi

Memprioritaskan permintaan lokal daripada ekspor

Mengelola bahan baku sendiri Menambah nilai tambah produk

Mengurangi impor bibit cabai Tabel 2. Daftar NGT

Page 17: Karya Tulis LKTI-isi

Page 17 of 23

BAB V

SOLUSI

Berdasarkan analisis pada bagian sebelumnya yang menghasilkan beberapa poin pada tabel 1, untuk mendekatkan lagi ke arah

penyelesaian masalah yang solutif dan konkrit dalam menghadapi kenaikan harga cabai, poin-poin tersebut kami klasifikasikan

dengan cara mengelompokkan ide-ide yang pada awalnya sangat berbeda menjadi kelompok/kluster yang ternyata memiliki

kesamaan, yakni kesamaan dari sudut pandang pelaksananya, apakah dapat dilakukan oleh pemerintah atau oleh UKM. Poin-poin

yang berdampak luas dan bersifat jangka panjang dikelompokkan ke dalam upaya yang dapat dilakukan pemerintah, sedangkan

poin-poin yang berdampak langsung dan signifikan terhadap UKM masing-masing serta bersifat jangka pendek sehingga

cenderung mudah untuk dilakukan, dikelompokkan ke dalam upaya yang dapat dilakukan oleh UKM. Pengelompokkan tersebut

menggunakan diagram afinitas yang diperlihatkan sebagai berikut:

Gambar 4. Diagram Afinitas

Page 18: Karya Tulis LKTI-isi

Page 18 of 23

Setelah menganalisis sistem dengan seksama, langkah selanjutnya yang dapat dilakukan adalah merumuskan langkah strategis

yang solutif untuk menghadapi dampak akibat peningkatan harga cabai. Langkah tersebut harus pula menjawab berbagai

kemungkinan hambatan yang terjadi saat pelaksanaannya, sehingga dibuatlah beberapa tahapan yang jelas dan tersaji pada Program

Decision Process Chart (PDPC) di bawah ini.

PDPC tersebut dibuat dengan tujuan untuk mengevaluasi solusi yang tersedia serta dikombinasikan dengan hambatan yang

mungkin ada dalam pelaksanaannya. Sehingga solusi yang didapatkan merupakan solusi yang telah terseleksi dan solutif dalam

menanggulangi dampak cabai. Pada PDPC di bawah ini, solusi menanggulangi kenaikan harga cabai dibagi menjadi dua yakni

berdasarkan strategi yang dapat dilakukan oleh UKM terkait dan langkah yang dapat dilakukan oleh pemerintah.

Pada cabang yang pertama merupakan cabang yang mengevaluasi kemungkinan solusi yang dapat dilakukan oleh UKM dalam

menanggulangi dampak kenaikan cabai, diantaranya dengan meningkatkan harga jual, mengurangi beban biaya produksi dan biaya

bahan baku dengan membeli langsung kepada petani. Jika pelaku produksi melakukan peningkatan harga jual produk kepada

pelanggan, maka efeknya adalah pelanggan akan kecewa dan kehilangan daya belinya, sehingga solusi tersebut menurut kami bukan

solusi yang tepat. Kemudian pada cabang berikutnya yaitu dengan mengurangi biaya produksi, hambatan yang akan terjadi nantinya

adalah proses produksi akan terganggu jika ada komponen biaya produksi yang harus dipangkas. Namun hal tersebut dapat

diantisipasi dengan cara memberikan nilai tambah lain kepada pelanggan seperti dengan meningkatkan pelayanan, menambah variasi

Page 19: Karya Tulis LKTI-isi

Page 19 of 23

Gambar 5. PDPC Pengembangan Solusi

Page 20: Karya Tulis LKTI-isi

Page 20 of 23

produk, memberikan kemasan yang menarik atau bahkan siasat yang menarik lainnya seperti memberikan promo berupa pembagian

bibit cabai gratis bagi setiap pelanggan yang berbelanja juga merupakan salah satu ide yang menarik bagi pengusaha untuk menarik

pelanggannya sekaligus mendukung tingkat produksi cabai skala kecil. Solusi lainnya adalah dengan mengurangi pengeluaran untuk

bahan baku dengan membeli langsung dari petani atau dari agen terdekat dari petani. Namun hal tersebut akan menimbulkan

hambatan berupa ketergantungan terhadap petani. Sehingga untuk mengantisipasi hal tersebut, cara yang dapat dilakukan adalah

dengan mengelola bahan baku sendiri ataupun menyediakan lahan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri tersebut.

Pada cabang utama berikutnya adalah menjelaskan tentang upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah dengan memperbaiki

sistem manajemen pangan. Sistem manajemen pangan dapat diperbaiki dengan cara memiliki sistem pertanian yang unggul,

mengendalikan stok pangan nasional serta menjamin stabilisasi harga pangan nasional. Untuk memiliki sistem pertanian yang unggul

terdapat kendala yang dihadapi yaitu teknologi dalam negeri masih terbatas dan bibit tanaman juga banyak yang masih impor.

Sehingga untuk mengantisipasi hal tersebut pemerintah perlu mendorong berkembangnya teknologi dan inovasi dalam bidang

pertanian di dalam negeri. Pada cabang lainnya tersedia solusi untuk mengendalikan stok pangan nasional. Namun untuk melakukan

hal itu, Indonesia belum memiliki badan khusus yang mengatur dan mengawasi kondisi pangan nasional, selain BULOG yang hanya

mengurusi persoalan beras. Untuk itulah perlu dibentuk suatu badan pengawasan pangan yang dapat mengawasi kondisi pangan di

dalam negeri. Dan solusi yang terakhir adalah dengan melakukan stabilisasi harga pangan nasional. Namun untuk melakukan

stabilisasi harga tersebut, Indonesia belum memiliki regulasi yang kuat dan jelas dalam melakukan kontrol harga. Sehingga diperlukan

adanya regulasi tersebut agar pemerintah dapat berperan penting dan berperan langsung dalam mengendalikan harga pangan

khususnya cabai. Solusi akhir tersebut sesuai dengan poin-poin yang tertera dalam diagram afinitas yang telah dibahas dalam bab

analisis sebelumnya. Sehingga terlihat jelas keterkaitan antara tools yang kami gunakan dalam menyelesaikan permasalah ini.

Page 21: Karya Tulis LKTI-isi

Page 21 of 23

BAB VI

PENUTUP

V.1. Kesimpulan

Dari analisis yang telah secara jelas dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa:

• Untuk dapat menyelesaikan persoalan kenaikan harga ini secara tuntas, perlu digunakan pola pandang sistem guna melihat

keseluruhan keterkaitan masalah yang menjadi penyebab kenaikan harga ini.

• Secara umum, terdapat 4 faktor utama yang mendorong kenaikan harga ini yaitu buruknya pengelolaan stok pangan nasional,

spekulasi para tengkulak, hasil panen buruk, dan lemahnya regulasi pengaturan harga oleh pemerintah.

• Diperlukan suatu metode untuk mengidentifikasi permasalahan ini secara jelas, sehingga solusi dan alternatif yang ditawarkan

bukan hanya sekedar solusi parsial namun solusi yang komperhensif dan menyeluruh.

V.2. Saran

Selama ini, realita di Indonesia adalah masih belum unggulnya sektor pertanian untuk menjamin stabilisasi pasokan secara

berkelanjutan. Hal ini karena terkait dengan teknologi dalam negeri yang masih terbatas dan bibit tanaman juga banyak yang masih

impor. Sehingga untuk mengantisipasi hal tersebut pemerintah perlu mendorong berkembangnya teknologi dan inovasi dalam bidang

pertanian di dalam negeri. Kemudian untuk mengendalikan stok pangan nasional perlu dibentuk suatu badan pengawasan pangan yang

dapat mengawasi kondisi pangan di dalam negeri. Dan solusi yang terakhir bagi pemerintah adalah dengan melakukan stabilisasi

Page 22: Karya Tulis LKTI-isi

Page 22 of 23

harga pangan nasional. Untuk itu diperlukan adanya regulasi pengaturan harga agar pemerintah dapat berperan penting dan berperan

langsung dalam mengendalikan harga pangan khususnya cabai.

Selain itu khusus untuk UKM, saran yang dapat dilakukan adalah dengan tidak menaikkan harga jual produksi. Kemudian jika

akan mengurangi biaya produksi sebaiknya disertai dengan cara memberikan nilai tambah lain kepada pelanggan seperti dengan

meningkatkan pelayanan, menambah variasi produk, memberikan kemasan yang menarik, atau bahkan siasat yang menarik lainnya

seperti memberikan promo berupa pembagian bibit cabai gratis bagi setiap pelanggan yang berbelanja juga merupakan salah satu ide

yang menarik bagi pengusaha untuk menarik pelanggannya sekaligus mendukung tingkat produksi cabai skala kecil. Solusi lainnya

adalah dengan mengurangi pengeluaran untuk bahan baku dengan membeli langsung dari petani atau dari agen terdekat dari petani.

Sehingga untuk mengantisipasi hal tersebut, cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengelola bahan baku sendiri ataupun

menyediakan lahan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri tersebut.

Page 23: Karya Tulis LKTI-isi

Page 23 of 23

DAFTAR PUSTAKA

Fakultas Pertanian Universitas Janadabra. 6 Januari 2011. Harga Cabe Tembus Rp 150 Ribu Catat Rekor Kenaikan Tertinggi untuk Semua Komoditi. http://pertanianjanabadra.webs.com/apps/blog/entries/show/5788785-kamis-06-januari-2011-09-28-00-harga-cabe-tembus-rp-150-ribu-catat-rekor-kenaikan-tertinggi-untuk-semua-komoditi, diakses tanggal 22 Januari 2011)

Info Jambi Online. 9 Januari 2011. Lonjakan Harga Cabai Karena Gagal Panen http://www.infojambi.com/v.1/ekonomi-a-info-bisnis/12870.html?task=view, diakses tanggal 23 Januari 2011)

Jawa Pos National Network. 5 Januari 2011. Lonjakan Cabe Disnyalir Ulah Spekulan.(http://www.jpnn.com/read/2011/01/05/81171/Lonjakan-Harga-Cabe-Disinyalir-Akibat-Ulah-Spekulan, diakses tanggal 23 Januari 2011)

Liputan 6.com. 8 Januari 2011. Kenaikan Harga Cabai Pengaruhi Omzet http://berita.liputan6.com/ekbis/201101/314917/Kenaikan.Harga.Cabai.Pengaruhi.Omzet, diakses tanggal 22 Januari 2011)

Nancy R, Tague. 2005. The Quality Toolbox : 2nd Edition. American Society for Quality, Quality Press, Milwaukee.

Nur Hartuti dan Ali Asgar. 1994. Kualitas Bahan Baku dan Hasil Olahan Cabai di Tingkat Industri dan Rumah Tangga. Jurnal Penelitian Holtikultura Vol XXVI, No.2

Tv One. 21 Desember 2010. Harga Cabe Makin Pedas http://ekonomi.tvone.co.id/berita/view/46550/2010/12/21/harga_cabe_makin_pedas_jelang_tahun_baru_2011, diakses tanggal 23 Januari 2011)

Viva News.com. 5 Januari 2011. Kisah "Cabai Gawat" di Pasar Induk Kramatjati. http://bisnis.vivanews.com/news/read/197505-kisah-cabe-gawat-di-pasar-induk-kramat-jati, diakses tanggal 22 Januari 2011)

World Bank. 2010. Indonesia : Gagasan Untuk Masa Depan. http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/280016-1106130305439/617331-1110769011447/810296-1110769073153/SME.pdf, diakses tanggal 23 Januari 2011)