kartika mega (x ips 2)

Upload: dinda-ayu-alestine

Post on 04-Mar-2016

242 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

tugas sma

TRANSCRIPT

DISUSUN OLEH : NAMA : KARTIKA MEGA

KELAS : X - IPS 2

KEKERASAN ANAK DI INDONESIA TERSADIS SEDUNIA

"Pelaku tega menyeterika, menyiram air panas, bahkan membakar hidup-hidup."

Senin, 27 September 2010 | 17:05 WIB

Oleh :Eko Priliawito

Menteri Perlindungan Anak Linda Gumelar jenguk Ferry (5 bulan) yang dianiaya ibu(Antara/ Yudhi Mahatma)VIVAnews- Modus kekerasan terhadap anak di Indonesia masuk dalam kategori paling sadis di dunia. Dari mulai penjualan untuk dijadikan budak seks, sampai kekerasan fisik yang menyebabkan korban jiwa.

Menurut Ketua Komisi Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait, kematian bocah 3,5 tahun bernama Indah Sari di Serpong, Tangerang, yang dibakar ibu kandungnya sendiri, merupakan salah satu buktinya. "Pelaku tega menyeterika, menyiram dengan air panas, bahkan membakar hidup-hidup," ujarnya kepadaVIVAnews.com, Senin, 27 September 2010. Tak cuma itu, Arist membeberkan bahkan ada anak yang digorok ibunya karena tidak punya uang.Kekerasan sadistis yang diterima mereka akan membuat kejiwaan anak bermasalah. Trauma psikologis di masa kecil kemungkinan besar akan memicu mereka membalas dendam kelak atas apa yang pernah mereka alami.

Data Komnas Perlindungan Anak menunjukkan sejak Januari hingga September 2010, ada sebanyak 2.044 kasus kekerasan terhadap anak di seluruh Indonesia. Jumlah tersebut lebih tinggi dari tahun sebelumnya dan 2008.Pada 2009, jumlah kasus hanya 1.998, setahun sebelumnya mencapai 1.826, sedangkan pada 2007 sejumlah 1.510. Pada 2007 kekerasan fisik terhadap anak paling mendominasi. Jumlahnya mencapai 642. Sementara kekerasan seksual berjumlah 527 dan kekerasan psikis mencapai 341.

Pada 2009, kekerasan seksual balik mendominasi. Angkanya mencapai 705. Hal yang sama juga terjadi pada 2010. Kekerasan seksual terhadap anak mencapai 592. Semua kasus tersebut paling banyak terjadi di Jabodetabek.Arist menambahkan, kekerasan seperti itu terjadi karena himpitan ekonomi. Anak meminta susu, sementara ibu tidak dapat memenuhi karena tidak ada uang. Akibatnya, orangtua mengalami depresi luar biasa."Anak menjadi korban karena paling tidak berdaya di dalam sebuah komunitas keluarga," ungkapnya.

Budaya patrialineal juga menjadi faktor penyebab kekerasan seksual. Pria begitu dominan dan tidak bisa diajak bermusyawarah oleh istri, atau bahkan menganiaya sang istri. Karena itu, anaklah kemudian menjadi korban penganiayaan. "Anak menjadi korban pelampiasan amarah sang istri," Arist menerangkan. Lingkungan yang kurang berpendidikan juga kerap menjadi pemicu kekerasan. Yang tragis, sekitar 70 persen pelaku kekerasan terhadap anak adalah ibu, baik itu ibu kandung, ibu tiri, ibu asuh, ataupun ibu guru di sekolah.

Menurut Arist, kasus kekerasan anak yang jumlahnya tidak sedikit ini mestinya mulai menjadi keprihatinan nasional. (Laporan: Dwifantya Aquina | kd)TKI DI UJUNG PANCUNG

Ruyati tiba-tiba dieksekusi mati. Pemerintah kecolongan. Kurang memantau situasi?

Jum'at, 24 Juni 2011

Oleh :Hadi Suprapto

Konferensi Pers Kasus Hukum Pancung Ruyati

VIVAnews- Rumah itu berada di samping jalan aspal yang terbilang baru. Beralamat di Jalan Raya Sukatani Kampung Ceger, Desa Sukadarma, Sukatani, Kabupaten Bekasi, rumah itu cukup mudah dikenal. Dindingnya cerah warna merah muda. Tapi hati penghuninya tengah dirundung mendung.Di luar rumah, beberapa karangan bunga berdiri segar. Ada tulisan 'Bupati Kabupaten Bekasi', 'DPRD Kabupaten Bekasi', ada pula tertanda dari Istri Gubernur Jawa Barat. Tak ada tenda dan kursi yang disewa khusus. Dalam ruang tamu berukuran sekitar 4 x 3 meter persegi, para penghuni berjejer, duduk lesehan di tikar. Ubedawi (59), Een Nuraeni (35), Evi Kurniati (32), Irwan Setiawan (27), serta beberapa sanak keluarga.Sayup-sayup dari dalam terdengar suara pengunjung melantunkan Surat Yasin. Mereka adalah keluarga Ruyati binti Satubi, buruh migrant yang sekonyong-konyong dihukum pancung di Arab Saudi. Tak ada kabar, atau telegram duka cita kepada keluarga Ruyati. Seperti bermimpi, putrinya Een, memegang lekat foto Ruyati yang telah ia copot dari bingkainya. Di foto itu, Ruyati berkerudung hitam. Berkali-kali pula Een menyeka air mata dengan jilbabnya yang sudah basah.Keluarga sempat melarang Ruyati ke Arab Saudi, karena dia sudah tua. "Seharusnya ibu di rumah saja, istirahat. Biar anak-anaknya yang mencari nafkah," kata Evi, putri Ruyati yang kedua. Tapi dia nekat. Bahkan sempat memalsukan umur menjadi sebelas tahun lebih muda. Menurut dia, itu permintaan perusahaan penyalur. Tanpa dimudakan, Ruyati tak boleh ke Arab.

Sudah berkali-kali Ruyati menjadi TKI. Sebelumnya, lima tahun lalu bekerja di Madinah. Yang kedua, Ruyati bekerja selama enam tahun di Kota Abha. Rumah yang ditempati Evi, adalah hasil jerih payah Ruyati. Dari hasil kerja, Ruyati bisa menyekolahkan Evi di keperawatan. Berkat Ruyati, kini Evi bekerja di satu rumah sakit. Yang terakhir, Ruyati bekerja pada seorang keluarga bernama Omar Muhammad Omar Halwani, di Al Khalidiya Makkah, selama satu tahun empat bulan. Di sinilah pangkal petaka itu dimulai.Pada 14 Januari 2010, Warni --teman Ruyati di Arab Saudi, menghubungi keluarga dan mengatakan Ruyati membunuh ibu majikan, Khairiyah binti Hamid (64). Dalam persidangan, Ruyati mengaku membunuh karena sakit hati, sering dimarahi korban. Ruyati pernah berencana melarikan diri, tapi gagal. Pintu rumah selalu dikunci. Sehingga, pada satu kesempatan, tepatnya 12 Januari 2010, Ruyati melawan. Ruyati menghujamkan pisau dapur ke tubuh korban. Dan, meninggallah Khairiyah.

Tak ada ampun di pengadilan Arab, kecuali bila keluarga korban mengampuni. Nyawa dibayar nyawa. Pengadilan pun memutuskan Ruyati harus dihukum pancung. Sayangnya, keluarga tak tahu persis kabar miris ini. Mereka hanya tahu, perempuan 54 tahun itu dituduh membunuh, dan meringkuk di bui.Keluarga Ruyati sudah pergi ke Kementerian Luar Negeri melacak kebenaran kabar itu. Tak hanya itu, keluarga juga mendatangi Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), dan lembaga swadaya masyarakat Perhimpunan Indonesia untuk Buruh Migran Berdaulat (Migrant Care). "Saya minta bantuan ke semua lembaga agar ibu saya diringankan hukumannya," kata Een. Dia tahu, bila terbukti membunuh, ibunya bakal terkena qisas.

Pada Sabtu, 18 Juni 2011, Ruyati dijemput petugas penjara di Makkah. Tak ada sanak keluarga, atau kerabat yang tahu bagaimana prosesnya. Bahkan pengacaranya berkunjung sehari setelah eksekusi. Dia terkejut, sel Ruyati telah kosong. Orangnya telah dieksekusi, ujar Faizol Riza, staf khusus menteri di Kementerian Tenaga Kerja RI.Kritik pun muncul. Bagaimana mungkin eksekusi mati Ruyati yang sudah diketahui sebagai narapidana dengan hukuman mati itu sampai luput dari perhatian pemerintah RI di Arab Saudi?Kegeraman pun meletup. Yang ditunjuk hidungnya siapa lagi kalau bukan pemerintah. Wakil Ketua Komisi I DPR, Tubagus Hasanuddin, mengatakan pemerintah lamban menangani masalah TKI. DPR, kata dia, kerap kali menegur pemerintah karena tak kunjung beres ihwal buruh migran itu. "Kami teriak-teriak, pemerintah tak peduli."

Lembaga yang memantau nasib buruh di manca negara, Migrant Care, menuding pemerintah teledor melindungi nasib pembantu rumah tangga di luar negeri. Kasus Ruyati, kata dia, telah disampaikan kepada pemerintah sejak Maret 2011. "Namun tidak pernah ada tindak lanjutnya," ujar Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah. Kasus Ruyati bukti terang adanya keteledoran dalam diplomasi perlindungan pekerja Indonesia.Tapi tudingan pemerintah tak kerja, sepertinya tak tepat benar. Konjen Republik Indonesia (KJRI) di Jeddah penah menghadiri persidangan Ruyati dua kali, pada 3 dan 10 Mei 2010. Dalam sidang itu, Ruyati didampingi dua penerjemah mahkamah berkebangsaan Indonesia, dan dua orang dari KJRI Jeddah. Pada saat proses investigasi dan reka ulang pun, Ruyati didampingi penerjemah.Konjen Jeddah juga memberikan bantuan hukum, dengan mengirim dua Nota Diplomatik ke Kementerian Luar Negeri Arab Saudi pada 19 Mei 2010 bernomor 1948, dan 14 Agustus Agustus 2010 bernomor 2986. Kedua nota itu meminta akses kekonsuleran seluas-luasnya, termasuk informasi jadwal persidangan, pendampingan dan pembelaan, serta mendapatkan salinan putusan hukum Ruyati.2 PRT KORBAN PENGANIAYAAN MAJIKAN LAPOR KE POLISIMinggu, 26 Mei 2013 - 04:38 wib

Oleh : Irwansyah Putra NasutionMEDAN- Dua Pembantu Rumah Tangga (PRT) asal Jawa Timur dan Kupang mengadukan nasibnya dengan di dampingi wartawan dan Paguyupan Pagar Jati, Jawa Timur untuk wilayah Sumut ke Polresta Medan di Jalan HM Said atas perlakuan penganiayaan yang dilakukan majikannya selama bekerja. Informasi yang dihimpun, kedua PRT tersebut yaitu Fitria Ningsih (19) warga Desa Kebun Aguk, Kecamatan Sawahan, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur dan Sifora Sanam (23) warga Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Menurut pengakuan Fitria Ningsih, dirinya bersama rekannya sudah bekerja selama 15 bulan di rumah majikannya yang bernama Iskandar dan Nety (istri) di jalan Yos Rizal, No. 58 Medan. Selama berkeja di rumah tersebut mendapatkan perlakuan kasar dan tidak manusiawi.

"Saya selalu di pukul dan di siksa oleh majikan tanpa sebab yang jelas, karena tidak tahan atas perlakuan tersebut akhirnya melarikan diri secara diam-diam lalu mengadu ke Polresta Medan," kata Fitri, Sabtu (25/5/2013). Dia menjelaskan, selain mendapatkan perlakuan kasar, gaji selama bekerja di rumah tersebut juga tidak diberikan majikan, apalagi kalau makan selalu diberikan mie instan dan hanya satu kali dalam sehari.

Keduanya berhasil melarikan diri setelah mengambil kunci rumah pada malam hari tanpa sepengetahuan Iskandar lalu kabur dan langsung ke Polresta Medan. Namun saat itu, pada Jumat 24 Mei sekira pukul 23.00 WIB laporan yang disampaikan kepada polisi tidak di terima tanpa alasan yang jelas, dan akhirnya karena takut kedua korban tidur di ruang press room (masih di lingkungan Mapolresta) menunggu pagi.

"Paginya kami ketemu sama abang abang yang diketahui sebagai wartawan dan menceritakan peristiwa yang di alami, hingga akhirnya banyak wartawan datang dan mendampingi untuk membuat laporan," imbuhnya. Akibat penganiayaan yang dilakukan Iskandar, beberapa bagian tubuh Fitria Ningsih mengalami luka memar dan lebam dibagian kepala, bahu, tangan dan kaki.

Sifora Sanam juga mengaku kerap mendapatkan penganiayaan dari Neti (istri Iskandar) saat bekerja, kadang di tampar, di tendang, dan diantukkan ke dinding, karena takut, dirinya tidak melakukan perlawanan.

"Gimana mau ngelawan, rumah kami jauh, uang gak ada, mau pulang ndak tau jalan, makanya tetap tinggal di rumah tersebut," jelasnya. Sifora tidak tahu kemana lagi mau mengadu pasca ditolak laporannya oleh polisi yang berjaga. "Saat itu kami ditanya sama polisi yang jaga, mau kemana, kami bilang mau ngadu, dan saat ditanya kembali sama petugas apakah punya uang untuk keperluan visum, kami bilang tidak dan akhirnya laporan gak jadi di buat," cerita Sifora.

Kasus ini selanjutnya ditangani oleh Polresta Medan berdasarkan laporan nomor : Ver/ R/ 311/ V/ 2013/ SPKT Polresta Medan setelah dilakukan pendampingan oleh sejumlah wartawan dan keluarga besar Paguyupan Pagar Jati Wilayah Sumut, setelah membuat laporan keduanya menjalani visum di rumah sakit Pringadi Medan. Sementara itu, Ketua Pagar Jati Sumut Sudiono Praka yang ikut mendampingi kedua korban sangat menyesalkan perbuatan majikan kedua remaja tersebut yang melakukan penganiayaan sehingga tubuhnya Fitria Ningsih dan Sifora mengalami luka memar dan lebam.

"Saya minta kasus ini di proses hukum, dan pelaku penganiayaan segera ditangkap," pintanya. Menurut Praka, sebagai paguyupan keluarga besar Jawa timur yang ada di Sumut pihaknya akan memulangkan kedua korban ke kampung halamannya masing masing setelah proses hukum berjalan, mungkin pemulangan akan dilakukan pada Senin mendatang, untuk saat ini kedua tinggal di rumah salah satu pengurus agar lebih aman dan psikologisnya tidak terganggu."Kita akan ongkosin keduanya, ini sudah tanggung jawab kami sebagai warga negara, namun sebelum dipulangkan remaja tersebut harus dilakukan pendampingan agar psikologisnya tidak terganggu," ucapnya.

Kanit UUPA Polresta Medan, AKP Haryani saat dikonfirmasi membenarkan adanya laporan tersebut dan akan melakukan proses lanjutan dengan terlebih dahulu menunggu hasil visum. "Kalau hasil visumnya sudah ada baru kita akan lanjutkan dengan pemeriksaan saksi-saksi," tambahnya.

TKW SUKABUMI DISIKSA SAMPAI LUMPUH DI ARAB SAUDISelasa, 8 Oktober 2013 | 21:29 WIBOleh : Kistyarini

SUKABUMI, KOMPAS.com Seorang tenaga kerja wanita asal Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Kokom, warga Desa Cijatu, Kecamatan Jampangkulon, menjadi korban penyiksaan hingga lumpuh oleh majikannya di Arab Saudi."Selama bekerja di dua majikannya tersebut, Kokom tidak pernah mendapatkan gaji, bahkan hampir setiap waktu mendapatkan penyiksaan dari majikannya yang menyebabkan beberapa bagian tubuhnya lumpuh seperti kaki, mata, dan telinga," kata Jejen Nurjanah, Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Jabar, Selasa (8/10/2013).Informasi yang dihimpunAntaradari Serikat Buruh Migran Indonesia cabang Jawa Barat, Kokom yang saat ini berusia sekitar 35 tahun sudah 14 bulan bekerja di Arab Saudi di dua majikan yang berbeda. Majikan pertama diketahui bernama Kholifah Al Mudib dan majikan yang kedua yakni Munah Ilham Muhamad Al Rizky.Keterangan yang didapat Jejen dari korban, di majikannya yang pertama Kokom sering mendapatkan pukulan oleh benda tumpul dan gajinya pun tidak dibayarkan. Karena tidak kuat dengan penyiksaan yang dilakukan majikannya akhirnya Kokom kabur. Kokom pun mendapatkan majikan baru yakni Munah.

Alih-alih mendapatkan majikan yang lebih baik, Munah ternyata lebih kejam dari majikannya yang pertama. Kokom kembali menerima berbagai bentuk penyiksaan meskipun tidak melakukan kesalahan."Saat ini Kokom berada di Konsulat Jenderal RI di Jeddah, Arab Saudi, dan di tubuh korban masih terlihat luka bekas siksaan majikannya, bahkan kaki, mata, dan telinga serta tangan korban tidak bisa berfungsi," tambahnya. Menurut Jejen, saat ini keluarga korban sudah datang ke Kementerian Luar Negeri RI dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI dengan didampingi oleh SBMI.Selain itu, pihaknya juga akan melaporkan kasus penyiksaan ini kepada Komnas Perempuan dan polisi, serta meminta pemerintah mengusut kasus ini dan berkoordinasi dengan Kerajaan Arab Saudi untuk menangkap kedua majikan Kokom tersebut."Kami berharap pemerintah proaktif dalam memberikan bantuan hukum kepada para TKI yang menjadi korban penyiksaan karena hampir setiap tahun ada kasus yang serupa," katanya.

Namun, lanjut Jejen, hukuman paling berat untuk pelaku penyiksaan hanya beberapa tahun saja, atau berupa denda. Setelah itu hak-hak TKI, seperti gaji, tidak diberikan, sehingga tidak sedikit TKI yang pulang hanya mambawa baju atau luka bekas penyiksaan.

MENKES : HENTIKAN MEMASUNG PENDERITA GANGGUAN JIWA12 Mei 2014 at 16:00 WIBOleh : Gabriel Abdi Susanto

TIM Relawan Anti Pasung (RAP) dan RSJ Grogol mengevakuasi penderita gangguan jiwa korban pemasungan di Kampung Karees, Lebak.Liputan6.com, JakartaMenteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengajak pemerintah daerah mewujudkan "Indonesia Bebas Pasung" lebih cepat dari target yang ditetapkan pemerintah pusat secara nasional pada 2019.

"Target Indonesia Bebas Pasung 2019 diharapkan dapat diwujudkan oleh pemerintah daerah lebih cepat dari batas waktu yang ditetapkan itu," katanya usai meresmikan peluncuran pengelolaan dan pemanfaatan dana kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada fasilitas kesehatan tingkat pertama milik pemda di Puskesmas Desa Sukajadi, Kecamatan Talang Kelapa, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, seperti dikutip dari Antara, Senin (12/5/2014).Menurut dia, dalam kondisi zaman sekarang ini, sudah saatnya tindakan masyarakat yang memasung anggota keluarganya yang mengalami sakit jiwa dengan alasan apa pun dihentikan. Untuk menghentikan tindakan pemasungan, diperlukan dukungan dan perhatian dari semua lapisan masyarakat. Penderita gangguan jiwa seharusnya diberikan pengobatan secaran intensif di rumah sakit khusus, bukan malah diasingkan dan dipasung sebagaimana akhir-akhir ini masih banyak dilakukan oleh masyarakat sejumlah daerah di Tanah Air.

Berdasarkan kondisi masyarakat yang hingga kini masih banyak yang melakukan tindakan pemasungan, pihaknya melalui jajaran instansi kesehatan yang ada hingga pelosok desa, berupaya memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa tindakan itu melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan bisa berdampak hukum bagi siapapun yang melakukannya.Melihat kondisi masih banyaknya yang melakukan tindakan pemasungan, pemerintah daerah diharapkan dapat segera melakukan tindakan penertiban dan membuat target bebas pasung dengan secepatnya atau paling tidak sama dengan target pemerintah pusat pada 2019, ujar Menkes. Bupati Musi Banyuasin Pahri Azhari mengatakan pihaknya sangat komitmen untuk memberantas tindakan pemasungan dan mendukung program nasional "Indonesia Bebas Pasung 2019". Guna mencegah adanya masyarakat melakukan pemasungan kepada anggota keluarganya yang mengalami gangguan kesehatan jiwa karena tidak memiliki biaya untuk pengobatan, Dinas Kesehatan Muba diperintahkan memberikan perhatian khusus membantu masyarakat yang mengalami masalah tersebut.Selain itu, demi melindungi masyarakat dari tindakan pelanggaran HAM atas kasus pemasungan itu, Dinkes Muba juga diperintahkan melaksanakan penjaringan, monitoring atau pemantauan penderita jiwa dan kasus pemasungan di 14 kecamatan, katanya. Pahri menjelaskan, sesuai surat Menteri Dalam Negeri No.PEM.29/6/15, Pemerintah Daerah (Pemda) di Indonesia diperintahkan melarang masyarakat melakukan pemasungan dan menindak tegas kepada pelaku pemasungan terhadap penderita jiwa.Upaya pembebasan dari tindakan pemasungan itu sejalan dengan UU N0.36 Tahun 2009 tentang kesehatan yang mengatur upaya kesehatan jiwa untuk menjamin seseorang dapat menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat termasuk bebas dari ketakutan, tekanan dan gangguan lainnya yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan jiwa, ujar bupati.

DITEMUKAN TEWAS DI BAWAH KANDANG AYAM, KASUS ANGELINA HARUS DISERIUSI POLISIRabu, 10 Juni 2015 , 22:10:00

Ditemukan Tewas di Bawah Kandang Ayam, Kasus Angelina Harus Diseriusi Polisi. Ilustrasi JPNN.com

JPNN.com JAKARTA- Kematian Angelina, seorang anak delapan tahun yang di temukan tewas terkubur di bawah kandang ayam, Rabu (10/6) kini menyita perhatian publik. Kepolisian harus mengusut tuntas dugaan atas kematian bocah tersebut. "Kalau ditemukan tewas, polisi harus mengusut, apakah terjadi pembunuhan, penganiayaan, pembiaran yang mengakibatkan kematian," tegas anggota Komisi III DPR Arsul Sani di Gedung DPR, Jakarta.Seperti diketahui, kasus hilangnya Angelina mendapat perhatian Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) Yuddy Chrisnandi. Saat kunjungan kerjanya di Bali, beberapa waktu lali, Yuddy menyempatkan diri mengunjungi kediaman orang tua Angelina, bocah yang dilaporkan hilang sejak 16 Mei lalu.

Menurut Asrul, kasus ini sudah masuk pidana sehingga mesti cepat ditangani oleh kepolisian. "Itu ranah pidana, kita tidak tuduh siapa tersangkanya, tapi penyidik akan telusuri kematian si anak tersebut. Dan tentu kita di dewan pun akan minta polisi usut ini," jelasnya.Arsul menambahkan, apabila ada anggota keluarga yang terlibat atas kematian Angeline harus diproses hukum. "Kalau ada anggota keluarga yang menjadi penyebab meninggalnya, itu harus diproses hukum," tegasnya.

Terlebih jasad Angeline ditemukan di halaman belakang rumah ibu angkatnya. Arsul beranggapan keluarga angkat Angeline sudah melakukan pembohongan publik. "Iya, itu harus dirposses hukum. Itu tdk bukan hanya pidana tp pembohongan publik. Itu menjadi pemberatannya," lanjut Arsul.Bagi Arsul tidak ada alasan untuk pembenaran, apabila keluarga angkat Angeline berstatement hak mereka untuk memberlakukan Angeline sesuka mereka."Tidak bisa dong, kalau ada perlakuan fisik yang membuat hilangnya nyawa, tidak ada istilah anak-anak gua. Anak itu ada UU khusus. Kalau dibawah umur tidak bisa begitu. Melakukan pembiaran saja bisa dipidana. Apalagi ada penganiayaan," tandasnya.(rmol/awa/jpnn)