karsinoma nasofaring

Upload: siti-hardiyanti

Post on 14-Jul-2015

280 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

KARSINOMA NASOFARINGSiti Hardiyanti, Koesbandono, Achmad Dara

I.

PENDAHULUAN Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai diantara

tumor ganas THT di Indonesia, karsinoma nasofaring termasuk dalam lima besar tumor ganas dengan frekuensi tertinggi, sedangkan di daerah kepala dan leher menduduki tempat pertama. Tumor ini berasal dari Fossa Rosenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional, epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa.1,2,3 Penanganan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan suatu masalah, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas serta letak nasofaring yang tersembunyi, sehingga diagnosis sering terlambat. Pada stadium dini, radioterapi masih merupakan pengobatan pilihan yang dapat diberikan secara tunggal dan memberikan angka kesembuhan yang cukup tinggi. Pada stadium lanjut, diperlukan terapi tambahan kemoterapi yang dikombinasikan dengan radioterapi.1

II.

INSIDENS Meskipun banyak ditemukan di negara dengan penduduk non-mongoloid, namun

demikian daerah Cina bagian selatan masih menduduki tempat tertinggi, yaitu dengan 2.500 kasus baru pertahun untuk propinsi Guang-dong (Kwantung) atau prevalensi 39,84 kasus/ 100.000 penduduk/ tahun. Ras mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya kanker nasofaring, sehingga kekerapan cukup tinggi pada penduduk Cina bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Ditemukan pula cukup banyak kasus di Yunani, Afrika bagian Utara seperti Aljazair dan Tunisia, pada orang Eskimo di Alaska dan Tanah Hijau. 1,3 Di Indonesia frekuensi pasien ini hampir merata di setiap daerah. Insidens karsinoma nasofaring di Indonesia mempunyai angka kejadian yang cukup tinggi, yaitu 4,7 kasus baru/ tahun/ 100.000 penduduk. Catatan dari berbagai rumah sakit menunjukkan bahwa karsinoma nasofaring menduduki urutan keempat setelah kanker leher rahim, kanker payudara, dan kanker kulit.1,3

1

III. EPIDEMIOLOGI Kanker nasofaring dapat terjadi pada segala usia, tetapi pada, 75-90% menyerang usia 30-60 tahun. Proporsi pria dan wanita adalah 2-3,8 : 1. Penyakit ini banyak ditemukan pada ras Cina terutama yang tinggal di daerah selatan. Ras mongloid merupakan faktor dominan dalam munculnya kanker nasofaring, sehingga sering timbul di negara-negara Asia bagian selatan. Penyakit ini juga ditemukan pada orang-orang yang hidup di daerah iklim dingin, hal ini diduga karena penggunaan pengawet nitrosamine pada makanan-makanan yang mereka simpan.3,4

IV. ETIOLOGI Terjadinya kanker nasofaring ini disebabkan oleh multifaktorial, proses

karsinogenesisnya mencakup banyak tahap. Faktor yang mungkin terkait dengan timbulnya kanker nasofaring ini adalah kerentanan genetik, Virus Epstein-Barr (EBV), dan faktor lingkungan.3,4,5,6 Virus Epstein-Barr (EBV), juga disebut Human Herpes Virus 4 (HHV-4), adalah suatu virus dari keluarga herpes (yang termasuk Virus Herpes Simpleks dan Cytomegalovirus), yang merupakan salah satu virus-virus paling umum di dalam tubuh manusia.2,3,4,5,6 EBV adalah suatu virus herpes yang replikat-replikat utamanya ada di betalymphocytes tetapi juga ada di dalam sel epitelium kerongkongan dan saluran parotis. Penyebaran infeksi ini biasanya melalui air liur, dan masa inkubasinya adalah empat-delapan minggu.3,4,5

V.

ANATOMI Nasofaring merupakan suatu rongga dengan dinding kaku di atas, belakang dan lateral

yang secara anatomi termasuk bagian faring. Ke anterior berhubungan dengan rongga hidung melalui koana dan tepi belakang septum nasi, sehingga sumbatan hidung merupakan gangguan yang sering timbul. Ke arah posterior dinding nasofaring melengkung ke superoanterior dan terletak di bawah os sphenoid, sedangkan bagian belakang nasofaring berbatasan dengan ruang retrofaring, fasia prevertebralis dan otot-otot dinding faring. Pada dinding lateral nasofaring terdapat orifisium tuba eustakius, orifisium ini dibatasi oleh torus tubarius pada bagian posterior, sehingga penyebaran tumor ke lateral akan menyebabkan sumbatan orifisium tuba eustakius dan akan mengganggu pendengaran. Kearah postero-superior dari torus tubarius terdapat Fossa Rosenmuller yang merupakan lokasi tersering karsinoma nasofaring. Pada atap nasofaring sering terlihat lipatan-lipatan mukosa yang dibentuk oleh 2

jaringan lunak submukosa, pada usia muda dinding postero-superior nasofaring umumnya tidak rata. Hal ini disebabkan karena adanya jaringan adenoid.2 Di nasofaring terdapat banyak saluran getah bening yang terutama mengalir ke lateral bermuara di kelenjar retrofaring Krause (Kelenjar Rouviere).1,2,3,6,7,8

Gambar 1: Anatomi hidung: (dikutip dari kepustakaan 9)

Gambar 2: Anatomi hidung potongan coronal: (dikutip dari kepustakaan 2)

Batas : y y y y y Anterior Posterior Inferior uperior Lateral : Koana / nares posterior : Setinggi columna vertebralis C1-C2 : Dinding atas palatum molle : Basis cranii (os occipital & sphenoid) :Fossa Rosenmulleri kanan dan kiri (dibentuk os maxillaris & sphenoidalis)

Dorsal dari torus tubarius didapati cekungan yang disebut Fossa Rosenmulleri , Nasofaring merupakan bagian nasal dari faring yang terletak posterior dari kavum nasi. Yang disebut kanker nasofaring adalah kanker yang terjadi pada selaput lendir di daerah ini, tepatnya pada cekungan Rosenmuelleri dan tempat bermuaranya saluran Eustachii yang menghubungkan liang telinga tengah dengan ruang faring.7,8 VI. PATOFISIOLOGI Infeksi virus Epstein-Barr dapat menyebabkan karsinoma nasofaring. Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya keberadaan protein-protein laten pada penderita 3

karsinoma nasofaring. Pada penderita ini sel yang terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protein tertentu yang berfungsi untuk proses proliferasi dan mempertahankan kelangsungan virus di dalam sel host. Protein laten ini dapat dipakai sebagai petanda (marker) dalam mendiagnosa karsinoma nasofaring, yaitu EBNA-1 dan LMP-1, LMP- 2A dan LMP-2B.2,3 Selain itu, dibuktikan oleh hasil penelitian Khrisna dkk (2004) terhadap suku Indian asli bahwa EBV DNA di dalam serum penderita karsinoma nasofaring dapat dipakai sebagai biomarker pada karsinoma nasofaring primer. Hubungan antara karsinoma nasofaring dan infeksi virus Epstein-Barr juga dinyatakan oleh berbagai peneliti dari bagian yang berbeda di dunia ini. Pada pasien karsinoma nasofarinag dijumpai peninggian titer antibodi anti EBV (EBNA-1) di dalam serum plasma. EBNA-1 adalah protein nuklear yang berperan dalam mempertahankan genom virus.3 Untuk penentuan stadium dipakai sistem TNM menurut UICC dan AJCC (2002, Edisi VI). 1,10,11,12,13 Tumor Primer (T) y y y y y y y y y Tx T0 Tis T1 T2 T2a T2b T3 T4 = Tumor primer yang belum dapat dipastikan = Tidak tampak tumor = Karsinoma in situ = Tumor berada di nasofaring = Tumor meluas ke jaringan lunak di orofaring dan/atau fossa nasal. = Tanpa perluasan parafaringeal = Dengan perluasan parafaringeal = Tumor menyerang struktur tulang dan/atau sinus paranasal = Tumor dengan extensi intracranial dan/atau keterlibatan CNs, fossa infratemporal, hipofaring, atau orbit.

Nodul (N) y y y y N0 N1 N2 N3 = Nodul regional tidak ada = Nodul regional ada, tapi belum ada perlekatan = Nodul regional ada, sudah ada perlekatan = Metastasis di kelenjar getah bening (s) 4

y y

N3a N3b

= Lebih besar dari 6 cm = Ekstensi untuk fosa supraklavikula

Metastase (M) y y y Mx M0 M1 = Metastatis jauh tidak dapat dinilai = Tidak ada metastasis jauh = Terdapat metastasis jauh

VII. DIAGNOSIS A. Pemeriksaan klinik 2,5 Gejala klinis karsinoma nasofaring dapat dibagi menjadi 4 kelompok yaitu:1. 2. 3. 4.

Gejala nasofaring berupa epistaksis ringan, pilek atau sumbatan hidung. Gejala Telinga berupa tinnitus, rasa tidak nyaman sampai nyeri telinga Gejala saraf berupa gangguan saraf otak. Gejala atau metastasis di leher berupa benjolan di leher.

B. Pemeriksaan Radiologik 1. CT- Scan CT Scan dapat digunakan untuk melihat keberadaan tumor sehingga tumor primer yang tersembunyi pun akan ditemukan. CT scan juga dapat menentukan staging dan bisa melihat konsistensi daripada tulang.14

Gambar 3: CT Scan kepala potongan aksial penderita karsinoma nasofaring. Tampak perluasan tumor yang menyebabkan destruksi fossa pterygopalatine kanan (panah tebal), dibandingkan dengan sisi kontralateral yang normal (panah tipis). (dikutip dari kepustakaan 10 dan 12)

Gambar 4: CT Scan kepala potongan aksial penderita karsinoma nasofaring. Tampak perluasan tumor ke sinus spenoidalils kanan dan sinus ethmoidalis (panah). (dikutip dari kepustakaan 10 dan 12)

5

Gambar 5: CT Scan leher potongan sagital penderita karsinoma nasofaring. Tampak massa tumor yang memenuhi daerah nasofaring (panah) (dikutip dari kepustakaan 6 dan 13)

Gambar 6: CT Scan kepala potongan koronal penderita karsinoma nasofaring. Tampak massa tumor pada daerah parafaringeal kanan yang memenuhi Fossa Rossenmuller kanan dan menyempitkan ruang parafaringeal. (dikutip dari kepustakaan 13)

2. MRI dapat digunakan untuk mengevaluasi tumor dan MRI dapat membedakan intensitas tinggi mukosa dari intensitas sinyal yang lebih rendah dari torus tubarius dan porsio intrapharyngeal dari otot levator palatini.14

Gambar 7

Gambar 8

Gambar 7 dan 8. MRI kepala potongan aksial T1WI penderita karsinoma nasofaring (gambar 7). Pasca pemberian kontras Gadolinium (gambar 8). Tampak massa tumor isointens meluas ke parafaringeal pada T1WI (anak panah Gambar 7), massa tampak menyangat kontras (anak panah Gambar 8). (dikutip dari kepustakaan 7 dan 10)

6

C. Pemeriksaan Patologi anatomi Dari pemeriksaan secara mikroskopis low power, gambaran PA pada karsinoma nasofaring memperlihatkan syncytial pattern dari sel atipik dengan nucleus vesikuler ovoid, nucleus prominent, dan pinggir sel yang sebagian besar sudah terdapat infiltrasi radang dari sel limfosit dan beberapa eosinophil. Pemeriksaan PA ini sangat penting dalam menentukan jenis tumor padat yang akan sangat berguna untuk menentukan tindakan terapi yang akan diberikan kepada pasien. Pada umumnya derajat keganasan tumor berrgantung pada derajat deferensiasi sel. Makin jelek derajat deferensiasi sel maka semakin ganas tumor padat tersebut.13

Gambar 9: Gambaran PA karsinoma nasofaring: memperlihatkan syncytial pattern dari sel atipik dengan nucleus vesikuler ovoid, nucleus prominent, dan indistinct pinggir sel yang sebagian besar sudah terdapat infiltrasi radang dari sel limfosit dan beberapa eosinophil: (dikutip dari kepustakaan 13).

VIII. DIAGNOSIS BANDING A. Juvenile Angiofibroma nasofaring Tumor jinak pembuluh darah di nasofaring yang secara histologis jinak namun secara klinis bersifat ganas karena berkemampuan merusak tulang dan meluas ke jaringan di sekitarnya. Juvenile Angiofibroma lebih sering ditemukan pada lakilaki. Umumnya ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda 7-19 tahun dan jarang pada usia > 29 tahun.2,3,8,14,15

7

Gambar 10 : MRI kepala potongan aksial T2WI penderita Juvenile Angiofibroma nasofaring. Tampak massa tumor hiperintens pada kavum nasi kanan yang berpusat pada foramen sphenopalatina dan meluas ke fossa ptrygopalatine. (dikutip dari kepustakaan 10 dan 14 )

B. Tumor Sinonasal Sinonasal tumor adalah tumor yang terjadi di rongga hidung atau sinus hidung. Tumor ini jarang terjadi, hanya sekitar 3% dari tumor di saluran pernapasan bagian atas. Umumnya lebih sering pada laki-laki 2:1. Etiologinya belum diketahui, diduga beberapa zat hasil industri antara lain nikel, debu kayu, kulit, formaldehid, kromium, minyak isopropil, dan lain-lain.16

Gambar 11 : MRI kepala potongan coronal coronal T2WI penderita tumor sinonasal. Tampak Massa heterogen dengan intensitas hiperintens dalam rongga

hidung kanan, melekat pada septum hidung. Menutup ostiomeatal kompleks kanan dan menyebabkan terjadinya sinusitis maksillaris kanan.(dikutip dari kepustakaan 14)

8

IX.

PENATALAKSANAAN Radioterapi hingga sekarang masih merupakan terapi utama dan pengobatan tambahan

yang dapat diberikan berupa bedah diseksi leher, pemberian tetrasiklin, interferon, kemoterapi, dan vaksin antivirus. Perhatian terhadap efek samping dari pemberian radioterapi, seperti mulut terasa kering, jamur pada mulut, rasa kaku di leher, sakit kepala, mual dan muntah kadang-kadang dapat timbul. Oleh karena itu dapat dianjurkan pada penderita untuk membawa air minum dalam aktivitas dan berusaha menjaga kebersihan pada mulut, dan gigi. Pemberian vaksin pada penduduk dengan risiko tinggi dapat dilakukan untuk mengurangi angka kejadian penyakit ini pada daerah tersebut.1 Sampai saat ini radioterapi masih merupakan pilihan utama pengobatan KNF. Pertimbangan pemilihan radiasi sebagai pengobatan pilihan utama didasarkan pada dua pertimbangan yaitu pertama bahwa secara histopatologi kebanyakan KNF 75%-95% dari jenis karsinoma undifferentiated (WHO3) dan karsinoma non keratinisasi (WHO2) yang tergolong radioresponsif apalagi pada stadium awal, kedua karena letak KNF yang sulit dicapai melalui metoda pembedahan. KNF juga cenderung menginfiltrasi jaringan sekitar sehingga operasi yang bersih dengan prinsip operasi luas (wide excision) sulit dilaksanakan. Radioterapi pada pengobatan KNF dilakukan dengan dua cara yaitu radiasi eksternal dan radiasi internal (brakiterapi). Brakiterapi adalah suatu metode penyinaran langsung ke daerah nasofaring dengan jalan memasukkan suatu alat berupa implan intertisial atau inserasi intrakavitas secara temporal pada ruang nasofaring. Pengobatan KNF dengan radiasi menggunakan sinar gama untuk mematikan atau menghilangkan (eradikasi) seluruh sel kanker yang ada di nasofaring dan metastasisnya di kelenjar getah bening leher. Radiasi eksternal diberikan secara homogen pada daerah nasofaring dan sekitarnya yang meliputi fosa serebri media, dasar tengkorak, koana dan daerah parafaring sepertiga leher bagian atas. Radiasi diberikan dari arah lateral kanan dan kiri serta ditambah dari arah depan bila ada perluasan tumor ke hidung dan sekitarnya. Radiasi dengan pesawat Co60 yang memancarkan sinar gamma diberikan beberapa kali dengan dosis terbagi (fraksinasi), yaitu radiasi dosis 200 cGy setiap fraksi pemberian 5 kali seminggu selama 67,5 minggu. Dosis yang dibutuhkan untuk eradikasi tumor bergantung dari banyaknya sel kanker (besarnya tumor). Tumor yang masih dini (T1 dan T2) dapat diberikan radiasi menggunakan Cobalt 60 dengan dosis sebesar 200 220 cGy per fraksi, 5 kali seminggu tanpa istirahat mencapai dosis total 6000 6600 cGy dalam 6 9

minggu. Sedangkan untuk KNF dengan ukuran tumor yang lebih besar (T3 dan T4) dianjurkan diberikan dosis total radiasi pada tumor primer di nasofaring yang lebih tinggi yaitu 7000 7500 cGy. Selain radiasi eksternal, booster dapat diberikan bila masih didapatkan residu tumor dengan area diperkecil hanya pada tumornya saja sebesar 1000 1500 cGy sehingga mencapai dosis total 7500 8000 cGy. Booster ini umumnya diberikan dengan cara radiasi internal (brakiterapi). Meskipun sering kali didapatkan regresi tumor yang cepat sebagai respons radioterapi, namun dilaporkan sering kali juga mengalami kekambuhan. Respon tumor KNF pada radioterapi bervariasi, rata-rata respons secara keseluruhan berkisar antara 25% 65%. Kegagalan kontrol lokal (local failure) pada radioterapi KNF stadium lanjut sangat tinggi sekitar 50% 80%. Dengan radioterapi kemampuan hidup keseluruhan (overall survival) pasien KNF berkisar 50%. Angka kemampuan hidup 5 tahun (5-years survival rate) pada stadium awal berkisar antara 50-90%, sedangkan untuk stadium lanjut (stadium III dan IV) angka kemampuan hidup 5 tahun berkisar 17-60%. Menurut Hussey tindakan biopsi pasca radioterapi untuk memastikan residu secara histopatologik dapat meningkatkan risiko radionekrosis pada re-radiasi. Atas dasar pertimbangan ini maka tindakan biopsi nasofaring pasca radioterapi pada KNF dengan indeks mitosis tinggi atau tumbuh progresif sebaiknya hanya dilakukan bila tampak nyata adanya masa tumor di nasofaring. Sedangkan untuk KNF dengan pertumbuhan yang lambat, bila tidak dijumpai tumor residif atau gejala klinis yang nyata dianjurkan melakukan biopsi setelah 10 12 minggu. Faktor-faktor yang mempengaruhi respons KNF terhadap radiasi antara lain keadaan umum, kadar Hb, sistem imun, biologi tumor, derajat diferensiasi, jenis histopatologi dan dosis. Keadaan umum pada saat menjalani radioterapi menentukan respons sel terhadap radiasi. Kadar hemoglobin yang rendah mempengaruhi oksigenasi sel kanker. Sel kanker yang hipoksik lebih radioresisten. Hal ini akan menurunkan prognosis penderita. Status imunologi CMI (cell mediated immunity) dilaporkan mempengaruhi respons KNF terhadap radioterapi. Penderita dengan respons imun seluler rendah sebelum radioterapi dan tetap rendah pasca terapi mempunyai prognosis jelek.1,3

10

B. Kemoterapi Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan kambuh.1,8 C. Operasi Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau adanya rekurensi kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologik. Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang rekuren atau adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain.1,9

X.

PROGNOSIS Prognosis karsinoma nasofaring secara umum tergantung pada pertumbuhan lokal dan

metastasenya. Prognosis dan pilihan pengobatan bergantung pada hal berikut: y Stadium kanker (apakah itu mempengaruhi bagian dari nasofaring, melibatkan seluruh nasofaring, atau telah menyebar ke tempat lain dalam tubuh). y y y Jenis kanker nasofaring. Ukuran tumor. Umur pasien dan kesehatan umum.

11

Daftar Pustaka

1. Efiaty A. Karsinoma nasofaring. Dalam: Nurbaiti,Jenny,Ratna, editor. Buku ajar ilmu kesehatan THT kepala & leher Edisi VI. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007; 182-87. 2. Mansjoer A. Karsinoma nasofaring. Dalam: Arif,Kuspuji,Rakhmi,Wahyu, Wiwiek, editor. Kapita selekta kedokteran Edisi III. Jakarta: Media Aesculapius, 2001; 110-11 3. Desen W. Tumor kepala dan leher. Dalam: Desen W, editor. Buku ajar onkologi klinis Edisi II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007; 263-78. 4. Cumming W. Charles. Nasopharingeal Carcinoma. Dalam: Funt W. Paul, editor. Cummings Otolaryngolongy Head and Neck Surgery Edisi 4. Philadelphia: Mosby, 2005; 1-13 5. Silor F. Paulus. Karsinoma nasofaring. Medicine and Linux [serial on line]. 2009 [cited 2011 september 10]. Available from URL : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3463/1/tht-hary2.pdf 6. Wei I. William. Nasopharyngeal Cancer. Head and Neck Surgery Otolaryngologi.. Jakarta: Lippincott Williams & Wilkins, 2006; 1658-1663 7. Lee NY dan Chao KS. Nasopharynx. Dalam: Chao KS, editor. Practical essentials of intensity modulated radiation therapy Edisi II. Philadelphia: Lippincoot Williams & Wilkins, 2005; 137-41. 8. Adams GL. Penyakit-penyakit nasofaring dan orofaring. Dalam: Adams, Boies, Higler, editors. Boies: Buku ajar penyakit THT Edisi VI. Jakarta: EGC, 1997; 320-55 9. Liston SL. Embriologi, anatomi, dan fisiologi rongga mulut faring, esophagus dan leher. Dalam: Adams, Boies, dan Higler, editors. Boies: Buku ajar penyakit THT Edisi VI. Jakarta: EGC, 1997; 263-71. 10. Chong H.F. Vincent. Neoplasma of the Nasopharynx. Head and Neck Cancer Imaging. Jakarta: Lippincott Williams & Wilkins, 2006; 144-153 11. Lo S. Nasopharynx, Squamous Cell Carcinoma. Emedicine. .[serial on line]. 2009. [cited 2010 jan 10]. Available from URL: http://emedicine.medscape.com/article/384425-overview 12. Mafee MF. Nasopharyngeal carcinoma. Dalam: Mahmud, Galdino, Minerva, Editors. Imaging of the head and neck. Stuttgart: Thieme, 2005; 569-72. 13. Prayogo N. Manajemen Metastase Kanker Ke Tulang. Dalam: Aru, editors. Buku Ajar Penyakit Dalam. Edisi IV Jilid II . Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006; 881-884. 12

14. Hermans R. Neoplasms of the Sinonasal Cavities. Head and Neck Cancer Imaging. Jakarta: Lippincott Williams & Wilkins, 2006; 192-210 15. Tewfik L. Ted. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Medicine and Linux [serial on line]. 2010 [cited 2011 september 11]. Available from URL : http://emedicine.medscape.com/article/872580-overview#showall 16. Otolaringology. Sinonasal. [serial online] 2010. Avaliable from URL :

http://www.mcw.edu/ENT/Procedures/RhinologyandSinusSurgery/SinonasalTumors

13