karena suhu lebih tinggi dari pada suhu ideal, maka...
TRANSCRIPT
FTIP001648/049
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
34
BAB IV
HASIL PEMBAHASAN
4.1 Pengamatan Penunjang
Pengamatan penunjang menghasilkan data primer yang terdiri dari suhu,
kelembaban udara, evapotranspirasi potensial (ETo), sifat fisik dan kimia fly ash
dan bokashi fly ash, pertumbuhan gulma serta hama dan penyakit yang menyerang
tanaman selama penelitian.
4.1.1 Suhu dan kelembaban udara
Suhu dan kelembaban udara adalah bagian dari iklim yang mempengaruhi
pertumbuhan tanaman cabai disamping curah hujan. Pengukuran suhu dan
kelembaban dimulai pada saat tanaman mengalami perlakuan Pengukuran ini
dilaksanakan di lahan percobaan yang digunakan sebagai tempat penelitian. Pada
penelitian ini suhu dan kelembaban udara di ukur 3 kali setiap hari yaitu pada
pukul 8 pagi, pukul 12 siang dan juga pada pukul 5 sore. Data hasil pengamatan
suhu dan kelembaban udara, kecepatan angin dan evaporasi dapat dilihat pada
Tabel 4.1 dan data lengkapnya pada Lampiran 8.
Tabel 4.1 Rata-rata suhu dan kelembaban udara selama penelitian.
HSTPagi (08.00) Siang (12.00) Sore (17.00)
Suhu(°C)
Kelembaban(%)
Suhu(°C)
Kelembaban(%)
Suhu(°C)
Kelembaban(%)
Rata-rata
26,06 43,44 34,13 23,25 26,75 46,97
Dari tabel di atas terlihat bahwa suhu rata-rata selama penelitian adalah
antara 26,06°C – 34,13°C dengan kelembaban udara antara 23,25% - 46,97%,
sedangkan menurut Tjahjadi (1991) suhu ideal untuk pertumbuhan tanaman cabai
adalah antara 24oC – 27oC, dan suhu ideal untuk pertumbuhan buah adalah 16oC –
23oC.
FTIP001648/050
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
35
Karena suhu lebih tinggi dari pada suhu ideal, maka kuncup bunga dan
buah muda dapat berguguran, sehingga produktivitas tanaman dapat menurun
secara drastis (Pitojo, 2003). Hal inilah yang teramati selama masa pembungaan
terjadi, karena suhu pada siang hari yang tingg di atas 27oC, banyak bunga dan
buah muda yang berguguran.
4.1.2 Sifat fisik tanah
Data hasil analisis fisik dan kimia tanah dapat dilihat pada Lampiran 9.
Berdasarkan data tersebut diketahui komposisi liat sebesar 32,1%, komposisi debu
54%, dan pasir 13,9%. Menurut Herdjowigeno (2003), komposisi ketiga tekstur
tersebut mengindikasikan bahwa jenis tanah yang digunakan sebagai media tanam
adalah liat berdebu.
Menurut Pitojo (2003), tanaman cabai menghendaki tanah dengan sifat
fisik gembur, remah, dengan drainase yang baik. Tanah-tanah yang dapat
dijadikan media penumbuhan cabai di antaranya adalah tanah lempung berpasir,
liat berpasir, lempung liat berpasir, dan liat berdebu. Dengan demikian, tanah
yang digunakan sebagai media tanam telah sesuai untuk penanaman cabai merah
besar.
4.1.3 Pemberian air
Cabai merah termasuk tanaman yang tidak tahan terhadap kekeringan,
tetapi juga tidak tahan terhadap genangan air. Air tanah dalam keadaan kapasitas
lapang sangat mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman cabai merah
(Welles, 1990).
Kelembaban tanah yang ideal untuk pertumbuhan dan hasil cabai merah
berkisar antara 60-80 kapasitas lapang. Jumlah kebutuhan air per tanaman selama
fase pertumbuhan vegetatif adalah 200 ml/hari dan meningkat menjadi 400 ml/
hari pada fase pembungaan dan pembuahan (Sumarna dan Kusandriani, 1992).
FTIP001648/051
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
36
Data pemberian air sebagaimana terlihat pada Lampiran 10 menunjukkan
bahwa pemberian air pada minggu pertama hingga minggu ke enam berkisar
antara 271,43 ml/hari – 667,14 ml/hari, kemudian pada minggu selanjutnya
pemberian air meningkat hingga 1.270 ml/hari pada minggu ke delapan belas.
Gambar 4.1 Rata-rata jumlah pemberian air semua perlakuan per minggu.
Evapotranspirasi potensial (ETo) rata-rata sebesar 6,44 mm/hari
(Lampiran 8). Nilai Kc tanaman cabai pada berbagai fase pertumbuhan adalah
sebagaimana tabel berikut.
Tabel 4.2 Nilai koefisien tanaman (Kc) cabai pada berbagai fase pertumbuhan.
Fase pertumbuhan tanaman cabaiRata-rata
Awal Vegetatif Pembungaan Pembuahan Pemasakan
0,30-0,40 0,60-0,75 0,95-1,10 0,85-1 0,80-0,90 0,70-0,80
Sumber : Doorenbos dan Kassam (1979)
Menurut Jensen (1980), nilai koefisien tanaman (Kc) diperoleh dari hasil
perbandingan antara evapotranspirasi tanaman (ETc) dengan evapotranspirasi
potensial (ETo). Dengan demikian, ETc merupakan hasil kali antara ETo dengan
0.00200.00400.00600.00800.00
1000.001200.001400.00
Min
ggu
1
Min
ggu
2
Min
ggu
3
Min
ggu
4
Min
ggu
5
Min
ggu
6
Min
ggu
7
Min
ggu
8
Min
ggu
9
Min
ggu
10
Min
ggu
11
Min
ggu
12
Min
ggu
13
Min
ggu
14
Min
ggu
15
Min
ggu
16
Min
ggu
17
Min
ggu
18
Rata-rata pemberian air (ml/hari)
FTIP001648/052
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
37
Kc. Dari data di atas dapat diketahui bahwa nilai evapotranspirasi tanaman aktual
(ETc) untuk mengetahui jumlah pemberian air ideal adalah sebagai berikut.
Tabel 4.3 Penghitungan jumlah air yang dibutuhkan tanaman berdasarkan dataevapotranspirasi potensial (ETo) dan koefisien tanaman (Kc).
VariabelFase pertumbuhan tanaman cabai
Awal Vegetatif Pembungaan Pembuahan Pemasakan
Kc 0,30-0,40 0,60-0,75 0,95-1,10 0,85-1 0,80-0,90
ETo
rata-rata
(mm/hari)
6,44 6,44 6,44 6,44 6,44
ETc (mm)
Diameter polybag (d) = 400 mm, luas polybag (A) = 125.600 mm2
Jumlah
pemberian
air =
A x ETc
(ml)
242,66 -
323,55
485,32 -
606,65
768,42 -
889,75
687,53 -
808,86
647,09 -
727,98
Jumlah pemberian air ideal berdasarkan evapotranspirasi aktual (ETc)
berkisar antara 242,66 ml – 889,75 ml, sedangkan pemberian air selama penelitian
berkisar antara 271,43 ml/hari – 1.270 ml/hari. Dari tabel di atas dapat diketahui
bahwa jumlah pemberian air yang diberikan telah mencukupi jika didasarkan pada
besar evapotranspirasi aktual (ETc).
4.1.4 Karakteristik kimia fly ash dan bokashi fly ash
1. Kandungan unsur hara makro
Fly ash dan bokashi fly ash pada penelitian ini ditujukan sebagai pupuk
dasar. Pupuk dasar adalah pupuk yang diberikan saat pengolahan tanah seperti
penggemburan dan pembuatan bedengan (Prihmantoro, 2000). Bahan dasar dalam
pembuatan bokashi fly ash adalah jerami, fly ash, dedak kasar, sekam, gula pasir
dan EM-4. Pada umumnya komponen yang diukur pada pupuk dasar adalah
FTIP001648/053
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
38
kandungan unsur hara makro, nisbah C/N, dan kandungan C organik. Berikut
adalah hasil analisis unsur hara makro pada fly ash dan bokashi fly ash yang
dibandingkan dengan pupuk dasar lain yang biasa digunakan, yaitu kompos dan
pupuk kandang.
Tabel 4.4 Kandungan unsur hara makro pada berbagai jenis pupuk dasar.
No. Parameter Satuan
Jenis pupuk dasar
SNI kompos(19-7030-2004)
Flyash*
Bokashifly ash*
Kompos**Pupukkotoran
domba***1. C-Organik % 16,36 26,95 8,20 31 9,8 - 322. C/N - 16,68 29,29 23 44,29 10 - 203. N % 0,98 0,92 0,09 0,70 Min. 0,44. P2O5 % 0,09 1,39 0,36 0,40 Min. 0,15. K2O % 2,10 1,93 0,81 0,45 Min. 0,2
Keterangan: *) Laboratorium Kimia Tanah Fakultas Pertanian Unpad (2012).**) Prihmantoro (2000).
***) Sutanto (2002).
Pada Tabel 4.4 di atas dapat terlihat bahwa kandungan C-Organik fly ash
dan bokashi fly ash lebih tinggi dari pada kompos dan lebih rendah dari pupuk
kotoran domba. Nisbah C/N pada kedua jenis pupuk yang diuji (fly ash dan
bokashi fly ash) berbeda, karena pada bokashi fly ash dilakukan penambahan
bahan organik, namun keduanya telah memenuhi persyaratan SNI Kompos 19-
7030-2004 (Lihat Lampiran 11). Kandungan nitrogen (N) pada kedua jenis pupuk
yang diuji telah memenuhi standar SNI 19-7030-2004, serta lebih tinggi jika
dibandingkan dengan pupuk kompos dan pupuk kotoran domba. Kandungan
fosfor (P) pada bokashi fly ash adalah yang tertinggi dibandingkan dengan ketiga
jenis pupuk dasar lainnya, dan telah memenuhi syarat minimum P sebagaimana
yang disyaratkan oleh SNI 19-7030-2004. Tetapi, untuk fly ash kandungan unsur
P-nya tidak memenuhi standar tersebut. Sementara itu, kandungan kalium (K)
pada fly ash dan bokashi fly ash telah memenuhi syarat kandungan minimum K
sebagaimana SNI 19-7030-2004 dan lebih tinggi nilainya jika dibandingkan
dengan kedua jenis pupuk dasar lainnya. Dengan demikian, dilihat dari segi
FTIP001648/054
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
39
kandungan unsur hara makro, fly ash dan bokashi fly ash cenderung lebih baik
dibandingkan dengan pupuk dasar lain yang biasa digunakan, yaitu kompos dan
pupuk kotoran domba, dan telah memenuhi persyaratan nilai NPK standar pada
pupuk kompos berdasarkan SNI 19-7030-2004, kecuali unsur P pada fly ash yang
nilainya lebih kecil dari standar SNI.
2. Kandungan logam
Analisis kandungan logam di dalam fly ash dan bokashi fly ash dilakukan
untuk mengetahui kandungan logam berbahaya yang terdapat di dalamnya.
Setelah dilakukan analisis sebagaimana terlihat pada Tabel 4.5 diketahui bahwa
logam dengan konsentrasi tertinggi adalah besi (Fe) untuk fly ash dan seng (Zn)
untuk bokashi fly ash.
Tabel 4.5 Hasil analisis kandungan berbagai jenis logam di dalamfly ash dan bokashi fly ash.
Logam Berat Fly Ash*BokashiFly Ash*
Batas antaradefisiensi dan
kecukupanunsur hara
pada berbagaitanaman**
SNIKompos(19-7030-
2004)
Seng (Zn) ppm 277 84,5 10 - 21 0 - 500Tembaga (Cu) ppm 29,8 36,4 5 - 10 0 - 100Kadmium (Cd) ppm tt 6,47 0 0 - 3Krom (Cr) ppm 75,5 tt 0 0 - 210Timbal (Pb) ppm tt 67,1 0 0 - 150Besi (Fe) ppm 62.081 80,7 10 - 70 0 – 20.000Arsen (As) ppm tt tt 0 0 - 13Mangan (Mn) ppm 1.174 4,39 10 - 21 0 – 1.000Nikel (Ni) ppm 37,0 44,8 0 0 - 62Kobal (Co) ppm 10,98 23,4 0 0 - 34Keterangan : *Puslitbang Tekmira (2012).
** Sanchez (1976) dalam Hardjowigeno (2003).
Di antara semua logam yang diuji, timbal (Pb) merupakan salah satu
logam trace elements yang paling berbahaya, karena Pb tidak dibutuhkan sama
sekali baik oleh tanaman maupun hewan dan cenderung menjadi toksin bagi
keduanya (Adriano, 1986 dalam Notodarmojo, 2005). Tingkat toksisitas suatu zat
FTIP001648/055
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
40
tergantung pada valensi, jenis senyawa dan konsentrasinya. Toksisitas Pb
khususnya juga dipengaruhi oleh kedalaman tanah, semakin dalam tanah, maka
konsentrasi Pb makin rendah. Hal ini disebabkan oleh ikatan antara Pb dengan
senyawa organik yang umumnya terjadi pada lapisan atas tanah (Notodarmojo,
2005). Pada Tabel 4.5 dapat diilihat bahwa kandungan Pb pada fly ash tidak
terdeteksi. Hal ini tidak menunjukkan bahwa di dalam fly ash tidak terdapat Pb,
melainkan karena pengambilan sampel yang tidak homogen menyebabkan Pb
tidak terdeteksi, karena menurut Hadijah dan Damayanti (2006) di dalam fly ash
setidaknya terdapat 19 ppm Pb. Sebaliknya, pada bokashi fly ash kandungan Pb
sangat tinggi yakni 67,1 ppm.
Tabel 4.6 Hasil analisis kandungan logam berat pb di dalam larutanfly ash dan bokashi fly ash.
Sampel Abs Pb (mg/L) Berat (gr) % (m/m)Fly Ash 0,001 0,100 0,1582 0,0016Bokashi Fly Ash 0,001 0,100 0,1499 0,0017Sumber : Laboratorium Kimia Instrumen Universitas Pendidikan
Indonesia.
Untuk memastikan keberadaan Pb di dalam fly ash dan bokashi fly ash,
maka dilakukan pengujian lanjutan terhadap air lindi fly ash dan bokashi fly ash.
Pelindian dilakukan dengan cara menempatkan fly ash dan bokashi fly ash di
dalam wadah kosong berlubang dengan curahan air di atasnya. Air yang keluar
dari lubang kemudian diambil kemudian diuji di Laboratorium Kimia Instrumen
Universitas Pendidikan Indonesia. Hasil analisis pengujian tersebut dapat dilihat
pada Tabel 4.6. Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa fly ash dan bokashi
fly ash memiliki kandungan Pb terlarut yang sama.
Berdasarkan analisis logam yang dilakukan terhadap fly ash dan bokashi
fly ash, secara umum dapat diketahui bahwa kandungan logam pada keduanya
berada pada kondisi yang aman sebagaimana standar SNI 19-7030-2004, kecuali
kandungan kadmium (Cd) pada bokashi fly ash sebesar 6,47 ppm yang melebihi
standar SNI yang mensyaratkan kandungan Cd di bawah 3 ppm dan kandungan
besi (Fe) pada fly ash yang melebihi 20.000 ppm. Sementara itu, kandungan
FTIP001648/056
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
41
timbal (Pb) pada kedua jenis pupuk telah memenuhi standar SNI 19-7030-2004,
karena masih berada di bawah 150 ppm.
4.1.5 Pertumbuhan gulma
Pertumbuhan gulma dalam polybag terlihat setelah 1 minggu setelah
penanaman. Secara umum, gulma yang terdapat pada polybag percobaan antara
lain padi (Oryza sativa L.), rumput liar (Eleusine indica), putri malu (Mimosa
pudica L.), babadotan (Ageratum conyzoides L.), rumput teki (Cyperus rotundus
L.), kaki gajah (Elephantopus spicatus) dan temu wiyang ( Emilia sonchifolia L.).
Pemberantasan gulma dilakukan secara manual yaitu dengan cara
mencabut langsung gulma dari dalam polybag. Waktu pemberantasan gulma tidak
menentu, jika terlihat gulma sudah mulai banyak, pencabutan gulma langsung
dilakukan.
Gulma paling banyak muncul pada polybag yang diberi perlakuan pupuk
dasar bokashi fly ash, karena kandungan bahan organiknya cukup tinggi.
Sementara itu bahan baku bokashi yang berupa sekam mengakibatkan tumbuhnya
padi (Oriza sativa L.) di polybag, karena di antara sekam-sekam tersebut ada yang
masih bernas. Tumbuhnya padi pada media tanam mengindikasikan proses
pengomposan bokashi yang tidak sempurna, karena menurut Yuliarti dan Isroi
(2009) proses pengomposan yang baik terjadi ketika senyawa-senyawa kompleks
diuraikan menjadi senyawa sederhana. Benih padi dan gulma lainnya akan terurai
menjadi senyawa sederhana sehingga tidak akan terjadi perkecambahan jika
proses pengomposan bokashi berhasil (sesuai prosedur).
4.1.6 Hama dan penyakit yang menyerang tanaman
Hama dan penyakit yang menyerang tanaman cabai pada umumnya sangat
banyak jika penanaman dilakukan pada musim hujan. Namun pada penelitian ini,
meskipun penanaman dilakukan pada musim hujan, hama dan penyakit yang
menyerang tidak terlalu banyak karena penelitian dilakukan di dalam rumah kaca.
Tetapi, dampak yang ditimbulkan cukup besar karena intensitas serangan
cenderung banyak dan berulang.
FTIP001648/057
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
42
Hama dan penyakit yang menyerang selama penelitian adalah:
1. Hama
a. Kutu daun (Aphis gossypii)
Kutu daun menyerang dengan cara mengisap cairan dalam jaringan
tanaman pada bagian-bagian yang lunak, sehingga tanaman akan menjadi
keriting, layu atau membentuk puru. Pada musim kemarau, tanaman yang
terserang kutu daun ini sering mati karena kehabisan cairan (Tjahjadi,
1991).
Gambar 4.2 Kutu daun (Aphis gossypii).
Selama penelitian berlangsung, serangan kutu daun cukup sering
terjadi. Hal ini menyulitkan penanganannya, karena efektivitas insektisida
seperti curacron sangat rendah, dikarenakan penanganan yang terlambat
sehingga nimfa kutu daun telah berubah menjadi imago bersayap sehingga
mobilitasnya cepat dan sulit dikendalikan. Untuk itu, agar serangan tidak
mengakibatkan kematian massal pada tanaman, maka masa pemanenan
dipercepat.
FTIP001648/058
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
43
2. Penyakit
a. Penyakit bercak daun (leaf spot) Xanthomonas compestris pv
vesicatoria (Doidge) Dowson
Penyakit bercak daun disebabkan oleh bakteri Xanthomonas
campestris. Serangan bakteri ini menimbulkan bercak daun dan hawar
daun (Pitojo, 2003). Gejala penyakit ini seperti terlihat pada Gambar,
terjadi kudis yang dikelilingi oleh bercak kebasahan.
Gambar 4.3 Bercak daun (leaf spot).
Serangan penyakit ini selama penelitian cukup banyak namun tidak
mempengaruhi produktivitas tanaman yang terserang karena penanganan
terhadap penyakit ini segera dilakukan, yaitu dengan menyemprotkan
fungisida antracol dan membakar daun yang terserang agar tidak menyebar
pada tanaman lain yang tidak terserang.
b. Penyakit busuk buah (Phytophthora capsici Leonian)
Penyakit ini disebabkan oleh cendawan Phytophthora capsici
Leonian yang menyerang akar, batang, daun dan buah (Pitojo, 2003).
Penyakit ini menyerang buah muda yang belum matang. Tanda-tanda
serangan pada buah muda terlihat pada ujung buah yang berwarna kuning
FTIP001648/059
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
44
dan tangkai buah yang mudah terlepas dari batang. Serangan penyakit ini
menyebabkan buah muda berjatuhan dan buah tua yang belum matang
sempurna membusuk ketika masih menempel di tanaman.
Gambar 4.4 Penyakit busuk buah (Phytophthora capsici Leonian).
Selama penelitian berlangsung, serangan penyakit ini pada umumnya
terjadi pada awal-awal masa pembuahan. Karena pada masa-masa
pembuahan selanjutnya intensitas serangan mulai menurun. Penanganan
terhadap penyakit ini yaitu dengan menyemprotkan fungisida antracol
secara berkala selama 1 minggu sekali selama masa pembuahan.
4.2 Pengamatan Utama
Pengamatan utama dilakukan terhadap pertumbuhan tanaman cabai, hasil
buah cabai dan kandungan logam berat Pb pada buah.
4.2.1 Pertumbuhan tanaman cabai
1. Tinggi tanaman
Pengamatan tinggi tanaman cabai dilakukan dengan cara mengukur tinggi
tanaman cabai dari pangkal batang hingga ujung daun terpanjang. Pengamatan ini
bertujuan untuk mengetahui perbedaan tinggi tanaman dari setiap perlakuan. Data
FTIP001648/060
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
45
pengamatan tinggi tanaman cabai dapat dilihat pada Lampiran 4.1. Analisis hasil
pengamatan ini dilakukan hanya pada saat panen.
Sebagaimana terlihat pada grafik bahwa tinggi tanaman untuk semua
perlakuan pada saat panen telah melebihi 100 cm. Angka ini telah melebihi
potensi habitus tanaman maksimal sebagaimana yang ditetapkan oleh Keputusan
Menteri Pertanian Nomor 162/Kpts/SR.120/3/2006 dimana tinggi tanaman untuk
varietas cabai hot beauty adalah 87 – 95 cm. Hal ini terjadi karena tanaman
mendapat asupan nitrogen (N) yang berlebihan. Menurut Wijaya (2008), tanaman
yang diberi pupuk nitrogen seperti urea atau ZA secara berlebihan dapat
menyebabkan batang menjulang tinggi namun miskin jaringan penguat, sehingga
tanaman mudah rebah. Kelebihan nitrogen terjadi karena tanaman diberi pupuk
tambahan berupa urea di luar jadwal pemberian pupuk lanjutan.
Gambar 4.5 Pertumbuhan tinggi tanaman cabai.
Pada Gambar 4.5 juga terlihat bahwa rata-rata tinggi tanaman untuk semua
perlakuan pada minggu ke satu sampai minggu ke enam hampir sama, artinya
tidak terlihat perbedaan rata-rata tinggi yang signifikan. Namun, pada minggu ke
tujuh terlihat perbedaan tinggi tanaman yang berbeda, terutama untuk perlakuan
0.00
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
120.00
140.00
160.00
0 2 4 6 8 10 12
Tin
ggi T
anam
an (
cm)
Minggu Ke-
Pertumbuhan Tinggi Tanaman
P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
FTIP001648/061
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
46
fly ash 20 ton/ha (P4). Hal ini disebabkan karena pada minggu-minggu ke satu
sampai minggu ke enam, pupuk dasar yang diberikan belum terdekomposisi
secara sempurna, sedangkan pada minggu ke tujuh dekomposisi telah sempurna
dan unsur hara makro maupun mikro yang dikandung pupuk mulai terserap secara
perlahan oleh tanaman. Dekomposisi yang sempurna terlihat ketika tanah digali
pada minggu ke enam, bentuk asli bokashi sudah tidak terlihat lagi dan banyak
terdapat cacing tanah (Helodrilus caliginosus). Menurut Hardjowigeno (2003)
cacing tanah menyukai bahan organik yang telah mati dan terdekomposisi secara
sempurna. Hal ini menjadi indikasi bahwa pada minggu ke enam, bokashi yang
ada di dalam media tanam telah terurai.
Pada Tabel 4.7 terlihat bahwa pemberian berbagai dosis fly ash dan
bokashi fly ash tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman cabai. Tinggi
tanaman rata-rata tertinggi dicapai oleh tanaman yang diberi perlakuan fly ash 20
ton/ha (P4). Namun, jika dibandingkan dengan perlakuan kontrol (P1), perlakuan
Bokashi fly ash 20 ton/ha (P7) terlihat memberikan pengaruh yang nyata.
Tabel 4.7 Pengaruh perlakuan berbagai dosis fly ash dan bokashi fly ashterhadap tinggi tanaman cabai.
PerlakuanRata-rata tinggi
(cm)Hasil uji
P1 113,40 a
P2 123,00 ab
P3 119,80 ab
P4 133,60 b
P5 124,60 ab
P6 120,20 ab
P7 121,40 abKeterangan : Rata-rata perlakuan yang ditandai dengan huruf kecil yang sama tidak
berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%.
2. Berat Biomassa
Pengamatan biomassa tanaman cabai dinyatakan dengan pengukuran
bobot tanaman cabai yang dilakukan pada saat panen dan ditimbang dengan akar
untuk setiap jenis perlakuan. Menurut Surietna (1992) pengukuran berat biomassa
FTIP001648/062
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
47
merupakan pengukuran laju pertumbuhan pada fase vegetatif untuk mengetahui
perkembangan batang, daun dan akar.
Pengamatan terhadap berat biomassa dilakukan pada kondisi kering
dengan cara mengoven semua bagian tanaman hingga kering seluruhnya.
Pengamatan ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan bobot tanaman dari setiap
perlakuan.
Tabel 4.8 Pengaruh perlakuan berbagai dosis fly ash dan bokashi fly ashterhadap berat biomassa tanaman cabai.
PerlakuanRata-rata beratbiomassa (g)
Hasiluji
P1 63,99 a
P2 70,88 a
P3 68,37 a
P4 68,87 a
P5 65,30 a
P6 70,65 a
P7 70,98 aKeterangan : Rata-rata perlakuan yang ditandai dengan huruf kecil yang sama tidak
berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%.
Berdasarkan analisis statistik yang dilakukan terhadap berat biomassa
tanaman cabai diketahui bahwa ternyata pemberian berbagai dosis fly ash dan
bokashi fly ash tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap berat
biomassa tanaman.
Rata-rata berat biomassa tertinggi dicapai oleh tanaman yang diberi
perlakuan bokashi fly ash 20 ton/ha (P7) yaitu 70,98 g. Berat biomassa yang sama
menunjukkan bahwa proses pembuatan bokashi tidak sempurna, sehingga saat
fase pertumbuhan vegetatif terjadi, unsur hara dalam bokashi tidak terserap secara
sempurna karena proses dekomposisi masih terjadi di dalam media tanam.
Menurut Purwendro dan Nurhidayat (2006), bokashi padat tidak berbau, berwarna
kehitaman dan tidak menyerupai bentuk aslinya, sedangkan bokashi yang kami
buat masih menyerupai bentuk aslinya saat dicampurkan pada media tanam
sebagai pupuk dasar. Dekomposisi yang belum sempurna pada masa vegetatif
FTIP001648/063
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
48
menyebabkan tidak adanya perbedaan berat biomassa yang signifikan antara
tanaman cabai yang diberi bokashi fly ash dengan tanaman yang tidak diberi
bokashi fly ash.
4.2.2 Hasil buah tanaman cabai
1. Berat buah total
Berat buah total merupakan parameter yang menunjukan tingkat
produktivitas setiap tanaman cabai dengan cara mengukur banyaknya buah yang
dihasilkan selama proses penanaman. Berdasarkan analisis statistik terhadap data
berat buah yang dihasilkan oleh semua tanaman pada berbagai perlakuan
diketahui bahwa pemberian berbagai dosis fly ash dan bokashi fly ash
memberikan pengaruh yang nyata terhadap produktivitas buah tertinggi pada
perlakuan bokashi fly ash 20 ton/ha (P7), sedangkan pada perlakuan bokashi fly
ash 10 ton/ha (P5) dan 15 ton/ha (P6) tidak berbeda nyata jika dibandingkan
dengan perlakuan fly ash 10 ton/ha (P2), 15 ton/ha (P3) dan 20 ton/ha (P4) tetapi
berbeda nyata jika dibandingkan dengan perlakuan kontrol (P1).
Tabel 4.9 Pengaruh perlakuan berbagai dosis fly ash dan bokashi fly ashterhadap berat hasil buah cabai per tanaman.
PerlakuanRata-rata beratbuah total (g)
Hasil uji
P1 343,85 a
P2 367,91 ab
P3 395,12 ab
P4 378,44 ab
P5 440,56 bc
P6 439,25 bc
P7 502,49 cKeterangan : Rata-rata perlakuan yang ditandai dengan huruf kecil yang sama tidak
berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%.
Dari Tabel 4.9 dapat diketahui bahwa berat buah total rata-rata tertinggi
dicapai oleh tanaman cabai yang diberi perlakuan bokashi fly ash 20 ton/ha (P7)
yakni sebesar 502,49 g per tanaman. Sedangkan pada perlakuan dengan dosis
FTIP001648/064
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
49
bokashi fly ash 10 ton/ha (P5) dan 15 ton/ha (P6) secara umum lebih baik dari
segi berat buah total yang dihasilkan jika dibandingkan dengan perlakuan kontrol
(P1), fly ash 10 ton/ha (P2), fly ash 15 ton/ha (P3) dan fly ash 20 ton/ha (P4).
Perbedaan pengaruh setiap perlakuan terhadap hasil berat buah total dapat
dilihat pada Gambar 4.6 di bawah ini. Berat buah total yang dihasilkan masih jauh
lebih kecil jika dibandingkan dengan potensi hasil tanaman yang bisa mencapai
1,05 – 1,2 kg per tanaman sebagaimana deskripsi tanaman hot beauty yang
dikeluarkan oleh Kementerian Pertanian No. 162/Kpts/SR.120/3/2006.
Gambar 4.6 Pengaruh berbagai dosis fly ash dan bokashi fly ash terhadaphasil berat buah total.
Secara umum, meskipun produktivitas tanaman cabai yang diberi bokashi
fly ash 20 ton/ha lebih baik dibandingkan perlakuan lainnya, nilainya lebih rendah
dibandingkan dengan potensi panen tanaman sebagaimana telah disebutkan di
atas. Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan hal yang sebaliknya. Penelitian
yang dilakukan oleh Khan dan Khan (1996) menunjukkan bahwa pemberian 40%
fly ash terhadap tanaman yang satu famili dengan cabai merah besar yaitu tomat
dapat meningkatkan panen 80% dibandingkan tanpa fly ash. Secara teoritis dan
faktual, pemberian bokashi fly ash akan meningkatkan hasil panen yang signifikan
dibandingkan dengan pemberian fly ash secara langsung (tanpa pengolahan
terlebih dahulu) maupun dibandingkan dengan kontrol. Dengan demikian,
0.00
100.00
200.00
300.00
400.00
500.00
600.00
P 1 P 2 P 3 P 4 P 5 P 6 P 7
Berat Buah Total
Berat Buah Total
FTIP001648/065
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
50
rendahnya hasil panen cabai merah besar pada penelitian ini lebih disebabkan oleh
faktor lain. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di lapangan menunjukkan
bahwa rendahnya hasil panen untuk semua perlakuan terjadi karena beberapa
faktor berikut:
1. Cara pemberian pupuk lanjutan yang kurang tepat yaitu dengan cara
penugalan. Ketika pembongkaran terhadap tanah dilakukan, terlihat
adanya tumpukan pupuk anorganik yang telah memadat, sehingga
penyerapan unsur hara kurang maksimal. Menurut prihmantoro (2000)
cara pemberian pupuk yang tepat untuk tanaman seperti cabai adalah
dengan cara melingkari tanaman, bukan dengan cara penugalan
2. Suhu rata-rata rumah kaca yang tinggi pada siang hari yaitu 34oC
dibandingkan suhu ideal untuk tanaman cabai merah besar yaitu di
bawah 30oC. Suhu yang tinggi menyebabkan banyak bunga yang
berguguran sehingga buah berkurang (Tjahjadi, 1991; Prajnanta,
2008).
3. Proses pembuatan bokashi yang tidak sempurna, sehingga penyerapan
unsur hara pada masa vegetatif tidak optimal. Hal ini terlihat ketika
bokashi fly ash diaplikasikan di media tanam, bokashi fly ash yang
dibuat masih menyerupai bentuk bahan aslinya dan masih
menghasilkan kecambah padi (Oryza sativa). Menurut Purwendro dan
Nurhidayat (2006), bokashi yang telah terdekomposisi secara tidak
menyerupai bentuk bahan aslinya, sedangkan menurut Yuliarti dan
Isroi (2009), bokashi yang telah sempurna menguraikan senyawa
kompleks menjadi senyawa sederhana yang ditandai dengan hancurnya
bahan organik sehingga tidak mungkin terjadi perkecambahan.
2. Jumlah buah
Pengamatan terhadap jumlah buah dilakukan dengan menghitung setiap
buah yang dihasilkan dan dikategorikan sebagai hasil untuk penghitungan berat
buah total. Jumlah buah menunjukan tingkat produktivitas tanaman yang juga
digunakan untuk menghitung berat rata-rata buah.
FTIP001648/066
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
51
Tabel 4.10 Pengaruh perlakuan berbagai dosis fly ash dan bokashi fly ashterhadap jumlah buah tanaman cabai.
PerlakuanRata-rata jumlah
buah (buah)Hasil uji
P1 41 aP2 47 abP3 44 abP4 44 abP5 52 bcP6 50 abcP7 58 c
Keterangan : Rata-rata perlakuan yang ditandai dengan huruf kecil yang sama tidakberbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%.
Jika dilihat pada Tabel 4.10, maka dapat diketahui bahwa pemberian
bokashi fly ash 20 ton/ha (P7) memberikan pengaruh nyata terhadap pencapaian
jumlah buah tertinggi yaitu 58 buah per tanaman jika dibandingkan dengan
kontrol (P1) maupun perlakuan fly ash 10 ton/ha (P2), fly ash 15 ton/ha (P3) dan
fly ash 20 ton/ha (P4). Hal ini terjadi karena di dalam bokashi fly ash terdapat
kandungan unsur kalium yang menambah suplai kalium pupuk lanjutan. Menurut
Prihmantoro (2000), kalium berperan dalam memperkuat bunga dan buah agar
tidak mudah rontok. Sebagaimana diketahui, suhu udara rumah kaca yang tinggi
dapat menyebabkan kerontokan bunga dan buah muda (Tjahjadi, 1991; Prajnanta,
2008). Kandungan kalium tambahan di dalam bokashi fly ash membantu
mencegah kerontokan bunga dan buah muda, sehingga jumlah buah pada
perlakuan bokashi fly ash 20 ton/ha lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan
lainnya.
3. Berat per buah
Berat per buah merupakan salah satu parameter kualitas buah yang
dihitung dengan cara membagi antara berat buah total dengan jumlah buah yang
dihasilkan. Nilai ini kemudian dibandingkan dengan berat buah rata-rata yang
FTIP001648/067
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
52
telah ditetapkan oleh kementerian Pertanian untuk tanaman cabai merah besar
varietas hot beauty (Kementrerian Pertanian, 2006).
Berdasarkan analisis statistik terhadap berat buah rata-rata yang dihasilkan
oleh tanaman pada setiap perlakuan diketahui bahwa pemberian berbagai dosis fly
ash dan bokashi fly ash tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap berat
rata-rata buah yang dihasilkan. Namun, jika dibandingkan dengan deskripsi yang
dikeluarkan oleh Kementerian Pertanian No. 162/Kpts/SR.120/3/2006 untuk
tanaman cabai merah besar varietas hot beauty, berat rata-rata per buah untuk
semua perlakuan jauh lebih kecil dari berat rata-rata per buah yang seharusnya
berkisar antara 17 – 18 gram (Kementerian Pertanian, 2006).
Tabel 4.11 Pengaruh perlakuan berbagai dosis fly ash dan bokashi fly ashterhadap berat buah rata-rata.
PerlakuanRata-rata berat
per buah (g)Hasil uji
P1 8,31 aP2 7,70 aP3 8,89 aP4 8,61 aP5 8,47 aP6 8,79 aP7 8,76 a
Keterangan : Rata-rata perlakuan yang ditandai dengan huruf kecil yang sama tidakberbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%.
Hal itu disebabkan karena serangan hama kutu daun (Aphis gossypii) yang
menyerang tanaman secara periodik menyebabkan pasokan nutrisi untuk
pembentukan buah menjadi terhambat (Pracaya, 2008). Nutrisi tanaman yang
terhisap melalui daun mengakibatkan ukuran buah tidak normal, lebih kecil dari
yang seharusnya dan gugur sebelum waktunya (Prajnanta, 1998). Idealnya,
serangan hama ini dapat dikendalikan dengan penyemprotan insektisida Curacron,
tetapi karena penanganan yang terlambat, kutu terlanjur berkembang menjadi
imago bersayap dengan mobilitas tinggi. Ketika nimfa berubah menjadi imago,
pemberian insektisida menjadi kurang efektif.
FTIP001648/068
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
53
4. Kadar air buah
Kadar air buah merupakan salah satu parameter untuk mengetahui
kualitas buah cabai yang dihasilkan. Kadar air buah diukur dengan cara
membandingkan selisih berat basah cabai dan berat kering cabai dengan berat
basah cabai. Menurut Tjahjadi (1991), cabai pada umumnya mengandung 70 –
90% air, sedangkan khusus untuk cabai merah besar setidaknya mengandung 90%
air.
Tabel 4.12 pengaruh perlakuan berbagai dosis fly ash dan bokashi fly ashterhadap kadar air buah.
PerlakuanRata-rata
kadar air buah(%)
Hasil uji
P1 81,81 a
P2 81,91 a
P3 82,23 a
P4 81,91 a
P5 82,76 a
P6 82,83 a
P7 80,79 aKeterangan : Rata-rata perlakuan yang ditandai dengan huruf kecil yang sama tidak
berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%.
Jika dilihat pada Tabel 4.12 di atas, dapat diketahui bahwa pemberian
berbagai dosis fly ash dan bokashi fly ash tidak memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap kadar air buah. Nilai kadar air buah cabai untuk semua
perlakuan berada di bawah kadar air buah normal. Hal ini disebabkan oleh tingkat
penguapan yang tinggi pada siang hari, sedangkan curah hujan yang tinggi selama
penelitian tidak memberikan pengaruh terhadap kadar air di dalam polybag,
karena penelitian dilakukan di dalam rumah kaca yang tidak memungkinkan
terjadi infiltrasi air hujan ke dalam media tanam. Hal ini berakibat penyerapan air
oleh akar tidak sebanding dengan tingkat penguapan yang tinggi, sehingga kadar
air buah lebih rendah dari kadar air buah cabai besar pada kondisi normal.
Menurut Sukmana (2010) kadar air buah dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
FTIP001648/069
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
54
perbedaan varietas, keadaan cuaca tempat tumbuh, pemeliharaan tanaman, dan
kondisi penyimpanan. Tingkat penguapan yang tinggi akibat suhu tempat yang
tinggi dapat menyebabkan menurunnya kadar air buah.
4.2.3 Kandungan logam berat buah cabai
Pengamatan terhadap kandungan logam berat Pb di dalam buah cabai
dilakukan dengan cara mengeringkan buah cabai yang telah dipanen agar tidak
terjadi pembusukan, kemudian mengujinya di Laboratorium Kimia Instrumen
Universitas Pendidikan Indonesia.
Hasil analisis kandungan logam berat Pb pada cabai merah besar
tercantum pada Lampiran 7 dan secara umum ditunjukkan oleh Tabel 4.13 di
bawah ini.
Tabel 4.13 Rata-Rata konsentrasi pb di dalam buah cabai merah besar akibatpemberian berbagai dosis fly ash dan bokashi fly ash.
PerlakuanRata-rata konsentrasi Pb
di dalam buah (ppm)
P1 Terdeteksi 0,1 pada ulangan ke-1 dari 5 ulangan
P2 Tidak terdeteksi pada ulangan 1 – 5
P3 Tidak terdeteksi pada ulangan 1 - 5
P4 Terdeteksi 0,1 pada ulangan ke-4 dari 5 ulangan
P5 Tidak terdeteksi pada ulangan 1 – 5
P6 Tidak terdeteksi pada ulangan 1 – 5
P7 Tidak terdeteksi pada ulangan 1 – 5
Sumber : Laboratorium Kimia Instrumen Universitas Pendidikan Indonesia.
Kandungan Pb pada buah relatif kecil jika dibandingkan dengan Standar
Nasional Indonesia (SNI) 7387 (2009) yang mensyaratkan batas maksimal
kandungan logam berat Pb di dalam bahan pangan buah dan sayur sebesar 0,5
mg/kg atau 0,5 ppm. Menurut Widaningrum, Miskiyah dan Suismono (2007),
batas kandungan Pb yang diperbolehkan di dalam makanan berdasarkan standar
Ditjen BPOM adalah sebesar 2 ppm. Dengan demikian, kandungan logam berat
Pb pada buah berada pada batas aman.
FTIP001648/070
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
55
Kandungan logam berat yang kecil atau tidak terdeteksi di dalam buah
cabai yang diberi perlakuan bokashi fly ash dan bokashi fly ash disebabkan oleh
adanya proses pengkhelatan (chelation) antara bahan organik dengan logam berat
Pb selama proses dekomposisi, dimana logam berat lebih terikat kuat kepada
bahan organik dari pada oleh akar (Hardjowigeno, 2003). Selain itu, kandungan
Pb di dalam fly ash maupun bokashi fly ash masih berada pada ambang batas
aman yaitu di bawah 150 ppm berdasarkan SNI 19-7030-2004, sehingga aman
ketika diaplikasikan pada tanaman cabai merah besar.