kardiomiopati pada diabetes melitus dengan hipertensi
TRANSCRIPT
Refrat
KARDIOMIOPATI PADA DIABETES MELLITUS
DENGAN HIPERTENSI
Oleh:
Putra Prasetio Nugraha, S.Ked
NIM: 04053100043
Dosen Pembimbing
Dr. Ferry Usnizar, Sp.PD
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA/RSMH
PALEMBANG
2009
LEMBAR PENGESAHAN
Refrat Ilmu Penyakit Dalam dengan judul :
Kardiomipati pada Diabetes Mellitus dengan Hipertensi
Oleh:
Putra Prasetio Nugraha, S.Ked
NIM : 04053100043
Pembimbing:
dr. Ferry Usnizar, Sp.PD
Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya / Rumah Sakit
Muhammad Hoesin Palembang.
Palembang, November 2009
Pembimbing,
dr. Ferry Usnizar, Sp.PD
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................................... ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................................... iii
BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................................ 1
BAB II. KARDIOMIOPATI PADA DIABETES MELLITUS DENGAN HIPERTENSI
II. 1 Hipertensi pada Diebetes Mellitus ............................................................... 3
II.2 Kardiomiopati ............................................................................................... 4
II. 3 Kardiomiopati pada Diabetes Mellitus dengan Hipertensi ........................... 16
BAB III. PENUTUP .......................................................................................................... 19
Daftar Pustaka
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Diabetes mellitus merupakan penyakit endokrin metabolik dengan komplikasi yang luas
pada berbagai organ dan sistem tubuh, termasuk sistem kardiovaskular. Hipertensi sendiri
merupakan penyakit kardiovaskular dengan kausal yang majemuk dan juga komplikasi yang
luas1. Data statistik dari American Heart Association, dua dari tiga penderita diabetes mellitus
(DM) meninggal karena penyakit kardiovaskular2. Berdasarkan International Diabetic
Federation jumlah penderita DM di dunia mencapai 150 juta orang pada tahun 2000 dan
diperkirakan akan mencapai angka 300 juta di tahun 2025 3. Indonesia sendiri diproyeksikan
memiliki penderita diabetes hingga 1,4% - 1,6 % penduduk Indonesia 4. Implikasi yang
ditimbuklan dari diabetes sendiri sangatlah banyak, dimulai dari peningkatan biaya kesehatan
hingga penurunan kualitas hidup, dengan ancaman utama pada komplikasi makrovaskular dari
diabetes mellitus.
Hipertensi sendiri memiliki korelasi yang cukup erat dengan diabetes. Terdapat
peningkatan prevalensi hipertensi pada penderita diabetes 3,4 , disisi lain juga terdapat
kemungkinan diabetes mellitus tipe-2 yang tinggi pada pasien-pasien dengan hipertensi5. Ketika
keduany terekspresikan bersama, keduanya akan saling memberikan perburukan pada masing-
masing penyakit, baik diabetes maupun kardiovaskular1. Congestive Heart Failure (CHF)
merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas terbanyak pada pasien dengan DM tipe 2. Pada
pasien DM tipe 2, prevalensi CHF meningkat5,6 begitu pula dengan prognosisnya yang lebih
buruk dibandingkan pasien non-diabetik7. Peningkatan resiko CHF yang meningkat walau tanpa
ada penyakit arteri koroner (Coronary artery disease/ CAD), hipertensi, atau penyakit katup,
membuat penggolongan penyakit baru yang disebut dengan kardomiopatik diabetikum8-11.
Penelitian selanjutnya membuktikan bahwa terdapat korelasi antara penderita diabetes dengan
disfungsi diastolik ventrikel kiri (LVDD) subklinis, termasuk disfungsi diastolik12-14, sehingga
meningkatkan diagnosis kardiomiopati idiopatik pada populasi diabetik15. Disfungsi diastolik
pada pasien dengan DM dipercaya hadir pada fase-fase awal kardiomiopati diabetikum16-18,
sehingga deteksi awal yang baik akan membantu memperlambat kejadian CHF pada pasien
1
biabetes9. Penelitian terakhir menunjukkan disfungsi diastolik ventrikel kiri (LVDD) dapat
terjadi pada 60% asimptomatik pasien dengan DM tipe 2 yang terkontrol dengan baik, walau
tanpa hipertensi ataupun CAD19.
Penurunan tekanan darah telah terbukti memberikan efek yang baik pada pasien diabetes
baik mikro maupun makrovaskular. Data dari UK Prospective Diabetic Study (UKPDS)
mengungkapkan bahwa setiap penurunan tekanan sistolik sebesar 10 mmHg, menurunkan resiko
miokard infark hingga 12% dan terus meningkat pada tekanan sistolik dibawah 120 mmHg 20.
Penurunan tekanan diastolik yang progresif juga turun memerkecil resiko penyakit
kardiovaskular secara progresif. Uji pengobatan hipertensi yang optimal menunjukkan kejadian
penyakit kadriovaskular berhubungan erat dengan pengaturan tekanan diastolik jantung 21.
Penemuan ini tercermin pada pengaturan tekanan darah pada pasien diabetes dengan target
tekakan darah dibawah 130/80 mmHg, sesuai dengan rekomendasi dari European Society of
Hypertension22 dan American Diabetes Association23.
Pada penderita diabetes, disfungsi diastolik merupakan temuan klinis yang paling sering
tampak. Hal ini merupakan masifestasi dari pengisian cepat ventrikel kiri yang abnormal
sehingga mengakibatkan pemanjangan fase relaksasi atrium24 yang disebabkan pengaruh diabetes
pada pacu tekanan diastol sebelum tekanan sistol25. Oleh karena itu, disfungsi diastolik ventrikel
kiri (Left Ventricular Diastolic Dysfunction/LVDD) dapat dijadikan penanda dari kardiomiopati
diabetikum. Hipertensi sendiri berhubungan dengan ketidaksesuaian fase pengisian diastol26.
2
BAB II
KARDIOMIOPATI PADA DIABETES MELLITUS DENGAN HIPERTENSI
II. 1 Hipertensi pada Diabetes Mellitus27
Insulin resistan dan hiperinsulinemia telah diprediksikan memiliki pengaruh terhadap
pningkatan tekanan arterial pada beberapa pasien dengan hipertensi. Kelainan ini dirangkai
sebagai bagian dari sindrom X atau sindrom metabolik, dengan tambahan kriteria antara lain
obesitas sentral, dislipidemia (terutama peningktan trigliseride), dan tekanan darah yang tinggi.
Resistensi insulin umum didapatkan pada pasien dengan DM tipe 2 dan pasien-pasien dengan
obesitas, dimana keduanya juga umum didapatkan pada pasien dengan hipertensi, dibandingkan
dengan pasien-pasien normotensi.
Hiperinsulinemia dapat meningkatkan tekanan darah melalui satu sampai empat
mekanisme. Asumsi yang mendasari adalah resistensi jaringan target terhadap kerja insulin.
Pertama-tama hiperinsulinemia menyebabkan retensi natrium di renal (pada saat akut) dan
meningkatkan aktivitas simpatis. Masing-masing atau kedua efek ini mampu meningkatkan
tekanan darah. Mekanisme lain adalah hipertrofi otot polos pembuluh darah sebagai efek
sekunder dari efek mitogenik insulin. Ketiga, insulin juga memodifikasi transport ion pada
membran sel yang meningkatkan level potensial kalsium sistolik pada pembuluh darah yang
sensitif insulin atau jaringan renal. Pada akhirnya, resistensi insulin dapat menjadi penanda bagi
kelainan patologis lainnya seperti pada nonmodularis. Hal ini menjadi penting untuk diingat
bahwa peranan pengaturan tekanan darah untuk insulin masih belum jelas.
Pada pasien dengan DM, berdasarkan UK Prospective Diabetes Study (UKPDS)20, pasien
dengan tekanan darah 144/82 mmHg memiliki resiko yang lebih rendah dibandingkan dengan
pasien dengan tekanan darah 154/87 mmHg. Dalam pencapaian target tekanan darah yang
diinginkan diperlukan jenis kombinasi obat yang tepat, dengan memperhatikan efek-efek obat
pengatur tekanan darah yang memiliki korelasi langsung pada metabolisme glukosa seperti β
blocker. Terapi menggunakan β blocker dihubungkan dengan peningkatan berat badan dan
peningkatan kerja β reseptor pankreas yang melepaskan insulin, dimana kedua faktor ini
meningkatkan faktor resiko untuk terjadinya diabetes hingga 28 persen. Hal ini membuat ACE
3
inhibitor, Angiotensin II Reseptor Antagonis (A2RA), dan Calcium-channel Blocker (CCB)
menjadi lini pertama terapi pada pasien dengan DM tipe 1 dan 2.
Gambar 1. Terapi inisiasi pada pasien dengan hipertensi. SBP: sistolic blood pressure, DBP: dasolic blood pressure27
II. 2 Kardiomiopati 28,29
Kardiomiopati adalah kelainan primer miokard yang menyebabkan gangguan
fungsi miokard, dengan penyebab yang tidak diketahui dan bukan disebabkan oleh
penyakit bawaan, hipertensi, kelainan katup, sklerosis koroner atau kelainan perikard.
Pembagian kardiomiopati bermacam-macam, berdasarkan kepada etiologi, patologi,
genetika, klinik, biokimia, fungsi hemodinamik dan sebagainya, tetapi tidak ada satu pun
yang memuaskan karena banyak tumpang tindih. WHO menggolongkan kardiomiopati
menjadi dua kelompok, yaitu kardiomiopati primer yang tidak diketahui penyebabnya
dan kardiomiopati sekunder yang disebabkan oleh infeksi, kelainan metabolik, penyakit
sistemik, herediter familial, reaksi sensitivitas dan toksin. Pembagian kardiomiopati yang
banyak dianut saat ini adalah menurut Goodwin yang berdasarkan kelainan struktur dan
fungsi (patofisiologi), yaitu kardiomiopati, hipertropik, kardiomiopati dilatatif dan
4
kardiomiopati restriktif. Dibeberapa negara dilaporkan kardiomiopati merupakan
penyebab kematian sampai 30% atau lebih dari semua kematian karena penyakit jantung.
Gambar 2. Perbedaan kelainan yang ditemukan antara ketiga klasifikasi kardiomiopati.29
Tabel 1. Klasifikasi Etiologi dari Kardiomiopati29. D: dilatasi, R: restriktif, H: hipertrofi.
Kardiomiopati PrimerIdiopatik (D,R,H)Familial (D,R,H)Penyakit Eosinofilik Endomiokardial (R)Fibrosis Endomiokardial (R)Kardiomiopati SekunderInfeksi (D)
Miokarditis viralMiokarditis bakterialMiokarditis fungalMiokarditis protozoalMiokarditis metazoalSpirochetalRickettsial
Metabolik(D)Familial Storage Disease (D,R)
Gangguan Penyimpanan GlikogenMuopolisakaridosisHemokromatosisPenyakit Fabry
Penyakit Defisiensi (D)ElektrolitNutrisional
Gangguan Jaringan Ikat (D)
Sistemik Lupus EritematosusPoliartertis NodosaRheumatoid ArthritisSklerosis Sistemik ProgresifDermatomiositis
Gangguan Infiltrasi dan Granuloma (R,D)AmyloidosisSarcoidosisKeganasan
Neuromuskular (D)Distrofi ototDistrofi miotonikFriedreich’s ataxia (H,D)
Reaksi Sensitivitas dan Keracunan (D)AlkoholRadiasiObat-obatan
Peripartum Heart Disease (D)
5
Kardiomiopati Dilatasi (Dilated Cardiomyopathy/ DCM)
Merupakan jenis kardiomiopati yang paling banyak ditemukan. Dengan deskripsi
kelainan yang ditemukan antara lain dilatasi ventrikel kanan dan atau ventrikel kiri,
disfungsi kontraktilitas pada salah satu atau kedua ventrikel, aritmia, emboli dan sering
kali sertai gejala gagal jantung kongestif. Salah satu dari tiga kasus gagal jantung
kongestif terjadi pada kardiomiopati dilatasi, dan yang lainnya merupakan konsekuensi
dari penyakit jantung koroner. Dahulu kelainan ini disebut dengan kardiomiopati
kongestif, tetapi saat ini terminologi yang digunakan adalah kardiomiopati dilatasi karena
pada saat awal abnormalitas yang ditemukan adalah pembesaran ventrikel dan disfungsi
kontraktilitas sistolik, dengan tanda dan gejala gagal jantung kongestif yang akan timbul
kemudian. Apbila hanya ditemukan disfungsi kontraktilitas dengan dilatasi minimal dari
ventrikel kiri, maka varian dari kardiomiopati dilatasi ini digolongkan kedalam kelompok
kardiomiopati yang tidak dapat diklasifikasikan (WHO/ISFC). Pada atlit sehat kelainan
ini sering ditemukan. Klasifikasi ini dapat mengenai segala usia, tapi kebanyakan
mengenai usia pertengahan dan lebih sering ditemukan pada pria dibandingkan
perempuan. Insidens kejadian dilaporkan 5-8 kasus per 100.000 populasi pertahun dan
kejadian terus meningkat jumlahnya. Kejadian kasus ini lebih sering pada pria kulit hitam
dibanding dan pria kulit putih dan perempuan. Dan angka kelangsungan hidup pada kulit
hitam dan pria lebih buruk dibandingkan kulit putih dan perempuan.
Etiologi
Etiologi kardiomiopati dilatasi tidak diketahui pasti, tetapi kemungkinan
besar kelainan ini merupakan hasil akhir dari kerusakan miokard akibat produksi
berbagai macam toksin, zat metabolit atau infeksi. Kerusakan akiat infeksi virus
akut pada miokard yang akhirnya mengakibatkan terjadi kardiomiopati dilatasi ini
terjadi melalui mekanisme imunologis. Pada kardiomiopati dilatasi yang
disebabkan oleh pengguna alkohol, kehamilan, penyakit tyroid, penggunaan
kokain dan keadaan takikardi kronik yang tidak terkontrol, dan bersifat reversibel.
Obesitas akan meningkatkan resiko terjadinya gagal jantung, sebagaimana juga
gejala sleep apnea. Kira-kira 20-40% pasien memiliki kelainan yang bersifat
familial akibat dari mutasi genetik. Dapat terjadi pada sitoskeletal gen (seperti gen
6
distrofin dan desmin), kontraktilitas dan membran sel (seperti gen lamina A/C)
dan protein-protein lainnya. Penyakit ini bersifat genetik heterogen tetapi
kebanyakan transmisinya secara autosomal dominan, walaupun dapat pula secara
autosomal resesif dan x-linked inheritance. Sampai saat ini belum diketahui
bagaimana mengetahui seseorang akan memiliki predisposisi kardiomiopati
dilatasi apabila tidak diketahui riwayat kejadian penyakit ini dalam keluarganya.
Hal yang cukup menjanjikan adalah teknik molekular genetik untuk identifikasi
pertanda kerentanan pada pembawa sifat asimtomatik sebelum timbul gejala
klinik yang jelas dari kardiomiopati dilatasi tersebut. Sebagai contoh salah satu
petanda yang menjanjikan adalah pemeriksaan enzim konversi angiotensin
genotip DD yang berhubungan dengan kejadian klinis pasien kardiomiopati
dilatasi. Pada keadaan jantung yang lemah, walaupun tidak terdapat riwayat
keluarga ditemukan variasi dari perubahan gen dan ekspresi protein pada beberapa
protein kontraktilitas. Displasia ventrikel kanan (right ventricular dysplasia)
merupakan kardiomiopati familial yang menarik karena ditandai dengan dinding
ventrikel kanan yang digantikan secara progresif menjadi jaringan adiposa.
Seringkali dihubungkan dengan kejadian aritmia ventrikel, gejala klinis sangat
bervariasi, tetapi kejadian kematian mendadak akibat kelainan ini selalu
merupakan ancaman yang dapat tejadi sewaktu-waktu. Sehingga penggunaan
modalitas terapi seperti ablasi kateter dari fokus-fokus aritmia atau bahkan
implantasi alat defibrilator kardioversi kemungkinan dibutuhkan.
Gejala Klinis
Gejala yang paling menonjol adalah gagal jantung kongestif kanan dan
kiri, berupa sesak saat bekerja, lemah, ortopneu, dispneu paroksimal nokturnal,
edema ferifer, palpitasi, yang secara bertahap pada sebagian besar pasien.
Beberapa pasien mengalami dilatasi ventrikel kiri dalam beberapa bulan sampai
beberapa tahun sebelum timbul gejala. Pada beberapa kasus ditemukan gejala
nyeri dada yang tidak khas, sedangkan nyeri dada yang tipikal kardiak tidak lazim
ditemukan. Bila terdapat nyeri dada yang tipikal, maka pikirkan kemungkinan
terdapat penyakit jantung iskemia secara bersamaan. Akibat dari aritmia dan
7
emboli siskemik kejadian sinkop cukup sering ditemukan. Pada penyakit yang
telah lanjut dapat pula ditemukan keluhan nyeri dada akibat sekunder dari emboli
paru dan nyeri abdomen akibat hepatomegali kongestif. Keluhan sering kali secara
gradual, bahkan sebagian besar awalnya simtomatik walaupun telah terjadi
dilatasi ventrikel kiri selama berbulan-bulan bahkan sampai bertahun-tahun.
Dilatasi ini kadangkala diketahui bila telah timbul gejala atau secara kebetulan
bila dilakukan pemeriksaan radiologi dada yang rutin.
Pemeriksaan Fisik
Pembesaran jantung dengan derajat yang bervariasi dapat ditemukan, pada
penyakit yang lanjut dapat ditemukan tekanan nadi yang sempit akibat gangguan
pada isi sekuncup. Pulpus alternans dapat terjadi bila terdapat gagal ventrikel kiri
yang berat. Tekanan darah dapat normal atau rendah. Jenis pernapasan cheyne-
stokes yang menunjukkan prognosis yang buruk. Peningkatan vena jugularis bila
terdapat gagal jantung kanan. Bunyi jantung ketiga dan keempat dapat pula
terdengar, serta dapat ditemukan regurgitasi mitral maupun trikuspid. Hati
akanmembesar dan sering kali teraba pulsasi, edema perifer serta asites akan
timbul pada gagal jantung kanan yang lanjut. Pada pemeriksaan fisis dapat
ditemukan tanda-tanda sebgai berikut:
- Prekordium bergeser ke arah kiri Impuls pada ventrikel kanan
- Impuls apikal bergeser ke lateral yang menunjukkan dilatasi ventrikel kiri
- Gelombang presistolik pada palpasi, serta pada auskultasi terdengar
presistolik gollop (S4)
- Split pada bunyi jantung kedua
- Ventrikel gallop (S3) terdengar bila terjadi dekompensasi jantung
Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan radiologi dada akan terlihat pembesaran jantung akibat
dilatasi ventrikel kiri, walaupun seringkali terjadi pembesaran pada seluruh ruang
jantung. Pada lapangan baru terlihat gambaran hipertensipulmonal serta edema
alveolar dan interstitial. Pada elektrokardiografi akan menunjukkan gambaran
8
sinus takikardi atau fibrilasi atrial, aritmia ventrikel, abnormalitas atrium kiri,
abnormalitas segmen ST yang tidak spesifik dan kadang-kadang tampak
gambaran ganguan konduksi intraventrikular dam low voltage. Pada pemeriksaan
ekokardiografi dan ventrikulografi radio nuklir menunjukkan dilatasi ventrikel
dan sedikit penebalan dinding jantung atau bahkan normal atau menipis, gangguan
fungsi sistolik dengan penurunan fraksi ejeksi. Dapat pula ditemukan peningkatan
kadar brain natriuretik peptide dalam sirkulasi akan membantu diagnostik pasien
dengan gejala sesak nafas yang tidak jelas etiologinya. Pemeriksaan kateterisasi
jantung dan angiografi koroner sering kali dibutuhkan untuk dapat menyingkirkan
penyakit jantung iskemia. Pada angiografi akan terlihat dilatasi, hipokinetik difus
dari ventrikel kiri dan regurgitasi mitral dalam derajat yang bervariasi. Modalitas
pemeriksaan lain seperti biopsi endomiokardial trasvena tidak diperlukan untuk
kardiomiopati dilatasi yang familial atau idiopatik. Tetapi pemeriksaan
dibutuhkan untuk diagnostik kardiomiopati sekunder seperti amiloidosis dan
miokarditis akut.
Pengobatan
Karena penyebab dari kardiomegali dilatasi idiopatik tersebut tidak
diketahui maka pengobatan spesifik tidak dapat dilakukan. Pengobatan
berdasarkan gambaran klinis yang timbul, dimana sebagian besar timbul gejala
gagal jantung kongestif. Maka dapat diberikan diuretik untuk mengurangi gejala.
ACE inhibitor, dan penghambat beta. Digoksin merupakan pilihan pengobatan
yang kedua, dimana dosis optimal yang akan dicapai adalah bila kadar dalam
serum mencapai 0,5-0,8 ng/Ml. Pengobatan farmakologis bertujuan untuk
modifikasi secara langsung akibat dari aktivasi yang lama sistem adrenergik dan
angiotensin. Sedangkan pengobatan non-farmakologis seperti pengaturan diet,
latihan fisik dan pengobatan farmakologis seperti yang telah disebutkan diatas
bertujuan untuk mengontrol gejala yang mungkin timbul. Latihan fisik yang
teratur sesuai dengan toleransi masing-masing individu akan meningkatkan
kapasitas latihan dengan memperbaiki disfungsi endotel dan meningkatkan aliran
darah di otot otot skeletal. Sedangkan modalitas pengobatan yang terbukti dapat
9
memperpanjang usia harapan hidup dengan menurunkan hampir 50 % mortalitas
akibat gagal jantung pada waktu-waktu terakhir ini adalah : tranplantasi jantung
dan pengobatan farmakologis spesifik seperti vasodilator hidralazin ditambah
nitrat, ACE inhibitor (enalapril), penghambat beta (karvedilol dan metaprolol),
serta penghambat aldosteron (spironolakton). Angiotensin II Receptor Bloker
dapat diberikan pada pasien dengan intoleransi terhadap golongan ACE inhibitor.
Golongan calcium antagonis tidak dianjurkan untuk dikombinasi pemberiannya
dengan pengobatan standar seperti diatas, dan bukan merupakan pengobatan
pertama. Kemungkinan terdapatnya hubungan antara kardiomiopati dilatasi
dengan abnormalitas sirkulasi mikrovaskuler, gangguan pada kanal kalsium
merupakan alasan pertimbangan pemberian golongan obat ini sebagai salah satu
pilihan pengobatan. Secara umum penggunaan obat- obat golongan ini dapat
ditoleransi dengan baik, walaupun efek samping penting yang harus
dipertimbangkan dalam pemilihan pengobatan.
Prognosis
Secara umum prognosis penyakit ini jelek. Beberapa variasi klinis yang
dapat menjadi prediktor pasien-pasien kardiomiopati dilatasi yang punya resiko
kematian tinggi antara lain: terdapatnya protodiastolik (S3) gallop, aritmia
ventrikel, usia lanjut dan kegagalan stimulasi inotropik terhadap ventrikel yang
telah mengalami miopati tersebut. Walaupun akurasi dan gambaran pada masing-
masing individu akan berbeda dalam menentukan prognosis tersebut, tetapi
dikatakan bahwa semakin besar ventrikel yang disertai disfungsi yang semakin
berat berhubungan erat dengan prognosis yang semakin buruk. Khususnya bila
terdapat dilatasi ventrikel kanan disertai gangguan fungsinya. Uji latih
kardiopulmonal juga berguna sebagai prognostik. Keterbatasan yang bermakna
dari kapasitas latihan yang digambarkan dengan penurunan ambilan oksigen
siskemik maksimal merupakan prediktor mortalitas dan dipergunakan sebagai
indikator dan pertimbangan untuk transplantasi jantung.
10
Kardiomiopati Hipertropik
Kardiomiopati hipertrofik merupakan hipertropi ventrikel tanpa penyakit jantung
atau sistemik lain yang menyebabkan hipertropi ventrikel ini. Perubahan mikroskopik
dapat ditemukan didaerah septum, interventrikularis. Hipertrofi asimetris pada septum ini,
bisa ditemukan didaerah distal katup aorta, didaerah apeks. Hipertrofi yang simetris tidak
sering ditemukan. Kardiomiopati hipertrofik didaerah apikal biasanya disertai dengan
kelainan EKG, gelombang T negatif yang dalam.Kardiomiopati hipertrofik ada 2 macam/
bentuk, yaitu:
- Hipertrofi yang simetris dan konsentris
- Hipertrofi septal simetris
Dengan left ventricular outflow tract obstruction atau disebut juga
idiopathic hypertropic subaortic stenosis (IHSS), atau hypertrophis
obstructive cardiomyopathy (HOCM).
Tanda left ventricular outflow tract obstruction
Etiologi
Etiologi kelainan ini tidak diketahui. Diduga disebabkan katekolamin,
kelainan pembuluh darah koroner kecil, kelainan yang meyebabkan iskemia
miokard, kelainan konduksi atrioventrikular dan kelainan kalogen. Penyakit ini
ditemukan pada laki-laki dan perempuan dalam frekuensi yang sama, serta dapat
menyerang semua umur. Gangguan irama yang sering terjadi dan menyebabkan
berdebar-debar, pusing sampai sinkop. Tekanan darah sistolik dapat juga
menurun, banyak kasus kardiomiopati tidak bergejala/asimtomatis. Pada orang tua
dan kardiomiopati hipertrofik sering mengeluh sesak nafas akibat gagal jantung
dan angina pektoris yang bisa mengganggu disertai fibrilasi atrium. Pada kasus-
kasus yang sudah lanjut dapat pula terjadi pengerasan/kekakuan katup mitral,
sehingga dapat memberikan gejala-gejala stenosis atau regurgitasi mitral.
Gejala Klinis
Keluhan utama pada kardiomiopati hipertrofik adalah angina, sesak bila
beraktivitas, palpitasi, kelelahan, gangguan kesadaran, pusing, pingsan atau
11
hampir pingsan, namun sebagian besar pasien asimtomatik dan manifestasi klinis
pertama dapat berupa kematian mendadak.
Pemeriksaan Fisis
Pada pasien kardiomiopati hipertrofik biasanya fisisnya baik, berumur
muda. Denyut jantung teratur. Bising sistolik dihubungkan dengan aliran
turbulensi pada jalur keluar ventrikel kiri. Bising sistolik dapat berubah-ubah,
dapat kurang atau mengurang bila pasien berubah posisi dari berdiri lalu
menjongkok atau dengan melakukan olahraga isometrik. Pada pemeriksaan fisik
akan ditemukan pembesaran jantung ringan. Pada apeks teraba getaran jantung
sistolik dan kuat angkat. Bunyi jantung ke-4 biasanya terdengar. Terdengar bising
sistolik yang mengeras pada tindakan valsava.
Pemeriksaan Penunjang
Pada foto rontgen dada terlihat pembesaran jantung ringan sampai sedang,
terutama pembesaran atrium kiri. Pada pemeriksaan EKG ditemukan hipertrofi
ventrikel kiri, kelainan segmen ST dan gelombang T, gelombang Q yang
abnormal dan aritmia atrial dan ventrikular. Pada pemeriksaan ekokardiografi Ten
Care menemukan tiga jenis hipertrofi ventrikel kiri yaitu:
- Hipertrofi septal saja (41%)
- Hipertrofi septal disertai hipertrofi dinding lateral (53%)
- Hipertrofi apikal distal (6%)(septum dan dinding lateral, kedua-duanya)
Pada pemeriksaan radionuklir akan ditemukan ventrikel kiri mengecil atau
normal.Fungsi sistolik menguat dan hipertrofi septal asimetrik. Dengan
pemeriksaan pencitraan nuclear magnetic resorance (M.R.I) berbagai jenis
hipertrofi apikal ventrikel kiri dapat dibedakan. Pada sadapan jantung akan
ditemukan compliance ventrikular outflow tract obstruction.
PengobatanPengobatan yang utama adalah menggunakan obat penghambat beta
adrenergik, yang efeknya untuk mengurangi peninggian obstruksi jalan
pengosongan ventrikel kiri, juga untuk mencegah gangguan irama yang sering
12
menyebabkan gangguan mendadak. Tapi akhir-akhir ini dilaporkan adanya khasiat
yang baik golongan antagonis kalsium seperti verapamil. Obat-obat yang lain
tidak dianjurkan untuk diberikan, karena dapat memperburuk keadaan penyakit.
Operasi miomektomi juga dilakukan pada keadaan tertentu.
Prognosis
Prognosis penyakit sekarang ini ternyata sekarang ini cukup jinak. Angka
mortalitas hanya 1% pertahun,dibandingkan penelitian sebelumnya yang 2-4 kali
lebih tinggi. Beberapa pasien yang keadaannya stabil atau malah membaik dalam
waktu 10 tahun. Sebagian besar pasien akan bertambah berat penyakitnya, pasien
mengalami gagal jantung kongestif sekalipun tidak dilakukan miomektomi.
Kematian mendadak sering pada orang muda. III
Kardiomiopati Restriktif
Kardiomiopati restrikrif merupakan keadaan yang sangat jarang dan sebabnya pun
tidak diketahui. Tanda khas untuk kardiomiopati ini adalah adanya gangguan pada fungsi
diastol, dinding ventrikel sangat kaku dan menghalangi pengisian ventrikel. Pada
pemeriksaan patologi-anatomis ditemukan adanya fibrosis, hipertrofi atau infiltrasi pada
otot-otot jantung yang menyebabkan gangguan fungsi diastolik tersebut.
Etiologi
Etiologi penyakit ini tidak diketahui. Kardiomiopati restriktif sering
ditemukan pada amiloidasis, hemokromatosis, deposisi glikogen, fibrosis
endomiokardial, eosinofilia, fibroelastosis, dan lain-lain.
Gejala Klinis
Pasien merasa lemah, sesak nafas. Ditemukan tanda-tanda gagal jantung
sebelah kanan. Juga ditemukan tanda dan gejala penyakit siskemik seperti
amiloidosis, hemokromatosis.
13
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya pembesaran jantung sedang.
Terdengar bunyi jantung ke-3 atau ke-4 dan adanya regurgitasi mitral atau
trikuspid.
Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan elektrokardiografi ditemukan low voltage. Terlihat juga
gangguan konduksi intra-ventrikular dan gangguan konduksi arterio-ventrikular.
Pada pemeriksaan ekokardiografi tampak dinding ventrikel kiri menebal serta
penambahan massa didalam ventrikel. Ruang ventrikel normal atau mengecil dan
fungsi sistolik yang masih normal. Pada pemeriksaan radionuklir terlihat adanya
infiltrasi pada otot jantung. Ventrikel normal atau mengecil, dan fungsi sistolik
yang normal. Pada sadapan jantung ditemukan complience ventrikel kiri
mengurang dan peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri dan kanan.
Tabel 2. Diagnosa banding antara Kardiomiopati Restriktif dengan Perikarditis Kongestif
Kardiomiopati restriktif Perikarditis kongestifTekanan permulaan Diastolik didalam Ventrikel kanan
Diatas 0 Dibawah 0
Tekanan akhir diastolik Berbeda SamaHipertensi pulmonal Ada Tidak adaEkokardiografi Dinding ventrikel kiri
menebal serta massanya bertambah
Dinding ventrikel sama normal serta pergerakan septum yang paradoksal
Diagnosis Banding
Perikarditis kongestif adalah penyakit jantung yang secara klinis dan
hemodinamik sukar dibedakan dengan kardiomiopati restriktif. Kedua penyakit ini
perlu dibedakan karena implikasi pengobatan dan prognosisnya beda. Pengobatan
Pengobatan pada umumnya sukar dibedakan karena penyakit ini tidak efisien
untuk diobati dan lagi pula tergantung pada penyakit yang menyertainya. Obat-
obat anti aritmia diberikan bila ada gangguan irama. Umumnya aritmia dapat
menyebabkan kematian mendadak. Pemasangan alat pacu jantung untuk gangguan
konduksi yang berat yang dapat diberikan. Dengan ekokardiografi transesofagus
14
dapat diberikan antara kardiomiopati restriktif dan perikarditis konstriktif secara
jelas dengan mengevalusi perubahan aliran vena pulmonalis pada pernapasan.
Tabel 3. Klasifikasi Klinis Kardiomiopati29
Dilatasi Pembersaran ventrikel kanan dan atau kiri, ketidaksesuaian fungsi sistolik, congestive heart failure, aritmia, emboli
Restriktif Parut endomiokardial atau infiltrasi miokard sebagai hasil dari hambatan pengisian ventrikel kanan dan atau kiri
Hipertrofi Disproporsional pembesaran ventrikel kiri, umumnya lebih melibatkan septum dibandingkan dinding jantung, dengan atau tanpa gradasi tekanan sistolik intraventrikular, biasanya tanpa disertai dilatasi ruang ventrikel.
Tabel 4. Evauasi laboratorium Kardiomiopati29
Dilatasi Restriktif HipertrofiRontgen thorax Siluet permbesaran
jantung yang moderat hingga jelas
Hipertensi vena pulmonale
Siluet permbesaran jantung yang ringan
Siluet permbesaran jantung yang ringan hingga moderat
EKG Abnormalitas segmen ST dan gelombang T
Voltase yang rendah, defek konduksi
Abnormalitas segmen ST dan gelombang T
Hipertrofi ventrikel kiri Gelombang Q abnormal
Echocardiogram Pembesaran dan disfungsi ventrikel kiri
Peningkatan penebalan dinding ventrikel kiri
Penurunan fungsi sistolik yang normal hingga ringan
Hipertrofi septum asimetris (ASH)
Gerakan anterior sistolik (SAM) dari katup mitral
Radionuklir Pembesaran dan disfungsi ventrikel kiri (RVG)
Penurunan fungsi sistolik yang normal hingga ringan
Vigorous systolic function (RVG)
Defek perfusiKateterisasi jantung Pembesaran dan
disfungsi ventrikel kiri Peningkatan tekanan
pengisian sisi kiri dan sering sisi kanan
Diminished cardiac output
Penurunan fungsi sistolik yang normal hingga ringan
Peningkatan tekanan pengisian sisi kiri dan kanan
Vigorous systolic function
Obtruksi dinamis aliran keluar ventrikel kiri
Peningkatan tekanan pengisian sisi kiri dan kanan
15
II. 3 Kardiomiopati pada Diabetes Mellitus dengan Hipertensi
Kardiomiopati diabetikum adalah suatu keadaan miopati terkait diabetes yang
memiliki ciri utama kelanian fungsi diastolik jantung30-33. Kardiomiopati diabetikum
secara kimiawi dipengaruhi oleh insulinopeni31,32 seperti pada kasus resistensi insulin
genetik pada model mencit33. Pada percobaan mencit, kelainan potensial yang mendasari
termasuk perubahan fungsi K+ channel34-36, perubahan fungsi pompa natrium37, perubahan
d retikulum sarkoplasma (endoplasma) Ca2+-ATPase38,39, Na+- Ca2+ exchanger40, dan
kelainan metabolisme protein C kinase41.
Gambar 3. Komplikasi Diabetes Mellitus42
16
Gambar 4. Jalur konduksi insulin42
Kardiomiopati diabetikum dapat diasosiasikan dengan keseimbangan antara
cardiac RAS dan aksi autokrin/parakrin Insulin-like Growth Factor (IGF-1). Peptida-
peptida, Angiotensin II (Ang II), dan IGF-1 diaktifkan oleh kardiomosit dan
menghasilkan efek pielotropik pada glandula autokrin/parakrin43,44. IGF-1 juga
meningkatkan kontraktilitas miokard dengan meningkatkan influks Ca2+ dan sensitivitas
miofilamen terhadap Ca2+. IGF-1 disintesis oleh kardiomiosit dengan kontrol dari insulin,
Angiotensin II, mekanisme stres, dan peningkatan tekanan perifer total44. IGF-1 dan Ang
II memiliki aksi yang berlawanan pada jalur rangsang jantung. Namun, bekerja secara
sinergis sebagai pemacu pertumbuhan. Salah satu jalur utama dari persinyalan IGF-1
meliputi aktivasi dari komplek PI3-kinase/IRS-145,46. PI3-kinase diketahui memiliki
banyak pengaruh terhadap insulin/ IGF-1, termasuk perjalanan reseptor, transportasi
glukosa, reorganisasi sitoskeletal, aktivasi Na+, K+- ATPase, K+ channel, dan sensitivitas
miofilamen terhadap Ca2+.43,47,48
Angiotensin II bekerja via reseptor terkait protei G dan menginduksi fosforilasi
tirosin dan IRS-147,48. Pada jaringan kardiak, dibandingkan dengan insulin/IGF-1, Ang II
secara cepat menghamat metabolisme basal sebaik insulin/IGF-1 yang terstimulasi
17
aktivitas PI3-kinase 44,47. Oleh karena itu, telah disimpulkan bahwa ekspresi berlebihan
dari RAS, seperti pada jantung diabetes, akan menjadi salah satu peresisten dari kerja
insulin/IGF-1 pada aktivasi K+ channel dan Na+ pump, yang dipengaruhi PI3-kinase,
termasuk aktivitas miofilamen terhadap Ca2+.44 Kelainan ini dihubungkan dengan
penurunan aktivitas K+ channel dan Na+ pump pada kedua tipe diabetes 31,44,49. Resistensi
aksi IGF-1 dan insulin yang termediasi PI3-kinase dapat menjelaskan kelainan fungsi
sistolik dan diastolik serta hipertrofi ventrikel kiri50 yang menjadi karakter dari kardiopati
diabetikum. Selain itu, aksi dari IGF-1 dan Ang II dapat menjelaskan mengapa pada
pasien dengan diabetes tampk memiliki masa pembesaran ventrikel kiri yang lebih
dibandingkan dengan pasien non diabetik dengan tekanan darah yang relaif sama.50
18
BAB III
PENUTUP
Hipertensi memiliki korelasi yang cukup erat dengan diabetes, dimana terdapat
peningkatan prevalensi hipertensi pada penderita diabetes 3,4 , disisi saling juga terdapat
kemungkinan diabetes mellitus tipe-2 yang tinggi pada pasien-pasien dengan hipertensi5. Pada
pasien DM tipe 2, prevalensi CHF meningkat5,6 begitu pula dengan prognosisnya yang lebih
buruk dibandingkan pasien non-biabetik7. Peningkatan resiko CHF yang meningkat walau tanpa
ada penyakit arteri koroner (Coronary artery disease/ CAD), hipertensi, atau penyakit katup,
membuat penggolongan penyakit baru yang disebut dengan kardomiopatik diabetikum8-11.
Penelitian selanjutnya membuktikan bahwa terdapat korelasi antara penderita diabetes dengan
disfungsi diastolik ventrikel kiri (LVDD) subklinis, termasuk disfungsi diastolik12-14, sehingga
meningkatkan diagnosis kardiomiopati idiopatik pada populasi diabetik15. Difsungsi diastolik
pada pasien dengan DM dipercaya hadir pada fase-fase awal kardiomiopati diabetikum16-18,
sehingga deteksi awal yang baik akan membantu memperlambat kejadian CHF pada pasien
biabetes9. Penelitian terakhir menunjukkan disfungsi diastolik ventrikel kiri (LVDD) dapat
terjadi pada 60% asimptomatik pasien dengan DM tipe 2 yang terkontrol dengan baik, walau
tanpa hipertensi ataupun CAD19. Penurunan tekanan darah telah terbukti memberikan efek yang
baik pada pasien diabetes baik mikro maupun makrovaskular.
Kardiomiopati diabetikum adalah suatu keadaan miopati terkait diabetes yang memiliki
ciri utama kelaian fungsi diastolik jantung30-33. Kardiomiopati diabetikum secara kimiawi
dipengaruhi oleh insulinopeni31,32, dimana terjadi perubahan fungsi K+ channel34-36, perubahan
fungsi pompa natrium37, perubahan d retikulum sarkoplasma (endoplasma) Ca2+-ATPase38,39,
Na+- Ca2+ exchanger40, dan kelainan metabolisme protein C kinase41. Perubahan ini turut serta
memberikan efek hipertensi pada pasien dengan diabetes mellitus melalui mekanisme aktivasi
PI3-kinase/IRS-1 oleh IGF-1 45,46. Hipertrofi miokard dan gangguan fungsi sitolik dan diastolik
pada keadaan kardiopati diabetikum diasosiasikan dengan resistensi jaringan miokard terhadap
kerja dari IGF-1, dimana IGF-1 sendiri merupakan hasil sintesis kardiomiosit, sebagai respon
dari kontrol insulin, Angiotensin II, mekanisme stres, dan peningkatan tekanan perifer total.44
19
Daftar Pustaka
1. American Heart Association Circulation 1999;100:1134-46.
2. International Diabetic Federation Prevalence Estimates. Agustus 2003.
3. Suyono S. Ilmu Penyakit Dalam : Diabetes Mellitus di Indonesia. Jilid 3. Jakarta: Dept
Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2007. p. 1852
4. Sowers JR, Epstein M, Frohlich ED. Diabetes hypertension, and cardiovascular disease.
An update. Hypertension. 2001;37:1053-9.
5. Gress TW, Nieto FJ, Shahar E. Hypertension and antihypertensive therapy as risk factors
for type-2 diabetes mellitus. Atherosclerosis Risk in Communities Study. N Engl J Med
2000;342:905-12.
6. Stolk RP, Van Splunder IP, Schouten JS. High blood pressure and the incidence of non-
insulin dependant diabetes mellitus. Findings in a 11.5 year follow up study in The
Netherlands. Eur J Epidemiol 1993;9:134-9.
7. Stamler J, Vaccaro O, Neaton JD. Diabetes, other risk factors, and 12 years
cardiovascular mortality for men screened in the Multiple Risk Factor Intervention Trial.
Diabetes Care 1993;16:434-44.
8. Ruber S, Dlugash J, Yuceoglu YZ, et al. New type of cardiomyopathy associated with
diabetic glumerulosclersis. Am J Cardiol, 1972,30:595-602.
9. Bel DS. Diabetic cardiomyopathy. Diabetic Care, 2003, 26:2949-2951.
10. Shehadeh A, Regan TJ. Cardiac consequence of diabetes mellitus. Clin Cardiol,
1995,18:301-305.
11. Bell DS, Diabetic cardiomyopathy. A unique entity or a complication of coronary artery
disease? Diabetes Care, 1995, 18:708-714.
12. Ahmed SS, Jaferi GA, Narang RM, et al. Preclinical abnormality of left ventricular
function in diabetes mellitus. Am Heart J, 1975, 89: 153-158.
13. Senevirante BI. Diabetic cardiomyopathy: the preclinical phase. Br Med J, 1997, 1 :
1444-6
14. Vinereanu D, Nicolaides E, Tweddel AC, et al. Subclinical left ventricular dysfunction in
asymptomatic patiens with type II diabetes mellitus, related to serum lipids and glycated
haemoglobin. Clin Sci (Lond), 2003, 105 : 591-599.
20
15. Bertoni Ag, Tsai A, Kasper EK, et al. Diabetes and idiopathic cardiomyopathy: a nation-
wide case-control study. Diabetes care, 2003, 26: 2791-2795.
16. Raev DC. Which left ventricular function is impaired earlier in the evolution of
cardiomyopathy? An echocardiographic study of young type I diabetic patients. Dibetic
Care, 1994, 17: 633-639.
17. Garderisi M, Anderson KW, Wison PW, et al. Echocardiographic evidence for the
existence of distinct diabetic cardiomyopathy (the Framingham Heart Study). Am J
Cardiol, 1991, 68 : 85-89.
18. Cosson S, Kevorkian JP. Left ventricular diastolic dysfunction : an early sign of
cardiomyopathy? Diabetes Metab, 2003, 29: 455-466.
19. Khan AK, Jalal S, Baba RM, et al. Prevalence of diastolic dysfunction in normotensive
asymptomatic patients with well-controlled type 2 diabetes mellitus. Chinese Clin Med J,
September 2006, 1 (4):193-200.
20. Alder Al, Stratton IM, Neil HA. Association of systolic Blood pressure with macro
vascular complications of type-2 diabetes (UKPDS 36): prospective observational study.
BMJ 2000;321:412-9.
21. Hansson L, Zanchetti A, Carruthers SG. Effects of intensive blood pressure lowering and
low-dose aspirin in patients with hypertension. Principal results of the Hypertension
Optimal Treatment (HOT) randomized trial. HOT study group. Lancet. 1998;1755-62.
22. Guidelines Committee. European Society of Hypertension. European Society of
cardiology guidelines for the management of arterial hypertension. J Hypertension
2003;21:1011-53.
23. American Diabetes Association. Treatment of hypertension in adults with diabetes.
Diabetes Care. 2002;25(Suppl 1):S71-S73.
24. Uusitupa MI, Mustonen JN, Airaksinen KE. Diabetes heart muscle disease. Ann Med.
1990;22:377-86.
25. Raev DC. An Echocardiographic study of young Type-I diabetic patient. Diabetes Care.
1994;17:633-9.
26. Missault LH, Duprez DA, Brandt AA, De Buyzere ML, Adang LT, Clement DL.
Exercise performance and diastolic filling in essential hypertension. Blood press.
1993;2:284-88.
21
27. Fisher NDL, Williams GH. Harrison's Principles of Internal Medicine: Hypertensive
vascular disease. 16th ed. New York: McGraw-Hill; 2000. p. 1463-1479.
28. Sanif E. Kardiomiopati Jenis dan Pelaksanaan. [cited 2009 October 28]. Availabel from
http://www.jantunghipertensi.com
29. Wynne J, Braunwald E. Harrison's Principles of Internal Medicine: Cardiomyopathy and
myocarditis. 16th ed. New York: McGraw-Hill; 2000. p. 1408-14.
30. Frohlich ED. Uric acid: a risk factor for coronary artery disease. JAMA. 1993;270:354 –
359.
31. Brown R, Walsh M, Sowers JR. Influence of sex, diabetes and ethanol on intrinsic
contractile performance of isolated rat myocardium. Basic Res Cardiol. 1996;91:353–
360.
32. Ren J, Dominguez LJ, Sowers JR, Davidoff A. Troglitazone attenuates high glucose-
induced abnormalities in relaxation and intracellular calcium in rat ventricular myocytes.
Diabetes. 1996;45:1822–1825.
33. Ren J, Sowers JR, Walsh MF, Brown RA. Reduced contractile response to insulin and
IGF-1 in ventricular myocytes from genetically obese Zucker rats. Am J Physiol.
2000;279:H1708–H1714.
34. Wong D, Kiyosue T, Shigematsu S, Arita M. Abnormalities of K1 and Ca21 currents in
ventricular myocytes from rats with chronic diabetes. Am J Physiol. 1998;269:H1288–
H1296.
35. Shimoni Y, Ewart H, Severson D. Insulin stimulation of rat ventricular K1 currents
depends on the integrity of the cytoskeleton. J Physiol (Lond). 1999;514:735–745.
36. Casis O, Gallego M, Iriarte M, Sanchez-Chapula SA. Effects of diabetic cardiomyopathy
on regional electrophysiologic characteristics of rat ventricle. Diabetologia.
2000;43:101–109.
37. Golfman L, Dixon IM, Takeda N, Lukas A, Dakshinamurti K, Dhalla NS. Cardiac
sarcolemmal Na1-Ca21 exchange and Na1-K1 ATPase activities and gene expression in
alloxan-induced diabetes in rats. Mol Cell Biochem. 1998;188:91–101.
38. Ziegelhoffer A, Ravingerova T, Styk J, Sebokova J, Waczulikova I, Breier A, Dzurba A,
Volkovova K, Carsky J, Turecky L. Mechanisms that may be involved in calcium
tolerance of the diabetic heart. Mol Cell Biochem. 1997;176:191–198.
22
39. Matsubara H, Kanasaki M, Murasawa S, Tsukaguchi Y, Nio Y, Inada M. Differential
gene expression and regulation of angiotensin II receptor subtypes in rat fibroblasts and
cardiomyocytic in culture. J Clin Invest. 1994;93:592– 601.
40. Schaffer SW, Ballard-Craft C, Boerth S, Allon SM. Mechanisms underlying depressed
Na1/Ca21 exchanger activity in the diabetic heart. Cardiovasc Res. 1997;34:129 –136.
41. Giles TD, Ouyang J, Kerut EK, Given MB, Allen GE, McIwain EF, Greenberg SS.
Changes in protein kinase C in early cardiomyopathy and in the gracilis muscle in the
BB/W or diabetic rat. Am J Physiol. 1998; 4:H295–H307.
42. Power AC. Harrison's Principles of Internal Medicine: Diabetes Mellitus. 16th ed. New
York: McGraw-Hill; 2000. p. 2152-2179.
43. Li D, Sweeney G, Wang Q, Klip A. Participation of PI3K and atypical PKC in Na1,K1-
ATP pump stimulation by IGF-1 in VSMC. Am J Physiol. 1999;276:H2109–H2116.
44. Ren J, Sampson WK, Sowers JR. Insulin-like growth factor 1 as a cardiac hormone:
physiological and pathophysiological implications in heart disease. Mol Cell Cardiol.
1999;31:2049 –2061.
45. Cittadini A, Ishiguro Y, Stromer H, Spindler M, Moses AC, Clark R, Douglas PS,
Ingwall JS, Morgan JP. Insulin-like growth factor but not growth hormone augments
mammalian myocardial contractility by sensitizing the myofilament to Ca21 through a
wortmannin-sensitive pathway: studies in rat and ferret isolated muscles. Circ Res.
1998;83:50–59.
46. LeRoith D. Insulin-like growth factors. N Engl J Med. 1998;336: 633–640.
47. Folli F, Kahn CR, Hansen H, Bouchie JL, Feener EP. Angiotensin II inhibits insulin
signaling in aortic smooth muscle cell at multiple levels. J Clin Invest. 1997;100:2158 –
2169.
48. Velloso LA, Folli F, Sun XJ, White MF, Saad MJ, Kahn CR. Cross-talk between insulin
and angiotensin signaling systems. Proc Natl Acad Sci U S A. 1996;93:12490 –12495.
49. Guo W, Kada K, Kamiya K, Toyama J. IGF-1 regulates K1-channel expression of
cultured neonatal rat ventricular myocytes. Am J Physiol. 1997;272:H2599–H2560.
50. Grossman E, Shemesh J, Shamiss A, Thaler M, Carroll J, Rosenthal T. Left ventricular
mass in diabetes-hypertension. Arch Intern Med. 1992; 152:1001–1004.
23