karanganyar

74
CASE REPORT REGIONAL ANESTESI PADA PASIEN PEREMPUAN USIA 33 TAHUN DENGAN APPENDICITIS Oleh : Giska Cantika, S.Ked J5101 45 107 PEMBIMBING : dr. Damai S, Sp.An KEPANITERAAN KLINIK STASE ANESTESI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2015 1

Upload: gege

Post on 08-Dec-2015

233 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

file

TRANSCRIPT

Page 1: karanganyar

CASE REPORT

REGIONAL ANESTESI PADA PASIEN PEREMPUAN USIA 33 TAHUN

DENGAN APPENDICITIS

Oleh :

Giska Cantika, S.Ked J510145107

PEMBIMBING :

dr. Damai S, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK STASE ANESTESI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2015

1

Page 2: karanganyar

CASE REPORT

REGIONAL ANESTESI PADA PASIEN PEREMPUAN USIA 33 TAHUN

DENGAN APPENDICITIS

Yang Diajukan Oleh :

Giska Cantika, S.Ked J510145107

Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran

Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pada hari tanggal, 2015

Pembimbing :

dr.Damai S, Sp.An (…………………………)

Kabag. Profesi Dokter

dr.Dona Dewi Nirlawati (......................................)

KEPANITERAAN KLINIK STASE ANESTESI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2015

2

Page 3: karanganyar

DAFTAR ISI

Halaman Judul ………………………………………………….. 1

Halaman Persetujuan …………………………………………… 2

Daftar Isi ……………………………………………………….. 3

Daftar Gambar & Tabel…………………………………........... 4

Bab I Pendahuluan…………………………………………….. 5

Bab II Laporan Kasus………………………………………......

Bab III Tinjauan Pustaka

A. Presentasi Bokong............................................................

B. Ketuban Pecah Dini ……………………………………..

C. Sectio Caesaria…………………………………………..

D. Anatomi dalam Spinal Anastesi…………………….......

E. Anastesi Spinal ……………………………………...…..

6

13

13

17

20

21

23

Bab IV Pembahasan ……………………………………………. 37

Bab V Penutup………………………………………………......

Daftar Pustaka ...........................................................................

40

41

3

Page 4: karanganyar

DAFTAR GAMBAR & TABEL

Gambar 1. Anatomi Vertebrae

Gambar 2. Anatomi Vertebrae Lumbal

Gambar 3. Jarum Spinal

Gambar 4. Posisi Pasien pada Anastesi Spinal

Gambar 5. Tusukan Jarum pada Anestesi Spinal

Tabel 1. Anestesi Lokal Pada Anestesi Spinal

4

Page 5: karanganyar

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan meliputi

pemberian anestesi ataupun analgesi, pengawasan keselamatan penderita yang mengalami

pembedahan atau tindakan lainnya, pemberian bantuan hidup dasar, perawatan intensif pasien

gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun.1

Anesthesia diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes yang menggambarkan

keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena pemberian obat dengan tujuan untuk

menghilangkan nyeri pembedahan. Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada

suatu operasi terdapat beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri

dari persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan

persiapan pada hari operasi. Sedangkan tahap penatalaksanaan anestesi terdiri dari

premedikasi, masa anestesi dan pemeliharaan, tahap pemulihan serta perawatan pasca

anestesi.2,3

Anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu : (1) anestesi regional, yaitu hilangnya

sensibilitas setempat tanpa disertai hilangnya kesadaran dan (2) anestesi umum yaitu hilangnya

segala modalitas rasa disertai hilangnya kesadaran. Anestesi yang ideal adalah tercapainya anestesi

yang meliputi hipnotik, analgesi dan relaksasi otot.2,3

Apendektomi untuk apendisitis merupakan operasi darurat yang paling sering

ditemukan di seluruh dunia. Namun, dalam tiga dasawarsa terakhir kejadiannya menurun

secara bermakna. Hal ini diduga disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan

berserat dalam menu sehari-hari.4 Studi dari The American Journal of Epidemiology

menemukan bahwa apendicitis merupakan kondisi umum yang terjadi pada 6,7% sampai

8,6% populasi. Di Amerika Serikat sekitar 250.000 kasus apendicitis dilaporkan setiap

tahun.5

5

Page 6: karanganyar

BAB II

LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien

Nama : Ny. W

Jenis kelamin : Perempuan

Umur : 33 tahun

Alamat : Mojogedang, Karanganyar

Diagnosis Pre Op : Appendicitis

Tindakan Op : Appendectomy

Tanggal Masuk : 5 Juni 2015

Tanggal Operasi : 9 Juni 2015

II. Anamnesis

i. Keluhan Utama

Nyeri pada perut kanan bawah

ii. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan nyeri pada bagian perut kanan bawah, nyeri

dirasakan kurang lebih sudah 3 hari. Nyeri berkelanjutan terus menerus dan tidak

membaik dengan istirahat. Nyeri disertai dengan mual dan muntah. Muntah berisi

makanan yang dimakan. Tidak ada keluhan serupa sebelumnya.

iii. Riwayat penyakit dahulu

Riwayat Hipertensi : disangkal

Riwayat DM : disangkal

Riwayat Alergi Obat : disangkal

Riwayat Asma : disangkal

Riwayat Jatuh dan Trauma : disangkal

Riwayat keluhan serupa : disangkal

6

Page 7: karanganyar

iv. Riwayat keluarga

Riwayat Hipertensi : disangkal

Riwayat DM : disangkal

Riwayat Alergi Obat : disangkal

Riwayat TB : disangkal

Riwayat keluhan serupa : disangkal

v. Riwayat Kebiasaan

Pasien mengaku sering makan makanan pedas dan kurang suka makan sayur

III. Pemeriksaan Fisik

1. Pemeriksaan Fisik

a). Status Generalis

Keadaan Umum : Compos Mentis

Vital Sign

Tekanan darah : 120/80 mmHg

Frekuensi Nafas : 20 kali / menit

Frekuensi Nadi : 76 kali / menit

Suhu : 36,5o C

Kepala : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)

Leher : Retraksi supra sterna (-), peningkatan JVP (-), PKGB

(-)

Thorax

Jantung

Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

Palpasi : Ictus cordis teraba

Perkusi : Redup

Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni, regular, bising jantung (-).

Paru

Inspeksi : Simetris kanan kiri, tidak terdapat luka bekas operasi

Palpasi : Fremitus (+) normal, nyeri tekan (-), massa (-)

Perkusi : Sonor kanan kiri

Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)

7

Page 8: karanganyar

Abdomen

Inspeksi : Schapoid, distended (-), bekas operasi (-), darm contour (-)

darm steifung (-)

Auskultasi : Peristaltik (+) normal

Palpasi : NT Inguinal dex (+), massa (-)

Perkusi : Timpani (+)

Ekstremitas : Clubbing finger (-), Edema tungkai (-), akral hangat (+/+)

b). Status Lokalis

Regio Inguinal Dextra

Inspeksi : Bekas operasi (-), bekas luka (-), massa (-)

Auskultasi : Peristaltik (+) Normal

Palpasi : NT (+), massa (-)

Perkusi : Timpani (+) Normal

2. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Darah Rutin (6 Juni 2015)

Hasil lab

Hb : 12g/dl (N)

Leukosit : 7.870/ul (N)

Trombosit : 365.000/ul (H)

Eritrosit : 4,02/ul (N)

MCV : 85,5 fl (N)

MCH : 29,6 pg (N)

MCHC : 34,6 g/dl (N)

Gran % : 73,3 % (H)

Limfosit : 21,3 % (L)

Monosit : 2,5% (L)

Eosinofil : 2,7 % (N)

Basofil : 0,2 % (N)

8

Page 9: karanganyar

GDS : 96 (N)

Ureum : 15,4mg/dl (N)

Creatinin : 0,75mg/dl (N)

SGOT : 45,5u/l (N)

SGPT : 29,1u/l (N)

Protein total : 8,2g/dl (N)

Albumin : 4,3g/dl (N)

HBs Ag : non reaktif

Pemeriksaan Radiologi (USG)

Kesan : Pada saat dilakukan USG abdomen tampak gambaran proses radang di regio

mc burney (Appedicitis)

Pemeriksaan EKG

Kesan : Normal Sinus Rhytme

IV. KESIMPULAN KONSUL ANESTESI

Seorang perempuan usia 33 tahun dengan appendicitis akan dilakukan operasi

Appendectomy. Hasil laboratorium darah dalam batas normal. Hasil rekam

jantung EKG dalam batas normal. Acc Op ASA II

V. LAPORAN ANESTESI PASIEN

a) Diagnosis pra-bedah : Appendicitis

b) Diagnosis post-bedah : Post Operasi Appendectomy

c) Jenis pembedahan : Mayor

Status Anestesi

Persiapan Anestesi

1. informed concent

2. Puasa ± 8 jam sebelum Operasi

Penatalaksanaan Anestesi

Jenis anestesi : Regional Anestesi (RA)

Premedikasi : Oxtercid 1 vial

9

Page 10: karanganyar

Medikasi : Bucain ½ amp

O2 2 liter/menit

Efedrin HCL 50 mg/ml (bila tensi

systole < 100)

Teknik anestesi : Pasien dalam posisi duduk dan kepala

menunduk.

Dilakukan desinfeksi di sekitar daerah

tusukan yaitu di regio vertebra lumbal

3-4.

Dilakukan Sub Arakhnoid Blok

dengan jarum spinal no.25 pada regio

vertebra Lumbal 3-4.

LCS keluar (+) jernih.

Barbotage (+).

Respirasi : Spontan

Posisi : Supine

Jumlah cairan yang masuk : Koloid 500 cc ( HES)

Perdarahan selama operasi : ± 60 cc di tabung suction

Pemantauan selama anestesi :

Mulai anestesi : 12.00

Mulai operasi : 12.10

Selesai anestesi : 12.50

Selesai operasi : 12.45

10

Page 11: karanganyar

Durasi Operasi : 45 Menit

VI. PENATALAKSANAAN ANESTESI

a. Jam 11.55 pasien masuk kamar operasi, ditidurkan telentang di atas meja operasi,

manset dan monitor dipasang.

b. Jam 12.00 dilakukan Anestesi Regional Spinal

c. Pemeliharaan dengan mengalirkan O2 2 liter/menit

d. Jam 12.10 ahli bedah memulai operasi, selama operasi tanda vital, perdarahan

dan saturasi O2 dimonitor tiap 5 menit.

e. Jam 12.45 operasi selesai

f. Jam 12.50 penderita dipindahkan ke ruang pulih sadar.

Monitoring selama operasi.

Waktu Tekanan

darah

Nadi SpO2 Keterangan

11.55 110/60 118 99 Terpasang infuse HES

12.00 110/70 100 99 Anestesi Regional

dilakukan

12.05 110/70 97 99 Selesai Anastesi

12.10 120/60 70 99 Pelaksanaan Operasi

12.15 120/70 70 99

12.20 122/71 63 99

12.25 121/70 61 99

12.30 124/72 60 99

12.35 120/70 70 99

12.40 122/73 60 99

12.45 125/70 60 98 Operasi Selesai

11

Page 12: karanganyar

1. Di Ruang Pemulihan

Jam 12.50 : Pasien dipindahkan ke recovery room dalam keadaan sadar, posisi

terlentang, kepala di ekstensikan, diberikan O2 2 liter/menit, dan tanda-tanda vital

dimonitoring tiap 10 menit.

Jam 13.20 : Pasien stabil & baik, dipindahkan ke Bangsal Kantil 2.

Monitoring Pasca Anestesi

Waktu Tekanan

Darah

Nadi RR Keterangan

12.50 110/60 64 20 O2 2L/mnt, Monitoring tanda

Vital

13.00 120/70 60 20 Monitoring tanda Vital

13.20 120/70 62 20 Monitoring tanda Vital

Bromage Score 1

2. Instruksi Pasca Anestesi

a. Rawat pasien posisi terlentang, kontrol vital sign. Bila tensi turun di bawah 90/60

mmHg, infus dipercepat. Bila muntah, berikan Ondansetron 4 mg. Bila kesakitan,

berikan Ketorolac 1 ampul.

b. Lain-lain

Kontrol balance cairan.

Monitor vital sign.

12

Page 13: karanganyar

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. APPENDICITIS

I. Definisi

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vemiformis.7

II. Anatomi

Apendiks merupakan organ berbentuk tabung panjangnya kira-kira 10 cm ( kisaran 3-

15 cm) dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di

bagian distal. Namun demikian, pada bayi apendiks berbentuk kerucut, lebar pada

pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab

rendahnya insidensi apendicitis pada usia itu, pada 65% kasus, apendiks terletak

intraperitoneal. Kedudukan ini memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya

bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya.4 Letak apendiks dapat berubah-

ubah, tetapi biasanya apendiks terletak retrosekal.8

Menurut letaknya apendiks dibagi menjadi beberapa macam:7

a. Apendiks retrocecalis, terletak dibelakang sekum.

b. Apendiks pelvicum, terletak menyilang a.iliaca ekterna dan masuk ke dalam

pelvis.

c. Apendiks postcecalis, terletak di belakang atas kiri dari ileum.

d. Apendiks retroileal

e. Apendiks descenden, terletak descenden ke caudal.

13

Page 14: karanganyar

Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n. Vagus yang mengikuti a. Mesenterika

superior dan a. Apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n. Torakalis X.

Oleh karena itu, nyeri visceral pada apendisitis bermula disekitar umbilikus.4

Perdarahan apendiks berasal dari a. Apendikularis yang merupakan arteri tanpa

koleteral. Jila arteri ini tersumbat, misalnya karena trombosis pada infeksi, apendiks akan

mengalami gangren.4

Letak pangkal apendiks dapat ditentukan dengan menarik garis Monroe Richter

yang ditarik dari spinna iliaca anterior superior (SIAS) kanan ke umbilicus. Letak apendiks

adalah pada titik Mc Burney (pangkal apendiks). Titik Mc Burney ditentukan pada garis

Monroe, 1/3 lateral. Ujung apendiks terletak pada 1/6 lateral kanan garis LANS (garis yang

ditarik dari SIAS kanan dan kiri).7

III. Etiologi

Obstruksi lumen apendiks diikuti dengan kongesti vaskular, inflamasi dan edema,

penyebab obstruksi pada umumnya berupa:4,9

1. Fecolith

Pada 30% hingga 35% kasus (paling banyak terjadi pada orang dewasa).

2. Benda asing

4% (misalnya biji buah-buahan, cacing kremi, cacing pita, cacing tambang)

3. Inflamasi

Pada 50% hingga 60% kasus (hiperplasi jaringan limfoid submukosa merupakan

etilogi yang paling sering pada anak-anak dan remaja)

4. Neoplasma

1% (karsinoma, penyakit metastasis, karsinoma)

14

Page 15: karanganyar

IV. Patofisiologi

Patologi apendicitis dapat mulai dari mukosa dan kemudian melibatkan seluruh

lapisan dinding appendiks dalam waktu 24-48 jam pertama.3 Pada stadium paling dini, hanya

sedikit eksudat neutrofil ditemukan diseluruh mukosa, submukosa, dan muskularis propria.

Pembuluh subserosa mengalami pembendungan, dan sering terdapat infiltrat neutrofilik

perivascular ringan. Reaksi peradangan mengubah serosa yang normalnya berkilap menjadi

membran yang merah, granular dan suram perubahan ini menandakan apendisitis akut dini.10

Pada apendisitis akut, organisme awalnya menyerang dinding apendiks kemudian

menyerang submukosa. Sampai akhirnya, seluruh dinding apendiks terlibat dalam

peradangan akut dan menjadi bengkak serta memerah. Keterlambatan diagnosis

menyebabkan apendiks menjadi bengkak, terutama jika terdapat obstruksi lumen. Terjadi

vena stasis dan oklusi arteri menyebabkan pembentukan gangren pada ujung apendiks,

dimana sulpai darah tidak stabil.11

Usaha pertahanan tubuh adalah membatasi proses radang dengan menutup apendiks

dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa periapendikuler yang

secara salah dikenal dengan istilah infiltrat apendiks. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis

jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi.12 Eksudat neutrofilik yang hebat

menghasilkan reaksi fibrinopurulen di atas serosa. Dengan memburuknya proses peradangan,

terjadi pembentukan abses di dinding usus, disertai ulserasi dan fokus nekrosis di mukosa.

Keadaan ini mencerminkan apendisitis supuratif akut. Perburukan keadaan apendiks ini

menyebabkan timbulnya daerah ulkus hijau hemoragik di mukosa, dan nekrosis gangrenosa

hijau tua di seluruh ketebalan dinding hingga ke serosa dan menghasilkan apendisitis

gangrenosa akut yang cepat diikuti oleh ruptur dan peritonitis supurativa.12Jika tidak

terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa periapendikuler akan menjadi tenang

untuk selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.4

Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna., tetapi akan

membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya.

Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah. Pada suatu

ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan ssebagai mengalami eksaserbasi

akut.4

15

Page 16: karanganyar

V. Gejala Klinis4,6,10

Apendisitis akut merupakan diagnosis abdomen yang paling mudah atau paling sulit.

Kasus klasik ditandai dengan :

a. Rasa tidak nyaman ringan didaerah periumbilikus

Variasi lokasi anatomi apendiks memberikan banyak variasi lokasi utama fase

somatik dari rasa sakit. Misalnya, apendiks yang panjang dengan inflamasi di

ujung kuadran kiri bawah menyebabkan nyeri pada daerah itu. Apendiks

retrocecal dapat menyebabkan nyeri pinggul atau sakit punggung, apendiks pelvis,

terutama nyeri suprapubik, dan apendiks retroileal, nyeri testis, mungkin karena

iritasi arteri spermatika dan ureter.

b. Anoreksia, mual, muntah, obstipasi, diare

Anoreksia hampir selalu menyertai apendisitis. Hal ini begitu konstan

sehingga diagnosis apendisitis perlu dipertanyakan jika pasien tidak anoreksia.

Walaupun hampir 75% pasien mengalami muntah, tetapi ini tidak menonjol

dan kebanyakan pasien hanya muntah sekali atau dua kali. Muntah disebabkan

oleh stimulasi saraf dan adanya ileus.

Kebanyakan pasien biasanya juga mengeluhkan kesuliatan buang air besar

sebelum timbul sakit perut, dan banyak yang merasa bahwa dengan buang air

besar akan menghilangkan rasa sakit perut mereka.

Diare terjadi pada beberapa pasien, terutama pada anak-anak, sehingga pola

fungsi usus memberikan sedikit nilai diagnosis. Urutan timbulnya gejala

memberikan arti yang besar untuk diagnosis banding. Pada 95% pasien dengan

apendisitis akut, anoreksia merupakan gejala utama. Kemudian diikuti dengan

nyeri perut lalu muntah-muntah. Jika muntah timbul sebelum rasa sakit, diagnosis

apendisits perlu dipertanyakan.

c. Nyeri tekan kuadran kanan bawahyang dalam beberapa jam berubah menjadi rasa

pegal dalam atau nyeri di kuadran kanan bawah.

d. Demam dan leukosistosis terjadi pada awal perjalanan penyakit.

Penyakit mungkin silent terutama pada usia lanjut, atau tidak memperlihatkan

tanda lokal di kuadran kanan bawah, seperti bila apendiks terletakdi retrosekal atau

terdapat malrotasi usus.

16

Page 17: karanganyar

Pada pemeriksaan fisik, ditemukan demam biasanya ringan dengan suhu

sekitar 37,5-38,5 oC. Bila suhu lebih tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa

terdapat perbedaan suhu aksilar dan rektal sampai 1oC.

Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering

terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah

bida dilihat pada massa atau abses periapendikuler. Pada palpasi didapatkan nyeri

yang terbatas pasa regio iliaka kanan, bisa disertai nyeri lepas. Defans muscular

menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale. Nyeri tekan perut kanan

bawah ini merupakan kunci diagnosis. Pada penekanan perut kiri bawah akan

dirasakan nyeri di perut kanan bawah yang disebut Rovsing sign.Pada apendisitis

retrosekal atau retroileal.diperlukan palpasi dalam untuk menentukan adanya rasa

nyeri.

Karena terjadi pergeseran sekum ke kraniolaterodorsal oleh uterus, keluhan

nyeri pada apendisitis sewaktu hamil trimester II dan III akan bergeser ke kanan

sampai pinggang kanan. Tanda pada kehamilan trimester I tidak berbeda dengan pada

orang tidak hamil karena itu perlu dibedakan apakah keluhan nyeri berasal dari uterus

atau apendiks. Bila penderita miring ke kiri, nyeri akan berpindah sesuai dengan

pergeseran uterus, terbukti proses bukan berasal dari apendiks.

Peristaltik usus sering normal: peristaltik dapat hilang karena ileus paralitik

pada peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata. Pemeriksaan colok dubur

menyebabkan nyeri bila daerah infeksi bisa dicapai dengan jari telunjuk misalnya

pada apendisitis pelvika.

Pada apendisitis pelvika tanda perut sering meragukan maka kunci diagnosis

adalah nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Pemeriksaan psoas test dan

obturator test merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk mengetahui letak

apendiks. Psoas test dilakukan dengan rangsangan otot psoas dilakukan dengan

rangsangan otot psoas lewat hiperekstensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi

panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila apendiks yang meradang

menempel di m.psoas mayor, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Obturator

test digunakan untuk melihat apakah apendiks yang meradang kontak dengan

m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil. Gerakan fleksi dan

endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang akan menimbulkan nyeri pada

apendicitis pelvika.

17

Page 18: karanganyar

VI. Diagnosis4

Teknik diagnostik konvensional (diawali dengan pemeriksaan fisik), diagnosis

apendicitis akut yang akurat hanya dapat ditegakkan pada sekitar 80% kasus.

Modalitas pencitraan yang lebih baru meningkatkan keakuratan diagnosis menjadi

95%.

Meskipun pemeriksaan dilakukan dengan cermat dan teliti, diagnosis klinis

apendicitis akut masih mungkin salah pada sekitar 15-20% kasus. Kesalahan

diagnosis lebih sering pada perempuan dibanding laki-laki. Hal ini dapat disadari

mengingat pada perempuan terutama yang masih muda sering timbul gangguan yang

mirip apendicitis akut. Keluhan itu berasal dari genitalia interna karena ovulasi,

menstruasi, radang di pelvis, atau penyakit ginekologik lain.

Untuk menurunkan angka kesalahan diagnosis apendicitis akut bila diagnosis

meragukan, sebaiknya dilakukan observasi penderita di rumah sakit dengan

pengamatan setiap 1-2 jam. Foto barium kurang dapat dipercaya. Ultrasonografi bisa

meningkatkan akurasi diagnosis. Demikian pila laparoskopi pada kasus yang

meragukan. Pemeriksaan laboratorium, jumlah leukosit membantu menegakkan

diagnosis apendicitis akut. Pada kebanyakan kasus terdapat leukositosis, terlebih pada

kasus dengan komplikasi.

Selain itu diagnosis juga dapat ditegakan melalui klinis dari pemeriksaan fisik.

Pada apendisitis pelvika tanda perut sering meragukan, maka kunci diagnosis adalah

nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Colok dubur pada anak tidak

dianjurkan. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang

lebih ditujukan untuk mengetahui letak apendiks. Uji psoas dilakukan dengan

rangsangan m. psoas lewat hiperekstensi atau fleksi aktif. Bila apendiks yang

meradang menempel di m.psoas, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Uji

obturator digunakan untuk melihat apakah apendiks yang meradang kontak dengan

m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil. Dengan gerakan fleksi

dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang, pada apendicitis pelvika akan

menimbulkan nyeri.

18

Page 19: karanganyar

Psoas sign nyeri pada saat paha kanan pasien diekstensikan. Pasien

dimiringkan kekiri. Pemeriksa meluruskan paha kanan pasien, pada saat itu ada

hambatan pada pinggul atau pangkal paha kanan (tanda bintang).

Dasar anatomi dari tes psoas apendiks yang mengalami peradangan kontak

dengan otot psoas yang meregang saat dilakukan manuver (pemeriksaan).

Tes Obturator nyeri pada rotasi kedalam secara pasif saat paha pasien

difleksikan. Pemeriksa menggerakkan tungkai bawah ke lateral, pada saat itu ada

tahanan pada sisi samping dari lutut (tanda bintang), menghasilkan rotasi femur

kedalam.

Dasar Anatomi dari tes obturator : Peradangan apendiks di pelvis yang kontak

dengan otot obturator internus yang meregang saat dilakukan manuver. Jika sudah

terbentuk abses yaitu bila ada omentum atau usus lain yang dengan cepat

membendung daerah apendiks maka selain ada nyeri pada fossa iliaka kanan selama

3-4 hari (waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan abses) juga pada palpasi akan

teraba massa yang fixed dengan nyeri tekan dan tepi atas massa dapat diraba. Jika

apendiks intrapelvinal maka massa dapat diraba pada RT (Rectal Touche) sebagai

massa yang hangat.

Peristaltik usus sering normal, peristaltik dapat hilang karena ileus paralitik pada

peritonitis generalisata akibat apendicitis perforata. Pemeriksaan colok dubur

menyebabkan nyeri bila daerah infeksi bisa dicapai dengan jari telunjuk, misalnya pada

apendicitis pelvika.

VII. Diagnosis Banding4

Pada keadaan tertentu, beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis

banding, yaitu:

Gastroenteritis

Pada gastroenteritis, mual, muntah dan diare mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih

ringandan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltik ering ditemukan. Panas dan leukositosis

kurang menonjol dibandingkan apendisitis akut.

Demam dengue

Demam dengue dapat dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis. Di sini didapatkan

hasil tes positif untuk Rumpl Leede, trombositopenia, dan hematokrit yang meningkat.

19

Page 20: karanganyar

Limfadenitis mesenterika

Limfadeniris mesenterika yang biasa didahului oleh enteritis atau gastroenteritis

ditandai dengan nyeri perut, terutama kanan disertai dengan perasaan mual, nyeri tekan perut

samar, terutama kanan

Kelainan ovulasi

Folikel ovarium yang pecah (ovulasi) mungkin memberikan nyeri perut kanan bawah

pada pertengahan siklus menstruasi. Pada anamnesis, nyeri yang sama pernah timbul lebih

dahulu. Tidak ada tanda radang, dan nyeri biasa hilang dalam waktu 24 jam, tetapi mungkin

dapat menganggu selama dua hari.

Infeksi panggul

Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan apendisitis akut. Suhu biasanya lebih

tinggi daripada apendisitis dan nyeri perut bagian bawah lebih difus. Infeksi panggul pada

wanita biasanya disertai keputihan dan infeksi urin. Pada colok vagina akan timbul nyeri

hebat di panggul jika uterus diayunkan. Pada gadis dapat dilakukan colok dubur jika perlu.

Kehamilan di luar kandungan

Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak menentu. Jika

ada ruptur tuba atau abortus kehamilan di luar rahim dengan perdarahan, akan timbul nyeri

yang mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin terjadi syok hipovolemik. Pada

pemeriksaan vaginal didapatkan nyeri pada penonjolan rongga Douglas dan pada

kuldosintesis didapatkan darah.

Kista ovarium terpuntir

Timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang tinggi dan teraba massa dalam rongga

pelvis pada pemeriksaan perut, colok vaginal, atau colok rektal. Tidak terdapat demam.

Pemeriksaan ultrasonograafi dapat menentukan diagnosis.

Endometriosis eksterna

Endometrium di luar rahim akan memberikan keluhan nyeri di tempat endometriosis

berada, dan darah menstruasi terkumpul di tempat itu karena tidak ada jalan keluar.

Urolitiasis pielum atau ureter kanan

Batu ureter atau batu ginjal kanan. Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut

menjalar ke inguinal kanan merupakan gambaran yang khas. Eritrosuria sering ditemukan.

Foto polos perut atau urografi intravena dapat memastikan penyakit tersebut. Pielonefritis

sering disertai dengan demam tinggi, mengigil, nyeri kostovertebral di sebelah kanan dan

piuria.

20

Page 21: karanganyar

VIII. Penatalaksanaan6

Meskipun telah ditemukan modalitas diagnostik yang lebih canggih, tetapi intervensi

operatif tidak boleh ditinggalkan. Setelah diagnosis apendicitis akut ditegakkan, pasien perlu

dipersiapkan untuk menjalani operasi. Hidrasi pasien harus dipastikan mencukupi kebutuhan

pasien, kelainan elektrolit harus diperbaiki, dan kondisi jantung, paru serta ginjal harus

diperhatikan. Sebuah meta-analisis menunjukkan manfaat pemberian antibiotik praoperasi

dalam menurunkan komplikasi dari apendicitis. Kebanyakan ahli bedah secara rutin

memberikan antibiotik pada semua pasien yang dicurigai menderita apendicitis. Jika

didapatkan apendicitis akut simpel, tidak ada manfaat dalam memperluas cakupan antibiotik

di luar 24 jam. Jika apendisitis mengalami perforasi atau ditemukan gangren, antibiotik

diteruskan sampai pasien tidak demam dan memiliki jumlah sel darah putih yang normal.

Pada infeksi intra abdominal dari traktus gastrointestinal yang ringan sampai berat,

para ahli bedah merekomendasikan satu agen terapi dengan cefoxitin, cefotetan, atau

tikarsilin-asam klavulanat. Pada infeksi yang lebih parah, satu agen terapi dengan

carbapenem atau terapi kombinasi dengan cephalosporin generasi ketiga, monobactam,

aminoglycoside ditambah antibiotik anaerob dengan klindamisin atau metronidazole.

Rekomendasi tersebut juga berlaku untuk anak-anak.

Apendektomi terbuka

Untuk apendektomi terbuka, sebagian ahli bedah menggunakan salah satu insisi,

McBurney (miring) atau Rocky-Davis (melintang) pada otot-otot di kuadran kanan bawah

pada pasien yang dicurigai menderita apendisitis. Sayatan harus pada kedua titik nyeri

maksimal atau teraba massa. Jika dicurigai abses, sayatan ditempatkan di lateral, penting

untuk memungkinkan drainase retroperitoneal dan untuk menghindari kontaminasi dari

rongga peritoneum. Jika diagnosis diragukan, dianjurkan insisi lebih rendah pada garis tengah

untuk memungkinkan pemeriksaan yang lebih luas dari rongga peritoneal. Hal ini terutama

berkaitan dengan usia tua atau dengan keganasaan atau divertikulitis.

Beberapa teknik dapat digunakan untuk menemukan lokasi apendicitis. Karena sekum

biasanya terlihat pada sayatan tersebut, konvergensi taenia dapat dilihat sampai ke dasar

apendiks. Gerakan dari sebelah lateral ke medial dapat membantu menunjukkan lokasi ujung

apendiks ke dalam medan operasi. Sesekali, mobilisasi terbatas diperlukan untuk visualisasi

yang cukup. Apendiks dapat digerakkan oleh mesoapendiks, dengan meligasi arteri

apendikularis secara aman.

21

Page 22: karanganyar

Pangkal apendiks dapat dikelola dengan ligasi sederhana atau dengan ligasi dan

inversi dengan baik atau jahitan Z. Selama pangkal apendiks jelas dan dasar sekum tidak

terlibat proses inflamasi, pangkal apendiks dapat diligasi dengan aman dan diikat dengan

jahitan nonabsorbable. Mukosa sekitar apendiks sering diambil untuk mencegah

pembentukan mucocele. Rongga peritoneum dirigasi dan luka ditutup lapis demi lapis. Jika

terjadi perforasi atau gangren pada orang dewasa, kulit dan jaringan subkutan harus dibiarkan

terbuka dan dibiarkan sembuh dengan penyembuhan sekunder atau ditutup dalam sampai 5

hari sebagai penutupan primer yang tertunda. Pada anak-anak, yang pada umumnya memiliki

sedikit lemak subkutan, penyembuhan primer tidak menyebabkan peningkatan insidensi

infeksi pada luka.

Jika tidak ditemukan adanya apendisitis, pencarian secara metodis harus dilakukan

untuk diagnosis alternatif. Sekum da mesenterium harus diperiksa pertama kali. Kemudian,

usus kecil diperiksa secara retrograde dari awal pada katup ileocecal dan meluas sekitar 2

kaki. Pada wanita, harus diberikan perhatian khusus pada organ panggul. Isi perut bagian atas

juga perlu diperiksa. Cairan peritoneal harus diperiksa dengan pewarnaan gram dan kultur.

Jika cairan purulen, sangat penting untuk mengidentifikasi penyebabnya. Perpanjangan ke

medial (Fowler-Weir), dengan pembagian selaput rektus anterior dan posterior, dapat

dilakukan untuk mengevaluasi perut bagian bawah. Jika terdapat gangguan pada perut bagian

atas, insisi kuadran kanan bawah harus ditutup dan harus dibuat insisi tepat pada garis tengah.

Apendektomi Laparoskopi

Apendektomi laparoskopi dilakukan dengan anestesi umum. Tabung nasogastrik dan

kateter urin ditempatkan sebelum terjadi pneumoperitoneum. Laparoskopi apendisitis

biasanya membutuhkan tiga port. Kadang-kadang empat port untuk memobilisasi apendisitis

retrocecal. Dokter bedah biasanya berdiri di sebelah kiri pasien. Satu asisten diperlukan untuk

mengoperasikan kamera. Satu trocar diletakkan di umbilikus (10mm), dan trocar kedua

diletakkan pada posisi suprapubik. Beberapa ahli bedah menempatkan port kedua di kuadran

kiri bawah. Trocar suprapubik yaitu 10 atau 12 mm, tergantung pada apakah ada atau tidak

stapler linier yang digunakan. Penempatan trocar ketiga (5 mm) bervariasi dan biasanya di

kuadran kiri bawah, epigatrium atau kuadran kanan atas. Penempatan ini berdasarkan lokasi

dari laporan dan pilihan ahli bedah. Awalnya, perut dieksplorasi sepenuhnya untuk

menghilangkan penyakit lainnya. Apendiks dapat diidentifikasi dengan mengikuti taenia

anterior. Diseksi di dasar apendiks memungkinkan ahi bedah untuk membuat jendela antara

mesentrium sampai pada pangkal apendiks. Mesentrium dan basis apendik kemudian

22

Page 23: karanganyar

diamankan dan dibagi secara terpisah. Saat mesoapendiks terlibat pada proses inflamasi, hal

ini baik untuk membagi apendiks pertama dengan linier stapler dan kemudian membagi

mesoapendiks yang berdekatan dengan apendiks dengan klip, elektrokauter, harmonic

scalpel, atau staples. Basis apendiks tidak terbalik. Apendiks akan diangkat dari cavum

abdomen melalui situs trocar. Basis apendiks dan mesoapendik perlu dievaluasi mengenai

hemostasisnya. Kuadran kanan bawah harus diirigasi juga. Trocar kemudian diangkat secara

langsung.

Natural Orifice Transluminal Endoscopic Surgery

Natural orifice transluminal endoscopic surgery (NOTES) merupakan prosedur bedah

baru dengan menggunakan endoskopi dalam rongga abdomen. Pada prosedur ini, akses

diperoleh dengan cara mencapai organ secara alami, yang sudah ada pada orificium eksterna.

Cara ini diharapkan memberikan keuntungan termasuk pengurangan nyeri pada luka bekas

operasi, pemulihan pasca operasi yang lebih cepat, menghindari infeksi luka dan hernia pada

dinding perut, dan mencegah adanya luka bekas operasi.

IX. Prognosis6

Insideni abses intra abdominal sekunder terhadap kontaminasi peritoneal dari gangren

apendisitis atau perforasi telah menurun tajam sejak diperkenalkannya antibiotik.

Kecenderungan untuk abses adalah

apendicitis fosa, cavum douglas, ruang subhepatic, dan antara bagian dari usus. Pada abses

yang terakhir itu biasanya ganda. Drainase transrektal lebih disukai untuk abses yang

menonjol ke dalam rektum.

Fistula fecal merupakan komplikasi yang mengganggu, tetapi tidak terlalu berbahaya,

komplikasi dari apendektomi yang mungkin disebabkan oleh peluruhan bagian sekum saat

kontriksi jahitan.

Obstruksi usus, awalnya terjadi paralisis tapi kadang-kadang berkembang menjadi

obstruksi mekanik, mungkin terjadi dengan perlahan sampai terjadi peritonitis dengan abses

loculated dan pembentukan adhesi. Komplikasi akhir yang cukup jarang. Adhesi obstruksi

usus setelah apendektomi, tetapi jauh lebih jarang daripada setelah bedah pelvis. Insiden

hernia inguinalis adalah tiga kali lebih tinggi pada pasien yang pernah menjalani

apendektomi.

23

Page 24: karanganyar

X. Komplikasi4

Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi

bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendinginan sehingga berupa

massa yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan lekuk usus halus.

Massa periapendikuler

Massa apendiks terjadi apabila apendisitis ganrenosa atau miroperforasi ditutupi atau

dibungkus oleh omentum dan/atau lekuk usus halus. Pada massa periapendikuket yang

pendinginannya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum

jika perforasi diikuti peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu, massa

periapendikuler yang masih bebas disarankan segera untuk dioperasi untuk mencegah

penyulit tersebut. Selain itu, operasi masih mudah. Pada anak selama-lamanya dipersiapkan

untuk operassi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa dengan massa periapendikuler yang

terpancang dengan pendinginan sempurna, dianjurkan untuk dirawat dulu dan diberi

antibiotik sambil diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis. Bila sudah

tidak ada demam, massa periapendikuler hilang, dan leukosit normal, penderita boleh pulang

dan apendektomi elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar perdarahan akibat

perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforasi, akan terbentuk abses

apendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambah nyeri, dan

teraba pembengkakan massa, serta bertambahnya angka leukosit.

Riwayat klasik apendisitis akutm yang diikuti dengan adanya massa yang nyeri di

regio iliaka kanan dan disertai demam mengarahkan diagnosis ke massa atau abses

periapendikuler. Kadang keadaan ini sulit dibedakan dari karsinoma sekum, penyalit Crohn,

dan aktinomikosis intestinal, enteritis tuberkulosa, dan kelainan ginekologik sebelum

memastikan diagnosis massa apendik.

Apendisitis perforata

Adanya fekalitdi dalam lumen, umur (orang tua atau kecil), dan keterlambatan

diagnosis, merupakan faktor yang berperanan dalam terjadinya perforasi apendiks.

Dilaporkan insidensi perforasi 60% pada penderita di atas usia 60 tahun. Faktor yang

mempengaruhi tingginya insidensi pada orang tua adalah gejalanya yang samar,

keterlambatan berobat, adanya perubahan anatomi apendiks berupa penyempitan lumen dan

arteriosklerosis. Insidensi tinggi pada anak disebabkan oleh dinding apendiks yang masih

tipis, anak kurang komunikatif sehingga memperpanjang waktu diagnosis, dan proses

24

Page 25: karanganyar

pendinginan kurang sempurna akibat perforasi yang berlangsung cepat dan omentum anak

belum berkembang.

Perforasi dapat menyebabkan timbulnya abses lokal ataupun suatu peritonitis

generalisata. Tanda-tanda terjadinya suatu perforasi adalah :

1. nyeri lokal pada fossa iliaka kanan berganti menjadi nyeri abdomen menyeluruh

2. Suhu tubuh naik tinggi sekali

3. Nadi semakin cepat

4. Defance Muskular yang menyeluruh

5. Bising usus berkurang

6. Perut distended

Peritonitis merupakan infeksi yang berbahaya karena bakteri masuk kerongga

abdomen, dapat menyebabkan kegagalan organ dan kematian. Adanya massa intraabdomen

yang nyeri disertai demam harus dicurigai abses. Ultrasonografi dapat membantu mendeteksi

adanya kantong nanah.

Apendicitis rekurens

Diagnosis apendisitis rekurens baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan

berulang di perut kanan bawah yang mendorong dilakukannya apendektomi, dan hasil

patologi menunjukkan peradangan akut, kelainan ini terjadi bila serangan apendisitis akut

pertama kali sembuh spontan. Namun, apendiks tidak pernah kembali ke bentuk aslinya

karena karena terjadi fibrosis ddan jaringan parut. Risiko untuk terjadinya serangan lagi

sekitar 50%. Insidensi apendisitis rekurens adalah 10% dari spesimen apendektomi yang

diperiksa secara patologik.

Pada apendicitis rekurens biasanya dilakukan apendektomi karena sering penderita

datang dalam serangan akut.

Apendisitis kronik

Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika dipenuhi semua syarat, yaitu

nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik apendik secara makroskopik

dan mikroskopik, dan keluhan menghilang setelah apendektomi. Kriteria mikroskopik

apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total

lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa, dan infiltrasi sel inflamasi

kronik. Insidensi apendisitis kronil antara 1-5%.

25

Page 26: karanganyar

B. SPINAL ANESTESI

I. DEFINISI

Anestesi blok subaraknoid atau biasa disebut anestesi spinal adalah tindakan anestesi

dengan memasukan obat analgetik ke dalam ruang subaraknoid di daerah vertebra lumbalis

yang kemudian akan terjadi hambatan rangsang sensoris mulai dari vertebra thorakal 4.13,15

II. INDIKASI

Untuk pembedahan,daerah tubuh yang dipersyarafi cabang T4 kebawah (daerah

papila mamae kebawah ). Dengan durasi operasi yang tidak terlalu lama, maksimal 2-3 jam. 13,15

III. KONTRA INDIKASI

Kontra indikasi pada teknik anestesi subaraknoid blok terbagi menjadi dua yaitu

kontra indikasi absolut dan relatif.

Kontra indikasi absolut :

Infeksi pada tempat suntikan. : Infeksi pada sekitar tempat suntikan bisa

menyebabkan penyebaran kuman ke dalam rongga subdural.

Hipovolemia berat karena dehidrasi, perdarahan, muntah ataupun diare. : Karena

pada anestesi spinal bisa memicu terjadinya hipovolemia.

Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan.

Tekanan intrakranial meningkat. : dengan memasukkan obat kedalam rongga

subaraknoid, maka bisa makin menambah tinggi tekanan intracranial, dan bisa

menimbulkan komplikasi neurologis

Fasilitas resusitasi dan obat-obatan yang minim : pada anestesi spinal bisa terjadi

komplikasi seperti blok total, reaksi alergi dan lain-lain, maka harus dipersiapkan

fasilitas dan obat emergensi lainnya

Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi. : Hal ini dapat

menyebabkan kesalahan seperti misalnya cedera pada medulla spinalis,

keterampilan dokter anestesi sangat penting.

Pasien menolak.

Kontra indikasi relatif :

Infeksi sistemik : jika terjadi infeksi sistemik, perlu diperhatikan apakah

diperlukan pemberian antibiotic. Perlu dipikirkan kemungkinan penyebaran

infeksi.

26

Page 27: karanganyar

Infeksi sekitar tempat suntikan : bila ada infeksi di sekitar tempat suntikan bisa

dipilih lokasi yang lebih kranial atau lebih kaudal.

Kelainan neurologis : perlu dinilai kelainan neurologis sebelumnya agar tidak

membingungkan antara efek anestesi dan deficit neurologis yang sudah ada pada

pasien sebelumnya.

Kelainan psikis

Bedah lama : Masa kerja obat anestesi local adalah kurang lebih 90-120 menit,

bisa ditambah dengan memberi adjuvant dan durasi bisa bertahan hingga 150

menit.

Penyakit jantung : perlu dipertimbangkan jika terjadi komplikasi kea rah jantung

akibat efek obat anestesi local.

Hipovolemia ringan : sesuai prinsip obat anestesi, memantau terjadinya

hipovolemia bisa diatasi dengan pemberian obat-obatan atau cairan

Nyeri punggung kronik : kemungkinan pasien akan sulit saat diposisikan. Hal ini

berakibat sulitnya proses penusukan dan apabila dilakukan berulang-ulang, dapat

membuat pasien tidak nyaman 13,15

IV. STRUKTUR ANATOMI VERTEBRA

27

Page 28: karanganyar

Tulang vertebra terdri dari 33 tulang: 7 buah tulang servikal, 12 buah tulang

torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sakral. Tulang servikal, torakal dan

lumbal masih tetap dibedakan sampai usia berapapun, tetapi tulang sakral dan

koksigeus satu sama lain menyatu membentuk dua tulang yaitu tulang sakum dan

koksigeus.

Kolumna vertebralis mempunyai lima fungsi utama, yaitu: (1) menyangga

berat kepala dan dan batang tubuh, (2) melindungi medula spinalis, (3)

memungkinkan keluarnya nervi spinalis dari kanalis spinalis, (4) tempat untuk

perlekatan otot-otot, (5) memungkinkan gerakan kepala dan batang tubuh

Tulang vertebra secara gradual dari cranial ke caudal akan membesar sampai

mencapai maksimal pada tulang sakrum kemudian mengecil sampai apex dari

tulang  koksigeus. Struktur demikian dikarenakan beban yang harus ditanggung

semakin membesar dari cranial hingga caudal sampai kemudian beban tersebut

ditransmisikan menuju tulang pelvis melalui articulatio sacroilliaca.

Korpus vertebra selain dihubungkan oleh diskus intervertebralis juga oleh

suatu persendian sinovialis yang memungkinkan fleksibilitas tulang punggung,

kendati hanya memungkinkan pergerakan yang sedikit untuk mempertahankan

stabilitas kolumna vertebralis guna melindungi struktur medula spinalis yang berjalan

di dalamnya. Stabilitas kolumna vertebralis ditentukan oleh bentuk dan kekuatan

masing-masing vertebra, diskus intervertebralis, ligamen dan otot-otot.16

Hal penting yang perlu diperhatikan dalam melakukan anestesi subaraknoid

adalah lokasi medulla spinalis didalam kolumna vertebralis. Medulla spinalis berjalan

mulai dari foramen magnum kebawah hingga menuju ke konus medularis (segmen

akhir medulla spinalis sebelum terpecah menjadi kauda equina). Penting diperhatikan

bahwa lokasi konus medularis bervariasi antara vertebra T12 hingga L1. 13,16

Memperhatikan susunan anatomis dari vertebra, ada beberapa landmark yang

lazim digunakan untuk memperkirakan lokasi penting pada vertebra, diantaranya

adalah :

1. Vertebra C7 : Merupakan vertebra servikal dengan penonjolan yang paling terlihat

di daerah leher.

2. Papila Mamae : Lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra torakal 3-4

3. Epigastrium : Lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra torakal 5-6

4. Umbilikus : Lokasi ini berada setinggi vertebra torakal 10

28

Page 29: karanganyar

5. Krista Iliaka : Lokasi ini berada setinggi kurang lebih vertebra lumbalis 4-513,14,16

Gambar 2 : Perjalanan Medulla Spinalis pada Kolumna Vertebralis17

Berikut adalah susunan anatomis pada bagian yang akan dilakukan anestesi spinal.

Kutis

Subkutis : Ketebalannya berbeda-beda, akan lebih mudah mereba ruang

intervertebralis pada pasien yang memiliki lapisan subkutis yang tipis.

Ligamentum Supraspinosum: Ligamen yang menghubungkan ujung procesus

spinosus.

Ligamentum interspinosum

Ligamentum flavum : Ligamentum flavum cukup tebal, sampai sekitar 1 cm.

Sebagian besar terdiri dari jaringan elastis. Ligamen ini berjalan vertikal dari lamina

ke lamina. Ketika jarum berada dalam ligamen ini, akan terasa sensasi mencengkeram

dan berbeda. Sering kali bisa kita rasakan saat melewati ligamentum dan masuk

keruang epidural.

29

Page 30: karanganyar

Epidural : Ruang epidural berisi pembuluh darah dan lemak. Jika darah yang

keluardari jarum spinal bukan CSF, kemungkinan vena epidural telah tertusuk. Jarum

spinal harus maju sedikit lebih jauh.

Duramater : Sensasi yang sama mungkin akan kita rasakan saat menembus duramater

seperti saat menembus epidural.

Subarachnoid : merupakan tempat kita akan menyuntikkan obat anestesi spinal. Pada

ruangan ini akan dijumpai likuor sereberospinalis (LCS) pada penusukan. 13,18

Gambar 4 : Susunan Anatomi ligament vertebra18

Pembuluh darah pada daerah tusukan juga perlu diperhatikan, terdapat arteri

dan vena yang lokasinya berada di sekitar tempat tusukan. Terdapat arteri Spinalis

posterior yang memperdarahi 1/3 bagian posterior medulla. Arteri spinalis anterior

memperdarahi 2/3 bagian anterior medulla. Terdapat juga adreti radikularis yang

memperdarahi medulla, berjalan di foramen intervertebralis memperdarahi radiks.

Sistem vena yang terdapat di medulla ada 2 yaitu vena medularis anterior dan

posterior.

30

Page 31: karanganyar

Gambar 5 : Sistem Vaskular Medula Spinalis19

V. PERSIAPAN ANESTESI SPINAL

Persiapan yang diperlukan untuk melakukan anestesi spinal lebih sederhana

dibanding melakukan anestesi umum, namun selama operasi wajib diperhatikan

karena terkadang jika operator menghadapi penyulit dalam operasi dan operasi

menjadi lama, maka sewaktu-waktu prosedur secara darurat dapat diubah menjadi

anestesi umum.

Persiapan yang dibutuhkan untuk melakukan anestesi spinal adalah ;

Informed consent : Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan ini (informed

consent) meliputi tindakan anestesi, kemungkinan yang akan terjadi selama operasi

tindakan ini dan komplikasi yang mungkin terjadi.

Pemeriksaan fisik : Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit tempat

penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti infeksi. Perhatikan

31

Page 32: karanganyar

juga adanya gangguan anatomis seperti scoliosis atau kifosis,atau pasien terlalu

gemuk sehingga tonjolan processus spinosus tidak teraba.

Pemeriksaan laboratorium anjuran: Pemeriksaan laboratorium yang perlu

dilakukan adalah penilaian hematokrit, Hb , masa protrombin (PT) dan masa

tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga terdapat gangguan pembekuan

darah. 13,15,18,19

Persiapan yang dibutuhkan setelah persiapan pasien adalah persiapan alat dan obat-

obatan. Peralatan dan obat yang digunakan adalah :

1. Satu set monitor untuk memantau tekanan darah, Pulse oximetri, EKG.

2. Peralatan resusitasi / anestesia umum.

3. Jarum spinal. Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing, quincke

bacock) atau jarum spinal dengan ujung pinsil (pencil point whitecare),

dipersiapkan dua ukuran. Dewasa 26G atau 27G

4. Betadine, alkohol untuk antiseptic.

5. Kapas/ kasa steril dan plester.

6. Obat-obatan anestetik lokal.

7. Spuit 3 ml dan 5 ml.

8. Infus set. 13,15,18

Gambar 6 : Jenis Jarum Spinal19

VI. OBAT-OBATAN PADA ANESTESI SPINAL

Obat-obatan pada anestesi spinal pada prinsipmnya merupakan obat anestesi

local. Anestetik local adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila dikenakan

32

Page 33: karanganyar

pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Paralisis pada sel saraf akibat anestesi local

bersifat reversible.

Obat anestesi local yang ideal sebaiknya tidak bersifat iritan terhadap jaringan

saraf. Batas keamanan harus lebar, dan onset dari obat harus sesingkat mungkin dan

masa kerja harus cukup lama. Zat anestesi local ini juga harus larut dalam air.

Terdapat dua golongan besar pada obat anestesi local yaitu golongan amid dan

golongan ester. Keduanya hampir memiliki cara kerja yang sama namun hanya

berbeda pada struktur ikatan kimianya. Mekanisme kerja anestesi local ini adalah

menghambat pembentukan atau penghantaran impuls saraf. Tempat utama kerja obat

anestesi local adalah di membrane sel. Kerjanya adalah mengubah permeabilitas

membrane pada kanal Na+ sehingga tidak terbentuk potensial aksi yang nantinya akan

dihantarkan ke pusat nyeri.20

Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003-1.008.

Anastetik local dengan berat jenis sama dengan LCS disebut isobaric. Anastetik local

dengan berat jenis lebih besar dari LCS disebut hiperbarik. Anastetik local dengan

berat jenis lebih kecil dari LCS disebut hipobarik. Anastetik local yang sering

digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan mencampur anastetik local

dengan dextrose. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh

dengan mencampur dengan air injeksi. 20

Berikut adalah beberapa contoh sediaan yang terdapat di Indonesia dan umum

digunakan.

Lidokaine 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.003, sifat hyperbaric, dosis 20-

50mg(1-2ml).

Bupivakaine 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobaric, dosis 5-20mg.

Bupivakaine 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat hiperbarik,dosis 5-

15mg(1-3ml).

Obat Anestesi local memiliki efek tertentu di setiap system tubuh manusia.

Berikut adalah beberapa pengaruh pada system tubuh yang nantinya harus

diperhatikan saat melakukan anesthesia spinal.

1. Sistem Saraf : Pada dasarnya sesuai dengan prinsip kerja dari obat anestesi local,

menghambat terjadinya potensial aksi. Maka pada system saraf akan terjadi paresis

sementara akibat obat sampai obat tersebut dimetabolisme.

33

Page 34: karanganyar

2. Sistem Respirasi : Jika obat anestesi local berinteraksi dengan saraf yang bertanggung

jawab untuk pernafasan seperti nervus frenikus, maka bisa menyebabkan gangguan

nafas karena kelumpuhan otot nafas.

3. Sistem Kardiovaskular : Obat anestesi local dapat menghambat impuls saraf. Jika

impuls pada system saraf otonom terhambat pada dosis tertentu, maka bisa terjadi

henti jantung. Pada dosis kecil dapat menyebabkan bradikardia. Jika dosis yang

masuk pembuluh darah cukup banyak, dapat terjadi aritmia, hipotensi, hingga henti

jantung. Maka sangat penting diperhatikan untuk melakukan aspirasi saat

menyuntikkan obat anestesi local agar tidak masuk ke pembuluh darah.

4. Sistem Imun : Karena anestesi local memiliki gugus amin, maka memungkinkan

terjadi reaksi alergi. Penting untuk mengetahui riwayat alergi pasien. Pada reaksi local

dapat terjadi reaksi pelepasan histamine seperti gatal, edema, eritema. Apabila tidak

sengaja masuk ke pembuluh darah, dapat menyebabkan reaksi anafilaktik.

5. Sistem Muskular : obat anestetik local bersifat miotoksik. Apabila disuntikkan

langsung kedalam otot maka dapat menimbulkan kontraksi yang tidak teratur, bisa

menyebabkan nekrosis otot.

6. Sistem Hematologi : obat anestetik dapat menyebabkan gangguan pembekuan darah.

Jika terjadi perdarahan maka membutuhkan penekanan yang lebih lama saat

menggunakan obat anestesi local. 14,20,23

Dalam penggunaan obat anestesi local, dapat ditambahkan dengan zat lain

atau adjuvant. Zat tersebut mempengaruhi kerja dari obat anestesi local khususnya

pada anestesi spinal. Tambahan yang sering dipakai adalah :

1. Vasokonstriktor : Vasokonstriktor sebagai adjuvant pada anestesi spinal dapat

berfungsi sebagai penambah durasi. Hal ini didasari oleh mekanisme kerja obat

anestesi local di ruang subaraknoid. Obat anestesi local dimetabolisme lambat di

dalam rongga subaraknoid. Dan proses pengeluarannya sangat bergantung kepada

pengeluaran oleh vena dan saluran limfe. Penambahan obat vasokonstriktor bertujuan

memperlambat clearance obat dari rongga subaraknoid sehingga masa kerja obat

menjadi lebih lama.18,19,20

2. Obat Analgesik Opioid : digunakan sebagai adjuvant untuk mempercepat onset

terjadinya fase anestetik pada anestesi spinal. Analgesic opioid misalnya fentanyl

adalah obat yang sangat cepat larut dalam lemak. Hal ini sejalan dengan struktur

pembentuk saraf adalah lemak. Sehingga penyerapan obat anestesi local menjadi

34

Page 35: karanganyar

semakin cepat. Penelitian juga menyatakan bahwa penambahan analgesic opioid pada

anestesi spinal menambah efek anestesi post-operasi.21,22

3. Klonidin : Pemberian klonidin sebagai adjuvant pada anestesi spinal dapat menambah

durasi pada anestesi. Namun perlu diperhatikan karena klonidin adalah obat golongan

Alfa 2 Agonis, maka harus diwaspadai terjadinya hipotensi akibat vasodilatasi dan

penurunan heart rate.22

Dosis obat anestesi regional yang lazim digunakan untuk melakukan anestesi

spinal terdapat pada table dibawah ini.

Tabel 1 : Dosis Obat Untuk Anestesi Spinal23

VII. TEKNIK ANESTESI SPINAL

Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah

posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa

dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien.

1. Pasang IV line. Berikan Infus Dextrosa/NaCl/Ringer laktat sebanyak 500 -

1500 ml (pre-loading).

2. Oksigen diberikan dengan kanul hidung 2-4 L/Menit

3. Setelah dipasang alat monitor, pasien diposisikan dengan baik. Dapat

menggunakan 2 jenis posisi yaitu posisi duduk dan berbaring lateral.

4. Raba krista. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista

iliaka dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-L5.

5. Palpasi di garis tengah akan membantu untuk mengidentifikasi ligamen

interspinous.

35

Page 36: karanganyar

6. Cari ruang interspinous cocok. Pada pasien obesitas anda mungkin harus

menekan cukup keras untuk merasakan proses spinosus.

7. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.

8. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 1-2% 2-

3ml

9. Cara tusukan adalah median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G,

23G atau 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk jarum kecil 27G

atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum (introducer), yaitu jarum

suntik biasa yaitu jarum suntik biasa 10cc. Jarum akan menembus kutis,

subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum

flavum, epidural, duramater, subarachnoid. Setelah mandrin jarum spinal

dicabut, cairan serebrospinal akan menetes keluar. Selanjutnya disuntikkan

obat analgesik ke dalam ruang arachnoid tersebut.14,18,19

Gambar 7 : Posisi Lateral pada Spinal Anestesi19

36

Page 37: karanganyar

Gambar 8 : Posisi Duduk pada Spinal Anestesi19

Teknik penusukan bisa dilakukan dengan dua pendekatan yaitu median dan

paramedian. Pada teknik medial, penusukan dilakukan tepat di garis tengah dari

sumbu tulang belakang. Pada tusukan paramedial, tusukan dilakukan 1,5cm lateral

dari garis tengah dan dilakukan tusukan sedikit dimiringkan ke kaudal.19

Gambar 9 : Tusukan Medial dan Paramedial19

37

Page 38: karanganyar

Setelah melakukan penusukan, tindakan berikutnya adalah melakukan

monitoring. Tinggi anestesi dapat dinilai dengan memberikan rangsang pada

dermatom di kulit. Penilaian berikutnya yang sangat bermakna adalah fungsi motoric

pasien dimana pasien merasa kakinya tidak bisa digerakkan, kaki terasa hangat,

kesemutan, dan tidak terasa saat diberikan rangsang. Hal yang perlu diperhatikan lagi

adalah pernapasan, tekanan darah dan denyut nadi. Tekanan darah bisa turun drastis

akibat spinal anestesi, terutama terjadi pada orang tua yang belum diberikan loading

cairan. Hal itu dapat kita sadari dengan melihat monitor dan keadaan umum pasien.

Tekanan darah pasien akan turun, kulit menjadi pucat, pusing, mual, berkeringat.19

Gambar 10 : Lokasi Dermatom Sensoris19

VIII. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ANESTESI SPINAL

Anestesia spinal dipengaruhi oleh beberapa factor. Diantaranya adalah :

Volume obat analgetik lokal: makin besar makin tinggi daerah analgesia

Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia

38

Page 39: karanganyar

Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas daerah

analgetik.

Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang tinggi.

Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan: 3 detik untuk 1 ml larutan.

Manuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal dengan

akibat batas analgesia bertambah tinggi.

Tempat pungsi: pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik cenderung

berkumpul ke kaudal (saddle blok) pungsi L2-3 atau L3-4 obat cenderung

menyebar ke cranial.

Berat jenis larutan: hiperbarik, isobarik atau hipobarik

Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama didapat batas

analgesia yang lebih tinggi.

Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin besar

dosis yang diperlukan.(BB tidak berpengaruh terhadap dosis obat)

Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya larutan analgetik

sudah menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah dengan posisi

pasien.15

IX. MASALAH KLINIS PADA ANESTESI SPINAL

Pada praktik sehari-hari dapat ditemukan masalah saat melakukan anestesi

spinal, berikut adalah pendekatan dari beberapa masalah yang lazim ditemukan saat

melakukan anestesi spinal :

1. Jarum terasa sudah menembus bagian yang seharusnya tetapi belum ada cairan yang

keluar : Saat menemukan situasi seperti ini, tunggu kurang lebih 30 detik, kemudian

coba putar 90 derajat jarum tersebut. Jika masih belum didapatkan LCS, dapat

dilakukan injeksi udara 1cc untuk mendorong jika ada sumbatan pada jarum.

2. Terdapat darah yang keluar melalui jarum : tunggu sesaat, jika perdarahan berhenti,

lanjutkan prosedur. Jika darah terus menetes, kemungkinan saat penusukan mengenai

vena epidural. Jarum harus digerakkan lebih kedalam, atau diarahkan sedikit lebih

medial.

3. Pasien merasa nyeri tajam di kaki : kemungkinan jarum mengenai radiks saraf. Segera

cabut jarum dan ulang tusukan dengan arah lebih ke medial dari tempat tusukan awal.

39

Page 40: karanganyar

4. Jarum terasa menusuk tulang : perhatikan kembali posisi pasien apakah saat dilakukan

penusukan, pasien kurang melakukan fleksi tubuh sehingga celah menjadi sempit.

Perlu juga menenangkan pasien karena umumnya pasien melakukan ekstensi saat

menahan nyeri tusukan saat awal jarum mengenai kulit.19

X. KOMPLIKASI TINDAKAN ANESTESI SPINAL

Saat melakukan anestesi spinal ada beberapa komplikasi yang harus

diperhatikan. Sesuai dengan kerja obat dan pengaruhnya pada siste tubuh seperti.

Beberapa komplikasi tersebut diantaranya adalah :

1. Komplikasi Kardiovaskular 

Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah 10-40%. Hipotensi

terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang menyebabkan terjadi penurunan

tekanan arteriola sistemik dan vena, makin tinggi blok makin berat hipotensi. Cardiac

output akan berkurang akibat dari penurunan venous return. Hipotensi yang signifikan

harus diobati dengan pemberian cairan intravena yang sesuai dan penggunaan obat

vasoaktif seperti efedrin atau fenilefedrin. Cardiac arrest pernah dilaporkan pada

pasien yang sehat pada saat dilakukan anestesi spinal. Henti jantung bisa terjadi tiba-

tiba biasanya karena terjadi bradikardia yang berat walaupun hemodinamik pasien

dalam keadaan yang stabil.

Pada kasus seperti ini,hipotensi atau hipoksia bukanlah penyebab utama dari

cardiac arrest tersebut tapi ia merupakan dari mekanisme reflek bradikardi dan asistol

yang disebut reflek Bezold-Jarisch. Pencegahan hipotensi dilakukan dengan

memberikan infuse cairan kristaloid (NaCl, Ringerlaktat) secara cepat sebanyak 10-

15ml/kgbb dalam 10 menit segera setelah penyuntikan anesthesia spinal. Bila dengan

cairan infuse cepat tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati dengan vasopressor

seperti efedrin intravena sebanyak 19 mg diulang setiap 3-4 menit sampai mencapai

tekanan darah yang dikehendaki. Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah balik

berkurang atau karena blok simpatis,dapat diatasi dengan sulfas atropine 1/8-1/4mg

IV. 14,18,19

2. Blok Tinggi atau Total

Anestesi spinal tinggi atau total terjadi karena akibat dari kesalahan

perhitungan dosis yang diperlukan untuk satu suntikan. Komplikasi yang bisa muncul

40

Page 41: karanganyar

dari hal ini adalah hipotensi, henti nafas, penurunan kesadaran, paralisis motor, dan

jika tidak diobati bisa menyebabkan henti jantung. Akibat blok simpatetik yang cepat

dan dilatasi arterial dan kapasitas pembuluh darah vena, hipotensi adalah komplikasi

yang paling sering terjadi pada anestesi spinal. Hal ini menyebabkan terjadi

penurunan sirkulasi darah ke organ vital terutama otak dan jantung, yang cenderung

menimbulkan sequel lain.

Penurunan sirkulasi ke serebral merupakan faktor penting yang menyebabkan

terjadi henti nafas pada anestesi spinal total. Walau bagaimanapun, terdapat

kemungkinan pengurangan kerja otot nafas terjadi akibat dari blok pada saraf somatic

interkostal. Aktivitas saraf phrenikus biasanya dipertahankan. Berkurangnya aliran

darah ke serebral mendorong terjadinya penurunan kesadaran. Jika hipotensi ini

tidak di atasi, sirkulasi jantung akan berkurang seterusnya menyebabkan terjadi

iskemik miokardiak yang mencetuskan aritmia jantung dan akhirnya menyebakan

henti jantung. Pengobatan yang cepat sangat penting dalam mencegah terjadinya keadaan yang

lebih serius, termasuk pemberian cairan, vasopressor, dan pemberian oksigen

bertekanan positif. Setelah tingkat anestesi spinal berkurang, pasien akan kembali ke

kedaaan normal seperti sebelum operasi. Namun, tidak ada sequel yang permanen

yang disebabkan oleh komplikasi ini jika diatasi dengan pengobatan yang cepat dan tepat. 14,18,19

3. Komplikasi Sistem Respirasi

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dari system respirasi saat melakukan

anestesi spinal adalah :

Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila fungsi

paru-paru normal.

Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok spinal

tinggi.

Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karena

hipotensi berat dan iskemia medulla. 

Kesulitan bicara, batuk kering yang persisten, sesak nafas, merupakan

tanda-tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani

dengan pernafasan buatan.14

41

Page 42: karanganyar

4. Komplikasi Gastointestinal

Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis berlebihan,

pemakaian obat narkotik, reflek karena traksi pada traktus gastrointestinal serta

komplikasi delayed, pusing kepala pasca pungsi lumbal merupakan nyeri kepala

dengan ciri khas terasa lebih berat pada perubahan posisi dari tidur ke posisi tegak.

Mulai terasa pada 24 - 48 jam pasca pungsi lumbal, dengan kekerapan yang

bervariasi. Pada orang tua lebih jarang dan pada kehamilan meningkat. Untuk

menangani komplikasi ini dapat diberikan obat tambahan yaitu ondansetron atau

diberikan ranitidine. 14,18,19

5. Nyeri Kepala (Puncture Headache)

Komplikasi yang paling sering dikeluhkan oleh pasien adalah nyeri kepala.

Nyeri kepala ini bisa terjadi selepas anestesi spinal atau tusukan pada dural pada

anestesi epidural. Insiden terjadi komplikasi ini tergantung beberapa faktor seperti

ukuran jarum yang digunakan.Semakin besar ukuran jarum semakin besar resiko

untuk terjadi nyeri kepala. Selain itu, insidensi terjadi nyeri kepala juga adalah tinggi

pada wanita muda dan pasien yang dehidrasi. Nyeri kepala post suntikan biasanya

muncul dalam 6 –48 jam selepas suntikan anestesi spinal. Nyeri kepala yang

berdenyut biasanya muncul di area oksipital dan menjalar ke retroorbital, dan sering

disertai dengan tanda diplopia, mual, dan muntah. Tanda yang paling signifikan nyeri

kepala spinal adalah nyeri makin bertambah bila pasien dipindahkan atau berubah

posisi dari tiduran/supinasi ke posisi duduk, dan akan berkurang atau hilang total bila

pasien tiduran.

Terapi konservatif dalam waktu 24 –48 jam harus dicoba terlebih dahulu

seperti tirah baring, rehidrasi (secara cairan oral atau intravena), analgesic, dan suport

yang kencang pada abdomen. Tekanan pada vena cava akan menyebabkan terjadi

perbendungan dari plexus vena pelvik dan epidural, seterusnya menghentikan

kebocoran dari cairan serebrospinal dengan meningkatkan tekanan extradural. Jika

terapi konservatif tidak efektif, terapi yang aktif seperti suntikan salin ke dalam

epidural untuk menghentikan kebocoran. 14,18,19

42

Page 43: karanganyar

6. Komplikasi Sistem Respirasi

Komplikasi yang kedua paling sering adalah nyeri punggung akibat dari

tusukan jarum yang menyebabkan trauma pada periosteal atau ruptur dari struktur

ligament dengan atau tanpa hematoma intraligamentous. Nyeri punggung akibat dari

trauma suntikan jarum dapat di obatisecara simptomatik dan akan menghilang dalam

beberapa waktu yang singkat saja. 14,18,19

7. Komplikasi Sistem Respirasi

Insidensi defisit neurologi berat dari anestesi spinal adalah rendah. Komplikasi

neurologik yang paling benign adalah meningitis aseptik. Sindrom ini muncul dalam

waktu 24 jam setelah anestesi spinal ditandai dengan demam, rigiditas nuchal dan

fotofobia. Meningitis aseptic hanya memerlukan pengobatan simptomatik dan

biasanya akan menghilang dalam beberapa hari. Sindrom cauda equina muncul

setelah regresi dari blok neuraxial. Sindrom ini mungkin dapat menjadi permanen atau

bisa regresi perlahan-lahan setelah beberapa minggu atau bulan. Ia ditandai dengan

defisit sensoris pada area perineal, inkontinensia urin dan fekal, dan derajat yang

bervariasi pada defisit motorik pada ekstremitas bawah. Komplikasi neurologic yang

paling serius adalah arachnoiditis adesif. Reaksi ini biasanya terjadi beberapa minggu

atau bulan setelah anestesi spinal dilakukan. Sindrom ini ditandai oleh defisit sensoris

dan kelemahan motorik pada tungkai yang progresif.

Pada penyakit ini terdapat reaksi proliferatif dari meninges dan vasokonstriksi

dari vasculature korda spinal. Iskemia dan infark korda spinal bisa terjadi akibat dari

hipotensi arterial yang lama. Penggunaan epinefrin didalam obat anestesi bisa

mengurangi aliran darah ke korda spinal. Kerusakan pada korda spinal atau saraf

akibat trauma tusukan jarum pada spinal maupun epidural, kateter epidural atau

suntikan solution anestesi lokal intraneural sangat jarang, tapi tetap mungkin terjadi.

Perdarahan subaraknoid yang terjadi akibat anestesi regional sangat jarang

berlaku karena ukuran yang kecil dari struktur vaskular mayor didalam ruang

subaraknoid. Hanya pembuluh darah radikular lateral merupakan pembuluh darah

besar di area lumbar yang menyebar keruang subaraknoid dari akar saraf. Sindrom

spinal-arteri anterior akibat dari anesthesia adalah jarang. Tanda utamanya adalah

kelemahan motorik pada tungkai bawah karena iskemia pada 2/3 anterior bawah

korda spinal. Kehilangan fungsi sensoris tidak merata adalah efek sekunder dari

43

Page 44: karanganyar

nekrosis iskemia pada akar posterior saraf dan bukan akibat dari kerusakan didalam

korda itu sendiri. Terdapat tiga penyebab terjadinya sindrom spinal-arteri: kekurangan

suplai darah ke arteri spinal anterior karena terjadi gangguan suplai darah dari arteri-

arteri yang terganggu oleh operasi, kekurangan aliran darah dari arteri karena

hipotensi yang berlebihan, dan gangguan aliran darah sama ada dari kongesti vena

mahu pun obstruksi aliran.

Anestesi regional merupakan penyebab yang mungkin yang menyebabkan terjadinya

sindrom spinal-arteri anterior oleh beberapa faktor. Contohnya anestesi spinal

menggunakan obat anestesi lokal yang dicampurkan dengan epinefrin. Jadi

kemungkinan epinefrin yang menyebabkan vasokonstriksi pada arteri spinal anterior

atau pembuluh darah yang memberikan bekalan darah. Hipotensi yang kadang timbul

setelah anestesi regional dapat menyebabkan kekurangan aliran darah.

Infeksi spinal sangat jarang kecuali dari penyebaran bakteri secara hematogen

yang berasal dari fokal infeksi di tempat lain. Jika anestesi spinal diberikan kepada

pasien yang mengalami bakteriemia, terdapat kemungkinan terjadi penyebaran bakteri

ke medulla spinalis. Maka penggunaan anestesi spinal padapasien dengan bakteremia

merupakan kontra indikasi relatif.

Jika infeksi terjadi di dalam ruang subaraknoid, akan menyebabkan

araknoiditis. Tanda yang paling menonjol pada komplikasi ini adalah nyeri punggung

yang berat, nyeri lokal, demam, leukositosis, dan rigiditas nuchal. Oleh karena itu,

tidak diperbolehkan jika menggunakan anestesi regional pada pasien yang mengalami

infeksi kulit lokal pada area lumbal atau yang menderita selulitis. Pengobatan bagi

komplikasi ini adalah dengan pemberian antibiotik dan drainase jika perlu.14,18,19

8. Komplikasi Traktus Urinarius

Disfungsi kandung kemih dapat terjadi selepas anestesi umum maupun

regional. Fungsi kandung kencing merupakan bagian yang fungsinya kembali paling

akhir pada analgesia spinal, umumnya berlangsung selama 24 jam. Kerusakan saraf

pemanen merupakan komplikasi yang sangat jarang terjadi.

Pencegahan

Pakailah jarum lumbal yang lebih halus (no. 23 atau no. 25).

Posisi jarum lumbal dengan bevel sejajar serat duramater.

Hidrasi adekuat, minum/infuse 3L selama 3 hari.

44

Page 45: karanganyar

Pengobatan

Posisi berbaring terlentang minimal 24 jam

Hidrasi adekuat.

Hindari mengejan.

Bila cara diatas tidak berhasil pertimbangkan pemberian epidural blood patch

yakni penyuntikan darah pasien sendiri 5-10 ml ke dalam ruang epidural.

Cara ini umumnya memberikan hasil yang nyata/segera (dalam waktu

beberapa jam) pada lebih dari 90% kasus.14

45

Page 46: karanganyar

BAB IV

PEMBAHASAN

Pada pasien ini didiagnosis appendicitis dengan status fisik ASA II dan akan

dilakukan tindakan pembedahan berupa appendectomy. Pada pembedahan tersebut akan

dilakukan anestesi spinal (Subarachnoid block) karena memenuhi indikasi untuk

dilakukannya anestesi spinal, yaitu bedah abdomen bawah. Pada tindakan pembedahan

tersebut juga tidak terdapat kontraindikasi dari anestesi spinal. Atas dasar tersebut maka,

anestesi spinal menjadi pilihan.

Obat-obatan premedikasi yang diberikan adalah oxtercid 1 vial diberikan pada pasien

ini sebagai profilaksis.

Induksi anestesi pada kasus ini menggunakan anestesi lokal yaitu bupivacaine

sebanyak 1 ampul. Kerja bupivacain adalah dengan menghambat konduksi saraf yang

menghantarkan impuls dari saraf sensoris. Kebanyakan obat anestesi lokal tidak memiliki

efek samping maupun efek toksik secara berarti. Pemilihan obat anestesi lokal disesuaikan

dengan lama dan jenis operasi yang akan dilakukan.

Efedrin HCL sebanyak 50mg diberikan atas indikasi bahwa pada awal perjalanan

operasi, pasien mengalami penurunan tekanan darah. Hal ini merupakan efek fisiologis dari

anestesi spinal yaitu adanya blok simpatis sehingga terjadi penurunan tekanan darah. Efedrin

merupakan vasopresor, yang bekerja dengan menstimulasi reseptor alfa dan beta, sehingga

berakibat peningkatan heart rate, tekanan darah. Selain itu efedrin juga memiliki efek

terhadap relaksasi otot polos bronkus dan saluran cerna, serta dilatasi pupil. Dosis efedrin

sekali pemberian adalah 5-10 mg dapat diulang minimal setelah 10 menit.

Terapi cairan

Pasien puasa ± 8 jam, kekurangan cairan dipelihara dengan memberikan cairan infus

Untuk kebutuhan sebelum operasi:

Pengganti puasa = 8 x 100 = 800 cc/jam

Untuk kebutuhan selama operasi berlangsung:

BB = 50 kg

Maintenance 2 cc/kgBB/jam = 2 x 50 = 100 cc/jam

Stress operasi (ringan) 4cc/kgBB/jam = 4 x 50 = 200 cc/jam

Perdarahan <20 % EBV tidak perlu transfusi, cukup diganti dengan kristaloid

46

Page 47: karanganyar

Pemberian Cairan :

Kebutuhan cairan selama operasi ringan 30 menit = maintenance + stress operasi

= 100 + 200

= 300 cc/ jam

= 150 cc untuk 30 menit

Operasi berlangsung selama 40 menit, sehingga kebutuhan cairan pasien

adalah sebanyak 200 cc. Kemudian setelah dilakukan operasi diketahui jumlah

perdarahan pada kasus ini yaitu sebanyak 60 cc. Menurut perhitungan, perdarahan

yang lebih dari 20 % Estimated Blood Volume (EBV) harus dilakukan tindakan

pemberian transfusi darah. Pada pasien ini, perkiraan perdarahan adalah 60 cc, dimana

EBV-nya adalah 3500 cc.

EBV perempuan dewasa = 70 cc/kgBB

= 50 x 70 cc = 3500 cc

Sehingga didapatkan jumlah perdarahan (% EBV) adalah 1,71 %

% EBV = 60/3500 x 100 % = 1,71 %

Oleh karena perdarahan pada kasus ini kurang dari 20% EBV maka tidak

diperlukan tranfusi darah. Dengan pemberian cairan rumatan (koloid 1flab) sudah

cukup untuk menangani banyaknya perdarahan.

Untuk kebutuhan cairan di bangsal, perhitungannya adalah sebagai berikut :

1. Maintenance 2 cc/kgBB/jam = 50 x 2 cc = 100 cc/jam

2. Sehingga jumlah tetesan yang diperlukan jika mengunakan infuse 1 cc ~

20 tetes adalah 100/60 x 20 tetes = 33 tetes/menit

Post operatif

Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke recovery room. Observasi post operasi dengan

dilakukan pemantauan secara ketat meliputi vital sign (tekanan darah, nadi, suhu dan

respirasi). Oksigen tetap diberikan 2-3 liter/menit.

Dari hasil Aldrete score di dapatkan :

47

Page 48: karanganyar

Aldrete Score Point Nilai Pada Pasien

Motorik 4 ekstermitas 2 √

2 ekstremitas 1

- 0

Respirasi Spontan + batuk 2 √

Nafas kurang 1

- 0

Sirkulasi Beda <20% 2 √

20-50% 1

>50% 0

Kesadaran Sadar penuh 2 √

Ketika dipanggil 1

- 0

Kulit Kemerahan 2 √

Pucat 1

Sianosis 0

Total 10

Apabila total Aldrete score >7 pasien sudah dapat dipindah ke bangsal. Pada saat

malam hari post operasi.

Sistem Pernapasan

Respiratory Rate : 20 x/mnt

Sistem Sirkulasi

Tekanan darah : 120/70 mmHg

Nadi : 80x/mnt

Sistem Saraf Pusat

GCS : 15

Sistem Perkemihan

DBN

Sistem Pencernaan

Bising usus: 6x/mnt

Sistem Muskuloskeletal

DBN

48

Page 49: karanganyar

BAB V

PENUTUP

Kesimpulan

Ny.W, 33 tahun, BB 50 Kg, TB 150 cm Pasien pada kasus ini didiagnosis

dengan appendicitis yang ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dari

anamnesis didapatkan keluhan nyri di perut kanan bawah. Untuk rencana

penatalaksanaan pasien ini dengan operatif, teknik operatif appendectomy dengan

jenis anestesi regional.

Kebutuhan cairan selama operasi yaitu jumlah dari , pengganti puasa, maintenance

dan stress operasi (800 + 100 + 200 = 1100) untuk 1 jam pertama, pasien memerlukan

40 menit untuk operasi jadi memerlukan cairan 734 cc. Selama proses operasi tidak

terjadi masalah gejolak hemodinamik.

Di ruang pemulihan (recovery room), vital sign pasien dalam batas normal dan

nilai bromage scorenya 1 sehingga pasien selanjutnya bisa dipindahkan ke bangsal.

Saran

a. Persiapan preoperatif pada pasien perlu dilakukan agar proses anestesi dapat

berjalan dengan baik

b. Perhatikan kebutuhan cairan pasien saat berlangsungnya operasi

c. Pemantauan tanda vital selama operasi terus menerus agar dapat melihat keadaan

pasien selama pasien dalam keadaan anesthesia.

49

Page 50: karanganyar

DAFTAR PUSTAKA

1. Besrnards CM, Epidural and Spinal Anesthesia. In : Handbook of Clinical Anesthesia,

editor : Barrash PG, Gullen BF, Stoelting RK, Philadelpia, Lippincott Williams and

Wilkins, 2001.

2. Brown DL, Spinal, Epidural and Caudal anesthesia. In : Anesthesia, editor : Miller RD,

ed 5 th, Volume 1, California, Churchill Livingstone, 2000.

3. Anesthetic system dalam Miller RD: Inesthesia. New York. Curehill Hyingstone 2007 p. 185-

206.

4. Sjamsuhidajat, R., De Jong, W. 2004. Usus Halus, Apendiks, Kolom, dan Anorektum

dalam Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC. h: 639-45.

5. Cunha, J.P. 2012.Appendicitis. Diakses pada tanggal 18 Februari 2012 dari

http://www.emedicinehealth.com/appendicitis/page3_em.htm

6. Brunicardi, F.C., Anderson, D.K., Billiar, T.R., Dum, D.L., Hunter, J.G., Mathews,

J.B., Podlock, R.E., 2010. The Appendix dalam Schwartz's Principles of Surgery9th Ed.

USA:The McGraw Hill Companies. p: 2043-74.

7. Grace, P.A., Borley, N.R. Apendisitis Akut dalam At A Glance. Jakarta: Erlangga;

2006. p:106.

8. Moore, K.L., Anne, M.R. 2002. Abdomen dalam Anatomi Klinis Dasar. Jakarta:

Hipokrates. h:109.

9. Saputra, L. 2002. Mulut dan Gastrointestinal dalam Intisari Ilmu Penyakit Dalam.

Jakarta: Binarupa Aksara. h:380.

10. Kumar, V., Cotran, R.S., Robbins, A.L., 2007. Rongga Perut dan Saluran

Gastrointestinal dalam Buku Ajar Patologi Ed.7. Jakarta: EGC. h:660-61.

11. Tjandra, J.J., 2006. The Appendix and Meckel’s Diverticulum dalam Textbook of

Surgery 3rd Ed. UK: Blackwell Publishing Ltd. p:179.

12. Morris, J.A., Sawyer. J.L. 1995.Abdomen Akuta dalam Buku Ajar Bedah (Sabiston’s

Essential Surgery). Jakarta:EGC. h:497.

13. Medscape Reference [Internet] Subarachnoid Spinal Block [Updated on Aug, 5, 2013]

Available at http://emedicine.medscape.com/article/2000841-overview. Accessed on

2015 Jun 15

50

Page 51: karanganyar

14. S, Kristanto, Anestesia Regional; Anestesiologi.- Bagian Anestesiologi dan Terapi

Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia – Jakarta : CV. Infomedika, 2004;

123

15. S, Kristanto, Anestesia Regional; Anestesiologi.- Bagian Anestesiologi dan Terapi

Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia – Jakarta : CV. Infomedika, 2004;

125-8

16. Netter, H Franks, Interactive Digital Atlas Anatomy [Digital E-Book], Vertebral

Column, Section. Icon Learning System, Rochester : Section #146.

17. Netter, H Franks, Interactive Digital Atlas Anatomy [Digital E-Book], Vertebral

Column, Section. Icon Learning System, Rochester : Section #154A

18. NYSORA – New York School of Regional Anesthesia, [Internet] Subarachnoidal

Block [Last Update Oct 4 2013], Available at

http://www.nysora.com/techniques/neuraxial-and-perineuraxial-techniques/landmark-

based/spinal-epidural-cse/3423-spinal-anesthesia.html, Accessed on 2015, June 15

19. University of Pittsburgh Online Reference [Internet] Subarachnoid spinal block

anesthesia. [Last Update Jan 2013]. Available at

http://www.pitt.edu/~regional/Spinal/Spinal.htm. Accessed on 2015, June 15

20. Gan Gunawan, Sulistya et al. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Departemen

Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta; Balai

Penerbit FKUI, 259-72.

21. Khangure, Nicole in TOTW Anesthesia.- World Federation of Societies of

Anesthesiologist [Internet Journal] Neuraxial Anesthesia Adjuvant [Last Update on

July 4 2011] Available

at .http://totw.anaesthesiologists.org/wp-content/uploads/2011/07/230-Neuraxial-

adjuvants.pdf

22. Christiansson, Lennart in Periodicum Biologorum; Update on Adjuvant in Regional

Anesthesi; UDC 57:61, CODEN PDBIAD, 2009, VOL. 111, No 2, 161–70.

23. G. Edward Morgan, Jr., Maged S. Mikhail, Michael J. Murray. Clinical Anesthesiology

4th Edition [Digital E-Book] Section Spinal, Epidural and Caudal Anesthesia; Appleton

and Lange, 2005. California: McGraw-Hill Publishing.

51