karanganyar
DESCRIPTION
fileTRANSCRIPT
CASE REPORT
REGIONAL ANESTESI PADA PASIEN PEREMPUAN USIA 33 TAHUN
DENGAN APPENDICITIS
Oleh :
Giska Cantika, S.Ked J510145107
PEMBIMBING :
dr. Damai S, Sp.An
KEPANITERAAN KLINIK STASE ANESTESI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2015
1
CASE REPORT
REGIONAL ANESTESI PADA PASIEN PEREMPUAN USIA 33 TAHUN
DENGAN APPENDICITIS
Yang Diajukan Oleh :
Giska Cantika, S.Ked J510145107
Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada hari tanggal, 2015
Pembimbing :
dr.Damai S, Sp.An (…………………………)
Kabag. Profesi Dokter
dr.Dona Dewi Nirlawati (......................................)
KEPANITERAAN KLINIK STASE ANESTESI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2015
2
DAFTAR ISI
Halaman Judul ………………………………………………….. 1
Halaman Persetujuan …………………………………………… 2
Daftar Isi ……………………………………………………….. 3
Daftar Gambar & Tabel…………………………………........... 4
Bab I Pendahuluan…………………………………………….. 5
Bab II Laporan Kasus………………………………………......
Bab III Tinjauan Pustaka
A. Presentasi Bokong............................................................
B. Ketuban Pecah Dini ……………………………………..
C. Sectio Caesaria…………………………………………..
D. Anatomi dalam Spinal Anastesi…………………….......
E. Anastesi Spinal ……………………………………...…..
6
13
13
17
20
21
23
Bab IV Pembahasan ……………………………………………. 37
Bab V Penutup………………………………………………......
Daftar Pustaka ...........................................................................
40
41
3
DAFTAR GAMBAR & TABEL
Gambar 1. Anatomi Vertebrae
Gambar 2. Anatomi Vertebrae Lumbal
Gambar 3. Jarum Spinal
Gambar 4. Posisi Pasien pada Anastesi Spinal
Gambar 5. Tusukan Jarum pada Anestesi Spinal
Tabel 1. Anestesi Lokal Pada Anestesi Spinal
4
BAB I
PENDAHULUAN
Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan meliputi
pemberian anestesi ataupun analgesi, pengawasan keselamatan penderita yang mengalami
pembedahan atau tindakan lainnya, pemberian bantuan hidup dasar, perawatan intensif pasien
gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun.1
Anesthesia diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes yang menggambarkan
keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena pemberian obat dengan tujuan untuk
menghilangkan nyeri pembedahan. Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada
suatu operasi terdapat beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri
dari persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan
persiapan pada hari operasi. Sedangkan tahap penatalaksanaan anestesi terdiri dari
premedikasi, masa anestesi dan pemeliharaan, tahap pemulihan serta perawatan pasca
anestesi.2,3
Anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu : (1) anestesi regional, yaitu hilangnya
sensibilitas setempat tanpa disertai hilangnya kesadaran dan (2) anestesi umum yaitu hilangnya
segala modalitas rasa disertai hilangnya kesadaran. Anestesi yang ideal adalah tercapainya anestesi
yang meliputi hipnotik, analgesi dan relaksasi otot.2,3
Apendektomi untuk apendisitis merupakan operasi darurat yang paling sering
ditemukan di seluruh dunia. Namun, dalam tiga dasawarsa terakhir kejadiannya menurun
secara bermakna. Hal ini diduga disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan
berserat dalam menu sehari-hari.4 Studi dari The American Journal of Epidemiology
menemukan bahwa apendicitis merupakan kondisi umum yang terjadi pada 6,7% sampai
8,6% populasi. Di Amerika Serikat sekitar 250.000 kasus apendicitis dilaporkan setiap
tahun.5
5
BAB II
LAPORAN KASUS
I. Identitas Pasien
Nama : Ny. W
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 33 tahun
Alamat : Mojogedang, Karanganyar
Diagnosis Pre Op : Appendicitis
Tindakan Op : Appendectomy
Tanggal Masuk : 5 Juni 2015
Tanggal Operasi : 9 Juni 2015
II. Anamnesis
i. Keluhan Utama
Nyeri pada perut kanan bawah
ii. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan nyeri pada bagian perut kanan bawah, nyeri
dirasakan kurang lebih sudah 3 hari. Nyeri berkelanjutan terus menerus dan tidak
membaik dengan istirahat. Nyeri disertai dengan mual dan muntah. Muntah berisi
makanan yang dimakan. Tidak ada keluhan serupa sebelumnya.
iii. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat Alergi Obat : disangkal
Riwayat Asma : disangkal
Riwayat Jatuh dan Trauma : disangkal
Riwayat keluhan serupa : disangkal
6
iv. Riwayat keluarga
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat Alergi Obat : disangkal
Riwayat TB : disangkal
Riwayat keluhan serupa : disangkal
v. Riwayat Kebiasaan
Pasien mengaku sering makan makanan pedas dan kurang suka makan sayur
III. Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan Fisik
a). Status Generalis
Keadaan Umum : Compos Mentis
Vital Sign
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Frekuensi Nafas : 20 kali / menit
Frekuensi Nadi : 76 kali / menit
Suhu : 36,5o C
Kepala : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Leher : Retraksi supra sterna (-), peningkatan JVP (-), PKGB
(-)
Thorax
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba
Perkusi : Redup
Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni, regular, bising jantung (-).
Paru
Inspeksi : Simetris kanan kiri, tidak terdapat luka bekas operasi
Palpasi : Fremitus (+) normal, nyeri tekan (-), massa (-)
Perkusi : Sonor kanan kiri
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
7
Abdomen
Inspeksi : Schapoid, distended (-), bekas operasi (-), darm contour (-)
darm steifung (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) normal
Palpasi : NT Inguinal dex (+), massa (-)
Perkusi : Timpani (+)
Ekstremitas : Clubbing finger (-), Edema tungkai (-), akral hangat (+/+)
b). Status Lokalis
Regio Inguinal Dextra
Inspeksi : Bekas operasi (-), bekas luka (-), massa (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) Normal
Palpasi : NT (+), massa (-)
Perkusi : Timpani (+) Normal
2. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Darah Rutin (6 Juni 2015)
Hasil lab
Hb : 12g/dl (N)
Leukosit : 7.870/ul (N)
Trombosit : 365.000/ul (H)
Eritrosit : 4,02/ul (N)
MCV : 85,5 fl (N)
MCH : 29,6 pg (N)
MCHC : 34,6 g/dl (N)
Gran % : 73,3 % (H)
Limfosit : 21,3 % (L)
Monosit : 2,5% (L)
Eosinofil : 2,7 % (N)
Basofil : 0,2 % (N)
8
GDS : 96 (N)
Ureum : 15,4mg/dl (N)
Creatinin : 0,75mg/dl (N)
SGOT : 45,5u/l (N)
SGPT : 29,1u/l (N)
Protein total : 8,2g/dl (N)
Albumin : 4,3g/dl (N)
HBs Ag : non reaktif
Pemeriksaan Radiologi (USG)
Kesan : Pada saat dilakukan USG abdomen tampak gambaran proses radang di regio
mc burney (Appedicitis)
Pemeriksaan EKG
Kesan : Normal Sinus Rhytme
IV. KESIMPULAN KONSUL ANESTESI
Seorang perempuan usia 33 tahun dengan appendicitis akan dilakukan operasi
Appendectomy. Hasil laboratorium darah dalam batas normal. Hasil rekam
jantung EKG dalam batas normal. Acc Op ASA II
V. LAPORAN ANESTESI PASIEN
a) Diagnosis pra-bedah : Appendicitis
b) Diagnosis post-bedah : Post Operasi Appendectomy
c) Jenis pembedahan : Mayor
Status Anestesi
Persiapan Anestesi
1. informed concent
2. Puasa ± 8 jam sebelum Operasi
Penatalaksanaan Anestesi
Jenis anestesi : Regional Anestesi (RA)
Premedikasi : Oxtercid 1 vial
9
Medikasi : Bucain ½ amp
O2 2 liter/menit
Efedrin HCL 50 mg/ml (bila tensi
systole < 100)
Teknik anestesi : Pasien dalam posisi duduk dan kepala
menunduk.
Dilakukan desinfeksi di sekitar daerah
tusukan yaitu di regio vertebra lumbal
3-4.
Dilakukan Sub Arakhnoid Blok
dengan jarum spinal no.25 pada regio
vertebra Lumbal 3-4.
LCS keluar (+) jernih.
Barbotage (+).
Respirasi : Spontan
Posisi : Supine
Jumlah cairan yang masuk : Koloid 500 cc ( HES)
Perdarahan selama operasi : ± 60 cc di tabung suction
Pemantauan selama anestesi :
Mulai anestesi : 12.00
Mulai operasi : 12.10
Selesai anestesi : 12.50
Selesai operasi : 12.45
10
Durasi Operasi : 45 Menit
VI. PENATALAKSANAAN ANESTESI
a. Jam 11.55 pasien masuk kamar operasi, ditidurkan telentang di atas meja operasi,
manset dan monitor dipasang.
b. Jam 12.00 dilakukan Anestesi Regional Spinal
c. Pemeliharaan dengan mengalirkan O2 2 liter/menit
d. Jam 12.10 ahli bedah memulai operasi, selama operasi tanda vital, perdarahan
dan saturasi O2 dimonitor tiap 5 menit.
e. Jam 12.45 operasi selesai
f. Jam 12.50 penderita dipindahkan ke ruang pulih sadar.
Monitoring selama operasi.
Waktu Tekanan
darah
Nadi SpO2 Keterangan
11.55 110/60 118 99 Terpasang infuse HES
12.00 110/70 100 99 Anestesi Regional
dilakukan
12.05 110/70 97 99 Selesai Anastesi
12.10 120/60 70 99 Pelaksanaan Operasi
12.15 120/70 70 99
12.20 122/71 63 99
12.25 121/70 61 99
12.30 124/72 60 99
12.35 120/70 70 99
12.40 122/73 60 99
12.45 125/70 60 98 Operasi Selesai
11
1. Di Ruang Pemulihan
Jam 12.50 : Pasien dipindahkan ke recovery room dalam keadaan sadar, posisi
terlentang, kepala di ekstensikan, diberikan O2 2 liter/menit, dan tanda-tanda vital
dimonitoring tiap 10 menit.
Jam 13.20 : Pasien stabil & baik, dipindahkan ke Bangsal Kantil 2.
Monitoring Pasca Anestesi
Waktu Tekanan
Darah
Nadi RR Keterangan
12.50 110/60 64 20 O2 2L/mnt, Monitoring tanda
Vital
13.00 120/70 60 20 Monitoring tanda Vital
13.20 120/70 62 20 Monitoring tanda Vital
Bromage Score 1
2. Instruksi Pasca Anestesi
a. Rawat pasien posisi terlentang, kontrol vital sign. Bila tensi turun di bawah 90/60
mmHg, infus dipercepat. Bila muntah, berikan Ondansetron 4 mg. Bila kesakitan,
berikan Ketorolac 1 ampul.
b. Lain-lain
Kontrol balance cairan.
Monitor vital sign.
12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. APPENDICITIS
I. Definisi
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vemiformis.7
II. Anatomi
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung panjangnya kira-kira 10 cm ( kisaran 3-
15 cm) dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di
bagian distal. Namun demikian, pada bayi apendiks berbentuk kerucut, lebar pada
pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab
rendahnya insidensi apendicitis pada usia itu, pada 65% kasus, apendiks terletak
intraperitoneal. Kedudukan ini memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya
bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya.4 Letak apendiks dapat berubah-
ubah, tetapi biasanya apendiks terletak retrosekal.8
Menurut letaknya apendiks dibagi menjadi beberapa macam:7
a. Apendiks retrocecalis, terletak dibelakang sekum.
b. Apendiks pelvicum, terletak menyilang a.iliaca ekterna dan masuk ke dalam
pelvis.
c. Apendiks postcecalis, terletak di belakang atas kiri dari ileum.
d. Apendiks retroileal
e. Apendiks descenden, terletak descenden ke caudal.
13
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n. Vagus yang mengikuti a. Mesenterika
superior dan a. Apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n. Torakalis X.
Oleh karena itu, nyeri visceral pada apendisitis bermula disekitar umbilikus.4
Perdarahan apendiks berasal dari a. Apendikularis yang merupakan arteri tanpa
koleteral. Jila arteri ini tersumbat, misalnya karena trombosis pada infeksi, apendiks akan
mengalami gangren.4
Letak pangkal apendiks dapat ditentukan dengan menarik garis Monroe Richter
yang ditarik dari spinna iliaca anterior superior (SIAS) kanan ke umbilicus. Letak apendiks
adalah pada titik Mc Burney (pangkal apendiks). Titik Mc Burney ditentukan pada garis
Monroe, 1/3 lateral. Ujung apendiks terletak pada 1/6 lateral kanan garis LANS (garis yang
ditarik dari SIAS kanan dan kiri).7
III. Etiologi
Obstruksi lumen apendiks diikuti dengan kongesti vaskular, inflamasi dan edema,
penyebab obstruksi pada umumnya berupa:4,9
1. Fecolith
Pada 30% hingga 35% kasus (paling banyak terjadi pada orang dewasa).
2. Benda asing
4% (misalnya biji buah-buahan, cacing kremi, cacing pita, cacing tambang)
3. Inflamasi
Pada 50% hingga 60% kasus (hiperplasi jaringan limfoid submukosa merupakan
etilogi yang paling sering pada anak-anak dan remaja)
4. Neoplasma
1% (karsinoma, penyakit metastasis, karsinoma)
14
IV. Patofisiologi
Patologi apendicitis dapat mulai dari mukosa dan kemudian melibatkan seluruh
lapisan dinding appendiks dalam waktu 24-48 jam pertama.3 Pada stadium paling dini, hanya
sedikit eksudat neutrofil ditemukan diseluruh mukosa, submukosa, dan muskularis propria.
Pembuluh subserosa mengalami pembendungan, dan sering terdapat infiltrat neutrofilik
perivascular ringan. Reaksi peradangan mengubah serosa yang normalnya berkilap menjadi
membran yang merah, granular dan suram perubahan ini menandakan apendisitis akut dini.10
Pada apendisitis akut, organisme awalnya menyerang dinding apendiks kemudian
menyerang submukosa. Sampai akhirnya, seluruh dinding apendiks terlibat dalam
peradangan akut dan menjadi bengkak serta memerah. Keterlambatan diagnosis
menyebabkan apendiks menjadi bengkak, terutama jika terdapat obstruksi lumen. Terjadi
vena stasis dan oklusi arteri menyebabkan pembentukan gangren pada ujung apendiks,
dimana sulpai darah tidak stabil.11
Usaha pertahanan tubuh adalah membatasi proses radang dengan menutup apendiks
dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa periapendikuler yang
secara salah dikenal dengan istilah infiltrat apendiks. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis
jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi.12 Eksudat neutrofilik yang hebat
menghasilkan reaksi fibrinopurulen di atas serosa. Dengan memburuknya proses peradangan,
terjadi pembentukan abses di dinding usus, disertai ulserasi dan fokus nekrosis di mukosa.
Keadaan ini mencerminkan apendisitis supuratif akut. Perburukan keadaan apendiks ini
menyebabkan timbulnya daerah ulkus hijau hemoragik di mukosa, dan nekrosis gangrenosa
hijau tua di seluruh ketebalan dinding hingga ke serosa dan menghasilkan apendisitis
gangrenosa akut yang cepat diikuti oleh ruptur dan peritonitis supurativa.12Jika tidak
terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa periapendikuler akan menjadi tenang
untuk selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.4
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna., tetapi akan
membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya.
Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah. Pada suatu
ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan ssebagai mengalami eksaserbasi
akut.4
15
V. Gejala Klinis4,6,10
Apendisitis akut merupakan diagnosis abdomen yang paling mudah atau paling sulit.
Kasus klasik ditandai dengan :
a. Rasa tidak nyaman ringan didaerah periumbilikus
Variasi lokasi anatomi apendiks memberikan banyak variasi lokasi utama fase
somatik dari rasa sakit. Misalnya, apendiks yang panjang dengan inflamasi di
ujung kuadran kiri bawah menyebabkan nyeri pada daerah itu. Apendiks
retrocecal dapat menyebabkan nyeri pinggul atau sakit punggung, apendiks pelvis,
terutama nyeri suprapubik, dan apendiks retroileal, nyeri testis, mungkin karena
iritasi arteri spermatika dan ureter.
b. Anoreksia, mual, muntah, obstipasi, diare
Anoreksia hampir selalu menyertai apendisitis. Hal ini begitu konstan
sehingga diagnosis apendisitis perlu dipertanyakan jika pasien tidak anoreksia.
Walaupun hampir 75% pasien mengalami muntah, tetapi ini tidak menonjol
dan kebanyakan pasien hanya muntah sekali atau dua kali. Muntah disebabkan
oleh stimulasi saraf dan adanya ileus.
Kebanyakan pasien biasanya juga mengeluhkan kesuliatan buang air besar
sebelum timbul sakit perut, dan banyak yang merasa bahwa dengan buang air
besar akan menghilangkan rasa sakit perut mereka.
Diare terjadi pada beberapa pasien, terutama pada anak-anak, sehingga pola
fungsi usus memberikan sedikit nilai diagnosis. Urutan timbulnya gejala
memberikan arti yang besar untuk diagnosis banding. Pada 95% pasien dengan
apendisitis akut, anoreksia merupakan gejala utama. Kemudian diikuti dengan
nyeri perut lalu muntah-muntah. Jika muntah timbul sebelum rasa sakit, diagnosis
apendisits perlu dipertanyakan.
c. Nyeri tekan kuadran kanan bawahyang dalam beberapa jam berubah menjadi rasa
pegal dalam atau nyeri di kuadran kanan bawah.
d. Demam dan leukosistosis terjadi pada awal perjalanan penyakit.
Penyakit mungkin silent terutama pada usia lanjut, atau tidak memperlihatkan
tanda lokal di kuadran kanan bawah, seperti bila apendiks terletakdi retrosekal atau
terdapat malrotasi usus.
16
Pada pemeriksaan fisik, ditemukan demam biasanya ringan dengan suhu
sekitar 37,5-38,5 oC. Bila suhu lebih tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa
terdapat perbedaan suhu aksilar dan rektal sampai 1oC.
Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering
terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah
bida dilihat pada massa atau abses periapendikuler. Pada palpasi didapatkan nyeri
yang terbatas pasa regio iliaka kanan, bisa disertai nyeri lepas. Defans muscular
menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale. Nyeri tekan perut kanan
bawah ini merupakan kunci diagnosis. Pada penekanan perut kiri bawah akan
dirasakan nyeri di perut kanan bawah yang disebut Rovsing sign.Pada apendisitis
retrosekal atau retroileal.diperlukan palpasi dalam untuk menentukan adanya rasa
nyeri.
Karena terjadi pergeseran sekum ke kraniolaterodorsal oleh uterus, keluhan
nyeri pada apendisitis sewaktu hamil trimester II dan III akan bergeser ke kanan
sampai pinggang kanan. Tanda pada kehamilan trimester I tidak berbeda dengan pada
orang tidak hamil karena itu perlu dibedakan apakah keluhan nyeri berasal dari uterus
atau apendiks. Bila penderita miring ke kiri, nyeri akan berpindah sesuai dengan
pergeseran uterus, terbukti proses bukan berasal dari apendiks.
Peristaltik usus sering normal: peristaltik dapat hilang karena ileus paralitik
pada peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata. Pemeriksaan colok dubur
menyebabkan nyeri bila daerah infeksi bisa dicapai dengan jari telunjuk misalnya
pada apendisitis pelvika.
Pada apendisitis pelvika tanda perut sering meragukan maka kunci diagnosis
adalah nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Pemeriksaan psoas test dan
obturator test merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk mengetahui letak
apendiks. Psoas test dilakukan dengan rangsangan otot psoas dilakukan dengan
rangsangan otot psoas lewat hiperekstensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi
panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila apendiks yang meradang
menempel di m.psoas mayor, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Obturator
test digunakan untuk melihat apakah apendiks yang meradang kontak dengan
m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil. Gerakan fleksi dan
endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang akan menimbulkan nyeri pada
apendicitis pelvika.
17
VI. Diagnosis4
Teknik diagnostik konvensional (diawali dengan pemeriksaan fisik), diagnosis
apendicitis akut yang akurat hanya dapat ditegakkan pada sekitar 80% kasus.
Modalitas pencitraan yang lebih baru meningkatkan keakuratan diagnosis menjadi
95%.
Meskipun pemeriksaan dilakukan dengan cermat dan teliti, diagnosis klinis
apendicitis akut masih mungkin salah pada sekitar 15-20% kasus. Kesalahan
diagnosis lebih sering pada perempuan dibanding laki-laki. Hal ini dapat disadari
mengingat pada perempuan terutama yang masih muda sering timbul gangguan yang
mirip apendicitis akut. Keluhan itu berasal dari genitalia interna karena ovulasi,
menstruasi, radang di pelvis, atau penyakit ginekologik lain.
Untuk menurunkan angka kesalahan diagnosis apendicitis akut bila diagnosis
meragukan, sebaiknya dilakukan observasi penderita di rumah sakit dengan
pengamatan setiap 1-2 jam. Foto barium kurang dapat dipercaya. Ultrasonografi bisa
meningkatkan akurasi diagnosis. Demikian pila laparoskopi pada kasus yang
meragukan. Pemeriksaan laboratorium, jumlah leukosit membantu menegakkan
diagnosis apendicitis akut. Pada kebanyakan kasus terdapat leukositosis, terlebih pada
kasus dengan komplikasi.
Selain itu diagnosis juga dapat ditegakan melalui klinis dari pemeriksaan fisik.
Pada apendisitis pelvika tanda perut sering meragukan, maka kunci diagnosis adalah
nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Colok dubur pada anak tidak
dianjurkan. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang
lebih ditujukan untuk mengetahui letak apendiks. Uji psoas dilakukan dengan
rangsangan m. psoas lewat hiperekstensi atau fleksi aktif. Bila apendiks yang
meradang menempel di m.psoas, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Uji
obturator digunakan untuk melihat apakah apendiks yang meradang kontak dengan
m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil. Dengan gerakan fleksi
dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang, pada apendicitis pelvika akan
menimbulkan nyeri.
18
Psoas sign nyeri pada saat paha kanan pasien diekstensikan. Pasien
dimiringkan kekiri. Pemeriksa meluruskan paha kanan pasien, pada saat itu ada
hambatan pada pinggul atau pangkal paha kanan (tanda bintang).
Dasar anatomi dari tes psoas apendiks yang mengalami peradangan kontak
dengan otot psoas yang meregang saat dilakukan manuver (pemeriksaan).
Tes Obturator nyeri pada rotasi kedalam secara pasif saat paha pasien
difleksikan. Pemeriksa menggerakkan tungkai bawah ke lateral, pada saat itu ada
tahanan pada sisi samping dari lutut (tanda bintang), menghasilkan rotasi femur
kedalam.
Dasar Anatomi dari tes obturator : Peradangan apendiks di pelvis yang kontak
dengan otot obturator internus yang meregang saat dilakukan manuver. Jika sudah
terbentuk abses yaitu bila ada omentum atau usus lain yang dengan cepat
membendung daerah apendiks maka selain ada nyeri pada fossa iliaka kanan selama
3-4 hari (waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan abses) juga pada palpasi akan
teraba massa yang fixed dengan nyeri tekan dan tepi atas massa dapat diraba. Jika
apendiks intrapelvinal maka massa dapat diraba pada RT (Rectal Touche) sebagai
massa yang hangat.
Peristaltik usus sering normal, peristaltik dapat hilang karena ileus paralitik pada
peritonitis generalisata akibat apendicitis perforata. Pemeriksaan colok dubur
menyebabkan nyeri bila daerah infeksi bisa dicapai dengan jari telunjuk, misalnya pada
apendicitis pelvika.
VII. Diagnosis Banding4
Pada keadaan tertentu, beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis
banding, yaitu:
Gastroenteritis
Pada gastroenteritis, mual, muntah dan diare mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih
ringandan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltik ering ditemukan. Panas dan leukositosis
kurang menonjol dibandingkan apendisitis akut.
Demam dengue
Demam dengue dapat dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis. Di sini didapatkan
hasil tes positif untuk Rumpl Leede, trombositopenia, dan hematokrit yang meningkat.
19
Limfadenitis mesenterika
Limfadeniris mesenterika yang biasa didahului oleh enteritis atau gastroenteritis
ditandai dengan nyeri perut, terutama kanan disertai dengan perasaan mual, nyeri tekan perut
samar, terutama kanan
Kelainan ovulasi
Folikel ovarium yang pecah (ovulasi) mungkin memberikan nyeri perut kanan bawah
pada pertengahan siklus menstruasi. Pada anamnesis, nyeri yang sama pernah timbul lebih
dahulu. Tidak ada tanda radang, dan nyeri biasa hilang dalam waktu 24 jam, tetapi mungkin
dapat menganggu selama dua hari.
Infeksi panggul
Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan apendisitis akut. Suhu biasanya lebih
tinggi daripada apendisitis dan nyeri perut bagian bawah lebih difus. Infeksi panggul pada
wanita biasanya disertai keputihan dan infeksi urin. Pada colok vagina akan timbul nyeri
hebat di panggul jika uterus diayunkan. Pada gadis dapat dilakukan colok dubur jika perlu.
Kehamilan di luar kandungan
Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak menentu. Jika
ada ruptur tuba atau abortus kehamilan di luar rahim dengan perdarahan, akan timbul nyeri
yang mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin terjadi syok hipovolemik. Pada
pemeriksaan vaginal didapatkan nyeri pada penonjolan rongga Douglas dan pada
kuldosintesis didapatkan darah.
Kista ovarium terpuntir
Timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang tinggi dan teraba massa dalam rongga
pelvis pada pemeriksaan perut, colok vaginal, atau colok rektal. Tidak terdapat demam.
Pemeriksaan ultrasonograafi dapat menentukan diagnosis.
Endometriosis eksterna
Endometrium di luar rahim akan memberikan keluhan nyeri di tempat endometriosis
berada, dan darah menstruasi terkumpul di tempat itu karena tidak ada jalan keluar.
Urolitiasis pielum atau ureter kanan
Batu ureter atau batu ginjal kanan. Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut
menjalar ke inguinal kanan merupakan gambaran yang khas. Eritrosuria sering ditemukan.
Foto polos perut atau urografi intravena dapat memastikan penyakit tersebut. Pielonefritis
sering disertai dengan demam tinggi, mengigil, nyeri kostovertebral di sebelah kanan dan
piuria.
20
VIII. Penatalaksanaan6
Meskipun telah ditemukan modalitas diagnostik yang lebih canggih, tetapi intervensi
operatif tidak boleh ditinggalkan. Setelah diagnosis apendicitis akut ditegakkan, pasien perlu
dipersiapkan untuk menjalani operasi. Hidrasi pasien harus dipastikan mencukupi kebutuhan
pasien, kelainan elektrolit harus diperbaiki, dan kondisi jantung, paru serta ginjal harus
diperhatikan. Sebuah meta-analisis menunjukkan manfaat pemberian antibiotik praoperasi
dalam menurunkan komplikasi dari apendicitis. Kebanyakan ahli bedah secara rutin
memberikan antibiotik pada semua pasien yang dicurigai menderita apendicitis. Jika
didapatkan apendicitis akut simpel, tidak ada manfaat dalam memperluas cakupan antibiotik
di luar 24 jam. Jika apendisitis mengalami perforasi atau ditemukan gangren, antibiotik
diteruskan sampai pasien tidak demam dan memiliki jumlah sel darah putih yang normal.
Pada infeksi intra abdominal dari traktus gastrointestinal yang ringan sampai berat,
para ahli bedah merekomendasikan satu agen terapi dengan cefoxitin, cefotetan, atau
tikarsilin-asam klavulanat. Pada infeksi yang lebih parah, satu agen terapi dengan
carbapenem atau terapi kombinasi dengan cephalosporin generasi ketiga, monobactam,
aminoglycoside ditambah antibiotik anaerob dengan klindamisin atau metronidazole.
Rekomendasi tersebut juga berlaku untuk anak-anak.
Apendektomi terbuka
Untuk apendektomi terbuka, sebagian ahli bedah menggunakan salah satu insisi,
McBurney (miring) atau Rocky-Davis (melintang) pada otot-otot di kuadran kanan bawah
pada pasien yang dicurigai menderita apendisitis. Sayatan harus pada kedua titik nyeri
maksimal atau teraba massa. Jika dicurigai abses, sayatan ditempatkan di lateral, penting
untuk memungkinkan drainase retroperitoneal dan untuk menghindari kontaminasi dari
rongga peritoneum. Jika diagnosis diragukan, dianjurkan insisi lebih rendah pada garis tengah
untuk memungkinkan pemeriksaan yang lebih luas dari rongga peritoneal. Hal ini terutama
berkaitan dengan usia tua atau dengan keganasaan atau divertikulitis.
Beberapa teknik dapat digunakan untuk menemukan lokasi apendicitis. Karena sekum
biasanya terlihat pada sayatan tersebut, konvergensi taenia dapat dilihat sampai ke dasar
apendiks. Gerakan dari sebelah lateral ke medial dapat membantu menunjukkan lokasi ujung
apendiks ke dalam medan operasi. Sesekali, mobilisasi terbatas diperlukan untuk visualisasi
yang cukup. Apendiks dapat digerakkan oleh mesoapendiks, dengan meligasi arteri
apendikularis secara aman.
21
Pangkal apendiks dapat dikelola dengan ligasi sederhana atau dengan ligasi dan
inversi dengan baik atau jahitan Z. Selama pangkal apendiks jelas dan dasar sekum tidak
terlibat proses inflamasi, pangkal apendiks dapat diligasi dengan aman dan diikat dengan
jahitan nonabsorbable. Mukosa sekitar apendiks sering diambil untuk mencegah
pembentukan mucocele. Rongga peritoneum dirigasi dan luka ditutup lapis demi lapis. Jika
terjadi perforasi atau gangren pada orang dewasa, kulit dan jaringan subkutan harus dibiarkan
terbuka dan dibiarkan sembuh dengan penyembuhan sekunder atau ditutup dalam sampai 5
hari sebagai penutupan primer yang tertunda. Pada anak-anak, yang pada umumnya memiliki
sedikit lemak subkutan, penyembuhan primer tidak menyebabkan peningkatan insidensi
infeksi pada luka.
Jika tidak ditemukan adanya apendisitis, pencarian secara metodis harus dilakukan
untuk diagnosis alternatif. Sekum da mesenterium harus diperiksa pertama kali. Kemudian,
usus kecil diperiksa secara retrograde dari awal pada katup ileocecal dan meluas sekitar 2
kaki. Pada wanita, harus diberikan perhatian khusus pada organ panggul. Isi perut bagian atas
juga perlu diperiksa. Cairan peritoneal harus diperiksa dengan pewarnaan gram dan kultur.
Jika cairan purulen, sangat penting untuk mengidentifikasi penyebabnya. Perpanjangan ke
medial (Fowler-Weir), dengan pembagian selaput rektus anterior dan posterior, dapat
dilakukan untuk mengevaluasi perut bagian bawah. Jika terdapat gangguan pada perut bagian
atas, insisi kuadran kanan bawah harus ditutup dan harus dibuat insisi tepat pada garis tengah.
Apendektomi Laparoskopi
Apendektomi laparoskopi dilakukan dengan anestesi umum. Tabung nasogastrik dan
kateter urin ditempatkan sebelum terjadi pneumoperitoneum. Laparoskopi apendisitis
biasanya membutuhkan tiga port. Kadang-kadang empat port untuk memobilisasi apendisitis
retrocecal. Dokter bedah biasanya berdiri di sebelah kiri pasien. Satu asisten diperlukan untuk
mengoperasikan kamera. Satu trocar diletakkan di umbilikus (10mm), dan trocar kedua
diletakkan pada posisi suprapubik. Beberapa ahli bedah menempatkan port kedua di kuadran
kiri bawah. Trocar suprapubik yaitu 10 atau 12 mm, tergantung pada apakah ada atau tidak
stapler linier yang digunakan. Penempatan trocar ketiga (5 mm) bervariasi dan biasanya di
kuadran kiri bawah, epigatrium atau kuadran kanan atas. Penempatan ini berdasarkan lokasi
dari laporan dan pilihan ahli bedah. Awalnya, perut dieksplorasi sepenuhnya untuk
menghilangkan penyakit lainnya. Apendiks dapat diidentifikasi dengan mengikuti taenia
anterior. Diseksi di dasar apendiks memungkinkan ahi bedah untuk membuat jendela antara
mesentrium sampai pada pangkal apendiks. Mesentrium dan basis apendik kemudian
22
diamankan dan dibagi secara terpisah. Saat mesoapendiks terlibat pada proses inflamasi, hal
ini baik untuk membagi apendiks pertama dengan linier stapler dan kemudian membagi
mesoapendiks yang berdekatan dengan apendiks dengan klip, elektrokauter, harmonic
scalpel, atau staples. Basis apendiks tidak terbalik. Apendiks akan diangkat dari cavum
abdomen melalui situs trocar. Basis apendiks dan mesoapendik perlu dievaluasi mengenai
hemostasisnya. Kuadran kanan bawah harus diirigasi juga. Trocar kemudian diangkat secara
langsung.
Natural Orifice Transluminal Endoscopic Surgery
Natural orifice transluminal endoscopic surgery (NOTES) merupakan prosedur bedah
baru dengan menggunakan endoskopi dalam rongga abdomen. Pada prosedur ini, akses
diperoleh dengan cara mencapai organ secara alami, yang sudah ada pada orificium eksterna.
Cara ini diharapkan memberikan keuntungan termasuk pengurangan nyeri pada luka bekas
operasi, pemulihan pasca operasi yang lebih cepat, menghindari infeksi luka dan hernia pada
dinding perut, dan mencegah adanya luka bekas operasi.
IX. Prognosis6
Insideni abses intra abdominal sekunder terhadap kontaminasi peritoneal dari gangren
apendisitis atau perforasi telah menurun tajam sejak diperkenalkannya antibiotik.
Kecenderungan untuk abses adalah
apendicitis fosa, cavum douglas, ruang subhepatic, dan antara bagian dari usus. Pada abses
yang terakhir itu biasanya ganda. Drainase transrektal lebih disukai untuk abses yang
menonjol ke dalam rektum.
Fistula fecal merupakan komplikasi yang mengganggu, tetapi tidak terlalu berbahaya,
komplikasi dari apendektomi yang mungkin disebabkan oleh peluruhan bagian sekum saat
kontriksi jahitan.
Obstruksi usus, awalnya terjadi paralisis tapi kadang-kadang berkembang menjadi
obstruksi mekanik, mungkin terjadi dengan perlahan sampai terjadi peritonitis dengan abses
loculated dan pembentukan adhesi. Komplikasi akhir yang cukup jarang. Adhesi obstruksi
usus setelah apendektomi, tetapi jauh lebih jarang daripada setelah bedah pelvis. Insiden
hernia inguinalis adalah tiga kali lebih tinggi pada pasien yang pernah menjalani
apendektomi.
23
X. Komplikasi4
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi
bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendinginan sehingga berupa
massa yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan lekuk usus halus.
Massa periapendikuler
Massa apendiks terjadi apabila apendisitis ganrenosa atau miroperforasi ditutupi atau
dibungkus oleh omentum dan/atau lekuk usus halus. Pada massa periapendikuket yang
pendinginannya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum
jika perforasi diikuti peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu, massa
periapendikuler yang masih bebas disarankan segera untuk dioperasi untuk mencegah
penyulit tersebut. Selain itu, operasi masih mudah. Pada anak selama-lamanya dipersiapkan
untuk operassi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa dengan massa periapendikuler yang
terpancang dengan pendinginan sempurna, dianjurkan untuk dirawat dulu dan diberi
antibiotik sambil diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis. Bila sudah
tidak ada demam, massa periapendikuler hilang, dan leukosit normal, penderita boleh pulang
dan apendektomi elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar perdarahan akibat
perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforasi, akan terbentuk abses
apendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambah nyeri, dan
teraba pembengkakan massa, serta bertambahnya angka leukosit.
Riwayat klasik apendisitis akutm yang diikuti dengan adanya massa yang nyeri di
regio iliaka kanan dan disertai demam mengarahkan diagnosis ke massa atau abses
periapendikuler. Kadang keadaan ini sulit dibedakan dari karsinoma sekum, penyalit Crohn,
dan aktinomikosis intestinal, enteritis tuberkulosa, dan kelainan ginekologik sebelum
memastikan diagnosis massa apendik.
Apendisitis perforata
Adanya fekalitdi dalam lumen, umur (orang tua atau kecil), dan keterlambatan
diagnosis, merupakan faktor yang berperanan dalam terjadinya perforasi apendiks.
Dilaporkan insidensi perforasi 60% pada penderita di atas usia 60 tahun. Faktor yang
mempengaruhi tingginya insidensi pada orang tua adalah gejalanya yang samar,
keterlambatan berobat, adanya perubahan anatomi apendiks berupa penyempitan lumen dan
arteriosklerosis. Insidensi tinggi pada anak disebabkan oleh dinding apendiks yang masih
tipis, anak kurang komunikatif sehingga memperpanjang waktu diagnosis, dan proses
24
pendinginan kurang sempurna akibat perforasi yang berlangsung cepat dan omentum anak
belum berkembang.
Perforasi dapat menyebabkan timbulnya abses lokal ataupun suatu peritonitis
generalisata. Tanda-tanda terjadinya suatu perforasi adalah :
1. nyeri lokal pada fossa iliaka kanan berganti menjadi nyeri abdomen menyeluruh
2. Suhu tubuh naik tinggi sekali
3. Nadi semakin cepat
4. Defance Muskular yang menyeluruh
5. Bising usus berkurang
6. Perut distended
Peritonitis merupakan infeksi yang berbahaya karena bakteri masuk kerongga
abdomen, dapat menyebabkan kegagalan organ dan kematian. Adanya massa intraabdomen
yang nyeri disertai demam harus dicurigai abses. Ultrasonografi dapat membantu mendeteksi
adanya kantong nanah.
Apendicitis rekurens
Diagnosis apendisitis rekurens baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan
berulang di perut kanan bawah yang mendorong dilakukannya apendektomi, dan hasil
patologi menunjukkan peradangan akut, kelainan ini terjadi bila serangan apendisitis akut
pertama kali sembuh spontan. Namun, apendiks tidak pernah kembali ke bentuk aslinya
karena karena terjadi fibrosis ddan jaringan parut. Risiko untuk terjadinya serangan lagi
sekitar 50%. Insidensi apendisitis rekurens adalah 10% dari spesimen apendektomi yang
diperiksa secara patologik.
Pada apendicitis rekurens biasanya dilakukan apendektomi karena sering penderita
datang dalam serangan akut.
Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika dipenuhi semua syarat, yaitu
nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik apendik secara makroskopik
dan mikroskopik, dan keluhan menghilang setelah apendektomi. Kriteria mikroskopik
apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total
lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa, dan infiltrasi sel inflamasi
kronik. Insidensi apendisitis kronil antara 1-5%.
25
B. SPINAL ANESTESI
I. DEFINISI
Anestesi blok subaraknoid atau biasa disebut anestesi spinal adalah tindakan anestesi
dengan memasukan obat analgetik ke dalam ruang subaraknoid di daerah vertebra lumbalis
yang kemudian akan terjadi hambatan rangsang sensoris mulai dari vertebra thorakal 4.13,15
II. INDIKASI
Untuk pembedahan,daerah tubuh yang dipersyarafi cabang T4 kebawah (daerah
papila mamae kebawah ). Dengan durasi operasi yang tidak terlalu lama, maksimal 2-3 jam. 13,15
III. KONTRA INDIKASI
Kontra indikasi pada teknik anestesi subaraknoid blok terbagi menjadi dua yaitu
kontra indikasi absolut dan relatif.
Kontra indikasi absolut :
Infeksi pada tempat suntikan. : Infeksi pada sekitar tempat suntikan bisa
menyebabkan penyebaran kuman ke dalam rongga subdural.
Hipovolemia berat karena dehidrasi, perdarahan, muntah ataupun diare. : Karena
pada anestesi spinal bisa memicu terjadinya hipovolemia.
Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan.
Tekanan intrakranial meningkat. : dengan memasukkan obat kedalam rongga
subaraknoid, maka bisa makin menambah tinggi tekanan intracranial, dan bisa
menimbulkan komplikasi neurologis
Fasilitas resusitasi dan obat-obatan yang minim : pada anestesi spinal bisa terjadi
komplikasi seperti blok total, reaksi alergi dan lain-lain, maka harus dipersiapkan
fasilitas dan obat emergensi lainnya
Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi. : Hal ini dapat
menyebabkan kesalahan seperti misalnya cedera pada medulla spinalis,
keterampilan dokter anestesi sangat penting.
Pasien menolak.
Kontra indikasi relatif :
Infeksi sistemik : jika terjadi infeksi sistemik, perlu diperhatikan apakah
diperlukan pemberian antibiotic. Perlu dipikirkan kemungkinan penyebaran
infeksi.
26
Infeksi sekitar tempat suntikan : bila ada infeksi di sekitar tempat suntikan bisa
dipilih lokasi yang lebih kranial atau lebih kaudal.
Kelainan neurologis : perlu dinilai kelainan neurologis sebelumnya agar tidak
membingungkan antara efek anestesi dan deficit neurologis yang sudah ada pada
pasien sebelumnya.
Kelainan psikis
Bedah lama : Masa kerja obat anestesi local adalah kurang lebih 90-120 menit,
bisa ditambah dengan memberi adjuvant dan durasi bisa bertahan hingga 150
menit.
Penyakit jantung : perlu dipertimbangkan jika terjadi komplikasi kea rah jantung
akibat efek obat anestesi local.
Hipovolemia ringan : sesuai prinsip obat anestesi, memantau terjadinya
hipovolemia bisa diatasi dengan pemberian obat-obatan atau cairan
Nyeri punggung kronik : kemungkinan pasien akan sulit saat diposisikan. Hal ini
berakibat sulitnya proses penusukan dan apabila dilakukan berulang-ulang, dapat
membuat pasien tidak nyaman 13,15
IV. STRUKTUR ANATOMI VERTEBRA
27
Tulang vertebra terdri dari 33 tulang: 7 buah tulang servikal, 12 buah tulang
torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sakral. Tulang servikal, torakal dan
lumbal masih tetap dibedakan sampai usia berapapun, tetapi tulang sakral dan
koksigeus satu sama lain menyatu membentuk dua tulang yaitu tulang sakum dan
koksigeus.
Kolumna vertebralis mempunyai lima fungsi utama, yaitu: (1) menyangga
berat kepala dan dan batang tubuh, (2) melindungi medula spinalis, (3)
memungkinkan keluarnya nervi spinalis dari kanalis spinalis, (4) tempat untuk
perlekatan otot-otot, (5) memungkinkan gerakan kepala dan batang tubuh
Tulang vertebra secara gradual dari cranial ke caudal akan membesar sampai
mencapai maksimal pada tulang sakrum kemudian mengecil sampai apex dari
tulang koksigeus. Struktur demikian dikarenakan beban yang harus ditanggung
semakin membesar dari cranial hingga caudal sampai kemudian beban tersebut
ditransmisikan menuju tulang pelvis melalui articulatio sacroilliaca.
Korpus vertebra selain dihubungkan oleh diskus intervertebralis juga oleh
suatu persendian sinovialis yang memungkinkan fleksibilitas tulang punggung,
kendati hanya memungkinkan pergerakan yang sedikit untuk mempertahankan
stabilitas kolumna vertebralis guna melindungi struktur medula spinalis yang berjalan
di dalamnya. Stabilitas kolumna vertebralis ditentukan oleh bentuk dan kekuatan
masing-masing vertebra, diskus intervertebralis, ligamen dan otot-otot.16
Hal penting yang perlu diperhatikan dalam melakukan anestesi subaraknoid
adalah lokasi medulla spinalis didalam kolumna vertebralis. Medulla spinalis berjalan
mulai dari foramen magnum kebawah hingga menuju ke konus medularis (segmen
akhir medulla spinalis sebelum terpecah menjadi kauda equina). Penting diperhatikan
bahwa lokasi konus medularis bervariasi antara vertebra T12 hingga L1. 13,16
Memperhatikan susunan anatomis dari vertebra, ada beberapa landmark yang
lazim digunakan untuk memperkirakan lokasi penting pada vertebra, diantaranya
adalah :
1. Vertebra C7 : Merupakan vertebra servikal dengan penonjolan yang paling terlihat
di daerah leher.
2. Papila Mamae : Lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra torakal 3-4
3. Epigastrium : Lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra torakal 5-6
4. Umbilikus : Lokasi ini berada setinggi vertebra torakal 10
28
5. Krista Iliaka : Lokasi ini berada setinggi kurang lebih vertebra lumbalis 4-513,14,16
Gambar 2 : Perjalanan Medulla Spinalis pada Kolumna Vertebralis17
Berikut adalah susunan anatomis pada bagian yang akan dilakukan anestesi spinal.
Kutis
Subkutis : Ketebalannya berbeda-beda, akan lebih mudah mereba ruang
intervertebralis pada pasien yang memiliki lapisan subkutis yang tipis.
Ligamentum Supraspinosum: Ligamen yang menghubungkan ujung procesus
spinosus.
Ligamentum interspinosum
Ligamentum flavum : Ligamentum flavum cukup tebal, sampai sekitar 1 cm.
Sebagian besar terdiri dari jaringan elastis. Ligamen ini berjalan vertikal dari lamina
ke lamina. Ketika jarum berada dalam ligamen ini, akan terasa sensasi mencengkeram
dan berbeda. Sering kali bisa kita rasakan saat melewati ligamentum dan masuk
keruang epidural.
29
Epidural : Ruang epidural berisi pembuluh darah dan lemak. Jika darah yang
keluardari jarum spinal bukan CSF, kemungkinan vena epidural telah tertusuk. Jarum
spinal harus maju sedikit lebih jauh.
Duramater : Sensasi yang sama mungkin akan kita rasakan saat menembus duramater
seperti saat menembus epidural.
Subarachnoid : merupakan tempat kita akan menyuntikkan obat anestesi spinal. Pada
ruangan ini akan dijumpai likuor sereberospinalis (LCS) pada penusukan. 13,18
Gambar 4 : Susunan Anatomi ligament vertebra18
Pembuluh darah pada daerah tusukan juga perlu diperhatikan, terdapat arteri
dan vena yang lokasinya berada di sekitar tempat tusukan. Terdapat arteri Spinalis
posterior yang memperdarahi 1/3 bagian posterior medulla. Arteri spinalis anterior
memperdarahi 2/3 bagian anterior medulla. Terdapat juga adreti radikularis yang
memperdarahi medulla, berjalan di foramen intervertebralis memperdarahi radiks.
Sistem vena yang terdapat di medulla ada 2 yaitu vena medularis anterior dan
posterior.
30
Gambar 5 : Sistem Vaskular Medula Spinalis19
V. PERSIAPAN ANESTESI SPINAL
Persiapan yang diperlukan untuk melakukan anestesi spinal lebih sederhana
dibanding melakukan anestesi umum, namun selama operasi wajib diperhatikan
karena terkadang jika operator menghadapi penyulit dalam operasi dan operasi
menjadi lama, maka sewaktu-waktu prosedur secara darurat dapat diubah menjadi
anestesi umum.
Persiapan yang dibutuhkan untuk melakukan anestesi spinal adalah ;
Informed consent : Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan ini (informed
consent) meliputi tindakan anestesi, kemungkinan yang akan terjadi selama operasi
tindakan ini dan komplikasi yang mungkin terjadi.
Pemeriksaan fisik : Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit tempat
penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti infeksi. Perhatikan
31
juga adanya gangguan anatomis seperti scoliosis atau kifosis,atau pasien terlalu
gemuk sehingga tonjolan processus spinosus tidak teraba.
Pemeriksaan laboratorium anjuran: Pemeriksaan laboratorium yang perlu
dilakukan adalah penilaian hematokrit, Hb , masa protrombin (PT) dan masa
tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga terdapat gangguan pembekuan
darah. 13,15,18,19
Persiapan yang dibutuhkan setelah persiapan pasien adalah persiapan alat dan obat-
obatan. Peralatan dan obat yang digunakan adalah :
1. Satu set monitor untuk memantau tekanan darah, Pulse oximetri, EKG.
2. Peralatan resusitasi / anestesia umum.
3. Jarum spinal. Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing, quincke
bacock) atau jarum spinal dengan ujung pinsil (pencil point whitecare),
dipersiapkan dua ukuran. Dewasa 26G atau 27G
4. Betadine, alkohol untuk antiseptic.
5. Kapas/ kasa steril dan plester.
6. Obat-obatan anestetik lokal.
7. Spuit 3 ml dan 5 ml.
8. Infus set. 13,15,18
Gambar 6 : Jenis Jarum Spinal19
VI. OBAT-OBATAN PADA ANESTESI SPINAL
Obat-obatan pada anestesi spinal pada prinsipmnya merupakan obat anestesi
local. Anestetik local adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila dikenakan
32
pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Paralisis pada sel saraf akibat anestesi local
bersifat reversible.
Obat anestesi local yang ideal sebaiknya tidak bersifat iritan terhadap jaringan
saraf. Batas keamanan harus lebar, dan onset dari obat harus sesingkat mungkin dan
masa kerja harus cukup lama. Zat anestesi local ini juga harus larut dalam air.
Terdapat dua golongan besar pada obat anestesi local yaitu golongan amid dan
golongan ester. Keduanya hampir memiliki cara kerja yang sama namun hanya
berbeda pada struktur ikatan kimianya. Mekanisme kerja anestesi local ini adalah
menghambat pembentukan atau penghantaran impuls saraf. Tempat utama kerja obat
anestesi local adalah di membrane sel. Kerjanya adalah mengubah permeabilitas
membrane pada kanal Na+ sehingga tidak terbentuk potensial aksi yang nantinya akan
dihantarkan ke pusat nyeri.20
Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003-1.008.
Anastetik local dengan berat jenis sama dengan LCS disebut isobaric. Anastetik local
dengan berat jenis lebih besar dari LCS disebut hiperbarik. Anastetik local dengan
berat jenis lebih kecil dari LCS disebut hipobarik. Anastetik local yang sering
digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan mencampur anastetik local
dengan dextrose. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh
dengan mencampur dengan air injeksi. 20
Berikut adalah beberapa contoh sediaan yang terdapat di Indonesia dan umum
digunakan.
Lidokaine 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.003, sifat hyperbaric, dosis 20-
50mg(1-2ml).
Bupivakaine 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobaric, dosis 5-20mg.
Bupivakaine 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat hiperbarik,dosis 5-
15mg(1-3ml).
Obat Anestesi local memiliki efek tertentu di setiap system tubuh manusia.
Berikut adalah beberapa pengaruh pada system tubuh yang nantinya harus
diperhatikan saat melakukan anesthesia spinal.
1. Sistem Saraf : Pada dasarnya sesuai dengan prinsip kerja dari obat anestesi local,
menghambat terjadinya potensial aksi. Maka pada system saraf akan terjadi paresis
sementara akibat obat sampai obat tersebut dimetabolisme.
33
2. Sistem Respirasi : Jika obat anestesi local berinteraksi dengan saraf yang bertanggung
jawab untuk pernafasan seperti nervus frenikus, maka bisa menyebabkan gangguan
nafas karena kelumpuhan otot nafas.
3. Sistem Kardiovaskular : Obat anestesi local dapat menghambat impuls saraf. Jika
impuls pada system saraf otonom terhambat pada dosis tertentu, maka bisa terjadi
henti jantung. Pada dosis kecil dapat menyebabkan bradikardia. Jika dosis yang
masuk pembuluh darah cukup banyak, dapat terjadi aritmia, hipotensi, hingga henti
jantung. Maka sangat penting diperhatikan untuk melakukan aspirasi saat
menyuntikkan obat anestesi local agar tidak masuk ke pembuluh darah.
4. Sistem Imun : Karena anestesi local memiliki gugus amin, maka memungkinkan
terjadi reaksi alergi. Penting untuk mengetahui riwayat alergi pasien. Pada reaksi local
dapat terjadi reaksi pelepasan histamine seperti gatal, edema, eritema. Apabila tidak
sengaja masuk ke pembuluh darah, dapat menyebabkan reaksi anafilaktik.
5. Sistem Muskular : obat anestetik local bersifat miotoksik. Apabila disuntikkan
langsung kedalam otot maka dapat menimbulkan kontraksi yang tidak teratur, bisa
menyebabkan nekrosis otot.
6. Sistem Hematologi : obat anestetik dapat menyebabkan gangguan pembekuan darah.
Jika terjadi perdarahan maka membutuhkan penekanan yang lebih lama saat
menggunakan obat anestesi local. 14,20,23
Dalam penggunaan obat anestesi local, dapat ditambahkan dengan zat lain
atau adjuvant. Zat tersebut mempengaruhi kerja dari obat anestesi local khususnya
pada anestesi spinal. Tambahan yang sering dipakai adalah :
1. Vasokonstriktor : Vasokonstriktor sebagai adjuvant pada anestesi spinal dapat
berfungsi sebagai penambah durasi. Hal ini didasari oleh mekanisme kerja obat
anestesi local di ruang subaraknoid. Obat anestesi local dimetabolisme lambat di
dalam rongga subaraknoid. Dan proses pengeluarannya sangat bergantung kepada
pengeluaran oleh vena dan saluran limfe. Penambahan obat vasokonstriktor bertujuan
memperlambat clearance obat dari rongga subaraknoid sehingga masa kerja obat
menjadi lebih lama.18,19,20
2. Obat Analgesik Opioid : digunakan sebagai adjuvant untuk mempercepat onset
terjadinya fase anestetik pada anestesi spinal. Analgesic opioid misalnya fentanyl
adalah obat yang sangat cepat larut dalam lemak. Hal ini sejalan dengan struktur
pembentuk saraf adalah lemak. Sehingga penyerapan obat anestesi local menjadi
34
semakin cepat. Penelitian juga menyatakan bahwa penambahan analgesic opioid pada
anestesi spinal menambah efek anestesi post-operasi.21,22
3. Klonidin : Pemberian klonidin sebagai adjuvant pada anestesi spinal dapat menambah
durasi pada anestesi. Namun perlu diperhatikan karena klonidin adalah obat golongan
Alfa 2 Agonis, maka harus diwaspadai terjadinya hipotensi akibat vasodilatasi dan
penurunan heart rate.22
Dosis obat anestesi regional yang lazim digunakan untuk melakukan anestesi
spinal terdapat pada table dibawah ini.
Tabel 1 : Dosis Obat Untuk Anestesi Spinal23
VII. TEKNIK ANESTESI SPINAL
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah
posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa
dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien.
1. Pasang IV line. Berikan Infus Dextrosa/NaCl/Ringer laktat sebanyak 500 -
1500 ml (pre-loading).
2. Oksigen diberikan dengan kanul hidung 2-4 L/Menit
3. Setelah dipasang alat monitor, pasien diposisikan dengan baik. Dapat
menggunakan 2 jenis posisi yaitu posisi duduk dan berbaring lateral.
4. Raba krista. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista
iliaka dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-L5.
5. Palpasi di garis tengah akan membantu untuk mengidentifikasi ligamen
interspinous.
35
6. Cari ruang interspinous cocok. Pada pasien obesitas anda mungkin harus
menekan cukup keras untuk merasakan proses spinosus.
7. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
8. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 1-2% 2-
3ml
9. Cara tusukan adalah median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G,
23G atau 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk jarum kecil 27G
atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum (introducer), yaitu jarum
suntik biasa yaitu jarum suntik biasa 10cc. Jarum akan menembus kutis,
subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum
flavum, epidural, duramater, subarachnoid. Setelah mandrin jarum spinal
dicabut, cairan serebrospinal akan menetes keluar. Selanjutnya disuntikkan
obat analgesik ke dalam ruang arachnoid tersebut.14,18,19
Gambar 7 : Posisi Lateral pada Spinal Anestesi19
36
Gambar 8 : Posisi Duduk pada Spinal Anestesi19
Teknik penusukan bisa dilakukan dengan dua pendekatan yaitu median dan
paramedian. Pada teknik medial, penusukan dilakukan tepat di garis tengah dari
sumbu tulang belakang. Pada tusukan paramedial, tusukan dilakukan 1,5cm lateral
dari garis tengah dan dilakukan tusukan sedikit dimiringkan ke kaudal.19
Gambar 9 : Tusukan Medial dan Paramedial19
37
Setelah melakukan penusukan, tindakan berikutnya adalah melakukan
monitoring. Tinggi anestesi dapat dinilai dengan memberikan rangsang pada
dermatom di kulit. Penilaian berikutnya yang sangat bermakna adalah fungsi motoric
pasien dimana pasien merasa kakinya tidak bisa digerakkan, kaki terasa hangat,
kesemutan, dan tidak terasa saat diberikan rangsang. Hal yang perlu diperhatikan lagi
adalah pernapasan, tekanan darah dan denyut nadi. Tekanan darah bisa turun drastis
akibat spinal anestesi, terutama terjadi pada orang tua yang belum diberikan loading
cairan. Hal itu dapat kita sadari dengan melihat monitor dan keadaan umum pasien.
Tekanan darah pasien akan turun, kulit menjadi pucat, pusing, mual, berkeringat.19
Gambar 10 : Lokasi Dermatom Sensoris19
VIII. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ANESTESI SPINAL
Anestesia spinal dipengaruhi oleh beberapa factor. Diantaranya adalah :
Volume obat analgetik lokal: makin besar makin tinggi daerah analgesia
Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia
38
Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas daerah
analgetik.
Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang tinggi.
Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan: 3 detik untuk 1 ml larutan.
Manuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal dengan
akibat batas analgesia bertambah tinggi.
Tempat pungsi: pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik cenderung
berkumpul ke kaudal (saddle blok) pungsi L2-3 atau L3-4 obat cenderung
menyebar ke cranial.
Berat jenis larutan: hiperbarik, isobarik atau hipobarik
Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama didapat batas
analgesia yang lebih tinggi.
Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin besar
dosis yang diperlukan.(BB tidak berpengaruh terhadap dosis obat)
Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya larutan analgetik
sudah menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah dengan posisi
pasien.15
IX. MASALAH KLINIS PADA ANESTESI SPINAL
Pada praktik sehari-hari dapat ditemukan masalah saat melakukan anestesi
spinal, berikut adalah pendekatan dari beberapa masalah yang lazim ditemukan saat
melakukan anestesi spinal :
1. Jarum terasa sudah menembus bagian yang seharusnya tetapi belum ada cairan yang
keluar : Saat menemukan situasi seperti ini, tunggu kurang lebih 30 detik, kemudian
coba putar 90 derajat jarum tersebut. Jika masih belum didapatkan LCS, dapat
dilakukan injeksi udara 1cc untuk mendorong jika ada sumbatan pada jarum.
2. Terdapat darah yang keluar melalui jarum : tunggu sesaat, jika perdarahan berhenti,
lanjutkan prosedur. Jika darah terus menetes, kemungkinan saat penusukan mengenai
vena epidural. Jarum harus digerakkan lebih kedalam, atau diarahkan sedikit lebih
medial.
3. Pasien merasa nyeri tajam di kaki : kemungkinan jarum mengenai radiks saraf. Segera
cabut jarum dan ulang tusukan dengan arah lebih ke medial dari tempat tusukan awal.
39
4. Jarum terasa menusuk tulang : perhatikan kembali posisi pasien apakah saat dilakukan
penusukan, pasien kurang melakukan fleksi tubuh sehingga celah menjadi sempit.
Perlu juga menenangkan pasien karena umumnya pasien melakukan ekstensi saat
menahan nyeri tusukan saat awal jarum mengenai kulit.19
X. KOMPLIKASI TINDAKAN ANESTESI SPINAL
Saat melakukan anestesi spinal ada beberapa komplikasi yang harus
diperhatikan. Sesuai dengan kerja obat dan pengaruhnya pada siste tubuh seperti.
Beberapa komplikasi tersebut diantaranya adalah :
1. Komplikasi Kardiovaskular
Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah 10-40%. Hipotensi
terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang menyebabkan terjadi penurunan
tekanan arteriola sistemik dan vena, makin tinggi blok makin berat hipotensi. Cardiac
output akan berkurang akibat dari penurunan venous return. Hipotensi yang signifikan
harus diobati dengan pemberian cairan intravena yang sesuai dan penggunaan obat
vasoaktif seperti efedrin atau fenilefedrin. Cardiac arrest pernah dilaporkan pada
pasien yang sehat pada saat dilakukan anestesi spinal. Henti jantung bisa terjadi tiba-
tiba biasanya karena terjadi bradikardia yang berat walaupun hemodinamik pasien
dalam keadaan yang stabil.
Pada kasus seperti ini,hipotensi atau hipoksia bukanlah penyebab utama dari
cardiac arrest tersebut tapi ia merupakan dari mekanisme reflek bradikardi dan asistol
yang disebut reflek Bezold-Jarisch. Pencegahan hipotensi dilakukan dengan
memberikan infuse cairan kristaloid (NaCl, Ringerlaktat) secara cepat sebanyak 10-
15ml/kgbb dalam 10 menit segera setelah penyuntikan anesthesia spinal. Bila dengan
cairan infuse cepat tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati dengan vasopressor
seperti efedrin intravena sebanyak 19 mg diulang setiap 3-4 menit sampai mencapai
tekanan darah yang dikehendaki. Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah balik
berkurang atau karena blok simpatis,dapat diatasi dengan sulfas atropine 1/8-1/4mg
IV. 14,18,19
2. Blok Tinggi atau Total
Anestesi spinal tinggi atau total terjadi karena akibat dari kesalahan
perhitungan dosis yang diperlukan untuk satu suntikan. Komplikasi yang bisa muncul
40
dari hal ini adalah hipotensi, henti nafas, penurunan kesadaran, paralisis motor, dan
jika tidak diobati bisa menyebabkan henti jantung. Akibat blok simpatetik yang cepat
dan dilatasi arterial dan kapasitas pembuluh darah vena, hipotensi adalah komplikasi
yang paling sering terjadi pada anestesi spinal. Hal ini menyebabkan terjadi
penurunan sirkulasi darah ke organ vital terutama otak dan jantung, yang cenderung
menimbulkan sequel lain.
Penurunan sirkulasi ke serebral merupakan faktor penting yang menyebabkan
terjadi henti nafas pada anestesi spinal total. Walau bagaimanapun, terdapat
kemungkinan pengurangan kerja otot nafas terjadi akibat dari blok pada saraf somatic
interkostal. Aktivitas saraf phrenikus biasanya dipertahankan. Berkurangnya aliran
darah ke serebral mendorong terjadinya penurunan kesadaran. Jika hipotensi ini
tidak di atasi, sirkulasi jantung akan berkurang seterusnya menyebabkan terjadi
iskemik miokardiak yang mencetuskan aritmia jantung dan akhirnya menyebakan
henti jantung. Pengobatan yang cepat sangat penting dalam mencegah terjadinya keadaan yang
lebih serius, termasuk pemberian cairan, vasopressor, dan pemberian oksigen
bertekanan positif. Setelah tingkat anestesi spinal berkurang, pasien akan kembali ke
kedaaan normal seperti sebelum operasi. Namun, tidak ada sequel yang permanen
yang disebabkan oleh komplikasi ini jika diatasi dengan pengobatan yang cepat dan tepat. 14,18,19
3. Komplikasi Sistem Respirasi
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dari system respirasi saat melakukan
anestesi spinal adalah :
Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila fungsi
paru-paru normal.
Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok spinal
tinggi.
Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karena
hipotensi berat dan iskemia medulla.
Kesulitan bicara, batuk kering yang persisten, sesak nafas, merupakan
tanda-tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani
dengan pernafasan buatan.14
41
4. Komplikasi Gastointestinal
Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis berlebihan,
pemakaian obat narkotik, reflek karena traksi pada traktus gastrointestinal serta
komplikasi delayed, pusing kepala pasca pungsi lumbal merupakan nyeri kepala
dengan ciri khas terasa lebih berat pada perubahan posisi dari tidur ke posisi tegak.
Mulai terasa pada 24 - 48 jam pasca pungsi lumbal, dengan kekerapan yang
bervariasi. Pada orang tua lebih jarang dan pada kehamilan meningkat. Untuk
menangani komplikasi ini dapat diberikan obat tambahan yaitu ondansetron atau
diberikan ranitidine. 14,18,19
5. Nyeri Kepala (Puncture Headache)
Komplikasi yang paling sering dikeluhkan oleh pasien adalah nyeri kepala.
Nyeri kepala ini bisa terjadi selepas anestesi spinal atau tusukan pada dural pada
anestesi epidural. Insiden terjadi komplikasi ini tergantung beberapa faktor seperti
ukuran jarum yang digunakan.Semakin besar ukuran jarum semakin besar resiko
untuk terjadi nyeri kepala. Selain itu, insidensi terjadi nyeri kepala juga adalah tinggi
pada wanita muda dan pasien yang dehidrasi. Nyeri kepala post suntikan biasanya
muncul dalam 6 –48 jam selepas suntikan anestesi spinal. Nyeri kepala yang
berdenyut biasanya muncul di area oksipital dan menjalar ke retroorbital, dan sering
disertai dengan tanda diplopia, mual, dan muntah. Tanda yang paling signifikan nyeri
kepala spinal adalah nyeri makin bertambah bila pasien dipindahkan atau berubah
posisi dari tiduran/supinasi ke posisi duduk, dan akan berkurang atau hilang total bila
pasien tiduran.
Terapi konservatif dalam waktu 24 –48 jam harus dicoba terlebih dahulu
seperti tirah baring, rehidrasi (secara cairan oral atau intravena), analgesic, dan suport
yang kencang pada abdomen. Tekanan pada vena cava akan menyebabkan terjadi
perbendungan dari plexus vena pelvik dan epidural, seterusnya menghentikan
kebocoran dari cairan serebrospinal dengan meningkatkan tekanan extradural. Jika
terapi konservatif tidak efektif, terapi yang aktif seperti suntikan salin ke dalam
epidural untuk menghentikan kebocoran. 14,18,19
42
6. Komplikasi Sistem Respirasi
Komplikasi yang kedua paling sering adalah nyeri punggung akibat dari
tusukan jarum yang menyebabkan trauma pada periosteal atau ruptur dari struktur
ligament dengan atau tanpa hematoma intraligamentous. Nyeri punggung akibat dari
trauma suntikan jarum dapat di obatisecara simptomatik dan akan menghilang dalam
beberapa waktu yang singkat saja. 14,18,19
7. Komplikasi Sistem Respirasi
Insidensi defisit neurologi berat dari anestesi spinal adalah rendah. Komplikasi
neurologik yang paling benign adalah meningitis aseptik. Sindrom ini muncul dalam
waktu 24 jam setelah anestesi spinal ditandai dengan demam, rigiditas nuchal dan
fotofobia. Meningitis aseptic hanya memerlukan pengobatan simptomatik dan
biasanya akan menghilang dalam beberapa hari. Sindrom cauda equina muncul
setelah regresi dari blok neuraxial. Sindrom ini mungkin dapat menjadi permanen atau
bisa regresi perlahan-lahan setelah beberapa minggu atau bulan. Ia ditandai dengan
defisit sensoris pada area perineal, inkontinensia urin dan fekal, dan derajat yang
bervariasi pada defisit motorik pada ekstremitas bawah. Komplikasi neurologic yang
paling serius adalah arachnoiditis adesif. Reaksi ini biasanya terjadi beberapa minggu
atau bulan setelah anestesi spinal dilakukan. Sindrom ini ditandai oleh defisit sensoris
dan kelemahan motorik pada tungkai yang progresif.
Pada penyakit ini terdapat reaksi proliferatif dari meninges dan vasokonstriksi
dari vasculature korda spinal. Iskemia dan infark korda spinal bisa terjadi akibat dari
hipotensi arterial yang lama. Penggunaan epinefrin didalam obat anestesi bisa
mengurangi aliran darah ke korda spinal. Kerusakan pada korda spinal atau saraf
akibat trauma tusukan jarum pada spinal maupun epidural, kateter epidural atau
suntikan solution anestesi lokal intraneural sangat jarang, tapi tetap mungkin terjadi.
Perdarahan subaraknoid yang terjadi akibat anestesi regional sangat jarang
berlaku karena ukuran yang kecil dari struktur vaskular mayor didalam ruang
subaraknoid. Hanya pembuluh darah radikular lateral merupakan pembuluh darah
besar di area lumbar yang menyebar keruang subaraknoid dari akar saraf. Sindrom
spinal-arteri anterior akibat dari anesthesia adalah jarang. Tanda utamanya adalah
kelemahan motorik pada tungkai bawah karena iskemia pada 2/3 anterior bawah
korda spinal. Kehilangan fungsi sensoris tidak merata adalah efek sekunder dari
43
nekrosis iskemia pada akar posterior saraf dan bukan akibat dari kerusakan didalam
korda itu sendiri. Terdapat tiga penyebab terjadinya sindrom spinal-arteri: kekurangan
suplai darah ke arteri spinal anterior karena terjadi gangguan suplai darah dari arteri-
arteri yang terganggu oleh operasi, kekurangan aliran darah dari arteri karena
hipotensi yang berlebihan, dan gangguan aliran darah sama ada dari kongesti vena
mahu pun obstruksi aliran.
Anestesi regional merupakan penyebab yang mungkin yang menyebabkan terjadinya
sindrom spinal-arteri anterior oleh beberapa faktor. Contohnya anestesi spinal
menggunakan obat anestesi lokal yang dicampurkan dengan epinefrin. Jadi
kemungkinan epinefrin yang menyebabkan vasokonstriksi pada arteri spinal anterior
atau pembuluh darah yang memberikan bekalan darah. Hipotensi yang kadang timbul
setelah anestesi regional dapat menyebabkan kekurangan aliran darah.
Infeksi spinal sangat jarang kecuali dari penyebaran bakteri secara hematogen
yang berasal dari fokal infeksi di tempat lain. Jika anestesi spinal diberikan kepada
pasien yang mengalami bakteriemia, terdapat kemungkinan terjadi penyebaran bakteri
ke medulla spinalis. Maka penggunaan anestesi spinal padapasien dengan bakteremia
merupakan kontra indikasi relatif.
Jika infeksi terjadi di dalam ruang subaraknoid, akan menyebabkan
araknoiditis. Tanda yang paling menonjol pada komplikasi ini adalah nyeri punggung
yang berat, nyeri lokal, demam, leukositosis, dan rigiditas nuchal. Oleh karena itu,
tidak diperbolehkan jika menggunakan anestesi regional pada pasien yang mengalami
infeksi kulit lokal pada area lumbal atau yang menderita selulitis. Pengobatan bagi
komplikasi ini adalah dengan pemberian antibiotik dan drainase jika perlu.14,18,19
8. Komplikasi Traktus Urinarius
Disfungsi kandung kemih dapat terjadi selepas anestesi umum maupun
regional. Fungsi kandung kencing merupakan bagian yang fungsinya kembali paling
akhir pada analgesia spinal, umumnya berlangsung selama 24 jam. Kerusakan saraf
pemanen merupakan komplikasi yang sangat jarang terjadi.
Pencegahan
Pakailah jarum lumbal yang lebih halus (no. 23 atau no. 25).
Posisi jarum lumbal dengan bevel sejajar serat duramater.
Hidrasi adekuat, minum/infuse 3L selama 3 hari.
44
Pengobatan
Posisi berbaring terlentang minimal 24 jam
Hidrasi adekuat.
Hindari mengejan.
Bila cara diatas tidak berhasil pertimbangkan pemberian epidural blood patch
yakni penyuntikan darah pasien sendiri 5-10 ml ke dalam ruang epidural.
Cara ini umumnya memberikan hasil yang nyata/segera (dalam waktu
beberapa jam) pada lebih dari 90% kasus.14
45
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada pasien ini didiagnosis appendicitis dengan status fisik ASA II dan akan
dilakukan tindakan pembedahan berupa appendectomy. Pada pembedahan tersebut akan
dilakukan anestesi spinal (Subarachnoid block) karena memenuhi indikasi untuk
dilakukannya anestesi spinal, yaitu bedah abdomen bawah. Pada tindakan pembedahan
tersebut juga tidak terdapat kontraindikasi dari anestesi spinal. Atas dasar tersebut maka,
anestesi spinal menjadi pilihan.
Obat-obatan premedikasi yang diberikan adalah oxtercid 1 vial diberikan pada pasien
ini sebagai profilaksis.
Induksi anestesi pada kasus ini menggunakan anestesi lokal yaitu bupivacaine
sebanyak 1 ampul. Kerja bupivacain adalah dengan menghambat konduksi saraf yang
menghantarkan impuls dari saraf sensoris. Kebanyakan obat anestesi lokal tidak memiliki
efek samping maupun efek toksik secara berarti. Pemilihan obat anestesi lokal disesuaikan
dengan lama dan jenis operasi yang akan dilakukan.
Efedrin HCL sebanyak 50mg diberikan atas indikasi bahwa pada awal perjalanan
operasi, pasien mengalami penurunan tekanan darah. Hal ini merupakan efek fisiologis dari
anestesi spinal yaitu adanya blok simpatis sehingga terjadi penurunan tekanan darah. Efedrin
merupakan vasopresor, yang bekerja dengan menstimulasi reseptor alfa dan beta, sehingga
berakibat peningkatan heart rate, tekanan darah. Selain itu efedrin juga memiliki efek
terhadap relaksasi otot polos bronkus dan saluran cerna, serta dilatasi pupil. Dosis efedrin
sekali pemberian adalah 5-10 mg dapat diulang minimal setelah 10 menit.
Terapi cairan
Pasien puasa ± 8 jam, kekurangan cairan dipelihara dengan memberikan cairan infus
Untuk kebutuhan sebelum operasi:
Pengganti puasa = 8 x 100 = 800 cc/jam
Untuk kebutuhan selama operasi berlangsung:
BB = 50 kg
Maintenance 2 cc/kgBB/jam = 2 x 50 = 100 cc/jam
Stress operasi (ringan) 4cc/kgBB/jam = 4 x 50 = 200 cc/jam
Perdarahan <20 % EBV tidak perlu transfusi, cukup diganti dengan kristaloid
46
Pemberian Cairan :
Kebutuhan cairan selama operasi ringan 30 menit = maintenance + stress operasi
= 100 + 200
= 300 cc/ jam
= 150 cc untuk 30 menit
Operasi berlangsung selama 40 menit, sehingga kebutuhan cairan pasien
adalah sebanyak 200 cc. Kemudian setelah dilakukan operasi diketahui jumlah
perdarahan pada kasus ini yaitu sebanyak 60 cc. Menurut perhitungan, perdarahan
yang lebih dari 20 % Estimated Blood Volume (EBV) harus dilakukan tindakan
pemberian transfusi darah. Pada pasien ini, perkiraan perdarahan adalah 60 cc, dimana
EBV-nya adalah 3500 cc.
EBV perempuan dewasa = 70 cc/kgBB
= 50 x 70 cc = 3500 cc
Sehingga didapatkan jumlah perdarahan (% EBV) adalah 1,71 %
% EBV = 60/3500 x 100 % = 1,71 %
Oleh karena perdarahan pada kasus ini kurang dari 20% EBV maka tidak
diperlukan tranfusi darah. Dengan pemberian cairan rumatan (koloid 1flab) sudah
cukup untuk menangani banyaknya perdarahan.
Untuk kebutuhan cairan di bangsal, perhitungannya adalah sebagai berikut :
1. Maintenance 2 cc/kgBB/jam = 50 x 2 cc = 100 cc/jam
2. Sehingga jumlah tetesan yang diperlukan jika mengunakan infuse 1 cc ~
20 tetes adalah 100/60 x 20 tetes = 33 tetes/menit
Post operatif
Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke recovery room. Observasi post operasi dengan
dilakukan pemantauan secara ketat meliputi vital sign (tekanan darah, nadi, suhu dan
respirasi). Oksigen tetap diberikan 2-3 liter/menit.
Dari hasil Aldrete score di dapatkan :
47
Aldrete Score Point Nilai Pada Pasien
Motorik 4 ekstermitas 2 √
2 ekstremitas 1
- 0
Respirasi Spontan + batuk 2 √
Nafas kurang 1
- 0
Sirkulasi Beda <20% 2 √
20-50% 1
>50% 0
Kesadaran Sadar penuh 2 √
Ketika dipanggil 1
- 0
Kulit Kemerahan 2 √
Pucat 1
Sianosis 0
Total 10
Apabila total Aldrete score >7 pasien sudah dapat dipindah ke bangsal. Pada saat
malam hari post operasi.
Sistem Pernapasan
Respiratory Rate : 20 x/mnt
Sistem Sirkulasi
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Nadi : 80x/mnt
Sistem Saraf Pusat
GCS : 15
Sistem Perkemihan
DBN
Sistem Pencernaan
Bising usus: 6x/mnt
Sistem Muskuloskeletal
DBN
48
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Ny.W, 33 tahun, BB 50 Kg, TB 150 cm Pasien pada kasus ini didiagnosis
dengan appendicitis yang ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dari
anamnesis didapatkan keluhan nyri di perut kanan bawah. Untuk rencana
penatalaksanaan pasien ini dengan operatif, teknik operatif appendectomy dengan
jenis anestesi regional.
Kebutuhan cairan selama operasi yaitu jumlah dari , pengganti puasa, maintenance
dan stress operasi (800 + 100 + 200 = 1100) untuk 1 jam pertama, pasien memerlukan
40 menit untuk operasi jadi memerlukan cairan 734 cc. Selama proses operasi tidak
terjadi masalah gejolak hemodinamik.
Di ruang pemulihan (recovery room), vital sign pasien dalam batas normal dan
nilai bromage scorenya 1 sehingga pasien selanjutnya bisa dipindahkan ke bangsal.
Saran
a. Persiapan preoperatif pada pasien perlu dilakukan agar proses anestesi dapat
berjalan dengan baik
b. Perhatikan kebutuhan cairan pasien saat berlangsungnya operasi
c. Pemantauan tanda vital selama operasi terus menerus agar dapat melihat keadaan
pasien selama pasien dalam keadaan anesthesia.
49
DAFTAR PUSTAKA
1. Besrnards CM, Epidural and Spinal Anesthesia. In : Handbook of Clinical Anesthesia,
editor : Barrash PG, Gullen BF, Stoelting RK, Philadelpia, Lippincott Williams and
Wilkins, 2001.
2. Brown DL, Spinal, Epidural and Caudal anesthesia. In : Anesthesia, editor : Miller RD,
ed 5 th, Volume 1, California, Churchill Livingstone, 2000.
3. Anesthetic system dalam Miller RD: Inesthesia. New York. Curehill Hyingstone 2007 p. 185-
206.
4. Sjamsuhidajat, R., De Jong, W. 2004. Usus Halus, Apendiks, Kolom, dan Anorektum
dalam Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC. h: 639-45.
5. Cunha, J.P. 2012.Appendicitis. Diakses pada tanggal 18 Februari 2012 dari
http://www.emedicinehealth.com/appendicitis/page3_em.htm
6. Brunicardi, F.C., Anderson, D.K., Billiar, T.R., Dum, D.L., Hunter, J.G., Mathews,
J.B., Podlock, R.E., 2010. The Appendix dalam Schwartz's Principles of Surgery9th Ed.
USA:The McGraw Hill Companies. p: 2043-74.
7. Grace, P.A., Borley, N.R. Apendisitis Akut dalam At A Glance. Jakarta: Erlangga;
2006. p:106.
8. Moore, K.L., Anne, M.R. 2002. Abdomen dalam Anatomi Klinis Dasar. Jakarta:
Hipokrates. h:109.
9. Saputra, L. 2002. Mulut dan Gastrointestinal dalam Intisari Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta: Binarupa Aksara. h:380.
10. Kumar, V., Cotran, R.S., Robbins, A.L., 2007. Rongga Perut dan Saluran
Gastrointestinal dalam Buku Ajar Patologi Ed.7. Jakarta: EGC. h:660-61.
11. Tjandra, J.J., 2006. The Appendix and Meckel’s Diverticulum dalam Textbook of
Surgery 3rd Ed. UK: Blackwell Publishing Ltd. p:179.
12. Morris, J.A., Sawyer. J.L. 1995.Abdomen Akuta dalam Buku Ajar Bedah (Sabiston’s
Essential Surgery). Jakarta:EGC. h:497.
13. Medscape Reference [Internet] Subarachnoid Spinal Block [Updated on Aug, 5, 2013]
Available at http://emedicine.medscape.com/article/2000841-overview. Accessed on
2015 Jun 15
50
14. S, Kristanto, Anestesia Regional; Anestesiologi.- Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia – Jakarta : CV. Infomedika, 2004;
123
15. S, Kristanto, Anestesia Regional; Anestesiologi.- Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia – Jakarta : CV. Infomedika, 2004;
125-8
16. Netter, H Franks, Interactive Digital Atlas Anatomy [Digital E-Book], Vertebral
Column, Section. Icon Learning System, Rochester : Section #146.
17. Netter, H Franks, Interactive Digital Atlas Anatomy [Digital E-Book], Vertebral
Column, Section. Icon Learning System, Rochester : Section #154A
18. NYSORA – New York School of Regional Anesthesia, [Internet] Subarachnoidal
Block [Last Update Oct 4 2013], Available at
http://www.nysora.com/techniques/neuraxial-and-perineuraxial-techniques/landmark-
based/spinal-epidural-cse/3423-spinal-anesthesia.html, Accessed on 2015, June 15
19. University of Pittsburgh Online Reference [Internet] Subarachnoid spinal block
anesthesia. [Last Update Jan 2013]. Available at
http://www.pitt.edu/~regional/Spinal/Spinal.htm. Accessed on 2015, June 15
20. Gan Gunawan, Sulistya et al. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta; Balai
Penerbit FKUI, 259-72.
21. Khangure, Nicole in TOTW Anesthesia.- World Federation of Societies of
Anesthesiologist [Internet Journal] Neuraxial Anesthesia Adjuvant [Last Update on
July 4 2011] Available
at .http://totw.anaesthesiologists.org/wp-content/uploads/2011/07/230-Neuraxial-
adjuvants.pdf
22. Christiansson, Lennart in Periodicum Biologorum; Update on Adjuvant in Regional
Anesthesi; UDC 57:61, CODEN PDBIAD, 2009, VOL. 111, No 2, 161–70.
23. G. Edward Morgan, Jr., Maged S. Mikhail, Michael J. Murray. Clinical Anesthesiology
4th Edition [Digital E-Book] Section Spinal, Epidural and Caudal Anesthesia; Appleton
and Lange, 2005. California: McGraw-Hill Publishing.
51