kandungan ikan laut

Upload: ratna-wijayanti

Post on 09-Oct-2015

69 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Gizi

TRANSCRIPT

  • 7

    TINJAUAN PUSTAKA

    Ikan Laut sebagai Produk Pangan

    Ikan Laut dan Produk Olahannya

    Ikan laut, sebagai salah satu hasil perikanan tangkap, merupakan sumber protein bagus, bermutu tinggi, memiliki sedikit lemak jenuh namun kaya akan berbagai gizi mikro penting yang diperlukan manusia. Ikan laut merupakan sumber utama asam lemak tak jenuh omega-3, EPA (eicosapentaenoic acid) dan DHA (docosahexaenoic acid) (Burroughs & Burdge 2004) dan juga sumber fosfor, besi dan kalsium yang tinggi (Choo & Williams 2003). Omega-3 juga ditemukan di beberapa minyak sayur, minyak kacang dan minyak cereal, hanya saja tidak sebanyak di ikan laut (Nesheim & Yaktine 2007). Selain itu ikan laut memiliki mutu cerna dan daya manfaat tinggi. Artinya seluruh kandungan protein bahan pangan tersebut dapat dicerna dengan lebih mudah dan diserap usus untuk dapat dimanfaatkan tubuh manusia dibandingkan dengan protein yang berasal dari daging hewan (Muchtadi 1996). EPA dan DHA dipercaya berperan penting dalam meningkatkan perkembangan syaraf pada janin dan bayi, menguatkan kehamilan dan menurunkan resiko terjadinya penyakit jantung (Burdge 2004). Tabel 1 Fungsi berbagai zat gizi mikro di ikan laut bagi manusia No Zat Gizi Fungsi 1 Vitamin A Diperlukan untuk pertumbuhan & perkembangan jaringan-

    jaringan epithelium, syaraf & tulang 2 Vitamin D Pengatur utama metabolisme mineral (kalsium & fosfor) tulang 3 Fosfor Unsur pokok tulang dan gigi 4 Besi Heme enzymes (hemoglobin dll) 5 Yodium Berpengaruh dalam transportasi & metabolisme hormon thiroid 6 Kalsium Penyusun tulang dan gigi, pengatur syaraf dan fungsi otot 7 EPA Penting untuk keutuhan jaringan mitokondrial, berperan dalam

    pembentukan prostaglandin & leukotriene 8 DHA Zat gizi penting bagi otak dan retina

    Sumber: Choo & Williams 2003

    Fungsi dari berbagai zat gizi mikro yang dikandung ikan laut dapat dilihat pada Tabel 1. Sebagai negara bahar dengan luas laut 81% dari luas keseluruhan, Indonesia memiliki berbagai jenis ikan laut. Jenis ikan hasil perikanan tangkap di laut dikelompokkan menjadi kelompok ikan, kelompok binatang berkulit keras berkulit lunak (Molluscs), kelompok binatang air lainnya

  • 8

    dan kelompok tumbuhan air (DKP 2008). Tidak di setiap daerah di Indonesia terdapat semua jenis ikan laut. Tabel 2 menunjukkan berbagai jenis ikan laut yang terdapat di salah satu daerah tempat penelitian ini (Kabupaten Jepara, Jawa Tengah), diurutkan sesuai dari yang terbanyak (BPS Kabupaten Jepara 2008). Nama latin ikan laut terdapat pada Lampiran 6. Tabel 2 Jumlah produksi ikan laut basah menurut jenis ikan laut Tahun 2007

    di Kabupaten Jepara No. Jenis ikan Produksi (ton) Harga rata-rata per kg

    (Rp.) 1 Teri 662,2 6 985 2 Kembung 264,8 5 240 3 Pari 215,2 3 889 4 Tongkol 262,1 6 187 5 Layur 30,3 5 157 6 Manyung 88,7 5 535 7 Blanak 11,0 8 806 8 Petek 98,0 1 500 9 Cucut 66,7 7 609

    10 Baronang 27,6 5 691 11 Ekor kuning 200,5 11 274 12 Kerapu karang 16,0 19 939 13 Selar 22,7 7 153 14 Kakap merah 11,2 17 294 15 Kuwe 54,0 7 701 16 Tembang 32,6 2 066 17 Kerapu sunu 33,5 77 034 18 Bandeng 1,6 15 400 19 Ikan lainnya 3278,4 2 823

    Sumber: BPS Kabupaten Jepara 2008

    Sebagai bahan pangan, ikan laut hadir di pasar dalam berbagai bentuk perlakuan yaitu dalam bentuk segar, diawetkan, dibekukan, dikalengkan dan di-buat tepung ikan (DKP 2008). Dari perlakuan tersebut diperoleh hasil olahan se-perti tertera pada Tabel 3. Ikan segar merupakan ikan mentah yang tidak busuk dan belum diolah. Biasanya ikan segar telah mengalami beberapa perlakuan yaitu pencucian dan penyiangan atau tanpa penyiangan, pendinginan dan pengemasan (SNI 1992). Ikan segar sangat mudah mengalami proses pem-busukan. Untuk menanggulanginya, ikan perlu diolah dari bentuk segarnya. Selain dapat meningkatkan nilai tambah, pengolahan ikan juga merupakan aplikasi proses pengawetan yang bertujuan mencegah kerusakan pada ikan segar, dengan menghambat pertumbuhan bakteri penyebab kerusakan. Ikan asin adalah pangan awetan yang diolah dengan cara penggaraman dan pengeringan. Ikan pindang adalah ikan awetan dengan kadar garam rendah yang pengolahannya merupakan gabungan antara penggaraman dan perebusan sehingga memberikan rasa yang khas. Ikan kaleng didefinisikan sebagai jenis

  • 9

    ikan olahan yang diawetkan dan dikemas secara hermetis (kedap terhadap udara, air, mikroba dan benda asing lainnya) dalam suatu wadah, kemudian disterilkan (Deputi Merinstek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 2000). Tabel 3 Standar klasifikasi perlakuan produksi dan hasil olahan perikanan tangkap

    No Jenis perlakuan Jenis hasil olahan 1 Dipasarkan segar Segar/ mati

    Utuh/ dipotong-potong 2 Diawetkan

    a. Dikeringkan/ diasin b. Dipindang c. Peragian

    Dibuat terasi Dibuat peda Dibuat kecap

    d. Diasap e. Lain-lain

    a.Ikan kering,ikan asin b.Ikan pindang c.Produk Terasi Ikan peda Kecap ikan d.Ikan asap e.Krupuk, dendeng

    3 Pembekuan Ikan beku (utuh/dipotong-potong)

    4 Dikalengkan Ikan kaleng 5 Penepungan Tepung ikan

    Sumber: Departemen Kelautan dan Perikanan 2008

    Secara umum, kandungan zat gizi dari produk-produk ikan laut disajikan pada Tabel 4. Dari beberapa produk ikan laut, secara umum yang memiliki kandungan protein tertinggi adalah ikan asin dan yang terkecil adalah ikan segar. Hanya saja pada umumnya ikan asin dikonsumsi dalam jumlah yang jauh lebih sedikit daripada ikan segar.

    Tabel 4 Perbandingan kandungan zat gizi yang terdapat pada beberapa produk ikan laut per 100 gr produk Kandungan Zat Gizi

    Produk Ikan Laut Ikan segar Ikan asin Ikan kaleng Ikan pindang

    Air (%) 80,0 40,0 47,0 59,0 Kalori (kal) 113,0 193,0 338,0 157,0 Protein (%) 17,0 42,5 21,1 28,0 Lemak (%) 4,5 1,5 27,0 4,2 Kalsium (mg/100g) 20,0 200,0 354,0 50,0 Fosfor (mg/100g) 200,0 300,0 434,0 100,0 Besi (mg/100g) 1,0 2,5 3,5 1,0 Vit A (S1/1-g) 150,0 - 250,0 150,0 Vit B (mg/100g) 0,05 0,01 0,1 01

    Sumber: Direktorat Gizi Departemen Kesehatan Republik Indonesia 1979.

    WHO (1997) merekomendasikan untuk menghemat konsumsi ikan asin yang didasarkan pada data yang berkaitan dengan diet dan penyakit kanker.

  • 10

    Umumnya garam yang ditambahkan untuk pengawetan di bahan pangan, paling banyak terdapat di ikan asin, yaitu berkisar 5-10 gr/100 gr ikan, dibandingkan penggaraman di daging lebih sedikit yaitu 2-6 gr/100 gr daging dan di roti bervariasi antara 1,5 hingga 4 gr/100 gr roti.

    Ikan Laut dan Manfaatnya

    Berbagai penelitian tentang pengaruh ikan laut terhadap kesehatan manusia telah banyak dilakukan, mulai dari pengaruh ke janin hingga ke orangtua. Konsumsi DHA ke ibu hamil ternyata mempengaruhi kandungan DHA pada darah dan ASI (Al et al. 1995). Aliran DHA ke placenta meninggi dengan meningkatnya konsumsi DHA (Haggarty et al. 1999). Jadi peningkatan konsen-trasi DHA pada darah ibu hamil meningkatkan ketersediaan DHA untuk janin. Status DHA pada ibu hamil dapat mempengaruhi ketersediaan suplai DHA ke otak janin, organ-organ dan jaringan-jaringan lainnya (Clandinin et al. 1980). Pengembangan syaraf janin secara optimum tergantung pada nutrisi spesifik, termasuk DHA. Rendahnya konsumsi ikan laut selama ibu hamil menyebabkan janin mengalami kekurangan asam lemak esensial omega-3 yang dapat meng-akibatkan gangguan pada perkembangan syaraf janin (Salem et al. 2001). Se-mentara pengembangan syaraf yang kurang optimum lebih banyak dialami anak dari ibu yang mengonsumsi ikan laut kurang dari hasil penelitian Hibbeln et al. (2007), yaitu 340 gr ikan/minggu dibandingkan dengan yang dialami anak dari ibu yang mengonsumsi ikan laut lebih dari 340 gr ikan/minggu. Hasil penelitian pasca kelahiran mengkonfirmasi adanya hubungan antara DHA dan inteligensi pada anak dan rendahnya konsumsi DHA menyebabkan kerusakan otak atau mengurangi fungsi optimal otak manusia (Podell 1999). Anak-anak yang menga-lami hiperaktif atau yang mengalami gangguan kurang dapat berkonsentrasi cenderung mengalami kekurangan DHA.

    Penelitian McGregor (2001) menunjukkan bahwa kekurangan konsumsi omega-3 pada ibu hamil diperkirakan menyebabkan kelahiran bayi prematur. Studi Olsen dan Secher (2002) menunjukkan bahwa ibu hamil yang menghindari mengonsumsi ikan laut memiliki 7,1% resiko melahirkan bayi prematur, sedang ibu hamil yang mengonsumsi ikan seminggu sekali hanya beresiko 1,9%. Kandungan asam lemak essensial seperti DHA dan AA (arachidonic acid) pada ikan laut juga terdapat di ASI (Lawrence & Lawrence 1999). Hibbeln (2002) dalam ulasannya terhadap 41 penelitian menyimpulkan bahwa ada hubungan

  • 11

    nyata antara konsumsi ikan laut pada ibu hamil dan tingkat DHA pada ASI serta menurunnya prevalensi depresi pasca melahirkan. Menurunnya suasana hati pasca melahirkan tampaknya berhubungan dengan rendahnya tingkat omega-3 dan rendahnya kandungan DHA di dalam ASI berkorelasi dengan meningkatnya tingkat depresi pasca melahirkan. Timonen et al. (2004) yang melakukan studi longitudinal terhadap para ibu hamil hingga ibu berusia 31 tahun membuktikan bahwa para ibu yang jarang mengonsumsi ikan laut lebih sering mengalami depresi sepanjang waktu daripada para ibu yang secara teratur mengonsumsi ikan laut. Namun sebaliknya, Llorente et al. (2003) yang melakukan percobaan terhadap 44 ibu menyusui yang secara teratur mengonsumsi DHA setiap hari selama empat bulan menyusui dibandingkan dengan kelompok kontrol, tidak menemukan adanya perbedaan nyata antara kedua kelompok dalam diagnosa depresi pasca melahirkan.

    Para ahli gizi dalam Lokakarya Peranan Asam Lemak Esensial dalam Perkembangan Kecerdasan di Serpong, 14-15 Februari 1996 (Khomsan 2002), telah menyimpulkan bahwa asam lemak omega-3 yang terdapat pada ASI, ikan dan produk olahannya (termasuk minyak ikan) mempunyai peranan penting da-lam peningkatan kecerdasan anak. Percobaan Helland et al. (2001, 2003) yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh minyak ikan pada tingkat inteligensi anak menemukan bahwa anak-anak dari ibu yang mengonsumsi 2 gr/hari DHA dan EPA dari minyak ikan selama tiga bulan terakhir kehamilan memiliki skor IQ pada usia empat tahun lebih tinggi dibandingkan dengan skor IQ anak dari ibu yang menerima suplemen minyak jagung sebagai placebo effect. Tingginya kinerja kognitif bayi berhubungan nyata dengan tingginya konsumsi ikan laut ibu selama hamil hingga persalinan (Oken et al. 2005) dan semakin berkembangnya per-hatian anak (Colombo et al. 2004). Pengukuran IQ pada anak usia 8 tahun dari ibu yang mengonsumsi ikan laut selama kehamilannya dengan menggunakan tes WISC, Wechsler Intellegence Scale for Children, pengukur inteligensi yang terstandar, full-scale, verbal and performance intellegences, menunjukkan bahwa konsumsi ikan laut lebih dari 3 porsi seminggu selama ibu hamil tidak memberikan dampak buruk pada perkembangan dan perilaku anak (Daniels et al. 2004). Sebaliknya membatasi konsumsi ikan laut pada ibu hamil mengurangi konsumsi protein yang diperlukan untuk pengembangan syaraf bayi secara optimum (Hibbeln et al. 2007). Hasil penelitian ini sejalan dengan laporan yang menyatakan bahwa rendahnya konsumsi asam lemak omega-3 selama

  • 12

    keha-milan menurunkan IQ verbal anak (Helland et al. 2003, Whalley et al. 2004).

    Efek minyak ikan pertama kali ditegaskan pada tahun 1950an berdasarkan studi-studi lintas budaya yang dilakukan di pemukiman suku Inuits dan Danish di Greenland. Studi-studi tersebut menunjukkan bahwa secara signifikan kejadian penyakit jantung lebih rendah dialami masyarakat suku Inuits dibandingkan dengan masyarakat suku Danish. Fenomena ini disebutkan sebagai Eskimo Paradox. Kemudian studi epidemiologi yang dikerjakan pada tahun 1970an oleh seorang peneliti Danish yang berhipotesa bahwa rendahnya kejadian penyakit jantung di masyarakat Eskimo-Greenland berhubungan dengan tingginya kon-sumsi ikan laut (Bang et al. 1980). Studi tersebut membuktikan adanya korelasi yang kuat antara rendahnya penyakit jantung koroner yang dialami masyarakat suku Inuits dengan tingginya tingkat konsumsi ikan laut yang diketahui banyak mengandung asam lemak omega-3.

    Penyakit jantung merupakan penyebab utama kematian masyarakat Barat yang dihubungkan dengan tingginya konsumsi lemak, terutama konsumsi lemak jenuh, yang merupakan kebiasaan makan masyarakat Barat (Shahidi & Miraliakbari 2004). Selanjutnya di banyak penelitian telah terbukti bah-wa mengonsumsi ikan secara teratur berhubungan dengan penurunan ke-mungkinan terkena penyakit kronis. Kandungan tinggi yodium dan asam lemak omega-3 yang dimiliki ikan laut secara signifikan menurunkan tekanan darah, mengurangi resiko kematian mendadak akibat serangan jantung dan meningkat-kan pertumbuhan sel-sel otak (Choo and Williams 2003) serta menurunkan resiko penyakit jantung koroner, terutama kematian yang diakibatkan olehnya (Connor 2000). Studi terhadap perempuan dewasa oleh Iso et al. (2001) menunjukkan bahwa mengonsumsi ikan dua kali atau lebih per minggu akan mengurangi resiko terkena stroke sedang penelitian He et al. (2002) pada laki-laki dewasa membuktikan bahwa resiko terkena stroke tipe ischemic dapat diturunkan dengan mengonsumsi ikan laut cukup satu kali seminggu. Studi longitudinal yang dilakukan Hu et al. (2002) pada perempuan dengan meng-gunakan kuesioner dari tahun 1980, 1984, 1986, 1990, dan 1994, membuktikan bahwa bahwa konsumsi tinggi ikan laut dan asam lemak omega-3 menyebabkan turunnya resiko penyakit jantung koroner, sedang konsumsi kurang dari satu kali per minggu cenderung meningkatkan resiko penyakit. Setelah mengikuti penelitian selama 16 tahun dilaporkan bahwa dari 1513 kasus penyakit jantung

  • 13

    koroner, telah meninggal 484 orang, dan penyakit jantung tersebut lebih banyak dialami pada kelompok yang mengonsumsi ikan kurang dari satu kali per bulan. Kebiasaan mengonsumsi asam lemak omega-3 untuk mengurangi resiko kematian mendadak akibat penyakit jantung koroner dibenarkan oleh Dietary Guideline yang dikeluarkan oleh American Heart Association yang merekomendasikan individu untuk makan paling tidak dua porsi ikan, terutama fatty fish setiap minggunya (Albert et al. 2002, Kris-Etherton et al. 2003).

    Selain berkaitan dengan penyakit jantung, penelitian eksperimen dan studi epidemiologis telah menunjukkan bahwa konsumsi makanan yang mengandung asam lemak jenuh mempengaruhi terjadinya beberapa jenis penyakit kanker, seperti kanker prostat dan kanker payudara (Shahidi & Miraliakbari 2004). Penelitian Maillard et al. (2002) menunjukkan adanya kesehatan secara umum perempuan yang mengonsumsi cukup omega-3 seperti terhindar dari kanker payudara dan osteoporosis (Genuis & Schwalfenberg 2006). Kecukupan omega-3 pada ibu hamil dan ibu menyusui berhubungan dengan berkurangnya penyakit alergi (Sausenthaler et al. 2007) serta meningkatkan koordinasi mata dan tangan anaknya (Dunstan et al. 2006).

    Budaya makan ikan yang tinggi dalam masyarakat Jepang telah membuk-tikan terjadinya peningkatan kualitas kesehatan dan kecerdasan pada anak-anak di negara tersebut (Khomsan 2002). Oleh karena itu asam lemak omega-3 sangat dianjurkan untuk dikonsumsi oleh para ibu hamil dan menyusui, karena keduanya akan mempengaruhi kondisi janin di kandungan dan anaknya. Menurut Dahuri (1999) masyarakat di negara dengan tingkat konsumsi ikan yang tinggi, selain berkorelasi positif dengan tingkat kecerdasan masyarakat, penurunan kolesterol dan pencegahan berbagai penyakit degeneratif, juga menunjukkan tingkat harapan hidup yang relatif lebih lama yaitu mencapai sekitar 80 tahun. Tingginya usia harapan hidup masyarakat di negara dengan tingkat konsumsi ikan laut tinggi dapat dijelaskan dari adanya dampak positif mengonsumsi ikan laut yang menyebabkan kesehatan masyarakat semakin baik, dan kesehatan masyarakat yang baik merupakan salah satu faktor penting dalam memper-panjang usia harapan hidup.

    Namun selain manfaat yang telah dikemukakan di atas, perlu diperhatikan rekomendasi yang dikeluarkan WHO (1997), yaitu perlunya mengurangi kon-sumsi ikan asin, berkaitan dengan diet dan penyakit kanker. Metil merkuri seba-

  • 14

    gai kontaminan yang terkandung pada ikan laut tidak diragukan mengakibatkan efek kerusakan pada perkembangan otak, namun kerusakan yang terjadi tidak sebesar keseluruhan manfaat nutrisi yang diberikan ikan laut. Studi Hibbeln et al. (2007) menunjukkan bahwa resiko kehilangan manfaat gizi esensial pada perkembangan syaraf akibat penyajian konsentrasi kontaminan pada 340 gr ikan laut yang dikonsumsi tiap minggunya dapat terlampaui. Verbeke et al. (2008) dalam penelitiannya tentang Komunikasi resiko dan manfaat konsumsi ikan laut pada konsumen Belgia menyampaikan bahwa di dalam istilah kesehatan, konsumsi produk ikan laut sering dihubungkan dengan kontradiksi yang terjadi antara peningkatan gizi dan kemungkinan dampak toksikologi yang diperoleh konsumen. Manfaat kesehatan dari konsumsi ikan laut adalah adanya kandungan omega-3 dan vitamin D, sedang kemungkinan dampak toksikologi berasal dari kontaminan lingkungan seperti dioxin, methyl mercury dan polychlorinated biphenyls yang dapat menimbulkan gangguan pada kesehatan manusia, terutama pada ibu hamil, perkembangan janin, ibu menyusui, bayi dan kanak-kanak. Konsentrasi kontaminan sangat tergantung pada spesies ikan, metabolisme dan tempat asalnya yaitu kondisi lingkungan dimana ikan itu tinggal sebelum ditangkap. Oleh karena itu, walaupun telah terbukti manfaat ikan laut, Kris-Etherton et al. (2003) menyarankan untuk mengonsumsi berbagai jenis ikan laut untuk memperkecil dampak buruk potensial yang berkaitan dengan pencemaran lingkungan di laut.

    Pola Konsumsi Ikan Laut

    Semenjak dikaitkannya konsumsi ikan secara teratur dengan peluang menurunnya beberapa penyakit kronis, seperti penyakit jantung, maka terjadi peningkatan konsumsi ikan sesuai dengan kecenderungan menggunakan pola makan secara sehat (Verbeke & Vackier 2005). Penelitian Prell et al. (2002) menunjukkan bahwa pengkonsumsi ikan, yaitu para siswa sekolah usia 14 tahun, lebih dipuaskan karena rasa, tekstur daging dan penampilan ikan laut dan ber-pendapat bahwa masakan ikan laut itu sehat dan dapat diolah dengan baik.

    Kendala yang diperkirakan menghalangi seseorang mengonsumsi ikan laut adalah persepsi tentang kesulitan di dalam membeli, menyiangi dan mengolahnya, persepsi tentang harga yang mahal atau persepsi tentang sifat-sifat fisik dari beberapa jenis ikan laut yang tidak menyenangkan (Leek et al.

  • 15

    2000), seperti banyaknya duri dan bau amis yang ditimbulkannya (Bredahl & Grunert 1997, Prell et al. 2002). Selain itu rendahnya konsumsi ikan laut juga berkaitan dengan kendala berupa tidak stabilnya pasokan ikan dan kurangnya variasi mutu, serta begitu rendahnya tingkat perkembangan produk ikan yang dapat memenuhi harapan konsumen (Trondsen 1997a, Trondsen 1997b, Trondsen et al. 2003a). Penelitian di beberapa tempat di pulau Jawa juga me-nunjukkan bahwa persepsi yang dimiliki konsumen tentang bau ikan yang tidak menyenangkan (amis, anyir) lebih merupakan hambatan besar dalam mengon-sumsi ikan laut (Suparman 2003, Nurdianty 2004, Mardianty 2005).

    Berbagai pengetahuan di atas tentang manfaat ikan laut sebagai bahan pangan telah banyak diketahui masyarakat. Namun food choice merupakan suatu proses perilaku kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yang berbeda-beda. Secara keseluruhan food choice tidak hanya ditentukan oleh kebutuhan fisiologis dan pengetahuan mengenai berbagai zat gizi yang terkan-dung di dalamnya dan kebutuhan manusia akan zat gizi tersebut, melainkan juga dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial budaya (Shepherd 1999) atau kebutuhan sosial dan kebutuhan psikologis (Sijtsema 2003).

    Bagaimana dengan sikap positif individu terhadap pola makan sehat? Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan, kekuatan prediktif dari sikap dan keyakinan yang dimiliki individu mempunyai dampak terhadap pembentukan pola makan. Berbagai model food choice telah dikembangkan, seperti sikap internal individu mempengaruhi karakteristik sensori pangan (Roininen 2001) sedang bahan pangan itu sendiri, individu serta lingkungan sosial-ekonomi secara bersama-sama mempengaruhi food choice (Roininen 2001), yang semuanya dapat disatukan melalui sikap dan keyakinan individu. Tidak selamanya sikap positif seseorang terhadap suatu obyek akan sejalan dengan perilakunya yang positif terhadap obyek itu. Ada faktor-faktor lain yang juga mempengaruhi perilaku seseorang, sebagaimana diutarakan oleh Ajzen (1991), yaitu norma-norma yang dipegang individu, pengontrolannya terhadap obyek sikap serta kecenderungannya bertindak terhadap obyek sikap.

  • 16

    Perilaku Makan

    Pangan merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari dan beberapa hal yang berkaitan dengan pangan telah berubah secara drastis dalam kurun waktu satu abad ini. Sijtsema (2003) mencontohkan kisah hidupnya sebagai berikut:

    Pada awal abad 20, nenek saya tinggal di daerah pertanian, dimana dia dan keluarganya menanam kentang dan mengolahnya untuk makanan mereka, memeras sapi peliharaannya untuk mendapatkan susu dan menjualnya. Di pertengahan abad 20, ibu saya tinggal di desa merawat rumah tangganya sementara ayah saya bekerja. Ibu saya berbelanja di toko atau di pasar dan menyiapkan makanan bagi keluarganya. Segala sesuatu berbeda dengan keadaan saya sekarang. Saya bekerja sebagaimana suami saya, dan kami membeli semua makanan kami di supermarket yang menyajikan berbagai macam sayur dan makanan dari berbagai macam negara. Saya hanya butuhkan waktu singkat untuk memanaskan semua makanan jadi dari supermarket yang telah dikemas dengan baik.

    Berkaitan dengan pangan, yang paling penting adalah adanya transisi dari pilihan pangan yang sedikit dan terbatas menjadi pilihan yang melimpah. Selain itu konsumen tak lagi dapat mencukupkan kebutuhannya dari usahanya sendiri, juga semakin sedikit yang mengenal kegiatan menanam, memproduksi dan mengolah bahan pangan. Saat ini, pangan adalah bagian dari gaya hidup konsumen dan produksi pangan telah berkembang menjadi industrialisasi. Telah terjadi perkembangan pangan berkaitan dengan fungsi pangan, manusia tidak hanya mempunyai kebutuhan fisiologis (lapar) untuk berhubungan dengan pangan, namun juga mempunyai kebutuhan sosial dan kebutuhan psikologis yang membuatnya berhubungan dengan pangan (Sijtsema et al. 2002). Oleh ka-rena itu memilih makanan menjadi salah satu bentuk perilaku yang kompleks, dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, yaitu oleh makanan itu sendiri, individu yang membuat pilihan, lingkungan ekonomi dan sosial dimana pilihan itu dibuat (Meiselman & MacFie 1996) atau yang dikatakan Shepherd (1999) sebagai faktor-faktor sosial budaya.

    Budaya dimana individu tumbuh dan berkembang memiliki pengaruh yang sangat kuat pada jenis pilihan pangan yang dibuat, sedang interaksi sosial memiliki pengaruh besar pada opini seseorang tentang pangan dan perilaku makannya (Shepherd 1999). Kebutuhan-kebutuhan sosial dan psikologis, seba-gaimana dikatakan Sijtsema et al. (2002) di atas menjadi semakin penting di negara-negara industrialisasi sejalan dengan terjadinya perubahan-perubahan

  • 17

    demografis, seperti perubahan komposisi rumah tangga, tingkat pendidikan dan tingkat partisipasi kerja perempuan serta penghasilan keluarga yang semakin tinggi. Penelitian Lien et al. (2001) dan Kelder et al. (1994) terhadap pra-remaja berusia 14 tahun telah membuktikan bahwa pola makan yang terbentuk sejak masa anak-anak menetap hingga mereka masuk ke usia dewasa.

    Ada berbagai model perilaku makan yang berisikan beberapa faktor yang saling berkaitan. Secara garis besar model-model tersebut menggambarkan kea-daan yang hampir sama, kecuali dalam hal penekanan faktor-faktor tertentu, dimana faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan pangan (food choice) dike-lompokkan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan pangan, individu yang mem-buat pilihan dan lingkungan dimana pilihan itu dibuat (Sanjur 1982, Shepherd 1999).

    Model Penerimaan Pangan

    Menurut Pilgrim (1956), penerimaan pangan (food acceptability) menun-jukkan perilaku makan yang disertai dengan kesenangan. Batasan tersebut me-nekankan adanya komponen perilaku dan komponen sikap, dimana kesenangan termasuk di dalamnya. Namun berbeda dengan food preference yang merupa-kan penilaian afektif pada pangan yang belum atau sudah dimakan, penerimaan pangan digambarkan untuk penilaian afektif pada pangan yang secara aktual telah dimakan (Cardello & Schuutz 2000). Pilgrim mengembangkan suatu model penerimaan pangan, dimana persepsi merupakan aspek utama yang mem-pengaruhinya (Gambar 1). Pilgrim menggambarkan bahwa persepsi dipengaruhi oleh tiga komponen yaitu fisiologis individu, sensasi yang merupakan hasil kombinasi pangan dan individu serta sikap individu. Sejak tahun 1957, Pilgrim telah melihat bahwa penyatuan mekanisme dimana fenomena sensasi, sikap dan fisiologis mengarah ke perkembangan preferensi dan perilaku pangan akan berdiri sebagai suatu tantangan bagi penelitian yang komprehensif (Sijtsema 2003). Posisi persepsi pada model ini menarik karena terpisah antara ketiga komponen dan penerimaan pangan. Hal ini mendukung gagasan bahwa persepsi merupakan elemen sentral ketika membicarakan tentang konsumen dan penerimaan pangan.

    Dibandingkan dengan model-model lainnya, model Penerimaan Pangan yang dibuat Pilgrim begitu sederhana, hanya berisi dua komponen yang berkaitan dengan individu yaitu komponen fisiologis dan komponen sikap.

  • 18

    Kemungkinan hal ini berkaitan dengan cara tradisional yang biasa dipakai pada masa itu untuk melakukan segmentasi konsumen. Berbeda dengan kondisi sekarang, ada kriteria segmentasi tambahan yang diperlukan untuk menggambarkan perilaku konsumen (Sijtsema 2003). Walaupun terdapat keterbatasan model, yaitu penekanannya yang kuat hanya pada faktor fisiologis untuk menentukan penerimaan pangan (Sanjur 1982), namun penelitian yang dilakukan Pilgrim telah memberikan sumbangan besar pada pengukuran komponen-komponen yang menentukan konsumsi pangan.

    Penerimaan Pangan

    Persepsi Fisiologi Sikap (internal) Sensasi (eksternal)

    Lapar Belajar Nafsu makan Pangan Organisme Lingkungan luar (stimulus) (reseptor)

    Pangan Pangan

    Gambar 1 Model Pilgrim: Komponen penerimaan pangan.

    Model Preferensi Pangan

    Kata preferensi sering digunakan untuk menggambarkan penilaian afektif yang lebih (lebih suka/lebih tidak suka) terhadap satu pangan dari pangan lainnya. Sama halnya dengan batasan food preference yang disampaikan Randall dan Sanjur (Sijtsema 2003), yaitu suatu fenomena yang berkaitan dengan pangan yang menguasai domain afektif dan dapat berdiri secara terpisah dari perilaku makan, sehingga bisa saja terjadi Saya lebih suka ikan laut tetapi Saya tidak makan ikan laut atau sebaliknya. Tahun 1981 Randall dan Sanjur telah mengajukan suatu model food preference yang disusun oleh tiga kelompok karakteristik, yaitu kelompok karakteristik individu, karakteristik pangan dan karakteristik lingkungan dengan masing-masing faktornya (Gambar 2). Model ini dikembangkan untuk memastikan pentingnya ketiga kelompok karakteristik di atas dalam pembentukan preferensi dan konsumsi pangan (Sanjur 1982). Pada waktu model ini dibuat, peubah-peubah demografi umumnya dipakai untuk menggambarkan perilaku konsumsi, dimana bila dilihat pada saat sekarang hal itu sudah tidak mencukupi untuk menggambarkan perilaku konsumen.

  • 19

    Lebih lanjut yang mencolok pada model ini adalah absennya karakteristik fisiologis konsumen sebagaimana diperhatikan pada model terdahulu dari Pilgrim serta penempatan faktor-faktor di dalam ketiga kelompok karakteristik. Sebagai contoh, faktor Tahapan keluarga dimasukkan ke dalam kelompok karakteristik lingkungan, padahal faktor itu bisa juga menjadi bagian dari kelompok karakteristik individu. Demikian juga faktor cara pengolahan pangan juga bisa dipengaruhi oleh budaya.

    Gambar 2 Model Randall & Sanjur: Faktor-faktor yang mempengaruhi preferensi pangan.

    Model Preferensi Pangan lainnya dibuat oleh Khan (Gambar 3) (Sijtsema 2003) berisi tujuh kelompok faktor yang saling berkaitan mempengaruhinya. Secara umum dapat dikatakan bahwa ketujuh faktor dalam model saling berkaitan mempengaruhi food preference. Secara umum, ketujuh faktor itu dapat dikaitkan ke pangan, ke individu yang membuat pilihan dan ke lingkungan eksternalnya (Shepherd & Sparks 1994). Pemilihan berbagai faktor selain didasarkan pada hasil-hasil penelitian dalam perspektif gizi juga mengintegrasikan hasil-hasil dari disiplin ilmu lainnya. Namun walaupun model ini mencakup berbagai peubah tentang konsumen dan preferensinya, menurut Sijtsema (2003) sulit mengoperasionalkan semuanya secara bersamaan di dalam suatu studi.

    Karakteristik Individu usia jenis kelamin pendidikan pendapatan pengetahuan gizi ketrampilan memasak sikap thd kesehatan & peran

    pangan pada kesehatan

    Karakterisik Pangan rasa tampilan tekstur harga jenis pangan cara penyiapan bentuk penyedap kombinasi pangan

    Karakteristik Lingkungan musim, ketenagakerjaan mobilitas tingkat urbanisasi ukuran rumah tangga tahapan keluarga

    Preferensi Pangan

    Konsumsi Pangan

  • 20

    Gambar 3 Model Khan: Faktor-faktor yang mempengaruhi preferensi pangan.

    Model Pemilihan Pangan

    Seperti model-model sebelumnya, food choice dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yang saling kait mengkait. Secara garis besar, berbagai model di atas hampir sama, hanya berbeda di penekanannya saja. Namun menurut Shepherd & Sparks (1994), model-model tersebut tidak berupaya menerangkan mekanisme tindakan berbagai faktor yang diajukan dan tidak mengkuantifikasi kepentingan masing-masing faktor serta cara mereka berinteraksi. Model-model tersebut benar-benar hanya daftar berbagai kemungkinan pengaruh yang walaupun bermanfaat telah menunjukkan peubah-peubah yang ada pada studi perilaku makan, namun mereka tidak menawarkan suatu kerangka pemikiran yang dapat dipakai sebagai dasar membangun teori pemilihan pangan pada manusia (Shepherd 1989).

    Pada model yang diajukan Shepherd di tahun 1985 (Gambar 4), secara keseluruhan food choice tidak hanya ditentukan oleh kebutuhan fisiologis dan kebutuhan gizi saja, namun juga dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial dan budaya. Budaya dimana seseorang tumbuh mempunyai pengaruh yang sangat

    Faktor Pribadi Tingkat harapan Prioritas Familiarity Pengaruh orang lain Kepribadian Appetites Suasana hati & emosi Arti yg melekat pada pangan

    Faktor sosial-ekonomi Pendapatan keluarga Harga pangan Arti simbolis Status sosial Keamanan masyarakat

    Faktor Pendidikan Status pendidikan Pendidikan gizi keluarga

    Faktor-faktor Biologis, Fisiologis dan Psikologis Usia Jenis kelamin Perubahan fisiologis Pengaruh psikologis Aspek biologis

    Preferensi Pangan

    Faktor Budaya, Agama & Regional Asal budaya Latar belakang agama Kepercayaan & tradisi Budaya Suku bangsa Daerah geografis

    Faktor eksternal Linkungan Situasi Iklan Variasi waktu & musim

    Faktor internal Pangan Tampilan Bau Suhu Flavor Tekstur Mutu pangan Kuantitas pangan Penyiapan pangan Methods and presentation

  • 21

    besar pada jenis pilihan pangan yang dibuat sedang interaksi sosial mempunyai efek besar pada pandangan tentang pangan dan perilaku makannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi food choice dikelompokkan ke dalam yang terkait dengan pangan, dengan individu yang membuat pilihan dan dengan lingkungan sosial ekonomi dimana pilihan itu dibuat (Shepherd 1999).

    PANGAN INDIVIDU SOSIAL-EKONOMI

    Gambar 4 Model Shepherd: Faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan dan konsumsi pangan.

    Beberapa atribut fisik dan kimia dari pangan tersebut akan diterima individu sebagai atribut sensori, seperti flavor, tekstur atau tampilan. Namun menerima atribut-atribut sensori pada pangan tersebut, tidak selalu menunjukkan bahwa individu akan memilih untuk mengonsumsi makanan tersebut. Kesukaan individu pada atribut-atribut pangan lebih berlaku sebagai faktor penentu. Selain itu berbagai komponen kimia yang dikandung seperti protein atau karbohidrat mempunyai pengaruh pada individu, seperti berkurangnya rasa lapar. Hubungan yang terbentuk seperti antara atribut sensori dan berkurangnya rasa lapar nampaknya merupakan mekanisme utama dimana preferensi berkembang dalam diri individu.

    Sebagaimana termuat di dalam model-model sebelumnya, ada juga beberapa peubah yang nampaknya sangat penting di dalam konteks dimana pilihan pangan dibuat, yaitu peubah pemasaran dan ekonomi di samping peubah

    Sifat2 fisik & kimia Kandungan gizi

    Persepsi terhadap sifat2 sensori

    Harga Ketersediaan Merk Sosial/ budaya

    Efek fisiologis

    Faktor2 psikologis

    Sikap

    PILIHAN PANGAN

    Konsumsi pangan

  • 22

    sosial, budaya, agama dan demografi (Murcott 1989, Shepherd 1989). Pengaruh peubah-peubah di atas semakin mendapat perhatian. Situasi sosial dimana peri-laku makan sedang terjadi dapat mempengaruhi pilihan pangan dan perilaku makan seseorang. Penelitian yang dilakukan de Castro dan Brewer (1992) serta Redd dan de Castro (1992) membuktikan bahwa konsumsi meningkat dengan bertambahnya jumlah individu yang hadir pada waktu perilaku makan itu terjadi.

    Preferensi Pangan pada Anak

    Food preference mengukur komponen afektif dari suatu sikap dan ter-pisah dari konsumsi (Randal & Sanjur 1981, Drewnowski & Hann 1999), yang didefinisikan oleh Pilgrim (Sanjur 1982) sebagai tingkat kesukaan dan ketidaksukaan seseorang terhadap pangan. Komponen afektif dari sikap dapat diukur melalui dua hal yaitu penerimaan seseorang terhadap suatu obyek dan preferensi seseorang terhadap suatu obyek dibanding obyek lain atau tingkat kesukaan yang lebih tinggi pada suatu obyek dibandingkan obyek lain. Sebagaimana telah dijelaskan pada model-model sebelum ini, motivasi seseorang untuk lebih menyukai makanan tertentu dibandingkan makanan lain disebabkan oleh berbagai faktor, seperti dari karakteristik makanan itu sendiri, karakteristik individu dan karakteristik lingkungan (Khan 1981, Randall & Sanjur 1981).

    Preferensi pangan merupakan faktor penentu utama konsumsi pangan, terutama yang terjadi pada anak-anak (Fisher & Birch 1995, Domel et al. 1996, Birch 2002). Penentu konsumsi pangan ini berbeda dengan yang terjadi pada orang dewasa yang juga mempertimbangkan harga, nilai gizi dan atau kemu-dahan dalam menyiapkan makanan tersebut. Anak-anak hanya makan apa yang mereka sukai dan meninggalkan sisanya (Fisher & Birch 1999). Sebagaimana terlihat pada penelitian Domel et al. (1996) dan Resnicow et al. (1997) yang menguji pengaruh berbagai faktor demografis, psikologis dan sosial terhadap konsumsi buah dan sayur pada anak-anak sekolah. Hasilnya menunjukkan bahwa preferensi anak terhadap buah dan sayur merupakan prediksi yang sig-nifikan terhadap konsumsi buah sayur mereka. Penelitian-penelitian yang dilakukan Birch (1998) dan Skinner et al. (2002b) juga menunjukkan pengaruh preferensi pangan terhadap perilaku makannya.

  • 23

    Menurut Birch (2002), pengalaman awal anak dengan makanan berlaku sebagai kesempatan belajar yang penting dalam pembentukan preferensi anak terhadap pangan sekaligus pengontrolan konsumsi pangan. Orangtua membentuk lingkungan makan anak dari bayi, bahkan semenjak dalam kandungan. Sewaktu anak mulai mendapatkan makanan padat, orangtua mempunyai kesempatan untuk membentuk lingkungan makan bagi anak melalui pemberian makanan tertentu dan bukan yang lain serta melalui konteks sosial yang terjadi pada waktu anak makan. Bagi anak, makan merupakan peristiwa sosial, lengkap dengan kehadiran orang-orang lain yang dapat berlaku sebagai model bagi dirinya serta orangtua dan saudara-saudaranya yang mungkin berusaha mengontrol konsumsi pangannya.

    Perkembangan Preferensi Pangan pada Anak

    Makan merupakan sumber utama kesenangan dalam kehidupan sehari-hari mahluk hidup. Kesenangan yang dialaminya menjamin kelangsungan kehi-dupan mahluk tersebut (Birch 2002). Bagi anak, juga orang dewasa, preferensi terhadap makanan merupakan penentu utama pada konsumsi pangan, terutama bagi anak-anak (Fisher & Birch 1995). Bayi datang ke dunia dilengkapi dengan kecenderungan genetik untuk lebih menyukai rasa manis dan mungkin juga rasa asin, serta menolak rasa asam dan pahit dan juga makanan yang masih asing, belum dikenal atau yang disebut neofoods. Kecenderungan menolak makanan baru diistilahkan sebagai neophobia atau takut pada hal-hal yang baru (Birch 2002). Neophobia dapat menghalangi penerimaan anak terhadap makanan baru, namun hal itu dapat juga diubah menjadi menerima melalui sejumlah pengalaman makan makanan baru tersebut (Birch et al. 1998, Sulivan & Birch 1994). Berbagai pengalaman anak berkaitan dengan pangan akan membentuk pola penerimaan pangannya. Anak belajar selama tahun-tahun pertama dalam kehidupannya, seperti apa yang bisa dimakan dan apa yang menjijikan dalam budayanya, makanan yang disukai, seberapa banyak makannya dan kapan waktunya.

    Karena pengalaman awal merupakan pusat perkembangan pola pene-rimaan pangan anak, maka lingkungan pangan awal sangat penting dalam membentuk pola penerimaan. Namun makan makanan yang baru dapat menye-babkan sakit atau kematian. Barangkali untuk alasan ini, manusia termasuk anak-anak menunjukkan reaksi neophobic pada makanan baru (Birch 2002).

  • 24

    Ketika anak dihadapkan pada makanan baru pertama kali, anak cenderung me-nolaknya. Umumnya anak hanya belajar menyukai makanan yang tersedia baginya. Untungnya reaksi anak menolak makanan baru ini dapat dikurangi dengan berulangkali dicoba untuk mengonsumsinya, atau paling tidak pada waktu makan disertai dengan rasa kenyang yang menyenangkan.

    Berkaitan dengan reaksi neofobia dan belajar menyukai pangan baru, orangtua atau pengasuh perlu menyadari bahwa bagi bayi yang mulai disapih, semua makanan adalah baru dan banyak di antaranya yang akan ditolak anak. Kecuali makanan dengan rasa asin dan manis, penerimaan terhadap makanan baru tidak terjadi begitu saja, diperlukan pengulangan berkali-kali untuk meng-konsumsi makanan tersebut, barulah terjadi peningkatan kesukaan. Hasil bebe-rapa penelitian menunjukkan diperlukan serangkaian pengulangan 15 kali makan makanan baru bagi bayi untuk meningkatkan konsumsi lebih dari 2 kali (Sulivan & Birch 1994), 10 kali lebih mengonsumsi makanan tertentu baru menghasilkan peningkatan konsumsi anak usia 2 tahun (Birch & Marlin 1982) dan 8-15 kali pengulangan makan pada anak usia 4-5 tahun untuk meningkatkan penerimaan pangan anak (Sullivan & Birch 1990).

    Penemuan tersebut menekankan pentingnya pengalaman awal dan pe-nerimaan anak terhadap pangan serta jenis pangan yang telah dikenalnya, di-tambah dengan jumlah dan mutu pengalaman anak terhadap pangan baru yang akan membentuk preferensinya terhadap pangan tersebut. Hasil penelitian Birch et al. (1987) menunjukkan bahwa untuk mendapatkan perubahan positif dalam preferensi, anak harus mendapatkan pengalaman langsung, yaitu merasakan makanan tersebut yang tidak menimbulkan resiko sakit perut. Menurut Birch (1998), sebagai hasil dari berbagai peristiwa makan dimana pangan dihubungkan dengan konteks sosial dan dampak fisiologis penyerapan pangan yang bisa positif atau negatif, anak akan menyukai dan mau menerima beberapa makanan serta menolak yang lain, selanjutnya akan terbentuk konsumsi pangan.

    Menurut Sullivan dan Birch (1994) dalam kaitannya dengan praktik pem-berian makan bayi yang telah dilakukan orangtua, anak-anak yang dulunya men-dapat ASI menunjukkan penerimaan yang lebih besar terhadap pangan baru di-bandingkan dengan anak-anak yang dulunya mendapatkan susu formula. Dila-porkan bahwa semakin terbatasnya flavor yang dipelajari anak melalui minum susu formula, semakin menghalangi penerimaan mereka terhadap pangan baru atau semakin muncul reaksi neophobia. Ikan laut merupakan salah satu pangan

  • 25

    dengan rasa dan bau yang khas dan baru bagi anak. Dengan demikian penga-laman makan yang telah anak dapatkan akan mempengaruhi penerimaannya terhadap ikan laut.

    Pengalaman awal tentang pangan merupakan pusat dalam pengem-bangan pola penerimaan pangan, dengan demikian lingkungan pangan di awal tahun kehidupan merupakan hal yang sangat penting dalam membentuk pola penerimaan pangan pada anak. Secara umum lingkungan keluarga memegang peran penting di dalam menentukan dan menyiapkan lingkungan pangan awal bagi anak. Ada beberapa data yang mendukung pola makan yang sama antara orangtua dan anak. Hasil penelitian Young et al. (2004) menunjukkan adanya pengaruh sikap dan perilaku orangtua yang menyediakan buah sayur di rumah terhadap konsumsi buah sayur para siswa sekolah menengah (SMP). Orangtua yang memiliki sikap positif terhadap buah sayur dan sering menyediakannya di rumah meningkatkan konsumsi buah sayur pada anak-anaknya. Kebiasaan makan orangtua mempunyai efek terhadap konsumsi gizi anak (siswa SD), dimana anak-anak dari para orangtua biasa mengonsumsi makanan yang banyak mengandung lemak jenuh (Oliveria et al. 1992), makanan rendah kalori (Lofstrom 2000), ternyata juga mengonsumsi pangan yang sama. Hal ini dapat dijelaskan karena orangtua membeli, menyimpan di rumah dan makan pangan yang mereka sukai. Dengan pengulangan kondisi di atas berkali-kali, anak-anak akan memasukkan pangan tersebut ke dalam pola makannya. Pengalaman mengulang makan jajanan tinggi energi meningkatkan preferensi anak terhadap pangan tersebut melalui bentuk belajar associative conditioning. Dalam hal ini, flavor pangan tersebut berasosiasi dengan air liur yang keluar pada waktu mengunyah dan menyerap makanan tinggi energi (Kern et al. 1993, Sclafani 1995). Asosiasi yang dipelajari menghasilkan kesukaan terhadap flavor yang dikandung makanan yang menjadi perantara terbentuknya kesukaan anak terhadap makanan tinggi energi itu.

    Dalam kaitannya dengan anak, beberapa penelitian menunjukkan bahwa perilaku makan anak lebih ditentukan oleh sikap anak, dalam hal ini preferensi anak terhadap makanan tersebut (Fisher & Birch 1995, Birch 2002) dibandingkan dengan perilaku makan orangtua yang dipengaruhi lebih banyak faktor seperti harga, nilai gizi yang dikandungnya dan cara pengolahannya. Memasuki masa remaja yang mempengaruhi preferensi pangan anak, selain peran ibu yaitu berupa nasehat eksplisit tentang kebiasaan makan ke remaja perempuan (Pike &

  • 26

    Rodin 1991), peran teman-teman sebaya juga mulai berpengaruh kuat terhadap preferensi pangannya ( Williams et al. 1993)

    Selain preferensi orangtua, terutama ibu terhadap pangan dan tingkat pendidikan ibu, pengetahuan gizi ibu juga menjadi penentu perilaku makan anggota keluarga. Hal ini terlihat pada penelitian (Loppies 1998) yang membuk-tikan adanya korelasi negatif antara tingkat pendidikan dan pengetahuan gizi ibu dengan perilaku siswa makan jajanan serta yang terjadi pada rumah tangga nelayan di Kecamatan Saparua Kabupaten Maluku Tengah. Selain itu pada penelitian Sudiarti (1997) yang membedakan pola konsumsi makanan tradisional di daerah peralihan dan perkotaan menunjukkan bahwa tingkat pendidikan dan pengetahuan gizi ibu hanya mempengaruhi pola konsumsi pangan di daerah peralihan (sub-urban) walaupun pola konsumsi pangan tradisional di kedua daerah tersebut tidak berbeda.

    Berkaitan dengan kondisi daerah, penelitian Aspatria (1996) di daerah yang karakteristik agroekologi berbeda di Kabupaten Kupang Nusa Tenggara Timur, menunjukkan bahwa pengetahuan gizi ibu di zona agroekologi sedang lebih baik dibandingkan pengetahuan gizi ibu di zona agroekologi kurang. Namun pengetahuan gizi ibu lebih mempengaruhi pola konsumsi pangan masyarakat di zona sedang dibandingkan dengan pola konsumsi pangan di zona rendah. Perbedaan kondisi arkeologi setempat nampaknya secara tidak langsung mempengaruhi ketersediaan pangan lokal, yang akibatnya berdampak pada konsumsi gizi rumah tangga terutama pada masyarakat yang mempunyai pola pertanian subsisten.

    Menurut Madaniyah (2003), pendidikan Gi-Psi-Sehat pada ibu berdampak positif terhadap konsumsi pangan anaknya, melalui sikap dan perilaku makan ibu. Sementara studi di Taiwan (Li et al. 2000a) pada produk ikan kaleng me-nunjukkan bahwa mereka yang memberikan perhatian lebih pada gizi makanan dan khususnya konsumen perempuan kurang memilih produk ikan kaleng, sedang mereka yang memberikan perhatian lebih kepada bumbu dan rasa makanan, mengonsumsi ikan kaleng lebih banyak dibandingkan mengonsumsi pangan yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa produk ikan kaleng dipersepsikan khususnya oleh konsumen perempuan memiliki gizi lebih rendah daripada produk-produk ikan lainnya.

  • 27

    Mitos dan Tabu

    Penelitian Soedikarijati (2001) yang berkaitan dengan sosiobudaya pangan telah mendapatkan sejumlah mitos dan tabu yang berkembang di ma-syarakat khususnya dikaitkan dengan ibu hamil. Sebagian yang berhubungan dengan ikan laut dan produk olahannya adalah:

    Ibu hamil dilarang makan rajungan, karena memperlama masa kelahiran bayi Ibu hamil dilarang makan cumi-cumi, dikawatirkan bayi lahir tanpa tulang Ibu hamil dilarang makan ikan laut, dikawatirkan melahirkan bayi yang berbau

    amis dan terkena penyakit kulit (gatal-gatal) Ibu hamil yang makan ikan asin akan mendapatkan bayi yang terkena

    penyakit kulit (gatal-gatal) Ibu hamil yang sering makan udang akan memperoleh bayi yang bodoh.

    Hasil penelitiannya menunjukkan adanya hubungan erat dan nyata antara kepercayaan terhadap mitos serta tabu dan perilaku konsumsi pangan. Mereka yang percaya dengan mitos dan tabu di atas enggan mengonsumsi pangan tersebut.

    Peran Orangtua

    Walaupun keseluruhan lingkungan anak memiliki pengaruh besar terhadap perilaku makannya, namun telah lama dibuktikan bahwa bagian lingkungan yang paling berpengaruh adalah lingkungan keluarga (Murphy et al. 1995, Wright & Radcliffe 1992). Pemilihan makanan yang dilakukan anak-anak selain dibentuk oleh individu, juga masyarakat dan budaya setempat. Ada yang terdapat di da-lam diri anak, ada pula yang berasal dari lingkungan, seperti ketersediaan ma-kanan di dalam dan di luar rumah serta model perilaku makan pengasuhnya, terutama orangtuanya (Crockett & Sims 1995, Birch & Fisher 1998, Baranowski et al. 1999, Birch 1999).

    Terdapat bukti cukup banyak bahwa kegiatan pengasuhan yang dilakukan orangtua mempengaruhi anaknya (Collins et al. 2000). Dalam hal makan, peri-laku makan dipelajari anak melalui model perilaku makan orangtuanya (Cutting et al. 1999, Pike & Rodin 1991), melalui pengasuhan orangtua yang digunakan untuk membatasi perilaku anak makan (Edmunds & Hill 1999, Fisher & Birch 1999). Penelitian terhadap kelompok keluarga menunjukkan adanya persamaan dalam hal konsumsi gizi antara orangtua, terutama ibu dan anak-anaknya.

  • 28

    Orangtua mengarahkan pemilihan pangan anaknya (Klesges et al. 1991). Secara umum lingkungan keluarga merupakan lingkungan pangan awal

    bagi anak, lingkungan dimana terjadi pembentukan sikap anak terhadap ma-kanan tertentu dan perilaku makan anak. Orangtua menyediakan dan menga-rahkan apa yang dimakan anak-anaknya selama mereka tumbuh. Orangtua membentuk lingkungan makan anak dalam berbagai cara, sejak dari pilihan cara-cara memberi makan bayi, penyediaan makan di rumah, kemudahan mem-perolehnya, kebiasaan makan orangtua yang menjadi model langsung bagi anak-anaknya, penyediaan berbagai media di rumah, dan cara orangtua berinteraksi dengan anak di dalam situasi makan (Birch & Fisher 1998). Kebiasaan makan yang dilakukan orangtua merupakan pengaruh utama pada pembentukan preferensi pangan pada anak serta mengembangkan kemampuan anak mengontrol konsumsi pangannya. Oliveria et al. (1992) mengatakan bahwa kebiasaan makan orangtua, mempengaruhi asupan gizi anak, karena orangtua membeli dan menyimpan makanan di rumah serta mengonsumsi yang mereka sukai. Pengulangan kondisi di atas berkali-kali menyebabkan anak memasukkan makanan tersebut ke dalam pola makannya.

    Sikap orangtua terhadap pangan, pola makan dan pengetahuan gizinya mempengaruhi kegiatan pemberian makan anak yang dilakukan mulai dari awal kelahiran anak, apakah orangtua memberikan ASI atau susu formula pada bayinya, mengontrol apa saja yang boleh dan tak boleh dimakan anak dan berapa banyak yang boleh dikonsumsi. Orangtua sering membatasi atau mela-rang anaknya mengonsumsi makanan tertentu yang dianggap buruk dengan cara menyembunyikannya sebagai hukuman bagi anak (Stanek et al. 1990). Namun studi Casey dan Rozin (1989) menunjukkan bahwa membatasi akses anak ke pangan tersebut justru meningkatkan kesukaan anak terhadap pangan yang dilarang dan meningkatkan konsumsi pangan ke anak. Contoh makanan yang dibatasi orangtua adalah makanan yang banyak mengandung kadar gula, lemak dan energi tinggi. Anak bisa belajar untuk tidak menyukai suatu makanan yang harus dimakan di bawah paksaan untuk memperoleh hadiah .... eat your vegetables and you can watch TV dan bisa juga belajar menyukai suatu makanan yang harus dimakan di dalam suatu konteks sosial yang positif untuk memperoleh hadiah .......... clean up your toys and you can have some cookies (Birch 2002).

  • 29

    Masih berkaitan dengan apa yang orangtua lakukan untuk menentukan dan menyiapkan makanan bagi anaknya, penelitian Sullivan dan Birch (1994) menun-jukkan bahwa anak-anak yang orangtuanya terlalu mengontrol apa yang boleh dimakan, kapan makannya dan seberapa banyak yang boleh dimakan membuat anak menjadi sangat lemah mengatur konsumsi energi. Pengontrolan orangtua dapat meliputi pembatasan terhadap kudapan terlarang seperti makanan yang manis-asin dan pangan berlemak tinggi sekaligus mendorong anak untuk makan makanan sehat.

    Balita dan remaja merupakan subyek yang telah banyak dipakai dalam berbagai penelitian, mengingat kekhususan perkembangan yang terjadi pada diri mereka di masa-masa tersebut. Namun penelitian terhadap anak-anak dalam usia transisi dari usia sekolah menuju ke usia remaja masih sedikit. Salah satu analisis longitudinal dari Skinner et al. (2002a) terhadap preferensi pangan anak usia 2 bulan hingga 8 tahun menunjukan bahwa preferensi ibu tetap merupakan pengaruh utama terhadap terbentuknya preferensi pangan pada anak hingga usia berusia 8 tahun. Hasil penelitian Spruijt-Metz et al. (2002) terhadap anak berusia 7-14 tahun menunjukkan bahwa peran ibu, dalam hal berkaitan dengan perhatian terhadap berat badan anak dan aturan untuk makan, berkorelasi dengan konsumsi pangan anak. Keadaan ini menunjukkan adanya suatu peran model ibu di dalam keluarga (Fisher & Birch 1996). Lebih lanjut Brown dan Ogden (2004) menyarankan hendaknya model yang diperankan orangtua bersifat positif agar terjadi peningkatan konsumsi pangan sehat pada anaknya. Penelitian beberapa tahun terakhir ini menunjukkan peran ibu sebagai model merupakan prediktor utama pada sikap anak perempuannya terhadap makanan dan norma-norma ukuran tubuh (Hill & Franklin 1998, Abramovitz & Birch 2000, Birch & Fisher 2000, Galloway et al. 2003).

    Penelitian Wardle et al. (1995) tentang pengaruh orangtua pada pola makan anak menemukan adanya korelasi kuat antara konsumsi lemak, buah dan sayur pada ibu dan anak. Penelitian Johnson et al. (2001) membuktikan bahwa anak yang ibunya tidak minum susu cenderung kurang menyukai susu, karena memandang susu sebagai makanan tidak dikenal. Jumlah dan jenis susu yang dikonsumsi ibu secara nyata membuktikan jumlah dan jenis susu yang diminum anak-anaknya usia sekolah (5-17 tahun dengan rataan 11,6 th). Pike dan Rodin (1991) melaporkan bahwa pola makan anak perempuan cenderung hampir sama dengan pola makan ibunya. Stanton (2000) khususnya melihat pengaruh

  • 30

    sosialisasi ibu pada perkembangan perilaku makan anak perempuannya (siswa kelas 6 SD) pada keluarga di pedesaan. Sedangkan hubungan yang signifikan tidak terjadi pada relasi ibu dan anak laki-lakinya. Demikian juga bagi ibu yang memiliki masalah dalam mengontrol makan cenderung memiliki anak perempuan yang menunjukkan pola makan yang hampir sama. Hal itu didukung dengan hasil penelitian Galloway et al. (2003) lainnya yang berkaitan dengan food neophobia (menolak makan makanan yang baru dikenal) dan food pickiness (pilih-pilih makanan yang sudah dikenal) dan sikap ayah terhadap pangan yang secara signifikan tidak mempengaruhi sikap anak perempuannya terhadap pangan. Hasil-hasil penelitian di atas membuktikan bahwa para ibu adalah gate-keepers bagi lingkungan makan anak-anaknya (Birch 2006). Dari Wikipedia (http://en.wikipedia.org/wiki) diperoleh istilah nutritional gate-keeper yang meng-gambarkan seseorang di dalam rumah tangga sebagai pembuat keputusan membeli hingga menyiapkan makanan untuk keluarga, bisa orangtua, nenek atau pembantu. Istilah itu diperkenalkan oleh Kurt Lewin pada tahun 1943 dan hingga sekarang di banyak buku teks nutrisi, peran gate-keeper digambarkan diperankan oleh perempuan. Di Indonesia sendiri, kebanyakan ibu berlaku se-bagai gate-keeper bagi keluarganya, walaupun sebagian dari mereka adalah perempuan bekerja. Sekalipun di rumah terdapat pembantu, bahkan pembantu yang diijinkan membeli bahan pangan untuk lauk keluarga, kesukaan ibu terhadap suatu bahan pangan tetap mewarnai tindakan pembantu menentukan bahan pangan yang dibelinya. Oleh karenanya ibu banyak mempengaruhi pola kebiasaan makan anak dan pengaruh ibu hingga anak usia 8 tahun dibuktikan tetap utama dalam penelitian longitudinal (Skinner et al. 2002a).

    Hasil penelitian Fisher dan Birch (1996) tentang pembatasan yang ibu lakukan terhadap anak gadisnya untuk mendapatkan suatu makanan menunjukkan bahwa pada situasi bebas dimana tidak ada larangan, anak tidak dapat mengontrol dirinya untuk mengonsumsi makanan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa ketika dalam situasi bebas, anak makan berlebihan tanpa bisa mengenali munculnya tanda-tanda kenyang, dalam situasi bebas anak gadis makan berlebihan walau dirinya tidak lapar. Pada siswa TK juga ditemukan bahwa ibu yang sangat mengontrol konsumsi pangan anaknya akan membuat anak kurang mampu mengatur konsumsi energi (Johnson & Birch 1994). Carper et al. (2000) juga menunjukkan bahwa penekanan pada anak usia 4-6 tahun untuk makan lebih banyak membuat anak tidak mampu mengenal tanda-tanda

  • 31

    lapar atau kenyang dari dalam dirinya. Dengan demikian lingkungan orangtua yang optimal bagi pertumbuhan kontrol diri anak terhadap konsumsi energi adalah lingkungan dimana orangtua menyediakan pangan sehat dan memperbolehkan anak menentukan banyaknya makanan yang hendak mereka konsumsi (Johnson & Birch 1994).

    Penelitian di kalangan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana dilakukan Wilson et al. (2004) menjelaskan bahwa pengaruh ibu terhadap anak gadisnya mengenai norma-norma perilaku makan lebih kuat pada kelompok yang berpenghasilan rendah. Hal itu terjadi karena terbatasnya pencerahan masyarakat akan informasi diet dan gizi yang terdapat di majalah, buku dan sumber-sumber media lainnya. Selain itu, nampaknya pada masyarakat berpenghasilan rendah, pengaruh nenek terhadap feeding practice yang dilakukan anaknya sebagai orangtua yang masih remaja, sangat besar. Keadaan ini menunjukkan bahwa langkanya sumber-sumber lain dan rendahnya pengetahuan orangtua muda dalam hal feeding practice (Bentley et al. 1999).

    Peran ibu sangat kuat dalam membentuk preferensi pangan terutama pada pada anak balita (Pike & Rodin 1991, Cutting et al. 1999). Penelitian Skinner et al. (2002) menunjukkan bahwa preferensi pangan anak usia 2 tahun memiliki hubungan yang kuat dengan preferensi pangan ibunya (Skinner et al. 2002a) dan preferensi pangan anak bertahan sepanjang anak usia sekolah. Anak-anak belajar tentang makan bukan hanya melalui pengalaman mereka sendiri, melainkan juga melalui pengamatan terhadap orang-orang di sekitarnya (Hayman 2003). Preferensi ibu terhadap pangan yang akan membentuk preferensi pangan pada anaknya terwujud dalam bentuk penyediaan pangan, ekspresi wajah dan penerimaan atau penolakan ibu secara verbal dalam situasi makan (Mennella et al. 2001, Gerrish & Mennella 2001) serta preferensi, keyakinan dan sikap orang-tua terhadap pangan (Birch & Fisher 1998, Crockett & Sims 1995), penyajian pangan yang berulang-ulang (Sullivan & Birch 1994), pengontrolan terhadap apa dan seberapa yang boleh dimakan (Johnson & Birch 1994), serta pembatasan kemudahan memperoleh makanan yang diinginkan (Fisher & Birch 1999).

  • 32

    Relasi Sikap terhadap Makan dan Perilaku Makan

    Sikap dan Komponennya

    Kata Sikap atau Attitude berasal dari bahasa Latin yaitu aptus yang berarti kecocokan atau penyesuaian. Selama abad ke 18, sikap secara umum dihubungkan dengan postur fisik, kemudian pada abad 19, Charles Darwin menggunakan kata tersebut untuk mengartikan ekspresi fisik dari emosi se-seorang. Baru pada abad 20, para peneliti menghubungkan sikap dengan kecen-derungan fisiologis untuk mendekati atau menghindari suatu obyek (Mowen & Minor 1998).

    Selama 30 tahun terakhir istilah sikap telah didefinisikan dalam berbagai macam cara. Definisi yang dibuat oleh salah satu penggagas teori pengukuran sikap modern, yaitu Thurstone adalah The amount of affect or feeling for or against a stimulus. Dalam hal ini Thurstone menghubungkan kata sikap dengan perasaan, bukan dengan keyakinan (beliefs). Keyakinan merupakan penge-tahuan yang diyakini seseorang tentang suatu obyek, sedang sikap merupakan reaksi afektif atau perasaan seseorang terhadap suatu obyek. Sikap yang digambarkan sebagai perasaan atau reaksi evaluatif secara umum merupakan hal yang biasa digunakan oleh para peneliti perilaku konsumen saat ini (Mowen & Minor 1998).

    Sikap merupakan salah satu faktor yang paling menarik dan terpenting bagi para pemasar produk, pemasar gagasan atau penentu kebijakan. Misal, sikap terhadap tokoh tertentu akan menciptakan kesan tentang tokoh itu. Kesan positif terhadap tokoh akan membuat pengesan mengikuti apa yang dianjurkan atau dilakukan oleh tokoh tersebut (Hansen & Svener 2003). Setiap individu mempunyai sikap-sikap tertentu terhadap orang lain, obyek sosial atau terhadap suatu peristiwa dalam kehidupannya. Sebagian dari serangkaian keputusan dan perilaku yang individu lakukan setiap harinya ditentukan oleh sikapnya. Salah satu buku teks terdahulu di bidang ilmu sosial mendefinisikan keseluruhan studi dalam bidang psikologi sosial sebagai studi tentang sikap (Brigham 1991). Di dalam bukunya, Brigham mendefinisikan sikap sebagai sejumlah perasaan yang mempengaruhi atau menentang suatu obyek psikologis yang mempunyai tiga komponen, yaitu komponen kognitif, komponen afektif dan komponen perilaku.

    Dikatakan Brigham bahwa ada dua macam definisi sikap. Yang pertama, beberapa ahli psikologi mengajukan bahwa sikap terdiri atas tiga komponen yaitu

  • 33

    komponen afektif, komponen perilaku dan komponen kognitif, sehingga dikenal dengan Model Tri Komponen A-B-C (Affective, Behavioral, Cognitive). Kom-ponen afektif suatu sikap menggambarkan reaksi emosi individu terhadap obyek sikap, komponen perilaku digambarkan sebagai tindakannya yang ber-kaitan dengan obyek sikap, sedang komponen kognitif meliputi informasi dan keyakinan yang dimiliki tentang obyek sikap. Demikian pula ditegaskan oleh Eagly dan Chaiken (1993) bahwa seseorang tidak memiliki sikap, kecuali dia menilai sesuatu obyek dengan dasar-dasar afektif, kognitif dan konatif (perilaku).

    Yang kedua, kelompok teoris psikologi lainnya mendefinisikan sikap sebagai perasaan atau penilaian yang konsisten terhadap suatu obyek pada dimensi baik-buruk, atau dimensi menyenangkan-tidak menyenangkan. Pende-katan ini memandang komponen perilaku dan komponen kognitif sebagai konsep yang erat hubungannya dengan sikap namun bukan hal sama (Ajzen & Fishbein 1980). Komponen afektif atau penilaian dikonsepkan sebagai sejumlah perasaan yang berpihak atau menentang obyek sikap. Sedang komponen kognitifnya diwakilkan oleh apa yang disebut keyakinan atau beliefs, yang didefinisikan sebagai informasi yang individu miliki tentang obyek sikap (Fishbein & Ajzen 1975).

    Namun sejumlah ahli teori sikap berpendapat bahwa perbedaan harus dibuat antara penilaian yang didasarkan pada respon afektif terhadap suatu obyek sikap yang menggambarkan perasaan atau emosinya dan penilaian yang didasarkan pada respon kognitif yang menggambarkan keyakinan, pikiran atau pendapat rasional (Chaiken et al. 1998, Tesser & Martin 1996 di dalam Ver-planken et al. 1998). Dengan demikian sikap memiliki dua komponen yaitu kom-ponen afektif yang berdasarkan perasaan dan komponen kognitif yang ber-dasarkan keyakinan. Masing-masing komponen dapat mempunyai nilai positif atau negatif dan keduanya bisa memberikan sumbangan pada keseluruhan sikap menyenangkan atau tidak menyenangkan (Eagly & Chaiken 1993). Studi Verplanken & de Graaf (1997) menunjukkan bahwa kedua komponen sikap ter-sebut memberikan sumbangan pada pengukuran keseluruhan sikap, ada per-bedaan hasil pengukuran antara sikap didasarkan komponen afektif dan dida-sarkan komponen kognitif (Edwards & von Hippel 1995) dan masing-masing komponen berhubungan secara berbeda dengan peubah-peubah lainnya seperti dengan pengalaman masa lalu (Verplanken et al. 1994), dengan kecenderungan bertindak (Verplanken & de Graaf 1997). Tampaknya membedakan kedua

  • 34

    komponen sikap, yaitu afektif dan kognitif berguna bagi obyek sikap tertentu, tidak pada semua obyek sikap.

    Kebanyakan teknik pengukuran sikap menghasilkan sebuah skor yang merupakan keseluruhan reaksi positif dan negatif individu pada obyek sikap. Sementara banyak ilmuwan yang berpendapat bahwa fokus pada satu dimensi evaluasi tidak adil bagi rancangan sikap yang begitu kompleks. Keadaan ini merupakan salah satu dasar untuk menjelaskan mengapa terjadi kegagalan sikap untuk memprediksi perilaku (Ajzen & Fishbein 2000). Dilihat dari Model Tri Komponen A-B-C, jelaslah skor tunggal hasil penilaian hanya terhadap salah satu komponen, misal komponen afektif, Saya suka makan ikan laut, tidak cukup mewakili konsepsi sikap yang kompleks. Dengan demikian dapat dijelas-kan bahwa salah satu inkonsistensi hubungan sikap-perilaku karena pengukuran sikap hanya ditujukan pada salah satu dari tiga komponennya.

    Menurut Kothandapani (1971 di dalam Ajzen & Fishbein 2000), tampak-nya untuk memprediksi perilaku, penilaian yang harus dilakukan adalah lebih pada komponen konatif (komponen perilaku) daripada komponen afektif. Penelitian Kothandapani berkaitan dengan sikap terhadap pembatasan kelahiran (birth kontrol) dengan menganalisis masing-masing komponen sikap. Ada indikasi bahwa pengukuran komponen konatif merupakan prediksi perilaku yang lebih baik daripada pengukuran komponen kognitif dan afektif. Beberapa studi lainnya, sikap, perasaan positif atau negatif dikatakan sebagai salah satu penentu untuk menerangkan perilaku makan (Shepherd & Raats 1996), termasuk di dalamnya perilaku mengonsumsi seafood (Bredahl & Grunert 1997, Olsen 2001). Walaupun menurut Bredahl dan Grunert (1997) sikap yang positif kadang-kadang gagal menghasilkan kecenderungan atau perilaku mengonsumsi karena beberapa halangan seperti berkaitan dengan ketersediaan ikan laut kesulitan mendapatkan ikan, kesulitan dalam menyiapkan akibat kurangnya pengetahuan tentang mengolah, menentukan mutu ikan, dan memperkirakan panjang waktu penyiapan, sampai hambatan dalam mengonsumsi karena banyaknya duri ikan.

    Konsistensi Relasi Sikap dan Perilaku Makan

    Salah satu peubah yang akan dianalisis penelitian ini adalah apakah sikap terhadap makan ikan laut akan mempengaruhi perilaku makan ikan laut. Apakah sikap seseorang mengarahkan perilakunya, merupakan pertanyaan yang

  • 35

    masih dapat diperdebatkan mengingat banyak penelitian yang mendukung relasi keduanya, namun banyak juga penelitian yang menolak relasi sikap dan tindakan (Visser 2004).

    Generasi pertama dari para peneliti relasi sikap dan perilaku berangkat dari asumsi bahwa sikap mempunyai pengaruh yang dinamis dan langsung pada tindakan seseorang pada segala obyek dan situasi (Visser 2004). Kenyataannya bidang psikologi sosial mulanya didefinisikan sebagai suatu studi ilmiah tentang sikap (Ajzen & Fishbein in press) karena diasumsikan bahwa sikap adalah kunci untuk memahami perilaku manusia. Dengan demikian pada awal pekerjaan yang berkaitan dengan konsepsi sikap (attitude construct) tidak ada alasan meragukan asumsi tersebut. Beberapa penelitian tentang relasi sikap-perilaku menghasilkan kesesuaian di antara keduanya. Seperti misalnya, para mahasiswa dari bidang studi theologi ditemukan memiliki sikap yang lebih baik terhadap gereja dibandingkan dengan para mahasiswa dari bidang studi lain, kelompok-kelompok militer, veteran dan kelompok politik konservatif di Amerika Serikat memiliki sikap yang lebih baik terhadap perang dibandingkan dengan kaum pekerja atau kaum profesional.

    Selanjutnya beberapa peneliti mencoba lebih jauh untuk melihat hubungan reaksi verbal seseorang terhadap stimulus simbolik (sikap) dan kenyataan perilakunya untuk menunjukkan bahwa seseorang mungkin menyatakan sesuatu tetapi mengerjakan yang lain. Penelitian Richard LaPiere, seorang sosiolog, yang dilakukan pada tahun 1934, saat dimana perasaan anti-oriental sedang melanda Amerika Serikat dikatakan sebagai the first landmark study yang menguji adakah hubungan antara perilaku pemilik restoran dan hotel dalam melayani tamu dan sikap menerima tamu tersebut yang dinyatakan dengan menjawab kuesioner yang dikirim melalui pos. LaPiere mengadakan perjalanan keliling Amerika Serikat selama dua tahun ditemani oleh sepasang orang muda berkebangsaan Cina, yaitu seorang mahasiswa dan istrinya, yang begitu ramah, menarik dan murah senyum. Selama perjalanan LaPiere mencatat pelayanan yang diterima di hotel dan restoran tempat mereka menginap. Mereka diperlakukan dengan baik hampir di seluruh tempat. Sambil melanjutkan perjalanan, LaPiere mengirimkan surat ke tempat mereka pernah menginap yang menanyakan apakah hotel dan restoran tersebut mau menerima tamu berkebangsaan Cina. Sebagaimana yang telah LaPiere duga, lebih dari 90% menjawab tidak. Demikian juga jawaban dari hotel dan restoran yang belum

  • 36

    mereka kunjungi, 84% menolak (Brigham 1991). Oleh karena itu LaPiere menyimpulkan bahwa sikap hanya memiliki pengaruh yang sangat kecil pada tindakan.

    Penelitian LaPiere menggugah banyak reaksi dan memunculkan berbagai studi selama lebih dari tiga dekade berikutnya yang menemukan adanya du-kungan yang tidak konsisten pada sikap sebagai prediktor perilaku (Visser 2004). Alasannya yang sekarang diketahui, adalah bahwa kebanyakan studi gagal me-nemukan konsistensi relasi sikap-perilaku karena terganggu oleh masalah-ma-salah yang juga merupakan karakteristik studi yang dilakukan LaPiere. Pada penelitian LaPiere, ternyata orang-orang hotel/restoran yang melayani rom-bongan LaPiere serta orang-orang hotel/restoran yang mengisi kuesioner yang dikirimkan tidak sama. Selain itu yang datang adalah sepasang suami-istri Cina muda, berpendidikan dan ramah serta ditemani oleh peneliti yang berkulit putih, sedang di dalam kuesioner mereka ditanya kesediaannya menerima tamu ber-kebangsaan Cina. Ditambah pula pertanyaan pada kuesioner lebih menunjukkan kepada aspek kecenderungan pihak hotel/restoran menerima tamu, sedang perlakuan yang diterima merupakan perilaku menerima tamu.

    Terbantu oleh kemajuan teknik pengukuran, penelitian relasi sikap-peri-laku memasuki generasi kedua (Visser 2004). Pertanyaan yang muncul bukan hanya apakah ada relasi, melainkan menjadi kapan dan dalam kondisi apa relasi itu ditemukan. Beberapa penelitian menemukan bahwa relasi sikap-perilaku dipengaruhi berbagai faktor, seperti faktor situasi. Warner dan DeFleur (di dalam Visser 2004) menemukan bahwa peran, norma dan kemauan untuk menerima, mempengaruhi relasi sikap-perilaku, hanya mahasiswa kulit putih yang memiliki prasangka tinggi yang mau mengungkapkan opini mereka, sedang teman-temannya yang memiliki prasangka rendah mau mengerjakannya asalkan anonim. Selain faktor situasi, cara sikap dibentuk dan kestabilan sikap ditemukan mempengaruhi relasi sikap-perilaku. Fazio (1990) menemukan bahwa sikap yang terbentuk karena pengalaman langsung terhadap suatu obyek akan lebih stabil, lebih tahan terhadap perubahan, lebih tahan lama. Selain itu mereka yang me-milki sikap yang terbentuk karena pengalaman langsung menunjukkan adanya konsistensi relasi sikap-perilaku yang tinggi. Berbeda dengan mereka yang mem-bentuk sikap berdasarkan pengalaman tak langsung, sikapnya jarang dapat memprediksi perilakunya.

  • 37

    Behavioral beliefs

    Normative beliefs

    Sikap terhadap perilaku

    Norma-norma subyektif

    Theory of Planned Behavior

    Salah satu pendekatan untuk mempelajari pilihan pangan, menurut Shepherd (1999) berasal dari penelitian psikologi sosial tentang relasi sikap-perilaku. Pendekatan ini berasumsi bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan/konsumsi pangan diperantarai oleh keyakinan dan sikap (beliefs and attitudes), dalam hal ini terhadap perilaku konsumsi atau perilaku memilih makanan. Keyakinan akan mutu gizi pangan nampaknya lebih penting daripada aktual mutu gizi dan dampaknya terhadap kesehatan di dalam menentukan makanan yang dipilih atau dikonsumsi individu. Begitu juga berbagai faktor lainnya seperti status sosial ekonomi, sosiobudaya, demografi dan lainnya, semuanya bekerja melalui sikap dan keyakinan yang dipegang individu di dalam menentukan perilakunya. Jawaban pertama dari pertanyaan bagaimana sikap mengarahkan tindakan diberikan oleh Theory of Reasoned Action (TRA).

    Gambar 5 Model Ajzen & Fishbein: Theory of Reasoned Action.

    TRA merupakan suatu model pemrediksi perilaku (Gambar 6) yang telah dikembangkan secara baik dan teruji serta telah digunakan sejak pertengahan 1970an untuk memprediksi perilaku konsumen. TRA mengusulkan bahwa untuk memahami sikap seseorang dan relasinya dengan kecenderungannya bertindak (behavioral intention), perlu dilakukan pemahaman terhadap norma subyektifnya (subjective norms), yaitu pengaruh kelompok referensi yang dirasakan akan terjadi bila seseorang melakukan suatu tindakan yang dimaksud (Karjaluoto 2002). Kata lainnya adalah tekanan sosial yang dirasakan, misalnya Teman-teman saya ingin saya makan ikan laut. TRA menjelaskan kompleksitas peri-laku konsumen dan bahayanya mengisolasi satu aspek yang digunakan dalam memprediksi suatu tindakan. Sikap positif untuk mengonsumsi ikan laut tidak

    Intensi

    Perilaku

  • 38

    selalu mengarahkan individu ke perilaku mengonsumsi ikan laut. Ada pengaruh lain (orang/kelompok) yang dianggap penting oleh individu yang harus dipertimbangkan. Dengan demikian model TRA disusun oleh peubah-peubah sikap, pengaruh sosial dan kecenderungan bertindak untuk memprediksi perilaku yang dimaksud.

    Kecenderungan individu untuk melakukan suatu tindakan diasumsikan sebagai faktor motivasi yang mempengaruhi perilaku, seperti seberapa kuatnya seseorang mau makan ikan laut atau seberapa besar usaha yang direncanakan untuk makan ikan laut. Kecenderungan ini ditentukan oleh gabungan antara sikap terhadap tindakan yang dimaksud dan norma subyektifnya. Seberapa besar gabungan sikap dan norma-norma subyektif memprediksi kecenderungan individu bertindak bervariasi, tergantung pada domain tindakannya. Misalnya untuk perilaku dimana pengaruh sikap lebih kuat, contoh makan malam dengan ikan laut, maka sikapnya merupakan penentu yang lebih kuat untuk membentuk kecenderungan dia mengonsumsi ikan laut. Sementara untuk tindakan dimana implikasi normatifnya kuat, contoh menyediakan ikan laut untuk makan malam bersama teman-temannya, maka persepsinya terhadap apa yang teman-temannya pikirkan tentang makan ikan laut merupakan penentu bagi terbentuknya ke-cenderungan mengonsumsi ikan laut (Ajzen & Fishbein in press).

    Kecenderungan individu bertindak, menurut TRA merupakan satu-satunya penentu terjadinya tindakan. Namun Fishbein dan Ajzen (1975) me-negaskan bahwa diperlukan tiga persyaratan agar terjadi hubungan peubah kecenderungan bertindak dan peubah tindakan, yaitu (a) pengukuran terhadap kedua peubah harus pada keadaan yang spesifik dalam kaitannya dengan target, action, context, dan time (TACT). Sebagai contoh, bila perilaku yang dimaksud adalah makan malam di luar rumah dengan ikan laut, maka intensi adalah kecenderungan untuk makan malam di luar rumah dengan ikan laut; (b) selama waktu pengukuran, keduanya harus dalam kondisi yang stabil, tidak berubah. Adanya peristiwa atau kejadian yang mempengaruhi intensi dapat mengakibatkan berkurangnya ketepatan prediksi terhadap perilaku yang dimaksud; dan (c) Tindakan yang dimaksud berada di bawah volitional control individu, yaitu individu dapat memutuskan menurut kemauannya sendiri untuk melakukan tindakan tersebut. Bila ketiga persyaratan itu tidak ada, maka ke-

  • 39

    mampuan peubah kecenderungan bertindak memprediksi perilaku yang dimaksud menjadi lemah.

    Dari beberapa penelitian mengenai relasi peubah-peubah kecenderungan bertindak dan tindakan memberikan kesimpulan bahwa apabila perilaku yang dimaksud ada di bawah kontrol individu, maka peubah kecenderungan bertindak dapat memprediksi peubah tindakan secara akurat. Penelitian tentang kecenderungan pemilih melakukan voting yang dinilai beberapa saat sebelum pemilihan presiden di Amerika Serikat menghasilkan korelasi signifikan dengan pelaksanaan voting, yaitu nilai 0,75-0,80 (Fishbein & Ajzen 1981). Penelitian seputar issu cara ibu memberi makan bayinya, pemberian ASI vs susu formula, perilaku ibu memberi makan bayinya memiliki nilai korelasi r=0,82** dengan kecenderungan memilih yang dinyatakan beberapa minggu sebelum para ibu melahirkan bayinya (Manstead et al. 1983 di dalam Ajzen 1991).

    Theory of Reasoned Action secara luas telah digunakan ke berbagai issu di bidang psikologi sosial dan akhir-akhir ini juga berhasil diterapkan di issu pe-milihan pangan (Shepherd 1999). Sheppard et al. (1988) telah melakukan meta-analisis terhadap 87 studi yang menggunakan model TRA di bidang pilihan kon-sumen secara umum. Mereka mendapatkan nilai korelasi r=0,53** yaitu antara peubah kecenderungan bertindak dan peubah perilaku serta masing-masing nilai r=0,66** untuk korelasi antara sikap dan norma subyektif seseorang dengan ke-cenderungan bertindak.

    Namun walaupun kemampuan memprediksi TRA begitu kuat, penggu-naan TRA akan menghadapi masalah bila perilaku yang dimaksud dalam studi tidak sepenuhnya berada di bawah kontrol individu. Untuk mengatasi masalah tersebut Ajzen (1991) memperluas TRA dengan memasukkan konsep lain yang disebut perceived behavioral kontrol (PBC), yang selain mempengaruhi kecen-derungan individu bertindak juga mempengaruhi perilaku yang dimaksud. Perluasan dari TRA ini dikenal dengan nama Theory of Planned Behavior (TPB) (Gambar 6).

    TRA dan TPB mempunyai banyak kesamaan. Kecenderungan individu bertindak merupakan faktor kunci memprediksi perilaku yang dimaksud. Kedua teori tersebut berasumsi bahwa manusia pada dasarnya merupakan makhluk rasional dan menggunakan informasi yang tersedia secara sistematis dalam membuat keputusan. Hanya saja bila TRA berasumsi bahwa perilaku yang dipe-lajari berada di bawah kontrol individu, maka TPB memperluas batasan TRA

  • 40

    dengan meliput perilaku yang tidak di bawah kontrol individu (Madden et al. 1992).

    Sikap terhadap perilaku didefinisikan sebagai a persons general feeling of favourableness or unfavourableness for that behaviour. Norma subyektif didefinisikan sama seperti di TRA, tekanan sosial yang dirasakan akan diterima bila ia melakukan atau tidak melakukan perilaku yang dimaksud. Perbedaan utama TRA dan TPB adalah penambahan perceived behavioral control, yaitu kontrol yang dirasakan atau persepsi individu tentang kemudahan atau kesulitan yang akan dialami untuk melakukan perilaku yang dimaksud (Ajzen 1991, Ajzen & Fishbein in press).

    Gambar 6 Model Ajzen: Theory of Planned Behavior. Di dalam menerangkan perilaku manusia, TPB berhubungan dengan

    sesuatu yang mendahului ketiga peubah di atas yang pada analisis akhirnya akan menentukan kecenderungannya bertindak dan perilaku yang dimaksud (Ajzen 1991). TPB mendalilkan bahwa perilaku merupakan fungsi dari sejumlah informasi penting atau beliefs yang relevan dengan perilaku tersebut. Manusia bisa saja memiliki banyak informasi yang diyakini tentang perilaku tertentu, namun informasi yang bisa hadir pada satu waktu yang dimaksud hanya sejumlah kecil dari sekian banyak keyakinan yang dimiliki. Keyakinan-keyakinan tersebutlah yang disebut salient beliefs dan yang dipertimbangkan menjadi penentu bagi kecenderungan seseorang bertindak dan bagi tindakan yang dimaksud.

    Behavioral beliefs

    Normative beliefs

    Kontrol beliefs

    Sikap terhadap perilaku

    Norma-norma

    subyektif

    Kontrol yang

    dirasakan

    Kecenderung-an bertindak

    Perilaku

  • 41

    Ada beberapa jenis keyakinan penting di dalam TPB, yaitu (a) behavioral beliefs, yang dianggap mempengaruhi sikap, (b) normative beliefs yang merupakan penentu pokok norma-norma subyektif, dan (c) kontrol beliefs bersama dengan perceived facilitation menyediakan dasar bagi kontrol yang dirasakan individu.

    Control beliefs merupakan persepsi kehadiran sumber dan peluang yang dibutuhkan untuk melakukan tindakan yang dimaksud, sedang PBC adalah penilaian individu terhadap pentingnya sumber dan peluang untuk mencapai hasil (Ajzen & Madden 1986). Jadi peubah-peubah di luar model yang digambarkan TPB seperti sosio-demografi dan lingkungan sosial diasumsikan mempengaruhi peubah kecenderungan bertindak, hanya bila peubah-peubah ter-sebut masuk dalam keyakinan individu yang mempengaruhi sikap, norma subyektif atau kontrol yang dirasakannya (Fishbein & Ajzen 1975).

    Perceived behavioral control merupakan peubah yang memiliki efek langsung pada perilaku yang dimaksud dan efek tak langsung melalui kecenderungannya bertindak. Efek tidak langsung didasarkan pada asumsi bahwa PBC mempunyai implikasi motivasi pada kecenderungan seseorang bertindak (Ajzen 2002). Manakala individu meyakini bahwa dia hanya mempunyai sedikit kontrol terhadap tindakan yang akan dilakukan, karena terbatasnya sumber dan peluang yang disyaratkan, maka kecenderungan untuk melakukan tindakan tersebut akan rendah, walaupun sikap dan subyective norms-nya terhadap perilaku itu baik. Jadi perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh keyakinannya akan kemampuan untuk melakukan tindakan yang dimaksud. Sebagai contoh, bila ada dua orang yang mempunyai kecenderungan yang sama besarnya untuk mengonsumsi ikan laut, dan keduanya mencoba untuk melakukannya, maka individu yang mempunyai keyakinan bahwa ia dapat mengonsumsi ikan laut akan lebih mudah melakukan aktivitas itu dibandingkan dengan individu yang meragukan kemampuannya mengonsumsi ikan laut. Gabungan ketiganya, yaitu sikap, norma subyektif dan kontrol yang dirasakan mengarahkan ke pembentukan kecenderungan bertindak. Semakin positif sikap dan norma subyektifnya terhadap perilaku yang dimaksud, dan semakin besar kontrol yang dirasakan terhadap perilaku yang dimaksud, maka semakin kuat kecenderungan seseorang untuk melakukan perilaku tersebut (Ajzen 1991).

    Selanjutnya menurut TPB, perilaku yang dimaksud merupakan fungsi bersama dari kontrol yang dirasakan dan kecenderungan untuk bertindak. Agar

  • 42

    fungsi itu dapat berjalan dengan tepat dalam memprediksi perilaku, maka diper-lukan kondisi-kondisi sebagai berikut: (a) Pengukuran terhadap kecenderungan bertindak dan kontrol yang dirasakan harus saling berhubungan dengan perilaku yang dimaksud. Sebagai contoh, bila perilaku yang dimaksud adalah makan ikan laut, maka intensinya adalah kecenderungannya untuk makan ikan laut, bukan kecenderungan membeli ikan laut. Begitu pula dengan PBCnya, yaitu kemu-dahan atau kesulitan yang dirasakan untuk makan ikan laut, (b) Kecenderungan bertindak dan PBC harus tetap stabil selama jarak waktu antara pengukuran ter-hadap kecenderungan bertindak dan PBC serta pengukuran terhadap perilaku yang dimaksud. Adanya kejadian yang mengintervensi dapat menghasilkan peru-bahan baik di kecenderungan bertindak maupun di PBC yang akibatnya akan berdampak pada prediksi yang kurang akurat terhadap perilaku yang dimaksud, (c) Ketepatan PBC, semakin realistis kontrol yang dirasakan individu terhadap perilaku yang dimaksud semakin akuratlah prediksi terjadinya perilaku yang di-maksud (Ajzen 1991).

    TRA dan perluasannya yaitu TPB telah diterapkan secara luas di area psikologi sosial, dan akhir-akhir ini TRA dan TPB telah diterapkan secara berhasil pada issu pilihan pangan (Shepherd 1999) dan studi kesehatan berkaitan dengan perilaku pembuatan keputusan di kalangan anak muda. Terutama pada TPB, yang mengakomodasi faktor-faktor di luar kontrol individu dan khususnya untuk perilaku yang tidak di bawah kontrol kemauan individu melalui penam-bahan peubah PBC. Sebagaimana perilaku sehat lainnya, perilaku makan sehat juga tidak di bawah kontrol kemauan individu secara lengkap (Fila & Smith 2006). Sebagai hasilnya PBC menjadi penentu penting suatu perilaku (Ajzen 1991). Prell et al. (2002) dalam penelitiannya yang mendasarkan pada TPB tentang alasan siswa remaja (14 tahunan) tidak menyukai ikan laut menunjukkan bahwa sikap remaja terhadap ikan laut, perilaku teman-temannya makan ikan laut dan kontrol yang dirasakan untuk makan ikan laut merupakan penentu bagi kecenderungan siswa untuk makan ikan laut.

    Pengaruh Sosio-demografi pada Perilaku Makan

    Di kebanyakan penelitian, perilaku makan seseorang diukur dengan dua cara yaitu frekuensi makan melalui pertanyaan berapa kali makan dalam waktu sehari dan jenis makanan yang dikonsumsi dalam satu periode tertentu di antaranya melalui metode recall, seperti yang dipergunakan oleh Birch (1996)

  • 43

    dan Susanti (1999) yaitu metode recall selama 1 hari; dan yang terbanyak 2x24 jam yang diselang selama 3 hari sebagaimana dilakukan dalam penelitian Widiamurti (1998), Loppies (1998) dan Madaniyah (2003).

    Dari penelitian-penelitian di atas yang berkaitan dengan perilaku makan telah diperoleh peubah-peubah sosio-demografi, yaitu jumlah anggota keluarga, pendapatan keluarga, pendidikan dan pengetahuan gizi orangtua, ketidak-percayaan terhadap mitos atau tabu tentang makan ikan laut yang menjadi pe-nentu perilaku makan.

    Pendapatan Keluarga

    Harga pangan sangat berpengaruh dalam penentuan pilihan pangan, mempengaruhi sebagian kelompok masyarakat lebih daripada hal-hal lain. Pendapatan keluarga berhubungan secara nyata dan positif dengan perilaku konsumsi pangan anggota keluarga (Soedikarijati 2001). Penelitian Mintel (2001) melaporkan adanya perpindahan permintaan konsumen pada buah sayur segar dari yang tadinya tanpa kemasan ke produk kemasan, dari produk yang belum dimasak ke produk siap masak. Tentu saja produk yang diminta menjadi lebih mahal, namun permintaan konsumen didasarkan pada ..maunya konsumen membayar lebih untuk mendapatkan kenyamanan. Walaupun demikian tetap ada konsumen yang tidak mampu membayar lebih. Pendapatan keluarga merupakan penentu penting pada pola makan keluarga. Pola makan masyarakat dengan status sosioekonomi relatif rendah cenderung dicirikan oleh tingginya konsumsi produk olahan daging, susu tinggi lemak, lemak, gula dan makanan awetan serta cenderung rendah konsumsi sayur buah dan roti gandum (Neumark-Sztainer et al. 1998). Penelitian Ruxton et al. (1996) terhadap anak-anak di Inggris mendukung hasil penelitian di atas bahwa mereka yang berasal dari keluarga sosioekonomi lebih rendah mengonsumsi lebih sedikit berbagai gizi mikro, lebih banyak energi berasal dari lemak, cenderung mengonsumsi susu tinggi lemak dan mendapatkan energi serta gizi dari kudapan dibandingkan dengan mereka yang berasal dari kelompok sosioekonomi lebih tinggi. Oleh karena itu tidak mengherankan bila harga produk bagi kelompok sosioekonomi rendah ditemukan sangat mempengaruhi pemilihan pangan, seperti pada kelompok mahasiswa, para pensiunan atau pengangguran (Lennernas et al. 1997, Johansson & Andersen 1998).

  • 44

    Sementara di antara anak-anak desa keturunan Afrika-Amerika dari ke-luarga orangtua tunggal yang relatif memiliki status sosial ekonomi lebih tinggi berasosiasi dengan kemauan lebih besar untuk minum suplemen vitamin dan mengikuti pola makan yang lebih konsisten dengan rekomendasi konsumsi makan total, seperti perbandingan gizi dan makanan (Lee & Huang 2001). Hasil penelitian lainnya menunjukkan pendapatan keluarga secara signifikan berhubungan dengan diversifikasi pangan keluarga (Hardinsyah 1996), pendapatan keluarga, pengetahuan dan sikap ibu terhadap masalah gizi berhubungan kuat dengan perilaku konsumsi pangan dan gizi keluarga (Mokoginta 2001) dan pendapatan keluarga, pengetahuan dan sikap ibu terhadap masalah gizi berpengaruh signifikan terhadap perilaku konsumsi pangan keluarga (Birch 1996).

    Hasil penelitian Madaniyah (2003) menunjukkan bahwa peningkatan keadaan ekonomi keluarga tidak dibarengi dengan pemberian makan anak yang semakin baik, yang terjadi adalah berkurangnya keragaman dan frekuensi jenis pangan yang dikonsumsi anak. Demikian juga hasil penelitian Loppies (1998) berkaitan dengan konsumsi ikan laut di Saparua, Maluku Tengah menunjukkan tidak ada hubungan yang nyata antara tingkat pendapatan keluarga dan konsumsi pangan ikan dan juga tidak berhubungan dengan tingkat kecukupan gizi anaknya. Penjelasan yang dapat diberikan adalah sebagian besar keluarga memperoleh ikan untuk dikonsumsi dari hasil penangkapan, tanpa harus menge-luarkan uang. Memang sebagai keluarga nelayan, ikan laut yang dikonsumsi anggota keluarganya telah memberi kontribusi besar terhadap asupan protein total yaitu 50 gr/kapita/hari, dimana frekuensi anak makan ikan laut adalah 2-3 kali per hari dengan berat ikan yang dikonsumsi antara 30100 gr/ hari.

    Peran Ketersediaan

    Sebagaimana dijelaskan di atas, ketersediaan pangan di rumah berkaitan erat dengan pendapatan keluarga. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa penyajian makanan adalah kunci mengembangkan preferensi terhadap makanan tersebut (Birch 1992, Birch 1999) atau penyajian sayur yang belum dikenal kepada anak-anak usia sekolah selama 10 hari meningkatkan kesukaan dan konsumsi anak-anak terhadap sayur tersebut (Wardle et al. 2003). Secara umum anak memilih untuk makan makanan yang sering mereka jumpai atau mereka kenal dengan baik dan mereka cenderung lebih menyukai makanan yang

  • 45

    biasanya tersaji di rumahnya, sebagai contoh anak-anak yang di rumahnya selalu tersedia buah dan sayur, akan suka makan buah dan sayur tersebut (Cullen et al. 2000, Baranowski et al. 1999, Hearn et al. 1998, Kirby et al. 1995). Jadi makanan yang secara rutin anak jumpai membentuk preferensi dan konsumsi. Para remaja pada penelitian Story et al. (2002) juga melaporkan bahwa salah satu faktor yang paling mempengaruhi pemilihan pangan adalah ketersediaan pangan tersebut.

    Penelitian lain menunjukkan bahwa faktor penting dalam hal pangan se-hat tidak hanya ketersediaannya saja, namun juga kemudahan dicapai (Hearn et al. 1998), yaitu bila makanan mudah didapatkan dan siap dimakan, maka anak-anak lebih menyukai untuk makan makanan tersebut. Para peneliti menemukan di antara para siswa, konsumsi sayur buah meningkat ketika sayur dan buah tersebut tidak hanya tersedia, namun juga disediakan di lokasi yang mudah dicapai anak dan di dalam ukuran yang memadai untuk dimakan. Jadi walaupun secara khusus anak tidak suka mengambil wortel utuh dari kantung plastik, namun mereka akan lebih suka makan wortel yang bersih dan telah dipotong sesuai dengan ukuran untuk seusianya.

    Konsumsi buah sayur pada orangtua juga merupakan indikasi mening-katnya ketersediaan dan kemudahaan anak mendapatka