kamglob fiiiiiix

41
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak pertama kali ditemukan, nuklir telah digunakan sebagai senjata. Senjata nuklir pertama kali digunakan pada tahun 1945 oleh Sekutu untuk menundukkan Jepang dalam Perang Dunia II. Namun, sebagai sebuah strategi keamanan, nuklir baru menemukan tempatnya pada masa Perang Dingin. Pada masa ini, ke dua Blok yang saling bertikai (Timur dan Barat) menggunakan nuklir sebagai strategi pertahanan menghadapi kemungkinan serangan musuh. Walaupun senjata nuklir telah pernah digunakan untuk memenangkan perang, sejarah memperlihatkan bahwa sebagai sebuah persenjataan, nuklir lebih banyak digunakan sebagai instrumen penangkalan (deterrence) daripada instrumen untuk memenangkan perang. Hal ini kemungkinan terjadi karena kedua Blok yang saling bertikai, pada masa Perang Dingin, memiliki kemampuan nuklir yang relatif berimbang, sehingga kedua belah pihak sama-sama merasa akan terkena dampak besar jika terjadi perang nuklir. Di dalam strategi penangkalan (nuclear deterrence), nuklir digunakan untuk mencegah negara musuh melakukan serangan, dengan memberikan jaminan bahwa serangan

Upload: randy-brahmantyo

Post on 01-Jul-2015

152 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: kamglob fiiiiiix

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejak  pertama kali ditemukan, nuklir telah digunakan sebagai senjata. Senjata

nuklir pertama kali digunakan pada tahun 1945 oleh Sekutu untuk menundukkan

Jepang dalam Perang Dunia II. Namun, sebagai sebuah strategi keamanan, nuklir baru

menemukan tempatnya pada masa Perang Dingin. Pada masa ini, ke dua Blok yang

saling bertikai (Timur dan Barat) menggunakan nuklir sebagai strategi pertahanan

menghadapi kemungkinan serangan musuh.

Walaupun senjata nuklir telah pernah digunakan untuk memenangkan perang,

sejarah memperlihatkan bahwa sebagai sebuah persenjataan, nuklir lebih banyak

digunakan sebagai instrumen penangkalan (deterrence) daripada instrumen untuk

memenangkan perang. Hal ini kemungkinan terjadi karena kedua Blok yang saling

bertikai, pada masa Perang Dingin, memiliki kemampuan nuklir yang relatif

berimbang, sehingga kedua belah pihak sama-sama merasa akan terkena dampak

besar jika terjadi perang nuklir.

Di dalam strategi penangkalan (nuclear deterrence), nuklir digunakan untuk

mencegah negara musuh melakukan serangan, dengan memberikan jaminan bahwa

serangan tersebut akan dibalas menggunakan senjata nulir yang akan menimbulkan

kerugian lebih besar dari tujuan yang hendak dicapai negara lawan.

Dalam menjalankan strategi penangkalan ada dua mekanisme yang dapat

digunakan. Mekanisme pertama adalah punishment yang menitikberatkan pada

penggunaan senjata ofensif dan mengandalkan serangan balik terhadap sasaran non-

militer (countervalue). Keefektifan dari mekanisme ini terletak pada kemampuan

menyelamatkan jumlah senjata ofensif yang dimiliki dari serangan pertama (first

strike) lawan. Mekanisme kedua adalah denial yang melibatkan penggunaan kekuatan

militer secara langsung untuk mencegah negara lawan melakukan serangan pada

kawasan yang dikuasai. Mekanisme ini menitikberatkan pada penggunaan senjata

defensif dan mengandalkan serangan terhadap obyek-obyek militer (counterforce).

Page 2: kamglob fiiiiiix

Sebagaimana telah disinggung di atas, pada masa perang dingin penggunaan

strategi nuklir didominasi oleh Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat  dan Blok

Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet. Pada awalnya monopoli senjata nuklir berada

di tangan Amerika Serikat, yaitu sejak tahun 1945 hingga 1949. Uni Soviet baru

menguasai teknologi nuklir pada tahun 1949, namun belum memiliki minat untuk

mengembangkan persenjataan nuklir. Hal ini disebabkan oleh dominasi pemikiran

Joseph Stalin di dalam perumusan strategi militer Uni Soviet. Stalin merupakan

penafsir ortodoks pemikiran Marx dan Engels. Kedua tokoh tersebut menyatakan

bahwa kemenangan di dalam setiap pertempuran hanya ditentukan oleh disiplin moral

pasukan. Oleh Stalin, premis tersebut kemudian dirumuskan dan dibakukan sebagai

unsur utama untuk memenangkan perang. Selain itu, Stalin juga sangat percaya pada

kekuatan konvensional dan tidak percaya pada serangan-pendadakan (surprise

attack).1

Untuk menghadapi Uni Soviet yang telah mampu menguasai teknologi nuklir,

Amerika Serikat pada pertengahan tahun 1950-an mengembangkan strategi massive

retaliation. Strategi ini menyatakan bahwa kekuatan nuklir strategis dan taktis

Amerika Serikat digunakan tidak saja untuk menangkal serangan nuklir terhadap

Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya melainkan juga untuk menangkal setiap

serangan negara-negara komunis terhadap negara lain di seluruh dunia. Untuk

mendukung strategi tersebut Amerika Serikat mengembangkan bom hidrogen, senjata

nuklir taktis dan pesawat pembom jarak jauh (B-52). Pada tahun 1953 senjata-senjata

nuklir taktis tersebut mulai ditempatkan di Eropa dan pada tahun 1955 pesawat

pembom strategis B-52 mulai beroperasi.2

Pembahasan mengenai strategi nuklir pasca Perang Dingin akan difokuskan

pada strategi nuklir Amerika Serikat. Hal ini didasari oleh fakta bahwa hingga kini

Amerika Serikat merupakan satu-satunya negara yang memiliki keunggulan nuklir.

Tumbangnya komunisme menyebabkan Amerika Serikat mengubah strategi

nuklirnya. Pada tahun 1991, George Bush mengurangi secara masif jumlah

persenjataan nuklirnya dengan memusnahkan senjata-senjata nuklir yang terpasang di

kapal-kapal perangnya dan ribuan senjata nuklir landas daratnya, terutama yang

1 J. Kusnanto Anggoro, “Strategi Penangkalan Uni Soviet”, Jurnal Analisa, No. 2, Tahun 1986.2 A.R. Sutopo, “Perkembangan Pemikiran Strategi Nuklir Barat”, Jurnal Analisa, No. 2, Tahun 1986.

Page 3: kamglob fiiiiiix

terdapat di Jerman Barat. Tujuan dari pemusnahan ini adalah, selain merasa

kemungkinan Perang Dunia Ketiga tidak akan terjadi, juga untuk mendorong para

pemimpin di Uni Soviet melakukan hal yang serupa.3

Pasca perang dingin mendorong Amerika Serikat untuk mengembangkan

pengaturan pengontrolan senjata nuklir. Upaya Amerika Serikat ini berpusat pada

perjanjian START (Strategic Arms Reduction Treaty) II yang disepakati tahun 1993.

START II berisikan kesepakatan Amerika Serikat dan Rusia untuk mengurangi

jumlah senjata nuklirnya: dari 12.000 hulu ledak nuklir pada tahun 1990 menjadi

antara 3000 dan 3500 pada tahun 2003. Namun, pada tahun 1997 masa

pengurangannya diperpanjang hingga tahun 2007 karena persoalan politik dan teknis.

Selain itu, Amerika Serikat juga bekerjasama dengan negara-negara eks-Uni Soviet

lainnya untuk mencegah penyebaran senjata-senjata nuklir akibat “kebocoran

nuklir”.4

Perjanjian Nonproliferasi Nuklir (Nuclear Non-Proliferation Treaty) adalah

suatu perjanjian yang ditandatangi pada 1 Juli 1968 yang membatasi kepemilikan

senjata nuklir. Sebagian besar negara berdaulat (187) mengikuti perjanjian ini,

walaupun dua di antara tujuh negara yang memiliki senjata nuklir dan satu negara

yang mungkin memiliki senjata nuklir belumlah meratifikasi perjanjian ini. Perjanjian

ini diusulkan oleh Irlandia dan pertama kali ditandatangani oleh Finlandia. Pada

tanggal 11 Mei 1995, di New York, lebih dari 170 negara sepakat untuk melanjutkan

perjanjian ini tanpa batas waktu dan tanpa syarat. Perjanjian ini memiliki tiga pokok

utama, yaitu nonproliferasi, perlucutan, dan hak untuk menggunakan teknologi nuklir

untuk kepentingan damai.5

3 Andrew Butfoy, “The Future of Nuclear Strategy” di dalam Craigh A. Snyder, Contemporary Security and Strategy, London: McMillan, 1999.4 Andrew Butfoy, “The Future of Nuclear Strategy” di dalam Craigh A. Snyder, Contemporary Security and Strategy, London: McMillan, 1999.5 Bipartisan Security Group, Status of Nuclear Non-Proliferation Treaty, Interim Report (Global SecurityInstitute, June 2003), preface.

Page 4: kamglob fiiiiiix

1.2 Perumusan Masalah

Dalam makalah ini ada beberapa pokok yang menjadi acuan pembahasan. Antara

lain:

Seperti yang kita ketahui, nuklir telah mengakhiri Perang Dunia II. Nuklir

juga telah menjadi acuan perlombaan senjata pada Perang Dingin. Lalu

bagaimanakah perkembangan nuklir pasca Perang Dingin?

Defensive realism menitikberatkan deterrence theory dalam memandang

perkembangan nuklir. Seperti apakah pandangan realisme tentang

perkembangan senjata nuklir pasca Perang Dingin?

Perkembangan senjata nuklir diklaim dapat mengancam perdamaian dunia.

Perjanjian apa saja yang memfokuskan pada pengontrolan perkembangan dan

penggunaan senjata nuklir di dunia internasional?

Page 5: kamglob fiiiiiix

BAB II

LANDASAN TEORI DAN METODE ANALISIS

2.1 Landasan Teori

Dalam membahas isu tentang nuklir ini kami mengambil pendekatan melalui

pandangan defensive realism karena sifat detterence dari senjata nuklir itu sendiri

yang bersifat defensive. Sebagaimana mengutip dari kaum realist dimana kapabilitas

militer merupakan aspek utama dari power sebagaimana pandangan realist mengenai

perang itu sendiri. Pengertian perang secara formal dipahami sebagai situasi dimana

terjadi pertikaian di antara dua pihak atau lebih yang berlawanan dengan

menggunakan kekuatan militer. Dalam memandang perang, Realis sebagai pandangan

tertua dalam ilmu Hubungan Internasional mengatakan:

a. Perang merupakan fenomena yang harus terjadi dalam situasi yang anarki, hal ini

berangkat dari asumsi dasar Realis tentang Anarkisme Internasional.

b. Perang merupakan hal yang wajar terjadi, tidak hanya dikondisikan oleh struktur

yang anarki tetapi juga dikendalikan oleh sifat dasar manusia. Pemikiran ini

berangkat dari asumsi dasar kaum Realis bahwa manusia adalah makhluk

irasional dan senantiasa memiliki sifat dan keinginan dasar untuk berkelahi

(Hobbes).

c. Perang adalah fenomena wajar dan seringkali tidak dapat dihindari terutama

dalam pembentukan struktur sistem internasional.

d. Perang adalah lambang kejayaan negara.

e. Perang dianggap sebagai hal yang baik dan bermanfaat bagi pencapaian tujuan

dan demi mempertahankan kepentingan nasional dan eksistensi suatu bangsa.

Realis berasumsi bahwa lawan akan selalu menyerang terlebih dahulu dan

segera, sehingga sebelum hal itu terjadi maka perlu disiapkan kekuatan militer baik

untuk kebutuhan pertama maupun untuk penangkalan. Hal inilah yang membuat

Realis memandang strategi perang sebagai bagian penting dari strategi pertahanan

Page 6: kamglob fiiiiiix

negara. Oleh Realis, perang kemudian juga diartikan sebagai “perlindungan terhadap

kemungkinan serangan pertama lawan”.

Realisme adalah dominan yang teori yang dominan. ia menggambarkan bahwa

struggle of power umumnya pesimis tentang prospek untuk menghilangkan konflik

dan perang. realisme mendominasi karena menyediakan penjelasan yang simple

namun sangat powerful mengenai perang.

Sifat deterrence yang dimiliki oleh Nuklir membuatnya sebagai alat keamanan

yang baik bagi sebuah negara terhadap serangan negara lain. Deterrence ini

meyakinkan lawan dari negara itu dari tindakan tertentu akan lebih besar daripada

aspek potensi keuntungan. ada 3 aspek yang menjadik sifat deterrence dari nuklir itu

berhasil.

a. Komitmen

alasan yang dimiliki oleh negara itu harus dapat memperjelas tindakannya untuk

menghukum lawannya jika tindakannya tidak dapat diterima oleh nedara dan tidak

mempunyai ambiguitas sebelum adanya agresi.

b. Kapabilitas

aspek yang merujuk pada kemampuan untuk melakukan kerusakan yang pada pihak

lawan

c. kredibilitas

resoluasi dan motivasi dari negara untuk membuktikan komitmen untuk membalas

negara lawan.

Adanya sifat deterrence ini menjadikannya sangat cocok untuk dianalisis

mengunakan pendekatan Defensive Realist. Defensive Realist sendiri merupakan

turunan dari Realisme yang menyatakan bahwa setiap negara memiliki fokus pada

pertahanan dirinya yang dilakukan dengan menghalangi dan mempertahankan diri

dari kemungkinan serangan yang datang dari luar. Berbeda dengan Offensive Realist

yang menitik beratkan pada keinginin negara untuk selalu menjadi yang lebih kuat

dari negara lain, mereka selalu berusaha memperluas powernya dengan menyerang

negara lain.

Page 7: kamglob fiiiiiix

Sebagaimana pendapat para penganut Defensive Realist yakni:

Stephen Walt :

“Sebuah negara akan bereaksi bukan pada power yang dimiliki negara lain

tetapi pada kemungkinan negara lain untuk menjadi ancaman bagi negara

tersebut”

“Dalam sistem yang anarki, negara membentuk aliansi untuk

mempertahankan diri sendiri. Terlepas dari power yang mereka miliki,

aksi mereka ditentukan berdasarkan ancaman yang mereka terima atau

mereka interpretasikan.”6

Fareed Zakaria:

“sistem internasionakl memberikan insentif hanya pada kecenderungan

negara yang bersifat moderat dan beralasan, negara berusaha untuk

memaksimalkan securitynya bukan power karena security sangat penting

dalam sisten internasional”

John Measheimer

“kerjasama yang terjalin diantara great powers dapat mengurangi risiko

dari sistem internasional yang anarki dan akan memperkecil dampak dari

dilema keamanan.”

Kenneth Waltz

“adanya sistem anarki yaitu tidak adanya pusat kewenangan untuk

melindungi negara dari satu sama lain. setiap negara memiliki

kewenangan untuk bertahan hidup sendiri. waltz berpendapat bahwa

kondisi ini akan menyebabkan negara-negara yang lebih hemat untuk

keseimbangan terhadapa bukan ikut-ikutan dengan saingan yang lebih

kuat. dan ia mengklaim bipolaritas yang lebih stabil daripada

multipolaritas.”

6 Stephen Walt on Collin. E . “ Security Studies ; an introduction” , Routledge, New York, 2008. P.21

Page 8: kamglob fiiiiiix

2.2. Metode Analisis

Dalam penulisan makalah ini kami menggunakan sistem analisis SWOT

(Strength, Weakness, Opportunities dan Treat) untuk menganilisis isu mengenai

nuklir yang kami ambil untuk penulisan makalah ini. Berikut adalah penjelasannya.

Strenght

Banyaknya konflik-konflik yang tengah terjadi di dunia saat ini memaksa

negara-negara di dunia untuk mengembangkan dan meningkatkan kapabilitas militer

negaranya. Salah satu contoh pengembangan dan peningkatan kapabilitas militer

suatu negara adalah dengan mengembangkan WMD (Weapon Mass Destruction)

agar negara tersebut memiliki daya deterrence yang kuat terhadap negara lain

khususnya bagi negara-negara yang memiliki pengaruh besar terhadap negara-negara

lainnya.

Weakness

Kelemahan dari WMD (Weapon Mass Destruction) ini adalah dapat membunuh

dan melukai non-combatan. Oleh karena itu, penggunaan senjata ini diatur oleh

perjanjian-perjanjian internasional. Selain itu, kelemahan lain dari pengembangan

senjata ini adalah membutuhkan biaya yang sangat mahal dan bahan dasar pembuatan

dasar senjata ini yang menggunakan uranium sangatlah terbatas.

Opportunities

Seiring dengan berkembangnya teknologi, saat ini negara manapun dapat saja

mengembangkan nuklir dengan tujuan apapun. Penggunaan nuklir ini tidak harus

selalu digunakan sebagai senjata, namun bisa juga digunakan sebagai PLTN

(Pembangkit Tenaga Listrik Nuklir) sebagai contoh. Sekalipun ada pihak yang ingin

mengembangkan nuklir untuk dijadikan WMD (Weapon Mass Destruction) saat ini

ada IAEA yang menjaga sekaligus mengontrol pengembangan nuklir sebagai WMD

(Weapon Mass Destruction).

Page 9: kamglob fiiiiiix

Treat

Premis yang biasa terdapat di sekitar masalah persenjataan adalah semakin

banyak senjata yang tersedia maka semakin banyak yang dapat digunakan. Oleh

karena itu penggunaan senjata nuklir ini dalam strategi militer ini mengubah banyak

pandangan mengenai security dilemma saat ini. Berikut adalah pandangan yang

muncul di dunia saat ini.

1. Kehancuran yang disebabkan oleh penggunaa WMD (Weapon Mass Destruction)

dapat meningkatkan insentif setiap negara untuk saling berlomba mendapatkan

teknologi senjata ini dan mengembangkannya yang berarti meningkatkan arm

race.

2. Jika sampai perang menggunakan senjata nuklir ini terjadi maka tidak ada

pertahanan sehebat apapun yang dapat mencegah akibat penggunaannya.

Page 10: kamglob fiiiiiix

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Nuklir Pasca Perang Dingin

Perkembangan nuklir yang begitu pesat dan adanya perubahan revolusioner

dalam tataran strateginya membuat banyak kalangan percaya pada sebuah norm akan

munculnya disappearance of trial, karena dahsyatnya dampak negatif yang akan

ditimbulkan sehingga selama ini nuklir memang diklaim hanya sebagai strategi

penangkalan. Untuk memantapkan hal itu sejumlah negara melakukan suatu

perjanjian bersama yang dikenal dengan Non-Proliferation Treaty (NPT)6 pada 1 Juli

1968. Pada dasarnya perjanjian ini memiliki tiga pokok utama, yaitu non-proliferasi,

pelucutan senjata nuklir, dan hak penggunaan teknologi nuklir untuk kepentingan

damai. Tetapi yang menjadi kecemasan negara-negara penandatanganan perjanjian

tersebut adalah tidak semua negara ternyata ikut terlibat dalam perjanjian itu. Bahkan

kepada kelima negara anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa

yakni Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Rusia dan China, mereka diberikan

keleluasaan untuk tetap memiliki senjata nuklir berdasarkan Perjanjian Non-

Proliferasi itu sendiri, sehingga mereka dikenal dengan sebutan negara pemilik

senjata nuklir atau Nuclear Weapon States.

Walaupun kelima negara pemilik nuklir tersebut telah menyetujui untuk tidak

menggunakan senjata nuklirnya terhadap negara-negara non-nuklir, tetapi tetap saja

mereka memberikan pengecualian untuk merespon jikalau terdapat serangan nuklir

atau serangan konvensional yang ditujukan kepadanya. Hal ini berarti mengisyaratkan

bahwa sebenarnya tidak ada satu negara pun di dunia ini yang terbebas dari ancaman

serangan nuklir. Dengan kata lain, penggunaan nuklir sebagai alat untuk

memenangkan perang akan merubah konstelasi politik internasional karena secara

rasional, negara akan mementingkan national interest dengan instrumen military

power7 termasuk di sini adalah nuklir itu sendiri. Anggapan ini cukup beralasan jika

7 Anak Agung Banyu Perwita (2007). “ Redefinisi Konsep Keamanan: Pandangan Realisme dan Neo-Realisme dalam Hubungan Internasional Kontemporer. Dalam Yulius P. Hermawan (ed.). dalam “Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional: Aktor, Isu dan Metodologi. Bandnung: Graha Ilmu

Page 11: kamglob fiiiiiix

kita melihat bahwa pada kenyataannya pengembangan kepemilikan Weapon of Mass

Destruction seperti halnya senjata nuklir memperlihatkan domino effect theory.

Apabila satu pihak disinyalir akan memulai, maka yang lainnya – pesaing atau musuh

– akan mengambil langkah yang sama (mirror- image) untuk bisa mengunggulinya.

Fenomena penggunaan nuklir tidak terhenti hanya pada perjanjian NPT saja.

Pasca perjanjian itu, India yang tidak pernah menjadi anggota NPT tetapi melakukan

uji coba senjata nuklir yang diklaim sebagai senjata nuklir damai dengan sandi

Smiling Buddha pada 1974 dan menjadi uji coba nuklir pertama pasca

ditandatanganinya perjanjian NPT sehingga mendapat pertanyaan dunia bagaimana

teknologi nuklir sipil bisa digunakan untuk kepentingan persenjataan. Bahkan pada

tahun 1998, uji coba kedua dengan sandi Operasi Shakti dilakukan. Disinyalir hal ini

untuk menunjukkan pada RRC bahwa India juga memiliki kemampuan di bidang

nuclear weapons. Kesemuanya itu merupakan hasil kerjasama India dengan Amerika

Serikat. Suatu tindakan yang diharamkan berdasarkan Bab 3 ayat 2 Perjanjian NPT

yang menyebutkan, negara-negara pemilik teknologi nuklir dilarang untuk

mengirimkan peralatan atau mentransfer teknologi ke negara-negara non-NPT8,

bahkan untuk proyek nuklir bertujuan damai sekalipun. Hal ini ditetapkan dengan

alasan bahwa negara-negara non-NPT berada di luar pengawasan IAEA sehingga

aktivitas mereka tidak bisa dikontrol.

Secara teoretik, sebagaimana telah disebutkan di atas, nuklir lebih diarahkan

sebagai deterrence strategy. Apalagi pasca tumbangnya komunisme menyebabkan

Amerika Serikat mengubah strategi nuklirnya9. Pada tahun 1991, George Bush

mengurangi secara masif jumlah persenjataan nuklirnya dengan memusnahkan

senjata-senjata nuklir yang terpasang di kapal-kapal perangnya dan ribuan senjata

nuklir landas daratnya, terutama yang terdapat di Jerman Barat.

Tujuan dari pemusnahan ini adalah, selain merasa kemungkinan Perang Dunia

Ketiga tidak akan terjadi, juga untuk mendorong para pemimpin di Uni Soviet

melakukan hal yang serupa. Pada tahun 1994 dilakukan peninjauan ulang atas sifat,

peran dan jumlah senjata-senjata nuklir Amerika Serikat. Hasil dari peninjauan ulang

ini adalah Nuclear Posture Review (NPR) 1994. Namun, isi dari NPR 1994 ini masih

8 “Resolusi Embargo Iran dan Self Delegitimation PBB”, Harian Padang Ekspress, 26 April 20079 Sebagaimana dipublikasikan oleh Bulletin of the Atomic Scientists, edisi 2006

Page 12: kamglob fiiiiiix

bersifat konservatif. Amerika Serikat masih mengambil sikap yang terbilang fleksibel

dalam menghadapi perubahan politik internasional yang terjadi.

Pasca Perang Dingin mendorong Amerika Serikat untuk mengembangkan

pengaturan pengontrolan senjata nuklir. Upaya Amerika Serikat ini berpusat pada

perjanjian START (Strategic Arms Reduction Treaty) II yang disepakati tahun 1993.

START II berisikan kesepakatan Amerika Serikat dan Rusia untuk mengurangi

jumlah senjata nuklirnya: dari 12.000 hulu ledak nuklir pada tahun 1990 menjadi

antara 3000 dan 3500 pada tahun 2003.

Perkembangan senjata nuklir saat ini bisa dibilang memang tetap

mengimplikasikan deterrence theory dan masih menjadi sebuah ajang arm-race bagi

negara-negara di dunia, dengan kecenderungan mengejar nilai prestis dan atas dasar

fenomena security dilemma yang terjadi dalam sistem internasional walaupun telah

ada perjanjian-perjanjian dan aturan-aturan yang telah diimplementasikan.

3.2 Pandangan Realisme Terhadap Pengembangan Senjata Nuklir Paska Perang

Dingin.

Penggunaan nuklir sebagai alat untuk memenangkan perang akan merubah

konstelasi politik internasional karena secara rasional, negara akan mementingkan

national interest dengan instrumen military power10 termasuk di sini adalah nuklir itu

sendiri. Anggapan ini cukup beralasan jika kita melihat bahwa pada kenyataannya

pengembangan kepemilikan Weapon of Mass Destruction seperti halnya senjata

nuklir memperlihatkan domino effect theory. Apabila satu pihak disinyalir akan

memulai, maka yang lainnya – pesaing atau musuh – akan mengambil langkah yang

sama (mirror- image) untuk bisa mengunggulinya.

Perlombaan Senjata (Arm Race) yang terjadi di dunia saat ini, memang

mengimplikasikan deterrence theory, yang mana merupakan salah satu empasis dari

perspektif defensive realism. Menurut Stephen Walt, yang merupakan salah satu

pemikir defensive realism, “Sebuah negara akan bereaksi bukan pada power yang

10 Lihat Anak Agung Banyu Perwita (2007). “ Redefinisi Konsep Keamanan: Pandangan Realisme dan Neo-Realisme dalam Hubungan Internasional Kontemporer. Dalam Yulius P. Hermawan (ed.). dalam “Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional: Aktor, Isu dan Metodologi. Bandnung: Graha Ilmu

Page 13: kamglob fiiiiiix

dimiliki negara lain tetapi pada kemungkinan negara lain untuk menjadi ancaman

bagi negara tersebut” Dalam sistem yang anarki, negara membentuk aliansi untuk

mempertahankan diri sendiri. Terlepas dari power yang mereka miliki, aksi mereka

ditentukan berdasarkan ancaman yang mereka terima atau mereka interpretasikan.

Dalam hal ini nuklir tidak diinterpretasikan sebagai senjata yang “siap pakai”,

melainkan sebagai instrumen bagi suatu negara untuk menangkal pengaruh serta

potensi ancaman dari negara lain, yang pada beberapa kasus, negara – negara

hegemon. Meskipun sudah tidak ada “dinamika” bipolaritas dalam sistem

internasional seperti pada masa perang dingin, penggunaan senjata nuklir sebagai

instrumen pencegahan (baca : deterrence) tetap diadopsi oleh beberapa negara yang

memiliki kapabilitas dalam mengembangkan nuklir.

Dengan banyaknya negara – negara yang memiliki kapabilitas dalam

mengembangkan nuklir, banyak negara - negara lain yang terpengaruh untuk

memiliki kapabilitas tersebut. Hal ini terjadi karena adanya kesempatan bagi negara –

negara yang juga ternyata memiliki kapabilitas untuk mengembangkan senjata nuklir

guna turut memiliki sifat deterrence tersebut.

Premis yang biasa terdapat di sekitar masalah persenjataan adalah semakin

banyak senjata yang tersedia maka semakin banyak yang dapat digunakan. Oleh

karena itu penggunaan senjata nuklir ini dalam strategi militer ini mengubah banyak

pandangan mengenai security dilemma saat ini. singkatnya, terciptanya WMD tidak

lepas dari konflik – konflik yang terjadi yang terjadi, menyebabkan suatu negara

harus memiliki kapabilitas militer yang kuat, guna memiliki daya deterrence yang

kuat terhadap potensi ancaman eksternal.

3.3 Deterrence Theory

Meskipun senjata nuklir telah pernah digunakan untuk memenangkan perang,

sejarah menunjukkan sebagai sebuah persenjataan, nuklir lebih banyak digunakan

sebagai instrumen penangkalan (deterrence) daripada untuk memenangkan perang.

Page 14: kamglob fiiiiiix

Hal tersebut kemungkinan terjadi karena kedua Blok baik Barat maupun Timur yang

saling bertikai saat Perang Dingin, memiliki kapasitas nuklir yang relatif berimbang,

sehingga kedua belah pihak merasa akan terkena dampak besar jika sampai terlibat

perang nuklir.

Di dalam nuclear deterrence, nuklir digunakan untuk mencegah negara musuh

melakukan serangan, dengan memberikan jaminan bahwa serangan tersebut akan

dibalas menggunakan senjata nuklir yang akan menimbulkan kerugian lebih besar

dari tujuan yang hendak dicapai negara lawan dan hal ini juga yang membuat bahwa

nuclear strategy lebih bersifat executive decision.

Misalkan kita tahu bahwa negara tetangga kita memiliki senjata nuklir, pasti

dalam kebijakan negara kita akan ada suatu strategi untuk menangkalnya entah itu

dengan mengadakan perjanjian non-agresi ataupun melakukan deterrence dengan cara

mengembangkan persenjataan penangkal lebih lanjut yang kira-kira efektif untuk

menangkal serangan senjata itu dan bahkan kita dapat membalasnya.

Terdapat dua tipe utama deterrence yaitu:

General Deterrence mencoba untuk mengcounter persuasi dari lawan dalam

rangka menghadapi tantangan terhadap national interest.

Sedangkan Immediate Deterrence adalah respon terhadap hal yang lebih spesifik

terahadap resiko atau ancaman untuk masa yang akan datang.

Deterrence yang berhasil dengan baik mensyaratkan “three Cs”:

Commitment

Merupakan langkah awal dalam deterrence, yang harus dimulai dengan jelas dan

tidak mengandung ambiguitas sebelum pihak lawan melakukan tindakan agresi.

Negara yang bersangkutan harus memperjelas tindakannya untuk menghukum pihak

lawan jika mereka melakukan tindakan yang tidak dapat diterima oleh defender.

Capability

Merupakan sebuah aspek yang merujuk pada kemampuan untuk melakukan

kerusakan yang parah pada aggressor.

Credibility

Page 15: kamglob fiiiiiix

Resolusi dan motivasi dari defending state untuk membuktikan komitmen untuk

membalas Negara aggressor.

Dalam hal ini lawan harus bersikap cukup rasional untuk menyadari perkiraan

biaya yang harus dikeluarkan dan keuntungan dari penyerangan tersebut. Kedua

pihak mengembangkan apa yang disebut sebagai kemampuan ”serangan kedua”

(second strike), yang berarti mereka bisa melancarkan serangan menghancurkan,

bahkan setelah menderita serangan penuh (first strike) dari pihak lawan. Serangan

kedua ini khususnya dilakukan dari kapal selam. Strategi ini dikenal dengan nama

Mutual Assured Destruction (MAD) atau ”Kehancuran Pasti Dua Belah Pihak”.

3.4 Proliferation Treaties

Perjanjian-Perjanjian Senjata Nuklir11

1. Limited Test Ban Treaty, 1963

Negara : United Kingdom, United States, USSR, dan lebih dari 100 negara

lainnya kecuali Perancis dan China.

Komitmen : Meng-ilegal-kan ledakan nuklir diudara, bawah air, dan luar

angkasa. Percobaan bawah tanah masih diperbolehkan.

2. Non-Proliferation Treaty (NPT), 1968

Negara : Lebih dari 100 negara

Komitmen : Melarang “nuclear weapon states” membantu negara lain

untuk mendapatkan senjata nuklir. “non-nuclear weapon state” terlarang

untuk memproduksi atau dengan kata lain mendapatkan senjata nuklir dan

penting untuk memasukkan program nuklir mereka untuk dimonitoring oleh

International Atomic Energy Agency (IAEA).

3. Threshold Test Ban Treaty, 1974

Negara : United States, USSR

11 Steven Spiegel. World Politics in New Era. Belmont. 2002

Page 16: kamglob fiiiiiix

Komitmen : Membatasi ledakan bawah tanah hingga batas tertinggi

yaitu 150 kilotons.

4. Strategic Arms Limitation Treaty (SALT I), 1972

Negara : United States, USSR

Komitmen : Perjanjian sementara menetapkan batas maksimum dari

pengiriman senjata land and sea based strategic nuclear. Kedua belah pihak

diizinkan untuk memilikinya sementara, dalam negosiasi perjanjian yang lebih

substantive yang akan ditandatangani dalam waktu yang akan datang. Tidak

ada pengorbanan yang penting bagi kedua belah pihak karena hal ini tidak

merupakan perubahan kualitatif yang illegal seperti MIRVs.

5. Anti-Ballistic Missile (ABM) Treaty, 1972

Negara : United States, USSR

Komitmen : Membatasi kedua belah pihak untuk tidak memiliki lebih

dari dua lokasi ABM, dengan tidak lebih dari 100 interceptor misil setiap

lokasinya. Protocol tambahan pada tahun 1947 lebih membatasi penggunaan

ballistic missile defense system kepada sebuah lokasi yang didesain oleh satiap

Negara. United States keluar dari perjanjian ini pada tahun 2002.

6. SALT II, 1979

Negara : United States, USSR, tidak pernah diratifikasi oleh senat US,

karena invansi Soviet ke Afganistan

Komitmen : Walaupun tidak diratifikasi, kedua belah pihak tetap

mempunyai rencana yang besar terhadap perjanjian ini, dimana maksimal

kira-kira 2.400 peluncuran nuklir bagi kedua superpower mulai akhir 1981

sampai perjenjian berakhir 1985.

7. Intermediate-Range Nuclear Forces (INF) Treaty, 1987

Negara : United States, USSR

Page 17: kamglob fiiiiiix

Komitmen : Mengeliminasi secara total misil nuklir dengan range 310

menjadi 3.400 mil

8. Strategic Arms Reduction Treaty (START I), 1991

Negara : United States, USSR

Komitmen : perjanjian persenjataan pertama yang memandatkan

pengurangan original dalam senjata strategis. Parameter utama di tetapkan

1.600 peluncuran nuklir dan 6.000 warheads untuk masing-masing Negara.

9. START II, 1993

Negara : United States, USSR

Komitmen : Mengurangi nuklir strtegis antara 3.000 sampai 3.500

warheads pada 2003. mengeliminasi MIRVed ICBMs secara penuh, SLBM

warheads dibatasi hingga 1.750.

10. Comprehensive Nuclear Test-Ban Treaty, 1996

Negara : Lebih dari 100 negara

Komitmen : Melarang percobaan nuklir segala jenis peledak nuklir.

Tidak hingga 2003

11. Strategic Offensive Reduction Treaty (SORT), 2002

Negara : United States, USSR

Komitmen : Mengurangi persediaan persenjataan nuklir hingga antara

1.700 dan 2.200 pada tahun 2012.

Pilar – Pilar Persetujuan NPT 1968

Page 18: kamglob fiiiiiix

Pilar pertama: Non-Proliferation

5 bangsa yang telah diakui oleh Non-Proliferation Treaties sebagai bangsa yang

memiliki teknologi senjata nuklir, yaitu:

1968 – Uni Soviet (Obligasi dan hak asasi diasumsikan oleh Federasi Rusia),

Inggris dan Amerika Serikat

1992 – Cina dan Perancis

Amerika, Inggris dan Uni Soviet adalah bangsa-bangsa yang hanya terbuka

dalam hal kepemilikannya terhadap senjata nuklir antara perjanjian asli yang telah

diratifikasi, yang mulai diberlakukan pada tahun 1970). 5 bangsa ini setuju untuk

tidak mentransfer senjata nuklir atau perangkat apapun untuk meledakkan nuklir dan

tidak dengan cara apapun untuk membantu, mendorong, atau menyebabkan bangsa-

bangsa yang tidak memiliki senjata nuklir (NNWS – Non-Nuclear Weapon States)

untuk memperoleh senjata nuklir. Anggota NNWS setuju untuk menerima,

mengembangkan, ataupun memperoleh senjata nuklir atau perangkat apapun yang

digunakan untuk meledakkan nuklir dan mereka juga setuju untuk mendapatkan

keamanan dari International Atomic Energy Agency (IAEA) untuk memferivikasikan

dimana mereka tidak akan mengubah energi nuklir dari penggunaannya yang damai

menjadi senjata nuklir ataupun perangkat apapun yang digunakan untuk meledakkan

nuklir.

Kelima anggota negara yang memiliki senjata nuklir telah membuat usahanya

untuk tidak menggunakan senjata nuklir terhadap negara-negara yang tidak memiliki

senjata nuklir (NNWS), kecuali dalam hal respon terhadap ancaman mengenai

serangan menggunakan senjata nuklir ataupun serangan yang bersifat konvensional di

dalam aliansinya dengan bangsa-bangsa yang memiliki teknologi senjata nuklir.

Bagaimanapun juga, usaha-usaha ini belom dikorporasi secara formal kedalam

sebuah perjanjian dan rincian yang tepat telah bervariasi dari waktu ke waktu.

Amerika Serikat juga memiliki hulu ledak nuklir yang ditargetkan kepada Korea

Utara, sebuah negara NNWS, dari tahun 1959 hingga tahun 1991. Mantan Menteri

Pertahanan Inggris, Geoff Honn, telah secara eksplisit memunculkan kemungkinan

penggunaan negara yang memiliki senjata nuklir di dalam responnya terhadap

serangan non-konvensional “rogue states”. Presiden Perancis Jackues Chirac

Page 19: kamglob fiiiiiix

mengindikasikan bahwa insiden terorisme yang disponsori oleh sebuah negara di

Prancis dapat memicu sebuah tindakan balasan dengan menggunakan nuklir dalam

skala yang kecil yang mengarah dalam menghancurkan kekuatan utama dari “rogue

states” .

Pilar kedua: pelucutan senjata

Pembukaan atau kata pengantar dari Non-Proliferation Treaties mengandung

bahasa yang menegaskan keinginan penandatangan perjanjian untuk meredakan

ketegangan internasional dan memperkuat kepercayaan internasional dan keinginan

penandatangan perjanjian untuk meredakan ketegangan internasional dan perjanjian

mengenai perlucutan senjata umum dan lengkap yang melikuidasi, khususnya

persenjataan nuklir dan kendaraan-kendaraan yang dipergunakan dalam hal

pengiriman yang mereka punya dari persenjataan tradisional.

Beberapa pemerintah, terutama yang berasal dari negara yang tidak memiliki

teknologi senjata nuklir yang dimiliki oleh Gerakan Non-Blok, telah

menginterpretasikan bahasa artikel VI menjadi suatu hal yang samar-samar. Dalam

pandangan mereka, Artikel VI mengkonstitusikan sebuah obligasi yang formal dan

spesifik di dalam Non-Proliferation Treaties – menyadari bahwa senjata nuklir yang

dimiliki oleh bangsa-bangsa yang memilikinya melucuti persenjataan nuklir yang

mereka miliki, memiliki pendapat dan berargumen bahwa bangsa-bangsa ini gagal

untuk menemukan atau menentukan obligasinya. Beberapa delegasi kepemerintahan

untuk menghadiri konferensi pelucutan senjata dengan menaruh 4 buah proposal

untuk kebijakan mengenai pulucutan senjata yang final dan bersifat universal.

Namun, tidak ada perjanjian mengenai pelucutan senjata yang telah muncul

sebelumnya dari 4 buah pengajuan proposal tersebut.

Kritik dari Non-Proliferation Treaties – sadar bahwa senjata nuklir yang

dimiliki oleh beberapa bangsa terkadang menjadi sebuah argumen yang mengatakan

dan memiliki pandangan bahwa hal tersebut adalah bukti kekegalan dari Non-

Proliferation Treaties – yang seharusnya menyadarkan bangsa-bangsa yang memiliki

teknologi senjata nuklir untuk melucuti persenjataan nuklir mereka, terutama pada

Page 20: kamglob fiiiiiix

masa pasca perang dingin, telah membuat geram para anggota Non-Proliferation

Treaties terhadap perjanjian tersebut.

Pengamat yang lainnya telah menyarankan hubungan antara proliferasi dan

pelucutan senjata dapat juga bekerja dalam arah yang berbeda, bahwa kegagalan

untuk memperbaiki ancaman terhadap proliferasi di Iran dan Korea Utara, misalnya,

akan melumpuhkan prospek dari pelucutan senjata.

Pilar Ketiga: Kedamaian Dalam Penggunaan Energi Nuklir

Pilar ketiga mempersilahkan dan setuju terhadap pengiriman teknologi nuklir

dan material-materialnya kepada bangsa-bangsa yang menandatangani Non-

Proliferation Treaties untuk pengembangan energi nuklir untuk masyarakat bangsa-

bangsa tersebut, selama mereka bisa mendemonstrasikan bahkan membuktikan

bahwa pengembangan tersebut tidak digunakan untuk pengembangan teknologi

senjata nuklir.

Bangsa-bangsa yang telah menandatangani perjanjian sebagai bangsa yang tidak

memiliki dan akan mengembangkan teknologi senjata nuklir, akan tetap bahkan harus

menjaga statusnya untuk tidak mengembangkan teknologi senjata nuklir.

Bagaimanapun juga, sebagai contohnya Korea Utara tidak pernah mencapai ke tahap

pemenuhan terhadap perjanjian keamanan sesuai dengan Non-Proliferation Treaties

dan telah dikutip secara berulang-ulang untuk pelanggaran ini.

3.5 Hambatan – hambatan dalam pengendalian pengembangan senjata nuklir

Membatasi atau mengurangi pembuatan senjata nuklir adalah impian setiap

orang, pada kenyataannya hal ini berjalan cenderung lambat. Ada permasalahan

utama yang menjadi hambatan yaitu, security barriers, verification barriers dan

domextic barriers

Security barriers, menjadi penyebab utama dalam sulitnya melucuti negara-

negara pemilik senjata nuklir. Negara tersebut memikirkan kemungkinan konflik di

masa depan dimana dapat saja terjadi serangan dari teroris maupun rough state

dengan senjata pemusnah massal apalagi setelah tragedi 9/11, mereka (khususnya

AS) harus memiliki kemampuan untuk membalas dengan telak. Alasan keamanan

Page 21: kamglob fiiiiiix

lainnya adalah, mereka ragu terhadap keuntungan ikut serta dalam perjanjian

mengenai senjata nuklir, apakah dengan menandatangani perjanjian tersebut memiliki

keuntungan yang lebih baik daripada mempertahankan sendiri kepemilikan senjata

nuklir tersebut? Pertanyaan seperti itulah yang timbul dalam benak setiap negara

pemilik nuklir yang ‘diajak’ untuk mengurangi senjatanya.

Verification Barriers, sikap ketidakpercayaan terhadap negara lain dan berpikir

bahwa negara lain tersebut akan bertindak curang. Jika suatu negara menandatangani

NPT (non-proliferation nuclear), negara tersebut harus bersedia di inspeksi setiap

fasilitas nuklir yang ada (on-site inspection) baik itu untuk pembangkit listrik maupun

fasilitas senjatanya. Dengan semakin majunya teknologi yang ada, verifikasi terhadap

suatu fasilitas nuklir menjadi lebih mudah.

Domestic barriers, setiap negara memiliki proses pengambilan keputusan yang

berbeda-beda, bisa saja jika suatu pemerintahan menginginkan untuk mengurangi

arsenal nuklir mereka akan tetapi di tentang oleh kaum oposisi atau pihak militer

yang tentunya memiliki kepentingan terhadap senjata tersebut. Hambatan domestik

lainnya adalah bahwa senjata nuklir menjadi kebanggan tersendiri bagi dalam negeri

mereka atau national pride, senjata nuklir menggambarkan kapabilitas tangible militer

mereka terhadap negara lain.

BAB IV

Page 22: kamglob fiiiiiix

KESIMPULAN

Dari uraian diatas kami menyimpulkan bahwa terciptanya senjata pemusnah

massal tidak lepas dari ancaman konflik yang mengintai setiap negara di dunia.

Berakhirnya perang dingin bukan lah akhir dari perlombaan persenjataan yang ada

didunia begitu juga dalam hal nuklir ini. Sifat nuklir yang deterrence menyebabkan

banyak negara yang walaupun tidak memiliki otoritas untuk mengembangkan nuklir

tetapi memiliki kapabilitas untuk mengembangkannya terpacu untuk turut memiliki

sifat deterrence ini.

Meskipun sudah tidak ada lagi pola bipolaritas dalam sistem internasional,

pencarian status deterrence ini telah mengubah pola dalam hubungan internasional

dimana kapabilitas nuklir yang dimiliki oleh negara-negara didunia bukannya

berkurang tetapi menjadi terbagi kedalam kutub-kutub hegemon kawasan. Selain

pencarian atas status deterrence, pengembangan kepemilikan Weapon of Mass

Destruction seperti halnya senjata nuklir memperlihatkan domino effect theory.

Apabila satu pihak disinyalir akan memulai, maka yang lainnya – pesaing atau musuh

– akan mengambil langkah yang sama (mirror- image) untuk bisa menangkalnya.

Nuklir merupakan fenomena yang menjadi dilemma bagi keamanan dunia

sebagai warisan perang dingin, namun permasalahan yang terjadi menjadi lebih

kompleks setelah berakhirnya perang dingin. Membatasi atau mengurangi pembuatan

senjata nuklir adalah impian setiap orang, pada kenyataannya hal ini berjalan

cenderung lambat. Ada permasalahan utama yang menjadi hambatan yaitu, security

barriers, verification barriers dan domextic barrier.

Bahaya dari nuklir ini jika digunakan adalah manusia terancam punah jika

perang nuklir benar-benar terjadi karena efek dari musim dingin nuklir dimana debu

terlontar ke langit dan menutupi sinar matahari sehingga tidak sampai ke bumi.

Menyadari akan hal itu kita semua tentu berharap negara yang tergabung dalam klub

elit nuklir seharusnya menghancurkan atau setidaknya mengurangi arsenal nuklirnya

yang ada demi pertimbangan kelangsungan umat manusia dari ancaman yang

sewaktu-waktu dapat menjadi sebuah bencana teknologi terdahsyat.

Page 23: kamglob fiiiiiix

Melihat perkembangan teknologi nuklir sekarang, sangat penting sekali bagi

semua pihak mencermatinya dengan bijaksana, terutama tentang kemungkinan

negara-negara non-proliferation akan memiliki senjata nuklir. Sebenarnya cara-cara

Amerika yang mengancam untuk melakukan pre-emptive strike terhadap negara

tersebut sekarang ini sangat tidak efektif, akan lebih baik jika menggunakan jalur

dialog agar menemukan penyelesaian yang lebih bermartabat. Suatu negara bukan

tidak mungkin melucuti senjata nuklirnya, contohnya adalah Afrika Selatan yang

ketika Apharteid berlangsung berhasil menciptakan enam buah senjata nuklir, akan

tetapi dengan kerelaan sendiri membongkar kembali senjata yang dimilikinya. Ketika

suatu negara merasa bahwa senjata nuklir lebih banyak merugikan daripada

menguntungkan maka seketika itu pula seharusnya mereka menghapuskan semua

senjata nuklir yang ada di dunia ini.

International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai otoritas atom tertinggi di

bumi ini harus berani bertindak tegas dalam masalah senjata nuklir dengan selalu

rutin mengadakan inspeksi pada setiap negara yang memiliki fasilitas nuklir baik itu

sebgai senjata ataupun digunakan untuk keperluan lainnya. Akan tetapi peran IAEA

juga harus adil dalam artian tidak terkekang oleh tekanan dari negara maju seperti

Amerika Serikat yang menggunakan tangan IAEA sebagai pengatur monopoli nuklir.

Ada satu hal yang menjadi pertanyaan, haruskah kita melihat tragedi yang lebih

dahsyat dari pemboman Hiroshima-Nagasaki terjadi kembali? walaupun

kapabilitasnya yang sangat besar dalam hal menangkal ancaman dari luar dan sebagai

hard power yang sangat berpengaruh, perlombaan persenjataan nuklir hanya akan

membawa dunia dalam kondisi chaos dan memungkinkan pecahnya perang nuklir

yang akan berujung pada musnahnya umat manusia.

Page 24: kamglob fiiiiiix

Daftar Pustaka

J. Kusnanto Anggoro, “Strategi Penangkalan Uni Soviet”, Jurnal Analisa, No. 2,

Tahun 1986.

A.R. Sutopo, “Perkembangan Pemikiran Strategi Nuklir Barat”, Jurnal Analisa,

No. 2, Tahun 1986.

Andrew Butfoy, “The Future of Nuclear Strategy” di dalam Craigh A. Snyder,

Contemporary Security and Strategy, London: McMillan, 1999.

Stephen Walt on Collin. E . “ Security Studies ; an introduction” , Routledge,

New York, 2008. P.21

Anak Agung Banyu Perwita (2007). “ Redefinisi Konsep Keamanan: Pandangan

Realisme dan Neo-Realisme dalam Hubungan Internasional Kontemporer. Dalam

Yulius P. Hermawan (ed.). dalam “Transformasi dalam Studi Hubungan

Internasional: Aktor, Isu dan Metodologi. Bandnung: Graha Ilmu

Sebagaimana dipublikasikan oleh Bulletin of the Atomic Scientists, edisi 2006

Steven Spiegel. World Politics in New Era. Belmont. 2002

Page 25: kamglob fiiiiiix

Pengembangan Nuklir Sebagai Senjata Pemusnah Masal

Pasca Perang Dingin

Tugas Kelompok Mata Kuliah Keamanan Global

Jurusan Ilmu Hubungan Internasional

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Padjadjaran

Jatinangor

2011

Page 26: kamglob fiiiiiix

Disusun Oleh :

Boyke Gunawan 170210080011

Azka Yasyfa 170210080012

Triyasa Pratiwi 170210080035

Arterino Propadono 170210080078

Reza Mayhendra 170210080085

Radhi Aufar 170210080095

Rifqi A.P.T.A 170210080096

Randy Brahmantyo 170210080110

Abiyoga 170210080129

Natanael Simbolon 170210080140

Judishtia Esa A.S. 170210080152

M. Jussi T.N. 170210080162

Ardasha S.S. 170210080210

Dipta Oktorefa 170210080227

Page 27: kamglob fiiiiiix

Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

1.2. Perumusan Masalah

BAB II LANDASAN TEORI DAN METODE ANALISIS

2.1. Landasan Teori

2.2. Metode Analisis

BAB III PEMBAHASAN

3.1. Nuklir Pasca Perang Dingin

3.2. Pandangan Realisme Terhadap Pengembangan Senjata Nuklir Pasca

Perang Dingin.

3.3. Deterrence Theory

3.4. Proliferation Treaties

3.5. Hambatan – hambatan dalam pengendalian pengembangan senjata

nuklir

BAB IV KESIMPULAN