kalamsiasi v2n2 sept 2009

Upload: totok-wahyu-abadi

Post on 15-Jul-2015

208 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

KALAMSIASIJurnal Ilmu Komunikasi dan Ilmu Administrasi NegaraVol. 2, No. 2, September 2009

Daftar IsiPemberdayaan Poltik Perempuan Di Tingkat Desa: Akses, Partisipasi, Dan Kontrol Perempuan Dalam Proses Politik Isnaini Rodiyah dan Imam Sofyan ......................................................... Pola Interaksi Pemulung pada TPA Supit Urang Kelurahan Mulyorejo Kecamatan Sukun Kota Malang: Distribusi Arus Informasi Pasar, Kerja, dan Pendapatan dalam Rangka Menunjang Kota Malang sebagai Kota Adipura Ainur Rochmaniah ................................................................................ Self Concept dan Kecenderungan Perilaku Depresif pada Anak (Studi pada Siswa Sekolah Dasar di Kabupaten Sidoarjo) Effy Wardaty Maryam ............................................................................. Persepsi Penonton Televisi terhadap Tayangan Reka Ulang Peristiwa Kriminal Didik Hariyanto .................................................................................... Implementasi Sistem Administrasi Kependudukan di Kabupaten Sidoarjo Andik Afandi dan Lusi Indah Sari ......................................................... Partisipasi Anggota Kelompok Tani pada Kegiatan Penyuluhan Pertanian dalam Perspektif Kebenaran Koherensi Totok Wahyu Abadi dan Syafril Hadi ..................................................... Calon Perseorangan Implikasi Mendasar dari Perubahan Politik Lokal Sufyanto................................................................................................ Primodialisme dan Munculnya Islam dalam Politik di Indonesia Lusi Andriyani ...................................................................................... 191-200 177-190 161-176 143-160 135-142 125-134 115-123 103-114

KATA PENGANTARAssalamualaikum Wr.Wb. Pembaca yang budiman, Alhamdulillah, Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas terbitnya Jurnal Kalamsiasi Vol. 2 No. 2 Maret 2009 ini. Semoga apa yang tersaji dalam edisi ini dapat menambah wawasan pengetahuan dalam kerangka mengasah dan meningkatkan kualitas keilmuan kita. Dalam edisi ini, Jurnal KALAMSIASI menyajikan beragam topik yang menyangkut perkembangan ilmu-ilmu sosial humanora, khususnya bidang kajian ilmu komunikasi, administrasi publik dan kajian ilmu-ilmu sosial politik lainnya yang sejalan dengan Jurnal KALAMSIASI. Bidang kajian ilmu politik, Isnaini Rodiyah dan Imam Sofyan, mengetengahkan masalah Pemberdayaan Poltik Perempuan Di Tingkat Desa: Akses, Partisipasi, Dan Kontrol Perempuan Dalam Proses Politik. Bidang kajian ilmu komunikasi, Ainur Rochmaniah, menelaah Pola Interaksi Pemulung pada TPA Supit Urang Kelurahan Mulyorejo Kecamatan Sukun Kota Malang: Distribusi Arus Informasi Pasar, Kerja, dan Pendapatan dalam Rangka Menunjang Kota Malang sebagai Kota Adipura. Didik Hariyanto, membahas Persepsi Penonton Televisi terhadap Tayangan Reka Ulang Peristiwa Kriminal Bidang kajian ilmu-ilmu sosial humaniora, Effy Wardaty Maryam menelisik Self Concept dan Kecenderungan Perilaku Depresif pada Anak. Totok Wahyu Abadi dan Syafril Hadi menelaah Partisipasi Anggota Kelompok Tani pada Kegiatan Penyuluhan Pertanian dalam Perspektif Kebenaran Koherens Bidang kajian ilmu administrasi publik, Andik Afandi dan Lusi Indah Sari membahas Implementasi Sistem Administrasi Kependudukan di Kabupaten Sidoarjo, Sufyanto menelaah Calon Perseorangan Implikasi Mendasar dari Perubahan Politik Lokal, Lusi Andriyani menelisik Primodialisme dan Munculnya Islam dalam Politik di Indonesia Akhir kata, saran dan kritik selalu kami nantikan untuk kebaikan Jurnal yang kita cintai ini di masa-masa yang akan datang. Selamat Membaca

Wassalamualaikum wr.wb.

Penyunting

PEMBERDAYAAN POLTIK PEREMPUAN DI TINGKAT DESA: AKSES, PARTISIPASI, DAN KONTROL PEREMPUAN DALAM PROSES POLITIKIsnaini Rodiyah* Imam Sofyan**(*Dosen Ilmu Administrasi Publik FISIP Universitas Muhammadiyah Sidoarjo Jalan Majapahit 666 B Sidoarjo, Telp.8945444, Fax. 031-8949333) (**Dosen Ilmu Komunikasi FISIB Universitas Trunojoyo E-Mail: [email protected])

ABSTRACTGender becomes an interesting issue to study primarily in the political field. The existence of regulations that require the involvement of women in the political field minimally of 30% is a challenge for women to use their access, participation and control in the political process. However, the problems facing by womens political empowerment are struggling with a deteriorating quality of women lives, and also a patriarchal culture format that is still relatively strong, particularly in the village community level. The qualitative descriptive research aims at explaining womens access, participation and control in the political process at the village level in Kabupaten Sidoarjo. The study applies descriptive qualitative method. The results show that womens access in the political process in the village level are extensive, but they cannot use it to carry womens interests. Womens participation in the political process is on the stage of supports rather than on the participation in decision-making process. The womens control in the political process has been still insubstantial. Key words: womens political empowerment, gender, patriarchal culture, access, participation, control, political process

PENDAHULUANEra otonomi memberi peluang kemandirian bagi desa untuk mencapai tingkat kesejahteraan yang lebih baik. Berlakunya otonomi desa diharapkan103

membawa dampak positif bagi kaum perempuan karena dapat merangsang keterlibatan perempuan dalam urusanurusan yang berhubungan dengan usaha peningkatan kesejahteraan, meski disadari

104

KALAMSIASI, Vol. 2, No. 2, September 2009, 103 - 114

masih terdapat kemungkinan munculnya ketimpangan gender dalam masyarakat. Di samping itu, terdapat anggapan bahwa otonomi tersebut, maka para perempuan desa akan tertarik atau terdorong melibatkan diri dalam urusan publik di desa, dan dengan keterlibatan perempuan di dalamnya maka tingkat kesejahteraannya akan meningkat. Persoalan ketimpangan gender pada masyarakat desa terjadi lebih pelik dan problematik dibandingkan dengan masyarakat urban. Tekanan struktur sosial ekonomi pedesaan dan format budaya patriarki masih relatif kuat. Akibatnya perempuan masih dianggap sebagai ruang domestik dengan konsekuensi bahwa perempuan menjadi tersubordinasi dan tak kuasa menghadapi determinasi tekanan lingkungan eksternal di sekitarnya. Dengan posisi seperti itu, partisipasi perempuan dalam wujud kontrol desa pun menjadi terabaikan. Padahal proses revitalisasi kelembagaan desa diharapkan mampu mendorong tata pemerintahan yang baik (Good Governance) yang diarahkan pada usaha untuk meletakkan unsur representasi sebagai prinsip dalam tata pemerintahan yang baik dengan didukung oleh partisipasi perempuan. Sehingga dapat diharapkan terjadinya perubahan ke arah yang lebih baik dalam hal kesejahteraan. Peran serta/partisipasi perempuan pada proses-proses pengambilan keputusan kebijakan pemerintahan desa dipresentasikan perempuan sebagai komunitas sosial sendiri, sehingga kehadiran fisik dan kapasitas yang mencerminkan aspirasi dan kepentingan perempuan

dapat terakomodasi secara nyata sehingga akan membantu terbentuknya proses desentralisasi yang baik dan akhirnya nanti akan mendorong menuju bentuk pemerintahan yang baik dan kehidupan yang sejahtera. Namun secara umum, ditemukan bahwa aspirasi politik perempuan relatif lemah, baik dalam proses pembuatan kebijakan lokal desa maupun untuk mengatur aktivitasnya sendiri. Partisipasi lebih dimaknai sebagai sebuah proses mobilisasi masyarakat untuk suatu kepentingan pembangunan dengan mengatasnamakan kesukarelaan atau berkorban demi nusa dan bangsa. Hal ini dapat dilihat melalui akses kontrol dan suara kelompok perempuan dalam policy making process. Realitas empirik mengindikasikan minimnya ruang publik yang dapat dijadikan ruang untuk berpartisipasi dalam proses kebijakan untuk kaum perempuan. Forum warga sebagai ruang publik tingkat desa tidak lagi berjalan efektif, namun lebih banyak berlangsung ditingkat bawahnya. Hanya saja kepentingan kelompok perempuan seringkali tidak terakomodasikan, bahkan kepentingan warga hanya terlibat dalam manifestasi penampungan aspirasi, tanpa adanya tindak lanjut. Lebih dari itu, pembedaan akses pendidikan laki-laki dan perempuan berimplikasi pada diferensiasi dan dominasi pengusaan IPTEK, akses informasi dan komunikasi, sehingga perempuan terhambat dalam membangun jaringan di wilayah publik. Informasi politik selalu diterima berdasarkan perspektif laki-laki, sehingga perempuan berasumsi bahwa politik menjadi fenomena di luar dirinya.

Isnaini Rodiyah & Imam Sofyan, Pemberdayaan Poltik Perempuan Di Tingkat Desa

105

Selain itu, hambatan yang bersifat internal adalah pencitraan perempuan sendiri sebagai mahluk yang lemah, tidak mandiri, kurang tanggung jawab yang sudah terinternalisasi dan inherent dalam mindset, dirasakan perempuan sebagai fitrah, bawaan dan kodrati. Kondisi tersebut mengakibatkan perempuan terjebak dalam konstruksi sosial yang bisa menjadi kendala bagi perempuan dalam proses aktualisasi potensi dirinya padahal aktualisasi ini diyakini sebagai bentuk dari pemberdayaan perempuan itu sendiri. Kekurangpahaman mengukur potensi diri menyebabkan perempuan desa seolah kehilangan jati dirinya. Sebagai konsekuensinya, pola pikir perempuan desa menjadi sangat akrab dengan kepasrahan, sengaja atau tidak akan dimanfaatkan oleh kekuatan superioritas laki-laki. Persoalan tersebut menjadi lebih kompleks karena aktivitas perempuan dalam berbagai kegiatan institusi yang ada umumnya masih terbatas pada hal-hal yang selain ritual dan seremonial, juga bias gender akibat ketidaksadaran dan ketidakberdayaan tentang hak-hak perempuan. Minimnya akses kelompok perempuan untuk mengaktualisasikan partipasinya dalam pembuatan kebijakan publik berdampak pada lemahnya kontrol kelompok perempuan terhadap proses pembuatan kebijakan tersebut. Secara tidak langsung, hal ini berimplikasi pada rendahnya kapasitas kelompok perempuan dalam hal pembuatan kebijakan karena tidak memahami secara jelas latar belakang atau dasar pemikiran suatu kebijakan. Akibatnya, suara mereka seringkali tidak didengarkan karena

dianggap tidak relevan dengan konteks yang ada. Lebih lanjut, minimnya akses dapat dipahami sebagai konsekuensi logis dari minimnya ruang publik yang dapat dijadikan sebagai ruang partisipasi kelompok perempuan. Ruang itu bisa dimulai dari fungsi BPD sebagai kanalisasi aspirasi masyarakat di arus paling bawah. Institusi dan kanalisasi tersebut sebenarannya merupakan space (ruang) bagi segenap warga desa, termasuk kelompok perempuan, untuk meningkatkan partisipasi politiknya dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Program pemberdayaan berupa kuota perempuan di lembaga legislatif maupun lembaga representatif desa (BPD) dinilai sebagai terobosan, namun hal itu oleh sebagian kalangan juga dinilai sebagai tindakan bias gender. Alasannya, pemberadayaan terhadap perempuan tersebut, secara implisit terkandung pengakuan dan pengukuhan bahwa perempuan memang inferior dibandingkan dengan laki-laki, sehingga perlu diperlakukan sebagai tindakan yang berpihak pada perempuan. Tetapi, kebijakan ini bisa dipahami berdasar realitas panjang bahwa mengubah tatanan sosial yang sudah mapan dan merekontruksi nilai-nilai sosial dan budaya yang sudah terinternalisasi selain tidak mudah, juga perlu waktu yang sangat panjang. Oleh sebab itu, program pemberdayaan tersebut bisa disebut sebagai entry point adanya political will semua pihak untuk meningkatkan kondisi, posisi dan peran perempuan dalam dunia publik demi keberhasilan pembangunan yang setara dan adil serta kesejahteraan secara umum.

106

KALAMSIASI, Vol. 2, No. 2, September 2009, 103 - 114

Berdasarkan hal itu, penelitian ini bermaksud untuk menjawab 3(tiga) pertanyaan berkaitan dengan peran perempuan dalam proses berpolitik di tingkat desa, yaitu: (1) Bagaimana akses perempuan pada proses politik di tingkat desa? (2) Bagaimana partisipasi perempuan pada proses politik di tingkat desa? (3) Bagaimana kontrol perempuan dalam proses politik di tingkat desa?

METODE PENELITIANPenelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan partisipatif, yaitu menempatkan perempuan bukan sebagai obyek melainkan sebagai subyek penelitian. Masyarakatlah yang akan menyampaikan sendiri fakta-fakta dan persepsinya tentang peran perempuan dalam berpolitik di desa. Hasil pengungkapan tersebut dijadikan bahan untuk mendeskripsikan akses, partisipasi dan kontrol perempuan dan proses berpolitik di tingkat desa yang sesuai dengan kondisi yang terungkap dari masyarakat desa itu sendiri. Penelitian dilakukan pada 10 desa dari 7 kecamatan yang terdapat di kabupaten Sidoarjo sebagai lokasi penelitian, di antaranya kecamatan Candi (Desa Ngampesari, Desa Sepande, Desa Klurak), Kecamatan Sidoarjo, Kecamatan Krian (Desa Kraton), Kecamatan Porong (Desa Kedungcangkring, Desa Gedang), Kecamatan Gempol (Desa Bulusari), Kecamatan Balongbendo (Desa Kemangsem), Kecamatan Buduran (Desa Buduran). Masing-masing desa terwakili 5 informan yang diambil secara acak dari

organisasi yang diikuti/aktivitas yang dilakukan di desa untuk memberikan informasi terkait dengan tujuan penelitian dalam menjelaskan tentang akses, partisipasi dan kontrol perempuan dalam proses berpolitik. Dengan demikian terwakili 30% yakni sebanyak 50 orang, yang keseluruhannya adalah para perempuan. Selanjutnya analisis dilakukan secara deskriptif kuantitaf dan kualitatif. Diawali dengan proses klasifikasi data agar tercapai konsistensi sebagai bahan untuk memaparkan kondisi/fakta tentang akses, partisipasi dan kontrol perempuan dalam proses berpolitik di tingkat desa.

HASIL DAN PEMBAHASANAkses, Partisipasi, dan Kontrol Perempuan dalam Proses Politik di Tingkat Desa Perempuan dan politik merupakan dua hal yang sangat jauh berbeda, tetapi semenjak adanya kesadaran akan perubahan maka timbul keinginan untuk berpartisipasi dalam berpolitik di desa dan dikuti oleh berbagai akses perempuan dalam mengeluarkan pendapat atau ide dalam kegiatan yang berhubungan dengan kebijakan desa. Anggapan masyarakat bahwa dunia politik dan segala perilaku yang berhubungan dengan politik adalah dominan dan identik dengan aktivitas laki-laki. Kondisi ini diperjelas dari hasil analisis data yaitu aktivitas politik perempuan di lingkungan desa hanya sebatas pada aktivitas PKK dan kegiatan keagamaan atau kegiatan yang berhubungan dengan kepentingannya.

Isnaini Rodiyah & Imam Sofyan, Pemberdayaan Poltik Perempuan Di Tingkat Desa

107

Keberadaan dari bebe-rapa perempuan yang hanya sebagian kecil mempunyai posisi sebagai pemimpin atau sekretaris desa, sebagian besar mereka hanya sebagai anggota. Ada sikap yang sama ketika terdapat pernyataan sikap atas sebuah persetujuan untuk kaum perempuan sebagai pemimpin desa. Sikap setuju tersebut tetap berprinsip pada pandangan bahwa peran perempuan tetap sebagai perempuan yang mengurus rumah tangga meskipun sebagai pemimpin. Sikap setuju tersebut di atas juga didukung dengan adanya persamaan kompetensi untuk memimpin, paling tidak kompetensi tersebut haruslah seimbang/ sama dengan kompetensi laki-laki ketika memimpin desa. Ada beberapa pendapat dari kaum perempuan sendiri yaitu adanya pengakuan bahwa laki-laki memang pantas untuk melakukan aktivitas yang berhubungan dengan kebijakan, karena laki-laki diyakini sebagai kepala keluarga sehinggga secara tidak langsung telah mewakili aspirasi dari istri dan anak-anak mereka (laki-laki dan perempuan). Sementara ada anggapan bahwa kaum perempuan dinilai tidak mungkin sebagai aktor dominan politik di desa, karena aktivitas perempuan masih terbatas pada minat dan kepentingan yang berhubungan dengan keluarga, misalnya PKK. Tidaklah mungkin untuk dipungkiri bahwa pada realitas yang ada, perempuan sendiri yang beranggapan bahwa mereka (sebagian besar) hanya mampu beraktivitas di kegiatan yang mendukung kebijakan desa dan bukan penentu kebijakan desa. Kemampuan politik perempuan sangat dipengaruhi oleh persepsi mereka

(perempuan) dalam politik itu sendiri. Apalagi perempuan desa menganggap bahwa dunia politik memang kejam. Hal ini didukung dengan keterlibatan perempuan di pemerintahan yaitu perempuan belum dapat menempati posisi yang sama dengan laki-laki. Bahkan, yang terjadi adalah keterwakilan perempuan di pemerintahan masih jauh dari kuota yang ditentukan. Ketika berbicara tentang politik, sudah pasti dilabelkan sebagai dunia laki-laki. Padahal kenyataannya, secara demografis, jumlah perempuan lebih banyak dibandingkan dengan jumlah laki-laki. Tetapi sudah dipastikan juga bahwa perempuan belum mampu untuk beraktivitas politik secara murni dan ini dijumpai pula pada sektor lain (di luar politik). Kondisi di atas yang sudah diuraikan mengisyaratkan untuk dipahami bahwa kondisi tersebut tidak didukung oleh undang-undang dan kebijakan yang menguntungkan perempuan tidak bisa diwakilkan kepada laki-laki dan harus diperjuangkan kaum perempuan itu sendiri karena perempuan mempunyai kepentingan dan kebutuhan sendiri (berbeda dengan laki-laki); dan untuk saat ini undang-undang yang berpihak pada kaum perempuan masih sangat jarang. Kondisi ini hendaknya dapat memotivasi perempuan untuk lebih peduli pada permasalahan tersebut dengan lebih peduli pada kondisi politik di sekitarnya (lingkungan pemerintahan desanya). Ketika tidak terdapat banyak undangundang yang mendukung perempuan dalam aktivitas politiknya maka hendaknya perempuan tergerak untuk membentuk citra perempuan yang mempunyai kekuatan

108

KALAMSIASI, Vol. 2, No. 2, September 2009, 103 - 114

dan kemampuan yang sama/melebihi pada wilayah-wilayah politik yang selama ini didominasi oleh laki-laki. Keseteraan gender yang dibutuhkan untuk menjawab persoalan tersebut karena keseteraan gender menuntut kaum perempuan sebagai agen perubahan, agen potensial bagi perubahan dunia perempuan sendiri. Karena itu dibutuhkan peran perempuan sebagai leader (dalam arti luas) harus mampu melakukan pemberdayaan diri dan perempuan lain dan pemerataan. Ini berarti dibutuhkan adanya kekuasaan dan kemampuan untuk perempuan. Terdapat media untuk akses perempuan dalam berpolitik di desa yaitu melalui forum kegiatan di desa yaitu misalnya PKK, organisasi keagamaan dan kegiatan lain, sehingga diharapkan perempuan tersebut mampu untuk memberikan aspirasinya untuk memberikan ide/saran yang dapat mendukung kebijakan-kebijakan desa. Media yang ada tersebut ternyata digunakan hanya sebagai fasilitas untuk pencitraan sebagai perempuan. Pencitraan tersebut berupa melakukan aktivitas yang berhubungan dengan kerumahtanggaan, anak dan kesehatan serta mutlak untuk kepentingan perempuan sendiri. Sedangkan pemahaman mengenai penggunaan media tersebut sebagai sarana dalam kebijakan desa belum dimaksimalkan; perempuan tidak memahami proses politik yang sebenarnya di tingkat desa, mereka hanya dapat menikmati kebijakan tersebut dan peduli ketika terdapat permasalahan di desa tetapi tidak dapat menentukan/ membuat sebuah perubahan dan memberikan solusi atas permasalahan tersebut.

Secara umum, ditemukan bahwa partisipasi perempuan dalam berpolitik sangat lemah, baik dalam proses pembuatan kebijakan lokal desa maupun untuk mengatur aktivitasnya sendiri. Partisipasi oleh perempuan lebih banyak dimaknai sebagai sebuah proses mobilitas kegiatan pada masyarakat untuk suatu kepentingan tertentu dengan mengatasnamakan perempuan sendiri. Bahkan secara tidak langsung partisipasi dilimitasi pada makna pelaksana/pengambil keputusan. Lebih jauh dapat diafirmasikan bahwa partisipasi hanya berlaku di kalangan aparat pemerintahan desa. Partisipasi perempuan yang tergambar dari uraian di atas menggambarkan bahwa perempuan desa tidak memahami tentang gender. Perempuan mempunyai anggapan bahwa di desa tidak terdapat keseteraan gender, padahal desa menyediakan berbagai media aspirasi, media partisipasi dan kontrol, tetapi persepsi yang ada tidak membuka kesadaran perempuan untuk lebih memahami gender. Kondisi yang menghalangi adalah adanya ketidakmampuan perempuan untuk mengelola/menggunakan organisasi yang diikutinya. Organisasi yang ada tidak mengoptimalkan perannya dalam membangun kesadaran politik anggotanya dan merupakan upaya penguatan peran politik perempuan di desa, yaitu melalui upaya pemberdayaan, upaya mengelola kemampuan perempuan yang belum tergali sehingga dapat dikatakan bahwa kendala yang menghambat perempuan berpolitik adalah pilihan perempuan sendiri dan bentuk organisasi yang diikutinya.

Isnaini Rodiyah & Imam Sofyan, Pemberdayaan Poltik Perempuan Di Tingkat Desa

109

Perempuan dan laki-laki mempunyai perbedaan dalam berperilaku, mempunyai kepekaan yang berbeda-beda, meskipun perempuan (sebagian besar) menyetujui perempuan yang memimpin mereka adalah perempuan juga, tetapi masih dijumpai perbedaan persepsi mengenai akses, partisipasi dan kontrol. Ketika berbicara mengenai kontrol perempuan dalam politik desa, maka diperoleh gambaran bahwa, perempuan desa tidak memahami proses politik sehingga mereka tidak dapat berbicara banyak mengenai banyak hal yang berhubungan dengan kebijakan desa, dan dikatakan bahwa perempuan mempunyai kontrol yang lemah terhadap kebijakan desa. Penguatan posisi dan peran perempuan jika dikorelasikan dengan upaya peningkatan partisipasi politik perempuan dalam ranah politik dan proses pembuatan kebijakan pada level manapun dan ruang lingkup apapun sudah semestinya diawali oleh keinginan perempuan itu sendiri dan didukung penuh oleh pemerintahan desa, sebab di area tersebut terdapat empowering gender dan arena tersebut bisa dimulai dari fungsi BPD sebagai kanalissai aspirasi masayarakat di arus paling bawah. Institusi dan proses kanalissai tersebut sebenarnya merupakan space bagi segenap warga desa, termasuk kelompok perempuan, untuk meningkatkan partisipasi politiknya. Namun, ruang institusinya dan mekanisme aspiratif tersebut berhadapan dengan kondisi sosial dan pola pikir perempuan itu sendiri. Fenomena perempuan dan politik di desa (pengambilan kebijakan) menunjukan bahwa perempuan belum mampu dan

tidak memahami di mana dia harus berdiri karena pemahaman persepsi tentang akses, partisipasi dan kontrol yang kurang, kondisi tersebut menjadi sebuah pertanyaan besar yang harus dijawab. Untuk menjawab per tanyaanpertanyaan itu, tentu memerlukan sebuah pemikiran tentang konsep, strategi dan cara kerja yang menjamin isu dan peran perempuan dalam proses politik di desa. Sayangnya, kondisi di masyarakat masih sering melakukan kesalahan dalam memahami gender sebatas asal ada perempuannya. Sebenarnya gender tidak cukup dijalankan dengan meletakkan peran perempuan dalam salah satu komponen/ kegiatan aktivitas perempuan. Seharusnya diperhitungkan dan didesain pada kapasitas apa mereka terlibat? Apakah pelibatan sebatas datang, duduk, diam? Atau didengarkan pengalamannya, pemikirannya dan analisanya sebagaimana pendapat laki-laki? Sejauh mana pengalaman dan analisa mereka berpengaruh dan menentukan kebijakan desa? Berbagai pertanyaan tersebut dapat dijawab oleh perempuan ketika perempuan telah mempunyai persepsi tentang akses, artisipasi dan kontrol yang baik dalam proses politik di tingkat desa. Hambatan Perempuan dalam Akses, Partisipasi, dan Kontrol Ketika berbicara tentang perempuan dan politik di desa (kebijakan desa dan kepemimpinan), pasti ada banyak kendala yang menghadang. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, faktor tradisi dan budaya. Bentukan tradisi dan

110

KALAMSIASI, Vol. 2, No. 2, September 2009, 103 - 114

budaya yang ada, bahwa perempuan tidak terlalu penting dilibatkan dalam urusan yang didominsi oleh laki-laki, sehingga perempuan sering dinomorduakan dari kegiatan/forum publik yang ada dalam masyarakat. Mindset merupakan faktor kedua yang sudah terbentuk di masyarakat bahwa perempuan dan politik (pengambil kebijakan) adalah sesuatu yang incompatible. Ketiga, faktor internal dari perempuan itu sendiri yang merasa tidak mumunyai kemampuan ketika didaulat menjadi pengambil keputusan/ kebijakan (tidak punya motivasi yang kuat). Keempat, ketidaksiapan untuk berkompetisi. Kelima, realita yang ada di masyarakat banyak perempuan-perempuan yang punya kemampuan yang bisa diandalkan dengan latar belakang pendidikan yang memadai kebanyakan memilih hanya sebagai pengikut bukan penentu. Perempuan sebenarnya mampu untuk mengeluarkan ide yang dibutuhkan untuk sebuah solusi dari persoalan tetapi mereka hanya sebagai pengikut, mereka tidak berani bertindk ketika saran/ide mereka tidak dipakai dalam kebijakan desa. Ini berarti mereka tidak bisa ikut berkompetisi lagi dalam jabatan-jabatan politis di pemerintahan seperti kepala desa atau ketua BPD meskipun dijumpai pula kepala desa perempuan tetapi dalam jumlah yang kecil. Kendala-kendala tersebut tercermin pula dalam model kehidupan politik yang dikembangkan seperti dalam sistem kebijakan yang kurang memperhitungkan dampaknya bagi perempuan, kurangnya dukungan untuk perempuan berada pada proses politik di desa, terbatasnya dana

untuk pengembangan keterampilan/ aktivitas perempuan dan tidak tersedianya sistem pendidikan dan pelatihan tentang politik serta terbatasnya jaringan informasi. Kebanyakan kaum perempuan menghadapi kendala sosial ekonomi yang meliputi kurangnya pengetahuan/pendidikan, kemiskinan, beban akibat UU perkawinan yang menempatkan mereka pada posisi dilematis; antara keluarga dan tanggungjawab sosial (karir). Akibatnya, terjadilah maskulinisasi politik di mana laki-laki mendominasi arena dan prosesproses politik yang menyebabkan kaum perempuan semakin sukar memasuki area tersebut. Itulah beberapa kendala yang selama ini muncul yang membuat perempuan kurang akses, kurang berpartisipasi dan mempunyai kontrol yang lemah pada proses politik di desa. Oleh sebab itu dibutuhkan media tersendiri untuk mempromosikan kepada perempuan dan kepada masyarakat itu sendiri bahwa perempuan juga mampu menjadi kepala desa, pejabat BPD, pejabat di posisi strategis, atau katakanlah sebagai pemberi solusi di tiap persoalan desa. Perempuan Desa Perlu Paham Politik Untuk meningkatkan peran politik perempuan, kalangan perempuan di wilayah pedesaan perlu paham politik. Mereka perlu mendapatkan berbagai pendidikan dan pelatihan secara intensif agar mereka paham atau melek politik. Perempuan khususnya di perdesaan seharusnya dapat memahami politik secara tepat. Perlu dimunculkan kesadaran bahwa

Isnaini Rodiyah & Imam Sofyan, Pemberdayaan Poltik Perempuan Di Tingkat Desa

111

politik tidak sekadar berhubungan dengan partai politik atau persoalan kampanye. Karenanya perempuan desa perlu diarahkan untuk bersedia terlibat dalam pengambilan keputusan, paling tidak untuk berbagai persoalan yang menyangkut kehidupan perempuan itu sendiri. Misalnya melalui pelatihan. Selain penyadaran politik, pelatihan juga dimaksudkan untuk mendorong parti-sipasi perempuan baik secara perorangan maupun kelompok dalam penguatan desa. Isu ini tidak lepas dari otonomi daerah (otda) yang seyogyanya menjadikan desa sebagai pijakan perubahan. Materi yang diberikan dalam pelatihan bisa meliputi gender dan partisipasi politik perempuan, HAM, demokrasi, otda dan pembaruan desa. Diberikan pula materi mengenai pengorganisasian dengan tujuan perempuan dapat mengorganisir potensi dan kemampuan mereka melalui sebuah lembaga khusus. Lembaga tersebut sebagai koordinator kelompok komunitas perempuan dan nantinya bisa dijadikan sebagai sarana kontrol terhadap kebijakan yang muncul di tingkat desa (kebijakan yang memihak pada kepentingan perempuan dan masyarakat umum) menuju pemerintahan desa yang otonom. Pemahaman terhadap persepsi masyarakat tentang perempuan sebagai pihak nomor dua adalah hal penting untuk dipecahkan. Tetapi pertanyaan yang akan timbul adalah jika perempuan dinomorduakan apakah selalu berarti dianggap lebih rendah daripada pria.Wacana yang ada adalah perempuan lebih banyak melakukan kewajibannya daripada haknya. Paling tidak melalui perempuanlah

semua tumpuan berada, mulai dari urusan kesehatan, reproduksi, gizi anak dan kewanitaan. Semua adalah kewajiban perempuan untuk merengkuh semua persoalan di dalamnya. Perempuan di perdesaan juga memiliki fungsi strategis untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan desa, meskipun dikuti dengan keterbatasan fasilitas dan ekonomi, paling tidak perempuanlah yang gigih dalam memperjuangkan perempuan lain dan keluarganya untuk kehidupan yang lebih baik. Reposisi Perempuan dalam Akses, Partsipasi, dan Kontrol dalam Proses Politik Masalah perempuan dan tempat untuk mereka dalam proses politik di tingkat desa adalah permasalahan yang membutuhkan kepekaan dalam menjawabnya. Karena di dalamnya terdapat kepekaan gender beserta pehamanannya. Isu gender menjadi sangat penting ketika perempuan desa tidak memahami bahwa keberadaannya di desa dapat mengubah desa menjadi lebih baik. Oleh karena itu, diperlukan media/tempat yang mendorong reposisi perempuan dalam akses, partisipasi dan kontrol. Ada tiga aspek yang diperlukan untuk reposisi tersebut, yakni sebagai berikut: Pertama, Pemahaman tentang akses dan kepastian adanya akses. Banyak akses yang dapat mengakomodasi keikutsertaan perempuan. Tetapi banyak juga perempuan yang tidak memahami akses apa yang bisa dipakai. Akses tersebut meliputi media yang dipakai perempun dalam menuangkan ide sampai pada penentuan kebijakan.

112

KALAMSIASI, Vol. 2, No. 2, September 2009, 103 - 114

Selama ini mereka (perempuan desa) hanya menggunakan PKK atau organisasi keagamaan atau perempualah yang paling setia untuk penegakan posyandu, tetapi perempuan juga yang tidak dapat menggunakan media tersebut (PKK atau organisasi aktivitas yang diikuti) untuk melakukan perubahan (pengam-bilan keputusan). Adanya BPD yang meminta keterwakilan perempuan di dalamnya tetap tidak diminati perempuan. Jika mereka (perempuan desa) lebih memahami akses yang ada, mungkin perempuan desa dapat sebagai agen perubahan, karena dengan akses yang ada, mereka lebih leluasa dan mudah untuk mengurusi perempuan lain dan berbuat untuk kemajuan perempuan. Kedua, Kapasitas. Kemampuan atau kualifikasi dari perempuan menunjukkan kapasitas mereka. Peningkatan kapasitas dapat dilakukan melalui pelatihanpelatihan (minimal pelatihan kepemimpinan). Ketiga, Dukungan. Bentuk dukungan adalah penerimaan masyarakat terhadap kehadiran perempuan untuk ikut serta dalam kebijkaan desa. Dalam hal ini, diperlukan sosialisasi pencitraan diri perempuan sehingga siapapun khususnya pemerintahan desa harus memberikan dukungan penuh bagi perempuan siapa saja untuk ikut serta memikirkan dan memberikan solusi demi kemajuan desanya. Selain ketiga aspek tersebut terdapat beberapa hal yang harus dipahami terlebih dahulu, yaitu ketika berbicara mengenai proses politik di desa, yang menjadi acuan pentingnya adalah adanya BPD. Keberadaan BPD tersebut sebagai pengayom masyarakat, artinya dengan BPD, masyarakat dapat mewakilkan apa

yang menjadi keinginnnya. BPD juga berfungsi sebagai penyalur aspirasi masyarakat serta mengawasi penyelenggaraan pemerintahan desa. Jika dikaitkan dengan reposisi perempuan dalam akses, partisipasi dan kontriol, maka pemahanan akan BPD menjadi perlu bagi perempuan karena dengan menjadi anggota BPD atau memahami BPD, perempuan dapat mereposisi dirinya sendiri. Sayangnya keanggoataan perempuan di BPD sangat sedikit, bahkan ada BPD yang tidak terwakili oleh perempuan. Padahal jika perempuan memahami fungsi dari BPD, maka akan berdampak pada perempuan itu sediri. Selama ini, yang dilibatkan dalam BPD adalah dari unsur PKK. Besarnya anggaran untuk kegiatan perempuan (PKK dan posyandu) tidak dapat dikatakan cukup, dan hampir tidak ada anggaran khusus untuk pemberdayaan perempuan. jika ada dapat dipastikan bahwa jumlahnya sangat sedikit jika dibandingkan dengan pos anggaran yang lain. Ketika tidak ada keterwakilan perempuan di BPD atau keterwakilan dengan jumlah yang minim maka aspirasi perlu bagi perempuan. Kondisi tersebut di atas masih akan ditemui di perdesaan karena pada tingkat RT (Rukun Tetangga)/RW (Rukun Warga) jarang dan hampir tidak ditemui yang menjabat sebagi ketuanya adalah perempuan, apalagi pada tingkat BPD. Minat perempuan untuk memimpin di desa sangat kecil/minim meskipun motivasi yang diperoleh dari dirinya sendiri atapun dari keluarga atau orang lain sangat besar. Jika perempuan mau melakukan perubahan maka setidaknya mereka memahami peran BPD di desa dan mau

Isnaini Rodiyah & Imam Sofyan, Pemberdayaan Poltik Perempuan Di Tingkat Desa

113

berkompetisi dengan laki-laki dalam menduduki sebagai penentu kebijakan (RT, RW ataupun BPD) atau sebagai ketua di setiap aktivitas yang mereka ikuti. Dengan upaya tersebut reposisi dapat dilakukan dalam wujud perempuan yang lebih baik.Yang terpenting adalah adanya komitmen perempuan untuk berpartisipasi aktif dalam proses pengambilan kebijakan publik sejak di tingkat RT dan RW ataupun BPD di desanya demi percepatan upaya terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Jika perempuan terlambat dalam melakukan upaya reposisi dan revitalissai di tingkat desa, maka perempuan berpotensi akan kehilangan kesempatan dan harus menunggu seseorang perempuan lain yang dapat mewakili mereka. Jika kondisi tersebut dibiarkan berlarut, lalu sampai kapan kondisi perempuan akan mengalami perubahan. Perubahan harus segera dimulai melalui kesadaran dari dirinya untuk mau berubah; maka perempuan akan berada pada posisi yang sesuai dengan apa yang dipersepsikan. Dalam kaitan kondisi di atas maka diperlukan reposisi perempuan untuk maju sebagai pimpinan RT dan RW atau sebagai aktivis pembangunan di wilayahnya untuk kemudian dapat dipilih menjadi anggota BPD. Dan harus dilakukan perubahan paradigma perempuan sebagai pengemban tugas domestik menjadi perempuan sebagai warga negara, warga masyarakat yang memiliki hak yang sama dengan laki-laki, tetapi tidak bisa dipungkiri perempuan bertugas ganda, domestik dan publik; tetapi yakinlah bahwa perempuan mampu melakukannya.

SIMPULAN1. Perempuan desa mempunyai akses yang luas dalam proses politik di desa, tetapi mereka tidak dapat menggunakan akses tersebut untuk membawa kepentingan perempuan. 2. Perempuan desa telah mampu berpartisipasi dalam proses politik desa, tetapi mereka tidak ikut menentukan kebijakan dan mereka hanya mampu pada tingkat organisasi yang mereka ikuti. 3. Perempuan desa belum memahami peran BPD karena mereka belum memahami persepsi gender yang benar. 4. Perempuan desa mempunyai kontrol yang lemah terhadap proses politik desa.

SARANBerdasarkan hasil penelitian yang diperoleh maka dapat diajukan beberapa saran tindak lanjut sebagai berikut: 1. Keterbatasan penelitian ini hanya dilakukan pada beberapa desa, untuk itu perlu dilakukan peneltian serupa untuk desa lain yang mempunyai karakteristik dan budaya yang berbeda. 2. Keterbatasan penelitian hanya sebatas perempuan sebagai subjek penelitian. Diharapkan penelitian lain dapat menjadikan persepsi laki-laki terhadap perempuan/gender sehagai objek penelitian. 3. Penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk memperoleh gambaran nyata politik perempuan desa dan sebagai rekomendasi untuk upaya reposisi perempuan pada perpolitikan desa.

114

KALAMSIASI, Vol. 2, No. 2, September 2009, 103 - 114

DAFTAR PUSTAKABhasin, K. 1996. Menggugat Patriarkhi: Mengangkat tentang Persoalan Dominasi terhadap Kaum Perempuan. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. Chaudron, Shari. 1995. Creat an Empowering Environment. Personal Jurnal, September. Harding, S. 1987. Feminism and Metodology; Social Science Issues. Milton Keynes: Open University. Hadi, Sukamto. 2002. Revitalisasi Program Pembangunan Kesejahteraan Sosial. Jurnal Suroboyo, Edisi 02 Nopember 2002. Jurnal Pemberdayaan Perempuan, Volume 4, Nomor 1, November 2004. Moser, C. O. N. 1993. Gender Planning and Development: Theory, Practice, and Training. London: Roudledge.

Oillenburger dan Moore. 1996. Sosiologi Wanita. Jakarta: Rineka Cipta. Shafiyah, Amatullah dan Hayati Soeripno. 2003. Kiprah Politik Muslimah: Konsep dan Implementasinya. Jakarta: Gema Insani Press. Susanti, Emi. 2003. Perempuan dalam Komunitas Miskin: Studi Tentang Ideologi dan Relasi Gender dalam Komunitas Kedungmangu Masjid di kota Surabaya. Disertasi. Yogyakarta: Program pascasarajana Universitas Gajahmada. Sutinah. 2006. Partisipasi Politik Perempuan dalam Proses Pembuatan Kebijakan Publik di Jawa Timur. Surabaya: Cakrawala Timur. Widyastuti, Dwi. 1996. Pengaruh Pemahaman, Kepentingan dan Kepercayaan Politik Terhadap Peran Politik Wanita di Golkar Surabaya. Lemlit Unair.

POLA INTERAKSI PEMULUNG PADA TPA SUPIT URANG KELURAHAN MULYOREJO KECAMATAN SUKUN KOTA MALANG :Distribusi Arus Informasi Pasar, Kerja, Dan Pendapatan Dalam Rangka Menunjang Kota Malang Sebagai Kota Adipura

Ainur Rochmaniah(Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Sidoarjo Jalan Majapahit 666 B Sidoarjo, Telp.8945444, Fax. 031-8949333) Email : [email protected]

ABSTRACTThe purpose of this study is to describe the distribution of current market information, employment, and income among members of scavenger group. Research conducted at TPA Supit Urang - Mulyorejo - Malang employs snowball sampling technique and the respondents consist of thirty people. The analysis technique used is socio metric. The results indicate that the pattern of market information flow among the scavengers at TPA is communication network in all directions. It means that there is no the most prominent person in the group so they can communicate directly and freely among collectors and scavengers. The distribution of work is divided into four parts: collectors, scavenger, separators, and sellers. In addition, for the distribution of income, it is determined by the collectors with 10% of compensation for scavengers and separators, while the compensation for the collectors is 90%. Key words: patterns of interaction, information flows, litters management

PENDAHULUANDalam manajemen sampah, tempat pembuangan akhir (TPA) mempunyai peran penting, terkait dengan proses daur ulang. Cara pandang bahwa sampah yang selama ini hanya sebagai sumber masalah, perlu untuk dipertanyakan lagi. Sebab saat ini sampah justru merupakan komoditas115

bernilai ekonomi dan membuka lapangan kerja bagi ribuan orang (Fernandez, 1991). Sampah sebenarnya memiliki potensi ekonomi positif dan menguntungkan apabila dikelola dengan baik. Misalnya, dalam proses pengolahannya, sampah harus dibedakan menjadi dua:

116

KALAMSIASI, Vol. 2, No. 2, September 2009, 115 - 123

sampah organik dan anorganik Sampah organik sangat potensial sebagai bahan baku pupuk kompos bagi kebutuhan pertanian, sedangkan sampah anorganik seperti plastik, kaca dan logam dapat digunakan kembali melalui proses daur ulang dan pakai ulang (Aman Wiratakusumah, 2001). Untuk daur ulang ini dibutuhkan partisipasi dan peran aktif para pemulung yang oleh mantan Presiden Soeharto disebut sebagai laskar mandiri. Daniel T. Siculair (1981), membagi fungsi pemulung menjadi tiga, yaitu pertama, memulung merupakan sumber kehidupan puluhan ribu orang miskin dan tidak berdaya di kota, kebanyakan migrasi dari desa yang tidak mempunyai ketrampilan yang cukup memadai. Kedua, pemulungan mengurangi jumlah bahan yang perlu dibuang. Dan ketiga, pemulungan, sebagai bentuk daur ulang melestarikan materi, energi, dan devisa daerah. Keberadaan pemulung dengan jenis pekerjan mengumpulkan, memilah, menyortir, mengepak untuk kemudian dijual kembali ke pengepul seharusnya memperoleh imbalan yang pantas. Kehadiran mereka di TPA di seluruh kota-kota besar memberikan manfaat bagi masyarakat kota dan pemulung itu sendiri. Bagi masyarakat kota, sampah hanyalah beban dan biang masalah, salah satunya adalah penyebab banjir. Dengan adanya pemulung, setidaknya mereka tidak perlu bersusah payah untuk membuang jauh dan memilah-milah jenis sampah. Lingkungan sekitarpun terjaga kebersihannya.Bagi pemulung, sampah adalah rezeki. Dengan keahlian mengumpulkan dan menyortir berbagai jenis

sampah yang terdiri dari kertas plastik, kertas tulis, kardus, kaleng dan botol, mereka mampu menjadikan profesi ini sebagai ladang kehidupan yang menjanjikan. Berdasarkan penelitian, kegiatan pemulung telah mengurangi sampah 7% sampai 20% dari sumbernya dan menjadikannya materi yang berguna. Meskipun demikian, masalah penanganan sampah di tempat pembuangan akhir (TPA) menjadi sangat penting dalam suatu siklus manajemen sampah. Salah satu tempat pembuangan akhir (TPA) yang dianggap besar dan berperan penting dalam pengelolaan sampah bagi Kota Malang adalah TPA Supit Urang yang terletak di Kelurahan Mulyorejo, Kecamatan Sukun. Pengelolaan sampah pada TPA Supit Urang ini dapat menghasilkan pendapatan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan papan, termasuk biaya pendidikan bagi keluarga pemulung Berkumpul dengan sampah telah menjadikannya sumber penghidupan keluarga. Pendapatan per orang per hari berkisar antara Rp 4000,sampai dengan Rp 9000,-. Apabila setiap rumah tangga terdapat dua orang pemulung, yaitu suami dan istri, pendapatan rumah tangga pemulung berkisar antara Rp 240.000,- sampai Rp 540.000,- per bulan. Dalam kondisi tertentu pendapatan rumah tangga pemulung bahkan dapat mencapai Rp 2.000.000,- sampai Rp 2.500.000,-. Dengan mempertimbangkan peran strategis tempat pembuangan akhir dalam siklus manajemen pengelolaan sampah dan insentif-insentif yang tercipta pada tempat pembuangan akhir, khususnya

Ainur Rochmaniah, Pola Interaksi Pemulung pada TPA Supit Urang

117

TPA Supit Urang, maka perlu diteliti bagaimana arus informasi pasar terjadi, serta bagaimana distribusi pekerjaan dan pendapatan dilakukan. Untuk itu perlu dilakukan penelitian mengenai Pola Interaksi Pemulung pada TPA Supit Urang Kelurahan Mulyorejo Kecamatan Sukun Kota Malang: Upaya Memahami Distribusi Arus Informasi Pasar, Kerja, dan Pendapatan dalam Rangka Menunjang Kota Malang Sebagai Kota Adipura. Karena-nya, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana distribusi arus informasi pasar, pekerjaan, maupun pendapatan di antara anggota kelompok pemulung?

Pola Jaringan Komunikasi Pemulung Supit Urang Komunikasi yang dilakukan seseorang pada dasarnya merupakan usaha pendekatan kepada orang lain untuk mencapai suatu tujuan yaitu kompromi bersama dalam mengatasi segala tantangan kehidupan yang ada. Untuk bertahan dalam suatu lingkungan tempat tinggal, misalnya, seseorang tetap memerlukan bantuan orang lain di sekitarnya. Melalui komunikasi sosial yang baik dengan orang lain akan menjamin tercapainya suatu kepentingan untuk bertahan hidup. Usaha bersama dalam mengatasi segala tantangan hidup, dengan sendirinya secara sadar atau tidak telah membentuk suatu ikatan emosional antara individuindividu yang saling berkepentingan tadi dalam suatu sistem kemasyarakatan, dimana kesamaan tujuan menjadi faktor utama yang berperan dalam terbentuknya ikatan ini. Dalam ikatan semacam ini terdapat aturan-aturan yang bersifat mengikat, dibentuk berdasarkan kesepakatankesepakatan di antara anggota ikatan tersebut. Ikatan semacam ini dinamakan kelompok. Komunikasi yang dilakukan oleh individu-individu dalam kelompok ini, telah menjadi suatu sistem sosial yang dilakukan secara terus menerus sebagai wujud dari interaksi social di dalam lingkungan hidupnya. Inilah yang kemudian dinamakan dengan jaringan komunikasi. Walaupun dasar terbentuknya suatu kelompok, dikarenakan adanya kesamaan tujuan yang hendak dicapai, tetapi dalam perkembangan kelompok itu sendiri, segalanya menjadi tidak sesederhana seperti awal terbentuknya kelompok. Munculnya kepentingan yang berbeda-

METODE PENELITIANPertimbangan penentuan lokasi penelitian di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Supit Urang, Kelurahan Mulyorejo, Kecamatan Sukun, Kota Malang, Jawa Timur adalah: 1) Supit Urang telah menjadi tempat pembuangan sampah di kota Malang, 2) daerah Supit Urang terdapat kelompok-kelompok pemulung yang dapat digambarkan arus informasi pasar, pekerjaan, dan pendapatannya, 3) variabel-variabel kunci dalam penelitian ini dapat dijadikan rencana pengelolaan sampah di masa yang akan datang. Populasi penelitian yaitu semua pemulung yang ada di TPA Supit Urang, Kelurahan Mulyorejo Kecamatan Sukun Kota Malang. Melalui teknik pengambilan sampel snowball, responden yang digunakan sebagai sampel penelitian ini sebanyak 30 orang. Sedangkan analisis penelitian menggunakan analisis sosiometri.

118

KALAMSIASI, Vol. 2, No. 2, September 2009, 115 - 123

beda membuat kelompok tersebut terkotakkotak menjadi banyak kelompok kecil, yang setiap kelompok kecil tersebut bisa jadi mempunyai tujuan yang sangat bertentangan dengan tujuan kelompok kecil lain. Kelompok kecil ini dinamakan komunitas. Komunitas terbentuk atas dasar seleksi dari masing-masing anggota kelompok, yang berusaha mencari orang-orang yang sepaham dan dapat memberikan rasa aman dan nyaman, dengan tujuan menggalang kekuatan atas kepen-tingan tertentu dengan orang-orang tertentu pula, agar eksis atau diakui keber-adaannya oleh komunitas lain dalam suatu kelompok. Pada komunitas-komunitas inilah terjalin suatu jaringan komunikasi yang lebih spesifik karena komunikasi dilaku-kan dengan orang-orang yang bervisi sama, kondisi yang lebih nyaman dan lebih aman daripada dengan orang-orang lain dalam kelompoknya, sehingga timbul rasa saling percaya, membuat komunikasi lebih terbuka dan lebih cepat terbentuknya suatu jaringan komunikasi dalam suatu komunitas. Di dalam suatu komunitas terjadi juga suatu seleksi terhadap pilihan pasangan komunikasi, di mana para anggota komunitas memilah-milah pasangan komunikasi yang dianggap ideal. Faktor kecocokan adalah faktor utama dalam pemilihan pasangan komunikasi ini. Dalam komunitas pemulung yang menjadi responden sasaran dalam penelitian ini adalah para pemulung yang telah bekerja di TPA Supit Urang, baik yang baru beberapa bulan bekerja di sana maupun yang sudah sejak TPA berdiri yaitu antara tahun 1994 dan 1995. Dalam jaringan komunikasi

komunitas pemulung, terdapat dua buah klik atau kelompok yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antar responden, masing-masing klik tersebut adalah Klik A dan Klik B. Klik A memiliki 14 anggota komunitas pemulung dan klik B memiliki anggota 8 orang. Mereka yang tidak masuk dalam klik baik A maupun B adalah karena mereka ingin bebas menjual hasil pulungannya kepada siapa saja yang dikehendaki asal harganya cocok, berjumlah 8 orang. Tabel berikut menunjukkan anggota tiap-tiap klik:Tabel 1: Anggota Tiap-tiap KlikResponden anggota Jumlah 1, 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 15, 16, 27, 28 13, 14, 20, 22, 23, 24, 25,26 4, 12, 17, 18,19, 21, 29, 30 14

No 1

Klik A

F% 46,6

2

B

8

26,7

3

Bukan A dan B

8

26,7

Jumlah Sumber: Sosiogram

30

100

Dibawah ini adalah sosiogram dari pola arus informasi para pemulung. Dalam sosiogram, terdapat 34 orang yang masuk dalam jaringan ini dengan rincian: responden 1 sampai 30 merupakan responden pemulung, sedangkan nomor 31, 32, 33, dan 34 adalah para pengepul yang berada di luar TPA Supit Urang dan menjadi pembeli sampah pemulung, karena itu, mereka tidak termasuk dalam responden penelitian ini.

Ainur Rochmaniah, Pola Interaksi Pemulung pada TPA Supit Urang

119

Sosiogram Pola Arus Informasi Pemulung Tpa Supit Urang

Sosiogram di atas menunjukkan bahwa komunikasi timbal balik terjadi pada 28 responden, sedang 2 responden lainnya memilih komunikasi searah, yaitu responden no. 12 dan 19. Dalam berkomunikasi tersebut, responden yang memilih satu orang sebagai pasangan komunikasi, terdapat 3 orang yaitu no. 12, 17, dan 19. Jumlah pilihan komunikasi masingmasing responden dapat menjadi suatu indikator untuk menentukan kedudukan responden dalam jaringan komunikasi ini. Responden bisa menjadi star (bintang) dengan mendapatkan pilihan sebagai pasangan komunikasi yang terbanyak atau menjadi neglectee (memilih tapi tidak dipilih sama sekali), isolate (tidak memilih ataupun dipilih), bahkan mutual pair

(saling memilih secara timbal balik). Dalam penelitian ini, dua orang yang dianggap star yaitu responden no. 5 dipilih oleh 18 orang, dan no. 17 dipilih oleh 13 orang. Sedangkan 2 orang termasuk neglectee, yaitu responden no. 12 (yang memilih no. 5) dan 19 (yang memilih no. 17), dan 28 responden (93,3%) melakukan hubungan timbal balik atau mutual pair. Besarnya jumlah responden yang memilih dan dipilih menunjukkan bahwa komunikasi yang terjadi sangat tinggi, dimana hampir setiap individu mempunyai pilihan pasangan komunikasi dan akrab satu sama lain. Tabel berikut ini menyebutkan jumlah memilih dan dipilih dalam jaringan komunikasi komunitas pemulung di TPA Supit Urang.

120

KALAMSIASI, Vol. 2, No. 2, September 2009, 115 - 123

Tabel 2 Pilihan Hubungan KomunikasiMemilih 0 1 2 3 4 5 6 Jumlah Responden 4 3 3 5 10 7 2 34 Frekuensi 11,7% 8,8% 8,8% 14,8% 29,4% 20,6% 5,9% 100% Dipilih 0 1 2 3 4 13 18 Responden 2 4 7 14 5 1 1 34 Frekuensi 5,8% 11,7% 20,6% 41,3% 14,8% 2,9% 2,9% 100%

Sumber data : Sosiogram

Berdasarkan tabel, responden yang memilih satu orang sebagai pasangan komunikasi, terdapat 3 orang yaitu no. 12, 17, dan 19. Responden yang memilih nol atau sama sekali tidak memilih pasangan komunikasi terdapat 4 orang yaitu no. 31, 32, 33, dan 34. Ke-4 orang ini merupakan pengepul besar yang berada di luar TPA tapi masih dalam lingkungan kota Malang (Gadang, Mergosono, dan Bumiayu), peneliti tidak memasukkan dalam data penelitian, tapi karena keberadaannya penting sekali sebagai bahan rujukan, maka peneliti hanya memasukkannya dalam sosiometri dan sosiogram. Responden yang memilih 2 dan 3 responden lain sebagai pasangan komunikasinya masingmasing sebanyak 3 orang (8,8%), sedangkan yang memilih 3 ada 5 orang (14,8%), 10 orang (29,4%) memilih 4 responden lain, 7 orang (20,6% memilih 5 responden, dan 2 orang (5,9%) memilih 6 responden. Ditribusi Kerja Diantara Pemulung Distribusi kerja adalah distribusi pembagian kerja diantara pemulung, dimana dari penelitian ini, telah menghasilkan data bahwa pembagian kerja

meliputi pengumpulan, pemisahan, dan pemasaran. Pembagian ini bisa langsung diketahui karena berdasarkan wawancara, 100 % responden atau 30 orang mengaku pada awal masuk ke TPA Supit Urang adalah sebagai pemulung. Data penelitian mengenai distribusi kerja dapat dilihat pada tabel berikut:Tabel 3: Pemulung berdasarkan PekerjaanNo 1 2 3 Pekerjaan Pemulung Pemilah Pengepul N N 25 3 2 30 F (%) 83,3 10 6,7 100

Sumber data: Pedoman wawancara no.4

Sementara itu mengenai distribusi pendapatan di antara para pemulung didasarkan pada kesepakatan, yaitu persentase pendapatan, jenis kerja, dan upah kerja. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh data mengenai rata-rata pendapatan responden dalam sehari, meskipun ada beberapa responden yang menjual barangbarang bekasnya seminggu sekali atau 2

Ainur Rochmaniah, Pola Interaksi Pemulung pada TPA Supit Urang

121

minggu sekali tergantung kebutuhan. Seperti terlihat dalam tabel berikut ini:Tabel 4: Pendapatan PemulungNo. 1 2 3 4 5 Pengahasilan 7.500 10.000 11.000 20.000 21.000 30.000 31.000 40.000 41.000 ke atas N Frek 7 13 5 3 2 30 % 23,6 43,1 16,6 10 6,7 100 %

Sumber data: Pedoman wawancara

Data penelitian di atas menunjukkan bahwa responden dengan penghasilan antara Rp 11.000,- sampai Rp 20.000,berjumlah 13 orang atau 43,1%. Tujuh responden berpenghasilan Rp 7.500,sampai Rp 10.000,-. Dan lima orang mempunyai penghasilan antara Rp 21.000,- sampai Rp 30.000,- serta tiga orang dengan pendapatan sehari antara Rp 31.000 sampai Rp 40.000,-. Ke-28 orang responden diatas mengaku mendapatkan hasil yang tidak sama dalam sehari-hari, tergantung, pertama,dari banyaknya barang bekas yang bisa diambil dan dijual ke pengepul, hal ini berhubungan dengan kesehatan tubuh dan jenis kelamin, yaitu antara laki-laki dan perempuan, dimana menurut pengakuan beberapa orang responden perempuan, mereka tidak ngoyo bekerja karena suami mereka juga bekerja di tempat yang sama dan tubuh mereka yang terbilang lemah karena usia yang sudah tua, sehingga penghasilan mereka rata-rata lebih sedikit dari responden laki-laki. Kedua, musim kemarau yang lebih baik dari pada musim

penghujan, dan banyaknya pemulung yang ikut berebut mengais rejeki di lokasi TPA. Ketiga hal diatas sangat mempengaruhi tingkat penghasilan pemulung dalam satu hari. Dari hasil wawancara, para responden mengaku, bahwa yang menentukan prosentase pendapatan adalah pengepul, yaitu 5 % untuk pemulung, 5 % untuk pemilah dan 90 % untuk pengepul. Sehingga dua pengepul di TPA mendapat bagian terbesar dari transaksi ini dengan pendapatan diatas Rp 50.000,- dalam sehari. Jenis pekerjaan juga menjadi sebab perbedaan pendapatan. Responden yang bekerja sebagai pemilah mendapatkan upah rata-rata sebanyak Rp 10.000,perhari.

SIMPULANHasil analisis data yang peneliti dapat dari penelitian tentang pola arus informasi di antara pemulung di TPA Supit Urang, Mulyorejo, Malang, diperoleh kesimpulan bahwa: Pertama, pola arus informasi pasar di antara pemulung di TPA Supit Urang adalah pola jaringan komunikasi segala arah. Pola jaringan komunikasi segala arah menunjukkan tidak adanya seseorang yang menonjol sebagai pemimpin, sehingga semua anggota mempunyai kedudukan sama dan bebas untuk melakukan transaksi dengan anggota lain. Meskipun, didalam kelompok pemulung ini, terdapat dua orang star, tapi semua anggota bebas untuk memilih pasangan komunikasinya. Dan juga bebas untuk berkomunikasi langsung timbal balik dan

122

KALAMSIASI, Vol. 2, No. 2, September 2009, 115 - 123

searah dengan orang lain, hal ini dikarenakan penyebaran informasi harga di pasaran juga langsung dilakukan oleh pengepul kepada pemulung. Baik antara pemulung dengan pengepul di TPA maupun pemulung dengan pengepul di luar TPA. Kedua, distribusi pembagian kerja di TPA Supit Urang adalah pengumpulan (pemulung), pemisah (pemilah) dan pemasar (pengepul). Pemulung bekerja hanya sebagai pengumpul barang-barang bekas yaitu kertas, kardus, plastik, kaleng susu, kaleng minuman, botol aqua, botol sirup, tas kresek, biji durian dan biji apukat, dan sebagainya. Pemulung mengirim barang-barang bekas ke pengepul dalam bentuk campuran, belum dipisah-pisahkan menurut jenis barangnya. Tapi ada 2 orang responden yang khusus hanya memulung tas kresek. Kalau sudah terkumpul banyak, pengepul khusus tas kresek dari luar TPA akan datang mengambil (nomer 34). Pemilah bekerja pada pengepul untuk memisah-misahkan barang-barang bekas yang telah dikumpulkan oleh pemulung. Pemasar (pengepul) adalah orang yang membeli barang-barang bekas dari pemulung dan menjual kembali setelah dipilah menurut jenisnya kepada pengepul yang lebih besar dan berada di luar tempat pembuangan akhir sampah Supit Urang meskipun masih dalam satu wilayah di Malang dan Surabaya. Ketiga, distribusi pendapatan di TPA Supit Urang ditentukan oleh pengepul yaitu masing-masing 5% untuk pemulung dan pemilah, sedangkan 90% merupakan bagian untuk pengepul. Dalam hal ini, pengepul memiliki peranan yang sangat dominan dalam pembagian hasil kerja.

Meski demikian, para pemulung memiliki kebebasan menjual hasil kerja ke pengepul lain yang lebih tinggi harganya.

SARAN1. Para pemulung yang hidup di tempat yang sangat kumuh dengan segala bau yang menyengat dan kotor, yang bisa mengundang penyakit sebaiknya selalu menjaga kesehatan dan kebersihan diri dengan mencuci tangan setelah memulung. Pemerintah melalui petugas TPA sebaiknya juga mengadakan pemeriksaan kesehatan gratis setiap bulan sekali untuk menghindari dampak penyakit yang diakibatkan lingkungan yang tidak higinis. 2. Pemerintah Kotamadya Malang tahun 2004 mempunyai program membangun pabrik pengolahan sampah di TPA Supit Urang, maka untuk lebih melancarkan program tersebut, ada beberapa saran dari peneliti berdasarkan kondisi psikologis pemulung yang rata-rata berpendidikan sangat rendah (tidak lulus atau tidak pernah sekolah) yaitu: a. Komunikasi terbuka dan timbal balik antara pemulung, dinas kebersihan sebagai induk dari TPA, dan pemilik pabrik pengolahan. Sehingga bisa diketahui kemauan dan kepentingan masing-masing pihak. Dalam hal ini petugas TPA bisa menjadi fasilitator dan mediator antara kedua pihak, untuk menghindari kecemburuan sosial yang bera-

Ainur Rochmaniah, Pola Interaksi Pemulung pada TPA Supit Urang

123

kibat negatif terhadap perkembangan TPA. b. Lebih dari 90% pemulung sudah bekerja dan berpenghasilan dari mengumpulkan barang bekas mulai tahun 1995 yaitu sejak TPA berdiri dan ada juga yang pindahan dari TPA Lokdowo, yang merupakan TPA terdahulu. Untuk itu sebaiknya pemulung-pemulung yang terampil bisa dipekerjakan di pabrik pengolahan sampah.

Goldberg, Alvin A, dan Carl E Larson, 1985, Komunikasi Kelompok, Universitas Indonesia Press, Jakarta. Lagzis,2002, Masyarakat dan Tumpukan Sampah Masyarakat, No. 03/th III/ Maret 2002. Muladi, Sipon. 2002. Seluk-beluk Para Pemulung di Samarinda dan Sekitarnya, Lembaga Penelitian Universitas Mulawarman. Nurbianto, 1995, Jaringan Komunikasi pada Komunitas Penjudi di Batu, Skripsi Program Sarjana Univ. Muhammadiyah Malang. Republika, 2001, Mengais Rupiah di Tumpukan Sampah, 23/05/2001 Tuti Retnowati. WD, Sampah antara Sumber Bencana dan Sumber Ekonomi, Kajian No. 22 tahun 1997. P 71-76 . Santoso Slamet, 1995, Dinamika Kelompok, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta Soekanto Soerjono, 1999, Sosiologi Suatu Pengantar, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Suparman, IA, 1987, Pengantar Sosiometri, Penerbit Karunika, Jakarta.

DAFTAR PUSTAKAAnanta, Shafik, 1998. Manajemen Sampah yang Berkelanjutan (Sustainable) Di Bandar Lampung, Indonesia. Paper penelitian. Antara,2001, Sampah Mesti Diubah Jadi Potensi Ekonomi, 6/11/2001 Arikunto Suharsimi,1993, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta. Eilers, Franz Josef,2001, Berkomunikasi dalam Masyarakat: Pengantar Komunikasi Sosial. Diterjemahkan Franz Obon dan Edward Jebarus, Penerbit Nusa Indah, Ende.

124

KALAMSIASI, Vol. 2, No. 2, September 2009, 115 - 123

SELF CONCEPT DAN KECENDERUNGAN PERILAKU DEPRESIF PADA ANAK(Studi Pada Siswa Sekolah Dasar Di Kabupaten

Sidoarjo) Effy Wardaty Maryam(Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Sidoarjo Jalan Majapahit 666 B Sidoarjo, Telp.8945444, Fax. 031-8949333)

ABSTRACTIntention of this research is to analyse the influence of self concept with the behavioral tendency appearance of depresif at children. This research is background by more and more is case suicide or attempt suicide at child, mounting either through quantitative and also qualitative. This matter show the existence of education activity, formal good at school, and also in its environment which less or do not walk as according to function and education duty forming human being as intact as, corporeal healthy and spirit. This research take the sampel of student of class V in three Elementary School of Country in Regency Sidoarjo. To count or calculate the influence of self concept with the behavioral tendency of depresif at child used a statistical analysis of single regresi, namely variable conception xself as independent variable ( behavioral X) tendency and depresif as dependen variable ( Y). Result of research indicate that the self concept give the influence to behavioral tendency forming of depresif at child. But, conception the self is not the single behavioral factor pembentuk tendency of depresif child. Self concept only one of behavioral creator factor of depresi. behavioral tendency Appearance cause depresif can be seen from factor biologis ( like because pain, influence hormonal, pasca bear the, heavy degradation [of] drastic body) and factor psikososial (for example individual conflict or interpersonal, eksistensi, kepribadian, family). Others, behavioral appearance of depresif also can be caused different between real situation that and situation that fancied, causing downhill selfregard and hopelessly. Key words: self concept, child, behavioral depresif.

PENDAHULUANPerilaku depresif akhir-akhir ini tidak hanya terjadi pada orang dewasa dan remaja, tetapi juga terjadi pada anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Salah satu bentuk perilaku depresif125

tersebut adalah percobaan atau bahkan perbuatan bunuh diri (suicide). Fenomena yang cukup tragis khususnya di dunia pendidikan Indonesia adalah adanya beberapa kasus bunuh diri yang dilakukan

126

KALAMSIASI, Vol. 2, No. 2, September 2009, 125 - 134

oleh anak-anak usia sekolah dasar yang mengakhiri hidupnya dengan sebab yang menurut pemikiran sehat agak sulit untuk dapat diterima. Sebuah kenyataan yang membuat prihatin banyak pihak. Sepanjang tahun 2005 hingga awal tahun 2006 dapat dicatat beberapa nama dan peristiwa yang dapat menggambarkan betapa hal ini tidak dapat dipandang remeh karena bisa jadi kasus-kasus ini hanyalah puncak gunung es. Sementara itu, mengenai kesehatan jiwa anak yang membutuhkan pendekatan secara holistik, yakni ekonomi, sosial, budaya, dan psikologis, menjadi sering terlupakan. Seto Mulyadi, menyampaikan bahwa kasus bunuh diri pada anak memang telah lama terjadi. Tetapi karena tidak terekspos oleh media, baru beberapa tahun terakhir hal itu terungkap (Suara Merdeka, 2005: 3). Teddy Hidayat (2005) mengungkapkan bahwa pada kasus-kasus yang terjadi, tampak bahwa ketidakmampuan untuk menciptakan konsep diri positif adalah salah satu penyebab munculnya pilihan tindakan bunuh diri. Dimana salah satu gejala dari perilaku depresi adalah bunuh diri. Pencapaian konsep diri seorang anak sangat dipengaruhi oleh adanya dukungan positif dari orang tua, sekolah dan masyarakat. Ketidakmampuan anak untuk mengelola dan menyelesaikan permasalahan yang dihadapi secara benar, menunjukkan ketidakberhasilan orang tua, guru, sekolah maupun masyarakat dalam mendidik dan memberikan ling-kungan yang aman dan nyaman bagi perkembangan seorang anak. Anak masih berada dalam sebuah proses pencapaian konsep diri (self concept) yang dibentuk

melalui kegiatan internal dan pengaruh dari masyarakat dan lingkungan di sekitarnya. Salah satu indikator keberhasilan pencapaian kesadaran dan konsep diri yang utuh adalah apabila seorang anak dapat menyelesaikan permasalahan-nya melalui eksplorasi diri dan pilihan alternatif tindakan yang wajar dan benar, baik dari kriteria norma sosial maupun budaya. Sehingga pilihan untuk melaku-kan bunuh diri pun dapat dikategorikan sebagai wujud ketidakberhasilan pendi-dikan pencapaian kesadaran dan konsep diri positif tersebut. Ketidakberhasilan pembentukan konsep diri positif pada anak akan membuat anak berpandangan behwa dirinya lemah, tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa-apa, tidak kompeten, gagal, malang, tidak menarik, tidak disukai, dan kehilangan daya tarik terhadap hidup. Anak dengan konsep diri negatif akan cenderung bersikap pesimistik terhadap kehidupan dan kesempatan yang dihadapinya. Ia tidak melihat tantangan sebagai kesempat-an, namun lebih sebagai halangan. Jacinta F. Rini (2002) menyatakan bahwa konsep diri terbentuk melalui proses belajar sejak masa pertumbuhan manusia dari kecil hingga dewasa. Lingkungan, pengalaman dan pola asuh orang tua turut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap konsep diri yang yang terbentuk. Sikap atau respon orang tua dan lingkungan akan menjadi bahan informasi bagi anak untuk menilai siapa dirinya Oleh sebab itu, seringkali anak-anak yang tumbuh dan dibesarkan dalam pola asuh yang keliru dan negatif, atau lingkungan yang kurang mendukung, cenderung mempunyai konsep diri yang negatif. Hal ini disebabkan sikap orang tua,

Effy Wardaty Maryam, Self Concept dan Kecenderungan Perilaku Depresif pada Anak

127

misalnya suka memukul, mengabaikan, kurang memperhatikan, melecehkan, menghina, bersikap tidak adil, tidak pernah memuji, suka marah-marah, dan sebagainya, dianggap sebagai hukuman akibat kekurangan, kesalahan atau kebodohan dirinya. Jadi anak menilai dirinya berdasarkan pada apa yang dialami dan diperoleh dari lingkungan. Jika lingkungan memberikan sikap yang baik dan positif, maka anak akan merasa dirinya cukup berharga sehingga tumbuhlah konsep diri yang positif. Bunuh diri juga merupakan akibat depresi yang dirasakan anak dalam tempo yang cukup panjang, sementara orangtua, keluarga, dan lingkungan sekitar korban tidak menyadari kondisi psikologis anak. Depresi bisa disebabkan banyak hal, tetapi pada umumnya karena anak tidak kuat menghadapi kenyataan, antara banyaknya tuntutan dari lingkungannya dengan kemampuan dirinya. Semakin besar tuntutan orang tua yang berlebih-lebihan, maka akan semakin banyak menimbulkan takut-panik dan rasa putus asa pada anak (Kartono, 1995 : 143). Wiyogo (2005), melakukan pengamatan terhadap maraknya kasus bunuh diri yang dilakukan oleh anak. Kasus ini berkaitan dengan masalah internal dan eksternal, juga faktor psikologi, sosial dan ekonomi. Pengaruh internal disebabkan kurangnya komunikasi yang baik dalam keluarga serta lemahnya pendidikan agama, moral dan etika. Pengaruh eksternal selain lingkungan rumah tinggal dan sekolah, juga media massa. Perhatian dan kasih sayang orang tua serta guru yang tidak maksimal mengajar dan ber-

komunikasi sangat berpengaruh terhadap siswa. Wiyogo menyebutkan, tayangan media elektronik yang berisi tahayul, kekerasan, gaya hidup mewah, dan sikap ingin mencapai sesuatu dengan jalan pintas tidak bisa dipungkiri penontonnya, terutama anak-anak dan remaja. Beritaberita dan tayangan kriminal yang ditayangkan secara gambling bisa membuat anak-anak berpikir bahwa tindakan kejahatan, pembunuhan maupun bunuh diri dianggap hal biasa. Selain faktor psikologi dan sosial, faktor ekonomi juga turut mempengaruhi kondisi kejiwaan seorang anak. Anak-anak dari keluarga miskin yang tidak siap secara mental, bisa tertekan jika melihat kemewahan dan tuntutan kehidupan sehari-hari. Masalah uang sekolah yang menurut masyarakat kota tidak seberapa, bagi keluarga miskin menjadi beban berat. Tampaknya anakanak dan remaja yang masih dalam tahap pertumbuhan belum siap menghadapi perubahan yang sangat cepat. Hasil observasi yang dilakukan oleh Pane (2005), menyebutkan bahwa tindakan bunuh diri anak-anak karena pengaruh lingkungan dan sosial ekonomi. Selain itu juga karena meniru perilaku orang lain. Menurutnya, tidak menutup kemungkinan anak-anak menirukan adegan di film-film dan media massa yang mengeksploitasi kekerasan. Bagaimana pengaruh antara konsep diri dengan munculnya kecenderungan perilaku depresif pada anak-anak? Faktorfaktor apa sajakah yang dapat memicu munculnya kecenderungan perilaku depresif pada anak? Pengetahuan dan ketrampilan apa saja yang dapat diberikan

128

KALAMSIASI, Vol. 2, No. 2, September 2009, 125 - 134

kepada anak sehingga dapat merangsang pencapaian konsep diri yang benar dan wajar sesuai dengan kriteria sosial yang berlaku? Tujuan penelitian ini adalah pertama untuk menjelaskan pengaruh antara konsep diri dengan munculnya kecenderungan perilaku depresif pada anak-anak. Kedua, mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat memicu munculnya kecenderungan perilaku depresif. Ketiga, menjelaskan pengetahuan dan ketrampilan apa saja yang dapat diberikan kepada anak sehingga dapat merangsang pencapaian konsep diri yang benar dan wajar sesuai dengan kriteria sosial yang berlaku.

METODE PENELITIANPenelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif, yakni penelitian yang mendasarkan pada keadaan objektif variabel untuk menunjukkan adanya pengaruh yang kuat antara konsep diri dengan kecenderungan perilaku depresif pada anak dengan menggunakan analisis regresi (anareg) tunggal dengan variabel konsep diri sebagai independen variabel (X) dan perilaku depresif sebagai dependen variabel (Y). Menurut Faisal (2005: 163), pengolahan data secara kuantitatif memungkinkan peneliti melukiskan dan merangkum hasil pengamatan yang telah dilakukan serta membantu peneliti menetapkan seberapa jauh ia dapat menyimpulkan bahwa data yang diperoleh dalam sampel akan berlaku bagi populasi. Perhitungan analisa dilaksanakan dengan menggunakan program SPSS versi 10.0. Penelitian ini dilaksanakan di

Kecamatan Sidoarjo Kabupaten Sidoarjo dengan menentukan dan membagi lokasi penelitian dalam 3 kategori, yakni sekolah favorit kota (kondisi perekonomian orang tua siswa menengah ke atas), sekolah non favorit kota (kondisi perekonomian orang tua siswa menengah ke bawah), dan sekolah pinggiran (kondisi perekonomian orang tua siswa menengah ke bawah). Sedangkan penetapan sekolah kota favorit dan bukan favorit menggunakan referensi dari Dinas Pendidikan Kabupaten Sidoarjo. Populasi dalam penelitian ini adalah semua anak Sekolah Dasar Kelas V (lima) yang ada di Kecamatan Sidoarjo Kabupaten Sidoarjo. Menurut data dari Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Sidoarjo, jumlah siswa Kelas V Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Sidoarjo Tahun Pelajaran 2006/ 2007 tercatat 22.241 anak. Pemilihan anak Kelas V (lima) Sekolah Dasar dilakukan dengan pertimbangan kemampuan baca tulisnya yang sudah memadai sehingga dapat dimungkinkan untuk dilaksanakan pengu-kuran secara klasikal. Selain itu, pada usia Kelas V (lima) Sekolah Dasar anakanak diharapkan mampu menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan dirinya maupun lingkungannya. Sedangkan sampel penelitian adalah siswa kelas V Sekolah Dasar Kecamatan Sidoarjo Kabupaten Sidoarjo sebanyak 127 siswa. Teknik samplingnya menggunakan Purposive Random Sampling, yakni pemilihan yang didasarkan pada ciri-ciri atau sifat tertentu yang dipandang memiliki sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri atau sifat populasi yang telah diketahui sebelumnya (Hadi, 1992: 226). Berdasarkan pada ciri-ciri yang sudah ditetapkan sebelumnya, maka

Effy Wardaty Maryam, Self Concept dan Kecenderungan Perilaku Depresif pada Anak

129

sampel penelitian terbagi atas SDN Pucang I Sidoarjo sebanyak 54 anak, SDN Celep sebanyak 37 anak, dan SDN Siwalan Panji sebanyak 36 anak. Alat pengumpul data utama penelitian ini adalah berupa angket konsep diri dan angket kecenderungan perilaku depresif yang disusun dengan menggunakan skala Likert. Skala konsep diri dikembangkan dengan menggunakan tiga aspek, yaitu fisik, psikologis, dan sosial, sesuai dengan pendapat William D. Brooks bahwa konsep diri merupakan persepsi individu terhadap dirinya sendiri yang bersifat fisik, psikologis, dan sosial sebagai hasil pengalaman dan interaksinya dengan orang lain (2002: 86). Sedangkan skala depresi dikembangkan dengan menggunakan empat indikator, yaitu emosional, kognitif, motivasional, dan somatik. Pada angket konsep diri semakin besar skor atau nilai subyek, maka semakin positif konsep dirinya. Sebaliknya, pada angket kecenderungan perilaku depresif, semakin besar skor atau nilai subyek, maka semakin besar kecenderungan mengalami gangguan depresi. Untuk menghitung pengaruh antara konsep diri dengan kecenderungan perilaku depresif pada anak digunakan analisis statistik regresi tunggal, yakni variabel konsep diri sebagai independen variabel (X) dan kecenderungan perilaku depresif sebagai dependen variabel (Y). Tujuan analisis regresi adalah untuk menguji hubungan pengaruh antara satu variabel terhadap variabel lain. Selain itu juga dilakukan uji validitas dan reliabilitas terhadap instrumen penelitian. Pada angket konsep diri terdapat 16 nomer item yang

valid dari rancangan semula angket yang terdiri atas 27 nomor item. Nomer item valid adalah item yang memiliki nilai corrected item-total correlations diatas 0,195. Sedangkan pada angket kecende-rungan perilaku depresif terdapat 24 nomer item yang valid dari rancangan semula angket yang terdiri atas 29 nomor item. Nomer item valid adalah item yang memiliki nilai corrected item-total correlations diatas 0,196.Penghitungan ini dilaku-kan dengan menggunakan program komputer SPSS (Statistical Program for Social Science) 10,0 for Windows. Tinggi rendahnya ukuran reliabilitas juga ditun-jukkan oleh suatu angka yang disebut koefisien reliabilitas. Dari hasil perhitungan reliabilitas terhadap item-item yang valid, diperoleh koefisien reliabilitas tiap-tiap aspek, dimana aspek skala konsep diri dan kecenderungan perilaku depresif yang reliable adalah aspek yang memiliki nilai alpha di atas 0,60. Angket konsep diri dapat dinyatakan sebagai alat yang reliabel dengan nilai alpha diatas 0,60 yakni 0,7161.

HASIL DAN PEMBAHASANBerdasarkan analisis regresi tunggal yang dilaksanakan, yakni variabel konsep diri sebagai independen variabel (X) dan perilaku depresif sebagai dependen variabel (Y), maka diperoleh hasil sebagai berikut :Tabel 1 Ringkasan Nilai Anava & R2R 0,522 R2 0,272 F 47,191 Sig 0,00

130

KALAMSIASI, Vol. 2, No. 2, September 2009, 125 - 134

Berdasarkan nilai R2= 27,2 dalam tabel summary menunjukkan bahwa sebesar 27,2 % perilaku depresif yang muncul dapat dijelaskan oleh konsep diri seseorang. Sedangkan 72,8 % dijelaskan oleh variabel yang lain (semakin besar nilai R2 hasil penelitian tersebut lebih baik. Penelitian ini semakin baik bila tidak menggunakan variabel tunggal).Tabel 2 Ringkasan KoefisienUnstandardized Cooeficients B 51,760 - 0,62 Std Error 1,727 0,038 t 29,967 -6,870 Sig 0,000 0,000

diri= 10, maka dia akan memiliki skor perilaku depresif sebesar= 51,76 (2 x 0,262) = 49,14. Berarti bahwa semakin positif (ditunjukkan oleh semakin besar skor) konsep diri seseorang, maka semakin rendah kecenderungan perilaku depresif seseorang (ditunjukkan oleh semakin kecil skor).

PEMBAHASANBerdasarkan pada hasil penelitian di atas dapat diketahui bahwa konsep diri bukanlah satu-satunya faktor pencetus munculnya kecenderungan perilaku depresif anak. Konsep diri hanyalah salah satu faktor pencetus munculnya kecenderungan perilaku depresif disamping faktorfaktor lain seperti faktor biologis (seperti sakit, pengaruh hormonal, pasca melahirkan, penurunan berat badan yang drastis) dan faktor psikososial (misalnya konflik interpersonal, kepribadian, masalah keluarga, masalah eksistensi). Perbedaan lokasi geografis domisili, baik tempat belajar maupun tempat tinggal, tidak memberikan pengaruh terhadap pembentukan konsep diri positif bagi anak. Perbedaan sebagai sekolah favorit, kurang favorit, dan pinggiran juga tidak memberikan pengaruh terhadap pembentukan konsep diri positif anak. Dengan demikian, faktor-faktor eksternal anak, seperti kondisi sosial-ekonomi orang tua dan domisili bukan faktor dominan pembentuk konsep diri anak. Hal ini memberikan gambaran mengapa faktor ekonomi tidak dapat menjadi sebuah faktor pembenar munculnya perilaku depresif pada anak. Anak yang nekat untuk melakukan bunuh diri

Berdasarkan nilai sig= 0,000 dalam tabel Anova menunjukkan bahwa hipotesa yang diajukan signifikan, yakni konsep diri memberikan pengaruh terhadap kecenderungan perilaku depresif pada anak. Tabel coefficients menunjukkan bahwa persamaan garis regresi hasil penelitian ini adalah: Y= 51,76 -0,262 X, berarti bahwa semakin negatif konsep diri anak, akan semakin mendorong seorang anak untuk menunjukkan kecenderungan perilaku depresifnya. Interpretasi berdasarkan persamaan garis regresinya adalah sebagai berikut: 1. Jika segala sesuatu pada variabel independen (X) dianggap konstan, maka nilai kecenderungan perilaku depresif (Y) adalah sebesar 51,76. 2. Jika seseorang memiliki skor konsep diri= 1, maka dia akan memiliki skor perilaku depresif sebesar= 51,76 0,262= 51,498. 3. Jika seseorang memiliki skor konsep

Effy Wardaty Maryam, Self Concept dan Kecenderungan Perilaku Depresif pada Anak

131

sebagai bentuk ekspresi depresi berat, tidak hanya terjadi pada golongan anak yang berasal dari ekonomi lemah, namun juga terjadi pada anak yang orang tuanya termasuk golongan ekonomi menengah ke atas. Konsep diri anak akan tumbuh dan berkembang tergantung pada proses internal yang terjadi. Konsep diri anak terbentuk melalui proses belajar sejak masa pertumbuhan manusia dari kecil hingga dewasa. Lingkungan, pengalaman, dan pola asuh orang tua turut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap konsep diri yang terbentuk. Sikap atau respon orang tua dan lingkungan akan menjadi bahan informasi bagi anak untuk menilai siapa dirinya. Oleh sebab itu, seringkali anak-anak yang tumbuh dan dibesarkan dalam pola asuh yang keliru dan negatif, atau pun lingkungan yang kurang mendukung, cenderung mempunyai konsep diri yang negatif. Hal ini disebabkan sikap orang tua yang misalnya suka memukul, mengabaikan, kurang memperhatikan, melecehkan, menghina, bersikap tidak adil, tidak pernah memuji, suka marahmarah, dan sebagainya (dianggap sebagai hukuman akibat kekurangan, kesalahan atau kebodohan anak). Jadi anak menilai dirinya berdasarkan apa yang dia alami dan dapatkan dari lingkungan. Jika lingkungan memberikan sikap yang baik dan positif, maka anak akan merasa dirinya cukup berharga sehingga tumbuhlah konsep diri yang positif. Faktor pendidikan dan pola asuh orang tua terhadap anak sangat menentukan dalam pembentukan konsep diri anak. Sikap positif orang tua yang terbaca oleh anak, akan menum-

buhkan konsep dan pemikiran yang positif serta sikap menghargai diri sendiri. Sebaliknya, sikap negatif orang tua akan mengundang pertanyaan pada anak dan menimbulkan asumsi bahwa dirinya tidak cukup berharga untuk dikasihi, untuk disayangi, dan dihargai. Seorang anak yang tidak dapat memberikan penilaian obyektif kepada dirinya, terlebih memberikan penilaian secara negatif untuk dirinya, akan cenderung dan berpotensi untuk mengalami depresi. Dibandingkan dengan seseorang yang mampu menilai dirinya secara rasional dan obyektif. Dan seseorang yang depresi akan sulit melihat apakah dirinya mampu survive menjalani kehidupan selanjutnya (Jacinta F. Rini, 2002). Konsep-diri pada anak-anak antara lain diperoleh dari pendapat atau penilaian dari luar dirinya (orang lain atau lingkungan). Karena itu, teori pendidikan mengatakan, sebagian besar cara belajar anak-anak itu adalah imitasi, mengkopi dan merefleksikan rangsangan atau stimuli dari luar atau pengalaman indrawi (Ubaydillah, 2007) Berdasarkan nilai R2= 27,2 dalam tabel summary menunjukkan bahwa sebesar 27,2 % perilaku depresif yang muncul dapat dijelaskan oleh konsep diri seseorang. Sedangkan 72,8 % dijelaskan oleh variabel yang lain (semakin besar nilai R2 hasil penelitian tersebut lebih baik. Penelitian ini semakin baik bila tidak menggunakan variabel tunggal). Berdasarkan nilai sig= 0,000 dalam tabel Anova menunjukkan bahwa hipotesa yang diajukan signifikan, yakni konsep diri memberikan pengaruh terhadap kecende-

132

KALAMSIASI, Vol. 2, No. 2, September 2009, 125 - 134

rungan perilaku depresif pada anak. Berdasarkan tabel coefficients menunjukkan bahwa persamaan garis regresi hasil penelitian ini adalah: Y= 51,76 -0,262 X, berarti bahwa semakin negatif konsep diri anak, akan semakin mendorong seorang anak untuk menunjukkan kecenderungan perilaku depresifnya, sebaliknya semakin positif (ditunjukkan oleh semakin besar skor) konsep diri seseorang, maka semakin rendah kecenderungan perilaku depresif seseorang (ditunjukkan oleh semakin kecil skor). Berdasarkan pada hasil penelitian di atas dapat diketahui bahwa konsep diri bukanlah satu-satunya faktor pencetus munculnya kecenderungan perilaku depresif anak. Konsep diri hanyalah salah satu faktor pencetus munculnya kecenderungan perilaku depresif disamping faktorfaktor lain seperti faktor biologis (seperti sakit, pengaruh hormonal, pasca melahirkan, penurunan berat badan yang drastis) dan faktor psikososial (misalnya konflik interpersonal, kepribadian, masalah keluarga, masalah eksistensi). Perbedaan lokasi geografis domisili, baik tempat belajar maupun tempat tinggal, tidak memberikan pengaruh terhadap pembentukan konsep diri positif bagi anak. Perbedaan sebagai sekolah favorit, kurang favorit, dan pinggiran juga tidak memberikan pengaruh terhadap pembentukan konsep diri positif anak. Dengan demikian, faktor-faktor eksternal anak, seperti kondisi sosial-ekonomi orang tua dan domisili bukan faktor dominan pembentuk konsep diri anak. Hal ini memberikan gambaran mengapa faktor ekonomi tidak dapat menjadi sebuah faktor pembenar muncul-

nya perilaku depresif pada anak. Anak yang nekat untuk melakukan bunuh diri sebagai bentuk ekspresi depresi berat, tidak hanya terjadi pada golongan anak yang berasal dari ekonomi lemah, namun juga terjadi pada anak yang orang tuanya termasuk golongan ekonomi menengah ke atas. Konsep diri anak akan tumbuh dan berkembang tergantung pada proses internal yang terjadi. Konsep diri anak terbentuk melalui proses belajar sejak masa pertumbuhan manusia dari kecil hingga dewasa. Lingkungan, pengalaman, dan pola asuh orang tua turut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap konsep diri yang terbentuk. Sikap atau respon orang tua dan lingkungan akan menjadi bahan informasi bagi anak untuk menilai siapa dirinya. Oleh sebab itu, seringkali anak-anak yang tumbuh dan dibesarkan dalam pola asuh yang keliru dan negatif, atau pun lingkungan yang kurang mendukung, cenderung mempunyai konsep diri yang negatif. Hal ini disebabkan sikap orang tua yang misalnya suka memukul, mengabaikan, kurang memperhatikan, melecehkan, menghina, bersikap tidak adil, tidak pernah memuji, suka marahmarah, dan sebagainya (dianggap sebagai hukuman akibat kekurangan, kesalahan atau kebodohan anak). Jadi anak menilai dirinya berdasarkan apa yang dia alami dan dapatkan dari lingkungan. Jika lingkungan memberikan sikap yang baik dan positif, maka anak akan merasa dirinya cukup berharga sehingga tumbuhlah konsep diri yang positif. Faktor pendidikan dan pola asuh orang tua terhadap anak sangat menentukan dalam

Effy Wardaty Maryam, Self Concept dan Kecenderungan Perilaku Depresif pada Anak

133

pembentukan konsep diri anak. Sikap positif orang tua yang terbaca oleh anak, akan menumbuhkan konsep dan pemikiran yang positif serta sikap menghargai diri sendiri. Sebaliknya, sikap negatif orang tua akan mengundang pertanyaan pada anak dan menimbulkan asumsi bahwa dirinya tidak cukup berharga untuk dikasihi, untuk disayangi, dan dihargai. Seorang anak yang tidak dapat memberikan penilaian obyektif kepada dirinya, terlebih memberikan penilaian secara negatif untuk dirinya, akan cenderung dan berpotensi untuk mengalami depresi. Dibandingkan dengan seseorang yang mampu menilai dirinya secara rasional dan obyektif. Dan seseorang yang depresi akan sulit melihat apakah dirinya mampu survive menjalani kehidupan selanjutnya (Jacinta F Rini, 2002). .

SIMPULANBerdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa konsep diri memberikan pengaruh terhadap pembentukan kecenderungan perilaku depresif pada anak. Namun, konsep diri bukanlah satu-satunya faktor pembentuk kecenderungan perilaku depresif anak. Konsep diri hanyalah salah satu faktor pencetus perilaku depresi. Penyebab munculnya kecenderungan perilaku depresif bisa dilihat dari faktor biologis (seperti karena sakit, pengaruh hormonal, pasca melahirkan, penurunan berat badan yang drastis) dan faktor psikososial, misalnya konflik individual atau interpersonal, eksistensi,kepribadian, keluarga (www.epsikologi.com tanggal 27 Juni 2007).

Selain itu, kecenderungan perilaku depresif juga bisa disebabkan karena ketidaksesuaian antara situasi yang nyata dan situasi yang dikhayalkan, yang menyebabkan menurunnya harga diri dan putus asa (Hidayat, Kasan, 2007). Pada anak-anak, konsep diri antara lain diperoleh dari pendapat atau penilaian dari luar dirinya (orang lain atau lingkungan). Karena itu, teori pendidikan mengatakan, sebagian besar cara belajar anak-anak itu adalah imitasi, mengkopi, dan merefleksikan rangsangan atau stimuli dari luar atau pengalaman indrawi (Ubaydillah, 2007). Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka saran yang dapat dikemukakan dan yang memungkinkan untuk pertimbangan pelaksanaannya adalah sebagai berikut : 1. Bagi orang tua a. Membangkitkan jiwa anak, membesarkan hatinya, memperkuat imannya atau mentalnya, memberikan bacaan yang memberikan inspirasi, mengarahkan anak untuk mengidolakan tokoh-tokoh yang bermutu, menyediakan fasilitas pendidikan di rumah, mengajak untuk mengunjungi event-event yang bermutu, mendiskusikan pekerjaan rumahnya dan lain-lain. Satu hal yang tidak kalah pentingnya adalah bermain dengan anak sehingga orang tua dapat memasukkan ajaran-ajaran positif. b. Memberikan pemahaman yang benar terhadap persoalan hidup (realitas). Misalnya saja pemahaman tentang pentingnya tolong

134

KALAMSIASI, Vol. 2, No. 2, September 2009, 125 - 134

menolong, pentingnya melawan keminderan dan kemalasan, pentingnya menyadari potensi dan kelebihan, pentingnya keikhlasan, kejujuran, kegigihan, melawan kesulitan, dan lain-lain. c. Membantu anak dalam mengungkap kelebihan-kelebihannya. d. Keteladanan. 2. Bagi Sekolah Sekolah hendaknya memberikan lingkungan yang tidak menjustified siswa sebagai siswa yang bodoh, tidak mampu dan tidak berkemampuan. Sebaliknya memberikan lingkungan dan dukungan pencapaian konsep diri positif anak. 3. Bagi Peneliti Selanjutnya Diharapkan untuk menambah variabel lain, seperti pola asuh orang tua terhadap anak, kepribadian, dan coping anak terhadap orang tua.

Blackburn, Marie & Davidson. 1994. Terapi Kognitif untuk Depresi dan Kecemasan. Semarang: IKIP Semarang Press. Faisal, Sanapiah. 2005. Format-format Penelitian Sosial. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hurlock, Elizabeth. 1995. Perkembangan Anak. Jakarta : Erlangga. Hidayat, Teddy. 2005. Mengatasi Depresi pada Anak, (Online), (http:// www.kapanlagi.com, diakses 20 Desember 2005). Jacinta, Rini. 2002. Konsep Diri, (Online), (http://www.e-psikologi.com, diakses 5 Desember 2005). Kartono, Kartini. 1995. Psikologi Anak. Bandung : Mandar Maju. Kerlinger, F.N. 2003. Asas-asas Penelitian Behavioral. Cetakan Kesembilan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Hidayat, Kasan. 2007. Konsep Diri Anak, (Online), (http://www.e-psikologi. com, diakses 27 Juli 2007). Moleong, Lexy J. 1998. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Ubaydillah. 2007. Konsep Diri, (Online), (http://www.e-psikologi.com, diakses 27 Juni 2007). Winarsunu, Tulus. 2002. Statistik Dalam Penelitian. Malang :UMM Press. Wirawan, Sarlito. 2002. Psikologi Sosial. Jakarta : Balai Pustaka.

DAFTAR RUJUKANAgung, Bhuwono. 2005. Strategi Jitu Dengan SPSS. Yogyakarta : Andi Offset. Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Revisi V. Jakarta : Penerbit : PT. Rineka Cipta. Azwar, S. 2003. Sikap Manusia : Teori dan Pengukurannya. Pustaka Pelajar : Yogyakarta.

PERSEPSI PENONTON TELEVISI TERHADAP TAYANGAN REKA ULANG PERISTIWA KRIMINALDidik Hariyanto(Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Umsida, Jln. Mojopahit No.666 B Sidoarjo,Telp 0318945444, Fax 031-8949333, email [email protected])

ABSTRACTThe aim of this research us us help to developed knowledge of communication in studying of the analysis reception whish linked with the perception of the people of Sidoarjo city about the Presentation of Television Reka Ulang Peristiwa Kriminal. The approach which is used in this research is qualitative approach with the Receptions analysis method..In collection of the data of this research the researchert used Focus Group Discussion (FGD),by using this technique researcher wants to gain the qualitative data where a group of audience discussed with guidelines from the moderator of facilitator. The conclusion in this research is, the Process of the perception is really influenced by individual cognition, whereas individual cognition is organised selectively.Stimulus that is accepted by the individual is interpreted differently denpend on their point of view. The fast perception formed because it is influenced by pictures of the sadist when the perpetrators carried out the crime in the repeated trick criminal. More perception in the temporary assumtion is not entering yet in the opinion order that is accompanied by proof. Perception is really depend on the subjectivity from the individual. It is different because it depends on their motive in watching the repeated trick the criminalprogram.Besides, emosion, physology and individual experience, it is also influenced by education, economics, socialculture,religion, foundation and environment and intencity of the stimulus that is accepted.

PENDAHULUANBerita dalam televisi merupakan program utama. Selama 24 jam hampir semua channel-channel televisi mencurahkan perhatiannya terhadap peristiwaperistiwa penting dan menarik yang terjadi. Berita adalah segment programing yang135

diwajibkan oleh setiap stasiun televisi. Televisi merupakan media informasi berita yang dominant dan sumber daya yang besar dicurahkan untuk itu. Berita selaras dengan kemutakhiran (cutting edge) teknologi baru karena biasa mengakses

136

KALAMSIASI, Vol. 2, No. 2, September 2009, 135 - 142

suara dan gambar segera dari penjuru dunia, tentu saja ini merupakan fenomena budaya. Menurut McQuail berita bukan sekedar fakta, melainkan bentuk khusus pengetahuan yang tidak lepas dari penggabungan informasi, mitos, fabel dan moralitas. Saat ini berbagai modifikasi penyiaran berita banyak dilakukan oleh setiap stasiun televisi, satu diantaranya adalah berita dengan liputan investigasi. Tayangan reka ulang peristiwa atau juga sering disebut laporan kronologis peristiwa kriminal merupakan laporan investigasi yang dikombinasi dengan drama atau adegan terjadinya kriminalitas.