kalamsiasi sept 2011

Upload: totok-wahyu-abadi

Post on 20-Jul-2015

291 views

Category:

Documents


18 download

DESCRIPTION

jurnal ilmiah

TRANSCRIPT

KALAMSIASIVol. 4 No. 2 Setember 2011

Jurmal Ilmu Komunikasi dan Ilmu Administrasi Negara

EFEKTIVITAS STRATEGI KOMUNIKASI KONSULTAN DALAM PROGRAM BANTUAN LANGSUNG MASYARAKAT PNPM MANDIRI PERKOTAAN DI KOTA RAHA KABUPATEN MUNA Nur Atnan; Ageng Setiawan Herianto; F. Trisakti Haryadi .............................. PERAN KOORDINASI PADA PROSES PENYUSUNAN RENCANA PRIMA TANI DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN DAERAH DI DESA HARGOBINANGUN, KECAMATAN PAKEM, KABUPATEN SLEMAN Endang Wisnu Wiranti; Ageng Setiawan Herianto; Roso Witjaksono............. STRATEGI MENINGKATKAN PERAN PUSAT PELAYANAN PENGADUAN MASYARAKAT (P3M) DALAM REFORMASI PELAYANAN PUBLIK DI KABUPATEN SIDOARJO Agung Wareh ........................................................................................................ REFORMASI ADMINISTRASI: PENDEKATAN BIROKRASI REPRESENTATIF DALAM MENINGKATKAN PERFORMA BIROKRASI Amirul Mustofa ................................................................................................... REKRUTMEN KEPEMIMPINAN SEKTOR PUBLIK DI DAERAH: PROBLEM INTERNAL PARTAI POLITIK Budhy Prianto ...................................................................................................... PERENCANAAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA BAGI KOMUNITAS PEDAGANG KAKI LIMA DI KOTA SURABAYA Ita Kusuma Mahendrawati .................................................................................. 185- 196 REFORMASI KEUANGAN DAERAH: BEBERAPA CATATAN DAN AGENDA Andik Afandi ........................................................................................................ 185- 196 MAKNA METODOLOGI DALAM PENELITIAN Totok Wahyu Abadi .............................................................................................. 197-210 155-172 141-154 129-140 115-128 105-113

ii

KALAMSIASI, Vol. 4, No. 2, September 2011

KATA PENGANTARAssalamualaikum Wr. Wb. Sidang pembaca yang budiman, KALAMSIASI edisi ini hadir panuh warna dan cukup lengkap sesuai dengan substansinya, sebagai Jurmal Ilmu Komunikasi dan Ilmu Administrasi Negara. Mulai dari administrasi public yang salah satu aspeknyaadalah menejemen dan kepemimpinan (di samping organisasi); yang salah satu cabangnya adalah pelayanan publik (dan kebijakan publik) hingga komunikasi, bahkan metodologi cakupan tulisan juga dalam scope yang beragam, baik nasional, daerah bahkan lokal. Administrasi publik sebagai topik diulas oleh Anirul Mustofa, terkait dengan peran birokrasi dalam reformasi, ditingkahi tulisan Andik Affandi tentang Reformasi (Pengelolaan) Keuangan Daerah di Indonesia. Selanjutnya hal pelayanan publik diulas oleh Agung Wareh, khususnya mengenai pentingnya mekanisme pengaduan masyarakat; Untuk sebuah hasil yang maksimal manajemen publik dimana kepemimpinan --yang ditelisik oleh Budhy Prianto--- dan perencanaan --yang ditelusur oleh Ita Kusuma Mahendrawati-- merupakan beberapa elemen pokoknya. Selain itu strategi komunikasi disorot oleh Nur Atnan, dkk; dan peran koordinasi diulas oleh Endang Wisnu Wiranti dan Ageng Setiawan Herianto. Keduanya mengungkapkan bahwa komunikasi merupakan hal penting bagi suksesnya program-program publik. Demikian sekilas kehadiran KALAMSIASI edisi ini, yang ditutup dengan refreshing tentang makna metodologi. Semoga bermanfaat dan... Selamat Membaca.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Penyunting

EFEKTIVITAS STRATEGI KOMUNIKASI KONSULTAN DALAM PROGRAM BANTUAN LANGSUNG MASYARAKAT PNPM MANDIRI PERKOTAAN DI KOTA RAHA KABUPATEN MUNANur Atnan* Ageng Setiawan Herianto** F. Trisakti Haryadi**(*Staf Peneliti Bandung Institute Government Studies, e-mail: [email protected] ; ** Dosen Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan Sekolah Pascasarjana - Universitas Gadjah Mada, Yogjakarta)

ABSTRACTThe objectives of this research was to identify the effectiveness of consultants communication strategy in giving proper comprehension to the society about BLM PNPM-MP and to identify the effectiveness distinction of the four applied communication methods in communication strategy, that are informative method, educative method, persuasive method and mixed method (informative and persuasive methods). The method used in this research was mixed method (Quantitative and Qualitative). The total number of samples in this research were 30 for each communication method applied and determining randomly. The informant for qualitative approach consisted of 6 respondents. The data of the research were analyzed using descriptive statistics and anova. The results of the research showed that the consultants communication strategy was ineffective because every communication methods applied still used single media strategy. From four communication methods applied, educative method had higher such as informative method, persuasive method and mixed method (informative and persuasive methods). Keywords : effectiveness, strategy, communication, BLM PNPM-MP Program

PENDAHULUANSalah satu unsur penting dalam pelaksanaan Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) Program Nasional Pembangunan Masyarakat Mandiri Perkotaan (PNPM-MP) adalah Konsultan. Salah satu peran konsultan adalah105

memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang BLM PNPM-MP, sehingga fungsi sosialisasi sangat dominan diperankan oleh mereka. Pemahaman masyarakat terhadap program PNPM-MP juga tidak terlepas dari peran dan tanggungjawab mereka.

106 KALAMSIASI, Vol. 4, No. 2, September 2011, 105 - 114

Menarik apa yang terjadi di Kabupaten Muna. Pengendali program BLM PNPMMP di Kabupaten Muna adalah konsultan kabupaten yang diketuai oleh seorang korkot (kordinator kota). Dalam pengamatan penulis, konsultan menggunakan strategi single media. Strategi tersebut diterapkan dalam dua model arus komunikasi, yaitu one-step ow model (satu tahap) dan two-steps ow model (dua tahap). Dalam one-step ow model media yang digunakan adalah poster melalui metode informatif. Dalam two-steps flow model media yang digunakan adalah face to face communication melalui metode edukatif pada saat konsultan menjelaskan program kepada pemuka kepentingan dan metode persuasif pada saat pemuka kepentingan yang berperan sebagai komunikator lokal menjelaskan kepada masyarakat. Strategi komunikasi yang digunakan konsultan dalam program BLM PNPMMP di Kabupaten Muna harusnya mampu memberikan pemahaman yang baik kepada masyarakat tentang program BLM PNPMMP. Pertimbangannya adalah konsultan mengkombinasikan one-step ow model dan two-steps ow model. Kombinasi ini bisa menjawab berbagai persoalan komunikasi dalam kondisi masyarakat yang sifatnya masih tradisional. Kecamatan Katobu yang menjadi sasaran program ini masih masuk dalam kategori masyarakat tradisional karena tingkat interaksi antara sesama masyarakat masih kuat. Penggunaan kombinasi model yang diterapkan oleh konsultan sebagai pilihan strategi dalam membangun komunikasi belum mampu memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang program BLM PNPM-MP. Dalam faktanya, pemahaman masyarakat dalam program ini masih cukup

rendah karena ide-ide kegiatan dalam program BLM lebih banyak mengarah pada pembangunan sik. Program-program yang mengarah pada pengembangan keterampilan untuk masyarakat miskin agar mereka memiliki keterampilan atau pun program usaha yang berkesinambungan bagi masyarakat miskin tidak muncul. Kondisi di atas lah yang menjadi persoalan. Strategi komunikasi yang dijalankan konsultan ternyata belum mampu membangun pemahaman yang benar tentang program BLM PNPM-MP. Padahal pendekatan strategi yang digunakan oleh konsultan sudah cukup baik. Hal ini mendorong peneliti menganalisis lebih jauh tentang efektivitas strategi komunikasi tersebut, dalam artikel berjudul: Efektivitas Strategi Komunikasi Konsultan dalam Program BLM PNPM-MP di Kota Raha Kabupaten Muna. Penelitian ini mencoba untuk mengurai apa sebenarnya yang terjadi dengan strategi komunikasi yang dilakukan oleh konsultan sehingga strategi komunikasinya tidak berhasil. Oleh karena itu, maka masalah utama dari penelitian ini adalah sejauhmana efektivitas strategi komunikasi konsultan dalam memberikan pemahaman tentang program BLM PNPM-MP. Secara lebih spesifik, maka arahan permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) bagaimana efektivitas strategi komunikasi yang dilakukan oleh konsultan dalam Program BLM PNPM-MP di Kabupaten Muna; dan (2) bagaimana perbedaan efektivitas dari empat metode komunikasi, yakni metode informatif, metode edukatif, metode persuasif dan metode perpaduan (informatif dan persuasif) yang diterapkan oleh konsultan sebagai

Nur Atnan, Ageng Setiawan H, dan F. Trisakti Haryadi: Efektivitas Strategi Komunikasi Konsultan

107

bagian dari strategi komunikasinya dalam program BLM PNPM-MP di Kabupaten Muna. Ada tiga konsep yang menjadi tinjauan pustaka dalam penelitian ini, yaitu strategi komunikasi, model arus komunikasi dan efektivitas strategi komunikasi. Strategi adalah tindakan yang sistematis dengan menggabungkan beberapa metode/alat/ pendekatan untuk mencapai tujuan tertentu dalam jangka waktu tertentu. Dari denisi strategi tersebut, maka strategi komunikasi adalah serangkaian tindakan yang terencana untuk mencapai tujuan tertentu melalui penggunaan metode-metode komunikasi, teknik komunikasi dan pendekatan komunikasi tertentu (Mefalopulos dan Kamlongera, 2004) FAO (Food and Agricultural Organization), menawarkan beberapa strategi komunikasi dalam pembangunan. Strategi yang relevan dalam penelitian ini adalah Strategic Extension Campaign (SEC) karena analisis berbagai hal dasar sebelum muncul strategi seperti analisis audiens dilakukan secara sederhana dan tidak melalui riset komunikasi yang kompleks seperti halnya pada PRCA (http://www.fao.org/). Secara umum, ada dua bagian besar dari SEC, yaitu campaign strategy development planning dan campaign management planning. Dua bagian ini bisa dimaknai sebagai perencanaan dalam membangun strategi kampanye dan perencanaan dalam manajemen kampanye. Dari uraian konsep strategi komunikasi di atas, maka kongkritisasi atau wujud dari strategi komunikasi pada dasarnya pilihan pada tiga hal, yaitu: (1) model arus komunikasi; (2) metode komunikasi; dan (3) media komunikasi. Dalam hal model,

Soehoet (2002) menjelaskan ada empat model yang bisa digunakan, yaitu model jarum suntik (hypodermic needle model), model satu langkah (one-step ow model), model dua langkah (two-steps ow model) dan model banyak langkah (multi steps ow model). Terkait dengan metode atau teknik komunikasi, Effendy (2006) menjelaskan bahwa ada empat metode atau teknik komunikasi, yaitu: (1) komunikasi informatif (informative communication); (2) komunikasi persuasif (persuasive communication); dan (3) komunikasi instruktif/koersif (instructive/ coersive communication) dan komunikasi edukatif (educative communication). Untuk alat komunikasi sendiri, berkaitan dengan media komunikasi. Berlo (dalam Fajar, 2009), mengemukakan bahwa media komunikasi ada dua, yaitu media primer berupa penggunaan bahasa dan simbol melalui komunikasi langsung (face to face communication) dan media sekunder melalui media massa (koran, radio, tv) atau media nirmassa (poster, liflet, pamflet). Penerapan media di lapangan dapat berupa single media dan multi media. Single media pada saat pilihan dijatuhkan pada satu media saja, apakah media primer atau media sekunder. Multi media pada saat pilihan media dijatuhkan pada dua media secara bersamaan, yaitu di samping menggunakan media primer dalam waktu yang bersamaan juga menggunakan media sekunder. Dalam penelitian ini, wujud dari strategi komunikasi konsultan yang nanti akan dianalisis efektivitasnya adalah pada pilihan strategi single media yang diterapkan dalam one-step ow model melalui penerapan metode informatif dengan menggunakan media poster dan two-steps flow model melalui penerapan metode edukatif, persuasif

108 KALAMSIASI, Vol. 4, No. 2, September 2011, 105 - 114

dan kombinasi (informatif dan persuasif) dengan penggunaan media face to face communication secara dominan. Strategi komunikasi konsultan diterapkan dalam model komunikasi. Ada empat model yang dikenal dalam arus komunikasi, yaitu model jarum suntik (Hypodermic Needle Model), model satu langkah (One-Step Flow Model), model dua langkah (Two-Steps Flow Model) dan model banyak langkah (Multi Steps Flow Model). Dari empat model ini, konsultan dalam program BLM PNPM-MP lebih cenderung menggunakan kombinasi one-step flow model dan two-steps flow model (Soehoet, 2002). Model satu langkah (One-Step Flow Model) menggambarkan proses komunikasi dari media massa kepada khalayak atau audiensnya secara langsung tanpa melalui orang lain. Model ini memiliki persamaan dan perbedaan dengan Model Jarum Suntik. Persamaannya adalah media yang digunakan langsung disampaikan kepada khalayak, sedangkan perbedaanya adalah model satu langkah ini tidak menganggap bahwa khalayak itu pasif sehingga media yang digunakan memiliki pengaruh yang kuat terhadap khalayak karena khalayak tidak mempunyai kemampuan untuk memilih pesan. Pada model satu tahap, efek dari media yang dirasakan oleh khalayak berbeda-beda. Hasil penelitian Katz dan Lazarsfeld yang pertama kali mengenalkan model dua langkah (Two-Steps Flow Model) ini menyatakan bahwa model ini lahir diawali dengan munculnya istilah opinion leader (pemimpin pendapat) atau pemuka kepentingan. Asumsi yang mendorong sehingga muncul model ini adalah individu tidak terisolir melainkan merupakan anggota kelompok sosial yang berinteraksi dengan

orang lain. Respons terhadap isi pernyataan tidak langsung segera tetapi disalurkan dan dipengaruhi oleh hubungan sosial dalam pergaulan individu yang bersangkutan. Oleh karena itu, untuk memahamkan masyarakat tidak perlu didatangi satu-satu, tetapi cukup yang didekati adalah para pemuka kepentingan. Jadi, yang akan memahamkan masyarakat secara langsung tentang pesan tertentu adalah pemuka kepentingan. Biasanya cara seperti ini semakin membantu memahamkan sesuatu kepada masyarakat (Soehoet, 2002). Untuk melihat keberhasilan strategi komunikasi konsultan, maka perlu dilihat ukuran efektivitas strategi komunikasi. Efek adalah unsur penting dalam keseluruhan proses komunikasi. Efek bukan hanya sekedar umpan balik dan reaksi penerima (komunikasi) terhadap pesan yang dilontarkan oleh komunikator, melainkan efek dalam komunikasi merupakan panduan sejumlah kekuatan yang bekerja dalam masyarakat, di mana komunikator hanya dapat menguasai satu kekuatan saja, yaitu pesan-pesan yang dilontarkan (Arin, 1994). Tujuan akhir dari strategi komunikasi tersebut pada dasarnya akan menjadi tolak ukur untuk melihat efektivitas strategi komunikasi. Dalam penelitian ini, ukuran efektivitas strategi komunikasi konsultan hanya pada tahap pemahaman. Ada dua proses yang terjadi dalam pemahaman, yaitu proses mengerti dan proses penerimaan. Proses mengerti, yaitu pesan yang disampaikan oleh komunikator diketahui maksudnya, sedangkan proses penerimaan merupakan sebuah kondisi di mana komunikan memahami apa yang disampaikan oleh komunikator dan tidak hanya sekedar mengetahui pesan yang disampaikan (Arin, 1994).

Nur Atnan, Ageng Setiawan H, dan F. Trisakti Haryadi: Efektivitas Strategi Komunikasi Konsultan

109

KERANGKA TEORITIKPenelitian ini dikembangkan dari satu grand teori, yaitu teori sosiopsikologis dan dua teori cabang, yaitu teori S-O-R dan teori komunikasi sebagai sebuah proses interaksi. Secara lebih spesifik tradisi sosiopsikologis yang berorientasi pada sisi kognitif memberikan pemahaman bagaimana manusia memproses informasi. Input (informasi) merupakan bagian dari perhatian khusus, sedangkan output (pemahaman) merupakan bagian dari sistem kognisi. Dalam penelitian ini, input adalah strategi komunikasi, sedangkan output adalah pemahaman masyarakat yang diharapkan sebagai efek dari strategi komunikasi tersebut. Efektivitas strategi komunikasi sangat dipengaruhi oleh pilihan-pilihan metode atau teknik komunikasi termaksud desain stimulus yang dimaknai sebagai pesan. Untuk melahirkan pilihan metode/teknik dan pesan, maka perlu analisa-analisa khusus yang dalam tradisi ini termaksud dalam input. Hal ini dimaksudkan untuk melahirkan output yang dalam penelitian ini yaitu pemahaman tentang program BLM PNPM-MP. Pada sisi ini lah maka tradisi ini menjadi grand teori dalam penelitian ini karena ada beberapa teori cabang yang nanti bisa digunakan untuk menganalisis fenomena dalam penelitian ini, yaitu teori S-O-R dan teori komunikasi sebagai sebuah proses interaksi. Teori S-O-R dikembangkan oleh De Fleur (Soehoet, 2002) dengan pendekatan psikologis. De Fleur memasukkan unsur organisme yang sebelumnya hanya dikenal dengan stimulus-respons, sehingga lahirlah tiga komponen inti dalam teori ini, yaitu: (1) stimulus yang dimaknai sebagai rangsangan atau dorongan; (2) organisme yang dimakanai sebagai manusia atau komunikan; dan (3)

respons yang dimaknai sebagai reaksi, tanggapan, jawaban, pengaruh, efek atau akibat. Prinsip dari teori ini bahwa dalam rangka melahirkan respons tertentu sebagai efek dari komunikasi terhadap organisme (komunikan), maka diperlukan stimulusstimulus tertentu. Respon itu sendiri dimaknai dalam pendekatan psikologis yang memiliki beberapa tingkatan dan tujuan akhirnya adalah sikap melalui pemahaman yang benar tentang sesuatu. Teori lain yang menjadi penunjang adalah teori komunikasi yang dikembangkan oleh Here. Teori ini mengemukakan bahwa sebuah proses interaksi di dalamnya selalu menyertakan tiga elemen, yaitu bentuk, proses dan isi. Bentuk, berkaitan dengan jaringan komunikasi yang terjalin dan tingkat interaksi yang terbangun. Hal ini dipengaruhi oleh motivasi menjalin komunikasi. Dorongan motivasi itulah yang akan menimbulkan terbentuknya jaringan komunikasi (dengan siapa kita akan berkomunikasi). Motivasi itu pula yang akan mempengaruhi tingkat interaksi. Semakin kita membutuhkan seseorang maka tingkat interaksi kita pun akan semakin tinggi dengan orang tersebut (Prajarto, 2009). Elemen kedua adalah proses, yaitu komunikasi terus berlangsung dan tidak berakhir ketika antara komunikator dan komunikan tidak bertemu. Komunikasi akan terus berlangsung menuju pada sebuah titik sesuai dengan motivasi yang mendasarinya. Here juga menegaskan bahwa dimensi proses dalam interaksi ini selalu disertai dengan perilaku emosional secara sosial (socialemotional behaviour). Elemen ketiga adalah konten, yaitu bagaimana komunikasi diolah di tengah

110 KALAMSIASI, Vol. 4, No. 2, September 2011, 105 - 114

kompleksitas sebuah kelompok. Mengacu pada pemikiran Parson, untuk memahami kompleksitas kelompok, maka ada empat hal yang harus dilihat, yaitu: (1) Nilai yang ada dan terpelihara; (2) Rangkaian peraturan yang mengarahkan mereka untuk berkoordinasi atas segala aktivitas dan mengembangkan rasa solidaritas yang kuat untuk bersama-sama menyelesaikan tugas; (3) Setiap anggota harus mampu menerapkan sistem kontrol yang kuat pada semua anggota secara efektif guna mencapai tujuan bersama; dan (4) Pengembangan sumber daya dan keahlian yang utama untuk mencapai tujuan kelompok (Prajarto, 2009).

HASIL PENELITIANStrategi komunikasi yang diterapkan oleh konsultan dalam program BLM PNPMMP adalah strategi single media. Strategi tersebut digunakan dalam empat metode komunikasi, yaitu metode informatif, metode edukatif, metode persuasif dan metode perpaduan (informatif dan persuasif). Metode informatif digunakan dalam onestep ow model sedangkan metode edukatif, persuasif dan kombinasi digunakan dalam two-steps ow model. Efektivitas strategi komunikasi konsultan dalam program BLM PNPMMP di Kecamatan Katobu Kabupaten Muna rendah. Hal tersebut bisa dilihat dari efektivitas dari empat metode komunikasi yang diterapkan. Untuk metode informatif efektivitasnya berada dalam kategori rendah (66,7%). Jika dilihat dari aspek respons masyarakat, mayoritas respons masyarakat rendah terhadap poster yang digunakan dalam metode tersebut, yakni sebesar 56,7%. Dalam aspek yang lain, yaitu pemahaman, mayoritas masyarakat belum memahami program ini, yakni sebesar 70%. Berikut hasil analisis efektivitas metode informatif:Tabel 1. Efektivitas Metode Informatif di Kelurahan Watone, Kecamatan Katobu, 2011 (n = 30)INDIKATOR EFEKTIVITAS NO. KATEGORI RESPONS MASYARAKAT (%) 43.3 56.7 100 PEMAHAMAN MASYARAKAT (%) 30 70 100

METODE PENELITIANPenelitian ini menggunakan mix method sebagai metode dasar. Mix method dipahami sebagai perpaduan antara pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif (Creswell, 2010). Teknik pendekatan kuantitatif dalam penelitian ini dilakukan dengan metode survei, Pendekatan penelitian secara kualitatif diperoleh melalui metode analisis deskriptif (Bungin, 2010). Pengambilan sampel dilakukan secara purposive random sampling. Analisis data dilakukan secara analisis deskriptif dan Anova. Analsis deskriptif dilakukan untuk melihat efektivitas strategi komunikasi konsultan dengan membuat dua kategori efektivitas, yaitu tinggi dan rendah. Analisis anova digunakan untuk membandingkan efektivitas dari empat metode komunikasi yang digunakan dalam strategi komunikasi, yaitu metode informatif, metode edukatif, metode persuasif dan metode perpaduan (informatif dan persuasi).

1 2 Total

Tinggi Rendah

Sumber: Analisis data primer, 2011

Nur Atnan, Ageng Setiawan H, dan F. Trisakti Haryadi: Efektivitas Strategi Komunikasi Konsultan

111

Efektivitas metode informatif rendah karena konsultan tidak melakukan analisis kondisi masyarakat secara mendalam sehingga poster yang digunakan kurang mencerminkan kondisi masyarakat. Selain itu, tidak adanya uji coba poster terlebih dahulu mengakibatkan poster yang dihadirkan di tengah-tengah masyarakat bahasanya sulit dipahami. Dari sisi tampilan, poster tidak memenuhi syarat kontras dan availability seperti yang ditawarkan oleh Wilbur Schramm (Arifin, 2004) tentang poster yang baik. Desain poster juga tidak memperhatikan Glamour Theory, akibatnya posternya kurang menarik. Efektivitas metode edukatif masuk dalam kategori rendah (73,3%). Sekitar 66,7% pemuka kepentingan yang menjadi sampel dalam penelitian ini beranggapan bahwa daya tarik dan kredibilitas konsultan rendah. Pada saat konsultan menjelaskan pun banyak pemuka kepentingan yang menyatakan bahasanya kurang jelas, yakni sekitar 70%. Dalam hal pemahaman, ada sekitar 63,3% pemuka kepentingan yang belum memahami program ini. Berikut hasil analisis data metode edukatif:Tabel 2. Efektivitas Metode Edukatif, di Kelurahan Watonea, Kecamatan Katobu, 2011 (n = 30)INDIKATOR EFEKTIVITAS NO. KATEGORI RESPONS PEMUKA KEPENTINGAN (%) PEMAHAMAN PEMUKA KEPENTINGAN (%)

karena pemilihan narasumber dari konsultan pada saat menjelaskan di kantor kelurahan tidak memperhatikan aspek homophily. Akibatnya narasumber mengalami kesulitan dalam membangun komunikasi dengan para pemuka kepentingan. Disamping narasumber tidak memahami bahasa daerah setempat, narasumber cukup kaku karena tidak memiliki kedekatan secara emosional dan budaya dengan para pemuka kepentingan. Selain itu, konsultan kurang menerapkan konsep putting it up to you (Malik dan Irianta, 1993) dan teori komunikasi sebagai proses interaksi yang dikemukakan oleh Here (Prajarto, 2009) di mana nara sumber kurang menjalin hubungan dan interaksi yang baik dengan pendengar. Efektivitas metode persuasif juga berada dalam kategori rendah. Ada sekitar 56,7% masyarakat yang menyatakan demikian. Jika dilihat dari aspek respons masyarakat, 66,7% kurang memberikan respons yang baik terhadap penjelasan pemuka kepentingan yang bertindak sebagai komunikator lokal. Dalam aspek yang lain, yakni pemahaman, 60% dari masyarakat belum paham terhadap program BLM PNPM-MP. Berikut hasil analisis data metode persuasif:Tabel 3. Efektivitas Metode Persuasif di Kelurahan Watonea, Kecamatan Katobu, 2011 (n = 30)INDIKATOR EFEKTIVITAS NO. KATEGORI RESPONS MASYARAKAT (%) PEMAHAMAN MASYARAKAT (%)

1 2 Total

Tinggi Rendah

33.3 66.7 100

36.7 63.3 100

1 2 Total

Tinggi Rendah

33.3 66.7 100

40 60 100

Sumber: Analisis data primer, 2011.

Efektivitas metode edukatif rendah

Sumber: Analisis data primer, 2011.

112 KALAMSIASI, Vol. 4, No. 2, September 2011, 105 - 114

Efektivitas metode persuasif rendah karena teknik persuasif dari pemuka kepentingan yang bertindak sebagai komunikator lokal lebih banyak menggunakan pendekatan bahasa informatif saja dan kurang membangun dialog yang lebih mendalam dengan masyarakat. Suasana yang dibangun pun ketika berkomunikasi masih suasana formal akibatnya terjadi kekakuan dalam komunikasi. Selain itu, teknik persuasi yang dilakukan pun kurang memperhatikan pendekatan emotional appeal dan motivational appeal. Metode terakhir yang diterapkan konsultan dalam strategi komunikasinya adalah metode perpaduan. Efektivitas metode ini juga berada dalam kategori rendah yakni 53,3% masyarakat yang menyatakan demikian. Dari aspek respons, ada sekitar 56,7% masyarakat yang memberi respons rendah. Untuk aspek pemahaman, ada sekitar 63,3% masyarakat yang belum paham tentang program BLM PNPM-MP. Berikut hasil analisis data metode perpaduan:Tabel 4. Efektivitas Metode Perpaduan di Kelurahan Watonea, Kecamatan Katobu, 2011 (n = 30)INDIKATOR EFEKTIVITAS NO. KATEGORI RESPONS MASYARAKAT (%) PEMAHAMAN MASYARAKAT (%)

juga lemah. Masyarakat masih banyak yang meragukan daya tarik dan kredibilitas mereka. Apalagi pada saat menjelaskan program pun tidak memperhatikan teknik persuasi dengan pendekatan emotional appeal dan motivational appeal. Dari empat metode yang diterapkan, dengan menggunakan analisis anova menunjukkan bahwa efektivitas dari keempat metode tersebut memiliki perbedaan yang signikan. Nilai sig. menunjukkan 0,000. Artinya efektivitas metode informatif berbeda dengan efektivitas metode edukatif, persuasif dan kombinasi. Jika diperbandingkan, dari empat metode tersebut, metode edukatif lah yang lebih baik dibanding tiga metode yang lain. Hal ini disebabkan karena materi-materi yang disampaikan dalam metode ini lebih sistematis dan terencana. Dalam setiap pertemuan, selain mendengar penjelasan langsung dari narasumber yang berasal dari konsultan, para peserta juga mendapat hardcopy materi dan buku panduan program.

SIMPULANBerdasarkan hasil dan pembahasan penelitian, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Strategi komunikasi konsultan yang diterapkan dalam program BLM PNPMMP melalui empat metode komunikasi, yaitu metode informatif, metode edukatif, metode persuasif dan metode perpaduan (metode informatif dan persuasif) masih menggunakan single media dan berada dalam kategori rendah. 2. Efektivitas empat metode komunikasi yang diterapkan oleh konsultan dalam strategi komunikasinya berbeda dan

1 2 Total

Tinggi Rendah

43.3 56.7 100

36.7 63.3 100

Sumber: Analisis data primer, 2011.

Efektivitas metode perpaduan rendah karena poster yang digunakan oleh konsultan kurang menarik dan bahasanya kurang jelas. Dari peran pemuka kepentingan pun yang bertindak sebagai komunikator lokal

Nur Atnan, Ageng Setiawan H, dan F. Trisakti Haryadi: Efektivitas Strategi Komunikasi Konsultan

113

metode edukatif lebih baik dibanding metode perpaduan (metode informatif dan persuasif), metode persuasif dan metode informatif.

Fajar, Marhaeni. 2010. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Yogyakarta: Graha Ilmu Malik, Dedy Djamaluddin dan Iriantara, Yosal., 1993. Komunikasi Persuasif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Mefalopulos, paolo dan Kamlongera, Chris. 2004. Participatory Communication Strategy Design. A Handbook, Second Edition. Roma: Food And Agriculture Organization Of The United Nations Prajarto, Nunung. 2009. Psikologi Komunikasi. Yogyakarta: FISIPOL UGM Schramm, Wilbur. 1955. The Process Effects of Mass Communication. Urbana: University of Illinois Press http://www.fao.org. Diakses pada tanggal 24 Maret 2011

DAFTAR PUSTAKAArin, Anwar. 1994. Strategi Komunikasi: Sebuah Pengantar Ringkas. Bandung: Armico Bandung Bungin, B., 2010. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group Creswell, John W., 2010. Research Design, Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Effendy, Onong Uchjana. 2006. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

114 KALAMSIASI, Vol. 4, No. 2, September 2011, 105 - 114

PERAN KOORDINASI PADA PROSES PENYUSUNAN RENCANA PRIMA TANI DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN DAERAH DI DESA HARGOBINANGUN, KECAMATAN PAKEM, KABUPATEN SLEMANEndang Wisnu Wiranti* Ageng Setiawan Herianto** Roso Witjaksono****Dosen Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta) (*Penyuluh Pertanian pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta;

ABSTRACTA proper coordination process of an integrated development program, such as PRIMATANI is not well understood by the development program manager. The research objectives are to assess the coordination process in formulating a PRIMATANI development plan; and to identify its inuencing factors. The research was conducted in Hargobinangun village of Sleman District. This village is well known as a main tourist destination combined with high potential on agricultural resources and products, such as chrysanthemum, mushroom, and dairy. This area should be well supported by some technical departments through the coordination process of PRIMATANI. The basic method of this research was a qualitative method with a case study. The data collection and analysis was conducted using an in-depth interviews method and a documentary analysis on the coordination meeting of PRIMATANI. The result shows that the imperfect coordination process in this program was caused by asymmetric communication process which dominated solely by the Department of Agriculture in determining this targeted village and its development program. In order to support the integrated development program, the coordination process among the technical department should be formalized since the targeted area determination. Then, it should be followed by a formal agreement among the departments on development program formulation plan and regular information supply on their coordination meeting. Keywords: communication, coordination, planning schedule, PRIMA TANI

115

116 KALAMSIASI, Vol. 4, No. 2, September 2011, 115 - 128

PENDAHULUANPada dasarnya berbagai jenis kegiatan pembangunan adalah saling kaitmengkait satu sama lainnya. Demikian juga dengan PRIMA TANI, salah satu program pembangunan pertanian yang dilaksanakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Adapun inti pelaksanaannya adalah membangun model percontohan Agribisnis Industrial Pedesaan (AIP) pada wilayah binaan. AIP akan terwujud jika ada jejaring kerja terpadu penelitian-penyuluhanagribisnis-pelayanan pendukung. Sehingga, dalam prosesnya, PRIMA TANI tidak dapat dilakukan oleh sektor pertanian saja tetapi harus bersama-sama dengan stakeholders (yang selanjutnya disebut pemangku kepentingan) pembangunan terkait lainnya, bersinergi dalam mewujudkan pembangunan pertanian daerah yang terintegrasi. Akibat adanya keragaman tugas, fungsi, tujuan atau kepentingan maka kemungkinan terjadinya persinggungan tugas dan fungsi serta ketidakserasian antar pemangku kepentingan makin besar. Sedangkan sinergisme dapat terjadi jika ada penyesuaian dari kegiatan masing-masing pemangku kepentingan sejak proses perencanaannya. Oleh karena itu koordinasi perlu dilakukan. Koordinasi adalah proses pengintegrasian tujuan dan kegiatan pada satuan-satuan yang terpisah (departemen atau bidang-bidang fungsional) suatu organisasi untuk mencapai tujuan organisasi secara esien (Handoko, 1984). Pendapat ini memberikan penekanan terhadap arti penting koordinasi, melalui koordinasi dapat disatupadukan kegiatan dari pemangku kepentingan terkait secara harmonis ke arah sasaran yang sama. Dari hasil wawancara dan pengamatan pelaksanaan PRIMA TANI menunjukkan

bahwa koordinasi pada penyusunan rencana kegiatan PRIMA TANI belum berhasil secara maksimal. Belum semua permasalahan petani dapat ditangani dengan baik, dukungan instansi di luar sektor pertanian yang sangat dibutuhkan petani belum dapat diwujudkan (Ketua GAPOKTAN Hargobinangun, komunikasi interpersonal, 2009). Pada praktiknya, kegiatan instansi yang terkait dalam PRIMA TANI lebih banyak dilakukan secara sendiri-sendiri, belum saling kaitmengkait dan masih berdasarkan subsektor. Akibatnya terjadi tumpang-tindih dalam pelaksanaan kegiatan, diantaranya kegiatan pelatihan yang dilaksanakan oleh tiga instansi berbeda dari sektor yang sama. Ketiga instansi tersebut memberikan materi pelatihan tentang teknologi budidaya tanaman hias Krisan pada kelompok tani yang sama dan pembinaan yang dilakukan cenderung pada salah satu komoditas yaitu tanaman hias Krisan. Koordinasi, selama ini masih sering didengung-dengungkan bahkan di dalam berbagai kesempatan, para pejabat pemerintah dalam pengarahannya banyak menganjurkan pentingnya koordinasi antar instansi. Namun sepertinya koordinasi hanya sebatas slogan, sehingga kegagalan pembangunan seringkali dikaitkan dengan lemahnya koordinasi. Kurang dipahami secara jelas tentang proses koordinasi merupakan permasalahan dalam keberhasilan menciptakan koordinasi. Walaupun demikian proses koordinasi dan aspek faktor yang mempengaruhi keberhasilan koordinasi belum diteliti secara mendalam terutama yang berkaitan dengan proses koordinasi antar instansi yang terkait dalam kegiatan PRIMA TANI di Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman (Refri, 1998; Habibie, 2004; Budiarni, 2005).

Endang Wisnu W., Ageng Setiawan H., & Roso Witjaksono: Peran Koordinasi pada Proses

117

KERANGKA TEORETISPRIMA TANI Pengembangan sistem dan usaha agribisnis

BPTP

Dinas Pertanian dan Kehutanan

Dinas Kimpraswilhub

Dinas P2KPM

Dinas P3BA

Dinas BudPar

BAPPEDA

Kelompok Tani GAPOKTAN

KOORDINASI PERENCANAAN: (Jadwal pertemuan peserta yang terlibat hasil yg ditindaklanjuti)

Komunikasi Formaisasi Kesepakatan dan komitmen

Kegiatan Pendahuluan

Penyusunan Program

Pelaksanaan Pengawasan dan evaluasi

Insentif Kesadaran pentingnya Koordinasi

Rencana Komprehensif

Gambar 1: Bagan Kerangka Pemikiran

METODE PENELITIAND e s a H a rg o b i n a n g u n m e n j a d i wilayah inti pengembangan PRIMA TANI. Selain berpotensi sebagai kawasan wisata juga berpeluang untuk pengembangan agribisnis Krisan, jamur dan ternak sapi. Keberhasilan pengembangan tersebut perlu proses penyusunan rencana kegiatan yang terkoordinasi dari berbagai pemangku kepentingan pembangunan. Untuk mengungkapkan proses koordinasi yang sesungguhnya pada penyusunan rencana kegiatan PRIMA TANI di desa Hargobinangun serta faktor-faktor yang mempengaruhi proses koordinasi tersebut, diperlukan pemahaman yang mendalam. Sehingga metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan rancangan studi kasus. Informan sebagai sampel dalam penelitian ini adalah seluruh pemberi informasi yang terkait dengan proses

koordinasi pada penyusunan rencana kegiatan PRIMATANI di desa Hargobinangun dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2008, berjumlah 28 orang yang semuanya diambil secara purposive. Pengumpulan data untuk menjawab aspek pelaksanaan koordinasi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, dilakukan dengan teknik wawancara dan studi dokumentasi. Wawancara dilakukan untuk menggali data atau informasi secara mendalam melalui pandangan dan pengalaman informan tentang proses koordinasi tersebut, sedangkan studi dokumentasi dilakukan dengan penelusuran dan penelaahan dokumen kegiatan PRIMA TANI, antara lain berupa laporan-laporan kegiatan, notulen pertemuan, daftar hadir pertemuan, undangan pertemuan. Data yang terkumpul direduksi kemudian dilakukan kategorisasi data, dan sintesisasi data.

118 KALAMSIASI, Vol. 4, No. 2, September 2011, 115 - 128

Koordinasi Prima TaniPRIMA TANI merupakan salah satu program pembangunan pertanian yang bertujuan untuk menjamin terciptanya sistem inovasi teknologi yang padu padan dengan sistem agribisnis. Dalam prosesnya PRIMA TANI menghendaki keterlibatan semua pemangku kepentingan pembangunan di daerah yang mempunyai kedudukan, tugas dan tanggungjawab sendiri-sendiri. Dengan menggunakan semua sumber-sumber dan kewenangannya mengadakan interaksi untuk mencapai tujuan secara efisien. Agar pencapaian tujuan ini esien, maka harus dilakukan penyusunan organisasi dengan tepat. Sedangkan untuk menciptakan keteraturan berbagai kegiatan usaha dalam upaya mencapai tujuan bersama perlu dilakukan koordinasi (Sugandha, 1988). PRIMA TANI merupakan kegiatan khusus Departemen Pertanian (DEPTAN) mulai dari pusat sampai daerah. Oleh karena itu, organisasi pelaksana juga bersifat lintas institusi lingkup DEPTAN yang bermitra dengan institusi terkait di luar DEPTAN, baik di pusat maupun di daerah (Departemen Pertanian, 2008). Di setiap lokasi PRIMA TANI, organisasi pelaksana tingkat kabupaten ditetapkan oleh Bupati masing-masing. Dalam penyusunan organisasi di tingkat kabupaten/kota tersebut, BPTP proaktif sebagai pengambil inisiatif pertemuan dan mengkonsultasikannya kepada Bupati/ Walikota di wilayah masing-masing. Organisasi pelaksana PRIMA TANI di Kabupaten Sleman dikukuhkan dengan SK Bupati Sleman Nomor: 221/Kep.KDH/ A/2007 tentang Tim Koordinasi Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (PRIMA TANI). Susunan Tim Koordinasi PRIMA

TANI tersebut dibagi menjadi dua yaitu Tim Pembina dan Tim Pelaksana. Dalam susunan tersebut belum tampak adanya kedudukan dalam tim sebagai sekretaris. Kedudukan sekretaris dalam tim koordinasi mempunyai arti yang penting. Sekretaris bertugas mendokumentasikan setiap kegiatan pertemuan berupa pencatatan laporan yang dapat dilampirkan pada undangan atau dibacakan pada pertemuan berikutnya. Dengan adanya pencatatan laporan tersebut maka setiap peserta yang hadir diharapkan dapat menguasai permasalahan yang diutarakan, meskipun peserta yang hadir berbeda dengan pertemuan sebelumnya. Tidak adanya sekretaris dalam Tim Koordinasi PRIMA TANI menyebabkan pencatatan pelaporan masih lemah; ini merupakan awal kelemahan dalam proses koordinasi PRIMA TANI.

Koordinasi Proses Penyusunan Rencana Kegiatan Prima TaniFenomena koordinasi pada proses penyusunan rencana PRIMA TANI di desa Hargobinangun terdiri dari tahap kegiatan pendahuluan dan tahap penyusunan program. Sedangkan elemen-elemen koordinasi yang diamati meliputi: jadwal pertemuan, peserta yang terlibat serta hasil koordinasi yang ditindaklanjuti. Kemudian masing-masing tahapan tersebut diidentifikasi adanya faktor-faktor yang mempengaruhi proses pelaksanaan koordinasi yaitu komunikasi, kesadaran pentingnya koordinasi, kesepakatan dan komitmen, formalisasi serta insentif koordinasi. Koordinasi pada masing-masing tahapan, diuraikan sebagai berikut:

Endang Wisnu W., Ageng Setiawan H., & Roso Witjaksono: Peran Koordinasi pada Proses

119

1. Koordinasi pada Tahap Kegiatan Pendahuluan Koordinasi pada tahap kegiatan pendahuluan adalah koordinasi yang dilakukan pada waktu kegiatan identikasi dan karakterisasi wilayah serta kegiatan penyusunan konsep rancang bangun. Proses koordinasi dapat dilaksanakan dengan baik jika telah ditetapkan jadwal pertemuannya. Jadwal tersebut berisi tentang tanggal, tempat, agenda dan peserta pertemuan. Penetapannya dilakukan secara bersama dengan peserta yang akan diundang, sehingga diharapkan peserta yang diundang dapat menghadirinya. Namun demikian, jadwal pertemuan pada tahap ini ditetapkan secara sepihak yaitu manajer PRIMA TANI dari BPTP dengan Kepala Urusan Ekonomi dan Pembangunan kelurahan Hargobinangun. Penetapan jadwal tersebut belum dikoordinasikan dengan semua peserta yang akan dilibatkan. Peserta hanya mendapat surat undangan untuk menghadirinya. Pada tahap ini, selain dilakukan identifikasi dan karakterisasi wilayah di desa pengembangan perlu dilakukan pula identifikasi potensi sumber-sumber pembangunan yang dimiliki dan kegiatankegiatan yang akan dilaksanakan oleh instansi terkait tingkat kabupaten. Hal ini dimaksudkan agar dukungan dari instansi tersebut dapat diberikan secara optimal dalam mewujudkan pembangunan pertanian daerah yang terintegrasi dan komprehensif. Namun, koordinasi yang dilakukan pada tahap ini terfokus pada tingkat kelurahan, belum melibatkan instansi terkait tingkat kabupaten lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 67 peserta yang diundang terdiri dari

18 kepala dusun di desa Hargobinangun, 24 kelompoktani masing-masing 2 orang yaitu ketua dan satu pengurus lainnya, serta satu orang Petugas Penyuluh Lapangan (PPL), yang dapat menghadiri pertemuan koordinasi sejumlah 60 orang atau sebesar 89,55%. Adapun hasil pertemuan berupa rencana pelaksanaan kegiatan yang meliputi kegiatan identifikasi dan karakterisasi wilayah pengembangan serta penyusunan konsep rancang bangun. 2. Koordinasi pada Pahap Penyusunan Program Koordinasi pada tahap penyusunan program adalah koordinasi yang dilakukan secara bersama dengan instansi terkait untuk membahas konsep rancang bangun yang merupakan konsep perencanaan dalam implementasi kegiatan PRIMA TANI. Selanjutnya masing-masing instansi yang terkait akan menjabarkan rencana bersama ini ke dalam rencana instansinya sesuai dengan tugas dan fungsinya. Tahap penyusunan program meliputi dua kegiatan yaitu kegiatan sosialisasi dan penyusunan rencana kegiatan terpadu. Penetapan jadwal pertemuan koordinasi pada tahap ini dilakukan oleh manajer PRIMA TANI dari BPTP dengan kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Sleman. Seperti pada tahap sebelumnya, jadwal pertemuan ditetapkan secara sepihak, belum dikoordinasikan dengan semua peserta yang akan dilibatkan. Peserta hanya mendapat surat undangan untuk menghadirinya. Dari hasil telaah dokumen, diperoleh data kehadiran pejabat yang tergabung dalam Tim Koordinasi PRIMA TANI pada pertemuan tahap penyusunan program.

120 KALAMSIASI, Vol. 4, No. 2, September 2011, 115 - 128

Jumlah peserta yang diundang pada tahap ini sebanyak 27 orang yang berasal dari 10 instansi. Prosentase kehadiran pejabat tersebut pada pertemuan tahap penyusunan program dapat dilihat pada Tabel 1.Tabel 1. Prosentase kehadiran pejabat yang bewenang pada pertemuan koordinasi tahap penyusunan programTanggal Pertemuan 14-32007 Prosentase (%) Tidak Hadir Wakil hadir 62,96 29,62 7,40

lanjut pada sulit diperolehnya kesepakatan yang sangat diperlukan guna terwujud adanya suatu kerjasama yang teratur. Hasil pertemuan sosialisasi PRIMA TANI, berdasarkan penjelasan yang disampaikan oleh manajer PRIMA TANI yaitu bahwa PEMDA menyambut baik program PRIMA TANI dan peserta yang hadir menyatakan sepakat untuk mendukung pelaksanaan kegiatan PRIMA TANI di desa Hargobinangun (Wawancara dengan manajer PRIMA TANI, 2 Februari 2009). Hal tersebut diasumsikan dari adanya beberapa tanggapan berupa saran dan usul yang disampaikan oleh peserta dari beberapa instansi terkait. Dengan adanya beberapa tanggapan tersebut maka dapat diasumsikan bahwa instansi terkait sepakat untuk mendukung pelaksanaan kegiatan PRIMA TANI di desa Hargobinangun, namun kesepakatan tersebut belum dituangkan secara tertulis. Sedangkan hasil pertemuan pembahasan rancang bangun yang berupa dukungan positif dari instansi tersebut hanya sebatas kata atau lisan, belum dituangkan secara tertulis sehingga belum dihasilkan rencana kegiatan terpadu di antara instansi yang terkait dalam rangka implementasi kebijakan membangun sektor pertanian ke arah agribisnis. Tentang belum terpadunya rencana kegiatan PRIMA TANI tersebut, informan dari instansi terkait memberikan penjelasan sebagai berikut:Penyusunan rencana terpadu, saya rasa hal yang sulit ya, Bu. Di dinas kami, dalam pengajuan kegiatan sampai tahun 2009 belum muncul kegiatan yang mengarah ke desa Hargobinangun, sasaran dan skala prioritasnya berbeda (Wawancara dengan Kepala Sub Bagian Perencanaan Dinas P2KPM, 5 Maret 2009).

Acara Sosialisasi PRIMA TANI ngkat kabupaten Pembahasan konsep rancang bangun tahun 2007 Tindak lanjut pelaksanaan PRITA 2007 dan Pembahasan PRITA 2008

16-42007

37,03

33,33

29,62

7-52007

22,22

33,33

44,44

Sumber: Dokumentasi rapat koordinasi PRIMA TANI 2007-2008, diolah.

Dari Tabel 1. dapat dilihat bahwa prosentase kehadiran pejabat tersebut pada setiap pertemuan semakin berkurang. Padahal keaktifan dan kehadiran pejabat tersebut dalam setiap proses koordinasi merupakan suatu keharusan. Pemikiran yang mendasari hal tersebut adalah bahwa dalam proses koordinasi sangat diharapkan diperoleh kesepakatan yang dapat mengikat semua pihak. Oleh karena itu, upaya ke arah pencapaian kesepakatan hanya dapat dilaksanakan apabila dihadiri oleh pejabat yang tergabung dalam Tim Koordinasi PRIMA TANI. Dengan ketidakhadiran pejabat tersebut, maka staf yang hadir untuk mewakili tidak dapat secara langsung mengambil keputusan. Sehingga akan berdampak lebih

Endang Wisnu W., Ageng Setiawan H., & Roso Witjaksono: Peran Koordinasi pada Proses

121

Tahun 2006-2010, P3BA mempunyai p ro g r a m p e m b a n g u n a n dan pemeliharaan konservasi SDA serta pengembangan sarana dan prasarana irigasi, karena anggaran terbatas maka pembuatan saluran permanen di desa Hargobinangun belum menjadi prioritas P3BA. Jadi P3BA tidak mengalokasikan anggaran untuk kegiatan tersebut, namun jika diperlukan kemungkinan akan mengorbankan anggaran program sektor yang lain... (Wawancara dengan Kepala Seksi Pengembangan dan Konservasi, 27 Maret 2009).

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Proses Koordinasi Pada Penyusunan Rencana Kegiatan Prima Tani1. Komunikasi Koordinasi akan tercapai jika dalam pelaksanaannya disertai dengan suatu komunikasi yang baik di antara pihakpihak yang terkait dalam PRIMA TANI. Komunikasi merupakan urat nadi yang dapat menghubungkan orang-orang dalam melaksanakan usaha kerjasama. Dengan komunikasi terjadi perpindahan informasi dari pihak satu kepada pihak yang lainnya sehingga akan terwujud persepsi yang sama dan akan tercipta saling pengertian, diwujudkan dengan adanya kerjasama yang teratur. Komunikasi yang terjadi pada tahap kegiatan pendahuluan merupakan komunikasi dua arah. Hal ini berdampak pada telah dipahaminya berbagai informasi yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan pendahuluan oleh peserta yang terdiri dari petani, kepala dusun dan PPL. Manajer PRIMA TANI dan Tim Participatory Rural Appraisal (PRA) dari BPTP menjelaskan tentang maksud dan tujuan kegiatan PRIMA TANI yang akan dilaksanakan di desa Hargobinangun serta membahas rencana kegiatan pendahuluan yaitu kegiatan identikasi dan karakterisasi wilayah serta kegiatan penyusunan konsep rancang bangun. Pada saat pemaparan hasil PRA untuk penetapan kesepakatan bersama dalam penyusunan konsep rancang bangun, terdapat beberapa tanggapan berupa saran dan usul yang disampaikan oleh peserta. Tanggapan tersebut merupakan bentuk keaktifan peserta dalam mengikuti pertemuan koordinasi. Dalam menanggapi beberapa saran dan usul dari peserta tersebut, BPTP

Dari uraian hasil wawancara memberi gambaran bahwa kondisi-kondisi tersebut mencerminkan belum adanya rencana kegiatan bersama atau terpadunya rencana kegiatan PRIMA TANI dengan kegiatan instansi terkait lainnya disebabkan belum adanya alokasi anggaran dari masingmasing instansi terkait untuk melaksanakan program sektornya pada kegiatan PRIMA TANI di desa Hargobinangun. Sedangkan untuk membangun sektor pertanian ke arah agribisnis menuntut adanya kegiatan yang terpadu, serasi dan sinkron di antara instansi yang terkait. Dengan demikian maka koordinasi pada tahap ini belum dapat berjalan dengan baik, karena belum terjadi suatu integrasi rencana kegiatan dari instansi terkait dalam rangka implementasi kebijakan membangun sektor pertanian ke arah agribisnis, seperti yang dinyatakan oleh Handoko (1984) bahwa:Koordinasi adalah proses pengintegrasian tujuan-tujuan dan kegiatankegiatan pada satuan-satuan yang terpisah (departemen atau bidangbidang fungsional) suatu organisasi untuk mencapai tujuan organisasi secara esien.

122 KALAMSIASI, Vol. 4, No. 2, September 2011, 115 - 128

mengembalikannya ke semua peserta dengan penyampaian arahan terkait adanya keterbatasan dana hingga didapatkan kesepakatan bersama dalam penetapan prioritas kegiatan yang akan dilaksanakan (Wawancara dengan manajer PRIMA TANI, 6 Februari 2009). Namun kesepakatan tersebut belum merupakan kesepakatan bersama antara pemangku kepentingan yang terkait dalam PRIMA TANI, Pada tahap ini instansi terkait di tingkat kabupaten tidak dilibatkan sehingga penyebaran informasi kepada instansi terkait masih terbatas. Hal ini menyebabkan belum adanya persamaan persepsi dalam mewujudkan pembangunan yang terpadu. Sedangkan pada tahap kegiatan penyusunan program, komunikasi yang terjadi merupakan komunikasi satu arah yaitu sebatas pemaparan materi tentang sosialisasi program dan konsep rancang bangun dari BPTP ke peserta pertemuan. Dari hasil wawancara dengan manajer PRIMA TANI, diperoleh keterangan bahwa peserta yang aktif pada pertemuan koordinasi adalah Kepala Bidang Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian dan Kehutanan (DIPERTAHUT) dan Kepala Seksi Ekonomi Pembangunan kecamatan Pakem, yang senantiasa menanggapi pemaparan materi dengan memberikan saran dan tanggapannya. Keterangan dari manajer PRIMA TANI tersebut memberi gambaran bahwa keaktifan dari kedua peserta tersebut disinyalir karena selain yang bersangkutan merupakan pejabat berwenang yang tergabung dalam Tim Koordinasi PRIMA TANI juga disebabkan karena ada keterkaitan tugas dan fungsi yang saling melengkapi. 2. Kesadaran Pentingnya Koordinasi Kesadaran akan pentingnya koordinasi

merupakan aspek yang harus ada pada setiap pihak yang terkait, karena dengan adanya kesadaran tersebut menjadi kekuatan pendorong dalam diri pihak yang terkait untuk berkoordinasi. Peserta yang terlibat pertemuan koordinasi tahap kegiatan pendahuluan terdiri dari petani, kepala dusun dan PPL. Mereka dapat menghadiri acara tersebut serta memberikan partisipasinya sehingga pelaksanaan kegiatan pendahuluan dapat berjalan dengan baik. Dorongan peserta untuk hadir adalah merupakan adanya suatu kesadaran tentang pentingnya koordinasi. Adapun hal yang mendorong petani hadir disebabkan karena mereka merasa memperoleh manfaat sehubungan dengan permasalahan yang dihadapi dalam mengembangkan usahataninya. Sedangkan kehadiran kepala dusun dan PPL disebabkan karena merasa mempunyai kebutuhan untuk memenuhi kewajiban dalam membantu mengatasi permasalahan yang dihadapi petani, terkait dalam pengembangan agribisnis di wilayahnya. Pada tahap kegiatan penyusunan program, semua informan dari instansi terkait memberi jawaban setuju bahwa koordinasi sangat penting dilakukan agar tercipta sinergisme. Pernyataan setuju tersebut mengindikasikan bahwa informan menyadari pentingnya koordinasi yaitu untuk saling mendukung atau saling menunjang dalam keberhasilan suatu program pembangunan, namun kesadaran tersebut belum ditindaklanjuti secara optimal dengan partisipasinya untuk hadir dalam setiap pertemuan koordinasi seperti yang terdapat pada Tabel 1. Berbagai alasan dikemukakan menyangkut ketidakhadiran pejabat yang berwenang tersebut seperti sedang bertugas

Endang Wisnu W., Ageng Setiawan H., & Roso Witjaksono: Peran Koordinasi pada Proses

123

ke luar daerah atau ada rapat lain yang lebih urgen dan berbagai halangan lainnya. Dengan demikian dapat dinyatakan masih belum memadainya tingkat kesadaran pejabat dari instansi yang terkait dalam rangka implementasi kebijakan membangun sektor pertanian ke arah agribisnis melalui perencanaan PRIMA TANI di Desa Hargobinangun untuk saling berkoordinasi. Hal tersebut berpengaruh pada tidak berlangsungnya koordinasi secara baik. 3. Kesepakatan dan Komitmen Adanya kesepakatan merupakan pertanda terjadinya kerjasama yang teratur. Kesepakatan tersebut didasari oleh kepentingan yang sama yaitu untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kesepakatan yang telah diperoleh harus diikuti dengan komitmen untuk melaksanakannya secara bertanggungjawab. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa pertemuan koordinasi tahap kegiatan pendahuluan telah menghasilkan kesepakatan yang utuh di antara peserta dan komitmen untuk menindaklanjutinya. Ini dapat diketahui dari hasil kesepakatan yang ditetapkan secara bersama menjadi suatu konsep rancang bangun meliputi penentuan komoditas dan jenis kegiatan yang akan dilakukan. Kelompok tani untuk komoditas Krisan menindaklanjuti kesepakatan dengan mengembangkan usahatani Krisan, mulai dari budidaya hingga ke penangkaran bibit Krisan. Kelompok ternak sapi perah menindaklanjuti kesepakatan dengan penataan kandang dan pengolahan limbah kotoran ternak. Sedangkan kelompok tani jamur Kuping menindaklanjuti dengan mengadakan penanggulangan hama Krepes. Dalam hal ini petani bertindak sebagai pelaksana usaha tani yang mengusahakan

komoditas sesuai hasil kesepakatan dengan menerapkan teknologi spesik lokasi. Sedangkan hasil koordinasi pada tahap penyusunan program yaitu berupa dukungan positif dari instansi terkait, namun dukungan positif tersebut hanya sebatas kata-kata, belum dituangkan secara tertulis sehingga belum dihasilkan rencana kegiatan terpadu di antara instansi yang terkait. Dalam hal ini belum adanya rencana kegiatan terpadu tersebut disinyalir karena belum adanya kesepakatan tentang penetapan lokasi wilayah pengembangan dan kesepakatan kegiatan yang akan dilakukan. Tentang penetapan lokasi yang dilakukan secara sepihak, Manajer PRIMA TANI membenarkan hal tersebut sebagaimana penjelasannya bahwa:Waktu itu, program datang dari Pusat... mengintruksikan untuk segera dilaksanakan, dengan melakukan PRA terlebih dahulu. Karena keterbatasan waktu, kami menetapkan desa Hargobinangun dengan pertimbangan selain desa tersebut mempunyai potensi pengembangan agribisnis juga untuk melanjutkan kegiatan inisiasi teknologi tanaman hias bunga potong....... (Wawancara dengan manajer PRIMA TANI, 6 Februari 2009).

Di sisi lain Adimihardja dan Dradjat (2006) menyatakan bahwa:Lokasi PRIMA TANI yang tepat sangat menentukan keberhasilan pelaksanaannya. Beberapa kriteria pemilihan lokasi PRIMA TANI yaitu: 1) memiliki peluang keberhasilan dari aspek sumberdaya manusia dan sumberdaya alam, 2) penentuan lokasi ditentukan bersama antara BPTP dan PEMDA, 3) mendapat respon positif dari masyarakat, 4) sesuai dengan kebijakan dan program pengembangan PEMDA dan 5) aksesibilitas ke lokasi PRIMA

124 KALAMSIASI, Vol. 4, No. 2, September 2011, 115 - 128

TANI yaitu infrastruktur transportasi, komunikasi dan keamanan lokasi memadai.

Mencermati pendapat di atas maka dapat berarti bahwa penentuan lokasi harus ditentukan bersama antara BPTP dengan PEMDA, karena lokasi yang menjadi sasaran program harus sejalan dengan fungsi masing-masing instansi terkait agar potensi sumber-sumber pembangunan yang dimiliki dan kegiatan yang akan dilaksanakan dapat lebih diarahkan kepada tujuan pembangunan yang ingin dicapai. Dengan penetapan lokasi secara bersama, maka masing-masing instansi terkait akan merasa bahwa sasaran mereka adalah milik mereka sendiri, sehingga mereka pub bertanggung jawab, dan terikat untuk mendukung pencapaiannya. Dengan tidak adanya kesepakatan bersama di antara semua instansi terkait tersebut maka pada gilirannya berdampak pada bobot komitmen yang masih rendah untuk mensukseskan implementasi kebijakan membangun sektor pertanian ke arah agribisnis melalui penyusunan rencana PRIMA TANI. Dalam hal ini menyebabkan terbatasnya pemberian dukungan dari instansi terkait sebagai makna kesepakatan untuk mendukung pelaksanaan PRIMA TANI yang telah disampaikannya pada waktu pertemuan sosialisasi program. Beberapa dukungan yang telah diberikan oleh instansi terkait sebagian besar berasal dari instansi subsektor pertanian. Melihat hal tersebut berarti belum ada penyesuaian segala usaha dan kegiatan dari instansi terkait di luar subsektor pertanian. Uraian di atas menunjukkan bahwa kegiatan masih dilaksanakan berdasar subsektor, di mana instansi lain di luar subsektor sebagian besar belum saling

mendukung atau belum saling menunjang. Hal ini disinyalir adanya egoisme sektoral. Egoisme sektoral mengandung arti bahwa sesuatu instansi hanya memikirkan tugas dan fungsinya sendiri tanpa mau mengetahui dan memahami tugas dan fungsi instansi lainnya yang sebenarnya juga sangat menentukan keberhasilan suatu program yang dalam hal ini adalah PRIMA TANI. Kaloh (1986) menyebutkan bahwa adanya egoisme sektoral kemungkinan besar disebabkan pendekatan sektoral dalam pelaksanaan pembangunan yang begitu intensif sehingga mendorong tiap perangkat pemerintah hanya bekerja untuk keberhasilan tugas pokok yang menjadi tanggungjawabnya tanpa menghiraukan tugas serta fungsi instansi lainnya. Masih adanya ego sektoral terlihat pada ungkapan yang disampaikan oleh informan berikut:Secara teknis Dinas Budpar tidak terlibat dalam kegiatan PRIMA TANI, karena tupoksi kami mempromosikan suatu produk...... (Wawancara dengan Kepala Bidang Pariwisata Dinas Budpar, 10 Maret 2009). Dinas kami bertugas menangani sik, jadi tidak ada sangkut pautnya dengan kegiatan PRIMA TANI (Wawancara dengan Kepala Sub Bagian Perencanaan Kimpraswilhub, 14 Maret 2009).

Dari ungkapan tersebut terlihat masih adanya instansi terkait yang belum berkir secara terpadu dan sinkron. Sehingga dalam hal ini belum didapatkan penyesuaian bersama. Padahal penyesuaian bersama sangat diperlukan ketika masing-masing instansi melakukan perencanaan program. Agar terdapat keterpaduan dalam melakukan tindakan maka tinggal bagaimana instansi tersebut melakukan komunikasi dengan

Endang Wisnu W., Ageng Setiawan H., & Roso Witjaksono: Peran Koordinasi pada Proses

125

instansi lain. Penyesuaian bersama masih sulit dilaksanakan karena setiap orang akan berhubungan dengan orang lain yang berada di luar instansinya, yang tentu saja akan menimbulkan konflik di antaranya ego sektor. Dari hasil wawancara dengan beberapa informan membenarkan adanya egoisme tersebut. Berikut kutipan pendapat yang dikemukakan oleh informan:........semua sektor masih berorientasi ke tupoksinya masing-masing (Wawancara dengan Kepala Bagian Pembangunan desa Hargobinangun, 28 Maret 2009). Masing-masing instansi punya program dan ego sektor yang mau punya nama dalam pembangunan wilayah.......... (Wawancara dengan manajer PRIMA TANI, 6 Februari 2009 )

TANI. Seperti yang telah dikemukakan oleh beberapa informan di depan, bahwa belum terpadunya rencana kegiatan PRIMA TANI terkait dengan tidak adanya anggaran dan skala prioritas kegiatan. Selain itu, lebih menitik beratkan upaya pengembangan agribisnis oleh sektor pertanian yaitu BPTP dan Dipertahut, seperti yang diungkapkan oleh informan sebagai berikut:Kegiatan PRIMA TANI dari DEPTAN dalam hal ini BPTP Yogyakarta, maka sebaiknya anggarannya ya dari sana, kita tinggal menyumbangkan tenaga dan pikiran..... (Wawancara dengan Kepala Sub Bagian Perencanaan Dinas Kimpraswilhub, 14 Maret 2009) Penganggaran dan kegiatan tidak bisa menyimpang dari tupoksinya, karena pengembangan sistem dan usaha agribisnis adalah masalah pertanian ya teknisnya Dinas Pertanian dan Kehutanan. Bappeda mempunyai anggaran yang dapat dipergunakan untuk memfasilitasi kegiatan koordinasi (Wawancara dengan Kepala Bidang Perencanaan Sosial Ekonomi BAPPEDA, 14 Februari 2009)

Sebagai akibatnya adalah masing-masing instansi melaksanakan kegiatannya sendirisendiri. Tanpa adanya kesatuan pandangan untuk saling melengkapi dan memberi dukungan serta mempunyai tanggungjawab yang sama bagi keberhasilan program, maka dapat dipastikan koordinasi pada tingkat pelaksanaan akan mengalami kesulitan. Instansi yang mempunyai fungsi dan tanggungjawab di bidang pertanian akan memberikan dukungannya, sebagaimana yang diungkapkan oleh Kepala Bidang Peternakan Dipertahut bahwa kegiatan PRIMA TANI mempunyai sifat saling melengkapi. Hal ini memberi petunjuk bahwa instansi tersebut mempunyai pandangan yang sama dan dapat memahami kedudukan dan fungsinya di antara instansi lainnya. Kendala pelaksanaan sektor instansi terkait disebabkan tidak ada kesepakatan untuk menyusun rencana kegiatan yang akan dilakukan oleh masing-masing dinas yang terlibat dalam Tim Koordinasi PRIMA

4. Formalisasi Untuk meningkatkan kelancaran dan kesamaan persepsi dalam melakukan usahataninya serta meningkatkan aktivitas kerjasama kelompok tani maka dibentuk gabungan kelompok tani (GAPOKTAN) dan ditetapkan susunan pengurusnya. Dengan penetapan susunan pengurus GAPOKTAN mengindikasikan bahwa terdapat kejelasan tentang peran dan tanggungjawab pengurus dalam upaya melaksanakan pengembangan sistem dan usaha agribisnis terkait dengan kegiatan PRIMA TANI di desa Hargobinangun. Kejelasan peran dan tanggungjawab merupakan hal yang sangat

126 KALAMSIASI, Vol. 4, No. 2, September 2011, 115 - 128

penting dalam mencegah kesimpangsiuran pelaksanaan kegiatan. Sedangkan untuk efektivitas dan kelancaran pelaksanaan PRIMA TANI di desa Hargobinangun, telah dibentuk Tim Koordinasi PRIMA TANI dengan susunan personalia yang melibatkan beberapa instansi terkait. Tim Koordinasi tersebut dibentuk berdasar SK Bupati Sleman Nomor. 221/Kep.KDH/A/2007 tanggal 26 Juni 2007. Di dalam SK Bupati tersebut, diuraikan tugas tim koordinasi PRIMA TANI secara umum, padahal tim koordinasi dibedakan menjadi dua yaitu tim pembina dan tim pelaksana. Selain belum dirinci untuk tugas tim pembina dan tim pelaksana, juga belum dicantumkan tugas dan tanggungjawab dari masing-masing instansi terkait. Hal ini menyebabkan instansi terkait belum memahami tugas dan tanggungjawabnya dalam Tim Koordinasi PRIMA TANI, seperti penjelasan yang diungkapkan oleh informan sebagai berikut:Kami tahu adanya SK Bupati itu, karena kami mendapat SK-nya, tapi terus terang untuk peran dan tanggungjawab, kami sendiri belum begitu jelas. Di SK tidak disebutkan secara khusus untuk masingmasing instansi.... (Wawancara dengan Kepala Sub Bagian Perencanaan Dinas Budpar, 10 Maret 2009).

kecil/snack dan penghargaan. Penghargaan tersebut misalnya berupa usul yang diterima. Artinya ketika seseorang mengajukan usul dan usulnya diterima maka hal itu merupakan insentif. Dengan diterimanya usul yang disampaikan oleh seseorang maka seseorang tersebut akan merasa dihargai sehingga mendorongnya untuk selalu berkoordinasi (Diskusi tertulis dengan Dr. Ir. Ageng Setiawan Herianto, 5 Agustus 2009). Sedangkan insentif negatif berupa sanksi belum pernah diberikan. Dengan tidak adanya insentif negatif (disinsentif) berupa sanksi memberikan suatu peluang bagi pejabat berwenang untuk tidak aktif berkoordinasi.

SIMPULANBerdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Koordinasi pada proses penyusunan r e n c a n a P R I M A TA N I d i d e s a Hargobinangun belum dilaksanakan dengan baik. Belum dilibatkannya instansi terkait tingkat kabupaten pada tahap kegiatan pendahuluan menyebabkan belum adanya kesepakatan tentang penetapan lokasi wilayah pengembangan dan kesepakatan kegiatan yang akan dilakukan sehingga bobot komitmen dari instansi tersebut masih rendah. 2. Keberhasilan koordinasi ditentukan oleh keterlibatan semua pihak terkait, dimulai sejak proses penetapan jadwal pertemuan. Penetapan jadwal secara sepihak menjadi salah satu penyebab ketidakhadiran pejabat berwenang yang diundang. Oleh karena itu diperlukan upaya kesepakatan di antara instansi terkait untuk penetapan jadwal pertemuan.

5. Insentif Koordinasi Secara psikologis dan praktis, peserta akan terdorong untuk saling berkoordinasi dengan pihak lain ketika ada faktor pendorongnya. Insentif di sini dapat menjadi daya dorong bagi peserta untuk aktif berkoordinasi. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa insentif koordinasi yang selalu diberikan pada setiap pertemuan adalah insentif positif berupa uang hadir, makanan

Endang Wisnu W., Ageng Setiawan H., & Roso Witjaksono: Peran Koordinasi pada Proses

127

3. Belum dapat dilaksanakannya proses koordinasi tersebut dengan baik dipengaruhi oleh lemahnya komunikasi. Proses koordinasi tersebut belum ditunjang oleh komunikasi yang efektif untuk penyebaran informasi kepada seluruh pihak terkait, diantaranya ketidakjelasan formalisasi berupa SK Bupati Sleman tentang Tim Koordinasi PRIMA TANI dan lemahnya sistem pencatatan maupun pelaporan yang disebabkan belum adanya seseorang atau tim yang bertugas mendokumentasikan kegiatan secara bersama-sama sekaligus menyebarkan informasi ke instansi terkait lainnya. 4. Meskipun pejabat berwenang dari instansi terkait yang tergabung dalam Tim Koordinasi PRIMA TANI telah menyadari akan pentingnya koordinasi, namun kesadaran tersebut belum ditindaklanjuti secara optimal dengan partisipasi pejabat tersebut dalam setiap pertemuan dan pengambilan keputusan. 5. Insentif dapat menjadi daya dorong bagi pejabat untuk saling berkoordinasi. Selama ini insentif koordinasi yang selalu diberikan pada setiap pertemuan koordinasi adalah insentif positif, sedangkan insentif negatif berupa sanksi belum pernah diberikan sehingga memberikan peluang bagi pejabat berwenang untuk tidak aktif berkoordinasi.

sektor pertanian ke arah agribisnis melalui pelaksanaan kegiatan PRIMA TANI di Desa Hargobinangun, maka pelaksanaan koordinasi pada proses penyusunan rencana PRIMA TANI perlu mendapat perhatian secara serius dari semua instansi yang terkait dan hendaknya fokus perhatian lebih diprioritaskan pada upaya untuk melaksanakan dengan baik berbagai faktor yang berhubungan dengan proses koordinasi yaitu komunikasi, kesepakatan dan komitmen, formalisasi, kesadaran akan pentingnya koordinasi dan pemberian insentif. 2. S e h u b u n g a n d e n g a n p e r h a t i a n serius terhadap berbagai faktor yang berhubungan dengan proses koordinasi tersebut, maka yang perlu dilakukan adalah menyepakati lokasi wilayah pengembangan yang didukung dengan program kegiatan masing-masing instansi terkait yang tergabung dalam Tim Koordinasi PRIMA TANI. 3. SK Bupati Sleman Nomor 221/Kep. KDH/A/2007 tentang Tim Koordinasi PRIMA TANI perlu direvisi yaitu dengan memperjelas peran dan tanggungjawab dari masing-masing instansi terkait serta menunjuk seseorang sebagai sekretaris tim. 4. Selain pemberian insentif positif kepada instansi yang aktif berkoordinasi, sebaiknya insentif negatif berupa sanksi perlu diberikan kepada instansi yang tidak aktif berkoordinasi. Sanksi tersebut dapat diberikan oleh atasan pejabat yang berwenang atau dalam bentuk ketidakpercayaan dari instansi lain kepada instansi yang pejabatnya tidak aktif berkoordinasi. 5. Metode penelitian kualitatif dengan rancangan studi kasus digunakan dalam

IMPLIKASIMengacu pada kesimpulan di atas, maka peneliti membuat beberapa implikasi penelitian bagi praktisi, pemangku kebijakan maupun pihak akademisi dan peneliti, antara lain: 1. Dalam rangka meningkatkan keberhasilan implementasi kebijakan membangun

128 KALAMSIASI, Vol. 4, No. 2, September 2011, 115 - 128

penelitian ini, dikarenakan keterbatasan peneliti sehingga perlu dilakukan penelitian lanjutan yang dilengkapi dengan metode penelitian kuantitatif atau menggunakan mixed method. Dengan metode tersebut diharapkan dapat mengungkapkan realitas secara kontekstual, interpretasi terhadap fenomena mengenai proses koordinasi dan faktor-faktor yang mempengaruhi diantaranya faktor insentif negatif berupa sanksi, serta dapat dilakukan generalisasi terhadap temuan penelitian.

Departemen Pertanian, 2008. Pedoman Umum PRIMATANI Terintegrasi. Jakarta. Habibie, M., 2004. Cakupan Program Gizi dan Mekanisme Koordinasi Kelompok Kerja Kewaspadaan Pangan dan Gizi di Kota Gorontalo. (Tesis). Yogyakarta: Program Pasca Sarjana UGM. H a n d o k o , T. H . 1 9 8 4 . M a n a j e m e n . Yogyakarta: BPFE. Kalloh, J. 1986. Koordinasi yang Efektif: Suatu Studi Empiris tentang Pelaksanaan Koordinasi dalam Kegiatan Pembangunan Daerah. (Tesis). Yogyakarta: Program Pasca Sarjana UGM. Moleong, L.J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Ndraha, T. 1988. Konsep Administrasi dan Administrasi di Indonesia. Jakarta: Bina Aksara. Refri, 1998. Pola Koordinasi Perencanaan Pembangunan Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Dati II Sawahlunto), (Tesis), Yogyakarta: Program Pasca Sarjana UGM. Sugandha, D. 1988. Koordinasi: Alat Pemersatu Gerak Administrasi. Jakarta: Intermedia.

DAFTAR PUSTAKAArikunto, S. 1996. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Adimihardja, A. dan Dradjat, B. 2006. PRIMA TANI: Membangun Laboratorium Agribisnis Menuju Sistem Agribisnis Industrial Pedesaan. Jakarta: Badan Litbang Pertanian. BPTP Yogyakarta. 2002. Laporan Kegiatan Gelar Teknologi dan Temu Lapangan Budidaya Kentang Dataran Medium di Yogyakarta. Budiarni, T., 2005. Koordinasi Kegiatan Program TB Paru di Dinas Kesehatan Kabupaten Lampung Timur (Tesis), Yogyakarta: Program Pasca Sarjana UGM.

::::::::(k)::::::::

STRATEGI MENINGKATKAN PERAN PUSAT PELAYANAN PENGADUAN MASYARAKAT (P3M) DALAM REFORMASI PELAYANAN PUBLIK DI KABUPATEN SIDOARJOAgung Wareh

(Kasubbid Humas dan Protokoler Pemkab Sidoarjo)

ABSTRACTThis article attempts to elaborate the strategy in improving the role of P3M public service reform in kabupaten Sidoarjo. As a medium that can as information and complain service counter, P3M also function as a positive image of Kabupaten Sidoarjo in the middle of the poor public service that are widely criticized. Therefore, the strategies to be conducted to improve the role of P3M are convert the regulation feature that is unt the newform of P3M, function has information service center that can reform to a better public service an improve public service utilities. Keyword: Role of P3M, information service, public service reform

PENDAHULUANKerangka desentralisasi sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah memiliki dua dimensi dasar. Dimensi tersebut sekaligus menunjukkan konsep dan arah kebijakan desentralisasi yang diinginkan policy maker. Dimensi yang ada dalam UU No. 32 Tahun 2004 menitikberatkan pada desentralisasi administratif (administrative decentralization) yang kemudian diikuti dengan perubahan struktur birokrasi pemerintah daerah. Sedangkan dimensi kedua, adalah desentralisasi keuangan.129

Desentralisasi administratif ini dimasudkan untuk mendistribusikan kewenangan, tanggungjawab, dan sumberdaya keuangan sebagai upaya menyediakan pelayanan umum kepada berbagai level pemerintah. Delegasi tanggung jawab ini meliputi kegiatan perencanaan, pendanaan, dan pengelolaan berbagai pelayanan umum dari pemerintah pusat dan lembaga pelaksananya kepada berbagai unit pemerintah di berbagai level (regional authorities). Pelaksanaan desentralisasi administratif didasarkan pada sebuah argumen bahwa pelayanan publik oleh unit-unit pelayanan akan jauh lebih efektif bila diserahkan kepada unit yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Hal ini didasarkan

130 KALAMSIASI, Vol. 4, No. 2, September 2011, 129 - 140

asumsi, apabila hubungan pemerintah dan masyarakat semakin dekat, maka semakin bisa dipahami pelayanan apa yang dibutuhkannya. Dengan kata lain, desentralisasi administratif dimaksudkan untuk menciptakan esiensi dan efektivitas pelayanan umum. Dalam perspektif efisiensi dan efektivitas pelayanan publik pemerintah memiliki fungsi berbagai pelayanan publik yang diperlukan oleh masyarakat, mulai dari pelayanan dalam bentuk pengaturan ataupun pelayanan lain dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bidang pendidikan, kesehatan, utilitas dan lain-lain. Dan penyediaan pelayanan pemerintah yang bermutu merupakan salah satu alat untuk mengembalikan kepercayaan kepada pemerintah yang semakin berkurang akibat krisis multidimensi yang terus berkelanjutan hingga saat ini. Pada sisi lain, dinamika perubahan yang terjadi di tengah masyarakat akibat kemajuan teknologi informasi menjadi bagian tak terpisahkan dari proses implementasi desentralisasi aministratif yang menuntut adanya perubahan kinerja aparatur birokrasi. Dari perspektif ini maka diperlukan kemampuan komunikasi yang cukup handal dari jajaran pemerintahan untuk dapat menjelaskan kepada publik terhadap tiap kebijakan yang diambil dan diputuskan pemerintah. Dan pada saat yang sama, era transparansi memiliki makna bahwa seluruh aktivitas pemerintahan yang berhubungan dengan kebijakan publik seyogyanya dapat diuraikan secara cerdas kepada masyarakat, sehingga masyarakat memahami dan tidak apatis sehingga merangsang tumbuhnya partisipasi masyarakat dalam turut serta mengambil bagian dari aktivitas pelayanan

publik itu sendiri. Dan ini merupakan bagian atau domain dari tugas kehumasan. Karenanya, sumberdaya manusia (SDM) aparatur Humas berada pada posisi yang strategis. Meski infrastruktur telah disiapkan dengan baik seperti prosedur kerja, teknologi, fasilitas ruangan dan sebagainya namun tanpa memperhatikan aspek SDM; sangat dimungkinkan terjadinya ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan publik yang dilakukan pemerintah. Apalagi saat ini, pelayanan publik telah menjadi isu kebijakan yang semakin strategis karena perbaikan pelayanan publik di Indonesia cenderung berjalan di tempat sedangkan implikasinya sangatlah luas dalam segala bidang kehidupan baik itu ekonomi, politik, sosial budaya dan lain-lain. Dalam kehidupan ekonomi misalnya, perbaikan pelayanan publik akan bisa memperbaiki iklim investasi yang sangat diperlukan bangsa ini agar bisa segera keluar dari jeratan kemiskinan yang masih terus menghantui. Buruknya pelayanan publik di Indonesia sering menjadi variabel yang dominan mempengaruhi penurunan investasi yang berakibat pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Sayangnya, perbaikan pelayanan publik dalam berbagai studi ternyata tidak berjalan linear dengan reformasi yang dilakukan dalam berbagai sektor sehingga pertumbuhan investasi malah bergerak ke arah negatif. Akibatnya, harapan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan belum terwujud. Sementara itu, dalam kehidupan politik perbaikan pelayanan publik juga sangat berimplikasi luas khususnya dalam memperbaiki tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Buruknya pelayanan publik selama ini menjadi

Agung Wareh: Strategi Meningkatkan Peran Pusat Pelayanan Pengaduan Masyarakat (P3M)

131

salah satu variabel yang mendorong munculnya ketidakpercayaan tersebut. Krisis kepercayaan masyarakat teraktualisasi dalam bentuk protes dan demonstrasi yang cenderung tidak sehat. Hal itu menunjukkan kefrustasian publik terhadap pemerintahnya. Oleh karena itu, perbaikan pelayanan publik mutlak diperlukan agar image buruk masyarakat kepada pemerintah dapat diperbaiki. Karena dengan kualitas pelayanan publik yang semakin baik dapat mempengaruhi kepuasan masyarakat sehingga kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dapat dibangun kembali. Sedangkan dalam kehidupan sosial budaya, pelayanan publik yang buruk mengakibatkan terganggunya psikologis masyarakat yang terindikasi dari berkurangnya rasa saling menghargai di kalangan masyarakat, timbulnya rasa saling mencurigai serta meningkatnya sifat eksklusivisme yang berlebihan, yang pada akhirnya menimbulkan ketidakpedulian masyarakat baik terhadap pemerintah maupun terhadap sesama. Akibat yang sangat buruk bisa dilihat dari banyaknya kerusuhan dan tindakan anarkis yang muncul di berbagai daerah. Seiring dengan hal itu, masyarakat cenderung memilih jalan pintas yang menjurus ke arah negatif dengan berbagai tindakan yang tidak rasional dan cenderung melawan hukum. Berbagai masalah yang diidentikasi tersebut tampaknya bisa diatasi bila kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah sebagai pelayan publik itu pulih. Kondisi objektif kinerja aparatur pemerintah selama ini masih dipengaruhi oleh teori atau model birokrasi klasik yang diperkenalkan oleh Taylor, Wilson, Weber, Gullick dan Urwick yaitu, struktur, hierarki, otoritas, dikotomi kebijakan administrasi

dan desentralisasi. Meskipun nilai tersebut memaksimalkan nilai esiensi dan efektivitas ekonomi, tetapi pada kenyataannya teori tersebut tidak dapat memberikan jawaban secara faktual sesuai dengan banyak temuan penelitian di berbagai tempat. Teori birokrasi tersebut di atas telah menimbulkan berbagai implikasi yang sangat terkait, dengan gejala-gejala sebagai berikut: a. T. Smith menyebutkan immobilism in ability to function, adalah kenyataan yang terkait dengan adanya hambatan dan ketidakmampuan menjalankan fungsi secara efektif. b. E. Bardock mengemukakan gejala kelemahan lainnya dan sering dijumpai adalah tokenisme yaitu kecenderungan sikap administrator yang menyatakan mendukung suatu kebijaksanaan dari atas secara terbuka tetapi sebenarnya hanya sedikit sekali partisipasi dalam pelaksanaannya. Partisipasi yang sangat kecil tersebut dapat pula berbentuk procnastination, yaitu bentuk partisipasi dengan penurunan mutu atau kualitas pelayanan. c. Kelemahan lain yang sering dijumpai adalah koordinasi. Meskipun, semua orang menyatakan mendukung namun dalam praktiknya tidaklah mudah melaksanakannya. Akibatnya adalah timbul kelebihan (surpluses) dan kekurangan (shortages). d. Kelemahan yang sering pula mewarnai pelayanan aparatur pemerintah adalah adanya kebocoran dalam kewenangan (linkage of authority) yakni kebijaksanaan pimpinan ditafsirkan dan diteruskan oleh pembantu pimpinan secara berlainan dalam arus perintah pada bawahan sesuai dengan pertimbangannya sendiri.

132 KALAMSIASI, Vol. 4, No. 2, September 2011, 129 - 140

e. Pada bagian lain, juga sering menunjukkan adanya gejala resistance, baik secara terangterangan maupun secara tersembunyi oleh aparatur pemerintah dalam menjalankan tugas-tugas kedinasan. Dan salah satu kunci utama dari pengelolaan kebijakan yang berkualitas adalah perlu adanya goodwill dari aparatur birokrasi untuk melakukan reformasi dalam pelayanan publik. Hal ini penting dilakukan agar aparatur pemerintah tidak terjebak pada budaya mengabdi pada atasan akan tetapi pada public delivery service culture (budaya pelayanan kepada masyarakat). Tulisan berjudul judul Strategi Meningkatkan Peran Serta Pusat Pelayanan Pengaduan Masyarakat (P3M) dalam Reformasi Pelayanan Publik di Kabupaten Sidoarjo (Studi Kasus Respons Aduan Masyarakat) dilatarbelakangi fakta bahwa hingga hingga saat ini respon aduan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) belum maksimal 100% sesuai prosedur yang diharapkan. Sebagai contoh, SKPD A mendapat aduan dari masyarakat hari Senin setelah langsung didistribusikan oleh Koordinator P3M maka sesuai mekanisme seharusnya SKPD tersebut mempunyai tenggang waktu 7 hari kerja (hari Rabu minggu berikutnya) untuk memberikan jawaban. Namun, pada kenyataannya masih ada SKPD hingga akhir bulan laporan dibuat tidak juga menjawab. Selain itu, P3M masih sering digunakan oleh oknum-oknum tertentu sebagai ajang mencemarkan nama baik seseorang bahkan membuat aduan palsu terhadap SKPD tertentu. Ini bisa dibuktikan dengan masih banyaknya masyarakat yang takut mencantumkan identitasnya secara lengkap.

Dan yang terakhir, masalah koordinasi lintas SKPD. Seperti diketahui, keberadaan P3M Kabupaten Sidoarjo adalah unik. Hal ini dikarenakan, perangkat kerasnya (hardware) di bawah kendali Bagian Telekomunikasi dan Informatika Sub Bagian Pelayanan Teknis, Sandi dan Telekomunikasi, sementara perangkat lunaknya (software) menjadi wewenang Bagian Humas dan Protokol Sub Bagian Pengelolaan Pengaduan. Dampaknya, regulasi P3M yang dibuat di awal-awal berdirinya (2005) sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan hingga saat ini tetap saja terpampang dalam website. Pula jika ada aduan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, Subbagian Pengelolaan Pengaduan tidak bisa berbuat sesuatu. Hal ini disebabkan lemahnya lter atau regulasi yang dimiliki pengelola Web P3M itu sendiri. Berawal dari paparan tersebut permasalahan kajian ini adalah bagaimanakah peran Pusat Pelayanan dan Pengaduan Masyarakat (P3M) dalam reformasi pelayanan publik di Kabupaten Sidoarjo?

PUSAT PELAYANAN DAN PENGADUAN MASYARAKATDefinisi pelayanan publik menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warganegara dan penduduk atas barang, jasa, dan atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Sedangkan yang dimaksudkan penyelenggara pelayanan publik adalah setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen, yang dibentuk berda-

Agung Wareh: Strategi Meningkatkan Peran Pusat Pelayanan Pengaduan Masyarakat (P3M)

133

sarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik. Oleh karena itu, Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dengan semangat memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakatnya membentuk Pusat Pelayanan Pengaduan Masyarakat (P3M). Institusi ini dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Bupati Sidoarjo Nomor 22 Tahun 2005, jauh sebelum undangundang tentang pelayanan publik lahir. Adapun kedudukan P3M saat ini setelah diberlakukannya Peraturan Bupati Nomor 37 Tahun 2008 tentang Rincian Tugas, Fungsi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah Kabupaten berada di Bagian Humas dan Protokol Sub Bagian Pengelolaan Pengaduan. Sedangkan tugas Sub Bagian Pengelolaan Pengaduan, pertama, melaksanakan inventarisasi, menyiapkan bahan penyusunan rancangan kebijakan pengumpulan dan pengelolaan pengaduan. Kedua, menyiapkan bahan kajian, analisis dan pelaporan pelaksanaan pengelolaan pengaduan. Ketiga, menerima, melaporkan dan menindaklanjuti pengelolaan pengaduan. Keempat, melaksanakan tugas ketatausahaan. Kelima, melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Kepala Bagian sesuai bidang tugasnya. Yang dimaksud dengan P3M adalah wadah media yang dibentuk untuk memfasilitasi pengaduan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dan P3M ini didirikan dan bekerja dengan asas kemandirian, keadilan, non diskriminasi, tidak memihak, transparansi, akuntabilitas, kebenaran dan kerahasiaan. Adapun tujuan dibentuknya P3M ini adalah: Pertama, untuk mendorong penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih sesuai dengan asas-asas pemerintahan yang demokratis, akuntabel, transparan dan

bertanggung jawab. Kedua, meningkatkan mutu pelayanan umum di bidang yang menjadi lingkup kewenangannya agar setiap anggota masyarakat yang berhubungan dengan pemerintah daerah memperoleh keadilan. Ketiga, meningkatkan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat agar memperoleh pelayanan umum yang lebih baik. Sementara P3M mempunyai tugas, pertama, membantu menyelesaikan masalah pengaduan masyarakat terhadap penyelenggaraan pelayanan umum oleh pemerintah daerah dan perangkatnya. Kedua, memfasilitasi pengaduan masyarakat dalam bentuk menerima aduan, mengklarikasi aduan, mengkonrmasi aduan, melakukan mediasi, mempublikasikan aduan dan memberikan laporan kepada Bupati. Fungsi P3M adalah sebagai berikut: Pertama, menampung pengaduan masyarakat mengenai penyelenggaraan pemerintahan. Kedua, memilih dan memilah aduan masyarakat yang didistribusikan pada perangkat daerah. Ketiga, melakukan koordinasi dengan unit kerja terkait untuk meminta tanggapan atas pengaduan. Sebagai sarana pelayanan publik secara terpadu, di mana diharapkan bisa menampung semua aspirasi dan keinginan masyarakat sehingga pada akhirnya menumbuhkan minat masyarakat untuk ikut berpartisipasi secara aktif dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan maka P3M mempunyai wewenang: Pertama, meminta keterangan secara lisan dan atau tertulis dari pelapor, terlapor atau pihak lain yang terkait mengenai suatu pengaduan yang disampaikan. Kedua, memilih aduan yang layak untuk mendapatkan respons. Sementara itu Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) P3M menurut Perbup Nomor 22

134 KALAMSIASI, Vol. 4, No. 2, September 2011, 129 - 140

Tahun 2005 hanya sebatas mediator dan fasilitator atas berbagai permasalahan yang timbul di masyarakat atau dengan kata lain pelayanan publik yang diberikan SKPD. Dan P3M tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan pressure andaikata aduan masyarakat tidak dijawab. Namun, dalam forum coffee morning atau rapat seluruh kepala SKPD termasuk delapan belas camat di Kabupaten Sidoarjo yang langsung dipimpin Bupati, masalah aduan masyarakat masuk dalam agenda. Meski secara administratif SKPD tidak diberikan sanksi namun teguran secara lisan Bupati/Kepala Daerah menyebabkan Kepala SKPD harus memberikan perhatian lebih pada masalah ini.

langsung, media cetak atau elektronika, surat dan telepon/faximile. Kemudian aduan dicatat dan disampaikan kepada instansi untuk memperoleh respons selambatlambatnya 7 (tujuh) hari kerja. Setelah itu, respons dipublikasikan kepada masyarakat lewat media komunikasi langsung, media cetak atau elektronika, surat dan telepon/ faximile. Hingga saat ini, ada 44 SKPD yang terhubung secara on line dengan sistem jaringan P3M dengan enam belas bidang masalah yang bisa diadukan masyarakat . Bidang permasalahan tersebut meliputi: 1) industri dan perdagangan; 2) pertanian, peternakan, dan perkebunan; 3) perikanan dan kelautan; 4) pekerjaan umum; 5) tenaga kerja; 6) perhubungan; 7) sumberdaya alam, pertambangan dan lingkungan hidup; 8) pendidikan, agama dan kebudayaan; 9) pariwisata; 10) kesehatan; 11) pertanahan; 12) keamanan dan ketertiban; 13) kelembagaan, aparatur, keuangan dan pendapatan daerah; 14) perijinan dan penanaman modal; 15)

MEKANISME PELAYANAN P3MAdapun mekanisme kerja P3M sendiri adalah menerima pengaduan yang berasal dari warga masyarakat melalui media komunikasi

Bagan Mekanisme Pelayanan Pengaduan Masyarakat

Agung Wareh: Strategi Meningkatkan Peran Pusat Pelayanan Pengaduan Masyarakat (P3M)

135

koperasi, pengusaha kecil dan menengah; dan 16) pemberdayaan masyarakat. Berikut adalah tabel yang memperlihatkan SKPD yang belum merespon aduan masyarakat meski batas waktunya sudah lebih dari 7 hari kerja.Tabel 1: Respon aduan SKPD lebih dari 7 hari kerja di bulan Oktober 2010No. TGL TERIMA SUBYEK ADUAN NAMA PENGADU STATUS Proses KET PU Bina Marga

jaringan online P3M ada dan terpasang sejak tahun 2005 tepatnya sejak P3M terbentuk. Untuk itu memang perlu ada revitalisasi sarana-prasarana; Namun hal tersebut bukan berarti pelayanan publik harus terhenti, karena di P3M tersedia 9 buah komputer yang sudah terkoneksi. Keterlambatan dalam merespons aduan masyarakat sebenarnya tidak sesuai dengan semangat dan amanat Peraturan Bupati Sidoarjo Nomor 22 Tahun 2005 tentang P3M dan Pasal 1 Ayat 6 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 65 Tahun 2005 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) yakni ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal. Adapun yang dimaksud dengan pelayanan dasar menurut Ayat 8 adalah jenis pelayanan publik yang mendasar dan mutlak untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan pemerintahan. Dalam Surat Gubernur Jawa Timur Nomor: 065/7278/041/2007 tentang Pedoman dan Teknis Penyusunan Standar Pelayanan Publik, dijelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan standar pelayanan publik adalah suatu bentuk komitmen atau janji dari penyelenggara pelayanan untuk memberikan pelayanan yang prima/ berkualitas kepada masyarakat dan disamping itu sebagai tolok ukur dan pedoman baik bagi pemberi pelayanan maupun bagi penerima layanan. Pula yang dilakukan SKPD tersebut sudah jauh dari apa yang disebut sebagai pelayanan prima. Bahkan, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), Pasal 2 (3) nya juga mengamanatkan bahwa setiap informasi publik harus dapat diperoleh setiap pemohon

1. 18-102010

Jalan rusak Junaidi A & hancur akibat galian pipa gas Lampu jembatan Sugeng

2. 18-102010 3. 18-102010 4. 20-102010

Proses Proses Proses

DKP Bag TI PU Bina Marga

Transparansi Yudin lelang Akibat jalan Junaidi A rusak

Sumber data: http//p3m-intra.sidoarjo.net (per tanggal 2 November 2010).

Beberapa alasan yang dikemukakan Petugas Perespons Aduan tentang keterlambatan SKPD dalam menjawab atau merespon aduan masyarakat : 1. Komputernya yang jaringannya online dengan P3M rusak. 2. Petugas perespons aduan SKPD tersebut mutasi di tempat lain padahal kode user dan password ada padanya. 3. Banyak kegiatan sehingga tidak sempat membuka aduan. 4. Disposisi respons aduan dari pimpinan turunnya agak lama. Secara keseluruhan dari pengakuan petugas perespons aduan SKPD yang menyatakan komputernya rusak mencapai hingga 30% hal ini dikarenakan memang

136 KALAMSIASI, Vol. 4, No. 2, September 2011, 129 - 140

informasi publik dengan cepat dan tepat waktu, biaya ringan dan cara sederhana. Kemudian di Pasal 3 disebutkan pula bahwa adalah hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan politik serta alasan pengambilan suatu keputusan politik dijamin oleh UU KIP ini. Bahkan dalam Pasal 4, hak-hak pemohon informasi publik disebutkan secara gamblang dan

diperbolehkan menggugat ke pengadilan jika dalam memperoleh informasi publik mendapat hambatan.Kelambanan SKPD dalam memberikan

jawaban atas aduan masyarakat baik disengaja atau tidak mengakibatkan P3M terkena dampak buruknya. Hal ini dikarenakan masyarakat tahunya bahwa P3M adalah tempat mengadu sehingga institusi ini dapat melak