kajian teks lontar di bali

35
Kajian Teks Lontar Bacakan Banten Pati Urip I Pendahuluan Hindu merupakan suatu agama yang telah muncul sejak dahulu kala bahkan dinyatakan sebagai sanatana dharma yang berarti kebenaran atau agama yang abadi dengan kitab sucinya adalah Weda. Weda diyatakan sebagai suatu berisikan secara lengkap mengenai ajaran-ajaran yang menuntun manusia dalam kehidupan di dunia ini maupun di alam setelah kematian. Ajaran Weda yang lengkap tersebut merupakan suatu hal yang sangta berguna bagi kehidupan manusia sehingga perlu dipelajari. Ajaran yang terdapat dalam weda berbentuk sutra dan mantra yang perlu penafsiran dan pemaknaan sehingga apa yang di maksud dalam sutra atau mantra tersebut dapat dipahami secara benar. Untuk memahami dan mampu memberikan makna yang tepat diperlukan suatu kemampuan yang baik dan memadai sehingga ada kalimat dalam Weda yang menyatakan bahwa “Weda takut dengan orang bodoh” Hal itu jelas menunjukan bahwa dibutuhkan suatu kecerdasan dan kemampuan menganalisa dan memaknai ajaran yang tertuang dalam kitab suci weda. Hal ini menjadi suatu permasalahan karena tidak semua manusia memiliki kecerdasan yang seperti itu. 1

Upload: muaniboy

Post on 14-Aug-2015

120 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

kajian salah satu lontar yang ada di bali

TRANSCRIPT

Page 1: Kajian Teks Lontar Di Bali

Kajian TeksLontar Bacakan Banten Pati Urip

I Pendahuluan

Hindu merupakan suatu agama yang telah muncul sejak dahulu kala bahkan

dinyatakan sebagai sanatana dharma yang berarti kebenaran atau agama yang abadi

dengan kitab sucinya adalah Weda. Weda diyatakan sebagai suatu berisikan secara

lengkap mengenai ajaran-ajaran yang menuntun manusia dalam kehidupan di dunia

ini maupun di alam setelah kematian. Ajaran Weda yang lengkap tersebut merupakan

suatu hal yang sangta berguna bagi kehidupan manusia sehingga perlu dipelajari.

Ajaran yang terdapat dalam weda berbentuk sutra dan mantra yang perlu penafsiran

dan pemaknaan sehingga apa yang di maksud dalam sutra atau mantra tersebut dapat

dipahami secara benar. Untuk memahami dan mampu memberikan makna yang tepat

diperlukan suatu kemampuan yang baik dan memadai sehingga ada kalimat dalam

Weda yang menyatakan bahwa “Weda takut dengan orang bodoh” Hal itu jelas

menunjukan bahwa dibutuhkan suatu kecerdasan dan kemampuan menganalisa dan

memaknai ajaran yang tertuang dalam kitab suci weda. Hal ini menjadi suatu

permasalahan karena tidak semua manusia memiliki kecerdasan yang seperti itu.

Tingkat kemampuan manusia yang satu dan yang lainnya tidak sama.

Hal itulah yang menjadi suatu alasan mendasar dicarikannya suatu jalan

keluar supaya ajaran yang demikian luas dan mendalam dapat diketahui dan dipahami

oleh manusia pada umumnya dan umat Hindu pada khususnya. Melihat kenyataan

seperti itu para maharsi jaman dulu memberikan suatu solusi dengan dituangkannya

ajaran dalam Weda dalam bentuk susastra Hindu. Hal itu juga ditegaskan dalam Kitab

Sarasamuscaya dan purana yang menyatakan bahwa Hendaknya Weda diajarkan

melalui Itihasa dan Purana. Dengan metode itihasa dan purana tentunya ajaran Weda

akan lebih mudah dipahami sehingga dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan

manusia dalam menjalani kehidupan di dunia fana ini maupun dalam mempersiapkan

1

Page 2: Kajian Teks Lontar Di Bali

diri menghadapi kehidupan setelah meninggal nantinya. Untuk lebih memudahkan

pemahaman terhadap ajaran Weda mengingat terdapat berbagai macam perbedaan

budaya sehingga selanjutnya ajaran-ajaran tersebut dituangkan dalam susastra daerah.

Hal itu seperti terlihat di bali ajaran-ajaran Weda dituangkan dalam bentuk lontar-

lontar dengan berbahasa jawa kuno.

Selanjutnya dewasa ini mulai disalin dan diterjemahkan dalam hurup latin

dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan demikian ajaran Weda semakin

dekat dengan umat Hindu karena secara langsung dapat dibaca dan ditafsirkan.

Seperti di atas bahwa setiap teks susastra perlu juga ditafsirkan kembali secara

konstektual disesuaikan dengan perkembangan jaman sehingga ajaran dalam lontar

atau susastra Hindu di daerah dapat lebih dipahami maka perlu dikaji dan ditafsirkan

sehingga umat Hindu dapat memahami ajaran tersebut. salah satu lontar yang telah

ditulis dengan huruf latin dan telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah

lontar Bacakan Banten Pati Urip. Teks dan terjemahan lontar Bacakan Banten Pati

Urip telah diterbitkan dalam bentuk buku dengan Judul “ Bacakan Banten Pati Urip:

Upakara Bayi Dalam Kandungan Sampai Orang Meninggal (Teks Dan Terjemahan)”

buku ini disusun oleh Drs. I Wayan Dunia yang diterbitkan oleh Paramita Surabaya

pada tahun 2009. Dalam buku tersebut diawali oleh pengantar dari penyusun,

selanjutnya teks lontar Bacakan Banten Pati Urip dalam huruf latin dan bagian yang

ketiga adalah terjemahan dalam bahasa Indonesia. Lontar bacakan banten pati urip

secara semiotik jelas memiliki makna bahwa menguraikan sarana upakara selama

kehidupan dan kematian. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa lontar bacakan

banten pati urip merupakan salah satu lontar tentang ritual keagamaan Hindu (Dunia,

2003:iii)

2

Page 3: Kajian Teks Lontar Di Bali

II Beberapa Kajian Lontar Bacakan Banten Pati Urip

2.1 Kajian Filosofis (Tattwa)

Setiap upacara yang dilaksanakan memiliki makna atau nilai tattwa atau

filosofis hal itu sesuai dengan konsep tri kerangka dasar agama Hindu. Tattwa atau

filosofis agama Hindu mencakup berbagai aspek makna sampai pada pada ketuhanan.

Upacara – upacara yang dilaksanakan atau tertuang dalam lontar merupakan

penjabaran dari ajaran teks suci yaitu Weda. Nilai filosofis dari upacara disebutkan

bahwa upacara merupakan suatu kewajiban umat Hindu sebagai manusia yang

memiliki hutang yang disebut tri rna. Tri rna tersebut merupakan dasar dari

pelaksanaan upacara dalam umat Hindu (Wijayananda,2004a:1).

Tri rna tersebut yaitu manusia memiliki utang kehidupan atau jiwa kepada

Tuhan, hutang pengetahuan kepada para orang suci dan hutang budhi atau jasa

kepada orang tua dan leluhur. Pada umumnya lontar tatwa ataupun yadnya secara

langsung maupun tidak langsung sudah pasti tersirat atau bahkan tersurat di dalam

lontar tersebut mengenai aspek-aspek ketuhanan dalam agama Hindu. Agama Hindu

meyakini bahwa tuhan itu tunggal tiada duanya (Pudja:1999:12). Tuhan yang satu itu

disebut dengan banyak nama dan bentuk oleh orang bijaksana (Suhardana, 2008:2).

Tuhan yang tunggal dikenal dalam berbagai macam aspek Beliau. Aspek ketuhanan

dalam agama Hindu sangatlah benar - benar memposisikan Tuhan sebagai sesuatu

Yang Maha Kuasa. Dalam konsep Hindu diyakini bahwa Tuhan Maha Kuasa dan

Sumber dari segalanya. Tuhan meresapi segala ciptaanNya. Tuhan bersifat Sarva

Vyapi Vyapaka artinya Tuhan ada dimana-mana dan meresapi semua atau segala

sesuatunya. Tuhan yang maha kuasa dan tak terbatas tidaklah mampu dijangkau oleh

manusia dengan yang notabenenya memiliki keterbatasan dalam berbagai hal.

Dengan keyakinan bahwa Tuhan Maha kuasa, maka manusia Hindu meyakini

apapun yang beliau kehendaki dapat diwujudkan atau dalam pengertian Beliau dapat

bermanifestasi dalam berbagai bentuk sesuai dengan kehendakNya. Sebagai yang

maha kuasa tentunya Beliau memiliki fungsi yang sangat tak terbatas.

3

Page 4: Kajian Teks Lontar Di Bali

Tuhan dalam konteks secara ilmu dapat dinyatakan atau diibaratkan dalam

bentuk noumena yang akan menyatakan dirinya melalui fenomena. Dengan melalui

fenomena inilah manusia akan dapat mengetahui noumena dibalik perwujudan

tersebut. umat Hindu menyadari akan keterbatasan dirinya tetapi dengan adanya

keyakinan bahwa Tuhan Maha Kuasa maka umat Hindu mendekati Tuhan dengan

cara pendekatan terhadap fungsi yang dianggap berhubungan dengan manusia.

sehingga Tuhan Yang tunggal kemudian di manifestasikan dan dipuja dalam berbagai

bentuk dan cara berdasarkan Fungsi Beliau. Sebagi contoh dalam agama Hindu ada

yang disebut dengan Brahman, ada yang disebut Purusa Pradana ada yang disebut Tri

Murti dan seterusnya. Dengan adanya perwujudan dan pemujaan berdasarkan fungsi

maka bagi orang yang tidak memahami bagaimana kronologis pemujaan dan

perwujudan Tuhan maka akan memiliki penafsiran yang keliru terhadap keyakinan

terhadap Tuhan dalam Agama Hindu bahkan dalam umat Hindu yang awam sendiri

sering dipahami secara terpisah antara satu bentuk perwujudan dengan Tuhan padahal

itu semua merupakan perwujudan atau fungsi dari yang maha Tunggal. Adanya

perwujudan dan pemujaan yang tampak banyak justru hal itu merupakan

implementasi dari keyakinan bahwa Tuhan Maha Kuasa. Banyaknya perwujudan atau

pemujaan yang berdasarkan fungsi dalam mumat Hindu pada umumnya hal itu

menunjukan banyaknya fungsi Tuhan dalam kehidupan ini. Bahkan dalam Hindu

sendiri di nyatakan bahwa apa yang menjadi satu perwujudan merupakan bagian

terkecil dari kemahakuasaan Tuhan. Fungsi merupakan menunjukan pada

kemampuan Tuhan. Dengan banyaknya fungsi berarti menunjukan banyaknya

kemampuan pula sehingga secara langsung maupun tidak langsung hal tersebut

merupakan sebagai cetusan keyakinan bahwa Tuhan Maha Kuasa.

Pencetusan kemahakuasaan Tuhan dalam bentuk bagian-bagian fungsi yang

Tuhan Perankan juga menjadi aspirasi para mahakawi umat Hindu di Indonesia dan

umat Hindu di Bali Khususnya dalam ajaran-ajarn yang tertuang dalam lontar-lontar.

Termasuk lontar bacakan banten pati urip. Seperti dinyatakan di atas bahwa lontar

ini berisikan tentang yadnya dimana yadnya terdapat nilai teologis yang terkandung

4

Page 5: Kajian Teks Lontar Di Bali

didalamnya karena setiap yadnya memiliki tujuan persembahan yadnya tersebut.

konsep-konsep teologi dalam berbagai macam upacara dan sarana dalam lontar ini

tampaknya tidak semua bagian dari banyaknya upacara yang dinyatakan diulas

mengenai konsep teologinya. Ada bagian yang tidak mengulas teologi tetapi ada

bagian yang menyebutkan mengenai teologinya. Dalam lontar tersebut ada

disebutkan Bhatara Brahma, Dewa Kumara, Dewa Yoni, Dewa Siwa, Dewa Kama,

Sanghyang Jatiswara, Sanghyang Sri Guru, Sanghyang Mahadewa, Iswara,

Saraswati, Wisnu. Konsep teologi yang disebutkan dalam lontar tersebut tidak

terdapat penjelasan secara jelas tentang bagaimana konsep-konsep teologi tersebut.

akan tetapi konsep teologi tersebut dapatlah di jelaskan dengan dasar susastra lain.

Hal itu mengingat konsep nama nama yang sama merupakan merujuk pada aspek

atau atribut yang sama.

2.2 Kajian Etika (Susila)

Dalam lontar bacakan banten pati urip sangat jelas terkandung nilai-nilai

etika. Hal itu berdasarkan adanya konsep tri kerangka dasar agama Hindu yang

merupakan suatu satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama yang lainnya

dimana ketiganya terdapat dalam upacara. Salah satu bagian dari tri kerangka dasar

itu adalah etika yang merupakan suatu norma atau aturan bertingkah laku yang benar

dan baik. Seperti dinyatakan bahwa dalam upacara sudah tentu mengandung suatu

etika dalam pelaksanaannya. Hal itu terlihat jelas dalam upacara terdapat suatu

aturan-aturan yang mengatur bagaimana seharusnya umat Hindu melaksanakan

upacara. Demikian pula dalam berbagaimacam upacara yang terdapat dalam ajaran

lontar Bacakan banten pati urip. Ajaran etika yang terdapat dalam lontar tersebut

terutama dalam bentuk bagaimana sarana yang baik dan kepada siapa upacara

tersebut diberikan. Setiap upacara memiliki suatu bentuk dan jenis sesajen atau

upakara yang berbeda satu dengan yang lainnya walaupun ada sebagian upacara yang

memiliki sama akan tetapi secara umumnya ada sarana yang membedakan. Hal ini

membuat perlu diketahui suatu aturan dalam berupacara.

5

Page 6: Kajian Teks Lontar Di Bali

Berupacara merupakan suatu persembahan suci yang harus di dasari dengan

kesucian. Hal itu tampak dalam berbagai macam jenis bahan atau bentuk upakara

yang diajarkan dalam lontar ini. memang secara tersurat tidak ada penjelasan yang

pasti mengenai arti fungsi upacara tersebut akan tetapi hal tersebut dapat di dekati

atau dijelaskan dengan makna atau arti dari sarana dan bentuknya menurut susastra

lainnya. Dalam berbagai sarana semua merupakan suatu symbol yang merupakan

suatu cetusan rasa kesucian dan ketulusan. Rasa kesucian dan ketulusan tersebut

sudah tentunya berkaitan dengan konsep-konsep kesucian dalam ajaran agama Hindu.

Secara aspek pokoknya ada tiga dasar dalam beretika dalam agama Hindu yaitu yang

disebut dengan tri kaya parisudha. ajaran etika dalam Hindu bukan hanya

menyangkut aspek perilaku tetapi juga dalam aspek lainnya yaitu pikiran dan

perkataan. Hal itu mengingat kebaikan dalam perilaku atau sikap belum tentu

menunjukan kebaikan dalam perkataan dan pikiran. Oleh karena itu ketiganya harus

seimbang untuk disucikan sehingga keharmonisan dan kebahagiaan diperoleh. Dalam

Hindu dengan konsep tri kaya parisudha ini adalah menunjukan adanya keselarasan

kesucian antara ketiganya. Tri kaya pari sudha sebagai dasar etika Hindu

mengajarkan bahwa pikiran, perkataan dan perbuatan harus disucikan.

2.3 Kajian Ritual (Upacara)

Ritual dalam agama Hindu di Indonesia disebut dengan istilah Upacara dan

secara susastra Hindu khususnya dalam ajaran Weda disebut dengan istilah Yadnya.

Sehingga sering keduanya digabungkan di Indonesia khususnya di Bali dengan istilah

Upacara yadnya. Dalam agama Hindu banyak sekali terdapat upacara tetapi secara

umum dikenal ada lima jenis yadnya yaitu yang disebut dengan panca yadnya. Setiap

yadnya merupakan suatu rangkaian system yang didalamnya terdapat unsure-unsur

yang saling berkaitan dan memiliki fungsi masing-masing untuk terlaksananya

upacara tersebut. Dalam upacara terdapat pelaksana, sarana dan pemuput atau

pemimpin upacara. Pemimpin upacara bukanlah dapat dilaksanakan oleh sembarang

orang, tetapi oleh orang suci. Hal itu seperti dinyatakan oleh Wayan Budha Gautama

6

Page 7: Kajian Teks Lontar Di Bali

(2003:1) yang menyatakan “setiap pelaksanaan upacara yajna, dipimpin oleh seorang

pendeta (sulinggih), atau Pinandhita (pemangku) sesuai dengan kewenangan masing-

masing.” Pelaksanaan upacara dapat membawa manusia pada suatu kesucian diri.

Hal itu seperti dinyatakan Eliade (dalam Ghazali, 2011:62) ritus merupakan media

untuk umat beragama untuk menuju dari yang tidak suci kea rah kesucian. Hal ini

juga ditegaskan dalam salah satu tujuan ritual atau upacara menurut Ida PAndita

Mpu Jaya Wijayananda (2004b:10) bahwa upacara memiliki maksud untuk mencapai

spiritual.

1. Ngerujaki

Dalam lontar bacakan banten pati urip ngerujaki merupakan suatu upacara

yang pertama kalinya dilakukan terhadap wanita yang hamil. Adapun sarana yang

digunakan dalam upacara ngerujaki yang dinyatakan dalam lontar ini adalah sesayut

satu pajeg lengkap dan byakala di tambah dengan persembahan yang dihaturkan di

sanggah kemulan yang dipimpin oleh seorang pemangku atau orang suci yang disertai

makan rujak. Kapan upacara ini dilakukan masih kurang jelas hanya ditegaskan

ketika hamil dalam lontar bacakan banten pati urip. Tetapi dapat diketahui melihat

dari nama dan sarana maka upacara ini di laksanakan pada saat ngidam atau pada saat

mulai diketahui kehamilan itu. Ngidam atau mulai diketahuinya kehamilan antara

orang satu dengan yang lainnya terkadang berbeda-beda terlebih dalam kehidupan

kontemporer ini dimana manusia disibukan akan urusan pekerjaan dan pikiran yang

dibebeni oleh berbagaimacam keinginan sehingga kepekaan untuk mengetahui

kehamilan sangat berkurang.

Di sisi lain dalam konteks modernitas dewasa ini manusia dimudahkan

dengan alat pendeteksi kehamilan sehingga yang tidak sibuk akan lebih dini

mengetahui kehamilan. Hal ini yang terlihat dalam kehidupan masyarakat pada

umumnya dan kehidupan umat Hindu khususnya sering terjadi ada yang baru satu

bulan sudah diketahui dan ada pula setelah dua bulan atau bahkan lebih. Dalam

lontar tersebut ada disebutkan upacara tiga bulanan kehamilan sedangkan upacara

7

Page 8: Kajian Teks Lontar Di Bali

ngerujaki disebutkan sebelum upacara tiga bulanan dengan demikian secara

logikanya upacara tersebut dilaksanakan sebelum tiga bulan usia kehamilan. Upacara

ngerujaki ini dilaksanakan di sanggah merajan yang dimiliki masing-masing umat hal

itu karena dalam lontar disebutkan adanya persembahan yang dipersembahkan di

sanggah. Banten yang digunakan berupa sesayut merupakan sebagai suatu symbol

atau penanda dari sesuatu obyek yang dimaksudkan atau istilah lainnya petanda.

Sesayut sebagai suatu symbol tentunya memiliki suatu makna yang perlu ditafsirkan

dan dipahami oleh umat Hindu. Istilah sesayut dapat diuraikan dari asal katanya

yaitu dari kata pokok “sayut” yang memiliki pengertian mendoakan atau

mengharapkan dan juga sebagai symbol dari sthana Tuhan beserta manifestasinya

(Wijayananda, 2004:80). Dalam upacara ngerujaki dengan digunakan banten sesayut

akan memiliki makna bahwa dengan atau melalui pelaksanaan upacara ngerujaki

umat Hindu mengharapkan atau mendoakan kepada Tuhan berserta manifestasinya

supaya benih atu janian dalam kandungan kuat atau selamat tidak mengalami

keguguran demikian pula kepada ibu yang mengandung janin tersebut. hal itu

dipertegas lagi dengan pengunaan banten byakala yang disebutkan dalam lontar

bacakan banten pati urip tersebut.

2. Tiga Bulanan

Upacara kedua dari dalam manusia yadnya yang dinyatakan dalam lontar

bacakan banten pati urip adalah upacara setelah usia kehamilan menginjak tiga bulan.

Tidak dijelaskan perhitungan hari untuk menyatakan bahwa kandungan berumur tiga

bulan apakah perhitungan bulan tahun masehi atau kalender bali. tetapi berdasarkan

sejarah dan tempat lontar tersebut dibuat yaitu dibali dimana dibali sendiri memiliki

perhitungan kalender sehingga dapat dinyatakan yang dimaksud tiga bulan dalam

lontar tersebut adalah tiga bulan dalam perhitungan kalender bali dimana satu

bulannya terdiri dari 35 hari. Hal itu berarti perhitungan hari dalam setiap bulannya

kalender bali lebih bantyak dari pada kalender masehi yang jumlah harinya tidak

8

Page 9: Kajian Teks Lontar Di Bali

tetap setiap bulannya jumlah hari yang tertinggi adalah sebanyak 31 hari dan jumlah

yang paling sedikit sebanyak 28 hari.

Dengan demikian pelaksanaan upacara tiga bulannan kehamilan disesuaikan

dengan kalender bali. Menurut Sri Rsi Ananda Kusuma (2009:28) upacara tiga

bulanan kehamilan sering disebut dengan “megedong-gedongan”. Adapun

sarananya yang dinyatakan dalam lontar bacakan banten pati urip adalah jenisnya

sama dengan upacara ngerujaki, yaitu sesayut satu pajeg dan byakala ditambah

dengan persembahan di sanggah kemulan. Banten yang yang dinyatakan dalam

lonter tampak lebih sederhana dibandingkan dengan yang dinyatakan oleh Sri Ananda

Kusuma dimana terdapat beberapa uraian yang terinci yaitu Rujak kelapa gading

dengan gula yang bermacam-macam dan madu, bunga kecubung, jajan berujud bayi 2

orang, seekor ikan belut yang masih hidup dibungkus dengan daun byah-byah sumbu

5 buah, klakat yang berisi sesari 250 kepeng, sorohan bertumpeng tujuh, delima

seadanya, dua buah rumah kecil untuk laki-laki dan perempuan, canang daksina 2

buah untuk dewa trimurti dan pendeta. Hal itu diyatakan sebagai upacara yang besar

dengan sarana upakara sedemikian rupa. Hal ini berarti upacara tiga bulanan tentunya

dapat dilaksanakan dengan upacara yang sederhana atau kecil seperti yang dinyatakan

oleh lontar tersebut dan apabila seseorang mampu dapat melaksanakan dengan

upacara yang besar. Besar kecil upacara merupakan tergantung dari keadaan ekonomi

dan keinginan umat Hindu untuk melaksanakan upacara tersebut. yang terpenting

adalah tatwa dari upacara tersebut sesuai dengan ajaran agama sehingga dapat

memperoleh berkah yang baik.

3. Upacara Kepus Pungsed

Sebagai upacara ketiga yang dinyatakan dalam lontar bacakan baten pati urip

adalah upacara lepas tali pusar. Pelaksanaan upacara ini tidak dijelaskan dengan

perhitungan hari akan tetapi melihat kapan tali pusar seorang bayi itu putus atau

lepas. Tidak adanya kepastian perhitungan hari pelaksanaan upacara ini dalam lontar

tetntunya sangat ditentukan keyataan kehidupan sehari-hari dimana setiap seorang

9

Page 10: Kajian Teks Lontar Di Bali

bayi dengan yang lainnya memiliki masa perhitungan hari untuk lepas pusarnya

adalah tidak sama. Ada yang lima hari ada pula yang satu minggu dan seterusnya.

Oleh karena itu, hanya ditentukan pada saat tali pusar putus pada saat itulah

dilaksanakan upacara ini. upakara atau sarana upacara ini yang dinyatakan dalam

lontar yaitu: penyeneng, ayam biing, peras satu, canang, kelanan, abu satu tamas

berisi daun satu ikat, lekesan berisi cincin uang kepeng, rokok lampu dari kapas yang

digiling tulisan nama berwadahkan kojong, canang saagan, buwu satu buah, dan

berjenis daun-daunan seperti daun sakeling, daun miana cemeng, daun gunggang

rumput dreman, kundang kasih yang diikat menjadi satu, tempurung kelapa berisi

abu, dedaunan, sirih rokok, lampu dari kapas digiling satu kojong, serta pohon

pandan dibungkus dengan ijuk. Nasinya kepelan dan canang setelah bayinya

dipersem,bahi di dapur tempurung kelapa diletakan disisi pintu dapur. Selain itu juga

dilakukan suatu persembahan berupa saji jerimpen kepada dewa kumara dan

persembahan kepada penjaga berupa kelanan dan canang, serta persembahan kepada

dewa yoni berupa saji jerimpen. Sementara di bawah mengunakan persembahan

berupa saagan. Selanjutnya dilaksanakan juga suatu persembahan di sungai dengan

sarana atau sesajen berupa kelanan, canang dan saagan.

4. Upacara Bayi Berumur 12 Hari

Upacara bayi berumur 12 hari sesuai dengan namanya dilaksanakan pada

saat bayi berumur 12 hari. Tidak dijelaskan dalam lontar mengenai perhitungan

mengapa setelah dua belas hari perlu dilaksanakan suatu upacara bagi bayi. Apabila

dilihat dari angka-angka mistik atau sacral ayang berhubungan dengan suatu symbol

dalam agama Hindu maka 12 hari adalah sama dengan 3 yaitu 1+2. Angka 3 dalam

Hindu sangat berhubungan dengan konsep ketuhanan yaitu tri murti dan tri purusa.

Tri murti tersebut yaitu brahma sebagai pencipta, wisnu sebagai pemelihara, dan

Siwa sebagai pemralina, sedangkan tri purusa adalah siwa, sadasiwa dan parama

siwa. Dengan demikian upacara ini dilakukan berhunbungan dengan manusia sebagai

mahluk dalam dunia ini selalu memiliki aspek dari ketiga tersebut. di samping itu

10

Page 11: Kajian Teks Lontar Di Bali

juga tiga yang dimaksudkan juga berkenaan dengan tri premana yaitu sabda, bayu,

idep. Ketiganmya itu harus dijaga dan dipeliharra dengan baik supaya tercipta

kehidupan yang sejahtera. Hal itu sesuai dengan pendapat Sri Reshi Ananda Kusuama

(2009:31) yang menyatakan tujuan upacara 12 hari adalah untuk memohon

kemakmuran bagi bayi, kesehatan dan panjang umur. Adapun sarana yang digunakan

dalam upacara ini yang dinyatakan dalam lontar adalah seperangkat guru kurenan,

lwang jerimpen, pucakmanik, pangulap, pangambean, panyejeg, peras guling,

jajanganan, teenan, baywan, dan daksina. Terdapat pula persembahan kepada dewa

yoni berupa jerimpen satu buah. Untuk dewa kumara jerimpen satu buah.

5 Upacara Bayi Berumur 42 Hari

Upacara ini juga sesuai dengan namanya dilaksanakan ketiga bayi telah

berumur 42 hari. Adapun sarana yang digunakan adalah daksina satu buah, ketupat

satu kelan, canang bayuan dua buah, canang sari dua buah, uang 225 , saagan.

Apabila melihat pengunaan angka 42 hari dapat diuraikan 4+2 adalah 6, enam dalam

konsep Hindu ada yang disebut Sadripu atau enam musuh dalam diri manusia.

selanjutnya pengunaan uang sebanyak 225 yang dinyatakan dalam lontar dapat

diuraikan 2+2+5 adalah 9 dalam agama Hindu Sembilan adalah mengacu pada

dewata nawa sanga atau Sembilan dewa penjaga penjuru. Hal ini ini dapat berarti

bahwa adanya musuh dalam diri manusia sebagai buana alit haruslah dijaga atau

dikendalikan supaya manusiah berhasil mencapai kehidupan yang bahagia dan untuk

menjaga tersebut sepatutnya memohon perlindungan dari Sembilan Dewa penjaga

penjuru dalam alam ini termasuk dalam diri manusia. hal ini sesuai dengan

pernyataan dalam lontar yang menyebutkan bahwa pada saat ini dibuatkan berupa

penjaga atau pengijeng untuk si bayi. Hal itu juga sesuai dengan pendapat Sri Reshi

Ananda Kusuma (2009:32) yang menyatakan bahwa tujuan upacara ini adalah supaya

bayi mendapatkan panjang umur bahagia dan mendapat perlindungan dari Tuhan.

11

Page 12: Kajian Teks Lontar Di Bali

6. Upacara Bayi Berumur Tiga Bulan

Upacara ini dilaksanakan setelah bayi berumur tiga bulan seperti hal nya

upacara tiga bulan kehamilan pada upacara ini juga tidak dijelaskan tiga bulan dalam

kalender bali atau kalender masehi. Namun seperti diatas jelas bahwa tiga bulanan

yang dimaksud adalah tiga bulan dalam perhitungan kalender bali. apabila merujuk

pengunaan 3 dalam perhitungan bulan pelaksanaan upacara ini maka memiliki makna

mistis dimana tiga berhubungan dengan beberapa aspek dalam agama Hindu yaitu

trimurti , tripurusa dan tri kaya parisudha atau tripemana. Sarana atau upakanra

dalam upacara tiga bulanan ini lebih banyak disebutkan dalam lontar ini disbanding

upacara yang disebutkan di atas. Adapun sarananya adalah satu perangkat atau

Batekan pikekeh, tegenan, guru kurenan, lwang jerimpen, pucak manic, pemagpag,

pangiring, congkak wedel, pangulap, pangabean, panyejeg, peras guling, jerimpen

bebaywan, sesayut sesukanya, janganan, pabangkit rebah, satu tungkuh, banten

bajang wadah bakul, berisi boki periuk tanah yang sudah usang lis dari daun kelapa,

tua, bingas berisi jajan, tangkai buah kelapa, berisi mumbang, berisi ketupat siun,

blayag, kosong jantung, pisang ditulisi kapur, berbentuk orang-orangan berisi telinga

dari uang kepeng, penjor kecil, memakai paying dari daun kumbang. Banten bajang

seperangkat terdiri dari penyeneng berisi guling babengke, ayam colong, dan

perwujudan bajang dari waligo satu buah telur itik satu butir, batu hitam satu buah,

disertai dengan kain bebali, jamu pupuk, ayunan uangnya 225 kepeng. Pada saat

bajangnya berkeliling bersama-sam penmjor satu buah, lumping satu buah, sikat

berisi uang 25 kepeng sebagi symbol si bajang berkeliling. Pasu satu buah berisikan

telor ayam ikat pingang, atu-atu, uang 225 sebagai alas si bajang mandi dan bayi

yang diupacarai. Selanjutnya lis satu pasang sebagi runtutan sesayut, persembahan ke

kumara berupa jerimpen satu buah, untuk dewa yoni satu buah bayuan, saagan.

7. Otonan

Otonan merupakan suatu upacara yang dilaksanakan setelah bayi berumur

enam bulan. Enam bulan sebagai otonan mengingat perhitungan kalender bali bahwa

12

Page 13: Kajian Teks Lontar Di Bali

setelah enam bulan maka perhitungan wuku akan kembali pada ketika wuku bayi

lahir. Dengan demikian dalam konsep otonan yang diperhatikan adalah wuku dan

sapta wara yang sudah pasti akan berulang setiap enam bulan sekali. Oleh karena itu,

menurut tradisi Hindu di bali otonan ini selalu berulang dalam kehidupan manusia

sampai menemui ajalnya. Otonan ini sama serupa dengan ulang tahun dalam konteks

kalender masehi sehingga memunculkan peringatan ulang tahun yang menjadi trend

bagi manusia pada umumnya. Akan tetapi lain halnya di bali perayaan ulang tahun

tidak terlalu menjadi suatu yang terlalu penting terutama masyarakat Hindu yang di

desa sementara sebagaian masyarakat kota sudah mulai menganggap ulang tahun

sebagai suatu yang penting, sehingga selain otonan mereka juga melaksanakan ulang

tahun. Umat Hindu bali sering menyebut istilah otonan dengan sebutan ngotonen

yang berarti melakukan upacara otonan. Adapun sarana atau upakara yang digunakan

adalah seperangkat pakekeh, pulekerti,teenan, guru kurenan, lwang jerimpen, pucak

manic, pamagpag, pangiring, congkak odel, bayuan pangulap, pangambaean,

panyegjeg, sesayut telaga, pancoran, jarimpen be sambutan, jajanganan, peras, serta

guling. Semua itu adalah banten untuk ayaban. Untuk megogoan di buatkan lobang

ditanah, diisi air, diisi berbagai jenis isi sungai, bijaratus bijian gelang cincin, uang

225, sangkar, nyahnyah gringsing, ayam betina, untuk turun tanah bantennya peras

satu buah, pekekeh, pulakerti dan sambutan. Selanjutnya untuk persembahan yang di

haturkan kepada dewa kumara berupa jerimpen sebanyak satu buah, untuk dewa yoni

dandanan dan jerimpen.

8. Upacara Tanggal Gigi

Tanggal gigi merupakan suatu hal yang dialami oleh seseorang dalam

kehidupannya. Tanggal gigi dimaksud dalam lontar ini tentunya bukanlah tanggal

gigi yang sengaja dilakukan oleh manusia karena dicabut dengan paksa. Akan tetapi,

dimaksudkan di sini adalah tanggal gigi untuk pertama kalinya yang pada umumnya

dialami seseorang dalam hidupnya. Pada saat tanggal gigi inilah dilakukan suatu

upacara. Adapun sarana bantennya yang disebutkan dalam lontar ini adalah satu

13

Page 14: Kajian Teks Lontar Di Bali

perangkat lengkap dengan pajegan, sesayut atma teka, bayu rauh, guru asih, pepek

bayu, dan biakala, pengreting suara, bantennya sesayut satu dulang berisi tumpeng

satu buah ikannya muluk gajih dan darah, sesayut memakai aledan seliwah ikannya

bawang putih Sembilan ulas, sesayut satu buah ikannya hati babi satu wilah atau

seiris, sesayut sumpeng memakai aledan peras ikannya usus dan limpa, penyeneng

memakai tumpeng merah ikannya ayam biring, lis satu pasang , api beralaskan kekeb,

ayabannya di tambah dengan sesayut nirmala kasuweran, suka stata, kecap mandi

9. Upacara Meningkat Dewasa

Upacara meningkat dewasa dalam lontar tidak dijelaskan secara jelas

mengenai kapan upacara itu dilaksanakan. Dalam lontar hanya disebutkan ketika

remaja meningkat dewasa dilekati kekotoran. Walaupun tidak jelas apa yang

dimaksud kekotoran dalam lontar tersebut namun dapat dijelaskan mengunakan

susastra lain mengenai kekotoran. Pada umumnya secara sastra dijelaskan bahwa

yang dimaksud menginjak dewasa adalah ketika wanita mengalami dating bulan dan

laki-laki mimpi basah untuk pertama kalinya.

Keadaan seperti ini sangat tergantung pada diri seseorang karena setiap

orang tidak sama waktunya atau umurnya ketika mengalami semua itu. Oleh karena

itu dalamn lontar tidak disebutkan kapan dalam arti umur berapa upacara ini

dilaksanakan. Hal itu berarti upacara ini dilaksanakan sesuai dengan masanya atau

waktunya seseorang mengalami tanda-tanda menginjak dewasa. Menginjak dewasa

dalam bahasa umumnya disebut dengan puber pertama merupakan suatu masa yang

sangat rentan dimana seseorang sudah mulai membedakan secara jelas jenis kelamin

laki-laki dan perempuan dan pada saat ini mulai pula ada ketertarikan antara lawan

jenis, wanita tertarik pada laki-laki dan laki-laki tertarik pada wanita. Adanya

fenomena semacam itu merupakan suatu hal yang perlu dikendalikan supaya tidak

terjadi penyalah gunaan atau penyimpangan prilaku atau terjadi prilaku yang tidak

baik atas pengaruh hal tersebut maka dalam konsep Hindu termasuk dalam lontar

bacakan banten pati urip perlu dilakukan suatu pensucian. Penyucian terhadap

14

Page 15: Kajian Teks Lontar Di Bali

kekotoran tersebut dan supaya terkontrol kea rah yang baik atau suci maka dilakukan

dengan suatu upacara meningkat dewasa dengan mengunakan sarana yang dinyatakan

dalam lontar ini yaitu membuat bale papajangan, dengan sarana upakaranya pikekeh,

pulakerti, teteg, pulagembal, pletik cangkir, sekar setaman, bale bunga, nasi dedari,

peras, penyeneng, sasayut paguntingan, krik keramas, papedetan,

prangkatan,padamel. Sesayut untuk ayabannya adalah banten satu perangkat

seutamanya disertai dengan jerimpen sumbu, sate babali, adegan gayah, biakala

agung, tumpeng agung, air anyar satu sangku, berbagai jenis sate dan lawn, tekor dari

ubi berisi segau, kapas berisi minyak, asam dari limao setengah biji, sirih tulak,

pinang, serabut kelapa, di jepit, benang merah dua, telur ayam satu butir, balung

gending, lis satu buah, saagan, obor dari daun kelapa berwadah kekeb.

10 Upacara Potong Gigi

Dalam lontar bacakan banten pati urip tidak terdapat penjelasan mengenai

pengertian dan maksud upacara potong gigi. Demikian pula mengenai waktu

pelaksanaannya tidak dijelaskan dalam lontar ini. namun pada umumnya pelaksanaan

potong gigi dilaksanakan ketika seseorang sudah meningkat remaja atau setelah

upacara meningkat remaja hal ini juga secara sistematis atau urutan upacara yang

disebutkan dalam lontar upacara ini urutannya setelah upacara meningkat dewasa.

Mengenai kepastian pelaksanaan waktu potong gigi disebutkan dalam lontar rare

angon yang diterjemahkan oleh Wayan Budha Gautama (2008:41) pelaksanaan

upacara potong gigi dilaksanakan pada saat usia 16 tahun. Upacara ini memiliki suatu

maksud untuk menghilangkan Sad Ripu atau enam musuh. Enam musih tersebut

hasu di basmi atau dihilangkan dri dalam diri manusia (Suhardana, 2010:94). Hal ini

juga ditegaskan oleh Sri Reshi Ananda Kusuma (2009a: 38) “ tujuannya agar kotoran

gigi itu bersih dan dapat mengalahkan musuh yang ada pada tubuh manusia yang

dinamai sad ripu”. Maksud upacara ini juga disebutkan dalam lontar rare angon yang

diterjemahkan oleh Wayan Budha Gautama (2008:41) bahwa tujuan pelaksanaan

upacara ini adalah untuk menghilangkan atau membersihakan gigi, kulit dan rambut.

15

Page 16: Kajian Teks Lontar Di Bali

Dengan dilaksanakan upacara ini orang tersebut akan mampu selalu sadar dalam

kehidupannya mengenai adanya musuh yang ada atau muncul dalam dirinya dan

mensucikan dirinya, sehingga kehidupan yang dijalaninya dapat memperoleh berkah

berupa kesejahteraan dan kebahagiaan.

11. Upacara Mediksa

Dalam lontar ini ada disebutkan suatu upacara yang disebut mediksa. Akan

tetapi tidak di jelaskan kapan pelaksanaan ini dan siapa yang patut bisa

melaksanakan upacara ini. Apabila kita melihat pengertian secara umum mendiksa

merupakan suatu inisiasi untuk menjadikan seseorang suci. Khusus dalam umat

Hindu orang suci ada dua jenis yaitu eka jati dan dwi jati. Selama ini yang dipahami

upacara mendiksa adalah untuk menjadi orang suci dalam tingkatan dwijati.

Sementara untuk ekajati hanya dilakukan dengan upacara mawinten. Seorang suci

yang pada tingkat diksa atau dwi jati sering disebut ida pedanda, pandita, rsi

sedangkan umtuk eka jati sering disebut pemangku dan pinandita.

Dengan demikian mediksa dalam konteks lontar ini tentunya menunjukan

pada upacara untuk mencapai tingkat dwijati. Dalam proses yang dapat melaksanakan

diksa secara umumnya di bali terdapat proser tertentiu tidak dapat secara langsung

mencapai diksa dari umat biasa, akan tetapi umat terlebih dahulu melalui jenjang

kepemangkuan yaitru dari mangku alait, selanjutnya mangku gde dan baru meningkat

ke dwijati dengan melalui upacara diksa. Kata diksa merupakan bahasa Sanskerta

yang memiliki makna pemberkatan atau pentasbihan (Wiana,tt:225). Diksa

merupakan suatu yang dapat diyatakan pengukuhan atau peresmian secara umum

bahwa seseorang menjadi dwi jati hal itu dapat dilakukan bila seseorang memang

telah memiliki suatu kualitas pandita. Menurut lontar bacakan banten pati urip tata

cara melakukan diksa adalah sebagai berikut mendirikan sangar guru karma dengan

tiga ruang, disebelah utara menghadap keselatan, sarana sesajen yang

dipersembahkan pada sanggar tersebut adalah daksina empat buah, dewa dewi empat

buah, banten panglemek empat tamas, tigasan putih berisi uang 225 kepeng sebanyak

16

Page 17: Kajian Teks Lontar Di Bali

empat pasang yang masing-masing diikat dengan benang. Sirih pinang satu tamas,

beserta tegenan-tegenan, bijaratus berwadah sopak.

Di bawah sangar guru karma dipersembahkan sarana berupa sesayut

memakai tumpeng merah, ayam biring dipangang, sampyan dari daun andong merah

uang 225 kepeng daksina satu buah berisi uang 4000 kepeng. Di depan sanggar

tersebut uang sebanyak empat keranjang masing-masing 4000 kepeng. Untuk sangah

tutuan dipersembahkan satu soroh atau macam lengkap daksina dua buah yang

isinya sama dengan yang di sebutkan di atas di sertai uang dua keranjang masing-

masing 4000 kepeng dan dewa dewi dua buah. Sementara banten ayaban untuk orang

yang didiksa sesayut satu pajeg tidak memakai jerimpen sumbu, tidak memakai sate

babali, hanya dilengkapi dengan biakala. Selanjutanya banten utuk persembahan

kepada sang guru yaitu suci satu soroh, peras, daksina berisi uang nista madya atau

utama sesuai dengan kemampuan orang yang melaksanakan diksa serta jauman

lengkap, panguriaga, pamreman, patarana, wastra lengkap, pasurian pojen, beserta

banten ditempat tidur. Ditammbah lagi untuk orang yang didiksa pabersihan, dan

pakaian putih satu pasang, panguriaga, ponjen, sekah suwun, pungu-pungu, dan alat-

alat padudusan untuk pensucian.

12. Upacara Mawinten

Upacara mawinten juga tidak dijelaskan dalam lontar ini, akan tetapi secara

umum mawinten memiliki maksud pensucian kepada seseorang yang berhubungan

dengan kesucian misalnya pemangku atau pinandita, tukang banten dan lain-lain.

Secara logikanya kesucian akan dapat didekati atau diambil oleh orang yang memiliki

kesucian. Mensucikan yang dimaksud adalah mensucikan diri dalam konteks tri

premana dengan tri kaya parisudha. kesucian yang dimaksud bukanlah hanya sebagai

suatu symbol melainkan harus secara sebenarnya dalam konteks penyucian idep atau

pikiran, sabda atu perkataan, dan bayu atau perbuatan. Dengan demikian mewinten

dimaksudkan adalah untuk mensucikan ketiga aspek dalam diri manusia tersebut.

adapun sarana dan tata cara yang disebutkan dalam lontar ini yaitu mendirikan

17

Page 18: Kajian Teks Lontar Di Bali

sanggar tutuan dengan persembahan sesaji suci satu perangkat lengkap, daksuina dua

buah, dewa dewi satu buah, sirih pinang satu tamas, sesayut gana, serta peras dengen,

daksina satu buah berisi uang tiga keranjang di tempatkan di tutuan. Untuk banten

tataban dalam lontar ini tidak ditentukan artinya artinya tidak ada ketentuan

keharusan jumlahnya. Untuk labaan orang yang diwinten yaitu pisang kayu 20 biji,

bantalk lenga 20 buah, gagodoh 20 buah, bubur pradnyan, ditambah sirih pinang

untuk pangurip ditulisai aksara Ka Ga Gha Nga Ya Ra La Wa. Yang diwinten ditulisi

aksara nista, madya dan utama. Banten untuk pawedaan suci satu buah, peras,

daksina, uang utamanya 8000, madya 4000, dan nista 1700.

12. Upacara Untuk Orang Meninggal

Dalam lontar bacakan banten pati urip upacara untuk orang yang meningal

dapat dikelompokan atau dikategorikan kedalam 2 tingkatan upacara yaitu atitiwa

atau atiwa-tiwa dan yang kedua adalah atma wedana. Dalam lontar ini tidak ada

disebutkan istilah ngaben, ngeroras tau nyekah. Akan tetapi apabila dilihat dari proses

dan pelaksanaannya maka dapat dibandingkan yaitu proses atitiwa untuk orang

meninggal dapat dipadankan dengan ngaben dan atma wedana dipadankan dengan

ngeroras, nyekah. Sementara menurut wariga dewasa seperti yang dinyatakan Sri

Reshi Ananda Kusuma (2009b: 21-22) menyatakan bahwa ada tiga macam atiwa-tiwa

yaitu Apratiwa, tandang mantra dan tumandang mantra. Proses atitiwa mulai

dilakukan sejak seseorang meninggal dunia sampai ngirim. Setelah itu selesai

dilanjutkan dengan atma wedana yang hari pelaksanaannya tidak dijelaskan dalam

lontar ini kapan waktunya yang pasti pelaksanaan upacara tersebut yang dijelaskan

hanya pelaksanaannya setelah upacara atitiwa selesai. Upacara atma wedana dalam

lontar ini dinyatakan ada tiga tingkatan yaitu utama, madya dan nista. Untuk utama

atwma wedana disebut dengan istilah baligia, tingkat madya disebut dengan tileman,

dan nista disebut dengan ngeroras.

Untuk tingkat utama dilaksanakan selama tiga hari dan pada hari ketiga tau

puncak acara disebut dengan panguptian yaitu puspalinga diusung mapurwa daksina

18

Page 19: Kajian Teks Lontar Di Bali

sebanyak tiga kali setelah itu dinaikan dalam bukur beserta sangge. Untuk tingkat

madya atau tileman ditandai dengan mendirikan sanggar tawang dengan jumlah

ruang tiga upakara yang dinaikan sama hanya pada akhir purwa daksina puspe linga

ditempatkan tidak mengunakan bukur tetapi madya dan sangge juga menyesuaikan

dengan madya. Untuk tingkat nista upakaranya ditandai dengan mendirikan sangar

tutuan beruang satu mempersembahkan suci satu soroh dengan saji lengkap. Di

bawah tutuan dipersembahkan banten satu pajeg, jarimpen sumbu 2 buah, caru sor

seperti pada patileman tata cara atmalinganya sama memakai sangge laki perempuan

setelah melaksanakan purwa daksina sebanyak tiga kali dinaikan ditempatnya di sini

tidak mengunakan bukur atau madya tetapi hanya mengunakan juli-julian yang

arepannya sama dengan upacara tileman. Setelah dipujakan lalu diturunkan dengan

tanpa membuat liwet . setelah dibakar dimasukan dalam kelapa gading muda di

busanai kain putih lalu dihanyut.

Di samping upacara tersebut di atas, dalam lontar ini juga dinyatakan

beberapa upacara yaitu ngenteg pedagingan ibu dan runtutan pedamel. Semua yang

dijelaskan tersebut adalah berkaitan dengan pura ibu dari pelaksanan ngenteg sampai

urutan sajen dan persembahyangan di pura tersebut. pura ibu merupakan diyatakan

sebagai pura kawitan atau pura tempat memuja leluhur. Sistematika rangkaian

upacara dinyatakan setelah upacara atmawedana hal ini menunjukan bahwa dalam

proses selanjutnya adalah menstanakan roh suci leluhur yang telah menjadi dewa

pitara di pura ibu dengan pesimpangan sanggah tiap-tiap rumah masing-masing

keluarga. Hal ini sesuai juga yang dinyatakan oleh Prof. Dr I Made Titib (2003:100)

pura kawitan seperti sanggah, merajan, ibu, panti, dadya, batur, penataran, padharman

dan yang sejenisnya. Sebagai pura kawitan sudah jelas pura ibu merupakan temnpat

menuja leluhur. Mengingat leluhur telah menjadi dewa pitara menjadi suatu

pemahaman yang sulit untuk mengklasifikasikan jenis upacara tersebut apakan

termasuk dewa yadnya atau pitra yadnya.

19

Page 20: Kajian Teks Lontar Di Bali

III. Kesimpulan

Sebagai salah satu lontar yang berisikan tentang uraian upacara dalam

kehidupan sampai kematian umat manusia tentunya merupakan suatu hal yang

penting bagi manusia. setiap upacara yang dilaksanakan tentunya memiliki suatu

nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Secara intinya, sesuai dengan ajaran agama

Hindu di dalam upacara terdapat pemersatuan tri kerangka dasar agama Hindu yang

merupakan aspek dalam agama Hindu yaitu Tattwa, Susila atau ettika, dan upacara.

Setiap upacara selalu memiliki landasan tatwa yang berisikan makna dari upacara

tersebut. sedangkan etika atau susila merupakan aturan yang mendasari pelaksanaan

upacara tersebut, sehingga mencapai keberhasilan dan kesempurnaan dan upacara

merupakan rangkaian tindakan yang dilakukan oleh manusia dalam upacara itu

sendiri. Upacara yang dinyatakan dalam lontar banten pati urip pada dasarnya ada

perbedaan dan persamaan dengan pengetahuan dan susasatra lainnya. dalam lontar ini

hanya diuraikan mengenai upacara manusia yadnya dan pitra yadnya pada umumnya.

20

Page 21: Kajian Teks Lontar Di Bali

DAFTAR PUSTAKA

Adeng Muchtar Ghazali.2011. Antropologi agama:Upaya memahami keanekaragaman kepercayaan, keyakinan dan agama. Bandung: Alfabeta

Ananda Kusuma, Sri Rsi. 2009a. AUM Upacara Manusia Yadnya. Kayumas Agung

____________________2009b. AUM Upacara Pitra Yadnya. CV Kayu Mas Agung

Budha Gautama, Wayan .2003. Puja Stawa: Penunjang Pegangan Para Pemangku dan Balian. Surabaya: Paramita

______________(Penj).2008. Tutur Rare Angon. Surabaya: Paramita

Jaya Wijayananda, Ida Pandita Mpu.2004a. Pitra Pakerti: Berbhakti Kepada Leluhur Disaat Beliau Meninggal Dunia. Surabaya: Paramita

___________________2004b. Makna Filosofis Upacara dan Upakara. Surabaya: Paramita

Pudja, Gede. 1999. Theologi Hindu (Brahma Widya). Surabaya: PAramita

Suhardana, Komang. 2008. Tri Murti : Tiga Perwujudan Tuhan. Surabaya: Paramita

_________________2010. Kerangka Dasar Agama Hindu: Tattwa, Susila Upacara.Surabaya: Paramita

.Titib, I Made. 2003. Teologi & Simbol-Simbol Dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita.

21