kajian rpjmn 2010-2014 bidang desentralisasi dan otda tahun 2009

206
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010‐2014 KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010‐2014 Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 2009

Upload: bartosjr

Post on 18-Jan-2016

104 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA 

MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN 

OTONOMI DAERAH TAHUN 2010‐2014

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA 

MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN 

OTONOMI DAERAH TAHUN 2010‐2014

Direktorat Otonomi  DaerahBappenas2009

Page 2: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA 

MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN 

OTONOMI DAERAH TAHUN 2010‐2014

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA 

MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN 

OTONOMI DAERAH TAHUN 2010‐2014

Direktorat Otonomi  DaerahBappenas2009

Laporan Studi Lapangan

Page 3: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA 

MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN 

OTONOMI DAERAH TAHUN 2010‐2014

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA 

MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN 

OTONOMI DAERAH TAHUN 2010‐2014

Direktorat Otonomi  DaerahBappenas2009

Ringkasan Eksekutif

Page 4: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

LAPORAN

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN

JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES

DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

TAHUN 2010 - 2014

DIREKTORAT OTONOMI DAERAH

DEPUTI BIDANG PENGEMBANGAN REGIONAL DAN OTONOMI DAERAH

2009

BAPPENAS

Page 5: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

i

TIM PENGARAH

Himawan Hariyoga

TIM PENYUSUN

Antonius Tarigan

Wariki Sutikno

Daryll Ichwan Akmal

Agus Manshur

Asep Saepudin

Taufiq Hidayat Putra

Sudira

Jayadi

Ervan Arumansyah

Arum Rusmartini

Ni Luh Nyoman Dewi Triandayani

Muhamad Sowwam

Diterbitkan Oleh :

Direktorat Otonomi Daerah,

Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional

Jl. Taman Suropati No. 2 Jakarta 10310

Telp/Fax : 021 – 31935289

Page 6: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

ii

KATA PENGANTAR

Buku Laporan kegiatan Kajian Perumusan Rancangan Arah Kebijakan

Jangka Menengah Bidang Revitalisasi Proses Desentralisasi Dan Otonomi

Daerah 2010-2014 ini disusun dalam rangka untuk memberikan masukan bagi

perumusan RPJMN 2010-2014 pada bidang desentralisasi dan otonomi daerah.

Masukan yang dimaksud adalah berupa satu perangkat arahan kebijakan dan

gambaran program maupun kegiatan yang dipandang strategis untuk

dicantumkan dalam RPJMN 2010-2014, berdasarkan hasil analisis terhadap isu-

isu, permasalahan, dan tantangan yang sedang dan akan dihadapi.

Buku Laporan Akhir kegiatan Kajian Perumusan Rancangan Arah

Kebijakan Jangka Menengah Bidang Revitalisasi Proses Desentralisasi Dan

Otonomi Daerah 2010-2014 ini terdiri dari 5 (lima) bab yang meliputi

Pendahuluan, Metodologi Pelaksanaan, Kerangka Konseptual, Pelaksanaan

Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Serta Permasalahannya Dalam Kurun

Waktu 2004-2009, serta Kesimpulan dan Rekomendasi. Kami berharap studi ini

dapat menjadi bahan masukan bagi perumusan kebijakan strategis di bidang

desentralisasi dan otonomi daerah.

Kami mengucapkan terima kasih atas masukan berbagai pihak yang telah

memungkinkan terlaksananya kajian ini, baik di lingkungan Bappenas sendiri,

Departemen Dalam Negeri, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara,

Badan Pusat Statistik, Departemen Keuangan, dan Pemerintah Daerah yang

menjadi sampel studi, maupun pihak-pihak lain yang turut membantu

terselesaikannya kajian ini. Kami juga mengharapkan masukan, saran serta

kritik demi kesempurnaan laporan ini dan perbaikan kebijakan di masa yang

akan datang.

Jakarta, November 2009

Direktur Otonomi Daerah, Bappenas

Himawan Hariyoga

Page 7: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

iii  

DAFTAR ISI

Tim Penyusun Kata Pengantar Daftar Isi

i ii iii

I 1.1. 1.2. 1.3. 1.4. 1.5.

Pendahuluan Latar Belakang Tujuan Keluaran Ruang Lingkup Sistimatika Penulisan

I-1 I-2 I-3 I-3 I-4

II 2.1. 2.2. 2.3. 2.4.

METODOLOGI Metodologi Pelaksanaan Alur Penyusunan Rancangan Kebijakan dan Indikatornya Substansi RPJM Nasional 2010-2014 Penetapan Indikator Kinerja

2-1 2-1 2-5 2-7

III 3.1. 3.2. 3.3.

KERANGKA KONSEPTUAL Pelayanan Publik Desentralisasi Otonomi Daerah

3-1 3-6 3-13

IV 4.1. 4.2. 4.3.

PELAKSANAAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH SERTA PERMASALAHANNYA DALAM KURUN WAKTU 2004-2009 Arah Kebijakan dalam Rangka Revitalisasi Proses Desentralisasi dan Otonomi Daerah Capaian Pelaksanaan Program Desentralisasi dan Otonomi Daerah 2005-2009 Permasalahan dan Tantangan Ke Depan

4-1 4-6 4-17

V 5.1. 5.2.

PENUTUP: KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan Rekomendasi

5-1 5-14

Daftar Pustaka Lampiran

Page 8: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   I‐1  

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pesatnya perkembangan proses desentralisasi dan otonomi daerah di

Indonesia saat ini terjadi tidak hanya karena perkembangan atau perubahan-

perubahan kebijakan yang terkait dengannya. Perkembangan itu ternyata juga

dipengaruhi oleh inovasi, strategi, maupun kebijakan-kebijakan yang diambil

oleh daerah dalam mempergunakan otonomi yang dimilikinya. Kesemuanya

menjadikan dinamika proses desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia

begitu tinggi dan selalu membutuhkan penyikapan yang efektif, efisien, dan

strategis.

Disahkannya UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU

No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah telah mengubah pola pelaksanaan desentralisasi dan otonomi

daerah di Indonesia. Selama kurun waktu antara tahun 2004-2008, semua level

pemerintahan seolah disibukkan dengan perumusan kebijakan-kebijakan

implementatif turunan dari dua Undang-undang tersebut. Selain itu, isu-isu lain

kemudian muncul terkait perkembangan inovasi Pemerintah Daerah untuk

mengakselerasi pembangunan daerahnya, meningkatkan kesejahteraan

masyarakat, dan meningkatkan kualitas pelayanan publik.

Program-program dan kegiatan pokok yang tercakup dalam Bab 13

(Revitalisasi Proses Desentralisasi dan Otonomi Daerah) RPJMN 2004-2009 lebih

kurang telah berusaha mewadahi semua hal yang terkait dalam dinamika

tersebut. Akan tetapi, tentu diperlukan penyesuaian-penyesuaian dan

perumusan ulang perencanaan jangka menengah untuk menjamin

keberlangsungan proses desentralisasi dan otonomi daerah pada periode 2010-

2014, berdasarkan isu-isu, permasalahan dan tantangan yang diproyeksikan akan

terjadi pada periode tersebut.

Selain itu, salah satu hambatan yang ditemui dalam usaha mengevaluasi

pencapaian RPJMN 2004-2009 dalam proses desentralisasi dan otonomi daerah

Page 9: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   I‐2  

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

ini adalah tidak adanya satu perangkat indikator untuk mengukur pencapaian

tersebut. Kalaupun ada, ternyata indikator tersebut tidak seluruhnya dapat

ditakar pencapaiannya. Padahal, perangkat indikator yang baik adalah satu hal

vital yang diperlukan untuk menentukan telah sejauh mana proses desentralisasi

dan otonomi daerah itu berjalan.

Kajian ini dilakukan dengan mengelaborasi isu dan permasalahan di

tingkat pusat, kajian ini juga perlu memperhatikan perkembangan dan aspirasi di

daerah. Hal ini karena stakeholders proses desentralisasi dan otonomi daerah

tidak hanya pemerintah pusat. Stakeholders terbesar justru adalah daerah, dan

penerima benefit akhirnya adalah seluruh masyarakat Indonesia.

Kajian ini bertujuan untuk memberikan masukan bagi perumusan RPJMN

2010-2014 pada bidang Revitalisasi Proses Desentralisasi dan Otonomi Daerah.

Masukan yang dimaksud adalah berupa satu perangkat arahan kebijakan dan

gambaran program maupun kegiatan yang dipandang strategis untuk

dicantumkan dalam RPJMN 2010-2014, berdasarkan isu-isu, permasalahan dan

tantangan yang sedang dan akan dihadapi.

Selain itu, kajian ini diharapkan juga dapat memberikan gambaran

indikator atau tolok ukur pencapaian untuk proses revitalisasi desentralisasi dan

otonomi daerah, sehingga pada akhir periode RPJMN 2010-2014 seluruh

stakeholders yang terkait dapat melihat sejauh mana pencapaian

pelaksanaannya. Selain itu, pencapaian indikator tersebut juga akan menjadi

dasar untuk perumusan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan desentralisasi

dan otonomi daerah ke depannya.

1.2. Tujuan

Tujuan dari kajian ini adalah:

1) Untuk merumuskan arah kebijakan pembangunan pada bidang revitalisasi

proses desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia

Page 10: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   I‐3  

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

2) Untuk merumuskan rancangan awal program dan pokok-pokok kegiatan

yang dipandang strategis untuk RPJMN 2010-2014 Bidang Revitalisasi

Proses Desentralisasi dan Otonomi Daerah

3) Untuk merumuskan perangkat indikator pencapaian atau keberhasilan

pelaksanaan program/kegiatan RPJMN 2010-2014 Bidang Revitalisasi

Proses Desentralisasi dan Otonomi Daerah

1.3. Keluaran

Keluaran yang diharapkan dari kajian ini adalah masukan untuk

penyusunan RPJMN 2010-2014 Bidang Revitalisasi Proses Desentralisasi dan

Otonomi Daerah yang terdiri dari:

1) Arah kebijakan dan sasaran pembangunan

2) Rancangan program strategis

3) Rancangan pokok kegiatan per program

4) Rancangan perangkat indikator per pokok kegiatan dan per program

1.4. Ruang Lingkup

Lingkup kegiatan kajian meliputi:

1) Melakukan tinjauan pencapaian RPJMN 2004-2009 bidang revitalisasi

proses desentralisasi dan otonomi daerah yang meliputi pula evaluasi

pelaksanaan program. Sehingga dapat dihasilkan sintesa awal mengenai

kebijakan bidang revitalisasi proses desentralisasi dan otonomi daerah

selama ini

2) Melakukan kajian literatur terhadap isu-isu bidang revitalisasi proses

desentralisasi dan otonomi daerah. Kajian literatur ini meliputi rekapitulasi

hasil-hasil studi evaluasi dan monitoring, maupun studi-studi lain yang

telah dilakukan oleh Direktorat Otonomi Daerah Bappenas. Kajian literatur

ini juga dilakukan dengan mengelaborasi hasil background study

penyusunan RPJMN 2010-2014 bidang revitalisasi proses desentralisasi dan

otonomi daerah yang dilakukan pada tahun anggaran 2008

Page 11: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   I‐4  

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

3) Melakukan diseminasi kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

untuk menangkap persoalan di lapangan dan menghimpun isu-isu dan

aspirasi dari stakeholders, baik di kalangan Pemerintah Pusat maupun

Pemerintah Daerah di bidang revitalisasi desentralisasi dan otonomi

daerah.

4) Melakukan analisis untuk mengkompilasi dan mengolah data-data yang

diperoleh untuk merumuskan arahan kebijakan strategis untuk

desentralisasi dan otonomi daerah ke depan

5) Menyusun policy paper di bidang revitalisasi proses desentralisasi dan

otonomi daerah yang berisi arahan kebijakan, sasaran, program, pokok-

pokok kegiatan dan perangkat indikator sebagai input dalam penyusunan

RPJMN 2010-2014

6) Lokakarya mengenai policy paper yang telah dihasilkan kepada

stakeholder di bidang revitalisasi proses desentralisasi dan otonomi

daerah guna menghasilkan draft final dan masukan untuk penyusunan

RPJMN 2010-2014

7) Seminar akhir penyampaian hasil kajian, yang melibatkan instansi-instansi

di tingkat pusat dan Pemerintah Daerah,

1.5. Sistematika Penulisan

Sistematika Penulisan Buku Laporan Akhir kegiatan Kajian Perumusan Rancangan

Arah Kebijakan Jangka Menengah Bidang Revitalisasi Proses Desentralisasi Dan

Otonomi Daerah Tahun 2010-2014 ini meliputi 5 Bab sebagai berikut :

a. BAB 1 PENDAHULUAN

Bab berikut ini menguraikan mengenai latar belakang, maksud dan tujuan,

ruang lingkup kegiatan, keluaran, serta sistematika pembahasan.

b. BAB 2 METODOLOGI

Bab berikut ini menguraikan tentang konsep dan kerangka pemikiran, serta

metode analisa dalam penyusunan rancangan arah kebijakan jangka

menengah bidang revitalisasi proses desentralisasi dan otonomi daerah

2010-2014

Page 12: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   I‐5  

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

c. BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL

Pada bab ini diuraikan landasan teoritis dan hukum yang menjadi acuan

dalam penyusunan rancangan arah kebijakan jangka menengah bidang

revitalisasi proses desentralisasi dan otonomi daerah 2010-2014

d. BAB 4 PELAKSANAAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

SERTA PERMASALAHANNYA DALAM KURUN WAKTU 2004-2009

Pada bab ini diuraikan gambaran umum kondisi pelaksanaan pelaksanaan

desentralisasi dan otonomi daerah serta permasalahannya dalam kurun

waktu 2004-2009, berdasar hasil evaluasi yang telah dilakukan oleh

Direktorat Otonomi Bappenas maupun hasil kajian evaluasi lainnya

e. BAB USULAN PRIORITAS BIDANG REVITALISASI PROSES

DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH 2010-2014

Pada bab ini diuraikan tantangan ke depan dalam pelaksanaan

desentralisasi dan otonomi daerah sehingga dalam pelaksanaan ke depan

diusulkan beberapa prioritas bidang yang menjadi fokus pelaksanaan

desentralisasi dan otonomi daerah 2010-2014.

f. BAB 6 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Pada bab ini diuraikan perumusan kesimpulan hasil kajian dan rekomendasi

dalam bentuk rancangan arah kebijakan jangka menengah bidang

revitalisasi proses desentralisasi dan otonomi daerah 2010-2014

Page 13: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   II‐1 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

BAB II

METODOLOGI

2.1. METODOLOGI PELAKSANAAN

Perumusan rancangan arah kebijakan jangka menengah bidang

revitalisasi proses desentralisasi dan otonomi daerah 2010-2014

dilaksanakan dengan metode kualitatif. Pelaksanaan kajian dilaksanakan

dengan mengkaji dokumen referensi-referensi yang telah ada dan

diperkaya dengan wawancara dan FGD dengan pelaksana kebijakan

desentralisasi dan otonomi daerah baik di tingkat Pusat maupun Daerah.

Metode pengumpulan data primer yang digunakan adalah:

wawancara dan FGD di instansi pusat dan daerah-daerah sampel,

lokakarya, dan seminar akhir. Daerah sampel untuk studi meliputi Provinsi

Jawa Timur, Riau, Kalimantan Tengah.

Sedangkan data sekunder diperoleh melalui metode studi dokumen.

Dokumen-dokumen yang akan dikaji antara lain: berbagai literatur terkait

dengan konsep desentralisasi dan otonomi daerah, laporan-laporan

monitoring, berbagai dokumen kebijakan yang terkait dengan

desentralisasi dan otonomi daerah.

Data sekunder yang diperoleh melalui kegiatan desk study

selanjutnya diuji kembali melalui FGD, wawancara, lokakarya, dan seminar.

2.2. ALUR PENYUSUNAN RANCANGAN KEBIJAKAN DAN INDIKATORNYA

2.2.1. KERANGKA PERMASALAHAN DAN ARAH KEBIJAKAN

Perumusan arah kebijakan pembangunan nasional dimulai dengan

identifikasi prakiraan permasalahan utama, serta penyebabnya untuk

diselesaikan dalam periode 5 (lima) tahun ke depan. Permasalahan utama

merupakan perkiraan permasalahan yang akan dihadapi lima tahun ke

depan berdasarkan perkembangan sampai saat ini. Permasalahan utama

Page 14: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   II‐2 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

termasuk tantangan, yang merupakan permasalahan yang menonjol dalam

lima tahun ke depan. Selanjutnya, ditetapkan sasaran pembangunan

nasional jangka menengah 2010-2014, yang akan menjadi dasar Penetapan

Prioritas Pembangunan Nasional. Untuk setiap Prioritas Pembangunan,

dibangun skenario isu strategis bersifat lintas Bidang/K-L dan kegiatan

pembangunan yang akan mendukung pada pencapaian prioritas

pembangunan tersebut. Yaitu melalui Fokus Prioritas Nasional (program-

program pembangunan Prioritas yang bersifat lintas Bidang/K-L atau lintas

wilayah), dan kegiatan-kegiatan prioritas nasional pendukungnya.

Berbagai acuan yang dapat digunakan dalam identifikasi prakiraan

permasalahan utama bangsa dalam periode lima tahun ke depan adalah :

(1) hasil evaluasi RPJMN periode sebelumnya, (2) misi pembangunan yang

belum terselesaikan dalam 5 tahun sebelumnya, dan (3) masukan aspirasi

dari masyarakat/stakeholder luas lainnya. Selanjutnya, permasalahan dan

sasaran akan mengarahkan pada perumusan arah kebijakan

pembangunan nasional yang perlu ditetapkan untuk periode 2010-2014,

dengan mempertimbangkan dan mensinergikan hal-hal sebagai berikut:

1. Skala Prioritas dalam RPJPN 2025

2. Visi, misi dan Program Prioritas Presiden Terpilih

3. Komitmen internasional/global terkini

Logika alur berpikir dalam merumuskan permasalahan pokok dan agenda

pembangunan RPJMN 2010-2014 dapat dilihat dalam Gambar 2.1 Diagram

Alir Perumusan Masalah dan Arah Kebijakan RPJMN 2010-2014.

2.2.2. PENYUSUNAN STRUKTUR KEBIJAKAN (POLICY STRUCTURE)

Di dalam perumusan kebijakan pembangunan (policy planning),

perlu dijaga logika berpikir yang konsisten antara identifikasi

permasalahan dan tantangan, sasaran, dan arah kebijakan untuk

menyelesaikannya. Untuk itu, arah kebijakan dan strategi pembangunan

yang memuat Prioritas, Fokus Prioritas, dan Kegiatan Prioritas (policy

structure) dituliskan secara sistematis dan terstruktur, yaitu mengalir dalam

Page 15: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   II‐3 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

keterkaitan yang logis sehingga memudahkan untuk dipahami dan dapat

dievaluasi kinerja capaiannya. Hal ini juga akan memudahkan dalam

monitoring dan evaluasi pencapaian kinerjanya.

Penyusunan Policy Structure dilakukan menggunakan model logika

program (program logic model) atau dapat juga disebut model logika

kinerja (perfomance logic model). Yaitu kerangka logika yang

mengkaitkan berbagai tahapan/kegiatan dan memberikan cetak-

biru/pemetaan untuk pencapaian misi suatu program. Aplikasi

penyusunan kerangka logis struktur kebijakan di dalam RPJMN dapat

dilihat pada Gambar 2.2 Struktur Kebijakan (Policy Structure) dan Kinerja

RPJMN 2010-2014. Model logika membantu untuk menjelaskan

objektif/tujuan dari kebijakan/program, dan aliran kontribusinya dalam

rantai pencapaian hasil kinerja berdasarkan setiap tahap kebijakan.

Tahap perumusan rancangan struktur kebijakan (policy structure)

dimulai dengan identifikasi kondisi saat ini, yaitu permasalahan yang harus

ditangani untuk menuju pada perubahan (sosial/ekonomi/politik/fisik)

yang diinginkan dalam periode 5 (lima) tahun ke depan. Selanjutnya

ditetapkan sasarn pokok dari peubahan yang ingin dicapai. Berdasarkan

pada sasaran pokok yang ingin dicapai, ditentukan arah kebijakan

pembangunan yang diambil. Arah kebijakan pembangunan yang memuat

strategi yang merupakan kerangka pikir/kerangka kerja terdiri dari

Prioritas, Fokus Prioritas/Program, dan Kegiatan untuk memecahkan

permasalahan pokok dan mewujudkan sasaran prioritas.

Pencapaian Prioritas Nasional didukung oleh Fokus Prioritas yang

sejauh mungkin bersifat lintas Bidang/K-L beserta kegiatan-kegiatan

prioritasnya. Untuk setiap rantai hasil/pencapaian digunakan berbagai

indikator untuk mengukurnya. Untuk keberhasilan pencapaian Prioritas

Pembangunan diukur dengan indikator impact/dampak, keberhasilan

pencapaian Fokus Prioritas atau Program dikukur dengan indikator

outcomes/hasil, keberhasilan pencapaian Kegiatan diukur dengan

Page 16: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   II‐4 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

indikator Output/keluaran, sedangkan untuk penggunaan sumberdaya

digunakan indikator input.

Page 17: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   II‐5 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Page 18: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   II‐6 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Gambar 2.1DIAGRAM ALIR PERUMUSAN MASALAH & ARAH KEBIJAKAN 

PEMBANGUNAN NASIONAL 2010‐2014 

Masukan dari Pemangku Kepentingan 

KONDISI SAAT INI BANGSA INDONESIA : Identifikasi Permasalahan dan Penyebabnya  

Masukan dari Pemangku Kepentingan 

Skala PrioritasRPJPN 2025 

Visi, Misi, Program Prioritas Presiden Terpilih 

Komitmen Internasional/ 

Global 

PERKIRAAN PERMASALAHAN UTAMA DAN TANTANGAN  

2010‐2014 

PENETAPAN SASARAN POKOK PEMBANGUNAN NASIONAL  

2010‐2014 

BASELINE DATA: Kondisi saat ini 

Misi Pembangunan Yang Belum Selesai  

2004‐2009 

ARAH  KEBIJAKAN  DAN  STRATEGI PEMBANGUNAN NASIONAL 2010‐2014  

PRIORITAS NASIONAL(INDIKATOR DAMPAK) 

FOKUSPRIORITAS (Isu Strategis 

Lintas Bidang/K‐L) 

 PROGRAM 

(INDIKATOR OUTCOMES) 

KEGIATAN PRIORITAS(INDIKATOR OUTPUT) 

SUMBER DAYA(INDIKATOR INPUTS) 

Page 19: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   II‐7 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Gambar 2.2

Struktur Kebijakan (Policy Structure) dan

Kinerja Pembangunan RPJMN 2010-2014

Pengertian dari masing-masing rantai pencapaian kinerja/indikator kinerja

kebijakan pembangunan adalah sebagai berikut :

1. Dampak/Impact : Pernyataan perubahan pada masyarakat seperti apa yang

ingin dituju sebagai akibat dari hasil pembangunan yang tercapai. Biasanya

bersifat Jangka Menengah/Jangka Panjang.

2. Hasil/Outcome : Pernyataan manfaat yang ingin dicapai, atau hasil tangible

bagi masyarakat/target group. Merupakan cara untuk menentukan dan

mengendalikan tercapainya suskes/tidaknya suatu Fokus

Prioritas/Program. Outcomes dapat juga merupakan perubahan yang

IMPACT/DAMPAK 

OUTCOMES/HASIL 

KELUARAN/PRODUK 

MASUKAN/INPUT 

PERMASALAHAN UTAMA 

(Permasalahan Pokok Nasional yang akan diselesaiakn dalam 

2010‐2014) 

PRIORITAS NASIONAL 

FOKUS PRIORITAS 

(isu strategis) PROGRAM 

KEGIATAN

SUMBERDAYA

INDIKATOR IMPACTS 

INDIKATOR OUTCOMES 

INDIKATOR OUTPUTS/ KELUARAN 

INDIKATOR INPUTS/ MASUKAN 

BASELINE DATA TENTANG 

KONDISI KINI PERMASLAHAN YANG AKAN DITANGANI 

SUMBER D

ATA

INDIKATOR  

Page 20: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   II‐8 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

terjasi pada target group-yang merupakan bagian dari masyarakat yang

lebih luas (sebagai dampaknya).

3. Keluaran/Output: Apa saja yang harus dihasilkan/dilakukan untuk

mencapai Outcome Antara/Outcome Akhir.

4. Masukan/Input : Sumber daya yang diperlukan sehingga kegiatan yang

perlu dilakukan untuk menghasilkan Output bisa berjalan.

2.3. SUBSTANSI RPJM NASIONAL 2010-2014

2.3.1. ARAHAN RPJPN 2005-2025

Tujuan (visi) dari Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025 adalah

untuk mewujudkan masyarakat yang maju, mandiri, dan adil sebagai

landasan bagi tahap pembangunan berikutnya menuju masyarakat yang

adil dan makmur. Visi pembangunan RPJPN 2005-2025 tersebut

memberikan arah pencapaiannya melalui delapan (8) misi

pembangunannya yaitu : (1) Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia,

bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab, (2) Mewujudkan bangsa

yang berdaya saing, (3) Mewujudkan masyarakat demokratis

berlandaskan hukum, (4) Mewujudkan Indonesia aman, damai, dan

bersatu, (5) Mewujudkan pemerataan pembangunan dan keadilan, (6)

Mewujudkan Indonesia asri dan lestari, (7) Mewujudkan Indonesia menjadi

Negara Kepulauan yang mandiri, maju, kuat dan berbasiskan kepentingan

nasional, dan (8) Mewujudkan Indonesia berperan penting dalam

pergaulan dunia internasional.

Pencapaian sasaran pokok RPJPN 2005-2025 pada masing-masing misi

pembangunan tersebut dilakukan melalui tahapan dan skala prioritas

pembangunan yang akan menjadi agenda dalam rencana pembangunan

jangka menengah. Untuk setiap misi pembangunan tersebut, di dalam

setiap tahap rencana pembangunan jangka menengah dijabarkan arah

pembangunan dan sasaran pokok 5 tahunannya. Tahapan pembangunan

dalam RPJP Nasional adalah sebagai berikut:

Page 21: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   II‐9 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

RPJM 1

(2005-2009)

Menata kembali NKRI, membangun Indonesia yang aman

dan damai, adil dan demokratis, dengan tingkat

kesejahteraan yang lebih baik.

RPJM 2

(2010-2014)

Memantapkan penataan kembali NKRI, meningkatkan

kualitas SDM, membangun kemampuan Iptek,

memperkuat daya saing perekonomian.

RPJM 3

(2015-2019)

Memantapkan pembangunan secara menyeluruh dengan

menekankan pembangunan keunggulan kompetitif

perekonomian yang berbasis SDA yang tersedia, SDM

yang berkualitas, serta kemampuan Iptek.

RPJM 4

(2020-2025)

Mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju,

adil, dan makmur melalui percepatan pembangunan di

berbagai bidang dengan struktur perekonomian yang

kokoh berlandaskan keunggulan kompetitif.

RPJMN 2010-2014 merupakan tahap ke-2 pencapaian visi dan misi

RPJPN 2025 dengan prioritas agenda pembangunan difokuskan pada

pemantapan penataan kembali Indonesia di segala bidang dengan

penekanan pada upaya:

1. Peningkatan kualitas sumber daya manusia;

2. Perkembangan kemampuan ilmu dan teknologi; dan

3. Penguatan daya saing perekonomian.

Pencapaian tahapan RPJP dilaksanakan melalui strategi pembangunan

yang dipilih dalam sembilan (9) Bidang Pembangunan dalam RPJPN 2005-

2025, yaitu : (1) sosial budaya dan kehidupan beragama; (2) Ekonomi, (3)

Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, (4) Politik, (5) Pertahanan dan Keamanan,

(6) Hukum dan Aparatur , (7) Pembangunan Wilayah dan Tata Ruang, (8)

Page 22: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   II‐10 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Penyedia Sarana dan Prasarana, dan (9) Pengelolaan Sumber Daya Alam

dan Lingkungan Hidup. Untuk penulisan RPJMN 2010-2014 pembagian

Bidang mengikuti pembagian 9 bidang pembangunan dalam RPJMN 2005-

2025 ditambah satu bidang yaitu Bidang Penanggulangan Kemiskinan dan

Pemerataan Pembangunan. Bidang ini nantinya dapat berdiri sendiri atau

merupakan bagian dari bidang Ekonomi.

Adapun tahapan dan skala prioritas pembangunan bidang desentralisasi dan otonomi daerah 2005-2025 adalah sebagai berikut :

TABEL 2.1. Tahapan Dan Skala Prioritas Pembangunan Bidang Desentralisasi

Dan Otonomi Daerah 2005-2025

RPJM-1 (2005-2009)

RPJM-2 (2010-2014)

RPJM-3 (2015-2019)

RPJM-4 (2020-2024)

Pelayanan kepada masyarakat makin membaik dengan meningkatnya penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah yang tercermin dengan terjaminnya konsistensi seluruh peraturan pusat dan daerah dan tidak bertentangan dengan peraturan dan perundang-undangan yang lebih tinggi; serta tertatanya kelembagaan birokrasi dalam mendukung percepatan terwujudnya tata kepemerintahan yang baik

Kehidupan bangsa yang lebih demokratis semakin terwujud ditandai dengan membaiknya pelaksanaan desentralisasi & otonomi daerah serta kuatnya peran masyarakat sipil dan partai politik dalam kehidupan bangsa. Kualitas pelayanan publik yang lebih murah, cepat, transparan, & akuntabel makin meningkat yang ditandai dengan terpenuhinya standar pelayanan minimum di semua tingkatan pemerintah.

Semakin mantapnya pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah. Kesadaran dan penegakan hukum dalam berbagai aspek kehidupan berkembang makin mantap serta profesionalisme aparatur negara di pusat dan daerah makin mampu mendukung pembangunan nasional

Terwujudnya tata kepemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa yang berdasarkan hukum, serta birokrasi yang profesional dan netral.

Page 23: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   II‐11 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

2.3.2. ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN

Arah kebijakan pembangunan memuat strategi yang merupakan

kerangka pikir atau kerangka kerja untuk menyelesaikan masalah dalam

rangka mencapai sasaran, yaitu perubahan kondisi sosial masyarakat yang

ingin dicapai dalam 5 tahun kedepan. Indikator pengukuran keberhasilan

pencapaian Prioritas Nasional adalah indikator Dampak/Impact. Untuk

setiap Prioritas Nasional dijabarkan ke dalam Fokus Prioritas yang bersifat

isu strategis Lintas Bidang/K-L. Indikator pengukuran keberhasilan Fokus

Prioritas adlah indikator outcomes.

Prioritas Nasional adalah penjabaran dari visi, misi dan prioritas

Presiden dan Wakil Presiden terpilih untuk periode 2010-2014 yang telah

dicanangkan sejak masa kampanyenya. Pencapaian prioritas nasional

bersifat lintas pelaku pembangunan yaitu: pemerintah, swasta, dan

masyarakat. Pertama, melalui kebijakanatau regulasi, dan kedua, melalui

kebijakan anggaran. Arahan prioritas RPJP-tahap 2 tersebut merupakan

salah satu rujukan dalam penentuan agenda Prioritas baik di lingkup

nasional maupun dalam lingkup Bidang/K-L. pada tahap penyiapan

Rancangan Awal RPJMN (teknokratis) Prioritas Nasional disusun

berdasarkan :

1. Prioritas dalam konteks sasaran RPJP 2005-2025 tahap ke-2 yaitu

RPJMN periode 2010-2014 dan Prioritas terkait dengan kondisi saat ini.

2. Visi, misi, dan Program Prioritas Presiden Terpilih, yang merupakan

agenda nasional utama yang perlu mendapat dukungan dan menjadi

prioritas keberhasilan pemerintahan dalam 5 tahun ke depan;

3. Komitmen internasional/global yang terkini;

4. Kebijakan pembangunan prioritas pada tahap RPJMN 2004-2009 yang

belum tuntas penyelesaiannya serta perlu untuk diteruskan dalam

periode selanjutnya.

Prioritas Nasional kemudian dijabarkan menjadi isu strategis lintas

Bidang/K-L atau disebut Fokus Prioritas Nasional. Fokus Prioritas Nasional

Page 24: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   II‐12 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

adalah kebijakan lintas Bidang/K-L yang dirancang untuk mendukung

pencapaian sasaran Prioritas Nasional. Sasaran atau tujuan dari Fokus

Prioritas Nasional dicapai melelui koordinasi pelaksanaan kegiatan

Prioritas lintas bidang/K-L.

Mengacu pada sasaran Prioritas Nasional, pada setiap Bidang

dirumuskan Prioritas Bidang dan Fokus Prioritas Bidang yang didukung oleh

masing-masing Kegiatan Prioritas Bidang. Prioritas Bidang merupakan

kebijakan yang diambil untuk mencapai Sasaran Pokok Pembangunan.

Bidang yang dicanangkan dalam periode 5 tahun kedepan. Fokus Prioritas

Bidang bersifat lintas sektor/K-L sehingga membutuhkan koordinasi lintas

sektor/K-L.

2.3.3. PENGARUSUTAMAAN PEMBANGUNAN (MAINSTREAMING)

Pengarusutamaan pembangunan (Mainstreaming) adalah

isu/permasalahan yang melibatkan kegiatan lintas Bidang dan atau lintas

K-L. Pangarusutamaan pembangunan dimaksudkan untuk

mengintegrasikan suatu isu ke dalam proses pembangunan di setiap

Bidang atau Kegiatan. Pangarusutamaan terintegrasi ke dalam Kegiatan-

Kegiatan lintas Bidang dalam bentuk indikator output untuk isu

pangarusutamaan tertentu. Pangarusutamaan menjadi landasan

operasional pembangunan tingkat pusat dan daerah. Penerapan

pangarusutamaan akan menghasilkan kebijkan publik yang lebih efektif

untuk mewujudkan pembangunan yang lebih adil dan merata.

Untuk memastikan pelaksanaan pangarusutamaan di Bidang dan atau

Kegiatan pembangunan, perlu ditunjuk Koordinator untuk masing-masing

isu pangarusutamaan. Koordinator bersama dengan unit pelaksana terkait

menyepakati rencana tindak dan indikator capaian output yang aka

dimasukkan ke dalam masing-masing Kegiatan di dalam Bidang yang

terkait. Masing-masing unit pelaksana berkewajiban untuk melaporkan

capaian pangarusutamaannya yang telah dilaksanakan secara berkala

kepada Koordinator Pangarusutamaan.

Page 25: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   II‐13 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

2.3.4. KERANGKA EKONOMI MAKRO

Rumusan strategi pembangunan nasional yang mencakup kerangka

ekonomi makro dan pembiayaan menjadi bahan dalam perumusan arah

kebiajakan pembangunan nasional jangka menengah. Kerangka ekonomi

makro dan pembiayaan memuat gambaran umum perekonomian secara

menyeluruh, termasuk arah kebijakan fiskal untuk periode jangka

menengah 2010-2014.

2.4. PENETAPAN INDIKATOR KINERJA

2.4.1. KRITERIA INDIKATOR KINERJA

a. Indikator Kinerja Yang Smart

Indikator adalah variabel kuantitatif atau kualitatif yang memudahkan

dalam pengukuran pencapaian kemajuan atau perubahan yang terjadi

akibat dari suatu intervensi yang dilakukan. Selanjutnya, indikator

digunakan untuk mengukur kinerja (kualitas kerja) suatu organisasi

terhadap pencapaian hasil-hasil yang direncanakan. Indikator yang baik

haruslah bersifat : (1) realistis, data mudah didapatkan dalam arti tidak

mahal dan tidak sukar mendapatkannya; dan (2) relevan, mempunyai

keterkaitan yang jelas dengan subjek yang diukur dan bersifat ojektif

dalam mengukur pencapaian. Secara lengkapnya, indikator yang baik

harus memiliki unsur SMART dibawah ini:

Page 26: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   II‐14 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

TABEL 2.1

Merumuskan Indikator Yang Memenuhi Kriteria Smart

Specific

(spesifik/khusus)

• Menyebutkan dengan jelas data dan

kemudahan akses untuk

mendapatkannya.

Measurable

(Terukur)

• Indikator yang dapat terukur baik secara

kuantitatif atau kualitatif.

Atributeable (or

Accountable)

Dapat

Dipertanggungjawabkan

• Memperhitungkan kemampuan unit

pelaksana dalam mencapai target kinerja

yang ditetapkan.

• Berada dalam rentang

kendali/pertanggungjawaban

akuntabilitas unit kerja yang

bersangkutan.

Result-Oriented

(Relevan)

• Relevan/terkait langsung dengan

Program/Kegiatan yang diukur.

• Uji dengan “Jika-Maka” : Jika digunakan

Indikator Kinerja tertentu, maka informasi

mengenai tercapai atau tidaknya sasaran

strategis dari suatu Program/Kegiatan

akan dapat diketahui.

Time-bound

(Periode Waktu

Tertentu)

• Memeperhitungkan rentang atau periode

waktu pencapaian, untuk analisa

perbandingan kinerja dengan masa-masa

sebelumnya.

(Sumber : Dikutip dari Pedoman Manajemen Kinerja, Inspektorat Utama,

Bappenas, 2006)

Page 27: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   II‐15 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

b. Indikator Kuantitatif Dan Kualitatif

Indikator kinerja dapat berupa indikator yang bersifat kuantitatif

maupun kualitatif. Masing-masing indikator mempunyai maksud

penggunaan yang berbeda, tergantung dari tujuan pengukuran yang

dilakukan. Manajemen sektor publik mempunyai kepentingan tidak hanya

berkaitan dengan dokumentasi suatu progress/kemajuan secara kuantitatif,

tetapi juga secara kualitatif. Indikator kualitatif membantu memberi

informasi telah apa yang telah dicapai dengan baik dan apa yang perlu

diperbaiki. Hal ini akan memberikan informasi yang lebih baik bagi

keputusan strategis dalam perencanaan dan penganggaran sumber-daya

input.

Indikator yang bersifat kuantitaif lazimnya berupa angka. Indikator

yang bersifat kualitatif menyatakan penilaian yang bersifat kualitatif,

misalnya pernyataan perubahan yang terjadi pada proses kelembagaan,

sikap, kepercayaan, motivasi, maupun tingkah laku dari individu. Indikator

kualitatif mengukur persepsi (misalnya tingkat kepercayaan masyarakat

terhadap pelayanan masyarakat tertentu), atau dapat juga pernyataan

gambaran tingkah laku (misalnya tingkat penguasaan dari suatu kegiatan

pelatihan).

Sebagai contoh, pada pengukuran kinerja pelaksanaan

pangarusutamaan “Gender” di masyarakat, indikator kuantitaif yang

“sensitif gender” digunakan untuk mengukur jumlah atau persentase laki-

laki dan perempuan yang berpartisipasi dalam suatu kegiatan indikator

kuantitatif ditabulasi menurut laki-laki/perempuan). Namun demikian,

indikator kualitatif juga dibutuhkan, karena kita ingin mengetahui tidak

saja jumlah perempuan yang berpartisipasi dalam suatu kegiatan (misal

jumlah perempuan di legislatif), tetapi juga kualitas partisipasi dan peran

mereka di dalam kegiatan tersebut.

Page 28: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   II‐16 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Data kualitatif biasanya membutuhkan waktu yang lebih lama untuk

mengumpulkan, mengukur dan menyaringnya terutama pada tahap awal

pengukuran dilakukan. Selain itu, indikator kualitaif relatif lebih sulit untuk

diverifikasi karena indikator tersebut mengandung unsur pertimbangan

subyektif. Perubahan secara kualitatif, misalnya “persepsi” peran aktif

wanita dapat terukur apabila tersedia baseline data. Sebagai contoh: 30%

perempuan yang berpartisipasi di lembaga legislative pada akhir periode

pengamatan, merupakan keberhasilan dalam peningkatan “persepsi”

peran aktif wanita dibandingkan dengan hanya 10% pada awal periode

(baseline).

c. Indikator Proksi

Dalam mengukur pencapaian outcome, seringkali tidak dapat

diperoleh data yang tepat untuk digunakan dalam mengukur suatu

outcome. Hal ini terjadi apabila data dari indikator yang dicari, tidak

tersedia atau membutuhkan biaya yang tinggi apabila data dari indikator

yang dicari, tidak tersedia atau membutuhkan biaya yang tinggi untuk

mendapatkannya. Dalam hal ini, dapat dilakukan pendekatan dengan

menggunakan Indikator Proksi (Proxy). Contoh : (1) karena sulitnya

melakukan survey kemiskinan untuk seluruh rumah tangga untuk seluruh

keluarga miskin, maka dilakukan pendekatan dengan mengamati kualitas

rumah tinggal mereka, (2) penggunaan tingkat pendidikan sebagai

prediksi kualitas pekerja.

2.4.2. PENDEKATAN PENENTUAN INDIKATOR KINERJA

Perumusan pernyataan keluaran dari Kegiatan-Kegiatan pokok yang

mendukung suatu Fokus Prioritas atau Program dapat dilakukan dengan

pendekatan logika berpikir deduktif. Alur berpikir dimulai dari penetapan

hasil/outcomes dari Fokus Prioritas atau Program (apa manfaat/perubahan

yang ingin dicapai, disertai dengan penentuan sasaran (pengukuran) dan

indikator outcomes yang direncanakan. Kemudian, jabarkan langkah-

langkah yang harus dilakukan untuk menghasilkan perubahan dalam

Page 29: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   II‐17 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

pencapqaian hasil/oucomes yang diinginkan. Langkah-langkah tersebut

merupakan kondisi logis yang spesifik saat ini dihadapi, identifikasi

strateginya dapat dilakukan dengan menggunakan analisa SWOT

(Kekuatan, Kelemahan, Tantangan, dan Ancaman).

Selanjutnya, jabarkan hasil/outcome dari masing-masing tahap

perubahan tersebut beserta indikatornya. Tentukan output (apa yang harus

diproduksi/dikeluarkan) untuk menghasilkan perubahan dari masing-

masing tahap tersebut, dan tetapkan indikator outputnya. Berdasarkan hal

tersebut, tentukan kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan untuk

memproduksi outputs tersebut.

Page 30: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   III‐1 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL

Pemerintahan pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Ini

berarti bahwa pemerintahan diadakan untuk melayani masyarakat serta

menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat

mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai tujuan

bersama.

Terjadi pergeseran paradigma penyelenggaraan pemerintahan, dari

paradigma “rule government” menjadi “good governance”. Dalam paradigma

“good governance”, dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan

pelayanan publik tidak semata-mata didasarkan pada pemerintah atau negara

saja, tetapi harus melibatkan seluruh elemen. Kondisi ini dapat terwujud apabila

pemerintah didekatkan dengan yang dilayani. Pemerintah yang didekatkan

dengan yang dilayani ini berarti desentralisasi dan otonomi daerah.

3.1. Pelayanan Publik

Mengacu pada tujuan UU No 32/2004, Bagian Menimbang huruf a, UU No.

32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, tujuan desentralisasi adalah untuk

mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan

pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat dengan memperhatikan

prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan.

Pelayanan publik dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani)

keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi

itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan.

Seiring dengan perkembangan masyarakat yang semakin dinamis,

masyarakat menjadi semakin sadar akan apa yang menjadi hak dan

kewajibannya sebagai warga negara. Mereka menjadi lebih kritis dalam

mengajukan tuntutan dan aspirasinya kepada pemerintah. Oleh karena itum

Page 31: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   III‐2 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

birokrasi publik dituntut untuk dapat memberikan layanan publik yang lebih

profesional, efektif, efisien, sederhana, transparan, terbuka, tepat waktu,

responsif dan adapatif.

Pelayanan publik yang profesional adalah pelayanan publik yang dicirikan

oleh adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan (aparatur

pemerintah). (joko widodo hal 270).

Pelayanan publik yang efektif adalah pelayanan publik yang lebih

mengutamakan pada pencapaian apa yang menjadi tujuan dan sasaran.

Sederhana, mengandung arti prosedur/tata cara pelayanan

diselenggarakan secara mudah, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah

dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta pelayanan.

Kejelasan dan kepastian (transparan), mengandung arti adanya kejelasan

dan kepastian mengenai: (a) prosedur/tata cara pelayanan; (b) persyaratan

pelayanan, baik persyaratan teknis maupun persyaratan administratif; (c) unit

kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam

memberikan pelayanan; (d) rincian biaya/tarif pelayanan dan tata cara

pembayarannya, dan (e) jadwal waktu penyelesaian pelayanan.

Keterbukan, mengandung arti prosedur/tata cara persyaratan, satuan

kerja/pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan, waktu penyelesaian,

rincian waktu/tarif serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan

wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh

masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta.

Efisiensi, mengandung arti : (a) persyaratan pelayanan hanya dibatasi

pada hal-hal berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan

tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan

yang berkaitan; (b) dicegah adanya pengulangan pemenuhan persyaratan,

dalam hal proses pelayanan masyarakat yang bersangkutan mempersyaratkan

Page 32: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   III‐3 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

adanya kelengkapan persyaratan dari satuan kerja/instansi pemerintah lain yang

terkait.

Ketepatan waktu, kriteria ini mengandung arti pelaksanaan pelayanan

masyarakat dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.

Responsif, lebih mengarah pada daya tanggap dan cepat menanggapi apa

yang menjadi masalah, kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang dilayani.

Adaptif, adalah cepat menyesuaikan terhadap apa yang menjadi tuntutan,

keinginan, dan aspirasi masyarakat yang dilayani, yang senantiasa mengalami

tumbuh kembang.

Thoha (1998) seperti dikutip oleh Joko Widodo, berpendapat bahwa untuk

meningkatkan kualitas pelayanan publik, organisasi publik (birokrasi publik)

harus mengubah posisi dan peran (revitalisasi) dalam memberikan layanan

publik.

Pelayanan publik dapat dikataka baik manakala masyarakat dapat dengan

mudah mendapatkan pelayanan dengan prosedur yang tidak panjang, biaya

murah, waktu cepat, dan masyarakat sedikit atau hampir tidak ada keluhan yang

diberikan kepadanya.

3.1.1. Kriteria Pelayanan Publik yang Baik

Untuk dapat menilai sejauh mana mutu layanan publik yang diberikan oleh

aparatur pemerintah, perlu ada kriteria yang menunjukkan apakah suatu

pelayanan publik yang diberikan dapat dikatakan baik atau buruk.

Zethaml (1990) seperti yang dikutip oleh Joko Widodo, mengemukakan

tolok ukur kualitas pelayanan publik dari sepuluh dimensi, yakni:

Tangible, terdiri dari kemampuan unit pelayanan dalam menciptakan

pelayanan yang dijanjikan dengan tepat

Page 33: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   III‐4 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Reliable, terdiri dari kemampuan unit pelayanan dalam menciptakan

pelayanan yang dijanjikan dengan tepat

Responsiveness, kemauan untuk membantu konsumen bertanggung jawab

terhadap mutu pelayanan yang diberikan

Competence, tuntutan yang dimilikinya, pengetahuan, dan ketrampilan

yang baik oleh aparatur dalam memberikan layanan

Courtessy, sikap atau perilaku ramah, bersahabat, tanggap terhadap

keinginan konsumen serta mau melakukan kontak atau hubungan pribadi

Credibility, sikap jujur dalam setiap usaha untuk menarik kepercayaan

masyarakat

Security, jasa pelayanan yang diberikan harus dijamin bebas, dari

berbagai bahaya dan resiko

Access, terdapat kemudahan untuk mengadakan kontak dan pendekatan

Communication, kemauan pemberi layanan untuk mendengarkan suara,

keinginan atau aspirasi pelanggan, sekaligus kesediaan untuk selalu

menyampaikan informasi baru kepada masyarakat

Understanding the customer, melakukan segala usaha untuk mengetahui

kebutuhan pelanggan

LAN (Lembaga Administrasi Negara) membuat beberapa kriteria

pelayanan publik yang baik, yang meliputi:

Kesederhanaan: prosedur /tatacara pelayanan diselenggarakan secara

mudah, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah

dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta pelayanan

Kejelasan dan kepastian: adanya kejelasan mengenai: (a) prosedur/tata

cara pelayanan; (b) persyaratan pelayanan, baik persyaratan teknis

maupun persyaratan administratif; (c) unit kerja dan atau pejabat yang

berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan; (d)

rincian biaya/tarif pelayanan dan tata cara pembayarannya; dan (e)

jadwal waktu penyelesaian pelayanan

Keamanan: prosedur/tatacara persyaratan, satuan kerja/pejabat

penanggung jawab pemberi layanan, waktu penyelesaian, rincian

Page 34: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   III‐5 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

waktu/tarif serta hal-hal yang berkaitan dengan proses pelayanan wajib

diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami

oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta

Efisiensi mengandung arti: (a) persyaratan pelayanan hanya dibatasi

pada hal-hal berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan

dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan

produk pelayanan yang berkaitan; (b) dicegah adanya pengulangan

pemenuhan persyaratan, dalam hal proses pelayanan masyarakat yang

bersangkutan mempersyaratkan adanya kelengkapan persyaratan dari

satuan kerja/instansi pemerintah lain yang terkait.

Ekonomis : pengenaan biaya pelayanan harus ditetapkan secara wajar

dengan memperhatikan: (a) nilai barang dan jasa pelayanan

masyarakat dan tidak menuntut biaya yang terlalu tinggi di luar

kewajaran; (b) kondisi dan kemampuan masyarakat untuk membayar;

(c) ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku

Keadilan yang merata: cakupan/jangkauan pelayanan harus diusahakan

seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan diberlakukan

secara adil bagi seluruh lapisan masyarakat

Ketepatan waktu: pelaksanaan pelayanan masyarakat dapat

diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan

Kriteria kuantitatif yang meliputi: (a) jumlah warga/masyarakat yang

meminta pelayanan, untuk mengetahui apakah ada peningkatan atau

tidak; (b) lamanya waktu pemberian pelayanan masyarakat sesuai

dengan permintaan (dihitung secara rata-rata); (c) penggunaan

perangkat-perangkat modern untuk mempercepat dan mempermudah

pelayanan kepada masyarakat; (d) frekuensi keluhan dan atau pujian

dari masyarakat penerima pelayanan terhadap pelayanan yang

diberikan oleh unit kerja/kantor pelayanan yang bersangkutan.

Hatry dalam Robert (1994:170) seperti yang dikutip oleh Joko Widodo,

menjelaskan setidaknya terdapat tiga macam sumber data utama untuk

mengukur kualitas pelayanan publik, yaitu:

Page 35: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   III‐6 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

(1) use of government records. Tersedianya data tentang kualitas

pelayanan oleh birokrasi publik, merupakan suatu opsi penting,

mulai dari prosedur biaya rendah, kerugian, program-program

publik. Paling tidak, beberapa informasi tentang kualitas

pelayanan harus diberikan oleh pemerintah, yakni: service

response time (waktu penyelesaian pelayanan) dan complaint

counts, yakni mentabulasikan keluhan berdasarkan jenisnya,

sehingga diketahui karakteristik dari pelayanan tertentu.

(2) Trained observer rating merupakan sukarelawan yang dilatih oleh

pemerintah untuk menjadi peneliti atau pengawas yang secara

periodik menilai kondisi fisik tertentu dengang menggunakan

rata-rata tertentu.

(3) Survey of customers. Hasil survey pelanggan berupa informasi

tentang rata-rata pelayanan dapat digunakan oleh pemerinrah

sebagai indikator pelayanan publik.

3.2. Desentralisasi

3.2.1. Beberapa Konsep Desentralisasi

Desentralisasi berasal dari Bahasa Latin, yaitu de yang berarti lepas dan

centrum yang artinya pusat. Decentrum berarti melepas dari pusat, dengan

demikian maka desentralisasi tidak putus sama sekali dengan pusat tapi hanya

menjauh dari pusat. Penyerahan sebagian kewenangan politik dan administrasi

pada jenjang organisasi yang lebih rendah disebut desentralisasi. Jadi

desentralisasi adalah penyerahan wewenang politik dan administrasi dari puncak

hirarki organisasi (pemerintah pusat) kepada jenjang di bawahnya (baca :

pemerintah daerah) (Nurcholis, 2005 :7).

Menurut Smith (1985) desentralisasi memiliki ciri-ciri berikut:

1) penyerahan wewenang untuk melaksanakan fungsi pemerintah tertentu dari

pemerintah pusat kepada daerah otonom.

Page 36: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   III‐7 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

2) fungsi yang diserahkan dapat dirinci, atau merupakan fungsi yang tersisa

(residual function).

3) penerima wewenang adalah daerah otonom.

4) penyerahan wewenang berarti wewenang untuk menetapkan dan

melaksanakan kebijakan; wewenang mengatur dan mengurus(regelling en

bestur) kepentingan yang bersifat lokal.

5) wewenang mengatur adalah wewenang untuk menetapkan norma hukum

yang berlaku umum dan bersifat abstrak.

6) wewenang mengurus adalah wewenang untuk menetapkan norma hukum

yang bersifat individual dan konkrit (beschikking, acte administratif,

verwaltungsakt).

Secara umum desentralisasi terbagi menjadi dua : desentralisasi territorial

atau kewilayahan dan desentralisasi fungsional. Desentralisasi teritorial berarti

pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada wilayah di dalam negara.

Desentralisasi fungsional berarti pelimpahan wewenang kepada organisasi

fungsional (atau teknis) yang secara langsung berhubungan dengan masyarakat.

Desentralisasi dengan demikian adalah prinsip pendelegasian wewenang dari

pusat ke bagian-bagiannya, baik bersifat kewilayahan maupun kefungsian.

Prinsip ini mengacu kepada fakta adanya span of control dari setiap organisasi

sehingga organisasi perlu diselenggarakan secara “bersama-sama” (Nugroho,

2000: 42-44).

Dalam konsep yang lebih luas, desentralisasi dibagi atas desentralisasi

administratif, desentralisasi fiskal dan desentralisasi politik. Rondinelli dan Nellis

dalam Sait Abdullah (2005:64) desentralisasi administratif sebagai “transfer

tanggungjawab untuk merencanakan, memanajemen, menaikan dan

mengalokasikan sumber-sumber dari pemerintah pusat dan agennya, kepada

subordinat atau pemerintah daerah, badan semi otonom, persuhaan, otoritas

regional atau fungstional, NGO atau organisasi-organisasi volunter.

Desentralisasi Fiskal adalah adalah transfer kewenangan di area tanggug jawab

finansial dan pembuatan keputusan termasuk memenuhi keuangan sendiri,

expansi pendapatan lokal, transfer pendapatan pajak dan otorisasi untuk

Page 37: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   III‐8 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

meminjam dan memobilisasi sumber-sumber pemerintah daerah melalui jaminan

peminjaman (Litvac dan Seddon, 1998: 3 dalam Sait Abdullah(ibid)).

Sedangkan yang dimaksud dengan desentralisasi politik termasuk transfer

kekuasaan administratif, keuangan dan politik dari pemerintah pusat kepada

pemerintah daerah yang mana termasuk penciptaan kekuasaan masyarakat untuk

menentukan bentuk pemerintahan mereka, perwakilan, kebijakan dan pelayanan

((UNDP, 1999: 10) dalam Sait Abdullah (ibid.)). Hal ini dapat mendorong proses

demokrasi melalui pemberian pengaruh kpada rakyat atau perwakilannya dalam

formulasi dan implementasi kebijakan. ((Litvack dan Seddon, 1998: 2) dalam Sait

Abdullah (ibid.)). Sehingga desentralisasi yang banyak dijalankan di negara

kesatuan lebih terbatas pada desentralisasi administratif.

Desentralisasi diartikan pula sebagai suatu sistem dimana bagian-bagian

tugas negara diserahkan penyelenggaraannya kepada organ yang sedikit

banyak mandiri. Organ yang mandiri itu wajib dan berwenang melakukan

tugasnya atas inisiatif dan kebijaksanaannya sendiri. Ciri yang peting bagi organ

yang didesentralisasikan adalah mempunyai sumber-sumber keuangan sendiri

untuk membiayai pelaksanaan tugasnya. (hal.39)

Menurut Undang-undang No 5 Tahun 1974, desentralisasi merupakan salah

satu dari 3 azas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Undang-undang No

5Tahun 1974 pasal 1 (b) menyatakan: desentralisasi adalah penyerahan urusan

pemerintahan dari Pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah

menjadi urusan rumah tangganya.

Menurut Undang-undang No 22 Tahun 1999, desentralisasi diartikan

dengan penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah

Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Desentralisasi menurut Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah

penyerahan wewenang pemerintahan kepada daerah otonomi untuk mengatur

dan mengurus pemerintahan dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Page 38: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   III‐9 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

3.2.2. Tipe-tipe Desentralisasi

Paling tidak terdapat tiga tipe desentralisasi administratif, yaitu :

dekonsentrasi, devolusi dan delegasi. Dekonsentrasi adalah pelimpahan

kewenangan secara spesifik melalui pembuatan keputusan, keuangan, dan fungsi

manajemen secara administratif kepada tingkatan yang berbeda dibawah

kewenangan yurisdiksi pemerintah pusat (Cohen dan Peterson (1999:24).

Hanif Nurcholis (2005:9) mengutarakan bahwa yang dimaksud dengan

dekonsentrasi adalah penyerahan beban kerja dari kementerian pusat kepada

pejabat-pejabatnya yang berada di wilayah. Penyerahan ini tidak diikuti oleh

kewenangan membuat keputusan dan diskresi untuk melaksanakannya.

Sementara menurut Undang Undang No. 32 Tahun 2004, dekonsentrasi adalah

pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai

wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.

Sedangkan yang dimaksud tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah

kepada daerah dan/atau desa dari Pemerintah Provinsi kepada kabupaten/kota

dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk

melaksanakan tugas tertentu.

Devolusi adalah pelepasan fungsi-fungsi tertentu dari pemerintah pusat

untuk membuat satuan pemerintah baru yang tidak dikontrol secara langsung.

Tujuan devolusi adalah untuk memperkuat sarana pemerintahan di bawah

pemerintah pusat dengan cara mendelegasikan fungsi dan kewenangannya. Lima

ciri devolusi:

1) Unit pemerintahan setempat bersifat otonom, mandiri, dan seara tegas

terpisah dari tingkat-tingkat pemerintahan

2) Unit pemerintahan tersebut diakui memiliki batas geografi yang jelas dan

legal , yang mempunyai wewenang untuk melakukan tugas-tugas umum

pemerintahan

Page 39: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   III‐10 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

3) Pemerintahan daerah berstatus badan hukum dan memiliki kekuasaan untuk

mengelola dan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki untuk mendukung

pelaksanaan tugasnya

4) Pemerintahan daerah diakui warganya sebagai suatu lembaga yang akan

memberkan pelayanan kepada masyarakat dan memenuhi kebutuhan mereka

5) Terdapat hubungan saling menguntungkan melalui koordinasi antar

pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta unit-unit organisasi lainnya

dalam suatu sistem pemerintahan.

Devolusi menurut Cohen dan Peterson (1999:25) adalah devolusi timbul

ketika pemerintah pusat memindahkan kewenangan kepada daerah otonom yang

dibentuk berdasarkan legislasi negara. Devolusi juga menunjukkan pemerintah

daerah (otonom).

Selain dalam bentuk dekonsentrasi dan devolusi, desentralisasi juga bisa

dilakukan dengan cara pendelegasian pembuatan keputusan dan kewenangan

administratif kepada organisasi-organisasi yang melakukan fungsi-fungsi

tertentu, yang tidak di bawah pengawasan kementerian pusat. Sebagaimana

diketahui dalam suatu pemerintahan terdapat organisasi-organisasi yang

melakukan fungsi-fungsi tertentu dengan kewenangan yang agak independen.

Organisasi ini adakalanya tidak ditempatkan dalam struktur reguler pemerintah.

Misalnya Badan Usaha Milik Negara seperti Telkom, Bank, jalan tol, dan lain-lain,

Badan Perencana Pembangunan Daerah, badan-badan otoritas dan lain-lain.

Terhadap organisasi semacam ini pada dasarnya diberikan kewenangan semi

independen untuk melaksanakan fungsi dan tanggung jawabnya. Bahkan

kadang-kadang berada di luar ketentuan yang diatur oleh pemerintah, karena

bersifat komersial dan mengutamakan efisiensi daripada prosedur birokratif dan

politis.

Pendelegasian tersebut menyebabkan pemindahan atau penciptaan

kewenangan yang luas pada suatu organisasi yang secara teknis dan administratif

mampu menanganinya. Semua kegiatan tersebut tidak mendapat supervisi

langsung dari pemerintah pusat.

Page 40: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   III‐11 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Tjokroamidjojo (1987:82 dalam Joko Widodo 2001:40) membedakan

bentuk-bentuk desentralisasi atas empat, yakni: dekonsentrasi, devolusi,

sertatantra, dan bentuk-bentuk kegiatan yang merupakan pembinaan pemerintah

tetapi dilakukan berdasarkan inisiatif dan partisipasi masyarakat setempat.

Dekonsentrasi adalah pelaksanaan kegiatan daerah dilakukan oleh cabang-

cabang unit-unit kegiatan-kegiatan pemerintah pusat. Delegasi kewenangan

tidak diberikan sepenuhnya, dan dalam banyak hal hanya merupakan alat

pelaksanaan tugas-tugas pemerintah pusat yang perlu dilakukan di daerah

tersebut. (hal.40) Devolusi atau desentralisasi dalam arti sebenarnya, seringkali

disebut sebagai pemebrian otonomi. Dalam hal ini terdapat suatu delegasi

kewenangan serta hukum yang berarti penyerahan tugas-tugas pemerintahan

kepada tingkat daerah. Pelimpahan kewenangan ini tidak saja bersifat

administratif, tetapi juga politik. Pengambilan keputusan terakhir di bidang-

bidang tertentu, dalam hal pemberian otonomi atau desentralisasi ini diserahkan

kepada pemerintah daerah. Pengertian pemerintah daerah juga berarti peranan

perwakilan rakyat daerah. (hal-40-41) Sertatantra, adalah tugas-tugas pekerjaan

dalam kewenangan pemerintah pusat yang diserahkan penyelenggaraannya

kepada pemerintah daerah. (hal.41)

3.2.3. Keunggulan-keunggulan Desentralisasi

Rondinelli (1983) sebagaimana dikutip oleh Joko Widodo (2001:43-44)

mengemukakan keunggulan desentralisasi, yakni:

1) Desentralisasi merupakan alat untuk mengurangi kelemahan perencanaan

terpusat. Dengan delegasi kepada aparat di tingkat lokal, problema

sentralisasi dapat lebih mudah dipecahkan

2) Desentralisasi merupakan alat yang bisa mengurangi gejala red tape

3) Dengan desentralisasi, maka kepekaan pengetahuan tentang kebutuhan

masyarakat lokal dapat ditingkatkan

4) Dengan desentralisasi lebih memungkinkan berbagai kelompok kepentingan

dan kelompok politik terwakili dalam proses pengambilan keputusan,

Page 41: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   III‐12 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

sehingga mereka mempunyai kesempatan yang sama dalam memperoleh

pelayanan pemerintah

5) Desentralisasi memungkinkan pejabat lokal dapat lebih meningkatkan

kapasitas manajerial dan teknisnya

6) Efisiensi pemerintah pusat dapat lebih ditingkatkan, karena pimpinan

organisasi tidak lagi disibukkan dengan urusan rutin yang dapat dikerjakan

oleh pekerja lapangan tingkat lokal

7) Dengan desentralisasi akan tercipta struktur yang memungkinkan koordinasi

dilakukan dengan baik

8) Struktur pemerintahan yang desentralistis sangat diperlukan untuk

melembagakan partisipasi warga negara dalam perencanaan dan

pengelolaan pembangunan

9) Dengan desentralisasi dapat melibatkan elit lokal, sehingga kebijaksanaan

pemerintah yang biasanya tak akrab dan tak menyentuh kepentingan mereka,

menjadi lebih dapat diterima

10) Desentralisasi memungkinkan lahirnya administrasi yang lebih fleksibel,

inovatif, dan kreatif

11) Dengan desentralisasi, pelayanan kepada masyarakat lebih cepat dan lebih

baik

12) Desentralisasi dapat meningkatkan stabilitass politik dan kesatuan nasional,

karena berbagai kelompok diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam

pengambilan keputusan

13) Dengan lebih kompleksnya masyarakat dan pemerintahan, pengambilan

keputusan yang sentralistis menjadi tidak efisien, mahal, dan sulit

dilaksanakan

The Liang Gie (1968 ) seperti dikutip oleh Dadang Solihin dalam makalahnya

yang bertajuk “Otonomi Daerah dalam Perspektif Teori, Kebijakan, dan Praktek

(2007) menyatakan alasan dianutnya desentralisasi adalah:

1. Dari sudut politik:

Page 42: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   III‐13 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

1) Untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada satu pihak saja yang

akhirnya dapat menimbulkan tirani;

2) Untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri

dalam mempergunakan hak-hak demokrasi;

2. Dari sudut teknis organisatoris pemerintahan: Efisiensi

1) Apa yang dianggap lebih utama untuk diurus oleh pemerintah

setempat, pengurusannya diserahkan kepada daerah.

2) Hal-hal yang lebih tepat di tangan pusat tetap diurus oleh pemerintah

pusat.

3. Dari sudut kultural:

Supaya perhatian dapat sepenuhnya ditumpahkan kepada kekhususan

suatu daerah, seperti geografi, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi,

watak kebudayaan atau latar belakang sejarahnya;

4. Dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi:

Pemerintah daerah dapat lebih banyak dan secara langsung membantu

pembangunan tersebut.

3.2.4. Tujuan Desentralisasi

Sady dalam Tjokroamidjojo, yang dikutip lagi oleh Joko Widodo (199: 45),

mengemukakan tujuan desentralisasi adalah untuk:

1) Mengurangi beban pemerintahan pusat dan campur tangan tentang masalah-

masalah kecil pada tingkat lokal. Demikian pula memberikan peluang untuk

koordinasi pelaksanaan pada tingkat lokal

2) Meningkatkan pengertian rakyat serta dukungan mereka dalam kegiatan

usaha pembangunan sosial ekonomi. Demikian pula pada tingkat lokal, dapat

merasakan keuntungan dari kontribusi kegiatan mereka itu

Page 43: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   III‐14 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

3) Penyusunan program-program untuk perbaikan sosial ekonomi pada tingkat

lokal sehingga dapat lebih realistis

4) Melatih rakyat untuk bisa mengatur urusannya sendiri (self government)

5) Pembinaan kesatuan nasional

Sumarjan (dalam Joko Widodo 1999: 45-46) mengemukakan bahwa

penggunaan sistem desentralisasi dimaksudkan untuk:

1) Untuk mengurangi beban dan tugas pemerintah pusat. Tugas Pemerintah dari

suatu negara yang sedang dalam taraf pertama mengadakan pembangunan di

segala bidang kegiatan, memerlukan kecapakan dan pengalaman yang

melampaui batas kemampuan Pemerintah Pusat, apabila tidak dibantu oleh

Pemerintah Daerah untuk menanggapi kepentingan dan aspirasi masyarakat

di daerah. Keadaan ini memerlukan desentralisasi yang bersifat teritorial

2) Untuk meratakan tanggung jawab. Sesuai dengan sistem demokrasi, maka

tanggung jawab pemerintahan dapat dipukul rata oleh seluruh masyarakat

yang diikutsertakan melalui desentralisasi fungsional dan teritorial, hal mana

dapat memperbesar stabilitas pemerintahan pada umumnya

3) Untuk memobilisasi potensi masyarakat banyak untuk kepentingan umum.

Melalui desentralisasi diberikan kesempatan kekuatan-kekuatan di dalam

masyarakat untuk ikut serta mengembangkan diri buat kepentingan umum di

dalam daerah mereka masing-masing dan juga buat kepentingan nasional.

Dengan demikian dapat pula ditimbulkan persaingan yang sehat untuk

membangun tiap-tiap daerah dengan kekuatan masyarakat di daerah-daerah

itu sendiri.

4) Untuk mempertinggi efektivitas dan efisiensi dalam pengurusan kepentingan

daerah. Sudah barang tentu masyarakat daerahlah yang lebih mengetahui

kepentingan dan aspirasi mereka, dan mengurusi kepentingannya secara

efektif dan efisien. Di dalam hal ini pemerintah pusat cukup memberi

dorongan, bimbingan dan bantuan dimana diperlukan.

Page 44: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   III‐15 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

3.3. Otonomi Daerah

Dalam wacana masyarakat awam, penggunaan istilah desentralisasi

dengan otonomi daerah sering dipertukarkan. Sesungguhnya kedua konsep

tersebut tidak persis sama. Kebijakan otonomi hadir karena adanya kebijakan

desentralisasi. Otonomi merupakan konsekuensi logis dari dari kebijakan

desentralisasi. Dengan kata lain, konsekuensi logis dari kebijakan desentralisasi

adalah dibentuknya daerah otonom.

Otonomi diartikan kebebasan masyarakat yang tinggal di daerah yang

bersangkutan untuk mengatur dan mengurus kepentingannya yang bersifat lokal,

bukan yang bersifat nasional. Perbedaan daerah otonom dengan otonomi daerah

adalah daerah menunjuk pada daerah/tempat (geografi) sedangkan otonomi

daerah menunjuk pada isi otonomi/kebebasan masyarakat. Charles Einsenmann

menjelaskan bahwa otonomi adalah kebebasan untuk membuat keputusan

sendiri dengan tetap menghormati perundang-undangan (Hoessein, 1993:75

dalam Hanif Nurcholis (2005:23).

Jadi otonomi adalah hak yang diberikan kepada penduduk yang tinggal

dalam suatu wilayah tertentu untuk mengatur, mengurus, mengendalikan dan

mengembangkan urusannya sendiri dengan tetap menghormati perundangan

yang berlaku. dengan demikian, otonomi daerah adalah hak penduduk yang

tinggal dalam suatu daerah untuk mengatur, mengurus, mengendalikan dan

mengembangkan urusannya sendiri dengan tetap menghormati peraturan

perundangan yang berlaku. Otonomi dilaksanakan dalam sebuah negara dengan

menghormati peraturan yang berlaku yang menjamin hak-hak dasar dan

kebebasan nasional. Dan hal ini sebaiknya dilihat sebagai bagian dari tatanan

negara (sub-state arrangement) yang membiarkan kelompok minoritas untuk

melakukan hak mereka dan menunjukkan identitas kultural dengan menjamin

kesatuan, menjunjung kewibawaan dan integritas wilayah.

Page 45: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   III‐16 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Indonesia menganut otonomi daerah dikarenakan konstitusi negara kita

mengamanatkan hal tersebut. Amanat tersebut dapat dilihat dari pasal-pasal

dalam UUD 1945 berikut:

Pasal 18 UUD 1945

Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah

provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang

tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan

daerah, yang diatur dengan undang-undang.

Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur

dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan

tugas pembantuan.

Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih

melalui pemilihan umum.

Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala

Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara

demokratis

Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali

urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai

urusan Pemerintah Pusat.

Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan

peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas

pembantuan.

Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur

dalam undang-undang.

Pasal 18A UUD 1945

Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah

provinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan

Page 46: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   III‐17 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

kota, diatur dengan Undang-undang dengan memperhatikan

kekhususan dan keragaman daerah.

Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya

alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan

pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras

berdasarkan undang-undang.

Pasal 18B UUD 1945

Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan

daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan

Undang-undang.

Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat

hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan

sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

3.3.1. Manfaat Otonomi Daerah

Menurut Shabbir Cheema dan Rondinelli (1983) dan kemudian dikutip oleh

Dadang Solihin (www.dadangsolihin.com), otonomi daerah memiliki beberapa

manfaat, yakni:

1) Perencanaan dapat dilakukan sesuai dengan kepentingan masyarakat

di daerah yang bersifat heterogen.

2) Memotong jalur birokrasi yang rumit serta prosedur yang sangat

terstruktur dari pemerintah pusat.

3) Perumusan kebijaksanaan dari pemerintah akan lebih realistik.

4) Desentralisasi akan mengakibatkan terjadinya "penetrasi"

yang lebih baik dari Pemerintah Pusat bagi Daerah-Daerah yang

terpencil atau sangat jauh dari pusat, di mana seringkali rencana

pemerintah tidak dipahami oleh masyarakat setempat atau dihambat

oleh elite lokal, dan di mana dukungan terhadap program pemerintah

sangat terbatas.

Page 47: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   III‐18 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

5) Representasi yang lebih luas dari berbagai kelompok politik, etnis,

keagamaan di dalam perencanaan pembangunan yang kemudian dapat

memperluas kesamaan dalam mengalokasikan sumber daya dan

investasi pemerintah.

6) Peluang bagi pemerintahan serta lembaga privat dan masyarakat di

Daerah untuk meningkatkan kapasitas teknis dan managerial.

7) Dapat meningkatkan efisiensi pemerintahan di Pusat dengan tidak lagi

pejabat puncak di Pusat menjalankan tugas rutin karena hal itu dapat

diserahkan kepada pejabat Daerah.

8) Dapat menyediakan struktur di mana berbagai departemen di pusat

dapat dikoordinasi secara efektif bersama dengan pejabat Daerah dan

sejumlah NGOs di berbagai Daerah. Propinsi, Kabupaten, dan Kota

dapat menyediakan basis wilayah koordinasi bagi program

pemerintah.

9) Struktur pemerintahan yang didesentralisasikan diperlukan guna

melembagakan partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan

implementasi program.

10) Dapat meningkatkan pengawasan atas berbagai aktivitas yang

dilakukan oleh elite lokal, yang seringkali tidak simpatik dengan

program pembangunan nasional dan tidak sensitif terhadap kebutuhan

kalangan miskin di pedesaan.

11) Administrasi pemerintahan menjadi mudah disesuaikan, inovatif, dan

kreatif. Kalau mereka berhasil maka dapat dicontoh oleh Daerah yang

lainnya.

12) Memungkinkan pemimpin di Daerah menetapkan pelayanan dan

fasilitas secara efektif, mengintegrasikan daerah-daerah yang

terisolasi, memonitor dan melakukan evaluasi implementasi proyek

pembangunan dengan lebih baik dari pada yang dilakukan oleh

pejabat di Pusat.

13) Memantapkan stabilitas politik dan kesatuan nasional dengan

memberikan peluang kepada berbagai kelompok masyarakat di

Daerah untuk berpartisipasi secara langsung dalam pembuatan

Page 48: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   III‐19 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

kebijaksanaan, sehingga dengan demikian akan meningkatkan

kepentingan mereka di dalam memelihara sistem politik.

14) Meningkatkan penyediaan barang dan jasa di tingkat lokal dengan

biaya yang lebih rendah, karena hal itu tidak lagi menjadi beban

pemerintah Pusat karena sudah diserahkan kepada Daerah.

3.3.2. Tujuan Otonomi Daerah

Menurut UU 32/2004 bagian Penjelasan Umum, tujuan otonomi daerah

adalah:

1) M empercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui: (i)

peningkatan pelayanan; (ii) pemberdayaan dan peran serta

masyarakat.

2) Meningkatkan daya saing daerah dengan memperhatikan: (i)

prinsip demokrasi; (ii) pemerataan; (iii) keadilan; (iv) keistimewaan

dan kekhususan serta; (v) potensi dan keanekaragaman daerah

dalam sistem NKRI .

3.3.3. Sasaran Otonomi Daerah

RPJMN 2004-2009 menetapkan sasaran otonomi daerah adalah:

1) Tercapainya sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-

undangan pusat dan daerah, termasuk yang mengatur tentang

otonomi khusus Provinsi Papua dan Provinsi NAD.

2) Meningkatnya kerjasama antar pemerintah daerah;

3) Terbentuknya kelembagaan pemerintah daerah yang efektif,

efisien, dan akuntabel;

4) Meningkatnya kapasitas pengelolaan sumberdaya aparatur

pemerintah daerah yang profesional dan kompeten;

5) Terkelolanya sumber dana dan pembiayaan pembangunan secara

transparan, akuntabel, dan profesional; dan

6) Tertatanya daerah otonom baru.

Page 49: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   III‐20 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

3.3.4. Pemberdayaan Penyelenggaraan Otonom Daerah

Untuk mewujudkan desentralisasi dan otonomi daerah yang ideal, Joko

Widodo memberikan gagasan tentang pemberdayaan penyelenggaran otonomi

daerah.

Gagasan tentang pemberdayaan penyelenggaraan otonomi berangkat

dari pemikiran ide bahwa makna mendasar otonomi daerah bukannya pada

“auto money”, melainkan lebih menitikberatkan pada “delegation of authority

and reponsibility” pada unit-unit organisasi yang lebih rendah tingkatannya

dalam pembuatan dan pengambilan keputusan. Pemberdayaan daerah dalam

melaksanakan otonomi hanya bisa diwujudkan jika faktor-faktor seperti personil,

peralatan, dan pembiayaan tersedia cukup memadai. Karenanya penyerahan

urusan yang diikuti dengan personil, peralatan, dan sumber pembiayaan akan

berimplikasi terhadap pemberdayaan otonomi dan akibat lebih lanjut akan

dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik. (hal. 69)

Dengan bertumpu pada makna otonomi luas, nyata, dan

bertanggungjawab, dapat ditemukan beberapa faktor yang sangat signifikan

dapat mempengaruhi pelaksanaan otonomi daerah, yakni “kemampuan

melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab” yang telah diberikan dalam

rangka melaksanakan otonomi daerah. Menurut Rudini (1997) yang dikutip oleh

Joko Widodo (hal 69-70), kemampuan tersebut mensyaratkan adanya

peningkatan kualitas sumber daya manusia, kemampuan manajemen

kelembagaan yang makin tinggi, dan ketersediaan dana untuk membiayai

manajemen tersebut. Jika lebih dioperasionalkan, persyaratan tersebut menjadi:

Kemampuan SDM yang antara lain meliputi tidak saja kemampuan dalam

merencanakan, melaksanakan, memonitor, tapi juga kemampuan untuk

mengevaluasi kegiatan pemerintahan dan pembangunan termasuk

pemberian layanan publik yang profesional di daerahnya sendiri.

Kemampuan kelembagaan pemerintah daerah yang dimaksud adalah

kemampuan untuk mengelola lembaga yang ada.

Page 50: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   III‐21 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Kemampuan keuangan daerah yang dimaksud disini adalah kemampuan

untuk menggali potensi sumber pendapatan asli daerah sendiri sesuai dengan

kewenangan yang diatur dalam peraturan perundangan yang berlaku.

Untuk itu, pemberdayaan penyelenggaraan otonomi daerah mencakup

ketiga hal tersebut, yakni:

Pemberdayaan personil pemerintah daerah

Perangkat pemerintah daerah dapat dikatakan berkualitas manakala mereka

mempunyai kemampuan untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung

jawab yang diberikan kepadanya. Kemampuan pada dasarnya merupakan

ilmu pengetahuan, pengalaman, dan ketrampilan. Namun demikian, bekal

kemampuan saja tidak cukup untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab

secara efektif, akan tetapi perlu ada “kemauan”. Kemauan berkaitan dengan

motivasi, komitmen, dan keyakinan diri.

Untuk dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia pemerintah daerah,

yang perlu mendapatkan perhatian adalah memberikan “kemampuan dan

kemauan”.

Pemberian kemampuan dapat dilakukan melalui beberapa cara:

i) Melalui pendidikan

ii) Melalui pelatihan

iii) Melalui pengalaman

Penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah dan

lembaga legislatif daerah (DPRD). Karenanya, untuk dapat mewujudkan clean

and good local governance bukan hanya pemerintah daerah (kepala daerah

beserta perangkatnya) saja yang perlu diberdayakan, akan tetapi lembaga

legislatif (DPRD) juga perlu diberdayakan. Pemberdayaan anggota DPRD

dapat dilakukan selain melalui peningkatan kualitas (melaui pendidikan,

pelatihan, dan pengalaman), dapat dilakukan dengan cara : mengubah pola

rekrutmen anggota DPRD, dan revitalisasi anggota DPRD.

Mengubah pola rekrutmen

Page 51: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   III‐22 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Rekrutmen anggota DPRD selama ini dilakukan menggunakan “spoil system”

(Joko Widodo: 307), yakni pola rekrutmen yang lebih didasarkan pada

pertimbangan populis, hubungan kekerabatan, nepotisme, dan kolusi. Agar

anggota DPRD dapat menjalankan tugas, fungsi, dan tanggung jawab

(akuntabel, bertanggung jawab, dan responsif), pola rekrutmen tersebut

perlu diganti dengan pola “merit system”.

Revitalisasi anggota DPRD

Seiring dengan perkembangan masyarakat yang sangat dinamis, anggota

DPRD harus mengubah posisi dan peran (revitalisasi) mereka dalam

memberikan layanan publik (Joko Widodo: 310). Anggota DPRD yang tadinya

suka mengatur dan memerintah, harus berubah menjadi suka melayani. Dari

yang suka menggunakan pendekatan kekuasaan, berubah menjadi suka

menolong menuju ke arah yang fleksibel kolaboratis dan dialogis. Dan dari

cara-cara yang sloganis menuju cara-cara kerja yang realistik pragmatis.

Pemberdayaan sumber daya keuangan dan peralatan

Hakekat dari pemberdayaan ini adalah bagaimana daerah tidak saja mampu

menggali potensi keuangan di daerahnya, tetapi juga mampu menggunakan

uang secara tepat guna efisien, dan tidak boros, serta tidak diselewengkan

untuk tujuan diri sendiri atau tujuan yang menyimpang dari yang seharusnya,

dan dapat mempertanggungjawabkan pengunaannya akuntabel (dengan

perhitungan yang cermat dan tepat), dan responsible, artinya pengunaan

keuangan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan norma-norma

akuntansi.

Hal yang sama perlu dilakukan terhadap peralatan. Pemerintah daerah harus

mumpuni dalam manajemen perlengkapan, mulai dari perencanaan hingga

pengendalian.

Pemberdayaan kelembagaan (organisasi) pemerintah daerah

Upaya pengembangan organisasi yang diarahkan pada organisasi yang

efektif, efisien, dan sehat. Organisasi yang efektif dapat dilihat dari tingkat

dicapainya tujuan organisasi. Efisiensi menunjukkan sumber yang

Page 52: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   III‐23 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

dibutuhkan organisasi untuk mencapai hasilnya. Organisasi yang sehat

adalah suatu organisasi yang mengendalikan pekerjaannya ke arah tujuan

tertentu

Page 53: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐1 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

BAB IV

PELAKSANAAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

SERTA PERMASALAHANNYA DALAM KURUN WAKTU 2004-2009

Melihat perkembangan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di

Indonesia, tidak dapat terlepas dari apa yang telah digariskan dalam rencana

pembangunan jangka menengah tahap pertama (2004-2009) yang di dalamnya

digariskan tentang sasaran desentralisasi dan otonomi daerah dalam kurun waktu

5 tahun dan upaya-upaya pencapaiannya yang diwujudkan dalam bentuk

strategi, program, dan kegiatan jangka menengah.

4.1. Arah Kebijakan Dalam Rangka Revitalisasi Proses Desentralisasi Dan

Otonomi Daerah dalam RPJMN 2004-2009 dan RKP 2004-2009

Sasaran yang hendak dicapai dalam revitalisasi proses desentralisasi dan

otonomi daerah dalam lima tahun pada 2004-2009 adalah:

1) Tercapainya sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan

pusat dan daerah, termasuk yang mengatur tentang otonomi khusus Provinsi

Papua dan Provinsi NAD.

2) Meningkatnya kerjasama antar pemerintah daerah;

3) Terbentuknya kelembagaan pemerintah daerah yang efektif, efisien, dan

akuntabel;

4) Meningkatnya kapasitas pengelolaan sumberdaya aparatur pemerintah

daerah yang profesional dan kompeten;

5) Terkelolanya sumber dana dan pembiayaan pembangunan secara transparan,

akuntabel, dan profesional; dan

6) Tertatanya daerah otonom baru.

Untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut, maka arah kebijakan dalam

rangka revitalisasi proses desentralisasi dan otonomi daerah ditetapkan :

1) Memperjelas pembagian kewenangan antar tingkat pemerintahan baik

kewenangan mengenai tugas dan tanggung jawab maupun mengenai

penggalian sumber dana dan pembiayaan pembangunan yang didukung oleh

Page 54: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐2 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

semangat desentralisasi dan otonomi daerah dalam kerangka Negara

Kesatuan Republik Indonesia;

2) Mendorong kerjasama antar pemerintah daerah termasuk peran pemerintah

provinsi dalam rangka peningkatan pelayanan publik dan kesejahteraan

masyarakat;

3) Menata kelembagaan pemerintah daerah agar lebih proporsional

berdasarkan kebutuhan nyata daerah, ramping, hierarki yang pendek,

bersifat jejaring, bersifat fleksibel dan adaptif, diisi banyak jabatan

fungsional, dan terdesentralisasi kewenangannya, sehingga mampu

memberikan pelayanan masyarakat dengan lebih baik dan efisien, serta

berhubungan kerja antar tingkat pemerintah, dengan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah, masyarakat, dan lembaga non pemerintah secara optimal

sesuai dengan peran dan fungsinya;

4) Menyiapkan ketersediaan aparatur pemerintah daerah yang berkualitas

secara proporsional di seluruh daerah dan wilayah, menata keseimbangan

antara jumlah aparatur pemerintah daerah dengan beban kerja di setiap

lembaga/satuan kerja perangkat daerah, serta meningkatkan kualitas

aparatur pemerintah daerah melalui pengelolaan sumberdaya manusia

pemerintah daerah berdasarkan standar kompetensi;

5) Meningkatkan kapasitas keuangan pemerintah daerah, termasuk pengelolaan

keuangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas,

dan profesionalisme, sehingga tersedia sumber dana dan pembiayaan yang

memadai bagi kegiatan pelayanan masyarakat dan pelaksanaan

pembangunan di daerah; serta

6) Menata daerah otonom baru, termasuk mengkaji pelaksanaan kebijakan

pembentukan daerah otonom baru di waktu mendatang, sehingga tercapai

upaya peningkatan pelayanan publik dan percepatan pembangunan daerah.

Arah kebijakan pemerintah tersebut dioperasionalkan dalam bentuk

program-program:

1) Program Penataan Peraturan Perundang-undangan

Program ini ditujukan untuk Program ini ditujukan untuk: (1) meningkatkan

sinkronisasi dan harmonisasi berbagai peraturan perundangan-undangan

Page 55: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐3 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

yang menyangkut hubungan pusat dan daerah, serta pelaksanaan otonomi

daerah termasuk peraturan perundang-undangan daerah; (2) menyusun

berbagai peraturan pelaksana dari Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004

tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah; (3) memperkuat visi

desentralisasi dan otonomi daerah para pelaku pembangunan agar tercapai

persepsi yang sama terutama dalam penyelenggaraan pemerintahan,

pelayananan publik, dan pembangunan di daerah; dan (4) mendorong

pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Papua dan Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam.

Kegiatan-kegiatan pokok yang akan dilaksanakan adalah :

a) Sosialisasi dan implementasi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah, Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004

tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Undang-undang Nomor

25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional;

Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; Undang-

undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan

Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaaan Pengelolaan

dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, Undang-undang Nomor 18 Tahun

2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi DI Aceh sebagai Provinsi NAD,

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi

Provinsi Papua, termasuk penyusunan, sosialisasi, dan implementasi

peraturan pelaksananya, khususnya terkait dengan penyelenggaraan

pemerintahan dan sistem perencanaan pembangunan di daerah.

b) Penyesuaian berbagai peraturan perundangan-undangan yang

menyangkut hubungan pusat dan daerah termasuk peraturan perundang-

undangan sektoral dan yang terkait dengan otonomi khusus NAD dan

Papua, sehingga menjadi harmonis.

c) Penyesuaian peraturan perundang-undangan daerah sehingga menjadi

sinkron dengan peraturan perundang-undangan yang diatasnya; serta

d) Peningkatan supervisi beserta evaluasi pelaksanaan kebijakan

desentralisasi dan otonomi daerah

Page 56: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐4 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

2) Program Peningkatan Kerjasama Antar Pemerintah Daerah

Program ini ditujukan untuk meningkatkan pelaksanaan kerjasama antar

pemerintah daerah termasuk peningkatan peran pemerintah provinsi.

Kegiatan pokok yang dilakukan dalam rangka meningkatkan kerjasama antar

daerah meliputi:

a) Penyusunan dan penetapan peraturan perundang-undangan tentang

kerjasama antar daerah termasuk peran pemerintah provinsi;

b) Identifikasi, perencanaan, fasilitasi, dan pelaksanaan kegiatan fungsi

strategis yang perlu dikerjasamakan;

c) Peningkatan peran Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat untuk

memfasilitasi dan menyelesaikan perselisihan antar daerah di wilayahnya;

serta

d) Pengoptimalan dan peningkatan efektivitas sistem informasi pemerintahan

daerah untuk memperkuat kerjasama antar pemerintah daerah dan

dengan Pemerintah Pusat.

3) Program Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pemerintah Daerah

Program ini ditujukan untuk menyusun kelembagaan pemerintah daerah yang

disesuaikan dengan kebutuhan daerah dan potensi daerah yang perlu

dikelola.

Kegiatan pokok yang akan dilakukan dalam rangka peningkatan kapasitas

kelembagaan pemerintah daerah meliputi:

a) Penataan kelembagaan pemerintahan daerah agar sesuai dengan beban

pelayanan kepada masyarakat;

b) Peningkatan kinerja kelembagaan daerah berdasarkan prinsip-prinsip

organisasi moderen dan berorientasi pelayanan masyarakat;

c) Penyusunan pedoman hubungan pemerintah daerah dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah agar tercipta kontrol dan keseimbangan dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah;

d) Penguatan pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah

sesuai Kerangka Nasional Pengembangan dan Peningkatan Kapasitas

dalam rangka Mendukung Desentralisasi;

Page 57: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐5 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

e) Pengkajian dan fasilitasi pelaksanaan standar pelayanan minimum,

pengelolaan kewenangan daerah, dan sistem informasi pelayanan

masyarakat; serta

f) Peningkatan peran lembaga non-pemerintah dan masyarakat dalam setiap

pengambilan keputusan pada tingkat provinsi, dan kabupaten/kota

melalui penerapan prinsip tata pemerintahan yang baik (good

governance).

4) Program Peningkatan Profesionalisme Aparat Pemerintah Daerah

Program ini ditujukan untuk memfasilitasi penyediaan aparat pemerintah

daerah, menyusun rencana pengelolaan serta meningkatkan kapasitas aparat

pemerintah daerah dalam rangka peningkatan pelayanan masyarakat,

penyelenggaraan pemerintahan, serta penciptaan aparatur pemerintah

daerah yang kompeten dan profesional.

Kegiatan pokok yang akan dilakukan dalam rangka peningkatan

profesionalisme aparat pemerintah daerah meliputi:

a) Penyusunan peraturan perundang-undangan daerah, pedoman dan

standar kompetensi aparatur pemerintah daerah;

b) Penyusunan rencana pengelolaan aparatur pemerintah daerah termasuk

sistem rekruitmen yang terbuka, mutasi dan pengembangan pola karir;

c) Fasilitasi penyediaan aparat pemerintah daerah, mutasi dan kerjasama

aparatur pemerintah daerah;

d) Peningkatan etika kepemimpinan daerah; serta

e) Fasilitasi pengembangan kapasitas aparatur pemerintah daerah dengan

prioritas peningkatan kemampuan dalam pelayanan publik seperti

kebutuhan dasar masyarakat, keamanan dan kemampuan di dalam

menghadapi bencana, kemampuan penyiapan rencana strategis

pengembangan ekonomi (lokal), kemampuan pengelolaan keuangan

daerah, dan penyiapan strategi investasi.

5) Program Peningkatan Kapasitas Keuangan Daerah

Program ini ditujukan untuk meningkatkan dan mengembangkan kapasitas

keuangan pemerintah daerah dalam rangka peningkatan pelayanan

Page 58: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐6 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

masyarakat, penyelenggaraan otonomi daerah, dan penciptaan pemerintahan

daerah yang baik.

Kegiatan pokok yang akan dilakukan dalam rangka peningkatan kapasitas

keuangan pemerintah daerah meliputi:

a) Peningkatan efektivitas dan optimalisasi sumber-sumber penerimaan

daerah yang berkeadilan termasuk menciptakan kondisi yang kondusif

bagi kegiatan dunia usaha dan investasi;

b) Peningkatan efisiensi, efektivitas dan prioritas alokasi belanja daerah

secara proporsional; serta

c) Pengembangan transparansi dan akuntabilitas, serta profesionalisme

pengelolaan keuangan daerah.

6) Program Penataan Daerah Otonom Baru

Program ini ditujukan untuk menata dan melaksanakan kebijakan

pembentukan daerah otonom baru sehingga pembentukan daerah otonom

baru tidak memberikan beban bagi keuangan negara dalam kerangka upaya

meningkatkan pelayanan masyarakat dan percepatan pembangunan wilayah.

Kegiatan pokok yang dilakukan antara lain adalah:

a) Pelaksanaan evaluasi perkembangan daerah-daerah otonom baru dalam

memberikan pelayanan kepada masyarakat;

b) Pelaksanaan kebijakan pembentukan daerah otonom baru dan atau

penggabungan daerah otonom, termasuk perumusan kebijakan dan

pelaksanaan upaya alternatif bagi peningkatan pelayanan masyarakat dan

percepatan pembangunan wilayah selain melalui pembentukan daerah

otonom baru;

c) Penyelesaian status kepemilikan dan pemanfaatan aset daerah secara

optimal; serta

d) Penataan penyelenggaraan pemerintahan daerah otonom baru.

Sejak tahun 2004 hingga tahun 2009, program-program dalam rangka

perwujudan desentralisasi dan otonomi daerah antara lain:

Page 59: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐7 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Program dan Kegiatan Tahun 2005 (RKP 2005)

Program Pengembangan Otonomi Daerah

bertujuan meningkatkan kapasitas pemerintah daerah, memantapkan

pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah, serta pemantapan

penyelenggaraan pemerintahan dalam negeri

Sasaran dari program pengembangan otonomi daerah adalah:

1. meningkatnya kapasitas kelembagaan pemerintah daerah;

2. meningkatnya kinerja aparat pemda dan etika kepemimpinan daerah;

3. meningkatnya kemampuan pengelolaan keuangan daerah;

4. meningkatnya peran serta masyarakat dan lembaga-lembaga non pemerintah

dalam proses pembangunan; serta

5. terwujudnya keserasian pelaksanaan otonomi daerah.

Sedangkan Pokok-Pokok Kegiatan yang diamanatkan dalam Rencana Kerja

Pemerintah Tahun 2005 yakni :

1. Fasilitasi pemantapan struktur kelembagaan, fungsi, dan manajemen

pemerintah daerah untuk mendukung pelaksanaan SPM serta menata

hubungan kerja lembaga di lingkungan pemerintah daerah secara

horizontal, dan vertikal, serta antara pemerintah dan masyarakat, dan

memfasilitasi peningkatan kapasitas lembaga non pemerintah, dengan

menerapkan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik dalam rangka

mendukung kepentingan kebijakan nasional dalam kerangka NKRI;

2. Penyusunan rencana pengelolaan dan memfasilitasi peningkatan kapasitas

SDM daerah berbasis kompetensi untuk melaksanakan dan mendukung

pelayanan prima serta memfasilitasi pengembangan etika kepemimpinan

daerah;

3. Fasilitasi pengoptimalan pendapatan daerah melalui ekstensifikasi pajak

dan retribusi daerah serta peningkatan upaya penggalian alternatif

sumber-sumber pembiayaan serta mendorong pengembangan kemitraan

antar pemerintah, dengan dunia usaha, dan masyarakat bagi upaya

penguatan keuangan daerah;

Page 60: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐8 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

4. Perkuatan institusi daerah dalam mengelola dana perimbangan,

dekonsentrasi, dan tugas pembantuan, dan menata sistem dan akuntansi

keuangan daerah, serta mendorong dilaksanakannya koordinasi

perumusan prioritas anggaran bagi pemenuhan kebutuhan dan pelayanan

dasar terutama bagi masyarakat miskin;

5. Pemantapan proses pelimpahan kewenangan pemerintah pusat ke

daerah.

6. Penanganan pelaksanaan otonomi khusus di Papua dan Nanggroe Aceh

Darussalam;

7. Penataan pembentukan daerah otonom baru;

8. Pelaksanaan kajian kebijakan dan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi

daerah bagi bahan penyusunan kebijakan.

Program dan Kegiatan Tahun 2006 (RKP 2006)

1) Program Penataan Peraturan Perundang-undangan mengenai

Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Sasaran yang ingin dicapai dari

program ini adalah tercapainya sinkronisasi dan harmonisasi peraturan

perundang-undangan pusat dan daerah. Kegiatan-kegiatan pokok dalam

program ini adalah :

a. Penyusunan peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004

tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintahan Daerah;

b. Sosialisasi peraturan perundangan-undangan yang terkait dengan

kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah termasuk sistem

perencanaan pembangunan;

c. Penyesuaian berbagai peraturan perundangan-undangan yang

menyangkut hubungan pusat dan daerah termasuk peraturan perundang-

undangan sektoral sehingga menjadi harmonis dan sinkron;

d. Penyesuaian peraturan perundang-undangan daerah sehingga menjadi

sinkron dengan peraturan perundang-undangan yang diatasnya;

Page 61: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐9 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

e. Peningkatan pengawasan peraturan daerah, melalui pembatalan dan revisi

peraturan perundang-undangan daerah, yang bertentangan atau

menghambat bagi kegiatan investasi;

f. Pelaksanaan monitoring, pengawasan, dan evaluasi pelaksanaan kebijakan

desentralisasi dan otonomi daerah termasuk pelaksanaan otonomi khusus

di Provinsi Papua dan NAD; dan

g. Penguatan visi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah

2) Program Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pemerintah Daerah.

Sasaran yang ingin dicapai dalam program ini adalah terbentuknya

kelembagaan pemerintah daerah yang efektif, efisien, dan akuntabel.

Kegiatan-kegiatan pokok dalam program ini adalah :

a. Penataan kelembagaan pemerintahan daerah agar sesuai dengan beban

pelayanan kepada masyarakat

b. Peningkatan kinerja perangkat organisasi daerah agar dapat melayani

masyarakat dengan tepat, mudah, cepat, dan murah terutama pelayanan

bagi masyarakat miskin;

c. Fasilitasi peningkatan kapasitas kelembagaan dalam pengurusan perijinan

investasi;

d. Fasilitasi peningkatan koordinasi antar lembaga daerah untuk kemudahan

investasi;

e. Penyusunan kinerja kelembagaan daerah berdasarkan prinsip-prinsip

organisasi modern dan berorientasi pelayanan masyarakat;

f. Pengkajian dan fasilitasi pelaksanaan standar pelayanan minimum;

g. Fasilitasi pengelolaan kewenangan daerah

h. Peningkatan peran lembaga non-pemerintah dan masyarakat dalam setiap

pengambilan keputusan pada tingkat provinsi, dan kabupaten/kota

melalui penerapan prinsip tata pemerintahan yang baik (good

governance);

i. Fasilitasi perencanaan partisipatif yang melibatkan masyarakat dan

organisasi nonpemerintah;

j. Fasilitasi penyusunan perda transparansi, partisipatif, dan akuntabilitas;

Page 62: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐10 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

k. Kegiatan antisipatif untuk kelancaran, ketertiban, dan untuk menghindari

konflik komunal sebelum dan sesudah pemilihan kepala daerah secara

langsung (pilkada langsung) berupa:

i. Analisa situasi politik lokal menjelang proses pilkada langsung;

ii. Sosialisasi kepada tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh daerah

tentang proses pilkada langsung;

iii. Sosialisasi kepada para aparat pemerintah daerah tentang proses

pilkada langsung; dan

iv. Kegiatan untuk memfasilitasi dan memediasi persoalan yang muncul

sebelum dan sesudah pilkada langsung untuk menghindari persoalan

meluas dan memicu konflik komunal

l. Fasilitasi dukungan penguatan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah

3) Program Peningkatan Profesionalisme Aparatur Pemerintah Daerah.

Sasaran yang ingin dicapai dalam program ini adalah meningkatnya kapasitas

pengelolaan sumber daya aparatur pemerintah daerah yang profesional dan

kompeten. Kegiatan-kegiatan pokok dalam program ini adalah :

a. Penyusunan peraturan perundang-undangan daerah, pedoman dan

standar kompetensi aparatur pemerintah daerah;

b. Penyusunan rencana pengelolaan aparatur pemerintah daerah termasuk

sistem rekruitmen yang terbuka, mutasi dan pengembangan pola karir;

c. Fasilitasi penyediaan aparat pemerintah daerah, mutasi dan kerjasama

aparatur pemerintah daerah;

d. Pemulihan penyelenggaraan pemerintahan daerah di wilayah pasca

bencana gempa dan tsunami;

e. Fasilitasi penyusunan model dan pedoman bagi peningkatan etika

kepemimpinan daerah;

f. Fasilitasi pengembangan kapasitas aparatur pemerintah daerah dengan

prioritas peningkatan kemampuan dalam pelayanan publik seperti

kebutuhan dasar masyarakat, keamanan dan kemampuan penyiapan

rencana strategis pengembangan ekonomi (lokal), kemampuan

pengelolaan keuangan daerah, dan penyiapan strategi investasi, serta

kemampuan dalam menghadapi bencana.

Page 63: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐11 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

4) Program Kerjasama Antar Pemerintah Daerah. Sasaran yang ingin dicapai

dalam program ini adalah meningkatnya kerjasama antar pemerintah daerah.

Kegiatan-kegiatan pokok dalam program ini adalah :

a. Penyusunan dan penetapan peraturan perundang-undangan tentang

kerjasama antar daerah termasuk peran pemerintah provinsi;

b. Identifikasi, perencanaan, fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan untuk

meningkatkan kerjasama antar pemerintah daerah dalam penciptaan

lapangan kerja, investasi, dan peningkatan ekspor;

c. Pengoptimalan dan peningkatan efektivitas sistem informasi pemerintahan

daerah untuk memperkuat kerjasama antar pemerintah daerah dan

dengan Pemerintah Pusat.

5) Program Penataan Daerah Otonom Baru. Sasaran yang ingin dicapai dalam

program ini adalah tertatanya daerah otonom baru. Kegiatan-kegiatan pokok

dalam program ini adalah :

a. Perumusan kebijakan dan pelaksanaan upaya alternatif bagi peningkatan

pelayanan masyarakat dan percepatan pembangunan wilayah selain

melalui pembentukan daerah otonom baru;

b. Pelaksanaan evaluasi perkembangan daerah-daerah otonom baru dalam

memberikan pelayanan kepada masyarakat;

c. Dukungan penyelesaian status kepemilikan aset daerah;

d. Fasilitasi pemanfaatan aset daerah secara optimal; dan

e. Kajian dan penataan serta pemantapan penyelenggaraan pemerintahan

daerah otonom baru.

Program dan Kegiatan Tahun 2007 (RKP 2007)

1. Program Penataan Peraturan Perundang-undangan mengenai

Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Kegiatan-kegiatan pokok dalam

program ini adalah : (1) Penyusunan kebijakan dalam rangka implementasi

grand strategy penataan otonomi daerah; (2) Fasilitasi pemantapan

pelaksanaan urusan sesuai PP Pembagian Urusan; (3) Fasilitasi pemantapan

pelaksanaan kebijakan otonomi daerah yang berkarakter khusus; (4) Fasilitasi

penyesuaian peraturan perundangan sektor dengan PP Pembagian Urusan

Page 64: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐12 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Pemerintahan; (5) Supervisi dan evaluasi perda yang bermasalah; (6)

Sosialisasi Peraturan Perundangan Bidang Otonomi daerah; (7) Pengawasan

dan Pembatalan Perda yang bermasalah.

2. Program Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pemerintah Daerah.

Kegiatan-kegiatan pokok dalam program ini adalah : (1) Fasilitasi penyusunan

kelembagaan pemerintahan daerah; (2) Penataan kelembagaan di daerah

otsus dan istimewa (MRP, hubungan antara lembaga daerah); (3) Evaluasi

kebijakan Pilkada; (4) Fasilitasi penerapan SPM; (5) Fasilitasi penyusunan

rekomendasi DPOD; (6) Peningkatan kinerja perangkat organisasi daerah; (7)

Penyusunan kinerja kelembagaan daerah berdasarkan prinsip-prinsip

organisasi modern dan berorientasi pelayanan masyarakat; (8) Penyusunan

rencana perbaikan sistem dan prosedur kerja lembaga pemerintah; (9)

Peningkatan peran lembaga non-pemerintah dan masyarakat melalui

penerapan prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance); (10)

Pemantapan kelembagaan pemerintah daerah sesuai dengan perubahan

jumlah penduduk dan pembangunan daerah; (11) Penataan kelembagaan

pemerintahan daerah agar sesuai dengan beban pelayanan kepada

masyarakat; (12) Fasilitasi pemantapan aparatur pejabat negara dan DPRD;

(13) Fasilitasi Penataan kelembagaan dan tatalaksana pemerintah daerah.

3. Program Peningkatan Profesionalisme Aparatur Pemerintah Daerah.

Kegiatan-kegiatan pokok dalam program ini adalah : (1) Fasilitasi pengkajian

kompetensi jabatan di daerah; (2) Peningkatan kapasitas dan pelatihan

aparatur pemda dalam penyusunan rencana strategis investasi,

pengembangan ekonomi, dan penyediaan kesempatan kerja; (3) Peningkatan

kapasitas dan pelatihan bagi aparatur pemda dalam komputerisasi pelayanan

bagi kegiatan investasi; (4) Peningkatan kapasitas dan pelatihan Camat,

Lurah/Kepala Desa dan Sekdes bagi penciptaan iklim berusaha yang

kondusif; (5) Peningkatan kapasitas pemda dalam penguatan regulasi

pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah; (6) Fasilitasi

pengembangan kapasitas dan pelatihan aparatur pemerintah daerah dalam

memantapkan penyelenggaraan pemerintah, termasuk di wilayah pasca

bencana (Aceh, Nias, Alor dan Nabire); (7) Peningkatan kapasitas dan

Page 65: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐13 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

pelatihan aparatur pemerintah daerah dalam usaha mitigasi bencana; (8)

Penyusunan rencana pengelolaan aparatur pemerintah daerah termasuk

sistem rekruitmen yang terbuka, mutasi, dan pengembangan pola karir; (9)

Optimalisasi pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (e-services)

dalam pelayanan publik dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan

publik.

4. Program Kerjasama Antar Pemerintah Daerah. Kegiatan-kegiatan pokok

dalam program ini adalah : (1) Fasilitasi Penyelesaian RPP Kerjasama Daerah;

(2) Penyelenggaraan sosialisasi regulasi dan kebijakan kerjasama

pemerintahan daerah; (3) Fasilitasi Pelaksanaan Kerjasama Daerah di wilayah

JABODETABEKJUR; (4) Fasilitasi perkuatan kerjasama antar daerah pada

bidang ekonomi dan hukum di wilayah perbatasan antar negara; (5) Fasilitasi

perkuatan kerjasama antardaerah dalam hal penyediaan sarana dan

prasarana publik di wilayah perbatasan antar negara; (6) Fasilitasi

Peningkatan Peran Gubernur Selaku Wakil Pemerintah dalam rangka kerja

sama Pembinaan Wilayah; (7) Fasilitasi kerjasama antar pemerintahan daerah;

(8) Fasilitasi penyempurnaan model kerjasama daerah; (9) Optimalisasi

jaringan kerjasama antar pemerintah daerah dan kemitraan dengan pihak

ketiga.

5. Program Penataan Daerah Otonom Baru. Kegiatan-kegiatan pokok dalam

program ini adalah : (1) Pelaksanaan evaluasi daerah otonom baru; (2)

Fasilitasi percepatan penyelesaian status aset antara daerah baru dan daerah

induk; (3) Fasilitasi pemantapan SOTK pemerintah daerah otonom baru; (4)

Fasilitasi percepatan penyelesaian batas wilayah administrasi antar daerah;

(5) Fasilitasi penataan batas wilayah administrasi pemerintahan pada daerah

otonom baru.

6. Program Peningkatan Kapasitas Keuangan Daerah. Kegiatan-kegiatan

pokok dalam program ini adalah : (1) Pengembangan sistem informasi

pengelolaan keuangan daerah; (2) Fasilitasi pengelolaan keuangan daerah

(perencanaan anggaran daerah, perimbangan keuangan, pengelolaan

pendapatan dan invetasi kekayaan daerah, dan fasilitasi penatausahaan,

Page 66: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐14 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

akuntansi dan penyusunan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD);

(3) Fasilitasi penataan regulasi keuangan daerah.

Program dan Kegiatan Tahun 2008 (RKP 2008)

1. Program Penataan Peraturan Perundang-undangan mengenai

Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Kegiatan-kegiatan pokok dalam

program ini adalah :

a. Fasilitasi implementasi Peraturan perundang-undangan daerah khusus dan

istimewa

b. Harmonisasi berbagai peraturan perundang-undangan sektor dengan

peraturan perundang-undangan mengenai desentralisasi

c. Finalisasi dan sosialisasi UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah hasil penyempurnaan.

d. Supervisi dan evaluasi Perda bermasalah.

e. Fasilitasi implementasi Grand Strategy Otonomi Daerah.

f. Fasilitasi Pelaksanaan PP tentang tahapan, tatacara penyusunan dan

evaluasi rencana pembangunan daerah.

2. Program Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pemerintah Daerah.

Kegiatan-kegiatan pokok dalam program ini adalah :

a. Fasilitasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dalam Memantapkan

Penyelenggaraan Pemerintahan di Lokasi Pasca Bencana.

b. Fasilitasi Penerapan dan Pengendalian Pelaksanaan Standar Pelayanan

Minimal (SPM) di 33 Provinsi Fasilitasi Penataan Kelembagaan di Daerah

Otonomi Khusus dan Istimewa.

c. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan desentralisasi dan penyelenggaraan

Otonomi Daerah.

d. Fasilitasi pelaksanaan tugas dan fungsi DPOD.

e. Monitoring dan evaluasi Pelaksanaan Pilkada.

f. Fasilitasi pelaksanaan pilkada langsung 95 Bupati dan 31 Walikota.

g. Pembinaan/fasilitasi perencanaan pembangunan daerah.

h. Pengembangan Kapasitas Berkelanjutan untuk Desentralisasi (Sustainable

Capacity Building for Decentralization/SCB-DP).

Page 67: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐15 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

i. Pengembangan Manajemen Bidang Pertanahan (Land Management Policy

Development Project).

j. Prakarsa Pembaharuan Tata Pemerintahan Daerah (Initiative Local

Government Reform Project).

k. Local Government Performance Measurement System Project/ LGPMS (ADB

Grant:JFICT 9082 INO).

l. Fasilitasi Sinkronisasi dan Sinergitas Program Perencanaan Pembangunan

Daerah.

m. Dukungan pelaksanaan Program Good Local Governance Dalam

Pembangunan Daerah

3. Program Peningkatan Profesionalisme Aparatur Pemerintah Daerah.

Kegiatan-kegiatan pokok dalam program ini adalah :

a. Peningkatan kapasitas aparatur Pemerintah Daerah di dalam penerapan

Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang pendidikan dan kesehatan.

b. Peningkatan kapasitas aparat pemerintah daerah dalam usaha mitigasi

bencana dan bahaya kebakaran

c. Penyusunan norma, standar, prosedur, dan pedoman sistem karir, sistem

cuti, sistem asuransi, sistem penghargaan, serta pengelolaan aparatur

pemda.

d. Pembinaan dan pengembangan manajemen aparatur pemerintah daerah

daerah khususnya penataan jabatan negeri dan negara.

e. Pendataan dan evaluasi formasi jabatan aparatur pemerintah daerah

secara nasional.

f. Pelatihan Penyelenggaraan Pemda bagi KDH dan DPRD pasca

PilkadaPelatihan penyelenggaraan pemerintahan daerah bagi KDH dan

DPRD pasca Pilkada.

g. Pelatihan bagi aparat pemerintah daerah, khususnya pada tingkat

kecamatan dan kelurahan/desa dalam bidang kependudukan, kesempatan

kerja, dan strategi investasi.

h. Pengembangan kapasitas aparatur pemerintah daerah untuk mendukung

kinerja penyelenggaraan pemerintahan

Page 68: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐16 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

4. Program Kerjasama Antar Pemerintah Daerah. Kegiatan-kegiatan pokok

dalam program ini adalah :

a. Fasilitasi Penyusunan Kebijakan, Model-model Kerjasama antar Daerah,

dan Peningkatan Peran Gubernur Dalam Kerjasama antar Daerah

b. Fasilitasi Kerjasama Pembangunan Regional.

c. Fasilitasi Kerjasama Pembangunan antar Daerah.

d. Fasilitasi Pemantapan Hubungan Pemerintah Daerah dengan DPRD.

5. Program Penataan Daerah Otonom Baru. Kegiatan-kegiatan pokok dalam

program ini adalah :

a. Evaluasi Penataan Daerah Otonom Baru.

b. Evaluasi Penyelenggaraan Pembangunan di Daerah Otonom Baru.

c. Dukungan Pembangunan Sarana dan Prasarana Pemerintahan Kecamatan

di Daerah Otonom Baru.

d. Fasilitasi Penataan Batas Wilayah Administrasi Pemerintahan pada Daerah

Otonom Baru.

6. Program Peningkatan Kapasitas Keuangan Daerah. Kegiatan-kegiatan

pokok dalam program ini adalah :

a. Pengembangan Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan Daerah .

b. Fasilitasi Pengelolaan Keuangan Daerah.

c. Fasilitasi Penataan Regulasi Keuangan Daerah.

d. Pelakanaan Rencana Aksi Nasional Desentralisasi Fiskal (RAN-DF).

Program dan Kegiatan Tahun 2009 (RKP 2009)

1) Program Penataan Peraturan Perundang-undangan Mengenai Desentralisasi

dan Otonomi Daerah

Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan berdasarkan RKP 2009:

a. Fasilitasi Penyusunan Peraturan Perundang-undangan tentang Provinsi

DKI Jakarta, DI Yogyakarta, NAD, Papua dan Irian Jaya Barat

b. Finalisasi dan sosialisasi UU sebagai revisi dan penyempurnaan UU No

32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Page 69: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐17 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

c. Harmonisasi berbagai peraturan perundang-undangan sektor dengan

peraturan perundang-undangan mengenai desentralisasi

d. Supervisi dan evaluasi peraturan daerah

e. Fasilitasi pelaksanaan PP tentang tahapan, tatacara penyusunan dan

evaluasi rencana pembangunan daerah

2) Program Peningkatan Kerjasama Antar Pemerintah Daerah

Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan berdasarkan RKP 2009:

a. Fasilitasi Pengembangan Ekonomi Daerah

b. Peningkatan Peran Gubernur dalam Kerjasama Antar Pemerintah

Daerah

c. Fasilitasi Pemantapan Hubungan DPRD dan Pemerintah Daerah

d. Revitalisasi Kerjasama Pembangunan Regional

3) Program Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pemerintah Daerah

a. Fasilitasi Penataan Kelembagaan di Daerah Otonomi Khusus dan

Istimewa

b. Fasilitasi penataan organisasi perangkat daerah

c. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan desentralisasi dan

penyelenggaraan otonomi daerah

d. Sosialisasi dan implementasi kerangka nasional pengembangan

kapasitas dalam rangka mendukung desentralisasi dan pemerintahan

daerah

e. Fasilitasi penyusunan, penerapan dan pencapaian Standar Pelayanan

Minimal (SPM)

f. Pembinaan/fasilitasi penyusunan rencana pembangunan daerah

g. Evaluasi pelaksanaan pilkada

h. Fasilitasi pelaksanaan tugas dan fungsi DPOD

i. Peningkatan sarana /prasarana pelayanan pemerintahan di daerah

pasca bencana

j. Pengembangan Kapasitas Berkelanjutan untuk Desentralisasi

(Sustainable Capacity Building for Decentralization/SCB-DP)

k. Pengembangan Manajemen Bidang Pertanahan

l. Prakarsa Pembaharuan Tata Pemerintahan Daerah

Page 70: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐18 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

m. Pengembangan perangkat untuk menginkoperasikan Pertimbangan

Lingkungan dalam Proses Perencanaan Pembangunan Daerah

n. Penguatan fungsi perencanaan daerah dalam penyusunan Perencanaan

Pembangunan

4) Program Peningkatan Profesionalisme Aparatur Pemerintah Daerah

a. Peningkatan Kapasitas Aparatur Pemerintah Daerah dalam usaha

mitigasi bencana dan bahaya kebakaran

b. Peningkatan kapasitas aparatur Pemerintah Daerah dalam penerapan

SPM di daerah

c. Penyusunan Rencana Aksi Nasional Penguatan Kapasitas Aparatur

Pemerintah Daerah

d. Penyusunan pedoman mengenai jabatan perangkat daerah, termasuk

penataan jabatan struktural dan fungsional di daerah

e. Penyelenggaraan Diklat Aparatur Pemda berdasarkan rumpun Diklat

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

f. Fasilitasi pemantapan Aparatur Pejabat Negara dan DPRD

5) Program Penataan Daerah Otonom Baru

a. Evaluasi Penataan Daerah Otonom Baru

b. Fasilitasi Penataan Batas Wilayah Administrasi Pemerintahan pada

Daerah Otonom Baru

6) Program Peningkatan Kapasitas Keuangan Pemerintah Daerah

a. Pengembangan Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan daerah

b. Fasilitasi Pengelolaan Keuangan Daerah

c. Fasilitasi Penataan Regulasi Keuangan Daerah

Dari paparan di muka, tampak bahwa terjadi perubahan program-program

dalam rangka perwujudan desentralisasi dan otonomi daerah dari tahun 2004

hingga 2006 sehingga program-program tersebut tidak berkesinambungan.

Sejak tahun 2006 barulah tampak konsistensi program-program desentralisasi

dan otonomi daerah.

Page 71: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐19 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

4.2. Capaian Pelaksanaan Program Desentralisasi dan Otonomi Daerah

2005-2009

Capaian masing-masing program dapat dilihat dari pemenuhan indikator

masing-masing kegiatan. Selain itu, capaian juga dapat dilihat dari capaian

sasaran program dan kegiatan.

Berdasarkan laporan database Desentralisasi dan Otonomi Daerah yang

dirilis oleh Direktorat Otonomi Daerah-Bappenas Tahun 2009, perkembangan

desentralisasi dan otonomi daerah dan program-program yang dilaksanakan

dalam rangka perwujudannya, dapat dilihat berikut ini :

4.2.1. Program Penataan Peraturan Perundang-undangan mengenai

Desentralisasi dan Otonomi Daerah

UU 32 tahun 2004 mengamanatkan 27 Peraturan Pemerintah, 2 Peraturan Presiden

dan 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri, sedangkan UU 33 tahun 2004

mengamanatkan 7 Peraturan Pemerintah dan 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri.

Hingga pertengahan tahun 2009 atau setelah 5 tahun pelaksanaan kedua

peraturan perundangan tersebut, saat ini Pemerintah telah menyelesaikan 89%

amanat UU 32 tahun 2004, serta 100% amanat UU 33 tahun 2004, dengan rincian

sebagaimana tabel berikut:

Tabel 4.1.

Amanat dan Capaian Peraturan Turunan UU 32/2004 dan 33/2005

UU 32/3004 UU 33.2004 No. Jenis Peraturan

Amanat Capaian Amanat Capaian

1 Peraturan Pemerintah (PP) 27 21*) 7 7

2 Peraturan Presiden (Perpres)

3 1 - -

3 Peraturan Menteri Dalam Negeri

3 2 1 1

Keterangan :

*) 2 RPP tidak dilanjutkan dan 4 RPP dijadikan 2 RPP (Lihat Tabel)

Page 72: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐20 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Berdasarkan tabel 2.1. di atas, maka pada tahun 2009, pencapaian

pelaksanaan amanat UU 32 tahun 2004 hanya ada 1 (satu) capaian, yaitu

Peraturan Pemerintah, yaitu (1) PP no. 34 Tahun 2009 tentang Pedoman

Pengelolaan Kawasan Perkotaan. Hal ini berbeda dengan tahun 2008 sebanyak 6

(enam) capaian Peraturan Pemerintah. Selain itu sebanyak 4 PP masih dalam

bentuk rancangan yang masih dalam proses penyelesaian di instansi terkait,

yaitu:

1. Amanat dari pasal 168 ayat (1), untuk membentuk PP tentang Belanja Kepala

Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Hingga saat ini, draft PP tersebut telah

terbentuk dan sedang dibahas dengan instansi terkait dan Daerah.

2. Amanat dari pasal 9 ayat (3) dan ayat (6)1, untuk membentuk PP tentang

Fungsi Pemerintahan Tertentu dan Tatacara Penetapan Kawasan Khusus.

Proses penyusunan PP tersebut telah sampai pada pengajuan RPP kepada

Sekretariat Negara dan Departemen Hukum dan HAM.

3. Amanat dari pasal 38 ayat (3) dan ayat (4)2, untuk membentuk PP tentang

Tatacara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan

Gubernur Selaku Wakil Pemerintah. Sama seperti amanat sebelumnya, RPP ini

telah disampaikan kepada Sekretariat Negara dan Departemen Hukum dan

HAM.

4. Amanat dari Pasal 135 ayat (2), untuk membentuk PP tentang Pedoman

Standar, Norma dan Prosedur Pembinaan dan Pengawasan Manajemen PNS

Daerah. Draft PP tersebut saat ini masih dalam proses pembahasan dengan

instansi terkait dan Daerah

Ada pun rincian pelaksanaan amanat kedua Undang-undang tersebut

disajikan secara lengkap dalam 2 tabel di bawah ini.

                                                            1 Awalnya direncanakan membentuk 2 PP, PP tentang Fungsi Pemerintahan Tertentu dan PP tentang Tatacara Penetapan Kawasan Khusus. 2 Awalnya direncanakan membentuk 2 PP, PP tentang Kedudukan Keuangan Gubernur Selaku Wakil Pemerintah dan PP tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Gubernur selaku Wakil Pemerintah.

Page 73: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐21 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Tabel 4.2

Pelaksanaan Amanat UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

No Peraturan Pelaksana

Dasar Pengaturan

UU No. 32/2004

Penanggung Jawab

Status Penyusunan

PERATURAN PEMERINTAH 1. PP tentang pemilihan,

pengesahan pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Pasal 33 ayat (3)

Dit. Pejabat Negara Ditjen Otda Depdagri

Selesai dengan diterbitkannya PP No. 6 Tahun 2005, kemudian diubah dengan PP No. 25 Tahun 2007, kemudian diubah lagi dengan PP No. 49 Tahun 2008

2. PP tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja

Pasal 148 ayat (2)

Dit. Tramtib dan Linmas, Ditjen PUM Depdagri

Selesai dengan diterbitkannya PP No 32 Tahun 2004

3. PP tentang Standar Akuntansi Pemerintahan

Pasal 184 Dit. Fas. Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah, Ditjen BAKD

Selesai dengan diterbitkannya PP No 24 Tahun 2005

4. PP tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Tatatertib DPRD

Pasal 43 ayat (8), Pasal 46 ayat (2), Pasal 54 ayat (6), dan Pasal 55 ayat (5)

Dit. Pejabat Negara, Ditjen OTDA Depdagri

Selesai dengan diterbitkannya PP No. 25 tahun 2004, kemudian diubah dengan PP no.53 tahun 2005

5. PP tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD

Pasal 44 ayat (2), Pasal 168 ayat (2)

Dit. Pejabat Negara, Ditjen OTDA Depdagri

Selesai dengan diterbitkannya PP No.24 tahun 2004, diubah dengan PP no. 37 tahun 2005, diubah lagi dengan PP no.37 tahun 2006, kemudian diubah lagi dengan PP No.21 Tahun 2007

6. PP tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Perkotaan

Pasal 199 Dit. Perkotaan, Ditjen Bina Bangda Depdagri

Selesai dengan diterbitkannya PP No. 34Tahun 2009 tentang Pengelolaan Kawasan Perkotaan

Page 74: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐22 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

No Peraturan Pelaksana

Dasar Pengaturan

UU No. 32/2004

Penanggung Jawab

Status Penyusunan

7. PP tentang Desa Pasal 203, Pasal 208, Pasal 210, Pasal 211, Pasal 213, Pasal 214, dan Pasal 216

Dit Pemerintahan Desa dan Kelurahan, Ditjen PMD Depdagri

Selesai dengan diterbitkannya PP No. 72 tahun 2005

8. PP tentang Kelurahan Pasal 127 Dit Pemerintahan Desa dan Kelurahan, Ditjen PMD Depdagri

Selesai dengan diterbitkannya PP no. 73 tahun 2005

9. PP tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan Sekretaris Desa menjadi PNS

Pasal 202 Dit. Pemerintahan Desa dan Kelurahan, Ditjen PMD Depdagri

Selesai dengan diterbitkannya PP no. 45 tahun 2007

10. PP tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah

Pasal 178 Dit. Adm. Pendapatan dan Investasi Daerah, Ditjen BAKD Depdagri

Selesai dengan diterbitkannya PP No.6 Tahun 2006 , yang diubah dengan PP 38 Tahun 2008

11. PP tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

Pasal 223 Inspektorat Jenderal Depdagri

Selesai dengan diterbitkannya PP No. 79 Tahun 2005

12. PP tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

Pasal 6 ayat (3); Pasal 27 ayat (4) dan ayat (5)

Dit. Peningkatan Kapasitas dan Evaluasi Kinerja Daerah, Ditjen OTDA Depdagri

Selesai dengan diterbitkannya PP No. 6 tahun 2008

13. PP tentang Tatacara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah

Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6

Dit. Penataan Daerah dan Otonomi Khusus, Ditjen OTDA Depdagri

Selesai dengan diterbitkannya PP No. 78 Tahun 2007

14. PP tentang Pedoman Penyusunan Standar dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal

Pasal 11 ayat (4)

Dit. Peningkatan Kapasitas dan Evaluasi Kinerja Daerah, Ditjen

Selesai dengan diterbitkannya PP No. 65 Tahun 2005

Page 75: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐23 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

No Peraturan Pelaksana

Dasar Pengaturan

UU No. 32/2004

Penanggung Jawab

Status Penyusunan

OTDA Depdagri

15. PP tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota

Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 dan Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2)

Dit Urusan Pemerintahan Daerah, Ditjen OTDA Depdagri

Selesai dengan diterbitkannya PP No.38 tahun 2007

16. PP tentang Belanja Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Pasal 168 ayat (1)

Dit. Pejabat Negara, Ditjen OTDA Depdagri

Sudah dalam bentuk draft dan sedang dibahas dengan instansi terkait dan Daerah.

17. PP tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada DPRD, dan Informasi LaporanPenyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Masyarakat

Pasal 27 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 42 ayat (1) huruf h

Dit. Urusan Pemerintahan Daerah, Ditjen OTDA Depdagri Dit UPD dan PN-Ditjen Otda

Selesai dengan diterbitkannya PP No. 3 tahun 2007

PP tentang Hubungan Pelayanan Umum Antara Pemerintah dengan Pemerintahan Daerah dan antar Pemerntah Daerah TIDAK DILANJUTKAN

Pasal 15 dan Pasal 16

Dit. Fas. DPOD & Hubungan Antar Lembaga, Ditjen OTDA Depdagri

Sesuai pembahasan Depdagri bersama Dep/LPND terkait, substansi RPP ini telah dimuat dalam RPP yang mengatur pembagian urusan, dan RPP yang mengatur Pelayanan Umum

PP tentang Tatacara Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Penggunaan Dana Darurat TIDAK DILANJUTKAN

Pasal 165 ayat (3)

Ditjen BAKD Diinformasikan oleh Kasubag Per--an Ditjen BAKD, penyusunan RPP ini tidak dilanjutkan, karena substansi RPP ini sudah tertampung dalam PP No. 58 tahun 2005 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

18. PP tentang Fungsi Pasal 9 ayat Dit. Kawasan Sudah disampaikan ke

Page 76: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐24 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

No Peraturan Pelaksana

Dasar Pengaturan

UU No. 32/2004

Penanggung Jawab

Status Penyusunan

Pemerintahan Tertentu (3)

dan Otorita, Ditjen PUM Depdagri

19. PP tentang Tatacara Penetapan Kawasan Khusus

Pasal 9 ayat (6)

Dit. Kawasan dan Otorita, Ditjen PUM Depdagri

Setneg/Setkab/ Dephuk dan HAM yang kemudian dijadikan satu PP tentang Fungsi Pemerintahan Tertentu dan Tatacara Penetapan Kawasan Khusus

20. PP tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Antar Daerah

Pasal 197 Dit. Ketentraman dan Ketertiban Umum, Ditjen PUM Depdagri

Selesai dengan diterbitkannya PP no. 50 tahun 2007

21. PP tentang Organisasi Perangkat Daerah

Pasal 128 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)

Biro Organisasi, Sekretariat Jenderal Depdagri

Selesai dengan diterbitkannya PP no. 41 tahun 2007

22. PP tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah

Pasal 154 Ditjen Bangda Depdagri

Selesai dengan diterbitkannya PP no. 8 tahun 2008

23. PP tentang Kedudukan Keuangan Gubernur Selaku Wakil Pemerintah

Pasal 38 ayat (3)

24. PP tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Gubernur selaku Wakil Pemerintah

Pasal 38 ayat (4)

Dit. Pejabat Negara, Ditjen Otda Depdagri

Sudah menjadi satu draft RPP tentang Tatacara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur Selaku Wakil Pemerintah sudah disampaikan ke Dephukham.

25. PP tentang Insentif dan/ atau Kemudahan Kepada Masyarakat/Investor

Pasal 176 Ditjen Bangda Depdagri

Selesai dengan diterbitkannya PP no. 45 tahun 2008

26. PP tentang Pedoman, Norma, Standar dan Prosedur Pembinaan dan Pengawasan Manajemen PNS Daerah

Pasal 135 ayat (2)

Biro Kepegawaian, Sekretariat Jenderal Depdagri

Sudah dalam bentuk draft dan sedang dibahas dengan instansi terkait dan Daerah.

27. PP tentang Pembentukan Kecamatan

Pasal 126 Ditjen PUM Selesai dengan diterbitkannya PP no. 19 tahun 2008

I. PERATURAN PRESIDEN

1. Peraturan Presiden tentang Dewan

Pasal 224 Dit. Fas. DPOD & Hubungan

Selesai dengan diterbitkannya Perpres

Page 77: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐25 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

No Peraturan Pelaksana

Dasar Pengaturan

UU No. 32/2004

Penanggung Jawab

Status Penyusunan

Pertimbangan Otonomi Daerah

antar Lembaga, Ditjen OTDA Depdagri

No. 28 Tahun 2005 tentang DPOD

2. Peraturan Presiden tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Peraturan Daerah

Pasal 140 ayat (3)

Dit. Fas. DPOD & Hubungan antar Lembaga, Ditjen OTDA Depdagri

Sudah disampaikan ke Dephuk HAM.

3

Peraturan Presiden tentang Pedoman Pengembangan Kapasitas dalam Mendukung Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah

Tidak diamanatkan, tetapi berkaitan.

Dit. Pengembangan Kapasitas dan Evaluasi Kinerja Daerah Depdagri

Dalam proses penyelesaian

II. PERATURAN MENDAGRI

1. Peraturan Mendagri tentang Perpindahan Menjadi Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Pegawai Negeri Sipil Daerah

Pasal 131 ayat (2)

Biro kepegawaian, Sekretariat Jenderal

Selesai dengan diterbitkannya Permendagri No 10 Tahun 2006 tentang Perpindahan Menjadi Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Pegawai Negeri Sipil Daerah

2. Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah

Pasal 229 Dit. Perbatasan, Ditjen PUM

Selesai dengan diterbitkannya Permendagri No.1 tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah

3. Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Tata Cara Perubahan Batas, Perubahan Nama dan Pemindahan Ibukota

Pasal 7 ayat (2)

Dit. Perbatasan, Ditjen PUM

Dalam proses penyelesaian

Sumber : OTDA-Depdagri, 2008-2009, dalam Laporan Penyusunan Database Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah Tahun 2009 yang dirilis oleh Direktorat Otonomi Daerah-Bappenas

Pencapaian pelaksanaan amanat UU 33 tahun 2004 telah jauh lebih baik

dibandingkan UU 32 tahun 2004, karena dengan ditetapkannya PP no.7

tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, maka semua

peraturan turunan yang diamanatkan oleh UU ini telah selesai

dilaksanakan. Untuk selanjutnya, fokus Pemerintah terkait dengan

Page 78: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐26 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

desentralisasi fiskal lebih kepada pelaksanaan peraturan perundangan

yang telah ditetapkan, termasuk penyusunan petunjuk teknis, jika

diperlukan.

Tabel 4.3

Pelaksanaan Amanat UU 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintahan Daerah

No. Peraturan Pelaksana

Dasar Pengaturan No. 33/2004

Penanggung Jawab

Status Penyusunan

I. PERATURAN PEMERINTAH

1. PP tentang Dana Perimbangan

Pasal 26, 37, dan 42

Ditjen APK Depkeu

Telah selesai dengan keluarnya PP No 55 Tahun 2005

2. PP tentang Pinjaman Daerah

Pasal 65 (Juga diamanat kan oleh No 32/2004 Pasal 171 ayat 1)

Ditjen APK-Depkeu, Dit Admn Pendapatan dan Investasi Daerah- Ditjen BAKD

Telah selesai dengan keluarnya PP No 54 Tahun 2005

3. PP tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah

Pasal 104 Ditjen APK Depkeu

Telah selesai dengan keluarnya PP No 56 Tahun 2005

4. PP tentang Pengelolaan Keuangan Daerah

Pasal 86 (Juga diamanatkan oleh No 32/2004 Pasal 23 ayat 2, Pasal 194 dan Pasal 182)

Ditjen APK-Depkeu, Dit Adm Anggaran Daerah-Ditjen BAKD

Telah selesai dengan keluarnya PP No 58 Tahun 2005

5. PP tentang Hibah ke daerah

Pasal 45 Ditjen APK Depkeu

Telah selesai dengan keluarnya PP No 57 Tahun 2005

6. PP tentang Pengelolaan Dana Darurat

Pasal 48 Ditjen APK Depkeu

TIDAK DILANJUTKAN karena substansinya telah diatur dalam PP No. 58 Tahun 2005

7. PP tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan

Pasal 92 dan 99 Ditjen APK Depkeu, dan Depdagri

Telah selesai dengan keluarnya PP No 7 Tahun 2008

II. PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI

8. Permendagri tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah

Pasal 155 PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan

Depkeu Permendagri No.13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, yang kemudian direvisi menjadi Permendagri

Page 79: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐27 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

No. Peraturan Pelaksana

Dasar Pengaturan No. 33/2004

Penanggung Jawab

Status Penyusunan

Daerah No. 59 tahun 2007 tentang Perubahan Permendagri No.13 tahun 2006.

Sumber : Ditjen Otda-Depdagri, 2008-2009

Selain amanat UU 32 dan 33 tahun 2004, terdapat beberapa peraturan

terkait bidang desentralisasi dan otonomi daerah yang telah ditetapkan pada

tahun 2009. Peraturan tersebut antara lain diuraikan dalam tabel di bawah ini.

Tabel 4.4

Peraturan Perundangan terkait Desentralisasi & Otonomi Daerah Tahun 2009

No. Nomor Judul

1. UU Nomor 43 Wilayah Negara

2. UU Nomor 10 Kepariwisataan

3. UU Nomor 11 Kesejahteraan Sosial

4. UU Nomor 22 Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

5. UU Nomor 25 Pelayanan Publik

6. UU Nomor 28 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

7. UU Nomor 32 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

8 UU Nomor 36 Kesehatan

9 UU Nomor 39 Kawasan Ekonomi Khusus

8. PP Nomor 79 Pemindahan Ibu Kota Kabupaten Padang Pariaman Dari Wilayah

Kota Pariaman Ke Nagari Parit Malintang Kecamatan Enam

Lingkung Kabupaten Padang Pariaman

Provinsi Sumatera Barat

9. PP Nomor 8 Perubahan Kesebelas Atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun

1977 Tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil

10. PP Nomor 34 Pedoman Pengelolaan Kawasan Perkotaan

11. PP Nomor 41 Tunjangan Profesi Guru Dan Dosen, Tunjangan Khusus Guru Dan

Dosen, Serta Tunjangan Kehormatan Profesor

Page 80: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐28 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

No. Nomor Judul

12. PP Nomor 42 Pemberian Gaji/Pensiun/Tunjangan Bulan Ketiga Belas Dalam

Tahun Anggaran 2009 Kepada Pegawai Negeri, Pejabat Negara,

Dan Penerima Pensiun/Tunjangan

13. PP Nomor 63 Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003

Tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, Dan

Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil

Sumber : Hasil Pengolahan, Dit Otda Bappenas, 2009

4.2.2. Program Peningkatan Kerjasama antar Pemerintah Daerah

Dalam mengembangkan potensi daerahnya, masing-masing daerah dapat

melakukan kerjasama dengan berpedoman pada PP 50 Tahun 2007 tentang Tata

Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah. Dalam PP tersebut disebutkan bahwa yang

dimaksud dengan Kerjasama Daerah adalah kesepakatan antara gubernur

dengan gubernur; atau gubernur dengan bupati/wali kota; atau antara

bupati/wali kota dengan bupati/wali kota yang lain, dan atau gubernur,

bupati/wali kota dengan pihak ketiga, yang dibuat secara tertulis serta

menimbulkan hak dan kewajiban. Terkait dengan tujuan desentralisasi dan

otonomi daerah dalam rangka peningkatan pelayanan publik, maka saat ini

kerjasama daerah juga didorong untuk mencakup sektor pelayanan publik, yang

selama ini masih cenderung dipisahkan berdasarkan batas administrasi wilayah.

Dalam PP 50 Tahun 2007 disebutkan bahwa prinsip-prinsip kerjasama

daerah adalah:

a. Efesinsi

b. Efektivitas

c. Sinergi

d. Saling menguntungkan

e. Kesepakatan bersama

f. Itikad baik

g. Mengutamakan kepentingan nasional keutuhan wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia

h. Persamaan kedudukan

Page 81: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐29 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

i. Transparansi

j. Keadilan

k. Kepastian hukum

PP 50 Tahun 2007 juga mengatur poin-poin yang harus tercantum dalam

kerjasama daerah dan perlu disepakati antar subyek kerjasama (kepala daerah

dan/atau pihak ketiga), meliputi hal-hal sebagai berikut:

1. Subjek kerja sama;

2. Objek kerja sama;

3. Ruang lingkup kerja sama;

4. Hak dan kewajiban para pihak;

5. Jangka waktu kerja sama;

6. Pengakhiran kerja sama;

7. Keadaan memaksa; dan

8. Penyelesaian perselisihan.

Selain mengacu PP 50 Tahun 2007, kerjasama daerah diatur dalam

kerangka kebijakan berikut ini:

1. Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan

Pembangunan Nasional (SPPN)

2. Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

3. Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Daerah

4. Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan

Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009

5. Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan

Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan

Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota

6. Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan

Kerjasama Daerah

7. Permendagri 19/2009 tentang Peningkatan Kapasitas Pelaksana Kerjasama

Daerah

8. Permendagri 22/2009 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Kerjasama Daerah

9. Permendagri 23/2009 tentang Tata Cara Bimbingan dan Pengawasan

Pelaksanaan Kerjasama Daerah

Page 82: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐30 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Data kerjasama yang terdapat di Direktorat Otonomi Daerah

dikelompokkan sebagai berikut:

1. Kerjasama Dalam Negeri Pemerintah Daerah, meliputi:

a. Kerjasama antar Pemerintah Daerah dalam Lingkup Regional (Pulau atau

Bagian Pulau)

b. Kerjasama Pemerintah Daerah Lintas Provinsi. Pada tahun 2009 telah

terbentuk kerjasama antar provinsi kepulauan (Prov. Kepri, Babel) NTB,

NTT, Sulut, Maluku, dan Maluku Utara)

c. Kerjasama Pemerintah Daerah dengan Pihak ketiga

i. Provinsi Sumatera Utara

ii. Provinsi Jambi

iii. Provinsi Sumatera Selatan

iv. Provinsi Jawa Barat

v. Provinsi Jawa Tengah

vi. Provinsi Jawa Timur

vii. Provinsi Bali

viii. Provinsi Nusa Tenggara Barat

ix. Provinsi Kalimantan Barat

x. Provinsi Kalimantan Tengah

xi. Provinsi Kalimantan Timur

xii. Provinsi Kalimantan Selatan

d. Kerjasama Pemerintah Daerah dalam Lingkup Provinsi, terdiri dari:

i. Provinsi Sumatera Utara

ii. Provinsi Riau

iii. Provinsi Jambi

iv. Provinsi Sumatera Selatan

v. Provinsi Jawa Barat

vi. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

vii. Provinsi Jawa Tengah

viii. Provinsi Jawa Timur

ix. Provinsi Bali

x. Provinsi Nusa Tenggara Barat

xi. Provinsi Kalimantan Barat

Page 83: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐31 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

xii. Provinsi Kalimantan Tengah

xiii. Provinsi Kalimantan Timur

xiv. Provinsi Kalimantan Selatan

4.2.3. Program Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pemerintah

Perangkat daerah atau Kelembagaan Pemerintah Daerah merupakan elemen

dasar pemerintahan kedua, setelah urusan pemerintahan dan sebelum aparatur

pemerintah daerah. Pengaturan terhadap kelembagaan atau sering disebut

dengan Organisasi Perangkat Daerah (OPD), diatur dan ditetapkan berdasarkan

PP 84 tahun 2000, yang diubah dengan PP 8 tahun 2003, dan kemudian diubah

lagi menjadi PP 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Dalam

PP 41 tahun 2007 disebutkan bahwa pelaksanaan peraturan perundangan ini

diharapkan dapat selesai dalam waktu 1 tahun sejak ditetapkan, dan pada saat

akhir tahun 2009 ini PP 41 tahun 2007 sudah berjalan selama 2 tahun.

Bahwa dalam rangka standarisasi dan tertib penataan kelembagaan perangkat

daerah sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun

2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, maka Pemerintah memandang perlu

untuk menetapkan Petunjuk Teknis Penataan Organisasi Perangkat Daerah, yang

selanjutnya dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri

(Permendagri) No. 57 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penataan Organisasi

Perangkat Daerah. Dalam Permendagri ini, Pemerintah lebih mengatur secara

rinci penataan kelembagaan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), baik di

tingkat provinsi dan kabupaten/kota, khususnya dalam aspek pembentukan,

tugas dan fungsi, besaran organisasi, perumpunan bidang pemerintahan, dan

susunan organisasi.

a. Perkembangan Pelaksanaan PP 41 Tahun 2007 tentang Organisasi

Perangkat Daerah

Berdasarkan data Biro Organisasi, Departemen Dalam Negeri, yang berasal dari

laporan pemerintah daerah, pelaksanaan restrukturisasi kelembagaan

pemerintahan daerah telah mengalami perkembangan meskipun belum sesuai

dengan seperti apa yang diharapkan. Hingga bulan Mei 2009 sudah 30 provinsi,

Page 84: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐32 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

223 kabupaten dan 43 kota yang telah melaporkan Perda Organisasi

Perangkat Daerahnya kepada Depdagri, atau sebesar 91% provinsi, 56%

kabupaten, dan 46% kota, atau total 296 daerah (provinsi, kabupaten, kota).

Sisanya, sebanyak 3 provinsi, 175 kabupaten dan 50 kota belum terdata atau

belum melaporkan Perda tersebut. Berikut disajikan informasi lengkap daerah-

daerah yang telah melaporkan pelaksanaan PP 41 tahun 2007 di daerahnya

masing-masing. Data-data tersebut juga mencakup daerah-daerah hasil

pemekaran wilayah (daerah otonom baru) hingga bulan Mei 2009, yang terdiri

dari 33 provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota.

Tabel 4.5 Pelaksanaan PP 41 tahun 2007 oleh Pemerintah Daerah

Lingkup Provinsi

2007 2008 2009 Keterangan

NAD - Provinsi - Kab. Simeuleu - Kota

Lhoksumawe

- Kab. Aceh Barat Daya - Kab. Aceh Timur - Kab. Aceh Barat - Kab. Bener Meriah - Kab. Nagan Raya - Kab. Pidie - Kab. Aceh Jaya - Kab. Aceh Selatan - Kab. Aceh Tengah - Kab. Aceh Besar - Kab. Aceh Singkil - Kab. Aceh Utara - Kab. Pidie Jaya - Kota Banda Aceh - Kota Langsa

75% Dari 24 wilayah

Sumatera Utara

- - Kab. Deli Sedang - Kab. Karo - Kab. Toba Samosir - Kota Padang Sidempuan - Kab. Dairi - Kab. Humbang

Hasundutan - Kab. Labuan Batu

- Provinsi

24% Dari 34 wilayah

Sumatera Barat

- - Provinsi Kab. Pasaman Barat - Kab. Sawahlunto - Kab. Solok - Kota Payakumbuh - Kab. Padang Pariaman - Kab. Pesisir Selatan

- 35% Dari 20 wilayah

Page 85: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐33 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Lingkup Provinsi

2007 2008 2009 Keterangan

Riau - Kab. Rokan Hulu

- Provinsi - Kab. Kampar - Kota Dumai - Kota Pekanbaru

- 38% Dari 13 wilayah

Jambi - - Provinsi - Kab. Batanghari - Kab. Bungo - Kab. Kerinci - Kab. Merangin - Kab. Muarojambi - Kab. Sarulangun - Kab. Tanjung Jabung

Barat - Kab. Tanjung Jabung

Timur - Kab. Tebo

- 83% Dari 12 wilayah

Sumatera Selatan

- - Provinsi - Kab. Musi Rawas - Kab. Banyuasin - Kab. Lahat - Kota Pagaralam - Kota Palembang - Kota Prabumulih - Kab. Empat Lawang - Kab. Muara Enim - Kab. Ogan Ilir - Kab. Ogan Komering Ilir - Kab. Ogan Kering Ulu - Kab. OKU Selatan - Kab. OKU Timur - Kota Pagar Alam

- 94% Dari 16 wilayah

Bengkulu - Kab. Kaur - Provinsi - Kab. Rejang Lebong - Kab. Seluma - Kab. Kepahiang - Kota Bengkulu

55% Dari 11 wilayah

Lampung - Provinsi - Kab. Lampung

Tengah - Kab. Lampung

Timur

- Kab. Way Kanan - Kab. Tanggamus - Kota Bandar Lampung - Kab. Lampung Selatan - Kab. Lampung Utara - Kab. Lampung Barat - Kota Metro

73% Dari 15 wilayah

Bangka - - Provinsi 38%

Page 86: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐34 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Lingkup Provinsi

2007 2008 2009 Keterangan

Belitung - Kab. Bangka - Kota Pangkalpinang

Dari 8 wilayah

Kepulauan Riau

- Kab. Lingga

- Kab. Bintan

- Kota Tanjung Pinang

38% Dari 8 wilayah

DKI Jakarta - - Provinsi 14% Dari 7 wilayah

Jawa Barat - Kab. Bandung - Kota Bandung

- Provinsi - Kab. Cirebon - Kab. Majalengka - Kab. Subang - Kab. Sukabumi - Kab. Ciamis - Kab. Cianjur - Kab. Kerawang - Kab. Purwakarta - Kab. Sumedang - Kota Cirebon - Kota Depok - Kota Sukabumi - Kota Tasikmalaya - Kota Bekasi - Kota Bogor

- 67% Dari 27 wilayah

Jawa Tengah - Kab. Kendal - Provinsi - Kab. Boyolali - Kab. Batang - Kab. Grobogan - Kab. Kebumen - Kab. Pekalongan - Kab. Sukoharjo - Kab. Brebes - Kab. Cilacap - Kab. Magelang - Kab. Purworejo - Kab. Rembang - Kab. Semarang - Kab. Tegal - Kab. Wonosobo - Kab. Sragen - Kota Magelang - Kota Pekalongan - Kota Semarang - Kota Surakarta -

58% Dari 36 wilayah

DIY - - Provinsi - Kab. Gunung Kidul - Kab. Kulon Progo

Kab. Bantul

67% Dari 6 wilayah

Page 87: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐35 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Lingkup Provinsi

2007 2008 2009 Keterangan

Jawa Timur - - Provinsi - Kab. Banyuwangi - Kab. Gresik - Kab. Situbondo - Kab. Tulungagung - Kab. Bangkalan - Kab. Bojonegoro - Kab. Bondowoso - Kab. Lamongan - Kab. Madiun - Kab. Magetan - Kab. Ngawi - Kab. Pacitan - Kab. Pamekasan - Kab. Ponorogo - Kab. Sidoarjo - Kab. Trenggalek - Kab. Tuban - Kota Probolinggo - Kota Malang

Kota Probolinggo - Kota Surabaya

56% Dari 39 wilayah

Banten - - Provinsi - Kota Tangerang -

22% Dari 9 wilayah

Bali - - Provinsi - Kab. Tabanan - Kab. Bangli - Kab. Buleleng - Kab. Jembrana - Kab. Karangasem - Kota Denpasar

70% Dari 10 wilayah

NTB - - Provinsi - Kab. Bima - Kab. Sumbawa Barat - Kab. Sumbawa - Kab. Lombok Timur - Kota Mataram

64% Dari 11 wilayah

NTT - - Provinsi Kab. Manggarai Timur - Kab. Timor Tengah

Selatan - Kab. Nagekeo - Kab. Belu - Kab. Manggarai Barat - Kab. Sikka - Kab. Ngada

- Kab. Rotte Ndao

68% Dari 22 wilayah

Page 88: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐36 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Lingkup Provinsi

2007 2008 2009 Keterangan

- Kab. Ende - Kab. Lembata - Kab. Manggarai - Kab. Sumba Timur - Kab. Timor Tengah

Utara - Kota Kupang

Kalimantan Barat

- Kab. Bengkayang

- Kab. Melawi - Kab. Sanggau

- Provinsi - Kab. Pontianak - Kab. Sekadau - Kab. Kapuas - Kab. Kapuas Hulu - Kab. Ketapang - Kab. Landak - Kab. Sambas - Kota Pontianak - Kota Singkawang -

- 87% Dari 15 wilayah

Kalimantan Tengah

- - Kab. Barito Utara - Kab. Kapuas - Kab. Sukamara - Kab. Barito Timur - Kab. Gunung Mas - Kab. Kotawaringin Barat - Kab. Seruyan - Kota Palangkaraya -

53% Dari 15 wilayah

Kalimantan Selatan

- Kab. Hulu Sungai Selatan

- Kab. Hulu Sungai Tengah

- Kab. Tabalong - Kab. Tanah

Bumbu

- Provinsi - Kab. Balangan - Kab. Barito Kuala - Kab. Kotabaru - Kab. Tapin - Kab. Banjar - Kab. Tanah Laut - Kota Banjarmasin - Kota Banjarbaru -

- 93% Dari 14 wilayah

Kalimantan Timur

- Provinsi Kab. Berau - Kab. Bulungan - Kab. Malinau - Kab. Tana Tidung - Kab. Kutai Barat - Kab. Nunukan

- -

47% Dari 15 wilayah

Sulawesi Utara

- Kab. Minahasa Tenggara

- Kota

- Kab. Minahasa Selatan - Kab. Minahasa - Kab. Minahasa Utara

- Provinsi -

63% Dari 16 wilayah

Page 89: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐37 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Lingkup Provinsi

2007 2008 2009 Keterangan

Kotamobagu - Kab. Kepulauan Talaud - Kab. Bolaang

Mongondow Utara - Kota Manado - Kota Tomohon

Sulawesi Tengah

- Kab. Banggai - Provinsi - Kab. Toli-toli - Kab. Buol - Kab. Poso - Kota Palu

- 50% Dari 12 wilayah

Sulawesi Selatan

- Kab. Pangkajene Kep.

- Provinsi - Kab. Luwu - Kab. Barru - Kab. Bulukumba - Kab. Gowa - Kab. Luwu Timur - Kab. Luwu Utara - Kab. Pinrang - Kab. Soppeng - Kab. Wajo - Kab. Enrekang - Kab. Jeneponto - Kab. Maros - Kab. Takalar - Kota Pare-pare

- 64% Dari 25 wilayah

Sulawesi Tenggara

- Kab. Konawe - Kab. Buton - Kab. Konawe

Selatan - Kab. Muna

- Provinsi - Kab. Kolaka Utara - Kab. Wakatobi - Kab. Konawe Utara - Kab. Buton Utara - Kab. Kendari - Kota Kendari

85% Dari 13 wilayah

Gorontalo - Provinsi - Kab. Bone

Bolango

- -

28% Dari 7 wilayah

Sulawesi Barat

- Kab. Mamuju - Provinsi - Majene - Mamasa

-

- 67% Dari 6 wilayah

Maluku - Provinsi - Kab. Tual - Kab. Maluku Tenggara

Barat - Kab. Pulau Buru - Kab. Seram Bagian

Timur - Kab. Maluku Tenggara - Kab. Seram Bag Barat

- 67% Dari 12 wilayah

Page 90: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐38 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Lingkup Provinsi

2007 2008 2009 Keterangan

- Kota Ambon Maluku Utara

- - Provinsi - Kab. Halmahera Tengah - Kab. Halmahera Barat

- 30% Dari 10 wilayah

Papua Barat - - Kab. Raja Ampat 9% Dari 11 wilayah

Papua - - Kab. Keroom - Kab. Asmat - Kab. Jayapura - Kab. Merauke - Kab. Nabire - Kab. Sarmi - Kab. Yapen Waropen - Kota Jayapura

-

- 27% Dari 30 wilayah

Total

56% Dari total wilayah

Indonesia

Sumber : Biro Organisasi-Depdagri, 2009 Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa pencapaian pelaksanaan PP 41

tahun 2007 oleh Pemerintah Daerah telah mencapai 56% dari seluruh wilayah di

Indonesia (provinsi, kabupaten, dan kota), atau mencapai 296 daerah dari 524

daerah (provinsi, kabupaten, dan kota) di Indonesia. Dari 296 daerah tersebut,

sebanyak 36 daerah (12%) melaksanakannya tahun 2007, 257 daerah (87%) tahun

2008, dan sisanya sebanyak 3 daerah (1%) tahun 2009.

Wilayah-wilayah yang telah melaksanakan PP 41 tahun 2007 di tahun yang

sama dengan ditetapkannya PP tersebut (2007) terletak di provinsi NAD, Riau,

Bengkulu, Lampung, Kepulauan Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Barat,

Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi

Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Barat dan Maluku. Kemudian, pada tahun 2008,

sebagian besar wilayah melaksanakan implementasi PP 41/2007 tersebut dengan

penetapan masing-masing Peraturan-Daerahnya.

Page 91: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐39 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

b. Keterkaitan PP 41 tahun 2007 dengan Peraturan Sektoral

Keterlambatan pelaksanaan restrukturisasi kelembagaan pemerintah

daerah tidak hanya terkait dengan sosialisasi dan diseminasi peraturan oleh

Pemerintah, melainkan pula karena kurang jelas/detailnya ketentuan yang diatur

dalam PP tersebut, atau bahkan dalam petunjuk teknis pelaksanaannya. Dan

ketika semua peraturan dan petunjuk teknis telah disosialisasikan kepada

daerah, muncul permasalahan baru yang terkait dengan tidak sikronnya

pengaturan dalam PP 41 tahun 2007 dengan peraturan perundangan sektoral,

yang mengamanatkan tiap daerah untuk membentuk suatu instansi daerah

dengan nomenklatur tertentu untuk menjalankan urusan pemerintahan yang

didelegasikan oleh kementerian lembaga terkait. Beberapa peraturan yang juga

mengatur mengenai kelembagaan pemerintah daerah (baik struktural maupun

non struktural), telah dijelaskan dalam Laporan Database tahun 2008.

Sehubungan dengan hal tersebut berikut ini akan dijelaskan beberapa

peraturan-perundangan terbaru (tahun 2008 – 2009) yang belum dijelaskan pada

laporan sebelumnya tersebut.

1. UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, terkait dengan

pembentukan Badan Promosi Pariwisata Indonesia (Bab X). Menurut UU 10

Tahun 2009, lembaga ini dibentuk di tingkat nasional dan daerah (provinsi

dan kabupaten/kota). Meskipun badan ini merupakan lembaga swasta yang

bersifat mandiri (Pasal 36), namun UU ini mengamanatkan

Pemerintah/Pemerintah Daerah untuk memfasilitasi pembentuan Badan

Promosi Pariwisata Indonesia yang berkedudukan di ibukota negara/ibukota

provinsi, kabupaten/kota. Selain itu, sumber pembiayaan lembaga ini antara

lain dapat bersumber dari APBN/APBD yang bersifat hibah sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 42).

2. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, terkait dengan pembentukan

Badan Pertimbangan Kesehatan (Bab XVII), yang merupakan lembaga

independen, dengan ketentuan (Pasal 175 - 177) sebagai berikut :

a. Badan pertimbangan kesehatan berkedudukan di pusat dan daerah;

Page 92: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐40 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

b. Badan pertimbangan kesehatan pusat yang kemudian dinamakan Badan

Pertimbangan Kesehatan Nasional berkedudukan di pusat

c. Badan pertimbangan kesehatan daerah (BPKD) berkedudukan di provinsi

dan kabupaten/kota.

d. Ketentuan lebih lanjut mengenai keanggotaan, susunan organisasi dan

pembiayaan BPKN dan BPKD diatur dengan Peraturan Presiden.

3. UU No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan

Pembangunan Keluarga, terkait dengan pembentukan Badan

Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah (BKKBD) (Bab IX:

Kelembagaan, Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 57) sebagai berikut:

a. Dalam rangka pengendalian penduduk dan penyelenggaraan keluarga

berencana di daerah, pemerintah daerah membentuk Badan

Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah yang selanjutnya

disingkat BKKBD di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. (Pasal 54 (1))

b. BKKBD berkedudukan di ibu kota Provinsi dan Kabupaten/Kota. (Pasal 55

(2))

c. Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, fungsi, dan susunan organisasi

BKKBD diatur dengan Peraturan Daerah. (Pasal 57 (3))

Pengaturan mengenai pembentukan kelembagaan di daerah terkait

dengan pelaksanaan urusan Pemerintah, tidak sepenuhnya diatur secara jelas

dan sinkron dengan PP 41 tahun 2007, mengingat beberapa peraturan

perundangan telah ditetapkan sebelum ditetapkannya PP Organisasi tersebut.

Meski demikian, beberapa peraturan perundangan seperti tersebut di atas,

menjelaskan mengenai posisi kelembagaan yang diminta, yaitu kelembagaan

non-struktural (Badan Pertimbangan Kesehatan dan Badan Promosi Pariwisata

Indonesia yang bersifat lembaga swasta/independen), yang berarti tidak

termasuk dalam kuota besaran organisasi seperti yang diatur dalam PP 41 tahun

2007, namun untuk Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah

(BKKBD) tidak ada pengaturan yang jelas terkait dengan struktur lembaga

tersebut meskipun pembentukannya melalui Peraturan Daerah (Perda).

Page 93: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐41 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Selama perjalanan pelaksanaan PP tersebut, Pemerintah Pusat dan Daerah

telah banyak melaksanakan diskusi, sosialisasi dan diseminasi, sehingga saat ini

pelaksanaan PP 41 tahun 2007 tersebut dapat dilaksanakan dengan penyesuaian-

penyesuaian yang diperlukan. Meskipun menurut catatan Biro Organisasi

Depdagri, terdapat 296 daerah provinsi dan kabupaten/kota yang telah

melaporkan organisasi dan tata kerjanya sesuai dengan PP 41 tahun 2007, namun

berdasarkan informasi-informasi dari sumber situs web masing pemerintah

daerah dan keterangan lisan dari aparat pemerintah daerah terkait, dapat

dikatakan hampir seluruh daerah (provinsi, kabupaten/kota) telah menyesuaikan

organisasi dan tata kerjanya sesuai dengan PP 41 tahun 2007. Meskipun demikian

belum seluruh daerah tersebut melaporkan Perda-nya kepada Departemen

Dalam Negeri. Selain itu pihak Biro Organisasi Depdagri juga tidak lagi

memperbarui data-datanya sejak per-Mei 2009.

c. Pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal (SPM)

Dalam rangka menyediakan pelayanan kepada masyarakat, Pemerintah

harus mampu menjamin terpenuhinya hak dasar masyarkat di seluruh daerah

atas layanan dasar publik yang bersifat wajib. Untuk itu, dibutuhkan sebuah

standar minimal yang berlaku sama untuk seluruh daerah di Indonesia. Standar

ini memberikan petunjuk kepada seluruh daerah tentang jenis dan mutu

pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh

setiap warga secara minimal, serta digunakan sebagai salah satu indikator

kinerja penyelenggaraan pelayanan publik oleh daerah.

Sejak direvisinya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

menjadi UU No. 32 Tahun 2004, berbagai SPM yang telah terbit berdasarkan UU

No. 22 Tahun 1999 harus disesuaikan dengan UU No. 32 Tahun 2004. Sehubungan

dengan itu, telah diterbitkan :

1. PP No. 65 Tahun 2005 Tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar

Pelayanan Minimal pada tanggal 28 Desember 2005.

Page 94: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐42 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

2. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 2007 Tentang Petunjuk Teknis

Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal sebagai peraturan

pelaksanaan dari PP 65/2005 pada tanggal 7 Februari 2007.

3. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 100.05 – 76 Tahun 2007 Tentang

Pembentukan Tim Konsultasi Penyusunan Standar Pelayanan Minimal pada

tanggal 7 Februari 2007. Tim Konsultasi SPM terdiri dari Departemen Dalam

Negeri, Departemen Keuangan, Kementrian PAN dan Bappenas yang

mempunyai tugas menyerasikan usulan-usulan SPM dari

Kementerian/Lembaga.

Dengan telah diterbitkannnya Pedoman dan Petunjuk Teknis (Juknis)

tentang SPM tersebut dan difasilitasinya penyusunan SPM di berbagai sektor

oleh Tim Konsultasi, maka, sampai saat ini (2009) telah diterbitkan SPM di bidang

kesehatan, lingkungan hidup, sosial, pemerintahan dalam negeri di

Kabupaten/Kota, dan perumahan rakyat. Adapun SPM untuk bidang

ketenagakerjaan, keluarga berencana, dan pemberdayaan perempuan telah

memasuki tahap akhir pembahasan di sidang DPOD.

Saat ini sedang disusun Peraturan Menteri Dalam Negeri Tentang Pedoman

Penyusunan Rencana Pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) berdasarkan

Analisis Kemampuan dan Potensi Daerah.

4.2.4. Program Peningkatan Profesionalisme Aparat Pemerintah Daerah

Berdasarkan hasil Evaluasi Pertengahan (Mid-Term) Pelaksanaan RPJMN 2004-

2009 Bidang Revitalisasi Proses Desentralisasi dan Otonomi Daerah serta

Database Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah yang dilakukan oleh Ditjen

Otda Bappenas pada Tahun 2008, maupun sejumlah dokumen lainnya, diperoleh

gambaran mengenai pelaksanaan dari program peningkatan profesionalisme

aparat pemerintah daerah dalam Bab 13 RPJMN 2005-2009 sebagaimana

diuraikan berikut.

Hasil dari sejumlah kajian yang tersedia, memberikan informasi bahwa dalam

program peningkatan profesionalisme aparat pemerintah daerah, program-

program yang belum begitu mendapat perhatian adalah program penyusunan

Page 95: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐43 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

peraturan perundang-undangan daerah, pedoman dan standar kompetensi

aparatur pemerintah daerah; program penyusunan rencana pengelolaan aparatur

pemerintah daerah termasuk sistem rekruitmen yang terbuka, mutasi dan

pengembangan pola karir; serta program peningkatan etika kepemimpinan

daerah. Adapun program-program yang sudah relatif terlaksana adalah program

fasilitasi penyediaan aparat pemerintah daerah, mutasi dan kerjasama aparatur

pemerintah daerah; serta program fasilitasi pengembangan kapasitas aparatur

pemerintah daerah dengan prioritas peningkatan kemampuan dalam pelayanan

publik seperti kebutuhan dasar masyarakat, keamanan dan kemampuan di dalam

menghadapi bencana, kemampuan penyiapan rencana strategis pengembangan

ekonomi (lokal), kemampuan pengelolaan keuangan daerah, dan penyiapan

strategi investasi.

Sedangkan dalam laporan database Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah

Direktorat Otonomi Daerah Bappenas, 2009 diperoleh gambaran profi aparatur

Pemerintah Daerah sebagai berikut:

Berdasarkan data dari BKN tahun 2009, bahwa jumlah keseluruhan aparatur

pemerintah daerah di Indonesia (tidak termasuk pegawai negeri sipil pusat)

mencapai 3,5 juta personel. Nilai tersebut hanya sebanyak 1,51% dari

jumlah penduduk Indonesia. Distribusi aparatur pemerintah daerah

berdasarkan tingkatan pemerintahan ditunjukkan pada gambar di bawah ini,

beserta perkembangannya sejak tahun 2002 sampai tahun 2009.

Tahun 2008 dan 2009 terjadi peningkatan jumlah aparatur yg lebih tinggi

daripada tahun-tahun sebelumnya, terutama untuk aparatur/kepegawaian di

tingkat kabupatan dan kota. Peningkatan jumlah aparatur/kepegawaian,

khususnya pada pemerintah kabupaten dan kota nampaknya dipengaruhi oleh

peningkatan jumlah pemekaran wilayah (daerah otonom baru/DOB) pada tahun

2007-2008, sedangkan pada periode tahun 2004-2006 tidak terdapat

pembentukan daerah otonom baru (DOB).

Page 96: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐44 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Gambar 4.1 Perkembangan Jumlah Aparatur Pemda

0

500,000

1,000,000

1,500,000

2,000,000

2,500,000

3,000,000

3,500,000

4,000,000

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Total

Provinsi

Kabupaten

Kota

Sumber : BKN, 2002-2009

Persebaran aparatur pemerintah daerah di Indonesia berdasarkan Pulau-

pulau besar dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Empat Puluh Dua Persen

(42%) aparatur pemda di Indonesia berada di Pulau Jawa, sedangkan sisanya

berturut-turut 26% di wilayah Sumatera, 12% di wilayah Sulawesi, 8% di wilayah

Kalimantan, serta 7% di Bali-Nusa Tenggara dan 5% di Maluku-Papua. Mengingat

konsentrasi penduduk di Pulau Jawa, maka pola persebaran ini dapat

diasumsikan mengikuti beban pelayanan umum kepada masyarakat, tetapi tidak

mengikuti rentang kendali atau jangkauan pelayanannya (luas wilayah).

Seperti halnya Grand Design Penataan Daerah yang belum dirumuskan

untuk menentukan jumlah wilayah administrasi pemerintahan ideal/optimal di

Indonesia, pedoman manajemen kepegawaian di daerah juga belum menentukan

standar ideal/optimal jumlah aparatur pemerintah. Walaupun telah terdapat

beberapa kajian mengenai komposisi aparatur pemda ideal berdasarkan beban

kerja atau variabel lainnya, namun Pemerintah belum menentukan acuan yang

seharusnya dipakai oleh Pemerintah Daerah.

Page 97: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐45 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Kecenderungan pola ketersediaan aparatur pemerintah daerah

(provinsi dan kabupaten/kota) hingga pertengahan tahun 2009 sebagaimana

gambar di bawah ini adalah antara rata-rata 91.296 personel di wilayah

Sumatera, 276.284 personel di wilayah Jawa (tanpa DKI), 73.761 personel di

wilayah Kalimantan, 68.972 personel di wilayah Sulawesi, 86.567 personel

di wilayah Bali-Nusa Tenggara, serta 40.283 personel di wilayah Maluku-

Papua. Daerah Otonom Baru di Maluku dan Papua yang pada umumnya

mempengaruhi rata-rata jumlah aparaturnya ternyata lebih sedikit dibandingkan

di Nusa Tenggara, mengingat DOB yang dibentuk hingga tahun 2009 belum

memiliki aparatur sesuai dengan yang dibutuhkan.

Gambar 4.2 Persebaran Aparatur Pemerintah Daerah (Prov & Kab/Kota) di Indonesia

.

Perbedaan karakteristik ketersediaan aparatur pemerintah daerah di tiap

tingkatan pemerintahan di Indonesia (Provinsi, Kabupaten dan Kota), ditunjukkan

pada tabel di bawah ini. Sebagai pelayan publik, aparatur pemerintah daerah

selama ini dinilai terkait erat dengan penduduk yang dilayani, sehingga rasio

jumlah aparatur pemerintah daerah terhadap jumlah penduduk sering digunakan

sebagai indikator tingkat pelayanan publik di daerah. Jika dilihat secara agregat

Sumber : BKN, 2009 

10,000

20,000

30,000

40,000

50,000

60,000

Maluku Malut Pabar Papua

50,000

100,000

150,000

200,000

Sulut

Sulteng

Sulsel

Sultra

Gorontalo

Sulbar

‐10,00020,00030,00040,00050,00060,00070,00080,000

Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim‐

20,000

40,000

60,000

80,000

100,000

120,000

Bali NTB NTT

50,000

100,000

150,000

200,000

250,000

NAD

Sumut

SumbarRiauJambi

Sumsel

Bengkulu

LampungBabelKepri

‐50,000100,000150,000200,000250,000300,000350,000400,000450,000

DKI Jakarta

Jabar

Jateng

DIY

Jatim

Banten

10,000

20,000

30,000

40,000

50,000

60,000

Maluku Malut Pabar Papua

50,000

100,000

150,000

200,000

Sulut

Sulteng

Sulsel

Sultra

Gorontalo

Sulbar

‐10,00020,00030,00040,00050,00060,00070,00080,000

Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim‐

20,000

40,000

60,000

80,000

100,000

120,000

Bali NTB NTT

50,000

100,000

150,000

200,000

250,000

NAD

Sumut

SumbarRiauJambi

Sumsel

Bengkulu

LampungBabelKepri

‐50,000100,000150,000200,000250,000300,000350,000400,000450,000

DKI Jakarta

Jabar

Jateng

DIY

Jatim

Banten

Page 98: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐46 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

se-Indonesia tahun 2009, jumlah aparatur pemerintah kabupaten mencapai

1,13% dari jumlah penduduk kabupaten, sedangkan aparatur pemerintah

kota hanya 0,25% dari jumlah penduduknya. Dan rasio aparatur pemerintah

provinsi adalah yang paling kecil, yaitu 0,14% dari jumlah penduduknya.

Jumlah agregat aparatur pemerintah Indonesia tersebut meningkat

dibandingkan jumlah aparatur tahun sebelumnya.

Pola ini secara kasar tidak mencerminkan hubungan positif antara rasio

jumlah aparatur pemerintah daerah terhadap jumlah penduduk dengan tingkat

pelayanan publik daerah. Pada kenyataannya, wilayah kota cenderung memiliki

kualitas pelayanan publik yang lebih baik dibandingkan dengan tingkat

pelayanan publik di kabupaten, mengingat rentang kendali yang lebih pendek

dan fasilitas/infrastruktur dasar yang lebih maju. Oleh karena itu, penilaian

terhadap kualitas pelayanan publik tidak dapat dilihat hanya berdasarkan

rasio jumlah aparatur dengan jumlah penduduk yang dilayani. Mengingat

fungsi manajemen serta sistem birokrasi di tiap daerah akan lebih

mempengaruhi kualitas pelayanan publik, dibandingkan sekedar kuantitas

perangkat daerah yang diasumsikan melayani satu persatu masyarakat

memenuhi kebutuhannya. Selanjutnya dibutuhkan kajian yang lebih mendalam

untuk dapat melihat keterkaitan ini dan merumuskan indikator yang paling sesuai

dan representatif terhadap tingkat/kualitas pelayanan publik daerah.

Tabel 4.6 Statistik Aparatur Pemerintah Daerah Berdasarkan Tingkat Pemerintahan

Variabel Provinsi Kabupaten Kota

Jumlah aparat Pemda 316.224 2.611.963 575.658

% dari penduduk Ind. 0,14 % 1,13 % 0,25 %

Rata-rata 7.390* 6.984 6.396

Sebaran data 910 – 24.013 15 – 31.380 556 – 24.704

Terendah Papua Barat Kab. Yalimo, Papua Kota Kotamobagu, Sulawesi Utara

Tertinggi Jatim Kab. Bandung, Jabar Kota Bandung, Jabar

Tertinggi kedua Jateng (18.639)

Kab. Garut, Jabar (121.146)

Kota Surabaya, Jatim (20.533)

Total se-Indonesia 3.503.845

% dari penduduk Ind. 1,51 %

Page 99: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐47 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Variabel Provinsi Kabupaten Kota

Rasio thd Jumlah Penduduk

1 : 66

*Tanpa DKI Jakarta, karena jumlah aparat pemda DKI:79.760 (pencilan)

Tabel 4.7 Statistik Aparatur Pemerintah Daerah Berdasarkan Klasifikasi Wilayah

Variabel Sumatera-Jawa-Bali Kalimantan-Sulawesi NT-Maluku-Papua

Jumlah aparat Pemda 2.371.422 708.877 343.786

% dari penduduknya 1,31% 2,38 % 2,42%

Rata-rata Prov. 9.194* 5.901 5.059

Rata-rata Kab. 9.089 5.117 3.817

Rata-rata Kota 6.813 5.884 4.711

Sebaran data Prov. 1.399 – 24.013 1.495 – 10.273 910 - 7100

Sebaran data Kab. 1.086 – 31.380 331 – 14.850 15 – 12.944

Sebaran data Kota 1.316 – 24.704 556 – 14.605 1.246 – 8.455

Terendah

Provinsi Kepri Kab. Bandung Barat,

Jabar Kota Subussalam, NAD

Provinsi Sulawesi Barat Kab. Tanah Tidung,

Kaltim Kota Kotamobagu, Sulut

Provinsi Papua Barat Kab. Yalimo, Papua Kota Tual, Maluku

Tertinggi

Provinsi Jawa Timur Kab. Bandung, Jabar

Kota Bandung

Provinsi Sulsel Kab. Kutai Kartanegara

Kota Makassar

Provinsi NTB Kab. Lombok Timur, NTB

Kota Ambon

*Tanpa DKI Jakarta, karena jumlah aparat pemda DKI: 79.760

Berdasarkan nilai sebaran data jumlah aparatur pemerintah daerah pada tabel di atas, terlihat bahwa nilai rentang terkecil dan terbesar berada pada wilayah kabupaten. Seperti halnya tahun-tahun sebelumnya, maka pada tahun 2008-2009 masih terjadi ketimpangan dimana ketimpangan yang terjadi bukan sekedar antar wilayah kota dengan kabupaten, melainkan antar wilayah kabupaten sendiri terjadi ketimpangan yang cukup besar (terutama berdasarkan ketersediaan pelayan publik dan infrastruktur). Karakteristik wilayah yang berpengaruh terhadap kondisi ini antara lain jenis bentangan alam yang dominan di tiap kabupaten (dataran rendah, kepulauan, dataran tinggi, hutan, dsb), yang lebih variatif dibandingkan dengan wilayah kota yang cenderung seragam. Perbedaan bentang alam tersebut berpengaruh terhadap jangkauan dan rentang kendali pelayanan publik, terutama menyangkut jarak terhadap pusat kota, jenis transportasi, biaya perjalanan, serta jenis pelayanan yang difokuskan, yang belum sepenuhnya menjadi pertimbangan penentuan

Page 100: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐48 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

kebijakan (selama ini cenderung berdasarkan pemisahan Jawa-Madura dengan luar Jawa).

Peningkatan profesionalisme aparat pemerintah daerah, yang merupakan salah satu program dalam Bab 13 RPJMN 2004-2009 mengenai Revitalisasi Proses Desentralisasi dan Otonomi Daerah, sangat terkait dengan kinerja dan kemampuan aparat pemerintah daerah dalam menjalankan urusan pemerintahan. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk menilai kemampuan aparat pemerintah daerah tersebut adalah berdasarkan tingkat pendidikan tiap pegawai, walaupun jenjang pendidikan yang tinggi tidak selalu sepenuhnya mengindikasikan kinerja yang baik.

Gambar 4.3

Proporsi dan Persebaran Aparatur Pemda Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Sumber : BKN, 2009

Berdasarkan proporsinya, komposisi aparat pemerintah daerah adalah 6%

berpendidikan maksimal SLTP, 37% berpendidikan SLTA, 29%

berpendidikan Diploma, 28% berpendidikan S1 dan 1% berpendidikan

Pascasarjana (S2 dan S3). Berdasarkan kondisi tersebut, dapat disimpulkan

bahwa kegiatan pemerintahan daerah mayoritas bersifat administratif, karena

50,000

100,000

150,000

200,000

250,000

300,000

350,000

400,000

450,000

500,000

 N. A

ceh Darussalam

 Sum

atera Utara

 Sum

atera Barat

 Riau

 Jambi

 Sum

atera Selatan

 Bengkulu

 Lam

pung

 Kep. Bangka Belitun

g Kepulauan

 Riau

 DKI Jakarta

 Jawa Barat

 Jawa Tengah

 DI Yogyakarta

 Jawa Timur

 Banten

 Bali

Nusa Tenggara Barat

Nusa Tenggara Timur

 Kalimantan Barat

 Kalimantan Tengah

 Kalimantan Selatan

 Kalimantan Timur

 Sulaw

esi U

tara

 Sulaw

esi Tengah

 Sulaw

esi Selatan

 Sulaw

esi Tenggara

 Goron

talo

 Sulaw

esi Barat

 Maluku

 Maluku Utara

 Papua

 Barat

 Papua

S2 & S3

S1

Diploma

SLTA

< SLTA

0.87%

28.22%

28.81%

36.53%

5.57%

< SLTA

SLTA

Diploma

S1

S2 & S3

Total Indonesia

Persebaran Tiap Provinsi

Page 101: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐49 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

kompetensi lulusan SLTA dan Diploma lebih kepada hal tersebut. Jika dikaitkan

dengan kebijakan untuk memangkas birokrasi pemerintahan di Indonesia, maka

dapat disimpulkan bahwa kondisi aparatur pemerintah daerah belum

menggambarkan dukungan terhadap kebijakan tersebut. Hal ini juga terkait

dengan terus meningkatnya jumlah aparatur pemerintah daerah dari tahun ke

tahun melalui rekruitmen calon pegawai negeri sipil (CPNS) baru, baik dari

personal baru maupun pengangkatan tenaga honorer.

Proporsi jumlah aparatur pemerintah daerah yang berpendidikan S1 dan

Diploma, berdasarkan data di atas, cenderung berimbang, yaitu sekitar 28%. Jika

jumlah kedua kategori ini digabungkan, maka proporsinya akan lebih besar

dibandingkan dengan aparatur dengan latar belakang pendidikan maksimal

SLTA (SD, SMP, SLTA). Dengan asumsi bahwa terdapat kemiripan antara

kompetensi lulusan S1 dengan Diploma, maka secara keseluruhan dominasi

kualitas personel tidak lagi pada tingkatan SLTA, melainkan pada kelompok

pendidikan ini. Sedangkan jumlah aparatur pemerintah daerah yang

berbendidikan pasca sarjana (S2-S3) seperti halnya tahun-tahun sebelumnya

merupakan golongan yang paling sedikit, bahkan kurang dari 1 (satu) persen.

Namun seiring dengan tuntutan peningkatan kinerja, kemampuan, dan

kompetensi aparat pemerintah daerah dalam menjalankan urusan pemerintahan,

maka di masa mendatang jumlah aparatur pemerintah yang berlatar pendidikan

pasca sarjana tersebut diharapkan akan terus meningkat sesuai dengan

kebutuhan yang ada.

Gambar 4.4 Perkembangan Jumlah Aparatur Pemerintah Daerah 2002-2009

Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Page 102: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐50 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Terkait dengan program peningkatan kapasitas aparatur pemerintah

daerah, berdasarkan gambar di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat

peningkatan jumlah yang cukup signifikan, untuk semua jenjang, kecuali

pasca sarjana dari tahun 2007 hingga 2009. Hal ini berarti bahwa fokus

pemerintah daerah belum sampai pada peningkatan kualitas pegawai hingga

jenjang ini, mengingat jenjang pendidikan ini bukan jaminan atas meningkatnya

kinerja pegawai, melainkan lebih dibutuhkan untuk tingkatan manajemen

pemerintahan. Selain itu kemungkinan aparatur berpendidikan S3 di daerah yang

pensiun ternyata tidak tergantikan oleh personel lain yang berpendidikan sama.

Masih terlihat adanya ketimpangan antar pulau di Indonesia. Pulau Jawa

masih menjadi peringkat tertinggi atas kualitas aparatur pemerintah daerah,

dilihat dari jenjang pendidikannya. Sedangkan Kawasan Timur Indonesia,

terutama Maluku dan Papua menjadi peringkat terakhir berdasarkan kategori

tersebut. Namun di sisi lain, kebutuhan pemerintahan daerah terhadap aparat

dengan jenjang pendidikan S2 dan S3 sangat bergantung pada karakteristik

wilayah dan struktur kelembagaan, yang sangat memungkinkan untuk berbeda

antar wilayah yang satu dengan yang lain. Sampai saat ini pula, belum ada suatu

formula komposisi yang tepat untuk penyusunan formasi pegawai berdasarkan

tingkat pendidikan, kecuali berdasarkan kompetensi jabatan (jabatan struktural).

Selain itu, yang juga seharusnya menjadi perhatian adalah aparatur pemerintah

Page 103: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐51 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

daerah yang berlatar pascasarjana (S2 dan S3) yang memasuki masa pensiun

ternyata kurang dapat diimbangi dengan aparatur baru pengganti yang berlatar

belakang sama tersebut sehingga pada tahun 2009 jumlah aparatur pemerintah

daerah berpendidikan S2 dan S3 justru menurun dibandingkan tahun 2007

4.2.5. Program Pengembangan Kapasitas Keuangan Daerah

Pengelolan keuangan daerah, juga tidak terlepas dari beberapa peraturan

perundang-undangan yang mengaturnya. Terkait dengan hal tersebut, dalam

pengelolaan keuangan Pemda, terdapat hasil-hasil yang telah dicapai selama 5

(lima) tahun terakhir ini atau atas pelaksanaan RPJMN 2004 - 2009, diantaranya

adalah telah disusun dan diterbitkan beberapa peraturan-perundangan terbaru

terkait dengan pelaksanaan dan pengelolaan keuangan daerah, sekaligus

menampung implikasi lahirnya peraturan perundang-undangan sebelumnya.

Peraturan perundangan yang telah disusun dan diterbitkan hingga tahun 2009 ini

terdiri dari 1 (satu) UU, 11 (sebelas) PP, 26 (dua puluh enam) Permendagri, 1

(satu) Peraturan Bersama Menteri, dan 1 (satu) Draft RUU, diantaranya adalah:

i. Undang-Undang:

(1) UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;

ii. Peraturan Pemerintah (PP)

(1) PP. No. 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan

Pimpinan dan Anggota DPRD;

(2) PP. No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah;

(3) PP. No. 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah;

(4) PP. No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan

(5) PP. No. 57 Tahun 2005 Tentang Hibah Kepada Daerah;

(6) PP. No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah;

(7) PP. No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah

sebagaimana telah diubah menjadi PP No. 38 Tahun 2008 tentang

Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah;

(8) PP. No. 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi

Pemerintah;

Page 104: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐52 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

(9) PP. No. 21 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas PP. No. 24 Tahun

2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan

Anggota DPRD;

(10) PP. No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan;

(11) PP No. 45 Tahun 2008 tentang Pedoman Pemberian Insentif dan

Pemberian Kemudahan Penanaman Modal di Daerah;

(12) PP No. 60 tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah;

iii. PeraturanMenteri (Permen)

(1) Permendagri No. 2 Tahun 2005 tentang Penghitungan Dasar Pengenaan

Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor

Tahun 2006;

(2) Permendagri No. 3 Tahun 2005 tentang Pedoman Penetapan Nomor Kode

Kendaraan Bermotor;

(3) Permendagri No. 7 Tahun 2006 tentang Standarisasi Sarana dan Prasarana

Kerja Pemerintahan Daerah;

(4) Permendagri No. 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan

Daerah;

(5) Permendagri No. 22 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengolaan Bank

Perkreditan Rakyat Milik Pemerintah Daerah;

(6) Permendagri No. 23 Tahun 2006 tentang Pedoman Teknis dan Tata Cara'"

Pengaturan Tarif Air Minum pada Perusahaan Daerah Air Minum;

(7) Permendagri No. 2 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Kepegawaian

Perusahaan Daerah Air Minum;

(8) Permendagri No. 9 tahun 2007 tentang Penghitungan Dasar Pengenaan

Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Tahun 2007;

(9) Permendagri No. 10 tahun 2007 tentang Penghitungan Dasar Pengenaan

Pajak Kendaraan di atas Air Tahun 2007;

(10) Permendagri No. 16 Tahun 2007 tentang Tatacara Evaluasi Rancangan

Perda tentang APBD dan Rancangan Peraturan Kepala Daerah tentang

Penjabaran APBD;

(11) Permendagri No. 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan

Barang Milik Daerah;

Page 105: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐53 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

(12) Permendagri No. 21 Tahun 2007 tentang Pengelompokan Kemampuan

Keuangan Daerah, Penganggaran dan Pertanggungjawaban Penggunaan

Belanja Penunjang Operasional Pimpinan DPRD serta Tatacara

Pengembalian Tunjangan Komunikasi Intensif dan Dana Operasional;

(13) Permendagri No. 30 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah tahun anggaran 2008;

(14) Permendagri No. 44 tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Belanja

Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah;

(15) Permendagri No. 59 Tahun2007 tentang Perubahan atas Permendagri No.

13 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah;

(16) Permendagri No. 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan

Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK BLUD);

(17) Permendagri No. 65 Tahun 2007 tentang Pedoman Evaluasi Rancangan

Peraturan Daerah tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD dan

Rancangan Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran

Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD;

(18) Permendagri No. 4 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Reviu Atas

Laporan Keuangan Pemerintah Daerah;

(19) Permendagri No. 22 Tahun 2008 tentang Penghitungan Dasar Pengenaan

Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor

Tahun 2008;

(20) Permendagri No. 23 Tahun 2008 tentang Perhitungan Dasar Pengenaan

Pajak Kendaraan Di Atas Air dan Bea Balik Nama Kendaraan Di Atas Air

Tahun 2008;

(21) Permendagri No. 26 Tahun 2008 Tentang Penghitungan Dasar Pengenaan

Pajak, Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor

Yang Belum Tercantum dalam Permendagri No. 22 Tahun 2008 tentang

Penghitungan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik

Nama Kendaraan Bermotor Tahun 2008;

(22) Permendagri No. 32 Tahun 2008 Tentang Pedoman Penyusunan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2009;

(23) Permendagri No. 40 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas

Permendagri No. 26 Tahun 2008 tentang Penghitungan Dasar Pengenaan

Page 106: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐54 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Pajak, Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor

Yang Belum Tercantum dalam Permendagri No. 22 Tahun 2008 tentang

Penghitungan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik

Nama Kendaraan Bermotor Tahun 2008;

(24) Permendagri No. 55 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Penatausahaan Dan

Penyusunan Laporan Pertanggungjawaban Bendahara Serta

Penyampaiannya;

(25) Permendagri No. 20 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pengelolaan

Keuangan DAK di daerah;

(26) Permendagri No. 25 Tahun 2009 Tentang Pedoman Penyusunan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2010.

(27) Peraturan Bersama Kapolri, Menteri Keuangan dan. Menteri Dalam Negeri

tentang Kerjasama Pelayanan Pendaftaran Kendaraan Bermotor dalam

Pemungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak, dan Pemberian Surat

Tanda Kendaraan Bermotor, Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor,

Pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor dan Sumbangan Wajib Dana

Kecelakaan Lalu Lintas Jalan melalul SAMSAT;

iv. Draft UU

(1) Draft RUU tentang Badan Usaha Milik Daerah, telah disampaikan ke

Departemen Hukum dan HAM;

Instrumen utama yang digunakan dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal

adalah pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk memungut

pajak (taxing ower) dan Transfer ke Daerah. Mengingat bahwa kewenangan

pemerintah daerah untuk memungut pajak daerah masih sangat terbatas, maka

diperlukan penguatan taxing power daerah. Upaya tersebut saat ini mulai dapat

direalisasikan setelah disusun dan disahkannya UU No. 28 Tahun 2009 Tentang

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Transfer ke Daerah direalisasikan dalam

bentuk transfer Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian.

Dana Perimbangan terdiri dari DBH, DAU, dan DAK, yang merupakan komponen

terbesar dari Transfer ke Daerah. Alokasi Transfer ke Daerah terus meningkat

dan disertai diskresi yang luas bagi daerah untuk menggunakan dana tersebut.

a. Pengelolaan Dana Perimbangan

Page 107: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐55 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Pemerintah telah mengalokasikan total dana sebagaimana dalam APBN-P 2009

sebesar 1.006,7 triliun rupiah. Dari angka sebesar itu 40,8% atau Rp. 400,2 triliun

merupakan belanja Pemerintah di tingkat Pusat; 12% atau Rp. 120,6 triliun

merupakan belanja Pemerintah di daerah; kemudian 30,8% atau Rp. 309,6 triliun

merupakan dana transfer ke daerah; 14% atau Rp. 140,3 triliun merupakan

subsidi; dan Rp. 35 triliun merupakan dana bantuan ke masyarakat.

Page 108: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐56 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Gambar 4.5. Alokasi Belanja pada RAPBN-P 2009 (Triliun Rupiah)

Sumber: Departemen Keuangan, 2009

Berdasarkan gambar di atas, untuk dana Transfer ke Daerah, direalisasikan

dalam bentuk transfer Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan

Penyesuaian. Dana Perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH),Dana Alokasi

Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Alokasi Transfer ke Daerahterus

meningkat seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal

yang dimulai sejak tahun 2001. Misalnya, pada tahun 2005 alokasi Transfer ke

Daerah sebesar Rp150,5 triliun dan terus meningkat hingga menjadi Rp309,6

triliun pada RAPBN-P tahun 2009 tersebut. Selain dana Transfer ke Daerah,

belanja di daerah bisa lebih besar lagi bila memperhitungkan belanja

Pemerintah di daerah melalui mekanisme Dana Dekonsentrasi, Tugas

Pembantuan, dan dana vertikal. Kemudian juga dengan memperhitungkan

alokasi subsidi pemerintah dan bantuan ke masyarakat yang juga akan

dibelanjakan di daerah. Dengan demikian, dana yang akan dibelanjakan di

daerah dapat mencapai kurang lebih 60,2 persen dari total belanja RAPBN-P

Tahun 2009.

400,2; 39,79%120,6; 11,99%

309,6; 30,78%

140,3; 13,95% 35; 3,48%

Alokasi Belanja pada RAPBN-P 2009(Trilun Rupiah)

Belanja Pusat di PusatBelanja Pusat di DaerahTransfer ke DaerahSubsidiBantuan ke Masyarakat

Total Belanja: 1.006,7 Triliun

Page 109: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐57 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Sejak tahun 2008, pemberian DAU memang telah berhasil menghilangkan

prinsip hold harmless. Tetapi formula yang dipakai dalam penentuan DAU saat ini

masih mengikutsertakan belanja pegawai dalam penghitungan. Kemudian

penghitungan kebutuhan fiskal saat ini masih belum menggunakan pendekatan

kebutuhan yang sebenarnya. Kemudian, seiring dengan menguatnya kebutuhan

untuk pemenuhan berbagai program prioritas nasional besarnya alokasi DAK

meningkat menjadi 21.202 miliar pada tahun 2008. Namun, besarnya alokasi DAK

tersebut hanya sebesar 8.05% dari total dana perimbangan. Jumlah bidang DAK

terus diperluas, pada tahun 2008 telah menjadi 11 sektor dan akan terus

bertambah memfasilitasi pemindahan dana yang selama ini menjadi Dana

Dekonsentrasi sehingga ada kecenderungan terjadinya fragmentasi. Proporsi

Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap anggaran daerah sekarang ini masih

tetap rendah dengan rata-rata di tingkat kabupaten/kota tidak lebih dari 18%.

Kecilnya proporsi PAD tersebut membuat banyak daerah mengeluarkan

peraturan pajak dan retibusi yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi.

Gambar 4.6. Perkembangan Total Anggaran Pemerintah Daerah dan Pendapatan Asli

Daerah (PAD_ Tahun 2005 - 2009

Sumber: Departemen Keuangan, 2009 Angka 2009 merupakan angka sementara

0

50.000

100.000

150.000

200.000

250.000

300.000

350.000

400.000

Realisasi 2005

Realisasi 2006

Anggaran 2007

Anggaran 2008

Anggaran 2009

232.168,48

284.487,34

306.039,33

346.369,31

364.429,71

40.312,03 44.755,78 47.339,41 53.915,57 61.961,25

Jumlah (Rp. miliar)

Anggaran PAD

Page 110: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐58 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Dari gambar di atas menjelaskan bahwa total APBD daerah (provinsi,

kabupaten, kota) dari tahun ke tahun memperlihatkan trend yang terus

meningkat. Misalnya pada tahun 2005 sebesar 232,17 triliun meningkat menjadi

364,43 triliun pada tahun 2009. Demikian pula dari besaran anggaran tersebut

diantaranya adalah berupa Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang juga meningkat

dari Rp. 40, 31 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp. 61,96 triliun pada tahun 2009.

Meskipun demikian, angka PAD tersebut dibandingkan total anggaran yang

diterima daerah tidak beranjak hanya sebesar 15% - 18% dari total APBD dalam

rentang waktu tahun 2005 -2009. Dengan demikian sebagian besar komponen

anggaran daerah masih mengandalkan Transfer ke Daerah dari pemerintah

pusat. Sedangkan PAD memang masih memiliki kontribusi kecil terhadap

keseluruhan anggaran pemerintah daerah.

Tabel 4.8. Rincian Alokasi Dana Perimbangan dan Dana Otsus & Penyesuaian

Sumber: Departemen Keuangan, 2009, diolah

Peningkatan Dana Perimbangan dari tahun 2005 - 2010 rata-rata sebesar 2,69% hingga

55,1%. Peningkatan tertinggi sebesar 55,1% terjadi pada tahun 2006 sebagai akibat dari

peningkatan secara signifikan dari Dana Alokasi Khusus (DAK) yang mencapai hampir

200% dari sebesar Rp. 3,977 triliun tahun 2005 menjadi Rp. 11,566 triliun pada tahun 2006.

Sedangkan Dana Alokasi Umum (DAU) pada tahun 2006 juga meningkat cukup signifikan

sebesar 64,1% atau dari Rp. 88,765 triliun tahun 2005 menjadi Rp. 145,664 triliun tahun

2006. Setelah tahun 2006 peningkatan DAU berkisar 3 s.d. 13% dan DAK berkisar -17% s.d.

40%. Pada tahun 2010 alokasi anggaran untuk DAK justru menurun sekitar 17% atau hanya

sekitar Rp. 20,588 triliun dibandingkan tahun 2009 sebesar Rp. 24,255 triliun. Selanjutnya

2005 2006 2007 2008 2009 2010 Dana Perimbangan: 143.221 222.131 243.967 278.715 285.317 292.980 • Dana Bagi Hasil

(DBH) 50.479 64.900 62.942 78.420 74.083 76.586 • Dana Alokasi

Umum (DAU) 88.765 145.664 164.787 179.507 186.414 195.806 • Dana Alokasi

Khusus (DAK) 3.977 11.566 16.238 20.787 24.820 20.588 Dana Otsus & Penyesuaian 7.243 4.049 9.296 13.719 24.255 16.818

Jumlah 150.464 226.180 253.263 292.433 309.572 309.798

Page 111: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐59 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

akan dijelaskan alokasi Dana Perimbangan tahun 2009 untuk masing-masing daerah

provinsi.

Gambar 4.7. Perkembangan Dana Perimbangan dan Dana Otsus & Penyesuaian

Tahun 2005 - 2009

Sumber: Departemen Keuangan, 2009, diolah Angka 2009 dan 2010 merupakan angka sementara

Gambar 4.8.

Perkembangan Dana Perimbangan, Tahun 2005 – 2010

0

50.000

100.000

150.000

200.000

250.000

300.000

350.000

2005 2006 2007 2008 2009 2010

143.221

222.131 243.967

278.715 285.317 292.980

7.243 4.049 9.296 13.719 24.255 16.818

Dana Perimbangan: Dana Otsus & Penyesuaian

Page 112: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐60 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Gambar 4.9. Anggaran Dana Perimbangan Provinsi Tahun 2009

(Juta Rupiah)

Sumber: Departemen Keuangan, 2009, diolah

Berdasarkan gambar di atas, mengambarkan bahwa Dana Perimbangan

tahun 2009 bagi 33 pemerintah provinsi, sebagian besar dialokasikan bagi

provinsi-provinsi di Jawa serta provinsi-provinsi yang memiliki kekayaan alam

terbesar di Indonesia.

b. Implementasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Sejalan dengan pemberian kewenangan yang lebih besar kepada daerah

dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat,

kepada provinsi dan kabupaten/kota juga diberikan kewenangan untuk

memungut pajak dan retribusi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 28 Tahun

2009 tentang Perubahan atas UU Nomor

34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Berdasarkan undang-

undang tersebut, terdapat 16 jenis pajak daerah, yaitu 5 jenis pajak provinsi dan

11 jenis pajak kabupaten/kota. Berbeda dengan ketentuan dalam UU No. 28

Tahun 2009 yang memberi kesempatan kepada pemerintah kabupaten/kota

untuk memungut pajak selain yang ditetapkan dalam undang-undang selama

0

1.000.000

2.000.000

3.000.000

4.000.000

5.000.000

6.000.000

7.000.000

8.000.000

9.000.000

10.000.000

Jum

lah

(juta

rupi

ah)

Anggaran Dana Perimbangan Provinsi Tahun 2009 (juta rupiah)

Page 113: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐61 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

sesuai dengan potensi yang ada dan harus sesuai dengan kriteria pajak yang

ditetapkan dalam undang-undang, maka dalam UU No. 28 Tahun 2009, baik

pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota tidak diperkenankan lagi memungut

pajak selain dari yang telah ditentukan dalam UU 28 Tahun 2009 tersebut.

Sementara itu, retribusi daerah dikelompokkan menjadi tiga golongan

sesuai dengan jenis pelayanan dan perizinan yang diberikan, yaitu: (1) Retribusi

Jasa Umum, (2) Retribusi Jasa Usaha, dan (3) Retribusi Perizinan Tertentu.

Retribusi jasa umum adalah retribusi terhadap pelayanan yang wajib disediakan

oleh pemerintah daerah. Retribusi jasa usaha adalah retribusi terhadap

pelayanan yang disediakan oleh pemerintah daerah karena pelayanan sejenis

belum memadai disediakan oleh swasta atau dalam rangka optimalisasi

pemanfaatan aset daerah. Retribusi perizinan tertentu adalah retribusi terhadap

pelayanan pemberian izin tertentu guna melindungi kepentingan umum dan

menjaga kelestarian lingkungan. Berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009, terdapat 14

retribusi umum, 11 retribusi jasa usaha, dan 5 retribusi perizinan tertentu.

Secara nasional, peranan pajak daerah dan retribusi daerah dalam

penerimaan PAD sangat dominan, baik di tingkat provinsi maupun

kabupaten/kota. Dalam tahun 2005–2008, PAD provinsi didominasi oleh

penerimaan pajak, sedangkan dalam PAD kabupaten/kota, kontribusi

penerimaan pajak tidak jauh berbeda dengan penerimaan retribusi. Oleh sebab

itu, dalam rangka meningkatkan PAD, pemerintah daerah cenderung untuk

memungut berbagai jenis pajak dan retribusi melalui penetapan Peraturan

Daerah (Perda) selain yang telah ditetapkan dalam undang-undang dan

peraturan pemerintah, meskipun hasilnya kurang signifikan.

Sehubungan dengan hal tersebut, sebagian besar Perda terkait dengan

pajak dan retribusi baru yang bermasalah telah dibatalkan oleh Pemerintah.

Pembatalan tersebut dilakukan juga karena tidak memenuhi kriteria

sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang pajak

daerah dan retribusi daerah. Namun demikian, terdapat beberapa retribusi yang

berkaitan dengan pelayanan administrasi, yang pengenaannya tidak bersifat

pajak belum dibatalkan, dengan pertimbangan untuk memberikan ruang bagi

daerah dalam meningkatkan penerimaan dan meningkatkan kualitas pelayanan

administrasi.

Page 114: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐62 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Hal-Hal Yang Mengakibatkan suatu Perda dibatalkan:

1. Bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi.

2. Bertentangan dengan kepentingan umum.

3. Perda yang cenderung membebani masyarakat umum.

4. Perda yang cenderung menguntungkan pihak lain baik perseorangan maupun

golongan.

5. Perda yang menimbulkan berbagai masalah sosial kemasyarakatan yang

merugikan kehidupan masyarakat.

6. Perda yang berpotensi menimbulkan konflik sosial dan disintegrasi bangsa.

Tabel 4.9a dan 4.9b

Rekapitulasi Pembatalan Perda PDRD

Tahun Jumlah Perda Dibatalkan

2002 20 2003 106 2004 237 2005 127 2006 114 2007 173 2008 229

2009 *) 58 Jumlah 1064

*) Hingga Agustus 2009

Sumber: Ditjen Perimbangan Keuangan, Depkeu

Berdasarkan hasil monitoring berbagai Peraturan Daerah (Perda) Pajak dan

Perda Retribusi dari seluruh daerah (provinsi, kabupaten/kota) yang dilakukan

oleh Ditjen Bina Administrasi Keuangan Daerah (BAKD) Departemen Dalam

Hasil Evaluasi Jumlah Perda dan Raperda yang

Dievaluasi Batal Revisi Tidak Bermasalah Daerah

Perda Raperda Perda Raperda Perda Raperda Perda Raperda

1. Provinsi 530 112 156 5 1 57 373 50

2. Kabupaten 6511 1973 2180 257 98 1066 4233 650

3. Kota 2141 450 611 57 45 268 1485 125

Jumlah 9182 2535 2947 319 144 1391 6091 825

Page 115: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐63 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Negeri, sampai dengan bulan Agustus 2009 terdapat 17.812 Perda (627 Perda di

tingkat provinsi dan 17.185 di tingkat kabupaten dan kota). Dari jumlah tersebut

terdiri dari 3.539 Perda Pajak dan 14.243 Perda Retribusi. Selanjutnya, dari

jumlah 17.812 Perda tersebut sudah diterima sebanyak 7.500 Perda untuk

dilakukan evaluasi, sisanya sebanyak 10.312 belum diterima. Dari Perda yang

telah dievaluasi, telah disetujui untuk dilaksanakan sebanyak 4.427 Perda dan

sisanya sebanyak 3.063 Perda direkomendasikan untuk dibatalkan atau direvisi.

Dari jumlah Perda yang direkomendasikan untuk dibatalkan atau direvisi

tersebut, telah ditetapkan pembatalannya melalui Surat Keputusan (SK) Menteri

Dalam Netgeri sebanyak 1.064 Perda, dan sisanya sebanyak 1.999 masih dalam

proses pembatalan.

Tabel 4.10 Rekapitulasi SK Mendagri tentang Pembatalan Perda PDRD

Tahun 2002 s.d. 2009

Sumber: Ditjen BAKD, Depdagri

Perda-Perda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) yang dibatalkan

melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri terdapat di hampir seluruh

daerah. Jumlah Perda yang paling banyak dibatalkan terdapat di Sumatera Utara

(111 Perda), kemudian di Jawa Timur (102 Perda) dan Sulawesi Selatan (64

Perda). Jika dilihat berdasarkan sektor, maka Perda yang dibatalkan paling

Sektor Perke bunan

Peter nakan

Pertanian

Kehutanan ESDM INDAG Kopera

si UKMKelau

tan Naker Perhubungan

Komin fo

Link. Hidup

Pekerj. Umum Budpar keseha

tanSumb. Pihak 3 Lain2

Wilayah 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 171 NAD 5 3 1 3 3 152 Sumut 12 6 5 6 13 15 3 7 2 14 7 4 6 2 4 5 1113 Sumbar 4 6 6 3 7 7 1 1 354 Riau 4 1 1 3 4 7 2 4 7 2 4 2 1 425 Kepri 1 1 1 1 46 Jambi 4 1 10 3 1 4 1 10 3 1 387 Sumsel 4 2 4 4 1 2 5 2 1 1 268 Babel 1 3 1 2 1 2 2 1 1 1 159 Lampung 6 4 2 2 3 3 2 2 2 6 3 35

10 Bengkulu 3 4 2 4 3 3 2 2111 DKI Jakarta 1 112 Jabar 4 4 1 10 4 12 4 2 7 9 2 1 1 6113 Banten 2 4 1 1 1 2 6 2 1 2014 Jateng 1 3 1 13 2 7 1 1 5 6 2 2 3 1 4815 DIY 5 2 1 3 1 1216 Jatim 15 2 11 14 9 2 6 31 2 2 1 1 1 5 10217 Kalbar 2 5 8 3 2 2 5 1 2818 Kalteng 3 1 13 1 5 4 2 2 9 1 1 4 2 1 4919 Kalsel 5 4 5 5 4 1 4 4 1 1 3420 Kaltim 1 5 1 2 6 3 1 8 6 2 1 3621 Gorontalo 1 1 6 5 2 1 1 1 1822 Sulut 1 1 1 2 2 6 3 1 5 2 1 2 2723 Sulteng 2 3 5 7 14 1 3 7 2 1 1 1 4724 Sulsel 4 12 5 2 16 3 6 2 8 1 2 1 2 6425 Sulbar 1 1 226 Sultra 2 1 3 1 3 1 1127 Bali 6 2 4 2 1 1 2 2 1 2128 NTB 5 1 1 14 5 4 3 9 1 4329 NTT 1 1 2 8 5 3 2 4 1 2730 Maluku 1 1 1 2 2 3 1 1 1231 Malut 1 1 1 2 1 4 2 1232 Papua 2 1 1 5 2 2 2 1 2 1 1 2033 Papua Barat 5 1 2 4 4 2 2 1 3 2 1 27

63 110 22 120 93 163 60 57 77 162 15 29 16 21 5 21 30 1064

No. Jumlah

Page 116: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐64 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

banyak berasal dari sektor perindustrian dan perdagangan (163 Perda), sektor

perhubungan (162 Perda), sektor kehutanan (120 sektor) dan sektor peternakan

(110 sektor). Jumlah Perda PDRD tersebut yang akan dibatalkan nampaknya akan

bertambah mengingat hingga bulan Agustus 2009 masih ada 1.999 Perda yang

masih dalam proses pembatalan atau revisi.

4.2.6. Program Penataan Daerah Otonomi Baru

Pembentukan DOB sejak tahun 1999 sampai 2008 menunjukkan perkembangan

yang cukup signifikan, karena jumlah Provinsi di Indonesia meningkat sebesar

27%, jumlah Kabupaten meningkat sebesar 65%, dan jumlah Kota meningkat

sebesar 50%. Pada tahun 2005 Pemerintah untuk sementara waktu

menangguhkan pemekaran daerah, namun hingga akhir tahun 2006 gejolak

usulan pemekaran daerah terus berlanjut. Kebijakan penangguhan sementara

pemekaran daerah selama 2005-2006 sulit bertahan mengingat hingga saat ini

belum ada dasar yang kuat untuk itu, meskipun Depdagri menilai bahwa

perkembangan DOB belum optimal karena berbagai permasalahan atau

hambatan yang dihadapi (Depdagri 2005). Di samping itu, belum adanya

kebijakan pemerintah mengenai pembatasan jumlah daerah juga mendorong

daerah terus mengajukan pemekaran daerah. Dengan desakan yang kuat dari

daerah maka pada tahun 2007 dan 2008 terjadi lagi tambahan jurisdiksi daerah di

Indonesia.

Jumlah DOB di Indonesia sampai saat ini adalah 205 DOB, yang terdiri dari 7

Provinsi, 34 Kota dan 164 Kabupaten. Pada periode tahun 2008-2009, Pemerintah

menetapkan 32 DOB berdasarkan 32 Undang-undang sebagai berikut.

Page 117: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐65 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Gambar 4.10 Perkembangan Administrasi Kabupaten dan Kota Tahun 1998 sd 2008

Sumber: Otda-Depdagri dalam Laporan Evaluasi Pelaksanaan RKP Tahun 2008 oleh Direktorat Otonomi Daerah-Bappenas

Tabel 4.11. Daerah Otonom Baru Tahun 2008 - 2009

NO DOB

DAERAH INDUK

UU IBUKOTA JUMLAH

PENDUDUK (2007)

JUMLAH KECA-

MATAN

LUAS WILAYAH

(KM2)

PROVINSI SUMATERA UTARA

1 Kab. Labuhan Batu Selatan

Kabupaten Labuhan Batu

22 Tahun 2008

Kota Pinang ± 250.173 5 ± 3.596

2 Kab. Labuhan Batu Utara

Kabupaten Labuhan Batu

23 Tahun 2008

Aek Kanopan ± 323.740 8 ± 3570,982

Page 118: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐66 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

NO DOB

DAERAH INDUK

UU IBUKOTA JUMLAH

PENDUDUK (2007)

JUMLAH KECA-

MATAN

LUAS WILAYAH

(KM2) 3 Kab. Nias

Utara Kab. Nias 45 Tahun

2008 Lolofaoso ± 127.703 11 1.202,78

4 Kab. Nias Barat

Kab. Nias 46 Tahun 2008

Onolimbu ± 84.181 8 ± 473,379

5 Kota Gunungsitoli

Kab. Nias 47 Tahun 2008

Gunungsitoli ± 118.392 6 ± 280,78

PROVINSI JAMBI

6 Kota Sungai Penuh

Kabupaten Kerinci

25 Tahun 2008

Sungai Penuh 77.315 5 ± 391,5

PROVINSI BENGKULU

7 Kab. Bengkulu Tengah

Kabupaten Bengkulu Utara

24 Tahun 2008

Karang Tinggi ± 93.557 6 ± 1.223,94

PROVINSI RIAU

8 Kab. Kep. Meranti

Kab. Bengkalis

12 Tahun 2009

Selat Panjang ± 204.579 5 ± 3.707,84

PROVINSI KEPULAUAN RIAU

9 Kab. Anambas

Kabupaten Natuna

33 Tahun 2008

Tarempa, Siantan

± 41.341 6 ± 590,14

PROVINSI LAMPUNG

10 Kab. Pringsewu

Kab. Tanggamus

48 Tahun 2008

Pringsewu ± 368.318 8 ± 625,00

11 Kab. Mesuji Kab. Tulang Bawang

49 Tahun 2008

Sidomulyo ± 188.999 7 ± 2.184,00

12 Kab. Tulang Bawang Barat

Kab. Tulang Bawang

50 Tahun 2008

Panaragan ± 233.360 8 ± 1.201,00

PROVINSI BANTEN

13

Kota Tangerang Sel.

Kab. Tangerang

51 Tahun 2008

Ciputat ± 918.783 7 ± 147,19

PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

14 Kab. Lombok Utara

Kabupaten Lombok Barat

26 Tahun 2008

Tanjung ±204.556 6 ± 776,25

PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

15 Kab. Sabu Raijua

Kab. Kupang

52 Tahun 2008

Mania ±72.190 6 ± 460,54

PROVINSI SULAWESI UTARA

16 Kab. Bolaang Mongondow Timur

Kabupaten Bolaang Mongondow

29 Tahun 2008

Tutuyan ± 61.123 5 ± 910,176

17 Kab. Bolaang Mongondow Selatan

Kabupaten Bolaang Mongondow

30 Tahun 2008

Bolaang Uki ± 54.751 5 ± 1.615,86

PROVINSI SULAWESI TENGAH

18 Kab. Sigi Kabupaten Donggala

27 Tahun 2008

Sigi Biromaru ± 203.898 (2005)

15 ± 5.196,02

Page 119: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐67 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

NO DOB

DAERAH INDUK

UU IBUKOTA JUMLAH

PENDUDUK (2007)

JUMLAH KECA-

MATAN

LUAS WILAYAH

(KM2)

PROVINSI SULAWESI SELATAN

19 Kab. Toraja Utara

Kabupaten Tana Toraja

28 Tahun 2008

Rantepao ± 219.428 21 ± 1.215,55

PROVINSI MALUKU

20 Kab. Maluku Barat Daya

Kabupaten Maluku Tenggara Barat

31 Tahun 2008

Tiakur ± 66.627 8 ± 4.581,06

21 Kab. Buru Selatan

Kabupaten Buru

32 Tahun 2008

Namrole ± 43.096 5 ± 3.780,56

PROVINSI MALUKU UTARA

22 Kab. Pulau Morotai

Kab. Halmahera Utara

53 Tahun 2008

Daruba ± 54.876 5 ± 2.476

PROVINSI PAPUA BARAT

23 Kab. Tambrauw

Kab. Kebur 56 Tahun 2008

Kebur ± 29.119 6 ± 5.179,65

24 Kab. Maybrat Kab. Sorong 13 Tahun 2009

Kumurkek ± 27.919 6 ± 5.461,690

PROVINSI PAPUA

25 Kab. Lanny Jaya

Kabupaten Jayawijaya

5 Tahun 2008 Tiom 89.332* 10 ± 2.248

26 Kab. Mamberamo Tengah

Kabupaten Jayawijaya

3 Tahun 2008 Kobakma 54.735* 5 ± 1.275

27 Kab. Yalimo Kabupaten Jayawijaya

4 Tahun 2008 Elelim 34.057* 5 ± 1.253

28 Kab. Nduga Kabupaten Jayawijaya

6 Tahun 2008 Kenyam ± 73.696* 8 ± 2.168

29 Kab. Dogiyai Kabupaten Nabire

8 Tahun 2008 Kigamani ± 51.805* 7 ± 4.237,4

30 Kab. Puncak Papua

Kabupaten Puncak Jaya

7 Tahun 2008 Ilaga ± 60.294* 8 ± 8.055

31 Kab. Intan Jaya

Kab. Paniai 54 Tahun 2008

Yokatapa ± 41.163 6 ± 3.922,02

32 Kab. Deiyai Kab. Paniai 55 Tahun 2008

Waghete ± 38.301 5 ± 537,39

*tidak ada keterangan tahun. Sumber : Ditjen Otda-Depdagri dan UU Pembentukan Wilayah (DOB)

Berdasarkan tabel tersebut, terlihat bahwa pada periode tahun 2008-2009

terbentuk 32 DOB yang terdiri dari 29 Kabupaten dan 3 Kota. Pemekaran wilayah

yang terjadi pada tahun 2008-2009 terkonsentrasi di Kawasan Timur Indonesia

(Nusa Tenggara-Maluku-Papua), sebesar 47%. Sisanya adalah 37,5% di Sumatera

dan 12,% di Sulawesi. Pada tahun 2008-2009 tidak terjadi pemekaran wilayah di

Kalimantan. Sedangkan di wilayah Jawa-Bali hanya terbentuk 1 (satu) daerah

otonom baru, yaitu Kota Tangerang Selatan, sehingga meskipun demikian Jawa-

Page 120: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐68 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Bali tetap merupakan daerah yang mengalami pemekaran paling sedikit

dibandingkan wilayah lainnya selama 10 tahun pelaksanaan desentralisasi.

DOB yang ditetapkan pada tahun 2008 ini sebagian besar terdiri dari

5-6 kecamatan, dengan nilai rentang 5-21 kecamatan. Kabupaten Sigi dan

Toraja Utara memiliki jumlah kecamatan yang jauh lebih besar dibandingkan

DOB lain, yaitu secara berturut-turut 15 dan 21 kecamatan. Jumlah kecamatan

yang dimiliki oleh DOB tahun 2008 tersebut sebagian besar hanya sebatas jumlah

minimal yang diperlukan untuk membentuk satu kabupaten, berdasarkan PP 19

tahun 2008 tentang Kecamatan (minimal 5 kecamatan untuk membentuk

Kabupaten dan 4 kecamatan untuk membentuk Kota). Kondisi ini dapat menjadi

indikasi bahwa antusias daerah (masyarakat, pemerintah ataupun DPRD) untuk

memekarkan wilayahnya cukup besar, sehingga hanya mengambil persyaratan

teknis dan administrasi minimalis dari apa yang tertuang dalam peraturan

perundangan.

Rata-rata luas wilayah DOB tahun 2008 (mayoritas wilayah

kabupaten) adalah 2.470,52 km2, dengan nilai rentang 460,54 km2 (Kab.

Sabu Raijua) s.d. 8.055 km2 (Kab. Puncak Papua). Luasnya wilayah pemekaran

di Papua dipengaruhi oleh relativitas luas wilayah tiap kabupaten yang telah ada,

di antara seluruh wilayah kabupaten di seluruh Indonesia. Jika diklasifikasikan

berdasarkan pulau di Indonesia, maka wilayah kabupaten di Pulau Kalimantan

memiliki rata-rata luasan yang paling besar, yaitu 11.631,22 km2. Disusul dengan

Kawasan Timur Indonesia yang wilayah kabupatennya memiliki rata-rata luas

6.752,61 km2, Pulau Sumatera dengan rata-rata luas kabupaten 3.853,47 km2,

Pulau Sulawesi dengan rata-rata luas kabupaten 3.268,49 km2, serta yang paling

kecil adalah Pulau Jawa-Bali dengan rata-rata luas kabupaten hanya sebesar

1.190,90 km2 (lihat gambar 2.2). Dari perbandingan tersebut terlihat adanya

ketimpangan rentang kendali dan jangkauan pelayanan publik oleh Pemerintah

Kabupaten di Pulau Jawa dengan luar Jawa, terutama di Pulau Kalimantan dan

Kawasan Timur Indonesia.

Gambar 4.11

Rata-rata Luas dan Kepadatan Penduduk Kabupaten Tiap Pulau se-Indonesia

Page 121: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐69 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Sumber : Hasil perhitungan data UU pembentukan DOB, 2009

Dari keseluruhan DOB tersebut ternyata sebagian besar merupakan DOB

yang berada di daerah-daerah di luar Jawa-Bali. Demikian pula ditinjau dari

sebaran kawasan, sebagian besar DOB berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI)

daripada Kawasan Barat Indonesia (KBI), sebagaimana tabel dan gambar berikut:

Tabel 4.12. Sebaran Daerah Otonom Baru

Kawasan Jumlah Kawasan Jumlah

Jawa & Bali 10 KBI 87

Luar Jawa & Bali 195 KTI 118

T o t a l 205 205

Sumber : Ditjen Otda-Depdagri dan UU Pembentukan Wilayah (DOB)

Secara persentase pembentukan daerah otonom baru (DOB) 1999 - 2009, dapat

digambarkan sebagaimana grafik berikut:

Gambar 4.12. Sebaran Daerah Otonom Baru

5%

95%

Jawa & BaliLuar Jawa & Bali

58%

42%

KBI KTI

Page 122: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐70 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Dari Gambar di atas menunjukkan bahwa pemekaran daerah di Indonesia

dalam periode tahun 1999 – 2009 sebagaian besar terjadi di wilayah luar pulau

Jawa yang mencapai 95% dan Jawa-Bali hanya 5%, sedangkan berdasarkan

kawasan barat dan timur Indonesia, sebagian besar berada di Kawasan Timur

Indonesia (KTI) sebesar 58% dan Kawasan Barat Indonesia (KBI) 42%.

Pembangunan yang terkonsentrasi di Pulau Jawa-Bali dan KBI selama Orde Baru

nampaknya menyulut semangat pemerataan pembangunan di daerah di luar Jawa

dan KTI, yang tercermin dari tuntutan pemekaran wilayah atau pembentukan

daerah otonom baru sejak digulirkannya kebijakan pemekaran daerah pada

tahun 1999, khususnya sejak ditetapkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah, yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004.

Selanjutnya, dari sebaran pembentukan daerah otonom baru menurut

kawasan seperti yang telah dijelaskan di atas, kemudian dapat dirinci kembali

menurut wilayah pulau-pulau, sebagaimana gambar berikut.

Gambar 4.13. Sebaran Daerah Otonom Baru per Wilayah

Dari gambar tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa sejak tahun 1999

hingga 2009, sebaran daerah otonom baru paling banyak ada di pulau Sumatera,

yakni sebanyak 77 DOB atau 38%, kemudian disusul di wilayah Maluku & Papua

77

10 1125

3547

0

20

40

60

80

SUMATERA:

JAWA&BALI

NUSA TENGGARA

KALIM

ANTAN:

SULAWESI:

MALUKU&PAPUA

12% 5%

5%

23%38%

17%

SUMATERA:JAWA&BALINUSA TENGGARAKALIMANTAN:SULAWESI:MALUKU&PAPUA

Page 123: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐71 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

sebanyak 47 DOB (23%), Sulawesi sebanyak 35 DOB (17%), Kalimantan sebanyak

25 DOB (12%), Nusa Tenggara sebanyak 11 DOB (5%), dan Jawa-Bali merupakan

wilayah yang paling sedikit terdapat pembentukan daerah otonom baru, yaitu

hanya 10 DOB (5%). Pulau Sumatera, meskipun berada di kawasan barat

Indonesia, namun memiliki daerah otonom baru terbanyak. Hal ini nampaknya

karena Sumatera merupakan wilayah yang memiliki jumlah provinsi terbanyak

diantara kawasan lainnya, yaitu sebanyak 10 provinsi, dan tiap-tiap provinsi di

Sumatera mengalami pemekaran daerah.

Pada tahun 2005, Presiden3 mengeluarkan himbauan untuk melakukan

penundaan (moratorium) pemekaran wilayah. Himbauan tersebut disampaikan

terkait dengan berbagai hasil evaluasi yang dilakukan terhadap DOB yang telah

ada saat itu yang menunjukkan bahwa sebagian besar dari daerah pemekaran

tersebut masih belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan, dan bahkan

ada yang menunjukkan kenyataan sebaliknya. Selain agenda pemilu, himbauan

Presiden untuk menunda pemekaran wilayah juga didasari oleh adanya beban

keuangan negara yang semakin meningkat seiring dengan bertambahnya daerah

otonom di Indonesia. Hal ini terkait dengan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana

Alokasi Umum (DAU) untuk tiap daerah otonom yang dibebankan pada APBN.

Lalu bagaimanakah kondisi pelayanan publik, utamanya pelayanan publik di

daerah setelah diimplementasikannya kebijakan desentralisasi dan otonomi

daerah selama 2004-2009? Dalam rangka menjalankan amanat yang tertuang

dalam UU 32/2004 tersebut, maka telah dilakukan upaya-upaya untuk

mewujudkan pelayanan publik yang sesuai dengan harapan masyarakat, sejak

tahun 2006, yakni melalui RPJMN tahap 1 (2005-2009) hingga saat ini, seperti yang

tertuang dalam RKP 2010. Beberapa perkembangan telah dihasilkan selama

kurun waktu tersebut, diantaranya:

Layanan Satu Atap (One Stop Service/ OSS):

Hingga tahun 2008, sudah terdapat 300 unit pelayanan terpadu satu pintu

(OSS), dan sebanyak 93 unit pelayanan sudah membangun Sistem Manajemen

                                                            3 Disampaikan pada pidato Presiden di depan DPD pada 23 Agustus 2006

Page 124: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐72 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Mutu, sedangkan unit pelayanan yang sedang membangun Sistem Manajemen

Mutu adalah sebanyak 31 unit pelayanan;

Standard Pelayanan Minimal (SPM):

Hingga tahun 2008 telah diterbitkan 4 Standar Pelayanan Minimal (SPM), yaitu

SPM Bidang Kesehatan, SPM Bidang Lingkungan Hidup, SPM Bidang Sosial,

SPM Bidang Pemerintahan Dalam Negeri di Kabupaten/Kota berbagai diklat

yang bertujuan untuk menunjang penerapan manajemen SPM sebanyak 630

orang dalam 21 kegiatan belum diterbitkanya SPM pada seluruh bidang

pemerintahan (sampai akhir tahun 2008, baru 4 SPM yang telah diterbitkan,

yaitu Bidang Kesehatan, Bidang Lingkungan Hidup, Bidang Sosial, dan Bidang

Pemerintahan Dalam Negeri di Kabupaten/Kota)

Terkait dengan penyusunan dan pelaksanan SPM tersebut, beberapa kegiatan

yang sudah dilakukan antara lain :

1) Penerbitan PP No. 65 Tahun 2005 Tentang Pedoman Penyusunan dan

Penerapan Standar Pelayanan Minimal pada tanggal 28 Desember 2005.

2) Penerbitan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 2007 Tentang

Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal

sebagai peraturan pelaksanaan dari PP 65/2005 pada tanggal 7 Februari

2007.

3) Penerbitan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 100.05 – 76 Tahun 2007

Tentang Pembentukan Tim Konsultasi Penyusunan Standar Pelayanan

Minimal telah diterbitkan pada tanggal 7 Februari 2007. Tim Konsultasi

SPM terdiri dari Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan,

Kementrian PAN dan Bappenas yang mempunyai peranan menyerasikan

usulan-usulan SPM dari Departemen Sektor dan LPND.

4) Departemen Kesehatan dan Kementerian Lingkungan Hidup telah

menerbitkan SPM, sementara Departemen PU, dan Departemen

Pendidikan telah menyusun Draft Calon SPM yang akan siap untuk dibahas

dengan Tim Konsultasi SPM.

5) Penyusunan Peraturan Menteri Dalam Negeri Tentang Pedoman

Penyusunan Rencana Pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM)

berdasarkan Analisis Kemampuan dan Potensi Daerah.

Page 125: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐73 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

6) Pembentukan Technical Working Group SPM yang mengakomodasikan

berbagai aktor termasuk Pemerintah, Donor, Pakar dan pihak lainnya

terkait.

Pertumbuhan BLUD: Bentuk organisasional baru ini telah diterapkan di

beberapa sektor: pengembangan kehutanan, universitas, rumah sakit

nasional, jalan tol dan lain-lain. Tetapi sampai saat ini belum cukup jelas apa

keunggulan BLUD dibandingkan dengan model Badan Usaha Milik Daerah

(BUMD), dan apakah model BUMD sekarang sedang mengalami kemunduran.

Pola geografis pendirian BLUD masih belum dipetakan tetapi sepertinya

sebagian besar terdapat di Jawa. Perbandingan antara BUMD dan BLUD

sepertinya menjamin diketahuinya keunggulan relatif masing-masing dan

memutuskan yang mana yang perlu didorong dan untuk situasi yang mana.

(STS)

Kontrak Pelayanan (Citizen Service Charters): Satu upaya yang terus diterapkan

di beberapa daerah adalah ‘kontrak layanan’, yang mendapatkan banyak

dukungan dari beberapa mitra pembangunan. Kontrak layanan sepertinya

bermanfaat dalam merubah pola pikir penyedia layanan dari kepentingan

birokratis mereka ke kebutuhan masyarakat, tetapi tidak ada dokumentasi

yang tersedia sejauhmana Kontrak Pelayanan sudah direplikasikan dan

bagaimana digunakan dalam prakteknya. (STS)

Mekanisme keluhan dan umpan balik: Pengembangan berkaitan dengan

mekanisme penyampaian keluhan dan umpan balik juga tercatat pada STS

2006, seperti pendekatan scorecard, atau penggunaan televisi untuk

berinteraksi dengan publik. Percobaan ini berlanjut dan beberapa daerah

kini mengembangkan cara untuk penyampaian keluhan dan tanggapan lewat

pesan singkat (SMS). Layanan Ombudsman juga dikembangkan di beberapa

daerah.

Indeks Kepuasan Masyarakat. Berdasarkan hasil kegiatan monitoring dan

evaluasi pada tahun 2007 yang lalu, IKM telah diterapkan oleh 10 Propinsi

yang meliputi 150 unit pelayanan publik, 7 kabupaten yang meliputi 56 unit

pelayanan publik, dan 5 kota yang meliputi 39 unit pelayanan.Sedangkan

untuk tahun 2008 telah diterapkan oleh 15 Propinsi yang meliputi 180 unit

Page 126: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐74 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

pelayanan publik, 14 kabupaten yang meliputi 100 unit pelayanan publik, dan

15 kota yang meliputi 99 unit pelayanan. (situs Menpan)

4.3. Permasalahan dan Tantangan Ke Depan

Walaupun berbagai upaya telah dilakukan dalam rangka penerapan

desentralisasi dan otonomi daerah melalui program-program di atas, masih

ditemukan beberapa permasalahan tersisa dan tantangan yang masih harus

dihadapi ke depan.

4.3.1. Permasalahan dan tantangan terkait dengan harmonisasi

perundangan

Tim revisi UU No. 32/2004 mencatat sejumlah permasalahan yakni: (1)

banyaknya Perda atau usulan Perda yang bertentangan dengan

kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi; (2) Perda yang tidak

pernah dilaporkan; (3) Pengawasan Perda yang lemah; serta (4) Mekanisme

pembatalan Perda yang tidak jelas. Karenanya, tim revisi UU No. 32/2004

memandang perlu kejelasan alat kontrol terhadap penyusunan dan

pelaksanaan Perda.

Selain itu pada tataran pemerintahan beberapa permasalahan yang juga

penting untuk mendapatkan perhatian adalah sebagai berikut :

1. Belum selesainya beberapa peraturan pelaksanaan dari amanat UU No.

32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

2. Beberapa regulasi peraturan yang masih tumpang tindih dengan

beberapa peraturan amanat UU No. 32 Tahun 2004. Hal ini terkait dengan

harmonisasi peraturan-perundangan sektoral dengan peraturan-

perundangan desentralisasi dan otonomi daerah;

Secara singkat, dapat dikatakan bahwa permasalahan terkait dengan

harmonisasi perundangan adalah belum sinkron dan harmonisnya peraturan

perundang-undangan mengenai desentralisasi dan otonomi daerah di

tingkat pusat dan daerah.

Page 127: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐75 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

4.3.2. Permasalahan dan tantangan terkait dengan keuangan daerah

Sasaran yang hendak dicapai dalam lima tahun revitalisasi kebijakan

desentralisasi terjabar di dalam berbagai rumusan yang diantaranya adalah

sinkronisasi peraturan perundang-undangan mengenai hubungan

kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta

terkelolanya sumber dana dan pembiayaan pembangunan secara

transparan, akuntabel dan profesional. Dalam hal ini tampak bahwa

keterkaitan antara arah kebijakan desentralisasi di bidang keuangan daerah

dengan sinkronisasi peraturan perundangan, penguatan kelembagaan,

kejelasan tentang pembagian urusan, serta unsur-unsur kebijakan jangka

menengah lainnya.

Selanjutnya, kebijakan di bidang keuangan daerah dimaksudkan untuk

meningkatkan kapasitas keuangan daerah dalam rangka peningkatan

pelayanan kepada masyarakat, penyelenggaraan otonomi daerah, dan

penciptaan pemerintahan yang baik. Ada tiga unsur program untuk

mencapai sasaran tersebut, yaitu: 1) Peningkatan efektivitas dan

optimalisasi sumber-sumber penerimaan daerah yang berkeadilan,

termasuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi kegiatan usaha dan

investasi; 2) Peningkatan efisiensi, efektivitas dan prioritas alokasi belanja

daerah secara profesional; dan 3) Pengembangan transparansi,

akuntabilitas, dan profesionalisme dalam pengelolaan keuangan daerah.

4.3.3. Permasalahan dan tantangan terkait dengan penguatan kelembagaan

Permasalahan terkait dengan kelembagaan pemerintah daerah. RPJMN

2005-2009 menggariskan bahwa kelembagaan pemerintah daerah yang

akan dicapai adalah kelembagaan pemerintah daerah yang efektif, efisien,

dan akuntabel. Untuk mewujudkan hal tersebut, salah satu upaya yang

dilakukan adalah melalui kebijakan yang mengatur organisasi pemerintah

daerah. Pada tahun 2007, untuk kesekian kalinya, Pemerintah

mengeluarkan sebuah kebijakan yang mengatur tentang kelembagaan

pemerintah daerah. Sebelumnya, pengaturan terhadap kelembagaan atau

Page 128: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐76 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

sering disebut dengan Organisasi Perangkat Daerah (OPD), telah diatur dan

ditetapkan berdasarkan PP 84 tahun 2000, yang diganti dengan PP 8 tahun

2003. Pada tahun 2007, peraturan-peraturan tersebut diganti dengan

Peraturan Pemerintah/PP No 41 tahun 2007. Penggantian kebijakan berkali-

kali dalam kurun waktu yang singkat justru mendatangkan permasalahan

dalam penerapannya di daerah. Kelembagaan pemerintah daerah yang

seyogyanya akan dicapai melalui PP No 41 Tahun 2007 belum dapat

terwujud pada akhir kurun waktu RPJMN 2005-2009. Dengan demikian,

permasalahan yang terjadi terkait dengan kelembagaan pemerintah daerah

masih berkisar pada belum efektif, efisien, dan akuntabelnya kelembagaan

pemerintah daerah.

4.3.4. Permasalahan dan tantangan terkait dengan kerjasama antar daerah.

Dalam database Desentralisasi dan Otonomi Daerah Bappenas

diidentifikasi beberapa permasalahan terkait dengan kerjasama antar

daerah, yakni:

Pada umumnya masih terdapat cukup banyak potensi kerjasama antar

daerah, yang dapat berakar dari konflik antar daerah, ataupun belum

terpenuhinya kebutuhan masyarakat suatu daerah akibat keterbatasan

sumber daya alam. Namun, pemerintah daerah masih belum dapat

melihat hal tersebut sebagai potensi, melainkan masih sebatas

permasalahan yang belum diketahui jalan keluarnya.

Beberapa daerah yang telah mengidentifikasi bidang‐bidang yang

berpotensi untuk dikerjasamakan, masih belum dapat menyusun

usulan/proposal kerjasama, karena masih terbatasnya informasi dan

best practice pelaksanaan teknis kerjasama, terutama di bidang

pelayanan publik. Misalnya pelaksanaan kerjasama penyediaan air

bersih di wilayah yang berbatasan dengan daerah yang memiliki

sumber air cukup banyak.

Bentuk kelembagaan pemerintah daerah yang memiliki tupoksi terkait

kerjasama antar daerah juga berpengaruh terhadap perkembangan

dan pelaksanaan kerjasama secara maksimal. Isu ini telah bergulir

Page 129: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐77 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

sejak kurang lebih 2 tahun yang lalu, dan sampai saat ini Pemerintah

Daerah masih mengalami kesulitan yang sama. Di beberapa daerah,

urusan kerjasama masih diurusi dalam wadah sub bagian, sehingga

beban kerja seperti yang diatur dalam PP 50 tahun 2007 tidak dapat

dilaksanakan secara lengkap dan optimal.

4.3.5. Permasalahan terkait dengan Daerah Otonom Baru

Berdasarkan laporan monitoring Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2008,

teridentifikasi beberapa permasalahan terkait dengan pemekaran daerah

dan Daerah Otonom Baru, yakni:

(a) Belum selesainya penetapan batas wilayah pada sebagian besar DOB.

Masing‐masing DOB memiliki jumlah batas wilayah yang

berbeda‐beda. Penetapan batas wilayah merupakan wewenang

pemerintah pusat;

(b) Belum adanya Grand Strategy Penataan DOB sebagai acuan jumlah

provinsi dan kabupaten/kota yang ideal;

(c) Berdasarkan hasil evaluasi Ditjen Otda, Depdagri, sebagian besar DOB

tidak memiliki kinerja yang baik.

Sedangkan dalam laporan database pelaksanaan desentralisasi dan

otonomi daerah 2009, Bappenas disebeutkan permasalahan sebagai

berikut :

(a) Masih belum optimalnya pelaksanaan desentralisasi di daerah-daerah

yang memiliki karakteristik khusus dan istimewa, karena masih ada

beberapa peraturan yang belum tersusun dan tersosialisasi;

(b) Adanya keterbatasan dalam kemampuan keuangan negara dan

keuangan daerah untuk membiayai penyediaan prasarana dan sarana

pemerintahan di daerah, baik prasarana dan sarana instansi vertikal

Page 130: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐78 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

maupun SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) termasuk kantor

kecamatan sebagai unit terdepan pelayanan masyarakat;

(c) Peningkatan transfer dana APBN ke daerah tidak dinikmati oleh daerah

secara optimal karena lebih ditujukan untuk mendanai daerah otonom

baru.

Berikut isu-isu terkait pemekaran DOB:

1. Sesuai dengan kesepakatan antar pemerintah dan DPR-RI khususnya dengan

Komisi II, bahwa perlu dilakukan revisi terhadap UU No. 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah, menjadi 3 (tiga) undang-undang yang terdiri

dari Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah; Undang-undang tentang

Desa; dan Undang-undang tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil

Kepala Daerah. Beberapa isu yang terkait penyempurnaan RUU ini, antara lain

adalah penyempurnaan pengaturan tentang pembentukan daerah otonom

baru; pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah; hak dan kewajiban

DPRD; perangkat daerah; kepegawaian daerah; peraturan daerah; desa;

mekanisme dan prosedur pemeriksaan pejabat daerah; pengawasan terhadap

pemerintahan daerah; musyawarah pimpinan daerah (muspida);

dekonsentrasi dan tugas pembantuan; kecamatan; penganganan daerah

perbatasan; posisi provinsi sebagai daerah otonom dan gubernur sebagai

wakil pusat di daerah; pembninaan terhadap pemerintahan di daerah; urusan

pendidikan agama; urusan perkotaan; kedudukan wakil kepala daerah;

pelayanan public; dan alokasi anggaran pelayanan publik oleh aparatur.

2. Pelaksanaan PILKADA secara langsung telah dilaksanakan sebanyak 484

dimulai sejak Juni 2005 sampai Agustus 2009. Meskipun pelaksanaan

pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tersebut dapat berjalan

dengan tertib dan lancar hingga dilantiknya Kepala Daerah dan Wakil Kepala

Daerah terpilih, masih terdapat permasalahan-permasalahan terkait

pelaksanaan Pilkada langsung. Setidaknya terdapat 182 kasus hasil Pilkada

langsung yang berproses di Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung, dan

terakhir dengan adanya Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang

perubahan kedua atas Undang-undang No. 32 Tahun 2004 proses

Page 131: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐79 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

penyelesaian sengketa hasil Pilkada langsung diselesaikan di Mahkamah

Konstitusi sebanyak 27 kasus dari Tanggal 1 November 2008 s.d 10 Maret

2009. Pada Tahun 2010 akan dilaksanakan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil

Kepala Daerah berjumlah 246 yang terdiri dari 7 Pemilihan Gubernur/Wakil

Gubernur dan 204 Bupati/Wakil Bupati dan 35 Walikota/Wakil Walikota.

3. Pembentukan Daerah pada dasarnya dimaksudkan untuk meningkatkan

pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat.

Sejat Tahun 1999 sampai saat ini telah terbentuk 205 Daerah Otonom Baru

yang terdiri dari 7 Provinsi 164 Kabupaten dan 34 Kota, sehingga jumlah

daerah otonom sampai dengan Tahun 2009 adalah 524 yang terdiri dari 33

provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota. Untuk mengetahui sejauh mana

pencapaian tujuan pembentukan daerah, pemerintah telah menetapkan

Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Sampai saat ini sedang dilakukan

evaluasi terhadap 31 Daerah Otonomi Baru (EDOB dari 57 DOB yang usia

pembentukannya kurang dari 3 tahun tahun 2007-2009) dengan hasil 17

kabupaten/kota termasuk kategori baik dan 14 kabupaten/kota termassuk

kategori kurang baik. Disamping itu, sedang disusun Grand Strategy

Penataan Daerah (GSPD) sebagai acuan dalam rangka penataan daerah ke

depan hingga tahun 2025. Ruang lingkup GSPD antara lain untuk menentukan

jumalh ideal daerah otonom, baik provinsi maupun kabupaten/kota, juga

dilakukan penyempurnaan terhadap persyaratan dan tata cara pembentukan

daerah otonom baru, evaluasi secara terprogram dan pola pembinaan

terhadap penyelenggaraan otonomi daerah.

4. Pembentukan daerah otonom yang akan datang, diupayakan lebih selektif

lagi mengingat setiap terbentuknya daerah otonom akan menimbulkan

implikasi terhadap beban keuangan Negara berupa penyediaan dana alokasi

umum, penyediaan sarana dan prasarana perangkat pusat dan daerah. Pada

saat ini masih terdapat 20 usulan pembentukan daerah otonom baru atas

inisiatif DPR yang belum dapat diproses mengingat kebijakan pemerintah

untuk melakukan moratorium pemekaran sampai dengan pelaksanaan

evaluasi yang menyeluruh terhadap 205 daerah otonom baru dapat

Page 132: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐80 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

diselesaikan. Moratorium tersebut disampaikan oleh Bapak Susilo Bambang

Yudhoyono pada rapat siding paripurna di DPR tanggal 3 Agustus 2009.

5. Di samping itu, penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di DOB

masih pula diwarnai oleh permasalahan terkait dengan pengelolaan aset

daerah, penyediaan aparatur pemerintahan, batas wilayah dan efektivitas

pembentukan daerah otonom baru untuk meningkatkan pelayanan publik di

daerah

4.3.6. Permasalahan terkait dengan kapasitas aparat pemerintah daerah

Permasalahan terkait dengan kapasitas aparat pemerintah daerah dapat

dikelompokkkan dalam beberapa isu, yakni:

(a) Formasi

Penentuan formasi pegawai dan jabatan struktural belum

menggunakan standar yang jelas dan baku

Adanya beberapa perbedaan pengaturan antara UU No. 32/2004

tentang Pemerintahan Daerah dengan UU No. 43/ 1999 tentang

Pokok‐Pokok Kepegawaian

(b) Rekruitmen

Pola rekruitmen yang dilaksanakan selama ini berbeda antara

daerah yang satu dengan yang lain, sehingga mendapatkan hasil

saringan yang berbeda. Pada akhirnya kompetensi aparatur pemda

yang dimiliki oleh daerah cenderung menjadi tidak seimbang

Penerapan PP No. 48/2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer

Menjadi Pegawai Negeri Sipil di daerah kurang memperhatikan

kompetensi pegawai

Untuk daerah pemekaran, terdapat kesulitan rekruitmen pegawai

untuk jabatan eselon tertentu (eselon III dan IV)

(c) Pola karir

Masih banyak penempatan pejabat yang tidak sesuai dengan

pengalaman dan latar belakang pendidikan karena masalah

Page 133: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐81 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

kekurangan SDM. Hal ini juga menyebabkan kesulitan dalam

menerapkan pedoman karir yang telah disusun. Salah satu

Rancangan Peraturan Pemerintah yang terkait adalah Pedoman

Persyaratan Jabatan Perangkat Daerah, yang sedang disusun

sebagai amanat pasal 128 ayat (3) UU No. 32/2004. Pedoman

pengaturan jabatan perangkat daerah ini diharapkan dapat

mendukung kebijakan pemerintah daerah dalam menyusun struktur

organisasi pemerintah daerah secara profesional dan berkualitas

Terkait dengan adanya pengembangan jabatan fungsional di

daerah, pegawai di daerah cenderung tidak tertarik untuk

mengambil alternatif jabatan fungsional tersebut. Hal ini disebabkan

rumitnya persyaratan kenaikan pangkat/golongan jabatan

fungsional yang didasarkan pada produk atau output kerja tiap

pegawai. Kesulitan ini salah satunya disebabkan lingkup kerja

(wilayah administrasi pemerintahan) di daerah yang tidak sebesar

lingkup kerja Pemerintah, tetapi tidak ada pembedaan

penghitungan output atau hasil kerja antara pegawai pusat dan

daerah untuk naik golongan/pangkat. Pada intinya, aparat

pemerintah daerah menemui kendala untuk memenuhi ketentuan

dalam persyaratan KUM dan sebagainya. Meskipun demikian,

sosialisasi terus dilakukan oleh Pemerintah Daerah terkait dengan

jabatan fungsional ini, dan Pemerintah Daerah mengharapkan

kerjasama Pemerintah untuk memberikan alternatif pilihan ataupun

kebijakan yang lebih responsif dan fleksibel terhadap kondisi

aparat pemerintah daerah

(d) Promosi dan mutasi

Belum semua daerah menerapkan promosi pegawai atas dasar hasil

assessment center bekerjasama dengan pihak ketiga, guna menjaga

obyektivitas hasil. Sehingga sistem promosi belum dapat menjadi

pemacu kinerja aparatur pemda

Saat ini, mutasi pegawai dari provinsi ke kabupaten/kota tidak dapat

dilakukan dengan mudah karena harus ada persetujuan dari

Pemda‐pemda yang terkait. Sehingga, saat ini terjadi ketimpangan

Page 134: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐82 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

kompetensi pegawai karena adanya kesan “pengkaplingan”

pegawai provinsi, ataupun pegawai kabupaten/kota

(e) Remunerasi

Adanya kesenjangan pemberian tunjangan bagi pejabat eselon

antar daerah karena bergantung pada kemampuan keuangan

daerah provinsi masing‐masing, tidak hanya terbatas pada platform

Pemerintah

Adanya kebijakan untuk membagi rata remunerasi kepada seluruh

aparatur di setiap SKPD sebagai usaha mengurangi ketimpangan

besarnya tunjangan antar SKPD tidak sepenuhnya diterima oleh

daerah, karena pemberian tunjangan yang tidak didasarkan pada

kinerja di lain pihak justru dapat menurunkan semangat/kinerja

aparat

(f) Pengembangan dan disiplin pegawai

Penyusunan standar pengembangan pegawai dalam rangka

peningkatan kinerja aparatur ternyata menimbulkan permasalahan,

yakni banyaknya pegawai yang berlomba‐lomba melanjutkan studi

S1, S2, bahkan S3. Hanya saja pendidikan yang diambil sering tidak

mendukung tugas, pokok dan fungsi tempat dimana dia berkerja.

Masih terjadi overlapping penyelenggaraan diklat antara

Pemerintah dengan Pemerintah Daerah

Penegakan displin dan etika melalui proses internal antar staf, apel

pagi rutin, dan absensi harian masih belum efektif.

Gambaran kondisi diatas juga didukung dan diperkuat oleh hasil

kajian Bappenas lainnya mengenai database bidang desentralisasi dan

otonomi daerah pada tahun 2008 yang mengemukakan sejumlah

permasalahan dalam pengelolaan aparatur sebagai berikut:

Terkait dengan manajemen kepegawaian daerah yang merupakan

satu kesatuan dengan kepegawaian nasional, maka pemerintah

daerah harus mengacu pada peraturan perundangan yang

ditetapkan oleh Pemerintah. Beberapa peratuan yang dipedomani

Page 135: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐83 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

antara lain: Kepmendagri No. 10/2003, PP No. 9/2003, UU No.

43/1999, PP No. 31/2001, PP No. 11/12 mengenai Pegawai Negeri

Sipil. Namun, permasalahan yang sering ditemui dalam pelaksanaan

peraturan tersebut adalah kurang tegasnya sanksi yang diatur di

dalamnya, sehingga pelanggaran yang dilakukan baik oleh instansi

maupun personel dalam perangkat daerah tertentu tidak dapat

ditindak tegas. Pada akhirnya, pengelolaan kepegawaian tidak

dapat optimal karena unsur politis dan keberpihakan masih menjadi

kekuatan terbesar yang mempengaruhi pola karir aparatur

pemerintah daerah. Hal ini sangat terlihat pada kasus pe-nonjob-an

Sekretaris Daerah yang tidak berada di pihak kepala daerah terpilih

secara sepihak (tanpa proses evaluasi dan analisis jabatan) oleh

kepala daerah

Adanya kebijakan untuk mengangkat pegawai honorer di daerah

menjadi pegawai negeri sipil (berdasarkan Keputusan Menteri

Pendayagunaan Aparatur Negara), termasuk pengangkatan

Sekretaris Desa menjadi PNS, menimbulkan pro dan kontra di

daerah. Walaupun proses teknis pengangkatan pegawai honorer

terpetakan dengan baik di daerah, namun ternyata menimbulkan

dampak yang cukup signifikan. Permasalahan utama adalah terkait

dengan standar kompetensi PNS yang sedang ditingkatkan untuk

mendukung peran pemerintah daerah yang lebih tinggi pada era

desentralisasi. Di sisi lain kebijakan pengangkatan pegawai honorer

tersebut justru dinilai menurunkan kompetensi PNS mengingat

proses pengangkatan tersebut tidak dilaksanakan berdasarkan

kompetensi yang dibutuhkan oleh daerah yang bersangkutan.

Selain itu, secara umum pegawai honorer daerah pada awalnya

bergabung lebih berdasarkan sistem kekerabatan, bukan

berdasarkan tingkat kompetensi. Pada akhirnya, Pemerintah

dianggap tidak konsisten terhadap kebijakan nasional yang

ditetapkan, yang akan mempersulit daerah dalam melaksanakan

kebijakan tersebut

Page 136: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐84 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Sistem pola karir yang belum jelas menjadi hambatan dalam

menentukan formasi jabatan untuk tiap personel struktural. Pada

dasarnya sistem pola karir bukanlah akar dari permasalahan formasi

jabatan, melainkan salah satu variabel yang berpengaruh dan

dipengaruhi oleh variabel lain. Adanya kekuatan dan dorongan

politis, belum adanya kemampuan database kepegawaian untuk

menjawab secara rinci dan berjenjang mengenai bidang keahlian

tiap pegawai, adanya peluang untuk berpindah-pindah bidang

dalam rangka mempercepat kenaikan pangkat, merupakan 3 (tiga)

diantara sekian banyak faktor yang mempengaruhi dan dipengaruhi

oleh sistem pola karir pegawai. Pada akhirnya, terjadi

pengelompokan pegawai yang tidak puas terhadap sistem karir

yang ada, yang mempengaruhi kinerja dan loyalitas mereka

terhadap jabatan dan bidang kerja masing-masing. Hal ini

merupakan salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam penentuan

kebijakan terhadap pengaturan jabatan fungsional dan struktural,

serta Rancangan Peraturan Presiden mengenai Pengembangan

Kapasitas Pegawai yang sedang dibahas oleh Pemerintah

Bagi pemerintah propinsi, pelimpahan wewenang pengelolaan

pegawai di masing-masing daerah kabupaten/kota (sejak

desentralisasi), menyebabkan tertutupnya kesempatan bagi aparat

pemerintah daerah untuk meningkatkan kapasitasnya di tingkat

pemerintahan yang lebih tinggi. Berbeda halnya dengan kebijakan

di era orde baru, bahwa pegawai kabupaten/kota yang memiliki

kinerja tinggi memiliki peluang untuk dapat diangkat menjadi

pegawai provinsi, dan demikian seterusnya. Kebijakan tersebut

menjadi insentif dan motivasi bagi aparat pemerintah daerah untuk

dapat meningkatkan kinerja demi memperbaiki karir dan

kesejahteraan, bahkan mungkin untuk mendapatkan prestise yang

lebih baik. Terkait dengan hal tersebut, pemerintah propinsi juga

tidak memiliki kewenangan untuk menilai peningkatan kompetensi

pegawai kabupaten/kota dalam rangka pemberian alokasi jabatan

di tingkat propinsi. Di satu sisi, kebijakan era orde baru tersebut

Page 137: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   IV‐85 

 

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

dinilai tidak pro terhadap daerah karena hal tersebut akan

memposisikan aparat pemerintah kabupaten/kota memiliki

kompetensi yang lebih rendah dari aparat pemerintah provinsi,

demikian juga pegawai provinsi terhadap pegawai Pemerintah.

Namun di sisi lain, pertukaran dan pengembangan wilayah kerja

merupakan satu bentuk pembelajaran yang baik bagi aparat

pemerintah daerah (bentuk pengembangan kapasitas yang

berprinsip ’learning by doing’).

Terkait dengan adanya pengembangan jabatan fungsional di

daerah, pegawai di daerah cenderung tidak tertarik untuk

mengambil alternatif jabatan fungsional tersebut. Hal ini disebabkan

rumitnya persyaratan kenaikan pangkat/golongan jabatan

fungsional yang didasarkan pada produk atau output kerja tiap

pegawai. Kesulitan ini salah satunya disebabkan lingkup kerja

(wilayah administrasi pemerintahan) di daerah yang tidak sebesar

lingkup kerja Pemerintah, tetapi tidak adanya pembedaan

penghitungan output atau hasil kerja antara pegawai pusat dan

daerah untuk naik golongan/pangkat. Pada intinya, aparat

pemerintah daerah menemui kendala untuk memenuhi ketentuan

dalam persyaratan KUM, dsb. Meskipun demikian, sosialisasi terus

dilakukan oleh Pemerintah Daerah terkait dengan jabatan fungsional

ini, dan Pemerintah Daerah mengharapkan kerjasama Pemerintah

untuk memberikan alternatif pilihan ataupun kebijakan yang lebih

responsif dan fleksibel terhadap kondisi aparat pemerintah daerah

Page 138: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   V‐1 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

BAB V USULAN PROGRAM PRIORITAS BIDANG

RPJMN BIDANG DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH 2010-2014

Prioritas bidang RPJMN diusulkan berdasar uraian permasalahan dan tantangan

pada Bab IV dalam pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah ke depan.

Uraian usulan prioritas bidang dibahas beserta argumentasinya meliputi kondisi

umum, permasalahan dan sasaran pembangunan, strategi dan arah kebijakan

pembangunan. Penulisan rekomendasi usulan prioritas bidang ini disesuaikan

dengan Panduan penyusunan RPJM 2010-2014 yang diterbitkan oleh Bappenas.

5.1. Prioritas Bidang Pemantapan Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan (Usulan Fokus Prioritas : Penataan Peraturan Perundang-Undangan Desentralisasi Dan Otonomi Daerah)

A. Kondisi Umum

UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (sebagai revisi atas

UU No. 22 Tahun 1999) dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan

Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (sebagai revisi UU

No. 25 Tahun 1999) menjadi landasan pokok pelaksanaan kebijakan

desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. Sampai saat ini hampir semua

peraturan pelaksanaan dari kedua undang-undang ini telah diterbitkan.

Dengan telah diselesaikannya hampir semua peraturan pelaksanaan dari

UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004, proses desentralisasi di bidang

administrasi kepemerintahan dan keuangan (fiskal) telah berjalan dengan makin

mantap karena format hubungan pusat-daerah yang baru, yang lebih mendorong

kemandirian daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan

yang menjadi kewenangannya, hubungan wewenang antara pemerintah pusat

dan pemerintah daerah, serta hubungan antar pemerintah daerah telah

terbangun. Berbagai kerangka regulasi, rambu-rambu dan pedoman serta

Page 139: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   V‐2 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

skema pendanaan yang dibutuhkan pemerintah daerah baik provinsi maupun

kabupaten/kota dalam menjalankan otonomi daerahnya, telah pula tersedia.

UU 32 tahun 2004 mengamanatkan 27 Peraturan Pemerintah (PP), 2

Peraturan Presiden (Perpres) dan 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri, sedangkan

UU 33 tahun 2004 mengamanatkan 7 Peraturan Pemerintah dan 1 Peraturan

Menteri Dalam Negeri. Hingga saat ini Pemerintah telah menyelesaikan 80,6%

peraturan pelaksanaan dari UU 32 tahun 2004, serta seluruh peraturan

pelaksanaan UU 33 tahun 2004.

Selanjutnya, berdasarkan amanat UU 32 tahun 2004 yang belum terbit

hingga saat ini adalah sebagai berikut:

1. PP tentang Belanja Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Hingga saat ini,

draft RPP tersebut telah disusun dan sedang dibahas dengan instansi terkait

dan Daerah.

2. PP tentang Fungsi Pemerintahan Tertentu dan Tatacara Penetapan Kawasan

Khusus. Proses penyusunan PP tersebut telah sampai pada pengajuan RPP

kepada Sekretariat Negara dan Departemen Hukum dan HAM.

3. PP tentang Tatacara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan

Keuangan Gubernur Selaku Wakil Pemerintah. RPP ini juga telah disampaikan

kepada Sekretariat Negara dan Departemen Hukum dan HAM.

4. PP tentang Pedoman, Standar, Norma dan Prosedur Pembinaan dan

Pengawasan Manajemen PNS Daerah. Draft PP tersebut saat ini masih dalam

proses pembahasan dengan instansi terkait dan Daerah.

Saat ini juga tengah dilaksanakan revisi atau penyempurnaan terhadap UU

No. 32 Tahun 2004. Sebagai konsekuensinya, akan ada penyesuaian terhadap

beberapa peraturan pelaksana UU No. 32 Tahun 2004 yang terkait.

Salah satu elemen penting dari kebijakan desentralisasi dan otonomi

daerah adalah pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah

Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Menurut UU No. 32

Tahun 2004, urusan yang menjadi kewenangan mutlak pemerintah pusat meliputi

Page 140: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   V‐3 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

enam bidang, sedangkan urusan-urusan di luar keenam urusan tersebut menjadi

urusan bersama (concurrent) antara pemerintah Pusat, Provinsi dan

Kabupaten/Kota, yang penyelenggaraannya dibagi berdasarkan kriteria

eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian

hubungan antar susunan pemerintahan. Pembagian urusan ini kemudian

dijabarkan melalui Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian

Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan

Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, yang menegaskan bahwa urusan

pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah Pusat terdiri

dari enam urusan, dan urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan

pemerintahan terdiri atas 31 urusan pemerintahan.

PP No. 38 Tahun 2007 diharapkan menjadi salah satu acuan dalam

perencanaan dan penganggaran pembangunan nasional dan daerah. Dengan

terbitnya PP No. 38 Tahun 2007, berbagai peraturan perundangan sektoral yang

belum sinkron dan sejalan dengan peraturan perundangan mengenai pembagian

urusan perlu disesuaikan. PP No. 38 Tahun 2007 mengamanatkan perlukan

Kementerian/Lembaga untuk menyesuaiakn Norma, Standar, Prosedur dan

Kriteria (NSPK) di sektor masing-masing dalam waktu 2 (dua) tahun. Untuk itu

diperlukan koordinasi dengan berbagai Kementerian/Lembaga yang terkait

dengan masing-masing urusan ini guna mempercepat proses penyusunan NSPK

tersebut.

B. Permasalahan Dan Sasaran Pembangunan

Permasalahan yang masih dihadapi sampai dengan saat ini, terkait dengan

penataan peraturan perundang-undangan mengenai desentralisasi dan otonomi

daerah, diantaranya adalah :

(1) Pengaturan mengenai pembagian urusan dalam PP No. 38 Tahun 2007 masih

belum aplikatif dan memerlukan pengaturan yang lebih teknis dalam bentuk

Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) untuk masing-masing urusan.

Penyusunan NSPK ini juga menjadi salah satu isu penting dalam 5 tahun

kedepan.

Page 141: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   V‐4 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

(2) Belum selesainya beberapa peraturan pelaksanaan dari amanat UU No. 32

tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu 3 (tiga) PP dan 1 (satu)

Perpres dari 27 (dua puluh tujuh) PP, 2 (dua) Perpres dan 2 (dua)

Permendagri (Peraturan Menteri Dalam Negeri) yang diamanatkan;

(3) UU No. 33 Tahun 2004 beserta peraturan pelaksananya, khususnya yang

terkait dengan pengaturan tentang dana alokasi khusus (DAK) dinilai belum

sepenuhnya mampu mendukung pencapaian prioritas nasional di daerah

secara efektif, sehingga perlu direvisi;

(4) Masih terdapat beberapa regulasi sektoral dan daerah yang belum

serasi/sinkron dengan beberapa peraturan pelaksanaan UU No. 32 Tahun

2004; serta

(5) masih belum optimalnya pelaksanaan desentralisasi di daerah-daerah yang

memiliki karakteristik khusus dan istimewa, karena masih ada beberapa

peraturan yang belum tersusun dan tersosialisasi.

Berdasarkan kondisi umum dan permasalahan-permasalahan yang di

hadapi, ma di rumuskan sasaran-sasaran sebagai berikut : (a) tersedianya secara

lengkap dan tertatanya berbagai peraturan perundangan di bidang

desentralisasi dan otonomi daerah, (b) meningkatnya keharmonisan peraturan

perundangan di bidang desentralisasi dan otonomi daerah dengan peraturan

perundangan lain yang bersifat sektoral, serta dengan peraturan daerah, dan (c)

lebih jelasnya pembagian urusan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah

Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota.

C. Strategi Dan Arah Kebijakan Pembangunan

Untuk mencapai sasaran di atas, strategi pembangunan yang direncanakan

diantaranya adalah :

1. Fasilitasi penyusunan dan/atau revisi peraturan perundang-undangan

di bidang desentralisasi dan otonomi daerah.

Muatan pokok dalam strategi ini mencakup upaya-upaya (a) fasilitasi

penyusunan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) sebagai

Page 142: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   V‐5 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

pedoman teknis untuk setiap penyelenggaraan urusan pemerintahan; dan

(b) fasilitasi pelaksanaan sosialisasi dan koordinasi antar

Kementerian/Lembaga dan antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah

dalam penerapan NSPK.

2. Sinkronisasi peraturan perundang-undangan di bidang desentralisasi

dan otonomi daerah

Muatan pokok dalam strategi ini mencakup upaya-upaya (a) finalisasi

dan sosialisasi UU No. 32 Tahun 2004 hasil penyempurnaan; (b)

penyusunan/penyesuaian dan sosialisasi Peraturan Pemerintah (PP) dan

Peraturan Menteri (Permen) Pelaksana UU No. 32 Tahun 2004 hasil

penyempurnaan; (c) harmonisasi peraturan perundangan desentralisasi dan

otonomi daerah dengan peraturan perundangan lain yang bersifat sektoral

dan Peraturan Daerah; (d) Revisi UU No. 33 Tahun 2004 beserta beberapa

peraturan perundang-undangan di bidang desentralisasi dan otonomi

daerah.

Page 143: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   V‐6 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Tabel 5.1. PRIORITAS BIDANG PEMANTAPAN HARMONISASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN (Usulan: Fokus Prioritas Fasilitasi Penyusunan dan/atau Revisi Peraturan Perundang-Undangan Terkait Desentralisasi dan Otonomi Daerah)

TARGET (kumulatif) ALOKASI ANGGARAN BASELINE

KEGIATAN PRIORITAS No

FOKUS PRIORITAS/ KEGIATAN PRIORITAS

SASARAN (Hasil Outcomes/Output yang

diharapkan)

INDIKATOR 2010 2011 2012 2013 2014

PROGRAM

KEMENTERIAN/

LEMBAGA TERKAIT

2010 2011 2012 2013 2014

1. Prioritas Fasilitasi Penyusunan dan/atau Revisi Peraturan Perundang-Undangan Terkait Desentralisasi dan Otonomi Daerah

Lebih jelasnya pembagian urusan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota

a. Fasilitasi penyusunan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) sebagai pedoman teknis untuk setiap penyelenggaraan urusan pemerintahan

Tersusunnya NSPK sebagai pedoman teknis penyelenggaraan setiap urusan pemerintahan dan sebagai sarana harmonisasi dengan peraturan perundangan sektoral

Jumlah NSPK yang tersusun

5 15 25 31 - Program Penataan Kelembagaan

Kementerian Negara PAN

b. Fasilitasi pelaksanaan sosialisasi dan koordinasi antar Kementerian/Lembaga dan antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah dalam penerapan NSPK

Terselenggaranya suatu sistem koordinasi yang baik antar Kementerian/Lembaga dan antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah dalam penerapan NSPK

Jumlah NSPK yang dapat diterapkan/diaplikasikan

- 5 15 25 31 Program Pemantapan Otonomi Daerah

Departemen Dalam Negeri

Page 144: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   V‐7 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

5.2. Prioritas Bidang : Pemantapan Desentralisasi, Peningkatan Kualitas Hubungan Pusat Daerah, Dan Antar Daerah A. Kondisi Umum

Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah yang mantap merupakan

faktor utama keberhasilan pemerataan pembangunan di Indonesia untuk

mengurangi kesenjangan wilayah. UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah (sebagai revisi atas UU No.22 Tahun 1999) dan UU No.33 Tahun 2004

tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan

Daerah (sebagai revisi UU No.25 Tahun 1999) menjadi landasan pokok

pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. Sampai

saat ini hampir semua peraturan pelaksanaan dari kedua undang-undang ini telah

diterbitkan sehingga proses desentralisasi di bidang administrasi

kepemerintahan dan keuangan (fiskal) telah berjalan dengan makin mantap

karena format hubungan pusat-daerah yang baru, yang lebih mendorong

kemandirian daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan

yang menjadi kewenangannya, hubungan wewenang antara Pemerintah dan

Pemerintah Daerah, serta hubungan antar Pemerintah Daerah telah terbangun.

Berbagai kerangka regulasi, rambu-rambu dan pedoman serta skema

pendanaan yang dibutuhkan Pemerintah Daerah baik provinsi maupun

kabupaten/kota dalam menjalankan otonomi daerahnya, telah pula tersedia.

Alokasi dana perimbangan, yang terdiri dari dana bagi hasil (DBH), dana alokasi

umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK), yang makin meningkat baik dalam

angka nominal maupun proporsinya terhadap APBN, secara umum telah

membantu mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dan

Pemerintah Daerah (ketimpangan vertikal) dan antar Pemerintah Daerah

(ketimpangan horisontal), meningkatkan aksesibilitas publik terhadap prasarana

dan sarana sosial ekonomi dasar di daerah dan mengurangi kesenjangan

pelayanan publik antar daerah, mendukung kegiatan-kegiatan yang menjadi

prioritas pembangunan nasional yang menjadi urusan daerah, serta

meningkatkan daya saing daerah melalui pembangunan infrastruktur.

Dalam rangka penataan peraturan perundang-undangan mengenai

desentralisasi dan otonomi daerah, UU No.32 tahun 2004 mengamanatkan 27

Page 145: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   V‐8 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Peraturan Pemerintah, 2 Peraturan Presiden dan 2 Peraturan Menteri Dalam

Negeri, sedangkan UU No.33 tahun 2004 mengamanatkan 7 Peraturan Pemerintah

dan 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri. Hingga 4 tahun pelaksanaan kedua

peraturan perundangan tersebut, saat ini Pemerintah telah menyelesaikan 80,6

persen amanat UU No.32 tahun 2004, serta 100 persen amanat UU No.33 tahun

2004.

Selanjutnya, berdasarkan amanat UU No.32 tahun 2004 yang belum terlaksana

hingga saat ini adalah PP tentang Belanja Kepala Daerah dan Wakil Kepala

Daerah, PP tentang Fungsi Pemerintahan Tertentu dan Tatacara Penetapan

Kawasan Khusus, PP tentang Tatacara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta

Kedudukan Keuangan Gubernur Selaku Wakil Pemerintah, PP tentang Pedoman

Standar, Norma dan Prosedur Pembinaan dan Pengawasan Manajemen PNS

Daerah.

Sejak tahun 2008, Pemerintah juga menginisiasi penyusunan 2 (dua) buah

draft RUU berkaitan dengan penyempurnaan UU No.32 Tahun 2004, yaitu

mengenai RUU tentang Pemerintahan Daerah dan RUU tentang Pemilihan Umum

Kepala Daerah. Selain itu, juga telah dilakukan pemantapan kebijakan dan

regulasi otonomi daerah dan otonomi khusus seperti Provinsi NAD, Provinsi

Papua dan Provinsi Papua Barat dan daerah berkarakter khusus seperti Provinsi

DKI (Daerah Khusus Ibukota) Jakarta dan Provinsi DI (Daerah Istimewa)

Yogyakarta.

Dalam segi pemantapan desentralisasi fiskal, UU No.33 Tahun 2004 telah

mengatur bahwa penyediaan sumber-sumber pendanaan untuk mendukung

penyelenggaraan otonomi daerah dilakukan berdasarkan kewenangan

antarpemerintahan. Mekanisme pendanaan atas pelaksanaan kewenangan

tersebut dilakukan melalui asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas

pembantuan, yang dilaksanakan melalui perimbangan keuangan antara

Pemerintah dan pemerintahan daerah.

Sejak tahun 2001, persentase belanja daerah dalam distribusi belanja negara

relatif stabil pada kisaran 30 persen, dengan pengecualian pada tahun 2006 dan

2007 hampir menyentuh angka 35 persen. Akan tetapi apabila dilihat dari jumlah

Page 146: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   V‐9 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

sebenarnya terus mengalami peningkatan yang signifikan. Lonjakan terbesar

adalah pada tahun 2006 dimana jumlah dana perimbangan sudah melebihi angka

200 Triliun rupiah, sementara pada tahun 2005 masih dibawah 150 Triliun rupiah.

Pada tahun 2009, jumlah total dana perimbangan sudah hampir menyentuh angka

300 Triliun rupiah dimana porsi terbesar adalah pada komponen Dana Alokasi

Umum (DAU). Isu lain yang dapat diangkat adalah mengenai pengelolaan dana

perimbangan dan keuangan daerah yang harus mengedepankan prinsip tata

pemerintahan yang baik (transparan, akuntabel, dan berkeadilan).

Selain penyempurnaan yang terkait dengan Transfer ke Daerah, Pemerintah juga

memberikan perhatian yang besar terhadap sumber Pendapatan Asli Daerah

(PAD). Hal ini dimaksudkan agar daerah dapat memungut sumber-sumber

pendapatannya secara optimal sesuai dengan potensi tiap-tiap daerah. Namun,

pelaksanaan pemungutannya tidak boleh menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan

tetap menciptakan iklim yang kondusif bagi para investor. Dalam hubungan ini,

Pemerintah telah menerbitkan UU No.28 Tahun 2009 sebagai pengganti UU No.34

Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah untuk memperkuat taxing

power daerah dan meningkatkan kepastian hukum di bidang perpajakan daerah.

Hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah bahwa rata-rata persentase PAD

terhadap total pendapatan daerah yang masih relatif kecil. Sejak tahun 2006, rata-

rata persentase kontribusi PAD terhadap total pendapatan daerah ini adalah

pada kisaran 15,47 persen-15,74 persen, yang berarti bahwa tingkat

ketergantungan pembiayaan pembangunan daerah terhadap dana perimbangan

masih lebih dari 80 persen.

Berbagai kebijakan tersebut diharapkan dapat memperkuat pendanaan daerah

dalam menyelenggarakan pembangunan dan pelayanan masyarakat. Namun,

apabila APBD mengalami defisit, Pemerintah Daerah dapat melakukan pinjaman,

dalam batas kemampuan keuangan daerah dan tetap menjaga kesinambungan

fiskal.

Sejalan dengan semakin besarnya kewenangan Pemerintah Daerah melalui

otonomi daerah dan semakin besarnya dana yang didaerahkan melalui

desentralisasi fiskal, maka Pemerintah Daerah mempunyai beban dan tanggung

Page 147: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   V‐10 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

jawab yang lebih besar dalam pengelolaan keuangannya. Dalam

implementasinya, pertanggungjawaban keuangan dalam rangka desentralisasi

dilakukan oleh Kepala Daerah kepada DPRD dalam bentuk Laporan Keuangan

Pemerintah Daerah. Laporan tersebut merupakan dokumen daerah yang terbuka

dan dapat diketahui masyarakat. Dengan demikian, akan tercipta sistem

pengelolaan keuangan daerah yang tertib, efisien, ekonomis, profesional,

transparan, partisipatif dan dapat dipertanggungjawabkan kepada para

pemangku kepentingan.

Setelah era desentralisasi dan otonomi daerah, regulasi yang mengatur tentang

kerjasama antar daerah adalah Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor

120/1730/SJ tanggal 13 Juli 2005. Selanjutnya, diterbitkan PP No.50 Tahun 2007

tentang Tatacara Pelaksanaan Kerjasama Daerah yang juga memuat aturan

mengenai kerjasama antara Pemerintah Daerah dengan pihak ketiga, yang

ditindaklanjuti oleh diterbitkannya Permendagri No.3 Tahun 2008 tentang

Pedoman Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Daerah dengan pihak luar negeri,

Permendagri No.22 Tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis Tatacara Kerjasama

Daerah dan Permendagri No.23 Tahun 2009 tentang Tata cara pembinaan dan

Pengawasan Kerjasama Daerah.

Pelaksanaan kerjasama di masa yang akan datang, diupayakan agar kerjasama

antar daerah memiliki kekuatan hukum. Selain itu, dorongan dalam bentuk

mekanisme insentif untuk penyelenggaraan kerjasama antardaerah juga perlu

terus dilakukan, disamping upaya untuk mendiseminasikan pembelajaran atau

keberhasilan-keberhasilan berbagai bentukan kerjasama antardaerah yang telah

ada ke daerah-daerah lain.

Dalam hal penataan daerah otonom baru, PP No.78 Tahun 2007 tentang Tata Cara

Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah menyebutkan bahwa

pembentukan daerah (pemekaran) pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan

pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat.

Pada tahun 2006, Presiden mengeluarkan himbauan untuk melakukan penundaan

(moratorium) pemekaran wilayah. Himbauan tersebut disampaikan terkait

dengan berbagai hasil evaluasi yang dilakukan terhadap DOB yang telah ada

Page 148: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   V‐11 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

saat itu yang menunjukkan bahwa sebagian besar dari daerah pemekaran

tersebut masih belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan, dan bahkan

ada yang menunjukkan kenyataan sebaliknya. Himbauan Presiden untuk

menunda pemekaran wilayah juga didasari oleh adanya beban keuangan negara

yang semakin meningkat seiring dengan bertambahnya daerah otonom di

Indonesia. Hal ini terkait dengan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi

Umum (DAU) untuk tiap daerah otonom yang dibebankan pada APBN.

Sampai bulan Juni 2009 telah terbentuk sebanyak 205 daerah otonom yang terdiri

dari 7 provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota. Dengan demikian total daerah

otonom saat ini berjumlah 33 Provinsi dan 497 Kabupaten/Kota (398 Kabupaten

dan 93 Kota, serta 5 Kota administratif dan 1 Kabupaten administratif di Provinsi

DKI Jakarta).

Dalam rangka membangun pengawasan dan evaluasi kinerja Pemerintah Daerah,

Pemerintah telah menetapkan PP No.39 Tahun 2006 Tata Cara Pengendalian Dan

Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan, PP No.3 Tahun 2007 tentang

Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Pemerintah, Laporan

Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada DPRD, dan Informasi

Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Kepada Masyarakat, PP No.6

Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah dan

PP No.8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan

Evaluasi Pelaksanaan Pembangunan Daerah.

B. Permasalahan Dan Sasaran Pembangunan

Untuk dapat mewujudkan seluruh elemen pembangunan dibutuhkan

pemerintahan daerah yang berkualitas, yang diupayakan melalui pemantapan

desentralisasi dan peningkatan kualitas hubungan pusat daerah, dan antar

daerah. Beberapa permasalahan dalam 5 tahun kedepan dapat dirinci sebagai

berikut :

1. Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah akan sangat diwarnai dengan

revisi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Maka

penyesuaian peraturan-peraturan perundangan turunannya juga akan

Page 149: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   V‐12 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

diperlukan, untuk substansi-substansi pengaturan yang berubah antara UU

No. 32 Tahun 2004 dengan revisinya.

2. Harmonisasi peraturan perundangan yang mengatur desentralisasi dan

otonomi daerah dengan peraturan perundangan lain yang bersifat

sektoral juga akan menjadi salah satu tantangan utama dalam 5 tahun ke

depan.

3. Pemantapan pembagian urusan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah

Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Pengaturan mengenai

pembagian urusan ini sampai saat ini masih belum aplikatif dan memerlukan

pengaturan yang lebih teknis dalam bentuk Norma, Standar, Prosedur dan

Kriteria (NSPK) untuk masing-masing urusan.

4. Penyusunan NSPK ini juga menjadi salah satu isu penting dalam 5 tahun ke

depan.

5. Penyusunan dan penerapan Grand Strategy Otonomi Daerah atau Grand

Strategy Penataan Daerah.

6. Proporsi besaran Dana Perimbangan antara Pusat dan Daerah serta

antara daerah penghasil (Dana Bagi Hasil) dan non penghasil belum

berdasarkan urusan/fungsi yang diemban oleh Pemerintah atau pemda

(mengikuti prinsip money follows function).

7. Pemanfaatan dana perimbangan belum selaras dengan kebutuhan

nyata daerah, seperti misalnya dana perimbangan masih banyak untuk

membiayai kegiatan operasional.

8. Belum optimalnya usaha Pemerintahan Daerah dalam meningkatkan

kapasitas fiskalnya menuju kemandirian keuangan daerah.

9. Masih banyak daerah yang belum memahami sepenuhnya adanya

peluang dan manfaat yang dapat diperoleh dari kerja sama antardaerah

di berbagai bidang (ekonomi dan keuangan, pelayanan publik, pengelolaan

sumber daya alam).

Page 150: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   V‐13 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

10. Belum mantapnya sistem pengawasan dan evaluasi kinerja

pemerintahan daerah mengakibatkan Pemerintah sulit untuk dapat segera

melakukan intervensi terhadap kekurangan atau kelemahan atau kesalahan

dalam suatu penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kebutuhan akan sistem

pengawasan dan evaluasi kinerja pemerintahan daerah yang handal makin

diperlukan terlebih saat dana yang ditransfer ke daerah makin membesar

serta makin banyaknya daerah otonom baru di wilayah yang jauh dan

terpencil dari kedudukan pemerintah provinsi dan Pemerintah.

11. Regulasi baru yang terkait dengan tata cara pembentukan daerah

otonom baru belum sepenuhnya berhasil menahan usulan dan

pembentukan daerah otonom baru. Hal ini juga disebabkan penggunaan

landasan hukum yang berbeda dalam mensikapi usulan pembentukan

daerah otonom baru.

Berdasarkan penjabaran permasalahan-permasalahan tersebut diatas, maka

sasaran-sasaran pokok pembangunan dalam 5 tahun kedepan adalah sebagai

berikut :

Terwujudnya pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah yang dapat

meningkatkan kemampuan fiskal daerah terutama pada daerah-daerah yang

kemampuan fiskalnya masih rendah, meningkatkan keharmonisan dalam

pembangunan daerah, serta didukung oleh sistem monitoring dan evaluasi

yang baik.

C. Strategi Dan Arah Kebijakan Pembangunan

Arah kebijakan prioritas bidang pemantapan desentralisasi, peningkatan kualitas

hubungan pusat daerah, dan antar daerah adalah penataan pembagian urusan

antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota. Arah kebijakan ini juga diarahkan untuk mendukung

pelaksanaan urusan yang telah menjadi kewenangan daerah dalam rangka

mempercepat pembangunan, penyediaan pelayanan publik berkualitas, dan

pengurangan kesenjangan antar daerah melalui pemantapan kebijakan

desentralisasi fiskal, penguatan kerjasama daerah, dan penataan daerah dengan

Page 151: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   V‐14 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

disertai mekanisme pengawasan dan evaluasi kinerja penyelenggaraan

pemerintahan daerah yang efektif dan efisien.

Arah kebijakan pembangunan tersebut merupakan pedoman bagi

penyusunan berbagai strategi pembangunan. Strategi pembangunan tersebut

diantaranya adalah :

1. Pemantapan Desentralisasi Fiskal

Strategi ini bertujuan untuk memantapkan pengelolaan dana perimbangan

keuangan antara Pemerintah dan pemerintahan daerah sehingga sesuai

dengan prinsip money follows function (desentralisasi kewenangan diikuti

dengan desentralisasi fiskal). Hal ini akan terkait dengan pemantapan

pelaksanaan peraturan perundangan yang mengatur pembagian urusan

antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota. Strategi ini juga bertujuan untuk memperbaiki

penyempurnaan kebijakan dan reformulasi transfer ke daerah. Muatan

lainnya adalah meningkatkan sumber penerimaan daerah dan meningkatkan

kemampuan aparatur daerah dalam mengelola keuangan daerah secara

transparan dan akuntabel.

2. Penataan Daerah

Strategi ini dilakukan dengan memperketat pembahasan usulan pembentukan

daerah otonom baru melalui pembentukan regulasi baru, yang bertujuan agar

daerah otonom baru dapat memberikan pelayanan publik yang berkualitas

dan mendorong peningkatan daya saing daerah. Regulasi baru tersebut

disusun agar dapat memberikan arahan yang lebih tepat bagi usulan

pembentukan daerah otonom baru. Selain itu, regulasi tersebut memberikan

landasan yuridis yang kuat dan sama-sama dipergunakan bagi Pemerintah

dan DPR dalam pembahasan usulan pembentukan daerah otonom baru.

Strategi ini juga melingkupi berbagai upaya untuk memperkuat alternatif atau

argumentasi lain dari Pemerintah dalam menghadapi usulan pembentukan

daerah otonom baru. Muatan lainya adalah meningkatnya kualitas

pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Papua, Papua Barat, Daerah Istimewa

Page 152: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   V‐15 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam, dan Daerah Khusus DKI Jakarta.

Pelaksanaan otonomi daerah secara khusus di daerah-daerah tersebut tetap

dalam kerangka NKRI.

3. Peningkatan Kerjasama Daerah

Strategi ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik yang

potensial dikerjasamakan antara daerah dan daerah dengan dunia usaha.

Disamping itu, memperkuat sistem dan regulasi bagi pengelolaan suatu isu

atau kepentingan yang bersifat lintas daerah, misalnya wilayah aliran sungai

dan wilayah perbatasan antar daerah, dalam bentuk kerjasama daerah.

Strategi ini juga dapat menjadi suatu alternatif terhadap pemekaran daerah

otonom baru.

4. Pengawasan dan Evaluasi Kinerja Pemerintah Daerah

Strategi ini bertujuan untuk meningkatkan kinerja penyelenggaraan

Pemerintah Daerah secara umum yang meliputi a) pengawasan dan

koordinasi kebijakan, yaitu peningkatan peran DPOD sehingga ditempatkan

untuk bertanggung jawab secara langsung kepada presiden; b) pengawasan

terhadap regulasi daerah, yaitu pengawasan dan evaluasi pada perda-perda

bermasalah dan juga pengawasan regulasi di daerah-daerah yang termasuk

dalam Otonomi Khusus; c) pengawasan keuangan daerah, yaitu pengawasan

terhadap penggunaan dana yang berasal dari anggaran publik agar mampu

meningkatkan kualitas dan kuantitas layanan umum.

Page 153: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   V‐16 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Arah kebijakan dan strategi tersebut di atas dapat dijelaskan dalam bagan

di bawah ini, yaitu:

Gambar 5.1

Arah Kebijakan dan Strategi Prioritas Bidang Pemantapan Desentralisasi, Peningkatan Kualitas Hubungan Pusat Daerah

dan Antar Daerah

Prioritas Bidang Fokus Prioritas Indikator Kinerja

PEMANTAPAN DESENTRALISASI,

PENINGKATAN KUALITAS HUBUNGAN PUSAT DAERAH, DAN

ANTAR DAERAH

Sasaran:

Indikator:

PemantapanDesentralisasi

Fiskal

Penataan Daerah

PeningkatanKerjasama Daerah

Pengawasan dan Evaluasi Kinerja

Pemerintah Daerah

Terwujudnya pelaksanaandesentralisasi dan otonomi daerahyang dapat meningkatkan kemampuanfiskal daerah, meningkatkankeharmonisan dalam pembangunandaerah, serta didukung oleh sistemmonitoring dan evaluasi yang baik.

-% berkurangnya jumlah kegiatanpusat yang telah menjadikewenangan daerah.-Jumlah daerah dengan indekskapasitas fiscal daerah tinggi

-% peningkatan kinerjapemerintahan DOB-jumlah DOB dibandingkanperiode sebelumnya

-Jumlah prov & kab/kota yang membentuk KAD dan menerimamanfaat (ekonomi, prasarana & pelayanan publik)

-Keberadaan peraturanpemberian penghargaan danhukuman atas kinerja pemerintahdaerah- persentase LKPD denganstatus WTP

- % peningkatan daerah yang meningkat kelompok indekskapasitas fiscal daerahnya

- % berkurangnya jumlah pembentukanDOB,

- Jumlah penyelenggaraan KAD,- Jumlah LKPD dengan status WTP.

 

Page 154: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   V‐17 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Page 155: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   V‐18 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Tabel 5.2. Prioritas Bidang: Pemantapan Desentralisasi, Peningkatan Kualitas Hubungan Pusat Daerah, Dan Antar Daerah

TARGET ALOKASI ANGGARAN BASELINE KEGIATAN

PRIORITAS

No.

FOKUS PRIORITAS/ KEGIATAN PRIORITAS

SASARAN (Hasil

Outcomes/ Output yang diharapkan)

INDIKATOR 2010 2011 2012 2013 2014

PROGRAM

KEMENTERIAN/ LEMBAGA TERKAIT 2010 2011 2012 2013 2014

1. Pemantapan Desentralisasi Fiskal

a. penyempurnaan kebijakan pelaksanaan Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus

Berkurangnya kesenjangan fiskal antar daerah

Menurunnya indeks kesenjangan fiskal daerah (indeks Williamson menjadi xx% dan indeks Coefficient Variety menjadi xx%)

Program Desentralisasi Fiskal

Departemen Keuangan

b. Fasilitasi penyempurnaan perencanaan Dana Alokasi Khusus

Terintegrasinya perencanaan Dana Alokasi Khusus dengan perencanaan sektoral khususnya dalam penentuan lokasi kegiatan

% kesesuain jumlah daerah memiliki kriteria teknis dengan lokasi alokasi.

Program Perencanaan Pembangunan Nasional

Bappenas

2. Peningkatan Kerjasama antar Daerah

a. peningkatan kerjasama antar pemda dalam meningkatkan pelayanan

Meningkatnya penyelenggaraan kegiatan kerjasama antar daerah

jumlah dan jenis bidang penyelenggaraan kegiatan kerjasama

>20% Kab/Kota telah melaksanakan

>25% Kab/Kota telah melaksanakan

>30% Kab/Kota telah melaksanakan

>40% Kab/Kota telah melaksanakan

>50% Kab/Kota telah melaksanakan

Program Pembinaan Umum Pemerintah Daerah

Departemen Dalam Negeri

Page 156: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   V‐19 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

TARGET ALOKASI ANGGARAN BASELINE KEGIATAN

PRIORITAS

No.

FOKUS PRIORITAS/ KEGIATAN PRIORITAS

SASARAN (Hasil

Outcomes/ Output yang diharapkan)

INDIKATOR 2010 2011 2012 2013 2014

PROGRAM

KEMENTERIAN/ LEMBAGA TERKAIT 2010 2011 2012 2013 2014

antara daerah terutama dalam upaya peningkatan pelayanan publik

KAD & >75% jenis bidang kerjasama terkait dlm pelayanan publik

KAD & >75% jenis bidang kerjasama terkait dlm pelayanan publik

KAD & >75% jenis bidang kerjasama terkait dlm pelayanan publik

KAD & >75% jenis bidang kerjasama terkait dlm pelayanan publik

KAD & >75% jenis bidang kerjasama terkait dlm pelayanan publik

jumlah daerah yang berhasil dan gagal dalam penyelenggaraan KAD (untuk mengukur manfaat yang diperoleh dengan adanya KAD)

Penyusunan sistem database, sistem penilaian kinerja dan monev KAD

Pemetaan pelaksanaan KAD baik yang sukses maupun yang gagal

Pemetaan pelaksanaan KAD baik yang sukses maupun yang gagal

Pemetaan pelaksanaan KAD baik yang sukses maupun yang gagal

Pemetaan pelaksanaan KAD baik yang sukses maupun yang gagal

Jumlah sosialisasi dan promosi KAD terutama dalam penyelenggaraan pelayanan publik

Pengembangan program kegiatan sosialisasi dan promosi KAD

Promosi dan sosialisasi ke seluruh daerah

Promosi dan sosialisasi ke seluruh daerah

Promosi dan sosialisasi ke seluruh daerah

Promosi dan sosialisasi ke seluruh daerah

publik dan daya saing ekonomi daerah,

dengan daerah lain maupun pihak ketiga dalam penyelenggaraan pelayanan publik

Jumlah pengaturan yang mendorong pelaksanaan

penyusunan pengaturan pelaksana PP

penyusunan pengaturan pelaksana PP

Page 157: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   V‐20 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

TARGET ALOKASI ANGGARAN BASELINE KEGIATAN

PRIORITAS

No.

FOKUS PRIORITAS/ KEGIATAN PRIORITAS

SASARAN (Hasil

Outcomes/ Output yang diharapkan)

INDIKATOR 2010 2011 2012 2013 2014

PROGRAM

KEMENTERIAN/ LEMBAGA TERKAIT 2010 2011 2012 2013 2014

KAD No. 50 Tahun 2007 tentang KAD

No. 50 Tahun 2007 tentang KAD

Jumlah kerjasama antar daerah yang terbentuk di wilayah strategis

>30% Prov, Kab/Kota di wilayah strategis telah melaksanakan KAD

>35% Prov, Kab/Kota di wilayah strategis telah melaksanakan KAD

>45% Prov, Kab/Kota di wilayah strategis telah melaksanakan KAD

>60% Prov, Kab/Kota di wilayah strategis telah melaksanakan KAD

>75% Prov, Kab/Kota di wilayah strategis telah melaksanakan KAD

Program Perencanaan Pembangunan Nasional

Bappenas b. Fasilitasi pembentukan kerjasama antar daerah di beberapa wilayah strategis

Meningkatnya kerjasama antar daerah di wilayah strategis

Jumlah kegiatan fasilisasi kerjasama antar daerah

Fasilitasi KAD di 25% Kab/Kota di wilayah strategis

Fasilitasi KAD di 25% Kab/Kota di wilayah strategis

Fasilitasi KAD di 25% Kab/Kota di wilayah strategis

Fasilitasi KAD di 25% Kab/Kota di wilayah strategis

Fasilitasi KAD di 25% Kab/Kota di wilayah strategis

3. Pengawasan dan Evaluasi Kinerja Pemerintah Daerah

a. Fasilitasi pengawasan Pemerintah Daerah

Terlaksananya pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan

Jumlah laporan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan

Program Pengawasan Keuangan dan Pembangunan

BPKP

Page 158: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   V‐21 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

TARGET ALOKASI ANGGARAN BASELINE KEGIATAN

PRIORITAS

No.

FOKUS PRIORITAS/ KEGIATAN PRIORITAS

SASARAN (Hasil

Outcomes/ Output yang diharapkan)

INDIKATOR 2010 2011 2012 2013 2014

PROGRAM

KEMENTERIAN/ LEMBAGA TERKAIT 2010 2011 2012 2013 2014

daerah daerah

b. Fasilitasi evaluasi kinerja Pemda

Terlaksananya evaluasi terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah

Jumlah laporan evaluasi kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah

Program Pemantapan Otonomi Daerah

Departemen Dalam Negeri

4. Penataan Daerah

a. Fasilitasi penyusunan regulasi pengganti PP No. 78 Tahun 2007 dan revisi terbatas UU No 10 Tahun 2004 dalam rangka pengecualian proses dan prosedur pembentukan undang-undang pembentukan daerah otonom baru

Tersusunnya regulasi yang menjadi satu-satunya landasan hukum dalam pembentukan daerah otonom baru.

Regulasi tersebut menjadikan bahwa proses dan prosedur pembentukan daerah otonom menjadi lebih ketat.

PP pengganti PP No. 78 Tahun 2007

Revisi terbatas UU No. 10 Tahun 2004

Evaluasi pelaksanaan PP 78/2007

Naskah akademi

k PP baru

tentang Pemekar

an dan Penggabungan Daerah

Pengesahan PP

Pemekaran dan Penggabungan

Pelaksanaan PP

Pemekaran dan Penggabungan

Monitoring

pelaksanaan PP

dan kinerja

DOB

Program Pemantapan Otonomi Daerah

Departemen Dalam Negeri

b. Penyusunan peraturan

Tersusunnya peraturan

Terbit peraturan

Evaluasi terhada

Tersusunnya

Pengesahan PP

Pelaksanaan PP

Monitoring

Program Pemantapan

Departemen Dalam

Page 159: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   V‐22 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

TARGET ALOKASI ANGGARAN BASELINE KEGIATAN

PRIORITAS

No.

FOKUS PRIORITAS/ KEGIATAN PRIORITAS

SASARAN (Hasil

Outcomes/ Output yang diharapkan)

INDIKATOR 2010 2011 2012 2013 2014

PROGRAM

KEMENTERIAN/ LEMBAGA TERKAIT 2010 2011 2012 2013 2014

pelaksana undang-undang yang mengatur daerah dengan otonomi khusus

pelaksana pelaksana turunan UU yang mengatur daerah dengan otonomi khusus

p UU 18/2001 dan UU 21/2001

draf PP Otsus di NAD dan Otsus di Papua

Otsus di NAD dan Otsus di Papua

Otsus

Evaluasi PP

Otonomi Khusus

di DI Jogjakar

ta

pelaksanaan PP Otsus di NAD dan

Papua

Otonomi Daerah Negeri

c. Fasilitasi evaluasi terhadap usulan pembentukan daerah otonom baru

Terlaksananya evaluasi dan rekomendasi usulan pembentukan daerah otonom baru.

Laporan evaluasi dan rekomendasi terhadap usulan pembentukan daerah otonom baru.

Evaluasi DOB yang

dibentuk pada

periode 2001-2003

Evaluasi DOB yang

dibentuk pada

periode 2004-2006

Evaluasi DOB yang

dibentuk pada

periode 2007-2009

Evaluasi terhadap usulan pemben

tukan DOB

Penyusunan

rekomendasi

terhadap

pemekaran dan

atau penggabungan

Program Pemantapan Otonomi Daerah

Departemen Dalam Negeri

d. Kajian penggabungan daerah

Terlaksananya kajian penggabungan daerah

Laporan kajian penggabungan daerah

Kajian DOB yang

dibentuk

dengan PP

129/2000

Penyusunan

rekomendasi

penggabungan daerah

Kajian DOB yang

dibentuk

dengan PP

78/2007

Penyusunan

rekomendasi

penggabungan daerah

Monitoring

kinerja pelayan

an publik di DOB

Perencanaan Pembanguanan Nasional

Bappenas

Page 160: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   V‐23 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

5.3. Prioritas Bidang Peningkatan Kapasitas Pemerintah Daerah A. Kondisi Umum

Pada tahun 2007 Pemerintah telah menerbitkan dua Peraturan Pemerintah yang

menjadi dasar bagi pelaksanaan pemerintahan, baik di pusat maupun daerah,

sebagai perwujudan Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Kedua PP tersebut

adalah PP No.38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara

Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah

Kabupaten/Kota, dan PP No.41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.

Sebagai tindak lanjut dari penerbitan PP No.38 tahun 2007, maka diperlukan

pedoman mengenai organisasi perangkat daerah yang sinergis dengan urusan

pemerintahan yang harus dilaksanakan sebagai respon atas kondisi

kelembagaan pemerintah yang belum menunjukkan efisiensi dan efektivitas

dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dicirikan dengan jelasnya

tupoksi tiap instansi tanpa adanya tumpang tindih, kelengkapan Standar

Operasional Prosedur (SOP), sistem koordinasi antar organisasi pemerintah, dan

pemenuhan sarana dan prasarana pemerintahan.

Dalam PP No.41 Tahun 2007, organisasi perangkat daerah merupakan unsur

pembantu Kepala Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, yang

terdiri dari Setda, Sekwan, Dinas, Lembaga Teknis Daerah (meliputi badan,

kantor dan Rumah Sakit Daerah) untuk wilayah provinsi; sedangkan untuk

wilayah kabupaten/kota dengan menyertakan kecamatan dan kelurahan.

Lembaga Pemerintah Daerah yang terkait erat dengan penyelenggaraan

pelayanan publik adalah dinas dan lembaga teknis daerah. Dalam PP No.41 tahun

2007, pengaturan terhadap organisasi perangkat daerah menekankan pada

ketentuan jumlah dinas dan lembaga teknis daerah (tidak termasuk Rumah Sakit

Daerah). Keberadaan dinas dan lembaga teknis daerah di tiap provinsi dan

kebupaten/kota di Indonesia sendiri sangat bervariasi dan didasarkan pada

kebutuhan masing-masing daerah.

Berdasarkan data Biro Organisasi, Departemen Dalam Negeri, yang berasal dari

laporan Pemerintah Daerah, pelaksanaan restrukturisasi kelembagaan

pemerintahan daerah belum sesuai seperti yang diharapkan. Karena sampai

dengan pertengahan 2009 pencapaian pelaksanaan PP No.41 Tahun 2007 oleh

Page 161: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   V‐24 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Pemerintah Daerah baru mencapai 56 persen dari seluruh wilayah di Indonesia.

Dari 295 wilayah (provinsi, kabupaten dan kota), 12,5 persen diantaranya telah

melaksanakan pada tahun 2007, sebanyak 87 persen, melaksanakan PP tersebut

pada tahun 2008, dan 0,7 persen pada tahun 2009. Sisanya, masih terdapat 5

provinsi, 175 kabupaten dan 55 kota yang belum melaksanakan PP tersebut, atau

setidaknya belum melaporkan perda organisasi perangkat daerah mereka

berdasarkan PP No.41 Tahun 2007.

Salah satu implikasi dari kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah adalah

terjadinya penyerahan kewenangan atau urusan yang lebih luas kepada

Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan pemerintahannya secara otonom.

Penyerahan sebagian besar kewenangan dari pemerintah kepada Pemerintah

Daerah ini dilakukan dalam rangka meningkatkan pelayanan publik kepada

masyarakat. Selain itu, adanya perubahan kebijakan yang tertuang dalam UU

No.32 Tahun 2004 khususnya di dalam pasal 37 dan 38, adalah memberikan peran

yang lebih besar kepada Pemerintah Provinsi sebagai wakil dari Pemerintah

Pusat dan sebagai koordinator dari pembangunan kabupaten/kota di dalam

provinsi tersebut.

Jumlah keseluruhan aparatur Pemerintah Daerah di Indonesia (tidak termasuk

pegawai negeri sipi pusat) berkisar 3 juta personel. Nilai tersebut hanya

sebanyak 1,3 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Ditambah dengan jumlah

PNS di pusat, jumlahnya adalah 1,7 persen dari seluruh jumlah penduduk. Jumlah

tersebut masih belum dapat memberikan informasi bahwa jumlah PNS secara

nasional telah berkecukupan atau masih berkekurangan atau telah berkelebihan.

persentase ini masih di bawah angka pegawai negeri yang ada di Thailand, yakni

2,81 persen, Singapura (3,67 persen), dan Brunei Darussalam (12,9 persen).

Komposisi jumlah pegawai untuk dapat melaksanakan tupoksi dan wewenang

secara efektif dan efisien masih jauh dari ideal. Hal ini dapat ditunjukkan bahwa

jumlah pegawai yang melaksanakan tugas administrasi hampir 40 persen dari

jumlah pegawai negeri sipil saat ini. Padahal, menurut prinsip organisasi yang

efisien, jumlah tenaga adminstratif hanya berkisar antara 15 persen hingga 20

persen dari total pegawai yang ada.

Page 162: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   V‐25 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Selama ini, usaha-usaha peningkatan kapasitas aparatur Pemerintah lebih banyak

dilakukan melalui diklat-diklat maupun pelatihan yang diarahkan langsung pada

aparat Pemerintah Daerah. Pelatihan-pelatihan itu diselenggarakan untuk

berbagai bidang berdasarkan kebutuhan Pemerintah Daerah atau berdasarkan

kebutuhan terkait dikeluarkannya kebijakan baru dari Pemerintah. Selain itu,

peningkatan sarana/prasarana penunjang diklat seperti kualitas pengajar,

koordinasi dalam penyelenggaraan, fasilitas diklat dan sebagainya juga terus

ditingkatkan. Namun demikian, pengaturan atau pedoman dalam manajemen

aparatur itu sendiri masih memerlukan banyak penanganan, termasuk belum

adanya standar kompetensi maupun pola mutasi untuk aparat Pemerintah

Daerah. Pengaturan-pengaturan teknis seperti ini masih diperlukan karena

adanya perbedaan-perbedaan pengaturan antara sebelum dan setelah

diberlakukannya kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.

Seiring dengan pengalihan urusan-urusan pemerintahan kepada pemerintah

daerah, keuangan daerah juga meningkat secara signifikan. Dana APBN yang

didaerahkan meningkat lebih dari 100 persen pada awal pelaksanaan kebijakan

otonomi daerah di Indonesia sehingga dibutuhkan praktek pengelolaan

keuangan daerah yang lebih baik. Sebagai turunan dari UU No.17 Tahun 2003

tentang Keuangan Negara, Pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan

Pemerintah No.58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

Berdasarkan PP tersebut, Pengelolaan Keuangan Daerah adalah keseluruhan

kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan,

pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah. Pengelolaan keuangan

daerah tersebut merupakan subsistem dari dari sistem pengelolaan keuangan

negara dan merupakan elemen pokok dalam penyelenggaraan Pemerintah

Daerah.

Sebagai tindak lanjut PP No.58 tahun 2005, Depdagri telah mengeluarkan

Permendagri No.13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah,

dan terakhir telah direvisi dengan Permendagri No.59 Tahun 2007 tentang

Perubahan Atas Permendagri No.13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan

Keuangan Daerah. Peraturan ini khusus mengatur mengenai pedoman

Page 163: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   V‐26 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

pengelolaan keuangan daerah yang baru, sesuai arah reformasi tata kelola

keuangan negara/daerah.

Selain itu, dari segi kapasitas keuangan daerah, Pemerintah Daerah masih sangat

bergantung pada dana perimbangan. Oleh karena itu, diperlukan pemanfaatan

beberapa alternatif sumber penerimaan daerah diluar pajak dan retribusi

daerah, yaitu pemanfaatan pinjaman daerah, pengelolaan aset daerah,

pengelolaan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), pengelolaan Badan Usaha

Milik Daerah (BUMD).

B. Permasalahan Dan Sasaran Pembangunan

Untuk melaksanakan tata pemerintahan yang baik diperlukan kapasitas

pemerintahan daerah yang mapan. Terkait dengan itu, beberapa permasalahan

yang diperkirakan relevan dalam lima tahun ke depan adalah sebagai berikut:

1. Permasalahan utama dalam bidang kelembagaan adalah penerapan prinsip-

prinsip organisasi modern, kepemerintahan yang baik (good

governance), efektivitas dan efisiensi dalam kelembagaan Pemerintah

Daerah, terutama dalam hal peningkatan kapasitas Pemerintah Daerah untuk

meningkatkan efektivitas dan efisiensi birokrasi, dalam penyelenggaraan

pelayanan publik dan pelayanan satu atap untuk perizinan investasi.

2. Penerapan sistem evaluasi dan monitoring pembangunan daerah,

terutama terkait dengan penerapan PP No. 6 Tahun 2008 serta merumuskan

implikasi atau sistem penindaklanjutan hasil evaluasi yang dilakukan.

3. Permasalahan utama dalam bidang aparatur Pemerintah Daerah dapat dibagi

dua, yaitu terkait dengan kompetensi atau kualitas aparatur dan yang

terkait dengan pengelolaan atau pendayagunaan aparatur. Untuk

kompetensi atau kualitas aparatur, permasalahan 5 tahun ke depan masih

berkisar pada upaya-upaya peningkatan kualitas melalui kegiatan-kegiatan

diklat atau pelatihan untuk aparatur Pemerintah Daerah. Dalam hal

manajemen aparatur, tantangan utama untuk Pemerintah dalam 5 tahun ke

depan adalah menyusun, menerapkan, dan memantapkan pengaturan

mengenai standar kompetensi, pola formasi, pola karir, mutasi, remunerasi

dan rekruitmen pegawai. Sampai saat ini, kejelasan pengaturan mengenai hal

Page 164: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   V‐27 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

ini belum ada, dan penerapannya memerlukan koordinasi yang kuat antara

Pemerintah dengan Pemerintah Daerah.

4. Permasalahan dalam bidang keuangan daerah antara lain: (a) belum

optimalnya peran dana perimbangan dalam membiayai

penyelenggaraan otonomi daerah, (b) belum optimalnya pajak dan

retribusi daerah yang tepat dan proporsional sehingga dapat menjadi

sumber utama penerimaan daerah sekaligus tidak menimbulkan

ekonomi biaya tinggi di daerah, (c) belum optimalnya pemanfataan dan

pengelolaan sumber-sumber alternatif penerimaan daerah seperti

pinjaman daerah, aset daerah, BLUD, BUMD, (d) belum profesionalnya

pengelolaan keuangan daerah, (e) belum optimalnya penerapan Sistem

Informasi Keuangan Daerah (SIKD) dan Sistem Informasi Pengelolaan

Keuangan Daerah (SIPKD).

Berdasarkan penjabaran permasalahan-permasalahan tersebut diatas, maka

sasaran-sasaran pokok pembangunan dalam 5 tahun kedepan adalah sebagai

berikut :

Terwujudnya pemerintahan daerah yang memiliki kapasitas untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah dalam

kerangka NKRI.

C. Strategi Dan Arah Kebijakan Pembangunan

Arah kebijakan peningkatan kapasitas pemerintahan daerah adalah

membentuk Pemerintah Daerah yang mampu memberikan pelayanan

publik yang berkualitas, mendorong peningkatan daya saing daerah, serta

meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pelaksanaan arah kebijakan

tersebut harus didukung oleh aparatur Pemerintah Daerah yang profesional pada

organisasi perangkat daerah yang efisien dan efektif serta kemampuan keuangan

Pemerintah Daerah yang akuntabel sesuai prinsip penyelenggaraan

pemerintahan daerah yang baik.

Selanjutnya arah kebijakan tersebut akan dilaksanakan dengan strategi

pembangunan bidang, antara lain sebagai berikut :

Page 165: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   V‐28 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

1. Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pemerintah Daerah dan DPRD

Strategi ini mendorong Pemerintah Daerah untuk membentuk organisasi

perangkat daerah yang disesuaikan dengan kebutuhan daerah dan

kemampuan serta potensi daerah. Pembentukan organisasi perangkat daerah

ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan

kualitas pelayanan publik dan mendorong peningkatan daya saing daerah

secara efektif (pemenuhan lingkup, jangkauan, dan luas wilayah pelayanan)

dan efisien (tidak membebani APBD dan APBN serta menambah birokrasi).

Dalam kerangka tersebut, organisasi perangkat daerah yang ada didorong

untuk melakukan dan meningkatkan kerjasama daerah terutama pada wilayah

perbatasan antar daerah dan wilayah aliran sungai. Untuk itu, maka

diperlukan suatu regulasi, sistem, dan pemahaman bersama berbagai pihak

baik pemerintah (K/L) maupun pemerintahan daerah (termasuk kepala

daerah dan DPRD).

Disamping itu, strategi ini juga berisikan upaya penyusunan regulasi yang

tepat bagi daerah, baik dari sisi proses, prosedur penyusunannya, maupun

dari sisi materi (substansi pengaturan) dari regulasi daerah tersebut. Untuk itu

perlu dilakukan peningkatan kapasitas DPRD sebagai bagian dari

pemerintahan daerah, Sehingga tercipta pengawasan penyelenggaraan

Pemerintah Daerah secara tepat, tercipta kontrol dan keseimbangan dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah. Disamping itu, DPRD dapat bekerja

sama dengan Pemerintah Daerah secara baik dalam menyusun APBD

sehingga penetapan APBD dapat tepat waktu, dan dapat menyusun regulasi

daerah secara tepat.

2. Peningkatan Kapasitas Aparatur Pemerintah Daerah dan Anggota DPRD

Strategi ini mendorong aparatur Pemerintah Daerah berfungsi menjadi

fasilitator dalam rangka peningkatan pelayanan masyarakat,

penyelenggaraan pemerintahan daerah serta mendorong penciptaan aparatur

Pemerintah Daerah yang kompeten dan profesional. Untuk itu diperlukan

regulasi, sistem, dan budaya kerja bagi aparatur Pemerintah Daerah yang

Page 166: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   V‐29 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

mampu memberikan kepastian hukum, kemudahan bekerja, kesesuaian

pekerjaan dengan tingkat kompetensi, kejelasan jenjang karir (termasuk

mutasi, rotasi, dan promosi secara lintas organisasi, lintas daerah, dan lintas

tingkatan pemerintah), serta sistem reward dan punishment yang tepat dan

memadai. Strategi peningkatan kapasitas aparatur Pemerintah Daerah

meliputi upaya agar pemimpin daerah melakukan berbagai inovasi

peningkatan pelayanan publik dengan berdasarkan kemampuan keuangan

Pemerintah Daerah yang ada. Strategi ini juga dimaksudkan sebagai upaya

untuk dapat menjamin keutuhan mata rantai pelaksanaan kebijakan nasional

di daerah. Seiring dengan itu, untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik

maka pelatihan teknis dan substantif perlu terus dilakukan baik oleh

pelaksana diklat di Pusat maupun di daerah. Dalam kerangka itu, maka

pelatihan diklat yang ada ditujukan bagi upaya dan dukungan pencapaian

standar pelayanan yang telah ditetapkan.

Selain peningkatan kapasitas aparatur Pemerintah Daerah, perlu dilakukan

juga peningkatan kapasitas legislatif daerah. Hal ini ditujukan untuk

meningkatkan kemampuan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

dalam penyusunan regulasi yang mendukung peningkatan kesejahteraan

masyarakat, pelayanan publik dan daya saing daerah. Peningkatan kapasitas

anggota DPRD juga perlu dilakukan agar harmonisasi peraturan perundang-

undangan daerah dengan peraturan perundangan diatasnya tetap terjaga.

3. Peningkatan Kapasitas Keuangan Pemerintah Daerah

Strategi ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas keuangan Pemerintah

Daerah baik dari aspek sumber-sumber penerimaan daerah maupun dari

aspek pemanfaatan dan pengelolaan keuangan daerah. Strategi ini

diharapkan akan meningkatkan dan memperluas basis penerimaan

Pemerintah Daerah sehingga mengurangi ketergantungan terhadap dana

perimbangan dari pusat. Peningkatan kapasitas keuangan Pemerintah Daerah

ini diarahkan untuk mendukung iklim usaha yang kondusif di daerah tersebut.

Page 167: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   V‐30 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Peningkatan kapasitas keuangan Pemerintah Daerah juga didorong untuk

meningkatkan kemampuan daerah dalam mengelola sumber daya daerah dan

meningkatkan kemampuan pengelolaan keuangan daerah. Oleh karena itu

perlu dilakukan peningkatan kapasitas aparatur Pemerintah Daerah dalam

melakukan pengelolaan keuangan daerah secara profesional dan akuntabel.

Arah kebijakan dan strategi tersebut di atas dapat dijelaskan dalam

bagan di bawah ini, yaitu:

Gambar 5.2

Arah Kebijakan dan Strategi Prioritas Bidang Peningkatan Kapasitas Pemerintahan Daerah

 

 

 

 

Prioritas Bidang Fokus Prioritas IndikatorKinerja

PENINGKATAN KAPASITAS

PEMERINTAHAN DAERAH

Sasaran:

Indikator:

Peningkatan KapasitasKelembagaan

Pemerintah Daerah danDPRD

Peningkatan Kapasitas Aparatur Pemerintah Daerah dan Anggota

DPRD

Peningkatan KapasitasKeuangan Pemerintah

Daerah

Terwujudnya pemerintahandaerah yang memiliki kapasitasuntuk meningkatkankesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan dayasaing daerah dalam kerangkaNKRI

-% pemda dengan strukturorganisasi daerah yang sesuaidengan regulasi yang mengaturorganisasi/ kelembagaandaerah-Jumlah perda yang sesuaidengan peraturan perundanganyang lebih tinggi

-Keberadaan regulasi yang mengatur sistemmanajemen aparatur Pemda- Rasio jumlah PNSD yang mampu mengelola layananpendidikan, kesehatan danpemerintahan dalam negeriterhadap jumlah penduduk

-Proporsi belanja modal terhadaptotal belanja daerah-Rasio penerimaan asli daerah (diluar pajak & retribusi daerah) terhadap APBD-Rasio penerimaan pajak daerah(yang sesuai aturan perundanganyang lebih tinggi) terhadap APBD

1)Jumlah pemda yang mampumenurunkan tingkat kemiskinan2)Jumlah pemda yang mampumenerapkan SPM di bidangpendidikan, kesehatan, danpemerintahan dalam negeri.3)Jumlah pemda yang mampumeningkatkan realisasipenanaman modal  

Page 168: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   V‐31 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Tabel 5.3. PRIORITAS BIDANG: PENINGKATAN KAPASITAS PEMERINTAHAN DAERAH

TARGET ALOKASI ANGGARAN BASELINE

KEGIATAN PRIORITAS

No.

FOKUS PRIORITAS/ KEGIATAN PRIORITAS

SASARAN (Hasil Outcomes/Output yang diharapkan)

INDIKATOR 2010 2011 2012 2013 2014

PROGRAM

KEMENTERIAN/LEMBAGA TERKAIT

2010 2011 2012 2013 2014

1. Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pemerintah Daerah dan DPRD

a. Harmonisasi regulasi sektoral dan regulasi desentralisasi dan otonomi daerah yang terkait dengan pembentukan organisasi perangkat daerah .

Tercapainya pemahaman bersama (stakeholders Pusat) terhadap organisasi perangkat daerah

Terlaksananya penyesuaian atau revisi terhadap UU sektoral yang belum harmonis dengan UU pemerintahan daerah

Revisi thd

UU di bidan

g pertanahan

Revisi UU di bidan

g pelayanan publi

k

Revisi UU di bidan

g industri dan ekono

mi lokal

Revisi UU di bidang tata-ruang

Monitoring pelaksanaa

n revisi undan

g-undan

g

Program Penataan Kelembagaan

Kementerian Negara PAN

b. Penyusunan regulasi yang mengatur organisasi perangkat daerah sebagai revisi atas PP No. 41 Tahun 2007.

Tersusunnya kelembagaan pemerintah daerah yang efektif (pemenuhan lingkup, jangkauan, dan luas wilayah pelayanan) dan efisien (tidak membebani APBD/APBN dan tidak menambah birokrasi) sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah masing-masing.

Peraturan Pemerintah pengganti PP No. 41 Tahun 2007.

Pemerintah daerah yang organisasi perangkat daerahnya sesuai dengan PP pengganti PP No. 41 Tahun 2007.

Evaluasi

pelaksanaan PP

41/2007

Penyusunan Naska

h Akademik

PP tentang SOT

Pengesahan PP

tentang SOT

Pelaksanaan PP

tentang SOT

Monitoring pembentuk

an organisasi

Pemda

Program Pemantapan Otonomi Daerah

Departemen Dalam Negeri

c. Pelaksanaan pembinaan dan peningkatan kemampuan anggota

Kapasitas anggota DPRD yang memadai sebagai mitra kerja Pemerintah Daerah dalam

Meningkatnya kemampuan anggota DPRD dalam

Pelaksanaa

n Bintek

Pelaksanaa

n Bintek

Pelaksanaa

n Bintek

Perluasan

Bintek

Evaluasi

terhadap

Page 169: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   V‐32 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

TARGET ALOKASI ANGGARAN BASELINE

KEGIATAN PRIORITAS

No.

FOKUS PRIORITAS/ KEGIATAN PRIORITAS

SASARAN (Hasil Outcomes/Output yang diharapkan)

INDIKATOR 2010 2011 2012 2013 2014

PROGRAM

KEMENTERIAN/LEMBAGA TERKAIT

2010 2011 2012 2013 2014

DPRD penyelenggaraan pemerintahan

menjalankan fungsi-fungsinya

fungsi Legisl

asi

fungsi Pengawasan

Fungsi

Penganggar

an

DPRD peningkata

n kapas

itas DPRD

2. Peningkatan Kapasitas Aparatur Pemerintah Daerah

a. Penyusunan peraturan dan pedoman perkembangan karir bagi PNS daerah secara transparan, akuntabel, dan berdasarkan prestasi (merit based),

Tersusunnya regulasi dan terlaksananya sistem rekruitmen, karir, insentif bagi PNS daerah yang transparan, akuntabel dan berdasar prestasi

0% keluhan PNS daerah terhadap sistem karir.

Program Manajemen Aparatur Pemda

Kementerian Negara PAN

b. Pelatihan etika dan kepemimpinan daerah.

Terlaksananya pelatihan etika dan kepemimpinan

Jumlah kepala daerah yang mengikuti pelatihan

Program Pendidikan dan Latihan Depdagri

Departemen Dalam Negeri

3. Peningkatan Kapasitas Keuangan Pemerintah Daerah

a. Fasilitasi peningkatan kemampuan keuangan daerah termasuk

Meningkatnya PAD tanpa harus mengganggu iklim

Proporsi rata-rata PAD terhadap APBD menjadi 18% (provinsi)

Program Pembinaan Administrasi Keuangan

Departemen Dalam Negeri

Page 170: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   V‐33 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

TARGET ALOKASI ANGGARAN BASELINE

KEGIATAN PRIORITAS

No.

FOKUS PRIORITAS/ KEGIATAN PRIORITAS

SASARAN (Hasil Outcomes/Output yang diharapkan)

INDIKATOR 2010 2011 2012 2013 2014

PROGRAM

KEMENTERIAN/LEMBAGA TERKAIT

2010 2011 2012 2013 2014

manajemen aset daerah,

usaha dan 19% (kabupaten/ kota) dan 0% perda pajak daerah dan retribusi daerah bermasalah

Daerah

b. Fasilitasi peningkatan kemampuan pengelolaan keuangan pemerintah daerah

Penetapan APBD secara tepat waktu

Jumlah APBD yang disahkan secara tepat waktu.

Program Pembinaan Administrasi Keuangan Daerah

Departemen Dalam Negeri

c. Fasilitasi peningkatan penyusunan laporan keuangan pemerintah daerah

Meningkatnya jumlah daerah dengan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) berstatus Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

50% daerah berLKPD WTP

Program Pengawasan Keuangan Pembangunan

Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan

 

Page 171: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   V‐34 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

5.4. Prioritas Bidang Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik (Usulan Fokus Prioritas : Perumusan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal) A. Kondisi Umum

Berlandaskan pelaksanaan, pencapaian, dan sebagai keberlanjutan RPJMN

2004-2009, RPJM 2010-2014 ditujukan untuk lebih memantapkan penataan

kembali Indonesia di segala bidang dengan menekankan upaya peningkatan

kualitas sumber daya manusia termasuk pengembangan kemampuan ilmu dan

teknologi serta penguatan daya saing perekonomian. Secara lebih khusus,

arahan untuk RPJM ke-2 untuk bidang desentralisasi dan otonomi daerah dari

RPJPN 2005-2025 adalah kehidupan bangsa yang lebih demokratis semakin

terwujud ditandai dengan membaiknya pelaksanaan desentralisasi dan otonomi

daerah serta kuatnya peran masyarakat sipil dan partai politik dalam kehidupan

bangsa. Posisi penting Indonesia sebagai negara demokrasi yang besar juga

diarahkan makin meningkat dengan keberhasilan diplomasi di fora internasional

dalam upaya pemeliharaan keamanan nasional, integritas wilayah, dan

pengamanan kekayaan sumber daya alam nasional. Selanjutnya, kualitas

pelayanan publik yang lebih murah, cepat, transparan, dan akuntabel makin

meningkat yang ditandai dengan terpenuhinya standar pelayanan minimal di

semua tingkatan pemerintah.

Dalam rangka menyediakan pelayanan kepada masyarakat, Pemerintah

harus mampu menjamin terpenuhinya hak dasar masyarkat di seluruh daerah

atas layanan dasar publik yang bersifat wajib. Untuk itu, dibutuhkan sebuah

standar minimal yang berlaku sama untuk seluruh daerah di Indonesia. Standar

ini memberikan petunjuk kepada seluruh daerah tentang jenis dan mutu

pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh

setiap warga secara minimal, serta digunakan sebagai salah satu indikator

kinerja penyelenggaraan pelayanan publik oleh daerah.

Sejak direvisinya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

menjadi UU No. 32 Tahun 2004, berbagai SPM yang telah terbit berdasarkan UU

No. 22 Tahun 1999 harus disesuaikan dengan UU No. 32 Tahun 2004. Sehubungan

dengan itu, telah diterbitkan :

Page 172: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   V‐35 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

1. PP No. 65 Tahun 2005 Tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar

Pelayanan Minimal pada tanggal 28 Desember 2005.

2. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 2007 Tentang Petunjuk Teknis

Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal sebagai peraturan

pelaksanaan dari PP 65/2005 pada tanggal 7 Februari 2007.

3. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 100.05 – 76 Tahun 2007 Tentang

Pembentukan Tim Konsultasi Penyusunan Standar Pelayanan Minimal pada

tanggal 7 Februari 2007. Tim Konsultasi SPM terdiri dari Departemen Dalam

Negeri, Departemen Keuangan, Kementrian PAN dan Bappenas yang

mempunyai tugas menyerasikan usulan-usulan SPM dari

Kementerian/Lembaga.

Dengan telah diterbitkannnya Pedoman dan Petunjuk Teknis (Juknis)

tentang SPM tersebut dan difasilitasinya penyusunan SPM di berbagai sektor

oleh Tim Konsultasi, maka, sampai saat ini (2009) telah diterbitkan SPM di bidang

kesehatan, lingkungan hidup, sosial, pemerintahan dalam negeri di

Kabupaten/Kota, dan perumahan rakyat. Adapun SPM untuk bidang

ketenagakerjaan, keluarga berencana, dan pemberdayaan perempuan telah

memasuki tahap akhir pembahasan di sidang DPOD.

Saat ini sedang disusun Peraturan Menteri Dalam Negeri Tentang Pedoman

Penyusunan Rencana Pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) berdasarkan

Analisis Kemampuan dan Potensi Daerah.

B. Permasalahan Dan Sasaran Pembangunan

Beberapa permasalahan terkait dengan prioritas bidang tersebut di atas

dapat dirinci sebagai berikut

1. Belum selesainya perumusan SPM (Standar Pelayanan Minimal) untuk semua

urusan yang terkait pelayanan publik, terutama pelayanan publik dasar

2. Implementasi SPM masih terkendala permasalahan kelembagaan dan

penganggaran di Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah masih memerlukan

persiapan untuk dapat menerapkan SPM tesebut

3. Belum tersedianya pedoman penganggaran SPM di daerah

Page 173: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   V‐36 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

4. Kapasitas aparatur Pemerintah Daerah masih perlu ditingkatkan, karena

belum dipersiapkan untuk dapat langsung menggunakan SPM

5. Belum ada mekanisme insentif/disinsentif bagi daerah dalam penerapan SPM

6. Pemerintah Daerah memerlukan bimbingan teknis dalam penerapan SPM di

daerah

Berdasarkan kondisi umum dan permasalahan yang dihadapi, maka

dirumuskan sasaran-sasaran sebagai berikut:

1. Terselesaikannya perumusan Standar Pelayanan Minimal untuk seluruh urusan

wajib di tahun 2012.

2. Penyelenggaraan pelayanan publik di seluruh kabupaten/kota berdasarkan

Standar Pelayanan Minimal (SPM).

C. Strategi Dan Arah Kebijakan Pembangunan

Untuk mencapai sasaran di atas, strategi pembangunan yang direncanakan

diantaranya adalah :

1. Fasilitasi penyusunan Standar Pelayanan Minimal (SPM)

Muatan pokok dalam strategi ini mencakup upaya-upaya koordinasi untuk

mendorong percepatan penyusunan SPM oleh kementerian/lembaga sektoral

penyedia pelayanan publik.

2. Fasilitasi penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) di daerah

Muatan pokok dalam strategi ini mencakup: (1) perumusan model skema

pembiayaan dan penganggaraan di daerah untuk dapat mengakomodasi SPM;

(2) perumusan mekanisme insentif/disinsentif bagi daerah dalam penerapan

SPM; (3) bimbingan teknis dalam penerapan SPM di daerah; (4) perumusan

inovasi-inovasi dalam penyelenggaraan SPM, seperti melalui pola kerjasama

antardaerah; (5) peningkatan kapasitas aparatur Pemerintah Daerah untuk

dapat menerapkan SPM; dan (6) perumusan struktur kelembagaan

pemerintah yang efektif, efisien dan akuntabel dalam mendukung

pelaksanaan SPM, seperti lembaga pelayanan satu atap.

Page 174: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   V‐37 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Tabel 5.4. PRIORITAS BIDANG: PERUMUSAN DAN PENERAPAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL

TARGET (kumulatif) ALOKASI ANGGARAN BASELINE

KEGIATAN PRIORITAS No.

FOKUS PRIORITAS/ KEGIATAN PRIORITAS

SASARAN (Hasil Outcomes/Output yang diharapkan)

INDIKATOR 2010 2011 2012 2013 2014

PROGRAM

KEMENTERIAN/

LEMBAGA TERKAIT

2010 2011 2012 2013 2014

1. Fasilitasi Penyusunan Standar Pelayanan Minimal (SPM)

Terselesaikannya perumusan Standar Pelayanan Minimal untuk seluruh urusan wajib di tahun 2012.

c. Fasilitasi percepatan penyusunan SPM oleh Kementerian/Lembaga yang terkait dengan bidang-bidang urusan wajib

Terumuskannya Standar Pelayanan Minimal untuk bidang-bidang yang terkait dengan pelayanan publik, terutama pelayanan publik dasar

Jumlah SPM yang disahkan

13

(5 pada 2009, 8 pada 2010)

20

(7 pada 2011)

26

(6 pada 2012)

- -

d. Sosialisasi Standar Pelayanan Minimal (SPM)

Tersosialisasikannya SPM yang telah disahkan

• Jumlah SPM yang tersosialisasikan

• Jumlah daerah yang mendapat sosialisasi

5

75%

13

85%

20

95%

26

100%

-

2. Fasilitasi Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) di Daerah

Kualitas pelayanan publik yang lebih murah, cepat, transparan dan akuntabel makin meningkat yang ditandai dengan terpenuhinya SPM di semua tingkatan pemerintahan

c. Pengembangan skema pembiayaan dan penganggaran daerah untuk mengakomodasi

Terumuskannya struktur APBD yang telah mengakomodasi

Jumlah daerah yang telah melakukan perubahan struktur APBD untuk

Perumusan

struktur APBD untuk

Sosialisasi dan

bimbingan teknis

30% 60% 90% Departemen Dalam Negeri

Page 175: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   V‐38 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

TARGET (kumulatif) ALOKASI ANGGARAN BASELINE

KEGIATAN PRIORITAS No.

FOKUS PRIORITAS/ KEGIATAN PRIORITAS

SASARAN (Hasil Outcomes/Output yang diharapkan)

INDIKATOR 2010 2011 2012 2013 2014

PROGRAM

KEMENTERIAN/

LEMBAGA TERKAIT

2010 2011 2012 2013 2014

penerapan SPM penerapan SPM penerapan SPM penerapan SPM

d. Pengembangan sistem insentif/disinsentif bagi daerah dalam penerapan SPM

Terumuskannya sistem insentif/disinsentif bagi daerah dalam penerapan SPM

Sistem insentif/disinsentif dirumuskan dan diterapkan

- Perumusan sistem insentif/ disinsent

if

Penerapan sistem insentif/ disinsent

if

Penerapan sistem insentif/ disinsent

if

Penerapan sistem insentif/ disinsent

if

Bappenas

c. Fasilitasi bimbingan teknis dalam penerapan SPM di daerah

Tercapainya pemahaman yang sama di daerah dalam penerapan SPM

Jumlah daerah yang mendapatkan bimbingan teknis

- - 30% 60% 90%

d. Peningkatan kapasitas aparatur Pemerintah Daerah dalam rangka mempersiapkan Pemerintah Daerah untuk penerapan SPM

Aparat Pemerintah Daerah memiliki kompetensi yang cukup untuk menyelenggarakan pelayanan publik sesuai SPM

• Jumlah bidang SPM yang menjadi materi diklat

• Jumlah keluhan masyarakat terkait kualitas aparat dalam penyelenggaraan pelayanan publik berkurang

2

Berkurang relatif

dibanding tahun

sebelumnya

7

Berkurang relatif

dibanding tahun

sebelumnya

15

Berkurang relatif

dibanding tahun

sebelumnya

22

Berkurang relatif

dibanding tahun

sebelumnya

26

Berkurang relatif

dibanding tahun

sebelumnya

f. Monitoring dan evaluasi penerapan SPM

Terbangunnya sistem monitoring dan evaluasi penerapan SPM

Terselenggaranya monitoring dan evaluasi penerapan SPM

Perumusan

pedoman

monitoring dan

evaluasi SPM

Monitoring dan

evaluasi penerapan SPM

Monitoring dan

evaluasi penerapan SPM

Monitoring dan

evaluasi penerapan SPM

Page 176: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   V‐39 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Page 177: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   V‐40 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Page 178: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   V‐41 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Page 179: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   VI‐1 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

BAB VI PENUTUP

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

6.1. Kesimpulan

Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia yang direalisasikan melalui

kebijakan otonomi daerah telah mencapai beberapa perkembangan terkait

dengan:

6.1.1. Peningkatan Kapasitas Aparat Pemerintah Daerah

Berdasarkan Laporan Database Desentralisasi dan Otonomi Daerah Tahun

2009 yang dikeluarkan oleh Direktorat Otonomi Daerah-Bappenas, profil aparat

pemerintah daerah di Indonesia sejak tahun 2007 hingga 2009 diwarnai oleh

terjadinya peningkatan jumlah yang cukup signifikan untuk semua jenjang

pendidikan, kecuali pasca sarjana. Jumlah aparatur pemerintah daerah yang

berpendidikan maksimal SLTA meningkat hingga 21 %, diploma meningkat 14%,

dan Sarjana (S1) paling tinggi peningkatannya, mencapai 22%, sedangkan pada

jenjang pascasarjana justru menurun sekitar 8%. Hal ini kemungkinan karena

tren yang ditunjukkan pada jenjang pasca sarjana ini banyak dipengaruhi oleh

para pegawai yang memasuki masa pensiun, tetapi tidak diimbangi dengan

program peningkatan kapasitas dari S2 menjadi S3 bagi pegawai lainnya yang

masih aktif.

Perkembangan positif berupa peningkatan jumlah yang signifikan untuk

semua jenjang pendidikan tersebut tidak terlepas dari upaya yang dilakukan

pemerintah dalam meningkatkan kapasitas sumber daya manusia dalam

menghadapi desentralisasi dan otonomi daerah melalui program “Peningkatan

Profesionalisme Aparat Pemerintah Daerah”. Program ini secara umum bertujuan

untuk meningkatkan kapasitas aparat Pemerintah Daerah dalam rangka

meningkatkan kualitas pelayanan yang mereka berikan kepada masyarakat.

Untuk mencapai tujuan tersebut, dalam kurun waktu 2005-2009 telah

Page 180: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   VI‐2 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

direncanakan beberapa kegiatan, diantaranya : perumusan kebijakan terkait

dengan sumber daya manusia, fasilitasi pengembangan kapasitas aparat dan

penyediaan aparat, penyusunan rencana pengelolaan aparatur pemerintah

daerah.

Hingga mendekati akhir periode RPJMN pertama, kegiatan-kegiatan yang

belum begitu mendapat perhatian adalah program penyusunan peraturan

perundang-undangan daerah, pedoman dan standar kompetensi aparatur

pemerintah daerah; program penyusunan rencana pengelolaan aparatur

pemerintah daerah termasuk sistem rekruitmen yang terbuka, mutasi dan

pengembangan pola karir; serta program peningkatan etika kepemimpinan

daerah. Dengan demikian, kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan antara

lain: fasilitasi penyediaan aparat pemerintah daerah, mutasi dan kerjasama

aparatur pemerintah daerah; serta program fasilitasi pengembangan kapasitas

aparatur pemerintah daerah dengan prioritas peningkatan kemampuan dalam

pelayanan publik seperti kebutuhan dasar masyarakat, keamanan dan

kemampuan di dalam menghadapi bencana, kemampuan penyiapan rencana

strategis pengembangan ekonomi (lokal), kemampuan pengelolaan keuangan

daerah, dan penyiapan strategi investasi.

Tidak terealisasinya beberapa kegiatan dalam rangka peningkatan

kapasitas aparat pemerintah daerah tersebut disebabkan oleh beberapa

kendala. Dalam laporan hasil kajian evaluasi pertengahan terhadap pelaksanaan

RPJMN 2005-2009 yang dilakukan pada tahun 2008, Direktorat Otonomi Daerah-

Bappenas mengidentifikasi beberapa kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan

program peningkatan profesionalisme aparat pemerintah daerah ini, yakni: (1)

permasalahan yang terkait dengan penataan dan harmonisasi berbagai peraturan

perundang-undangan yang terkait dengan desentralisasi dan otonomi daerah; (2)

permasalahan akibat belum tersedianya PP mengenai standar kompetensi

aparatur; (3) permasalahan akibat kebijakan Menpan untuk mengangkat semua

pegawai honorer menjadi CPNS yang tidak mempertimbangkan kompetensi dan

keterampilan yang dibutuhkan; serta (4) permasalahan yang terkait dengan

kesulitan dalam menyusun standar etika kepemimpinan daerah.

Page 181: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   VI‐3 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Lebih lanjut, hasil evaluasi pertengahan ini juga mencatat sejumlah isu

strategis, hambatan dan kendala umum lainnya, diantaranya:

a. Formasi

Penentuan formasi pegawai dan jabatan struktural belum menggunakan

standar yang jelas dan baku

Adanya beberapa perbedaan pengaturan antara UU No. 32/2004 tentang

Pemerintahan Daerah dengan UU No. 43/ 1999 tentang Pokok‐Pokok

Kepegawaian

Pemerintahan Daerah dengan UU No. 43/ 1999 tentang Pokok‐Pokok

Kepegawaian

b. Rekruitmen

Pola rekruitmen yang dilaksanakan selama ini berbeda antara daerah yang

satu dengan yang lain, sehingga mendapatkan hasil saringan yang

berbeda. Pada akhirnya kompetensi aparatur pemda yang dimiliki oleh

daerah cenderung menjadi tidak seimbang

Penerapan PP No. 48/2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi

Pegawai Negeri Sipil di daerah kurang memperhatikan kompetensi

pegawai

Untuk daerah pemekaran, terdapat kesulitan rekruitmen pegawai untuk

jabatan eselon tertentu (eselon III dan IV)

c. Pola karir

Masih banyak penempatan pejabat yang tidak sesuai dengan pengalaman

dan latar belakang pendidikan karena masalah kekurangan SDM. Hal ini

juga menyebabkan kesulitan dalam menerapkan pedoman karir yang

telah disusun. Salah satu Rancangan Peraturan Pemerintah yang terkait

adalah Pedoman Persyaratan Jabatan Perangkat Daerah, yang sedang

disusun sebagai amanat pasal 128 ayat (3) UU No. 32/2004. Pedoman

pengaturan jabatan perangkat daerah ini diharapkan dapat mendukung

kebijakan pemerintah daerah dalam menyusun struktur organisasi

pemerintah daerah secara profesional dan berkualitas

Terkait dengan adanya pengembangan jabatan fungsional di daerah,

pegawai di daerah cenderung tidak tertarik untuk mengambil alternatif

Page 182: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   VI‐4 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

jabatan fungsional tersebut. Hal ini disebabkan rumitnya persyaratan

kenaikan pangkat/golongan jabatan fungsional yang didasarkan pada

produk atau output kerja tiap pegawai. Kesulitan ini salah satunya

disebabkan lingkup kerja (wilayah administrasi pemerintahan) di daerah

yang tidak sebesar lingkup kerja Pemerintah, tetapi tidak ada pembedaan

penghitungan output atau hasil kerja antara pegawai pusat dan daerah

untuk naik golongan/pangkat. Pada intinya, aparat pemerintah daerah

menemui kendala untuk memenuhi ketentuan dalam persyaratan KUM dan

sebagainya. Meskipun demikian, sosialisasi terus dilakukan oleh

Pemerintah Daerah terkait dengan jabatan fungsional ini, dan Pemerintah

Daerah mengharapkan kerjasama Pemerintah untuk memberikan alternatif

pilihan ataupun kebijakan yang lebih responsif dan fleksibel terhadap

kondisi aparat pemerintah daerah

d. Promosi dan mutasi

Belum semua daerah menerapkan promosi pegawai atas dasar hasil

assessment center bekerjasama dengan pihak ketiga, guna menjaga

obyektivitas hasil. Sehingga sistem promosi belum dapat menjadi pemacu

kinerja aparatur pemda

Saat ini, mutasi pegawai dari provinsi ke kabupaten/kota tidak dapat

dilakukan dengan mudah karena harus ada persetujuan dari

Pemda‐pemda yang terkait. Sehingga, saat ini terjadi ketimpangan

kompetensi pegawai karena adanya kesan “pengkaplingan” pegawai

provinsi, ataupun pegawai kabupaten/kota

e. Remunerasi

Adanya kesenjangan pemberian tunjangan bagi pejabat eselon antar

daerah karena bergantung pada kemampuan keuangan daerah provinsi

masing‐masing, tidak hanya terbatas pada platform Pemerintah

Adanya kebijakan untuk membagi rata remunerasi kepada seluruh

aparatur di setiap SKPD sebagai usaha mengurangi ketimpangan besarnya

tunjangan antar SKPD tidak sepenuhnya diterima oleh daerah, karena

pemberian tunjangan yang tidak didasarkan pada kinerja di lain pihak

justru dapat menurunkan semangat/kinerja aparat

Page 183: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   VI‐5 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

f. Pengembangan dan disiplin pegawai

Penyusunan standar pengembangan pegawai dalam rangka peningkatan

kinerja aparatur ternyata menimbulkan permasalahan, yakni banyaknya

pegawai yang berlomba‐lomba melanjutkan studi S1, S2, bahkan S3. Hanya

saja pendidikan yang diambil sering tidak mendukung tugas, pokok dan

fungsi tempat dimana dia bekerja.

Masih terjadi overlapping penyelenggaraan diklat antara Pemerintah

dengan Pemerintah Daerah

Penegakan displin dan etika melalui proses internal antar staf, apel pagi

rutin, dan absensi harian masih belum efektif.

Gambaran kondisi diatas juga didukung dan diperkuat oleh hasil kajian

Bappenas lainnya mengenai database bidang desentralisasi dan otonomi daerah

pada tahun 2009 yang mengemukakan sejumlah permasalahan dalam

pengelolaan aparatur sebagai berikut:

1. Kemampuan aparat Pemda yang belum memadai, khususnya di tingkat

kecamatan dan kelurahan/desa di dalam bidang kependudukan, kesempatan

kerja, strategi investasi, keamanan dan ketertiban (tramtib), serta

perlindungan masyarakat (linmas);

2. Belum tersusunnya NSPK yang baik terhadap penetapan formasi, pengadaan,

pengembangan, penetapan gaji, program kesejahteraan (program pensiun,

tabungan hari tua, asuransi kesehatan, tabungan perumahan, asuransi

pendidikan bagi putra-putri pegawai), dan pemberhentian aparatur Pemda;

3. Belum adanya standar kompetensi dalam sistem karier dan sistem prestasi

kerja; serta Manajemen aparatur Pemda belum optimal, khususnya di dalam

penataan jabatan negeri, jabatan negara, maupun karier (jabatan fungsional

dan struktural) berdasarkan kompetensi dan keahliannya.

4. Belum ada pedoman jumlah aparatur pemda ideal berdasarkan karakteristik

daerah dan urusan pemerintahan sehingga menyebabkan sulitnya melakukan

penilaian/evaluasi terhadap aparatur pemerintah;

5. Belum adanya pedoman pola karier sebagai dasar untuk menyelenggarakan

pengelolaan kepegawaiannya;

Page 184: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   VI‐6 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

6. Kinerja aparatur pemerintah daerah yang belum optimal terkait dengan

tingkat kesejahteraan yang masih rendah, sehingga bila dibiarkan dapat

menyebabkan timbulnya penurunan moral (moral hazard) dan terjadinya

KKN;

7. Peningkatan kesejahteraan melalui tunjangan berdasarkan kinerja dan output

pegawai masih belum dapat dilaksanakan;

8. Sulit untuk melakukan mutasi antara pusat dan daerah dan antara daerah satu

dengan daerah lainnya;

9. Penempatan aparatur pemda ada yang tidak didasarkan pada keahlian dan

kompetensi, tetapi lebih disebabkan oleh pertimbangan-pertimbangan politis

dan pertimbangan lainnya;

10. Belum semua daerah memiliki profil aparatur pemda yang komprehensif;

11. Masih belum baiknya pemahaman aparatur pemda mengenai konsep Standar

Pelayanan Minimal (SPM);

12. Jabatan fungsional belum menjadi pilihan yang menarik bagi aparatur pemda

sehingga perlu dilakukan sosialisasi dan pemberian insentif yang lebih besar

untuk jabatan fungsional.

Berdasarkan gambaran di atas dapat terlihat bahwa program peningkatan

profesionalisme aparat pemerintah daerah ternyata masih meninggalkan

sejumlah permasalahan. Karenanya, kedepannya pemerintah harus berupaya

untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut sehingga tujuan untuk

memfasilitasi penyediaan aparat pemerintah daerah; menyusun rencana

pengelolaan serta meningkatkan kapasitas aparat pemerintah daerah dalam

rangka peningkatan pelayanan masyarakat, penyelenggaraan pemerintahan,

serta penciptaan aparatur pemerintah daerah yang kompeten dan profesional

dapat diwujudkan.

Selain menyangkut kapasitas aparatur Pemerintah Daerah, jika membahas

sumber daya manusia pemerintah daerah juga menyangkut kapasitas para

legislator daerah (anggota DPRD) karena Pemerintahan Daerah dikelola oleh

Pemerintah Daerah sebagai eksekutif, dan DPRD sebagai legislatif. Dengan

Page 185: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   VI‐7 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

demikian, untuk menciptakan pemerintahan daerah yang baik, kerjasama antara

kedua belah pihak menjadi suatu keharusan.

Tetapi sayangnya hubungan kerjasama antara kedua belah pihak tersebut

diwarnai oleh belum harmonisnya hubungan tersebut. Hal ini dimungkinkan

terjadi karena masing-masing pihak belum memahami fungsi dan peran mereka

seiring dengan diterapkannya desentralisasi dan otonomi daerah.

6.1.2. Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pemerintah Daerah

Reformasi birokrasi baik pada pemerintah pusat maupun pemerintah

daerah merupakan kebutuhan dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang

baik (good governance). Reformasi birokrasi pada tataran pemerintah daerah

antara lain bidang organisasi perangkat daerah yang diarahkan untuk terciptanya

organisasi yang efisien, efektif, rasional dan proporsional sesuai dengan

kebutuhan dan kemampuan daerah serta adanya koordinasi, integrasi,

sinkronisasi dan simplikasi serta komunikasi kelembagaan antara pusat dan

daerah.

Perangkat daerah atau Kelembagaan Pemerintah Daerah merupakan

elemen dasar pemerintahan kedua, setelah urusan pemerintahan dan sebelum

aparatur pemerintah daerah. Pengaturan terhadap kelembagaan atau sering

disebut dengan Organisasi Perangkat Daerah (OPD), diatur dan ditetapkan

berdasarkan PP 84 tahun 2000, yang diubah dengan PP 8 tahun 2003, dan

kemudian diubah lagi menjadi PP 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat

Daerah. Dalam PP 41 tahun 2007 disebutkan bahwa pelaksanaan peraturan

perundangan ini diharapkan dapat selesai dalam waktu 1 tahun sejak ditetapkan,

dan pada saat akhir tahun 2009 ini PP 41 tahun 2007 sudah berjalan selama 2

tahun.

Berdasarkan data Biro Organisasi, Departemen Dalam Negeri, yang

berasal dari laporan pemerintah daerah, pelaksanaan restrukturisasi

kelembagaan pemerintahan daerah telah mengalami perkembangan meskipun

belum sesuai dengan seperti apa yang diharapkan. Hingga bulan Mei 2009

sudah 30 provinsi, 223 kabupaten dan 43 kota yang telah melaporkan Perda

Page 186: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   VI‐8 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Organisasi Perangkat Daerahnya kepada Depdagri, atau sebesar 91%

provinsi, 56% kabupaten, dan 46% kota, atau total 296 daerah (provinsi,

kabupaten, kota). Sisanya, sebanyak 3 provinsi, 175 kabupaten dan 50 kota

belum terdata atau belum melaporkan Perda tersebut. Berikut disajikan informasi

lengkap daerah-daerah yang telah melaporkan pelaksanaan PP 41 tahun 2007 di

daerahnya masing-masing. Data-data tersebut juga mencakup daerah-daerah

hasil pemekaran wilayah (daerah otonom baru) hingga bulan Mei 2009, yang

terdiri dari 33 provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota.

Keterlambatan pelaksanaan restrukturisasi kelembagaan pemerintah

daerah tidak hanya terkait dengan sosialisasi dan diseminasi peraturan oleh

Pemerintah, melainkan pula karena kurang jelas/detailnya ketentuan yang diatur

dalam PP tersebut, atau bahkan dalam petunjuk teknis pelaksanaannya. Dan

ketika semua peraturan dan petunjuk teknis telah disosialisasikan kepada

daerah, muncul permasalahan baru yang terkait dengan tidak sikronnya

pengaturan dalam PP 41 tahun 2007 dengan peraturan perundangan sektoral,

yang mengamanatkan tiap daerah untuk membentuk suatu instansi daerah

dengan nomenklatur tertentu untuk menjalankan urusan pemerintahan yang

didelegasikan oleh kementerian lembaga terkait.

Pengaturan mengenai pembentukan kelembagaan di daerah terkait

dengan pelaksanaan urusan Pemerintah, tidak sepenuhnya diatur secara jelas

dan sinkron dengan PP 41 tahun 2007, mengingat beberapa peraturan

perundangan telah ditetapkan sebelum ditetapkannya PP Organisasi tersebut.

Meski demikian, beberapa peraturan perundangan seperti tersebut di atas,

menjelaskan mengenai posisi kelembagaan yang diminta, yaitu kelembagaan

non-struktural (Badan Pertimbangan Kesehatan dan Badan Promosi Pariwisata

Indonesia yang bersifat lembaga swasta/independen), yang berarti tidak

termasuk dalam kuota besaran organisasi seperti yang diatur dalam PP 41 tahun

2007, namun untuk Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah

(BKKBD) tidak ada pengaturan yang jelas terkait dengan struktur lembaga

tersebut meskipun pembentukannya melalui Peraturan Daerah (Perda).

Dengan ditetapkannya dan dilaporkannya Perda mengenai Organisasi

Perangkat Daerah kepada Depdagri, tidak berarti bahwa pelaksanaan PP 41

Page 187: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   VI‐9 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

tahun 2007 telah selesai. Proses pelaksanaan Perda tersebut lebih lanjut juga

masih perlu mendapat perhatian dari Pemerintah, terutama terkait dengan

sinkronisasi Perda Urusan Pemerintahan dan Organisasi Perangkat Daerah dalam

menyelenggarakan pelayanan publik secara efektif.

Beberapa permasalahan yang masih tersisa dalam rangka peningkatan

kapasitas kelembagaan aparat pemerintah daerah antara lain:

1. Peningkatan kapasitas daerah belum berdasarkan pada hasil evaluasi

penyelenggaraan pemerintahan daerah, dan belum tersusunnya kerangka

nasional kebijakan peningkatan kapasitas daerah, sebagaimana yang

dimanatkan oleh PP No. 6 Tahun 2008 tentang Evaluasi Penyelenggaraan

Pemerintahan Daerah;

2. Belum optimalnya implementasi PP Nomor 41 Tahun 2007 tentang organisasi

perangkat daerah karena berbagai kendala teknis dan politis di daerah;

3. Belum tersusunnya secara lengkap NSPK (Norma, Standar, Pedoman, dan

Kriteria) di berbagai sektor untuk digunakan sebagai pedoman bagi daerah,

termasuk peraturan sektoral tentang penerapan SPM (Standar Pelayanan

Minimal);

4. Belum disusunnya RAN (Rencana Aksi Nasional) di bidang pelayanan publik

khususnya bidang administrasi kependudukan dan perijinan investasi; (5)

belum optimalnya koordinasi penyelenggaraan kegiatan dekonsentrasi dan

tugas pembantuan antara kementerian/lembaga dengan pemerintah daerah;

5. Peran gubernur sebagai wakil Pemerintah di daerah perlu diperkuat dalam

mengkoordinasikan pembangunan di wilayahnya.

6.1.3. Peningkatan Kerjasama Antar Daerah

Era desentralisasi dan otonomi daerah membuka peluang bagi pemerintah

daerah untuk melakukan kerjasama, utamanya kerjasama antar daerah sehingga

dapat mendorong perwujudan pelayanan publik yang optimal. Salah satu yang

merupakan permasalahan strategis dalam pelaksanaan pelayanan publik yang

optimal adalah yang berkaitan dengan kondisi keterbatasan sumber daya yang

dimiliki suatu daerah, baik yang berupa sumber daya alam, dana/ modal,

manusia, dan kelembagaan. Keterbatasan sumber daya ini bukan lagi menjadi

Page 188: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   VI‐10 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

atau bersifat kendala dalam penyelenggaraan pelayanan publik, tetapi telah

menjadi limitasi bagi terselenggaranya pelayanan publik. Hal ini berarti

keterbatasan sumber daya menjadikan pelayanan publik yang dibutuhkan

masyarakat hanya mampu dipenuhi secara terbatas atau bahkan tidak mampu

dilaksanakan sama sekali, karena memang sumber daya yang dibutuhkan untuk

menyelenggarakan pelayanan tersebut tidak dimiliki oleh daerah.

Pada kondisi dimana suatu daerah tidak memiliki sumber daya yang

dibutuhkan untuk menyelenggarakan pelayanan publik, tidak jarang sumber

daya tersebut tersedia melimpah di daerah lainnya. Kerjasama antar daerah

merupakan salah satu kunci untuk mengatasi permasalahan penyediaan

pelayanan publik oleh suatu daerah karena adanya limitasi

kepemilikan/ketersediaan sumber daya yang dibutuhkan untuk

menyelenggarakan pelayanan tersebut.

Dalam rangka penerapan kerjasama daerah, maka telah dilakukan upaya-

upaya untuk menjadikan kerjasama antar daerah sebagai prioritas yakni melalui

RPJMN tahap 1 (2005-2009) hingga saat ini, seperti yang tertuang dalam RKP

2010. Meskipun demikian dalam pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah

seperti tertuang dalam hasil evaluasi pertengahan pelaksanaan RPJM 2005-2009

secara riil, kebijakan kerjasama antar daerah ini memang masih kalah populer

dibanding program-program lain, beberapa kendala teridentifikasi dalam

evaluasi pertengahan RPJMN 2005-2009, yakni: 

1. Belum optimalnya kerja sama antarpemda khususnya dalam

penanganan kawasan perbatasan, pengurangan kesenjangan

antarwilayah dan penyediaan pelayanan publik

2. Revitalisasi fungsi kerjasama yang strategis dalam usaha menjaga

keberlanjutan, efektivitas, dan optimalisasi kemajuan pembangunan di

daerah

3. Belum ada database yang cukup baik mengenai KAD maupun potensi

kerja sama daerah di seluruh Indonesia

4. Pemerintah Daerah masih belum cukup mempertimbangkan KAD

sebagai salah satu inovasi dalam penyelenggaraan pembangunan

Page 189: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   VI‐11 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

5. Untuk daerah-daerah pemekaran, ada kecenderungan lebih enggan

untuk bekerja sama dengan daerah lain, termasuk daerah induk

6. Di pemerintah pusat sendiri, KAD belum menjadi satu inovasi prioritas

untuk didiseminasikan ke daerah

7. Belum ada mekanisme insentif untuk daerah-daerah yang bekerja

sama dalam peningkatan efektivitas/efisiensi penyelenggaraan

pelayanan publik

8. Selama ini KAD biasanya terbentuk atas inisiatif daerah sendiri. Masih

sangat kurang fasilitasi atau inisiasi dari Pemerintah maupun

Pemerintah Provinsi. Peran Pemerintah sampai saat ini baru dalam

bentuk penyusunan PP No. 50 Tahun 2007 mengenai tata cara KAD

6.1.4. Peningkatan Kapasitas Keuangan Daerah

Sejak berlakunya kebijakan otonomi daerah pada awal tahun 2001,

pemerintahan daerah di Indonesia berubah dari sistem yang sangat tersentralisir

menjadi sistem yang sangat terdesentralisir. Pemerintahan Daerah diberikan

kewenangan yang lebih besar lagi dalam proses perencanaan dan implementasi

pembangunan di daerah. Seiring dengan pengalihan urusan-urusan

pemerintahan, keuangan daerah pemerintahan daerah juga meningkat secara

drastis. Dana perimbangan APBN yang didaerahkan meningkat lebih dari 100%

pada awal pelaksanaan kebijakan otonomi daerah di Indonesia.

Selain dalam bentuk dana perimbangan, pemerintahan daerah juga

memiliki kewenangan untuk mengumpulkan pajak dan retribusi daerah sebagai

komponen utama dari Pendapatan Asli Daerah. Kebijakan local taxing power ini

diatur dalam UU No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Kita menyadari saat ini local taxing power dari pemerintahan daerah relatif kecil

dibandingkan dengan potensi yang ada pada jenis pajak di tingkat pusat. Terjadi

kesenjangan antara kebutuhan pemerintahan daerah untuk menjalankan

kewenangannya dibandingkan dengan kapasitas anggaran pemerintahan daerah

Page 190: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   VI‐12 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

yang ada. Kekurangan ini, dalam sistem desentralisasi di Indonesia, ditutupi

dengan dana perimbangan.

Seiring meningkatnya anggaran pemerintahan daerah, tuntutan untuk

mewujudkan praktek pengelolaan keuangan daerah yang lebih baik terus

meningkat. Sebagai turunan dari UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,

Pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.58 Tahun 2005

tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Berdasarkan PP tersebut, Pengelolaan

Keuangan Daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan,

pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan

keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah tersebut merupakan subsistem

dari dari sistem pengelolaan keuangan negara dan merupakan elemen pokok

dalam penyelenggaraan pemerintah daerah.

Beberapa permasalahan dalam Program Peningkatan Kapasitas Keuangan

Pemerintah Daerah antara lain adalah: (1) permasalahan terkait sistem

pendanaan pembangunana daerah, dimana peningkatan jumlah transfer dana ke

daerah (utamanya dana perimbangan) belum efisien dan memberi manfaat pada

rakyat. Beberapa penyebabnya antara lain: keberadaan belanja pegawai dalam

alokasi DAU; formula dana perimbangan yang masih bermasalah; kecilnya

proporsi DAK (8%); 4) efektivitas alokasi DAK perbidang sangat minimal karena

fragmentasi bidang; terlalu besarnya peran pemerintah pusat dalam pelaksanaan

DAK; perpajakan daerah yang belum efisien; rendahnya kapasitas aparatur

daerah dalam perencanaan, pengelolaan keuangan daerah; penyusunan

anggaran daerah yang belum menggunakan analisis kebutuhan nyata; (2)

permasalahan terkait kurang efektif dan efisiennya pengawasan dan evaluasi

keuangan daerah sebagai akibat dari: rendahnya implementasi good

governance; kurang jelasnya tolak ukur penilaian kinerja keuangan daerah;

perangkat sistem infromasi keuangan daerah yang belum terintegrasi; 4)

tumpang tindih antara pengeluaran pemerintah; banyaknya penganggaran

daerah yang belum berkorelasi dengan upaya pencapaian SPM; banyaknya

keterlambatan dalam siklus anggaran.

Page 191: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   VI‐13 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

6.1.5. Penataan Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Desentralisasi

dan Otonomi Daerah

Implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang efektif

diharapkan mampu mendorong proses transformasi pemerintahan daerah yang

efisien, akuntabel, responsif dan aspiratif. Untuk itu, dalam tataran pelaksanaan

diperlukan sejumlah perangkat pendukung (regulasi) baik berupa peraturan

atau perundang-undangan dan peraturan pelaksanaan teknis guna menunjang

keberhasilan tersebut.

Sejak tahun 1999, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kerangka

peraturan perundang-undangan sebagai pedoman untuk implementasi

desentralisasi dan otonomi daerah. Namun mengingat luasnya dimensi

desentralisasi yang berlangsung di Indonesia, belum semua elemen

pemerintahan dan pembangunan daerah sudah memiliki pedoman.

Permasalahan baru timbul terkait dengan pembuatan Peraturan

Perundang-undangan dalam rangka perwujudan desentralisasi dan otonomi

daerah di Indonesia, yakni berupa ketidaksinkronan antar peraturan di tingkat

pusat maupun daerah.

6.1.6. Penataan Daerah Otonom Baru

Semakin pendeknya rentang pelayanan kepada masyarakat ternyata

belum dapat meningkatkan pelayanan publik itu sendiri, karena masih ada

faktor-faktor lain yang juga berubah pasca pemekaran. Selain itu, pemekaran

yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan daya saing

daerahnya ternyata belum mampu memenuhi ekspektasi tersebut.

Untuk mewujudkan tujuan pemekaran tersebut, Pemerintah dalam RPJMN

2005-2009 telah menetapkan beberapa upaya yang terealisir dalam berbagai

program. Hingga mendekati akhir pelaksanaan RPJMN I tersebut, capaian

pelaksanaan program penataan daerah otonom baru adalah :

Page 192: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   VI‐14 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Program-program yang telah dilaksanakan: program yang terkait dengan

evaluasi perkembangan daerah-daerah otonom baru (DOB) dalam

memberikan pelayanan kepada masyarakat; program yang terkait dengan

penyelesaian status kepemilikan dan pemanfaatan aset daerah secara optimal;

serta program yang terkait dengan penataan penyelenggaraan pemerintahan

daerah otonom baru

Program-program yang belum dilaksanakan: program yang terkait dengan

pelaksanaan kebijakan pembentukan daerah otonom baru dan atau

penggabungan daerah otonom, termasuk perumusan kebijakan dan

pelaksanaan upaya alternatif bagi peningkatan pelayanan masyarakat dan

percepatan pembangunan wilayah selain melalui pembentukan DOB

Berdasarkan evaluasi daerah pemekaran (148 DOB) yang dilakukan oleh

Ditjen OTDA-Depdagri, terungkap beberapa masalah yang muncul seiring

dengan pelaksanaan pemekaran wilayah dan pelaksanaan pembangunan di

DOB. Temuan tersebut antara lain (Depdagri, 2005) :

80% pemda hasil pemekaran gagal.

87,71% daerah induk belum menyelesaikan penyerahan Pembiayaan,

Personil, Peralatan dan Dokumen (P3D) kepada daerah baru.

79% daerah baru belum memiliki batas wilayah yang jelas.

89,48% daerah induk belum memberi dukungan dana kepada daerah

otonom baru.

84,2% pegawai negeri sipil sulit dipindahkan dari daerah induk ke daerah

otonom baru.

22,8% pengisian jabatan tidak berdasarkan standar kompetensi, 91,23%

daerah otonom baru yang belum memiliki Rencana Tata Ruang dan

Wilayah

Beberapa masalah yang teridentifikasi: insentif finansial mendorong bagi

adanya upaya pemekaran wilayah; (2) melalui pemekaran, para elite lokal

berupaya untuk mendapatkan kesempatan bagi penguatan kedudukan politik,

pencarian keuntungan dan patronase; (3) proses review dan persetujuan

Page 193: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   VI‐15 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

terhadap proposal dilakukan dalam mekanisme penyeleksian yang cenderung

formal dan cacat administratif bahkan terbuka untuk dimanipulasi; (4) Dewan

Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) tidak dapat memainkan perannya secara

memadai khususnya dikaitkan dengan peran DPR dalam menentukan persetujuan

terhadap pemekaran wilayah; (5) kinerja dari DOB belum diukur melalui

mekanisme pengukuran yang memadai; (6) pelayanan publik tidak mengalami

peningkatan yang berarti dengan pemekaran; serta (7) beban yang semakin

besar dari pemerintah dalam melakukan pengawasan, peningkatan kapasitas

pembangunan dan pembiayaan (stock taking studies 2009)

Dari gambaran capaian kebijaksanaan, program, dan kegiatan yang

dilaksanakan dalam rangka mewujudkan desentralisasi di Indonesia, dapat

ditarik beberapa kesimpulan secara umum:

1. Desentralisasi di Indonesia belum menjadi desentralisasi yang ideal.

Hakikatnya, desentralisasi dilakukan untuk mendekatkan pemerintah dengan

yang dilayani agar mereka dapat memberikan pelayanan yang lebih

maksimal. Dengan kata lain, melalui penerapan desentralisasi, diharapkan

terjadi perbaikan dan peningkatan kualitas pelayanan publik. Saat ini,

kualitas pelayanan publik di daerah sudah menampakkan beberapa kemajuan

jika dibandingkan dengan ketika desentralisasi belum diterapkan. Misalnya

dengan adanya standar pelayanan minimal bagi beberapa jenis pelayanan

publik, yakni: pendidikan dan kesehatan. Tetapi SPM tersebut belum

diterapkan bagi semua jenis pelayanan publik.

Jika dilakukan penilaian atas kualitas pelayanan publik saat ini, dari beberapa

kriteria pelayanan publik yang baik menurut LAN, maka belum semua

dimensi tersebut dapat mencapai nilai yang ideal, atau bahkan belum

terpenuhi semua.

Misalnya pelayanan kesehatan, dari 8 kriteria yang digunakan oleh LAN,

hampir kesemua kriteria tersebut tidak terpenuhi, misalnya untuk beberapa

kriteria berikut ini:

Dari kriteria kesederhanaan, yang ditandai dengan prosedur/tata cara

pelayanan diselenggarakan secara mudah, cepat, tepat, tidak berbelit-belit,

Page 194: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   VI‐16 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta

pelayanan, pelayanan kesehatan belum memenuhi dimensi tersebut.

Meskipun Pemerintah telah menerapkan berbagai inovasi terkait dengan

pelayanan kesehatan seperti jamkesmas, askeskin, dan program-program

imunisasi gratis, pengaduan atau keluhan terkait dengan masih buruknya

pelayanan kesehatan masih marak hingga saat ini. Misalnya berita mengenai

masih banyaknya anak-anak yang mengalami gizi buruk.

Kejelasan dan kepastian, yang ditandai dengan kejelasan dan kepastian

mengenai: (a) prosedur/tata cara pelayanan; (b) persyaratan pelayanan, baik

persyaratan teknis maupun persyaratan administratif; (c) unit kerja dan atau

pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan

pelayanan; (d) rincian biaya/tarif pelayanan dan tata cara pembayarannya,

dan (e) jadwal waktu penyelesaian pelayanan. Jika melihat pelayanan yang

diberikan rumah sakit (utamanya rumah sakit pemerintah), tampak bahwa

pasien belum memperoleh kepastian dan kejelasan mengenai prosedur/tata

cara layanan. Hal ini umumnya menimpa pasien miskin. Dengan

diberikannya askeskin, masalah kesulitan berobat bagi orang miskin belum

terselesaikan karena mereka dipersulit sebagai akibat minimnya informasi

yang mereka peroleh dari pihak pemerintah.

Keamanan, yang ditandai dengan prosedur/tatacara persyaratan, satuan

kerja/pejabat penanggung jawab pemberi layanan, waktu penyelesaian,

rincian waktu/tarif serta hal-hal yang berkaitan dengan proses pelayanan

wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh

masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta

Sama halnya dengan masalah kepastian dan kejelasan, masalah keamanan

dalam pelayanan kesehatan masih jauh dari apa yang diharapkan pengguna

pelayanan. Sulitnya memperoleh informasi mengenai prosedur/tata cara

persayaratan serta rincian waktu/tarif yang berkaitan dengan proses

pelayanan masih sulit diperoleh oleh pengguna pelayanan secara sukarela.

Akibatnya, konsumen atau pengguna pelayanan kesehatan di Indonesia masih

menjadi pihak yang selalu dirugikan. Tengoklah kasus prita vs rs

internasional omni batavia baru-baru ini. Dari kasus tersebut tampak betapa

Page 195: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   VI‐17 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

lemahnya posisi pengguna pelayanan, dan tidak informatifnya pihak rumah

sakit kepada pasien.

Efisiensi, yang ditandai dengan : (a) persyaratan pelayanan hanya dibatasi

pada hal-hal langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap

memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan

yang berkaitan; (b) dicegah adanya pengulangan pemenuhan persyaratan,

dalam hal proses pelayanan masyarakat yang bersangkutan

mempersyaratkan adanya kelengkapan persyaratan dari satuan kerja/instansi

pemerintah lain yang terkait.

Ketepatan waktu, yang ditandai dengan pelayanan masyarakat dapat

diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan. Terkait dengan

pelayanan kesehatan, masalah ketepatan waktu pemberian pelayanan

menjadi masalah utama yang selalu dikeluhkan oleh para pengguna

pelayanan. Berlarut-larutnya waktu pelayanan yang diberikan oleh pihak

rumah sakit kepada pasien bukan lagi menjadi rahasia. Responsif, yang

ditandai dengan : daya tanggap dan cepat menanggapi apa yang menjadi

masalah, kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang dilayani.

2. Otonomi daerah yang hadir karena adanya kebijakan desentralisasi, belum

mencapai tujuannya (sesuai dengan apa yang digariskan dalam UU 32/2004)

dan sasarannya (sesuai dengan apa yang digariskan dalam RPJMN 2005-

2009). Tujuan otonomi daerah seperti yang tercantum dalam UU 32/2004

adalah : 1) mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui: (i)

peningkatan pelayanan; (ii) pemberdayaan dan peran serta masyarakat; dan

2) meningkatkan daya saing daerah dengan memperhatikan: (i) prinsip

demokrasi; (ii) pemerataan; (iii) keadilan; (iv) keistimewaan dan kekhususan

serta; (v) potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem NKRI . Sasaran

pertama yakni terwujudkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan

pelayanan belum dapat terwujud dengan optimal, meskipun telah terjadi

perkembangan jika dibandingkan dengan masa sebelum era desentralisasi

dan otonomi daerah. Masih belum memuaskannya kualitas pelayanan publik

Page 196: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   VI‐18 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

tercermin dari adanya tuntutan akan perlunya keberadaan undang-undang

pelayanan publik, yang pada akhirnya telah disahkan pada akhir tahun 2009.

Demikian pula halnya dengan pemberdayaan dan peran serta masyarakat

yang masih menjadi tuntutan dari masyarakat untuk diwujudkan.

Sasaran kedua berupa peningkatan daya saing daerah yang diwujudkan

melalui program peningkatan kerjasama daerah juga belum tercapai

sepenuhnya. Hal ini tampak dari capaian program tersebut, dimana

kerjasama daerah belum menjadi prioritas utama bagi daerah.

Seperti yang telah dipaparkan dalam bab sebelumnya, sasaran otonomi

daerah menurut RPJMN 2005-2009 terdiri dari 6 butir, yakni:

1) Tercapainya sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-

undangan pusat dan daerah, termasuk yang mengatur tentang

otonomi khusus Provinsi Papua dan Provinsi NAD.

2) Meningkatnya kerjasama antar pemerintah daerah;

3) Terbentuknya kelembagaan pemerintah daerah yang efektif,

efisien, dan akuntabel;

4) Meningkatnya kapasitas pengelolaan sumberdaya aparatur

pemerintah daerah yang profesional dan kompeten;

5) Terkelolanya sumber dana dan pembiayaan pembangunan secara

transparan, akuntabel, dan profesional; dan

6) Tertatanya daerah otonom baru.

Dari keenam sasaran tersebut, hampir kesemuanya belum menampakkan

hasil yang menggembirakan. Hal ini terlihat dari capaian dan masalah yang

masih tersisa dari program-program desentralisasi dan otonomi daerah.

Misalnya:

Sasaran pertama berupa tercapainya sinkronisasi dan harmonisasi peraturan

perundang-undangan pusat dan daerah yang diupayakan melalui program

“Penataan Perundang-undangan mengenai Desentralisasi dan Otonomi

Daerah” , hingga pertengahan tahun 2009 (berdasarkan laporan database

desentralisasi dan otonomi daerah yang dikeluarkan oleh Direktorat Otonomi

Daerah-Bappenas), capaiannya telah 89%, tetapi hal tersebut menyangkut

capaian tentang pembuatan peraturan seperti yang diamanatkan dalam UU

Page 197: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   VI‐19 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

32/2004. Pemenuhan amanat UU 32/2004 terkait dengan perumusan

peraturan tentang desentralisasi dan otonomi daerah pada saat ini

menimbulkan masalah baru berupa ketidaksinkronan antar peraturan di

tingkat pusat maupun daerah yang membuat pelaksanaan otonomi daerah

justru menjadi terhambat.

Sasaran kedua berupa meningkatnya kerjasama antar pemerintah daerah

yang diupayakan melalui program “Peningkatan Kerjasama Daerah”, baru

sampai pada tahap pembentukan kerjasama dalam bidang ekonomi, dam

belum menjadi prioritas utama bagi pemerintah daerah.

Sasaran ketiga berupa terbentuknya kelembagaan pemerintah daerah yang

efektif, efisien, dan akuntabel yang diupayakan melalui program

“Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pemerintah Daerah” yang diwujudkan

melalui kebijakan PP 41/2007 justru menimbulkan permasalahan baru dalam

penerapannya di daerah karena terjadi perbenturan dengan peraturan

sektoral, sehingga kelembagaaan pemerintah daerah yang efektif, efisien,

dan akuntabel belum dapat diwujudkan.

Demikian pula dengan sasaran-sasaran berikutnya, sasaran keempat hingga

keenam yang belum menampakkan hasil seperti yang diharapkan.

3. Mengacu pada definisi yang diberikan oleh Joko Widodo tentang faktor-faktor

yang mempengaruhi kualitas otonomi daerah, yakni: kualitas sumber daya

manusia, kemampuan manajemen kelembagaan yang makin tinggi, dan

ketersediaan dana, jika disandingkan dengan kondisi desentralisasi di

Indonesia saat ini dimana desentralisasi dan otonomi daerah belum berada

dalam kondisi yang ideal, beberapa faktor dapat diidentifikasi sebagai faktor-

faktor yang menjadi kendala, yakni:

Masih lemahnya kualitas sumber daya manusia aparat pemerintah

daerah dan anggota DPRD

Masih lemahnya kapasitas kelembagaan pemerintah daerah

Masih lemahnya kapasitas keuangan pemerintah daerah

Page 198: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   VI‐20 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

5.2. Rekomendasi

Berangkat dari kondisi di atas, untuk mewujudkan tujuan otonomi daerah

sesuai dengan peraturan yang berlaku, serta mencapai sasaran otonomi daerah

sesuai dengan arah rencana pembangunan yang ada, serta mewujudkan

pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah yang lebih baik, dalam arti

mendekati konsep ideal, gagasan tentang pemberdayaan otonomi daerah dapat

menjadi sebuah jalan keluar. Dari kondisi terkini, maka pemberdayaan yang

dapat ditempuh adalah:

1) Pemberdayaan kemampuan SDM, yang ditempuh untuk mengatasi masalah

masih rendahnya kapasitas aparat pemerintah daerah dan anggota DPRD.

Strategi ini mendorong aparatur Pemerintah Daerah berfungsi menjadi

fasilitator dalam rangka peningkatan pelayanan masyarakat,

penyelenggaraan pemerintahan daerah serta mendorong penciptaan aparatur

Pemerintah Daerah yang kompeten dan profesional. Untuk itu diperlukan

regulasi, sistem, dan budaya kerja bagi aparatur Pemerintah Daerah yang

mampu memberikan kepastian hukum, kemudahan bekerja, kesesuaian

pekerjaan dengan tingkat kompetensi, kejelasan jenjang karir (termasuk

mutasi, rotasi, dan promosi secara lintas organisasi, lintas daerah, dan lintas

tingkatan pemerintah), serta sistem reward dan punishment yang tepat dan

memadai. Strategi peningkatan kapasitas aparatur Pemerintah Daerah

meliputi upaya agar pemimpin daerah melakukan berbagai inovasi

peningkatan pelayanan publik dengan berdasarkan kemampuan keuangan

Pemerintah Daerah yang ada. Strategi ini juga dimaksudkan sebagai upaya

untuk dapat menjamin keutuhan mata rantai pelaksanaan kebijakan nasional

di daerah. Seiring dengan itu, untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik

maka pelatihan teknis dan substantif perlu terus dilakukan baik oleh

pelaksana diklat di Pusat maupun di daerah. Dalam kerangka itu, maka

pelatihan diklat yang ada ditujukan bagi upaya dan dukungan pencapaian

standar pelayanan yang telah ditetapkan.

Selain peningkatan kapasitas aparatur Pemerintah Daerah, perlu dilakukan

juga peningkatan kapasitas legislatif daerah. Hal ini ditujukan untuk

Page 199: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   VI‐21 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

meningkatkan kemampuan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

dalam penyusunan regulasi yang mendukung peningkatan kesejahteraan

masyarakat, pelayanan publik dan daya saing daerah. Peningkatan kapasitas

anggota DPRD juga perlu dilakukan agar harmonisasi peraturan perundang-

undangan daerah dengan peraturan perundangan diatasnya tetap terjaga.

Untuk itu, perlu ditempuh upaya dalam rangka meningkatkan kemampuan

aparatur pemerintah daerah dalam mengelola pelayanan publik bidang

pendidikan, kesehatan, dan pemerintahan dalam negeri.

Sasaran tersebut diukur melalui : (i) rasio jumlah PNSD yang mampu

mengelola pelayanan publik bidang pendidikan, kesehatan dan

pemerintahan dalam negeri terhadap jumlah penduduk; dan (ii)

meningkatnya kapasitas aparatur pemda dan anggota DPRD

Sedangkan kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam rangka mencapai

sasaran tersebut adalah:

a) Penyusunan dan penerapan Grand Design penyelenggaraan diklat bagi

aparatur Pemda

Sasaran dari kegiatan ini adalah: terintegrasinya seluruh diklat bagi PNS

Daerah

Sedangkan indikator capaian dari kegiatan ini adalah: tersusunnya dan

terlaksananya Grand Design penyelenggaraan diklat

b) Pengembangan standar kompetensi untuk seluruh jabatan di daerah

Sasaran dari kegiatan ini adalah: tersedianya peta dan standar kompetensi

jabatan bagi jabatan-jabatan pada level Provinsi

Sedangkan indikator capaian dari kegiatan ini adalah: tersusunnya dan

diterapkannya pedoman pengembangan karir dan standar kompetensi

bagi jabatan struktural dan fungsional PNSD

c) Penyusunan peraturan dan pedoman perkembangan karir bagi PNS

daerah secara transparan, akuntabel, dan berdasarkan prestasi (merit

based)

Sasaran dari kegiatan ini adalah: tersusunnya regulasi dan terlaksananya

sistem rekruitmen, karir, insentif bagi PNS daerah yang transparan,

akuntabel dan berdasar prestasi

Page 200: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   VI‐22 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Sedangkan indikator capaian dari kegiatan ini adalah: keberadaan

regulasi yang mengatur sistem manajemen aparatur Pemda

d) Pelaksanaan pembinaan dan peningkatan kemampuan anggota DPRD

Sasaran dari kegiatan ini adalah: kapasitas anggota DPRD yang memadai

sebagai mitra kerja Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan

pemerintahan

Sedangkan indikator capaian dari kegiatan ini adalah: jumlah anggota

DPRD yang memiliki kemampuan dalam menjalankan fungsi-fungsinya

e) Peningkatan Kompetensi anggota DPRD

Sasaran dari kegiatan ini adalah: meningkatnya kualitas Perda yang

berasal dari usul inisiatif DPRD

Sedangkan indikator capaian dari kegiatan ini adalah: jumlah anggota

DPRD yang mengikuti diklat RIA atau harmonisasi peraturan perundangan.

2) Pemberdayaan kemampuan manajemen kelembagaan

Strategi ini mendorong Pemerintah Daerah untuk membentuk organisasi

perangkat daerah yang disesuaikan dengan kebutuhan daerah dan

kemampuan serta potensi daerah. Pembentukan organisasi perangkat daerah

ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan

kualitas pelayanan publik dan mendorong peningkatan daya saing daerah

secara efektif (pemenuhan lingkup, jangkauan, dan luas wilayah pelayanan)

dan efisien (tidak membebani APBD dan APBN serta menambah birokrasi).

Dalam kerangka tersebut, organisasi perangkat daerah yang ada didorong

untuk melakukan dan meningkatkan kerjasama daerah terutama pada wilayah

perbatasan antar daerah dan wilayah aliran sungai. Untuk itu, maka

diperlukan suatu regulasi, sistem, dan pemahaman bersama berbagai pihak

baik pemerintah (K/L) maupun pemerintahan daerah (termasuk kepala

daerah dan DPRD).

Disamping itu, strategi ini juga berisikan upaya penyusunan regulasi yang

tepat bagi daerah, baik dari sisi proses, prosedur penyusunannya, maupun

dari sisi materi (substansi pengaturan) dari regulasi daerah tersebut. Untuk itu

perlu dilakukan peningkatan kapasitas DPRD sebagai bagian dari

Page 201: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   VI‐23 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

pemerintahan daerah, Sehingga tercipta pengawasan penyelenggaraan

Pemerintah Daerah secara tepat, tercipta kontrol dan keseimbangan dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah. Disamping itu, DPRD dapat bekerja

sama dengan Pemerintah Daerah secara baik dalam menyusun APBD

sehingga penetapan APBD dapat tepat waktu, dan dapat menyusun regulasi

daerah secara tepat.

Sasaran dari strategi ini adalah:

Tersusunnya kelembagaan pemerintah daerah yang efektif (pemenuhan

lingkup, jangkauan, dan luas wilayah pelayanan) dan efisien (tidak

membebani APBD/APBN dan tidak menambah birokrasi) sesuai dengan

kebutuhan dan kemampuan daerah masing-masing

Sesuainya perda dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi

Untuk mengukur tercapai tidaknya sasaran tersebut di atas, digunakan

indikator berikut ini:

Jumlah daerah yang struktur organisasi daerahnya sesuai dengan regulasi

yang mengatur organisasi/kelembagaan daerah

Jumlah perda yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi

Untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan, dapat ditempuh beberapa

kegiatan, diantaranya:

a) Harmonisasi regulasi sektoral dan regulasi desentralisasi dan otonomi

daerah yang terkait dengan revisi regulasi pembentukan organisasi

perangkat daerah

Sasaran dari kegiatan ini adalah: tercapainya pemahaman bersama

(stakeholders Pusat) terhadap organisasi perangkat daerah dan

tersusunnya organisasi perangkat daerah sesuai revisi regulasi organisasi

perangkat daerah.

Sedangkan indikator capaian dari kegiatan ini adalah : jumlah revisi

terhadap UU sektoral yang belum harmonis dengan UU pemerintahan

daerah dalam aspek organisasi perangkat daerah

a) Pengaturan organisasi/kelembagaan daerah beserta kelengkapannya

Page 202: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   VI‐24 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Sasaran dari kegiatan ini adalah : penyempurnaan PP No 41 tahun 2007 dan

peraturan-peraturan turunannya sehingga tidak menimbulkan konflik antar

peraturan yang mengatur organisasi perangkat daerah

Sedangkan indikator capaian dari kegiatan ini adalah : PP No 41 tahun 2007

hasil revisi

b) Fasilitasi peningkatan kapasitas DPRD dalam proses penyusunan regulasi

Sasaran dari kegiatan ini adalah : meningkatnya kualitas mekanisme kerja

antara pemerintah daerah dengan DPRD dalam penyusunan regulasi,

pengambilan keputusan

Sedangkan indikator capaian dari kegiatan ini adalah : Perda yang

mengakomodasi kepentingan rakyat dan tidak bertentangan dengan

perundang-undangan di atasnya.

3) Pemberdayaan keuangan

Strategi ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas keuangan Pemerintah

Daerah baik dari aspek sumber-sumber penerimaan daerah maupun dari

aspek pemanfaatan dan pengelolaan keuangan daerah. Strategi ini

diharapkan akan meningkatkan dan memperluas basis penerimaan

Pemerintah Daerah sehingga mengurangi ketergantungan terhadap dana

perimbangan dari pusat. Peningkatan kapasitas keuangan Pemerintah Daerah

ini diarahkan untuk mendukung iklim usaha yang kondusif di daerah tersebut.

Peningkatan kapasitas keuangan Pemerintah Daerah juga didorong untuk

meningkatkan kemampuan daerah dalam mengelola sumber daya daerah dan

meningkatkan kemampuan pengelolaan keuangan daerah. Oleh karena itu

perlu dilakukan peningkatan kapasitas aparatur Pemerintah Daerah dalam

melakukan pengelolaan keuangan daerah secara profesional dan akuntabel.

Untuk itu, kegiatan-kegiatan berikut ini dapat ditempuh dalam rangka

mencapai sasaran meningkatnya kualitas belanja dalam APBD (% proporsi

belanja pelayanan publik terhadap belanja aparatur) dan menguatnya pajak

daerah:

a) Fasilitasi peningkatan kemampuan keuangan daerah termasuk manajemen

aset daerah

Page 203: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   VI‐25 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

Sasaran dari kegiatan ini adalah : meningkatnya PAD tanpa harus

mengganggu iklim usaha

Sedangkan indikator capaiannya adalah: rasio penerimaan pajak daerah (yang sesuai aturan perundangan yang lebih tinggi) terhadap APBD

b) Fasilitasi peningkatan kemampuan pengelolaan keuangan pemerintah

daerah

Sasaran dari kegiatan ini adalah : penetapan APBD secara tepat waktu

Sedangkan indikator capaiannya adalah: proporsi Jumlah APBD yang

disahkan secara tepat waktu.

4) Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik

Strategi ini diperlukan dalam rangka menyediakan pelayanan kepada

masyarakat yang berkualitas. Pemerintah harus mampu menjamin terpenuhinya

hak dasar masyarakat di seluruh daerah atas layanan dasar publik yang bersifat

wajib. Untuk itu, dibutuhkan sebuah standar minimal yang berlaku sama untuk

seluruh daerah di Indonesia. Standar ini memberikan petunjuk kepada seluruh

daerah tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib

daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal, serta digunakan

sebagai salah satu indikator kinerja penyelenggaraan pelayanan publik oleh

daerah. Belum selesainya perumusan SPM (Standar Pelayanan Minimal) untuk

semua urusan yang terkait pelayanan publik, terutama pelayanan publik dasar,

disamping implementasi SPM yang masih terkendala permasalahan

kelembagaan dan penganggaran di Pemerintah Daerah, karena Pemerintah

Daerah masih memerlukan persiapan untuk dapat menerapkan SPM tesebut,

menjadikan pentingnya bimbingan teknis bagi Pemerintah daerah dan

peningkatan kapasitas aparatur Pemerintah Daerah dalam penerapan SPM di

daerah.

Untuk itu, kegiatan-kegiatan berikut ini dapat ditempuh dalam rangka mencapai

sasaran meningkatnya kualitas pelayanan publik:

Page 204: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

 

Laporan Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas   VI‐26 

  

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014  2009

a) Fasilitasi penyusunan Standar Pelayanan Minimal (SPM)

Sasaran dari kegiatan ini adalah : Terselesaikannya perumusan Standar

Pelayanan Minimal untuk seluruh urusan wajib di tahun 2012.

Sedangkan indikator capaiannya adalah: Jumlah dan jenis bidang SPM

pelayanan publik yang disahkan, disosialisasikan dan daerah yang telah

mendapat sosialisasi SPM tersebut

b) Fasilitasi penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) di daerah

Sasaran dari kegiatan ini adalah : terselenggaranya pelayanan publik di

seluruh kabupaten/kota berdasarkan Standar Pelayanan Minimal (SPM).

Sedangkan indikator capaiannya adalah: jumlah daerah yang mendapatkan

bimbingan teknis, jumlah pelatihan terkait penerapan SPM, jumlah daerah

yang telah melakukan perubahan struktur APBD untuk penerapan SPM,

terselenggaranya monitoring dan evaluasi penerapan SPM dan berkurangnya

jumlah keluhan masyarakat terkait kualitas aparat dalam penyelenggaraan

pelayanan publik

Page 205: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

DAFTAR PUSTAKA

Buku 1 & 2 Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2009

Djadijono, M dan T.A. Legowo. Desentralisasi di Indonesia : Seberapa Jauh Bisa Menjangkau? (1999 – 2006)

Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas. Laporan Studi Evaluasi Penataan Daerah Otonom Baru Tahun 2008

Direktorat Otonomi Daerah,Bappenas. Laporan Monitoring Pelaksanaan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2008 Bidang Revitalisasi Proses Desentralisasi dan Otonomi Daerah

Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas. Laporan Evaluasi Pelaksanaan Program Pengembangan Otonomi Daerah Tahun 2004

Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas. Laporan Evaluasi Pelaksanaan Program Pengembangan Otonomi Daerah Tahun 2005

Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas. Laporan Evaluasi Pelaksanaan Program Pengembangan Otonomi Daerah Tahun 2008

Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas. Laporan Penyusunan Database Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah Tahun, 2009

Fanani, Ahmad Zaenal, SHI, M.Si. Optimalisasi Pelayanan Publik : Perspektif David Osborne dan Ted Gaebler

Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2005-2009

S, Yogi dan M.Ikhsan. Standar Pelayanan Publik di Daerah

Solihin, Dadang, H, Drs, MA. Otonomi Daerah dalam Perspektif Teori, Kebijakan, dan Praktek. 2007

Suwondo, MS, Drs. Desentralisasi Pelayanan Publik : Hubungan Komplementer Antara Sektor Negara, Mekanisme Pasar, dan Organisasi Non-Pemerintah.

Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional

Page 206: Kajian RPJMN 2010-2014 Bidang Desentralisasi Dan Otda Tahun 2009

Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik

USAID-DRSP. Stock Taking Study Decentralization. 2009

Widodo, Joko. Good Governance: Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Insan Cendekia. 2001