kajian pengembangan tata guna lahan permukiman
TRANSCRIPT
Jurnal Teknik Sipil ISSN 2302-0253
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala 14 Pages pp. 31- 44
31 - Volume 4, No. 3, Agustus 2015
KAJIAN PENGEMBANGAN TATA GUNA LAHAN
PERMUKIMAN KAWASAN PESISIR KOTA BANDA ACEH
(Studi Kasus: Kecamatan Meuraxa)
Agus Fitriani1, Mirza Irwansyah
2, Sugianto
3
1)Mahasiswa Magister Teknik SipilUniversitas Syiah Kuala Banda Aceh
2,3) Prodi Magister Teknik Sipil Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh 23111, Indonesia
Abstrak: The coastal area is a unique region with diverse socio-economic and environmental
conditions. Most of the coastal region of Aceh have experienced the impact of disasters
resulting in damaged and changing coastlines and coastal areas surrounding land. This study
was conducted to determine how the Spatial Plan (RTRW) Banda Aceh2009-2029 can
accommodate change and development of the coastal areas in particular the existing
settlements whether it has been noticed by both the needs and the suitability of planning for
coastal areas and recommendations that can be applied to the related future spatial planning
Banda Aceh. The method used in this research is descriptive qualitative. To processing
quantitative data, and to know the connection of responden is using the Likert scale. In the
search for significant relationships and test each of respondents used the validity and
reliability. The results of the study came to the conclusion that there is still a lot of land use that
is incompatible with existing land use in the city of Banda Aceh Spatial. Heritage area is the
area around the Mosque Baiturrahim still in use as settlements. In addition to land use, the
form of the mass in the coastal area is not friendly disasters and mitigation system still has not
been implemented well. In this analysis is recommended for the development of coastal areas
and the local government is expected to related parties do demolition and relocation of
settlements when violate the rules that have been outlined in Banda Aceh Spatial.
Keywords: Land Use, Housing and Coastal Regions.
Abstrak: Wilayah pesisir merupakan wilayah yang unik dengan keragaman kondisi
lingkungan maupun sosial ekonomi. Sebagian kawasan pesisir Aceh pernah mengalami
dampak bencana yang mengakibatkan rusak dan berubahnya garis pantai serta lahan di
kawasan sekitar pantai. Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui bagaimana
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Banda Aceh 2009-2029 dapat mengakomodir
perubahan dan perkembangan wilayah pesisir tersebut khususnya kawasan permukiman yang
ada, apakah sudah memperhatikan dengan baik kebutuhan dan kesesuaian perencanaan untuk
wilayah pesisir serta rekomendasi yang dapat diterapkan ke depannya terkait penataan ruang
Kota Banda Aceh. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif.
Untuk pengolahan data dan untuk mengetahui hubungan responden digunakan skala Likert dan
sekaligus dilakukan uji validitas dan reliabilitas. Hasil penelitian mendapatkan kesimpulan
bahwa masih banyak pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukan lahan yang ada
pada RTRW Kota Banda Aceh. Kawasan cagar budaya yaitu kawasan sekitar Mesjid
Baiturrahim masih di gunakan sebagai kawasan permukiman. Selain pemanfaatan lahan,
bentuk massa yang ada di kawasan pesisir ini tidak ramah bencana dan masih ada sistem
mitigasi yang belum diterapkan dengan baik. Dengan analisa tersebut direkomendasikan untuk
pengembangan kawasan pesisir diharapkan pemerintah daerah dan pihak-pihak terkait
melakukan penertiban dan relokasi permukiman apabila menyalahi peraturan yang sudah
digariskan dalam RTRW Kota Banda Aceh.
Kata Kunci : Tata guna Lahan, Permukiman dan Kawasan Pesisir.
Jurnal Teknik Sipil
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Volume 4, No. 3,Agustus 2015 - 32
PENDAHULUAN
Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan
antara darat dan laut, dengan batas ke arah darat
meliputi bagian daratan, baik kering maupun
terendam air yang masih mendapat pengaruh
sifat-sifat laut seperti angin laut, pasang surut
dan perembesan air laut (intrusi). Sedangkan ke
arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut
yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang
terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air
tawar, maupun yang disebabkan karena kegiatan
manusia di darat seperti penggundulan hutan
(Supriharyono, 2009). Pengembangan wilayah
pesisir dan pulau – pulau kecil merupakan arah
kebijakan baru di bidang kelautan. Berawal dari
lahirnya UU No. 01 tahun 2014 tentang
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau – pulau
kecil menunjukkan betapa pentingnya wilayah
pesisir dan keberadaan pulau – pulau kecil yang
perlu dijaga kelestariannya dan dimanfaatkan
secara berkelanjutan (Ambo, 2011).
Penataan ruang kembali wilayah Aceh
pasca bencana Tsunami yang mengakibatkan
kerusakan parah pada wilayah Kota Banda
Aceh khususnya pada kawasan pesisir,
mengharuskan penggunaan prinsip mitigasi
bencana yang di tujukan untuk mengantisipasi
dampak bencana yang mungkin datang, serta
mewujudkan tata ruang kawasan yang lebih
baik dari keadaan sebelum bencana. Pada
dasarnya peruntukan lahan ditetapkan melalui
beberapa kajian, baik kajian dari kondisi fisik
lahan, kondisi sosial dan ekonomi
masyarakatnya serta ditetapkan melalui proses
politik dalam suatu keputusan pemerintah.
Kecamatan Meuraxa berada 4,0 meter
diatas permukaan laut dan merupakan kawasan
pesisir. Memiliki luas 7,26 km2, yaitu sekitar
11,83% dari luas keseluruhan Kota Banda
Aceh. Memiliki 16 (enam belas) Gampong dan
64 (enam puluh empat) dusun. Dilihat dari segi
konstelasi jalur pergerakan, Kecamatan
Meuraxa mempunyai posisi yang strategis
karena sebagai kawasan pesisir wilayah ini
dilengkapi dengan prasarana pelabuhan
penyeberangan yang menghubungkan Kota
Banda Aceh dengan Pulau Weh dan pulau-pulau
kecil di sekitarnya. Dari segi pergerakan darat
Kecamatan Meuraxa dilewati oleh jalur
perencanaan jalan arteri primer yang melewati
daerah Simpang Lamteumen – Lamjame - Ulee
Pata - Ulee Lheue - Gampong Jawa - Deah
Raya – Tibang - Krueng Cut tembus ke Krueng
Raya.
Berdasarkan hal di atas, maka perlu
dilakukan penelitian bagaimana kondisi
eksisting kawasan permukiman di pesisir
wilayah Kecamatan Meuraxa dan dan
bagaimana membuat perencanaan yang sesuai
dengan kondisi yang ada agar kebutuhan
berkehidupan di wilayah pesisir menjadi lebih
baik dari sebelumnya.
TINJAUANKEPUSTAKAAN
Tata Guna Lahan
Tata guna lahan disebut juga dengan
penataan ruang adalah suatu sistem proses
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang.
SedangkanPenyelenggaraan penataan ruang
Jurnal Teknik Sipil
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
33 - Volume 4, No. 3, Agustus 2015
adalah kegiatan yang meliputi pengaturan,
pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan
penataan ruang (UU No. 26/2007).
Secara garis besar tujuan dari penataan
ruang adalah terselenggaranya pengaturan
pemanfaatan ruang kawasan lindung dan
budidaya yang diantara sasarannya adalah
untuk mewujudkan keseimbangan kepentingan
antara kesejahteraan dan keamanan, serta
mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan
mencegah atau menanggulangi dampak negatif
terhadap lingkungan. Untuk itu di buat suatu
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang
berfungsi sebagai dasar kebijakan pokok
pemanfaatan ruang di suatu wilayah
kabupaten/kota, sebagai pedoman penyusudan
rencana rinci tata ruang kawasan, sebagai dasar
pengendalian pemanfaatan ruang, dan sebagai
dasar pemberian izin lokasi pembangunan skala
besar.
Permukiman
Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun
2011 dinyatakan bahwa Kawasan permukiman
adalah bagian dari lingkungan hidup di luar
kawasan lindung, baik berupa kawasan
perkotaan maupun perdesaan, yang berfungsi
sebagai lingkungan tempat tinggal atau
lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang
mendukung perikehidupan dan penghidupan.
Perencanaan kawasan permukiman harus
mencakup:
a. Peningkatan sumber daya perkotaan atau
perdesaan;
b. Mitigasi bencana; dan
c. Penyediaan atau peningkatan prasarana,
sarana, dan utilitas umum.
Menurut Suparti (1997), konsep
permukiman adalah bagian dari lingkungan
hidup diluar kawasan lindung, dapat merupakan
kawasan perkotaan dan perdesaan, berfungsi
sebagai lingkungan tempat tinggal/hunian dan
tempat kegiatan yang mendukung
perikehidupan dan penghidupan. Sedangkan
perumahan adalah kelompok rumah, yang
berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal
atau hunian plus prasarana dan sarana
lingkungan.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi
pembentukan pola permukiman, yakni :
1. Geografi dan alam ;
Topografi, iklim, dan ketersediaan bahan
bangunan.
2. Buatan manusia ;
Kekuatan utama yang mempengaruhi bentuk
kota (kegiatan perdagangan, kekuatan sosial
politik dan keagamaan) ; berbagai faktor
yang terkait dengan perkembangan
masyarakat dan teknologi; dan faktor yang
besar pengaruhnya (antara lain infrastruktur
kota, pola jaringan jalan, peraturan dan
perundangundangan).
3. Faktor lokasi ;
a. Permukiman yang timbul secara organik
- Ketersediaan sumber daya alam
- Permukiman yang potensial untuk
petahanan.
- Faktor lokasi pasar (lokasi strategis
dekat persimpangan jalan, dekat
Jurnal Teknik Sipil
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Volume 4, No. 3, Agustus 2015 - 34
sarana transportasi pelabuhan,
terminal, bandara dan muara sungai).
b. Permukiman yang terencana
- Kriteria-kriteria yang digunakan
untuk menentukan lokasi yang akan
direncanakan utuk mengembangkan
permukiman sama dengan faktor-
faktor yang menentukan pertumbuhan
permukiman secara organik.
- Faktor-faktor lain (sosial, politik,
religi) antara lain strategi, peluang
pengembangan ekonomi dan
pertanian, keberadaaan sumber daya
mineral dan alasan-alasannya.
c. Kesesuaian dengan fungsi kota sebagai
pusat pemerintahan, perdagangan,
kebudayaan, agama, pertahanan,
produksi, kesehatan, rekreasi dan
campuran. Untuk mencapai kehidupan
yang lebih baik bagi manusia dalam
wadahnya, maka permukiman
berkembang menjadi permukiman yang
direncanakan dengan berbagai konsep.
Konsep-konsep pola permukiman yang
dikembangkan sejak dikenalnya
perencanaan permukiman hampir selalu
didasarkan pada kaidah :
- Kedekatan (proximity)
- Kemudahan (accessibility)
- Ketersediaan (availability)
- Kenyamanan (amenity)
Kawasan Pesisir
Penjelasan umum mengenai kawasan
pesisir yang meliputi definisi dan karakteristik
wilayah merupakan hal yang sangat penting, hal
ini bertujuan agar pemahaman mengenai
wilayah pesisir dapat dimengerti dan
merupakan awal pemahaman dari studi ini.
Pengertian tentang pesisir masih menjadi suatu
pembicaraan, terutama penjelasan tentang ruang
lingkup wilayah pesisir yang secara batasan
wilayah masih belum jelas. Berikut ini adalah
definisi dari beberapa sumber mengenai
wilayah pesisir.
Undang-undang Republik Indonesia
nomor 01 tahun 2014 tentang pengelolaan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
menyebutkan bahwa kawasan pesisir adalah
bagian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
yang memiliki fungsi tertentu yang ditetapkan
berdasarkan kriteria karakteristik fisik, biologi,
sosial, dan ekonomi untuk dipertahankan
keberadaannya. Dalam undang-undang ini
disebutkan batasan wilayah pesisir yaitu kearah
daratan mencakup wilayah administrasi daratan
dan kearah perairan laut sejauh 12 (dua belas)
mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut
lepas dan/atau kearah perairan kepulauan.
Menurut Suprihayono (2007) wilayah
pesisir adalah wilayah pertemuan antara daratan
dan laut kearah darat wilayah pesisir meliputi
bagian daratan, baik kering maupun terendam
air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut
seperti pasang surut, angin laut, dan
perembesan air asin. Sedangkan ke arah laut
wilayah pesisir mencakup bagian laut yang
masih dipengaruhi oleh proses alami yang
terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air
tawar, maupun yang disebabkan karena
Jurnal Teknik Sipil
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
35 - Volume 4, No. 3, Agustus 2015
kegiatan manusia di darat seperti penggundulan
hutan dan pencemaran.
Qanun Kota Banda Aceh nomor 4 tahun
2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) tahun 2009-2029 secara detil
menjelaskan bahwa wilayah
pesisirmerupakankawasanyangdibatasipengemb
angannya sehinggaizin prinsip dan izinlokasi
merupakanbentuk disinsentifterhadap kawasan
pesisir.
Deskriptif Mix Method
Jenis penelitian yang dilakukan oleh
penulis adalah penelitian lapangan (field
research) penulis menggunakan jenis penelitian
campuran (mixed methodology). Mixed method
menghasilkan fakta yang lebih komprehensif
dalam meneliti masalah penelitian, karena
penelitian ini memiliki kebebasan untuk
menggunakan semua alat pengumpul data
sesuai dengan jenis data yang dibutuhkan.
Sedangkan kuantitatif atau kualitatif hanya
terbatas pada jenis alat pengumpul data tertentu
saja. Mixed Method adalah metode yang
memadukan pendekatan kualitatif dan
kuantitatif dalam hal metodologi (seperti dalam
tahap pengumpulan data), dan kajian model
campuran memadukan dua pendekatan dalam
semua tahapan proses penelitian.
Menurut Wardiyanta (2006) Penelitian
kualitatif deskrptif adalah penelitian yang
bertujuan membuat deskripsi atas suatu
fenomena sosial/alam secara sistematis, faktual,
dan akurat. Sementara menurut Nazir (2003),
metode deskriptif adalah suatu metode dalam
meneliti status sekelompok manusia, suatu
objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran
ataupun suatu kelas peristiwa pada masa
sekarang dengan tujuan untuk membuat
gambaran secara sistematis, faktual dan akurat
mengenai fakta-fakta, sifat serta hubungan
antara fenomena yang diselidiki.
Metode deskriptif menurut Arikuntoro
(2009) adalah suatu metode dalam penelitian
sekelompok manusia, suatu objek, suatu
kondisi, suatu system pemikiran, ataupun suatu
peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari
penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat
gambaran atau lukisan secara sistematis, faktal
dan akurat mengenai fakta, sifat dan hubungan
antar fenomena yang diselidiki. Selain itu
metode ini adalah pencari fakta dengan
interpretasi yang tepat. Penelitian dengan
metode ini mempelajari masalah-masalah dalam
masyarakat serta tata cara yang berlaku dalam
masyarakat serta situasi-situasi tertentu,
termasuk tentang hubungan, kegiatan-kegiatan,
sikap-sikap, pandangan-pandangan, seta proses-
proses yang berlangsung dan pengaruh-
pengaruh dari suatu fenomena.
Populasi dan Sampel
Populasi merupakan keseluruhan objek
penelitian sebagai sumber data yang
mewakilikarakteristik tertentu di dalam suatu
penelitian, dan sampel merupakan himpunan
bagian dari populasi yang menjadi objek
sesungguhnya. Sampel diambil dari sejumlah
populai. Teknik sampling secara random yaitu
pengambilan sampel yang tanpa dipilih-pilih
Jurnal Teknik Sipil
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Volume 4, No. 3, Agustus 2015 - 36
dan didasarkan atas prinsip-prinsip matematis
yang telah diuji dalam praktek. Jadi, sampel
diambil tanpa melihat tingkatan pada populasi.
METODE PENELITIAN
Lokasi penelitian berada di Kawasan
Kecamatan Meuraxa. Secara Regional
Kecamatan Meuraxa terletak di Pantai Utara
Pulau Sumatera yang berbatasan dengan Selat
Malaka dan berseberangan tidak jauh dengan
negara tetangga Malaysia. Wilayah Kecamatan
Meuraxa terletak pada 5°32’30” - 5°34’40” LU
dan 95°16’15” -95°18’20” BT. Penelitian
dilakukan selama kurun waktu dari bulan
Desember tahun 2012 sampai dengan bulan
Maret tahun 2013. Hal ini dikarenakan banyak
hal yang terus berkembang dalam proses
penelitian, baik dari segi studi literatur sampai
dengan penelitian survei lapangan.
Tahapan Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian
“Kajian tata guna lahan permukiman kawasan
pesisir Kota Banda Aceh” jika ditinjau dari
klasifikasi penelitian berdasarkan tujuannya
termasuk ke dalam penelitian deskriptif.
Apabila ditinjau dari klasifikasi penelitian
berdasarkan teknik pengumpulan data termasuk
ke dalam penelitian survei dan penelitian
lapangan. Langkah-langkah yang dilakukan
dalam penelitian ini berupa :
1. Mempelajari dan mencari referensi
mengenai kawasan pesisir dan permukiman
pesisir.
2. Mengadakan survei langsung terhadap
lokasi yang diteliti untuk melihat kondisi
saat ini (eksisting).
3. Mengkaji lebih jauh hubungan kondisi
eksisting kawasan terhadap kondisi yang
tertuang dalam Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Kota Banda Aceh Tahun
2009 – 2029.
Metode Penelitian
1. Teknik Pengumpulan Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah
data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh melalui survei (observasi), sedangkan
data sekunder diperoleh dari literatur terkait
Teknik pengumpulan data ditujukan untuk
mendapatkan data yang dibutuhkan sebagai
bahan masukan untuk setiap tahap analisis
berikutnya. Data yang dibutuhkan berupa data
primer dan sekunder dengan cara pengumpulan
sebagai berikut:
1) Pengumpulan data primer
Data primer berkaitan dengan kondisi
lingkungan dan peran serta Pemerintah Daerah
dalam proses penataan kembali lahan pasca
bencana tsunami. Teknik pengumpulan data ini
dilakukan dengan cara :
(1) Observasi; merupakan pengamatan
langsung ke lokasi untuk membuktikan
situasi nyata dengan data sekunder yang
diperoleh.;
(2) Kuesioner; merupakan teknik
pengumpulan data dengan menggunakan
daftar pertanyaan yang sifatnya tertutup
dan terbuka, sedangkan;
Jurnal Teknik Sipil
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
37 - Volume 4, No. 3, Agustus 2015
(3) Wawancara; merupakan cara memperoleh
data atau informasi secara langsung
dengan tatap muka melalui komunikasi
verbal.
2) Pengumpulan data sekunder
Data sekunder merupakan data primer
yang telah diolah lebih lanjut dan disajikan oleh
pihak pengumpul data primer atau boleh pihak
lain. Data ini dapat berbentuk tabel-tabel atau
diagram-diagram. Data ini diperoleh dari hasil
penelitian, artikel, penelusuran pustaka dan
dokumen resmi dari instansi terkait.
2. Proses Pengolahan Data
Kondisi Eksisting Kawasan
Penelitian dilakukan pada kondisi
eksisting Kawasan Kecamatan Meuraxa
sebelum tsunami yaitu tahun 2004 dan sesudah
tsunami yaitu sekitar tahun 2005 sampai dengan
tahun 2011, untuk melihat perkembangan yang
terjadi di kawasan tersebut khususnya untuk
kawasan permukiman yang secara bertahap
mengalami proses perkembangan yang sangat
banyak di akibatkan dari berubahnya tata guna
lahan di lokasi ini.
Pertumbuhan ruang pusat kota Banda
Aceh memiliki kecenderungan pola
linier(lineargrowthmodel
)yangberkembangmengikutijaringanjalan.Pada
kawasannonurbanyangterdapatdisepanjang
pantai(coastalzone)dirancang sebagai eco-zone
yang di dalamnya terdapat fasilitas mitigasi
tsunami seperti fasilitas peringatan dini, escape
hill (bukit penyelamatan) , fasilitas pemecah
gelombang , hutan kota, kegiatan perikanan,
pelabuhan ikan dan ferry , dan jalur lingkar
bagian utara yang secara keseluruhan ber fungsi
sebagai kawasan penyangga ( buffer zone)
kawasan urban yang berada 3-4 km dari garis
pantai. Kecenderungan pertumbuhan kota
Banda Aceh kemudian di arahkan ke selatan
melalui penciptaan new town.
Gambar 1 : Kecamatan Meuraxa sebelum dan sesudah
Tsunami 2004 – 2011.
Sumber : Google Earth dan Hasil Analisa
Penentuan Sampel dan Responden
Populasi adalah masyarakat yang tinggal
di Kemukiman Meuraxa yang terdiri dari 8
(delapan) desa di Kelurahan Punge Juroeng.
Penelitian ini metitik beratkan pada desa-desa
yang berada dipesisir atau lebih dekat ke laut,
seperti Desa Gampong Pie, Ulee Lheue, Deah
Glumpang, Deah Baro, Alue Deah Tengoh dan
Desa Lampaseh Aceh.
3. Analisis Data
Setelah data primer dan sekunder
diperoleh, maka data tersebut dianalisis
Jurnal Teknik Sipil
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Volume 4, No. 3, Agustus 2015 - 38
menggunakan metode deskriptif sebagai upaya
untuk menjawab permasalahan yang diangkat
dalam penelitian ini pada BAB I antara lain
sebagai berikut:
1. Mengindentifikasikan perkembangan
permukiman di kawasan pesisir Kecamatan
Meuraxa. Proses analisis dilakukan dengan
mengidentifikasi perubahan penggunaan
lahan dilokasi penelitian pada peta
pemanfaatan lahan pesisir sebelum dan
sesudah tsunami.
2. Mengkaji rencana tata ruang yang tertuang
pada RTRW Kota Banda Aceh tahun 2009 -
2029 untuk mengetahui kebijakan yang
sudah ditentukan pemerintah untuk kawasan
pesisir di Kecamatan Meuraxa.
3. Menganalisis kuesioner melalui analisis
persentasi deskriptif. Hasil analisis akan
mempresentasekan tentang kondisi
masyarakat pasca tsunami, sarana dan
prasarana di permukiman dan perkembangan
kawasan pesisir dalam bentuk table
frekuensi.
4. Memberikan arahan terhadap pola dan
struktur kawasan pesisir (costal zone) di
Kecamatan Meuraxa Kota Banda Aceh
melalui hasil identifikasi arah perkembangan
kawasan, kebijakan pemerintah dan hasil
survei lapangan.
HASIL PEMBAHASAN
Identifikasi Kondisi Kawasan Berdasarkan
RTRW Kota Banda Aceh.
Secara geografis kawasan Kecamatan
Meuraxa berada di muara sungai Krueng Aceh,
tepatnya dalam kawasan pesisir pantai bagian
utara kota Banda Aceh dimana permukiman
warganya dibangun tidak jauh dari garis pantai ,
yaitu kurang lebih 800 m – 1 km dari garis
pantai. Kawasan pemukimannya berada tidak
jauh dari kawasanperdagangan dan jasa.
Pola dan Struktur Ruang
Dilihat dari segi konstelasi jalur
pergerakan, Kecamatan Meuraxa mempunyai
posisi yang strategis karena sebagai kawasan
pesisir wilayah ini dilengkapi dengan prasarana
pelabuhan penyeberangan yang
menghubungkan Kota Banda Aceh dengan
Pulau Weh dan pulau-pulau kecil di sekitarnya.
Dari segi pergerakan darat Kecamatan Meuraxa
dilewati oleh jalur perencanaan jalan arteri
primer yang melewati daerah Simpang
Lamteumen – Lamjame - Ulee Pata - Ulee
Lheue - Gampong Jawa - Deah Raya – Tibang -
Krueng Cut tembus ke Krueng Raya.
Gambar 2 :Lokasi Penelitian, Kecamatan Meuraxa
Kecamatan Meuraxa diklasifikasikan
sebagai kawasan penghijauan atau eco zone
serta kawasan penyelamatan. Terlihat dalam
arahan penatagunaan lahannya, Meuraxa lebih
di dominasi oleh peruntukan hutan bakau dan
kawasan pariwisata, dengan meminimalkan
Jurnal Teknik Sipil
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
39 - Volume 4, No. 3, Agustus 2015
peruntukan untuk kawasan permukiman.
Perubahan tata guna lahan atau pemanfaatan
lahan yang terjadi pada kawasan adalah hal
yang akan menjadi titik berat perhatian yang
ingin dibahas.
Struktur ruang kota memberikan
gambaran sistem kegiatan kota yang
ditunjukkan dengan sebaran fungsi-fungsi dan
sistem interaksi diantaranya dengan
memanfaatkan jalur-jalur penghubung.
Kecamatan Meuraxa merupakan daerah pinggir
dari pusat kota (core peri-peri) Kota Banda
Aceh, dengan pusat aktivitas dan pusat
pemerintahan ada di kawasan Ulee Lheue.
Secara struktur keruangan wilayah ini
dipengaruhi oleh keberadaan JL. Sultan
Iskandar Muda sebagai jalan yang
menghubungkan Pusat Kota Banda Aceh dan
Kawasan Pelabuhan Ulee Lheue sebagai
pelabuhan barang dan penyeberangan ke Pulau
Weh dan pulau-pulau lain di sekitarnya. Hal ini
memberikan pengaruh terhadap perkembangan
kota yang cenderung berkembang linear di
sekitar area sepanjang jalan tersebut.
Zonasi Kawasan Meuraxa
Dari 4 (empat) pembagian Zona atau
kawasan yang ditentukan dalam RTRW Kota
Banda Aceh, Kecamatan Meuraxa hanya terbagi
dalam 3 (tiga) zona atau pembagian yaitu :
Zone I : Zona Pesisir (Coastal Zone)
Zone II : Zona Penghijauan (Eco Zone)
Zone III : Zona Kota Lama (Traditional City
Zone)
Pemanfaatan Ruang
Hal utama yang saat ini menjadi
perhatian serius oleh berbagai pihak terkait
dengan area terbangun pasca Tsunami di
Kecamatan Meuraxa saat ini adalah
pembangunan rumah yang tanpa melalui
perencanaan yang jelas (perencanaan di susun
setelah pembangunan dilaksanakan). Kondisi
ini berdampak pada ketidakteraturan pola
permukiman yang berada di Kecamatan
Meuraxa sehingga menimbulkan kesan yang
tidak tertata.
Untuk kawasan area tak terbangun di
Kecamatan Meuraxa, bentuk-bentuk
pemanfaatannya adalah berupa kawasan-
kawasan ruang terbuka yang digunakan sebagai
fasilitas umum misalnya lapangan olah raga,
kawasan badan air seperti pesisir pantai,
tambak, sungai dan genangan-genangan.Selain
itu saat ini juga sedang dilakukan upaya
pemulihan kawasan pesisir Kecamatan Meuraxa
sebagai kawasan hutan bakau/mangrove.
Kawasan pesisir pantai yang rentan
terhadap gelombang pasang air laut dan
bencana tsunami ditetapkan oleh RTRW Kota
Banda Aceh sebagai kawasan rawan bencana.
Oleh karena itu, pada kawasan ini
pengembangan ruang dibatasi dan lebih
mengutamakan pengembangan ruang untuk
hutan bakau. Apabila akan dikembangkan,
maka pengembangan harus memperhatikan
ketentuan-ketentuan mitigasi bencana.
Jurnal Teknik Sipil
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Volume 4, No. 3, Agustus 2015 - 40
Identifikasi Kondisi Eksisting Kawasan
Pesisir di Kecamatan Meuraxa.
Secara Regional Kecamatan Meuraxa
terletak di Pantai Utara Pulau Sumatera yang
berbatasan dengan Selat Malaka dan
berseberangan tidak jauh dengan negara
tetangga Malaysia. Selat Malaka yang
merupakan Zona Ekonomi Ekslusif juga
merupakan Jalur Pelayaran International yang
setiap harinya dilewati oleh kapal-kapal dengan
rute pelayaran international.
Dilihat dari jumlah penduduk pasca
tsunami, pertumbuhan penduduk di Kecamatan
Meuraxa semakin meningkat. Hal ini akan
berpengaruh terhadap kebutuhan akan tempat
tinggal yang juga akan meningkat. Untuk itu
kebutuhan akan lahan permukiman di kawasan
Kecamatan Meuraxa ini harus dapat
mengakomodir seluruh kebutuhan masyarakat
namun tetap memperhatikan peraturan akan
permukiman yang telah ditentukan oleh
pemerintah Kota Banda Aceh.
Gambar 3 : Pekerjaan Responden
Gambar 4 : Tingkat Pendidikan
Gambar 5 : Status Kepemilikan Rumah
Gambar 6 : Pengetahuan tentang
peruntukan lahan
Gambar 7 : Tingkat Perbedaan Kondisi Sebelum
dan Sesudah Tsunami
Sumber : Hasil Kuesioner
Pemanfaatan lahan di kawasan pesisir di
Kecamatan Meuraxa ini pada observasi
lapangan ditemukan bahwa terdapat indikasi
perubahan fungsi lahan dari kawasan cagar
budaya menjadi permukiman, dari kawasan
pariwisata dan hiburan menjadi permukiman.
Dari hasil wawancara di Dinas Pekerjaan
15%
16%
28%
28%
6% 4% 3%
Pekerjaan Responden
Pegawai Negeri
72%
11% 17%
Tingkat Pendidikan Responden
SD - SMU
62%
38%
Status Kepemilikan Rumah
pribadi
63%
32%
5%
Pengetahuan tentang Peruntukan Lahan
Mengerti ttp tdk tahu
0% 5%
10% 15% 20% 25% 30% 35%
Sebelum Tsunami
Jurnal Teknik Sipil
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
41 - Volume 4, No. 3, Agustus 2015
Umum dalam hal ini diwakili oleh Kepala Seksi
Perencanaan Bidang Tata Ruang Dinas Cipta
Karya Aceh Ibu Winarti Adi, BE diketahui
bahwa pembangunan khususnya untuk
perumahan yang terjadi di kawasan pesisir
Kecamatan Meuraxa memang sedikit diluar
kendali, hal ini dikarenakan banyaknya warga
yang membangun tanpa ijin tetapi tidak diikuti
dengan adanya sanksi-sanksi yang diberikan.
Sehingga pertumbuhan perumahan yang ada
saat ini banyak yang tidak sesuai dengan RTRW
Kota Banda Aceh.
Hasil Kajian Kawasan Pesisir
RTRW Kota Banda Aceh 2009 – 2029
tidak banyak membahas tentang kawasan
pesisir. Namun secara garis besar kota banda
Aceh di bagi dalam empat zona kawasan yaitu
Zona Pesisir, Zona Penghijauan, Zona Kota
Lama dan zona Kota Baru. Dari ke empat zona
tersebut, Kecamatan Meuraxa termasuk
kedalam zona pesisir. Dalam Peraturan Zonasi
tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR)
Kecamatan Meuraxa 2013 – 2032 juga sudah di
tentukan pembagian zona yaitu, Zona Lindung,
Zona Perumahan, Zona Perdagangan dan Jasa,
Zona Perkantoran, Zona Sarana Pelayanan
Umum dan Zona Peruntukan Lainnya. Hanya
saja masih bersifat umum dan tidah mengarah
untuk kawasan khusus pesisir.
Hal pertama yang harus dilakukan supaya
pembangunan kawasan pesisir di Kecamatan
Meuraxa bisa langgeng berkelanjutan, perlu
adanya pembagian zonasi yang tepat dalam
mengalokasikan ruang, memilah kegiatan
sinergis, dan pengendaliannya. Dengan
penerapan zonasi, berarti wilayah pesisir
menjadi zona sesuai peruntukannya. Kegiatan
yang saling mendukung memisahkannya dari
kegiatan yang saling bertentangan. Untuk itu,
penerapan zonasi harus memperhatikan
kebijakan pemerintah pusat/daerah dan
kepentingan masyarakat.
Selain pembagian zonasi diatas, hal
penting lain yang harus diperhatikan adalah
ketegasan pemerintah. Meskipun banyak
masyarakat yang usahanya bergantung pada
kawasan pesisir, pemerintah harus tetap tegas
pada komitmennya bahwa kawasan pesisir tidak
untuk daerah padat aktivitas. Jika dilihat dari
sisi ekonomi tentu hal tersebut cukup
merugikan, akan tetapi hal tersebut dilakukan
demi keselamatan masyarakat dari ancaman
tsunami. Pemerintah juga harus tegas dalam
menegakkan hokum untuk menghindari
perusakan sumber daa alam dan pencemaran
lingkungan pesisir di kawasan Kecamatan
Meuraxa.
Keterlibatan masyarakat juga menjadi hal
penting dalam pembangunan kawasan pesisir.
Karena masyarakat merupakan penentu dalam
berhasil tidaknya pembangunan sebuah daerah
atau kawasan. Terbukti karena kurang diikut
sertakan dalam proses pembangunan,
permukiman di kawasan pesisir ini masih
belum menemukan arah yang jelas. Karena
tidak adanya persamaan antara keinginan
pemerintah dengan masyarakat pesisir.
Sehingga kesannya pembangunan yang ada saat
ini adalah pembangunan yang tidak teratur dan
Jurnal Teknik Sipil
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Volume 4, No. 3, Agustus 2015 - 42
tidak ikut aturan.
Dan akhirnya, sebuah permukiman di
kawasan pesisir dengan sarana dan prasarana
serta utilitas yang memadai belum lengkap
tanpa adanya fasilitas yang menjamin
keamanan dan kenyamanannya. Oleh karena
itu, kedepannya diharapkan pemerintah
menerapkan kebijakan untuk merencanakan
sistem mitigasi di setiap lingkungan
permukiman yang ada di kawasan rawan
bencana seperti pada kawasan pesisir
Kecamatan Meuraxa ini.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Kecamatan Meuraxa adalah suatu kawasan
pesisir yang memiliki banyak potensi untuk
dikembangkan. Sumber daya alam dan
lingkungan yang kaya belum sepenuhnya
dipahami dan dimanfaatkan. Kebijakan
pemerintah yang masih berorientasi ke darat
akhirnya menjadikan wilayah perairan
disekitarnya menjadi kawasan kumuh yang
belum teratur.
2. Pemerintah mempunyai porsi yang cukup
besar dalam membantu pengelolaan
lingkungan pesisir di setiap kawasan di Kota
Banda Aceh khususnya di Kecamatan
Meuraxa. Beberapa hal yang dapat
dilakukan pemerintah adalah dengan
memberikan pengarahan tentang pentingnya
menjaga lingkungan hidup, memberi
penyuluhan dan pengetahuan lebih lanjut
akan fungsi serta manfaat hutan mangrove,
memberikan sikap, aturan dan peringatan
yang keras terhadap siapa saja ang
memanfaatkan alam secara tidak tepat,
membantu pengadaan bibit mangrove dan
membimbing masyarakat pesisir yang ada
secara aktif dalam mengolah lingkungannya
dengan baik. Bimbingan dari pemerintah
harus diupayakan secara intensif dan berkala
agar proses yang berjalan dapat memberikan
hasil yang optimal.
3. Kondisi eksisting kawasan permukiman,
perkembangan struktur ruang dan pola ruang
Kota Banda Aceh masih belum sesuai
dengan RTRW Kota Banda Aceh. Akibat
dari kebijakan dalam pemanfaatan lahan
(land use) yang lebih mengikuti kondisi
yang telah ada dan menyebabkan
pertumbuhan struktur ruang kota masih
belum baik termasuk Kondisi Permukiman
Masyarakat yang ada.
4. Untuk menyikapi perubahan fisik dan non-
fisik Kecamatan Meuraxa akibat bencana
gempa dan Tsunami, maka pola dan struktur
tata ruang yang ada sekarang menjadi
pertimbangan penting dalam menyusun
kembali rencana tata ruang Kecamatan
Meuraxa dimasa mendatang.
5. Kebijakan yang harus diambil untuk
perencanaan kawasan pesisir adalah adanya
pendekatan terhadap perencanaan mitigasi
bencana gempa dan Tsunami.
Saran
1. Kawasan permukiman yang berada di
kawasan pesisir pantai harus dibatasi atau
diawasi pengembangannya dan lebih
memprioritaskan untuk permukiman para
Jurnal Teknik Sipil
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
43 - Volume 4, No. 3, Agustus 2015
nelayan. Terbatas disini adalah perumahan
yang dibangun dengan persyaratan teknis
tahan gempa, banjir/air pasang, dilengkapi
jalur-jalur penyelamatan dan gempa bumi
dan tsunami.
2. Peraturan zonasi (zoning regulation) yang
sudah ada diterapkan dengan baik sehingga
tercipta keteraturan dalam kawasan.
3. Pengembangan permukiman baru lebih
diarahkan ke arah Selatan dan Timur yang
menjauhi kawasan pesisir, sedangkan kearah
Barat dikembangkan sebagai buffer zone
(hutan bakau), pelabuhan, ekowisata dan
tambak.
4. Melakukan upaya-upaya melindungi
kawasan pesisir, dengan semakin
membudidayakan tanaman Bakau sebagai
vegetasi alami yang melindungi pesisir
pantai dari abrasi gelombang air laut, selain
dengan membangun tanggul pemecah
gelombang/ombak dan penahan pasang air
laut.
5. Mengoptimalkan fasilitas-fasilitas mitigasi
yang sudah ada dengan meningkatkan
pemeliharaannya, karena banyak dari
fasilitas tersebut tidak ada yang
menjaga/mengawasi salah satunya
dikarenakan tidak adanya Sumber Daya
Manusia.
6. Menerapkan peraturan untuk kawasan yang
mematuhi atau tidak mematuhi peraturan
rencana tata ruang yang ada dengan
memberikan insentif (penghargaan) atau
disinsentif (peringatan) atau bahkan sanksi
pada pihak-pihak tertentu, sehingga tercipta
suasana saling disiplin dan teratur dalam
menjalankan kepemerintahan.
7. Perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk
pemanfaatan lahan serta pola dan struktur
permukiman di kawasan pesisir Kota Banda
Aceh.
DAFTAR PUSTAKA
Budiharjo, 2004, Permukiman, Penerbit Ghalia
Indonesia.
Badan Pusat Statistik Kota Banda Aceh, 2012,
Banda Aceh Dalam Angka.
Bungin, M, Burhan, 2004, Metodologi
Penelitian Kuantitatif, Kencana Predana
Media Group, Jakarta.
Doxiadis, A, Constantinos, 1974, Ekistics : An
Introduction to the Science of Human
Settlements, Oxford University Press,
New York.
Dahuri,Rokhmin, 2004, Pembangunan Wilayah
: Perspektif Ekonomi, Sosial dan
Lingkungan, LP3ES, Jakarta.
Hendra, L, 2001, Sistem Informasi Geografis,
Penerbit Ghalia Indonesia.
Hadi Sabari Yunus, 2005, Manajemen Kota
Perspektif Spasial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Kementerian Pekerjaan Umum, 2005, Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum Nomor
494/PRT/M/2007 tentang Kebijakan dan
Strategi Nasional Pengembangan
Perkotaan (KSNP Kota), Jakarta.
Kementerian Pekerjaan Umum, 2007, Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum Nomor
40/PRT/M/2007 tentang Kawasan
Jurnal Teknik Sipil
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Volume 4, No. 3, Agustus 2015 - 44
Reklamasi Pantai, Jakarta.
Nazir, M, 2003, Metode Penelitian, Penerbit
Ghalia Indonesia.
Novita, D, 2010, Faktor Dominan Yang
Mempengaruhi Masyarakat Miskin
Terhadap Perumahan di Kota Kuala
Simpang, Tesis, Universitas Syiah Kuala,
Banda Aceh.
P. Bambang dan L.M. Jannah, 2008, Metode
Penelitian Kualitatif Teori dan Aplikasi,
PT. Rajagrafindo Persada,Jakarta.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.
64 Tahun 2010 Tentang Mitigasi Bencana
di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil, Jakarta.
Pemerintah Kota Banda Aceh, 2009, Buku
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Kota Banda Aceh 2009 – 2029, Banda
Aceh.
Qanun Kota Banda Aceh Nomor 4 Tahun 2009,
Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) 2009-2029, Pemerintah Kota
Banda Aceh.
Rangkuti, F., 1997. Analisis SWOT Teknik
Membedah Kasus Bisnis, Penerbit PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Reksoputranto, 1992,Manajemen Proyek
Pembangunan, Jakarta.
Riduwan & Sunarto, 2009, Pengantar Statistika
Untuk Penelitian Pendidikan, Sosial,
Ekonomi, Komunikasi dan Bisnis,
Alfabeta.
Snyder, C, 1998, SIG, Penerbit Ghalia
Indonesia.
Suprihayono, 2007, Metode Penelitian
Kombinasi (Mixed Methods), Alfabeta.
Tarigan, 2004, Perencanaan Tata Ruang
Wilayah, Tesis, Universitas Diponegoro,
Semarang.
Undang-Undang Nomer 24 Tahun 1992
Tentang Penataan Ruang
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
Tentang Penataan Ruang.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011
TentangPerumahan dan Kawasan
Permukiman.