kajian mengenai kedelai

31
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebijakan pangan satu negara akan sangat menentukan kondisi ketahanan pangan negara tersebut. Idealnya seperti yang diterakan FAO 1 bahwa satu negara berhak untuk memiliki kedaulatan pangan dengan otoritas penuh terhadap pengaturan baik produktivitas, distribusi, serta penetuan harga atau jaminan adanya akses yang merata dengan kuantitas dan kualitas yang baik bagi seluruh masyarakatnya. Hal ini jelas merujuk pada pandangan nasionalis atau merkantilis yang melihat negara sangat diperlukan dalam memberi proteksi terkait sektor vital ini. Namun pada praktiknya kemudian, di era globalisasi yang sarat akan bentuk bentuk liberalisasi perdagangan ini, tindakan proteksi berlebihan oleh satu negara dianggap sebagai penghambat perdagangan dan sangat dilarang keras. Hal ini kemudian menimbukan dilema khususnya bagi negara berkembang seperti Indonesia yang sebagai negara agraris justru tidak memiliki kedaulatan atas pangannya sehingga krisis ketahan pangan sering terjadi. Hal ini dikarenakan untuk pemenuhan pangannya Indonesia telah bergantung pada impor. Salah satu pangan strategis Indonesia dengan jumlah impor terbesar adalah komoditas kedelai. Kedelai merupakan salah satu komoditi yang paling dibutuhkan di Indonesia mengingat Indonesia merupakan salah satu konsumen kedelai terbesar 1 FAO REPORT. Food Security PDF. 2011 dapat diunduh di http://bbc.world/fao.htm diakses pada 1 April 2013

Upload: karlina

Post on 03-Dec-2015

238 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

kedelai

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebijakan pangan satu negara akan sangat menentukan kondisi ketahanan

pangan negara tersebut. Idealnya seperti yang diterakan FAO1 bahwa satu negara

berhak untuk memiliki kedaulatan pangan dengan otoritas penuh terhadap

pengaturan baik produktivitas, distribusi, serta penetuan harga atau jaminan

adanya akses yang merata dengan kuantitas dan kualitas yang baik bagi seluruh

masyarakatnya. Hal ini jelas merujuk pada pandangan nasionalis atau merkantilis

yang melihat negara sangat diperlukan dalam memberi proteksi terkait sektor vital

ini. Namun pada praktiknya kemudian, di era globalisasi yang sarat akan bentuk

bentuk liberalisasi perdagangan ini, tindakan proteksi berlebihan oleh satu negara

dianggap sebagai penghambat perdagangan dan sangat dilarang keras.

Hal ini kemudian menimbukan dilema khususnya bagi negara berkembang

seperti Indonesia yang sebagai negara agraris justru tidak memiliki kedaulatan

atas pangannya sehingga krisis ketahan pangan sering terjadi. Hal ini dikarenakan

untuk pemenuhan pangannya Indonesia telah bergantung pada impor. Salah satu

pangan strategis Indonesia dengan jumlah impor terbesar adalah komoditas

kedelai. Kedelai merupakan salah satu komoditi yang paling dibutuhkan di

Indonesia mengingat Indonesia merupakan salah satu konsumen kedelai terbesar

1 FAO REPORT. Food Security PDF. 2011 dapat diunduh di http://bbc.world/fao.htm diakses pada

1 April 2013

2

yakni sekitar 26 juta ton tiap tahunnya, namun sayangnya petani domestik hanya

mampu menghasilkan 700 ton tiap tahunnya. Situasi ini sangat janggal mengingat

sebagai negara konsumen kedelai terbesar, hingga saat ini Indonesia belum

mampu meningkatkan ketahanan komoditi pangan satu ini untuk pemenuhan

rakyatnya, justru bergantung pada negara lain.

Ironisnya, seperti yang diterakan Romphius2, sebenarnya Indonesia telah

menanam kedelai sejak 1750. Sementara Amerika yang notebene sebagai importir

kedelai dunia baru memulainya pada 1950-an, Brasil dan Argentina baru mulai

1970-1980-an. Dari segi pengalaman budi daya petani Indonesia khususnya Jawa

dan Bali sudah memiliki pengalaman yang panjang. Hanya saja seiring dengan

upaya pengembangan budidaya kedelai, impor kedelai tetap dilakukan guna

memenuhi permintaan domestik yang tinggi. Impor kedelai di Indonesia sudah

terjadi sejak zaman penjajahan Belanda pada tahun 1929, yaitu sebanyak 68.000

ton dari Manchuria, walaupun produksi dalam negeri sudah mencapai 127.000 ton

pertahun. Setelah kemerdekaan, impor kedelai dimulai lagi pada tahun 1971

sebesar 277 ton, kemudian meningkat menjadi 171.746 ton pada tahun, 1976 dan

naik lagi menjadi 400.000 ton pada tahun 19843. Sebenarnya hingga awal tahun

90an impor kedelai tidak pernah lebih dari 500.000 ton dan produksi dalam negeri

terus meningkat bahkan di tahun 1992, produksi dalam negeri dapat mencapai 1.9

juta.

2 Usman Sunyoto. Politik dan Ketahanan Pangan Kedelai. Yogyakarta: CIRED. 2004. hal 10

3. Swastika. Menata Ulang Kebijakan Pangan kedelai . Bogor: Badan Penelitian dan

Pengembangan Tanaman Pertanian. 2006 hal 31

3

Pada perkembangannya kemudian, Indonesia ikut serta dalam liberalisasi

perdagangan oleh WTO dalam Agreement of Agriculture ( AoA) di tahun 1995

dan Letter of Intent IMF di tahun 1998,4 membuat proteksi dan subsidi serta

hambatan tarif dan non tarif harus dihapuskan, hasilnya adalah kedelai lokal tidak

mampu bersaing dan akhirnya banyak petani kedelai yang berpindah komoditi.

Hal ini lah yang kemudian menjadi lingkaran setan (vicius cycle). Produktivitas

kedelai lokal semakin menurun dan impor semakin meningkat yang akhirnya

membuat Indonesia menjadi ketergantungan dan permasalahan ini sulit

diselesaikan hingga saat ini. Dampak lanjutan berupa krisis pangan kedelai dunia

dan fluktuasi harga kedelai dunia yang tidak menentu dan dapat melonjak drastis

secara tiba-tiba seperti yang terjadi di tahun 2008, hingga 2012.

Berbagai program swasembada guna mencapai kemandirian pangan dan

ketahanan pangan jangka panjang sudah sering dilakukan, dan yang baru-baru ini

dikeluarkan untuk menangangani krisis kedelai di tahun 2012, dengan pasokan

kedelai dunia yang menurun dan lonjakan harga di pasar domestik, adalah

rancangan pemerintah untuk mengembalikan fungsi pengawasan, stock buffer,

price stabilizer dan penjamin pasar kedelai lokal kepada BULOG yang sempat

dilarang dalam LoI 1998. Program lengkap guna mendorong tercapainya

swasembada pada tahun 2014 juga telah dibentuk dengan ekspektasi produksi

kedelai dalam negeri mencapai 2,7 juta ton dengan laju peningkatan produksi

mencapai 1.5 ton/ha dari sebelumnya yang hanya 1.3 ton/ha. Dari hitungan ini

4 Ibid

4

maka pada tahun 2014 terdapat surplus 137 ribu ton. Dengan jumlah ini maka

impor diasumsikan tidak lagi diperlukan. Selain itu, pemerintah telah menetapkan

harga pembelian pemerintah atau HPP sebesar Rp.7000/kg pada Juni 20135.

Namun, program pemerintah untuk swasembada ini kerap mendapat

tantangan yang cukup berat. Data statistik di lapangan memperlihatkan produksi

tahun lalu yang hanya 851 ribu ton, yang berarti terdapat defisit produksi hingga

1,9 juta ton untuk mencapai 2.7 juta ton. Dengan hitungan sederhana maka setiap

tahun, produksi harus meningkat rata-rata 1.4 juta ton. Hal ini jelas angka yang

sulit. Selain itu, pengembalian fungsi BULOG sebagai kontrol harga dan stock

buffer untuk mengatasi lonjakan harga kedelai internasional juga akan sulit

dilaksanakan mengingat hingga kini, untuk mengurusi beras saja BULOG masih

sangat kewalahan mengingat kurangnya dana untuk stock buffering sehingga

tidak bisa mengontrol harga di pasar. Terlebih pada akhir Agustus 2013, seiring

dengan melambungnya nilai tukar dollar menjadi Rp.11.000, maka harga kedelai

juga ikut meningkat drastis menjadi Rp.9000/kg. Permasalahan kedelai ini selalu

sulit untuk diselelesaikan mengingat program swasembada yang selalu

kontradiktif dengan kebijakan peningkatan impor, penurunan tarif masuk, serta

kelonggaran bagi importir bebas.

Terlihat adanya ambiguitas dalam kebijakan kedelai Indonesia dengan

tidak adanya ketegasan terkait blueprint dan kedaulatan atas pangan sehingga

5 Supadi. Ketahanan Pangan dan Produktivitas Kemandirian Pertanian Indonesia PDF. 2006.

Dapat diunduh di http://pustaka-deptan.go.id/publikasi/p3273085.pdf diakses pada 12 September 2013

5

pemerintah selalu saja mengeluarkan kebiajakan yang bersifat inkrementalis

dimana sasarannya hanya jangka pendek dan tidak sustain dengan hanya mencari

solusi pemenuhan permintaan domestik yang dari tahun ke tahun jauh melebihi

produksi lokal, dengan terus melakukan impor dan mengikuti alur perdagangan

bebas dengan menurunkan tariff guna mendapat harga yang murah di pasar

domestik tanpa pertimbangan atas multiplyer effect yang terjadi bagi produktivitas

lokal dan ketahanan pangan jangka panjang. Pola kebijakan inkrementalis ini

tidak pernah berubah

B. Rumusan Masalah

Penelitian ini akan menjelaskan bagaimana bentuk politik kebijakan

pemerintah terkait pangan kedelai dan mengapa kebijakan tersebut selalu bersifat

inkrementalis dengan menganalisa peran serta kepentingan aktor-aktor terkait

C. Fokus Penelitian

Peran dan kepentingan aktor aktor penting terkait isu kedelai menjadi

fokus tulisan ini dalam melihat bagaimana inkrementalisme / pragmatisme

kebijakan kedelai dibentuk dan dilaksanakan

D. Jangkauan Penelitian

Penelitian ini akan menitikberatkan pada kebijakan kedelai Indonesia

pasca liberalisasi pangan era Soeharto

6

E. Tujuan Penelitian

Indonesia dihadapi pada dilema antara kedaulatan pangan guna pencapaian

kemandirian dan ketahanan pangan kedelai yang sustain dan stabil (swasembada),

atau kebijakan penyelesaian permasalahan terkait desakan pemenuhan kebutuhan

jangka pendek (impor). Terlihat bahwa terdapat ambiguitas dalam penentuan

kebijakan pangan dan permasalahan antara food security dan food sovereignty

dimana situasi perkedelaian di Indonesia telah dikuasai oleh tata niaga pangan

yang sarat akan liberalisasi, namun di satu sisi keinginan untuk menjaga

keamanan pangan tetap dilakukan. Hal ini merupakan perdebatan panjang dan

fenomena krisis pangan yang berujung pada naiknya harga kedelai di tahun 2008

dan 2012-2013, maka penelitian terkait analisa kebijakan pangan kedelai

Indonesia ini perlu dilakukan untuk mendapat penjelasan komprehensif mengenai

bagaimana sebenarnya kebijakan terkait pangan kedelai Indonesia tersebut dibuat.

Penelitian ini mencoba menjelaskan faktor penyebab ambiguitas kebijakan pangan

kedelai yang memiliki tujuan untuk meningkatkan produktivitas kedelai lokal

namun selalu saja terganjal kebijakan untuk impor. Untuk itu analisa peran dan

pengaruh aktor-aktor terkait akan dibahas.

F. Tinjauan Pustaka

Sebenarnya cukup banyak literatur yang mengkaji mengenai kondisi

problematis terkait kebijakan pangan khususnya kedelai di Indonesia. Kedelai

sebagai pangan strategis memiliki tingkat konsumsi yang tinggi yakni sekitar 2-3

juta ton setiap tahunnya dan mengalami peningkatan sekitar 1.5-3 % setiap tahun.

7

Tulisan yang spesifik membahas mengenai produktivitas kedelai di

Indonesia dapat ditemui pada tulisan Romphius ( 2005 ) yang memetakan sejarah

dan perkembangan usaha tani kedelai di indonesia yang ternyata telah mulai

dibudidayakan pada abad ke-17 , jauh lebih dulu dibandingkan dengan importir

kedelai terbesar yakni Amerika. Pada waktu itu kedelai dibudidayakan sebagai

tanaman makanan dan pupuk hijau. Sampai saat ini di Indonesia kedelai banyak

ditanam di dataran rendah yang tidak mengandung air.

Hanya saja hingga kini produktivitas kedelai lokal tidak menunjukkan

peningkatan yang signifikan, hal ini tentu menjadi masalah seiring dengan

semakin meningkatnya jumlah permintaan / konsumsi domestik inilah yang

menimbulkan permasalahan pangan dan mendorong pemerintah untuk mengimpor

kedelai demi pemenuhan kebutuhan pangan. Menurut Swastika ( 1997: 50 ),

tingginya pertumbuhan konsumsi kedelai Indonesia disebabkan oleh dua faktor

utama, yaitu pertumbuhan penduduk dan pesatnya pertumbuhan industri pangan

dan pakan. Pertumbuhan penduduk menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan

industri pangan seperti tahu, tempe kecap, dan pangan olahan lainnya. Sedangkan

peningkatan industri pakan sejalan dengan meningkatnya industri peternakan yang

dikarenakan oleh tingginya kebutuhan akan produk turunan hasil peternakan.

Namun demikian, produktivitas kedelai justru mengalami penurunan setiap

tahunnya, ini merupakan permasalahan yang kompleks.

Penelitian Sumarno ( 1990 ) juga memperlihatkan fenomena yang sama

dengan menambahkan bahwa sebenarnya Indonesia pada tahun tahun 1975 hingga

1995, Indonesia mampu berswasembada kedelai, bahkan sempat mengalami net

8

impor negatif, hanya saja hal ini tidak berlangsung lama, dikarenakan tingginya

lonjakan permintaan untuk konsumsi kedelai di dalam negri sehingga kuantitas

impor pun ditingkatkan bahkan hingga kini ketergantungan impor masih

berlangsung. Oleh karenanya, menurutnya perlu diterapkan program

pengembangan usahatani kedelai atau program swasembada yang serius oleh

pemerintah.

Penelitian lain yang melihat bahwa sebenarnya Indonesia sulit melepaskan

ketergantungan terhadap impor kedelai dikarenakan oleh tingginya pinjaman

tanpa bunga atau nilai kredit yang diberikan oleh negara eksportir seperti Amerika

terhadap importir lokal serta preferensi baik perajin tahu tempe serta produk

olahan kedelai lainnya untuk menggunakan kedelai impor yang jauh lebih murah

dan dinilai memiliki kualitas lebih baik. Hal ini dikemukakan oleh Siswono (

2003 ) yang melihat dampak liberalisasi pangan dan kerjasama ekonomi bagi

komoditi pangan strategis Indonesia. Hal ini terlihat dari analisis data oleh Hafsah

( 2003 ) terkait pemberian kredit lunak oleh USDA ( Departmen Pertanian

Amerika Serikat sebesar 12 juta US$ setiap tahunnya dan terus mengalami

peningkatan seperti pada tahun 2001 sebesar 650 juta US$ dan tahun 2002 sebesar

750 juta US$.

Penelitian selanjutnya oleh Ridha Amaliyah yang menjabarkan tiga pilar

utama AoA adalah sebagai berikut ( Ridha Amaliyah: 2008 )

a) Akses Pasar ( Market Access )

Mekanisme-mekanisme kunci dalam komitmen ini adalah membangun

perdagangan dengan rezim tarif (tariffication), pengurangan tarif, dan pengikatan

9

besarnya tarif masing-masing produk pertanian. Tarifikasi atau yang juga disebut

comprehensive tariffication pada prinsipnya adalah mekanisme penarifan tanpa

kecuali. Penarifan ini dilakukan dengan mengubah semua bentuk kebijakan non-

tarif menjadi tarif yang senilai (tariff ekivalen). Artinya, proteksi di sektor

pertanian sebenarnya masih diperbolehkan, asalkan proteksi tersebut dalam

bentuk tarif, tanpa harus mengurangi tingkat proteksinya. Pengurangan tarif

ditetapkan rata-rata sebesar 36 persen atau minimal 15 persen yang berlaku untuk

setiap mata tarif dalam jangka waktu 6 tahun dan hanya berlaku bagi negara-

negara maju. Untuk negara berkembang, penurunan tarifnya sebesar 24 persen

atau minimal 10 persen untuk setiap mata tarif dalam jangka waktu 10 tahun.

Sasaran penurunan tarif adalah hambatan non-tarif yang sudah diganti dengan

tarif.

b) Subsidi Domestik

Komitmen ini diwujudkan dalam bentuk kebijakan penurunan subsidi baik

untuk produksi maupun dalam bentuk pengalihan/transfer dana kepada produsen.

Isi 231 kesepakatan dalam AoA dirancang agar dukungan domestik diubah

sedemikian rupa sehingga dapat dihilangkan, atau kalaupun ada maka

pengaruhnya terhadap distorsi perdagangan dan produksi pertanian kecil sekali.

Untuk mengakomodasi kepentingan negara-negara berkembang, tidak semua

subsidi perlu dipotong. Mereka dapat diklasifikasikan dalam kategori khusus.

Kategori tersebut dapat digolongkan dalam Green Box, Blue Box, dan Amber Box.

Green box merupakan subsidi yang secara tidak langsung mendukung produk

pertanian. Subsidi ini dianggap tidak terlalu mengacaukan pasar. Blue box

10

merupakan subsidi yang berupa pembayaran langsung kepada petani untuk

membatasi jumlah produksi. Selain itu, juga diperuntukkan bagi bantuan

pemerintah yang bertujuan untuk mendorong sektor pertanian dan pembangunan

pedesaan di negara berkembang. Sedangkan, Amber box adalah subsidi yang

secara langsung dianggap mengacaukan perdagangan, tetapi boleh diberikan

untuk sementara dengan syarat akan dihapuskan secara bertahap.

c) Subsidi Ekspor

Komitmen ini dimaksudkan untuk mendisiplinkan kebijakan dan tindakan

pemerintah yang menyalurkan bantuan terhadap ekspor dalam bentuk subsidi

ekspor. Pengurangan subsidi ekspor dilaksanakan pada target volume komoditas

yang diekspor maupun dalam bentuk nilai (budgetary). Pengurangan dalam

bentuk nilai diberlakukan kewajiban penurunan sebesar 36 persen dan penurunan

kuantitas volume sebesar 21 persen dari total ekspor dalam kurun waktu enam

tahun dengan menggunakan tahun dasar periode 1980-1990 untuk negara maju.

Kewajiban pengurangan nilai sebesar 24 persen dan kewajiban pengurangan

volume sebesar 14 persen dalam jangka waktu sepuluh tahun untuk negara

berkembang.

Amaliyah menganalisa terdapat kaitan antara perjanjian pertanian WTO

ini dengan ketahanan pangan Indonesia khususnya kedelai dimana kedelai lokal

tidak mampu bersaing dengan kedelai impor yang mengakibatkan banyaknya

petani kedelai lokal yang akhirnya beralih pada komoditi lain dimana daya saing

dengan impornya masih tidak terlalu lemah. Selain itu krisis ekonomi di tahun

1998, yang memaksa Indonesia untuk melakukan perjanjian ( Letter of Intent )

11

dengan IMF terkait pemberian hutang luar negri yang mana menuntut Indonesia

untuk menerapkan beberapa program yang dibentuk IMF yang salah satu

diantaranya adalah penghapusan subsidi untuk usaha tani kedelai dan membuka

keran impor seluas-luasnya.

Penelitian serupa mengenai liberalisasi pertanian juga dilakukan oleh

Maryoto ( 2004 ) yang menyimpulkan bahwa persoalan yang muncul pada aspek

pertanian negara berkembang saat ini sudah sangat komplek, tidak lagi hanya

persoalan kuantitas dan kualitas produksi dan hambatan terkait sektor financial,

infrastruktur dan teknologi saja, tapi permasalahan yang lebih sulit datang dari

lonjakan produk impor serta strategi untuk dapat bertahan dalam kompetisi ini.

Penelitian Ryan Primarsati (2008) menekankan pada pengaruh perubahan harga

kedelai terhadap masyarakat, penelitia Rini Romala (2010) menekankan pada

bagaimana bentuk kebijaka pangan pasca liberalisasi pangan di era Soeharto dan

penelitian Aditya Rahmana (2008) menekankan pada hubungan ekonomi politik

dalam ketahanana pangan Indonesia.

Kebanyakan penelitian terdahulu hanya fokus pada pengaruh satu

kebijakan internasional terhadap kebijakan impor pangan kedelai (seperti AoA

atau LoI saja), namun tidak secara komprehensif menjelaskan dilema

berkepanjangan yang dihadapi Indonesia untuk swasembada dalam ranah

domestik, maka untuk melengkapi penelitian terdahulu, penelitian ini akan

mencoba memberi penjelasan lebih komprehensif terkait ambiguitas kebijakan

pangan kedelai Indonesia yang dipengaruhi tidak saja oleh desakan sederet

perjanjian yang mengharuskan untuk liberalisasi atau peran AS sebagai eksportir

12

kedelai terbesar, tapi analisa mendalam yang membahas bagaimana dan mengapa

bentuk perpolitikan kebijakan kedelai di Indonesia bersifat pragmatis /

inkremental dengan tarik menarik kepentingan antar aktor pro impor dan

swasembada.

G. Kerangka konseptual

Seperti apa yang dikatakan oleh Milton Friedman6 mengenai pertumbuhan

pangan yang berdasarkan deret hitung, dan pertumbuhan penduduk yang erdasarkan

deret ukur, masalah pangan terus saja menjadi permasalahan tidak berkesudahan.

Namun peningkatan permintaan seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan

berkurangnya ketersediaan / produksi pangan domestik bukanlah penyebab tunggal

masalah pangan satu negara. Kebijakan pangan yang tidak tepat merupakan faktor

utama. Untuk kasus kedelai di Indonesia, kebijakan yang dirumuskan pemerintah

kerap menghadapi dilema antara swasembada atau impor.

Jika ditelisik lebih jauh terdapat permasalahan antara penerapan kebijakan

demi mencapai ketahanan pangan (food security) dimana berdasarkan konsep yang

dirumuskan dalam world food summit 1996yang menekankan akses semua orang

terhadap pangan pada setiap waktu, tidak memandang di mana pangan itu diproduksi

dan dengan cara bagaimana yang berarti selama kebutuhan pangan nasional dapat

dipenuhi, maka impor diperbolehkan. Atau memilih untuk lebih menitikberatkan

pada pencapaian kedaulatan pangan yang berarti pemenuhan pangan sendiri dengan

6 Milton Friedman. Food Security and Demography PDF. 1953. Dapat diunduh di

http://socjologia.amu.edu.pl/isoc/userfiles/40/friedman-1953.pdf diakses pada 30 September

2013

13

blueprint atau kebijakan yang mandiri tanpa dipengaruhi oleh konstelasi politik

internasional serta adanya proteksi terhadap petani dan perdagangan pangan lokal.

Untuk dasar / landasan kebijakan terkait pangan sendiri, Indonesia telah

memiliki Undang Undang pangan No 7 tahun 19967, dimana disebutkan bahwa

ketahanan pangan adalah adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga

yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup , baik jumlah maupun

mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Pemerintah bertanggung jawab atas

pengendalian, pembinaan, dan pengawasan mulai dari proses produksi, distribusi

hingga konsumsi.

Lebih lanjut disebutkan bahwa tujuan pengaturan, pembinaan, dan

pengawasan pangan adalah:

a. Tersedianya pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi bagi

kepentingan kesehatan manusia;

b. Terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab; dan

c. Terwujudnya tingkat kecukupan pangan dengan harga yang wajar dan

terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Undang Undang ini juga menjelaskan mengenai cadangan pangan

nasional, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang terdiri atas:

a.Cadangan pangan Pemerintah;

b.Cadangan pangan masyarakat.

7 Kementan. Undang Undang Pangan No 7 Tahun 1996 PDF. 1996. Dapat diunduh di

http://ditjennak.deptan.go.id/download.php?file...1996.pdf diakses pada 30 September 2013

14

Dalam upaya mewujudkan cadangan pangan nasional, sebagaimana

dimaksud pada ayat, maka Pemerintah:

a. Mengembangkan, membina, dan atau membantu penyelenggaraan cadangan

pangan masyarakat dan Pemerintah di tingkat perdesaan, perkotaan, propinsi, dan

nasional;

b. Mengembangkan, menunjang, dan memberikan kesempatan seluas-luasnya

bagi peran koperasi dan swasta dalam mewujudkan cadangan pangan setempat

dan atau nasional.

Selanjutnya pada pasal Pasal 48 diterangkan bahwa untuk mencegah dan

atau menanggulangi gejolak harga pangan tertentu yang dapat merugikan

ketahanan pangan, Pemerintah mengambil tindakan yang diperlukan dalam

rangka mengendalikan harga pangan tersebut.

Pasal 49 menyatakan pemerintah melaksanakan pembinaan yang meliputi

upaya:

a. Pengembangan sumber daya manusia di bidang pangan melalui kegiatan

pendidikan dan pelatihan, terutama usaha kecil;

b. Untuk mendorong dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam kegiatan

pengembangan sumber daya manusia, peningkatan kemampuan usaha kecil,

penyuluhan di bidang pangan, serta penganekaragaman pangan;

c. Untuk mendorong dan mengarahkan peran serta asosiasi dan organisasi profesi

di bidang pangan;

d. Untuk mendorong dan menunjang kegiatan penelitian dan atau pengembangan

teknologi di bidang pangan;

15

e. Penyebarluasan pengetahuan dan penyuluhan di bidang pangan;

f. Pembinaan kerja sama internasional di bidang pangan, sesuai dengan

kepentingan nasional;

g. Untuk mendorong dan meningkatkan kegiatan penganekaragaman pangan yang

dikonsumsi masyarakat serta pemantapan mutu pangan tradisional

Kebijakan ini kemudian disempurnakan pada tahun 2012 dengan

dikeluarkannya Undang-Undang terkait pangan No 188 yang dimana juga

dijelaskan mengenai kedalutan, kemandirian dan keamanan pangan. Kedaulatan

pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan

pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak

bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi

sumber daya lokal.

Kemandirian pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam

memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat

menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat

perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial,

ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat. Ketahanan pangan adalah kondisi

terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin

dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman,

beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama,

8 Kementan. Undang Undang Pangan No 18 Tahun 2012 PDF. 2012. Dapat diunduh di

http://ppvt.setjen.pertanian.go.id/ppvtpp/files/61UU182012.pdf diakses pada 30 September

2013

16

keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif

secara berkelanjutan.

Sedangkan keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan

untuk mencegah Pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda

lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia

serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat

sehingga aman untuk dikonsumsi.

Swasembada pangan merupakan target utama kementrian Pertanian dalam

rangka mewujudkan Ketahanan Pangan. Seperti yang tercantum dalam Peraturan

Menteri Pertanian No. 15/Permentan/Rc.110/1/20109 selama lima tahun ke depan

(2010-2014), dalam membangun pertanian di Indonesia, Kementerian Pertanian

mencanangkan 4 (empat) target utama, yaitu:

1. Pencapaian Swasembada dan Swasembada Berkelanjutan.

2. Peningkatan Diversifikasi Pangan.

3. Peningkatan Nilai Tambah, Daya Saing, dan Ekspor.

4. Peningkatan Kesejahteraan Petani.

Impor dilakukan apabila cadangan pangan nasional ( persediaan Pangan di

seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk konsumsi manusia

dan untuk menghadapi masalah kekurangan Pangan, gangguan pasokan dan

harga, serta keadaan darurat ) dan cadangan pangan pemerintah ( persediaan

9 Kementan. Kebijakan Ketahanan Pangan 2010-2014 PDF. 2010 dapat diunduh di

http://bkp.pertanian.go.id/tinymcpuk/gambar/file/KUKP%202010%20%202014%20Edit%20TA%20Nov%202011.pdf....pdf diakses pada 30 September 2013

17

pangan yang dikuasai dan dikelola oleh pemerintah ) tidak dapat memenuhi

kebutuhan.

Cadangan pangan pemerintah terdiri atas:

a. Cadangan Pangan Pemerintah Provinsi adalah persediaan Pangan yang

dikuasai dan dikelola oleh pemerintah provinsi.

b. Cadangan Pangan Pemerintah Kabupaten/Kota adalah persediaan Pangan

yang dikuasai dan dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota.

c. Cadangan Pangan Pemerintah Desa adalah persediaan Pangan yang

dikuasai dan dikelola oleh pemerintah desa.

d. Cadangan Pangan Masyarakat adalah persediaan Pangan yang dikuasai

dan dikelola oleh masyarakat di tingkat pedagang, komunitas, dan rumah

tangga.

Selanjutnya pada Pasal 39 dinyatakan bahwa pemerintah menetapkan

kebijakan dan peraturan Impor Pangan yang tidak berdampak negatif terhadap

keberlanjutan usaha tani, peningkatan produksi, kesejahteraan Petani, Nelayan,

Pembudi Daya Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan mikro dan kecil. Serta melakukan

penanggulangan krisis pangan dengan cara mengatur kebijaka terkait distribusi,

pemasaran, perdagangan, stabilisasi pasokan dan harga, serta bantuan pangan (

Pasal 46 )

Pasal 56 berisi: : a. Penetapan harga pada tingkat produsen sebagai

pedoman pembelian Pemerintah;

b. Penetapan harga pada tingkat konsumen sebagai pedoman bagi

penjualan Pemerintah;

18

c. Pengelolaan dan pemeliharaan Cadangan Pangan Pemerintah;

d. Pengaturan dan pengelolaan pasokan Pangan;

e. Penetapan kebijakan pajak dan/atau tarif yang berpihak pada

kepentingan nasional;

f. Pengaturan kelancaran distribusi antarwilayah; dan/atau

g. Pengaturan Ekspor Pangan dan Impor Pangan 2009-2012

Kebijakan ini juga memembahas mengenasi :

a. Peningkatan produktivitas komoditas pangan agar tercapai lonjakan

produksi pangan yang dapat dihasilkan di dalam negeri, sekaligus untuk

menjaga tingkat efisiensi pada sistem produksi.

b. Perluasan areal tanaman pangan

c. Pemberdayaan organisasi petani di tingkat pedesaan untuk membantu

meningkatkan posisi tawar petani di hadapan pedagang pengumpul dan

tengkulak;

d. Pengawasan sistem persaingan pedagang yang tidak sehat dengan sasaran

jelas, yakni berkurangnya kolusi harga antar pedagang yang merugikan

petani

e. Kebijakan fiskal yang memberikan insentif bagi usaha pertanian, misalnya

dengan pemberian keringanan pajak bagi para pelaku usaha di bidang

pertanian dan pengolahan pangan untuk mendorong pertumbuhan investasi

usaha berbasis pertanian dan pangan.

f. Alokasi anggaran negara dan anggaran daerah yang memadai untuk

pembangunan pertanian dan ketahanan pangan, melalui peningkatan

19

kapasitas, kepedulian dan pemberian pemahaman serta umpan balik

kepada lembaga pemerintah yang berkompeten termasuk lembaga

legislatif;

g. Kebijakan proteksi perdagangan, minimal untuk empat komoditas utama

dalam special products (SPs), yaitu: beras, jagung, kedelai dan tebu (plus

daging) sebagaimana disampaikan secara resmi oleh Indonesia kepada

Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Langkah ini dapat dilakukan

melalui penerapan berbagai instrumen dan regulasi perdagangan secara

arif untuk melindungi dari persaingan yang tidak menguntungkan dan

memberikan dukungan terhadap peningkatan daya saing produk pertanian

strategis nasional.

Dalam Undang Undang pangan ini terlihat bahwa goal dari kebijakan

pangan pemerintah Indonesia adalah pencapaian self sufficiency atau swasembada

dengan impor hanya sebagai alternatif saat cadangan nasional tidak memenuhi.

Namun pada kenyataannya pemerintah justru terus saja bergantung pada impor

tanpa upaya nyata untuk mencapai swasembada. Ketidaktegasan pemerintah

dalam mengambil arah kebijakan pangan kedelai Indonesia membuat program

yang ada terkait swasembada menjadi tidak efektif dan regulasi untuk impor terus

dipermudah. Sekali lagi hal ini menunjukkan permasalahan dalam menentukan

untuk berdaulat secara pangan atau sekedar kebijakan instan demi memenuhi

kebutuhan pangan.

Terkait kemandirian pangan atau self sufficiency sebenarnya sejalan

dengan teori merkantilisme, dimana negara merupakan aktor utama yang memiliki

20

wewenang dalam menentukan arah dan melaksanakan kebijakan perekonomian

sepenuhnya.10

Proteksionisme merupakan salah satu upaya suatu negara untuk

merumuskan kebijakan ekonomi sedemikian rupa dalam rangka melindungi

perekonomian domestik dari dominasi produk-produk asing.11

Namun yang lantas menjadi kendala kemudian adalah situasi sistem

ekonomi politik internasional, dimana comparative advantage atau prinsip

efisiensi produktivitas, sering menjadi dilema seiring dengan masuknya pangan

dalam era liberalisme . Seperti yang selalu diutarakan oleh David Ricardo ( 1817 )

sebagai salah satu tokoh liberalisme yang melihat persaingan ( competitiveness )

merupakan sesuatu yang sudah sewajarnya terjadi tanpa harus ada satu bentuk

proteksi dimana memang pasar ( market ) lah yang menentukan kebijakan, yang

dalam hal ini diartikan bahwa keputusan untuk impor kedelai merupakan satu

bentuk keputusan yang tepat dan sudah seharusnya dilakukan dengan

pertimbangan efisisensi. Maka muncullah tanggapan bahwa lebih menguntungkan

bila impor dengan harga yang lebih murah dan mutu yang lebih bagus

dibandingkan harus produksi sendiri dengan hasil yang tidak optimal. Karena itu

importir diberi keleluasaan dalam perdagangan kedelai domestik

10

Jackson dan Sorensen. Introduction to International Relations. Oxford University Press: 2007. Hal 175-216

11 Bob Sugeng Hadiwinata, Politik Bisnis Internasional” (Jogjakarta: Penerbit Kanisius, 2002), 58.

21

Kebijakan kedelai Indonesia dapat dibedakan dalam dua fase, yakni fase

sebelum liberalisasi pangan dan fase setelah liberalisasi pangan. Fase sebelum

liberalisasi pangan terdiri dari12

:

(a) Fase revolusi (1945-1965)

Dalam fase ini, pemerintah sangat gencar dalam meningkatkan

sektor pertanian dan menjadikan pemenuhan pangan secara

mandiri sebagai prioritas kebijakan dengan membentuk BAMA

(b) Fase konsolidasi ( 1967-1983)

Dalam fase ini, pemerintah berupaya meningkatkan produktivitas

pangan melalui revolusi hijau dengan membentuk BULOG dan

program BIMAS, INMAS dan INMUM yang tertuang dalam

repelita 1-4

(c) Fase tumbuh tinggi ( 1984-1992 )

Sedikit berbeda dengan data produksi pangan secara keseluruhan

dimana fase tumbuh tinggi berlangsung dari tahun 1978-1986, dan

kemudian mengalami fase dekonstruksi, kasus kedelai, fase

tumbuh tinggi baru dimulai di tahun 1984 saat pemerintah mulai

melakukan program intensifikasi pertanian kedelai merujuk pada

keerhasilan swasembada beras di tahun 1984. Produktivitas kedelai

12

Busatanul Arifin. Pembangunan Pertanian Indonesia Selama 60 Tahun PDF. 2005. Dapat

diunduh di

http://repository.ipd.a.id/bitstream/handle/123456789/43763/bustanul%20arifin.pdf?sequence

=1 diakses pada 20 September 2013

22

pernah mencapai puncak produksi mendekati angka 2 juta ton di

tahun 1992

Selanjutnya sejak tahun 1995, dengan dikelarkannya peraturan mengenai

liberalisasi pangan oleh WTO dalam Agreement of Agriculture dan dengan

ditandatanganinya nota kesepakatan dengan IMF untuk mengikuti “aturan main”

perdagangan bebas di tahun 1998, praktis Indonesia memasuki fase liberalisasi

dimana prioritas kebijakan untuk swasembada menjadi sulit dicapai. Dengan

adanya pematasan tarif masuk bahkan penurunan hingga 0%, batasan wewenang

unuk subsidi, serta penghapusan peran BULOG atas kedelai, membuat pemerintah

seolah kehilangan kedaulatan untuk membuat kebijakan yang optimal terkait

pangan kedelai. Bisa dikatakan Indonesia telah masuk dalam fase:

(a) Memasuki liberalisasi pangan (1995-1998)

Fase dimana Indonesia harus menyetujui peraturan dalam Agreement

of Agriculture ( AoA ) di tahun 1995 dan Letter of Intent ( LoI ) di

tahun 1998

(b) Fase krisis / transisi ( 1998-2001)

Pada fase ini, Indonesia mengalami masa dimana situasi politik

maupun ekonomi tidak dalam kondisi stabil. Pergantian pemerintah

melalui jalan kudeta serta krisis ekonomi dan limpahan hutang negara

membuat sektor pangan terabaikan

(c) Fase ambigu dimana impor kian meningkat, produktivitas terus menurun

yanga mengakibatkan ketergantungan dan krisis pangan kedelai yang

23

lantas membuat pemerintah kembali ingin fokus berswasembda namun

tidak pernah berhasil ( 2001-sekarang )

Untuk memahami politik kebijakan kedelai di Indonesia penulis mengacu

pada tulisan Budi Winarno13

terkait model sistem politik yang bersumber dari

teori sistem David Easton yang memandang kebijakan publik sebagai respon

suatu sistem politik terhadap kekuatan-kekuatan lingkungan (input desakan

ataupun support aktor-aktor terkait, pengaruh kondisi sosial, politik, ekonomi,

kebudayaan, geografis dan sebagainya) yang ada disekitarnya. hasil akhir dari

kebijakan kedelai cenderung pragmatis atau inkremental

Tulisan ini akan menggunakan pendekatan kelompok dengan fokus pada

aktor-aktor penting terkait pembuatan kebijakan kedelai 14

yakni pemerintah

sebagai pembuat kebijakan ( kementrian perdagangan atau kemendag, kementrian

pertanian atau kementan, kementrian keuangan atau kemenkeu ); departemen

terkait yakni dewan kedelai nasional atau DEKANAS, badan urusan logistik atau

BULOG; lembaga swadaya masyarakat terkait yakni asosisasi petani kedelai

Indonesia (APKKI), asosiasi kedelai Indonesia ( AKINDO ), koperasi perajin tahu

tempe (KOPTI), serta dua raksasa importir kedelai Indonesia yakni PT Cargill, PT

FKS Multi Agra dan PT Gerbang Cahaya Utama. Peran dan interaksi serta

kepentingan antar aktor ini akan menetukan kebijakan yang diambil.

Mendag kerap mengeluarkan regulasi yang mendorong kelancaran praktik

impor dengan pertimbangan untuk memnuhi kebutuhan domestik yang tidak bisa

13

Budi Winarno. Kebijakan Publik: Teori dan Proses. Yogyakarta:Media Pressindo. 2007. hal 94

14 Ibid.

24

dilakukan oleh petani lokal, sederet regulasi seperti minimalisir tarif masuk yang

juga merupakan putusan mentri keuangan, hingga mengubah prasarat impor dari

importir khusus dan terdaftar menjadi importir umum. Di sisi lain, kementan

hanya mengeluarkan sederet program peningkatan produktivitas lokal yang kerap

kali hanya sebatas program tanpa implementasi yang efektif. Kedua kementrian

ini mengeluarkan kebijakan yang saling berseberangan, dengan meningkatknya

impor seiring dengan harga yang murah maka program swasembada oleh

kementan tidak dapat berjalan dengan efektif karena gairah petani menjadi

berkurang, dan di sisi lain dengan kegagalan program kementan ini maka

kebutuhan domestik akan terus menuntut untuk impor, hal ini sudah menjadi

lingkaran setan yang sulit untuk diputus. Dewan kedelai nasional yang merupakan

badan yang baru dibentuk di tahun 2009 hingga kini hanya berperan sebagai

pemberi masukan dan respon dari setiap kebijakan yang dikeluarkan baik oleh

kementan, kemendag maupun kemenkeu tanpa adanya wewenang untuk turut

secara langsung dalam pembuatan kebijakan

Berdasarkan konsep model sistem politik ini kebijakan yang dikeluarkan

oleh pemerintah bukan tanpa pengaruh dari lingkungan ekonomi sosial dan politik

sekitar atau aktor-aktor yang turut memberi input. Civil society atau LSM

merupakan kekuatan dasar yang dimiliki oleh masyrakat untuk menjembatani

aspirasinya utnuk dijadikan pertimbangan dalam decision making (grassroot).

Dalam hal ini asosiasi petani kedelai memiliki peran yang signifikan, namun

sayangnya asosiasi ini bukanlah asosiasi yang kuat sejauh ini keluhan dan protes

yang dikeluarkan oleh petani terkait krisis kedelai melaui asosiasi ini hanya

25

ditanggapi sebatas program swasembada tanpa implementasi yang signifikan oleh

kementan, di sisi lain kemendag terus memperlancar impor dan menyerahkan

urusan proteksi dan peningkatan produksi lokal pada kementan. Tidak seperti

asosiasi kedelai di AS, APKKI tidak bisa turut ikut campur secara langsung dalam

desicion making process.

Di sisi lain asosiasi kedelai Indonesia atau akindo lebih menitikberatkan

pada ketersediaan pangan kedelai nasional yang berarti impor bukanlah masalah

selama tidak merugikan, seruan untuk bisa mandiri dalam memproduksi kedelai

tidak disampaikan secara gencar. Di sisi lain kopti merupakan koperasi yang

dibentuk guna mendampingi bulog dalam distribusi impor kedelai oleh

pemerintah di era orde baru. Kopti cukup memiliki pengaruh yang kuat dalam

setiap kebijakan terkait kedelai karena kopti menampung aspirasi perajin tahu

tempe yang jumlahnya sangat banyak dengan kebutuhan yang kerap tidak bisa

dipenuhi oleh petani lokal. Sasaran utama dari kopti hanya sebatas pemenuhan

stok kedelai dengan harga yang murah, tanpa menitikberatkan apakah harus dari

lokal atau impor, namun pada praktiknya impor merupakan pilihan yang kerap

diambil dikarenakan keleluasan untuk melakukan impor dan tarif yang rendah,

serta produksi lokal yang tidak pernah cukup serta harga yang lebih mahal dari

pada impor. Hasilnya kopti justru memiliki hubungan yang lebih dekat dengan

importir dibandingkan dengan petani dan dengan degradasi kekuatan bulog untuk

mengontrol kedelai di tahun 1998, laju impor semakin sulit untuk dikontrol.

Tata niaga kedelai sendiri bersifat oligopoli dimana impor hanya dikuasai

oleh tiga perusahaan besar yakni PT Cargill, PT Gerbang Cahaya Utama dan PT

26

FKS Multi Agra dengan kuota mencapai 70% dari keseluruhan impor15

. PT

Cargill merupakan perusahaan multinasional yang berasal dari AS sebagai

eksportir terbesar mencapai 80 % dari keseluruhan impor, PT Gerbang Cahaya

Utama merupakan pemain lama yang termasuk dalam salah satu importir besar

yang menerima program subsidi ekspor oleh AS di tahun 2001, sedangkan pada

PT FKS Multi Agra, meskipun merupakan importir baru namun memiliki kuota

terbesar sebanyak 47 %, jika ingin menelisik lebih lanjut, terdapat nama Ir Yusan

sebagai komisaris independen yang merupakan mantan wakil kepala badan

koordinasi penanaman modal (BKPM) yang secara langsung mendampingi Gita

Wirjawan, mendag, yang dulunya merupakan kepala BKPM. Keleluasaan yang

dimiliki oleh ketiga importir ini menunjukkan adanya indikase kartel yang hingga

saat ini masih diselidiki oleh komisi pengawas persaingan usaha (KPPU).

Hubungan antar aktor seperti inilah dimana tidak kuatnya asosiasi petani

kedelai dan besarnya peran importir dalam memenuhi kebutuhan kedelai

membuat pemerintah membuat kebijakan inkremental yang cenderung

menyelesaikan masalah dipermukaan saja yakni mengenai bagaimana menjaga

pasokan kedelai atau ketahanan pangan kedelai yang berorientasi jangka pendek

dan cenderung hanya mengikuti kebijakan-kebijakan yang sudah ada dengan

perbaikan di sana sini sesuai kondisi yang dihadapi ( pragmatis ). Saat kedelai

15

Opini Jalan Satu. Kartel Kedelai dan Partai Penguasa. Kompas. 16 September 2013. Dapat

diunduh di http://politik.kompasiana.com/2013/09/16/kartel-kedelai-dan-partai-penguasa-

593226.html diakses pada 25 Desember 2013

27

murah keran impor akan dibuka sebesar-besarnya dan tarif menjadi 0 % namun

saat terjadi krisis, program untuk menuju swasembada dengan menyasar pada

peningkatan produksi lokal secara mandiri kembali digalakkan, namun bukan

berati impor diputus. Hasilnya kedaulatan pangan dimana ketegasan dalam

membuat kebijakan yang memberi serta proteksi kepada petani sehingga dapat

meningkatkan produktivitas dan jaminan atas pasokan kedelai nasional serta

ruang dalam desicion making secara mandiri tidak pernah bisa berhasil. Hal ini

juga dikarenakan saat ini tidak ada sosok pemimpin yang memang

memprioritaskan pangan seperti di era orde lama dan orde baru.

H. Argumen Utama

Kebijakan pemerintah terkait kedelai kerap mengalami dilema antara

swasembada atau impor. Menerapkan prinsip kedaulatan pangan yakni

pemenuhan pasokan pangan nasional sendiri secara mandiri dengan adanya ruang

dalam desicion making process dan proteksi terhadap petani tanpa dipengaruhi

oleh bentuk perdagangan internasional, atau tidak mempermasalahkan bagaimana

dan dari mana pangan ini berasal selama ketahanan pangan yang berarti akses dan

pasokan pangan nasional terjamin. Jika menelisik kembali arah kebijakan pangan

yang sudah ada, pada Undang Undang pangan No 7 tahun 1996), orientasi

kebijakan selalu ditujukan pada pemenuhan ketahanan pangan, konsep

kemandirian dan kedaulatan pangan tidak diterakan didalamnya. Namun pada

praktiknya pemerintah di era orde lama dan orde baru cukup memberi perhatian

pada pangan dengan kebijakan yang bersifat proteksi pada petani. Seiring dengan

krisis pangan yang kerap terjadi dan ketergantungan terhadap impor menjadi

28

semakin besar pasca Agreement of Agriculture (AoA) oleh WTO di tahun 1995

dan Letter of Intent (loI) dengan IMF d tahun 1998, penyempurnaan dilakukan

dengan dikeluarkannya Undang Undang pangan No 18 tahun 2012 dan sederet

program pencapaian swasembada juga dirumuskan. Namun dalam prakteknya

produksi kedelai lokal tetap tidak bisa memenuhi permintaan nasional dan impor

terus saja meningkat. Terlihat bahwa Indonesia tidak memiliki blueprint yang

jelas akan arah kebijakan pangan kedelai meskipun undang undang pangan telah

mengalami perbaikan dan penambahan.

Kepentingan dan peran serta interaksi antar aktor dalam perumusan

kebijakan merupakan faktor penentu. Aktor di sini adalah pemerintah yakni

kemendag dengan kebijakan pemenuhan pangan kedelai murah secara impor dan

kementan yang mengeluarkan program peningkatan produksi lokal guna mencapai

swasembada. Di sisi lain asosiasi petani kedelai yang seharusnya memiliki andil

besar dalam memberikan masukan kepada pemerintah terkait kebijakan kedelai

justru tidak memiliki power yang signifikan. Kopti sebagai wadah bagi aspirasi

perajin tahu tempe lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan akan kedelai murah

tanpa menuntut secara spesifik dari mana kedelai itu berasal. Importir di sisi lain

tentu menginginkan adanya kelonggaran dalam melakukan impor dengan tarif

rendah seperti yang selama ini terjadi.

Terdapat tarik menarik kepentingan dan peran yang berbeda di sini,

kemendag lebih fokus dalam pemenuhan aspirasi kopti dikarenakan 70 %

pemanfaatan kedelai adalah untuk produsen tahu tempe, dan tahu tempe sendiri

merupakan pangan strategis masyrakat Indonesia. Keleluasaan untuk impor juga

29

diberikan karena hampir 100% kedelai yang digunakan dalam industri tahu tempe

adalah kedelai impor. Kopti yang tidak memiliki kekuatan untuk melakukan

impor sendiri memiliki hubungan yang lebih dekat dengan importir dibandingkan

dengan petani karena harga yang ditawarkan lebih rendah dan jaminan terkait

pasokan yang selalu ada. Importir juga memiliki posisi yang cukup signifikan

khususnya importir besar karena dengan tidak adanya Bulog dan produksi lokal

yang selalu tidak cukup, importir merupakan jalan untuk memenuhi kebutuhan

domestik.

Di sisi lain kementan dengan program swasembadanya kerap mengalami

stagnasi dengan dewan kedelai nasional asosiasi kedelai dan petani yang tidak

memiliki kekuatan signifikan dalam menjamin posisi petani kedelai lokal dalam

perdagangan domestik yang kerap kalah bersaing dengan kedelai impor, serta

tidak adnaya proteksi atau subsidi guna meningkatkan produktivitas kedelai lokal.

Tidak adanya singkronisasi kebijakan antar kementrian ini dan tarik menarik aktor

aktor penting pada ranah input tadi mengakibatkan program pemerintah yang

selalu bersifat pragmatis atau inkremental dimana impor terus dilakukan dan saat

krisis terjadi barulah swasembada kembali dirumuskan. Hasilnya kedaulatan

pangan tidak bisa tercapai begitu pula dengan kemandirian pangan, dan saat krisis

terjadi, bahkan ketahanan panganpun menjadi terancam.

I. Metode Penelitian

Sebagai metode penelitian beberapa langkah yang diambil adalah dengan

melakukan konseptualisasi kemudian melakukan generlisasi. Konseptualisasi

merupakan roses penyederhanaan fenomena dengan mengklasisfikasikan dan

30

mengkategorisasikannya. Data-data yang diperoleh melalui media

dikategorisasikan dalam konsep-konsep yang telah dibahas dalam landasan

konseptual. Setelah kategorisasi dilakukan, analisis difokuskan pad relasi antar

konsep-konsep, apakah itu kondisional, kausalitas, atau tidak berhubungan sama

sekali. Sedangkan generalisasi merupakan pernyataan tentang hubungan antar dua

konsep atau lebih. Jadi merupakan teknik analisi data dengan memakai langkah

induktif komparatif, yakni membandingkan data-data yang ada dalam penelitian

ini untuk dikategorikan berdasarkan unsur-unsur yang diteliti, dan kemudian

membuat kesimpulan.

Pengumpulan data-data tersebut bersifat purposive, bermaksud untuk

menguatkan argumen. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

atau metode kualitatif karena argumen yang dibangun didasarkan pada basis

rasional. Penelitian ini berusaha memahami realitas sosial dengan memahami

hubungan rasional antara satu konsep dengan konsep yang lain. metode penelitian

yang digunakan adalah metode studi kasus dimana fokus pada analisa ekonomi

politik dibalik kebijakan impor kedelai Indonesia. Untuk memperoleh data,

digunakan teknik pengumpulan data secara studi oustaka, yaitu dengan

menelusuri, mengumpulkan, dan membahas data-data sekunder yang berasal dari

berbagai literatur seperti review atas buku, artikel, jurnal, data online, surat kabar,

dan majalah. Sedangkan data primer didapat dari wawancara ataupun mengunduh

dokumen atau blue print yang didapat langsung dari webiste Disperindag, Deptan,

dan Badan Pusat Statistik ( BPS ).

31

J. Sistematika Penulisan

Thesis ini terdiri dari lima Bab, dimana:

1. Bab pertama berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang,

rumusan masalah, manfaat dan tujuan penelitian, tinjauan pustaka,

kerangka konseptual, argumen utama, dan metode penelitian

2. Bab kedua berisi penjelasan mengenai gambaran perkedelaian

Indonesia, yakni perihal produksi, konsumsi, dan impor

3. Bab ketiga berisi penjelasan mengenai kebijakan kedelai Indonesia

identifikasi aktor-aktor terkait

4. Bab empat berisi analisa ambiguitas kebijakan kedelai Indonesia

dengan melihat peran posisi dan tarik menarik kepentingan aktor

terkait

5. Bab lima berisi kesimpulan