kajian kebijakan tataniaga beras, bawang merah dan...
TRANSCRIPT
LAPORAN ANALISIS KEBIJAKAN
KAJIAN KEBIJAKAN TATANIAGA BERAS, BAWANG MERAH DAN DAGING SAPI MENDUKUNG
KEDAULATAN PANGAN
LAPORAN KOMODITAS BERAS
Oleh:
Muchjidin Rachmat Pantjar Simatupang Mohamad Maulana
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
2016
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang,
dipanjatkan puji syukur kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan
inayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan Laporan Kajian
Kebijakan Tataniaga Beras, Bawang Merah dan Daging Sapi Mendukung Kedaulatan
Pangan: Komoditas Beras.
Laporan Analisis Kebijakan ini telah disusun dengan maksimal dan mendapat
bantuan dari berbagai pihak, terutama dalam pengambilan data dan informasi di
lokasi kajian. Untuk itu, kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu dan berkontribusi dalam pembuatan laporan ini.
Terlepas dari semua itu, tim menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi substansi, susunan kalimat dan tata bahasa sehingga dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik dan pengguna dan pembaca laporan
ini agar tim dapat memperoleh tambahan pengetahuan dan dapat memperbaiki
laporan ini.
Tim sangat berharap, semoga laporan tentang Kajian Kebijakan Tataniaga Beras,
Bawang Merah dan Daging Sapi Mendukung Kedaulatan Pangan: Komoditas Beras
dapat menjadi pertimbangan bagi para pengambil kebijakan di Kementerian
Pertanian dalam menentukan kebijakan tataniaga gabah dan beras ke depan.
Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh.
Bogor, 21 Desember 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Lembar Pengesahan
Daftar Isi
Daftar Tabel
Daftar Gambar
I. Pendahuluan….………………………………………………………………………………………………………. 1
1.1. Latar Belakang………….……………………………………………………………………………………….. 1
1.2. Tujuan……………………………………………………………………………………………………………. 2
1.3. Luaran dan Manfaat….……………………………..……………………………………………………………. 2
II. Metodologi…………….......……………………………………………………………………………………………. 2
III Produksi, Konsumsi dan Harga Beras di Indonesia…..…………………………………………………………… 4
IV Efektivitas Tataniaga Gabah dan Beras (Kasus Kabupaten Karawang, Jawa Barat)d….…………………….. 7
V Efektivitas Tataniaga Gabah dan Beras Introduksi……...………………………………………………………… 10
5.1. Tataniaga PUPM-TTI Gabah dan Beras di Kabupaten Sidoardjo, Jawa Timur dan Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat………………..……….…………………………………………………………...
10
5.2. Tataniaga Melalui Jaringan Rumah Pangan Kita (RPK-Bulog)……………………………………………... 14
VI Pertimbangan Kebijakan………………………….….……………………………………………………………….. 17
6.1. Kemungkinan Memperpendek Rantai Tataniaga Gabah-Beras...…………………………………………... 17
6.2. Opsi Kebijakan………………..…………………………………………………………………………………... 18
VII Penutup…..…………………………………………………………………………….. 19
Daftar Pustaka…………………………………………………………………………………………………………. 19
DAFTAR TABEL
No. Judul Tabel Hal
1. Produksi, konsumsi dan provinsi surplus/defisit beras tahun 2014 (ton), serta harga rata-
rata beras (Rp/kg) dan koefisien variasi harganya 2008-2015 (%)....................................... 6
2. Biaya dan keuntungan tiap-tiap pelaku tataniaga gabah dan beras per penjualan 1 ton
Gabah Kering Panen di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, 2016 (Rp).…………………...... 9
3. Biaya dan keuntungan tiap-tiap pelaku tataniaga gabah dan beras per penjualan 1 ton
gabah pada jalur distribusi PUPM di Kabupaten Sidoardjo, Jawa Timur dan Kabupaten
Bandung Barat, Jawa Barat, 2016 (Rp).…………………………………………………………. 12
4. Biaya dan keuntungan tiap-tiap pelaku tataniaga gabah dan beras per penjualan 1 ton
gabah melalui tataniaga Rumah Pangan Kita Bulog, 2016 (Rp).……………………………... 16
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Gambar Hal
1. Saluran Pemasaran Gabah dan Beras di Kabupaten Karawang, Jawa Barat 2016……….. 8
2. Saluran Pemasaran Gabah dan Beras Program PUPM Kementan di Kabupaten
Karawang, Jawa Barat dan Kabupaten Sidoardjo, Jawa Timur, 2016.………………………. 11
3. Saluran Pemasaran Gabah dan Beras Program RPK Bulog 2016.……….…………………. 15
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tataniaga adalah suatu sistem keseluruhan dari kegiatan-kegiatan yang ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan dan mendistribusikan barang dan jasa kepada kelompok pembeli. Semua unsur, baik perorangan, perusahaan, atau lembaga yang secara langsung terlibat dalam proses pengaliran barang dari produsen ke konsumen disebut lembaga tataniaga. Kegiatan pemasarandisalurkan melalui lembaga-lembaga perantara atau lembaga distribusi. Semakin panjang saluran distribusi yang dilalui suatu produk maka semakin tinggi harga yang harus dibayarkan konsumen akhir. Kondisi ini terkadang berdampak dimana produsen/petani biasanya mendapatkan keuntungan yang kecil dibandingkan pedagang.
Sistem tataniaga dianggap baik dan efisien apabila memenuhi tiga indikator: (1)
mampu menyampaikan hasil-hasil dari produsen kepada konsumen dengan harga yang wajar, (2) mampu menjamin stabilisasi pasokan dan harga, dan (3) mampu mengadakan pembagian yang adil dari keseluruhan harga yang dibayarkan konsumen akhir kepada semua pihak yang ikut didalam kegiatan produksi dan tataniaga barang tersebut. Sistem tataniaga yang tidak efisien akan mengakibatkan kecilnya keuntungan yang diterima oleh produsen, jadi harga yang diterima produsen dapat juga dijadikan ukuran efisiensi sistem tataniaga (Mubyarto, 1989: 166).
Dalam tahun terakhir terjadi gejolak harga pangan pokok nasional. Harga pangan
strategis cenderung meningkat tidak terkendali antara lain akibat dari masalah kelancaran pasokan, sementara harga ditingkat petani cenderung tetap yang berarti disparitas harga pangan antara produsen dan konsumen semakin besar. Kondisi ini memunculkan pertanyaan sebarapa jauh sistem tata niaga yang terbangun saat ini dinilai baik dan effisien, seberapa jauh pelaku pasar telah bekerja dengan baik, dan seberapa jauh pemerintah dapat berperan untuk melakukan tugasnya dalam mengatur dan kalau perlu mengintervensi sehingga terbangun sistem tataniaga yang baik dan effisien.
Dalam upaya stabilisasi pasokan dan harga pangan pokok tersebut, Kementerian
Pertanian telah melakukan kegiatan intervensi dengan cara mendorong dilakukannya pembelian langsung gabah/beras dan/atau mendorong kelompok tani menjualnya langsung ke konsumen melalui Toko Tani Indonesia (TTI). Upaya tersebut ditujukan dalam rangka memotong rantai pasokan yang dianggap terlalu panjang dan tidak effisien yang menyebabkan terjadinya permasalahan dalam kontinuitas pasokan, harga yang tidak stabil dan disparitas harga yang besar ditingkat produsen dan konsumen. Dengan upaya tersebut diharapkan petani dapat menikmati harga yang wajar, pasokan lancar dan konsumen dapat membeli dengan harga yang lebih murah. Langkah intervensi dilakukan terutama menjelang bulan puasa dan lebaran.
2
Intervensi tataniaga tersebut dinilai berhasil sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Dengan langkah intervensi pemerintah tersebut, beberapa peran pelaku dalam tataniaga menjadi hilang dan digantikan oleh Bulog. Pertanyaannya adalah apakah langkah intervensi tersebut dapat berlanjut kedepan untuk menggantikan sistem tataniaga yang selama ini telah terbangun sekian lama? Apakah langkah intervensi dalam tataniaga tersebut dapat dilaksanakan secara nasional atau hanya bersifat lokal? dan apakah kebijakan intervensi tersebut berakibat ongkos sosial besar yang harus ditanggung pemerintah dan masyarakat.
1.2. Tujuan
Berdasarkan uraian di atas, pada intinya, tujuan kajian ini ialah merumuskan alternatif tataniaga komoditi stategis yang baik dan effisien. Secara lebih rinci, tujuan kajian ini ialah:
1. Mengkaji sistem tataniaga beras yang berlaku saat ini, 2. Mengevaluasi efektifitas sistem tataniaga yang berlaku di pasar umum dan sistem
tataniaga introduksi, 3. Merumuskan rekomendasi alternatif sistem tataniaga beras yang dinilai baik dan
effisien.
1.3. Luaran dan Manfaat
Hasil kajian ini diharapkan memberikan alternatif rumusan kebijakan sistem tataniaga beras yang dinilai baik dan effisien yang dapat meningkatan perbaikan penyampaian hasil-hasil dari produsen kepada konsumen dengan harga yang wajar, menjamin stabilisasi harga, dan terjadi pembagian yang adil diantara pelaku tataniaga.
II. METODOLOGI
Istilah tataniaga sering juga diartikan sama dengan pemasaran atau distribusi yaitu suatu kegiatan ekonomi yang berfungsi membawa atau menyampaikan barang dari produsen ke konsumen (Mubyarto, 1973). Menurut Sihombing (2010), kegiatan tataniaga adalah sebagian dari kegiatan distribusi. Distribusi menimbulkan suatu kesan seolah-olah orang-orang yang bergerak di dalam bagian ini bersifat statis, menunggu saja apa yang akan mereka peroleh dari produsen untuk dibagi-bagikan lagi kepada konsumen.
Fungsi tataniaga mengusahakan agar pembeli memperoleh barang yang
diinginkan pada tempat, waktu dan bentuk serta harga yang tepat. Fungsi tataniaga terdiri dari tiga fungsi pokok, yaitu: (1) Fungsi pertukaran, meliputi: (a) penjualan, yaitu menjual barang kepada konsumen dengan harga yang memuaskan dan (b) pembelian, yaitu membeli barang dari penjual dan kemudian menjualnya kembali dengan harga yang telah disepakati. (2) Fungsi pengadaan secara fisik, meliputi: (a) pengangkutan, yaitu pemindahan barang dari tempat produksi dan atau tempat penjualan ke tempat-
3
tempat dimana barang tersebut akan terpakai (kegunaan tempat), dan penyimpanan, yaitu penahanan barang selama jangka waktu antara dihasilkan atau diterima sampai dijual (kegunaan waktu) serta pengolahan. (3) Fungsi pelancar/fasilitas, meliputi: (a) pembiayaan, yaitu mencari dan mengurus modal uang yang berkaitan dengan transaksi-transaksi dalam arus barang dari sektor produksi sampai sektor konsumsi, (b) penanggungan risiko, usaha untuk mengelak atau mengurangi kemungkinan rugi karena barang yang rusak, hilang, turunnya harga dan tingginya biaya, (c) standardisasi dan grading, yaitu penentuan atau penetapan dasar penggolongan (kelas atau derajat) untuk barang dan memilih barang untuk dimasukkan ke dalam kelas atau derajat yang telah ditetapkan dengan jalan standardisasi, dan (d) informasi pasar, yaitu mengetahui tindakan-tindakan yang berhubungan dengan fakta-fakta yang terjadi, penyampaian fakta, menafsirkan fakta dan mengambil kesimpulan akan fakta yang terjadi.
Saluran tataniaga adalah jalur yang dilalui komoditas dari titik produsen sampai
titik konsumen akhir. Dengan mengikuti saluran tataniaga dapat diketahui : (a) jumlah produk yang dijual petani kepada tengkulak atau langsung ke konsumen akhir atau ke pedagang besar, (b) peranan dari pelaku tataniaga termasuk peranan petani dan (c) tempat terjadinya informasi. Panjang pendeknya saluran tataniaga dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain : (a) jarak produsen – konsumen, (b) cepat lambatnya produk rusak (c) skala produksi, (d) posisi keuangan perusahaan, (e) derajat standardisasi, (f) kemewahan produk, (g) nilai unit dari produk, (h) bentuk pemakaian produk, dan (i) struktur pasar (Nasruddin, 1999).
Lembaga tataniaga mempunyai peranan dalam menjembatani kesenjangan-
kesenjangan yang ada antara titik produsen dan titik konsumen, yang menyangkut kesenjangan karena waktu, bentuk, pemilikan, informasi dan nilai. Lembaga atau perantara tataniaga dapat dibagi ke dalam dua golongan, yaitu pedagang perantara dan agen perantara. Golongan yang pertama menguasai dan memiliki barang, sedangkan golongan yang kedua menguasai tetapi tidak memiliki barang dagangan (Nasruddin, 1999).
Keragaan pasar merupakan hasil akhir yang dicapai akibat dari penyesuaian yang dilakukan oleh lembaga tataniaga pada struktur pasar tertentu, didefinisikan sebagai seberapa bagus sistem pemasaran bisa memenuhi harapan masyarakat dan pelaku pasar. Secara teoritis keragaan suatu industri ditentukan oleh 2 faktor yaitu: struktur industri (jumlah dan ukuran perusahaan, derajat diferensiasi produk, dan kemudahan keluar masuk pasar); dan market conduct (harga di tingkat produsen, produk dan strategi promosi). Ada dua indikator penting yang menggambarkan keragaan pasar, yaitu biaya tata niaga dan marjin tataniaga, dan effisiensi tataniaga.
Pengeluaran yang harus dilakukan untuk menyalurkan komoditi dari produsen ke
konsumen disebut biaya tataniaga (Utami, 2009). Hammond dan Dahl (1977), yang dikutip dalam Utami (2009), menyatakan bahwa marjin tataniaga menggambarkan perbedaan harga di tingkat konsumen (Pr) dengan harga ditingkat produsen (Pf). Setiap lembaga pemasaran melakukan fungsi-fungsi pemasaran yang berbeda sehingga
4
menyebabkan perbedaan harga jual dari lembaga satu dengan yang lainnya sampai ke tingkat konsumen akhir.
Marjin tataniaga didefinisikan sebagai perbedaan harga atau selisih harga yang
dibayar konsumen dengan harga yang diterima petani produsen atau dapat pula dinyatakan sebagai nilai dari jasa-jasa pelaksanaan kegiatan tataniaga sejak dari tingkat produsen sampai ke titik konsumen akhir.
Efisiensi tataniaga adalah selisih antara total biaya dengan total nilai produk yang
dipasarkan, atau dapat dirumuskan :
EP=(TBTNP)x 100%
Dimana: EP = Efisiensi Pemasaran
TB = Total Biaya
TNP= Total Nilai Produk
Berdasarkan rumus tersebut, dapat diartikan bahwa setiap ada penambahan
biaya pemasaran memberi arti bahwa hal tersebut menyebabkan adanya pemasaran yang tidak efisien. Begitu pula sebaliknya, kalau semakin kecil nilai produk yang dijual berarti terjadi pemasaran yang tidak efisien (Sherpherd, 1962 dalam Soekartawi, 1989). Untuk menilai efisiensi juga dapat diukur dari tingkat integrasi pasar melalui analisa transmisi harga antar tingkat pelaku pasar.
Analisis Efektivitas Kebijakan Pemerintah.
Dalam melancarkan pasokan pangan strategis, menstabilisasi pasokan dan harga pangan pokok, dan mengurangi disparitas harga pangan antara produsen dan konsumen, pemerintah melalui Kementerian Pertanian melakukan kegiatan intervensi dengan cara mendorong dilakukannya pembelian langsung gabah/beras dari petani/peternak dan//atau mendorong Kelompok tani menjualnya langsung ke konsumen melalui Toko Tani Indonesia (TTI). Kebijakan tersebut perlu dievaluasi dalam hal kemungkinannya dapat dikembangkan berlanjut kedepan untuk menggantikan sistem tataniaga yang selama ini telah terbangun, apakah kebijakan tersebut dapat dilaksanakan secara nasional atau hanya bersifat lokal, dan ongkos sosial yang kemungkinan ditanggung pemerintah dan masyarakat.
III. PRODUKSI, KONSUMSI DAN HARGA BERAS DI INDONESIA
Tataniaga merupakan keseluruhan dari kegiatan-kegiatan untuk merencanakan,
menentukan harga, mempromosikan dan mendistribusikan barang dan jasa kepada
kelompok pembeli. Dalam pendistribusian gabah dan beras, produksi dan konsumsinya
di suatu wilayah menjadi hal penting dalam menentukan jumlah yang akan
didistribusikan sehingga harga beras di wilayah tersebut dapat stabil dan masyarakat
5
dapat memperoleh beras dengan mudah mengingat beras merupakan kebutuhan pokok
yang harus tersedia setiap hari. Pendistribusian beras melalui lembaga-lembaga
perantara atau lembaga distribusi yang semakin banyak harus dilalui, menyebabkan
semakin tinggi harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir.
Pada bagian ini, ditunjukkan provinsi-provinsi yang mengalami surplus atau
defisit jumlah beras medium dan perkembangan harga rata-rata beras medium serta
variasinya. Analisa ini dilakukan untuk melihat keterkaitan antara ketersediaan dan
pasokan beras dengan fluktuasi harga beras di tiap-tiap provinsi. Diduga bahwa rata-
rata harga beras medium di provinsi-provinsi defisit dan variasinya akan tinggi serta
korelasi antara satu daerah defisit dengan daerah-daerah surplus terdekat akan tinggi
yang menunjukkan pasokan untuk provinsi defisit tersebut secara logis seharusnya
dipasok oleh provinsi-provinsi surplus terdekat sehingga rantai pasok tidak panjang dan
harga relatif tidak tinggi.
Dengan menggunakan data produksi beras dari BPS dan konsumsi beras dari
Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) BPS pada tahun 2014, diketahui bahwa
data produksi beras secara nasional dibandingkan konsumsinya menunjukkan surplus
beras sebesar 12,76 ton. Produksi beras dihitung dengan mengalikan data produksi
GKG yang diterbitkan BPS dengan faktor konversi 62,74 persen setelah sebelumnya
mengurangi angka produksi GKG dengan rata-rata disparitas angka ramalan (ARAM)
produksi GKG, dengan angka tetap (ATAP) produksi GKG dari BPS selama 10 tahun
terakhir sebesar 17 persen, untuk tingkat nasional dan tiap-tiap provinsi (Tabel 1).
Sementara untuk perhitungan konsumsi beras diperoleh dari data SUSENAS BPS
tahun 2014 yang merupakan angka konsumsi beras langsung, kemudian ditambahkan
dengan proyeksi kebutuhan beras untuk non konsumsi langsung atau untuk industri
sebesar 15 persen dari angka konsumsi langsung SUSENAS 2014. Dengan
mengurangi konsumsi dari produksinya di tiap-tiap provinsi, diperoleh provinsi–provinsi
yang mengalami surplus dan defisit beras.
Berdasarkan perhitungan perbedaan produksi dan konsumsi diatas, terdapat 7
provinsi yang pada tahun 2014 mengalami defisit beras yaitu DKI Jakarta, Riau,
Maluku, Nusa Tenggara Timur, Papua, Kalimantan Timur dan Bali (Tabel 1). Di DKI
Jakarta, dengan populasi sekitar 9 juta orang dan luas lahan pertanian yang sangat
minim, sudah dapat dipastikan bahwa Jakarta merupakan konsumen beras. Untuk
provinsi Riau, lahan pertanian diutamakan untuk perkebunan sawit, sementara Nusa
Tenggara Timur dan Kalimantan Timur difokuskan untuk menjadi lokasi pengembangan
ternak sapi dan untuk usaha tambang batubara. Sementara di Maluku dan Papua,
beras bukan menjadi pangan utama melainkan sagu dan ubi jalar, sedangkan Bali
menjadi provinsi yang lahannya diutamakan untuk daerah pariwisata. Sementara
provinsi lain mengalami surplus beras dengan lima provinsi teratas yang surplus beras
adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Jawa Barat dan Sumatera
Selatan.
6
Tabel 1. Produksi, konsumsi dan provinsi surplus/defisit beras tahun 2014 (ton), serta
harga rata-rata beras (Rp/kg) dan koefisien variasi harganya 2008-2015 (%) .
Provinsi Produksi
Beras Konsumsi
Beras + / -
Harga Rata-Rata (Rp/kg)
Koefisien Variasi (%)
2008-‘11 2012-‘15 2008-‘11 2012-‘15
DI Aceh 947,783 542,447 405,336 6,874 9,435 13.81 5.66
Sumatera Utara 1,890,835 1,593,106 297,729 6,909 9,244 12.41 6.87
Riau 5) 201,464 598,424 (396,961) 6,943 8,982 16.02 3.73
Sumatera Barat 1,311,760 535,098 776,661 7,461 10,196 12.79 8.64
Jambi 346,148 334,811 11,336 6,935 9,220 16.15 6.25
Sumatera Selatan 6) 1,923,577 820,802 1,102,776 5,762 7,729 13.90 5.71
Bengkulu 308,901 209,320 99,581 6,353 9,065 20.74 4.60
Lampung 1,728,897 791,239 937,658 5,650 8,411 15.06 9.46
DKI Jakarta 3,927 760,504 (756,577) 7,039 9,762 11.54 6.89
Jawa Barat 1) 7,129,365 5,712,541 1,416,824 7,846 9,771 9.70 4.97
Jawa Tengah 5,024,173 2,809,504 2,214,669 5,696 7,669 12.27 8.10
DI Yogyakarta 478,860 279,137 199,724 5,810 8,200 15.47 7.48
Jawa Timur 6,455,659 3,442,717 3,012,942 5,718 8,141 16.43 8.19
Kalimantan Barat 714,820 519,860 194,960 5,669 8,144 15.40 6.79
Kalimantan Timur 8) 282,340 337,797 (55,458) 5,720 8,137 17.55 5.77
Kalimantan Selatan 1,090,741 367,688 723,053 6,355 8,729 13.56 5.72
Kalimantan Tengah 436,490 244,073 192,417 5,584 8,465 16.34 4.50
Sulawesi Utara 2) 496,075 381,398 114,677 6,037 8,177 12.04 4.31
Sulawesi Tengah 532,226 268,695 263,531 7,166 9,141 7.10 6.69
Sulawesi Tenggara 342,449 278,205 64,244 7,279 9,718 17.41 12.24
Sulawesi Selatan 7) 3,059,733 1,115,310 1,944,423 6,310 8,607 26.09 7.77
Bali 446,767 457,183 (10,416) 7,218 9,564 10.16 8.15
Nusa Tenggara Barat 1,102,222 576,002 526,220 6,318 8,265 11.03 8.28
Nusa Tenggara Timur 429,991 604,645 (174,653) 5,764 7,422 10.57 8.16
Maluku 3) 53,512 240,046 (186,534) 5,056 7,048 14.19 10.24
Papua 4) 102,073 245,193 (143,119) 5,739 8,143 15.06 6.88
Indonesia 36,840,787 24,065,744 12,775,043 6,365 8,011 14.31 3.01
Sumber: Data produksi dari BPS, data konsumsi dari SUSENAS BPS 2014.
Keterangan: 1) termasuk Provinsi Banten, 2) termasuk Provinsi Gorontalo, 3) termasuk Provinsi Maluku
Utara, 4) Termasuk Provinsi Papua Barat, 5) termasuk Provinsi Kepulauan Riau, 6) termasuk Provinsi
Bangka Belitung, 7) termasuk Provinsi Sulawesi Barat, 8) termasuk Provinsi Kalimantan Utara. Angka
dalam kurung menunjukkan defisit. DTT = Data BPS Tidak Tersedia.
7
Terkait dengan harga beras, Tabel 1 juga menyajikan perhitungan rata-rata
harga beras medium dan koefisien variasinya, untuk menunjukkan besaran persentase
sebaran harga dari harga rata-ratanya. Perhitungan harga rata-rata dilakukan dengan
menggunakan data bulanan harga konsumen beras medium diperdesaan yang
diterbitkan BPS pada periode waktu 2008–2015. Sementara koefisien variasi dihitung
dengan membagi standar deviasi data dengan rata-rata harga sepanjang 2008–
2015.Analisa dilakukan pada dua periode waktu yaitu periode 2008-2011 dan 2012-
2015 agar terlihat lebih jelas arah variasi harga beras antar waktu.
Hasil analisis menunjukkan bahwa rata-rata harga beras medium di provinsi–
provinsi defisit dan surplus pada periode 2012-2015 lebih tinggi 36,86 persen
dibandingkan periode 2008-2011. Sementara itu, variasi harga beras pada periode
2012-2015 menurun rata-rata 7,34 persen dibandingkan periode 2008-2011.
Dicermati secara lebih detail pada daerah-daerah defisit dan surplus, rata-rata
kenaikan harga beras medium juga hampir sama. Kenaikan harga rata-rata beras
medium di wilayah defisit pada periode 2008-2015, adalah sebesar 36,12 persen
sedangkan di wilayah-wilayah surplus sebesar 36,56 persen. Koefisien variasi harganya
juga menurun pada periode 2008-2015 berturut-turut untuk wilayah defisit dan surplus
adalah sebesar 6,47 dan 7,84 persen.
Semakin meningkatnya harga beras sementara variasi harganya semakin
menurun menunjukkan bahwa harga beras semakin meningkat dan stabil pada harga
beras yang tinggi. Dengan kondisi harga beras stabil pada tingkat harga tinggi, terdapat
kecenderungan untuk mempertahankan rantai distribusi yang panjang dan tidak efisien
sementara konsumen harus membayar mahal untuk harga beras sementara bagian
keuntungan yang demikian besar tidak sampai dinikmati produsen.
Namun, dengan tingginya korelasi antara provinsi-provinsi defisit dengan seluruh
provinsi surplus yang angkanya mencapai 95–99 persen, secara umum dapat dikatakan
bahwa pasokan beras untuk daerah–daerah defisit dapat berasal dari seluruh provinsi –
provinsi surplus, sehingga rata-rata harga beras dan koefisien variasi dari seluruh
provinsi menunjukkan nilai yang relatif tidak jauh berbeda.
IV. EFEKTIVITAS TATANIAGA GABAH DAN BERAS (KASUS KABUPATEN KARAWANG, JAWA BARAT)
Pemasaran gabah dan beras di Kabupaten Karawang dari petani berupa gabah
hingga ke konsumen berupa beras bervariasi. Pola paling umum adalah petani -
perantara-pengumpul - pedagang-besar/penggilingan - padi-grosir beras – pengecer -
konsumen. Selain itu, sebagian kecil gabah dan beras disalurkan ke Bulog melalui
pedagang besar rekanan Bulog. Sebagian kecil lainnya ada yang diupayakan
dipasarkan melalui jalur program Toko Tani Indonesia (TTI) Kementerian Pertanian dan
Program Bulog - Rumah Pangan Kita (RPK Bulog).
8
Gambar 1. Saluran Pemasaran Gabah dan Beras di Kabupaten Karawang, Jawa Barat
2016.
Dari pola tataniaga paling umum yang ada di Kabupaten Karawang, terlihat
bahwa kelima pelaku tataniaga yaitu petani, perantara, penggilingan padi, pedagang
besar dan pengecer memperoleh keuntungan masing-masing Rp. 675 ribu/ton GKP
(untuk petani, dari selisih harga aktual dikurangi HPP GKP), Rp. 100 ribu/ton GKP
(untuk perantara), Rp. 412,13 ribu/ton beras (untuk penggilingan padi), Rp. 800 ribu/ton
beras (untuk pedagang besar) dan Rp.1.300 ribu/ton beras (untuk pengecer).Dalam
tataniaga pola umum ini, harga jual gabah dan beras dari masing-masing pelaku
tataniaga mengikuti harga pasar yang berlaku saat transaksi dilakukan (Tabel 2).
asi: Menilik Tujun, Manfaat, dan Efeknya'
Petani
Perantara
Agen / Pengumpul
UPGB
Bulog
Rekanan Non Rekanan
Pedagang
Lain
Pengecer
Pedagang
Satgas Sub
Divre
Dolog
G
A
B
A
H
G
A
B
A
H
B
E
R
A
S Konsumen
9
Tabel 2. Biaya dan keuntungan tiap-tiap pelaku tataniaga gabah dan beras per
penjualan 1 ton Gabah Kering Panen di Kabupaten Karawang, Jawa Barat,
2016 (Rp).
No Pelaku Tataniaga Kegiatan Satuan Volume Harga/kg Nilai 1 Petani HPP GKP Rp/kg GKP 1,000 3,700 3,700,000
Harga jual GKP/Pendapatan Petani Rp/kg GKP 1,000 4,375 4,375,000 Selisih Harga Aktual - HPP GKP Rp/kg GKP 1,000 675 675,000 2 Perantara Harga beli GKP dari petani Rp/kg GKP 1,000 4,375 4,375,000
+ Komisi perantara Rp/kg GKP 1,000 100 100,000 Harga jual GKP perantara Rp/kg GKP 1,000 4,475 4,475,000 3 Penggilingan Padi Harga beli GKP dari Perantara Rp/kg GKP 1,000 4,475 4,475,000
+ Biaya operasional pengumpul GKP Rp/kg GKP 1,000 28 28,000 + Biaya transport GKP petani ke RMU Rp/kg GKP 1,000 20 20,000 Harga GKP di penggilingan Rp/kg GKP 1,000 4,523 4,523,000 + Biaya penjemuran GKP Rp/kg GKP 1,000 150 150,000 + Biaya oven Rp/kg GKP 1,000 20 20,000 + Biaya Listrik Rp/kg GKP 1,000 15 15,000 + Ongkos giling Rp/kg Beras 575 400 230,000 + Biaya Pengemasan dan karung kemasan Rp/kg Beras 575 130 74,750 Total Biaya Pengolahan Gabah Rp/kg Beras 1,000 5,013 5,012,750 Pendapatan produk sampingan beras: - Produksi Menir Rp/kg 30 5,000 150,000 - Produksi Dedak Rp/kg 70 1,200 84,000 Biaya Pokok Produksi Beras Rp/ton gabah 4,778,750 Biaya Pokok Per Ton Beras Rp/ton beras 8,310,870 Penjualan beras ke pedagang besar: + Biaya bongkar muat Rp/kg Beras 1,000 15 15,000
+ Biaya perantara di pasar Rp/kg Beras 1,000 40 40,000 + Biaya transport beras dr RMU Rp/kg Beras 1,000 22 22,000
ke Pedagang Keuntungan RMU Rp/ton beras 412,130 Harga beras di pedagang besar pasar Rp/ton beras 8,233,870 4 Pedagang Besar Harga beli dari penggilingan padi Rp/kg Beras 1,000 8,800 8,800,000 Biaya operasional Rp/kg Beras 1,000 400 400,000
Keuntungan pedagang Rp/ton beras
800,000 Harga jual beras ke pengecer Rp/kg Beras 1,000 10,000 10,000,000 5 Pedagang Harga beli dari pedagang besar Rp/ton beras
10,000,000
Pengecer Biaya operasional Rp/kg Beras 1,000 200 200,000 Keuntungan pedagang Rp/kg Beras
1,300,000
Harga jual beras ke konsumen Rp/kg Beras 1,000 11,500 11,500,000 Sumber: primer, diolah. Keterangan: angka dalam kurung menunjukkan negatif.
Peraturan Presiden RI No. 48 Tahun 2016 Tentang Penugasan Kepada Perusahaan Umum (Perum Bulog) Dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional
Peraturan Presiden RI No. 48 Tahun 2016 berisi tentang penugasan pemerintah kepada Perusahaan Umum (Perum) Bulog untuk menjaga ketersediaan pangan dan stabilisasi harga pangan pada tingkat konsumen dan produsen. Tidak hanya beras, penugasan Bulog tersebut menyangkut komoditi lain yaitu jagung, kedelai, gula, minyak
10
goreng, tepung terigu, bawang merah, cabe, daging sapi, daging ayam ras, dan telur ayam. Namun, komoditas prioritasnya adalah beras, jagung dan kedele.
Dalam melaksanakan penugasan tersebut Bulog dapat melakukan penambahan cadangan pangan dengan cara mengimpor sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Selain itu, Bulog juga memiliki kewajiban untuk mengembangkan industri berbasis beras, termasuk produksi gabah/beras dan pengolahan gabah/beras. Terkait stabilisasi harga gabah/beras, Bulog dapat melakukan pembelian gabah/beras dipasaran berada diatas HPP, dengan persyaratan dan koordinasi pembelian ditetapkan melalui Keputusan Rapat Koordinasi dari beberapa kementerian. Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 63/M-DAG/PER/9/2016 Tentang Penetapan Harga Acuan Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen Peraturan Menteri Perdagangan No. 63 ini dikeluarkan dalam rangka menjamin ketersediaan, stabilitas dan kepastian harga beberapa komoditas strategis termasuk komoditas beras sebagai yang utama. Dalam aturan tersebut, ditetapkan harga acuan pembelian gabah dan beras ditingkat petani dan harga jual beras dikonsumen. Harga acuan pembelian GKP, GKG dan beras di Petani berturut-turut adalah sebesar Rp. 3.700/kg GKP, Rp. 4.600/kg GKG, dan Rp. 7.300/kg beras. Sementara harga acuan penjualan beras di konsumen adalah Rp. 9.500/kg beras. Harga-harga acuan ini diperbaiki setiap empat bulan. Harga acuan pembelian gabah dan beras di petani dan harga acuan penjualan beras dikonsumen ditetapkan dengan telah mempertimbangkan struktur biaya yang wajar mencakup antara lain biaya produksi, biaya distribusi, keuntungan dan biaya lain.Terkait Bulog, dalam melakukan pembelian dan penjualan gabah dan beras disebutkan dalam aturan ini mengacu pada peraturan ini.
V. EFEKTIVITAS TATANIAGA GABAH DAN BERAS INTRODUKSI
5.1. Tataniaga PUPM-TTIGabah dan Beras di Kabupaten Sidoardjo, Jawa Timur
dan Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat.
Kegiatan Pengembangan Usaha Pangan Masyarakat (PUPM) merupakan salah
satu upaya pemerintah melalui Kementerian Pertanian untuk menjaga stabilitas harga
pangan utamanya beras baik ditingkat petani/produsen dan di tingkat konsumen. Dalam
program ini, gapoktan, atau disebut sebagai Lembaga Usaha Pangan Masyarakat
(LUPM) dalam aturannya, dan Toko Tani Inonesia (TTI) diberdayakan untuk dapat
menjalankan fungsi sebagai lembaga distribusi dalam suatu rantai distribusi yang lebih
efisien sehingga dapat mengurangi disparitas harga antara produsen dan konsumen.
Tujuan utama penggunaan LUPM dan TTI ini memang untuk memotong saluran
distribusi gabah dan beras.
Dalam jalur distribusi gabah dan beras melalui program PUPM (Pengembangan
Usaha Pangan Masyarakat) Kementerian Pertanian, Gapoktan diamanatkan untuk
11
membeli gabah petani dalam bentuk Gabah Kering Panen (GKP) dan/atau Gabah
Kering Giling (GKG) dengan harga sesuai HPP GKP (Rp. 3.700/kg) dan HPP GKG (Rp.
4.600,-/kg), atau dengan harga diatas HPP sesuai dengan rancangan harga pembelian
gabah petani yang diajukan gapoktan dalam program ini berdasarkan proyeksi
volatilitas harga gabah/beras dimasing-masing wilayah kerja gapoktan.Dua kasus
jaringan PUPM yaitu (1) dimulai dengan penjualan gabah oleh petani yaitu petani
menjual GKG di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat dan (2) diawali petani menjual
GKP di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur disajikan pada Tabel 3 untuk menunjukkan
besarnya keuntungan dan kerugian yang diperoleh masing-masing pelaku tataniaga
dalam program LUPM.Pola distribusi gabah dan beras di program ini adalah Petani-
perantara-gapoktan/penggilingan padi-Toko Tani (TTI)-konsumen.
Gambar 2. Saluran Pemasaran Gabah dan Beras Program PUPM Kementan di
Kabupaten Karawang, Jawa Barat dan Kabupaten Sidoardjo, Jawa Timur, 2016.
Untuk kasus pertama, setiap musimnya rata-rata harga pembelian GKG petani
oleh gapoktan adalah sebesar Rp. 5.000,- per kg. Dibandingkan dengan pilihan menjual
GKG sesuai HPP GKG (Rp. 4.600,-/kg), terdapat selisih sebesar Rp. 400,-/kg, atau Rp.
400.000,- per ton GKG (Tabel 3).
Penggilingan padi melakukan pengangkutan GKG dari lokasi petani ke
penggilingan, lalu menggiling GKG menjadi beras. Total biaya pengolahan GKG
menjadi beras adalah Rp. 5,73 juta/ton GKG. Ditambah pendapatan dari produksi menir
dan dedak, maka biaya pokok produksi beras adalah sebesar Rp. 5,59 juta/ton GKG
atau setara Rp. 8,92 juta/ton beras (Rp. 5,59 juta/ton GKG x 1/0,6274). Beras ini
kemudian dijual ke TTI dengan tambahan biaya berupa biaya bongkar muat dan
transport ke TTI sehingga harga jual beras di TTI seharusnya sebesar Rp. 9,27 juta/ton
beras (dari Rp. 8,92 juta/ton beras + Rp. 150 ribu/ton beras + Rp. 200 ribu/ton beras).
Petani
Penggilingan Padi
Toko Tani
Konsumen
Perantara
12
Tabel 3. Biaya dan keuntungan tiap-tiap pelaku tataniaga gabah dan beras per
penjualan 1 ton gabah pada jalur distribusi PUPM di Kabupaten Sidoardjo,
Jawa Timur dan Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, 2016 (Rp).
No
Pelaku Tataniaga
Kegiatan
Sidoardjo, Jawa Timur Bandung Barat, Jawa Barat
Satuan Vol Harga/kg Nilai Satuan Vol Harga/kg
Nilai
1 Petani HPP GKP/HPP GKG Rp/kg GKP 1,000 3,700 3,700,000 Rp/kg GKG 1,000 4,600 4,600,000
Pendapatan Rp/kg GKP 1,000 4,400 4,400,000 Rp/kg GKG 1,000 5,000 5,000,000
Keuntungan petani (dari HPP GKP) Rp/kg GKP 1,000 700 700,000 Rp/kg GKG 1,000 400 400,000
2 Perantara Harga beli GKP/GKG dari petani Rp/kg GKP 1,000 4,400 4,400,000 Rp/kg GKG 1,000 5,100 5,100,000
+ Komisi perantara Rp/kg GKP 1,000 100 100,000 Rp/kg GKG 1,000 100 100,000
Harga jual GKP/GKG perantara Rp/kg GKP 1,000 4,500 4,500,000 Rp/kg GKP 1,000 5,200 5,200,000
3 Penggilingan Padi
Harga beli GKP/GKG dari Perantara Rp/kg GKP 1,000 4,500 4,500,000 Rp/kg GKG 1,000 5,100 5,100,000
Biaya transport & bongkar muat GKP/GKG petani ke RMU
Rp/kg GKP 1,000 100 100,000 Rp/kg GKG 1,000 200 200,000
Harga GKP di penggilingan Rp/kg GKP 1,000 4,600 4,600,000 Rp/kg GKP 1,000 5,300 5,300,000
Biaya penjemuran GKP Rp/kg GKP 1,000 150 150,000
Biaya Listrik
Rp/kg 1,000 15 15,000
Biaya karung Rp/kg GKP 1,000 33 33,333
Upah giling Rp/kg GKP 1,000 250 250,000 Rp/kg Beras 1,000 250 250,000
Biaya Plastik/Karung kemasan Rp/kg beras 575 300 172,500 Rp/kg 627 170 106,590
Ongkos Pengemasan Rp/kg Beras 575 100 57,500 Rp/kg 627 100 62,700
Total Biaya Pengolahan Gabah Rp/kg Beras
5,263,333 Rp/kg Beras
5,734,290
Pendapatan produk sampingan beras:
Produksi Katul Rp/kg 100 1,900 190,000 Rp/kg 30 1,900 57,000
Produksi Dedak Rp/kg 70 1,200 84,000 Rp/kg 70 1,200 84,000
Biaya Pokok Produksi Beras Rp/ton gabah
4,989,333 Rp/ton gabah
5,593,290
Biaya Pokok Per Ton Beras Rp/ton beras
8,677,101 Rp/ton beras
8,920,718
Penjualan beras ke pedagang besar:
Biaya bongkar muat (Jatim: termasuk transport)
Rp/kg Beras 1,000 150 150,000 Rp/kg Beras 1,000 150 150,000
Biaya transport beras dr RMU ke TTI
Rp/kg Beras 1,000 200 200,000
Harga beras di pedagang besar pasar
Rp/ton beras
8,827,101 Rp/ton beras
9,270,718
Total biaya dikeluarkan Gapoktan Rp/ton beras
5,139,333 Rp/ton beras
5,943,290
Untung/Rugi Gapoktan Rp/ton beras
(1,127,101) Rp/ton beras
(1,570,718)
Subsidi LUPM Rp/ton beras
4,980,000 Rp/ton beras
5,819,290
Untung/Rugi Gapoktan setelah subsidi
Rp/ton beras
(159,333) Rp/ton beras
(124,000)
4 TTI Harga beli dari penggilingan padi Rp/kg Beras 1,000 7,700 7,700,000 Rp/kg Beras 1,000 7,700 7,700,000
Harga jual beras Rp/kg Beras 1,000 7,900 7,900,000 Rp/kg Beras 1,000 7,900 7,900,000
Keuntungan pedagang Rp/kg Beras 1,000 200 200,000 Rp/kg Beras 1,000 200 200,000
Sumber: primer, diolah. Keterangan: angka dalam kurung menunjukkan negatif
Karena persyaratan dalam program ini bahwa gapoktan harus menjual beras ke
TTI seharga Rp. 7.700,-/kg, maka pendapatan gapoktan hanya Rp. 7.700,-/kg x Rp.
1.000 ton beras = Rp. 7,7 juta/ton beras. Dengan keharusan menjual beras dengan
13
persyaratan tersebut, gapoktan rugi sebesar Rp. 7,7 juta/ton beras – Rp. 9,27 juta/ton
beras = Rp. 1,57 juta/ton beras.
Total biaya yang dikeluarkan oleh gapoktan dari mulai pembelian dan
pengambilan GKG di petani hingga dijual ke TTI adalah sebesar Rp. 5,94 juta/ton
gabah-beras, sedangkan subsidi program LUPM hanya sebesar Rp. 5,82 juta/ton
gabah-beras, sehingga dari sudut pandang biaya total yang dikeluarkan gapoktan
dibandingkan subsidi LUPM, gapoktan rugi Rp. 124 ribu/ton beras.
Dengan pembelian beras seharga Rp. 7.700,-/kg dari gapoktan dan kewajiban
menjual dengan harga Rp. 7.900,-/kg ke konsumen, TTI memperoleh keuntungan Rp.
200,-/kg beras. Keuntungan tersebut relatif kecil dibandingkan keuntungan yang dapat
diperoleh jika TTI dapat menjual beras tersebut mengikuti harga pasar yang rata-rata
mencapai Rp. 8.500,-/kg beras. Besar keuntungannya mencapai Rp. 800-1.000,-/kg
beras.
Untuk kasus kedua, perbedaan pendapatan petani dengan menjual gabah dalam
bentuk GKP (terhadap HPP GKP Rp. 3700,-/kg GKP), lebih besar dibandingkan jika
menjual dalam bentuk GKG (Rp. 400/kg GKG vs Rp. 700/kg GKP). Seiring dengan
diterimanya gabah dalam bentuk GKG oleh penggilingan padi yang kemudian
mengolahnya menjadi beras, maka biaya produksi beras adalah sebesar Rp. 4.489/kg
GKG atau sebesar Rp. 8,67 juta/ton beras. Dengan tambahan biaya bongkar muat dan
transport ke TTI, maka gapoktan seharusnya menjual beras dengan harga Rp.
8,83juta/ton beras. Namun, karena gapoktan harus menjual hanya sebesar Rp.
7.700/kg beras atau Rp. 7,7 juta/ton beras, maka gapoktan rugi Rp. 1,3 juta/ton beras.
Dengan mempertimbangkan terdapatnya subsidi program LUPM sebesar Rp. 4,98
juta/ton beras maka kerugian gapoktan hanya sebesar Rp. 159 ribu/ton beras.
Dengan kondisi yang merugi tersebut, lalu dipertanyakan mengapa program
LUPM yang telah dimulai rata-rata sejak April-Mei 2016 masih berjalan hingga survei
kajian ini dilakukan pada Nopember 2016. Hal ini dapat dilihat persyaratan kapasitas
gudang penyimpanan masing-masing gapoktan, waktu pencairan bantuan LUPM,
pilihan aksi yang diambil oleh gapoktan dan perbedaan harga beras di pasar dan
penjualan di TTI.
Pertama, terkait dengan kapasitas gudang penyimpanan gabag/beras yang saat
survei dilakukan kapasitas terkecil gudang adalah 5 ton gabah atau beras, dan bahkan
di Sidoarjo, Jawa Timur terdapat gapoktan yang menggunakan gudang ber kapasitas
40 ton gabah/beras dengan sasaran penyaluran ke 3 TTI. Dengan rata-rata penyaluran
beras ke TTI untuk kapasitas gudang terkecil 5 ton adalah sebesar 2 ton beras per
minggu maka terdapat sisa sebesar 3 ton beras. Mempertimbangkan kemampuan
gapoktan untuk mendapatkan gabah dan mengolahnya menjadi beras siap jual selama
3-4 hari kerja, maka dalam seminggu terdapat sisa beras 6 ton yang siap dijual.
Kemampuan gapoktan untuk mencari gabah dari petani dan jumlah uang untuk
14
membelinya tidak perlu diperdebatkan mengingat adanya dana bantuan program
LUPM.
Kedua, dalam program LUPM, pencairan dana per gapoktan sebesar Rp. 200
juta sebagian besar dilakukan diawal masa progam. Sebagai contoh di Kabupaten
Karawang, dari Rp. 200 juta total dana LUPM, tahap pertama pencairan dana tersebut
diawal masa program adalah Rp. 164 juta, sementara sisanya dibayarkan pada tahap
kedua ditengah masa program. Dengan pertimbangan bahwa pada bulan-bulan
pencairan dana sedang pada masa panen, maka sangat mudah bagi petani
memperoleh gabah dengan harga relatif rendah. Untuk mengisi gudang gapoktan,
dapat dilakukan pembelian gabah dengan dana LUPM dan mengingat perbedaan harga
TTI dan pasaran yang cukup besar maka sangat mungkin bagi gapoktan melakukan
pembelian gabah dan penjualan beras tanpa mengganggu penyaluran beras ke TTI.
Ketiga, disparitas harga beras dijual ke TTI dan dijual ke pasar seperti telah
dijelaskan sebelumnya berkisar Rp. 800–1.000,-/kg beras. Dengan menggunakan
perbedaan harga jual sebesar Rp. 1.000/kg beras dan gapoktan menjual sebanyak 6
ton beras per minggu, maka besar keuntungan gapoktan adalah sebesar Rp. 1.000,-/kg
beras x 6.000 kg = Rp. 6 juta/minggu.
Keempat, pilihan aksi untuk menjual beras ke pasaran dalam program LUPM
didasari oleh pemberian jumlah bantuan dan persyaratan harga jual yang tidak secara
matang mempertimbangkan kondisi lapang yang harga jual berasnya memang jauh
lebih tinggi dibandingkan harga jual TTI. Disamping itu, pengawasan pendamping
lapang program ini yang berbeda keputusan menyebabkan adanya peluang bagi
gapoktan untuk melakukan aksi ambil untung dengan mengikuti program ini dan
menggunakan dana bantuan LUPM sebagai ‘modal’ dalam aksi ambil untung tersebut.
Disatu lokasi survei kajian ini, pendamping lapang membiarkan aksi ambil untung
ini terjadi, tetapi di lokasi survei lainnya pendamping lapang tidak memperbolehkan
gapoktan melakukan aksi ambil untung tersebut sehingga pada saat survei kajian ini
dilakukan kondisi penggilingan padi telah berhari-hari tidak beroperasi mengingat
kerugian yang diperoleh sementara gabah berupa GKG menumpuk digudang
penyimpanan selama berbulan-bulan karena gapoktan mematuhi aturan program
LUPM yang mengharuskan menjual beras hanya ke TTI dengan harga yang telah
ditetapkan.
5.2. Tataniaga Melalui Jaringan Rumah Pangan Kita (RPK-Bulog)
Rumah Pangan Kita (RPK) merupakan konsep usaha yang dilakukan dirumah
untuk menyediakan kebutuhan pangan utamanya beras, dengan harga murah, sehat
dan stabil. Konsep ini berupaya mendekatkan akses konsumen ke produsen tanpa
banyak perantara. Dengan RPK ini diharapkan bermanfaat bagi konsumen karena
mendapatkan beras dengan harga yang relatif dibawah harga pasar. Pada akhirnya,
program ini diharapkan akan meningkatkan program ketahanan pangan nasional.
15
Program ini dilakukan dengan membuka pendaftaran bagi rumah tangga yang
berkeinginan menjadi mitra Bulog dalam program RPK ini. Dengan persetujuan menjadi
mitra Bulog dan menyelesaikan administrasi serta menyelesaikan pembayaran awal,
Bulog kemudian mendistribusi sejumlah beras ke lokasi RPK untuk dijual. Jenis beras
yang dijual ini adalah beras medium dan/atau premium, namun sebagian besar adalah
jenis beras premium.
Pola tataniaga RPK-Bulog ini adalah petani-perantara-penggilingan padi-Bulog-
mitra RPK-konsumen. Pola ini berbeda dengan pola pengadaan dan penjualan gabah-
beras yang biasa dilakukan Bulog dan ditangani secara terpisah dalam manajemen
Bulog yaitu oleh bagian beras komersial Bulog sehingga jumlah beras yang terkait
program ini sangat sedikit dibandingkan beras non komersial. Data dari Bulog Divisi
Regional (Divre) Jawa Timur mulai 1 Januari 2016 hingga 13 Oktober 2016
menunjukkan bahwa pengadaan dalam negeri Bulog Divre Jawa Timur adalah
sebanyak 629.351 ton beras, sementara penjualan beras komersial Bulog Divre Jawa
Timur hanya sebesar 600.580 kg beras atau 0,095 persen dari pengadaan beras dalam
negeri Bulog Divre Jawa Timur.
Gambar 3. Saluran Pemasaran Gabah dan Beras Program RPK Bulog 2016.
Dengan menggunakan harga GKP saat survei dilakukan yaitu sebesar Rp.
4.200,-/kg GKP di tingkat petani, diperoleh keuntungan Rp. 500,-/kg GKP dibandingkan
jika petani menjual pada harga HPP GKP Rp. 3.700,-/kg GKP (Tabel 4). Kemudian
dengan menggunakan jasa perantara, pengusaha penggilingan rekanan Bulog
Petani
Perantara
Penggilingan Padi
Bulog
Mitra RPK
Konsumen
16
memperoleh gabah petani. Penggilingan padi yang memproses gabah menjadi beras
dan menjual beras ke Bulog dengan harga Rp. 8.000,-/kg, memperoleh keuntungan Rp.
719,9,-/kg beras.
Tabel 4. Biaya dan keuntungan tiap-tiap pelaku tataniaga gabah dan beras per
penjualan 1 ton gabah melalui tataniaga Rumah Pangan Kita Bulog, 2016
(Rp).
No Pelaku Tataniaga Kegiatan Satuan Volume Harga/kg Nilai
1 Petani HPP GKP Rp/kg GKP 1,000 3,700 3,700,000
Pendapatan Rp/kg GKP 1,000 4,200 4,200,000
Keuntungan petani (dari HPP GKP) Rp/kg GKP 1,000 500 500,000
2 Perantara Harga beli GKP dari petani Rp/kg GKP 1,000 4,200 4,200,000
+ Komisi perantara Rp/kg GKP 1,000 100 100,000
Harga jual GKP perantara Rp/kg GKP 1,000 4,300 4,300,000
3 Penggilingan Padi Harga beli GKP dari Perantara Rp/kg GKP 1,000 4,200 4,200,000
Biaya transport GKP petani ke RMU Rp/kg GKP 1,000 20 20,000
Harga GKP di penggilingan Rp/kg GKP 1,000 4,220 4,220,000
Biaya penjemuran GKP Rp/kg GKP 1,000 150 150,000
Upah giling Rp/kg Beras 575 403 231,725
Biaya Listrik Rp/kg 1,000 15 15,000
Biaya Plastik/Karung kemasan Rp/kg 575 33 19,167
Biaya Pengemasan Rp/kg 575 100 57,500
Total Biaya Pengolahan Gabah Rp/kg Beras
4,693,392
Pendapatan produk sampingan beras:
Produksi Menir Rp/kg 30 1,900 57,000
Produksi Dedak Rp/kg 70 1,200 84,000
Biaya Pokok Produksi Beras Rp/ton gabah
4,552,392
Biaya Pokok Per Ton Beras Rp/ton beras
7,917,203
Penjualan beras ke pedagang besar:
Biaya bongkar muat Rp/kg Beras 575 15 8,625
Biaya transport beras dr RMU ke Bulog Rp/kg Beras 575 19 10,925
Keuntungan RMU Rp/ton beras
719,857
Harga beras di pedagang besar pasar Rp/ton beras
8,000,000
4 Bulog Harga beli Rp/kg Beras 1,000 8,000 8,000,000
Harga jual Rp/kg Beras 1,000 10,000 10,000,000
Biaya operasional Rp/kg Beras 1,000 250 250,000
Keuntungan Rp/kg Beras 1,000 1,750 1,750,000
5 Toko RPK Harga beli dari penggilingan padi Rp/kg Beras 1,000 10,000 10,000,000
Harga jual beras Rp/kg Beras 1,000 10,750 10,750,000
Keuntungan pedagang Rp/kg Beras 1,000 750 750,000
Sumber: primer, diolah.
17
Bulog menjual beras premium tersebut ke Kios RPK-Bulog sebesar Rp. 10.000,-
/kg. Dengan perbedaan antara harga beli beras dari penggilingan padi rekanan dan
harga jual ke RPK-Bulog sebesar Rp. 2.000,-/kg dan dikurangi biaya operasional
sebesar Rp. 250.-/kg beras, maka keuntungan yang diperoleh Bulog adalah sebesar
Rp. 1,75 juta/ton beras.
Sementara untuk Toko RPK-Bulog, terdapat kewajiban untuk menjual beras ke
konsumen dengan marjin keuntungan Rp. 750,-/kg beras dengan penetapan harga beli
beras dari Bulog ditetapkan oleh pihak Bulog sendiri dengan mengacu pada harga
pasaran beras saat transaksi. Keuntungan Toko RPK-Bulog mencapai Rp. 750 ribu/ton
beras premium yang di jual.
VI. PERTIMBANGAN KEBIJAKAN
6.1. Kemungkinan Memperpendek Rantai Tataniaga Gabah-Beras
Rantai pemasaran beras dapat menjadi demikian panjang dan tidak efektif yang
terlihat dari banyaknya mata rantai yang sebenarnya bisa diperpendek, seperti salah
satunya karena adanyaperantara dalam rantai pemasaran beras tersebut.
Pendistribusian beras yang panjang tersebut menyebabkan keuntungan yang dibagikan
untuk tiap-tiap mata rantai pemasaran beras menjadi besar. Hal ini membuat harga
pembelian gabah dan beras tertekan sedangkan harga jual beras menjadi tinggi.
Dari hasil analisa data sekunder per provinsi menunjukkan bahwa harga beras
yang semakin tinggi namun variasi harga beras yang semakin kecil. Hal ini
mengindikasikan harga beras di konsumen yang stabil pada tingkat harga tinggi. Hal ini
harus menjadi perhatian serius bagi pemerintah untuk menurunkan harga beras
tersebut dan mampu menyediakan beras bagi masyarakat dengan harga murah.
Dua pola pemasaran gabah dan beras yang menjadi pembanding dalam kajian
ini yaitu pola pemasaran pada program PUPM/TTI Kementerian Pertanian dan saluran
distribusi melalui program Rumah Pangan Kita-Bulog, merupakan upaya untuk
memangkas jalur pemasaran gabah-beras dan menstabilkan harga beras. Namun, hasil
kajian menunjukkan bahwa gapoktan yang terlibat dalam program TTI mengalami
kerugian karena subsidi yang diberikan terlampau kecil dan harga jual beras ke TTI
yang telah ditentukan tidak mampu memberikan marjin pemasaran yang cukup untuk
memberikan keuntungan ke gapoktan. Padahal, dalam Peraturan Menteri Perdagangan
No. 63 disebutkan bahwa harga acuan penjualan beras di konsumen adalah Rp. 9.500,-
/kg.
Tetapi, ditengah gejolak kerugian yang diperoleh gapoktan dalam program ini,
kegiatan program ini dapat terus berjalan dengan keputusan gapoktan untuk melakukan
aksi ambil untung dengan melakukan penjualan yang tidak sesuai dengan ketentuan
atau aturan dalam program LUPM ini. Oleh sebab itu, terkait tujuan kajian ini, program
18
TTI dipertimbangkan untuk tidak dijadikan model pemasaran untuk memperpendek
rantai pemasaran gabah dan beras.
Dilain sisi, Program RPK-Bulog mampu memotong rantai pemasaran gabah-
beras, namun tidak dapat menyentuh esensi untuk ‘memaksa’ menurunkan harga jual
beras ke konsumen karena penentuan harga jual beras yang mengikuti harga beras di
pasaran. Selain itu, program ini dilakukan oleh unit usaha komersial beras Bulog yang
memasarkan beras premium yang jumlah beras dalam usaha ini sangat kecil sehingga
sangat sulit untuk dapat memperkuat usaha menurunkan dan menstabilkan harga beras
di pasaran.
Kemudian dengan mempertimbangkan tataniaga gabah dan beras yang ada,
kajian ini menilai sangat tidak memungkinkan untuk memotong langsung lembaga
pemasaran yang ada dalam tataniaga tersebut seperti menghilangkan atau mengganti
keberadaan perantara mengingat perannya yang sangat terintegrasi dengan pihak
penggilingan padi dan petani. Perannya sangat diperlukan walaupun konsekuensinya
memperpanjang tataniaga dan meningkatkan biaya tataniaga.
6.2. Opsi Kebijakan
Pertama, Program PUPM/TTI tidak layak untuk menjadi model memperpendek
rantai tataniaga beras karena ongkos transaksi yang tinggi serta terdapatnya senjang
harga beras di pasar dan harga patokan disepakati dalam program tersebut yang
sangat besar. Senjang harga beras ini menciptakan peluang bagi gapoktan dan
penggilingan padi untuk dimanfaatkan namun tidak sesuai dengan aturan main yang
dibuat.
Kedua, jejaring distribusi beras melalui program RPK-Bulog belum dapat
bersaing karena ongkos transaksi yang juga tinggi dan infleksibilitas manajerial. Selain
itu, program ini dilakukan oleh bagian komersial Bulog sehingga harga penjualan beras
melalui jalur tataniaga ini mengikuti harga pasaran yang menyebabkan upaya menekan
harga beras secara umum sangat sulit dilakukan. Menimbang bahwa jumlah beras yang
dijual pada tataniaga ini sangat kecil dan karena yang melakukannya adalah divisi
komersialisasi Bulog dimana jumlah penjualannya sangat dibatasi maka akan sulit
untuk berkembang kedepannya terkait tugas utama Bulog untuk menyediakan beras
medium bersubsidi.
Ketiga, pemerataan wilayah produksi padi merupakan pilihan terbaik.Hal ini
dilakukan dengan prioritas pertama untuk menumbuhkan dan mengembangkan daerah-
daerah atau provinsi-provinsi sekitar lokasi atau area defisit. Dengan semakin
banyaknya wilayah-wilayah sentra produksi disekitar wilayah defisit akan memudahkan
penyaluran beras di daerah-daerah defisit tersebut dengan rantai pasok yang lebih
pendek dan ongkos tataniaga yang lebih murah. Selain itu, upaya pengembangan
wilayah-wilayah produksi akan mendukung peningkatan produksi gabah beras secara
nasional yang pada akhirnya mampu mendukung pencapaian swasembada beras.
19
VII. PENUTUP
Kajian ini merupakan salah satu penelitian analisis kebijakan yang dilakukan oleh tim
peneliti analisis kebijakan Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP)
pada akhir tahun 2016. Kajian ini dilakukan dalam waktu singkat dan hanya dilakukan
pada dua kabupaten di Jawa Barat dan Jawa Timur dan menggunakan data sekunder
dan sumber informasi melalui FGD dan wawancara dengan beberapa responden,
sehingga jika dilakukan dengan lokasi survei yang lebih luas dan jumlah responden
yang lebih banya, hasilnya bisa berbeda,
Kajian ini menggunakan studi kasus, sehingga tidak dapat menggambarkan secara
utuh dan lengkap terkait kondisi tataniaga beras yang ada di Indonesia. Hasil kajian ini
tidak dapat digunakan sebagai gambaran pasti kondisi tataniaga beras di Indonesia.
Hal ini dapat diatasi dengan menggunakan riset yang lebih besar.
DAFTAR PUSTAKA
Mubyarto. 1973. Pengantar Ekonomi Pertanian. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) . Jakarta. Nasruddin, Wasrob. 1999. Tataniaga Pertanian. [Diktat Kuliah]. Universitas Terbuka : Jakarta. Soekartawi. 1989. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian. Raja Grafindo Persada. Malang. Sihombing, Luhut. 2010. Tataniaga Hasil Pertanian. USU Press. Medan. (Online, usupress.usu.ac.id, diakses pada 13 Juli 2016). Utami, Yuniarni. 2009. Analisis Cabang Usahatani dan Tataniaga Pisang Raja Bulu (Musa paradisiaca. sp)(Kasus Desa Talaga, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat). [Skripsi]. Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Bogor.(Online,http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/15548, diakses pada 13 juli 2016)
Laporan Analisis Kebijakan 2016
KAJIAN KEBIJAKAN TATA NIAGA DAGING SAPI
MENDUKUNG KEDAULATAN PANGAN
Sub Tim Pengkaji:
Nyak Ilham
Saptana
KEMENTERIAN PERTANIAN
SEKRETARIAT JENDERAL
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN
2016
i
KATA PENGANTAR
Dalam tahun terakhir terjadi gejolak harga daging sapi. Diduga hal itu disebabkan
masalah kekurang lancaran pasokan, sementara harga di tingkat peternak rakyat
cenderung tetap. Kondisi ini memunculkan pertanyaan seberapa jauh sistem tata niaga
yang terbangun saat ini dinilai baik dan efisien, seberapa jauh pelaku pasar telah
bekerja dengan baik, dan seberapa jauh pemerintah dapat berperan untuk melakukan
tugasnya dalam mengatur dan mengintervensi pasar sehingga terbangun sistem tata
niaga yang baik dan efisien.
Upaya stabilisasi pasokan dan harga daging sapi, Kementerian Pertanian telah
melakukan kegiatan intervensi dengan pembukaan kran impor daging sapi dan daging
kerbau dari Australia dan India, dan mendorong Kelompok Tani Ternak menjual
langsung produk yang dihasilkan ke konsumen melalui Toko Tani Indonesia (TTI). Hal
yang sama dilakukan oleh BULOG dengan membangun Bulog Distribution Management
System (BDSM) dan mendirikan Rumah Pangan Kita (RPK). Kementerian Perhubungan
dan PT. Pelni memberikan fasilitas Kapal Ternak terkait dengan dibangunnya Tol
Lautuntuk memberi kemudahan akses Kelompok Tani Ternak dari sentra produksi NTT
ke sentra konsumen di Jakarta dan sekitarnya. Upaya tersebut ditujukan untuk
memotong rantai pasokan yang dianggap terlalu panjang dan tidak efisien. Dengan
upaya ini diharapkan peternak dapat menikmati harga yang wajar, pasokan lancar dan
konsumen dapat membeli dengan harga yang lebih murah.
Kepada semua pihak yang mendukung pelaksanaan penelitian hingga penulisan
laporan ini diucapkan terima kasih. Disadari sepenuhnya bahwa hasil penelitian ini
masih jauh dari sempurna, namun demikian diharapkan dapat memberikan manfaat
kepada pengambil kebijakan, peneliti, akademisi dan pembaca.
Bogor, Desember 2016
Kepala Pusat
Dr. Ir. Abdul Basit, MS
NIP.19610929 198603 1 003
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………………..……………………………………………………....... i
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………………. ii
DAFTAR TABEL ……………………………………………………………………………….. iii
DAFTAR GAMBAR ……………….………………………………………………………….... iv
I PENDAHULUAN …………………………………………………………………………. 1
1.1. Latar Belakang ................................................................... 1
1.2. Tujuan Penelitian ................................................................ 2
1.3. Output dan Manfaat………….................................................. 2
II METODOLOGI .............................................................................. 4
2.1. Kerangka Pemikiran ............................................................. 4
2.2. Ruang Lingkup Kegiatan ...................................................... 5
2.3. Lokasi dan Responden ………………......................................... 6
2.4. Data dan Metode Analisis ..................................................... 6
III HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 10
3.1. Kasus NTT – DKI Jakarta dan Sekitarnya…….……………………. 10
3.1.1. Kondisi yang Berlaku Menggunakan Kapal Kargo........... 10
3.1.2. Kondisi Introduksi Menggunakan Kapal Ternak …………. 16
3.2. Kasus Jawa Tengah – DKI Jakarta dan Sekitarnya………………. 21
3.2.1. Kondisi yang Berlaku…………………................................ 21
3.2.2. Kondisi Introduksi …………………………......................... 27
3.3. Kasus DKI Jakarta dan Sekitarnya………………………….……… 31
3.3.1. Kondisi yang Berlaku …………………………………………… 32
3.3.2. Kondisi Introduksi………………………………………………… 35
3.3.2.1. Model PD Dharma Jaya……………………………… 35
3.3.2.2. Model Bulog Distribution Management System
dan Rumah Pangan Kita Bulog….………………… 40
3.3.2.3. Toko Tani Indonesia Kementan……………………. 51
IV KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ...................................... 61
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 63
iii
DAFTAR TABEL
No. Teks Hal
1 Analisis Margin Tata Niaga Daging Sapi melalui Pedagang Penerima di Jakarta pada Pola Usahaternak Rakyat di NTT, 2016……………….. 15
2 Analisis Margin Tata Niaga Daging Sapi melalui PD Dharma Jaya
pada Pola Usahaternak Rakyat di NTT, 2016 …………………………….. 19
3 Analisis Margin Tata Niaga Daging Sapi melalui Pedagang Pengecer
pada Pola Usaha Ternak Rakyat di Jawa Tengah, 2016……………….. 26
4 Biaya dan Penerimaan Usaha Perdagangan Sapi Indukan di Jawa
Tengah, 2016………………………………………………………………………… 29
5 Omset Penjulan Daging Sapi beberapa Super market di DKI Jakarta dan Sekitarnya, Tahun 2016…………………………………………………….. 34
6 Jumlah Sapi yang Masuk RPH Cakung menurut Daerah Sal dan Jenis Sapi, Agustus-Oktober 2016……………………………………………………. 36
7 Pengelolaan Bahan Pangan Pokok di Indonesia Per 17 Juni 2016… 50
8 Penjualan Komoditas Pangan Komersial dan Harga jual Grosir dan Eceran Perum BULOG, serta Harga BPS, 2016……………………………. 52
iv
DAFTAR GAMBAR
No. Teks Hal
1 Rantai Tata Niaga Ternak dan Daging Sapi dari NTT ke Jakarta dan sekitarnya, 2016……………………………………………………………………. 13
2 Rantai tata niaga ternak dan daging sapi dari daerah sentra
produksi Kabupaten Pati, Provinsi Jawa untuk berbagai tujuan pasar, 2016………………………………………………………………………….. 22
3 Skema Usaha Pengusaha Peternakan Sapi Potong di Pati, 2016… 28
4 Rantai Pasok Ternak dan Daging Sapi di Kabupaten dan Kota
Semarang dan Salatiga, Provinsi Jawa Tengah 2015………………….. 30
5 Rantai Pasok Industri Daging Sapi PT. HNM mendekati Pola
Integrasi Total di Kabupaten Semarang Jawa Tengah, 2015………. 31
6 Rantai Pasok Ternak dan Daging Sapi di DKI Jakarta, 2016……….. 33
7 Rantai Pasok Usaha Perdgangan Ternak dan Sapi PD Dharma Jaya,
2016…………………………………………………………………………………… 38
8 Alternatif Rantai Pasok Pangan Bulog di Indonesia, 2016…………….. 44
9 Rantai Tataniaga Daging Sapi Model Toko Tani Indonesia……………. 55
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tata niaga adalah suatu sistem keseluruhan dari kegiatan-kegiatan yang
ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan dan
mendistribusikan barang dan jasa kepada kelompok pembeli. Semua unsur, baik
perorangan, perusahaan, atau lembaga yang secara langsung terlibat dalam proses
pengaliran barang dari produsen ke konsumen disebut lembaga tata niaga. Secara
umum, semakin panjang saluran distribusi yang dilalui suatu produk, semakin tinggi
harga yang harus dibayarkan konsumen akhir. Kondisi ini terkadang berdampak
dimana produsen/petani biasanya mendapatkan keuntungan yang kecil dibandingkan
pedagang.
Sistem tata niaga dianggap baik dan efisien apabila memenuhi tiga indikator:
(1) mampu menyampaikan hasil-hasil dari produsen kepada konsumen dengan harga
yang wajar, (2) mampu menjamin stabilisasi pasokan dan harga, dan (3) mampu
mengadakan pembagian yang adil dari keseluruhan harga yang dibayarkan
konsumen akhir kepada semua pihak yang ikut di dalam kegiatan produksi dan tata
niaga barang tersebut. Sistem tata niaga yang tidak efisien akan mengakibatkan
kecilnya keuntungan yang diterima oleh produsen, sehingga harga yang diterima
produsen dapat juga dijadikan ukuran efisiensi sistem tata niaga.
Dalam tahun terakhir terjadi gejolak harga pangan strategis nasional, termasuk
daging sapi. Diduga hal itu disebabkan masalah kelancaran pasokan, sementara
harga di tingkat petani cenderung tetap. Kondisi ini memunculkan pertanyaan
seberapa jauh sistem tata niaga yang terbangun saat ini dinilai baik dan efisien,
seberapa jauh pelaku pasar telah bekerja dengan baik, dan seberapa jauh
pemerintah dapat berperan untuk melakukan tugasnya dalam mengatur dan kalau
perlu mengintervensi sehingga terbangun sistem tata niaga yang baik dan efisien.
Dalam upaya stabilisasi pasokan dan harga pangan pokok tersebut,
Kementerian Pertanian telah melakukan kegiatan intervensi. Untuk komoditas daging
2
sapi, dilakukan pembukaan kran impor daging kerbau dari India dan mendorong
Kelompok Tani Ternak menjualnya langsung produk yang dihasilkan ke konsumen
melalui Toko Tani Indonesia (TTI). Hal yang sama juga dilakukan oleh BULOG
dengan mendirikan Rumah Pangan Kita (RPK). Pemerintah, melalui Kementerian
Perhubungan dan PT. Pelni memberikan fasilitas Kapal Ternak terkait dengan
dibangunnya Tol Laut, untuk memberi kemudahan akses Kelompok Tani Ternak dari
sentra produsen ke sentra konsumen.
Upaya tersebut ditujukan untuk memotong rantai pasokan yang dianggap
terlalu panjang dan tidak efisien dan menyebabkan terjadinya permasalahan
kontinuitas pasokan, harga yang tidak stabil dan disparitas harga yang besar di
tingkat produsen dan konsumen. Dengan upaya ini diharapkan peternak dapat
menikmati harga yang wajar, pasokan lancar dan konsumen dapat membeli dengan
harga yang lebih murah.
Pertanyaannya adalah apakah langkah intervensi tersebut dapat berlanjut ke
depan untuk menggantikan sistem tata niaga yang selama ini telah terbangun sekian
lama? Apakan langkah intervensi tata niaga tersebut dapat dilaksanakan secara
nasional atau hanya bersifat lokal? dan Apakah kebijakan intervensi tersebut
berakibat ongkos sosial besar yang harus ditanggung pemerintah dan masyarakat.
1.2. Tujuan
Tujuan umum kajian ini ialah merumuskan alternatif tata niaga komoditas
strategis yang baik dan efisien. Secara rinci, tujuan kajian ini ialah:
1. Mengkaji sistem tata niaga komoditas strategis daging sapi yang berlaku saat
ini,
2. Mengevaluasi efektifitas sistem tata niaga yang berlaku di pasar umum dan
sistem tata niaga introduksi,
3. Merumuskan rekomendasi alternatif sistem tata niaga komoditas strategis yang
dinilai baik dan efisien.
3
1.3. Output dan Manfaat
Hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan alternatif rumusan kebijakan
sistem tata niaga komoditas daging sapi yang dinilai baik dan efisien. Hal itu dapat
tercermin dari perbaikan penyampaian hasil ternak sapi dari produsen kepada
konsumen dalam bentuk daging dengan harga yang wajar, harga stabil, dan terjadi
pembagian keuntungan yang adil diantara pelaku tata niaga.
4
II. METODOLOGI
2.1. Kerangka Pemikiran
Istilah tata niaga sering juga diartikan sama dengan pemasaran atau distribusi
yaitu suatu macam kegiatan ekonomi yang berfungsi membawa atau menyampaikan
barang dari produsen ke konsumen (Mubyarto, 1973). Menurut Sihombing (2010),
kegiatan tata niaga adalah sebagian dari kegiatan distribusi. Distribusi menimbulkan
suatu kesan seolah-olah orang-orang yang bergerak di dalam bagian ini bersifat
statis, menunggu saja apa yang akan mereka peroleh dari produsen untuk dibagi-
bagikan lagi kepada konsumen.
Fungsi tata niaga mengusahakan agar pembeli memperoleh barang yang
diinginkan pada tempat, waktu dan bentuk serta harga yang tepat. Fungsi tata niaga
terdiri dari tiga fungsi pokok, yaitu: (1) Fungsi pertukaran, meliputi: (a) penjualan,
yaitu menjual barang kepada konsumen dengan harga yang memuaskan dan (b)
pembelian, yaitu membeli barang dari penjual dan kemudian menjualnya kembali
dengan harga yang telah disepakati; (2) Fungsi pengadaan secara fisik, meliputi: (a)
pengangkutan, yaitu pemindahan barang dari tempat produksi dan atau tempat
penjualan ke tempat-tempat dimana barang tersebut akan terpakai (kegunaan
tempat), dan penyimpanan, yaitu penahanan barang selama jangka waktu antara
dihasilkan atau diterima sampai dijual (kegunaan waktu) serta pengolahan; (3)
Fungsi pelancar/fasilitas, meliputi : (a) pembiayaan, yaitu mencari dan mengurus
modal uang yang berkaitan dengan transaksi-transaksi dalam arus barang dari sektor
produksi sampai sektor konsumsi, (b) penanggungan risiko, usaha untuk mengelak
atau mengurangi kemungkinan rugi karena barang yang rusak, hilang, turunnya
harga dan tingginya biaya, (c) standardisasi dan grading, yaitu penentuan atau
penetapan dasar penggolongan (kelas atau derajat) untuk barang dan memilih
barang untuk dimasukkan ke dalam kelas atau derajat yang telah ditetapkan dengan
jalan standardisasi, dan (d) informasi pasar, yaitu mengetahui tindakan-tindakan
5
yang berhubungan dengan fakta-fakta yang terjadi, penyampaian fakta, menafsirkan
fakta dan mengambil kesimpulan akan fakta yang terjadi.
Saluran tata niaga adalah jalur yang dilalui komoditas dari titik produsen
sampai titik konsumen akhir. Dengan mengikuti saluran tata niaga dapat diketahui :
(a) jumlah produk yang dijual petani kepada tengkulak atau langsung ke konsumen
akhir atau ke pedagang besar, (b) peranan dari pelaku tata niaga termasuk peranan
petani dan (c) tempat terjadinya informasi. Panjang pendeknya saluran tata niaga
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain : (a) jarak produsen – konsumen, (b)
cepat lambatnya produk rusak (c) skala produksi, (d) posisi keuangan perusahaan,
(e) derajat standardisasi, (f) kemewahan produk, (g) nilai unit dari produk, (h)
bentuk pemakaian produk, dan (i) struktur pasar (Nasruddin, 1999). Lembaga tata
niaga mempunyai peranan dalam menjembatani kesenjangan-kesenjangan yang ada
antara titik produsen dan titik konsumen, yang menyangkut kesenjangan karena
waktu, bentuk, pemilikan, informasi dan nilai. Lembaga atau perantara tata niaga
dapat dibagi ke dalam dua golongan, yaitu pedagang perantara dan agen perantara.
Golongan yang pertama menguasai dan memiliki barang, sedangkan golongan yang
kedua menguasai tetapi tidak memiliki barang dagangan.
Keragaan pasar merupakan hasil akhir yang dicapai akibat dari penyesuaian
yang dilakukan oleh lembaga tata niaga pada struktur pasar tertentu, didefinisikan
sebagai seberapa bagus sistem pemasaran bisa memenuhi harapan masyarakat dan
pelaku pasar. Secara teoritis keragaan suatu industri ditentukan oleh dua faktor yaitu:
struktur industri (jumlah dan ukuran perusahaan, derajat diferensiasi produk, dan
kemudahan keluar masuk pasar); dan market conduct (harga di tingkat produsen,
produk dan strategi promosi). Ada tiga indikator penting yang menggambarkan
keragaan pasar, yaitu biaya tata niaga, marjin tata niaga dan harga.
2.2. Ruang Lingkup Kegiatan
Kajian ini dilakukan pada saluran tata niaga yang eksisting dan saluran tata
niaga introduksi sejak dari ternak hingga daging sapi. Cakupan lokasi mewakili
daerah produsen sapi dan konsumen daging sapi.
6
2.3. Lokasi Penelitian dan Responden
Kajian ini mengambil lokasi sentra produksi di Jawa yaitu Provinsi Jawa
Tengah khususnya Kabupaten Pati dan Kabupaten Grobogan dan di luar Jawa yaitu
Provinsi NTT khususnya di Kota dan Kabupaten Kupang. Selain itu, data dan
informasi diperoleh juga dari institusi terkait di sentra Konsumsi DKI Jakarta
Responden yang digunakan mencakup peternak anggota KTT Setetes Madu
Kabupaten Kupang 10 orang, KTT di Jawa tengah Loh Jinawi dua orang dan KTT
Tayu Pati dua orang, pedagang dalam provinsi Jawa Tengah di Kabupaten Pati tiga
orang, pedagang antar provinsi Jawa Tengah empat, pedagang antar provinsi NTT 15
orang, asosiasi pedagang pengirim NTT empat orang, pedagang pada TTI Center di
Jakarta dua orang, dan perwakilan supermarket di DKI Jakarta delapan orang.
Selain itu juga diwawancarai berbagai pejabat terkait pada Dinas yang
membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan Provinsi DKI Jakarta delapan
orang, Provinsi NTT empat orang, Kabupaten Kupang tujuh orang, Dinas
membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan di kabupaten/kota lain di NTT
tujuh orang. Kabupaten Pati tiga orang, Kabupaten Grobogan tiga orang, Balai
Karantina Kelas I Tenau Kupang tiga orang, Puskud NTT satu orang, PT. Pelni
Cabang NTT dua orang, Direktorat Lala Kemenhub NTT tiga orang, Badan Pengelola
Perizinan Satu Pintu satu orang, Bulog empat orang, dan PD. Darma Jaya Jakarta tiga
orang. Secara keseluruhan responden dalam kajian ini sebanyak 99 orang.
2.4. Data dan Metode Analisis
Data dan informasi dikumpulkan melalui wawancara menggunakan pedoman
wawancara dan melalui FGD. Kegiatan FGD dilakukan bersamaan dengan kegiatan
yang dilakukan oleh Pihak Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan di Kota Kupang
dan yang dilakukan oleh Dinas Kelautan, Pertanian dan Ketahanan Pangan DKI
Jakarta di Jakarta dengan melibatkan berbagai pihak terkait.
Metoda analisis yang digunakan didasarkan kepada analisis fungsi-fungsi tata
niaga yaitu analisis Struktur, Perilaku, dan Keragaan (Structure, Conduct, and
7
Performance-SCP), Biaya dan Marjin Tata niaga, Efisiensi Pemasaran dan Analisis
Efektivitas Kebijakan Pemerintah.
a. Struktur Pasar
Struktur pasar dalam suatu industri akan menentukan perilaku dan kinerja
pasar tersebut. Struktur pasar menjelaskan tentang definisi industri dan perusahaan,
mengenai jumlah pelaku yang ada dalam satu pasar, distribusi perusahaan dengan
berbagai ukuran dan diferensiasi produk, serta syarat-syarat keluar masuk pasar
(Azzaino, 1981). Menurut Dahl dan Hammond (1977) terdapat empat karakteristik
untuk menentukan struktur pasar yaitu: (1) jumlah perusahaan yang terdapat pada
suatu pasar; (2) diferensiasi produk; (3) kemudahan memasuki pasar; (4) status
pengetahuan tentang biaya, harga dan kondisi pasar diantara pelaku pemasaran.
Beberapa ukuran untuk melihat struktur pasar adalah: (a) konsentrasi pasar
(market concentration) diukur berdasarkan persentase dari penjual atau aset atau
pangsa pasar; (b) Kebebasan keluar-masuk (exit-entry) pasar bagi calon penjual; dan
(c) diferensiasi produk (product differentiation) dengan mengubah kurva permintaan
yang elastis menjadi kurva permintaan yang inelastis (Asmarantaka, 2009). Pasar
dapat diklasifikasikan sebagai pasar persaingan sempurna (banyak pembeli dan
penjual), monopolistik (banyak perusahaan), oligopoly (sedikit perusahaan) atau
monopoli (perusahaan tunggal). Pada struktur pasar yang berbeda sistem
pemasarannya juga berbeda.
b. Perilaku Pasar
Perilaku pasar merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan perusahaan untuk
mencapai tujuan tertentu. Terdapat tiga kriteria untuk melihat perilaku pasar yaitu
strategi harga, kondisi entry dan tipe produk. Perilaku pasar mencakup
(Asmarantaka, 2009; Saptana dan Saliem, 2015): (a) Penentuan harga dan jumlah
output, secara bersama-sama atau price leadership; (b) Perilaku dalam kerjasama
antar pelaku usaha dapat direfleksikan oleh pola interaksi dan koordinasi antar
pelaku; (c) Kebijakan promosi produk (product promotion policy), melalui pameran
8
atau iklan atas nama perusahaan (Commodity Check of Program & Levy System);
dan (d) Predatory and Exclusivenary, strategi ini bersifat ilegal karena bertujuan
untuk mendorong perusahaan pesaing keluar dari pasar.
Perilaku pasar mengacu pada pola perilaku yang diikuti perusahaan-
perusahaan dalam menyesuaikan diri dengan pasar di mana mereka menjual atau
membeli. Perilaku itu meliputi metode dan kriteria yang digunakan oleh perusahaan
atau kelompok perusahaan dalam menentukan keluaran, kebijakan penetapan harga,
kebijakan produk, dan kebijakan promosi mereka serta hubungan mereka satu sama
lain. Mempelajari perilaku pasar yang tercermin dalam aksi yang dilakukan oleh suatu
perusahaan atau pembeli sangat membantu dalam memahami pemasaran.
c. Keragaan Pasar
Keragaan adalah hasil dari kekuatan perusahaan dan perilaku perusahaan
(Azzaino, 1981; Asmarantaka, 2009). Keragaan pasar merupakan hasil akhir yang
dicapai akibat dari penyesuaian yang dilakukan oleh lembaga tata niaga pada struktur
pasar tertentu, didefinisikan sebagai seberapa bagus sistem pemasaran bisa
memenuhi harapan masyarakat dan pelaku pasar. Secara teoritis keragaan suatu
industri ditentukan oleh dua faktor yaitu: struktur industri (jumlah dan ukuran
perusahaan, derajat diferensiasi produk, dan kemudahan keluar masuk pasar); dan
market conduct (harga di tingkat produsen, produk dan strategi promosi)
d. Biaya dan Marjin Tata Niaga
Marjin tata niaga didefinisikan sebagai perbedaan harga atau selisih harga yang
dibayar konsumen dengan harga yang diterima petani produsen atau dapat pula
dinyatakan sebagai nilai dari jasa-jasa pelaksanaan kegiatan tata niaga sejak dari
tingkat produsen sampai ke titik konsumen akhir. Pengeluaran yang harus dilakukan
untuk menyalurkan komoditi dari produsen ke konsumen disebut biaya tata niaga
(Utami, 2009). Hammond dan Dahl (1977), yang dikutip dalam Utami (2009),
menyatakan bahwa marjin tata niaga menggambarkan perbedaan harga di tingkat
konsumen dengan harga ditingkat produsen. Setiap lembaga pemasaran melakukan
9
fungsi-fungsi pemasaran yang berbeda sehingga menyebabkan perbedaan harga jual
dari lembaga satu dengan yang lainnya sampai ke tingkat konsumen akhir. Tomeck
dan Robinson (1990) mendefinisikan margin pemasaran (tata niaga) adalah: (1)
perbedaan harga yang dibayar konsumen dan harga yang diterima produsen, atau
(2) sebagai harga yang dibayar untuk balas jasa pelaku tata niaga yang dipengaruhi
oleh permintaan dan penawaran jasa tersebut. Termasuk dalam margin tata niaga
adalah seluruh biaya pemasaran (marketing cost) yang dikeluarkan oleh pelaku tata
niaga mulai dari gerbang petani sampai konsumen akhir dan keuntungan pemasaran
(marketing profit) yang merupakan balas jasa pelaku tata niaga dalam menjalankan
fungsinya.
e. Analisis Efektivitas Kebijakan Pemerintah.
Dalam melancarkan pasokan pangan strategis, stabilisasi pasokan dan harga
pangan pokok dan mengurangi disparitas harga pangan antara produsen dan
konsumen, Pemerintah melalui Kementerian Pertanian melakukan kegiatan intervensi
dengan cara mendorong dilakukannya pembelian langsung sapi dari peternak dan
atau mendorong Kelompok tani menjualnya langsung ke konsumen melalui Toko Tani
Indonesia (TTI). Kebijakan tersebut perlu dievaluasi dalam hal kemungkinannya
dapat dikembangkan berlanjut ke depan untuk menggantikan sistem tata niaga yang
selama ini telah terbangun, apakah kebijakan tersebut dapat dilaksanakan secara
nasional atau hanya bersifat lokal, dan ongkos sosial yang kemungkinan ditanggung
pemerintah dan masyarakat.
10
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Kasus NTT – DKI Jakarta dan Sekitarnya
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu sentra produksi
sapi potong nasional. Produk sapi siap potong dari daerah ini dijual untuk kebutuhan
lokal dan antar provinsi. Tujuan utama perdagangan sapi antar provinsi adalah DKI
Jakarta dan Kalimantan Timur. Moda transportasi yang digunakan dalam kegiatan
perdagangan antar provinsi yang juga termasuk kategori antar pulau adalah kapal
laut. Selain dalam bentuk ternak hidup, dari daerah ini ada juga perdagangan daging
sapi ke provinsi lain, khususnya DKI Jakarta dan Surabaya menggunakan moda
pesawat udara dan tujuan Makasar menggunakan kapal penumpang (Ilham, et al.
2013).
Selama ini pengangkutan sapi ke daerah tujuan pemasaran menggunakan
kapal laut berupa kapal kargo. Kelemahan penggunaan kapal kargo adalah:
jadwalnya tidak dapat dipastikan karena tergantung ada tidaknya muatan kargo
menuju ke arah kawasan timur Indonesia, dan saat kembali ke arah Barat dalam
keadaan kosong digunakan untuk mengangkut sapi; (2) karena berupa kapal kargo,
fasilitas loading dan unloading sapi menggunakan crane layaknya untuk barang
umum, sehingga menyiksa ternak dan melanggar aspek kesejahteraan hewan; dan
(3) ada kecenderungan penggunaan kapal hanya dilakukan oleh pelaku usaha
tertentu yang mengarah ke monopsoni dalam hal penggunaan jasa angkutan,
sehingga pelaku usaha lain menjadi terhambat. Berdasarkan hal itu, Pemerintah
memberi fasilitas khusus berupa kapal ternak yang diberi nama Kapal Camara
Nusantara 1 (KCN-1) untuk mengangkut sapi dari Pelabuhan Tenau dan Waingapu
NTT. Jalur angkutan menggunakan KCN-1 merupakan rantai pasok introduksi.
3.1.1. Kondisi yang Berlaku Menggunakan Kapal Kargo
Daerah sentra produksi sapi di Provinsi NTT sangat menyebar dengan sentra
produksi utama di Kabupaten Kupang, TTS, TTU, serta Sumba dan Sumbawa.
11
Kabupaten Kupang tersebar di 10 kecamatan. Daerah sentra produksi peternakan
sapi yang berkembang sejak lama hingga kini adalah Kecamatan Amarase, Angfoang
Utara, Angfoang Selatan dan Angfoang Tengah, Angfoang Timur, Angfoang Barat
Daya, Angfoang Barat Laut, Fatuleu Barat, Fatuleu Tengah, Fatuleu Timur dan
Fatuleu, Kecamatan Sulamu, dan Kecamatan Takari. Pola usahaternak ada yang
dilepas bebas selama 1 kali per minggu sapi pulang, dilepas di padang
penggembalaan dan atau diikat, atau dilepas siang dan malam dikandangkan.
Umumnya pada saat sapi pulang ke kandang (palang) sapi diberikan hijauan pakan
lamtoro, jerami, atau rumput alam. Umumnya sapi yang dilepas di padang
penggembalaan diberi cap bakar dengan model yang variasi.
Sebagian besar sumber perolehan ternak sapi oleh Pedagang Pengirim untuk
tujuan Jakarta dan sekitarnya hanya berasal dari Kabupaten Kupang, Kota Kupang,
dan Timor Tengah Selatan (TTS). Sebagian besar diperoleh dari Pasar Hewan (70-
80%), pedagang pengumpul desa/pedagang pengepul (10-20%), usaha
penggemukan sendiri (5-10 %) dan petani peternak (5 %). Setiap hari pasaran
pedagang pengirim bisa mendapatkan 20-50 ekor, kekurangannya dari stok sapi di
kandang penampungan milik sendiri.
Pola pengadaan yang dilakukan adalah melakukan pembelian dari pedagang
pengepul desa terutama dilakukan di pasar hewan. Pasar hewan mulai buka dini hari
hingga jam 12 siang. Hubungan antara pembeli dan penjual bebas dan terdapat
beberapa pedagang langganan tanpa ikatan. Kemudian ditampung di kandang
penampungan selama 7-14 hari kemudian dikirim melalui kapal kargo baik ke Jakarta
dan sekitarnya (20-30%) maupun ke Kalimantan Timur (70-80%). Sisa sapi yang
belum mencapai berat 250-275 Kg digemukkan terlebih dahulu, sekitar 1-2 bulan
untuk mencapai berat 275 Kg/ekor baru dikirim ke Jakarta dan sekitarnya atau
Kalimantan Timur.
Pada tahun 2016 terdapat daftar pengusaha 120 pedagang pengirim di NTT
dengan kuota 65.000 ekor sapi dan jumlah realisasi pengiriman sudah mencapai
55.000 ekor/tahun untuk tujuan Jakarta dan sekitarnya dan kalimantan Timur, kuota
12
kerbau 5.500 ekor dengan realisasi pengiriman 4.079 ekor untuk tujuan Sulawesi
Selatan, dan kuota Kuda 6.170 ekor dengan realisasi pengiriman 5.119 ekor untuk
tujuan Sulawesi Selatan. Pada tahun 2017 diperkirakan pengiriman keluar sebanyak
70.000 – 76.000 ekor.
Dalam pengiriman sapi ke Jakarta dan sekitarnya ada dua moda transportasi
yaitu kapal kargo dan kapal ternak Kapal Camara Nusantara 1 (KCN-1). Pada saat
hanya menggunakan kapal kargo pengiriman sapi dari NTT ke luar sebesar 55.000
ekor dan setelah adanya satu kapal ternak KCN-1 pengiriman mencapai 65.000
ekor/tahun. Pada waktu pengiriman dengan karga frekuensi pengiriman hanya 12-18
kali/tahun, setelah ada kapal KCN-1 frekuensi pengiriman menjadi 24-25 kali/tahun.
Sementara itu, dengan kapasitas pengiriman saat hanya dengan kapal kargo
sebanyak 250 ekor dan setelah ada KCN-1 mampu mencapai 500 ekor/pengiriman.
Setiap pengiriman ternak sapi baik dengan kapal kargo maupun kapal KCN-1
harus melalui pemeriksaan Balai Karantina Pertanian KLS Sikupang. Prosedur
persyaratan sudah lebih disederhanakan, jika dulu ada 14 persyaratan (check list)
sekarang tinggal sedikit. Beberapa kegiatan yang dilakukan jasa karantina: (a) jasa
kandang inap sebesar Rp 500,-/ekor; (b) pengasingan Rp 500,-/ekor; (c) perlakuan
disinfektan Rp 500,-/ekor; (d) pengujian laboratorium Rp 5000,-/ekor terdiri atas uji
RBT secara random yang dicurigai sebanyak 10 % dan uji laboratorium Rp 5.000,-
/ekor; (e) sertifikat untuk setiap perusahaan per pengapalan sebesar Rp 5.000,-/ekor.
Total biaya dikarantina diperkirakan sebesar Rp 10.000,-/ekor. Jika secara
laboratorium ada RBT maka langsung dilakukan pemotongan. Pola perdagangan
ternak di Kabupaten Kupang untuk tujuan Jakarta dapat dilihat pada Gambar 1.
Jumlah perusahaan yang mengirim sapi dari Pelabuhan Tenau dan Waing Apu
tujuan Pelabuhan Tanjung Priok berkisar antara 4-11 pengusaha dengan jumlah
pengiriman 353 ekor -511 ekor. Biaya transportasi dengan kapal kargo mencapai Rp
1.100.000,-/ekor, sedangkan dengan Tol Laut KCN-1 hanya Rp 650.000 karena ada
subsidi pemerintah ke Kementerian Perhubungan. Biaya tersebut sudah mencakup
transportasi/angkut, pakan dan minum, pengawal (klader), serta retribusi.
13
Gambar 1. Rantai Tata Niaga Ternak dan Daging Sapi dari NTT ke Jakarta dan
sekitarnya, 2016
Harga jual sapi ditingkat petani peternak bervariasi, tergantung cara
pembelian, kalau jogrok harga antara Rp 32.000-33.000,-/Kg bobot hidup,
sedangkan harga dengan sistem timbang sebesar Rp. 29.000 – 31.000,-/Kg bobot
hidup atau rata-rata Rp 30.000,-/Kg, sementara itu harga di Holding
Ground/Karantina Rp 33.000/Kg bobot hidup. Perbedaan harga antara sistem
timbang dan jogrok disebabkan pada sistem timbang pedagang pengepul
memberikan pakan yang dicampur air yang banyak, sehingga timbangannya berat.
Sementara itu harga jual di Jakarta dan sekitarnya relatif sama, yaitu sebesar Rp
43.000,-/Kg. Batas bobot sapi yang bisa dikirim keluar menurut Pergub adalah 275
Kg/ekor, yang bobot kurang dikembalikan untuk digemukkan kembali, namun
kenyataannya bobot 250 Kg dapat dikirim.
Setiap pedagang pengirim untuk tujuan Jakarta dan sekitarnya sudah memiliki
pelanggan masing-masing. Sebagai ilustrasi Pak Mahmud Mukhlis pedagang pengirim
dari NTT memiliki 2 pedagang penerima di Jakarta yang menjadi langganannya, yaitu
PT HD/Pak Hendrik dan UD Faqih/Pak H. Faqih di Pulo Gadung. Selanjutnya dari PT
Peternak PP Desa/
PUSKUD
Pasar
Hewan
P Pengirim/ P Antar Pulau
Pedagang Penerima Jakarta/Pedagang
Pemotong
Pedagang Grosir/ Pengecer Pasar
Konsumen
RM-Resto/ HORECA
Konsumen
Rumah Tangga
Pasar Modern (SM/HM,
Meatshop)
14
HD dijual kepada pedagang pemotong di Jakarta dan sekitarnya, sedangkan UD Faqih
dijual ke PD Dharma Jaya. Berdasarkan wawancara dengan pedagang pengirim dari
NTT profit margin dalam bisnis pengiriman sapi ke Jakarta dan sekitarnya relatif sama
antar pedagang yang berkisar antara Rp 2000-5000,-/Kg berat hidup.
Permasalahan pokok yang dihadapi dalam bisnis antar pulau sapi adalah: (a)
peoses pemberian surat rekomendasi dari daerah kabupaten asal ternak tergolong
lama (7-14 minggu); (b) Dinas Peternakan Kabupaten/Kota dipandang kurang adil
dalam memberikan surat ijin rekomendasi, jika hubungan baik dapat kuota banyak,
jika tidak dapat kuota sedikit; dan (c) Persyaratan sapi lebih besar 275 Kg/ekor sulit
dipenuhi, karena umumnya sapi dijual oleh peternak 250 kg/ekor.
Pada Tabel 1 menyajikan secara rinci biaya yang dikeluarkan oleh masing-
masing pelaku tata niaga serta marjin tata niaga yang diterima pelaku tata niaga
ternak sapi dan daging sapi asal peternak rakyat NTT untuk tujuan pedagang
penerima/pedagang pemotong di Jakarta dan sekitarnya. Berdasarkan struktur biaya,
serta harga beli dan harga jual pada masing-masing tingkatan pelaku tata niaga
diperoleh beberapa informasi pokok sebagai berikut: (a) Besarnya total margin tata
niaga setara daging sapi sebesar Rp 16.170,-/Kg, yang terdiri atas biaya margin tata
niaga Rp 7.010,-Kg dan keuntungan yang diterima oleh seluruh pelaku tata niaga
sebesar Rp. 9.160,-/Kg; (c) Secara berturut-turut biaya tata niaga yang dikeluarkan
oleh masing-masing pelaku tata niaga adalah pedagang pengirim dari NTT ke
pedagang penerima di Jakarta sebesar Rp 3.740,-/Kg, pedagang pengumpul
desa/antar desa sebesar Rp. 1.600,-/Kg, dan pedagang pengecer sebesar Rp. 950,-
/Kg; (d) Secara berturut-turut keuntungan terbesar diterima oleh pedagang
pedagang pengirim ke Jakarta sebesar Rp. 3.540,-/Kg, pedagang pengecer 2.500,-
/Kg, pedagang pengumpul desa/antar desa sebesar Rp. 2.400,-/Kg; dan (e) Dengan
demikian pedagang yang memperoleh keuntungan total terbesar adalah pedagang
pengirim NTT ke Jakarta dan sekitarnya, karena volume penjualan yang besar
ditambah keuntungan per unit juga terbesar.
15
Tabel 1. Analisis Margin Tata Niaga Daging Sapi melalui Pedagang Penerima di
Jakarta pada Pola Usahaternak Rakyat di NTT, 2016
No Uraian Biaya/Harga (Rp/Kg)
I Peternak 31.000
II Pedagang Pengepul/agen/broker
1. Harga Beli Sapi Hidup (Rp/Kg) 31.000
2. Biaya yang dikeluarkan
a. Biaya Transportasi 1000
b. Bongkar-muat 200
c. Biaya handling/Packing 100
d. Biaya Penampungan/penyimpanan 250
e. Biaya Lainnya (retribusi) 50
Sub Total Biaya 1.600
3. Harga jual 35.000
4. Keuntungan 2.400
III Pedagang Pengirim
1. Harga Sapi Hidup (Rp/Kg) 35.000
2. Biaya yang dikeluarkan
a. Biaya Transportasi ke kapal 1000
b. Bongkar-muat 100
c. Biaya pengapalan 2.400
d. Biaya klader/pengawalan 120
e. Biaya pakan 50
a. Biaya karantina 50
b. Biaya lainnya 20
Sub Total Biaya 3.740
3. Harga jual 43.000
4. Keuntungan 3.540
IV Pedagang Penerima/Pemotong
1. Harga Beli 43.000
2. Biaya yang dikeluarkan
a. Biaya Transportasi 450
b. Bongkar-muat 100
c. Biaya pakan 100
d. Biaya penampungan 50
e. Biaya lainnya 20
Sub Total Biaya 720
3. Harga jual (Kg) 45.000
4. Keuntungan 1.280
16
Tabel 1. Analisis Margin Tata Niaga Daging Sapi melalui Pedagang Penerima di
Jakarta pada Pola Usahaternak Rakyat di NTT, 2016 (Lanjutan)
No Uraian Biaya/Harga (Rp/Kg)
V RPH
1. Harga beli 45.000
2. Jasa pemotongan 225
3. Biaya penanganan 75
Total Biaya 300
4. Harga konversi daging sapi 90.000
5. Harga jual tingkat RPH 90.300
VI Pedagang Pengecer Pasar
1. Harga beli 90.300
2. Biaya angkut 400
3. Biaya penanganan 100
4. Biaya penanganan 100
5. Sewa tempat 25
6. Biaya tenaga kerja 300
7. Biaya retribusi 25
Total biaya 950
Harga jual 93.750
Keuntungan 2.500
3.1.2. Kondisi Introduksi Menggunakan Kapal Ternak
Sebelum tanggal 6 Desember tahun 2015 distribusi ternak dari NTT ke Jakarta
menggunakan kapal kargo dengan rute Kupang – Surabaya – Jakarta. Pada saat itu
jadwal kapal tidak teratur dan cenderung lama sehingga menambah biaya distribusi
berupa biaya perawatan sapi di kandang pengumpulan dan karantina serta
menyusutnya berat badan sapi. Keterbatasan kapal saat itu, menyebabkan banyak
pedagang tidak memiliki akses menggunakan jasa angkutan ternak dengan kapal
kargo.
Untuk melancarkan sistem distribusi dengan harapan memotong rantai tata
niaga, pemerintah menyediakan fasilitas Kapal Ternak Camara Nusantara-1 dengan
rute awalnya Kupang – Cirebon – Jakarta dan kemudian menjadi Kupang – Jakarta.
Selain itu, penyediaan kapal ternak dapat meningkatkan akses para pedagang
17
pengirim dari NTT ke Jakarta dengan kepastian jadwal sehingga membuka suasana
menjadi kompetitif dan efisien.
Upaya memotong rantai pasok antara lain didukung dengan membangun
koperasi yang beranggotakan peternak. Dimana diharapkan peternak melalui
koperasi merupakan salah satu pengguna fasilitas kapal ternak. Untuk kelancaran
pemanfaatan kapal ternak, pemerintah melalui Kementerian Perhubungan
memberikan subsidi untuk biaya angkut ternak, dengan harga Rp300.000/ekor. Jika
dibandingkan dengan kapal kargo, untuk mengirim satu ekor dari Kupang ke Jakarta
dibutuhkan biaya Rp1.100.000. Sementara itu dengan kapal ternak bersubsidi,
ditambah biaya pakan dan pengawal hanya Rp700.000/ekor.
Sebenarnya pedagang pengirim tidak harus menyediakan pakan ternak selama
pelayaran karena sudah disiapkan pihak pengelola kapal ternak. Namun dalam
prakteknya, pakan yang selama ini disediakan pengelola kapal tidak disukai oleh
ternak sapi asal Kupang, TTS, dan Rote. Ke depan pihak pengelola kapal berusaha
menyediakan pakan yang layak dan disukai ternak. Penyediaan pakan bergizi dan
memiliki palatabilitas (daya suka) tinggi sangat diperlukan dalam proses distribusi
sapi melalui kapal agar penyusutan berat badan dapat dikurangi.
Pemberian subsidi dan fasilitas kapal ternak diharapkan dapat meningkatkan
daya saing produk karena biaya transportasi murah dan penyusutan berat badan sapi
berkurang. Data akurat mengenai penyusutan berat badan yang berkurang belum
diperoleh karena sapi yang diangkut dari Kupang selama ini beratnya tidak ditimbang,
tetapi hanya diperkirakan. Akan tetapi sapi yang diterima pedagang di Jakarta,
umumnya ditimbang. Ke depan diharapkan sapi yang menggunakan kapal ternak
beratnya ditimbang saat di daerah asal dan setelah sampai ke daerah tujuan.
Sejak pertama beroperasi yang merupakan masa uji coba pada tanggal 6
Desember 2015, KCN-1 mengangkut sebanyak 353 ekor. Hingga tanggal 9 Nopember
2016, sudah terangkut 21 kali dengan jumlah sapi 10.371 ekor atau rata-rata 494
ekor per pelayaran. Untuk meningkatkan pelayanan terhadap sapi selama pelayaran,
18
para pengawal sapi atau kleder yang merupakan anak buah pedagang pengirim
sudah dilatih sebanyak 40 orang di Surabaya.
Adanya beberapa syarat bagi pengguna kapal ternak, seperti melaporkan
harga beli sapi oleh pedagang pengirim dan harga jual daging oleh pedagang
penerima dengan harga tertentu, menyebabkan banyak penolakan yang dilakukan
pedagang. Namun lama kelamaan, peminat pengguna kapal ternak semakin
meningkat. Oleh karena itu harus ada kesepakatan siapa yang boleh naik dan dengan
kriteria apa saja. Saat ini, jumlah perusahaan perdagangan ternak antar pulau yang
mendapat izin dari Kupang, Waingapu dan Flores tercatat ada 120 unit . Tidak
diketahui dari 120 unit tersebut jumlah pemiliknya berapa, yang penting harus
dipikirkan apa kriteria untuk dapat memanfaatkan kapal ternak sehingga proses
pengirimnya memiliki kehandalan, sehingga semua pihak terkait memperoleh
manfaat.
Sebelum menggunakan kapal KCN-1, penggunaan kapal kargo dapat
menyebabkan berat badan sapi susut antara 10-15 persen. Penggunaan Kapal KCN-1
seharusnya dapat mengurangi susut berat badan. Untuk itu perlu tersedia fasilitas
berupa hlding ground (HG) untuk menampung ternak sebelum dikirim menggunakan
kapal. Selama ini HG identik dengan instalasi karantina. Karena tidak tersedia
karantina, maka sapi yang akan dikirim melalui karantina tidak bisa all in-all out, akan
tetapi masuh dicicil dan keluar sesuai kapasitas kapal. Akibatnya sapi berada di
karantina melebihi batas waktu, jika kondisi karantina kurang memadai dapat
menyebabkan sapi stress dan terjadi penurunan berat badan sebelum sapi diangkut
ke kapal. Jika tersedia HG, maka pelayanan di karantina diharapkan dapat dilakukan
secara all in-all out untuk memudahkan dan efisiensi pelayanan dan mengurangi
susut berat badan sapi.
Pada Tabel 2 menyajikan secara rinci biaya yang dikeluarkan oleh masing-
masing pelaku tata niaga serta marjin tata niaga yang diterima pelaku tata niaga
ternak sapi dan daging sapi asal peternak rakyat NTT untuk tujuan PD Dharma Jaya
melalui RPH Cakung. Berdasarkan struktur biaya, serta harga beli dan harga jual
19
Tabel 2. Analisis Margin Tata Niaga Daging Sapi melalui PD Dharma Jaya pada Pola
Usahaternak Rakyat di NTT, 2016
No Uraian Biaya/Harga (Rp/Kg)
I Peternak 32.000
II Pedagang Pengepul/agen/broker
1. Harga Beli Sapi hidup (Rp/Kg) 32.000
2. Biaya yang dikeluarkan
a. Biaya Transportasi 800
b. Bongkar-muat 200
c. Biaya handling/Packing 100
d. Biaya Penampungan 250
e. Biaya Lainnya (retribusi) 50
Sub Total Biaya 1.400
3. Harga jual 35.000
4. Keuntungan 1.600
III Pedagang Pengirim
1. Harga Sapi Hidup (Rp/Kg) 35.000
2. Biaya yang dikeluarkan
c. Biaya Transportasi ke kapal 600
d. Bongkar-muat 100
e. Biaya pengapalan 1.320
f. Biaya klader/pengawalan 120
e. Biaya pakan 50
f. Biaya karantina 50
g. Biaya lainnya 20
Sub Total Biaya 2.260
3. Harga jual 41.000
4. Keuntungan 3.740
IV PD Dharma Jaya
1. Harga Beli 41.000
2. Biaya yang dikeluarkan
a. Biaya Transportasi 450
b. Bongkar-muat 100
c. Biaya pakan 100
d. Biaya penampungan 50
g. Biaya lainnya 20
Sub Total Biaya 720
3. Harga jual (Kg) 43.000
4. Keuntungan 1.280
20
Tabel 2. Analisis Margin Tata Niaga Daging Sapi melalui PD Dharma Jaya pada Pola
Usahaternak Rakyat di NTT, 2016 (Lanjutan)
No Uraian Biaya/Harga (Rp/Kg)
V RPH Cakung
1. Harga beli 43.000
2. Jasa pemotongan 225
3. Biaya penanganan 75
Total Biaya 300
4. Harga konversi daging sapi 86.000
5. Harga jual RPH Cakung 86.300
VI Pedagang Pengecer Pasar
1. Harga beli 86.300
2. Biaya angkut 400
3. Biaya penanganan 100
4. Biaya penanganan 100
5. Sewa tempat 15
6. Biaya tenaga kerja 300
7. Biaya retribusi 25
Total biaya 940
Harga jual 90.000
Keuntungan 2.760
pada masing-masing tingkatan pelaku tata niaga diperoleh beberapa informasi pokok
sebagai berikut: (a) Besarnya total margin tata niaga setara daging sapi sebesar Rp
14.700,-/Kg, yang terdiri atas biaya margin tata niaga Rp 5.620,-Kg dan keuntungan
yang diterima oleh seluruh pelaku tata niaga sebesar Rp 9.080,-/Kg; (c) Secara
berturut-turut biaya tata niaga yang dikeluarkan oleh masing-masing pelaku tata
niaga adalah pedagang pengirim dari NTT ke Jakarta sebesar Rp 2.260,-/Kg,
pedagang pengumpul desa/antar desa sebesar Rp. 1.400,-/Kg, dan pedagang
pengecer sebesar Rp. 940,-/Kg, dan PD Dharma Jaya sebesar Rp 700,-/Kg; (d)
Secara berturut-turut keuntungan terbesar diterima oleh pedagang pedagang
pengirim sebesar Rp. 3.740,-/Kg, pedagang pengecer 2.640,-/Kg, pedagang
pengepul sebesar Rp. 1.600,-/Kg, dan PD Dharma Jaya sebesar Rp. 1.280,-/Kg; dan
(e) Dengan demikian pedagang yang memperoleh keuntungan total terbesar adalah
21
pedagang pengirim, karena volume penjualan yang besar ditambah keuntungan per
unit juga terbesar.
3.2. Kasus Jawa Tengah – DKI Jakarta dan Sekitarnya
3.2.1. Kondisi yang Berlaku
Daerah sentra produksi ternak sapi dan daging sapi di Provinsi Jawa Tengah
cukup tersebar, secara berturut-turut 10 populasi terbesar adalah: Kabupaten Blora
272.910 ekor (13,30%), Grobogan 212.146 ekor (10,34%), Wonogiri 202.440 ekor
(9,87%), Rembang 164.803 ekor (8,03%), Sragen 122.146 ekor (5,95%), Pati
111.786 ekor (5,45%), Klaten 102.733 ekor (5,01%), Kebumen 99.061 ekor (4,83%),
Boyolali 98.248 ekor (4,79%), dan Kabupaten Semarang 61.590 ekor (3,00%) dari
total populasi sapi Jawa Tengah 2.051.407 ekor (Laporan tahunan Dinas Peternakan
dan Keswan, Provinsi Jateng, 2012). Hasil kajian Ilham et al., (2015) terdapat
beberapa saluran tata niaga ternak sapi dan daging sapi asal daerah sentra produksi
Jawa Tengah, yaitu untuk tujuan pasar lokal pusat-pusat konsumsi Jawa Tengah,
seperti Kota Semarang, Solo, dan Kota-Kota Kabupaten; dan tujuan pasar
Jabodetabek. Secara umum daerah sentra produksi pantura (Grobogan, Blora,
Rembang, Pati, sebagian Boyolali, Salatiga, Semarang) untuk tujuan pasar Jakarta
dan sekitarnya, sedangkan untuk daerah sentra produksi selatan (Kebumen, Klaten,
sebagian Boyolali, Sragen) untuk memasok pusat-pusat konsumsi setempat
(Semarang, Solo, Yogyakarta dan Kota-Kota Kabupaten).
Daerah-daerah sentra produksi wilayah utara Jawa Tengah mencakup
Kabupaten Grobogan, Blora, Rembang, Pati, sebagian Boyolali, Salatiga dan
Semarang; rantai tata niaga komoditas ternak sapi dan daging sapi di wilayah utara
cukup kompleks dengan berbagai tujuan pasar baik lokal maupun Jakarta dan
sekitarnya. Tujuan pasar lokal untuk memasok pasar-pasar tradisional, sedangkan
tujuan pasar Jakarta dan Jawa Barat ditujukan untuk memasok pasar tradisional,
pasar modern dan konsumen institusional (hotel, restaurant dan Catering). Secara
lebih terperinci rantai tata niaga komoditas ternak sapi dan daging sapi asal
22
Kabupaten Pati dan daerah sentra produksi diwilayah utara dapat dilihat pada
Gambar 2.
Gambar 2. Rantai tata niaga ternak dan daging sapi dari daerah sentra produksi Kabupaten Pati, Provinsi Jawa untuk berbagai tujuan pasar, 2016
Hasil usaha penggemukan sapi potong oleh peternak sebagian besar dijual ke
pedagang pengumpul desa (Blantik) baik dikandang maupun di pasar hewan dan ada
yang sebagian langsung dijual ke pedagang pemotong (pejagal). Pedagang yang
membeli sapi hasil penggemukan dijual kembali ke pedagang pemotong (pejagal)
dan khusus menjelang Hari Raya Idhul Qurban sapi tersebut sebagian besar dijual
kepada konsumen Ternak Qurban. Pembelian sapi penggemukan umumnya dari
Peternak Sapi
Penggemukan
Pedagang Sapi Bakalan dan
Sapi Siap Potong
di pasar Hewan kota
kabupaten
Peternak
Sapi Bakalan
Grosir/
Pengecer
RPH/Pedagang
Pemotong
Distributor
untuk pasar Jawa Barat
dan Jakarta
Restoran/
Rumah Makan
Rumah
Tangga
(20%)
Resto/RM
(35 %)
Supplier/pemasok
daerah sentra produksi
Hotel Katering
Konsumen Ternak
Qurban
35%
65%
20%
40%
30%
10%
Industri
(45 %)
100%
45% 35% 20%
23
pasar hewan di kota-kota kabupaten, Pasar Hewan di Kabupaten Pati, Grobogan,
Blora, Rembang, Kudus dan Demak, serta Boyolali, Salatiga, dan Semarang.
Hasil pemotongan sapi berupa daging yang dilakukan pejagal Kota-Kota
Kabupaten wilayah utara (Pati, Grobogan, Blora, Rembang, Kudus dan Demak, serta
Boyolali, Salatiga, dan Semarang) dijual secara lokal dan kota-kota kabupaten dan
Kota Semarang melalui pedagang besar dan pedagang pengecer pasar, dan
restoran/rumah makan. Selanjutnya pedagang pengecer menjual ke konsumen
rumah tangga, rumah makan dan restoran. Pemasok di Kota Pati dan Semarang yang
memasok ke distributor di kota-kota Jawa Barat dan Jakarta dalam bentuk sapi hidup
ke pedagang penerima/pedagang pemotong ditujuan pasar. Daging sapi tersebut
oleh distributor/supplier kemudian untuk memasok pasar tradisional, pasar modern,
konsumen institusional (hotel, restoran dan katering).
Berdasarkan Gambar 2 ada beberapa alternatif rantai pasok ternak dan daging
sapi di Kabupaten (Pati, Blora, Grobogan, Kudus dan Demak) sebagai berikut :
1. Peternak – pedagang penerima/pemotong (pejagal) – restoran/rumah makan
2. Peternak – pedagang penerima/pemotong (pejagal) – konsumen rumah
tangga
3. Peternak – pedagang penerima/pemotong (pejagal) – pedagang pengecer –
restoran/rumah makan.
4. Peternak – pedagang penerima/pemotong (pejagal) – pedagang pengecer –
konsumen rumah tangga.
5. Peternak – pedagang di pasar hewan– konsumen ternak qurban.
6. Peternak – pedagang pengumpul – pedagang penerima/pemotong (pejagal)
– restoran/rumah makan.
7. Peternak – pedagang pengumpul – pedagang penerima/pemotong (pejagal)
– konsumen rumah tangga.
8. Peternak – pedagang pengumpul – pedagang penerima/pemotong (pejagal)
– pedagang pengecer – restoran/rumah makan.
24
9. Peternak – pedagang pengumpul – pedagang penerima/pemotong (pejagal) –
pedagang pengecer – rumah konsumen tangga.
10. Peternak – pedagang pengumpul – pedagang pemasok/supplier – pedagang
pemotong (pejagal) di Jawa Barat – Pasar tradisional-Konsumen Rumah
Tangga.
11. Peternak – pedagang pengumpul – pedagang pemasok/supplier – pedagang
penerima/pemotong (pejagal) di Jawa Barat – Pasar modern - Konsumen
Rumah Tangga.
12. Peternak – pedagang pengumpul – pedagang pemasok/supplier – pedagang
penerima/pemotong (pejagal) di Jawa Barat – Katering/Hotel/
Restoran/Rumah Makan.
Pada sistem tata niaga eksisting melibatkan cukup banyak pelaku tata niaga
yang terlibat 5-7 pelaku tata niaga. Struktur pasar yang dihadapi peternak sapi rakyat
cenderung mengahdapi struktur pasar oligopsonistik, yaitu peternak yang banyak
berhadapan dengan beberapa pedagang pengumpul desa dan pedagang
pengirim/pedagang besar antar wilayah.
Pedagang pengumpul desa dan antar desa di Pasar Hewan cenderung
menghadapi struktur pasar yang monopolistik, yang ditunjukkan cukup banyak
pedagang pengumpul desa atau antar desa berhadapan dengan cukup banyak
pembeli (pedagang antar daerah, peternak, pedagang pemotong/pejagal dan
pengusaha RPH). Struktur pasar yang dihadapi pedagang pemotong/pejagal dan
pengusaha RPH di pasar-pasar tradisional cenderung oligopolistik yaitu beberapa
pedagang pemotong/pejagal atau pengusaha RPH berhadapan dengan cukup banyak
pedagang grosir dan pengecer di pasar.
Demikian juga halnya pedagang pengecer dipasar cenderung menghadapi
struktur pasar yang oligopolistik dalam berhadapan dengan pedagang grosir dan
pedagang pemotong (pejagal). Sementara itu, struktur pasar pedagang pengecer
daging sapi cenderung berada pada antara struktur pasar monopolistik dan struktur
25
pasar persaingan sempurna. Pada musim ramai, yaitu pada hari-hari besar
keagamaan dan musim hajatan stuktur pasar daging sapi lokal yang dihadapi
pedagang pengecer cenderung bersifat monopolistik dan pada musim biasa (hari-hari
biasa) dan musim sepi (musim anak masuk sekolah) cenderung menghadapi struktur
pasar persaingan sempurna.
Marjin tata niaga atau marjin pemasaran ternak sapi dan daging sapi yang
akan dilihat adalah margin tata niaga dari peternak rakyat kasus dari Jawa Tengah
dan NTT untuk tujuan pasar Jabodetabek. Margin pemasaran dilakukan pada saluran
tata niaga yang dominan. Untuk saluran tata niaga sapi lokal asal Jawa Tengah
analisis margin tata niaga dihitung dari tingkat peternak, pedagang
pengumpul/blantik, RPH, pedagang besar antar daerah, pedagang besar (grosir)
sampai dengan pedagang pengecer pasar.
Pada Tabel 3 menyajikan secara rinci biaya yang dikeluarkan oleh masing-
masing pelaku tata niaga serta marjin tata niaga yang diterima pelaku tata niaga
ternak sapi dan daging sapi asal peternak rakyat di Pati, Jawa Tengah. Berdasarkan
struktur biaya, serta harga beli dan harga jual pada masing-masing tingkatan pelaku
tata niaga diperoleh beberapa informasi pokok sebagai berikut: (a) Besarnya total
margin tata niaga setara daging sapi sebesar Rp 11.000,-/Kg, yang terdiri atas biaya
margin tata niaga Rp 4.700,-Kg dan keuntungan yang diterima oleh seluruh pelaku
tata niaga sebesar Rp. 5.300,-/Kg; (c) Secara berturut-turut biaya tata niaga yang
dikeluarkan oleh masing-masing pelaku tata niaga adalah pedagang besar (grosir) Rp
1.650,-/Kg, pedagang pengepul sebesar Rp. 1.500,-/Kg, dan pedagang pengecer
sebesar Rp. 550,-/Kg; (d) Secara berturut-turut keuntungan terbesar diterima oleh
pedagang pengecer sebesar Rp. 2.450,-/Kg, pedagang pengepul sebesar Rp. 1.500,-
/Kg, dan pedagang besar/grosir di pasar sebesar Rp. 1.350,-/Kg; dan (e) Meskipun
demikian jika dilihat keuntungan total maka keuntungan terbesar diterima oleh
pedagang besar (grosir) karena menjual dengan volume penjualan yang jauh lebih
besar dibandingkan pedagang pengumpul dan pedagang pengecer.
26
Tabel 3. Analisis Margin Tata Niaga Daging Sapi melalui Pedagang Pengecer pada
Pola Usaha Ternak Rakyat di Jawa Tengah, 2016
No Uraian Biaya/Harga (Rp/Kg)
I Peternak 43.500
II Pedagang Pengepul/agen/broker
1. Harga Beli Sapi hidup (Rp/Kg) 43.500
2. Biaya yang dikeluarkan
a. Biaya Transportasi 500
b. Bongkar-muat 200
c. Biaya handling/Packing 100
d. Biaya Penampungan/penyimpanan 250
e. Biaya Lainnya (retribusi) 50
Sub Total Biaya 1.000
3. Harga jual 46.000
4. Keuntungan 1.500
III Pedagang Besar/Grosir
1. Harga Sapi Hidup (Rp/Kg) 46.000
2. Harga Beli konversi daging sapi
(Rp/Kg) 92.000
2. Biaya yang dikeluarkan
a. Biaya Pemotongan 1.000
b. Biaya Transportasi 400
c. Bongkar-muat 100
c. Biaya handling/Packing 100
d. Biaya Lainnya (retribusi) 50
Sub Total Biaya 1.650
3. Harga jual 95.000
4. Keuntungan 1.350
IV Pedagang Pengecer
1. Harga Beli 95.000
2. Biaya yang dikeluarkan
a. Biaya Transportasi 300
b. Bongkar-muat 100
d. Biaya handling 100
e. Biaya Lainnya (retribusi) 50
Sub Total Biaya 550
3. Harga jual (Kg) 98.000
4. Keuntungan 2.450
27
3.2.2. Kondisi Introduksi
Berdasarkan harga, daya saing ternak sapi potong asal Jawa Tengah sudah
kurang bersaing dengan harga di sentra konsumsi DKI Jakarta. Untuk dapat bersaing,
beberapa produsen dan pedagang melakukan berbagai upaya yang dapat
dikategorikan melakukan defesiansi produk dan integrasi vertikal.
Diferensiasi produk yang dilakukan, pedagang tidak lagi menjual ternak siap
potong, tetapi daging segar dan daging beku. Pedagang mengalihkan pasarnya dari
sentra konsumsi utama dengan harga tertentu di DKI Jakarta ke pasar di kawasan
Jawa Barat dengan harga relatif tinggi. Ada juga pedagang yang beralih usaha dari
sapi siap potong ke sapi bibit program pemerintah dengan marjin keuntungan lebih
besar. Upaya mendapatkan marjin besar dilakukan juga oleh peternak dan pedagang
dengan mempersiapkan sapi potong untuk kebutuhan Idul Adha.
Upaya integrasi vertikal yang dilakukan pengusaha peternakan di Pati, adalah
memproduksi pakan dan menggemukkan sapi ras persilangan eksotik yaitu Limosin
dan Simental yang dibeli dari petani dan pedagang. Upaya ini dilakukan karena ras
sapi ini, pertambahan berat badanya responsif terhadap pemberian pakan
berkualitas, sehingga dapat mencapai berat badan optimal dengan kandungan karkas
tinggi dan kualitas daging yang baik. Untuk meningkatkan daya saing selain
memproduksi pakan, usaha ini dilakukan juga dengan menggunakan alat transportasi
sendiri dan memproduksi pupuk kandang untuk dijual secara komersial. Untuk
menjaga kontinuitas pasokan sapi bakalan dan sekaligus membuka pasar produk
pakan yang dihasilkan, pengusaha melakukan kerja sama dengan peternak di sekitar
dengan sistem bagi hasil, dimana penerimaan bersih 70% untuk peternak dan 30%
untuk pengusaha. Untuk menghindari moral hazard, di RPH Cakung Jakarta,
Sukabumi dan Tangerang, pengusaha memiliki seorang pengawal sapi merangkap
pengawas penimbangan yang fungsinya melakukan pengawasan terhadap sapi yang
akan dipotong dan pada saat penimbangan karkas untuk dijual. Penjualan dilakukan
dalam bentuk karkas. Berat karkas, berkisar 48 – 51 persen. Jika diperoleh berat
karkas 49 persen sudah baik. Pola tata niaganya dapat dilihat pada Gambar 3.
28
RPH
Gambar 3. Skema Usaha Pengusaha Peternakan Sapi Potong di Pati, 2016
Pedagang yang beralih usaha dari sapi siap potong ke sapi induk atau sapi
bakalan program pemerintah berharap menerima marjin keuntungan lebih besar.
Kegiatan ini dilakukan untuk memenuhi permintaan dinas yang membidangi fungsi
peternakan dan kesehatan hewan beberapa kabupaten di Provinsi Jawa Barat yaitu:
Indramayu, Tasikmalaya, Sumedang. Transaksi dilakukan langsung oleh peternak
anggota kelompok peserta program karena dana program telah disalurkan pada
nomor rekening keselom tani ternak peserta program. Produk yang diperdagangkan
adalah: (1) sapi induk bunting 40%, (2) sapi dara siap bunting 40%, dan sapi
bakalan Limosin, Simental arau PO 20%. Pedagang membeli sapi dari pasar hewan
di: Wirosari Purwodadi, Jatirogo Tuban, Blora, Randu Blatung Blora, Sumber Lawang
Sragen, Danyang Grobogan, dan Padangan Bojonegoro. Pedagang tidak membeli dari
petani di desa-desa karena hanya memiliki 1-2 ekor sehingga tidak efisien
mengumpulkannya. Di pasar jumlahnya banyak dan bervariasi. Volume
pembelian/penjualan tidak stabil, tergantung banyaknya barang di pasar dan jumlah
pesanan dari pembeli. Rata-rata seminggu 1-2 rit isi 10-12 ekor per truk. Pembayaran
oleh KTT langsung tunai saat serah terima barang. Pembelian di pasar juga langsung
Pedagang
Pasar
Pengusaha
Peternak Penggaduh Pembeli Karkas
Pengawas Cakung
Peternak Penggaduh
Usaha Penggemukan
29
dibayar tunai. Tabel 4 berikut menyajikan analisis usaha perdagangan sapi indukan
yang dibeli dari sekitar Jawa Tengah dan di Jual ke Tasikmalaya Jawa Barat.
Tabel 4. Biaya dan Penerimaan Usaha Perdagangan Sapi Indukan di Jawa Tengah, 2016
No Uraian Satuan Volume Harga
(Rp/sat.) Nilai (Rp)
1 Pembelian 1 rit ekor 12 13.500.000 162.000.000
2 Transpor pasar-kandang ekor 12 40.000 480.000
3 Perawatan seminggu di kandang ekor 12 125.000 1.500.000
4 Biaya kirim ke Tasikmalaya rit 1 3.000.000 3.000.000
5 Total pengeluaran ekor 12 166.980.000
5 Penjualan ekor 12 14.500.000 174.000.000
6 Keuntungan ekor 12 7.020.000
7 Keuntungan ekor 1 585.000
Hasil penelitian Ilham et al. (2015) di Kabupaten/Kota Semarang dan Kota
Salatiga, pedagang tidak hanya menjual sapi potong, tetapi juga sapi untuk
kebutuhan Idul Adha dan daging sapi agar dapat bersaing. Melalui rantai dingin,
daging sapi dari Salatiga diperdagangkan dengan tujuan Bekasi. Untuk jelasnya dapat
dilihat pada Gambar 4.
Untuk menghindari ketidakstabilan harga dan pasokan, salah satu industri
kuliner besar di Indonesia melakukan usaha integrasi dari hulu ke hilir (Ilham et al.
2015). Di hulu usaha yang dilakukan adalah memproduksi pakan dan melakukan budi
daya penggemukan sapi. Sapi bakalan diperoleh dengan membeli di pasar. Dengan
alasan pertumbuhan cepat dan menguntungkan, sapi yang dipelihara 80 persen ras
persilangan Simental dan Limosin. Sisanya ras persilangan Brahman, PO dan
Peranakan Fries Holland (PFH). Pakan ternak yang digunakan terdiri dari pakan
konsentrat dan pakan serat berupa rumput dan jerami. Jerami lebih sering dan
banyak digunakan dibandingkan rumput segar. Pakan konsentrat dibuat sendiri oleh
30
Gambar 4. Rantai Pasok Ternak dan Daging Sapi di Kabupaten dan Kota Semarang dan Salatiga, Provinsi Jawa Tengah 2015
(Sumber: Ilham et al. 2015)
perusahaan dengan merekrut konsultan. Lama waktu sapi digemukkan bervariasi
tergantung umur sapi bakalan, yaitu 6 bulan, 12 bulan dan 24 bulan. Ppuk kandang
yang dihasilkan sebagian digunakan sendiri dan sebagian dijual. Produk sapi siap
potong yang dihasilkan kemudian diolah menjadi sekitar 20 item produk olahan.
Untuk menjaga kontinuitas pasokan sapi siap potong, usaha ini juga membeli sapi
siap potong dari luar perusahaan. Selanjutnya melalui distributor di Jakarta produk
tersebut didistribusikan kepada 30 unit restoran milik perusahaan yang tersebar di
seluruh Indonesia, diantaranya di Denpasar, Surabaya, Bandung dan Jabodetabek.
Pola penyajian restoran ini menggunakan sistem buffe, jadi tidak ada harga per
produk, melainkan harga per sekali makan per orang. Dengan demikian diperkirakan
nilai tambah yang diperoleh sangat tinggi (Gambar 5).
Peternak Sapi
Penggemukan
Pedagang Sapi Bakalan dan Sapi Siap Potong
di pasar Ambarawa dan Kota lain
Peternak
Sapi Bakalan
Meatshop/ Pengecer
Pedagang Pejagal
RPH
Distributor
Bekasi
Restoran/
Rumah Makan
Rumah Tangga
Resto/ RM
Supplier Salatiga
Hotel Katering
Supplier Bekasi
Konsumen Ternak Qurban
31
Gambar 5. Rantai Pasok Industri Daging Sapi PT. HNM mendekati Pola Integrasi Total di Kabupaten Semarang Jawa Tengah, 2015
3.3. Kasus DKI Jakarta dan Sekitarnya
DKI Jakarta merupakan daerah sentra utama konsumsi daging sapi, selain
Jawa Barat. Akhir-akhir ini Provinsi Banten juga berkembang menjadi sentra
konsumsi baru untuk daging sapi, sejalan dengan meningkatnya pembangunan
industri dan peningkatan pendapatan masyarakat. Hanya saja, berbeda dengan dua
daerah lain, di DKI Jakarta semua kebutuhan pangan termasuk daging sapi
didatangkan dari luar provinsi. Sementara itu, sebagai pusat pemerintahan dan pusat
bisnis, daerah ini tidak hanya mencukupi kebutuhan penduduk DKI Jakarta, tetapi
Usaha Penggemukan
Sapi – PT.X
Restoran
Berbintang
Kantor Pusat
(Gudang Bahan Baku)
Usaha
Pengolahan Daging
Pedagang Desa
Supplier
Luar
RPH Pemerintah
Peternak
Pedagang Sapi
Bakalan di Pasar
100%
75%
25%
Pakan Serat: Jerami Padi
Pakan Konsentrat Buat
Sendiri
Penjulan Pupuk Kandang
32
juga pekerja expatriat asing dari luar negeri dan pekerja komuter dari wilayah sekitar
Jakarta.
Berdasarkan hal itulah mengapa DKI Jakarta menjadi barometer ketersediaan
bahan pangan termasuk daging sapi dengan jumlah cukup dan harga stabil. Karena
didatangkan dari luar, kecukupan dan stabilitas harga, antara lain ditentukan pada
sistem tata niaga ternak dan daging sapi yang masuk ke DKI Jakarta.
3.3.1. Kondisi yang Berlaku
Jumlah penduduk DKI Jakarta sekitar 12 juta jiwa dan kebutuhan daging sapi
setahun mencapai 60.376 ton atau 4.950 ton per bulan atau 165 ton per hari.
Kebutuhan tersebut dipasok dari berbagai sumber yaitu: (1) pedagang pengirim sapi
dari sentra produksi di Indonesia, (2) feedlotter yang ada di sekitar Jabodetabek,
Subang, Serang dan Lampung, (3) pedagang daging sapi dari sentra produksi, dan
(4) impor daging.
Beragamnya sumber pasokan ternak dan daging sapi ke DKI Jakarta,
berimplikasi beragam juga kualitas dan harga daging dari masing-masing sumber.
Dengan harga yang relatif murah, daging sapi impor dan daging sapi yang berasal
dari feedlot menggunakan sapi bakalan impor harganya lebih murah dari harga
daging sapi lokal. Kondisi ini menyebabkan menurunnya pasokan ternak dan daging
sapi dari sentra produksi nasional. Kalaupun para pedagang pengirim masih
melakukan pengiriman, hanya untuk pelanggan-pelanggan tertentu yang masih
membutuhkan daging sapi lokal dengan alasan rasa dan tekstur daging terutama
untuk kebutuhan pedagang bakso.
Karena kalah bersaing dalam hal harga, banyak pedagang pengirim menjual
sapi ke daerah-daerah di Jawa Barat dan Banten seperti Bekasi, Bogor, Depok,
Karawang, Subang, cirebon dan Tangerang. Gambaran saluran tata niaga ternak dan
daging sapi ke DKI Jakarta dapat dilihat pada Gambar 6.
33
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Gambar 6. Rantai Pasok Ternak dan Daging Sapi di DKI Jakarta, 2016
Super market yang bertindak sebagai pengcer dalam penjualan daging di
Jabodetabek dan kota-kota lain di Indonesia adalah Carefour atau Transmart,
Hypermart, Giant, Lottemart, Superindo, Yogya, Sogo, Kemchick, dll. Sumber
pasokan super market umumnya didominasi dari daging impor atau daging yang
berasal dari sapi produksi feedlotter yang menggunakan sapi bakalan impor. Akan
tetapi ada beberapa super market yang menjual sapi lokal walau dalam jumlah
terbatas yaitu sekitar 20-30 persen dari omset penjualan. Keputusan itu dilakukan
karena harga daging dari dua sumber tersebut lebih kompetitif dibandingkan harga
daging sapi lokal. Selain faktor harga, kontinuitas pasokan juga lebih terjamin. Pihak
pengurus asosiasi berharap agar para pelaku riteil modern mengutamakan produk
dalam negeri, setidaknya dari hasil penggemukan yang menggunakan sapi bakalan
impor. Bahkan jika secara bisnis menguntungkan seharusnya menggunakan hasil
penggemukan sapi lokal. Tabel 5 menyajikan perkiraan omset penjualan daging sapi
melalui beberapa super market di DKI Jakarta dan sekitarnya.
Pedagang Sapi Pengirim dari
Sentra Produksi
RPH
Feedlotter sapi
BX
Importir Daging Sapi
Pedagang Daging Sapi
Pengecer: Super market &
wet market;
HOREKA
KONSUMEN
Pedagang Daging Sapi
luar DKI
Pedagang Daging Sapi
Distributor
Feedlot sapi asal NTT di Jabodetabek
34
Tabel 5. Omset Penjulan Daging Sapi beberapa Super market di DKI Jakarta dan
Sekitarnya, Tahun 2016
No Super Market Pasokan ke DKI (ton)
Per Tahun Per Hari
1 Carefour/Transmart 2.000 5,5
2 Hypermart 900 2,5
3 Giant 720 2,0
4 Lottemart 259 0,7
5 Superindo 924 2,5
Jumlah 4.803 13,2 Sumber: Data primer (diolah)
Menurut humas asosiasi riteil Indonesia, pasokan 13,2 ton tersebut pada Tabel
P baru sekitar 50% dari omset seluruh riteil yang ada di Jakarta, sehingga secara
menyeluruh daging sapi yang dijual melalui super market sekitar 26,4 ton/hari
(16%). Pihak PD. Pasar Jaya mengatakan bahwa, dari 153 unit pasar yang dikelola,
ada 101 unit pasar menjual daging sapi. Jumlah daging sapi yang dijual rata-rata
sekitar 54 ton (33%) daging sapi setiap hari. Jumlah tersebut belum mampu
memenuhi kebutuhan konsumen, karenanya ada juga masuk daging dingin dan
daging beku asal impor. Dengan demikian pasokan daging yang dibeli HOREKA
mencapai 84,6 ton/hari atau sekitar 51%dari kebutuhan DKI Jakarta. Angka tersebut
tidak jauh berbeda seperti yang diperkirakan ASPIDI yaitu pangsa pasar daging sapi
di DKI Jakarta 33% di wet market, 23% super market dan 54% masuk horeka dan
proses pengolahan. Pihak retail modern dan Aspidi memperkirakan saat puasa dan
lebaran terjadi kenaikan permintaan hingga 30%.
Saat ini sekitar 80% daging sapi impor hanya untuk pasar DKI Jakarta, Jabar
dan Banten. Diprediksi ke depan pasar daging impor akan semakin meluas ke seluruh
Indonesia. Sulawesi masih kekurangan jeroan, Freeport, Sumut dan darah-daerah
pertambangan serta daerah pertanian.
35
3.3.2. Kondisi Introduksi
3.3.2.1. Model PD Dharma Jaya
Bidang Usaha
Perusahaan Daerah Dharma Jaya bergerak dalam bisnis utama pada sektor
perdagangan, sedangkan jasa rumah potong hewan (RPH) yang merupakan fokus
kegiatan di masa lalu saat ini sudah menjadi bisnis penunjang. Bidang usaha yang
dilakukan adalah: (1) perdagangan ternak dan daging, (2) penggemukaan sapi
potong, (3) jasa penampungan ternak potong, (4) pengelolaan RPH, pengelolaan
angkutan daging, (5) jasa gudang dingin (cold storage), dan (5) perdagangan
kompos.
Pada bidang usaha perdagangan ternak dan daging, khususnya sapi, tersedia
fasilitas untuk kegiatan transaksi berupa pasar hewan. Pasokan sapi ke pasar hewan
di PD Dharma Jaya berasal dari sapi BX asal feedlot di Lampung dan Jabar serta dari
sapi peternakan rakyat baik sapi lokal maupun persilangan dari daerah NTT, Jateng
dan Jatim. Kecenderungan jumlah pasokan sapi lokal dari waktu ke waktu semakin
menurun dan sehingga tidak mencukupi kebutuhan DKI. Ketidakcukupan tersebut
dapat disebabkan oleh: (1) bahan baku berupa sapi yang ada belum siap dipotong,
(2), kualitas daging sapi lokal tidak memenuhi standar, (3) kebutuhan Jakarta yang
tinggi tidak mampu dipenuhi dari pasokan sapi lokal, (4) ada kebijakan pembatasan
pengiriman sapi dari beberapa daerah asal, dan (5) kesadaran masyarakat untuk
mengkonsumsi daging beku semakin meningkat. Tabel 6 menyajikan jumlah sapi
yang masuk RPH Cakung menurut Jenis dan asal sapi. Dapat dilihat bahwa pasokan
sapi BX/IB yang umumnya sapi asal impor (BX) mencapai 52,945 berasal dari Jabar,
Lampung dan Bodetabek. Sapi lokal dari NTT hanya 5,83%.
Untuk mengubah ternak sapi menjadi daging sapi diperlukan fasilitas RPH.
Kegiatan pemotongan berlangsung pada malam hari antara jam 23.00 – 02.00 WIB.
Proses pemotongan dilakukan oleh personal pedagang pembeli/pejagal/distributor
daging dengan menggunakan tenaga pemotong dari PD Dharma Jaya. Poses
pembersihan dan penguraian komponen daging dan bagian lain dilakukan oleh
36
pekerja pedagang pemotong. Jasa pemotongan yang harus dibayar pedagang
pemotong kepada PD Dharma Jaya Rp 56.000/ekor. Hasil pemotongan berupa daging
dan ikutannya di bawa ke pasar tradisional (wet market) di pelosok Jakarta.
Tabel 6. Jumlah Sapi yang Masuk RPH Cakung menurut Daerah Sal dan Jenis Sapi,
Agustus-Oktober 2016
Asal Daerah Jenis Sapi Agustus
September
Oktober
Jumlah
Pangsa
(%)
LAMPUNG LOKAL 10 20 453 483 3,70
BX/IB 701 1.402 0 2.103 16,10
YOGYAKARTA LOKAL - - 0 0 0
BX/IB - - 0 0 0
JAWA TIMUR LOKAL 873 1.746 174 2.793 21,38
BX/IB - - 0 0 0
BALI LOKAL 484 968 0 1.452 11,12
BX/IB - - 0 0 0
JABOTABEK LOKAL 90 180 47 317 2,43
BX/IB 480 932 270 1.682 12,88
JABAR LOKAL 6 12 41 59 0,45
BX/IB 868 1.715 547 3.130 23,96
JATENG LOKAL 71 142 69 282 2,16
BX/IB - - 0 0 0
NTT LOKAL 139 278 344 761 5,83
BX/IB - - 0 0 0
NTB LOKAL - - 0 0 0
BX/IB - - 0 0 0
KERBAU
- - 0 0 0
JUMLAH
3.722 7.395 1.945 13.062 100,00
Sumber: PD. Dharma Jaya (soft file)
Usaha Perdagangan Ternak dan Daging Sapi
Pada kondisi normal, semua sapi asal Kupang merupakan sapi milik PD
Dharma Jaya untuk menjalakan tugas dari Pemda DKI Jakarta untuk menyediakan
daging sapi di DKI Jakarta khususnya untuk program Pemda DKI Jakarta. Sementara
itu, dalam memenuhi kebutuhan Idul Fitri dan Idul Adha pihak luar PD Dharma Jaya
juga melakukan pembelian sapi dari Kupang yang dikirim melalui pasar hewan milik
PD Dharma Jaya di Cakung.
37
Perdagangan sapi dari NTT ke DKI Jakarta diawali oleh kerja sama antara
Pemda DKI dan NTT dilakukan G to G. Kemudian kerja sama tersebut dilanjutkan
dengan B to B. Pihak Dharma Jaya menyiapkan selector dan kleder dalam proses
pembelian dan pengiriman sapi dari Kupang ke Jakarta. Setiap shipment, volume
pengiriman milik Dharma Jaya antara 60-250 ekor dalam jangka waktu dua minggu
sekali. Untuk menjamin pasokan sapi dari NTT, pihak Dharma Jaya membeli sapi dari
pedagang melalui orang yang ditugasi (referensi) Pemda setempat.
Transaksi antara PD Dharma Jaya dengan pedagang di NTT merujuk pada
harga berat hidup. Pihak pedagang lokal tidak berkenan merujuk pada berat karkas,
seperti banyak yang dilakukan pedagang di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kendala
yang dihadapi pihak PD Dharma Jaya jika menggunakan transaksi berdasarkan berat
hidup adalah terjadinya penyusutan selama proses transaksi dari petani ke pedagang
pengumpul, selama di karantina dan pengangkutan kapal hingga sampai ke Cakung.
Untuk mendukung kerja sama Pemda DKI dan NTT, pemerintah memberikan
fasilitas Kapal Ternak Camara Nusantara-1. Biaya transportasi KCN-1 disubsidi
Kementerian Perhubungan, sehingga ongkos angkut ternak sapi setiap ekor dari
Tenau Kupang ke Tanjung Priok Jakarta Rp330.000. Namun menurut perhitungan
pelaku usaha secara keseluruhan biaya yang dikeluarkan Rp700.000 per ekor, karena
pelaku usaha harus membeli biaya pakan selama perjalanan dan biaya kleder atau
pengawal sapi. Pakan yang sudah disiapkan PT. Pelni sebagai pengelola KCN-1 tidak
mau dimakan sapi, karena tidak sesuai dengan kebiasaan sapi Kupang. Jika
menggunakan kapal kargo milik swasta besarnya ongkos angkut pada tujuan yang
sama mencapai Rp 1,1 juta/ekor.
Saat studi, pihak PD Dharma Jaya membeli sapi pada pedagang pengirim
antara Rp33.000 – Rp34.000, transaksi ternak dalam bentuk berat hidup dengan
harga patokan di Dharma Jaya Rp41.000/kgBH. Selanjutnya pihak Dharma Jaya
menjual ke pihak PD. Pasar Jaya Rp42.000/kgBH. Selisih harga terdiri dari marjin
Rp500/kgBH dan diskon Rp500/kgBH. Kemudian pasar jaya melakukan pemotongan
sapi menggunakan RPH Darma Jaya dengan jasa Rp56.000/ekor. PD Darma Jaya dan
38
PD Pasar Jaya tidak menggunakan berat karkas, karena pedagang pengirim akan rugi
akibat adanya susut berat badan dan kandungan karkas sapi Kupang relatif rendah
yaitu 45-48 persen, bandingkan dengan sapi PO 47-48 persen dan BX 50 persen.
Sejak tahun 2015-2016, pihak PD Dharma Jaya mendapat tugas dari Pemda
DKI menyiapkan daging sebanyak 600 ton/bulan untuk Program Kartu Jakarta Pintar
(KJP). Pada tahun 2017 pangsa tersebut ditingkatkan menjadi 690 ton/bulan dengan
melibatkan penghuni rumah susun di DKI Jakarta. Untuk memenuhi kebutuhan pasar
dan program Pemda, PD. Dharma Jaya juga membeli sapi BX berasal dari feedlotter
dan bertindak sebagai importir daging sapi. Pada tahun 2016, PD Dharma Jaya
mendapat izin impor sebanyak 500 ton/tahun, realisasi hingga Oktober 2016 baru
214 ton dan tersisa 286 ton. Berikut Gambar 7. skema rantai pasok PD Dharma Jaya.
Gambar 7. Rantai Pasok Usaha Perdgangan Ternak dan Sapi
PD Dharma Jaya, 2016
Jika berat bada sapi yang menggunakan kapal ternak memiliki berat hidup
rata-rata 285 kg, maka subsidi per kilo gram berat badan adalah Rp1.400/kg
Peternak NTT
Pedagang Pengumpul di NTT
Selector dan
Kleder PDDJ
PD Pasar Jaya
PD Dharma Jaya Jakarta
Unit Agribisnis PD Pasar Jaya
150 unit wet market di DKI
Impor/ PD Dharma Jaya
Sapi BX Feedlot
HOREKA
Meat shop
KJP
Kartu Jakarta Pintar
Wet market
39
(Rp400.000/285 kg). Secara teori, subsidi tersebut harusnya dinikmati oleh para
pelaku, yaitu peternak sebagai produsen, konsumen daging sapi dan pedagang
sebagai middle man. Hasil FGD menyatakan bahwa, pedagang pengirim pengguna
KCN-1 membeli sapi pada peternak dengan harga minimal Rp1.000 lebih mahal dari
pedagang pengirim bukan pengguna kapal KCN-1. Ini artinya, subsidi ongkos kapal
sudah dinikmati sebagian oleh peternak. Sementara konsumen di DKI Jakarta secara
umum, belum ada data atau informasi yang menunjukkan adanya penurunan harga
daging sapi. Sisa subsidi Rp400/kg BH kemungkinan diterima oleh pedagang. Padahal
harapannya bisa diterima konsumen. Jika penggunaan KCN-1 dapat menurunkan
persentase penyusutan berat badan sapi selama transportasi, seharusnya ada nilai
tambah yang diterima pedagang. Nilai tambah tersebut harusnya dapat dinikmati
oleh konsumen. Walaupun tidak seluruh konsumen di DKI yang pangsa pasarnya
jauh lebih besar dilakukan oleh bukan PD Dharma Jaya, setidaknya PD Dharma Jaya
dapat melakukan pada outlet kios daging yang ada pada beberapa titik di wilayah
DKI Jakarta.
Secara agregat, daging sapi yang diperdagangkan PD Dharma Jaya sekitar 70
persen dijual ke PD Pasar Jaya, dan sisanya 30 persen dipasarkan langsung oleh PD
Dharma Jaya yaitu ke wet market, meat shop, horeka, dan program KJP. Sementara
itu, pihak PD Pasar Jaya memasarkan untuk KJP, wet market dan operasi pasar.
Besarnya marjin yang diambil pihak PD Dharma Jaya untuk Program KJP sekitar 3,0-
4,0 persen, ke wet market sekitar 5,0 persen dan ke horeka dan meat shop sekitar
7,0 persen.
Dampak Penggunaan Kapal Ternak terhadap Penurunan Harga Daging Sapi
Jadwal Kapal KCN-1 jalur Kupang – Jakarta dua minggu sekali atau 24 kali
setahun. Dengan kapasitas angkut 500 ekor per kali angkut, dalam setahun mampu
diangkut 12.000 ekor sapi. Menurut informasi Pihak Ditjen Peternakan dan Kesehatan
Hewan, Kementerian Pertanian, tidak semua sapi yang diangkut langsung dipotong di
DKI. Sebagian diperdagangkan dalam bentuk ternak hidup untuk digemukkan
kembali dan belum tentu dipotong untuk pasokan daging ke Jakarta. PD. Dharma
40
Jaya sendiri, dalam tiap pengiriman sapi melalui KCN-1, volume mencapai 250 ekor
atau 6.000 ekor per tahun.
Dengan asumsi semua sapi yang diangkut KCN-1 sebanyak 12.000 ekor
pertahun dan rataan berat sapi 300 kg dengan berat karkas 48% dan meat bone
rasio 60%, maka kontribusi daging sapi NTT ke Jakarta sekitar 1.036 ton daging
segar per tahun. Sementara itu kebutuhan DKI per tahun 60.376 ton. Tabel C juga
menunjukkan bahwa sapi asal NTT yang dipotong di RPH PD Dharma Jaya hanya
sekitar 5,83% dari total pemotongan. Artinya kontribusi daging sapi NTT maksimal
hanya 1,72%, sehingga jika diharapkan dapat menurunkan harga daging sapi di
Jakarta masih sulit. Dukungan impor daging kerbau asal India, diharapkan mampu
mendukung program untuk menurunkan dan menstabilkan harga daging sapi di DKI
Jakarta dan sekitarnya.
3.3.2.2. Model Bulog Distribution Management System dan Rumah Pangan Kita Bulog
Perpres No.48 Tahun 2016 tentang penugasan kepada Perum Bulog dalam
rangka ketahanan pangan nasional. Dalam hal ini pemerintah menugaskan kepada
Perum Bulog dalam rangka ketersediaan pangan dan stabilisasi harga pangan pada
tingkat produsen dan konsumen untuk beberapa jenis pangan, meliputi: komoditas
beras, jagung, kedelai, bawang merah, cabai merah, gula, minyak goreng, tepung
terigu, daging sapi, daging ayam ras, telur ayam ras, dan ikan segar. Perum Bulog
dalam melaksanakan penugasan tersebut melalui: (a) pengamanan harga pangan
ditingkat produsen dan konsumen; (b) pengelolaan Cadangan Pangan Pemerintah
(CPP), (c) penyediaan dan pendistribusian pangan, serta pelaksanaan impor pangan
dalam rangka huruf a, b, dan c sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
(d) pengembangan industri berbasis pangan; dan (e) pengembangan pergudangan
pangan (Bulog, 2016).
Permasalahan pokok dari sisi produksi daging sapi meliputi: (a) adanya
fluktuasi produksi di daerah-daerah sentra produksi, karena pola usahaternak
41
tradisional dimana penjualan berdasarkan kebutuhan; (b) produksi daging sapi rentan
terhadap perubahan iklim, terutama terkait kekeringan yang sangat mempengaruhi
ketersediaan hijauan pakan ternak; (c) komoditas daging sapi mudah rusak
(perishable), sehingga perlu penanganan dan distribusi secara cepat dan tepat, perlu
sistem penyimpanan (coldstorage) dan angkutan berpendingin; (d) neraca
perdagangan komoditas daging sapi mengalami defisit; dan (e) harga daging sapi di
tingkat produsen sering mengalami fluktuasi.
Permasalahan pokok pada aspek konsumsi daging sapi meliputi: (a)
merupakan bahan pangan hewani yang diminati penduduk terutama golongan
pendapatan menengah-atas, sehingga permintaannya meningkat dengan
meningkatnya tingkat pendapatan; (b) pengeluaran pangan yang didalamnya
tercakup daging sapi masih merupakan pengeluaran terbesar (47%), sehingga
berpengaruh terhadap Indek Harga Konsumen/IHK sehingga sangat berpengaruh
terhadap tingkat inflasi; (c) Sebagian komoditas daging sapi masih harus dipenuhi
dari impor, yang sudah terjadi dalam waktu lama sehingga dapat mengganggu
neraca perdagangan dan neraca pembayaran; dan (d) harga komoditas daging sapi
di tingkat Konsumen sering mengalami fluktuatif dan dapat menimbulkan keresahan
konsumen.
Peran Perum Bulog terkait masalah pangan ada 2 (dua), yaitu: pertama, Public
Service Obligation (PSO), secara operasional dilakukan melalui pengadaan,
penyimpanan (Cadangan pangan pemerintah), pendistribusian (Raskin, penyaluran
untuk korban bencana alam, darurat dan rawan pangan, serta Operasi Pasar), khusus
untuk daging sapi terdapat program Kartu Jakarta Pintar dimana anak sekolah
mendapatkan jatah konsumsi daging sapi. Pengadaan dilakukan dengan pembelian
berdasarkan HPP atau harga referensi yang ditetapkan pemerintah dan penyimpanan
ditujukan untuk menjaga harga di tingkat petani/produsen dan menjaga stok. Hal ini
ditujukan untuk mendukung pilar ketersediaan bahan pangan. Menyediakan dan
menyalurkan bahan pangan untuk kelompok masyarakat berpendapatan rendah yang
ditujukan untuk mendukung pilar keterjangkauan. Melakukan operasi pasar (OP)
42
ditujukan untuk stabilisasi harga komoditas pangan untuk mendukung pilar stabilitas
harga pangan. Kedua, berperan sebagai perusahaan komersial dengan melakukan
bisnis yang berfungsi sebagai penggerak ekonomi (economic engine) dengan
mengikuti mekanisme pasar dengan orientasi keuntungan (profit oriented).
Kebijakan pemerintah di bidang pangan tercakup daging sapi hingga kini
masih sering dilakukan secara adhoc, reaktif dan jangka pendek. Perpres No. 48
Tahun 2016 memberikan tugas wajib untuk tiga komoditas pangan pokok, yaitu padi
(beras), jagung, dan kedelai, serta komoditas pangan lainnya bersifat tidak wajib
termasuk daging sapi. Hal ini mengandung arti bahwa peran Bulog diperluas dan
didukung dengan payung hukum yang kuat.
Tujuan akhir dari kebijakan stabilitas harga pangan tercakup daging sapi yang
amanatkan oleh pemerintah kepada Perum Bulog adalah: (a) terjaminnya
ketersediaan komoditas pangan secara cukup, baik dari aspek jenis, kualitas, dan
kuantitasnya. Oleh karena itu produksi komoditas pangan harus mencukupi
kebutuhan masyarakat, apabila terjadi kekurangan produksi dapat dilakukan
substitusi antar bahan pangan (daging sapi dengan daging kerbau) atau jika produksi
dan ketersediaan pangan tetap kurang maka penambahan pasokan dapat dilakukan
melalui impor, seperti yang dilakukan untuk komoditas daging sapi (Australia dan
India) dan daging kerbau (India); (b) harga bahan pangan termasuk daging sapi
yang terjangkau dan wajar baik bagi produsen dan konsumen. Pada dasarnya harga
daging sapi ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran, namun apabila
terjadi ketidakseimbangan pasar, maka pemerintah perlu melakukan intervensi pasar
untuk menstabilkan harga; dan (c) Pada aspek distribusi bahan pangan tercakup
daging sapi sedapat mungkin dilakukan secara tepat waktu dan tepat jumlah.
Kebijakan Perum Bulog didasarkan pada Perpres 48 Tahun 2016 meliputi: (1)
terdapat 11 komoditas pangan yang harus ditangani BULOG, tiga komoditas (padi,
jagung dan kedelai) bersifat wajib (sifatnnya bukan ad hoc lagi) dan komoditas
pangan lainnya tecakup daging sapi bersifat tidak wajib (ad hoc); (2) melakukan
stabilisasi harga komoditas pangan termasuk daging sapi, jika terjadi gejolak harga
43
pasar; (3) salah satu implementasinya untuk komoditas daging sapi dilakukan dengan
pengembangan Rumah Pangan Kita (RPK).
Pada tahun 2016 ada penugasan kepada Perum Bulog untuk menangani
beberapa komoditas pangan lain, yaitu komoditas bawang merah, daging sapi dari
Australia, dan daging kerbau dari India. Ijin impor yang diberikan berlaku sampai
dengan Desember 2016. Untuk impor daging kerbau direncanakan sebesar 70 ribu
ton sampai dengan Desember 2016 dan 30 ribu ton sampai dengan Juli 2017.
Sebagian besar pemangku kepentingan (stakeholders) hanya berfikir daging
sapi, jarang yang berfikir tentang daging kerbau. Dengan adanya impor daging
kerbau dari India yang merupakan subtitusi daging sapi dengan harga yang jauh
lebih murah maka stabilisasi harga daging sapi lebih dapat dikendalikan. Rencana
impor daging kerbau perlu dilakukan sosialisasi dan promosi kepada masyarakat
konsumen. Kegiatan sosialisasi dan promosi telah dilakukan oleh Perum BULOG
ternyata respon masyarakat konsumen terhadap daging kerbau sangat baik.
Sosialisasi ditekankan pada aspek gizi yang tidak berbeda dengan daging sapi,
kualitas yang baik, dan aspek kesehatan. Besarnya permintaan untuk daging kerbau
diperkirakan mencapai 1.500 ton/tahun.
Untuk komoditas gula ada harga dasar dan ada harga lelang, untuk komoditas
beras ada HPP, dan untuk daging sapi ada harga referensi. Perum Bulog telah
mengembangkan RPK sebagai outlet atau ritel pangan yang bersumber dari Bulog.
Hingga tahun 2016 telah ada 1.706 unit RPK, dari target awalnya 6.000 unit,
kemudian ditargetkan menjadi 10.000 unit, dan selanjutnya ditargetkan 41.000 unit.
Awalnya akan dikembangkan 1 RPK/kelurahan atau desa, kemudian menjadi 2
unit/kelurahan atau desa, kedepan akan dikembangkan 1 RPK/dusun atau RW.
Pada dasarnya RPK mengelola selisih HPP dengan harga pasar. Komoditas
yang diperdagangkan di RPK antara lain adalah Beras, Bawang Merah, Bawang Putih,
Daging Sapi, Daging Kerbau, dan Gula. Sumber perolehan barang langsung dari
Bulog, sedangkan penjualan barang-barang langsung ke kelompok masyarakat
konsumen. Dengan memasok langsung ke kelompok masyarakat konsumen dapat
44
memotong rantai tata niaga yang panjang dan diharapkan permintaan komoditas
daging sapi di pasar menurun dan harga dipasaran tetap stabil. Dalam rangka
memperpendek rantai tata niaga dikembangkan pola distribusi Bulog langsung
memasok ke RPK. Selanjutnya RPK mendistribusikan Gula dengan HET sebesar Rp
12.500, sedangkan dipasar harga Rp 15.000-16.000/Kg, Beras Rp 7.900,-/Kg dan
dipasar Rp 10.000,-/Kg, Daging Sapi Rp 90.000,-/Kg dan di pasar Rp 114.000,-/Kg,
Daging Kerbau Rp. 65.000/Kg. Melalui pola ini diharapkan konsumen membayar
harga yang wajar dan stabilitas harga terjamin.
Hingga sampai saat ini peran RPK dalam distribusi komoditas pangan terlebih
untuk daging sapi masih sangat kecil, namun berdasarkan informasi dari Bulog
memiliki efektivitas yang tinggi dan memiliki efek psikologi pasar, karena menjual
langsung ke kelompok masyarakat konsumen. Promosi melalui jalur media sosial
diinformasikan ada daging sapi dan daging kerbau murah dari Bulog melalui RPK
masing-masing sebanyak 3.000 ton dan 5.000 ton dengan harga Rp. 90.000,-/Kg dan
Rp 65.000,-/Kg. Dengan demikian maka pedagang daging sapi dipasar-pasar
tradisional tidak semena-mena dalam memainkan harga daging sapi. Ada efek
psikologi pembeli di pasar, sehingga dapat mengendalikan kenaikan harga daging
sapi di pasar. Beberapa sistem saluran tata niaga yang mungkin dikembangkan
BULOG dapat dilihat pada Gambar 8.
1.
2.
3.
4.
Gambar 8. Alternatif Rantai Pasok Pangan Bulog di Indonesia, 2016
Keltan/Gapoktan BULOG Pengecer (RPK, pasar, dll)
Mitra Kerja BULOG Pengecer (RPK, pasar, dll)
Petani Satgas BULOG BULOG Pengecer (RPK, pasar, dll)
Bunga Desa/LPDK Pemerintah Desa BULOG Pengecer (RPK, pasar, dll)
45
Upaya memperpendek rantai tata niaga komoditas daging sapi pada dasarnya
memungkinkan apabila: (a) Kalau sifat perdagangan komoditas daging sapi tersebut
bersifat lokal, namun jika sifat perdagangan antar pulau maka akan menghadapi
banyak persoalan, hal yang harus didasari adalah bahwa daerah sentra produksi
daging sapi sangat tersebar sehingga memerlukan jasa pedagang pengumpul sebagai
colector; (b) Peluang untuk memperpendek rantai tata niaga pada komoditas daging
sapi lebih memungkinkan pada rantai pasca pemotongan sapi, hal ini disebabkan
pada rantai sebelum pemotongan melibatkan wilayah dan lokasi yang tersebar,
pelaku tata niaga yang banyak, dan kelembagaan tata niaga yang ada telah mapan
dalam waktu yang lama; (c) Dalam hal ini pedagang besar (midle man) tetap
difungsikan sesuai kewajaran dan jangan bertindak profit seeking terutama melalui
Model Bulog Distribution Management System (BDMS).
Mitra BDMS dan RPK yang dikelola Bulog ada syarat-syaratnya yang harus
dipenuhi pada saat melakukan registrasi. Kebijakan komoditas pangan tercakup
daging sapi dewasa ini tidak bisa bersifat parsial, tetapi harus bersifat holistik. Untuk
menghadapi kompetisi dengan Pedagang Antar Pulau dikembangkan Model BDSM
dan RPK. Kalau Bulog diperkuat baik dari sisi payung hukum maupun anggarannya
dimungkinkan menjalankan mandat ini untuk 11 komoditas pangan tercakup daging
sapi dan kerbau dalam skala nasional.
Pada saat ini secara nasional Bulog ke hulu hanya melakukan pembelian
daging sapi dan daging kerbau impor dari Australia dan India. Sesungguhnya
Pedagang Besar (Pedagang Antar Daearah/Pulau) tidak dapat mengatur harga pasar
untuk komoditas daging sapi, pedagang melakukan spekulasi jika pasokan tidak
lancar dan kesempatan untuk menaikkan harga. Kunci stabilitas harga daging sapi
adalah terjaminnya pasokan daging sapi dan daging kerbau. Untuk dapat
memperlancar pasokan daging sapi maka manajemen stok daging sapi dan daging
kerbau harus dilakukan dengan baik. Untuk menjamin pasokan daging sapi dan
daging kerbau, Bulog melakukan impor dan membangun gudang berpendingin (cold
storage).
46
Jumlah daging yang harus disediakan, ditentukan oleh kebutuhan konsumsi
daging sapi untuk penduduk secara nasional. Sementara itu, kebutuhan konsumsi
daging sapi nasional ditentukan oleh jumlah penduduk dan konsumsi perkapita
masyarakat Indonesia. Sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan semakin
meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya protein hewani, maka
kebutuhan daging sapi nasional cenderung terus meningkat. Hasil kajian Kemendag
(2014a) dengan menggunakan data FAO menunjukkan bahwa sejak tahun 1975-
2011, jumlah konsumsi daging sapi penduduk di Indonesia terus meningkat,
terutama sejak awal tahun 1990.
Kegunaan manajemen stok daging sapi dan kerbau adalah menjaga jika ada
permintaan mendadak agar tidak terjadi kenaikan harga yang dapat mengganggu
stabilitas harga daging sapi. Pada komoditas daging sapi dan kerbau, manajemen
stok sangat penting, karena meskipun tersedia sapi hidup di daerah sentra produksi
di pedesaan memerlukan proses yang membutuhkan waktu untuk siap potong,
dididtribusikan dan digunakan di daerah pusat-pusat konsumsi.
Berdasarkan kajian kualitatif di lapang tentang manajemen stok daging sapi di
tingkat pedagang besar (grosir) memberikan beberapa informasi sebagai berikut
(Kemendag, 2014b): (1) Jangka waktu stock yang direncanakan untuk tujuan pasar
lokal hanya 1 hari, sedangkan untuk tujuan pasar luar wilayah (Jakarta dan
sekitarnya) selama tiga hari dengan cara disimpan dalam cold storage; (2) Untuk
pedagang besar antar wilayah (distributor) dan grosir daging sapi untuk tujuan pasar
lokal jumlah stock relatif terbatas hanya berkisar 5-20 Kg/hari, sedangkan untuk
tujuan pasar Jakarta dan sekitarnya jumlah stok mencapai 1.000 Kg; (3) Stok yang
ada saat ini diperkirakan akan habis 1 hari dan diperkirakan akan membeli lagi juga
dalam jangka waktu 1 hari lagi dengan volume pembelian 1000 Kg daging sapi; (4)
Tingkat susut selama stock diperkirakan 1-2 %.
Dalam hal ini Bulog memiliki 3 hingga 4 peran sekaligus, yaitu sebagai
“pedagang” yang membeli komoditas daging sapi langsung dari produsen dan atau
impor, pedagang yang membeli dari mitra kerja Bulog, sebagai importir yang
47
melakukan impor komoditas daging sapi jika dipandang perlu oleh pemerintah, dan
sekaligus pedagang pengecer melalui RPK yang tersebar. Dengan peran yang
demikian maka diharapkan Bulog dapat memotong rantai tata niaga komoditas
daging sapi. Bulog disamping berperan sebagai “pedagang” dan importir, Bulog juga
dapat langsung menjual ke pengecer melalui RPK dan selanjutnya sampai ke
konsumen rumah tangga. Dengan melakukan penetrasi langsung melalui RPK yang
tersebar ke konsumen rumah tangga, maka diharapkan tidak ada isu harga
komoditas daging sapi tinggi, karena permintaan pangan di pasar mengalami
penurunan. Pada prinsipnya untuk memotong rantai tata niaga pada komoditas
daging sapi dapat dilakukan setelah rantai pasca pemotongan, pada saluran tata
niaga sebelum pasca panen/pengolahan sulit dilakukan, karena peran pedagang
pengumpul sangat diperlukan untuk mengumpulkan sapi dengan wilayah yang sangat
tersebar.
Melalui Perpres No. 48 Tahun 2016 Bulog mendapat mandat mengimpor dan
penyaluran 11 komoditas pangan termasuk daging sapi dan daging kerbau.
Komoditas impor penyalurannya ada 2 pola: (1) BDMS; dan (2) RPK. Tujuan
distribusi utama Bulog adalah wilayah Jabodetabek dengan pola BDMS, RPK, dan
Bazar dipemukiman-pemukiman penduduk, termasuk penetrasi langsung ke pasar-
pasar tradisional.
Promosi produk daging sapi dan daging kerbau yang selama ini terkendala
mengingat terbatasnya sumber daya. Komoditas dan produk daging sapi dan daging
kerbau merupakan produk yang homogen dan sebagian besar tidak bermerek
sehingga perusahaan/produsen dan pedagang penghasil komoditas daging sapi dan
daging kerbau tidak memiliki insentif yang cukup untuk melakukan promosi besar-
besaran. Promosi yang bersifat generik ini membuka peluang terjadinya persoalan
penumpang gelap (free riders). Penumpang gelap (free riders) ini mendapatkan
keuntungan dari promosi walaupun mereka tidak ikut berpartisipasi dalam upaya
promosi. Akibatnya, kalaupun ada promosi yang dilakukan perusahaan-perusahaan,
pelaksanaannya bersifat parsial dan sporadis, sehingga kurang memberikan dampak
48
maksimal. Bulog yang mendapatkan mandat sebagai distributor dan stabilisator harga
pangan tercakup daging sapi telah melakukan sosialisasi dan promosi tentang produk
daging kerbau dari India. Beberapa promosi yang telah dilakukan adalah: daging
kerbau itu enak, daging kerbau bergizi, daging kerbau sehat, dan daging kerbau
murah, daging kerbau dapat diolah menjadi burger, stake, rendang, dan lain-lain,
seperti halnya daging sapi. Dalam penyaluran daging sapi/kerbau Bulog melakukan
kerjasama dengan distributor/agen atau langsung pedagang pengecer di pasar dan
RPK. Hingga kini usaha RPK sebagian besar masih merupakan usaha sambilan
dengan pendapatan Rp 1-2 juta/bulan.
Untuk dapat menjalankan mandat yang diberikan BULOG mengembangan
Rumah Pangan Kita (RPK). Target pengembangan RPK adalah 1 RPK/RW. Sistem
transaksi yang digunakan adalah sistem cash and carry. Secara operasional RPK
dapat melakukan Bazar kerjasama dengan Kelembagaan Masjid. Harga HET daging
sapi Rp. 80.000,-/Kg dan daging kerbau dengan harga Rp 65.000,-/Kg. Hasil
monitoring dan evaluasi Tim Monev Bulog pernah ada kasus beli daging kerbau dari
Bulog Rp 60.000,-/Kg tetapi dan dijual pedagang di atas Rp. 65.000,-/Kg sehingga
melebihi keuntungan yang ditetapkan sebesar Rp 5.000,-/Kg. Alasan pedagang
adalah adanya penyusutan berat daging dari daging beku menjadi daging biasa selah
mencair, sehingga kalau dijual Rp 65.000/Kg keuntungan lebih kecil dari Rp. 5.000,-
/Kg.
Ada kebijakan impor sapi bakalan sebanyak 700 ribu ton sapi bakalan yang
dilakukan melalui proses lelang impor. Importir yang mendapatkan lelang dibatasi
importir yang mengimpor dengan prosentase hidup terbesar atau prosentase
kematian terendah. Sebelumnya sudah dilakukan impor sapi bakalan dari Autralia
sebanyak 500 ribu ton. Selain impor sapi bakalan, di beberapa sub divre Bulog juga
melakukan pembelian dan penjualan sapi rakyat menjelang hari raya Iedul Adha
untuk qurban dengan harga jual Rp 100.000,-/Kg. Beberapa langkah ini dilakukan
untuk meningkatkan populasi sapi, produksi daging sapi, terjaminnya pasokan daging
sapi dan stabilnya harga daging sapi dipasar.
49
Ada 11 komoditas yang menjadi mandat Bulog, yang wajib hanya beras,
jagung dan kedelai, sedangka n komoditas lainnya adalah gula, minyak goreng,
bawang merah, bawang putih, cabai, terigu, daging sapi, daging ayam dan telur
ayam. Untuk komoditas daging sapi dan daging kerbau Bulog telah membangun
gudang berpendingin (cold storage) sendiri dengan kapasitas 200 ton yang berlokasi
di Kelapa Gading, Jakarta dan menyewa 2 (dua) unit Colstorage di Tangerang dan
Cibinong, Kabupaten Bogor masing-masing dengan kapaitas 10.000 ton. Langkah
tersebut dilakukan untuk mengantisipasi mandat yang diberikan pemerintah kepada
Bulog dalam melakukan stabilisasi harga daging sapi. Sementara itu untuk stabilisasi
harga komoditas bawang merah Bulog telah menyewa Gudang di daerah sentra
produksi Kabupaten Brebes dengan Luas kurang lebih 1 Ha dengan kapasitas 5.000
ton.
Pada prinsipnya untuk komoditas pangan yang telah lama ditangani Bulog
khususnya gabah dan beras dapat menguasai dengan baik, penguasaan sistem
maupun fisiknya. Dalam hal ini karena Bulog telah memiliki infrastruktur fisik dan
manajemen yang sudah memadai. Sementara itu, untuk komoditas daging sapi dan
daging kerbau Bulog harus menyiapkan coldstorage, yang telah dilakukan dengan
membangun sendiri maupun menyewa. Ke depan asal ada dukungan dan penguatan
pemerintah terhadap Bulog, maka secara bertahap Bulog akan kuasai baik sistem
maupun infrastruktur fisiknya untuk semua komoditas daging sapi dan daging
kerbau.
Perpres No. 48 Tahun 2016, prinsipnya adalah yang diawali adanya penugasan
dari pemerintah, kemudian secara bertahap disiapkan infrastruktur pendukungnya.
Pengalaman menjelang lebaran ditugaskan impor daging sapi, BULOG membangun
infrastruktur coldstorage dengan kapasitas 200 ton, ternyata penugasan pada waktu
itu tidak berkelanjutan. Pada saat ini Kemendag sudah mengirim surat ke
Kementerian BUMN untuk mengelola impor daging sapi dan daging kerbau melalui
BULOG dan antar kementerian sudah setuju, maka langkah selanjutnya adalah
50
menyewa cold storage di Tangerang dan Cibinong masing-masing dengan kapasitas
10.000 ton.
Dalam hal daging sapi dan kerbau, Bulog telah mengimpor bakalan sapi dan
daging sapi beku dari Australia dan mengimpor daging kerbau beku dari India.
Secara lengkap dan terperinci pengelolaan bahan pangan pokok per 17 juni 2016
dapat dilihat pada Tabel 7 berikut. Nampak bahwa stok yang paling besar di Bulog
secara berturut-turut adalah beras, jagung, bawang merah, daging sapi, gula pasir,
minyak goreng, bawang, putih, kedelai, tepung terigu dan telur ayam ras.
Tabel 7. Pengelolaan Bahan Pangan Pokok di Indonesia Per 17 Juni 2016
No Komoditi Stok Akhir (Kg)
1 Beras 2,082,022,00
1.1. Beras Komersial (DN) 702,000
1.2. Beras Komersial (LN) 212,091,000
1.3. Beras PSO 1,869,229,000
Cadangan Beras Pemerintah (CBP) 129,693,002
2 Kedelai 10,320
3 Cabai 90
4 Bawang Merah 615,071
5 Bawang Putih 53,059
6 Jagung 47,326,200
6.1. Jagung DN -
6.2. Jagung LN (Ex Feed Mill) 3,266,890
6.3. Jagung LN (Impor) 44,059,310
7 Gula Pasir 179,817
8 Tepung 5,797
9 Ikan -
10 Daging Sapi 327,480
11 Sapi -
12 Minyak Goreng 152,279
13 Telur 167
14 Daging Ayam -
Produksi daging sapi tahun 2015 sebesar 409,1 ribu ton (Sasaran Produksi
Ditjen PKH Kementan, 2015), dan kebutuhan daging sapi sebesar 454,7 ribu ton
51
dengan tingkat kebutuhan 1,78 kg/kap/th (Ditjen PKH Kementan, 2015). Berdasarkan
perhitungan prognosa ketersediaan (produksi) dan kebutuhan daging sapi nasional
tahun 2015, terjadi defisit sekitar 45,7 ribu ton atau 10,04 persen dari kebutuhan.
Kondisi neraca yang defisit menyebabkan harga daging sapi domestik sering
berfluktuasi akibat gangguan pasokan dipasar, sehingga untuk memenuhi kebutuhan
dilakukan dengan impor (sapi bakalan, daging sapi, maupun sapi siap potong, daging
sapi). Pemerintah perlu mendorong masyarakat/swasta/BUMN untuk meningkatkan
ketersediaan daging sapi melalui peningkatan produksi dalam negeri yang
diantaranya dilakukan dengan pengembangan sistem interasi sapi sawit dan sentra
produksi peternakan.
Penjualan dan harga komoditas pangan komersial secara lengkap dan rinci
dapat dilihat pada Tabel 8 berikut. Total penjualan daging sapi pada tahun 2016
sebesar 2.972,46 ton dengan harga rata-rata Rp 82.000,-/Kg di tingkat grosir dan Rp.
85.000,-/Kg ditingkat eceran. Sementara itu harga daging sapi ditingkat eceran pada
bulan April 2016 yang dilaporkan BPS berkisar antara Rp 114.450 - 116,105,-/Kg.
Dengan penjualan dalam jumlah yang cukup dengan harga yang jauh di bawah harga
pasar diharapkan harga daging sapi di pasar relatif stabil.
3.3.2.3. Toko Tani Indonesia Kementan
Pengembangan Usaha Pangan Masyarakat (PUPM) melalui Toko Tani
Indonesia (TTI) merupakan langkah yang strategis dalam memotong rantai tata
niaga dan memperbaiki struktur pasar komoditas pangan strategis tercakup daging
sapi. Hasil kajian empiris dilapang menunjukkan bahwa petani peternak sapi
menghadapi permasalahan pokok sebagai berikut: (a) keuntungan usahaternak yang
diterima peternak rakyat relatif rendah; (b) rantai tata niaga pada ternak sapi dan
daging sapi panjang dan melibatkan banyak pelaku usaha; (c) peternak rakyat
cenderung menghadapi struktur pasar yang oligopolistik dipasar input dan
oligopsonostik dipasar ternak sapi; (d) keuntungan pedagang perantara ternak sapi
dan daging sapi di atas kewajaran bahkan pada situasi tertentu mendapatkan
keuntungan berlebih (excess profit ); (e) keuntungan yang diterima peternak rakyat
52
Tabel 8. Penjualan Komoditas Pangan Komersial dan Harga jual Grosir dan Eceran Perum BULOG, serta Harga BPS, 2016
No Komoditas
Penjualan (Kg) Harga Jual (Rp/satuan) Harga BPS
Mei 1-24 Juni 25-juni 26-Juni 27-Juni Total
Bulan Ini Total
Mei&Juni Tahun Ini Grosir Eceran
Minggu IV
April
Minggu
ini Perubahan
(Rp) (Rp) (Rp) (%)
1 Beras of CIF 15,110,556 53,795,434 662,383 441,589 4,531,415 58,989,232 74,099,768 218,618,817 7,300 7,900 10,364 10,382 68.00 0.00
2
Beras
Domestik 37,083,000 2,768,295 92,435 4,893 71,514 2,932,204 40,015,204 78,348,200
8,200-
10,500
8,500-
11,500 13,041 13,117 -76.00 0.01
3
Bawang
Merah 385,065 58,905 239 192 174 59,318 444,383 444,556
15,000-
25,000
25,000-
35,000 41,290 35,440
-
5850.00
-
0.14
4
Bawang
Putih 360 16,449 36 141 304 16,788 17,148 17,587 27,000 29,500 34,517 37,074 2557.00 0.07
5 Gula Pasir 33851 4,357,974 23,820 16,713 30,359 4,412,153 4,446,004 4,455,996 -
12,000-
12,500 13,832 16,285 2,453,00 0.18
6 Daging Sapi 345892 1,829,183 658 706 567 180,398 2,176,290 2,972,462 82,000 85,000 114,450 116,105 1655.00 0.01
7 Minyak Goreng 26137 382,997 21,331 3,782 19,673 424,001 450,138 454,879 10,500 12,500 12,617 12,868 251.00 0.02
8 Cabai 95 41 - - - 41 95 5,935 - 26,000 26,057 26,529 -
1528.00 -
0.05
9 Telur Ayam 90 7,228 108 - - 7,336 7,426 7,789 - 19,000 19,836 21,857 2021.00 0.10
Total 52,984,860 63,216,464 801,010 468,016 4,653,996 68,671,469 121,656,475 305,326,219
53
dengan pedagang (pedagang pengumpul desa, pedagang besar antar
wilayah/pedagang antar pulau, pedagang grosir, dan pedagang pengecer) tergolong
timpang; (f) situasai pasar pada komoditas ternak sapi dan daging sapi sering
mengalami gejolak harga terutama pada iedul adha, menjelang bulan puasa, dan
menjelang lebaran; dan (g) pelaksanaan operasi pasar komoditas pangan bersifat
temporer.
Pengembangan Usaha Pangan Masyarakat (PUPM) melalui Toko Tani Indonesia
(TTI) ini dipayungi oleh Kepmentan No. 83 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan PUPM
Tahun 2016. Pengembangan TTI merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah
dalam mengatasi gejolak harga komoditas pangan, tercakup daging sapi. Program ini
dapat dipandang sebagai exit strategy dari pengembangan Gapoktan LDPM yang telah
melibatkan sebanyak 1.852 kelembagaan Gapoktan.
Tujuan Pengembangan Usaha Pangan Masyarakat (PUPM) melalui Toko Tani
Indonesia (TTI) khususnya ternak sapi dan daging sapi adalah (BKP, 2016):
1. Menjaga stabilitas harga komoditas pangan tercakup daging sapi di tingkat
petani atau peternak.
2. Memotong rantai tata niaga komoditas pangan strategis khususnya ternak sapi
dan daging sapi yang terlalu panjang
3. Menekan harga komoditas pangan tercakup daging sapi di tingkat pedagang
pengecer (retail) atau konsumen.
4. Mengurangi keuntungan berlebih (exces profit) di tingkat pedagang perantara
terutama pedagang antar wilayah/antar pulau dan pedagang grosir, sehingga
pedagang memperoleh keuntungan yang wajar.
5. Merubah struktur pasar komoditas pangan dari struktur pasar yang oligopsonistik
ke arah struktur pasar yang lebih kompetitif.
Manfaat Pengembangan Usaha Pangan Masyarakat (PUPM) melalui Toko Tani
Indonesia (TTI) khususnya ternak sapi dan daging sapi adalah (BKP, 2016):
1. Memotong rantai tata niaga menjadi lebih pendek, dari semula 7-8 titik menjadi
menjadi 3-4 titik, sehingga harga lebih stabil.
54
2. Disparitas harga antara harga yang dibayar konsumen dengan harga yang diterima
peternak menjadi lebih rendah, sehingga produsen menerima harga yang wajar,
pedagang tetap eksis dan konsumen mendapat harga yang wajar.
3. Struktur pasar berubah dari struktur pasar yang oligopsonistik ke arah struktur
pasar yang lebih kompetitif, sehingga terjadi keseimbangan harga antara harga
produsen, pedagang dan konsumen.
Sasaran Gapoktan/Pengembangan Usaha Pangan Masyarakat (PUPM) melalui
TTI pada tahun 2016 ditargetkan sebanyak 500 gapoktan/LUPM dan 1.000 unit TTI di
33 Provinsi. Konsentrasi pengembangan dilakukan di Provinsi Sumatera Utara,
Sumatera Selatan, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur, dan Sulawesi Selatan. Lokasi pengembangan dilaksanakan di daerah/wilayah
yang menjadi barometer terjadinya fluktuasi harga komoditas pangan strategis tercakup
daging sapi. Untuk komoditas daging sapi difokuskan di Jakarta dan sekitarnya yang
menjadi tujuan pasar utama.
Perkembangan kegiatan PUPM-TTI pada periode 2015 – 2019 adalah sebagai
berikut: Pada tahun 2015 telah dikembangkan 50 TTI sebagai pilot project, pada tahun
2016 sebanyak 2.000 TTI, pada tahun 2017 sebanyak 1.000 TTI, pada tahun 2018
sebanyak 1.000 TTI, dan pada tahun 2019 sebanyak 2.000 TTI. Model TTI yang
dikembangkan sangat relefan untuk komoditas beras, sedangkan untuk komoditas
daging sapi harus diitengrasikan pengelola RPH pemerintah yang berfungsi merubah
dari bentuk sapi hidup menjadi karkas, daging sapi, serta parting. Model
pengembangan rantai pasok atau rantai tata niaga (PUPM) komoditas daging sapi
melalui kegiatan TTI dapat adalah pada Gambar 9.
Penetapan harga komoditas daging sapi melalui kegiatan TTI seharusnya
dilakukan pada tiga tingkatan, yaitu harga ditingkat peternak dalam bentuk sapi bobot
hidup (Kg bobot hidup), harga ditingkat RPH (Kg karkas) dan harga daging sapi
ditingkat pengecer (ritel). Harga pembelian di tingkat peternak dan RPH dilakukan
dengan harga referensi. Sementara itu, harga jual di TTI ke konsumen mengikuti
harga eceran tertinggi (HET) atau harga referensi. Harga jual TTI ditentukan
55
berdasarkan harga rata-rata 3 (tiga) bulan terakhir atau lebih rendah dari harga pasar
yang didasarkan data yang bersumber dari BPS/panel harga. Keuntungan maksimal
bagi pedagang yang menjalankan TTI ditetapkan hanya 2,5% atau harus lebih rendah
dari harga pasar yang berlaku, sedangkan Bulog melalui RPK memberikan profit Rp
5000,-/Kg daging sapi. Dalam hal ini penentuan keuntungan maksimal harus dibedakan
jenis dan sifat komoditasnya. Untuk daging sapi yang memiliki dayasimpan terbatas
dan memiliki resiko tinggi, penetapan keuntungan 2,5% dipandang terlalu rendah.
Keuntungan yang oleh pedagang dianggap wajar adalah berkisar antara Rp 5.000-
7.500,-/Kg.
1.
2.
Pembiayaan PUPM melalui kegiatan TTI pada tahun 2016 bersumber dari: (a)
dana APBN TA 2016, dalam bentuk Bantuan Pemerintah melalui dana dekonsentrasi
BKP Provinsi; dan (b) Bantuan Pemerintah digunakan untuk membeli komoditas pangan
tercakup ternak sapi atau daging sapi langsung ke petani/peternak, hasil produksi
pertanian/peternakan, dan daging sapi atau kerbau impor, setelah diproses disalurkan
langsung ke TTI untuk dijual ke masyarakat/konsumen.
Kriteria gapoktan yang mendapatkan pendanaan kegiatan TTI adalah: (a)
Gapoktan yang sudah eksis minimal selama 3 (tiga) tahun dan disahkan oleh
Bupati/Walikota; (b) Memiliki struktur organisasi dan anggaran dasar dan anggaran
rumah tangga (AD/ART); (c) Memiliki gudang penyimpanan pangan tergantung
Peternak Kelompok
Peternak/
Gapoknak yang
difasilitasi RPH
Konsumen RT TTI
(Meat shop)
Peternak Kelompok
Peternak/
Gapoknak
Konsumen
RT TTI
(Meat Shop)
RPH
Pemerintah
Gambar 9 . Rantai Tataniaga Daging Sapi Model Toko Tani Indonesia
56
spesifikasi produk pangan yang dijual, untuk daging sapi harus punya freezer; (d) Tidak
sedang menerima bantuan serupa dari Kementan di tahun berjalan; (e) Bersedia
memasok bahan pangan tercakup daging sapi minimal ke 2 (dua) TTI; (f) Sanggup
menjaga kualitas pasokan bahan pangan tercakup daging sapi secara kontinyu; (g)
Bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kegiatan dan keuangan TTI; dan (h)
Sanggup membuat pembukuan dan pelaporan kegiatan TTI secara periodik. Untuk
komoditas daging sapi melalui pola distribusi model TTI perlu dilakukan modifikasi dan
penyempurnaan disesuaikan dengan spesifikasi kelompok peternak dan Gapoktan dan
komoditas daging sapi. Paling tidak harus melibatkan pengusaha RPH, RPH milik
pemerintah di daerah-daerah sentra produksi peternakan.
Kriteria pelaku usaha yang dapat menjalankan Toko Tani Indonesia (TTI)
meliputi: (a) Merupakan pelaku tata niaga atau pedagang tetap, untuk daging sapi
dalam bentuk usaha meatshop; (b) Memiliki tempat usaha milik pribadi atau sewa; (c)
Berlokasi strategis yang mudah dijangkau masyarakat konsumen; (d) Memiliki
SIUP/NPWP/UD (minimal surat izin usaha dari desa); (e) Bersedia melakukan kontrak
kerjasama dengan Gapoktan/kelompok peternak dalam pengadaan bahan pangan,
tercakup ternak sapi dan daging sapi; (f) Bersedia menjual produk pangan tercakup
daging sapi di TTI; dan (g) Bersedia membuat catatan transaksi penjualan khusus
kegiatan TTI dan membuat pelaporan secara periodik. Untuk komoditas daging sapi
mungkin perlu ditambahkan memiliki tempat penyimpanan (cold storage) atau freezer
sesuai kapasitas yang diperlukan.
Kriteria Pendamping dalam pelaksanaan kegiatan TTI meliputi: (a) Pendidikan
minimal Sekolah Menengah Umum (SMU) atau yang sederajat; (b) Berdomisili dekat
dengan Gapoktan dan/atau lokasi pedagang TTI; (c) Satu orang pendamping
mendampingi 1 Gapoktan; (d) Memiliki komitmen untuk mendampingi dan membimbing
Gapoktan dan pedagang TTI; (f) Sanggup melaksanakan kunjungan dan pembinaan
secara rutin minimal satu kali seminggu kepada Gapoktan dan Pedagang TTI. Agar
pendampingan berjalan baik maka pendamping harus dibekali aspek teknis dan bisnis
komoditas yang diperdagangkan di masing-masing TTI. Untuk daging sapi harus
57
dibekali pengelolaan daging sapi terutama aspek pengadaan, aspek penyimpanan,
pengaturan suhu simpan, pengembangan produk dan promosi produk, dan aspek
penjualan ke berbagai tujuan kelompok konsumen.
Tugas dan tanggung jawab Tim Pokja Pusat adalah: (a) Menerbitkan Pedoman
Umum Kegiatan PUPM melalui kegiatan TTI, untuk komoditas daging sapi pedoman
umum harus lebih spesifik; (b) Melakukan sosialisasi, koordinasi, integrasi, dan advokasi
dengan lembaga terkait dalam pelaksanaan kegiatan PUPM melalui kegiatan TTI, baik
aspek teknis, bisnis, dan hubungan antar pelaku; (c) Melakukan bimbingan teknis untuk
Gapoktan, TTI, dan tenaga pendamping yang bersifat spesifik komoditas yang akan
diperdagangkan; (d) Melakukan pertemuan secara berkala terkait pelaksanaan kegiatan
TTI untuk menumbuhkan motivasi; dan (e) Memverifikasi, mengawal, membina,
memantau, mengevaluasi, mengawasi, mengendalikan, dan melaporkan kegiatan PUPM
melalui kegiatan TTI.
Tugas dan tanggung jawab Tim Pembina Provinsi adalah: (a) Menyusun petunjuk
pelaksanaan (juklak) yang jelas dan mudah dipahami, perlu difokuskan pada komoditas
yang ditangani tercakup komoditas daging sapi; (b) Sosialisasi, koordinasi, integrasi,
dan advokasi dengan instansi terkait dalam pelaksanaan kegiatan TTI, sosialisasi
dilakukan melalui proses sosial yang matang baik aspek teknis, bisnis, hubungan antar
pelaku; (c) Mengidentifikasi, memverifikasi, mendampingi, membina, memantau,
mengevaluasi, mengawasi, pengendalian, dan pelaporan kegiatan PUPM ke Gubernur
dan Pusat; (d) Melakukan verifikasi terhadap CPCL Gapoktan yang diusulkan oleh
kabupaten/kota, Gapoktan yang memiliki usaha/bisnis dan berjalan baik dapat prioritas;
dan (e) Melakukan sosialisasi, koordinasi, integrasi, dan advokasi dengan instansi
terkait dalam pelaksanaan kegiatan PUPM.
Tugas dan tanggung jawab Tim Teknis Kabupaten/Kota adalah: (a) Membina,
memantau, mengevaluasi, mengawasi, pengendalian, dan pelaporan kegiatan PUPM ke
Bupati/Walikota dan Gubernur; (b) Mengidentifikasi CPCL Gapoktan dan Pedagang TTI
yang diusulkan oleh Gapoktan; (c) Mengusulkan CPCL Gapoktan, dan Pedagang TTI
yang diusulkan oleh Gapoktan kepada provinsi; (d) Mengusulkan pendamping kegiatan
58
PUPM kepada provinsi; dan (e) Mendampingi Gapoktan dalam proses pengusulan
pencairan dana bantuan pemerintah untuk kegiatan TTI. Disarankan Tim Teknis juga
melakukan pendampingan dalam pengelolaan dan penggunaan dana bantuan
pemerintah sehingga tepat sasaran dalam penggunaan.
Tugas dan tanggung jawab Gapoktan adalah: (a) Bersedia dan sanggup
melaksanakan kegiatan Pengembangan Usaha Pangan Masyarakat (PUPM); (b)
Bersedia dan sanggup melakukan identifikasi CPCL untuk pedagang TTI; (c) Melakukan
pembelian bahan pangan pokok dan strategis (tercakup komoditas daging sapi) kepada
petani/mitra dengan harga yang menguntungkan bagi petani; (d) Melakukan pasokan
dan menjaga stabilisasi pasokan bahan pangan pokok dan strategis (tercakup
komoditas daging sapi) yang berkualitas secara berkelanjutan kepada pedagang TTI;
dan (e) Membuat pembukuan penerimaan dan penyaluran (penjualan) serta
mengirimkan laporan kepada PPK dan BKP provinsi melalui BKP kabupaten/kota.
Disarankan bagi Gapoktan yang memiliki unit usaha, seperti koperasi, pengembangan
TTI dapat terintegrasi ke dalam kelembagaan Gapoktan.
Tugas dan tanggung jawab Toko Tani Indonesia (TTI) adalah: (a) Bersedia dan
sanggup melaksanakan kegiatan Pengembangan Usaha Pangan Masyarakat (PUPM);
(b) Melakukan penjualan bahan pangan pokok dan strategis (tercakup komoditas
daging sapi) sesuai dengan kesepakatan yang telah ditentukan; (c) Menjaga stabilisasi
stok komoditas pangan pokok dan strategis secara berkelanjutan dengan harga yang
wajar; (d) Bekerjasama dengan Gapoktan untuk menjaga kontinuitas penyaluran dan
kualitas pangan (komoditas strategis) dengan harga yang wajar; (e) Membuat
pembukuan penerimaan dan penyaluran (penjualan) serta mengirimkan laporan kepada
Gapoktan; dan (f) Melakukan stock opname dan tutup buku pada akhir tahun.
Tugas dan tanggung jawab tenaga pendamping TTI meliputi: (a) Mendampingi
dan membimbing Gapoktan dan TTI sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Tim
Pembina Provinsi dan Tim Teknis Kabupaten/Kota; (b) Membuat rencana kerja dan
jadwal pelaksanaan kegiatan Pengembangan Usaha Pangan Masyarakat (PUPM) secara
tertulis mengenai kegiatan pendampingan dan pembinaan kepada Gapoktan dan
59
pedagang TTI; (c) Melaksanakan kunjungan dan pembinaan secara rutin minimal satu
kali dalam dua minggu kepada Gapoktan dan pedagang TTI; (d) Membuat laporan
secara berkala tentang kegiatan pendampingan yang dilakukan.
Pengembangan TTI secara nasional memiliki prospek jika dipersiapkan secara
matang, namun pengembangan TTI tidak dapat diseragamkan untuk semua wilayah
dan seluruh komoditas pangan strategis. Hasil kajian di lapang menunjukkan secara
teknis TTI dapat diterapkan di lokasi penelitian baik di daerah sentra produksi pangan
di perdesaan maupun pusat-pusat konsumsi di perkotaan. Secara ekonomi, usaha TTI
memberikan keuntungan yang sangat terbatas, sehingga diduga kurang memberikan
insentif yang memadai kepada Gapoktan dan pedagang pengelola TTI. Sebagai ilustrasi
keuntungan yang dianggap wajar bagi pedagang TTI sebesar Rp 5.000 – 7.500,-/Kg,
sementara BKP hanya memberikan keuntungan bersih hanya 2,5 % atau setara Rp
2.125,-/Kg, karena pedagang TTI memperhitungkan susut dan resiko tidak terjual.
Keberlanjutan program TTI sangat ditentukan oleh aspek pelaksanaan, aspek
pendukung, dan aspek promosi. Dalam aspek pelaksanaan harus dipersiapkan secara
baik beberapa hal penting berikut : (1) Juklak atau Juknis Program TTI (Toko Tani
Indonesia) bersifat sederhana sehingga mudah dipahami dan diimplementasikan; (2)
Sosialisasi program secara berkala pada berbagai tingkatan pelaksana agar mereka
termotivasi untuk melaksanakan TTI; (3) Pendampingan secara berkala sehingga tujuan
tercapai sesuai dengan yang direncanakan; dan (4) Melakukan monitoring dan evaluasi
secara berkala untuk mendapatkan umpan balik guna penyempurnaan TTI dan
pemecahan masalah baik teknis, ekonomi, maupun manajemen.
Aspek pendukung yang perlu mendapatkan perhatian adalah: (1) Perlu
direncanakan dan disiapkan oleh pihak tertentu tentang jenis, jumlah dan kualitas
bahan pangan strategis tercakup komoditas daging sapi; (2) Perlu penyedia fasilitas,
seperti tempat usaha, timbangan, tempat penyimpanan, dan alat lainnya; (3)
Kelembagaan pengelola TTI secara partisipatif berbasis kelembagaan
Gapoktan/Kelompok Tani/Kelompok Peternak; (4) Sebaiknya yang menjadi leading
institution adalah Badan Ketahanan Pangan (BKP) provinsi dan Kabupaten; (5)
60
Pengembangan usaha berbasis komoditas pangan unggulan sesuai kebutuhan
masyarakat konsumen; (6) Kelembagaan Gapoktan/Kelompok Tani/Kelompok Peternak
yang mampu memasok komoditas pangan yang ditransaksikan. Kesiapan aspek
pendukung saat ini di daerah sentra produksi dan pusat konsumsi masih kurang,
terlebih untuk komoditas daging sapi yang mudah rusak.
Aspek promosi dapat dilakukan melalui: (1) Temu lapang secara berkala untuk
memotivasi dusun/desa sekitar yang belum melaksanakan Program TTI; (2) Advokasi
secara berkala ke Pemangku kebijakan tingkat Desa, Kecamatan, Kabupaten, Provinsi
tentang manfaat dan keuntungan ekonomi dari TTI (Toko Tani Indonesia); (3) Kegiatan
lomba dan penghargaan dalam pengelolaan TTI pada berbagai level atau tingkatan
(desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, dan nasional).
Keberlanjutan program TTI juga sangat ditentukan adanya sinergi antara
Program TTI dengan PUPM. Selanjutnya dikemukakan bahwa dalam perencanaan dan
implementasinya perlu dirumuskan bersama terutama dalam aspek : (1) Lokasi tempat
usaha yang strategis (dusun, desa, kecamatan, kabupaten); (2) Terjaminnya jenis,
jumlah dan kontinyuitas pasokan komoditas pangan, tercakup komoditas daging sapi;
(3) Pendampingan Gapoktan dan pengelola TTI, baik oleh Tim Pembina Provinsi, Tim
Teknis kabupaten/kota, maupun petugas pendamping; (4) Manajemen rantai pasok
terpadu untuk komoditas pangan srategis produksi setempat; dan (5) Promosi,
diseminasi, dan replikasi Program TTI ke lokasi atau wilayah lain.
61
IV. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Upaya pemerintah menurunkan harga daging di Indonesia melalui membuka
impor daging kerbau, membuka RPK dan TTI, serta memfasilitasi Kapal Ternak,
khususnya di DKI Jakarta dan daerah sekitarnya terlihat belum memberikan dampak.
Akan tetapi dengan upaya yang dilakukan telah memberikan alternatif bagi rumah
tangga kurang mampu untuk membeli daging dengan harga murah, yaitu berupa
daging kerbau beku asal impor dari India dan daging sapi lokal yang disalurkan Pemda
DKI Jakarta melalui Kartu Jakarta Pintar (KJP). Selain itu, adanya alternatif daging
dengan harga murah, sampai saat ini mampu menekan naiknya harga daging segar di
DKI jakarta dan sekitarnya.
Bervariasnya sumber daging dengan harga yang berbeda. Sebaiknya penjualan
daging sapi lokal, daging sapi impor, dan daging kerbau impor dijual dengan harga
yang berbeda dan agar tidak rembesan atau oplosan diantaranya perlu dilakukan
pengawalan oleh pemerintah. Untuk mensosialisasi adanya perbedaan harga jual
berdasarkan sumber daging sebaiknya melibatkan TTI, RPK Bulog, Toko Daging Milik
PD Dharma Jaya dan PD Pasar Jaya, super market.
Untuk menghindari kenaikan harga yang melonjak menjelang puasa dan lebaran,
diharapkan saluran tata niaga yang diintroduksi pemerintah selama ini seperti RPK, TTI,
KJP diharapkan dapat berperan lebih maksimal. Upaya yang perlu dilakukan adalah
menambah volume penjualan dan memperbanyak outlet termasuk melalui kegiatan
operasi pasar yang diinformasikan melalui media sosial. Operasi pasar dilakukan dengan
memperhitungkan waktu yang tepat, yaitu sebelum terjadi kenaikan harga.
Pengaruh pasokan daging impor dan daging asal sapi bakalan impor
menyebabkan harga daging di Jakarta dan sekitarnya menjadi lebih murah
dibandingkan sentra produksi sapi lokal seperti Jawa Tengah. Untuk meningkatkan daya
saing usaha penggemukan sapi di Jawa Tengah dan mungkin juga daerah lain dapat
dilakukan dengan melakukan integrasi usaha secara vertikal, integrasi usaha secara
horizontal, dan melakukan diferensiasi produk.
62
Kebijakan yang dipandang relevan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi
sistem tata niaga ternak sapi dan daging sapi adalah: (1) Pengembangan Bulog
Ditribution Management System (BDMS) terutama untuk daging sapi dan daging kerbau
asal impor; (2) Pengembangan pola distribusi dan tata niaga kontrak kerjasama jual-
beli antara PD Dharma Jaya dengan pedagang pengirim dari NTT via Tol Laut dengan
Kapal Camara Nusantara I, pemotongan dengan RPH PD Dharma Jaya dan distribusi
tata niaga melalui pasar yang dikelola PD Pasar Jaya dan program Kartu Jakarta Pintar;
dan (3) Pengembangan pola Toko Tani Indonesia (TTI) terutama di daerah-daerah
sentra produksi yang mampu menghasilkan daging sapi secara efisien yang
diintegrasikan dengan kebijakan pemerintah daerah setempat.
Kebijakan yang dipandang relevan untuk stabilisasi harga daging sapi khusnya di
DKI Jakarta dan Jawa barat adalah : (1) Percepatan peningkatan produksi sapi
domestik dengan pengembangan industri pembibitan dan pakan ternak berbahan baku
lokal, (2) Revitalisasi pasar hewan dengan sistem informasi pasar yang transparan dan
penggunaan sistem timbang, (3) Meningkatkan efektivitas dan efisensi sistem tata
niaga ternak sapi dan daging sapi dari daerah-daerah sentra produksi ke pusat-pusat
konsumsi melalui Tol Laut Kapal Camara Nusantara I; (4) Adanya rencana 5 unit kapal
ternak yang akan dialokasikan untuk NTT 3 unit, NTB 1 unit dan Bali 1 unit,
diperkirakan akan meningkatkan efektivitas dan efisiensi sistem tata niaga ternak sapi.
Namun agar tidak terjadi pengurasan sapi lokal asal NTT maka disarankan agar
pedagang pengirim juga melakukan usaha pembibitan dan budidaya melalui pola
kemitraan usaha; (5) Penerapan kebijakan harga referensi komoditas daging sapi
secara tepat dan diperbaharui setiap tahun; dan (6) Kebijakan impor yang tepat
sebatas menutupi kekurangan pasokan dari sapi domestik sehingga ada tetap ada
insentif bagi peternak untuk meningkatkan produksi ternak sapi lokal.
63
DAFTAR PUSTAKA
Azzaino, 1981. Pengantar Tata niaga Pertanian. Diktat. Departemen Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, IPB. Bogor
Asmarantaka, R. W. 2009. Pemasaran Produk-Produk Pertanian dalam Bunga Rampai
Agribisnis Seri Pemasaran. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
BULOG, 2016. Operasionalisasi Kebijakan Stabilisasi Harga Pangan Pokok. Dalam
Seminar Rutin Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian pada 29 Juni 2016. Bogor.
BKP. 2016. Pengembangan Usaha Pangan Masyarakat (PUPM) Melalui Toko Tani
Indonesia (TTI) ”Konsep dan Implementasi”. Dalam Seminar Rutin Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian pada 29 Juni 2016. Bogor.
Dahl, Dale C. and Jerome W. Hamond. 1977. Market and Price Analysis. The Agriculture
Industries. McGraw – Hill. USA.
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2015. Statistik Peternakan 2012. Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, Jakarta.
FAO. 2014. Food Balance. FAO, Rome. http://faostat.fao.org/site/617/. Diunduh: 14
Agustus 2014.
Ilham, N., Basuno, E., Winarso, B., Zakaria, A.K., dan Nurasa, T. 2013. Kajian Efisiensi
Moda Transportasi Ternak dan Daging Sapi dalam Mendukung Program Swasembada Pangan. Pusat Sosial dan Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Ilham, N., Saptana, A. Purwoto, Y. Supriatna, Dan T. Nurara. 2015. Kajian Pengembangan Industri Peternakan Mendukung Peningkatan Produksi Daging.
Laporan Penetian Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
Kemendag. 2014a. Outlook Pasar Daging Sapi 2015-2019. Kementerian Perdagangan.
Jakarta.
Kemendag. 2014b. Laporan Hasil Survei Pemetaan Komoditas Agro 2014. Kerjasama PT Sucofindo, Tbk dengan Kementerian Perdagangang Republik Indonesia.
Jakarta.
Mubyarto. 1973. Pengantar Ekonomi Pertanian. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan
Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Jakarta
Nasruddin, W. 1999. Tata niaga Pertanian. [Diktat Kuliah]. Universitas Terbuka. Jakarta.
64
Saptana dan H. P. Saliem. 2015. Tinjauan Konseptual Makro-Mikro Pemasaran dan Implikasinya Bagi Pembangunan Pertanian. Forum Agro Ekonomi, Volume 38 No.
2, Desember 2015, hal: 1-18.
Sihombing, Luhut. 2010. Tata niaga Hasil Pertanian. USU Press . Medan. (Online,
usupress.usu.ac.id, diakses pada 13 Juli 2016).
Utami, Yuniarni. 2009. Analisis Cabang Usahatani dan Tata niaga Pisang Raja Bulu (Musa paradisiaca. sp)(Kasus Desa Talaga, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat). [Skripsi]. Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Bogor.(Online, http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/15548, diakses pada 13 juli 2016)
Tomeck, W. G., and Kenneth L. Robinson. 1990. Agricultural Product Prices. Cornell
University Press. Third Edition. Ithaca and London.
LAPORAN PENELITIAN ANALISIS KEBIJAKAN (ANJAK) TA 2016
KAJIAN KEBIJAKAN TATANIAGA BERAS, BAWANG MERAH, CABAI DAN DAGING SAPI MENDUKUNG
KEDAULATAN PANGAN:
Laporan Komoditas Bawang Merah
Tim Peneliti
Muchjidin Rahmat Adang Agustian
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
KEMENTERIAN PERTANIAN 2016
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................ i
DAFTAR ISI ...................................................................................... ii DAFTAR TABEL.................................................................................. iii DAFTAR GAMBAR.............................................................................. iv
I. PENDAHULUAN .................................................................................. 1 1.1. Latar Belakang............................................................................ 1
1.2. Tujuan....................................................................................... 2 1.3. Output dan Manfaat.................................................................... 3
II. METODOLOGI............................................................................................ 3
2.1. Lokasi dan Sampel Kajian............................................................ 3 2.2. Metode Analisa........................................................................... 3
III. HASIL DAN PEMBAHASAN...................................................................... 8
3.1. Kabupaten Brebes...................................................................... 8
3.1.1. Dinamika dan Pola produksi Bawang Merah di Sentra Produksi Kabupaten Brebes.......................................... 8
3.1.2. Dinamika Harga Komoditas Bawang Merah di Tingkat Petani ........................................................................ 11 3.1.3. Tataniaga Bawang Merah............................................. 12
3.2. Kabupaten Nganjuk................................................................... 19 3.2.1. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Bawang Merah
di Jawa Timur............................................................. 19
3.2.2. Analisis Usahatani Bawang Merah................................. 20 3.2.3. Tataniaga Bawang Merah.............................................. 22
IV. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN............................................ 34
4.1. Kabupaten Brebes..................................................................... 34 4.2. Kabupaten Nganjuk................................................................... 36
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 40
iii
DAFTAR TABEL
No. Teks Halaman
1. Perkembangan Produksi dan kebutuhan Bawang Merah di Indonesia, 2012-2015...................................................................................... 9
2. Perkembangan Analisa Usahatani, Komponen Biaya Produksi dan BEP Usahatani Bawang Merah Di Brebes Tahun 2012-2016...................... 13
3. Perbedaan Harga di Berbagai Tingkatan Lembaga Pemasaran Bawang
Merah, 2016.................................................................................. 18 4. Analisis Usahatani Bawang Merah Per Hektar di Kabupaten Nganjuk,
2016 (Rp/ha/musim)...................................................................... 21
5. Kinerja Harga dan Marjin Pemasaran Bawang Merah dari Tingkat Petani, Penebas dan Pengirim, 2006 (Rp/Kg).................................. 31
6. Kinerja Harga dan Marjin Pemasaran Bawang Merah dari Tingkat
Petani di Pasar Sukomoro (Rp/Kg)................................................. 33
iv
DAFTAR GAMBAR
No. Teks Halaman
1. Produksi Bawang Merah dibeberapa sentra Produksi di Jawa Tengah,
2015 (Ton)........................................................................................ 8
2. Penyebaran Produksi Bawang Merah 3 tahun terakhir, 2012-2015 di
Kabupaten Brebes (Ton).................................................................... 9
3. Pola Produksi dan Luas Tanam Bawang merah di Kab. Brebes, 2016..... 10 4. Perkembangan Harga Bawang Merah Bulanan di Tingkat Petani,
Tengkulak, Distributor dan Eceran, 2016............................................ 12
5. Perkembangan Harga Benih Bawang Merah di Brebes Tahun 2010-2016....................................................................................... 14
6. Alur pemasaran bawang merah di Kabupaten Brebes, 2016................ 16
7. Produksi Bawang Merah dibeberapa sentra Produksi di Jawa Timur, 2015 (Ton)...................................................................................... 19
8. Bagan Pemasaran Komoditas Pada Toko Tani Indonesia.................... 24
9. Alur Pemasaran Bawang Merah dari Tingkat Petani di Lokasi Kajian Kabupaten Nganjuk-Jawa Timur, 2016............................................. 29
10. Alur Pemasaran Bawang Merah dari Tingkat Petani hingga Pedagang
Pasar Sukomoro Kabupaten Nganjuk-Jawa Timur, 2016................... 33
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tataniaga adalah suatu sistem keseluruhan dari kegiatan-kegiatan yang
ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan dan
mendistribusikan barang dan jasa kepada kelompok pembeli. Semua unsur, baik
perorangan, perusahaan, atau lembaga yang secara langsung terlibat dalam proses
pengaliran barang dari produsen ke konsumen disebut lembaga tataniaga. Kegiatan
pemasaran disalurkan melalui lembaga-lembaga perantara atau lembaga distribusi.
Semakin panjang saluran distribusi yang dilalui suatu produk maka semakin tinggi
harga yang harus dibayarkan konsumen akhir. Kondisi ini terkadang berdampak
dimana produsen/petani biasanya mendapatkan keuntungan yang kecil dibandingkan
pedagang.
Sistem tataniaga dianggap baik dan efisien apabila memenuhi tiga indikator: (1)
mampu menyampaikan hasil-hasil dari produsen kepada konsumen dengan harga
yang wajar, (2) mampu menjamin stabilisasi pasokan dan harga, dan (3) mampu
mengadakan pembagian yang adil dari keseluruhan harga yang dibayarkan
konsumen akhir kepada semua pihak yang ikut didalam kegiatan produksi dan
tataniaga barang tersebut. Sistem tataniaga yang tidak efisien akan mengakibatkan
kecilnya keuntungan yang diterima oleh produsen, jadi harga yang diterima produsen
dapat juga dijadikan ukuran efisiensi sistem tataniaga (Mubyarto, 1989 : 166).
Dalam tahun terakhir terjadi gejolak harga pangan pokok nasional. Harga
pangan strategis cenderung meningkat tidak terkendali antara lain akibat dari
masalah kelancaran pasokan, sementara harga ditingkat petani cenderung tetap
yang berarti disparitas harga pangan antara produsen dan konsumen semakin besar.
Kondisi ini memunculkan pertanyaan sebarapa jauh sistem tata niaga yang
terbangun saat ini dinilai baik dan effisien, seberapa jauh pelaku pasar telah bekerja
dengan baik, dan seberapa jauh pemerintah dapat berperan untuk melakukan
tugasnya dalam mengatur dan kalau perlu mengintervensi sehingga terbangun sistem
tataniaga yang baik dan effisien.
2
Dalam upaya stabilisasi pasokan dan harga pangan pokok tersebut, kementerian
pertanian telah melakukan kegiatan intervensi dengan cara mendorong dilakukannya
pembelian langsung gabah, bawang merah, cabai dan sapi dari petani/peternak dan
atau mendorong Kelompok tani menjualnya langsung ke konsumen melalui Toko Tani
Indonesia (TTI). Upaya tersebut ditujukan dalam rangka memotong rantai pasokan
yang dianggap terlalu panjang dan tidak effisien yang menyebabkan terjadinya
permasalahan dalam kontinuaitas pasokan, harga yang tidak stabil dan disparitas
harga yang besar ditingkat produsen dan konsumen. Dengan upaya tersebut
diharapkan petani/peternak dapat menikmati harga yang wajar, pasokan lancar dan
konsumen dapat membeli dengan harga yang lebih murah. Langkah intervensi
tersebut dilakukan dalam rangka menjamin pasokan dan stabilisasi harga menjelang
bulan puasa dan lebaran.
Intervensi tataniaga tersebut dinilai berhasil sesuai dengan tujuan yang
diharapkan. Dengan langkah intervensi pemerintah tersebut, beberapa peran pelaku
dalam tataniaga menjadi hilang dan digantikan oleh Bulog. Pertanyaannya adalah
apakah langkah intervensi tersebut dapat berlanjut kedepan untuk menggantikan
sistem tataniaga yang selama ini telah terbangun sekian lama?; Apakan langkah
intervensi dalam tataniaga tersebut dapat dilaksanakan secara nasional atau hanya
bersifat lokal?; dan apakah kebijakan intervensi tersebut berakibat ongkos sosial
besar yang harus ditanggung pemerintah dan masyarakat.
1.2. Tujuan
Berdasarkan uraian di atas, pada intinya, tujuan kajian ini ialah merumuskan
alternatif tataniaga komoditi stategis yang baik dan effisien. Secara lebih rinci,
tujuan kajian ini ialah:
1. Mengkaji sistem tataniaga komoditi strategis beras, bawang merah, cabai dan
daging sapi yang berlaku saat ini,
2. Mengevaluasi efektifitas sistem tataniaga yang berlaku di pasar umum dan
sistem tataniaga introduksi,
3. Merumuskan rekomendasi alternatif sistem tataniaga komoditi strategis yang
dinilai baik dan effisien.
3
1.3. Output dan Manfaat
Hasil kajian ini diharapkan memberikan alternatif rumusan kebijakan sistem
tataniaga komoditas beras, bawang merah, cabai dan daging sapi yang dinilai baik
dan effisien yang dapat meningkatan perbaikan penyampaian hasil-hasil dari
produsen kepada konsumen dengan harga yang wajar, menjamin stabilisasi harga,
dan terjadi pembagian yang adil diantara pelaku tataniaga.
II. METODOLOGI
2.1. Lokasi dan Sampel Kajian
Khusus pada laporan ini, komoditas yang dilaporkan adalah bawang merah.
Kajian di lakukan di sentra produksi bawang merah nasional yaitu di Kabupaten
Brebes, Jawa Tengah dan di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.
Kegiatan Analisis Kebijakan ini akan ditekankan kepada penelitian lapangan
tentang pelaksanaan tataniaga yang berlaku di masyarakat dan pola intervensi yang
dilakukan terhadap komoditi strategis. Sesuai dengan metoda analisa kegiatan
penelitian meliputi penelusuran komoditas mulai dari produsen/petani bawang merah
dan kelompok tani bawang merah, pedagang pengumpul bawang merah, pedagang
besar bawang merah (pengirim), pedagang bawang merah di pasar lokasi penelitian,
pedagang bawang merah di Pasar Induk Kramat Jati, hingga konsumen. Selain itu
juga terdapat responden kajian lainnya seperti aparat Dinas pertanian Tanaman
Pangan di provinsi dan kabupaten kajian, dan Asosiasi Bawang Merah Indonesia
(ABMI).
2.2. Metode Analisa
Istilah tataniaga sering juga diartikan sama dengan pemasaran atau distribusi
yaitu suatu macam kegiatan ekonomi yang berfungsi membawa atau menyampaikan
barang dari produsen ke konsumen (Mubyarto, 1973). Menurut Sihombing (2010),
kegiatan tataniaga adalah sebagian dari kegiatan distribusi. Distribusi menimbulkan
suatu kesan seolah-olah orang-orang yang bergerak di dalam bagian ini bersifat
4
statis, menunggu saja apa yang akan mereka peroleh dari produsen untuk dibagi-
bagikan lagi kepada konsumen.
Fungsi tataniaga mengusahakan agar pembeli memperoleh barang yang
diinginkan pada tempat, waktu dan bentuk serta harga yang tepat. Fungsi tataniaga
terdiri dari tiga fungsi pokok, yaitu: (1) Fungsi pertukaran, meliputi : (a) penjualan,
yaitu menjual barang kepada konsumen dengan harga yang memuaskan dan (b)
pembelian, yaitu membeli barang dari penjual dan kemudian menjualnya kembali
dengan harga yang telah disepakati. (2) Fungsi pengadaan secara fisik, meliputi : (a)
pengangkutan, yaitu pemindahan barang dari tempat produksi dan atau tempat
penjualan ke tempat-tempat dimana barang tersebut akan terpakai (kegunaan
tempat), dan penyimpanan, yaitu penahanan barang selama jangka waktu antara
dihasilkan atau diterima sampai dijual (kegunaan waktu) serta pengolahan. (3)
Fungsi pelancar/fasilitas, meliputi : (a) pembiayaan, yaitu mencari dan mengurus
modal uang yang berkaitan dengan transaksi-transaksi dalam arus barang dari sektor
produksi sampai sektor konsumsi, (b) penanggungan risiko, usaha untuk mengelak
atau mengurangi kemungkinan rugi karena barang yang rusak, hilang, turunnya
harga dan tingginya biaya, (c) standardisasi dan grading, yaitu penentuan atau
penetapan dasar penggolongan (kelas atau derajat) untuk barang dan memilih
barang untuk dimasukkan ke dalam kelas atau derajat yang telah ditetapkan dengan
jalan standardisasi, dan (d) informasi pasar, yaitu mengetahui tindakan-tindakan
yang berhubungan dengan fakta-fakta yang terjadi, penyampaian fakta, menafsirkan
fakta dan mengambil kesimpulan akan fakta yang terjadi.
Saluran tataniaga adalah jalur yang dilalui komoditas dari titik produsen
sampai titik konsumen akhir. Dengan mengikuti saluran tataniaga dapat diketahui :
(a) jumlah produk yang dijual petani kepada tengkulak atau langsung ke konsumen
akhir atau ke pedagang besar, (b) peranan dari pelaku tataniaga termasuk peranan
petani dan (c) tempat terjadinya informasi. Panjang pendeknya saluran tataniaga
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain : (a) jarak produsen – konsumen, (b)
cepat lambatnya produk rusak (c) skala produksi, (d) posisi keuangan perusahaan,
(e) derajat standardisasi, (f) kemewahan produk, (g) nilai unit dari produk, (h)
bentuk pemakaian produk, dan (i) struktur pasar (Nasruddin, 1999).
5
Lembaga tataniaga mempunyai peranan dalam menjembatani kesenjangan-
kesenjangan yang ada antara titik produsen dan titik konsumen, yang menyangkut
kesenjangan karena waktu, bentuk, pemilikan, informasi dan nilai. Lembaga atau
perantara tataniaga dapat dibagi ke dalam dua golongan, yaitu pedagang perantara
dan agen perantara. Golongan yang pertama menguasai dan memiliki barang,
sedangkan golongan yang kedua menguasai tetapi tidak memiliki barang dagangan
(Nasruddin, 1999).
Atas dasar pemikiran diatas, maka metoda analisa tataniaga akan didasarkan
kepada analisa fungsi-fungsi tataniaga yaitu analisis Struktur, Perilaku, dan
Keragaan (Structure, Conduct, and Performance/SCP), Biaya dan Marjin Tataniaga,
Efisiensi Pemasaran dan Analisis Efektivitas Kebijakan Pemerintah.
a. Struktur Pasar
Struktur pasar dalam suatu industri akan menentukan perilaku dan kinerja
pasar tersebut. Struktur pasar menjelaskan tentang definisi industri dan perusahaan,
mengenai jumlah yang ada dalam satu pasar, distribusi perusahaan dengan berbagai
ukuran dan diferensiasi produk, serta syarat-syarat keluar masuk pasar (Azzaino,
1983). Menurut Dahl dan Hammond (1972) terdapat 4 karakteristik untuk
menentukan struktur pasar yaitu: (1) jumlah perusahaan yang terdapat pada suatu
pasar; (2) diferensiasi produk; (3) kemudahan memasuki pasar; (4) status
pengetahuan tentang biaya, harga dan kondisi pasar diantara pelaku pemasaran.
Pasar dapat diklasifikasikan sebagai pasar persaingan sempurna (banyak pembeli dan
penjual), monopolistik (banyak perusahaan), oligopoly (sedikit perusahaan) atau
monopoli (perusahaan tunggal). Pada pasar yang berbeda sistem pemasarannya juga
berbeda.
b. Perilaku Pasar
Perilaku pasar mengacu pada pola perilaku yang diikuti perusahaan-perusahaan
dalam menyesuaikan diri dengan pasar di mana mereka menjual atau membeli.
Perilaku itu meliputi metode dan kriteria yang digunakan oleh perusahaan atau
kelompok perusahaan dalam menentukan keluaran, kebijakan penetapan harga,
kebijakan produk, dan kebijakan promosi mereka serta hubungan mereka satu sama
6
lain. Mempelajari perilaku pasar yang tercermin dalam aksi yang dilakukan oleh suatu
perusahaan atau pembeli sangat membantu dalam memahami pemasaran.
c. Keragaan Pasar
Keragaan pasar merupakan hasil akhir yang dicapai akibat dari penyesuaian
yang dilakukan oleh lembaga tataniaga pada struktur pasar tertentu, didefinisikan
sebagai seberapa bagus sistem pemasaran bisa memenuhi harapan masyarakat dan
pelaku pasar. Secara teoritis keragaan suatu industri ditentukan oleh 2 faktor yaitu:
struktur industri (jumlah dan ukuran perusahaan, derajat diferensiasi produk, dan
kemudahan keluar masuk pasar); dan market conduct (harga di tingkat produsen,
produk dan strategi promosi)
d. Biaya dan Marjin Tataniaga
Marjin tataniaga didefinisikan sebagai perbedaan harga atau selisih harga yang
dibayar konsumen dengan harga yang diterima petani produsen atau dapat pula
dinyatakan sebagai nilai dari jasa-jasa pelaksanaan kegiatan tataniaga sejak dari
tingkat produsen sampai ke titik konsumen akhir. Pengeluaran yang harus dilakukan
untuk menyalurkan komoditi dari produsen ke konsumen disebut biaya tataniaga
(Utami, 2009). Hammond dan Dahl (1977), yang dikutip dalam Utami (2009),
menyatakan bahwa marjin tataniaga menggambarkan perbedaan harga di tingkat
konsumen (Pr) dengan harga ditingkat produsen (Pf). Setiap lembaga pemasaran
melakukan fungsi-fungsi pemasaran yang berbeda sehingga menyebabkan perbedaan
harga jual dari lembaga satu dengan yang lainnya sampai ke tingkat konsumen akhir.
e. Efisiensi Pemasaran
Efisiensi tataniaga adalah selisih antara total biaya dengan total nilai produk
yang dipasarkan, atau dapat dirumuskan :
EP=(TBTNP)x 100%
Dimana :
EP = Efisiensi Pemasaran
TB = Total Biaya
TNP = Total Nilai Produk
Berdasarkan rumus tersebut, dapat diartikan bahwa setiap ada penambahan
biaya pemasaran memberi arti bahwa hal tersebut menyebabkan adanya pemasaran
7
yang tidak efisien. Begitu pula sebaliknya, kalau semakin kecil nilai produk yang dijual
berarti terjadi pemasaran yang tidak efisien (Sherpherd, 1962 dalam Soekartawi,
1989).
f. Analisis Efektivitas Kebijakan Pemerintah.
Dalam melancarkan pasokan pangan strategis, stabilisasi pasokan dan harga
pangan pokok dan mengurangi disparitas harga pangan antara produsen dan
konsumen, Pemerintah melalui Kementerian Pertanian melakukan kegiatan
intervensi dengan cara mendorong dilakukannya pembelian langsung gabah, bawang
merah, cabai dan sapi dari petani/peternak dan atau mendorong Kelompok tani
menjualnya langsung ke konsumen melalui Toko Tani Indonesia (TTI). Kebijakan
tersebut perlu dievaluasi dalam hal kemungkinannya dapat dikembangkan berlanjut
kedepan untuk menggantikan sistem tataniaga yang selama ini telah terbangun,
apakah kebijakan tersebut dapat dilaksanakan secara nasional atau hanya bersifat
lokal, dan ongkos sosial yang kemungkinan ditanggung pemerintah dan masyarakat.
8
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Kabupaten Brebes
3.1.1. Dinamika dan Pola produksi Bawang Merah di Sentra Produksi
Kabupaten Brebes
Provinsi Jawa Tengah memiliki kontribusi produksi sebesar 38 % terhadap
produksi bawang merah nasional. Pada tahun 2015, total produksi bawang merah di
Jawa Tengah sebesar 471.692 ton, dengan sentra produksi utama terdapat di
Kabupaten Brebes (66%), Demak (10,37%), Kendal (5,41%), Pati (4,69%), Tegal
4,57%), Temanggung (2,64%), Boyolali (2,21%), Grobogan (1,13%) dan Kabupaten
lainnya (2,99%). Menurut Dinas Pertanian Jawa Tengah (2016) bahwa sentra
produksi khususnya Temanggung dan Boyolali merupakan sentra produksi bawang
merah dataran tinggi, dan daerah lainnya merupakan sentra dataran rendah.
Gambar 1. Produksi Bawang Merah dibeberapa sentra Produksi di Jawa Tengah, 2015 (Ton).
-
50.000
100.000
150.000
200.000
250.000
300.000
350.000 311.296
48.905 25.499
22.101 21.546 12.464
10.436 5.330 14.114
Produksi (Ton)
9
Tabel 1. Perkembangan Produksi dan kebutuhan Bawang Merah di Indonesia, 2012-2015.
No Tahun Produksi (Ton) Kebutuhan (Ton)
1 2012 929.296 890.916 2 2013 866.919 906.952
3 2014 1.029.655 941.417
4 2015 1.043.609 980.956
Sumber: BPS (2016)
Gambar 2. Penyebaran Produksi Bawang Merah 3 tahun terakhir, 2012-2015 di
Kabupaten Brebes (Ton)
Melihat data tersebut diatas bahwa produksi Bawang merah selama satu tahun
terlihat masih mencukupi untuk mensuply kebutuhan nasional , tetapi penyebaranya
tidak merata. Pada bulan Juli, agustus dan Desember produksinya dua kai lipat lebih
dari kebutuhan nasional terutama pada bulan Agustus mencapai 170.000 ton
(Kebutuhan nasional sekitar 76.000 Ton sampai dengan 81.746 ton per bulan).
Sebaliknya mulai bulan Pebruari sampai dengan April panen Bawang merah di
sentra-sentra prosuksi bawang cenderung mengalami penurunan, paling rendah pada
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
140000
160000
180000
PENYEBARAN PRODUKSI DALAM SATU TAHUN
PRODUKSI
10
bulan maret hanya mencapai kisaran 20.000 – 30.000 ton sehingga terjadi
kekurangan pasokan untuk bulan bulan tersebut.
Keadaan ini terjadi setiap tahun karena sifat bawang merah yang musiman dan
karateristik bawang merah itu sendiri. Pada bulan Pebruari sampai April di daerah
sentra produksi Bawang seperti Brebes, Tegal Cirebon, nganjuk dan probolinggo
umumnya petani tidak banyak yang menanam bawang tetapi mananam padi karena
nenanam bawang pada musim penghujan banyak resikonya (gangguan hama dan
penyakit serta produktifitas menurun) secara otomatis pasokan pada bulan tersebut
berkurang sedangkan kebutuhan konsumsi bawang merah relative tetap setiap bulan
bahkan cenderung meningkat.
Kemudian karakteristik bawang merah itu sendiri, Bawang merah salah satu
produk hortikultura yang tidak tahan lama di simpan, Penyimpanan dengan cara
konvensional Suhu ruangan dalam satu bulan penyusutan mencapai 20 - 30 %
.Kecuali penyimpanan dengan cold storage bisa mengurangi penyusutan, tetapi
biayanya tinggi dan tidak bisa dilakukan oleh petani.
Gambar 3. Pola Produksi dan Luas Tanam Bawang merah di Kab. Brebes, 2016
9.065 5.593
25.450
125.412
7.040
46.782
1.125 677 2.617
10.451
704
5.198
-
20.000
40.000
60.000
80.000
100.000
120.000
140.000
Jan-Peb Mar-Apr Mei-Jun Jul-Agus Sep-Okt Nop-Des
Produksi (Ton) Luas Tanam (Ha)
11
IV. 3.1.2. Dinamika Harga Komoditas Bawang Merah di Tingkat Petani
Dinamika harga bawang merah di Kabupaten Brebes relatif berfluktuatif antar
bulannya. Pada tahun 2016, perbedaan harga antar bulan dari Januari hingga
Agustus di tingkat produsen dan konsumen sangat besar dan kecenderungannya
terus melebar. Tatkala harga di tingkat petani/produken sulit bergerak (naik), justru
harga di tingkat konsumen semakin meningkat pesat, hal ini sebagaimana disajikan
pada Gambar 4. Harga bawang merah di tingkat pengecer dibandingkan dengan
harga di tingkat distributor dan tengkulak juga menunjukkan perbedaan yang
signifikan. Terdapatnya berbagai biaya, pada alur tataniaga yang misalnya volume
bawang merah dibeli penebas 100 kg basah, dan dalam alur tataniaga di pedagang
pengecer sisanya hanya menjadi 65 kg. Selain itu, dengan terdapatnya resiko susut
dan biaya proses, maka dapat dipastikan total biaya juga tinggi. Oleh karena itu,
dalam rangka menekan resiko kerugian di tingkat pedagang pengecer akibat tidak
lakunya bawang merah eceran, maka upaya yang dilakukan dalah dengan
meningkatkan harga di eceran yang dapat mencapai 30-40% dari harga yang dibeli
dari pedagang besar di pasar induk.
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan ketidakefisienan dalam
pemasaran bawang merah, yaitu: (a) Tempat produksi (sentra produksi) jauh dari
pusat konsumsi, sehingga membutuhkan sarana transportasi dan berimplikasi
terhadap biaya yang cukup mahal, (b) Bersifat musiman, padahal konsumsi
berlangsung sepanjang waktu, (c) Komoditas bawang merah tidak dapat langsung di
konsumsi, namun harus melalui tahapan seperti: aktivitas proses, penjemuran,
sortasi, packing, dan lainnya, (d) Sifat mudah rusak, sehingga dalam penyimpanan
memerlukan teknologi tinggi dan biayanya relatif mahal, (e) Petani butuh
pembayaran tunai setelah panen, dan (f) Masih dominannya sistem pemasaran
bawang basah (Butong=cabut potong).
12
Gambar 4. Perkembangan Harga Bawang Merah Bulanan di Tingkat Petani, Tengkulak,
Distributor dan Eceran, 2016 (Sumber: ABMI, 2016a).
V. 3.1.3. Tataniaga Bawang Merah
Secara garis besar fenomena gejolak harga bawang merah berkaitan dengan
empat permasalahan dasar, yaitu: (1) Harga bawang merah dinilai tinggi dan terus
meningkat, (2) Manajemen produksi bawang, (3) Tataniaga bawang yang mengarah
ke oligopsony, dan (4) Margin harga bawang ditingkat produsen dan konsumen.
Terkait Permasalahan Pertama, bahwa biaya Produksi Bawang Merah Tinggi
dan Terus Meningkat. Harga bawang merah dinilai tinggi dan terus meningkat
berkaitan dengan tingginya biaya produksi usahatani dan menurunnya produktivitas.
Hasil kajian di Brebes menunjukkan, pada tahun 2012 -2016 biaya produksi
usahatani bawang merah meningkat dari Rp 72,7 juta/ha menjadi Rp 126,3 juta/ha
atau kenaikan sebesar 74 persen dalam kurun waktu 4 tahun (Tabel 2). Komponen
terbesar kenaikan biaya produksi tersebut adalah biaya benih, yang meningkat dari
28,0 persen dalam tahun 2012 menjadi 52,24 pada tahun 2016.
-
5.000
10.000
15.000
20.000
25.000
30.000
35.000
40.000
45.000
50.000
Di Tkt. Petani
Di Tkt PedagangPengumpul / Tengkulak
Di tkt Pedagang besar /Distributor
Eceran (di pasar Brebes)
Eceran di Jabotabek
13
Tabel 2. Perkembangan Analisa Usahatani, Komponen Biaya Produksi dan BEP Usahatani
Bawang Merah Di Brebes Tahun 2012-2016
Komponen Biaya
produksi
2012
2013
2014
2015
2016
Rp 000 % Rp 000 % Rp
000 %
Rp
000 % Rp 000 %
Benih 20400 28,0 18000 24,9 21600 27,5 33600 36,3 66000 52,2
Tenaga Kerja 27500 37,8 28650 39,7 30500 38,7 30970 33,5 32145 25,4
Sarana Produksi 10000 13,7 10200 14,1 10460 13,3 11100 12,0 11170 8,8
Panen dan pasca
Panen 4100 5,6 4100 5,7 4500 5,7 4920 5,3 4920 3,9
Biaya Lain-lain 10780 14,9 11250 15,6 11640 14,8 11950 12,9 12100 9,7
Total biaya 72780 100 72200 100 78700 100 92540 100 126335 100
Produktivitas 10995
10200
10310
10300
9715
Biaya produksi /kg
(BEP) 6,619 7,078 7,633 8,984 13,004
Sumber: ABMI (2016b) dan Dinas Pertanian Brebes (2016) diolah
Penulusuran lebih lanjut menunjukkan peningkatan komponen biaya benih
tersebut disebabkan oleh peningkatan harga benih. Harga benih cenderung terus
meningkat terutama pada saat menjelang pertanaman MK I bulan Maret-Juli
(Gambar 5). Peningkatan harga benih disebabkan oleh : (1) kelangkaan benih pada
saat menjelang musim tanam bawang, (2) adanya kecenderungan petani menjual
hasil panen keseluruhan jika harga bawang konsumsi tinggi dan hanya sedikit
petani yg menyisihkan benih untuk di tanam pada musim berikutnya, (3) adanya
keterkaitan antara antara kenaikan harga bawang konsumsi naik dengan
kelangkaan benih dan harga benih, (4) usaha perbenihan bawang kurang diminati
petani dibandingkan usahatani bawang konsumsi karena perbedaan nilai ekonomi,
usaha benih memerlukan waktu penanganan yang lebih lama dan tingginya
penyusutan (rendemen benih), dan (5) kebiasaan harga benih JABAL petani 40 %
lebih tinggi dari harga konsumsi.
14
Gambar 5. Perkembangan Harga Benih Bawang Merah di Brebes Tahun 2010-2016
(Sumber: ABMI, 2016a).
Produktivitas bawang merah relatif rendah dan menunjukkan penurunan.
Khusus pertanaman tahun 2016, penurunan produktivitas disebabkan oleh dampak
musim kemarau basah (curah hujan tinggi) karena adanya La-Nina yang berakibat
kondisi pertanaman dan budidaya tidak optimal dan terjadinya lonjakan serangan
OPT, disamping kecenderungan petani menggunakan benih kurang baik karena benih
yang digunakan belum cukup masa dorman nya.
Akibat dari peningkatan biaya produksi dan penurunan produktivitas, maka
biaya produksi per kg (BEP) bawang merah terus meningkat. Peningkatan biaya
produksi per kg telah menyebabkan harga bawang konsumsi juga naik. Petani tidak
akan mau melepas (cenderung bertahan untuk tidak menjual) bawangnya apabila
harga dibawah BEP. Pola tebasan (borongan) yang telah berlaku di hampir seluruh
wilayah brebes dan sekitar 65 persen di Nganjuk telah memperkuat daya tawar
petani untuk bertahan menjual harga diatas BEP.
Terdapat lingkaran keterkaitan secara erat antara mahalnya harga benih dengan
mahalnya harga bawang konsumsi, yang mengarah kepada kenaikan harga keduanya
secara berkelanjutan. Peningkatan biaya produksi yang dipicu oleh peningkatan
komponen biaya/harga benih telah berakibat peningkatan biaya pokok produksi (BEP)
dan harga bawang konsumsi. Tinggi harga barang konsumsi telah mendorong petani
0
10
20
30
40
50
60
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
RP.000
TAHUN
MKI Maret-Juni MT II Juli-Oktober Rataan
15
menjual seluruh hasil panen dan tidak tertarik untuk usaha benih dan menyebabkan
peningkatan harga benih dan biaya benih serta biaya produksi usahatani musim
tanam berikutnya. Biaya pokok produksi semakin tinggi dan harga bawang
konsumsi menjadi mahal, dan seterusnya.
Pada permasalahan Kedua, terkait manajemen Produksi Bawang. Produksi
bawang berfluktuasi antar waktu dan daerah sesuai dengan pola tanam musiman,
sementara permintaan/kebutuhan antar waktu cenderung tetap dan merata.
Gambaran pola produksi bawang di Brebes sebagai sentra utama dapat
mengambarkan pola produksi bawang merah nasional. Produksi bawang terbesar
terjadi pada bulan Juni-Juli (kondisi suplus) sedangkan produksi terendah (kondisi
defisit) terjadi pada bulan Maret-April. Pertanaman bawang di sentra produksi
bawang di Brebes, Tegal Cirebon, nganjuk dan probolinggo umumnya terjadi pada
musim kemarau (bulan April-Juni), sementara pada bulan Januari sampai April
umumnya petani tidak banyak yang menanam bawang tetapi mananam padi karena
tingginya curah hujan yang resiko besar dalam usahatani bawang (gangguan OPT
dan penurunan produktifitas).
Fluktuasi produksi ini akan mempengaruhi situasi pasokan dan harga antar
waktu, sehingga diperlukan adanya intervensi dalam penanganan produksi pada
kondisi defisit maupun kondisi surplus. Dalam masa defisit diperlukan upaya
pengembangan bawang merah diluar sentra produksi dan pada kondisi suplus
diperlukan penanganan kelebihan produksi (stok) agar pasokan tidak terbuang dan
harga tidak merosot tajam.
Pada permasalahan Ketiga, dimana tataniaga Bawang yang Mengarah Ke
Oligopsony. Kelembagaan pemasaran bawang merah saat ini dinilai belum berperan
dalam mendukung stabilisasi distribusi dan harga. Aturan main distribusi dan
pembentukan harga dibangun oleh pelaku yang bertransaksi terutama pelaku yang
bergerak dibidang tataniaga yaitu penebas, calo tebasan, pedagang pengumpul,
pedagang besar, pedagang pengirim, eksportir/importir, pedagang besar pasar induk,
pedagang pengecer hingga konsumen (Gambar 6).
Berkembangnya pola tebasan dalam dekade terakhir menyebabkan rantai
tataniaga bawang merah berkembang ke pola rantai : petani – penebas- pedagang
16
pengumpul – pedagang besar/pengirim – pasar induk / antar pulau- pedagang
pengecer- konsumen. Namun, sebagian besar penebas juga merangkap sebagai
pedagang pengumpul yang juga mengirim barang ke pasar induk, dan dalam banyak
kasus penebas dan pedagang pengumpul adalah kaki tangan pedagang besar.
Sehingga sebenarnya rantai tataniaga bawang merah dinilai cukup ringkas/pendek,
yaitu: petani – pedagang (penebas,pengumpu-pengirim) – pasar induk/antar pulau-
pedagang pengecer- konsumen.
PETANI Kop/MitraIndustri
Pengolahan
PENEBAS / Calo
PEDAGANG
BESARPed.
PengumpulKec/ Kab
Ped. Pengirim
Exporter / Importer
Ped. AntarPulo
Ped. PasarInduk
K O N S U M E N
Ped. Pengecer
Gambar 6. Alur tataniaga bawang merah di Kabupaten Brebes, 2016.
Pedagang besar juga seringkali memberi bantuan hutang kepada petani bagi
keperluan biaya usahataninya dengan harapan hasil panennya ditebaskan ke
pedagang penebas tersebut. Pedagang pengumpul skala besar umumnya juga
mensuplai bawang antar pulau seperti sumatera (dominan dari Brebes dan Cirebon),
Kalimantan (dominan dari Nganjuk dan Probolinggo), Sulawesi (dominan dari NTB,
Probolinggo, Nganjuk) dan Indonesia Timur lainnya (dominan dari NTB, Probolinggo,
Nganjuk); sementara suplai bawang merah untuk tujuan pasar jabotabek melalui
pasar induk (Kramat jati, Cibitung) umumnya disuplai oleh pedagang pengumpul
(pengirim) skala menengah dan kecil. Bawang merah dari Pasar induk selanjutnya
dijual ke pasar dan pedagang pengecer.
17
Berkembangnya pola tebasan mempunyai nilai positip dan negatip dalam
agribisnis bawang merah. Berkembangnya tebasan dinilai menguntungkan petani
dari sisi kemudahan petani menjual hasil produksi bawang dan meningkatkan posisi
tawar petani, Namun disisi lain, pola tebasan telah menyebabkan produk bawang
yang dipasarkan dalam bentuk rogolan basah atau Butong (cabut potong). Bawang
butong ini hanya baik dikonsumsi paling lama 5 hari setelah panen dan apabila lebih
dari lima hari tingkat kebusukan bawang meningkat tajam.
Berkembangnya pedagang besar dan pola tebasan juga memungkinkan
terbangunnya oligpsony pasar bawang dan dimungkinkannya pegadang besar
tersebut menentukan harga pasar bawang. Pada bagian lain, berkembangnya
pedagang besar yang membangun lapak sendiri dalam kegiatan pasca panen bawang
telah mematikan peran pasar induk di sentra produksi yangtelah lama berperan. Di
Brebes pasar induk sentra produksi Klampok praktis telah tidak berfungsi, hal yang
sama dengan pasar induk Sukomoro di Nganjuk yang perannya semakin menurun
hanya dalam transaksi penjualan bawang untuk pasar lokal
Terkait Permasalahan Keempat, yaitu margin Harga Bawang Ditingkat Produsen
Dan Konsumen. Pada dasarnya pembentukan harga bawang merah dimulai di pasar
induk (Kramat jati, Cibitung). Pada saat pasokan bawang ke pasar induk berkurang
harga akan naik dan sebaliknya pada saat pasokan melimpah harga menurun.
Dengan sistem komunikasi yang baik saat ini, memungkinkan informasi harga pasar
sangat terbuka, transparan dan dengan mudah dan cepat dapat diakses/diletahui
oleh setiap pelaku pasar. Informasi harga di pasar induk tersebut segera
ditransmisikan dan dipakai sebagai acuan pada transaksi antara penebas dengan
petani. Pada kondisi demikian dinamika harga di tingkat petani, tengkulak dan
distributor (pasar induk), tengkulak dan petani relatif searah.
Dapat dikatakan tataniaga bawang merah dari petani sampai distributor (pasar
induk) relatif effisien. Margin yang diambil oleh masing masing pelaku dinilai wajar,
dan perbedaan harga bergerak sejalan dengan pengeluaran/ biaya yang dikeluarkan
untuk perlakuan pasca panen dan biaya transport. Tentunya dalam transaksi penebas
juga mempertimbangkan resiko perubahan harga, resiko produksi dan penyusutan
(Tabel 3). Namun demikian dengan struktur pasar terkordinir oleh beberapa
18
pedagang besar bermodal, sistem tataniaga bawang merah mengarah ke oliigopsony,
dan pembentukan harga bawang di pasar induk dapat saja diintervensi oleh
pedagang besar yang memiliki stok cukup.
Tabel 3. Perbedaan Harga di Berbagai Tingkatan Lembaga Pemasaran Bawang Merah, 2016.
Uraian Tingkat
petani
Tingkat
penebas
Pedagang
besar/
pengirim
Pasar Induk Pasar eceran
tradisional
Pedagang
keliling eceran
Harga /kg Tebasan
Rp23.00g
Dasar tebasan
23.000/kg
pedagang
Rp 26.00
pasar induk
Rp 29.000
pasar eceran
Rp 30.000-
32.000
konsumen Rp
40.000- 42.000
Biaya /kg BEP=Rp
13.000/Kg
Biaya biaya:
calo = Rp 25/kg
cabut=Rp 300/kg
potong= Rp500/kg
angkut=Rp 250/kg
jemur= Rp 75/kg
Jasa Lapak= Rp25/kg
Biaya total=Rp1175/Kg
Biaya
transport Rp
300/kg
Susut 6 kg/
kw=Rp 1.560
/kg
Biaya Sewa
lapak,
pegawai,
listrik dan
linnya = Rp
1.000/kg
Biaya sewa
lapak dll
Rp 200/kg
Tanaga
transport
keliling
Atau
Warung
Faktor konversi /rendemen
100 kg tangkai basah
menjadi 85 kg butong
98,3 kg 90,1 kg 88,2 kg
81 kg
Keungunga
n/ margin
perkg
Rp 10000
Rp 18
Rp 290 Rp 1000 –
Rp 2000
Rp 2800 Rp 8000
Faktor Konversi : 1. Rendemen dari panen basah (Penebas) ke rogolan basah/butong (pedagang besar/pengirim ) = 85%
2. Potongan dari penebas ke pengirim = 1,7 % 3. Potongan dari pengirim ke pasar induk = 8,3 % 4. Rendemen dari butong ke bawang konsumsi pasar eceran tradisional = 88,22 %
5. Rendemen dari butong ke bawang konsumsi eceran diatas 7 hari = 80 % 6. Rendemen dari butong ke bawang konsumsi eceran diatas 7 hari = 65 %
19
3.2. Kabupaten Nganjuk
VI. 3.2.1. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Bawang Merah di Jawa Timur
Provinsi Jawa Timur memiliki kontribusi produksi sebesar 23 % terhadap
produksi bawang merah nasional. Pada tahun 2015, total produksi bawang merah di
Jawa Timur sebesar 278.034 ton, dengan sentra produksi utama terdapat di
Kabupaten Nganjuk dengan tingkat produksi sebesar 142.817 ton (51,37%) dan
Probolinggo sebesar 49.023 ton (17,61%) (Gambar 1). Menurut Dinas Pertanian Jawa
Timur (2016) bahwa sentra produksi dalam pengembangan bawang merah di Jawa
Timur dibagi dalam 3 wilayah, yaitu: (1) Wilayah Barat dan Tengah: Nganjuk, Kediri,
Magetan, Mojokerto, Bojonegoro, Malang Kota Batu; (2) Wilayah Timur: Probolinggo,
Bondowoso; dan (3) Wilayah Madura: Bangkalan, Sampang, Pamekasan, serta
Sumenep.
Gambar 7. Produksi Bawang Merah dibeberapa sentra Produksi di Jawa Timur, 2015 (Ton)
Dalam mendukung peningkatan produksi bawang merah, diperlukan
ketersediaan baik kuantitas maupun kualitas benih bawang merah di tingkat petani.
Untuk memenuhi ketersediaan benih tersebut, saat ini sistem perbenihan bawang
-
20.000
40.000
60.000
80.000
100.000
120.000
140.000
160.000142.817
49.023
16.983 15.211 13.655 11.900 7.831 20.615
Produksi (Ton)
20
merah di Jawa Timur khususnya di sentra produksi Nganjuk sebagian besar berasal
dari sendiri (Sistem Jalur benih antar lapang/Jabal). Rendahnya ketersediaan benih
bawang merah bersertifikat yaitu 65,15 ton dari kebutuhan rata-rata setiap tahun
sebesar 28.356 ton (luas tanam rata-rata sebesar 23.630 ha), atau sebesar 0,2 %,
menyebabkan petani lebih banyak menggunakan benih JABAL. Dalam hal ini,
penyediaan benih Bawang Merah bersertifikat sebagian besar melalui pola percepatan
(pemurnian) bukan melalui pola baku sertifikasi. Benih yang digunakan berasal dari
umbi sehingga kurang efektif (jumlah besar dan transportasi khusus). Adapun alasan
adalah: (1) Bisa dibuat sendiri melalui proses sortir, (2) Harga lebih murah, (3)
Mudah didapat (sesuai waktu, jumlah, varietas yang dibutuhkan), dan (4)
Produktivitas tidak berbeda nyata dengan yang bersertifikat walaupun sebenarnya
benih jabal tidak memberikan kepastian daya tumbuh dan kemurnian varietas.
Adapun varietas komersial yang banyak digunakan petani di Kabupaten Nganjuk
adalah: Super Philip, Bauji, Tanjung, Katumi, Mentes, Manjung.
3.2.2. Analisis Usahatani Bawang Merah
Pada kegiatan usahatani bawang merah di Kabupaten Nganjuk, bawang merah
secara umum ditanam 2 kali dalam setahun yaitu saat musim MH (bulan Oktober-
Desember) dan disaat MK (bulan Mei-Juli). Umur bawang merah sekitar 60 hari,
dengan jenis varietas yang ditanam adalah Bauji (saat MH) dan Thailand (saat MK).
Dalam analisis semusim, rataan produktivitas usahatani bawang merah yang
dihasilkan sebesar 12 ton/ha. Dengan tingkat harga rata-rata yang diterima petani
sebesar Rp 18.000/kg, maka diperoleh penerimaan sebesar Rp 216,00
juta/ha/musim. Adapun biaya usahatani yang dikeluarkan mencapai Rp 123,55
juta/ha/musim, sehingga tingkat keuntungan usahatani yang diraih sebesar Rp 92,46
juta/ha/musim dengan R/C sebesar 1,75. Adapun BEP (Break Even Point) harga
bawang merah pada usahatani sebesar Rp 10.295/kg. Dengan demikian usahatani
bawang merah yang dilakukan petani di Kabupaten Nganjuk layak diusahakan dan
memberikan keuntungan yang signifikan bagi petani.
21
Tabel 4. Analisis Usahatani Bawang Merah Per Hektar di Kabupaten Nganjuk, 2016
(Rp/ha/musim).
No Uraian Volume Harga (Rp/kg) Nilai (Rp)
A Biaya Produksi
Benih (kg) 1.000 60.000 60.000.000
Pengolahan tanah 10.000.000
Tanam 2.100.000
Pupuk
NPK (Kg) 800 2.500 2.000.000
ZA (Kg) 400 3.600 1.440.000
KCl (Kg) 200 9.000 1.800.000
Penyiangan (HOK) 40 75.000 3.000.000
Pembumbunan (HOK) 12 75.000 900.000
Insektisida
Cair 2.500.000
Padat 1.400.000
Fungsisida 3.405.000
Sewa Lahan 20.000.000
Panen
Cabut 2.400.000
Penjemuran (HOK) 32 75.000 2.400.000
Angkut 3.000.000
Potong/Rogol (Rp/Kg) 600 12.000 7.200.000
Total Biaya 123.545.000
Biaya (Rp/Kg) 6.864
B Produksi (Kg) 12.000 18.000 216.000.000
C Keuntungan 92.455.000
D R/C 1,75
E Keuntungan (Rp/Kg) 5.136
F. BEP Harga (Rp/Kg) 10.295 Sumber: Data Primer (2016).
22
3.2.3. Tataniaga Bawang Merah
Tataniaga Komoditas Pertanian Strategis termasuk Bawang Merah melalui
Toko Tani Indonesia (TTI)
Kondisi harga komoditas pangan yang fluktuatif dapat merugikan petani sebagai
produsen, pengolah pangan, pedagang hingga konsumen dan berpotenso
menimbulkan keresahan sosial. Kenaikan harga bahan pangan juga digolongkan
sebagai komponen inflasi bergejolak karena mudah dipengaruhi masa panen.
Berdasarkan permasalahan tersebut maka melakukan terobosan sebagai solusi dalam
mengatasi gejolak harga, yaitu melalui kegiatan Pengembangan Usaha Pangan
Masyarakat (PUPM) melalui Toko Tani Indonesia (TTI). Kegiatan tersebut, secara
tidak langsung berperan dalam mengatasi anjloknya harga pada masa panen raya
dan tingginya harga pada masa paceklik. Secara teknis, di lapangan Gapoktan akan
memasok komoditas pertanian strategis kepada TTI. Dari TTI tersebut, komoditas
strategis tersebut akan dijual kepada masyarakat dengan harga terjangkau. TTI
dalam hal ini adalah pedagang pangan yang menjadi mitra Gapoktan. Sasaran
kegiatan PUPM nasional, pada tahun 2016 mencapai 500 Gapoktan yang melayani
1000 TTI.
Toko Tani Indonesia (TTI) merupakan sebuah program baru dari pemerintah
yang mendekatkan antara petani dengan konsumen sehingga rantai pemasaran
produk pertanian bisa lebih pendek dan mengurangi biaya-biaya yang kurang efisien.
Toko Tani Indonesia membeli produk langsun dari petani melalui Bulog dengan harga
yang seharusnya menguntungkan pihak petani, produk dari petani akan di tampung
oleh Bulog kemudian dari Bulog akan dibagi menjadi 4 Toko Tani yaitu TTI 1 (Mitra
Bulog), TTI 2 (Outlet Bulog dan Bulogmart), TTI 3 (Perorangan dan Koperasi), dan
TTI 4 (LUPM dan Gapoktan) (Gambar 2). Setelah berada di tangan ketiga maka
produk pertanian dapat langsung dijual ke konsumen akhir dengan harga yang telah
ditetapkan oleh pemerintah. Berikut adalah bagan model bisnis toko tani Indonesia.
Petani pun bisa langsung menjual produknya tanpa harus melalui Bulog tetapi melalui
TTI 4 (LUPM dan Gapoktan) kemudian akan langsung dipasarkan konsumen tingkat
akhir.
23
Adapun Tujuan Toko Tani Indonesia adalah: (1) Menyerap produk pertanian
nasional khususnya bahan pangan pokok dan strategis, (2) Mendukung stabilitas
harga, dan (3) Memberikan kemudahan akses konsumen/masyarakat terhadap bahan
pangan pokok dan strategis. Sasaran Toko Tani Indonesia: (1) Terserapnya produk
pertanian nasional khususnya bahan pangan pokok dan strategis, (2) Terwujud
stabilitas harga, dan (3) Kemudahan akses konsumen/masyarakat terhadap bahan
pangan pokok dan strategis. Daerah konsumen utamanya yang menjadi barometer
fluktuasi harga dan pasokan komoditas pangan pokok dan stategis pada tahun 2015
di Provinsi DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa
Timur, dan pada tahun 2016-2019 berada di 34 Provinsi Indonesia. Secara umum
kriteria penerima kegiatan TTI antara lain: (1) Pedagang tetap, (2) Memiliki tempat
usaha milik pribadi atau sewa, (3) Berlokasi strategis yang mudah dijangkau
konsumen, (4) Memiliki SIUP / NPWP / UD (surat izin usaha dari desa), (5)
Pengalaman usaha minimal 4 tahun, (6) Tidak sedang bermasalah dalam
hutang/piutang dengan pihak manapun, (7) Bersedia kerja sama dengan Perum
BULOG/Mitra perum BULOG yang tertuang dalam kontrak, (8) Bersedia menjual
produk pangan TTI, dan (9) Bersedia membuat catatan transaksi penjualan khusus
kegiatan TTI.
24
Gambar 8. Bagan Pemasaran Komoditas Pada Toko Tani Indonesia
Produk pertanian yang dijual di TTI seperti daging sapi Rp 80.000 kilogram,
gula pasir Rp 12.000 kilogram, daging ayam Rp 30.000 kilogram, bawang merah Rp
23.000 kilogram, bawang putih Rp 22.000 kilogram, beras premium Rp 7.900
kilogram, dan minyak goreng Rp 9.500/liter. Harga jual sudah ditetapkan oleh
pemerintah sehingga ada keseragaman harga dan tidak ada kesenjangan yang begitu
curam antar daerah. Toko Tani Indonesia sangat membantu mempertemukan antara
petani dengan konsumen akhir karena dengan demikian harga di petani sesuai
dengan harapan dan harga jual ke konsumen juga tidak terlalu tinggi. Pihak yang
terlibat dalam program TTI tentu adalah petani dengan konsumen dan ada beberapa
pihak lagi yang terlibat dalam TTI antara lain Kementerian Perindustrian,
Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi dan UKM serta Kementerian BUMN
menggandeng Inkopol, Artha Ghaha Peduli, Charoon Pokphand, Japfa Comfeed,
sierad produce, Fajar Mulia Transindo serta Asosiasi Minyak Goreng Indonesia.
Khusus terkait dengan penanganan harga bawang merah ketika terjadi fluktuasi
harga, tampaknya secara nasional sudah mampu stabilisasi harga secara signifikan.
Seperti halnya diketahui bahwa Indonesia sebagai produsen bawang yang cukup
25
besar, sehingga pemerintah memandang perlunya turun langsungmenaganinya
dengan cara mengangkut bawang merah yang ada di tingkat petani seperti di Brebes
dan Bima kemudian bisa langsung dijual langsung ke konsumen tanpa banyak
perantara. Dalam program TTI ada 3 pihak yang harus saling menjaga satu sama lain
supaya harga-harga dan stok produk pertanian tetap terjaga yaitu petani, pemerintah
dan konsumen.
Setiap gapoktan bermitra dengan 2 Toko Tani Indonesia (TTI). Saat ini di Jawa
Timur terdapat 68 gapoktan/PUPM yang bermitra dengan 136 TTI. Toko Tani
Indonesia di Jawa Timur memiliki peran dalam pemasaran komoditas pertanian
seperti beras, bawang merah dan cabai merah, sehingga memiliki peran signifikan
dalam pengendalian inflasi daerah. TTI awalnya lebih banyak berperan dalam
menampung dan memasarkan komoditas beras dari gapoktan (gabungan kelompok
tani). Pada lokasi kajian di Kabupaten Nganjuk, TTI juga masih belum melakukan
pembelian bawang merah petani. Hal ini lebih disebabkan, lokasi TTI berada pada
wilayah gapoktan yang merupakan sentra produksi padi dan hanya sedikit petani
yang berusahatani bawang merah.
Tataniaga Komoditas Pertanian Strategis termasuk Bawang Merah melalui
Rumah Pangan Kita (BULOG)
Pada tahun 2016, Perum Bulog membangun jaringan distribusi pangan berbasis
kerakyatan, bernama Rumah Pangan Kita (RPK) diharapkan dapat menstabilisasi
harga kebutuhan pokok. Keberadaan RPK ini Pada tahun 2016, ditargetkan akan
berdiri sebanyak 3-4 ribu RPK di seluruh Indonesia. Konsep RPK merupakan usaha di
rumah untuk menyediakan kebutuhan pangan dengan harga murah, sehat dan stabil.
Selain itu mendekatkan akses konsumen dengan produsen, tanpa banyak perantara.
Rumah Pangan Kita (RPK) adalah outlet pemasaran bahan pangan dan produk
industri pangan strategis yang dibentuk untuk memotong mata rantai distribusi
sehingg semakin mendekatka produsen dan konsumen. Saat ini secara nasional
outlet Bulog yang sudah beroperasi sekitar 300 unit. Diharapkan pada akhir tahun
2016 jumlahnya sudah mencapai 1000 outlet. Bahkan, kalau memungkinkan jumlah
tersebut akan ditingkatkan hingga 3000 hingga 4000 outlet. Pihak yang ingin
26
kerjasama membuka outlet RPK, syaratnya harus cukup memiliki ruang
penyimpanan dan menebus barang senilai Rp 5 juta atau kelipatannya. Selain beras,
pasokan ke RPK juga termasuk komoditas lain seperti tepung terigu, gula
pasir, minyak goreng, dan daging.
Masyarakat yang bekerjasama membangun RPK dikenal dengan istilah Sahabat
RPK. Dalam rangka memperluas jaringan RPK di masyarakat ini Perum Bulog
membuka kesempatan kepada masyarakt luas untuk mendapatkan penghasilan
tambahan dengan bergabung menjadi Sahabat RPK. Menurut Bulog, beberapa
keuntungan menjadi sahabat RPK diantaranya penghasilan tambahan, modal awal
relatif kecil, jaminan harga yang lebih murah dari harga pasar, jaminan kualitas
produk, serta barang diantar langsung ke lokasi.
Khusus di Jawa Timur, terdapat sekitar 250 unit RPK. Diharapkan dari setiap 1
RW (Rukun Warga) terdapat 1 RPK. Komoditas yang ditangani saaat ini masih
terbatas untuk komoditas seperti beras, tepung terigu, gula pasair dan minyak
goreng. Khusus seperti beras tersedia di setiap RPK beras dengan beragam kaualitas
seperti premium dan medium. RPK juga masih belum melakukan pembelian bawang
merah petani/gapoktan. Hal ini lebih disebabkan, komoditas bawang merah perlu
penanganan khusus mengingat merupakan komoditas yang cepat busuk.
Sistem Panen dan Tataniaga Bawang Merah dari Tingkat Petani Dalam tataniaga/pemasaran bawang merah diperlukan kehadiran pemerintah
dalam menangani pembelian bawang merah. Pemerintah dapat memberdayakan
kelompoktani/gapoktan dalam pembelian bawang merah tersebut dengan pola sistem
resi gudang. Berbeda dengan dengan sistem resi gudang yang ada, dimana pola
yang diusulkan yaitu terbangunnya kerjasama antara kelembagaan gapoktan dengan
petani bawang merah. Gapoktan diharapkan dapat berperan dalam menjualkan
bawang merah petani dengan jaminan dana talangan dari pemerintah. Petani akan
mendapat resi atas jaminan bawang yang diserap oleh gapoktan melalui sistem resi
gudang. Bawang merah petani tetap disimpan di rumah petani dan dijaga petani.
Pada saat harga bawang tinggi, gapoktan akan menjual bawang merah sehingga
dapat memberikan keuntungan bagi petani.
27
Sistem panen bawang merah di Kabupaten Nganjuk dapat dilakukan dengan
sistem tebasan/borongan dan rogolan. Proporsi sistem panen yang ada di Kabupaten
Nganjuk untuk kedua sistem tersebut masing-masing sebesar 60 dan 40 persen.
Petani yang menjual bawang merah dengan sistem tebasan memiliki beberapa alasan
yang dapat dipahami seperti: (a) membutuhkan biaya cepat untuk menutupi hutang
saprotan dan pemenuhan kebutuhan keluarga, (b) tidak memiliki lantai jemur jika
harus panen bawang dengan sistem rogolan, dan petani juga merasa berat jika harus
mengeluarkan biaya pengeringan lanjut, dan (c) petani merasa khawatir jika harga
bawang merah jatuh saat panen dimana pemanenannya dengan sistem rogolan.
Oleh karena itu, pada sistem panen tebasan maka petani hanya mengeluarkan
biaya panen/cabut saja. Sementara jika harus panen dengan sistem rogolan, maka
petani disamping harus mengeluarkan biaya panen/cabut juga harus mengeluarkan
biaya potong/rogol, jemur (sekitar 2-3 hari) dan biaya pengangkutan ke rumah. Pola
tebasan bisa dilakukan misalnya seminggu sebelum panen tiba, atau pada saat dihari
siap panen.
Pada pedagang yang membeli bawang merah dengan sistem tebasan, maka
penebas akan memberikan DP (down payment) terlebih dahulu ke petani dengan
besaran sekitar 10-30% dari nilai jual yang telah disepakati. Pada pedagang yang
membeli bawang merah dengan sistem tebasan tersebut, jika harga beli saat panen
dengan kesepakatan harga yang lebih besar dari harga saat panen tiba (siap melepas
hasil panen) maka hampir dipastikan pedagang akan rugi. Umumnya pedagang akan
bersikap, daripada kerugian yang harus ditanggung semakin besar maka lebih baik
melepas DP yang sudah dibayarkan ke petani. Namun sebaliknya jika harga bawang
saat panen tiba lebih besar dari harga kesepakatan saat menebas, maka justru
petanilah yang tidak akan menikmati kenaikan harga bawang merah tersebut karena
bawang merahnya sudah ditebaskan.
Kegiatan panen dengan sistem tebasan pada usahatani bawang merah dapat
dilakukan oleh pedagang setempat/lokal atau oleh pedagang dari luar daerah/desa.
Pada pedagang setempat/lokal yang melakukan pembelian dengan sistem tebasan
akan langsung bertransaksi dengan petani bawang karena sudah saling mengenal.
Namun, jika pedagang dari luar daerah dalam melakukan pembelian dengan sistem
28
tebasan biasanya terlebih dahulu akan berhadapan dengan calo/perantara untuk
dapat menebas/membeli bawang merah ke petani karena belum saling mengenal.
Dalam konteks sistem pemasaran, calo/perantara akan mendapat fee dari
satu transaksi yang berkisar antara Rp 200 ribu hingga Rp 1 juta yang tergantung
nilai jual pemasaran bawang merah tersebut. Terdapat 2 alur rantai tataniaga
bawang merah dari petani. Pada rantai pertama, petani menjual bawang merah ke
penebas, selanjutnya penebas menjual bawang merahnya ke pedagang
pengumpul/tengkulak atau menjual langsung ke pedagang besar (pengirim ke luar
kota/daerah). Pada Rantai kedua, petani dapat langsung menjual bawang merah ke
pedagang besar/pengirim. Selanjutnya bawang merah yang diperoleh oleh pedagang
besar/pengirim selanjutnya dijual ke Pasar Induk (PI) Kramat Jati- Jakarta atau PI
Cibitung-Bekasi serta pasar luar kota lainnya/luar Jawa. Sementara, bawang merah
yang dibeli oleh pedagang pengumpul kecil/tengkulak selanjutnya dijual ke pedagang
pasar lokal termasuk ke Pasar Sukomoro Nganjuk. Berdasarkan alur tersebut, tampak
bahwa alur pertama, pemasaran bawang merah dari petani cukup pendek/ringkas.
Permasalahan yang muncul dengan seringnya ada fenomena lonjak harga di tingkat
konsumen adalah akibat tingginya harga jual selepas dari pedagang di Pasar Induk
Kramat Jati/Cibitung. Secara lengkap alur pemasaran bawang merah dari tingkat
petani dengan pelibatan pedagang besar/pengirim di lokasi kajian disajikan pada
Gambar 9.
29
Gambar 9. Alur Tataniaga Bawang Merah dari Tingkat Petani di Lokasi Kajian Kabupaten Nganjuk-Jawa Timur, 2016.
Kehadiran pedagang besar (pengirim) dalam sistem tataniaga bawang merah di
Kabupaten Nganjuk memiliki peran signifikan. Satu pedagang besar dapat memasok
bawang merah ke Pasar Induk kramat Jati dan Cibitung berkisar antara 1- 3 truk,
dimana satu truk berkapasitas 6,5 ton bawang merah. Untuk mengirim bawang
merah ke pasar induk, biasanya pengirim akan mengontak terlebih dahulu pedagang
lapak di pasar induk. Dengan mengetahui harga di pasar induk, maka pengirim akan
memasang harga pembelian ke petani atau penebas sesuai dengan harga yang ada
Petani bawang
merah
Penebas
Pedagang Pengumpul
/Tengkulak
Pedagang
di Pasar Lokal
Peda-
gang Eceran
Konsu-
men
Pedagang besar/
Pengirim
Pedagang Psr Induk Jakarta
PedaganEceran
Konsu-men
Pedagang Pasar Luar Kota & Luar Jawa
30
di pedagang lapak pasar induk. Pedagang besar/pengirim biasanya akan membayar
bawang merah yang dibelinya ke petani sesuai harga kesepakatan saat transaksi
sekitar 1-2 hari. Jika dalam masa kesepakatan ternyata harga jatuh di Pasar Induk,
maka hal itu menjadi tanggungjawab pedagang/pengirim.
Pada proses pembelian bawang merah ke petani misalnya, pedagang
besar/pengirim harus mengeluarkan biaya seperti: karung (Rp 29/kg) dan ongkus kuli
menaikan barang sebesar Rp 216/kg. Adapun ongkos angkut bawang merah dari
Nganjuk ke Pasar Induk Cibitung jakarta sebesar Rp 2.800.000/truk atau sekitar Rp
431/kg. Umumnya pengirim akan menjual bawangnya ke pedagang lapak di pasar
induk yang merupakan pedagang langganannya. Pedagang lapak seperti halnya di
Pasar Induk Cibitung mampu menyerap sekitar 20 truk bawang merah per hari atau
sekitar 130 ton/hari. Menurut informasi dari pedagang, bahwa harga bawang di
Pasar Induk Jakarta akan relatif stabil, jika kiriman bawang dari berbagai pedagang
daerah masih dibawah 15 truk perhari atau 97,5 ton/hari. Namun jika kiriman
bawang dari berbagai pedagang daerah lebih dari 15 truk, maka kecenderungan
harga bawang di Pasar Induk akan menurun karena terjadi over supply.
Adapun biaya lain yang harus ditanggung pedagang besar/pengirim adalah:
biaya lain dan karcis sebesar Rp 59/kg). Pedagang juga harus menanggung biaya
penyusutan bawang selama pengangkutan sebesar 60 kg per truk atau sebesar Rp
167/kg. Selain itu, pedagang pengirim juga harus membayar komisi pada pedagang
Lapak di Pasar Induk sebesar Rp 1.000/kg. Total biaya yang harus dikeluarkan
pedagang besar/pengirim diluar biaya penyusutan sebesar Rp 1.735/kg. Dengan
demikian marjin pemasaran yang diraih pedagang besar/pengirim tampaknya cukup
kecil yaitu sebesar Rp 1.098/kg.
Pedagang Lapak di Pasar Induk, selain memperoleh komisis dari para pengirim,
juga akan memperoleh marjin dari pemasaran bawang merah ke pedagang yang
membeli ke pedagang pasar Induk. Umumnya pedagang yang membeli bawang
merah merupakan para pedagang disekitar pasar induk sebagi pedagang yang
nantinya bawang merah di jual ke para pengecer.
Khusus penebas, yaitu merupakan pedagang yang menebas dari petani untuk
penjualan bawang merah ke pedagang pengumpul/tengkulak akan mengeluarkan
31
biaya: karung (Rp 29/kg), ongkos angkut dan kuli sebesar Rp 293/kg. Dengan harga
tebasan yang lebih rendah dari harga rogolan saat panen, serta biaya pemasaran Rp
245/kg maka diperoleh marjin pemasaran pada penebas sebesar Rp 1.678/kg.
Tabel 5. Kinerja Harga dan Marjin Pemasaran Bawang Merah dari Tingkat Petani, Penebas dan Pengirim, 2006 (Rp/Kg)
No. Pelaku Pemasaran Susut
(Rp/ Kg)
Harga Beli (Rp/Kg)
Harga Jual (Rp/Kg)
Biaya Pemasaran & Penanganan (Rp/kg)
Marjin Pemasaran (Rp/Kg)
1 Petani - - 18.000 - -
2 Penebas - 17.000 19.000 322 1.678
3 Pengirim/Bandar 167 18.000 21.000 1.735 1.098
4. Pedagang Lapak Pasar Induk
- 21.000 ba ba ba
Sumber: Data primer penelitian (2016) Keterangan: ba=belum ada informasi
Bila dilihat dari aspek kelembagaan pemasaran di pasar Sukomoro Kabupaten
Nganjuk, bahwa saat ini volume bawang merah yang dipasarkan di pasar Sukomoro
berkisar antara 18-25 ton/hari. Volume tersebut tampaknya mengalami penurunan
dibandingkan dengan waktu 8-10 tahun yang lalu yang biasanya dapat mencapai 50
ton/hari. Hal ini antara lain karena semakin intensifnya pola panen dengan sistem
tebasan.
Secara faktual bahwa semakin berkembangnya sistem panen tebasan
berdampak terhadap kelembagaan pemasaran pasar di Sukomoro yaitu:
(a) Pendapatan pasar yang semakin menurun akibat volume bawang merah
yang masuk pasar menurun,
(b) Semakin sedikitnya volume bawang merah yang dipasarkan menyebabkan
banyak TK kuli pasar yang menganggur dan angkutan pasar (transportasi) di
pasar tidak optimal. Sebelum tahun 1990-an, pasar Sukomoro ramai oleh
penjual (pedagang besar) yang bertransaksi dengan pedagang yang datang
dari luar kota.
Makin banyaknya bandar besar yang langsung beli bawang merah ke petani dan
juga penebas beli bawang merah ke petani menyebabkan semakin sedikit petani
yang menjual langsung bawang merah ke pasar Sukomoro untuk bertransaksi
32
dengan pedagang. Namun beberapa petani tetap ada yang datang dari luar kota.
Petani yang akan bertemu dengan pedagang dari luar kota biasanya membawa
monster /contoh dan bertemu dengan makelar yang terdapat di pasar. Di Pasar
Sukomoro jumlah calo/makelar dapat mencapai 20 orang. Adapun jumlah pedagang
di pasar Sukomoro dapat mencapai 15-20 pedagang. Umumnya bawang merah yang
masuk ke pedagang pasar cukup bervariasi, ada kualitas super sedang dan kecil
(sortiran).
Pedagang kecil/tengkulak menjual ke pedagang di pasar Sukomoro dengan
mengeluarkan ongkos angkutan dan kuli sebesar Rp 106/kg. Marjin tataniaga yang
diraih pedagang pengumpul/tengkulak bawang hanya sebesar Rp 894/kg. Sementara
pada pedagang pasar di Pasar Sukomoro, dengan harga beli Rp 20.000/kg dan
menjualnya seharga Rp 22.000/kg, dengan sejumlah biaya yang harus dikeluarkan.
Adapun biaya yang harus dikeluarkan sebesar Rp 121/kg, dengan rincian: (a) Ongkos
angkutan kuli angkut Rp 106/kg dan retribusi serta timbangan sebesar Rp 15/kg.
Oleh karena itu, marjin tataniaga yang diperoleh hanya sebesar Rp 1.879/kg.
Adakalanya pedagang di pasar juga menjual dengan ukuran grade (ukuran)
sedang dan kecil. Harga bawang merah kualitas super misalnya seharga Rp
22.000/kg, maka untuk kualitas sedang seharga Rp 18.000- Rp 19.000/kg dan
kualitas kecil (sortiran) Rp 5.000-Rp 6.000/kg. Untuk bawang merah kualitas sortiran
terutama untuk mengisi industri bawang goreng dan indofood.
Ada kecenderungan para pedagang besar/pengirim kurang menyukai mengirim
atau membeli dari pedagang di pasar Sukomoro. Pengirim tidak menyukai terhadap
sikap pedagang pasar yang seringkali berbuat tidak fair yang mengatur bawang
dengan yang besar di pinggir karung (transparan) agar kelihatan isinya merupakan
bawang yang ukurannya besar, sementara didalamnya (karung) banyak yang kecil-
kecil.
33
Gambar 10. Alur Tataniaga Bawang Merah dari Tingkat Petani hingga Pedagang
Pasar Sukomoro Kabupaten Nganjuk-Jawa Timur, 2016.
Tabel 6. Kinerja Harga dan Marjin Pemasaran Bawang Merah dari Tingkat Petani di
Pasar Sukomoro (Rp/Kg) No. Pelaku Pemasaran Harga Beli
(Rp/Kg) Harga Jual (Rp/Kg)
Biaya Marjin
1. Petani Rp 18.000
2. Pedagang kecil/tengkulak Rp 19.000 Rp 20.000 106 894
3. Pedagang Pasar
Sukomoro
Rp 20.000 Rp 22.000 44 1.879
Petani bawang
merah
Penebas
Pedagang
Pengumpul/Tengkulak
Pedagang
di Pasar Sukomoro
Peda-
gang Eceran
Konsu-
men
Pedagang besar/
Pengirim
Pedagang Psr Induk
Jakarta & Luar Jawa
PedaganEceran
Konsu-men
Makelar
34
IV. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
4.1. Kabupaten Brebes
1) Penyediaan benih bermutu dengan harga terjangkau merupakan langkah
strategis dalam peningkatan produksi, penurunan biaya produksi dan penurunan
harga bawang merah. Untuk itu perlu dibangun sistem perbenihan yang dapat
menyediakan kebutuhan benih setiap musim dan tidak mengandalkan impor.
Selama ini petani bawang di sentra bawang kurang berminat dalam usaha
bisnis benih bawang sejalan dengan lebih lamanya waktu yang dibutuhkan,
resiko dan tingkat penerimaannya dibanding usaha bawang konsumsi. Beberapa
alternatif pengembangan perbenihan bawang yaitu: (1) pengembangan sentra
perbenihan bawang di wilayah pengembangan baru diluar sentra produksi
bawang konsumsi, (2) penugasan kepada BUMN khusus untuk menangani benih
bawang, dan (3) pengembangan bawang secara mandiri secara kolektif di
sentra produksi bawang. Untuk mengurangi biaya benih, pengembangan benih
bawang dari biji (TSS ) perlu digalakkan. Selayaknya pengembangan TSS
dilakukan pada wilayah pengembangan baru (alternatif 1) dan atau penugasan
BUMN (alternatif 2).
2) Berkembangnya sistem tebasan dan penjualan sitem Butong yang telah
mengakibatkan bawang merah yang dipasarkan masih basah dan berdampak
kepada mutu bawang. Namun tetap saja kondisi pertanaman yang dapat
menghasilkan produk usahatani bermutu sangat menentukan nilai jual hasil
produksi (nilai tebasan). Dalam kaitan itu, penerapan cara cara budidaya yang
baik (GAP -Good Agricultural Practices) sangat menentukan keberhasilan
produksi.
3) Untuk menghasilkan prediksi tingkat produksi yang lebih akurat, sistem
manajemen produksi yang ada perlu lebih diperkuat dengan memperluas
cakupan wilayah perencanaan dan detail operasionalnya. Untuk mengatasi
kekurangan pasokan pada periode defisit (bulan Maret- April) perlu
diupayakan: (a) pengembangan penanaman Bawang merah di Luar Musim (Off
Season) yaitu pada bulan Desember - Januari sehingga akan panen pada bulan
Pebruari–Maret, melalui pendayagunaan lahan alternatif, lahan tadah hujan,
35
lahan kering di sekitar kawasan sentra produksi, dan (b) pengembangan
sentra/kawasan baru produksi bawang, terutama di daerah yang mempunyai
kemungkinan pola panen berbeda dengan sentra produksi utama
4) Pada kondisi suplus diperlukan penanganan kelebihan produksi agar pasokan
tidak terbuang dan harga tidak merosot tajam. Upaya yang dapat dilakukan
adalah:(1) penugasan kepada Bulog untuk terlibat dalam pengadaan stok
bawang, (2) pendayagunaan kelebihan produksi menjadi sumber benih bagi
penanaman musim tanam berikutnya, dan (3) pengembangan stock di
masyarakat dengan pola tunda jual melalui pengembangan sistem resi gudang
dan atau pemberian kredit pasca panen serta fasilitas pasca panen dan
pergudangan masyarakat.
5) Dengan kondisi saat ini dimana penjualan bawang merah dilakukan dalam
bentuk basah (Butong), diperlukan perbaikan manajeman pemasaran agar
bawang dari petani dapat segera dipasarkan dan diterimakan ke konsumen
paling lambat 5 hari setelah panen. Salah satu upaya yang dilakukan adalah
membangun sistem tataniaga langsung mendekat ke konsumen. Assosiasi
Bawang Indonesia telah merintis penjualan langsung bawang merah ke
konsumen melalui pengembangan armada semut sepeda motor yang berkeliling
menjajakan bawang dengan harga dibawah harga di pasar. Rintisan ini perlu
didukung pihak terkait agar dapat berkembang sehingga cakupan wilayah
pemasaran dapat lebih luas. Pola ini juga dapat
dikordinasikan/dikerjasamakan dengan Toko Tani Indonesia (TTI) dan Rumah
Pangan Kita (RPK). Untuk meningkatkan peran TTI dan RPK, idealnya dalam
memasarkan TTI dan RPK juga mendekatkan diri ke konsumen dengan
semacam gerakan operasi pasar produk pertanian murah di tempat sekitar
perbelanjaan yang banyak dikunjungi konsumen, karena pada hakekatnya
konsumen berbelanja produk pertanian bersifat sambilan diikuti oleh kegiatan
lain, dan konsumen cenderung memilih produk bermutu dengan harga lebih
murah.
36
4.2. Kabupaten Nganjuk
1) Provinsi Jawa Timur memiliki kontribusi produksi sebesar 23 % terhadap
produksi bawang merah nasional. Pengembangan bawang merah di Jawa Timur
dibagi dalam 3 wilayah, yaitu: (1) Wilayah Barat dan Tengah: Nganjuk, Kediri,
Magetan, Mojokerto, Bojonegoro, Malang Kota Batu; (2) Wilayah Timur:
Probolinggo, Bondowoso; dan (3) Wilayah Madura: Bangkalan, Sampang,
Pamekasan, serta Sumenep.
2) Dalam mendukung peningkatan produksi bawang merah, diperlukan
ketersediaan baik kuantitas maupun kualitas benih bawang merah di tingkat
petani. Untuk memenuhi ketersediaan benih tersebut, saat ini sistem
perbenihan bawang merah di Jawa Timur khususnya di sentra produksi Nganjuk
sebagian besar berasal dari sendiri (Sistem Jalur benih antar lapang/Jabal). Hal
ini didasarkan atas alasan: Bisa dibuat sendiri melalui proses sortir, Harga lebih
murah, Mudah didapat dan Produktivitas tidak berbeda nyata dengan yang
bersertifikat walaupun sebenarnya benih jabal tidak memberikan kepastian daya
tumbuh dan kemurnian varietas.
3) Usahatani bawang merah di Kabupaten Nganjuk, bawang merah secara umum
ditanam 2 kali dalam setahun yaitu saat musim MH (bulan Oktober- Desember)
dan disaat MK (bulan Mei-Juli). Umur bawang merah sekitar 60 hari, dengan
jenis varietas yang ditanam adalah Bauji (saat MH) dan Thailand (saat MK).
4) Dalam analisis semusim, rataan produktivitas usahatani bawang merah yang
dihasilkan sebesar 12 ton/ha. Dengan tingkat harga rata-rata yang diterima
petani sebesar Rp 18.000/kg, maka diperoleh penerimaan sebesar Rp 216,00
juta/ha/musim. Adapun biaya usahatani yang dikeluarkan mencapai Rp 123,55
juta/ha/musim, sehingga tingkat keuntungan usahatani yang diraih sebesar Rp
92,46 juta/ha/musim dengan R/C sebesar 1,75. Adapun BEP (Break Even Point)
harga bawang merah pada usahatani sebesar Rp 10.295/kg. Dengan demikian
usahatani bawang merah yang dilakukan petani di Kabupaten Nganjuk layak
diusahakan dan memberikan keuntungan yang signifikan bagi petani.
5) Kondisi harga komoditas pangan yang fluktuatif dapat merugikan petani sebagai
produsen, pengolah pangan, pedagang hingga konsumen dan berpotenso
37
menimbulkan keresahan sosial. Kenaikan harga bahan pangan juga digolongkan
sebagai komponen inflasi bergejolak karena mudah dipengaruhi masa panen.
Berdasarkan permasalahan tersebut maka melakukan terobosan sebagai solusi
dalam mengatasi gejolak harga, yaitu melalui kegiatan Pengembangan Usaha
Pangan Masyarakat (PUPM) melalui Toko Tani Indonesia (TTI) dan Rumah
pangan Kita (Bulog). Namun dalam perkembangan seperti di lokasi kajian,
kedua kelembagaan pemasaran tersebut masih belum melakukan penyerapan
komoditas bawang merah dari petani di Kabupaten Nganjuk.
6) Sistem panen bawang merah di Kabupaten Nganjuk dapat dilakukan dengan
sistem tebasan/borongan dan rogolan. Proporsi sistem panen yang ada di
Kabupaten Nganjuk untuk kedua sistem tersebut masing-masing sebesar 60 dan
40 persen. Petani yang menjual bawang merah dengan sistem tebasan memiliki
beberapa alasan yang dapat dipahami seperti: (a) membutuhkan biaya cepat
untuk menutupi hutang saprotan dan pemenuhan kebutuhan keluarga, (b) tidak
memiliki lantai jemur jika harus panen bawang dengan sistem rogolan, dan
petani juga merasa berat jika harus mengeluarkan biaya pengeringan lanjut,
dan (c) petani merasa khawatir jika harga bawang merah jatuh saat panen
dimana pemanenannya dengan sistem rogolan.
7) Oleh karena itu, pada sistem panen tebasan maka petani hanya mengeluarkan
biaya panen/cabut saja. Sementara jika harus panen dengan sistem rogolan,
maka petani disamping harus mengeluarkan biaya panen/cabut juga harus
mengeluarkan biaya potong/rogol, jemur (sekitar 2-3 hari) dan biaya
pengangkutan ke rumah. Pola tebasan bisa dilakukan misalnya seminggu
sebelum panen tiba, atau pada saat dihari siap panen.
8) Dalam konteks sistem pemasaran, terdapat 2 alur rantai tataniaga bawang
merah dari petani. Pada rantai pertama, petani menjual bawang merah ke
penebas, selanjutnya penebas menjual bawang merahnya ke pedagang
pengumpul/tengkulak atau menjual langsung ke pedagang besar (pengirim ke
luar kota/daerah). Pada Rantai kedua, petani dapat langsung menjual bawang
merah ke pedagang besar/pengirim. Selanjutnya bawang merah yang diperoleh
oleh pedagang besar/pengirim selanjutnya dijual ke Pasar Induk (PI) Kramat
38
Jati- Jakarta atau PI Cibitung-Bekasi serta pasar luar kota lainnya/luar Jawa.
Sementara, bawang merah yang dibeli oleh pedagang pengumpul
kecil/tengkulak selanjutnya dijual ke pedagang pasar lokal termasuk ke Pasar
Sukomoro Nganjuk. Berdasarkan alur tersebut, tampak bahwa alur pertama,
pemasaran bawang merah dari petani cukup pendek/ringkas.
9) Kehadiran pedagang besar (pengirim) dalam sistem tataniaga bawang merah di
Kabupaten Nganjuk memiliki peran signifikan. Umumnya pengirim akan menjual
bawangnya ke pedagang lapak di pasar induk yang merupakan pedagang
langganannya. Pedagang lapak seperti halnya di Pasar Induk Cibitung mampu
menyerap sekitar 20 truk bawang merah per hari atau sekitar 130 ton/hari.
Menurut informasi dari pedagang, bahwa harga bawang di Pasar Induk Jakarta
akan relatif stabil, jika kiriman bawang dari berbagai pedagang daerah masih
dibawah 15 truk perhari atau 97,5 ton/hari. Namun jika kiriman bawang dari
berbagai pedagang daerah lebih dari 15 truk, maka kecenderungan harga
bawang di Pasar Induk akan menurun karena terjadi over supply.
10) Marjin pemasaran yang diraih pedagang besar/pengirim tampaknya cukup kecil
yaitu sebesar Rp 1.098/kg, sementara marjin pemasaran pada penebas relatif
lebih besar yaitu sebesar Rp 1.678/kg.
11) Bila dilihat dari aspek kelembagaan pemasaran di pasar Sukomoro Kabupaten
Nganjuk, bahwa saat ini volume bawang merah yang dipasarkan di pasar
Sukomoro mengalami penurunan dibandingkan dengan waktu 8-10 tahun yang
lalu. Secara faktual bahwa semakin berkembangnya sistem panen tebasan
berdampak terhadap kelembagaan pemasaran pasar di Sukomoro yaitu: (a)
Pendapatan pasar yang semakin menurun akibat volume bawang merah yang
masuk pasar menurun, dan (b) Semakin sedikitnya volume bawang merah yang
dipasarkan menyebabkan banyak TK kuli pasar yang menganggur dan angkutan
pasar (transportasi) di pasar tidak optimal. Sebelum tahun 1990-an, pasar
Sukomoro ramai oleh penjual (pedagang besar) yang bertransaksi dengan
pedagang yang datang dari luar kota.
12) Makin banyaknya bandar besar yang langsung beli bawang merah ke petani dan
juga penebas beli bawang merah ke petani menyebabkan semakin sedikit petani
39
yang menjual langsung bawang merah ke pasar Sukomoro untuk bertransaksi
dengan pedagang. Sementara pedagang kecil/tengkulak menjual ke pedagang
di pasar Sukomoro memperoleh marjin tataniaga sebesar Rp 894/kg. Sementara
pada pedagang pasar di Pasar Sukomoro, memperoleh marjin tataniaga yang
lebih tinggi sebesar Rp 1.879/kg.
13) Dengan demikian, marjin tataniaga yang diperoleh pada kelembagaan
pemasaran berkisar antara Rp 894- Rp 1.879/kg. Harga jual pada kelembagaan
pemasaran di sentra produsen tidak menunjukan harga yang terlalu ekstrim
dibandingkan dengan harga di tingkat petani. Dengan demikian, permasalahan
yang muncul dengan seringnya ada fenomena lonjak harga di tingkat konsumen
adalah akibat tingginya harga jual selepas dari pedagang di Pasar Induk Kramat
Jati/Cibitung.
14) Upaya memperpendek rantai tataniaga sebesarnya bukanlah opsi terbaik dalam
meperbaiki kinerja pemasaran bawang merah. Namun hal penting adalah
bagaimana membuat kebijakan tataniaga terutama mulai dari kelembagaan di
pasar induk agar tidak terlalu membuat fluktuasi harga terlalu ekstrim di pasar
konsumen. Peningkatan harga yang tinggi saat ini tidak memiliki dampak
simetris terhadap peningkatan harga di tingkat petani. Artinya transmisi harga di
tingkat pedagang besar dipasar induk dan eceran tidak mulus sampai di tingkat
petani.
15) Selain itu, dalam memperbaiki kebijakan harga maka Dalam
tataniaga/pemasaran bawang merah diperlukan kehadiran pemerintah dalam
menangani pembelian bawang merah. Pemerintah dapat memberdayakan
kelompoktani/gapoktan dalam pembelian bawang merah tersebut dengan pola
sistem resi gudang. Berbeda dengan dengan sistem resi gudang yang ada,
dimana pola yang diusulkan yaitu terbangunnya kerjasama antara kelembagaan
gapoktan dengan petani bawang merah. Gapoktan diharapkan dapat berperan
dalam menjualkan bawang merah petani dengan jaminan dana talangan dari
pemerintah. Petani akan mendapat resi atas jaminan bawang yang diserap oleh
gapoktan melalui sistem resi gudang. Bawang merah petani tetap disimpan di
40
rumah petani dan dijaga petani. Pada saat harga bawang tinggi, gapoktan akan
menjual bawang merah sehingga dapat memberikan keuntungan bagi petani.
DAFTAR PUSTAKA
Azzaino, 1983. Tataniaga Pertanian. Jurusan Sosek Pertanian. IPB Bogor.
ABMI (Asosiasi Bawang Merah Indonesia). 2016a. Distribusi dan Pemasaran Bawang
Merah di Kabupaten Brebes. Makalah ppt. Brebes.
__________________________________ . 2016b. Data Usahatani Bawang Merah di
Kabupaten Brebes. Makalah ppt. Brebes.
BPS . 2016. Data produksi Bawang Merah di Indonesia Per Provinsi. www.bps.go.id. 22 Okrober 2016.
Dinas Pertanian TPH Brebes. 2016. Data Produksi, Usahatani dan Harga Bawang Merah di Kabupaten Brebes. Brebes.
Dinas Pertanian TPH Nganjuk. 2016. Data Produksi, Usahatani dan Harga Bawang Merah di Kabupaten Nganjuk. Nganjuk.
Mubyarto. 1973. Pengantar Ekonomi Pertanian. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) . Jakarta
Nasruddin, Wasrob. 1999. Tataniaga Pertanian. [Diktat Kuliah]. Universitas Terbuka :
Jakarta.
Sihombing, Luhut. 2010. Tataniaga Hasil Pertanian. USU Press . Medan. (Online,
usupress.usu.ac.id, diakses pada 13 Juli 2016).
Soekartawi. 1989. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian. Raja Grafindo Persada. Malang.
Utami, Yuniarni. 2009. Analisis Cabang Usahatani dan Tataniaga Pisang Raja Bulu (Musa paradisiaca. sp)(Kasus Desa Talaga, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat). [Skripsi]. Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan
Manajemen Institut Pertanian Bogor. Bogor.(Online, http://repository.ipb.ac.id/ handle/123456789/15548, diakses pada 13 juli 2016) .