kajian isu-isu strategis - lan ri

124
i Kajian ISU-ISU STRATEGIS di Bidang Sistem dan Hukum Administrasi Negara Isu I : Meningkatkan Kemitraan antara Pemerintah, BPJS Kesehatan dan Fasilitas Kesehatan menuju Peningkatan Kualitas Pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional Isu II : Penguatan Peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) Pasca UU Administrasi Pemerintahan Isu III : Strategi Pemberantasan Pungli Sebagai Upaya Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA DEPUTI BIDANG KAJIAN KEBIJAKAN PUSAT KAJIAN SISTEM DAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA 2016

Upload: others

Post on 03-Oct-2021

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Isu I : Meningkatkan Kemitraan antara Pemerintah, BPJS Kesehatan dan Fasilitas Kesehatan menuju Peningkatan Kualitas Pelayanan
Jaminan Kesehatan Nasional
Isu II : Penguatan Peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) Pasca UU Administrasi Pemerintahan
Isu III : Strategi Pemberantasan Pungli Sebagai Upaya Peningkatan
Kualitas Pelayanan Publik
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
2016
ii
Kajian Isu-Isu Strategis di Bidang Sistem dan Hukum Administrasi Negara
Penyusun:
Kontributor :
Prof. Dr. Yos Johan Utama, S.H., M.Hum. Prof. Dr. TB. Rachmat Sentika, Sp.A., MARS.
Dr. Togar Siallagan, M.M., M.Kes. Dr. dr. Yout Savitri, MARS.
Dr. Theryoto, M.Kes. Dr. Chairulsyah Sjahruddin, Sp.OG., MARS.
Dr. Ardan Adiperdana, Ak., MBA., CA., CFrA., FCMA., CGMA. Dr. Cris Kuntadi, S.E., M.M., CA., CPA., QIA., FCMA., CGMA., Ak.
Dr. Dian Puji N. Simatupang, S.H., M.H. Dr. Zainal Arifin Mochtar, SH, LLM
Dr. Sri Winarsi, S.H., M.H. Alvin Lie, M.Si.
Armansyah, S.H., M.H. Suria Ningsih, S.H., M.Hum.
Ir. Agus Raharjo Timboel Siregar
Diterbitkan oleh : Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara - Lembaga
Administrasi Negara Jl. Veteran No. 10 Jakarta Pusat
Telp. (021) 3868201-05, Fax. (021) 3868208
Kajian Isu-Isu Strategis di Bidang Sistem dan Hukum Administrasi Negara. – Jakarta : PKSANHAN - LAN, 2016.
88 hlm. ISBN : 978-602-72295-4-9
Kajian tentang isu-isu strategis di bidang sistem dan hukum administrasi
negara dan hukum administrasi negara merupakan upaya untuk
merespon secara cepat (quick response) atas dinamika praktek dalam
implementasi kebijakan di bidang sistem dan hukum administrasi negara
di Indonesia. Kajian ini mempunyai durasi waktu yang pendek dan
dilakukan beberapa kali dalam 1 (satu) tahun anggaran disesuaikan
dengan kebutuhan untuk merespon dinamika tersebut.
Pada tahun anggaran 2016, dilaksanakan 3 (tiga) kegiatan yang
dipandang penting (urgent) untuk disikapi yakni sebagai berikut:
1. Meningkatkan Kemitraan antara Pemerintah, BPJS Kesehatan dan
Fasilitas Kesehatan menuju Peningkatan Kualitas Pelayanan
Jaminan Kesehatan Nasional;
Pasca UU Administrasi Pemerintahan; dan
3. Strategi Pemberantasan Pungli Sebagai Upaya Peningkatan
Kualitas Pelayanan Publik.
Kajian tentang isu-isu strategis di bidang sistem dan hukum administrasi
negara ini dilakukan dengan tujuan menganalisis dan menyusun policy
brief terkait isu-isu aktual yang strategis dibidang Sistem dan Hukum
Administrasi Negara. Sedangkan sasaran yang ingin dicapai dari Kajian
tentang isu-isu strategis di bidang sistem dan hukum administrasi negara
ini adalah tersedianya rekomendasi kebijakan yang memuat alternatif
solusi penyelesaian masalah-masalah aktual di bidang sistem dan hukum
administrasi negara.
Jaminan Kesehatan Nasional
melampaui target berdampak signifikan bagi peningkatan permintaan
pelayanan kesehatan terutama dari kalangan masyarakat yang
selama ini tidak mampu memanfaatkan layanan kesehatan. Lonjakan
iv
sehingga menimbulkan banyak keluhan terhadap program JKN.
Keberhasilan JKN tidak dapat diserahkan sepenuhnya hanya kepada
pemerintah semata, JKN juga melibatkan aktor lainnya seperti BPJS
Kesehatan dan Faskes. Pemerintah sebagai regulator penyelenggara
JKN sesuai peraturan perundang-undangan dibantu oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS) selaku operator
penyelenggara JKN dan Faskes penyedia jasa Jaminan Kesehatan.
Ketiga pihak tersebut merupakan aktor penting pelaksana JKN,
mereka harus bekerjasama mewujudkan suksesnya JKN ini,
disamping itu adanya dukungan dari faktor lain seperti Pemerintah
Daerah, badan usaha dan masyarakat. Berdasarkan hal tersebut di
atas maka lembaga Administrasi Negara cq Pusat Kajian Sistem dan
Hukum Administrasi Negara melakukan analisis terhadap peran
masing-masing aktor pelaksana JKN dan mutual partnership antara
Pemerintah, BPJS Kesehatan dan Fasilitas Kesehatan.
Pemerintah sebagai regulator, BPJS Kesehatan sebagai operator,
serta Faskes sebagai penyedia jasa harus mampu menjawab
berbagai tantangan untuk perbaikan program JKN. Ada beberapa
prinsip kemitraan dalam rangka membangun kemitraan yang baik atau
berkualitas. Prinsip-prinsip tersebut adalah : adanya kesetaraan dan
keadilan (equally dan equity), keterbukaan (openness), kemanfaatan
bersama (mutual benefit), dan tanggung jawab (responsibility).
Terwujudnya pelayanan kesehatan yang baik dilaksanakan
berdasarkan hubungan kemitraan yang harmonis. Oleh karena itu
setiap pelaksana JKN harus melaksanakan perannya dengan optimal,
meningkatkan kapasitas dan melakukan inovasi yang dapat
menunjang pelayanan kesehatan.
Pasca UU Administrasi Pemerintahan
Dengan keluarnya UU AP fungsi APIP menjadi bertambah yaitu harus
mampu menilai sebuah keputusan dan/atau tindakan Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan itu termasuk dalam kategori : (1) melampaui
wewenang; (2) mencampuradukkan wewenang; dan/atau (3)
v
Pasca UU Administrasi Pemerintahan.
Fakta yang dihadapi saat ini, SDM APIP masih dihadapkan pada
sejumlah tantangan seperti persoalan tumpang tindihnya
pengawasan, hubungan dengan Aparat Penegak Hukum dan Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) selaku auditor eksternal, kurangnya
komitmen tindak lanjut atas hasil pengawasan, kurang jelasnya
pembagian tugas antar lembaga pengawasan, serta minimnya
kompetensi yang dimiliki oleh SDM APIP. Kedudukan kelembagaan
serta pengembangan kapasitasi APIP ini menjadi sangat penting,
karena kewenangan APIP yang teramat besar sepatutnya diiringi
dengan posisi kelembagaan yang dapat men-support pelaksanaan
fungsi APIP secara optimal, obyektif dan profesional.
Dasar political will Penguatan Peran APIP : (1) Instruksi Presiden
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Percepatan
Pelaksanaan Proyek Strategis tertanggal 8 Januari 2016 (yang
selanjutnya disebut “Inpres”), dimana dalam Diktum KEENAM Inpres
tersebut menyatakan bahwa : Jaksa Agung dan Kapolri:
mendahulukan proses administrasi Pemerintahan sesuai ketentuan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan sebelum melakukan penyidikan atas laporan
masyarakat yang menyangkut penyalahgunaan wewenang dalam
pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. (2) Pasal 2 Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara
dalam Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang, yang mengatur:
Pengadilan berwenang menerima, memeriksa dan memutus
permohonan penilaian ada atau tidak ada penyalahgunaan
Wewenang dalam Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat
Pemerintahan sebelum adanya proses pidana. Hasil kajian
merekomendasikan perlu adanya reformulasi kedudukan
kelembagaan APIP dan perlunya peningkatan kompetensi SDM APIP
diluar kompetensi teknis di bidang auditif.
vi
Kualitas Pelayanan Publik
akuntabel) merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh
pemerintah kepada seluruh warga negara tanpa terkecuali (non
diskriminatif). Namun kenyataannya yang terjadi seringkali muncul
berbagai masalah dalam pelayanan publik pemerintah terhadap
masyarakat. Selain itu, bahkan ada oknum aparat pemerintah yang
mencoba memanfaatkan posisinya untuk mendapatkan penghasilan
tambahan, mereka membuat masyarakat untuk membayar uang
tambahan dengan dalih untuk memperlancar dan mempercepat
segala urusan. Ketidakpastian dan lemahnya posisi masyarakat
dalam pelayanan publik menjadikan praktek Pungutan Liar (Pungli)
tetap menjamur hingga saat ini. Operasi Tangkap Tangkap (OTT)
yang melibatkan oknum Pegawai Negeri Sipil (PNS) Direktorat
Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, pegawai
Pelindo I, Pelindo III serta tertangkapnya pejabat pemeriksa bea cukai
pelabuhan Tanjung Mas mencerminkan masih maraknya praktik
Pungli di Indonesia.
melalui alternatif strategi berikut :
Administrasi Pemerintahan;
3. Melaksanakan diskriminsasi positif bagi pelayanan publik yang
bersifat komersial;
kinerja PNS;
layak dan seimbang dengan resiko jabatannya;
6. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi aktif untuk memberi
informasi dan melaporkan pungutan liar.
vii
SAMBUTAN
implementasi kebijakan yang bersifat dinamis akan melahirkan isu-isu
strategis dan permasalahan yang harus direspon secara cepat (quick
response). Lembaga Administrasi Negara (LAN) sebagai lembaga
pemerintah yang bertanggung jawab secara fungsional dalam bidang
pengembangan administrasi negara, senantiasa perlu untuk melakukan
pengkajian dan merumuskan rekomendasi serta solusi terkait isu-isu
strategis dalam praktek sistem administrasi negara dan hukum
administrasi negara di indonesia.
Kajian isu-isu strategis ini merupakan salah satu wujud dari upaya
akuntabilitas LAN, baik kepada pemerintah maupun kepada masyarakat.
Melalui kegiatan kajian ini diharapkan dapat dirumuskan rekomendasi
kebijakan yang memuat alternatif solusi penyelesaian masalah aktual di
bidang administrasi negara dan hukum administrasi negara. Selain itu,
hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi pejabat publik dan
penyelenggara negara dalam merumuskan kebijakan maupun untuk
mengevaluasi implementasi kebijakan.
dilakukannya kegiatan Kajian tentang Isu-Isu Strategis di Bidang Sistem
dan Hukum Administrasi Negara yang diarahkan untuk 1) Meningkatkan
Kemitraan antara Pemerintah, BPJS Kesehatan dan Fasilitas Kesehatan
menuju Peningkatan Kualitas Pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional; 2)
Penguatan Peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) Pasca
UU Administrasi Pemerintahan; 3) Pengembangan Strategi
Pemberantasan Pungli Sebagai Upaya Peningkatan Kualitas Pelayanan
Publik.
viii
diharapkan dapat membantu pemerintah untuk merumuskan langkah
dalam mengimplementasikan kebijakan. Diharapkan hasil kajian ini dapat
memberikan masukan bagi selruh unsur penyelenggara pemerintahan
dalam memastikan proses penyelenggaraan pembangunan tidak
terhambat oleh hal-hal yang berifat administratif dan bermanfaat bagi
pengembangan sistem administrasi negara dan hukum administrasi
negara di Indonesia.
Jakarta, Desember 2016
lingkungan Lembaga Administrasi Negara (LAN) yang dilaksanakan oleh
Kedeputian Bidang Kajian Kebijakan, melalui Pusat Kajian Sistem dan
Hukum Administrasi Negara (PKSHAN), pada Tahun Anggaran 2016.
Kegiatan kajian ini merupakan upaya LAN untuk merespon secara cepat
(quick response) atas dinamika implementasi kebijakan di bidang sistem
administrasi negara dan hukum administrasi negara di Indonesia.
Kajian tentang Isu-Isu Strategis di Bidang Sistem dan Hukum
Administrasi Negara ini diharapkan dapat memberikan gambaran
mengenai perkembangan isu-isu sistem administrasi negara dan hukum
administrasi negara yang berkembang dalam penyelenggaraan
pemerintahan di Indonesia serta memberikan alternatif rekomendasi
kebijakan yang diharapkan dapat menjadi solusi atas potensi
permasalahan yang timbul dampak dari implementasi kebijakan di bidang
sistem administrasi negara dan hukum administrasi negara.
Pada tahun anggaran 2016 Pusat Kajian Sistem dan Hukum
Administrasi Negara (PKSHAN) telah dilaksanakan 3 (tiga) kajian isu
strategis yang terdiri dari: 1) Meningkatkan Kemitraan antara Pemerintah,
BPJS Kesehatan dan Fasilitas Kesehatan menuju Peningkatan Kualitas
Pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional; 2) Penguatan Peran Aparat
Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) Pasca UU Administrasi
Pemerintahan; 3) Strategi Pemberantasan Pungli Sebagai Upaya
Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik.
narasumber baik dilingkungan internal LAN maupun berbagai instansi
terkait, pemerintah pusat dan pemerintah daerah, akademisi, dan LSM
yang telah membantu dan berpartisipasi dalam penyusunan dalam kajian
ini. Kami sadari bahwa hasil kajan ini masih belum komprehensif dan
sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan masukan dan saran
x
tahap selanjutnya.
Kata Pengantar viii
Daftar Isi ix
SISTEM DAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
3
C. Indikator Kinerja 5
D. Sistematika Laporan 5
DAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA 7
ISU I : MENINGKATKAN KEMITRAAN ANTARA
PEMERINTAH, BPJS KESEHATAN DAN FASILITAS
KESEHATAN MENUJU PENINGKATAN KUALITAS
A. Pendahuluan 9
dan Fasilitas Kesehatan
BPJS dan Fasilitas Kesehatan
PENGAWASAN INTERN PEMERINTAH (APIP)
PASCA UU ADMINISTRASI PEMERINTAHAN
D. Tinjauan Kebijakan Mengenai APIP 40
E. Identifikasi APIP 48
SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN KUALITAS
C. Pungutan Liar di Birokrasi 70
D. Strategi Pemberantasan Pungutan Liar 73
E. Penutup 78
Pemerintah, Bpjs Kesehatan Dan Fasilitas
Kesehatan Menuju Peningkatan Kualitas
Pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional
Intern Pemerintah (Apip) Pasca Uu Administrasi
Pemerintahan
82
Upaya Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik
83
A. Latar Belakang
administrasi negara.1 Salah satu fungsi LAN adalah melakukan
pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional tertentu di bidang
administrasi negara.2
(PKSHAN) telah melaksanakan beberapa kajian isu-isu strategis antara
lain, tentang :
tentang Administrasi Pemerintahan;
3. Strategi Pengembangan Kompetensi Aparat Pengawasan Internal
Pemerintah (APIP) dalam rangka Implementasi UU Nomor 30 Tahun
2014 tentang Administrasi pemerintahan.
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Pada tahun 2016 ini, Deputi Bidang Kajian Kebijakan c.q. PKSHAN
kembali melakukan pengkajian terhadap Isu-isu Strategis di Bidang
Sistem dan Hukum Administrasi Negara. Isu-isu yang akan dikaji adalah
isu-isu yang diprioritaskan penanganannya secara cepat (quick
response) atas dinamika praktek dalam implementasi kebijakan di bidang
sistem dan hukum administrasi negara di Indonesia.
Kajian ini mempunyai durasi waktu yang pendek dan dilakukan
beberapa kali dalam 1 (satu) tahun anggaran, serta diharapkan
1 Peraturan Presiden No.57 Tahun 2013, Pasal 2. 2 Ibid, Pasal 3 huruf a.
4
tersampaikan kepada para pemangku kepentingan (stakeholders).
B. Tujuan dan Sasaran
Administrasi Negara ini bertujuan untuk membahas masalah-masalah
aktual yang strategis di bidang sistem dan hukum administrasi negara.
Aktual dalam pengertian permasalahan yang dibahas sedang menjadi isu
yang menjadi pusat perhatian (trending topic) dibicarakan oleh
masyarakat yang penting untuk segera dibahas dan diselesaikan
permasalahannya oleh pemerintah. Sedangkan strategis dalam
pengertian bahwa permasalahan tersebut merupakan hal penting yang
akan sangat mempengaruhi rencana pemerintah upaya memberikan dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kedua hal tersebut menjadi
acuan pemilihan tema karena pada akhirnya akan mempengaruhi
pandangan publik atau masyarakat terhadap kinerja pemerintah.
Untuk tahun anggaran 2016 ini terdapat 3 (tiga) isu strategis yang
dipandang penting (urgent) untuk dapat disikapi yakni:
1. Meningkatkan Kemitraan antara Pemerintah, BPJS Kesehatan dan
Fasilitas Kesehatan menuju Peningkatan Kualitas Pelayanan
Jaminan Kesehatan Nasional;
Pasca UU Administrasi Pemerintahan; dan
3. Strategi Pemberantasan Pungli Sebagai Upaya Peningkatan
Kualitas Pelayanan Publik
Strategis di Bidang Sistem dan Hukum Administrasi Negara ini adalah
tersedianya rekomendasi kebijakan yang memuat alternatif solusi
penyelesaian terhadap masalah aktual di bidang sistem dan hukum
administrasi negara.
hukum administrasi negara. Rekomendasi kebijakan tersebut
disampaikan dalam bentuk policy brief. Policy brief dimasud meliputi
policy brief tentang Kemitraan antara Pemerintah, BPJS Kesehatan dan
Fasilitas Kesehatan menuju Peningkatan Kualitas Pelayanan Jaminan
Kesehatan Nasional; Penguatan Peran Aparat Pengawasan Intern
Pemerintah (APIP) Pasca UU Administrasi Pemerintahan; dan Strategi
Pemberantasan Pungli Sebagai Upaya Peningkatan Kualitas Pelayanan
Publik.
Sasaran; Indikator Kerja; Waktu Pelaksanaan;
Anggaran; dan Sistematika Laporan.
Isu I : “Meningkatkan Kemitraan antara Pemerintah,
BPJS Kesehatan dan Fasilitas Kesehatan Menuju
Peningkatan Kualitas Pelayanan Jaminan Kesehatan
Nasional“ yang berisi Pendahuluan; Konsep
Kemitraan; Kemitraan Antara Pemerintah, BPJS
Kesehatan dan Fasilitas Kesehatan; Meningkatkan
Kemitraan antara Pemerintah, BPJS dan Fasilitas
Kesehatan; Penutup.
Pemerintah (APIP) Pasca UU Administrasi
Pemerintahan” yang berisi Latar Belakang;
Permasalahan; Tinjauan Konsep Pengawasan;
rekomendasi Stratejik.
6
Pungutan Liar di Birokrasi; Strategi Pemberantasan
Pungutan Liar; Penutup.
tema isu strategis terpilih.
PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN JAMINAN
menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar
hidupnya yang layak apabila terjadi hal-hal yang mengakibatkan hilang
atau berkurangnya pendapatan, karena menderita sakit, mengalami
kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut, atau pensiun.3
Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (selanjutnya disingkat BPJS), yang terdiri atas BPJS
Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. 4 Prinsip yang dianut dalam
sistem jaminan sosial nasional adalah sebagai berikut :5
1. Gotong-royong
terjadi prinsip gotong royong dimana yang sehat membantu yang
sakit, yang kaya membantu yang miskin.
2. Nirlaba
untung. Dana yang dikumpulkan dari masyarakat adalah dana
amanat, sehingga hasil pengembangannya harus dimanfaatkan
untuk kepentingan peserta.
Prinsip manajemen ini mendasari seluruh pengelolaan dana yang
berasal dari iuran peserta dan hasil pengembangan.
3 Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Pasal 1 angka 1. 4 Indonesia, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Pasal 5 ayat (2). 5 Ibid, Pasal 4.
10
tinggal atau pekerjaan, selama masih di wilayah Negara Republik
Indonesia tetap dapat mempergunakan hak sebagai peserta JKN.
5. Kepesertaan bersifat wajib
Penerapannya tetap disesuaikan dengan kemampuan ekonomi
rakyat dan pemerintah serta kelayakan penyelenggaraan program.
6. Dana amanat
kepada badan penyelenggara untuk dikelola sebaik – baiknya demi
kepentingan peserta.
untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar
kepentingan peserta.
(JKN) yang akan menjamin pesertanya memperoleh manfaat
pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan
dasar kesehatan. Sejak 1 Januari 2014 pemerintah telah
mengimplementasikan JKN kepada seluruh masyarakat dengan
menggunakan mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib
(mandatory) dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan
masyarakat yang layak. Semua penduduk Indonesia wajib menjadi
peserta Jaminan kesehatan yang dikelola BPJS Kesehatan, artinya
mereka tidak boleh tidak menjadi peserta BPJS Kesehatan meskipun
sudah memiliki Jaminan kesehatan lain. Peserta JKN terdiri atas
Penerima Bantuan Iuran (selanjutnya disebut PBI) jaminan kesehatan
dan bukan PBI Jaminan Kesehatan.6 Yang dimaksud dengan PBI
Jaminan Kesehatan adalah orang yang tergolong fakir miskin dan tidak
6 Indonesia, Peraturan presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan, Pasal 2.
11
kesehatan adalah :7
a. Pegawai Negeri Sipil
f. Pegawai Swasta
g. Pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai f yang menerima
upah
a. Pekerja di luar hubungan kerja atau pekerja mandiri
b. Pekerja yang tidak termasuk huruf a yang bukan peerima upah
3. Bukan pekerja dan anggota keluarganya :
a. Investor
e. Perintis kemerdekaan
f. Bukan pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai e yang mampu
membayar iuran.
12
besaran iuran bagi peserta bukan PBI dibagi menjadi beberapa kategori
sebagai berikut:
1. Peserta Pekerja Penerima Upah yang bekerja pada Lembaga
Pemerintahan terdiri dari Pegawai Negeri Sipil, anggota TNI, anggota
Polri, pejabat negara, dan pegawai pemerintah non pegawai negeri
sebesar 5% (lima persen) dari Gaji atau Upah per bulan dengan
ketentuan: 3% (tiga persen) dibayar oleh pemberi kerja dan 2% (dua
persen) dibayar oleh peserta.
2. Peserta Pekerja Penerima Upah yang bekerja di BUMN, BUMD dan
Swasta sebesar 5% (lima persen) dari Gaji atau Upah per bulan
dengan ketentuan: 4% (empat persen) dibayar oleh Pemberi Kerja
dan 1% (satu persen) dibayar oleh Peserta.
3. Iuran untuk keluarga tambahan Pekerja Penerima Upah yang terdiri
dari anak ke 4 dan seterusnya, ayah, ibu dan mertua, besaran iuran
sebesar sebesar 1% (satu persen) dari dari gaji atau upah per orang
per bulan, dibayar oleh pekerja penerima upah.
4. Peserta Pekerja bukan penerima upah serta peserta bukan pekerja
adalah sesuai dengan kelas rawat inap yang dipilih, yaitu :
a. sebesar Rp. 25.500,- (dua puluh lima ribu lima ratus rupiah) per
orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan
Kelas III.
b. sebesar Rp. 42.500,- (empat puluh dua ribu lima ratus rupiah) per
orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan
Kelas II.
c. sebesar Rp. 59.500,- (lima puluh sembilan ribu lima ratus rupiah)
per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang
perawatan Kelas I.
janda, duda, atau anak yatim piatu dari Veteran atau Perintis
Kemerdekaan, iurannya ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari
45% (empat puluh lima persen) gaji pokok Pegawai Negeri Sipil
golongan ruang III/a dengan masa kerja 14 (empat belas) tahun per
bulan, dibayar oleh Pemerintah.
perseorangan yang komrehensif yang mencakup :
1. Pelayanan Kesehatan di Tingkat I/Dasar, yaitu pelayanan
kesehatan non spesialistik terdiri dari :
a. Administrasi pelayanan
14
d. Tindakan medis non spesialistik, baik operatif maupun non operatif
e. Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai
f. Transfusi darah sesuai kebutuhan medis
g. Pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium Tingkat I
h. Rawat Inap Tingkat I sesuai dengan Indikasi Medis
2. Pelayanan Kesehatan di Tingkat II/Lanjutan, terdiri dari:
a. Rawat jalan, meliputi:
3) Tindakan medis spesialistik sesuai dengan indikasi medis
4) Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai
5) Pelayanan alat kesehatan implant
6) Pelayanan penunjang diagnostik lanjutan sesuai dengan
indikasi medis
b. Rawat Inap yang meliputi:
1) Perawatan inap non intensif
2) Perawatan inap di ruang intensif
3) Pelayanan kesehatan lain yang ditetapkan oleh Menteri
Jumlah peserta BPJS Kesehatan dalam waktu 2 (dua) tahun
mencapai 163 juta perserta8. Pertumbuhan peserta BPJS Kesehatan
yang begitu pesat dan jauh melampaui target berdampak signifikan bagi
peningkatan permintaan pelayanan kesehatan terutama dari kalangan
masyarakat yang selama ini tidak mampu memanfaatkan layanan
kesehatan. Jumlah pasien yang datang ke Fasilitas Kesehatan (Faskes)
saat ini meningkat tiga kali lipat perhari dibanding dengan saat belum ada
8 BPJS Kesehatan Tak Mampu Imbangi Pertumbuhan Peserta, www.okezone.com
15
JKN, hal ini merupakan salah satu indikator pertumbuhan peserta BPJS
Kesehatan.9 Lonjakan peserta ini sayangnya tidak diiringi dengan
pelayanan yang mumpuni sehingga menimbulkan banyak keluhan
terhadap program JKN.
membedakan pasien BPJS dengan pasien non BPJS. Selain itu
masyarakat sering dibuat bingung karena peraturan BPJS yang kerapkali
berubah tanpa ada sosialisasi sebelumnya. Mereka juga kecewa karena
terbatasnya kehadiran tim advokasi BPJS Kesehatan di RS juga yang
akan membantu pasien.
keluhan, antara lain kejanggalan tarif INACBG’s yang ditetapkan oleh
pemerintah, pencairan uang klaim yang cukup lama dan standar ganda
yang digunakan oleh BPJS Kesehatan dalam pelaksanaan implementasi
MOU oleh BPJS Kesehatan dengan Faskes. Faskes menilai terdapat
disorientasi fungsi BPJS kesehatan, BPJS Kesehatan bertindak tidak
sebagai verifikator melainkan sebagai auditor. Faskes juga
menyayangkan kurangnya sosialisasi program dan perubahan kebijakan
BPJS Kesehatan kepada masyarakat, hal ini menyebabkan pasien marah
karena merasa dipersulit sehingga akibatnya tidak jarang terjadi kasus
tenaga kesehatan yang mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari
pasien.
membayar iuran dikala sakit, namun ketika sudah sehat mempunyai
tunggakan iuran hingga berbulan-bulan. Hal inilah yang akhirnya
menyebabkan terjadinya defisit. Disamping itu, BPJS Kesehatan juga
mengeluh terhadap fraud yang dilakukan oleh faskes sehingga biaya
yang diklaim menjadi lebih tinggi. BPJS Kesehatan menyayangkan
pengawasan yang dilakukan oleh Badan Pengawas Rumah Sakit tidak
optimal dan kurangnya penegakkan hukum.
9 Ibid
dapat diajukan adalah :
2. Bagaimana upaya meningkatkan kemitraan yang baik antara
Pemerintah, BPJS Kesehatan, dan Fasilitas Kesehatan untuk
meningkatkan kualitas pelayanan jaminan kesehatan ?
Tujuan kegiatan kajian ini adalah merumuskan rekomendasi untuk
meningkatkan kemitraan antara Pemerintah, BPJS Kesehatan dan
Fasilitas Kesehatan agar mampu meningkatkan kualitas pelayanan
jaminan kesehatan.
Output kajian ini berupa policy brief, yaitu ringkasan hasil kajian
yang akan dipublikasikan dan disampaikan kepada stakeholders sebagai
bahan referensi meningkatkan kemitraan agar kualitas layanan jaminan
kesehatan.
penyelenggaran jaminan kesehatan, BPJS Kesehatan selaku operator
penyelenggara jaminan kesehatan dan Fasilitas Kesehatan selaku
penyedia jasa jaminan kesehatan.
royong atau kerjasama dari berbagai pihak, baik secara individual
maupun kelompok. Menurut Notoatmodjo, kemitraan adalah suatu kerja
sama formal antara individu-individu, kelompok-kelompok atau
organisasi-organisasi untuk mencapai suatu tugas atau tujuan tertentu.
Ada berbagai pengertian kemitraan secara umum, meliputi:10
a. Kemitraan mengandung pengertian adanya interaksi dan interelasi
minimal antara dua pihak atau lebih dimana masing-masing pihak
merupakan ”mitra” atau ”partner”.
kebersamaan yang saling menguntungkan dan saling mendidik
secara sukarela untuk mencapai kepentingan bersama.
c. Kemitraan adalah upaya melibatkan berbagai komponen baik sektor,
kelompok masyarakat, lembaga pemerintah atau non-pemerintah
untuk bekerja sama mencapai tujuan bersama berdasarkan atas
kesepakatan, prinsip, dan peran masing-masing.
d. Kemitraan adalah suatu kesepakatan dimana seseorang, kelompok
atau organisasi untuk bekerjasama mencapai tujuan, mengambil dan
melaksanakan serta membagi tugas, menanggung bersama baik
yang berupa resiko maupun keuntungan, meninjau ulang hubungan
masing-masing secara teratur dan memperbaiki kembali
kesepakatan bila diperlukan.
suatu kemitraan oleh masing-masing anggota kemitraan yaitu:
a. Prinsip Kesetaraan (Equity)
yang lain dalam mencapai tujuan yang disepakati.
b. Prinsip Keterbukaan
anggota serta berbagai sumber daya yang dimiliki. Semua itu harus
diketahui oleh anggota lain. Keterbukaan ada sejak awal dijalinnya
kemitraan sampai berakhirnya kegiatan. Dengan saling keterbukaan
ini akan menimbulkan saling melengkapi dan saling membantu
diantara golongan (mitra).
Individu, organisasi atau institusi yang telah menjalin kemitraan
memperoleh manfaat dari kemitraan yang terjalin sesuai dengan
kontribusi masing-masing. Kegiatan atau pekerjaan akan menjadi
efisien dan efektif bila dilakukan bersama.
18
masing sektor untuk melaksanakan visi dan misinya. Namun kemitraan
juga merupakan suatu pendekatan yang memerlukan persyaratan, untuk
itu diperlukan langkah- langkah tahapan sebagai berikut:
a. Pengenalan masalah
b. Seleksi masalah
AD/ART.
sesama mitra dalam upaya mencapai tujuan, melalui: diskusi, forum
pertemuan, kunjungan kedua belah pihak, dll
e. Menumbuhkan kesepakatan yang menyangkut bentuk kemitraan,
tujuan dan tanggung jawab, penetapan rumusan kegiatan
memadukan sumberdaya yang tersedia di masing-masing mitra
kerja, dll. Kalau ini sudah ditetapkan, maka setiap pihak terbuka
kesempatan untuk melaksanakan berbagai kegiatan yang lebih
bervariasi sepanjang masih dalam lingkup kesepakatan.
f. Menyusun rencana kerja: pembuatan POA penyusunan rencana
kerja dan jadwal kegiatan, pengaturan peran, tugas dan tanggung
jawab.
berkala, dll.
Secara umum, model kemitraan dalam sektor kesehatan
dikelompokkan menjadi dua yaitu:
kerja (networking) atau building linkages. Kemitraan ini berbentuk
19
mulai dari perencanaannya, pelaksanaannya hingga evalusi.
Jaringan tersebut terbentuk karena adanya persamaan pelayanan
atau sasaran pelayanan atau karakteristik lainnya.
b. Model II
Kemitraan model II ini lebih baik dan solid dibandingkan model I. Hal
ini karena setiap mitra memiliki tanggung jawab yang lebih besar
terhadap program bersama. Visi, misi, dan kegiatan-kegiatan dalam
mencapai tujuan kemitraan direncanakan, dilaksanakan, dan
dievaluasi bersama.
Menurut Beryl Levinger dan Jean Mulroy, ada empat jenis atau tipe
kemitraan yaitu :
Jenis kemitraan ini pelaku kemitraan saling peduli satu sama lain
tetapi belum bekerja bersama secara lebih dekat.
2) Nascent Partnership
kemitraan tidak maksimal
3) Complementary Partnership
pertambahan pengaruh melalui perhatian yang besar pada ruang
lingkup aktivitas yang tetap dan relatif terbatas seperti program
delivery dan resource mobilization.
dengan masalah pengembangan sistemik melalui penambahan
ruang lingkup aktivitas baru seperti advokasi dan penelitian.
Bentuk-bentuk/tipe kemitraan menurut Pusat Promosi Kesehatan
Departemen Kesehatan RI yaitu terdiri dari aliansi, koalisi, jejaring,
konsorsium, kooperasi dan sponsorship. Bentuk-bentuk kemitraan
tersebut dapat tertuang dalam :
kemitraan yaitu: full collaboration, coalition, partnership, alliance, dan
network. Kelimanya digambarkan sebagai berikut :
Menurut Phillips El Ansori, dalam peningkatan dampak kemitraan
agar lebih baik dipengaruhi oleh faktor personal, adanya hambatan dari
21
keberhasilan aktivitas atau kegiatan.
5. Konflik dalam Kemitraan
Beberapa literatur menyebutkan makna konflik sebagai suatu
perbedaan pendapat di antara dua atau lebih anggota atau kelompok dan
organisasi, yang muncul dari kenyataan bahwa mereka harus membagi
sumber daya yang langka atau aktivitas kerja dan mereka mempunyai
status, tujuan, nilai, atau pandangan yang berbeda, dimana masing-
masing pihak berupaya untuk memenangkan kepentingan atau
pandangannya. Sedangkan menurut Brown, konflik merupakan bentuk
interaksi perbedaan kepentingan, persepsi, dan pilihan. Wujudnya bisa
berupa ketidak-setujuan kecil sampai ke perkelahian.
Konflik dalam organisasi biasanya terbentuk dari rangkaian konflik-
konflik sebelumnya. Konflik kecil yang muncul dan diabaikan oleh
manajemen merupakan potensi munculnya konflik yang lebih besar dan
melibatkan kelompok-kelompok dalam organisasi. Konflik sebagai
sebuah siklus yang melibatkan beberapa eleme, yaitu :
a. Isu
c. Akibat-akibat
a. Perubahan lingkungan eksternal
c. Perkembangan teknologi
konflik dalam organisasi, yaitu :
a. Konflik pribadi, merupakan konflik yang terjadi dalam diri setiap
individu karena pertentangan antara apa yang menjadi harapan dan
keinginannya dengan apa yang dia hadapi atau dia peroleh.
b. Konflik antar pribadi, merupakan konflik yang terjadi antara individu
yang satu dengan individu yang lain.
c. Konflik organisasi, merupakan konflik perilaku antara kelompok-
kelompok dalam organisasi dimana anggota kelompok
menunjukkan “keakuan kelompoknya” dan membandingkan
dengan kelompok lain, dan mereka menganggap bahwa kelompok
lain menghalangi pencapaian tujuan atau harapan-harapannya.
Untuk dapat mengetahui keberhasilan pengembangan kemitraan
diperlukan adanya indikator yang dapat diukur. Dalam penentuan
indikator sebaiknya dipahami prinsip-prinsip indikator yaitu: spesifik,
dapat diukur, dapat dicapai, realistis dan tepat waktu.
C. Kemitraan Antara Pemerintah, BPJS Kesehatan Dan Fasilitas
Kesehatan
Dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional
Pemerintah sebagai regulator penyelenggara JKN, BPJS
Kesehatan Badan Penyelenggara selaku operator penyelenggara JKN
dan Faskes selaku penyedia jasa Jaminan Kesehatan dapat dilihat dari
fungsi dan tugas, serta hak dan kewajiban yang terdapat di dalam
peraturan perundang-undangan yang terkait.
memiliki peran untuk mendaftarkan PBI dan anggota keluarganya
INPUT PROSES OUTPUT OUTCOME
menyetorkan iuran untuk PBI kepada BPJS.
Pemerintah dalam hal ini Presiden sewaktu-waktu dapat meminta
laporan keuangan dan laporan kinerja BPJS sebagai bahan
pertimbangan dalam pengambilan kebijakan Pemerintah yang
berkaitan dengan penyelenggaraan jaminan sosial nasional.11
Dalam hal terdapat kebijakan fiskal dan moneter yang
mempengaruhi tingkat solvabilitas BPJS, Pemerintah dapat
mengambil kebijakan khusus untuk menjamin kelangsungan
program jaminan sosial. Sedangkan apabila terjadi krisis keuangan
dan kondisi tertentu yang memberatkan perekonomian,
Pemerintah dapat melakukan tindakan khusus untuk menjaga
kesehatan keuangan dan kesinambungan penyelenggaraan
program jaminan sosial.12
di tingkat primer dengan harapan agar pelayanan kesehatan yang
diberikan sesuai dengan standar, sesuai kompetensi dan
kewenangan.
Kementerian Kesehatan telah menetapkan kebijakan Akreditasi
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama.
b. Peran BPJS Kesehatan
tunggal kepada setiap peserta dan anggota keluarganya.
2) BPJS wajib memberikan informasi tentang hak dan kewajiban
kepada peserta untuk mengikuti ketentuan yang berlaku.
11 Indonesia, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Pasal 56 ayat (1). 12 Indonesia, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Pasal 56 ayat (2) dan (3).
24
dan melakukan kesepakatan dengan Fasilitas Kesehatan dan
Asosiasi Fasilitas Kesehatan mengenai besaran pembiayaan.
4) Dalam hal pembayaran klaim yang dilakukan oleh Fasilitas
Kesehatan, BPJS wajib melakukan pembayaran paling lambat
15 hari sejak permintaan pembayaran diterima BPJS.
5) BPJS diwajibkan untuk mengembangkan sistem pelayanan
kesehatan, sistem pengendalian mutu layanan dan sistem
pembayaran pelayanan kesehatan untuk meningkatkan efisiensi
dan efektivitas jaminan kesehatan.
BPJS secara optimal dengan mempertimbangkan aspek
likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil
yang memadai.
akuntansi yang berlaku serta membentuk cadangan teknis
sesuai standar praktek aktuaria yang lazim berlaku umum.
BPJS dalam operasional kesehariannya memiliki tugas :
1) Melakukan dan/atau menerima pendaftaran peserta;
2) Memungut dan mengumpulkan iuran dari peserta dan pemberi
kerja;
4) Mengelola dana jaminan sosial untuk kepentingan peserta;
5) Mengumpulkan dan mengelola data peserta program jaminan
sosial;
kesehatan sesuai dengan ketentuan program jaminan sosial;
dan
sosial kepada peserta dan masyarakat.13
13 Indonesia, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Pasal 10.
25
1) Menagih pembayaran iuran;
pendek dan jangka panjang dengan mempertimbangkan aspek
likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil
yang memadai;
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
jaminan sosial nasional;
standar tarif yang ditetapkan oleh pemerintah;
5) Membuat atau menghentikan kontrak kerja dengan fasilitas
kesehatan;
kerja yang tidak mematuhi kewajibannya;
7) Melaporkan pemberi kerja kepada instansi yang berwenang
mengenai ketidakpatuhannya dalam membayar iuran atau
dalam memenuhi kewajiban lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
penyelenggaraan program jaminan social.14
untuk:
2) Mengembangkan aset dana jaminan sosial dan aset BPJS
untuk sebesar-besarnya kepentingan peserta;
elektronik mengenai kinerja, kondisi keuangan, serta
kekayaan dan hasil pengembangannya;
14 Indonesia, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Pasal 11.
26
undang-undang tentang SJSN;
kewajiban untuk mengikuti ketentuan yang berlaku;
6) Memberikan informasi kepada peserta mengenai prosedur
untuk mendapatkan hak dan memenuhi kewajibannya;
7) Memberikan informasi kepada peserta mengenai saldo
jaminan hari tua dan pengembangannya 1 (satu) kali dalam 1
(satu) tahun;
aktuaria yang lazim dan berlaku umum;
10) Melakukan pembukuan sesuai dengan standar akuntansi
yang berlaku dalam penyelenggaraan jaminan sosial; dan
11) Melaporkan pelaksanaan setiap program, termasuk kondisi
keuangan, secara berkala 6 (enam) bulan sekali kepada
Presiden dengan tembusan kepada DJSN.15
Dalam rangka meningkatkan kualitas penyelenggaraan program
jaminan sosial, BPJS dapat bekerjasama dengan lembaga
Pemerintah16, serta bekerjasama dengan organisasi atau lembaga
lain di dalam atau di luar negeri untuk menjalankan tugasnya17.
c. Peran Faskes
pelayanan kesehatan yang mencakup pelayanan promotive,
preventif, kuratif, dan rehabilitative termasuk obat dan bahan
medis habis pakai yang diperlukan. Peran fasilitas kesehatan
tingkat pertama sangat penting karena tidak hanya harus mampu
melakukan pengobatan dasar sesuai dengan kewenangannya
tetapi juga harus dapat melakukan edukasi, promosi, prevensi
15 Ibid, Pasal 13. 16 Ibid, Pasal 51 ayat (1). 17 Ibid, ayat (2).
27
untuk penduduk yang sehat agar tetap sehat dan tidak menjadi
sakit.
Pelaksanaan JKN hingga tahun 2016 masih kurang optimal, salah
satu penyebabnya adalah belum adanya peraturan pelaksana dari UU
No. 20 Tahun 2004 dan UU No.24 Tahun 2011.18 Beberapa peraturan
pelaksana dari kedua undang-undang tersebut yang urgent untuk segera
diterbitkan antara lain :
wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjaannya sebagai peserta
kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, sesuai dengan
program jaminan sosial yang diikuti;
b. Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai pendaftaran
penerima bantuan iuran (fakir miskin dan orang tidak mampu)
18 Dialog Kebangsaan Dalam Rangka Hari Bakti Dokter Indonesia Ke-107 dan Hari Kebangkitan Nasional Tahun 2015 “Langkah Satu Tahun Menuju National Coverage, Apakah Siap di 2019?” http://www.idionline.org/berita/dialog-kebangsaan-dalam-rangka-hari-bakti-dokter-indonesia-ke-107- dan-hari-kebangkitan-nasional-tahun-2015-langkah-satu-tahun-menuju-national-coverage-apakah- siap-di-2019/
28
Jaminan Sosial;
Pengembangan Dana Jaminan Sosial;
penggunaan aset BPJS;
penggunaan aset Dana Jaminan Sosial; dan
f. Peraturan Pemerintah tentang Dana Operasional.
Amanat UU SJSN, kebijakan yang mengatur mengenai Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial harus disesuaikan paling lambat 5 (lima)
tahun sejak Undang-Undang tersebut diundangkan (19 oktober 2004),
sedangkan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang BPJS ini harus
ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun untuk peraturan yang mendukung
beroperasinya BPJS Kesehatan terhitung sejak Undang-Undang tersebut
diundangkan (25 November 2011). Dengan demikian tuntutan terhadap
peraturan tersebut telah melewati batas waktu yang telah ditentukan.
Selain dari dimensi kebijakan, permasalahan internal di masing-
masing aktor juga menjadi faktor hambatan pelaksanaan JKN. Bagi
Faskes beberapa kendala internal yang muncul adalah sebagai berikut:
a. Terbatasnya jumlah klinik dan RS swasta (fasilitas kesehatan) yang
bekerjasama dengan BPJS serta penyebarannya tidak merata.
b. Kekurangan tenaga medis (dokter, bidan, perawat) diberbagai RS,
tidak saja di luar Jawa melainkan juga di Jawa.
c. Terbatasnya ketersediaan alat-alat kesehatan.
Selanjutnya kendala yang dihadapi oleh BPJS Kesehatan antara lain :
a. Kurangnya infrastruktur BPJS Kesehatan seperti SDM, IT, Kantor,
dll;
peserta untuk membayar premi setiap bulan;
29
pengaduan Peserta, sebagaimana diwajibkan dalam Undang-
Undang;
d. Belum dikembangkannya aset Dana Jaminan Sosial dan aset BPJS
untuk sebesar besarnya kepentingan Peserta, padahal hal ini
diamanatkan secara kongkret dalam Undang-Undang;
e. Belum menginformasikan kinerja, kondisi keuangan, serta
kekayaan dan hasil pengembangannya melalui media massa cetak
dan elektronik mengenai.
berlangsung lebih dari 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya
pengaduan. Padahal menurut Undang-Undang, paling lambat
penanganan pengaduan adalah 5 (lima) hari kerja.
Bagi Pemerintah kendala utama dalam implementasi JKN ini adalah pada
saat mengidentifikasi masyarakat yang termasuk dalam kategori PBI dan
ketika akan melakukan penegakan hukum bagi Faskes yang “nakal”
Dalam pelaksanaan JKN, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN)
mempunyai peran penting atas kewenangan untuk melakukan monitoring
dan evaluasi (monev) penyelenggaraan program jaminan sosial. Namun,
hingga saat ini hasil monev tersebut belum terdiseminasikan dengan baik
dan belum menjadi solusi atas timbulnya berbagai permasalahan dalam
implementasi Program JKN.
pemicu terjadinya ketidakharmonisan/konflik. Tampaknya terdapat
perbedaan pendapat di antara para aktor terkait tujuan, nilai, atau
pandangan terhadap program JKN. Masing-masing pihak mengutamakan
kepentingannya sendiri, sehingga konflik terus menerus terjadi. Faskes
berorientasi terhadap profit namun tarif INACBG’s yang ditetapkan tidak
sesuai dengan profit yang diharapkan karena tarif INACBG’s tersebut
ditetapkan sesuai dengan prinsip nirlaba.
Orientasi masyarakat banyak yang hanya sekedar mencari “donatur
biaya berobat”. Belum banyak orang yang merasa pentingnya JKN,
mereka tidak paham bahwa kepesertaan JKN bersifat wajib dan gotong
30
menyelenggarakan program pemerintah sesuai dengan prinsip yang
terdapat dalam UU SJSN. Namun dalam prakteknya BPJS Kesehatan
fokus kepada pengumpulan dana tanpa ada pengembangan dana lebih
lanjut.
DAN FASILITAS KESEHATAN
menganut model kemitraan yang paling sederhana, yaitu dalam bentuk
jaring kerja (networking) atau building linkages. Kemitraan ini berbentuk
jaringan kerja saja, masing-masing mitra memiliki program tersendiri
mulai dari perencanaannya, pelaksanaannya hingga evalusi. Jaringan
tersebut terbentuk karena adanya persamaan pelayanan atau sasaran
pelayanan atau karakteristik lainnya.
membentuk jejaring kerja (networking) menjadi full collaboration.
Pemerintah sebagai regulator, BPJS Kesehatan sebagai operator, serta
Faskes sebagai penyedia jasa harus mampu menjawab berbagai
tantangan untuk perbaikan program JKN sebagai berikut :
1. Memastikan peningkatan kepuasan peserta.
2. Mengintegrasikan Jamkesda dengan program JKN.
3. Membangun Fakes hingga ke daerah terpencil.
4. Menyebarluaskan tenaga medis secara merata hingga daerah
terpencil
6. Menyusun peraturan pelaksana dari UU SJSN dan UU BPJS.
7. Mengharmonisasi ketentuan teknis dengan Peraturan Perundang-
undangan
9. Memberi pemahaman kepada masyarakat tentang sistem
pelayanan BPJS Kesehatan secara komprehensif.
10. Mencegah fraud di Faskes.
11. Mengendalikan mutu dan biaya.
31
14. Meningkatkan fungsi advokasi
17. Memperbaiki hubungan terutama dengan provider dan profesi.
Untuk menjawab tantangan tersebut maka Faskes, BPJS
Kesehatan, Pemerintah serta masyarakat harus menjalankan prinsip-
prinsip kemitraan yang menjunjung adanya kesetaraan dan keadilan
(equally dan equity), keterbukaan (openness), kemanfaatan bersama
(mutual benefit), dan tanggung jawab (responsibility). Prinsip kesetaraan
dan keadilan (equally dan equity) menuntut adanya kesetaraan derajat
posisi antara Pemerintah-BPJS Kesehatan-Faskes dalam kerjasama
pemberian JKN. Prinsip keterbukaan (openess) menuntut agar masing-
masing pihak menginformasikan kemampuan dan sumber daya yang
dimiliki, serta standar/keinginan, agar kondisi masing-masing pihak
menjadi jelas. Keterbukaan ada sejak awal dijalinnya kemitraan sampai
berakhirnya kegiatan. Prinsip kemanfaatan bersama (mutual benefit)
menuntut adanya adanya sharing manfaat yang seharusnya atau ingin
diperoleh oleh masing-masing pihak melalui penyelenggaraan kerjasama
pemberiaan JKN. Prinsip tanggung jawab menuntut para pihak yang
bermitra harus bertanggung jawab untuk bersedia melaksanakan dengan
sebaik-baiknya segala yang menjadi bagian melaksanakan dengan
sebaik-baiknya segala yang menjadi bagian tugasnya sesuai dengan
perjanjian.
beberapa hal, yaitu :
1. Dimensi kebijakan
UU No. 20 Tahun 2004 dan UU No.24 Tahun 2011
mengamanatkan lahirnya beberapa peraturan pelaksana sebelum
tahun 2015.
terkait dengan SDM dan infrastruktur.
3. Lemahnya pengawasan oleh DJSN
Kemitraan dalam upaya kesehatan (partnership for health) adalah
kebersamaan dari sejumlah pelaku untuk mencapai tujuan yang sama,
yaitu meningkatkan kesehatan masyarakat yang didasarkan atas
kesepakatan tentang peranan dan prinsip masing-masing pihak.
Kemitraan antara Pemerintah, BPJS Kesehatan dan Faskes harus
dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip sebagai berikut :
1. Kesetaraan (equity), mutual respect, compatible/two way
communication.
yang lain dalam mencapai tujuan yang disepakati.
2. Keterbukaan (opennes)
masing anggota serta berbagai sumber daya yang dimiliki. Semua
itu harus diketahui oleh anggota lain. Keterbukaan ada sejak awal
dijalinnya kemitraan sampai berakhirnya kegiatan. Dengan saling
keterbukaan ini akan menimbulkan saling melengkapi dan saling
membantu diantara golongan (mitra).
goals, complementary skills, synergy, result oriented
Individu, organisasi atau institusi yang telah menjalin kemitraan
memperoleh manfaat dari kemitraan yang terjalin sesuai dengan
kontribusi
berdasarkan hubungan kemitraan yang harmonis. Oleh karena itu setiap
pelaksana JKN harus melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan
33
menunjang pelayanan kesehatan, terutama inovasi yang memanfaatkan
teknologi informatika.
PEMERINTAHAN
Pemerintahan (UU AP) telah disahkan dan mulai berlaku efektif sejak
tanggal 17 Oktober 2014. Semangat dari pembentukan UU AP ini adalah
untuk memberikan jaminan perlindungan hukum dan kepastian hukum
bagi aparat pemerintah dalam mengambil kebijakan.
Tidak dapat dipungkiri adanya UU AP ini telah membawa
perubahan besar dalam manajemen penyelenggaraan pemerintahan,
baik dari aspek sumber daya manusia (SDM) aparatur, kelembagaan
maupun dimensi ketatalaksanaannya. Salah satu perubahan dimaksud
adalah dalam konteks pelaksanaan fungsi pengawasan di birokrasi
pemerintahan, khususnya terkait dengan kedudukan dan peran dari
Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP).
Kedudukan dan peran APIP yang semula berdasarkan Pasal 11
Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian
Intern Pemerintah (PP SPIP), antara lain hanya: (a) Memberikan
keyakinan yang memadai atas ketaatan, efisiensi, dan efektivitas
pencapaian tujuan penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi
Pemerintah; (b) Memberikan peringatan dini dan meningkatkan efektivitas
manajemen risiko dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi
Pemerintah; dan (c) Memelihara dan meningkatkan kualitas tata kelola
penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah; dengan
keluarnya UU AP ini fungsi APIP menjadi bertambah yaitu harus mampu
menilai sebuah keputusan dan/atau tindakan Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan itu apakah termasuk dalam kategori : (1) melampaui
wewenang; (2) mencampuradukkan wewenang; dan/atau (3) bertindak
sewenang-wenang; atau tidak.
“lembaga audit internal biasa” namun sekarang mempunyai kewenangan
layaknya “penegak hukum” di tingkat birokrasi pemerintahan. Peran yang
efektif dari APIP diharapkan dapat menjamin penyelenggaraan
pemerintahan dapat terlaksana secara tertib, efisien dan efektif sesuai
dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan serta
dapat menjadi instrumen penting untuk mewujudkan organisasi yang
bersih dan bebas dari korupsi (clean governance).
APIP yang memiliki fungsi pembinaan seyogyanya dapat mengawal
serta terlibat langsung dalam setiap langkah pelaksanaan kegiatan pada
organisasi sejak tahap perencanaan, pelaksanaan dan monitoring-
evaluasi kegiatan. APIP harus lebih mengedepankan tindakan preventif
daripada represif, artinya APIP diharapkan dapat mencegah sedini
mungkin potensi terjadinya penyimpangan, mal-administrasi maupun
korupsi di birokrasi. Pada hakikatnya APIP dapat menjalankan fungsi
sebagai katalis pertama pencegahan korupsi serta berbagai bentuk
penyimpangan lainnya dari pejabat atau aparat pemerintah yang korup.
Perilaku korup dari pejabat atau aparat pemerintah sendiri semakin
hari semakin beragam. Seperti yang kita ketahui bersama adanya
Operasi Tangkap Tangan (OTT) beberapa waktu lalu di akhir tahun 2016
telah menimbulkan tanda tanya mengapa hal tersebut dapat terjadi,
apakah tidak ada pengawasan internal yang dilakukan sebelumnya, atau
pengawasan yang telah dilakukan kurang, atau apakah standar dari APIP
yang kurang kompeten dalam hal ini. Di dalam Instansi sebesar
Kementerian Perhubungan yang dinilai memiliki APIP profesional dan
kompeten pun ternyata belum mampu terhindar dari praktek korup dari
oknum pejabat atau aparat didalamnya.
Pertanyaan besarnya adalah APIP yang sudah dilengkapi standar
yang baik dan ‘dipersenjatai’ dengan UU AP saja masih bisa terjadi
tindakan korup dari oknum pejabat atau aparat pemerintahnya.
Terkait hal tersebut, Lembaga Administrasi Negara (LAN) cq. Pusat
Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara (PKSHAN) melakukan
kegiatan kajian isu strategis tentang Penguatan Peran APIP Pasca UU
Administrasi Pemerintahan
rangka penguatan APIP pasca UU AP ada beberapa pertanyaan penting
yang diajukan, yaitu :
ideal?
Fakta yang dihadapi saat ini, SDM APIP masih dihadapkan pada
sejumlah tantangan seperti persoalan tumpang tindihnya
pengawasan, hubungan dengan Aparat Penegak Hukum dan
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selaku auditor eksternal,
kurangnya komitmen tindak lanjut atas hasil pengawasan, kurang
jelasnya pembagian tugas antar lembaga pengawasan, serta
minimnya kompetensi yang dimiliki oleh SDM APIP.
2. Bagaimana pengembangan kapasitas (capacity building) SDM
APIP agar lebih efektif dalam mencegah dan memberantas
korupsi?
ini menjadi sangat penting, karena kewenangan APIP yang
teramat besar sepatutnya diiringi dengan posisi kelembagaan
yang dapat men-support pelaksanaan fungsi APIP secara optimal,
obyektif dan profesional.
pengawasan adalah suatu upaya yang sistematis untuk menetapkan
kinerja standar pada perencanaan, untuk merancang sistem umpan balik
informasi, untuk membandingkan kinerja aktual dengan standar yang
telah ditentukan, untuk menetapkan apakah telah terjadi suatu
penyimpangan dan mengukur signifikansi penyimpangan tersebut, serta
untuk mengambil tindakan perbaikan yang diperlukan untuk menjamin
bahwa semua sumber daya organisasi telah digunakan seefektif dan
seefisien mungkin guna mencapai tujuan organisasi. Definisi tersebut
mengacu pada unsur-unsur pokok proses pengawasan.
38
tegaknya sistem pengawasan yang memadai, kecil kemungiknannya
suatu manajemen akan berhasil, meskipun dalam manajemen itu telah
ada perencanaan yang baik tentang tujuan yang ingin dicapai, organisasi
yang kuat, para pelaksana yang cakap, dan motivasi yang bergairah.
Senada dengan Strong dan Smith, Massie (1971) menyatakan
bahwa pengawasan merupakan “pengukur kinerja” yang sedang berjalan
dan memandunya ke depan kearah tujuan yang telah ditentukan. Esensi
pengawasan terletak pada pengecekan kegiatan-kegiatan yang
dilaksanakan dibandingkan dengan hasil yang diinginkan yang telah
ditetapkan dalam proses perencanaan.
Darmawan (1998) menyatakan bahwa pengawasan adalah segenap
kegiatan untuk meyakinkan dan menjamin bahwa pekerjaan-pekerjaan
dilakukan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan, kebijakan-
kebijakan yang telah digariskan dan petunjuk teknis/operasional yang
telah diberikan, dalam rangka pelaksanaan rencana tersebut secara
efektif dan efisien. Pengawasan harus mampu menjadi alat kendali dan
alat ukur terhadap proses dan hasil kerja yang ingin dicapai, menilai
pelaksanaan kegiatan (kinerja) serta mengadakan tindakan perbaikan
dan penyesuaian yang dipandang perlu dan sedini mungkin. Lebih lanjut
disebutkan bahwa, secara langsung pengawasan bertujuan untuk: (1)
menjamin ketepatan pelaksanaan kegiatan agar sesuai dengan rencana,
kebijakan dan petunjuk operasional, serta ketaat-asasan terhadap
peraturan perundang-undangan yang benar-benar mencerminkan rasa
keadilan masyarakat; (2) menjamin kelancaran dan terwujudnya
kepuasan masyarakat atas mutu/nilai barang atau jasa/pelayanan yang
dihasilkan; (3) menyerasikan dan menetapkan koordinasi pelaksanaan
kegiatan yang saling terkait; (4) mencegah pemborosan dan
penyelewengan atau penyalahgunaan wewenang; (5) membina
kepercayaan, penghargaan, dan kepatuhan masyarakat terhadap
kepemimpinan dan pembinaan instansi teknis terkait.
Sedangkan M. Manullang (1983) menyatakan bahwa pengawasan
dapat diartikan sebagai suatu proses untuk menetapkan pekerjaan apa
39
maksud supaya pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan rencana semula.
Selanjutnya disebutkan bahwa tujuan utama dari pengawasan adalah
mengusahakan agar apa yang direncanakan menjadi kenyataan. Untuk
benar-benar merealisasikan tujuan utama tersebut, maka pengawasan
pada taraf pertama bertujuan agar pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan
instruksi yang telah dikeluarkan, dan untuk mengetahui kelemahan-
kelemahan serta kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam pelaksanaan
rencana berdasarkan penemuan-penemuan tersebut dapat diambil
tindakan untuk memperbaikinya baik pada waktu itu ataupun waktu-waktu
yang akan datang.
efektifnya pelaksanaan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan
daerah, Irsan Yani, M.A.Sc. (1998) menyatakan bahwa terdapat konsepsi
pengawasan sebagai berikut:
pengawasan fungsional perlu dilakukan secara berjenjang. Dalam
hal ini aparat pengawasan yang lebih tinggi tingkatnya secara
hierarkis organisatoris melaksanakan tugas yang lebih luas
pendekatannya atau lebih makro wawasannya daripada aparat
pengawasan yang lebih rendah.
Konsepsi ini bertolak dari pemikiran bahwa pengawasan terhadap
suatu unit organisasi barulah dapat dikatakan lengkap apabila
dilakukan oleh aparat pengawasan intern dan ekstern.
3. Konsepsi User’s Oriented
Konsepsi ini berkaitan dengan pemikiran bahwa hasil-hasil
pengawasan haruslah sesuai dengan keperluan penggunanya.
Konsepsi ini berkait dengan konsepsi pengawasan berjenjang
dalam arti bahwa user atau pemakai hasil pengawasan juga
berjenjang tingkatnya. Pejabat atau pihak yang lebih tinggi atau
lebih ekstern berdasarkan pemikiran ini dipandang memerlukan
informasi hasil pengawasan yang lebih makro.
40
pekerjaan Internal (EMMI) dan Internal Mendukung Eksternal (IME).
Konsepsi ini berkaitan dengan usaha menata secara efektif fungsi
berbagai aparat pengawasan sehingga dapat dicapai manfaat yang
optimal. Konsepsi ini menghendaki agar aparat pengawasan
eksternal mendahulukan pemilihan objek pemeriksaan oleh aparat
pengawasan yang lebih internal dan juga berusaha memanfaatkan
hasil-hasil pengawasan aparat yang lebih intern.
Pengawasan sebagai subsistem manajemen pemerintahan perlu
terus dikembangkan dan dimantapkan sebagai alat kendali mutu dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Untuk dapat lebih memberikan
peran yang optimal, maka pengawasan pemerintah daerah harus segera
dilakukan revitalisasi. Revitalisasi pengawasan dimaksudkan sebagai
upaya peningkatan peran dan pemberdayaan agar pengawasan internal
pemerintah daerah lebih efektif, dan penyelenggaraan pengawasan
dilaksanakan secara hemat dan efisien.
Berkaitan dengan revitalisasi pengawasan, R. Soekarsono (1998)
menyatakan bahwa revitalisasi dimaksudkan sebagai upaya
pemberdayaan agar pengawasan lebih efektif, tetapi penyelenggaraan
pengawasan dilaksanakan secara hemat dan efisien. Revitalisasi bukan
dimaksudkan untuk memperbesar organisasi dan menambah jumlah
auditor. Akan tetapi, revitalisasi pengawasan dimaksudkan sebagai
pendelegasian dan pemberdayaan kepada obrik untuk menciptakan dan
menerapkan sistem pengendalian intern dengan lebih baik.
D. Tinjauan Kebijakan Dasar Mengenai APIP
1. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008
tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (PP SPIP)
Dalam PP SPIP dijelaskan bahwa pengawasan intern adalah
seluruh proses kegiatan audit, reviu, pemantauan, evaluasi, dan kegiatan
pengawasan lainnya berupa asistensi, sosialisasi dan konsultasi terhadap
penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi dalam rangka memberikan
keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan sesuai
41
dengan tolok ukur yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien untuk
kepentingan pimpinan dalam mewujudkan kepemerintahan yang baik.19
Berdasarkan ketentuan Pasal 48 PP SPIP, Pengawasan internal
dilaksanakan oleh APIP, yang dimaksud dengan APIP adalah :20
a. BPKP;
melaksanakan pengawasan intern;
keuangan negara atas kegiatan tertentu yang meliputi :21
a. Kegiatan yang bersifat lintas sektoral;
b. Kegiatan kebendaharaan umum negara berdasarkan penetapan
oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara;
c. Kegiatan berdasarkan penugasan.
melaksanakan pengawasan intern melakukan pengawasan terhadap
seluruh kegiatan dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi
kementerian negara/lembaga yang didanai dengan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.22 Sedangkan untuk Inspektorat
Provinsi/Kabupaten/Kota melakukan pengawasan terhadap seluruh
kegiatan dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi satuan kerja
perangkat daerah provinsi/kabupaten/kota yang didanai dengan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah provinsi/kabupaten/kota.23
Audit yang dilakukan oleh APIP terdiri atas : 24
19 Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern, Pasal 1 angka 3. 20 Ibid, Pasal 49. 21 Ibid, ayat (2) 22 Ibid, ayat (4)
23 Ibid, ayat (5) dan (6) 24 Ibid, Pasal 50 ayat (1)
42
dan pelaksanaan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah yang terdiri
atas aspek kehematan, efisiensi, dan efektivitas.25 Audit atas
laporan keuangan bertujuan untuk memberikan opini atas
kewajaran penyajian laporan keuangan sesuai dengan prinsip
akuntansi yang diterima umum sedangkan audit kinerja bertujuan
untuk memberikan simpulan dan rekomendasi atas pengelolaan
instansi pemerintah secara ekonomis, efisien dan efektif.
b. Audit dengan tujuan tertentu.
Sedangkan audit dengan tujuan tertentu mencakup audit yang
tidak termasuk dalam audit kinerja.26 Audit dengan tujuan tertentu
bertujuan untuk memberikan simpulan atas suatu hal yang diaudit.
Yang termasuk dalam kategori ini adalah audit investigatif, audit
terhadap masalah yang menjadi fokus perhatian pimpinan
organisasi dan audit yang bersifat khas.
2. Berdasaran Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang
Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah (PP 79/2005)
penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah proses kegiatan yang
ditujukan untuk menjamin agar pemerintahan daerah berjalan secara
efisien dan efektif sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pemerintah Pusat melaksanakan pengawasan sesuai dengan fungsi dan
kewenangannya, melalui: (a) pemeriksaan dalam rangka berakhirnya
masa jabatan kepala daerah; (b) pemeriksaan berkala atau sewaktu-
waktu maupun pemeriksaan terpadu; (c) pengujian terhadap laporan
berkala dan/atau sewaktu-waktu dari unit/satuan kerja; (d) pengusutan
25 Ibid, ayat (2). 26 Ibid, ayat (3).
43
penyimpangan dan KKN; (e) penilaian atas manfaat dan keberhasilan
kebijakan, pelaksanaan program dan kegiatan; serta (f) monitoring dan
evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah dan pemerintahan
desa. Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah, Inspektorat
Jenderal Departemen melakukan pengawasan terhadap:
a. pelaksanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan;
b. pinjaman dan hibah luar negeri; dan
c. pelaksanaan pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan
daerah sesuai dengan fungsi dan kewenangannya.
Khusus untuk Inspektorat Jenderal Departemen Dalam Negeri
selain mempunyai tugas pengawasan di atas, melakukan juga
pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah Provinsi
dan Kabupaten/Kota. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di
daerah, meliputi:
lain:
meliputi:
2) pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah kabupaten/kota,
meliputi:
(c) tugas pembantuan.
(a) urusan pemerintah yang sudah ada berdasarkan hak asal
usul desa;
kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada
desa;
44
dan pemerintah kabupaten/kota; dan
perundang-undangan diserahkan kepada desa.
dengan 2 (dua) cara sebagai berikut:
1) Pengawasan terhadap Rancangan Peraturan Daerah
(Raperda), yaitu terhadap Raperda yang mengatur pajak
daerah, retribusi daerah, APBD, dan RUTR sebelum disahkan
oleh kepala daerah terlebih dahulu dievaluasi oleh Menteri
Dalam Negeri untuk Raperda provinsi, dan oleh Gubernur
terhadap Raperda kabupaten/kota. Mekanisme ini dilakukan
agar pengaturan tentang hal-hal tersebut dapat mencapai
daya guna dan hasil guna yang optimal;
2) Selain yang termasuk dalam angka 1) di atas, pengawasan
terhadap setiap Perda wajib disampaikan kepada Menteri
Dalam Negeri untuk provinsi dan Gubernur untuk
kabupaten/kota, dalam rangka memperoleh klarifikasi.
Terhadap Perda yang bertentangan dengan kepentingan
umum dan peraturan yang lebih tinggi dapat dibatalkan sesuai
mekanisme yang berlaku.
c. pengawasan DPRD.
daerah yang dilakukan oleh APIP adalah sebagaimana terlihat pada
gambar di bawah ini.
3. Berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan (UU AP)
strategis dalam rangka pencegahan dan pemberantasan korupsi, yaitu
melakukan pengawasan larangan penyalahgunaan wewenang yang
dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan. APIP harus
mampu menilai apakah keputusan dan/atau tindakan Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan itu masuk dalam kategori berikut:27
1. melampaui wewenang;
3. bertindak sewenang-wenang.
27 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Pasal 17 ayat (2).
Pemeriksaaan dalam rangka berakhirnya
masa jabatan kepala daerah
Pemeriksaan berkala atau sewaktu-waktu
sewaktu-waktu unit/satuan kerja
kebijakan pelaksanaan program dan
pemerintahan desa
dengan melampaui Wewenang (melampaui masa jabatan atau batas
waktu berlakunya wewenang; melampaui batas wilayah berlakunya
wewenang; dan/atau bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan) serta Keputusan dan/atau Tindakan yang
ditetapkan dan/atau dilakukan secara sewenang-wenang (tanpa dasar
Kewenangan; dan/atau bertentangan dengan Putusan Pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap) tidak sah apabila telah diuji dan ada
Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.28
Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan
dengan mencampuradukkan Wewenang (di luar cakupan bidang atau
materi wewenang yang diberikan; dan/atau bertentangan dengan tujuan
wewenang yang diberikan) dapat dibatalkan apabila telah diuji dan ada
Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. 29
Sedangkan keputusan dan/atau tindakan aparatur pemerintahan
masuk dalam kategori bertindak sewenang-wenang, jika tindakan
tersebut dilakukan dalam hal :30
1. tanpa dasar Kewenangan; dan/atau
2. bertentangan dengan Putusan Pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap.
mengklasifikasikan hasil pengawasan atas keputusan dan/atau tindakan
tersebut dalam jenis :31
1. tidak terdapat kesalahan;
dilakukan tindak lanjut dalam bentuk penyempurnaan administrasi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
3. terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian
keuangan negara. Jika masuk dalam klasifikasi ini, perlu dilakukan
28 Ibid, Pasal 19 ayat (1) 29 Ibid, ayat (2) 30 Ibid, ayat (3) 31 Ibid, Pasal 20 ayat (2)
47
pengawasan APIP. Pengembalian kerugian negara ini dibebankan
kepada Badan Pemerintahan, apabila kesalahan administratif
terjadi bukan karena adanya unsur penyalahgunaan wewenang.
Sedangkan pengembalian kerugian negara tersebut dibebankan
kepada Pejabat Pemerintahan, apabila kesalahan administratif
terjadi karena adanya unsur penyalahgunaan wewenang.
4. Berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (UU Pemda)
dalam Pasal 385 UU Pemda yakni sebagai berikut:
Pasal 385
penyimpangan yang dilakukan oleh aparatur sipil negara di
instansi Daerah kepada Aparat Pengawas Internal Pemerintah
dan/atau aparat penegak hukum.
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Aparat penegak hukum melakukan pemeriksaan atas pengaduan
yang disampaikan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), setelah terlebih dahulu berkoodinasi dengan Aparat
Pengawas Internal Pemerintah atau lembaga pemerintah
nonkementerian yang membidangi pengawasan.
administratif, proses lebih lanjut diserahkan kepada Aparat
Pengawas Internal Pemerintah.
48
hukum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 20 UU AP dan Pasal 385 UU
Pemda, maka APIP mempunyai kewenangan untuk melakukan
pemeriksaan atas penyimpangan yang dilakukan oleh aparatur sipil
negara, termasuk pegawai negeri sipil. Sedangkan bagi aparat penegak
hukum, sebelum melakukan pemeriksaan atas penyimpangan
dimaksud, harus berkoordinasi terlebih dahulu dengan APIP.
E. Identifikasi APIP
peraturan perundang-undangan yang hingga saat ini masih berlaku, yaitu:
1. Berdasarkan ketentuan Pasal 49 Peraturan Pemerintah Nomor 60
Tahun 2008 tentang Sistem Pengawasan Intern Pemerintah,
dinyatakan bahwa “Aparat pengawasan intern pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) terdiri atas:
a. BPKP;
melaksanakan pengawasan intern;
Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah, dinyatakan bahwa “Aparat Pengawas Intern
Pemerintah atau pengawas intern pada institusi lain yang
selanjutnya disebut APIP adalah aparat yang melakukan
pengawasan melalui audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan
kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan
fungsi organisasi.
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut
49
Pemerintah adalah inspektorat jenderal kementerian, unit
pengawasan lembaga pemerintah nonkementerian, inspektorat
provinsi, dan inspektorat kabupaten/kota.”
yang bersih dan bebas dari korupsi (clean governance). Dengan fungsi
pembinaan yang melekat pada APIP, APIP dapat mengawal serta terlibat
langsung dalam setiap langkah pelaksanaan kegiatan pada organisasi
sejak tahap perencanaan, pelaksanaan dan monitoring-evaluasi
kegiatan. APIP harus lebih mengedepankan tindakan preventif daripada
represif, artinya APIP diharapkan dapat mencegah sedini mungkin
potensi terjadinya penyimpangan, mal-administrasi maupun korupsi di
birokrasi. APIP seyogyanya dapat menjalankan fungsi sebagai katalis
pertama pencegahan korupsi serta berbagai bentuk penyimpangan
lainnya.
sangat mendasar. Tidak hanya dalam aspek administratif saja, namun
APIP juga berwenang untuk melakukan audit yang masuk ke ranah
perhitungan keuangan negara dan termasuk pula mengkaji ada tidaknya
penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan tindakan dan/atau
kebijakan Pejabat Pemerintahan. SDM APIP dituntut untuk dapat
menghasilkan kesimpulan apakah kesalahan yang terjadi masuk ranah
pidana atau hanya permasalahan administratif saja.
Berdasarkan penjelasan terkait pengawasan internal di atas maka
dapat dikatakan bahwa desain kewenangan APIP berdasarkan UU AP
dan UU Pemda telah merubah desain kewenangan APIP sebagaimana
diatur dalam PP 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern
Pemerintah (PP SPIP) dan PP 79 Tahun 2005 tentang Pedoman
Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
APIP semula hanya merupakan “lembaga audit internal biasa” namun
50
dalam pidatonya pada tanggal 24 Agustus 2015 di Istana Bogor
menyatakan bahwa :
oleh APIP sesuai UU AP;
b. Tindakan administrasi pemerintahan terbuka juga dilakukan tuntutan
secara perdata, tidak harus dipidanakan, sehingga hanya cukup
melakukan pengembalian;
c. Aparat dalam melihat kerugian negara harus konkret bahwa benar-
benar atas niat untuk mencuri;
d. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) jika melihat ada indikasi
kesalahan administrasi keuangan negara, diberi waktu 60 (enam
puluh) hari untuk perbaikan. Dalam masa perbaikan tersebut, Aparat
Kepolisian, Kejaksaan, dan APH tidak boleh intervensi; dan
e. Tidak boleh melakukan ekspose tersangka sebelum dilakukan
penuntutan.
Undang Administrasi Pemerintahan”, Agus Raharjo selaku Ketua KPK
menyatakan bahwa Inspektorat atau APIP sebaiknya independent,
sehingga leluasa dalam melakukan pengawasan, tidak bergantung pada
kedudukan tempat inspektorat bekerja. Berkaitan dengan konsep hukum
administrasi negara, Dian Puji Simatupang selaku pakar hukum
keuangan negara menyatakan bahwa peran dari Inspektorat Jenderal
penting dalam melakukan pencegahan penyalahgunaan wewenang.
Dalam sistem yang baik, perlu adanya kementerian yang melakukan
perencanaan dan kementerian yang bertugas melakukan pengawasan.
51
Berdasarkan UU Pemda, masyarakat dapat menyampaikan
pengaduan atas dugaan penyimpangan yang dilakukan oleh Aparatur
Sipil Negara (ASN) di instansi Daerah kepada APIP dan/atau Aparat
Penegak Hukum (APH). APIP wajib melakukan pemeriksaan atas dugaan
penyimpangan yang diadukan oleh masyarakat tersebut.
Kata wajib disini, bukan hanya bermakna “keharusan” untuk
menindaklanjuti, namun juga membawa konsekuensi adanya
perlindungan terhadap pelapor (justice blower system) serta “keharusan”
memberikan informasi bagi masyarakat pelapor mengenai progress
pengaduan yang disampaikan.
lebih lanjut diserahkan kepada APIP. Sedangkan jika ditemukan bukti
adanya penyimpangan yang bersifat pidana, proses lebih lanjut
diserahkan kepada APH sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan. APH melakukan pemeriksaan atas pengaduan yang
disampaikan oleh masyarakat, setelah terlebih dahulu berkoodinasi
dengan APIP atau lembaga pemerintah nonkementerian yang
membidangi pengawasan.
tersebut, jelas sekali kewenangan APIP sangatlah besar. APH harus
menghormati dan “kulo nuwun” dulu kepada APIP apabila akan
memproses pengaduan masyarakat atas penyimpangan yang diduga
dilakukan oleh ASN, termasuk Pegawai Negeri Sipil di dalamnya. Namun
dengan struktur kelembagaan APIP yang merupakan organ internal
menimbulkan semangat jiwa korsa yang tinggi serta budaya ewuh
pekewuh. Hal ini ditengarai menjadi kendala psikologis bagi APIP untuk
bekerja secara optimal, sehingga jarang di dengar temuan korupsi di
sebuah intansi yang murni berasal dari temuan APIP.
3. Pengembangan Kapasitas SDM APIP
Dengan berubahnya desain kewenangan APIP pasca UU AP maka
diperlukan pengembangan kapasitas SDM APIP melalui peningkatan
52
atas : 32
mengenai bidang yang menjadi tugas pokok organisasi. Sesuai
Pasal 69 ayat (3) UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara, kompetensi teknis yang diukur dari tingkat dan spesialisasi
pendidikan, pelatihan teknis fungsional, dan pengalaman bekerja
secara teknis.
manajerial yang dibutuhkan dalam menangani tugas organisasi.
Kompetensi manajerial meliputi kemampuan menerapkan konsep
dan teknik perencanaan, pengorganisasian, pengendalian dan
evaluasi kinerja unit organisasi, juga kemampuan dalam
melaksanakan prinsip good governance dalam manajemen
pemerintahan dan pembangunan termasuk bagaimana
mendayagunakan kemanfaatan sumberdaya pembangunan untuk
mendukung kelancaran pelaksanaan tugas.
pelaksanaan tugas pokoknya. Kompetensi sosial dapat terlihat di
lingkungan internal seperti memotivasi SDM dan atau peran serta
masyarakat guna meningkatkan produktivitas kerja, atau yang
berkaitan dengan lingkungan eksternal seperti melaksanakan pola
kemitraan, kolaborasi dan pengembangan jaringan kerja dengan
berbagai lembaga dalam rangka meningkatkan citra dan kinerja
organisasi, termasuk bagaimana menunjukkan kepekaan terhadap
hak asasi manusia, nilai-nilai sosial budaya dan sikap tanggap
terhadap aspirasi dan dinamika masyarakat
d. Kompetensi intelektual / Strategik (intellectual / strategic
competence) yaitu kemampuan untuk berpikir secara strategic
dengan visi jauh ke depan. Kompetensi intelektual ini meliputi
32 Sistem Administrasi Negara Kesatuan Repubik Idonesia. LAN: Jakarta, 2003.
53
mencapai tujuan organisasi sebagai bagian integral dari
pembangunan Nasional, merumuskan dan memberi masukan untuk
pemecahan masalah dan pengambilan keputusan yang logis dan
sistematis, juga kemampuan dalam hal memahami paradigma
pembangunan yang relevan dalam upaya mewujudkan good
governance dan mencapai tujuan berbangsa dan bernegara, serta
kemampuan dalam menjelaskan kedudukan, tugas, fungsi
organisasi instansi dalam hubungannya dengan Sistem
Administrasi Negara Republik Indonesia.
tentang Standar Audit APIP menyatakan bahwa kompetensi yang harus
dimiliki oleh pejabat pengawas/auditor SDM APIP meliputi kompetensi
teknis, kompetensi intelektual, dan kompetensi etik. Kompetensi teknis
yang harus dimiliki auditor meliputi auditing, akuntansi, administrasi
pemerintahan, dan komunikasi. Dalam hal kompetensi teknis, di samping
wajib memiliki keahlian tentang Standar Audit, kebijakan, prosedur dan
praktik-praktik audit, auditor harus memiliki keahlian yang memadai
tentang lingkungan pemerintahan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi
unit yang dilayani oleh APIP. Dalam hal auditor melakukan audit terhadap
sistem keuangan, catatan akuntansi dan laporan keuangan, maka auditor
wajib mempunyai keahlian atau mendapatkan pelatihan di bidang
akuntansi sektor publik dan ilmu-ilmu lainnya yang terkait dengan
akuntabilitas auditi. Sedangkan dalam hal kompetensi intelektual, Auditor
harus menggunakan keahlian profesionalnya dengan cermat dan
seksama (due professional care) dan secara hati-hati (prudent) dalam
setiap penugasan. Due professional care dapat diterapkan dalam
pertimbangan profesional (professional judgement), meskipun dapat saja
terjadi penarikan kesimpulan yang tidak tepat ketika audit sudah
dilakukan dengan seksama. Adapun dalam hal kompetensi etik, Auditor
harus mematuhi Kode Etik yang ditetapkan. Pelaksanaan audit harus
mengacu kepada Standar Audit, dan auditor wajib mematuhi Kode Etik
54
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Standar Audit yang
telah ditetapkan.
pergeseran yang luar biasa dalam penegakan sanksi pidana. Trend yang
terjadi adalah kasus administrasi berubah menjadi kasus yang dapat
dipidanakan. Dalam rangka merespon UU Administrasi Pemerintahan,
UU Pemerintahan Daerah dan arahan presiden terkait dengan peran
APIP, Ardan Adiperdana selaku Kepala Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan (BPKP) menyatakan bahwa instansinya sudah
mencoba melakukan pelatihan Audit Investigatif, Audit PKKN dan
Pemberian Keterangan Ahli agar auditor bisa mengidentifikasi mana yang
bersifat administrasi mana yang bersifat pidana.33 BPKP juga telah
melakukan sertifikasi auditor APIP di seluruh Indonesia sejak tahun 2013-
2016 sebanyak 20.433 dari target sebesar 18.427 (per Mei 2016). Selain
itu BPKP menyelenggarakan program pembelajaran elektronik (e-
learning) yang memungkinkan calon auditor mengikuti pelatihan secara
on-line real time mulai Mei 2014. Terkait pemberantasan korupsi, terdapat
peran-peran yang dilakukan oleh APIP, perlu adanya SOP yang
terintegrasi, karena penanganan pemberantasan korupsi sejak
menemukan PMH sampai dengan penghitungan kerugian negara
melibatkan beberapa instansi sehingga diperlukan kesepakatan SOP
antar instansi tersebut.
dilakukan oleh APIP harus dilaksanakan sesuai dengan amanat pasal 20
UU AP, yaitu :
dalam bentuk penyempurnaan administrasi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
keuangan negara dilakukan pengembalian kerugian keuangan
negara paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak
diputuskan dan diterbitkannya hasil pengawasan.
33 Disampaikan pada seminar “Penguatan Peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) Dalam
Pemberantasan Korupsi Pasca Undang-Undang Administrasi Pemerintahan”
55
a. Meningkatkan kualitasnya dalam menyeldiki mana ranah hukum
administrasi dan hukum pidana;
menindaklanjuti laporan penyalahgunaan wewenang;
melawan hukum perdata, hukum administrasi negara, hukum
pidana serta penyelesaiannya menurut sistem hukum dan peraturan
perundang-undangan.
Lembaga Administrasi Negara (LAN) cq. Pusat Kajian Sistem dan Hukum
Administrasi Negara (PKSHAN) merekomendasikan beberapa hal
sebagai berikut untuk memperkuat kedudukan dan peran APIP pasca
pemberlakukan UU AP.
melalui :
Pengawasan Internal yang sudah masuk dalam rencana aksi
Prolegnas tahun 2016. Didalam proses pembentukan Undang-
Undang ini termasuk didalamnya menyempurnakan Sistem
Pengendalian Intern Pemerintah yang saat ini diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem
Pengendalian Intern Pemerintah. Penyempurnaan dimaksud
meliputi antara lain terkait dengan pengertian dan identifikasi APIP,
manajemen SDM APIP, serta mekanisme kerja APIP di tingkat
nasional yang harus sinergi dengan APIP di tingkat lokal.
b. Menempatkan APIP di internal instansi pemerintahan, namun
secara fungsional pelaksanaan tugas dan fungsinya
dikoordinasikan oleh BPKP. Pada masa mendatang, secara
56
pelaksanaan fungsi-fungsi pengawasan instansi pemerintah,
BPKP akan mendistribusikan auditor ke masing-masing instansi
tersebut. Para auditor dimaksud, dalam pelaksanaan tugasnya
bertanggungjawab langsung kepada Kepala BPKP.
2. Perlu peningkatan kompetensi SDM APIP diluar kompetensi
teknis di bidang auditif
a. Kompetensi teknis hukum, khususnya untuk mencermati suatu
keputusan dan/atau tindakan Aparatur Pemerintahan masuk
dalam klasifikasi ranah administrasi atau ranah pidana. Termasuk
dalam hal ini adalah kompetensi untuk melakukan “penyelidikan”
maupun “penyidikan” atas dugaan penyalahgunaan wewenang
yang dilaporkan oleh masyarakat;
Untuk mendukung peningkatan komptensi tersebut, Lembaga
Administrasi Negara sebagai instansi yang bertanggung jawab
dalam bidang pengkajian serta pendidikan dan pelatihan (Diklat)
ASN berdasarkan UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara, perlu menyusun Diklat Teknis bagi Auditor berkoordinasi
dengan BPKP.
PUBLIK
pelayanan publik yang merupakan amanat Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bahwa membangun
kepercayaan masyarakat atas pelayanan publik yang dilakukan
penyelenggara pelayanan publik merupakan kegiatan yang harus
dilakukan seiring dengan harapan dan tuntutan seluruh warga negara dan
penduduk tentang peningkatan pelayanan publik.
Amanat Presiden Joko Widodo dalam Nawacita poin kedua
menyatakan bahwa Pemerintah tidak boleh absen dengan harus
membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis
dan terpercaya. Pemerintah dituntut untuk dapat melaksanakan perannya
sebagai penyelenggara pelayanan publik yang berkualitas serta efektif
dan efisien karena pelayanan publik adalah tolak ukur paling nyata
terhadap kinerja pemerintah. Masyarakat dapat menilai langsung kinerja
pemerintah berdasarkan pelayanan yang dirasakannya.
Pelayanan publik yang prima (cepat, mudah, pasti, murah dan
akuntabel) merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh
pemerintah kepada seluruh warga negara tanpa terkecuali (non
diskriminatif). Namun kenyataannya yang terjadi seringkali muncul
berbagai masalah dalam pelayanan publik pemerintah terhadap
masyarakat, diantaranya pelayanan yang kurang ramah, kaku dan
berbelit-belit, pelayanan yang tidak sesuai dengan standar operasional
prosedur (SOP). Artinya pelayanan publik yang ada saat ini serba penuh
ketidakpastian karena prosedur pelayanan tidak pernah mengatur secara
jelas kewajiban dari penyelenggara pelayanan (dalam hal ini aparat
58
(masyarakat). Tidak hanya itu, bahkan ada oknum aparat pemerintah
yang mencoba memanfaatkan posisinya untuk mendapatkan penghasilan
tambahan, mereka membuat masyarakat untuk membayar uang
tambahan dengan dalih untuk memperlancar dan mempercepat segala
urusan. Patut menjadi perhatian bersama adalah bahwa selama ini celah
untuk praktik pungli terbuka lebar dan hidup di dalam masyarakat.
Ketidakpastian dan lemahnya posisi masyarakat dalam pelayanan publik
menjadikan praktek Pungutan Liar (Pungli) tetap menjamur hingga saat
ini.
perusahaan, dan sebagainya) tanpa menurut peraturan yang lazim. Pada
hakekatnya, pungli merupakan pola transaksional antara penyelenggara
pelayanan publik (aparat pemerintah/penyelenggara Negara) dengan
masyarakat yang dilakukan secara melawan hukum. Pungli telah
menghambat upaya peningkatan pelayanan publik yang baik, cepat dan
profesional yang merupakan bagian dari agenda RB.
Operasi Tangkap Tangkap (OTT) yang melibatkan oknum Pegawai
Negeri Sipil (PNS) Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian
Perhubungan, pegawai Pelindo I, Pelindo III serta tertangkapnya pejabat
pemeriksa bea cukai pelabuhan Tanjung Mas mencerminkan masih
maraknya praktik Pungli di Indonesia. Data penelitian Indonesian
Corruption Watch (ICW), pada kurun waktu 2010 sd 2015, menunjukan
beberapa sektor menjadi ranah Pungli yang paling banyak dilaporkan.
Fenomena Pungli semakin meneguhkan bahwa RB di instansi
pemerintah, masih jauh dari harapan. Pemenuhan 8 (delapan) area
perubahan RB yang dilakukan oleh instansi pemerintah, cenderung untuk
memenuhi syarat formal semata. Perbaikan penghasilan (remunerasi)
bagi PNS (aparat pemerintah) sebagai salah satu “output nyata” RB,
belum berdampak signifikan dalam transformasi pelayanan publik.
59
Administrasi Negara (PKSHAN) memandang perlu melakukan kajian
yang bertujuan untuk mengidentifikasi alternatif strategi pemberantasan
Pungli yang dapat dilakukan oleh Pemerintah dalam rangka mencapai
nawacita poin kedua dan reformasi birokrasi di bidang pelayanan publik.
B. Pemahaman Pelayanan Publik
1. Pengertian Pelayanan Publik
dikemukakan oleh para ahli :
yang tersedia untuk masyarakat, baik secara umum (seperti di
museum) atau secara khusus (seperti di restoran makanan).34
b. Lewis dan Gilman mendefinisikan pelayanan publik sebagai
kepercayaan publik. Warga negara berharap pelayanan publik
dapat melayani dengan kejujuran dan pengelolaan sumber
penghasilan secara tepat, dan dapat dipertanggungjawabkan
kepada publik.35 Pelayanan publik yang adil dan dapat
dipertanggung-jawabkan menghasilkan kepercayaan publik.
Dibutuhkan etika pelayanan publik sebagai pilar dan kepercayaan
publik sebagai dasar untuk mewujudkan pemerintah yang baik.36
34 Gabriel Joseph Roth, The Privat Provision of Public Service in Developing Country (Washington DC : Oxford University Press, 1926), hal.1. 35 Carol W. Lewis and Stuart C. Gilman, The Ethics Challenge in Public Service: A Problem-Solving Guide, Market Street (San Fransisco: Jossey-Bass, 2005), hal. 55. 36 Ibid
60
faktor material melalui sistem, prosedur dan metode tertentu dalam
usaha memenuhi kepentingan orang lain sesuai dengan haknya.37
Pemberian pelayanan publik oleh aparatur pemerintah kepada
masyarakat sebenarnya merupakan implikasi dari fungsi aparat
negara sebagai sebagai pelayan masyarakat.38
d. Sinambela menyatakan bahwa pelayanan publik adalah sebagai
setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sejumlah
manusia yang memiliki setiap kegiatan yang menguntungkan dalam
suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan
meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik.39
Pengertian pelayanan publik sendiri dapat kita peroleh di dalam
Keputusan MENPAN No. 63/KEP/M.PAN/7/2003, dimana yang dimaksud
dengan pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang
dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya
pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan, maupun dalam rangka
pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Mengikuti
definisi d