kajian daerah rawan tsunami

151
KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH Oleh : Agus Supiyan C64104017 Skripsi PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Upload: muhammad-murtiza-shidqi

Post on 01-Dec-2015

245 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP,

JAWA TENGAH

Oleh :

Agus Supiyan C64104017

Skripsi

PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

ii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul: KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum pernah dilakukan sebelumnya oleh pihak lain baik di perguruan tinggi IPB maupun perguruan tinggi yang lain. Data yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini merupakan data yang diperoleh dari hasil penelitian dan pengamatan yang telah dilakukan. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, September 2008 Agus Supiyan C64104017

iii

RINGKASAN

AGUS SUPIYAN. Kajian Daerah Rawan Tsunami Berdasarkan Citra Satelit ALOS di Cilacap, Jawa Tengah. Dibimbing oleh VINCENTIUS P. SIREGAR dan ITA CAROLITA.

Bencana tsunami yang terjadi pada tanggal 17 Juli 2006 di Pantai Pangandaran melanda wilayah daratan Pulau Jawa termasuk daerah pesisir Cilacap yang menyebabkan kerugian baik secara material maupun non material yang sangat besar. Hal ini disebabkan karena Pantai Cilacap yang dekat dengan lempengan tektonik yang terus selalu bergerak. Penelitian ini dilakukan sebagai simulasi serta prediksi area limpasan tsunami disekitar pesisir Pantai Kabupaten Cilacap berdasarkan analisis penginderaan jauh dengan metode integrasi pemodelan tsunami dengan data ALOS (Advanced Land Observing Satellite).

ALOS adalah satelit pemantau lingkungan yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pemantauan bencana alam dan memiliki resolusi spasial yang tinggi dan bersifat stereo. Sensor PRISM (Panchromatic Remote-Sensing Intsrument for Stereo Mapping) adalah sensor optis yang mempunyai kemampuan untuk menghasilkan citra stereo yang dapat diproses lebih lanjut untuk menghasilkan DEM.

Saat ini kajian DEM digunakan untuk menghasilkan berbagai informasi, seperti : peta kontur, kemiringan lahan dan animasi 3D. Informasi tersebut sangat diperlukan untuk mendukung keberhasilan program kegiatan pemetaan lahan dan manajemen bencana tsunami. Digital Elevation Model (DEM) yang digunakan pada penelitian ini untuk menentukan daerah rawan tsunami di Cilacap, Jawa Tengah berdasarkan kondisi topografinya.

Penentuan daerah rawan tsunami berdasarkan penggunaan lahannya diperoleh dengan cara penggabungan (overlay) antara model tsunami dengan peta penutupan/penggunaan lahan Kabupaten Cilacap yang berasal dari citra ALOS. Penggunaan metode pansharpan adalah cara untuk meningkatkan informasi pengkelasan yang lebih banyak dan akurat .

Model Tsunami Universitas Tohoku menggunakan data DEM sebagai salah satu faktor yang menentukan seberapa jauh tsunami dapat menjangkau daratan. Selain DEM, faktor batimteri, serta kekuatan gempa turut mempengaruhi tinggi dan limpasan tsunami yang dihasilkan. Pemilihan skenario gempa yang digunakan model tsunami ini yaitu 7.7 Mw, 8.7 Mw, serta 8.9 Mw bertujuan untuk mengkaji seberapa besar kerusakan yang ditimbulkan pada tiap skenario gempanya. Tiga skenario gempa yang dapat menghasilkan tsunami yaitu 7.7 Mw, 8.7 Mw, serta 8.9 Mw menggenangi beberapa desa pesisir di Kabupten Cilacap. Desa Tegal Kamulyan adalah Desa rawan tsunami dengan tingkat kerusakan yang paling besar yaitu 7.87 ha pada skala gempa 7.7 Mw, 120.914 ha pada skala gempa 8.7 Mw, dan 142.513 ha pada skala gempa 8.9 Mw. Hal ini disebabkan landainya topografi dan tipe penggunaan lahan yang padat pemukiman dibandingkan dengan desa lain yang terkena limpasan tsunami.

KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP,

JAWA TENGAH

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor

Oleh :

Agus Supiyan C64104017

PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

SKRIPSI

Judul Skripsi : KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH

Nama Mahasiswa : Agus Supiyan Nomor Pokok : C64104017

Disetujui, Dosen pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA Ir. Ita Carolita, M.Si NIP. 131 471 372 NIP. 300 001 380

Mengetahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP. 131 578 799

Tanggal lulus : 12 September 2008

vi

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur pada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan

rahmat dan karunia, yang selalu membimbing selangkah demi selangkah sehingga

skripsi dengan judul ”Kajian Daerah Rawan Bencana tsunami Berdasarkan

Citra Satelit ALOS di Kabupaten Cilacap, JawaTengah” dapat terselesaikan.

Skripsi ini dibuat agar dapat mengkaji daerah rawan tsunami di Pantai

Selatan Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah berdasarkan tiga skenario gempa.

Penentuan daerah rawan tsunami melalui integrasi antara data penginderaan jauh

yaitu ALOS dengan model tsunami Tohoku berdasarkan area limpasannya

(inundation).

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr.Ir.

Vincentius P. Siregar, DEA dan Ir. Ita Carolita, M. Si selaku komisi pembimbing

serta Ir. Aris Subarkah, MT selaku pembimbing lapangan. JAXA dan LAPAN

yang telah memberikan izin dalam hal penggunaan data. Semua pihak yang telah

memberi masukan, dan membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat berguna bagi pihak – pihak yang

berkepentingan, dan dapat diimplementasikan sesuai dengan apa yang telah

direncanakan.

Bogor, September 2008

vii

UCAPAN TERIMA KASIH

Skripsi ini tidak lepas dari bantuan banyak pihak yang membimbing dan

mendorong serta memberikan dukungan pada penulis untuk dapat

menyelesaikannya, oleh karenanya penulis ucapkan terima kasih kepada :

1. Allah SWT, atas karunia dan rahmat Nya menuntun setiap hamba Nya ke

jalan kebenaran.

2. Nabi Muhammad SAW, suri tauladan bagi saya dan kita sebagai umatNya.

3. Dosen pembimbing pembimbing skripsi, Dr.Ir. Vincentius P. Siregar,

DEA dan Ir. Ita Carolita, M.Si, atas segala bantuan dan bimbingan

sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

4. Dosen pembimbing lapang, Ir. Aris Subarkah, M.T, atas segala bimbingan

dan arahan pengolahan di bidang tsunami modelling sehingga

terselesaikannya skripsi ini..

5. Pihak BMG, Indra Gunawan S.Si, yang telah banyak memberi masukan

dan bimbingan.

6. Semua anggota keluarga, Ayahanda Sumarna dan Ibunda Aminah, Ela,

Asep, Irma, dan anggota keluarga lain yang selalu mendoakan saya .

7. Sahabat- sahabatku : Guntur dan Dody (P2b), Imam (Ra), Bayu (Al), Dion

(Mil), Asep (Men) dan Budi yang selalu menjadi bagian dalam cerita

hidup penulis.

8. Seorang wanita yang akan selalu dalam mata, pikiran, dan hati penulis.

9. Teman-teman ITK 41 yang telah memberi semangat dan dukungan.

12. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini.

Penulis

viii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ................................................................................... x

DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xi

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xiv

1. PENDAHULUAN .............................................................................. 1 1.1 Latar belakang ........................................................................... 1 1.2 Tujuan ........................................................................................ 2

2. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 3 2.1 Kondisi umum lokasi penelitian ................................................. 3 2.2 Definisi dan batasan wilayah pesisir ........................................... 5 2.3 Gelombang tsunami dan Pembangkitnya ..................................... 7

2.3.1. Pengertian dan karakteristik gelombang tsunami ……….... 7 2.3.2. Faktor-faktor penyebab tsunami ...................................... 9 2.3.3. Pembangkit tsunami ......................................................... 13

2.4 Pemodelan gelombang tsunami .................................................. 14 2.4.1. Persamaan penjalaran gelombang tsunami ....................... 16 2.4.2. Persamaan kontinuitas ................................................... 17 2.4.3. Deformasi dasar Laut ..................................................... 17

2.5 Faktor-faktor kerawanan tsunami ............................................... 18 2.5.1. Pengertian dan karakteristik citra ALOS ......................... 19 2.5.2. Digital Elevation Model (DEM) ...................................... 22 2.5.3. Metode pansharpan ALOS .............................................. 24 2.5.4. Penutupan/penggunaan lahan .......................................... 26

3. BAHAN DAN METODE ....................................................................... 31 3.1 Waktu dan lokasi penelitian ......................................................... 31 3.2 Alat dan bahan .............................................................................. 32 3.2.1 Alat ..................................................................................... 32 3.2.2 Bahan ................................................................................. 33 3.3 Metode penelitian .......................................................................... 33

3.3.1 Pengolahan citra awal ..................................................... 34 3.3.2 Penurunan data elevation model ..................................... 34 3.3.3 Pengolahan pansharpan ALOS ...................................... 39 3.3.4 Pengolahan penutupan/penggunaan lahan ...................... 39

3.4 Pengolahan Pemodelan Tsunami ................................................... 41 3.4.1 Pre-processing (pengolahan awal) ................................... 43 3.4.2 Processing (pacu model) ................................................. 47 3.4.3 Post-processing (interpretasi) .......................................... 50

3.5 Integrasi model dan citra ................................................................ 51

ix

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................... 54 4.1 Digital Elevation Model (DEM) ...................................................... 54

4.2 Pengukuran ketinggian dari citra ALOS................................................ 57 4.3 Pansharpan ALOS ........................................................................... 64 4.4 Peta penutupan/penggunaan lahan ................................................... 67

4.5 Tsunami modeling ............................................................................. 70 4.5.1 Area simulasi dan batimetri .............................................. 70

4.5.2 Sumber gempa ................................................................... 75 4.5.3 Area genangan tsunami ...................................................... 77 4.6 Ketinggian tsunami (run-up tsunami) ................................................ 83

4.7 Integrasi (overlay) data penginderaan jauh dengan model tsunami....... 89 4.7.1 Limpasan tsunami dan DEM .............................................. 89 4.7.2 Limpasan tsunami pada Land Use ..................................... 93 4.7.3 Limpasan tsunami di desa/kecamatan ................................ 99

4.8 Penentuan daerah rawan tsunami Kabupaten Cilacap ...................... 107

5. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 112

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 114

LAMPIRAN ......................................................................................... 117

RIWAYAT HDUP ................................................................................. 137

x

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Keterangan umum ALOS .............................................................. 20

2. Keterangan umum sensor PRISM ................................................. 20

3. Keterangan umum AVNIR ............................................................. 21

4. Keterangan umum PALSAR ......................................................... 22

5. Ukuran minimum unit penggunaan lahan ..................................... 28

6 Informasi sensor penurunan DEM ALOS ...................................... 38

7. Parameter triangulasi DEM ........................................................... 38

8. Posisi pengukuran topografi (survey LAPAN dan BPPT) .............. 56

9. Perbandingan topografi survey lapangan, ALOS dan SRTM ........... 62

10. Data statistik perbandingan topografi ............................................... 62

11. Area (domain) topografi dan area batimetri ................................... 71

12. Parameter gempa ............................................................................. 75

13. Luasan limpasan tsunami (7.7 SM) pada kelas topografi (ha) ........ 90

14. Luasan limpasan tsunami (8.9 SM) pada kelas topografi (ha) ........ 91

15. Luasan limpasan tsunami (8.7 SM) pada kelas topografi (ha) ....... 92

16. Luasan area limpasan tsunami (7.7 SM) dan pada tipe penggunaan lahan (ha) ......................................................................................... 94 17. Luasan area limpasan tsunami (8.9 SM) dan pada tipe penggunaan lahan (ha) ........................................................................................ 96 18. Luasan area limpasan tsunami (8.7 SM) dan pada tipe penggunaan lahan (ha) ........................................................................................ 98 19. Area limpasan tsunami (7.7 SM) pada Desa/Kecamatan (ha) ........ 99

20. Area Limpasan tsunami (8.9 SM) pada Desa/Kecamatan (ha) ....... 103

21. Area Limpasan tsunami (8.7 SM) pada Desa/Kecamatan (ha) ...... 106

xi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Lokasi Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah ......................................... 4

2. Perbandingan panjang gelombang tsunami ....................................... 8

3. Jenis-jenis patahan ............................................................................ 10

4. Lempeng-lempeng tektonik Indonesia .............................................. 11

5. Sejarah gempa tsunami tahun 1973-2007 ........................................... 11

6 Parameter orientasi sesar strike, dip, dan arah slip ............................ 13

7. Gelombang yang terbentuk akibat deformasi ..................................... 14

8. Skema numerik beda hingga ............................................................... 15

9. Model bidang sesar dalam kerangka model penjalaran gelombang .... 18

10. Satelit ALOS (Jaxa, 2006) ................................................................. 19

11. Perbedaan DEM dan DTM dan DSM ................................................ 23

12. Peta lokasi penelitian .......................................................................... 31

13. Prinsip pengukuran DEM dengan sifat paralak satelit ....................... 35

14. Bagan alir metode pansharpan .......................................................... 41

15. Lokasi domain model .......................................................................... 43

16. Pembuatan domain .............................................................................. 47

17. Sejarah tsunami Indonesia .................................................................. 48

18. Bagan alir proses pacu model (running) tsunami modelling .............. 49

19. Diagram alir keseluruhan penelitian ................................................. 53

20. Lokasi pengamatan topografi Teluk Penyu (Cilacap) ......................... 55

21. Citra ALOS PRISM ........................................................................... 58

22. Digital Elevation Model Kabupaten Cilacap 2D ............................... 59

23. Perbandingan DEM ALOS dan SRTM 90 .......................................... 61

24. Grafik perbandingan (a) DEM ALOS dan (b) DEM SRTM ...................... 61

25. Digital Elevation Model Cilacap 3D (Teluk Penyu) .......................... 63

26. Citra ALOS AVNIR (hasil croping) ................................................... 64

27. ALOS PRISM-Nadir (hasil croping) ................................................ 65

28. Citra ALOS pansharpan (PRISM-AVNIR) ..................................... 66

29. Penutupan/penggunaan lahan Kabupaten Cilacap .............................. 68

30. Grid area batimetri dan topografi ........................................................ 71

xii

31. Peta batimetri (GRID-A) Pulau Jawa ................................................. 72

32. Kalsifikasi perairan Indonesia (Sumber : TNI AL, 2005) ................... 73

33. Peta batimetri (GRID-D) Kab. Cilacap .............................................. 74

34. Posisi epicenter dan kekuatan gempa ................................................ 76

35. Penjalaran tsunami 7.7 SM (a) setelah 1 jam (b) 2 jam .................... 78

36. Penjalaran tsunami 8.9 SM (a) setelah 1 jam (b) 2 jam ..................... 79

37. Penjalaran tsunami 8.7 SM (a) setelah 1 jam (b) 2 jam ..................... 80

38. Maksimum run-up tsunami .................................................................. 82

39. Run-up tsunami 7.7 SM (posisi -7:46: 36.6 LS dan 109:05:30.3 BT)…. 84

40. Run-up tsunami 7.7 SM (posisi -7:41: 28.5 LS dan 109: 05:31.7 BT)… 84

41. Penjalaran tsunami berdasarkan waktu tempuh (arrival time) ........... 85

42. Run-up tsunami 8.9 SM (posisi -7:46: 36.6 LS dan 109:05:30.3 BT)… 86

43. Run-up tsunami 8.9 SM (posisi -7:41: 28.5 LS dan 109: 05:31.7 BT) .. 86

44. Run-up tsunami 8.7 SM (posisi -7:46: 36.6 LS dan 109:05:30.3 BT) … 87

45. Run-up tsunami 8.7 SM (posisi -7:41: 28.5 LS dan 109: 05:31.7 BT) .. 88

46. DEM dan limpasan tsunami 7.7 SM ................................................ 89

47. DEM dan limpasan tsunami 8.9 SM ................................................... 90

48. DEM dan limpasan tsunami 8.7 SM ................................................. 92

49. Area limpasan tsunami 7.7 SM pada penggunaan/penutupan lahan di Kabupaten Cilacap ......................................................................... 89

50. Area Limpasan Tsunami 8.9 SM pada Penggunaan/Penutupan Lahan di

Kabupaten Cilacap ......................................................................... 95 51. Area Limpasan Tsunami 8.7 SM pada Penggunaan/Penutupan Lahan di

Kabupaten Cilacap ........................................................................ 97 52. Area limpasan tsunami 7.7 SM di Kabupaten Cilacap ................... 99

53. Run-Up tsunami 7.7 SM di Kabupaten Cilacap ................................ 100

54. Area Limpasan tsunami 8.9 SM di Kabupaten Cilacap .................... 102

55. Run-Up tsunami 8.9 SM di Kabupaten Cilacap ............................... 104

56. Area limpasan tsunami 8.7 SM di Kabupaten Cilacap .................. 105

57. Run-up tsunami 8.7 SM di Kabupaten Cilacap ............................... 107

58. Luasan area kelas penggunaan lahan pada tiap Desa di Kab. Cilacap.... 108

59. Luasan area kelas topografi pada tiap Desa di Kab. Cilacap ........... 108

xiii

60. Tingkat kerusakan limpasan tsunami 7.7 SM ............................. 109

61. Tingkat kerusakan limpasan tsunami 8.9 SM ................................. 110

62. Tingkat kerusakan limpasan tsunami 8.7 SM .................................... 111

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Survey lapangan .............................................................................. 117

2. Foto-foto kegiatan survey lapangan ................................................ 117

3. Tabel hasil survey lapangan (track GPS dan wawancara) ................ 128

4. Tabel hubungan skala tsunami 7.7 dengan tutupan lahan .................. 129

5. Tabel hubungan skala tsunami 8.7 dengan tutupan lahan .................. 129

6 Tabel hubungan skala tsunami 8.9 dengan tutupan lahan .................. 130

7. Tabel hubungan kelas topografi dengan desa .................................... 130

8. Tabel pengukuran tinggi gelombang tsunami ....................................... 125

9. Data USGS 2008 ........................................................................... 136

1

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Wilayah pesisir Indonesia merupakan daerah yang memiliki kekayaan

sumber daya alam yang melimpah. Pentingnya pesisir bagi manusia khususnya

para nelayan adalah diperolehnya sumber penghidupan dari berbagai aktivitas di

sekitar pesisir laut. Namun disamping mempunyai potensi sumberdaya yang

besar, wilayah pesisir Indonesia juga memiliki potensi bencana yang besar. Hal

ini disebabkan karena wilayah Indonesia terletak pada daerah pertemuan empat

lempeng tektonik (lempeng Eurasia, Indo-Australia, Samudera Pasifik, dan

lempeng Filipina) yang tiap waktu terus bergerak.

Indonesia sebagai negara kepulauan secara geologis rentan terhadap

bencana alam pesisir. Tsunami adalah salah satu bencana alam yang senantiasa

mengancam penduduk pesisir. Walaupun jarang terjadi, namun daya hancurnya

yang besar membuatnya harus diperhitungkan. Menurut Arnold (1986) in

Diposaptono dan Budiman (2005), Indonesia merupakan salah satu negara yang

memiliki tingkat kegempaan tinggi di dunia. Dibandingkan dengan gempa di

Amerika Serikat maka Indonesia memiliki frekuensi gempa 10 kali lipatnya.

Gempa-gempa tersebut sebagian besar berpusat di dasar Samudra Hindia dan

beberapa di antaranya mengakibatkan gelombang laut besar (tsunami).

Kabupaten Cilacap merupakan salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang

memiliki pantai yang berhadapan dengan Samudera Hindia. Daerah Teluk Penyu

adalah salah satu bagian dari pantai yang dimiliki Kabupaten Cilacap yang rawan

terhadap bahaya tsunami karena letaknya berdekatan dengan patahan lempeng

2

Indo-Australia di Selatan Pulau Jawa. Salah satu bencana tsunami yang terjadi

pada tanggal 17 Juli 2006 di Pantai Pangandaran melanda wilayah pesisir

Cilacap menyebabkan kerugian baik secara material maupun non material yang

besar.

Penelitian mengenai daerah rawan tsunami yang berbasis penginderaan

jauh saat ini sudah banyak dilakukan. Namun penelitian mengenai daerah rawan

tsunami dengan menggunakan integrasi pemodelan dan data penginderaan jauh,

saat ini sedang dikembangkan secara aktif oleh para peneliti, lembaga penelitian,

dan perguruan tinggi di dunia.

Data topografi yang biasa dijadikan sebagai faktor kerawanan tsunami

adalah data SRTM. Rendahnya tingkat akurasi topografi dari SRTM ini

menyebabkan perlu adanya data topografi yang memiliki ketelitian yang lebih

tinggi dari SRTM yaitu data DEM dari citra satelit penginderaan jauh.

Penelitian mengenai daerah rawan bencana tsunami di Cilacap ini

dilakukan untuk mengidentifikasi dan menganalisis daerah rawan terkena bencana

tsunami berdasarkan analisis menggunakan penginderaan jarak jauh dan model

tsunami.

1.2. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah melakukan kajian daerah rawan bencana

tsunami yang difokuskan pada kajian limpasan (inundation) secara spasial dengan

menggunakan Digital Elevation Model ALOS dan pemodelan tsunami di daerah

pesisir Cilacap, Jawa Tengah.

3

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kondisi umum lokasi penelitian

Daerah penelitian berlokasi di Pantai Selatan Cilacap Jawa Tengah. Posisi

geografis Kabupaten Cilacap berada antara 07°30’00” LS - 07°45’20” LS dan

108°04’30” BT - 109°30’30”BT, dengan luas wilayah 225.360,840 ha.

Kabupaten Cilacap terbagi menjadi 24 kecamatan dengan jarak terjauh dari barat

ke timur 152 km dari Dayeuhluhur ke Nusawungu, dan dari utara ke selatan 35

km yaitu dari Cilacap ke Sampang. Desa-desa tersebar di 21 kecamatan,

sedangkan kelurahan terdiri dari 3 kecamatan (Gambar 1).

Berikut adalah kecamatan-kecamatan yang tersebar di Kabupaten Cilacap

ini : Dayeuhluhur, Wanareja, Majenang, Cimanggu, Karang pucung, Sidareja,

Gandrungmangu, Kedungreja, Patimuan, Cipari, Bantarsari, Kawunganten,

Jeruklegi, Kesugihan, Maos, Sampang, Kroya, Adipala, Binangun, Nusawungu,

Kampung laut ( BAPPEDA Cilacap, 2005).

Sedangkan batas-batas wilayah kabupaten Cilacap ini adalah sebagai

berikut :

Sebelah utara : Kabupaten Brebes dan Kabupaten Banyumas

Sebelah selatan : Samudera Hindia

Sebelah timur : Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Kebumen

Sebelah barat : Kabupaten Ciamis dan Kota Banjar

Ibukota Kabupaten Cilacap adalah Cilacap, dimana meliputi kecamatan

Cilacap Utara, Cilacap Tengah, dan Cilacap Selatan. Cilacap dulunya merupakan

Kota Administratif, namun sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 22

tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, tidak dikenal adanya kota administratif,

4

dan Kota Administratif Cilacap kembali menjadi bagian dari wilayah Kabupaten

Cilacap. Diantara kota-kota kecamatan yang cukup signifikan di Kabupaten

Cilacap adalah: Majenang, Karangpucung, Sampang, Sidareja, dan Kroya.

Majenang menjadi pusat pertumbuhan kabupaten Cilacap di bagian Barat

sedangkan Kroya dan Sampang menjadi pusat pertumbuhan di Bagian Timur.

Gambar 1. Lokasi Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah (BAPPEDA Cilacap, 2005)

Kabupaten Cilacap merupakan kabupaten terluas di Jawa Tengah. Luas

wilayahnya sekitar 6,6% dari total wilayah Jawa Tengah yaitu sekitar 2.142,57

Km2 atau lebih kurang 225.360,84 Ha diatas ketinggian 0 – 1.146 meter. Begitu

luasnya, membuat kabupaten ini memiliki dua kode telepon (Wikipedia, 2007).

Bagian utara adalah daerah perbukitan salah satu puncaknya adalah

Gunung Pojoktiga (1.347 meter). Sedangkan bagian selatan merupakan dataran

rendah. Kawasan hutan menutupi lahan Kabupaten Cilacap bagian utara, timur,

5

dan selatan. Di sebelah selatan terdapat Nusa Kambangan, yang memiliki Cagar

Alam Nusakambangan. Bagian barat daya terdapat sebuah inlet yang dikenal

dengan Segara Anakan. I bukota kabupaten Cilacap berada di tepi pantai

Samudera Hindia.

Penduduk Kabupaten Cilacap setiap tahun terus bertambah, menurut

hasil registrasi penduduk pada akhir tahun 2004 mencapai 1.709.908 jiwa yang

terdiri dari laki-laki 855.838 jiwa dan perempuan 854.070 jiwa. Selama 5 tahun

terakhir rata-rata pertumbuhan penduduk per tahun sebesar 0,69 persen, dengan

pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2000 (1,20 persen), dan terendah pada

tahun 2004 (0,31 persen). Pertumbuhan ini merupakan pertumbuhan penduduk

yang terendah sejak tahun 1984 (Wikipedia, 2007).

Berdasarkan hubungan antara tsunami dan karakteristik seismotektonik,

Diposaptono (2005) membagi ke dalam enam zona seismotektonik. Kabupaten

Cilacap termasuk zona B yang memiliki tingkat kerawanan tsunami yang tinggi

dengan periode ulang sekitar 10-15 tahun.

2.2. Definisi dan batasan wilayah pesisir

Wilayah pesisir adalah suatu daerah pertemuan antara darat dan laut,

dimana ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun

terendam air yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin

laut, dan perembesan air asin, sedangkan kearah laut wilayah pesisir mencangkup

bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat

seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan

manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Dan pantai adalah

6

daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut

terendah (Triatmodjo, 1999).

Wilayah pesisir adalah suatu jalur saling pengaruh antara darat dan laut,

yang memiliki ciri geosfer yang khusus, kearah darat dibatasi oleh pengaruh sifat-

sifat fisik laut dan sosial ekonomi bahari, sedangkan ke arah laut dibatasi oleh

proses alami serta akibat kegiatan manusia terhadap lingkungan di darat

Pada bentang lahan pesisir (coastal landscape) tercakup perairan laut

yang disebut dengan pantai atau tepi laut, adalah suatu daerah yang meluas dari

titik terendah air laut pada saat surut hingga ke arah daratan sampai mencapai

batas efektif dari gelombang. Pertemuan antara air laut dan daratan ini dibatasi

oleh garis pantai (shore line), yang kedudukannya berubah sesuai dengan

kedudukan pada saat pasang surut, pengaruh gelombang dan arus laut

(Triatmodjo, 1999).

Sedangkan menurut Diposaptono (2005) pengertian daerah pesisir

merupakan daerah yang memiliki dua macam batas (boundaries), yaitu : batas

yang sejajar dengan garis pantai (longshore) dan batas yang tegak lurus terhadap

garis pantai (cross-shore). Walaupun demikian sampai sekarang belum ada

definisi wilayah pesisir yang baku, namun terdapat kesepakatan umum di dunia

bahwa wilayah pesisir adalah wilayah peralihan antara daratan dan lautan.

Penelitian ini menggunakan batasan pesisir yang ditinjau untuk

kepentingan pengelolaan wilayah rawan tsunami Kota Cilacap. Pertimbangan

tersebut diambil berkaitan dengan pendekatan spasial yang digunakan dalam

penelitian ini untuk identifikasi dan analisis daerah limpasan tsunami.

7

2.3 Gelombang tsunami dan Pembangkitnya

2.3.1 Pengertian dan karakteristik gelombang tsunami

Secara harfiah, tsunami berasal dari Bahasa Jepang. “Tsu” berarti

pelabuhan dan “nami” adalah gelombang. Secara umum tsunami diartikan sebagai

pasang laut yang besar di pelabuhan. Jadi, dapat dideskripsikan tsunami sebagai

gelombang laut dengan periode panjang yang ditimbulkan oleh gangguan impulsif

yang terjadi pada medium laut. Gangguan impulsif itu bisa berupa gempa bumi

tektonik, erupsi vulkanik, atau longsoran (land-slide) (Diposaptono dan Budiman,

2005).

Hal diatas disetujui oleh Ingmanson dan Wallace (1973) bahwa tsunami

merupakan gelombang laut yang mempunyai periode panjang yang ditimbulkan

oleh suatu gangguan di laut. Panjang gelombang tsunami dapat mencapai 240 km

di laut terbuka seperti samudera pasifik dengan panjang gelombang rata-rata 4600

m dengan kecepatan gelombang mencapai 760 km/jam

Gelombang tsunami yang ditimbulkan oleh gaya impulsif ini bersifat

transien, yakni gelombangnya bersifat sesaat. Gelombang ini berbeda dengan

gelombang laut lainya yang bersifat kontinyu seperti gelombang laut yang

ditimbulkan oleh gaya gesek angin atau gelombang pasang surut yang

ditimbulkan oleh gaya tarik benda angkasa. Periode gelombang angin hanya

beberapa detik (kurang dari 20 detik). Sementara itu periode gelombang tsunami

berkisar antara 10-60 menit (Barber, 1969 in Diposaptono dan Budiman, 2005).

Perbedaan gelombang tsunami dengan gelombang yang dibangkitkan oleh angin

adalah terletak pada gerakan airnya. Gelombang yang dibangkitkan oleh angin

hanya menggerakan air laut bagian atas.

8

Namun pada gelombang tsunami menggerakan seluruh kolom air dari

permukaan sampai dasar. Perbedaan gelombang- gelombang tersebut dapat

dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Perbandingan panjang gelombang antara gelombang yang disebabkan oleh

angin, gelombang pasang surut, dan gelombang tsunami (Diposaptono dan

Budiman, 2005)

Ciri lainnya dari tsunami adalah panjang gelombangnya yang besar, bisa

mencapai puluhan kilometer. Kecepatan rambatnya di laut dalam (deep sea)

berkisar dari 400 sampai 1000 km/jam. Kecepatan penjalaran tsunami tersebut

sangat tergantung dari kedalaman laut dan penjalarannya dapat mencapai ribuan

kilometer dari pusatnya. Selama penjalaran dari tengah laut (pusat terbentuknya

tsunami) menuju pantai, kecepatan semakin berkurang karena gesekan dengan

9

dasar laut yang semakin dangkal. Akibatnya, tinggi gelombang di pantai menjadi

semakin besar karena adanya penumpukkan massa air akibat adanya penurunan

kecepatan. Ketika mencapai pantai, gelombang naik (run-up) ke daratan dengan

kecepatan yang berkurang menjadi sekitar 25-100 km/jam (Diposaptono dan

Budiman, 2005).

2.3. 2 Faktor-faktor penyebab terjadinya tsunami

Terjadinya tsunami di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor. Dari

berbagai tsunami yang pernah terjadi di Indonesia, 90 % disebabkan oleh gempa-

gempa tektonik, 9% disebabkan oleh gunung berapi, dan 1% oleh tanah longsor

(Diposaptono dan Budiman, 2005).

A. Tsunami akibat gempa tektonik

Gempa tektonik merupakan gerakan-gerakan retakan yang akan

menyebabkan pergerakan vertikal massa batuan bukan pergerakan horizontal

massa batuan. Jika proses tersebut terjadi di dasar laut maka akan menyebabkan

perubahan muka laut yaitu terbentuknya puncak dan lembah gelombang yang

berukuran 150 km antara puncak gelombang yang satu dengan puncak gelombang

berikutnya ke segala arah. (Diposaptono dan Budiman, 2005). Berbagai

pergerakan massa batuan yang disebabkan oleh gempa tektonik ini dapat dilihat

pada (Gambar 3).

Proses terjadinya gempa tektonik dimulai dengan adanya pergerakan dua

lempeng yang saling berbatasan saling bergerak reatif terhadap sesamanya.

Aktivitas tektonik yang disebabkan adanya pergerakan dua lempeng tersebut

menimbulkan energi elastis yang dapat terakumulasi dari waktu ke waktu

10

sehingga menyebabkan pembentukan pegunungan, lembah, gunung api dan

tsunami yang terletak pada batas-batas lempeng. Batas lempeng yang terbentuk

terdiri dari 3 jenis yaitu, konvergen, divergen, dan singgungan.

Gambar 3. Jenis-jenis patahan : (a) sesar turun (normal fault), (b) sesar naik (reverse

fault), (c) sesar horizontal (strike slip) (Diposaptono dan Budiman, 2005)

Zona konvergen ditandai dengan gerakan dua lempeng yang berbatasan

itu ke bawah lempeng benua. Zona ini terdiri dari dua jenis; tumbukan dan

subduksi. Pada zona tumbukan, kedua lempeng bergerak saling mendekati karena

mempunyai berat jenis sama sehingga lempeng melipat ke atas. Sedangkan pada

zona subduksi, kedua lempeng yang bertumbukkan mempunyai berat jenis yang

berbeda.

Apabila gempa dengan patahan naik maupun turun (lebih dari beberapa

meter secara mendadak dan vertikal) terjadi di laut dengan kedalaman mencapai

ribuan meter. Secara empiris, jika gempanya berkekuatan lebih dari 6,5 SM, dan

pusat gempa berada pada kedalaman kurang 60 km dari dasar laut, maka tsunami

akan terjadi (Diposaptono dan Budiman, 2005).

11

Gambar 4. Lempeng-lempeng tektonik Indonesia (Gunawan, 2007)

Berdasarkan catatan, gempa tektonik memang menyumbang kontribusi

terbesar terjadinya tsunami baik di dalam maupun luar negeri. Di Indonesia

sepanjang tahun 1600 sampai 2005 telah terjadi 107 kali tsunami. Dari jumlah

itu, sebanyak 98 kali tsunami disebabkan gempa bumi, sembilan kali karena

letusan gunung berapi, dan satu kali oleh tanah longsor di dasar laut (Gambar 5).

Gambar 5. Sejarah gempa tsunami tahun 1973-2007 (USGS, 2008)

12

Memang tidak semua gempa bisa menghasilkan tsunami. Berdasarkan

hasil penelitian, tsunami bisa terwujud jika kekuatan gempa minimal 6,5 SM.

Syarat lain, pusat gempanya berada kurang dari 60 km dari permukaan laut

(gempa dangkal).

Selain itu gempa tersebut harus menghasilkan deformasi dasar laut

secara vertikal cukup besar, lebih dari 2 meter. Jadi, jika ada gempa tektonik yang

terjadi pada kedalaman lebih dari 60 km, tidak akan menghasilkan tsunami

walaupun kekuatan gempanya diatas 6,5 SM.

.

B. Tsunami akibat tanah longsor

Penyebab kedua terjadinya tsunami adalah adanya longsor besar yang

disebabkan oleh gempa, kegiatan gunung berapi, atau longsor di dasar laut. Tanah

longsor tersebut runtuhnya bebatuan dalam jumlah yang banyak kemudian

menimbulkan gelombang dengan puncak gelombang bisa mencapai 535 meter di

atas garis pantai.

2.3.3 Pembangkit Tsunami

Tsunami yang terjadi menyebabkan fluktuasi muka laut secara

mendadak berkaitan erat dengan kegiatan bumi yang terus-menerus bergerak

dinamis. Sebagian besar tsunami dibangkitkan oleh deformasi vertikal dasar laut

yang berasosiasi dengan penyesaran, gempa-gempa, erupsi vulkanik di bawah

laut.

13

Parameter-paramter sesar seperti panjang dan lebar sesar, energi atau

magnitude, kedalaman pusat gempa, slip dan mekanisme fokus (strike, dip, dan

sudut slip) adalah paramter-parameter yang utama dari sumber gempa (Gambar 6)

Gambar 6. Parameter orientasi sesar strike, dip, dan arah slip (Diposaptono dan

Budiman, 2005)

Strike (jurus) merupakan arah garis horizontal yang terletak pada bidang

sesar. Dip (kemiringan) adalah sudut kemiringan foot wall terhadap bidang

horizontal. Rake adalah sudut pergeseran antara strike dengan garis bidang sesar.

Tsunami biasanya terjadi pada gempa-gempa dangkal yang

mengakibatkan reformasi pada kerak bumi yang selanjutnya memberikan

pengaruh yang kuat terhadap perubahan dasar laut. Dua struktur yang

menimbulkan tsunami perubahan-perubahan tersebut dapat berupa struktur sesar

naik (thrusting fault) atau sesar normal (normal fault).

Kedua sesar tersebut mengakibatkan perubahan kerak bumi dalam arah

vertikal yang dimanifestasikan oleh komponen dip-slip yang dapat

membangkitkan tsunami. Hal itu dapat dijelaskan karena pergerakan vertikal

lantai Samudera dapat menyebabkan perubahan massa air di atas lantai Samudera

yang bergerak tersebut. Jika lantai Samudera naik (uplift) atau turun dengan cepat

14

sebagi respon terhadap gempa bumi, maka akan menaikkan dan menurunkan air

laut dalam skala besar, mulai dari lantai Samudera sampai permukaan.

Gambar 7. Gelombang yang terbentuk akibat deformasi

(L. Manshinha dan D.E. Smylie, 1971)

2.4 Pemodelan Gelombang Tsunami

Model merupakan suatu abstraksi atau penyederhanan dari sebuah sistem

yang lebih kompleks (Soetaert dan Herman, 2001). Model-model suatu ekosistem

umumnya lebih sederhana dari arti sesungguhnya. Proses kegiatan yang

menggunakan pendekatan sistem sebagai kerangka bahasan dikenal dengan istilah

permodelan (modelling).

Pemodelan tsunami adalah upaya untuk mensimulasikan penjalaran

gelombang tsunami yang disebabkan oleh deformasi dasar laut (gempa).

Pemodelan tsunami pada dasarnya bertujuan memperkirakan sebaran tinggi dan

limpasan tsunami dalam ruang dan waktu.

15

Pembangkitan, penjalaran, dan run-up tsunami dapat dihitung dengan

menggunakan metode beda hingga (finite difference method atau FDM). Pada

dasarnya notasi numerik beda hingga sering ditulis fi,j dimana f adalah variabel

suatu fungsi dan subskrip i,j menunjukkan nomor sel dimana variabel tersebut

berada. Subskrip i menunjukkan nomor sel pada arah-x dan subskrip j

menunjukkan nomor sel pada arah sumbu-y. Jarak antara dua titik dalam arah-x

adalah ∆x dan jarak antara dua titik dalam arah-y adalah ∆y. Untuk fungsi yang

berubah terhadap waktu serta berubah terhadap jarak, notasi skema numeriknya

ditulis seperti fi,jn dimana n adalah langkah waktu ke-n.

Gambar 8. Skema numerik beda hingga (Immamura, 2006)

Metode numerik beda hingga didasari pada persamaan matematik dalam

bentuk deret yang disebut deret Taylor. Pendekatan untuk menyelesaikan deret

Taylor ini terdiri dari 3 cara yaitu : hampiran beda maju (forward difference),

hampiran beda mundur (backward difference) dan hampiran beda tengah (central

difference).

Metode beda hingga yang digunakan pada model tsunami menggunakan:

forward difference dan (2.1)

central difference (2.2)

)(),(),(),( tot

txttxt

txΔ+

Δ∂−Δ+∂

=∂

∂ ηηη

)()2

1()21()( to

t

tttt

tt

Δ+Δ

Δ−∂−Δ+∂=

∂∂ ηηη

16

Penggunaan metode beda hingga ini biasanya digunakan untuk interpolasi

dalam perhitungan numerik, aproksimasi, dan diferensiasi.

2.4.1 Persamaan Penjalaran Gelombang Tsunami

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, salah satu faktor penyebab

utama tsunami adalah adanya gerakan dasar laut akibat gempa bumi yang dapat

menimbulkan perairan dangkal atau gelombang panjang (long wave). Teori

gelombang dangkal menyebutkan bahwa syarat terjadinya gelombang dangkal

adalah jika nilai perbandingan antara kedalaman air yang dilalui oleh gelombang

tersebut dan panjang gelombangnya lebih kecil dari 1/20. Teori ini menjelaskan

bahwa percepatan vertikal air dapat diabaikan, karena besarnya lebih kecil

daripada percepatan gravitasi. Sehingga berdasarkan pendekatan ini gerak vertikal

dan partikel air tidak berpengaruh pada distribusi tekanan.

Persamaan momentum dalam koordinat z dengan kondisi dinamik pada

permukaan p=0 memberikan tekanan hidrostatik :

P = -ρ.g.(z- η) (2.3)

Berdasarkan kondisi batas dinamik dan kinematika dasar maka diperoleh

persamaan integrasi Teori Gelombang Dangkal ( Immamura, 2006):

(2.4)

Dimana, D : total kedalaman yang diberikan oleh h+ η,

τx, dan τy : gesekan dasar dalam arah x dan y

A : visikositas Eddy horizontal (konstan)

17

2.4.2 Persamaan Kontinuitas

Selain persamaan gerak yang mempengaruhi model tsunami ini,

persamaan kontinuitas sebagai persamaan konversi massa tiga dimensi juga

mempengaruhi untuk fluida incompresible (Imammura, 2006).

(2.5)

Persamaan di atas berlaku untuk dimana saja di dalam fluida. Untuk

menyederhanakan persamaan di atas maka diperlukan syarat batas. Sehingga

hasil akhirnya adalah sebagai berikut :

(2.6)

Dimana : (2.7)

Dimana M dan N adalah discharge fluks dalam arah x dan y

2.4.3 Deformasi Dasar Laut

Menurut Manshina, 1971 in Abietto, 1997 deformasi dasar laut

diestimasi melalui parameter-parameter patahan. Paramater patahan ini ada dua

macam yaitu: parameter statik (panjang, lebar, dislokasi, slip, dan sudut

kemiringan) dan dinamik (kecepatahan patahan dan pertambahan waktu

dislokasi).

Parameter-parameter bidang sesar tersebut anatara lain adalah :

a. Strike (jurus) Ф, merupakan arah garis horisontal yang terletak pada

bidang sesar di ukur searah jarum jam dari arah utara serta dengan asumsi

haning wall berada di sebelah kanan ( 0˚≤ Ф ≤360˚ )

0=∂∂

+∂∂

+∂∂

yv

xu

0=∂∂

+∂

∂+

∂∂

yN

xM

18

b. Dip (kemiringan) δ adalah sudut kemiringan foot wall terhadap bidang

horisontal ( 0˚≤ δ ≤90˚ )

c. Rake (sudut pergeseran) λ merupakan sudut antara strike dengan garis

bidang sesar arau slip yang merupakan arah hanging wall. Rake bernilai

positif pada sesar naik dan bernilai negatif pada sesar normal ( -180˚≤ λ

≤180˚ )

Gambar 9. Model bidang sesar dalam kerangka model penjalaran gelombang

(Abietto, 1997)

2.5 Sistem Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh adalah ilmu, seni dan teknologi untuk memperoleh

informasi tentang objek daerah atau gejala yang didapat dengan analisis data yang

diperoleh melalui alat tanpa kontak langsung dengan objek daerah atau fenomena

yang dikaji (Lillesand dan Kiefer,1990)

19

2.5.1 Pengertian dan Karakteristik Citra Alos

Pada penelitian ini data penginderaan jauh yang dipakai adalah data citra

dari satelit ALOS (Advanced Land Observing Satellite). ALOS yang diluncurkan

pada tahun 2006 adalah satelit pemantau lingkungan yang bisa dimanfaatkan

untuk kepentingan kartografi, observasi wilayah, pemantauan bencana alam, dan

survey sumber daya alam.

Gambar 10. Satelit ALOS (JAXA, 2006)

ALOS singkatan dari Advanced Land Observing Satellite adalah satelit

milik Jepang yang merupakan satelit generasi lanjutan dari JERS-1 dan ADEOS

yang dilengkapi dengan teknologi yang lebih maju. ALOS dilengkapi dengan 3

instrumen penginderaan jauh : yaitu Panchromatik Remote-sensing Instrument for

Stereo Mapping (PRISM) yang dirancang untuk dapat memperoleh data Digital

Terrain Model (DTM), Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2

(AVNIR-2) untuk pemantauan penutup lahan secara lebih tepat, dan Phased-

Array type L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) untuk pemantauan

permukaan bumi dan cuaca pada siang dan malam hari (Ginting et al, 2003)

20

Satelit ALOS telah diluncurkan oleh Badan Luar Angkasa Jepang

(JAXA) pada bulan Januari 2006 dan telah berhasil merekam informasi

permukaan bumi. Resolusi untuk high resolution mode dan ScanSAR masing-

masing 10 meter dan 100 meter. Secara umum satelit ini memiliki karakteristik

yang dapat dijelaskan pada tabel dibawah ini :

Tabel 1. Keterangan umum ALOS Alat peluncuran Roket H-IIA Tempat peluncuran Pusat Ruang Angkasa Tanagashima Berat Satelit 4 000 Kg Power 7 000 W Waktu Operasional 3 sampai 5 Tahun Orbit Sun-Synchronous Sub-Recurr Orbit Recurrent Period : 46 hari Sub cycle 2 hari Tinggi Lintasan : 692 km di atas Equator Inclinasi : 98,2 0 Sumber : JAXA, 2006

Panchromatic Remote-sensing Instrumen for Stereo mapping (PRISM)

adalah instrumen penginderaan jauh pada satelit ALOS dengan sensor

pankromatik dengan resolusi spasial 2.5 m dan memiliki kemampuan untuk

mengambil obyek yang sama pada permukaan bumi dari 3 posisi yang berbeda.

Di bawah ini tabel karakteristik sensor PRISM :

Tabel 2. Keterangan umum sensor PRISM Panjang Gelombang 0.52 – 0.77 µm Banyaknya Optik 3 buah ( Forward, Nadir, Backward) Base to High Ratio 1.0 ( Forward dengan Backward) S/N Diatas 70 MTF 0.2 atau lebih Resolusi Spasial 2.5 m Lebar Cakupan 35 km ( Triplet Mode )

70 km (hanya pengambilan tegak) Jumlah Detektor 28 000 / Kanal (lebar cakupan 70 Km)

14 000 / Kanal (lebar cakupan 35 Km) Sudut pengambailan 1.5 Derajat Panjang Bit 8 bit Sumber : JAXA, 2006

21

Advanced Vicible and Near-Imfrared Radiometer type-2 (AVNIR-2)

merupakan instrumen pada satelit ALOS yang dilengkapi kanal multispektral

untuk pengamatan permukaan daratan dan wilayah pesisir dengan resolusi spasial

lebih baik dari AVNIR-ADEOS. Sensor ini digunakan untuk tujuan pemetaan

dan klasifikasi penutup/penggunaan lahan skala regional, dengan memiliki

kemampuan cross track pointing untuk pemantauan bencana alam.

Tabel 3. Keterangan umum AVNIR Kanal Observasi Kanal-1 : 0.42 – 0.50 µm

Kanal-2 : 0.52 – 0.60 µm Kanal-3 : 0.61 – 0.69 µm Kanal-4 : 0.76 – 0.89 µm

S/N > 200 MTF Kanal 1-3 : > 0.25

Kanal 4 : > 0.20 Resolusi 10 m ( Nadir) Lebar Cakupan 70 km (Nadir) Jumlah Detector 7000 / Kanal Sudut pengambailan - 44 to +44 Derajat Panjang bit 8 bit Sumber : JAXA, 2006

PALSAR merupakan salah satu sensor untuk pengamatan cuaca dan

permukaan daratan pada siang dan malam hari dengan sistem yang lebih maju dari

JERS-1 SAR. Sensor Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar

(PALSAR) ini mempunyai keistimewaan dapat menembus awan, sehingga

informasi permukaan bumi dapat diperoleh setiap saat, baik malam maupun siang

hari. Resolusi untuk high resolusion mode dan ScanSAR masing-masing 10

meter dan 100 meter.

22

Tabel 4. Keterangan umum PALSAR Mode Fine ScanSAR Polarimetric

Frekuensi 1270 MHz (L - BAND) Lebar Kanal 28 / 14MHz

Polarisasi HH atau VV / HH

+HV atau VV + VH HH atau VV HH+HV+VH+VV

Resolusi Spasial 10 m (2 look)/ 20m(4 look) 100 m (multi look)

30 m

Lebar Cakupan 70 Km 250 – 350 Km 30 Km Incidence Angle 8-60 derajat 18-43 derajat 8 –30 derajat

NE Sigma 0 < - 23 dB (70 Km) < -25 dB (60 Km) < - 25 dB < - 29 dB

Panjang bit 3 bit / 5 bit 5 bit 3 bit / 5 bit Ukuran Antena AZ: 8.9 m x EL: 2.9 m

Sumber : JAXA, 2006

2.5.2 Digital Elevation Model (DEM)

Digital Elevation Model (DEM) merupakan data dijital dengan format

raster yang memiliki informasi koordinat posisi (x,y) dan elevasi (z) pada setiap

selnya. Data ini digunakan untuk menggambarkan kondisi topografi suatu

wilayah. Data DEM dapat dibuat berdasarkan data titik tinggi (spot height) yang

dapat diperoleh dari pengolahan foto udara, citra satelit secara fotogrametri atau

citra RADAR melalui proses interferometri. Data DEM ini dapat diperoleh

dengan beberapa cara seperti dengan pengolahan berbagai peta topografi atau peta

rupa bumi. Namun secara konvensional DEM diperoleh melalui survey lapangan

dengan menggunakan berbagai alat survey (Hajar, 2006).

DEM berbeda dengan DTM (Digital Terrain Model) dan DSM (Digital

Surface Model). DEM merupakan informasi ketinggian permukaan bumi yang

ditampilkan dengan perbedaan warna (warna hitam memperlihatkan daerah

topografi rendah, sedangkan warna putih memperlihatkan daerah topografi

tinggi), DTM merupakan informasi ketinggian dari permukaan bumi tanpa

tutupan lahan diatasnya, sedangkan DSM merupakan informasi tutupan lahan dari

23

permukaan bumi beserta tutupan lahan diatasnya misal, daerah perkotaan yang

memperlihatkan 3D dari gedung-gedung.

Gambar 11. Perbedaan DEM dan DTM dan DSM (Trisakti, 2006)

Akurasi dari data ini tergantung dari sumber titik tinggi dan resolusi

spasial suatu data DEM. Apabila titik tinggi diperoleh dari garis kontur peta pada

skala 1 : 50.000, maka ketelitian yang diperoleh dari data DEM ini nantinya

memiliki akurasi yang tinggi dan semakin tinggi resolusi spasial yang dimiliki

suatu data DEM, maka semakin tinggi akurasi data yang dihasilkan

(Ermapper,2004).

Pengolahan data DEM akan mengahasilkan kesalahan atau sink dari proses

interpolasi yang akan berpengaruh terhadap akurasi data. Sink tersebut perlu

dihilangkan agar mendapatkan data yang memiliki keakurasian data yang tinggi.

Pengolahan data DEM menggunakan data titik atau garis tinggi dapat dilakukan

melalui proses interpolasi dengan beberapa cara seperti Inverse Distance Weigted

Spline dan Kriging (Ermapper,2004).

DEM: Digital Elevation Model DTM: Digital Terain Model

Rendah Tinggi

DSM: Digital Surface Model

24

Data ketinggian suatu objek dari satelit bisa didapatkan dengan beberapa

metode, yaitu diantaranya:

DEM yang dihasilkan dari interpolasi, yaitu melakukan interpolasi terhadap

titik ketinggian (dimana titik berisi informasi ketinggian Z dan koordinat XY)

atau interpolasi terhadap garis kontur untuk menghasilkan DEM. Cara kedua

yaitu dengan penurunan DEM mengunakan citra stereo, yaitu menggunakan 2

atau lebih citra yang diperoleh dari sudut pandang yang berbeda. Dan cara

lainnya yaitu dengan Radar Interferometri (InSAR) atau teknik dimana data dari

sensor radar dari satelit penginderaan jauh (contoh: ERS, JERS-1, RadarSAT dan

PALSAR-ALOS) digunakan untuk memetakan ketinggian (topografi) dari

permukaan bumi.

2.5.3 Metode Pansharpan Alos

Image fusion merupakan kombinasi dua atau lebih dari image/citra yang

berbeda untuk menghasilkan image baru dengan menggunakan berbagai

algorithma. Pan-Sharpenning merupakan salah satu jenis image data fusion. Data

citra berwarna dengan resolusi rendah digabungkan dengan data monokrom yang

beresolusi tinggi yang hasilnya adalah sebuah image data citra berwarna dengan

resolusi tinggi.

Menurut Prahasta (2008) data fusion merupakan menggabungkan atau

mengkombinasikan (fusi) data (dengan cakupan wilayah yang sama) yang berasal

dari berbagai (rekaman) sensor satelit (dan dengan resolusi-resolusi spasial yang

berbeda) merupakan cara yang sangat efektif dan efisien dalam memberdayakan

sumber-sumber basis data spasial secara optimal. Salah satu dari sekian banyak

25

bentuk dari aktifitas ini adalah Pan-sharpen yang mengkombinasikan citra digital

pankromatik (band tunggal yang beresolusi spasial lebih tinggi) dengan citra

digital multi-spektral (beberapa band berwarna tetapi memiliki resolusi spasial

lebih rendah). Hasil yang diharapkan dari proses ini adalah citra digital

mutispektral dengan resolusi yang sama dengan pankromatik. Hasilnya

digunakan sebagai alat bantu pada interpretasi citra digital secara visual.

Image data sebaiknya tercatat dengan akurasi level tinggi terlebih dahulu

menggunakan fusion algorithma, diantaranya :

1. HSV (or HSI) Sharpenning

Hue Saturation Intensity (Hue Saturation Value) menggunakan resolusi

rendah image RGB (Red Green Blue). Band pankromatik disesuaikan dan diganti

untuk intensity band. Gambar HSI di convert kembali ke tempat RGB.

2. Color Normalized (Brovey) Sharpenning

Digunakan untuk mendapatkan teknik Sharpenning dengan menggunakan

kombinasi matematika image berwarna dan data resolusi tinggi.

Fusion i = (MULTi/MULTi Sum)x PAN (2.8)

Dimana i (=1,2,3..) merupakan band particular dalam MS Image dan MULTi

SUM = MULTI1 + MULTI2 + MULTI3 (2.9)

Setiap band di Image Color dikalikan dengan rasio data resolusi tinggi

dibagi dengan jumlah color bands. Fungsi otomatis dari color bands sampai

ukuran pixel dengan resolusi tinggi menggunakan nearest neighbor, bilinnear,

atau cubic convolution technique. Hasil keluaran gambar RGB akan mendapatkan

nilai pixel dari input data resolusi tinggi.

26

3. PC Spectral Sharpenning

Digunakan untuk Sharpen Spectral Image data dengan data resolusi tinggi

menggunakan prinsip transformasi komponen hasil data multispectral.

PC band 1 digantikan dengan band resolusi tinggi dengan skala yang

sesuai dengan PC band 1 sehingga tidak ada distorsi informasi spectral.

Kemudian, digunakan untuk transform kembali.

Data multispectral otomatis memperbaiki nilai pixel resolusi tinggi menggunakan

nearest neighbor, bilinnear, atau cubic convolution technique.

4. Gram Schmidt Algoritm

Merupakan Kodak/ RSI yang memiliki algoritma Sharpenning.

Algorithma ini merupakan dasar dalam persamaan rotasi di alam untuk PCA.

(2.10)

(2.11) Dimana, u dan v adalah vector ortogonal

2.5.4 Penutupan/Penggunaan Lahan Dalam perencanaan dan pegembangan suatu wilayah, diperlukan antara

lain peta tutupan lahan. Dalam pembuatan peta tutupan lahan, dapat dilakukan

dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh, misalnya dengan

menganalisa citra satelit (Winardi dan Cahyono, 2005).

Istilah penutup lahan berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di

permukaan bumi. Danau, pohon, dan es glasial merupakan penutup lahan.

27

Sedangkan penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang

lahan tertentu.

Survey geologi Amerika Serikat telah menyusun sistem klasifikasi

penggunaan lahan dan penutup lahan untuk digunakan dengan data penginderaan

jauh yang dilaporkan dalam USGS Profesional Paper 964 (5). Informasi

penggunaan lahan dan penutup lahan sebaiknya disajikan pada peta secara

terpisah dan tidak dijadikan satu sistem klasifikasi USGS. Akan tetapi dari segi

praktisnya lebih efisien menggabungkan dua sistem tersebut apabila data

penginderaan jauh digunakan sebagai sumber data utama untuk kegiatan

pemetaanya.

Sistem klasifikasi penggunaan lahan dan penutup lahan USGS disusun

berdasarkan kriteria berikut :

1. Tingkat ketelitian interpretasi minimum dengan menggunakan

penginderaan jauh tidak kurang dari 85 persen.

2. Ketelitian interpretasi untuk beberapa kategori harus tidak kran lebih

sama.

3. Hasil yang dapat diulang harus dapat diperoleh dari penafsir yang satu ke

yang lain dan dari satu saat penginderaan ke saat yang lain.

4. Sistem klasifikasi harus dapat diterapkan untuk daerah yang luas.

5. Kategorisasi harus memungkinkan penggunaan lahan ditafsir dari tipe

penutup lahanya.

6. Sistem klasifikasi harus dapat digunakan dengan data penginderaan jauh

yang diperoleh pada waktu yang berbeda.

28

7. Kategori harus dapat dirinci ke dalam sub-kategori yang lebih rinci yang

dapat diperoleh dari citra skala besar atau survey lapangan.

8. Pengelompokkan kategori harus dapat dilakukan.

9. Dapat dibandingkan dengan data penggunaan lahan dan penutupan lahan

pada masa yang akan datang.

10. Bila memungkinkan lahan multiguna dapat dikenali.

Sistem klasifikasi USGS juga menyajikan kategori penggunaan lahan/

penutupan lahan terdiri dari 4 tingkatan yang terdiri dari : sistem klasifikasi

tingkat I yang disusun untuk digunakan pada citra skala kecil seperti citra Landsat.

Tingkat II disusun untuk digunakan pada foto udara skala kecil. Citra yang paling

banyak digunakan untuk pemetaan tingkat II adalah foto udara inframerah

berwarna dengan ketinggian terbang tinggi. Untuk pemetaan pada tingkat III,

sejumlah besar informasi penunjang harus diperoleh disamping informasi yang

diperoleh dari foto udara skala sedang. Sejalan dengan itu maka untuk pemetaan

pada tingkat IV juga harus diperoleh sejumlah besar informasi penunjang,

disamping yang diperoleh dari foto udara skala besar.

Ukuran minimum suatu daerah yang dapat dipetakan dalam kelas

penggunaan lahan/penutup lahan tergantung pada skala dan resolusi citra.

Tabel 5. Ukuran Minimum Unit Penggunaan lahan/Penutup lahan

(Lillesand/Kiefer, 1990) Tingkat Interpretasi Citra Skala Peta yang

reperentatif Ukuran Minimum Dipetakan

I. (Satelit) 1 : 500.000 150 ha II. (Foto udara skala kecil) 1 : 62.500 2.5 ha

III. (Foto udara skala menengah) 1: 24.000 0.35 ha

29

Lahan pertanian secara luas dapat diartikan sebagai lahan yang

penggunaanya terutama untuk menghasilkan makanan dan serabut. Kategori ini

meliputi penggunaan seperti tanaman semusim dan padang, rumput buah-buahan,

jeruk, anggur, daerah pembibitan dan tanaman hias.

Lahan hutan adalah daerah yang kepadatan tajuk pohonnya (persentasi

penutup tajuk) 10 persen atau lebih, batang pohonya menghasilkan kayu atau

produksi kayu lainnya dan mempengaruhi iklim atau tata air lokal. Kategori air

antara lain: sungai, kanal, danau, waduk, teluk, dan muara. Daerah yang berair

dangkal dimana timbul vegetasi aquatik, diklasifikasikan sebagai kategori air.

Lahan gundul ialah lahan yang kemampuannya terbatas untuk mendukung

kehidupan dan vegetasi atau penutup lainnya kurang dari sepertiga luas

daerahnya.

Seperti yang telah disebutkan diatas, sebidang lahan mungkin dapat

dikelompokkan dalam lebih dari satu kategori sehingga diperlukan suatu definisi

khusus untuk menjelaskan prioritas klasifikasinya. Apabila obyek mempunyai

lebih dari satu kategori, maka harus diambil kategori yang utama.Misalnya,daerah

pemukiman yang penutupan vegetasinya cukup lebat dan memenuhi kriteria lahan

hutan, maka harus dimasukkan dalam kategori lahan bangunan/ lahan terbangun.

Penentuan daerah rawan tsunami yang digunakan pada penelitian ini

berdasarkan daerah limpasan tsunami pada penutupan/penggunaan lahannya.

Remote sensing (RS atau penginderaan jauh) merupakan salah satu alat mutakhir

guna menunjang kegiatan riset tsunami seperti halnya dalam pembuatan DEM dan

penuutupan/penggunaan lahan.

30

Citra satelit secara global, visual, digital, dan multi temporal dapat

memberikan informasi mengenai dinamika yang terjadi di daerah pesisir, baik

sebelum, sewaktu, maupun setelah tsunami.

Identifikasi daerah yang berpotensi mengalami bencana tsunami dilakukan

secara bertahap dengan empat langkah sebagai berikut :

1. Identifikasi jalur lempeng yang berpotensi menyebabkan gempa dan

tsunami baik near field ataupun far field.

2. Mengannalisis aspek historis kejadian gempa yang mempunyai pusat di

bawah laut.

3. Analisis aspek historis kejadian tsunami Indonesia terutama mekanisme

pembangkitan tsunami.

4. Simulasi numerik hubungan antara pembangkit tsunami dan tinggi tsunami

melalui pemodelan matematika dari hasil analisis gempa dan tsunami

sebelumnya.

Penelitian mengenai daerah rawan tsunami yang berbasis penginderaan

jauh saat ini sudah banyak dilakukan. Namun penelitian mengenai daerah rawan

tsunami dengan menggunakan integrasi pemodelan dan data penginderaan jauh,

saat ini sedang dikembangkan secara aktif oleh para peneliti, lembaga penelitian,

dan perguruan tinggi di dunia. Seperti halnya yang telah dilakukan peneliti dari

LAPAN dan BPPT yang telah memodelkan tsunami dengan menggunakan data

ALOS PRISM (Nadir-Forward) dan SRTM pada tahun 2007 di Cilacap, Jawa

Tengah.

31

3. BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan lokasi penelitian

Lokasi penelitian terletak di Perairan Cilacap, Kabupaten Cilacap yang

secara administratif merupakan salah satu kabupaten di Pulau Jawa yang termasuk

ke dalam Propinsi Jawa Tengah. Lokasi Penelitian terletak antara 07°38’54” LS -

07°48’33” LS dan 108°57’22” BT - 109°06’57”BT (Gambar 12). Penelitian ini

mulai dilakukan pada bulan Februari 2008 sampai dengan bulan September 2008.

Proses pengolahan data dilakukan dalam tiga tahap yaitu: pengolahan

data Penginderaan Jarak Jauh dilakukan di Laboratorium Komputer Lembaga

Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Jakarta Timur sedangkan

pengolahan tsunami modeling dilakukan di Laboratorium balai Pengkajian

Dinamika Pantai BPPT Yogyakarta serta survey lapangan.

Gambar 12. Peta lokasi penelitian

32

3.2 Alat dan bahan

3.2.1 Alat

Peralatan yang dipakai dalam pelaksanaan penelitian ini terdiri dari :

1. Perangkat keras pengolah citra yaitu :

• Berupa seperangkat PC (Personal computer) berbasis Intel dengan sistem

operasi Windows yang digunakan untuk mengolah data citra.

• Printer sebagai pencetak data

• Flash disk 1 GB dan Hard disk external 40 GB sebagai media penyimpan

data

2. Perangkat lunak berupa software-software yang digunakan untuk

mengolah data citra ALOS yaitu :

• Perangkat lunak pengolah image processing, pembuatan DEM dari citra,

serta perangkat lunak untuk menyajikan layout citra

• perangkat lunak pengolahan pre-processing model (input data

sumber/parameter tsunami), processing model (running model/pacu

model), dan post-processing model (Interpretasi dan animasi).

3. Global Positioning System (GPS), sebagai alat dalam kegiatan survey

lapangan

4. Kamera digital memori 512 MB dan alat perekam suara, sebagai alat

dokumentasi dan wawancara dalam kegiatan survey lapangan.

33

3.2.2 Bahan

Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari :

1. Data Primer

Data primer yang digunakan penelitian ini meliputi : Citra satelit ALOS

(Advanced Land Observation Satellite), data batimetri GEBCO (General

Bathymetric Chart of the Oceans ) serta data topogarfi yang didapatkan

saat survey lapangan (data pengukuran DEM LAPAN dan BPPT dan data

cek lapangan terhadap data penutupan/penggunaan lahan) .

2. Data Sekunder

Data citra SPOT terkoreksi, data posisi dan kekuatan gempa USGS, serta data

program pemodelan tsunami Universitas Tohoku serta data lapangan seperti

wawancara dan hasil groundchek data tutupan/penggunaan lahan yang

mendukung penelitian ini. Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1:25000 serta peta

penutupan/penggunaan lahan Kabupten Cilacap skala 1:25000 .

3.3 Metode penelitian

Penelitian ini dilakukan berdasarkan analisis penginderaan jarak jauh

dengan metode integrasi data model numerik dengan data citra untuk memperoleh

daerah rawan tsunami. Alur pengolahan penelitian ini meliputi tiga tahapan, yaitu

pengolahan penurunan DEM dari citra, pengolahan pemodelan tsunami sebagai

input data kerawanan tsunami, dan integrasi citra dengan model.

34

3.3.1 Pengolahan citra awal

Penelitian ini menggunakan data citra ALOS (Advanced Land Observing

Satellite) sensor PRISM yang diakuisisi 05 Mei 2007 dan sensor AVNIR pada

tanggal 04 Januari 2007 dari LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa

Nasional). Namun citra yang diperoleh tidah sepenuhnya digunakan dalam

analisis, untuk itu perlu dilakukan pemotongan citra (cropping). Pemotongan citra

ini bertujuan untuk membatasi daerah sesuai lokasi penelitian. Selanjutnya

dilakukan pemulihan citra yaitu koreksi geometrik

Koreksi geometrik dilakukan untuk memperbaiki distorsi posisi atau

letak objek. Distorsi ini dihasilkan oleh faktor seperti variasi tinggi satelit,

ketegakan dan kecepatan satelit (Lillesand and Kiefer, 1990). Setelah koreksi

geometrik dilakukan maka didapat citra yang sesuai dengan posisi sebenarnya di

bumi.

3.3.2 Penurunan Data Elevation Model

Pengukuran Data Elevation Model (DEM) pada prinsipnya berhubungan

dengan sifat stereo yang dipandang sebagai objek. Data ketinggian suatu objek

dari satelit bisa didapatkan dengan beberapa metode, yaitu diantaranya:

interpolasi, penurunan dari citra stereo, dan Interferometri.

Paralak citra menunjukkan perubahan yang tampak pada posisi relatif

suatu obyek yang tak bergerak, yang disebabkan oleh perubahan posisi

pengamatan. Gambar 13 , melukiskan sifat paralak pada citra stereo satelit ALOS

yang bertampalan yang dipotret di atas medan yang beraneka. Perhatikan posisi

35

relatif titik 1 dan 2 yang berubah dengan berpindahnya posisi pengamatan (dalam

hal ini titik pengamatan).

Gambar 13. Prinsip pengukuran DEM dengan sifat paralak satelit (Trisakti, 2006)

Teleskop1 akan melakukan merekam bagian puncak dan bagian dasar

objek pada waktu yang sama (waktu t1), sedangkan teleskop 2 akan merekam

terlebih dahulu pada bagian puncak objek (waktu t2 dan jarak X2 dari posisi

rekam sensor 1) kemudian merekam bagian dasar (waktu t3 dan jarak X1 dari

posisi rekam sensor 1). Sehingga terjadi perbedaan waktu dan jarak untuk

merekam antara bagian puncak dan dasar objek sebesar t3-t2 dan X1-X2.

Perbedaan ini akan mengakibatkan terjadinya perbedaan posisi antara puncak dan

dasar objek pada citra perekaman arah miring, sedangkan pada citra perekaman

36

tegak lurus, puncak atau dasar objek akan mengacu hanya pada posisi dasar objek.

Perbedaan ini disebut perbedaan paralak atau jarak paralak Δp yang besarnya

sama dengan jarak perekaman arah miring antara puncak dan dasar objek X1-X2,

atau Δp= X1-X2. Sudut arah miring terhadap garis vertikal (atau sudut yang

dibentuk antara telescop 1 dan teleskop 2) adalah sebesar α, dimana tan α senilai

dengan X1 dibagi ketinggian satelit dari permukaan bumi, atau B/H

Selanjutnya ketinggian objek Δh dapat dihitung dengan formula

trigonometri sederhana yaitu: tan α = (X1-X2)/Δh. Sehingga persamaannya

menjadi sebagai berikut

Δh = (X1-X2)/tan α (3.1)

Δh = Δp/ (B/H) (3.2)

Δh = H*Δp/B (3.3)

Data Elevation Model (DEM) yang digunakan pada penelitian ini

merupakan data penurunan DEM dari citra ALOS PRISM. Penurunan DEM

dapat dilakukan dengan menggunakan kombinasi data yang berbeda, sebagai

contoh adalah kombinasi antara Nadir-Forward, Nadir-Backward atau Forward-

Backward, atau kalau memungkinkan adalah triplet Nadir-Forward-Backward.

Namun yang digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan kombinasi

Nadir-Backward.

Citra stereo ALOS PRISM (Nadir dan Backward) dipilih area kajian

penelitian yang sama dan sesuai dengan cropping area sehingga overlap antara

keduanya tepat.

Setelah penyiapan data, maka proses selanjutnya adalah proses

penurunan DEM. Data yang digunakan selain data PRISM juga data hasil

37

pengukuran ketinggian topografi menggunakan DGPS (Differential GPS) sebagai

referensi. Data DGPS ini diperoleh dari pengukuran lapangan yang dilakukan

oleh Pusat Pengembangan dan Pemanfaatan dan Teknologi Penideraan Jarak Jauh

LAPAN, AIT (Asian Institute of Technology) dan data DGPS BPPT . Data DGPS

ini merupakan data GCP (XYZ), (XY) untuk koordinat horisontal dan (Z) untuk

koordinat vertikal. Tingkat akurasi GCP referensi yang digunakan, jumlah GCP,

distribusi sebaran GCP, RMSE dari nilai paralaks dan ketepatan peletakan titik

GCP.

Proses pemasukan input-input parameter yang diperlukan seperti

penyesuaian zona 49 UTM (dareah kajian Cilacap) dan parameter sensor

(disajikan pada Tabel 6).

Proses selanjutnya adalah masukan data DGPS hasil pengukuran

lapangan sebagai data referensi untuk menyesuaikan posisi topografi dengan

ALOS PRISM. Pengambilan GCP pada tiap-tiap sensor disesuaikan dengan data

referensi satu-persatu posisi dengan tepat.

Untuk menambah keakuratan dan mempercepat pembuatan DEM yang

dibuat maka diperlukan titik ikat otomatis. Semakin banyak titik ikat maka

ketelitian semakin baik, yang direkomendasikan minimal 50 titik Sehingga pada

penelitian ini menggunakan titik ikat sebanyak 50 buah titik.

Side incidence adalah posisi satelit yang bias bergerak ke kiri atau ke

kanan. Track incidence adalah sudut yang dibentuk dari Backward-Nadir atau

Forward-Nadir. Ground resolution adalah ukuran sebenarnya di bumi dalam

setiap sel di citra. Sensor line along axis pada sumbu Y karena paralak terjadi

pada sumbu Y (proses masukkan informasi sensor terlihat pada Tabel 6).

38

Tabel 6. Informasi Sensor penuruan DEM ALOS Frame Editor Forward Nadir Backward Tab Frame Attributes Side incidence (degrees) 1,5 1,5 1,5 Track incidence (degrees) 26,57 0 –26,57 Ground resolution (meters) 2,5 2,5 2,5 Sensor line along axis y y y Sensor Information Forward Nadir Backward Tab General Focal length (mm) 1939 1939 1939 Principal point x0 (mm) 0 0 0 Principal point y0 (mm) 0 0 0 Pixel size (mm) 0,007 0,007 0,007 Sensor columns 16247 14650 16214 Tab Model Parameters X 2 2 2 Y 2 2 2 Z 2 2 2 Omega 1 1 1 Phi 1 1 1 Kappa 2 2 2

Nilai RMSE yang didapatkan merupakan nilai yang menunjukkan

seberapa besar ketelitian DEM yang kita dapatkan. Semaikn kecil nilai RMSE

nya maka semakin baik ketelitian Dem yang dihasilkan. Sehingga setelah proses

triangulasi selesai, maka penurunan DEM bisa dilakukan

Tabel 7. Parameter Triangulasi DEM Tab Parameter Keterangan / nilai General Maximum normal iterations

Iterations with relaxation Convergence value (pixels) Compute accuracy for unknowns Image coordinate unit for report

5 3 0,001 Dinonaktifkan Pixels

Point Type Same weighted values (X, Y, Z = 2,5 resolusi spasial ALOS Prism = 2,5 m)

Advanced options

Simple gross error check Use image observations of check point in triangulation Consider earth curvature in calculation Define topocenter (degrees)

Diaktifkan, nilai 3 Diaktifkan Dinonaktifkan Dinonaktifkan

39

3.3.3 Pengolahan pansharpan ALOS

Citra ALOS yang digunakan pada penelitian ini adalah citra ALOS

PRISM dan AVNIR. Karakteristik PRISM termasuk citra panchromatik yang

memiliki resolusi tinggi yaitu 2.5 m. Sedangkan karakteristik AVNIR memiliki

resolusi lebih rendah dibandingkan PRISM yaitu 10 m dengan multispektral.

Metode pansharpan ini bertujuan untuk mendapatkan data citra yang

memiliki karakteristik citra yang lebih baik yaitu memiliki resolusi tinggi (2.5 m)

dan termasuk multispektral.

Langkah pertama adalah koreksi geometri kedua citra sehingga ketika

proses fusion atau pansharpaning dilakukan akan mendapatkan citra pansharpan

yang tepat. Koreksi citra AVNIR terhadap citra yang sudah terkoreksi yaitu

dengan menggunakan citra SPOT, kemudian citra PRISM (Nadir) dikoreksi

geometrik terhadap citra AVNIR yang sudah terkoreksi sebelumnya.

Algoritma metode pansharpan yang digunakan pada penelitian ini

adalah algoritma Gramd Smith karena algoritma ini adalah algoritma fusion citra

yang paling baik secara visual untuk membedakan objek-objek pada

penutupan/penggunaan lahan. Misalnya dapat membedakan antara tanah dan

vegetasi secara lebih jelas dibandingkan dengan algoritma yang lain.

3.3.4 Pengolahan Penutupan Lahan

Klasifikasi merupakan proses penglemopokkan nilai reflektansi dari

setiap obyek ke dalam kelas-kelas tertentu sehingga mudah dikenali. Klasifikasi

yang digunakan pada penelitian ini adalah klasifikasi tak terbimbing

(unsupervised classification).

40

Data citra ALOS yang digunakan untuk mendapatkan citra terklasifikasi

berdasarkan tutupan lahanya yaitu menggunakan data citra ALOS AVNIR

(Advanced Vicible and Near-Imfrared Radiometer) dan ALOS PRISM ( Nadir).

Kandungan informasi dapat diperoleh melalui kegiatan klasifikasi dan

interpretasi data, interpretasi dibatasi pada pengenalan penggunaan/penutup lahan

(land cover) yang didefinisikan sebagai pengenalan tipe kemunculan obyek yang

ada di permukaan bumi, seperti bangunan urban, tanam tanaman, air dan lain-lain.

Dengan demikian, melalui pengenalan penggunaan/penutup lahan dapat diketahui

sebaran, bentuk, luasan dan lokasi berbagai obyek di permukaan bumi.

Proses pengolahan awal adalah dengan menggunakan metode

Pansharpan.. Metode Pansharpan ini menggunakan citra PRISM sebagai citra

yang memiliki resolusi spasial 2.5 m dengan monospketral dan citra AVNIR

sebagai citra yang memiliki resolusi spasial 10 m dengan multispektral. Setelah

kedua citra yang memiliki resolusi spasial dan sensor yang berbeda diintegrasikan

maka dihasilkan citra baru yang memiliki resolusi spasial yang lebih tinggi

dengan disertai sifat multispektral.

Setelah proses pansharpan dilakukan maka dilakukan proses klasifikasi

tak terbimbing (unsupervised classification). Banyaknya kelas klasifikasi sesuai

dengan tujuan yang ingin dicapai. Pada penelitian ini pemilihan

tutupan/penggunaan lahan ditujukan untuk mendapatkan daerah kalsifikasi yang

digenangi tsunami dan daerah rawan tsunami. Pemilihan kelas klasifikasi yang

dipilih peneliti terdiri dari kelas : pemukiman/bangunan, industri, sawah,

tambak,ladang, lahan terbuka, vegetasi lain, mangrove, pasir, kebun/perkebunan.

Serta informasi penggunaan lahan yang berasal dari digitasi pada peta

41

penutupan/penggunaan lahan yaitu: rumah sakit, jalan, sekolah, dan tempat

peribadatan.

Gambar 14. Bagan alir metode pansharpan

3.4 Pengolahan Pemodelan Tsunami

Model tsunami yang digunakan dalam penelitian ini, hanya dibangkitkan

oleh pergerakan dasar laut akibat gempa. Sedangkan persamaan gerak gelombang

yang digunakan adalah persamaan gerak gelombang panjang suku-suku linier.

Hal ini cukup mewakili karena model tsunami dalam penelitian ini berjenis ” Near

Fields Tsunami” dimana jarak antara pembangkit tsunami dengan pantai cukup

dekat, kurang dari 2000 km. Demikian pula untuk suku gesekan dasar dalam

perhitungan ini belum digunakan.

ALOS PRISM ALOS AVNIR

Pankromatik Multi spektral

Fusion / Pan sharpening

Ortho rectification

Klasifikasi Unsupervised

Land Use Map/Landcover

Citra ALOS

42

Persamaan di bawah ini adalah persamaan dasar penjalaran gelombang

tsunami yang digunakan dalam model ini (Immamura, 2006)

(3.3)

dimana, M = ∫ udz = ū (h + η) , discharge fluks dalam arah x

N = ∫ vdz = v (h + η) , discharge fluks dalam arah y

g = percepatan gravitasi bumi

h = kedalaman perairan

η = elevasi muka air laut

Program ini hanya digunakan untuk gelombang tsunami. Pengaruh

gelombang yang diakibatkan angin dan pasang surut tidak diperhitungkan. Paras

muka laut diberikan oleh pasang surut saat tersebut dan diasumsikan konstan

selama pemodelan tsunami. Hal ini dikarenakan simulasi tsunami hanya memiliki

durasi sekitar satu hingga tiga jam.

Syarat batas tertutup dalam model ini menggunakan asumsi garis sebagai

dinding. Sehingga tidak ada aliran yang melewatinya, dan gelombang terefleksi

secara sempurna. Dengan kondisi stabil jika h jauh lebih besar dari η

(3.4)

Dimana, C = kecepatan penjalaran gelombang

Δt= spatial waktu

Δx= spatial grid dalam arah –x

1≤ΔΔ

xtC

0=∂∂

+∂

∂+

∂∂

yN

xM

43

Pengolahan model dilakukan tiga tahapan yaitu : pre-processing,

processing, dan post processing. Proses pengolahan awal (pre-processing )

adalah membuat input data sumber atau parameter tsunami dan data dasar. Tahap

selanjutnya adalah proses running model atau pacu model. Tahap terakhir dari

pengolahan model tsunami pada penelitian ini yaitu tahap interpretasi dan

animasi.

3.4.1 Pre-processing

Pembuatan data input model berupa data batimetri GEBCO, DEM citra

ALOS yang telah dibuat pada tahap pengolahan citra sebelumnya. Pada

pembuatan input ini daerah domain yang digunakan oleh program terdiri dari

empat domain. Sehingga selain daerah kajian, maka dibuat tiga domain lainnya.

Keempat domain yang digunakan menggunakan metode nested grid.

Gambar 15. Lokasi domain model

Jumlah input batimetri dan topografi terdiri dari empat buah, domain D

merupakan daerah kajian penelitian yaitu di cilacap, sedangkan domain B, C, dan

domain A merupakan daerah nonkajian yaitu meliputi daerah yang luasannya

lebih besar dibandingkan domain D.

44

Penentuan domain dilakukan dengan menggunakan software Mapsource

sehingga batas penentuan domain lebih mudah dan jelas. Batas penentuan daerah

kajian penelitian disesuaikan dengan batas daerah citra dan DEM yang telah

ditentukan sebelumnya sehingga pada saat dilakukan overlay akan tepat.

Sedangkan untuk daerah nonkajian ditentukan dengan syarat luasan domain C <

domain B < domain A.

Langkah Pembuatan input domain D dilakukan dengan

mengintegrasikan data batimetri GEBCO dengan DEM ALOS. Proses

pengintegrasian ini dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Global Mapper

8.0, Textpad, Transform, Surfer 8.0, dan GEBCO Centenary edition. Proses

pembuatan input domain D dimulai dengan membuat terlebih dahulu input data

dari SRTM 90. Hal ini dilakukan untuk membantu pada tahap pemasukan data

batimetri terhadap DEM. Pengolahan dimulai pembuatan topografi dan garis

pantai dari data SRTM. Kemudian pembuatan batimetri dari GEBCO sesuai batas

domain D. Proses selanjutnya yaitu penggabungan data dan interpolasi data

dengan metode kriging yaitu data topografi, garis pantai, dan batimetri pada

software Surfer 8.0. Data hasil interpolasi dibaca dengan menggunakan software

Transform. Kemudian file tersebut disimpan dalam bnetuk ekstensi *hdf untuk

kemudian digabung dengan data batimetri.

Setelah input data SRTM dan GEBCO selesai maka sebelum

diintegrasikan dengan DEM ALOS, maka data DEM tersebut harus dikonversi

terlebih dahulu ke dalam bentuk data ASCII sehingga dapat dibaca dan

diintegrasikan dengan data batimetri. Proses konversi data DEM menjadi data

ASCII menggunakan software ENVI 4.3. Agar dapat dibaca pada software yang

45

sama yaitu Transform maka data ASCII tersebut dibuka dengan Textpad lalu

header citra dihilangkan dan disimpan dalam bentuk *txt dan dibuka dengan

Transform.

Program pemodelan tsunami ini hanya dapat membaca pada ukuran grid

30 x 30. Sehingga data DEM perlu dibuat sama ukuran gridnya menjadi ukuran

30 x 30. Hal ini disebabkan kemampuan dari media running program yaitu

komputer yang ada pada saat ini tidak mampu untuk menjalankan program pada

grid yang berukuran lebih kecil dari 30 x 30 sehingga pembuat program

menentukan ukuran grid yang berukuran 30 x 30.

Setelah pembuatan input dari data SRTM dan GEBCO selesai maka

dilakukan pengintegrasian batimetri dari input SRTM-GEBCO terhadap DEM.

Sehingga dihasilkan input model domain D yang terdiri dari DEM sebagai

topografi dan batimeri. Proses ini memerlukan penyesuaian ukuran grid antara

data DEM dan GEBCO sehingga untuk memudahkan proses penggabungan data,

nomor grid dirubah dari UTM menjadi ukuran nomor grid satuan dengan interval

1.0 dan dimulai dengan nomor grid satu. Proses penggabungan data dengan cara

memasukkan data batimetri ke dalam data DEM ALOS pada posisi grid sel yang

sama. Misalnya pada sel (20,15) artinya pada baris ke-20 dan kolom ke-15 pada

DEM memiliki nilai 0 (perairan), maka diisi dengan nilai pada data GEBCO pada

sel yang sama yaitu (20,15). Demikian seterusnya sehingga semua sel yang

bernilai nol pada data DEM terisi dengan data batimetri pada GEBCO.

Selanjutnya dilakukan pembuatan pembuatan file input domain C, B,

dan domain A. Proses pembuatan ketiga input ini dengan menggunakan data

46

GEBCO (topografi dan kedalaman laut). Batas-batas penentuan domain sesuai

dengan batas yang sudah ditentukan sebelumnya.

Pada tahap pembuatan input domain A, B, dan C ini hampir sama

dengan pembuatan input domain D. Tetapi pada proses ini hanya menggunakan

data GEBCO sebagai data dasar. Hal ini disebabkan selain domain A, B, dan C

ini bukan daerah kajian penelitian juga adanya keterbatasan data ALOS yang

digunakan pada pembuatan input model. Proses pembuatan di mulai dengan

penentuan daerah domain pada software GEBCO kemudian disimpan dalam

bentuk grid data dengan ekstension *asc. Kemudian diolah dengan menggunakan

software Surfer 8.0 dengan proses interpolasi kriging dengan space grid sesuai

dengan luasan grid domainnya disimpan dalam bnetuk *dat. Kemudian ketiga

file input diatas dibuka dengan software Transform dan disimpan dalam bentuk

*hdf untuk masing-masing domain.

File input A,B, dan C di atas bukan merupakan input model. Untuk

membuat input model domain A, B, dan C maka untuk input domain C adalah

gabungan antara input domain D dan domain C . Caranya yaitu dengan merubah

kembali nomor sel ke dalam bentuk UTM, kemudian pada posisi koordinat UTM

domain D pada domain C disi dengan semua data pada file input domain D.

Sehingga input domain C adalah data topografi dan batimetri dari domain D dan

domain C hasilnya dapat dilihat pada Gambar 16

Untuk mendapatkan input domain B dan A dilakukan proses yang sama

seperti pada pengolahan domain C. Sehingga didapatkan file input domain C, B,

47

dan domain A (grid-c, grid b, dan grid-a) yang digunakan pada tahap selanjutnya

yiatu tahap processing.

Gambar 16. Pembuatan domain C (gabungan input D dan C)

3.4.2 Processing

Tahap pacu model (running model) ini adalah proses simulasi model

dari input-input yang disiapkan pada proses sebelumnya serta input parameter

gempa sehingga dihasilkan sebuah model simulasi tsunami dengan menggunakan

software Fortran 9.0

Domain C Batimetri GEBCO

Domain D (DEM ALOS)

48

Parameter gempa yang digunakan pada model ini adalah : kekuatan

gempa (Mw) dan posisi gempa (Xo,Yo). Selain itu parameter waktu tempuh

simulasi yang dijalankan model disesuaikan dengan kondisi yang diinginkan

peneliti yaitu waktu tempuh tsunami hingga menjalar ke daratan selama 3 jam.

Pada tahap ini proses pansharpan disimulasikan berdasarkan tiga kasus

yang berbeda. Simulasi model yang dilakukan pertama adalah pansharpan untuk

kejadian tsunami berdasarkan tsunami 17 Juli 2006 dengan parameter gempa

(posisi, kekuatan, dan waktu tempuh) yang disesuaikan dengan data sekunder

yang didapat dari data USGS. Data sejarah gempa dasar laut yang menyebabkan

tsunami 17 Juli 2006 yaitu terjadi akibat gempa dengan kekuatan gempa 7.7 Mw

pada posisi gempa di titik -10.28 LS dan 107.82 BT (Gambar 17).

Epicentrum gempa dasar laut

Gambar 17. Sejarah tsunami Indonesia (Gunawan, 2007)

Skenario kedua pada tahapan processing model ini adalah simulasi

model pada posisi gempa yang sama dengan kekuatan gempa lebih besar daripada

49

7.7 Mw. Pada penelitian ini, kekuatan gempa 8.9 Mw dipilih sebagai

perbandingan pengaruh besarnya kekuatan gempa pada daerah gempa yang sama.

Sedangkan untuk skenario ketiga maka dipilih sebagai simulasi model untuk

posisi dan kekuatan gempa yang berbeda yang dipilih oleh peneliti. Untuk

simulasi ketiga ini dipilih posisi gempa yang berbeda dengan posisi gempa

berdasarkan sejarah terjadinya gempa tetapi masih berada pada daerah subduksi.

Proses kinerja program dapat dilihat pada Gambar 18.

Gambar 18. Bagan alir proses pacu model (running) tsunami modelling

OUTPUT

INPUT I MAX , J MAX

INPUT DX , DY

INPUT TOTAL SEC

OUTPUT (OUT SEC)

FILE OUTPUT SEC

INPUT BATIMETRI

INPUT DEFORMASI

CEK AREA KOMPUTASI

WAKTU > TOTAL WAKTU

No

Yes

50

Masukan (i,j) berupa data utama pengolahan model berupa data

topografi yang berasal dari penurunan DEM dari citra stereo. Input model

memiliki increment dx-dy sesuai ukuran tiap grid (A,B,C, dan D). Total input

model yang digunakan pada program ini terdiri dari empat input dimana input

domain D adalah grid kajian pada penelitian ini.

Batimetri dan topografi (DEM) Cilacap adalah input proses pacu model

dengan adanya parameter gempa sehingga menimbulkan deformasi vertikal dasar

laut. Proses selanjutnya adalah proses komputasi yang menghitung setiap nilai

pada tiap sel. Jika waktu pacu model sudah melebihi total waktu (3 jam), maka

proses komputasi selesai. Tetapi jika waktu pacu model kurang dari waktu total,

maka proses komputasi akan terus dilanjutkan sampai menghasilkan output model

yaitu nilai run-up tsunami.

3.4.3 Post Processing

Pada tahap ini hasil simulasi model yang telah didapatkan dari proses

sebelumnya berupa luasan genangan (innudation) tsunami di daratan serta tinggi

(run-up) tsunami. Kemudian agar pengkajian simulasi dapat diinterpretasikan

secara sederhana, maka peyajian peta dan video animasi diolah dengan

menggunakan software Xview, Bmp2Avi, dan Matlab sebagai sarana penyajian

interpretasi model. Untuk menyajikan tinggi fluktuasi muka air laut yang

diakibatkan oleh gelombang tsunami maka dapat disajikan dengan bantuan Matlab

6.5 dengan program yang sudah dapat dieksekusi. Program ini adalah program

untuk menampilkan fluktuasi muka air laut dari model yang sudah didapatkan

sebelumnya.

51

Sedangkan untuk menampilkan video animasi dari hasil simluasi model

dengan menggunakan software Bmp2Avi dan Xview. Perangkat lunak Xview

adalah software untuk mengkonversi hasil simulasi dari bentuk *txt menjadi

bentuk gambar dengan ekstensi *bmp. Setelah itu pembuatan video animasi

menggunakan software Bmp2Avi sehingga menghasilkan video hasil simulasi

model dalam bentuk *avi.

3.5 Integrasi Model dan Citra

Proses integrasi ini dilakukan untuk mendapatkan informasi daerah yang

tergenang tsunami serta ketinggiannya pada daerah kajian yaitu di Cilacap. Proses

integrasi ini dilakukan dengan mengoverlay hasil genangan (innudation) model

dengan tutupan lahan dan penggunaan lahan.

Proses overlay dilakukan dengan menggunakan software Arc.View 3.4.

Dimana daerah genangan maksimum terlebih dahulu diregistrasi terlebih dahulu

dengan empat titik sudut GCP pada ujung-ujung model. Kemudian proses overlay

dilakukan dengan citra atau peta sesuai analisis kajian yaitu daerah mana saja

yang terkena tsunami beserta luasannya pada tiga skenario yang berbeda.

Pengkelasan tinggi tsunami, pengkelasan topografi darat pada tiap

skenario dengan menggunakan sistem pengkelasan supervised, dimana banyaknya

kelas serta interval kelas ditentukan sesuai dengan nilai terendah dan tertinggi dari

kelas tersebut dengan menggunakan training area. Pada skenario gempa 8.9 Mw

dan 8.7 Mw, banyaknya kelas tinggi tsunami dibagi menjadi 5 kelas dengan

selang interval 1 m, sedangkan skenario gempa 7.7 Mw menggunakan selang 0.5

52

kemudian ditamplikan di Arc.view dan dilakukan analisis hubungan antara dua

kelas.

Untuk mengetahui luasan limpasan tsunami pada kelas penggunaan

lahannya, maka dilakukan analisis tabular antara kedua kelas tersebut dengan

perintah intersection theme di Arc. View 3.4. Hasilnya adalah data tabular dan

overlay antara dua kelas tersebut.

Penentuan daerah rawan tsunami didasarkan atas luasnya limpasan pada

area topografi rendah dengan tipe penggunaan lahan yang paling berbahaya dan

dianggap rawan jika terjadi tsunami jika menggenangi kelas tersebut. Urutan tipe

penggunaan lahan tersebut adalah tipe penggunaan lahan pemukiman, lahan

terbangun seperti industri,sekolah, dan tempat peribadatan, area budidaya, serta

area tutupan lahan alami, dan kelas tidak terlalu bahaya jika tsunami

menggenanginya, misal pohon atau semak/rumput. Proses selengkapnya dapat

dilihat pada Gambar 19.

Pada penelitian ini data ALOS yang digunakan untuk menurunkan DEM

adalah ALOS Backward-Nadir, sedang pada penelitian sebelumnya telah

dilakukan penurunan DEM ALOS Forward-Nadir dan SRTM oleh peneliti

LAPAN. Kemudan penelitian mengenai daerah rawan tsunami dengan

menggunakan metode integrasi penginderaan jauh dan model numerik tsunami

juga telah dilakukan oleh peneliti LAPAN bekerja sama dengan peneliti BPPT

pada tahun 2007.

Gambar 19. Diaglam alir keseluruhan penelitian

53 Batimetri GEBCO

Data Lapangan

Citra ALOS AVNIR

Citra ALOS PRISM

Tsunami Inundation Modeling

overlay

Koreksi geometrik

Pansharpan

Klasifikasi

Running DEM

Citra ALOS PRISM

Citra ALOS PRISM

Penentuan GCP

Daerah Prediksi Genangan

Parameter Gempa

Landcover/ Land Use

DEM

Daerah Rawan Tsunami

Genangan Maksimum

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. 1 Digital Elevation Model ( DEM)

Penentuan daerah rawan tsunami dengan menggunakan pemodelan

numerik dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: faktor topografi, batimetri , dan

gempa sebagai sumber pembangkit tsunami. Menurut Trisakti (2006) data digital

Elevation Model atau DEM adalah model dijital yang memberikan informasi

bentuk permukaan bumi (topografi) dalam bentuk data raster atau bentuk data

lainnya. DEM terdiri dari 2 informasi, yaitu: data ketinggian dan data posisi

koordinat dari ketingian tersebut di permukaan bumi.

Menurut Trisakti (2006) mengatakan bahwa DEM berbeda dengan data

yang mempunyai informasi ketinggian lainnya seperti DTM (Digital Terrain

Model) dan DSM (Digital Surface Model). DEM merupakan informasi

ketinggian permukaan bumi yang ditampilkan dengan perbedaan warna (warna

hitam memperlihatkan daerah topografi rendah, sedangkan warna putih

memperlihatkan daerah topografi tinggi), DTM merupakan informasi ketinggian

dari permukaan bumi tanpa tutupan lahan diatasnya, sedangkan DSM merupakan

informasi tutupan lahan dari permukaan bumi beserta tutupan lahan diatasnya

(sebagai contoh, daerah perkotaan yang memperlihatkan 3D dari gedung-gedung)

Pengukuran ketinggian topografi dilaksanakan pada bulan.Desember 2007

oleh pihak LAPAN dan BPPT di sepanjang Teluk Penyu Cilacap. Pengukuran

dilakukan pada 18 titik pengamatan oleh LAPAN yaitu menyebar diseluruh

wilayah cilacap, sedangkan 15 titik pengamatan dilakukan oleh BPPT di

sepanjang pantai Teluk Penyu Cilacap.

55

Gambar 20. Lokasi pengamatan topografi Teluk Penyu (Cilacap)

Pengamatan dilakukan di daerah Sidanegara, Tegal Kamulyan,

Kebonmanis, Donan, Lomanis, Menganti, Sidakaya, Mertasinga, dan Gunung

Simpang. Survey LAPAN dilaksanakan menyebar ke seluruh bagian Cilacap. Hal

ini dilakukan untuk mendapatkan sampling titik ketinggian topografi yang

mewakili seluruh bagian Cilacap. Selain itu, titik pangamatan dilakukan pada titik

stasiun yang bersifat konstan seperti persimpangan jalan, jembatan, atau disekitar

lapang terbuka. Sedangkan untuk survey BPPT dilakukan pengamatan pada

56

daerah sepanjang pantai. Hal ini dimaksudkan untuk mengamati titik ketinggian

topografi daerah dekat pantai yang rawan terkena tsunami.

Tabel 8. Posisi Pengukuran Topografi (Survey LAPAN dan BPPT) (Carolita dan Subarkah, 2008)

Koordinat Tinggi (m) No x y Survey (LAPAN dan BPPT)

1 7.68669 109.01214 4.6842 7.74117 109.01012 5.0363 7.74095 108.9977 7.0794 7.72077 108.99946 2.5195 7.68887 109.0013 3.6746 7.66188 109.04763 3.3997 7.69408 109.0346 7.548 7.75193 109.01994 5.339 7.71916 109.02745 2.04

10 7.71599 109.03007 2.99411 7.7054 109.03894 0.83612 7.69944 109.04979 0.96113 7.70108 109.05072 1.12714 7.69023 109.06954 3.03215 7.68834 109.0745 0.45216 7.75162 109.01969 2.04917 7.74254 109.01974 3.87418 7.74251 109.0194 2.6819 7.74035 109.01982 2.81720 7.74005 109.01879 3.85221 7.73666 109.02058 1.52422 7.73447 109.02111 2.23523 7.72828 109.02306 2.14524 7.72796 109.02259 2.59525 7.71768 109.02879 1.56826 7.71279 109.03277 2.42627 7.70939 109.03596 1.6428 7.70734 109.04009 1.50429 7.69944 109.04979 1.47530 7.72562 109.0088 1.41831 7.74245 109.0183 1.58332 7.74646 109.01932 1.11533 7.74352 109.01946 3.032

Tabel 8 menunjukkan posisi pengukuran dan ketinggian topografi daerah

Cilacap yang dilakukan oleh LAPAN dan BPPT. Topografi pada stasiun

57

pengukuran dilakukan dengan menggunakan GPS differensial dengan kalibrasi

benchmark Cilacap untuk mengukur ketinggian topografi.

Ketinggian maksimum pada stasiun pengukuran adalah 7.54 m di Desa

Tritih Lor pada posisi 7.69408 LS dan 109.0346 BT . Sedangkan topografi

terendah adalah 0.452 m pada posisi 7.68834 LS dan 109.0745 BT yaitu di Desa

Tegal Kamulyan .

4.2 Pengukuran Ketinggian dari Citra ALOS

Panchromatic Remote-sensing Instrumen for Stereo mapping (PRISM)

adalah instrument penginderaan jauh pada satelit ALOS dengan sensor

pankromatik dengan resolusi spasial 2.5 m dan memiliki kemampuan untuk

mengambil obyek yang sama pada permukaan bumi dari 3 posisi yang berbeda.

Sensor ini mempunyai 3 teleskop untuk merekam citra stereo dari arah depan

(Forward), arah tegak lurus (Nadir ) dan arah belakang (Backward) searah dengan

orbit satelit (along track). Secara visual perbedaan anatara kedua citra dapat

dilihat pada Gambar 21.

Penurunan DEM dari citra membutuhkan citra yang memiliki sifat stereo

seperti yang dimiliki PRISM dimana setiap teleskop (nadir , backward, dan

forward) terdiri dari 3 cermin dan beberapa detektor CCD untuk melakukan

perekaman dengan menggunakan metoda push-broom scanning. Teleskop pada

arah tegak lurus dapat merekam citra dengan swath 70 Km, sedangkan arah depan

dan arah belakang merekam dengan swath sebesar 35 Km. Sudut yang dibentuk

teleskop arah depan dan arah belakang terhadap arah tegak lurus adalah 23.80, ini

bertujuan untuk menghasilkan data stereo dengan rasio lebar (base)/tinggi (height)

58

yang mendekati nilai 1. Kombinasi citra stereo tersebut dapat digunakan untuk

menghasilkan DEM dengan akurasi yang cukup untuk memetakan permukaan

bumi dalam skala 1:25.000 atau lebih besar (JAXA, 2006).

Gambar 21. Citra ALOS PRISM

Pada penelitian ini dilakukan penurunan DEM dari citra ALOS PRISM

dengan metode penurunan DEM mengunakan citra stereo, yaitu menggunakan 2

citra yang diperoleh dari sudut pandang yang berbeda yaitu citra PRISM Nadir

dan citra PRISM Backward) daerah Cilacap khususnya di Teluk Penyu yang

menjadi daerah kajian penelitian. Kedua citra hasil crooping mewakili wilayah

pantai di selatan Kabupaten Cilacap yang menjadi daerah yang rawan terkena

tsunami.

59

Penurunan DEM dari citra stereo seperti ALOS atau ASTER berdasarkan

prinsip waktu dan jarak perekaman sensor yang ada pada satelit. yang biasa

disebut perbedaan paralak atau jarak paralak Δp yang besarnya sama dengan jarak

perekaman arah miring antara puncak dan dasar objek. Untuk memperoleh

ketinggian objek dapat ditentukan dari perhitungan jarak paralak tersebut. Berikut

adalah gambar hasil penurunan DEM dari cita stereo ALOS pada Gambar 22.

(Lang H. and Welch (1999) in Trisakti et al. (2006))

Gambar 22 Digital Elevation Model Kabupaten Cilacap 2D

Kabupaten Cilacap merupakan dataran rendah dimana daerah timur

mempunyai konfigurasi pantai melengkukng ke arah timur laut sampai muara

60

Sungai Serayu. Pada penelitian ini dapat diketahui topografi Cilacap mempunyai

ketinggian maksimum yaitu 65.28 m. Hal ini ditunjukkan secara visual dimana

semakin tinggi topografi daratan maka warna yang ditunjukan akan mempunyai

gradasi warna yang lebih putih atau cerah. Dan sebaliknya semakin gelap warna

pada citra DEM maka semakin rendah topografi. Daerah kajian penelitian pada

umumnya berwarna gelap sehingga menunjukkan dataran yang rendah.

Sedangkan warna cerah pada citra di atas menunjukkan dataran tinggi yang

mempunyai topografi yang tinggi yaitu Pulau Nusakambangan.

Proses pembuatan DEM ini memerlukan nilai triangulasi dan Control

Point yang baik. Semakin kecil nilai RMS maka semakin tinggi tingkat

akurasinya. Untuk menambah ketelitian dan mempercepat pembuatan DEM,

diperlukan titik ikat (tie point) selain GCP/CP yang telah dimasukkan. Titik ikat

tersebut dapat membantu dalam pembuatan DEM agar proses pembuatan menjadi

lebih cepat dan mudah. Semakin banyak titik ikat otomatis, maka semakin baik

hasil akurasinya. Namun dalam penelitian ini, peneliti menggunakan 50 titik ikat

otomatis yang ditambahkan.

Gambar 23 memperlihatkan bahwa pada posisi yang sama (ditunjukkan

dengan transek 6 stasiun) data topografi ALOS memiliki data yang lebih

menyerupai topografi sebenarnya dan relief lebih halus dibandingkan dengan

DEM SRTM. Hal ini disebabkan tingginya akurasi DEM ALOS yang diturunkan

dari citra stereo (PRISM) dengan resolusi 2.5 m dibandingkan dengan SRTM

resolusi 90 m. Akurasi dari data ini tergantung dari sumber titik tinggi dan

resolusi spasial suatu data DEM. Semakin tinggi resolusi spasial yang dimiliki

61

suatu data DEM, maka semakin tinggi akurasi data yang dihasilkan

(Prahasta,2008).

(a) (b)

Gambar 23. Perbandingan DEM ALOS dan SRTM 90

Terlihat pada Gambar 24 merupakan hasil pengolahan DEM ALOS dan

SRTM 90 m dalam bentuk grafik. Secara visual terlihat relief dari DEM ALOS

lebih rapat dan halus dibandingkan DEM SRTM 90. Selain itu nilai topografi

yang dimiliki DEM ALOS lebih menyerupai keadaan topografi sebenarnya

dibandingkan dengan nilai ketinggian SRTM (Tabel 9).

Gambar 24. Grafik perbandingan (a) DEM ALOS dan (b) DEM SRTM

62

Tabel 9. Perbandingan topografi survey lapangan, ALOS dan SRTM

Koordinat Tinggi (m) Bias Ketinggian No x y Survey ALOS SRTM [Survey-ALOS] [Survey-SRTM]

1 280733 9149830 4.6840 4.4499 9.8956 0.2341 5.21162 280538 9143803 5.0360 5.4283 10.6924 0.3923 5.65643 279538 9149583 7.0790 7.6504 7.7269 0.5714 0.64794 284636 9152592 2.5190 2.0814 4.8757 0.4376 2.35675 282726 9146598 3.6740 2.8800 5.9341 0.7940 2.26016 283699 9147774 3.3990 3.1393 4.3814 0.2597 0.98247 284894 9148439 7.5400 7.3244 10.4338 0.2156 2.89388 284997 9148258 5.3300 4.1077 3.8738 1.2223 1.45629 287068 9149467 2.0400 2.0791 4.0000 0.0391 1.9600

10 287615 9149679 2.9940 2.9818 2.1803 0.0122 0.813711 281599 9142652 0.8360 0.8268 4.8862 0.0092 4.050212 281608 9143898 0.9610 0.9356 6.0000 0.0254 5.039013 281494 9143931 1.1270 1.3118 10.7914 0.1848 9.664414 281690 9144307 3.0320 2.8195 9.9942 0.2125 6.962215 281747 9144549 0.4520 0.6299 4.8532 0.1779 4.401216 281959 9145235 2.0490 2.1650 5.9419 0.1160 3.892917 281907 9145270 3.8740 1.4949 5.9992 2.3791 2.125218 282586 9146410 2.6800 2.2400 6.8785 0.4400 4.198519 283022 9146953 2.8170 1.9759 5.5492 0.8411 2.732220 283373 9147331 3.8520 3.1393 4.3814 0.7127 0.529421 283827 9147560 1.5240 1.4537 5.1872 0.0703 3.663222 284894 9148439 2.2350 2.2923 6.9946 0.0573 4.759623 280384 9145522 2.1450 2.1423 2.0004 0.0027 0.144624 281556 9143222 2.5950 2.8800 8.6893 0.2850 6.094325 279351 9146054 1.5680 1.5691 4.0000 0.0011 2.432026 282439 9146246 2.4260 2.2288 3.8312 0.1972 1.405227 281600 9143656 1.6400 1.7709 3.2041 0.1309 1.564128 281563 9143659 1.5040 1.9614 3.7082 0.4574 2.204229 281570 9143547 1.4750 1.4537 5.1872 0.0213 3.712230 279168 9143820 1.4180 1.8928 4.3730 0.4748 2.955031 283215 9149024 1.5830 1.4812 2.9410 0.1018 1.358032 281627 9142617 1.1150 1.0044 2.8639 0.1106 1.748933 281441 9143665 3.0320 3.0031 2.9175 0.0289 0.1145

Tabel 10. Data statistik perbandingan bias topografi Topografi ALOS (m) SRTM (m) Rata-rata 0.3399 3.0300 Maksimum 2.3791 9.6644 Minimum 0.0011 0.1145

63

Tingkat ketelitian DEM yang berasal dari citra stereo ALOS dapat dilihat

pada table 9. Secara keseluruhan data ketinggian yang terukur pada saat survey

lapangan hampir sama dengan data ketinggian dari ALOS. Rata-rata ketinggian

pada area pengamatan di lapangan mencapai 2.7 m. Nilai ketinggian ini hampir

menyerupai dengan rata-rata ketinggian yang berasal dari DEM ALOS yaitu

sebesar 2.5 m. Nilai bias ketinggian ALOS lebih kecil (0.3 m) dari pada nilai bias

SRTM (3.03 m) terhadap topografi sebenarnya. Hal ini menunjukkan bahwa

ketelitian ALOS lebih tinggi karena mendekati nilai topografi sebenarnya.

Berikut adalah tampilan DEM ALOS dalam bentuk 3 dimensi (Gambar 25).

Gambar 25. Digital Elevation Model Cilacap 3D (Teluk Penyu)

Gambar 25 menunjukkan topografi Cilacap berdasarkan tampilan 3

dimensi. Warna kuning muda menunjukkan topografi bernilai nol atau terlihat

pada gambar ketinggian nol termasuk perairan. Sedangkan semakin warna

64

cokelat kebiru-biruan, maka menunjukkan topografi yang lebih tinggi. Terlihat

kisaran topografi Cilacap termasuk topografi yang landai berkisar antara 0 m

hingga 43 m

4.3 Pansharpan ALOS

Selain PRISM, satelit buatan Jepang ini juga memiliki instrumen yang

dilengkapi kanal multispektral untuk pengamatan permukaan daratan dan wilayah

pesisir dengan resolusi spasial yang dapat digunakan untuk tujuan pemetaan dan

klasifikasi penutupan/penggunaan lahan skala regional yaitu AVNIR (terlihat

pada Gambar 26).

Sensor AVNIR ini memiliki resolusi spasial (10 m) yang lebih rendah

dibanding resolusi spasial PRISM (2.5 m) tetapi memiliki multispektral.

Pengolahan pansaharpan ini bertujuan untuk mendapatkan data citra yang

memiliki karakteristik citra yang lebih baik yaitu memiliki resolusi tinggi (2.5 m)

dan termasuk multispektral yang dapat digunakan untuk pengolahan selanjutnya

yaitu pemetaan penutupan atau penggunaan lahan.

Gambar 26. Citra ALOS AVNIR (hasil croping)

65

Gambar di atas adalah citra AVNIR croping dan zooming dengan

kombinasi RGB 321. Pemotongan dan pembesaran citra dilakukan untuk

mengetahui perbandingan tampilan dengan PRISM pada area pemotongan yang

sama sehingga dapat terlihat jelas setelah dilakukan proses pansharpan . Selain

itu penajaman citra dilakukan dengan membuat komposit citra RGB. Komposit

dilakukan pada kanal 3,2, dan kanal 1 secara berurutan untuk RGB. Kombinasi

RGB 321 tersebut mempunyai tingkat kekontrasan yang baik, terutama untuk

obyek perairan, vegetasi darat, dan lahan kering. Sehingga kombinasi tersebut

yang paling sesuai untuk penampakan penutupan/ penggunaan lahan.

Gambar 27. ALOS PRISM –Nadir (hasil croping)

66

PRISM nadir hasil pemotongan citra pada Gambar 27 memperlihatkan

citra alos yang mempunyai resolusi spasial yang tinggi yaitu 2.5 m dan

pankromatik (monospektral). Area yang terekam pada sensor ini bisa

memberikan informasi yang lebih detil dibandingkan AVNIR. Tetapi meskipun

area yang terekam lebih jelas tetapi sifatnya yang monospektral, maka setelah

dilakukan pansarhpan dengan metode Gram Schmidt Algoritm (terlihat pada

Gambar 28)

AVNIR 10 m

Phansarpan-Multispektral 2.5 m

PRISM 2.5 m

Gambar 28. Citra ALOS pansharpan (PRISM-AVNIR)

Menurut Prahasta (2008) pansharpening adalah penggabungan atau

mengkombinasikan (fusi) data (dengan cakupan wilayah yang sama) yang berasal

dari berbagai (rekaman) sensor satelit (dan dengan resolusi-resolusi spasial yang

67

berbeda) yang mengkombinasikan citra digital pankromatik (band tunggal yang

beresolusi spasial lebih tinggi) dengan citra digital multi-spektral (beberapa band

berwarna tetapi memiliki resolusi spasial lebih rendah). Hasil penggabungan dua

citra yang memiliki resolusi spasial yang berbeda ini adalah citra lebih jelas

dengan resolusi 2.5 m dan multspektral sehingga dapat mempermudah dalam

ekstraksi informasi pada pembuatan peta penutupan atau penggunaan lahan.

4.4 Peta Penutupan/Penggunaan Lahan (Land Use)

Klasifikasi merupakan suatu proses pengelompokkan nilai reflektansi dari

setiap objek ke dalam kelas-kelas tertentu sehingga mudah dikenali. Dalam

penelitian ini klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi tak terbimbing

(Unsupervised classification) dan digitasi peta penggunaan lahan sebagai

informasi tambahan.

Hasil klasifikasi secara digital tidak terlalu baik, masih ada kelas-kelas

yang tercampur. Maka proses editing dilakukan untuk memisahkan kelas-kelas

yang tercampur dengan cara editing region tiap kelas.

Kelas penutupan.penggunaan lahan hasil ekstraksi dari pansharpan ALOS

menghasilkan kelas-kelas penutupan/penggunaan lahan akurasi yang tinggi. Hal

ini telah dibuktikan oleh peneliti langsung dengan survey lapangan. Dari 53

stasiun pengamatan, maka 50 stasiun sesuai dengan hasil lapangan (dapat dilihat

pada lampiran)

68

Gambar 29. Penutupan/penggunaan lahan Kabupaten Cilacap Menurut Purbowaseso (1995) satu faktor penting untuk menentukan

kesuksesan pemetaan penggunaan lahan dan pentutpan lahan terletak pada

pemilihan skema klasifikasi yang tepat dirancang untuk satu tujuan dimaksud.

Pada penelitian ini pembuatan peta penutupan lahan/penggunaan lahan

dimaksudkan untuk mengklasifikasi area penutupan/penggunaan lahan di

Kabupaten Cilacap yang rawan terhadap tsunami.

Kelas penutupan/penggunaan lahan yang dapat diekstrak dari citra ALOS

pada penelitian ini terdiri dari 16 jenis/kelas penggunaan lahan: pemukiman dan

bangunan, industri, sawah, tambak, ladang, lahan terbuka, semak/rumput, vegetasi

69

lain, mangorve, pasir, dan sungai/perairan. Sedangkan informasi tambahan hasil

digitasi dari peta rupa bumi Bakosurtanal skala 1:25000 adalah jalan, rumah sakit,

sekolah, dan tempat peribadatan.

Pembuatan peta penutupan/penggunaan lahan pada penelitian ini dibuat

berdasarkan metode pansaharpan dari citra ALOS AVNIR (resolusi spasial 10 m)

dan PRISM (2.5 m) sehingga pengkelasan yang dihasilkan lebih memberikan

informasi kelas-kelas penggunaan lahan yang lebih banyak dibandingkan jika

hanya mengggunakan sensor AVNIR saja. Tujuan metode ini adalah untuk

memunculkan kelas-kelas yang tidak bisa dibedakan dengan kelas yang

berdekatan nilai pantulannya, seperti kelas vegetasi lain (pohon-pohon disekitar

area pemukiman, serta kelas rumput dan semak akan sulit dibedakan dengan

vegetasi lain). Hal ini membantu dalam pengkelasan penutupan/penggunaan

lahan untuk area rawan tsunami.

Sistem pengkalsifikasian yang digunakan penelitian ini adalah sistem

klasifikasi lahan dan penutupan lahan USGS (United State Geological Survey)

tingkat I dengan menggunakan data penginderaan jauh. Hal ini sesuai dengan

kriteria yang diberikan USGS (Purbawoseso, 1995) yaitu : level kecermatan

interpretasi minimum dengan menggunakan penginderaan jauh tidak kurang dari

85 persen, hasil yang dapat diulang dapat diperoleh dari penafsir yang satu ke

yang lain dan dari satu saat penginderaan ke saat yang lain (dalam hal ini sudah

ada penelitian mengenai penutupan/penggunaan lahan di Kabupaten Cilacap ini

dan hasilnya adalah kurang lebih sama ), sistem klasifikasi dapat diterapkan untuk

daerah yang luas yaitu area kabupaten, kategorisasi memungkinkan penggunaan

lahan ditafsir dari tipe penutup lahannya.

70

4. 5 Tsunami Modeling Pemodelan tsunami saat ini sedang dikembangkan secara aktif oleh para

peneliti untuk dapat memprediksi tinggi awal gelombang tsunami akibat

deformasi dasar laut dan perhitungan run-up gelombang pantai. Oleh sebab itu

pada penelitian ini, pemodelan tsunami adalah input utama yang akan

memberikan informasi secara spasial mengenai daerah yang rawan yang akan

terkena tsunami berdasarkan area genangan/limpasan tsunami.

Faktor-faktor yang berperan dalam pemodelan tsunami ini adalah

karakter dasar laut yang ditunjukkan dengan batimetri, topografi daratan yang

merupakan hasil penurunan DEM dari ALOS, serta faktor pembangkit

gelombang tsunami yaitu gempa dasar laut yang berpotensi menghasilkan

deformasi dasar laut dan berpotensi menimbulkan tsunami.

4.5.1 Area Simulasi dan Batimetri Area genangan yang disimulasikan adalah daerah domain D atau area

kajian saja yaitu di sekitar Pantai Teluk Penyu, Kabupaten Cilacap. Sedangkan

Area A, B, dan area C tidak dilakukan simulasi genangan karena tidak termasuk

area kajian penelitian. Pembuatan domain model berdasarkan metode nested area.

Hal ini penting untuk mempermudah proses komputasi. Perhitungan komputasi

dimulai dari domain tersempit (D) hingga terluas (Grid A). Berikut adalah area

topografi dan area batimetri sebagai input model (Gambar 30).

71

Gambar 30. Grid area batimetri dan topografi (Tsunami Modeling Program)

Tabel 11. Area (Domain) Topografi dan Area Batimetri Posisi

No Grid Geografi UTM 1 A1 11.56 105.02 502181 8722100

A2 6.47 113.13 735569 9284347 A3 6.47446 105.01973 502181 9284347 A4 11.55195 113.16 735569 8722100

2 B1 8.55 108.316 204531 9053868 B2 7.455 109.708 357428 9175743 B3 7.44879 108.32319 204531 9175743 B4 8.55715 109.70452 357428 9053868

3 C1 7.98 108.711 247677 9117213 C2 7.584 109.337 316533 9161340 C3 7.58116 108.71316 247677 9161340 C4 7.98298 109.33543 316533 9117213

4 D1 7.80851 108.95545 274542 9136325 D2 7.64926 109.11656 292237 9154022 D3 7.64853 108.95622 274542 9154022 D4 7.80926 109.11585 292237 9136325

Batimetri adalah ukuran keadaan profil laut yang berhubungan dengan

tinggi rendahnya dasar laut (Dishidros,2007). Karakter dasar laut yang berubah

72

pada setiap kedalamannya mempengaruhi penjalaran tsunami. Pengaruh

penjalaran tsunami dari tengah laut (pusat terbentuknya tsunami) menuju pantai,

kecepatan semaking berkurang karena gesekan dengan dasar laut yang semakin

dangkal. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Diposaptono (2006)

mengenai gelombang di tempat dangkal bahwa tsunami merupakan gelombang

perairan dangkal yang dipengaruhi oleh perbandingan antara kedalaman laut dan

panjang gelombang yang lebih kecil dari seperduapuluh (1/20).

Data batimetri yang digunakan pada penelitian ini adalah data batimetri

GEBCO (General Bathymetric Chart of the Oceans ) yang berasal dari bank data

berupa Digital Atlas GDA Software Interface. Data batimetri yang tersimpan pada

software GDA Software Interface ini, mencangkup data-data yang terekam oleh

GEBCO dalam selang 1 menit per satu grid dengan luasan 1.85 km.

Gambar 31. Peta batimetri (GRID-A) Pulau Jawa

73

Dalam pemodelan tsunami ini, tsunami modeling program memerlukan

area simulasi yang terdiri dari empat grid atau domain yang disimulasikan yaitu

domain D, C, B, dan domain A berbentuk nested grid . Dimana domain A adalah

area terluas yang disimulasikan oleh model.

Domain A dalam model ini meliputi daerah Pulau Jawa, khususnya

Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Sedangkan Domain B, dan C

adalah area yang lebih kecil dari area A. Domain D adalah area penelitian yaitu di

Kabupaten Cilacap khususnya di Teluk Penyu Cilacap.

Area grid A terletak pada posisi 6.46 -11.56 Lintang Selatan dan 105.02-

113.13 Bujur Timur dengan interval kedalaman 500 m. Kedalaman laut tertinggi

pada area simulasi adalah 7500 m. Profil kedalaman dasar laut selatan di Pulau

Jawa ini termasuk laut dalam dan curam karena memiliki profil yang khas dimana

setelah beberapa meter dari pantai maka ketinggian kedalaman semakin

meningkat sehingga laut selatan ini termasuk laut dalam (Gambar 32).

Gambar 32. Kalsifikasi perairan Indonesia (Sumber : TNI AL, 2005)

74

Hal ini ditetapkan oleh TNI AL pada Laporannya yang berjudul Rencana

Pembangunan Jangka Panjang TNI AL (2005), warna biru menunjukkan laut

dalam (deep water) dan merupakan laut terbuka (open sea). Warna merah

menunjukkan laut dangkal (shallow water) terdiri dari Dangkalan Sunda di Barat

dan Dangkalan Sahul di Timur, sedangkan warna hijau menunjukkan laut dalam

(deep water) tetapi di luar laut terbuka (non open sea).

Gambar 33. Peta batimetri (GRID-D) Kab. Cilacap Input batimetri domain D adalah area kajian tsunami inundation yang

menjadi wilayah domain topografi daratan Cilacap (DEM ALOS) yang telah

dibuat sebelumnya yaitu terletak pada posisi 7.64 -7.80 Lintang Selatan dan

108.95-109.11 Bujur Timur. Terlihat pada Gambar bahwa semakin mendekati

pantai maka kontur semakin dangkal dan hampir homogen area sepanjang Pantai

Teluk Penyu yaitu pada kedalaman < 6 m yang ditunjukkan dengan warna kontur

75

yang semakin biru muda. Kedalaman laut maksimum adalah sebesar 55 m. Jika

merujuk Gambar 31 maka area grid D ini adalah termasuk laut dangkal (berwarna

merah).

4.5.2 Sumber Gempa

Pemodelan tsunami secara spasial pada penelitian ini dilakukan

berdasarkan tiga skenario yang berbeda. Model pertama adalah simulasi model

berdasarkan sejarah tsunami yang telah terjadi yaitu kejadian tsunami tsunami 17

Juli 2006 dengan parameter gempa (posisi, kekuatan, dan waktu tempuh) yang

disesuaikan dengan data sekunder yang didapat dari data USGS. Data sejarah

gempa dasar laut yang menyebabkan tsunami 17 Juli 2006 yaitu terjadi akibat

gempa dengan kekuatan gempa 7.7 SM pada posisi gempa di titik -10.28 LS dan

107.82 BT dengan kedalaman pusat gempa 20.4 km.

Sedangkan model yang kedua adalah model tsunami skenario yang

ditentukan berdasarkan analisis dan prediksi peneliti sendiri yaitu model tsunami

pada posisi epicenter gempa yang sama yaitu di titik -10.28 LS dan 107.82 BT

dengan kedalaman pusat gempa yang sama pula yaitu 20.4 km. Tetapi dengan

kekuatan gempa 8.9 SM (sesuai tsuanami Aceh 2004). Dan model ketiga adalah

model skenario prediksi tsunami yaitu dengan kekuatan gempa 8.7 SM dan posisi

gempa yang pernah terjadi pada tahun 2008 yaitu tepatnya pada 8.49 LS dan

108.78 BT.

Tabel 12. Parameter gempa NO Gempa Xo Yo M D L W

1 Skenario 1 -10.28 107.82 7.7 2.28 78.82 39 2 Skenario 2 -10.28 107.82 8.9 9.09 314 157 3 Skenario 3 -9.195 109.59 8.7 7.22 249 125

76

Menurut Budiman dan Diposaptono (2005) parameter sesar yang

dihasilkan gempa seperti panjang dan lebar sesar, energi atau magnitude,

kedalaman pusat gempa, slip dan mekanisme fokus (strike, dip, dan sudut slip)

adalah parameter-parameter yang utama dari sumber gempa.

Namun parameter sesar yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari

komponen posisi gempa (Xo, Yo), kekuatan gempa (SM), dislokasi gempa

(derajat), panjang (L) dan lebar (W) patahan yang diakibatkan gempa.

Gambar 34. Posisi epicenter dan kekuatan gempa (a) 7.7 SM (b) 8.9 SM (c) 8.7 SM

pusat gempa

(b)

pusat gempa

(a)

pusat gempa

(c)

77

Ketiga pusat gempa di atas adalah gempa-gempa yang pernah terjadi di

area pantai selatan Pulau Jawa. Berdasarkan data USGS pusat gempa yang

pernah terjadi pada tahun 17 Juli 2006 berada pada jarak 220 km dari arah utara

Pulau Christmas, 245 km dari arah barat Tasikmalaya, 265 km dari arah selatan

Bandung, dan 355 km dari arah Utara Jakarta. Sedangkan pada skenario gempa

ketiga berdasarkan gempa yang terjadi pada tahun 2008 yang jaraknya lebih dekat

dengan Cilacap yaitu sekitar 165 km. Skenario ketiga dipilih untuk melihat

pengaruh dari parameter jarak dan kekuatan gempa pada posisi yang lebih dekat

dengan daerah kajian.

Gempa dengan kekuatan 7.7 SM menghasilkan gempa yang mempunyai

panjang patahan 78.82 km, lebar patahan 39 km, dan sudut dislokasi sebesar 2.28

derajat. Gempa dengan kekuatan 8.9 SM menghasilkan panjang patahan sebesar

314 km, lebar patahan 157 km, dan sudut dislokasi sebesar 9.09 derajat. Gempa

berkekuatan 8.7 SM menghasilkan panjang dan lebar patahan sebesar 249 km dan

125 km dengan besar dislokasi 7.22 derajat.

Pembangkitan tsunami dipengaruhi oleh besarnya kekuatan gempa

dengan ditunjukkan perbedaan hasil lebar dan panjang patahan serta sudut

dislokasi akibat patahannya.

4.5.3 Area Genangan Tsunami (Inundation Area of Tsunami) Gelombang Tsunami awal akibat gempa bumi, akan menjalar keseluruh

arah. Akibat adanya perbedaan kontur kedalaman, maka akan terjadi pembelokan

arah dan tinggi gelombang tsunami. Di bawah ini disajikan tiga skenario

pembangkitan gelombang tsunami pada dua waktu tempuh simulasi yaitu 1 jam

dan 2 jam setelah pembangkitan.

78

Gambar 35. Penjalaran tsunami 7.7 SM (a) setelah 1 jam (b) 2 jam Gempa di dasar laut dengan kekuatan energi magnitude 7.7 SM

menghasilkan tsunami di beberapa daerah diantaranya : Pangandaran , Kebumen ,

Yogyakarta, dan hingga terasa di daerah Cilacap (daerah kajian penelitian). Pada

satu jam pertama waktu simulasi, penjalaran tsunami belum sampai ke daerah

Cilacap, terlihat pada Gambar (a) sudah terlihat adanya area yang terkena tsunami

namun masih dalam skala yang tidak terlalu luas akibat Tsunami.

Penjalaran tsunami pada setelah dua jam waktu simulasi, maka tsunami

mulai terasa dampaknya di daerah Cilacap dengan kondisi perairan belum terdapat

fluktuasi gelombang yang signifikan dengan perairan disekitarnya, dampak yang

ditimbulkan tsunami di sekitar pesisir Cilacap meskipun tidak sebesar dampaknya

di daerah lain seperti Pangandaran. Berdasarkan data BMG (2008), area

(meter) (a)

(meter) (b)

79

genangan tsunami pada tanggal 17 Juli 2006 di daerah Cilacap mencapai 300 m di

daerah karang Tirta dan Ngantik Kisik.

Pemilihan skenario penjalaran tsunami ini didasarkan Tsunami yang

terjadi di Pangandaran pada tanggal 17 Juli 2006. Energi magnitude dan posisi

sesar yang disimulasikan sudah disesuaikan dengan kondisi pada waktu tsunami

17 Juli 2006, tetapi waktu yang digunakan untuk mengsimulasikan belum ada data

historis yang pasti mengenai waktu awal pembangkitan sampai air surut kembali,

pada penelitian ini peneliti menggunakan waktu simulasi 3 jam (10800 detik)

dengan asumsi waktu 3 jam tersebut adalah waktu tempuh dimana tsunami sudah

terasa pengaruhnya di Pantai Cilacap.

Gambar 36. Penjalaran tsunami 8.9 SM (a) setelah 1 jam (b) 2 jam

(meter)

(a)

(meter)

(b)

80

Seperti halnya simulasi skenario tsunami dengan kekuatan gempa 7.7 SM,

pada gempa 8.9 SM pun masih belum terasa di area pesisir pada jam ke-1 (3600

detik pertama). Namun kondisi perairan sudah terdapat fluktuasi gelombang yang

diakibatkan oleh tsunami dengan kisaran tinggi gelombang lebih besar (terlihat

secara visual warna merah muda) dibanding yang dihasilkan gempa dengan

kekuatan 7.7 SM pada waktu tempuh yang sama. Sedangkan pada jam ke-2

waktu simulasi, pengaruh tsunami di area Cilacap sudah sangat terasa dampaknya,

baik itu tinggi maupun luasan limpasan air akibat tsunami.

Simulasi dengan kekuatan 8.9 SM adalah kekuatan gempa yang pernah

terjadi di Indonesia yang menjadi peristiwa yang paling dahsyat sekaligus

mengerikan bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Gambar 37. Penjalaran tsunami 8.7 SM (a) setelah 1 jam (b) 2 jam

(meter) (a)

(meter) (b)

81

Skenario ketiga adalah tsunami yang disebabkan oleh kekuatan gempa

sebesar 8.7 SM pada posisi epicenter yang lebih jauh lebih dekat dengan area

pantai di Cilacap tetapi masih pada area dekat zona subduksi dasar laut. Skenario

ini bertujuan untuk melihat pengaruh jarak epicenter dan kekuatan gempa

terhadap area yang lebih dekat dengan area kajian penelitian yaitu di Teuk Penyu,

Cilacap Jawa Tengah.

Pada waktu tempuh 1 jam pertama waktu simulasi, dampak tsunami sudah

langsung terasa di pesisir Cilacap, jika dibandingkan dengan dua skenario

sebelumnya. Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa faktor yang

mempengaruhi tinggi atau rendahnya tsunami yang dihasilkan tergantung dari

faktor jarak dari sumberr gempa dan kekuatan gempa yang membangkitkan

tsunami.

Walaupun kekuatan gempa lebih kecil yaitu 8.7 SM dibandingkan

skenario simulasi tsunami kedua yaitu sebesar 8.9 SM, namun pengaruh jarak

pusat gempa terhadap daerah Cilacap adalah sangat besar. Area penjalaran

tsunami lebih cepat dibandingkan dengan yang lainnya.

(a)

(b)

82

Gambar 38. Maksimum run-up tsunami (a) 7.7 SM (b) 8.9 SM (c) 8.7 SM

Simulasi model dengan tiga skenario yang berbeda memperlihatkan area

maksimum genangan atau limpasan tsunami yang berbeda pula. Menurut Iida

(1963) in Diposaptono dan Budiman (2005) menyebutkan hubungan linier antara

kekuatan gempa yang ditunjukkan dengan skala Iida. Dimana, gempa dengan

kekuatan 7 SR dapat menghasilkan skala tsunami 1-2 dengan energi tsunami yang

dihasilkan (0.1-0.4)x 1023erg. Sedangkan gempa yang berkekuatan 8-9 SM bisa

menghasilkan skala lebih dari 3 artinya, energi yang ditimbulkan lebih dari 1.6 x

1023 erg.

Selain dari pengaruh kekuatan gempa dan posisi gempa, maka pengaruh

lainnya yang sangat berpengaruh terhadap area genangan atau limpasan akibat

tsunami yaitu topografi (DEM ALOS) wilayah disekitar pantai yang menentukan

kelandaian pantai dan seberapa jauh tsunami menghempas ke daratan serta

(c)

83

batimetri (GEBCO) sebagai faktor yang berpengaruh di dalam penjalaran tsunami

di laut (pusat gempa) hingga pantai.

Pengaruh kedalaman laut terhadap penjalaran tsunami didasarkan pada

teori tsunami sebagai gelombang dangkal. Dari dasar laut sampai permukaan laut

pergerakan orbit air bolak-balik dengan kecepatan yang hampir sama. Apabila

sudah mendekati tepi pantai, orbit bundaran tidak tutup lagi karena dampak

gesekan dasar laut yang berubah seiring dengan berkurangnya kedalaman laut.

Semakin dangkal maka air laut terdorong naik karena adanya konversi kecepatan

yang berkurang menjadi ketinggian gelombang tsunami.

4.6 Ketinggian tsunami (Run-up Tsunami)

Naik atau turunnya permukaan air laut akibat tsunami mengikuti teori

elastic body (benda elastis). Ibarat bola karet, apabila ditekan satu bagian, maka

pada bagian lain akan mengembang. Apabila dasar laut terjadi tonjolan naik,

maka permukaan air meningkat, sehingga permukaan laut di dekat pantai naik

secara mendadak (Diposaptono dan Budiman, 2005). Hal ini menunjukkan bahwa

fluktuasi muka air laut yang diakibatkan tsunami bersifat transien dan kontinu.

Di bawah ini disajikan grafik tinggi fluktuasi muka air laut yang

diakibatkan tsunami di dua titik pengamatan yaitu -7°46’36.6” LS dan

109°05’30.3” BT sebagai titik pengamatan kesatu yang letaknya dekat dengan

sumber gempa pada kedalaman 18 m. Posisi pengamatan kedua yaitu lokasi yang

dekat dengan pesisir/daratan di Desa Karang Kandri pada posisi -7°41’28.5” LS

dan 109° 05’31.7” BT dan kedalaman 1.5 m . Hal ini bertujuan untuk mengetahui

penjalaran tsunami di dua titik lokasi yang berlainan.

84

Gambar 39. Run-up tsunami 7.7 SM (Posisi -7:46: 36.6 dan 109:05:30.3 BT)

Pada Gambar 39 menunjukkan hubungan antara tinggi gelombang dengan

waktu tempuh simulasi model tsunami. Pada grafik terlihat bahwa tsunami mulai

terlihat tinggi di posisi dekat sumber gempa pada waktu kurang lebih ke- 3300

detik (menit ke-55) dengan ketinggian tsunami mencapai 1.08 meter. Kemudian

beberapa menit kemudian menurun dengan ketinggian kurang dari 0.4 m

(dibawah MSL -0.001 m). Tsunami mulai terlihat tinggi kembali hingga 0.58 m

pada waktu ke-7620 detik (menit ke-127 menit).

Tinggi tsunami di titik pengamatan berkisar antara (0-1.2) m dari MSL

(mean Sea Level) dari titik acuan. Nilai negatif pada grafik menujukkan tinggi

gelombang dibawah nilai -0.001 (MSL) yaitu berkisar antara (0-0.8) m.

Gambar 40. Run-up tsunami 7.7 SM (Posisi -7:41: 28.5 LS 109: 05:31.7 BT)

85

Gambar 40. menunjukkan hubungan antara tinggi tsunami (run-up)

dengan waktu tempuh simulasi pada titik pengamatan yang letaknya lebih

mendekati daratan (dekat Desa Karang Kandri) atau lebih jauh dari pusat sumber

gempa.

Pada grafik dapat diketahui bahwa tinggi tsunami tertinggi mencapai 1.49

m di atas MSL (-0.01 m) pada detik ke-2160 (menit ke-41). Hal ini menunjukkan

bahwa penjalaran tsunami pada posisi pertama sudah lebih terjadi dibandingkan

pada posisi pengamatan kedua karena titik pengamatan pertama lebih dekat

sumber gempa dibandingkan dengan titik pengamatan kedua yang lebih dekat

dengan pesisir.

Gambar 41. Penjalaran Tsunami berdasarkan Waktu Tempuh (Arrival time) (BMG, 2008) Berdasarkan pengolahan tsunami Pangandaran oleh BMG, tsunami baru

terasa dampaknya pada menit ke-25 (Gambar ). Waktu tempuh yang berbeda

dengan simulasi model disebabkan oleh perbedaan jarak sumber gempa yang

dipakai oleh simulasi BMG dengan pada penelitian ini yang menggunakan posisi

86

sumber gempa USGS sehingga arrival time yang dibutuhkan tsunami masuk ke

daratan juga berbeda.

Gambar 42. Run-up Tsunami 8.9 SM (Posisi -7:46: 36.6 dan 109:05:30.3 BT)

Sebelum terjadi perubahan muka air laut di titik ini, kondisi perairan

masih terlihat tenang. Namun perubahan muka air laut mulai terlihat pada menit

ke-34 dimulai terjadinya penurunan muka air laut hingga 0.25 m di bawah MSL.

Tinggi gelombang yang dihasilkan mencapai 3.49 m pada menit ke-54, tetapi 2

menit sebelumnya terjadi penurunan fluktuasi muka air laut hingga 2.47 m di

bawah MSL (0.15 m).

87

Gambar 43. Run-up Tsunami 8.9 SM (Posisi -7:41: 28.5 LS 109: 05:31.7 BT) Gambar 42 . menunjukkan grafik hubungan tinggi tsunami dengan waktu

tempuh pembangkitan tsunami. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa

skenario model tsunami untuk kekuatan gempa 8.9 SM dimaksudkan untuk

prediksi tsunami jika pada masa yang akan datang terjadi kembali tsunami pada

posisi sumber gempa yang sama dengan kekeuatan gempa yang jauh lebih besar

dibandingkan dengan tsunami 17 Juli 2006.

Dari grafik dapat diketahui bahwa tinggi tsunami yang dihasilkan gempa

berkekuatan 8.9 SM jauh lebih besar dibandingkan tsunami yang dihasilkan

gempa berkekuatan 7.7 SM. Hal ini ditunjukkan tinggi tsunami tertinggi

mencapai 4.36 m diatas MSL (0.49 m) pada detik ke-10440 (menit ke-174).

Tingginya tsunami pada titik pengamatan ini sesuai dengan teori yang

menyebutkan bahwa tsunami akan mengalami perubahan tinggi dan kecepatan di

perairan dangkal (pantai) yang disebabkan kehilangan energi akibat berkurangya

kecepatan sehingga energi tersebut ditransfer ke dalam bentuk pembesaran tinggi

gelombang. Akibatnya panjang gelombang di laut dangkal memendek dan

menimbulkan gelombang yang lebih tinggi (Diposaptono dan Budiman, 2005).

88

Gambar 44. Run-up Tsunami 8.7 SM (Posisi -7:46: 36.6 dan 109:05:30.3 BT) Tsunami yang diakibatkan oleh gempa dasar laut dengan kekuatan 8.7 SM

mulai terlihat di posisi pengamatan kesatu yaitu pada waktu menit ke-47 dengan

ketinggian tsunami mencapai 2.1 m. Setelah beberapa detik kemudian maka air

mulai turun hingga di bawah MSL (0.25 m) dengan ketinggian 1.29 m pada menit

ke-115. Namun di titik ini, air mengalami tinggi maksimum pada menit ke-131

yaitu setinggi 2.9 m.

Setelah mencapai titik kedua maka air mengalami kenaikan yang sangat

besar disbanding di titik pengamatan yang pertama. Hal ini disebabkan adanya

pendangkalan dasar laut sehingga terjadi peningkatan tinggi gelombang akibat

perubahan energi kecepatan menjadi tinggi gelombang.

Gambar 45. Run-up Tsunami 8.7 SM (Posisi -7:41: 28.5 LS 109: 05:31.7 BT)

Terlihat tinggi air maksimum pada tsunami dengan kekuatan gempa 8.7

SM mencapai 5.59 m pada menit ke-36 dan turun hingga 1.4 m dibawah MSL

(-0.06 m) setelah 5 menit kemudian.

89

4.7 Integrasi (Overlay) Data Penginderaan Jauh dengan Model Tsunami

Penentuan daerah rawan tsunami di kabupaten Cilacap berdasarkan

metode pemodelan tsunami (area limpasan tsunami) didasarkan pada kondisi

topografi daratan di sekitar pesisir dan penutupan/penggunaan lahannya.

4.7.1 Limpasan Tsunami dan Citra DEM ALOS (PRISM)

Kelas-kelas topografi dihasilkan dengan menggunakan metode klasifikasi

terbimbing (supervised classification). Peneliti membagi lima kelas topografi

yaitu : (0-2 m), (2-4 m), (4-6 m), (6-8 m), dan (8-10) m. Pemilihan kelas-kelas

topografi didasarkan atas nilai ketinggian terendah lebih besar dari 0 m dan

tertinggi lebih kecil dari 10 m. Tinggi tsunami yang terukur pada model adalah

tinggi tsunami yang di atas topografi bukan dari MSL.

90

Gambar 46. DEM dan Limpasan Tsunami 7.7 SM Tabel 13. Luasan limpasan tsunami (7.7 SM) pada kelas topografi (ha)

Kelas Ketinggian Tsunami (m) Kelas Ketinggian Topografi (m)0-0.5 0.5-1 1-1.5

0-2 58.92 8.42 2.552-4 6.89 2.55 04-6 2.29 0 06-8 1.53 0.26 0

8-10 0 0 0

Gambar 46 memperlihatkan luasan tsunami pada kelas-kelas topografi

Cilacap yang digunakan pada penelitian ini. Dan tabel 10. menunjukkan area luas

limpasan tsunami pada kelas topogarfi yang dihasilkan gempa yang berkekuatan

7.7 SM . Luasan limpasan tsunami tertinggi berada pada kelas topografi (0-2) m

dengan kelas tinggi tsunami (0-0.5) m yaitu sebesar 58.924 ha. Landainya

topografi daratan mempengaruhi seberapa luas masuknya tsunami ke daratan.

Hasil survey lapangan menunjukkan bahwa hampir 90% area terkena tsunami

sama dengan model yang dihasilkan (Lampiran 3).

91

Gambar 47. DEM dan Limpasan Tsunami 8.9 SM

Hasil overlay DEM dan limpasan tsunami menunjukkan bahwa pengaruh

topogarfi terhadap luasan limpasan tsunami dapat dilihat pada Gambar 47.

Tsunami yang dihasilkan gempa berkekuatan 8.9 SM menunjukkan area limpasan

yang lebih besar dibanding dengan tsunami yang dihasilkan gempa berkekuatan

7.7 W.

Tabel 14. LuasanLimpasan Tsunami (8.9 SM) pada kelas Topografi (ha)

Kelas Ketinggian Topografi (m) Kelas Ketinggian Tsunami (m)

0-1 1-2 2-3 3-4 4-5 0-2 218.48 85.74 70.20 110.17 11.60 2-4 163.39 53.64 32.93 13.88 1.86 4-6 24.85 7.04 3.94 2.69 1.04 6-8 2.28 1.66 1.24 1.86 1.04 8-10 0 0 0 0 0.21

Tabel 14 menunjukkan kelas ketinggian topografi yang paling rendah (0-

2) m adalah kelas yang paling banyak terkena tsunami yaitu sebesar 218.479 ha.

Dibanding dengan topografi yang lebih tinggi dari 2 m. Pada tiap kelas

ketinggian tsunami menunjukkan bahwa ketinggian (0-2) m adalah wilayah yang

lebih banyak terkena tsunami.

Topografi rendah memberikan limpasan tsunami dengan mudah hingga

mencapai ratusan meter. Bahkan pada kelas tinggi tsunami 3-4 m, tsunami

menggenangi hingga 110.17 ha. Hal ini menunjukkan daerah yang memiliki

topografi yang relatif rendah lebih berpotensi untuk digenangi tsunami lebih luas

dibandingkan daerah yang memiliki topografi lebih tinggi.

92

Gambar 48. DEM dan limpasan tsunami 8.7 SM

Prediksi tsunami yang dibangkitkan oleh gempa yang berkekuatan 8.7 SM

menunjukkan area limpasan area tsunami yang jauh lebih besar. Terlihat pada

Tabel. bahwa area terluas limpasan berada pada kelas topografi (0-2) m dengan

tinggi tsunami (1-2) m yaitu sebesar 245.498 ha.

Tabel 15. Luasan limpasan tsunami (8.7 SM) pada kelas topografi (ha)

Kelas Ketinggian Tsunami (m) Kelas Ketinggian Topografi (m) 0-1 1-2 2-3 3-4 4-5

0-2 141.99 245.50 46.79 137.54 02-4 98.04 192.83 4.46 33.83 0.204-6 5.87 29.78 5.67 5.06 06-8 3.04 2.43 1.62 3.04 0

8-10 0.41 0.81 0 0 0

93

4.7.2 Limpasan Tsunami pada Penutupan/penggunaan Lahan Selain faktor topografi yang landai, maka penentuan daerah rawan tsunami

didasarkan pada penutupan/penggunaan lahannya. Area yang bisa dikategorikan

rawan tsunami yaitu berdasarkan penggunaan lahannya bagi kepentingan

masyarakat yang menempati wilayah tersebut.

Peta penutupan/penggunaan lahan yang dihasilkan dari citra ALOS

memberikan informasi penutupan/penggunaan lahan yang lebih akurat. Hal ini

penting untuk penentuan prediksi daerah rawan tsunami berdasarkan limpasaan

tsunami yang menghempas tipe penggunaan lahan tertentu.

Gambar 49. Area limpasan tsunami 7.7 SM pada penggunaan/penutupan lahan di

Kabupaten Cilacap

94

Tabel 16. Luasan Area Limpasan Tsunami dan pada Tipe Penggunaan Lahan (ha)

Kelas Skala Tsunami (m) Kelas Landuse 0-0.5 0.5-1 1-1.5

Pemukiman 6.63 1.53 0Industri 12.75 1.53 0Jalan 11.22 4.08 2.04Lahan Terbuka 25.76 4.08 2.04Tambak 27.29 7.91 3.57Sawah 3.32 0.77 0.26Pasir 0.77 1.02 0.51Vegetasi Lain 4.34 0.77 0.26

Tabel 16 menunjukkan hubungan kelas penggunaan/penutupan lahan yang

terkena tsunami dengan kelas skala tinggi tsunaminya. Kelas pemukiman menjadi

kelas pertama dalam penentuan area rawan tsunami. Hal ini disebabkan area

pemukiman merupakan lahan yang paling penting dan akan menjadi rawan

tsunami apabila area tersebut terkena tsunami. Sedangkan kelas kedua adalah

kelas-kelas penggunaan untuk kepentingan masyarakat dalam hal penggunaan

untuk industri, fasilitas umum seperti jalan dan lapangan (lahan terbuka), dan

budidaya seperti sawah, tambak, dan ladang dan kelas terakhir adalah kelas

penutupan lahan yang tidak terlalu rawan jika dibandingkan dengan kelas

pemukiman atau budidaya.

Kelas pemukiman terbesar yang terkena tsunami 7.7 SM adalah 6.63 ha

dengan tinggi tsunami 0-0.5 m. Sedangkan kelas penutupan/penggunaan lahan

yang terkena tsunami yang paling besar adalah kelas tambak. Hal ini deisebabkan

tsunami dengan kekuatan gemap 7.7 SM menghempas area yang tidak terlalu jauh

ke daratan dan hanya menggenangi kelas dekat pesisir yaitu pada kelas tambak

sebesar 27.293 ha

95

Gambar 50. Area limpasan tsunami 8.9 SM pada penggunaan/penutupan lahan di

Kabupaten Cilacap

Gambar 50. memperlihatkan area genangan tsunami yang dihasilkan

gempa berkekuatan 8.9 SM. Terlihat pada peta di atas, daerah limpasan tsunami

lebih besar dibandingkan dengan tsunami 7.7 SM dan merusak beberapa

penutupan/penggunaan lahan yang lebih besar (Tabel 17)

96

Tabel 17 . Luasan Area Limpasan Tsunami dan pada Tipe Penggunaan Lahan (ha)

Kelas Skala Tsunami (m) Kelas Landuse 0-1 1-2 2-3 3-4 4-5

Pemukiman 132.98 34.88 22.62 16.49 3.81Industri 22.62 11.21 2.54 17.76 0.42Sekolah 17.85 2.23 0 2.23 0Tempat Ibadah 23.00 8.62 0 2.87 0Jalan 316.92 91.51 49.10 71.42 4.46Lahan Terbuka 57.08 30.02 23.47 26.22 2.11Tambak 20.08 19.45 17.12 41.44 11.84Sawah 159.62 66.60 51.37 32.14 4.65Pasir 5.50 2.75 3.38 1.48 0.21Vegetasi lain 51.37 15.86 4.86 5.07 0Ladang 4.65 1.48 0.21 0 0Rumput/Semak 0.63 0.21 0 0 0Kebun/Perkebunan 0.63 0 0 0 0

Kelas penutupan/penggunaan lahan yang terkena tsunami jauh lebih

banyak dan besar dibanding tsunami yang dihasilkan gempa yang lebih kecil.

Kelas penggunaan lahan tambahan yang terkena limpasan tsunami adalah sekolah

dan tempat peribadatan. Kelas pemukiman yang terkena tsunami sebesar 132.98

ha dengan tinggi tsunami 0-1 m. Kelas penutupan/penggunaan lahan terbesar

yang terkena genangan tsunami 8.9 SM ini adalah jalan yaitu sebesar 316.92 ha

dengan ketinggian tsunami.

Kebun atau perkebunan menempati kelas yang paling sedikit tergenang

tsunami. Hal ini menunjukkan bahwa kelas kebun/perkebunan di Kabupaten

Cilacap berada di area topografi yang tinggi sehingga kecil kemungkinan akan

tergenang tsunami. Luas area tergenang tsunami pada kelas kebun hanya

mencapai 0.63 ha pada kelas ketinggian tsunami 0-1 m

97

Gambar 51. Area limpasan tsunami 8.7 SM pada penggunaan/penutupan lahan di

Kabupaten Cilacap

Skenario ketiga memperlihatkan area genangan tsunami jauh lebih

merusak tipe penutupan/penggunaan lahan yang berada di Kabupaten Cilacap. Hal

ini disebabkan meskipun kekuatan gempa yang membangkitkan tsunami lebih

kecil dari skenario sebelumnya, namun dampak yang ditimbulkan lebih besar

karena pengaruh jarak dari pusat gempa lebih dekat dibandingkan dengan

skenario sebelumnya.

98

Tabel 18. Luasan Area Limpasan Tsunami dan pada Tipe Penggunaan Lahan (ha)

Kelas Skala Tsunami (m) Kelas Landuse 0-1 1-2 2-3 3-4 4-5

Pemukiman 163.03 66.51 31 6.34 0Industri 18.46 14.65 16.06 3.52 0Sekolah 1.27 0.42 0.14 0 0Rumah Sakit 0.14 0.14 0 0 0Tempat Ibadah 1.13 0.99 0 0 0Jalan 124 58.62 23.67 11.70 0Lahan Terbuka 45.65 39.31 38.89 14.23 0.14Tambak 16.91 17.05 49.46 24.52 0Sawah 203.75 122.59 55.38 17.61 0Pasir 0.99 1.41 2.54 1.13 0.71Vegetasi lain 54.95 19.87 7.61 2.68 0.42Ladang 11.70 3.38 0 0 0Rumput/Semak 0.14 0 0 0 0Kebun/Perkebunan 2.82 0.14 0.14 0 0

Area pemukiman yang terkena tsunami sebesar 1630.29 ha dengan tinggi

tsunami 0-1 m, sedangakan kelas penggunaan lahan sawah menjadi area yang

paling besar terkena tsunami yaitu sebesar 203.751 ha pada ketinggian tsunami

yang sama.

Pada skenario ketiga memperlihatkan kondisi limpasan tsunami yang lebih

luas dan lebih banyak merusak tipe penutupan/penggunaan lahan. Hal ini terlihat

pada Tabel 15. adanya kelas tambahan yang terkena tsunami yaitu rumah sakit

yang pada kedua skenario sebelumnya kelas tersebut belum terkena tsunami. Ini

menunjukkan bahwa pada tsunami yang berkekuatan 8.7 SM adalah kondisi atau

skenario paling buruk karean telah merusak area penutupan/penggunaan lahan

yang lebih besar.

99

4.7.3 Limpasan Tsunami di Desa, Kabupaten Cilacap

Tsunami sangat merugikan manusia, khususnya pada wilayah yang rawan

tsunami sperti di Cilacap. Selain karena topografinya termasuk dataran rendah

juga karena letaknya yang langsung berhadapan dengan zona patahan di

Samudera Hindia. Wilayah yang terkena tsunami mengindikasikan wilayah

tersebut rawan tsunami.

Gambar 52 . Area limpasan tsunami 7.7 SM di Kabupaten Cilacap

Tabel 19. Area Limpasan tsunami pada Desa (ha)

Kelas Skala Tsunami (m) Nama Desa 0-0.5 0.5-1 1-1.5 1.5-2

Menganti 18.176 1.686 0.750 0 Karang kandri 49.280 12.742 4.122 0 Slarang 3.185 1.124 0 0 Cilacap Selatan 0.750 0.562 0 0 Tegal Kamulyan 7.870 3.373 0.187 0.187 Mertasinga 4.310 0.562 0.750 0

100

Tsunami yang dihasilkan gempa tektonik pada tanggal 17 Juli 2006 telah

merusak beberapa wilayah di kabupaten Cilacap. Dalam penelitian ini area

tergenang tsunami menacapai 49.280 ha di Karang Kandri dengan tinggi tsunami

0-0.5 m di atas topografi tersebut dan jarak terjauh limpasan tsunami hingga

355.96 m dari garis pantai di desa Karang Kandri. Hal ini disebabkan selain

letaknya dekat pantai, Desa Karang Kandri juga memiliki topografi yang lebih

rendah dibandingkan daerah lainnya sehingga tsunami masuk lebih luas di desa

tersebut.

Desa yang terkena tsunami paling kecil adalah Kecamatan Cilacap Selatan

yaitu seluas 0.75 ha. Hal ini disebabkan desa atau kecamatan tersebut memiliki

topografi yang lebih tinggi serta terlindung dari tsunami oleh Pulau Nusa

Kambangan yang topografinya tinggi.

Gambar 53. Run-up tsunami 7.7 SM di Kabupaten Cilacap

101

Informasi ketinggian tsunami (run-up) yang dibangkitkan gempa dengan

kekuatan 7.7 SM melanda beberapa wilayah di Cilacap. Tinggi tsunami tertinggi

terletak di Desa Slarang setinggi 1.3 m dari atas topografi desa tersebut. Tsunami

masih terasa hingga Sidakaya, namun ketinggian tsunami di desa tersebut tidak

terlalu besar hanya 0.27 m. Namun jika dibandingkan data BMG (2006) hasil

Survey Tsunami Jepang-Korea-Indonesia tinggi tsunami 17 Juli 2006 mencapai 5

meter di Lengkong (tidak termasuk area kajian penelitian) dengan jarak terjauh

inundation dari garis pantai sepanjang 400 m. Di wilayah Adipala (tidak termasuk

area kajian penelitian), ketinggian tsunami mencapai 4.66 m dengan jarak terjauh

hingga 1000 m.

Perbedaan pengukuran run-up dan inundation tsunami hasil survey

lapangan dan hasil model disebabkan oleh perbedaan titik pengamatan dan

pengukuran. Pada model penelitian ini tinggi run-up tsunami dihitung

berdasarkan tinggi tsunami dari topografi di titik tersebut. Sedangkan pada

pengamatan survey lapangan, pengukuran run-up tsunami dihitung dari MSL.

Selain itu adanya arrival time yang dihasilkan model hanya didasarkan

atas waktu pacu model selama 3 jam. Hal ini disebabkan tidak adanya data history

tsunami dari mulai pembangkitan hingga run down tsunami yang akurat yang

dimiliki pemerintah.

Namun pada dasarnya model yang dihasilkan pada penelitian ini memiliki

akurasi yang baik. Hal ini telah dibuktikan dengan pengukuran data tide gauge

oleh peneliti BMG lalu dibandingkan dengan hasil model. Maka hasilnya model

Tohoku University memiliki akurasi mencapai +1 (100%) (Gunawan, 2007)

102

Gambar 54. Area limpasan tsunami 8.9 SM di Kabupaten Cilacap

Kekuatan gempa 8.9 SM mengakibatkan kerusakan yang besar pada

penggunaan lahan manusia seperti pemukiman (Gambar 54). Limpasan tsunami

hingga mencapai jarak 599.48 m dari garis pantai di desa Tegal Kamulyan hingga

Desa Salarang. Area yang tergenang tsunami berdasarkan pembagian desa di

Kabupaten Cilacap dapat dilihat pada tabel 20.

Tingkat kerusakan tsunami berdasarkan klasifikasi tinggi tsunami.

Pengukuran jarak limpasan tsunami dengan mengukur tegak lurus dari garis

pantai mencapai limpasan tsunami terjauh.

103

Tabel 20. Area Limpasan tsunami pada Desa (ha)

Kelas Skala Tsunami (m) Nama Desa 0-1 1-2 2-3 3-4 4-5

Desa Baru 39.36 34.61 1.02 1.02 0Sidanegara 32.57 0 0 0 0Tambakreja 7.47 0.68 0 0 0Menganti 5.09 3.39 12.56 27.15 3.05Karang Kandri 13.91 25.11 54.63 108.58 26.47Slarang 92.63 76.69 41.40 13.57 1.70Kalisabuk 0.68 0 0 0 0Buton 11.88 5.09 6.11 4.41 3.05Sidakaya 65.83 12.56 0 0 0Cilacap 54.97 6.45 1.70 0.68 0Tegal Kamulyan 142.51 71.60 22.40 0 0Gumilir 9.50 1.70 0.34 0 0Mertasinga 15.27 3.39 23.41 4.75 0Kebon Manis 1.02 1.02 0 0 0Gunung Simpang 51.58 19.34 0 0 0

Kerusakan yang diakibatkan pada skenario ini lebih meluas hingga 15

desa/kecamatan di Kabupaten Cilacap. Hal ini tentu lebih besar dibandingkan

tsunami dengan gempa 7.7 SM. Maka prediksi wilayah yang tergenang tsunami

jauh lebih luas meliputi : Desa Baru, Sidanegara, Tambakreja, Menganti,

Karangkandri, Slarang, Kalisabuk, Buton, Sidakaya, Cilacap, Tegal Kamulyan,

Gumilir, Mertasinga, Kebon Manis, Gunung Simpang.

Desa Tegal Kamulyan adalah desa paling banyak terkena limpasan

tsunami hingga 142.513 ha dengan ketinggian tsunami 0-1 m. Sama halnya di

Tegal Kamulyan, Desa Karang kandri juga termasuk area terkena limpasan

tsunami yang tidak kecil yaitu sebesar 108.581 ha pada ketinggian tsunami 3-4 m.

104

Gambar 55. Run-up tsunami 8.9 SM di Kabupaten Cilacap Gambar 55 mennjukkan tinggi tsunami pada skenario gempa 8.9 SM

menghasilkan interval tinggi tsunami 1.5 – 3.75 m di beberapa titik pengamatan.

Pada umumnya tsunami yang dihasilkan lebih dari 1 m berada di desa/kecamatan

Karang Kandri dan Slarang dengan tinggi maksimum berada di Slarang. Jika

dibandingkan dengan tinggi tsunami dengan skenario gempa 7.7 SM, tinggi

tsunami dengan kekuatan gempa 8.9 SM menghasilkan tinggi tsunami yang lebih

tinggi dan menyebar diseluruh pesisir Cilacap. Namun seperti halnya skenario

gempa satu (7.7 SM), maka keduanya memiliki pusat area yang paling rawan

terkena tsunami yaitu Desa Slarang dan Karang Kandri.

105

Gambar 56. Area Limpasan Tsunami 8.7 SM di Kabupaten Cilacap

Dampak tsunami 8.7 SM menghasilkan area genangan tsunami yang jauh

lebih besar dibandingkan dua skenario gempa sebelumnya yaitu 7.7 SM dan 8.9

SM. Pada gempa 8.9 SM ini area limpasan mencapai 843.92 m dari garis pantai

yang berada hingga Desa Slarang (Gambar 56).

Secara visual area tergenang tsunami terlihat paling luas hingga lebih dari

800 m berada di area yang jauh dari Pulau Nusakambangan. Hal ini menyebabkan

Desa yang tidak terlindung Pulau Nusakambangan mendapat limpsan tsunami

yang lebih luas. Informasi luasan limpasan tsunami yang dibangkitkan gempa

berkekuatan 8.7 SM ini dapat dilihat pada tabel 21.

106

Tabel 21. Area Limpasan tsunami pada Desa (ha)

Kelas Skala Tsunami (m) Nama Desa 0-1 1-2 2-3 3-4 4-5

Sidanegara 44.32 5.19 0 0 0Tambakreja 1.89 0 0 0 0Menganti 3.06 2.83 28.29 15.32 0Karang Kandri 22.63 37.25 114.34 39.61 0Sidakaya 70.02 17.21 0 0 0Cilacap 36.54 5.89 1.65 0.00 0Tegal Kamulyan 120.94 102.32 30.41 9.43 0.24Gumilir 27.35 8.96 1.18 0 0Mertasinga 21.22 4.01 21.92 8.72 0.24Kebon Manis 20.27 14.85 0 0 0Gunung Simpang 58.23 40.08 1.89 0 0Slarang 134.61 90.29 26.88 2.83 0Kalisabuk 2.59 1.89 0 0 0Buton 13.44 6.37 7.07 2.12 1.89

Luas area genangan tsunami terbesar terletak di Desa Slarang hingga

mencapai 134.613 ha dengan ketinggian tsunami 0-1 m. Sedangkan wilayah

Tegal Kamulyan menempati urutan kedua daerah rawan tsunami dengan prediksi

luasan tsunami hingga 120.939 ha pada ketinggian tsunami yang sama yaitu 0-1 m

dengan jarak terjauh limpasan mencapai 843.92 m dari garis pantai.

Skenario gempa 8.7 SM (Skala Magnitude) menghasilkan tsunami yang

lebih besar. Hal ini terlihat pada area limpasan yang tergenang tsunami lebih jauh

mencapai daratan dibandingkan dua skenario sebelumnya. Faktor jarak sumber

gempa terhadap daratan sangat mempengaruhi besarnya tsunami yang dihasilkan.

Meskipun kekuatan gempa juga mempengaruhi tetapi faktor jarak terhadap

sumber gempa pada penelitian ini lebih berpengaruh. Sehingga tingkat kerusakan

yang dihasilkan lebih besar dibandingkan tsunami dengan kekuatan gempa 8.9

SM (Skala Magnitude).

107

Gambar 57. Run-up tsunami 8.7 SM di Kabupaten Cilacap Tinggi tsunami pada skenario ketiga yaitu tsunami yang dihasilkan gempa

8.7 SM memiliki run-up yang menyebar dan tinggi tsunami yang lebih tinggi

dibanding dengan kedua skenario sebelumnya. Seperti yang terlihat pada Gambar

57, tinggi tsunami menyebar diseluruh pesisir dengan ketinggian 0.5-3.75 m.

Run-up tsunami paling tinggi berada di desa Karang Kandri yaitu sekitar 3.7 m

dari topografi titik pengamatan.

4.8 Penentuan Daerah Rawan Tsunami Kabupaten Cilacap Penentuan daerah rawan tsunami pada penelitian ini didasarkan pada

prediksi area tergenang tsunami dengan menggunakan tiga model skenario gempa.

Daerah tergenang tsunami pada kekuatan gempa dasar laut 7.7 SM, 8.7 SM dan

108

8.9 SM menunjukkan area pesisir merupakan daerah rawan tergenang tsunami.

Namun dalam penentuan daerah rawan tsunami, faktor kelas penggunaan lahan

ikut mempengaruhi. Sehingga suatu daerah bisa dikatakan rawan jika daerah

tersebut memiliki kriteria jenis penutupan/penggunaan lahan yang paling penting.

Gambar 58 . Luasan area kelas penutupan/penggunaan lahan pada tiap Desa di

Kab. Cilacap

Gambar 59 . Luasan area kelas topografi pada tiap Desa di Kab. Cilacap

109

Gambar ( 58 dan 59) menunjukkan luasan jenis-jenis penggunaan lahan

tiap desa dan luasan area tiap desa berdasarkan kelas topografinya. Tsunami akan

mudah menghempas pada daerah yang memiliki topografi yang rendah. Hal ini

sesuai dengan teori yang mengatakan terjal dan landainya morfologi pantai akan

mempengaruhi jangkauan tsunami yang menghempasnya. Pada pantai yang terjal,

tsunami tidak akan terlalu jauh mencapai daratan karena sebagian tsunami

tersebut akan tertahan dan dipantulkan kembali oleh tebing pantai, sedangkan

pada pantai yang landai seperti pantai Cilacap ini, tsunami dapat menerjang

sampai beberapa kilometer masuk ke daratan.

Desa Tegal kamulyan adalah desa yang memiliki topografi yang rendah

(0-2) m yang paling luas dibandingkan dengan desa lainnya yaitu sebesar 158 ha.

Sedangkan Desa Karang kandri adalah desa yang memiliki luas topografi lebih

dari 8 m paling luas yaitu sebesar 19.665 m. Namun desa ini juga memiliki

topografi yang rendah yang cukup luas yaitu sebesar 126.648 ha.

Gambar 60. Tingkat kerusakan jenis penutupan/penggunaan lahan oleh limpasan

tsunami 7.7 SM

110

Tsunami dengan kekuatan gempa dasar laut 7.7 SM menggenangi daerah

Karang Kandri paling luas mencapai 49.28 ha dengan luas topografi 0-2 m

sebesar 126.648 ha. Namun jika dibandingkan desa pesisir lain yang tergenang

tsunami, maka desa yang bisa dikatakan rawan tsunami adalah desa Tegal

Kamulyan karena wilayah ini merupakan daerah yang padat area pemukiman

(Gambar 61) dengan topografi 0-2 m yang lebih luas yaitu 158.220 ha

dibandingkan Karang Kandri.

Gambar 61. Tingkat kerusakan jenis penutupan/penggunaan lahan oleh limpasan

tsunami 8.9 SM

Sedangkan pada skenario gempa kedua menunjukkan Desa Tegal

Kamulyan adalah desa rawan tsunami dengan luasan limpasan tertinggi sebesar

142.513 ha pada kelas tinggi tsunami 0-1 m. Tingkat kerusakan penggunaan lahan

tipe pemukiman dan bangunan sebesar 132.982 ha dan luasan topografi 0-2 m

sebesar 158.220 ha. Data ini menujukkan bahwa desa ini termasuk daerah rawan

111

tsunami jika pada terjadi gempa dengan kekuatan 8.9 SM pada posisi epicenter

dibanding desa lain yang tergenang tsunami.

Gambar 62. Tingkat kerusakan jenis penutupan/penggunaan lahan oleh limpasan

tsunami 8.7 SM

Tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh tsunami berkekuatan gempa 8.7

SM lebih tinggi dibanding dua skenario sebelumnya. Hal ini terlihat jelas dari

Gambar , misalnya tingkat kerusakan penggunaan lahan jenis pemukiman

mencapai 163.029 ha. Nilai ini lebih besar disbanding tsunami dengan kekuatan

8.9 SM yang hanya merusak kelas pemukiman sebesar 132.982 ha.

Area rawan tsunami daerah pesisir Cilacap pada skenario gempa 8.7 SM

menjukkan bahwa desa Tegal Kamulyan adalah desa yang paling rawan

dibandingkan desa-desa lainnya yang tergenang tsunami di Kabupaten Cilacap.

Hal ini disebabkan desa ini merupakan area pesisir yang memiliki tipe

penggunaan lahan padat pemukiman dan bangunan dibanding dengan desa

lainnya yang terkena limpasan tsunami juga.

112

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

DEM hasil penurunan dari citra ALOS memiliki ketelitian yang lebih detil

dengan relief menyerupai topografi sesungguhnya. Begitu pula metode

pansharpan AVNIR dan PRISM pada penelitian ini mempengaruhi banyaknya

informasi pengkelasan landuse sehingga tingkat ketelitian data

penutupan/penggunaan lahan semakin akurat.

Parameter gempa (kekuatan,serta jarak sumber gempa), topografi dan

faktor kedalaman laut pada penelitian ini mempunyai pengaruh terhadap besarnya

area limpasan tsunami di daerah peisisir pantai Cilacap. Semakin besar kekuatan

gempa maka tingkat kerusakan tsunami semakin tinggi. Jarak sumber gempa

mempengaruhi limpasan tsunami yang semakin luas di daerah pesesisir Cilacap.

Tiga skenario gempa yang dapat menghasilkan tsunami yaitu 7.7 Mw, 8.9

Mw serta 8.7 Mw menggenangi beberapa desa pesisir di Kabupten Cilacap. Desa

Tegal Kamulyan adalah Desa rawan tsunami dengan tingkat kerusakan yang

paling besar yaitu 7.87 ha pada skala gempa 7.7 Mw, 142.513 ha pada skala

gempa 8.9 Mw, dan 120.914 ha pada skala gempa 8.7 Mw. Jarak terjauh

limpasan mencapai 355.96 m, 599.48 m dan 843.92 m dari garis pantai di Desa

Tegal Kamulyan pada tiap skenario. Hal ini disebabkan landainya topografi dan

tipe penggunaan lahan yang padat pemukiman dibandingkan dengan desa lain

yang terkena limpasan tsunami.

113

5.2 Saran

Penelitian selanjutnya disarankan membandingkan model dengan

menggunakan DEM interferometri, sehingga dapat diketahui perbandingan

tingkat akurasi dari model DEM yang dihasilkan.

Pada penelitian ini metode pansharpan yang digunakan adalah metode

algoritma Gram Schmidt, maka disarankan untuk penelitian selanjutnya

menggunakan algoritma yang lain sehingga dapat diketahui tingkat akurasi tiap

algoritma penggabungan citra.

Selain itu penggunaan parameter-parameter gempa selain: posisi epicenter,

dip, panjang sesar, lebar sesar dan kekuatan gempa yang lebih bervariasi sehingga

dapat membedakan pengaruh dari tiap parameter gempa tersebut.

114

DAFTAR PUSTAKA

Abietto, A. Y. 1997. Model Numerik Penjalaran Gelombang Tsunami Biak Tahun

1996. Skripsi (Tidak Dipublikasikan). Program Studi Geofisika dan Metereologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Teknologi Bandung, Bandung

BAKOSURTANAL. 1990. Permasalahan dan Dinamika Pantai pada Daerah

Wisata Pantai Baron dan Krakal Yogyakarta . http:// ugm.co.id (24 Mei 2008)

BAPPEDA (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) Cilacap. 2005. Cilacap Dalam Angka 2005. BAPPEDA. Cilacap. Carolita, I. dan A. Subarkah. 2007. Tsunami hazard assessment of Cilacap,

IndonesiaIntegrating numerical model with remote sensing and GIS. Indonesia National Aeronautics and Space Institute (LAPAN). Agency for the Assessment & Application of Technology, Indonesia (BPPT). Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA). GIC Asia Institute of Technology

Diposaptono, S. 2005. Kebutuhan Riset Tsunami untuk Mendukung Pengelolaan

Wilayah Pesisir Terpadu di Indonesia. Dalam : Prosiding Penerapan Hasil Riset untuk Penanggulangan Bencana Tsunami di Indonesia. BPPT. Hlm: 207-233

Diposaptono, S dan Budiman. 2005. Tsunami. Buku Ilmiah Populer. Bogor Ermapper. 2004. ER Mapper 6.0 : Helping People Manage the Earth. Earth

Resource Mapping Pty Ld Ginting, R, Bambang, dan Idriawan. 2003. Kajian Sateli Masa Depan – ALOS.

Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh Deputi Bidang Penginderaan Jauh. LAPAN

Gunawan, I. 2007. Tsunami Propagation and Inundation Modeling Using ComMit

Interface. BMG : Jakarta Gunawan, I dan Fachrizal. 2006. Survey Tsunami Pantai Selatan Jawa :

Pangandaran-Cilacao-Kebumen-Yogyakarta. BMG : Jakarta Hajar, M. 2006. Pemetaan Tingkat Kerawanan Bencana Tsunami Menggunakan

Data Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG) Studi kasus : Kota Padang. Skripsi (Tidak Dipublikasikan). Program Studi Ilmu Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor, Bogor

Hutabarat, S dan S. M. Evans. 1988. Pengantar Oseanografi. Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.

115

Iingmason, D. E., dan W.J.Wallace. 1973. Oceanography an Introduction. Wadsworth Publishing Company. California

Imammura. 2006. Tsunami Modelling Manual. Disaster Control Research Center,

Tohoku University. Jepang JAXA. 2006. ALOS User handbook. Earth Observation Research Center Japan

Aerospace Exploration Agency. Japan LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional). 2007. Berita Inderaja.

Deputi Bidang Penginderaan Jauh. Lillesand, T.M dan F.W. Kiefer.,1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra.

Diterjemahkan oleh R. Dulbahri. Gadjah Mada University Press,Yogyakarta.

Mansinha, L. And D.E. Smylie. 1971. Surface Deformation due to Shear and

Tensor Fault in Falf-space. Bull. Seism. Soc.Ame. Vol. 75, Pages 1135-1154.

Prahasta, E. 2008. Remote Sensing. PT Iinformatika. Bandung Purbowaseso, B. 1995. Penginderaan jauh terapan. Universitas Indonesia-Press :

Jakata Soetaert, K., dan P. Herman. 2001. Ecological modelling lecture notes. Centre for

Estuarine and Marine Ecology. Netherlands Institut of Ecology Sutanto, 1998. Penginderaan Jauh, Jilid I. Gajah Mada University Press.

Yogyakarta. vii+252 h. TNI-AL. 2005. Rencana Pembangunan Jangka Panjang TNI-AL. http:// google.co.id/batimetri indonesia (24 Mei 2008) Triatmodjo, B. 1999. Teknik Pantai. Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Gajah

Mada University Press, Yogyakarta. Trisakti, B. 2006. Digital Elevation Model Menggunakan Citra Stereo Satelit

Optis dan Potensi Pemanfaatanya. Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh. LAPAN: Jakarta

USGS. 2008. Harvard Moment Tensor Solution. http://usgs.com/earthquake havard (12 Juni 2008)

Wikipedia.2007. Kabupaten Cilacap http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Cilacap (10 Februari 2008)

116

Winardi, W dan A. Cahyono. 2005. Studi Perubahan Tutupan Lahan dengan Citra Landsat Menggunakan Geographic Resources Analyis Support System ( GRASS). Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV. Program Studi Teknik Geodesi. Institut Sepuluh November. Surabaya

L A M P I R AN

117

1. Survey Lapangan

Gambar 63. Posisi stasiun survey lapangan penelitian

2. Foto-foto kegiatan survey lapangan

No Stasiun : 01

Jenis pengg. lahan : Masjid

Latitude : 07o 43' 40,5" LS

Longitude : 109o 00' 39,3" BT

Waktu : 05:46 WIB

Elevasi : 19 m

Tsunami 2006 : Tidak terkena

Prediksi 8.7-8.9 SM : Tidak terkena

Gambar 1. Masjid Alun-alun

118

No Stasiun : 02

Jenis pengg. lahan : Bangunan

Latitude : 07o 43' 59,3" LS

Longitude : 109o 00' 55,1" BT

Waktu : 05:50 WIB

Elevasi : 20 m

Tsunami 2006 : Tidak terkena

Prediksi 8.7-8.9 SM : Tidak terkena

No Stasiun : 03

Jenis pengg. lahan : Sekolah

Latitude : 07o 44' 51,3" LS

Longitude : 109o 01' 17,1" BT

Waktu : 05:57 WIB

Elevasi : 16 m

Tsunami 2006 : Tidak terkena

Prediksi 8.7-8.9 SM : Tidak terkena

No Stasiun : 04

Jenis pengg. lahan : Industri

Latitude : 07o 44' 51,0" LS

Longitude : 109o 01' 09,3" BT

Waktu : 06:50 WIB

Elevasi : 25 m

Tsunami 2006 : Tidak terkena

Prediksi 8.7-8.9 SM : terkena

Gambar 2. Tugu

Gambar 3. SMP 8 Cilacap

Gambar 4. Pertamina

119

No Stasiun : 05

Jenis pengg. lahan : Pasir

Latitude : 07o 44' 34,7" LS

Longitude : 109o 01' 11,2" BT

Waktu : 07:08 WIB

Elevasi : 22 m

Tsunami 2006 : Tidak terkena Prediksi 8.7-8.9 SM : terkena

No Stasiun : 06

Jenis pengg. lahan : Dermaga

Latitude : 07o 44' 32,2" LS

Longitude : 109o 01' 15,6" BT

Waktu : 07:15 WIB

Elevasi : 21 m

Tsunami 2006 : Tidak terkena Prediksi 8.7-8.9 SM : terkena

No Stasiun : 07

Jenisi pengg. lahan : Vegetasi lain

Latitude : 07o 44' 31,9" LS

Longitude : 109o 01' 08,5" BT

Waktu : 07:25 WIB

Elevasi : 22 m

Tsunami 2006 : Tidak terkena Prediksi 8.7-8.9 SM : terkena

Gambar 5. Pasir pantai Cilacap

Gambar 6. Dermaga

Gambar 7. Vegetasi lain

120

No Stasiun : 08

Jenis pengg. lahan : Permukiman

Latitude : 07o 44' 24,3" LS

Longitude : 109o 01' 07,6" BT

Waktu : 07:31 WIB

Elevasi : 21 m

Tsunami 2006 : Tidak terkena Prediksi 8.7-8.9 SM : terkena

No Stasiun : 10

Jenis pengg. lahan : Industri

Latitude : 07o 44' 15,9" LS

Longitude : 109o 01' 06,1" BT

Waktu : 07:38 WIB

Elevasi : 21 m

Tsunami 2006 : Tidak terkena Prediksi 8.7-8.9 SM : terkena

No Stasiun : 11

Jenis pengg. lahan : Jalan

Latitude : 07o 44' 07,5" LS

Longitude : 109o 01' 08,2" BT

Waktu : 07:43 WIB

Elevasi : 22 m

Tsunami 2006 : Tidak terkena Prediksi 8.7-8.9 SM : terkena

Gambar 8. Permukiman

Gambar 9. PT Antam Tbk

Gambar 10. Jalan

121

No Stasiun : 14

Jenis pengg. lahan : Jembatan

Latitude : 07o 44' 01,2" LS

Longitude : 109o 01' 10,5" BT

Waktu : 07:56 WIB

Elevasi : 16 m

Tsunami 2006 : Tidak terkena Prediksi 8.7-8.9 SM : terkena

No Stasiun : 18

Jenis pengg. lahan : Bangunan

Latitude : 07o 43' 40,6" LS

Longitude : 109o 01' 27,2" BT

Waktu : 08:32 WIB

Elevasi : 7 m

Tsunami 2006 : Tidak terkena Prediksi 8.7-8.9 SM : terkena

No Stasiun : 20

Jenis pengg. lahan : Bangunan

Latitude : 07o 43' 36,3" LS

Longitude : 109o 01' 21,5" BT

Waktu : 08:50 WIB

Elevasi : 20 m

Tsunami 2006 : Tidak terkena Prediksi 8.7-8.9 SM : terkena

Gambar 11. Jembatan

Gambar 12. Pelabuhan

Gamb 13. Pembangunan gedung

122

No Stasiun : 23

Jenis pengg. lahan : Sawah

Latitude : 07o 43' 15,8" LS

Longitude : 109o 01' 13,7" BT

Waktu : 09:08 WIB

Elevasi : 20 m

Tsunami 2006 : Tidak terkena Prediksi 8.7-8.9 SM : Tidak terkena

No Stasiun : 24

Jenis pengg. lahan : Jalan

Latitude : 07o 43' 09,3" LS

Longitude : 109o 01' 10,8" BT

Waktu : 09:18 WIB

Elevasi : 19 m

Tsunami 2006 : Tidak terkena Prediksi 8.7-8.9 SM : Tidak terkena

No Stasiun : 27

Jenis pengg. lahan : Bangunan

Latitude : 07o 43' 00,2" LS

Longitude : 109o 01' 14,8" BT

Waktu : 09:31 WIB

Elevasi : 21 m

Tsunami 2006 : Tidak terkena Prediksi 8.7-8.9 SM : Tidak terkena

Gambar 14. Sawah

Gambar 15. Jalan

Gambar 16. Gedung Olahraga

123

No Stasiun : 28

Jenis pengg. lahan : Bangunan

Latitude : 07o 43' 09,0" LS

Longitude : 109o 01' 17,9" BT

Waktu : 09:39 WIB

Elevasi : 23 m

Tsunami 2006 : Tidak terkena Prediksi 8.7-8.9 SM : terkena

No Stasiun : 31

Jenis pengg. lahan : Sawah

Latitude : 07o 42' 57,1" LS

Longitude : 109o 01' 27,6" BT

Waktu : 10:09 WIB

Elevasi : 22 m

Tsunami 2006 : Tidak terkena Prediksi 8.7-8.9 SM : Tidak terkena

No Stasiun : 32

Jenis pengg. lahan : Industri

Latitude : 07o 42' 53,7" LS

Longitude : 109o 01' 39,2" BT

Waktu : 10:16 WIB

Elevasi : 25 m

Tsunami 2006 : Tidak terkena Prediksi 8.7-8.9 SM : terkena

Gambar 17. Lapangan Tenis

Gambar 18. Sawah

Gambar 19. Industri ikan asin

124

No Stasiun : 33

Jenis pengg. lahan : Jembatan

Latitude : 07o 42' 54,4" LS

Longitude : 109o 01' 39,8" BT

Waktu : 10:19 WIB

Elevasi : 22 m

Tsunami 2006 : Tidak terkena Prediksi 8.7-8.9 SM : terkena

No Stasiun : 34

Jenis pengg. lahan : Bangunan

Latitude : 07o 42' 55,9" LS

Longitude : 109o 01' 42,3" BT

Waktu : 10:20 WIB

Elevasi : 22 m

Tsunami 2006 : Tidak terkena Prediksi 8.7-8.9 SM : terkena

No Stasiun : 35

Jenis pengg. lahan : Perkebunan

Latitude : 07o 42' 56,3" LS

Longitude : 109o 01' 42,9" BT

Waktu : 10:25 WIB

Elevasi : 13 m

Tsunami 2006 : Tidak terkena Prediksi 8.7-8.9 SM : terkena

Gambar 20. Jemb. Tegalkatilayu

Gambar 21. TPI Tegalkatilayu

Gambar 22. Perkebunan

125

No Stasiun : 36

Jenis pengg. lahan : Tambak

Latitude : 07o 42' 57,5" LS

Longitude : 109o 01' 51,4" BT

Waktu : 10:33 WIB

Elevasi : 17 m

Tsunami 2006 : Tidak terkena Prediksi 8.7-8.9 SM : terkena

No Stasiun : 38

Jenis pengg. lahan : Pasir

Latitude : 07o 42' 53,5" LS

Longitude : 109o 01' 57,6" BT

Waktu : 11:45 WIB

Elevasi : 24 m

Tsunami 2006 : terkena Prediksi 8.7-8.9 SM : terkena

No Stasiun : 41

Jenis pengg. lahan : Lahan Terbuka

Latitude : 07o 42' 25,5" LS

Longitude : 109o 02' 16,0" BT

Waktu : 11:46 WIB

Elevasi : 25 m

Tsunami 2006 : tidak terkena Prediksi 8.7-8.9 SM : terkena

Gambar 23. Tambak

Gambar 24. Pasir

Gambar 25. Lahan Terbuka

126

No Stasiun : 45

Jenis pengg. lahan : Bangunan

Latitude : 07o 42' 11,4"LS

Longitude : 109o 02' 32,0" BT

Waktu : 13:03 WIB

Elevasi : 20 m

Tsunami 2006 : tidak terkena Prediksi 8.7-8.9 SM : terkena

No Stasiun : 47

Jenis pengg. lahan : Jalan

Latitude : 07o 41' 43,9"LS

Longitude : 109o 03' 26,1" BT

Waktu : 13:40 WIB

Elevasi : 19 m

Tsunami 2006 : terkena Prediksi 8.7-8.9 SM : terkena

No Stasiun : 48

Jenis pengg. lahan : Sawah

Latitude : 07o 41' 35,3" LS

Longitude : 109o 03' 43,1" BT

Waktu : 14:00 WIB

Elevasi : 13 m

Tsunami 2006 : terkena Prediksi 8.7-8.9 SM : terkena

Gambar 26. RS. Pertamina

Gambar 27. Jalan ke PLTU

Gambar 28. Sawah

127

No Stasiun : 49

Jenis pengg. lahan : Bangunan

Latitude : 07o 41' 28,6" LS

Longitude : 109o 04' 00,3" BT

Waktu : 14:26 WIB

Elevasi : 19 m

Tsunami 2006 : terkena Prediksi 8.7-8.9 SM : terkena

No Stasiun : 51

Jenis pengg. lahan : Industri

Latitude : 07o 42' 09,2" LS

Longitude : 109o 01' 28,1" BT

Waktu : 15:00 WIB

Elevasi : 27 m

Tsunami 2006 : terkena Prediksi 8.7-8.9 SM : terkena

No Stasiun : 53

Jenis pengg. lahan : Jalan

Latitude : 07o 42' 09,4" LS

Longitude : 109o 01' 28,5" BT

Waktu : 17:00 WIB

Elevasi : 26 m

Tsunami 2006 : tidak terkena Prediksi 8.7-8.9 SM : tidak terkena

Gambar 29. TPI Lengkong

Gambar 30. PLTU Mertasinga

Gambar 31. Kota Cilacap

128

3. Tabel hasil survey lapangan (track GPS dan wawancara)

No Jenis/Tipe Latitude (LS) Longitude (BT) Waktu Elevasi (m) Tsunami

2006 1 Masjid Alun-alun 07o 43' 40,5" 109o 00' 39,3" 5:46 19 Tidak terkena 2 Tugu Cilacap (bangunan) 07o 43' 59,3" 109o 00' 55,1" 5:50 20 Tidak terkena 3 SMP 8 (sekolah) 07o 44' 51,3" 109o 01' 17,1" 5:57 16 Tidak terkena 4 Pertamina (industri) 07o 44' 51,0" 109o 01' 09,3" 6:50 25 Tidak terkena 5 Pasir 07o 44' 34,7" 109o 01' 11,2" 7:08 22 Tidak terkena 6 Darmaga (bangunan) 07o 44' 32,2" 109o 01' 15,6" 7:15 21 Tidak terkena 7 Pohon (vegetasi lain) 07o 44' 31,9" 109o 01' 08,5" 7:25 22 Tidak terkena 8 Permukiman 07o 44' 24,3" 109o 01' 07,6" 7:31 21 Tidak terkena 9 Pohon (vegetasi lain) 07o 44' 23,1" 109o 01' 05,2" 7:33 23 Tidak terkena

10 PT Antam Tbk (industri) 07o 44' 15,9" 109o 01' 06,1" 7:38 21 Tidak terkena 11 Jalan 07o 44' 07,5" 109o 01' 08,2" 7:43 22 Tidak terkena 12 SDN 10 07o 44' 04,3" 109o 01' 04,2" 7:46 21 Tidak terkena 13 Permukiman 07o 44' 00,2" 109o 01' 04,8" 7:49 23 Tidak terkena 14 Jembatan 07o 44' 01,2" 109o 01' 10,5" 7:56 16 Tidak terkena 15 Jalan 07o 44' 03,9" 109o 01' 16,3" 8:10 24 Tidak terkena 16 Darmaga (bangunan) 07o 43' 47,1" 109o 01' 26,3" 8:24 20 Tidak terkena 17 Vegetasi 07o 43' 44,5" 109o 01' 21,6" 8:30 20 Tidak terkena 18 Pelabuhan Samudera Cilacap 07o 43' 40,6" 109o 01' 27,2" 8:32 7 Tidak terkena 19 HNSI (bangunan) 07o 43' 37,4" 109o 01' 20,9" 8:48 29 Tidak terkena 20 Bangunan 07o 43' 36,3" 109o 01' 21,5" 8:50 20 Tidak terkena 21 Jembatan 07o 43' 30,3" 109o 01' 19,4" 8:55 28 Tidak terkena 22 Sawah 07o 43' 26,9" 109o 01' 13,3" 9:01 23 Tidak terkena 23 Sawah 07o 43' 15,8" 109o 01' 13,7" 9:08 20 Tidak terkena 24 Jalan 07o 43' 09,3" 109o 01' 10,8" 9:18 19 Tidak terkena 25 Sawah 07o 43' 07,5" 109o 01' 09,2" 9:22 18 Tidak terkena 26 Jalan 07o 43' 03,0" 109o 01' 13,9" 9:27 16 Tidak terkena 27 Gedung Olahraga (bangunan) 07o 43' 00,2" 109o 01' 14,8" 9:31 21 Tidak terkena 28 Lap. Tenis 07o 43' 09,0" 109o 01' 17,9" 9:39 23 Tidak terkena 29 Jalan 07o 43' 09,6" 109o 01' 27,8" 9:43 22 Tidak terkena 30 Permukiman 07o 43' 00,6" 109o 01' 29,0" 10:07 20 Tidak terkena 31 Sawah 07o 42' 57,1" 109o 01' 27,6" 10:09 22 Tidak terkena 32 Industri ikan asin 07o 42' 53,7" 109o 01' 39,2" 10:16 25 Tidak terkena 33 Jembatan 07o 42' 54,4" 109o 01' 39,8" 10:19 22 Tidak terkena 34 TPI Tegalkatilayu 07o 42' 55,9" 109o 01' 42,3" 10:20 22 Tidak terkena 35 Kebun 07o 42' 56,3" 109o 01' 42,9" 10:25 13 Tidak terkena 36 Tambak 07o 42' 57,5" 109o 01' 51,4" 10:33 17 Tidak terkena 37 Pasir 07o 42' 58,5" 109o 01' 52,8" 10:38 21 Tidak terkena 38 Pasir 07o 42' 53,5" 109o 01' 57,6" 11:45 24 Tidak terkena 39 Jalan 07o 42' 37,1" 109o 02' 08,5" 11:36 24 Tidak terkena 40 Vegetasi 07o 42' 28,6" 109o 02' 14,1" 11:40 18 Tidak terkena 41 Tanah terbuka 07o 42' 25,5" 109o 02' 16,0" 11:46 25 Tidak terkena 42 Tegalkamulyan 07o 42' 14,2" 109o 02' 23,7" 12:00 3 Terkena

129

43 RS. Pertamina 07o 42' 09,1" 109o 02' 29,2" 12:27 19 Tidak terkena 44 Masjid Pertamina 07o 42' 09,6" 109o 02' 28,2" 12:56 19 Tidak terkena 45 RS. Pertamina 07o 42' 11,4" 109o 02' 32,0" 13:03 20 Tidak terkena 46 Kebun 07o 42' 00,8" 109o 02' 45,8" 13:27 29 Tidak terkena 47 Jalan 07o 41' 43,9" 109o 03' 26,1" 13:40 19 Tidak terkena 48 Sawah/jalan 07o 41' 35,3" 109o 03' 43,1" 14:00 13 Tidak terkena 49 TPI Lengkong 07o 41' 28,6" 109o 04' 00,3" 14:26 19 Tidak terkena 50 Sawah 07o 41' 25,7" 109o 04' 09,0" 14:32 20 Tidak terkena 51 PLTU 07o 41' 07,11" 109o 05' 05,0" 14:50 20 Terkena 52 PLTU Mertasinga 07o 42' 09,2" 109o 01' 28,1" 15:00 27 Terkena 53 Kota/jalan 07o 42' 09,4" 109o 01' 28,5" 17:00 26 Tidak terkena 54 Terminal 07o 42' 09,1" 109o 01' 30,0" 17:30 33 Tidak terkena

4. Tabel hubungan skala tsunami 7.7 dengan tutupan lahan

Kelas Skala Tsunami (m)-7.7 MW Kelas Landuse 0-0.5 0.5-1 1-1.5

Pemukiman 6.6320915 1.5304827 0Industri 12.7540221 1.5304827 0Jalan 11.2235394 4.0812871 2.0406435Lahan Terbuka 25.7631246 4.0812871 2.0406435Tambak 27.2936073 7.9074937 3.5711262Sawah 3.3160457 0.7652413 0.2550804Pasir 0.7652413 1.0203218 0.5101609Vegetasi Lain 4.3363675 0.7652413 0.2550804ladang 0 0 0Rumput/Semak 0 0 0Kebun/Perkebunan 0 0 0

5. Tabel hubungan skala tsunami 8.7 dengan tutupan lahan

Kelas Skala Tsunami (m)-8.7 MW No Kelas Landuse

0-1 1-2 2-3 3-4 >4

1 Pemukiman 163.0288329 66.5078731 30.9994324 6.340793 02 Industri 18.4587529 14.6542771 16.0633422 3.5226628 03 Sekolah 1.2681586 0.4227195 0.1409065 0 04 Rumah Sakit 0.1409065 0.1409065 0 0 05 Tempat Ibadah 1.1272521 0.9863456 0 0 06 Jalan 123.9977295 58.6171085 23.6722938 11.69524 07 Lahan Terbuka 45.6537095 39.3129165 38.890197 14.231558 0.1409078 Tambak 16.9087813 17.0496878 49.4581853 24.517733 0

130

9 Sawah 203.7508145 122.5886643 55.3762587 17.613314 010 Pasir 0.9863456 1.4090651 2.5363172 1.1272521 0.70453311 Vegetasi lain 54.9535392 19.867818 7.6089516 2.6772237 0.4227212 Ladang 11.6952404 3.3817563 0 0 013 Rumput/Semak 0.1409065 0 0 0 014 Kebun/Perkebunan 2.8181302 0.1409065 0.1409065 0 0

6. Tabel hubungan skala tsunami 8.9 dengan tutupan lahan

Kelas Skala Tsunami (m)-8.9 MW No Kelas Landuse

0-1 1-2 2-3 3-4 >4

1 Pemukiman 132.98265 34.884161 22.6218498 16.490694 3.8055452 Industri 22.6218498 11.2052153 2.5370299 17.759209 0.4228383 Sekolah 17.8546912 2.2318364 0 2.2318364 04 Tempat Ibadah 22.9956328 8.6233623 0 2.8744541 05 Jalan 316.9207697 91.5052926 49.1004009 71.418765 4.4636736 Lahan Terbuka 57.0831725 30.0215204 23.4675265 26.215976 2.1141927 Tambak 20.08482 19.4505625 17.1249518 41.438155 11.839478 Sawah 159.6214639 66.5970346 51.3748553 32.135712 4.6512229 Pasir 5.4968981 2.748449 3.3827065 1.4799341 0.211419

10 Vegetasi lain 51.3748553 15.8564368 4.8626406 5.0740598 011 Ladang 4.6512215 1.4799341 0.2114192 0 012 Rumput/Semak 0.6342575 0.2114192 0 0 013 Kebun/Perkebunan 0.6342575 0 0 0 0

7. Tabel hubungan kelas topografi dengan desa

Kelas Topografi Desa/Kecamatan 0-2 2-4 4-6 6-8 8-10

Sidanegara 129.895 256.183 14.252 0.722 0.000 Tambakreja 5.954 125.205 71.262 2.526 0.000 Tritih Wetan 1.443 0.541 0.000 0.000 0.000 Tritih Lor 5.954 100.849 106.803 0.000 0.000 Menganti 38.788 76.494 252.033 235.977 14.613 Karang Kandri 126.648 47.628 59.175 148.658 19.665 Slarang 33.195 55.566 34.278 6.495 0.000 Kalisabuk 5.593 30.670 29.948 10.283 2.706 Kuripan 0.361 0.722 0.361 0.000 0.000 Kuripan kl 12.087 34.819 34.098 90.205 10.464 Sidakaya 116.004 64.587 1.985 0.000 0.180 Cilacap 56.829 90.205 5.593 2.526 2.165 Tegalreja 13.531 87.319 4.330 0.000 0.180 Tegal Kamulyan 158.220 121.055 2.887 0.541 0.541 Gumilir 16.417 127.009 174.637 39.149 0.361

131

Mertasinga 24.536 54.484 292.084 156.957 6.675 Tritih kulon 148.117 196.106 246.440 35.902 2.526 Karang Tal 126.287 180.230 166.699 11.185 6.495 Kebon manis 35.360 113.839 84.252 3.067 0.541 Donan 36.804 222.626 15.335 1.985 0.000 Gunung Simpang 107.525 174.096 7.577 0.541 0.000 Lomanis 50.876 262.317 79.922 17.319 10.283 Kutawaru 222.807 52.680 0.361 0.000 0.000 8. Tabel pengukuran tinggi gelombang tsunami

Run-up Tsunami (meter) di dua Posisi Pengamatan 7.7 Mw 8.9 Mw 8.7 Mw Waktu (detik)

1 2 1 2 1 260 0 0 0 0 0 0

120 0 0 0 0 0 0180 0 0 0 0 0 0240 0 0 0 0 0 0300 0 0 0 0 0 0360 0 0 0 0 0 0420 0 0 0 0 0 0480 0 0 0 0 0 0540 0 0 0 0 0 0600 0 0 0 0 0 0660 0 0 0 0 0 0720 0 0 0 0 0 0780 0 0 0 0 0 0840 0 0 0 0 0 0900 0 0 0 0 0 0960 0 0 0 0 0 0

1020 0 0 0 0 0 01080 0 0 0 0 0 01140 0 0 0 0 0 01200 0 0 0 0 0 01260 0 0 0 0 0 01320 0 0 0 0 0 01380 0 0 0 0 0 01440 0 0 0 0 0 01500 0 0 0 0 0 01560 0 0 0 0 0 01620 0 0 0 0 0 01680 0 0 0 0 0 0

132

1740 0 0 0 0 0 01800 0 0 0 0 0 01860 0 0 0 0 0 01920 0 0 0 0 0 01980 0 0 0 0 0 02040 0 0.06 -0.02 0 0 0.212100 0 0.95 -0.25 0 0 4.382160 0 1.49 -0.52 0 0 5.592220 0 0.79 -0.59 0 0 4.312280 0 -0.28 -0.5 0 0 2.22340 0 -0.51 -0.76 0 0 -0.612400 0 -0.68 -0.76 0 0 -0.512460 0 -0.43 -0.91 0 0 -1.412520 0 -0.3 -0.82 0 0 -1.052580 0 -0.32 -0.86 0 0 0.072640 0 -0.16 -0.91 0 0 0.342700 0 0.07 -1.05 0 0 -0.082760 0 0.1 -1.11 0 0 0.132820 0 0.05 -1.22 0 2.1 -0.442880 0 -0.17 -1.39 0 2.17 -0.942940 0 -0.09 -1.63 0 1.93 -1.043000 0 -0.15 -1.86 0 1.78 -1.23060 0 -0.16 -2.19 0 1.63 -1.163120 0.51 -0.12 -2.47 0 1.6 -0.983180 0.89 -0.04 -0.93 0 2.42 -0.963240 0.92 0.01 3.49 -0.01 2.27 -0.623300 1.08 0.1 2.99 -0.08 2.01 -0.443360 0.89 0.02 2.27 -0.19 1.75 -0.223420 0.68 0.09 2.34 -0.31 1.53 -0.083480 0.47 0.02 1.61 -0.44 1.27 -0.243540 0.26 -0.05 1.13 -0.56 1.09 -0.193600 0.06 -0.1 0.61 -0.68 0.86 -0.113660 -0.12 -0.12 0.54 -0.76 0.64 -0.263720 -0.25 -0.12 0.62 -0.84 0.45 -0.253780 -0.36 -0.09 0.92 -0.91 0.32 0.083840 -0.43 -0.07 0.08 -0.97 0.21 0.333900 -0.45 -0.01 -0.22 -1.03 0.09 0.553960 -0.18 0 -0.1 -1.08 0.03 0.664020 -0.24 -0.01 -0.13 -1.12 0.03 0.354080 -0.18 0.03 0.06 -1.17 -0.07 0.724140 -0.2 -0.04 0.11 -1.21 -0.19 0.174200 -0.28 -0.06 0.05 -1.25 -0.27 -0.254260 -0.35 -0.02 -0.15 -1.28 -0.32 -0.39

133

4320 -0.4 -0.05 -0.07 -1.31 -0.33 -0.274380 -0.32 -0.04 -0.34 0.49 -0.37 -0.44440 -0.13 -0.04 -0.29 1.13 -0.39 -0.224500 -0.07 0.09 -0.36 1.53 -0.38 -0.314560 0.02 -0.07 -0.42 1.9 -0.05 -0.554620 0.05 0.14 0.12 1.92 -0.09 -0.684680 0.02 -0.09 0.52 1.9 -0.22 -0.544740 0.03 -0.31 0.77 1.77 -0.34 -0.84800 -0.08 0.43 0.67 1.61 -0.42 0.134860 -0.14 -0.11 0.87 1.58 -0.52 -0.374920 -0.26 -0.21 1.05 1.33 -0.61 -0.194980 -0.2 -0.08 1.28 1.09 -0.64 0.285040 -0.17 -0.77 1.71 0.83 -0.19 -1.485100 -0.09 -0.05 2.08 0.54 -0.14 0.285160 0.12 -0.75 2.08 0.29 -0.31 -0.885220 0.04 -0.41 1.64 0.11 -0.5 -2.045280 -0.03 -0.14 1.48 0.34 -0.62 -2.375340 -0.14 -0.12 1.47 0.35 -0.69 -2.015400 -0.27 -0.23 1.08 0.37 -0.74 -2.195460 -0.4 0.07 0.98 0.42 -0.8 -2.325520 -0.47 0.2 1.08 0.54 -0.81 -1.485580 -0.16 0.09 1.05 0.45 -0.86 -1.315640 -0.1 0.04 0.85 0.51 -0.95 -1.465700 0.15 -0.07 1.11 0.51 -1.04 -1.825760 0.25 -0.04 1.21 1.28 -1.12 -1.475820 0.16 -0.05 1.29 1.29 -1.16 -0.915880 0.08 -0.05 1.55 1.68 -0.94 -0.635940 -0.05 -0.15 1.86 2.4 -1.05 -1.286000 -0.2 -0.33 1.63 3.35 -1.12 -1.946060 -0.24 -0.26 1.73 3.63 -1.19 -1.76120 -0.11 -0.17 1.76 3.76 -1.21 -1.256180 -0.3 -0.21 0.93 3.29 -0.43 -1.086240 -0.34 -0.04 0.83 2.72 -0.53 -1.066300 -0.01 0.04 -0.55 2.35 -0.66 -0.896360 -0.11 0.36 -1.25 2.13 -0.83 0.246420 -0.16 0.46 -1.74 1.86 -0.94 1.526480 0 0.3 -1.04 1.51 -1 2.256540 0.04 0.46 -1.82 1.12 -1.07 3.166600 -0.03 0.55 -1.89 0.84 -1.11 4.56660 0.05 0.15 -0.98 0.64 -1.12 3.456720 0.21 0.11 -1.16 0.47 -1.17 2.66780 0.09 0.16 -1.09 1.56 -1.2 2.176840 0.06 0.06 -1.76 1.62 -1.24 1.7

134

6900 0 -0.03 -1.15 1.61 -1.29 1.166960 0 -0.01 -0.87 1.84 -1.08 1.127020 -0.11 0.1 -0.81 1.5 -0.66 1.317080 -0.21 0.28 -1.24 1.25 -0.74 1.717140 -0.3 0.34 -1.19 1.02 -0.73 1.847200 -0.19 0.22 -1.42 0.8 -0.89 1.357260 -0.11 0.06 -2.05 0.52 0.83 0.687320 0.13 0.25 -3.09 0.32 1.11 0.537380 0.27 0.04 -2.93 0.13 1.18 0.687440 0.48 -0.03 -2.34 -0.04 1.2 0.087500 0.58 0.06 -2.3 0.03 1.3 0.677560 0.53 0.05 0.15 -0.1 1.38 17620 0.59 0.02 1.1 -0.22 1.34 0.327680 0.41 0.01 2.01 -0.3 2 -0.137740 0.38 -0.07 2.05 -0.37 2.65 -0.497800 0.54 -0.11 1.42 -0.45 2.56 -0.667860 0.38 -0.16 1.23 -0.54 2.9 -0.587920 0.38 0.17 0.57 -0.62 2.89 0.347980 0.38 -0.02 -0.02 -0.68 2.63 -0.138040 0.42 -0.08 -0.67 -0.73 2.57 0.468100 0.47 -0.01 -1.11 -0.78 2.43 -0.348160 0.37 -0.11 -1.51 -0.81 2.19 -0.078220 0.26 -0.06 -2 -0.83 2.07 -0.238280 0.33 -0.08 -2.09 -0.85 1.81 -0.868340 0.14 0.08 -1.78 -0.88 1.6 -0.218400 0.05 0.24 -1.68 -0.91 1.46 0.098460 -0.04 0.01 -1.06 -0.93 1.87 0.288520 -0.1 -0.1 -0.69 -0.95 1.39 0.338580 -0.1 0.1 -0.4 -0.97 1.07 1.238640 -0.15 0.08 -0.01 -0.99 0.79 1.438700 -0.17 0.06 1.09 -1 0.58 1.098760 0.1 0.06 1.37 -0.4 0.41 0.598820 0.04 0.11 1.08 0.9 0.28 0.428880 -0.04 -0.1 1.33 1.2 0.26 -0.068940 -0.01 0.12 2.19 1.48 0.1 0.129000 0.18 0.12 1.28 1.57 0.08 -0.149060 0.05 -0.01 1.71 1.42 0.84 -0.119120 0.02 0.21 2.07 1.14 0.75 -0.079180 0 0.02 1.83 0.82 0.58 0.19240 0.32 -0.1 1.28 0.49 0.35 0.049300 0.33 -0.01 0.45 0.35 0.17 0.279360 0.21 0.09 0.11 0.13 0.34 0.249420 0.25 0.01 -0.41 -0.07 1.26 0.31

135

9480 0.13 -0.11 0.4 -0.25 1.26 -0.129540 0.05 -0.12 0.43 -0.39 1.28 -0.699600 0.04 -0.11 0.45 -0.5 1.07 -1.069660 -0.02 -0.18 0.14 -0.61 0.83 -1.779720 -0.19 -0.28 0.24 -0.68 0.75 -2.029780 -0.31 -0.37 -0.02 -0.75 1.19 -2.239840 -0.34 -0.25 0.43 0.19 1.13 -1.899900 -0.4 -0.22 0.16 0.75 1.22 -1.119960 -0.52 -0.1 -0.05 0.9 0.97 -1.64

10020 -0.52 -0.12 -0.18 1.92 0.74 -1.2710080 -0.53 -0.14 0.56 1.97 0.62 -1.5310140 -0.32 -0.21 0.54 2.11 0.46 -1.3210200 -0.42 -0.15 1 2.19 0.31 -1.0410260 -0.15 -0.1 1.45 2.92 0.2 -1.3110320 -0.21 -0.19 2.15 3.25 0.05 -1.5610380 -0.29 0.02 2.6 3.91 -0.11 -1.1510440 -0.13 0.12 2.96 4.36 -0.27 -0.6510500 -0.26 -0.06 2.9 4.2 -0.38 -0.1410560 -0.34 -0.03 2.22 3.91 -0.41 0.5810620 -0.39 0 1.46 3.45 -0.5 0.1810680 -0.31 0.04 1.02 2.94 -0.62 0.3310740 -0.46 0.19 0.49 2.61 -0.73 0.3510800 -0.54 0.12 -0.49 2.44 -0.82 0.84

136

9. Data USGS 2008

Harvard Moment Tensor Solution

Magnitude 7.7 SOUTH OF JAVA, INDONESIA Monday, July 17, 2006 at 08:19:28 UTC

July 17, 2006, SOUTH OF JAVA, INDONESIA, MW=7.7 CENTROID, MOMENT TENSOR SOLUTION HARVARD EVENT-FILE NAME M071706A DATA USED: GSN MANTLE WAVES: 73S,194C, T=150 CENTROID LOCATION: ORIGIN TIME 08:20:39.1 0.2 LAT 10.28S 0.01;LON 107.82E 0.01 DEP 20.4 0.7;HALF-DURATION 50.0 MOMENT TENSOR; SCALE 10**27 D-CM MRR= 1.49 0.01; MTT=-1.21 0.01 MPP=-0.28 0.01; MRT= 3.60 0.14 MRP=-0.90 0.07; MTP= 0.32 0.01 PRINCIPAL AXES: 1.(T) VAL= 4.06;PLG=55;AZM= 13 2.(N) -0.19; 1; 104 3.(P) -3.87; 35; 195 BEST DOUBLE COUPLE:M0=4.0*10**27 NP1:STRIKE=289;DIP=10;SLIP= 95 NP2:STRIKE=104;DIP=80;SLIP= 89