kajian awal pewarna berbasis bahan alam sebagai

26
Perjanjian No. III/LPPM/2019-01/16-P KAJIAN AWAL PEWARNA BERBASIS BAHAN ALAM SEBAGAI SUBSTISTUSI PEWARNA SINTESIS DALAM INDUSTRI TEKSTIL BERKELANJUTAN Disusun Oleh: Putri Ramadhany, S.T., M.Sc., PDEng Dr. Ir. Judy Retti B. Witono, M.App.Sc. UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN 2019

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

15 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KAJIAN AWAL PEWARNA BERBASIS BAHAN ALAM SEBAGAI

Perjanjian No. III/LPPM/2019-01/16-P

KAJIAN AWAL PEWARNA BERBASIS BAHAN ALAM SEBAGAI

SUBSTISTUSI PEWARNA SINTESIS DALAM INDUSTRI TEKSTIL

BERKELANJUTAN

Disusun Oleh:

Putri Ramadhany, S.T., M.Sc., PDEng

Dr. Ir. Judy Retti B. Witono, M.App.Sc.

UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

2019

Page 2: KAJIAN AWAL PEWARNA BERBASIS BAHAN ALAM SEBAGAI

i

ABSTRAK

Dalam 15 tahun terakhir, industri tekstil meningkat dua kali lipat dan diprediksi akan terus

meningkat akibat peningkatan populasi kelas menengah. Setiap harinya industri tekstil

memproduksi limbah cair berwarna yang berasal dari bahan kimia (pewarna sintesis, mordant)

yang merusak ekosistem dan membahayakan kesehatan manusia. Permasalahan lingkungan dan

kesehatan yang dihadapi ini telah memicu beberapa peneliti dan praktisi industri untuk mencari

solusi nyata, salah satunya adalah penggunaan pewarna alami. Pewarna alami adalah pewarna

yang sustainable, namun sayangnya masih belum bisa memenuhi permintaan yang besar dari

industri tekstil. Hal ini dikarenakan oleh keterbatasan teknologi dalam mengekstrak pewarna

alami, ketidakcocokan pewarna alami dengan mesin dan material kain yang sudah ada, warna yang

kurang beragam dan lemahnya kekuatan warna alami jika dibandingkan dengan pewarna sintesis.

Penelitian ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pewarna alami siap pakai yang memiliki

kekuatan warna seperti pewarna sintesis. Penelitian mencakup ekstraksi pewarna alami dari kunyit

dengan pelarut air dan formulasi larutan zat warna siap pakai. Ekstrak kunyit ditambahkan dengan

komponen fixative atau pengikat berupa emulsifier dan mordan (mordant), dimana rasio

konsentrasi emulsifier dan mordan akan divariasikan. Mordan yang digunakan adalah jeruk nipis

dan kapur (CaCO3). Emulsifier yang digunakan adalah Tween 80. Formulasi zat warna kemudian

digunakan dalam proses pencelupan kain. Kain pewarnaan kemudian dianalisa lebih lanjut

mengenai koordinasi warna, kekuatan warna, dan ketahanan warnanya.

Hasil menunjukkan bahwa mordan jeruk nipis menghasilkan warna yang lebih cerah dibandingkan

kapur, dengan ketahanan warna setelah proses pencucian sebesar 82%. Penambahan emulsifier

dianggap memberikan efek yang kurang baik terhadap kekuatan dan ketahanan warna.

Kata Kunci: pewarna alami, natural dye, curcuma, kunyit, color coordination, color strength,

coclor fastness

Page 3: KAJIAN AWAL PEWARNA BERBASIS BAHAN ALAM SEBAGAI

ii

DAFTAR ISI

ABSTRAK ....................................................................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1

1.1 LATAR BELAKANG .......................................................................................................... 1

1.2 PERUMUSAN MASALAH ................................................................................................. 2

1.3 TUJUAN PENELITIAN ....................................................................................................... 2

1.4 RENCANA HASIL LUARAN ............................................................................................. 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................... 4

2.1 TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................................... 4

2.1.1 Pewarna Sintesis dan Jenisnya ........................................................................................... 4

2.1.2 Pewarna Alami ................................................................................................................... 6

2.1.3 Kunyit Sebagai Pewarna Alami ......................................................................................... 7

2.1.4 Mordan ............................................................................................................................... 9

2.1.5 Interaksi Zat Warna, Kain, dan Fixative .......................................................................... 11

2.1.6 State of The Art ................................................................................................................ 13

BAB III METODE PENELITIAN .............................................................................................. 15

3.1 PENELITIAN PENDAHULUAN ...................................................................................... 15

3.2 PENELITIAN UTAMA ..................................................................................................... 15

BAB IV JADWAL PELAKSANAAN ........................................................................................ 16

4.1 JADWAL PENELITIAN .................................................................................................... 16

4.2 PETA RENCANA .............................................................................................................. 16

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................................... 18

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................................... 20

REFERENSI ................................................................................................................................. 21

LAMPIRAN .................................................................................................................................. 22

A. BIAYA PENELITIAN ......................................................................................................... 22

Page 4: KAJIAN AWAL PEWARNA BERBASIS BAHAN ALAM SEBAGAI

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Industri fesyen (fashion) adalah industri yang melekat pada kehidupan manusia modern dan akan

terus meningkat seiring dengan perkembangan zaman. Keberlangsungan industri fesyen tidak

lepas dari industri tekstil. Seperti dilihat pada Gambar 1, dengan meningkatnya penjualan pakaian,

maka industri tekstil pun akan meningkat. Dalam 15 tahun terakhir, industri pakaian meningkat

dua kali lipat. Peningkatan ini disebabkan oleh fenomena fast-fashion, dimana pakaian siap pakai

dijual dalam siklus yang lebih pendek dan harga murah. Namun, fenomena ini memberikan

dampak yang tidak baik bagi ekosistem. Sejumlah besar bahan (contoh: pewarna sintesis, kain

sintesis) yang tidak terbarukan diproduksi dalam jumlah besar, menyebabkan pengeluaran limbah

dan polusi besar-besaran ke lingkungan. Saat ini industri tekstil global menggunakan sekitar 98

juta ton bahan tidak terbarukan (seperti minyak, pupuk, dan pewarna sintesis) per tahunnya.

Footprint industri tekstil mencakup 1,2 milyar ton CO2 dan juga limbah cair, dimana 20% polusi

air di dunia bersumber dari proses pewarnaan dalam industri tekstil (Elle MacArthur Foundation,

2017). Pembuangan limbah oleh industri tekstil yang memprihatinkan menyebabkan konsumen,

beberapa ilmuwan, dan praktisi industri untuk mencari alternatif solusi yang dapat meminimalkan

pencemaran lingkungan.

Gambar 1. Peningkatan Industri Tekstil Secara Global (Elle MacArthur Foundation, 2017)

Indonesia adalah negara yang kaya akan keanekaragaman hayati. Sejak jaman nenek moyang,

keanekaragaman hayati ini dapat terlihat dalam budaya Indonesia yang kaya akan warna. Aneka

Page 5: KAJIAN AWAL PEWARNA BERBASIS BAHAN ALAM SEBAGAI

2

ragam warna ini berasal dari bahan pewarna alami yang bersumber dari tanaman, mineral, dan

hewan. Pewarna alami sering diaplikasikan dalam kain, makanan, dan material lain. Namun,

seiring dengan berjalannya waktu dan kemajuan teknologi, pewarna alami ini mulai dilupakan dan

beralih kepada pewarna sintesis yang lebih ekonomis dan memiliki rentang warna yang lebih

beragam. Tetapi dengan munculnya permasalahan lingkungan dan kesehatan yang diakibatkan

oleh pewarna sintesis, konsumen mulai beralih kembali pada pewarna alami. Berbeda dengan

pewarna sintesis yang merupakan turunan dari bahan kimia, pewarna alami adalah pewarna

sustainable berasal dari bahan alam. Tetapi bahan alam ini tidak dapat langsung digunakan untuk

mewarnai tekstil, selain itu bahan alam yang tersedia bergantung pada musim. Karena keterbatasan

ini, pewarna alami masih belum bisa memenuhi permintaan yang besar dari industri tekstil.

Pewarna alami hanya mencakup sekitar 1% dari total share industri tekstil (Elle MacArthur, 2017).

Selain itu, keterbatasan teknologi dalam mengekstrak pewarna alami, ketidakcocokan pewarna

alami dengan mesin dan kain yang sudah ada, warna yang kurang beragam dan lemahnya kekuatan

pewarna alami; juga menjadi kelemahan penggunaan pewarna alami dalam industri tekstil.

Dalam proses industri tekstil, pewarna alami harus dalam keadaan murni, karena pengotor akan

menyebabkan penyebaran warna yang tidak merata dan penggumpalan yang dapat merusak mesin.

Selain itu, beberapa kain/material yang berbahan selulosa tidak memiliki afinitas terhadap pewarna

alami karena pewarna alami tidak memiliki gugus amino dan karboksil. Akibatnya warna yang

dihasilkan menjadi lebih pudar. Oleh karena itu, kain biasanya dipersiapkan terlebih dahulu

dengan zat fixative atau mordant melalui proses mordanting, sebelum akhirnya dilakukan proses

pewarnaan.

1.2 PERUMUSAN MASALAH

Penelitian ini difokuskan memformulasikan pewarna alami yang diekstrak dengan cara ekstraksi

sederhana dengan penambahan zat fixative (emulsifier dan mordan). Komposisi pewarna alami dan

komponen fixative akan diinvestigasi untuk mengetahui pengaruhnya terhadap kekuatan zat warna.

1.3 TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk membuat zat warna berbasis bahan alam yang memiliki kekuatan

warna seperti pewarna sintesis yang dapat digunakan dalam industri tekstil.

Page 6: KAJIAN AWAL PEWARNA BERBASIS BAHAN ALAM SEBAGAI

3

1.4 RENCANA HASIL LUARAN

Hasil keluaran dari penelitian ini adalah berupa penerbitan dalam satu Jurnal Internasional, yaitu

International Journal of Textile Science.

Page 7: KAJIAN AWAL PEWARNA BERBASIS BAHAN ALAM SEBAGAI

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 TINJAUAN PUSTAKA

2.1.1 Pewarna Sintesis dan Jenisnya

Zat warna memiliki keanekaragaman fungsi dan aplikasi dalam berbagai industri. Sebelum

pewarna sintesis ditemukan, pewarna alami ditemukan dalam tanaman, hewan, dan mineral.

Pewarna sendiri dapat dibagi menjadi menjadi beberapa klasifikasi berdasarkan struktur kimia dan

metode aplikasinya. Tidak seperti komponen organik lainnya, zat warna menghasilkan warna

dikarenakan beberapa hal, yaitu: (1) mengabsorp cahaya tampak (400 – 700 nm), (2) memiliki

setidaknya satu chromophore (ikatan kimia yang menghasilkan zat warna), (3) memiliki sistem

konjugasi (struktur yang dapat beralternatif antara ikatan rangkap dan tunggal), dan (4)

menghasilkan resonansi elektron yang merupakan gaya yang menstabilkan komponen organik.

Ketika salah satu dari komponen parameter tersebut tidak ada, maka warna akan pudar (IARC,

2010). Selain chromopore, zat warna juga dapat mengandung grup fungsi auxochrome (color

helpers) seperti gugus asam karboksilat, asam sulfonat, amino, dan hidroksil. Auxochrome tidak

mengeluarkan warna tetapi dapat merubah suatu warna, selain itu auxochrome juga berpengaruh

terhadap kelarutan zat warna.

Gambar 2. Resonansi Elektron pada Malachite Green (CI Basic Green 4) (Nelson, 2017)

Pewarna berdasarkan struktur kimia atau chromopore-nya, yaitu: Azo, Anthraquinone, Indigoid,

Phthalocyanine, Sulfur, Nitro dan Nitroso. Pewarna berdasarkan metode aplikasinya, yaitu:

pewarna reaktif (reactive dyes), pewarna disperse (disperse dyes), pewarna asam (acid dyes),

pewarna basa (basic dyes), pewarna langsung (direct dyes), dan pewarna tak larut dalam air (vat

dyes).

Page 8: KAJIAN AWAL PEWARNA BERBASIS BAHAN ALAM SEBAGAI

5

Hampir 60% pewarna di dunia adalah pewarna tipe azo. Pewarna ini setidaknya memiliki satu

ikatan rangkap nitrogen-nitrogen (N=N). Pewarna azo adalah pewarna sintesis yang memiliki

banyak substituen dan menghasilkan banyak variasi warna tergantung pada substituennya.

Pewarna anthraquinone adalah pewarna terbanyak kedua yang digunakan di industri setelah

pewarna azo. Tidak seperti pewarna azo yang merupakan produk hasil sintesis, anthraquinone

adalah produk alami yang dihasilkan bakteri dan jamur. Pewarna indigoid adalah salah satu

pewarna yang telah digunakan sejak 5000 tahun yang lalu. Pewarna tipe indigoid memiliki ikatan

–NH dan ikatan rangkap oksigen (=O). Pewarna sulfur adalah pewarna yang mengandung ikatan

sulfide (-S-), disulfide (-S-S-), atau polisulfida (-Sn-) yang membentuk cincin heterosiklik.

Tabel 1. Tipe Pewarna Berdasarkan Chromopore (Gürses, 2016)

Chromopore Contoh Struktur

Azo

Anthraquinone

Indigoid

Phthalocyanine

Page 9: KAJIAN AWAL PEWARNA BERBASIS BAHAN ALAM SEBAGAI

6

Sulfur

Nitro

2.1.2 Pewarna Alami

Pewarna alami didapatkan dari bahan alam dan proses pembuatannya melibatkan reaksi kimia

yang minim. Kebanyakan pewarna alami tidak berbahaya dan tidak beracun, sehingga produk dan

limbah dari pewarna alami aman untuk ekosistem. Namun, beberapa pewarna alami juga

mengandung logam berat, sehingga pewarna alami perlu dicek toksisitasnya. Sebagai contoh

logwood yang mengandung haematoxylum dan hematein.

Pewarna alami berpotensi sebagai pewarna bersahabat dalam industri tekstil, namun pewarna

alami memiliki beberapa keterbatasan, yaitu: (1) rentang warna yang terbatas, (2) yield zat warna

yang rendah, (3) reproduksi gradasi warna yang sulit, (4) proses pembuatan yang kompleks, (5)

ketersediaan di alam yang bergantung musim, (6) ketidakcocokan zat warna dengan jenis kain, (7)

standarisasi warna yang berbeda dengan pewarna sintesis, dan (8) membutuhkan mordan dalam

jumlah besar agar zat warna dapat terikat dengan kain (Clark, 2011).

Pewarna alami terdiri dari dua jenis, yaitu: pewarna aditif (membutuhkan mordan) dan substantif

(tidak membutuhkan mordan) (Chakraborty, 2014). Mordan diberikan ke dalam pewarna alami

agar warna lebih kuat terikat dengan kain. Pada sub-bab sebelumnya dijelaskan tipe-tipe pewarna

berdasarkan struktur kimianya, seperti sulfur dan azoic. Pewarna alami tidak memiliki ikatan-

ikatan kimia yang terdapat dalam pewarna sintesis, sehingga warna yang dihasilkan oleh pewarna

alami bergantung pada kondisi proses pewarnaan dan mordan yang digunakan.

Page 10: KAJIAN AWAL PEWARNA BERBASIS BAHAN ALAM SEBAGAI

7

Berdasarkan Spesifikasi Color Index, terdapat 32 pewarna merah alami, 28 pewarna kuning alami,

3 pewarna biru alami, dan 1 pewarna hitam alami (Clark, 2011). Berikut adalah daftar pewarna

alami.

Tabel 2. Pewarna alami terdaftar dalam Color Index (Clark, 2011)

Warna Jenis Pewarna Sumber

Kuning Flavanoid French marigold, nangka, bawang, dll.

Carotenoid Saffron, mahogany india, dll.

Diaroyl methane Kunyit, barberry

Quinanoid Hena

Merah Quinone (contoh:

anthraquinone)

Saffron, secang/sepang

Biru Indigotin Indigo, woad

Hitam Tannin Logwood

2.1.3 Kunyit Sebagai Pewarna Alami

Kunyit (Curcuma domestica) adalah salah satu sumber alami yang umum digunakan untuk

menghasilkan warna kuning. Kandungan utama dari kunyit adalah curcuminoids yang mencakup

sekitar 1 – 6% berat. Curcuminods adalah jenis polyphenol yang memberikan efek warna kuning

dari kunyit. Kandungan dalam kunyit dapat dilihat pada Tabel 3. Kunyit sendiri terdiri dari tiga

komponen utama, yaitu: curcumin (diferuloymethane), demethoxycurcumin, dan

bisdemethoxycurcumin (Gambar 3).

Tabel 3. Kandungan Kunyit (Nelson, 2017)

Kandungan Komposisi

(%-berat)

Curcuminoids 1 – 6

Volatile (essential) oils 3 – 7

Serat kain 2 – 7

Mineral 3 – 7

Protein 6 – 8

Page 11: KAJIAN AWAL PEWARNA BERBASIS BAHAN ALAM SEBAGAI

8

Lemak 5 – 10

Karbohidrat 60 – 70

Air 6 – 13

Gambar 3. Tiga komponen utama curcumin (Nelson, 2017)

Curcumin (C21H20O6) yang memiliki berat molekul 368,37 g/mol adalah komponen polyphenol

dengan titik didih 183ºC. Curcumin memiliki 2 cincin aryl yang mencakup grup ortho methoxy

phenolic OH-, dimana 2 cincin aryl ini tehubung secara simetrik dengan β-diketone. Pada kondisi

asam dan netral (pH 3 -7), komponen utama yang muncul adalah molekul curcumin dalam bentuk

bis-keto, dimana curcumin bertindak sebagi donor proton. Hal ini dikarenakan adanya atom karbon

aktif pada ikatan heptadienone di antara dua cincin methoxy phenol kurkumin bis-keto. Ketika

pH>8, bentuk enol lebih dominan, curcumin bertindak sebagai donor elektron (Lee, 2013).

Curcumin memiliki sifat hidrofobik akibatnya tidak begitu larut dalam air, kelarutan curcumin

dalam air dapat ditingkatkan dengan meningkatkan kondisi operasi (misal: temperatur). Curcumin

memiliki kelarutan yang tinggi dalam pelarut organik (methanol, ethanol, isopropanol, aseton, dan

DMSO). Absorpsi curcumin menunjukkan nilai yang kuat pada λmax pada rentang 408 – 434 nm

(Lee, 2013).

Page 12: KAJIAN AWAL PEWARNA BERBASIS BAHAN ALAM SEBAGAI

9

Gambar 4. Bentuk curcumin sebagai keto-enol (Lee, 2013)

Curcumin, tidak seperti kebanyakan pewarna alami lainnya, mampu berikatan dengan kain

berbahan selulosa (misal: kain katun) tanpa bantuan mordant atau fixative. Hal ini dikarenakan

kunyit mengandung tannin (tannic acid) yang merupakan mordan alami (Chakraborty, 2014).

Untuk kain berbahan serat hewani (sutra dan wol), curcumin bisa ditambahkan dengan mordan

untuk memperkuat zat warna dalam kain. Kemampuan kunyit sebagai pewarna tekstil hanya

bersifat sementara atau biasa disebut fugitive dye yang artinya warna kuning yang dihasilkan dari

kunyit akan pudar seiring dengan waktu (Yoshizumi, 2003). Proses ekstraksi kunyit pun dianggap

tidak terlalu sulit, kunyit yang telah dicacah kecil dicampurkan dalam air distilasi hingga mendidih

dalam waktu 1,5 jam. Ekstrak kemudian difilter dan dapat digunakan untuk proses pewarnaan

(Vankar, 2017).

2.1.4 Mordan

Penggunaan mordan dalam proses pewarnaan tergantung pada jenis kain dan warna yang ingin

dihasilkan. Tujuan dari mordan adalah menciptakan afinitas antara serat kain dengan zat warna,

membuka membuka pori-pori serat kain sehingga zat warna dapat berdifusi ke dalam serat kain,

selain itu mordan juga dapat berfungsi sebagai stabilizer yang tidak terlarut dalam air untuk

menjaga kekuatan warna. Pada awalnya mordan adalah komponen yang berbasis garam metal,

namun saat ini mordan pada dasarnya terbagi menjadi tiga, yaitu: (1) garam metal/mordan metal,

(2) tannin, dan (3) mordan minyak. Mordan juga dapat digunakan sekaligus, sebagai contoh kain

katun diberi perlakukan mordan tannin untuk mempermudah absorpsi mordan metal ke dalam

kain. Sehingga warna yang dihasilkan memiliki kekuatan warna yang cukup baik.

Jenis mordan metal yang digunakan beragam, diantaranya alum, Cu2SO4, FeSO4, dan lain-lain.

Hampir semua pewarna alami dapat membentuk ikatan metal kompleks dengan mordan metal dan

Page 13: KAJIAN AWAL PEWARNA BERBASIS BAHAN ALAM SEBAGAI

10

menghasilkan warna dengan gradasi yang berbeda. Akan tetapi, penggunaan mordan metal saat

ini dibatasi agar tidak merusak lingkungan.

Tannin adalah mordan yang penting digunakan untuk pewarna alami untuk memproduksi warna

kuning, coklat, abu-abu, dan hitam (Clark, 2011). Tannin mampu meningkatkan afinitas zat warna

dengan kain. Tannin mengandung grup phenolic hydroxyl yang dapat membuat ikatan cross-link

antara protein dan makro molekul lainnya. Tannin juga mengandung grup o-dihydroxy (cathecol)

yang dapat membentuk chelates. Chelates menghasilkan gradasi warna yang beragam tergantung

pada metal yang digunakan (Clark, 2011).

Mordan minyak biasanya digunakan untuk menghasilkan warna merah. Mordan minyak biasanya

digunakan untuk membentuk ikatan kompleks dengan alum (alum sebagai mordan primer). Alum

mudah terlarut dalam air dan memiliki afinitas rendah dengan kain katun, sehingga mudah terbawa

oleh air pada proses pencucian. Grup karboksil (-COOH) dalam asam lemak bereaksi dengan

garam metal (M) membentuk –COOM.

Gambar 5. Tannin sebagai Mordan

Page 14: KAJIAN AWAL PEWARNA BERBASIS BAHAN ALAM SEBAGAI

11

Jenis kain yang digunakan juga mempengaruhi mordan yang dipilih. Sebagai contoh, alum biasa

digunakan dalam kain katun, namun sebelum menggunakan alum sebagai mordan primer, kain

terlebih dahulu diberi perlakukan mordan sekunder seperti minyak dan tannin. Garam SnCl2 adalah

agen pereduksi yang kuat, sehingga tidak bisa dikombinasikan dengan mordan oksidasi, Cu2SO4.

Garam SnCl2 biasanya digunakan sebagai mordan pada kain katun. Kain wol lebih reseptif

terhadap pewarna alami dibandingkan kain katun. Kain wol dapat menyerap pewarna asam atau

basa karena sifatnya yang amfoterik.

2.1.5 Interaksi Zat Warna, Kain, dan Fixative

Proses pewarnaan dalam industri tekstil adalah suatu proses kompleks yang terjadi dalam sistem

heterogen. Banyak teori mengenai proses pewarnaan pada serat kain (Gürses, 2016), diantaranya

adalah: (a) pewarnaan dipengaruhi oleh kondisi zat warna saat proses pewarnaan dan setelah

proses pewarnaan, (b) pewarnaan dipengaruhi oleh laju pewarnaan: apakah proses pewarnaan

dipengaruhi oleh perpindahan massa zat warna dari larutan zat warna menuju permukaan serat

kain atau difusivitas zat warna dari permukaan serat menuju kain, (c) pewarnaan akibat adanya

fenomena antar zat warna dan permukaan serat kain yang bergantung pada proses adsorpsi molekul

zat warna dan surface potential, (d) pewarnaan bergantung pada interaksi natural antara zat warna

dan serat kain, (e) pewarnaan bergantung pada termodinamika proses pewarnaan, dan (f)

pewarnaan bergantung pada struktur serat kain terhadap laju pewarnaan dan kesetimbangan.

Namun, secara garis besar proses adsorpsi pewarnaan terjadi dalam empat tahap proses (Gürses,

2016): (1) perpindahan massa zat warna terhadap permukaan serat kain, (2) perpindahan massa zat

warna pada interface larutan bulk dan permukaan serat kain, (3) difusi molekul zat warna dari

permukaan serat kain menuju bulk serat kain, dan (4) interaksi antar zat warna dengan komponen

pengikat pada serat kain.

Pada proses pewarnaan, zat warna dapat terikat dengan serat kain secara fisika atau kimia. Zat

warna biasanya berikatan dengan serat kain melalui ikatan hidrogen dan gaya tarik menarik Van

der Waals (Chakraborty, 2014). Kekuatan warna pada kain bergantung pada ukuran molekul zat

warna dan solubilitasnya terhadap air. Untuk meningkatkan kekuatan warna, tidak jarang juga

membuat zat warna yang dapat bereaksi dengan kain.

Page 15: KAJIAN AWAL PEWARNA BERBASIS BAHAN ALAM SEBAGAI

12

Efisiensi pewarnaan bisa dikatakan proporsional dengan proses difusi zat warna terhadap serat

kain. Zat warna yang memiliki afinitas terhadap serat kain memiliki laju difusivitas yang baik.

Laju difusi zat warna dapat ditingkatkan dengan membuka struktur serat kain melalui proses termal

atau kimia, yang menyebabkan pergerakan Brownian dalam serat kain yang dapat memutuskan

ikatan rantai polimer serat kain. Akibatnya serat kain memiliki resistansi yang rendah terhadap zat

warna. Zat warna sendiri dapat terikat langsung dengan kain atau terikat pada kain dengan bantuan

mordan (Chakraborty, 2014). Interaksi antara mordan, kain, dan zat warna dapat dilihat pada

Gambar 7.

Serat selulosa (katun, linen, rayon) memiliki sifat hidrofilik, sehingga membutuhkan zat warna

yang bersifat hidrofilik untuk proses pewarnaannya. Selain itu, zat warna juga harus memiliki

afinitas yang tinggi dengan serat kain agar tidak luntur saat dikontakkan dengan air. Zat warna

yang digunakan pada kain katun biasanya adalah tipe pewarna langsung (direct dyes), azoic, vat,

sulfur, dan reaktif. Untuk meningkatkan kekuatan ikatan antara zat warna dan serat selulosa adalah

dengan menggunakan pewarna yang tidak larut dalam air.

Gambar 6. Ikatan hydrogen antara serat selulosa (A) dengan pewarna benzidine tanpa mordan (B)

Gambar 7. Ikatan antara serat selulosa (A), pewarna alami bixin (B), dan mordan (Al)

Selain membuka serat kain, laju difusi molekul zat warna dapat ditingkatkan dengan membentuk

zat warna dalam bentuk droplet-droplet kecil dengan bantuan emulsifier. Droplet zat warna yang

Page 16: KAJIAN AWAL PEWARNA BERBASIS BAHAN ALAM SEBAGAI

13

berukuran kecil dapat berdifusi ke dalam serat kain lebih mudah dibandingkan molekul berukuran

makro. Bergantung pada sifat emulsifier, emulsifier yang juga dapat berfungsi sebagai stabilizer

zat warna, sehingga zat warna dapat terikat pada serat kain lebih lama. Emulsi yang terbentuk

tergantung dari sifat zat warna dan medium yang digunakan. Jika zat warna merupakan minyak

alami, maka emulsi O/W adalah emulsi yang terbentuk.

Gambar 8. Kemungkinan zat warna dalam emulsi O/W

2.1.6 State of The Art

Saat ini penelitian mengenai pewarna alami sedang mendapat perhatian karena sifatnya yang

sustainable. Beberapa penelitian berfokus pada teknologi ekstraksi bahan alam atau pada teknologi

pewarnaan. Teknologi pewarnaan yang telah dilakukan adalah ultrasonik (Kamel dkk, 2005),

microwave (Nourmohammadian dan Gholami, 2008), radiasi gamma (Bhatti, 2010), dan high

temperature high pressure (Bhattacharrya dan Lohiya, 2002). Vankar (2008) telah melakukan

penelitian dengan menggunakan kunyit sebagai pewarna alami dan teknologi pewarnaan sonikator

untuk melihat kualitas warna yang dihasilkan pada kain katun, sutra, dan wol. Penelitian yang

dilakukan Vankar (2008) menunjukkan bahwa kualitas warna dan tekstur hasil pewarnaan

sonikator lebih baik dibandingkan dengan pewarnaan biasa. Walaupun kunyit memiliki potensi

sebagai pewarna alami dalam tekstil, hanya saja terdapat kekurangan, yaitu: warna kuning yang

dihasilkan kunyit cepat memudar (Yoshizumi, 2003). Yoshizumi (2003) melakukan analisa

dengan memotret sampel di bawah cahaya tampak dan Cahaya UV, kemudian spektrum refleksi,

CIELAB, dan perbedaan warna dievaluasi. Dong Kyung-Lee dari Korea melakukan penelitian

yang berhubungan dengan formulai zat warna alami dalam bentuk emulsi W/O. Dong (2008)

mencampurkan zat warna Sappan dengan larutan emulsifier tetraethyl orthosilicate 98% dan

cyclomethicone/dimethycon copolyl. Dong (2008) juga memasukkan mordan berbasis metal untuk

Page 17: KAJIAN AWAL PEWARNA BERBASIS BAHAN ALAM SEBAGAI

14

memperkuat zat warna. Warna yang dihasilkan memiliki kekuatan warna yang baik saat

menggunakan mordan alum dan konsentrasi emulsi yang tinggi.

Pemelitian yang akan dilakukan menggunakan beberapa referensi dari penelitian sebelumnya,

yaitu proses pewarnaan dengan metoda sonikator. Zat warna dari kunyit akan diekstrak dengan air

kemudian disaring. Zat warna yang diperoleh kemudian diformulasikan dengan zat fixative yang

terdiri dari mordan dan emulsifier dengan metoda sonicator. Bahan mordan yang dapat digunakan

diantaranya adalah kapur, jeruk nipis, dan tannin.

Page 18: KAJIAN AWAL PEWARNA BERBASIS BAHAN ALAM SEBAGAI

15

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini mencakup penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan

mencakup proses ekstraksi curcumin dan analisis ekstrak kunyit. Penelitian utama mencakup

formulasi zat warna dengan zat fixative (mordan dan emulsifier) dan analisis kekuatan warna pada

kain katun.

3.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

Kunyit dibersihkan, dikupas, dan diblender dengan sedikit campuran air. Hasil blender kunyit

kemudian disaring untuk mendapatkan kunyit ekstrak. Ekstrak curcumin kemudian dianalisis

kandungan curcuminnya dengan UV-Vis Spectra dan thin layer chromatography. Ekstrak

curcumin dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya.

3.2 PENELITIAN UTAMA

Penelitian utama mencakup formulasi zat warna dengan bahan fixative yang mengandung mordan

dan emulsifier. Kondisi yang digunakan menggunakan kondisi yang digunakan oleh Dong (2008).

Mordan yang dipilih adalah kapur dan jeruk nipis. Emulsifier yang digunakan adalah Tween 80.

Metode yang digunakan adalah metode sonicator pada suhu ruangan selama 30 menit. Sampel zat

warna kemudian dianalisis kandungan zat warna dengan metode thin layer chromatography (TLC)

dan spectrophotometry. Zat warna kemudian diaplikasikan ke dalam kain katun dan ketahanan

warnanya dianalisis dengan metode grey change untuk mengetahui kualitas pewarnaan setelah

pencucian dan grey staining untuk mengetahui kualitas warna ketika ada noda. Prinsip kerja

metoda grey change dan grey staining merupakan metode advanced spectrophotometers. Metode

grey staining ini dilakukan di suatu pabrik tekstil di Bandung. Kekuatan warna yang dihasilkan

pewarna curcumin dianalisis denga metode UV Vis atau colorimeter atau scanning kain katun dan

dibandingkan dengan RGB color yang tersedia dalam software photoshop.

.

Page 19: KAJIAN AWAL PEWARNA BERBASIS BAHAN ALAM SEBAGAI

16

BAB IV

JADWAL PELAKSANAAN

4.1 JADWAL PENELITIAN

Jadwal perencanaan penelitian dalam waktu satu tahun ke depan dapat dilihat dalam Tabel 5.

Rencana hasil luaran berupa penerbitan jurnal internasional, International Journal of Textile

Science.

Tabel 4. Jadwal Penelitian Tahun Pertama

Kegiatan Des

18

Jan

19

Fe

b1

9

Mar

19

Apr

19

Mei

19

Jun

19

Jul

19

Aug

19

Sep

19

Okt

19

Nov

19

Des

19

1. Membuat proposal

2. Studi pustaka

3. Studi banding

4. Pembelian bahan

5. Penelitian Pendahuluan

6. Analisis produk

7. Membuat laporan

8. Mempersiapkan hasil

luaran

4.2 PETA RENCANA

Penelitian direncanakan berjalan selama satu tahun dengan pembagian sebagai berikut: (1) Tahap

demonstrasi teori dan (2) Tahap aplikasi. Tahap demonstrasi teori terdiri dari proses kajian awal,

penelitian pendahuluan, dan penelitian dasar. Tahap aplikasi terdiri dari proses pengembangan

produk.

Page 20: KAJIAN AWAL PEWARNA BERBASIS BAHAN ALAM SEBAGAI

17

Gambar 9. Peta rencana penelitian

Page 21: KAJIAN AWAL PEWARNA BERBASIS BAHAN ALAM SEBAGAI

18

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh mordan emulsifier terhadap color strength, color coordination, dan color fastness

dapat dilihat di Tabel berikut.

Tabel 5. Nilai color strength dan color coordination pada kain saat menggunakan kapur sebagai mordan

Var. Formulasi (%vol) Sebelum pencucian Setelah pencucian

Kur-

kumin

Mordan Tween

80

K/S L* a* b* K/S L* a* b*

1 1 0 0 8,51 50,611 33,393 23,077 0,84 58,561 -0,404 4,132

2 2 1 0 7,95 41,93 8,164 27,285 3,85 43,699 3,485 27,148

3 2 1 1 5,22 42,700 9,586 27,200 0,76 55,292 -0,286 8,362

4 1 1 1 5,67 43,502 9,498 27,105 0,59 58,311 -0,204 4,121

5 1 2 1 4,12 47,091 3,746 32,097 0,55 56,845 -0,291 8,315

Tabel 6. Nilai color strength dan color coordination pada kain saat menggunakan jeruk nipis sebagai mordan

Var. Formulasi (%vol) Sebelum pencucian Setelah pencucian

Kur-

kumin

Mordan Tween

80

K/S L* a* b* K/S L* a* b*

1 1 0 0 8,51 50,611 33,393 23,077 0,84 58,561 -0,404 4,132

2 2 1 0 8,52 71,874 5,331 62,078 7,03 70,451 8,158 60,581

3 2 1 1 7,77 76,038 0,621 65,543 0,71 57,045 -1,847 14,908

4 1 1 1 7,17 76,402 -2,612 61,895 0,81 66,990 0,284 12,886

5 1 2 1 7,88 68,203 8,979 59,859 0,67 77,704 0,004 -0,008

Color strength menunjukkan kedalaman penetrasi zat warna ke dalam kain, color coordination

menunjukkan warna yang dihasilkan berdasarkan warna CIELAB yang ditunjukkan dengan tiga

parameter, yaitu: L*, a*, dan b*, dan color fastness menunjukkan ketahanan warna terhadap proses

pencucian.

Page 22: KAJIAN AWAL PEWARNA BERBASIS BAHAN ALAM SEBAGAI

19

Gradasi warna kurkumin bergantung pada kondisi pH larutan zat warna. Saat kapur digunakan

sebagai mordan, larutan zat warna memiliki pH 8 - 9, sedangkan jeruk nipis menghasilkan zat

warna dengan pH 3 – 4. Kurkumin stabil pada kondisi asam dan cenderung berbentuk enol yang

menghasilkan warna kuning. Pada saat kondisi basa, hidrogen pada grup phenol terdisosiasi dan

menghasilkan warna yang lebih gelap (Schneider, dkk, 2015). Hal ini terbukti pada warna yang

dihasilkan, kurkumin yang menggunakan kapur sebagai mordan menghasilkan warna orange gelap

hampir kecoklatan, sedangkan jeruk nipis menghasilkan warna kuning cerah. Penambahan

emulsifier juga dapat mempercerah warna yang dihasilkan.

Gambar 10. Bentuk enol kurkumin

Mordan selain mempengaruhi warna yang dihasilkan, juga mempengaruhi color strength. Color

strength ditunjukkan dengan nilai K/S (Kubelka Munk) yang diasosiasikan dengan nilai refleksi

kain.

Terlihat bahwa kekuatan warna atau color strength meningkat dengan penambahan mordan kapur.,

namun fenoimena ini tidak terjadi pada morda jeruk nipis. Mordan dapat berikatan dengan kain

dan zat warna membentuk senyawa kompleks yang memperkuat afinitas zat warna terhadap kain.

Penambahan emulsifier “melarutkan” kurkumin ke dalam air dan mempermudah difusi zat warna

terhadap kain.

Pada Tabel 5 dan Tabel 6 terlihat bahwa hampir seluruh zat warna memiliki color fastness yang

lemah, terlihat dengan nilai K/S (color strength) yang menurun setelah melalui proses pencucian.

Penambahan emulsifier (Tween 80) memperburuk nilai K/S karena tween bertindak sebagai

detergen sehingga dapat mengangkat kurkumin dari kain

Page 23: KAJIAN AWAL PEWARNA BERBASIS BAHAN ALAM SEBAGAI

20

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan dari penelitian ini adalah:

Mordan dapat meningkatkan color strength kurkumin pada kain.

Mordan kapur menghasilkan warna orange gelap pada kain, sedangkan mordan jeruk

nipis menghasilkan warna kuning cerah pada kain.

Emulsifier dapat “melarutkan” kurkumin dalam air dan menghasilkan warna cerah pada

kain, tetapi menghasilkan color fastness yang buruk.

Saran dari penelitian ini adalah:

Diperlukan zat additive baru untuk memperkuat color fastness pada kain.

Parameter operasi seperti Temperatur pada proses pewarnaan kain perlu dianalisa lebih

lanjut.

Page 24: KAJIAN AWAL PEWARNA BERBASIS BAHAN ALAM SEBAGAI

21

REFERENSI

Bechtold, T., Mussak, R., 2009, Handbook of Natural Colorants, John Wiley and Sons: Austria.

Bhati, I, et.al., 2010, Influence of Gamma Radiation on The Color Strength and Fastness Properties

of fabric using Turmeric (Curcuma longa) as Natural Dye, Radiation Physics and Chemistry Vol

79, Elsevier: 622-625.

Chakraborty, J.N., 2014, Fundamentals and Practices in Coloration Textiles Vol.2. Woodhead

Publishing: New Delhi.

Clark, M., 2011, Handbook of Textile and Industrial Dyeing Vol.1, Woodhead Publishing: UK.

Dong, K.L., 2008, Fabrication of Nontoxic Natural Dye from Sappan Wood, Korean Journal

Chemical Engineering 25(2): 354 – 358

Ellen MacArthur Foundation, 2017, A New Textiles Economy: Redesigning Fashion’s Future,

(http://www.ellenmacarthurfoundation.org/publications).\

Gürses, A, et al., 2016, Dyes and Pigments, Springer: Turkey.

International Agency for Research and Cancer (IARC), 2010, Some Aromatic Amines, Organic

Dyes, and Related Exposures.

Lee, W.H., dkk., 2013, Curcumin and its Derivatives: Their Application in Neuropharmalogy

and Neuroscience in the 21st Century, Current Neuropharmacology 11(4): 338 – 378.

Nelson, M.K., et.al., 2017,The Essential Medicinal Chemistry of Curcumin, Journal Medicinal

Chemistry, ACS Publication:1620-1637

Saxena, S., Raja, A.S.M., 2014, Natural Dyes: Sources, Chemistry, Application and Sustainability

Issues, Textile Science and Clothing Technology, Springer: Singapore.

Schneider C, Gordon ON, Edwards RL and Luis PB, 2015, Degradation of Curcumin: From

Mechanism to Biological Implications. J Agric Food Chem 63: 7606-7614.

Vankar, P.S., 2017, Natural Dyes for Textiles: Sources, Chemistry, and Applications, Elsevier:

UK.

Page 25: KAJIAN AWAL PEWARNA BERBASIS BAHAN ALAM SEBAGAI

22

LAMPIRAN

A. BIAYA PENELITIAN

Tabel A. Format Ringkasan Anggaran Biaya Insinas Riset Pratama yang Diajukan Setiap Tahun

Keterangan Total

Transportasi 923.215

- Transportasi (Tol, Parkir, Bensin, Taksi) 923.215

- Sewa Kendaraan (Kena Pajak Pph23) -

Makanan Berat 1.310.340

Makanan Ringan 515.450

Minuman -

Penginapan -

ATK 210.910

Pengeluaran untuk Barang cetakan -

- Photo Copy, Print & Jilid -

- Pustaka -

Benda Pos

Voucher 1.057.500

Honor di Luar Tim Peneliti -

- Honor Surveyor (Mahasiswa / Orang Luar) Untuk Mahasiswa Cantumkan NPM – Tidak Kena Pajak Pph 21 Untuk Orang Luar Cantumkan NIK KTP dan atau NPWP – Kena Pajak Pph 21 5.000.000

- Honor Asisten Peneliti (Mahasiswa / Orang Luar) Untuk Mahasiswa Cantumkan NPM – Tidak Kena Pajak Pph 21 Untuk Orang Luar Cantumkan NIK KTP dan atau NPWP – Kena Pajak Pph 21 -

- Honor Tukang -

Jasa teknik, jasa manajemen, jasa lain (Pembayaran Atas Pekerjaan Jasa Contoh Analisis, Uji Sample Kenapa Pajak Pph 23 apabila bukan institusi yang mengerjakan)

1.275.000

Alat / Media Teknologi - Hardisk - USB - Mouse - Printer - Keyboard

(Untuk Pembelian Barang harus ada Surat Pernyataan Menjadi Aset Fakultas)

-

Bahan Penelitian (Bahan untuk kegiatan penelitian) -

Page 26: KAJIAN AWAL PEWARNA BERBASIS BAHAN ALAM SEBAGAI

23

Alat dan Suku Cadang Penelitian (Peralatan untuk kegiatan penelitian) -

Media Publikasi (brosur, spanduk, leaflet, baligho) -

Honor Peneliti Non Dosen UNPAR

TOTAL 10.292.415