kajian antropolinguistik nilai-nilai karakter ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii...

293
KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER PERMAINAN ANAK TRADISIONAL DENGAN LATAR BELAKANG KULTUR JAWA TESIS Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Magister Oleh: MARKUS JALU VIANUGRAH NIM: 161232019 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA PROGRAM MAGISTER JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2020 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Upload: others

Post on 05-Mar-2021

15 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER

PERMAINAN ANAK TRADISIONAL

DENGAN LATAR BELAKANG KULTUR JAWA

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Magister Pendidikan

Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Magister

Oleh:

MARKUS JALU VIANUGRAH

NIM: 161232019

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA PROGRAM MAGISTER

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2020

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 2: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

i

KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER

PERMAINAN ANAK TRADISIONAL

DENGAN LATAR BELAKANG KULTUR JAWA

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Magister Pendidikan

Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Magister

Oleh:

MARKUS JALU VIANUGRAH

NIM: 161232019

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA PROGRAM MAGISTER

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2020

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 3: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

iv

MOTTO

Lupakanlah segala sesuatu, peliharalah damai batin, dan arahkan segala adamu

hanya kepada Allah. (Santo Yohanes dari Salib)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 4: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

v

PERSEMBAHAN

Karya ini kupersembahan kepada:

Tuhan Yesus dan Bunda Maria,

Bapak Nugroho dan Ibu Suprihatiningsih,

Para rekan dan sahabat yang telah mendukung,

dan Wisma Bahasa

sebagai tanda terima kasihku yang mendalam atas kesempatan dan dukungan

yang selama ini kudapatkan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 5: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

viii

ABSTRAK

Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

Permainan Anak Tradisional dengan Latar Belakang Kultur Jawa.

Tesis. Yogyakarta: Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia, Program Magister, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Permainan anak tradisional merupakan warisan budaya yang hampir

tertelan oleh zaman. Permainan anak tradisional merupakan warisan budaya yang

mengandung nilai-nilai karakter yang sangat berharga. Penelitian ini bertujuan

untuk mengkaji nilai-nilai karakter yang terdapat di dalam permainan anak

tradisional dengan sudut pandang antropolinguistik, jenis-jenis permainan, dan

strategi preservasinya.

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan

pendekatan antropolinguistik. Sumber data penelitian ini adalah tokoh masyarakat

yang peduli terhadap permainan anak tradisional dan dokumen resmi, dengan data

berupa deskripsi dan percakapan etnografis yang di dalamnya mengandung nilai-

nilai karakter, jenis-jenis, dan strategi preservasi permainan. Metode

pengumpulan data menggunakan metode studi dokumen dan simak dengan teknik

sadap dan diikuti dengan teknik lanjutan yang berupa teknik catat, dan metode

cakap dengan teknik pancing dan percakapan etnografis. Analisis data

menggunakan metode padan ekstralingual. Metode itu diterapkan melalui teknik

analisis kontekstual. Metode dan teknik tersebut disejajarkan dengan metode

deskripsi kebudayaan dalam studi etnografi.

Simpulan dari penelitian ini adalah (1) nilai-nilai karakter dalam

permainan anak tradisional yang terdiri dari 16 nilai karakter dalam 24 permainan.

(2) Jenis-jenis permainan yang terdiri dari 4 jenis, yaitu permainan dengan

nyanyian atau dialog, permainan asah fisik, permainan asah otak, dan permainan

keterampilan tangan. (3) Strategi preservasi permainan yang terdiri dari 4 strategi,

yaitu secara pewaris alamiah, ajang kompetisi, sarana teknologi, dan lembaga

pendidikan.

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pengembangan kajian terhadap

bahasa dan relevansinya dengan budaya, terutama dalam lingkup ilmu

antropolinguistik.

Kata kunci: antropolinguistik, nilai karakter, permainan, Jawa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 6: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

ix

ABSTRACT

Vianugrah, Markus Jalu. 2020. The Anthropolinguistic Study of Traditional

Games’ Character Values in Javanese Culture Background. Thesis.

Yogyakarta: Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,

Program Magister, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Traditional games is a precious cultural heritage. It is a treasure of

character values. This thesis has studied the character values of the traditional

games, the types, and the preservation strategies.

This is a descritipive qualitative research in anthropolinguistic approach.

This research data source is traditional games activists and the verified

documents, with descriptive dan etnographic speech data. The gathering method

is document analysis and recording of etnographic speech. The data gathering

methods uses listening method and tapping techinque and followed by continous

technique which is taking-notes technique, and conversation method with stimulus

technique. The data analysis uses extralingual unified method to analyze the

extralingual elements, which connects the language matter with things that are

beyond language and the etnographic methods.

The conclusions are (1) 16 character values of 24 games, (2) 4 types of the

games, such as sing along, physical, thingking, dan crafting, (3) 4 kinds of

preservation strategies, such as natural heritage, competitions, technologies, and

educations.

This research is expected to contributes and gives benefits for

anthropolinguistic studies developments and all relevant studies of this discipline.

Keywords: anthropolinguistic, character values, game, Javanese

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 7: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

x

KATA PENGANTAR

Penulis memanjatkan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kasih atas

curahan rahmat-Nya sehingga dapat merasakan pertolongan dan kasih-Nya yang

besar. Pertolongan dan kasih itu tercurah melalui sesama penulis, para dosen,

rekan-rekan di Prodi MPBSI, keluarga, dan rekan kerja. Melalui peran sesama

itulah, tugas tesis ini dapat selesai.

Tesis ini berjudul “Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

Permainan Anak Tradisional dengan Latar Belakang Kultur Jawa” dan merupakan

bentuk penelitian kualitatif etnografi yang ditujukan pada permainan-permainan

anak tradisional yang mengandung nilai-nilai karakter dalam konteks budaya

Jawa. Melalui penelitian tersebut, dapat disusun suatu kajian untuk menjawab

pertanyaan mengenai nilai-nilai karakter, jenis-jenis permainan, dan strategi

preservasi permainan anak tradisional. Penyusunan tesis ini merupakan salah satu

syarat untuk memperoleh gelar magister pendidikan pada Program Studi Magister

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.

Penulis menyadari bahwa selesainya penyusunan tesis ini berkat

dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Secara khusus, penulis mengucapkan

terima kasih kepada:

1. Dr. Yohanes Harsoyo, S.Pd., M.Si., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum., Ketua Program Studi Magister Pendidikan

Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 8: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

xi

dosen pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dan mengarahkan

penulis selama penyusunan tesis.

3. Dr. Yuliana Setyaningsih, M.Pd., dosen pembimbing II yang telah

memberikan bimbingan dan mengarahkan penulis selama penyusunan tesis.

4. Dr. Novita Dewi, M.S., M.A. (hons), sebagai triangulator yang telah berkenan

menguji keabsahan kajian yang ditulis.

5. Seluruh dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan

Program Studi Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, baik

langsung maupun tidak langsung, memberikan bimbingan, arahan, dan

dukungan.

6. Keluarga saya, Bapak Petrus Nugroho Nurindwiarto Atmodjo dan Ibu

Theresia Suprihatiningsih, dan Elisabeth Dyah Primaningsih yang mendoakan

dan mendukung saya.

7. Seluruh teman angkatan 2016 MPBSI yang memberikan peneguhan, sapaan,

dan dukungan dalam bentuk apa pun sampai selesainya tesis ini.

8. Staf Perpustakaan Universitas Sanata Dharma yang banyak membantu dalam

penyediaan sarana kepustakaan dan referensi buku selama penulis menyusun

tesis ini.

9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu tetapi banyak

membantu dalam menyelesaikan tesis ini.

Semoga hasil kajian antropolinguistik ini memberikan sedikit bantuan

dalam kegiatan pembelajaran, kajian kebahasaan dan budaya, dan siapa pun yang

menaruh minat terhadap hasil penelitian ini. Penulis menyadari bahwa hasil

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 9: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

xii

penelitian ini masih kurang baik. Oleh karena itu, masukan atau saran yang

bersifat membangun, sungguh penulis harapkan. Melalui hasil penelitian yang

masih jauh dari sempurna ini, mendorong adik-adik angkatan mahasiswa di

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, baik jenjang S1 maupun

S2, untuk menghasilkan kajian-kajian baru yang lebih baik.

Yogyakarta, 30 Juli 2020

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 10: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... iii

HALAMAN MOTTO ...................................................................................... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................ v

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ......................................... vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ......................... vii

ABSTRAK ...................................................................................................... viii

ABSTRACT ....................................................................................................... ix

KATA PENGANTAR ....................................................................................... x

DAFTAR ISI .................................................................................................. xiii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang Masalah .......................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 5

1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................................... 6

1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................... 6

1.5 Batasan Istilah ......................................................................................... 7

1.6 Sistematika Penyajian .............................................................................. 9

BAB II KAJIAN TEORI ................................................................................ 11

2.1 Landasan Teori ........................................................................................ 11

2.1.1 Antropolinguistik ............................................................................ 12

2.1.2 Budaya dan Masyarakat .................................................................. 15

2.1.3 Kultur Masyarakat Yogyakarta sebagai Konteks Budaya ................. 17

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 11: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

xiv

2.1.4 Permainan Anak Tradisional sebagai Manifestasi Budaya ............... 20

2.1.5 Nilai Karakter dalam Permainan Anak Tradisional dan Jenisnya ..... 23

2.1.6 Antropolinguistik dalam Kaitannya dengan Konteks Budaya, Nilai

Karakter, dan Permainan Anak Tradisional ..................................... 34

2.1.7 Preservasi Permainan Anak Tradisional Di Era Digital ................... 41

2.2 Kerangka Berpikir ................................................................................... 43

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...................................................... 46

3.1 Jenis Penelitian ........................................................................................ 46

3.2 Data dan Sumber Data ............................................................................. 48

3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data .................................................... 49

3.4 Instrumen Penelitian ................................................................................ 50

3.5 Metode dan Teknik Analisis Data ............................................................ 52

3.6 Triangulasi Data ...................................................................................... 54

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................. 55

4.1 Deskripsi Data ......................................................................................... 55

4.2 Hasil Penelitian ........................................................................................ 61

4.2.1 Nilai-nilai Karakter dalam Permainan Anak Tradisional .................. 61

4.2.1.1 Manusia Harus Hidup sesuai dengan Aturan, Nilai, dan Norma yang

Berlaku di Masyarakat ............................................................................. 62

4.2.1.2 Penghormatan Terhadap Orang Lain Menjadi Tanda bahwa Kita

Menghormati Diri Kita Sendiri ................................................................ 66

4.2.1.3 Manusia Harus Bijaksana dalam Bertindak ................................... 71

4.2.1.4 Manusia Harus Dapat Memusatkan Diri pada Tujuan Hidup yang

Ingin Diraih ............................................................................................. 75

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 12: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

xv

4.2.1.5 Tuhan adalah Sosok yang Maha Kuasa ......................................... 81

4.2.1.6 Manusia Harus Dapat Menjalin Persaudaraan Tanpa Pamrih ........ 84

4.2.1.7 Manusia Harus selalu Menjunjung Tatakrama sebagai Makhluk

Sosial ........................................................................................................ 89

4.2.1.8 Tujuan akan Lebih Mudah Dicapai Apabila Kita Saling Membantu 94

4.2.1.9 Manusia Selalu Membutuhkan Proses dalam Mencapai Tujuan .... 98

4.2.1.10 Manusia Harus Jeli dalam Melihat Peluang untuk Meraih Tujuan102

4.2.1.11 Manusia Harus selalu Dapat Beradaptasi dalam Segala Situasi . 106

4.2.1.12 Manusia Harus Memiliki Prinsip Hidup yang Kuat ................... 112

4.2.1.3 Manusia Tidak Perlu Serakah Karena Sudah Memiliki Bagian dan

Peran Masing-masing.............................................................................. 117

4.2.1.14 Manusia Harus Membuang Segala Sifat Buruk Agar Tercipta

Kehidupan yang Harmonis ..................................................................... 122

4.2.1.15 Manusia Harus Dapat Merangkai dan Merencanakan

Kehidupannya Sesuai dengan Kehendak Tuhan ..................................... 126

4.2.1.16 Manusia Perlu Mengendalikan Diri Agar Tidak Terjatuh dan

Mencelakakan Diri Sendiri...................................................................... 130

4.2.2 Jenis-jenis Permainan Anak Tradisional ........................................ 135

4.2.2.1 Permainan dengan Nyanyian atau Dialog ................................... 136

4.2.2.2 Permainan Asah Fisik .................................................................. 141

4.2.2.3 Permainan Asah Otak ................................................................. 148

4.2.2.4 Permainan Keterampilan Tangan ................................................ 156

4.2.3 Strategi Preservasi Permainan Anak Tradisional ............................ 166

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 13: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

xvi

4.2.3.1 Preservasi Permainan Anak Tradisional melalui Pewarisan Alamiah 167

4.2.3.2 Preservasi Permainan Anak Tradisional melalui Ajang Kompetisi 175

4.2.3.3 Preservasi Permainan Anak Tradisional melalui Sarana Teknologi 183

4.2.3.4 Preservasi Permainan Anak Tradisional melalui Lembaga

Pendidikan ............................................................................................. 191

4.3. Pembahasan ........................................................................................... 201

4.3.1. Nilai-nilai Karakter dalam Permainan Anak Tradisional ............... 201

4.3.2. Jenis-jenis Permainan Anak Tradisional ........................................ 207

4.3.3. Strategi Preservasi Permainan Anak Tradisional ........................... 209

BAB V PENUTUP ......................................................................................... 229

5.1. Kesimpulan ............................................................................................ 210

5.2. Saran ..................................................................................................... 213

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 234

LAMPIRAN ........................................................................................................

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 14: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

1

BAB I

PENDAHULUAN

Bab pendahuluan ini memaparkan latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah, dan sistematika

penyajian. Paparan selengkapnya disampaikan berikut ini.

1.1 Latar Belakang

Permainan anak tradisional merupakan warisan budaya yang hampir

tertelan oleh zaman. Permainan anak tradisional dapat berasal dari berbagai

daerah dengan masing-masing ciri khasnya. Keanekaragaman asal permainan

anak tradisional selalu menunjukkan nilai dan makna dari setiap permainan

sehingga sekaligus dapat menjadi suatu sarana penyaluran nilai yang berlaku

dalam masyarakat setempat, yang artinya juga mengajarkan nilai karakter

(Dharmamulya, dkk 1993). Pengajaran nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat

dan nilai moral dalam setiap permainan yang dilakukan secara tersirat dan

terintegrasi menjadikan permainan tradisional sebagai warisan budaya masyarakat

Indonesia yang tidak boleh dilupakan. Secara khusus, permainan anak tradisional

merupakan warisan budaya masyarakat Indonesia yang sangat berharga karena

memiliki peran penting dalam membentuk karakter generasi muda agar kelak

ketika dewasa memiliki kepribadian yang utuh, luhur, dan mulia. Permainan anak

tradisional dapat dijadikan sebagai sarana pengajaran nilai karakter bagi putera-

puteri bangsa.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 15: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

2

Permainan anak tradisional dewasa ini sudah semakin dilupakan dan

digantikan oleh berbagai permainan modern. Permainan anak tradisional semakin

tersingkirkan oleh permainan modern sebagai akibat dari perkembangan zaman

yang begitu pesat (Purwaningsih, 2006). Perkembangan zaman yang dimaksud

lebih mengacu pada kemajuan teknologi yang sangat cepat sehingga semakin

banyak sarana teknologi yang diproduksi dan menguasai masyarakat, termasuk

anak-anak. Ditambah pula, produksi alat-alat elektronik, khususnya gadget,

seperti smartphone, tablet, laptop, console game dan berbagai macam peralatan

lainnya semakin marak, dengan tingkat kecanggihan yang juga semakin tinggi.

Berbagai tawaran barang dan jasa yang melibatkan dan memanfaatkan

kecanggihan teknologi menjadi godaan yang sangat besar bagi manusia era saat

ini, khususnya anak-anak untuk selalu menggunakan gawai. Mayoritas anak

zaman sekarang dengan berbagai macam latar belakang mereka masing-masing,

sudah sama-sa ma dikuasai oleh permainan modern itu. Mereka pasti akan

cenderung memilih memainkan permainan modern dari pada permainan anak

tradisional yang sebenarnya justru jauh lebih yang kaya akan nilai-nilai filosofis

yang luhur.

Berdasarkan hal-hal yang telah disampaikan di atas, penulis dapat

mengangkat suatu permasalahan bahwa permainan anak tradisional yang kaya

akan nilai karakter mulai tergeser oleh kemajuan zaman yang ditandai dengan

hadirnya berbagai macam perangkat elektronik di era digital ini. Sebagai contoh

konkrit, dewasa ini anak-anak sudah lebih memilih permainan yang bersifat

individual, seperti permainan yang dioperasikan melalui perangkat elektronik atau

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 16: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

3

berbagai macam gawai, dari pada permainan anak tradisional yang sebenarnya

justru lebih bermanfaat karena memiliki unsur sosial dan persaudaraan atau nilai-

nilai karakter. Oleh karena itu, permainan anak tradisional semakin ditinggalkan

dari masa ke masa. Rendahnya aktivitas anak terhadap permainan anak tradisional

secara otomatis juga menunjukkan bahwa pendidikan nilai karakter yang berasal

dari warisan budaya itu juga semakin jarang dilaksanakan. Akibatnya, anak-anak

semakin kekurangan “asupan nutrisi karakter” yang bersumber dari permainan

anak tradisional itu. Anak-anak zaman sekarang lebih bangga dengan pencapaian-

pencapaian yang dialami dalam permainan gawai, misalnya skor permainan,

peringkat, frekuensi kemenangan, dan lain-lain. Mereka sudah tidak bangga

dengan ativitas kebudayaan lagi, termasuk permainan anak tradisional dan

mengganggap hal itu sebagai hal yang sudah “ketinggalan zaman”, “jadul”, dan

sebagainya. Hal itu menandakan adanya kelunturan budaya Jawa yang terjadi

sekarang ini.

Dari fenomena tersebut, kajian mengenai nilai-nilai karakter, jenis-jenis,

dan upaya preservasi permainan anak tradisional menjadi sangat penting dan perlu

dilakukan, khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta yang masih kental dengan

unsur budaya, yang perlu terus dilestarikan. Nilai-nilai karakter perlu dikaji

dengan mengidentifikasi permainan-permainan dengan berdasar pada latar

belakang budayanya. Hal itu dapat membangkitkan kembali ingatan masyarakat

dan mengenalkan kembali kepada generasi muda terhadap manfaat dari permainan

anak tradisional. Preservasi permainan anak tradisional juga penting dilakukan

untuk mencegah “kepunahan”nya, termasuk dengan cara yang dapat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 17: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

4

menyesuaikan atau mengikuti perkembangan zaman dewasa ini. Maka, preservasi

permainan anak tradisional perlu dirumuskan sesuai dengan perkembangan

zaman. Kajian mengenai nilai-nilai karakter, jenis-jenis, dan preservasi permainan

anak tradisional di era digital ini dapat dilakukan melalui disiplin ilmu

antropolinguistik. Antropolinguistik merupakan ilmu yang mengkaji bahasa

sebagai bagian dari kebudayaan (Duranti, 1997). Oleh karena itu, penelitian ini

mengkaji nilai-nilai karakter permainan anak tradisional dengan latar belakang

kultur Jawa di Yogyakarta dengan tetap memperhatikan dimensi-dimensi yang

mengikutinya, seperti jenis-jenis dan strategi preservasinya.

Duranti (1997) mengungkapkan bahwa kajian antropolinguistik memberi

perhatian pada tiga bidang teoretis, yaitu performansi, indeksikalitas, dan

partisipasi. Permainan anak tradisional merupakan bagian dari budaya. Budaya

mencangkup berbagai aktivitas yang dilakukan secara turun-temurun sebagai

wujud performansi, termasuk aktivitas berkomunikasi (berbahasa – verbal dan

non-verbal) sebagai suatu proses kegiatan, tindakan, dan pertunjukan komunikatif

(Sibarani, 2015). Permainan dilakukan dalam bentuk aktivitas yang konkrit dan

dilakukan secara turun-temurun. Hal itu menunjukkan bahwa aktivitas itu

merupakan bagian dari budaya.

Setiap permainan anak tradisional merupakan wujud kebudayaan yang

ditandai dengan suatu aktivitas yang diberi nama tertentu yang mencerminkan

aktivitas dari permainan itu. Nama yang menunjukkan bentuk permainan

merupakan wujud indeksikalitas. Permainan anak tradisional juga membutuhkan

individu-individu yang melakukan permainan itu. Permainan tidak akan muncul

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 18: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

5

atau terjadi tanpa keterlibatan para pemain, dan hal itu menunjukkan dimensi

partisipasi dari para pelaku aktivitas.

Ketiga dimensi tersebut hadir dalam setiap permainan anak tradisional

sebagai hal yang dapat diidentifikasi, saling dikaitkan melalui kacamata

antropolinguistik untuk mengkaji nilai-nilai karakter yang terkandung di dalam

permainan, jenis-jenis, dan bentuk-bentuk upaya preservasi yang dapat dilakukan.

Oleh karena itu, nilai-nilai karakter permainan anak tradisional merupakan hal

yang penting untuk dikaji dengan perspektif antropolinguistik. Penelitian ini

mengkaji nilai-nilai karakter dalam permainan anak tradisional dengan perspektif

disiplin ilmu antropolinguistik untuk mengetahui hubungan antara bahasa dengan

budaya, nilai karakter, dan permainan anak tradisional yang diarahkan untuk

mengkaji nilai-nilai karakter, jenis-jenis, dan bentuk-bentuk upaya preservasinya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah dipaparkan

di atas, maka penulis menyusun rumusan masalah sebagai berikut.

a. Nilai-nilai karakter apa sajakah yang terdapat di dalam permainan anak

tradisional dengan latar belakang kultur Jawa?

b. Jenis permainan anak tradisional apa sajakah yang mengandung nilai-nilai

karakter dengan latar belakang kultur Jawa?

c. Bagaimanakah strategi preservasi permainan anak tradisional yang

mengandung nilai-nilai karakter dengan latar belakang kultur Jawa?

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 19: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

6

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan di atas, maka

penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut.

a. Mendeskripsikan nilai-nilai karakter yang terdapat di dalam permainan anak

tradisional dengan latar belakang kultur Jawa.

b. Mendeskripsikan jenis permainan anak tradisional yang mengandung nilai-nilai

karakter dengan latar belakang kultur Jawa.

c. Merumuskan strategi preservasi permainan anak tradisional yang mengandung

nilai-nilai karakter dengan latar belakang kultur Jawa.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian tentang kajian antropolinguistik nilai-nilai karakter dalam

permainan anak tradisional dengan latar belakang kultur Jawa di Yogyakarta ini

diharapkan dapat berguna bagi pihak yang membutuhkan. Penulis membagi

manfaat dalam penelitian ini menjadi dua, yaitu manfaat secara teoretis dan

manfaat secara praktis. Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah

sebagai berikut.

a. Manfaat Teoretis

Penelitian ini secara teoretis diharapkan dapat menjadi pengembangan

kajian terhadap bahasa dan relevansinya dengan budaya, terutama dalam lingkup

ilmu antropolinguistik. Penelitian ini dapat menjadi penambah kekayaan kajian

antropolinguistik seiring perkembangan informasi dan temuan-temuan baru dalam

penelitian bahasa dalam kaitannya dengan budaya yang terdapat di dalam

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 20: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

7

masyarakat, sebagaimana antropolinguistik merupakan ilmu interdisipliner yang

mengamati bahasa dalam kebudayaan tertentu.

b. Manfaat Praktis

Penelitian ini secara praktis diharapkan dapat menjadi sumber informasi

tentang nilai-nilai karakter yang terkandung di dalam permainan anak tradisional

dan bentuk-bentuk preservasi yang dapat dilakukan. Permainan anak tradisional

merupakan warisan budaya yang harus tetap dipelajari, diingat, dilakukan, dan

dilestarikan agar tidak hilang tertelan oleh zaman.

1.5 Batasan Istilah

Batasan istilah berfungsi untuk membatasi beberapa istilah yang

digunakan dalam penelitian ini. Batasan istilah perlu dipaparkan agar tidak terjadi

penyimpangan pemahaman dalam penafsiran pula. Adapun istilah-istilah yang

perlu dibatasi adalah sebagai berikut.

a. Antropolinguistik

Antropolinguistik merupakan subdisiplin dari ilmu linguistik. Antropolinguistik

merupakan integrasi antara disiplin ilmu linguistik dengan antropologi sehingga

sering disebut dengan istilah linguistik antropologi. Foley (2001) mengemukakan

bahwa linguistik antropologi merupakan subdisiplin dari ilmu linguistik yang

memahami bahasa sebagai bagian dari konteks sosial budaya, perannya dalam

mempengaruhi dan mempertahankan praktek budaya dan struktur sosial.

Antropolinguistik merupakan ilmu yang mengkaji bahasa sebagai bagian dari

kebudayaan sehingga dapat dimanfaatkan bagi penelitian ini untuk memaknai

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 21: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

8

nilai-nilai karakter dalam permainan anak tradisional berdasarkan latar belakang

budaya Jawa.

b. Permainan

Permainan adalah suatu perbuatan atau kegiatan sukarela, yang dilakukan dalam

batas-batas ruang dan waktu tertentu yang sudah ditetapkan, menurut aturan yang

telah diterima secara sukarela tapi mengikat sepenuhnya, dengan tujuan yang

berasal dari dalam dirinya sendiri, disertai oleh perasaan tegang dan gembira, dan

kesadaran yang “lain dari pada kehidupan sehari-hari” (Huizinga, 1990).

Permainan yang menjadi fokus di dalam penelitian ini adalah permainan anak

tradisional. Permainan anak tradisional adalah suatu bentuk manifestasi budaya

yang dihasilkan oleh masyarakat, khususnya masyarakat Yogyakarta,

sebagaimana hal yang menjadi lingkup dari penelitian ini.

c. Nilai Karakter

Nilai karakter dapat didefinisikan sebagai sifat-sifat yang menyempurnakan

kualitas kepribadian seseorang (KBBI Daring, 2018) yang berdasar pada budi

pekerti (Hidayatullah, 2010) dan norma yang diterima oleh masyarakat (Coon,

2000). Nilai karakter di dalam penelitian ini merupakan nilai karakter yang

ditanamkan bagi anak melalui permainan anak tradisional.

d. Kultur

Kultur merupakan istilah lain dari budaya atau kebudayaan (KBBI Daring, 2018)

yang berarti suatu kebiasaan, aktivitas, atau perilaku yang diwariskan dari suatu

kelompok masyarakat secara turun-temurun. Maka, kultur dalam konteks

penelitian ini mengacu pada latar belakang budaya masyarakat Jawa, khususnya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 22: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

9

masyarakat Yogyakarta yang menjadi dasar pemaknaan nilai-nilai karakter dalam

permainan anak tradisional.

e. Preservasi

Istilah preservasi merupakan kata serapan yang berasal dari bahasa Inggris, yaitu

preservation. Kata preservasi dalam bahasa Indonesia memiliki arti yang sama

dengan kata asalnya, yaitu pelestarian; pengawetan; pemeliharaan; penjagaan;

perlindungan (KBBI Daring, 2018). Maka, arti yang yang paling tepat dalam

konteks penelitian ini adalah pelestarian. Pelestarian yang dimaksud dalam

penelitian ini adalah upaya pemertahanan permainan anak tradisional.

1.6 Sistematika Penyajian

Penelitian ini terdiri dari lima bab. Bab I berisi pendahuluan yang terdiri

dari latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, batasan istilah, dan sistematika penyajian. Latar belakang penelitian

mengungkapkan arti penting pelaksanaan dari penelitian ini berdasarkan disiplin

ilmu antropolinguistik. Rumusan masalah berisi pertanyaan berdasarkan

permasalahan tertentu untuk dijawab melalui penelitian ini. Tujuan penelitian

berisi hal-hal yang perlu dipecahkan melalui penelitian ini. Manfaat penelitian

mengungkapkan kegunaan penelitian ini dalam sisi kelimuan maupun fungsinya

secara praktis. Batasan istilah memaparkan pengertian dari setiap istilah yang

digunakan. Sistematika penyajian menggambarkan keseluruhan isi penelitian ini.

Bab II berisi kajian teori yang sesuai dengan topik yang akan dibahas oleh

peneilti dan kerangka berpikir. Bagian kajian teori menguraikan berbagai teori

yang dibutuhkan dalam penelitian. Kerangka berpikir menguraikan alur berpikir

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 23: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

10

penulis dalam mengkaji permainan anak tradisional dengan prespektif

antropolinguistik.

Bab III berisi metodologi penelitian. Metode penelitian terdiri dari jenis

penelitian, data dan sumber data, metode dan teknik pengumpulan data, metode

dan teknik analisis data, dan triangulasi data. Jenis penelitian menunjukkan model

penelitian yang dilaksanakan. Data dan sumber data menggambarkan objek

penelitian yang dikaji dan subjek yang menjadi sumber objek kajian itu. Metode

dan teknik pengumpulan data menggambarkan strategi dan cara penulis

mengumpulkan data. Metode dan teknik analisis data menggambarkan strageti

dan cara penulis menganalisis data. Triangulasi data menggambarkan proses

untuk mengesahkan objek kajian.

Bab IV berisi hasil penelitian dan pembahasan. Bab ini memaparkan

deskripsi data, analisis data, dan pembahasan. Deskipsi data menggambarkan

objek yang akan diteliti. Analisis data merupakan tahap identifikasi, pengolahan,

dan mendalami objek kajian berdasarkan teori para ahli dan unsur pembanding.

Pembahasan merupakan tahap menemukan jawaban konkrit berdasarkan analisis

yang telah dilakukan.

Bab V berisi penutup. Bab ini memaparkan kesimpulan dan saran yang

bermanfat bagi pihak lain yang berkaitan dengan penelitian ini. Kesimpulan

menunjukkan jawaban konkrit atas rumusan masalah. Saran memaparkan hal-hal

yang masih perlu ditindaklanjuti dari penelitian yang telah dilakukan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 24: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

11

BAB II

KAJIAN TEORI

Bab kajian teori ini memaparkan landasan teori dan kerangka berpikir.

Paparan selengkapnya disampaikan berikut ini.

2.1 Landasan Teori

Bagian ini berisi teori-teori yang akan digunakan dalam mengkaji

permasalahan, sekaligus menunjukkan alur atau jalan pikiran dalam menjawab

masalah dan bagaimana teori-teori yang digunakan itu dikaitkan pada

permasalahan sebagai pisau analisis untuk menjawab permasalahan itu. Landasan

teori ini terintegrasi dengan penelitian yang relevan dengan penelitian ini. Penulis

yang relevan dapat digunakan untuk menunjukkan posisi penulis di antara

penelitian-penelitian yang sejenis, mendukung argumentasi penulis dalam

membahas permasalahan, dan memberi landasan tambahan pada kajian yang

dilakukan oleh penulis.

Peran penelitian yang relevan sebagai penunjuk posisi penelitian yang

dilakukan oleh penulis adalah untuk memberi gambaran persamaan maupun

perbedaan kajian penulis dengan penelitian yang relevan dan menghindari

duplikasi dari penelitian yang relevan. Peran penelitian yang relevan sebagai

pendukung argumentasi penulis dalam membahas permasalahan adalah untuk

memperkuat gagasan penulis dalam mengkaji pemrasalahan yang diangkat. Peran

penelitian yang relevan sebagai pemberi landasan tambahan pada kajian yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 25: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

12

dilakukan oleh penulis adalah untuk menjamin keselarasan antara argumentasi

penulis dengan teori dari para ahli.

2.1.1 Antropolinguistik

Antropolinguistik merupakan subdisiplin dari ilmu linguistik.

Antropolinguistik merupakan integrasi antara disiplin ilmu linguistik dengan

antropologi sehingga sering disebut dengan istilah linguistik antropologi. Foley

(2001) mengemukakan bahwa linguistik antropologi merupakan subdisiplin dari

ilmu linguistik yang memahami bahasa sebagai bagian dari konteks sosial budaya,

perannya dalam mempengaruhi dan mempertahankan praktek budaya, dan

struktur sosial. Linguistik antropologi memandang bahasa dengan perspektif

konsep antropologi, kebudayaan, mencari makna di balik sistem kebahasaan yang

digunakan, termasuk bentuk penyalahgunaan atau penyimpangannya, perbedaan

atau variasinya, ragamnya, dan gaya bahasanya.

Ilmu interdisipliner tersebut berusaha mengupas dan menginterpretasi

bahasa untuk menemukan suatu pemahaman budaya tertentu. Hymes (1964)

mendefinisikan antropologi linguistik sebagai studi tentang berbahasa dan bahasa

dalam konteks antropologi. Antropolinguistik membedakan proses berbahasa

(speech) dari bahasa (language) sebagai bagian dari kajian seluk-beluk kehidupan

manusia. Dalam kajian antropolinguistik, proses berbahasa sebagai hakikat bahasa

yang berwujud lisan dan bahasa itu sendiri sebagai alat berbahasa, kedua-duanya

menjadi objek kajian. Dalam hal ini, pembedaan bahasa sebagai performansi dan

bahasa sebagai alat komunikasi menjadi sangat penting. Sebagai bagian dari

performansi komunikasi dan aktivitas sosial, Duranti (1997) mendefinisikan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 26: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

13

antropologi linguistik sebagai ilmu yang mempelajari bahasa sebagai sumber

budaya dan yang mempelajari aktivitas berbahasa atau berbicara sebagai praktik

budaya. Dalam hal ini, bahasa (language) dianggap menyimpan kebudayaan

sebagai seluk-beluk kehidupan manusia yang paling inti dan berbahasa (speaking)

sebagai performansi aktivitas sosial budaya. Dengan konsep yang hampir sama,

Foley (1997) mengatakan bahwa linguistik antropologi merupakan cabang

linguistik yang berkaitan dengan posisi bahasa dalam konteks sosial dan kultural

yang lebih luas, peran bahasa dalam memadu dan menopang praktik-praktik

kultural dan struktur sosial. Berkaitan dengan hal itu, Sibarani (2015) juga

mengatakan hal yang senada bahwa konsep antropolinguistik ini memandang

bahasa (language) dalam kaitannya dengan konteks sosio-kultural dan bahasa

sebagai proses praktik budaya dan struktur sosial.

Penelitian ini mengkaji suatu hal yang berkaitan erat dengan dimensi

kebudayaan di dalam suatu masyarakat, khususnya masyarakat Jawa. Hal yang

menjadi objek kajian di dalam penelitian ini bahkan tidak hanya berkaitan erat,

namun memang merupakan bagian dari budaya itu sendiri, atau dapat disebut juga

sebagai produk dari suatu kebudayaan. Setiap kebudayaan di dalam suatu

masyarakat tentu memiliki produk atau hasil budaya, salah satunya adalah

permainan anak tradisional. Bentuk-bentuk permainan yang diciptakan oleh suatu

masyarakat itu sendiri menurut Rollings dan Adams (2003) merupakan hal yang

telah lama dilakukan oleh umat manusia yang berhubungan dengan kemampuan

manusia untuk berpura-pura, dalam arti menciptakan aktivitas bermain di dunia

artifisial. Selanjutnya, Imania, Sihombing, dan Mutiaz (2014) mengemukakan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 27: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

14

bahwa permainan merupakan hasil kebudayaan manusia yang telah ada sejak

lama. Maka, jelas bahwa permainan anak tradisional merupakan produk atau hasil

dari kebudayaan masyarakat.

Setiap produk atau hasil kebudayaan masyarakat, termasuk permainan

anak tradisional, dapat dipastikan selalu memiliki nilai atau makna di balik hal-hal

yang tampak, sebagaimana nilai atau makna tersebut dilandasi oleh norma,

perilaku, ajaran moral, dan keutamaan yang diyakini sebagai hal-hal yang baik

oleh masyarakat. Hal itu dapat dinyatakan demikian karena setiap bentuk

kebudayaan menghasilkan berbagai macam kearifan lokal, salah satunya adalah

hal-hal yang berkaitan dengan kontrol sosial yang berlaku di dalam masyarakat itu

sendiri, seperti aturan atau ajaran moral (Pasaribu, 2013). Hal itulah yang nantinya

akan dikaji di dalam penelitian ini, khususnya nilai-nilai karakter yang dikandung

di dalam permainan anak tradisional.

Kajian itu dapat dilakukan dengan mengamati kaitan antara aktivitas

verbal maupun nonverbal yang ada di dalam setiap permainan dengan latar

belakang budayanya, yaitu Jawa. Hal itu dapat dilakukan dengan menggunakan

ilmu antropolinguistik sebagai dasar untuk menggali makna di balik permainan

anak tradisional itu. Melalui pendekatan antropolinguistik, kita mencermati hal-

hal yang dilakukan oleh manusia dalam konteks permainan anak tradisional

dengan bahasa dan ujaran-ujaran yang diproduksi, seperti nama, syair, dan istilah-

istilah di dalamnya, termasuk bahasa nonverbal seperti sikap diam dan gesture

tertentu yang dihubungkan dengan konteks pemunculannya (Duranti, 2001).

Malinowski (dalam Hymes, 1964) mengemukakan bahwa melalui

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 28: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

15

antropolinguistik, kita dapat menelusuri bagaimana bentuk-bentuk linguistik di

dalamnya dipengaruhi oleh aspek budaya, sosial, mental, dan psikologis sehingga

kita dapat memahami hakekat yang sebenarnya dari bentuk dan maknanya serta

bagaimana hubungan keduanya. Penggunaan bahasa dalam berkomunikasi

cenderung dipandang sebagai fungsi kontrol atau suatu tindakan untuk saling

mempengaruhi partisipan dalam suatu pertuturan. Maka, bahasa sangat erat

kaitannya dengan aktivitas yang menyertainya.

2.1.2 Budaya dan Masyarakat

Budaya dan masyarakat merupakan dua hal yang tak terpisahkan. Budaya

dihasilkan dari proses kehidupan masyarakat yang berlangsung dari masa ke

masa, dan masyarakat merupakan penghasil budaya sekaligus kelompok yang

dikendalikan oleh budaya itu sendiri selama kebudayaan itu masih terus menjadi

bagian dari masyarakat itu. Kebudayaan tidak bisa hanya dilihat dari sisi isi

kebudayaan itu sendiri karena keberadaannya tidak terlepas dari banyak faktor

lain sehingga kebudayaan itu ada, berlangsung, dan berkembang. Pasaribu (2013)

menyatakan bahwa satu faktor penting yang berkaitan dengan kebudayaan adalah

masyarakat, tidak akan ada satu kebudayaan tanpa masyarakat, demikian

sebaliknya.. Budaya dan masyarakat merupakan dua hal yang berbeda, namun

saling berkaitan erat satu sama lain.

Istilah budaya memiliki persamaan makna dengan istilah kultur. Kedua

istilah tersebut mengacu pada suatu hal yang sama. Kita dapat menggunakan salah

satu istilah, yaitu budaya. Kita perlu mendalami lebih lanjut mengenai budaya itu

sendiri. Secara harfiah, istilah kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 29: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

16

buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau

akal. Demikian kebudayaan itu dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan

budi dan akal (Koentjaraningrat, 1994:9). Mempertegas pendapatnya,

Koentjaraningrat (1990:181) mengemukakan adanya pendapat lain yang

mengupas kata budaya sebagai perkembangan dari majemuk budi-daya, yang

berarti daya dari budi. Maka dari itu, mereka membedakan budaya dari

kebudayaan. Demikianlah budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa

dan rasa itu.

Definisi kebudayaan yang disusun oleh Sir Edward Taylor (Horton,

1996:58; Harsojo, 1988:92; Soekanto, 2003:172) menyebut bahwa kebudayaan

adalah kompleks keseluruhan dari pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral,

hukum, adat istiadat dan semua kemampuan dan kebiasaan yang lain yang

diperoleh oleh seseorang sebagai anggota masyarakat.

Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dikemukakan bahwa kebudayaan

adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial oleh para

anggota suatu masyarakat. Hal tersebut dipertegas oleh pendapat Soekanto

(2003:173) yang menyatakan bahwa budaya terdiri dari segala sesuatu yang

dipelajari dari pola-pola perilaku yang normatif, yang mencakup segala cara atau

pola-pola berfikir, merasakan, dan bertindak.

Di sisi lain, Koentjaraningrat (1994:9) mendefinisikan kebudayaan sebagai

keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar,

beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu. Definisi tersebut

menegaskan bahwa dalam kebudayaan mensyaratkan terjadinya proses belajar

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 30: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

17

untuk mampu memunculkan ide atau gagasan dan karya yang selanjutnya menjadi

kebiasaan. Pembiasaan yang dilakukan melalui proses belajar itu berlangsung

secara terus menerus dari satu generasi kepada generasi berikutnya.

Isitlah masyarakat dapat menunjuk pada suatu kelompok atau komunitas

yang terdiri dari banyak individu. Dalam kaitannya dengan kebudayaan, Pasaribu

(2013) kembali mengemukakan bahwa kebudayaan diperoleh manusia sebagai

anggota masyarakat. Tanpa masyarakat, kemungkinannya sangat kecil untuk

membentuk kebudayaan. Sebaliknya, tanpa kebudayaan, tidak mungkin manusia

(secara individual maupun kelompok) dapat mempertahankan kehidupannya. Jadi,

kebudayaan adalah hampir semua tindakan manusia dalam kehidupan sehari-hari

sehingga kebudayaan dan masyarakat merupakan dua hal yang saling berkaitan

dan tak terpisahkan satu sama lain.

2.1.3 Kultur Masyarakat Yogyakarta sebagai Konteks Budaya

Kultur atau budaya dari masyarakat Jawa di Yogyakarta sangatlah kuat.

Banyak ahli yang mengungkapkan berbagai macam sikap orang Jawa yang

menunjukkan karakteristik budaya orang Jawa. Hal itu dapat menjadi suatu

konteks budaya yang mendasari bentuk-bentuk kehidupan, aturan, norma, dan

karakter masyarakat. Konteks kultur mengacu pada budaya, adat istiadat, latar

belakang zaman dalam komunitas bahasa yang di dalamnya para penutur terlibat

langsung (Song, 2010), untuk memberi nilai pada teks dan mendayakan

penafsirannya (Halliday dan Hasan, 1985). Maka, konteks budaya dalam

kaitannya dengan penelitian ini sangat berguna untuk menemukan jawaban dari

data yang dikaji. Hal itu berkaitan dengan latar belakang sosial budaya dalam

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 31: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

18

hubungannya dengan penggunaan bahasa. Setiap anggota komunitas atau

kelompok sosial tidak hanya mengekspresikan, namun mereka juga menciptakan

pengalaman melalui bahasa (Kramsch, 1998). Manusia sebagai kelompok sosial

menggunakan bahasa sebagai media yang mengandung maksud tertentu dan

menggunakannya untuk berkomunikasi dengan yang lainnya. Penggunaan bahasa

memang menjadi penting dan berlatar belakang sosial budaya karena manusialah

yang menciptakannya. Masyarakat menggunakan bahasa untuk berbicara,

menulis, atau membuat media tertentu untuk melihat bahasa itu sendiri dalam

menciptakan maksud yang dapat dimengerti dalam kelompoknya (Kramsch,

1998). Aspek bahasa verbal dan bahasa nonverbal merupakan bentuk realitas

kultur. Maka, budaya dan bahasa saling berkaitan.

Karakter yang dimiliki oleh suatu masyarakat merupakan salah satu hal

yang dapat mencerminkan budaya karena budaya Jawa sangat kental dengan

filosofi karakter atau sikap (Suseno, 1985). Budaya merupakan suatu ekpresi dari

pengajaran nilai-nilai karakter dalam masyarakat yang telah terjadi secara turun-

temurun. Masyarakat Jawa sangat memegang erat filosofi kehidupan, khususnya

nilai karakter atau sikap. Maka, masyrakat Jawa juga memiliki inisiatif atau

kebijaksanaan tertentu dalam mewujudnyatakan pengajaran nilai karakter sejak

dini. Dari penjelasan tersebut, penulis dapat mengaitkannya dengan permainan

anak tradisional, yang artinya masyarakat juga menciptakan dan menggunakan

permainan anak tradisional sebagai salah satu manifestasi budaya yang kaya akan

filosofi karakter. Endraswara (2005) mengungkapkan bahwa budaya Jawa

mengandung filosofi tentang sikap rukun, gotong-royong, dan sopan-santun. Lalu,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 32: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

19

Bastomi (1992) mengungkapkan bahwa sikap hidup orang Jawa sangat

menunjung tinggi prinsip kerukunan, saling menghormati, dan santun.

Endraswara dan Bastomi mengungkapkan hal yang hampir sama, dan hal itu

menunjukkan bahwa budaya Jawa sangat kental dengan sikap rukun, hormat,

peduli, dan santun. Poin-poin tersebut menjadi hal yang ternyata mengungkapkan

nilai karakter. Artinya, budaya Jawa sangat memegang teguh nilai karakter yang

mencerminkan sikap-sikap keutamaan manusia. Hal itu diperkuat dengan

pandangan Endraswara (2015) pada kajiannya yang lain mengenai budaya Jawa

bahwa masyarakat Jawa selalu menginternalisasi sistem revolusi sikap mental

yang selalu mengarahkan seseorang untuk menjadi pribadi dengan karakter yang

baik. Sistem revolusi sikap mental itu sendiri menurut hemat penulis sangat

berkaitan erat dengan pengajaran nilai karakter.

Mumfangati (2011) dalam penelitiannya yang berjudul Pendidikan Budi

Pekerti dalam Budaya Jawa: Kajian Terhadap Serat Nitipraja sebagai penelitian

yang relevan dengan penelitian ini mengungkapkan bahwa budaya Jawa juga

selalu memegang teguh prinsip budi pekerti. Secara umum budi pekerti berarti

moral dan kelakuan yang baik dalam menjalani kehidupan. Budi pekerti adalah

tuntunan moral yang paling penting untuk orang Jawa tradisional. Budi pekerti

adalah induk dari segala etika, tatakrama, tatasusila, perilaku baik dalam

pergaulan, pekerjaan, dan kehidupan sehari-hari. Pendidikan budi pekerti adalah

suatu proses pembentukan perilaku atau watak seseorang, sehingga dapat

membedakan hal yang baik dan yang buruk dan mampu menerapkannya dalam

kehidupan. Penelitian Mumfangati tersebut mengkaji Serat Nitipraja sebagai

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 33: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

20

bagian dari budaya Jawa yang mengandung nilai-nilai karakter dan budi pekerti,

sedangkan penelitian ini mengkaji nilai-nilai karakter permainan anak tradisional

yang juga merupakan bagian dari kebudayaan, khususnya di Yogyakarta yang

juga merupakan suatu sumber nilai karakter. Dari pemaparan-pemaparan di atas,

penulis menyimpulkan bahwa budaya orang Jawa-Yogyakarta memiliki

karakteristik untuk selalu mengarahkan masyarakatnya pada sikap mental yang

baik, bermoral, luhur, dan mulia. Budaya Jawa selalu memandang segala sesuatu

sebagai hal yang dapat mengarahkan seseorang atau masyarakat untuk memiliki

sikap mental yang baik.

2.1.4 Permainan Anak Tradisional sebagai Manifestasi Budaya

Permainan merupakan bagian dari kehidupan manusia sejak kecil hingga

pada masa kehidupannya yang lebih lanjut. Permainan dapat ditemui di seluruh

dunia dan pada berbagai macam kebudayaan, dengan berbagai macam jenisnya

pula. Permainan telah diciptakan oleh masyarakat di dunia dari kebudayaan yang

berbeda-beda sejak dulu kala. Permainan yang telah ada sejak zaman dulu disebut

dengan permainan tradisional, sedangkan permainan yang ada pada masa-masa

sekarang ini disebut permainan elektronik (Yumarlin, 2013). Maka, permainan

tradisional, termasuk untuk anak-anak, sama-sama merupakan bentuk manifestasi

budaya.

Jika ditelusuri lebih lanjut, menurut Huizinga (1990), permainan itu

sendiri pada dasarnya adalah suatu perbuatan atau kegiatan sukarela, yang

dilakukan dalam batas-batas ruang dan waktu tertentu yang sudah ditetapkan,

menurut aturan yang telah diterima secara sukarela tapi mengikat sepenuhnya,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 34: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

21

dengan tujuan yang berasal dari dalam dirinya sendiri, disertai oleh perasaan

tegang dan gembira, dan kesadaran yang “lain dari pada kehidupan sehari-hari”.

Sejalan dengan pandangan tersebut, Sadiman (2007) mengungkapkan bahwa

permainan adalah setiap kontes antara para pemain yang berinteraksi satu sama

lain dengan mengikuti aturan-aturan tertentu untuk mencapai tujuan-tujuan

tertentu pula. Setiap permainan harus mempunyai empat komponen utama, yaitu

adanya pemain, adanya lingkungan dimana para pemain berinteraksi, adanya

aturan-aturan main, dan adanya tujuan-tujuan tertentu yang ingin dicapai.

Permainan merupakan suatu bentuk aktivitas yang dipilih atau dilakukan

sendiri tanpa adanya unsur paksaan. Tujuan permainan terletak pada permainan

itu sendiri dan dicapai pada waktu bermain (Khobir, 2009). Permainan adalah

suatu perbuatan yang dilakukan atas kehendak sendiri dengan tujuan untuk

memperoleh kesenangan pada waktu melakukan kegiatan itu. Khobir (2009) juga

menegaskan bahwa permainan merupakan salah satu bentuk aktivitas sosial yang

dominan pada masa anak-anak. Anak menghabiskan lebih banyak waktunya di

luar rumah untuk bermain dengan teman-temannya. Maka, permainan bagi anak-

anak adalah suatu bentuk aktivitas yang menyenangkan yang dilakukan semata-

mata untuk aktivitas itu sendiri. Bagi anak-anak, proses melakukan sesuatu lebih

menarik daripada hasil yang akan didapatkannya (Desmita, 2005). Hirth (1991)

mengungkapkan secara lebih khusus bahwa permainan tradisional merupakan

suatu ekspresi yang dipraktekkan oleh suatu penduduk asli daerah pedesaan.

Permainan menjadi suatu hal yang menjadi bagian dari kehidupan manusia

sejak zaman dahulu kala sampai saat ini dan seterusnya selama manusia ada.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 35: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

22

Dengan demikian, permainan juga menjadi bagian dari budaya manusia sehingga

dapat dikatakan bahwa setiap kelompok masyarakat, daerah, dan suku bangsa

dalam kebudayaan mereka masing-masing selalu memiliki permainan menurut

tradisi mereka dalam setiap kelompok budaya. Permainan yang lahir dari hasil

kebudayaan dari suatu kelompok masyarakat disebut juga dengan permainan

tradisional. Pemaknaan penulis atas pendapat ahli tersebut kembali diperkuat oleh

ahli yang sama (Huizinga, 1990) dengan menambahkan bahwa apa yang pada

mulanya merupakan permainan, dikemudian hari berubah menjadi sesuatu yang

bukan lagi permainan dan dapat dinamakan kebudayaan. Maka, permainan

tradisional merupakan suatu bentuk permainan yang dihasilkan dari proses

kebudayaan yang terjadi dalam setiap kelompok masyarakat.

Permainan anak tradisional merupakan hal yang menjadi bagian dari

penelitian ini secara spesifik. Pada bagian atas tadi, penulis menyebutkan

permainan tradisional yang merupakan sebutan suatu permainan yang dihasilkan

dari proses kebudayaan secara umum. Secara khusus, penulis dapat menyebut

permainan anak tradisional agar memiliki batasan yang lebih jelas. Frasa yang

baru tersebut memiliki perbedaan, yaitu adanya kata “anak” yang menjadi bagian

dari istilah dengan tiga kata tersebut. Sebutan permainan anak tradisional

menunjukkan bahwa permainan tradisional itu dimainkan oleh anak-anak. Maka,

bentuk, sifat, dan seluruh karakteristik dalam permainan itu haruslah sesuai

dengan tingkat seluruh karakteristik anak-anak pada umumnya. Menurut

Dharmamulya, dkk (1993), pertumbuhan dan perkembangan inteligensi anak-anak

diwujudkan dalam berbagai bentuk mainan atau permainan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 36: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

23

Dengan barang mainan atau dengan cara bermain itu, anak akan dapat

terangsang untuk memperkembangkan dirinya. Hal itu dapat kita lihat dan

terbukti dalam kehidupan sehari-hari, bahwa dalam kehidupan anak-anak, sejak

masih bayi sampai pertumbuhannya yang selanjutnya, perkembangan

kecerdasannya juga dibentuk oleh berbagai mainan atau permainan yang mereka

miliki dan lakukan. Dengan demikian, permainan sudah menjadi bagian

kehidupan sehari-hari setiap anak yang sedang berada dalam proses

pertumbuhannya. Permainan menjadi hal yang sangat penting dalam mengisi

kehidupan anak-anak.

2.1.5 Nilai Karakter dalam Permainan Anak Tradisional dan Jenisnya

Setiap manusia memiliki karakter yang berbeda satu sama lain. Karakter

merupakan suatu hal yang menjadi salah satu permasalahan yang seing

diperhatikan oleh masyarakat, terlebih karena adanya perdedaan itu. Karakter

pada umumnya lebih dikaitkan dengan sifat dan sikap yang baik sebagai

pembentuk kepribadian seseorang. Coon (2000) mendefinisikan karakter sebagai

suatu penilaian subyektif terhadap kepribadian seseorang yang berkaitan dengan

atribut kepribadian yang dapat atau tidak dapat diterima oleh masyarakat.

Karakter adalah jawaban mutlak untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik di

dalam masyarakat. Hidayatullah (2010) menambahkan bahwa karakter adalah

kualitas atau kekuatan mental atau moral, akhlak atau budi pekerti individu yang

merupakan kepribadian khusus yang membedakan dengan individu lain. Istilah

nilai itu sendiri menurut KBBI Daring (2018) mengacu pada sifat-sifat (hal-hal)

yang penting atau berguna bagi kemanusiaan atau sesuatu yang menyempurnakan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 37: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

24

manusia sesuai dengan hakikatnya. Maka, nilai karakter dapat didefinisikan

sebagai sifat-sifat yang menyempurnakan kualitas kepribadian seseorang yang

berdasar pada budi pekerti dan norma yang diterima oleh masyarakat. Nilai

karakter adalah nilai yang mengajarkan tentang perilaku yang baik dari

kebudayaan tertentu dalam suatu kelompok masyarakat. Hal itu mengindikasikan

bahwa nilai karakter memiliki keterkaitan dengan masyarakat dan tentunya juga

dengan budaya yang dimiliki oleh masyarakat itu.

Sebagaimana hal-hal yang telah disebutkan pada bagian kajian tentang

budaya dan masyarakat, kedua hal tersebut merupakan bagian yang tak

terpisahkan satu sama lain. Budaya ada karena kehadiran masyarakat, dan

masyarakat yang telah ada itu menghasilkan suatu bentuk kebudayaan yang

diturunkan dari generasi ke generasi. Hal itu kembali dipertegas oleh pandangan

Pasaribu (2013) yang menyatakan bahwa satu faktor penting yang berkaitan

dengan kebudayaan adalah masyarakat, tidak akan ada satu kebudayaan tanpa

masyarakat, demikian sebaliknya. Budaya dan masyarakat merupakan dua hal

yang berbeda, namun saling berkaitan erat satu sama lain. Setiap bentuk

kebudayaan menghasilkan berbagai macam kearifan lokal, salah satunya adalah

hal-hal yang berkaitan dengan kontrol sosial yang berlaku di dalam masyarakat itu

sendiri, seperti aturan atau ajaran moral.

Istilah “moral” atau hal yang biasa disebut juga dengan moralitas tentu

saja akan berkaitan langsung dengan etika. Istilah “etika” berasal dari bahasa

Yunani, yaitu “ethos” yang berarti kesediaan jiwa akan kesusilaan (Moekijat,

1995), sedangkan Bertens (1993) menyatakan bahwa etika adalah ilmu tentang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 38: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

25

apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Sebutan “adat

kebiasaan” yang melekat pada istilah “etika”, yang juga berkaitan erat dengan

moral atau moralitas di atas menunjukkan keselarasan dengan budaya dan

masyarakat itu sendiri, karena masyarakat adalah kelompok penghasil budaya

yang di dalamnya berisi serangkaian adat kebiasaan yang sudah diwariskan secara

turun-temurun. Berkaitan dengan hal itu, Purwadi (2011) menambahkan bahwa

adat kebiasaan yang didalamnya berisi ajaran moral itu bagi masyarakat Jawa

sering disebut dengan istilah pepali, unggah-ungguh, suba sita, tata krama, tata

susila, sopan santun, budi pekerti, wulang wuruk, pitutur, wejangan, wursita, dan

wewarah.

Dari penelusuran di atas, penulis dapat mengatakan bahwa setiap

kebudayaan menghasilkan produk. Produk kebudayaan itu mengandung muatan

nilai karakter yang senantiasa selalu ditanamkan kepada masyarakat, bahkan sejak

dini. Masyakarat Jawa memiliki berbagai sarana yang dapat digunakan sebagai

alat untuk menanamkan nilai-nilai karakter. Maka, masyarakat Jawa perlu

memiliki strategi khusus agar nilai karakter itu juga bisa ditanamkan pada

generasi muda (anak). Mustika (2013) berpendapat bahwa budaya Jawa dapat

dijadikan wahana pendidikan moral pada anak karena berisi pesan moral yang

baik sehingga dapat difungsikan sebagai pendidikan moral. Beliau menambahkan

bahwa wahana itu dapat berupa bahasa, tata karma, mitos, wayang falsafah,

pakaian adat, dan batik. Lebih lanjut, beliau juga menambahkan bahwa permainan

anak tradisional dapat melahirkan kreativitas, kerja sama, peduli lingkungan,

mandiri, dan bekerja sama. Hal tersebut cukup membuktikan bahwa salah satu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 39: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

26

cara yang digunakan oleh masyarakat untuk kepentingan tersebut adalah dengan

menciptakan permainan anak tradisional, yang disisipi dengan nilai-nilai karakter

itu.

Pertumbuhan dan perkembangan inteligensi anak diwujudkan dalam

berbagai bentuk mainan atau permainan. Dengan barang mainan atau dengan cara

bermain itu, anak akan dapat terangsang untuk memperkembangkan dirinya. Hal

itu dapat kita lihat dan terbukti dalam kehidupan sehari-hari, bahwa dalam

kehidupan anak-anak, sejak masih bayi sampai pertumbuhannya yang selanjutnya,

perkembangan karakternya juga dibentuk oleh berbagai mainan atau permainan

yang mereka miliki dan lakukan. Dengan demikian, permainan sudah menjadi

bagian kehidupan sehari-hari setiap anak yang sedang berada dalam proses

pertumbuhannya. Permainan menjadi hal yang sangat penting dalam mengisi

kehidupan anak-anak, terutama permainan anak tradisional yang memiliki fungsi

didaktis bagi anak. Yudiwinata dan Handoyo (2014) dalam penelitian mereka

yang berjudul Permainan Tradisional dalam Budaya dan Perkembangan Anak

sebagai penelitian yang relevan dengan penelitian ini mengungkapkan pernyataan

yang mendukung bahwa permainan anak tradisional menawarkan suatu nilai yang

amat positif bagi anak. Permainan tersebut merupakan warisan budaya yang

sangat bermanfaat bagi anak karena mengajarkan berbagai nilai karakter melalui

aktivitas yang dilakukan. Penelitian Yudiwinata dan Handoyo tersebut mengamati

perkembangan anak ketika melakukan permianan tradisional, sedangkan

penelitian ini mengarah pada kajian nilai karakter dalam permainan anak

tradisional yang berguna bagi perkembangan anak.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 40: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

27

Kehidupan yang dijalani anak sejak permulaannya membutuhkan suasana

kehidupan yang kental dengan suasana bermain. Berkaitan dengan karakter anak,

hal yang dapat dikaitkan antara nilai karakter dengan permainan anak dapat

diperkuat oleh pendapat Dharmamulya, dkk (1993) yang mengatakan bahwa

dengan bermain, maka si anak secara otomatis akan bergaul dengan teman-teman

sebaya yang lain, yang mungkin memiliki perbedaan latar belakang, pola/gaya

hidup, dan pandangan hidup. Tashadi (1993) menambahkan bahwa permainan

anak tradisional mempunyai fungsi melatih pemainnya melakukan hal-hal yang

akan penting nantinya bagi kehidupan mereka di tengah masyarakat, seperti

melatih kecakapan hitung-menghitung, melatih kecakapan berpikir, melatih

bandel (tidak cengeng), melatih keberanian, melatih bersikap jujur dan sportif,

dan lain-lain. Dari hal-hal tersebut, maka diketahui bahwa secara otomatis pula

anak akan belajar secara karakter melalui sarana permainan yang dijalani bersama

teman-temannya, maupun dalam hal mempelajari permainan-permainan sosial

yang ada, karena bagaimanapun, permainan-permainan sosial yang adalah

permainan anak tradisional itu tetap memiliki nilai karakter yang yang kuat.

Kajian Dharmamulya dkk (1993) kembali menguatkan bahwa permainan

anak tradisional sungguh memiliki maksud yang terkandung di dalamnya yang

bersifat didaktis. Permainan anak tradisional dapat dibagi menurut maksud yang

terkandung di dalamnya, seperti; menirukan suatu perbuatan yang positif, melatih

kekuatan dan kecakapan, melatih panca indera, melatih bahasa, dan melibatkan

gerak lagu dan irama. Lalu, beliau juga menambahkan bahwa permainan anak

tradisional dapat diidentifikasi jenis-jenisnya berdasarkan kategorisasi menurut

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 41: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

28

pola permainan, seperti; bermain dengan bernyanyi atau dialog, bermain dengan

olah pikir, dan bermain dengan adu ketangkasan.

JSIT (2015) juga memiliki daftar permainan anak tradisional yang dibagi

atas tiga kategori yang menunjukkan sifat didaktis dari setiap permainan. Kategori

tersebut mencangkup permainan asah keterampilan dan kerajinan, asah fisik, dan

asah otak. Kategori permainan asah keterampilan dan kerajinan terdiri dari bandul

sada, cublak-cublak suweng, jamuran, jaranan bongkok, keris janur, kitiran

godhong tela, kitiran janur, kupluk mahkota godhong, layangan, mercon

bumbung, plintheng, dan pong-pong bolong. Kategori permainan asah fisik terdiri

dari bentengan, benthik, dhelikan, angklek, boi boinan, gobag sodor, kasti, lompat

tali, dan ular naga. Kategori permainan asah otak terdiri dari bekelan, dakon, dan

macanan.

Dharmamulya dkk (1993) kembali menambahkan bahwa ada unsur nilai

budaya yang terkandung dalam permainan anak tradisional secara lebih rinci yang

bersifat positif sehingga dapat diarahkan kepada generasi muda dewasa ini sampai

ke depannya dalam mengisi dan mendukung gerak langkah bangsa kita dalam

usaha menuju cita-cita masyarakat adil dan makmur (nilai mulia) seperti;

menumbuhkan rasa senang, kreativitas, pergaulan, demokrasi, perngertian

(bawang kothong - sistem dalam permainan anak tradisional yang memberi status

pada anak yang masih kurang umur dan kemampuan, namun tetap sangat ingin

ikut bermain sehingga diberlakukanlah aturan belum dikenakannya anak itu

terhadap sangsi kalah, maka sistem ini mirip dengan sistem magang jika

dibandingkan dengan dunia kerja orang dewasa), sifat kepemimpinan, rasa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 42: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

29

tanggung jawab, rasa saling membantu atau saling menjaga, rasa patuh terhadap

peraturan, melatih keseimbangan tubuh atau keterampilan memperkirakan,

melatih kemampuan berhitung, melatih kecakapan berpikir secara tepat atau

intuitif, melatih mental, melatih keberanian, melatih mengenal lingkungan, sifat

jujur dan sportif, dan sopan santun.

Unsur nilai budaya berkaitan erat dengan nilai karakter secara konkrit

yang perlu ditanamkan sejak dini. Kemendiknas (2011) mengidentifikasi nilai

karakter bangsa menjadi 18 nilai, yaitu (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4)

disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin

tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi,

(13) bersahabat/komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli

lingkungan, (17) peduli sosial, dan (18) tanggung jawab. Dalam konteks

permainan anak tradisional, ada beberapa nilai karakter lain selain dari

kedelapanbelas tersebut, namun tetap relevan. Nilai karakter yang akan

dirumuskan berdasar pada teori Dharmamulya (1993) tentang nilai budaya dalam

permainan anak tradisional. Unsur nilai budaya tersebut dapat dirumuskan

menjadi poin-poin nilai karakter oleh penulis melalui tabel yang dipaparkan

berikut ini.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 43: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

30

Tabel 2.1 Perumusan Nilai Karakter Berdasarkan Unsur Nilai Budaya yang

Terkandung dalam Permainan

No. Nilai Budaya (Dharmamulya dkk,

1993)

Rumusan Nilai Karakter

1 Rasa senang Semangat

2 Rasa bebas berkreativitas Kreatif

3 Rasa berteman Bersahabat

4 Rasa demokrasi Demokratis

5 Bawang kothong Toleransi

6 Sifat kepemimpinan Kepemimpinan

7 Penuh tanggung jawab Tanggung jawab

8 Rasa saling membantu dan saling

menjaga

Peduli

9 Rasa patuh terhadap peraturan Disiplin

10 Melatih keseimbangan tubuh dan

keterampilan memperkirakan

Terampil

11 Melatih kemampuan berhitung Cerdas

12 Melatih kecakapan berpikir secara

tepat

Intuitif

13 Melatih mental Kompetitif

14 Melatih keberanian Berani

15 Melatih mengenal lingkungan Sayang lingkungan

16 Sifat sportif Sportif

17 Bertingkah sopan Sopan

Nilai budaya yang terkandung di dalam permainan anak tradisional

berdasarkan pandangan Dharmamulya (1993) menunjukkan hal-hal yang dialami

oleh anak ketika bermain. Hal itu telah berlangsung secara turun-temurun, yang

mana nilai budaya itu tidak dapat disangkal lagi eksistensinya dan perannya bagi

anak-anak. Hal itu menunjukkan indikasi kehadiran konteks budaya (Song, 2010)

dalam permainan anak tradisional. Rumusan nilai karakter berdasarkan

kandungan nilai budaya yang terdapat di dalam permainan anak tradisional

merupakan cermin kebudayaan yang menunjukkan nilai positif di masyarakat.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 44: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

31

Rasa senang menghasilkan rumusan nilai karakter semangat karena anak

akan merasa bersemangat melalui rasa senang yang mereka alami ketika bermain.

Rasa bebas berkreativitas menghasilkan rumusan nilai karakter kreatif karena

anak akan tergerak untuk menghasilkan sesuatu melalui aktivitas bermain mereka.

Rasa berteman menghasilkan rumusan nilai karakter bersahabat karena anak

secara otomatis akan berinteraksi dan berkomunikasi dengan teman

sepermainannya. Rasa demokrasi menghasilkan rumusan nilai karakter

demokratis karena anak akan berlatih untuk bersikap terbuka atau menerima saran

dari teman dan kesepakatan yang dibuat dalam permainan.

Bawang kothong dalam bahasa Indonesia berarti anak yang dianggap

belum sepenuhnya layak untuk berpartisipasi dalam permainan karena alasan usia

yang masih terlalu kecil, pemahaman yang belum sempurna untuk mengerti

aturan permainan, atau faktor lain. Maka, dalam bahasa Indonesia, istilah tersebut

lebih dikenal dengan sebutan anak bawang. Istilah tersebut menunjukkan bahwa

anak akan berlatih untuk memiliki sikap toleransi kepada teman yang masih kecil

atau belum mengerti aturan permainan yang sedang berlangsung. Hal itu sekaligus

mengajarkan kerukunan antarteman.

Sifat kepemimpinan menghasilkan rumusan nilai karakter kepemimpinan

karena anak juga akan berlatih untuk menjadi seorang pemimpin ketika

mendapatkan tugas sebagai ketua atau pemimpin jalannya permainan. Nilai penuh

tanggung jawab menghasilkan rumusan nilai karakter tanggung jawab karena

anak berlatih untuk menanggung konsekuensi yang diterima sesuai dengan aturan

permainan. Rasa saling membantu dan saling menjaga menghasilkan rumusan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 45: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

32

nilai karakter peduli karena permainan seringkali dilakukan secara bersama-sama

sehingga anak akan tergerak untuk saling bekerja sama pada kelompoknya untuk

meraih kemenangan atau mencapai tujuan tertentu. Rasa patuh terhadap peraturan

menghasilkan rumusan nilai karakter disiplin karena anak belajar untuk menaati

peraturan yang berlaku di dalam permainan. Nilai dalam melatih keseimbangan

tubuh dan keterampilan memperkirakan menghasilkan rumusan nilai karakter

terampil karena anak berlatih untuk mengasah keterampilan fisik (berunsur

olahraga) maupun keterampilan tangan (dalam hal kerajinan) sesuai dengan

aktivitas di dalam permainan.

Nilai dalam melatih kemampuan berhitung menghasilkan rumusan nilai

karakter cerdas karena anak terstimulasi untuk berlatih atau menggunakan

kemampuan otaknya ketika bermain. Nilai dalam melatih kecakapan berpikir

secara tepat menghasilkan rumusan nilai karakter intuitif karena anak berlatih

untuk mengasah kemampuan intuisinya (prediksi, perkiraan, dan keputusan secara

tepat) dalam bermain. Nilai dalam melatih mental menghasilkan rumusan nilai

karakter kompetitif karena anak tergerak untuk bersaing secara sehat dalam

usahanya untuk meraih kemenangan atau tujuan tertentu ketika bermain. Nilai

dalam melatih keberanian menghasilkan rumusan nilai karakter berani karena

anak berlatih untuk mengasah keberaniannya ketika melakukan aktivitas yang

menantang di dalam permainan. Nilai melatih mengenal lingkungan menghasilkan

rumusan nilai karakter sayang lingkungan karena pengenalan anak terhadap

lingkungan dapat menstimulasi anak untuk peduli, menjaga, dan memanfaatkan

sumber daya alam secara bijaksana. Sifat sportif menghasilkan rumusan nilai

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 46: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

33

karakter sportif karena anak berlatih untuk bersikap jujur dan mau menerima

konsekuensi dalam bermain. Nilai bertingkat sopan menghasilkan rumusan nilai

karakter sopan karena anak juga berlaith untuk memiliki sikap sopan santun

ketika bermain, khususnya dalam permainan yang mengandung unsur bermain

peran (role play).

Selain poin-poin di atas, perlu disinggung pula bahwa nilai karakter yang

terkandung dalam permainan anak tradisional berkaitan juga dengan melihat

unsur kognitif, psikomotorik, dan afektif dalam permainan anak tradisional

sebagai unsur edukatif yang terkandung (Ismail, 2012). Maka, jenis-jenis

permainan anak tradisional dapat digolongkan berdasarkan ketiga unsur tersebut

yang dikaitkan dengan pernyataan Dharmamulya (1993) tentang jenis permainan

dan temuan tim penulis JSIT (2015) seperti pemaparan berikut ini.

Tabel 2.2 Penggolongan Jenis Permainan Berdasarkan Pandangan Ahli

No. Unsur

Edukatif

(Ismail, 2012)

Maksud/Tujuan

Permainan

(Dharmamulya, 1993)

Kategori Permainan

(JSIT, 2015)

1 Kognitif Bermain dengan olah

pikir

Permainan asah otak

2 Psikomotorik Bermain dengan adu

ketangkasan

Permainan asah fisik

Permainan keterampilan

tangan

3 Afektif Bermain dengan

bernyanyi atau dialog

Permainan dengan

nyanyian atau dialog

Tabel di atas menunjukkan relevansi dan keselarasan pandangan dan

temuan para ahli di atas. Berdasarkan identifikasi teori dan temuan di atas, penulis

dapat menyimpulkan bahwa permainan anak tradisional terdiri atas tiga jenis,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 47: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

34

yaitu (1) permainan asah otak, (2) permainan asah fisik, (3) permainan dengan

nyanyian atau dialog, dan (4) permainan keterampilan tangan.

2.1.6 Antropolinguistik dalam Kaitannya dengan Konteks Budaya, Nilai

Karakter, dan Permainan Anak Tradisional

Antropolinguistik merupakan subdisiplin dari ilmu linguistik.

Antropolinguistik merupakan integrasi antara disiplin ilmu linguistik dengan

antropologi sehingga sering disebut dengan istilah linguistik antropologi. Foley

(2001) mengemukakan bahwa linguistik antropologi merupakan subdisiplin dari

ilmu linguistik yang memahami bahasa sebagai bagian dari konteks sosial budaya,

perannya dalam mempengaruhi dan mempertahankan praktek budaya dan struktur

sosial. Linguistik antropologi memandang bahasa dengan perspektif konsep

antropologi, kebudayaan, mencari makna di balik sistem kebahasaan yang

digunakan, termasuk bentuk penyalahgunaan atau penyimpangannya, perbedaan

atau variasinya, ragamnya, dan gaya bahasanya. Ilmu interdisipliner tersebut

berusaha mengupas dan menginterpretasi bahasa untuk menemukan suatu

pemahaman budaya tertentu.

Kedudukan antopolinguistik dalam penelitian ini memiliki peran yang

sangat penting sehingga dapat dikatakan bahwa disiplin ilmu tersebut memiliki

peran pusat. Nilai karakter yang terkandung dalam permainan anak tradisional

dikaji melalui perspektif antropolinguistik untuk mengetahui permainan-

permainannya dan jenis-jenisnya dengan melihat konteks situasional dan konteks

budaya yang melatarbelakanginya. Selain itu bentuk-bentuk preservasi permainan

anak tradisional juga dikaji dengan dasar perspektif yang sama. Antropolinguistik

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 48: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

35

itu sendiri merupakan ilmu yang mengkaji bahasa sebagai bagian dari kebudayaan

(Duranti, 1997). Disiplin ilmu tersebut mengamati hubungan antara bahasa

dengan budaya. Bahasa dipandang sebagai bagian dari budaya. Budaya itu sendiri

juga memiliki manifestasi, yang dapat berupa bahasa, aktivitas, aturan, nilai,

norma, sikap, dan sebagainya yang berlaku atau dimiliki oleh suatu kelompok

masyarakat tertentu.

Duranti (1997) mengungkapkan bahwa kajian antropolinguistik memberi

perhatian pada tiga bidang teoretis, yaitu performansi, indeksikalitas, dan

partisipasi. Sibarani (2017) dalam penelitiannya yang berjudul Objek Kajian

Penting dalam Pelestarian Bahasa Ibu sebagai penelitian yang relevan dengan

penelitian ini mengungkapkan bahwa melalui konsep performansi, bahasa

dipahami dalam proses kegiatan, tindakan, dan pertunjukan komunikatif, yang

membutuhkan kreativitas. Penelitian Sibarani tersebut mengamati peran disiplin

antropolinguistik ketika digunakan dalam penelaahan tradisi lisan yang dapat

dilakukan dalam tiga tahap, yaitu mengkaji keterhubungan (interconnection) teks,

ko-teks, dan konteks dalam suatu performansi untuk menemukan struktur,

formula atau pola tradisi lisan. Tahapan berikutnya mengkaji isi tradisi lisan,

yakni kebernilaian (valuability) yang merupakan makna dan fungsi, nilai dan

norma, serta kearifan lokal sebuah tradisi lisan. Tahapan berikutnya mengkaji dan

merumuskan model revitalisasi dan pelestarian tradisi lisan. Berkaitan dengan hal

itu, penelitian ini juga mengamati salah satu bagian dari budaya, yaitu permainan

anak tradisional dengan fokus kajian pada nilai-nilai karakter yang terkandung di

dalamnya. Dalam proses pengkajian nilai karakter, permainan anak tradisional

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 49: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

36

tetap perlu diidentifikasi dengan pola yang mirip dengan milik Sibarani di atas.

Dari identifikasi permainan itu, kemudian dikaitkan dengan deskripsi nilai-nilai

karakternya sebagai kajian utama.

Bahasa sebagai unsur lingual yang menyimpan sumber-sumber kultural

tidak dapat dipahami secara terpisah dari pertunjukan atau kegiatan berbahasa

tersebut. Konsep indeksikalitas ini berasal dari pemikiran Pierce (1965 dalam

Foley, 2001) yang membedakan tanda atas tiga jenis yakni indeks (index), simbol

(symbol), dan ikon (icon). Indeks adalah tanda yang mengindikasikan bahwa ada

hubungan alamiah dan eksistensial antara yang menandai dan yang ditandai.

Konsep indeks (indeksikalitas) diterapkan pada ekspresi linguistik seperti

pronomina demonstratif (demonstrative pronouns), pronomina diri (personal

pronouns), adverbia waktu (temporal expressions), dan adverbia tempat (spatial

expressions). Danesi (2004) menambahkan definisi mengenai ketiga jenis tanda

tersebut. Indeks adalah tanda yang mewakili sumber acuan dengan cara menunjuk

padanya atau mengaitkannya (secara eksplisit atau implisit) dengan sumber acuan

lain. Ikon adalah tanda yang mewakili sumber acuan melalui sebuah bentuk

replikasi, simulasi, imitasi, atau persamaan. Sebuah tanda dirancang untuk

mempresentasikan sumber acuan melalui simulasi atau persamaan. Simbol adalah

tanda yang mewakili objeknya melalui kesepakatan atau persetujuan dalam

konteks spesifik. Makna-makna dalam suatu simbol dibangun melalui

kesepakatan sosial atau melalui beberapa tradisi historis. Selanjutnya, konsep

partisipasi memandang bahasa sebagai aktivitas sosial yang melibatkan pembicara

dan pendengar sebagai pelaku sosial (social actors).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 50: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

37

Permainan anak tradisional merupakan bagian dari budaya. Budaya

mencangkup berbagai aktivitas yang dilakukan secara turun-temurun sebagai

wujud performansi, termasuk aktivitas berkomunikasi (berbahasa – verbal dan

nonverbal) sebagai suatu proses kegiatan, tindakan, dan pertunjukan komunikatif

(Sibarani, 2015). Permainan dilakukan dalam bentuk aktivitas yang konkrit dan

dilakukan secara turun-temurun. Hal itu menunjukkan bahwa aktivitas itu

merupakan bagian dari budaya.

Setiap permainan anak tradisional merupakan wujud kebudayaan yang

ditandai dengan suatu aktivitas yang diberi nama tertentu yang mencerminkan

aktivitas dari permainan itu. Nama yang menunjukkan bentuk permainan

merupakan wujud indeksikalitas. Permainan anak tradisional juga membutuhkan

individu-individu yang melakukan permainan itu. Permainan tidak akan muncul

atau terjadi tanpa keterlibatan para pemain, dan hal itu menunjukkan dimensi

partisipasi dari para pelaku aktivitas. Ketiga dimensi tersebut hadir dalam setiap

permainan anak tradisional sebagai hal yang dapat diidentifikasi, saling dikaitkan

melalui kacamata antropolinguistik untuk mengkaji nilai-nilai karakter yang

terkandung di dalam permainan dan bentuk-bentuk upaya preservasi yang dapat

dilakukan. Hal itu berkaitan dengan pernyataan Spradley (1980) bahwa kajian

budaya dalam perspektif antropolinguistik atau entolinguistik menggunakan tiga

aspek pengalaman manusia, yaitu apa yang mereka lakukan, apa yang mereka

tahu, dan benda apa yang mereka gunakan dan buat.

Peneltian ini tentu melibatkan konteks dalam proses analisis untuk

menemukan jawaban atas rumusan masalah yang ditetapkan. Sebagaimana hal

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 51: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

38

yang tampak pada pemaparan di atas, permainan anak tradisional melibatkan

suatu aktivitas yang meliputi bahasa verbal dan nonverbal. Penggunaan bahasa

nonverbal bukan bahasa yang bersifat universal. Bahasa nonverbal terikat dengan

budaya dan konteks. Tiap budaya tentu menampilkan maksud bahasa nonverbal

yang berbeda. Van Dijk (1977) mengatakan konteks aktual berkaitan dengan

periode waktu dan tempat aktivitas penutur dan mitra tutur saling terlibat dalam

interaksi. Hal yang sama oleh Yule (2000), yaitu konteks sebagai lingkungan fisik

ketika kata-kata digunakan. Lingkungan fisik dapat dispesifikan berdasarkan

lingkungan budaya. Lingkungan budaya menjadi salah satu faktor parameter

penggunaan bahasa yang merujuk pada penutur maupun mitra tutur pengguna

bahasa nonverbal. Menurut Cook (2003), komunikasi melibatkan interpretasi

dalam pertemuan nyata, meliputi nada suara dan ekspresi wajah, hubungan antara

para penutur terkait dengan umur, jenis kelamin, status social, waktu dan tempat,

dan tingkatan tindakan penutur yang harus dilakukan ataupun tidak dilakukan

sesuai latar belakang budaya. Beberapa faktor tersebut merupakan konteks.

Lalu, Song (2010) menjabarkan istilah konteks secara lebih spesifik ke

dalam beberapa klasifikasi. (1) Konteks linguistik merujuk pada konteks dengan

wacana, seperti keterkaitan antara kata, frasa, kalimat, bahkan paragraf. Dalam

momen tertentu, bahasa yang digunakan penutur disesuaikan dengan ruang dan

waktu tertentu. (2) Konteks situasional merujuk pada lingkungan, waktu, dan

tempat. (3) Konteks kultur mengacu pada budaya, adat istiadat, latar belakang

zaman dalam komunitas bahasa yang di dalamnya para penutur terlibat langsung.

Bahasa sebagai fenomena sosial yang berarti terikat dengan struktur sosial dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 52: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

39

sistem nilai masyarakat. Oleh karena itu, bahasa tidak dapat menghindari

pengaruh faktor-faktor, seperti peran masyarakat, status sosial, jenis kelamin, dan

umur.

Konteks yang dilibatkan dalam penelitian ini berupa konteks budaya.

Konteks kultur mengacu pada budaya, adat istiadat, latar belakang zaman dalam

komunitas bahasa yang di dalamnya para penutur terlibat langsung (Song, 2010),

untuk memberi nilai pada teks dan mendayakan penafsirannya (Halliday dan

Hasan, 1985). Konteks budaya dalam penelitian ini secara khusus mengacu pada

karaktersitik budaya Jawa-Yogyakarta yang mendasari dan turut menentukan

interpretasi data. Konteks budaya perlu dibedakan dari konteks yang terkandung

dalam permainan itu sendiri. Dalam penelitian ini, penulis juga mengidentifikasi

dimensi indeksikalitas, performansi, dan partisipan (Duranti, 1997) dari setiap

permainan anak tradisional. Hal itu juga berkaitan dengan konteks situasional

yang merujuk pada lingkungan, waktu, dan tempat (Song, 2010). Dimensi

performansi dan partisipan dalam permainan anak tradisional sudah mengandung

suatu konteks tertentu melalui aktivitas dan pelaku yang terlibat, yang jika

dikaitkan dengan nama atau sebutan dari permainan itu sendiri akan menyiratkan

suatu pesan. Pesan itu dapat berupa wujud-wujud nilai karakter yang terkandung

di dalamnya.

Berkaitan dengan hal di atas, pengamatan penulis terhadap ketiga dimensi

yang hadir dalam setiap permainan tradisional sebagai bagian dari konteks

situasional itu juga perlu dikaitkan dengan konteks budaya. Seperti hal yang telah

dipaparkan di atas, konteks budaya dalam penelitian ini mengarah pada budaya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 53: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

40

Jawa-Yogyakarta, yang mana budaya tersebut memiliki karakteristik untuk selalu

mengarahkan masyarakatnya pada sikap mental yang baik, bermoral, luhur, dan

mulia. Budaya Jawa selalu memandang segala sesuatu sebagai hal yang dapat

mengarahkan seseorang atau masyarakat untuk memiliki sikap mental yang baik.

Pernyataan tersebut merupakan akumulasi dari pandangan para ahli (Suseno,

1985; Endraswara, 2005, 2015; dan Bastomi, 1992). Hal itu dapat dijadikan

sebagai salah satu dasar teori selain dasar teori antropolinguistik seperti yang telah

dikemukakan oleh Duranti (1997) untuk menemukan jawaban atas rumusan

masalah yang telah ditentukan.

Nilai karakter merupakan hal yang dikaji dan diamati dalam penelitian ini

melalui serangkaian proses yang tergambar di atas dengan memposisikan teori-

teori yang digunakan sebagai alat untuk menemukan jawaban. Maka,

antropolinguistik dapat dikaitkan dengan konteks budaya, nilai karakter, dan

permainan anak tradisional. Setiap poin tersebut memiliki posisi yang berbeda,

namun berkaitan satu sama lain. Antropolinguistik merupakan dasar teori yang

mengungkapkan dimensi indeksikalitas, performansi, dan partisipan dalam

permainan anak tradisional. Ketiga dimensi yang teridentifikasi dalam permainan

tersebut kemudian dapat saling dikaitkan dengan konteks budaya yang

berlandaskan teori para ahli untuk mengkaji nilai-nilai karakter yang terkandung

dalam setiap permainan anak tradisional.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 54: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

41

2.1.7 Preservasi Permainan Anak Tradisional Di Era Digital

Istilah preservasi merupakan kata serapan yang berasal dari bahasa

Inggris, yaitu preservation. Kata preservasi dalam bahasa Indonesia memiliki arti

yang sama dengan kata asalnya, yaitu pelestarian; pengawetan; pemeliharaan;

penjagaan; perlindungan (KBBI Daring, 2018). Maka, arti yang yang paling tepat

dalam konteks penelitian ini adalah pelestarian. Pelestarian yang dimaksud dalam

penelitian ini adalah upaya pemertahanan permainan anak tradisional, yang

menjadi salah satu hal yang dikaji. Lalu, digital merupakan kata serapan yang

juga diambil dari bahasa Inggris, yang menurut KBBI Daring (2018) berarti

berhubungan dengan angka-angka untuk sistem perhitungan tertentu. Lalu secara

umum, istilah digital saat ini dimaknai oleh masyarakat kita sebagai suatu hal

yang bersifat elektronik. Digital merupakan suatu isitlah yang mengacu pada

suatu perihal yang berkaitan dengan sifat elektronik, baik dalam hal wujud,

bentuk, fungsi, dan penggunaannya.

Permainan anak tradisional merupakan warisan budaya yang perlu

dilestarikan, terutama karena manfaatnya yang begitu besar bagi anak-anak.

Eksistensi permainan anak tradisional dewasa ini semakin terancam dengan

adanya kemajuan teknologi yang pesat (Purwaningsih, 2006). Hal itu semakin

memperkuat alasan bagi upaya pelestarian permainan anak tradisional. Penelitian

ini selain mengkaji nilai-nilai karakter yang terkandung dalam permainan anak

tradisional melalui perpektif antropolinguistik.

Dewasa ini mulai banyak penelitian tentang pelestarian permainan anak

tradisional. Penelitian-penelitian itu pada umumnya menyinggung upaya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 55: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

42

pelestarian dalam konteks era digital. Bentuk-bentuk upaya pelestarian yang dikaji

dan/atau dikembangkan cenderung berunsur “kedigitalan”. Hal itu tampak pada

penelitian Khamadi dan Senoprabowo (2016) yang berjudul Model Adaptasi

Permainan Anak Tradisional Macanan ke dalam Perancangan Permainan

Digital. Penelitian Khamadi, dkk mengembangkan permainan anak tradisional

yang menggunakan papan, seperti bas-basan sepur, dam-daman, dan khususnya

macanan dalam bentuk permainan digital seperti yang dapat dioperasikan di

komputer, laptop, atau telepon genggam (android). Hal itu merupakan bentuk

preservasi permainan anak tradisional di era digital. Berkaitan dengan hal itu,

penelitian ini juga mengkaji bentuk-bentuk preservasi permainan anak tradisional

secara umum maupun secara khusus dalam konteksnya di era digital.

Upaya pelestarian permainan anak tradisional yang menyesuaikan

perkembangan zaman seperti contoh penelitian di atas sangat penting dan

bermanfaat untuk dilakukan, dengan “ikut” memanfaatkan teknologi yang dapat

mengadaptasi konten permainan anak tradisional. Berkaitan dengan hal itu,

Perdana (2013) mengungkapkan bahwa sarana digital akan menjadi sarana yang

sangat baik apabila dikemas dengan wadah yang menarik dan interaktif sehingga

mampu menarik minat dan memberi motivasi kepada anak-anak untuk

menggunakannya. Maka, bentuk-bentuk upaya pelestarian permainan anak

tradisional dengan memanfaatkan teknologi untuk mengembangkan dan

menghasilkan sarana digital dapat menjadi pilihan yang berpotensi atau

menjanjikan sehingga pelestarian warisan budaya tersebut dapat diwujudkan

secara efektif.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 56: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

43

2.2 Kerangka Berpikir

Penelitian ini mengkaji nilai-nilai karakter dalam permainan anak

tradisional dengan menggunakan dasar disiplin ilmu antropolinguistik.

Antropolinguistik merupakan dasar teori yang digunakan untuk mengungkapkan

makna atau nilai-nilai karakter yang terkandung di dalam setiap permainan anak

tradisional sebagai hasil dari kebudayaan masyarakat. Permainan anak tradisional

memiliki nilai di balik hal-hal yang tampak, sebagaimana nilai atau makna

tersebut dilandasi oleh norma, perilaku, ajaran moral, dan keutamaan yang

diyakini sebagai hal-hal yang baik oleh masyarakat. Hal itu menjadi bahan kajian

di dalam penelitian ini, khususnya nilai-nilai karakter yang dikandung di dalam

permainan anak tradisional.

Kajian itu dapat dilakukan dengan mengamati kaitan antara aktivitas

verbal maupun nonverbal yang ada di dalam setiap permainan dengan latar

belakang budayanya, yaitu Jawa. Hal itu dapat dilakukan dengan menggunakan

teori antropolinguistik sebagai dasar untuk menggali makna di balik permainan

anak tradisional itu. Melalui teori yang digunakan, penulis mencermati hal-hal

yang dilakukan oleh manusia dalam konteks permainan anak tradisional dengan

bahasa dan ujaran-ujaran yang diproduksi, seperti nama, syair, dan istilah-istilah

di dalamnya, termasuk bahasa nonverbal seperti sikap diam dan gesture tertentu

yang dihubungkan dengan konteksnya. Melalui teori yang digunakan, penulis juga

menelusuri bagaimana bentuk-bentuk linguistik di dalamnya dipengaruhi oleh

aspek budaya, sosial, mental, dan psikologis sehingga kita dapat memahami

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 57: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

44

hakekat yang sebenarnya dari bentuk dan maknanya serta bagaimana hubungan

keduanya.

Setelah itu, penulis mengelompokkan setiap permainan berdasarkan jenis-

jenisnya. Pengelompokkan jenis permainan didasarkan pada teori dan temuan

terhadap jenis-jenis permainan yang mana telah dikaji dalam bagian kajian teori

sehingga menunjukkan tiga jenis permainan, yaitu permainan asah otak,

permainan asah fisik, dan permainan dengan nyanyian atau dialog. Permainan-

permainan yang telah dikelompokkan berdasarkan jenisnya akan dikaitkan lagi

dengan nilai-nilai karakter yang terkandung didalamnya.

Selanjutnya, penulis melakukan kajian terhadap percakapan etnografis

tentang bentuk-bentuk upaya preservasi permainan anak tradisional yang

diperoleh dari narasumber. Kajian itu juga didasarkan pada teori mengenai

preservasi permainan anak tradisional.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 58: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

45

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir Penelitian

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 59: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

46

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Bab metodologi penelitian ini akan memaparkan jenis penelitian, data dan

sumber data, metode dan teknik pengumpulan data, metode dan teknik analisis

data, dan triangulasi data. Paparan selengkapnya disampaikan berikut ini.

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan

antropolinguistik. Penelitian kualitatif bersifat deskriptif (Emzir, 2014). Hal itu

dinyatakan bersifat deskriptif karena data yang diteliti merupakan data yang

sifatnya perlu dideskripsikan untuk menguraikan atau menjelaskan setiap

pembahasannya. Data deskriptif berupa data-data yang dikumpulkan dalam

bentuk kata-kata atau gambar-gambar. Kata-kata merupakan hal yang

diorganisasikan dalam peristiwa-peristiwa atau kisah yang konkret dan

mengandung makna yang memberi bukti untuk lebih meyakinkan pembaca dan

penulis lain (Miles dan Huberman, 1994). Penelitian kualitatif cenderung

mengkaji suatu hasil penelitian dengan menggunakan interpretasi kata-kata

sehingga interpretasi tersebut perlu dilakukan secara mendalam dan meyakinkan.

Peran penulis dalam penelitian kualitatif yaitu memperoleh keutuhan temuan

secara sistematis, menyeluruh, dan terpadu (Miles dan Huberman, 1994).

Dalam penelitian ini, penulis mengumpulkan data yang berupa deskripsi

singkat tentang nilai karakter dalam permainan anak tradisional di Yogyakarta dan

deskripsi tentang preservasi permainan untuk menjawab rumusan masalah.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 60: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

47

Fenomena kebahasaan menjadi objek penelitian kualitatif, seperti peristiwa

komunikasi atau aktivitas berbahasa, karena peristiwa itu melibatkan tuturan,

makna semantik tutur, orang yang bertutur, maksud yang bertutur, situasi tutur,

peristiwa tutur, tindak tutur, dan latar tuturan (Muhammad, 2016). Berkaitan

dengan hal itu, menurut Miles dan Huberman (1994), objek kajian kualitatif

merupakan peristiwa kebahasaan yang dikaji secara holistik. Maka, penelitian

kualitatif memiliki kekuatan terutama dalam pengkajian data secara holistik.

Karakteristik data kualitatif adalah lengkap dan menyeluruh dengan potensi yang

kuat untuk mengungkap kompleksitas. Oleh karena itu, data dalam penelitian

kualitatif mengungkapkan deskripsi padat dan jelas, berdasar dalam konteks yang

nyata, dan memiliki kebenaran yang berdampak kuat pada pembaca.

Pendekatan kualitatif dalam penelitian ini secara spesifik menggunakan

strategi penelitian etnografi. Strategi penelitian merupakan jenis-jenis rancangan

penelitian kualitatif yang menetapkan prosedur-prosedur khusus dalam penelitian

(Creswell, 2015). Karakteristik suatu bahasa sebagai komunikasi dan budaya

menjadi rancangan penelitian etnografi komunikasi. Strategi penelitian etnografi

adalah penulis menyelidiki kelompok tertentu dengan latar belakang sosial budaya

(Creswell, 2015) dengan informasi yang berasal dari manusia dengan berbagai

masalahnya, perhatiannya, dan ketertarikannya (Spradley, 1980). Namun, strategi

tersebut juga perlu dibatasi secara jelas karena penelitian etnografi secara umum

merupakan penelitian yang kompleks dan memakan waktu yang lama dalam

pengumpulan data (Creswell, 2015). Maka, lingkup strategi penelitian ini

mengadaptasi lingkup penelitian micro ethnography yang dibatasi dengan satu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 61: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

48

situasi sosial (Spradley, 1980). Spradley (1980) juga menyarankan bahwa

etnografi diselesaikan dengan satu masalah umum dalam pikiran, misalnya untuk

menelusuri pengetahuan kultur masyarakat yang digunakan untuk menyusun

kebiasaan mereka dan mengintepretasikan pengalaman mereka. Dengan demikian,

penelitian ini dapat ditegaskan merupakan penelitian dengan pendekatan kualitatif

yang dideskripsikan secara lengkap dan jelas dengan menggunakan strategi micro

ethnography.

3.2 Data dan Sumber Data

Data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah deskripsi permainan

dan keterangan narasumber mengenai deskripsi latar belakang budaya permainan

beserta strategi preservasinya yang berwujud catatan dokumen untuk deskripsi

dan percakapan etnografis untuk deskripsi latar belakang budaya permainan

beserta strategi preservasinya. Sumber data penelitian ini adalah tokoh masyarakat

yang peduli dengan permainan anak tradisional dan dokumen tertulis atau sumber

pustaka tentang permainan anak tradisional. Sumber data dokumen tertulis

merupakan sumber baku yang telah ditulis dan disebarkan secara resmi dengan

deskripsi yang lengkap dengan dimensi kesejarahannya. Sumber data dokumen

tertulis yang digunakan, yaitu Permainan Anak-anak Daerah Istimewa

Yogyakarta milik Depdikbud (1982), Transformasi Nilai melalui Permainan

Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta milik Dharmamulya (1993), Permainan

Tradisional Jawa millik Dharmamulya (2005), dan Dolanan Anak Jawa milik

JSIT (2015).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 62: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

49

3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Pada penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan metode

wawancara dan metode dokumentasi. Menurut Sudaryanto (2015), wawancara

adalah teknik pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan kepada

responden dan mencatat atau merekam jawaban-jawaban responden. Metode

wawancara ini ditujukan untuk tokoh masyarakat yang peduli dengan permainan

anak tradisional di Yogyakarta, melalui teknik rekam dengan menggunakan

ponsel dan teknik catat. Wawancara tersebut dilakukan secara terstruktur karena

penulis sudah menyiapkan daftar pertanyaan untuk responden.

Penulis menggunakan metode dokumentasi untuk mencari dan

mengumpulkan deskripsi tentang berbagai macam permainan anak tradisional di

Yogyakarta dalam penelitian ini. Gottschalk (1986) mengemukakan bahwa

dokumen dapat diartikan sebagai sumber tertulis bagi informasi sejarah sebagai

kebalikan dari pada kesaksian lisan. Guba dan Lincoln (dalam Moleong, 2006)

menambahkan bahwa dokumen adalah semua bahan tertulis atau film yang tidak

dipersiapkan karena adanya permintaan seorang penyidik. Metode dokumentasi,

meski pada mulanya jarang diperhatikan dalam metodologi penelitian kualitatif,

pada masa kini menjadi salah satu bagian yang sangat penting dan tak terpisahkan

dalam metodologi penelitian kualitatif. Hal ini disebabkan oleh adanya kesadaran

dan pemahaman baru yang berkembang pada para peneliti, bahwa banyak sekali

data yang tersimpan dalam bentuk dokumen dan artefak, sehingga penggalian

sumber data lewat studi dokumen menjadi pelengkap bagi proses penelitian

kualitatif. Bahkan Guba (dalam Bungin, 2007) menyatakan bahwa tingkat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 63: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

50

kredibilitas suatu hasil penelitian kualitatif sedikit banyaknya ditentukan pula oleh

penggunaan dan pemanfaatan dokumen yang ada.

Penulis menggunakan metode dokumentasi dalam pengumpulan data

dengan menggunakan media cetak. Data hasil dokumentasi digunakan untuk

mendapatkan data sekunder yang relevan dengan topik permasalahan penelitian.

Dokumen sebagai sumber rujukan berupa buku-buku sebagai acuan umum dan

karya-karya ilmiah sebagai acuan khusus. Dalam pelaksanaannya, pertama-tama

penulis melakukan kajian pustaka terhadap sumber-sumber dokumen tertulis

tentang permainan anak tradisional di Yogyakarta. Lalu, penulis mengabjadkan

nama setiap permainan anak tradisional. Selanjutnya, penulis mengidentifikasi

bentuk-bentuk aktivitas dalam setiap permainan. Aktivitas permainan itu dapat

menunjukkan hubungan komunikasi antarindividu atau partisipan. Akhirnya,

penulis mendapatkan identifikasi tentang nama, aktivitas, dan partisipan

permainan, sebagaimana ketiga dimensi tersebut dapat menjadi bahan kajian

dalam penelitian ini melalui pendekatan antropolinguistik dan diperbandingkan

dengan data primer, yaitu deskripsi nilai karakter yang terdapat di dalam

permainan anak tradisional. Proses pengumpulan dokumen dilakukan dengan

menggunakan teknik catat.

3.4 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat pengumpulan data atau alat untuk

memperoleh data. Dengan kata lain, instrumen penelitian adalah fasilitas yang

digunakan oleh penulis dalam mengumpulkan data agar pekerjaan penelitian lebih

mudah dan hasilnya lebih baik sehingga lebih cermat, lengkap, dan sistematis

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 64: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

51

sehingga mudah diolah (Arikunto, 2010). Dalam penelitian kualitatif, peran

penulis adalah sebagai instrumen. Penulis sebagai instrumen kunci, yaitu

mengumpulkan data yang dapat dilakukan melalui dokumentasi, observasi

perilaku, atau wawancara dengan para partisipan (Creswell, 2015). Penelitian

dengan pendekatan kualitatif ini menjadikan penulis sebagai instrumen kunci (key

instrument) dari proses pengumpulan sampai analisis data. Penulis sebagai human

interest berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih sumber data, melakukan

pengumpulan data, menilai dan menganalisis data, dan membuat kesimpulan.

Karena itu, instrumen kunci penelitian ini adalah penulis sendiri, karena instrumen

atau alat dalam penelitian kualitatif adalah penulis itu sendiri (Sugiyono, 2011).

Selain instrumen kunci, penulis juga menggunakan instrumen

pendukung, yakni interview guide (pedoman wawancara) yang disusun secara

sistematik untuk lebih fokus pada wawancara yang mendalam tentang hal-hal yang

berkaitan dengan fenomena budaya dalam masyarakat, khususnya nilai-nilai karakter

di dalam permainan anak tradisional dan upaya preservasinya. Dalam hal ini,

penulis melakukan wawancara secara mendalam. Proses wawancara ditunjang

dengan media elektronik, seperti kamera, handphone, atau tape recorder, serta

alat tulis untuk mencatat dan mendokumentasikan berbagai hal yang berkaitan

dengan penelitian ini.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 65: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

52

3.5 Metode dan Teknik Analisis Data

Data yang dianalisis berupa deskripsi nilai-nilai karakter yang terdapat

dalam permainan anak tradisional dan deskripsi strategi preservasinya. Deskripsi

nilai karakter ditafsirkan untuk mengetahui permainan-permainan anak tradisional

yang mengandung nilai karakter dan jenis-jenisnya berdasarkan perspektif

antropolinguistik. Analisis data harus menggunakan prosedur-prosedur yang tepat

agar penyajian data tidak bias. Analisis data merupakan proses berkelanjutan yang

membutuhkan refleksi terus-menerus terhadap data, mengajukan pertanyaan-

pertanyaan analitis, dan menulis catatan singkat sepanjang penelitian (Creswell,

2015). Analisis data menggunakan flow model (Miles and Huberman, 1994) yang

terdiri dari reduksi data, penyajian (display) data, dan penggambaran kesimpulan

serta verifikasi. Reduksi data merupakan proses memilih, menyederhanakan,

mengabstraksi, dan mengubah data yang muncul dalam catatan lapangan tertulis

atau transkrip (Miles and Huberman, 1994). Dalam mereduksi data, teknik yang

digunakan adalah teknik kebahasaan, yaitu teknik pilah unsur penentu. Alat teknik

ini kemampuan penulis dalam memilah data (Muhammad, 2016). Dalam memilah

data, tentu penulis perlu memiliki kajian teori yang memadai.

Dalam penelitian ini, data berupa tuturan yang kemudian dipilah unsur-

unsur yang diteliti, yaitu deskripsi nilai-nilai karakter. Oleh karena itu, daya pilah

supaya optimal perlu ada kriteria uraian berupa dimensi-dimensi dalam permainan

anak tradisional yang dipandang dari dimensi indeksikalitas, performansi, dan

partisipan. Kemudian, data disajikan (display). Penyajian adalah sebuah kumpulan

informasi yang terorganisir dan terkompresi yang memungkinkan pengambilan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 66: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

53

kesimpulan dan tindakan (Huberman, 1994). Dalam tahap penyajian data, data

yang telah dipilah kemudian dimasukan ke dalam tabel. Hal tersebut sejalan

dengan pernyataan Miles dan Huberman, yaitu desain penyajian ditentukan

melalui baris dan kolom yang dimasukan ke dalam tabel sebagai aktivitas analisis

(Miles and Huberman, 1994). Tahap terakhir analisis data adalah kesimpulan dan

verifikasi. Data yang telah disajikan dengan berbagai aktivitas analisisnya

kemudian ditarik kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan tentu berkaitan dengan

pengumpulan data yang telah direduksi dan disajikan sehingga kesimpulan yang

dibuat merupakan kesimpulan berdasarkan analisis secara induktif (Miles and

Huberman, 1994). Langkah konkret dalam tahap analisisi data dipaparkan sebagai

berikut ini.

1. Identifikasi. Proses identifikasi yang dilakukan dalam analisis data, yaitu data

primer yang masih berupa tuturan-tuturan verbal direduksi menjadi data final

yang berupa deskripsi nilai karakter. Proses reduksi data dilaksanakan setelah

pengumpulan data selesai dilakukan.

2. Klasifikasi. Proses klasifikasi merupakan bagian dari proses penyajian

(display) data. Tahap klasifikasi yang dilakukan adalah data yang berupa

tuturan deskriptif diklasifikasi ke dalam kolom-kolom dalam sebuah tabel.

Kolom tersebut terbagi menjadi tiga yang terdiri dari deskripsi nilai karakter,

permainan-permainan, dan jenis permainan.

3. Interpretasi. Proses interpretasi juga masih bagian dari proses penyajian

(display) data. Tahap interpretasi dilaksanakan setelah tahap klasifikasi

selesai. Data-data yang telah diklasifikasikan sesuai kolom akan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 67: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

54

diinterpretasi. Intepretasi cenderung pada proses memberikan penjelasan-

penjelasan yang spesifik dan mendalam terkait dengan masing-masing kolom.

4. Pelaporan hasil penelitian. Proses tersebut merupakan proses penarikan dan

verifikasi kesimpulan.

3.6 Triangulasi Data

Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data dengan

memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data untuk keperluan pengecekan atau

pembandingan terhadap data (Moleong, 1989). Penulis membuat triangulasi

dengan tujuan untuk melakukan pengecekan terhadap validitas dan kepercayaan

hasil penemuan. Triangulasi yang dilakukan penulis dibagi menjadi dua hal, yaitu

triangulasi teori dan triangulasi logis. Triangulasi teori digunakan untuk

membandingkan beberapa teori dari beberapa ahli dengan tujuan melihat

kelebihan dan kekurangan masing-masing. Triangulasi logis dilakukan dengan

cara melakukan bimbingan bersama dosen lain yang juga berkompeten dalam

bidang penelitian budaya dan bahasa sesuai dengan rekomendasi dosen

pembimbing. Dosen yang menjadi triangulator dalam penelitian ini adalah Dra.

Novita Dewi, M.S., M.A. (Hons), Ph.D. sebagai dosen sastra S2 Kajian Bahasa

Inggris di Universitas Sanata Dharma.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 68: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

55

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan diuraikan tiga hal, yaitu (1) deskripsi data, (2) hasil

penelitian, dan (3) pembahasan. Bagian deskripsi data memberi gambaran

mengenai data-data yang dianalisis oleh penulis. Bagian hasil penelitian

menyajikan tiga hal pula, yaitu (a) nilai-nilai karakter yang terkandung di dalam

permainan anak tradisional, (b) jenis-jenis permainan anak tradisional yang

mengandung nilai-nilai karakter, dan (c) strategi preservasi permainan anak

tradisional yang mengandung nilai-nilai karakter. Bagian pembahasan

merefleksikan kembali hasil temuan dari penelitian ini.

4.1 Deskripsi Data

Permainan anak tradisional merupakan suatu bentuk aktivitas yang sangat

akrab dengan masyarakat. Permainan anak tradisional merupakan suatu aktivitas

yang dilakukan oleh anak-anak sebagai sarana pendidikan sejak dini yang telah

dirancang oleh masyarakat budaya tertentu sebagai bentuk pendidikan yang alami

atau nonformal, yang berbeda dari bentuk pendidikan yang diberikan secara

formal, seperti di sekolah. Dharmamulya (1993) mengemukakan bahwa

permainan anak tradisional sungguh memiliki maksud yang terkandung di

dalamnya yang bersifat didaktis. Artinya, permainan anak tradisional memang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 69: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

56

memiliki tujuan tertentu, khususnya bagi anak-anak, yang mana penulis

merumuskan maksud tersebut sebagai sarana penanaman nilai karakter sejak dini.

Berkaitan dengan hal itu, permainan anak tradisional memiliki kandungan

nilai karakter yang kuat. Hal itu menjadi daya tarik bagi penulis untuk mengamati

nilai-nilai karakter yang terkandung di dalam setiap permainan anak tradisional,

khususnya permainan-permainan yang berada di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Permainan anak tradisional memiliki kaitan yang erat dengan budaya masyarakat

itu sendiri, karena permainan anak tradisional merupakan bagian dari budaya.

Kebudayaan itu sendiri yang dibatasi dalam lingkup budaya Jawa, seperti di

Yogyakarta, tentu memiliki dasar-dasar yang mencerminkan nilai-nilai yang

dianut oleh masyarakat. Keberadaan masyarakat membentuk suatu budaya dan

produk-produk budaya itu juga ditujukan bagi masyarakat itu sendiri,

sebagaimana Samovar (2010) menegaskan bahwa budaya merupakan hasil

pemikiran manusia sebagai makhluk sosial. Lalu, berkaitan dengan hal itu pula,

budaya Jawa sangat memegang nilai-nilai luhur yang sangat kuat mengakar dalam

kehidupan masyarakat sampai saat ini. Suseno (1985) mengungkapkan bahwa

budaya Jawa sangat kental dengan filosofi karakter atau sikap. Hal itu semakin

menguatkan bahwa permainan anak tradisional memiliki nilai karakter yang

substansial, mengingat bahwa permainan itu juga merupakan salah satu produk

dari kebudayaan, khususnya dalam lingkup kebudayaan Jawa.

Permainan anak tradisional memiliki kandungan nilai karakter yang dapat

diamati melalui kerangka disiplin ilmu antropolinguistik yang mengkaji hubungan

antara budaya dengan bahasa. Permainan anak tradisional memiliki nama-nama

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 70: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

57

yang khas pada setiap permainan itu sendiri. Jika dilihat dari perspektif

antropolinguistik, maka penulis dapat menggunakan pandangan Pierce (1965

dalam Foley, 2001) yang mmebedakan tanda atas tiga jenis, yaitu indeks, simbol,

dan ikon. Permainan anak tradisional memiliki tiga unsur tersebut sehingga dapat

dikaji melalui disiplin ilmu tersebut. Permainan anak tradisional merupakan

bagian dari budaya. Budaya mencangkup berbagai aktivitas yang dilakukan secara

turun-temurun sebagai wujud performansi, termasuk aktivitas berkomunikasi

(berbahasa – verbal dan nonverbal) sebagai suatu proses kegiatan, tindakan, dan

pertunjukan komunikatif (Sibarani, 2015). Permainan dilakukan dalam bentuk

aktivitas yang konkrit dan dilakukan secara turun-temurun. Hal itu menunjukkan

bahwa aktivitas itu merupakan bagian dari budaya. Setiap permainan anak

tradisional merupakan wujud kebudayaan yang ditandai dengan suatu aktivitas

yang diberi nama tertentu yang mencerminkan aktivitas dari permainan itu. Nama

yang menunjukkan bentuk permainan merupakan wujud indeksikalitas. Permainan

anak tradisional juga membutuhkan individu-individu yang melakukan permainan

itu. Permainan tidak akan muncul atau terjadi tanpa keterlibatan para pemain, dan

hal itu menunjukkan dimensi partisipasi dari para pelaku aktivitas. Ketiga dimensi

tersebut hadir dalam setiap permainan anak tradisional sebagai hal yang dapat

diidentifikasi, saling dikaitkan melalui kacamata antropolinguistik untuk mengkaji

nilai-nilai karakter yang terkandung di dalam permainan dan bentuk-bentuk upaya

preservasi yang dapat dilakukan.

Penulis memperlakukan setiap data sesuai dengan regulasi analisis data

kuallitatif, yaitu bahwa pola yang sama dapat dianalisis dengan teknik yang sama

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 71: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

58

pula. Maka, sesuai dengan tujuan penelitian ini, penulis mendeskripsikan nilai-

nilai karakter yang terdapat di dalam permainan anak tradisional dengan

mengaitkan dimensi atau unsur yang menandai permainan itu berkaitan dengan

dimensi budaya dan bahasanya, yang dalam penelitian ini disebut dengan teknik

pilah unsur tertentu (Sudaryanto, 2015).

Wujud data yang dikaji untuk menjawab rumusan masalah 1 di dalam

penelitian ini berupa deskripsi singkat nilai-nilai karakter yang terkadung di dalam

24 permainan anak tradisional yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Deskripsi singkat tersebut dikutip dari sumber data substansial melalui teknik

wawancara dari 3 narasumber, berdasarkan pertimbangan unsur tanda yang digali

berdasarkan tautan antara nama permainan, aktivitas permainan, dan pelaku

permainan. Kehadiran unsur tanda itulah yang menjadi indikator bagi penulis

untuk menentukan nilai-nilai karakter yang terdapat dalam permainan anak

tradisional. Proses interpretasi dan pemaknaan nilai-nilai karakter di dalam

permainan itu menyertakan penunjang lain yang diperoleh penulis dari percakapan

etnografis dan kajian dokumen yang relevan. Wujud data yang digunakan untuk

menjawab rumusan masalah 2 di dalam penelitian ini berupa deskripsi dari 24

permainan anak tradisional yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta yang

diklasifikasikan berdasarkan jenis permainan menurut teori Dharmamulya (1993),

yaitu permainan asah fisik, permainan asah otak, permainan dengan nyanyian atau

dialog, dan permainan keterampilan tangan. Deskripsi permainan-permainan itu

dikutip dari sumber dokumen yang mencatat hasil eksplorasi permainan anak

tradisional di Yogyakarta. Proses interpretasi dan pemaknaan nilai-nilai karakter

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 72: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

59

di dalam permainan itu juga menyertakan penunjang lain yang diperoleh penulis

dari percakapan etnografis dan kajian dokumen yang relevan. Wujud data yang

digunakan untuk menjawab rumusan masalah 3 di dalam penelitian ini berupa

hasil wawancara atau percakapan etnografis yang juga dengan 3 narasumber

berdasarkan cara kerja etnografi komunikasi dan hasil kajian dokumen.

Berdasarkan hasil identifikasi data, penulis memperoleh 66 data yang

mengandung (1) 24 deskripsi permainan anak tradisional, (2) 24 deskripsi latar

belakang budaya yang berkaitan dengan nilai karakter di dalam permainan anak

tradisional, dan (3) 18 keterangan narasumber yang berkaitan dengan jenis dan

strategi preservasi permainan. Data (2) dan (3) merupakan bentuk percakapan

etnografis yang diperoleh dari tiga orang narasumber yang dipercaya oleh

masyarakat sebagai orang-orang yang ahli dalam permainan anak tradisional,

yaitu Andhi Wisnu Wicaksono (43), Sri Kuncara (50), dan Agustinus Sumarsono

(68). Kerangka yang digunakan oleh penulis untuk melakukan klasifikasi data

adalah kerangka teori antropolinguistik yang berkaitan dengan sistem tanda dalam

bahasa untuk menemukan nilai yang paling substantif dalam setiap permainan,

dengan dukungan data dari hasil studi dokumen dan keterangan narasumber yang

bersifat deskriptif dan konfirmatoris. Berikut adalah identifikasi data yang

diperoleh penulis.

Pertama, data 24 deskripsi permainan anak tradisional berisi deskripsi

singkat yang menggambarkan wujud, aktivitas, dan aturan bermain di dalam

setiap permainan. Data tersebut digunakan untuk menjawab rumusan masalah 1

dan 2. Permainan-permainan yang menjadi objek kajian di dalam penellitian ini

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 73: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

60

adalah (1) Ancak-ancak Alis, (2) Bekelan, (3) Betengan, (4) Benthik, (5) Cublak-

cublak Suweng, (6) Dhakon, (7) Dhayoh-dhayohan, (8) Dhelikan, (9) Dhingklik

Oglak-aglik, (10) Ingkling, (11) Gobag Sodor, (12) Jamuran, (13) Jaranan

Bongkok, (14) Jirak, (15) Keris Janur, (16) Kitiran Godhong Tela, (17) Kitiran

Janur, (18) Kucing-kucingan, (19) Kupluk Godhong, (20) Layangan, (21)

Macanan, (22) Plintheng, (23) Pong-pong Bolong, dan (24) Sliring Gendhing.

Kedua, data 24 keterangan narasumber yang menjadi deskripsi latar

belakang budaya yang berkaitan dengan nilai karakter di dalam permainan anak

tradisional berisi percakapan etnografis sebagai dasar-dasar yang menguatkan

bukti kandungan nilai-nilai karakter permainan yang bersifat kultural atas

interpretasi yang dilakukan oleh penulis dalam menggali nilai-nilai yang

tersembunyi. Data tersebut digunakan untuk menjawab rumusan masalah 1.

Deskripsi latar belakang budaya yang diungkapkan oleh para narasumber

mewakili permainan-permainan seperti (1) Ancak-ancak Alis, (2) Bekelan, (3)

Betengan, (4) Benthik, (5) Cublak-cublak Suweng, (6) Dhakon, (7) Dhayoh-

dhayohan, (8) Dhelikan, (9) Dhingklik Oglak-aglik, (10) Ingkling, (11) Gobag

Sodor, (12) Jamuran, (13) Jaranan Bongkok, (14) Jirak, (15) Keris Janur, (16)

Kitiran Godhong Tela, (17) Kitiran Janur, (18) Kucing-kucingan, (19) Kupluk

Godhong, (20) Layangan, (21) Macanan, (22) Plintheng, (23) Pong-pong Bolong,

dan (24) Sliring Gendhing.

Ketiga, data 18 keterangan narasumber yang berkaitan dengan jenis dan

strategi preservasi permainan berisi percakapan etnografis sebagai dasar-dasar

yang menguatkan sekaligus mengungkapkan jenis-jenis dan strategi preservasi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 74: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

61

permainan anak tradisional. Data tersebut digunakan untuk menjawab rumusan

masalah 2 dan 3.

Data-data dalam penelitian ini selanjutnya dikodifikasi. Kodifikasi data

dalam penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang (1) sumber

data, (2) jenis data, dan (3) urutan data. Sumber data menunjukkan sumber

pemerolehan data, yaitu studi dokumen dan percakapan etnografis. Sumber yang

berasal dari studi dokumen berkode (SD) dan sumber yang berasal dari

percakapan etnografis berkode (PE). Jenis data menunjukkan wujud data yang

dipakai untuk melakukan penelitian, seperti deskripsi permainan, deskripsi latar

belakang budaya, jenis permainan, dan strategi preservasi permainan. Jenis data

yang berupa deskripsi permainan berkode (DP), jenis data yang berupa deskripsi

latar belakang budaya berkode (LB), jenis data yang berupa jenis permainan

berkode (JP), dan jenis data yang berupa strategi preservasi berkode (SP).

Selanjutnya, urutan data menunjukkan urutan letak data di dalam lampiran data.

Urutan data dapat diidentifikasi dari urutan nomor di dalam lampiran tersebut.

4.2 Hasil Penelitian

4.2.1 Nilai-nilai Karakter dalam Permainan

Nilai-nilai karakter dalam permainan yang dimaksud di dalam penelitian

ini merupakan nilai-nilai karakter tersembunyi yang terdapat di dalam setiap

permainan anak tradisional. Hasil identifikasi itu diperoleh penulis melalui

analisis data dalam kerangka antropolinguistik. Pemaparan mengenai nilai-nilai

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 75: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

62

karakter di dalam setiap permainan dilakukan satu-persatu sebagai nilai karakter

yang paling substantif sebagai berikut.

4.2.1.1 Manusia Harus Hidup sesuai dengan Aturan, Nilai, dan Norma yang

Berlaku di Masyarakat

Nilai karakter yang menyatakan bahwa manusia harus hidup sesuai dengan

aturan, nilai, dan norma yang berlaku di masyarakat terkandung dalam permainan

Ancak-ancak Alis. Permainan Ancak-ancak Alis dimainkan secara bersama-sama

dengan 10-15 anak dan dimainkan dengan cara seperti bermain permainan ular

naga. Dua anak bertugas sebagai petani dan anak yang lain bertugas sebagai

kijang/anak semang. Dua petani tadi saling menempelkan telapak tangan dan

membentuk seperti gapura. Lalu, kijang/anak semang tadi masing-masing berjalan

di antara petani dan berjalan dari yang paling besar dengan saling memegang ikat

pinggang mereka seperti ular naga. Mereka bernyanyi dan ketika lagu sudah

berakhir, mereka melakukan tanya jawab. Jika kijang menjawab pilihan atas alat

bertani dari pertanyaan petani (misalnya garu dari petani A atau luku dari petani

B), maka dia ikut pada salah satu petani yang sesuai dengan jawaban yang

diinginkan. Setelah para petani mendapatkan kijangnya masing-masing dari

proses tanya jawab tadi, maka setiap tim dari kedua petani itu melakukan tarik

tambang untuk saling beradu kekuatan sampai ada salah satu tim yang menang

(SD/DP/1). Data yang menunjukkan deskripsi latar belakang budaya permainan

itu dapat diamati sebagai berikut.

Ancak-ancak Alis memiliki tembang yang menceritakan

tentang kehidupan dan siklus bertani masyarakat Jawa.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 76: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

63

Kehidupan dan siklus bertani masyarakat Jawa

mencerminkan tatanan aturan tertentu yang dilambangkan

melalui tempat tatakan yang bernama ancak-ancak. Alis itu

sendiri merupakan bagian tubuh manusia yang sepertinya

terlihat sepele, namun dalam hal seni tata rias Jawa, alis

memiliki peran yang sangat penting. Alis menjadi suatu

bagian yang harus ditata rapi, sebagaimana tatanan

kehidupan masyarakat itu dan siklus bertani yang secara

alamiah sudah memiliki tatanan alam sendiri dari proses

menanam sampai dapat mengumpulkan hasilnya yang

tertuang di dalam syairnya sehingga digunakan sebagai

lambang bahwa manusia yang hidup di dalam masyarakat

harus mengikuti suatu tatanan tertentu. (PE/LB/1)

Data di atas dapat memberikan suatu keterangan yang menguatkan

interpretasi penulis dalam menggali nilai-nilai karakter yang tersembunyi di

dalam permainan Ancak-ancak Alis. Permainan tersebut terdiri dari dua kata,

yaitu ancak-ancak (kata ulang) dan alis. Kata ancak-ancak berarti alas, dan kata

alis berarti alis, yaitu rambut yang terletak di bagian atas mata. Data (PE/LB/1)

menyatakan bahwa permainan tersebut menceritakan tentang kehidupan dan

siklus bertani masyarakat Jawa. Siklus bertani tersebut memiliki tatanan yang

diacu melalui tatakan (alas) yang bernama ancak-ancak. Lalu, dalam pandangan

budaya Jawa, alis merupakan bagian tubuh manusia yang tampak tidak mencolok,

namun sebenarnya memiliki peran yang sangat penting, sebagaimana narasumber

mengatakan bahwa alis itu sendiri merupakan bagian tubuh manusia yang

sepertinya terlihat sepele, namun dalam hal seni tata rias Jawa, alis memiliki

peran yang sangat penting. Alis menjadi suatu bagian yang harus ditata rapi, ....

Dari pernyataan tersebut, maka tampak bahwa ada keterkaitan antara kata-kata

yang membentuk nama permainan itu dengan makna yang ada di dalamnya. Kata-

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 77: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

64

kata yang menjadi nama permainan itu merepresentasikan sesuatu yang menjadi

bagian di dalam suatu kebudayaan. Deskripsi latar belakang budaya permainan

tersebut menunjukkan hal-hal yang menjadi bagian di dalam suatu kebudayaan,

khususnya budaya Jawa. Song (2010) menyatakan bahwa konteks kultur mengacu

pada budaya, adat istiadat, latar belakang zaman dalam komunitas bahasa yang di

dalamnya para penutur terlibat langsung. Hal itu berfungsi untuk memberi nilai

pada teks dan mendayakan penafsirannya (Halliday dan Hasan, 1985).

Dalam permainan itu, penulis menemukan tanda yang mengacu pada

sesuatu dan memiliki makna yang lebih dalam sebagai hal yang dapat

menunjukkan nilai karakter yang tersembunyi di dalam permainan itu. Tanda di

dalam permainan ini dapat menunjuk pada sesuatu yang perlu digali secara lebih

mendalam, sebagaimana Pierce (1965 dalam Foley, 2001) membedakan tanda atas

tiga jenis yakni indeks (index), simbol (symbol), dan ikon (icon). Kata ancak-

ancak dan alis yang terdapat pada nama permainan itu merupakan indeks yang

mengacu pada alas dan bagian tubuh manusia yang perlu ditata rapi. Indeks

adalah tanda yang mewakili sumber acuan dengan cara menunjuk padanya atau

mengaitkannya (secara eksplisit atau implisit) dengan sumber acuan lain (Danesi,

2004). Dari hal itu, penulis dapat menggali makna yang lebih dalam melalui

indeks yang terdapat di dalam permainan itu.

Permainan itu memiliki simbol yang dapat mengungkapkan makna yang

sebenarnya, yang dapat di telusuri melalui indeks yang telah diidentifikasi. Makna

itu dapat disebut sebagai nilai karakter yang tersembunyi. Berdasarkan hasil studi

dokumen dan percakapan etnografis yang dilakukan oleh penulis mengenai

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 78: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

65

deskripsi permainan dan deskripsi latar belakang budaya permainan, bagian tubuh

yang bernama alis dalam budaya Jawa merupakan bagian tubuh yang perlu ditata

rapi dalam dunia tata rias Jawa. Sebagaimana kita tahu, budaya Jawa memilliki

seni tata rias yang sangat tinggi. Seni tata rias itu memiliki aturan atau tatanan

juga seperti halnya aturan atau tatanan alam di dunia ini, yang di dalam permainan

ini ditunjukkan melalui proses bercocok tanam, yang ditunjukkan oleh “alat

bertani dari pertanyaan petani (misalnya garu dari petani A atau luku dari petani

B), maka dia ikut pada salah satu petani yang sesuai dengan jawaban yang

diinginkan” (SD/DP/1) dan “ancak-ancak Alis memiliki tembang yang

menceritakan tentang kehidupan dan siklus bertani masyarakat Jawa. Kehidupan

dan siklus bertani masyarakat Jawa mencerminkan tatanan aturan tertentu yang

dilambangkan melalui tempat tatakan yang bernama ancak-ancak” (PE/LB/1).

Dengan demikian, hal itu dapat dimaknai bahwa ancak-ancak menjadi simbol

suatu aturan, nilai, dan norma yang berlaku di masyarakat dan alis menjadi simbol

manusia yang hidup di dalam masyarakat sehingga penulis dapat merumuskan

nilai karakter bahwa manusia harus hidup sesuai dengan aturan, nilai, dan norma

yang berlaku di masyarakat. Hal itu selaras dengan pandangan Pierce (dalam

Danesi, 2004) yang mengatakan bahwa simbol adalah tanda yang mewakili

objeknya melalui kesepakatan atau persetujuan dalam konteks spesifik. Makna-

makna dalam suatu simbol dibangun melalui kesepakatan sosial atau melalui

beberapa tradisi historis. Hal itu juga diperkuat oleh keterangan narasumber yang

berkata bahwa alis menjadi suatu bagian yang harus ditata rapi, sebagaimana

tatanan kehidupan masyarakat itu dan siklus bertani yang secara alamiah sudah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 79: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

66

memiliki tatanan alam sendiri dari proses menanam sampai dapat mengumpulkan

hasilnya yang tertuang di dalam syairnya sehingga digunakan sebagai lambang

bahwa manusia yang hidup di dalam masyarakat harus mengikuti suatu tatanan

tertentu. (PE/LB/1). Hal itu ditegaskan oleh Suseno (1985) yang mengungkapkan

bahwa budaya Jawa sangat kental dengan filosofi karakter atau sikap. Budaya

Jawa sangat memegang nilai-nilai luhur yang sangat kuat mengakar dalam

kehidupan masyarakat sampai saat ini.

4.2.1.2 Penghormatan Terhadap Orang Lain Menjadi Tanda bahwa Kita

Menghormati Diri Kita Sendiri

Nilai karakter yang menyatakan bahwa penghormatan terhadap orang lain

menjadi tanda bahwa kita menghormati diri kita sendiri terkandung dalam

permainan Bekelan. Permainan Bekelan membutuhkan peralatan yang berupa

sebuah bola bekel/karet dan biji bekel sejumlah 5-10 buah, dan dimainkan oleh 2-

4 anak. Permainan ini dimainkan dengan cara melempar bola ke atas, kemudian

anak mengambil biji bekel satu persatu. Ketika bola memantul ke atas kembali,

anak menangkap bola sambil menggenggam biji bekel tadi. Pemain kalah jika

tidak dapat menangkap bola setelah memantul pertama kali, biji bekel terjatuh

saat menangkap bola, atau menggenggam jumlah biji bekel yang salah karena

tidak sesuai dengan kelipatannya (sesuai peraturan) (SD/DP/2). Data yang

menunjukkan deskripsi latar belakang budaya permainan itu dapat diamati sebagai

berikut.

Bekelan itu memang satu media yang tidak ada

nyanyiannya di sana, jadi murni satu bentuk permainan dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 80: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

67

dari permainan bekelan itu, satu sisi yang menarik adalah

bagaimana unsur sportivitas itu kemudian ditanamkan. Jadi

bagaimana kita selaku pribadi bisa ngajeni diri sendiri

dengan kita berlaku jujur, dengan kita bisa ngajeni orang

lain juga, karena tanpa kita bisa meletakkan posisi diri kita,

sesuai dengan apa yang menjadi kodrat kelahiran kita, dan

menghormati orang lain sebagai posisi yang wajib dia

jalankan, kemudian sesuai dengan dharma kehidupannya,

maka tentunya segala sesuatunya tidak akan menjadi

harmonis. Karena bagaimanapun juga, konsep harmoni,

konsep value, itu menjadi salah satu pijakan untuk menuju

kepada masyarakat yang lebih bisa tertata dan sejahtera.

(PE/LB/2)

Data di atas dapat memberikan suatu keterangan yang menguatkan

interpretasi penulis dalam menggali nilai-nilai karakter yang tersembunyi di

dalam permainan Bekelan. Permainan tersebut terdiri dari satu kata, yang berasal

dari kata bekel, yaitu biji bekel yang biasanya terbuat dari kuningan dan mendapat

akhiran –an sebagai tanda bahwa objek tersebut menjadi benda yang dimainkan.

Kata bekelan tidak langsung menunjuk pada indeks, sebagaimana hal yang

didapati dari permainan Ancak-ancak Alis, namun nilai karakter itu dibawa

melalui aktivitasnya, bukan indeks yang langsung dapat menunjuk pada kata-kata

yang terdapat pada nama atau syair lagu permainan. Data (PE/LB/2) menyatakan

bahwa permainan tersebut tidak langsung menunjuk pada objek yang dapat

mengindikasikan adanya suatu nilai karakter, namun dikemas terlebih dahulu

melalui aktivitasnya, sebagaimana narasumber mengatakan bahwa bekelan itu

memang satu media yang tidak ada nyanyiannya di sana, jadi murni satu bentuk

permainan dan dari permainan bekelan itu, satu sisi yang menarik adalah

bagaimana unsur sportivitas itu kemudian ditanamkan. Dari pernyataan tersebut,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 81: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

68

maka tampak bahwa ada keterkaitan antara kata yang membentuk nama

permainan itu dengan objek yang dimainkan. Dari aktivitas permainan itu, barulah

penulis dapat menggali makna yang sebenarnya, yaitu melalui sikap sportif dalam

bermain, karena permainan itu tidaklah mudah untuk dimainkan, namun harus

tetap bersikap jujur sesuai aturan yang berlaku. Unsur sportivitas yang menonjol

di dalam permainan itu menggiring pemahaman pada makna kultural. Aktivitas

itu merepresentasikan sesuatu yang menjadi bagian di dalam suatu kebudayaan,

sebagaimana Hymes (1974) mengungkapkan bahwa ends merupakan maksud atau

tujuan dari penutur ketika menggunakan bentuk-bentuk kebahasaannya, act

merupakan tindakan yang dilakukan oleh penutur dalam menggunakan bentuk-

bentuk kebahasaannya, dan instrument merupakan alat yang digunakan oleh

penutur yang menyampaikan maksudnya. Maka, dapat dikatakan bahwa nilai

karakter adalah ends, sportivitas adalah act, dan bekel adalah instrument. Hal itu

juga merupakan bagian dari konteks budaya yang menunjukkan hal-hal yang

menjadi bagian di dalam suatu kebudayaan, khususnya budaya Jawa. Song (2010)

menyatakan bahwa konteks kultur mengacu pada budaya, adat istiadat, latar

belakang zaman dalam komunitas bahasa yang di dalamnya para penutur terlibat

langsung. Hal itu berfungsi untuk memberi nilai pada teks dan mendayakan

penafsirannya (Halliday dan Hasan, 1985).

Dalam permainan itu, penulis menemukan tanda yang mengacu pada

sesuatu dan memiliki makna yang lebih dalam sebagai hal yang dapat

menunjukkan nilai karakter yang tersembunyi di dalam permainan itu. Tanda di

dalam permainan ini dapat menunjuk pada sesuatu yang perlu digali secara lebih

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 82: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

69

mendalam, sebagaimana Pierce (1965 dalam Foley, 2001) membedakan tanda atas

tiga jenis yakni indeks (index), simbol (symbol), dan ikon (icon). Kata bekel yang

terdapat pada nama permainan itu merupakan ikon yang mengacu pada media

permainan yang berlu dimainkan secara sportif. Ikon adalah tanda yang mewakili

sumber acuan melalui sebuah bentuk replikasi, simulasi, imitasi, atau persamaan.

Sebuah tanda dirancang untuk mempresentasikan sumber acuan melalui simulasi

atau persamaan (Danesi, 2004). Dari hal itu, penulis dapat menggali makna yang

lebih dalam melalui ikon yang terdapat di dalam permainan itu.

Permainan itu memiliki simbol yang dapat mengungkapkan makna yang

sebenarnya, yang dapat di telusuri melalui ikon yang telah diidentifikasi. Makna

itu dapat disebut sebagai nilai karakter yang tersembunyi. Berdasarkan hasil studi

dokumen dan percakapan etnografis yang dilakukan oleh penulis mengenai

deskripsi permainan dan deskripsi latar belakang budaya permainan, permainan

bekel harus dilakukan secara sportif, walaupun permainan itu tidak mudah untuk

dimainkan. Sikap tersebut menandakan bahwa kita adalah orang yang terhormat,

karena dapat melakukan sportivitas dalam tantangan yang tidak mudah, yang

ditunjukkan oleh “.... satu sisi yang menarik adalah bagaimana unsur sportivitas

itu kemudian ditanamkan. Jadi bagaimana kita selaku pribadi bisa ngajeni diri

sendiri dengan kita berlaku jujur, dengan kita bisa ngajeni orang lain juga,

karena tanpa kita bisa meletakkan posisi diri kita, sesuai dengan apa yang

menjadi kodrat kelahiran kita, dan menghormati orang lain sebagai posisi yang

wajib dia jalankan, kemudian sesuai dengan dharma kehidupannya, maka

tentunya segala sesuatunya tidak akan menjadi harmonis.” (PE/LB/2) dan “Ketika

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 83: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

70

bola memantul ke atas kembali, anak menangkap bola sambil menggenggam biji

bekel tadi. Pemain kalah jika tidak dapat menangkap bola setelah memantul

pertama kali, biji bekel terjatuh saat menangkap bola, atau menggenggam jumlah

biji bekel yang salah karena tidak sesuai dengan kelipatannya” (SD/DP/2).

Dengan demikian, hal itu dapat dimaknai bahwa sportivitas dalam bermain bekel

menjadi simbol suatu penghormatan atas diri sendiri sehingga kita dapat

menghormati orang lain. Jika kita dapat menghormati orang lain, artinya kita juga

sudah bisa menghormati diri sendiri dengan berbuat baik, salah satunya

berdasarkan konteks di dalam permainan ini adalah sportivitas. Maka, penulis

dapat merumuskan nilai karakter bahwa penghormatan terhadap orang lain

menjadi tanda bahwa kita menghormati diri kita sendiri. Hal itu selaras dengan

pandangan Pierce (dalam Danesi, 2004) yang mengatakan bahwa simbol adalah

tanda yang mewakili objeknya melalui kesepakatan atau persetujuan dalam

konteks spesifik. Makna-makna dalam suatu simbol dibangun melalui

kesepakatan sosial atau melalui beberapa tradisi historis. Hal itu juga diperkuat

oleh keterangan narasumber yang berkata bahwa kita selaku pribadi bisa ngajeni

diri sendiri dengan kita berlaku jujur, dengan kita bisa ngajeni orang lain juga,

karena tanpa kita bisa meletakkan posisi diri kita, sesuai dengan apa yang

menjadi kodrat kelahiran kita, dan menghormati orang lain sebagai posisi yang

wajib dia jalankan (PE/LB/2). Hal itu ditegaskan oleh Suseno (1985) yang

mengungkapkan bahwa budaya Jawa sangat kental dengan filosofi karakter atau

sikap. Budaya Jawa sangat memegang nilai-nilai luhur yang sangat kuat mengakar

dalam kehidupan masyarakat sampai saat ini.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 84: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

71

4.2.1.3 Manusia Harus Bijaksana dalam Bertindak

Nilai karakter yang menyatakan bahwa manusia harus bijaksana dalam

bertindak terkandung dalam permainan Betengan. Permainan Betengan dimainkan

secara bersama-sama dengan jumlah yang semakin banyak semakin seru.

Permainan ini pada dasarnya merupakan permainan tim yang bertugas untuk

menjaga bentengnya (tiang atau pohon) masing-masing. Setiap pemain

berkewajiban untuk menghabiskan pemain tim lawan untuk dapat membakar

benteng lawan dengan menyentuhnya (tiang atau pohonnya). Apabila benteng

tersentuh, maka tim yang memiliki benteng itu dinyatakan kalah. Cara

menghabiskan pemain tim lawan adalah dengan memancing pemain untuk keluar

benteng sehingga saling mengejar, misalnya pemain tim 1 yang terkena sentuhan

pemain tim 2 langsung menjadi tawanan pada benteng milik pemain tim 1.

Pemain tim 2 tadi dapat dibebaskan dari tawanan dengan sentuhan dari sesama

pemain tim 2 untuk dapat kembali ke bentengnya. Namun, ketika salah satu

benteng lengah atau kurang dijaga, maka lawan dapat membakar benteng itu

untuk mengalahkan tim itu (SD/DP/3). Data yang menunjukkan deskripsi latar

belakang budaya permainan itu dapat diamati sebagai berikut.

Betengan adalah semacam dolanan untuk kita bisa

mempertahankan apa yang menjadi milik kita. Tentunya,

dalam dolanan Betengan, itu kita diajari oleh mbah-mbah

kita dulu secara langsung atau tidak langsung bagaimana

kita mempertahankan diri dan bagaimana kita

mengekspansi. Kenapa seperti itu? Kenapa kita harus

bertahan? Dan kenapa kita mengekspansi istilahnya kalau

orang Jawa dulu ngelar jajahan? Bukan berarti kita

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 85: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

72

menjajah orang lain, tidak, akan tetapi kemudian

bagaimana kita bisa tahu terhadap dunia luar. Kita bisa

paham terhadap kalau misalnya, sekarang ada kebijakan

analisis SWOT. Bagaimana kemudian, ini ancamannya di

mana, potensinya di mana, apa yang menjadi kekuatan

kita, apa yang menjadi kelemahan kita, itu ada dalam

dolanan Betengan. (PE/LB/3)

Data di atas dapat memberikan suatu keterangan yang menguatkan

interpretasi penulis dalam menggali nilai-nilai karakter yang tersembunyi di

dalam permainan Betengan. Permainan tersebut terdiri dari satu kata, yang berasal

dari kata beteng yang berarti benteng pertahanan dan mendapat akhiran –an

sehingga berarti sebagai bermain seolah-olah mempertahankan benteng atau

daerah kekuasaan, sesuai dengan data yang telah dipaparkan. Data (PE/LB/3)

menyatakan bahwa permainan tersebut dilakukan dengan mempertahankan hak

yang menjadi milik kita, yang ditunjukkan dengan adanya benteng pada setiap

regu. Lalu, dalam sejarah Indonesia yang tentu juga mempengaruhi budaya Jawa,

situasi penjajahan memberi gambaran kepada rakyat Indonesia pada saat itu

bahwa penjajah dan kita sendiri memiliki benteng-benteng untuk berebut dan

mempertahankan kekuasaan, sebagaimana narasumber mengatakan bahwa

bagaimana kita mempertahankan diri dan bagaimana kita mengekspansi. Dari

pernyataan tersebut, maka tampak bahwa ada keterkaitan antara kata yang

membentuk nama permainan itu dengan makna yang ada di dalamnya. Kata-kata

yang menjadi nama permainan itu merepresentasikan sesuatu yang menjadi

bagian di dalam suatu kebudayaan. Deskripsi latar belakang budaya permainan

tersebut menunjukkan hal-hal yang menjadi bagian di dalam suatu kebudayaan,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 86: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

73

khususnya budaya Jawa. Song (2010) menyatakan bahwa konteks kultur mengacu

pada budaya, adat istiadat, latar belakang zaman dalam komunitas bahasa yang di

dalamnya para penutur terlibat langsung. Hal itu berfungsi untuk memberi nilai

pada teks dan mendayakan penafsirannya (Halliday dan Hasan, 1985).

Dalam permainan itu, penulis menemukan tanda yang mengacu pada

sesuatu dan memiliki makna yang lebih dalam sebagai hal yang dapat

menunjukkan nilai karakter yang tersembunyi di dalam permainan itu. Tanda di

dalam permainan ini dapat menunjuk pada sesuatu yang perlu digali secara lebih

mendalam, sebagaimana Pierce (1965 dalam Foley, 2001) membedakan tanda atas

tiga jenis yakni indeks (index), simbol (symbol), dan ikon (icon). Kata beteng

yang terdapat pada nama permainan itu merupakan indeks yang mengacu pada

benteng pertahanan dari setiap regu. Tanda tersebut merupakan indeks karena di

dalam permainan itu tidak ada wujud benteng secara konkrit, namun hanya

ditandai dengan sesuatu yang cukup menunjukkan batas-batas benteng setiap

regu, sebagaimana dinyatakan bahwa indeks adalah tanda yang mewakili sumber

acuan dengan cara menunjuk padanya atau mengaitkannya (secara eksplisit atau

implisit) dengan sumber acuan lain (Danesi, 2004). Dari hal itu, penulis dapat

menggali makna yang lebih dalam melalui indeks yang terdapat di dalam

permainan itu.

Permainan itu memiliki simbol yang dapat mengungkapkan makna yang

sebenarnya, yang dapat di telusuri melalui indeks yang telah diidentifikasi. Makna

itu dapat disebut sebagai nilai karakter yang tersembunyi. Berdasarkan hasil studi

dokumen dan percakapan etnografis yang dilakukan oleh penulis mengenai

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 87: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

74

deskripsi permainan dan deskripsi latar belakang budaya permainan, benteng itu

harus dipertahankan dengan sangat hati-hati, penuh kewaspadaan, dan penuh

pertimbangan, yang ditunjukkan oleh “Kenapa kita harus bertahan? Dan kenapa

kita mengekspansi istilahnya kalau orang Jawa dulu ngelar jajahan? Bukan

berarti kita menjajah orang lain, tidak, akan tetapi kemudian bagaimana kita bisa

tahu terhadap dunia luar. Kita bisa paham terhadap kalau misalnya, sekarang

ada kebijakan analisis SWOT. Bagaimana kemudian, ini ancamannya di mana,

potensinya di mana, apa yang menjadi kekuatan kita, apa yang menjadi

kelemahan kita, itu ada dalam dolanan Betengan.” (PE/LB/3) dan “Permainan ini

pada dasarnya merupakan permainan tim yang bertugas untuk menjaga

bentengnya (tiang atau pohon) masing-masing. Setiap pemain berkewajiban

untuk menghabiskan pemain tim lawan untuk dapat membakar benteng lawan

dengan menyentuhnya (tiang atau pohonnya). Apabila benteng tersentuh, maka

tim yang memiliki benteng itu dinyatakan kalah. Cara menghabiskan pemain tim

lawan adalah dengan memancing pemain untuk keluar benteng sehingga saling

mengejar” (SD/DP/3). Dengan demikian, hal itu dapat dimaknai bahwa beteng

menjadi simbol suatu suatu hal yang perlu dijaga dengan penuh kehati-hatian dan

penuh pertimbangan karena sebagaimana keterangan narasumber mengatakan

bahwa kita harus mengetahui kelebihan, kelemahan, dan potensi (PE/LB/3) yang

ada agar tidak salah dalam memutuskan sesuatu dengan konsekuensi kalah

(gagal). Hal itu memerlukan sikap bijaksana, karena sikap-sikap tersebut

mencerminkan kebijaksanaan. Maka, penulis dapat merumuskan nilai karakter

bahwa manusia harus bijaksana dalam bertindak. Hal itu selaras dengan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 88: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

75

pandangan Pierce (dalam Danesi, 2004) yang mengatakan bahwa simbol adalah

tanda yang mewakili objeknya melalui kesepakatan atau persetujuan dalam

konteks spesifik. Makna-makna dalam suatu simbol dibangun melalui

kesepakatan sosial atau melalui beberapa tradisi historis. Hal itu juga diperkuat

oleh keterangan narasumber yang berkata bahwa kita bisa paham terhadap kalau

misalnya, sekarang ada kebijakan analisis SWOT. Bagaimana kemudian, ini

ancamannya di mana, potensinya di mana, apa yang menjadi kekuatan kita

(PE/LB/3). Hal itu ditegaskan oleh Suseno (1985) yang mengungkapkan bahwa

budaya Jawa sangat kental dengan filosofi karakter atau sikap. Budaya Jawa

sangat memegang nilai-nilai luhur yang sangat kuat mengakar dalam kehidupan

masyarakat sampai saat ini.

4.2.1.4 Manusia Harus Dapat Memusatkan Diri pada Tujuan Hidup yang

Ingin Diraih

Nilai karakter yang menyatakan bahwa manusia harus dapat memusatkan

diri pada tujuan hidup yang ingin diraih terkandung dalam permainan Benthik dan

Jirak. Permainan Benthik dimainkan secara bersama-sama dengan 6-12 anak.

Permainan ini pada dasarnya melempar, menangkap, dan memukul batang kayu

dengan baik dan tepat sebagai salah satu faktor kunci kemenangan. Anak-anak

bermain di sebuah tanah lapang yang terbagi atas dua tim, yaitu tim penjaga dan

tim penyerang yang dapat ditentukan melalui undi, yaitu pingsut. Tim penyerang

bertugas memukul dan melempar batang kayu pendek dengan batang kayu yang

lebih panjang. Tim penjaga bertugas menangkap dan melempar batang kayu yang

dipukul oleh tim penyerang. Setiap tim bersaing untuk mengumpulkan skor

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 89: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

76

terbanyak. Tim penyerang mendapatkan skor dari hasil pukulan, lemparan, dan

pelanggaran yang dilakukan oleh tim penjaga. Tim penjaga mendapatkan skor

dari hasil tangkapan, lemparan, dan juga pelanggaran yang dilakukan oleh tim

penyerang. Tim yang dapat mengumpulkan skor lebih banyak adalah

pemenangnya (SD/DP/4). Data yang menunjukkan deskripsi latar belakang

budaya permainan itu dapat diamati sebagai berikut.

Benthik sendiri memang kemudian membutuhkan satu

keterampilan untuk membidik sesuatu. Istilahnya di sana,

kita diajari secara tidakk langsung untuk kita itu bisa punya

keantepan tujuan. Jadi, istilahnya jangan sampai kemudian

kita itu setelah dalam perjalanan, kita menjadi kalau

istilahnya orang Jawa mangruktingal bercabang apa yang

telah menjadi keyakinan kita. Kalau kita memang sudah

percaya bahwasannya hal ini nanti yang mampu akan

membawa kita pada satu kesuksesan, hal ini nanti akan

mampu membawa kita pada satu tujuan yang mulia, maka

ya istilahnya apapun yang menjadi tujuannya kita tetap

harus bisa satu pada apa yang kita inginkan. Istilahnya,

dalam dolanan Benthik itu kan memang kemudian ada

sesuatu yang dipertemukan, ada sesuatu yang dibenturkan.

Benturan-benturan inilah adalah sebagai semacam

pertemuan-pertemuan yang pada suatu saat akan mampu

menghasilkan sesuatu berbuah dan bermanfaat bagi diri

kita. (PE/LB/4)

Data di atas dapat memberikan suatu keterangan yang menguatkan

interpretasi penulis dalam menggali nilai-nilai karakter yang tersembunyi di

dalam permainan Benthik. Permainan tersebut terdiri dari satu kata, yang berasal

dari kata thik sebagai peniruan dari bunyi yang dihasilkan. Kata benthik diadaptasi

dari bunyi yang dihasilkan saat memukul batang kayu dengan batang kayu lainnya

(Dharmamulya, 2005). Berdasarkan hasil percakapan etnografis, nama benthik

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 90: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

77

mengacu pada suara dan media permainannya yang “dibenthikkan” (PE/JP/1).

Dari hal tersebut, maka deskripsi permainan Dharmamulya dengan narasumber

yang dihasilkan dari percakapan etnografis memiliki keselarasan. Maka, nama itu

mengacu pada media permainan yang menghasilkan bunyi thik ketika dimainkan.

Bentuk imitasi suara itu disebut sebagai fenomena onomatopoeia. Onomatopoeia

adalah proses pembuatan atau pemberian nama dengan meniru suara-suara yang

tercipta di alam semesta yang didengar oleh manusia (Pei, 1976). Maka, tampak

bahwa nama permainan itu diciptakan melalui proses tersebut. Dari pernyataan

tersebut, maka tampak bahwa ada keterkaitan antara kata yang membentuk nama

permainan itu dengan ciri khas yang ada di dalamnya. Kata-kata yang menjadi

nama permainan itu merepresentasikan sesuatu yang menjadi bagian di dalam

suatu kebudayaan bahwa masyarakat Jawa juga sering menggunakan suara,

nuansa, dan aktivitas yang tergambar sebagai namanya. Deskripsi latar belakang

budaya permainan tersebut menunjukkan hal-hal yang menjadi bagian di dalam

suatu kebudayaan, khususnya budaya Jawa. Song (2010) menyatakan bahwa

konteks kultur mengacu pada budaya, adat istiadat, latar belakang zaman dalam

komunitas bahasa yang di dalamnya para penutur terlibat langsung. Hal itu

berfungsi untuk memberi nilai pada teks dan mendayakan penafsirannya (Halliday

dan Hasan, 1985).

Dalam permainan itu, penulis menemukan tanda yang mengacu pada

sesuatu dan memiliki makna yang lebih dalam sebagai hal yang dapat

menunjukkan nilai karakter yang tersembunyi di dalam permainan itu. Tanda di

dalam permainan ini dapat menunjuk pada sesuatu yang perlu digali secara lebih

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 91: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

78

mendalam, sebagaimana Pierce (1965 dalam Foley, 2001) membedakan tanda atas

tiga jenis yakni indeks (index), simbol (symbol), dan ikon (icon). Kata benthik

yang terdapat pada nama permainan itu merupakan ikon yang mengacu pada

bunyi yang dihasilkan dari aktivitasnya. Ikon adalah tanda yang mewakili sumber

acuan melalui sebuah bentuk replikasi, simulasi, imitasi, atau persamaan. Sebuah

tanda dirancang untuk mempresentasikan sumber acuan melalui simulasi atau

persamaan (Danesi, 2004). Dari hal itu, penulis dapat menggali makna yang lebih

dalam melalui ikon yang terdapat di dalam permainan itu.

Permainan itu memiliki simbol yang dapat mengungkapkan makna yang

sebenarnya, yang dapat di telusuri melalui ikon yang telah diidentifikasi. Makna

itu dapat disebut sebagai nilai karakter yang tersembunyi. Berdasarkan hasil studi

dokumen dan percakapan etnografis yang dilakukan oleh penulis mengenai

deskripsi permainan dan deskripsi latar belakang budaya permainan, permainan

itu harus dilakukan dengan memukul kedua batang kayu sehingga secara otomatis

menghasilkan bunyi dan lemparan dari hasil pukulan itu harus tepat sasaran. Jadi,

pemain tidak hanya asal memukul, tetapi dari pukulan itu dihasilkanlah lemparan

yang tepat sasaran, yang ditunjukkan oleh “Permainan ini pada dasarnya

melempar, menangkap, dan memukul batang kayu dengan baik dan tepat sebagai

salah satu faktor kunci kemenangan.” (SD/DP/4) dan “Benthik sendiri memang

kemudian membutuhkan satu keterampilan untuk membidik sesuatu. Istilahnya di

sana, kita diajari secara tidak langsung untuk kita itu bisa punya keantepan

tujuan.” (PE/LB/4). Dengan demikian, hal itu dapat dimaknai bahwa aktivitas

memukul dan mengarahkan lemparan dengan tepat dalam benthik menjadi simbol

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 92: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

79

suatu pemusatan diri terhadap tujuan yang ingin diraih sehingga penulis dapat

merumuskan nilai karakter bahwa manusia harus dapat memusatkan diri pada

tujuan hidup yang ingin diraih. Hal itu selaras dengan pandangan Pierce (dalam

Danesi, 2004) yang mengatakan bahwa simbol adalah tanda yang mewakili

objeknya melalui kesepakatan atau persetujuan dalam konteks spesifik. Makna-

makna dalam suatu simbol dibangun melalui kesepakatan sosial atau melalui

beberapa tradisi historis. Hal itu juga diperkuat oleh keterangan narasumber yang

berkata bahwa istilahnya jangan sampai kemudian kita itu setelah dalam

perjalanan, kita menjadi kalau istilahnya orang Jawa mangruktingal bercabang

apa yang telah menjadi keyakinan kita. Kalau kita memang sudah percaya

bahwasannya hal ini nanti yang mampu akan membawa kita pada satu

kesuksesan, hal ini nanti akan mampu membawa kita pada satu tujuan yang

mulia, maka ya istilahnya apapun yang menjadi tujuannya kita tetap harus bisa

satu pada apa yang kita inginkan. (PE/LB/4). Hal itu ditegaskan oleh Suseno

(1985) yang mengungkapkan bahwa budaya Jawa sangat kental dengan filosofi

karakter atau sikap. Budaya Jawa sangat memegang nilai-nilai luhur yang sangat

kuat mengakar dalam kehidupan masyarakat sampai saat ini.

Selanjutnya, permainan Jirak juga memiliki nilai karakter yang sama

dengan permainan Benthik, karena memiliki pola permainan yang mirip.

Permainan Jirak dimainkan secara bersama-sama dengan 3-6 anak. Urutan

permainan ditentukan dengan cara melempari gacuk (biji atau uang koin) ke

lubang. Gacuk pemain yang lebih dekat itulah yang berhak bermain terlebih

dahulu, dan yang terjauh bermain paling akhir. Jika sama-sama masuk lubang atau

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 93: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

80

bertumpuk, maka harus mengulanginya. Permainan dilakukan dengan melepar

lima gacuk untuk setiap pemain dan diusahakan untuk masuk ke dalam lubang.

Jika berhasil, maka pemain itu mendapatkan sawah sebanyak jumlah gacuk yang

berhasil masuk. Jumlah sawah yang disediakan yaitu lima buah, yang mana jika

sudah habis, maka permainan pun selesai. Anak yang tidak mendapat sawah

dinyatakan kalah dan harus menerima hukuman mutlak, yaitu menggendong

(SD/DP/14).

Dari pernyataan tersebut, tampak bahwa Jirak memiliki permainan yang

hampir sama dengan Benthik, yaitu melempar sesuatu dengan tepat.

Perbedaannya, Jirak melempar gacuk ke lubang sasaran, bukan memukul, namun

tetap sama-sama mengarahkan sesuatu pada sasaran dengan tepat dan dengan

resiko yang selalu menyertainya. Narasumber berkata bahwa jirak itu adalah

salah satu juga permainan ketangkasan, permainan bidikan sehingga hampir

sama dengan benthik. Namun, memang kemudian Jirak itu, di sana ada peluang,

ada banyak pilihan, tergantung kita akan memillih mana. Kalau kita membidik

perut ya maka nanti dapatnya kita adalah sesuatu yang terkait dengan perut.

Kalau kita mendapat bidikan di kepala, maka segala sesuatu dari depan sampai

belakang, itu nanti akan bisa kita raih (PE/LB/14). Pernyataan tersebut

menunjukkan bahwa aktivitas melempar dan mengarahkan lemparan dengan tepat

dalam jirak juga menjadi simbol suatu pemusatan diri terhadap tujuan yang ingin

diraih sehingga penulis dapat merumuskan nilai karakter bahwa manusia harus

dapat memusatkan diri pada tujuan hidup yang ingin diraih. Hal itu juga diperkuat

oleh pernyataan narasumber bahwa Jirak adalah salah satu juga permainan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 94: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

81

ketangkasan, permainan bidikan sehingga hampir sama dengan benthik

(PE/LB/14).

4.2.1.5 Tuhan adalah Sosok yang Maha Kuasa

Nilai karakter yang menyatakan atau mengajarkan bahwa Tuhan adalah

sosok yang Maha Kuasa terkandung dalam permainan Jaranan Bongkok dan

Cublak-cublak Suweng. Permainan Jaranan Bongkok Permainan ini dilakukan

dengan membuat mainan yang terbuat dari dahan pohon kelapa yang sudah

kering. Mainan berupa sepotong dahan yang sudah dibersihkan dari daunnya dan

dimainkan dengan cara dinaiki seperti tarian jaranan. (SD/DP/13). Data yang

menunjukkan deskripsi latar belakang budaya permainan itu dapat diamati sebagai

berikut.

Jaranan bongkok itu adalah salah satu bentuk permainan di

mana kita diajari untuk mengenal ketauhidan yang ada.

Kenapa seperti itu? Karena yang namanya jaranan, itu

adalah bukan jaran yang sesungguhnya. Maka, namanya

adalah jaranan dan jaran itu sendiri berbeda dengan tulisan

jaranan. Sebagaimana kita mencari keberadaan Tuhan,

maka di situlah kita akan dihadapkan oleh banyak hal.

Karena apa? Bagi yang percaya bahwa saya ketika

diibaratkan, kita itu memegang sesuatu, misalnya Tuhan

itu seperti apa dan sebagainya, yang memegang surinya

kuda, dia akan percaya bahwasanya kuda itu adalah

selembut rambut, namun bagi yang memegang perutnya,

maka dia akan mengatakan Tuhan itu seperti tembok akan

tetapi dia ada bulunya (punya kelembutan), yang

memegang kaki mengetakan Tuhan itu hanya segedhe

lengan kok, tapi ada bulunya. Padahal itu semua adalah

bukan Tuhan. Tuhan adalah kesatuan dari semuanya.

Kalau orang Jawa bilang, tan kena kinayangapa sehingga

dalam Jaranan Bongkok itu tadi, memang selain kita

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 95: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

82

diajarkan untuk memanfaatkan sesuatu yang sudah tidak

terpakai istilahnya, karena bongkok tadi setelah dipakai

untuk jaranan yen wis jeleh ya isa diobong misalnya, untuk

bahan bakar misalnya. Akan tetapi, melalui Jaranan

Bongkok tadi, memang kemudian kita diharapkan bisa

tahu, ternyata ada suatu penyangga yang kemudian mampu

menopang kehidupan. Karena bongkok itu sendiri menjadi

topangan dari tumbuhnya janur, di mana nur adalah cahaya

kehidupan, kembali lagi pada konsep sang urip dalam

pemahaman budaya itu tadi. (PE/LB/13)

Data di atas dapat memberikan suatu keterangan yang menguatkan

interpretasi penulis dalam menggali nilai-nilai karakter yang tersembunyi di

dalam permainan Jaranan Bongkok. Permainan tersebut terdiri dari dua kata, yaitu

jaranan dan bongkok. Kata jaranan berasal dari kata jaran yang berarti kuda dan

mendapat akhiran –an sebagai tanda bahwa kuda yang dibuat dan dimainkan

adalah tiruan, sedangkan kata bongkok berarti dahan pohon kelapa yang sudah

kering dan dibersihkan dari daun-daunnya. Data (PE/LB/13) menyatakan bahwa

permainan tersebut mengungkapkan perumpamaan bahwa kekuasaan Tuhan tidak

terbatas pada apapun. Tuhan memiliki berbagai macam karakter dan dapat

melakukan segala hal dan menjadi topangan dari segala hal. Manusia dapat

mengenal Tuhan melalui berbagai cara karena kuasa-Nya yang tak terbatas,

sebagaimana narasumber mengatakan bahwa yang namanya jaranan, adalah

bukan jaran yang sesungguhnya. ...yang memegang surinya kuda, dia akan

percaya bahwasanya kuda itu adalah selembut rambut, namun bagi yang

memegang perutnya, maka dia akan mengatakan Tuhan itu seperti tembok akan

tetapi dia ada bulunya (punya kelembutan), yang memegang kaki mengetakan

Tuhan itu hanya segedhe lengan kok, tapi ada bulunya. Padahal itu semua adalah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 96: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

83

bukan Tuhan. Tuhan adalah kesatuan dari semuanya. Dari pernyataan tersebut,

maka tampak bahwa ada keterkaitan antara kata yang membentuk nama

permainan itu dengan makna yang ada di dalamnya. Kata-kata yang menjadi nama

permainan itu merepresentasikan sesuatu yang menjadi bagian di dalam suatu

kebudayaan. Deskripsi latar belakang budaya permainan tersebut menunjukkan

hal-hal yang menjadi bagian di dalam suatu kebudayaan, khususnya budaya Jawa.

Song (2010) menyatakan bahwa konteks kultur mengacu pada budaya, adat

istiadat, latar belakang zaman dalam komunitas bahasa yang di dalamnya para

penutur terlibat langsung. Hal itu berfungsi untuk memberi nilai pada teks dan

mendayakan penafsirannya (Halliday dan Hasan, 1985).

Dalam permainan itu, penulis menemukan tanda yang mengacu pada

sesuatu dan memiliki makna yang lebih dalam sebagai hal yang dapat

menunjukkan nilai karakter yang tersembunyi di dalam permainan itu. Tanda di

dalam permainan ini dapat menunjuk pada sesuatu yang perlu digali secara lebih

mendalam, sebagaimana Pierce (1965 dalam Foley, 2001) membedakan tanda atas

tiga jenis yakni indeks (index), simbol (symbol), dan ikon (icon). Kata jaranan

dan bongkok yang terdapat pada nama permainan itu merupakan ikon yang

mengacu pada media permainan yang dibuat dari bongkok dan dimainkan

(ditunggangi) layaknya kuda. Ikon adalah tanda yang mewakili sumber acuan

melalui sebuah bentuk replikasi, simulasi, imitasi, atau persamaan. Sebuah tanda

dirancang untuk mempresentasikan sumber acuan melalui simulasi atau

persamaan (Danesi, 2004). Dari hal itu, penulis dapat menggali makna yang lebih

dalam melalui ikon yang terdapat di dalam permainan itu.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 97: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

84

Permainan itu memiliki simbol yang dapat mengungkapkan makna yang

sebenarnya, yang dapat di telusuri melalui ikon yang telah diidentifikasi. Makna

itu dapat disebut sebagai nilai karakter yang tersembunyi. Berdasarkan hasil studi

dokumen dan percakapan etnografis yang dilakukan oleh penulis mengenai

deskripsi permainan dan deskripsi latar belakang budaya permainan, bongkok

melambangkan kuda, dan kuda melambangkan makna yang lebih dalam, yaitu

Tuhan. Kuda dianggap sebagai sosok yang kuat dan bongkok juga menjadi

topangan bagi kehidupan, yang ditunjukkan oleh data yang terlah dipaparkan juga

di atas (PE/LB/13). Dengan demikian, hal itu dapat dimaknai bahwa kuda menjadi

simbol kekuatan Tuhan dengan berbagai karakteristiknya yang diidentifikasi dari

bagian tubuh kuda (ada rambut yang lembut, kaki yang kuat, dll) dan bongkok

menjadi simbol bahwa Tuhan adalah penopang dari segala hal yang ada sehingga

penulis dapat merumuskan nilai karakter bahwa Tuhan adalah sosok yang Maha

Kuasa. Hal itu selaras dengan pandangan Pierce (dalam Danesi, 2004) yang

mengatakan bahwa simbol adalah tanda yang mewakili objeknya melalui

kesepakatan atau persetujuan dalam konteks spesifik. Makna-makna dalam suatu

simbol dibangun melalui kesepakatan sosial atau melalui beberapa tradisi historis.

Hal itu juga diperkuat oleh keterangan narasumber yang berkata bahwa karena

bongkok itu sendiri menjadi topangan dari tumbuhnya janur, di mana nur adalah

cahaya kehidupan, kembali lagi pada konsep sang urip dalam pemahaman

budaya itu tadi. (PE/LB/13). Hal itu ditegaskan oleh Suseno (1985) yang

mengungkapkan bahwa budaya Jawa sangat kental dengan filosofi karakter atau

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 98: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

85

sikap. Budaya Jawa sangat memegang nilai-nilai luhur yang sangat kuat mengakar

dalam kehidupan masyarakat sampai saat ini.

Permainan Cublak-cublak Suweng juga memiliki makna yang sama

dengan permainan Jaranan Bongkok bahwa Tuhan adalah sosok yang Maha

Kuasa, namun dengan penekanan juga pada eksistensi-Nya yang dibawa melalui

syair lagunya, yang berbunyi cublak-cublak suweng, suwenge ting gelenter,

mambu ketudhung gudel, Pak Empong lirak-lirik, sapa ngguyu ndhelikake, sir-sir

pong dhele kopong, sir-sir pong dhele kopong, yang perlu diinterpretasi dengan

kajian sastra. Namun, narasumber juga mengungkapkan bahwa dengan tembang

tersebut, secara pembahasan yang lain, kita akan bisa menyarikan bahwasannya

memang kalau dalam pandangan masyarakat Jawa, Tuhan itu tidak harus ada di

tempat ibadah. Tuhan itu tertebar ke mana-mana dan tertebar di mana-mana.

Jadi, di mana ada kehidupan, di situ ada Tuhan. Maka, kenapa kemudian

dikatakan Pangeran itu adalah urip. Karena apa? Setelah urip itu tidak ada,

maka di situlah Tuhan akan hilang juga (PE/LB/5). Kalimat terakhir pada

keterangan itu dapat dimaknai bahwa kehidupan adalah lambang bahwa Tuhan itu

ada. Jika Tuhan tidak ada, maka kehidupan juga tidak akan ada. Di situ pulalah

letak kekuasaan Tuhan berdiri untuk terus menyelenggarakan kehidupan.

4.2.1.6 Manusia Harus Dapat Menjalin Persaudaraan Tanpa Pamrih

Nilai karakter yang menyatakan bahwa manusia harus dapat menjalin

persaudaraan tanpa pamrih terkandung dalam permainan Dhakon. Permainan

Dhakon dimainkan oleh dua anak. Permainan ini menggunakan sarana yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 99: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

86

berupa papan berlubang dengan 14 lubang kecil (7 lubang pada setiap pemain)

dan 2 lubang besar (1 lubang untuk lumbung pada setiap pemain). Permainan ini

merupakan permainan asah otak, yang mana anak harus berkompetisi untuk

mengumpulkan biji sebanyak mungkin. Anak yang berhasil mengumpulkan biji

terbanyak di lumbungnya adalah pemenangnya. Hal itu membutuhkan strategi dan

perhitungan yang tepat untuk dapat menang (SD/DP/6). Data yang menunjukkan

deskripsi latar belakang budaya permainan itu dapat diamati sebagai berikut.

Dhakon itu adalah salah satu permainan di mana kalau

dalam salah satu prinsip ekonomi yang dulu dipakai oleh

mbah-mbah kita itu adalah puna sathak bathi sanak. Jadi

bagaimana kemudian tidak perlu dengan keuntungan yang

besar, akan tetapi bagaimana kemudian konsep

kekadangan, konsep patembayan, konsep paguyuban,

kerukunan ini kemudian tetap bisa terjaga. Namun dalam

Dhakon, memang kemudian satu hal yang menarik adalah

bagaimanapun juga, sak polah tingkahe kita dalam hidup

itu kita diharapkan punya turahan dan punya oleh-olehan.

Namun, oleh-olehannya adalah oleh-olehan yang positif,

jangan sampai oleh-olehan tersebut adalah oleh-olehan

buah kehidupan yang justru malah menjadi buah

simalakama bagi diri kita. Maka nanti dalam dolanan

Dhakon, memang turahan tadilah yang kemudian bisa

mlumpuk di dalam lumbung yang ada di dalam ceruk-

ceruk permainan Dhakon. (PE/LB/6)

Data di atas dapat memberikan suatu keterangan yang menguatkan

interpretasi penulis dalam menggali nilai-nilai karakter yang tersembunyi di

dalam permainan Dhakon. Permainan tersebut terdiri dari satu kata, yang berasal

dari kata dhaku yang berarti aku-milikku (Dharmamulya, 2005) sehingga

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 100: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

87

menunjukkan aktivitas klaim atas kepemilikan. Pemain memang harus bermain

untuk saling klaim jumlah biji yang terkumpul di dalam lumbung masing-masing.

Data (PE/LB/6) menyatakan bahwa permainan tersebut mengajarkan prinsip

ekonomi masyarakat Jawa yang mana keuntungan yang didapat tidak

mengutamakan keuntungan materi, namun keuntungan atas jalinan persaudaraan.

Artinya prinsip itu lebih mengutamakan persaudaraan daripada keuntungan

materi, sebagaimana narasumber mengatakan bahwa Dhakon adalah salah satu

permainan di mana kalau dalam salah satu prinsip ekonomi yang dulu dipakai

oleh mbah-mbah kita itu adalah puna sathak bathi sanak. Jadi bagaimana

kemudian tidak perlu dengan keuntungan yang besar, akan tetapi bagaimana

kemudian konsep kekadangan, konsep patembayan, konsep paguyuban,

kerukunan ini kemudian tetap bisa terjaga. Dari pernyataan tersebut, maka

tampak bahwa ada keterkaitan antara kata yang membentuk nama permainan itu

dengan makna yang ada di dalamnya, yaitu klaim atas kepemilikan saudara, dari

orang yang belum dikenal menjadi orang yang dikenal seperti saudara dan

hubungan persaudaraan itu tetaplah terjaga. Kata-kata yang menjadi nama

permainan itu merepresentasikan sesuatu yang menjadi bagian di dalam suatu

kebudayaan. Deskripsi latar belakang budaya permainan tersebut menunjukkan

hal-hal yang menjadi bagian di dalam suatu kebudayaan, khususnya budaya Jawa.

Song (2010) menyatakan bahwa konteks kultur mengacu pada budaya, adat

istiadat, latar belakang zaman dalam komunitas bahasa yang di dalamnya para

penutur terlibat langsung. Hal itu berfungsi untuk memberi nilai pada teks dan

mendayakan penafsirannya (Halliday dan Hasan, 1985).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 101: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

88

Dalam permainan itu, penulis menemukan tanda yang mengacu pada

sesuatu dan memiliki makna yang lebih dalam sebagai hal yang dapat

menunjukkan nilai karakter yang tersembunyi di dalam permainan itu. Tanda di

dalam permainan ini dapat menunjuk pada sesuatu yang perlu digali secara lebih

mendalam, sebagaimana Pierce (1965 dalam Foley, 2001) membedakan tanda atas

tiga jenis yakni indeks (index), simbol (symbol), dan ikon (icon). Kata dhaku

yang terdapat pada nama permainan itu merupakan indeks yang mengacu pada

aktivitas klaim biji dhakon agar terkumpul di dalam lumbung. Indeks adalah tanda

yang mewakili sumber acuan dengan cara menunjuk padanya atau mengaitkannya

(secara eksplisit atau implisit) dengan sumber acuan lain (Danesi, 2004). Dari hal

itu, penulis dapat menggali makna yang lebih dalam melalui indeks yang terdapat

di dalam permainan itu.

Permainan itu memiliki simbol yang dapat mengungkapkan makna yang

sebenarnya, yang dapat di telusuri melalui indeks yang telah diidentifikasi. Makna

itu dapat disebut sebagai nilai karakter yang tersembunyi. Berdasarkan hasil studi

dokumen dan percakapan etnografis yang dilakukan oleh penulis mengenai

deskripsi permainan dan deskripsi latar belakang budaya permainan, masyarakat

Jawa pada zaman dahulu menggunakan sarana biji sebagai alat hitung pada saat

itu dan dhakon adalah media belajar anak untuk dapat berhitung (JSIT, 2015),

yang ditunjukkan oleh “hal itu membutuhkan strategi dan perhitungan yang tepat

untuk dapat menang” (SD/DP/6) dan “maka nanti dalam dolanan Dhakon,

memang turahan tadilah yang kemudian bisa mlumpuk di dalam lumbung yang

ada di dalam ceruk-ceruk permainan Dhakon” (PE/LB/6). Dengan demikian, hal

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 102: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

89

itu dapat dimaknai bahwa biji dhakon menjadi simbol orang-orang yang menjadi

saudara, lubang-lubang dhakon menjadi simbol proses untuk mendapat dan

menjaga persaudaraan, lubang atau lumbung dhakon menjadi simbol diri kita

yang akan mendapat saudara, dan dhaku menjadi simbol bahwa kita perlu

bergerak dan melakukan “klaim” persaudaraan, daripada hanya mencari

keuntungan materi semata sehingga penulis dapat merumuskan nilai karakter

bahwa manusia harus dapat menjalin persaudaraan tanpa pamrih. Hal itu selaras

dengan pandangan Pierce (dalam Danesi, 2004) yang mengatakan bahwa simbol

adalah tanda yang mewakili objeknya melalui kesepakatan atau persetujuan dalam

konteks spesifik. Makna-makna dalam suatu simbol dibangun melalui

kesepakatan sosial atau melalui beberapa tradisi historis. Hal itu juga diperkuat

oleh keterangan narasumber yang berkata bahwa dalam salah satu prinsip

ekonomi yang dulu dipakai oleh mbah-mbah kita itu adalah puna sathak bathi

sanak. Jadi bagaimana kemudian tidak perlu dengan keuntungan yang besar,

akan tetapi bagaimana kemudian konsep kekadangan, konsep patembayan,

konsep paguyuban, kerukunan ini kemudian tetap bisa terjaga (PE/LB/6). Hal itu

ditegaskan oleh Suseno (1985) yang mengungkapkan bahwa budaya Jawa sangat

kental dengan filosofi karakter atau sikap. Budaya Jawa sangat memegang nilai-

nilai luhur yang sangat kuat mengakar dalam kehidupan masyarakat sampai saat

ini.

4.2.1.7 Manusia Harus selalu Menjunjung Tatakrama sebagai Makhluk

Sosial

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 103: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

90

Nilai karakter yang menyatakan bahwa manusia harus selalu menjunjung

tatakrama sebagai makhluk sosial terkandung dalam permainan Dhayoh-

dhayohan. Permainan Dhayoh-dhayohan dimainkan secara bersama-sama dengan

beberapa anak (bebas). Permainan ini pada dasarnya merupakan aktivitas anak

untuk bermain peran, terutama dalam hal bertamu, misalnya bertamu di rumah,

bertamu untuk membeli barang dagangan, menjenguk orang sakit, dan

sebagainya. Anak dapat saling menyusun alur permainan sesuai dengan peran-

peran dan aturan yang disepakati bersama (SD/DP/7). Data yang menunjukkan

deskripsi latar belakang budaya permainan itu dapat diamati sebagai berikut.

Dhayoh-dhayonan itu adalah satu bentuk model ajaran

untuk kita bisa ketemu, jadi gini, prinsipnya kita itu adalah

makhluk sosial dan kita tidak mungkin hidup secara

pribadi tanpa kita punya ketergantungan terhadap orang

lain. Oleh karena itu, di dalam merdhayoh isitilahnya, kita

kan tidak mungkin kurang tata istilahnya. Akan tetapi

bagaimana kemudian ajaran moral untuk kita bisa saling

menghargai, ajaran moral untuk kita bisa menerapkan tata

krama, ajaran moral untuk kita agar mengetahui posisi kita

masing-masing, dan sebagainya, semuanya ada di dalam

dolanan Dhayoh-dhayohan. (PE/LB/7)

Data di atas dapat memberikan suatu keterangan yang menguatkan

interpretasi penulis dalam menggali nilai-nilai karakter yang tersembunyi di

dalam permainan Dhayoh-dhayohan. Permainan tersebut terdiri dari satu kata

yang diulang. Kata dhayoh berarti tamu yang diberi akhiran –an sebagai tanda

imitasi dari tamu yang sesungguhnya bahwa permainan itu dilakukan dengan

bermain peran menjadi tamu dan tuan rumah yang melayani. Data (PE/LB/7)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 104: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

91

menyatakan bahwa permainan tersebut mengajarkan anak untuk berlatih

menghadapi orang lain dengan tatakrama yang berlaku di dalam masyarakat. Lalu,

dalam pandangan budaya Jawa, tatakrama itu sendiri merupakan hal yang mutlak

diperlukan ketika kita berhadapan dengan semua orang sebagai tanda kesopanan,

kerendah hatian, dan penghormatan. Secara khusus pula, dalam hal bertamu

masyarakat Jawa sangat memperhatikan pelayanan yang terbaik, sebagaimana

narasumber mengatakan bahwa kita adalah makhluk sosial dan kita tidak mungkin

hidup secara pribadi tanpa kita punya ketergantungan terhadap orang lain. Oleh

karena itu, di dalam merdhayoh isitilahnya, kita kan tidak mungkin kurang tata

istilahnya. Akan tetapi bagaimana kemudian ajaran moral untuk kita bisa saling

menghargai, ajaran moral untuk kita bisa menerapkan tata krama, ajaran moral

untuk kita agar mengetahui posisi kita masing-masing, dan sebagainya. Purwadi

(2011) menambahkan bahwa adat kebiasaan yang didalamnya berisi ajaran moral

itu bagi masyarakat Jawa sering disebut dengan istilah pepali, unggah-ungguh,

suba sita, tata krama, tata susila, sopan santun, budi pekerti, wulang wuruk,

pitutur, wejangan, wursita, dan wewarah. Dari pernyataan tersebut, maka tampak

bahwa ada keterkaitan antara kata-kata yang membentuk nama permainan itu

dengan makna yang ada di dalamnya. Kata-kata yang menjadi nama permainan itu

merepresentasikan sesuatu yang menjadi bagian di dalam suatu kebudayaan.

Deskripsi latar belakang budaya permainan tersebut menunjukkan hal-hal yang

menjadi bagian di dalam suatu kebudayaan, khususnya budaya Jawa. Song (2010)

menyatakan bahwa konteks kultur mengacu pada budaya, adat istiadat, latar

belakang zaman dalam komunitas bahasa yang di dalamnya para penutur terlibat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 105: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

92

langsung. Hal itu berfungsi untuk memberi nilai pada teks dan mendayakan

penafsirannya (Halliday dan Hasan, 1985).

Dalam permainan itu, penulis menemukan tanda yang mengacu pada

sesuatu dan memiliki makna yang lebih dalam sebagai hal yang dapat

menunjukkan nilai karakter yang tersembunyi di dalam permainan itu. Tanda di

dalam permainan ini dapat menunjuk pada sesuatu yang perlu digali secara lebih

mendalam, sebagaimana Pierce (1965 dalam Foley, 2001) membedakan tanda atas

tiga jenis yakni indeks (index), simbol (symbol), dan ikon (icon). Kata dhayoh

yang terdapat pada nama permainan itu merupakan ikon yang mengacu pada

peran tamu atau aktivitas bertamu dan melayani tamu sebagai aktivitas inti. Ikon

adalah tanda yang mewakili sumber acuan melalui sebuah bentuk replikasi,

simulasi, imitasi, atau persamaan. Sebuah tanda dirancang untuk

mempresentasikan sumber acuan melalui simulasi atau persamaan (Danesi, 2004).

Dari hal itu, penulis dapat menggali makna yang lebih dalam melalui ikon yang

terdapat di dalam permainan itu.

Permainan itu memiliki simbol yang dapat mengungkapkan makna yang

sebenarnya, yang dapat di telusuri melalui ikon yang telah diidentifikasi. Makna

itu dapat disebut sebagai nilai karakter yang tersembunyi. Berdasarkan hasil studi

dokumen dan percakapan etnografis yang dilakukan oleh penulis mengenai

deskripsi permainan dan deskripsi latar belakang budaya permainan, aktivitas

bertamu yang dilakukan oleh masyarakat Jawa sangat kental dengan nilai

tatakrama, mulai dari cara berjalan, berbicara, membawa atau menata jamuan, dan

berbagai hal lain yang harus dilakukan secara benar, termasuk melalui permainan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 106: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

93

ini sebagai sarana untuk menanamkan nilai tatakrama sebagai makhluk sosial,

yang ditunjukkan oleh “Permainan ini pada dasarnya merupakan aktivitas anak

untuk bermain peran, terutama dalam hal bertamu, misalnya bertamu di rumah,

bertamu untuk membeli barang dagangan, menjenguk orang sakit, dan

sebagainya. Anak dapat saling menyusun alur permainan sesuai dengan peran-

peran dan aturan yang disepakati bersama.” (SD/DP/7) dan “Kita adalah

makhluk sosial dan kita tidak mungkin hidup secara pribadi tanpa kita punya

ketergantungan terhadap orang lain. Oleh karena itu, di dalam merdhayoh

isitilahnya, kita kan tidak mungkin kurang tata istilahnya. Akan tetapi bagaimana

kemudian ajaran moral untuk kita bisa saling menghargai, ajaran moral untuk

kita bisa menerapkan tata krama, ajaran moral untuk kita agar mengetahui posisi

kita masing-masing, dan sebagainya.” (PE/LB/7). Dengan demikian, hal itu dapat

dimaknai bahwa dhayoh menjadi simbol kehidupan sosial dan aktivitas bertamu

yang diwakili oleh nama permainan itu menjadi simbol suatu tatakrama dalam

kehidupan sosial sehingga penulis dapat merumuskan nilai karakter bahwa

manusia harus selalu menjunjung tatakrama sebagai makhluk sosial. Hal itu

selaras dengan pandangan Pierce (dalam Danesi, 2004) yang mengatakan bahwa

simbol adalah tanda yang mewakili objeknya melalui kesepakatan atau

persetujuan dalam konteks spesifik. Makna-makna dalam suatu simbol dibangun

melalui kesepakatan sosial atau melalui beberapa tradisi historis. Hal itu juga

diperkuat oleh keterangan narasumber yang berkata bahwa ajaran moral untuk

kita bisa saling menghargai, ajaran moral untuk kita bisa menerapkan tata

krama, ajaran moral untuk kita agar mengetahui posisi kita masing-masing

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 107: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

94

(PE/LB/7). Hal itu ditegaskan oleh Suseno (1985) yang mengungkapkan bahwa

budaya Jawa sangat kental dengan filosofi karakter atau sikap. Budaya Jawa

sangat memegang nilai-nilai luhur yang sangat kuat mengakar dalam kehidupan

masyarakat sampai saat ini.

4.2.1.8 Tujuan akan Lebih Mudah Dicapai Apabila Kita Saling Membantu

Nilai karakter yang menyatakan bahwa tujuan akan lebih mudah dicapai

apabila kita saling membantu terkandung dalam permainan Dhingklik Oglak-

aglik. Permainan Dhingklik Oglak-aglik dimainkan secara bersama-sama dengan

3-5 anak sambil menyanyikan lagu permainan saat melakukannya. Permainan ini

pada dasarnya saling bekerjasama untuk menirukan bentuk kursi dengan cara

berpegangan tangan dan mengaitkan kaki satu sama lain sambil bertepuk tangan,

melonjak-lonjak, dan menyanyikan lagu permainan. Permainan ini dapat dijadikan

permainan pertandingan jika dilakukan dengan minimal dua tim yang masing-

masing terdiri dari 3-5 anak tadi. Tim yang lebih lama mempertahankan gerakan

tanpa terjatuh adalah pemenangnya (SD/DP/9). Data yang menunjukkan deskripsi

latar belakang budaya permainan itu dapat diamati sebagai berikut.

Dhingklik Oglak-aglik itu adalah salah satu bentuk

permainan di mana ketika yang namanya dhingklik itu

adalah bisa kokoh ketika dia disangga oleh kaki yang

genap. Ataupun terpaksanya kalau dia disangga dengan

kaki yang ganjil, maka harus ada penopang utama yang

menjadi sumber kekuatan dari penyangga itu. Makanya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 108: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

95

dalam permainan Dhingklik Oglak-aglik itu tadi, ketika

misalnya kita sendiri yang secara kodrati itu sebenarnya

kaki kita dua kok. Cuma dalam satu permainan, kita

diminta hanya satu yang digunakan. Akan tetapi satu yang

digabungkan dengan satuan-satuan yang lainnya sehingga

dalam permainan Dhngklik Oglak-aglik tersebut memang

bagaimana kemudian dalam satu kebersamaan, dalam satu

ikatan, segala sesuatu yang menjadi tujuan bersama itu

akan lebih mudah dicapai. (PE/LB/9)

Data di atas dapat memberikan suatu keterangan yang menguatkan

interpretasi penulis dalam menggali nilai-nilai karakter yang tersembunyi di

dalam permainan Dhingklik Oglak-aglik. Permainan tersebut terdiri dari dua kata,

yaitu dhingklik dan oglak-aglik sebagai kata ulang alih suara. Kata dhingklik

berarti kursi kecil tanpa sandaran yang terbuat dari kayu, dan kata oglak-aglik

berarti kondisi tidak stabil pada benda mati, seperti kursi itu tadi. Data (PE/LB/9)

menyatakan bahwa permainan itu memerlukan kekompakan untuk saling

mengaitkan salah satu kaki dengan satu kaki tetap berada di bawah sebagai

pijakan seperti sebuah kursi yang tidak stabil sehingga diperlukanlah kekompakan

untuk melakukannya, sebagaimana narasumber mengatakan bahwa dalam satu

permainan, kita diminta hanya satu kaki yang digunakan. Akan tetapi satu yang

digabungkan dengan satuan-satuan yang lainnya sehingga dalam permainan

Dhngklik Oglak-aglik tersebut memang bagaimana kemudian dalam satu

kebersamaan, dalam satu ikatan, segala sesuatu yang menjadi tujuan bersama itu

akan lebih mudah dicapai. Dari pernyataan tersebut, maka tampak bahwa ada

keterkaitan antara kata-kata yang membentuk nama permainan itu dengan makna

yang ada di dalamnya. Kata-kata yang menjadi nama permainan itu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 109: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

96

merepresentasikan sesuatu yang menjadi bagian di dalam suatu kebudayaan, yaitu

budaya gotong royong. Deskripsi latar belakang budaya permainan tersebut

menunjukkan hal-hal yang menjadi bagian di dalam suatu kebudayaan, khususnya

budaya Jawa. Song (2010) menyatakan bahwa konteks kultur mengacu pada

budaya, adat istiadat, latar belakang zaman dalam komunitas bahasa yang di

dalamnya para penutur terlibat langsung. Hal itu berfungsi untuk memberi nilai

pada teks dan mendayakan penafsirannya (Halliday dan Hasan, 1985).

Dalam permainan itu, penulis menemukan tanda yang mengacu pada

sesuatu dan memiliki makna yang lebih dalam sebagai hal yang dapat

menunjukkan nilai karakter yang tersembunyi di dalam permainan itu. Tanda di

dalam permainan ini dapat menunjuk pada sesuatu yang perlu digali secara lebih

mendalam, sebagaimana Pierce (1965 dalam Foley, 2001) membedakan tanda atas

tiga jenis yakni indeks (index), simbol (symbol), dan ikon (icon). Kata dhingklik

dan oglak-aglik yang terdapat pada nama permainan itu merupakan ikon yang

mengacu pada kursi kayu kecil yang tidak stabil atau tidak kokoh. Ikon adalah

tanda yang mewakili sumber acuan melalui sebuah bentuk replikasi, simulasi,

imitasi, atau persamaan. Sebuah tanda dirancang untuk mempresentasikan sumber

acuan melalui simulasi atau persamaan (Danesi, 2004). Dari hal itu, penulis dapat

menggali makna yang lebih dalam melalui ikon yang terdapat di dalam permainan

itu.

Permainan itu memiliki simbol yang dapat mengungkapkan makna yang

sebenarnya, yang dapat di telusuri melalui ikon yang telah diidentifikasi. Makna

itu dapat disebut sebagai nilai karakter yang tersembunyi. Berdasarkan hasil studi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 110: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

97

dokumen dan percakapan etnografis yang dilakukan oleh penulis mengenai

deskripsi permainan dan deskripsi latar belakang budaya permainan, dhingklik

adalah tempat duduk yang seharusnya kokoh dan apabila tidak kokoh, maka kursi

tersebut tidak dapat berfungsi dengan baik, yang ditunjukkan oleh “permainan ini

pada dasarnya saling bekerjasama untuk menirukan bentuk kursi dengan cara

berpegangan tangan dan mengaitkan kaki satu sama lain” (SD/DP/9) dan “dalam

satu kebersamaan, dalam satu ikatan, segala sesuatu yang menjadi tujuan

bersama itu akan lebih mudah dicapai (PE/LB/9). Dengan demikian, hal itu dapat

dimaknai bahwa dhingklik yang kokoh menjadi simbol tujuan yang ingin dicapai

karena kursi yang dapat berfungsi dengan baik juga dapat dimaknai sebagai

“tujuan yang tercapai” dan oglak-aglik menjadi simbol keadaan yang tidak stabil

yang dapat menghambat tercapainya tujuan. Selain itu, permainan ini hanya dapat

dilakukan bersama dan aktivitas kerja sama itu menjadi simbol untuk saling

membantu sehingga penulis dapat merumuskan nilai karakter bahwa tujuan akan

lebih mudah dicapai apabila kita saling membantu. Hal itu selaras dengan

pandangan Pierce (dalam Danesi, 2004) yang mengatakan bahwa simbol adalah

tanda yang mewakili objeknya melalui kesepakatan atau persetujuan dalam

konteks spesifik. Makna-makna dalam suatu simbol dibangun melalui

kesepakatan sosial atau melalui beberapa tradisi historis. Hal itu juga diperkuat

oleh keterangan narasumber yang berkata bahwa satu yang digabungkan dengan

satuan-satuan yang lainnya sehingga dalam permainan Dhngklik Oglak-aglik

tersebut memang bagaimana kemudian dalam satu kebersamaan, dalam satu

ikatan, segala sesuatu yang menjadi tujuan bersama itu akan lebih mudah dicapai

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 111: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

98

(PE/LB/9). Hal itu ditegaskan oleh Suseno (1985) yang mengungkapkan bahwa

budaya Jawa sangat kental dengan filosofi karakter atau sikap. Budaya Jawa

sangat memegang nilai-nilai luhur yang sangat kuat mengakar dalam kehidupan

masyarakat sampai saat ini.

4.2.1.9 Manusia Selalu Membutuhkan Proses dalam Mencapai Tujuan

Nilai karakter yang menyatakan bahwa manusia selalu membutuhkan

proses dalam mencapai tujuan terkandung dalam permainan Ingking. Permainan

Ingkling dimainkan secara bersama-sama dengan dua anak atau lebih. Permainan

ini dimainkan pada sebuah media yang dibuat sendiri oleh anak dengan dasar

tanah atau lantai (digambar dengan kapur). Anak menentukan urutan bermain

dengan undi. Permainan dilakukan dengan melempar gacuk (pecahan genteng)

pada petak. Pemain akan memasuki petak dengan melompat menggunakan satu

kaki. Petak yang ditempati gacuk tidak boleh diinjak atau ditempati. Pemain

melompati setiap petak sampai kembali lagi ke posisi semula atau titik awal tanpa

menginjak petak yang di mana gacuk berada, terjatuh, atau berdiri dengan dua

kaki. Jika gagal, matilah dia dan gilliran pemain selanjutnya. Jika berhasil, pemain

melemparkan gacuk di petak pertama tadi ke petak selanjutnya, tanpa meleset ke

petak lain atau menyentuh garis petak. Jika pemain berhasil menyelesaikan letak

gacuk sampai seluruh petak, maka dia berhak melempar gacuk dengan

membelakangi petak dan petak yang dijatuhi gacuk menjadi daerah kekuasaan

pemain tadi sehingga pemain selanjutnya tidak boleh menginjak petak itu. Jika

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 112: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

99

gagal, matilah dia. Demikian permainan dilakukan terus-menerus (SD/DP/10).

Data yang menunjukkan deskripsi latar belakang budaya permainan itu dapat

diamati sebagai berikut.

Ingkling itu adalah salah satu permainan, kalau tadi

Dhingklik Oglak-aglik itu dilakukan massal, kakiknya

saling bergandengan, sementara kalau ingkling itu kita

harus mampu menopang keberadaan diri kita hanya dengan

satu kaki dengan melompat-lompat. Istilahnya apa? Ketika

dalam mencapai tujuan kan sudah ada gambar kotak-

kotaknya ta, step by step, kita sekarang sudah melangkah

sampai di mana? Nah, dengan tataran-tataran kehidupan

yang ada kalau misalnya, mulai dari kita lahir, kita belajar

mlumah, kita belajar mengkurep, kita belajar mbrangkang,

lalu kemudian kita berjalan, sekolah, kemudian kita

berusaha mencapai apa yang menjadi cita-cita kita, dan

sampai yang terakhir, yang akan memberi cita-cita itu

sendiri yang akan mengambil diri kita misalnya. Nah, di

situlah kemudian tahapan-tahapan itu yang kemudian harus

kita ketahui ketika kita menjalani hidup di dunia ini. Jadi,

bagaimanapun juga, tahapan yang ada, melalui kotak-

kotak, kemudian lompatan-lompatan yang dilakukan ketika

bermain ingkling sebenarnya adalah menjadi dasar

tumpuan bagaimana kemudian dalam hidup ini memang

kemudian tidak ada sesuatu yang mudah diraih, karena

sebenarnya kalau dengan kaki dua lebih enak kok.

Nyatanya melompatnya harus melompat dengan dua kaki

pun harus menghadap ke mana, harus ke mana, dan

sebagainya, agar permainan itu bisa berjalan. Maka, di

situlah sandiwara Tuhan yang akan menuliskan, dalam

pemahaman orang Jawa itu, tulising urip, itu yang

kemudian nanti akan bisa dibabar gitu. (PE/LB/10)

Data di atas dapat memberikan suatu keterangan yang menguatkan

interpretasi penulis dalam menggali nilai-nilai karakter yang tersembunyi di

dalam permainan Ingkling. Permainan tersebut terdiri dari satu kata, yaitu ingkling

dengan sinonimnya yang dapat disebut dengan engklek atau angklek. Kata

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 113: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

100

ingkling berarti cara berjalan melompat-lompat dengan satu kaki sehingga kita

harus tetap menjaga keseimbangan. Data (PE/LB/10) menyatakan bahwa

permainan tersebut dilakukan secara individu dengan tetap menggunakan satu

kaki seperti pada permainan Dhingklik Oglak-aglik, namun pemain harus melalui

langkah demi langkah sampai permainan itu selesai, sebagaimana narasumber

mengatakan bahwa Dhingklik Oglak-aglik itu dilakukan massal, kakiknya saling

bergandengan, sementara kalau ingkling itu kita harus mampu menopang

keberadaan diri kita hanya dengan satu kaki dengan melompat-lompat ...Nah,

dengan tataran-tataran kehidupan yang ada kalau misalnya, mulai dari kita lahir,

kita belajar mlumah, kita belajar mengkurep, kita belajar mbrangkang, lalu

kemudian kita berjalan, sekolah, kemudian kita berusaha mencapai apa yang

menjadi cita-cita kita. Dari pernyataan tersebut, maka tampak bahwa ada

keterkaitan antara kata yang membentuk nama permainan itu dengan aktivitas

sekaligus makna yang ada di dalamnya. Kata-kata yang menjadi nama permainan

itu merepresentasikan sesuatu yang menjadi bagian di dalam suatu kebudayaan.

Deskripsi latar belakang budaya permainan tersebut menunjukkan hal-hal yang

menjadi bagian di dalam suatu kebudayaan, khususnya budaya Jawa. Song (2010)

menyatakan bahwa konteks kultur mengacu pada budaya, adat istiadat, latar

belakang zaman dalam komunitas bahasa yang di dalamnya para penutur terlibat

langsung. Hal itu berfungsi untuk memberi nilai pada teks dan mendayakan

penafsirannya (Halliday dan Hasan, 1985).

Dalam permainan itu, penulis menemukan tanda yang mengacu pada

sesuatu dan memiliki makna yang lebih dalam sebagai hal yang dapat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 114: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

101

menunjukkan nilai karakter yang tersembunyi di dalam permainan itu. Tanda di

dalam permainan ini dapat menunjuk pada sesuatu yang perlu digali secara lebih

mendalam, sebagaimana Pierce (1965 dalam Foley, 2001) membedakan tanda atas

tiga jenis yakni indeks (index), simbol (symbol), dan ikon (icon). Kata ingkling

yang terdapat pada nama permainan itu merupakan indeks yang mengacu pada

cara berjalan melompat-lompat dengan satu kaki. Indeks adalah tanda yang

mewakili sumber acuan dengan cara menunjuk padanya atau mengaitkannya

(secara eksplisit atau implisit) dengan sumber acuan lain (Danesi, 2004). Dari hal

itu, penulis dapat menggali makna yang lebih dalam melalui indeks yang terdapat

di dalam permainan itu.

Permainan itu memiliki simbol yang dapat mengungkapkan makna yang

sebenarnya, yang dapat di telusuri melalui indeks yang telah diidentifikasi. Makna

itu dapat disebut sebagai nilai karakter yang tersembunyi. Berdasarkan hasil studi

dokumen dan percakapan etnografis yang dilakukan oleh penulis mengenai

deskripsi permainan dan deskripsi latar belakang budaya permainan, permainan

itu memiliki langkah-langkah yang harus dilalui sebagai proses di dalam

permainan, yang ditunjukkan oleh “Pemain akan memasuki petak dengan

melompat menggunakan satu kaki. Petak yang ditempati gacuk tidak boleh diinjak

atau ditempati. Pemain melompati setiap petak sampai kembali lagi ke posisi

semula atau titik awal tanpa menginjak petak yang di mana gacuk berada,

terjatuh, atau berdiri dengan dua kaki. Jika gagal, matilah dia dan gilliran

pemain selanjutnya.” (SD/DP/10) dan “mulai dari kita lahir, kita belajar mlumah,

kita belajar mengkurep, kita belajar mbrangkang, lalu kemudian kita berjalan,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 115: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

102

sekolah, kemudian kita berusaha mencapai apa yang menjadi cita-cita kita”

(PE/LB/10). Dengan demikian, hal itu dapat dimaknai bahwa ingkling menjadi

simbol usaha manusia untuk mencapai tujuan dengan bersusah payah dan petak-

petak yang harus dilalui satu-persatu itu menjadi simbol langkah atau proses yang

harus dijalani manusia untuk mencapai tujuan sehingga penulis dapat

merumuskan nilai karakter bahwa manusia selalu membutuhkan proses dalam

mencapai tujuan. Hal itu selaras dengan pandangan Pierce (dalam Danesi, 2004)

yang mengatakan bahwa simbol adalah tanda yang mewakili objeknya melalui

kesepakatan atau persetujuan dalam konteks spesifik. Makna-makna dalam suatu

simbol dibangun melalui kesepakatan sosial atau melalui beberapa tradisi historis.

Hal itu juga diperkuat oleh keterangan narasumber yang berkata bahwa tahapan-

tahapan itu yang kemudian harus kita ketahui ketika kita menjalani hidup di

dunia ini. Jadi, bagaimanapun juga, tahapan yang ada, melalui kotak-kotak,

kemudian lompatan-lompatan yang dilakukan ketika bermain ingkling sebenarnya

adalah menjadi dasar tumpuan bagaimana kemudian dalam hidup ini memang

kemudian tidak ada sesuatu yang mudah diraih (PE/LB/10). Hal itu ditegaskan

oleh Suseno (1985) yang mengungkapkan bahwa budaya Jawa sangat kental

dengan filosofi karakter atau sikap. Budaya Jawa sangat memegang nilai-nilai

luhur yang sangat kuat mengakar dalam kehidupan masyarakat sampai saat ini.

4.2.1.10 Manusia Harus Jeli dalam Melihat Peluang untuk Meraih Tujuan

Nilai karakter yang menyatakan bahwa manusia harus jeli dalam melihat

peluang untuk meraih tujuan terkandung dalam permainan Gobag Sodor.

Permainan Gobag Sodor dimainkan secara bersama-sama dengan 6 atau 8 anak.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 116: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

103

Permainan ini merupakan permainan tim yang terbagi menjadi dua, yaitu tim

penjaga dan tim yang melewati rintangan. Setiap tim terdiri dari 3-4 anak yang

ditentukan berdasarkan hasil undi, seperti hompimpa dan pingsut. Tim penjaga

berdiri satu persatu pada petak-petak yang telah dibuat di tanah. Tim yang

melewati rintangan tidak boleh tertangkap atau tersentuh oleh para penjaga, yaitu

dengan berlari atau melewati para penjaga dari depan dan harus sampai kembali

ke depan lagi. Jika semua anak dalam tim itu berhasil, maka menanglah mereka.

Jika anak tertangkap oleh penjaga, maka matilah dia dan seluruh timnya, dan

harus bergantian menjadi tim penjaga. (SD/DP/11). Data yang menunjukkan

deskripsi latar belakang budaya permainan itu dapat diamati sebagai berikut.

Gobag sodor itu adalah bermain peluang. Jadi di mana

pada saatnya ketika kita itu tertutup buntet permasalahan

karena banyaknya hal yang harus kita hadapi, maka kita

harus jeli dalam membidik peluang, di mana ketika kita

mampu menerobos, ketika kita mampu melihat apa yang

sebenarnya ada di dalam permasalahan ini secara lebih

jernih, maka di situlah kita akan menemukan jalan keluar,

agar kita mampu mencapai apa yang menjadi tujuan kita.

(PE/LB/11)

Data di atas dapat memberikan suatu keterangan yang menguatkan

interpretasi penulis dalam menggali nilai-nilai karakter yang tersembunyi di

dalam permainan Gobag Sodor. Permainan tersebut terdiri dari dua kata, yaitu

gobag dan sodor. Kedua kata tersebut sebenarnya berasal dari bahasa Inggris,

yaitu go back through the door (PE/JP/1, PE/JP/3). Namun, masyarakat Jawa

kemudian mengadaptasinya menjadi gobag sodor. Data (SD/DP/11) menyatakan

bahwa permainan tersebut melatih kejelian pemain dalam menerobos daerah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 117: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

104

lawan sampai dapat menyeberang dan kembali ke tempat awal dengan baik,

sebagaimana dikatakan bahwa tim yang melewati rintangan tidak boleh

tertangkap atau tersentuh oleh para penjaga, yaitu dengan berlari atau melewati

para penjaga dari depan dan harus sampai kembali ke depan lagi. Dari

pernyataan tersebut, maka tampak bahwa ada keterkaitan antara kata-kata yang

membentuk nama permainan itu dengan aktivitas yang ada di dalamnya (go back

through the door), namun tentunya nama dan aktivitas yang mengikutinya pasti

memiliki makna lain yang lebih dalam. Maka, kata-kata yang menjadi nama

permainan itu merepresentasikan sesuatu yang menjadi bagian di dalam suatu

kebudayaan. Deskripsi latar belakang budaya permainan tersebut menunjukkan

hal-hal yang menjadi bagian di dalam suatu kebudayaan, khususnya budaya Jawa.

Song (2010) menyatakan bahwa konteks kultur mengacu pada budaya, adat

istiadat, latar belakang zaman dalam komunitas bahasa yang di dalamnya para

penutur terlibat langsung. Hal itu berfungsi untuk memberi nilai pada teks dan

mendayakan penafsirannya (Halliday dan Hasan, 1985).

Dalam permainan itu, penulis menemukan tanda yang mengacu pada

sesuatu dan memiliki makna yang lebih dalam sebagai hal yang dapat

menunjukkan nilai karakter yang tersembunyi di dalam permainan itu. Tanda di

dalam permainan ini dapat menunjuk pada sesuatu yang perlu digali secara lebih

mendalam, sebagaimana Pierce (1965 dalam Foley, 2001) membedakan tanda atas

tiga jenis yakni indeks (index), simbol (symbol), dan ikon (icon). Kata gobag dan

sodor (go back through the door - kembali melalui pintu) yang terdapat pada

nama permainan itu merupakan indeks yang mengacu pada aktivitas menerobos

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 118: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

105

pintu lawan untuk menyeberang dan kembali lagi ke tempat awal. Indeks adalah

tanda yang mewakili sumber acuan dengan cara menunjuk padanya atau

mengaitkannya (secara eksplisit atau implisit) dengan sumber acuan lain (Danesi,

2004). Dari hal itu, penulis dapat menggali makna yang lebih dalam melalui

indeks yang terdapat di dalam permainan itu.

Permainan itu memiliki simbol yang dapat mengungkapkan makna yang

sebenarnya, yang dapat di telusuri melalui indeks yang telah diidentifikasi. Makna

itu dapat disebut sebagai nilai karakter yang tersembunyi. Berdasarkan hasil studi

dokumen dan percakapan etnografis yang dilakukan oleh penulis mengenai

deskripsi permainan dan deskripsi latar belakang budaya permainan, setiap

permainan memiliki rintangan dan tantangan yang dapat menghambat kita untuk

meraih tujuan yang berupa kemenangan seperti kehidupan manusia itu sendiri,

yang ditunjukkan oleh “Jika anak tertangkap oleh penjaga, maka matilah dia dan

seluruh timnya, dan harus bergantian menjadi tim penjaga.” (SD/DP/11) dan “di

mana pada saatnya ketika kita itu tertutup buntet permasalahan karena

banyaknya hal yang harus kita hadapi, maka kita harus jeli dalam membidik

peluang, di mana ketika kita mampu menerobos” (PE/LB/11). Dengan demikian,

hal itu dapat dimaknai bahwa gobag (go back) menjadi simbol usaha yang harus

dilakukan manusia untuk mencapai tujuan dan sodor (through the door) menjadi

simbol banyaknya rintangan yang harus dihadapi dengan kejelian sehingga

penulis dapat merumuskan nilai karakter bahwa manusia harus jeli dalam melihat

peluang untuk meraih tujuan. Hal itu selaras dengan pandangan Pierce (dalam

Danesi, 2004) yang mengatakan bahwa simbol adalah tanda yang mewakili

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 119: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

106

objeknya melalui kesepakatan atau persetujuan dalam konteks spesifik. Makna-

makna dalam suatu simbol dibangun melalui kesepakatan sosial atau melalui

beberapa tradisi historis. Hal itu juga diperkuat oleh keterangan narasumber yang

berkata bahwa kita harus jeli dalam membidik peluang, di mana ketika kita

mampu menerobos, ketika kita mampu melihat apa yang sebenarnya ada di dalam

permasalahan ini secara lebih jernih, maka di situlah kita akan menemukan jalan

keluar, agar kita mampu mencapai apa yang menjadi tujuan kita (PE/LB/11). Hal

itu ditegaskan oleh Suseno (1985) yang mengungkapkan bahwa budaya Jawa

sangat kental dengan filosofi karakter atau sikap. Budaya Jawa sangat memegang

nilai-nilai luhur yang sangat kuat mengakar dalam kehidupan masyarakat sampai

saat ini.

4.2.1.11 Manusia Harus selalu Dapat Beradaptasi dalam Segala Situasi

Nilai karakter yang menyatakan bahwa manusia harus selalu dapat

beradaptasi dalam segala situasi terkandung dalam permainan Jamuran dan

Sliring Gendhing. Permainan Jamuran dimainkan secara bersama-sama dengan

empat anak atau lebih. Permainan ini pada dasarnya menirukan sifat jamur yang

menempel di tempat tertentu dengan yang kadang-kadang dilengkapi dengan

sifat-sifat lain dari hewan atau benda tertentu sehingga anak harus dapat

menirukan sifat itu semirip mungkin, misalnya diam jika jamur patung, bergaya

seperti motor jika jamur motor, dan lain-lain. Anak yang dadi biasanya dipilih

berdasarkan undi, misalnya hompimpah. Lalu, anak itu harus berjaga di tengah

lingkaran anak-anak yang memutarinya sambil bernyanyi lagu permainan.

Kemudian, anak-anak yang memutarinya tadi tiba pada kata yang berbunyi “sira

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 120: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

107

badhe jamur apa?” pada akhir lagu dan anak yang dadi harus menjawab jamur

tertentu. Setelah itu, anak-anak yang memutarinya tadi langsung melakukan hal

yang seperti dikatakan oleh anak yang dadi tadi. Jika ada anak yang gagal, maka

anak itu berganti menjadi anak yang dadi (SD/DP/12). Data yang menunjukkan

deskripsi latar belakang budaya permainan itu dapat diamati sebagai berikut.

Dalam syair tembang jamuran, itu kemudian yang

ditanyakan di sana adalah selalu “Jamur apa?”. Jamur itu

ibaratnya dia adalah sebuah tanaman cendawan yang

tumbuh barangkali ketika di musim-musim tertentu, dan

tumbuhnya pun kita juga tidak tahu, dia bisa tumbuh di

tanah menjadi jamur darat, dia bisa tumbuh di jerami

menjadi jamur damen, dia bisa tumbuh di kayu menjadi

jamur kuping, menjadi jamur kayu, dan sebagainya.

Namun demikian, esensi dari semuanya adalah bagaimana

ketika kita di dalam hidup ini tidak pernah menyerah, tidak

pernah menyerah dalam segala kondisi yang ada. Karena,

jamur itu tidak pernah kok, tumbuh di lahan yang

kemudian misalnya, ini subur banget. Jamur malah tidak

tumbuh di sana kok. Tapi, dia tumbuhnya malah di media-

media yang kemudian orang tidak mampu memperkirakan

ketika, o ternyata dia bisa tumbuh di sana ya. Contohnya

kayu, kalau dia belum lapuk, ya di situ jamur tidak akan

tumbuh. Setelah dia rusak, di situlah jamur akan mencoba

tumbuh. Padahal, jamur yang tumbuhnya tidak jelas, spora

itu datangnnya dari mana dan sebagainya, namun induksi

dari spora itulah yang kemudian mampu menumbuhkan

spirit hidup, agar kita lebih mengenal hidup, dan kita bisa

tahu akan makna kehidupan. (PE/LB/12)

Data di atas dapat memberikan suatu keterangan yang menguatkan

interpretasi penulis dalam menggali nilai-nilai karakter yang tersembunyi di

dalam permainan Jamuran. Permainan tersebut terdiri dari satu kata, yang berasal

dari kata jamur yang diberi akhiran –an sebagai tanda imitasi dari jamur yang

sebenarnya. Data (PE/LB/12) menyatakan bahwa permainan tersebut

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 121: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

108

mengungkapkan tentang sifat jamur yang selalu dapat tumbuh di mana saja,

sebagaimana narasumber mengatakan bahwa jamur itu ibaratnya dia adalah

sebuah tanaman cendawan yang tumbuh barangkali ketika di musim-musim

tertentu, dan tumbuhnya pun kita juga tidak tahu, dia bisa tumbuh di tanah

menjadi jamur darat, dia bisa tumbuh di jerami menjadi jamur damen, dia bisa

tumbuh di kayu menjadi jamur kuping, menjadi jamur kayu, dan sebagainya. Dari

pernyataan tersebut, maka tampak bahwa ada keterkaitan antara kata yang

membentuk nama permainan itu dengan karakteristik tumbuhan itu yang

diragakan di dalam permainan dan pemain harus dapat mengikuti jenis jamurnya.

Kata-kata yang menjadi nama permainan itu merepresentasikan sesuatu yang

menjadi bagian di dalam suatu kebudayaan, yaitu sikap yang mudah beradaptasi.

Deskripsi latar belakang budaya permainan tersebut menunjukkan hal-hal yang

menjadi bagian di dalam suatu kebudayaan, khususnya budaya Jawa. Song (2010)

menyatakan bahwa konteks kultur mengacu pada budaya, adat istiadat, latar

belakang zaman dalam komunitas bahasa yang di dalamnya para penutur terlibat

langsung. Hal itu berfungsi untuk memberi nilai pada teks dan mendayakan

penafsirannya (Halliday dan Hasan, 1985).

Dalam permainan itu, penulis menemukan tanda yang mengacu pada

sesuatu dan memiliki makna yang lebih dalam sebagai hal yang dapat

menunjukkan nilai karakter yang tersembunyi di dalam permainan itu. Tanda di

dalam permainan ini dapat menunjuk pada sesuatu yang perlu digali secara lebih

mendalam, sebagaimana Pierce (1965 dalam Foley, 2001) membedakan tanda atas

tiga jenis yakni indeks (index), simbol (symbol), dan ikon (icon). Kata jamur yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 122: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

109

terdapat pada nama permainan itu merupakan ikon yang mengacu pada bentuk

tumbuhan yang bernama jamur. Ikon adalah tanda yang mewakili sumber acuan

melalui sebuah bentuk replikasi, simulasi, imitasi, atau persamaan. Sebuah tanda

dirancang untuk mempresentasikan sumber acuan melalui simulasi atau

persamaan (Danesi, 2004). Dari hal itu, penulis dapat menggali makna yang lebih

dalam melalui ikon yang terdapat di dalam permainan itu.

Permainan itu memiliki simbol yang dapat mengungkapkan makna yang

sebenarnya, yang dapat di telusuri melalui ikon yang telah diidentifikasi. Makna

itu dapat disebut sebagai nilai karakter yang tersembunyi. Berdasarkan hasil studi

dokumen dan percakapan etnografis yang dilakukan oleh penulis mengenai

deskripsi permainan dan deskripsi latar belakang budaya permainan, pemain harus

dapat mengikuti bentuk jamur yang diminta sebagaimana sifat jamur yang asli

juga selalu dapat beradaptasi dalam segala kondisi alam, yang ditunjukkan oleh

“anak harus dapat menirukan sifat itu semirip mungkin, misalnya diam jika jamur

patung, bergaya seperti motor jika jamur motor, dan lain-lain.” (SD/DP/12) dan

“dia bisa tumbuh di tanah menjadi jamur darat, dia bisa tumbuh di jerami

menjadi jamur damen, dia bisa tumbuh di kayu menjadi jamur kuping, menjadi

jamur kayu, dan sebagainya” (PE/LB/12). Dengan demikian, hal itu dapat

dimaknai bahwa jamur menjadi simbol sikap yang selalu dapat beradaptasi dalam

segala situasi di dalam kehidupan dan aktivtias di dalamnya pun anak harus dapat

meragakan gaya dari setiap jamur yang diminta secara acak tanpa diduga sehingga

penulis dapat merumuskan nilai karakter bahwa manusia harus selalu dapat

beradaptasi dalam segala situasi. Hal itu selaras dengan pandangan Pierce (dalam

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 123: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

110

Danesi, 2004) yang mengatakan bahwa simbol adalah tanda yang mewakili

objeknya melalui kesepakatan atau persetujuan dalam konteks spesifik. Makna-

makna dalam suatu simbol dibangun melalui kesepakatan sosial atau melalui

beberapa tradisi historis. Hal itu juga diperkuat oleh keterangan narasumber yang

berkata bahwa esensi dari semuanya adalah bagaimana ketika kita di dalam

hidup ini tidak pernah menyerah, tidak pernah menyerah dalam segala kondisi

yang ada. Karena, jamur itu tidak pernah kok, tumbuh di lahan yang kemudian

misalnya, ini subur banget. Jamur malah tidak tumbuh di sana kok. Tapi, dia

tumbuhnya malah di media-media yang kemudian orang tidak mampu

memperkirakan (PE/LB/12). Hal itu ditegaskan oleh Suseno (1985) yang

mengungkapkan bahwa budaya Jawa sangat kental dengan filosofi karakter atau

sikap. Budaya Jawa sangat memegang nilai-nilai luhur yang sangat kuat mengakar

dalam kehidupan masyarakat sampai saat ini.

Selanjutnya, permainan Sliring Gendhing juga memiliki nilai karakter

yang sama dengan permainan Jamuran, namun lebih menekankan pada perubahan

situasi yang dapat kita hadapi sewaktu-waktu tanpa kita duga. Permainan Sliring

Gendhing dimainkan secara bersama-sama dengan jumlah anak yang genap, mulai

dari 4, 6, sampai 8 anak sambil menyanyikan lagu permainan saat melakukannya.

Permainan ini pada dasarnya saling bekerjasama untuk bergerak berputar secara

seimbang. Misalnya, empat anak berdiri dan empat anak bergantung pada tangan

anak yang berdiri sambil mempertemukan kaki mereka, yang mana semua anak

membentuk lingkaran lalu berputar seperti mangkok yang diputar. Permainan ini

dapat dijadikan permainan pertandingan jika dilakukan dengan minimal dua tim

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 124: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

111

yang masing-masing terdiri dari jumlah anak yang ganjil tadi. Tim yang lebih

lama mempertahankan gerakan tanpa terjatuh adalah pemenangnya (SD/DP/24).

Dari pernyataan tersebut, Sliring Gendhing memiliki permainan yang

berbeda dengan Jamuran, yaitu dilakukan dengan saling bekerjasama membentuk

pola roda yang dilakukan dengan lebih sulit dari Dhiingklik Oglak-aglik dan

dilakukan sambil berputar. Hal yang membuat kedua permainan ini memiliki nilai

karakter yang sama adalah acuan yang mengarah pada hal yang sama, walaupun

dikemas dengan cara yang berbeda. Sebagaimana hal yang telah kita ketahui,

permainan Jamuran menggunakan tanda berupa ikon jamur yang ditirukan atau

diragakan oleh para pemainnya, yang dari padanya tersirat pesan tersembunyi

melalui simbolisasi sifat jamur yang dapat beradaptasi atau hidup di segala

kondisi media di mana dia hidup, sedangkan Sliring Gendhing ini menggunakan

tanda berupa ikon pula, namun dengan bentuk yang berbeda, yaitu gerakan

berputar yang dilakukan oleh para pemainnnya dengan bentuk seperti roda. Hal

itu bermakna bahwa hidup ini bagaikan roda yang terus berputar dan selalu

berubah posisi dari atas ke samping, dari samping ke bawah, dan seterusnya,

sebagaimana hal itu juga terkait dengan konteks budaya sebagai pemberi nilai

pada teks dan mendayakan penafsirannya (Halliday dan Hasan, 1985). Artinya,

situasi hidup manusia pasti selalu berubah sehingga dapat bermakna simbolis

bahwa manusia harus selalu dapat beradaptasi dalam segala situasi, karena

manusia bagaikan hidup di atas roda tadi yang terus berputar. Aktivitas di dalam

permainan ini juga bermakna simbolis yang ditandai dengan kemungkinan

gagalnya pegangan antarpemain ketika mereka berputar sehingga pemain dapat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 125: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

112

terjatuh atau terlempar. Hal itu juga bermakna bahwa apabila manusia tidak dapat

beradaptasi pada kondisi yang kacau, maka dia tidak dapat bertahan atau tidak

dapat menjalani hidup dengan baik dan justru ikut menjadi manusia yang kacau

dan jatuh. Hal itu diperkuat dengan pernyataan narasumber bahwa bagaimana kita

itu tetap bisa menghadapi segala sesuatu itu dengan tenang, tanpa kita merasa

gugup, agar sliringing gendhing itu tadi tidak mengganggu harmoni kehidupan

yang ada (PE/LB/24). Maka, manusia harus selalu dapat beradaptasi dalam segala

situasi agar tidak mengikuti arus kekacauan dan terjatuh.

4.2.1.12 Manusia Harus Memiliki Prinsip Hidup yang Kuat

Nilai karakter yang menyatakan bahwa manusia harus memiliki prinsip

hidup yang kuat terkandung dalam permainan Keris Janur dan Pong-pong

Bolong. Permainan Keris Janur dilakukan dengan membuat mainan yang terbuat

dari daun pohon kelapa yang masih muda. Mainan berbentuk seperti keris dan

dibuat dengan cara khusus sehingga membutuhkan keterampilan yang cukup

tinggi bagi anak (SD/DP/15). Data yang menunjukkan deskripsi latar belakang

budaya permainan itu dapat diamati sebagai berikut.

Janur dalam pandangan budaya Jawa adalah konsep nur.

Makanya, kenapa setiap kali upacara temanten itu tidak

pernah lepas dari yang namanya janur. Karena, di dalam

janur, konsep nur, konsep cahaya, itu adalah menjadi salah

satu penanda, bahwasannya masih ada hidup. Kalau sudah

tidak ada hidup, maka nur itu akan hilang. Apalagi,

namanya adalah Keris Janur. Keris itu adalah kekeran

ingkang aris, bagaimana kemudian, kita punya pegangan

hidup yang dilandasi dengan cahaya kehidupan itu sendiri.

Maka dengan demikian, sebenarnya dari kecil itu kita

sudah diajari bermain untuk sinau urip dan agar kita

mampu mencapai apa yang menjadi tujuan dari hidup itu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 126: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

113

sendiri melalui cahaya yang ada pada setiap pribadi kita.

Dengan sadar akan cahaya hidup yang ada, dengan sadar

akan cahyaning panguripan, maka kita diharapkan di sana

kita juga sadar, bagaimana kita harus mengetahui apa yang

kita sembah, ke mana kita manembah, dan siapa yang kita

buat manembah itu, tidak lain adalah Tuhan Yang Maha

Esa. (PE/LB/15)

Data di atas dapat memberikan suatu keterangan yang menguatkan

interpretasi penulis dalam menggali nilai-nilai karakter yang tersembunyi di

dalam permainan Keris Janur. Permainan tersebut terdiri dari dua kata, yaitu keris

dan janur. Kata keris berarti senjata tajam khas Jawa dan kata janur berarti daun

kelapa yang masih muda. Data (PE/LB/1) menyatakan bahwa permainan tersebut

mengungkapkan tentang prinsip hidup yang harus dimiliki oleh manusia,

sebagaimana narasumber mengatakan bahwa kita punya pegangan hidup yang

dilandasi dengan cahaya kehidupan itu sendiri. Maka dengan demikian,

sebenarnya dari kecil itu kita sudah diajari bermain untuk sinau urip dan agar

kita mampu mencapai apa yang menjadi tujuan dari hidup itu sendiri melalui

cahaya yang ada pada setiap pribadi kita. Dari pernyataan tersebut, maka tampak

bahwa ada keterkaitan antara kata-kata yang membentuk nama permainan itu

dengan makna yang ada di dalamnya. Kata-kata yang menjadi nama permainan itu

merepresentasikan sesuatu yang menjadi bagian di dalam suatu kebudayaan.

Deskripsi latar belakang budaya permainan tersebut menunjukkan hal-hal yang

menjadi bagian di dalam suatu kebudayaan, khususnya budaya Jawa. Song (2010)

menyatakan bahwa konteks kultur mengacu pada budaya, adat istiadat, latar

belakang zaman dalam komunitas bahasa yang di dalamnya para penutur terlibat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 127: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

114

langsung. Hal itu berfungsi untuk memberi nilai pada teks dan mendayakan

penafsirannya (Halliday dan Hasan, 1985).

Dalam permainan itu, penulis menemukan tanda yang mengacu pada

sesuatu dan memiliki makna yang lebih dalam sebagai hal yang dapat

menunjukkan nilai karakter yang tersembunyi di dalam permainan itu. Tanda di

dalam permainan ini dapat menunjuk pada sesuatu yang perlu digali secara lebih

mendalam, sebagaimana Pierce (1965 dalam Foley, 2001) membedakan tanda atas

tiga jenis yakni indeks (index), simbol (symbol), dan ikon (icon). Kata keris dan

janur yang terdapat pada nama permainan itu merupakan ikon yang mengacu

pada mainan keris yang terbuat dari janur. Ikon adalah tanda yang mewakili

sumber acuan melalui sebuah bentuk replikasi, simulasi, imitasi, atau persamaan.

Sebuah tanda dirancang untuk mempresentasikan sumber acuan melalui simulasi

atau persamaan (Danesi, 2004). Dari hal itu, penulis dapat menggali makna yang

lebih dalam melalui ikon yang terdapat di dalam permainan itu.

Permainan itu memiliki simbol yang dapat mengungkapkan makna yang

sebenarnya, yang dapat di telusuri melalui ikon yang telah diidentifikasi. Makna

itu dapat disebut sebagai nilai karakter yang tersembunyi. Berdasarkan hasil studi

dokumen dan percakapan etnografis yang dilakukan oleh penulis mengenai

deskripsi permainan dan deskripsi latar belakang budaya permainan, permainan

ini bersifat mengasah keterampilan tangan anak dalam membuat mainan atau

media permainan yang berupa tiruan keris yang terbuat dari janur yang memiliki

makna terang atau cahaya dan keris itu sendiri dalam budaya Jawa merupakan

tanda kekuatan sekalligus sebagai senjata yang dapat bertahan lama (abadi), yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 128: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

115

ditunjukkan oleh “mainan berbentuk seperti keris dan dibuat dengan cara khusus

sehingga membutuhkan keterampilan yang cukup tinggi bagi anak” (SD/DP/15)

dan “Janur dalam pandangan budaya Jawa adalah konsep nur. Makanya, kenapa

setiap kali upacara temanten itu tidak pernah lepas dari yang namanya janur.

Karena, di dalam janur, konsep nur, konsep cahaya, itu adalah menjadi salah

satu penanda, bahwasannya masih ada hidup. Kalau sudah tidak ada hidup, maka

nur itu akan hilang. Apalagi, namanya adalah Keris Janur. Keris itu adalah

kekeran ingkang aris, bagaimana kemudian, kita punya pegangan hidup yang

dilandasi dengan cahaya kehidupan itu sendiri” (PE/LB/15). Dengan demikian,

hal itu dapat dimaknai bahwa keris menjadi simbol prinsip hidup yang tak

tergoyahkan karena prinsip tersebut memiliki sifat kuat dan abadi, janur menjadi

simbol kebenaran (Tuhan) yang menerangi kehidupan manusia, dan tingkat

kesulitan yang tinggi dalam membuat media tersebut dapat menjadi simbol

tantangan yang dapat ditaklukkan dengan kekuatan atau prinsip itu sehingga

penulis dapat merumuskan nilai karakter bahwa manusia harus memiliki prinsip

hidup yang kuat. Hal itu selaras dengan pandangan Pierce (dalam Danesi, 2004)

yang mengatakan bahwa simbol adalah tanda yang mewakili objeknya melalui

kesepakatan atau persetujuan dalam konteks spesifik. Makna-makna dalam suatu

simbol dibangun melalui kesepakatan sosial atau melalui beberapa tradisi historis.

Permainan ini mengandung nilai filosofis yang kuat melalui simbolisasi keris

sebagai hasil kebudayaan Jawa yang khas. Hal itu ditegaskan oleh Suseno (1985)

yang mengungkapkan bahwa budaya Jawa sangat kental dengan filosofi karakter

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 129: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

116

atau sikap. Budaya Jawa sangat memegang nilai-nilai luhur yang sangat kuat

mengakar dalam kehidupan masyarakat sampai saat ini.

Selanjutnya, permainan Pong-pong Bolong juga memiliki nilai karakter

yang sama dengan permainan Keris Janur, namun lebih menekankan pada

konsekuensi yang kita terima atau alami apabila kita tidak punya prinsip yang

kuat. Permainan Pong-pong Bolong dimainkan secara bersama-sama dengan

empat anak atau lebih. Permainan ini dilakukan sambil menyanyikan lagu

permainan dan dilakukan dengan sangat mudah, yaitu anak-anak menyusun

tangan kiri mereka secara mengepal. Setelah tersusun, anak yang ditunjuk sebagai

pemimpin menyanyikan lagu permainan sambil menaruh jari telunjuknya dan

melakukan gerakan berputar. Lalu, mereka memecah kepalan tangan secara

berurutan dari bawah ke atas sampai terpecah semua. Kemudian, pemimpin

mencubit tangan anak yang paling atas dan anak itu menyembunyikannya di

dalam ketiak sampai semuanya menyembunyikan tangan mereka. Selanjutnya,

pemimpin melakukan dialog dengan salah satu anak yang dianggap sebagai

penggembala sampai pada akhirnya mereka bersama-sama menyanyikan lagu

permainan kembali sampai selesai. (SD/DP/23).

Dari pernyataan tersebut, Pong-pong Bolong memiliki permainan yang

sangat berbeda dengan Keris Janur, yaitu dilakukan dengan peragaan tangan

sambil bernyanyi. Hal yang membuat kedua permainan ini memiliki nilai karakter

yang sama adalah acuan yang mengarah pada hal yang sama, walaupun dikemas

dengan cara yang berbeda. Sebagaimana hal yang telah kita ketahui, permainan

Keris Janur menggunakan tanda berupa ikon mainan keris yang terbuat dari janur,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 130: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

117

yang dari padanya tersirat pesan tersembunyi melalui simbolisasi keris dan janur

dalam kaitannya dengan konteks budaya sebagai pemberi nilai pada teks dan

mendayakan penafsirannya (Halliday dan Hasan, 1985), sedangkan Pong-pong

Bolong ini menggunakan tanda berupa ikon pula, namun dengan bentuk yang

berbeda, yaitu tangan yang kosong, saling ditumpuk, dan pecah. Hal itu bermakna

bahwa apabila kita kosong dan tidak memiliki prinsip hidup, maka kita akan

hancur seperti tangan yang diragakan seperti kepompong yang pecah karena tidak

memilliki isi. Namun, nama permainan ini juga dapat menjadi indeks karena

langsung dapat mengacu pada arti lemah yang diwakili oleh kata pong dan kosong

yang diwakili oleh kata bolong sehingga dapat bermakna simbolis bahwa manusia

yang tidak berprinsip akan menjadi pribadi yang lemah dan kosong. Hal itu

diperkuat dengan pernyataan narasumber bahwa ketika, satu, kita tidak punya

prinsip, ketika kita tidak punya tujuan itulah, maka bisa dikatakan dia menjadi

bawang kothong ataupun pong-pong bolong. Kelihatannya di luar megah

misalnya, akan tetapi pada sejatinya, yang di dalam sudah hilang (PE/LB/23).

Maka, manusia harus memiliki prinsip hidup yang kuat agar tidak menjadi pribadi

lemah dan kosong.

4.2.1.13 Manusia Tidak Perlu Serakah Karena Sudah Memiliki Bagian dan

Peran Masing-masing

Nilai karakter yang menyatakan bahwa manusia tidak perlu serakah karena

sudah memiliki bagian dan peran masing-masing terkandung dalam permainan

Kitiran Godhong Tela. Permainan Kitiran Godhong Tela dilakukan dengan

membuat mainan yang terbuat dari daun singkong beserta dengan batang dari

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 131: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

118

daun itu. Mainan berupa seperti stick dengan daun yang sudah dipotong setengah

dan dimainkan dengan cara diputar-putar pada jari telunjuk (SD/DP/16). Data

yang menunjukkan deskripsi latar belakang budaya permainan itu dapat diamati

sebagai berikut.

Kitiran Godhong Tela itu adalah konsep pasaran. Jadi

secara jumlah daun kalau dipertemukan dengan konsep

penanggalan Jawa, yang konsep penanggalan Jawa itu

sebenarnya adalah konsep panca suda, pahing, pon, wage,

kliwon, legi. Nah, di mana dalam kitiran itu kan selalu

munyer sebagai sebuah siklus. Nah, demikian juga dengan

panca suda tadi, hitungan hari dalam pasaran Jawa. Kalau

sekarang kita mengenal, bagaimana kemudian melalui

pasaran itulah, dulu segi-segi kehidupan ini berjalan.

Contohnya barangkali sekarang, kita masih bisa melihat

kalau misalnya terkait dengan konsep perekonomian, o

pahing kuwi pasarane Prambanan, legi pasarane pasar

Jangkang, di mana di situlah kemudian secara tidak

langsung, misalnya pasar-pasar rakyat istilahnya ini nanti

akan selalu bergulir secara perekonomian. Secara

pemahaman yang lain, Kitiran Godhong Tela sebenarnya

bisa dibaca sebagai satu pandangan konsep kehidupan

ketuhanan. Karena kenapa? Pahing misalnya, pahing itu

warnanya merah. Kenapa berwarna merah? Karena dia

posisinya di selatan. Kenapa di selatan? Karena di sanalah

kemudian tempat munculnya energi yang berwarna merah.

Kenapa kemudian di selatan lagi? Karena di selatanlah

segala gelombang itu muncul. Kenapa tidak di utara?

Karena utara adalah bagiannya wage. Kenapa tidak di

barat? Barat sudah bagiannya legi. Kenapa tidak di tengah?

Tengah adalah bagiannya kliwon sehingga apa? Kita itu

diharapkan tidak perlu njarah rayah darbe ing liyan. Akan

tetapi, bagaimana kemudian apa potensi yang ada di dalam

diri kita ketika kita kembangkan dan kita bisa selaras

mengikuti dengan perkembangan jaman yang ada, kita

akan mampu memaknai dan memakai itu sebagai satu

pijakan hidup di dalam bermasyarakat. (PE/LB/16)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 132: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

119

Data di atas dapat memberikan suatu keterangan yang menguatkan

interpretasi penulis dalam menggali nilai-nilai karakter yang tersembunyi di

dalam permainan Kitiran Godhong Tela. Permainan tersebut terdiri dari tiga kata,

yaitu kitiran, godhong, dan tela. Kata kitiran berarti baling-baling, kata godhong

berarti daun, dan kata tela berarti singkong. Data (PE/LB/16) menyatakan bahwa

permainan tersebut mengungkapkan konsep pasaran atau penanggalan dalam

budaya Jawa yang berjumlah lima hari seperti jumlah ruas daun ketela,

sebagaimana narasumber mengatakan bahwa Kitiran Godhong Tela itu adalah

konsep pasaran. Jadi secara jumlah daun kalau dipertemukan dengan konsep

penanggalan Jawa, yang konsep penanggalan Jawa itu sebenarnya adalah

konsep panca suda, pahing, pon, wage, kliwon, legi. Nah, di mana dalam kitiran

itu kan selalu munyer sebagai sebuah siklus. Dari pernyataan tersebut, maka

tampak bahwa ada keterkaitan antara kata-kata yang membentuk nama permainan

itu dengan makna yang ada di dalamnya. Kata-kata yang menjadi nama permainan

itu merepresentasikan sesuatu yang menjadi bagian di dalam suatu kebudayaan.

Deskripsi latar belakang budaya permainan tersebut menunjukkan hal-hal yang

menjadi bagian di dalam suatu kebudayaan, khususnya budaya Jawa. Song (2010)

menyatakan bahwa konteks kultur mengacu pada budaya, adat istiadat, latar

belakang zaman dalam komunitas bahasa yang di dalamnya para penutur terlibat

langsung. Hal itu berfungsi untuk memberi nilai pada teks dan mendayakan

penafsirannya (Halliday dan Hasan, 1985).

Dalam permainan itu, penulis menemukan tanda yang mengacu pada

sesuatu dan memiliki makna yang lebih dalam sebagai hal yang dapat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 133: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

120

menunjukkan nilai karakter yang tersembunyi di dalam permainan itu. Tanda di

dalam permainan ini dapat menunjuk pada sesuatu yang perlu digali secara lebih

mendalam, sebagaimana Pierce (1965 dalam Foley, 2001) membedakan tanda atas

tiga jenis yakni indeks (index), simbol (symbol), dan ikon (icon). Kata-kata yang

terdapat pada nama permainan itu merupakan ikon yang mengacu pada media

permainan yang dibuat dengan daun ketela itu sendiri, tanpa banyak proses

perubahan dari bahan menjadi mainan. Ikon adalah tanda yang mewakili sumber

acuan melalui sebuah bentuk replikasi, simulasi, imitasi, atau persamaan. Sebuah

tanda dirancang untuk mempresentasikan sumber acuan melalui simulasi atau

persamaan (Danesi, 2004). Dari hal itu, penulis dapat menggali makna yang lebih

dalam melalui ikon yang terdapat di dalam permainan itu.

Permainan itu memiliki simbol yang dapat mengungkapkan makna yang

sebenarnya, yang dapat di telusuri melalui ikon yang telah diidentifikasi. Makna

itu dapat disebut sebagai nilai karakter yang tersembunyi. Berdasarkan hasil studi

dokumen dan percakapan etnografis yang dilakukan oleh penulis mengenai

deskripsi permainan dan deskripsi latar belakang budaya permainan, permainan

itu sangat sederhana dan langsung mengacu pada objek, mainan, atau media

permaian itu sendiri yang dimainkan dengan cara diputar-putarkan pada jari

telunjuk dan ternyata jumlah ruas pada daun singkong mengungkapkan konsep

atau sistem penanggalan Jawa, yang ditunjukkan oleh “Permainan Kitiran

Godhong Tela dilakukan dengan membuat mainan yang terbuat dari daun

singkong beserta dengan batang dari daun itu. Mainan berupa seperti stick

dengan daun yang sudah dipotong setengah dan dimainkan dengan cara diputar-

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 134: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

121

putar pada jari telunjuk.” (SD/DP/16) dan “Kitiran Godhong Tela itu adalah

konsep pasaran. Jadi secara jumlah daun kalau dipertemukan dengan konsep

penanggalan Jawa, yang konsep penanggalan Jawa itu sebenarnya adalah

konsep panca suda, pahing, pon, wage, kliwon, legi. Nah, di mana dalam kitiran

itu kan selalu munyer sebagai sebuah siklus. Nah, demikian juga dengan panca

suda tadi, hitungan hari dalam pasaran Jawa.” (PE/LB/16). Jumlah daun

singkong itu menjadi indeks yang mengacu pada sistem penanggalan Jawa,

sebagaimana indeks adalah tanda yang mewakili sumber acuan dengan cara

menunjuk padanya atau mengaitkannya (secara eksplisit atau implisit) dengan

sumber acuan lain (Danesi, 2004).

Dari indeks tersebut, penulis dapat menggali makna yang lebih dalam

terhadap simbol yang dibawa melalui indeks tersebut. Indeks itu mengandung

simbol tentang jumlah hari dalam penanggalan Jawa yang terdiri dari Wage,

Kliwon, Legi, Pahing, dan Pon. Dalam konteks budaya Jawa, kehidupan ekonomi

masyarakatnya sangat dipengaruhi oleh hari-hari tersebut, sebagaimana

narasumber berkata demikian “contohnya barangkali sekarang, kita masih bisa

melihat kalau misalnya terkait dengan konsep perekonomian, o pahing kuwi

pasarane Prambanan, legi pasarane pasar Jangkang, di mana di situlah

kemudian secara tidak langsung, misalnya pasar-pasar rakyat istilahnya ini nanti

akan selalu bergulir secara perekonomian” (PE/LB/16). Hal itu menunjukkan

bahwa aktivitas perekonomian diatur atau ditentukan oleh hari dalam penanggalan

Jawa sebagai tanda bahwa segala sesuatu sudah ditentukan bagiannya, dan hal itu

terus berjalan bagaikan putaran baling-baling dari permainan Kitiran Godhong

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 135: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

122

Tela. Dengan demikian, hal itu dapat dimaknai bahwa kitiran menjadi simbol

perputaran atau siklus kehidupan yang terus berlangsung dan godhong tela

menjadi simbol jumlah hari yang menjadi tanda aturan perputaran kehidupan

bahwa manusia sudah memiliki bagian mereka masing-masing sehingga penulis

dapat merumuskan nilai karakter bahwa manusia tidak perlu serakah karena sudah

memiliki bagian dan peran masing-masing. Hal itu selaras dengan pandangan

Pierce (dalam Danesi, 2004) yang mengatakan bahwa simbol adalah tanda yang

mewakili objeknya melalui kesepakatan atau persetujuan dalam konteks spesifik.

Makna-makna dalam suatu simbol dibangun melalui kesepakatan sosial atau

melalui beberapa tradisi historis. Hal itu juga diperkuat oleh keterangan

narasumber yang berkata bahwa kita itu diharapkan tidak perlu njarah rayah

darbe ing liyan. Akan tetapi, bagaimana kemudian apa potensi yang ada di dalam

diri kita ketika kita kembangkan dan kita bisa selaras mengikuti dengan

perkembangan jaman yang ada, kita akan mampu memaknai dan memakai itu

sebagai satu pijakan hidup di dalam bermasyarakat (PE/LB/16). Hal itu

ditegaskan oleh Suseno (1985) yang mengungkapkan bahwa budaya Jawa sangat

kental dengan filosofi karakter atau sikap. Budaya Jawa sangat memegang nilai-

nilai luhur yang sangat kuat mengakar dalam kehidupan masyarakat sampai saat

ini.

4.2.1.14 Manusia Harus Membuang Segala Sifat Buruk Agar Tercipta

Kehidupan yang Harmonis

Nilai karakter yang menyatakan bahwa manusia harus membuang segala

sifat buruk agar tercipta kehidupan yang harmonis terkandung dalam permainan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 136: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

123

Kucing-kucingan. Permainan Kucing-kucingan dimainkan secara bersama-sama

dengan lima anak, tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih. Permainan ini pada

dasarnya berkompetisi untuk merebut tempat berdiri bagi anak yang dadi, dan

bertukar tempat bagi empat anak yang telah memiliki tempat berdirinya masing-

masing dengan cara bergandengan tangan lalu bertukar tempat. Pada saat itulah,

anak yang dadi berusaha merebut tempat. Jika berhasil, anak yang memiliki

tempat tadi menjadi anak yang dadi. Lalu, jika anak yang dadi itu gagal merebut,

maka teman-temannya menggotongnya untuk dibuang seperti kucing dan setelah

dibuang, mereka semua kembali lagi ke tempat asal untuk berebut tempat.

Demikian permainan terus berlanjut sampai mereka lelah dan berakhir dengan

sendirinya (SD/DP/18). Data yang menunjukkan deskripsi latar belakang budaya

permainan itu dapat diamati sebagai berikut.

Kucing-kucingan itu salah satu tembangnya adalah yo

mbuwang kucing gering, elingku, seperti itu. Nah, kenapa

kucing yang gering ini harus dibuang? Sebagaimana kalau

misalnya, di masyarakat itu ada sesuatu yang menjadi

istilahnya kalau sekarang mungkin yang lebih akrab

istilahnya pekat atau penyakit masyarakat. Kenapa itu

harus dibuang? Karena selama pekat itu nantinya akan

mendominasi, maka di sana nanti akan menciptakan

suasana yang disharmoni sehingga dibuangnya kucing ini

sebenarnya adalah lambang dibuangnya suatu energi

negatif, suatu tingkah laku negatif yang diharapkan

kemudian mampu memunculkan suasana harmonis

sebagaimana yang menjadi dambaan hampir di semua

tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. (PE/LB/18)

Data di atas dapat memberikan suatu keterangan yang menguatkan

interpretasi penulis dalam menggali nilai-nilai karakter yang tersembunyi di

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 137: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

124

dalam permainan Kucing-kucingan. Permainan tersebut terdiri dari satu kata yang

diulang dan mendapat akhiran –an, yang menunjukkan adanya proses imitasi

terhadap sifat hewan kucing di dalam permainan. Data (PE/LB/18) menyatakan

bahwa permainan tersebut menggambarkan seekor kucing yang gering atau sakit

yang melambangkan hal-hal atau sifat-sifat negatif yang ada dalam seseorang dan

mengganggu kehidupan bermasyarakat, sebagaimana narasumber mengatakan

“Nah, kenapa kucing yang gering ini harus dibuang? Sebagaimana kalau

misalnya, di masyarakat itu ada sesuatu yang menjadi istilahnya kalau sekarang

mungkin yang lebih akrab istilahnya pekat atau penyakit masyarakat”. Dari

pernyataan tersebut, maka tampak bahwa ada keterkaitan antara kata-kata yang

membentuk nama permainan itu dengan makna yang ada di dalamnya. Kata-kata

yang menjadi nama permainan itu merepresentasikan sesuatu yang menjadi

bagian di dalam suatu kebudayaan. Deskripsi latar belakang budaya permainan

tersebut menunjukkan hal-hal yang menjadi bagian di dalam suatu kebudayaan,

khususnya budaya Jawa. Song (2010) menyatakan bahwa konteks kultur mengacu

pada budaya, adat istiadat, latar belakang zaman dalam komunitas bahasa yang di

dalamnya para penutur terlibat langsung. Hal itu berfungsi untuk memberi nilai

pada teks dan mendayakan penafsirannya (Halliday dan Hasan, 1985).

Dalam permainan itu, penulis menemukan tanda yang mengacu pada

sesuatu dan memiliki makna yang lebih dalam sebagai hal yang dapat

menunjukkan nilai karakter yang tersembunyi di dalam permainan itu. Tanda di

dalam permainan ini dapat menunjuk pada sesuatu yang perlu digali secara lebih

mendalam, sebagaimana Pierce (1965 dalam Foley, 2001) membedakan tanda atas

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 138: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

125

tiga jenis yakni indeks (index), simbol (symbol), dan ikon (icon). Kata kucing

yang terdapat pada nama permainan itu merupakan ikon yang mengacu pada

hewan kucing secara langsung. Ikon adalah tanda yang mewakili sumber acuan

melalui sebuah bentuk replikasi, simulasi, imitasi, atau persamaan. Sebuah tanda

dirancang untuk mempresentasikan sumber acuan melalui simulasi atau

persamaan (Danesi, 2004). Dari hal itu, penulis dapat menggali makna yang lebih

dalam melalui ikon yang terdapat di dalam permainan itu.

Permainan itu memiliki simbol yang dapat mengungkapkan makna yang

sebenarnya, yang dapat di telusuri melalui ikon yang telah diidentifikasi. Makna

itu dapat disebut sebagai nilai karakter yang tersembunyi. Berdasarkan hasil studi

dokumen dan percakapan etnografis yang dilakukan oleh penulis mengenai

deskripsi permainan dan deskripsi latar belakang budaya permainan, aktivitas

mbuwang kucing gering seperti kalimat yang terdapat dalam syair lagunya, yang

berarti membuang kucing yang sakit dapat dimaknai sebagai usaha untuk

membuang hal-hal atau sifat-sifat negatif yang terdapat di dalam diri seseoarang

maupun masyarakat yang mengganggu keharmonisan kehidupan bermasyarakat

itu sendiri, yang ditunjukkan oleh “Lalu, jika anak yang dadi itu gagal merebut,

maka teman-temannya menggotongnya untuk dibuang seperti kucing.”

(SD/DP/18) dan “karena selama pekat (penyakit masyarakat) itu nantinya akan

mendominasi, maka di sana nanti akan menciptakan suasana yang disharmoni

sehingga dibuangnya kucing ini sebenarnya adalah lambang dibuangnya suatu

energi negatif” (PE/LB/18). Kucing yang sakit dalam konteks budaya Jawa

maupun kehidupan sehari-hari selalu menjadi hewan yang ditakuti dan dihindari

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 139: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

126

sehingga banyak orang yang membuangnya. Dengan demikian, hal itu dapat

dimaknai bahwa kucing (kucing gering – dalam konteks permainan itu) menjadi

simbol energi, hal, atau sifat negatif dalam diri seseorang dan aktivitas membuang

kucing yang sakit itu menjadi simbol usaha manusia untuk membuang sifat-sifat

negatif agar tidak mengganggu orang lain sehingga penulis dapat merumuskan

nilai karakter bahwa manusia harus membuang segala sifat buruk agar tercipta

kehidupan yang harmonis. Hal itu selaras dengan pandangan Pierce (dalam

Danesi, 2004) yang mengatakan bahwa simbol adalah tanda yang mewakili

objeknya melalui kesepakatan atau persetujuan dalam konteks spesifik. Makna-

makna dalam suatu simbol dibangun melalui kesepakatan sosial atau melalui

beberapa tradisi historis. Budaya Jawa selalu menunjung nilai-nilai keharmonisan

dalam kehidupan bermasyarakat sehingga sikap demikian sangatlah penting. Hal

itu ditegaskan oleh Suseno (1985) yang mengungkapkan bahwa budaya Jawa

sangat kental dengan filosofi karakter atau sikap. Budaya Jawa sangat memegang

nilai-nilai luhur yang sangat kuat mengakar dalam kehidupan masyarakat sampai

saat ini.

4.2.1.15 Manusia Harus Dapat Merangkai dan Merencanakan

Kehidupannya Sesuai dengan Kehendak Tuhan

Nilai karakter yang menyatakan bahwa manusia harus dapat merangkai

dan merencanakan kehidupannya sesuai dengan kehendak Tuhan terkandung

dalam permainan Kupluk Godhong. Permainan Kupluk Godhong dilakukan

dengan membuat mainan yang terbuat dari daun yang berukuran agak besar dan

beberapa potongan-potongan lidi. Mainan berbentuk seperti mahkota untuk

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 140: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

127

dipakai seperti topi dan dibuat dengan merangkai daun-daun menggunakan lidi

(SD/DP/19). Data yang menunjukkan deskripsi latar belakang budaya permainan

itu dapat diamati sebagai berikut.

Dalam Kupluk Godhong itu, kita itu sebenarnya diajari

ngronce, ngronce reroncening urip. Karena apa? Kalau kita

ngronce, jadi, dari sesuatu yang berserakan, dironce itu kan

tadinya pasti nggak ngumpul ta Mas, godhong nangka

sendiri kan nggak mungkin kita kemudian menek ngethok

wite kan enggak, akan tetapi adalah dari daun-daun yang

berserakan. Demikian juga dengan segala sesuatu yang ada

ini kan terntunya bermula dari ceceran-ceceran yang

kemudian kalau kita itu mampu negsuhi, kalau kemudian

kita itu mampu mewadahi segala sesuatu, unsur yang

bermanfaat bagi diri kita, tentunya, itu nanti akan menjadi

mahkota yang melekat pada diri kita. Karena kan setelah

direnteng, istilahnya, kupluk ini nanti kan akan dipakai

kan. Nah, kenapa kemudian dipakai? Karena kupluk

godhong inilah sebenarnya dari tebaran-tebaran sesuatu

yang tidak berguna dan tebaran-tebaran yang kita sendiri

tidak pernah tahu, kenapa misalnya kita ditebar di bumi

Jawa, kita nggak pernah tahu, yang tahu itu ya misterinya

Sang Pencipta. Nah, dari tebaran yang ada itulah kemudian

kita diharapkan tahu kenapa kok kowe tak tebar neng kene,

misalnya, dan kenapa kemudian dari tebaran itu kita pilih

yang kita sendiri tidak bisa selak istilahnya, yen umpama

kita itu bisa memilih, ya milih dadi anak presiden ket

mbiyen. Tapi kan kita nggak bisa memilih, di manapun,

kita tidak bisa memilih itu, dan yang tahu adalah

bagaimana kemudian tebaran-tebaran yang ada itu kita

rangkai agar kemudian mampu menghasilkan sesuatu yang

bermanfaat dan berdayaguna bagi diri kita, syukur bagi

kemudian bisa menjadi sesuatu yang bermanfaat untuk

masyarakat yang lebih luas lagi. (PE/LB/19)

Data di atas dapat memberikan suatu keterangan yang menguatkan

interpretasi penulis dalam menggali nilai-nilai karakter yang tersembunyi di

dalam permainan Kupluk Godhong. Permainan tersebut terdiri dari dua kata, yaitu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 141: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

128

kupluk dan godhong. Kata kupluk berarti penutup kepala, dan kata godhong

berarti daun. Data (PE/LB/19) menyatakan bahwa permainan tersebut

mengungkapkan tentang cara manusia dalam merencanakan hidupnya,

sebagaimana narasumber mengatakan bahwa dalam Kupluk Godhong itu, kita itu

sebenarnya diajari ngronce, ngronce reroncening urip (ngronce – merencanakan,

reroncening - rencana). Dari pernyataan tersebut, maka tampak bahwa ada

keterkaitan antara kata-kata yang membentuk nama permainan itu dengan makna

yang ada di dalamnya. Kata-kata yang menjadi nama permainan itu

merepresentasikan sesuatu yang menjadi bagian di dalam suatu kebudayaan.

Deskripsi latar belakang budaya permainan tersebut menunjukkan hal-hal yang

menjadi bagian di dalam suatu kebudayaan, khususnya budaya Jawa. Song (2010)

menyatakan bahwa konteks kultur mengacu pada budaya, adat istiadat, latar

belakang zaman dalam komunitas bahasa yang di dalamnya para penutur terlibat

langsung. Hal itu berfungsi untuk memberi nilai pada teks dan mendayakan

penafsirannya (Halliday dan Hasan, 1985).

Dalam permainan itu, penulis menemukan tanda yang mengacu pada

sesuatu dan memiliki makna yang lebih dalam sebagai hal yang dapat

menunjukkan nilai karakter yang tersembunyi di dalam permainan itu. Tanda di

dalam permainan ini dapat menunjuk pada sesuatu yang perlu digali secara lebih

mendalam, sebagaimana Pierce (1965 dalam Foley, 2001) membedakan tanda atas

tiga jenis yakni indeks (index), simbol (symbol), dan ikon (icon). Kata kupluk dan

godhong yang terdapat pada nama permainan itu merupakan ikon yang mengacu

pada bentuk media permainan yang dibuat dengan merangkai dedaunan menjadi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 142: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

129

sebuah penutup kepala yang berbentuk seperti mahkota yang melingkari kepala.

Ikon adalah tanda yang mewakili sumber acuan melalui sebuah bentuk replikasi,

simulasi, imitasi, atau persamaan. Sebuah tanda dirancang untuk

mempresentasikan sumber acuan melalui simulasi atau persamaan (Danesi, 2004).

Dari hal itu, penulis dapat menggali makna yang lebih dalam melalui ikon yang

terdapat di dalam permainan itu.

Permainan itu memiliki simbol yang dapat mengungkapkan makna yang

sebenarnya, yang dapat di telusuri melalui ikon yang telah diidentifikasi. Makna

itu dapat disebut sebagai nilai karakter yang tersembunyi. Berdasarkan hasil studi

dokumen dan percakapan etnografis yang dilakukan oleh penulis mengenai

deskripsi permainan dan deskripsi latar belakang budaya permainan, anak harus

merangkai dedaunan dengan lidi menjadi sebuah mahkota bagaikan merangkai

kehidupannya, yang ditunjukkan oleh “Mainan berbentuk seperti mahkota untuk

dipakai seperti topi dan dibuat dengan merangkai daun-daun menggunakan lidi.”

(SD/DP/19) dan “Dalam Kupluk Godhong itu, kita itu sebenarnya diajari

ngronce, ngronce reroncening urip.” (PE/LB/19). Mahkota dalam konteks budaya

Jawa merupakan benda berharga yang menandakan suatu kehormatan dan

martabat, yang mana dalam hal ini merupakan sesuatu yang perlu diperjuangkan

sebagai tanda kebaikan yang dimiliki oleh manusia. Lalu, narasumber

menambahkan bahwa “Karena kupluk godhong inilah sebenarnya dari tebaran-

tebaran sesuatu yang tidak berguna dan tebaran-tebaran yang kita sendiri tidak

pernah tahu, kenapa misalnya kita ditebar di bumi Jawa, kita nggak pernah tahu,

yang tahu itu ya misterinya Sang Pencipta.” (PE/LB/19). Hal itu dapat dimaknai

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 143: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

130

bahwa rencana yang selaras dengan kehendak Tuhan selalu menghasilkan sesuatu

yang baik, walaupun biasanya dimulai dari hal-hal yang kecil atau sepele, namun

suatu saat dapat menjadi hal yang besar dan berharga bagaikan mahkota. Dengan

demikian, hal itu dapat dimaknai kembali bahwa kupluk menjadi simbol mahkota

atau martabat tertinggi dari Tuhan, godhong menjadi simbol rencana Tuhan yang

dimulai dari hal yang kecil untuk menghasilkan hal yang baik, dan aktivitas

merangkai dedaunan itu menjadi simbol usaha manusia untuk ikut melakukan

kehendaknya sehingga penulis dapat merumuskan nilai karakter bahwa manusia

harus dapat merangkai dan merencanakan kehidupannya sesuai dengan kehendak

Tuhan. Hal itu selaras dengan pandangan Pierce (dalam Danesi, 2004) yang

mengatakan bahwa simbol adalah tanda yang mewakili objeknya melalui

kesepakatan atau persetujuan dalam konteks spesifik. Makna-makna dalam suatu

simbol dibangun melalui kesepakatan sosial atau melalui beberapa tradisi historis.

Budaya Jawa sudah mengenal konsep Ketuhanan dari hal-hal yang kecil sampai

pada hal-hal yang besar, bahkan sejak sebelum masyarakatnya mengenal agama.

Oleh karena itulah, masyarakat Jawa memiliki ajaran yang luhur tentang Tuhan

sebagai bagian dari nilai-nilai karakter. Hal itu ditegaskan oleh Suseno (1985)

yang mengungkapkan bahwa budaya Jawa sangat kental dengan filosofi karakter

atau sikap. Budaya Jawa sangat memegang nilai-nilai luhur yang sangat kuat

mengakar dalam kehidupan masyarakat sampai saat ini.

4.2.1.16 Manusia Perlu Mengendalikan Diri Agar Tidak Terjatuh dan

Mencelakakan Diri Sendiri

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 144: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

131

Nilai karakter yang menyatakan bahwa manusia perlu mengendalikan diri

agar tidak terjatuh dan mencelakakan diri sendiri terkandung dalam permainan

Layangan. Permainan Layangan dilakukan dengan membuat mainan yang terbuat

dari batang bambu tipis, kertas, tali/benang, dan kertas tisu/minyak. Mainan

berupa layang-layang yang berbentuk belah ketupat dan dimainkan dengan

menerbangkannya menggunakan tali yang panjang. (SD/DP/20). Data yang

menunjukkan deskripsi latar belakang budaya permainan itu dapat diamati sebagai

berikut.

Kita diajak untuk mengenal suratan, karena layang itu kan

surat ta. Nah, bagaimana layang atau surat yang kita

terbangkan dan kita tauti benang secara fisik, bagaimana

kemudian pengendalian diri, agar kemudian kita sendiri

mampu nggegana, istilahnya kalau mbah-mbah kita dulu

menyimak layangan itu bagaimana kemudian siklus

kehidupan ulat, bagaimana kemudian dia menjadi ulat,

bagaimana ketika bertapa menjadi kempompong, dan

bagaimana ketika terbang menjadi kupu gajah, maka

namanya adalah basupa, basupu, dan basunada. Jadi, ketika

lelayangan dan layangan ini tadi terbang, maka di sanalah

kita harus mampu mengendalikan, jangan sampai layang-

layang itu menjadi sesuatu yang liar. Jadi jangan sampai

istilahnya, kemudian ketika kita diberikan kelebihan itu

sendiri, kita menjadi lupa, kemudian kita sendiri menjadi

melupakan apa yang telah diberikan olehNya yang telah

memberikan kelebihan kepada diri kita, namun dengan

senantiasa tertambat pada benang kehidupan yang

dikendalikan, jadi istilahnya melalui dolanan layangan itu

sebenarnya, kita selain paham dengan diri kita, kita juga

paham dengan yang menitahkan diri kita, karena di sanalah

tambatan benang kehidupan yang ada. Yen wis benange iki

dikethok, layangane ya pedhot. Dia juga akan menjadi

ngoleng-ngoleng sak karepe dhewe dan akhirnya nyiruk

dan jatuh. Makanya kan agar senantiasa kita eling pada

benang kehidupan ya kita harus senantiasa mendekatkan

diri. Ketika kita dekat, ya kita akan menjadi dekat, ketika

jauh, ya maka energi kehidupan dan talining urip itu tadi

juga akan menjadi jauh. Maka, Engkau dekat, aku dekat,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 145: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

132

Engkau jauh, aku pun akan menjadi jauh, misalnya

semacam itu. Jadi bagaimana kemudian layangan ini kan

semakin jauh dari benang, untuk dikendalikannya pun juga

akan menjadi berproses. Maka, dari dolanan Layangan ini

kan yang diharapkan adalah kita senantiasa bisa tertambat

pada satu tujuan apapun dan bagaimanapun juga

keadaannya, kita jangan sampai lupa pada yang

mengendalikan kita, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.

(PE/LB/20)

Data di atas dapat memberikan suatu keterangan yang menguatkan

interpretasi penulis dalam menggali nilai-nilai karakter yang tersembunyi di

dalam permainan Layangan. Permainan tersebut terdiri dari satu kata, yang

berasal dari kata layang dan mendapat akhiran -an. Kata layang berarti surat, yang

mana di dalam permainan ini adalah surat yang diterbangkan dengan tali sebagai

pengendalinya. Data (PE/LB/20) menyatakan bahwa permainan tersebut

merupakan suatu bentuk permainan yang melatih pengendalian pada media

permainannya, yang mana juga dapat bermakna sebagai pengendalian diri,

sebagaimana narasumber mengatakan bahwa kita diajak untuk mengenal suratan,

karena layang itu kan surat ta. Nah, bagaimana layang atau surat yang kita

terbangkan dan kita tauti benang secara fisik, bagaimana kemudian pengendalian

diri, agar kemudian kita sendiri mampu nggegana (mengudara). Dari pernyataan

tersebut, maka tampak bahwa ada keterkaitan antara kata yang membentuk nama

permainan itu dengan makna yang ada di dalamnya. Kata-kata yang menjadi nama

permainan itu merepresentasikan sesuatu yang menjadi bagian di dalam suatu

kebudayaan. Deskripsi latar belakang budaya permainan tersebut menunjukkan

hal-hal yang menjadi bagian di dalam suatu kebudayaan, khususnya budaya Jawa.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 146: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

133

Song (2010) menyatakan bahwa konteks kultur mengacu pada budaya, adat

istiadat, latar belakang zaman dalam komunitas bahasa yang di dalamnya para

penutur terlibat langsung. Hal itu berfungsi untuk memberi nilai pada teks dan

mendayakan penafsirannya (Halliday dan Hasan, 1985).

Dalam permainan itu, penulis menemukan tanda yang mengacu pada

sesuatu dan memiliki makna yang lebih dalam sebagai hal yang dapat

menunjukkan nilai karakter yang tersembunyi di dalam permainan itu. Tanda di

dalam permainan ini dapat menunjuk pada sesuatu yang perlu digali secara lebih

mendalam, sebagaimana Pierce (1965 dalam Foley, 2001) membedakan tanda atas

tiga jenis yakni indeks (index), simbol (symbol), dan ikon (icon). Kata layangan

yang terdapat pada nama permainan itu merupakan ikon yang mengacu secara

langsung pada media permainan yang diterbangkan itu. Media permainan itu

bernama layangan. Ikon adalah tanda yang mewakili sumber acuan melalui

sebuah bentuk replikasi, simulasi, imitasi, atau persamaan. Sebuah tanda

dirancang untuk mempresentasikan sumber acuan melalui simulasi atau

persamaan (Danesi, 2004). Dari hal itu, penulis dapat menggali makna yang lebih

dalam melalui ikon yang terdapat di dalam permainan itu.

Permainan itu memiliki simbol yang dapat mengungkapkan makna yang

sebenarnya, yang dapat di telusuri melalui ikon yang telah diidentifikasi. Makna

itu dapat disebut sebagai nilai karakter yang tersembunyi. Berdasarkan hasil studi

dokumen dan percakapan etnografis yang dilakukan oleh penulis mengenai

deskripsi permainan dan deskripsi latar belakang budaya permainan, permainan

itu dimainkan dengan menggunakan tali untuk mengendalikannya, namun hal itu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 147: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

134

tidak mudah untuk dilakukan bagi sebagian anak/orang sehingga dapat bermakna

sebagai bentuk pengendalian diri dalam kehidupan, yang ditunjukkan oleh

“Mainan berupa layang-layang yang berbentuk belah ketupat dan dimainkan

dengan menerbangkannya menggunakan tali yang panjang (SD/DP/20). dan

“layang atau surat yang kita terbangkan dan kita tauti benang secara fisik,

bagaimana kemudian pengendalian diri” (PE/LB/20). Kata layang yang berarti

surat tersebut juga memiliki makna tersendiri sebagai perilaku, tutur kata, dan

pikiran, kemudian, tali yang menjadi pengendali itu juga dapat dimaknai sebagai

bentuk pengendalian diri kita. Segala gerak layangan itu ditentukan oleh diri kita

sendiri yang mengendalikannya menggunakan tali tersebut. Dengan demikian, hal

itu dapat dimaknai bahwa layangan menjadi simbol segala perilaku, tutur kata,

dan pikiran kita, tali menjadi simbol pengendalian diri kita, dan aktivitas bermain

aktivitas bermain layangan itu menjadi simbol bukti kemampuan diri kita dalam

mengendalikan layangan itu, karena jika kita gagal, maka benda itu akan bergerak

tidak terkendali dan jatuh hingga rusak sehingga penulis dapat merumuskan nilai

karakter bahwa manusia perlu mengendalikan diri agar tidak terjatuh dan

mencelakakan diri sendiri. Hal itu selaras dengan pandangan Pierce (dalam

Danesi, 2004) yang mengatakan bahwa simbol adalah tanda yang mewakili

objeknya melalui kesepakatan atau persetujuan dalam konteks spesifik. Makna-

makna dalam suatu simbol dibangun melalui kesepakatan sosial atau melalui

beberapa tradisi historis. Hal itu juga diperkuat oleh keterangan narasumber yang

berkata bahwa yen wis benange iki dikethok, layangane ya pedhot. Dia juga akan

menjadi ngoleng-ngoleng sak karepe dhewe dan akhirnya nyiruk dan jatuh.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 148: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

135

(PE/LB/20). Hal itu ditegaskan oleh Suseno (1985) yang mengungkapkan bahwa

budaya Jawa sangat kental dengan filosofi karakter atau sikap. Budaya Jawa

sangat memegang nilai-nilai luhur yang sangat kuat mengakar dalam kehidupan

masyarakat sampai saat ini.

4.2.2 Jenis-jenis Permainan Anak Tradisional

Jenis-jenis permainan anak tradisional dalam penelitian ini merupakan

deskripsi permainan-permainan yang diklasifikasi berdasarkan jenisnya, seperti

permainan dengan nyanyian atau dialog, permainan asah fisik, permainan asah

otak, dan permainan keterampilan tangan berdasarkan keterangan dari narasumber

tentang jenis-jenis permainan anak tradisional. Penulis meminta pernyataan

narasumber secara konfirmatoris dengan dasar klasifikasi yang telah dikemukakan

oleh para ahli. Narasumber menyatakan bahwa ada empat jenis permainan anak

tradisional sebagaimana telah disebutkan di atas. Hal itu selaras dengan klasifikasi

yang dilakukan oleh beberapa ahli. Dharmamulya (2005) menyatakan bahwa ada

tiga jenis, yaitu permainan dengan oleh pikir, permainan dengan adu ketangkasan,

dan permainan dengan bernyanyi atau dialog. Tim JSIT (2005) menyatakan

bahwa juga ada tiga, yaitu permainan asah otak, permainan asah fisik, dan

permainan dengan nyanyian. Lalu, Ismail (2010) menyatakan bahwa permainan

anak tradisional dapat dibagi atas tiga jenis pula, yaitu dilihat dari dimensi

kognitif, psikomotorik, dan afektif sehingga pada akhinya menghasilkan tiga jenis

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 149: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

136

permainan seperti yang dipaparakan di atas. Namun, hasil percakapan etnografis

menunjukkan bahwa ada satu lagi jenis permainan, yaitu permainan keterampilan

tangan, yang mana anak dapat memanfaatkan keterampilan tangannya untuk

membuat media atau mainan di dalam permainan-permainan tertentu. Oleh karena

itu, demi kedalaman analisis di dalam penelitian ini, penulis perlu

mendeskripsikan keempat jenis permainan anak tradisional yang mengandung

nilai-nilai karakter itu, beserta permainan-permainan yang termasuk di dalam

keempat jenis itu. Klasifikasi permainan anak tradisional berdasarkan jenisnya

dipaparkan sebagai berikut.

4.2.2.1 Permainan dengan Nyanyian atau Dialog

Permainan dengan nyanyian atau dialog adalah jenis permainan yang

dilakukan dengan menonjolkan aktivitas nyanyian yang disertai dengan dialog

atau hanya salah satunya saja. Jenis permainan ini memerlukan keikutsertaan anak

untuk bersedia bernyanyi lagu atau tembang yang wajib dilakukan di dalam

permainan itu. Selain itu, anak juga dapat mengucapkan kata-kata atau dialog

yang sudah bersifat baku yang sudah menjadi bagian dari proses permainan itu

sendiri. Pernyataan narasumber berikut ini mengungkapkan mengenai jenis

permainan dengan nyanyian atau dialog beserta dengan permainan-permainan

yang termasuk di dalam jenis permainan ini.

Permainan yang menggunakan dialog atau nyanyian itu

misalnya Jamuran. Kalau kita tilik dari asal namanya,

sebenarnya kan juga tidak ada yang njamur di dalam

permainan itu. Namun, terkait dengan yang ditembangkan,

itu adalah terkait dengan berbagai macam jenis jamur

apapun di sana akan disebutkan sehingga nama permainan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 150: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

137

itu memang kemudian lekat dengan tembang yang

dinyanyikan. Oleh karena itu, permainan tersebut memang

kaitannya tidak hanya dengan wujud fisik jamur yang

nampak di sana, akan tetapi akan lebih terkait dengan pola

tetembangan yang dilakukan. Ancak-ancak Alis itu juga

termasuk jenis permainan yang ditembangkan. Ingkling ini

termasuk asah fisik. Cublak-cublak Suweng juga.

Permainan itu kan di sana juga tidak ada suwengnya. Jadi

permainan seperti itu memang lebih mengacu pada bentuk

pola permainan tetembangan yang bisa dimainkan secara

bersama-sama atau kelompok. Dari sanalah kemudian

nama-nama permainan tersebut itu lebih dikaitkan dengan

tembang yang ada, karena nembangnya juga tidak

dilakukan dengan seorang diri, akan tetap dilakukan secara

bersama-sama. Contohnya, Ancak-ancak Alis, dhayoh-

dhayohan, Cublak-cublak Suweng itu juga dengan

nyanyian, Sliring Gendhing, Pong-pong Bolong, Jamuran,

Dhingklik Oglak-aglik. Kebetulan permainan yang disertai

kerja sama itu ada tembangnya. (PE/JP/17)

Pernyataan narasumber di atas dapat dirangkum dan mengungkapkan

bahwa jenis permainan dengan nyanyian atau dialog adalah jenis permainan yang

memerlukan aktivitas bernyanyi dan berdialog yang dilakukan secara bersama-

sama atau kelompok sehingga nama permainan itu juga mengadaptasi judul

tembang atau kata-kata yang dinyanyikan di dalam tembang itu. Sehubungan

dengan pernyataan tersebut, Dharmamulya (2005) menyatakan bahwa permainan

anak dengan pola bermain bernyanyi dan atau berdialog yang dimaksudkan adalah

pada waktu permainan dimainkan diawali atau diselingi dengan nyanyian, dialog,

atau keduanya. Pernyataan narasumber dengan pendapat ahli memiliki keselarasan

bahwa jenis permainan tersebut melibatkan aktivitas bernyanyi dan atau

berdialog. Lalu, narasumber juga mengungkapkan beberapa permainan yang

termasuk dalam jenis permainan dengan nyanyian atau dialog ini, yaitu (1)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 151: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

138

Jamuran, (2) Ancak-ancak Alis, (3) Cublak-cublak Suweng, (4) Sliring Gendhing,

(5) Pong-pong Bolong, dan (6) Dhingklik Oglak-aglik. Berikut merupakan

pemaparan dan analisis dari jenis-jenis permainan tradisional berdasarkan hasil

percakapan etnografis yang dilakukan.

Berdasarkan hasil percakapan etnografis, salah satu permainan yang

termasuk di dalam jenis ini, seperti Jamuran lebih mengacu pada lagu yang

dinyanyikan, yaitu Jamuran, sesuai dengan nama permainan itu. Permainan

Jamuran harus dilakukan secara bersama-sama mulai dari (1) aktivitas bermain,

(2) lagu, (3) dialog, dan (4) pelaku permainan. Nama permainan itu mengadaptasi

lagu yang dinyanyikan dengan mengucapkan Jamuran dan juga aktivitas yang

dilakukan di dalam permainan itu, yang mana lagu itu harus dinyanyikan secara

bersama-sama pula. Hasil percakapan etnografis juga menyatakan bahwa “... hal

yang ditonjolkan di sana adalah bagaimana mereka bisa bernyanyi bersama dan

bergembira bersama. ... Aktivitas nembang itu mengajak kita untuk bekerja sama

membuat harmoni, tidak mbengok sak bantere (tidak berteriak sesuka hati).”

(PE/JP/18). Nama permainan itu terutama menunjukkan tembang Jamuran,

dialog, dan aktivitas yang harus dilakukan dengan menirukan gaya tubuh seperti

jamur, yang biasanya juga diikuti dengan jenis jamur tertentu sehingga pemain

harus menyesuaikan gaya tubuh mereka dengan bentuk jamur yang disebutkan.

Permainan Jamuran termasuk dalam jenis permainan dengan nyanyian atau

dialog, karena permainan tersebut dilakukan dengan aktivitas bernyanyi tembang

“Jamuran”. Tembang atau lagu yang dinyanyikan di dalam permainan itu menjadi

ciri khas yang paling menonjol sehingga permainan itu dinamakan sesuai dengan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 152: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

139

tembangnya dan termasuk ke dalam jenis permainan dengan nyanyian atau dialog.

Namun, sebenarnya tembang itu juga mengacu pada inti dari permainan itu, yaitu

aktivitas utamanya yang mana anak harus menirukan sifat-sifat jamur seperti yang

disebutkan oleh peserta yang dadi. Maka, inti dari permainan ini yang sebenarnya

adalah aktivitas peniruan jamur itu sendiri sehingga nama itu sebenarnya juga

mengacu pada aktivitas peniruan itu. Jika kita amati, aktivitas menjadi pusat

acuan, yang kemudian secara bertahap dibawakan oleh lagu yang dinyanyikan,

lalu ditandai melalui nama yang mengacu pada tembang dan aktivitas peniruan

jamur di dalam permainan itu sekaligus.

Anak menirukan jamur sesuai dengan jamur yang disebutkan oleh anak

yang dadi. Maka, inti yang sebenarnya dari permainan itu adalah aktivitas anak

yang harus menentukan jenis jamur yang harus ditirukan. Hal itu membutuhkan

kreativitas karena anak harus dapat menentukan jenis jamur yang unik dan

menantang untuk diragakan, namun jenis jamur haruslah tetap masuk akal. Maka,

jika dirunut kembali, nyanyian atau dialog itu dibawa melalui aktivitas inti

permainan, kemudian dari aktivitas itu dikisahkan atau dinarasikan melalui

tembang atau lagu permainan, lalu aktivitas dan tembang itu diacu melalui nama

permainan sehingga nama itu menandai bentuk-bentuk aktivitas dan tembang

yang dinyanyikan, yang menunjukkan jenis permainannya.

Permainan Ancak-ancak Alis juga memiliki karakteristik yang mirip

dengan Jamuran. Nama permainan itu lebih mengacu pada lagu yang dinyanyikan,

yaitu Ancak-ancak Alis. Aktivitas menjadi bagian dari proses perilaku berbahasa

yang dapat menunjukkan keterkaitan antara pesan yang ingin disampaikan dengan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 153: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

140

bentuk-bentuk linguistik yang mengacu kepada sesuatu. Hal itu dapat dikaitkan

dengan pandangan Pierce (1965 dalam Foley, 2001) yang mengemukakan bahwa

bahasa sebagai aktivitas sosial yang melibatkan pelaku sosial. Permainan Ancak-

ancak Alis harus dilakukan secara bersama-sama mulai dari (1) aktivitas bermain,

(2) lagu, (3) dialog, dan (4) pelaku permainan, sebagaimana hal yang telah

dipaparkan di atas. Nama permainan itu mengadaptasi lagu yang dinyanyikan

dengan mengucapkan Ancak-ancak Alis, yang mana lagu itu harus dinyanyikan

secara bersama-sama pula. Nama permainan itu terutama menunjukkan tembang

Ancak-ancak Alis dan dialog. Permainan Ancak-ancak Alis juga termasuk dalam

jenis permainan dengan nyanyian atau dialog, karena permainan tersebut

dilakukan dengan aktivitas bernyanyi tembang sekaligus dialog dalam rangkaian

yang cukup panjang. Tembang atau lagu yang dinyanyikan dan dialog di dalam

permainan itu menjadi ciri khas yang paling menonjol sehingga permainan itu

dinamakan sesuai dengan tembang dan dialog dan termasuk ke dalam jenis

permainan dengan nyanyian atau dialog. Namun, sebenarnya tembang dan

terutama dialog itu juga mengacu pada inti dari permainan itu, yaitu aktivitas

utamanya yang mana anak harus menyebutkan alat-alat pertanian yang sesuai

dengan keinginan anak yang berperan sebagai petani. Inti dari permainan ini yang

sebenarnya adalah aktivitas untuk saling bekerja sama untuk melakukan

permainan dari tahap seleksi anak semang sampai pada tahap akhir untuk adu

kekuatan antartim sejumlah anak semang yang terpilih tadi untuk melakukan tarik

tambang. Jika kita amati pula, aktivitas di dalam permainan tersebut juga menjadi

pusat acuan, yang kemudian secara bertahap dibawakan oleh lagu dan dialog yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 154: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

141

dilakukan, lalu ditandai melalui nama yang mengacu pada tembang atau dialog

dan aktivitas kerja sama di dalam permainan itu sekaligus. Aktivitas kerja sama

itu dibawa melalui aktivitas inti permainan, kemudian dari aktivitas itu dikisahkan

atau dinarasikan melalui tembang atau lagu permainan, lalu aktivitas dan tembang

itu diacu melalui nama permainan sehingga nama itu menandai bentuk-bentuk

aktivitas dan tembang yang dinyanyikan, yang juga menunjukkan jenis

permainannya, sebagaimana hal yang telah kita dapati dari permainan Jamuran,

Cublak-cublak Suweng, Sliring Gendhing, Pong-pong Bolong, dan Dhingklik

Oglak-aglik.

Dalam hal ini, tampak bahwa jenis permainan memiliki acuan yang mirip

dengan nama permainan. Jenis permainan mengacu pada hal-hal yang tampak dari

permukaan, yaitu tembang yang dinyanyikan, yang menggambakan aktivitas

permainan yang dilakukan. Sedangkan, nama permainan lebih mengacu pada hal-

hal yang tampak pula, namun dapat mencangkup dimensi yang lebih luas, yaitu

tembang sekaligus aktivitas permainan yang dilakukan. Jenis permainan

mengungkapkan hal-hal khas yang sangat tampak atau langsung tampak dari

permainan itu, sebagaimana permainan-permainan itu cukup menunjukkan kaitan

itu. Dalam hal ini, pandangan Pierce (1965 dalam Foley, 2001) yang

mengemukakan bahwa bahasa sebagai aktivitas sosial yang melibatkan pelaku

sosial, juga berlaku seperti nama permainan yang mengacu pada hal tertentu. Hal-

hal yang menunjukkan jenis permainan itu pertama-tama adalah aktivitas inti dari

permainan itu sendiri; lalu disusul dengan tembang yang bersifat menggambarkan,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 155: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

142

menarasikan, atau menceritakan hal-hal yang berkaitan dengan permainan itu,

termasuk aktivitas inti yang dilakukan.

4.2.2.2 Permainan Asah Fisik

Permainan asah fisik adalah jenis permainan yang dilakukan dengan

menonjolkan aktivitas gerak fisik untuk melakukan permainan. Jenis permainan

ini memerlukan keikutsertaan anak untuk bersedia menggerakkan tubuh mereka

sebagai bagian yang harus dilakukan di dalam permainan itu. Anak cenderung

melakukan permainan seperti ketika mereka melakukan olah raga di sekolah, di

rumah, atau di mana saja dalam kehidupan sehari-hari. Permainan jenis ini

biasanya menjadi seperti permainan olah raga karena memerlukan gerak tubuh

sebagai bagian dari aktivitas permainan itu tadi. Pernyataan narasumber berikut

ini mengungkapkan mengenai jenis permainan asah fisik beserta dengan

permainan-permainan yang termasuk di dalam jenis permainan ini.

Permainan asah fisik itu yang lebih terkait dengan

keterampilan fisik. Misalnya, contoh permainan asah fisik

itu adalah Gobag Sodor. Nah, itu adalah permainan yang

terkait dengan asah fisik sehingga selain dia secara pribadi

harus lincah, dia juga harus kerja sama. Jika dilihat secara

pribadi yang terkait dengan asah fisik itu adalah semacam

kemampuan asah fisik, yaitu bagaimana kemudian upaya

dia untuk bisa mengenai lawan. Secara motorik, dia harus

bisa menyatukan antara gerak langkah, tangan, untuk bisa

bersembunyi dan sebagainya sehingga dia tidak bisa

terkena oleh peluru atau tangkapan lawan. Semacam

permainan kasti itu juga termasuk jenis permainan asah

fisik, ketika dia harus berlari dari satu pos ke pos yang lain,

termasuk juga kemampuan fisiknya untuk mampu

memukul bola sehingga bisa jauh atau bisa langsung

menangkap bola, itu juga kemampuan fisik yang tidak

mungkin hanya dilakukan, tanpa dia melakukan latihan

yang rutin. Contoh permainan asah fisik itu, seperti Gobag

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 156: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

143

Sodor, kasti, Ingkling, Plintheng karena bagaimanapun

juga kalau tidak terampil mlintheng kan secara motorik dia

juga tidak bisa melakukannya, benthik dan bentengan juga

termasuk. (PE/JP/17)

Pernyataan narasumber di atas dapat dirangkum dan mengungkapkan

bahwa jenis permainan asah fisik adalah jenis permainan yang memerlukan

aktivitas gerak tubuh atau fisik dan cenderung menonjolkan keterampilan fisik

atau motorik untuk dapat melakukan permainan itu dengan baik dan benar.

Bahkan, anak perlu melatih kemampuan fisik untuk dapat memainkan permainan

itu dengan baik karena jika anak tidak berlatih, maka anak biasanya tidak dapat

bermain dengan baik ketika permainan itu mulai dilakukan dengan lebih serius.

Sehubungan dengan pernyataan tersebut, Dharmamulya (2005) menyatakan

bahwa permainan asah fisik atau permainan adu ketangkasan lebih banyak

mengandalkan ketahanan dan kekuatan fisik, alat permainan walaupun sederhana,

dan tempat yang relatif luas. Pernyataan narasumber dengan pendapat ahli

memiliki keselarasan bahwa jenis permainan tersebut melibatkan aktivitas fisik,

yang mana ada unsur akktivitas yang mengandalkan ketahanan, kemampuan,

keterampilan, dan kekuatan fisik. Lalu, narasumber juga mengungkapkan

beberapa permainan yang termasuk dalam jenis permainan dengan aktivitas fisik

ini, yaitu (1) Gobag Sodor, (2) Ingkling, dan (3) Plintheng. Berikut merupakan

pemaparan dan analisis dari jenis-jenis permainan tradisional berdasarkan hasil

percakapan etnografis yang dilakukan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 157: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

144

Berdasarkan hasil percakapan etnografis, salah satu permainan yang

termasuk di dalam jenis ini, seperti Gobag Sodor lebih mengacu pada aktivitas

fisik, yaitu berlari menerobos penjagaan lawan, sesuai dengan nama permainan

itu. Nama permainan itu mengacu pada pola permainannya, sebagaimana

narasumber mengatakan bahwa “...sodor, di mana dalam permainan itu seseorang

menjadi pemain sodor, itulah yang akhirnya memegang peranan untuk mengunci

orang yang mau bermain atau menyeberang, khususnya dari pihak lawan.”

(PE/JP/18). Maka, nama permainan itu terkait dengan aktivitas permainan yang

dilakukan, yaitu melewati wilayah lawan yang dijaga berdasarkan garis-garis

sodor, sebagaimana garis yang disebut oleh mayarakat Jawa, dan bagi pemain

penyeberang sesuai dengan nama aslinya, harus melewati wilayah tim lawan yang

dijaga dan kembali lagi pada posisi awal. Permainan itu dilakukan dengan

menonjolkan kerja sama agar permainan dapat berjalan dengan baik. Permainan

ini sangat memerlukan kerja sama dari anak untuk dapat saling menjaga daerah

tim mereka dengan baik.

Berdasarkan hasil percakapan etnografis, nama permainan itu lebih

mengacu pada aktivitas permainan yang dilakukan, yaitu menjaga daerah tim dan

melewati daerah itu bolak-balik tanpa tertangkap oleh penjaga. Aktivitas menjadi

bagian dari proses perilaku berbahasa yang dapat menunjukkan keterkaitan antara

pesan yang ingin disampaikan dengan bentuk-bentuk linguistik yang mengacu

kepada sesuatu. Hal itu dapat dikaitkan dengan pandangan Pierce (1965 dalam

Foley, 2001) yang mengemukakan bahwa bahasa sebagai aktivitas sosial yang

melibatkan pelaku sosial. Permainan Gobag Sodor harus dilakukan secara

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 158: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

145

bersama-sama yang ditunjukkan melalui aktivitas yang dilakukan oleh anak di

dalam permainan itu yang tentu tidak terlepas dari proses komunikasi dan gerak

aktif dari tubuh, termasuk bentuk kebahasaan dari nama permainan itu. Nama

permainan itu menunjuk pada aktivitas yang menunjukkan aktivitas menjaga

daerah tim dan melewati daerah itu bolak-balik tanpa tertangkap oleh penjaga

Permainan Gobag Sodor termasuk dalam jenis permainan asah fisik,

karena permainan tersebut dilakukan dengan aktivitas gerak fisik dan kelincahan

yang disertai dengan kerja sama. Aktivitas fisik yang dilakukan di dalam

permainan itu menjadi ciri khas yang paling menonjol sehingga permainan itu

dinamakan sesuai dengan aktivitasnya dan termasuk ke dalam jenis permainan

asah fisik. Aktivitas itu langsung mengacu pada inti dari permainan itu, yaitu

aktivitas utamanya yang mana anak harus melakukan go back through the door

atau kembali ke tempat asal melalui petak-petak yang ditandai oleh garis-garis,

yaitu sodor. Maka, inti dari permainan ini yang sebenarnya adalah aktivitas

melewati atau menyeberang area melalui sodor sampai dapat kembali lagi dengan

penjagaan yang ketat dari tim lawan sehingga nama itu sebenarnya langsung

mengacu pada aktivitas permainan itu. Aktivitas menjadi pusat acuan, yang

kemudian secara bertahap dibawakan oleh pola permainan go back through the

door yang dilakukan di dalam permainan itu. Maka, inti yang sebenarnya dari

permainan itu adalah aktivitas anak yang harus dilakukan dengan gerakan fisik.

Namun, aktivitas fisik itu tidak dapat terwujud jika anak tidak saling bekerja

sama. Hal itu membutuhkan kerja sama karena pada dasarnya anak harus dapat

saling bekerja sama untuk menjaga area yang dilewati oleh pemain yang melewati

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 159: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

146

sodor. Maka, hal yang menjadi dasar bahwa jenis permainan ini termasuk ke

dalam permainan aktivitas fisik adalah kerja sama untuk “mempertahankan-

menerobos” yang harus dilakukan melalui gerakan fisik secara aktif.

Permainan lain yang termasuk di dalam jenis ini adalah permainan

Ingkling. Nama permainan Ingkling memiliki sebutan lain, seperti engklek dan

angklek. Menurut Dharmamulya (2005), permainan itu dinamakan demikian

karena dilakukan dengan cara engklek yang dalam bahasa Indonesia berarti

berjalan melompat dengan satu kaki sehingga nama asli dari permainan itu

sebenarnya adalah engklek sebagaimana nama dari cara memainkan permainan itu

sendiri. Berdasarkan hasil percakapan etnografis, nama ingkling itu mengacu pada

maksud yang sama, sebagaimana narasumber mengatakan bahwa “...mengacu

pada bentuk wujud gerak fisiknya harus ingkling, maka namanya menjadi

ingkling.” (PE/JP/18). Maka, nama permainan itu terkait dengan aktivitas

permainan yang dilakukan, yaitu berjalan melompat dengan satu kaki. Permainan

itu dilakukan dengan menonjolkan keterampilan fisik agar permainan dapat

berjalan dengan baik. Permainan ini sangat memerlukan keterampilan dari anak

sehingga keberhasilan permainan ini terutama ditentukan oleh kemampuan anak

dalam menjaga keseimbangan tubuh dan kekuatan kaki untuk dapat melompat-

lompat dengan baik. Aktivitas bermain di dalam permainan itu hanya dapat

dilakukan apabila anak memiliki keterampilan untuk menjaga keseimbangan

tubuh dan kuat melakukan hal dengan satu kaki selama permainan dilakukan.

Dalam permainan ini, anak yang terampil dengan anak yang belum terampil

menjadi faktor yang sangat menentukan keberhasilan individu dalam bermain.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 160: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

147

Berdasarkan hasil percakapan etnografis, nama permainan itu lebih

mengacu pada aktivitas permainan yang dilakukan, yaitu berjalan melompat

dengan satu kaki, seperti kutipan yang telah ditulis di atas tadi. Kaitan antara

nama permainan dengan jenis permainan terdapat pada aktivitas permainan yang

berjalan melompat dengan satu kaki yang membutuhkan keterampilan tubuh dari

setiap pemain. Aktivitas menjadi bagian dari proses perilaku berbahasa yang

dapat menunjukkan keterkaitan antara pesan yang ingin disampaikan dengan

bentuk-bentuk linguistik yang mengacu kepada sesuatu. Hal itu dapat dikaitkan

dengan pandangan Pierce (1965 dalam Foley, 2001) yang mengemukakan bahwa

bahasa sebagai aktivitas sosial yang melibatkan pelaku sosial. Permainan Ingkling

harus dilakukan secara bersama-sama yang ditunjukkan melalui aktivitas yang

dilakukan oleh anak di dalam permainan itu yang tentu tidak terlepas dari proses

komunikasi, termasuk bentuk kebahasaan dari nama permainan itu, sebagaimana

hal yang telah dipaparkan di atas. Nama permainan itu menunjuk pada aktivitas

yang menunjukkan cara melakukan permainan dengan berjalan melompat

menggunakan satu kaki yang dilakukan dengan keterampilan fisik. Keterampilan

fisik itu dibawa melalui aktivitas inti permainan, kemudian dari aktivitas itu

tertuang pada nama permainan, sehingga nama itu menandai bentuk-bentuk

aktivitas yang dilakukan, yang juga menunjukkan jenis permainannya,

sebagaimana hal yang telah kita dapati dari permainan Gobag Sodor dan juga

termasuk Plintheng.

Aktivitas menjadi sarana pengacu antara nama dan jenis permainannya.

Maka, pandangan Pierce di atas sangat tampak bahwa bentuk kebahasaan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 161: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

148

mengacu pada perantara tertentu yang berupa aktivtias sosial sebelum dapat

menunjukkan maksud yang sebenarnya. Pandangan Hymes (1974) mengenai

SPEAKING juga dapat memperkuat temuan itu. Ends merupakan maksud atau

tujuan dari penutur ketika menggunakan bentuk-bentuk kebahasaannya, act

merupakan tindakan yang dilakukan oleh penutur dalam menggunakan bentuk-

bentuk kebahasaannya, dan instrument merupakan alat yang digunakan oleh

penutur yang menyampaikan maksudnya. Maksud atau tujuan dalam hal ini dapat

berupa aktivitas yang menggambarkan pola permainan. Lalu, tindakan itu dapat

berupa aktivitas yang dilakukan dalam permainan, yang mana di dalam jenis

permainan ini adalah aktivitas inti dari permainan itu. Kemudian, alat dapat

berupa nama dan jenis permainan itu yang mengacu pada tindakan fisik yang

sangat tampak.

4.2.2.3 Permainan Asah Otak

Permainan asah otak adalah jenis permainan yang dilakukan dengan

menonjolkan aktivitas berpikir untuk melakukan permainan. Jenis permainan ini

memerlukan daya pikir anak dalam menentukan keputusan, mengatur strategi,

berhitung, dan berintuisi atau memperkirakan sesuatu dengan tepat. Anak

melakukan permainan yang biasanya bersifat pemecahan masalah, teka-teki, dan

sebagainya. Permainan jenis ini menjadi seperti permainan yang dapat mengasah

kemampuan otak atau kecerdasan anak sehingga mereka dapat melatih daya

pikirnya untuk dapat menyelesaikan suatu masalah. Pernyataan narasumber

berikut ini mengungkapkan mengenai jenis permainan asah otak beserta dengan

permainan-permainan yang termasuk di dalam jenis permainan ini.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 162: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

149

Permainan asah otak itu dapat dijelaskan, misalnya dalam

satu kasus permainan Dhakon, anak harus berpikir untuk

kemudian agar apa yang dia putar atau mainkan itu tetap

punya sisa, atau tidak habis. Nah, untuk itu kan dia harus

berpikir dan di sana juga akhirnya tumbuh kecerdasannya

untuk bagaimana mengolah biji yang dia miliki ini untuk

bisa ditabung di dalam lumbung. Jadi permainan asah otak

itu adalah jenis permainan tradisional kalau misalnya yang

dulu biasanya seringnya dilakukan itu ada beberapa yang

memungkinkan untuk dilakukan di beberapa keadaan

khusus, misalnya semacam padang bulan, namun kalau

untuk permainan asah otak itu biasanya dilakukan harian di

kala waktu senggang, dan contoh permainan asah otak itu

antara lain kalau kita lihat terkait dengan Dhakon

misalnya. Itu jelas asah otak karena dalam permainan

Dhakon, satu hal yang harus dipikirkan adalah bagaimana

si anak yang menjalankan permainan Dhakon nanti, dia

bisa punya sisa atau tabungan untuk kemudian dimasukkan

ke dalam lumbung. Dari sana, kemudian dibutuhkan

upaya, istilahnya ketika lubang Dhakon itu kan jumlahnya

cukup banyak. Bagaimana kemudian pembagian itu agar

punya sisa yang kemudian menjadi simpanannya dalam

lumbung itu. Otomatis, pola permainan seperti itu tidak

mungkin dilakukan dengan kelincahan, akan tetapi yang

dibutuhkan adalah bagaimana kemudian dia bisa berpikir

untuk membagi dan punya sisa. Demikian juga misalnya

dengan Macanan. Ketika permainan Macanan itu

bagaimana kemudian dua orang yang bermain ini agar

tetap bisa menjaga konsistensi permainannya sehingga dia

tidak dimakan oleh macan. Nah, untuk ngurung ke dalam

bagian pojok segitiga sehingga setiap pergerakan

merupakan strategi agar tidak di makan oleh macan.

Otomatis itu yang lebih diasah adalah bagaimana dia bisa

berpikir dengan mudah. Kalau contoh permainan asah otak

tadi, itu yang jelas adalah Macanan dan Dhakon. Itu jelas

konsepnya adalah asah otak. (PE/JP/17)

Pernyataan narasumber di atas dapat dirangkum dan mengungkapkan

bahwa jenis permainan asah otak adalah jenis permainan yang memerlukan

aktivitas berpikir untuk dapat mengolah gerak permainan, mengatur strategi, dan

berhitung untuk dapat meraih keberhasilan atau kemenangan sehingga anak dapat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 163: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

150

menumbuhkan kecerdasannya melalui permainan itu. Jenis permainan ini

mendorong anak untuk memanfaatkan atau mendayagunakan kemampuan otak

mereka untuk berpikir dalam menentukan gerak permainan mereka sendiri untuk

meraih keberhasilan. Sehubungan dengan pernyataan tersebut, Dharmamulya

(2005) menyatakan bahwa permainan asah otak merupakan permainan yang lebih

banyak membutuhkan konsentrasi berpikir, ketenangan, kecerdikan, dan strategi.

Dharmamulya juga menyebutkan bahwa jenis permainan ini jumlahnya tidak

banyak. Pernyataan narasumber dengan pendapat ahli memiliki keselarasan bahwa

jenis permainan tersebut membutuhkan daya pikir anak untuk dapat menentukan

gerak permainan, strategi, perhitungan, dan konsentrasi. Lalu, narasumber juga

mengungkapkan beberapa permainan yang termasuk dalam jenis permainan

dengan nyanyian atau dialog ini, yaitu (1) Dhakon dan (2) Macanan. Berikut

merupakan pemaparan dan analisis dari jenis-jenis permainan tradisional

berdasarkan hasil percakapan etnografis yang dilakukan.

Salah satu permainan yang termasuk di dalam jenis ini adalah Dhakon,

yang lebih mengacu pada kemampuan otak anak dalam mengatur strategi. Nama

permainan dhakon berasal dari bahasa Jawa, dan bahasa Indonesia dari permainan

itu adalah congklak. Menurut Dharmamulya (2005), dhakon berasal dari kata

dhaku yang mendapat akhiran “-an”, yang berarti mengaku bahwa sesuatu itu

milliknya. Jadi, permainan ini mengandung tujuan bahwa si pemain berusaha

mengaku bahwa sesuatu itu adalah miliknya, yaitu biji yang telah dikumpulkan di

dalam lumbung pemain. Berdasarkan hasil percakapan etnografis, nama dhakon

itu juga mengacu pada media permainannya, yaitu papan kayu atau plastik yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 164: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

151

memiliki lubang-lubang sebagai tempat menaruh biji dan biji congklak itu.

Permainan itu dilakukan dengan melibatkan kecerdasan anak untuk memainkan

media yang digunakan, yang tampak pada aktivitas yang dilakukan oleh anak.

Aktivitas bermain di dalam permainan itu hanya dapat dilakukan dengan

dua anak, tidak kurang dan tidak lebih sehingga permainan itu juga dilakukan

bersama-sama, namun dengan jumlah yang terbatas. Hal itu tampak pada aktivitas

dua anak yang saling beradu kecerdasan untuk dapat memenangkan permainan

dengan mengumpulkan biji sebanyak mungkin pada lumbungnya. Anak harus

memikirkan cara atau strategi yang terbaik agar berhasil mendapatkan biji yang

lebih banyak dari lawannya. Oleh karena itu, permainan Dhakon termasuk dalam

jenis permainan asah otak, karena permainan tersebut dilakukan dengan aktivitas

berpikir yang membutuhkan kecerdasan. Aktivitas otak yang dilakukan di dalam

permainan itu menjadi ciri khas yang paling menonjol sehingga permainan itu

dinamakan sesuai dengan aktivitasnya dan termasuk ke dalam jenis permainan

asah otak. Aktivitas itu langsung mengacu pada inti dari permainan itu, yaitu

aktivitas utamanya yang mana anak harus berpikir untuk menentukan letak biji

agar dapat memiliki simpanan biji. Maka, inti dari permainan ini yang sebenarnya

adalah aktivitas memperebutkan jumlah biji dalam lumbung, yang mana anak

yang memiliki jumlah terbanyak (Dhakon-dhaku-klaim milikku, yaitu biji yang

disimpan dalam lumbung) akan menang sehingga nama itu sebenarnya langsung

mengacu pada aktivitas permainan itu. Jika kita amati, aktivitas menjadi pusat

acuan, yang dalam jenis permianan ini langsung ditandai melalui nama yang

mengacu pada aktivitas di dalam permainan itu.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 165: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

152

Penulis menemukan bahwa jenis permainan itu justru pertama-tama

dibawa melalui aktivitas di dalam permainan itu, sebagaimana hal-hal yang telah

disebutkan di atas tadi. Maka, inti yang sebenarnya dari permainan itu adalah

aktivitas anak yang harus dilakukan dengan daya pikir atau kecerdasan untuk

memperebutkan biji ke dalam lumbung sebagai “milikku-dhaku-dhakon”. Namun,

aktivitas otak itu tidak dapat terwujud jika anak tidak mendayagunakan

kecerdasannya, yang artinya anak harus berpikir dan berkonsentrasi. Hal itu

membutuhkan kecerdasan karena pada dasarnya anak harus dapat menentukan

keputusan, strategi, dan perhitungan yang tepat. Maka, dasar terwujudnya

permainan itu adalah kecerdasan sehingga jenis permainan yang menonjolkan

kemampuan otak ini dapat langsung mencerminkan jenisnya. Maka, jika dirunut

kembali, jenis permainan itu dibawa melalui aktivitas inti permainan, kemudian

dari aktivitas itu diacu melalui nama permainan sehingga nama itu menandai

bentuk-bentuk aktivitas, begitu pula, kembali pada jenis permainannya yang harus

menggunakan kemampuan otak untuk melakukan “klaim” (milikku-dhaku-

dhakon). Dalam permainan ini, nama permainan tidak langsung menunjukkan

jenisnya, namun melalui perantara aktivitasnya yang membutuhkan kecerdasan.

Hal yang sama juga terdapat dalam permainan Macanan. Nama permainan

macanan berasal dari kata macan yang diberi akhiran -an. Kata macan berarti

harimau. Menurut Dharmamulya (2005), macanan berarti harimau tiruan karena

di dalam permainan ini terdapat sebuah alat yang dianggap atau berperan sebagai

harimau dan di pihak lain adalah manusia. Permainan itu berguna untuk

mempertajam daya ingat, mengatur strategi, dan memupuk keakraban.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 166: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

153

Berdasarkan hasil percakapan etnografis, nama macanan itu mengacu pada media

permainannya, sebagaimana dikatakan bahwa “Begitu juga dengan macanan itu

karena dalam permainan tadi akan ada satu macan yang kemudian dikepung oleh

tiga pemainnya untuk bisa berjalan tadi, maka siapa yang akan dimakan oleh

macan itulah sehingga permainan ini dinamakan macanan.” (PE/JP/18). Maka,

nama permainan itu terkait dengan media atau sarana permainan yang digunakan.

Permainan itu dilakukan dengan melibatkan kecerdasan anak untuk memainkan

media itu, yang tampak pada aktivitas yang dilakukan oleh anak.

Aktivitas bermain di dalam permainan itu hanya dapat dilakukan dengan

dua anak, tidak kurang dan tidak lebih sehingga permainan itu juga dilakukan

bersama-sama, namun hanya terbatas seperti permainan Dhakon. Hal itu tampak

pada aktivitas dua anak yang saling beradu kecerdasan untuk dapat memenangkan

permainan dengan memakan orang-orangan sampai habis atau mengepung

harimau sampai tidak dapat bergerak lagi. Anak harus memikirkan cara atau

strategi yang terbaik agar berhasil memenangkan permainan.

Berdasarkan hasil percakapan etnografis, nama permainan itu lebih

mengacu pada media permainannya, yaitu alat yang dianggap atau berperan

sebagai macan dan di pihak lain adalah manusia. Kaitan antara nama permainan

dengan jenis permainan terdapat pada media permainan yang dimainkan dengan

kecerdasan, yang artinya dari media tersebut yang berupa peran macan, manusia,

dan petak-petak, dapat menimbulkan suatu aktivitas yang menuntut kecerdasan.

Aktivitas menjadi bagian dari proses perilaku berbahasa yang dapat menunjukkan

keterkaitan antara pesan yang ingin disampaikan dengan bentuk-bentuk linguistik

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 167: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

154

yang mengacu kepada sesuatu. Hal itu dapat dikaitkan dengan pandangan Pierce

(1965 dalam Foley, 2001) yang mengemukakan bahwa bahasa sebagai aktivitas

sosial yang melibatkan pelaku sosial. Nama permainan itu mengungkapkan

aktivitas bermain, yaitu macan yang memakan orang-orangan dengan media

tertentu sebagai macan dan manusia, yang dimainkan dengan kecerdasan. Nama

permainan itu mengandung dimensi tanda (Pierce, 1965 dalam Foley, 2001) yang

lebih berkaitan dengan ikon. Ikon adalah tanda yang mewakili sumber acuan

melalui sebuah bentuk replikasi, simulasi, imitasi, atau persamaan. Sebuah tanda

dirancang untuk mempresentasikan sumber acuan melalui simulasi atau

persamaan (Danesi, 2004). Ikon di dalam permainan itu terdapat pada nama

permainan macanan yang mengacu pada media yang dapat berperan sebagai

macan yang memakan orang-orangan, yang dimainkan dengan kecerdasan. Media

yang digunakan itu mensimulasikan macan yang berperan memakan manusia.

Maka, jika dilihat dari aktivitasnya, anak harus memanfaatkan kecerdasan mereka

untuk dapat memainkan media sesuai dengan peran media, yaitu harimau sebagai

“tokoh” utama di dalam permainan itu.

Permainan Macanan termasuk dalam jenis permainan asah otak, karena

permainan tersebut juga dilakukan dengan aktivitas berpikir sehingga

membutuhkan kecerdasan. Aktivitas otak yang dilakukan di dalam permainan itu

menjadi ciri khas yang paling menonjol sehingga permainan itu dinamakan sesuai

dengan aktivitasnya dan termasuk ke dalam jenis permainan asah otak. Aktivitas

itu langsung mengacu pada inti dari permainan itu, yaitu aktivitas utamanya yang

mana anak harus berpikir untuk menentukan letak gacuk yang berperan sebagai

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 168: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

155

manusia dan macan, yang mana manusia harus menghindari dan dapat

mengepung macan, dan macan harus dapat menerkam manusia sampai habis.

Maka, inti dari permainan ini yang sebenarnya adalah aktivitas memperebutkan

eksistensi antara manusia dengan macan dan macan menjadi ikon yang paliing

tampak sebagai sosok yang mengancam. Jika kita amati, aktivitas menjadi pusat

acuan, yang dalam jenis permainan ini langsung ditandai melalui nama yang

mengacu pada aktivitas di dalam permainan itu.

Penulis menemukan bahwa baik Dhakon maupun Macanan sama-sama

tidak langsung mengungkapkan jenis permainannya melalui namanya, namun

melalui aktivitas di dalam permainan itu, sebagaimana hal-hal yang telah

disebutkan di atas tadi. Maka, inti yang sebenarnya dari permainan itu adalah

aktivitas anak yang harus dilakukan dengan daya pikir atau kecerdasan. Namun,

aktivitas otak itu tidak dapat terwujud jika anak tidak mendayagunakan

kecerdasannya, yang artinya anak harus berpikir dan berkonsentrasi. Hal itu

membutuhkan kecerdasan karena pada dasarnya anak harus dapat menentukan

keputusan, strategi, dan perhitungan yang tepat seperti Dhakon di atas tadi. Maka,

dasar terwujudnya permainan itu adalah kecerdasan sehingga jenis permainan

yang menonjolkan kemampuan otak ini dapat menunjukkan gambaran pola

permainannya. Media di dalam permainan itu diacu melalui nama permainan

sehingga nama itu menandai bentuk-bentuk aktivitas, yang akhirnya dapat

menunjukkan jenis permainannya.

Jenis permainan ternyata tidak selalu mengacu pada hal-hal yang tampak

dari permukaan, yaitu melalui medianya terlebih dahulu. Sedangkan, nama

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 169: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

156

permainan seringkali lebih mengacu pada hal-hal yang langsung tampak, yaitu

media permainan yang digunakan seperti permainan Macanan di atas. Jenis

permainan asah otak dalam hal ini tidak langsung menunjuk pada jenisnya. Media

itulah yang langsung menjadi ciri khas dan namun tidak langsung menandai

bahwa permainan itu merupakan jenis permainan asah otak, sebagaimana dua

permainan yang telah dipaparkan di atas. Jenis permainan mengungkapkan hal-hal

khas yang sangat tampak atau langsung tampak dari permainan itu, sebagaimana

kedua permainan itu juga cukup menunjukkan kaitan itu. Pandangan Hymes

(1974) mengenai SPEAKING juga dapat memperkuat temuan itu. Ends

merupakan maksud atau tujuan dari penutur ketika menggunakan bentuk-bentuk

kebahasaannya, act merupakan tindakan yang dilakukan oleh penutur dalam

menggunakan bentuk-bentuk kebahasaannya, dan instrument merupakan alat yang

digunakan oleh penutur yang menyampaikan maksudnya. Maksud atau tujuan

dalam hal ini dapat berupa hal-hal yang dapat mengungkapkan jenis permainan

itu. Lalu, tindakan itu dapat berupa aktivitas yang dilakukan dalam permainan,

yang mana di dalam jenis permainan ini adalah aktivitas inti dari permainan itu.

Kemudian, alat dapat berupa nama dan jenis permainan itu yang mengacu pada

tindakan, dan dari tindakan itu mengacu pada jenis permainan yang dikandung

dari tindakan itu.

4.2.2.4 Permainan Keterampilan Tangan

Permainan keterampilan tangan adalah jenis permainan yang dilakukan

dengan menonjolkan aktivitas kerajinan atau membuat sesuatu sebagai bagian dari

permainan. Jenis permainan ini memerlukan pemanfaatan keterampilan tangan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 170: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

157

sekaligus kreativitas anak untuk dapat menghasilkan produk buatan mereka

sendiri sehingga dapat dimainkan. Produk yang dimaksud tersebut pada umumnya

adalah mainan yang dapat digunakan dengan fungsi tertentu. Keberhasilan anak

dalam menghasilkan mainan itu ditentukan oleh tingkat keterampilan tangan yang

dimiliki oleh anak. Permainan jenis ini menjadi seperti permainan yang dapat

mengasah kreativitas anak dalam hal membuat sesuatu sehingga mereka dapat

melatih daya ciptanya untuk dapat menghasilkan sesuatu yang berguna bagi diri

mereka. Pernyataan narasumber berikut ini mengungkapkan mengenai jenis

permainan keterampilan tangan beserta dengan permainan-permainan yang

termasuk di dalam jenis permainan ini.

Permainan keterampilan tangan adalah permainan yang

murni dilakukan dan didominasi oleh keterampilan tangan.

Misalnya, Jaranan Bongkok, Keris Janur, Kupluk

Godhong, karena permainan itu hanya bisa dilakukan

ketika anak yang akan bermain membuat media sesuai

dengan yang dia butuhkan, seperti Keris Janur. Ketika dia

akan bermain Keris Janur ataupun yang dia butuhkan, dia

akan berusaha untuk bisa mewujudkan keris. Itu bukanlah

hal yang sederhana, karena harus membersihkan janurnya,

melipatnya, menjadi segitiga yang berlekuk-lekuk, dan

semacam itu. Itu tidak dapat dilakukan kalau tangannya

tidak hidup, atau tangannya tidak terampil menjalankan.

Demikian juga misalnya, ketika membuat Kitiran Godhong

Tela juga yang dibutuhkan tidak sekedar bagaimana

memetik daun ketela, namun juga bagaimana agar papah

daun itu bisa berputar. Dia juga harus bisa memetik atau

mematahkan batang daun ketela itu seberapa

perhitungannya dan sebagainya sehingga dalam pola

permainan keterampilan tangan itu memang kemudian

sejak dini anak diajak dan diasah untuk mencoba

mendayagunakan tangan yang dia miliki sebagai suatu

bagian dari perkembangan motorik anak. Contohnya,

seperti Jaranan Bongkok, Keris Janur, Kitiran Godhong

Tela, Kitiran Janur, Kupluk Godhong, Plintheng, itu juga

masuk bagaimana dia mulai membuat bentuk batangnya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 171: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

158

itu, termasuk juga ceplokan juga sebagai bagian dari pola

permainan keterampilan tangan. (PE/JP/17)

Pernyataan narasumber di atas dapat dirangkum dan mengungkapkan

bahwa jenis permainan keterampilan tangan adalah jenis permainan yang

memerlukan ketelitian, pengerjaan yang baik dan benar, dan kemampuan motorik

halus yang dilakukan oleh tangan anak untuk dapat menghasilkan sesuatu yang

dapat berbentuk dan berfungsi dengan baik. Jenis permainan ini mendorong anak

untuk memanfaatkan atau mendayagunakan keterampilan tangan mereka secara

khusus untuk dapat menghasilkan sesuatu yang dapat berupa mainan atau sarana

permainan yang lain sehingga pola permainan jenis ini lebih mengarahkan anak

untuk melakukan praktek kerajinan dalam menghasilkan sesuatu. Sehubungan

dengan pernyataan tersebut, Tim JSIT (2015) menyatakan bahwa permainan

keterampilan tangan atau kerajinan merupakan permainan yang melatih anak

untuk dapat berkreasi dengan menggunakan bahan seadanya, atau dengan

memanfaatkan benda-benda alam yang sudah menjadi limbah. Maka, jenis

permainan ini juga melatih kreativitas anak. Pernyataan narasumber dengan

pendapat ahli memiliki keselarasan bahwa jenis permainan tersebut membutuhkan

daya cipta dan kreasi anak dengan menggunakan keterampilan tangannya untuk

dapat menghasilkan suatu produk, seperti mainan atau sarana permainan yang lain

sebagaimana hal-hal yang dapat kita lihat dari pernyataan-pernyataan di atas.

Lalu, narasumber juga mengungkapkan beberapa permainan yang termasuk dalam

jenis permainan keterampilan tangan ini, yaitu (1) Jaranan Bongkok, (2) Keris

Janur, (3) Kitiran Godhong Tela, (4) Kitiran Janur, (5) Kupluk Godhong, dan (6)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 172: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

159

Plintheng. Berikut merupakan pemaparan dan analisis dari jenis-jenis permainan

tradisional berdasarkan hasil percakapan etnografis yang dilakukan.

Salah satu permainan yang termasuk di dalam jenis ini adalah Keris Janur,

yang lebih mengacu pada media permainan yang dibuat, karena jenis permainan

ini selalu melibatkan keterampilan tangan untuk membuat media yang dimainkan,

yaitu mainan yang menyerupai keris dan terbuat dari janur, sesuai dengan nama

permainan itu. Permainan itu memiliki karakteristik untuk menggunakan

keterampilan tangan anak sebagai hal yang paling substantif. Lalu, berdasarkan

deskripsi permainan, anak memang harus memiliki keterampilan untuk membuat

mainan keris yang terbuat dari daun pohon kelapa yang masih muda atau janur.

Anak harus tahu cara membuat mainan itu dan dapat menerapkannya hingga dapat

menghasilkan mainan yang dapat berfungsi dengan baik. Jika anak tidak terampil,

maka mainan tidak akan jadi dengan baik. Keterampilan yang ditonjolkan dari

permainan itu lebih pada keterampilan tangan atau kerajinan. Mainan itu dapat

dimainkan dengan mudah dan biasanya dengan cara bermain peran, namun dalam

hal pembuatannya, anak harus dapat menghasilkan atau membuatnya sendiri

dengan keterampilan tangannya.

Nama permainan keris janur itu sendiri terdiri atas kata keris dan janur.

Kata keris mengacu pada jenis senjata tajam berlekuk yang berasal dari

masyarakat Jawa, sedangkan kata janur mengacu pada bahan yang digunakan

untuk membuat mainan yang berbentuk keris itu, yaitu daun pohon kelapa yang

masih muda. Maka, dalam bahasa Indonesia dapat disebut dengan keris yang

terbuat dari daun pohon kelapa yang masih muda. Menurut Tim JSIT (2015),

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 173: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

160

keris janur merupakan permainan dalam bentuk kerajinan. Permainan ini melatih

anak untuk dapat berkreasi dengan menggunakan bahan seadanya. Sesuai

namanya, permainan ini menggunakan janur atau daun pohon kelapa yang masih

muda untuk membuat keris, yaitu senjata tradisional Jawa. Berdasarkan hasil

percakapan etnografis, nama keris janur itu mengacu pada bentuk atau wujud

mainan yang dibuat, sebagaimana dinyatakan bahwa “Keris janur lebih mengacu

pada wujud, demikian juga dengan kitiran godhong tela, dan kitiran janur, itu

juga lebih mengacu pada bentuk atau wujud dari kitiran yang terbuat dari janur

atau godhong tela.” (PE/JP/18). Maka, nama permainan itu terkait dengan sarana

permainan yang dibuat, yaitu keris yang terbuat dari janur. Permainan itu

dilakukan dengan melibatkan keterampilan tangan untuk membuat media bermain

yang fungsional, yang tampak pada aktivitas yang dilakukan oleh anak.

Aktivitas bermain di dalam permainan itu dapat dilakukan secara individu.

Permainan itu tidak harus memerlukan pemain yang lebih dari satu, namun tetap

dapat dilakukan bersama-sama. Hal itu tampak pada aktivitas anak yang lebih

mengutamakan keterampilan tangan untuk membuat mainan yang dapat dilakukan

sendiri. Permainan itu dilakukan bersama-sama jika anak ingin menggunakannya

dengan cara bermain peran, sebagai hiasan, atau sekadar bersenang-senang,

namun hal itu tidak bersifat wajib.

Berdasarkan hasil percakapan etnografis, nama permainan itu lebih

mengacu pada bentuk atau wujud mainan yang dibuat, yaitu keris yang terbuat

dari janur. Kaitan antara nama permainan dengan jenis permainan terdapat pada

aktivitas permainan yang membuat mainan dengan menggunakan keterampilan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 174: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

161

tangan. Aktivitas menjadi bagian dari proses perilaku berbahasa yang dapat

menunjukkan keterkaitan antara pesan yang ingin disampaikan dengan bentuk-

bentuk linguistik yang mengacu kepada sesuatu. Hal itu dapat dikaitkan dengan

pandangan Pierce (1965 dalam Foley, 2001) yang mengemukakan bahwa bahasa

sebagai aktivitas sosial yang melibatkan pelaku sosial. Permainan Keris Janur

dapat dilakukan secara individu maupun bersama-sama yang ditunjukkan melalui

aktivitas yang dilakukan oleh anak di dalam permainan itu, sebagaimana hal yang

telah dipaparkan di atas. Nama permainan itu mengadaptasi bentuk mainan keris

yang dibuat dengan keterampilan tangan. Nama permainan itu mengandung

dimensi tanda (Pierce, 1965 dalam Foley, 2001) yang lebih berkaitan dengan ikon.

Ikon adalah tanda yang mewakili sumber acuan melalui sebuah bentuk replikasi,

simulasi, imitasi, atau persamaan. Sebuah tanda dirancang untuk

mempresentasikan sumber acuan melalui simulasi atau persamaan (Danesi, 2004).

Ikon di dalam permainan itu terdapat pada nama permainan Keris Janur yang

mengacu pada bentuk atau wujud mainan keris dari janur yang dibuat dengan

menggunakan keterampilan tangan. Dengan kata lain, anak harus memanfaatkan

keterampilan tangan mereka untuk dapat membuat mainan yang dapat berfungsi

dengan baik.

Permainan Keris Janur termasuk dalam jenis permainan keterampilan

tangan, karena permainan tersebut dilakukan dengan aktivitas membuat sesuatu

atau berkreasi sehingga membutuhkan keterampilan khusus. Aktivitas kerajinan

untuk membuat sesuatu yang dilakukan di dalam permainan itu menjadi ciri khas

yang paling menonjol sehingga permainan itu dinamakan sesuai dengan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 175: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

162

aktivitasnya dan termasuk ke dalam jenis permainan keterampilan tangan.

Aktivitas itu langsung mengacu pada inti dari permainan itu, yaitu aktivitas

utamanya yang mana anak harus membuat mainan keris tiruan yang terbuat dari

janur atau daun pohon kelapa yang masih muda. Maka, inti dari permainan ini

yang sebenarnya adalah aktivitas membuat keris mainan dari janur sehingga nama

itu sebenarnya langsung mengacu pada aktivitas permainan itu untuk membuat

benda yang mirip seperti keris. Jika kita amati, aktivitas menjadi pusat acuan,

yang dalam jenis permainan ini langsung ditandai melalui nama yang mengacu

pada aktivitas di dalam permainan itu. Selanjutnya, --- itu tidak secara langsung

terkait atau tercermin melalui nama permainannya, sebagaimana hal yang telah

disinggung di dalam analisis yang sebelumnya.

Penulis menemukan bahwa jenis permainan itu dengan jelas dibawa

melalui media yang dibuat di dalam permainan itu, sebagaimana hal-hal yang

telah disebutkan di atas tadi. Maka, inti yang sebenarnya dari permainan itu

adalah aktivitas anak yang harus dilakukan dengan keterampilan untuk dapat

membuat sesuatu. Namun, aktivitas kerajinan itu tidak dapat terwujud jika anak

tidak mendayagunakan keterampilannya, yang artinya anak harus berusaha untuk

dapat menghasilkan sesuatu berfungsi dari proses pembuatan itu. Hal itu

membutuhkan keterampilan karena pada dasarnya anak harus dapat membuat

keris mainan dengan baik dan benar. Maka, dasar terwujudnya permainan itu

adalah keterampilan tangan secara khusus, bukan keterampilan motorik secara

menyeluruh seperti pada jenis asah fisik sehingga jenis permainan yang

menonjolkan keterampilan tangan dan kreativitas ini dapat langsung

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 176: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

163

mencerminkan jenisnya, yaitu jenis permainan keterampilan tangan. Jenis

permainan itu dibawa melalui media permainan, kemudian dari media itu diacu

melalui nama permainan sehingga nama itu menandai bentuk-bentuk media yang

tercipta.

Hal yang sama juga terdapat dalam permainan Kitiran Godhong Tela.

Permainan Kitiran Godhong Tela juga termasuk ke dalam jenis permainan

keterampilan tangan sebagai hal yang sangat menonjol. Permainan itu memiliki

karateristik yang sama dengan permainan yang telah dipaparkan sebelumnya

dalam jenis ini. Hal tersebut juga ditunjukkan melalui pernyataan narasumber,

yaitu Andhi Wisnu Wicaksono (43), Sri Kuncara (56), dan Agustinus Sumarsono

(68) yang mengatakan bahwa permainan itu lebih mengarah pada keterampilan

tangan karena harus membentuk pola supaya bisa menjadi sebuah mainan yang

berupa baling-baling dari daun ketela dengan menyisakan batang dari daunnya

karena batang itu berguna sebagai beban sentrifugalnya. Lalu, berdasarkan

deskripsi permainan, anak memang harus memiliki keterampilan untuk membuat

mainan baling-baling yang terbuat dari daun ketela. Anak harus tahu cara

membuat mainan itu dan dapat menerapkannya hingga dapat menghasilkan

mainan yang dapat berfungsi dengan baik. Jika anak tidak terampil, maka mainan

tidak akan jadi dengan baik. Keterampilan yang ditonjolkan dari permainan itu

lebih pada keterampilan tangan atau kerajinan. Mainan itu dapat dimainkan

dengan mudah, namun dalam hal pembuatan anak harus dapat menghasilkan atau

membuatnya sendiri dengan keterampilan tangannya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 177: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

164

Nama permainan kitiran godhong tela itu sendiri terdiri atas kata kitiran,

godhong, dan tela. Kata kitiran adalah bahasa Jawa dari baling-baling, kata

godhong berarti daun, dan kata tela berarti ketela. Maka, dalam bahasa Indonesia

dapat disebut dengan baling-baling yang terbuat dari daun ketela. Menurut Tim

JSIT (2015), kitiran godhong tela hanya membutuhkan batang daun ketela.

Permainan itu dapat dilakukan secara individu untuk memutar daun dan batang

daun ketela dari pangkal daun dan batang memakai jari tangan hingga mirip

baling-baling. Berdasarkan hasil percakapan etnografis, nama kitiran godhong

tela itu mengacu pada bentuk atau wujud mainan yang dibuat, sebagaimana

dinyatakan bahwa “Keris janur lebih mengacu pada wujud, demikian juga dengan

kitiran godhong tela, dan kitiran janur, itu juga lebih mengacu pada bentuk atau

wujud dari kitiran yang terbuat dari janur atau godhong tela.” (PE/JP/18). Maka,

nama permainan itu terkait dengan sarana permainan yang dibuat, yaitu baling-

baling yang terbuat dari daun dan batang daunnya. Permainan itu dilakukan

dengan melibatkan keterampilan tangan untuk membuat media bermain yang

fungsional, yang tampak pada aktivitas yang dilakukan oleh anak.

Aktivitas bermain di dalam permainan itu dapat dilakukan secara individu.

Permainan itu tidak harus memerlukan pemain yang lebih dari satu, namun tetap

dapat dilakukan bersama-sama. Hal itu tampak pada aktivitas anak yang lebih

mengutamakan keterampilan tangan untuk membuat mainan yang dapat dilakukan

sendiri. Permainan itu dilakukan bersama-sama jika anak ingin memainkannya

bersama dengan teman-teman, namun itu tidak bersifat wajib.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 178: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

165

Berdasarkan hasil percakapan etnografis, nama permainan itu lebih

mengacu pada bentuk atau wujud mainan yang dibuat, yaitu baling-baling yang

terbuat dari daun dan batang daun ketela. Kaitan antara nama permainan dengan

nilai karakter yang paling menonjol di atas tadi terdapat pada aktivitas permainan

yang membuat mainan dengan menggunakan keterampilan tangan. Aktivitas

menjadi bagian dari proses perilaku berbahasa yang dapat menunjukkan

keterkaitan antara pesan yang ingin disampaikan dengan bentuk-bentuk linguistik

yang mengacu kepada sesuatu. Hal itu dapat dikaitkan dengan pandangan Pierce

(1965 dalam Foley, 2001) yang mengemukakan bahwa bahasa sebagai aktivitas

sosial yang melibatkan pelaku sosial. Permainan kitiran godhong tela dapat

dilakukan secara individu maupun bersama-sama yang ditunjukkan melalui

aktivitas yang dilakukan oleh anak di dalam permainan itu, sebagaimana hal yang

telah dipaparkan di atas. Nama permainan itu mengadaptasi bentuk mainan

baling-baling yang dibuat dengan keterampilan tangan. Nama permainan itu

mengandung dimensi tanda (Pierce, 1965 dalam Foley, 2001) yang lebih berkaitan

dengan ikon. Ikon adalah tanda yang mewakili sumber acuan melalui sebuah

bentuk replikasi, simulasi, imitasi, atau persamaan. Sebuah tanda dirancang untuk

mempresentasikan sumber acuan melalui simulasi atau persamaan (Danesi, 2004).

Ikon di dalam permainan itu terdapat pada nama permainan kitiran godhong tela

yang mengacu pada bentuk atau wujud mainan baling-baling dari batang daun

ketela yang dibuat dengan menggunakan keterampilan tangan. Dengan kata lain,

anak harus memanfaatkan keterampilan tangan mereka untuk dapat membuat

mainan yang dapat berfungsi dengan baik. Permainan tersebut termasuk dalam

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 179: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

166

jenis permainan keterampilan tangan, karena permainan tersebut dilakukan

dengan aktivitas membuat sesuatu atau berkreasi dan memainkannya dengan jari

tangan tanpa terlepas sehingga juga membutuhkan keterampilan khusus untuk

membuat dan memainkannya, jadi tidak hanya ketika membuat media

permainannya. Aktivitas kerajinan untuk membuat baling-baling dan

memainkannya tanpa terjatuh dengan jari tangan yang dilakukan di dalam

permainan itu menjadi ciri khas yang paling menonjol sehingga permainan itu

berjenis sesuai dengan aktivitasnya atau termasuk ke dalam jenis permainan

keterampilan tangan. Aktivitas itu langsung mengacu pada inti dari permainan itu,

yaitu aktivitas utamanya yang mana anak harus membuat mainan baling-baling

sekaligus harus dapat memainkannya dengan baik tanpa terjatuh. Penulis

menemukan bahwa jenis permainan keterampilan tangan tidak hanya ditunjukkan

melalui kemampuan keterampilan untuk membuat media permainannya, namun

juga keterampilan tangan secara khusus untuk memainkannya dengan baik dan

benar, yang secara khusus dengan menggunakan jari seperti permainan Kitiran

Godhong Tela di atas. Namun, jenis permainan keterampilan tangan ini tetap

didominasi pada aktivitas yang menekankan keterampilan dalam proses

pembuatan media permainan yang sesuai dengan namanya. Semua nama

permainan dalam jenis ini selalu menunjukkan wujud media permainannya,

seperti Keris Janur yang telah dipaparkan sebelumnya, Jaranan Bongkok, Kitiran

Janur, Kupluk Godhong, dan Plintheng, yang mana Keris Janur, Jaranan

Bongkok, Kitiran Janur, dan Kupluk Godhong hanya menekankan keterampilan

dalam proses pembuatan media permainannya, karena Plintheng juga memiliki

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 180: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

167

penekanan pada keterampilan untuk memainkan medianya dengan cara membidik

sasaran, seperti pemaparan pada bagian jenis permainan keterampilan fisik.

4.2.3 Strategi Preservasi Permainan Anak Tradisional

Uraian di atas secara keseluruhan menunjukkan bahwa permainan anak

tradisional merupakan bagian dari warisan budaya yang tidak hanya menunjukkan

nilai-nilai budaya Jawa, khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta, namun juga

mengandung dimensi didaktis dan pendidikan karakter yang sangat kaya.

Permainan anak tradisional hadir di tengah-tengah masyarakat sebagai sarana

pendidikan alami kepada generasi muda untuk mempersiapkan mereka

menghadapi kehidupan di masyarakat. Kehadiran permainan anak tradisional

benar-benar didasari oleh nilai-nilai karakter sebagai tujuan utama dari

masyarakat untuk anak-anak sebagai bagian dari generasi penerus masyarakat itu

sendiri. Maka, sebagai warisan budaya bangsa, permainan anak tradisional perlu

dilestarikan, baik oleh masyarakat Jawa (Yogyakarta) sendiri, maupun oleh

seluruh masyarakat di Indonesia.

Bagian ini memaparkan strategi preservasi permainan anak tradisional

yang mengandung nilai-nilai karakter. Strategi preservasi yang dimaksud oleh

penulis tidak sekadar berisi poin-poin teknis tentang pelestarian warisan budaya,

namun lebih menunjukkan suatu kajian intensif melalui kerangka atropolinguistik

dan cara kerja etnografi komunikasi. Dengan mendasarkan kajian ini pada teori

dan metode etnografi komunikasi serta studi dokumentasi, penulis menemukan 4

(empat) strategi preservasi permainan anak tradisional, yaitu (1) preservasi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 181: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

168

permainan anak tradisional melalui pewarisan alamiah, (2) preservasi permainan

anak tradisional melalui ajang kompetisi, (3) preservasi permainan anak

tradisional melalui sarana teknologi, dan (4) preservasi permainan anak tradisional

melalui lembaga pendidikan dasar. Keempat strategi preservasi tersebut

dipaparkan sebagai berikut.

4.2.3.1 Preservasi Permainan Anak Tradisional melalui Pewarisan Alamiah

Kehidupan manusia sangat erat dengan segala sesuatu yang berkiatan

dengan ikhwal alamiah. Manusia hidup di dunia dan membentuk suatu sistem

kemasyarakatan dan kebudayaan juga merupakan bagian dari perisitwa alamiah,

karena hal itu terjadi secara otomatis dan mengalir secara terus menerus. Kata

alamiah menurut KBBI (2008) merupakan bentuk sifat dari nomina alam.

Definisi alam yang mengakomodasi sifat alamiah, yaitu segala daya yang

menyebabkan terjadinya sesuatu seakan-akan sesuatu itu telah diatur tanpa

intervensi manusia. Dalam kenyataannya, permainan anak tradisional sampai saat

ini sebenarnya masih dilakukan oleh sebagian masyarakat di Yogyakarta,

khususnya anak-anak yang tinggal di daerah pedesaan. Meskipun demikian, tidak

semua anak yang tinggal di desa masih melakukan permainan-permainan itu,

karena tergeser oleh pengaruh teknologi, seperti gawai. Namun, seperti hal yang

telah disebutkan tadi, bagaimanapun sampai saat ini setidaknya masih ada

masyarakat atau anak-anak desa yang senang melakukan permainan anak

tradisional, yang disebabkan oleh faktor tertentu. Peristiwa alamiah itu ternyata

memilliki latar belakang. Latar belakang itu ternyata adalah sistem pewarisan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 182: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

169

yang telah dirancang oleh orang-orang tua pada zaman dahulu agar permainan itu

mudah diingat dan tahan lama di dalam benak masyarakat sampai saat ini.

Berdasarkan hasil percakapan bersama narasumber, penulis memperoleh

informasi berkaitan dengan hal di atas tadi bahwa nenek moyang masyarakat Jawa

ketika menciptakan berbagai macam permainan anak tradisional menggunakan

sarana jembatan keledai, yaitu melalui nama, istilah, tembang, bentuk (apabila ada

benda berupa mainan), dan aktivitas yang khas. Hal itu membuat setiap permainan

anak memiliki ciri khas dan kekhasan itu mempermudah anak untuk mengenali,

mengingat, dan melakukan setiap permainan dengan baik dan dapat bertahan lama

di dalam ingatan anak-anak. Hal itu terbukti sebagaimana fenomena-fenomena

yang pernah kita lihat dan bahkan kita alami sendiri, bahwa kita sebagai orang

yang telah dewasa ternyata masih mengetahui dan ingat terhadap beberapa

permainan, meskipun tidak secara penuh. Namun, itulah hasil dari jembatan

keledai yang memuat konten-konten yang khas dari setiap permainan, yang

disebarluaskan di dalam masyarakat Jawa secara turun temurun dan dari mulut ke

mulut. Rangkuman hasil percakapan tersebut sejalan dengan pernyataan (sharing)

dari narasumber berikut.

Orang zaman dulu sudah merancang bagaimana agar

permainan itu bisa lestari, yaitu melalui pola-pola dan

simbolisasi di dalamnya, seperti bentuk mainan, cara

bermain, nama atau istilah yang digunakan, lagon

(lagu/tembang), dan berbagai hal khas lainnya. Nah, hal-

hal yang khas itu, misalnya lagunya kan memiliki pola

irama tertentu yang sekaligus dapat mengajarkan

kecerdasan musikal kepada anak. Orang Jawa zaman dulu

itu kalau mentransfer pengetahuan tidak selalu

menggunakan aktivitas baca tulis, namun dengan aktivitas

konkrit, yaitu dengan permainan dan lagu-lagunya. Pola-

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 183: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

170

pola yang khas itu kemudian dapat direkam oleh anak

sehingga sampai saat ini pun masih ada anak yang tahu

permainan itu, berkat hal yang khas dari permainan itu,

seperti lagunya. Hanya dengan mendengar lagunya, anak

langsung tahu permainan itu dan bagaimana

memainkannya. Hal yang khas itu langsung memanggil

ingatan mereka terhadap permainan itu. Hal yang khas itu

mudah diingat oleh anak karena bersifat tetap dan telah

tersebar di mana-mana. Dengan begitu kan membuat anak

menjadi ingat terhadap urutan permainan dan hal-hal yang

lain. Maka, pola-pola yang khas itu digunakan sebagai

sarana pelestarian permainan agar mudah diingat dan terus

diingat sehingga bersifat seperti jembatan keledai. Orang

Jawa itu sharing knowledge-nya (berbagi pengetahuan)

melalui hal-hal yang khas, seperti nama, simbol, lagu, dan

lain-lain yang sudah bersifat baku, termasuk nama-nama

dari setiap permainan itu. Orang jadi ingat permainan itu

dan bagaimana memainkannya karena ada pola-pola yang

khas itu tadi. Mengapa bisa awet turun-temurun itu karena

blueprint-nya (pola/desain) itu melalui pola-pola yang khas

yang dibawa melalui tuturan dari masa ke masa. (PE/SP/2)

Hasil percakapan etnografis seperti kutipan di atas menunjukkan bahwa

nenek moyang masyarakat Jawa telah merancang permainan anak tradisional

sedemikian rupa, melalui pola-pola yang khas, yang dikandung dalam setiap

permainan agar mudah diserap oleh anak-anak. Dengan demikian, proses

internalisasi yang dialami oleh anak terhadap segala hal tentang permainan,

termasuk dalam hal nilai yang dapat dipetik, dapat terjadi dengan mudah melalui

blueprint yang telah dirancang dan terintegrasi di dalam permianan, sebagaimana

hal yang disebut oleh narasumber. Maka, penulis menemukan beberapa poin

penting yang menjadi bagian pembentuk strategi preservasi permainan anak

tradisional, yang bahkan sudah dirancang dengan baik oleh nenek moyang

masyarakat Jawa pada zaman dahulu, yaitu (1) segala informasi tentang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 184: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

171

permainan dibawa secara terintegrasi melalui pola-pola yang khas sebagai

jembatan keledai atau petunjuk (blueprint), (2) pesan yang diamanatkan oleh

“orang tua” (nenek moyang) berkaitan dengan nilai karakter yang ingin diajarkan

ditransfer melalui aktivitas konrkit, dan (3) pewarisan informasi tentang

permainan itu dilakukan dari mulut ke mulut. Dari ketiga hal tersebut, hal yang

paling menonjol sebagai bagian dari strategi preservasi permainan anak

tradisional dalam konteks pewarisan alamiah adalah pola-pola yang khas. Pola-

pola yang khas tersebut di dalam penelitian ini dapat dimaknai sebagai bentuk

pemanfaatan simbol di dalam permainan sebagai sarana pewarisan informasi. Hal

itu selaras dengan pernyataan Herawati (2015) yang mengungkapkan bahwa

permainan tradisional merupakan salah satu budaya yang masih dilestarikan

dengan berbagai macam simbol yang mampu menampilkan identitas.

Pola-pola yang khas (1) dapat dimaknai sebagai bentuk pemanfaatan

sistem tanda, salah satunya simbol. Simbol merupakan sistem tanda yang dapat

dimanfaatkan karena mampu memiliki makna, membawa makna, dan

menyampaikan makna itu ketika simbol mulai diiterpretasi oleh partisipan

(penutur/pelaku/orang). Kajian mengenai tanda telah dilakukan oleh Pierce (1965

dalam Foley, 2001) yang mengungkapkan bahwa ada tiga jenis tanda, yaitu

indeks, simbol, dan ikon. Ketiganya saling berkaitan, dan memiliki persamaan dan

perbedaan. Persamaan dari ketiga tanda tersebut adalah ketiganya sama-sama

mengacu pada suatu hal atau memiliki objek acuan tertentu, sedangkan

perbedaannya adalah ketiganya dibentuk melalui proses, tujuan, dan acuan yang

berbeda ketika dilihat dalam perspektif tertentu.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 185: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

172

Berkaitan dengan hal di atas, pola-pola yang khas di dalam permainan

dapat diuraikan lagi menjadi beberapa poin berdasarkan pernyataan narasumber,

yaitu (a) nama permainan, (b) istilah di dalam permainan, (c) dialog dan lagu

permainan, (d) bentuk mainan (permainan tertentu) yang dibuat di dalam

permainan, dan (e) aktivitas permainan. Kelima hal tersebut merupakan sistem

tanda yang dimanfaatkan sebagai sarana pewarisan informasi tentang permainan

tertentu. Kelima hal itu dapat menjadi indeks, ikon, dan simbol sekaligus jika

dilihat dari perspektif tertentu. Nama permainan dapat menjadi bentuk indeks

karena nama permainan lebih dimanfaatkan untuk menunjuk atau

menggambarkan aktivitas permainan, seperti Dhelikan karena permainan itu

dilakukan dengan ndhelik (bersembunyi) di suatu tempat. Danesi (2004)

mengungkapkan bahwa indeks adalah tanda yang mewakili sumber acuan dengan

cara menunjuk padanya atau mengaitkannya (secara eksplisit atau implisit)

dengan sumber acuan lain. Maka, nama permainan Dhelikan itu juga merupakan

indeks, karena langsung mengaju atau menunjuk pada aktivitas di dalam

permainan itu sendiri. Permainan yang bernama Keris Janur dapat dimaknai

sebagai ikon, karena ikon mewakili sumber acuan melalui sebuah bentuk

replikasi, simulasi, imitasi, atau persamaan (Danesi, 2004). Di dalam permainan

Keris Janur, anak membuat mainan yang berbentuk keris dari bahan janur atau

daun muda dari pohon kelapa. Nama permainan itu mewakili bentuk dari mainan

yang dibuat, dan mainan yang berbentuk keris itu mengimitasi bentuk dari senjata

yang asli dari masyarakat Jawa, yaitu keris itu sendiri. Lalu, permainan yang

bernama Cublak-cublak Suweng dapat dimaknai sebagai simbol, karena simbol

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 186: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

173

mewakili objeknya melalui kesepakatan atau persetujuan dalam konteks spesifik

(Danesi, 2004). Permainan tersebut mengajarkan nilai-nilai keutamaan dan nama

permainan itu melambangkan nilai-nilai yang dikandung di dalamnya,

sebagaimana Herawati (2015) juga menungkapkan bahwa permainan tersebut

kaya akan simbol, terutama dalam kaitannya dengan makna lirik yang

dinyanyikan. Dengan demikian, nama permainan dapat menjadi bentuk indeks,

ikon, maupun simbol, yang mana sistem tanda itu dapat dimaknai, dikenal,

diingat, dan dilaksanakan oleh anak-anak dengan mudah, karena keterkaitannya

yang tinggi terhadap acuan yang dikandung, misalnya aktivitas, bentuk mainan,

dan nilainya di dalam setiap permianan.

Isitlah, lagu (tembang), bentuk mainan, dan aktivitas permainan secara

otomatis juga dapat dimaknai sebagai sistem tanda sebagaimana nama-nama

permainan di atas, termasuk aktivitas konkrit (2) yang secara implisit

mengajarkan nilai-nilai karakter kepada anak. Dialog dan lagu permainan dapat

berperan sebagai penanda, baik indeks, ikon, ataupun simbol, karena dengan

mendengar lagu dari permainan yang bersifat khas itu, maka anak pun langsung

mengerti dan di dalam pikiran mereka secara otomatis langsung mengacu pada

permainan yang memiliki lagu yang didengar. Aktivitas konrkit dapat dimaknai

sebagai simbol, karena aktivitas itu melambangkan nilai yang ingin diajarkan di

dalam permainan. Jika anak melakukan aktivitas itu, maka secara otomatis anak

itu belajar mengamalkan nilai yang terkadung di dalam aktivitas yang sedang

dilakukan, karena orang zaman dahulu tidak melakukan pendidikan karakter

melalui aktivitas baca tulis, namun melalui aktivitas konkrit yang mencerminkan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 187: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

174

nilai-nilai tertentu, sebagaimana hal yang diungkapkan oleh narasumber

(PE/SP/2). Hal itu cukup menunjukkan bahwa isitlah atau ungkapan di dalam

permainan, lagu (tembang) permainan, bentuk mainan, dan aktivitas permainan itu

juga merupakan penanda yang khas, yang ternyata sudah dimanfaatkan oleh para

pencipta permainan anak tradisional pada zaman dahulu sebagai salah satu cara

agar permainan dapat terus lestari atau bertahan. Dengan pemanfaatan sistem

tanda atau yang disebut oleh narasumber sebagai pola, jembatan keledai, atau

blueprint, pewarisan dan pelestarian permainan anak tradisional dapat dengan

lebih mudah terlaksana secara alamiah.

Berkaitan dengan hal di atas, pewarisan informasi tentang permainan itu

dilakukan dari mulut ke mulut (3). Hal itu juga menunjukkan bahwa preservasi

permainan anak tradisional ternyata telah terjadi turun-temurun secara alamiah,

berkat pemanfaatan sistem tanda atau penanda oleh para pendahulu dari

masyarakat Jawa. Informasi tentang permainan anak tradisional yang dilakukan

secara turun-temurun itu memiliki persamaan dengan sistem penyebaran sastra

lisan, seperti cerita rakyat yang disebarkan dari mulut ke mulut secara turun-

temurun (Rukmini, 2009). Permainan anak tradisional juga memiliki kemiripan

dengan sistem penyebaran atau pewarisan dari cerita rakyat sehingga ada sedikit

variasi atau perbedaan informasi. Perbedaan informasi itu terjadi pada permainan

yang sama, namun memiliki aturan main dan lirik lagu yang sedikit berbeda.

Namun, permainan anak tradisional memiliki sistem penanda yang baku, seperti

hal yang telah dikemukakan oleh narasumber (PE/SP/2) sehingga permainan akan

relatif sama meskipun terdapat beberapa perbedaaan versi, namun masyarakat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 188: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

175

tetap dapat mengenal permainan itu dengan baik karena ciri khas penanda yang

sangat kuat dari setiap permainan itu sendiri.

Dari hal-hal yang telah dipaparkan di atas, penulis melihat bahwa nenek

moyang masyarakat Jawa pada zaman dahulu sudah mengerti, memperkirakan,

dan merancang suatu produk dari kebudayaan yang terintegrasi dengan strategi

preservasi, agar produk budaya itu dapat tetap lestari dan bertahan sampai

sepanjang masa sesuai dengan harapan mereka. Hal itu sungguh terbukti bahwa

bagaimanapun anak-anak pada zaman sekarang ini masih ada yang melakukan

permainan itu (Herawati, 2015), meskipun jumlahnya sudah sangat sedikit jika

dibandingkan dengan seluruh anak di dalam masyarakat Jawa, termasuk sesama

anak yang masih tinggal di berbagai desa. Berkaitan dengan hal itu pula,

masyarakat Jawa yang masih melestarikan permainan anak tradisional juga

terdorong secara alamiah oleh kekayaan nilai-nilai karakter yang terkandung di

dalamnya sehingga permainan itu sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai sarana

penanaman nilai karakter yang efektif (sharing knowledge - (PE/SP/2)),

sebagaimana masyarakat Jawa pada dasarnya didasari oleh budaya yang sangat

kental dengan filosofi karakter atau sikap (Suseno, 1985).

4.2.3.2 Preservasi Permainan Anak Tradisional melalui Ajang Kompetisi

Permainan anak tradisional memiliki potensi untuk semakin tergeser

eksistensinya oleh perkembangan teknologi. Eksistensi permainan anak

tradisional yang mulai tergeser itu mencangkup keberadaannya secara konkrit

maupun keberadaannya di dalam ingatan masyarakat. Eksistensi permainan anak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 189: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

176

tradisional secara konkrit menunjuk pada aktivitas atau pelaksanaan permainan itu

di tengah masyarakat, sedangkan eksistensi dalam bentuk ingatan menunjuk pada

pengetahuan masyarakat tentang permainan itu dengan berbagai informasi yang

dikandung. Meskipun pelaku permainan anak tradisional termasuk sedikit jika

dibandingkan dengan pelaku atau pengguna alat-alat modern, sampai saat ini

bagaimanapun masih ada anak-anak yang senang melakukan permainan itu

(Herawati, 2015). Faktor yang mempengaruhi hal tersebut dapat berasal dari dua

hal, yaitu faktor alamiah seperti yang telah disinggung pada bagian preservasi

yang pertama di atas dan faktor upaya yang dilakukan oleh masyarakat itu sendiri.

Upaya yang dilakukan oleh masyarakat itu dapat menjadi suatu bentuk preservasi

terhadap permainan anak tradisional, yang mana dalam bagian ini adalah

preservasi yang dilakukan melalui ajang kompetisi.

Hasil percakapan etnografis menunjukkan bahwa masyarakat Jawa

khususnya di Yogyakarta sampai saat ini masih memiliki kebiasaan untuk

mengadakan suatu ajang kompetisi yang mengangkat permainan anak tradisional

sebagai aktivitas yang dilakukan secara berkala. Masyarakat biasanya

mengadakan acara seperti itu ketika sedang berada dalam masa atau hari-hari yang

istimewa, seperti hari kemerdekaan Indonesia atau 17-an, mendapat kesempatan

untuk mengisi suatu festival, mendapat kesempatan untuk mengisi pameran, atau

bahkan berdasarkan inisiatif murni dari pihak penyelenggara untuk mengadakan

acara yang berunsur perlombaan permainan anak tradisional. Hal itu dinilai cukup

efektif bagi masyarakat untuk mendorong dan membangkitkan kembali permainan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 190: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

177

anak tradisional yang saat ini mulai dilupakan. Pernyataan dari narasumber

berikut ini menunjukkan hal-hal yang telah dipaparkan di atas.

Tapi coba, kompetisi kasti antarkampung. Kalau di desa

saya itu dulu pernah kasti antarlingkungan. Orang yang

main pun terserah, ada bapak, ibu, anak, semua keluar,

terus nanti satu tim 12 orang missalnya. Ramai sekali.

(PE/SP/3/a)

Maka, harus dibuat acara-acara khusus. Misalnya, melalui

acara 17-an sebagai hal yang masih tampak di dalam

kehidupan kita. Baru permainan ini bisa dilakukan. Jika

ingin melestarikan ini, harus ada orang yang mau terjun

langsung dan memberikan berbagai penjelasan secara

konkrit di lapangan. (PE/SP/3/b)

Dua pernyataan narasumber di atas menunjukkan bahwa permainan anak

tradisional masih diperhatikan dan diberdayakan melalui ajang kompetisi yang

diadakan oleh masyarakat dan untuk masyarakat. Selain itu, pada dasarnya

sebagian masyarakat masih terus terdorong untuk mengangkat permainan anak

tradisional dalam setiap ajang kompetisi, setiap kali ada kesempatan bagi mereka

untuk menyelenggarakannya, walaupun seringkali masih terbatas pada persoalan

“jika ada kesempatan”, misalnya hari-hari tertentu, khusus, atau istimewa saja.

Hal itu sudah cukup menunjukkan bahwa masysarakat ternyata masih memiliki

strategi untuk melestarikan permainan anak tradisional agar tidak lenyap ditelan

zaman. Ajang kompetisi yang diselenggarakan oleh masyarakat tersebut menjadi

salah satu strategi preservasi permainan anak tradisional. Hal itu selaras dengan

pernyataan Suffah dan Setyowati (2015) yang mengungkapkan bahwa strategi

permainan tradisional dapat dilakukan dengan mengadakan kompetisi di

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 191: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

178

komunitas dengan perlombaan, sebagaimana hal itu dilakukan oleh komunitas

Tanoker. Maka, penyelenggaraan perlombaan dianggap cukup efektif untuk

melestarikan permainan warisan budaya itu.

Berkaitan dengan hal di atas, pelaksanaan perlombaan permainan anak

tradisional melibatkan aktivitas konkrit yang dilakukan bersama-sama dengan

pusat pikiran para pelaku permainan itu sebagai sumber informasi, pengetahuan,

dan dorongan bagi masyarakat untuk melaksanakannya. Hal itu berlaku pula

dalam hal komunikasi antarpenutur, yang mana komunikasi itu sendiri merupakan

suatu bentuk aktivitas yang didasari oleh pikiran para penuturnya (partisipan),

seperti hal yang diungkapkan dalam SPEAKING menurut Hymes (1972).

Aktivitas di dalam permainan tentu juga melibatkan komunikasi sebagai bagian

dari aktivitas di dalam permainan itu sendiri. Maka, penulis melihat kehadiran

unsur kebahasaan di dalam aktivtas permainan itu, yang ditambah pula bahwa

permianan anak tradisional beberapa di antaranya memiliki dialog yang khas dan

lagu atau tembang dolanan yang wajib dituturkan atau dinyanyikan sebagai

bagian mutlak dari aktivitas permainan warisan budaya itu. Aktivtas kebahasaan

itu turut menjadi bagian dari aktivitas permainan secara keseluruhan, sebagaimana

Sibarani (2015) menyatakan bahwa budaya mencangkup berbagai aktivitas yang

dilakukan secara turun-temurun sebagai wujud performansi, termasuk aktivtas

berkomunikasi.

Berdasarkan pemaparan di atas, kompetisi dapat dimaknai sebagai salah

satu bentuk komunikasi kepada masyarakat agar tergerak untuk dapat

melaksanakan aktivitas yang menjadi tujuan masyarakat itu, yang artinya dengan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 192: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

179

serangkaian proses itu, masyarakat secara otomatis ikut terlibat dalam upaya

pelestarian permainan anak tradisional. Hal-hal tesebut terjadi dalam satu

rangkaian proses sekaligus. Maka, budaya, aktivitas, dan komunikasi menjadi

bagian yang tidak terpisahkan satu sama lain. Hal itu dapat dikaitkan dengan

pandangan Kridalaksana (1998) yang mengungkapkan bahwa bahasa tidak saja

bisa dipandang sebagai sarana komunikasi individu atau kelompok untuk

mengungkapkan pikiran, perasaan, pendapat, harapan, kegelisahan, cinta,

kebencian, opini, dan sebagainya kepada individu atau kelompok lain, tetapi juga

bisa dipandang sebagai suatu sumber daya untuk menyingkap misteri budaya,

mulai dari perilaku berbahasa, identitas dan kehidupan penutur, pendayagunaan

dan pemberdayaan bahasa sampai dengan pengembangan serta pelestarian nilai-

nilai budaya.

Upaya preservasi melalui ajang kompetisi juga membutuhkan sarana yang

lebih kuat agar pelaksanaannya dapat diwujudkan dengan lebih intensif.

Pernyataan narasumber berdasarkan hasil percakapan etnografis berikut ini dapat

menjadi faktor yang dapat memperkuat upaya pelestarian ini sebagai berikut.

Salah satu di antaranya, yang pokok itu adalah penyediaan

fasilitas publik. Fasilitas publik itu mutlak harus

disediakan. (PE/SP/1)

Lebih sering mengadakan lagi acara perlombaan yang

mengangkat permainan anak tradisional. Menyediakan

ruang bermain anak. (PE/SP/2)

Pernyataan narasumber di atas menunjukkan bahwa masyarakat juga perlu

untuk menyediakan fasilitas publik yang dibuat secara khusus sebagai ruang

bermain anak (PE/SP/1). Hal itu mengindikasikan bahwa masyarakat tidak boleh

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 193: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

180

hanya terikat atau terbatas pada masa atau hari-hari tertentu di mana masyarakat

hanya dapat menyelenggarakan kompetisi ketika masa atau hari itu datang.

Namun, masyarakat diharapkan dapat lebih sering lagi mengadakan acara

perlombaan yang mengangkat permainan anak tradisional, sebagaimana hal yang

telah dinyatakan oleh narasumber (PE/SP/2). Maka, inisiatif masyarakat sangatlah

diperlukan dalam hal ini, untuk meningkatkan frekuensi penyelenggaraan ajang

kompetisi sebagai bentuk preservasi permainan itu. Beberapa contoh yang

berkaitan dengan maksud narasumber di atas dapat diambil sebagai berikut.

Pertama, masyarakat dapat membentuk suatu komunitas khusus, seperti

komunitas Tanoker yang dikaji dalam penelitian Suffah dan Setyowati (2015).

Kedua, masyarakat dapat membuat sanggar, seperti sanggar seni Metta Budaya

yang dikaji dalam penelitian Dadtun (2012). Ketiga, masyarakat dapat terus

menyelenggarakan festival permainan anak, seperti festival Dolanan Anak Se-DIY

2013 yang dikaji dalam penelirian Herawati (2015).

Komunitas Tanoker adalah komunitas bermain yang dikhususkan untuk

anak-anak, yang didirikan sejak tahun 2009. Berdasarkan keterangan Suffah dan

Setyowati (2015), komunitas tersebut mewadahi anak-anak di kecamatan

Ledokombo sebagai sarana bermain permainan tradisional Indonesia, untuk

mengenalkan budaya bangsa Indonesia pada generasi muda, sebagai strategi untuk

menjaga identitas bangsa agar tidak punah dengan mengajarkan nilai-nilai budaya

lokal yang terdapat dalam masyarakat. Komunitas tersebut mengajarkan

permainan tradisional Indonesia bagi anak-anak yang awalnya mereka tidak

mengenal permainan tradisional, lalu lambat laun mengenalnya bahkan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 194: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

181

menggemari permainan-permainan itu. Suffah dan Setyowati menegaskan bahwa

komunitas itu dapat menjadi bukti bahwa preservasi permainan anak tradisional

melalui ajang kompetisi cukup efektif, karena komunitas itu sering

menyelenggarakan acara yang berunsur perlombaan dengan melibatkan anak-anak

yang di wadahinya dan memiliki 8 (delapan) prestasi atau pencapaian atas

penyelenggaraan yang telah dilaksanakan. Prestasi atau pencapaian yang telah

diwujudkan oleh komunitas tersebut, yaitu (1) sukses menggelar festival

Indonesia ke-IV setiap bulan Agustus dengan melibatkan juri dan tokoh

mancanegara, (2) mengangkat sejarah dengan melestarikan permainan tradisional

sampai ke kancah internasional, (3) menyelenggarakan berbagai permainan ke

seluruh Indonesia, termasuk di Yogyakarta, (4) dikunjungi dan diliput oleh

berbagai media televisi, seperti Si Bolang, SCTV, ANTV, Surya, Radar, dan

Kompas, (5) banyak turis dan penulis dari luar negeri yang telah mengunjungi,

seperti Jerman, Australia, dan Jepang, (6) Sinta Abdurrahman Wahid sempat

berkunjung dengan berbagai mahasiswa, (7) meraih diplomasi Indonesia Tanoker,

dan (8) menjadi finalis Indonesia Mencari Bakat 2.

Sanggar seni Metta Budaya adalah sanggar yang dibentuk di Surakarta

sejak tahun 1989 untuk mengajarkan budaya, termasuk seni dolanan anak.

Berdasarkan keterangan Dadtun (2012), sanggar tersebut memiliki visi dan misi

yang memiliki esensi bahwa sanggar itu tidak hanya mengajarkan materi tari

tradisi gaya Surakata saja, tetapi juga mengajarkan seni pertunjukkan wayang

orang, dan bermain seni dolanan anak untuk pelestarian permainan Jawa yang

sudah jarang dimainkan oleh anak-anak. Dadtun menegaskan bahwa model

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 195: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

182

pembelajaran permainan anak tradisional sangat perlu diselenggarakan dalam

upaya untuk melestarikan dan mengembangkan dolanan anak tradisional yang

saat ini sudah mulai dilupakan. Model pembelajaran ini dilakukan dengan

memperkenalkan jenis-jenis permainan tradisional yang telah ada sejak dahulu,

yang kemudian dapat dikembangkan dengan menyesuaikan konteks

perkembangan zaman sehingga dapat digemari oleh anak-anak. Model

pengembangan dapat dilakukan dengan memadukan gerak dan lagu, pemakaian

alat-alat yang mudah dijumpai, dan lain-lain. Hal itu berkaitan dengan pernyataan

narasumber (PE/SP/3/b) yang mengatakan bahwa “Jika ingin melestarikan ini,

harus ada orang yang mau terjun langsung dan memberikan berbagai penjelasan

secara konkrit di lapangan.”. Selain itu, model pembelajaran di dalam sanggar itu

benar-benar melibatkan aktivitas konkrit atau mempraktekkan permainan itu

secara langsung, sebagaimana aktivitas itu merupakan bagian inti dari permainan

anak tradisional.

Festival Dolanan Anak Se-DIY 2013 merupakan suatu bentuk kepedulian

masyarakat dan pemerintah daerah yang telah dilakukan sejak tahun 2010.

Berdasarkan keterangan Herawati (2015), festival tersebut merupakan pagelaran

atau pertunjukkan yang mengangkat tema seni dan tradisi. Acara itu merupakan

acara rutin yang bekerja sama dengan berbagai pihak, baik swasta maupun

pemerintah. Taman Budaya Yogyakarta yang bekerja sama dengan Dinas

Pariwisata DIY menggelar acara tersebut yang berlangsung selama tiga hari

dengan peserta puluhan grup atau kelompok seni dari lima kabupaten di

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 196: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

183

Yogyakarta. Hal itu mengindikasikan secara positif bahwa keberadaan permainan

anak tradisional perlu dilestarikan agar tidak punah.

Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan di atas, penulis melihat bahwa

penyelenggaraan kompetisi dan berbagai sarana pendukungnya dapat menjadi

strategi preservasi permainan anak tradisional yang efektif, masih diupayakan

hingga saat ini, dan akan terus diusahakan sepanjang masa. Hal itu dinyatakan

demikian karena masyarakat atau anak-anak dilibatkan secara langsung dengan

aktivitas konkrit yang dilakukan di dalam permainan. Di dalam proses itu,

terdapat serangkaian bentuk integrasi antara budaya, aktivitas konkrit, dan

perilaku berkomunikasi yang tidak dapat dipisahkan dan menjadi satu kesatuan

peristiwa yang dapat mewujudkan upaya pelestarian permainan anak tradisional.

Upaya yang terus-menerus dilakukan itu sangat tampak dari beberapa pernyataan

dari narasumber dan beberapa contoh upaya yang lain dari beberapa hasil kajian

di atas. Di lain sisi, masyarakat juga semakin terdorong oleh faktor yang

dihasilkan dari budaya itu sendiri, yaitu kesadaran masyarakat akan pentingnya

nilai-nilai luhur yang dikandung di dalam permainan anak tradisional, seperti hal

yang sempat disinggung oleh Suffah dan Setyowati (2015) di atas, dan

sebagaimana Bastomi (1992) juga menyatakan bahwa sikap hidup orang Jawa

sangat menunjung tinggi prinsip kerukunan, saling menghormati, dan sopan

santun, sebagai bagian dari nilai budaya itu sendiri.

4.2.3.3 Preservasi Permainan Anak Tradisional melalui Sarana Teknologi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 197: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

184

Permainan anak tradisional yang semakin tergeser oleh perkembangan

teknologi pada zaman sekarang dapat dikatakan mulai terlupakan oleh mayoritas

masyarakat sendiri, di mana permainan-permainan itu sendiri berasal. Anak-anak

banyak yang lebih sering atau memilih bermain gawai dari pada bermain

permainan anak tradisional. Permainan anak tradisional pada dasarnya merupakan

bagian dari kebudayaan, dan kebudayaan itu pada hakikatnya bersifat komunal,

sebagaimana yang diungkapkan oleh Bustani (2010) bahwa kehidupan masyarakat

adat memiliki konsep yang bersifat komunal dan lebih menekankan pada

kepentingan serta pemanfaatan untuk kepentingan bersama dalam kelompoknya.

Permainan anak tradisional diciptakan berdasarkan konsep komunal dan

dilakukan pula secara komunal atau bersama-sama. Hal itu berseberangan dengan

sikap individualistik yang tampak ketika anak-anak mulai bermain gawai dan

“asyik sendiri”, karena zaman sekarang anak-anak sudah tidak dituntut lagi untuk

harus bergaul dan melaksanakan “ritual” permainan anak tradisional yang pada

umumnya mutlak dilakukan bersama-sama. Pembiaran tersebut seolah semakin

menanamkan sikap individualistik anak dan berarti pula bahwa permainan anak

tradisional semakin ditinggalkan oleh karena perhatian anak-anak yang condong

pada gawai. Oleh karena itu, preservasi permainan anak tradisional juga harus

dapat menyisip di dalam dunia teknologi, agar preservasi itu dapat menyesuaikan

perkembangan zaman atau teknologi. Dengan demikian, apabila perkembangan

teknologi mengancam eksistensi permainan anak tradisional, maka langkah yang

dapat dilakukan untuk melawan hal itu adalah juga dengan memanfaatkan

teknologi.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 198: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

185

Hasil percakapan etnografis dengan narasumber menunjukkan bahwa

masyarakat perlu melakukan langkah pelestarian permainan anak tradisional

dengan memanfaatkan teknologi. Hal itu sebenarnya sudah mulai diterapkan

dewasa ini, namun masyarakat tetap perlu semakin meningkatkan upaya itu demi

eksistensi permainan anak tradisional yang kokoh. Masyarakat perlu melakukan

suatu bentuk kerja sama antarbidang keahlian untuk melakukan upaya semacam

itu. Integrasi antara bidang keahlian teknologi dengan bidang kebudayaan perlu

dilaksanakan untuk menghasilkan produk atau sarana teknologi, seperti permainan

gawai, film animasi, dan berbagai macam konten perangkat lunak lainnya yang

mengangkat tema tentang permainan anak tradisional, yang tentu dapat diakses

secara leluasa dengan alat-alat elektronik, seperti telepon genggam (Android),

tablet, laptop, komputer, televisi, dan lain-lain. Pernyataan narasumber berikut ini

menunjukkan hal-hal yang telah dipaparkan di atas.

Lalu, mendorong semua pihak untuk memperhatikan

kembali permainan anak tradisional sesuai dengan bidang

mereka masing-masing. Misalnya, dalam bidang seni,

orang dapat mengangkat lagu permainan yang dapat

dimanfaatkan dalam media tertentu. Kemudian,

memanfaatkan teknologi dengan mengangkat tema

permainan anak tradisional untuk dibuat suatu permainan

di dalam gawai itu, karena anak zaman sekarang

pegangannya hp. Maka, kita bisa mengajak orang-orang

yang berkompetensi di bidang teknologi untuk membuat

game-game dengan tema permainan anak tradisional. Kita

tidak perlu mengambil sumber daya manusia dari luar

negeri karena kita sudah cukup banyak memiliki orang-

orang yang mampu dalam bidang teknologi. Kita harus

bekerja sama dengan mereka, memberi isi atau kontennya,

dan membuat bersama. Maka, kerja sama lintas bidang

kompetensi itu perlu demi menghasilkan permainan gawai

yang terintegrasi dengan permainan anak tradisional.

(PE/SP/2)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 199: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

186

Kalau kaitannya dengan zaman sekarang, orang perlu

membuat animasi. Toh animator Indonesia itu juga ampuh-

ampuh, namun malah tidak laku di negaranya sendiri,

malah laku di luar negeri. Animasi itu dapat dikemas

dengan cerita atau film, lalu ada suatu petunjuk-petunjuk

film yang berupa pengenalan aksara Jawa yang

diperbandingkan artinya dengan bahasa Indonesia, Inggris,

agar anak dapat sekaligus dikenalkan dengan istilah-istilah

di dalam permainan. Jika aspek-aspek kebahasaan itu tidak

dikenalkan di era sekarang ini, maka bahasa itu tidak akan

bisa dikonsumsi oleh masyarakat dan mereka akan

kehilangan pengetahuan atau informasi itu. (PE/SP/1)

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa masyarakat perlu terus

memanfaatkan teknologi sebagai upaya untuk melestarikan permainan anak

tradisional. Pernyataan narasumber di atas mengungkapkan 2 poin yang dapat

dilakukan dalam rangka melestarikan permainan anak tradisional melalui sarana

teknologi, yaitu (1) membuat permainan gawai dan (2) membuat film animasi

dengan mengintegrasikan dimensi kebahasaan dalam beberapa bahasa. Kedua

bentuk upaya tersebut membutukan kerja sama antarbidang keahlian, seperti hal

yang telah dinyatakan oleh narasumber.

Permainan gawai yang dimaksud di atas merupakan bentuk adaptasi dari

permainan anak tradisional yang diangkat ke dalam bentuk perangkat lunak yang

dapat dioperasikan melalui alat-alat elektronik, seperti telepon genggam

(Android), tablet, laptop, dan komputer. Hal itu merupakan upaya pelestarian

permainan anak tradisional yang mengikuti dan menyesuaikan perkembangan

zaman, yaitu melalui pemanfaatan sarana teknologi. Hal itu dapat menjadi daya

tarik bagi anak-anak yang sekarang ini sangat menyukai permainan gawai

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 200: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

187

sehingga pendekatan melalui permainan gawai itu diharapkan dapat menarik

minat anak-anak secara efektif. Selaras dengan hal tersebut, Perdana (2013)

mengungkapkan bahwa sarana digital akan menjadi sarana sangat baik apabila

dikemas dengan wadah yang menarik dan interaktif sehingga mampu menarik

minat dan memberi motivasi kepada anak-anak untuk menggunakannya. Salah

satu contoh strategi preservasi permainan anak tradisional yang pernah dilakukan

dan diteliti adalah model adaptasi permainan anak tradisional Macanan ke dalam

perancangan permainan digital. Model adaptasi tersebut menjadi kajian bagi

Khamadi dan Senoprabowo (2016) yang mengembangkan permainan gawai

dengan mengangkat konten dan pola permainan dari permainan anak tradisional

yang menggunakan papan, seperti Macanan. Permainan anak tradisional yang

menggunakan media papan dinilai cukup mudah untuk diadaptasi dalam bentuk

permainan gawai seperti permainan catur yang biasa kita temui dalam sistem

operasi komputer Windows. Permainan gawai seperti itu cukup praktis dan mudah

dioperasikan oleh anak-anak sehingga memiliki potensi yang besar untuk

mengenalkan permainan anak tradisional kepada anak-anak di era digital ini.

Pembuatan film animasi yang mengintegrasikan dimensi kebahasaan

dalam beberapa bahasa merupakan bentuk yang lebih luas dari bentuk upaya yang

pertama tadi, karena melibatkan media elektronik yang lebih luas seperti televisi,

sebagaimana hal yang telah dinyatakan oleh narasumber (PE/SP/1). Berkaitan

dengan hal itu, permainan anak tradisional berasal dari kebudayaan masyarakat

yang dibentuk bersama dan dilakukan secara besama pula. Hal itu

mengindikasikan bahwa proses pembentukan dan pemanfaatan permainan anak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 201: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

188

tradisional di dalam masyarakat sepanjang zaman itu melibatkan proses

berkomunikasi yang intens. Proses berkomunikasi yang intens itu tentu

melibatkan bahasa yang digunakan di dalam masyarakat itu sendiri. Oleh karena

itu, permainan anak tradisional selalu memiliki nama yang menggunakan bahasa

yang dihasilkan dari masyarakat itu sendiri, beserta dengan istilah yang digunakan

dan dialog atau lagu yang dinyanyikan sehingga setiap permainan anak tradisional

memiliki ciri khas yang kuat. Bahasa merupakan cerminan dari kebudayaan,

karena bahasa dan budaya merupakan hal saling berkaitan, sebagaimana Foley

(2001) mengungkapkan bahwa bahasa merupakan bagian dari konteks sosial

budaya dan saling mempengaruhi serta mempertahankan praktek budaya dan

struktur sosial. Maka, keterlibatan bahasa dalam upaya pelestarian permainan

anak tradisional yang dalam hal ini melalui sarana teknologi perlu diwujudkan

sebaga pengantar bagi masyarakat agar tetap dan semakin mengenal terhadap

budaya dan kembali kepada akar budaya itu sendiri.

Berdasarkan pernyataan narasumber, konten permainan anak tradisional

itu dapat dikemas melalui cerita anak yang memuat tema permainan dengan

menggunakan bahasa daerah seperti apa adanya yang hadir di dalam permainan.

Dari situ, animasi dapat dilengkapi dengan perbandingan bahasa, dengan cara

memberi “petunjuk-petunjuk film yang berupa pengenalan aksara Jawa yang

diperbandingkan artinya dengan bahasa Indonesia, Inggris, agar anak dapat

sekaligus dikenalkan dengan istilah-istilah di dalam permainan” (PE/SP/1).

Dengan cara demikian, anak-anak dapat dengan mudah mengenal permainan itu

secara lengkap, dari nama, istilah, dialog atau lagu (tembang) permainan, dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 202: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

189

aktivitas permainan yang dapat mengarahkan anak untuk mengetahui cara

bermain permainan anak tradisional. Anak-anak yang dituju tentu mencangkup

anak-anak yang berasal dari berbagai latar belakang, mengingat bahwa petunjuk-

petunjuk kebahasaan itu dapat terdiri atas bahasa daerah (asli), bahasa Indonesia,

dan bahasa asing, seperti bahasa Inggris. Hal itu menunjukkan bahwa upaya

semacam itu, jika benar-benar dikembangkan dengan baik, maka akan dapat

berguna di seluruh dunia sebagai wawasan yang penting bagi generasi muda

terhadap sistem budaya yang pernah ada di dunia. Hal itu memiliki potensi yang

cukup besar bagi masyarakat untuk dapat melestarikan permainan anak tradisional

secara efektif.

Sebagaimana hal yang telah disinggung di atas tadi, kedua bentuk upaya

preservasi permainan anak tradisional melalui sarana teknologi itu membutuhkan

kerja sama dengan berbagai pihak, yaitu orang-orang dengan bidang keahlian

yang berbeda-beda. Pihak-pihak yang perlu saling bekerja sama berdasarkan

pernyataan narasumber dapat terdiri dari (1) budayawan, (2) peneliti, (3)

programer, dan (4) animator.

Budayawan memiliki peran inti sebagai pusat informasi tentang konten

yang dimuat di dalam produk-produk perangkat lunak dan media yang dibuat dan

dikembangkan. Budayawan memiliki pengetahuan dan pengalaman yang otentik

berkaitan dengan hal-hal yang menjadi bagian dari budaya, termasuk permainan

anak tradisional. Hal itu berkaitan dengan proses etnografis yang secara otomatis

dilakukan dalam upaya pelestarian ini. Mereka menjadi informan kunci yang

dapat memberikan informasi-informasi yang sebenarnya sebagai data yang dapat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 203: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

190

membentuk objek penelitian dan konten produk yang dkembangkan (jika

dikaitkan dengan konteks penelitian), sebagaimana Sudaryanto (2015)

mengatakan bahwa data itu dapat berasal dari informasi dari informan kunci.

Penulis dapat berperan sebagai pihak yang menyediakan acuan dasar,

pengendali, dan data-data utama. Penulis sebagai penyedia acuan dasar memiliki

maksud bahwa produk yang dibuat dapat memiliki dasar kebenaran yang kuat

melalui hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan. Penulis sebagai pengendali

berarti bahwa penulis dapat memberikan batasan-batasan mengenai sejauh mana

produk itu dapat berguna di masyarakat dan dapat dimanfaatkan secara efektif,

sebagai contoh melalui penelitian dan pengembangan yang mana hasil dari

penelitian itu dapat dijamin kualitasnya melalui proses uji coba (Borg and Gall,

1983). Penulis sebagai penyedia data-data utama memiliki kaitan dengan

pelaksanaan proses etnografis yang mengumpulkan data dari informan kunci,

seperti budayawan. Data-data yang pernah digunakan di dalam penelitian dapat

dimanfaatkan kembali sebagai dasar penyusunan produk yang dihasilkan.

Programer dan animator memiliki peran yang sama-sama berurusan

dengan implementasi konkrit dari produk yang dihasilkan. Mereka memiliki tugas

untuk menyusun, mengatur, dan mengemas konten yang telah disediakan untuk

menjadi perangkat lunak dan media yang berupa permainan gawai dan film

animasi. Kerja sama yang baik antara beberapa pihak tersebut dinilai efektif untuk

mewujudkan upaya preservasi melalui sarana teknologi, berdasarkan pernyataan

yang telah diungkapkan oleh narasumber (PE/SP/1-PE/SP/2).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 204: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

191

Budayawan, peneliti, programer, dan animator merupakan anggota dari

masyarakat budaya. Mereka memiliki tugas sebagai bagian dari masyarakat itu

untuk melestarikan warisan budaya mereka sendiri. Beberapa pihak yang saling

bekerja sama seperti orang-orang di atas dewasa ini sebenarnya sudah mulai

menerapkan upaya preservasi melalui sarana teknologi. Namun, pelaksanaan

upaya itu belum banyak dilakukan dengan lebih serius, karena hanya sebagian

kecil pihak saja yang bersedia dengan sungguh-sungguh melaksanakannya. Maka,

strategi preservasi permainan anak tradisional dengan cara semacam ini masih

perlu ditingkatkan lagi dan mendorong berbagai pihak untuk bersedia dengan

sungguh-sungguh mengupayakannya, terutama pihak-pihak yang menjadi bagian

masyarakat asli yang telah menghasilkan warisan budaya itu. Hal itu selaras

dengan pernyataan Tanudirjo (2003) yang menungkapkan bahwa peran

masyarakat dalam memberikan makna pada warisan budaya, yang berarti pula

peran sertanya dalam pelestariannya, dapat diserap melalui keterlibatan mereka

dalam menentukan nilai penting suatu warisan budaya maupun pengambilan

keputusan untuk pemanfaatannya. Dari hal tersebut, tampak bahwa peran aktif

dari para anggota masyarakat itu sendiri sangatlah dibutuhkan untuk melestarikan

warisan budaya berasama-sama, termasuk permainan anak tradisional.

4.2.3.4 Preservasi Permainan Anak Tradisional melalui Lembaga Pendidikan

Strategi preservasi permainan anak tradisional dapat ditempuh melalui

bidang pendidikan, baik pendidikan informal, seperti keluarga dan lingkungan,

maupun pendidikan formal, seperti lembaga pendidikan dasar. Berdasarkan hasil

percakapan etnografis, penulis menemukan bahwa lembaga pendidikan formal

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 205: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

192

secara khusus belum memberi perhatian penuh pada preservasi permianan anak

tradisional. Selain itu, dari sisi lingkup keluarga di dalam masyarakat juga sudah

jarang mengenalkan dan mengajarkan permainan anak tradisional kepada anak-

anak. Di dalam lembaga pendidikan dasar, pembelajaran tentang muatan lokal,

misalnya pelajaran seni budaya dan bahasa Jawa, belum mengintegrasikan tema

permainan anak tradisional di dalamnya. Kecuali itu, berdasarkan percakapan

bersama Pensiunan Guru SD Kanisius Blongkeng, upaya pendidikan dasar

terhadap preservasi permainan anak tradisional mulai tampak. Hal itu ditunjukkan

dengan pengalaman narasumber dalam mengangkat tema permainan anak

tradisional dalam pembelajaran yang dilaksanakan, misalnya pelajaran olahraga

dan bahasa Jawa. Beliau menggunakan permainan anak tradisional sebagai sarana

pembelajaran olahraga, seperti kasti, gobag sodor, boi-boinan, dan bentengan.

Selain itu, berdasarkan pengamatan peneliti, salah satu lembaga pendidikan dasar

di Yogyakarta, seperti SD Kanisius Demangan Baru sampai saat ini juga masih

menggunakan permainan kasti sebagai salah satu sarana pembelajaran olahraga

untuk anak-anak. Lalu, dalam pelajaran bahasa Jawa, narasumber yang pernah

mengajar di SD Kanisius Blongkeng di atas juga sering mengangkat unsur

permainan anak tradisional, seperti nama, istilah, dan cara bermain permainan

anak tradisional, ketika masih bertugas sebagai guru SD (sekolah dasar).

Berkaitan dengan hal-hal di atas, penulis dapat memulai dari pendidikan

informal di dalam keluarga. Keluarga merupakan tempat pertama bagi anak untuk

membentuk diri, tumbuh, dan berkembang. Hal tersebut merupakan kenyataan

yang telah terbukti dari pengalaman hidup kita masing-masing bahwa dari

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 206: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

193

keluargalah kepribadian seseorang terbentuk sejak awal. Driyarkaya (1980)

menyatakan bahwa pendidikan merupakan perbuatan fundamental dalam

kehidupan manusia yang di dalamnya terdapat proses memanusiakan manusia

muda. Perbuatan fundamental itu memiliki dua arti, yaitu (1) perbuatan

mengubah, menentukan, dan membentuk hidup manusia, dan (2) perbuatan

fundamental untuk mencintai, yaitu cinta murni yang mengarah pada kepentingan

yang dicintai, sebagaimana hal yang telah diungkapkan oleh Sudiarja, dkk (2006).

Dalam kaitannya dengan strategi preservasi permainan anak tradisional, penulis

dapat mengatakan bahwa cinta dan kasih sayang orang tua kepada anaknya yang

didukung oleh situasi dan lingkungan yang kondusif akan memungkinkan seorang

anak dapat mengenal, mengetahui, dan mencintai permainan anak tradisional yang

kaya akan nilai karakter itu.

Anak-anak yang lahir dalam lingkungan masyarakat Jawa pada umumnya

mengenal, mengetahui, dan melakukan permainan anak tradisional sebagai bagian

dari aktivitas atau kegiatan mereka sehari-hari. Hal itu terutama terjadi pada

lingkungan masyarakat desa yang masih kental dengan budaya lokal dan belum

terlalu terpengaruh oleh kemajuan teknologi. Kebiasaan masyarakat yang telah

berlangsung dari dulu itu merupakan modal dasar bagi para orang tua untuk

menanamkan kecintaan anak-anak terhadap permainan anak tradisional sebagai

warisan budaya sendiri. Namun, dewasa ini ternyata sudah banyak orang tua yang

tidak lagi terlalu memperhatikan pengenalan anak terhadap budaya sendiri.

Berdasarkan hasil percakapan etnografis, penulis mengungkap bahwa orang tua

banyak yang melarang anaknya untuk bermain dengan alasan agar waktu dapat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 207: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

194

sepenuhnya dugunakan hanya untuk belajar dan setelah itu istirahat. Cara didik

demikian justru membentuk kebiasaan yang membuat anak hanya menjadi

“objek” yang tidak dikenal oleh diri mereka sendiri. Mereka tidak mengenal diri

mereka sendiri. Hal itu terutama disebabkan oleh sikap para oang tua yang sudah

tidak peduli dengan pengajaran anak tentang kebudayaan asli mereka sendiri.

Orang tua lebih rela jika anak mereka pintar pelajaran, karena nilai yang menjadi

orientasi bukan lagi nilai kebudayaan atau kepribadian (karakter), namun lebih

pada nilai materi. Segala hal seolah diukur melalui materi, karena kebanyakan

masyarakat itu sudah tercabut dari akar budaya sendiri. Maka, pendidikan yang

dimulai dari keluarga sangat diperlukan, seperti kesediaan orang tua untuk

memberi kebebasan kepada anak dalam bermain dan bersosialisasi. Rangkuman

tersebut dapat dilihat pada kutipan pernyataan narasumber sebagai berikut.

Lalu yang berikutnya adalah kemauan dari orang tua juga

keluarga untuk memberi kebebasan kepada anak, karena

kebanyakan orang tua sekarang sering memarahi atau

melarang anaknya untuk bermain agar waktu dapat

sepenuhnya digunakan hanya untuk belajar. Habis belajar

tidur. Jadi, kebiasaan anak itu ya membuat anak hanya

menjadi semacam objek yang dia sendiri sampai seolah

tidak kenal dengan dirinya. Mengapa, karena kebanyakan

orang tua sudah tidak peduli dengan bagaimana

mengajarkan anak supaya mengerti kebudayaan mereka

sendiri. Namun, mereka akan lebih rela jika anak mereka

pintar pelajaran karena nilai yang menjadi orientasi bukan

lagi nilai kebudayaan atau kepribadian, tapi nilai materi.

Jadi, semua diukur dengan materi, walaupun materi

memang diperlukan, namun jika tidak dilandasi dengan

nilai-nilai itu sehingga orang zaman sekarang kebanyakan

memiliki kecenderungan untuk asal dalam mengatasi

masalah. Itu semua karena kita sudah tercabut dari akar

budaya kita. Jadi, jika anak sekarang masih bisa berbicara

dengan tata krama yang baik dan lengkap, tidak mungkin

anak suka berkelahi. Misalnya, ketika di rumah dibiasakan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 208: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

195

dan terbiasa bertata krama, dia di luar juga tidak akan

sembarangan. Generasi kita sekarang bisa dianggap

membahayakan, mengapa, karena ada gesekan antara

budaya, tuntutan teknologi, dan religi itu sekarang benar-

benar dibenturkan. (PE/SP/1a)

Ya untuk zaman sekarang memang agak sulit karena

situasi yang tidak menentu ini, orang tua kan sangat

protect (melindungi) terhadap anaknya, maka yang terjadi

bahkan sudah merambat ke kampung-kampung, orang tua

itu malah lebih senang kalau anak berada di rumah.

Disediakan game, hp, dan fasilitas lainnya, yang penting di

rumah. Hal itu menjadi kesulitan untuk mengembangkan

atau melestarikan permainan itu. (PE/SP/3a)

Pernyataan narasumber di atas menunjukkan fakta-fakta yang terjadi di

dalam kehidupan nyata, seperti hal yang telah dipaparkan dalam rangkuman

percakapan itu. Permasalahan di atas secara tidak sadar merupakan suatu bentuk

pengasingan bagi anak terhadap budaya sendiri. Orang tua justru banyak yang

bersikap terlalu protektif (overprotective) terhadap anaknya dan lebih memilih

untuk memfasilitasi anak-anak agar mereka tidak bermain di luar dan fokus

belajar, tanpa mementingkan dimensi karakter melalui dinamika sosial

(PE/SP/3a). Padahal, jika orang tua bersedia memberi kebebasan kepada anak

untuk bermain dan bersosialisasi dengan masyarakat sekitar secara intensif,

masyarakat akan lebih mudah dalam menanamkan nilai-nilai budaya,

sebagaimana hal yang sekarang ini kita sendiri harapkan. Oleh karena itu,

narasumber memberi pernyataan bahwa kesediaan orang tua untuk memberi

kebebasan kepada anak sangatlah diperlukan (PE/SP/1a). Hal itu menjadi poin

yang paling mendasar, yang kemudian dapat dilanjutkan dengan upaya yang nyata

dari orang tua untuk menaruh kepedulian kepada anak agar mereka tetap

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 209: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

196

mengenal budaya sendiri. Meskipun penulis menemukan permasalahan

pengasingan itu, penulis tetap melihat adanya upaya dari orang tua yang masih

peduli dengan budaya sehingga anak mendapat kesempatan dan pengalaman

untuk mengalami sendiri warisan budaya itu, seperti permainan anak tradisional.

Pernyataan narasumber berikut ini menunjukkan adanya upaya orang tua yang

masih memberi perhatian pada akar budaya.

Nah, baiknya (sisi baik) dalam permainan tradisional anak,

orang tua pasti bisa memantau, bahkan orang lain di lain

tempat pun secara otomatis memantau si anak. Woo, itu

anaknya siapa dan lain sebagainya sehingga jika

seandainya kita menyimpang, bukan hanya orang tua

sendiri yang bertanggung jawab, namun ada orang lain

yang bisa terlibat. Pak, anak Bapak tadi begini lho Pak.

(PE/SP/1b)

Misalnya, dari mbahnya dulu masih bisa mengajari

permainan-permainan seperti itu. Narasmuber seperti itu

suatu ketika dapat berinisiatif membelikan sarana

permainan, misalnya alatnya dhakon lalu mengajari

anaknya. (PE/SP/3b)

Pernyataan narasumber di atas menyatakan bahwa sampai saat ini

setidaknya masih ada orang tua yang memperhatikan anak agar tetap mengenal

budaya sendiri, bahkan mengajari secara langsung bagaimana cara melakukannya,

termasuk menyediakan sarana yang dibutuhkan agar anak mengenal dan

mengetahui permainan itu (PE/SP/3b). Selain itu, penulis juga melihat adanya

dimensi pendidikan yang dilakukan secara informal, yaitu di dalam kelurga dan

lingkungan masyarakat secara alamiah. Anak dibiarkan bermain, bergaul, dan

bersosialiasi dengan teman-temannya dan segala perilaku yang dilakukan benar-

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 210: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

197

benar diawasi oleh orang tua dan masyarakat sendiri sehingga segala perbuatan

baik dan buruk anak benar-benar dipantau dan dikendalikan secara penuh melalui

penilaian langsung oleh masyarakat (PE/SP/1b). Hal itu memberi pengaruh yang

sangat besar dan efektif terhadap perkembangan karakter anak, karena mereka

mengalami secara langsung konsekuensi dari perilaku atau perbuatan mereka

sendiri. Hal itu dapat dikaitkan dengan pengamatan anak terhadap aktivitas yang

dapat menjadi simbol yang dapat mereka maknai secara verbal maupun nonverbal

karena anak berpartisipasi secara langsung, sebagaimana Pierce (1965 dalam

Foley, 2001) dalam konsep partisipasi indeksikalitasnya mengatakan bahwa

bahasa merupakan aktivtas sosial yang melibatkan pembicara dan pendengar

sebagai pelaku sosial (social actors). Dengan demikian, mereka akan membentuk

konstruksi pemahaman mengenai sikap yang baik, tata krama, sopan santun, nilai,

dan norma masyarakat melalui pengalaman langsung. Pernyataan itu selaras

dengan pandangan Vygotsky (dalam Suparno, 1996) yang mengemukakan bahwa

interaksi sosial memainkan peranan penting dalam perkembangan kognitif anak.

Interaksi sosial dengan orang yang ada di sekitar anak akan membangun ide baru

dan mempercepat perkembangan intekektualnya. Meskipun, pandangan tersebut

menyebut kognitif dan intelektual sebagai kata kunci, namun dari dimensi kognitif

an inteketual itulah anak dapar menginternalisasi nilai-nilai yang telah diketahui

ke dalam bentuk afeksi dan perilaku nyata, sebagaimana dimensi intelektual itu

dapat didistribusikan pada berbagai ranah. Maka, penulis dapat mengatakan

bahwa strategi preservasi permainan anak tradisional dalam lingkup keluarga

harus terjadi melalui peran orang tua dalam memberikan kebebasan dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 211: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

198

kepercayaan yang penuh kepada anak-anak untuk turut serta mengalami secara

langsung proses bermain dan bermasyarakat melalui permainan anak tradisional

di lingkungannya.

Dari pendidikan informal, seperti keluarga dan lingkungan yang telah

diuraikan di atas, penulis melangkah ke lembaga pendidikan formal dengan

memberi poin penting pada pembelajaran seni budaya, olahraga, dan bahasa,

khususnya di lembaga pendidikan dasar, karena permainan anak tradisional lebih

relevan pada tingkat pendidikan sekolah dasar. Pada lembaga pendidikan formal,

khususnya pendidikan dasar, yaitu sekolah dasar, preservasi permainan anak

tradisional dapat ditempuh melalui pembelajaran di kelas. Berdasarkan hasil

percakapan etnografis, narasumber menyatakan bahwa preservasi permainan anak

tradisional juga dapat dilakukan melalui lembaga pendidikan dasar. Guru sekolah

dasar dapat mengeksplorasi kreativitas mereka dan saling bekerja sama untuk

mengangkat permainan anak tradisional ke dalam konten pembelajaran di kelas,

seperti pelajaran seni budaya, olahraga, dan bahasa. Ketika para guru menerapkan

hal itu, anak dapat terinspirasi dan meniru segala hal yang diajarkan di sekolah

sehingga ketika pulang, anak dapat termotivasi untuk melakukan permainan yang

telah diajarkan di sekolah. Maka, hal itu juga menunjukkan bahwa implementasi

kurikulum di sekolah perlu diintegrasikan dengan unsur muatan lokal yang tidak

hanya terbatas pada pelajaran yang berunsur muatan lokal secara khusus, namun

dapat diterapkan pada semua pelajaran, karena menyangkut penyusunan perangkat

pembelajaran secara menyeluruh dalam kaitannya dengan impelmentasi

kurikulum yang digunakan, misalnya Kuriulum 2013. Maka, peran guru sangatlah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 212: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

199

penting dalam mengakomodasi unsur permainan anak tradisional ke dalam

pelajaran, terutama pelajaran yang pada dasarnya berunsur muatan lokal. Guru

yang memiliki latar belakang masyarakat pribumi menjadi prioritas utama dalam

hal ini, karena mereka memiliki pengetahuan dan pengalaman yang otentik

terhadap budaya Jawa, sebagaimana mereka dibesarkan dari budaya tersebut.

Pernyataan narasumber berikut ini menunjukkan fakta dan gagasan di atas.

Lalu, bisa juga melalui sekolah dasar. Misalnya, kalau guru

olahraganya itu kreatif, atau dalam suatu pertemuan, guru

olahraga itu ada poin untuk menanamkan atau

mengembangkan permainan di dalam olahraga, nah di

sekolah baru bisa menjadi sarana untuk melakukan

permainan anak tradisional. Baru nanti anak-anak di rumah

main. Tapi, kalau di sekolah anak-anak tidak pernah main

tradisional, lha ya di rumah tidak terbawa. Jadi peran guru

olahraga itu sangat penting. Kalau tidak, ya bisa guru kelas

yang sudah memiliki pengalaman dalam hal permainan

anak tradisional, dan dibesarkan di desa yang dulu masih

membiasakan mereka untuk bermain tradisional, itu malah

bisa ngajari. (PE/SP/3a)

Selain itu, kurikulum di sekolah, paud, tk, sd, itu kan

jarang juga yang menggarap permainan seperti ini.

Orientasi mereka lebih pada teknologi yang justru

membawa orang kepada dunia individu dan bukan dunia

komunal. Maka, juga perlu ada upaya pengintegrasian

kurikulum sekolah dengan tema permainan anak

tradisional. (PE/SP/3b)

Tata cara mengajar bahasa Jawa atau pembelajaran di

sekolah pun perlu direformasi. Direformasi sesuai dengan

kebutuhan anak. (PE/SP/1)

Pernyataan narasumber di atas menunjukkan bahwa preservasi permainan

anak tradisional melalui lembaga pendidikan dasar perlu dilakukan dan sudah

pernah terlaksana, walaupun hanya sebagian kecil guru yang melaksanakannya,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 213: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

200

seperti pengalaman narasumber sendiri sehingga beliau pun berusaha mendorong

guru-guru muda untuk mengikuti cara yang ungkapkan tersebut. Berdasarkan

pernyataan narasumber di atas, penulis melihat bahwa preservasi permainan anak

tradisional di sekolah dasar dapat dilakukan melalui pelajaran seni budaya,

olahraga, dan bahasa, terutama (1) olahraga dan (2) bahasa, khususnya bahasa

Jawa. Pada dasarnya, pelaksanaan pembelajaran yang mengangkat unsur muatan

lokal juga telah diatur dalam Permendikbud RI Nomor 79 Tahun 2014 tentang

Muatan Lokal. Aturan dalam Permendikbud tersebut menjadi landasan yuridis

bagi guru untuk mengembangkan pembelajaran yang mengangkat unsur atau tema

permainan anak tradisional dalam konteks kebudayaan.

Pembelajaran olahraga dan bahasa Jawa terakomodasi di dalam muatan

lokal. Permendikbud Nomor 79 Tahun 2014 merumuskan definisi muatan lokal

sebagai mata pelajaran pada satuan pendidikan yang berisi muatan dan proses

pembelajaran tentang potensi dan keunikan lokal yang dimaksudkan untuk

membentuk pemahaman peserta didik terhadap keunggulan dan kearifan di daerah

tempat tinggalnya (Pasal 2 [1]). Selanjutnya, pada Pasal 4 (1) dirinci mata

pelajaran muatan lokal berupa: (1) seni budaya, (2) prakaya, (3) pendidikan

jasmani, olahraga, dan kesehatan, (4) bahasa, dan (5) teknologi. Permainan anak

tradisional dalam satuan pendidikan dasar dapat diangkat pada mata pelajaran

muatan lokal nomor 3 (pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan) dan 4

(bahasa).

Berdasarkan hasil observasi dan percakapan etnografis dengan narasumber

yang memiliki pengalaman di satuan pendidikan dasar, permainan anak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 214: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

201

tradisional sudah terakomodasi dalam kurikulum muatan lokal. Akomodasi itu

terletak pada pelajaran Penjaskes (Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan)

saja, namun dalam pelajaran bahasa Jawa belum terakomodasi. Salah satu

permainan anak tradisional yang paling sering digunakan dalam pelajaran

Penjaskes adalah Kasti, Gobag Sodor, dan Bentengan, yang mengandalkan sikap

kerja sama di dalam tim. Di sisi lain, pelajaran bahasa Jawa ternyata belum

menunjukkan akomodasi permainan anak tradisional di dalamnya. Pelajaran

bahasa Jawa lebih memperhatikan mengenai warisan budaya Jawa dalam bentuk

yang lain, seperti alat musik, upacara adat, tata bahasa, dan tembang macapat, dari

pada permainan anak tradisional sehingga pernyataan mengenai langkah

preservasi permainan anak tradisional dalam pelajaran bahasa masih sebatas

gagasan dan harapan. Namun, setidaknya penulis tetap dapat mengambil poin

penting bahwa strategi preservasi permainan anak tradisional dapat dilakukan

melalui lembaga pendidikan formal dan tentu juga informal.

4.3 Pembahasan

4.3.1 Nilai-nilai Karakter dalam Permainan Anak Tradisional

Analisis data yang telah dilakukan pada bagian sebelumnya menghasilkan

16 nilai karakter dari 24 permainan anak tradisional. Setiap nilai karakter dapat

terkandung dalam satu sampai dua permainan. Penulis menemukan 12 nilai

karakter yang hanya terdapat dalam satu permainan dan 4 nilai karakter yang

terdapat dalam dua permainan sekaligus. Nilai karakter yang hanya terdapat dalam

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 215: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

202

satu permainan mencakup permainan (1) Ancak-ancak Alis, (2) Bekelan, (3)

Betengan, (4) Dhakon, (5) Dhayoh-dhayohan, (6) Dhingklik Oglak-aglik, (7)

Ingkling, (8) Gobag Sodor, (9) Kitiran Godhong Tela, (10) Kucing-kucingan, (11)

Kupluk Godhong, dan (12) Layangan. Sedangkan, nilai karakter yang terdapat

dalam dua permainan sekaligus mencakup permainan (1) Benthik dan (2) Jirak,

(3) Jaranan Bongkok dan (4) Cublak-cublak Suweng, (5) Jamuran dan (6) Sliring

Gendhing, serta (7) Keris Janur dan (8) Pong-pong Bolong. Lalu, berdasarkan

hasil triangulasi data oleh ahli, penulis mengidentifikasi 7 dari 24 permainan yang

tidak disetujui karena tidak selaras dengan nilai karakter yang ditabulasikan.

Namun, penulis tetap memasukkan 3 permainan di antaranya dan menggunakan

argumentasi dengan dasar teori para ahli dan percakapan etnografis untuk

meyakinkan bahwa ketiga permainan tersebut masih memiliki nilai karakter yang

sesuai.

Dalam proses analisis data, penulis menggali nilai-nilai karakter dengan

menggunakan sarana identifikasi ketiga jenis tanda yang terkandung di dalam

setiap permainan yang berdasar pada teori para ahli, dan dengan proses

konfirmatoris yang berdasar pada keterangan narasumber. Pandangan Pierce

(1965 dalam Foley, 2001) yang membedakan tanda atas tiga jenis yakni indeks

(index), simbol (symbol), dan ikon (icon) menjadi dasar untuk membedah dan

menginterpretasi makna terdalam dari setiap permainan itu dengan dukungan

percakapan etnografis yang dapat memperkuat interpretasi penulis. Analisis data

dimulai dari identifikasi tanda yang berada di permukaan, yang biasanya berupa

indeks atau ikon. Lalu, dari tanda itu, penulis dapat kembali menelusuri makna

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 216: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

203

yang lebih dalam melalui tanda yang sudah teridentifikasi menjadi sebuah simbol

yang dapat melambangan dan mengungkapkan pesan tersembunyi di dalam

permainan. Dari seluruh proses tersebut, penulis juga selalu menyelaraskan

penafsiran dengan percakapan etnografis dari pada narasumber sebagai bentuk

konfirmasi atas kebenaran yang berdasar pada deskripsi latar belakang budaya

permainan itu dan mengenai hal-hal lain yang juga dapat dikaitkan dengan

permainan itu, karena sesungguhnya segala hal saling terhubung satu sama lain

sebagai satu kesatuan aktivitas atau produk kebudayaan.

Keenambelas nilai karakter permainan anak tradisional yang dihasilkan

dari penellitian ini dapat dipaparkan sebagai berikut. Nilai karakter yang (1)

pertama adalah manusia harus hidup sesuai dengan aturan, nilai, dan norma yang

berlaku di masyarakat. Nilai tersebut terkandung dalam permainan Ancak-ancak

Alis. Nilai karakter yang (2) kedua adalah penghormatan terhadap orang lain

menjadi tanda bahwa kita menghormati diri kita sendiri. Nilai tersebut terkandung

dalam permainan Bekelan. Nilai karakter yang (3) ketiga adalah manusia harus

bijaksana dalam bertindak. Nilai tersebut terkandung dalam permainan Betengan.

Nilai karakter yang (4) keempat adalah manusia harus dapat memusatkan diri

pada tujuan hidup yang ingin diraih. Nilai tersebut terkandung dalam permainan

Benthik dan Jirak. Nilai karakter yang (5) kelima adalah Tuhan adalah sosok yang

Maha Kuasa. Nilai tersebut terkandung dalam permainan Jaranan Bongkok dan

Cublak-cublak Suweng. Nilai karakter yang (6) keenam adalah manusia harus

dapat menjalin persaudaraan tanpa pamrih. Nilai tersebut terkandung dalam

permainan Dhakon. Nilai karakter yang (7) ketujuh adalah manusia harus selalu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 217: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

204

menjunjung tatakrama sebagai makhluk sosial. Nilai tersebut terkandung dalam

permainan Dhayoh-dhayohan. Nilai karakter yang (8) kedelapan adalah tujuan

akan lebih mudah dicapai apabila kita saling membantu. Nilai tersebut terkandung

dalam permainan Dhingklik Oglak-aglik.

Selanjutnya, nilai karakter yang (9) kesembilan adalah manusia selalu

membutuhkan proses dalam mencapai tujuan. Nilai tersebut terkandung dalam

permainan Ingking. Nilai karakter yang (10) kesepuluh adalah manusia harus jeli

dalam melihat peluang untuk meraih tujuan. Nilai tersebut terkandung dalam

permainan Gobag Sodor. Nilai karakter yang (11) kesebelas adalah manusia harus

selalu dapat beradaptasi dalam segala situasi. Nilai tersebut terkandung dalam

permainan Jamuran dan Sliring Gendhing. Nilai karakter yang (12) keduabelas

adalah manusia harus memiliki prinsip hidup yang kuat. Nilai tersebut terkandung

dalam permainan Keris Janur dan Pong-pong Bolong. Nilai karakter yang (13)

ketigabelas adalah manusia tidak perlu serakah karena sudah memiliki bagian dan

peran masing-masing. Nilai tersebut terkandung dalam permainan Kitiran

Godhong Tela. Nilai karakter yang (14) keempatbelas adalah manusia harus

membuang segala sifat buruk agar tercipta kehidupan yang harmonis. Nilai

tersebut terkandung dalam permainan Kucing-kucingan. Nilai karakter yang (15)

kelimabelas adalah manusia harus dapat merangkai dan merencanakan

kehidupannya sesuai dengan kehendak Tuhan. Nilai tersebut terkandung dalam

permainan Kupluk Godhong. Terakhir, nilai karakter yang (16) keenambelas

adalah manusia perlu mengendalikan diri agar tidak terjatuh dan mencelakakan

diri sendiri. Nilai tersebut terkandung dalam permainan Layangan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 218: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

205

Jika kita amati, nilai-nilai karakter tersebut ada yang terdapat dalam satu

permainan dan ada yang terdapat dalam dua permainan sekaligus. Penulis tidak

menemukan nilai karakter yang sama, yang terdapat dalam tiga permainan atau

lebih sekaligus. Setiap permainan tampak sangat unik dan cenderung memilliki

nilai karakter yang berbeda dari yang lain. Walau begitu, penulis tidak jarang

melihat adanya keseragaman unsur antarpermainan dalam hal maknanya secara

umum, berdasarkan deskripsi permainan secara umum yang telah

didokumentasikan dan deskripsi latar belakang budaya yang disampaikan oleh

para narasumber, berkaitan dengan latar belakang budaya Jawa dalam setiap

permainan itu yang mana kedua hal tersebut kadang-kadang dapat mengecoh.

Namun, ketika diperdalam lagi, ternyata nilai karakter itu tetap berbeda. Unsur-

unsur kesamaan yang ditemui tidak dapat begitu saja disamakan, karena setiap

permainan tampak memiliki fokus atau penekanan tersendiri. Salah satu kesamaan

unsur yang muncul pada beberapa permainan adalah konsep Ketuhanan. Hal itu

membuat permainan-permainan itu tampak serupa, dalam arti memiliki unsur-

unsur yang hampir sama itu tadi, namun sesungguhnya mereka unik dan tetap

berbeda satu sama lain. Penulis akan memaparkan contoh kasus tersebut. Contoh

yang dapat penulis jadikan kasus, seperti kesamaan unsur antara permainan Keris

Janur dan Layangan.

Berdasarkan deskripsi latar belakang budaya yang disampaikan oleh

narasumber, Keris Janur dan Layangan menunjukkan kesamaan unsur yang

sedikit mengecoh, karena jika tidak berhati-hati dan berpegang pada teori, maka

dapat menimbulkan ambiguitas dan menciptakan godaan untuk menganggap

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 219: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

206

bahwa kedua permainan itu memiliki nilai karakter yang sama. Dalam permainan

Keris Janur, dikatakan “kita harus mengetahui apa yang kita sembah, ke mana

kita manembah, dan siapa yang kita buat manembah itu, tidak lain adalah Tuhan

Yang Maha Esa” (PE/LB/15) dan permainan Layangan “kita senantiasa bisa

tertambat pada satu tujuan apapun dan bagaimanapun juga keadaannya, kita

jangan sampai lupa pada yang mengendalikan kita, yaitu Tuhan Yang Maha Esa”

(PE/LB/20). Hal itu dapat menjadi masalah pada saat proses interpretasi karena

penulis bisa saja berpikir bahwa kedua permainan itu akan memiliki nilai yang

sama. Penulis bisa saja berpikir bahwa kedua permainan itu mengajarkan kita

bahwa manusia harus memiliki iman yang kuat, sebagai contoh. Namun,

ambiguitas itu dapat terhindarkan melalui sistem tanda yang dimiliki oleh

permainan-permainan itu. Dari situlah, penulis dapat lebih berhati-hati dalam

melakukan proses interpretasi karena penulis menggunakan dasar tentang sistem

tanda, sebagaimana hal yang disampaikan oleh Pierce (1965 dalam Foley, 2001)

mengenai sistem tanda.

Peran triangulasi data oleh ahli juga sangatlah penting. Data yang telah

dianalisis di dalam penelitian ini telah disetujui oleh triangulator. Berdasarkan

hasil triangulasi, interpretasi penulis telah disetujui dan terintegrasi dalam analisis

data, sebagaimana 7 dari 24 permainan tidak disetujui karena tidak selaras dengan

nilai karakter yang ditabulasikan. Namun, penulis tetap memasukkan 3 permainan

di antaranya dan menggunakan argumentasi dengan dasar teori para ahli dan

percakapan etnografis untuk meyakinkan bahwa ketiga permainan tersebut masih

memiliki nilai karakter yang sesuai. Beberapa permainan tidak disetujui, namun

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 220: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

207

penulis memiliki argumen tersendiri untuk memaknai permainan itu. Artinya,

antara deskripsi permainan, deskripsi latar belakang budaya, teori, triangulasi

data, dan interpretasi penulis sudah cukup selaras. Namun, ambiguitas seperti hal

yang telah dipaparkan oleh penulis di atas menjadi faktor yang sangat

mempengaruhi proses interpretasi.

Maka, langkah yang paling efektif untuk menghindari ambiguitas

interpretasi data dalam mengungkap makna yang sebenarnya adalah dengan

menggunakan pandangan Pierce (1965 dalam Foley, 2001) yang berbicara

mengenai tanda dan membedakan tanda atas tiga jenis yakni indeks (index),

simbol (symbol), dan ikon (icon). Tambahan dari Danesi (2004) mengenai ketiga

jenis tanda tersebut sangatlah membantu penulis dalam melakukan kajian. Indeks

adalah tanda yang mewakili sumber acuan dengan cara menunjuk padanya atau

mengaitkannya (secara eksplisit atau implisit) dengan sumber acuan lain. Ikon

adalah tanda yang mewakili sumber acuan melalui sebuah bentuk replikasi,

simulasi, imitasi, atau persamaan. Sebuah tanda dirancang untuk

mempresentasikan sumber acuan melalui simulasi atau persamaan. Simbol adalah

tanda yang mewakili objeknya melalui kesepakatan atau persetujuan dalam

konteks spesifik. Makna-makna dalam suatu simbol dibangun melalui

kesepakatan sosial atau melalui beberapa tradisi historis. Namun, keterangan yang

penulis peroleh dari para narasumber yang ahli di bidangnya sebagai bentuk

percakapan etnografis tetap sangat berguna dalam menguatkan bukti bahwa

memang itulah nilai karakter yang ada di dalam setiap permainan, sebagaimana

kajian etnografi selalu membutuhkan konfirmasi atas kebenarannya di lapangan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 221: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

208

dari pelaku sosial, budaya, dan bahasa itu sendiri. Jadi, kolaborasi antara deskripsi

permainan yang terdokumentasi, deskripsi latar belakang budaya dari narasumber,

teori mengenai tanda, dan triangulasi data oleh ahli di dalam penelitian ini dapat

meneguhkan interpretasi penulis dalam menggali makna terdalam atau nilai-nilai

karakter yang sesungguhnya, dari setiap permainan itu.

4.3.2 Jenis-jenis Permainan Anak Tradisional

Jenis-jenis permainan anak tradisional yang teridentifikasi dalam

penelitian ini berjumlah 4 jenis, yaitu permainan dengan nyanyian atau dialog,

permainan asah fisik, permainan asah otak, dan permainan keterampilan tangan

yang dihasilkan dari analisis penulis berdasarkan pandangan Ismail (2012),

Dharmamulya (1993), dan Tim JSIT (2015), dengan dukungan percakapan

etnografis. Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini pertama-tama dilakukan

dengan mengkaji pandangan Ismail (2012), Dharmamulya (1993), dan Tim JSIT

(2015) yang dapat digunakan penulis untuk menjadi dasar klasifikasi jenis

permainan anak tradisional. Pandangan Ismail (2012) dan Dharmamulya (1993)

tidak secara langsung berbicara tentang klasifikasi jenis permainan, sedangkan

pandangan Tim JSIT (2015) secara langsung mengungkapkan jenis-jenis

permainan anak tradisional. Namun, penulis tidak dapat begitu saja langsung

menggunakan pandangan yang terakhir itu, karena penulis juga perlu melakukan

pengkajian terlebih dahulu sebagai bentuk interpretasi penulis yang didukung

dengan hasil percakapan etnografis sebagai bentuk konfirmasi yang dapat

menguatkan argumentasi penulis.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 222: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

209

Penulis dapat membuat klasifikasi jenis permainan anak tradisional dengan

memperhatikan pandangan Ismail (2012), Dharmamulya (1993), dan Tim JSIT

(2015). Hal itu diawali dengan adanya keterkaitan antara nilai karakter dengan

unsur-unsur yang terkandung di dalamnya, seperti unsur edukasional, unsur

kebudayaan, dan unsur empiris. Unsur edukasional menunjukkan bahwa

permainan anak tradisional memiliki hal yang dapat memberikan suatu bentuk

pendidikan, khususnya pendidikan karakter kepada anak-anak, sebagaimana Dewi

(2016) juga menyatakan bahwa permainan anak tradisional mengandung pesan-

pesan moral dengan muatan kearifan lokal yang luhur. Unsur kebudayaan

menunjukkan bahwa permainan anak tradisional mencerminkan kebudayaan suatu

daerah yang menghasilkan permainan tersebut sehingga nilai-nilai yang

terkandung di dalam permainan selalu merefleksikan ajaran moral dari suatu

kebudayaan masyarakat tertentu, sebagaimana Suseno (1999) menyatakan bahwa

permainan anak tradisional mengandung wisdom, memberikan manfaat untuk

perkembangan anak (Iswinarti, 2005), dan refleksi budaya untuk tumbuh

kembang anak (Krisdyatmiko, 1999). Unsur empiris menunjukkan bahwa

permainan anak tradisional merupakan hal yang dapat ditemui dan dibuktikan

secara konkrit, sebagaimana Rusuli (2015) mengungkapkan sifat empirisnya yang

rasional yang dibentuk oleh individu melalui pengalamannya, tidak spekulatif,

dan berdasarkan observasi terhadap kenyataan (Awar dan Adang, 2005).

Permainan anak tradisional memiliki nilai-nilai karakter yang sangat kuat. Maka,

nilai karakter yang terkandung dalam permainan anak tradisional berkaitan juga

dengan unsur kognitif, psikomotorik, dan afektif dalam permainan anak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 223: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

210

tradisional sebagai unsur edukatif yang terkandung (Ismail, 2012), dan jenis-jenis

permainan anak tradisional dapat digolongkan berdasarkan ketiga unsur tersebut

yang dikaitkan dengan pernyataan Dharmamulya (1993) dengan unsur

kebudayaan di dalamnya dan temuan tim penulis JSIT (2015) yang bersifat

empiris.

Sebagaimana hal yang telah dipaparkan di atas, Ismail (2012)

mengungkapkan unsur edukatif dalam permainan anak tradisional yang terbagi

atas aspek kognitif, psikomotorik, dan afektif, seperti hal yang kita temui di dalam

dunia pendidikan. Dharmamulya (1993) mengungkapkan unsur kebudayaan di

dalam permainan anak tradisional yang terbagi atas tujuan bermain dengan olah

pikir, adu ketangkasan, dan bernyanyi atau dialog, sebagaimana hal itu sudah

menjadi hal yang khas di dalam permainan anak tradisional sebagai produk

kebudayaan. Lalu, Tim JSIT (2015) melakukan serangkaian observasi dan

penelitian secara empiris untuk mendokumentasikan permainan-permainan anak

tradisional dengan melakukan klasifikasi jenisnya, dan menemukan bahwa

permainan anak tradisional terdiri atas permainan asah otak, asah fisik,

keterampilan tangan, dan nyanyian. Ketiga pendangan tersebut dapat dimaknai

oleh penulis dengan bantuan tabel yang dapat memberikan gambaran atas

keterkaitan antara ketiga pandangan tersebut sebagai berikut.

No. Unsur

Edukatif

(Ismail, 2012)

Maksud/Tujuan

Permainan

(Dharmamulya, 1993)

Kategori Permainan

(JSIT, 2015)

1 Kognitif Bermain dengan olah

pikir

Permainan asah otak

2 Psikomotorik Bermain dengan adu Permainan asah fisik

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 224: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

211

ketangkasan Permainan keterampilan

tangan

3 Afektif Bermain dengan

bernyanyi atau dialog

Permainan dengan

nyanyian atau dialog

Dari ketiga pandangan tersebut, penulis memaknai adanya empat jenis

permainan seperti klasifikasi yang telah dilakukan oleh Tim JSIT (2015), namun

penulis menambahkan unsur dialog dalam jenis permainan dengan nyanyian

menjadi permainan dengan nyanyian atau dialog, karena permainan dengan

nyanyian tidak selalu hanya menggunakan nyanyian sebagai wujud tuturan,

namun juga menggunakan aktivitas tanya-jawab/dialog sebagai bagian aktivitas

yang khas pula. Selain itu, penulis juga menambahkan jenis permainan

keterampilan tangan yang sebenarnya tidak terdapat dalam klasifikasi di dalam

dokumentasi itu. Hasil percakapan etnografis juga menunjukkan bahwa ada satu

lagi jenis permainan, yaitu permainan keterampilan tangan, yang mana anak dapat

memanfaatkan keterampilan tangannya untuk membuat media atau mainan di

dalam permainan-permainan tertentu (PE/JP/17).

Jenis permainan dengan nyanyian atau dialog dapat diidentifikasi dari

dominasi aktivitas yang diperlukan untuk melakukan permainan itu, yaitu

menyanyikan lagu permainan atau tembang dolanan saat permainan berlangsung.

Permainan dengan nyanyian atau dialog adalah jenis permainan yang dilakukan

dengan menonjolkan aktivitas nyanyian yang disertai dengan dialog atau hanya

salah satunya saja, seperti (1) Jamuran, (2) Ancak-ancak Alis, (3) Cublak-cublak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 225: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

212

Suweng, (4) Sliring Gendhing, (5) Pong-pong Bolong, dan (6) Dhingklik Oglak-

aglik.

Jenis permainan asah fisik adalah jenis permainan yang dilakukan dengan

menonjolkan aktivitas gerak fisik untuk melakukan permainan. Permainan asah

fisik memiliki ciri khas, yaitu bahwa pemain selalu dituntut untuk menggerakkan

tubuh dengan penuh seperti aktivitas olahraga. Oleh karena itu, permainan asah

fisik sering juga dimanfaatkan sebagai ajang kompetisi, olahraga, dan sebagainya,

seperti (1) Gobag Sodor, (2) Ingkling, dan (3) Plintheng, dan (4) Betengan.

Jenis permainan asah otak adalah jenis permainan yang dilakukan dengan

menonjolkan aktivitas berpikir untuk menentukan keputusan, mengatur strategi,

berhitung, dan berintuisi atau memperkirakan sesuatu dengan tepat, seperti (1)

Dhakon dan (2) Macanan. Lalu, jenis permainan keterampilan tangan merupakan

jenis permainan yang dilakukan dengan menonjolkan aktivitas kerajinan atau

membuat sesuatu sebagai bagian dari permainan. Jenis permainan ini memerlukan

pemanfaatan keterampilan tangan sekaligus kreativitas anak untuk dapat

menghasilkan produk buatan mereka sendiri sehingga dapat dimainkan atau

dimanfaatkan untuk keperluan yang lain, seperti (1) Jaranan Bongkok, (2) Keris

Janur, (3) Kitiran Godhong Tela, (4) Kitiran Janur, (5) Kupluk Godhong, dan (6)

Plintheng.

4.3.3 Strategi Preservasi Permainan Anak Tradisional

Strategi preservasi yang dapat dilakukan untuk permainan anak tradisional

dalam penelitian ini terbagi atas 4 strategi, yaitu (1) preservasi permainan anak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 226: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

213

tradisional melalui pewarisan alamiah, (2) preservasi permainan anak tradisional

melalui ajang kompetisi, (3) preservasi permainan anak tradisional melalui sarana

teknologi, dan (4) preservasi permainan anak tradisional melalui lembaga

pendidikan. Berdasarkan temuan penulis dari analisis yang telah dilakukan

terhadap hasil percakapan etnografis, hal-hal yang mengindikasikan strategi

pewarisan alamiah dan menjadi bagian pembentuk strategi preservasi permainan

anak tradisional, yaitu (1) segala informasi tentang permainan dibawa secara

terintegrasi melalui pola-pola yang khas sebagai jembatan keledai atau petunjuk

(blueprint), (2) pesan yang diamanatkan oleh “orang tua” (nenek moyang)

berkaitan dengan nilai karakter yang ingin diajarkan ditransfer melalui aktivitas

konrkit, dan (3) pewarisan informasi tentang permainan itu dilakukan dari mulut

ke mulut. Ketiga hal tersebut sudah dirancang oleh nenek moyang sebagai cara

yang efektif untuk melestarikan permainan-permainan anak tradisional. Dari

ketiga hal tersebut, hal yang paling menonjol sebagai bagian dari strategi

preservasi permainan anak tradisional dalam konteks pewarisan alamiah adalah

pola-pola yang khas.

Pola-pola yang khas tersebut di dalam penelitian ini dapat dimaknai

sebagai bentuk pemanfaatan simbol di dalam permainan sebagai sarana pewarisan

informasi. Hal itu selaras dengan pernyataan Herawati (2015) yang

mengungkapkan bahwa permainan tradisional merupakan salah satu budaya yang

masih dilestarikan dengan berbagai macam simbol yang mampu menampilkan

identitas. Strategi preservasi melalui pewarisan alamiah ini dapat dikaji melalui

teori indeksikalitas Pierce (1965 dalam Foley, 2001) yang mengungkapkan bahwa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 227: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

214

ada tiga jenis tanda, yaitu indeks, simbol, dan ikon. Ketiga dimensi tersebut

termanifestasikan dalam (a) nama permainan, (b) istilah di dalam permainan, (c)

dialog dan lagu permainan, (d) bentuk mainan (permainan tertentu) yang dibuat di

dalam permainan, dan (e) aktivitas permainan. Kelima hal tersebut merupakan

sistem tanda yang dimanfaatkan sebagai sarana pewarisan informasi tentang

permainan tertentu. Kelima hal itu dapat menjadi indeks, ikon, dan simbol

sekaligus. Secara konkrit, dalam kehidupan kita dewasa ini, strategi preservasi ini

masih dapat dilakukan dalam lingkup keluarga dan lingkungan tempat tinggal

secara turun-temurun. Masyarakat Jawa yang masih melestarikan permainan anak

tradisional juga terdorong secara alamiah oleh kekayaan nilai-nilai karakter yang

terkandung di dalamnya sehingga permainan itu sekaligus dapat dimanfaatkan

sebagai sarana penanaman nilai karakter yang efektif (sharing knowledge -

(PE/SP/2)), sebagaimana masyarakat Jawa pada dasarnya didasari oleh budaya

yang sangat kental dengan filosofi karakter atau sikap (Suseno, 1985).

Preservasi permainan anak tradisional juga dapat dilaksanakan melalui

ajang kompetisi. Berdasarkan hasil analisis dari percakapan etnografis, strategi

preservasi melalui ajang kompetisi biasanya dilaksanakan ketika sedang berada

dalam masa atau hari-hari yang istimewa, seperti hari kemerdekaan Indonesia atau

17-an, mendapat kesempatan untuk mengisi suatu festival, mendapat kesempatan

untuk mengisi pameran, atau bahkan berdasarkan inisiatif murni dari pihak

penyelenggara untuk mengadakan acara yang berunsur perlombaan permainan

anak tradisional. Permainan anak tradisional masih diperhatikan dan diberdayakan

melalui ajang kompetisi yang diadakan oleh masyarakat dan untuk masyarakat.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 228: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

215

Selain itu, pada dasarnya sebagian masyarakat masih terus terdorong untuk

mengangkat permainan anak tradisional dalam setiap ajang kompetisi, setiap kali

ada kesempatan bagi mereka untuk menyelenggarakannya. Ajang kompetisi yang

diselenggarakan oleh masyarakat tersebut menjadi salah satu strategi preservasi

permainan anak tradisional. Hal itu selaras dengan pernyataan Suffah dan

Setyowati (2015) yang mengungkapkan bahwa strategi permainan tradisional

dapat dilakukan dengan mengadakan kompetisi di komunitas dengan perlombaan,

sebagaimana hal itu dilakukan oleh komunitas Tanoker.

Jika kita kaitkan dengan perspektif di dalam penelitian ini, pelaksanaan

perlombaan permainan anak tradisional melibatkan aktivitas konkrit yang

dilakukan bersama-sama dengan pusat pikiran para pelaku permainan itu sebagai

sumber informasi, pengetahuan, dan dorongan bagi masyarakat untuk

melaksanakannya. Hal itu berlaku pula dalam hal komunikasi antarpenutur, yang

mana komunikasi itu sendiri merupakan suatu bentuk aktivitas yang didasari oleh

pikiran para penuturnya (partisipan), seperti hal yang diungkapkan dalam

SPEAKING menurut Hymes (1972). Aktivitas di dalam permainan tentu juga

melibatkan komunikasi sebagai bagian dari aktivitas di dalam permainan itu

sendiri. Maka, penulis melihat kehadiran unsur kebahasaan di dalam aktivtas

permainan itu, yang ditambah pula bahwa permianan anak tradisional beberapa di

antaranya memiliki dialog yang khas dan lagu atau tembang dolanan yang wajib

dituturkan atau dinyanyikan sebagai bagian mutlak dari aktivitas permainan

warisan budaya itu. Aktivtas kebahasaan itu turut menjadi bagian dari aktivitas

permainan secara keseluruhan, sebagaimana Sibarani (2015) menyatakan bahwa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 229: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

216

budaya mencangkup berbagai aktivitas yang dilakukan secara turun-temurun

sebagai wujud performansi, termasuk aktivtas berkomunikasi.

Kompetisi dapat dimaknai sebagai salah satu bentuk komunikasi kepada

masyarakat agar tergerak untuk dapat melaksanakan aktivitas yang menjadi tujuan

masyarakat itu, yang artinya dengan serangkaian proses itu, masyarakat secara

otomatis ikut terlibat dalam upaya pelestarian permainan anak tradisional. Hal-hal

tesebut terjadi dalam satu rangkaian proses sekaligus. Maka, budaya, aktivitas,

dan komunikasi menjadi bagian yang tidak terpisahkan satu sama lain. Hal itu

dapat dikaitkan dengan pandangan Kridalaksana (1998) yang mengungkapkan

bahwa bahasa tidak saja bisa dipandang sebagai sarana komunikasi individu atau

kelompok untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, pendapat, harapan,

kegelisahan, cinta, kebencian, opini, dan sebagainya kepada individu atau

kelompok lain, tetapi juga bisa dipandang sebagai suatu sumber daya untuk

menyingkap misteri budaya, mulai dari perilaku berbahasa, identitas dan

kehidupan penutur, pendayagunaan dan pemberdayaan bahasa sampai dengan

pengembangan serta pelestarian nilai-nilai budaya.

Masyarakat juga perlu untuk menyediakan fasilitas publik yang dibuat

secara khusus sebagai ruang bermain anak (PE/SP/1). Masyarakat tidak boleh

hanya terikat atau terbatas pada masa atau hari-hari tertentu di mana masyarakat

hanya dapat menyelenggarakan kompetisi ketika masa atau hari itu datang.

Namun, masyarakat diharapkan dapat lebih sering lagi mengadakan acara

perlombaan yang mengangkat permainan anak tradisional, sebagaimana hal yang

telah dinyatakan oleh narasumber (PE/SP/2). Maka, inisiatif masyarakat sangatlah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 230: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

217

diperlukan dalam hal ini, untuk meningkatkan frekuensi penyelenggaraan ajang

kompetisi sebagai bentuk preservasi permainan itu. Beberapa contoh yang

berkaitan dengan maksud narasumber di atas dapat diambil sebagai berikut.

Pertama, masyarakat dapat membentuk suatu komunitas khusus, seperti

komunitas Tanoker yang dikaji dalam penelitian Suffah dan Setyowati (2015).

Kedua, masyarakat dapat membuat sanggar, seperti sanggar seni Metta Budaya

yang dikaji dalam penelitian Dadtun (2012). Ketiga, masyarakat dapat terus

menyelenggarakan festival permainan anak, seperti festival Dolanan Anak Se-DIY

2013 yang dikaji dalam penelirian Herawati (2015). Maka, masyarakat juga dapat

menyelenggarakan kompetisi antardesa dengan menggunakan permainan anak

tradisional. Penyelenggaraan kompetisi dan berbagai sarana pendukungnya dapat

menjadi strategi preservasi permainan anak tradisional yang efektif, masih

diupayakan hingga saat ini, dan akan terus diusahakan sepanjang masa. Hal itu

dinyatakan demikian karena masyarakat atau anak-anak dilibatkan secara

langsung dengan aktivitas konkrit yang dilakukan di dalam permainan. Di dalam

proses itu, terdapat serangkaian bentuk integrasi antara budaya, aktivitas konkrit,

dan perilaku berkomunikasi yang tidak dapat dipisahkan dan menjadi satu

kesatuan peristiwa yang dapat mewujudkan upaya pelestarian permainan anak

tradisional. Masyarakat juga semakin terdorong oleh faktor yang dihasilkan dari

budaya itu sendiri, yaitu kesadaran masyarakat akan pentingnya nilai-nilai luhur

yang dikandung di dalam permainan anak tradisional, seperti hal yang sempat

disinggung oleh Suffah dan Setyowati (2015) di atas, dan sebagaimana Bastomi

(1992) juga menyatakan bahwa sikap hidup orang Jawa sangat menunjung tinggi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 231: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

218

prinsip kerukunan, saling menghormati, dan sopan santun, sebagai bagian dari

nilai budaya itu sendiri.

Hasil analisis juga menunjukkan bahwa masyarakat perlu melakukan

langkah pelestarian permainan anak tradisional dengan memanfaatkan teknologi.

Hal itu sebenarnya sudah mulai diterapkan dewasa ini, namun masyarakat tetap

perlu semakin meningkatkan upaya itu demi eksistensi permainan anak tradisional

yang kokoh. Masyarakat perlu melakukan suatu bentuk kerja sama antarbidang

keahlian untuk melakukan upaya semacam itu. Integrasi antara bidang keahlian

teknologi dengan bidang kebudayaan perlu dilaksanakan untuk menghasilkan

produk atau sarana teknologi, seperti permainan gawai, film animasi, dan berbagai

macam konten perangkat lunak lainnya yang mengangkat tema tentang permainan

anak tradisional, yang tentu dapat diakses secara leluasa dengan alat-alat

elektronik, seperti telepon genggam (Android), tablet, laptop, komputer, televisi,

dan lain-lain. Pernyataan narasumber berikut ini menunjukkan hal-hal yang telah

dipaparkan di atas.

Masyarakat perlu terus memanfaatkan teknologi sebagai upaya untuk

melestarikan permainan anak tradisional. Berdasarkan temuan analisis data,

penulis menemukan 2 poin yang dapat dilakukan dalam rangka melestarikan

permainan anak tradisional melalui sarana teknologi, yaitu (1) membuat

permainan gawai dan (2) membuat film animasi dengan mengintegrasikan

dimensi kebahasaan dalam beberapa bahasa. Kedua bentuk upaya tersebut

membutukan kerjasama antarbidang keahlian, seperti hal yang telah dinyatakan

oleh narasumber.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 232: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

219

Permainan gawai yang dimaksud merupakan bentuk adaptasi dari

permainan anak tradisional yang diangkat ke dalam bentuk perangkat lunak yang

dapat dioperasikan melalui alat-alat elektronik, seperti telepon genggam

(Android), tablet, laptop, dan komputer. Hal itu merupakan upaya pelestarian

permainan anak tradisional yang mengikuti dan menyesuaikan perkembangan

zaman, yaitu melalui pemanfaatan sarana teknologi dan dapat menjadi daya tarik

bagi anak-anak yang sekarang ini sangat menyukai permainan gawai sehingga

pendekatan melalui permainan gawai itu diharapkan dapat menarik minat anak-

anak secara efektif. Selaras dengan hal tersebut, Perdana (2013) mengungkapkan

bahwa sarana digital akan menjadi sarana sangat baik apabila dikemas dengan

wadah yang menarik dan interaktif sehingga mampu menarik minat dan memberi

motivasi kepada anak-anak untuk menggunakannya. Salah satu contoh strategi

preservasi permainan anak tradisional yang pernah dilakukan dan diteliti adalah

model adaptasi permainan anak tradisional Macanan ke dalam perancangan

permainan digital. Model adaptasi tersebut menjadi kajian bagi Khamadi dan

Senoprabowo (2016) yang mengembangkan permainan gawai dengan

mengangkat konten dan pola permainan dari permainan anak tradisional yang

menggunakan papan, seperti Macanan.

Pembuatan film animasi yang mengintegrasikan dimensi kebahasaan

dalam beberapa bahasa merupakan bentuk yang lebih luas dari bentuk upaya yang

pertama tadi, karena melibatkan media elektronik yang lebih luas seperti televisi,

sebagaimana hal yang telah dinyatakan oleh narasumber (PE/SP/1). Berkaitan

dengan hal itu, permainan anak tradisional berasal dari kebudayaan masyarakat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 233: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

220

yang dibentuk bersama dan dilakukan secara besama pula. Hal itu

mengindikasikan bahwa proses pembentukan dan pemanfaatan permainan anak

tradisional di dalam masyarakat sepanjang zaman itu melibatkan proses

berkomunikasi yang intens. Proses berkomunikasi yang intens itu tentu

melibatkan bahasa yang digunakan di dalam masyarakat itu sendiri. Oleh karena

itu, permainan anak tradisional selalu memiliki nama yang menggunakan bahasa

yang dihasilkan dari masyarakat itu sendiri, beserta dengan istilah yang digunakan

dan dialog atau lagu yang dinyanyikan sehingga setiap permainan anak tradisional

memiliki ciri khas yang kuat. Bahasa merupakan cerminan dari kebudayaan,

karena bahasa dan budaya merupakan hal saling berkaitan, sebagaimana Foley

(2001) mengungkapkan bahwa bahasa merupakan bagian dari konteks sosial

budaya dan saling mempengaruhi serta mempertahankan praktek budaya dan

struktur sosial. Maka, keterlibatan bahasa dalam upaya pelestarian permainan

anak tradisional yang dalam hal ini melalui sarana teknologi perlu diwujudkan

sebagai pengantar bagi masyarakat agar tetap dan semakin mengenal terhadap

budaya dan kembali kepada akar budaya itu sendiri.

Berdasarkan pernyataan narasumber, konten permainan anak tradisional

itu dapat dikemas melalui cerita anak yang memuat tema permainan dengan

menggunakan bahasa daerah seperti apa adanya yang hadir di dalam permainan.

Dari situ, animasi dapat dilengkapi dengan perbandingan bahasa, dengan cara

memberi “petunjuk-petunjuk film yang berupa pengenalan aksara Jawa yang

diperbandingkan artinya dengan bahasa Indonesia, Inggris, agar anak dapat

sekaligus dikenalkan dengan istilah-istilah di dalam permainan” (PE/SP/1).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 234: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

221

Dengan cara demikian, anak-anak dapat dengan mudah mengenal permainan itu

secara lengkap, dari nama, istilah, dialog atau lagu (tembang) permainan, dan

aktivitas permainan yang dapat mengarahkan anak untuk mengetahui cara

bermain permainan anak tradisional. Anak-anak yang dituju tentu mencangkup

anak-anak yang berasal dari berbagai latar belakang, mengingat bahwa petunjuk-

petunjuk kebahasaan itu dapat terdiri atas bahasa daerah (asli), bahasa Indonesia,

dan bahasa asing, seperti bahasa Inggris. Hal itu menunjukkan bahwa upaya

semacam itu, jika benar-benar dikembangkan dengan baik, maka akan dapat

berguna di seluruh dunia sebagai wawasan yang penting bagi generasi muda

terhadap sistem budaya yang pernah ada di dunia. Hal itu memiliki potensi yang

cukup besar bagi masyarakat untuk dapat melestarikan permainan anak tradisional

secara efektif.

Kedua bentuk upaya preservasi permainan anak tradisional melalui sarana

teknologi itu membutuhkan kerja sama dengan berbagai pihak, yaitu orang-orang

dengan bidang keahlian yang berbeda-beda. Pihak-pihak yang perlu saling bekerja

sama berdasarkan pernyataan narasumber dapat terdiri dari (1) budayawan, (2)

peneliti, (3) programer, dan (4) animator. Hal itu dapat memberi suatu jawaban

pula bahwa generasi muda dewasa ini juga dapat mengadaptasi permainan anak

tradisional dengan kemasan teknologi. Generasi muda adalah ujung tombak dari

bentuk pewarisan ini, karena merekalah yang diharapkan dapat lebih mengerti

tentang teknologi dan dapat menggunakan kemampuan mereka dalam tujuan ini.

Tanudirjo (2003) menungkapkan bahwa peran masyarakat dalam memberikan

makna pada warisan budaya, yang berarti pula peran sertanya dalam

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 235: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

222

pelestariannya, dapat diserap melalui keterlibatan mereka dalam menentukan nilai

penting suatu warisan budaya maupun pengambilan keputusan untuk

pemanfaatannya. Dari hal tersebut, tampak bahwa peran aktif dari para anggota

masyarakat itu sendiri sangatlah dibutuhkan untuk melestarikan warisan budaya

berasama-sama, termasuk permainan anak tradisional.

Strategi preservasi permainan anak tradisional juga dapat dilaksanakan

melalui bidang pendidikan, baik pendidikan informal, seperti keluarga dan

lingkungan, maupun pendidikan formal, seperti lembaga pendidikan dasar.

Berdasarkan hasil analisis atas percakapan etnografis, penulis menemukan bahwa

lembaga pendidikan formal secara khusus belum memberi perhatian penuh pada

preservasi permianan anak tradisional. Selain itu, dari sisi lingkup keluarga di

dalam masyarakat juga sudah jarang mengenalkan dan mengajarkan permainan

anak tradisional kepada anak-anak. Di dalam lembaga pendidikan dasar,

pembelajaran tentang muatan lokal, misalnya pelajaran seni budaya dan bahasa

Jawa, belum mengintegrasikan tema permainan anak tradisional di dalamnya.

Namun, di lain sisi, penulis tetap melihat upaya pendidikan dasar terhadap

preservasi permainan anak tradisional. Hal itu ditunjukkan dengan pengalaman

narasumber dalam mengangkat tema permainan anak tradisional dalam

pembelajaran yang dilaksanakan, misalnya pelajaran olahraga dan bahasa Jawa

dalam jenjang sekolah dasar.

Selain berbicara dalam kaitannya dengan lingkup pendidikan formal,

keluarga merupakan tempat pertama bagi anak untuk membentuk diri, tumbuh,

dan berkembang. Hal tersebut merupakan kenyataan yang telah terbukti dari

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 236: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

223

pengalaman hidup kita masing-masing bahwa dari keluargalah kepribadian

seseorang terbentuk sejak awal. Driyarkaya (1980) menyatakan bahwa pendidikan

merupakan perbuatan fundamental dalam kehidupan manusia yang di dalamnya

terdapat proses memanusiakan manusia muda. Perbuatan fundamental itu

memiliki dua arti, yaitu (1) perbuatan mengubah, menentukan, dan membentuk

hidup manusia, dan (2) perbuatan fundamental untuk mencintai, yaitu cinta murni

yang mengarah pada kepentingan yang dicintai, sebagaimana hal yang telah

diungkapkan oleh Sudiarja, dkk (2006). Dalam kaitannya dengan strategi

preservasi permainan anak tradisional, penulis dapat mengatakan bahwa cinta dan

kasih sayang orang tua kepada anaknya yang didukung oleh situasi dan

lingkungan yang kondusif akan memungkinkan seorang anak dapat mengenal,

mengetahui, dan mencintai permainan anak tradisional yang kaya akan nilai

karakter itu.

Anak-anak yang lahir dalam lingkungan masyarakat Jawa pada umumnya

mengenal, mengetahui, dan melakukan permainan anak tradisional sebagai bagian

dari aktivitas atau kegiatan mereka sehari-hari. Hal itu terutama terjadi pada

lingkungan masyarakat desa yang masih kental dengan budaya lokal dan belum

terlalu terpengaruh oleh kemajuan teknologi. Kebiasaan masyarakat yang telah

berlangsung dari dulu itu merupakan modal dasar bagi para orang tua untuk

menanamkan kecintaan anak-anak terhadap permainan anak tradisional sebagai

warisan budaya sendiri. Namun, dewasa ini ternyata sudah banyak orang tua yang

tidak lagi terlalu memperhatikan pengenalan anak terhadap budaya sendiri.

Berdasarkan hasil percakapan etnografis, penulis mengungkap bahwa orang tua

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 237: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

224

banyak yang melarang anaknya untuk bermain dengan alasan agar waktu dapat

sepenuhnya dugunakan hanya untuk belajar dan setelah itu istirahat. Hal itu dapat

menghambat perkembangan mereka dalam mengenal permainan anak tradisional

karena sikap para oang tua yang sudah tidak peduli dengan pengajaran anak

tentang kebudayaan asli mereka sendiri. Orang tua lebih rela jika anak mereka

pintar pelajaran, karena nilai yang menjadi orientasi bukan lagi nilai kebudayaan

atau kepribadian (karakter), namun lebih pada nilai materi. Maka, kesadaran dan

kesediaan orang tua juga sangat diperlukan. Namun, penulis juga menemukan hal

yang menyatakan bahwa sampai saat ini setidaknya masih ada orang tua yang

memperhatikan anak agar tetap mengenal budaya sendiri, bahkan mengajari

secara langsung bagaimana cara melakukannya, termasuk menyediakan sarana

yang dibutuhkan agar anak mengenal dan mengetahui permainan itu (PE/SP/3b).

Selain itu, penulis juga melihat adanya dimensi pendidikan yang dilakukan secara

informal, yaitu di dalam kelurga dan lingkungan masyarakat secara alamiah. Anak

dibiarkan bermain, bergaul, dan bersosialiasi dengan teman-temannya dan segala

perilaku yang dilakukan benar-benar diawasi oleh orang tua dan masyarakat

sendiri sehingga segala perbuatan baik dan buruk anak benar-benar dipantau dan

dikendalikan secara penuh melalui penilaian langsung oleh masyarakat

(PE/SP/1b). Hal itu memberi pengaruh yang sangat besar dan efektif terhadap

perkembangan karakter anak, karena mereka mengalami secara langsung

konsekuensi dari perilaku atau perbuatan mereka sendiri. Hal itu dapat dikaitkan

dengan pengamatan anak terhadap aktivitas yang dapat menjadi simbol yang

dapat mereka maknai secara verbal maupun nonverbal karena anak berpartisipasi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 238: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

225

secara langsung, sebagaimana Pierce (1965 dalam Foley, 2001) dalam konsep

partisipasi indeksikalitasnya mengatakan bahwa bahasa merupakan aktivtas sosial

yang melibatkan pembicara dan pendengar sebagai pelaku sosial (social actors).

Dengan demikian, mereka akan membentuk konstruksi pemahaman mengenai

sikap yang baik, tata krama, sopan santun, nilai, dan norma masyarakat melalui

pengalaman langsung. Pernyataan itu selaras dengan pandangan Vygotsky (dalam

Suparno, 1996) yang mengemukakan bahwa interaksi sosial memainkan peranan

penting dalam perkembangan kognitif anak. Interaksi sosial dengan orang yang

ada di sekitar anak akan membangun ide baru dan mempercepat perkembangan

intekektualnya.

Pada lembaga pendidikan formal, khususnya sekolah dasar, preservasi

permainan anak tradisional dapat ditempuh melalui pembelajaran di kelas.

Berdasarkan hasil percakapan etnografis, narasumber menyatakan bahwa

preservasi permainan anak tradisional juga dapat dilakukan melalui lembaga

pendidikan dasar. Guru sekolah dasar dapat mengeksplorasi kreativitas mereka

dan saling bekerja sama untuk mengangkat permainan anak tradisional ke dalam

konten pembelajaran di kelas, seperti pelajaran seni budaya, olahraga, dan bahasa.

Ketika para guru menerapkan hal itu, anak dapat terinspirasi dan meniru segala

hal yang diajarkan di sekolah sehingga ketika pulang, anak dapat termotivasi

untuk melakukan permainan yang telah diajarkan di sekolah. Maka, hal itu juga

menunjukkan bahwa implementasi kurikulum di sekolah perlu diintegrasikan

dengan unsur muatan lokal yang tidak hanya terbatas pada pelajaran yang

berunsur muatan lokal secara khusus, namun dapat diterapkan pada semua

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 239: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

226

pelajaran, karena menyangkut penyusunan perangkat pembelajaran secara

menyeluruh dalam kaitannya dengan impelmentasi kurikulum yang digunakan,

misalnya Kuriulum 2013. Maka, peran guru sangatlah penting dalam

mengakomodasi unsur permainan anak tradisional ke dalam pelajaran, terutama

pelajaran yang pada dasarnya berunsur muatan lokal. Guru yang memiliki latar

belakang masyarakat pribumi menjadi prioritas utama dalam hal ini, karena

mereka memiliki pengetahuan dan pengalaman yang otentik terhadap budaya

Jawa, sebagaimana mereka dibesarkan dari budaya tersebut.

Preservasi permainan anak tradisional melalui lembaga pendidikan dasar

perlu dilakukan dan sudah pernah terlaksana, walaupun hanya sebagian kecil guru

yang melaksanakannya, seperti pengalaman narasumber sendiri sehingga beliau

pun berusaha mendorong guru-guru muda untuk mengikuti cara yang ungkapkan

tersebut. Berdasarkan pernyataan narasumber di atas, penulis melihat bahwa

preservasi permainan anak tradisional di sekolah dasar dapat dilakukan melalui

pelajaran seni budaya, olahraga, dan bahasa, terutama (1) olahraga dan (2) bahasa,

khususnya bahasa Jawa. Pada dasarnya, pelaksanaan pembelajaran yang

mengangkat unsur muatan lokal juga telah diatur dalam Permendikbud RI Nomor

79 Tahun 2014 tentang Muatan Lokal. Aturan dalam Permendikbud tersebut

menjadi landasan yuridis bagi guru untuk mengembangkan pembelajaran yang

mengangkat unsur atau tema permainan anak tradisional dalam konteks

kebudayaan.

Pembelajaran olahraga dan bahasa Jawa terakomodasi di dalam muatan

lokal. Permendikbud Nomor 79 Tahun 2014 merumuskan definisi muatan lokal

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 240: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

227

sebagai mata pelajaran pada satuan pendidikan yang berisi muatan dan proses

pembelajaran tentang potensi dan keunikan lokal yang dimaksudkan untuk

membentuk pemahaman peserta didik terhadap keunggulan dan kearifan di daerah

tempat tinggalnya (Pasal 2 [1]). Selanjutnya, pada Pasal 4 (1) dirinci mata

pelajaran muatan lokal berupa: (1) seni budaya, (2) prakaya, (3) pendidikan

jasmani, olahraga, dan kesehatan, (4) bahasa, dan (5) teknologi. Permainan anak

tradisional dalam satuan pendidikan dasar dapat diangkat pada mata pelajaran

muatan lokal nomor 3 (pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan) dan 4

(bahasa). Maka, permainan anak tradisional juga dapat diangkat menjadi tema

dalam mata pelajaran di sekolah dan dapat pula dipraktekkan dalam mata

pelajaran penjaskes. Permainan anak tradisional sudah terakomodasi dalam

kurikulum muatan lokal. Akomodasi itu terletak pada pelajaran Penjaskes

(Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan) saja, namun dalam pelajaran

bahasa Jawa belum terakomodasi. Salah satu permainan anak tradisional yang

paling sering digunakan dalam pelajaran Penjaskes adalah Kasti, Gobag Sodor,

dan Bentengan, yang mengandalkan sikap kerja sama di dalam tim. Di sisi lain,

pelajaran bahasa Jawa ternyata belum menunjukkan akomodasi permainan anak

tradisional di dalamnya. Pelajaran bahasa Jawa lebih memperhatikan mengenai

warisan budaya Jawa dalam bentuk yang lain, seperti alat musik, upacara adat,

tata bahasa, dan tembang macapat, dari pada permainan anak tradisional sehingga

pernyataan mengenai langkah preservasi permainan anak tradisional dalam

pelajaran bahasa masih sebatas gagasan dan harapan. Namun, penulis tetap

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 241: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

228

melihat adanya poin penting bahwa strategi preservasi permainan anak tradisional

dapat dilakukan melalui lembaga pendidikan formal dan tentu juga informal.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 242: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

229

BAB V

PENUTUP

Bab ini terdiri dari dua hal pokok, yaitu kesimpulan dan saran.

Kesimpulan berisi rangkuman keseluruhan isi dari penelitian ini. Bagian

kesimpulan memiliki dua bagian. Bagian pertama berisi kesimpulan tentang (1)

nilai-nilai karakter dalam permainan anak tradisional, bagian kedua berisi

kesimpulan tentang (2) jenis-jenis permainan anak tradisional, dan bagian ketiga

berisi kesimpulan tentang (3) strategi preservasi permainan anak tradisional. Saran

berisi hal-hal relevan yang perlu diperhatikan dalam lingkup universitas dan bagi

penulis lanjutan. Berikut ini akan dipaparkan kesimpulan dan saran dari penelitian

ini.

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, penulis menemukan 16 nilai karakter dari 24

permainan anak tradisional. Nilai karakter yang (1) pertama adalah manusia harus

hidup sesuai dengan aturan, nilai, dan norma yang berlaku di masyarakat. Nilai

tersebut terkandung dalam permainan Ancak-ancak Alis. Nilai karakter yang (2)

kedua adalah penghormatan terhadap orang lain menjadi tanda bahwa kita

menghormati diri kita sendiri. Nilai tersebut terkandung dalam permainan

Bekelan. Nilai karakter yang (3) ketiga adalah manusia harus bijaksana dalam

bertindak. Nilai tersebut terkandung dalam permainan Betengan. Nilai karakter

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 243: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

230

yang (4) keempat adalah manusia harus dapat memusatkan diri pada tujuan hidup

yang ingin diraih. Nilai tersebut terkandung dalam permainan Benthik dan Jirak.

Nilai karakter yang (5) kelima adalah Tuhan adalah sosok yang Maha Kuasa.

Nilai tersebut terkandung dalam permainan Jaranan Bongkok dan Cublak-cublak

Suweng. Nilai karakter yang (6) keenam adalah manusia harus dapat menjalin

persaudaraan tanpa pamrih. Nilai tersebut terkandung dalam permainan Dhakon.

Nilai karakter yang (7) ketujuh adalah manusia harus selalu menjunjung tatakrama

sebagai makhluk sosial. Nilai tersebut terkandung dalam permainan Dhayoh-

dhayohan. Nilai karakter yang (8) kedelapan adalah tujuan akan lebih mudah

dicapai apabila kita saling membantu. Nilai tersebut terkandung dalam permainan

Dhingklik Oglak-aglik.

Selanjutnya, nilai karakter yang (9) kesembilan adalah manusia selalu

membutuhkan proses dalam mencapai tujuan. Nilai tersebut terkandung dalam

permainan Ingking. Nilai karakter yang (10) kesepuluh adalah manusia harus jeli

dalam melihat peluang untuk meraih tujuan. Nilai tersebut terkandung dalam

permainan Gobag Sodor. Nilai karakter yang (11) kesebelas adalah manusia harus

selalu dapat beradaptasi dalam segala situasi. Nilai tersebut terkandung dalam

permainan Jamuran dan Sliring Gendhing. Nilai karakter yang (12) keduabelas

adalah manusia harus memiliki prinsip hidup yang kuat. Nilai tersebut terkandung

dalam permainan Keris Janur dan Pong-pong Bolong. Nilai karakter yang (13)

ketigabelas adalah manusia tidak perlu serakah karena sudah memiliki bagian dan

peran masing-masing. Nilai tersebut terkandung dalam permainan Kitiran

Godhong Tela. Nilai karakter yang (14) keempatbelas adalah manusia harus

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 244: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

231

membuang segala sifat buruk agar tercipta kehidupan yang harmonis. Nilai

tersebut terkandung dalam permainan Kucing-kucingan. Nilai karakter yang (15)

kelimabelas adalah manusia harus dapat merangkai dan merencanakan

kehidupannya sesuai dengan kehendak Tuhan. Nilai tersebut terkandung dalam

permainan Kupluk Godhong. Terakhir, nilai karakter yang (16) keenambelas

adalah manusia perlu mengendalikan diri agar tidak terjatuh dan mencelakakan

diri sendiri. Nilai tersebut terkandung dalam permainan Layangan.

Jenis-jenis permainan anak tradisional yang teridentifikasi dalam

penelitian ini berjumlah 4 jenis, yaitu permainan dengan nyanyian atau dialog,

permainan asah fisik, permainan asah otak, dan permainan keterampilan tangan.

Permainan dengan nyanyian atau dialog adalah jenis permainan yang dilakukan

dengan menonjolkan aktivitas nyanyian yang disertai dengan dialog atau hanya

salah satunya saja, seperti (1) Jamuran, (2) Ancak-ancak Alis, (3) Cublak-cublak

Suweng, (4) Sliring Gendhing, (5) Pong-pong Bolong, dan (6) Dhingklik Oglak-

aglik. Permainan asah fisik adalah jenis permainan yang dilakukan dengan

menonjolkan aktivitas gerak fisik untuk melakukan permainan, seperti (1) Gobag

Sodor, (2) Ingkling, dan (3) Plintheng. Permainan asah otak adalah jenis

permainan yang dilakukan dengan menonjolkan aktivitas berpikir untuk

melakukan permainan, seperti (1) Dhakon dan (2) Macanan. Permainan

keterampilan tangan adalah jenis permainan yang dilakukan dengan menonjolkan

aktivitas kerajinan atau membuat sesuatu sebagai bagian dari permainan, seperti

(1) Jaranan Bongkok, (2) Keris Janur, (3) Kitiran Godhong Tela, (4) Kitiran Janur,

(5) Kupluk Godhong, dan (6) Plintheng.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 245: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

232

Strategi preservasi yang dapat dilakukan untuk permainan anak tradisional

dalam penelitian ini terbagi atas 4 strategi, yaitu dapat diwujudkan melalui

pewarisan alamiah, ajang kompetisi, sarana teknologi, dan lembaga pendidikan.

Pewarisan alamiah dapat dilakukan dalam lingkup keluarga dan lingungan tempat

tinggal secara turun-temurun. Masyarakat juga dapat menyelenggarakan

kompetisi antardesa dengan memanfaatkan permainan anak tradisional. Generasi

muda dewasa ini juga dapat mengadaptasi permainan anak tradisional dengan

kemasan teknologi. Permainan anak tradisional juga dapat diangkat menjadi tema

dalam mata pelajaran di sekolah dan dapat pula dipraktekkan dalam mata

pelajaran penjaskes.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil yang telah ditemukan, penulis memberikan saran yang

sekiranya perlu diperhatikan. Saran dari penulis akan dipaparkan sebagai berikut.

Penelitian ini hanya meneliti tentang kajian antropolinguistik dari dimensi

pemaknaan nilai karakter permainan anak tradisional. Bagi penulis selanjutnya,

penulis berharap bahwa penelitian ini dapat dikembangkan lebih lanjut dengan

impelementasi yang lebih luas untuk merealisasikan nilai-nilai yang terungkap,

seperti pembuatan konten-konten yang memuat nilai itu melalui sarana teknologi,

integrasi pada mata pelajaran di sekolah, dan publikasi melalui berbagai macam

media.

Para peneliti profesional perlu mengarahkan perhatian mereka pada ranah

ini. Karena, kajian semacam ini masih belum terlalu banyak jika dibandingkan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 246: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

233

dengan ranah-ranah yang sudah biasa menjadi objek kajian. Menurut penulis,

kajian mengenai permainan anak tradisional dengan berbagai macam sudut

pandang tentunya sangat menarik untuk dilakukan. Maka, kajian pada produk

budaya ini sangat perlu ditingkatkan frekuensinya, mengingat bahwa hal tersebut

juga dapat menjadi salah satu bentuk strategi preservasi untuk masa depan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 247: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

234

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:

Rineka Cipta.

Bastomi, Suwaji. 1992. Seni dan Budaya Jawa. Semarang: IKIP Semarang Press.

Bungin, Burhan H.M. 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi,

Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial. Jakarta: Kencana Prenama Media

Group.

Cook, Guy. 2003. Applied Linguistics. New York: Oxford University Press.

Coon, Dennis. 2000. Introduction to Psychology: Exploration and Application.

USA: West Publising Company.

Creswell, John W. 2015. Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan

Mixed Edisi Ketiga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Debdikbud. 1982. Permainan Anak-anak Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta:

Depdikbud.

Desmita. 2005. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Dharmamulya, Sukirman, dkk. 1993. Transformasi Nilai Melalui Permainan

Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta: Debdikbud.

-------------------------------------. 2005. Permainan Tradisional Jawa: Sebuah

Upaya Pelestarian. Yogyakarta: Kepel Press.

Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic Antrhopology. Cambridge: Cambridge

University Press.

Emzir. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data. Jakarta: Rajawali

Press.

Endraswara, Suwardi. 2005. Buku Pinter Budaya Jawa: Mutiara Adiluhung

Orang Jawa. Yogyakarta: Gelombang Pasang.

--------------------------. 2015. Revolusi Mental dalam Budaya Jawa. Yogyakarta:

Penerbit Narasi.

Foley, William. 2001. Antrhopological Linguistic: An Introduction. Sydney:

Blackwell.

Gottschalk, Louis; penerjemah Nugroho Notosusanto. 1986. Mengerti Sejarah:

Pengantar Metode Sejarah. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/digital

https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/karakter

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 248: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

235

https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/kultur

https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/preservasi

Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya Hasan. 1985. Language, Contex, dan Text: Aspects

of Language in a Social Semiotic Perspective. Oxford: Oxford University

Press.

Hidayatullah, M. Furqon. 2010. Guru Sejati: Pengembangan Insan Berkarakter

Kuat dan Cerdas. Surakarta: Yuma Pustaka.

Hirth, Michael. 1991. In West Africa, Games, Sport, and Tradition. Semantic

Scholar Journals.

Huizinga, Johan. 1990. Homo Ludens: Fungsi dan Hakekat Permainan dalam

Budaya. Jakarta: Penerbit LP3ES.

Ismail, Andang. 2012. Education Games. Yogykarta: Pro-U Media.

Jaringan Sekolah Islam Terpadu. 2015. Dolanan Anak Jawa. Yogyakarta: Dinas

Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga.

Kemendiknas. 2011. Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter. Jakarta: Badan

Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum dan Perbukuan.

Khamadi dan Abi Senoprabowo. 2016. Model Adaptasi Permainan Papan

Tradisional Macanan ke dalam Perancangan Permainan Digital. Jurnal

Andharupa, Vol. 2, No. 2.

Khobir, Abdul. 2009. Upaya Mendidik Anak melalui Permainan Edukatif. Jurnal

Forum Tarbiyah, Vol. 7, No. 2.

Kramsch, Claire. 1998. Language and Culture. New York: Oxford University

Press.

Mahsun. 2007. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan

Tekniknya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Miles, Mattew B. A., & Michael Huberman. 1994. Qualitative Data Analysis An

Expanded Sourcebook Second Edition. California: Sage Publication, Inc.

Moleong, Lexy J. 1989. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

---------------------. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya.

Muhammad. 2016. Metode Penelitian Bahasa. Yogyakarta: Ar-ruzz Media.

Mumfangati, Titi. 2011. Pendidikan Budi Pekerti dalam Budaya Jawa Kajian

Terhadap Serat Nitipraja. Jurnal Jantra, Vol. 6, No. 12.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 249: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

236

Perdana, B. 2013. Pengembangan Buku Digital Interaktif (BUDIN) Berbasis

Adobe Creative Suite pada Materi Genetika di SMK. Tesis. Semarang:

UNS.

Purwaningsih, Ernawati. 2006. Permainan Tradisional Anak: Salah Satu

Khasanah Budaya yang Perlu Dilestarikan. Jurnal Jantra, Vol. 1, No. 1.

Sadiman. 2007. Media Pendidikan. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Sibarani, Robert. 2015. Pendekatan Antropolinguistik Terhadap Kajian Lisan.

Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 1, No. 1.

--------------------. 2017. Bahasa dan Berbahasa: Objek Kajian Penting dalam

Pelestarian Bahasa Ibu. Prosiding Seminar Nasional Bahasa Ibu. Denpasar:

Udayana University Press.

Song, Lichao. 2010. The Role of Context in Discourse Analysis. Journal of

Language Teaching and Research, Vol. 1, No. 6, pp. 876-879.

Spradley, James P. 1980. Participant Observation. USA: Holt, Rinchart, and

Winston.

Sudaryanto. 2015. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta:

Penerbit Universitas Sanata Dharma Anggota APPTI.

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:

Alfabeta.

Suseno, Franz Magnis. 1985. Etika Jawa. Jakarta: PT Gramedia.

Tashadi (peny.). 1993. Transformasi Nilai Melalui Permainan Rakyat Daerah

Istimewa Yogyakarta. Jakarta: Debdikbud.

Van Dijk, Teun A. 1977. Text and Context Explorations in the Semantics and

Pragmatics of Discourse. USA: Longman Inc.

Yudiwinata, Hikmah Prisia, dan Pambudi Handoyo. 2014. Permainan Tradisional

dalam Budaya dan Perkembangan Anak. Jurnal Paradigma, Vol. 2, No. 3.

Yule, George. 2000. Pragmatics. Oxford: Oxford University Press.

Yumarlin, MZ. 2013. Pengembangan Permainan Ular Tangga untuk Kuis Mata

Pelajaran Sains Sekolah Dasar. Jurnal Teknik, Vol. 3, No. 1.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 250: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

237

LAMPIRAN

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 251: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

238

DATA STUDI DOKUMEN DESKRIPSI PERMAINAN ANAK

TRADISIONAL

(SD: Studi Dokumen, DP: Deskripsi Permainan)

No.

Permainan

Anak

Tradisional

Deskripsi Permainan

1. 1 Ancak-ancak

Alis (AAA)

Permainan ini dimainkan secara bersama-sama dengan 10-15 anak dan

dimainkan dengan cara seperti bermain permainan ular naga. Dua anak

bertugas sebagai petani dan anak yang lain bertugas sebagai

kijang/anak semang. Dua petani tadi saling menempelkan telapak

tangan dan membentuk seperti gapura. Lalu, kijang tadi masing-masing

berjalan di antara petani dan berjalan dari yang paling besar dengan

saling memegang ikat pinggang mereka seperti ular naga. Mereka

bernyanyi dan ketika lagu sudah berakhir, mereka melakukan tanya

jawab. Jika kijang menjawab pilihan atas alat bertani dari pertanyaan

petani (misalnya garu dari petani A atau luku dari petani B), maka dia

ikut pada salah satu petani yang sesuai dengan jawaban yang

diinginkan. Setelah para petani mendapatkan kijangnya masing-masing

dari proses tanya jawab tadi, maka setiap tim dari kedua petani itu

melakukan tarik tambang untuk saling beradu kekuatan sampai ada

salah satu tim yang menang.

2. 2 Bekelan

(BEK)

Permainan ini membutuhkan peralatan yang berupa sebuah bola

bekel/karet dan biji bekel sejumlah 5-10 buah, dan dimainkan oleh 2-4

anak. Permainan ini dimainkan dengan cara melempar bola ke atas,

kemudian anak mengambil biji bekel satu persatu. Ketika bola

memantul ke atas kembali, anak menangkap bola sambil

menggenggam biji bekel tadi. Pemain kalah jika tidak dapat

menangkap bola setelah memantul pertama kali, biji bekel terjatuh saat

menangkap bola, atau menggenggam jumlah biji bekel yang salah

karena tidak sesuai dengan kelipatannya (sesuai peraturan).

3. 3 Betengan

(BET)

Permainan ini dimainkan secara bersama-sama dengan jumlah yang

semakin banyak semakin seru.

Permainan ini pada dasarnya merupakan permainan tim yang bertugas

untuk menjaga bentengnya (tiang atau pohon) masing-masing. Setiap

pemain berkewajiban untuk menghabiskan pemain tim lawan untuk

dapat membakar benteng lawan dengan menyentuhnya (tiang atau

pohonnya). Apabila benteng tersentuh, maka tim yang memiliki

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 252: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

239

benteng itu dinyatakan kalah. Cara menghabiskan pemain tim lawan

adalah dengan memancing pemain untuk keluar benteng sehingga

saling mengejar, misalnya pemain tim 1 yang terkena sentuhan pemain

tim 2 langsung menjadi tawanan pada benteng milik pemain tim 1.

Pemain tim 2 tadi dapat dibebaskan dari tawanan dengan sentuhan dari

sesama pemain tim 2 untuk dapat kembali ke bentengnya. Namun,

ketika salah satu benteng lengah atau kurang dijaga, maka lawan dapat

membakar benteng itu untuk mengalahkan tim itu.

4. 4 Benthik

(BEN)

Permainan ini dimainkan secara bersama-sama dengan 6-12 anak.

Permainan ini pada dasarnya melempar, menangkap, dan memukul

batang kayu dengan baik dan tepat sebagai salah satu faktor kunci

kemenangan. Anak-anak bermain di sebuah tanah lapang yang terbagi

atas dua tim, yaitu tim penjaga dan tim penyerang yang dapat

ditentukan melalui undi, yaitu pingsut. Tim penyerang bertugas

memukul dan melempar batang kayu pendek dengan batang kayu yang

lebih panjang. Tim penjaga bertugas menangkap dan melempar batang

kayu yang dipukul oleh tim penyerang. Setiap tim bersaing untuk

mengumpulkan skor terbanyak. Tim penyerang mendapatkan skor dari

hasil pukulan, lemparan, dan pelanggaran yang dilakukan oleh tim

penjaga. Tim penjaga mendapatkan skor dari hasil tangkapan,

lemparan, dan juga pelanggaran yang dilakukan oleh tim penyerang.

Tim yang dapat mengumpulkan skor lebih banyak adalah

pemenangnya.

5. 5 Cublak-

cublak

Suweng

(CCS)

Permainan ini dimainkan secara bersama-sama dengan 4-8 anak.

Permainan ini dilakukan dengan menyanyikan lagu bersama-sama.

Anak yang dadi ditentukan melalui undi. Lalu, anak itu harus duduk

telungkup dan memejamkan mata. Anak yang lain duduk melingkar

mengelilingi anak yang dadi sambil meletakkan tangan yang terbuka di

atas punggung anak yang dadi. Kemudian, setiap anak menyanyikan

lagu permainan sambil mendapat giliran letak kerikil pada setiap

telapak tangan. Ketika lagu selesai dinyanyikan, kerikil harus

digenggam erat oleh anak yang terakhir mendapat giliran letak kerikil

di tangannya agar tidak mudah ditebak oleh anak yang dadi.

Selanjutnya, anak yang dadi bangun dan harus menebak letak kerikil.

Jika anak salah menebak, maka dia diminta untuk telungkup lagi dan

permainan diulang. Jika anak berhasil menebak, maka anak yang

tertebak menjadi anak yang dadi.

6. 7 Dhakon

(DHAK)

Permainan ini hanya dapat dimainkan oleh dua anak. Permainan ini

menggunakan sarana yang berupa papan berlubang dengan 14 lubang

kecil (7 lubang pada setiap pemain) dan 2 lubang besar (1 lubang untuk

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 253: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

240

lumbung pada setiap pemain). Permainan ini merupakan permainan

asah otak, yang mana anak harus berkompetisi untuk mengumpulkan

biji sebanyak mungkin. Anak yang berhasil mengumpulkan biji

terbanyak di lumbungnya adalah pemenangnya. Hal itu membutuhkan

strategi dan perhitungan yang tepat untuk dapat menang.

7. 8 Dhayoh-

dhayohan

(DHAY)

Permainan ini pada umumnya dimainkan secara bersama-sama dengan

beberapa anak (bebas). Permainan ini pada dasarnya merupakan

aktivitas anak untuk bermain peran, terutama dalam hal bertamu,

misalnya bertamu di rumah, bertamu untuk membeli barang dagangan,

menjenguk orang sakit, dan sebagainya. Anak dapat saling menyusun

alur permainan sesuai dengan peran-peran dan aturan yang disepakati

bersama.

8. 9 Dhelikan

(DHEL)

Permainan ini dimainkan secara bersama-sama dengan 5-10 anak atau

bisa juga lebih. Permainan ini pada dasarnya seperti permainan petak

umpet. Anak yang dadi harus menghitung dari hitungan 1 sampai pada

hitungan yang disepakati (bebas, pada umumnya maksimal sampai

100) dengan mata tertutup pada pos atau pathok. Sementara itu anak-

anak lain mencari tempat untuk bersembunyi sebelum anakk yang dadi

selesai menghitung. Ketika anak itu telah selesai menghitung, anak itu

mencari teman-temannya dan menyebutkan nama teman yang

ditemukan. Lalu, mereka saling berebut pos. Anak yang berhasil

menyentuh pos terlebih dahulu berada pada posisi aman, sedangkan

anak yang gagal menyentuh pos terlebih dahulu harus bergantian dadi.

Anak yang sejak pertama kali dadi tadi juga tetap dadi jika gagal

menyentuh pos terlebih dahulu.

9. 1

0

Dhingklik

Oglak-aglik

(DOA)

Permainan ini dimainkan secara bersama-sama dengan 3-5 anak sambil

menyanyikan lagu permainan saat melakukannya. Permainan ini pada

dasarnya saling bekerjasama untuk menirukan bentuk kursi dengan

cara berpegangan tangan dan mengaitkan kaki satu sama lain sambil

bertepuk tangan, melonjak-lonjak, dan menyanyikan lagu permainan.

Permainan ini dapat dijadikan permainan pertandingan jika dilakukan

dengan minimal dua tim yang masing-masing terdiri dari 3-5 anak tadi.

Tim yang lebih lama mempertahankan gerakan tanpa terjatuh adalah

pemenangnya.

10. 1

1

Ingkling

(ING)

Permainan ini dimainkan secara bersama-sama dengan dua anak atau

lebih. Permainan ini dimainkan pada sebuah media yang dibuat sendiri

oleh anak dengan dasar tanah atau lantai (digambar dengan kapur).

Anak menentukan urutan bermain dengan undi. Permainan dilakukan

dengan melempar gacuk (pecahan genteng) pada petak. Pemain akan

memasuki petak dengan melompat menggunakan satu kaki. Petak yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 254: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

241

ditempati gacuk tidak boleh diinjak atau ditempati. Pemain melompati

setiap petak sampai kembali lagi ke posisi semula atau titik awal tanpa

menginjak petak yang di mana gacuk berada, terjatuh, atau berdiri

dengan dua kaki. Jika gagal, matilah dia dan gilliran pemain

selanjutnya. Jika berhasil, pemain melemparkan gacuk di petak

pertama tadi ke petak selanjutnya, tanpa meleset ke petak lain atau

menyentuh garis petak. Jika pemain berhasil menyelesaikan letak

gacuk sampai seluruh petak, maka dia berhak melempar gacuk dengan

membelakangi petak dan petak yang dijatuhi gacuk menjadi daerah

kekuasaan pemain tadi sehingga pemain selanjutnya tidak boleh

menginjak petak itu. Jika gagal, matilah dia. Demikian permainan

dilakukan terus-menerus.

11. 1

2

Gobag Sodor

(GS)

Permainan ini dimainkan secara bersama-sama dengan 6 atau 8 anak.

Permainan ini merupakan permainan tim yang terbagi menjadi dua,

yaitu tim penjaga dan tim yang melewati rintangan. Setiap tim terdiri

dari 3-4 anak yang ditentukan berdasarkan hasil undi, seperti

hompimpa dan pingsut. Tim penjaga berdiri satu persatu pada petak-

petak yang telah dibuat di tanah. Tim yang melewati rintangan tidak

boleh tertangkap atau tersentuh oleh para penjaga, yaitu dengan berlari

atau melewati para penjaga dari depan dan harus sampai kembali ke

depan lagi. Jika semua anak dalam tim itu berhasil, maka menanglah

mereka. Jika anak tertangkap oleh penjaga, maka matilah dia dan

seluruh timnya, dan harus bergantian menjadi tim penjaga.

12. 1

3

Jamuran

(JAM)

Permainan ini dimainkan secara bersama-sama dengan empat anak atau

lebih. Permainan ini pada dasarnya menirukan sifat jamur yang

menempel di tempat tertentu dengan yang kadang-kadang dilengkapi

dengan sifat-sifat lain dari hewan atau benda tertentu sehingga anak

harus dapat menirukan sifat itu semirip mungkin, misalnya diam jika

jamur patung, bergaya seperti motor jika jamur motor, dan lain-lain.

Anak yang dadi biasanya dipilih berdasarkan undi, misalnya

hompimpah. Lalu, anak itu harus berjaga di tengah lingkaran anak-

anak yang memutarinya sambil bernyanyi lagu permainan. Kemudian,

anak-anak yang memutarinya tadi tiba pada kata yang berbunyi “sira

badhe jamur apa?” pada akhir lagu dan anak yang dadi harus

menjawab jamur tertentu. Setelah itu, anak-anak yang memutarinya

tadi langsung melakukan hal yang seperti dikatakan oleh anak yang

dadi tadi. Jika ada anak yang gagal, maka anak itu berganti menjadi

anak yang dadi.

13. 1Jaranan Permainan ini dilakukan dengan membuat mainan yang terbuat dari

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 255: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

242

4 Bongkok

(JB)

dahan pohon kelapa yang sudah kering. Mainan berupa sepotong dahan

yang sudah dibersihkan dari daunnya dan dimainkan dengan cara

dinaiki seperti tarian jaranan.

14. 1

5

Jirak (JIR) Permainan ini dimainkan secara bersama-sama dengan 3-6 anak.

Urutan permainan ditentukan dengan cara melempari gacuk (biji atau

uang koin) ke lubang. Gacuk pemain yang lebih dekat itulah yang

berhak bermain terlebih dahulu, dan yang terjauh bermain paling akhir.

Jika sama-sama masuk lubang atau bertumpuk, maka harus

mengulanginya. Permainan dilakukan dengan melepar lima gacuk

untuk setiap pemain dan diusahakan untuk masuk ke dalam lubang.

Jika berhasil, maka pemain itu mendapatkan sawah sebanyak jumlah

gacuk yang berhasil masuk. Jumlah sawah yang disediakan yaitu lima

buah, yang mana jika sudah habis, maka permainann pun selesai. Anak

yang tidak mendapat sawah dinyatakan kalah dan harus menerima

hukuman mutlak, yaitu menggendong.

15. Keris Janur

(KSJ)

Permainan ini dilakukan dengan membuat mainan yang terbuat dari

daun pohon kelapa yang masih muda. Mainan berbentuk seperti keris

dan dibuat dengan cara khusus sehingga membutuhkan keterampilan

yang cukup tinggi bagi anak.

16. 1

7

Kitiran

Godhong

Tela (KGT)

Permainan ini dilakukan dengan membuat mainan yang terbuat dari

daun singkong beserta dengan batang dari daun itu. Mainan berupa

seperti stick dengan daun yang sudah dipotong setengah dan dimainkan

dengan cara diputar-putar pada jari telunjuk.

17. 1

8

Kitiran Janur

(KNJ)

Permainan ini dilakukan dengan membuat mainan yang terbuat dari

daun pohon kelapa yang masih muda, sepotong lidi, dan sebuah

sedotan. Mainan berbentuk seperti baling-baling dan dimainkan dengan

cara dibawa berlari atau diangin-anginkan sampai berputar.

18. 1

9

Kucing-

kucingan

(KK)

Permainan ini dimainkan secara bersama-sama dengan lima anak, tidak

boleh kurang dan tidak boleh lebih. Permainan ini pada dasarnya

berkompetisi untuk merebut tempat berdiri bagi anak yang dadi, dan

bertukar tempat bagi empat anak yang telah memiliki tempat

berdirinya masing-masing dengan cara bergandengan tangan lalu

bertukar tempat. Pada saat itulah, anak yang dadi berusaha merebut

tempat. Jika berhasil, anak yang memiliki tempat tadi menjadi anak

yang dadi. Lalu, jika anak yang dadi itu gagal merebut, maka teman-

temannya menggotongnya untuk dibuang seperti kucing dan setelah di

buang, mereka semua kembali lagi ke tempat asal untuk berebut

tempat. Demikian permainan terus berlanjut sampai mereka lelah dan

berakhir dengan sendirinya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 256: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

243

19. 2

0

Kupluk

Godhong

(KG)

Permainan ini dilakukan dengan membuat mainan yang terbuat dari

daun yang berukuran agak besar dan beberapa potongan-potongan lidi.

Mainan berbentuk seperti mahkota untuk dipakai seperti topi dan

dibuat dengan merangkai daun-daun menggunakan lidi.

20. 2

1

Layangan

(LAY)

Permainan ini dilakukan dengan membuat mainan yang terbuat dari

batang bambu tipis, kertas, tali/benang, dan kertas tisu/minyak. Mainan

berupa layang-layang yang berbentu belah ketupat dan dimainkan

dengan menerbangkannya menggunakan tali yang panjang.

21. 2

2

Macanan

(MAC)

Permainan ini hanya dapat dimainkan oleh dua anak. Permainan ini

dimainkan pada sebuah media yang dibuat sendiri oleh anak dengan

bahan kertas (digambar dengan pensil/bolpoin) atau lantai (digambar

dengan kapur). Permainan ini dimainkan dengan cara memakan orang-

orangan (batu kerikil/biji) menggunakan macan (batu kerikil/biji)

dengan melompati petak-petak yang terdapat pada media yang dibuat.

Anak harus mengatur strategi dan cara-cara tertentu untuk dapat

mengalahkan lawannya. Anak yang kehabisan orang-orangan

dinyatakan kalah.

22. 2

4

Plintheng

(PLIN)

Permainan ini dilakukan dengan membuat mainan yang terbuat dari

batang pohon yang berbentuk huruf Y, karet pentil, kalep karet/kulit,

dan tali. Mainan berupa ketapel dan dimainkan dengan cara

melontarkan batu kerikil.

23. 2

5

Pong-pong

Bolong

(PPB)

Permainan ini dimainkan secara bersama-sama dengan empat anak atau

lebih. Permainan ini dilakukan sambil menyanyikan lagu permainan

dan dilakukan dengan sangat mudah, yaitu anak-anak menyusun

tangan kiri mereka secara mengepal. Setelah tersusun, anak yang

ditunjuk sebagai pemimpin menyanyikan lagu permainan sambil

menaruh jari telunjuknya dan melakukan gerakan berputar. Lalu,

mereka memecah kepalan tangan secara berurutan dari bawah ke atas

sampai terpecah semua. Kemudian, pemimpin mencubit tangan anak

yang paling atas dan anak itu menyembunyikannya di dalam ketiak

sampai semuanya menyembunyikan tangan mereka. Selanjutnya,

pemimpin melakukan dialog dengan salah satu anak yang dianggap

sebagai penggembala sampai pada akhirnya mereka bersama-sama

menyanyikan lagu permainan kembali sampai selesai.

24. 2

6

Sliring

Gendhing

(SG)

Permainan ini dimainkan secara bersama-sama dengan jumlah anak

yang genap, mulai dari 4, 6, sampai 8 anak sambil menyanyikan lagu

permainan saat melakukannya. Permainan ini pada dasarnya saling

bekerjasama untuk bergerak berputar secara seimbang. Misalnya,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 257: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

244

empat anak berdiri dan empat anak bergantung pada tangan anak yang

berdiri sambil mempertemukan kaki mereka, yang mana semua anak

membentuk lingkaran lalu berputar seperti mangkok yang diputar.

Permainan ini dapat dijadikan permainan pertandingan jika dilakukan

dengan minimal dua tim yang masing-masing terdiri dari jumlah anak

yang ganjil tadi. Tim yang lebih lama mempertahankan gerakan tanpa

terjatuh adalah pemenangnya.

.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 258: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

245

DATA PERCAKAPAN ETNOGRAFIS DESKRIPSI LATAR BELAKANG

BUDAYA PERMAINAN ANAK TRADISIONAL

(PE: Percakapan Etnografis, LB: Deskripsi Latar Belakang Budaya)

Narasumber : Andhi Wisnu Wicaksono

Usia : 43 thn

Pekerjaan : Akitivis Budaya, Produser, dan Wartawan Jogja TV

Pertanyaan

Apa makna dari setiap permainan tradisional yang Anda ketahui dalam konteks

budaya Jawa?

Jawaban

1. Ancak-ancak Alis

Ancak-ancak Alis ini memiliki tembang yang hampir sama dengan Cublak-

cublak Suweng. Ada yang membicarakan ular dan sebagainya, itu panjang.

Jadi, dalam tembang Ancak-ancak Alis sebenarnya kalau misalnya kita lihat

secara latar belakang bagaimana kemudian di dalam syair tembang ini yang

jelas siklus bertani masyarakat Jawa itu kan bisa dibaca dari perjalanan

tembang mulai dari syair pertama hingga syair terakhir, di sana ada keterkaitan

antara kebo dungkul, di mana kebo dungkul sendiri kalau secara fisik itu

memang dia adalah pekerja yang cukup ulet sehingga kenapa spiritnya yang

diambil adalah kebo dungkul? Karena semenjak kerajaan Mataram berdiri dan

Mataram sendiri akhirnya mengembangkan budaya pertanian yang ada di

daerah pedalaman yang sangat jauh dari pesisir, otomatis ketika itu padi

sebagai tambatan celengan, karena di sana juga ada tembangnya yang

menyebut tentang lumbung bandung, tentang kebo dungkul, lalu kemudian

sawah ira lagi apa lagi tandur, dan sebagainya, dari memang kemudian siklus

pertanian di mana kalau misalnya kebo dungkul itu sendiri, kalau dalam

pemahaman katurangganing kewan, itu memang dipahami sebagai sebuah

binatang yang mampu memberikan kesuburan bagi tanah, dan kalau misalnya

itu nanti akan dilacak lebih jauh, barangkali, dalam tradisi yang ada di daerah

Kebumen, itu memang ada upacara terkait dengan penghormatan kepada

binatang, karena bagaimanapun juga tidak mungkin manusia mengerjakan

sawah seorang diri, tapi pada zaman dahulu memang kemudian, sebelum

munculnya teknologi traktor, kerbau dan juga sapi itu memang kemudian

menjadi sumber pembantu kekuatan bagi manusia. Oleh karena itu, mereka pun

dimuliakan oleh masyarakat Jawa karena bagaimanapun juga masyarakat Jawa

itu tidak kemudian lantas berangapan bahwasannya bisa sendiri, enggak, akan

tetapi bagaimana kemudian wujud dari kebesaran Tuhan melalui alam yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 259: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

246

telah gumelar ini, melalui kesuburan tanah yang diberikan, dan tentunya

kesuburan itu tidak kemudian lantas serta merta ada, akan tetapi kemudian

bagaimana kesuburan itu bisa diolah dan dikembangkan oleh masyarakat

petani Jawa ketika itu dan bahkan sampai sekarang cara atau budaya pertanian

sekarang memang kemudian di desa-desa kita juga masih sempat menyaksikan

bagaimana kemudian binatang-binatang tersebut dimanfaatkan sebagai media

bersawah, dan terkait dengan syair Ancak-ancak Alis sendiri memang

kemudian kalau kita lihat secara fisik, bagaimana kemudian alis sendiri, ancak

itu kan bagaimana tempat tatakan. Nah, sementara, kalau misalnya kita lihat

dari sisi yang lain, misalnya, alis itu walaupun kelihatannya sesuatu yang

sepele, namun dalam hal seni tata rias, alis sendiri juga mempunyai satu peran

yang sangat penting. Sebagus apapun pola tatanan make up yang diberikan,

tapi dengan alis yang tidak tertata, maka nantinya juga akan menjadikan

tatanan make up yang diberikan menjadi tidak sempurna. Oleh karena itu,

mengapa kemudian dolanan itu dinamakan Ancak-ancak Alis karena di sana,

dari ancak tatanan alis yang diberikan itu diharapkan kemudian dalam

kehidupan itu memang manusia lebih bisa temata. Nah, temata dan tatanannya

yang seperti apa setidaknya melalui siklus budaya pertanian di mana di sana

kemudian setelah bersawah, lagi nenandur, kemudian di bait-bait berikutnya itu

kemudian “gedhene sak pira, gedhene sak lumbung bandung”, nah, sekarang

kan, kalau boleh dikatakan, lumbung adalah memang kemudian gudang

penyimpanan hasil pertanian. Apalagi kalau dikatakan sebagai “sak lumbung

bandung” itu berarti kan lumbunge gedhe tenan. Nah, dengan demikian, setelah

kemakmuran secara fisik, dalam artian kebutuhan makan yang menjadi

kebutuhan pokok masyarakat itu terpenuhi, maka dengan demikian, kita baru

bisa nyandhak kepada kebutuhan-kebutuhan kita yang lainnya. Jadi, bagaimana

kemudian tatanan mulai dari nyukupi pangan sampai kemudian ke arah

nyukupi batin itu memang kemudian berpijak dari pola tatanan yang telah ada

di masyarakat petani Jawa ketika itu, lalu kemudian melalui sisipan tembang

yang dinyanyikan dalam dolanan Ancak-ancak Alis, dari kecil sebenarnya kita

sudah diajak untuk berdisiplin, kita diajak untuk paham akan siklus, kita diajak

paham akan katuranggan binatang, kita juga diajak paham tentang kondisi di

sawah itu ada apa saja ta, antara lain di sana ada ula dumung dan sebagainya

yang dinyanyikan ke dalam tembang Ancak-ancak Alis sehingga selain paham

terhadap apa yang menjadi kebutuhan hidup, memang kemudian kita juga

diharapkan paham terhadap siklus dan isen-isening alam sehingga dengan

demikian kalau misalnya sekarang lagi muncul gerakan kembali lagi mencintai

alam, back to nature semacam itu, maka sebenarnya mbah-mbah kita dari dulu

itu sudah mengajak kita untuk sayang dengan alam. Karena melalui sayang

dengan alam, kita akan bisa sayang dengan semuanya, termasuk kemudian kita

bisa selalu merasa dekat, disayangi, dan bahkan bisa nyawiji dengan Tuhan.

2. Bekelan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 260: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

247

Bekelan itu memang satu media yang tidak ada nyanyiannya di sana, jadi

murni satu bentuk permainan dan dari permainan bekelan itu, satu sisi yang

menarik adalah bagaimana unsur sportivitas itu kemudian ditanamkan. Jadi

bagaimana kita selaku pribadi bisa ngajeni diri sendiri dengan kita berlaku

jujur, dengan kita bisa ngajeni orang lain juga, karena tanpa kita bisa

meletakkan posisi diri kita, sesuai dengan apa yang menjadi kodrat kelahiran

kita, dan menghormati orang lain sebagai posisi yang wajib dia jalankan,

kemudian sesuai dengan dharma kehidupannya, maka tentunya segala

sesuatunya tidak akan menjadi harmonis. Karena bagaimanapun juga, konsep

harmoni, konsep value, itu menjadi salah satu pijakan untuk menuju kepada

masyarakat yang lebih bisa tertata dan sejahtera.

3. Betengan

Betengan adalah semacam dolanan untuk kita bisa mempertahankan apa yang

menjadi milik kita. Tentunya, dalam dolanan Betengan, itu kita diajari oleh

mbah-mbah kita dulu secara langsung atau tidak langsung bagaimana kita

mempertahankan diri dan bagaimana kita mengekspansi. Kenapa seperti itu?

Kenapa kita harus bertahan? Dan kenapa kita mengekspansi istilahnya kalau

orang Jawa dulu ngelar jajahan? Bukan berarti kita menjajah orang lain, tidak,

akan tetapi kemudian bagaimana kita bisa tahu terhadap dunia luar. Kita bisa

paham terhadap kalau misalnya, sekarang ada kebijakan analisis SWOT.

Bagaimana kemudian, ini ancamannya di mana, potensinya di mana, apa yang

menjadi kekuatan kita, apa yang menjadi kelemahan kita, itu ada dalam

dolanan Betengan.

4. Benthik

Benthik sendiri memang kemudian membutuhkan satu keterampilan untuk

membidik sesuatu. Istilahnya di sana, kita diajari secara tidakk langsung untuk

kita itu bisa punya keantepan tujuan. Jadi, istilahnya jangan sampai kemudian

kita itu setelah dalam perjalanan, kita menjadi kalau istilahnya orang Jawa

mangruktingal bercabang apa yang telah menjadi keyakinan kita. Kalau kita

memang sudah percaya bahwasannya hal ini nanti yang mampu akan

membawa kita pada satu kesuksesan, hal ini nanti akan mampu membawa kita

pada satu tujuan yang mulia, maka ya istilahnya apapun yang menjadi

tujuannya kita tetap harus bisa satu pada apa yang kita inginkan. Istilahnya,

dalam dolanan Benthik itu kan memang kemudian ada sesuatu yang

dipertemukan, ada sesuatu yang dibenturkan. Benturan-benturan inilah adalah

sebagai semacam pertemuan-pertemuan yang pada suatu saat akan mampu

menghasilkan sesuatu berbuah dan bermanfaat bagi diri kita.

5. Cublak-cublak Suweng

Cublak-cublak Suweng itu memang kemudian secara tembang yang

dinyanyikan memang terasa tembang tersebut lebih religius, dalam artian

walaupun dibawakan ketika sambil bermain, itu ya bocahe mengkurep dan

sebagainya, namun demikian ketika bagaimana dolanan Cublak-cublak

Suweng sebagaimana tadi Ancak-ancak Alis kita pahami tembangnya, memang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 261: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

248

dalam kuasa Tuhan, dalam kekuasaan Pangeran itu ya Pangeran itu ada di

manapun, bahkan di dalam diri kita sendiri pun, kita tidak akan pernah lepas

dari kekuassaan Pangeran, karena kalau kita sampai lost atau ucul dari

kekuasaan Pangeran, ya di situlah kita akan menjadi manusia yang murka.

Murka dalam artian akrena kita lupa akan keberadaan Beliau yang mengatur

kehidupan kita. Kita menjadi manusia yang adigang, adigung, dan sebagainya,

itu karena kelupaan diri kita. Dan memang dengan tembang tersebut, secara

pembahasan yang lain, kita akan bisa menyarikan bahwasannya memang kalau

dalam pandangan masyarakat Jawa, Tuhan itu tidak harus ada di tempat

ibadah. Tuhan itu tertebar ke mana-mana dan tertebar di mana-mana. Jadi, di

mana ada kehidupan, di situ ada Tuhan. Maka, kenapa kemudian dikatakan

Pangeran itu adalah urip. Karena apa? Setelah urip itu tidak ada, maka di

situlah Tuhan akan hilang juga. Apakah ajaran ini kemudian terbesit di sana

dengan tidak sengaja atau memang sengaja dituliskan, nah itu barangkali

leluhur dulu yang lebih tau. Namun demikian, kita sebagai generasi penerus

memang kemudian menjadi salah satu kewajiban bagi kita untuk kemudian kita

tahu, mau belajar menganalisis tentang itu tadi karena mbah-mbah kita itu

kalau menyampaikan piwulang itu memang tidak pernah disampaikan secara

nglegena. Jadi memang segala sesuatunya serba dibungkus, bukan bungkus

dalam artian untuk menghalangi, tapi bungkus di sini adalah untuk kita secara

pribadi punya ketajaman intuisi dalam menganalisis segala sesuatunya. Jadi

agar ketika kita belajar jumangkah, kita belajar tahu akan segala sesuatu, maka

kita juga harus mengetahui sebenarnya apa yang menjadi tujuan kita untuk kita

kepingin tahu dan sesuatu yang kepingin kita raih itu tadi.

6. Dhakon

Dhakon itu adalah salah satu permainan di mana kalau dalam salah satu prinsip

ekonomi yang dulu dipakai oleh mbah-mbah kita itu adalah puna sathak bathi

sanak. Jadi bagaimana kemudian tidak perlu dengan keuntungan yang besar,

akan tetapi bagaimana kemudian konsep kekadangan, konsep patembayan,

konsep paguyuban, kerukunan ini kemudian tetap bisa terjaga. Namun dalam

Dhakon, memang kemudian satu hal yang menarik adalah bagaimanapun juga,

sak polah tingkahe kita dalam hidup itu kita diharapkan punya turahan dan

punya oleh-olehan. Namun, oleh-olehannya adalah oleh-olehan yang positif,

jangan sampai oleh-olehan tersebut adalah oleh-olehan buah kehidupan yang

justru malah menjadi buah simalakama bagi diri kita. Maka nanti dalam

dolanan Dhakon, memang turahan tadilah yang kemudian bisa mlumpuk di

dalam lumbung yang ada di dalam ceruk-ceruk permainan Dhakon.

7. Dhayoh-dhayohan

Dhayoh-dhayonan itu adalah satu bentuk model ajaran untuk kita bisa ketemu,

jadi gini, prinsipnya kita itu adalah makhluk sosial dan kita tidakk mungkin

hidup secara pribadi tanpa kita punya ketergantungan terhadap orang lain. Oleh

karena itu, di dalam merdhayoh isitilahnya, kita kan tidak mungkin kurang tata

istilahnya. Akan tetapi bagaimana kemudian ajaran moral untuk kita bisa saling

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 262: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

249

menghargai, ajaran moral untuk kita bisa menerapkan tata krama, ajaran moral

untuk kita agar mengetahui posisi kita masing-masing, dan sebagainya,

semuanya ada di dalam dolanan Dhayoh-dhayohan.

8. Dhelikan

Dhelikan itu ada yang mengatakan Jungkritan juga, jadi bagaimana kita itu

mampu bersembunyi dan menyembunyikan apa yang menjadi tujuan kita.

Isitlahnya gini, memang di dalam piwulang Jawa itu dan bahkan mungkin di

dalam konsep beragama pun, kita itu kan kalau berdoa itu yang tahu ya hanya

kita dan Sang Kholik pencipta kita. Istilahnya, kita itu tidak perlu umuk dalam

kita mendekatkan diri kita kepada Tuhan, kita tidak perlu pamer, dalam artian,

woo ki lho aku wis saben Jumat neng mesjid misalnya, setiap minggu saya ke

gereja misalnya, enggak. Akan tetapi bagaimana kemudian hubungan kita

dengan Tuhan itu yang tahu adalah kita dengan pencipta kita. Seperti apapun

orang lain akan membaca kita, seperti apapun bentuk ibadah yang kita lakukan,

yang tahu persis tujuan ibadah kita adalah kita dengan pencipta kita.

9. Dhingklik Oglak-aglik

Dhingklik Oglak-aglik itu adalah salah satu bentuk permainan di mana ketika

yang namanya dhingklik itu adalah bisa kokoh ketika dia disangga oleh kaki

yang genap. Ataupun terpaksanya kalau dia disangga dengan kaki yang

ganjil, maka harus ada penopang utama yang menjadi sumber kekuatan dari

penyangga itu. Makanya dalam permainan Dhingklik Oglak-aglik itu tadi,

ketika misalnya kita sendiri yang secara kodrati itu sebenarnya kaki kita dua

kok. Cuma dalam satu permainan, kita diminta hanya satu yang digunakan.

Akan tetapi satu yang digabungkan dengan satuan-satuan yang lainnya

sehingga dalam permainan Dhngklik Oglak-aglik tersebut memang

bagaimana kemudian dalam satu kebersamaan, dalam satu ikatan, segala

sesuatu yang menjadi tujuan bersama itu akan lebih mudah dicapai.

10. Ingkling

Ingkling itu adalah salah satu permainan, kalau tadi Dhingklik Oglak-aglik itu

dilakukan massal, kakiknya saling bergandengan, sementara kalau ingkling

itu kita harus mampu menopang keberadaan diri kita hanya dengan satu kaki

dengan melompat-lompat. Istilahnya apa? Ketika dalam mencapai tujuan kan

sudah ada gambar kotak-kotaknya ta, step by step, kita sekarang sudah

melangkah sampai di mana? Nah, dengan tataran-tataran kehidupan yang ada

kalau misalnya, mulai dari kita lahir, kita belajar mlumah, kita belajar

mengkurep, kita belajar mbrangkang, lalu kemudian kita berjalan, sekolah,

kemudian kita berusaha mencapai apa yang menjadi cita-cita kita, dan sampai

yang terakhir, yang akan memberi cita-cita itu sendiri yang akan mengambil

diri kita misalnya. Nah, di situlah kemudian tahapan-tahapan itu yang

kemudian harus kita ketahui ketika kita menjalani hidup di dunia ini. Jadi,

bagaimanapun juga, tahapan yang ada, melalui kotak-kotak, kemudian

lompatan-lompatan yang dilakukan ketika bermain ingkling sebenarnya

adalah menjadi dasar tumpuan bagaimana kemudian dalam hidup ini memang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 263: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

250

kemudian tidak ada sesuatu yang mudah diraih, karena sebenarnya kalau

dengan kaki dua lebih enak kok. Nyatanya melompatnya harus melompat

dengan dua kaki pun harus menghadap ke mana, harus ke mana, dan

sebagainya, agar permainan itu bisa berjalan. Maka, di situlah sandiwara

Tuhan yang akan menuliskan, dalam pemahaman orang Jawa itu, tulising

urip, itu yang kemudian nanti akan bisa dibabar gitu.

11. Gobag Sodor

Gobag sodor itu adalah bermain peluang. Jadi di mana pada saatnya ketika

kita itu tertutup buntet permasalahan karena banyaknya hal yang harus kita

hadapi, maka kita harus jeli dalam membidik peluang, di mana ketika kita

mampu menerobos, ketika kita mampu melihat apa yang sebenarnya ada di

dalam permasalahan ini secara lebih jernih, maka di situlah kita akan

menemukan jalan keluar, agar kita mampu mencapai apa yang menjadi tujuan

kita.

12. Jamuran

Dalam syair tembang jamuran, itu kemudian yang ditanyakan di sana adalah

selalu “Jamur apa?”. Jamur itu ibaratnya dia adalah sebuah tanaman

cendawan yang tumbuh barangkali ketika di musim-musim tertentu, dan

tumbuhnya pun kita juga tidak tahu, dia bisa tumbuh di tanah menjadi jamur

darat, dia bisa tumbuh di jerami menjadi jamur damen, dia bisa tumbuh di

kayu menjadi jamur kuping, menjadi jamur kayu, dan sebagainya. Namun

demikian, esensi dari semuanya adalah bagaimana ketika kita di dalam hidup

ini tidak pernah menyerah, tidak pernah menyerah dalam segala kondisi yang

ada. Karena, jamur itu tidak pernah kok, tumbuh di lahan yang kemudian

misalnya, ini subur banget. Jamur malah tidak tumbuh di sana kok. Tapi, dia

tumbuhnya malah di media-media yang kemudian orang tidak mampu

memperkirakan ketika, o ternyata dia bisa tumbuh di sana ya. Contohnya

kayu, kalau dia belum lapuk, ya di situ jamur tidak akan tumbuh. Setelah dia

rusak, di situlah jamur akan mencoba tumbuh. Padahal, jamur yang

tumbuhnya tidak jelas, spora itu datangnnya dari mana dan sebagainya,

namun induksi dari spora itulah yang kemudian mampu menumbuhkan spirit

hidup, agar kita lebih mengenal hidup, dan kita bisa tahu akan makna

kehidupan.

13. Jaranan Bongkok

Jaranan bongkok itu adalah salah satu bentuk permainan di mana kita diajari

untuk mengenal ketauhidan yang ada. Kenapa seperti itu? Karena yang

namanya jaranan, itu adalah bukan jaran yang sesungguhnya. Maka, namanya

adalah jaranan dan jaran itu sendiri berbeda dengan tulisan jaranan.

Sebagaimana kita mencari keberadaan Tuhan, maka di situlah kita akan

dihadapkan oleh banyak hal. Karena apa? Bagi yang percaya bahwa saya

ketika diibaratkan, kita itu memegang sesuatu, misalnya Tuhan itu seperti apa

dan sebagainya, yang memegang surinya kuda, dia akan percaya bahwasanya

kuda itu adalah selembut rambut, namun bagi yang memegang perutnya,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 264: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

251

maka dia akan mengatakan Tuhan itu seperti tembok akan tetapi dia ada

bulunya (punya kelembutan), yang memegang kaki mengetakan Tuhan itu

hanya segedhe lengan kok, tapi ada bulunya. Padahal itu semua adalah bukan

Tuhan. Tuhan adalah kesatuan dari semuanya. Kalau orang Jawa bilang, tan

kena kinayangapa sehingga dalam Jaranan Bongkok itu tadi, memang selain

kita diajarkan untuk memanfaatkan sesuatu yang sudah tidak terpakai

istilahnya, karena bongkok tadi setelah dipakai untuk jaranan yen wis jeleh ya

isa diobong misalnya, untuk bahan bakar misalnya. Akan tetapi, melalui

Jaranan Bongkok tadi, memang kemudian kita diharapkan bisa tahu, ternyata

ada suatu penyangga yang kemudian mampu menopang kehidupan. Karena

bongkok itu sendiri menjadi topangan dari tumbuhnya janur, di mana nur

adalah cahaya kehidupan, kembali lagi pada konsep sang urip dalam

pemahaman budaya itu tadi.

14. Jirak

Jirak itu adalah salah satu juga permainan ketangkasan, permainan bidikan

sehingga hampir sama dengan benthik. Namun, memang kemudian Jirak itu,

di sana ada peluang, ada banyak pilihan, tergantung kita akan memillih mana.

Kalau kita membidik perut ya maka nanti dapatnya kita adalah sesuatu yang

terkait dengan perut. Kalau kita mendapat bidikan di kepala, maka segala

sesuatu dari depan sampai belakang, itu nanti akan bisa kita raih. Karena apa?

Dengan kematangan konsep, dengan kemudian kita sadar, kalau misalnya,

segala konsep pemikiran itu akan bisa membuahkan hasil, manakala

dilembari dengan keteguhan hati dan juga kebeningan cipta, yang kemudian

mampu menghasilkan buah karya yang bermanfaat bagi diri kita dan bagi

orang lain.

15. Keris Janur

Janur dalam pandangan budaya Jawa adalah konsep nur. Makanya, kenapa

setiap kali upacara temanten itu tidak pernah lepas dari yang namanya janur.

Karena, di dalam janur, konsep nur, konsep cahaya, itu adalah menjadi salah

satu penanda, bahwasannya masih ada hidup. Kalau sudah tidak ada hidup,

maka nur itu akan hilang. Apalagi, namanya adalah Keris Janur. Keris itu

adalah kekeran ingkang aris, bagaimana kemudian, kita punya pegangan

hidup yang dilandasi dengan cahaya kehidupan itu sendiri. Maka dengan

demikian, sebenarnya dari kecil itu kita sudah diajari bermain untuk sinau

urip dan agar kita mampu mencapai apa yang menjadi tujuan dari hidup itu

sendiri melalui cahaya yang ada pada setiap pribadi kita. Dengan sadar akan

cahaya hidup yang ada, dengan sadar akan cahyaning panguripan, maka kita

diharapkan di sana kita juga sadar, bagaimana kita harus mengetahui apa

yang kita sembah, ke mana kita manembah, dan siapa yang kita buat

manembah itu, tidak lain adalah Tuhan Yang Maha Esa.

16. Kitiran Godhong Tela

Kitiran Godhong Tela itu adalah konsep pasaran. Jadi secara jumlah daun

kalau dipertemukan dengan konsep penanggalan Jawa, yang konsep

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 265: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

252

penanggalan Jawa itu sebenarnya adalah konsep panca suda, pahing, pon,

wage, kliwon, legi. Nah, di mana dalam kitiran itu kan selalu munyer sebagai

sebuah siklus. Nah, demikian juga dengan panca suda tadi, hitungan hari

dalam pasaran Jawa. Kalau sekarang kita mengenal, bagaimana kemudian

melalui pasaran itulah, dulu segi-segi kehidupan ini berjalan. Contohnya

barangkali sekarang, kita masih bisa melihat kalau misalnya terkait dengan

konsep perekonomian, o pahing kuwi pasarane Prambanan, legi pasarane

pasar Jangkang, di mana di situlah kemudian secara tidak langsung, misalnya

pasar-pasar rakyat istilahnya ini nanti akan selalu bergulir secara

perekonomian. Secara pemahaman yang lain, Kitiran Godhong Tela

sebenarnya bisa dibaca sebagai satu pandangan konsep kehidupan ketuhanan.

Karena kenapa? Pahing misalnya, pahing itu warnanya merah. Kenapa

berwarna merah? Karena dia posisinya di selatan. Kenapa di selatan? Karena

di sanalah kemudian tempat munculnya energi yang berwarna merah. Kenapa

kemudian di selatan lagi? Karena di selatanlah segala gelombang itu muncul.

Kenapa tidak di utara? Karena utara adalah bagiannya wage. Kenapa tidak di

barat? Barat sudah bagiannya legi. Kenapa tidak di tengah? Tengah adalah

bagiannya kliwon sehingga apa? Kita itu diharapkan tidak perlu njarah rayah

darbe ing liyan. Akan tetapi, bagaimana kemudian apa potensi yang ada di

dalam diri kita ketika kita kembangkan dan kita bisa selaras mengikuti

dengan perkembangan jaman yang ada, kita akan mampu memaknai dan

memakai itu sebagai satu pijakan hidup di dalam bermasyarakat.

17. Kitiran Janur

Kembali seperti di depan bahwasannya janur itu adalah nur, cahaya

kehidupan, di mana cahaya kehidupan itu sebenarnya adalah bersifat abadi,

yang berputar itu adalah sosok diri kita. Kita itu tidak mungkin tidak berputar

selama kita itu sendiri masih menjalani proses hidup itu sendiri. Karena kan

dari kita belum ada, sampai kemudian kita kembali ke haribaanNya misalnya,

dari kita tidak ada, kita ada, kemudian kita menjadi tidak ada istilahnya kalau

dalam pemahaman budaya Jawa, mula-mulane tan ana, wujud ana, bali

marang orang ana, seka suwung bali ing alam suwung misalnya. Nah, dari

sanalah kemudian nur ini akan berperan. Bagaimana kemudian nur yang

selalu berputar dan mengitari kehidupan kita, itulah yang akan memberikan

tuntunan kepada diri kita, selama kemudian kita sendiri mampu mendekati

dengan sang nur ilahi.

18. Kucing-kucingan

Kucing-kucingan itu salah satu tembangnya adalah yo mbuwang kucing

gering, elingku, seperti itu. Nah, kenapa kucing yang gering ini harus

dibuang? Sebagaimana kalau misalnya, di masyarakat itu ada sesuatu yang

menjadi istilahnya kalau sekarang mungkin yang lebih akrab istilahnya pekat

atau penyakit masyarakat. Kenapa itu harus dibuang? Karena selama pekat itu

nantinya akan mendominasi, maka di sana nanti akan menciptakan suasana

yang disharmoni sehingga dibuangnya kucing ini sebenarnya adalah lambang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 266: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

253

dibuangnya suatu energi negatif, suatu tingkah laku negatif yang diharapkan

kemudian mampu memunculkan suasana harmonis sebagaimana yang

menjadi dambaan hampir di semua tatanan kehidupan berbangsa dan

bernegara.

19. Kupluk Godhong

Dalam Kupluk Godhong itu, kita itu sebenarnya diajari ngronce, ngronce

reroncening urip. Karena apa? Kalau kita ngronce, jadi, dari sesuatu yang

berserakan, dironce itu kan tadinya pasti nggak ngumpul ta Mas, godhong

nangka sendiri kan nggak mungkin kita kemudian menek ngethok wite kan

enggak, akan tetapi adalah dari daun-daun yang berserakan. Demikian juga

dengan segala sesuatu yang ada ini kan terntunya bermula dari ceceran-

ceceran yang kemudian kalau kita itu mampu negsuhi, kalau kemudia kita itu

mampu mewadahi segala sesuatu, unsur yang bermanfaat bagi diri kita,

tentunya, itu nanti akan menjadi mahkota yang melekat pada diri kita. Karena

kan setelah direnteng, istilahnya, kupluk ini nanti kan akan dipakai kan. Nah,

kenapa kemudian dipakai? Karena kupluk godhong inilah sebenarnya dari

tebaran-tebaran sesuatu yang tidak berguna dan tebaran-tebaran yang kita

sendiri tidak pernah tahu, kenapa misalnya kita ditebar di bumi Jawa, kita

nggak pernah tahu, yang tahu itu ya misterinya Sang Pencipta. Nah, dari

tebaran yang ada itulah kemudian kita diharapkan tahu kenapa kok kowe tak

tebar neng kene, misalnya, dan kenapa kemudian dari tebaran itu kita pilih

yang kita sendiri tidak bisa selak istilahnya, yen umpama kita itu bisa

memilih, ya milih dadi anak presiden ket mbiyen. Tapi kan kita nggak bisa

memilih, di manapun, kita tidak bisa memilih itu, dan yang tahu adalah

bagaimana kemudian tebaran-tebaran yang ada itu kita rangkai agar kemudian

mampu menghasilkan sesuatu yang bermanfaat dan berdayaguna bagi diri

kita, syukur bagi kemudian bisa menjadi sesuatu yang bermanfaat untuk

masyarakat yang lebih luas lagi.

20. Layangan

Kita diajak untuk mengenal suratan, karena layang itu kan surat ta. Nah,

bagaimana layang atau surat yang kita terbangkan dan kita tauti benang

secara fisik, bagaimana kemudian pengendalian diri, agar kemudian kita

sendiri mampu nggegana, istilahnya kalau mbah-mbah kita dulu menyimak

layangan itu bagaimana kemudian siklus kehidupan ulat, bagaimana

kemudian dia menjadi ulat, bagaimana ketika bertapa menjadi kempompong,

dan bagaimana ketika terbang menjadi kupu gajah, maka namanya adalah

basupa, basupu, dan basunada. Jadi, ketika lelayangan dan layangan ini tadi

terbang, maka di sanalah kita harus mampu mengendalikan, jangan sampai

layang-layang itu menjadi sesuatu yang liar. Jadi jangan sampai istilahnya,

kemudian ketika kita diberikan kelebihan itu sendiri, kita menjadi lupa,

kemudian kita sendiri menjadi melupakan apa yang telah diberikan olehNya

yang telah memberikan kelebihan kepada diri kita, namun dengan senantiasa

tertambat pada benang kehidupan yang dikendalikan, jadi istilahnya melalui

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 267: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

254

dolanan layangan itu sebenarnya, kita selain paham dengan diri kita, kita juga

paham dengan yang menitahkan diri kita, karena di sanalah tambatan benang

kehidupan yang ada. Yen wis benange iki dikethok, layangane ya pedhot. Dia

juga akan menjadi ngoleng-ngoleng sak karepe dhewe dan akhirnya nyiruk

dan jatuh. Makanya kan agar senantiasa kita eling pada benang kehidupan ya

kita harus senantiasa mendekatkan diri. Istilahnya, dalam lagunya Ebiet G.

Ade itu sebenarnya mirip dengan filsafat layang-layang, filosofi layang-

layang. Ketika kita dekat, ya kita akan menjadi dekat, ketika jauh, ya maka

energi kehidupan dan talining urip itu tadi juga akan menjadi jauh. Maka,

Engkau dekat, aku dekat, Engkau jauh, aku pun akan menjadi jauh, misalnya

semacam itu. Jadi bagaimana kemudian layangan ini kan semakin jauh dari

benang, untuk dikendalikannya pun juga akan menjadi berproses. Maka, dari

dolanan Layangan ini kan yang diharapkan adalah kita senantiasa bisa

tertambat pada satu tujuan apapun dan bagaimanapun juga keadaannya, kita

jangan sampai lupa pada yang mengendalikan kita, yaitu Tuhan Yang Maha

Esa.

21. Macanan

Macanan ini caplok-caplokan. Jadi, dalam dolanan macanan itu sebenarnya

adalah sama seperti tadi, kejelian melihat peluang. Jadi, bagaimana dalam

satu bentuk bangunan segitiga yang digambar di tanah biasanya untuk

permainan macanan. Yen ora neng tanah kalau dulu biasanya masih banyak

kapur tulis ya kalau pas masih sekolah itu ya di lantai sekolah karena dulu

belum dari keramik sehingga bisa digambari sehingga dari dolanan Macanan

tadi memang kita diajari untuk itu tadi, jeli melihat peluang. Peluang dalam

hal apapun. Namun demikian kan harapannya adalah peluang-peluang

positiflah yang muncul sehingga mampu menghadirkan sesuatu yang bersifat

positif tanpa harus kita membunuh lawan kita. Tapi isitilahnya bagaimana

kita bisa menang tanpa ngasorake dan bisa dedaya tanpa aji. Konsepnya

adalah melalui sumarah pada kersaning Pangeran dengan jeli melihat peluang

yang ada.

22. Plintheng

Plintheng itu adalah melesatkan satu bidikan. Di sana ada yang membidik dan

ada yang dibidik, yang dibidik adalah sesuatu yang kita inginkan dan yang

membidik adalah diri kita, termasuk bidikan itu nanti akan tepat sasaran

ataukah menjadi tidak tepat sasaran, yang tahu juga adalah kita. Bidikan itu

dikatakan tepat sasaran manakala kita mengincar segala sesuatu, misalnya

yang mlintheng itu bisa mlintheng woh-wohan, tetapi juga bisa mlintheng

kehidupan yang lain, misalnya mlintheng manuk emprit atau bajing, tapi

kalau itu dilakukan berarti sebenarnya dalam membidik itu jangan sampai,

plinthengan itu sendiri kan sebenarnya konsep ketangkasan, bagaimana kita

bisa membidik sesuatu dengan tepat. Namun demikian, di sana juga ada

sesuatu yang kita sendiri sebenarnya kalau itu sesuatu yang tidak perlu

diplintheng ngapa ndadak diplintheng. Kalau misalnya ptlintheng itu harus

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 268: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

255

juga membidik kehidupan yang lain. Namun, kalau memang itu harus

dilakukan demi tujuan yang lebih baik lagi, ya kenapa tidak dijalankan.

Karena memang, konsep korban itu memang ada, baik dalam piwulang

agama apapun misalnya, kemudian konsep persembahan itu memang ada.

Misalnya, kalau dalan ajaran agama bumi, persembahan itu dalam konsep

sesaji, yang segala sesuatunya itu ketika alam itu kita ambil, kita eksploitasi

hasilnya, maka kita juga wajib mengembalikan apa yang kita ambil daripada

alam, dan dalam ajaran samawi, bagaimana konsep persembahan itu tadi

kemudian ada dalam berbagai macam ragam, baik itu sifatnya sodaqoh yang

berwujud minta uang atau apapun misalnya, lalu dalam sisi yang lainnya,

barangkali kalau orang Jawa bilang, sak dhuwur-dhuwure, sak rosa-rosane

pager tembok iku tetep luwih rosa pager mangkok. Itulah keutamaan dan

kelebihan dari konsep sedekah yang ada. Jadi bagaimana kemudian satu

wujud persembahan, satu bentuk pengorbanan itu tentu akan ada satu tujuan

yang lebih mulia dari itu. Akan tetapi, jangan sampai kemudian korban

tersebut dikorbankan secara sia-sia hanya untuk kepentingan dan kemenangan

pribadi kita.

23. Pong-pong Bolong

Pong-pong Bolong itu tujuan kehidupan itu harus kita miliki. Jangan sampai

istilahnya, wah wis bocah mung pong-pong bolong. Kenapa dikatakan Pong-

pong Bolong? Ketika, satu, kita tidak punya prinsip, ketika kita tidak punya

tujuan itulah, maka bisa dikatakan dia menjadi bawang kothong ataupun

pong-pong bolong. Kelihatannya di luar megah misalnya, akan tetapi pada

sejatinya, yang di dalam sudah hilang. Itulah kalau dikatakan barangkali

tampilan luarnya semegah menara gading, akan tetapi di dalamnya kopong

sebagaimana isinya bumbung yang kopong. Kenapa bisa seperti itu? Karena

ketika prinsip itu tidak dipegang, ketika kemudian tujuan hidup ini tidak

ditata dengan sebaik-baiknya, maka di sanalah akan membuat tatanan

harmoni kehidupan ini menjadi kurang sempurna.

24. Sliring Gendhing

Dalam dolanan Sliring Gendhing itu memang kemudian ada sesuatu yang

menarik, yang menarik di sana tentang roda kehidupan bahwasannya kita itu

memang kemudian diminta mengetahui siklus kehidupan kita. Dengan

mengetahui siklus, akhirnya kita bisa tahu bahwasannya urip itu selalu nyakra

manggilingan kalau orang Jawa bilang. Jadi, roda itu ya kadang ada di atas,

kadang ada di bawah, kadang ada di samping, dan sebagainya, menunjukkan

bahwasannya, segala sesuatu itu tidak ada yang abadi. Karena apa?

Perputaran kehidupan itu sendiri, sebenarnya kalau kita boleh memilih ya kita

itu pinginnya itu ya neng ndhuwur terus, tapi nek kesuwen neng ndhuwur

yang dadi singunen. Oleh karena itu memang kemudian perputaran roda ini

senantiasa kalau kita bisa tahu ya kita ketahui, namun demikian baiknya

setelah kita tahu kemudian kita bisa menata dan kita bisa mengantisipasi. Yen

lagi neng ndhuwur, ya aja kumingsun, yen lagi neng ngisor ya aja bengok-

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 269: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

256

bengok sambat ngaruwara istilahnya, agar kemudian ya memang alame lagi

kaya ngono kok istilahnya. Kenapa kita harus mengingkari hidup itu sendiri.

Kalau sudah demikian, maka kan yang ada adalah bagaimana kita itu tetap

bisa menghadapi segala sesuatu itu dengan tenang, tanpa kita merasa gugup,

agar sliringing gendhing itu tadi tidak mengganggu harmoni kehidupan yang

ada.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 270: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

257

DATA PERCAKAPAN ETNOGRAFIS JENIS DAN STRAGEGI

PRESERVASI PERMAINAN ANAK TRADISIONAL

(PE: Percakapan Etnografis, JP: Jenis Permainan, SP: Strategi Presevasi)

Narasumber 1

Nama : Andhi Wisnu Wicaksono

Usia : 43 tahun

Pekerjaan : Wartawan dan Produser Acara Budaya Jogja TV

Wawancara 1

T1: Nilai-nilai karakter apa sajakah yang terkandung di dalam permainan anak

tradisional? Bagaimana penjelasan dari masing-masing nilai karakter

tersebut?

J1: (1) Menurut saya, yang jelas nilai utamanya adalah kerja sama. Karena

permainan anak tradisional itu tidak mungkin dilakukan sendirian. Jadi

mau bermain ancak-ancak alis, bentengan, jamuran, dan sebagainya itu

kan tidak bisa dilakukan oleh satu orang saja. Kalau sekarang kan dengan

gawai, anak-anak kita lebih akrab yang hanya uthak-uthik jari. Kalau

permainan ini kan kita bisa belajar bagaimana kita srawung (bergaul), jadi

kalau tidak bertemu atau bergaul yang tidak mungkin bisa bermain

sehingga belajar bersosialisasi juga sudah diajarkan sejak dini.

Pembelajaran itu tidak dikemas dengan pembelajaran formal, namun

pertemuan yang benar-benar anak-anak, sekalipun harus diawali dengan

pertandingan, namun akhirnya kita kenal. Kita tahu siapa dia dan

sebagainya. Meskipun kalau sekarang kita lihat, kemudian juga nilai-nilai

dalam permainan anak tradisional yang di sekolah sudah tidak diajarkan

dan di masyarakat sendiri juga sudah tidak diterapkan karena berbagai hal,

semakin sempitnya tempat untuk bermain itu juga dapat menyebabkan

nilai-nilai dalam permainan anak tradisional tidak bisa diterapkan karena

keadaan. Fasillitas untuk bermain pun semakin sedikit, masih beruntung

anak-anak yang masih tinggal di desa masih ada tempat untuk bernaung.

Namun, jika sudah tidak memiliki tempat, maka sejak kecil mereka sudah

tidak punya kepedulian kepada lingkungannya, namun yang ada adalah

kepedulian kepada dirinya sendiri. Lunturnya nilai itu juga bukan mutlak

salahnya anak, namun juga karena nilai kebersamaan itu sering dikoyak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 271: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

258

oleh tuntutan pembelajaran formal, maka akan semakin sulit untuk

bermain bersama. Padahal kalau kita sudah kuliah atau aktif di dunia kerja

misalnya, kita tetap dituntut agar kita bisa membuat jejaring. Nah, kalau

sejak kecil saja kita sudah tidak dibiasakan membuat jejaring dan peka,

maka nanti yang akan terjadi adalah semua asyik dengan dirinya sendiri.

Sudah tidak berpikir tentang kebersamaan, namun hanya berpikir tentang

yang terbaik untuk dirinya sendiri, karena sejak kecil sudah tidak

diarahkan untuk bermain bersama-sama, tapi justru bermain yang bersifat

pribadi. Individualistis, semacam itu. Selain itu ada kegotong royongan,

saling menghargai, kejujuran, sportifitas, kerja sama karena sejak kecil

sudah dilakukan dalam permainan itu, lalu toleransi karena anak belajar

untuk tidak menguculkan temannya. Mengapa toleransi ada, karena ada

nilai kegotong royongan, saling menghargai, kejujuran, sportifitas, dan

kerja sama. Jadi, semuanya memang saling terkait. Selanjutnya, ada

kerendahan hati karena anak belajar untuk tidak menyombongkan diri.

Jika anak melanggar nilai-nilai tersebut, yang ada adalah permainan tidak

akan jadi.

T2: Apa salah satu nilai karakter yang menonjol dari setiap permainan yang

Anda ketahui dari daftar ini? Mengapa?

J2: (2) Menurut saya nilai karakter yang paling menonjol dari semua

permainan itu pada umumnya adalah kerja sama. Hampir semuanya.

Ceplokan atau bedhilan ini nilai yang paling dominan adalah lebih

mengarah pada keterampilan tangan karena anak harus dapat membuat

mainan yang dapat berfungsi dengan baik. Sliring gendhing ini kerja sama

karena anak harus bekerja sama agar tidak jatuh. Plintheng juga sama

dengan ceplokan. Mul-mulan ini lebih ke arah sportivitas karena menuntut

kejujuran untuk menerima konsekuensi kalah-menang. Mercon bumbung

memiliki unsur rela berkorban yang utama karena resikonya lebih besar

dari pada permainan yang lain. Macanan/dam-daman ini juga sportivitas.

Layangan ini keterampilan tangan. Irah-irahan ini lebih ke keterampilan.

Kucing-kucingan ini kerja sama. Bekelan itu spotivitas karena kalau ada

yang curang gitu permainannya tidak jadi. Dhakon itu lebih ke kecerdasan.

Dhelikan itu sportivitas. Dhingklik oglak-aglik itu kerja sama. Dhuk Ther

ini keterampilan tubuh karena harus dapat memasukkan biji ke lubang

dengan benar. Ingklik juga keterampilan tubuh karena harus dapat

melompat dengan tepat tanpa terjatuh. Gobag sodor ini kerja sama.

Jamuran kerja sama. Jaranan bongkok itu keterampilan tangan. Jirak ini

sportivitas. Kasti kerja sama. Lalu, keris janur, kitiran godhong tela,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 272: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

259

kitiran janur itu keterampilan tangan. Dah, yang lainnya itu lebih banyak

ke arah kerja sama.

T3: Adakah keterkaitan antara nama permainan dengan nilai karakter yang

menonjol? Kalau ada, bagaimana kaitannya?

J3: (3) Sebenarnya tidak mesti. Karena gini, contohnya seperti bentengan.

Bentengan itu kan mesti ada satu wilayah tertentu. Padahal yang namanya

benteng itu sendiri kan tembok, dan permainan itu tidak mesti dimainkan

dengan tembok yang sebenarnya. Bisa juga dengan menggunakan pohon

sebagai representasi dari tembok atau benteng misalnya. Nah itu sudah

bisa jadi permainan bentengan. Namun demikian juga, seperti benthik, ya

wujudnya harus dibenthikkan beneran untuk bisa menjadi suatu

permainan. Jadi memang tidak mesti antara suatu nama dengan pola

permainan yang dilakukan itu kemudian juga nyambung. Contohnya juga

seperti boi-boinan. Kata Jawa dari boi itu kan sebenarnya tidak ada, tapi

kenapa kata-kata itu muncul. Ini kan juga merupakan suatu hal yang

menarik. Terus seperti plintheng misalnya. Ya karena unsur keterampilan

yang ada di sana ada suatu kerja aktif, misalnya ketika belajar mlintheng,

nah itu kan jelas masih ada keterkaitan. Namun demikian juga memang

permainan itu yang kadang nyambung, kadang juga tidak. Tembang yang

ditembangkan dengan jenis permianan yang dilakukan. Seperti jamuran,

jelas dari namanya dengan tembangnya juga nyambung. Bahkan kalau

mengutip pendapatnya Alm. Damarjati, gobag sodor itu konon merupakan

permainan serapan yang berasal dari Belanda. Nama aslinya adalah go

back through the door. Dari situlah, kemudian oleh orang Jawa karena

kesulitan mengucapkannya, lalu menjadi gobag sodor. Jadi bagaimana

kemudian permainan dari satu pintu ke pintu yang lain itu bisa dilakukan.

Jadi kalau misalnya kita simpulkan apakah semuanya pasti nyambung dan

sebagainya. Dari sisi permainannya, beberapa di antaranya itu ada yang

dilakukan murni sebagai disiplin dan sportivitas, seperti kasti. Jadi, selain

sisi kerja sama, kasti itu juga yang menarik adalah sisi keterampilan ada di

sana. Karena resikonya, jika kita ambil dari sisi aktivitasnya, bola kasti itu

jika menangkap kalau tidak benar lalu mengenai dada ya bisa fatal

akibatnya, sehingga permainan itu ada suatu hal yang menjadi konsekuensi

yang menjadi resiko dari permainan, namun juga muncul nilai lain yang

ikut mewarnai setiap permainan. Itu kalau kita lihat dari pola permainan

yang ada di tempat kita. Kiranya memang semua nilai karakter dapat

mewarnai. Namun, kalau kemudian diambili satu-satu yang paling

dominan dan sebagainya, menurut saya memang semuanya ini yang paling

menonjol adalah dari sisi kerja sama. Karena tanpa unsur kerja sama ya itu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 273: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

260

nanti tidak akan jadi. Misalnya, ingkling, ya kalau tidak mau kerja sama,

yang satu macet tidak mau bermain, ya tidak akan jadi permainan atau

tidak jalan. Walaupun, untuk ingkling itu sendiri dibutuhkan keterampilan.

Misalnya, berdiri dengan satu kaki, melompat-lompat begitu, kalau tidak

terampil ya tidak akan dapat melakukannya. Kalau permainan yang tidak

terlalu membutuhkan kebersamaan untuk dimainkan itu, lebih mengarah

dari sisi keterampilan dan kecerdasannya. Karena kalau misalnya dari sisi

kompetitif, jika dilakukan oleh dua orang, kalau hanya berduel yang tidak

kompetitif. Karena hanya dilakukan jika tidak menang ya kalah. Kalau

kompetitif itu ya misalnya permainan itu dilakukan lebih dari tiga orang.

Misalnya, jirak itu lebih menonjolkan nilai kompetitif, karena anak-anak

itu berlatih untuk berjuang meraih suatu pencapaian dengan tingkat hasil

yang berbeda-beda sesuai dengan usahanya. Masing-masing harus

berjuang dengan hasil yang lebih terbuka sehingga tidak terbatas pada soal

kalah-menang. Layangan itu pun dapat memilliki nilai keterampilan

tangan, tubuh, dan kompetitif, tergantung pada aktivitasnya. Ketika

membuat, nilai keterampilan tanganlah yang muncul, ketika diterbangkan,

nilai keterampilan tubuh juga muncul, dan ketika ditandingkan, nilai

kompetitif pun muncul, karena siapa yang berhasil memutus tali, dia

berhak memperoleh layangan yang putus itu. Namun, layangan itu kan

juga diambil sisi keindahan dan suaranya, maka di sana yang terlihat

adalah nilai keterampilan tangan. Anak dapat membuat layangan sesuai

dengan selera dan tingkat keindahan yang diinginkannya. Keterampilan

pun bisa berbeda-beda dalam permainan, yaitu keterampilan tangan dan

tubuh tadi. Perbedaan itu berdasar pada sisi manakah yang sedang

dipergunakan. Kalau membuat itu kan berarti menggunakan tangan yang

bersumber dari pengetahuan dan kreativitas anak. Kalau memainkan itu

berarti menggunakan kaki, tangan juga, dan sebagainya yang

menunjukkan ketepatan, kekuatan, dan kecepatannya. Misalnya, dhingklik

oglak-aglik itu kan yang diutamakan kerja sama dan keterampilan, karena

selain dimainkan bersama-sama, juga harus dilakukan dengan kekuatan,

ketepatan, dan keseimbangan tubuh. Lalu, ada permainan yang benar-

benar mengajarkan kita tentang nilai kecerdasan, misalnya dhakon.

Dhakon itu kan bagaimanapun juga, kita diajak untuk berpikir, berhitung,

supaya bisa punya sisa atau keuntungan. Supaya bisa terkumpul sekian.

Apalagi jika kita kaitkan dengan prinsip ekonomi Jawa, ada pepatah “lebih

kaya saudara, untung sedikit tidak apa-apa”. Itu adalah suatu prinsip

ekonomi yang mengajarkan daya saing perekonomian Jawa yang sehat.

Hal itu sangat berbeda dengan prinsip ekonomi kapitalisme, yang saling

membunuh sehingga sudah tidak lagi sehat. Zaman sekarang ini standart

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 274: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

261

dan pola pikirnya sudah berbeda, yaitu sudah bukan kamu bisa apa, namun

kamu punya apa. Maka dari itu, permainan tradisional seperti ini, t idak ada

kok endingnya yang berorientasi pada materi, namun pada nilai-nilai

karakter itu sendiri. Permainan-permainan ini mendorong anak untuk lebih

mencari nilai dalam hidup dari pada sekadar suatu pencapaian tertentu.

Missalnya, dhayoh-dhayohan. Unsur yang pertama kali dikenalkan kepada

kita melalui permainan ini adalah komunikasi, agar kita dibiasakan sejak

kecil untuk dapat merdhayoh. Karena merdhayoh pun sebenarnya kan

tidak sekadar bermain, karena ada unsur bagaimana kita memperkenalkan

diri, bagaimana cara kita menerima tamu, bagaimana sikap kita ketika

menyampaikan salam, bagaimana saya menjawab salam, dan bagaimana

menyajikan hidangan. Permainan layangan itu, kalau kita lihat dari sisi

keterampilan tangan, menghaluskan bambu itu juga harus mampu

bagaimana bisa tebal tengah, tipis pucuk. Itu mengajarkan proses untuk

mengasah keterampilan. Permainan jamuran itu juga mengajarkan

berbagai nilai, selain kerja sama, yaitu keterampilan olah vokal, karena

kita diajak nembang. Aktivitas nembang itu mengajak kita untuk bekerja

sama membuat harmoni, tidak mbengok sak bantere. Padahal, konsep

harmoni inilah yang sebenarnya kita sudah kehilangan. Karena

kebanyakan orang kita sekarang ini kepingin yang menjadi “paling vokal”.

Semua ingin berteriak, semua merasa pintar, namun tidak ada yang bisa

rumangsa. Ketika seperti itu, anak mau tidak mau belajar untuk bernyanyi.

Orang bisa memiliki kemampuan ini itu dan tahu tata cara bertindak yang

benar karena pernah bermain permainan-permainan ini. Permainan-

permainan itu selalu dilandasi atau didasari oleh nilai-nilai karakter,

karena tanpa itu semua, permainan tidak akan dapat dilakukan. Satu anak

saja yang melanggar salah satu nilai itu, maka permainan tidak akan

berjalan dan bahkan dicing temannya. Semua itu tanpa disadari secara

otomatis sudah mengasah budi, rasa, dan kejiwaan. Bagaimana untuk

selalu peka terhadap lingkungan di sekitar kita. Bentengan itu pun

sebenarnya mengajarkan kita tentang mempertahakan daerah kekuasaan

kita. Bagaimana nasionalisme itu dibangun. Jadi semua bentuk pendidikan

yang dibangun dari nenek moyang kita itu dikemas melalui permainan-

permainan semacam ini.

T4: Apakah Anda setuju bahwa permainan anak tradisional terbagi dalam

golongan permainan dengan nyanyian atau dialog, permainan asah fisik,

permainan asah otak, dan permainan keterampilan tangan?

J4: (4) Saya sangat setuju. Ya memang itu. Pembagiannya memang itu. Jadi,

rombongan asah fisik itu yang seperti bentengan dan kawan-kawannya itu.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 275: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

262

Dan juga asah otak dan lain-lain ini yang memang terbagi empat itu.

Sebagai pokoknya memang itu. Kalau digolongkan secara garis besar yang

empat itu.

T5: Bagaimanakah strategi preservasi (pelestarian) permainan anak tradisional

yang mengandung nilai-nilai karakter?

J5: (5) Salah satu di antaranya, yang pokok itu adalah penyediaan fasilitas

publik. Fasilitas publik itu mutlak harus disediakan. Lalu yang berikutnya

adalah kemauan dari orang tua juga keluarga untuk memberi kebebasan

kepada anak, karena kebanyakan orang tua sekarang sering memarahi atau

melarang anaknya untuk bermain agar waktu dapat sepenuhnya digunakan

hanya untuk belajar. Habis belajar tidur. Jadi, kebiasaan anak itu ya

membuat anak hanya menjadi semacam objek yang dia sendiri sampai

seolah tidak kenal dengan dirinya. Mengapa, karena kebanyakan orang tua

sudah tidak peduli dengan bagaimana mengajarkan anak supaya mengerti

kebudayaan mereka sendiri. Namun, mereka akan lebih rela jika anak

mereka pintar pelajaran karena nilai yang menjadi orientasi bukan lagi

nilai kebudayaan atau kepribadian, tapi nilai materi. Jadi, semua diukur

dengan materi, walaupun materi memang diperlukan, namun jika tidak

dilandasi dengan nilai-nilai itu sehingga orang zaman sekarang

kebanyakan memiliki kecenderungan untuk asal dalam mengatasi masalah.

Itu semua karena kita sudah tercabut dari akar budaya kita. Jadi, jika anak

sekarang masih bisa berbicara dengan tata krama yang baik dan lengkap,

tidak mungkin anak suka berkelahi. Misalnya, ketika di rumah dibiasakan

dan terbiasa bertata krama, dia di luar juga tidak akan sembarangan.

Generasi kita sekarang bisa dianggap membahayakan, mengapa, karena

ada gesekan antara budaya, tuntutan teknologi, dan religi itu sekarang

benar-benar dibenturkan. Seperti gawai, dia bisa menjadi pisau bermata

dua. Di satu sisi jika dimanfaatkan dengan bijaksana akan sangat berguna,

namun di sisi lain begitu lepas dari pengawasan orang tua, sisi negatif dari

gawai pun bisa mempengaruhi kehidupan anak. Nah, baiknya dalam

permainan tradisional anak, orang tua pasti bisa memantau, bahkan orang

lain di lain tempat pun secara otomatis memantau si anak. Woo, itu

anaknya siapa dan lain sebagainya sehingga jika seandainya kita

menyimpang, bukan hanya orang tua sendiri yang bertanggung jawab,

namun ada orang lain yang bisa terlibat. Pak, anak Bapak tadi begini lho

Pak. Lha kalau sekarang anak dibentak guru saja sudah tidak boleh, ya

bagaimana mereka tahu benar atau salah. Maka, anak sekarang sangat

rentan dengan kurangnya pendidikan karakter dan sekolah itu dianggap

sebagai sekadar memenuhi kewajiban. Sekarang itu anak dituntut untuk

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 276: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

263

harus pintar, berprestasi, dan bisa mengalahkan teman-temanmu. Nah,

ketika semangat persaingan sudah dibangun sejak kecil, maka yang terjadi

sekarang adalah konflik. Orang kebanyakan memiliki kecenderungan

untuk berkonflik. Jadi, anak sudah tidak diberikan kesempatan untuk

menoleh ke kanan dan ke kiri dalam arti untuk menemukan nilai-nilai

yang luhur, padahal itu sangatlah perlu. Kalau saya kaitkan dengan zaman

sekarang ini, kita juga dapat memanfaatkan media yang ada karena

permainan itu kan ada media bahasa yang digunakan. Tata cara mengajar

bahasa Jawa atau pembelajaran di sekolah pun perlu direformasi.

Direformasi sesuai dengan kebutuhan anak. Kalau kaitannya dengan

zaman sekarang, orang perlu membuat animasi. Toh animator Indonesia

itu juga ampuh-ampuh, namun malah tidak laku di negaranya sendiri,

malah laku di luar negeri. Animasi itu dapat dikemas dengan cerita atau

film, lalu ada suatu petunjuk-petunjuk film yang berupa pengenalan aksara

Jawa yang diperbandingkan artinya dengan bahasa Indonesia, Inggris, agar

anak dapat sekaligus dikenalkan dengan istilah-istilah di dalam permainan.

Jika aspek-aspek kebahasaan itu tidak dikenalkan di era sekarang ini,

maka bahasa itu tidak akan bisa dikonsumsi oleh masyarakat dan mereka

akan kehilangan pengetahuan atau informasi itu. Orang tua juga punya

peran penting untuk ikut mengenalkan istilah-istilah yang ada, karena jika

tidak ya akan hilang begitu saja. Memang tuntutan beratnya adalah

bagaimana menggiring generasi muda untuk kembali pada akar budaya.

Narasumber 2

Nama : Sri Kuncara

Usia : 56 tahun

Pekerjaan : Pamong Balai Budaya Yogyakarta

Wawancara 2

T1: Nilai-nilai karakter apa sajakah yang terkandung di dalam permainan anak

tradisional? Bagaimana penjelasan dari masing-masing nilai karakter

tersebut?

J1: (6) Permainan anak tradisional itu mengandung nilai keterampilan tangan

karena melibatkan koordinasi sistem syaraf motorik. Contohnya plintheng

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 277: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

264

karena itu kan seperti panahan sehingga membutuhkan konsentrasi dan

koordinasi sistem syaraf motorik tubuh. Plintheng itu lebih mengarah pada

permainan individual. Gobag sodor itu kerja sama karena dilakukan pada

ruang tertentu dan dengan tim, karena mereka harus mempertahankan area

kelompok. Gobag sodor lebih mengarah pada permainan tim, koordinasi,

dan kerja sama antar pemain. Kasti itu lebih pada nilai keterampilan

motorik karena di sana ada skill yang sangat dibutuhkan untuk bermain,

dan tanggung jawab karena harus dapat menjalankan peran mereka

masing-masing sebagai pemukul, penangkap, pengejar, dan lain-lain.

Permainan seperti olah raga demikian biasanya melatih, keterampilan

tubuh, kerja sama, kedisiplinan, dan tanggung jawab peran pemain. Jadi

mereka harus melakukan tugas sesuai dengan peran yang ditanggung.

Kedisiplinan itu terkandung dalam aturan yang ada di dalam permainan,

juga sesuai dengan kesepakatan yang telah ditetapkan bersama. Maka, jika

ada yang melanggar akan disebut urik (curang) karena melanggar aturan

dan nilai kedisiplinan itu. Nilai sportif juga ada, terutama di dalam

permainan yang bersifat olah raga tadi. Nilai kecerdasan dalam permainan

yang lebih umum juga ada. Orang zaman dulu belum mengenal istilah

kecerdasan, namun sudah mengerti untuk mengarahkan anak agar cerdas.

Pendidikan itu dikemas melalui permainan, apalagi kecerdasan itu kan

tidak bersifat tunggal. Ada kecerdasan intelektual, kinestetik, emosional,

dan lain-lain. Semua itu belum dipahami secara langsung atau diklasifikasi

seperti sekarang. Seperti kasti dan sebagainya itu memang mengajarkan

keterampilan, namun juga mengajarkan kerja sama, kedisiplinan, dan lain-

lain. Permainan yang bersifat individual seperti plintheng dan sebagainya

itu kan lebih melatih kemampuan individu, seperti keterampilan. Lalu,

seperti cublak-cublak suweng, jamuran, itu kan nilai sikap lebih kelihatan

dari pada gerak tubuh, yaitu setiap anak harus bersedia menanggung

konsekuensi sebagai yang dadi. Dia harus menurut atau rela dadi. Anak

yang lain pun harus jujur untuk mengakui tebakan anak yang jadi sehingga

tidak boleh ada kecurangan karena sudah ada kesepakatan bersama, bahwa

jika dia kalah, maka harus menerima konsekuensi untuk jadi. Anak yang

lain juga harus bersedia jadi jika jatuh pada gilirannya. Permainan itu bisa

berjalan karena kesepakatan aturan yang bisa ditaati oleh semua pemain.

Secara tidak langsung kan mereka belajar sebuah sistem atau aturan yang

telah disepakati bersama dan menerima konsekuensi ketika jadi atau kalah.

Permainan itu tidak akan berjalan jika salah satu anak menolak, tidak mau,

atau menyangkal. Maka, sejak awal, mereka sudah belajar beberapa nilai

ketika melakukan permainan. Hal itu bisa dikatakan sebagai suatu bentuk

pendidikan, walaupun tidak formal. Keris janur itu merepresentasikan alat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 278: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

265

yang digunakan oleh orang dewasa. Janur itu sendiri sering digunakan

oleh masyarakat kita dalam berbagai upacara adat sehingga permainan itu

menunjukkan suatu pembelajaran tentang pola merawat budaya. Keris

janur mengajarkan suatu keterampilan tangan karena anak harus dapat

membentuk pola lekuk yang khas dari keris. Hal itu membutuhkan

keterampilan, yang akan dapat mereka gunakan sampai dewasa. Keris

janur mewujudkan tata budaya Jawa, sekaligus bagian dari strategi upaya

pelestarian budaya yang dilakukan oleh orang-orang tua zaman dulu,

termasuk permainan itu sendiri. Orang zaman dulu sudah merancang

bagaimana agar permainan itu bisa lestari, yaitu melalui pola-pola dan

simbolisasi di dalamnya, seperti bentuk mainan, cara bermain, nama atau

istilah yang digunakan, lagon (lagu/tembang), dan berbagai hal khas

lainnya. Nah, hal-hal yang khas itu, misalnya lagunya kan memiliki pola

irama tertentu yang sekaligus dapat mengajarkan kecerdasan musikal

kepada anak. Orang Jawa zaman dulu itu kalau mentransfer pengetahuan

tidak selalu menggunakan aktivitas baca tulis, namun dengan aktivitas

konkrit, yaitu dengan permainan dan lagu-lagunya. Pola-pola yang khas

itu kemudian dapat direkam oleh anak sehingga sampai saat ini pun masih

ada anak yang tahu permainan itu, berkat hal yang khas dari permainan itu,

seperti lagunya. Hanya dengan mendengar lagunya, anak langsung tahu

permainan itu dan bagaimana memainkannya. Hal yang khas itu langsung

memanggil ingatan mereka terhadap permainan itu. Hal yang khas itu

mudah diingat oleh anak karena bersifat tetap dan telah tersebar di mana-

mana. Dengan begitu kan membuat anak menjadi ingat terhadap urutan

permainan dan hal-hal yang lain. Maka, pola-pola yang khas itu digunakan

sebagai sarana pelestarian permainan agar mudah diingat dan terus diingat

sehingga bersifat seperti jembatan keledai. Orang Jawa itu sharing

knowledge-nya (berbagi pengetahuan) melalui hal-hal yang khas, seperti

nama, simbol, lagu, dan lain-lain yang sudah bersifat baku, termasuk

nama-nama dari setiap permainan itu. Orang jadi ingat permainan itu dan

bagaimana memainkannya karena ada pola-pola yang khas itu tadi.

Mengapa bisa awet turun-temurun itu karena blueprint-nya (pola/desain)

itu melalui pola-pola yang khas yang dibawa melalui tuturan dari masa ke

masa. Memori yang berkaitan dengan setiap permainan disimpan dan

diwariskan dalam blueprint yang dibuat itu. Maka, dengan pola-pola yang

khas itu, anak dapat menghafal dengan mudah sehingga dapat mengingat

kembali seluruh isi permainan. Kalau dikaitkan dengan pembelajaran

zaman sekarang ini, semakin banyak indera yang digunakan maka semakin

banyak dan kuat hal yang diperoleh dan diingat.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 279: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

266

T2: Apa salah satu nilai karakter yang menonjol dari setiap permainan yang

Anda ketahui dari daftar ini? Mengapa?

J2: (7) Misalnya bekelan, itu nilai yang paling menonjol adalah keterampilan

motorik atau tubuh karena anak harus melempar dan menangkap bola

sambil mengambil biji bekel dengan tepat. Nilai sportif juga ada karena

seperti bekelan, benthik, dan sebagainya itu kan lebih seperti olah raga

karena ada skill motorik yang digunakan untuk menjalankan permainan

itu. Selain itu ada juga nilai disiplin dan konsekuen yang terkandung, dan

dua permainan itu lebih menonjolkan nilai keterampilan individual. Kalau

cublak-cublak suweng itu lebih pada kejujuran karena yang jelas yang jadi

harus mau telungkup untuk menebak batu di dalam genggaman teman dan

memberikan jawaban yang sesungguhnya. Ada juga nilai kedisiplinan dan

tanggung jawab di dalamnya. Sebenarnya permainan itu kan mengajarkan

nilai secara tidak langsung melalui pengalaman anak. Salah satu tidak mau

saja permainan sudah tidak jadi. Dhakon itu lebih ke kecerdasan karena di

sini ada proses penghitungan dan penentuan strategi untuk memindahkan

biji. Selain itu, ada nilai demokratis juga, karena ada unsur pemilihan,

seperti ketika kita memilih pemimpin. Kalau sampai salah, itu menjadi

resiko bagi kita. Kalah menangnya merupakan hasil dari plihan yang telah

ditentukannya sendiri. Lalu, dhelikan ini lebih pada kejujuran karena anak

tidak boleh melihat teman-temannya selama proses mencari tempat

persembunyian sampai selesai menghitung. Asyik, seru, dan indahnya

permainan tidak akan kelihatan jika anak tidak jujur. Menang pun tidak

terasa indah karena tidak diraih dengan cara yang jujur. Konsekuen juga

karena anak harus mau jadi sebagai anak yang ditemukan oleh yang

pertama jadi tadi. Ingkling itu keterampilan melompat dan sportifitas

karena seperti olah raga. Gobag sodor itu lebih pada kerja sama karena ini

kan permainan kelompok dan tidak bisa dijalankan sendiri. Kemenangan

itu diraih karena kekompakan setiap tim untuk menjaga area. Jamuran itu

lebih pada nilai kreativitas karena anak yang jadi harus dapat menentukan

jamur tertentu yang sekiranya sulit untuk dilakukan sebagai strategi untuk

mengalahkan lawan mainnya. Hal itu membutuhkan pengetahuan sebagai

sumber pemilihan ragam jamur yang efektif. Selain itu, ada nilai disiplin,

karena semua anak harus mengikuti untuk menjadi jamur apa sesuai yang

diperintahkan oleh yang jadi dan mengandung hukuman terhadap yang

gagal. Kasti ini lebih pada nilai keterampilan motorik karena di sana ada

skill yang sangat dibutuhkan untuk bermain, lalu kerja sama, karena setiap

anak harus dapat menjalankan perannya masing-masing dengan bekerja

sama dengan anak yang berperanan lain dalam tim untuk menang, lalu ada

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 280: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

267

sportivitas dan keterampilan jelas sangat tampak. Keris janur, kitiran

godhong tela, kitiran janur, irah-rahan, itu lebih pada keterampilan tangan

karena harus membentuk pola supaya bisa menjadi sebuah mainan.

Apalagi permainan yang seperti itu juga memanfaatkan barang yang ada di

sekitar sehingga juga dibutuhkan nilai kreativitas. Layangan juga

keterampilan tangan dan tubuh karena bermain layangan itu tidak mudah

bisa menerbangkannya. Macanan ini juga memiliki nilai yang seperti

dhakon. Kecerdasan lebih kelihatan karena ada strategi untuk memakan

orang-orangan milik lawan. Karena permainan itu seperti catur yang

membutuhkan kecerdasan berpikir. Kemudian, nekeran ini hampir seperti

olah raga dalam skala kecil sehingga membutuhkan keterampilan motorik

(tubuh) dan sportivitas. Anak harus dapat mengenai sasaran dengan tepat,

termasuk menggunakan ketajaman mata untuk membidik sasaran.

Plintheng ini juga keterampilan motorik dan sangat erat kaitannya dengan

latihan membidik sasaran dengan tepat, seperti halnya panahan dan tulup.

Keterampilan yang tinggi sangatlah dibutuhkan dalam plintheng. Bedhilan

ini juga keterampilan. Kalau membuatnya dibutuhkan keterampilan tangan

dan kreativitas seperti plintheng. Kalau menggunakan atau memainkannya

dibutuhkan keterampilan motorik. Ceplokan ini termasuk bedhilan kok.

Justru ceplokan itu yang lebih dikenal sebagai bedhilan karena

ceplokanlah yang benar-benar melontarkan peluru sehingga memiliki

mekanisme yang sama dengan bedhil (senapan) yang asli. Ceplokan

memiliki mekanisme yang paling dekat dengan bedhil, walaupun lebih

disederhanakan mekanismenya. Tidak pakai pelatuk, tapi pakai tekanan

udara dari pelontar yang didorong menggunakan tangan, tapi malah mirip

dengan bedhil. Jadi, mulai disebut bedhilan itu karena sudah diadaptasi

dengan bentuk seperti bedhil. Namun, yang asli tetaplah yang ceplokan

itu.

T3: Adakah keterkaitan antara nama permainan dengan nilai karakter yang

menonjol? Kalau ada, bagaimana kaitannya?

J3: (8) Sebagian ada dan sebenarnya tidak selalu, karena orang Jawa kebetulan

di beberapa wilayah ada variasi penamaan. Jadi, penamaan itu muncul

karena aktivitas yang mendasari bentuk permainan itu. Misalnya, jamuran

itu karena menggambarkan memang permainannya seperti itu. Itu pun

tidak selalu sama antara nama permainan dengan aktivitas dan nilai

karakter yang dikandung. Bisa jadi nama itu hanya menunjukkan aktivitas

permainan itu, tanpa harus menunjukkan nilai yang terkandung. Nilai itu

tidak serta merta atau tidak secara langsung bisa kelihatan dari nama.

Namun, justru nilai ini secara unik dan tidak terasa bisa ada di dalam

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 281: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

268

permainan itu, bahwa apa-apa harus disebutkan secara gamblang.

Namanya bisa sederhana dan secara tidak langsung diungkapkan melalui

nama, namun melalui aktivitas yang dilakukan berulang-ulang. Nilai itu

kan bisa tumbuh karena perulangan terus-menerus tanpa bersifat

menggurui secara verbal. Menariknya permainan ini, jika dilihat dari

perbandingan antara nama dan nilai yang terkandung adalah tidak selalu

tampak di namanya. Orang-orang dulu menanamkan nilai dan memberi

pesan justru secara terselubung sehingga anak akan secara natural

menumbuhkan nilai melalui aktivitas yang dilakukan. Penanaman nilai

yang paling bagus dan nyaman adalah ketika tidak terasa didoktrin secara

gamblang sehingga anak juga akan merasa bahwa dirinya sendirilah yang

menemukan nilai itu dengan rasa bangga dan puas. Padahal memang

sudah didesain demikian oleh orang-orang tua, namun mereka akan

memberi apresiasi kepada anak yang dengan sendirinya sadar akan nilai

yang telah ditemukan dan dirasakan itu. Nilai itu dibiarkan tumbuh dari

dalam dirinya sendiri. Jadi, nama dan nilainya justru tidak harus

diperlihatkan. Nama permainan biasanya dipilih yang paling akrab dengan

anak dan lebih menggambarkan aktivitas permainan. Nama tidak harus

dibebani dengan nilai apa yang terkandung dalam permainan itu, namun di

dalam aktivitas permainan itulah nilai bisa ditemukan.

T4: Apakah Anda setuju bahwa permainan anak tradisional terbagi dalam

golongan permainan dengan nyanyian atau dialog, permainan asah fisik,

permainan asah otak, dan permainan keterampilan tangan?

J4: (9) Saya setuju itu. Walaupun nanti bisa dibagi-bagi lagi, tapi dengan

pembagian itu, saya sangat setuju karena dari permainan-permainan ini

tadi ternyata ada di dalam klasifikasi itu. Klasifikasi itu memang benar.

T5: Bagaimanakah strategi preservasi (pelestarian) permainan anak tradisional

yang mengandung nilai-nilai karakter?

J5: (10) Kita harus mengajak semua pihak untuk menggali kembali permainan

anak tradisional yang disesuaikan dengan perkembangan zaman sekarang.

Lebih sering mengadakan lagi acara perlombaan yang mengangkat

permainan anak tradisional. Menyediakan ruang bermain anak. Lalu,

mendorong semua pihak untuk memperhatikan kembali permainan anak

tradisional sesuai dengan bidang mereka masing-masing. Misalnya, dalam

bidang seni, orang dapat mengangkat lagu permainan yang dapat

dimanfaatkan dalam media tertentu. Kemudian, memanfaatkan teknologi

dengan mengangkat tema permainan anak tradisional untuk dibuat suatu

permainan di dalam gawai itu, karena anak zaman sekarang pegangannya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 282: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

269

hp. Maka, kita bisa mengajak orang-orang yang berkompetensi di bidang

teknologi untuk membuat game-game dengan tema permainan anak

tradisional. Kita tidak perlu mengambil sumber daya manusia dari luar

negeri karena kita sudah cukup banyak memiliki orang-orang yang mampu

dalam bidang teknologi. Kita harus bekerja sama dengan mereka, memberi

isi atau kontennya, dan membuat bersama. Maka, kerja sama lintas bidang

kompetensi itu perlu demi menghasilkan permainan gawai yang

terintegrasi dengan permainan anak tradisional.

Narasumber 3

Nama : Agustinus Sumarsono

Usia : 68 tahun

Pekerjaan : Pensiunan Guru SD

Wawancara 3

T1: Nilai-nilai karakter apa sajakah yang terkandung di dalam permainan anak

tradisional? Bagaimana penjelasan dari masing-masing nilai karakter

tersebut?

J1: (11) Permainan anak tradisional merupakan bagian dari budaya Jawa.

Budaya Jawa itu kan sangat komunal. Permainan seperti ini tidak bisa

dimainkan sendiri. Mesti harus melibatkan lebih dari dua orang. Nah, di

situlah nantinya nilainya itu akan muncul. Misalnya, kebersamaan dan

keberagaman pun juga akan muncul. Karena kan tidak ada di suatu

kampung itu orang usianya sama semua kan tidak. Mereka mau berkumpul

menjadi satu. Maka, keberagaman dalam hal ekonomi dalam hal apa itu

kadang-kadang justru semuanya menyatu. Ketika orang bermain ini kan

mereka sudah tidak peduli kamu anaknya siapa, kamu punya apa, maka ya

menjadi satu. Beda dengan sekarang, ketika anak main game itu kan main

sendiri saja sudah oke. Tetapi, kalau permainan anak tradisional ini kan

tidak bisa dimainkan sendiri. Sportivitas ada, namun tidakk menonjol

karena permainan semacam ini kan menang-kalah itu tidak begitu penting,

karena yang terpenting adalah ketika mereka bareng-bareng itu. Jadi

adanya nilai kebersamaan dan keberagaman memiliki alasan yang cukup

kuat. Kalau ada kepedulian itu, karena zaman dulu itu belum ada hp dan

alat komunikasi yang lain. Maka, orang zaman dulu itu yang bahasa

Jawanya ngampiri (menghampiri/mengajak) teman yang lain lalu

membuat kesepakatan-kesepakatan sendiri. Misalnya, jirak itu kan

aturannya bisa berbeda-beda. Maka, jika menilik dari nilainya, mereka

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 283: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

270

belajar membuat komitmen juga. Komitmen secara bersama, ini enaknya

bagaimana. Komunikasi juga muncul karena ada proses interaksi dengan

teman-temannya. Jika nilai-nilai itu diperdalam lagi kan orang akan

menanggalkan identitas diri demi permainan itu, misalnya apa agamamu,

sekolahmu di mana, usiamu berapa, itu tidak begitu penting karena yang

penting adalah mau terlibat di sini dan ikut komitmen bareng, jalan

permainannya.

T2: Apa salah satu nilai karakter yang menonjol dari setiap permainan yang

Anda ketahui dari daftar ini? Mengapa?

J2: (12) Ancak-ancak alis ini kerja sama atau kebersamaan sebagai nilai yang

utama, lalu diikuti kejujuran ketika lagu sudah tiba pada saatnya namun

mengaku tidak, dan kedisiplinan. Kerja sama dan kebersamaan itu hampir

sama, yaitu bersama-sama memainkan permainan. Bas-basan sepur itu

yang paling menonjol adalah kecerdasan. Bandhul sada itu keterampilan

tangan membuat bandul yang diputar. Bekelan itu juga keterampilan

motorik tapi juga jujur lho itu, karena ketika membalik biji bekelnya bisa

curang karena salah membalik, makanya harus jujur. Bentengan itu

termasuk gotong royong, karena ada kerja sama satu tim. Antara kerja

sama dan gotong royong itu juga sebenarnya sama. Benthik itu juga

keterampilan motorik karena lebih melibatkan kemampuan individual.

Bethet thing-thong itu sportif. Boi-boinan itu ya terampil. Cacah bencah

itu konsekuen karena yang jadi yang harus mau jadi. Berjiwa besar juga,

karena jika saya jadi yang harus bersedia jadi beneran. Cublak-cublak

suweng itu jujur karena anak harus menyembunyikan biji dan menebak.

Jawaban anak yang lain harus jujur untuk menyatakan letak biji. Dhakon

itu cerdas karena harus berpikir strategis dan juga jujur karena anak tidak

boleh curang ketika mengedarkan biji. Biji bisa saja jatuh ke tempat yang

salah atau sengaja dijatuhkan di tempat yang diinginkan. Dhayoh-

dhayohan itu komunikatif, saling menghargai, rela berkorban, tenggang

rasa, banyak itu, tapi yang paling menonjol adalah komunikatif. Dhelikan

ini kejujuran karena tidak boleh mengintip teman ketika mencari tempat

persembunyian. Namun, selain itu juga harus kreatif karena anak harus

dapat mencari tempat persembunyian yang sulit ditemukan, serta

konsekuen karena anak harus mau jadi ketika mendapat giliran untuk jadi.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 284: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

271

Dhing-dhingan itu keterampilan motorik karena harus bisa berenang dan

menghindar dari tangkapan lawan. Namun, juga sportif karena jika

ditangkap tidak ada buktinya jadi harus main sportif. Sportif sama jujur

yang hampir sama, kalau sportif itu dalam sistem bermainnya. Dhingklik

oglak aglik itu kerja sama karena harus saling bekerja sama agar tidak

lepas atau jatuh. Selain itu juga jujur, karena harus mau mengaku jika

lepas. Ingkling itu jelas keterampilan motorik. Selain itu juga jujur karena

jika gacuk dilempar dan mengenai garis ya harus jujur mengaku kalah.

Epek-epek itu kejujuran karena harus mengaku ketika memang tertangkap.

Itu tidak ada bukti kecuali ada yang melihat dan dia sendiri yang mengaku.

Gobag sodor itu kerja sama karena dimainkan dengan tim. Selain itu juga

terampil dan jujur seperti epek-epek tadi. Kesenggol kok mengaku tidak,

nah itu kan diperlukan kejujuran. Terampil juga masuk dan kreatif juga

karena menggoda penjaganya itu butuh kreativitas. Gowokan itu kerja

sama karena anak-anak yang membentuk lingkaran harus bekerja sama

naik turun untuk menjaga sang jago. Terus juga butuh terampil dan kreatif.

Jamuran itu butuh kreativitas untuk menentukan jamur yang ditetapkan.

Jaranan bongkok itu keterampilan tangan membuat jaranan. Jirak itu

kompetitif karena anak harus berusaha melemparkan biji ke lubang yang

terdekat agar tidak menggendong lawan. Selai itu ada berjiwa besar,

karena bagi anak yang sering kalah harus mau menerima dan tetap

bermain. Kasti itu terampil, kerja sama, cerdas, komunikatif, setia kawan,

banyak itu. Terutama terampil, karena anak harus menguasai teknik.

Misalnya memukul. Memukul itu tidak harus keras kok. Jadi, bola itu yang

penting hanya di sentuh pakai pemukul yang penting keluar dari garis,

yang penting dipukul agar jauh dari para penjaga. Anak juga harus bisa

memanipulasi arah bola, nah itu jelas terampil. Lalu, keris janur, kitiran

godhong tela, kitiran janur itu keterampilan tangan. Kubuk ini terampil

motorik karena harus memindahkan segenggam biji tanpa terjatuh atau

tertebak lawan. Kucing-kucingan itu tim, jadi kerja sama karena anak

harus saling bergandengan tangan untuk bertukar posisi sebelum anak

yang dadi merebutnya. Selain itu, ada kompetitif karena harus berusaha

merebut tempat. Irah-irahan itu keterampilan tangan dan kreatif. Layangan

itu mulai dari membuat lalu main itu juga melibatkan keterampilan tangan

dan kreatif karena lebih bersifat individual. Layung itu ada aktivitas

lempar tangkap, yang berarti kerja sama karena harus bekerja secara tim

untuk mengusahakan agar bola tidak jatuh. Yeye itu terampil karena kalau

tidak mampu melompat yang tidak bisa. Ukurannya kan ya selutut,

sepusar, sedada, gitu kan. Tingkat kesulitannya meningkat. Macanan itu

cerdas seperti dhakon. Mul-mulan itu juga cerdas karena kalau tidak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 285: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

272

cerdas ya kalah terus. Nekeran dan patil lele itu juga terampil. Pltintheng

itu juga butuh keterampilan tangan dan juga motorik. Pong-pong bolong

itu kerja sama. Sliring gendhing itu juga kerja sama. Ceplokan ini

keterampilan tangan karena anak harus membuat mainan yang dapat

berfungsi dengan baik. Misalnya, memodifikasi mainan supaya suaranya

lebih keras, yaitu dengan membuat corong di depannya dengan janur, jadi

seperti knalpotnya.

T3: Adakah keterkaitan antara nama permainan dengan nilai karakter yang

menonjol? Kalau ada, bagaimana kaitannya?

J3: (13) Adanya nilai yang menonjol itu pasti ada keterkaitannya.

Keterkaitannya itu terutama di dalam bermain, terutama itu yang tim, itu

melibatkan pikiran dan jiwa untuk saling berinteraksi atau berkomunikasi

dan bekerja sama. Dalam hal kebersamaan, permainan itu akan sukses

kalau terdapat kerja sama. Tanpa kerja sama tidak akan suskses. Kalau ada

yang tidak peduli atau semangatnya tidak penuh seperti teman-temannya

ya tidak berhasil. Maka dari itu, permainan menuntut kesediaan setiap

peserta untuk bersama-sama bermain dengan cara yang baik dan benar

demi keberhasilan permainan. Selain itu, kalau individual kan biasanya

lebih mengajarkan keterampilan dan kecerdasan pribadi. Lalu, kalau

misalnya gobag sodor itu kan berasal dari Belanda yang namanya go back

through the door. Itu kalau kita kaitkan artinya pulang dan pergi harus

melalui pintu. Maka, itu ada hubungannya yang terletak pada nama dan

cara bermain atau aktivitasnya. Kalau dengan nilainya yang melalui

aktivitasnya itu lalu membutuhkan kerja sama untuk menjaga dan

menangkap lawan. Maka, ada itu hubungannya. Selain itu juga pada

dasarnya tidak tentu ada keterkaitan antara nama permainan dengan

nilainya. Kalau gobag sodor itu kan dari nama dengan cara bermainnya

dan nilai kerja samanya jelas itu. Jadi, kaitannya adalah dari nama ke

aktivitasnya, dan dari aktivitasnya ke nilai karakternya.

T4: Apakah Anda setuju bahwa permainan anak tradisional terbagi dalam

golongan permainan dengan nyanyian atau dialog, permainan asah fisik,

permainan asah otak, dan permainan keterampilan tangan?

J4: (14) Itu sudah sangat pas. Sangat pas karena masing-masing permainan

kan punya istilah itu merupakan ciri khusus. Kalau main ini mengandalkan

dialog, main ini mengandalkan kekuatan fisik, main ini mengandalkan

olah pikir, main ini butuh kerja sama yang kuat. Ya antara lain begitu.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 286: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

273

T5: Bagaimanakah strategi preservasi (pelestarian) permainan anak tradisional

yang mengandung nilai-nilai karakter?

J5: (15) Kalau di Indonesia sekarang ini, permainan seperti itu sudah tergusur

dengan permainan yang modern. Sekarang itu sudah jarang anak-anak

yang bermain permainan tradisional, misalnya gobag sodor karena

permainan itu membutuhkan tempat atau area yang cukup. Kasti juga.

Kalau kejar-kejaran itu masih. Karena begini, satu dalam hal faktor

geografis kan harus tersedia area; dua dibutuhkan istilahnya itu pamong.

Yo main sini yo; yang ketiga dibutuhkan narasumber. Misalnya, dari

mbahnya dulu masih bisa mengajari permainan-permainan seperti itu.

Narasmuber seperti itu suatu ketika dapat berinisiatif membelikan sarana

permainan, misalnya alatnya dhakon lalu mengajari anaknya. Sekarang

kan sudah tidak. Lalu, bisa juga melalui sekolah dasar. Misalnya, kalau

guru olah raganya itu kreatif, atau dalam suatu pertemuan, guru olah raga

itu ada poin untuk menanamkan atau mengembangkan permainan di dalam

olah raga, nah di sekolah baru bisa menjadi sarana untuk melakukan

permainan anak tradisional. Baru nanti anak-anak di rumah main. Tapi,

kalau di sekolah anak-anak tidak pernah main tradisional, lha ya di rumah

tidak terbawa. Jadi peran guru olah raga itu sangat penting. Kalau tidak, ya

bisa guru kelas yang sudah memiliki pengalaman dalam hal permainan

anak tradisional, dan dibesarkan di desa yang dulu masih membiasakan

mereka untuk bermain tradisional, itu malah bisa ngajari. Jadi,

memberdayakan guru di sekolah itu penting, terutama guru olah raga.

Lalu, sekarang ini tidak pernah diadakan kompetisi. Misalnya,

sekecamatan itu pasti isinya hanya ping-pong, badminton, voli, catur. Tapi

coba, kompetisi kasti antarkampung. Kalau di desa saya itu dulu pernah

kasti antarlingkungan. Orang yang main pun terserah, ada bapak, ibu,

anak, semua keluar, terus nanti satu tim 12 ya 12. Ramai sekali. Nah,

namun kendalanya itu juga hanya bisa kalau momen-momen tertentu.

Kalau mau lomba baru latihan, kalau tidak ya tidak. Sekarang ini

pelestarian itu memang penanamannya baru hanya bisa dibicarakan saja,

namun prakteknya itu masih tergantung situasi, kondisi, dan kebijakan dari

para petinggi. Ya untuk zaman sekarang memang agak sulit karena situasi

yang tidak menentu ini, orang tua kan sangat protect (melindungi)

terhadap anaknya, maka yang terjadi bahkan sudah merambat ke

kampung-kampung, orang tua itu malah lebih senang kalau anak berada di

rumah. Disediakan game, hp, dan fasilitas lainnya, yang penting di rumah.

Hal itu menjadi kesulitan untuk mengembangkan atau melestarikan

permainan itu. Maka, ya harus dibuat acara-acara khusus. Misalnya,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 287: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

274

melalui acara 17-an sebagai hal yang masih tampak di dalam kehidupan

kita. Baru permainan ini bisa dilakukan. Maka, jika ingin melestarikan ini,

harus ada orang yang mau terjun langsung dan memberikan berbagai

penjelasan secara konkrit di lapangan. Lalu, mengajak orang-orang yang

tertarik terhadap kebudayaan Jawa. Selain itu, kurikulum di sekolah, paud,

tk, sd, itu kan jarang juga yang menggarap permainan seperti ini. Orientasi

mereka lebih pada teknologi yang justru membawa orang kepada dunia

individu dan bukan dunia komunal. Maka, juga perlu ada upaya

pengintegrasian kurikulum sekolah dengan tema permainan anak

tradisional.

Wawancara tambahan terhadap narasumber 1:

T1: Mengapa permainan ini dinamai dengan nama tertentu?

J1: (16) Ceplokan ini kan karena unsur suara, terus jaranan bongkok karena

unsur wujud, jirak itu karena unsur wujud, kasti itu karena jenis

permainan, keris janur karena wujud, kitiran karena wujud, gobag sodor

itu karena mengacu pada sodornya karena sodor itu yang memegang

permainan lurus vitalnya, nah itu jadi sodor. Jamuran itu kan karena

tembangnya, yang ditembangkan kan jamuran, maka namanya jadi

jamuran. Kalau macanan itu karena konsepnya saling memakan sehingga

orang-orangan bisa termakan oleh macan dari gacuk. Kalau ancak-ancak

alis itu karena adanya prinsip kesemenaan seperti dalam semiotika. Asal

dinamai itu, tapi sebenarnya permainannya jauh dari namanya. Atau dapat

juga ada kaitannya dengan tembangnya. Jadi bisa mengacu pada tembang.

T2: Apa yang dimaksud dengan jenis permainan asah otak, asah fisik, dialog

atau nyanyian, dan keterampilan tangan, beserta masing-masing

contohnya?

J2: (17) Hal yang jelas itu yang termasuk asah otak, seperti dhakon itu jelas

mengasah otak karena kan belajar membagi. Macanan itu juga masuk

karena jika tidak benar mengatur geraknya juga dapat termakan. Gobag

sodor itu gabungan, namun unsur kerja samanya yang lebih menonjol.

Permainan asah otak itu dapat dijelaskan, misalnya dalam satu kasus

permainan dhakon, anak harus berpikir untuk kemudian agar apa yang dia

putar atau mainkan itu tetap punya sisa, atau tidak habis. Nah, untuk itu

kan dia harus berpikir dan di sana juga akhirnya tumbuh kecerdasannya

untuk bagaimana mengolah biji yang dia miliki ini untuk bisa ditabung di

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 288: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

275

dalam lumbung. Jadi permainan asah otak itu adalah jenis permainan

tradisional kalau misalnya yang dulu biasanya seringnya dilakukan itu ada

beberapa yang memungkinkan untuk dilakukan di beberapa keadaan

khusus, misalnya semacam padang bulan, namun kalau untuk permainan

asah otak itu biasanya dilakukan harian di kala waktu senggang, dan

contoh permainan asah otak itu antara lain kalau kita lihat terkait dengan

dhakon misalnya. Itu jelas asah otak karena dalam permainan dhakon, satu

hal yang harus dipikirkan adalah bagaimana si anak yang menjalankan

permainan dhakon nanti, dia bisa punya sisa atau tabungan untuk

kemudian dimasukkan ke dalam lumbung. Dari sana, kemudian

dibutuhkan upaya, istilahnya ketika lubang dhakon itu kan jumlahnya

cukup banyak. Bagaimana kemudian pembagian itu agar punya sisa yang

kemudian menjadi simpanannya dalam lumbung itu. Otomatis, pola

permainan seperti itu tidak mungkin dilakukan dengan kelincahan, akan

tetapi yang dibutuhkan adalah bagaimana kemudian dia bisa berpikir

untuk membagi dan punya sisa. Demikian juga misalnya dengan macanan.

Ketika permainan macanan itu bagaimana kemudian dua orang yang

bermain ini agar tetap bisa menjaga konsistensi permainannya sehingga

dia tidak dimakan oleh macan. Nah, untuk ngurung ke dalam bagian pojok

segitiga sehingga setiap pergerakan merupakan strategi agar tidak di

makan oleh macan. Otomatis itu yang lebih diasah adalah bagaimana dia

bisa berpikir dengan mudah. Kalau contoh permainan asah otak tadi, itu

yang jelas adalah macanan dan dhakon. Itu jelas konsepnya adalah asah

otak. Permainan asah fisik itu yang lebih terkait dengan keterampilan fisik.

Misalnya, contoh permainan asah fisik itu adalah gobag sodor. Nah, itu

adalah permainan yang terkait dengan asah fisik sehingga selain dia secara

pribadi harus lincah, dia juga harus kerja sama. Jika dilihat secara pribadi

yang terkait dengan asah fisik itu adalah semacam kemampuan asah fisik,

yaitu bagaimana kemudian upaya dia untuk bisa mengenai lawan. Secara

motorik, dia harus bisa menyatukan antara gerak langkah, tangan, untuk

bisa bersembunyi dan sebagainya sehingga dia tidak bisa terkena oleh

peluru atau tangkapan lawan. Semacam permainan kasti itu juga termasuk

jenis permainan asah fisik, ketika dia harus berlari dari satu pos ke pos

yang lain, termasuk juga kemampuan fisiknya untuk mampu memukul

bola sehingga bisa jauh atau bisa langsung menangkap bola, itu juga

kemampuan fisik yang tidak mungkin hanya dilakukan, tanpa dia

melakukan latihan yang rutin. Contoh permainan asah fisik itu, seperti

gobag sodor, kasti, ingkling, ceplokan, plintheng karena bagaimanapun

juga kalau tidak terampil mlintheng kan secara motorik dia juga tidak bisa

melakukannya, benthik dan bentengan juga termasuk. Permainan yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 289: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

276

menggunakan dialog atau nyanyian itu misalnya jamuran. Kalau kita tilik

dari asal namanya, sebenarnya kan juga tidak ada yang njamur di dalam

permainan itu. Namun, terkait dengan yang ditembangkan, itu adalah

terkait dengan berbagai macam jenis jamur apapun di sana akan

disebutkan sehingga nama permainan itu memang kemudian lekat dengan

tembang yang dinyanyikan. Oleh karena itu, permainan tersebut memang

kaitannya tidak hanya dengan wujud fisik jamur yang nampak di sana,

akan tetapi akan lebih terkait dengan pola tetembangan yang dilakukan.

Ancak-ancak alis itu juga termasuk jenis permainan yang ditembangkan.

Ingkling ini termasuk asah fisik. Cublak-cublak suweng juga. Permainan

itu kan di sana juga tidak ada suwengnya. Jadi permainan seperti itu

memang lebih mengacu pada bentuk pola permainan tetembangan yang

bisa dimainkan secara bersama-sama atau kelompok. Dari sanalah

kemudian nama-nama permainan tersebut itu lebih dikaitkan dengan

tembang yang ada, karena nembangnya juga tidak dilakukan dengan

seorang diri, akan tetap dilakukan secara bersama-sama. Contohnya,

ancak-ancak alis, dhayoh-dhayohan, cublak-cublak suweng itu juga

dengan nyanyian, sliring gendhing, pong-pong bolong, jamuran, dhingklik

oglak-aglik. Kebetulan permainan yang disertai kerja sama itu ada

tembangnya. Permainan keterampilan tangan adalah permainan yang

murni dilakukan dan didominasi oleh keterampilan tangan. Misalnya,

jaranan bongkok, keris janur, kupluk godhong, karena permainan itu hanya

bisa dilakukan ketika anak yang akan bermain membuat media sesuai

dengan yang dia butuhkan, seperti keris janur. Ketika dia akan bermain

keris janur ataupun yang dia butuhkan, dia akan berusaha untuk bisa

mewujudkan keris. Itu bukanlah hal yang sederhana, karena harus

membersihkan janurnya, melipatnya, menjadi segitiga yang berlekuk-

lekuk, dan semacam itu. Itu tidak dapat dilakukan kalau tangannya tidak

hidup, atau tangannya tidak terampil menjalankan. Demikian juga

misalnya, ketika membuat kitiran godhong tela juga yang dibutuhkan tidak

sekedar bagaimana memetik daun ketela, namun juga bagaimana agar

papah daun itu bisa berputar. Dia juga harus bisa memetik atau

mematahkan batang daun ketela itu seberapa perhitungannya dan

sebagainya sehingga dalam pola permainan keterampilan tangan itu

memang kemudian sejak dini anak diajak dan diasah untuk mencoba

mendayagunakan tangan yang dia miliki sebagai suatu bagian dari

perkembangan motorik anak. Contohnya, seperti jaranan bongkok, keris

janur, kitiran godhong tela, kitiran janur, kupluk godhong, plintheng, itu

juga masuk bagaimana dia mulai membuat bentuk batangnya itu, termasuk

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 290: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

277

juga ceplokan juga sebagai bagian dari pola permainan keterampilan

tangan.

T3: Bagaimana kaitan antara nama permainan dengan nilai karakter yang

dikandung?

J3: (18) Satu hal yang unik, misalnya ancak-ancak alis itu dari sisi tembang

memang tembangnya bernama ancak-ancak alis. Namun, hal yang

ditonjolkan di sana adalah bagaimana mereka bisa bernyanyi bersama dan

bergembira bersama. Namun, kaitan antara nama permainan dengan wujud

dan nilainya dapat terlepas atau tidak nyambung, misalnya ketika

wujudnya itu tidak mengacu pada namanya, tapi tembangnya memiliki

judul yang sama dengan nama permainan. Kasus yang sama juga terdapat

pada cublak-cublak suweng dan jamuran. Di sana memang tidak ada

suweng yang dinyanyikan dan juga tidak ada jamur yang dibuat mainan,

namun karena mengacu kepada nama syair tembangnya, maka permainan

itu kemudian dinamakan sesuai dengan tembangnya. Lalu, kalau untuk

bandhul sada itu memang lebih terkait dengan bentuk mainan. Ketika ada

bandulnya, kemudian juga ada lidinya (sada) yang diikat. Demikian juga

dengan bekelan, medianya juga adalah bola dan bekel. Lalu, bentengan

sesuai dengan namanya kan mereka bermain di antara satu pos benteng

dengan pos benteng yang lain. Pos benteng yang digunakan bisa berupa

tugu atau pohon sehingga bentengnya di sebelah mana dan di sebelah

mana supaya bisa mempertahankannya. Lalu, benthik itu mengacu pada

suara dan media permainannya adalah dengan dibenthikkan. Terus,

cublak-cublak suweng mengacu pada tembang. Dhakon itu mengacu pada

media. Dhayoh-dhayohan itu mengacu pada polanya untuk saling menjadi

tamu. Demikian juga dhelikan ini, ketika satu dan yang lain itu kemudian

saling bersembunyi antara yang jadi dengan yang bermain. Lalu, dhingklik

oglak-aglik karena permainannya hanya dengan satu kaki, lalu kemudian

dimainkan bersama eret-eretan dan sebagainya. Maka, kesannya ada

seperti ketika ada sebuah dhingklik yang dipakai duduk dan dhingklik itu

berayun seperti akan jatuh atau oglak-aglik sehingga pola permainan

semacam itu mengacu pada bentuk dhingklik yang kakinya gerang

sehingga bergerak terus. Lalu, ingkling itu juga hampir sama, namun lebih

bersifat tunggal karena dijalankan satu persatu. Itu juga mengacu pada

bentuk wujud gerak fisiknya harus ingkling, maka namanya menjadi

ingkling. Lalu, gobag sodor kalau gobagnya tidak ada, tapi yang ada

adalah sodor, di mana dalam permainan itu seseorang menjadi pemain

sodor, itulah yang akhirnya memegang peranan untuk mengunci orang

yang mau bermain atau menyeberang, khususnya dari pihak lawan. Lalu,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 291: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

278

jaranan bongkok itu mengacu pada wujud keterampilan yang dilakukan

untuk membuat jaran (kuda) yang terbuat dari pelepah pohon kelapa. Jirak

lebih mengacu pada bentuk permainannya, yaitu barang siji sing isa

disurak-surak sehingga menjadi permainan jirak. Kasti kalau dari asal

nama tidak jelas, tapi pola permainannya adalah keterampilan untuk

memukul dan menangkap bola yang dilakukan, demikian juga ketika bola

itu harus dilempar pada lawan. Keris janur lebih mengacu pada wujud,

demikian juga dengan kitiran godhong tela, dan kitiran janur, itu juga lebih

mengacu pada bentuk atau wujud dari kitiran yang terbuat dari janur atau

godhong tela. Hal itu juga untuk kupluk godhong, jadi itu mengacu antara

nama permainan dengan wujud fisik (mainan) yang dibuat. Kucing-

kucingan itu karena faktor tembangnya, karena tidak ada yang menjadi

kucing beneran, namun karena tembangnya terkait dengan nama kucing

sehingga dinamakan kucing-kucingan. Layangan itu mengacu pada bentuk

karena ada sosok layangan yang dibuat. Jadi layangan itu juga sebagai

bagian dari keterampilan tangan. Nekeran itu mengacu pada media

mainnya, yang bernama neker. Begitu juga dengan macanan itu karena

dalam permainan tadi akan ada satu macan yang kemudian dikepung oleh

tiga pemainnya untuk bisa berjalan tadi, maka siapa yang akan dimakan

oleh macan itulah sehingga permainan ini dinamakan macanan. Lalu,

untuk pong-pong bolong dan sliring gendhing itu memang kemudian lebih

mengacu pada syair. Ceplokan itu lebih mengacu pada suara yang

dihasilkan dari media (mainan) yang dimainkan. Kalau bekelan itu kan

dari medianya yang berbentuk seperti huruf S itu yang dinamakan bekel.

Bahannya ada yang dari kuningan, ada yang dari timbal. Bekelan dan

nekeran itu kan karena ada sosok nekernya, ada sosok bekelnya, demikian

juga layangan karena ada sosok yang melayang, dan lebih disamakan

dengan keris janur, kitiran janur, kupluk godhong, karena untuk bisa

bermain itu harus dibuat satu media atau wahana yang dihasilkan dari

keterampilan tangan yang dia milliki. Namun, uniknya, tidak hanya di

permainan, tapi misalnya seperti tembang-tembang dolanan itu kadang ora

mulih (tidak nyambung antara wujud yang dimaksud dengan tembangnya).

Misalnya, tembang pendhisil. Nah itu kan kaitan tembangnya itu apa kalau

dipikir tidak nyambung (secara eksplisit). Jadi, kadang memang ada yang

bisa ditunjukkan, misalnya ilir-ilir itu kan jelas dan memiliki hubungan

yang runtut antara kata-katanya. Namun, kata pendhisil dan kata-kata yang

mengikutinya itu tidak jelas. Tembangnya itu memang unik. Tembangnya

itu tidak nyambung dengan hal yang ingin diungkapkan atau dimaksud.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 292: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

279

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 293: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii ABSTRAK Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter

280

BIODATA PENULIS

Markus Jalu Vianugrah lahir di Sleman, Yogyakarta pada tanggal 6 April

1994. Ia mengawali pendidikan formalnya di Taman Kanak-kanak Kanisius

Demangan Baru, Depok, Sleman, Yogyakarta pada tahun 1999. Pendidikan

tingkat sekolah dasar ia tempuh di SD Kanisius Demangan Baru yang menjadi

satu lokasi dengan TK tersebut, dan lulus pada tahun 2006. Kemudian, ia

melanjutkan studinya di SMP Negeri 5 Depok dan taman pada tahun 2009. Lalu,

pendidikan tingkat menengah atas dia tempuh di SMA Negeri 1 Gamping,

Tegalyoso, Banyuraden, Gamping, Sleman, Yogyakarta dan tamat pada tahun

2012.

Setelah menyelesaikan sekolah tingkat menengah atas, ia melanjutkan

studinya di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Jurusan Bahasa dan Seni,

Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia. Lalu, setelah menyelesaikan

skripsinya yang berjudul Komunikasi Fatis dalam Wacana Konsultatif

Pembimbingan Skripsi pada Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia

Semester Genap Tahun Akademik 2015/2016 Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta, dan ia memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Bahasa Sastra

Indonesia. Masa pendidikan S1 tersebut berakhir pada tahun 2016.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI