kajian antropolinguistik nilai-nilai karakter ...repository.usd.ac.id/38215/2/161232019_full.pdfviii...
Embed Size (px)
TRANSCRIPT

KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER
PERMAINAN ANAK TRADISIONAL
DENGAN LATAR BELAKANG KULTUR JAWA
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Magister Pendidikan
Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Magister
Oleh:
MARKUS JALU VIANUGRAH
NIM: 161232019
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA PROGRAM MAGISTER
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2020
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

i
KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK NILAI-NILAI KARAKTER
PERMAINAN ANAK TRADISIONAL
DENGAN LATAR BELAKANG KULTUR JAWA
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Magister Pendidikan
Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Magister
Oleh:
MARKUS JALU VIANUGRAH
NIM: 161232019
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA PROGRAM MAGISTER
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2020
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

iv
MOTTO
Lupakanlah segala sesuatu, peliharalah damai batin, dan arahkan segala adamu
hanya kepada Allah. (Santo Yohanes dari Salib)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

v
PERSEMBAHAN
Karya ini kupersembahan kepada:
Tuhan Yesus dan Bunda Maria,
Bapak Nugroho dan Ibu Suprihatiningsih,
Para rekan dan sahabat yang telah mendukung,
dan Wisma Bahasa
sebagai tanda terima kasihku yang mendalam atas kesempatan dan dukungan
yang selama ini kudapatkan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

viii
ABSTRAK
Vianugrah, Markus Jalu. 2020. Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter
Permainan Anak Tradisional dengan Latar Belakang Kultur Jawa.
Tesis. Yogyakarta: Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, Program Magister, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Permainan anak tradisional merupakan warisan budaya yang hampir
tertelan oleh zaman. Permainan anak tradisional merupakan warisan budaya yang
mengandung nilai-nilai karakter yang sangat berharga. Penelitian ini bertujuan
untuk mengkaji nilai-nilai karakter yang terdapat di dalam permainan anak
tradisional dengan sudut pandang antropolinguistik, jenis-jenis permainan, dan
strategi preservasinya.
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan
pendekatan antropolinguistik. Sumber data penelitian ini adalah tokoh masyarakat
yang peduli terhadap permainan anak tradisional dan dokumen resmi, dengan data
berupa deskripsi dan percakapan etnografis yang di dalamnya mengandung nilai-
nilai karakter, jenis-jenis, dan strategi preservasi permainan. Metode
pengumpulan data menggunakan metode studi dokumen dan simak dengan teknik
sadap dan diikuti dengan teknik lanjutan yang berupa teknik catat, dan metode
cakap dengan teknik pancing dan percakapan etnografis. Analisis data
menggunakan metode padan ekstralingual. Metode itu diterapkan melalui teknik
analisis kontekstual. Metode dan teknik tersebut disejajarkan dengan metode
deskripsi kebudayaan dalam studi etnografi.
Simpulan dari penelitian ini adalah (1) nilai-nilai karakter dalam
permainan anak tradisional yang terdiri dari 16 nilai karakter dalam 24 permainan.
(2) Jenis-jenis permainan yang terdiri dari 4 jenis, yaitu permainan dengan
nyanyian atau dialog, permainan asah fisik, permainan asah otak, dan permainan
keterampilan tangan. (3) Strategi preservasi permainan yang terdiri dari 4 strategi,
yaitu secara pewaris alamiah, ajang kompetisi, sarana teknologi, dan lembaga
pendidikan.
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pengembangan kajian terhadap
bahasa dan relevansinya dengan budaya, terutama dalam lingkup ilmu
antropolinguistik.
Kata kunci: antropolinguistik, nilai karakter, permainan, Jawa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ix
ABSTRACT
Vianugrah, Markus Jalu. 2020. The Anthropolinguistic Study of Traditional
Games’ Character Values in Javanese Culture Background. Thesis.
Yogyakarta: Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Program Magister, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Traditional games is a precious cultural heritage. It is a treasure of
character values. This thesis has studied the character values of the traditional
games, the types, and the preservation strategies.
This is a descritipive qualitative research in anthropolinguistic approach.
This research data source is traditional games activists and the verified
documents, with descriptive dan etnographic speech data. The gathering method
is document analysis and recording of etnographic speech. The data gathering
methods uses listening method and tapping techinque and followed by continous
technique which is taking-notes technique, and conversation method with stimulus
technique. The data analysis uses extralingual unified method to analyze the
extralingual elements, which connects the language matter with things that are
beyond language and the etnographic methods.
The conclusions are (1) 16 character values of 24 games, (2) 4 types of the
games, such as sing along, physical, thingking, dan crafting, (3) 4 kinds of
preservation strategies, such as natural heritage, competitions, technologies, and
educations.
This research is expected to contributes and gives benefits for
anthropolinguistic studies developments and all relevant studies of this discipline.
Keywords: anthropolinguistic, character values, game, Javanese
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

x
KATA PENGANTAR
Penulis memanjatkan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kasih atas
curahan rahmat-Nya sehingga dapat merasakan pertolongan dan kasih-Nya yang
besar. Pertolongan dan kasih itu tercurah melalui sesama penulis, para dosen,
rekan-rekan di Prodi MPBSI, keluarga, dan rekan kerja. Melalui peran sesama
itulah, tugas tesis ini dapat selesai.
Tesis ini berjudul “Kajian Antropolinguistik Nilai-nilai Karakter
Permainan Anak Tradisional dengan Latar Belakang Kultur Jawa” dan merupakan
bentuk penelitian kualitatif etnografi yang ditujukan pada permainan-permainan
anak tradisional yang mengandung nilai-nilai karakter dalam konteks budaya
Jawa. Melalui penelitian tersebut, dapat disusun suatu kajian untuk menjawab
pertanyaan mengenai nilai-nilai karakter, jenis-jenis permainan, dan strategi
preservasi permainan anak tradisional. Penyusunan tesis ini merupakan salah satu
syarat untuk memperoleh gelar magister pendidikan pada Program Studi Magister
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.
Penulis menyadari bahwa selesainya penyusunan tesis ini berkat
dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Secara khusus, penulis mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Dr. Yohanes Harsoyo, S.Pd., M.Si., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum., Ketua Program Studi Magister Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

xi
dosen pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dan mengarahkan
penulis selama penyusunan tesis.
3. Dr. Yuliana Setyaningsih, M.Pd., dosen pembimbing II yang telah
memberikan bimbingan dan mengarahkan penulis selama penyusunan tesis.
4. Dr. Novita Dewi, M.S., M.A. (hons), sebagai triangulator yang telah berkenan
menguji keabsahan kajian yang ditulis.
5. Seluruh dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan
Program Studi Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, baik
langsung maupun tidak langsung, memberikan bimbingan, arahan, dan
dukungan.
6. Keluarga saya, Bapak Petrus Nugroho Nurindwiarto Atmodjo dan Ibu
Theresia Suprihatiningsih, dan Elisabeth Dyah Primaningsih yang mendoakan
dan mendukung saya.
7. Seluruh teman angkatan 2016 MPBSI yang memberikan peneguhan, sapaan,
dan dukungan dalam bentuk apa pun sampai selesainya tesis ini.
8. Staf Perpustakaan Universitas Sanata Dharma yang banyak membantu dalam
penyediaan sarana kepustakaan dan referensi buku selama penulis menyusun
tesis ini.
9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu tetapi banyak
membantu dalam menyelesaikan tesis ini.
Semoga hasil kajian antropolinguistik ini memberikan sedikit bantuan
dalam kegiatan pembelajaran, kajian kebahasaan dan budaya, dan siapa pun yang
menaruh minat terhadap hasil penelitian ini. Penulis menyadari bahwa hasil
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

xii
penelitian ini masih kurang baik. Oleh karena itu, masukan atau saran yang
bersifat membangun, sungguh penulis harapkan. Melalui hasil penelitian yang
masih jauh dari sempurna ini, mendorong adik-adik angkatan mahasiswa di
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, baik jenjang S1 maupun
S2, untuk menghasilkan kajian-kajian baru yang lebih baik.
Yogyakarta, 30 Juli 2020
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... iii
HALAMAN MOTTO ...................................................................................... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................ v
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ......................................... vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ......................... vii
ABSTRAK ...................................................................................................... viii
ABSTRACT ....................................................................................................... ix
KATA PENGANTAR ....................................................................................... x
DAFTAR ISI .................................................................................................. xiii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang Masalah .......................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 5
1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................................... 6
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................... 6
1.5 Batasan Istilah ......................................................................................... 7
1.6 Sistematika Penyajian .............................................................................. 9
BAB II KAJIAN TEORI ................................................................................ 11
2.1 Landasan Teori ........................................................................................ 11
2.1.1 Antropolinguistik ............................................................................ 12
2.1.2 Budaya dan Masyarakat .................................................................. 15
2.1.3 Kultur Masyarakat Yogyakarta sebagai Konteks Budaya ................. 17
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

xiv
2.1.4 Permainan Anak Tradisional sebagai Manifestasi Budaya ............... 20
2.1.5 Nilai Karakter dalam Permainan Anak Tradisional dan Jenisnya ..... 23
2.1.6 Antropolinguistik dalam Kaitannya dengan Konteks Budaya, Nilai
Karakter, dan Permainan Anak Tradisional ..................................... 34
2.1.7 Preservasi Permainan Anak Tradisional Di Era Digital ................... 41
2.2 Kerangka Berpikir ................................................................................... 43
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...................................................... 46
3.1 Jenis Penelitian ........................................................................................ 46
3.2 Data dan Sumber Data ............................................................................. 48
3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data .................................................... 49
3.4 Instrumen Penelitian ................................................................................ 50
3.5 Metode dan Teknik Analisis Data ............................................................ 52
3.6 Triangulasi Data ...................................................................................... 54
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................. 55
4.1 Deskripsi Data ......................................................................................... 55
4.2 Hasil Penelitian ........................................................................................ 61
4.2.1 Nilai-nilai Karakter dalam Permainan Anak Tradisional .................. 61
4.2.1.1 Manusia Harus Hidup sesuai dengan Aturan, Nilai, dan Norma yang
Berlaku di Masyarakat ............................................................................. 62
4.2.1.2 Penghormatan Terhadap Orang Lain Menjadi Tanda bahwa Kita
Menghormati Diri Kita Sendiri ................................................................ 66
4.2.1.3 Manusia Harus Bijaksana dalam Bertindak ................................... 71
4.2.1.4 Manusia Harus Dapat Memusatkan Diri pada Tujuan Hidup yang
Ingin Diraih ............................................................................................. 75
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

xv
4.2.1.5 Tuhan adalah Sosok yang Maha Kuasa ......................................... 81
4.2.1.6 Manusia Harus Dapat Menjalin Persaudaraan Tanpa Pamrih ........ 84
4.2.1.7 Manusia Harus selalu Menjunjung Tatakrama sebagai Makhluk
Sosial ........................................................................................................ 89
4.2.1.8 Tujuan akan Lebih Mudah Dicapai Apabila Kita Saling Membantu 94
4.2.1.9 Manusia Selalu Membutuhkan Proses dalam Mencapai Tujuan .... 98
4.2.1.10 Manusia Harus Jeli dalam Melihat Peluang untuk Meraih Tujuan102
4.2.1.11 Manusia Harus selalu Dapat Beradaptasi dalam Segala Situasi . 106
4.2.1.12 Manusia Harus Memiliki Prinsip Hidup yang Kuat ................... 112
4.2.1.3 Manusia Tidak Perlu Serakah Karena Sudah Memiliki Bagian dan
Peran Masing-masing.............................................................................. 117
4.2.1.14 Manusia Harus Membuang Segala Sifat Buruk Agar Tercipta
Kehidupan yang Harmonis ..................................................................... 122
4.2.1.15 Manusia Harus Dapat Merangkai dan Merencanakan
Kehidupannya Sesuai dengan Kehendak Tuhan ..................................... 126
4.2.1.16 Manusia Perlu Mengendalikan Diri Agar Tidak Terjatuh dan
Mencelakakan Diri Sendiri...................................................................... 130
4.2.2 Jenis-jenis Permainan Anak Tradisional ........................................ 135
4.2.2.1 Permainan dengan Nyanyian atau Dialog ................................... 136
4.2.2.2 Permainan Asah Fisik .................................................................. 141
4.2.2.3 Permainan Asah Otak ................................................................. 148
4.2.2.4 Permainan Keterampilan Tangan ................................................ 156
4.2.3 Strategi Preservasi Permainan Anak Tradisional ............................ 166
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

xvi
4.2.3.1 Preservasi Permainan Anak Tradisional melalui Pewarisan Alamiah 167
4.2.3.2 Preservasi Permainan Anak Tradisional melalui Ajang Kompetisi 175
4.2.3.3 Preservasi Permainan Anak Tradisional melalui Sarana Teknologi 183
4.2.3.4 Preservasi Permainan Anak Tradisional melalui Lembaga
Pendidikan ............................................................................................. 191
4.3. Pembahasan ........................................................................................... 201
4.3.1. Nilai-nilai Karakter dalam Permainan Anak Tradisional ............... 201
4.3.2. Jenis-jenis Permainan Anak Tradisional ........................................ 207
4.3.3. Strategi Preservasi Permainan Anak Tradisional ........................... 209
BAB V PENUTUP ......................................................................................... 229
5.1. Kesimpulan ............................................................................................ 210
5.2. Saran ..................................................................................................... 213
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 234
LAMPIRAN ........................................................................................................
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

1
BAB I
PENDAHULUAN
Bab pendahuluan ini memaparkan latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah, dan sistematika
penyajian. Paparan selengkapnya disampaikan berikut ini.
1.1 Latar Belakang
Permainan anak tradisional merupakan warisan budaya yang hampir
tertelan oleh zaman. Permainan anak tradisional dapat berasal dari berbagai
daerah dengan masing-masing ciri khasnya. Keanekaragaman asal permainan
anak tradisional selalu menunjukkan nilai dan makna dari setiap permainan
sehingga sekaligus dapat menjadi suatu sarana penyaluran nilai yang berlaku
dalam masyarakat setempat, yang artinya juga mengajarkan nilai karakter
(Dharmamulya, dkk 1993). Pengajaran nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat
dan nilai moral dalam setiap permainan yang dilakukan secara tersirat dan
terintegrasi menjadikan permainan tradisional sebagai warisan budaya masyarakat
Indonesia yang tidak boleh dilupakan. Secara khusus, permainan anak tradisional
merupakan warisan budaya masyarakat Indonesia yang sangat berharga karena
memiliki peran penting dalam membentuk karakter generasi muda agar kelak
ketika dewasa memiliki kepribadian yang utuh, luhur, dan mulia. Permainan anak
tradisional dapat dijadikan sebagai sarana pengajaran nilai karakter bagi putera-
puteri bangsa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

2
Permainan anak tradisional dewasa ini sudah semakin dilupakan dan
digantikan oleh berbagai permainan modern. Permainan anak tradisional semakin
tersingkirkan oleh permainan modern sebagai akibat dari perkembangan zaman
yang begitu pesat (Purwaningsih, 2006). Perkembangan zaman yang dimaksud
lebih mengacu pada kemajuan teknologi yang sangat cepat sehingga semakin
banyak sarana teknologi yang diproduksi dan menguasai masyarakat, termasuk
anak-anak. Ditambah pula, produksi alat-alat elektronik, khususnya gadget,
seperti smartphone, tablet, laptop, console game dan berbagai macam peralatan
lainnya semakin marak, dengan tingkat kecanggihan yang juga semakin tinggi.
Berbagai tawaran barang dan jasa yang melibatkan dan memanfaatkan
kecanggihan teknologi menjadi godaan yang sangat besar bagi manusia era saat
ini, khususnya anak-anak untuk selalu menggunakan gawai. Mayoritas anak
zaman sekarang dengan berbagai macam latar belakang mereka masing-masing,
sudah sama-sa ma dikuasai oleh permainan modern itu. Mereka pasti akan
cenderung memilih memainkan permainan modern dari pada permainan anak
tradisional yang sebenarnya justru jauh lebih yang kaya akan nilai-nilai filosofis
yang luhur.
Berdasarkan hal-hal yang telah disampaikan di atas, penulis dapat
mengangkat suatu permasalahan bahwa permainan anak tradisional yang kaya
akan nilai karakter mulai tergeser oleh kemajuan zaman yang ditandai dengan
hadirnya berbagai macam perangkat elektronik di era digital ini. Sebagai contoh
konkrit, dewasa ini anak-anak sudah lebih memilih permainan yang bersifat
individual, seperti permainan yang dioperasikan melalui perangkat elektronik atau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

3
berbagai macam gawai, dari pada permainan anak tradisional yang sebenarnya
justru lebih bermanfaat karena memiliki unsur sosial dan persaudaraan atau nilai-
nilai karakter. Oleh karena itu, permainan anak tradisional semakin ditinggalkan
dari masa ke masa. Rendahnya aktivitas anak terhadap permainan anak tradisional
secara otomatis juga menunjukkan bahwa pendidikan nilai karakter yang berasal
dari warisan budaya itu juga semakin jarang dilaksanakan. Akibatnya, anak-anak
semakin kekurangan “asupan nutrisi karakter” yang bersumber dari permainan
anak tradisional itu. Anak-anak zaman sekarang lebih bangga dengan pencapaian-
pencapaian yang dialami dalam permainan gawai, misalnya skor permainan,
peringkat, frekuensi kemenangan, dan lain-lain. Mereka sudah tidak bangga
dengan ativitas kebudayaan lagi, termasuk permainan anak tradisional dan
mengganggap hal itu sebagai hal yang sudah “ketinggalan zaman”, “jadul”, dan
sebagainya. Hal itu menandakan adanya kelunturan budaya Jawa yang terjadi
sekarang ini.
Dari fenomena tersebut, kajian mengenai nilai-nilai karakter, jenis-jenis,
dan upaya preservasi permainan anak tradisional menjadi sangat penting dan perlu
dilakukan, khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta yang masih kental dengan
unsur budaya, yang perlu terus dilestarikan. Nilai-nilai karakter perlu dikaji
dengan mengidentifikasi permainan-permainan dengan berdasar pada latar
belakang budayanya. Hal itu dapat membangkitkan kembali ingatan masyarakat
dan mengenalkan kembali kepada generasi muda terhadap manfaat dari permainan
anak tradisional. Preservasi permainan anak tradisional juga penting dilakukan
untuk mencegah “kepunahan”nya, termasuk dengan cara yang dapat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

4
menyesuaikan atau mengikuti perkembangan zaman dewasa ini. Maka, preservasi
permainan anak tradisional perlu dirumuskan sesuai dengan perkembangan
zaman. Kajian mengenai nilai-nilai karakter, jenis-jenis, dan preservasi permainan
anak tradisional di era digital ini dapat dilakukan melalui disiplin ilmu
antropolinguistik. Antropolinguistik merupakan ilmu yang mengkaji bahasa
sebagai bagian dari kebudayaan (Duranti, 1997). Oleh karena itu, penelitian ini
mengkaji nilai-nilai karakter permainan anak tradisional dengan latar belakang
kultur Jawa di Yogyakarta dengan tetap memperhatikan dimensi-dimensi yang
mengikutinya, seperti jenis-jenis dan strategi preservasinya.
Duranti (1997) mengungkapkan bahwa kajian antropolinguistik memberi
perhatian pada tiga bidang teoretis, yaitu performansi, indeksikalitas, dan
partisipasi. Permainan anak tradisional merupakan bagian dari budaya. Budaya
mencangkup berbagai aktivitas yang dilakukan secara turun-temurun sebagai
wujud performansi, termasuk aktivitas berkomunikasi (berbahasa – verbal dan
non-verbal) sebagai suatu proses kegiatan, tindakan, dan pertunjukan komunikatif
(Sibarani, 2015). Permainan dilakukan dalam bentuk aktivitas yang konkrit dan
dilakukan secara turun-temurun. Hal itu menunjukkan bahwa aktivitas itu
merupakan bagian dari budaya.
Setiap permainan anak tradisional merupakan wujud kebudayaan yang
ditandai dengan suatu aktivitas yang diberi nama tertentu yang mencerminkan
aktivitas dari permainan itu. Nama yang menunjukkan bentuk permainan
merupakan wujud indeksikalitas. Permainan anak tradisional juga membutuhkan
individu-individu yang melakukan permainan itu. Permainan tidak akan muncul
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

5
atau terjadi tanpa keterlibatan para pemain, dan hal itu menunjukkan dimensi
partisipasi dari para pelaku aktivitas.
Ketiga dimensi tersebut hadir dalam setiap permainan anak tradisional
sebagai hal yang dapat diidentifikasi, saling dikaitkan melalui kacamata
antropolinguistik untuk mengkaji nilai-nilai karakter yang terkandung di dalam
permainan, jenis-jenis, dan bentuk-bentuk upaya preservasi yang dapat dilakukan.
Oleh karena itu, nilai-nilai karakter permainan anak tradisional merupakan hal
yang penting untuk dikaji dengan perspektif antropolinguistik. Penelitian ini
mengkaji nilai-nilai karakter dalam permainan anak tradisional dengan perspektif
disiplin ilmu antropolinguistik untuk mengetahui hubungan antara bahasa dengan
budaya, nilai karakter, dan permainan anak tradisional yang diarahkan untuk
mengkaji nilai-nilai karakter, jenis-jenis, dan bentuk-bentuk upaya preservasinya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah dipaparkan
di atas, maka penulis menyusun rumusan masalah sebagai berikut.
a. Nilai-nilai karakter apa sajakah yang terdapat di dalam permainan anak
tradisional dengan latar belakang kultur Jawa?
b. Jenis permainan anak tradisional apa sajakah yang mengandung nilai-nilai
karakter dengan latar belakang kultur Jawa?
c. Bagaimanakah strategi preservasi permainan anak tradisional yang
mengandung nilai-nilai karakter dengan latar belakang kultur Jawa?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

6
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan di atas, maka
penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut.
a. Mendeskripsikan nilai-nilai karakter yang terdapat di dalam permainan anak
tradisional dengan latar belakang kultur Jawa.
b. Mendeskripsikan jenis permainan anak tradisional yang mengandung nilai-nilai
karakter dengan latar belakang kultur Jawa.
c. Merumuskan strategi preservasi permainan anak tradisional yang mengandung
nilai-nilai karakter dengan latar belakang kultur Jawa.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian tentang kajian antropolinguistik nilai-nilai karakter dalam
permainan anak tradisional dengan latar belakang kultur Jawa di Yogyakarta ini
diharapkan dapat berguna bagi pihak yang membutuhkan. Penulis membagi
manfaat dalam penelitian ini menjadi dua, yaitu manfaat secara teoretis dan
manfaat secara praktis. Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah
sebagai berikut.
a. Manfaat Teoretis
Penelitian ini secara teoretis diharapkan dapat menjadi pengembangan
kajian terhadap bahasa dan relevansinya dengan budaya, terutama dalam lingkup
ilmu antropolinguistik. Penelitian ini dapat menjadi penambah kekayaan kajian
antropolinguistik seiring perkembangan informasi dan temuan-temuan baru dalam
penelitian bahasa dalam kaitannya dengan budaya yang terdapat di dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

7
masyarakat, sebagaimana antropolinguistik merupakan ilmu interdisipliner yang
mengamati bahasa dalam kebudayaan tertentu.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini secara praktis diharapkan dapat menjadi sumber informasi
tentang nilai-nilai karakter yang terkandung di dalam permainan anak tradisional
dan bentuk-bentuk preservasi yang dapat dilakukan. Permainan anak tradisional
merupakan warisan budaya yang harus tetap dipelajari, diingat, dilakukan, dan
dilestarikan agar tidak hilang tertelan oleh zaman.
1.5 Batasan Istilah
Batasan istilah berfungsi untuk membatasi beberapa istilah yang
digunakan dalam penelitian ini. Batasan istilah perlu dipaparkan agar tidak terjadi
penyimpangan pemahaman dalam penafsiran pula. Adapun istilah-istilah yang
perlu dibatasi adalah sebagai berikut.
a. Antropolinguistik
Antropolinguistik merupakan subdisiplin dari ilmu linguistik. Antropolinguistik
merupakan integrasi antara disiplin ilmu linguistik dengan antropologi sehingga
sering disebut dengan istilah linguistik antropologi. Foley (2001) mengemukakan
bahwa linguistik antropologi merupakan subdisiplin dari ilmu linguistik yang
memahami bahasa sebagai bagian dari konteks sosial budaya, perannya dalam
mempengaruhi dan mempertahankan praktek budaya dan struktur sosial.
Antropolinguistik merupakan ilmu yang mengkaji bahasa sebagai bagian dari
kebudayaan sehingga dapat dimanfaatkan bagi penelitian ini untuk memaknai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

8
nilai-nilai karakter dalam permainan anak tradisional berdasarkan latar belakang
budaya Jawa.
b. Permainan
Permainan adalah suatu perbuatan atau kegiatan sukarela, yang dilakukan dalam
batas-batas ruang dan waktu tertentu yang sudah ditetapkan, menurut aturan yang
telah diterima secara sukarela tapi mengikat sepenuhnya, dengan tujuan yang
berasal dari dalam dirinya sendiri, disertai oleh perasaan tegang dan gembira, dan
kesadaran yang “lain dari pada kehidupan sehari-hari” (Huizinga, 1990).
Permainan yang menjadi fokus di dalam penelitian ini adalah permainan anak
tradisional. Permainan anak tradisional adalah suatu bentuk manifestasi budaya
yang dihasilkan oleh masyarakat, khususnya masyarakat Yogyakarta,
sebagaimana hal yang menjadi lingkup dari penelitian ini.
c. Nilai Karakter
Nilai karakter dapat didefinisikan sebagai sifat-sifat yang menyempurnakan
kualitas kepribadian seseorang (KBBI Daring, 2018) yang berdasar pada budi
pekerti (Hidayatullah, 2010) dan norma yang diterima oleh masyarakat (Coon,
2000). Nilai karakter di dalam penelitian ini merupakan nilai karakter yang
ditanamkan bagi anak melalui permainan anak tradisional.
d. Kultur
Kultur merupakan istilah lain dari budaya atau kebudayaan (KBBI Daring, 2018)
yang berarti suatu kebiasaan, aktivitas, atau perilaku yang diwariskan dari suatu
kelompok masyarakat secara turun-temurun. Maka, kultur dalam konteks
penelitian ini mengacu pada latar belakang budaya masyarakat Jawa, khususnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

9
masyarakat Yogyakarta yang menjadi dasar pemaknaan nilai-nilai karakter dalam
permainan anak tradisional.
e. Preservasi
Istilah preservasi merupakan kata serapan yang berasal dari bahasa Inggris, yaitu
preservation. Kata preservasi dalam bahasa Indonesia memiliki arti yang sama
dengan kata asalnya, yaitu pelestarian; pengawetan; pemeliharaan; penjagaan;
perlindungan (KBBI Daring, 2018). Maka, arti yang yang paling tepat dalam
konteks penelitian ini adalah pelestarian. Pelestarian yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah upaya pemertahanan permainan anak tradisional.
1.6 Sistematika Penyajian
Penelitian ini terdiri dari lima bab. Bab I berisi pendahuluan yang terdiri
dari latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, batasan istilah, dan sistematika penyajian. Latar belakang penelitian
mengungkapkan arti penting pelaksanaan dari penelitian ini berdasarkan disiplin
ilmu antropolinguistik. Rumusan masalah berisi pertanyaan berdasarkan
permasalahan tertentu untuk dijawab melalui penelitian ini. Tujuan penelitian
berisi hal-hal yang perlu dipecahkan melalui penelitian ini. Manfaat penelitian
mengungkapkan kegunaan penelitian ini dalam sisi kelimuan maupun fungsinya
secara praktis. Batasan istilah memaparkan pengertian dari setiap istilah yang
digunakan. Sistematika penyajian menggambarkan keseluruhan isi penelitian ini.
Bab II berisi kajian teori yang sesuai dengan topik yang akan dibahas oleh
peneilti dan kerangka berpikir. Bagian kajian teori menguraikan berbagai teori
yang dibutuhkan dalam penelitian. Kerangka berpikir menguraikan alur berpikir
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

10
penulis dalam mengkaji permainan anak tradisional dengan prespektif
antropolinguistik.
Bab III berisi metodologi penelitian. Metode penelitian terdiri dari jenis
penelitian, data dan sumber data, metode dan teknik pengumpulan data, metode
dan teknik analisis data, dan triangulasi data. Jenis penelitian menunjukkan model
penelitian yang dilaksanakan. Data dan sumber data menggambarkan objek
penelitian yang dikaji dan subjek yang menjadi sumber objek kajian itu. Metode
dan teknik pengumpulan data menggambarkan strategi dan cara penulis
mengumpulkan data. Metode dan teknik analisis data menggambarkan strageti
dan cara penulis menganalisis data. Triangulasi data menggambarkan proses
untuk mengesahkan objek kajian.
Bab IV berisi hasil penelitian dan pembahasan. Bab ini memaparkan
deskripsi data, analisis data, dan pembahasan. Deskipsi data menggambarkan
objek yang akan diteliti. Analisis data merupakan tahap identifikasi, pengolahan,
dan mendalami objek kajian berdasarkan teori para ahli dan unsur pembanding.
Pembahasan merupakan tahap menemukan jawaban konkrit berdasarkan analisis
yang telah dilakukan.
Bab V berisi penutup. Bab ini memaparkan kesimpulan dan saran yang
bermanfat bagi pihak lain yang berkaitan dengan penelitian ini. Kesimpulan
menunjukkan jawaban konkrit atas rumusan masalah. Saran memaparkan hal-hal
yang masih perlu ditindaklanjuti dari penelitian yang telah dilakukan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

11
BAB II
KAJIAN TEORI
Bab kajian teori ini memaparkan landasan teori dan kerangka berpikir.
Paparan selengkapnya disampaikan berikut ini.
2.1 Landasan Teori
Bagian ini berisi teori-teori yang akan digunakan dalam mengkaji
permasalahan, sekaligus menunjukkan alur atau jalan pikiran dalam menjawab
masalah dan bagaimana teori-teori yang digunakan itu dikaitkan pada
permasalahan sebagai pisau analisis untuk menjawab permasalahan itu. Landasan
teori ini terintegrasi dengan penelitian yang relevan dengan penelitian ini. Penulis
yang relevan dapat digunakan untuk menunjukkan posisi penulis di antara
penelitian-penelitian yang sejenis, mendukung argumentasi penulis dalam
membahas permasalahan, dan memberi landasan tambahan pada kajian yang
dilakukan oleh penulis.
Peran penelitian yang relevan sebagai penunjuk posisi penelitian yang
dilakukan oleh penulis adalah untuk memberi gambaran persamaan maupun
perbedaan kajian penulis dengan penelitian yang relevan dan menghindari
duplikasi dari penelitian yang relevan. Peran penelitian yang relevan sebagai
pendukung argumentasi penulis dalam membahas permasalahan adalah untuk
memperkuat gagasan penulis dalam mengkaji pemrasalahan yang diangkat. Peran
penelitian yang relevan sebagai pemberi landasan tambahan pada kajian yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

12
dilakukan oleh penulis adalah untuk menjamin keselarasan antara argumentasi
penulis dengan teori dari para ahli.
2.1.1 Antropolinguistik
Antropolinguistik merupakan subdisiplin dari ilmu linguistik.
Antropolinguistik merupakan integrasi antara disiplin ilmu linguistik dengan
antropologi sehingga sering disebut dengan istilah linguistik antropologi. Foley
(2001) mengemukakan bahwa linguistik antropologi merupakan subdisiplin dari
ilmu linguistik yang memahami bahasa sebagai bagian dari konteks sosial budaya,
perannya dalam mempengaruhi dan mempertahankan praktek budaya, dan
struktur sosial. Linguistik antropologi memandang bahasa dengan perspektif
konsep antropologi, kebudayaan, mencari makna di balik sistem kebahasaan yang
digunakan, termasuk bentuk penyalahgunaan atau penyimpangannya, perbedaan
atau variasinya, ragamnya, dan gaya bahasanya.
Ilmu interdisipliner tersebut berusaha mengupas dan menginterpretasi
bahasa untuk menemukan suatu pemahaman budaya tertentu. Hymes (1964)
mendefinisikan antropologi linguistik sebagai studi tentang berbahasa dan bahasa
dalam konteks antropologi. Antropolinguistik membedakan proses berbahasa
(speech) dari bahasa (language) sebagai bagian dari kajian seluk-beluk kehidupan
manusia. Dalam kajian antropolinguistik, proses berbahasa sebagai hakikat bahasa
yang berwujud lisan dan bahasa itu sendiri sebagai alat berbahasa, kedua-duanya
menjadi objek kajian. Dalam hal ini, pembedaan bahasa sebagai performansi dan
bahasa sebagai alat komunikasi menjadi sangat penting. Sebagai bagian dari
performansi komunikasi dan aktivitas sosial, Duranti (1997) mendefinisikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

13
antropologi linguistik sebagai ilmu yang mempelajari bahasa sebagai sumber
budaya dan yang mempelajari aktivitas berbahasa atau berbicara sebagai praktik
budaya. Dalam hal ini, bahasa (language) dianggap menyimpan kebudayaan
sebagai seluk-beluk kehidupan manusia yang paling inti dan berbahasa (speaking)
sebagai performansi aktivitas sosial budaya. Dengan konsep yang hampir sama,
Foley (1997) mengatakan bahwa linguistik antropologi merupakan cabang
linguistik yang berkaitan dengan posisi bahasa dalam konteks sosial dan kultural
yang lebih luas, peran bahasa dalam memadu dan menopang praktik-praktik
kultural dan struktur sosial. Berkaitan dengan hal itu, Sibarani (2015) juga
mengatakan hal yang senada bahwa konsep antropolinguistik ini memandang
bahasa (language) dalam kaitannya dengan konteks sosio-kultural dan bahasa
sebagai proses praktik budaya dan struktur sosial.
Penelitian ini mengkaji suatu hal yang berkaitan erat dengan dimensi
kebudayaan di dalam suatu masyarakat, khususnya masyarakat Jawa. Hal yang
menjadi objek kajian di dalam penelitian ini bahkan tidak hanya berkaitan erat,
namun memang merupakan bagian dari budaya itu sendiri, atau dapat disebut juga
sebagai produk dari suatu kebudayaan. Setiap kebudayaan di dalam suatu
masyarakat tentu memiliki produk atau hasil budaya, salah satunya adalah
permainan anak tradisional. Bentuk-bentuk permainan yang diciptakan oleh suatu
masyarakat itu sendiri menurut Rollings dan Adams (2003) merupakan hal yang
telah lama dilakukan oleh umat manusia yang berhubungan dengan kemampuan
manusia untuk berpura-pura, dalam arti menciptakan aktivitas bermain di dunia
artifisial. Selanjutnya, Imania, Sihombing, dan Mutiaz (2014) mengemukakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

14
bahwa permainan merupakan hasil kebudayaan manusia yang telah ada sejak
lama. Maka, jelas bahwa permainan anak tradisional merupakan produk atau hasil
dari kebudayaan masyarakat.
Setiap produk atau hasil kebudayaan masyarakat, termasuk permainan
anak tradisional, dapat dipastikan selalu memiliki nilai atau makna di balik hal-hal
yang tampak, sebagaimana nilai atau makna tersebut dilandasi oleh norma,
perilaku, ajaran moral, dan keutamaan yang diyakini sebagai hal-hal yang baik
oleh masyarakat. Hal itu dapat dinyatakan demikian karena setiap bentuk
kebudayaan menghasilkan berbagai macam kearifan lokal, salah satunya adalah
hal-hal yang berkaitan dengan kontrol sosial yang berlaku di dalam masyarakat itu
sendiri, seperti aturan atau ajaran moral (Pasaribu, 2013). Hal itulah yang nantinya
akan dikaji di dalam penelitian ini, khususnya nilai-nilai karakter yang dikandung
di dalam permainan anak tradisional.
Kajian itu dapat dilakukan dengan mengamati kaitan antara aktivitas
verbal maupun nonverbal yang ada di dalam setiap permainan dengan latar
belakang budayanya, yaitu Jawa. Hal itu dapat dilakukan dengan menggunakan
ilmu antropolinguistik sebagai dasar untuk menggali makna di balik permainan
anak tradisional itu. Melalui pendekatan antropolinguistik, kita mencermati hal-
hal yang dilakukan oleh manusia dalam konteks permainan anak tradisional
dengan bahasa dan ujaran-ujaran yang diproduksi, seperti nama, syair, dan istilah-
istilah di dalamnya, termasuk bahasa nonverbal seperti sikap diam dan gesture
tertentu yang dihubungkan dengan konteks pemunculannya (Duranti, 2001).
Malinowski (dalam Hymes, 1964) mengemukakan bahwa melalui
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

15
antropolinguistik, kita dapat menelusuri bagaimana bentuk-bentuk linguistik di
dalamnya dipengaruhi oleh aspek budaya, sosial, mental, dan psikologis sehingga
kita dapat memahami hakekat yang sebenarnya dari bentuk dan maknanya serta
bagaimana hubungan keduanya. Penggunaan bahasa dalam berkomunikasi
cenderung dipandang sebagai fungsi kontrol atau suatu tindakan untuk saling
mempengaruhi partisipan dalam suatu pertuturan. Maka, bahasa sangat erat
kaitannya dengan aktivitas yang menyertainya.
2.1.2 Budaya dan Masyarakat
Budaya dan masyarakat merupakan dua hal yang tak terpisahkan. Budaya
dihasilkan dari proses kehidupan masyarakat yang berlangsung dari masa ke
masa, dan masyarakat merupakan penghasil budaya sekaligus kelompok yang
dikendalikan oleh budaya itu sendiri selama kebudayaan itu masih terus menjadi
bagian dari masyarakat itu. Kebudayaan tidak bisa hanya dilihat dari sisi isi
kebudayaan itu sendiri karena keberadaannya tidak terlepas dari banyak faktor
lain sehingga kebudayaan itu ada, berlangsung, dan berkembang. Pasaribu (2013)
menyatakan bahwa satu faktor penting yang berkaitan dengan kebudayaan adalah
masyarakat, tidak akan ada satu kebudayaan tanpa masyarakat, demikian
sebaliknya.. Budaya dan masyarakat merupakan dua hal yang berbeda, namun
saling berkaitan erat satu sama lain.
Istilah budaya memiliki persamaan makna dengan istilah kultur. Kedua
istilah tersebut mengacu pada suatu hal yang sama. Kita dapat menggunakan salah
satu istilah, yaitu budaya. Kita perlu mendalami lebih lanjut mengenai budaya itu
sendiri. Secara harfiah, istilah kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

16
buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau
akal. Demikian kebudayaan itu dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan
budi dan akal (Koentjaraningrat, 1994:9). Mempertegas pendapatnya,
Koentjaraningrat (1990:181) mengemukakan adanya pendapat lain yang
mengupas kata budaya sebagai perkembangan dari majemuk budi-daya, yang
berarti daya dari budi. Maka dari itu, mereka membedakan budaya dari
kebudayaan. Demikianlah budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa
dan rasa itu.
Definisi kebudayaan yang disusun oleh Sir Edward Taylor (Horton,
1996:58; Harsojo, 1988:92; Soekanto, 2003:172) menyebut bahwa kebudayaan
adalah kompleks keseluruhan dari pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral,
hukum, adat istiadat dan semua kemampuan dan kebiasaan yang lain yang
diperoleh oleh seseorang sebagai anggota masyarakat.
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dikemukakan bahwa kebudayaan
adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial oleh para
anggota suatu masyarakat. Hal tersebut dipertegas oleh pendapat Soekanto
(2003:173) yang menyatakan bahwa budaya terdiri dari segala sesuatu yang
dipelajari dari pola-pola perilaku yang normatif, yang mencakup segala cara atau
pola-pola berfikir, merasakan, dan bertindak.
Di sisi lain, Koentjaraningrat (1994:9) mendefinisikan kebudayaan sebagai
keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar,
beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu. Definisi tersebut
menegaskan bahwa dalam kebudayaan mensyaratkan terjadinya proses belajar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

17
untuk mampu memunculkan ide atau gagasan dan karya yang selanjutnya menjadi
kebiasaan. Pembiasaan yang dilakukan melalui proses belajar itu berlangsung
secara terus menerus dari satu generasi kepada generasi berikutnya.
Isitlah masyarakat dapat menunjuk pada suatu kelompok atau komunitas
yang terdiri dari banyak individu. Dalam kaitannya dengan kebudayaan, Pasaribu
(2013) kembali mengemukakan bahwa kebudayaan diperoleh manusia sebagai
anggota masyarakat. Tanpa masyarakat, kemungkinannya sangat kecil untuk
membentuk kebudayaan. Sebaliknya, tanpa kebudayaan, tidak mungkin manusia
(secara individual maupun kelompok) dapat mempertahankan kehidupannya. Jadi,
kebudayaan adalah hampir semua tindakan manusia dalam kehidupan sehari-hari
sehingga kebudayaan dan masyarakat merupakan dua hal yang saling berkaitan
dan tak terpisahkan satu sama lain.
2.1.3 Kultur Masyarakat Yogyakarta sebagai Konteks Budaya
Kultur atau budaya dari masyarakat Jawa di Yogyakarta sangatlah kuat.
Banyak ahli yang mengungkapkan berbagai macam sikap orang Jawa yang
menunjukkan karakteristik budaya orang Jawa. Hal itu dapat menjadi suatu
konteks budaya yang mendasari bentuk-bentuk kehidupan, aturan, norma, dan
karakter masyarakat. Konteks kultur mengacu pada budaya, adat istiadat, latar
belakang zaman dalam komunitas bahasa yang di dalamnya para penutur terlibat
langsung (Song, 2010), untuk memberi nilai pada teks dan mendayakan
penafsirannya (Halliday dan Hasan, 1985). Maka, konteks budaya dalam
kaitannya dengan penelitian ini sangat berguna untuk menemukan jawaban dari
data yang dikaji. Hal itu berkaitan dengan latar belakang sosial budaya dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

18
hubungannya dengan penggunaan bahasa. Setiap anggota komunitas atau
kelompok sosial tidak hanya mengekspresikan, namun mereka juga menciptakan
pengalaman melalui bahasa (Kramsch, 1998). Manusia sebagai kelompok sosial
menggunakan bahasa sebagai media yang mengandung maksud tertentu dan
menggunakannya untuk berkomunikasi dengan yang lainnya. Penggunaan bahasa
memang menjadi penting dan berlatar belakang sosial budaya karena manusialah
yang menciptakannya. Masyarakat menggunakan bahasa untuk berbicara,
menulis, atau membuat media tertentu untuk melihat bahasa itu sendiri dalam
menciptakan maksud yang dapat dimengerti dalam kelompoknya (Kramsch,
1998). Aspek bahasa verbal dan bahasa nonverbal merupakan bentuk realitas
kultur. Maka, budaya dan bahasa saling berkaitan.
Karakter yang dimiliki oleh suatu masyarakat merupakan salah satu hal
yang dapat mencerminkan budaya karena budaya Jawa sangat kental dengan
filosofi karakter atau sikap (Suseno, 1985). Budaya merupakan suatu ekpresi dari
pengajaran nilai-nilai karakter dalam masyarakat yang telah terjadi secara turun-
temurun. Masyarakat Jawa sangat memegang erat filosofi kehidupan, khususnya
nilai karakter atau sikap. Maka, masyrakat Jawa juga memiliki inisiatif atau
kebijaksanaan tertentu dalam mewujudnyatakan pengajaran nilai karakter sejak
dini. Dari penjelasan tersebut, penulis dapat mengaitkannya dengan permainan
anak tradisional, yang artinya masyarakat juga menciptakan dan menggunakan
permainan anak tradisional sebagai salah satu manifestasi budaya yang kaya akan
filosofi karakter. Endraswara (2005) mengungkapkan bahwa budaya Jawa
mengandung filosofi tentang sikap rukun, gotong-royong, dan sopan-santun. Lalu,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

19
Bastomi (1992) mengungkapkan bahwa sikap hidup orang Jawa sangat
menunjung tinggi prinsip kerukunan, saling menghormati, dan santun.
Endraswara dan Bastomi mengungkapkan hal yang hampir sama, dan hal itu
menunjukkan bahwa budaya Jawa sangat kental dengan sikap rukun, hormat,
peduli, dan santun. Poin-poin tersebut menjadi hal yang ternyata mengungkapkan
nilai karakter. Artinya, budaya Jawa sangat memegang teguh nilai karakter yang
mencerminkan sikap-sikap keutamaan manusia. Hal itu diperkuat dengan
pandangan Endraswara (2015) pada kajiannya yang lain mengenai budaya Jawa
bahwa masyarakat Jawa selalu menginternalisasi sistem revolusi sikap mental
yang selalu mengarahkan seseorang untuk menjadi pribadi dengan karakter yang
baik. Sistem revolusi sikap mental itu sendiri menurut hemat penulis sangat
berkaitan erat dengan pengajaran nilai karakter.
Mumfangati (2011) dalam penelitiannya yang berjudul Pendidikan Budi
Pekerti dalam Budaya Jawa: Kajian Terhadap Serat Nitipraja sebagai penelitian
yang relevan dengan penelitian ini mengungkapkan bahwa budaya Jawa juga
selalu memegang teguh prinsip budi pekerti. Secara umum budi pekerti berarti
moral dan kelakuan yang baik dalam menjalani kehidupan. Budi pekerti adalah
tuntunan moral yang paling penting untuk orang Jawa tradisional. Budi pekerti
adalah induk dari segala etika, tatakrama, tatasusila, perilaku baik dalam
pergaulan, pekerjaan, dan kehidupan sehari-hari. Pendidikan budi pekerti adalah
suatu proses pembentukan perilaku atau watak seseorang, sehingga dapat
membedakan hal yang baik dan yang buruk dan mampu menerapkannya dalam
kehidupan. Penelitian Mumfangati tersebut mengkaji Serat Nitipraja sebagai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

20
bagian dari budaya Jawa yang mengandung nilai-nilai karakter dan budi pekerti,
sedangkan penelitian ini mengkaji nilai-nilai karakter permainan anak tradisional
yang juga merupakan bagian dari kebudayaan, khususnya di Yogyakarta yang
juga merupakan suatu sumber nilai karakter. Dari pemaparan-pemaparan di atas,
penulis menyimpulkan bahwa budaya orang Jawa-Yogyakarta memiliki
karakteristik untuk selalu mengarahkan masyarakatnya pada sikap mental yang
baik, bermoral, luhur, dan mulia. Budaya Jawa selalu memandang segala sesuatu
sebagai hal yang dapat mengarahkan seseorang atau masyarakat untuk memiliki
sikap mental yang baik.
2.1.4 Permainan Anak Tradisional sebagai Manifestasi Budaya
Permainan merupakan bagian dari kehidupan manusia sejak kecil hingga
pada masa kehidupannya yang lebih lanjut. Permainan dapat ditemui di seluruh
dunia dan pada berbagai macam kebudayaan, dengan berbagai macam jenisnya
pula. Permainan telah diciptakan oleh masyarakat di dunia dari kebudayaan yang
berbeda-beda sejak dulu kala. Permainan yang telah ada sejak zaman dulu disebut
dengan permainan tradisional, sedangkan permainan yang ada pada masa-masa
sekarang ini disebut permainan elektronik (Yumarlin, 2013). Maka, permainan
tradisional, termasuk untuk anak-anak, sama-sama merupakan bentuk manifestasi
budaya.
Jika ditelusuri lebih lanjut, menurut Huizinga (1990), permainan itu
sendiri pada dasarnya adalah suatu perbuatan atau kegiatan sukarela, yang
dilakukan dalam batas-batas ruang dan waktu tertentu yang sudah ditetapkan,
menurut aturan yang telah diterima secara sukarela tapi mengikat sepenuhnya,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

21
dengan tujuan yang berasal dari dalam dirinya sendiri, disertai oleh perasaan
tegang dan gembira, dan kesadaran yang “lain dari pada kehidupan sehari-hari”.
Sejalan dengan pandangan tersebut, Sadiman (2007) mengungkapkan bahwa
permainan adalah setiap kontes antara para pemain yang berinteraksi satu sama
lain dengan mengikuti aturan-aturan tertentu untuk mencapai tujuan-tujuan
tertentu pula. Setiap permainan harus mempunyai empat komponen utama, yaitu
adanya pemain, adanya lingkungan dimana para pemain berinteraksi, adanya
aturan-aturan main, dan adanya tujuan-tujuan tertentu yang ingin dicapai.
Permainan merupakan suatu bentuk aktivitas yang dipilih atau dilakukan
sendiri tanpa adanya unsur paksaan. Tujuan permainan terletak pada permainan
itu sendiri dan dicapai pada waktu bermain (Khobir, 2009). Permainan adalah
suatu perbuatan yang dilakukan atas kehendak sendiri dengan tujuan untuk
memperoleh kesenangan pada waktu melakukan kegiatan itu. Khobir (2009) juga
menegaskan bahwa permainan merupakan salah satu bentuk aktivitas sosial yang
dominan pada masa anak-anak. Anak menghabiskan lebih banyak waktunya di
luar rumah untuk bermain dengan teman-temannya. Maka, permainan bagi anak-
anak adalah suatu bentuk aktivitas yang menyenangkan yang dilakukan semata-
mata untuk aktivitas itu sendiri. Bagi anak-anak, proses melakukan sesuatu lebih
menarik daripada hasil yang akan didapatkannya (Desmita, 2005). Hirth (1991)
mengungkapkan secara lebih khusus bahwa permainan tradisional merupakan
suatu ekspresi yang dipraktekkan oleh suatu penduduk asli daerah pedesaan.
Permainan menjadi suatu hal yang menjadi bagian dari kehidupan manusia
sejak zaman dahulu kala sampai saat ini dan seterusnya selama manusia ada.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

22
Dengan demikian, permainan juga menjadi bagian dari budaya manusia sehingga
dapat dikatakan bahwa setiap kelompok masyarakat, daerah, dan suku bangsa
dalam kebudayaan mereka masing-masing selalu memiliki permainan menurut
tradisi mereka dalam setiap kelompok budaya. Permainan yang lahir dari hasil
kebudayaan dari suatu kelompok masyarakat disebut juga dengan permainan
tradisional. Pemaknaan penulis atas pendapat ahli tersebut kembali diperkuat oleh
ahli yang sama (Huizinga, 1990) dengan menambahkan bahwa apa yang pada
mulanya merupakan permainan, dikemudian hari berubah menjadi sesuatu yang
bukan lagi permainan dan dapat dinamakan kebudayaan. Maka, permainan
tradisional merupakan suatu bentuk permainan yang dihasilkan dari proses
kebudayaan yang terjadi dalam setiap kelompok masyarakat.
Permainan anak tradisional merupakan hal yang menjadi bagian dari
penelitian ini secara spesifik. Pada bagian atas tadi, penulis menyebutkan
permainan tradisional yang merupakan sebutan suatu permainan yang dihasilkan
dari proses kebudayaan secara umum. Secara khusus, penulis dapat menyebut
permainan anak tradisional agar memiliki batasan yang lebih jelas. Frasa yang
baru tersebut memiliki perbedaan, yaitu adanya kata “anak” yang menjadi bagian
dari istilah dengan tiga kata tersebut. Sebutan permainan anak tradisional
menunjukkan bahwa permainan tradisional itu dimainkan oleh anak-anak. Maka,
bentuk, sifat, dan seluruh karakteristik dalam permainan itu haruslah sesuai
dengan tingkat seluruh karakteristik anak-anak pada umumnya. Menurut
Dharmamulya, dkk (1993), pertumbuhan dan perkembangan inteligensi anak-anak
diwujudkan dalam berbagai bentuk mainan atau permainan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

23
Dengan barang mainan atau dengan cara bermain itu, anak akan dapat
terangsang untuk memperkembangkan dirinya. Hal itu dapat kita lihat dan
terbukti dalam kehidupan sehari-hari, bahwa dalam kehidupan anak-anak, sejak
masih bayi sampai pertumbuhannya yang selanjutnya, perkembangan
kecerdasannya juga dibentuk oleh berbagai mainan atau permainan yang mereka
miliki dan lakukan. Dengan demikian, permainan sudah menjadi bagian
kehidupan sehari-hari setiap anak yang sedang berada dalam proses
pertumbuhannya. Permainan menjadi hal yang sangat penting dalam mengisi
kehidupan anak-anak.
2.1.5 Nilai Karakter dalam Permainan Anak Tradisional dan Jenisnya
Setiap manusia memiliki karakter yang berbeda satu sama lain. Karakter
merupakan suatu hal yang menjadi salah satu permasalahan yang seing
diperhatikan oleh masyarakat, terlebih karena adanya perdedaan itu. Karakter
pada umumnya lebih dikaitkan dengan sifat dan sikap yang baik sebagai
pembentuk kepribadian seseorang. Coon (2000) mendefinisikan karakter sebagai
suatu penilaian subyektif terhadap kepribadian seseorang yang berkaitan dengan
atribut kepribadian yang dapat atau tidak dapat diterima oleh masyarakat.
Karakter adalah jawaban mutlak untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik di
dalam masyarakat. Hidayatullah (2010) menambahkan bahwa karakter adalah
kualitas atau kekuatan mental atau moral, akhlak atau budi pekerti individu yang
merupakan kepribadian khusus yang membedakan dengan individu lain. Istilah
nilai itu sendiri menurut KBBI Daring (2018) mengacu pada sifat-sifat (hal-hal)
yang penting atau berguna bagi kemanusiaan atau sesuatu yang menyempurnakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

24
manusia sesuai dengan hakikatnya. Maka, nilai karakter dapat didefinisikan
sebagai sifat-sifat yang menyempurnakan kualitas kepribadian seseorang yang
berdasar pada budi pekerti dan norma yang diterima oleh masyarakat. Nilai
karakter adalah nilai yang mengajarkan tentang perilaku yang baik dari
kebudayaan tertentu dalam suatu kelompok masyarakat. Hal itu mengindikasikan
bahwa nilai karakter memiliki keterkaitan dengan masyarakat dan tentunya juga
dengan budaya yang dimiliki oleh masyarakat itu.
Sebagaimana hal-hal yang telah disebutkan pada bagian kajian tentang
budaya dan masyarakat, kedua hal tersebut merupakan bagian yang tak
terpisahkan satu sama lain. Budaya ada karena kehadiran masyarakat, dan
masyarakat yang telah ada itu menghasilkan suatu bentuk kebudayaan yang
diturunkan dari generasi ke generasi. Hal itu kembali dipertegas oleh pandangan
Pasaribu (2013) yang menyatakan bahwa satu faktor penting yang berkaitan
dengan kebudayaan adalah masyarakat, tidak akan ada satu kebudayaan tanpa
masyarakat, demikian sebaliknya. Budaya dan masyarakat merupakan dua hal
yang berbeda, namun saling berkaitan erat satu sama lain. Setiap bentuk
kebudayaan menghasilkan berbagai macam kearifan lokal, salah satunya adalah
hal-hal yang berkaitan dengan kontrol sosial yang berlaku di dalam masyarakat itu
sendiri, seperti aturan atau ajaran moral.
Istilah “moral” atau hal yang biasa disebut juga dengan moralitas tentu
saja akan berkaitan langsung dengan etika. Istilah “etika” berasal dari bahasa
Yunani, yaitu “ethos” yang berarti kesediaan jiwa akan kesusilaan (Moekijat,
1995), sedangkan Bertens (1993) menyatakan bahwa etika adalah ilmu tentang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

25
apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Sebutan “adat
kebiasaan” yang melekat pada istilah “etika”, yang juga berkaitan erat dengan
moral atau moralitas di atas menunjukkan keselarasan dengan budaya dan
masyarakat itu sendiri, karena masyarakat adalah kelompok penghasil budaya
yang di dalamnya berisi serangkaian adat kebiasaan yang sudah diwariskan secara
turun-temurun. Berkaitan dengan hal itu, Purwadi (2011) menambahkan bahwa
adat kebiasaan yang didalamnya berisi ajaran moral itu bagi masyarakat Jawa
sering disebut dengan istilah pepali, unggah-ungguh, suba sita, tata krama, tata
susila, sopan santun, budi pekerti, wulang wuruk, pitutur, wejangan, wursita, dan
wewarah.
Dari penelusuran di atas, penulis dapat mengatakan bahwa setiap
kebudayaan menghasilkan produk. Produk kebudayaan itu mengandung muatan
nilai karakter yang senantiasa selalu ditanamkan kepada masyarakat, bahkan sejak
dini. Masyakarat Jawa memiliki berbagai sarana yang dapat digunakan sebagai
alat untuk menanamkan nilai-nilai karakter. Maka, masyarakat Jawa perlu
memiliki strategi khusus agar nilai karakter itu juga bisa ditanamkan pada
generasi muda (anak). Mustika (2013) berpendapat bahwa budaya Jawa dapat
dijadikan wahana pendidikan moral pada anak karena berisi pesan moral yang
baik sehingga dapat difungsikan sebagai pendidikan moral. Beliau menambahkan
bahwa wahana itu dapat berupa bahasa, tata karma, mitos, wayang falsafah,
pakaian adat, dan batik. Lebih lanjut, beliau juga menambahkan bahwa permainan
anak tradisional dapat melahirkan kreativitas, kerja sama, peduli lingkungan,
mandiri, dan bekerja sama. Hal tersebut cukup membuktikan bahwa salah satu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

26
cara yang digunakan oleh masyarakat untuk kepentingan tersebut adalah dengan
menciptakan permainan anak tradisional, yang disisipi dengan nilai-nilai karakter
itu.
Pertumbuhan dan perkembangan inteligensi anak diwujudkan dalam
berbagai bentuk mainan atau permainan. Dengan barang mainan atau dengan cara
bermain itu, anak akan dapat terangsang untuk memperkembangkan dirinya. Hal
itu dapat kita lihat dan terbukti dalam kehidupan sehari-hari, bahwa dalam
kehidupan anak-anak, sejak masih bayi sampai pertumbuhannya yang selanjutnya,
perkembangan karakternya juga dibentuk oleh berbagai mainan atau permainan
yang mereka miliki dan lakukan. Dengan demikian, permainan sudah menjadi
bagian kehidupan sehari-hari setiap anak yang sedang berada dalam proses
pertumbuhannya. Permainan menjadi hal yang sangat penting dalam mengisi
kehidupan anak-anak, terutama permainan anak tradisional yang memiliki fungsi
didaktis bagi anak. Yudiwinata dan Handoyo (2014) dalam penelitian mereka
yang berjudul Permainan Tradisional dalam Budaya dan Perkembangan Anak
sebagai penelitian yang relevan dengan penelitian ini mengungkapkan pernyataan
yang mendukung bahwa permainan anak tradisional menawarkan suatu nilai yang
amat positif bagi anak. Permainan tersebut merupakan warisan budaya yang
sangat bermanfaat bagi anak karena mengajarkan berbagai nilai karakter melalui
aktivitas yang dilakukan. Penelitian Yudiwinata dan Handoyo tersebut mengamati
perkembangan anak ketika melakukan permianan tradisional, sedangkan
penelitian ini mengarah pada kajian nilai karakter dalam permainan anak
tradisional yang berguna bagi perkembangan anak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

27
Kehidupan yang dijalani anak sejak permulaannya membutuhkan suasana
kehidupan yang kental dengan suasana bermain. Berkaitan dengan karakter anak,
hal yang dapat dikaitkan antara nilai karakter dengan permainan anak dapat
diperkuat oleh pendapat Dharmamulya, dkk (1993) yang mengatakan bahwa
dengan bermain, maka si anak secara otomatis akan bergaul dengan teman-teman
sebaya yang lain, yang mungkin memiliki perbedaan latar belakang, pola/gaya
hidup, dan pandangan hidup. Tashadi (1993) menambahkan bahwa permainan
anak tradisional mempunyai fungsi melatih pemainnya melakukan hal-hal yang
akan penting nantinya bagi kehidupan mereka di tengah masyarakat, seperti
melatih kecakapan hitung-menghitung, melatih kecakapan berpikir, melatih
bandel (tidak cengeng), melatih keberanian, melatih bersikap jujur dan sportif,
dan lain-lain. Dari hal-hal tersebut, maka diketahui bahwa secara otomatis pula
anak akan belajar secara karakter melalui sarana permainan yang dijalani bersama
teman-temannya, maupun dalam hal mempelajari permainan-permainan sosial
yang ada, karena bagaimanapun, permainan-permainan sosial yang adalah
permainan anak tradisional itu tetap memiliki nilai karakter yang yang kuat.
Kajian Dharmamulya dkk (1993) kembali menguatkan bahwa permainan
anak tradisional sungguh memiliki maksud yang terkandung di dalamnya yang
bersifat didaktis. Permainan anak tradisional dapat dibagi menurut maksud yang
terkandung di dalamnya, seperti; menirukan suatu perbuatan yang positif, melatih
kekuatan dan kecakapan, melatih panca indera, melatih bahasa, dan melibatkan
gerak lagu dan irama. Lalu, beliau juga menambahkan bahwa permainan anak
tradisional dapat diidentifikasi jenis-jenisnya berdasarkan kategorisasi menurut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

28
pola permainan, seperti; bermain dengan bernyanyi atau dialog, bermain dengan
olah pikir, dan bermain dengan adu ketangkasan.
JSIT (2015) juga memiliki daftar permainan anak tradisional yang dibagi
atas tiga kategori yang menunjukkan sifat didaktis dari setiap permainan. Kategori
tersebut mencangkup permainan asah keterampilan dan kerajinan, asah fisik, dan
asah otak. Kategori permainan asah keterampilan dan kerajinan terdiri dari bandul
sada, cublak-cublak suweng, jamuran, jaranan bongkok, keris janur, kitiran
godhong tela, kitiran janur, kupluk mahkota godhong, layangan, mercon
bumbung, plintheng, dan pong-pong bolong. Kategori permainan asah fisik terdiri
dari bentengan, benthik, dhelikan, angklek, boi boinan, gobag sodor, kasti, lompat
tali, dan ular naga. Kategori permainan asah otak terdiri dari bekelan, dakon, dan
macanan.
Dharmamulya dkk (1993) kembali menambahkan bahwa ada unsur nilai
budaya yang terkandung dalam permainan anak tradisional secara lebih rinci yang
bersifat positif sehingga dapat diarahkan kepada generasi muda dewasa ini sampai
ke depannya dalam mengisi dan mendukung gerak langkah bangsa kita dalam
usaha menuju cita-cita masyarakat adil dan makmur (nilai mulia) seperti;
menumbuhkan rasa senang, kreativitas, pergaulan, demokrasi, perngertian
(bawang kothong - sistem dalam permainan anak tradisional yang memberi status
pada anak yang masih kurang umur dan kemampuan, namun tetap sangat ingin
ikut bermain sehingga diberlakukanlah aturan belum dikenakannya anak itu
terhadap sangsi kalah, maka sistem ini mirip dengan sistem magang jika
dibandingkan dengan dunia kerja orang dewasa), sifat kepemimpinan, rasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

29
tanggung jawab, rasa saling membantu atau saling menjaga, rasa patuh terhadap
peraturan, melatih keseimbangan tubuh atau keterampilan memperkirakan,
melatih kemampuan berhitung, melatih kecakapan berpikir secara tepat atau
intuitif, melatih mental, melatih keberanian, melatih mengenal lingkungan, sifat
jujur dan sportif, dan sopan santun.
Unsur nilai budaya berkaitan erat dengan nilai karakter secara konkrit
yang perlu ditanamkan sejak dini. Kemendiknas (2011) mengidentifikasi nilai
karakter bangsa menjadi 18 nilai, yaitu (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4)
disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin
tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi,
(13) bersahabat/komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli
lingkungan, (17) peduli sosial, dan (18) tanggung jawab. Dalam konteks
permainan anak tradisional, ada beberapa nilai karakter lain selain dari
kedelapanbelas tersebut, namun tetap relevan. Nilai karakter yang akan
dirumuskan berdasar pada teori Dharmamulya (1993) tentang nilai budaya dalam
permainan anak tradisional. Unsur nilai budaya tersebut dapat dirumuskan
menjadi poin-poin nilai karakter oleh penulis melalui tabel yang dipaparkan
berikut ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

30
Tabel 2.1 Perumusan Nilai Karakter Berdasarkan Unsur Nilai Budaya yang
Terkandung dalam Permainan
No. Nilai Budaya (Dharmamulya dkk,
1993)
Rumusan Nilai Karakter
1 Rasa senang Semangat
2 Rasa bebas berkreativitas Kreatif
3 Rasa berteman Bersahabat
4 Rasa demokrasi Demokratis
5 Bawang kothong Toleransi
6 Sifat kepemimpinan Kepemimpinan
7 Penuh tanggung jawab Tanggung jawab
8 Rasa saling membantu dan saling
menjaga
Peduli
9 Rasa patuh terhadap peraturan Disiplin
10 Melatih keseimbangan tubuh dan
keterampilan memperkirakan
Terampil
11 Melatih kemampuan berhitung Cerdas
12 Melatih kecakapan berpikir secara
tepat
Intuitif
13 Melatih mental Kompetitif
14 Melatih keberanian Berani
15 Melatih mengenal lingkungan Sayang lingkungan
16 Sifat sportif Sportif
17 Bertingkah sopan Sopan
Nilai budaya yang terkandung di dalam permainan anak tradisional
berdasarkan pandangan Dharmamulya (1993) menunjukkan hal-hal yang dialami
oleh anak ketika bermain. Hal itu telah berlangsung secara turun-temurun, yang
mana nilai budaya itu tidak dapat disangkal lagi eksistensinya dan perannya bagi
anak-anak. Hal itu menunjukkan indikasi kehadiran konteks budaya (Song, 2010)
dalam permainan anak tradisional. Rumusan nilai karakter berdasarkan
kandungan nilai budaya yang terdapat di dalam permainan anak tradisional
merupakan cermin kebudayaan yang menunjukkan nilai positif di masyarakat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

31
Rasa senang menghasilkan rumusan nilai karakter semangat karena anak
akan merasa bersemangat melalui rasa senang yang mereka alami ketika bermain.
Rasa bebas berkreativitas menghasilkan rumusan nilai karakter kreatif karena
anak akan tergerak untuk menghasilkan sesuatu melalui aktivitas bermain mereka.
Rasa berteman menghasilkan rumusan nilai karakter bersahabat karena anak
secara otomatis akan berinteraksi dan berkomunikasi dengan teman
sepermainannya. Rasa demokrasi menghasilkan rumusan nilai karakter
demokratis karena anak akan berlatih untuk bersikap terbuka atau menerima saran
dari teman dan kesepakatan yang dibuat dalam permainan.
Bawang kothong dalam bahasa Indonesia berarti anak yang dianggap
belum sepenuhnya layak untuk berpartisipasi dalam permainan karena alasan usia
yang masih terlalu kecil, pemahaman yang belum sempurna untuk mengerti
aturan permainan, atau faktor lain. Maka, dalam bahasa Indonesia, istilah tersebut
lebih dikenal dengan sebutan anak bawang. Istilah tersebut menunjukkan bahwa
anak akan berlatih untuk memiliki sikap toleransi kepada teman yang masih kecil
atau belum mengerti aturan permainan yang sedang berlangsung. Hal itu sekaligus
mengajarkan kerukunan antarteman.
Sifat kepemimpinan menghasilkan rumusan nilai karakter kepemimpinan
karena anak juga akan berlatih untuk menjadi seorang pemimpin ketika
mendapatkan tugas sebagai ketua atau pemimpin jalannya permainan. Nilai penuh
tanggung jawab menghasilkan rumusan nilai karakter tanggung jawab karena
anak berlatih untuk menanggung konsekuensi yang diterima sesuai dengan aturan
permainan. Rasa saling membantu dan saling menjaga menghasilkan rumusan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

32
nilai karakter peduli karena permainan seringkali dilakukan secara bersama-sama
sehingga anak akan tergerak untuk saling bekerja sama pada kelompoknya untuk
meraih kemenangan atau mencapai tujuan tertentu. Rasa patuh terhadap peraturan
menghasilkan rumusan nilai karakter disiplin karena anak belajar untuk menaati
peraturan yang berlaku di dalam permainan. Nilai dalam melatih keseimbangan
tubuh dan keterampilan memperkirakan menghasilkan rumusan nilai karakter
terampil karena anak berlatih untuk mengasah keterampilan fisik (berunsur
olahraga) maupun keterampilan tangan (dalam hal kerajinan) sesuai dengan
aktivitas di dalam permainan.
Nilai dalam melatih kemampuan berhitung menghasilkan rumusan nilai
karakter cerdas karena anak terstimulasi untuk berlatih atau menggunakan
kemampuan otaknya ketika bermain. Nilai dalam melatih kecakapan berpikir
secara tepat menghasilkan rumusan nilai karakter intuitif karena anak berlatih
untuk mengasah kemampuan intuisinya (prediksi, perkiraan, dan keputusan secara
tepat) dalam bermain. Nilai dalam melatih mental menghasilkan rumusan nilai
karakter kompetitif karena anak tergerak untuk bersaing secara sehat dalam
usahanya untuk meraih kemenangan atau tujuan tertentu ketika bermain. Nilai
dalam melatih keberanian menghasilkan rumusan nilai karakter berani karena
anak berlatih untuk mengasah keberaniannya ketika melakukan aktivitas yang
menantang di dalam permainan. Nilai melatih mengenal lingkungan menghasilkan
rumusan nilai karakter sayang lingkungan karena pengenalan anak terhadap
lingkungan dapat menstimulasi anak untuk peduli, menjaga, dan memanfaatkan
sumber daya alam secara bijaksana. Sifat sportif menghasilkan rumusan nilai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

33
karakter sportif karena anak berlatih untuk bersikap jujur dan mau menerima
konsekuensi dalam bermain. Nilai bertingkat sopan menghasilkan rumusan nilai
karakter sopan karena anak juga berlaith untuk memiliki sikap sopan santun
ketika bermain, khususnya dalam permainan yang mengandung unsur bermain
peran (role play).
Selain poin-poin di atas, perlu disinggung pula bahwa nilai karakter yang
terkandung dalam permainan anak tradisional berkaitan juga dengan melihat
unsur kognitif, psikomotorik, dan afektif dalam permainan anak tradisional
sebagai unsur edukatif yang terkandung (Ismail, 2012). Maka, jenis-jenis
permainan anak tradisional dapat digolongkan berdasarkan ketiga unsur tersebut
yang dikaitkan dengan pernyataan Dharmamulya (1993) tentang jenis permainan
dan temuan tim penulis JSIT (2015) seperti pemaparan berikut ini.
Tabel 2.2 Penggolongan Jenis Permainan Berdasarkan Pandangan Ahli
No. Unsur
Edukatif
(Ismail, 2012)
Maksud/Tujuan
Permainan
(Dharmamulya, 1993)
Kategori Permainan
(JSIT, 2015)
1 Kognitif Bermain dengan olah
pikir
Permainan asah otak
2 Psikomotorik Bermain dengan adu
ketangkasan
Permainan asah fisik
Permainan keterampilan
tangan
3 Afektif Bermain dengan
bernyanyi atau dialog
Permainan dengan
nyanyian atau dialog
Tabel di atas menunjukkan relevansi dan keselarasan pandangan dan
temuan para ahli di atas. Berdasarkan identifikasi teori dan temuan di atas, penulis
dapat menyimpulkan bahwa permainan anak tradisional terdiri atas tiga jenis,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

34
yaitu (1) permainan asah otak, (2) permainan asah fisik, (3) permainan dengan
nyanyian atau dialog, dan (4) permainan keterampilan tangan.
2.1.6 Antropolinguistik dalam Kaitannya dengan Konteks Budaya, Nilai
Karakter, dan Permainan Anak Tradisional
Antropolinguistik merupakan subdisiplin dari ilmu linguistik.
Antropolinguistik merupakan integrasi antara disiplin ilmu linguistik dengan
antropologi sehingga sering disebut dengan istilah linguistik antropologi. Foley
(2001) mengemukakan bahwa linguistik antropologi merupakan subdisiplin dari
ilmu linguistik yang memahami bahasa sebagai bagian dari konteks sosial budaya,
perannya dalam mempengaruhi dan mempertahankan praktek budaya dan struktur
sosial. Linguistik antropologi memandang bahasa dengan perspektif konsep
antropologi, kebudayaan, mencari makna di balik sistem kebahasaan yang
digunakan, termasuk bentuk penyalahgunaan atau penyimpangannya, perbedaan
atau variasinya, ragamnya, dan gaya bahasanya. Ilmu interdisipliner tersebut
berusaha mengupas dan menginterpretasi bahasa untuk menemukan suatu
pemahaman budaya tertentu.
Kedudukan antopolinguistik dalam penelitian ini memiliki peran yang
sangat penting sehingga dapat dikatakan bahwa disiplin ilmu tersebut memiliki
peran pusat. Nilai karakter yang terkandung dalam permainan anak tradisional
dikaji melalui perspektif antropolinguistik untuk mengetahui permainan-
permainannya dan jenis-jenisnya dengan melihat konteks situasional dan konteks
budaya yang melatarbelakanginya. Selain itu bentuk-bentuk preservasi permainan
anak tradisional juga dikaji dengan dasar perspektif yang sama. Antropolinguistik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

35
itu sendiri merupakan ilmu yang mengkaji bahasa sebagai bagian dari kebudayaan
(Duranti, 1997). Disiplin ilmu tersebut mengamati hubungan antara bahasa
dengan budaya. Bahasa dipandang sebagai bagian dari budaya. Budaya itu sendiri
juga memiliki manifestasi, yang dapat berupa bahasa, aktivitas, aturan, nilai,
norma, sikap, dan sebagainya yang berlaku atau dimiliki oleh suatu kelompok
masyarakat tertentu.
Duranti (1997) mengungkapkan bahwa kajian antropolinguistik memberi
perhatian pada tiga bidang teoretis, yaitu performansi, indeksikalitas, dan
partisipasi. Sibarani (2017) dalam penelitiannya yang berjudul Objek Kajian
Penting dalam Pelestarian Bahasa Ibu sebagai penelitian yang relevan dengan
penelitian ini mengungkapkan bahwa melalui konsep performansi, bahasa
dipahami dalam proses kegiatan, tindakan, dan pertunjukan komunikatif, yang
membutuhkan kreativitas. Penelitian Sibarani tersebut mengamati peran disiplin
antropolinguistik ketika digunakan dalam penelaahan tradisi lisan yang dapat
dilakukan dalam tiga tahap, yaitu mengkaji keterhubungan (interconnection) teks,
ko-teks, dan konteks dalam suatu performansi untuk menemukan struktur,
formula atau pola tradisi lisan. Tahapan berikutnya mengkaji isi tradisi lisan,
yakni kebernilaian (valuability) yang merupakan makna dan fungsi, nilai dan
norma, serta kearifan lokal sebuah tradisi lisan. Tahapan berikutnya mengkaji dan
merumuskan model revitalisasi dan pelestarian tradisi lisan. Berkaitan dengan hal
itu, penelitian ini juga mengamati salah satu bagian dari budaya, yaitu permainan
anak tradisional dengan fokus kajian pada nilai-nilai karakter yang terkandung di
dalamnya. Dalam proses pengkajian nilai karakter, permainan anak tradisional
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

36
tetap perlu diidentifikasi dengan pola yang mirip dengan milik Sibarani di atas.
Dari identifikasi permainan itu, kemudian dikaitkan dengan deskripsi nilai-nilai
karakternya sebagai kajian utama.
Bahasa sebagai unsur lingual yang menyimpan sumber-sumber kultural
tidak dapat dipahami secara terpisah dari pertunjukan atau kegiatan berbahasa
tersebut. Konsep indeksikalitas ini berasal dari pemikiran Pierce (1965 dalam
Foley, 2001) yang membedakan tanda atas tiga jenis yakni indeks (index), simbol
(symbol), dan ikon (icon). Indeks adalah tanda yang mengindikasikan bahwa ada
hubungan alamiah dan eksistensial antara yang menandai dan yang ditandai.
Konsep indeks (indeksikalitas) diterapkan pada ekspresi linguistik seperti
pronomina demonstratif (demonstrative pronouns), pronomina diri (personal
pronouns), adverbia waktu (temporal expressions), dan adverbia tempat (spatial
expressions). Danesi (2004) menambahkan definisi mengenai ketiga jenis tanda
tersebut. Indeks adalah tanda yang mewakili sumber acuan dengan cara menunjuk
padanya atau mengaitkannya (secara eksplisit atau implisit) dengan sumber acuan
lain. Ikon adalah tanda yang mewakili sumber acuan melalui sebuah bentuk
replikasi, simulasi, imitasi, atau persamaan. Sebuah tanda dirancang untuk
mempresentasikan sumber acuan melalui simulasi atau persamaan. Simbol adalah
tanda yang mewakili objeknya melalui kesepakatan atau persetujuan dalam
konteks spesifik. Makna-makna dalam suatu simbol dibangun melalui
kesepakatan sosial atau melalui beberapa tradisi historis. Selanjutnya, konsep
partisipasi memandang bahasa sebagai aktivitas sosial yang melibatkan pembicara
dan pendengar sebagai pelaku sosial (social actors).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

37
Permainan anak tradisional merupakan bagian dari budaya. Budaya
mencangkup berbagai aktivitas yang dilakukan secara turun-temurun sebagai
wujud performansi, termasuk aktivitas berkomunikasi (berbahasa – verbal dan
nonverbal) sebagai suatu proses kegiatan, tindakan, dan pertunjukan komunikatif
(Sibarani, 2015). Permainan dilakukan dalam bentuk aktivitas yang konkrit dan
dilakukan secara turun-temurun. Hal itu menunjukkan bahwa aktivitas itu
merupakan bagian dari budaya.
Setiap permainan anak tradisional merupakan wujud kebudayaan yang
ditandai dengan suatu aktivitas yang diberi nama tertentu yang mencerminkan
aktivitas dari permainan itu. Nama yang menunjukkan bentuk permainan
merupakan wujud indeksikalitas. Permainan anak tradisional juga membutuhkan
individu-individu yang melakukan permainan itu. Permainan tidak akan muncul
atau terjadi tanpa keterlibatan para pemain, dan hal itu menunjukkan dimensi
partisipasi dari para pelaku aktivitas. Ketiga dimensi tersebut hadir dalam setiap
permainan anak tradisional sebagai hal yang dapat diidentifikasi, saling dikaitkan
melalui kacamata antropolinguistik untuk mengkaji nilai-nilai karakter yang
terkandung di dalam permainan dan bentuk-bentuk upaya preservasi yang dapat
dilakukan. Hal itu berkaitan dengan pernyataan Spradley (1980) bahwa kajian
budaya dalam perspektif antropolinguistik atau entolinguistik menggunakan tiga
aspek pengalaman manusia, yaitu apa yang mereka lakukan, apa yang mereka
tahu, dan benda apa yang mereka gunakan dan buat.
Peneltian ini tentu melibatkan konteks dalam proses analisis untuk
menemukan jawaban atas rumusan masalah yang ditetapkan. Sebagaimana hal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

38
yang tampak pada pemaparan di atas, permainan anak tradisional melibatkan
suatu aktivitas yang meliputi bahasa verbal dan nonverbal. Penggunaan bahasa
nonverbal bukan bahasa yang bersifat universal. Bahasa nonverbal terikat dengan
budaya dan konteks. Tiap budaya tentu menampilkan maksud bahasa nonverbal
yang berbeda. Van Dijk (1977) mengatakan konteks aktual berkaitan dengan
periode waktu dan tempat aktivitas penutur dan mitra tutur saling terlibat dalam
interaksi. Hal yang sama oleh Yule (2000), yaitu konteks sebagai lingkungan fisik
ketika kata-kata digunakan. Lingkungan fisik dapat dispesifikan berdasarkan
lingkungan budaya. Lingkungan budaya menjadi salah satu faktor parameter
penggunaan bahasa yang merujuk pada penutur maupun mitra tutur pengguna
bahasa nonverbal. Menurut Cook (2003), komunikasi melibatkan interpretasi
dalam pertemuan nyata, meliputi nada suara dan ekspresi wajah, hubungan antara
para penutur terkait dengan umur, jenis kelamin, status social, waktu dan tempat,
dan tingkatan tindakan penutur yang harus dilakukan ataupun tidak dilakukan
sesuai latar belakang budaya. Beberapa faktor tersebut merupakan konteks.
Lalu, Song (2010) menjabarkan istilah konteks secara lebih spesifik ke
dalam beberapa klasifikasi. (1) Konteks linguistik merujuk pada konteks dengan
wacana, seperti keterkaitan antara kata, frasa, kalimat, bahkan paragraf. Dalam
momen tertentu, bahasa yang digunakan penutur disesuaikan dengan ruang dan
waktu tertentu. (2) Konteks situasional merujuk pada lingkungan, waktu, dan
tempat. (3) Konteks kultur mengacu pada budaya, adat istiadat, latar belakang
zaman dalam komunitas bahasa yang di dalamnya para penutur terlibat langsung.
Bahasa sebagai fenomena sosial yang berarti terikat dengan struktur sosial dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

39
sistem nilai masyarakat. Oleh karena itu, bahasa tidak dapat menghindari
pengaruh faktor-faktor, seperti peran masyarakat, status sosial, jenis kelamin, dan
umur.
Konteks yang dilibatkan dalam penelitian ini berupa konteks budaya.
Konteks kultur mengacu pada budaya, adat istiadat, latar belakang zaman dalam
komunitas bahasa yang di dalamnya para penutur terlibat langsung (Song, 2010),
untuk memberi nilai pada teks dan mendayakan penafsirannya (Halliday dan
Hasan, 1985). Konteks budaya dalam penelitian ini secara khusus mengacu pada
karaktersitik budaya Jawa-Yogyakarta yang mendasari dan turut menentukan
interpretasi data. Konteks budaya perlu dibedakan dari konteks yang terkandung
dalam permainan itu sendiri. Dalam penelitian ini, penulis juga mengidentifikasi
dimensi indeksikalitas, performansi, dan partisipan (Duranti, 1997) dari setiap
permainan anak tradisional. Hal itu juga berkaitan dengan konteks situasional
yang merujuk pada lingkungan, waktu, dan tempat (Song, 2010). Dimensi
performansi dan partisipan dalam permainan anak tradisional sudah mengandung
suatu konteks tertentu melalui aktivitas dan pelaku yang terlibat, yang jika
dikaitkan dengan nama atau sebutan dari permainan itu sendiri akan menyiratkan
suatu pesan. Pesan itu dapat berupa wujud-wujud nilai karakter yang terkandung
di dalamnya.
Berkaitan dengan hal di atas, pengamatan penulis terhadap ketiga dimensi
yang hadir dalam setiap permainan tradisional sebagai bagian dari konteks
situasional itu juga perlu dikaitkan dengan konteks budaya. Seperti hal yang telah
dipaparkan di atas, konteks budaya dalam penelitian ini mengarah pada budaya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

40
Jawa-Yogyakarta, yang mana budaya tersebut memiliki karakteristik untuk selalu
mengarahkan masyarakatnya pada sikap mental yang baik, bermoral, luhur, dan
mulia. Budaya Jawa selalu memandang segala sesuatu sebagai hal yang dapat
mengarahkan seseorang atau masyarakat untuk memiliki sikap mental yang baik.
Pernyataan tersebut merupakan akumulasi dari pandangan para ahli (Suseno,
1985; Endraswara, 2005, 2015; dan Bastomi, 1992). Hal itu dapat dijadikan
sebagai salah satu dasar teori selain dasar teori antropolinguistik seperti yang telah
dikemukakan oleh Duranti (1997) untuk menemukan jawaban atas rumusan
masalah yang telah ditentukan.
Nilai karakter merupakan hal yang dikaji dan diamati dalam penelitian ini
melalui serangkaian proses yang tergambar di atas dengan memposisikan teori-
teori yang digunakan sebagai alat untuk menemukan jawaban. Maka,
antropolinguistik dapat dikaitkan dengan konteks budaya, nilai karakter, dan
permainan anak tradisional. Setiap poin tersebut memiliki posisi yang berbeda,
namun berkaitan satu sama lain. Antropolinguistik merupakan dasar teori yang
mengungkapkan dimensi indeksikalitas, performansi, dan partisipan dalam
permainan anak tradisional. Ketiga dimensi yang teridentifikasi dalam permainan
tersebut kemudian dapat saling dikaitkan dengan konteks budaya yang
berlandaskan teori para ahli untuk mengkaji nilai-nilai karakter yang terkandung
dalam setiap permainan anak tradisional.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

41
2.1.7 Preservasi Permainan Anak Tradisional Di Era Digital
Istilah preservasi merupakan kata serapan yang berasal dari bahasa
Inggris, yaitu preservation. Kata preservasi dalam bahasa Indonesia memiliki arti
yang sama dengan kata asalnya, yaitu pelestarian; pengawetan; pemeliharaan;
penjagaan; perlindungan (KBBI Daring, 2018). Maka, arti yang yang paling tepat
dalam konteks penelitian ini adalah pelestarian. Pelestarian yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah upaya pemertahanan permainan anak tradisional, yang
menjadi salah satu hal yang dikaji. Lalu, digital merupakan kata serapan yang
juga diambil dari bahasa Inggris, yang menurut KBBI Daring (2018) berarti
berhubungan dengan angka-angka untuk sistem perhitungan tertentu. Lalu secara
umum, istilah digital saat ini dimaknai oleh masyarakat kita sebagai suatu hal
yang bersifat elektronik. Digital merupakan suatu isitlah yang mengacu pada
suatu perihal yang berkaitan dengan sifat elektronik, baik dalam hal wujud,
bentuk, fungsi, dan penggunaannya.
Permainan anak tradisional merupakan warisan budaya yang perlu
dilestarikan, terutama karena manfaatnya yang begitu besar bagi anak-anak.
Eksistensi permainan anak tradisional dewasa ini semakin terancam dengan
adanya kemajuan teknologi yang pesat (Purwaningsih, 2006). Hal itu semakin
memperkuat alasan bagi upaya pelestarian permainan anak tradisional. Penelitian
ini selain mengkaji nilai-nilai karakter yang terkandung dalam permainan anak
tradisional melalui perpektif antropolinguistik.
Dewasa ini mulai banyak penelitian tentang pelestarian permainan anak
tradisional. Penelitian-penelitian itu pada umumnya menyinggung upaya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

42
pelestarian dalam konteks era digital. Bentuk-bentuk upaya pelestarian yang dikaji
dan/atau dikembangkan cenderung berunsur “kedigitalan”. Hal itu tampak pada
penelitian Khamadi dan Senoprabowo (2016) yang berjudul Model Adaptasi
Permainan Anak Tradisional Macanan ke dalam Perancangan Permainan
Digital. Penelitian Khamadi, dkk mengembangkan permainan anak tradisional
yang menggunakan papan, seperti bas-basan sepur, dam-daman, dan khususnya
macanan dalam bentuk permainan digital seperti yang dapat dioperasikan di
komputer, laptop, atau telepon genggam (android). Hal itu merupakan bentuk
preservasi permainan anak tradisional di era digital. Berkaitan dengan hal itu,
penelitian ini juga mengkaji bentuk-bentuk preservasi permainan anak tradisional
secara umum maupun secara khusus dalam konteksnya di era digital.
Upaya pelestarian permainan anak tradisional yang menyesuaikan
perkembangan zaman seperti contoh penelitian di atas sangat penting dan
bermanfaat untuk dilakukan, dengan “ikut” memanfaatkan teknologi yang dapat
mengadaptasi konten permainan anak tradisional. Berkaitan dengan hal itu,
Perdana (2013) mengungkapkan bahwa sarana digital akan menjadi sarana yang
sangat baik apabila dikemas dengan wadah yang menarik dan interaktif sehingga
mampu menarik minat dan memberi motivasi kepada anak-anak untuk
menggunakannya. Maka, bentuk-bentuk upaya pelestarian permainan anak
tradisional dengan memanfaatkan teknologi untuk mengembangkan dan
menghasilkan sarana digital dapat menjadi pilihan yang berpotensi atau
menjanjikan sehingga pelestarian warisan budaya tersebut dapat diwujudkan
secara efektif.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

43
2.2 Kerangka Berpikir
Penelitian ini mengkaji nilai-nilai karakter dalam permainan anak
tradisional dengan menggunakan dasar disiplin ilmu antropolinguistik.
Antropolinguistik merupakan dasar teori yang digunakan untuk mengungkapkan
makna atau nilai-nilai karakter yang terkandung di dalam setiap permainan anak
tradisional sebagai hasil dari kebudayaan masyarakat. Permainan anak tradisional
memiliki nilai di balik hal-hal yang tampak, sebagaimana nilai atau makna
tersebut dilandasi oleh norma, perilaku, ajaran moral, dan keutamaan yang
diyakini sebagai hal-hal yang baik oleh masyarakat. Hal itu menjadi bahan kajian
di dalam penelitian ini, khususnya nilai-nilai karakter yang dikandung di dalam
permainan anak tradisional.
Kajian itu dapat dilakukan dengan mengamati kaitan antara aktivitas
verbal maupun nonverbal yang ada di dalam setiap permainan dengan latar
belakang budayanya, yaitu Jawa. Hal itu dapat dilakukan dengan menggunakan
teori antropolinguistik sebagai dasar untuk menggali makna di balik permainan
anak tradisional itu. Melalui teori yang digunakan, penulis mencermati hal-hal
yang dilakukan oleh manusia dalam konteks permainan anak tradisional dengan
bahasa dan ujaran-ujaran yang diproduksi, seperti nama, syair, dan istilah-istilah
di dalamnya, termasuk bahasa nonverbal seperti sikap diam dan gesture tertentu
yang dihubungkan dengan konteksnya. Melalui teori yang digunakan, penulis juga
menelusuri bagaimana bentuk-bentuk linguistik di dalamnya dipengaruhi oleh
aspek budaya, sosial, mental, dan psikologis sehingga kita dapat memahami
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

44
hakekat yang sebenarnya dari bentuk dan maknanya serta bagaimana hubungan
keduanya.
Setelah itu, penulis mengelompokkan setiap permainan berdasarkan jenis-
jenisnya. Pengelompokkan jenis permainan didasarkan pada teori dan temuan
terhadap jenis-jenis permainan yang mana telah dikaji dalam bagian kajian teori
sehingga menunjukkan tiga jenis permainan, yaitu permainan asah otak,
permainan asah fisik, dan permainan dengan nyanyian atau dialog. Permainan-
permainan yang telah dikelompokkan berdasarkan jenisnya akan dikaitkan lagi
dengan nilai-nilai karakter yang terkandung didalamnya.
Selanjutnya, penulis melakukan kajian terhadap percakapan etnografis
tentang bentuk-bentuk upaya preservasi permainan anak tradisional yang
diperoleh dari narasumber. Kajian itu juga didasarkan pada teori mengenai
preservasi permainan anak tradisional.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

45
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir Penelitian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

46
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Bab metodologi penelitian ini akan memaparkan jenis penelitian, data dan
sumber data, metode dan teknik pengumpulan data, metode dan teknik analisis
data, dan triangulasi data. Paparan selengkapnya disampaikan berikut ini.
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan
antropolinguistik. Penelitian kualitatif bersifat deskriptif (Emzir, 2014). Hal itu
dinyatakan bersifat deskriptif karena data yang diteliti merupakan data yang
sifatnya perlu dideskripsikan untuk menguraikan atau menjelaskan setiap
pembahasannya. Data deskriptif berupa data-data yang dikumpulkan dalam
bentuk kata-kata atau gambar-gambar. Kata-kata merupakan hal yang
diorganisasikan dalam peristiwa-peristiwa atau kisah yang konkret dan
mengandung makna yang memberi bukti untuk lebih meyakinkan pembaca dan
penulis lain (Miles dan Huberman, 1994). Penelitian kualitatif cenderung
mengkaji suatu hasil penelitian dengan menggunakan interpretasi kata-kata
sehingga interpretasi tersebut perlu dilakukan secara mendalam dan meyakinkan.
Peran penulis dalam penelitian kualitatif yaitu memperoleh keutuhan temuan
secara sistematis, menyeluruh, dan terpadu (Miles dan Huberman, 1994).
Dalam penelitian ini, penulis mengumpulkan data yang berupa deskripsi
singkat tentang nilai karakter dalam permainan anak tradisional di Yogyakarta dan
deskripsi tentang preservasi permainan untuk menjawab rumusan masalah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

47
Fenomena kebahasaan menjadi objek penelitian kualitatif, seperti peristiwa
komunikasi atau aktivitas berbahasa, karena peristiwa itu melibatkan tuturan,
makna semantik tutur, orang yang bertutur, maksud yang bertutur, situasi tutur,
peristiwa tutur, tindak tutur, dan latar tuturan (Muhammad, 2016). Berkaitan
dengan hal itu, menurut Miles dan Huberman (1994), objek kajian kualitatif
merupakan peristiwa kebahasaan yang dikaji secara holistik. Maka, penelitian
kualitatif memiliki kekuatan terutama dalam pengkajian data secara holistik.
Karakteristik data kualitatif adalah lengkap dan menyeluruh dengan potensi yang
kuat untuk mengungkap kompleksitas. Oleh karena itu, data dalam penelitian
kualitatif mengungkapkan deskripsi padat dan jelas, berdasar dalam konteks yang
nyata, dan memiliki kebenaran yang berdampak kuat pada pembaca.
Pendekatan kualitatif dalam penelitian ini secara spesifik menggunakan
strategi penelitian etnografi. Strategi penelitian merupakan jenis-jenis rancangan
penelitian kualitatif yang menetapkan prosedur-prosedur khusus dalam penelitian
(Creswell, 2015). Karakteristik suatu bahasa sebagai komunikasi dan budaya
menjadi rancangan penelitian etnografi komunikasi. Strategi penelitian etnografi
adalah penulis menyelidiki kelompok tertentu dengan latar belakang sosial budaya
(Creswell, 2015) dengan informasi yang berasal dari manusia dengan berbagai
masalahnya, perhatiannya, dan ketertarikannya (Spradley, 1980). Namun, strategi
tersebut juga perlu dibatasi secara jelas karena penelitian etnografi secara umum
merupakan penelitian yang kompleks dan memakan waktu yang lama dalam
pengumpulan data (Creswell, 2015). Maka, lingkup strategi penelitian ini
mengadaptasi lingkup penelitian micro ethnography yang dibatasi dengan satu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

48
situasi sosial (Spradley, 1980). Spradley (1980) juga menyarankan bahwa
etnografi diselesaikan dengan satu masalah umum dalam pikiran, misalnya untuk
menelusuri pengetahuan kultur masyarakat yang digunakan untuk menyusun
kebiasaan mereka dan mengintepretasikan pengalaman mereka. Dengan demikian,
penelitian ini dapat ditegaskan merupakan penelitian dengan pendekatan kualitatif
yang dideskripsikan secara lengkap dan jelas dengan menggunakan strategi micro
ethnography.
3.2 Data dan Sumber Data
Data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah deskripsi permainan
dan keterangan narasumber mengenai deskripsi latar belakang budaya permainan
beserta strategi preservasinya yang berwujud catatan dokumen untuk deskripsi
dan percakapan etnografis untuk deskripsi latar belakang budaya permainan
beserta strategi preservasinya. Sumber data penelitian ini adalah tokoh masyarakat
yang peduli dengan permainan anak tradisional dan dokumen tertulis atau sumber
pustaka tentang permainan anak tradisional. Sumber data dokumen tertulis
merupakan sumber baku yang telah ditulis dan disebarkan secara resmi dengan
deskripsi yang lengkap dengan dimensi kesejarahannya. Sumber data dokumen
tertulis yang digunakan, yaitu Permainan Anak-anak Daerah Istimewa
Yogyakarta milik Depdikbud (1982), Transformasi Nilai melalui Permainan
Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta milik Dharmamulya (1993), Permainan
Tradisional Jawa millik Dharmamulya (2005), dan Dolanan Anak Jawa milik
JSIT (2015).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

49
3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Pada penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan metode
wawancara dan metode dokumentasi. Menurut Sudaryanto (2015), wawancara
adalah teknik pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan kepada
responden dan mencatat atau merekam jawaban-jawaban responden. Metode
wawancara ini ditujukan untuk tokoh masyarakat yang peduli dengan permainan
anak tradisional di Yogyakarta, melalui teknik rekam dengan menggunakan
ponsel dan teknik catat. Wawancara tersebut dilakukan secara terstruktur karena
penulis sudah menyiapkan daftar pertanyaan untuk responden.
Penulis menggunakan metode dokumentasi untuk mencari dan
mengumpulkan deskripsi tentang berbagai macam permainan anak tradisional di
Yogyakarta dalam penelitian ini. Gottschalk (1986) mengemukakan bahwa
dokumen dapat diartikan sebagai sumber tertulis bagi informasi sejarah sebagai
kebalikan dari pada kesaksian lisan. Guba dan Lincoln (dalam Moleong, 2006)
menambahkan bahwa dokumen adalah semua bahan tertulis atau film yang tidak
dipersiapkan karena adanya permintaan seorang penyidik. Metode dokumentasi,
meski pada mulanya jarang diperhatikan dalam metodologi penelitian kualitatif,
pada masa kini menjadi salah satu bagian yang sangat penting dan tak terpisahkan
dalam metodologi penelitian kualitatif. Hal ini disebabkan oleh adanya kesadaran
dan pemahaman baru yang berkembang pada para peneliti, bahwa banyak sekali
data yang tersimpan dalam bentuk dokumen dan artefak, sehingga penggalian
sumber data lewat studi dokumen menjadi pelengkap bagi proses penelitian
kualitatif. Bahkan Guba (dalam Bungin, 2007) menyatakan bahwa tingkat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

50
kredibilitas suatu hasil penelitian kualitatif sedikit banyaknya ditentukan pula oleh
penggunaan dan pemanfaatan dokumen yang ada.
Penulis menggunakan metode dokumentasi dalam pengumpulan data
dengan menggunakan media cetak. Data hasil dokumentasi digunakan untuk
mendapatkan data sekunder yang relevan dengan topik permasalahan penelitian.
Dokumen sebagai sumber rujukan berupa buku-buku sebagai acuan umum dan
karya-karya ilmiah sebagai acuan khusus. Dalam pelaksanaannya, pertama-tama
penulis melakukan kajian pustaka terhadap sumber-sumber dokumen tertulis
tentang permainan anak tradisional di Yogyakarta. Lalu, penulis mengabjadkan
nama setiap permainan anak tradisional. Selanjutnya, penulis mengidentifikasi
bentuk-bentuk aktivitas dalam setiap permainan. Aktivitas permainan itu dapat
menunjukkan hubungan komunikasi antarindividu atau partisipan. Akhirnya,
penulis mendapatkan identifikasi tentang nama, aktivitas, dan partisipan
permainan, sebagaimana ketiga dimensi tersebut dapat menjadi bahan kajian
dalam penelitian ini melalui pendekatan antropolinguistik dan diperbandingkan
dengan data primer, yaitu deskripsi nilai karakter yang terdapat di dalam
permainan anak tradisional. Proses pengumpulan dokumen dilakukan dengan
menggunakan teknik catat.
3.4 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat pengumpulan data atau alat untuk
memperoleh data. Dengan kata lain, instrumen penelitian adalah fasilitas yang
digunakan oleh penulis dalam mengumpulkan data agar pekerjaan penelitian lebih
mudah dan hasilnya lebih baik sehingga lebih cermat, lengkap, dan sistematis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

51
sehingga mudah diolah (Arikunto, 2010). Dalam penelitian kualitatif, peran
penulis adalah sebagai instrumen. Penulis sebagai instrumen kunci, yaitu
mengumpulkan data yang dapat dilakukan melalui dokumentasi, observasi
perilaku, atau wawancara dengan para partisipan (Creswell, 2015). Penelitian
dengan pendekatan kualitatif ini menjadikan penulis sebagai instrumen kunci (key
instrument) dari proses pengumpulan sampai analisis data. Penulis sebagai human
interest berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih sumber data, melakukan
pengumpulan data, menilai dan menganalisis data, dan membuat kesimpulan.
Karena itu, instrumen kunci penelitian ini adalah penulis sendiri, karena instrumen
atau alat dalam penelitian kualitatif adalah penulis itu sendiri (Sugiyono, 2011).
Selain instrumen kunci, penulis juga menggunakan instrumen
pendukung, yakni interview guide (pedoman wawancara) yang disusun secara
sistematik untuk lebih fokus pada wawancara yang mendalam tentang hal-hal yang
berkaitan dengan fenomena budaya dalam masyarakat, khususnya nilai-nilai karakter
di dalam permainan anak tradisional dan upaya preservasinya. Dalam hal ini,
penulis melakukan wawancara secara mendalam. Proses wawancara ditunjang
dengan media elektronik, seperti kamera, handphone, atau tape recorder, serta
alat tulis untuk mencatat dan mendokumentasikan berbagai hal yang berkaitan
dengan penelitian ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

52
3.5 Metode dan Teknik Analisis Data
Data yang dianalisis berupa deskripsi nilai-nilai karakter yang terdapat
dalam permainan anak tradisional dan deskripsi strategi preservasinya. Deskripsi
nilai karakter ditafsirkan untuk mengetahui permainan-permainan anak tradisional
yang mengandung nilai karakter dan jenis-jenisnya berdasarkan perspektif
antropolinguistik. Analisis data harus menggunakan prosedur-prosedur yang tepat
agar penyajian data tidak bias. Analisis data merupakan proses berkelanjutan yang
membutuhkan refleksi terus-menerus terhadap data, mengajukan pertanyaan-
pertanyaan analitis, dan menulis catatan singkat sepanjang penelitian (Creswell,
2015). Analisis data menggunakan flow model (Miles and Huberman, 1994) yang
terdiri dari reduksi data, penyajian (display) data, dan penggambaran kesimpulan
serta verifikasi. Reduksi data merupakan proses memilih, menyederhanakan,
mengabstraksi, dan mengubah data yang muncul dalam catatan lapangan tertulis
atau transkrip (Miles and Huberman, 1994). Dalam mereduksi data, teknik yang
digunakan adalah teknik kebahasaan, yaitu teknik pilah unsur penentu. Alat teknik
ini kemampuan penulis dalam memilah data (Muhammad, 2016). Dalam memilah
data, tentu penulis perlu memiliki kajian teori yang memadai.
Dalam penelitian ini, data berupa tuturan yang kemudian dipilah unsur-
unsur yang diteliti, yaitu deskripsi nilai-nilai karakter. Oleh karena itu, daya pilah
supaya optimal perlu ada kriteria uraian berupa dimensi-dimensi dalam permainan
anak tradisional yang dipandang dari dimensi indeksikalitas, performansi, dan
partisipan. Kemudian, data disajikan (display). Penyajian adalah sebuah kumpulan
informasi yang terorganisir dan terkompresi yang memungkinkan pengambilan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

53
kesimpulan dan tindakan (Huberman, 1994). Dalam tahap penyajian data, data
yang telah dipilah kemudian dimasukan ke dalam tabel. Hal tersebut sejalan
dengan pernyataan Miles dan Huberman, yaitu desain penyajian ditentukan
melalui baris dan kolom yang dimasukan ke dalam tabel sebagai aktivitas analisis
(Miles and Huberman, 1994). Tahap terakhir analisis data adalah kesimpulan dan
verifikasi. Data yang telah disajikan dengan berbagai aktivitas analisisnya
kemudian ditarik kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan tentu berkaitan dengan
pengumpulan data yang telah direduksi dan disajikan sehingga kesimpulan yang
dibuat merupakan kesimpulan berdasarkan analisis secara induktif (Miles and
Huberman, 1994). Langkah konkret dalam tahap analisisi data dipaparkan sebagai
berikut ini.
1. Identifikasi. Proses identifikasi yang dilakukan dalam analisis data, yaitu data
primer yang masih berupa tuturan-tuturan verbal direduksi menjadi data final
yang berupa deskripsi nilai karakter. Proses reduksi data dilaksanakan setelah
pengumpulan data selesai dilakukan.
2. Klasifikasi. Proses klasifikasi merupakan bagian dari proses penyajian
(display) data. Tahap klasifikasi yang dilakukan adalah data yang berupa
tuturan deskriptif diklasifikasi ke dalam kolom-kolom dalam sebuah tabel.
Kolom tersebut terbagi menjadi tiga yang terdiri dari deskripsi nilai karakter,
permainan-permainan, dan jenis permainan.
3. Interpretasi. Proses interpretasi juga masih bagian dari proses penyajian
(display) data. Tahap interpretasi dilaksanakan setelah tahap klasifikasi
selesai. Data-data yang telah diklasifikasikan sesuai kolom akan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

54
diinterpretasi. Intepretasi cenderung pada proses memberikan penjelasan-
penjelasan yang spesifik dan mendalam terkait dengan masing-masing kolom.
4. Pelaporan hasil penelitian. Proses tersebut merupakan proses penarikan dan
verifikasi kesimpulan.
3.6 Triangulasi Data
Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data dengan
memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data untuk keperluan pengecekan atau
pembandingan terhadap data (Moleong, 1989). Penulis membuat triangulasi
dengan tujuan untuk melakukan pengecekan terhadap validitas dan kepercayaan
hasil penemuan. Triangulasi yang dilakukan penulis dibagi menjadi dua hal, yaitu
triangulasi teori dan triangulasi logis. Triangulasi teori digunakan untuk
membandingkan beberapa teori dari beberapa ahli dengan tujuan melihat
kelebihan dan kekurangan masing-masing. Triangulasi logis dilakukan dengan
cara melakukan bimbingan bersama dosen lain yang juga berkompeten dalam
bidang penelitian budaya dan bahasa sesuai dengan rekomendasi dosen
pembimbing. Dosen yang menjadi triangulator dalam penelitian ini adalah Dra.
Novita Dewi, M.S., M.A. (Hons), Ph.D. sebagai dosen sastra S2 Kajian Bahasa
Inggris di Universitas Sanata Dharma.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

55
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan diuraikan tiga hal, yaitu (1) deskripsi data, (2) hasil
penelitian, dan (3) pembahasan. Bagian deskripsi data memberi gambaran
mengenai data-data yang dianalisis oleh penulis. Bagian hasil penelitian
menyajikan tiga hal pula, yaitu (a) nilai-nilai karakter yang terkandung di dalam
permainan anak tradisional, (b) jenis-jenis permainan anak tradisional yang
mengandung nilai-nilai karakter, dan (c) strategi preservasi permainan anak
tradisional yang mengandung nilai-nilai karakter. Bagian pembahasan
merefleksikan kembali hasil temuan dari penelitian ini.
4.1 Deskripsi Data
Permainan anak tradisional merupakan suatu bentuk aktivitas yang sangat
akrab dengan masyarakat. Permainan anak tradisional merupakan suatu aktivitas
yang dilakukan oleh anak-anak sebagai sarana pendidikan sejak dini yang telah
dirancang oleh masyarakat budaya tertentu sebagai bentuk pendidikan yang alami
atau nonformal, yang berbeda dari bentuk pendidikan yang diberikan secara
formal, seperti di sekolah. Dharmamulya (1993) mengemukakan bahwa
permainan anak tradisional sungguh memiliki maksud yang terkandung di
dalamnya yang bersifat didaktis. Artinya, permainan anak tradisional memang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

56
memiliki tujuan tertentu, khususnya bagi anak-anak, yang mana penulis
merumuskan maksud tersebut sebagai sarana penanaman nilai karakter sejak dini.
Berkaitan dengan hal itu, permainan anak tradisional memiliki kandungan
nilai karakter yang kuat. Hal itu menjadi daya tarik bagi penulis untuk mengamati
nilai-nilai karakter yang terkandung di dalam setiap permainan anak tradisional,
khususnya permainan-permainan yang berada di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Permainan anak tradisional memiliki kaitan yang erat dengan budaya masyarakat
itu sendiri, karena permainan anak tradisional merupakan bagian dari budaya.
Kebudayaan itu sendiri yang dibatasi dalam lingkup budaya Jawa, seperti di
Yogyakarta, tentu memiliki dasar-dasar yang mencerminkan nilai-nilai yang
dianut oleh masyarakat. Keberadaan masyarakat membentuk suatu budaya dan
produk-produk budaya itu juga ditujukan bagi masyarakat itu sendiri,
sebagaimana Samovar (2010) menegaskan bahwa budaya merupakan hasil
pemikiran manusia sebagai makhluk sosial. Lalu, berkaitan dengan hal itu pula,
budaya Jawa sangat memegang nilai-nilai luhur yang sangat kuat mengakar dalam
kehidupan masyarakat sampai saat ini. Suseno (1985) mengungkapkan bahwa
budaya Jawa sangat kental dengan filosofi karakter atau sikap. Hal itu semakin
menguatkan bahwa permainan anak tradisional memiliki nilai karakter yang
substansial, mengingat bahwa permainan itu juga merupakan salah satu produk
dari kebudayaan, khususnya dalam lingkup kebudayaan Jawa.
Permainan anak tradisional memiliki kandungan nilai karakter yang dapat
diamati melalui kerangka disiplin ilmu antropolinguistik yang mengkaji hubungan
antara budaya dengan bahasa. Permainan anak tradisional memiliki nama-nama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

57
yang khas pada setiap permainan itu sendiri. Jika dilihat dari perspektif
antropolinguistik, maka penulis dapat menggunakan pandangan Pierce (1965
dalam Foley, 2001) yang mmebedakan tanda atas tiga jenis, yaitu indeks, simbol,
dan ikon. Permainan anak tradisional memiliki tiga unsur tersebut sehingga dapat
dikaji melalui disiplin ilmu tersebut. Permainan anak tradisional merupakan
bagian dari budaya. Budaya mencangkup berbagai aktivitas yang dilakukan secara
turun-temurun sebagai wujud performansi, termasuk aktivitas berkomunikasi
(berbahasa – verbal dan nonverbal) sebagai suatu proses kegiatan, tindakan, dan
pertunjukan komunikatif (Sibarani, 2015). Permainan dilakukan dalam bentuk
aktivitas yang konkrit dan dilakukan secara turun-temurun. Hal itu menunjukkan
bahwa aktivitas itu merupakan bagian dari budaya. Setiap permainan anak
tradisional merupakan wujud kebudayaan yang ditandai dengan suatu aktivitas
yang diberi nama tertentu yang mencerminkan aktivitas dari permainan itu. Nama
yang menunjukkan bentuk permainan merupakan wujud indeksikalitas. Permainan
anak tradisional juga membutuhkan individu-individu yang melakukan permainan
itu. Permainan tidak akan muncul atau terjadi tanpa keterlibatan para pemain, dan
hal itu menunjukkan dimensi partisipasi dari para pelaku aktivitas. Ketiga dimensi
tersebut hadir dalam setiap permainan anak tradisional sebagai hal yang dapat
diidentifikasi, saling dikaitkan melalui kacamata antropolinguistik untuk mengkaji
nilai-nilai karakter yang terkandung di dalam permainan dan bentuk-bentuk upaya
preservasi yang dapat dilakukan.
Penulis memperlakukan setiap data sesuai dengan regulasi analisis data
kuallitatif, yaitu bahwa pola yang sama dapat dianalisis dengan teknik yang sama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

58
pula. Maka, sesuai dengan tujuan penelitian ini, penulis mendeskripsikan nilai-
nilai karakter yang terdapat di dalam permainan anak tradisional dengan
mengaitkan dimensi atau unsur yang menandai permainan itu berkaitan dengan
dimensi budaya dan bahasanya, yang dalam penelitian ini disebut dengan teknik
pilah unsur tertentu (Sudaryanto, 2015).
Wujud data yang dikaji untuk menjawab rumusan masalah 1 di dalam
penelitian ini berupa deskripsi singkat nilai-nilai karakter yang terkadung di dalam
24 permainan anak tradisional yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Deskripsi singkat tersebut dikutip dari sumber data substansial melalui teknik
wawancara dari 3 narasumber, berdasarkan pertimbangan unsur tanda yang digali
berdasarkan tautan antara nama permainan, aktivitas permainan, dan pelaku
permainan. Kehadiran unsur tanda itulah yang menjadi indikator bagi penulis
untuk menentukan nilai-nilai karakter yang terdapat dalam permainan anak
tradisional. Proses interpretasi dan pemaknaan nilai-nilai karakter di dalam
permainan itu menyertakan penunjang lain yang diperoleh penulis dari percakapan
etnografis dan kajian dokumen yang relevan. Wujud data yang digunakan untuk
menjawab rumusan masalah 2 di dalam penelitian ini berupa deskripsi dari 24
permainan anak tradisional yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta yang
diklasifikasikan berdasarkan jenis permainan menurut teori Dharmamulya (1993),
yaitu permainan asah fisik, permainan asah otak, permainan dengan nyanyian atau
dialog, dan permainan keterampilan tangan. Deskripsi permainan-permainan itu
dikutip dari sumber dokumen yang mencatat hasil eksplorasi permainan anak
tradisional di Yogyakarta. Proses interpretasi dan pemaknaan nilai-nilai karakter
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

59
di dalam permainan itu juga menyertakan penunjang lain yang diperoleh penulis
dari percakapan etnografis dan kajian dokumen yang relevan. Wujud data yang
digunakan untuk menjawab rumusan masalah 3 di dalam penelitian ini berupa
hasil wawancara atau percakapan etnografis yang juga dengan 3 narasumber
berdasarkan cara kerja etnografi komunikasi dan hasil kajian dokumen.
Berdasarkan hasil identifikasi data, penulis memperoleh 66 data yang
mengandung (1) 24 deskripsi permainan anak tradisional, (2) 24 deskripsi latar
belakang budaya yang berkaitan dengan nilai karakter di dalam permainan anak
tradisional, dan (3) 18 keterangan narasumber yang berkaitan dengan jenis dan
strategi preservasi permainan. Data (2) dan (3) merupakan bentuk percakapan
etnografis yang diperoleh dari tiga orang narasumber yang dipercaya oleh
masyarakat sebagai orang-orang yang ahli dalam permainan anak tradisional,
yaitu Andhi Wisnu Wicaksono (43), Sri Kuncara (50), dan Agustinus Sumarsono
(68). Kerangka yang digunakan oleh penulis untuk melakukan klasifikasi data
adalah kerangka teori antropolinguistik yang berkaitan dengan sistem tanda dalam
bahasa untuk menemukan nilai yang paling substantif dalam setiap permainan,
dengan dukungan data dari hasil studi dokumen dan keterangan narasumber yang
bersifat deskriptif dan konfirmatoris. Berikut adalah identifikasi data yang
diperoleh penulis.
Pertama, data 24 deskripsi permainan anak tradisional berisi deskripsi
singkat yang menggambarkan wujud, aktivitas, dan aturan bermain di dalam
setiap permainan. Data tersebut digunakan untuk menjawab rumusan masalah 1
dan 2. Permainan-permainan yang menjadi objek kajian di dalam penellitian ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

60
adalah (1) Ancak-ancak Alis, (2) Bekelan, (3) Betengan, (4) Benthik, (5) Cublak-
cublak Suweng, (6) Dhakon, (7) Dhayoh-dhayohan, (8) Dhelikan, (9) Dhingklik
Oglak-aglik, (10) Ingkling, (11) Gobag Sodor, (12) Jamuran, (13) Jaranan
Bongkok, (14) Jirak, (15) Keris Janur, (16) Kitiran Godhong Tela, (17) Kitiran
Janur, (18) Kucing-kucingan, (19) Kupluk Godhong, (20) Layangan, (21)
Macanan, (22) Plintheng, (23) Pong-pong Bolong, dan (24) Sliring Gendhing.
Kedua, data 24 keterangan narasumber yang menjadi deskripsi latar
belakang budaya yang berkaitan dengan nilai karakter di dalam permainan anak
tradisional berisi percakapan etnografis sebagai dasar-dasar yang menguatkan
bukti kandungan nilai-nilai karakter permainan yang bersifat kultural atas
interpretasi yang dilakukan oleh penulis dalam menggali nilai-nilai yang
tersembunyi. Data tersebut digunakan untuk menjawab rumusan masalah 1.
Deskripsi latar belakang budaya yang diungkapkan oleh para narasumber
mewakili permainan-permainan seperti (1) Ancak-ancak Alis, (2) Bekelan, (3)
Betengan, (4) Benthik, (5) Cublak-cublak Suweng, (6) Dhakon, (7) Dhayoh-
dhayohan, (8) Dhelikan, (9) Dhingklik Oglak-aglik, (10) Ingkling, (11) Gobag
Sodor, (12) Jamuran, (13) Jaranan Bongkok, (14) Jirak, (15) Keris Janur, (16)
Kitiran Godhong Tela, (17) Kitiran Janur, (18) Kucing-kucingan, (19) Kupluk
Godhong, (20) Layangan, (21) Macanan, (22) Plintheng, (23) Pong-pong Bolong,
dan (24) Sliring Gendhing.
Ketiga, data 18 keterangan narasumber yang berkaitan dengan jenis dan
strategi preservasi permainan berisi percakapan etnografis sebagai dasar-dasar
yang menguatkan sekaligus mengungkapkan jenis-jenis dan strategi preservasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

61
permainan anak tradisional. Data tersebut digunakan untuk menjawab rumusan
masalah 2 dan 3.
Data-data dalam penelitian ini selanjutnya dikodifikasi. Kodifikasi data
dalam penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang (1) sumber
data, (2) jenis data, dan (3) urutan data. Sumber data menunjukkan sumber
pemerolehan data, yaitu studi dokumen dan percakapan etnografis. Sumber yang
berasal dari studi dokumen berkode (SD) dan sumber yang berasal dari
percakapan etnografis berkode (PE). Jenis data menunjukkan wujud data yang
dipakai untuk melakukan penelitian, seperti deskripsi permainan, deskripsi latar
belakang budaya, jenis permainan, dan strategi preservasi permainan. Jenis data
yang berupa deskripsi permainan berkode (DP), jenis data yang berupa deskripsi
latar belakang budaya berkode (LB), jenis data yang berupa jenis permainan
berkode (JP), dan jenis data yang berupa strategi preservasi berkode (SP).
Selanjutnya, urutan data menunjukkan urutan letak data di dalam lampiran data.
Urutan data dapat diidentifikasi dari urutan nomor di dalam lampiran tersebut.
4.2 Hasil Penelitian
4.2.1 Nilai-nilai Karakter dalam Permainan
Nilai-nilai karakter dalam permainan yang dimaksud di dalam penelitian
ini merupakan nilai-nilai karakter tersembunyi yang terdapat di dalam setiap
permainan anak tradisional. Hasil identifikasi itu diperoleh penulis melalui
analisis data dalam kerangka antropolinguistik. Pemaparan mengenai nilai-nilai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

62
karakter di dalam setiap permainan dilakukan satu-persatu sebagai nilai karakter
yang paling substantif sebagai berikut.
4.2.1.1 Manusia Harus Hidup sesuai dengan Aturan, Nilai, dan Norma yang
Berlaku di Masyarakat
Nilai karakter yang menyatakan bahwa manusia harus hidup sesuai dengan
aturan, nilai, dan norma yang berlaku di masyarakat terkandung dalam permainan
Ancak-ancak Alis. Permainan Ancak-ancak Alis dimainkan secara bersama-sama
dengan 10-15 anak dan dimainkan dengan cara seperti bermain permainan ular
naga. Dua anak bertugas sebagai petani dan anak yang lain bertugas sebagai
kijang/anak semang. Dua petani tadi saling menempelkan telapak tangan dan
membentuk seperti gapura. Lalu, kijang/anak semang tadi masing-masing berjalan
di antara petani dan berjalan dari yang paling besar dengan saling memegang ikat
pinggang mereka seperti ular naga. Mereka bernyanyi dan ketika lagu sudah
berakhir, mereka melakukan tanya jawab. Jika kijang menjawab pilihan atas alat
bertani dari pertanyaan petani (misalnya garu dari petani A atau luku dari petani
B), maka dia ikut pada salah satu petani yang sesuai dengan jawaban yang
diinginkan. Setelah para petani mendapatkan kijangnya masing-masing dari
proses tanya jawab tadi, maka setiap tim dari kedua petani itu melakukan tarik
tambang untuk saling beradu kekuatan sampai ada salah satu tim yang menang
(SD/DP/1). Data yang menunjukkan deskripsi latar belakang budaya permainan
itu dapat diamati sebagai berikut.
Ancak-ancak Alis memiliki tembang yang menceritakan
tentang kehidupan dan siklus bertani masyarakat Jawa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

63
Kehidupan dan siklus bertani masyarakat Jawa
mencerminkan tatanan aturan tertentu yang dilambangkan
melalui tempat tatakan yang bernama ancak-ancak. Alis itu
sendiri merupakan bagian tubuh manusia yang sepertinya
terlihat sepele, namun dalam hal seni tata rias Jawa, alis
memiliki peran yang sangat penting. Alis menjadi suatu
bagian yang harus ditata rapi, sebagaimana tatanan
kehidupan masyarakat itu dan siklus bertani yang secara
alamiah sudah memiliki tatanan alam sendiri dari proses
menanam sampai dapat mengumpulkan hasilnya yang
tertuang di dalam syairnya sehingga digunakan sebagai
lambang bahwa manusia yang hidup di dalam masyarakat
harus mengikuti suatu tatanan tertentu. (PE/LB/1)
Data di atas dapat memberikan suatu keterangan yang menguatkan
interpretasi penulis dalam menggali nilai-nilai karakter yang tersembunyi di
dalam permainan Ancak-ancak Alis. Permainan tersebut terdiri dari dua kata,
yaitu ancak-ancak (kata ulang) dan alis. Kata ancak-ancak berarti alas, dan kata
alis berarti alis, yaitu rambut yang terletak di bagian atas mata. Data (PE/LB/1)
menyatakan bahwa permainan tersebut menceritakan tentang kehidupan dan
siklus bertani masyarakat Jawa. Siklus bertani tersebut memiliki tatanan yang
diacu melalui tatakan (alas) yang bernama ancak-ancak. Lalu, dalam pandangan
budaya Jawa, alis merupakan bagian tubuh manusia yang tampak tidak mencolok,
namun sebenarnya memiliki peran yang sangat penting, sebagaimana narasumber
mengatakan bahwa alis itu sendiri merupakan bagian tubuh manusia yang
sepertinya terlihat sepele, namun dalam hal seni tata rias Jawa, alis memiliki
peran yang sangat penting. Alis menjadi suatu bagian yang harus ditata rapi, ....
Dari pernyataan tersebut, maka tampak bahwa ada keterkaitan antara kata-kata
yang membentuk nama permainan itu dengan makna yang ada di dalamnya. Kata-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

64
kata yang menjadi nama permainan itu merepresentasikan sesuatu yang menjadi
bagian di dalam suatu kebudayaan. Deskripsi latar belakang budaya permainan
tersebut menunjukkan hal-hal yang menjadi bagian di dalam suatu kebudayaan,
khususnya budaya Jawa. Song (2010) menyatakan bahwa konteks kultur mengacu
pada budaya, adat istiadat, latar belakang zaman dalam komunitas bahasa yang di
dalamnya para penutur terlibat langsung. Hal itu berfungsi untuk memberi nilai
pada teks dan mendayakan penafsirannya (Halliday dan Hasan, 1985).
Dalam permainan itu, penulis menemukan tanda yang mengacu pada
sesuatu dan memiliki makna yang lebih dalam sebagai hal yang dapat
menunjukkan nilai karakter yang tersembunyi di dalam permainan itu. Tanda di
dalam permainan ini dapat menunjuk pada sesuatu yang perlu digali secara lebih
mendalam, sebagaimana Pierce (1965 dalam Foley, 2001) membedakan tanda atas
tiga jenis yakni indeks (index), simbol (symbol), dan ikon (icon). Kata ancak-
ancak dan alis yang terdapat pada nama permainan itu merupakan indeks yang
mengacu pada alas dan bagian tubuh manusia yang perlu ditata rapi. Indeks
adalah tanda yang mewakili sumber acuan dengan cara menunjuk padanya atau
mengaitkannya (secara eksplisit atau implisit) dengan sumber acuan lain (Danesi,
2004). Dari hal itu, penulis dapat menggali makna yang lebih dalam melalui
indeks yang terdapat di dalam permainan itu.
Permainan itu memiliki simbol yang dapat mengungkapkan makna yang
sebenarnya, yang dapat di telusuri melalui indeks yang telah diidentifikasi. Makna
itu dapat disebut sebagai nilai karakter yang tersembunyi. Berdasarkan hasil studi
dokumen dan percakapan etnografis yang dilakukan oleh penulis mengenai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

65
deskripsi permainan dan deskripsi latar belakang budaya permainan, bagian tubuh
yang bernama alis dalam budaya Jawa merupakan bagian tubuh yang perlu ditata
rapi dalam dunia tata rias Jawa. Sebagaimana kita tahu, budaya Jawa memilliki
seni tata rias yang sangat tinggi. Seni tata rias itu memiliki aturan atau tatanan
juga seperti halnya aturan atau tatanan alam di dunia ini, yang di dalam permainan
ini ditunjukkan melalui proses bercocok tanam, yang ditunjukkan oleh “alat
bertani dari pertanyaan petani (misalnya garu dari petani A atau luku dari petani
B), maka dia ikut pada salah satu petani yang sesuai dengan jawaban yang
diinginkan” (SD/DP/1) dan “ancak-ancak Alis memiliki tembang yang
menceritakan tentang kehidupan dan siklus bertani masyarakat Jawa. Kehidupan
dan siklus bertani masyarakat Jawa mencerminkan tatanan aturan tertentu yang
dilambangkan melalui tempat tatakan yang bernama ancak-ancak” (PE/LB/1).
Dengan demikian, hal itu dapat dimaknai bahwa ancak-ancak menjadi simbol
suatu aturan, nilai, dan norma yang berlaku di masyarakat dan alis menjadi simbol
manusia yang hidup di dalam masyarakat sehingga penulis dapat merumuskan
nilai karakter bahwa manusia harus hidup sesuai dengan aturan, nilai, dan norma
yang berlaku di masyarakat. Hal itu selaras dengan pandangan Pierce (dalam
Danesi, 2004) yang mengatakan bahwa simbol adalah tanda yang mewakili
objeknya melalui kesepakatan atau persetujuan dalam konteks spesifik. Makna-
makna dalam suatu simbol dibangun melalui kesepakatan sosial atau melalui
beberapa tradisi historis. Hal itu juga diperkuat oleh keterangan narasumber yang
berkata bahwa alis menjadi suatu bagian yang harus ditata rapi, sebagaimana
tatanan kehidupan masyarakat itu dan siklus bertani yang secara alamiah sudah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

66
memiliki tatanan alam sendiri dari proses menanam sampai dapat mengumpulkan
hasilnya yang tertuang di dalam syairnya sehingga digunakan sebagai lambang
bahwa manusia yang hidup di dalam masyarakat harus mengikuti suatu tatanan
tertentu. (PE/LB/1). Hal itu ditegaskan oleh Suseno (1985) yang mengungkapkan
bahwa budaya Jawa sangat kental dengan filosofi karakter atau sikap. Budaya
Jawa sangat memegang nilai-nilai luhur yang sangat kuat mengakar dalam
kehidupan masyarakat sampai saat ini.
4.2.1.2 Penghormatan Terhadap Orang Lain Menjadi Tanda bahwa Kita
Menghormati Diri Kita Sendiri
Nilai karakter yang menyatakan bahwa penghormatan terhadap orang lain
menjadi tanda bahwa kita menghormati diri kita sendiri terkandung dalam
permainan Bekelan. Permainan Bekelan membutuhkan peralatan yang berupa
sebuah bola bekel/karet dan biji bekel sejumlah 5-10 buah, dan dimainkan oleh 2-
4 anak. Permainan ini dimainkan dengan cara melempar bola ke atas, kemudian
anak mengambil biji bekel satu persatu. Ketika bola memantul ke atas kembali,
anak menangkap bola sambil menggenggam biji bekel tadi. Pemain kalah jika
tidak dapat menangkap bola setelah memantul pertama kali, biji bekel terjatuh
saat menangkap bola, atau menggenggam jumlah biji bekel yang salah karena
tidak sesuai dengan kelipatannya (sesuai peraturan) (SD/DP/2). Data yang
menunjukkan deskripsi latar belakang budaya permainan itu dapat diamati sebagai
berikut.
Bekelan itu memang satu media yang tidak ada
nyanyiannya di sana, jadi murni satu bentuk permainan dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

67
dari permainan bekelan itu, satu sisi yang menarik adalah
bagaimana unsur sportivitas itu kemudian ditanamkan. Jadi
bagaimana kita selaku pribadi bisa ngajeni diri sendiri
dengan kita berlaku jujur, dengan kita bisa ngajeni orang
lain juga, karena tanpa kita bisa meletakkan posisi diri kita,
sesuai dengan apa yang menjadi kodrat kelahiran kita, dan
menghormati orang lain sebagai posisi yang wajib dia
jalankan, kemudian sesuai dengan dharma kehidupannya,
maka tentunya segala sesuatunya tidak akan menjadi
harmonis. Karena bagaimanapun juga, konsep harmoni,
konsep value, itu menjadi salah satu pijakan untuk menuju
kepada masyarakat yang lebih bisa tertata dan sejahtera.
(PE/LB/2)
Data di atas dapat memberikan suatu keterangan yang menguatkan
interpretasi penulis dalam menggali nilai-nilai karakter yang tersembunyi di
dalam permainan Bekelan. Permainan tersebut terdiri dari satu kata, yang berasal
dari kata bekel, yaitu biji bekel yang biasanya terbuat dari kuningan dan mendapat
akhiran –an sebagai tanda bahwa objek tersebut menjadi benda yang dimainkan.
Kata bekelan tidak langsung menunjuk pada indeks, sebagaimana hal yang
didapati dari permainan Ancak-ancak Alis, namun nilai karakter itu dibawa
melalui aktivitasnya, bukan indeks yang langsung dapat menunjuk pada kata-kata
yang terdapat pada nama atau syair lagu permainan. Data (PE/LB/2) menyatakan
bahwa permainan tersebut tidak langsung menunjuk pada objek yang dapat
mengindikasikan adanya suatu nilai karakter, namun dikemas terlebih dahulu
melalui aktivitasnya, sebagaimana narasumber mengatakan bahwa bekelan itu
memang satu media yang tidak ada nyanyiannya di sana, jadi murni satu bentuk
permainan dan dari permainan bekelan itu, satu sisi yang menarik adalah
bagaimana unsur sportivitas itu kemudian ditanamkan. Dari pernyataan tersebut,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

68
maka tampak bahwa ada keterkaitan antara kata yang membentuk nama
permainan itu dengan objek yang dimainkan. Dari aktivitas permainan itu, barulah
penulis dapat menggali makna yang sebenarnya, yaitu melalui sikap sportif dalam
bermain, karena permainan itu tidaklah mudah untuk dimainkan, namun harus
tetap bersikap jujur sesuai aturan yang berlaku. Unsur sportivitas yang menonjol
di dalam permainan itu menggiring pemahaman pada makna kultural. Aktivitas
itu merepresentasikan sesuatu yang menjadi bagian di dalam suatu kebudayaan,
sebagaimana Hymes (1974) mengungkapkan bahwa ends merupakan maksud atau
tujuan dari penutur ketika menggunakan bentuk-bentuk kebahasaannya, act
merupakan tindakan yang dilakukan oleh penutur dalam menggunakan bentuk-
bentuk kebahasaannya, dan instrument merupakan alat yang digunakan oleh
penutur yang menyampaikan maksudnya. Maka, dapat dikatakan bahwa nilai
karakter adalah ends, sportivitas adalah act, dan bekel adalah instrument. Hal itu
juga merupakan bagian dari konteks budaya yang menunjukkan hal-hal yang
menjadi bagian di dalam suatu kebudayaan, khususnya budaya Jawa. Song (2010)
menyatakan bahwa konteks kultur mengacu pada budaya, adat istiadat, latar
belakang zaman dalam komunitas bahasa yang di dalamnya para penutur terlibat
langsung. Hal itu berfungsi untuk memberi nilai pada teks dan mendayakan
penafsirannya (Halliday dan Hasan, 1985).
Dalam permainan itu, penulis menemukan tanda yang mengacu pada
sesuatu dan memiliki makna yang lebih dalam sebagai hal yang dapat
menunjukkan nilai karakter yang tersembunyi di dalam permainan itu. Tanda di
dalam permainan ini dapat menunjuk pada sesuatu yang perlu digali secara lebih
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

69
mendalam, sebagaimana Pierce (1965 dalam Foley, 2001) membedakan tanda atas
tiga jenis yakni indeks (index), simbol (symbol), dan ikon (icon). Kata bekel yang
terdapat pada nama permainan itu merupakan ikon yang mengacu pada media
permainan yang berlu dimainkan secara sportif. Ikon adalah tanda yang mewakili
sumber acuan melalui sebuah bentuk replikasi, simulasi, imitasi, atau persamaan.
Sebuah tanda dirancang untuk mempresentasikan sumber acuan melalui simulasi
atau persamaan (Danesi, 2004). Dari hal itu, penulis dapat menggali makna yang
lebih dalam melalui ikon yang terdapat di dalam permainan itu.
Permainan itu memiliki simbol yang dapat mengungkapkan makna yang
sebenarnya, yang dapat di telusuri melalui ikon yang telah diidentifikasi. Makna
itu dapat disebut sebagai nilai karakter yang tersembunyi. Berdasarkan hasil studi
dokumen dan percakapan etnografis yang dilakukan oleh penulis mengenai
deskripsi permainan dan deskripsi latar belakang budaya permainan, permainan
bekel harus dilakukan secara sportif, walaupun permainan itu tidak mudah untuk
dimainkan. Sikap tersebut menandakan bahwa kita adalah orang yang terhormat,
karena dapat melakukan sportivitas dalam tantangan yang tidak mudah, yang
ditunjukkan oleh “.... satu sisi yang menarik adalah bagaimana unsur sportivitas
itu kemudian ditanamkan. Jadi bagaimana kita selaku pribadi bisa ngajeni diri
sendiri dengan kita berlaku jujur, dengan kita bisa ngajeni orang lain juga,
karena tanpa kita bisa meletakkan posisi diri kita, sesuai dengan apa yang
menjadi kodrat kelahiran kita, dan menghormati orang lain sebagai posisi yang
wajib dia jalankan, kemudian sesuai dengan dharma kehidupannya, maka
tentunya segala sesuatunya tidak akan menjadi harmonis.” (PE/LB/2) dan “Ketika
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

70
bola memantul ke atas kembali, anak menangkap bola sambil menggenggam biji
bekel tadi. Pemain kalah jika tidak dapat menangkap bola setelah memantul
pertama kali, biji bekel terjatuh saat menangkap bola, atau menggenggam jumlah
biji bekel yang salah karena tidak sesuai dengan kelipatannya” (SD/DP/2).
Dengan demikian, hal itu dapat dimaknai bahwa sportivitas dalam bermain bekel
menjadi simbol suatu penghormatan atas diri sendiri sehingga kita dapat
menghormati orang lain. Jika kita dapat menghormati orang lain, artinya kita juga
sudah bisa menghormati diri sendiri dengan berbuat baik, salah satunya
berdasarkan konteks di dalam permainan ini adalah sportivitas. Maka, penulis
dapat merumuskan nilai karakter bahwa penghormatan terhadap orang lain
menjadi tanda bahwa kita menghormati diri kita sendiri. Hal itu selaras dengan
pandangan Pierce (dalam Danesi, 2004) yang mengatakan bahwa simbol adalah
tanda yang mewakili objeknya melalui kesepakatan atau persetujuan dalam
konteks spesifik. Makna-makna dalam suatu simbol dibangun melalui
kesepakatan sosial atau melalui beberapa tradisi historis. Hal itu juga diperkuat
oleh keterangan narasumber yang berkata bahwa kita selaku pribadi bisa ngajeni
diri sendiri dengan kita berlaku jujur, dengan kita bisa ngajeni orang lain juga,
karena tanpa kita bisa meletakkan posisi diri kita, sesuai dengan apa yang
menjadi kodrat kelahiran kita, dan menghormati orang lain sebagai posisi yang
wajib dia jalankan (PE/LB/2). Hal itu ditegaskan oleh Suseno (1985) yang
mengungkapkan bahwa budaya Jawa sangat kental dengan filosofi karakter atau
sikap. Budaya Jawa sangat memegang nilai-nilai luhur yang sangat kuat mengakar
dalam kehidupan masyarakat sampai saat ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

71
4.2.1.3 Manusia Harus Bijaksana dalam Bertindak
Nilai karakter yang menyatakan bahwa manusia harus bijaksana dalam
bertindak terkandung dalam permainan Betengan. Permainan Betengan dimainkan
secara bersama-sama dengan jumlah yang semakin banyak semakin seru.
Permainan ini pada dasarnya merupakan permainan tim yang bertugas untuk
menjaga bentengnya (tiang atau pohon) masing-masing. Setiap pemain
berkewajiban untuk menghabiskan pemain tim lawan untuk dapat membakar
benteng lawan dengan menyentuhnya (tiang atau pohonnya). Apabila benteng
tersentuh, maka tim yang memiliki benteng itu dinyatakan kalah. Cara
menghabiskan pemain tim lawan adalah dengan memancing pemain untuk keluar
benteng sehingga saling mengejar, misalnya pemain tim 1 yang terkena sentuhan
pemain tim 2 langsung menjadi tawanan pada benteng milik pemain tim 1.
Pemain tim 2 tadi dapat dibebaskan dari tawanan dengan sentuhan dari sesama
pemain tim 2 untuk dapat kembali ke bentengnya. Namun, ketika salah satu
benteng lengah atau kurang dijaga, maka lawan dapat membakar benteng itu
untuk mengalahkan tim itu (SD/DP/3). Data yang menunjukkan deskripsi latar
belakang budaya permainan itu dapat diamati sebagai berikut.
Betengan adalah semacam dolanan untuk kita bisa
mempertahankan apa yang menjadi milik kita. Tentunya,
dalam dolanan Betengan, itu kita diajari oleh mbah-mbah
kita dulu secara langsung atau tidak langsung bagaimana
kita mempertahankan diri dan bagaimana kita
mengekspansi. Kenapa seperti itu? Kenapa kita harus
bertahan? Dan kenapa kita mengekspansi istilahnya kalau
orang Jawa dulu ngelar jajahan? Bukan berarti kita
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

72
menjajah orang lain, tidak, akan tetapi kemudian
bagaimana kita bisa tahu terhadap dunia luar. Kita bisa
paham terhadap kalau misalnya, sekarang ada kebijakan
analisis SWOT. Bagaimana kemudian, ini ancamannya di
mana, potensinya di mana, apa yang menjadi kekuatan
kita, apa yang menjadi kelemahan kita, itu ada dalam
dolanan Betengan. (PE/LB/3)
Data di atas dapat memberikan suatu keterangan yang menguatkan
interpretasi penulis dalam menggali nilai-nilai karakter yang tersembunyi di
dalam permainan Betengan. Permainan tersebut terdiri dari satu kata, yang berasal
dari kata beteng yang berarti benteng pertahanan dan mendapat akhiran –an
sehingga berarti sebagai bermain seolah-olah mempertahankan benteng atau
daerah kekuasaan, sesuai dengan data yang telah dipaparkan. Data (PE/LB/3)
menyatakan bahwa permainan tersebut dilakukan dengan mempertahankan hak
yang menjadi milik kita, yang ditunjukkan dengan adanya benteng pada setiap
regu. Lalu, dalam sejarah Indonesia yang tentu juga mempengaruhi budaya Jawa,
situasi penjajahan memberi gambaran kepada rakyat Indonesia pada saat itu
bahwa penjajah dan kita sendiri memiliki benteng-benteng untuk berebut dan
mempertahankan kekuasaan, sebagaimana narasumber mengatakan bahwa
bagaimana kita mempertahankan diri dan bagaimana kita mengekspansi. Dari
pernyataan tersebut, maka tampak bahwa ada keterkaitan antara kata yang
membentuk nama permainan itu dengan makna yang ada di dalamnya. Kata-kata
yang menjadi nama permainan itu merepresentasikan sesuatu yang menjadi
bagian di dalam suatu kebudayaan. Deskripsi latar belakang budaya permainan
tersebut menunjukkan hal-hal yang menjadi bagian di dalam suatu kebudayaan,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

73
khususnya budaya Jawa. Song (2010) menyatakan bahwa konteks kultur mengacu
pada budaya, adat istiadat, latar belakang zaman dalam komunitas bahasa yang di
dalamnya para penutur terlibat langsung. Hal itu berfungsi untuk memberi nilai
pada teks dan mendayakan penafsirannya (Halliday dan Hasan, 1985).
Dalam permainan itu, penulis menemukan tanda yang mengacu pada
sesuatu dan memiliki makna yang lebih dalam sebagai hal yang dapat
menunjukkan nilai karakter yang tersembunyi di dalam permainan itu. Tanda di
dalam permainan ini dapat menunjuk pada sesuatu yang perlu digali secara lebih
mendalam, sebagaimana Pierce (1965 dalam Foley, 2001) membedakan tanda atas
tiga jenis yakni indeks (index), simbol (symbol), dan ikon (icon). Kata beteng
yang terdapat pada nama permainan itu merupakan indeks yang mengacu pada
benteng pertahanan dari setiap regu. Tanda tersebut merupakan indeks karena di
dalam permainan itu tidak ada wujud benteng secara konkrit, namun hanya
ditandai dengan sesuatu yang cukup menunjukkan batas-batas benteng setiap
regu, sebagaimana dinyatakan bahwa indeks adalah tanda yang mewakili sumber
acuan dengan cara menunjuk padanya atau mengaitkannya (secara eksplisit atau
implisit) dengan sumber acuan lain (Danesi, 2004). Dari hal itu, penulis dapat
menggali makna yang lebih dalam melalui indeks yang terdapat di dalam
permainan itu.
Permainan itu memiliki simbol yang dapat mengungkapkan makna yang
sebenarnya, yang dapat di telusuri melalui indeks yang telah diidentifikasi. Makna
itu dapat disebut sebagai nilai karakter yang tersembunyi. Berdasarkan hasil studi
dokumen dan percakapan etnografis yang dilakukan oleh penulis mengenai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

74
deskripsi permainan dan deskripsi latar belakang budaya permainan, benteng itu
harus dipertahankan dengan sangat hati-hati, penuh kewaspadaan, dan penuh
pertimbangan, yang ditunjukkan oleh “Kenapa kita harus bertahan? Dan kenapa
kita mengekspansi istilahnya kalau orang Jawa dulu ngelar jajahan? Bukan
berarti kita menjajah orang lain, tidak, akan tetapi kemudian bagaimana kita bisa
tahu terhadap dunia luar. Kita bisa paham terhadap kalau misalnya, sekarang
ada kebijakan analisis SWOT. Bagaimana kemudian, ini ancamannya di mana,
potensinya di mana, apa yang menjadi kekuatan kita, apa yang menjadi
kelemahan kita, itu ada dalam dolanan Betengan.” (PE/LB/3) dan “Permainan ini
pada dasarnya merupakan permainan tim yang bertugas untuk menjaga
bentengnya (tiang atau pohon) masing-masing. Setiap pemain berkewajiban
untuk menghabiskan pemain tim lawan untuk dapat membakar benteng lawan
dengan menyentuhnya (tiang atau pohonnya). Apabila benteng tersentuh, maka
tim yang memiliki benteng itu dinyatakan kalah. Cara menghabiskan pemain tim
lawan adalah dengan memancing pemain untuk keluar benteng sehingga saling
mengejar” (SD/DP/3). Dengan demikian, hal itu dapat dimaknai bahwa beteng
menjadi simbol suatu suatu hal yang perlu dijaga dengan penuh kehati-hatian dan
penuh pertimbangan karena sebagaimana keterangan narasumber mengatakan
bahwa kita harus mengetahui kelebihan, kelemahan, dan potensi (PE/LB/3) yang
ada agar tidak salah dalam memutuskan sesuatu dengan konsekuensi kalah
(gagal). Hal itu memerlukan sikap bijaksana, karena sikap-sikap tersebut
mencerminkan kebijaksanaan. Maka, penulis dapat merumuskan nilai karakter
bahwa manusia harus bijaksana dalam bertindak. Hal itu selaras dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

75
pandangan Pierce (dalam Danesi, 2004) yang mengatakan bahwa simbol adalah
tanda yang mewakili objeknya melalui kesepakatan atau persetujuan dalam
konteks spesifik. Makna-makna dalam suatu simbol dibangun melalui
kesepakatan sosial atau melalui beberapa tradisi historis. Hal itu juga diperkuat
oleh keterangan narasumber yang berkata bahwa kita bisa paham terhadap kalau
misalnya, sekarang ada kebijakan analisis SWOT. Bagaimana kemudian, ini
ancamannya di mana, potensinya di mana, apa yang menjadi kekuatan kita
(PE/LB/3). Hal itu ditegaskan oleh Suseno (1985) yang mengungkapkan bahwa
budaya Jawa sangat kental dengan filosofi karakter atau sikap. Budaya Jawa
sangat memegang nilai-nilai luhur yang sangat kuat mengakar dalam kehidupan
masyarakat sampai saat ini.
4.2.1.4 Manusia Harus Dapat Memusatkan Diri pada Tujuan Hidup yang
Ingin Diraih
Nilai karakter yang menyatakan bahwa manusia harus dapat memusatkan
diri pada tujuan hidup yang ingin diraih terkandung dalam permainan Benthik dan
Jirak. Permainan Benthik dimainkan secara bersama-sama dengan 6-12 anak.
Permainan ini pada dasarnya melempar, menangkap, dan memukul batang kayu
dengan baik dan tepat sebagai salah satu faktor kunci kemenangan. Anak-anak
bermain di sebuah tanah lapang yang terbagi atas dua tim, yaitu tim penjaga dan
tim penyerang yang dapat ditentukan melalui undi, yaitu pingsut. Tim penyerang
bertugas memukul dan melempar batang kayu pendek dengan batang kayu yang
lebih panjang. Tim penjaga bertugas menangkap dan melempar batang kayu yang
dipukul oleh tim penyerang. Setiap tim bersaing untuk mengumpulkan skor
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

76
terbanyak. Tim penyerang mendapatkan skor dari hasil pukulan, lemparan, dan
pelanggaran yang dilakukan oleh tim penjaga. Tim penjaga mendapatkan skor
dari hasil tangkapan, lemparan, dan juga pelanggaran yang dilakukan oleh tim
penyerang. Tim yang dapat mengumpulkan skor lebih banyak adalah
pemenangnya (SD/DP/4). Data yang menunjukkan deskripsi latar belakang
budaya permainan itu dapat diamati sebagai berikut.
Benthik sendiri memang kemudian membutuhkan satu
keterampilan untuk membidik sesuatu. Istilahnya di sana,
kita diajari secara tidakk langsung untuk kita itu bisa punya
keantepan tujuan. Jadi, istilahnya jangan sampai kemudian
kita itu setelah dalam perjalanan, kita menjadi kalau
istilahnya orang Jawa mangruktingal bercabang apa yang
telah menjadi keyakinan kita. Kalau kita memang sudah
percaya bahwasannya hal ini nanti yang mampu akan
membawa kita pada satu kesuksesan, hal ini nanti akan
mampu membawa kita pada satu tujuan yang mulia, maka
ya istilahnya apapun yang menjadi tujuannya kita tetap
harus bisa satu pada apa yang kita inginkan. Istilahnya,
dalam dolanan Benthik itu kan memang kemudian ada
sesuatu yang dipertemukan, ada sesuatu yang dibenturkan.
Benturan-benturan inilah adalah sebagai semacam
pertemuan-pertemuan yang pada suatu saat akan mampu
menghasilkan sesuatu berbuah dan bermanfaat bagi diri
kita. (PE/LB/4)
Data di atas dapat memberikan suatu keterangan yang menguatkan
interpretasi penulis dalam menggali nilai-nilai karakter yang tersembunyi di
dalam permainan Benthik. Permainan tersebut terdiri dari satu kata, yang berasal
dari kata thik sebagai peniruan dari bunyi yang dihasilkan. Kata benthik diadaptasi
dari bunyi yang dihasilkan saat memukul batang kayu dengan batang kayu lainnya
(Dharmamulya, 2005). Berdasarkan hasil percakapan etnografis, nama benthik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

77
mengacu pada suara dan media permainannya yang “dibenthikkan” (PE/JP/1).
Dari hal tersebut, maka deskripsi permainan Dharmamulya dengan narasumber
yang dihasilkan dari percakapan etnografis memiliki keselarasan. Maka, nama itu
mengacu pada media permainan yang menghasilkan bunyi thik ketika dimainkan.
Bentuk imitasi suara itu disebut sebagai fenomena onomatopoeia. Onomatopoeia
adalah proses pembuatan atau pemberian nama dengan meniru suara-suara yang
tercipta di alam semesta yang didengar oleh manusia (Pei, 1976). Maka, tampak
bahwa nama permainan itu diciptakan melalui proses tersebut. Dari pernyataan
tersebut, maka tampak bahwa ada keterkaitan antara kata yang membentuk nama
permainan itu dengan ciri khas yang ada di dalamnya. Kata-kata yang menjadi
nama permainan itu merepresentasikan sesuatu yang menjadi bagian di dalam
suatu kebudayaan bahwa masyarakat Jawa juga sering menggunakan suara,
nuansa, dan aktivitas yang tergambar sebagai namanya. Deskripsi latar belakang
budaya permainan tersebut menunjukkan hal-hal yang menjadi bagian di dalam
suatu kebudayaan, khususnya budaya Jawa. Song (2010) menyatakan bahwa
konteks kultur mengacu pada budaya, adat istiadat, latar belakang zaman dalam
komunitas bahasa yang di dalamnya para penutur terlibat langsung. Hal itu
berfungsi untuk memberi nilai pada teks dan mendayakan penafsirannya (Halliday
dan Hasan, 1985).
Dalam permainan itu, penulis menemukan tanda yang mengacu pada
sesuatu dan memiliki makna yang lebih dalam sebagai hal yang dapat
menunjukkan nilai karakter yang tersembunyi di dalam permainan itu. Tanda di
dalam permainan ini dapat menunjuk pada sesuatu yang perlu digali secara lebih
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

78
mendalam, sebagaimana Pierce (1965 dalam Foley, 2001) membedakan tanda atas
tiga jenis yakni indeks (index), simbol (symbol), dan ikon (icon). Kata benthik
yang terdapat pada nama permainan itu merupakan ikon yang mengacu pada
bunyi yang dihasilkan dari aktivitasnya. Ikon adalah tanda yang mewakili sumber
acuan melalui sebuah bentuk replikasi, simulasi, imitasi, atau persamaan. Sebuah
tanda dirancang untuk mempresentasikan sumber acuan melalui simulasi atau
persamaan (Danesi, 2004). Dari hal itu, penulis dapat menggali makna yang lebih
dalam melalui ikon yang terdapat di dalam permainan itu.
Permainan itu memiliki simbol yang dapat mengungkapkan makna yang
sebenarnya, yang dapat di telusuri melalui ikon yang telah diidentifikasi. Makna
itu dapat disebut sebagai nilai karakter yang tersembunyi. Berdasarkan hasil studi
dokumen dan percakapan etnografis yang dilakukan oleh penulis mengenai
deskripsi permainan dan deskripsi latar belakang budaya permainan, permainan
itu harus dilakukan dengan memukul kedua batang kayu sehingga secara otomatis
menghasilkan bunyi dan lemparan dari hasil pukulan itu harus tepat sasaran. Jadi,
pemain tidak hanya asal memukul, tetapi dari pukulan itu dihasilkanlah lemparan
yang tepat sasaran, yang ditunjukkan oleh “Permainan ini pada dasarnya
melempar, menangkap, dan memukul batang kayu dengan baik dan tepat sebagai
salah satu faktor kunci kemenangan.” (SD/DP/4) dan “Benthik sendiri memang
kemudian membutuhkan satu keterampilan untuk membidik sesuatu. Istilahnya di
sana, kita diajari secara tidak langsung untuk kita itu bisa punya keantepan
tujuan.” (PE/LB/4). Dengan demikian, hal itu dapat dimaknai bahwa aktivitas
memukul dan mengarahkan lemparan dengan tepat dalam benthik menjadi simbol
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

79
suatu pemusatan diri terhadap tujuan yang ingin diraih sehingga penulis dapat
merumuskan nilai karakter bahwa manusia harus dapat memusatkan diri pada
tujuan hidup yang ingin diraih. Hal itu selaras dengan pandangan Pierce (dalam
Danesi, 2004) yang mengatakan bahwa simbol adalah tanda yang mewakili
objeknya melalui kesepakatan atau persetujuan dalam konteks spesifik. Makna-
makna dalam suatu simbol dibangun melalui kesepakatan sosial atau melalui
beberapa tradisi historis. Hal itu juga diperkuat oleh keterangan narasumber yang
berkata bahwa istilahnya jangan sampai kemudian kita itu setelah dalam
perjalanan, kita menjadi kalau istilahnya orang Jawa mangruktingal bercabang
apa yang telah menjadi keyakinan kita. Kalau kita memang sudah percaya
bahwasannya hal ini nanti yang mampu akan membawa kita pada satu
kesuksesan, hal ini nanti akan mampu membawa kita pada satu tujuan yang
mulia, maka ya istilahnya apapun yang menjadi tujuannya kita tetap harus bisa
satu pada apa yang kita inginkan. (PE/LB/4). Hal itu ditegaskan oleh Suseno
(1985) yang mengungkapkan bahwa budaya Jawa sangat kental dengan filosofi
karakter atau sikap. Budaya Jawa sangat memegang nilai-nilai luhur yang sangat
kuat mengakar dalam kehidupan masyarakat sampai saat ini.
Selanjutnya, permainan Jirak juga memiliki nilai karakter yang sama
dengan permainan Benthik, karena memiliki pola permainan yang mirip.
Permainan Jirak dimainkan secara bersama-sama dengan 3-6 anak. Urutan
permainan ditentukan dengan cara melempari gacuk (biji atau uang koin) ke
lubang. Gacuk pemain yang lebih dekat itulah yang berhak bermain terlebih
dahulu, dan yang terjauh bermain paling akhir. Jika sama-sama masuk lubang atau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

80
bertumpuk, maka harus mengulanginya. Permainan dilakukan dengan melepar
lima gacuk untuk setiap pemain dan diusahakan untuk masuk ke dalam lubang.
Jika berhasil, maka pemain itu mendapatkan sawah sebanyak jumlah gacuk yang
berhasil masuk. Jumlah sawah yang disediakan yaitu lima buah, yang mana jika
sudah habis, maka permainan pun selesai. Anak yang tidak mendapat sawah
dinyatakan kalah dan harus menerima hukuman mutlak, yaitu menggendong
(SD/DP/14).
Dari pernyataan tersebut, tampak bahwa Jirak memiliki permainan yang
hampir sama dengan Benthik, yaitu melempar sesuatu dengan tepat.
Perbedaannya, Jirak melempar gacuk ke lubang sasaran, bukan memukul, namun
tetap sama-sama mengarahkan sesuatu pada sasaran dengan tepat dan dengan
resiko yang selalu menyertainya. Narasumber berkata bahwa jirak itu adalah
salah satu juga permainan ketangkasan, permainan bidikan sehingga hampir
sama dengan benthik. Namun, memang kemudian Jirak itu, di sana ada peluang,
ada banyak pilihan, tergantung kita akan memillih mana. Kalau kita membidik
perut ya maka nanti dapatnya kita adalah sesuatu yang terkait dengan perut.
Kalau kita mendapat bidikan di kepala, maka segala sesuatu dari depan sampai
belakang, itu nanti akan bisa kita raih (PE/LB/14). Pernyataan tersebut
menunjukkan bahwa aktivitas melempar dan mengarahkan lemparan dengan tepat
dalam jirak juga menjadi simbol suatu pemusatan diri terhadap tujuan yang ingin
diraih sehingga penulis dapat merumuskan nilai karakter bahwa manusia harus
dapat memusatkan diri pada tujuan hidup yang ingin diraih. Hal itu juga diperkuat
oleh pernyataan narasumber bahwa Jirak adalah salah satu juga permainan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

81
ketangkasan, permainan bidikan sehingga hampir sama dengan benthik
(PE/LB/14).
4.2.1.5 Tuhan adalah Sosok yang Maha Kuasa
Nilai karakter yang menyatakan atau mengajarkan bahwa Tuhan adalah
sosok yang Maha Kuasa terkandung dalam permainan Jaranan Bongkok dan
Cublak-cublak Suweng. Permainan Jaranan Bongkok Permainan ini dilakukan
dengan membuat mainan yang terbuat dari dahan pohon kelapa yang sudah
kering. Mainan berupa sepotong dahan yang sudah dibersihkan dari daunnya dan
dimainkan dengan cara dinaiki seperti tarian jaranan. (SD/DP/13). Data yang
menunjukkan deskripsi latar belakang budaya permainan itu dapat diamati sebagai
berikut.
Jaranan bongkok itu adalah salah satu bentuk permainan di
mana kita diajari untuk mengenal ketauhidan yang ada.
Kenapa seperti itu? Karena yang namanya jaranan, itu
adalah bukan jaran yang sesungguhnya. Maka, namanya
adalah jaranan dan jaran itu sendiri berbeda dengan tulisan
jaranan. Sebagaimana kita mencari keberadaan Tuhan,
maka di situlah kita akan dihadapkan oleh banyak hal.
Karena apa? Bagi yang percaya bahwa saya ketika
diibaratkan, kita itu memegang sesuatu, misalnya Tuhan
itu seperti apa dan sebagainya, yang memegang surinya
kuda, dia akan percaya bahwasanya kuda itu adalah
selembut rambut, namun bagi yang memegang perutnya,
maka dia akan mengatakan Tuhan itu seperti tembok akan
tetapi dia ada bulunya (punya kelembutan), yang
memegang kaki mengetakan Tuhan itu hanya segedhe
lengan kok, tapi ada bulunya. Padahal itu semua adalah
bukan Tuhan. Tuhan adalah kesatuan dari semuanya.
Kalau orang Jawa bilang, tan kena kinayangapa sehingga
dalam Jaranan Bongkok itu tadi, memang selain kita
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

82
diajarkan untuk memanfaatkan sesuatu yang sudah tidak
terpakai istilahnya, karena bongkok tadi setelah dipakai
untuk jaranan yen wis jeleh ya isa diobong misalnya, untuk
bahan bakar misalnya. Akan tetapi, melalui Jaranan
Bongkok tadi, memang kemudian kita diharapkan bisa
tahu, ternyata ada suatu penyangga yang kemudian mampu
menopang kehidupan. Karena bongkok itu sendiri menjadi
topangan dari tumbuhnya janur, di mana nur adalah cahaya
kehidupan, kembali lagi pada konsep sang urip dalam
pemahaman budaya itu tadi. (PE/LB/13)
Data di atas dapat memberikan suatu keterangan yang menguatkan
interpretasi penulis dalam menggali nilai-nilai karakter yang tersembunyi di
dalam permainan Jaranan Bongkok. Permainan tersebut terdiri dari dua kata, yaitu
jaranan dan bongkok. Kata jaranan berasal dari kata jaran yang berarti kuda dan
mendapat akhiran –an sebagai tanda bahwa kuda yang dibuat dan dimainkan
adalah tiruan, sedangkan kata bongkok berarti dahan pohon kelapa yang sudah
kering dan dibersihkan dari daun-daunnya. Data (PE/LB/13) menyatakan bahwa
permainan tersebut mengungkapkan perumpamaan bahwa kekuasaan Tuhan tidak
terbatas pada apapun. Tuhan memiliki berbagai macam karakter dan dapat
melakukan segala hal dan menjadi topangan dari segala hal. Manusia dapat
mengenal Tuhan melalui berbagai cara karena kuasa-Nya yang tak terbatas,
sebagaimana narasumber mengatakan bahwa yang namanya jaranan, adalah
bukan jaran yang sesungguhnya. ...yang memegang surinya kuda, dia akan
percaya bahwasanya kuda itu adalah selembut rambut, namun bagi yang
memegang perutnya, maka dia akan mengatakan Tuhan itu seperti tembok akan
tetapi dia ada bulunya (punya kelembutan), yang memegang kaki mengetakan
Tuhan itu hanya segedhe lengan kok, tapi ada bulunya. Padahal itu semua adalah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

83
bukan Tuhan. Tuhan adalah kesatuan dari semuanya. Dari pernyataan tersebut,
maka tampak bahwa ada keterkaitan antara kata yang membentuk nama
permainan itu dengan makna yang ada di dalamnya. Kata-kata yang menjadi nama
permainan itu merepresentasikan sesuatu yang menjadi bagian di dalam suatu
kebudayaan. Deskripsi latar belakang budaya permainan tersebut menunjukkan
hal-hal yang menjadi bagian di dalam suatu kebudayaan, khususnya budaya Jawa.
Song (2010) menyatakan bahwa konteks kultur mengacu pada budaya, adat
istiadat, latar belakang zaman dalam komunitas bahasa yang di dalamnya para
penutur terlibat langsung. Hal itu berfungsi untuk memberi nilai pada teks dan
mendayakan penafsirannya (Halliday dan Hasan, 1985).
Dalam permainan itu, penulis menemukan tanda yang mengacu pada
sesuatu dan memiliki makna yang lebih dalam sebagai hal yang dapat
menunjukkan nilai karakter yang tersembunyi di dalam permainan itu. Tanda di
dalam permainan ini dapat menunjuk pada sesuatu yang perlu digali secara lebih
mendalam, sebagaimana Pierce (1965 dalam Foley, 2001) membedakan tanda atas
tiga jenis yakni indeks (index), simbol (symbol), dan ikon (icon). Kata jaranan
dan bongkok yang terdapat pada nama permainan itu merupakan ikon yang
mengacu pada media permainan yang dibuat dari bongkok dan dimainkan
(ditunggangi) layaknya kuda. Ikon adalah tanda yang mewakili sumber acuan
melalui sebuah bentuk replikasi, simulasi, imitasi, atau persamaan. Sebuah tanda
dirancang untuk mempresentasikan sumber acuan melalui simulasi atau
persamaan (Danesi, 2004). Dari hal itu, penulis dapat menggali makna yang lebih
dalam melalui ikon yang terdapat di dalam permainan itu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

84
Permainan itu memiliki simbol yang dapat mengungkapkan makna yang
sebenarnya, yang dapat di telusuri melalui ikon yang telah diidentifikasi. Makna
itu dapat disebut sebagai nilai karakter yang tersembunyi. Berdasarkan hasil studi
dokumen dan percakapan etnografis yang dilakukan oleh penulis mengenai
deskripsi permainan dan deskripsi latar belakang budaya permainan, bongkok
melambangkan kuda, dan kuda melambangkan makna yang lebih dalam, yaitu
Tuhan. Kuda dianggap sebagai sosok yang kuat dan bongkok juga menjadi
topangan bagi kehidupan, yang ditunjukkan oleh data yang terlah dipaparkan juga
di atas (PE/LB/13). Dengan demikian, hal itu dapat dimaknai bahwa kuda menjadi
simbol kekuatan Tuhan dengan berbagai karakteristiknya yang diidentifikasi dari
bagian tubuh kuda (ada rambut yang lembut, kaki yang kuat, dll) dan bongkok
menjadi simbol bahwa Tuhan adalah penopang dari segala hal yang ada sehingga
penulis dapat merumuskan nilai karakter bahwa Tuhan adalah sosok yang Maha
Kuasa. Hal itu selaras dengan pandangan Pierce (dalam Danesi, 2004) yang
mengatakan bahwa simbol adalah tanda yang mewakili objeknya melalui
kesepakatan atau persetujuan dalam konteks spesifik. Makna-makna dalam suatu
simbol dibangun melalui kesepakatan sosial atau melalui beberapa tradisi historis.
Hal itu juga diperkuat oleh keterangan narasumber yang berkata bahwa karena
bongkok itu sendiri menjadi topangan dari tumbuhnya janur, di mana nur adalah
cahaya kehidupan, kembali lagi pada konsep sang urip dalam pemahaman
budaya itu tadi. (PE/LB/13). Hal itu ditegaskan oleh Suseno (1985) yang
mengungkapkan bahwa budaya Jawa sangat kental dengan filosofi karakter atau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

85
sikap. Budaya Jawa sangat memegang nilai-nilai luhur yang sangat kuat mengakar
dalam kehidupan masyarakat sampai saat ini.
Permainan Cublak-cublak Suweng juga memiliki makna yang sama
dengan permainan Jaranan Bongkok bahwa Tuhan adalah sosok yang Maha
Kuasa, namun dengan penekanan juga pada eksistensi-Nya yang dibawa melalui
syair lagunya, yang berbunyi cublak-cublak suweng, suwenge ting gelenter,
mambu ketudhung gudel, Pak Empong lirak-lirik, sapa ngguyu ndhelikake, sir-sir
pong dhele kopong, sir-sir pong dhele kopong, yang perlu diinterpretasi dengan
kajian sastra. Namun, narasumber juga mengungkapkan bahwa dengan tembang
tersebut, secara pembahasan yang lain, kita akan bisa menyarikan bahwasannya
memang kalau dalam pandangan masyarakat Jawa, Tuhan itu tidak harus ada di
tempat ibadah. Tuhan itu tertebar ke mana-mana dan tertebar di mana-mana.
Jadi, di mana ada kehidupan, di situ ada Tuhan. Maka, kenapa kemudian
dikatakan Pangeran itu adalah urip. Karena apa? Setelah urip itu tidak ada,
maka di situlah Tuhan akan hilang juga (PE/LB/5). Kalimat terakhir pada
keterangan itu dapat dimaknai bahwa kehidupan adalah lambang bahwa Tuhan itu
ada. Jika Tuhan tidak ada, maka kehidupan juga tidak akan ada. Di situ pulalah
letak kekuasaan Tuhan berdiri untuk terus menyelenggarakan kehidupan.
4.2.1.6 Manusia Harus Dapat Menjalin Persaudaraan Tanpa Pamrih
Nilai karakter yang menyatakan bahwa manusia harus dapat menjalin
persaudaraan tanpa pamrih terkandung dalam permainan Dhakon. Permainan
Dhakon dimainkan oleh dua anak. Permainan ini menggunakan sarana yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

86
berupa papan berlubang dengan 14 lubang kecil (7 lubang pada setiap pemain)
dan 2 lubang besar (1 lubang untuk lumbung pada setiap pemain). Permainan ini
merupakan permainan asah otak, yang mana anak harus berkompetisi untuk
mengumpulkan biji sebanyak mungkin. Anak yang berhasil mengumpulkan biji
terbanyak di lumbungnya adalah pemenangnya. Hal itu membutuhkan strategi dan
perhitungan yang tepat untuk dapat menang (SD/DP/6). Data yang menunjukkan
deskripsi latar belakang budaya permainan itu dapat diamati sebagai berikut.
Dhakon itu adalah salah satu permainan di mana kalau
dalam salah satu prinsip ekonomi yang dulu dipakai oleh
mbah-mbah kita itu adalah puna sathak bathi sanak. Jadi
bagaimana kemudian tidak perlu dengan keuntungan yang
besar, akan tetapi bagaimana kemudian konsep
kekadangan, konsep patembayan, konsep paguyuban,
kerukunan ini kemudian tetap bisa terjaga. Namun dalam
Dhakon, memang kemudian satu hal yang menarik adalah
bagaimanapun juga, sak polah tingkahe kita dalam hidup
itu kita diharapkan punya turahan dan punya oleh-olehan.
Namun, oleh-olehannya adalah oleh-olehan yang positif,
jangan sampai oleh-olehan tersebut adalah oleh-olehan
buah kehidupan yang justru malah menjadi buah
simalakama bagi diri kita. Maka nanti dalam dolanan
Dhakon, memang turahan tadilah yang kemudian bisa
mlumpuk di dalam lumbung yang ada di dalam ceruk-
ceruk permainan Dhakon. (PE/LB/6)
Data di atas dapat memberikan suatu keterangan yang menguatkan
interpretasi penulis dalam menggali nilai-nilai karakter yang tersembunyi di
dalam permainan Dhakon. Permainan tersebut terdiri dari satu kata, yang berasal
dari kata dhaku yang berarti aku-milikku (Dharmamulya, 2005) sehingga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

87
menunjukkan aktivitas klaim atas kepemilikan. Pemain memang harus bermain
untuk saling klaim jumlah biji yang terkumpul di dalam lumbung masing-masing.
Data (PE/LB/6) menyatakan bahwa permainan tersebut mengajarkan prinsip
ekonomi masyarakat Jawa yang mana keuntungan yang didapat tidak
mengutamakan keuntungan materi, namun keuntungan atas jalinan persaudaraan.
Artinya prinsip itu lebih mengutamakan persaudaraan daripada keuntungan
materi, sebagaimana narasumber mengatakan bahwa Dhakon adalah salah satu
permainan di mana kalau dalam salah satu prinsip ekonomi yang dulu dipakai
oleh mbah-mbah kita itu adalah puna sathak bathi sanak. Jadi bagaimana
kemudian tidak perlu dengan keuntungan yang besar, akan tetapi bagaimana
kemudian konsep kekadangan, konsep patembayan, konsep paguyuban,
kerukunan ini kemudian tetap bisa terjaga. Dari pernyataan tersebut, maka
tampak bahwa ada keterkaitan antara kata yang membentuk nama permainan itu
dengan makna yang ada di dalamnya, yaitu klaim atas kepemilikan saudara, dari
orang yang belum dikenal menjadi orang yang dikenal seperti saudara dan
hubungan persaudaraan itu tetaplah terjaga. Kata-kata yang menjadi nama
permainan itu merepresentasikan sesuatu yang menjadi bagian di dalam suatu
kebudayaan. Deskripsi latar belakang budaya permainan tersebut menunjukkan
hal-hal yang menjadi bagian di dalam suatu kebudayaan, khususnya budaya Jawa.
Song (2010) menyatakan bahwa konteks kultur mengacu pada budaya, adat
istiadat, latar belakang zaman dalam komunitas bahasa yang di dalamnya para
penutur terlibat langsung. Hal itu berfungsi untuk memberi nilai pada teks dan
mendayakan penafsirannya (Halliday dan Hasan, 1985).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

88
Dalam permainan itu, penulis menemukan tanda yang mengacu pada
sesuatu dan memiliki makna yang lebih dalam sebagai hal yang dapat
menunjukkan nilai karakter yang tersembunyi di dalam permainan itu. Tanda di
dalam permainan ini dapat menunjuk pada sesuatu yang perlu digali secara lebih
mendalam, sebagaimana Pierce (1965 dalam Foley, 2001) membedakan tanda atas
tiga jenis yakni indeks (index), simbol (symbol), dan ikon (icon). Kata dhaku
yang terdapat pada nama permainan itu merupakan indeks yang mengacu pada
aktivitas klaim biji dhakon agar terkumpul di dalam lumbung. Indeks adalah tanda
yang mewakili sumber acuan dengan cara menunjuk padanya atau mengaitkannya
(secara eksplisit atau implisit) dengan sumber acuan lain (Danesi, 2004). Dari hal
itu, penulis dapat menggali makna yang lebih dalam melalui indeks yang terdapat
di dalam permainan itu.
Permainan itu memiliki simbol yang dapat mengungkapkan makna yang
sebenarnya, yang dapat di telusuri melalui indeks yang telah diidentifikasi. Makna
itu dapat disebut sebagai nilai karakter yang tersembunyi. Berdasarkan hasil studi
dokumen dan percakapan etnografis yang dilakukan oleh penulis mengenai
deskripsi permainan dan deskripsi latar belakang budaya permainan, masyarakat
Jawa pada zaman dahulu menggunakan sarana biji sebagai alat hitung pada saat
itu dan dhakon adalah media belajar anak untuk dapat berhitung (JSIT, 2015),
yang ditunjukkan oleh “hal itu membutuhkan strategi dan perhitungan yang tepat
untuk dapat menang” (SD/DP/6) dan “maka nanti dalam dolanan Dhakon,
memang turahan tadilah yang kemudian bisa mlumpuk di dalam lumbung yang
ada di dalam ceruk-ceruk permainan Dhakon” (PE/LB/6). Dengan demikian, hal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

89
itu dapat dimaknai bahwa biji dhakon menjadi simbol orang-orang yang menjadi
saudara, lubang-lubang dhakon menjadi simbol proses untuk mendapat dan
menjaga persaudaraan, lubang atau lumbung dhakon menjadi simbol diri kita
yang akan mendapat saudara, dan dhaku menjadi simbol bahwa kita perlu
bergerak dan melakukan “klaim” persaudaraan, daripada hanya mencari
keuntungan materi semata sehingga penulis dapat merumuskan nilai karakter
bahwa manusia harus dapat menjalin persaudaraan tanpa pamrih. Hal itu selaras
dengan pandangan Pierce (dalam Danesi, 2004) yang mengatakan bahwa simbol
adalah tanda yang mewakili objeknya melalui kesepakatan atau persetujuan dalam
konteks spesifik. Makna-makna dalam suatu simbol dibangun melalui
kesepakatan sosial atau melalui beberapa tradisi historis. Hal itu juga diperkuat
oleh keterangan narasumber yang berkata bahwa dalam salah satu prinsip
ekonomi yang dulu dipakai oleh mbah-mbah kita itu adalah puna sathak bathi
sanak. Jadi bagaimana kemudian tidak perlu dengan keuntungan yang besar,
akan tetapi bagaimana kemudian konsep kekadangan, konsep patembayan,
konsep paguyuban, kerukunan ini kemudian tetap bisa terjaga (PE/LB/6). Hal itu
ditegaskan oleh Suseno (1985) yang mengungkapkan bahwa budaya Jawa sangat
kental dengan filosofi karakter atau sikap. Budaya Jawa sangat memegang nilai-
nilai luhur yang sangat kuat mengakar dalam kehidupan masyarakat sampai saat
ini.
4.2.1.7 Manusia Harus selalu Menjunjung Tatakrama sebagai Makhluk
Sosial
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

90
Nilai karakter yang menyatakan bahwa manusia harus selalu menjunjung
tatakrama sebagai makhluk sosial terkandung dalam permainan Dhayoh-
dhayohan. Permainan Dhayoh-dhayohan dimainkan secara bersama-sama dengan
beberapa anak (bebas). Permainan ini pada dasarnya merupakan aktivitas anak
untuk bermain peran, terutama dalam hal bertamu, misalnya bertamu di rumah,
bertamu untuk membeli barang dagangan, menjenguk orang sakit, dan
sebagainya. Anak dapat saling menyusun alur permainan sesuai dengan peran-
peran dan aturan yang disepakati bersama (SD/DP/7). Data yang menunjukkan
deskripsi latar belakang budaya permainan itu dapat diamati sebagai berikut.
Dhayoh-dhayonan itu adalah satu bentuk model ajaran
untuk kita bisa ketemu, jadi gini, prinsipnya kita itu adalah
makhluk sosial dan kita tidak mungkin hidup secara
pribadi tanpa kita punya ketergantungan terhadap orang
lain. Oleh karena itu, di dalam merdhayoh isitilahnya, kita
kan tidak mungkin kurang tata istilahnya. Akan tetapi
bagaimana kemudian ajaran moral untuk kita bisa saling
menghargai, ajaran moral untuk kita bisa menerapkan tata
krama, ajaran moral untuk kita agar mengetahui posisi kita
masing-masing, dan sebagainya, semuanya ada di dalam
dolanan Dhayoh-dhayohan. (PE/LB/7)
Data di atas dapat memberikan suatu keterangan yang menguatkan
interpretasi penulis dalam menggali nilai-nilai karakter yang tersembunyi di
dalam permainan Dhayoh-dhayohan. Permainan tersebut terdiri dari satu kata
yang diulang. Kata dhayoh berarti tamu yang diberi akhiran –an sebagai tanda
imitasi dari tamu yang sesungguhnya bahwa permainan itu dilakukan dengan
bermain peran menjadi tamu dan tuan rumah yang melayani. Data (PE/LB/7)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

91
menyatakan bahwa permainan tersebut mengajarkan anak untuk berlatih
menghadapi orang lain dengan tatakrama yang berlaku di dalam masyarakat. Lalu,
dalam pandangan budaya Jawa, tatakrama itu sendiri merupakan hal yang mutlak
diperlukan ketika kita berhadapan dengan semua orang sebagai tanda kesopanan,
kerendah hatian, dan penghormatan. Secara khusus pula, dalam hal bertamu
masyarakat Jawa sangat memperhatikan pelayanan yang terbaik, sebagaimana
narasumber mengatakan bahwa kita adalah makhluk sosial dan kita tidak mungkin
hidup secara pribadi tanpa kita punya ketergantungan terhadap orang lain. Oleh
karena itu, di dalam merdhayoh isitilahnya, kita kan tidak mungkin kurang tata
istilahnya. Akan tetapi bagaimana kemudian ajaran moral untuk kita bisa saling
menghargai, ajaran moral untuk kita bisa menerapkan tata krama, ajaran moral
untuk kita agar mengetahui posisi kita masing-masing, dan sebagainya. Purwadi
(2011) menambahkan bahwa adat kebiasaan yang didalamnya berisi ajaran moral
itu bagi masyarakat Jawa sering disebut dengan istilah pepali, unggah-ungguh,
suba sita, tata krama, tata susila, sopan santun, budi pekerti, wulang wuruk,
pitutur, wejangan, wursita, dan wewarah. Dari pernyataan tersebut, maka tampak
bahwa ada keterkaitan antara kata-kata yang membentuk nama permainan itu
dengan makna yang ada di dalamnya. Kata-kata yang menjadi nama permainan itu
merepresentasikan sesuatu yang menjadi bagian di dalam suatu kebudayaan.
Deskripsi latar belakang budaya permainan tersebut menunjukkan hal-hal yang
menjadi bagian di dalam suatu kebudayaan, khususnya budaya Jawa. Song (2010)
menyatakan bahwa konteks kultur mengacu pada budaya, adat istiadat, latar
belakang zaman dalam komunitas bahasa yang di dalamnya para penutur terlibat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

92
langsung. Hal itu berfungsi untuk memberi nilai pada teks dan mendayakan
penafsirannya (Halliday dan Hasan, 1985).
Dalam permainan itu, penulis menemukan tanda yang mengacu pada
sesuatu dan memiliki makna yang lebih dalam sebagai hal yang dapat
menunjukkan nilai karakter yang tersembunyi di dalam permainan itu. Tanda di
dalam permainan ini dapat menunjuk pada sesuatu yang perlu digali secara lebih
mendalam, sebagaimana Pierce (1965 dalam Foley, 2001) membedakan tanda atas
tiga jenis yakni indeks (index), simbol (symbol), dan ikon (icon). Kata dhayoh
yang terdapat pada nama permainan itu merupakan ikon yang mengacu pada
peran tamu atau aktivitas bertamu dan melayani tamu sebagai aktivitas inti. Ikon
adalah tanda yang mewakili sumber acuan melalui sebuah bentuk replikasi,
simulasi, imitasi, atau persamaan. Sebuah tanda dirancang untuk
mempresentasikan sumber acuan melalui simulasi atau persamaan (Danesi, 2004).
Dari hal itu, penulis dapat menggali makna yang lebih dalam melalui ikon yang
terdapat di dalam permainan itu.
Permainan itu memiliki simbol yang dapat mengungkapkan makna yang
sebenarnya, yang dapat di telusuri melalui ikon yang telah diidentifikasi. Makna
itu dapat disebut sebagai nilai karakter yang tersembunyi. Berdasarkan hasil studi
dokumen dan percakapan etnografis yang dilakukan oleh penulis mengenai
deskripsi permainan dan deskripsi latar belakang budaya permainan, aktivitas
bertamu yang dilakukan oleh masyarakat Jawa sangat kental dengan nilai
tatakrama, mulai dari cara berjalan, berbicara, membawa atau menata jamuan, dan
berbagai hal lain yang harus dilakukan secara benar, termasuk melalui permainan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

93
ini sebagai sarana untuk menanamkan nilai tatakrama sebagai makhluk sosial,
yang ditunjukkan oleh “Permainan ini pada dasarnya merupakan aktivitas anak
untuk bermain peran, terutama dalam hal bertamu, misalnya bertamu di rumah,
bertamu untuk membeli barang dagangan, menjenguk orang sakit, dan
sebagainya. Anak dapat saling menyusun alur permainan sesuai dengan peran-
peran dan aturan yang disepakati bersama.” (SD/DP/7) dan “Kita adalah
makhluk sosial dan kita tidak mungkin hidup secara pribadi tanpa kita punya
ketergantungan terhadap orang lain. Oleh karena itu, di dalam merdhayoh
isitilahnya, kita kan tidak mungkin kurang tata istilahnya. Akan tetapi bagaimana
kemudian ajaran moral untuk kita bisa saling menghargai, ajaran moral untuk
kita bisa menerapkan tata krama, ajaran moral untuk kita agar mengetahui posisi
kita masing-masing, dan sebagainya.” (PE/LB/7). Dengan demikian, hal itu dapat
dimaknai bahwa dhayoh menjadi simbol kehidupan sosial dan aktivitas bertamu
yang diwakili oleh nama permainan itu menjadi simbol suatu tatakrama dalam
kehidupan sosial sehingga penulis dapat merumuskan nilai karakter bahwa
manusia harus selalu menjunjung tatakrama sebagai makhluk sosial. Hal itu
selaras dengan pandangan Pierce (dalam Danesi, 2004) yang mengatakan bahwa
simbol adalah tanda yang mewakili objeknya melalui kesepakatan atau
persetujuan dalam konteks spesifik. Makna-makna dalam suatu simbol dibangun
melalui kesepakatan sosial atau melalui beberapa tradisi historis. Hal itu juga
diperkuat oleh keterangan narasumber yang berkata bahwa ajaran moral untuk
kita bisa saling menghargai, ajaran moral untuk kita bisa menerapkan tata
krama, ajaran moral untuk kita agar mengetahui posisi kita masing-masing
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

94
(PE/LB/7). Hal itu ditegaskan oleh Suseno (1985) yang mengungkapkan bahwa
budaya Jawa sangat kental dengan filosofi karakter atau sikap. Budaya Jawa
sangat memegang nilai-nilai luhur yang sangat kuat mengakar dalam kehidupan
masyarakat sampai saat ini.
4.2.1.8 Tujuan akan Lebih Mudah Dicapai Apabila Kita Saling Membantu
Nilai karakter yang menyatakan bahwa tujuan akan lebih mudah dicapai
apabila kita saling membantu terkandung dalam permainan Dhingklik Oglak-
aglik. Permainan Dhingklik Oglak-aglik dimainkan secara bersama-sama dengan
3-5 anak sambil menyanyikan lagu permainan saat melakukannya. Permainan ini
pada dasarnya saling bekerjasama untuk menirukan bentuk kursi dengan cara
berpegangan tangan dan mengaitkan kaki satu sama lain sambil bertepuk tangan,
melonjak-lonjak, dan menyanyikan lagu permainan. Permainan ini dapat dijadikan
permainan pertandingan jika dilakukan dengan minimal dua tim yang masing-
masing terdiri dari 3-5 anak tadi. Tim yang lebih lama mempertahankan gerakan
tanpa terjatuh adalah pemenangnya (SD/DP/9). Data yang menunjukkan deskripsi
latar belakang budaya permainan itu dapat diamati sebagai berikut.
Dhingklik Oglak-aglik itu adalah salah satu bentuk
permainan di mana ketika yang namanya dhingklik itu
adalah bisa kokoh ketika dia disangga oleh kaki yang
genap. Ataupun terpaksanya kalau dia disangga dengan
kaki yang ganjil, maka harus ada penopang utama yang
menjadi sumber kekuatan dari penyangga itu. Makanya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

95
dalam permainan Dhingklik Oglak-aglik itu tadi, ketika
misalnya kita sendiri yang secara kodrati itu sebenarnya
kaki kita dua kok. Cuma dalam satu permainan, kita
diminta hanya satu yang digunakan. Akan tetapi satu yang
digabungkan dengan satuan-satuan yang lainnya sehingga
dalam permainan Dhngklik Oglak-aglik tersebut memang
bagaimana kemudian dalam satu kebersamaan, dalam satu
ikatan, segala sesuatu yang menjadi tujuan bersama itu
akan lebih mudah dicapai. (PE/LB/9)
Data di atas dapat memberikan suatu keterangan yang menguatkan
interpretasi penulis dalam menggali nilai-nilai karakter yang tersembunyi di
dalam permainan Dhingklik Oglak-aglik. Permainan tersebut terdiri dari dua kata,
yaitu dhingklik dan oglak-aglik sebagai kata ulang alih suara. Kata dhingklik
berarti kursi kecil tanpa sandaran yang terbuat dari kayu, dan kata oglak-aglik
berarti kondisi tidak stabil pada benda mati, seperti kursi itu tadi. Data (PE/LB/9)
menyatakan bahwa permainan itu memerlukan kekompakan untuk saling
mengaitkan salah satu kaki dengan satu kaki tetap berada di bawah sebagai
pijakan seperti sebuah kursi yang tidak stabil sehingga diperlukanlah kekompakan
untuk melakukannya, sebagaimana narasumber mengatakan bahwa dalam satu
permainan, kita diminta hanya satu kaki yang digunakan. Akan tetapi satu yang
digabungkan dengan satuan-satuan yang lainnya sehingga dalam permainan
Dhngklik Oglak-aglik tersebut memang bagaimana kemudian dalam satu
kebersamaan, dalam satu ikatan, segala sesuatu yang menjadi tujuan bersama itu
akan lebih mudah dicapai. Dari pernyataan tersebut, maka tampak bahwa ada
keterkaitan antara kata-kata yang membentuk nama permainan itu dengan makna
yang ada di dalamnya. Kata-kata yang menjadi nama permainan itu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

96
merepresentasikan sesuatu yang menjadi bagian di dalam suatu kebudayaan, yaitu
budaya gotong royong. Deskripsi latar belakang budaya permainan tersebut
menunjukkan hal-hal yang menjadi bagian di dalam suatu kebudayaan, khususnya
budaya Jawa. Song (2010) menyatakan bahwa konteks kultur mengacu pada
budaya, adat istiadat, latar belakang zaman dalam komunitas bahasa yang di
dalamnya para penutur terlibat langsung. Hal itu berfungsi untuk memberi nilai
pada teks dan mendayakan penafsirannya (Halliday dan Hasan, 1985).
Dalam permainan itu, penulis menemukan tanda yang mengacu pada
sesuatu dan memiliki makna yang lebih dalam sebagai hal yang dapat
menunjukkan nilai karakter yang tersembunyi di dalam permainan itu. Tanda di
dalam permainan ini dapat menunjuk pada sesuatu yang perlu digali secara lebih
mendalam, sebagaimana Pierce (1965 dalam Foley, 2001) membedakan tanda atas
tiga jenis yakni indeks (index), simbol (symbol), dan ikon (icon). Kata dhingklik
dan oglak-aglik yang terdapat pada nama permainan itu merupakan ikon yang
mengacu pada kursi kayu kecil yang tidak stabil atau tidak kokoh. Ikon adalah
tanda yang mewakili sumber acuan melalui sebuah bentuk replikasi, simulasi,
imitasi, atau persamaan. Sebuah tanda dirancang untuk mempresentasikan sumber
acuan melalui simulasi atau persamaan (Danesi, 2004). Dari hal itu, penulis dapat
menggali makna yang lebih dalam melalui ikon yang terdapat di dalam permainan
itu.
Permainan itu memiliki simbol yang dapat mengungkapkan makna yang
sebenarnya, yang dapat di telusuri melalui ikon yang telah diidentifikasi. Makna
itu dapat disebut sebagai nilai karakter yang tersembunyi. Berdasarkan hasil studi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

97
dokumen dan percakapan etnografis yang dilakukan oleh penulis mengenai
deskripsi permainan dan deskripsi latar belakang budaya permainan, dhingklik
adalah tempat duduk yang seharusnya kokoh dan apabila tidak kokoh, maka kursi
tersebut tidak dapat berfungsi dengan baik, yang ditunjukkan oleh “permainan ini
pada dasarnya saling bekerjasama untuk menirukan bentuk kursi dengan cara
berpegangan tangan dan mengaitkan kaki satu sama lain” (SD/DP/9) dan “dalam
satu kebersamaan, dalam satu ikatan, segala sesuatu yang menjadi tujuan
bersama itu akan lebih mudah dicapai (PE/LB/9). Dengan demikian, hal itu dapat
dimaknai bahwa dhingklik yang kokoh menjadi simbol tujuan yang ingin dicapai
karena kursi yang dapat berfungsi dengan baik juga dapat dimaknai sebagai
“tujuan yang tercapai” dan oglak-aglik menjadi simbol keadaan yang tidak stabil
yang dapat menghambat tercapainya tujuan. Selain itu, permainan ini hanya dapat
dilakukan bersama dan aktivitas kerja sama itu menjadi simbol untuk saling
membantu sehingga penulis dapat merumuskan nilai karakter bahwa tujuan akan
lebih mudah dicapai apabila kita saling membantu. Hal itu selaras dengan
pandangan Pierce (dalam Danesi, 2004) yang mengatakan bahwa simbol adalah
tanda yang mewakili objeknya melalui kesepakatan atau persetujuan dalam
konteks spesifik. Makna-makna dalam suatu simbol dibangun melalui
kesepakatan sosial atau melalui beberapa tradisi historis. Hal itu juga diperkuat
oleh keterangan narasumber yang berkata bahwa satu yang digabungkan dengan
satuan-satuan yang lainnya sehingga dalam permainan Dhngklik Oglak-aglik
tersebut memang bagaimana kemudian dalam satu kebersamaan, dalam satu
ikatan, segala sesuatu yang menjadi tujuan bersama itu akan lebih mudah dicapai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

98
(PE/LB/9). Hal itu ditegaskan oleh Suseno (1985) yang mengungkapkan bahwa
budaya Jawa sangat kental dengan filosofi karakter atau sikap. Budaya Jawa
sangat memegang nilai-nilai luhur yang sangat kuat mengakar dalam kehidupan
masyarakat sampai saat ini.
4.2.1.9 Manusia Selalu Membutuhkan Proses dalam Mencapai Tujuan
Nilai karakter yang menyatakan bahwa manusia selalu membutuhkan
proses dalam mencapai tujuan terkandung dalam permainan Ingking. Permainan
Ingkling dimainkan secara bersama-sama dengan dua anak atau lebih. Permainan
ini dimainkan pada sebuah media yang dibuat sendiri oleh anak dengan dasar
tanah atau lantai (digambar dengan kapur). Anak menentukan urutan bermain
dengan undi. Permainan dilakukan dengan melempar gacuk (pecahan genteng)
pada petak. Pemain akan memasuki petak dengan melompat menggunakan satu
kaki. Petak yang ditempati gacuk tidak boleh diinjak atau ditempati. Pemain
melompati setiap petak sampai kembali lagi ke posisi semula atau titik awal tanpa
menginjak petak yang di mana gacuk berada, terjatuh, atau berdiri dengan dua
kaki. Jika gagal, matilah dia dan gilliran pemain selanjutnya. Jika berhasil, pemain
melemparkan gacuk di petak pertama tadi ke petak selanjutnya, tanpa meleset ke
petak lain atau menyentuh garis petak. Jika pemain berhasil menyelesaikan letak
gacuk sampai seluruh petak, maka dia berhak melempar gacuk dengan
membelakangi petak dan petak yang dijatuhi gacuk menjadi daerah kekuasaan
pemain tadi sehingga pemain selanjutnya tidak boleh menginjak petak itu. Jika
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

99
gagal, matilah dia. Demikian permainan dilakukan terus-menerus (SD/DP/10).
Data yang menunjukkan deskripsi latar belakang budaya permainan itu dapat
diamati sebagai berikut.
Ingkling itu adalah salah satu permainan, kalau tadi
Dhingklik Oglak-aglik itu dilakukan massal, kakiknya
saling bergandengan, sementara kalau ingkling itu kita
harus mampu menopang keberadaan diri kita hanya dengan
satu kaki dengan melompat-lompat. Istilahnya apa? Ketika
dalam mencapai tujuan kan sudah ada gambar kotak-
kotaknya ta, step by step, kita sekarang sudah melangkah
sampai di mana? Nah, dengan tataran-tataran kehidupan
yang ada kalau misalnya, mulai dari kita lahir, kita belajar
mlumah, kita belajar mengkurep, kita belajar mbrangkang,
lalu kemudian kita berjalan, sekolah, kemudian kita
berusaha mencapai apa yang menjadi cita-cita kita, dan
sampai yang terakhir, yang akan memberi cita-cita itu
sendiri yang akan mengambil diri kita misalnya. Nah, di
situlah kemudian tahapan-tahapan itu yang kemudian harus
kita ketahui ketika kita menjalani hidup di dunia ini. Jadi,
bagaimanapun juga, tahapan yang ada, melalui kotak-
kotak, kemudian lompatan-lompatan yang dilakukan ketika
bermain ingkling sebenarnya adalah menjadi dasar
tumpuan bagaimana kemudian dalam hidup ini memang
kemudian tidak ada sesuatu yang mudah diraih, karena
sebenarnya kalau dengan kaki dua lebih enak kok.
Nyatanya melompatnya harus melompat dengan dua kaki
pun harus menghadap ke mana, harus ke mana, dan
sebagainya, agar permainan itu bisa berjalan. Maka, di
situlah sandiwara Tuhan yang akan menuliskan, dalam
pemahaman orang Jawa itu, tulising urip, itu yang
kemudian nanti akan bisa dibabar gitu. (PE/LB/10)
Data di atas dapat memberikan suatu keterangan yang menguatkan
interpretasi penulis dalam menggali nilai-nilai karakter yang tersembunyi di
dalam permainan Ingkling. Permainan tersebut terdiri dari satu kata, yaitu ingkling
dengan sinonimnya yang dapat disebut dengan engklek atau angklek. Kata
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

100
ingkling berarti cara berjalan melompat-lompat dengan satu kaki sehingga kita
harus tetap menjaga keseimbangan. Data (PE/LB/10) menyatakan bahwa
permainan tersebut dilakukan secara individu dengan tetap menggunakan satu
kaki seperti pada permainan Dhingklik Oglak-aglik, namun pemain harus melalui
langkah demi langkah sampai permainan itu selesai, sebagaimana narasumber
mengatakan bahwa Dhingklik Oglak-aglik itu dilakukan massal, kakiknya saling
bergandengan, sementara kalau ingkling itu kita harus mampu menopang
keberadaan diri kita hanya dengan satu kaki dengan melompat-lompat ...Nah,
dengan tataran-tataran kehidupan yang ada kalau misalnya, mulai dari kita lahir,
kita belajar mlumah, kita belajar mengkurep, kita belajar mbrangkang, lalu
kemudian kita berjalan, sekolah, kemudian kita berusaha mencapai apa yang
menjadi cita-cita kita. Dari pernyataan tersebut, maka tampak bahwa ada
keterkaitan antara kata yang membentuk nama permainan itu dengan aktivitas
sekaligus makna yang ada di dalamnya. Kata-kata yang menjadi nama permainan
itu merepresentasikan sesuatu yang menjadi bagian di dalam suatu kebudayaan.
Deskripsi latar belakang budaya permainan tersebut menunjukkan hal-hal yang
menjadi bagian di dalam suatu kebudayaan, khususnya budaya Jawa. Song (2010)
menyatakan bahwa konteks kultur mengacu pada budaya, adat istiadat, latar
belakang zaman dalam komunitas bahasa yang di dalamnya para penutur terlibat
langsung. Hal itu berfungsi untuk memberi nilai pada teks dan mendayakan
penafsirannya (Halliday dan Hasan, 1985).
Dalam permainan itu, penulis menemukan tanda yang mengacu pada
sesuatu dan memiliki makna yang lebih dalam sebagai hal yang dapat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

101
menunjukkan nilai karakter yang tersembunyi di dalam permainan itu. Tanda di
dalam permainan ini dapat menunjuk pada sesuatu yang perlu digali secara lebih
mendalam, sebagaimana Pierce (1965 dalam Foley, 2001) membedakan tanda atas
tiga jenis yakni indeks (index), simbol (symbol), dan ikon (icon). Kata ingkling
yang terdapat pada nama permainan itu merupakan indeks yang mengacu pada
cara berjalan melompat-lompat dengan satu kaki. Indeks adalah tanda yang
mewakili sumber acuan dengan cara menunjuk padanya atau mengaitkannya
(secara eksplisit atau implisit) dengan sumber acuan lain (Danesi, 2004). Dari hal
itu, penulis dapat menggali makna yang lebih dalam melalui indeks yang terdapat
di dalam permainan itu.
Permainan itu memiliki simbol yang dapat mengungkapkan makna yang
sebenarnya, yang dapat di telusuri melalui indeks yang telah diidentifikasi. Makna
itu dapat disebut sebagai nilai karakter yang tersembunyi. Berdasarkan hasil studi
dokumen dan percakapan etnografis yang dilakukan oleh penulis mengenai
deskripsi permainan dan deskripsi latar belakang budaya permainan, permainan
itu memiliki langkah-langkah yang harus dilalui sebagai proses di dalam
permainan, yang ditunjukkan oleh “Pemain akan memasuki petak dengan
melompat menggunakan satu kaki. Petak yang ditempati gacuk tidak boleh diinjak
atau ditempati. Pemain melompati setiap petak sampai kembali lagi ke posisi
semula atau titik awal tanpa menginjak petak yang di mana gacuk berada,
terjatuh, atau berdiri dengan dua kaki. Jika gagal, matilah dia dan gilliran
pemain selanjutnya.” (SD/DP/10) dan “mulai dari kita lahir, kita belajar mlumah,
kita belajar mengkurep, kita belajar mbrangkang, lalu kemudian kita berjalan,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

102
sekolah, kemudian kita berusaha mencapai apa yang menjadi cita-cita kita”
(PE/LB/10). Dengan demikian, hal itu dapat dimaknai bahwa ingkling menjadi
simbol usaha manusia untuk mencapai tujuan dengan bersusah payah dan petak-
petak yang harus dilalui satu-persatu itu menjadi simbol langkah atau proses yang
harus dijalani manusia untuk mencapai tujuan sehingga penulis dapat
merumuskan nilai karakter bahwa manusia selalu membutuhkan proses dalam
mencapai tujuan. Hal itu selaras dengan pandangan Pierce (dalam Danesi, 2004)
yang mengatakan bahwa simbol adalah tanda yang mewakili objeknya melalui
kesepakatan atau persetujuan dalam konteks spesifik. Makna-makna dalam suatu
simbol dibangun melalui kesepakatan sosial atau melalui beberapa tradisi historis.
Hal itu juga diperkuat oleh keterangan narasumber yang berkata bahwa tahapan-
tahapan itu yang kemudian harus kita ketahui ketika kita menjalani hidup di
dunia ini. Jadi, bagaimanapun juga, tahapan yang ada, melalui kotak-kotak,
kemudian lompatan-lompatan yang dilakukan ketika bermain ingkling sebenarnya
adalah menjadi dasar tumpuan bagaimana kemudian dalam hidup ini memang
kemudian tidak ada sesuatu yang mudah diraih (PE/LB/10). Hal itu ditegaskan
oleh Suseno (1985) yang mengungkapkan bahwa budaya Jawa sangat kental
dengan filosofi karakter atau sikap. Budaya Jawa sangat memegang nilai-nilai
luhur yang sangat kuat mengakar dalam kehidupan masyarakat sampai saat ini.
4.2.1.10 Manusia Harus Jeli dalam Melihat Peluang untuk Meraih Tujuan
Nilai karakter yang menyatakan bahwa manusia harus jeli dalam melihat
peluang untuk meraih tujuan terkandung dalam permainan Gobag Sodor.
Permainan Gobag Sodor dimainkan secara bersama-sama dengan 6 atau 8 anak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

103
Permainan ini merupakan permainan tim yang terbagi menjadi dua, yaitu tim
penjaga dan tim yang melewati rintangan. Setiap tim terdiri dari 3-4 anak yang
ditentukan berdasarkan hasil undi, seperti hompimpa dan pingsut. Tim penjaga
berdiri satu persatu pada petak-petak yang telah dibuat di tanah. Tim yang
melewati rintangan tidak boleh tertangkap atau tersentuh oleh para penjaga, yaitu
dengan berlari atau melewati para penjaga dari depan dan harus sampai kembali
ke depan lagi. Jika semua anak dalam tim itu berhasil, maka menanglah mereka.
Jika anak tertangkap oleh penjaga, maka matilah dia dan seluruh timnya, dan
harus bergantian menjadi tim penjaga. (SD/DP/11). Data yang menunjukkan
deskripsi latar belakang budaya permainan itu dapat diamati sebagai berikut.
Gobag sodor itu adalah bermain peluang. Jadi di mana
pada saatnya ketika kita itu tertutup buntet permasalahan
karena banyaknya hal yang harus kita hadapi, maka kita
harus jeli dalam membidik peluang, di mana ketika kita
mampu menerobos, ketika kita mampu melihat apa yang
sebenarnya ada di dalam permasalahan ini secara lebih
jernih, maka di situlah kita akan menemukan jalan keluar,
agar kita mampu mencapai apa yang menjadi tujuan kita.
(PE/LB/11)
Data di atas dapat memberikan suatu keterangan yang menguatkan
interpretasi penulis dalam menggali nilai-nilai karakter yang tersembunyi di
dalam permainan Gobag Sodor. Permainan tersebut terdiri dari dua kata, yaitu
gobag dan sodor. Kedua kata tersebut sebenarnya berasal dari bahasa Inggris,
yaitu go back through the door (PE/JP/1, PE/JP/3). Namun, masyarakat Jawa
kemudian mengadaptasinya menjadi gobag sodor. Data (SD/DP/11) menyatakan
bahwa permainan tersebut melatih kejelian pemain dalam menerobos daerah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

104
lawan sampai dapat menyeberang dan kembali ke tempat awal dengan baik,
sebagaimana dikatakan bahwa tim yang melewati rintangan tidak boleh
tertangkap atau tersentuh oleh para penjaga, yaitu dengan berlari atau melewati
para penjaga dari depan dan harus sampai kembali ke depan lagi. Dari
pernyataan tersebut, maka tampak bahwa ada keterkaitan antara kata-kata yang
membentuk nama permainan itu dengan aktivitas yang ada di dalamnya (go back
through the door), namun tentunya nama dan aktivitas yang mengikutinya pasti
memiliki makna lain yang lebih dalam. Maka, kata-kata yang menjadi nama
permainan itu merepresentasikan sesuatu yang menjadi bagian di dalam suatu
kebudayaan. Deskripsi latar belakang budaya permainan tersebut menunjukkan
hal-hal yang menjadi bagian di dalam suatu kebudayaan, khususnya budaya Jawa.
Song (2010) menyatakan bahwa konteks kultur mengacu pada budaya, adat
istiadat, latar belakang zaman dalam komunitas bahasa yang di dalamnya para
penutur terlibat langsung. Hal itu berfungsi untuk memberi nilai pada teks dan
mendayakan penafsirannya (Halliday dan Hasan, 1985).
Dalam permainan itu, penulis menemukan tanda yang mengacu pada
sesuatu dan memiliki makna yang lebih dalam sebagai hal yang dapat
menunjukkan nilai karakter yang tersembunyi di dalam permainan itu. Tanda di
dalam permainan ini dapat menunjuk pada sesuatu yang perlu digali secara lebih
mendalam, sebagaimana Pierce (1965 dalam Foley, 2001) membedakan tanda atas
tiga jenis yakni indeks (index), simbol (symbol), dan ikon (icon). Kata gobag dan
sodor (go back through the door - kembali melalui pintu) yang terdapat pada
nama permainan itu merupakan indeks yang mengacu pada aktivitas menerobos
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

105
pintu lawan untuk menyeberang dan kembali lagi ke tempat awal. Indeks adalah
tanda yang mewakili sumber acuan dengan cara menunjuk padanya atau
mengaitkannya (secara eksplisit atau implisit) dengan sumber acuan lain (Danesi,
2004). Dari hal itu, penulis dapat menggali makna yang lebih dalam melalui
indeks yang terdapat di dalam permainan itu.
Permainan itu memiliki simbol yang dapat mengungkapkan makna yang
sebenarnya, yang dapat di telusuri melalui indeks yang telah diidentifikasi. Makna
itu dapat disebut sebagai nilai karakter yang tersembunyi. Berdasarkan hasil studi
dokumen dan percakapan etnografis yang dilakukan oleh penulis mengenai
deskripsi permainan dan deskripsi latar belakang budaya permainan, setiap
permainan memiliki rintangan dan tantangan yang dapat menghambat kita untuk
meraih tujuan yang berupa kemenangan seperti kehidupan manusia itu sendiri,
yang ditunjukkan oleh “Jika anak tertangkap oleh penjaga, maka matilah dia dan
seluruh timnya, dan harus bergantian menjadi tim penjaga.” (SD/DP/11) dan “di
mana pada saatnya ketika kita itu tertutup buntet permasalahan karena
banyaknya hal yang harus kita hadapi, maka kita harus jeli dalam membidik
peluang, di mana ketika kita mampu menerobos” (PE/LB/11). Dengan demikian,
hal itu dapat dimaknai bahwa gobag (go back) menjadi simbol usaha yang harus
dilakukan manusia untuk mencapai tujuan dan sodor (through the door) menjadi
simbol banyaknya rintangan yang harus dihadapi dengan kejelian sehingga
penulis dapat merumuskan nilai karakter bahwa manusia harus jeli dalam melihat
peluang untuk meraih tujuan. Hal itu selaras dengan pandangan Pierce (dalam
Danesi, 2004) yang mengatakan bahwa simbol adalah tanda yang mewakili
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

106
objeknya melalui kesepakatan atau persetujuan dalam konteks spesifik. Makna-
makna dalam suatu simbol dibangun melalui kesepakatan sosial atau melalui
beberapa tradisi historis. Hal itu juga diperkuat oleh keterangan narasumber yang
berkata bahwa kita harus jeli dalam membidik peluang, di mana ketika kita
mampu menerobos, ketika kita mampu melihat apa yang sebenarnya ada di dalam
permasalahan ini secara lebih jernih, maka di situlah kita akan menemukan jalan
keluar, agar kita mampu mencapai apa yang menjadi tujuan kita (PE/LB/11). Hal
itu ditegaskan oleh Suseno (1985) yang mengungkapkan bahwa budaya Jawa
sangat kental dengan filosofi karakter atau sikap. Budaya Jawa sangat memegang
nilai-nilai luhur yang sangat kuat mengakar dalam kehidupan masyarakat sampai
saat ini.
4.2.1.11 Manusia Harus selalu Dapat Beradaptasi dalam Segala Situasi
Nilai karakter yang menyatakan bahwa manusia harus selalu dapat
beradaptasi dalam segala situasi terkandung dalam permainan Jamuran dan
Sliring Gendhing. Permainan Jamuran dimainkan secara bersama-sama dengan
empat anak atau lebih. Permainan ini pada dasarnya menirukan sifat jamur yang
menempel di tempat tertentu dengan yang kadang-kadang dilengkapi dengan
sifat-sifat lain dari hewan atau benda tertentu sehingga anak harus dapat
menirukan sifat itu semirip mungkin, misalnya diam jika jamur patung, bergaya
seperti motor jika jamur motor, dan lain-lain. Anak yang dadi biasanya dipilih
berdasarkan undi, misalnya hompimpah. Lalu, anak itu harus berjaga di tengah
lingkaran anak-anak yang memutarinya sambil bernyanyi lagu permainan.
Kemudian, anak-anak yang memutarinya tadi tiba pada kata yang berbunyi “sira
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

107
badhe jamur apa?” pada akhir lagu dan anak yang dadi harus menjawab jamur
tertentu. Setelah itu, anak-anak yang memutarinya tadi langsung melakukan hal
yang seperti dikatakan oleh anak yang dadi tadi. Jika ada anak yang gagal, maka
anak itu berganti menjadi anak yang dadi (SD/DP/12). Data yang menunjukkan
deskripsi latar belakang budaya permainan itu dapat diamati sebagai berikut.
Dalam syair tembang jamuran, itu kemudian yang
ditanyakan di sana adalah selalu “Jamur apa?”. Jamur itu
ibaratnya dia adalah sebuah tanaman cendawan yang
tumbuh barangkali ketika di musim-musim tertentu, dan
tumbuhnya pun kita juga tidak tahu, dia bisa tumbuh di
tanah menjadi jamur darat, dia bisa tumbuh di jerami
menjadi jamur damen, dia bisa tumbuh di kayu menjadi
jamur kuping, menjadi jamur kayu, dan sebagainya.
Namun demikian, esensi dari semuanya adalah bagaimana
ketika kita di dalam hidup ini tidak pernah menyerah, tidak
pernah menyerah dalam segala kondisi yang ada. Karena,
jamur itu tidak pernah kok, tumbuh di lahan yang
kemudian misalnya, ini subur banget. Jamur malah tidak
tumbuh di sana kok. Tapi, dia tumbuhnya malah di media-
media yang kemudian orang tidak mampu memperkirakan
ketika, o ternyata dia bisa tumbuh di sana ya. Contohnya
kayu, kalau dia belum lapuk, ya di situ jamur tidak akan
tumbuh. Setelah dia rusak, di situlah jamur akan mencoba
tumbuh. Padahal, jamur yang tumbuhnya tidak jelas, spora
itu datangnnya dari mana dan sebagainya, namun induksi
dari spora itulah yang kemudian mampu menumbuhkan
spirit hidup, agar kita lebih mengenal hidup, dan kita bisa
tahu akan makna kehidupan. (PE/LB/12)
Data di atas dapat memberikan suatu keterangan yang menguatkan
interpretasi penulis dalam menggali nilai-nilai karakter yang tersembunyi di
dalam permainan Jamuran. Permainan tersebut terdiri dari satu kata, yang berasal
dari kata jamur yang diberi akhiran –an sebagai tanda imitasi dari jamur yang
sebenarnya. Data (PE/LB/12) menyatakan bahwa permainan tersebut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

108
mengungkapkan tentang sifat jamur yang selalu dapat tumbuh di mana saja,
sebagaimana narasumber mengatakan bahwa jamur itu ibaratnya dia adalah
sebuah tanaman cendawan yang tumbuh barangkali ketika di musim-musim
tertentu, dan tumbuhnya pun kita juga tidak tahu, dia bisa tumbuh di tanah
menjadi jamur darat, dia bisa tumbuh di jerami menjadi jamur damen, dia bisa
tumbuh di kayu menjadi jamur kuping, menjadi jamur kayu, dan sebagainya. Dari
pernyataan tersebut, maka tampak bahwa ada keterkaitan antara kata yang
membentuk nama permainan itu dengan karakteristik tumbuhan itu yang
diragakan di dalam permainan dan pemain harus dapat mengikuti jenis jamurnya.
Kata-kata yang menjadi nama permainan itu merepresentasikan sesuatu yang
menjadi bagian di dalam suatu kebudayaan, yaitu sikap yang mudah beradaptasi.
Deskripsi latar belakang budaya permainan tersebut menunjukkan hal-hal yang
menjadi bagian di dalam suatu kebudayaan, khususnya budaya Jawa. Song (2010)
menyatakan bahwa konteks kultur mengacu pada budaya, adat istiadat, latar
belakang zaman dalam komunitas bahasa yang di dalamnya para penutur terlibat
langsung. Hal itu berfungsi untuk memberi nilai pada teks dan mendayakan
penafsirannya (Halliday dan Hasan, 1985).
Dalam permainan itu, penulis menemukan tanda yang mengacu pada
sesuatu dan memiliki makna yang lebih dalam sebagai hal yang dapat
menunjukkan nilai karakter yang tersembunyi di dalam permainan itu. Tanda di
dalam permainan ini dapat menunjuk pada sesuatu yang perlu digali secara lebih
mendalam, sebagaimana Pierce (1965 dalam Foley, 2001) membedakan tanda atas
tiga jenis yakni indeks (index), simbol (symbol), dan ikon (icon). Kata jamur yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

109
terdapat pada nama permainan itu merupakan ikon yang mengacu pada bentuk
tumbuhan yang bernama jamur. Ikon adalah tanda yang mewakili sumber acuan
melalui sebuah bentuk replikasi, simulasi, imitasi, atau persamaan. Sebuah tanda
dirancang untuk mempresentasikan sumber acuan melalui simulasi atau
persamaan (Danesi, 2004). Dari hal itu, penulis dapat menggali makna yang lebih
dalam melalui ikon yang terdapat di dalam permainan itu.
Permainan itu memiliki simbol yang dapat mengungkapkan makna yang
sebenarnya, yang dapat di telusuri melalui ikon yang telah diidentifikasi. Makna
itu dapat disebut sebagai nilai karakter yang tersembunyi. Berdasarkan hasil studi
dokumen dan percakapan etnografis yang dilakukan oleh penulis mengenai
deskripsi permainan dan deskripsi latar belakang budaya permainan, pemain harus
dapat mengikuti bentuk jamur yang diminta sebagaimana sifat jamur yang asli
juga selalu dapat beradaptasi dalam segala kondisi alam, yang ditunjukkan oleh
“anak harus dapat menirukan sifat itu semirip mungkin, misalnya diam jika jamur
patung, bergaya seperti motor jika jamur motor, dan lain-lain.” (SD/DP/12) dan
“dia bisa tumbuh di tanah menjadi jamur darat, dia bisa tumbuh di jerami
menjadi jamur damen, dia bisa tumbuh di kayu menjadi jamur kuping, menjadi
jamur kayu, dan sebagainya” (PE/LB/12). Dengan demikian, hal itu dapat
dimaknai bahwa jamur menjadi simbol sikap yang selalu dapat beradaptasi dalam
segala situasi di dalam kehidupan dan aktivtias di dalamnya pun anak harus dapat
meragakan gaya dari setiap jamur yang diminta secara acak tanpa diduga sehingga
penulis dapat merumuskan nilai karakter bahwa manusia harus selalu dapat
beradaptasi dalam segala situasi. Hal itu selaras dengan pandangan Pierce (dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

110
Danesi, 2004) yang mengatakan bahwa simbol adalah tanda yang mewakili
objeknya melalui kesepakatan atau persetujuan dalam konteks spesifik. Makna-
makna dalam suatu simbol dibangun melalui kesepakatan sosial atau melalui
beberapa tradisi historis. Hal itu juga diperkuat oleh keterangan narasumber yang
berkata bahwa esensi dari semuanya adalah bagaimana ketika kita di dalam
hidup ini tidak pernah menyerah, tidak pernah menyerah dalam segala kondisi
yang ada. Karena, jamur itu tidak pernah kok, tumbuh di lahan yang kemudian
misalnya, ini subur banget. Jamur malah tidak tumbuh di sana kok. Tapi, dia
tumbuhnya malah di media-media yang kemudian orang tidak mampu
memperkirakan (PE/LB/12). Hal itu ditegaskan oleh Suseno (1985) yang
mengungkapkan bahwa budaya Jawa sangat kental dengan filosofi karakter atau
sikap. Budaya Jawa sangat memegang nilai-nilai luhur yang sangat kuat mengakar
dalam kehidupan masyarakat sampai saat ini.
Selanjutnya, permainan Sliring Gendhing juga memiliki nilai karakter
yang sama dengan permainan Jamuran, namun lebih menekankan pada perubahan
situasi yang dapat kita hadapi sewaktu-waktu tanpa kita duga. Permainan Sliring
Gendhing dimainkan secara bersama-sama dengan jumlah anak yang genap, mulai
dari 4, 6, sampai 8 anak sambil menyanyikan lagu permainan saat melakukannya.
Permainan ini pada dasarnya saling bekerjasama untuk bergerak berputar secara
seimbang. Misalnya, empat anak berdiri dan empat anak bergantung pada tangan
anak yang berdiri sambil mempertemukan kaki mereka, yang mana semua anak
membentuk lingkaran lalu berputar seperti mangkok yang diputar. Permainan ini
dapat dijadikan permainan pertandingan jika dilakukan dengan minimal dua tim
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

111
yang masing-masing terdiri dari jumlah anak yang ganjil tadi. Tim yang lebih
lama mempertahankan gerakan tanpa terjatuh adalah pemenangnya (SD/DP/24).
Dari pernyataan tersebut, Sliring Gendhing memiliki permainan yang
berbeda dengan Jamuran, yaitu dilakukan dengan saling bekerjasama membentuk
pola roda yang dilakukan dengan lebih sulit dari Dhiingklik Oglak-aglik dan
dilakukan sambil berputar. Hal yang membuat kedua permainan ini memiliki nilai
karakter yang sama adalah acuan yang mengarah pada hal yang sama, walaupun
dikemas dengan cara yang berbeda. Sebagaimana hal yang telah kita ketahui,
permainan Jamuran menggunakan tanda berupa ikon jamur yang ditirukan atau
diragakan oleh para pemainnya, yang dari padanya tersirat pesan tersembunyi
melalui simbolisasi sifat jamur yang dapat beradaptasi atau hidup di segala
kondisi media di mana dia hidup, sedangkan Sliring Gendhing ini menggunakan
tanda berupa ikon pula, namun dengan bentuk yang berbeda, yaitu gerakan
berputar yang dilakukan oleh para pemainnnya dengan bentuk seperti roda. Hal
itu bermakna bahwa hidup ini bagaikan roda yang terus berputar dan selalu
berubah posisi dari atas ke samping, dari samping ke bawah, dan seterusnya,
sebagaimana hal itu juga terkait dengan konteks budaya sebagai pemberi nilai
pada teks dan mendayakan penafsirannya (Halliday dan Hasan, 1985). Artinya,
situasi hidup manusia pasti selalu berubah sehingga dapat bermakna simbolis
bahwa manusia harus selalu dapat beradaptasi dalam segala situasi, karena
manusia bagaikan hidup di atas roda tadi yang terus berputar. Aktivitas di dalam
permainan ini juga bermakna simbolis yang ditandai dengan kemungkinan
gagalnya pegangan antarpemain ketika mereka berputar sehingga pemain dapat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

112
terjatuh atau terlempar. Hal itu juga bermakna bahwa apabila manusia tidak dapat
beradaptasi pada kondisi yang kacau, maka dia tidak dapat bertahan atau tidak
dapat menjalani hidup dengan baik dan justru ikut menjadi manusia yang kacau
dan jatuh. Hal itu diperkuat dengan pernyataan narasumber bahwa bagaimana kita
itu tetap bisa menghadapi segala sesuatu itu dengan tenang, tanpa kita merasa
gugup, agar sliringing gendhing itu tadi tidak mengganggu harmoni kehidupan
yang ada (PE/LB/24). Maka, manusia harus selalu dapat beradaptasi dalam segala
situasi agar tidak mengikuti arus kekacauan dan terjatuh.
4.2.1.12 Manusia Harus Memiliki Prinsip Hidup yang Kuat
Nilai karakter yang menyatakan bahwa manusia harus memiliki prinsip
hidup yang kuat terkandung dalam permainan Keris Janur dan Pong-pong
Bolong. Permainan Keris Janur dilakukan dengan membuat mainan yang terbuat
dari daun pohon kelapa yang masih muda. Mainan berbentuk seperti keris dan
dibuat dengan cara khusus sehingga membutuhkan keterampilan yang cukup
tinggi bagi anak (SD/DP/15). Data yang menunjukkan deskripsi latar belakang
budaya permainan itu dapat diamati sebagai berikut.
Janur dalam pandangan budaya Jawa adalah konsep nur.
Makanya, kenapa setiap kali upacara temanten itu tidak
pernah lepas dari yang namanya janur. Karena, di dalam
janur, konsep nur, konsep cahaya, itu adalah menjadi salah
satu penanda, bahwasannya masih ada hidup. Kalau sudah
tidak ada hidup, maka nur itu akan hilang. Apalagi,
namanya adalah Keris Janur. Keris itu adalah kekeran
ingkang aris, bagaimana kemudian, kita punya pegangan
hidup yang dilandasi dengan cahaya kehidupan itu sendiri.
Maka dengan demikian, sebenarnya dari kecil itu kita
sudah diajari bermain untuk sinau urip dan agar kita
mampu mencapai apa yang menjadi tujuan dari hidup itu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

113
sendiri melalui cahaya yang ada pada setiap pribadi kita.
Dengan sadar akan cahaya hidup yang ada, dengan sadar
akan cahyaning panguripan, maka kita diharapkan di sana
kita juga sadar, bagaimana kita harus mengetahui apa yang
kita sembah, ke mana kita manembah, dan siapa yang kita
buat manembah itu, tidak lain adalah Tuhan Yang Maha
Esa. (PE/LB/15)
Data di atas dapat memberikan suatu keterangan yang menguatkan
interpretasi penulis dalam menggali nilai-nilai karakter yang tersembunyi di
dalam permainan Keris Janur. Permainan tersebut terdiri dari dua kata, yaitu keris
dan janur. Kata keris berarti senjata tajam khas Jawa dan kata janur berarti daun
kelapa yang masih muda. Data (PE/LB/1) menyatakan bahwa permainan tersebut
mengungkapkan tentang prinsip hidup yang harus dimiliki oleh manusia,
sebagaimana narasumber mengatakan bahwa kita punya pegangan hidup yang
dilandasi dengan cahaya kehidupan itu sendiri. Maka dengan demikian,
sebenarnya dari kecil itu kita sudah diajari bermain untuk sinau urip dan agar
kita mampu mencapai apa yang menjadi tujuan dari hidup itu sendiri melalui
cahaya yang ada pada setiap pribadi kita. Dari pernyataan tersebut, maka tampak
bahwa ada keterkaitan antara kata-kata yang membentuk nama permainan itu
dengan makna yang ada di dalamnya. Kata-kata yang menjadi nama permainan itu
merepresentasikan sesuatu yang menjadi bagian di dalam suatu kebudayaan.
Deskripsi latar belakang budaya permainan tersebut menunjukkan hal-hal yang
menjadi bagian di dalam suatu kebudayaan, khususnya budaya Jawa. Song (2010)
menyatakan bahwa konteks kultur mengacu pada budaya, adat istiadat, latar
belakang zaman dalam komunitas bahasa yang di dalamnya para penutur terlibat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

114
langsung. Hal itu berfungsi untuk memberi nilai pada teks dan mendayakan
penafsirannya (Halliday dan Hasan, 1985).
Dalam permainan itu, penulis menemukan tanda yang mengacu pada
sesuatu dan memiliki makna yang lebih dalam sebagai hal yang dapat
menunjukkan nilai karakter yang tersembunyi di dalam permainan itu. Tanda di
dalam permainan ini dapat menunjuk pada sesuatu yang perlu digali secara lebih
mendalam, sebagaimana Pierce (1965 dalam Foley, 2001) membedakan tanda atas
tiga jenis yakni indeks (index), simbol (symbol), dan ikon (icon). Kata keris dan
janur yang terdapat pada nama permainan itu merupakan ikon yang mengacu
pada mainan keris yang terbuat dari janur. Ikon adalah tanda yang mewakili
sumber acuan melalui sebuah bentuk replikasi, simulasi, imitasi, atau persamaan.
Sebuah tanda dirancang untuk mempresentasikan sumber acuan melalui simulasi
atau persamaan (Danesi, 2004). Dari hal itu, penulis dapat menggali makna yang
lebih dalam melalui ikon yang terdapat di dalam permainan itu.
Permainan itu memiliki simbol yang dapat mengungkapkan makna yang
sebenarnya, yang dapat di telusuri melalui ikon yang telah diidentifikasi. Makna
itu dapat disebut sebagai nilai karakter yang tersembunyi. Berdasarkan hasil studi
dokumen dan percakapan etnografis yang dilakukan oleh penulis mengenai
deskripsi permainan dan deskripsi latar belakang budaya permainan, permainan
ini bersifat mengasah keterampilan tangan anak dalam membuat mainan atau
media permainan yang berupa tiruan keris yang terbuat dari janur yang memiliki
makna terang atau cahaya dan keris itu sendiri dalam budaya Jawa merupakan
tanda kekuatan sekalligus sebagai senjata yang dapat bertahan lama (abadi), yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

115
ditunjukkan oleh “mainan berbentuk seperti keris dan dibuat dengan cara khusus
sehingga membutuhkan keterampilan yang cukup tinggi bagi anak” (SD/DP/15)
dan “Janur dalam pandangan budaya Jawa adalah konsep nur. Makanya, kenapa
setiap kali upacara temanten itu tidak pernah lepas dari yang namanya janur.
Karena, di dalam janur, konsep nur, konsep cahaya, itu adalah menjadi salah
satu penanda, bahwasannya masih ada hidup. Kalau sudah tidak ada hidup, maka
nur itu akan hilang. Apalagi, namanya adalah Keris Janur. Keris itu adalah
kekeran ingkang aris, bagaimana kemudian, kita punya pegangan hidup yang
dilandasi dengan cahaya kehidupan itu sendiri” (PE/LB/15). Dengan demikian,
hal itu dapat dimaknai bahwa keris menjadi simbol prinsip hidup yang tak
tergoyahkan karena prinsip tersebut memiliki sifat kuat dan abadi, janur menjadi
simbol kebenaran (Tuhan) yang menerangi kehidupan manusia, dan tingkat
kesulitan yang tinggi dalam membuat media tersebut dapat menjadi simbol
tantangan yang dapat ditaklukkan dengan kekuatan atau prinsip itu sehingga
penulis dapat merumuskan nilai karakter bahwa manusia harus memiliki prinsip
hidup yang kuat. Hal itu selaras dengan pandangan Pierce (dalam Danesi, 2004)
yang mengatakan bahwa simbol adalah tanda yang mewakili objeknya melalui
kesepakatan atau persetujuan dalam konteks spesifik. Makna-makna dalam suatu
simbol dibangun melalui kesepakatan sosial atau melalui beberapa tradisi historis.
Permainan ini mengandung nilai filosofis yang kuat melalui simbolisasi keris
sebagai hasil kebudayaan Jawa yang khas. Hal itu ditegaskan oleh Suseno (1985)
yang mengungkapkan bahwa budaya Jawa sangat kental dengan filosofi karakter
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

116
atau sikap. Budaya Jawa sangat memegang nilai-nilai luhur yang sangat kuat
mengakar dalam kehidupan masyarakat sampai saat ini.
Selanjutnya, permainan Pong-pong Bolong juga memiliki nilai karakter
yang sama dengan permainan Keris Janur, namun lebih menekankan pada
konsekuensi yang kita terima atau alami apabila kita tidak punya prinsip yang
kuat. Permainan Pong-pong Bolong dimainkan secara bersama-sama dengan
empat anak atau lebih. Permainan ini dilakukan sambil menyanyikan lagu
permainan dan dilakukan dengan sangat mudah, yaitu anak-anak menyusun
tangan kiri mereka secara mengepal. Setelah tersusun, anak yang ditunjuk sebagai
pemimpin menyanyikan lagu permainan sambil menaruh jari telunjuknya dan
melakukan gerakan berputar. Lalu, mereka memecah kepalan tangan secara
berurutan dari bawah ke atas sampai terpecah semua. Kemudian, pemimpin
mencubit tangan anak yang paling atas dan anak itu menyembunyikannya di
dalam ketiak sampai semuanya menyembunyikan tangan mereka. Selanjutnya,
pemimpin melakukan dialog dengan salah satu anak yang dianggap sebagai
penggembala sampai pada akhirnya mereka bersama-sama menyanyikan lagu
permainan kembali sampai selesai. (SD/DP/23).
Dari pernyataan tersebut, Pong-pong Bolong memiliki permainan yang
sangat berbeda dengan Keris Janur, yaitu dilakukan dengan peragaan tangan
sambil bernyanyi. Hal yang membuat kedua permainan ini memiliki nilai karakter
yang sama adalah acuan yang mengarah pada hal yang sama, walaupun dikemas
dengan cara yang berbeda. Sebagaimana hal yang telah kita ketahui, permainan
Keris Janur menggunakan tanda berupa ikon mainan keris yang terbuat dari janur,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

117
yang dari padanya tersirat pesan tersembunyi melalui simbolisasi keris dan janur
dalam kaitannya dengan konteks budaya sebagai pemberi nilai pada teks dan
mendayakan penafsirannya (Halliday dan Hasan, 1985), sedangkan Pong-pong
Bolong ini menggunakan tanda berupa ikon pula, namun dengan bentuk yang
berbeda, yaitu tangan yang kosong, saling ditumpuk, dan pecah. Hal itu bermakna
bahwa apabila kita kosong dan tidak memiliki prinsip hidup, maka kita akan
hancur seperti tangan yang diragakan seperti kepompong yang pecah karena tidak
memilliki isi. Namun, nama permainan ini juga dapat menjadi indeks karena
langsung dapat mengacu pada arti lemah yang diwakili oleh kata pong dan kosong
yang diwakili oleh kata bolong sehingga dapat bermakna simbolis bahwa manusia
yang tidak berprinsip akan menjadi pribadi yang lemah dan kosong. Hal itu
diperkuat dengan pernyataan narasumber bahwa ketika, satu, kita tidak punya
prinsip, ketika kita tidak punya tujuan itulah, maka bisa dikatakan dia menjadi
bawang kothong ataupun pong-pong bolong. Kelihatannya di luar megah
misalnya, akan tetapi pada sejatinya, yang di dalam sudah hilang (PE/LB/23).
Maka, manusia harus memiliki prinsip hidup yang kuat agar tidak menjadi pribadi
lemah dan kosong.
4.2.1.13 Manusia Tidak Perlu Serakah Karena Sudah Memiliki Bagian dan
Peran Masing-masing
Nilai karakter yang menyatakan bahwa manusia tidak perlu serakah karena
sudah memiliki bagian dan peran masing-masing terkandung dalam permainan
Kitiran Godhong Tela. Permainan Kitiran Godhong Tela dilakukan dengan
membuat mainan yang terbuat dari daun singkong beserta dengan batang dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

118
daun itu. Mainan berupa seperti stick dengan daun yang sudah dipotong setengah
dan dimainkan dengan cara diputar-putar pada jari telunjuk (SD/DP/16). Data
yang menunjukkan deskripsi latar belakang budaya permainan itu dapat diamati
sebagai berikut.
Kitiran Godhong Tela itu adalah konsep pasaran. Jadi
secara jumlah daun kalau dipertemukan dengan konsep
penanggalan Jawa, yang konsep penanggalan Jawa itu
sebenarnya adalah konsep panca suda, pahing, pon, wage,
kliwon, legi. Nah, di mana dalam kitiran itu kan selalu
munyer sebagai sebuah siklus. Nah, demikian juga dengan
panca suda tadi, hitungan hari dalam pasaran Jawa. Kalau
sekarang kita mengenal, bagaimana kemudian melalui
pasaran itulah, dulu segi-segi kehidupan ini berjalan.
Contohnya barangkali sekarang, kita masih bisa melihat
kalau misalnya terkait dengan konsep perekonomian, o
pahing kuwi pasarane Prambanan, legi pasarane pasar
Jangkang, di mana di situlah kemudian secara tidak
langsung, misalnya pasar-pasar rakyat istilahnya ini nanti
akan selalu bergulir secara perekonomian. Secara
pemahaman yang lain, Kitiran Godhong Tela sebenarnya
bisa dibaca sebagai satu pandangan konsep kehidupan
ketuhanan. Karena kenapa? Pahing misalnya, pahing itu
warnanya merah. Kenapa berwarna merah? Karena dia
posisinya di selatan. Kenapa di selatan? Karena di sanalah
kemudian tempat munculnya energi yang berwarna merah.
Kenapa kemudian di selatan lagi? Karena di selatanlah
segala gelombang itu muncul. Kenapa tidak di utara?
Karena utara adalah bagiannya wage. Kenapa tidak di
barat? Barat sudah bagiannya legi. Kenapa tidak di tengah?
Tengah adalah bagiannya kliwon sehingga apa? Kita itu
diharapkan tidak perlu njarah rayah darbe ing liyan. Akan
tetapi, bagaimana kemudian apa potensi yang ada di dalam
diri kita ketika kita kembangkan dan kita bisa selaras
mengikuti dengan perkembangan jaman yang ada, kita
akan mampu memaknai dan memakai itu sebagai satu
pijakan hidup di dalam bermasyarakat. (PE/LB/16)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

119
Data di atas dapat memberikan suatu keterangan yang menguatkan
interpretasi penulis dalam menggali nilai-nilai karakter yang tersembunyi di
dalam permainan Kitiran Godhong Tela. Permainan tersebut terdiri dari tiga kata,
yaitu kitiran, godhong, dan tela. Kata kitiran berarti baling-baling, kata godhong
berarti daun, dan kata tela berarti singkong. Data (PE/LB/16) menyatakan bahwa
permainan tersebut mengungkapkan konsep pasaran atau penanggalan dalam
budaya Jawa yang berjumlah lima hari seperti jumlah ruas daun ketela,
sebagaimana narasumber mengatakan bahwa Kitiran Godhong Tela itu adalah
konsep pasaran. Jadi secara jumlah daun kalau dipertemukan dengan konsep
penanggalan Jawa, yang konsep penanggalan Jawa itu sebenarnya adalah
konsep panca suda, pahing, pon, wage, kliwon, legi. Nah, di mana dalam kitiran
itu kan selalu munyer sebagai sebuah siklus. Dari pernyataan tersebut, maka
tampak bahwa ada keterkaitan antara kata-kata yang membentuk nama permainan
itu dengan makna yang ada di dalamnya. Kata-kata yang menjadi nama permainan
itu merepresentasikan sesuatu yang menjadi bagian di dalam suatu kebudayaan.
Deskripsi latar belakang budaya permainan tersebut menunjukkan hal-hal yang
menjadi bagian di dalam suatu kebudayaan, khususnya budaya Jawa. Song (2010)
menyatakan bahwa konteks kultur mengacu pada budaya, adat istiadat, latar
belakang zaman dalam komunitas bahasa yang di dalamnya para penutur terlibat
langsung. Hal itu berfungsi untuk memberi nilai pada teks dan mendayakan
penafsirannya (Halliday dan Hasan, 1985).
Dalam permainan itu, penulis menemukan tanda yang mengacu pada
sesuatu dan memiliki makna yang lebih dalam sebagai hal yang dapat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

120
menunjukkan nilai karakter yang tersembunyi di dalam permainan itu. Tanda di
dalam permainan ini dapat menunjuk pada sesuatu yang perlu digali secara lebih
mendalam, sebagaimana Pierce (1965 dalam Foley, 2001) membedakan tanda atas
tiga jenis yakni indeks (index), simbol (symbol), dan ikon (icon). Kata-kata yang
terdapat pada nama permainan itu merupakan ikon yang mengacu pada media
permainan yang dibuat dengan daun ketela itu sendiri, tanpa banyak proses
perubahan dari bahan menjadi mainan. Ikon adalah tanda yang mewakili sumber
acuan melalui sebuah bentuk replikasi, simulasi, imitasi, atau persamaan. Sebuah
tanda dirancang untuk mempresentasikan sumber acuan melalui simulasi atau
persamaan (Danesi, 2004). Dari hal itu, penulis dapat menggali makna yang lebih
dalam melalui ikon yang terdapat di dalam permainan itu.
Permainan itu memiliki simbol yang dapat mengungkapkan makna yang
sebenarnya, yang dapat di telusuri melalui ikon yang telah diidentifikasi. Makna
itu dapat disebut sebagai nilai karakter yang tersembunyi. Berdasarkan hasil studi
dokumen dan percakapan etnografis yang dilakukan oleh penulis mengenai
deskripsi permainan dan deskripsi latar belakang budaya permainan, permainan
itu sangat sederhana dan langsung mengacu pada objek, mainan, atau media
permaian itu sendiri yang dimainkan dengan cara diputar-putarkan pada jari
telunjuk dan ternyata jumlah ruas pada daun singkong mengungkapkan konsep
atau sistem penanggalan Jawa, yang ditunjukkan oleh “Permainan Kitiran
Godhong Tela dilakukan dengan membuat mainan yang terbuat dari daun
singkong beserta dengan batang dari daun itu. Mainan berupa seperti stick
dengan daun yang sudah dipotong setengah dan dimainkan dengan cara diputar-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

121
putar pada jari telunjuk.” (SD/DP/16) dan “Kitiran Godhong Tela itu adalah
konsep pasaran. Jadi secara jumlah daun kalau dipertemukan dengan konsep
penanggalan Jawa, yang konsep penanggalan Jawa itu sebenarnya adalah
konsep panca suda, pahing, pon, wage, kliwon, legi. Nah, di mana dalam kitiran
itu kan selalu munyer sebagai sebuah siklus. Nah, demikian juga dengan panca
suda tadi, hitungan hari dalam pasaran Jawa.” (PE/LB/16). Jumlah daun
singkong itu menjadi indeks yang mengacu pada sistem penanggalan Jawa,
sebagaimana indeks adalah tanda yang mewakili sumber acuan dengan cara
menunjuk padanya atau mengaitkannya (secara eksplisit atau implisit) dengan
sumber acuan lain (Danesi, 2004).
Dari indeks tersebut, penulis dapat menggali makna yang lebih dalam
terhadap simbol yang dibawa melalui indeks tersebut. Indeks itu mengandung
simbol tentang jumlah hari dalam penanggalan Jawa yang terdiri dari Wage,
Kliwon, Legi, Pahing, dan Pon. Dalam konteks budaya Jawa, kehidupan ekonomi
masyarakatnya sangat dipengaruhi oleh hari-hari tersebut, sebagaimana
narasumber berkata demikian “contohnya barangkali sekarang, kita masih bisa
melihat kalau misalnya terkait dengan konsep perekonomian, o pahing kuwi
pasarane Prambanan, legi pasarane pasar Jangkang, di mana di situlah
kemudian secara tidak langsung, misalnya pasar-pasar rakyat istilahnya ini nanti
akan selalu bergulir secara perekonomian” (PE/LB/16). Hal itu menunjukkan
bahwa aktivitas perekonomian diatur atau ditentukan oleh hari dalam penanggalan
Jawa sebagai tanda bahwa segala sesuatu sudah ditentukan bagiannya, dan hal itu
terus berjalan bagaikan putaran baling-baling dari permainan Kitiran Godhong
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

122
Tela. Dengan demikian, hal itu dapat dimaknai bahwa kitiran menjadi simbol
perputaran atau siklus kehidupan yang terus berlangsung dan godhong tela
menjadi simbol jumlah hari yang menjadi tanda aturan perputaran kehidupan
bahwa manusia sudah memiliki bagian mereka masing-masing sehingga penulis
dapat merumuskan nilai karakter bahwa manusia tidak perlu serakah karena sudah
memiliki bagian dan peran masing-masing. Hal itu selaras dengan pandangan
Pierce (dalam Danesi, 2004) yang mengatakan bahwa simbol adalah tanda yang
mewakili objeknya melalui kesepakatan atau persetujuan dalam konteks spesifik.
Makna-makna dalam suatu simbol dibangun melalui kesepakatan sosial atau
melalui beberapa tradisi historis. Hal itu juga diperkuat oleh keterangan
narasumber yang berkata bahwa kita itu diharapkan tidak perlu njarah rayah
darbe ing liyan. Akan tetapi, bagaimana kemudian apa potensi yang ada di dalam
diri kita ketika kita kembangkan dan kita bisa selaras mengikuti dengan
perkembangan jaman yang ada, kita akan mampu memaknai dan memakai itu
sebagai satu pijakan hidup di dalam bermasyarakat (PE/LB/16). Hal itu
ditegaskan oleh Suseno (1985) yang mengungkapkan bahwa budaya Jawa sangat
kental dengan filosofi karakter atau sikap. Budaya Jawa sangat memegang nilai-
nilai luhur yang sangat kuat mengakar dalam kehidupan masyarakat sampai saat
ini.
4.2.1.14 Manusia Harus Membuang Segala Sifat Buruk Agar Tercipta
Kehidupan yang Harmonis
Nilai karakter yang menyatakan bahwa manusia harus membuang segala
sifat buruk agar tercipta kehidupan yang harmonis terkandung dalam permainan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

123
Kucing-kucingan. Permainan Kucing-kucingan dimainkan secara bersama-sama
dengan lima anak, tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih. Permainan ini pada
dasarnya berkompetisi untuk merebut tempat berdiri bagi anak yang dadi, dan
bertukar tempat bagi empat anak yang telah memiliki tempat berdirinya masing-
masing dengan cara bergandengan tangan lalu bertukar tempat. Pada saat itulah,
anak yang dadi berusaha merebut tempat. Jika berhasil, anak yang memiliki
tempat tadi menjadi anak yang dadi. Lalu, jika anak yang dadi itu gagal merebut,
maka teman-temannya menggotongnya untuk dibuang seperti kucing dan setelah
dibuang, mereka semua kembali lagi ke tempat asal untuk berebut tempat.
Demikian permainan terus berlanjut sampai mereka lelah dan berakhir dengan
sendirinya (SD/DP/18). Data yang menunjukkan deskripsi latar belakang budaya
permainan itu dapat diamati sebagai berikut.
Kucing-kucingan itu salah satu tembangnya adalah yo
mbuwang kucing gering, elingku, seperti itu. Nah, kenapa
kucing yang gering ini harus dibuang? Sebagaimana kalau
misalnya, di masyarakat itu ada sesuatu yang menjadi
istilahnya kalau sekarang mungkin yang lebih akrab
istilahnya pekat atau penyakit masyarakat. Kenapa itu
harus dibuang? Karena selama pekat itu nantinya akan
mendominasi, maka di sana nanti akan menciptakan
suasana yang disharmoni sehingga dibuangnya kucing ini
sebenarnya adalah lambang dibuangnya suatu energi
negatif, suatu tingkah laku negatif yang diharapkan
kemudian mampu memunculkan suasana harmonis
sebagaimana yang menjadi dambaan hampir di semua
tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. (PE/LB/18)
Data di atas dapat memberikan suatu keterangan yang menguatkan
interpretasi penulis dalam menggali nilai-nilai karakter yang tersembunyi di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

124
dalam permainan Kucing-kucingan. Permainan tersebut terdiri dari satu kata yang
diulang dan mendapat akhiran –an, yang menunjukkan adanya proses imitasi
terhadap sifat hewan kucing di dalam permainan. Data (PE/LB/18) menyatakan
bahwa permainan tersebut menggambarkan seekor kucing yang gering atau sakit
yang melambangkan hal-hal atau sifat-sifat negatif yang ada dalam seseorang dan
mengganggu kehidupan bermasyarakat, sebagaimana narasumber mengatakan
“Nah, kenapa kucing yang gering ini harus dibuang? Sebagaimana kalau
misalnya, di masyarakat itu ada sesuatu yang menjadi istilahnya kalau sekarang
mungkin yang lebih akrab istilahnya pekat atau penyakit masyarakat”. Dari
pernyataan tersebut, maka tampak bahwa ada keterkaitan antara kata-kata yang
membentuk nama permainan itu dengan makna yang ada di dalamnya. Kata-kata
yang menjadi nama permainan itu merepresentasikan sesuatu yang menjadi
bagian di dalam suatu kebudayaan. Deskripsi latar belakang budaya permainan
tersebut menunjukkan hal-hal yang menjadi bagian di dalam suatu kebudayaan,
khususnya budaya Jawa. Song (2010) menyatakan bahwa konteks kultur mengacu
pada budaya, adat istiadat, latar belakang zaman dalam komunitas bahasa yang di
dalamnya para penutur terlibat langsung. Hal itu berfungsi untuk memberi nilai
pada teks dan mendayakan penafsirannya (Halliday dan Hasan, 1985).
Dalam permainan itu, penulis menemukan tanda yang mengacu pada
sesuatu dan memiliki makna yang lebih dalam sebagai hal yang dapat
menunjukkan nilai karakter yang tersembunyi di dalam permainan itu. Tanda di
dalam permainan ini dapat menunjuk pada sesuatu yang perlu digali secara lebih
mendalam, sebagaimana Pierce (1965 dalam Foley, 2001) membedakan tanda atas
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

125
tiga jenis yakni indeks (index), simbol (symbol), dan ikon (icon). Kata kucing
yang terdapat pada nama permainan itu merupakan ikon yang mengacu pada
hewan kucing secara langsung. Ikon adalah tanda yang mewakili sumber acuan
melalui sebuah bentuk replikasi, simulasi, imitasi, atau persamaan. Sebuah tanda
dirancang untuk mempresentasikan sumber acuan melalui simulasi atau
persamaan (Danesi, 2004). Dari hal itu, penulis dapat menggali makna yang lebih
dalam melalui ikon yang terdapat di dalam permainan itu.
Permainan itu memiliki simbol yang dapat mengungkapkan makna yang
sebenarnya, yang dapat di telusuri melalui ikon yang telah diidentifikasi. Makna
itu dapat disebut sebagai nilai karakter yang tersembunyi. Berdasarkan hasil studi
dokumen dan percakapan etnografis yang dilakukan oleh penulis mengenai
deskripsi permainan dan deskripsi latar belakang budaya permainan, aktivitas
mbuwang kucing gering seperti kalimat yang terdapat dalam syair lagunya, yang
berarti membuang kucing yang sakit dapat dimaknai sebagai usaha untuk
membuang hal-hal atau sifat-sifat negatif yang terdapat di dalam diri seseoarang
maupun masyarakat yang mengganggu keharmonisan kehidupan bermasyarakat
itu sendiri, yang ditunjukkan oleh “Lalu, jika anak yang dadi itu gagal merebut,
maka teman-temannya menggotongnya untuk dibuang seperti kucing.”
(SD/DP/18) dan “karena selama pekat (penyakit masyarakat) itu nantinya akan
mendominasi, maka di sana nanti akan menciptakan suasana yang disharmoni
sehingga dibuangnya kucing ini sebenarnya adalah lambang dibuangnya suatu
energi negatif” (PE/LB/18). Kucing yang sakit dalam konteks budaya Jawa
maupun kehidupan sehari-hari selalu menjadi hewan yang ditakuti dan dihindari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

126
sehingga banyak orang yang membuangnya. Dengan demikian, hal itu dapat
dimaknai bahwa kucing (kucing gering – dalam konteks permainan itu) menjadi
simbol energi, hal, atau sifat negatif dalam diri seseorang dan aktivitas membuang
kucing yang sakit itu menjadi simbol usaha manusia untuk membuang sifat-sifat
negatif agar tidak mengganggu orang lain sehingga penulis dapat merumuskan
nilai karakter bahwa manusia harus membuang segala sifat buruk agar tercipta
kehidupan yang harmonis. Hal itu selaras dengan pandangan Pierce (dalam
Danesi, 2004) yang mengatakan bahwa simbol adalah tanda yang mewakili
objeknya melalui kesepakatan atau persetujuan dalam konteks spesifik. Makna-
makna dalam suatu simbol dibangun melalui kesepakatan sosial atau melalui
beberapa tradisi historis. Budaya Jawa selalu menunjung nilai-nilai keharmonisan
dalam kehidupan bermasyarakat sehingga sikap demikian sangatlah penting. Hal
itu ditegaskan oleh Suseno (1985) yang mengungkapkan bahwa budaya Jawa
sangat kental dengan filosofi karakter atau sikap. Budaya Jawa sangat memegang
nilai-nilai luhur yang sangat kuat mengakar dalam kehidupan masyarakat sampai
saat ini.
4.2.1.15 Manusia Harus Dapat Merangkai dan Merencanakan
Kehidupannya Sesuai dengan Kehendak Tuhan
Nilai karakter yang menyatakan bahwa manusia harus dapat merangkai
dan merencanakan kehidupannya sesuai dengan kehendak Tuhan terkandung
dalam permainan Kupluk Godhong. Permainan Kupluk Godhong dilakukan
dengan membuat mainan yang terbuat dari daun yang berukuran agak besar dan
beberapa potongan-potongan lidi. Mainan berbentuk seperti mahkota untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

127
dipakai seperti topi dan dibuat dengan merangkai daun-daun menggunakan lidi
(SD/DP/19). Data yang menunjukkan deskripsi latar belakang budaya permainan
itu dapat diamati sebagai berikut.
Dalam Kupluk Godhong itu, kita itu sebenarnya diajari
ngronce, ngronce reroncening urip. Karena apa? Kalau kita
ngronce, jadi, dari sesuatu yang berserakan, dironce itu kan
tadinya pasti nggak ngumpul ta Mas, godhong nangka
sendiri kan nggak mungkin kita kemudian menek ngethok
wite kan enggak, akan tetapi adalah dari daun-daun yang
berserakan. Demikian juga dengan segala sesuatu yang ada
ini kan terntunya bermula dari ceceran-ceceran yang
kemudian kalau kita itu mampu negsuhi, kalau kemudian
kita itu mampu mewadahi segala sesuatu, unsur yang
bermanfaat bagi diri kita, tentunya, itu nanti akan menjadi
mahkota yang melekat pada diri kita. Karena kan setelah
direnteng, istilahnya, kupluk ini nanti kan akan dipakai
kan. Nah, kenapa kemudian dipakai? Karena kupluk
godhong inilah sebenarnya dari tebaran-tebaran sesuatu
yang tidak berguna dan tebaran-tebaran yang kita sendiri
tidak pernah tahu, kenapa misalnya kita ditebar di bumi
Jawa, kita nggak pernah tahu, yang tahu itu ya misterinya
Sang Pencipta. Nah, dari tebaran yang ada itulah kemudian
kita diharapkan tahu kenapa kok kowe tak tebar neng kene,
misalnya, dan kenapa kemudian dari tebaran itu kita pilih
yang kita sendiri tidak bisa selak istilahnya, yen umpama
kita itu bisa memilih, ya milih dadi anak presiden ket
mbiyen. Tapi kan kita nggak bisa memilih, di manapun,
kita tidak bisa memilih itu, dan yang tahu adalah
bagaimana kemudian tebaran-tebaran yang ada itu kita
rangkai agar kemudian mampu menghasilkan sesuatu yang
bermanfaat dan berdayaguna bagi diri kita, syukur bagi
kemudian bisa menjadi sesuatu yang bermanfaat untuk
masyarakat yang lebih luas lagi. (PE/LB/19)
Data di atas dapat memberikan suatu keterangan yang menguatkan
interpretasi penulis dalam menggali nilai-nilai karakter yang tersembunyi di
dalam permainan Kupluk Godhong. Permainan tersebut terdiri dari dua kata, yaitu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

128
kupluk dan godhong. Kata kupluk berarti penutup kepala, dan kata godhong
berarti daun. Data (PE/LB/19) menyatakan bahwa permainan tersebut
mengungkapkan tentang cara manusia dalam merencanakan hidupnya,
sebagaimana narasumber mengatakan bahwa dalam Kupluk Godhong itu, kita itu
sebenarnya diajari ngronce, ngronce reroncening urip (ngronce – merencanakan,
reroncening - rencana). Dari pernyataan tersebut, maka tampak bahwa ada
keterkaitan antara kata-kata yang membentuk nama permainan itu dengan makna
yang ada di dalamnya. Kata-kata yang menjadi nama permainan itu
merepresentasikan sesuatu yang menjadi bagian di dalam suatu kebudayaan.
Deskripsi latar belakang budaya permainan tersebut menunjukkan hal-hal yang
menjadi bagian di dalam suatu kebudayaan, khususnya budaya Jawa. Song (2010)
menyatakan bahwa konteks kultur mengacu pada budaya, adat istiadat, latar
belakang zaman dalam komunitas bahasa yang di dalamnya para penutur terlibat
langsung. Hal itu berfungsi untuk memberi nilai pada teks dan mendayakan
penafsirannya (Halliday dan Hasan, 1985).
Dalam permainan itu, penulis menemukan tanda yang mengacu pada
sesuatu dan memiliki makna yang lebih dalam sebagai hal yang dapat
menunjukkan nilai karakter yang tersembunyi di dalam permainan itu. Tanda di
dalam permainan ini dapat menunjuk pada sesuatu yang perlu digali secara lebih
mendalam, sebagaimana Pierce (1965 dalam Foley, 2001) membedakan tanda atas
tiga jenis yakni indeks (index), simbol (symbol), dan ikon (icon). Kata kupluk dan
godhong yang terdapat pada nama permainan itu merupakan ikon yang mengacu
pada bentuk media permainan yang dibuat dengan merangkai dedaunan menjadi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

129
sebuah penutup kepala yang berbentuk seperti mahkota yang melingkari kepala.
Ikon adalah tanda yang mewakili sumber acuan melalui sebuah bentuk replikasi,
simulasi, imitasi, atau persamaan. Sebuah tanda dirancang untuk
mempresentasikan sumber acuan melalui simulasi atau persamaan (Danesi, 2004).
Dari hal itu, penulis dapat menggali makna yang lebih dalam melalui ikon yang
terdapat di dalam permainan itu.
Permainan itu memiliki simbol yang dapat mengungkapkan makna yang
sebenarnya, yang dapat di telusuri melalui ikon yang telah diidentifikasi. Makna
itu dapat disebut sebagai nilai karakter yang tersembunyi. Berdasarkan hasil studi
dokumen dan percakapan etnografis yang dilakukan oleh penulis mengenai
deskripsi permainan dan deskripsi latar belakang budaya permainan, anak harus
merangkai dedaunan dengan lidi menjadi sebuah mahkota bagaikan merangkai
kehidupannya, yang ditunjukkan oleh “Mainan berbentuk seperti mahkota untuk
dipakai seperti topi dan dibuat dengan merangkai daun-daun menggunakan lidi.”
(SD/DP/19) dan “Dalam Kupluk Godhong itu, kita itu sebenarnya diajari
ngronce, ngronce reroncening urip.” (PE/LB/19). Mahkota dalam konteks budaya
Jawa merupakan benda berharga yang menandakan suatu kehormatan dan
martabat, yang mana dalam hal ini merupakan sesuatu yang perlu diperjuangkan
sebagai tanda kebaikan yang dimiliki oleh manusia. Lalu, narasumber
menambahkan bahwa “Karena kupluk godhong inilah sebenarnya dari tebaran-
tebaran sesuatu yang tidak berguna dan tebaran-tebaran yang kita sendiri tidak
pernah tahu, kenapa misalnya kita ditebar di bumi Jawa, kita nggak pernah tahu,
yang tahu itu ya misterinya Sang Pencipta.” (PE/LB/19). Hal itu dapat dimaknai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

130
bahwa rencana yang selaras dengan kehendak Tuhan selalu menghasilkan sesuatu
yang baik, walaupun biasanya dimulai dari hal-hal yang kecil atau sepele, namun
suatu saat dapat menjadi hal yang besar dan berharga bagaikan mahkota. Dengan
demikian, hal itu dapat dimaknai kembali bahwa kupluk menjadi simbol mahkota
atau martabat tertinggi dari Tuhan, godhong menjadi simbol rencana Tuhan yang
dimulai dari hal yang kecil untuk menghasilkan hal yang baik, dan aktivitas
merangkai dedaunan itu menjadi simbol usaha manusia untuk ikut melakukan
kehendaknya sehingga penulis dapat merumuskan nilai karakter bahwa manusia
harus dapat merangkai dan merencanakan kehidupannya sesuai dengan kehendak
Tuhan. Hal itu selaras dengan pandangan Pierce (dalam Danesi, 2004) yang
mengatakan bahwa simbol adalah tanda yang mewakili objeknya melalui
kesepakatan atau persetujuan dalam konteks spesifik. Makna-makna dalam suatu
simbol dibangun melalui kesepakatan sosial atau melalui beberapa tradisi historis.
Budaya Jawa sudah mengenal konsep Ketuhanan dari hal-hal yang kecil sampai
pada hal-hal yang besar, bahkan sejak sebelum masyarakatnya mengenal agama.
Oleh karena itulah, masyarakat Jawa memiliki ajaran yang luhur tentang Tuhan
sebagai bagian dari nilai-nilai karakter. Hal itu ditegaskan oleh Suseno (1985)
yang mengungkapkan bahwa budaya Jawa sangat kental dengan filosofi karakter
atau sikap. Budaya Jawa sangat memegang nilai-nilai luhur yang sangat kuat
mengakar dalam kehidupan masyarakat sampai saat ini.
4.2.1.16 Manusia Perlu Mengendalikan Diri Agar Tidak Terjatuh dan
Mencelakakan Diri Sendiri
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

131
Nilai karakter yang menyatakan bahwa manusia perlu mengendalikan diri
agar tidak terjatuh dan mencelakakan diri sendiri terkandung dalam permainan
Layangan. Permainan Layangan dilakukan dengan membuat mainan yang terbuat
dari batang bambu tipis, kertas, tali/benang, dan kertas tisu/minyak. Mainan
berupa layang-layang yang berbentuk belah ketupat dan dimainkan dengan
menerbangkannya menggunakan tali yang panjang. (SD/DP/20). Data yang
menunjukkan deskripsi latar belakang budaya permainan itu dapat diamati sebagai
berikut.
Kita diajak untuk mengenal suratan, karena layang itu kan
surat ta. Nah, bagaimana layang atau surat yang kita
terbangkan dan kita tauti benang secara fisik, bagaimana
kemudian pengendalian diri, agar kemudian kita sendiri
mampu nggegana, istilahnya kalau mbah-mbah kita dulu
menyimak layangan itu bagaimana kemudian siklus
kehidupan ulat, bagaimana kemudian dia menjadi ulat,
bagaimana ketika bertapa menjadi kempompong, dan
bagaimana ketika terbang menjadi kupu gajah, maka
namanya adalah basupa, basupu, dan basunada. Jadi, ketika
lelayangan dan layangan ini tadi terbang, maka di sanalah
kita harus mampu mengendalikan, jangan sampai layang-
layang itu menjadi sesuatu yang liar. Jadi jangan sampai
istilahnya, kemudian ketika kita diberikan kelebihan itu
sendiri, kita menjadi lupa, kemudian kita sendiri menjadi
melupakan apa yang telah diberikan olehNya yang telah
memberikan kelebihan kepada diri kita, namun dengan
senantiasa tertambat pada benang kehidupan yang
dikendalikan, jadi istilahnya melalui dolanan layangan itu
sebenarnya, kita selain paham dengan diri kita, kita juga
paham dengan yang menitahkan diri kita, karena di sanalah
tambatan benang kehidupan yang ada. Yen wis benange iki
dikethok, layangane ya pedhot. Dia juga akan menjadi
ngoleng-ngoleng sak karepe dhewe dan akhirnya nyiruk
dan jatuh. Makanya kan agar senantiasa kita eling pada
benang kehidupan ya kita harus senantiasa mendekatkan
diri. Ketika kita dekat, ya kita akan menjadi dekat, ketika
jauh, ya maka energi kehidupan dan talining urip itu tadi
juga akan menjadi jauh. Maka, Engkau dekat, aku dekat,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

132
Engkau jauh, aku pun akan menjadi jauh, misalnya
semacam itu. Jadi bagaimana kemudian layangan ini kan
semakin jauh dari benang, untuk dikendalikannya pun juga
akan menjadi berproses. Maka, dari dolanan Layangan ini
kan yang diharapkan adalah kita senantiasa bisa tertambat
pada satu tujuan apapun dan bagaimanapun juga
keadaannya, kita jangan sampai lupa pada yang
mengendalikan kita, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
(PE/LB/20)
Data di atas dapat memberikan suatu keterangan yang menguatkan
interpretasi penulis dalam menggali nilai-nilai karakter yang tersembunyi di
dalam permainan Layangan. Permainan tersebut terdiri dari satu kata, yang
berasal dari kata layang dan mendapat akhiran -an. Kata layang berarti surat, yang
mana di dalam permainan ini adalah surat yang diterbangkan dengan tali sebagai
pengendalinya. Data (PE/LB/20) menyatakan bahwa permainan tersebut
merupakan suatu bentuk permainan yang melatih pengendalian pada media
permainannya, yang mana juga dapat bermakna sebagai pengendalian diri,
sebagaimana narasumber mengatakan bahwa kita diajak untuk mengenal suratan,
karena layang itu kan surat ta. Nah, bagaimana layang atau surat yang kita
terbangkan dan kita tauti benang secara fisik, bagaimana kemudian pengendalian
diri, agar kemudian kita sendiri mampu nggegana (mengudara). Dari pernyataan
tersebut, maka tampak bahwa ada keterkaitan antara kata yang membentuk nama
permainan itu dengan makna yang ada di dalamnya. Kata-kata yang menjadi nama
permainan itu merepresentasikan sesuatu yang menjadi bagian di dalam suatu
kebudayaan. Deskripsi latar belakang budaya permainan tersebut menunjukkan
hal-hal yang menjadi bagian di dalam suatu kebudayaan, khususnya budaya Jawa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

133
Song (2010) menyatakan bahwa konteks kultur mengacu pada budaya, adat
istiadat, latar belakang zaman dalam komunitas bahasa yang di dalamnya para
penutur terlibat langsung. Hal itu berfungsi untuk memberi nilai pada teks dan
mendayakan penafsirannya (Halliday dan Hasan, 1985).
Dalam permainan itu, penulis menemukan tanda yang mengacu pada
sesuatu dan memiliki makna yang lebih dalam sebagai hal yang dapat
menunjukkan nilai karakter yang tersembunyi di dalam permainan itu. Tanda di
dalam permainan ini dapat menunjuk pada sesuatu yang perlu digali secara lebih
mendalam, sebagaimana Pierce (1965 dalam Foley, 2001) membedakan tanda atas
tiga jenis yakni indeks (index), simbol (symbol), dan ikon (icon). Kata layangan
yang terdapat pada nama permainan itu merupakan ikon yang mengacu secara
langsung pada media permainan yang diterbangkan itu. Media permainan itu
bernama layangan. Ikon adalah tanda yang mewakili sumber acuan melalui
sebuah bentuk replikasi, simulasi, imitasi, atau persamaan. Sebuah tanda
dirancang untuk mempresentasikan sumber acuan melalui simulasi atau
persamaan (Danesi, 2004). Dari hal itu, penulis dapat menggali makna yang lebih
dalam melalui ikon yang terdapat di dalam permainan itu.
Permainan itu memiliki simbol yang dapat mengungkapkan makna yang
sebenarnya, yang dapat di telusuri melalui ikon yang telah diidentifikasi. Makna
itu dapat disebut sebagai nilai karakter yang tersembunyi. Berdasarkan hasil studi
dokumen dan percakapan etnografis yang dilakukan oleh penulis mengenai
deskripsi permainan dan deskripsi latar belakang budaya permainan, permainan
itu dimainkan dengan menggunakan tali untuk mengendalikannya, namun hal itu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

134
tidak mudah untuk dilakukan bagi sebagian anak/orang sehingga dapat bermakna
sebagai bentuk pengendalian diri dalam kehidupan, yang ditunjukkan oleh
“Mainan berupa layang-layang yang berbentuk belah ketupat dan dimainkan
dengan menerbangkannya menggunakan tali yang panjang (SD/DP/20). dan
“layang atau surat yang kita terbangkan dan kita tauti benang secara fisik,
bagaimana kemudian pengendalian diri” (PE/LB/20). Kata layang yang berarti
surat tersebut juga memiliki makna tersendiri sebagai perilaku, tutur kata, dan
pikiran, kemudian, tali yang menjadi pengendali itu juga dapat dimaknai sebagai
bentuk pengendalian diri kita. Segala gerak layangan itu ditentukan oleh diri kita
sendiri yang mengendalikannya menggunakan tali tersebut. Dengan demikian, hal
itu dapat dimaknai bahwa layangan menjadi simbol segala perilaku, tutur kata,
dan pikiran kita, tali menjadi simbol pengendalian diri kita, dan aktivitas bermain
aktivitas bermain layangan itu menjadi simbol bukti kemampuan diri kita dalam
mengendalikan layangan itu, karena jika kita gagal, maka benda itu akan bergerak
tidak terkendali dan jatuh hingga rusak sehingga penulis dapat merumuskan nilai
karakter bahwa manusia perlu mengendalikan diri agar tidak terjatuh dan
mencelakakan diri sendiri. Hal itu selaras dengan pandangan Pierce (dalam
Danesi, 2004) yang mengatakan bahwa simbol adalah tanda yang mewakili
objeknya melalui kesepakatan atau persetujuan dalam konteks spesifik. Makna-
makna dalam suatu simbol dibangun melalui kesepakatan sosial atau melalui
beberapa tradisi historis. Hal itu juga diperkuat oleh keterangan narasumber yang
berkata bahwa yen wis benange iki dikethok, layangane ya pedhot. Dia juga akan
menjadi ngoleng-ngoleng sak karepe dhewe dan akhirnya nyiruk dan jatuh.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

135
(PE/LB/20). Hal itu ditegaskan oleh Suseno (1985) yang mengungkapkan bahwa
budaya Jawa sangat kental dengan filosofi karakter atau sikap. Budaya Jawa
sangat memegang nilai-nilai luhur yang sangat kuat mengakar dalam kehidupan
masyarakat sampai saat ini.
4.2.2 Jenis-jenis Permainan Anak Tradisional
Jenis-jenis permainan anak tradisional dalam penelitian ini merupakan
deskripsi permainan-permainan yang diklasifikasi berdasarkan jenisnya, seperti
permainan dengan nyanyian atau dialog, permainan asah fisik, permainan asah
otak, dan permainan keterampilan tangan berdasarkan keterangan dari narasumber
tentang jenis-jenis permainan anak tradisional. Penulis meminta pernyataan
narasumber secara konfirmatoris dengan dasar klasifikasi yang telah dikemukakan
oleh para ahli. Narasumber menyatakan bahwa ada empat jenis permainan anak
tradisional sebagaimana telah disebutkan di atas. Hal itu selaras dengan klasifikasi
yang dilakukan oleh beberapa ahli. Dharmamulya (2005) menyatakan bahwa ada
tiga jenis, yaitu permainan dengan oleh pikir, permainan dengan adu ketangkasan,
dan permainan dengan bernyanyi atau dialog. Tim JSIT (2005) menyatakan
bahwa juga ada tiga, yaitu permainan asah otak, permainan asah fisik, dan
permainan dengan nyanyian. Lalu, Ismail (2010) menyatakan bahwa permainan
anak tradisional dapat dibagi atas tiga jenis pula, yaitu dilihat dari dimensi
kognitif, psikomotorik, dan afektif sehingga pada akhinya menghasilkan tiga jenis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

136
permainan seperti yang dipaparakan di atas. Namun, hasil percakapan etnografis
menunjukkan bahwa ada satu lagi jenis permainan, yaitu permainan keterampilan
tangan, yang mana anak dapat memanfaatkan keterampilan tangannya untuk
membuat media atau mainan di dalam permainan-permainan tertentu. Oleh karena
itu, demi kedalaman analisis di dalam penelitian ini, penulis perlu
mendeskripsikan keempat jenis permainan anak tradisional yang mengandung
nilai-nilai karakter itu, beserta permainan-permainan yang termasuk di dalam
keempat jenis itu. Klasifikasi permainan anak tradisional berdasarkan jenisnya
dipaparkan sebagai berikut.
4.2.2.1 Permainan dengan Nyanyian atau Dialog
Permainan dengan nyanyian atau dialog adalah jenis permainan yang
dilakukan dengan menonjolkan aktivitas nyanyian yang disertai dengan dialog
atau hanya salah satunya saja. Jenis permainan ini memerlukan keikutsertaan anak
untuk bersedia bernyanyi lagu atau tembang yang wajib dilakukan di dalam
permainan itu. Selain itu, anak juga dapat mengucapkan kata-kata atau dialog
yang sudah bersifat baku yang sudah menjadi bagian dari proses permainan itu
sendiri. Pernyataan narasumber berikut ini mengungkapkan mengenai jenis
permainan dengan nyanyian atau dialog beserta dengan permainan-permainan
yang termasuk di dalam jenis permainan ini.
Permainan yang menggunakan dialog atau nyanyian itu
misalnya Jamuran. Kalau kita tilik dari asal namanya,
sebenarnya kan juga tidak ada yang njamur di dalam
permainan itu. Namun, terkait dengan yang ditembangkan,
itu adalah terkait dengan berbagai macam jenis jamur
apapun di sana akan disebutkan sehingga nama permainan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

137
itu memang kemudian lekat dengan tembang yang
dinyanyikan. Oleh karena itu, permainan tersebut memang
kaitannya tidak hanya dengan wujud fisik jamur yang
nampak di sana, akan tetapi akan lebih terkait dengan pola
tetembangan yang dilakukan. Ancak-ancak Alis itu juga
termasuk jenis permainan yang ditembangkan. Ingkling ini
termasuk asah fisik. Cublak-cublak Suweng juga.
Permainan itu kan di sana juga tidak ada suwengnya. Jadi
permainan seperti itu memang lebih mengacu pada bentuk
pola permainan tetembangan yang bisa dimainkan secara
bersama-sama atau kelompok. Dari sanalah kemudian
nama-nama permainan tersebut itu lebih dikaitkan dengan
tembang yang ada, karena nembangnya juga tidak
dilakukan dengan seorang diri, akan tetap dilakukan secara
bersama-sama. Contohnya, Ancak-ancak Alis, dhayoh-
dhayohan, Cublak-cublak Suweng itu juga dengan
nyanyian, Sliring Gendhing, Pong-pong Bolong, Jamuran,
Dhingklik Oglak-aglik. Kebetulan permainan yang disertai
kerja sama itu ada tembangnya. (PE/JP/17)
Pernyataan narasumber di atas dapat dirangkum dan mengungkapkan
bahwa jenis permainan dengan nyanyian atau dialog adalah jenis permainan yang
memerlukan aktivitas bernyanyi dan berdialog yang dilakukan secara bersama-
sama atau kelompok sehingga nama permainan itu juga mengadaptasi judul
tembang atau kata-kata yang dinyanyikan di dalam tembang itu. Sehubungan
dengan pernyataan tersebut, Dharmamulya (2005) menyatakan bahwa permainan
anak dengan pola bermain bernyanyi dan atau berdialog yang dimaksudkan adalah
pada waktu permainan dimainkan diawali atau diselingi dengan nyanyian, dialog,
atau keduanya. Pernyataan narasumber dengan pendapat ahli memiliki keselarasan
bahwa jenis permainan tersebut melibatkan aktivitas bernyanyi dan atau
berdialog. Lalu, narasumber juga mengungkapkan beberapa permainan yang
termasuk dalam jenis permainan dengan nyanyian atau dialog ini, yaitu (1)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

138
Jamuran, (2) Ancak-ancak Alis, (3) Cublak-cublak Suweng, (4) Sliring Gendhing,
(5) Pong-pong Bolong, dan (6) Dhingklik Oglak-aglik. Berikut merupakan
pemaparan dan analisis dari jenis-jenis permainan tradisional berdasarkan hasil
percakapan etnografis yang dilakukan.
Berdasarkan hasil percakapan etnografis, salah satu permainan yang
termasuk di dalam jenis ini, seperti Jamuran lebih mengacu pada lagu yang
dinyanyikan, yaitu Jamuran, sesuai dengan nama permainan itu. Permainan
Jamuran harus dilakukan secara bersama-sama mulai dari (1) aktivitas bermain,
(2) lagu, (3) dialog, dan (4) pelaku permainan. Nama permainan itu mengadaptasi
lagu yang dinyanyikan dengan mengucapkan Jamuran dan juga aktivitas yang
dilakukan di dalam permainan itu, yang mana lagu itu harus dinyanyikan secara
bersama-sama pula. Hasil percakapan etnografis juga menyatakan bahwa “... hal
yang ditonjolkan di sana adalah bagaimana mereka bisa bernyanyi bersama dan
bergembira bersama. ... Aktivitas nembang itu mengajak kita untuk bekerja sama
membuat harmoni, tidak mbengok sak bantere (tidak berteriak sesuka hati).”
(PE/JP/18). Nama permainan itu terutama menunjukkan tembang Jamuran,
dialog, dan aktivitas yang harus dilakukan dengan menirukan gaya tubuh seperti
jamur, yang biasanya juga diikuti dengan jenis jamur tertentu sehingga pemain
harus menyesuaikan gaya tubuh mereka dengan bentuk jamur yang disebutkan.
Permainan Jamuran termasuk dalam jenis permainan dengan nyanyian atau
dialog, karena permainan tersebut dilakukan dengan aktivitas bernyanyi tembang
“Jamuran”. Tembang atau lagu yang dinyanyikan di dalam permainan itu menjadi
ciri khas yang paling menonjol sehingga permainan itu dinamakan sesuai dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

139
tembangnya dan termasuk ke dalam jenis permainan dengan nyanyian atau dialog.
Namun, sebenarnya tembang itu juga mengacu pada inti dari permainan itu, yaitu
aktivitas utamanya yang mana anak harus menirukan sifat-sifat jamur seperti yang
disebutkan oleh peserta yang dadi. Maka, inti dari permainan ini yang sebenarnya
adalah aktivitas peniruan jamur itu sendiri sehingga nama itu sebenarnya juga
mengacu pada aktivitas peniruan itu. Jika kita amati, aktivitas menjadi pusat
acuan, yang kemudian secara bertahap dibawakan oleh lagu yang dinyanyikan,
lalu ditandai melalui nama yang mengacu pada tembang dan aktivitas peniruan
jamur di dalam permainan itu sekaligus.
Anak menirukan jamur sesuai dengan jamur yang disebutkan oleh anak
yang dadi. Maka, inti yang sebenarnya dari permainan itu adalah aktivitas anak
yang harus menentukan jenis jamur yang harus ditirukan. Hal itu membutuhkan
kreativitas karena anak harus dapat menentukan jenis jamur yang unik dan
menantang untuk diragakan, namun jenis jamur haruslah tetap masuk akal. Maka,
jika dirunut kembali, nyanyian atau dialog itu dibawa melalui aktivitas inti
permainan, kemudian dari aktivitas itu dikisahkan atau dinarasikan melalui
tembang atau lagu permainan, lalu aktivitas dan tembang itu diacu melalui nama
permainan sehingga nama itu menandai bentuk-bentuk aktivitas dan tembang
yang dinyanyikan, yang menunjukkan jenis permainannya.
Permainan Ancak-ancak Alis juga memiliki karakteristik yang mirip
dengan Jamuran. Nama permainan itu lebih mengacu pada lagu yang dinyanyikan,
yaitu Ancak-ancak Alis. Aktivitas menjadi bagian dari proses perilaku berbahasa
yang dapat menunjukkan keterkaitan antara pesan yang ingin disampaikan dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

140
bentuk-bentuk linguistik yang mengacu kepada sesuatu. Hal itu dapat dikaitkan
dengan pandangan Pierce (1965 dalam Foley, 2001) yang mengemukakan bahwa
bahasa sebagai aktivitas sosial yang melibatkan pelaku sosial. Permainan Ancak-
ancak Alis harus dilakukan secara bersama-sama mulai dari (1) aktivitas bermain,
(2) lagu, (3) dialog, dan (4) pelaku permainan, sebagaimana hal yang telah
dipaparkan di atas. Nama permainan itu mengadaptasi lagu yang dinyanyikan
dengan mengucapkan Ancak-ancak Alis, yang mana lagu itu harus dinyanyikan
secara bersama-sama pula. Nama permainan itu terutama menunjukkan tembang
Ancak-ancak Alis dan dialog. Permainan Ancak-ancak Alis juga termasuk dalam
jenis permainan dengan nyanyian atau dialog, karena permainan tersebut
dilakukan dengan aktivitas bernyanyi tembang sekaligus dialog dalam rangkaian
yang cukup panjang. Tembang atau lagu yang dinyanyikan dan dialog di dalam
permainan itu menjadi ciri khas yang paling menonjol sehingga permainan itu
dinamakan sesuai dengan tembang dan dialog dan termasuk ke dalam jenis
permainan dengan nyanyian atau dialog. Namun, sebenarnya tembang dan
terutama dialog itu juga mengacu pada inti dari permainan itu, yaitu aktivitas
utamanya yang mana anak harus menyebutkan alat-alat pertanian yang sesuai
dengan keinginan anak yang berperan sebagai petani. Inti dari permainan ini yang
sebenarnya adalah aktivitas untuk saling bekerja sama untuk melakukan
permainan dari tahap seleksi anak semang sampai pada tahap akhir untuk adu
kekuatan antartim sejumlah anak semang yang terpilih tadi untuk melakukan tarik
tambang. Jika kita amati pula, aktivitas di dalam permainan tersebut juga menjadi
pusat acuan, yang kemudian secara bertahap dibawakan oleh lagu dan dialog yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

141
dilakukan, lalu ditandai melalui nama yang mengacu pada tembang atau dialog
dan aktivitas kerja sama di dalam permainan itu sekaligus. Aktivitas kerja sama
itu dibawa melalui aktivitas inti permainan, kemudian dari aktivitas itu dikisahkan
atau dinarasikan melalui tembang atau lagu permainan, lalu aktivitas dan tembang
itu diacu melalui nama permainan sehingga nama itu menandai bentuk-bentuk
aktivitas dan tembang yang dinyanyikan, yang juga menunjukkan jenis
permainannya, sebagaimana hal yang telah kita dapati dari permainan Jamuran,
Cublak-cublak Suweng, Sliring Gendhing, Pong-pong Bolong, dan Dhingklik
Oglak-aglik.
Dalam hal ini, tampak bahwa jenis permainan memiliki acuan yang mirip
dengan nama permainan. Jenis permainan mengacu pada hal-hal yang tampak dari
permukaan, yaitu tembang yang dinyanyikan, yang menggambakan aktivitas
permainan yang dilakukan. Sedangkan, nama permainan lebih mengacu pada hal-
hal yang tampak pula, namun dapat mencangkup dimensi yang lebih luas, yaitu
tembang sekaligus aktivitas permainan yang dilakukan. Jenis permainan
mengungkapkan hal-hal khas yang sangat tampak atau langsung tampak dari
permainan itu, sebagaimana permainan-permainan itu cukup menunjukkan kaitan
itu. Dalam hal ini, pandangan Pierce (1965 dalam Foley, 2001) yang
mengemukakan bahwa bahasa sebagai aktivitas sosial yang melibatkan pelaku
sosial, juga berlaku seperti nama permainan yang mengacu pada hal tertentu. Hal-
hal yang menunjukkan jenis permainan itu pertama-tama adalah aktivitas inti dari
permainan itu sendiri; lalu disusul dengan tembang yang bersifat menggambarkan,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

142
menarasikan, atau menceritakan hal-hal yang berkaitan dengan permainan itu,
termasuk aktivitas inti yang dilakukan.
4.2.2.2 Permainan Asah Fisik
Permainan asah fisik adalah jenis permainan yang dilakukan dengan
menonjolkan aktivitas gerak fisik untuk melakukan permainan. Jenis permainan
ini memerlukan keikutsertaan anak untuk bersedia menggerakkan tubuh mereka
sebagai bagian yang harus dilakukan di dalam permainan itu. Anak cenderung
melakukan permainan seperti ketika mereka melakukan olah raga di sekolah, di
rumah, atau di mana saja dalam kehidupan sehari-hari. Permainan jenis ini
biasanya menjadi seperti permainan olah raga karena memerlukan gerak tubuh
sebagai bagian dari aktivitas permainan itu tadi. Pernyataan narasumber berikut
ini mengungkapkan mengenai jenis permainan asah fisik beserta dengan
permainan-permainan yang termasuk di dalam jenis permainan ini.
Permainan asah fisik itu yang lebih terkait dengan
keterampilan fisik. Misalnya, contoh permainan asah fisik
itu adalah Gobag Sodor. Nah, itu adalah permainan yang
terkait dengan asah fisik sehingga selain dia secara pribadi
harus lincah, dia juga harus kerja sama. Jika dilihat secara
pribadi yang terkait dengan asah fisik itu adalah semacam
kemampuan asah fisik, yaitu bagaimana kemudian upaya
dia untuk bisa mengenai lawan. Secara motorik, dia harus
bisa menyatukan antara gerak langkah, tangan, untuk bisa
bersembunyi dan sebagainya sehingga dia tidak bisa
terkena oleh peluru atau tangkapan lawan. Semacam
permainan kasti itu juga termasuk jenis permainan asah
fisik, ketika dia harus berlari dari satu pos ke pos yang lain,
termasuk juga kemampuan fisiknya untuk mampu
memukul bola sehingga bisa jauh atau bisa langsung
menangkap bola, itu juga kemampuan fisik yang tidak
mungkin hanya dilakukan, tanpa dia melakukan latihan
yang rutin. Contoh permainan asah fisik itu, seperti Gobag
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

143
Sodor, kasti, Ingkling, Plintheng karena bagaimanapun
juga kalau tidak terampil mlintheng kan secara motorik dia
juga tidak bisa melakukannya, benthik dan bentengan juga
termasuk. (PE/JP/17)
Pernyataan narasumber di atas dapat dirangkum dan mengungkapkan
bahwa jenis permainan asah fisik adalah jenis permainan yang memerlukan
aktivitas gerak tubuh atau fisik dan cenderung menonjolkan keterampilan fisik
atau motorik untuk dapat melakukan permainan itu dengan baik dan benar.
Bahkan, anak perlu melatih kemampuan fisik untuk dapat memainkan permainan
itu dengan baik karena jika anak tidak berlatih, maka anak biasanya tidak dapat
bermain dengan baik ketika permainan itu mulai dilakukan dengan lebih serius.
Sehubungan dengan pernyataan tersebut, Dharmamulya (2005) menyatakan
bahwa permainan asah fisik atau permainan adu ketangkasan lebih banyak
mengandalkan ketahanan dan kekuatan fisik, alat permainan walaupun sederhana,
dan tempat yang relatif luas. Pernyataan narasumber dengan pendapat ahli
memiliki keselarasan bahwa jenis permainan tersebut melibatkan aktivitas fisik,
yang mana ada unsur akktivitas yang mengandalkan ketahanan, kemampuan,
keterampilan, dan kekuatan fisik. Lalu, narasumber juga mengungkapkan
beberapa permainan yang termasuk dalam jenis permainan dengan aktivitas fisik
ini, yaitu (1) Gobag Sodor, (2) Ingkling, dan (3) Plintheng. Berikut merupakan
pemaparan dan analisis dari jenis-jenis permainan tradisional berdasarkan hasil
percakapan etnografis yang dilakukan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

144
Berdasarkan hasil percakapan etnografis, salah satu permainan yang
termasuk di dalam jenis ini, seperti Gobag Sodor lebih mengacu pada aktivitas
fisik, yaitu berlari menerobos penjagaan lawan, sesuai dengan nama permainan
itu. Nama permainan itu mengacu pada pola permainannya, sebagaimana
narasumber mengatakan bahwa “...sodor, di mana dalam permainan itu seseorang
menjadi pemain sodor, itulah yang akhirnya memegang peranan untuk mengunci
orang yang mau bermain atau menyeberang, khususnya dari pihak lawan.”
(PE/JP/18). Maka, nama permainan itu terkait dengan aktivitas permainan yang
dilakukan, yaitu melewati wilayah lawan yang dijaga berdasarkan garis-garis
sodor, sebagaimana garis yang disebut oleh mayarakat Jawa, dan bagi pemain
penyeberang sesuai dengan nama aslinya, harus melewati wilayah tim lawan yang
dijaga dan kembali lagi pada posisi awal. Permainan itu dilakukan dengan
menonjolkan kerja sama agar permainan dapat berjalan dengan baik. Permainan
ini sangat memerlukan kerja sama dari anak untuk dapat saling menjaga daerah
tim mereka dengan baik.
Berdasarkan hasil percakapan etnografis, nama permainan itu lebih
mengacu pada aktivitas permainan yang dilakukan, yaitu menjaga daerah tim dan
melewati daerah itu bolak-balik tanpa tertangkap oleh penjaga. Aktivitas menjadi
bagian dari proses perilaku berbahasa yang dapat menunjukkan keterkaitan antara
pesan yang ingin disampaikan dengan bentuk-bentuk linguistik yang mengacu
kepada sesuatu. Hal itu dapat dikaitkan dengan pandangan Pierce (1965 dalam
Foley, 2001) yang mengemukakan bahwa bahasa sebagai aktivitas sosial yang
melibatkan pelaku sosial. Permainan Gobag Sodor harus dilakukan secara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

145
bersama-sama yang ditunjukkan melalui aktivitas yang dilakukan oleh anak di
dalam permainan itu yang tentu tidak terlepas dari proses komunikasi dan gerak
aktif dari tubuh, termasuk bentuk kebahasaan dari nama permainan itu. Nama
permainan itu menunjuk pada aktivitas yang menunjukkan aktivitas menjaga
daerah tim dan melewati daerah itu bolak-balik tanpa tertangkap oleh penjaga
Permainan Gobag Sodor termasuk dalam jenis permainan asah fisik,
karena permainan tersebut dilakukan dengan aktivitas gerak fisik dan kelincahan
yang disertai dengan kerja sama. Aktivitas fisik yang dilakukan di dalam
permainan itu menjadi ciri khas yang paling menonjol sehingga permainan itu
dinamakan sesuai dengan aktivitasnya dan termasuk ke dalam jenis permainan
asah fisik. Aktivitas itu langsung mengacu pada inti dari permainan itu, yaitu
aktivitas utamanya yang mana anak harus melakukan go back through the door
atau kembali ke tempat asal melalui petak-petak yang ditandai oleh garis-garis,
yaitu sodor. Maka, inti dari permainan ini yang sebenarnya adalah aktivitas
melewati atau menyeberang area melalui sodor sampai dapat kembali lagi dengan
penjagaan yang ketat dari tim lawan sehingga nama itu sebenarnya langsung
mengacu pada aktivitas permainan itu. Aktivitas menjadi pusat acuan, yang
kemudian secara bertahap dibawakan oleh pola permainan go back through the
door yang dilakukan di dalam permainan itu. Maka, inti yang sebenarnya dari
permainan itu adalah aktivitas anak yang harus dilakukan dengan gerakan fisik.
Namun, aktivitas fisik itu tidak dapat terwujud jika anak tidak saling bekerja
sama. Hal itu membutuhkan kerja sama karena pada dasarnya anak harus dapat
saling bekerja sama untuk menjaga area yang dilewati oleh pemain yang melewati
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

146
sodor. Maka, hal yang menjadi dasar bahwa jenis permainan ini termasuk ke
dalam permainan aktivitas fisik adalah kerja sama untuk “mempertahankan-
menerobos” yang harus dilakukan melalui gerakan fisik secara aktif.
Permainan lain yang termasuk di dalam jenis ini adalah permainan
Ingkling. Nama permainan Ingkling memiliki sebutan lain, seperti engklek dan
angklek. Menurut Dharmamulya (2005), permainan itu dinamakan demikian
karena dilakukan dengan cara engklek yang dalam bahasa Indonesia berarti
berjalan melompat dengan satu kaki sehingga nama asli dari permainan itu
sebenarnya adalah engklek sebagaimana nama dari cara memainkan permainan itu
sendiri. Berdasarkan hasil percakapan etnografis, nama ingkling itu mengacu pada
maksud yang sama, sebagaimana narasumber mengatakan bahwa “...mengacu
pada bentuk wujud gerak fisiknya harus ingkling, maka namanya menjadi
ingkling.” (PE/JP/18). Maka, nama permainan itu terkait dengan aktivitas
permainan yang dilakukan, yaitu berjalan melompat dengan satu kaki. Permainan
itu dilakukan dengan menonjolkan keterampilan fisik agar permainan dapat
berjalan dengan baik. Permainan ini sangat memerlukan keterampilan dari anak
sehingga keberhasilan permainan ini terutama ditentukan oleh kemampuan anak
dalam menjaga keseimbangan tubuh dan kekuatan kaki untuk dapat melompat-
lompat dengan baik. Aktivitas bermain di dalam permainan itu hanya dapat
dilakukan apabila anak memiliki keterampilan untuk menjaga keseimbangan
tubuh dan kuat melakukan hal dengan satu kaki selama permainan dilakukan.
Dalam permainan ini, anak yang terampil dengan anak yang belum terampil
menjadi faktor yang sangat menentukan keberhasilan individu dalam bermain.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

147
Berdasarkan hasil percakapan etnografis, nama permainan itu lebih
mengacu pada aktivitas permainan yang dilakukan, yaitu berjalan melompat
dengan satu kaki, seperti kutipan yang telah ditulis di atas tadi. Kaitan antara
nama permainan dengan jenis permainan terdapat pada aktivitas permainan yang
berjalan melompat dengan satu kaki yang membutuhkan keterampilan tubuh dari
setiap pemain. Aktivitas menjadi bagian dari proses perilaku berbahasa yang
dapat menunjukkan keterkaitan antara pesan yang ingin disampaikan dengan
bentuk-bentuk linguistik yang mengacu kepada sesuatu. Hal itu dapat dikaitkan
dengan pandangan Pierce (1965 dalam Foley, 2001) yang mengemukakan bahwa
bahasa sebagai aktivitas sosial yang melibatkan pelaku sosial. Permainan Ingkling
harus dilakukan secara bersama-sama yang ditunjukkan melalui aktivitas yang
dilakukan oleh anak di dalam permainan itu yang tentu tidak terlepas dari proses
komunikasi, termasuk bentuk kebahasaan dari nama permainan itu, sebagaimana
hal yang telah dipaparkan di atas. Nama permainan itu menunjuk pada aktivitas
yang menunjukkan cara melakukan permainan dengan berjalan melompat
menggunakan satu kaki yang dilakukan dengan keterampilan fisik. Keterampilan
fisik itu dibawa melalui aktivitas inti permainan, kemudian dari aktivitas itu
tertuang pada nama permainan, sehingga nama itu menandai bentuk-bentuk
aktivitas yang dilakukan, yang juga menunjukkan jenis permainannya,
sebagaimana hal yang telah kita dapati dari permainan Gobag Sodor dan juga
termasuk Plintheng.
Aktivitas menjadi sarana pengacu antara nama dan jenis permainannya.
Maka, pandangan Pierce di atas sangat tampak bahwa bentuk kebahasaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

148
mengacu pada perantara tertentu yang berupa aktivtias sosial sebelum dapat
menunjukkan maksud yang sebenarnya. Pandangan Hymes (1974) mengenai
SPEAKING juga dapat memperkuat temuan itu. Ends merupakan maksud atau
tujuan dari penutur ketika menggunakan bentuk-bentuk kebahasaannya, act
merupakan tindakan yang dilakukan oleh penutur dalam menggunakan bentuk-
bentuk kebahasaannya, dan instrument merupakan alat yang digunakan oleh
penutur yang menyampaikan maksudnya. Maksud atau tujuan dalam hal ini dapat
berupa aktivitas yang menggambarkan pola permainan. Lalu, tindakan itu dapat
berupa aktivitas yang dilakukan dalam permainan, yang mana di dalam jenis
permainan ini adalah aktivitas inti dari permainan itu. Kemudian, alat dapat
berupa nama dan jenis permainan itu yang mengacu pada tindakan fisik yang
sangat tampak.
4.2.2.3 Permainan Asah Otak
Permainan asah otak adalah jenis permainan yang dilakukan dengan
menonjolkan aktivitas berpikir untuk melakukan permainan. Jenis permainan ini
memerlukan daya pikir anak dalam menentukan keputusan, mengatur strategi,
berhitung, dan berintuisi atau memperkirakan sesuatu dengan tepat. Anak
melakukan permainan yang biasanya bersifat pemecahan masalah, teka-teki, dan
sebagainya. Permainan jenis ini menjadi seperti permainan yang dapat mengasah
kemampuan otak atau kecerdasan anak sehingga mereka dapat melatih daya
pikirnya untuk dapat menyelesaikan suatu masalah. Pernyataan narasumber
berikut ini mengungkapkan mengenai jenis permainan asah otak beserta dengan
permainan-permainan yang termasuk di dalam jenis permainan ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

149
Permainan asah otak itu dapat dijelaskan, misalnya dalam
satu kasus permainan Dhakon, anak harus berpikir untuk
kemudian agar apa yang dia putar atau mainkan itu tetap
punya sisa, atau tidak habis. Nah, untuk itu kan dia harus
berpikir dan di sana juga akhirnya tumbuh kecerdasannya
untuk bagaimana mengolah biji yang dia miliki ini untuk
bisa ditabung di dalam lumbung. Jadi permainan asah otak
itu adalah jenis permainan tradisional kalau misalnya yang
dulu biasanya seringnya dilakukan itu ada beberapa yang
memungkinkan untuk dilakukan di beberapa keadaan
khusus, misalnya semacam padang bulan, namun kalau
untuk permainan asah otak itu biasanya dilakukan harian di
kala waktu senggang, dan contoh permainan asah otak itu
antara lain kalau kita lihat terkait dengan Dhakon
misalnya. Itu jelas asah otak karena dalam permainan
Dhakon, satu hal yang harus dipikirkan adalah bagaimana
si anak yang menjalankan permainan Dhakon nanti, dia
bisa punya sisa atau tabungan untuk kemudian dimasukkan
ke dalam lumbung. Dari sana, kemudian dibutuhkan
upaya, istilahnya ketika lubang Dhakon itu kan jumlahnya
cukup banyak. Bagaimana kemudian pembagian itu agar
punya sisa yang kemudian menjadi simpanannya dalam
lumbung itu. Otomatis, pola permainan seperti itu tidak
mungkin dilakukan dengan kelincahan, akan tetapi yang
dibutuhkan adalah bagaimana kemudian dia bisa berpikir
untuk membagi dan punya sisa. Demikian juga misalnya
dengan Macanan. Ketika permainan Macanan itu
bagaimana kemudian dua orang yang bermain ini agar
tetap bisa menjaga konsistensi permainannya sehingga dia
tidak dimakan oleh macan. Nah, untuk ngurung ke dalam
bagian pojok segitiga sehingga setiap pergerakan
merupakan strategi agar tidak di makan oleh macan.
Otomatis itu yang lebih diasah adalah bagaimana dia bisa
berpikir dengan mudah. Kalau contoh permainan asah otak
tadi, itu yang jelas adalah Macanan dan Dhakon. Itu jelas
konsepnya adalah asah otak. (PE/JP/17)
Pernyataan narasumber di atas dapat dirangkum dan mengungkapkan
bahwa jenis permainan asah otak adalah jenis permainan yang memerlukan
aktivitas berpikir untuk dapat mengolah gerak permainan, mengatur strategi, dan
berhitung untuk dapat meraih keberhasilan atau kemenangan sehingga anak dapat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

150
menumbuhkan kecerdasannya melalui permainan itu. Jenis permainan ini
mendorong anak untuk memanfaatkan atau mendayagunakan kemampuan otak
mereka untuk berpikir dalam menentukan gerak permainan mereka sendiri untuk
meraih keberhasilan. Sehubungan dengan pernyataan tersebut, Dharmamulya
(2005) menyatakan bahwa permainan asah otak merupakan permainan yang lebih
banyak membutuhkan konsentrasi berpikir, ketenangan, kecerdikan, dan strategi.
Dharmamulya juga menyebutkan bahwa jenis permainan ini jumlahnya tidak
banyak. Pernyataan narasumber dengan pendapat ahli memiliki keselarasan bahwa
jenis permainan tersebut membutuhkan daya pikir anak untuk dapat menentukan
gerak permainan, strategi, perhitungan, dan konsentrasi. Lalu, narasumber juga
mengungkapkan beberapa permainan yang termasuk dalam jenis permainan
dengan nyanyian atau dialog ini, yaitu (1) Dhakon dan (2) Macanan. Berikut
merupakan pemaparan dan analisis dari jenis-jenis permainan tradisional
berdasarkan hasil percakapan etnografis yang dilakukan.
Salah satu permainan yang termasuk di dalam jenis ini adalah Dhakon,
yang lebih mengacu pada kemampuan otak anak dalam mengatur strategi. Nama
permainan dhakon berasal dari bahasa Jawa, dan bahasa Indonesia dari permainan
itu adalah congklak. Menurut Dharmamulya (2005), dhakon berasal dari kata
dhaku yang mendapat akhiran “-an”, yang berarti mengaku bahwa sesuatu itu
milliknya. Jadi, permainan ini mengandung tujuan bahwa si pemain berusaha
mengaku bahwa sesuatu itu adalah miliknya, yaitu biji yang telah dikumpulkan di
dalam lumbung pemain. Berdasarkan hasil percakapan etnografis, nama dhakon
itu juga mengacu pada media permainannya, yaitu papan kayu atau plastik yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

151
memiliki lubang-lubang sebagai tempat menaruh biji dan biji congklak itu.
Permainan itu dilakukan dengan melibatkan kecerdasan anak untuk memainkan
media yang digunakan, yang tampak pada aktivitas yang dilakukan oleh anak.
Aktivitas bermain di dalam permainan itu hanya dapat dilakukan dengan
dua anak, tidak kurang dan tidak lebih sehingga permainan itu juga dilakukan
bersama-sama, namun dengan jumlah yang terbatas. Hal itu tampak pada aktivitas
dua anak yang saling beradu kecerdasan untuk dapat memenangkan permainan
dengan mengumpulkan biji sebanyak mungkin pada lumbungnya. Anak harus
memikirkan cara atau strategi yang terbaik agar berhasil mendapatkan biji yang
lebih banyak dari lawannya. Oleh karena itu, permainan Dhakon termasuk dalam
jenis permainan asah otak, karena permainan tersebut dilakukan dengan aktivitas
berpikir yang membutuhkan kecerdasan. Aktivitas otak yang dilakukan di dalam
permainan itu menjadi ciri khas yang paling menonjol sehingga permainan itu
dinamakan sesuai dengan aktivitasnya dan termasuk ke dalam jenis permainan
asah otak. Aktivitas itu langsung mengacu pada inti dari permainan itu, yaitu
aktivitas utamanya yang mana anak harus berpikir untuk menentukan letak biji
agar dapat memiliki simpanan biji. Maka, inti dari permainan ini yang sebenarnya
adalah aktivitas memperebutkan jumlah biji dalam lumbung, yang mana anak
yang memiliki jumlah terbanyak (Dhakon-dhaku-klaim milikku, yaitu biji yang
disimpan dalam lumbung) akan menang sehingga nama itu sebenarnya langsung
mengacu pada aktivitas permainan itu. Jika kita amati, aktivitas menjadi pusat
acuan, yang dalam jenis permianan ini langsung ditandai melalui nama yang
mengacu pada aktivitas di dalam permainan itu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

152
Penulis menemukan bahwa jenis permainan itu justru pertama-tama
dibawa melalui aktivitas di dalam permainan itu, sebagaimana hal-hal yang telah
disebutkan di atas tadi. Maka, inti yang sebenarnya dari permainan itu adalah
aktivitas anak yang harus dilakukan dengan daya pikir atau kecerdasan untuk
memperebutkan biji ke dalam lumbung sebagai “milikku-dhaku-dhakon”. Namun,
aktivitas otak itu tidak dapat terwujud jika anak tidak mendayagunakan
kecerdasannya, yang artinya anak harus berpikir dan berkonsentrasi. Hal itu
membutuhkan kecerdasan karena pada dasarnya anak harus dapat menentukan
keputusan, strategi, dan perhitungan yang tepat. Maka, dasar terwujudnya
permainan itu adalah kecerdasan sehingga jenis permainan yang menonjolkan
kemampuan otak ini dapat langsung mencerminkan jenisnya. Maka, jika dirunut
kembali, jenis permainan itu dibawa melalui aktivitas inti permainan, kemudian
dari aktivitas itu diacu melalui nama permainan sehingga nama itu menandai
bentuk-bentuk aktivitas, begitu pula, kembali pada jenis permainannya yang harus
menggunakan kemampuan otak untuk melakukan “klaim” (milikku-dhaku-
dhakon). Dalam permainan ini, nama permainan tidak langsung menunjukkan
jenisnya, namun melalui perantara aktivitasnya yang membutuhkan kecerdasan.
Hal yang sama juga terdapat dalam permainan Macanan. Nama permainan
macanan berasal dari kata macan yang diberi akhiran -an. Kata macan berarti
harimau. Menurut Dharmamulya (2005), macanan berarti harimau tiruan karena
di dalam permainan ini terdapat sebuah alat yang dianggap atau berperan sebagai
harimau dan di pihak lain adalah manusia. Permainan itu berguna untuk
mempertajam daya ingat, mengatur strategi, dan memupuk keakraban.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

153
Berdasarkan hasil percakapan etnografis, nama macanan itu mengacu pada media
permainannya, sebagaimana dikatakan bahwa “Begitu juga dengan macanan itu
karena dalam permainan tadi akan ada satu macan yang kemudian dikepung oleh
tiga pemainnya untuk bisa berjalan tadi, maka siapa yang akan dimakan oleh
macan itulah sehingga permainan ini dinamakan macanan.” (PE/JP/18). Maka,
nama permainan itu terkait dengan media atau sarana permainan yang digunakan.
Permainan itu dilakukan dengan melibatkan kecerdasan anak untuk memainkan
media itu, yang tampak pada aktivitas yang dilakukan oleh anak.
Aktivitas bermain di dalam permainan itu hanya dapat dilakukan dengan
dua anak, tidak kurang dan tidak lebih sehingga permainan itu juga dilakukan
bersama-sama, namun hanya terbatas seperti permainan Dhakon. Hal itu tampak
pada aktivitas dua anak yang saling beradu kecerdasan untuk dapat memenangkan
permainan dengan memakan orang-orangan sampai habis atau mengepung
harimau sampai tidak dapat bergerak lagi. Anak harus memikirkan cara atau
strategi yang terbaik agar berhasil memenangkan permainan.
Berdasarkan hasil percakapan etnografis, nama permainan itu lebih
mengacu pada media permainannya, yaitu alat yang dianggap atau berperan
sebagai macan dan di pihak lain adalah manusia. Kaitan antara nama permainan
dengan jenis permainan terdapat pada media permainan yang dimainkan dengan
kecerdasan, yang artinya dari media tersebut yang berupa peran macan, manusia,
dan petak-petak, dapat menimbulkan suatu aktivitas yang menuntut kecerdasan.
Aktivitas menjadi bagian dari proses perilaku berbahasa yang dapat menunjukkan
keterkaitan antara pesan yang ingin disampaikan dengan bentuk-bentuk linguistik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

154
yang mengacu kepada sesuatu. Hal itu dapat dikaitkan dengan pandangan Pierce
(1965 dalam Foley, 2001) yang mengemukakan bahwa bahasa sebagai aktivitas
sosial yang melibatkan pelaku sosial. Nama permainan itu mengungkapkan
aktivitas bermain, yaitu macan yang memakan orang-orangan dengan media
tertentu sebagai macan dan manusia, yang dimainkan dengan kecerdasan. Nama
permainan itu mengandung dimensi tanda (Pierce, 1965 dalam Foley, 2001) yang
lebih berkaitan dengan ikon. Ikon adalah tanda yang mewakili sumber acuan
melalui sebuah bentuk replikasi, simulasi, imitasi, atau persamaan. Sebuah tanda
dirancang untuk mempresentasikan sumber acuan melalui simulasi atau
persamaan (Danesi, 2004). Ikon di dalam permainan itu terdapat pada nama
permainan macanan yang mengacu pada media yang dapat berperan sebagai
macan yang memakan orang-orangan, yang dimainkan dengan kecerdasan. Media
yang digunakan itu mensimulasikan macan yang berperan memakan manusia.
Maka, jika dilihat dari aktivitasnya, anak harus memanfaatkan kecerdasan mereka
untuk dapat memainkan media sesuai dengan peran media, yaitu harimau sebagai
“tokoh” utama di dalam permainan itu.
Permainan Macanan termasuk dalam jenis permainan asah otak, karena
permainan tersebut juga dilakukan dengan aktivitas berpikir sehingga
membutuhkan kecerdasan. Aktivitas otak yang dilakukan di dalam permainan itu
menjadi ciri khas yang paling menonjol sehingga permainan itu dinamakan sesuai
dengan aktivitasnya dan termasuk ke dalam jenis permainan asah otak. Aktivitas
itu langsung mengacu pada inti dari permainan itu, yaitu aktivitas utamanya yang
mana anak harus berpikir untuk menentukan letak gacuk yang berperan sebagai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

155
manusia dan macan, yang mana manusia harus menghindari dan dapat
mengepung macan, dan macan harus dapat menerkam manusia sampai habis.
Maka, inti dari permainan ini yang sebenarnya adalah aktivitas memperebutkan
eksistensi antara manusia dengan macan dan macan menjadi ikon yang paliing
tampak sebagai sosok yang mengancam. Jika kita amati, aktivitas menjadi pusat
acuan, yang dalam jenis permainan ini langsung ditandai melalui nama yang
mengacu pada aktivitas di dalam permainan itu.
Penulis menemukan bahwa baik Dhakon maupun Macanan sama-sama
tidak langsung mengungkapkan jenis permainannya melalui namanya, namun
melalui aktivitas di dalam permainan itu, sebagaimana hal-hal yang telah
disebutkan di atas tadi. Maka, inti yang sebenarnya dari permainan itu adalah
aktivitas anak yang harus dilakukan dengan daya pikir atau kecerdasan. Namun,
aktivitas otak itu tidak dapat terwujud jika anak tidak mendayagunakan
kecerdasannya, yang artinya anak harus berpikir dan berkonsentrasi. Hal itu
membutuhkan kecerdasan karena pada dasarnya anak harus dapat menentukan
keputusan, strategi, dan perhitungan yang tepat seperti Dhakon di atas tadi. Maka,
dasar terwujudnya permainan itu adalah kecerdasan sehingga jenis permainan
yang menonjolkan kemampuan otak ini dapat menunjukkan gambaran pola
permainannya. Media di dalam permainan itu diacu melalui nama permainan
sehingga nama itu menandai bentuk-bentuk aktivitas, yang akhirnya dapat
menunjukkan jenis permainannya.
Jenis permainan ternyata tidak selalu mengacu pada hal-hal yang tampak
dari permukaan, yaitu melalui medianya terlebih dahulu. Sedangkan, nama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

156
permainan seringkali lebih mengacu pada hal-hal yang langsung tampak, yaitu
media permainan yang digunakan seperti permainan Macanan di atas. Jenis
permainan asah otak dalam hal ini tidak langsung menunjuk pada jenisnya. Media
itulah yang langsung menjadi ciri khas dan namun tidak langsung menandai
bahwa permainan itu merupakan jenis permainan asah otak, sebagaimana dua
permainan yang telah dipaparkan di atas. Jenis permainan mengungkapkan hal-hal
khas yang sangat tampak atau langsung tampak dari permainan itu, sebagaimana
kedua permainan itu juga cukup menunjukkan kaitan itu. Pandangan Hymes
(1974) mengenai SPEAKING juga dapat memperkuat temuan itu. Ends
merupakan maksud atau tujuan dari penutur ketika menggunakan bentuk-bentuk
kebahasaannya, act merupakan tindakan yang dilakukan oleh penutur dalam
menggunakan bentuk-bentuk kebahasaannya, dan instrument merupakan alat yang
digunakan oleh penutur yang menyampaikan maksudnya. Maksud atau tujuan
dalam hal ini dapat berupa hal-hal yang dapat mengungkapkan jenis permainan
itu. Lalu, tindakan itu dapat berupa aktivitas yang dilakukan dalam permainan,
yang mana di dalam jenis permainan ini adalah aktivitas inti dari permainan itu.
Kemudian, alat dapat berupa nama dan jenis permainan itu yang mengacu pada
tindakan, dan dari tindakan itu mengacu pada jenis permainan yang dikandung
dari tindakan itu.
4.2.2.4 Permainan Keterampilan Tangan
Permainan keterampilan tangan adalah jenis permainan yang dilakukan
dengan menonjolkan aktivitas kerajinan atau membuat sesuatu sebagai bagian dari
permainan. Jenis permainan ini memerlukan pemanfaatan keterampilan tangan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

157
sekaligus kreativitas anak untuk dapat menghasilkan produk buatan mereka
sendiri sehingga dapat dimainkan. Produk yang dimaksud tersebut pada umumnya
adalah mainan yang dapat digunakan dengan fungsi tertentu. Keberhasilan anak
dalam menghasilkan mainan itu ditentukan oleh tingkat keterampilan tangan yang
dimiliki oleh anak. Permainan jenis ini menjadi seperti permainan yang dapat
mengasah kreativitas anak dalam hal membuat sesuatu sehingga mereka dapat
melatih daya ciptanya untuk dapat menghasilkan sesuatu yang berguna bagi diri
mereka. Pernyataan narasumber berikut ini mengungkapkan mengenai jenis
permainan keterampilan tangan beserta dengan permainan-permainan yang
termasuk di dalam jenis permainan ini.
Permainan keterampilan tangan adalah permainan yang
murni dilakukan dan didominasi oleh keterampilan tangan.
Misalnya, Jaranan Bongkok, Keris Janur, Kupluk
Godhong, karena permainan itu hanya bisa dilakukan
ketika anak yang akan bermain membuat media sesuai
dengan yang dia butuhkan, seperti Keris Janur. Ketika dia
akan bermain Keris Janur ataupun yang dia butuhkan, dia
akan berusaha untuk bisa mewujudkan keris. Itu bukanlah
hal yang sederhana, karena harus membersihkan janurnya,
melipatnya, menjadi segitiga yang berlekuk-lekuk, dan
semacam itu. Itu tidak dapat dilakukan kalau tangannya
tidak hidup, atau tangannya tidak terampil menjalankan.
Demikian juga misalnya, ketika membuat Kitiran Godhong
Tela juga yang dibutuhkan tidak sekedar bagaimana
memetik daun ketela, namun juga bagaimana agar papah
daun itu bisa berputar. Dia juga harus bisa memetik atau
mematahkan batang daun ketela itu seberapa
perhitungannya dan sebagainya sehingga dalam pola
permainan keterampilan tangan itu memang kemudian
sejak dini anak diajak dan diasah untuk mencoba
mendayagunakan tangan yang dia miliki sebagai suatu
bagian dari perkembangan motorik anak. Contohnya,
seperti Jaranan Bongkok, Keris Janur, Kitiran Godhong
Tela, Kitiran Janur, Kupluk Godhong, Plintheng, itu juga
masuk bagaimana dia mulai membuat bentuk batangnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

158
itu, termasuk juga ceplokan juga sebagai bagian dari pola
permainan keterampilan tangan. (PE/JP/17)
Pernyataan narasumber di atas dapat dirangkum dan mengungkapkan
bahwa jenis permainan keterampilan tangan adalah jenis permainan yang
memerlukan ketelitian, pengerjaan yang baik dan benar, dan kemampuan motorik
halus yang dilakukan oleh tangan anak untuk dapat menghasilkan sesuatu yang
dapat berbentuk dan berfungsi dengan baik. Jenis permainan ini mendorong anak
untuk memanfaatkan atau mendayagunakan keterampilan tangan mereka secara
khusus untuk dapat menghasilkan sesuatu yang dapat berupa mainan atau sarana
permainan yang lain sehingga pola permainan jenis ini lebih mengarahkan anak
untuk melakukan praktek kerajinan dalam menghasilkan sesuatu. Sehubungan
dengan pernyataan tersebut, Tim JSIT (2015) menyatakan bahwa permainan
keterampilan tangan atau kerajinan merupakan permainan yang melatih anak
untuk dapat berkreasi dengan menggunakan bahan seadanya, atau dengan
memanfaatkan benda-benda alam yang sudah menjadi limbah. Maka, jenis
permainan ini juga melatih kreativitas anak. Pernyataan narasumber dengan
pendapat ahli memiliki keselarasan bahwa jenis permainan tersebut membutuhkan
daya cipta dan kreasi anak dengan menggunakan keterampilan tangannya untuk
dapat menghasilkan suatu produk, seperti mainan atau sarana permainan yang lain
sebagaimana hal-hal yang dapat kita lihat dari pernyataan-pernyataan di atas.
Lalu, narasumber juga mengungkapkan beberapa permainan yang termasuk dalam
jenis permainan keterampilan tangan ini, yaitu (1) Jaranan Bongkok, (2) Keris
Janur, (3) Kitiran Godhong Tela, (4) Kitiran Janur, (5) Kupluk Godhong, dan (6)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

159
Plintheng. Berikut merupakan pemaparan dan analisis dari jenis-jenis permainan
tradisional berdasarkan hasil percakapan etnografis yang dilakukan.
Salah satu permainan yang termasuk di dalam jenis ini adalah Keris Janur,
yang lebih mengacu pada media permainan yang dibuat, karena jenis permainan
ini selalu melibatkan keterampilan tangan untuk membuat media yang dimainkan,
yaitu mainan yang menyerupai keris dan terbuat dari janur, sesuai dengan nama
permainan itu. Permainan itu memiliki karakteristik untuk menggunakan
keterampilan tangan anak sebagai hal yang paling substantif. Lalu, berdasarkan
deskripsi permainan, anak memang harus memiliki keterampilan untuk membuat
mainan keris yang terbuat dari daun pohon kelapa yang masih muda atau janur.
Anak harus tahu cara membuat mainan itu dan dapat menerapkannya hingga dapat
menghasilkan mainan yang dapat berfungsi dengan baik. Jika anak tidak terampil,
maka mainan tidak akan jadi dengan baik. Keterampilan yang ditonjolkan dari
permainan itu lebih pada keterampilan tangan atau kerajinan. Mainan itu dapat
dimainkan dengan mudah dan biasanya dengan cara bermain peran, namun dalam
hal pembuatannya, anak harus dapat menghasilkan atau membuatnya sendiri
dengan keterampilan tangannya.
Nama permainan keris janur itu sendiri terdiri atas kata keris dan janur.
Kata keris mengacu pada jenis senjata tajam berlekuk yang berasal dari
masyarakat Jawa, sedangkan kata janur mengacu pada bahan yang digunakan
untuk membuat mainan yang berbentuk keris itu, yaitu daun pohon kelapa yang
masih muda. Maka, dalam bahasa Indonesia dapat disebut dengan keris yang
terbuat dari daun pohon kelapa yang masih muda. Menurut Tim JSIT (2015),
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

160
keris janur merupakan permainan dalam bentuk kerajinan. Permainan ini melatih
anak untuk dapat berkreasi dengan menggunakan bahan seadanya. Sesuai
namanya, permainan ini menggunakan janur atau daun pohon kelapa yang masih
muda untuk membuat keris, yaitu senjata tradisional Jawa. Berdasarkan hasil
percakapan etnografis, nama keris janur itu mengacu pada bentuk atau wujud
mainan yang dibuat, sebagaimana dinyatakan bahwa “Keris janur lebih mengacu
pada wujud, demikian juga dengan kitiran godhong tela, dan kitiran janur, itu
juga lebih mengacu pada bentuk atau wujud dari kitiran yang terbuat dari janur
atau godhong tela.” (PE/JP/18). Maka, nama permainan itu terkait dengan sarana
permainan yang dibuat, yaitu keris yang terbuat dari janur. Permainan itu
dilakukan dengan melibatkan keterampilan tangan untuk membuat media bermain
yang fungsional, yang tampak pada aktivitas yang dilakukan oleh anak.
Aktivitas bermain di dalam permainan itu dapat dilakukan secara individu.
Permainan itu tidak harus memerlukan pemain yang lebih dari satu, namun tetap
dapat dilakukan bersama-sama. Hal itu tampak pada aktivitas anak yang lebih
mengutamakan keterampilan tangan untuk membuat mainan yang dapat dilakukan
sendiri. Permainan itu dilakukan bersama-sama jika anak ingin menggunakannya
dengan cara bermain peran, sebagai hiasan, atau sekadar bersenang-senang,
namun hal itu tidak bersifat wajib.
Berdasarkan hasil percakapan etnografis, nama permainan itu lebih
mengacu pada bentuk atau wujud mainan yang dibuat, yaitu keris yang terbuat
dari janur. Kaitan antara nama permainan dengan jenis permainan terdapat pada
aktivitas permainan yang membuat mainan dengan menggunakan keterampilan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

161
tangan. Aktivitas menjadi bagian dari proses perilaku berbahasa yang dapat
menunjukkan keterkaitan antara pesan yang ingin disampaikan dengan bentuk-
bentuk linguistik yang mengacu kepada sesuatu. Hal itu dapat dikaitkan dengan
pandangan Pierce (1965 dalam Foley, 2001) yang mengemukakan bahwa bahasa
sebagai aktivitas sosial yang melibatkan pelaku sosial. Permainan Keris Janur
dapat dilakukan secara individu maupun bersama-sama yang ditunjukkan melalui
aktivitas yang dilakukan oleh anak di dalam permainan itu, sebagaimana hal yang
telah dipaparkan di atas. Nama permainan itu mengadaptasi bentuk mainan keris
yang dibuat dengan keterampilan tangan. Nama permainan itu mengandung
dimensi tanda (Pierce, 1965 dalam Foley, 2001) yang lebih berkaitan dengan ikon.
Ikon adalah tanda yang mewakili sumber acuan melalui sebuah bentuk replikasi,
simulasi, imitasi, atau persamaan. Sebuah tanda dirancang untuk
mempresentasikan sumber acuan melalui simulasi atau persamaan (Danesi, 2004).
Ikon di dalam permainan itu terdapat pada nama permainan Keris Janur yang
mengacu pada bentuk atau wujud mainan keris dari janur yang dibuat dengan
menggunakan keterampilan tangan. Dengan kata lain, anak harus memanfaatkan
keterampilan tangan mereka untuk dapat membuat mainan yang dapat berfungsi
dengan baik.
Permainan Keris Janur termasuk dalam jenis permainan keterampilan
tangan, karena permainan tersebut dilakukan dengan aktivitas membuat sesuatu
atau berkreasi sehingga membutuhkan keterampilan khusus. Aktivitas kerajinan
untuk membuat sesuatu yang dilakukan di dalam permainan itu menjadi ciri khas
yang paling menonjol sehingga permainan itu dinamakan sesuai dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

162
aktivitasnya dan termasuk ke dalam jenis permainan keterampilan tangan.
Aktivitas itu langsung mengacu pada inti dari permainan itu, yaitu aktivitas
utamanya yang mana anak harus membuat mainan keris tiruan yang terbuat dari
janur atau daun pohon kelapa yang masih muda. Maka, inti dari permainan ini
yang sebenarnya adalah aktivitas membuat keris mainan dari janur sehingga nama
itu sebenarnya langsung mengacu pada aktivitas permainan itu untuk membuat
benda yang mirip seperti keris. Jika kita amati, aktivitas menjadi pusat acuan,
yang dalam jenis permainan ini langsung ditandai melalui nama yang mengacu
pada aktivitas di dalam permainan itu. Selanjutnya, --- itu tidak secara langsung
terkait atau tercermin melalui nama permainannya, sebagaimana hal yang telah
disinggung di dalam analisis yang sebelumnya.
Penulis menemukan bahwa jenis permainan itu dengan jelas dibawa
melalui media yang dibuat di dalam permainan itu, sebagaimana hal-hal yang
telah disebutkan di atas tadi. Maka, inti yang sebenarnya dari permainan itu
adalah aktivitas anak yang harus dilakukan dengan keterampilan untuk dapat
membuat sesuatu. Namun, aktivitas kerajinan itu tidak dapat terwujud jika anak
tidak mendayagunakan keterampilannya, yang artinya anak harus berusaha untuk
dapat menghasilkan sesuatu berfungsi dari proses pembuatan itu. Hal itu
membutuhkan keterampilan karena pada dasarnya anak harus dapat membuat
keris mainan dengan baik dan benar. Maka, dasar terwujudnya permainan itu
adalah keterampilan tangan secara khusus, bukan keterampilan motorik secara
menyeluruh seperti pada jenis asah fisik sehingga jenis permainan yang
menonjolkan keterampilan tangan dan kreativitas ini dapat langsung
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

163
mencerminkan jenisnya, yaitu jenis permainan keterampilan tangan. Jenis
permainan itu dibawa melalui media permainan, kemudian dari media itu diacu
melalui nama permainan sehingga nama itu menandai bentuk-bentuk media yang
tercipta.
Hal yang sama juga terdapat dalam permainan Kitiran Godhong Tela.
Permainan Kitiran Godhong Tela juga termasuk ke dalam jenis permainan
keterampilan tangan sebagai hal yang sangat menonjol. Permainan itu memiliki
karateristik yang sama dengan permainan yang telah dipaparkan sebelumnya
dalam jenis ini. Hal tersebut juga ditunjukkan melalui pernyataan narasumber,
yaitu Andhi Wisnu Wicaksono (43), Sri Kuncara (56), dan Agustinus Sumarsono
(68) yang mengatakan bahwa permainan itu lebih mengarah pada keterampilan
tangan karena harus membentuk pola supaya bisa menjadi sebuah mainan yang
berupa baling-baling dari daun ketela dengan menyisakan batang dari daunnya
karena batang itu berguna sebagai beban sentrifugalnya. Lalu, berdasarkan
deskripsi permainan, anak memang harus memiliki keterampilan untuk membuat
mainan baling-baling yang terbuat dari daun ketela. Anak harus tahu cara
membuat mainan itu dan dapat menerapkannya hingga dapat menghasilkan
mainan yang dapat berfungsi dengan baik. Jika anak tidak terampil, maka mainan
tidak akan jadi dengan baik. Keterampilan yang ditonjolkan dari permainan itu
lebih pada keterampilan tangan atau kerajinan. Mainan itu dapat dimainkan
dengan mudah, namun dalam hal pembuatan anak harus dapat menghasilkan atau
membuatnya sendiri dengan keterampilan tangannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

164
Nama permainan kitiran godhong tela itu sendiri terdiri atas kata kitiran,
godhong, dan tela. Kata kitiran adalah bahasa Jawa dari baling-baling, kata
godhong berarti daun, dan kata tela berarti ketela. Maka, dalam bahasa Indonesia
dapat disebut dengan baling-baling yang terbuat dari daun ketela. Menurut Tim
JSIT (2015), kitiran godhong tela hanya membutuhkan batang daun ketela.
Permainan itu dapat dilakukan secara individu untuk memutar daun dan batang
daun ketela dari pangkal daun dan batang memakai jari tangan hingga mirip
baling-baling. Berdasarkan hasil percakapan etnografis, nama kitiran godhong
tela itu mengacu pada bentuk atau wujud mainan yang dibuat, sebagaimana
dinyatakan bahwa “Keris janur lebih mengacu pada wujud, demikian juga dengan
kitiran godhong tela, dan kitiran janur, itu juga lebih mengacu pada bentuk atau
wujud dari kitiran yang terbuat dari janur atau godhong tela.” (PE/JP/18). Maka,
nama permainan itu terkait dengan sarana permainan yang dibuat, yaitu baling-
baling yang terbuat dari daun dan batang daunnya. Permainan itu dilakukan
dengan melibatkan keterampilan tangan untuk membuat media bermain yang
fungsional, yang tampak pada aktivitas yang dilakukan oleh anak.
Aktivitas bermain di dalam permainan itu dapat dilakukan secara individu.
Permainan itu tidak harus memerlukan pemain yang lebih dari satu, namun tetap
dapat dilakukan bersama-sama. Hal itu tampak pada aktivitas anak yang lebih
mengutamakan keterampilan tangan untuk membuat mainan yang dapat dilakukan
sendiri. Permainan itu dilakukan bersama-sama jika anak ingin memainkannya
bersama dengan teman-teman, namun itu tidak bersifat wajib.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

165
Berdasarkan hasil percakapan etnografis, nama permainan itu lebih
mengacu pada bentuk atau wujud mainan yang dibuat, yaitu baling-baling yang
terbuat dari daun dan batang daun ketela. Kaitan antara nama permainan dengan
nilai karakter yang paling menonjol di atas tadi terdapat pada aktivitas permainan
yang membuat mainan dengan menggunakan keterampilan tangan. Aktivitas
menjadi bagian dari proses perilaku berbahasa yang dapat menunjukkan
keterkaitan antara pesan yang ingin disampaikan dengan bentuk-bentuk linguistik
yang mengacu kepada sesuatu. Hal itu dapat dikaitkan dengan pandangan Pierce
(1965 dalam Foley, 2001) yang mengemukakan bahwa bahasa sebagai aktivitas
sosial yang melibatkan pelaku sosial. Permainan kitiran godhong tela dapat
dilakukan secara individu maupun bersama-sama yang ditunjukkan melalui
aktivitas yang dilakukan oleh anak di dalam permainan itu, sebagaimana hal yang
telah dipaparkan di atas. Nama permainan itu mengadaptasi bentuk mainan
baling-baling yang dibuat dengan keterampilan tangan. Nama permainan itu
mengandung dimensi tanda (Pierce, 1965 dalam Foley, 2001) yang lebih berkaitan
dengan ikon. Ikon adalah tanda yang mewakili sumber acuan melalui sebuah
bentuk replikasi, simulasi, imitasi, atau persamaan. Sebuah tanda dirancang untuk
mempresentasikan sumber acuan melalui simulasi atau persamaan (Danesi, 2004).
Ikon di dalam permainan itu terdapat pada nama permainan kitiran godhong tela
yang mengacu pada bentuk atau wujud mainan baling-baling dari batang daun
ketela yang dibuat dengan menggunakan keterampilan tangan. Dengan kata lain,
anak harus memanfaatkan keterampilan tangan mereka untuk dapat membuat
mainan yang dapat berfungsi dengan baik. Permainan tersebut termasuk dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

166
jenis permainan keterampilan tangan, karena permainan tersebut dilakukan
dengan aktivitas membuat sesuatu atau berkreasi dan memainkannya dengan jari
tangan tanpa terlepas sehingga juga membutuhkan keterampilan khusus untuk
membuat dan memainkannya, jadi tidak hanya ketika membuat media
permainannya. Aktivitas kerajinan untuk membuat baling-baling dan
memainkannya tanpa terjatuh dengan jari tangan yang dilakukan di dalam
permainan itu menjadi ciri khas yang paling menonjol sehingga permainan itu
berjenis sesuai dengan aktivitasnya atau termasuk ke dalam jenis permainan
keterampilan tangan. Aktivitas itu langsung mengacu pada inti dari permainan itu,
yaitu aktivitas utamanya yang mana anak harus membuat mainan baling-baling
sekaligus harus dapat memainkannya dengan baik tanpa terjatuh. Penulis
menemukan bahwa jenis permainan keterampilan tangan tidak hanya ditunjukkan
melalui kemampuan keterampilan untuk membuat media permainannya, namun
juga keterampilan tangan secara khusus untuk memainkannya dengan baik dan
benar, yang secara khusus dengan menggunakan jari seperti permainan Kitiran
Godhong Tela di atas. Namun, jenis permainan keterampilan tangan ini tetap
didominasi pada aktivitas yang menekankan keterampilan dalam proses
pembuatan media permainan yang sesuai dengan namanya. Semua nama
permainan dalam jenis ini selalu menunjukkan wujud media permainannya,
seperti Keris Janur yang telah dipaparkan sebelumnya, Jaranan Bongkok, Kitiran
Janur, Kupluk Godhong, dan Plintheng, yang mana Keris Janur, Jaranan
Bongkok, Kitiran Janur, dan Kupluk Godhong hanya menekankan keterampilan
dalam proses pembuatan media permainannya, karena Plintheng juga memiliki
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

167
penekanan pada keterampilan untuk memainkan medianya dengan cara membidik
sasaran, seperti pemaparan pada bagian jenis permainan keterampilan fisik.
4.2.3 Strategi Preservasi Permainan Anak Tradisional
Uraian di atas secara keseluruhan menunjukkan bahwa permainan anak
tradisional merupakan bagian dari warisan budaya yang tidak hanya menunjukkan
nilai-nilai budaya Jawa, khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta, namun juga
mengandung dimensi didaktis dan pendidikan karakter yang sangat kaya.
Permainan anak tradisional hadir di tengah-tengah masyarakat sebagai sarana
pendidikan alami kepada generasi muda untuk mempersiapkan mereka
menghadapi kehidupan di masyarakat. Kehadiran permainan anak tradisional
benar-benar didasari oleh nilai-nilai karakter sebagai tujuan utama dari
masyarakat untuk anak-anak sebagai bagian dari generasi penerus masyarakat itu
sendiri. Maka, sebagai warisan budaya bangsa, permainan anak tradisional perlu
dilestarikan, baik oleh masyarakat Jawa (Yogyakarta) sendiri, maupun oleh
seluruh masyarakat di Indonesia.
Bagian ini memaparkan strategi preservasi permainan anak tradisional
yang mengandung nilai-nilai karakter. Strategi preservasi yang dimaksud oleh
penulis tidak sekadar berisi poin-poin teknis tentang pelestarian warisan budaya,
namun lebih menunjukkan suatu kajian intensif melalui kerangka atropolinguistik
dan cara kerja etnografi komunikasi. Dengan mendasarkan kajian ini pada teori
dan metode etnografi komunikasi serta studi dokumentasi, penulis menemukan 4
(empat) strategi preservasi permainan anak tradisional, yaitu (1) preservasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

168
permainan anak tradisional melalui pewarisan alamiah, (2) preservasi permainan
anak tradisional melalui ajang kompetisi, (3) preservasi permainan anak
tradisional melalui sarana teknologi, dan (4) preservasi permainan anak tradisional
melalui lembaga pendidikan dasar. Keempat strategi preservasi tersebut
dipaparkan sebagai berikut.
4.2.3.1 Preservasi Permainan Anak Tradisional melalui Pewarisan Alamiah
Kehidupan manusia sangat erat dengan segala sesuatu yang berkiatan
dengan ikhwal alamiah. Manusia hidup di dunia dan membentuk suatu sistem
kemasyarakatan dan kebudayaan juga merupakan bagian dari perisitwa alamiah,
karena hal itu terjadi secara otomatis dan mengalir secara terus menerus. Kata
alamiah menurut KBBI (2008) merupakan bentuk sifat dari nomina alam.
Definisi alam yang mengakomodasi sifat alamiah, yaitu segala daya yang
menyebabkan terjadinya sesuatu seakan-akan sesuatu itu telah diatur tanpa
intervensi manusia. Dalam kenyataannya, permainan anak tradisional sampai saat
ini sebenarnya masih dilakukan oleh sebagian masyarakat di Yogyakarta,
khususnya anak-anak yang tinggal di daerah pedesaan. Meskipun demikian, tidak
semua anak yang tinggal di desa masih melakukan permainan-permainan itu,
karena tergeser oleh pengaruh teknologi, seperti gawai. Namun, seperti hal yang
telah disebutkan tadi, bagaimanapun sampai saat ini setidaknya masih ada
masyarakat atau anak-anak desa yang senang melakukan permainan anak
tradisional, yang disebabkan oleh faktor tertentu. Peristiwa alamiah itu ternyata
memilliki latar belakang. Latar belakang itu ternyata adalah sistem pewarisan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

169
yang telah dirancang oleh orang-orang tua pada zaman dahulu agar permainan itu
mudah diingat dan tahan lama di dalam benak masyarakat sampai saat ini.
Berdasarkan hasil percakapan bersama narasumber, penulis memperoleh
informasi berkaitan dengan hal di atas tadi bahwa nenek moyang masyarakat Jawa
ketika menciptakan berbagai macam permainan anak tradisional menggunakan
sarana jembatan keledai, yaitu melalui nama, istilah, tembang, bentuk (apabila ada
benda berupa mainan), dan aktivitas yang khas. Hal itu membuat setiap permainan
anak memiliki ciri khas dan kekhasan itu mempermudah anak untuk mengenali,
mengingat, dan melakukan setiap permainan dengan baik dan dapat bertahan lama
di dalam ingatan anak-anak. Hal itu terbukti sebagaimana fenomena-fenomena
yang pernah kita lihat dan bahkan kita alami sendiri, bahwa kita sebagai orang
yang telah dewasa ternyata masih mengetahui dan ingat terhadap beberapa
permainan, meskipun tidak secara penuh. Namun, itulah hasil dari jembatan
keledai yang memuat konten-konten yang khas dari setiap permainan, yang
disebarluaskan di dalam masyarakat Jawa secara turun temurun dan dari mulut ke
mulut. Rangkuman hasil percakapan tersebut sejalan dengan pernyataan (sharing)
dari narasumber berikut.
Orang zaman dulu sudah merancang bagaimana agar
permainan itu bisa lestari, yaitu melalui pola-pola dan
simbolisasi di dalamnya, seperti bentuk mainan, cara
bermain, nama atau istilah yang digunakan, lagon
(lagu/tembang), dan berbagai hal khas lainnya. Nah, hal-
hal yang khas itu, misalnya lagunya kan memiliki pola
irama tertentu yang sekaligus dapat mengajarkan
kecerdasan musikal kepada anak. Orang Jawa zaman dulu
itu kalau mentransfer pengetahuan tidak selalu
menggunakan aktivitas baca tulis, namun dengan aktivitas
konkrit, yaitu dengan permainan dan lagu-lagunya. Pola-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

170
pola yang khas itu kemudian dapat direkam oleh anak
sehingga sampai saat ini pun masih ada anak yang tahu
permainan itu, berkat hal yang khas dari permainan itu,
seperti lagunya. Hanya dengan mendengar lagunya, anak
langsung tahu permainan itu dan bagaimana
memainkannya. Hal yang khas itu langsung memanggil
ingatan mereka terhadap permainan itu. Hal yang khas itu
mudah diingat oleh anak karena bersifat tetap dan telah
tersebar di mana-mana. Dengan begitu kan membuat anak
menjadi ingat terhadap urutan permainan dan hal-hal yang
lain. Maka, pola-pola yang khas itu digunakan sebagai
sarana pelestarian permainan agar mudah diingat dan terus
diingat sehingga bersifat seperti jembatan keledai. Orang
Jawa itu sharing knowledge-nya (berbagi pengetahuan)
melalui hal-hal yang khas, seperti nama, simbol, lagu, dan
lain-lain yang sudah bersifat baku, termasuk nama-nama
dari setiap permainan itu. Orang jadi ingat permainan itu
dan bagaimana memainkannya karena ada pola-pola yang
khas itu tadi. Mengapa bisa awet turun-temurun itu karena
blueprint-nya (pola/desain) itu melalui pola-pola yang khas
yang dibawa melalui tuturan dari masa ke masa. (PE/SP/2)
Hasil percakapan etnografis seperti kutipan di atas menunjukkan bahwa
nenek moyang masyarakat Jawa telah merancang permainan anak tradisional
sedemikian rupa, melalui pola-pola yang khas, yang dikandung dalam setiap
permainan agar mudah diserap oleh anak-anak. Dengan demikian, proses
internalisasi yang dialami oleh anak terhadap segala hal tentang permainan,
termasuk dalam hal nilai yang dapat dipetik, dapat terjadi dengan mudah melalui
blueprint yang telah dirancang dan terintegrasi di dalam permianan, sebagaimana
hal yang disebut oleh narasumber. Maka, penulis menemukan beberapa poin
penting yang menjadi bagian pembentuk strategi preservasi permainan anak
tradisional, yang bahkan sudah dirancang dengan baik oleh nenek moyang
masyarakat Jawa pada zaman dahulu, yaitu (1) segala informasi tentang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

171
permainan dibawa secara terintegrasi melalui pola-pola yang khas sebagai
jembatan keledai atau petunjuk (blueprint), (2) pesan yang diamanatkan oleh
“orang tua” (nenek moyang) berkaitan dengan nilai karakter yang ingin diajarkan
ditransfer melalui aktivitas konrkit, dan (3) pewarisan informasi tentang
permainan itu dilakukan dari mulut ke mulut. Dari ketiga hal tersebut, hal yang
paling menonjol sebagai bagian dari strategi preservasi permainan anak
tradisional dalam konteks pewarisan alamiah adalah pola-pola yang khas. Pola-
pola yang khas tersebut di dalam penelitian ini dapat dimaknai sebagai bentuk
pemanfaatan simbol di dalam permainan sebagai sarana pewarisan informasi. Hal
itu selaras dengan pernyataan Herawati (2015) yang mengungkapkan bahwa
permainan tradisional merupakan salah satu budaya yang masih dilestarikan
dengan berbagai macam simbol yang mampu menampilkan identitas.
Pola-pola yang khas (1) dapat dimaknai sebagai bentuk pemanfaatan
sistem tanda, salah satunya simbol. Simbol merupakan sistem tanda yang dapat
dimanfaatkan karena mampu memiliki makna, membawa makna, dan
menyampaikan makna itu ketika simbol mulai diiterpretasi oleh partisipan
(penutur/pelaku/orang). Kajian mengenai tanda telah dilakukan oleh Pierce (1965
dalam Foley, 2001) yang mengungkapkan bahwa ada tiga jenis tanda, yaitu
indeks, simbol, dan ikon. Ketiganya saling berkaitan, dan memiliki persamaan dan
perbedaan. Persamaan dari ketiga tanda tersebut adalah ketiganya sama-sama
mengacu pada suatu hal atau memiliki objek acuan tertentu, sedangkan
perbedaannya adalah ketiganya dibentuk melalui proses, tujuan, dan acuan yang
berbeda ketika dilihat dalam perspektif tertentu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

172
Berkaitan dengan hal di atas, pola-pola yang khas di dalam permainan
dapat diuraikan lagi menjadi beberapa poin berdasarkan pernyataan narasumber,
yaitu (a) nama permainan, (b) istilah di dalam permainan, (c) dialog dan lagu
permainan, (d) bentuk mainan (permainan tertentu) yang dibuat di dalam
permainan, dan (e) aktivitas permainan. Kelima hal tersebut merupakan sistem
tanda yang dimanfaatkan sebagai sarana pewarisan informasi tentang permainan
tertentu. Kelima hal itu dapat menjadi indeks, ikon, dan simbol sekaligus jika
dilihat dari perspektif tertentu. Nama permainan dapat menjadi bentuk indeks
karena nama permainan lebih dimanfaatkan untuk menunjuk atau
menggambarkan aktivitas permainan, seperti Dhelikan karena permainan itu
dilakukan dengan ndhelik (bersembunyi) di suatu tempat. Danesi (2004)
mengungkapkan bahwa indeks adalah tanda yang mewakili sumber acuan dengan
cara menunjuk padanya atau mengaitkannya (secara eksplisit atau implisit)
dengan sumber acuan lain. Maka, nama permainan Dhelikan itu juga merupakan
indeks, karena langsung mengaju atau menunjuk pada aktivitas di dalam
permainan itu sendiri. Permainan yang bernama Keris Janur dapat dimaknai
sebagai ikon, karena ikon mewakili sumber acuan melalui sebuah bentuk
replikasi, simulasi, imitasi, atau persamaan (Danesi, 2004). Di dalam permainan
Keris Janur, anak membuat mainan yang berbentuk keris dari bahan janur atau
daun muda dari pohon kelapa. Nama permainan itu mewakili bentuk dari mainan
yang dibuat, dan mainan yang berbentuk keris itu mengimitasi bentuk dari senjata
yang asli dari masyarakat Jawa, yaitu keris itu sendiri. Lalu, permainan yang
bernama Cublak-cublak Suweng dapat dimaknai sebagai simbol, karena simbol
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

173
mewakili objeknya melalui kesepakatan atau persetujuan dalam konteks spesifik
(Danesi, 2004). Permainan tersebut mengajarkan nilai-nilai keutamaan dan nama
permainan itu melambangkan nilai-nilai yang dikandung di dalamnya,
sebagaimana Herawati (2015) juga menungkapkan bahwa permainan tersebut
kaya akan simbol, terutama dalam kaitannya dengan makna lirik yang
dinyanyikan. Dengan demikian, nama permainan dapat menjadi bentuk indeks,
ikon, maupun simbol, yang mana sistem tanda itu dapat dimaknai, dikenal,
diingat, dan dilaksanakan oleh anak-anak dengan mudah, karena keterkaitannya
yang tinggi terhadap acuan yang dikandung, misalnya aktivitas, bentuk mainan,
dan nilainya di dalam setiap permianan.
Isitlah, lagu (tembang), bentuk mainan, dan aktivitas permainan secara
otomatis juga dapat dimaknai sebagai sistem tanda sebagaimana nama-nama
permainan di atas, termasuk aktivitas konkrit (2) yang secara implisit
mengajarkan nilai-nilai karakter kepada anak. Dialog dan lagu permainan dapat
berperan sebagai penanda, baik indeks, ikon, ataupun simbol, karena dengan
mendengar lagu dari permainan yang bersifat khas itu, maka anak pun langsung
mengerti dan di dalam pikiran mereka secara otomatis langsung mengacu pada
permainan yang memiliki lagu yang didengar. Aktivitas konrkit dapat dimaknai
sebagai simbol, karena aktivitas itu melambangkan nilai yang ingin diajarkan di
dalam permainan. Jika anak melakukan aktivitas itu, maka secara otomatis anak
itu belajar mengamalkan nilai yang terkadung di dalam aktivitas yang sedang
dilakukan, karena orang zaman dahulu tidak melakukan pendidikan karakter
melalui aktivitas baca tulis, namun melalui aktivitas konkrit yang mencerminkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

174
nilai-nilai tertentu, sebagaimana hal yang diungkapkan oleh narasumber
(PE/SP/2). Hal itu cukup menunjukkan bahwa isitlah atau ungkapan di dalam
permainan, lagu (tembang) permainan, bentuk mainan, dan aktivitas permainan itu
juga merupakan penanda yang khas, yang ternyata sudah dimanfaatkan oleh para
pencipta permainan anak tradisional pada zaman dahulu sebagai salah satu cara
agar permainan dapat terus lestari atau bertahan. Dengan pemanfaatan sistem
tanda atau yang disebut oleh narasumber sebagai pola, jembatan keledai, atau
blueprint, pewarisan dan pelestarian permainan anak tradisional dapat dengan
lebih mudah terlaksana secara alamiah.
Berkaitan dengan hal di atas, pewarisan informasi tentang permainan itu
dilakukan dari mulut ke mulut (3). Hal itu juga menunjukkan bahwa preservasi
permainan anak tradisional ternyata telah terjadi turun-temurun secara alamiah,
berkat pemanfaatan sistem tanda atau penanda oleh para pendahulu dari
masyarakat Jawa. Informasi tentang permainan anak tradisional yang dilakukan
secara turun-temurun itu memiliki persamaan dengan sistem penyebaran sastra
lisan, seperti cerita rakyat yang disebarkan dari mulut ke mulut secara turun-
temurun (Rukmini, 2009). Permainan anak tradisional juga memiliki kemiripan
dengan sistem penyebaran atau pewarisan dari cerita rakyat sehingga ada sedikit
variasi atau perbedaan informasi. Perbedaan informasi itu terjadi pada permainan
yang sama, namun memiliki aturan main dan lirik lagu yang sedikit berbeda.
Namun, permainan anak tradisional memiliki sistem penanda yang baku, seperti
hal yang telah dikemukakan oleh narasumber (PE/SP/2) sehingga permainan akan
relatif sama meskipun terdapat beberapa perbedaaan versi, namun masyarakat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

175
tetap dapat mengenal permainan itu dengan baik karena ciri khas penanda yang
sangat kuat dari setiap permainan itu sendiri.
Dari hal-hal yang telah dipaparkan di atas, penulis melihat bahwa nenek
moyang masyarakat Jawa pada zaman dahulu sudah mengerti, memperkirakan,
dan merancang suatu produk dari kebudayaan yang terintegrasi dengan strategi
preservasi, agar produk budaya itu dapat tetap lestari dan bertahan sampai
sepanjang masa sesuai dengan harapan mereka. Hal itu sungguh terbukti bahwa
bagaimanapun anak-anak pada zaman sekarang ini masih ada yang melakukan
permainan itu (Herawati, 2015), meskipun jumlahnya sudah sangat sedikit jika
dibandingkan dengan seluruh anak di dalam masyarakat Jawa, termasuk sesama
anak yang masih tinggal di berbagai desa. Berkaitan dengan hal itu pula,
masyarakat Jawa yang masih melestarikan permainan anak tradisional juga
terdorong secara alamiah oleh kekayaan nilai-nilai karakter yang terkandung di
dalamnya sehingga permainan itu sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai sarana
penanaman nilai karakter yang efektif (sharing knowledge - (PE/SP/2)),
sebagaimana masyarakat Jawa pada dasarnya didasari oleh budaya yang sangat
kental dengan filosofi karakter atau sikap (Suseno, 1985).
4.2.3.2 Preservasi Permainan Anak Tradisional melalui Ajang Kompetisi
Permainan anak tradisional memiliki potensi untuk semakin tergeser
eksistensinya oleh perkembangan teknologi. Eksistensi permainan anak
tradisional yang mulai tergeser itu mencangkup keberadaannya secara konkrit
maupun keberadaannya di dalam ingatan masyarakat. Eksistensi permainan anak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

176
tradisional secara konkrit menunjuk pada aktivitas atau pelaksanaan permainan itu
di tengah masyarakat, sedangkan eksistensi dalam bentuk ingatan menunjuk pada
pengetahuan masyarakat tentang permainan itu dengan berbagai informasi yang
dikandung. Meskipun pelaku permainan anak tradisional termasuk sedikit jika
dibandingkan dengan pelaku atau pengguna alat-alat modern, sampai saat ini
bagaimanapun masih ada anak-anak yang senang melakukan permainan itu
(Herawati, 2015). Faktor yang mempengaruhi hal tersebut dapat berasal dari dua
hal, yaitu faktor alamiah seperti yang telah disinggung pada bagian preservasi
yang pertama di atas dan faktor upaya yang dilakukan oleh masyarakat itu sendiri.
Upaya yang dilakukan oleh masyarakat itu dapat menjadi suatu bentuk preservasi
terhadap permainan anak tradisional, yang mana dalam bagian ini adalah
preservasi yang dilakukan melalui ajang kompetisi.
Hasil percakapan etnografis menunjukkan bahwa masyarakat Jawa
khususnya di Yogyakarta sampai saat ini masih memiliki kebiasaan untuk
mengadakan suatu ajang kompetisi yang mengangkat permainan anak tradisional
sebagai aktivitas yang dilakukan secara berkala. Masyarakat biasanya
mengadakan acara seperti itu ketika sedang berada dalam masa atau hari-hari yang
istimewa, seperti hari kemerdekaan Indonesia atau 17-an, mendapat kesempatan
untuk mengisi suatu festival, mendapat kesempatan untuk mengisi pameran, atau
bahkan berdasarkan inisiatif murni dari pihak penyelenggara untuk mengadakan
acara yang berunsur perlombaan permainan anak tradisional. Hal itu dinilai cukup
efektif bagi masyarakat untuk mendorong dan membangkitkan kembali permainan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

177
anak tradisional yang saat ini mulai dilupakan. Pernyataan dari narasumber
berikut ini menunjukkan hal-hal yang telah dipaparkan di atas.
Tapi coba, kompetisi kasti antarkampung. Kalau di desa
saya itu dulu pernah kasti antarlingkungan. Orang yang
main pun terserah, ada bapak, ibu, anak, semua keluar,
terus nanti satu tim 12 orang missalnya. Ramai sekali.
(PE/SP/3/a)
Maka, harus dibuat acara-acara khusus. Misalnya, melalui
acara 17-an sebagai hal yang masih tampak di dalam
kehidupan kita. Baru permainan ini bisa dilakukan. Jika
ingin melestarikan ini, harus ada orang yang mau terjun
langsung dan memberikan berbagai penjelasan secara
konkrit di lapangan. (PE/SP/3/b)
Dua pernyataan narasumber di atas menunjukkan bahwa permainan anak
tradisional masih diperhatikan dan diberdayakan melalui ajang kompetisi yang
diadakan oleh masyarakat dan untuk masyarakat. Selain itu, pada dasarnya
sebagian masyarakat masih terus terdorong untuk mengangkat permainan anak
tradisional dalam setiap ajang kompetisi, setiap kali ada kesempatan bagi mereka
untuk menyelenggarakannya, walaupun seringkali masih terbatas pada persoalan
“jika ada kesempatan”, misalnya hari-hari tertentu, khusus, atau istimewa saja.
Hal itu sudah cukup menunjukkan bahwa masysarakat ternyata masih memiliki
strategi untuk melestarikan permainan anak tradisional agar tidak lenyap ditelan
zaman. Ajang kompetisi yang diselenggarakan oleh masyarakat tersebut menjadi
salah satu strategi preservasi permainan anak tradisional. Hal itu selaras dengan
pernyataan Suffah dan Setyowati (2015) yang mengungkapkan bahwa strategi
permainan tradisional dapat dilakukan dengan mengadakan kompetisi di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

178
komunitas dengan perlombaan, sebagaimana hal itu dilakukan oleh komunitas
Tanoker. Maka, penyelenggaraan perlombaan dianggap cukup efektif untuk
melestarikan permainan warisan budaya itu.
Berkaitan dengan hal di atas, pelaksanaan perlombaan permainan anak
tradisional melibatkan aktivitas konkrit yang dilakukan bersama-sama dengan
pusat pikiran para pelaku permainan itu sebagai sumber informasi, pengetahuan,
dan dorongan bagi masyarakat untuk melaksanakannya. Hal itu berlaku pula
dalam hal komunikasi antarpenutur, yang mana komunikasi itu sendiri merupakan
suatu bentuk aktivitas yang didasari oleh pikiran para penuturnya (partisipan),
seperti hal yang diungkapkan dalam SPEAKING menurut Hymes (1972).
Aktivitas di dalam permainan tentu juga melibatkan komunikasi sebagai bagian
dari aktivitas di dalam permainan itu sendiri. Maka, penulis melihat kehadiran
unsur kebahasaan di dalam aktivtas permainan itu, yang ditambah pula bahwa
permianan anak tradisional beberapa di antaranya memiliki dialog yang khas dan
lagu atau tembang dolanan yang wajib dituturkan atau dinyanyikan sebagai
bagian mutlak dari aktivitas permainan warisan budaya itu. Aktivtas kebahasaan
itu turut menjadi bagian dari aktivitas permainan secara keseluruhan, sebagaimana
Sibarani (2015) menyatakan bahwa budaya mencangkup berbagai aktivitas yang
dilakukan secara turun-temurun sebagai wujud performansi, termasuk aktivtas
berkomunikasi.
Berdasarkan pemaparan di atas, kompetisi dapat dimaknai sebagai salah
satu bentuk komunikasi kepada masyarakat agar tergerak untuk dapat
melaksanakan aktivitas yang menjadi tujuan masyarakat itu, yang artinya dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

179
serangkaian proses itu, masyarakat secara otomatis ikut terlibat dalam upaya
pelestarian permainan anak tradisional. Hal-hal tesebut terjadi dalam satu
rangkaian proses sekaligus. Maka, budaya, aktivitas, dan komunikasi menjadi
bagian yang tidak terpisahkan satu sama lain. Hal itu dapat dikaitkan dengan
pandangan Kridalaksana (1998) yang mengungkapkan bahwa bahasa tidak saja
bisa dipandang sebagai sarana komunikasi individu atau kelompok untuk
mengungkapkan pikiran, perasaan, pendapat, harapan, kegelisahan, cinta,
kebencian, opini, dan sebagainya kepada individu atau kelompok lain, tetapi juga
bisa dipandang sebagai suatu sumber daya untuk menyingkap misteri budaya,
mulai dari perilaku berbahasa, identitas dan kehidupan penutur, pendayagunaan
dan pemberdayaan bahasa sampai dengan pengembangan serta pelestarian nilai-
nilai budaya.
Upaya preservasi melalui ajang kompetisi juga membutuhkan sarana yang
lebih kuat agar pelaksanaannya dapat diwujudkan dengan lebih intensif.
Pernyataan narasumber berdasarkan hasil percakapan etnografis berikut ini dapat
menjadi faktor yang dapat memperkuat upaya pelestarian ini sebagai berikut.
Salah satu di antaranya, yang pokok itu adalah penyediaan
fasilitas publik. Fasilitas publik itu mutlak harus
disediakan. (PE/SP/1)
Lebih sering mengadakan lagi acara perlombaan yang
mengangkat permainan anak tradisional. Menyediakan
ruang bermain anak. (PE/SP/2)
Pernyataan narasumber di atas menunjukkan bahwa masyarakat juga perlu
untuk menyediakan fasilitas publik yang dibuat secara khusus sebagai ruang
bermain anak (PE/SP/1). Hal itu mengindikasikan bahwa masyarakat tidak boleh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

180
hanya terikat atau terbatas pada masa atau hari-hari tertentu di mana masyarakat
hanya dapat menyelenggarakan kompetisi ketika masa atau hari itu datang.
Namun, masyarakat diharapkan dapat lebih sering lagi mengadakan acara
perlombaan yang mengangkat permainan anak tradisional, sebagaimana hal yang
telah dinyatakan oleh narasumber (PE/SP/2). Maka, inisiatif masyarakat sangatlah
diperlukan dalam hal ini, untuk meningkatkan frekuensi penyelenggaraan ajang
kompetisi sebagai bentuk preservasi permainan itu. Beberapa contoh yang
berkaitan dengan maksud narasumber di atas dapat diambil sebagai berikut.
Pertama, masyarakat dapat membentuk suatu komunitas khusus, seperti
komunitas Tanoker yang dikaji dalam penelitian Suffah dan Setyowati (2015).
Kedua, masyarakat dapat membuat sanggar, seperti sanggar seni Metta Budaya
yang dikaji dalam penelitian Dadtun (2012). Ketiga, masyarakat dapat terus
menyelenggarakan festival permainan anak, seperti festival Dolanan Anak Se-DIY
2013 yang dikaji dalam penelirian Herawati (2015).
Komunitas Tanoker adalah komunitas bermain yang dikhususkan untuk
anak-anak, yang didirikan sejak tahun 2009. Berdasarkan keterangan Suffah dan
Setyowati (2015), komunitas tersebut mewadahi anak-anak di kecamatan
Ledokombo sebagai sarana bermain permainan tradisional Indonesia, untuk
mengenalkan budaya bangsa Indonesia pada generasi muda, sebagai strategi untuk
menjaga identitas bangsa agar tidak punah dengan mengajarkan nilai-nilai budaya
lokal yang terdapat dalam masyarakat. Komunitas tersebut mengajarkan
permainan tradisional Indonesia bagi anak-anak yang awalnya mereka tidak
mengenal permainan tradisional, lalu lambat laun mengenalnya bahkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

181
menggemari permainan-permainan itu. Suffah dan Setyowati menegaskan bahwa
komunitas itu dapat menjadi bukti bahwa preservasi permainan anak tradisional
melalui ajang kompetisi cukup efektif, karena komunitas itu sering
menyelenggarakan acara yang berunsur perlombaan dengan melibatkan anak-anak
yang di wadahinya dan memiliki 8 (delapan) prestasi atau pencapaian atas
penyelenggaraan yang telah dilaksanakan. Prestasi atau pencapaian yang telah
diwujudkan oleh komunitas tersebut, yaitu (1) sukses menggelar festival
Indonesia ke-IV setiap bulan Agustus dengan melibatkan juri dan tokoh
mancanegara, (2) mengangkat sejarah dengan melestarikan permainan tradisional
sampai ke kancah internasional, (3) menyelenggarakan berbagai permainan ke
seluruh Indonesia, termasuk di Yogyakarta, (4) dikunjungi dan diliput oleh
berbagai media televisi, seperti Si Bolang, SCTV, ANTV, Surya, Radar, dan
Kompas, (5) banyak turis dan penulis dari luar negeri yang telah mengunjungi,
seperti Jerman, Australia, dan Jepang, (6) Sinta Abdurrahman Wahid sempat
berkunjung dengan berbagai mahasiswa, (7) meraih diplomasi Indonesia Tanoker,
dan (8) menjadi finalis Indonesia Mencari Bakat 2.
Sanggar seni Metta Budaya adalah sanggar yang dibentuk di Surakarta
sejak tahun 1989 untuk mengajarkan budaya, termasuk seni dolanan anak.
Berdasarkan keterangan Dadtun (2012), sanggar tersebut memiliki visi dan misi
yang memiliki esensi bahwa sanggar itu tidak hanya mengajarkan materi tari
tradisi gaya Surakata saja, tetapi juga mengajarkan seni pertunjukkan wayang
orang, dan bermain seni dolanan anak untuk pelestarian permainan Jawa yang
sudah jarang dimainkan oleh anak-anak. Dadtun menegaskan bahwa model
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

182
pembelajaran permainan anak tradisional sangat perlu diselenggarakan dalam
upaya untuk melestarikan dan mengembangkan dolanan anak tradisional yang
saat ini sudah mulai dilupakan. Model pembelajaran ini dilakukan dengan
memperkenalkan jenis-jenis permainan tradisional yang telah ada sejak dahulu,
yang kemudian dapat dikembangkan dengan menyesuaikan konteks
perkembangan zaman sehingga dapat digemari oleh anak-anak. Model
pengembangan dapat dilakukan dengan memadukan gerak dan lagu, pemakaian
alat-alat yang mudah dijumpai, dan lain-lain. Hal itu berkaitan dengan pernyataan
narasumber (PE/SP/3/b) yang mengatakan bahwa “Jika ingin melestarikan ini,
harus ada orang yang mau terjun langsung dan memberikan berbagai penjelasan
secara konkrit di lapangan.”. Selain itu, model pembelajaran di dalam sanggar itu
benar-benar melibatkan aktivitas konkrit atau mempraktekkan permainan itu
secara langsung, sebagaimana aktivitas itu merupakan bagian inti dari permainan
anak tradisional.
Festival Dolanan Anak Se-DIY 2013 merupakan suatu bentuk kepedulian
masyarakat dan pemerintah daerah yang telah dilakukan sejak tahun 2010.
Berdasarkan keterangan Herawati (2015), festival tersebut merupakan pagelaran
atau pertunjukkan yang mengangkat tema seni dan tradisi. Acara itu merupakan
acara rutin yang bekerja sama dengan berbagai pihak, baik swasta maupun
pemerintah. Taman Budaya Yogyakarta yang bekerja sama dengan Dinas
Pariwisata DIY menggelar acara tersebut yang berlangsung selama tiga hari
dengan peserta puluhan grup atau kelompok seni dari lima kabupaten di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

183
Yogyakarta. Hal itu mengindikasikan secara positif bahwa keberadaan permainan
anak tradisional perlu dilestarikan agar tidak punah.
Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan di atas, penulis melihat bahwa
penyelenggaraan kompetisi dan berbagai sarana pendukungnya dapat menjadi
strategi preservasi permainan anak tradisional yang efektif, masih diupayakan
hingga saat ini, dan akan terus diusahakan sepanjang masa. Hal itu dinyatakan
demikian karena masyarakat atau anak-anak dilibatkan secara langsung dengan
aktivitas konkrit yang dilakukan di dalam permainan. Di dalam proses itu,
terdapat serangkaian bentuk integrasi antara budaya, aktivitas konkrit, dan
perilaku berkomunikasi yang tidak dapat dipisahkan dan menjadi satu kesatuan
peristiwa yang dapat mewujudkan upaya pelestarian permainan anak tradisional.
Upaya yang terus-menerus dilakukan itu sangat tampak dari beberapa pernyataan
dari narasumber dan beberapa contoh upaya yang lain dari beberapa hasil kajian
di atas. Di lain sisi, masyarakat juga semakin terdorong oleh faktor yang
dihasilkan dari budaya itu sendiri, yaitu kesadaran masyarakat akan pentingnya
nilai-nilai luhur yang dikandung di dalam permainan anak tradisional, seperti hal
yang sempat disinggung oleh Suffah dan Setyowati (2015) di atas, dan
sebagaimana Bastomi (1992) juga menyatakan bahwa sikap hidup orang Jawa
sangat menunjung tinggi prinsip kerukunan, saling menghormati, dan sopan
santun, sebagai bagian dari nilai budaya itu sendiri.
4.2.3.3 Preservasi Permainan Anak Tradisional melalui Sarana Teknologi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

184
Permainan anak tradisional yang semakin tergeser oleh perkembangan
teknologi pada zaman sekarang dapat dikatakan mulai terlupakan oleh mayoritas
masyarakat sendiri, di mana permainan-permainan itu sendiri berasal. Anak-anak
banyak yang lebih sering atau memilih bermain gawai dari pada bermain
permainan anak tradisional. Permainan anak tradisional pada dasarnya merupakan
bagian dari kebudayaan, dan kebudayaan itu pada hakikatnya bersifat komunal,
sebagaimana yang diungkapkan oleh Bustani (2010) bahwa kehidupan masyarakat
adat memiliki konsep yang bersifat komunal dan lebih menekankan pada
kepentingan serta pemanfaatan untuk kepentingan bersama dalam kelompoknya.
Permainan anak tradisional diciptakan berdasarkan konsep komunal dan
dilakukan pula secara komunal atau bersama-sama. Hal itu berseberangan dengan
sikap individualistik yang tampak ketika anak-anak mulai bermain gawai dan
“asyik sendiri”, karena zaman sekarang anak-anak sudah tidak dituntut lagi untuk
harus bergaul dan melaksanakan “ritual” permainan anak tradisional yang pada
umumnya mutlak dilakukan bersama-sama. Pembiaran tersebut seolah semakin
menanamkan sikap individualistik anak dan berarti pula bahwa permainan anak
tradisional semakin ditinggalkan oleh karena perhatian anak-anak yang condong
pada gawai. Oleh karena itu, preservasi permainan anak tradisional juga harus
dapat menyisip di dalam dunia teknologi, agar preservasi itu dapat menyesuaikan
perkembangan zaman atau teknologi. Dengan demikian, apabila perkembangan
teknologi mengancam eksistensi permainan anak tradisional, maka langkah yang
dapat dilakukan untuk melawan hal itu adalah juga dengan memanfaatkan
teknologi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

185
Hasil percakapan etnografis dengan narasumber menunjukkan bahwa
masyarakat perlu melakukan langkah pelestarian permainan anak tradisional
dengan memanfaatkan teknologi. Hal itu sebenarnya sudah mulai diterapkan
dewasa ini, namun masyarakat tetap perlu semakin meningkatkan upaya itu demi
eksistensi permainan anak tradisional yang kokoh. Masyarakat perlu melakukan
suatu bentuk kerja sama antarbidang keahlian untuk melakukan upaya semacam
itu. Integrasi antara bidang keahlian teknologi dengan bidang kebudayaan perlu
dilaksanakan untuk menghasilkan produk atau sarana teknologi, seperti permainan
gawai, film animasi, dan berbagai macam konten perangkat lunak lainnya yang
mengangkat tema tentang permainan anak tradisional, yang tentu dapat diakses
secara leluasa dengan alat-alat elektronik, seperti telepon genggam (Android),
tablet, laptop, komputer, televisi, dan lain-lain. Pernyataan narasumber berikut ini
menunjukkan hal-hal yang telah dipaparkan di atas.
Lalu, mendorong semua pihak untuk memperhatikan
kembali permainan anak tradisional sesuai dengan bidang
mereka masing-masing. Misalnya, dalam bidang seni,
orang dapat mengangkat lagu permainan yang dapat
dimanfaatkan dalam media tertentu. Kemudian,
memanfaatkan teknologi dengan mengangkat tema
permainan anak tradisional untuk dibuat suatu permainan
di dalam gawai itu, karena anak zaman sekarang
pegangannya hp. Maka, kita bisa mengajak orang-orang
yang berkompetensi di bidang teknologi untuk membuat
game-game dengan tema permainan anak tradisional. Kita
tidak perlu mengambil sumber daya manusia dari luar
negeri karena kita sudah cukup banyak memiliki orang-
orang yang mampu dalam bidang teknologi. Kita harus
bekerja sama dengan mereka, memberi isi atau kontennya,
dan membuat bersama. Maka, kerja sama lintas bidang
kompetensi itu perlu demi menghasilkan permainan gawai
yang terintegrasi dengan permainan anak tradisional.
(PE/SP/2)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

186
Kalau kaitannya dengan zaman sekarang, orang perlu
membuat animasi. Toh animator Indonesia itu juga ampuh-
ampuh, namun malah tidak laku di negaranya sendiri,
malah laku di luar negeri. Animasi itu dapat dikemas
dengan cerita atau film, lalu ada suatu petunjuk-petunjuk
film yang berupa pengenalan aksara Jawa yang
diperbandingkan artinya dengan bahasa Indonesia, Inggris,
agar anak dapat sekaligus dikenalkan dengan istilah-istilah
di dalam permainan. Jika aspek-aspek kebahasaan itu tidak
dikenalkan di era sekarang ini, maka bahasa itu tidak akan
bisa dikonsumsi oleh masyarakat dan mereka akan
kehilangan pengetahuan atau informasi itu. (PE/SP/1)
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa masyarakat perlu terus
memanfaatkan teknologi sebagai upaya untuk melestarikan permainan anak
tradisional. Pernyataan narasumber di atas mengungkapkan 2 poin yang dapat
dilakukan dalam rangka melestarikan permainan anak tradisional melalui sarana
teknologi, yaitu (1) membuat permainan gawai dan (2) membuat film animasi
dengan mengintegrasikan dimensi kebahasaan dalam beberapa bahasa. Kedua
bentuk upaya tersebut membutukan kerja sama antarbidang keahlian, seperti hal
yang telah dinyatakan oleh narasumber.
Permainan gawai yang dimaksud di atas merupakan bentuk adaptasi dari
permainan anak tradisional yang diangkat ke dalam bentuk perangkat lunak yang
dapat dioperasikan melalui alat-alat elektronik, seperti telepon genggam
(Android), tablet, laptop, dan komputer. Hal itu merupakan upaya pelestarian
permainan anak tradisional yang mengikuti dan menyesuaikan perkembangan
zaman, yaitu melalui pemanfaatan sarana teknologi. Hal itu dapat menjadi daya
tarik bagi anak-anak yang sekarang ini sangat menyukai permainan gawai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

187
sehingga pendekatan melalui permainan gawai itu diharapkan dapat menarik
minat anak-anak secara efektif. Selaras dengan hal tersebut, Perdana (2013)
mengungkapkan bahwa sarana digital akan menjadi sarana sangat baik apabila
dikemas dengan wadah yang menarik dan interaktif sehingga mampu menarik
minat dan memberi motivasi kepada anak-anak untuk menggunakannya. Salah
satu contoh strategi preservasi permainan anak tradisional yang pernah dilakukan
dan diteliti adalah model adaptasi permainan anak tradisional Macanan ke dalam
perancangan permainan digital. Model adaptasi tersebut menjadi kajian bagi
Khamadi dan Senoprabowo (2016) yang mengembangkan permainan gawai
dengan mengangkat konten dan pola permainan dari permainan anak tradisional
yang menggunakan papan, seperti Macanan. Permainan anak tradisional yang
menggunakan media papan dinilai cukup mudah untuk diadaptasi dalam bentuk
permainan gawai seperti permainan catur yang biasa kita temui dalam sistem
operasi komputer Windows. Permainan gawai seperti itu cukup praktis dan mudah
dioperasikan oleh anak-anak sehingga memiliki potensi yang besar untuk
mengenalkan permainan anak tradisional kepada anak-anak di era digital ini.
Pembuatan film animasi yang mengintegrasikan dimensi kebahasaan
dalam beberapa bahasa merupakan bentuk yang lebih luas dari bentuk upaya yang
pertama tadi, karena melibatkan media elektronik yang lebih luas seperti televisi,
sebagaimana hal yang telah dinyatakan oleh narasumber (PE/SP/1). Berkaitan
dengan hal itu, permainan anak tradisional berasal dari kebudayaan masyarakat
yang dibentuk bersama dan dilakukan secara besama pula. Hal itu
mengindikasikan bahwa proses pembentukan dan pemanfaatan permainan anak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

188
tradisional di dalam masyarakat sepanjang zaman itu melibatkan proses
berkomunikasi yang intens. Proses berkomunikasi yang intens itu tentu
melibatkan bahasa yang digunakan di dalam masyarakat itu sendiri. Oleh karena
itu, permainan anak tradisional selalu memiliki nama yang menggunakan bahasa
yang dihasilkan dari masyarakat itu sendiri, beserta dengan istilah yang digunakan
dan dialog atau lagu yang dinyanyikan sehingga setiap permainan anak tradisional
memiliki ciri khas yang kuat. Bahasa merupakan cerminan dari kebudayaan,
karena bahasa dan budaya merupakan hal saling berkaitan, sebagaimana Foley
(2001) mengungkapkan bahwa bahasa merupakan bagian dari konteks sosial
budaya dan saling mempengaruhi serta mempertahankan praktek budaya dan
struktur sosial. Maka, keterlibatan bahasa dalam upaya pelestarian permainan
anak tradisional yang dalam hal ini melalui sarana teknologi perlu diwujudkan
sebaga pengantar bagi masyarakat agar tetap dan semakin mengenal terhadap
budaya dan kembali kepada akar budaya itu sendiri.
Berdasarkan pernyataan narasumber, konten permainan anak tradisional
itu dapat dikemas melalui cerita anak yang memuat tema permainan dengan
menggunakan bahasa daerah seperti apa adanya yang hadir di dalam permainan.
Dari situ, animasi dapat dilengkapi dengan perbandingan bahasa, dengan cara
memberi “petunjuk-petunjuk film yang berupa pengenalan aksara Jawa yang
diperbandingkan artinya dengan bahasa Indonesia, Inggris, agar anak dapat
sekaligus dikenalkan dengan istilah-istilah di dalam permainan” (PE/SP/1).
Dengan cara demikian, anak-anak dapat dengan mudah mengenal permainan itu
secara lengkap, dari nama, istilah, dialog atau lagu (tembang) permainan, dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

189
aktivitas permainan yang dapat mengarahkan anak untuk mengetahui cara
bermain permainan anak tradisional. Anak-anak yang dituju tentu mencangkup
anak-anak yang berasal dari berbagai latar belakang, mengingat bahwa petunjuk-
petunjuk kebahasaan itu dapat terdiri atas bahasa daerah (asli), bahasa Indonesia,
dan bahasa asing, seperti bahasa Inggris. Hal itu menunjukkan bahwa upaya
semacam itu, jika benar-benar dikembangkan dengan baik, maka akan dapat
berguna di seluruh dunia sebagai wawasan yang penting bagi generasi muda
terhadap sistem budaya yang pernah ada di dunia. Hal itu memiliki potensi yang
cukup besar bagi masyarakat untuk dapat melestarikan permainan anak tradisional
secara efektif.
Sebagaimana hal yang telah disinggung di atas tadi, kedua bentuk upaya
preservasi permainan anak tradisional melalui sarana teknologi itu membutuhkan
kerja sama dengan berbagai pihak, yaitu orang-orang dengan bidang keahlian
yang berbeda-beda. Pihak-pihak yang perlu saling bekerja sama berdasarkan
pernyataan narasumber dapat terdiri dari (1) budayawan, (2) peneliti, (3)
programer, dan (4) animator.
Budayawan memiliki peran inti sebagai pusat informasi tentang konten
yang dimuat di dalam produk-produk perangkat lunak dan media yang dibuat dan
dikembangkan. Budayawan memiliki pengetahuan dan pengalaman yang otentik
berkaitan dengan hal-hal yang menjadi bagian dari budaya, termasuk permainan
anak tradisional. Hal itu berkaitan dengan proses etnografis yang secara otomatis
dilakukan dalam upaya pelestarian ini. Mereka menjadi informan kunci yang
dapat memberikan informasi-informasi yang sebenarnya sebagai data yang dapat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

190
membentuk objek penelitian dan konten produk yang dkembangkan (jika
dikaitkan dengan konteks penelitian), sebagaimana Sudaryanto (2015)
mengatakan bahwa data itu dapat berasal dari informasi dari informan kunci.
Penulis dapat berperan sebagai pihak yang menyediakan acuan dasar,
pengendali, dan data-data utama. Penulis sebagai penyedia acuan dasar memiliki
maksud bahwa produk yang dibuat dapat memiliki dasar kebenaran yang kuat
melalui hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan. Penulis sebagai pengendali
berarti bahwa penulis dapat memberikan batasan-batasan mengenai sejauh mana
produk itu dapat berguna di masyarakat dan dapat dimanfaatkan secara efektif,
sebagai contoh melalui penelitian dan pengembangan yang mana hasil dari
penelitian itu dapat dijamin kualitasnya melalui proses uji coba (Borg and Gall,
1983). Penulis sebagai penyedia data-data utama memiliki kaitan dengan
pelaksanaan proses etnografis yang mengumpulkan data dari informan kunci,
seperti budayawan. Data-data yang pernah digunakan di dalam penelitian dapat
dimanfaatkan kembali sebagai dasar penyusunan produk yang dihasilkan.
Programer dan animator memiliki peran yang sama-sama berurusan
dengan implementasi konkrit dari produk yang dihasilkan. Mereka memiliki tugas
untuk menyusun, mengatur, dan mengemas konten yang telah disediakan untuk
menjadi perangkat lunak dan media yang berupa permainan gawai dan film
animasi. Kerja sama yang baik antara beberapa pihak tersebut dinilai efektif untuk
mewujudkan upaya preservasi melalui sarana teknologi, berdasarkan pernyataan
yang telah diungkapkan oleh narasumber (PE/SP/1-PE/SP/2).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

191
Budayawan, peneliti, programer, dan animator merupakan anggota dari
masyarakat budaya. Mereka memiliki tugas sebagai bagian dari masyarakat itu
untuk melestarikan warisan budaya mereka sendiri. Beberapa pihak yang saling
bekerja sama seperti orang-orang di atas dewasa ini sebenarnya sudah mulai
menerapkan upaya preservasi melalui sarana teknologi. Namun, pelaksanaan
upaya itu belum banyak dilakukan dengan lebih serius, karena hanya sebagian
kecil pihak saja yang bersedia dengan sungguh-sungguh melaksanakannya. Maka,
strategi preservasi permainan anak tradisional dengan cara semacam ini masih
perlu ditingkatkan lagi dan mendorong berbagai pihak untuk bersedia dengan
sungguh-sungguh mengupayakannya, terutama pihak-pihak yang menjadi bagian
masyarakat asli yang telah menghasilkan warisan budaya itu. Hal itu selaras
dengan pernyataan Tanudirjo (2003) yang menungkapkan bahwa peran
masyarakat dalam memberikan makna pada warisan budaya, yang berarti pula
peran sertanya dalam pelestariannya, dapat diserap melalui keterlibatan mereka
dalam menentukan nilai penting suatu warisan budaya maupun pengambilan
keputusan untuk pemanfaatannya. Dari hal tersebut, tampak bahwa peran aktif
dari para anggota masyarakat itu sendiri sangatlah dibutuhkan untuk melestarikan
warisan budaya berasama-sama, termasuk permainan anak tradisional.
4.2.3.4 Preservasi Permainan Anak Tradisional melalui Lembaga Pendidikan
Strategi preservasi permainan anak tradisional dapat ditempuh melalui
bidang pendidikan, baik pendidikan informal, seperti keluarga dan lingkungan,
maupun pendidikan formal, seperti lembaga pendidikan dasar. Berdasarkan hasil
percakapan etnografis, penulis menemukan bahwa lembaga pendidikan formal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

192
secara khusus belum memberi perhatian penuh pada preservasi permianan anak
tradisional. Selain itu, dari sisi lingkup keluarga di dalam masyarakat juga sudah
jarang mengenalkan dan mengajarkan permainan anak tradisional kepada anak-
anak. Di dalam lembaga pendidikan dasar, pembelajaran tentang muatan lokal,
misalnya pelajaran seni budaya dan bahasa Jawa, belum mengintegrasikan tema
permainan anak tradisional di dalamnya. Kecuali itu, berdasarkan percakapan
bersama Pensiunan Guru SD Kanisius Blongkeng, upaya pendidikan dasar
terhadap preservasi permainan anak tradisional mulai tampak. Hal itu ditunjukkan
dengan pengalaman narasumber dalam mengangkat tema permainan anak
tradisional dalam pembelajaran yang dilaksanakan, misalnya pelajaran olahraga
dan bahasa Jawa. Beliau menggunakan permainan anak tradisional sebagai sarana
pembelajaran olahraga, seperti kasti, gobag sodor, boi-boinan, dan bentengan.
Selain itu, berdasarkan pengamatan peneliti, salah satu lembaga pendidikan dasar
di Yogyakarta, seperti SD Kanisius Demangan Baru sampai saat ini juga masih
menggunakan permainan kasti sebagai salah satu sarana pembelajaran olahraga
untuk anak-anak. Lalu, dalam pelajaran bahasa Jawa, narasumber yang pernah
mengajar di SD Kanisius Blongkeng di atas juga sering mengangkat unsur
permainan anak tradisional, seperti nama, istilah, dan cara bermain permainan
anak tradisional, ketika masih bertugas sebagai guru SD (sekolah dasar).
Berkaitan dengan hal-hal di atas, penulis dapat memulai dari pendidikan
informal di dalam keluarga. Keluarga merupakan tempat pertama bagi anak untuk
membentuk diri, tumbuh, dan berkembang. Hal tersebut merupakan kenyataan
yang telah terbukti dari pengalaman hidup kita masing-masing bahwa dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

193
keluargalah kepribadian seseorang terbentuk sejak awal. Driyarkaya (1980)
menyatakan bahwa pendidikan merupakan perbuatan fundamental dalam
kehidupan manusia yang di dalamnya terdapat proses memanusiakan manusia
muda. Perbuatan fundamental itu memiliki dua arti, yaitu (1) perbuatan
mengubah, menentukan, dan membentuk hidup manusia, dan (2) perbuatan
fundamental untuk mencintai, yaitu cinta murni yang mengarah pada kepentingan
yang dicintai, sebagaimana hal yang telah diungkapkan oleh Sudiarja, dkk (2006).
Dalam kaitannya dengan strategi preservasi permainan anak tradisional, penulis
dapat mengatakan bahwa cinta dan kasih sayang orang tua kepada anaknya yang
didukung oleh situasi dan lingkungan yang kondusif akan memungkinkan seorang
anak dapat mengenal, mengetahui, dan mencintai permainan anak tradisional yang
kaya akan nilai karakter itu.
Anak-anak yang lahir dalam lingkungan masyarakat Jawa pada umumnya
mengenal, mengetahui, dan melakukan permainan anak tradisional sebagai bagian
dari aktivitas atau kegiatan mereka sehari-hari. Hal itu terutama terjadi pada
lingkungan masyarakat desa yang masih kental dengan budaya lokal dan belum
terlalu terpengaruh oleh kemajuan teknologi. Kebiasaan masyarakat yang telah
berlangsung dari dulu itu merupakan modal dasar bagi para orang tua untuk
menanamkan kecintaan anak-anak terhadap permainan anak tradisional sebagai
warisan budaya sendiri. Namun, dewasa ini ternyata sudah banyak orang tua yang
tidak lagi terlalu memperhatikan pengenalan anak terhadap budaya sendiri.
Berdasarkan hasil percakapan etnografis, penulis mengungkap bahwa orang tua
banyak yang melarang anaknya untuk bermain dengan alasan agar waktu dapat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

194
sepenuhnya dugunakan hanya untuk belajar dan setelah itu istirahat. Cara didik
demikian justru membentuk kebiasaan yang membuat anak hanya menjadi
“objek” yang tidak dikenal oleh diri mereka sendiri. Mereka tidak mengenal diri
mereka sendiri. Hal itu terutama disebabkan oleh sikap para oang tua yang sudah
tidak peduli dengan pengajaran anak tentang kebudayaan asli mereka sendiri.
Orang tua lebih rela jika anak mereka pintar pelajaran, karena nilai yang menjadi
orientasi bukan lagi nilai kebudayaan atau kepribadian (karakter), namun lebih
pada nilai materi. Segala hal seolah diukur melalui materi, karena kebanyakan
masyarakat itu sudah tercabut dari akar budaya sendiri. Maka, pendidikan yang
dimulai dari keluarga sangat diperlukan, seperti kesediaan orang tua untuk
memberi kebebasan kepada anak dalam bermain dan bersosialisasi. Rangkuman
tersebut dapat dilihat pada kutipan pernyataan narasumber sebagai berikut.
Lalu yang berikutnya adalah kemauan dari orang tua juga
keluarga untuk memberi kebebasan kepada anak, karena
kebanyakan orang tua sekarang sering memarahi atau
melarang anaknya untuk bermain agar waktu dapat
sepenuhnya digunakan hanya untuk belajar. Habis belajar
tidur. Jadi, kebiasaan anak itu ya membuat anak hanya
menjadi semacam objek yang dia sendiri sampai seolah
tidak kenal dengan dirinya. Mengapa, karena kebanyakan
orang tua sudah tidak peduli dengan bagaimana
mengajarkan anak supaya mengerti kebudayaan mereka
sendiri. Namun, mereka akan lebih rela jika anak mereka
pintar pelajaran karena nilai yang menjadi orientasi bukan
lagi nilai kebudayaan atau kepribadian, tapi nilai materi.
Jadi, semua diukur dengan materi, walaupun materi
memang diperlukan, namun jika tidak dilandasi dengan
nilai-nilai itu sehingga orang zaman sekarang kebanyakan
memiliki kecenderungan untuk asal dalam mengatasi
masalah. Itu semua karena kita sudah tercabut dari akar
budaya kita. Jadi, jika anak sekarang masih bisa berbicara
dengan tata krama yang baik dan lengkap, tidak mungkin
anak suka berkelahi. Misalnya, ketika di rumah dibiasakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

195
dan terbiasa bertata krama, dia di luar juga tidak akan
sembarangan. Generasi kita sekarang bisa dianggap
membahayakan, mengapa, karena ada gesekan antara
budaya, tuntutan teknologi, dan religi itu sekarang benar-
benar dibenturkan. (PE/SP/1a)
Ya untuk zaman sekarang memang agak sulit karena
situasi yang tidak menentu ini, orang tua kan sangat
protect (melindungi) terhadap anaknya, maka yang terjadi
bahkan sudah merambat ke kampung-kampung, orang tua
itu malah lebih senang kalau anak berada di rumah.
Disediakan game, hp, dan fasilitas lainnya, yang penting di
rumah. Hal itu menjadi kesulitan untuk mengembangkan
atau melestarikan permainan itu. (PE/SP/3a)
Pernyataan narasumber di atas menunjukkan fakta-fakta yang terjadi di
dalam kehidupan nyata, seperti hal yang telah dipaparkan dalam rangkuman
percakapan itu. Permasalahan di atas secara tidak sadar merupakan suatu bentuk
pengasingan bagi anak terhadap budaya sendiri. Orang tua justru banyak yang
bersikap terlalu protektif (overprotective) terhadap anaknya dan lebih memilih
untuk memfasilitasi anak-anak agar mereka tidak bermain di luar dan fokus
belajar, tanpa mementingkan dimensi karakter melalui dinamika sosial
(PE/SP/3a). Padahal, jika orang tua bersedia memberi kebebasan kepada anak
untuk bermain dan bersosialisasi dengan masyarakat sekitar secara intensif,
masyarakat akan lebih mudah dalam menanamkan nilai-nilai budaya,
sebagaimana hal yang sekarang ini kita sendiri harapkan. Oleh karena itu,
narasumber memberi pernyataan bahwa kesediaan orang tua untuk memberi
kebebasan kepada anak sangatlah diperlukan (PE/SP/1a). Hal itu menjadi poin
yang paling mendasar, yang kemudian dapat dilanjutkan dengan upaya yang nyata
dari orang tua untuk menaruh kepedulian kepada anak agar mereka tetap
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

196
mengenal budaya sendiri. Meskipun penulis menemukan permasalahan
pengasingan itu, penulis tetap melihat adanya upaya dari orang tua yang masih
peduli dengan budaya sehingga anak mendapat kesempatan dan pengalaman
untuk mengalami sendiri warisan budaya itu, seperti permainan anak tradisional.
Pernyataan narasumber berikut ini menunjukkan adanya upaya orang tua yang
masih memberi perhatian pada akar budaya.
Nah, baiknya (sisi baik) dalam permainan tradisional anak,
orang tua pasti bisa memantau, bahkan orang lain di lain
tempat pun secara otomatis memantau si anak. Woo, itu
anaknya siapa dan lain sebagainya sehingga jika
seandainya kita menyimpang, bukan hanya orang tua
sendiri yang bertanggung jawab, namun ada orang lain
yang bisa terlibat. Pak, anak Bapak tadi begini lho Pak.
(PE/SP/1b)
Misalnya, dari mbahnya dulu masih bisa mengajari
permainan-permainan seperti itu. Narasmuber seperti itu
suatu ketika dapat berinisiatif membelikan sarana
permainan, misalnya alatnya dhakon lalu mengajari
anaknya. (PE/SP/3b)
Pernyataan narasumber di atas menyatakan bahwa sampai saat ini
setidaknya masih ada orang tua yang memperhatikan anak agar tetap mengenal
budaya sendiri, bahkan mengajari secara langsung bagaimana cara melakukannya,
termasuk menyediakan sarana yang dibutuhkan agar anak mengenal dan
mengetahui permainan itu (PE/SP/3b). Selain itu, penulis juga melihat adanya
dimensi pendidikan yang dilakukan secara informal, yaitu di dalam kelurga dan
lingkungan masyarakat secara alamiah. Anak dibiarkan bermain, bergaul, dan
bersosialiasi dengan teman-temannya dan segala perilaku yang dilakukan benar-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

197
benar diawasi oleh orang tua dan masyarakat sendiri sehingga segala perbuatan
baik dan buruk anak benar-benar dipantau dan dikendalikan secara penuh melalui
penilaian langsung oleh masyarakat (PE/SP/1b). Hal itu memberi pengaruh yang
sangat besar dan efektif terhadap perkembangan karakter anak, karena mereka
mengalami secara langsung konsekuensi dari perilaku atau perbuatan mereka
sendiri. Hal itu dapat dikaitkan dengan pengamatan anak terhadap aktivitas yang
dapat menjadi simbol yang dapat mereka maknai secara verbal maupun nonverbal
karena anak berpartisipasi secara langsung, sebagaimana Pierce (1965 dalam
Foley, 2001) dalam konsep partisipasi indeksikalitasnya mengatakan bahwa
bahasa merupakan aktivtas sosial yang melibatkan pembicara dan pendengar
sebagai pelaku sosial (social actors). Dengan demikian, mereka akan membentuk
konstruksi pemahaman mengenai sikap yang baik, tata krama, sopan santun, nilai,
dan norma masyarakat melalui pengalaman langsung. Pernyataan itu selaras
dengan pandangan Vygotsky (dalam Suparno, 1996) yang mengemukakan bahwa
interaksi sosial memainkan peranan penting dalam perkembangan kognitif anak.
Interaksi sosial dengan orang yang ada di sekitar anak akan membangun ide baru
dan mempercepat perkembangan intekektualnya. Meskipun, pandangan tersebut
menyebut kognitif dan intelektual sebagai kata kunci, namun dari dimensi kognitif
an inteketual itulah anak dapar menginternalisasi nilai-nilai yang telah diketahui
ke dalam bentuk afeksi dan perilaku nyata, sebagaimana dimensi intelektual itu
dapat didistribusikan pada berbagai ranah. Maka, penulis dapat mengatakan
bahwa strategi preservasi permainan anak tradisional dalam lingkup keluarga
harus terjadi melalui peran orang tua dalam memberikan kebebasan dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

198
kepercayaan yang penuh kepada anak-anak untuk turut serta mengalami secara
langsung proses bermain dan bermasyarakat melalui permainan anak tradisional
di lingkungannya.
Dari pendidikan informal, seperti keluarga dan lingkungan yang telah
diuraikan di atas, penulis melangkah ke lembaga pendidikan formal dengan
memberi poin penting pada pembelajaran seni budaya, olahraga, dan bahasa,
khususnya di lembaga pendidikan dasar, karena permainan anak tradisional lebih
relevan pada tingkat pendidikan sekolah dasar. Pada lembaga pendidikan formal,
khususnya pendidikan dasar, yaitu sekolah dasar, preservasi permainan anak
tradisional dapat ditempuh melalui pembelajaran di kelas. Berdasarkan hasil
percakapan etnografis, narasumber menyatakan bahwa preservasi permainan anak
tradisional juga dapat dilakukan melalui lembaga pendidikan dasar. Guru sekolah
dasar dapat mengeksplorasi kreativitas mereka dan saling bekerja sama untuk
mengangkat permainan anak tradisional ke dalam konten pembelajaran di kelas,
seperti pelajaran seni budaya, olahraga, dan bahasa. Ketika para guru menerapkan
hal itu, anak dapat terinspirasi dan meniru segala hal yang diajarkan di sekolah
sehingga ketika pulang, anak dapat termotivasi untuk melakukan permainan yang
telah diajarkan di sekolah. Maka, hal itu juga menunjukkan bahwa implementasi
kurikulum di sekolah perlu diintegrasikan dengan unsur muatan lokal yang tidak
hanya terbatas pada pelajaran yang berunsur muatan lokal secara khusus, namun
dapat diterapkan pada semua pelajaran, karena menyangkut penyusunan perangkat
pembelajaran secara menyeluruh dalam kaitannya dengan impelmentasi
kurikulum yang digunakan, misalnya Kuriulum 2013. Maka, peran guru sangatlah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

199
penting dalam mengakomodasi unsur permainan anak tradisional ke dalam
pelajaran, terutama pelajaran yang pada dasarnya berunsur muatan lokal. Guru
yang memiliki latar belakang masyarakat pribumi menjadi prioritas utama dalam
hal ini, karena mereka memiliki pengetahuan dan pengalaman yang otentik
terhadap budaya Jawa, sebagaimana mereka dibesarkan dari budaya tersebut.
Pernyataan narasumber berikut ini menunjukkan fakta dan gagasan di atas.
Lalu, bisa juga melalui sekolah dasar. Misalnya, kalau guru
olahraganya itu kreatif, atau dalam suatu pertemuan, guru
olahraga itu ada poin untuk menanamkan atau
mengembangkan permainan di dalam olahraga, nah di
sekolah baru bisa menjadi sarana untuk melakukan
permainan anak tradisional. Baru nanti anak-anak di rumah
main. Tapi, kalau di sekolah anak-anak tidak pernah main
tradisional, lha ya di rumah tidak terbawa. Jadi peran guru
olahraga itu sangat penting. Kalau tidak, ya bisa guru kelas
yang sudah memiliki pengalaman dalam hal permainan
anak tradisional, dan dibesarkan di desa yang dulu masih
membiasakan mereka untuk bermain tradisional, itu malah
bisa ngajari. (PE/SP/3a)
Selain itu, kurikulum di sekolah, paud, tk, sd, itu kan
jarang juga yang menggarap permainan seperti ini.
Orientasi mereka lebih pada teknologi yang justru
membawa orang kepada dunia individu dan bukan dunia
komunal. Maka, juga perlu ada upaya pengintegrasian
kurikulum sekolah dengan tema permainan anak
tradisional. (PE/SP/3b)
Tata cara mengajar bahasa Jawa atau pembelajaran di
sekolah pun perlu direformasi. Direformasi sesuai dengan
kebutuhan anak. (PE/SP/1)
Pernyataan narasumber di atas menunjukkan bahwa preservasi permainan
anak tradisional melalui lembaga pendidikan dasar perlu dilakukan dan sudah
pernah terlaksana, walaupun hanya sebagian kecil guru yang melaksanakannya,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

200
seperti pengalaman narasumber sendiri sehingga beliau pun berusaha mendorong
guru-guru muda untuk mengikuti cara yang ungkapkan tersebut. Berdasarkan
pernyataan narasumber di atas, penulis melihat bahwa preservasi permainan anak
tradisional di sekolah dasar dapat dilakukan melalui pelajaran seni budaya,
olahraga, dan bahasa, terutama (1) olahraga dan (2) bahasa, khususnya bahasa
Jawa. Pada dasarnya, pelaksanaan pembelajaran yang mengangkat unsur muatan
lokal juga telah diatur dalam Permendikbud RI Nomor 79 Tahun 2014 tentang
Muatan Lokal. Aturan dalam Permendikbud tersebut menjadi landasan yuridis
bagi guru untuk mengembangkan pembelajaran yang mengangkat unsur atau tema
permainan anak tradisional dalam konteks kebudayaan.
Pembelajaran olahraga dan bahasa Jawa terakomodasi di dalam muatan
lokal. Permendikbud Nomor 79 Tahun 2014 merumuskan definisi muatan lokal
sebagai mata pelajaran pada satuan pendidikan yang berisi muatan dan proses
pembelajaran tentang potensi dan keunikan lokal yang dimaksudkan untuk
membentuk pemahaman peserta didik terhadap keunggulan dan kearifan di daerah
tempat tinggalnya (Pasal 2 [1]). Selanjutnya, pada Pasal 4 (1) dirinci mata
pelajaran muatan lokal berupa: (1) seni budaya, (2) prakaya, (3) pendidikan
jasmani, olahraga, dan kesehatan, (4) bahasa, dan (5) teknologi. Permainan anak
tradisional dalam satuan pendidikan dasar dapat diangkat pada mata pelajaran
muatan lokal nomor 3 (pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan) dan 4
(bahasa).
Berdasarkan hasil observasi dan percakapan etnografis dengan narasumber
yang memiliki pengalaman di satuan pendidikan dasar, permainan anak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

201
tradisional sudah terakomodasi dalam kurikulum muatan lokal. Akomodasi itu
terletak pada pelajaran Penjaskes (Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan)
saja, namun dalam pelajaran bahasa Jawa belum terakomodasi. Salah satu
permainan anak tradisional yang paling sering digunakan dalam pelajaran
Penjaskes adalah Kasti, Gobag Sodor, dan Bentengan, yang mengandalkan sikap
kerja sama di dalam tim. Di sisi lain, pelajaran bahasa Jawa ternyata belum
menunjukkan akomodasi permainan anak tradisional di dalamnya. Pelajaran
bahasa Jawa lebih memperhatikan mengenai warisan budaya Jawa dalam bentuk
yang lain, seperti alat musik, upacara adat, tata bahasa, dan tembang macapat, dari
pada permainan anak tradisional sehingga pernyataan mengenai langkah
preservasi permainan anak tradisional dalam pelajaran bahasa masih sebatas
gagasan dan harapan. Namun, setidaknya penulis tetap dapat mengambil poin
penting bahwa strategi preservasi permainan anak tradisional dapat dilakukan
melalui lembaga pendidikan formal dan tentu juga informal.
4.3 Pembahasan
4.3.1 Nilai-nilai Karakter dalam Permainan Anak Tradisional
Analisis data yang telah dilakukan pada bagian sebelumnya menghasilkan
16 nilai karakter dari 24 permainan anak tradisional. Setiap nilai karakter dapat
terkandung dalam satu sampai dua permainan. Penulis menemukan 12 nilai
karakter yang hanya terdapat dalam satu permainan dan 4 nilai karakter yang
terdapat dalam dua permainan sekaligus. Nilai karakter yang hanya terdapat dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

202
satu permainan mencakup permainan (1) Ancak-ancak Alis, (2) Bekelan, (3)
Betengan, (4) Dhakon, (5) Dhayoh-dhayohan, (6) Dhingklik Oglak-aglik, (7)
Ingkling, (8) Gobag Sodor, (9) Kitiran Godhong Tela, (10) Kucing-kucingan, (11)
Kupluk Godhong, dan (12) Layangan. Sedangkan, nilai karakter yang terdapat
dalam dua permainan sekaligus mencakup permainan (1) Benthik dan (2) Jirak,
(3) Jaranan Bongkok dan (4) Cublak-cublak Suweng, (5) Jamuran dan (6) Sliring
Gendhing, serta (7) Keris Janur dan (8) Pong-pong Bolong. Lalu, berdasarkan
hasil triangulasi data oleh ahli, penulis mengidentifikasi 7 dari 24 permainan yang
tidak disetujui karena tidak selaras dengan nilai karakter yang ditabulasikan.
Namun, penulis tetap memasukkan 3 permainan di antaranya dan menggunakan
argumentasi dengan dasar teori para ahli dan percakapan etnografis untuk
meyakinkan bahwa ketiga permainan tersebut masih memiliki nilai karakter yang
sesuai.
Dalam proses analisis data, penulis menggali nilai-nilai karakter dengan
menggunakan sarana identifikasi ketiga jenis tanda yang terkandung di dalam
setiap permainan yang berdasar pada teori para ahli, dan dengan proses
konfirmatoris yang berdasar pada keterangan narasumber. Pandangan Pierce
(1965 dalam Foley, 2001) yang membedakan tanda atas tiga jenis yakni indeks
(index), simbol (symbol), dan ikon (icon) menjadi dasar untuk membedah dan
menginterpretasi makna terdalam dari setiap permainan itu dengan dukungan
percakapan etnografis yang dapat memperkuat interpretasi penulis. Analisis data
dimulai dari identifikasi tanda yang berada di permukaan, yang biasanya berupa
indeks atau ikon. Lalu, dari tanda itu, penulis dapat kembali menelusuri makna
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

203
yang lebih dalam melalui tanda yang sudah teridentifikasi menjadi sebuah simbol
yang dapat melambangan dan mengungkapkan pesan tersembunyi di dalam
permainan. Dari seluruh proses tersebut, penulis juga selalu menyelaraskan
penafsiran dengan percakapan etnografis dari pada narasumber sebagai bentuk
konfirmasi atas kebenaran yang berdasar pada deskripsi latar belakang budaya
permainan itu dan mengenai hal-hal lain yang juga dapat dikaitkan dengan
permainan itu, karena sesungguhnya segala hal saling terhubung satu sama lain
sebagai satu kesatuan aktivitas atau produk kebudayaan.
Keenambelas nilai karakter permainan anak tradisional yang dihasilkan
dari penellitian ini dapat dipaparkan sebagai berikut. Nilai karakter yang (1)
pertama adalah manusia harus hidup sesuai dengan aturan, nilai, dan norma yang
berlaku di masyarakat. Nilai tersebut terkandung dalam permainan Ancak-ancak
Alis. Nilai karakter yang (2) kedua adalah penghormatan terhadap orang lain
menjadi tanda bahwa kita menghormati diri kita sendiri. Nilai tersebut terkandung
dalam permainan Bekelan. Nilai karakter yang (3) ketiga adalah manusia harus
bijaksana dalam bertindak. Nilai tersebut terkandung dalam permainan Betengan.
Nilai karakter yang (4) keempat adalah manusia harus dapat memusatkan diri
pada tujuan hidup yang ingin diraih. Nilai tersebut terkandung dalam permainan
Benthik dan Jirak. Nilai karakter yang (5) kelima adalah Tuhan adalah sosok yang
Maha Kuasa. Nilai tersebut terkandung dalam permainan Jaranan Bongkok dan
Cublak-cublak Suweng. Nilai karakter yang (6) keenam adalah manusia harus
dapat menjalin persaudaraan tanpa pamrih. Nilai tersebut terkandung dalam
permainan Dhakon. Nilai karakter yang (7) ketujuh adalah manusia harus selalu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

204
menjunjung tatakrama sebagai makhluk sosial. Nilai tersebut terkandung dalam
permainan Dhayoh-dhayohan. Nilai karakter yang (8) kedelapan adalah tujuan
akan lebih mudah dicapai apabila kita saling membantu. Nilai tersebut terkandung
dalam permainan Dhingklik Oglak-aglik.
Selanjutnya, nilai karakter yang (9) kesembilan adalah manusia selalu
membutuhkan proses dalam mencapai tujuan. Nilai tersebut terkandung dalam
permainan Ingking. Nilai karakter yang (10) kesepuluh adalah manusia harus jeli
dalam melihat peluang untuk meraih tujuan. Nilai tersebut terkandung dalam
permainan Gobag Sodor. Nilai karakter yang (11) kesebelas adalah manusia harus
selalu dapat beradaptasi dalam segala situasi. Nilai tersebut terkandung dalam
permainan Jamuran dan Sliring Gendhing. Nilai karakter yang (12) keduabelas
adalah manusia harus memiliki prinsip hidup yang kuat. Nilai tersebut terkandung
dalam permainan Keris Janur dan Pong-pong Bolong. Nilai karakter yang (13)
ketigabelas adalah manusia tidak perlu serakah karena sudah memiliki bagian dan
peran masing-masing. Nilai tersebut terkandung dalam permainan Kitiran
Godhong Tela. Nilai karakter yang (14) keempatbelas adalah manusia harus
membuang segala sifat buruk agar tercipta kehidupan yang harmonis. Nilai
tersebut terkandung dalam permainan Kucing-kucingan. Nilai karakter yang (15)
kelimabelas adalah manusia harus dapat merangkai dan merencanakan
kehidupannya sesuai dengan kehendak Tuhan. Nilai tersebut terkandung dalam
permainan Kupluk Godhong. Terakhir, nilai karakter yang (16) keenambelas
adalah manusia perlu mengendalikan diri agar tidak terjatuh dan mencelakakan
diri sendiri. Nilai tersebut terkandung dalam permainan Layangan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

205
Jika kita amati, nilai-nilai karakter tersebut ada yang terdapat dalam satu
permainan dan ada yang terdapat dalam dua permainan sekaligus. Penulis tidak
menemukan nilai karakter yang sama, yang terdapat dalam tiga permainan atau
lebih sekaligus. Setiap permainan tampak sangat unik dan cenderung memilliki
nilai karakter yang berbeda dari yang lain. Walau begitu, penulis tidak jarang
melihat adanya keseragaman unsur antarpermainan dalam hal maknanya secara
umum, berdasarkan deskripsi permainan secara umum yang telah
didokumentasikan dan deskripsi latar belakang budaya yang disampaikan oleh
para narasumber, berkaitan dengan latar belakang budaya Jawa dalam setiap
permainan itu yang mana kedua hal tersebut kadang-kadang dapat mengecoh.
Namun, ketika diperdalam lagi, ternyata nilai karakter itu tetap berbeda. Unsur-
unsur kesamaan yang ditemui tidak dapat begitu saja disamakan, karena setiap
permainan tampak memiliki fokus atau penekanan tersendiri. Salah satu kesamaan
unsur yang muncul pada beberapa permainan adalah konsep Ketuhanan. Hal itu
membuat permainan-permainan itu tampak serupa, dalam arti memiliki unsur-
unsur yang hampir sama itu tadi, namun sesungguhnya mereka unik dan tetap
berbeda satu sama lain. Penulis akan memaparkan contoh kasus tersebut. Contoh
yang dapat penulis jadikan kasus, seperti kesamaan unsur antara permainan Keris
Janur dan Layangan.
Berdasarkan deskripsi latar belakang budaya yang disampaikan oleh
narasumber, Keris Janur dan Layangan menunjukkan kesamaan unsur yang
sedikit mengecoh, karena jika tidak berhati-hati dan berpegang pada teori, maka
dapat menimbulkan ambiguitas dan menciptakan godaan untuk menganggap
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

206
bahwa kedua permainan itu memiliki nilai karakter yang sama. Dalam permainan
Keris Janur, dikatakan “kita harus mengetahui apa yang kita sembah, ke mana
kita manembah, dan siapa yang kita buat manembah itu, tidak lain adalah Tuhan
Yang Maha Esa” (PE/LB/15) dan permainan Layangan “kita senantiasa bisa
tertambat pada satu tujuan apapun dan bagaimanapun juga keadaannya, kita
jangan sampai lupa pada yang mengendalikan kita, yaitu Tuhan Yang Maha Esa”
(PE/LB/20). Hal itu dapat menjadi masalah pada saat proses interpretasi karena
penulis bisa saja berpikir bahwa kedua permainan itu akan memiliki nilai yang
sama. Penulis bisa saja berpikir bahwa kedua permainan itu mengajarkan kita
bahwa manusia harus memiliki iman yang kuat, sebagai contoh. Namun,
ambiguitas itu dapat terhindarkan melalui sistem tanda yang dimiliki oleh
permainan-permainan itu. Dari situlah, penulis dapat lebih berhati-hati dalam
melakukan proses interpretasi karena penulis menggunakan dasar tentang sistem
tanda, sebagaimana hal yang disampaikan oleh Pierce (1965 dalam Foley, 2001)
mengenai sistem tanda.
Peran triangulasi data oleh ahli juga sangatlah penting. Data yang telah
dianalisis di dalam penelitian ini telah disetujui oleh triangulator. Berdasarkan
hasil triangulasi, interpretasi penulis telah disetujui dan terintegrasi dalam analisis
data, sebagaimana 7 dari 24 permainan tidak disetujui karena tidak selaras dengan
nilai karakter yang ditabulasikan. Namun, penulis tetap memasukkan 3 permainan
di antaranya dan menggunakan argumentasi dengan dasar teori para ahli dan
percakapan etnografis untuk meyakinkan bahwa ketiga permainan tersebut masih
memiliki nilai karakter yang sesuai. Beberapa permainan tidak disetujui, namun
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

207
penulis memiliki argumen tersendiri untuk memaknai permainan itu. Artinya,
antara deskripsi permainan, deskripsi latar belakang budaya, teori, triangulasi
data, dan interpretasi penulis sudah cukup selaras. Namun, ambiguitas seperti hal
yang telah dipaparkan oleh penulis di atas menjadi faktor yang sangat
mempengaruhi proses interpretasi.
Maka, langkah yang paling efektif untuk menghindari ambiguitas
interpretasi data dalam mengungkap makna yang sebenarnya adalah dengan
menggunakan pandangan Pierce (1965 dalam Foley, 2001) yang berbicara
mengenai tanda dan membedakan tanda atas tiga jenis yakni indeks (index),
simbol (symbol), dan ikon (icon). Tambahan dari Danesi (2004) mengenai ketiga
jenis tanda tersebut sangatlah membantu penulis dalam melakukan kajian. Indeks
adalah tanda yang mewakili sumber acuan dengan cara menunjuk padanya atau
mengaitkannya (secara eksplisit atau implisit) dengan sumber acuan lain. Ikon
adalah tanda yang mewakili sumber acuan melalui sebuah bentuk replikasi,
simulasi, imitasi, atau persamaan. Sebuah tanda dirancang untuk
mempresentasikan sumber acuan melalui simulasi atau persamaan. Simbol adalah
tanda yang mewakili objeknya melalui kesepakatan atau persetujuan dalam
konteks spesifik. Makna-makna dalam suatu simbol dibangun melalui
kesepakatan sosial atau melalui beberapa tradisi historis. Namun, keterangan yang
penulis peroleh dari para narasumber yang ahli di bidangnya sebagai bentuk
percakapan etnografis tetap sangat berguna dalam menguatkan bukti bahwa
memang itulah nilai karakter yang ada di dalam setiap permainan, sebagaimana
kajian etnografi selalu membutuhkan konfirmasi atas kebenarannya di lapangan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

208
dari pelaku sosial, budaya, dan bahasa itu sendiri. Jadi, kolaborasi antara deskripsi
permainan yang terdokumentasi, deskripsi latar belakang budaya dari narasumber,
teori mengenai tanda, dan triangulasi data oleh ahli di dalam penelitian ini dapat
meneguhkan interpretasi penulis dalam menggali makna terdalam atau nilai-nilai
karakter yang sesungguhnya, dari setiap permainan itu.
4.3.2 Jenis-jenis Permainan Anak Tradisional
Jenis-jenis permainan anak tradisional yang teridentifikasi dalam
penelitian ini berjumlah 4 jenis, yaitu permainan dengan nyanyian atau dialog,
permainan asah fisik, permainan asah otak, dan permainan keterampilan tangan
yang dihasilkan dari analisis penulis berdasarkan pandangan Ismail (2012),
Dharmamulya (1993), dan Tim JSIT (2015), dengan dukungan percakapan
etnografis. Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini pertama-tama dilakukan
dengan mengkaji pandangan Ismail (2012), Dharmamulya (1993), dan Tim JSIT
(2015) yang dapat digunakan penulis untuk menjadi dasar klasifikasi jenis
permainan anak tradisional. Pandangan Ismail (2012) dan Dharmamulya (1993)
tidak secara langsung berbicara tentang klasifikasi jenis permainan, sedangkan
pandangan Tim JSIT (2015) secara langsung mengungkapkan jenis-jenis
permainan anak tradisional. Namun, penulis tidak dapat begitu saja langsung
menggunakan pandangan yang terakhir itu, karena penulis juga perlu melakukan
pengkajian terlebih dahulu sebagai bentuk interpretasi penulis yang didukung
dengan hasil percakapan etnografis sebagai bentuk konfirmasi yang dapat
menguatkan argumentasi penulis.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

209
Penulis dapat membuat klasifikasi jenis permainan anak tradisional dengan
memperhatikan pandangan Ismail (2012), Dharmamulya (1993), dan Tim JSIT
(2015). Hal itu diawali dengan adanya keterkaitan antara nilai karakter dengan
unsur-unsur yang terkandung di dalamnya, seperti unsur edukasional, unsur
kebudayaan, dan unsur empiris. Unsur edukasional menunjukkan bahwa
permainan anak tradisional memiliki hal yang dapat memberikan suatu bentuk
pendidikan, khususnya pendidikan karakter kepada anak-anak, sebagaimana Dewi
(2016) juga menyatakan bahwa permainan anak tradisional mengandung pesan-
pesan moral dengan muatan kearifan lokal yang luhur. Unsur kebudayaan
menunjukkan bahwa permainan anak tradisional mencerminkan kebudayaan suatu
daerah yang menghasilkan permainan tersebut sehingga nilai-nilai yang
terkandung di dalam permainan selalu merefleksikan ajaran moral dari suatu
kebudayaan masyarakat tertentu, sebagaimana Suseno (1999) menyatakan bahwa
permainan anak tradisional mengandung wisdom, memberikan manfaat untuk
perkembangan anak (Iswinarti, 2005), dan refleksi budaya untuk tumbuh
kembang anak (Krisdyatmiko, 1999). Unsur empiris menunjukkan bahwa
permainan anak tradisional merupakan hal yang dapat ditemui dan dibuktikan
secara konkrit, sebagaimana Rusuli (2015) mengungkapkan sifat empirisnya yang
rasional yang dibentuk oleh individu melalui pengalamannya, tidak spekulatif,
dan berdasarkan observasi terhadap kenyataan (Awar dan Adang, 2005).
Permainan anak tradisional memiliki nilai-nilai karakter yang sangat kuat. Maka,
nilai karakter yang terkandung dalam permainan anak tradisional berkaitan juga
dengan unsur kognitif, psikomotorik, dan afektif dalam permainan anak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

210
tradisional sebagai unsur edukatif yang terkandung (Ismail, 2012), dan jenis-jenis
permainan anak tradisional dapat digolongkan berdasarkan ketiga unsur tersebut
yang dikaitkan dengan pernyataan Dharmamulya (1993) dengan unsur
kebudayaan di dalamnya dan temuan tim penulis JSIT (2015) yang bersifat
empiris.
Sebagaimana hal yang telah dipaparkan di atas, Ismail (2012)
mengungkapkan unsur edukatif dalam permainan anak tradisional yang terbagi
atas aspek kognitif, psikomotorik, dan afektif, seperti hal yang kita temui di dalam
dunia pendidikan. Dharmamulya (1993) mengungkapkan unsur kebudayaan di
dalam permainan anak tradisional yang terbagi atas tujuan bermain dengan olah
pikir, adu ketangkasan, dan bernyanyi atau dialog, sebagaimana hal itu sudah
menjadi hal yang khas di dalam permainan anak tradisional sebagai produk
kebudayaan. Lalu, Tim JSIT (2015) melakukan serangkaian observasi dan
penelitian secara empiris untuk mendokumentasikan permainan-permainan anak
tradisional dengan melakukan klasifikasi jenisnya, dan menemukan bahwa
permainan anak tradisional terdiri atas permainan asah otak, asah fisik,
keterampilan tangan, dan nyanyian. Ketiga pendangan tersebut dapat dimaknai
oleh penulis dengan bantuan tabel yang dapat memberikan gambaran atas
keterkaitan antara ketiga pandangan tersebut sebagai berikut.
No. Unsur
Edukatif
(Ismail, 2012)
Maksud/Tujuan
Permainan
(Dharmamulya, 1993)
Kategori Permainan
(JSIT, 2015)
1 Kognitif Bermain dengan olah
pikir
Permainan asah otak
2 Psikomotorik Bermain dengan adu Permainan asah fisik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

211
ketangkasan Permainan keterampilan
tangan
3 Afektif Bermain dengan
bernyanyi atau dialog
Permainan dengan
nyanyian atau dialog
Dari ketiga pandangan tersebut, penulis memaknai adanya empat jenis
permainan seperti klasifikasi yang telah dilakukan oleh Tim JSIT (2015), namun
penulis menambahkan unsur dialog dalam jenis permainan dengan nyanyian
menjadi permainan dengan nyanyian atau dialog, karena permainan dengan
nyanyian tidak selalu hanya menggunakan nyanyian sebagai wujud tuturan,
namun juga menggunakan aktivitas tanya-jawab/dialog sebagai bagian aktivitas
yang khas pula. Selain itu, penulis juga menambahkan jenis permainan
keterampilan tangan yang sebenarnya tidak terdapat dalam klasifikasi di dalam
dokumentasi itu. Hasil percakapan etnografis juga menunjukkan bahwa ada satu
lagi jenis permainan, yaitu permainan keterampilan tangan, yang mana anak dapat
memanfaatkan keterampilan tangannya untuk membuat media atau mainan di
dalam permainan-permainan tertentu (PE/JP/17).
Jenis permainan dengan nyanyian atau dialog dapat diidentifikasi dari
dominasi aktivitas yang diperlukan untuk melakukan permainan itu, yaitu
menyanyikan lagu permainan atau tembang dolanan saat permainan berlangsung.
Permainan dengan nyanyian atau dialog adalah jenis permainan yang dilakukan
dengan menonjolkan aktivitas nyanyian yang disertai dengan dialog atau hanya
salah satunya saja, seperti (1) Jamuran, (2) Ancak-ancak Alis, (3) Cublak-cublak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

212
Suweng, (4) Sliring Gendhing, (5) Pong-pong Bolong, dan (6) Dhingklik Oglak-
aglik.
Jenis permainan asah fisik adalah jenis permainan yang dilakukan dengan
menonjolkan aktivitas gerak fisik untuk melakukan permainan. Permainan asah
fisik memiliki ciri khas, yaitu bahwa pemain selalu dituntut untuk menggerakkan
tubuh dengan penuh seperti aktivitas olahraga. Oleh karena itu, permainan asah
fisik sering juga dimanfaatkan sebagai ajang kompetisi, olahraga, dan sebagainya,
seperti (1) Gobag Sodor, (2) Ingkling, dan (3) Plintheng, dan (4) Betengan.
Jenis permainan asah otak adalah jenis permainan yang dilakukan dengan
menonjolkan aktivitas berpikir untuk menentukan keputusan, mengatur strategi,
berhitung, dan berintuisi atau memperkirakan sesuatu dengan tepat, seperti (1)
Dhakon dan (2) Macanan. Lalu, jenis permainan keterampilan tangan merupakan
jenis permainan yang dilakukan dengan menonjolkan aktivitas kerajinan atau
membuat sesuatu sebagai bagian dari permainan. Jenis permainan ini memerlukan
pemanfaatan keterampilan tangan sekaligus kreativitas anak untuk dapat
menghasilkan produk buatan mereka sendiri sehingga dapat dimainkan atau
dimanfaatkan untuk keperluan yang lain, seperti (1) Jaranan Bongkok, (2) Keris
Janur, (3) Kitiran Godhong Tela, (4) Kitiran Janur, (5) Kupluk Godhong, dan (6)
Plintheng.
4.3.3 Strategi Preservasi Permainan Anak Tradisional
Strategi preservasi yang dapat dilakukan untuk permainan anak tradisional
dalam penelitian ini terbagi atas 4 strategi, yaitu (1) preservasi permainan anak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

213
tradisional melalui pewarisan alamiah, (2) preservasi permainan anak tradisional
melalui ajang kompetisi, (3) preservasi permainan anak tradisional melalui sarana
teknologi, dan (4) preservasi permainan anak tradisional melalui lembaga
pendidikan. Berdasarkan temuan penulis dari analisis yang telah dilakukan
terhadap hasil percakapan etnografis, hal-hal yang mengindikasikan strategi
pewarisan alamiah dan menjadi bagian pembentuk strategi preservasi permainan
anak tradisional, yaitu (1) segala informasi tentang permainan dibawa secara
terintegrasi melalui pola-pola yang khas sebagai jembatan keledai atau petunjuk
(blueprint), (2) pesan yang diamanatkan oleh “orang tua” (nenek moyang)
berkaitan dengan nilai karakter yang ingin diajarkan ditransfer melalui aktivitas
konrkit, dan (3) pewarisan informasi tentang permainan itu dilakukan dari mulut
ke mulut. Ketiga hal tersebut sudah dirancang oleh nenek moyang sebagai cara
yang efektif untuk melestarikan permainan-permainan anak tradisional. Dari
ketiga hal tersebut, hal yang paling menonjol sebagai bagian dari strategi
preservasi permainan anak tradisional dalam konteks pewarisan alamiah adalah
pola-pola yang khas.
Pola-pola yang khas tersebut di dalam penelitian ini dapat dimaknai
sebagai bentuk pemanfaatan simbol di dalam permainan sebagai sarana pewarisan
informasi. Hal itu selaras dengan pernyataan Herawati (2015) yang
mengungkapkan bahwa permainan tradisional merupakan salah satu budaya yang
masih dilestarikan dengan berbagai macam simbol yang mampu menampilkan
identitas. Strategi preservasi melalui pewarisan alamiah ini dapat dikaji melalui
teori indeksikalitas Pierce (1965 dalam Foley, 2001) yang mengungkapkan bahwa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

214
ada tiga jenis tanda, yaitu indeks, simbol, dan ikon. Ketiga dimensi tersebut
termanifestasikan dalam (a) nama permainan, (b) istilah di dalam permainan, (c)
dialog dan lagu permainan, (d) bentuk mainan (permainan tertentu) yang dibuat di
dalam permainan, dan (e) aktivitas permainan. Kelima hal tersebut merupakan
sistem tanda yang dimanfaatkan sebagai sarana pewarisan informasi tentang
permainan tertentu. Kelima hal itu dapat menjadi indeks, ikon, dan simbol
sekaligus. Secara konkrit, dalam kehidupan kita dewasa ini, strategi preservasi ini
masih dapat dilakukan dalam lingkup keluarga dan lingkungan tempat tinggal
secara turun-temurun. Masyarakat Jawa yang masih melestarikan permainan anak
tradisional juga terdorong secara alamiah oleh kekayaan nilai-nilai karakter yang
terkandung di dalamnya sehingga permainan itu sekaligus dapat dimanfaatkan
sebagai sarana penanaman nilai karakter yang efektif (sharing knowledge -
(PE/SP/2)), sebagaimana masyarakat Jawa pada dasarnya didasari oleh budaya
yang sangat kental dengan filosofi karakter atau sikap (Suseno, 1985).
Preservasi permainan anak tradisional juga dapat dilaksanakan melalui
ajang kompetisi. Berdasarkan hasil analisis dari percakapan etnografis, strategi
preservasi melalui ajang kompetisi biasanya dilaksanakan ketika sedang berada
dalam masa atau hari-hari yang istimewa, seperti hari kemerdekaan Indonesia atau
17-an, mendapat kesempatan untuk mengisi suatu festival, mendapat kesempatan
untuk mengisi pameran, atau bahkan berdasarkan inisiatif murni dari pihak
penyelenggara untuk mengadakan acara yang berunsur perlombaan permainan
anak tradisional. Permainan anak tradisional masih diperhatikan dan diberdayakan
melalui ajang kompetisi yang diadakan oleh masyarakat dan untuk masyarakat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

215
Selain itu, pada dasarnya sebagian masyarakat masih terus terdorong untuk
mengangkat permainan anak tradisional dalam setiap ajang kompetisi, setiap kali
ada kesempatan bagi mereka untuk menyelenggarakannya. Ajang kompetisi yang
diselenggarakan oleh masyarakat tersebut menjadi salah satu strategi preservasi
permainan anak tradisional. Hal itu selaras dengan pernyataan Suffah dan
Setyowati (2015) yang mengungkapkan bahwa strategi permainan tradisional
dapat dilakukan dengan mengadakan kompetisi di komunitas dengan perlombaan,
sebagaimana hal itu dilakukan oleh komunitas Tanoker.
Jika kita kaitkan dengan perspektif di dalam penelitian ini, pelaksanaan
perlombaan permainan anak tradisional melibatkan aktivitas konkrit yang
dilakukan bersama-sama dengan pusat pikiran para pelaku permainan itu sebagai
sumber informasi, pengetahuan, dan dorongan bagi masyarakat untuk
melaksanakannya. Hal itu berlaku pula dalam hal komunikasi antarpenutur, yang
mana komunikasi itu sendiri merupakan suatu bentuk aktivitas yang didasari oleh
pikiran para penuturnya (partisipan), seperti hal yang diungkapkan dalam
SPEAKING menurut Hymes (1972). Aktivitas di dalam permainan tentu juga
melibatkan komunikasi sebagai bagian dari aktivitas di dalam permainan itu
sendiri. Maka, penulis melihat kehadiran unsur kebahasaan di dalam aktivtas
permainan itu, yang ditambah pula bahwa permianan anak tradisional beberapa di
antaranya memiliki dialog yang khas dan lagu atau tembang dolanan yang wajib
dituturkan atau dinyanyikan sebagai bagian mutlak dari aktivitas permainan
warisan budaya itu. Aktivtas kebahasaan itu turut menjadi bagian dari aktivitas
permainan secara keseluruhan, sebagaimana Sibarani (2015) menyatakan bahwa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

216
budaya mencangkup berbagai aktivitas yang dilakukan secara turun-temurun
sebagai wujud performansi, termasuk aktivtas berkomunikasi.
Kompetisi dapat dimaknai sebagai salah satu bentuk komunikasi kepada
masyarakat agar tergerak untuk dapat melaksanakan aktivitas yang menjadi tujuan
masyarakat itu, yang artinya dengan serangkaian proses itu, masyarakat secara
otomatis ikut terlibat dalam upaya pelestarian permainan anak tradisional. Hal-hal
tesebut terjadi dalam satu rangkaian proses sekaligus. Maka, budaya, aktivitas,
dan komunikasi menjadi bagian yang tidak terpisahkan satu sama lain. Hal itu
dapat dikaitkan dengan pandangan Kridalaksana (1998) yang mengungkapkan
bahwa bahasa tidak saja bisa dipandang sebagai sarana komunikasi individu atau
kelompok untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, pendapat, harapan,
kegelisahan, cinta, kebencian, opini, dan sebagainya kepada individu atau
kelompok lain, tetapi juga bisa dipandang sebagai suatu sumber daya untuk
menyingkap misteri budaya, mulai dari perilaku berbahasa, identitas dan
kehidupan penutur, pendayagunaan dan pemberdayaan bahasa sampai dengan
pengembangan serta pelestarian nilai-nilai budaya.
Masyarakat juga perlu untuk menyediakan fasilitas publik yang dibuat
secara khusus sebagai ruang bermain anak (PE/SP/1). Masyarakat tidak boleh
hanya terikat atau terbatas pada masa atau hari-hari tertentu di mana masyarakat
hanya dapat menyelenggarakan kompetisi ketika masa atau hari itu datang.
Namun, masyarakat diharapkan dapat lebih sering lagi mengadakan acara
perlombaan yang mengangkat permainan anak tradisional, sebagaimana hal yang
telah dinyatakan oleh narasumber (PE/SP/2). Maka, inisiatif masyarakat sangatlah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

217
diperlukan dalam hal ini, untuk meningkatkan frekuensi penyelenggaraan ajang
kompetisi sebagai bentuk preservasi permainan itu. Beberapa contoh yang
berkaitan dengan maksud narasumber di atas dapat diambil sebagai berikut.
Pertama, masyarakat dapat membentuk suatu komunitas khusus, seperti
komunitas Tanoker yang dikaji dalam penelitian Suffah dan Setyowati (2015).
Kedua, masyarakat dapat membuat sanggar, seperti sanggar seni Metta Budaya
yang dikaji dalam penelitian Dadtun (2012). Ketiga, masyarakat dapat terus
menyelenggarakan festival permainan anak, seperti festival Dolanan Anak Se-DIY
2013 yang dikaji dalam penelirian Herawati (2015). Maka, masyarakat juga dapat
menyelenggarakan kompetisi antardesa dengan menggunakan permainan anak
tradisional. Penyelenggaraan kompetisi dan berbagai sarana pendukungnya dapat
menjadi strategi preservasi permainan anak tradisional yang efektif, masih
diupayakan hingga saat ini, dan akan terus diusahakan sepanjang masa. Hal itu
dinyatakan demikian karena masyarakat atau anak-anak dilibatkan secara
langsung dengan aktivitas konkrit yang dilakukan di dalam permainan. Di dalam
proses itu, terdapat serangkaian bentuk integrasi antara budaya, aktivitas konkrit,
dan perilaku berkomunikasi yang tidak dapat dipisahkan dan menjadi satu
kesatuan peristiwa yang dapat mewujudkan upaya pelestarian permainan anak
tradisional. Masyarakat juga semakin terdorong oleh faktor yang dihasilkan dari
budaya itu sendiri, yaitu kesadaran masyarakat akan pentingnya nilai-nilai luhur
yang dikandung di dalam permainan anak tradisional, seperti hal yang sempat
disinggung oleh Suffah dan Setyowati (2015) di atas, dan sebagaimana Bastomi
(1992) juga menyatakan bahwa sikap hidup orang Jawa sangat menunjung tinggi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

218
prinsip kerukunan, saling menghormati, dan sopan santun, sebagai bagian dari
nilai budaya itu sendiri.
Hasil analisis juga menunjukkan bahwa masyarakat perlu melakukan
langkah pelestarian permainan anak tradisional dengan memanfaatkan teknologi.
Hal itu sebenarnya sudah mulai diterapkan dewasa ini, namun masyarakat tetap
perlu semakin meningkatkan upaya itu demi eksistensi permainan anak tradisional
yang kokoh. Masyarakat perlu melakukan suatu bentuk kerja sama antarbidang
keahlian untuk melakukan upaya semacam itu. Integrasi antara bidang keahlian
teknologi dengan bidang kebudayaan perlu dilaksanakan untuk menghasilkan
produk atau sarana teknologi, seperti permainan gawai, film animasi, dan berbagai
macam konten perangkat lunak lainnya yang mengangkat tema tentang permainan
anak tradisional, yang tentu dapat diakses secara leluasa dengan alat-alat
elektronik, seperti telepon genggam (Android), tablet, laptop, komputer, televisi,
dan lain-lain. Pernyataan narasumber berikut ini menunjukkan hal-hal yang telah
dipaparkan di atas.
Masyarakat perlu terus memanfaatkan teknologi sebagai upaya untuk
melestarikan permainan anak tradisional. Berdasarkan temuan analisis data,
penulis menemukan 2 poin yang dapat dilakukan dalam rangka melestarikan
permainan anak tradisional melalui sarana teknologi, yaitu (1) membuat
permainan gawai dan (2) membuat film animasi dengan mengintegrasikan
dimensi kebahasaan dalam beberapa bahasa. Kedua bentuk upaya tersebut
membutukan kerjasama antarbidang keahlian, seperti hal yang telah dinyatakan
oleh narasumber.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

219
Permainan gawai yang dimaksud merupakan bentuk adaptasi dari
permainan anak tradisional yang diangkat ke dalam bentuk perangkat lunak yang
dapat dioperasikan melalui alat-alat elektronik, seperti telepon genggam
(Android), tablet, laptop, dan komputer. Hal itu merupakan upaya pelestarian
permainan anak tradisional yang mengikuti dan menyesuaikan perkembangan
zaman, yaitu melalui pemanfaatan sarana teknologi dan dapat menjadi daya tarik
bagi anak-anak yang sekarang ini sangat menyukai permainan gawai sehingga
pendekatan melalui permainan gawai itu diharapkan dapat menarik minat anak-
anak secara efektif. Selaras dengan hal tersebut, Perdana (2013) mengungkapkan
bahwa sarana digital akan menjadi sarana sangat baik apabila dikemas dengan
wadah yang menarik dan interaktif sehingga mampu menarik minat dan memberi
motivasi kepada anak-anak untuk menggunakannya. Salah satu contoh strategi
preservasi permainan anak tradisional yang pernah dilakukan dan diteliti adalah
model adaptasi permainan anak tradisional Macanan ke dalam perancangan
permainan digital. Model adaptasi tersebut menjadi kajian bagi Khamadi dan
Senoprabowo (2016) yang mengembangkan permainan gawai dengan
mengangkat konten dan pola permainan dari permainan anak tradisional yang
menggunakan papan, seperti Macanan.
Pembuatan film animasi yang mengintegrasikan dimensi kebahasaan
dalam beberapa bahasa merupakan bentuk yang lebih luas dari bentuk upaya yang
pertama tadi, karena melibatkan media elektronik yang lebih luas seperti televisi,
sebagaimana hal yang telah dinyatakan oleh narasumber (PE/SP/1). Berkaitan
dengan hal itu, permainan anak tradisional berasal dari kebudayaan masyarakat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

220
yang dibentuk bersama dan dilakukan secara besama pula. Hal itu
mengindikasikan bahwa proses pembentukan dan pemanfaatan permainan anak
tradisional di dalam masyarakat sepanjang zaman itu melibatkan proses
berkomunikasi yang intens. Proses berkomunikasi yang intens itu tentu
melibatkan bahasa yang digunakan di dalam masyarakat itu sendiri. Oleh karena
itu, permainan anak tradisional selalu memiliki nama yang menggunakan bahasa
yang dihasilkan dari masyarakat itu sendiri, beserta dengan istilah yang digunakan
dan dialog atau lagu yang dinyanyikan sehingga setiap permainan anak tradisional
memiliki ciri khas yang kuat. Bahasa merupakan cerminan dari kebudayaan,
karena bahasa dan budaya merupakan hal saling berkaitan, sebagaimana Foley
(2001) mengungkapkan bahwa bahasa merupakan bagian dari konteks sosial
budaya dan saling mempengaruhi serta mempertahankan praktek budaya dan
struktur sosial. Maka, keterlibatan bahasa dalam upaya pelestarian permainan
anak tradisional yang dalam hal ini melalui sarana teknologi perlu diwujudkan
sebagai pengantar bagi masyarakat agar tetap dan semakin mengenal terhadap
budaya dan kembali kepada akar budaya itu sendiri.
Berdasarkan pernyataan narasumber, konten permainan anak tradisional
itu dapat dikemas melalui cerita anak yang memuat tema permainan dengan
menggunakan bahasa daerah seperti apa adanya yang hadir di dalam permainan.
Dari situ, animasi dapat dilengkapi dengan perbandingan bahasa, dengan cara
memberi “petunjuk-petunjuk film yang berupa pengenalan aksara Jawa yang
diperbandingkan artinya dengan bahasa Indonesia, Inggris, agar anak dapat
sekaligus dikenalkan dengan istilah-istilah di dalam permainan” (PE/SP/1).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

221
Dengan cara demikian, anak-anak dapat dengan mudah mengenal permainan itu
secara lengkap, dari nama, istilah, dialog atau lagu (tembang) permainan, dan
aktivitas permainan yang dapat mengarahkan anak untuk mengetahui cara
bermain permainan anak tradisional. Anak-anak yang dituju tentu mencangkup
anak-anak yang berasal dari berbagai latar belakang, mengingat bahwa petunjuk-
petunjuk kebahasaan itu dapat terdiri atas bahasa daerah (asli), bahasa Indonesia,
dan bahasa asing, seperti bahasa Inggris. Hal itu menunjukkan bahwa upaya
semacam itu, jika benar-benar dikembangkan dengan baik, maka akan dapat
berguna di seluruh dunia sebagai wawasan yang penting bagi generasi muda
terhadap sistem budaya yang pernah ada di dunia. Hal itu memiliki potensi yang
cukup besar bagi masyarakat untuk dapat melestarikan permainan anak tradisional
secara efektif.
Kedua bentuk upaya preservasi permainan anak tradisional melalui sarana
teknologi itu membutuhkan kerja sama dengan berbagai pihak, yaitu orang-orang
dengan bidang keahlian yang berbeda-beda. Pihak-pihak yang perlu saling bekerja
sama berdasarkan pernyataan narasumber dapat terdiri dari (1) budayawan, (2)
peneliti, (3) programer, dan (4) animator. Hal itu dapat memberi suatu jawaban
pula bahwa generasi muda dewasa ini juga dapat mengadaptasi permainan anak
tradisional dengan kemasan teknologi. Generasi muda adalah ujung tombak dari
bentuk pewarisan ini, karena merekalah yang diharapkan dapat lebih mengerti
tentang teknologi dan dapat menggunakan kemampuan mereka dalam tujuan ini.
Tanudirjo (2003) menungkapkan bahwa peran masyarakat dalam memberikan
makna pada warisan budaya, yang berarti pula peran sertanya dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

222
pelestariannya, dapat diserap melalui keterlibatan mereka dalam menentukan nilai
penting suatu warisan budaya maupun pengambilan keputusan untuk
pemanfaatannya. Dari hal tersebut, tampak bahwa peran aktif dari para anggota
masyarakat itu sendiri sangatlah dibutuhkan untuk melestarikan warisan budaya
berasama-sama, termasuk permainan anak tradisional.
Strategi preservasi permainan anak tradisional juga dapat dilaksanakan
melalui bidang pendidikan, baik pendidikan informal, seperti keluarga dan
lingkungan, maupun pendidikan formal, seperti lembaga pendidikan dasar.
Berdasarkan hasil analisis atas percakapan etnografis, penulis menemukan bahwa
lembaga pendidikan formal secara khusus belum memberi perhatian penuh pada
preservasi permianan anak tradisional. Selain itu, dari sisi lingkup keluarga di
dalam masyarakat juga sudah jarang mengenalkan dan mengajarkan permainan
anak tradisional kepada anak-anak. Di dalam lembaga pendidikan dasar,
pembelajaran tentang muatan lokal, misalnya pelajaran seni budaya dan bahasa
Jawa, belum mengintegrasikan tema permainan anak tradisional di dalamnya.
Namun, di lain sisi, penulis tetap melihat upaya pendidikan dasar terhadap
preservasi permainan anak tradisional. Hal itu ditunjukkan dengan pengalaman
narasumber dalam mengangkat tema permainan anak tradisional dalam
pembelajaran yang dilaksanakan, misalnya pelajaran olahraga dan bahasa Jawa
dalam jenjang sekolah dasar.
Selain berbicara dalam kaitannya dengan lingkup pendidikan formal,
keluarga merupakan tempat pertama bagi anak untuk membentuk diri, tumbuh,
dan berkembang. Hal tersebut merupakan kenyataan yang telah terbukti dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

223
pengalaman hidup kita masing-masing bahwa dari keluargalah kepribadian
seseorang terbentuk sejak awal. Driyarkaya (1980) menyatakan bahwa pendidikan
merupakan perbuatan fundamental dalam kehidupan manusia yang di dalamnya
terdapat proses memanusiakan manusia muda. Perbuatan fundamental itu
memiliki dua arti, yaitu (1) perbuatan mengubah, menentukan, dan membentuk
hidup manusia, dan (2) perbuatan fundamental untuk mencintai, yaitu cinta murni
yang mengarah pada kepentingan yang dicintai, sebagaimana hal yang telah
diungkapkan oleh Sudiarja, dkk (2006). Dalam kaitannya dengan strategi
preservasi permainan anak tradisional, penulis dapat mengatakan bahwa cinta dan
kasih sayang orang tua kepada anaknya yang didukung oleh situasi dan
lingkungan yang kondusif akan memungkinkan seorang anak dapat mengenal,
mengetahui, dan mencintai permainan anak tradisional yang kaya akan nilai
karakter itu.
Anak-anak yang lahir dalam lingkungan masyarakat Jawa pada umumnya
mengenal, mengetahui, dan melakukan permainan anak tradisional sebagai bagian
dari aktivitas atau kegiatan mereka sehari-hari. Hal itu terutama terjadi pada
lingkungan masyarakat desa yang masih kental dengan budaya lokal dan belum
terlalu terpengaruh oleh kemajuan teknologi. Kebiasaan masyarakat yang telah
berlangsung dari dulu itu merupakan modal dasar bagi para orang tua untuk
menanamkan kecintaan anak-anak terhadap permainan anak tradisional sebagai
warisan budaya sendiri. Namun, dewasa ini ternyata sudah banyak orang tua yang
tidak lagi terlalu memperhatikan pengenalan anak terhadap budaya sendiri.
Berdasarkan hasil percakapan etnografis, penulis mengungkap bahwa orang tua
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

224
banyak yang melarang anaknya untuk bermain dengan alasan agar waktu dapat
sepenuhnya dugunakan hanya untuk belajar dan setelah itu istirahat. Hal itu dapat
menghambat perkembangan mereka dalam mengenal permainan anak tradisional
karena sikap para oang tua yang sudah tidak peduli dengan pengajaran anak
tentang kebudayaan asli mereka sendiri. Orang tua lebih rela jika anak mereka
pintar pelajaran, karena nilai yang menjadi orientasi bukan lagi nilai kebudayaan
atau kepribadian (karakter), namun lebih pada nilai materi. Maka, kesadaran dan
kesediaan orang tua juga sangat diperlukan. Namun, penulis juga menemukan hal
yang menyatakan bahwa sampai saat ini setidaknya masih ada orang tua yang
memperhatikan anak agar tetap mengenal budaya sendiri, bahkan mengajari
secara langsung bagaimana cara melakukannya, termasuk menyediakan sarana
yang dibutuhkan agar anak mengenal dan mengetahui permainan itu (PE/SP/3b).
Selain itu, penulis juga melihat adanya dimensi pendidikan yang dilakukan secara
informal, yaitu di dalam kelurga dan lingkungan masyarakat secara alamiah. Anak
dibiarkan bermain, bergaul, dan bersosialiasi dengan teman-temannya dan segala
perilaku yang dilakukan benar-benar diawasi oleh orang tua dan masyarakat
sendiri sehingga segala perbuatan baik dan buruk anak benar-benar dipantau dan
dikendalikan secara penuh melalui penilaian langsung oleh masyarakat
(PE/SP/1b). Hal itu memberi pengaruh yang sangat besar dan efektif terhadap
perkembangan karakter anak, karena mereka mengalami secara langsung
konsekuensi dari perilaku atau perbuatan mereka sendiri. Hal itu dapat dikaitkan
dengan pengamatan anak terhadap aktivitas yang dapat menjadi simbol yang
dapat mereka maknai secara verbal maupun nonverbal karena anak berpartisipasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

225
secara langsung, sebagaimana Pierce (1965 dalam Foley, 2001) dalam konsep
partisipasi indeksikalitasnya mengatakan bahwa bahasa merupakan aktivtas sosial
yang melibatkan pembicara dan pendengar sebagai pelaku sosial (social actors).
Dengan demikian, mereka akan membentuk konstruksi pemahaman mengenai
sikap yang baik, tata krama, sopan santun, nilai, dan norma masyarakat melalui
pengalaman langsung. Pernyataan itu selaras dengan pandangan Vygotsky (dalam
Suparno, 1996) yang mengemukakan bahwa interaksi sosial memainkan peranan
penting dalam perkembangan kognitif anak. Interaksi sosial dengan orang yang
ada di sekitar anak akan membangun ide baru dan mempercepat perkembangan
intekektualnya.
Pada lembaga pendidikan formal, khususnya sekolah dasar, preservasi
permainan anak tradisional dapat ditempuh melalui pembelajaran di kelas.
Berdasarkan hasil percakapan etnografis, narasumber menyatakan bahwa
preservasi permainan anak tradisional juga dapat dilakukan melalui lembaga
pendidikan dasar. Guru sekolah dasar dapat mengeksplorasi kreativitas mereka
dan saling bekerja sama untuk mengangkat permainan anak tradisional ke dalam
konten pembelajaran di kelas, seperti pelajaran seni budaya, olahraga, dan bahasa.
Ketika para guru menerapkan hal itu, anak dapat terinspirasi dan meniru segala
hal yang diajarkan di sekolah sehingga ketika pulang, anak dapat termotivasi
untuk melakukan permainan yang telah diajarkan di sekolah. Maka, hal itu juga
menunjukkan bahwa implementasi kurikulum di sekolah perlu diintegrasikan
dengan unsur muatan lokal yang tidak hanya terbatas pada pelajaran yang
berunsur muatan lokal secara khusus, namun dapat diterapkan pada semua
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

226
pelajaran, karena menyangkut penyusunan perangkat pembelajaran secara
menyeluruh dalam kaitannya dengan impelmentasi kurikulum yang digunakan,
misalnya Kuriulum 2013. Maka, peran guru sangatlah penting dalam
mengakomodasi unsur permainan anak tradisional ke dalam pelajaran, terutama
pelajaran yang pada dasarnya berunsur muatan lokal. Guru yang memiliki latar
belakang masyarakat pribumi menjadi prioritas utama dalam hal ini, karena
mereka memiliki pengetahuan dan pengalaman yang otentik terhadap budaya
Jawa, sebagaimana mereka dibesarkan dari budaya tersebut.
Preservasi permainan anak tradisional melalui lembaga pendidikan dasar
perlu dilakukan dan sudah pernah terlaksana, walaupun hanya sebagian kecil guru
yang melaksanakannya, seperti pengalaman narasumber sendiri sehingga beliau
pun berusaha mendorong guru-guru muda untuk mengikuti cara yang ungkapkan
tersebut. Berdasarkan pernyataan narasumber di atas, penulis melihat bahwa
preservasi permainan anak tradisional di sekolah dasar dapat dilakukan melalui
pelajaran seni budaya, olahraga, dan bahasa, terutama (1) olahraga dan (2) bahasa,
khususnya bahasa Jawa. Pada dasarnya, pelaksanaan pembelajaran yang
mengangkat unsur muatan lokal juga telah diatur dalam Permendikbud RI Nomor
79 Tahun 2014 tentang Muatan Lokal. Aturan dalam Permendikbud tersebut
menjadi landasan yuridis bagi guru untuk mengembangkan pembelajaran yang
mengangkat unsur atau tema permainan anak tradisional dalam konteks
kebudayaan.
Pembelajaran olahraga dan bahasa Jawa terakomodasi di dalam muatan
lokal. Permendikbud Nomor 79 Tahun 2014 merumuskan definisi muatan lokal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

227
sebagai mata pelajaran pada satuan pendidikan yang berisi muatan dan proses
pembelajaran tentang potensi dan keunikan lokal yang dimaksudkan untuk
membentuk pemahaman peserta didik terhadap keunggulan dan kearifan di daerah
tempat tinggalnya (Pasal 2 [1]). Selanjutnya, pada Pasal 4 (1) dirinci mata
pelajaran muatan lokal berupa: (1) seni budaya, (2) prakaya, (3) pendidikan
jasmani, olahraga, dan kesehatan, (4) bahasa, dan (5) teknologi. Permainan anak
tradisional dalam satuan pendidikan dasar dapat diangkat pada mata pelajaran
muatan lokal nomor 3 (pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan) dan 4
(bahasa). Maka, permainan anak tradisional juga dapat diangkat menjadi tema
dalam mata pelajaran di sekolah dan dapat pula dipraktekkan dalam mata
pelajaran penjaskes. Permainan anak tradisional sudah terakomodasi dalam
kurikulum muatan lokal. Akomodasi itu terletak pada pelajaran Penjaskes
(Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan) saja, namun dalam pelajaran
bahasa Jawa belum terakomodasi. Salah satu permainan anak tradisional yang
paling sering digunakan dalam pelajaran Penjaskes adalah Kasti, Gobag Sodor,
dan Bentengan, yang mengandalkan sikap kerja sama di dalam tim. Di sisi lain,
pelajaran bahasa Jawa ternyata belum menunjukkan akomodasi permainan anak
tradisional di dalamnya. Pelajaran bahasa Jawa lebih memperhatikan mengenai
warisan budaya Jawa dalam bentuk yang lain, seperti alat musik, upacara adat,
tata bahasa, dan tembang macapat, dari pada permainan anak tradisional sehingga
pernyataan mengenai langkah preservasi permainan anak tradisional dalam
pelajaran bahasa masih sebatas gagasan dan harapan. Namun, penulis tetap
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

228
melihat adanya poin penting bahwa strategi preservasi permainan anak tradisional
dapat dilakukan melalui lembaga pendidikan formal dan tentu juga informal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

229
BAB V
PENUTUP
Bab ini terdiri dari dua hal pokok, yaitu kesimpulan dan saran.
Kesimpulan berisi rangkuman keseluruhan isi dari penelitian ini. Bagian
kesimpulan memiliki dua bagian. Bagian pertama berisi kesimpulan tentang (1)
nilai-nilai karakter dalam permainan anak tradisional, bagian kedua berisi
kesimpulan tentang (2) jenis-jenis permainan anak tradisional, dan bagian ketiga
berisi kesimpulan tentang (3) strategi preservasi permainan anak tradisional. Saran
berisi hal-hal relevan yang perlu diperhatikan dalam lingkup universitas dan bagi
penulis lanjutan. Berikut ini akan dipaparkan kesimpulan dan saran dari penelitian
ini.
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, penulis menemukan 16 nilai karakter dari 24
permainan anak tradisional. Nilai karakter yang (1) pertama adalah manusia harus
hidup sesuai dengan aturan, nilai, dan norma yang berlaku di masyarakat. Nilai
tersebut terkandung dalam permainan Ancak-ancak Alis. Nilai karakter yang (2)
kedua adalah penghormatan terhadap orang lain menjadi tanda bahwa kita
menghormati diri kita sendiri. Nilai tersebut terkandung dalam permainan
Bekelan. Nilai karakter yang (3) ketiga adalah manusia harus bijaksana dalam
bertindak. Nilai tersebut terkandung dalam permainan Betengan. Nilai karakter
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

230
yang (4) keempat adalah manusia harus dapat memusatkan diri pada tujuan hidup
yang ingin diraih. Nilai tersebut terkandung dalam permainan Benthik dan Jirak.
Nilai karakter yang (5) kelima adalah Tuhan adalah sosok yang Maha Kuasa.
Nilai tersebut terkandung dalam permainan Jaranan Bongkok dan Cublak-cublak
Suweng. Nilai karakter yang (6) keenam adalah manusia harus dapat menjalin
persaudaraan tanpa pamrih. Nilai tersebut terkandung dalam permainan Dhakon.
Nilai karakter yang (7) ketujuh adalah manusia harus selalu menjunjung tatakrama
sebagai makhluk sosial. Nilai tersebut terkandung dalam permainan Dhayoh-
dhayohan. Nilai karakter yang (8) kedelapan adalah tujuan akan lebih mudah
dicapai apabila kita saling membantu. Nilai tersebut terkandung dalam permainan
Dhingklik Oglak-aglik.
Selanjutnya, nilai karakter yang (9) kesembilan adalah manusia selalu
membutuhkan proses dalam mencapai tujuan. Nilai tersebut terkandung dalam
permainan Ingking. Nilai karakter yang (10) kesepuluh adalah manusia harus jeli
dalam melihat peluang untuk meraih tujuan. Nilai tersebut terkandung dalam
permainan Gobag Sodor. Nilai karakter yang (11) kesebelas adalah manusia harus
selalu dapat beradaptasi dalam segala situasi. Nilai tersebut terkandung dalam
permainan Jamuran dan Sliring Gendhing. Nilai karakter yang (12) keduabelas
adalah manusia harus memiliki prinsip hidup yang kuat. Nilai tersebut terkandung
dalam permainan Keris Janur dan Pong-pong Bolong. Nilai karakter yang (13)
ketigabelas adalah manusia tidak perlu serakah karena sudah memiliki bagian dan
peran masing-masing. Nilai tersebut terkandung dalam permainan Kitiran
Godhong Tela. Nilai karakter yang (14) keempatbelas adalah manusia harus
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

231
membuang segala sifat buruk agar tercipta kehidupan yang harmonis. Nilai
tersebut terkandung dalam permainan Kucing-kucingan. Nilai karakter yang (15)
kelimabelas adalah manusia harus dapat merangkai dan merencanakan
kehidupannya sesuai dengan kehendak Tuhan. Nilai tersebut terkandung dalam
permainan Kupluk Godhong. Terakhir, nilai karakter yang (16) keenambelas
adalah manusia perlu mengendalikan diri agar tidak terjatuh dan mencelakakan
diri sendiri. Nilai tersebut terkandung dalam permainan Layangan.
Jenis-jenis permainan anak tradisional yang teridentifikasi dalam
penelitian ini berjumlah 4 jenis, yaitu permainan dengan nyanyian atau dialog,
permainan asah fisik, permainan asah otak, dan permainan keterampilan tangan.
Permainan dengan nyanyian atau dialog adalah jenis permainan yang dilakukan
dengan menonjolkan aktivitas nyanyian yang disertai dengan dialog atau hanya
salah satunya saja, seperti (1) Jamuran, (2) Ancak-ancak Alis, (3) Cublak-cublak
Suweng, (4) Sliring Gendhing, (5) Pong-pong Bolong, dan (6) Dhingklik Oglak-
aglik. Permainan asah fisik adalah jenis permainan yang dilakukan dengan
menonjolkan aktivitas gerak fisik untuk melakukan permainan, seperti (1) Gobag
Sodor, (2) Ingkling, dan (3) Plintheng. Permainan asah otak adalah jenis
permainan yang dilakukan dengan menonjolkan aktivitas berpikir untuk
melakukan permainan, seperti (1) Dhakon dan (2) Macanan. Permainan
keterampilan tangan adalah jenis permainan yang dilakukan dengan menonjolkan
aktivitas kerajinan atau membuat sesuatu sebagai bagian dari permainan, seperti
(1) Jaranan Bongkok, (2) Keris Janur, (3) Kitiran Godhong Tela, (4) Kitiran Janur,
(5) Kupluk Godhong, dan (6) Plintheng.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

232
Strategi preservasi yang dapat dilakukan untuk permainan anak tradisional
dalam penelitian ini terbagi atas 4 strategi, yaitu dapat diwujudkan melalui
pewarisan alamiah, ajang kompetisi, sarana teknologi, dan lembaga pendidikan.
Pewarisan alamiah dapat dilakukan dalam lingkup keluarga dan lingungan tempat
tinggal secara turun-temurun. Masyarakat juga dapat menyelenggarakan
kompetisi antardesa dengan memanfaatkan permainan anak tradisional. Generasi
muda dewasa ini juga dapat mengadaptasi permainan anak tradisional dengan
kemasan teknologi. Permainan anak tradisional juga dapat diangkat menjadi tema
dalam mata pelajaran di sekolah dan dapat pula dipraktekkan dalam mata
pelajaran penjaskes.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil yang telah ditemukan, penulis memberikan saran yang
sekiranya perlu diperhatikan. Saran dari penulis akan dipaparkan sebagai berikut.
Penelitian ini hanya meneliti tentang kajian antropolinguistik dari dimensi
pemaknaan nilai karakter permainan anak tradisional. Bagi penulis selanjutnya,
penulis berharap bahwa penelitian ini dapat dikembangkan lebih lanjut dengan
impelementasi yang lebih luas untuk merealisasikan nilai-nilai yang terungkap,
seperti pembuatan konten-konten yang memuat nilai itu melalui sarana teknologi,
integrasi pada mata pelajaran di sekolah, dan publikasi melalui berbagai macam
media.
Para peneliti profesional perlu mengarahkan perhatian mereka pada ranah
ini. Karena, kajian semacam ini masih belum terlalu banyak jika dibandingkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

233
dengan ranah-ranah yang sudah biasa menjadi objek kajian. Menurut penulis,
kajian mengenai permainan anak tradisional dengan berbagai macam sudut
pandang tentunya sangat menarik untuk dilakukan. Maka, kajian pada produk
budaya ini sangat perlu ditingkatkan frekuensinya, mengingat bahwa hal tersebut
juga dapat menjadi salah satu bentuk strategi preservasi untuk masa depan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

234
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:
Rineka Cipta.
Bastomi, Suwaji. 1992. Seni dan Budaya Jawa. Semarang: IKIP Semarang Press.
Bungin, Burhan H.M. 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi,
Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial. Jakarta: Kencana Prenama Media
Group.
Cook, Guy. 2003. Applied Linguistics. New York: Oxford University Press.
Coon, Dennis. 2000. Introduction to Psychology: Exploration and Application.
USA: West Publising Company.
Creswell, John W. 2015. Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan
Mixed Edisi Ketiga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Debdikbud. 1982. Permainan Anak-anak Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta:
Depdikbud.
Desmita. 2005. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Dharmamulya, Sukirman, dkk. 1993. Transformasi Nilai Melalui Permainan
Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta: Debdikbud.
-------------------------------------. 2005. Permainan Tradisional Jawa: Sebuah
Upaya Pelestarian. Yogyakarta: Kepel Press.
Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic Antrhopology. Cambridge: Cambridge
University Press.
Emzir. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data. Jakarta: Rajawali
Press.
Endraswara, Suwardi. 2005. Buku Pinter Budaya Jawa: Mutiara Adiluhung
Orang Jawa. Yogyakarta: Gelombang Pasang.
--------------------------. 2015. Revolusi Mental dalam Budaya Jawa. Yogyakarta:
Penerbit Narasi.
Foley, William. 2001. Antrhopological Linguistic: An Introduction. Sydney:
Blackwell.
Gottschalk, Louis; penerjemah Nugroho Notosusanto. 1986. Mengerti Sejarah:
Pengantar Metode Sejarah. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/digital
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/karakter
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

235
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/kultur
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/preservasi
Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya Hasan. 1985. Language, Contex, dan Text: Aspects
of Language in a Social Semiotic Perspective. Oxford: Oxford University
Press.
Hidayatullah, M. Furqon. 2010. Guru Sejati: Pengembangan Insan Berkarakter
Kuat dan Cerdas. Surakarta: Yuma Pustaka.
Hirth, Michael. 1991. In West Africa, Games, Sport, and Tradition. Semantic
Scholar Journals.
Huizinga, Johan. 1990. Homo Ludens: Fungsi dan Hakekat Permainan dalam
Budaya. Jakarta: Penerbit LP3ES.
Ismail, Andang. 2012. Education Games. Yogykarta: Pro-U Media.
Jaringan Sekolah Islam Terpadu. 2015. Dolanan Anak Jawa. Yogyakarta: Dinas
Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga.
Kemendiknas. 2011. Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum dan Perbukuan.
Khamadi dan Abi Senoprabowo. 2016. Model Adaptasi Permainan Papan
Tradisional Macanan ke dalam Perancangan Permainan Digital. Jurnal
Andharupa, Vol. 2, No. 2.
Khobir, Abdul. 2009. Upaya Mendidik Anak melalui Permainan Edukatif. Jurnal
Forum Tarbiyah, Vol. 7, No. 2.
Kramsch, Claire. 1998. Language and Culture. New York: Oxford University
Press.
Mahsun. 2007. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan
Tekniknya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Miles, Mattew B. A., & Michael Huberman. 1994. Qualitative Data Analysis An
Expanded Sourcebook Second Edition. California: Sage Publication, Inc.
Moleong, Lexy J. 1989. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
---------------------. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Muhammad. 2016. Metode Penelitian Bahasa. Yogyakarta: Ar-ruzz Media.
Mumfangati, Titi. 2011. Pendidikan Budi Pekerti dalam Budaya Jawa Kajian
Terhadap Serat Nitipraja. Jurnal Jantra, Vol. 6, No. 12.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

236
Perdana, B. 2013. Pengembangan Buku Digital Interaktif (BUDIN) Berbasis
Adobe Creative Suite pada Materi Genetika di SMK. Tesis. Semarang:
UNS.
Purwaningsih, Ernawati. 2006. Permainan Tradisional Anak: Salah Satu
Khasanah Budaya yang Perlu Dilestarikan. Jurnal Jantra, Vol. 1, No. 1.
Sadiman. 2007. Media Pendidikan. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Sibarani, Robert. 2015. Pendekatan Antropolinguistik Terhadap Kajian Lisan.
Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 1, No. 1.
--------------------. 2017. Bahasa dan Berbahasa: Objek Kajian Penting dalam
Pelestarian Bahasa Ibu. Prosiding Seminar Nasional Bahasa Ibu. Denpasar:
Udayana University Press.
Song, Lichao. 2010. The Role of Context in Discourse Analysis. Journal of
Language Teaching and Research, Vol. 1, No. 6, pp. 876-879.
Spradley, James P. 1980. Participant Observation. USA: Holt, Rinchart, and
Winston.
Sudaryanto. 2015. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta:
Penerbit Universitas Sanata Dharma Anggota APPTI.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Suseno, Franz Magnis. 1985. Etika Jawa. Jakarta: PT Gramedia.
Tashadi (peny.). 1993. Transformasi Nilai Melalui Permainan Rakyat Daerah
Istimewa Yogyakarta. Jakarta: Debdikbud.
Van Dijk, Teun A. 1977. Text and Context Explorations in the Semantics and
Pragmatics of Discourse. USA: Longman Inc.
Yudiwinata, Hikmah Prisia, dan Pambudi Handoyo. 2014. Permainan Tradisional
dalam Budaya dan Perkembangan Anak. Jurnal Paradigma, Vol. 2, No. 3.
Yule, George. 2000. Pragmatics. Oxford: Oxford University Press.
Yumarlin, MZ. 2013. Pengembangan Permainan Ular Tangga untuk Kuis Mata
Pelajaran Sains Sekolah Dasar. Jurnal Teknik, Vol. 3, No. 1.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

237
LAMPIRAN
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

238
DATA STUDI DOKUMEN DESKRIPSI PERMAINAN ANAK
TRADISIONAL
(SD: Studi Dokumen, DP: Deskripsi Permainan)
No.
Permainan
Anak
Tradisional
Deskripsi Permainan
1. 1 Ancak-ancak
Alis (AAA)
Permainan ini dimainkan secara bersama-sama dengan 10-15 anak dan
dimainkan dengan cara seperti bermain permainan ular naga. Dua anak
bertugas sebagai petani dan anak yang lain bertugas sebagai
kijang/anak semang. Dua petani tadi saling menempelkan telapak
tangan dan membentuk seperti gapura. Lalu, kijang tadi masing-masing
berjalan di antara petani dan berjalan dari yang paling besar dengan
saling memegang ikat pinggang mereka seperti ular naga. Mereka
bernyanyi dan ketika lagu sudah berakhir, mereka melakukan tanya
jawab. Jika kijang menjawab pilihan atas alat bertani dari pertanyaan
petani (misalnya garu dari petani A atau luku dari petani B), maka dia
ikut pada salah satu petani yang sesuai dengan jawaban yang
diinginkan. Setelah para petani mendapatkan kijangnya masing-masing
dari proses tanya jawab tadi, maka setiap tim dari kedua petani itu
melakukan tarik tambang untuk saling beradu kekuatan sampai ada
salah satu tim yang menang.
2. 2 Bekelan
(BEK)
Permainan ini membutuhkan peralatan yang berupa sebuah bola
bekel/karet dan biji bekel sejumlah 5-10 buah, dan dimainkan oleh 2-4
anak. Permainan ini dimainkan dengan cara melempar bola ke atas,
kemudian anak mengambil biji bekel satu persatu. Ketika bola
memantul ke atas kembali, anak menangkap bola sambil
menggenggam biji bekel tadi. Pemain kalah jika tidak dapat
menangkap bola setelah memantul pertama kali, biji bekel terjatuh saat
menangkap bola, atau menggenggam jumlah biji bekel yang salah
karena tidak sesuai dengan kelipatannya (sesuai peraturan).
3. 3 Betengan
(BET)
Permainan ini dimainkan secara bersama-sama dengan jumlah yang
semakin banyak semakin seru.
Permainan ini pada dasarnya merupakan permainan tim yang bertugas
untuk menjaga bentengnya (tiang atau pohon) masing-masing. Setiap
pemain berkewajiban untuk menghabiskan pemain tim lawan untuk
dapat membakar benteng lawan dengan menyentuhnya (tiang atau
pohonnya). Apabila benteng tersentuh, maka tim yang memiliki
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

239
benteng itu dinyatakan kalah. Cara menghabiskan pemain tim lawan
adalah dengan memancing pemain untuk keluar benteng sehingga
saling mengejar, misalnya pemain tim 1 yang terkena sentuhan pemain
tim 2 langsung menjadi tawanan pada benteng milik pemain tim 1.
Pemain tim 2 tadi dapat dibebaskan dari tawanan dengan sentuhan dari
sesama pemain tim 2 untuk dapat kembali ke bentengnya. Namun,
ketika salah satu benteng lengah atau kurang dijaga, maka lawan dapat
membakar benteng itu untuk mengalahkan tim itu.
4. 4 Benthik
(BEN)
Permainan ini dimainkan secara bersama-sama dengan 6-12 anak.
Permainan ini pada dasarnya melempar, menangkap, dan memukul
batang kayu dengan baik dan tepat sebagai salah satu faktor kunci
kemenangan. Anak-anak bermain di sebuah tanah lapang yang terbagi
atas dua tim, yaitu tim penjaga dan tim penyerang yang dapat
ditentukan melalui undi, yaitu pingsut. Tim penyerang bertugas
memukul dan melempar batang kayu pendek dengan batang kayu yang
lebih panjang. Tim penjaga bertugas menangkap dan melempar batang
kayu yang dipukul oleh tim penyerang. Setiap tim bersaing untuk
mengumpulkan skor terbanyak. Tim penyerang mendapatkan skor dari
hasil pukulan, lemparan, dan pelanggaran yang dilakukan oleh tim
penjaga. Tim penjaga mendapatkan skor dari hasil tangkapan,
lemparan, dan juga pelanggaran yang dilakukan oleh tim penyerang.
Tim yang dapat mengumpulkan skor lebih banyak adalah
pemenangnya.
5. 5 Cublak-
cublak
Suweng
(CCS)
Permainan ini dimainkan secara bersama-sama dengan 4-8 anak.
Permainan ini dilakukan dengan menyanyikan lagu bersama-sama.
Anak yang dadi ditentukan melalui undi. Lalu, anak itu harus duduk
telungkup dan memejamkan mata. Anak yang lain duduk melingkar
mengelilingi anak yang dadi sambil meletakkan tangan yang terbuka di
atas punggung anak yang dadi. Kemudian, setiap anak menyanyikan
lagu permainan sambil mendapat giliran letak kerikil pada setiap
telapak tangan. Ketika lagu selesai dinyanyikan, kerikil harus
digenggam erat oleh anak yang terakhir mendapat giliran letak kerikil
di tangannya agar tidak mudah ditebak oleh anak yang dadi.
Selanjutnya, anak yang dadi bangun dan harus menebak letak kerikil.
Jika anak salah menebak, maka dia diminta untuk telungkup lagi dan
permainan diulang. Jika anak berhasil menebak, maka anak yang
tertebak menjadi anak yang dadi.
6. 7 Dhakon
(DHAK)
Permainan ini hanya dapat dimainkan oleh dua anak. Permainan ini
menggunakan sarana yang berupa papan berlubang dengan 14 lubang
kecil (7 lubang pada setiap pemain) dan 2 lubang besar (1 lubang untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

240
lumbung pada setiap pemain). Permainan ini merupakan permainan
asah otak, yang mana anak harus berkompetisi untuk mengumpulkan
biji sebanyak mungkin. Anak yang berhasil mengumpulkan biji
terbanyak di lumbungnya adalah pemenangnya. Hal itu membutuhkan
strategi dan perhitungan yang tepat untuk dapat menang.
7. 8 Dhayoh-
dhayohan
(DHAY)
Permainan ini pada umumnya dimainkan secara bersama-sama dengan
beberapa anak (bebas). Permainan ini pada dasarnya merupakan
aktivitas anak untuk bermain peran, terutama dalam hal bertamu,
misalnya bertamu di rumah, bertamu untuk membeli barang dagangan,
menjenguk orang sakit, dan sebagainya. Anak dapat saling menyusun
alur permainan sesuai dengan peran-peran dan aturan yang disepakati
bersama.
8. 9 Dhelikan
(DHEL)
Permainan ini dimainkan secara bersama-sama dengan 5-10 anak atau
bisa juga lebih. Permainan ini pada dasarnya seperti permainan petak
umpet. Anak yang dadi harus menghitung dari hitungan 1 sampai pada
hitungan yang disepakati (bebas, pada umumnya maksimal sampai
100) dengan mata tertutup pada pos atau pathok. Sementara itu anak-
anak lain mencari tempat untuk bersembunyi sebelum anakk yang dadi
selesai menghitung. Ketika anak itu telah selesai menghitung, anak itu
mencari teman-temannya dan menyebutkan nama teman yang
ditemukan. Lalu, mereka saling berebut pos. Anak yang berhasil
menyentuh pos terlebih dahulu berada pada posisi aman, sedangkan
anak yang gagal menyentuh pos terlebih dahulu harus bergantian dadi.
Anak yang sejak pertama kali dadi tadi juga tetap dadi jika gagal
menyentuh pos terlebih dahulu.
9. 1
0
Dhingklik
Oglak-aglik
(DOA)
Permainan ini dimainkan secara bersama-sama dengan 3-5 anak sambil
menyanyikan lagu permainan saat melakukannya. Permainan ini pada
dasarnya saling bekerjasama untuk menirukan bentuk kursi dengan
cara berpegangan tangan dan mengaitkan kaki satu sama lain sambil
bertepuk tangan, melonjak-lonjak, dan menyanyikan lagu permainan.
Permainan ini dapat dijadikan permainan pertandingan jika dilakukan
dengan minimal dua tim yang masing-masing terdiri dari 3-5 anak tadi.
Tim yang lebih lama mempertahankan gerakan tanpa terjatuh adalah
pemenangnya.
10. 1
1
Ingkling
(ING)
Permainan ini dimainkan secara bersama-sama dengan dua anak atau
lebih. Permainan ini dimainkan pada sebuah media yang dibuat sendiri
oleh anak dengan dasar tanah atau lantai (digambar dengan kapur).
Anak menentukan urutan bermain dengan undi. Permainan dilakukan
dengan melempar gacuk (pecahan genteng) pada petak. Pemain akan
memasuki petak dengan melompat menggunakan satu kaki. Petak yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

241
ditempati gacuk tidak boleh diinjak atau ditempati. Pemain melompati
setiap petak sampai kembali lagi ke posisi semula atau titik awal tanpa
menginjak petak yang di mana gacuk berada, terjatuh, atau berdiri
dengan dua kaki. Jika gagal, matilah dia dan gilliran pemain
selanjutnya. Jika berhasil, pemain melemparkan gacuk di petak
pertama tadi ke petak selanjutnya, tanpa meleset ke petak lain atau
menyentuh garis petak. Jika pemain berhasil menyelesaikan letak
gacuk sampai seluruh petak, maka dia berhak melempar gacuk dengan
membelakangi petak dan petak yang dijatuhi gacuk menjadi daerah
kekuasaan pemain tadi sehingga pemain selanjutnya tidak boleh
menginjak petak itu. Jika gagal, matilah dia. Demikian permainan
dilakukan terus-menerus.
11. 1
2
Gobag Sodor
(GS)
Permainan ini dimainkan secara bersama-sama dengan 6 atau 8 anak.
Permainan ini merupakan permainan tim yang terbagi menjadi dua,
yaitu tim penjaga dan tim yang melewati rintangan. Setiap tim terdiri
dari 3-4 anak yang ditentukan berdasarkan hasil undi, seperti
hompimpa dan pingsut. Tim penjaga berdiri satu persatu pada petak-
petak yang telah dibuat di tanah. Tim yang melewati rintangan tidak
boleh tertangkap atau tersentuh oleh para penjaga, yaitu dengan berlari
atau melewati para penjaga dari depan dan harus sampai kembali ke
depan lagi. Jika semua anak dalam tim itu berhasil, maka menanglah
mereka. Jika anak tertangkap oleh penjaga, maka matilah dia dan
seluruh timnya, dan harus bergantian menjadi tim penjaga.
12. 1
3
Jamuran
(JAM)
Permainan ini dimainkan secara bersama-sama dengan empat anak atau
lebih. Permainan ini pada dasarnya menirukan sifat jamur yang
menempel di tempat tertentu dengan yang kadang-kadang dilengkapi
dengan sifat-sifat lain dari hewan atau benda tertentu sehingga anak
harus dapat menirukan sifat itu semirip mungkin, misalnya diam jika
jamur patung, bergaya seperti motor jika jamur motor, dan lain-lain.
Anak yang dadi biasanya dipilih berdasarkan undi, misalnya
hompimpah. Lalu, anak itu harus berjaga di tengah lingkaran anak-
anak yang memutarinya sambil bernyanyi lagu permainan. Kemudian,
anak-anak yang memutarinya tadi tiba pada kata yang berbunyi “sira
badhe jamur apa?” pada akhir lagu dan anak yang dadi harus
menjawab jamur tertentu. Setelah itu, anak-anak yang memutarinya
tadi langsung melakukan hal yang seperti dikatakan oleh anak yang
dadi tadi. Jika ada anak yang gagal, maka anak itu berganti menjadi
anak yang dadi.
13. 1Jaranan Permainan ini dilakukan dengan membuat mainan yang terbuat dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

242
4 Bongkok
(JB)
dahan pohon kelapa yang sudah kering. Mainan berupa sepotong dahan
yang sudah dibersihkan dari daunnya dan dimainkan dengan cara
dinaiki seperti tarian jaranan.
14. 1
5
Jirak (JIR) Permainan ini dimainkan secara bersama-sama dengan 3-6 anak.
Urutan permainan ditentukan dengan cara melempari gacuk (biji atau
uang koin) ke lubang. Gacuk pemain yang lebih dekat itulah yang
berhak bermain terlebih dahulu, dan yang terjauh bermain paling akhir.
Jika sama-sama masuk lubang atau bertumpuk, maka harus
mengulanginya. Permainan dilakukan dengan melepar lima gacuk
untuk setiap pemain dan diusahakan untuk masuk ke dalam lubang.
Jika berhasil, maka pemain itu mendapatkan sawah sebanyak jumlah
gacuk yang berhasil masuk. Jumlah sawah yang disediakan yaitu lima
buah, yang mana jika sudah habis, maka permainann pun selesai. Anak
yang tidak mendapat sawah dinyatakan kalah dan harus menerima
hukuman mutlak, yaitu menggendong.
15. Keris Janur
(KSJ)
Permainan ini dilakukan dengan membuat mainan yang terbuat dari
daun pohon kelapa yang masih muda. Mainan berbentuk seperti keris
dan dibuat dengan cara khusus sehingga membutuhkan keterampilan
yang cukup tinggi bagi anak.
16. 1
7
Kitiran
Godhong
Tela (KGT)
Permainan ini dilakukan dengan membuat mainan yang terbuat dari
daun singkong beserta dengan batang dari daun itu. Mainan berupa
seperti stick dengan daun yang sudah dipotong setengah dan dimainkan
dengan cara diputar-putar pada jari telunjuk.
17. 1
8
Kitiran Janur
(KNJ)
Permainan ini dilakukan dengan membuat mainan yang terbuat dari
daun pohon kelapa yang masih muda, sepotong lidi, dan sebuah
sedotan. Mainan berbentuk seperti baling-baling dan dimainkan dengan
cara dibawa berlari atau diangin-anginkan sampai berputar.
18. 1
9
Kucing-
kucingan
(KK)
Permainan ini dimainkan secara bersama-sama dengan lima anak, tidak
boleh kurang dan tidak boleh lebih. Permainan ini pada dasarnya
berkompetisi untuk merebut tempat berdiri bagi anak yang dadi, dan
bertukar tempat bagi empat anak yang telah memiliki tempat
berdirinya masing-masing dengan cara bergandengan tangan lalu
bertukar tempat. Pada saat itulah, anak yang dadi berusaha merebut
tempat. Jika berhasil, anak yang memiliki tempat tadi menjadi anak
yang dadi. Lalu, jika anak yang dadi itu gagal merebut, maka teman-
temannya menggotongnya untuk dibuang seperti kucing dan setelah di
buang, mereka semua kembali lagi ke tempat asal untuk berebut
tempat. Demikian permainan terus berlanjut sampai mereka lelah dan
berakhir dengan sendirinya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

243
19. 2
0
Kupluk
Godhong
(KG)
Permainan ini dilakukan dengan membuat mainan yang terbuat dari
daun yang berukuran agak besar dan beberapa potongan-potongan lidi.
Mainan berbentuk seperti mahkota untuk dipakai seperti topi dan
dibuat dengan merangkai daun-daun menggunakan lidi.
20. 2
1
Layangan
(LAY)
Permainan ini dilakukan dengan membuat mainan yang terbuat dari
batang bambu tipis, kertas, tali/benang, dan kertas tisu/minyak. Mainan
berupa layang-layang yang berbentu belah ketupat dan dimainkan
dengan menerbangkannya menggunakan tali yang panjang.
21. 2
2
Macanan
(MAC)
Permainan ini hanya dapat dimainkan oleh dua anak. Permainan ini
dimainkan pada sebuah media yang dibuat sendiri oleh anak dengan
bahan kertas (digambar dengan pensil/bolpoin) atau lantai (digambar
dengan kapur). Permainan ini dimainkan dengan cara memakan orang-
orangan (batu kerikil/biji) menggunakan macan (batu kerikil/biji)
dengan melompati petak-petak yang terdapat pada media yang dibuat.
Anak harus mengatur strategi dan cara-cara tertentu untuk dapat
mengalahkan lawannya. Anak yang kehabisan orang-orangan
dinyatakan kalah.
22. 2
4
Plintheng
(PLIN)
Permainan ini dilakukan dengan membuat mainan yang terbuat dari
batang pohon yang berbentuk huruf Y, karet pentil, kalep karet/kulit,
dan tali. Mainan berupa ketapel dan dimainkan dengan cara
melontarkan batu kerikil.
23. 2
5
Pong-pong
Bolong
(PPB)
Permainan ini dimainkan secara bersama-sama dengan empat anak atau
lebih. Permainan ini dilakukan sambil menyanyikan lagu permainan
dan dilakukan dengan sangat mudah, yaitu anak-anak menyusun
tangan kiri mereka secara mengepal. Setelah tersusun, anak yang
ditunjuk sebagai pemimpin menyanyikan lagu permainan sambil
menaruh jari telunjuknya dan melakukan gerakan berputar. Lalu,
mereka memecah kepalan tangan secara berurutan dari bawah ke atas
sampai terpecah semua. Kemudian, pemimpin mencubit tangan anak
yang paling atas dan anak itu menyembunyikannya di dalam ketiak
sampai semuanya menyembunyikan tangan mereka. Selanjutnya,
pemimpin melakukan dialog dengan salah satu anak yang dianggap
sebagai penggembala sampai pada akhirnya mereka bersama-sama
menyanyikan lagu permainan kembali sampai selesai.
24. 2
6
Sliring
Gendhing
(SG)
Permainan ini dimainkan secara bersama-sama dengan jumlah anak
yang genap, mulai dari 4, 6, sampai 8 anak sambil menyanyikan lagu
permainan saat melakukannya. Permainan ini pada dasarnya saling
bekerjasama untuk bergerak berputar secara seimbang. Misalnya,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

244
empat anak berdiri dan empat anak bergantung pada tangan anak yang
berdiri sambil mempertemukan kaki mereka, yang mana semua anak
membentuk lingkaran lalu berputar seperti mangkok yang diputar.
Permainan ini dapat dijadikan permainan pertandingan jika dilakukan
dengan minimal dua tim yang masing-masing terdiri dari jumlah anak
yang ganjil tadi. Tim yang lebih lama mempertahankan gerakan tanpa
terjatuh adalah pemenangnya.
.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

245
DATA PERCAKAPAN ETNOGRAFIS DESKRIPSI LATAR BELAKANG
BUDAYA PERMAINAN ANAK TRADISIONAL
(PE: Percakapan Etnografis, LB: Deskripsi Latar Belakang Budaya)
Narasumber : Andhi Wisnu Wicaksono
Usia : 43 thn
Pekerjaan : Akitivis Budaya, Produser, dan Wartawan Jogja TV
Pertanyaan
Apa makna dari setiap permainan tradisional yang Anda ketahui dalam konteks
budaya Jawa?
Jawaban
1. Ancak-ancak Alis
Ancak-ancak Alis ini memiliki tembang yang hampir sama dengan Cublak-
cublak Suweng. Ada yang membicarakan ular dan sebagainya, itu panjang.
Jadi, dalam tembang Ancak-ancak Alis sebenarnya kalau misalnya kita lihat
secara latar belakang bagaimana kemudian di dalam syair tembang ini yang
jelas siklus bertani masyarakat Jawa itu kan bisa dibaca dari perjalanan
tembang mulai dari syair pertama hingga syair terakhir, di sana ada keterkaitan
antara kebo dungkul, di mana kebo dungkul sendiri kalau secara fisik itu
memang dia adalah pekerja yang cukup ulet sehingga kenapa spiritnya yang
diambil adalah kebo dungkul? Karena semenjak kerajaan Mataram berdiri dan
Mataram sendiri akhirnya mengembangkan budaya pertanian yang ada di
daerah pedalaman yang sangat jauh dari pesisir, otomatis ketika itu padi
sebagai tambatan celengan, karena di sana juga ada tembangnya yang
menyebut tentang lumbung bandung, tentang kebo dungkul, lalu kemudian
sawah ira lagi apa lagi tandur, dan sebagainya, dari memang kemudian siklus
pertanian di mana kalau misalnya kebo dungkul itu sendiri, kalau dalam
pemahaman katurangganing kewan, itu memang dipahami sebagai sebuah
binatang yang mampu memberikan kesuburan bagi tanah, dan kalau misalnya
itu nanti akan dilacak lebih jauh, barangkali, dalam tradisi yang ada di daerah
Kebumen, itu memang ada upacara terkait dengan penghormatan kepada
binatang, karena bagaimanapun juga tidak mungkin manusia mengerjakan
sawah seorang diri, tapi pada zaman dahulu memang kemudian, sebelum
munculnya teknologi traktor, kerbau dan juga sapi itu memang kemudian
menjadi sumber pembantu kekuatan bagi manusia. Oleh karena itu, mereka pun
dimuliakan oleh masyarakat Jawa karena bagaimanapun juga masyarakat Jawa
itu tidak kemudian lantas berangapan bahwasannya bisa sendiri, enggak, akan
tetapi bagaimana kemudian wujud dari kebesaran Tuhan melalui alam yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

246
telah gumelar ini, melalui kesuburan tanah yang diberikan, dan tentunya
kesuburan itu tidak kemudian lantas serta merta ada, akan tetapi kemudian
bagaimana kesuburan itu bisa diolah dan dikembangkan oleh masyarakat
petani Jawa ketika itu dan bahkan sampai sekarang cara atau budaya pertanian
sekarang memang kemudian di desa-desa kita juga masih sempat menyaksikan
bagaimana kemudian binatang-binatang tersebut dimanfaatkan sebagai media
bersawah, dan terkait dengan syair Ancak-ancak Alis sendiri memang
kemudian kalau kita lihat secara fisik, bagaimana kemudian alis sendiri, ancak
itu kan bagaimana tempat tatakan. Nah, sementara, kalau misalnya kita lihat
dari sisi yang lain, misalnya, alis itu walaupun kelihatannya sesuatu yang
sepele, namun dalam hal seni tata rias, alis sendiri juga mempunyai satu peran
yang sangat penting. Sebagus apapun pola tatanan make up yang diberikan,
tapi dengan alis yang tidak tertata, maka nantinya juga akan menjadikan
tatanan make up yang diberikan menjadi tidak sempurna. Oleh karena itu,
mengapa kemudian dolanan itu dinamakan Ancak-ancak Alis karena di sana,
dari ancak tatanan alis yang diberikan itu diharapkan kemudian dalam
kehidupan itu memang manusia lebih bisa temata. Nah, temata dan tatanannya
yang seperti apa setidaknya melalui siklus budaya pertanian di mana di sana
kemudian setelah bersawah, lagi nenandur, kemudian di bait-bait berikutnya itu
kemudian “gedhene sak pira, gedhene sak lumbung bandung”, nah, sekarang
kan, kalau boleh dikatakan, lumbung adalah memang kemudian gudang
penyimpanan hasil pertanian. Apalagi kalau dikatakan sebagai “sak lumbung
bandung” itu berarti kan lumbunge gedhe tenan. Nah, dengan demikian, setelah
kemakmuran secara fisik, dalam artian kebutuhan makan yang menjadi
kebutuhan pokok masyarakat itu terpenuhi, maka dengan demikian, kita baru
bisa nyandhak kepada kebutuhan-kebutuhan kita yang lainnya. Jadi, bagaimana
kemudian tatanan mulai dari nyukupi pangan sampai kemudian ke arah
nyukupi batin itu memang kemudian berpijak dari pola tatanan yang telah ada
di masyarakat petani Jawa ketika itu, lalu kemudian melalui sisipan tembang
yang dinyanyikan dalam dolanan Ancak-ancak Alis, dari kecil sebenarnya kita
sudah diajak untuk berdisiplin, kita diajak untuk paham akan siklus, kita diajak
paham akan katuranggan binatang, kita juga diajak paham tentang kondisi di
sawah itu ada apa saja ta, antara lain di sana ada ula dumung dan sebagainya
yang dinyanyikan ke dalam tembang Ancak-ancak Alis sehingga selain paham
terhadap apa yang menjadi kebutuhan hidup, memang kemudian kita juga
diharapkan paham terhadap siklus dan isen-isening alam sehingga dengan
demikian kalau misalnya sekarang lagi muncul gerakan kembali lagi mencintai
alam, back to nature semacam itu, maka sebenarnya mbah-mbah kita dari dulu
itu sudah mengajak kita untuk sayang dengan alam. Karena melalui sayang
dengan alam, kita akan bisa sayang dengan semuanya, termasuk kemudian kita
bisa selalu merasa dekat, disayangi, dan bahkan bisa nyawiji dengan Tuhan.
2. Bekelan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

247
Bekelan itu memang satu media yang tidak ada nyanyiannya di sana, jadi
murni satu bentuk permainan dan dari permainan bekelan itu, satu sisi yang
menarik adalah bagaimana unsur sportivitas itu kemudian ditanamkan. Jadi
bagaimana kita selaku pribadi bisa ngajeni diri sendiri dengan kita berlaku
jujur, dengan kita bisa ngajeni orang lain juga, karena tanpa kita bisa
meletakkan posisi diri kita, sesuai dengan apa yang menjadi kodrat kelahiran
kita, dan menghormati orang lain sebagai posisi yang wajib dia jalankan,
kemudian sesuai dengan dharma kehidupannya, maka tentunya segala
sesuatunya tidak akan menjadi harmonis. Karena bagaimanapun juga, konsep
harmoni, konsep value, itu menjadi salah satu pijakan untuk menuju kepada
masyarakat yang lebih bisa tertata dan sejahtera.
3. Betengan
Betengan adalah semacam dolanan untuk kita bisa mempertahankan apa yang
menjadi milik kita. Tentunya, dalam dolanan Betengan, itu kita diajari oleh
mbah-mbah kita dulu secara langsung atau tidak langsung bagaimana kita
mempertahankan diri dan bagaimana kita mengekspansi. Kenapa seperti itu?
Kenapa kita harus bertahan? Dan kenapa kita mengekspansi istilahnya kalau
orang Jawa dulu ngelar jajahan? Bukan berarti kita menjajah orang lain, tidak,
akan tetapi kemudian bagaimana kita bisa tahu terhadap dunia luar. Kita bisa
paham terhadap kalau misalnya, sekarang ada kebijakan analisis SWOT.
Bagaimana kemudian, ini ancamannya di mana, potensinya di mana, apa yang
menjadi kekuatan kita, apa yang menjadi kelemahan kita, itu ada dalam
dolanan Betengan.
4. Benthik
Benthik sendiri memang kemudian membutuhkan satu keterampilan untuk
membidik sesuatu. Istilahnya di sana, kita diajari secara tidakk langsung untuk
kita itu bisa punya keantepan tujuan. Jadi, istilahnya jangan sampai kemudian
kita itu setelah dalam perjalanan, kita menjadi kalau istilahnya orang Jawa
mangruktingal bercabang apa yang telah menjadi keyakinan kita. Kalau kita
memang sudah percaya bahwasannya hal ini nanti yang mampu akan
membawa kita pada satu kesuksesan, hal ini nanti akan mampu membawa kita
pada satu tujuan yang mulia, maka ya istilahnya apapun yang menjadi
tujuannya kita tetap harus bisa satu pada apa yang kita inginkan. Istilahnya,
dalam dolanan Benthik itu kan memang kemudian ada sesuatu yang
dipertemukan, ada sesuatu yang dibenturkan. Benturan-benturan inilah adalah
sebagai semacam pertemuan-pertemuan yang pada suatu saat akan mampu
menghasilkan sesuatu berbuah dan bermanfaat bagi diri kita.
5. Cublak-cublak Suweng
Cublak-cublak Suweng itu memang kemudian secara tembang yang
dinyanyikan memang terasa tembang tersebut lebih religius, dalam artian
walaupun dibawakan ketika sambil bermain, itu ya bocahe mengkurep dan
sebagainya, namun demikian ketika bagaimana dolanan Cublak-cublak
Suweng sebagaimana tadi Ancak-ancak Alis kita pahami tembangnya, memang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

248
dalam kuasa Tuhan, dalam kekuasaan Pangeran itu ya Pangeran itu ada di
manapun, bahkan di dalam diri kita sendiri pun, kita tidak akan pernah lepas
dari kekuassaan Pangeran, karena kalau kita sampai lost atau ucul dari
kekuasaan Pangeran, ya di situlah kita akan menjadi manusia yang murka.
Murka dalam artian akrena kita lupa akan keberadaan Beliau yang mengatur
kehidupan kita. Kita menjadi manusia yang adigang, adigung, dan sebagainya,
itu karena kelupaan diri kita. Dan memang dengan tembang tersebut, secara
pembahasan yang lain, kita akan bisa menyarikan bahwasannya memang kalau
dalam pandangan masyarakat Jawa, Tuhan itu tidak harus ada di tempat
ibadah. Tuhan itu tertebar ke mana-mana dan tertebar di mana-mana. Jadi, di
mana ada kehidupan, di situ ada Tuhan. Maka, kenapa kemudian dikatakan
Pangeran itu adalah urip. Karena apa? Setelah urip itu tidak ada, maka di
situlah Tuhan akan hilang juga. Apakah ajaran ini kemudian terbesit di sana
dengan tidak sengaja atau memang sengaja dituliskan, nah itu barangkali
leluhur dulu yang lebih tau. Namun demikian, kita sebagai generasi penerus
memang kemudian menjadi salah satu kewajiban bagi kita untuk kemudian kita
tahu, mau belajar menganalisis tentang itu tadi karena mbah-mbah kita itu
kalau menyampaikan piwulang itu memang tidak pernah disampaikan secara
nglegena. Jadi memang segala sesuatunya serba dibungkus, bukan bungkus
dalam artian untuk menghalangi, tapi bungkus di sini adalah untuk kita secara
pribadi punya ketajaman intuisi dalam menganalisis segala sesuatunya. Jadi
agar ketika kita belajar jumangkah, kita belajar tahu akan segala sesuatu, maka
kita juga harus mengetahui sebenarnya apa yang menjadi tujuan kita untuk kita
kepingin tahu dan sesuatu yang kepingin kita raih itu tadi.
6. Dhakon
Dhakon itu adalah salah satu permainan di mana kalau dalam salah satu prinsip
ekonomi yang dulu dipakai oleh mbah-mbah kita itu adalah puna sathak bathi
sanak. Jadi bagaimana kemudian tidak perlu dengan keuntungan yang besar,
akan tetapi bagaimana kemudian konsep kekadangan, konsep patembayan,
konsep paguyuban, kerukunan ini kemudian tetap bisa terjaga. Namun dalam
Dhakon, memang kemudian satu hal yang menarik adalah bagaimanapun juga,
sak polah tingkahe kita dalam hidup itu kita diharapkan punya turahan dan
punya oleh-olehan. Namun, oleh-olehannya adalah oleh-olehan yang positif,
jangan sampai oleh-olehan tersebut adalah oleh-olehan buah kehidupan yang
justru malah menjadi buah simalakama bagi diri kita. Maka nanti dalam
dolanan Dhakon, memang turahan tadilah yang kemudian bisa mlumpuk di
dalam lumbung yang ada di dalam ceruk-ceruk permainan Dhakon.
7. Dhayoh-dhayohan
Dhayoh-dhayonan itu adalah satu bentuk model ajaran untuk kita bisa ketemu,
jadi gini, prinsipnya kita itu adalah makhluk sosial dan kita tidakk mungkin
hidup secara pribadi tanpa kita punya ketergantungan terhadap orang lain. Oleh
karena itu, di dalam merdhayoh isitilahnya, kita kan tidak mungkin kurang tata
istilahnya. Akan tetapi bagaimana kemudian ajaran moral untuk kita bisa saling
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

249
menghargai, ajaran moral untuk kita bisa menerapkan tata krama, ajaran moral
untuk kita agar mengetahui posisi kita masing-masing, dan sebagainya,
semuanya ada di dalam dolanan Dhayoh-dhayohan.
8. Dhelikan
Dhelikan itu ada yang mengatakan Jungkritan juga, jadi bagaimana kita itu
mampu bersembunyi dan menyembunyikan apa yang menjadi tujuan kita.
Isitlahnya gini, memang di dalam piwulang Jawa itu dan bahkan mungkin di
dalam konsep beragama pun, kita itu kan kalau berdoa itu yang tahu ya hanya
kita dan Sang Kholik pencipta kita. Istilahnya, kita itu tidak perlu umuk dalam
kita mendekatkan diri kita kepada Tuhan, kita tidak perlu pamer, dalam artian,
woo ki lho aku wis saben Jumat neng mesjid misalnya, setiap minggu saya ke
gereja misalnya, enggak. Akan tetapi bagaimana kemudian hubungan kita
dengan Tuhan itu yang tahu adalah kita dengan pencipta kita. Seperti apapun
orang lain akan membaca kita, seperti apapun bentuk ibadah yang kita lakukan,
yang tahu persis tujuan ibadah kita adalah kita dengan pencipta kita.
9. Dhingklik Oglak-aglik
Dhingklik Oglak-aglik itu adalah salah satu bentuk permainan di mana ketika
yang namanya dhingklik itu adalah bisa kokoh ketika dia disangga oleh kaki
yang genap. Ataupun terpaksanya kalau dia disangga dengan kaki yang
ganjil, maka harus ada penopang utama yang menjadi sumber kekuatan dari
penyangga itu. Makanya dalam permainan Dhingklik Oglak-aglik itu tadi,
ketika misalnya kita sendiri yang secara kodrati itu sebenarnya kaki kita dua
kok. Cuma dalam satu permainan, kita diminta hanya satu yang digunakan.
Akan tetapi satu yang digabungkan dengan satuan-satuan yang lainnya
sehingga dalam permainan Dhngklik Oglak-aglik tersebut memang
bagaimana kemudian dalam satu kebersamaan, dalam satu ikatan, segala
sesuatu yang menjadi tujuan bersama itu akan lebih mudah dicapai.
10. Ingkling
Ingkling itu adalah salah satu permainan, kalau tadi Dhingklik Oglak-aglik itu
dilakukan massal, kakiknya saling bergandengan, sementara kalau ingkling
itu kita harus mampu menopang keberadaan diri kita hanya dengan satu kaki
dengan melompat-lompat. Istilahnya apa? Ketika dalam mencapai tujuan kan
sudah ada gambar kotak-kotaknya ta, step by step, kita sekarang sudah
melangkah sampai di mana? Nah, dengan tataran-tataran kehidupan yang ada
kalau misalnya, mulai dari kita lahir, kita belajar mlumah, kita belajar
mengkurep, kita belajar mbrangkang, lalu kemudian kita berjalan, sekolah,
kemudian kita berusaha mencapai apa yang menjadi cita-cita kita, dan sampai
yang terakhir, yang akan memberi cita-cita itu sendiri yang akan mengambil
diri kita misalnya. Nah, di situlah kemudian tahapan-tahapan itu yang
kemudian harus kita ketahui ketika kita menjalani hidup di dunia ini. Jadi,
bagaimanapun juga, tahapan yang ada, melalui kotak-kotak, kemudian
lompatan-lompatan yang dilakukan ketika bermain ingkling sebenarnya
adalah menjadi dasar tumpuan bagaimana kemudian dalam hidup ini memang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

250
kemudian tidak ada sesuatu yang mudah diraih, karena sebenarnya kalau
dengan kaki dua lebih enak kok. Nyatanya melompatnya harus melompat
dengan dua kaki pun harus menghadap ke mana, harus ke mana, dan
sebagainya, agar permainan itu bisa berjalan. Maka, di situlah sandiwara
Tuhan yang akan menuliskan, dalam pemahaman orang Jawa itu, tulising
urip, itu yang kemudian nanti akan bisa dibabar gitu.
11. Gobag Sodor
Gobag sodor itu adalah bermain peluang. Jadi di mana pada saatnya ketika
kita itu tertutup buntet permasalahan karena banyaknya hal yang harus kita
hadapi, maka kita harus jeli dalam membidik peluang, di mana ketika kita
mampu menerobos, ketika kita mampu melihat apa yang sebenarnya ada di
dalam permasalahan ini secara lebih jernih, maka di situlah kita akan
menemukan jalan keluar, agar kita mampu mencapai apa yang menjadi tujuan
kita.
12. Jamuran
Dalam syair tembang jamuran, itu kemudian yang ditanyakan di sana adalah
selalu “Jamur apa?”. Jamur itu ibaratnya dia adalah sebuah tanaman
cendawan yang tumbuh barangkali ketika di musim-musim tertentu, dan
tumbuhnya pun kita juga tidak tahu, dia bisa tumbuh di tanah menjadi jamur
darat, dia bisa tumbuh di jerami menjadi jamur damen, dia bisa tumbuh di
kayu menjadi jamur kuping, menjadi jamur kayu, dan sebagainya. Namun
demikian, esensi dari semuanya adalah bagaimana ketika kita di dalam hidup
ini tidak pernah menyerah, tidak pernah menyerah dalam segala kondisi yang
ada. Karena, jamur itu tidak pernah kok, tumbuh di lahan yang kemudian
misalnya, ini subur banget. Jamur malah tidak tumbuh di sana kok. Tapi, dia
tumbuhnya malah di media-media yang kemudian orang tidak mampu
memperkirakan ketika, o ternyata dia bisa tumbuh di sana ya. Contohnya
kayu, kalau dia belum lapuk, ya di situ jamur tidak akan tumbuh. Setelah dia
rusak, di situlah jamur akan mencoba tumbuh. Padahal, jamur yang
tumbuhnya tidak jelas, spora itu datangnnya dari mana dan sebagainya,
namun induksi dari spora itulah yang kemudian mampu menumbuhkan spirit
hidup, agar kita lebih mengenal hidup, dan kita bisa tahu akan makna
kehidupan.
13. Jaranan Bongkok
Jaranan bongkok itu adalah salah satu bentuk permainan di mana kita diajari
untuk mengenal ketauhidan yang ada. Kenapa seperti itu? Karena yang
namanya jaranan, itu adalah bukan jaran yang sesungguhnya. Maka, namanya
adalah jaranan dan jaran itu sendiri berbeda dengan tulisan jaranan.
Sebagaimana kita mencari keberadaan Tuhan, maka di situlah kita akan
dihadapkan oleh banyak hal. Karena apa? Bagi yang percaya bahwa saya
ketika diibaratkan, kita itu memegang sesuatu, misalnya Tuhan itu seperti apa
dan sebagainya, yang memegang surinya kuda, dia akan percaya bahwasanya
kuda itu adalah selembut rambut, namun bagi yang memegang perutnya,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

251
maka dia akan mengatakan Tuhan itu seperti tembok akan tetapi dia ada
bulunya (punya kelembutan), yang memegang kaki mengetakan Tuhan itu
hanya segedhe lengan kok, tapi ada bulunya. Padahal itu semua adalah bukan
Tuhan. Tuhan adalah kesatuan dari semuanya. Kalau orang Jawa bilang, tan
kena kinayangapa sehingga dalam Jaranan Bongkok itu tadi, memang selain
kita diajarkan untuk memanfaatkan sesuatu yang sudah tidak terpakai
istilahnya, karena bongkok tadi setelah dipakai untuk jaranan yen wis jeleh ya
isa diobong misalnya, untuk bahan bakar misalnya. Akan tetapi, melalui
Jaranan Bongkok tadi, memang kemudian kita diharapkan bisa tahu, ternyata
ada suatu penyangga yang kemudian mampu menopang kehidupan. Karena
bongkok itu sendiri menjadi topangan dari tumbuhnya janur, di mana nur
adalah cahaya kehidupan, kembali lagi pada konsep sang urip dalam
pemahaman budaya itu tadi.
14. Jirak
Jirak itu adalah salah satu juga permainan ketangkasan, permainan bidikan
sehingga hampir sama dengan benthik. Namun, memang kemudian Jirak itu,
di sana ada peluang, ada banyak pilihan, tergantung kita akan memillih mana.
Kalau kita membidik perut ya maka nanti dapatnya kita adalah sesuatu yang
terkait dengan perut. Kalau kita mendapat bidikan di kepala, maka segala
sesuatu dari depan sampai belakang, itu nanti akan bisa kita raih. Karena apa?
Dengan kematangan konsep, dengan kemudian kita sadar, kalau misalnya,
segala konsep pemikiran itu akan bisa membuahkan hasil, manakala
dilembari dengan keteguhan hati dan juga kebeningan cipta, yang kemudian
mampu menghasilkan buah karya yang bermanfaat bagi diri kita dan bagi
orang lain.
15. Keris Janur
Janur dalam pandangan budaya Jawa adalah konsep nur. Makanya, kenapa
setiap kali upacara temanten itu tidak pernah lepas dari yang namanya janur.
Karena, di dalam janur, konsep nur, konsep cahaya, itu adalah menjadi salah
satu penanda, bahwasannya masih ada hidup. Kalau sudah tidak ada hidup,
maka nur itu akan hilang. Apalagi, namanya adalah Keris Janur. Keris itu
adalah kekeran ingkang aris, bagaimana kemudian, kita punya pegangan
hidup yang dilandasi dengan cahaya kehidupan itu sendiri. Maka dengan
demikian, sebenarnya dari kecil itu kita sudah diajari bermain untuk sinau
urip dan agar kita mampu mencapai apa yang menjadi tujuan dari hidup itu
sendiri melalui cahaya yang ada pada setiap pribadi kita. Dengan sadar akan
cahaya hidup yang ada, dengan sadar akan cahyaning panguripan, maka kita
diharapkan di sana kita juga sadar, bagaimana kita harus mengetahui apa
yang kita sembah, ke mana kita manembah, dan siapa yang kita buat
manembah itu, tidak lain adalah Tuhan Yang Maha Esa.
16. Kitiran Godhong Tela
Kitiran Godhong Tela itu adalah konsep pasaran. Jadi secara jumlah daun
kalau dipertemukan dengan konsep penanggalan Jawa, yang konsep
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

252
penanggalan Jawa itu sebenarnya adalah konsep panca suda, pahing, pon,
wage, kliwon, legi. Nah, di mana dalam kitiran itu kan selalu munyer sebagai
sebuah siklus. Nah, demikian juga dengan panca suda tadi, hitungan hari
dalam pasaran Jawa. Kalau sekarang kita mengenal, bagaimana kemudian
melalui pasaran itulah, dulu segi-segi kehidupan ini berjalan. Contohnya
barangkali sekarang, kita masih bisa melihat kalau misalnya terkait dengan
konsep perekonomian, o pahing kuwi pasarane Prambanan, legi pasarane
pasar Jangkang, di mana di situlah kemudian secara tidak langsung, misalnya
pasar-pasar rakyat istilahnya ini nanti akan selalu bergulir secara
perekonomian. Secara pemahaman yang lain, Kitiran Godhong Tela
sebenarnya bisa dibaca sebagai satu pandangan konsep kehidupan ketuhanan.
Karena kenapa? Pahing misalnya, pahing itu warnanya merah. Kenapa
berwarna merah? Karena dia posisinya di selatan. Kenapa di selatan? Karena
di sanalah kemudian tempat munculnya energi yang berwarna merah. Kenapa
kemudian di selatan lagi? Karena di selatanlah segala gelombang itu muncul.
Kenapa tidak di utara? Karena utara adalah bagiannya wage. Kenapa tidak di
barat? Barat sudah bagiannya legi. Kenapa tidak di tengah? Tengah adalah
bagiannya kliwon sehingga apa? Kita itu diharapkan tidak perlu njarah rayah
darbe ing liyan. Akan tetapi, bagaimana kemudian apa potensi yang ada di
dalam diri kita ketika kita kembangkan dan kita bisa selaras mengikuti
dengan perkembangan jaman yang ada, kita akan mampu memaknai dan
memakai itu sebagai satu pijakan hidup di dalam bermasyarakat.
17. Kitiran Janur
Kembali seperti di depan bahwasannya janur itu adalah nur, cahaya
kehidupan, di mana cahaya kehidupan itu sebenarnya adalah bersifat abadi,
yang berputar itu adalah sosok diri kita. Kita itu tidak mungkin tidak berputar
selama kita itu sendiri masih menjalani proses hidup itu sendiri. Karena kan
dari kita belum ada, sampai kemudian kita kembali ke haribaanNya misalnya,
dari kita tidak ada, kita ada, kemudian kita menjadi tidak ada istilahnya kalau
dalam pemahaman budaya Jawa, mula-mulane tan ana, wujud ana, bali
marang orang ana, seka suwung bali ing alam suwung misalnya. Nah, dari
sanalah kemudian nur ini akan berperan. Bagaimana kemudian nur yang
selalu berputar dan mengitari kehidupan kita, itulah yang akan memberikan
tuntunan kepada diri kita, selama kemudian kita sendiri mampu mendekati
dengan sang nur ilahi.
18. Kucing-kucingan
Kucing-kucingan itu salah satu tembangnya adalah yo mbuwang kucing
gering, elingku, seperti itu. Nah, kenapa kucing yang gering ini harus
dibuang? Sebagaimana kalau misalnya, di masyarakat itu ada sesuatu yang
menjadi istilahnya kalau sekarang mungkin yang lebih akrab istilahnya pekat
atau penyakit masyarakat. Kenapa itu harus dibuang? Karena selama pekat itu
nantinya akan mendominasi, maka di sana nanti akan menciptakan suasana
yang disharmoni sehingga dibuangnya kucing ini sebenarnya adalah lambang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

253
dibuangnya suatu energi negatif, suatu tingkah laku negatif yang diharapkan
kemudian mampu memunculkan suasana harmonis sebagaimana yang
menjadi dambaan hampir di semua tatanan kehidupan berbangsa dan
bernegara.
19. Kupluk Godhong
Dalam Kupluk Godhong itu, kita itu sebenarnya diajari ngronce, ngronce
reroncening urip. Karena apa? Kalau kita ngronce, jadi, dari sesuatu yang
berserakan, dironce itu kan tadinya pasti nggak ngumpul ta Mas, godhong
nangka sendiri kan nggak mungkin kita kemudian menek ngethok wite kan
enggak, akan tetapi adalah dari daun-daun yang berserakan. Demikian juga
dengan segala sesuatu yang ada ini kan terntunya bermula dari ceceran-
ceceran yang kemudian kalau kita itu mampu negsuhi, kalau kemudia kita itu
mampu mewadahi segala sesuatu, unsur yang bermanfaat bagi diri kita,
tentunya, itu nanti akan menjadi mahkota yang melekat pada diri kita. Karena
kan setelah direnteng, istilahnya, kupluk ini nanti kan akan dipakai kan. Nah,
kenapa kemudian dipakai? Karena kupluk godhong inilah sebenarnya dari
tebaran-tebaran sesuatu yang tidak berguna dan tebaran-tebaran yang kita
sendiri tidak pernah tahu, kenapa misalnya kita ditebar di bumi Jawa, kita
nggak pernah tahu, yang tahu itu ya misterinya Sang Pencipta. Nah, dari
tebaran yang ada itulah kemudian kita diharapkan tahu kenapa kok kowe tak
tebar neng kene, misalnya, dan kenapa kemudian dari tebaran itu kita pilih
yang kita sendiri tidak bisa selak istilahnya, yen umpama kita itu bisa
memilih, ya milih dadi anak presiden ket mbiyen. Tapi kan kita nggak bisa
memilih, di manapun, kita tidak bisa memilih itu, dan yang tahu adalah
bagaimana kemudian tebaran-tebaran yang ada itu kita rangkai agar kemudian
mampu menghasilkan sesuatu yang bermanfaat dan berdayaguna bagi diri
kita, syukur bagi kemudian bisa menjadi sesuatu yang bermanfaat untuk
masyarakat yang lebih luas lagi.
20. Layangan
Kita diajak untuk mengenal suratan, karena layang itu kan surat ta. Nah,
bagaimana layang atau surat yang kita terbangkan dan kita tauti benang
secara fisik, bagaimana kemudian pengendalian diri, agar kemudian kita
sendiri mampu nggegana, istilahnya kalau mbah-mbah kita dulu menyimak
layangan itu bagaimana kemudian siklus kehidupan ulat, bagaimana
kemudian dia menjadi ulat, bagaimana ketika bertapa menjadi kempompong,
dan bagaimana ketika terbang menjadi kupu gajah, maka namanya adalah
basupa, basupu, dan basunada. Jadi, ketika lelayangan dan layangan ini tadi
terbang, maka di sanalah kita harus mampu mengendalikan, jangan sampai
layang-layang itu menjadi sesuatu yang liar. Jadi jangan sampai istilahnya,
kemudian ketika kita diberikan kelebihan itu sendiri, kita menjadi lupa,
kemudian kita sendiri menjadi melupakan apa yang telah diberikan olehNya
yang telah memberikan kelebihan kepada diri kita, namun dengan senantiasa
tertambat pada benang kehidupan yang dikendalikan, jadi istilahnya melalui
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

254
dolanan layangan itu sebenarnya, kita selain paham dengan diri kita, kita juga
paham dengan yang menitahkan diri kita, karena di sanalah tambatan benang
kehidupan yang ada. Yen wis benange iki dikethok, layangane ya pedhot. Dia
juga akan menjadi ngoleng-ngoleng sak karepe dhewe dan akhirnya nyiruk
dan jatuh. Makanya kan agar senantiasa kita eling pada benang kehidupan ya
kita harus senantiasa mendekatkan diri. Istilahnya, dalam lagunya Ebiet G.
Ade itu sebenarnya mirip dengan filsafat layang-layang, filosofi layang-
layang. Ketika kita dekat, ya kita akan menjadi dekat, ketika jauh, ya maka
energi kehidupan dan talining urip itu tadi juga akan menjadi jauh. Maka,
Engkau dekat, aku dekat, Engkau jauh, aku pun akan menjadi jauh, misalnya
semacam itu. Jadi bagaimana kemudian layangan ini kan semakin jauh dari
benang, untuk dikendalikannya pun juga akan menjadi berproses. Maka, dari
dolanan Layangan ini kan yang diharapkan adalah kita senantiasa bisa
tertambat pada satu tujuan apapun dan bagaimanapun juga keadaannya, kita
jangan sampai lupa pada yang mengendalikan kita, yaitu Tuhan Yang Maha
Esa.
21. Macanan
Macanan ini caplok-caplokan. Jadi, dalam dolanan macanan itu sebenarnya
adalah sama seperti tadi, kejelian melihat peluang. Jadi, bagaimana dalam
satu bentuk bangunan segitiga yang digambar di tanah biasanya untuk
permainan macanan. Yen ora neng tanah kalau dulu biasanya masih banyak
kapur tulis ya kalau pas masih sekolah itu ya di lantai sekolah karena dulu
belum dari keramik sehingga bisa digambari sehingga dari dolanan Macanan
tadi memang kita diajari untuk itu tadi, jeli melihat peluang. Peluang dalam
hal apapun. Namun demikian kan harapannya adalah peluang-peluang
positiflah yang muncul sehingga mampu menghadirkan sesuatu yang bersifat
positif tanpa harus kita membunuh lawan kita. Tapi isitilahnya bagaimana
kita bisa menang tanpa ngasorake dan bisa dedaya tanpa aji. Konsepnya
adalah melalui sumarah pada kersaning Pangeran dengan jeli melihat peluang
yang ada.
22. Plintheng
Plintheng itu adalah melesatkan satu bidikan. Di sana ada yang membidik dan
ada yang dibidik, yang dibidik adalah sesuatu yang kita inginkan dan yang
membidik adalah diri kita, termasuk bidikan itu nanti akan tepat sasaran
ataukah menjadi tidak tepat sasaran, yang tahu juga adalah kita. Bidikan itu
dikatakan tepat sasaran manakala kita mengincar segala sesuatu, misalnya
yang mlintheng itu bisa mlintheng woh-wohan, tetapi juga bisa mlintheng
kehidupan yang lain, misalnya mlintheng manuk emprit atau bajing, tapi
kalau itu dilakukan berarti sebenarnya dalam membidik itu jangan sampai,
plinthengan itu sendiri kan sebenarnya konsep ketangkasan, bagaimana kita
bisa membidik sesuatu dengan tepat. Namun demikian, di sana juga ada
sesuatu yang kita sendiri sebenarnya kalau itu sesuatu yang tidak perlu
diplintheng ngapa ndadak diplintheng. Kalau misalnya ptlintheng itu harus
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

255
juga membidik kehidupan yang lain. Namun, kalau memang itu harus
dilakukan demi tujuan yang lebih baik lagi, ya kenapa tidak dijalankan.
Karena memang, konsep korban itu memang ada, baik dalam piwulang
agama apapun misalnya, kemudian konsep persembahan itu memang ada.
Misalnya, kalau dalan ajaran agama bumi, persembahan itu dalam konsep
sesaji, yang segala sesuatunya itu ketika alam itu kita ambil, kita eksploitasi
hasilnya, maka kita juga wajib mengembalikan apa yang kita ambil daripada
alam, dan dalam ajaran samawi, bagaimana konsep persembahan itu tadi
kemudian ada dalam berbagai macam ragam, baik itu sifatnya sodaqoh yang
berwujud minta uang atau apapun misalnya, lalu dalam sisi yang lainnya,
barangkali kalau orang Jawa bilang, sak dhuwur-dhuwure, sak rosa-rosane
pager tembok iku tetep luwih rosa pager mangkok. Itulah keutamaan dan
kelebihan dari konsep sedekah yang ada. Jadi bagaimana kemudian satu
wujud persembahan, satu bentuk pengorbanan itu tentu akan ada satu tujuan
yang lebih mulia dari itu. Akan tetapi, jangan sampai kemudian korban
tersebut dikorbankan secara sia-sia hanya untuk kepentingan dan kemenangan
pribadi kita.
23. Pong-pong Bolong
Pong-pong Bolong itu tujuan kehidupan itu harus kita miliki. Jangan sampai
istilahnya, wah wis bocah mung pong-pong bolong. Kenapa dikatakan Pong-
pong Bolong? Ketika, satu, kita tidak punya prinsip, ketika kita tidak punya
tujuan itulah, maka bisa dikatakan dia menjadi bawang kothong ataupun
pong-pong bolong. Kelihatannya di luar megah misalnya, akan tetapi pada
sejatinya, yang di dalam sudah hilang. Itulah kalau dikatakan barangkali
tampilan luarnya semegah menara gading, akan tetapi di dalamnya kopong
sebagaimana isinya bumbung yang kopong. Kenapa bisa seperti itu? Karena
ketika prinsip itu tidak dipegang, ketika kemudian tujuan hidup ini tidak
ditata dengan sebaik-baiknya, maka di sanalah akan membuat tatanan
harmoni kehidupan ini menjadi kurang sempurna.
24. Sliring Gendhing
Dalam dolanan Sliring Gendhing itu memang kemudian ada sesuatu yang
menarik, yang menarik di sana tentang roda kehidupan bahwasannya kita itu
memang kemudian diminta mengetahui siklus kehidupan kita. Dengan
mengetahui siklus, akhirnya kita bisa tahu bahwasannya urip itu selalu nyakra
manggilingan kalau orang Jawa bilang. Jadi, roda itu ya kadang ada di atas,
kadang ada di bawah, kadang ada di samping, dan sebagainya, menunjukkan
bahwasannya, segala sesuatu itu tidak ada yang abadi. Karena apa?
Perputaran kehidupan itu sendiri, sebenarnya kalau kita boleh memilih ya kita
itu pinginnya itu ya neng ndhuwur terus, tapi nek kesuwen neng ndhuwur
yang dadi singunen. Oleh karena itu memang kemudian perputaran roda ini
senantiasa kalau kita bisa tahu ya kita ketahui, namun demikian baiknya
setelah kita tahu kemudian kita bisa menata dan kita bisa mengantisipasi. Yen
lagi neng ndhuwur, ya aja kumingsun, yen lagi neng ngisor ya aja bengok-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

256
bengok sambat ngaruwara istilahnya, agar kemudian ya memang alame lagi
kaya ngono kok istilahnya. Kenapa kita harus mengingkari hidup itu sendiri.
Kalau sudah demikian, maka kan yang ada adalah bagaimana kita itu tetap
bisa menghadapi segala sesuatu itu dengan tenang, tanpa kita merasa gugup,
agar sliringing gendhing itu tadi tidak mengganggu harmoni kehidupan yang
ada.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

257
DATA PERCAKAPAN ETNOGRAFIS JENIS DAN STRAGEGI
PRESERVASI PERMAINAN ANAK TRADISIONAL
(PE: Percakapan Etnografis, JP: Jenis Permainan, SP: Strategi Presevasi)
Narasumber 1
Nama : Andhi Wisnu Wicaksono
Usia : 43 tahun
Pekerjaan : Wartawan dan Produser Acara Budaya Jogja TV
Wawancara 1
T1: Nilai-nilai karakter apa sajakah yang terkandung di dalam permainan anak
tradisional? Bagaimana penjelasan dari masing-masing nilai karakter
tersebut?
J1: (1) Menurut saya, yang jelas nilai utamanya adalah kerja sama. Karena
permainan anak tradisional itu tidak mungkin dilakukan sendirian. Jadi
mau bermain ancak-ancak alis, bentengan, jamuran, dan sebagainya itu
kan tidak bisa dilakukan oleh satu orang saja. Kalau sekarang kan dengan
gawai, anak-anak kita lebih akrab yang hanya uthak-uthik jari. Kalau
permainan ini kan kita bisa belajar bagaimana kita srawung (bergaul), jadi
kalau tidak bertemu atau bergaul yang tidak mungkin bisa bermain
sehingga belajar bersosialisasi juga sudah diajarkan sejak dini.
Pembelajaran itu tidak dikemas dengan pembelajaran formal, namun
pertemuan yang benar-benar anak-anak, sekalipun harus diawali dengan
pertandingan, namun akhirnya kita kenal. Kita tahu siapa dia dan
sebagainya. Meskipun kalau sekarang kita lihat, kemudian juga nilai-nilai
dalam permainan anak tradisional yang di sekolah sudah tidak diajarkan
dan di masyarakat sendiri juga sudah tidak diterapkan karena berbagai hal,
semakin sempitnya tempat untuk bermain itu juga dapat menyebabkan
nilai-nilai dalam permainan anak tradisional tidak bisa diterapkan karena
keadaan. Fasillitas untuk bermain pun semakin sedikit, masih beruntung
anak-anak yang masih tinggal di desa masih ada tempat untuk bernaung.
Namun, jika sudah tidak memiliki tempat, maka sejak kecil mereka sudah
tidak punya kepedulian kepada lingkungannya, namun yang ada adalah
kepedulian kepada dirinya sendiri. Lunturnya nilai itu juga bukan mutlak
salahnya anak, namun juga karena nilai kebersamaan itu sering dikoyak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

258
oleh tuntutan pembelajaran formal, maka akan semakin sulit untuk
bermain bersama. Padahal kalau kita sudah kuliah atau aktif di dunia kerja
misalnya, kita tetap dituntut agar kita bisa membuat jejaring. Nah, kalau
sejak kecil saja kita sudah tidak dibiasakan membuat jejaring dan peka,
maka nanti yang akan terjadi adalah semua asyik dengan dirinya sendiri.
Sudah tidak berpikir tentang kebersamaan, namun hanya berpikir tentang
yang terbaik untuk dirinya sendiri, karena sejak kecil sudah tidak
diarahkan untuk bermain bersama-sama, tapi justru bermain yang bersifat
pribadi. Individualistis, semacam itu. Selain itu ada kegotong royongan,
saling menghargai, kejujuran, sportifitas, kerja sama karena sejak kecil
sudah dilakukan dalam permainan itu, lalu toleransi karena anak belajar
untuk tidak menguculkan temannya. Mengapa toleransi ada, karena ada
nilai kegotong royongan, saling menghargai, kejujuran, sportifitas, dan
kerja sama. Jadi, semuanya memang saling terkait. Selanjutnya, ada
kerendahan hati karena anak belajar untuk tidak menyombongkan diri.
Jika anak melanggar nilai-nilai tersebut, yang ada adalah permainan tidak
akan jadi.
T2: Apa salah satu nilai karakter yang menonjol dari setiap permainan yang
Anda ketahui dari daftar ini? Mengapa?
J2: (2) Menurut saya nilai karakter yang paling menonjol dari semua
permainan itu pada umumnya adalah kerja sama. Hampir semuanya.
Ceplokan atau bedhilan ini nilai yang paling dominan adalah lebih
mengarah pada keterampilan tangan karena anak harus dapat membuat
mainan yang dapat berfungsi dengan baik. Sliring gendhing ini kerja sama
karena anak harus bekerja sama agar tidak jatuh. Plintheng juga sama
dengan ceplokan. Mul-mulan ini lebih ke arah sportivitas karena menuntut
kejujuran untuk menerima konsekuensi kalah-menang. Mercon bumbung
memiliki unsur rela berkorban yang utama karena resikonya lebih besar
dari pada permainan yang lain. Macanan/dam-daman ini juga sportivitas.
Layangan ini keterampilan tangan. Irah-irahan ini lebih ke keterampilan.
Kucing-kucingan ini kerja sama. Bekelan itu spotivitas karena kalau ada
yang curang gitu permainannya tidak jadi. Dhakon itu lebih ke kecerdasan.
Dhelikan itu sportivitas. Dhingklik oglak-aglik itu kerja sama. Dhuk Ther
ini keterampilan tubuh karena harus dapat memasukkan biji ke lubang
dengan benar. Ingklik juga keterampilan tubuh karena harus dapat
melompat dengan tepat tanpa terjatuh. Gobag sodor ini kerja sama.
Jamuran kerja sama. Jaranan bongkok itu keterampilan tangan. Jirak ini
sportivitas. Kasti kerja sama. Lalu, keris janur, kitiran godhong tela,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

259
kitiran janur itu keterampilan tangan. Dah, yang lainnya itu lebih banyak
ke arah kerja sama.
T3: Adakah keterkaitan antara nama permainan dengan nilai karakter yang
menonjol? Kalau ada, bagaimana kaitannya?
J3: (3) Sebenarnya tidak mesti. Karena gini, contohnya seperti bentengan.
Bentengan itu kan mesti ada satu wilayah tertentu. Padahal yang namanya
benteng itu sendiri kan tembok, dan permainan itu tidak mesti dimainkan
dengan tembok yang sebenarnya. Bisa juga dengan menggunakan pohon
sebagai representasi dari tembok atau benteng misalnya. Nah itu sudah
bisa jadi permainan bentengan. Namun demikian juga, seperti benthik, ya
wujudnya harus dibenthikkan beneran untuk bisa menjadi suatu
permainan. Jadi memang tidak mesti antara suatu nama dengan pola
permainan yang dilakukan itu kemudian juga nyambung. Contohnya juga
seperti boi-boinan. Kata Jawa dari boi itu kan sebenarnya tidak ada, tapi
kenapa kata-kata itu muncul. Ini kan juga merupakan suatu hal yang
menarik. Terus seperti plintheng misalnya. Ya karena unsur keterampilan
yang ada di sana ada suatu kerja aktif, misalnya ketika belajar mlintheng,
nah itu kan jelas masih ada keterkaitan. Namun demikian juga memang
permainan itu yang kadang nyambung, kadang juga tidak. Tembang yang
ditembangkan dengan jenis permianan yang dilakukan. Seperti jamuran,
jelas dari namanya dengan tembangnya juga nyambung. Bahkan kalau
mengutip pendapatnya Alm. Damarjati, gobag sodor itu konon merupakan
permainan serapan yang berasal dari Belanda. Nama aslinya adalah go
back through the door. Dari situlah, kemudian oleh orang Jawa karena
kesulitan mengucapkannya, lalu menjadi gobag sodor. Jadi bagaimana
kemudian permainan dari satu pintu ke pintu yang lain itu bisa dilakukan.
Jadi kalau misalnya kita simpulkan apakah semuanya pasti nyambung dan
sebagainya. Dari sisi permainannya, beberapa di antaranya itu ada yang
dilakukan murni sebagai disiplin dan sportivitas, seperti kasti. Jadi, selain
sisi kerja sama, kasti itu juga yang menarik adalah sisi keterampilan ada di
sana. Karena resikonya, jika kita ambil dari sisi aktivitasnya, bola kasti itu
jika menangkap kalau tidak benar lalu mengenai dada ya bisa fatal
akibatnya, sehingga permainan itu ada suatu hal yang menjadi konsekuensi
yang menjadi resiko dari permainan, namun juga muncul nilai lain yang
ikut mewarnai setiap permainan. Itu kalau kita lihat dari pola permainan
yang ada di tempat kita. Kiranya memang semua nilai karakter dapat
mewarnai. Namun, kalau kemudian diambili satu-satu yang paling
dominan dan sebagainya, menurut saya memang semuanya ini yang paling
menonjol adalah dari sisi kerja sama. Karena tanpa unsur kerja sama ya itu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

260
nanti tidak akan jadi. Misalnya, ingkling, ya kalau tidak mau kerja sama,
yang satu macet tidak mau bermain, ya tidak akan jadi permainan atau
tidak jalan. Walaupun, untuk ingkling itu sendiri dibutuhkan keterampilan.
Misalnya, berdiri dengan satu kaki, melompat-lompat begitu, kalau tidak
terampil ya tidak akan dapat melakukannya. Kalau permainan yang tidak
terlalu membutuhkan kebersamaan untuk dimainkan itu, lebih mengarah
dari sisi keterampilan dan kecerdasannya. Karena kalau misalnya dari sisi
kompetitif, jika dilakukan oleh dua orang, kalau hanya berduel yang tidak
kompetitif. Karena hanya dilakukan jika tidak menang ya kalah. Kalau
kompetitif itu ya misalnya permainan itu dilakukan lebih dari tiga orang.
Misalnya, jirak itu lebih menonjolkan nilai kompetitif, karena anak-anak
itu berlatih untuk berjuang meraih suatu pencapaian dengan tingkat hasil
yang berbeda-beda sesuai dengan usahanya. Masing-masing harus
berjuang dengan hasil yang lebih terbuka sehingga tidak terbatas pada soal
kalah-menang. Layangan itu pun dapat memilliki nilai keterampilan
tangan, tubuh, dan kompetitif, tergantung pada aktivitasnya. Ketika
membuat, nilai keterampilan tanganlah yang muncul, ketika diterbangkan,
nilai keterampilan tubuh juga muncul, dan ketika ditandingkan, nilai
kompetitif pun muncul, karena siapa yang berhasil memutus tali, dia
berhak memperoleh layangan yang putus itu. Namun, layangan itu kan
juga diambil sisi keindahan dan suaranya, maka di sana yang terlihat
adalah nilai keterampilan tangan. Anak dapat membuat layangan sesuai
dengan selera dan tingkat keindahan yang diinginkannya. Keterampilan
pun bisa berbeda-beda dalam permainan, yaitu keterampilan tangan dan
tubuh tadi. Perbedaan itu berdasar pada sisi manakah yang sedang
dipergunakan. Kalau membuat itu kan berarti menggunakan tangan yang
bersumber dari pengetahuan dan kreativitas anak. Kalau memainkan itu
berarti menggunakan kaki, tangan juga, dan sebagainya yang
menunjukkan ketepatan, kekuatan, dan kecepatannya. Misalnya, dhingklik
oglak-aglik itu kan yang diutamakan kerja sama dan keterampilan, karena
selain dimainkan bersama-sama, juga harus dilakukan dengan kekuatan,
ketepatan, dan keseimbangan tubuh. Lalu, ada permainan yang benar-
benar mengajarkan kita tentang nilai kecerdasan, misalnya dhakon.
Dhakon itu kan bagaimanapun juga, kita diajak untuk berpikir, berhitung,
supaya bisa punya sisa atau keuntungan. Supaya bisa terkumpul sekian.
Apalagi jika kita kaitkan dengan prinsip ekonomi Jawa, ada pepatah “lebih
kaya saudara, untung sedikit tidak apa-apa”. Itu adalah suatu prinsip
ekonomi yang mengajarkan daya saing perekonomian Jawa yang sehat.
Hal itu sangat berbeda dengan prinsip ekonomi kapitalisme, yang saling
membunuh sehingga sudah tidak lagi sehat. Zaman sekarang ini standart
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

261
dan pola pikirnya sudah berbeda, yaitu sudah bukan kamu bisa apa, namun
kamu punya apa. Maka dari itu, permainan tradisional seperti ini, t idak ada
kok endingnya yang berorientasi pada materi, namun pada nilai-nilai
karakter itu sendiri. Permainan-permainan ini mendorong anak untuk lebih
mencari nilai dalam hidup dari pada sekadar suatu pencapaian tertentu.
Missalnya, dhayoh-dhayohan. Unsur yang pertama kali dikenalkan kepada
kita melalui permainan ini adalah komunikasi, agar kita dibiasakan sejak
kecil untuk dapat merdhayoh. Karena merdhayoh pun sebenarnya kan
tidak sekadar bermain, karena ada unsur bagaimana kita memperkenalkan
diri, bagaimana cara kita menerima tamu, bagaimana sikap kita ketika
menyampaikan salam, bagaimana saya menjawab salam, dan bagaimana
menyajikan hidangan. Permainan layangan itu, kalau kita lihat dari sisi
keterampilan tangan, menghaluskan bambu itu juga harus mampu
bagaimana bisa tebal tengah, tipis pucuk. Itu mengajarkan proses untuk
mengasah keterampilan. Permainan jamuran itu juga mengajarkan
berbagai nilai, selain kerja sama, yaitu keterampilan olah vokal, karena
kita diajak nembang. Aktivitas nembang itu mengajak kita untuk bekerja
sama membuat harmoni, tidak mbengok sak bantere. Padahal, konsep
harmoni inilah yang sebenarnya kita sudah kehilangan. Karena
kebanyakan orang kita sekarang ini kepingin yang menjadi “paling vokal”.
Semua ingin berteriak, semua merasa pintar, namun tidak ada yang bisa
rumangsa. Ketika seperti itu, anak mau tidak mau belajar untuk bernyanyi.
Orang bisa memiliki kemampuan ini itu dan tahu tata cara bertindak yang
benar karena pernah bermain permainan-permainan ini. Permainan-
permainan itu selalu dilandasi atau didasari oleh nilai-nilai karakter,
karena tanpa itu semua, permainan tidak akan dapat dilakukan. Satu anak
saja yang melanggar salah satu nilai itu, maka permainan tidak akan
berjalan dan bahkan dicing temannya. Semua itu tanpa disadari secara
otomatis sudah mengasah budi, rasa, dan kejiwaan. Bagaimana untuk
selalu peka terhadap lingkungan di sekitar kita. Bentengan itu pun
sebenarnya mengajarkan kita tentang mempertahakan daerah kekuasaan
kita. Bagaimana nasionalisme itu dibangun. Jadi semua bentuk pendidikan
yang dibangun dari nenek moyang kita itu dikemas melalui permainan-
permainan semacam ini.
T4: Apakah Anda setuju bahwa permainan anak tradisional terbagi dalam
golongan permainan dengan nyanyian atau dialog, permainan asah fisik,
permainan asah otak, dan permainan keterampilan tangan?
J4: (4) Saya sangat setuju. Ya memang itu. Pembagiannya memang itu. Jadi,
rombongan asah fisik itu yang seperti bentengan dan kawan-kawannya itu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

262
Dan juga asah otak dan lain-lain ini yang memang terbagi empat itu.
Sebagai pokoknya memang itu. Kalau digolongkan secara garis besar yang
empat itu.
T5: Bagaimanakah strategi preservasi (pelestarian) permainan anak tradisional
yang mengandung nilai-nilai karakter?
J5: (5) Salah satu di antaranya, yang pokok itu adalah penyediaan fasilitas
publik. Fasilitas publik itu mutlak harus disediakan. Lalu yang berikutnya
adalah kemauan dari orang tua juga keluarga untuk memberi kebebasan
kepada anak, karena kebanyakan orang tua sekarang sering memarahi atau
melarang anaknya untuk bermain agar waktu dapat sepenuhnya digunakan
hanya untuk belajar. Habis belajar tidur. Jadi, kebiasaan anak itu ya
membuat anak hanya menjadi semacam objek yang dia sendiri sampai
seolah tidak kenal dengan dirinya. Mengapa, karena kebanyakan orang tua
sudah tidak peduli dengan bagaimana mengajarkan anak supaya mengerti
kebudayaan mereka sendiri. Namun, mereka akan lebih rela jika anak
mereka pintar pelajaran karena nilai yang menjadi orientasi bukan lagi
nilai kebudayaan atau kepribadian, tapi nilai materi. Jadi, semua diukur
dengan materi, walaupun materi memang diperlukan, namun jika tidak
dilandasi dengan nilai-nilai itu sehingga orang zaman sekarang
kebanyakan memiliki kecenderungan untuk asal dalam mengatasi masalah.
Itu semua karena kita sudah tercabut dari akar budaya kita. Jadi, jika anak
sekarang masih bisa berbicara dengan tata krama yang baik dan lengkap,
tidak mungkin anak suka berkelahi. Misalnya, ketika di rumah dibiasakan
dan terbiasa bertata krama, dia di luar juga tidak akan sembarangan.
Generasi kita sekarang bisa dianggap membahayakan, mengapa, karena
ada gesekan antara budaya, tuntutan teknologi, dan religi itu sekarang
benar-benar dibenturkan. Seperti gawai, dia bisa menjadi pisau bermata
dua. Di satu sisi jika dimanfaatkan dengan bijaksana akan sangat berguna,
namun di sisi lain begitu lepas dari pengawasan orang tua, sisi negatif dari
gawai pun bisa mempengaruhi kehidupan anak. Nah, baiknya dalam
permainan tradisional anak, orang tua pasti bisa memantau, bahkan orang
lain di lain tempat pun secara otomatis memantau si anak. Woo, itu
anaknya siapa dan lain sebagainya sehingga jika seandainya kita
menyimpang, bukan hanya orang tua sendiri yang bertanggung jawab,
namun ada orang lain yang bisa terlibat. Pak, anak Bapak tadi begini lho
Pak. Lha kalau sekarang anak dibentak guru saja sudah tidak boleh, ya
bagaimana mereka tahu benar atau salah. Maka, anak sekarang sangat
rentan dengan kurangnya pendidikan karakter dan sekolah itu dianggap
sebagai sekadar memenuhi kewajiban. Sekarang itu anak dituntut untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

263
harus pintar, berprestasi, dan bisa mengalahkan teman-temanmu. Nah,
ketika semangat persaingan sudah dibangun sejak kecil, maka yang terjadi
sekarang adalah konflik. Orang kebanyakan memiliki kecenderungan
untuk berkonflik. Jadi, anak sudah tidak diberikan kesempatan untuk
menoleh ke kanan dan ke kiri dalam arti untuk menemukan nilai-nilai
yang luhur, padahal itu sangatlah perlu. Kalau saya kaitkan dengan zaman
sekarang ini, kita juga dapat memanfaatkan media yang ada karena
permainan itu kan ada media bahasa yang digunakan. Tata cara mengajar
bahasa Jawa atau pembelajaran di sekolah pun perlu direformasi.
Direformasi sesuai dengan kebutuhan anak. Kalau kaitannya dengan
zaman sekarang, orang perlu membuat animasi. Toh animator Indonesia
itu juga ampuh-ampuh, namun malah tidak laku di negaranya sendiri,
malah laku di luar negeri. Animasi itu dapat dikemas dengan cerita atau
film, lalu ada suatu petunjuk-petunjuk film yang berupa pengenalan aksara
Jawa yang diperbandingkan artinya dengan bahasa Indonesia, Inggris, agar
anak dapat sekaligus dikenalkan dengan istilah-istilah di dalam permainan.
Jika aspek-aspek kebahasaan itu tidak dikenalkan di era sekarang ini,
maka bahasa itu tidak akan bisa dikonsumsi oleh masyarakat dan mereka
akan kehilangan pengetahuan atau informasi itu. Orang tua juga punya
peran penting untuk ikut mengenalkan istilah-istilah yang ada, karena jika
tidak ya akan hilang begitu saja. Memang tuntutan beratnya adalah
bagaimana menggiring generasi muda untuk kembali pada akar budaya.
Narasumber 2
Nama : Sri Kuncara
Usia : 56 tahun
Pekerjaan : Pamong Balai Budaya Yogyakarta
Wawancara 2
T1: Nilai-nilai karakter apa sajakah yang terkandung di dalam permainan anak
tradisional? Bagaimana penjelasan dari masing-masing nilai karakter
tersebut?
J1: (6) Permainan anak tradisional itu mengandung nilai keterampilan tangan
karena melibatkan koordinasi sistem syaraf motorik. Contohnya plintheng
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

264
karena itu kan seperti panahan sehingga membutuhkan konsentrasi dan
koordinasi sistem syaraf motorik tubuh. Plintheng itu lebih mengarah pada
permainan individual. Gobag sodor itu kerja sama karena dilakukan pada
ruang tertentu dan dengan tim, karena mereka harus mempertahankan area
kelompok. Gobag sodor lebih mengarah pada permainan tim, koordinasi,
dan kerja sama antar pemain. Kasti itu lebih pada nilai keterampilan
motorik karena di sana ada skill yang sangat dibutuhkan untuk bermain,
dan tanggung jawab karena harus dapat menjalankan peran mereka
masing-masing sebagai pemukul, penangkap, pengejar, dan lain-lain.
Permainan seperti olah raga demikian biasanya melatih, keterampilan
tubuh, kerja sama, kedisiplinan, dan tanggung jawab peran pemain. Jadi
mereka harus melakukan tugas sesuai dengan peran yang ditanggung.
Kedisiplinan itu terkandung dalam aturan yang ada di dalam permainan,
juga sesuai dengan kesepakatan yang telah ditetapkan bersama. Maka, jika
ada yang melanggar akan disebut urik (curang) karena melanggar aturan
dan nilai kedisiplinan itu. Nilai sportif juga ada, terutama di dalam
permainan yang bersifat olah raga tadi. Nilai kecerdasan dalam permainan
yang lebih umum juga ada. Orang zaman dulu belum mengenal istilah
kecerdasan, namun sudah mengerti untuk mengarahkan anak agar cerdas.
Pendidikan itu dikemas melalui permainan, apalagi kecerdasan itu kan
tidak bersifat tunggal. Ada kecerdasan intelektual, kinestetik, emosional,
dan lain-lain. Semua itu belum dipahami secara langsung atau diklasifikasi
seperti sekarang. Seperti kasti dan sebagainya itu memang mengajarkan
keterampilan, namun juga mengajarkan kerja sama, kedisiplinan, dan lain-
lain. Permainan yang bersifat individual seperti plintheng dan sebagainya
itu kan lebih melatih kemampuan individu, seperti keterampilan. Lalu,
seperti cublak-cublak suweng, jamuran, itu kan nilai sikap lebih kelihatan
dari pada gerak tubuh, yaitu setiap anak harus bersedia menanggung
konsekuensi sebagai yang dadi. Dia harus menurut atau rela dadi. Anak
yang lain pun harus jujur untuk mengakui tebakan anak yang jadi sehingga
tidak boleh ada kecurangan karena sudah ada kesepakatan bersama, bahwa
jika dia kalah, maka harus menerima konsekuensi untuk jadi. Anak yang
lain juga harus bersedia jadi jika jatuh pada gilirannya. Permainan itu bisa
berjalan karena kesepakatan aturan yang bisa ditaati oleh semua pemain.
Secara tidak langsung kan mereka belajar sebuah sistem atau aturan yang
telah disepakati bersama dan menerima konsekuensi ketika jadi atau kalah.
Permainan itu tidak akan berjalan jika salah satu anak menolak, tidak mau,
atau menyangkal. Maka, sejak awal, mereka sudah belajar beberapa nilai
ketika melakukan permainan. Hal itu bisa dikatakan sebagai suatu bentuk
pendidikan, walaupun tidak formal. Keris janur itu merepresentasikan alat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

265
yang digunakan oleh orang dewasa. Janur itu sendiri sering digunakan
oleh masyarakat kita dalam berbagai upacara adat sehingga permainan itu
menunjukkan suatu pembelajaran tentang pola merawat budaya. Keris
janur mengajarkan suatu keterampilan tangan karena anak harus dapat
membentuk pola lekuk yang khas dari keris. Hal itu membutuhkan
keterampilan, yang akan dapat mereka gunakan sampai dewasa. Keris
janur mewujudkan tata budaya Jawa, sekaligus bagian dari strategi upaya
pelestarian budaya yang dilakukan oleh orang-orang tua zaman dulu,
termasuk permainan itu sendiri. Orang zaman dulu sudah merancang
bagaimana agar permainan itu bisa lestari, yaitu melalui pola-pola dan
simbolisasi di dalamnya, seperti bentuk mainan, cara bermain, nama atau
istilah yang digunakan, lagon (lagu/tembang), dan berbagai hal khas
lainnya. Nah, hal-hal yang khas itu, misalnya lagunya kan memiliki pola
irama tertentu yang sekaligus dapat mengajarkan kecerdasan musikal
kepada anak. Orang Jawa zaman dulu itu kalau mentransfer pengetahuan
tidak selalu menggunakan aktivitas baca tulis, namun dengan aktivitas
konkrit, yaitu dengan permainan dan lagu-lagunya. Pola-pola yang khas
itu kemudian dapat direkam oleh anak sehingga sampai saat ini pun masih
ada anak yang tahu permainan itu, berkat hal yang khas dari permainan itu,
seperti lagunya. Hanya dengan mendengar lagunya, anak langsung tahu
permainan itu dan bagaimana memainkannya. Hal yang khas itu langsung
memanggil ingatan mereka terhadap permainan itu. Hal yang khas itu
mudah diingat oleh anak karena bersifat tetap dan telah tersebar di mana-
mana. Dengan begitu kan membuat anak menjadi ingat terhadap urutan
permainan dan hal-hal yang lain. Maka, pola-pola yang khas itu digunakan
sebagai sarana pelestarian permainan agar mudah diingat dan terus diingat
sehingga bersifat seperti jembatan keledai. Orang Jawa itu sharing
knowledge-nya (berbagi pengetahuan) melalui hal-hal yang khas, seperti
nama, simbol, lagu, dan lain-lain yang sudah bersifat baku, termasuk
nama-nama dari setiap permainan itu. Orang jadi ingat permainan itu dan
bagaimana memainkannya karena ada pola-pola yang khas itu tadi.
Mengapa bisa awet turun-temurun itu karena blueprint-nya (pola/desain)
itu melalui pola-pola yang khas yang dibawa melalui tuturan dari masa ke
masa. Memori yang berkaitan dengan setiap permainan disimpan dan
diwariskan dalam blueprint yang dibuat itu. Maka, dengan pola-pola yang
khas itu, anak dapat menghafal dengan mudah sehingga dapat mengingat
kembali seluruh isi permainan. Kalau dikaitkan dengan pembelajaran
zaman sekarang ini, semakin banyak indera yang digunakan maka semakin
banyak dan kuat hal yang diperoleh dan diingat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

266
T2: Apa salah satu nilai karakter yang menonjol dari setiap permainan yang
Anda ketahui dari daftar ini? Mengapa?
J2: (7) Misalnya bekelan, itu nilai yang paling menonjol adalah keterampilan
motorik atau tubuh karena anak harus melempar dan menangkap bola
sambil mengambil biji bekel dengan tepat. Nilai sportif juga ada karena
seperti bekelan, benthik, dan sebagainya itu kan lebih seperti olah raga
karena ada skill motorik yang digunakan untuk menjalankan permainan
itu. Selain itu ada juga nilai disiplin dan konsekuen yang terkandung, dan
dua permainan itu lebih menonjolkan nilai keterampilan individual. Kalau
cublak-cublak suweng itu lebih pada kejujuran karena yang jelas yang jadi
harus mau telungkup untuk menebak batu di dalam genggaman teman dan
memberikan jawaban yang sesungguhnya. Ada juga nilai kedisiplinan dan
tanggung jawab di dalamnya. Sebenarnya permainan itu kan mengajarkan
nilai secara tidak langsung melalui pengalaman anak. Salah satu tidak mau
saja permainan sudah tidak jadi. Dhakon itu lebih ke kecerdasan karena di
sini ada proses penghitungan dan penentuan strategi untuk memindahkan
biji. Selain itu, ada nilai demokratis juga, karena ada unsur pemilihan,
seperti ketika kita memilih pemimpin. Kalau sampai salah, itu menjadi
resiko bagi kita. Kalah menangnya merupakan hasil dari plihan yang telah
ditentukannya sendiri. Lalu, dhelikan ini lebih pada kejujuran karena anak
tidak boleh melihat teman-temannya selama proses mencari tempat
persembunyian sampai selesai menghitung. Asyik, seru, dan indahnya
permainan tidak akan kelihatan jika anak tidak jujur. Menang pun tidak
terasa indah karena tidak diraih dengan cara yang jujur. Konsekuen juga
karena anak harus mau jadi sebagai anak yang ditemukan oleh yang
pertama jadi tadi. Ingkling itu keterampilan melompat dan sportifitas
karena seperti olah raga. Gobag sodor itu lebih pada kerja sama karena ini
kan permainan kelompok dan tidak bisa dijalankan sendiri. Kemenangan
itu diraih karena kekompakan setiap tim untuk menjaga area. Jamuran itu
lebih pada nilai kreativitas karena anak yang jadi harus dapat menentukan
jamur tertentu yang sekiranya sulit untuk dilakukan sebagai strategi untuk
mengalahkan lawan mainnya. Hal itu membutuhkan pengetahuan sebagai
sumber pemilihan ragam jamur yang efektif. Selain itu, ada nilai disiplin,
karena semua anak harus mengikuti untuk menjadi jamur apa sesuai yang
diperintahkan oleh yang jadi dan mengandung hukuman terhadap yang
gagal. Kasti ini lebih pada nilai keterampilan motorik karena di sana ada
skill yang sangat dibutuhkan untuk bermain, lalu kerja sama, karena setiap
anak harus dapat menjalankan perannya masing-masing dengan bekerja
sama dengan anak yang berperanan lain dalam tim untuk menang, lalu ada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

267
sportivitas dan keterampilan jelas sangat tampak. Keris janur, kitiran
godhong tela, kitiran janur, irah-rahan, itu lebih pada keterampilan tangan
karena harus membentuk pola supaya bisa menjadi sebuah mainan.
Apalagi permainan yang seperti itu juga memanfaatkan barang yang ada di
sekitar sehingga juga dibutuhkan nilai kreativitas. Layangan juga
keterampilan tangan dan tubuh karena bermain layangan itu tidak mudah
bisa menerbangkannya. Macanan ini juga memiliki nilai yang seperti
dhakon. Kecerdasan lebih kelihatan karena ada strategi untuk memakan
orang-orangan milik lawan. Karena permainan itu seperti catur yang
membutuhkan kecerdasan berpikir. Kemudian, nekeran ini hampir seperti
olah raga dalam skala kecil sehingga membutuhkan keterampilan motorik
(tubuh) dan sportivitas. Anak harus dapat mengenai sasaran dengan tepat,
termasuk menggunakan ketajaman mata untuk membidik sasaran.
Plintheng ini juga keterampilan motorik dan sangat erat kaitannya dengan
latihan membidik sasaran dengan tepat, seperti halnya panahan dan tulup.
Keterampilan yang tinggi sangatlah dibutuhkan dalam plintheng. Bedhilan
ini juga keterampilan. Kalau membuatnya dibutuhkan keterampilan tangan
dan kreativitas seperti plintheng. Kalau menggunakan atau memainkannya
dibutuhkan keterampilan motorik. Ceplokan ini termasuk bedhilan kok.
Justru ceplokan itu yang lebih dikenal sebagai bedhilan karena
ceplokanlah yang benar-benar melontarkan peluru sehingga memiliki
mekanisme yang sama dengan bedhil (senapan) yang asli. Ceplokan
memiliki mekanisme yang paling dekat dengan bedhil, walaupun lebih
disederhanakan mekanismenya. Tidak pakai pelatuk, tapi pakai tekanan
udara dari pelontar yang didorong menggunakan tangan, tapi malah mirip
dengan bedhil. Jadi, mulai disebut bedhilan itu karena sudah diadaptasi
dengan bentuk seperti bedhil. Namun, yang asli tetaplah yang ceplokan
itu.
T3: Adakah keterkaitan antara nama permainan dengan nilai karakter yang
menonjol? Kalau ada, bagaimana kaitannya?
J3: (8) Sebagian ada dan sebenarnya tidak selalu, karena orang Jawa kebetulan
di beberapa wilayah ada variasi penamaan. Jadi, penamaan itu muncul
karena aktivitas yang mendasari bentuk permainan itu. Misalnya, jamuran
itu karena menggambarkan memang permainannya seperti itu. Itu pun
tidak selalu sama antara nama permainan dengan aktivitas dan nilai
karakter yang dikandung. Bisa jadi nama itu hanya menunjukkan aktivitas
permainan itu, tanpa harus menunjukkan nilai yang terkandung. Nilai itu
tidak serta merta atau tidak secara langsung bisa kelihatan dari nama.
Namun, justru nilai ini secara unik dan tidak terasa bisa ada di dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

268
permainan itu, bahwa apa-apa harus disebutkan secara gamblang.
Namanya bisa sederhana dan secara tidak langsung diungkapkan melalui
nama, namun melalui aktivitas yang dilakukan berulang-ulang. Nilai itu
kan bisa tumbuh karena perulangan terus-menerus tanpa bersifat
menggurui secara verbal. Menariknya permainan ini, jika dilihat dari
perbandingan antara nama dan nilai yang terkandung adalah tidak selalu
tampak di namanya. Orang-orang dulu menanamkan nilai dan memberi
pesan justru secara terselubung sehingga anak akan secara natural
menumbuhkan nilai melalui aktivitas yang dilakukan. Penanaman nilai
yang paling bagus dan nyaman adalah ketika tidak terasa didoktrin secara
gamblang sehingga anak juga akan merasa bahwa dirinya sendirilah yang
menemukan nilai itu dengan rasa bangga dan puas. Padahal memang
sudah didesain demikian oleh orang-orang tua, namun mereka akan
memberi apresiasi kepada anak yang dengan sendirinya sadar akan nilai
yang telah ditemukan dan dirasakan itu. Nilai itu dibiarkan tumbuh dari
dalam dirinya sendiri. Jadi, nama dan nilainya justru tidak harus
diperlihatkan. Nama permainan biasanya dipilih yang paling akrab dengan
anak dan lebih menggambarkan aktivitas permainan. Nama tidak harus
dibebani dengan nilai apa yang terkandung dalam permainan itu, namun di
dalam aktivitas permainan itulah nilai bisa ditemukan.
T4: Apakah Anda setuju bahwa permainan anak tradisional terbagi dalam
golongan permainan dengan nyanyian atau dialog, permainan asah fisik,
permainan asah otak, dan permainan keterampilan tangan?
J4: (9) Saya setuju itu. Walaupun nanti bisa dibagi-bagi lagi, tapi dengan
pembagian itu, saya sangat setuju karena dari permainan-permainan ini
tadi ternyata ada di dalam klasifikasi itu. Klasifikasi itu memang benar.
T5: Bagaimanakah strategi preservasi (pelestarian) permainan anak tradisional
yang mengandung nilai-nilai karakter?
J5: (10) Kita harus mengajak semua pihak untuk menggali kembali permainan
anak tradisional yang disesuaikan dengan perkembangan zaman sekarang.
Lebih sering mengadakan lagi acara perlombaan yang mengangkat
permainan anak tradisional. Menyediakan ruang bermain anak. Lalu,
mendorong semua pihak untuk memperhatikan kembali permainan anak
tradisional sesuai dengan bidang mereka masing-masing. Misalnya, dalam
bidang seni, orang dapat mengangkat lagu permainan yang dapat
dimanfaatkan dalam media tertentu. Kemudian, memanfaatkan teknologi
dengan mengangkat tema permainan anak tradisional untuk dibuat suatu
permainan di dalam gawai itu, karena anak zaman sekarang pegangannya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

269
hp. Maka, kita bisa mengajak orang-orang yang berkompetensi di bidang
teknologi untuk membuat game-game dengan tema permainan anak
tradisional. Kita tidak perlu mengambil sumber daya manusia dari luar
negeri karena kita sudah cukup banyak memiliki orang-orang yang mampu
dalam bidang teknologi. Kita harus bekerja sama dengan mereka, memberi
isi atau kontennya, dan membuat bersama. Maka, kerja sama lintas bidang
kompetensi itu perlu demi menghasilkan permainan gawai yang
terintegrasi dengan permainan anak tradisional.
Narasumber 3
Nama : Agustinus Sumarsono
Usia : 68 tahun
Pekerjaan : Pensiunan Guru SD
Wawancara 3
T1: Nilai-nilai karakter apa sajakah yang terkandung di dalam permainan anak
tradisional? Bagaimana penjelasan dari masing-masing nilai karakter
tersebut?
J1: (11) Permainan anak tradisional merupakan bagian dari budaya Jawa.
Budaya Jawa itu kan sangat komunal. Permainan seperti ini tidak bisa
dimainkan sendiri. Mesti harus melibatkan lebih dari dua orang. Nah, di
situlah nantinya nilainya itu akan muncul. Misalnya, kebersamaan dan
keberagaman pun juga akan muncul. Karena kan tidak ada di suatu
kampung itu orang usianya sama semua kan tidak. Mereka mau berkumpul
menjadi satu. Maka, keberagaman dalam hal ekonomi dalam hal apa itu
kadang-kadang justru semuanya menyatu. Ketika orang bermain ini kan
mereka sudah tidak peduli kamu anaknya siapa, kamu punya apa, maka ya
menjadi satu. Beda dengan sekarang, ketika anak main game itu kan main
sendiri saja sudah oke. Tetapi, kalau permainan anak tradisional ini kan
tidak bisa dimainkan sendiri. Sportivitas ada, namun tidakk menonjol
karena permainan semacam ini kan menang-kalah itu tidak begitu penting,
karena yang terpenting adalah ketika mereka bareng-bareng itu. Jadi
adanya nilai kebersamaan dan keberagaman memiliki alasan yang cukup
kuat. Kalau ada kepedulian itu, karena zaman dulu itu belum ada hp dan
alat komunikasi yang lain. Maka, orang zaman dulu itu yang bahasa
Jawanya ngampiri (menghampiri/mengajak) teman yang lain lalu
membuat kesepakatan-kesepakatan sendiri. Misalnya, jirak itu kan
aturannya bisa berbeda-beda. Maka, jika menilik dari nilainya, mereka
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

270
belajar membuat komitmen juga. Komitmen secara bersama, ini enaknya
bagaimana. Komunikasi juga muncul karena ada proses interaksi dengan
teman-temannya. Jika nilai-nilai itu diperdalam lagi kan orang akan
menanggalkan identitas diri demi permainan itu, misalnya apa agamamu,
sekolahmu di mana, usiamu berapa, itu tidak begitu penting karena yang
penting adalah mau terlibat di sini dan ikut komitmen bareng, jalan
permainannya.
T2: Apa salah satu nilai karakter yang menonjol dari setiap permainan yang
Anda ketahui dari daftar ini? Mengapa?
J2: (12) Ancak-ancak alis ini kerja sama atau kebersamaan sebagai nilai yang
utama, lalu diikuti kejujuran ketika lagu sudah tiba pada saatnya namun
mengaku tidak, dan kedisiplinan. Kerja sama dan kebersamaan itu hampir
sama, yaitu bersama-sama memainkan permainan. Bas-basan sepur itu
yang paling menonjol adalah kecerdasan. Bandhul sada itu keterampilan
tangan membuat bandul yang diputar. Bekelan itu juga keterampilan
motorik tapi juga jujur lho itu, karena ketika membalik biji bekelnya bisa
curang karena salah membalik, makanya harus jujur. Bentengan itu
termasuk gotong royong, karena ada kerja sama satu tim. Antara kerja
sama dan gotong royong itu juga sebenarnya sama. Benthik itu juga
keterampilan motorik karena lebih melibatkan kemampuan individual.
Bethet thing-thong itu sportif. Boi-boinan itu ya terampil. Cacah bencah
itu konsekuen karena yang jadi yang harus mau jadi. Berjiwa besar juga,
karena jika saya jadi yang harus bersedia jadi beneran. Cublak-cublak
suweng itu jujur karena anak harus menyembunyikan biji dan menebak.
Jawaban anak yang lain harus jujur untuk menyatakan letak biji. Dhakon
itu cerdas karena harus berpikir strategis dan juga jujur karena anak tidak
boleh curang ketika mengedarkan biji. Biji bisa saja jatuh ke tempat yang
salah atau sengaja dijatuhkan di tempat yang diinginkan. Dhayoh-
dhayohan itu komunikatif, saling menghargai, rela berkorban, tenggang
rasa, banyak itu, tapi yang paling menonjol adalah komunikatif. Dhelikan
ini kejujuran karena tidak boleh mengintip teman ketika mencari tempat
persembunyian. Namun, selain itu juga harus kreatif karena anak harus
dapat mencari tempat persembunyian yang sulit ditemukan, serta
konsekuen karena anak harus mau jadi ketika mendapat giliran untuk jadi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

271
Dhing-dhingan itu keterampilan motorik karena harus bisa berenang dan
menghindar dari tangkapan lawan. Namun, juga sportif karena jika
ditangkap tidak ada buktinya jadi harus main sportif. Sportif sama jujur
yang hampir sama, kalau sportif itu dalam sistem bermainnya. Dhingklik
oglak aglik itu kerja sama karena harus saling bekerja sama agar tidak
lepas atau jatuh. Selain itu juga jujur, karena harus mau mengaku jika
lepas. Ingkling itu jelas keterampilan motorik. Selain itu juga jujur karena
jika gacuk dilempar dan mengenai garis ya harus jujur mengaku kalah.
Epek-epek itu kejujuran karena harus mengaku ketika memang tertangkap.
Itu tidak ada bukti kecuali ada yang melihat dan dia sendiri yang mengaku.
Gobag sodor itu kerja sama karena dimainkan dengan tim. Selain itu juga
terampil dan jujur seperti epek-epek tadi. Kesenggol kok mengaku tidak,
nah itu kan diperlukan kejujuran. Terampil juga masuk dan kreatif juga
karena menggoda penjaganya itu butuh kreativitas. Gowokan itu kerja
sama karena anak-anak yang membentuk lingkaran harus bekerja sama
naik turun untuk menjaga sang jago. Terus juga butuh terampil dan kreatif.
Jamuran itu butuh kreativitas untuk menentukan jamur yang ditetapkan.
Jaranan bongkok itu keterampilan tangan membuat jaranan. Jirak itu
kompetitif karena anak harus berusaha melemparkan biji ke lubang yang
terdekat agar tidak menggendong lawan. Selai itu ada berjiwa besar,
karena bagi anak yang sering kalah harus mau menerima dan tetap
bermain. Kasti itu terampil, kerja sama, cerdas, komunikatif, setia kawan,
banyak itu. Terutama terampil, karena anak harus menguasai teknik.
Misalnya memukul. Memukul itu tidak harus keras kok. Jadi, bola itu yang
penting hanya di sentuh pakai pemukul yang penting keluar dari garis,
yang penting dipukul agar jauh dari para penjaga. Anak juga harus bisa
memanipulasi arah bola, nah itu jelas terampil. Lalu, keris janur, kitiran
godhong tela, kitiran janur itu keterampilan tangan. Kubuk ini terampil
motorik karena harus memindahkan segenggam biji tanpa terjatuh atau
tertebak lawan. Kucing-kucingan itu tim, jadi kerja sama karena anak
harus saling bergandengan tangan untuk bertukar posisi sebelum anak
yang dadi merebutnya. Selain itu, ada kompetitif karena harus berusaha
merebut tempat. Irah-irahan itu keterampilan tangan dan kreatif. Layangan
itu mulai dari membuat lalu main itu juga melibatkan keterampilan tangan
dan kreatif karena lebih bersifat individual. Layung itu ada aktivitas
lempar tangkap, yang berarti kerja sama karena harus bekerja secara tim
untuk mengusahakan agar bola tidak jatuh. Yeye itu terampil karena kalau
tidak mampu melompat yang tidak bisa. Ukurannya kan ya selutut,
sepusar, sedada, gitu kan. Tingkat kesulitannya meningkat. Macanan itu
cerdas seperti dhakon. Mul-mulan itu juga cerdas karena kalau tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

272
cerdas ya kalah terus. Nekeran dan patil lele itu juga terampil. Pltintheng
itu juga butuh keterampilan tangan dan juga motorik. Pong-pong bolong
itu kerja sama. Sliring gendhing itu juga kerja sama. Ceplokan ini
keterampilan tangan karena anak harus membuat mainan yang dapat
berfungsi dengan baik. Misalnya, memodifikasi mainan supaya suaranya
lebih keras, yaitu dengan membuat corong di depannya dengan janur, jadi
seperti knalpotnya.
T3: Adakah keterkaitan antara nama permainan dengan nilai karakter yang
menonjol? Kalau ada, bagaimana kaitannya?
J3: (13) Adanya nilai yang menonjol itu pasti ada keterkaitannya.
Keterkaitannya itu terutama di dalam bermain, terutama itu yang tim, itu
melibatkan pikiran dan jiwa untuk saling berinteraksi atau berkomunikasi
dan bekerja sama. Dalam hal kebersamaan, permainan itu akan sukses
kalau terdapat kerja sama. Tanpa kerja sama tidak akan suskses. Kalau ada
yang tidak peduli atau semangatnya tidak penuh seperti teman-temannya
ya tidak berhasil. Maka dari itu, permainan menuntut kesediaan setiap
peserta untuk bersama-sama bermain dengan cara yang baik dan benar
demi keberhasilan permainan. Selain itu, kalau individual kan biasanya
lebih mengajarkan keterampilan dan kecerdasan pribadi. Lalu, kalau
misalnya gobag sodor itu kan berasal dari Belanda yang namanya go back
through the door. Itu kalau kita kaitkan artinya pulang dan pergi harus
melalui pintu. Maka, itu ada hubungannya yang terletak pada nama dan
cara bermain atau aktivitasnya. Kalau dengan nilainya yang melalui
aktivitasnya itu lalu membutuhkan kerja sama untuk menjaga dan
menangkap lawan. Maka, ada itu hubungannya. Selain itu juga pada
dasarnya tidak tentu ada keterkaitan antara nama permainan dengan
nilainya. Kalau gobag sodor itu kan dari nama dengan cara bermainnya
dan nilai kerja samanya jelas itu. Jadi, kaitannya adalah dari nama ke
aktivitasnya, dan dari aktivitasnya ke nilai karakternya.
T4: Apakah Anda setuju bahwa permainan anak tradisional terbagi dalam
golongan permainan dengan nyanyian atau dialog, permainan asah fisik,
permainan asah otak, dan permainan keterampilan tangan?
J4: (14) Itu sudah sangat pas. Sangat pas karena masing-masing permainan
kan punya istilah itu merupakan ciri khusus. Kalau main ini mengandalkan
dialog, main ini mengandalkan kekuatan fisik, main ini mengandalkan
olah pikir, main ini butuh kerja sama yang kuat. Ya antara lain begitu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

273
T5: Bagaimanakah strategi preservasi (pelestarian) permainan anak tradisional
yang mengandung nilai-nilai karakter?
J5: (15) Kalau di Indonesia sekarang ini, permainan seperti itu sudah tergusur
dengan permainan yang modern. Sekarang itu sudah jarang anak-anak
yang bermain permainan tradisional, misalnya gobag sodor karena
permainan itu membutuhkan tempat atau area yang cukup. Kasti juga.
Kalau kejar-kejaran itu masih. Karena begini, satu dalam hal faktor
geografis kan harus tersedia area; dua dibutuhkan istilahnya itu pamong.
Yo main sini yo; yang ketiga dibutuhkan narasumber. Misalnya, dari
mbahnya dulu masih bisa mengajari permainan-permainan seperti itu.
Narasmuber seperti itu suatu ketika dapat berinisiatif membelikan sarana
permainan, misalnya alatnya dhakon lalu mengajari anaknya. Sekarang
kan sudah tidak. Lalu, bisa juga melalui sekolah dasar. Misalnya, kalau
guru olah raganya itu kreatif, atau dalam suatu pertemuan, guru olah raga
itu ada poin untuk menanamkan atau mengembangkan permainan di dalam
olah raga, nah di sekolah baru bisa menjadi sarana untuk melakukan
permainan anak tradisional. Baru nanti anak-anak di rumah main. Tapi,
kalau di sekolah anak-anak tidak pernah main tradisional, lha ya di rumah
tidak terbawa. Jadi peran guru olah raga itu sangat penting. Kalau tidak, ya
bisa guru kelas yang sudah memiliki pengalaman dalam hal permainan
anak tradisional, dan dibesarkan di desa yang dulu masih membiasakan
mereka untuk bermain tradisional, itu malah bisa ngajari. Jadi,
memberdayakan guru di sekolah itu penting, terutama guru olah raga.
Lalu, sekarang ini tidak pernah diadakan kompetisi. Misalnya,
sekecamatan itu pasti isinya hanya ping-pong, badminton, voli, catur. Tapi
coba, kompetisi kasti antarkampung. Kalau di desa saya itu dulu pernah
kasti antarlingkungan. Orang yang main pun terserah, ada bapak, ibu,
anak, semua keluar, terus nanti satu tim 12 ya 12. Ramai sekali. Nah,
namun kendalanya itu juga hanya bisa kalau momen-momen tertentu.
Kalau mau lomba baru latihan, kalau tidak ya tidak. Sekarang ini
pelestarian itu memang penanamannya baru hanya bisa dibicarakan saja,
namun prakteknya itu masih tergantung situasi, kondisi, dan kebijakan dari
para petinggi. Ya untuk zaman sekarang memang agak sulit karena situasi
yang tidak menentu ini, orang tua kan sangat protect (melindungi)
terhadap anaknya, maka yang terjadi bahkan sudah merambat ke
kampung-kampung, orang tua itu malah lebih senang kalau anak berada di
rumah. Disediakan game, hp, dan fasilitas lainnya, yang penting di rumah.
Hal itu menjadi kesulitan untuk mengembangkan atau melestarikan
permainan itu. Maka, ya harus dibuat acara-acara khusus. Misalnya,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

274
melalui acara 17-an sebagai hal yang masih tampak di dalam kehidupan
kita. Baru permainan ini bisa dilakukan. Maka, jika ingin melestarikan ini,
harus ada orang yang mau terjun langsung dan memberikan berbagai
penjelasan secara konkrit di lapangan. Lalu, mengajak orang-orang yang
tertarik terhadap kebudayaan Jawa. Selain itu, kurikulum di sekolah, paud,
tk, sd, itu kan jarang juga yang menggarap permainan seperti ini. Orientasi
mereka lebih pada teknologi yang justru membawa orang kepada dunia
individu dan bukan dunia komunal. Maka, juga perlu ada upaya
pengintegrasian kurikulum sekolah dengan tema permainan anak
tradisional.
Wawancara tambahan terhadap narasumber 1:
T1: Mengapa permainan ini dinamai dengan nama tertentu?
J1: (16) Ceplokan ini kan karena unsur suara, terus jaranan bongkok karena
unsur wujud, jirak itu karena unsur wujud, kasti itu karena jenis
permainan, keris janur karena wujud, kitiran karena wujud, gobag sodor
itu karena mengacu pada sodornya karena sodor itu yang memegang
permainan lurus vitalnya, nah itu jadi sodor. Jamuran itu kan karena
tembangnya, yang ditembangkan kan jamuran, maka namanya jadi
jamuran. Kalau macanan itu karena konsepnya saling memakan sehingga
orang-orangan bisa termakan oleh macan dari gacuk. Kalau ancak-ancak
alis itu karena adanya prinsip kesemenaan seperti dalam semiotika. Asal
dinamai itu, tapi sebenarnya permainannya jauh dari namanya. Atau dapat
juga ada kaitannya dengan tembangnya. Jadi bisa mengacu pada tembang.
T2: Apa yang dimaksud dengan jenis permainan asah otak, asah fisik, dialog
atau nyanyian, dan keterampilan tangan, beserta masing-masing
contohnya?
J2: (17) Hal yang jelas itu yang termasuk asah otak, seperti dhakon itu jelas
mengasah otak karena kan belajar membagi. Macanan itu juga masuk
karena jika tidak benar mengatur geraknya juga dapat termakan. Gobag
sodor itu gabungan, namun unsur kerja samanya yang lebih menonjol.
Permainan asah otak itu dapat dijelaskan, misalnya dalam satu kasus
permainan dhakon, anak harus berpikir untuk kemudian agar apa yang dia
putar atau mainkan itu tetap punya sisa, atau tidak habis. Nah, untuk itu
kan dia harus berpikir dan di sana juga akhirnya tumbuh kecerdasannya
untuk bagaimana mengolah biji yang dia miliki ini untuk bisa ditabung di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

275
dalam lumbung. Jadi permainan asah otak itu adalah jenis permainan
tradisional kalau misalnya yang dulu biasanya seringnya dilakukan itu ada
beberapa yang memungkinkan untuk dilakukan di beberapa keadaan
khusus, misalnya semacam padang bulan, namun kalau untuk permainan
asah otak itu biasanya dilakukan harian di kala waktu senggang, dan
contoh permainan asah otak itu antara lain kalau kita lihat terkait dengan
dhakon misalnya. Itu jelas asah otak karena dalam permainan dhakon, satu
hal yang harus dipikirkan adalah bagaimana si anak yang menjalankan
permainan dhakon nanti, dia bisa punya sisa atau tabungan untuk
kemudian dimasukkan ke dalam lumbung. Dari sana, kemudian
dibutuhkan upaya, istilahnya ketika lubang dhakon itu kan jumlahnya
cukup banyak. Bagaimana kemudian pembagian itu agar punya sisa yang
kemudian menjadi simpanannya dalam lumbung itu. Otomatis, pola
permainan seperti itu tidak mungkin dilakukan dengan kelincahan, akan
tetapi yang dibutuhkan adalah bagaimana kemudian dia bisa berpikir
untuk membagi dan punya sisa. Demikian juga misalnya dengan macanan.
Ketika permainan macanan itu bagaimana kemudian dua orang yang
bermain ini agar tetap bisa menjaga konsistensi permainannya sehingga
dia tidak dimakan oleh macan. Nah, untuk ngurung ke dalam bagian pojok
segitiga sehingga setiap pergerakan merupakan strategi agar tidak di
makan oleh macan. Otomatis itu yang lebih diasah adalah bagaimana dia
bisa berpikir dengan mudah. Kalau contoh permainan asah otak tadi, itu
yang jelas adalah macanan dan dhakon. Itu jelas konsepnya adalah asah
otak. Permainan asah fisik itu yang lebih terkait dengan keterampilan fisik.
Misalnya, contoh permainan asah fisik itu adalah gobag sodor. Nah, itu
adalah permainan yang terkait dengan asah fisik sehingga selain dia secara
pribadi harus lincah, dia juga harus kerja sama. Jika dilihat secara pribadi
yang terkait dengan asah fisik itu adalah semacam kemampuan asah fisik,
yaitu bagaimana kemudian upaya dia untuk bisa mengenai lawan. Secara
motorik, dia harus bisa menyatukan antara gerak langkah, tangan, untuk
bisa bersembunyi dan sebagainya sehingga dia tidak bisa terkena oleh
peluru atau tangkapan lawan. Semacam permainan kasti itu juga termasuk
jenis permainan asah fisik, ketika dia harus berlari dari satu pos ke pos
yang lain, termasuk juga kemampuan fisiknya untuk mampu memukul
bola sehingga bisa jauh atau bisa langsung menangkap bola, itu juga
kemampuan fisik yang tidak mungkin hanya dilakukan, tanpa dia
melakukan latihan yang rutin. Contoh permainan asah fisik itu, seperti
gobag sodor, kasti, ingkling, ceplokan, plintheng karena bagaimanapun
juga kalau tidak terampil mlintheng kan secara motorik dia juga tidak bisa
melakukannya, benthik dan bentengan juga termasuk. Permainan yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

276
menggunakan dialog atau nyanyian itu misalnya jamuran. Kalau kita tilik
dari asal namanya, sebenarnya kan juga tidak ada yang njamur di dalam
permainan itu. Namun, terkait dengan yang ditembangkan, itu adalah
terkait dengan berbagai macam jenis jamur apapun di sana akan
disebutkan sehingga nama permainan itu memang kemudian lekat dengan
tembang yang dinyanyikan. Oleh karena itu, permainan tersebut memang
kaitannya tidak hanya dengan wujud fisik jamur yang nampak di sana,
akan tetapi akan lebih terkait dengan pola tetembangan yang dilakukan.
Ancak-ancak alis itu juga termasuk jenis permainan yang ditembangkan.
Ingkling ini termasuk asah fisik. Cublak-cublak suweng juga. Permainan
itu kan di sana juga tidak ada suwengnya. Jadi permainan seperti itu
memang lebih mengacu pada bentuk pola permainan tetembangan yang
bisa dimainkan secara bersama-sama atau kelompok. Dari sanalah
kemudian nama-nama permainan tersebut itu lebih dikaitkan dengan
tembang yang ada, karena nembangnya juga tidak dilakukan dengan
seorang diri, akan tetap dilakukan secara bersama-sama. Contohnya,
ancak-ancak alis, dhayoh-dhayohan, cublak-cublak suweng itu juga
dengan nyanyian, sliring gendhing, pong-pong bolong, jamuran, dhingklik
oglak-aglik. Kebetulan permainan yang disertai kerja sama itu ada
tembangnya. Permainan keterampilan tangan adalah permainan yang
murni dilakukan dan didominasi oleh keterampilan tangan. Misalnya,
jaranan bongkok, keris janur, kupluk godhong, karena permainan itu hanya
bisa dilakukan ketika anak yang akan bermain membuat media sesuai
dengan yang dia butuhkan, seperti keris janur. Ketika dia akan bermain
keris janur ataupun yang dia butuhkan, dia akan berusaha untuk bisa
mewujudkan keris. Itu bukanlah hal yang sederhana, karena harus
membersihkan janurnya, melipatnya, menjadi segitiga yang berlekuk-
lekuk, dan semacam itu. Itu tidak dapat dilakukan kalau tangannya tidak
hidup, atau tangannya tidak terampil menjalankan. Demikian juga
misalnya, ketika membuat kitiran godhong tela juga yang dibutuhkan tidak
sekedar bagaimana memetik daun ketela, namun juga bagaimana agar
papah daun itu bisa berputar. Dia juga harus bisa memetik atau
mematahkan batang daun ketela itu seberapa perhitungannya dan
sebagainya sehingga dalam pola permainan keterampilan tangan itu
memang kemudian sejak dini anak diajak dan diasah untuk mencoba
mendayagunakan tangan yang dia miliki sebagai suatu bagian dari
perkembangan motorik anak. Contohnya, seperti jaranan bongkok, keris
janur, kitiran godhong tela, kitiran janur, kupluk godhong, plintheng, itu
juga masuk bagaimana dia mulai membuat bentuk batangnya itu, termasuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

277
juga ceplokan juga sebagai bagian dari pola permainan keterampilan
tangan.
T3: Bagaimana kaitan antara nama permainan dengan nilai karakter yang
dikandung?
J3: (18) Satu hal yang unik, misalnya ancak-ancak alis itu dari sisi tembang
memang tembangnya bernama ancak-ancak alis. Namun, hal yang
ditonjolkan di sana adalah bagaimana mereka bisa bernyanyi bersama dan
bergembira bersama. Namun, kaitan antara nama permainan dengan wujud
dan nilainya dapat terlepas atau tidak nyambung, misalnya ketika
wujudnya itu tidak mengacu pada namanya, tapi tembangnya memiliki
judul yang sama dengan nama permainan. Kasus yang sama juga terdapat
pada cublak-cublak suweng dan jamuran. Di sana memang tidak ada
suweng yang dinyanyikan dan juga tidak ada jamur yang dibuat mainan,
namun karena mengacu kepada nama syair tembangnya, maka permainan
itu kemudian dinamakan sesuai dengan tembangnya. Lalu, kalau untuk
bandhul sada itu memang lebih terkait dengan bentuk mainan. Ketika ada
bandulnya, kemudian juga ada lidinya (sada) yang diikat. Demikian juga
dengan bekelan, medianya juga adalah bola dan bekel. Lalu, bentengan
sesuai dengan namanya kan mereka bermain di antara satu pos benteng
dengan pos benteng yang lain. Pos benteng yang digunakan bisa berupa
tugu atau pohon sehingga bentengnya di sebelah mana dan di sebelah
mana supaya bisa mempertahankannya. Lalu, benthik itu mengacu pada
suara dan media permainannya adalah dengan dibenthikkan. Terus,
cublak-cublak suweng mengacu pada tembang. Dhakon itu mengacu pada
media. Dhayoh-dhayohan itu mengacu pada polanya untuk saling menjadi
tamu. Demikian juga dhelikan ini, ketika satu dan yang lain itu kemudian
saling bersembunyi antara yang jadi dengan yang bermain. Lalu, dhingklik
oglak-aglik karena permainannya hanya dengan satu kaki, lalu kemudian
dimainkan bersama eret-eretan dan sebagainya. Maka, kesannya ada
seperti ketika ada sebuah dhingklik yang dipakai duduk dan dhingklik itu
berayun seperti akan jatuh atau oglak-aglik sehingga pola permainan
semacam itu mengacu pada bentuk dhingklik yang kakinya gerang
sehingga bergerak terus. Lalu, ingkling itu juga hampir sama, namun lebih
bersifat tunggal karena dijalankan satu persatu. Itu juga mengacu pada
bentuk wujud gerak fisiknya harus ingkling, maka namanya menjadi
ingkling. Lalu, gobag sodor kalau gobagnya tidak ada, tapi yang ada
adalah sodor, di mana dalam permainan itu seseorang menjadi pemain
sodor, itulah yang akhirnya memegang peranan untuk mengunci orang
yang mau bermain atau menyeberang, khususnya dari pihak lawan. Lalu,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

278
jaranan bongkok itu mengacu pada wujud keterampilan yang dilakukan
untuk membuat jaran (kuda) yang terbuat dari pelepah pohon kelapa. Jirak
lebih mengacu pada bentuk permainannya, yaitu barang siji sing isa
disurak-surak sehingga menjadi permainan jirak. Kasti kalau dari asal
nama tidak jelas, tapi pola permainannya adalah keterampilan untuk
memukul dan menangkap bola yang dilakukan, demikian juga ketika bola
itu harus dilempar pada lawan. Keris janur lebih mengacu pada wujud,
demikian juga dengan kitiran godhong tela, dan kitiran janur, itu juga lebih
mengacu pada bentuk atau wujud dari kitiran yang terbuat dari janur atau
godhong tela. Hal itu juga untuk kupluk godhong, jadi itu mengacu antara
nama permainan dengan wujud fisik (mainan) yang dibuat. Kucing-
kucingan itu karena faktor tembangnya, karena tidak ada yang menjadi
kucing beneran, namun karena tembangnya terkait dengan nama kucing
sehingga dinamakan kucing-kucingan. Layangan itu mengacu pada bentuk
karena ada sosok layangan yang dibuat. Jadi layangan itu juga sebagai
bagian dari keterampilan tangan. Nekeran itu mengacu pada media
mainnya, yang bernama neker. Begitu juga dengan macanan itu karena
dalam permainan tadi akan ada satu macan yang kemudian dikepung oleh
tiga pemainnya untuk bisa berjalan tadi, maka siapa yang akan dimakan
oleh macan itulah sehingga permainan ini dinamakan macanan. Lalu,
untuk pong-pong bolong dan sliring gendhing itu memang kemudian lebih
mengacu pada syair. Ceplokan itu lebih mengacu pada suara yang
dihasilkan dari media (mainan) yang dimainkan. Kalau bekelan itu kan
dari medianya yang berbentuk seperti huruf S itu yang dinamakan bekel.
Bahannya ada yang dari kuningan, ada yang dari timbal. Bekelan dan
nekeran itu kan karena ada sosok nekernya, ada sosok bekelnya, demikian
juga layangan karena ada sosok yang melayang, dan lebih disamakan
dengan keris janur, kitiran janur, kupluk godhong, karena untuk bisa
bermain itu harus dibuat satu media atau wahana yang dihasilkan dari
keterampilan tangan yang dia milliki. Namun, uniknya, tidak hanya di
permainan, tapi misalnya seperti tembang-tembang dolanan itu kadang ora
mulih (tidak nyambung antara wujud yang dimaksud dengan tembangnya).
Misalnya, tembang pendhisil. Nah itu kan kaitan tembangnya itu apa kalau
dipikir tidak nyambung (secara eksplisit). Jadi, kadang memang ada yang
bisa ditunjukkan, misalnya ilir-ilir itu kan jelas dan memiliki hubungan
yang runtut antara kata-katanya. Namun, kata pendhisil dan kata-kata yang
mengikutinya itu tidak jelas. Tembangnya itu memang unik. Tembangnya
itu tidak nyambung dengan hal yang ingin diungkapkan atau dimaksud.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

279
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

280
BIODATA PENULIS
Markus Jalu Vianugrah lahir di Sleman, Yogyakarta pada tanggal 6 April
1994. Ia mengawali pendidikan formalnya di Taman Kanak-kanak Kanisius
Demangan Baru, Depok, Sleman, Yogyakarta pada tahun 1999. Pendidikan
tingkat sekolah dasar ia tempuh di SD Kanisius Demangan Baru yang menjadi
satu lokasi dengan TK tersebut, dan lulus pada tahun 2006. Kemudian, ia
melanjutkan studinya di SMP Negeri 5 Depok dan taman pada tahun 2009. Lalu,
pendidikan tingkat menengah atas dia tempuh di SMA Negeri 1 Gamping,
Tegalyoso, Banyuraden, Gamping, Sleman, Yogyakarta dan tamat pada tahun
2012.
Setelah menyelesaikan sekolah tingkat menengah atas, ia melanjutkan
studinya di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Jurusan Bahasa dan Seni,
Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia. Lalu, setelah menyelesaikan
skripsinya yang berjudul Komunikasi Fatis dalam Wacana Konsultatif
Pembimbingan Skripsi pada Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia
Semester Genap Tahun Akademik 2015/2016 Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta, dan ia memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Bahasa Sastra
Indonesia. Masa pendidikan S1 tersebut berakhir pada tahun 2016.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI