kajian air tanah dan air permukaan di yogyakarta pasca erupsi merapi 2010

27
 AIR PERMUKAAN (AIR SUNGAI) Secara alamiah sungai mengalirkan air dari mataair yang berada di lereng Merapi. Dalam keadaan normal (tidak terkontaminasi abu vulkanik) air sungai tidak semuanya layak untuk keperluan rumah tangga, usaha pertanian maupun usaha pemeliharaan ikan di kolam. Sungai-sungai yang berhulu di lereng Merapi mengalir melalui 5 kecamatan lokasi kegiatan dari bagian barat ke timur adalah: Sungai Boyong (dibagian hilir disebut Sungai Code), Kuning, Opak dan Gendol. Komponen yang berpengaruh pada air permukaan terutama sungai adalah Daerah Aliran Sungai (DAS). Kondisi DAS bisa dideskripsikan sebagai berikut. a) Sub DAS Gendol Sub DAS Gendol berada pada 438.000-440.000 mT dan 9.166.000-9.148.000 mU. Sungai Gendol dengan panjang alur kurang lebih 16,50 km bermuara di Sungai Opak di hulu sebelah utara Prambanan. Hulu Sungai Gendol berada di dekat puncak Merapi. Sungai ini merupakan salah satu alur aliran lahar. Luas Sub DAS Gendol berdasarkan perhitungan seluas 37,29 km 2 . Berdasarkan peta lembar Kaliurang dan Pakem secara administratif mencakup 7 kecamatan yaitu: Cangkringan, Kalasan, Kemalang, Manisre nggo, Ngemplak, Pakem, Srumbung . Sedangkan batas wilay ah daerah penelitian yaitu: Sebelah utara : Puncak Gunungapi Merapi, Kecamatan Selo Sebelah timur : Sungai Woro, Kecamatan Manisrenggo Sebelah selatan : Kecamatan Prambanan, Kecamatan Berbah Sebelah barat : Kecamatan Cangkringan, Kecamatan Ngemplak, dan Kecamatan Kalasan Mata air dijumpai di daerah Argomulyo, Sindumartani, Bawukan dan Kepurun. Mata air ini dimanfaatkan oleh sebagian besar penduduk untuk keperluan mandi dan mencuci. Sedangkan pemenuhan kebutuhan air minum dan memasak menggunakan sumber mataair utama Bebeng. Sub DAS Gendol secara umum merupakan kawasan resapan air.Kuantitas air permukaan kecil sehingga jumlah air hujan yang terinfiltrasi besar terutama pada daerah berkemiringan lereng yang tidak curam. Sedangkan infiltrasi pada kelerengan curam akan tetap besar jika ada sabo dam dan vegetasi.

Upload: arief-wicaksono

Post on 02-Nov-2015

20 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Kajian Air Tanah dan Air Permukaan di Yogyakarta Pasca Erupsi Merapi 2010

TRANSCRIPT

  • AIR PERMUKAAN (AIR SUNGAI)

    Secara alamiah sungai mengalirkan air dari mataair yang berada di lereng

    Merapi. Dalam keadaan normal (tidak terkontaminasi abu vulkanik) air sungai tidak

    semuanya layak untuk keperluan rumah tangga, usaha pertanian maupun usaha

    pemeliharaan ikan di kolam.

    Sungai-sungai yang berhulu di lereng Merapi mengalir melalui 5 kecamatan

    lokasi kegiatan dari bagian barat ke timur adalah: Sungai Boyong (dibagian hilir

    disebut Sungai Code), Kuning, Opak dan Gendol.

    Komponen yang berpengaruh pada air permukaan terutama sungai adalah

    Daerah Aliran Sungai (DAS). Kondisi DAS bisa dideskripsikan sebagai berikut.

    a) Sub DAS Gendol

    Sub DAS Gendol berada pada 438.000-440.000 mT dan 9.166.000-9.148.000

    mU. Sungai Gendol dengan panjang alur kurang lebih 16,50 km bermuara di Sungai

    Opak di hulu sebelah utara Prambanan. Hulu Sungai Gendol berada di dekat puncak

    Merapi. Sungai ini merupakan salah satu alur aliran lahar. Luas Sub DAS Gendol

    berdasarkan perhitungan seluas 37,29 km2. Berdasarkan peta lembar Kaliurang dan

    Pakem secara administratif mencakup 7 kecamatan yaitu: Cangkringan, Kalasan,

    Kemalang, Manisrenggo, Ngemplak, Pakem, Srumbung. Sedangkan batas wilayah

    daerah penelitian yaitu:

    Sebelah utara : Puncak Gunungapi Merapi, Kecamatan Selo

    Sebelah timur : Sungai Woro, Kecamatan Manisrenggo

    Sebelah selatan : Kecamatan Prambanan, Kecamatan Berbah

    Sebelah barat : Kecamatan Cangkringan, Kecamatan Ngemplak, dan

    Kecamatan Kalasan

    Mata air dijumpai di daerah Argomulyo, Sindumartani, Bawukan dan Kepurun.

    Mata air ini dimanfaatkan oleh sebagian besar penduduk untuk keperluan mandi dan

    mencuci. Sedangkan pemenuhan kebutuhan air minum dan memasak

    menggunakan sumber mataair utama Bebeng.

    Sub DAS Gendol secara umum merupakan kawasan resapan air.Kuantitas air

    permukaan kecil sehingga jumlah air hujan yang terinfiltrasi besar terutama pada

    daerah berkemiringan lereng yang tidak curam. Sedangkan infiltrasi pada

    kelerengan curam akan tetap besar jika ada sabo dam dan vegetasi.

  • Morfometri adalah variabel terukur dari suatu sungai yang merupakan salah

    satu faktor terpenting yang digunakan dalam penelitian ini. Pengukuran morfometri

    sungai dilakukan pada peta topografi digital Sub DAS Gendol dengan bantuan

    software Arc GIS. Selanjutnya dapat diamati parameter-parameter morfometri

    Sungai Gendol pada tabel berikut:

    Tabel D.3.1. Morfometri Sungai Gendol

    No Parameter Nilai

    1 Luas sub DAS 37,29 km2

    2 Panjang sungai utama (L)

    26,25 km

    3 Median elevasi 549,49 m

    4 CoG 441.255 mT ; 9.156.400

    mU

    5 Jarak outlet ke CoG 9,78 km

    6 Kemiringan sungai 6%

    7 Kemiringan DAS 0,2110

    8 Drainage Density (DD) 0,0048

    9 Luas daerah hulu (Au) 13,24 km2

    10 Faktor bentuk DAS (Rc)

    10,555

    Sumber: Fakultas Geografi UGM, 2011

    a. Curah hujan

    Kondisi curah hujan di Sub DAS Gendol dilihat dari rerata bulanan curah

    hujan tahun 1989-2009 mencapai nilai terendah pada bulan September dengan

    rerata curah hujan sebesar 13,2 mm. Kemudian curah hujan mulai naik di bulan

    Oktober (111,1 mm) dan mengalami puncak hujan di bulan Februari dengan

    rerata sebesar 398,7 mm. Rerata curah hujan ditunjukkan pada tabel D.3.2.

    Wilayah Sub DAS Gendol memiliki daerah dengan curah hujan tinggi di

    wilayah Stasiun Ngipiksari yang berada di ketinggian 725 m dpl. Berdasarkan

    grafik rerata curah hujan bulanan di DAS Gendol dapat diketahui bahwa musim

    kemarau di Sub DAS Gendol berlangsung pada bulan Juni-September

    sedangkan musim penghujan berlangsung pada bulan Oktober-Mei.

  • TabelD.3.2. Rerata curah hujan bulanan masing-masing stasiundi sekitar Sub DAS Gendol tahun 1989-2009

    No Bulan

    Stasiun

    Rerata

    Ng

    ipik

    sa

    ri

    Ban

    jarh

    arj

    o

    Bro

    ng

    gan

    g

    Jan

    gkan

    g

    Dele

    s

    Wo

    ro

    Can

    di S

    ew

    u

    An

    gin

    -an

    gin

    Pak

    em

    Pru

    mp

    un

    g

    Elevasi stasiun hujan (m dpl)

    725 350 408 275 1.015 352 242 320 410 575

    1 Januari 467,9 395,3 366,2 369,2 389,3 358,6 325,5 326,2 384,5 339,8 372,3

    2 Februari 533,7 432,6 447,5 396,2 438,3 379,7 315,6 305,0 382,3 356,5 398,7

    3 Maret 430,3 306,4 318,8 282,2 326,2 258,5 275,9 276,1 315,3 309,5 309,9

    4 April 355,0 245,0 256,5 207,7 196,9 173,5 158,8 202,7 259,1 266,4 232,2

    5 Mei 161,9 112,1 104,3 92,4 109,6 89,3 76,0 84,6 117,4 108,2 105,6

    6 Juni 105,3 51,5 65,5 52,5 69,3 50,3 41,4 46,0 86,8 62,1 63,1

    7 Juli 57,2 23,9 35,9 22,1 25,5 22,5 30,1 19,9 36,8 33,5 30,7

    8 Agustus 73,1 19,1 25,2 22,4 27,1 22,0 19,5 22,8 22,8 18,7 27,3

    9 September 31,8 7,9 8,6 5,2 9,1 4,8 5,0 16,1 30,3 13,1 13,2

    10 Oktober 163,0 114,6 121,4 104,1 82,3 82,6 61,6 135,0 122,5 124,2 111,1

    11 November 400,3 261,2 279,0 276,7 165,8 208,2 166,2 203,9 297,6 220,5 247,9

    12 Desember 460,3 323,9 302,6 306,4 304,0 291,7 245,3 257,9 326,7 291,8 311,1

    Sumber: BPDAS POO, 2010

    b. Suhu

    Data suhu udara di Sub DAS Gendol diperoleh dari data suhu di

    Stasiun Klimatologi Adisucipto Yogyakarta. Data ini merupakan data suhu

    rerata bulanan antara tahun 1976-2007. Rerata suhu bulanan pada masing-

    masing stasiun hujan di sekitar Sub DAS Gendol memiliki hasil yang berbeda-

    beda. Secara keseluruhan suhu rerata makin menurun seiring dengan elevasi

    wilayah yang makin meningkat, sehingga apabila elevasi makin tinggi maka

    suhu udara makin rendah. Begitu pula sebaliknya, elevasi semakin rendah

    maka suhu makin tinggi. Stasiun dengan elevasi tertinggi adalah Stasiun Deles

    elevasi 1.015 m dpl memiliki rerata suhu sekitar 20-220 C kemudian stasiun

    dengan elevasi terendah adalah Stasiun Jangkang dengan rerata suhu

    bulanan sekitar 26-280 C.

    Suhu rerata bulanan dari seluruh stasiun di sekitar Sub DAS Gendol

    selama bulan Januari hingga Desember tahun 1976-2007. Suhu rerata

    bulanan terendah terdapat pada bulan Agustus sebesar 240 C. Kemudian suhu

    rerata tertinggi terdapat pada bulan Oktober yakni 25,70 C. Suhu tertinggi ini

    terjadi karena bulan Oktober merupakan bulan peralihan dari musim kemarau

  • ke penghujan sehingga angin bergerak sedikit dan menyebabkan suhu terasa

    panas karena suhu meningkat. Rerata suhu bulanan di Sub DAS Gendol

    berkisar antara 24-25,70 C dari bulan Januari-Desember.

    c. Tipe iklim

    Tipe iklim untuk mengetahui kondisi iklim di Sub DAS Gendol

    menggunakan acuan dari tipe iklim menurut Schmidt-Fergusson. Metode ini

    mendasarkan atas bulan basah dan bulan kering. Hasil perhitungan nilai Q di

    Sub DAS Gendol diperoleh tipe iklim C (agak basah) dan D (sedang). Tipe

    iklim C (agak basah) didapatkan di Stasiun Ngipiksari dengan elevasi 725 m

    dpl serta curah hujan rerata bulanan 270 mm. Tipe iklim D (sedang) terdapat

    hampir di seluruh Sub DAS Gendol dari 9 stasiun di sekitar Sub DAS Gendol

    meliputi stasiun Banjarharjo, Bronggang, Jangkang, Deles, Woro, Candi Sewu,

    Angin-Angin, Pakem dan Prumpung. Untuk lebih jelasnya klasifikasi iklim Sub

    DAS Gendol dapat dilihat pada tabel berikut.

    TabelD.3.3. Tipe iklim Schmidt-Fergusson di Sub DAS Gendol

    No Stasiun Hujan Tipe Iklim Schmidt-Ferguson

    Keterangan

    1 Ngipiksari C Agak basah

    2 Banjar Harjo D Sedang

    3 Bronggang D Sedang

    4 Jangkang D Sedang

    5 Deles D Sedang

    6 Woro D Sedang

    7 Candi Sewu D Sedang

    8 Angin-angin D Sedang

    9 Pakem D Sedang

    10 Prumpung D Sedang Sumber: Fakultas Geografi UGM, 2011

    b) Sub DAS Kuning

    Berdasarkan peta lembar Kaliurang, Pakem dan Timoho skala 1:25.000 Sub

    DAS Kuning terletak pada 436.000440.000 mT dan 9.162.0009.138.000

    mUmemiliki luas wilayah 52,91 km2. Secara administratif mencakup 8 kecamatan

    yaitu: Pakem, Cangkringan, Ngaglik, Ngemplak, Depok, Kalasan, Berbah, Piyungan.

    Batas wilayah daerah penelitian yaitu:

  • Sebelah utara : Kecamatan Pakem

    Sebelah timur : Kecamatan Cangkringan, Kalasan, Ngemplak dan Berbah

    Sebelah selatan : Kecamatan Piyungan

    Sebelah barat : Kecamatan Depok dan Ngaglik

    Secara hidrografi pada lereng selatan Gunungapi Merapi ini mengalir beberapa

    sungai yang rata-rata bersifat perenial di hulu dan intermitten di daerah hilir. Salah

    satunya yaitu Sungai Kuning. Hulu sungai ini pada elevasi 1.450 m dpl. Dari tempat

    tersebut kemudian bercabang menjadi dua alur sungai dan bersatu lagi pada elevasi

    425 m dpl dekat Dusun Sembungan. Sungai Kuning bermuara di Sungai Opak pada

    elevasi 70 m dpl di sebelah timur Bandara Adisucipto, Dusun Bendosari. Di Pakem

    dan Cangkringan lintasan sungai ini sepanjang 22,5 km dengan gradien sungai

    4,2%. Aliran lahar hujan yang pernah mengakibatkan bencana alam antara lain:

    hancurnyajembatan di Dusun Sumberan, dam atau bendungan dan bangunan irigasi

    di Dusun Sawahan serta bangunan penjernih air minum Kota Yogyakarta di Pakem

    rusak tergerus lahar dan tertimbun endapan pasir. Parameter-parameter penyusun

    morfometri sungai dapat dilihat pada tabel berikut:

    Tabel D.3.4. Morfometri sungai di Sub DAS Kuning

    No Parameter Hasil Perhitungan

    1 Luas Sub DAS (A) 52,91 km2

    2 Panjang Sungai Utama (L) 39,02 km

    3 Panjang Sungai Ke titik berat DAS Lca 106,79 km

    4 Median Elevasi 304,9 m dpl

    5 Titik Berat DAS (CoG) 438.095,91 mT ; 9.149.412,17mU

    6 Kemiringan sungai (So) 0,080

    7 Kemiringan sub DAS 0,140

    8 Kerapatan Drainase 2,81 km/km2

    9 Luas DAS Daerah Hulu (AU) 25,97 km2

    10 Luas DAS Daerah Hilir (AD) 26,94 km2

    11 Lebar garis pada 0.75L (WU) 1,91 km

    12 Lebar garis pada 0.25L (WL) 2,03 km

    13 Panjang DAS 33.372,49 km Sumber: Fakultas Geografi UGM, 2011

    a. Curah hujan

    Curah hujan di daerah penelitian ditentukan berdasarkan data curah

    hujan dari tujuh stasiun hujan yaitu Ngipiksari (725 m dpl), Pakem (410 m dpl),

    Jangkang (259 m dpl), Juwengan (82 m dpl), Berbah (100 m dpl) dan Dolo

  • (350 m dpl). Data hujan yang digunakan adalah data hujan dari tahun 1982-

    2006 yang tercantum dalam tabel D.3.5.

    Berdasarkan tabel D.3.5.dapat dijelaskan bahwa daerah penelitian

    mempunyai hujan tahunan maksimum sebesar 3.576 mm/thn yang dijumpai

    pada Stasiun Ngipiksari dan curah hujan minimum sebesar 1.887 mm/thn yang

    dijumpai pada Stasiun Juwengan.

    Tabel D.3.5. Data curah hujan bulanan per stasiun di Sub DAS Kuning tahun1986-2006

    No Bulan

    Stasiun Hujan

    Ng

    ipik

    sa

    ri

    Pak

    em

    Jan

    gkan

    g

    Ju

    wen

    gan

    Ad

    isu

    cip

    to

    Berb

    ah

    Do

    lo

    1 Januari 551 399 379 352 560 591 337

    2 Februari 613 407 357 371 476 442 375

    3 Maret 480 298 248 288 546 383 274

    4 April 338 237 174 160 191 133 173

    5 Mei 196 97 88 78 80 69 83

    6 Juni 116 76 45 44 56 49 49

    7 Juli 53 28 18 17 29 24 19

    8 Agustus 67 25 20 14 15 12 19

    9 September 54 28 10 13 34 14 17

    10 Oktober 181 118 101 83 79 74 87

    11 November 439 280 243 170 205 177 204

    12 Desember 487 323 309 298 305 292 292

    CH Tahunan 3.576 2.316 1.990 1.887 2.575 2.259 1.929

    Sumber: Analisis data hujan PSDA Kabupaten Sleman

    b. Suhu

    Kondisi temperatur di daerah penelitian didasarkan pada stasiun

    meteorologi Adisucipto yang terletak pada elevasi 107 m dpl selama 25 tahun

    (1982-2006). Penentuan temperatur pada lokasi lainnya yakni Stasiun

    Ngipiksari (725 m dpl), Stasiun Pakem (410 m dpl), Stasiun Jangkang (259 m

    dpl), Stasiun Juwengan (82 m dpl), Stasiun Berbah (100 m dpl) dan Stasiun

    Dolo (350 m dpl). Didasarkan pada hasil perhitungan dengan menggunakan

    metode Mock (1973) dengan asumsi bahwa kenaikan elevasi 100 meter akan

    menurunkan temperatur sebesar 0,6 C.

    Rerata tahunan temperatur minimum di DAS Kuning sebesar 24,65 C

    terdapat di Stasiun Pakem. Sedangkan rerata tahunan temperatur maksimum

    sebesar 26,65 C terdapat di Stasiun Juwengan.

  • c. Tipe iklim

    Penentuan tipe iklim di Sub DAS Kuning menggunakan 2 metode

    klasifikasi iklim. Metode tersebut yaitu sistem klasifikasi Oldeman dan sistem

    klasifikasi Schmidt-Ferguson.

    1) Sistem klasifikasi Oldeman

    Sub DAS Kuning memiliki tujuh stasiun pengamatan hujan di mana dari

    data-data hujan yang ada dapat dicari bulan basah dan bulan kering menurut

    Oldeman. Lima dari ketujuh stasiun pengamat hujan di Sub DAS Kuning

    tersebut memiliki tipe iklim zona D3. Kelima stasiun pengamat hujan tersebut

    berada di Jangkang, Juwangen, Adisucipto, Berbah dan Dolo. Sedangkan dua

    stasiun lainnya berada di Ngipiksari dan Pakem yaitu berturut-turut memiliki

    tipe iklim zona C2 dan zona C3. Dapat dilihat pada tabel D.3.6:

    Tabel D.3.6. Tipe iklim Sub DAS Kuning menurut Schmidt-Ferguson dan Oldeman

    2) Sistemklasifikasi Schmidt-Ferguson

    Dari tujuh stasiun hujan yang ada di Sub DAS Kuning dapat dicari tipe

    iklim menurut Schmidt-Ferguson. Enam dari tujuh stasiun hujan yang ada di

    Sub DAS Kuning menunjukkan tipe iklim D atau sedang. Keenam stasiun

    hujan tersebut berada di Pakem, Jangkang, Juwengan, Adisucipto, Berbah

    dan Dolo. Sedangkan untuk stasiun hujan yang berada di Ngipiksari

    menunjukkan tipe iklim C atau agak basah. Seperti terlihat di tabel 3.13.

    Klasifikasi tipe iklim menurut Schmidt-Ferguson ini sangat cocok

    digunakan untuk penentuan jenis vegetasi di suatu daerah. Untuk Sub DAS

    Kuning sendiri memiliki iklim dominan D (sedang). Dimana daerah dengan tipe

    iklim D ini sangat baik untuk ditanami vegetasi hutan musim. Selain itu, di Sub

    DAS Kuning ada pula daerah dengan tipe iklim C atau agak basah, yaitu di

    Ngipiksari. Daerah dengan tipe iklim C sangat baik untuk ditanami vegetasi

    yang memiliki kemampuan meranggas di musim kemarau, seperti tanaman jati

    dan mangga, kapukrandu.

    Tipe Iklim

    Ngipiksari Pakem Jangkang Juwengan Adisucipto Berbah Dolo

    Schmidt-Ferguson

    C (Agak Basah)

    D (Sedang)

    D (Sedang)

    D (Sedang)

    D (Sedang)

    D (Sedang)

    D (Sedang)

    Oldeman C2 C3 D3 D3 D3 D3 D3

  • c) Sub DAS Boyong-Code

    Secara administrasi DAS Boyong-Code terletak di Kabupaten Sleman, Bantul

    dan Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Menurut letak astronominya

    terletak pada 7 43' LS serta 110 22' 30" BT. Luas Sub DAS Boyong-Code adalah

    44,48 km2. Batas administrasi pada daerah penelitian adalah:

    Sebelah utara : Gunungapi Merapi.

    Sebelah timur : Kecamatan Cangkringan

    Sebelah selatan : Kotamadya Yogyakarta.

    Sebelah barat : Kecamatan Turi, dan Sleman.

    Morfometriadalahvariabel-variabelterukurdarisuatusistem yang

    merupakansalahsatufaktorterpenting yang digunakandalampenelitianini.Dari

    hasilpengukuransuatumorfometrisungaikitadapatmengetahuikarakteristik Sub DAS

    tersebut.Bentukmemanjang Sub DAS Boyong-Code

    disebabkankondisimorfologigunungapimemiliki material yang

    hampirsamaataupiroklastisdengankemiringan yang cukupbesar (12,4%).

    Bentukmemanjangdengankemiringan yang

    cukupbesariniakanmempengaruhivariasihujan. Parameter morfometri Sungai Code

    dapat dilihat pada tabel D.3.7:

    Tabel D.3.7. Morfometri Sungai Boyong-Code

    No Parameter Hasil Perhitungan

    1 Luas sub DAS (A) 44,81 km2

    2 Panjang Sungai Utama (L) 45,63 km

    3 Panjang Sungai ke titik berat DAS Lca

    23,76 km

    4 Median elevasi 270,382 m dpl

    5 Titik Berat DAS (CoG) 433.137 mT ;

    9.146.685 mU

    6 Kemiringan sungai (So) 0,0017

    7 Kemiringan sub DAS 0,124

    8 Kerapatan Drainase 0,0024

    9 Luas DAS Daerah Hulu (AU) 24,04 km2

    10 Luas DAS Daerah Hilir (AD) 20,77 km2

    11 Lebar garis pada 0.75L (WU) 1.91 km

    12 Lebar garis pada 0.25L (WL) 0,95 km

    13 Panjang DAS 38,505 km Sumber: Fakultas Geografi UGM, 2011

  • a. Curah hujan

    Curah hujan di sekitar Sub DAS Boyong-Code berdasarkan data dari 10

    stasiun pencatat hujan di sekitar Sub DAS Boyong-Code memiliki curah hujan

    yang tinggi kurang lebih 2.312 mm/tahun dapat dilihat pada tabel D.3.8.

    Sebagian ada yang meresap ke dalam tanah menjadi cadangan airtanah dan

    sebagian lagi menguap ke atmosfer.

    Tabel D.3.8. curah hujan Sub DAS Boyong-Code

    No Nama Stasiun CH Rata-rata

    (mm/th)

    1 Barongan 1.638,36

    2 Gandok 1.956,66

    3 Gondangan 2.217,17

    4 Jambon 2.256,67

    5 Kolombo 2.675,92

    6 Ledoknongko 3.001,04

    7 Mrican/ Giwangan

    1.113,60

    8 Ngipiksari 3.509,09

    9 Pakem 2.345,24

    10 Beran 2.410,38

    Rata-rata curah hujan bulanan terendah di Sub DAS Boyong-Code

    terjadi di Stasiun Barongan pada bulan Agustus dengan curah hujan sebesar 5

    mm/bulan. Sedangkan curah hujan rata-rata bulanan tertinggi terjadi di Stasiun

    Ngipiksari pada bulan Februari dengan curah hujan sebesar 580 mm/bulan.

    Hujan di Sub DAS Boyong-Code termasuk pola hujan monsunal dimana pola

    hujan jenis ini dipengaruhi oleh angin monsun. Jumlah curah hujan minimum

    pada bulan Juni, Juli, Agustus, dan September, dan maksimum pada bulan

    November, Desember, Januari, dan Februari.

    Trend curah hujan selama 2009-2010 sendiri di sepanjang Sub DAS

    Boyong-Code menunjukkan intensitas hujan yang tinggi, bahkan sampai awal

    2011 ini. Dampaknya sering terjadi genangan bahkan banjir. Selain itu juga

    terjadi fenomena angin putting beliung karena adanya perubahan ekstrem dari

    cuaca yang semula panas tiba-tiba menjadi dingin dan hujan disertai angin.

    Dari segi kesehatan sendiri banyak terjadi gangguan kesehatan masyarakat

    seperti demam berdarah dan sistem imun tubuh yang menurun.

  • Pasca erupsi Merapi dari Oktober-Januari sekarang dampak hujan yang

    tinggi dan intensif tersebut mengikis lahar dan sedimen yang sudah membeku

    dan mengakibatkan banjir lahar dingin yang membawa material Merapi

    memenuhi sepanjang aliran di Sub DAS Boyong-Code baik itu dari Sungai

    Boyong yang berada pada hilir atas, hingga Sungai Code yang berada di

    bawahnya. Dampak dari banjir lahar tersebut banyak terjadi kerusakan

    cekdam penahan sedimen dan membuat pendangkalan Sungai Boyong

    hingga Code. Material tersebut berupa pasir dan batuan berukuran besar

    hingga kecil yang terus ditambang oleh warga masyarakat.

    b. Suhu

    Data suhu udara di Sub DAS Boyong-Code didapatkan dari hasil

    koreksi stasiun-stasiun hujan yang ada dengan Stasiun Klimatologi Adisucipto

    pada tahun 1982-2005. Perbedaan suhu dikoreksi dengan menggunakan

    Rumus Mock (1973) sehingga kecenderungan suhu tertinggi dan suhu

    terendah di stasiun-stasiun hujan di Sub DAS Boyong-Code ini sama. Suhu

    tertinggi terjadi pada bulan Oktober dan suhu terendah terjadi pada bulan

    Agustus. Stasiun yang memiliki suhu rata-rata bulanan terendah adalah

    Stasiun Ngipiksari karena berada di wilayah yang paling tinggi. Sedangkan

    stasiun yang memiliki suhu rata-rata bulanan tertinggi adalah Stasiun

    Barongan.

    c. Tipe iklim

    Penentuan tipe iklim di wilayah penelitian didasarkan pada tipe iklim

    Schmidt-Ferguson (1951), tipe iklim Koppen (1918) serta tipe iklim Oldeman

    (1975). Tipe iklim Schmidt-Ferguson berdasarkan jumlah bulan basah dan

    bulan kering dalam satu tahun, dimana bulan kering adalah bulan dengan

    curah hujan rata-rata kurang dari 60 mm sedangkan bulan basah adalah bulan

    dengan curah hujan rata-rata lebih dari 100 mm. Kriteria iklim didasarkan pada

    hasil bagi rerata jumlah bulan kering dan rerata jumlah bulan basah (nilai Q).

    Tipe iklim Schmidt-Ferguson di Sub DAS Boyong-Code berdasarkan data

    curah hujan tahun 19832006 beriklim agak basah (C), sedang (D), agak

    kering (E). Tipe iklim C (agak basah) terdapat di daerah hulu Sub DAS

    Boyong-Code, tipe iklim D (sedang) terdapat di daerah tengah Sub DAS

  • Boyong-Code, sedangkan tipe iklim E (agak kering) terletak di bagian hulu Sub

    DAS Boyong-Code.

    Penentuan tipe iklim dengan klasifikasi Koppen menggunakan dasar

    curah hujan terkering dalam satu bulan (inchi) dan curah hujan rata-rata

    tahunan (inchi) yang diplotkan dalam sebuah grafik. Berdasarkan perhitungan

    dan pengeplotan menunjukkan bahwa Sub DAS Boyong-Code memiliki iklim

    dengan tipe Am dan Aw. Tipe Am berarti pada wilayah tersebut beriklim

    monsoon tropis dengan ciri-ciri wilayahnya terik dan hujan berlebihan secara

    musiman. Tipe Aw berarti pada wilayah tersebut beriklim hutan hujan tropis

    dengan ciri-ciri hujan dalam seluruh musim dan terik.

    Tipe iklim Oldeman hanya menggunakan unsur curah hujan sebagai

    dasar klasifikasi iklim, dengan mengelompokkan jumlah bulan basah dan

    bulan kering berurutan. Berdasarkan hasil klasifikasi iklim Oldeman, Sub DAS

    Boyong-Code memiliki tipe iklim C2, C3, D2, dan D3.

    d) Sub DAS Bedog

    Sub DAS Bedogmerupakanbagiandari DAS Progobagiantimur. Letak Sub DAS

    Bedogsecarageografisterletakpadakoordinat 49 M 9.129.150-9.161.700 mUdan

    421.650-435.650 mT.Sehinggasecaraadministratif Sub DAS Bedogberada di 2

    KabupatenyaituKabupatenSlemandanKabupatenBantul yang

    merupakanwilayahadministrasi Daerah Istimewa Yogyakarta

    (DIY).BerdasarkanperhitunganmenggunakanpetaRupaBumi Indonesia (RBI) skala

    1:25.000 luas DAS Bedogkuranglebih 11.621,42 ha. Batas wilayahdari Sub DAS

    Bedogadalah:

    Sebelah utara : Sub DAS Krasak

    Sebelah timur : Sub DAS Boyong-Code dan Winongo

    Sebelah selatan : Sub DAS Winongo

    Sebelah barat : Sub DAS Konteng

    Morfometri Sub DAS BedogditunjukkanpadatabelD.3.9.

    TabelD.3.9. Tabelmorfometri Sub DAS Bedog

    Parameter sub DAS Keterangan

    Luas sub DAS 86,296 km2

    Panjang Sungai 42,478 km

    h10 62,5 m

    h85 475 m

  • Parameter sub DAS Keterangan

    Gradien Sungai Rata-Rata 12,94

    Sungai Orde 1 Jumlah 43

    Panjang 75,641 km

    Sungai Orde 2 Jumlah 10

    Panjang 42,544 km

    Sungai Orde 3 Jumlah 3

    Panjang 23,359 km

    Sungai Orde 4 Jumlah 1

    Panjang 26,226 km

    Faktor Sumber (SF) 0,451

    Frekuensi Sumber (SN) 0,754

    Faktor Lebar (WF) 1,872

    Luas sub DAS Hulu (RUA) 0,519 km2

    Faktor Simetri 0,972

    Jumlah Pertemuan Sungai (JN) 42

    Kerapatan Jaringan 1,994 Sumber: Fakultas Geografi UGM, 2011

    a. Curah hujan

    Pengukuran, penentuan kondisi iklim dan cuaca didasarkan pada

    pengukuran dan data pada stasiun klimatologi yang terdapat di dalam suatu

    DAS atau di sekitar DAS. Stasiun hujan yang digunakan dalam penentuan

    kondisi dan tipe iklim serta pengukuran lain yang berkaitan dengan kondisi

    iklim meliputi 11 (sebelas) stasiun hujan, ditunjukkan pada tabel berikut:

    Tabel D.3.10 Stasiun hujan di Sub DAS Bedog

    No Nama Stasiun Koordinat

    Tahun Data Sumber X Y

    1 Ngepos 429335 9186158 1986-2006 BPSDA DIY

    2 Beran 423848 9146748 1986-2006 BPSDA DIY

    3 Seyegan 421989 9141371 1986-2006 BPSDA DIY

    4 Godean 427255 9142608 1986-2006 BPSDA DIY

    5 Jambon 425057 9138151 1986-2006 BPSDA DIY

    6 Patukan/ Gamping 429211 9145436 1986-2006 BPSDA DIY

    7 Gandok 431162 9131251 1986-2006 BMKG

    8 Pakem 435971 9152386 1986-2006 BMKG

    9 Kemput 434343 9155609 1986-2006 BMKG

    10 Prumpung 432914 9148052 1986-2006 BMKG

    11 Ngipiksari 436668 9158314 1986-2006 BMKG Sumber : BPSDA DIY, 2009 dan BMKG

    Besarnya curah hujan rata-rata bulanan di Sub DAS Bedog dapat dilihat

    pada tabel D.3.11. Berdasarkan distribusi curah hujan rata-rata dapat

  • ditentukan tipe hujan pada 6 (enam) stasiun hujan di sekitar Sub DAS Bedog

    termasuk tipe monsunal. Tipe monsunal dicirikan dengan curah hujan minimum

    pada bulan Juni, Juli, Agustus, dan September. Curah hujan tertinggi pada

    bulan November, Desember, Januari, dan Februari. Saat monsun barat, jumlah

    curah hujan berlebih karena angin membawa uap air yang banyak dari

    Samudra Hindia. Sebaliknya saat monsun timur jumlah curah hujan sangat

    sedikit karena uap air yang dibawa angin sangat sedikit.

    Distribusi dan besarnya curah hujan dipengaruhi oleh kondisi topografi.

    Curah hujan rata-rata bulanan tertinggi terdapat pada Stasiun Ngipiksari (712 m

    dpl) dengan curah hujan rata-rata tertinggi pada bulan Februari (614 mm/bln).

    Curah hujan rata-rata bulanan terendah terdapat pada Stasiun Ngepos dan

    Gandok. Curah hujan rata-rata bulanan terendah terdapat pada bulan Agustus

    di Stasiun Ngepos (8 mm/bln).

    Tabel D.3.11. Tabel curah hujan rata-rata bulanan di Sub DAS Bedog

    Bulan

    Stasiun Hujan

    Ng

    ep

    os

    Se

    ye

    ga

    n

    Go

    de

    an

    Ja

    mb

    on

    Pa

    tuk

    an

    Bera

    n

    Ga

    nd

    ok

    Pa

    kem

    Kem

    pu

    t

    Pru

    mp

    un

    g

    Ng

    ipik

    sa

    ri

    Januari 410 388 394 374 336 405 374 385 481 347 546

    Februari 377 347 382 381 341 395 428 406 444 353 614

    Maret 345 284 335 320 298 333 301 304 408 304 511

    April 228 211 200 220 176 216 185 239 252 234 374

    Mei 115 92 86 80 63 99 71 110 124 100 184

    Juni 84 63 68 62 57 79 57 76 75 71 138

    Juli 27 23 33 33 70 37 18 31 21 34 68

    Agustus 17 17 24 22 17 20 8 27 36 21 92

    September 20 9 21 17 12 16 10 16 30 19 52

    Oktober 160 109 143 122 93 153 90 114 201 135 218

    November 281 238 289 239 211 271 182 279 334 217 512

    Desember 353 353 353 304 282 345 324 306 293 302 500 Sumber: Hasil perhitungan data curah hujan stasiun hujan di Sub DAS Bedog tahun 1986-2006

    b. Suhu

    Parameter iklim lainnya yang berpengaruh dalam sistem hidrologi

    adalah temperatur udara (suhu). Data suhu udara yang digunakan diperoleh

    dari Stasiun Meteorologi Adisutjipto. Penentuan suhu udara bulanan pada tiap

    stasiun dilakukan menggunakan persamaan Mock (1973). Berdasarkan hasil

  • perhitungan suhu rata-rata bulanan pada 7 (tujuh) stasiun, yaitu Ngepos,

    Ngipiksari, Pakem, Gandok, Kemput, Godean, dan Patukan didapatkan hasil

    suhu udara rata-rata bulanan tertinggi terdapat pada bulan Oktober dan paling

    rendah pada bulan Agustus.

    c. Tipe iklim

    Sub DAS Bedog mempunyai bentuk yang memanjang, diawali dari

    bagian hulu di lereng Gunungapi Merapi, di bagian tengah dan hulu

    merupakan dataran fluvio vulkan dan dataran vulkan dengan topografi berupa

    dataran, dan terdapat pula bagian berupa Perbukitan Sentolo

    tersusunolehbatugampingdengansisipannapal. Variasi topografi dan

    kompleksitas sistem di dalamnya membuat adanya sebuah variasi iklim. Iklim

    merupakan gabungan dari berbagai unsur yang mengawali beberapa proses di

    atmosfer. Penentuan iklim dapat digolongkan menjadi beberapa metode, yaitu

    metode menurut Schimdt-Fergusson, menurut Koppen, dan menurut Oldeman.

    Tabel D.3.12. Tipe iklim Sub DAS Bedog

    Stasiun Oldemann Schimdt-

    Fergusson

    Beran C3 C

    Gandok C3 D

    Godean C3 D

    Jambon C3 D

    Kemput C3 D

    Ngepos C3 C

    Ngipiksari B2 C

    Pakem D3 C

    Patukan/ Gamping D3 D

    Prumpung D3 D

    Seyegan C3 D

    Berdasarkan klasifikasi iklim tipe Schimdt-Fergusson Sub DAS Bedog terdiri

    dari 2 tipe iklim, yaitu tipe iklim C (agak basah) dan D (sedang). Tipe iklim C tersebar

    di daerah lereng atas Gunungapi Merapi yang direpresentasikan pada Stasiun

    Beran, Ngepos, Ngipiksari, dan Pakem. Tipe iklim D (sedang) menyusun sebagian

    besar daerah hulu yang dapat dilihat pada tabel D.3.12. Tipe iklim C terdapat pada

    bagian hulu Sub DAS Bedog. Sedangkan tipe iklim D (sedang) mendominasi

    mayoritas luasan Sub DAS Bedog.

  • Klasifikasi tipe iklim Oldeman Sub DAS Bedog bagian hulu termasuk dalam tipe

    iklim B2 yang diwakili oleh Stasiun Ngipiksari. Bagian tengah Sub DAS Bedog

    termasuk ke dalam tipe iklim C3, sedangkan di bagian selatan termasuk ke dalam

    tipe iklim D3. Ini berarti dari hulu ke hilir, berdasarkan klasifikasi iklim Oldeman, Sub

    DAS Bedog memiliki iklim yang basah di utara, dan semakin kering di daerah

    selatan

  • AIR TANAH

    Air tanah pada daerah penelitian dikontrol oleh Sistem Akuifer Merapi (SAM)

    yang tersusun atas Formasi Yogyakarta dan Formasi Sleman. Formasi Sleman lebih

    tua dari Formasi Yogyakarta sehingga Formasi Sleman berada di bawah Formasi

    Yogyakarta. Material Formasi Sleman berupa pasir, gravel dan boulder sedangkan

    material Formasi Yogyakarta terdiri dari pasir, gravel, silt dan lempung. Ketebalan

    Formasi Sleman bervariasi, di bagian utara 38 m dan di selatan Kota Yogyakarta

    120 m. Ketebalan Formasi Yogyakarta lebih dari 45 m (Mac Donald & Patners,

    1984). Sistem Akuifer Merapi mempunyai topografi yang miring ke selatan sesuai

    dengan topografinya yang semakin rendah dari utara menuju ke selatan. Pola

    alirannya radial sentrifugal seperti biasa yang terdapat pada daerah vulkan yang

    berbentuk kerucut.

    Pergerakan airtanah pada daerah penelitian secara menyeluruh mengalir dari

    utara menuju ke selatan. Muka freatik airtanah ini terpotong oleh lembah-lembah

    sungai sehingga dapat dimungkinkan munculnya mataair di daerah tersebut. Selain

    itu mataair sering dijumpai pada daerah peralihan slope. Peralihan slope ini selain

    ditandai dengan adanya mataair juga ditandai dengan adanya perbedaan yang

    mencolok pada daerah tersebut antara lain perubahan dari lereng curam ke lereng

    yang datar maupun juga oleh perbatasan antara penggunaan lahan yang kering

    dengan erosi persawahan.

    a) Sub DAS Gendol

    Sub DAS Gendol materialnya berupa batuan gunungapi tak terpisahkan dan

    endapan Gunungapi Merapi tua yang terdiri dari breksi vulkanik, aglomerat dan lava

    yang bersusunan andesit.

    Daerah kajian berada pada sisi selatan lereng Gunungapi Merapi pergerakan

    airtanahnya secara menyeluruh mengalir dari utara ke selatan. Maka freatik airtanah

    ini terpotong oleh lembah-lembah sungai sehingga mataair muncul. Pasokan

    airtanah pada daerah kajian diperoleh dari perkolasi air hujan. Material pembentuk

    akuifer pada bentuklahan ini memiliki nilai konduktivitas hidrolik yang cukup tinggi

    sehingga memberikan potensi airtanah yang cukup besar. Pada daerah hulu Sub

  • DAS Gendol di dominasi oleh penggunaan mataair sedangkan untuk pemakaian

    airtanah berada pada bagian tengah dan hilir Sub DAS Gendol.

    Nilai kedalaman airtanah di Sub DAS Gendol memiliki keanekaragaman. Hal ini

    dipengaruhi oleh perbedaan elevasi, topografi dan stratigrafi batuan di wilayah Sub

    DAS Gendol. Secara keseluruhan kecuali di bagian paling hulu sub DAS potensi

    airtanah di wilayah tersebut adalah baik. Meskipun nilai kedalaman muka airtanah

    hasil pengukuran lapangan dan tebal akuifer hasil analisis data geolostrik

    menunjukkan nilai yang bervariasi. Namun dapat disimpulkan secara umum

    kedalaman muka airtanah di Sub DAS Gendol pada daerah hilir sekitar 3 meter.

    Sedangkan pada daerah tengah terdapat sumur yang mempunyai kedalaman

    hingga 48 m dan pada daerah hulu tidak ditemukan sumur gali akan tetapi untuk

    memenuhi kebutuhan airnya penduduk menggunakan sumberdaya mataair yang

    tersedia.

    Jaring-jaring airtanah (flownet) yang dihasilkan menunjukkan bahwa wilayah

    Sub DAS Gendol yang berada di lereng atas hingga lereng tengah merupakan

    bagian dari daerah tangkapan (rechargearea). Sedangkan bagian di bawahnya

    hingga ke hilir sub DAS merupakan bagian dari daerah pemanfaatan

    (dischargearea). Hal tersebut terlihat dari pola jaring-jaring airtanah yang

    menunjukkan arah aliran yang dimulai dari bagian hulu Sub DAS Gendol kemudian

    mengumpul menuju bagian hilir sub DAS.

    Wilayah Sub DAS Gendol di bagian lereng atas selatan Gunungapi Merapi

    memiliki potensi airtanah yang paling rendah dibandingkan dengan wilayah hilir. Hal

    tersebut ditunjukkan dengan kedalaman muka airtanah yang sangat tinggi sehingga

    jarang sekali ditemukan sumur di wilayah tersebut karena untuk membuat sumur

    perlu pengeboran yang sangat dalam. Hal tersebut disebabkan lapisan material

    pasir sangat tebal, yang berarti lapisan akuifer juga terlalu dalam sehingga airtanah

    yang diperoleh juga akan semakin dalam. Kelemahan pada pengukuran lapangan ini

    adalah pada saat wawancara dengan warga tidak mengetahui besar kecilnya nilai

    fluktuatif. Fluktuasi tinggi muka airtanah tersebut terjadi karena faktor jumlah infiltrasi

    dan evaporasi yang berbeda antara musim hujan dengan musim kemarau. Nilai

    infiltrasi di musim hujan lebih besar dibandingkan pada musim kemarau dan nilai

    evaporasi lebih besar di musim kemarau dibandingkan di musim hujan, sedangkan

    kebutuhan air saat musim hujan dan musim kemarau rata-rata adalah sama. Hal

    tersebut mengakibatkan terjadinya penurunan muka airtanah saat musim kemarau.

  • Untuk menghindari terjadinya penurunan muka airtanah yang ekstrim diperlukan

    suatu batasan dalam penggunaan airtanah yang diukur dengan nilai hasil aman.

    Sub DAS Gendol memiliki keanekaragaman potensi airtanah. Hal ini

    dipengaruhi oleh perbedaan elevasi, topografi dan stratigrafi batuan di wilayah Sub

    DAS Gendol. Nilai fluktuatif airtanah dipengaruhi oleh curah hujan, infiltrasi, dan

    evaporasi. Arah aliran airtanah (flownet) pada Sub DAS Gendol mengalir ke selatan

    dimana lereng atas hingga lereng tengah merupakan bagian dari recharge area

    sedangkan bagian di bawahnya hingga ke hilir sub DAS merupakan bagian dari

    discharge area.

    Potensi airtanah Sub DAS Gendol hanya masuk ke dalam 3 kelas klasifikasi

    dari 5 kelas yang ada. Kelas potensi airtanah yang tidak ditemui di Sub DAS Gendol

    yaitu kelas potensi sangat rendah dan sangat tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa di

    wilayah Gendol tidak terdapat variasi potensi airtanah yang begitu tinggi sehingga

    daerahnya relatif jarang mengalami krisis air bersih, kecuali pada daerah-daerah

    hulu Gendol yang memiliki tingkat potensi airtanah rendah. Dengan demikian

    kebutuhan air domestiknya tidak menggantungkan pada sumberdaya airtanah

    melainkan bergantung pada sumber mataair Bebeng.

    Wilayah dalam Sub DAS Gendol yang termasuk dalam kelas potensi rendah

    berada di bagian utara Dusun Bebeng dan Kalitengah Lor yaitu sebesar 6,78% dari

    luas seluruh sub DAS pada bagian atas/ hulu sub DAS. Dilihat dari bentuklahannya

    yang berupa kerucut gunungapi kemiringan lereng yang miring hingga curam (>30%)

    litologinya berupa material breksi, aglomerat dan leleran lava (endapan Gunungapi

    Merapi tua/ Qmo), kedalaman airtanah yang sangat dalam (>48 m) serta dari

    penggunaan lahannya yang berupa tanah berbatu yang tandus wajar kalau di

    wilayah tersebut sulit menemukan airtanah serta tidak terdapat permukiman

    penduduk.

    Kelas potensi airtanah sedang terdapat hampir di seluruh sub DAS yakni pada

    bagian tengah sebesar 78,98% dari luas seluruh Sub DAS Gendol. Bentuklahan

    pada kelas potensi sedang ini terdiri dari lereng tengah, sebagian lereng atas dan

    bawah, penggunaan lahannya berupa tegalan, kebun, hutan, sawah serta

    permukiman. Kemiringan lerengnya mulai dari datar-landai hingga miring (0-30%),

    litologinya berupa material tuf, abu, breksi, aglomerat dan leleran lava tak

    terpisahkan (endapan Gunungapi Merapi muda/ Qmi), curah hujan yang sedang

    (2.233-2.625 mm/tahun), kedalaman airtanah yang dalam hingga sedang (2-10,46

  • m) serta nilai permeabilitas sedang (2,0-6,25 cm/jam) dengan tekstur tanah geluh

    berpasir menyebabkan potensi airtanah di daerah ini termasuk sedang dan dapat

    mencukupi kebutuhan warga yang bermukim di sekitar wilayah tersebut.

    Potensi airtanah dengan kelas tinggi terdapat pada daerah bawah/ hilir sub

    DAS dengan cakupan wilayah sebesar 14,24% dari seluruh luas sub DAS. Terdiri

    dari daerah administrasi sebagian Desa Sindumartani, Desa Kebonalas dan Desa

    Kranggan. Wilayah ini memiliki kedalaman muka airtanah dangkal sampai sangat

    dangkal (0,4-2 m), kemiringan lereng datar (0-3%), nilai permeabilitas sedang,

    litologi berasal dari endapan Gunungapi Merapi muda, ketebalan akuifer termasuk

    tebal (91,4-113,2 m), penggunaan lahan berupa sawah dan permukiman, serta

    bentuklahan berupa sebagian lereng bawah dan lereng kaki mengakibatkan wilayah

    ini memiliki potensi airtanah yang tinggi walaupun memiliki curah hujan yang rendah

    (1.823-1.982 mm/tahun). Seluruh warga di wilayah ini memenuhi kebutuhan air

    domestik sehari-hari dengan menggunakan airtanah yang berasal dari sumur gali.

    Letaknya yang berada di daerah hulu Sub DAS Opak dan memiliki tekstur tanah

    dengan nilai permeabilitas sedang dari Sub DAS Gendol ini menjadikannya sebagai

    daerah resapan air (recharge area).

    b) Sub DAS Kuning

    Secara umum airtanah di Sub DAS Kuning memiliki potensi sedang karena

    adanya kombinasi antara parameter penentu potensi airtanah yang tinggi dengan

    parameter penentu airtanah lainnya yang relatif rendah. Parameter penentu potensi

    airtanah yang tinggi ditunjukkan dengan sebagian besar material batuan. Material

    penyusun Sub DAS Kuning porus air merupakan bagian dari formasi Merapi yang

    tersusun atas material tuff, abu, breksi, algomerat, leleran lava, andesit dan basalt

    sehingga membentuk sistem akuifer yang baik. Curah hujan yang tinggi di bagian

    lereng Merapi dan vegetasi yang masih lebat juga menjadi bagian dari parameter

    penentu potensi airtanah yang tinggi sehingga mampu mendukung terbentuknya

    sistem daerah tangkapan hujan yang baik. Parameter penentu potensi airtanah yang

    rendah salah satunya ditunjukkan dengan muka airtanah yang dalam, pola

    penggunan lahan sebagai permukiman dan jenis tekstur tanah yang relatif kedap

    terhadap air contohnya lempung.

    Kondisi potensi airtanah yang sedang hingga tinggi di Sub DAS Kuning

    menunjukkan masyarakat di sekitar Sub DAS Kuning tidak mengalami kesulitan

  • dalam memanfaatkan airtanah sebagai sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan

    domestiknya meskipun dibeberapa daerah di bagian utara Sub DAS Kuning (lereng

    atas Merapi) potensi airtanahnya rendah. Namun permasalahan ini dapat diatasi

    dengan memanfaatkan mataair yang ada atau melalui sistem distribusi dari daerah

    yang memiliki potensi airtanah tinggi ke daerah yang memiliki potensi airtanah

    rendah.

    Potensi airtanah di Sub DAS Kuning secara mendalam dapat ditunjukkan

    melalui pembagian Sub DAS Kuning menjadi bagian Utara, Tengah dan Selatan.

    Bagian Utara (lereng atas Merapi) meliputi Desa Hargobinangun, Umbulharjo,

    Pakembinangun dan Wukirsari sebagian besar memiliki potensi airtanah sedang

    meski ada daerah-daerah dengan potensi airtanah tinggi yaitu di bagian utara dan

    tengah Desa Hargobinangun dan daerah-daerah dengan potensi airtanah rendah

    seperti di bagian barat Desa Hargobinangun. Potensi airtanah tinggi di bagian utara

    dan tengah Desa Hargobinangun disebabkan daerah tersebut tersusun atas material

    yang porus air dengan tekstur pasir berlempung hingga lempung berpasir yang

    mampu menyimpan air dengan baik, jenis penggunaan lahan berupa hutan yang

    mampu menginfiltrasikan air hujan secara maksimal, akuifer yang relatif tebal

    sebagai media penyimpan air dengan volume besar dan permeabilitas yang agak

    cepat. Di daerah ini juga ditemukan beberapa sumur yang memiliki kedalaman air

    cukup dangkal, bahkan ketika musim penghujan air yang ada pada sumur-sumur

    tersebut dapat meluber. Keadaan ini dikarenakan letak sumur berada tepat pada

    tekuk lereng. Potensi airtanah rendah di bagian barat Desa Hargobinangun

    disebabkan oleh relief daerah tersebut sangat curam sehingga mempersulit proses

    infiltrasi air hujan kedalam tanah, permeabilitas tanah agak lambat dan jenis

    penggunaan lahan berupa permukiman menyebabkan proses infiltrasi air hujan

    terhambat.

    Sub DAS Kuning bagian Tengah meliputi Desa Umbulmartani, Widodomartani,

    Sukoharjo dan Selomartani didominasi dengan potensi airtanah sedang hingga

    tinggi. Kondisi tersebut terjadi karena wilayahnya memiliki permeabilitas tanah yang

    agak cepat hingga cepat, material penyusun akuifer porus air dengan tekstur pasir

    berlempung hingga lempung berpasir, relief relatif landai, airtanah relatif dangkal dan

    jenis pengunaan lahan sebagian besar mampu menginfiltrasikan air hujan dengan

    baik seperti sawah, tegalan, kebun, atau rawa. Wilayah Sub DAS Kuning bagian

  • Tengah tidak ditemukan potensi airtanah rendah karena sebagian besar parameter

    penentu potensi airtanahnya mengarah pada potensi airtanah yang baik.

    GambarD.3.1. Sumur gali penduduk di lereng tengah yang berada pada tekuk lereng

    (Posmalang, Wukirsari)

    Bagian Selatan Sub DAS Kuning meliputi Desa Wedomartani, Purwomartani,

    Maguwoharjo, Kilitirto, Tegaltirto, Sendangtirto, Potorono dan Sitimulyo didominasi

    dengan potensi airtanah tinggi. Bahkan di daerah ini juga ditemukan potensi airtanah

    yang sangat tinggi di bagian timur Desa Purwomartani akibat permeabilitas tanah

    yang cepat, jenis material batuan sangat porus dengan tekstur lempung berpasir,

    jenis penggunaan lahan berupa kebun dan lahan terbuka mampu menginfiltrasikan

    air hujan dengan baik, relief relatif datar, dan muka airtanah relatif dangkal. Di

    wilayah ini tidak ditemukan daerah dengan potensi airtanah yang rendah.

    c) Sub DAS Boyong-Code

    Aliran airtanah di Sub DAS Boyong-Code secara umum mengalir dari utara ke

    selatan yaitu dari Pakem, Sleman hingga ke Jetis, Bantul. Pola persebaran alirannya

    berbentuk radial sentrifugal merupakan ciri khas dari pola aliran gunungapi.

    Pemanfaatan airtanah bagi masyarakat di sekitar Sub DAS untuk irigasi sawah,

    tambak ikan, konsumsi dan MCK. Sub DAS Boyong-Code yang didominasi

    permukiman cenderung membuat masyarakat menggunakan airtanah untuk

    konsumsi dan kegiatan domestik lainnya.

    Daerah recharge area berada di lereng atas, tengah dan bawah yaitu di daerah

    Hargobinangun, Pakembinagun dan Harjobinangun. Sedangkan daerah

    pemanfaatannya atau discharge area berada di kaki lereng ke selatan Sleman, Kota

  • Yogyakarta hingga Jetis, Bantul yang dilalui oleh Sub DAS Boyong-Code. Daerah

    recharge area merupakan wilayah konservasi air dan merupakan wilayah yang

    didominasi hutan dengan permukiman jarang dan menyebar.

    Seiring perkembangan kekotaan dan padatnya penduduk penggunaan

    airtanahnya juga tinggi. Dikhawatirkan airtanah menjadi semakin dalam apabila terus

    dipompa berlebihan. Fluktuasi pada musim kemarau mengakibatkan penurunan

    tinggi muka air. Berdasarkan survei pengukuran sumur dan hasil wawancara

    penduduk di lereng atas fluktuasi TMA airtanah 1-3 m.

    Sub DAS Boyong-Code memiliki 3 kelas potensi airtanah yaitu sedang, rendah

    dan tinggi. Wilayah dengan tingkat potensi airtanah rendah terletak di Sub DAS

    Boyong-Code bagian hulu. Wilayah ini walaupun memiliki curah hujan cukup tinggi

    akan tetapi tingkat kemiringan lerengnya terlalu curam sehingga air hujan yang turun

    banyak menjadi runoff dan masuk ke sungai menjadi aliran permukaan. Akuifernya

    tipis dan juga batuan penyusunnya tidak mampu menyimpan air dengan baik

    sehingga potensinya rendah. Daerah yang memiliki potensi airtanah rendah ini

    meliputi Kelurahan Hargobinangun bagian selatan dan juga sebagian Kelurahan

    Purwobinangun.

    Wilayah dengan tingkat potensi airtanah sedang terletak di bagian tengah Sub

    DAS Boyong-Code. Wilayah ini memiliki curah hujan cukup tinggi, tingkat kemiringan

    lereng agak terjal dan akuifernya tebal. Nilai permeabilitasnya cukup besar akan

    tetapi wilayah ini banyak yang sudah menjadi permukiman sehingga kapasitas

    infiltrasinya berkurang dan potensi airtanah yang tersimpan tidak cukup besar.

    Potensi airtanah sedang ini tersebar di sepanjang Sub DAS Boyong-Code, meliputi

    Kelurahan Donoharjo, Sardonoharjo, Sinduharjo, Condongcatur, Sariharto, Sinduadi,

    Caturtunggal dan Kota Yogyakarta.

    Wilayah dengan tingkat potensi airtanah tinggi terletak di daerah hilir Sub DAS

    Boyong-Code. Akuifernya sangat tebal, lerengnya landai, curah hujannya cukup

    tinggi, airtanahhya dangkal dan tingkat permeabilitasnya tinggi. Walaupun

    penggunaan lahannya sebagian besar berupa permukiman dan pertanian akan

    tetapi di wilayah ini potensi airtanahnya termasuk tinggi. Daerah yang memiliki

    potensi airtanah tinggi meliputi Kelurahan Pakembinangun, Harjobinangun,

    Kecamatan Banguntapan, Sewon, Jetis dan juga Kecamatan Pleret.

  • d) Sub DAS Bedog

    Arah aliran airtanah di Sub DAS Bedog dari utara ke selatan berdasarkan

    interpolasi pengambilan data koordinat sumur-sumur yang didapat dari survei

    lapangan dari Hargobinangun, Sleman hingga Triharjo, Bantul. Fluktuasi terjadi

    karena perubahan akibat dari suplai curah hujan atau perubahan musim dari

    kemarau ke hujan yang mempengaruhi infiltrasi air yang menyuplai akuifer. Fluktuasi

    bervariasi antara 0,5-9 m. Data fluktuasi ini didapatkan dari hasil wawancara dengan

    penduduk. Rata-rata fluktuasi untuk DAS Bedog adalah 1,92 meter.

    Pemanfaatan terbesar ditunjukkan dengan adanya kontur-kontur yang merapat

    dan menuju pada satu titik menunjukkan penurapan airtanah yang paling besar.

    Pemanfaatan tersebut berada di lereng atas, tengah dan bawah. Penggunaan relatif

    besar berada di daerah atas dan tengah (Sleman-Kota Yogyakarta). Sedangkan di

    daerah bawah (Bantul) karena penduduknya lebih jarang maka penurapan

    airtanahnya tidak seintensif daerah atas dan tengah. Di lereng atas sendiri yang

    seharusnya merupakan wilayah konservasi airtanah atau recharge area namun

    penurapannya sudah begitu besar. Ini dikarenakan perkembangan penduduk tidak

    terkendali dan hampir meratanya intensitas pertambahan populasi penduduk.

    Airtanah tersebut dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan air penduduk untuk

    konsumsi, mandi, peternakan dan irigasi.

    Penurapan airtanah relatif besar tercatat di Desa Bangunkerto, Donokerto dan

    Trimulyo. Daerah-daerah tersebut merupakan daerah dimana penggunaan

    airtanahnya intensif yang ditunjukkan dengan flownet yang memusat pada suatu

    titik. Penurapan airtanah yang besar tersebut akibat dari padatnya penduduk dan

    pembuatan sumur pompa yang berlebihan. Apabila tidak segera diatasi hal ini bisa

    menimbulkan permasalahan distribusi airtanah tidak merata dan membuat airtanah

    menjadi semakin dalam.

    Potensi airtanah ditentukan berdasarkan parameter-parameter fisik seperti

    batuan induk, kedalaman sumur, geomorfologi, curah hujan, kemiringan lereng, tebal

    akuifer, tekstur tanah dan penggunaan lahan. Potensi airtanah terbagi menjadi 5

    klasifikasi potensi yaitu potensi sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah dan sangat

    rendah (lihat tabel D.3.13).

  • TabelD.3.13. Lokasi administrasi potensi airtanah

    Potensi Airtanah

    Lokasi

    Sangat tinggi

    Sebagian desa: Bangunjiwo, Tamantirto, Balecatur, Ambarketawang, Trimulyo, Bangunkerto, Donokerto, Girikerto, Wonokerto, Bantul, Pandowoharjo, Guwosari, Triharjo, Gilangharjo, Wijirejo, Ringinharjo, Tirtonirmolo, Ngestiharjo, Sendangsari, Sidoarum

    Tinggi

    Sebagian desa: Triharjo, Gilangharjo, Wijirejo, Ringinharjo, Bantul, Pendowoharjo, Bangunjiwo, Tirtonirmolo, Tamantirto, Ngestiharjo, Sendangsari, Guwosari, Sidoarum, Sidomoyo, Balecatur, Ambarketawang, Banyuraden, Nogotirto, Trihanggo, Tirtoadi, Sumberadi, Tlogoadi, Sendangadi, Tridadi, Pandowoharjo, Trimulyo, Bangunkerto, Donokerto, Girikerto, Wonokerto, Purwobinangun, Hargobinangun

    Sedang

    Sebagian desa: Wijirejo, Ringinharjo, Bantul, Pendowoharjo, Bangunjiwo, Tirtonirmolo, Tamantirto, Sendangsari, Guwosari, Balecatur, Ambarketawang, Trihanggo, Sumberadi, Tlogoadi, Sendangadi, Tridadi, Pandowoharjo, Trimulyo, Bangunkerto, Donokerto, Girikerto, Wonokerto, Purwobinangun, Hargobinangun

    Rendah Sebagian desa: Bangunjiwo, Sendangsari, Guwosari, Balecatur, Ambarketawang, Tamantirto, Tridadi, Wijirejo, Bantul, Girikerto, Wonokerto, Purwobinangun, Hargobinangun

    Sangat rendah

    Sebagian desa: Guwosari, Bangunjiwo, Sendangsari, Tamantirto, Balecatur, Ambarketawang

    Potensi airtanah sangat tinggi tersebar di bagian hulu dan hilir Sub DAS Bedog.

    Bagian hulu meliputi lereng tengah dan lereng bawah terutama di desa Bangunkerto

    dan Wonokerto sedangkan di bagian hilir meliputi lereng kaki fluvio volkanic dan

    dataran aluvial. Kemiringan lereng relatif datar (terutama dibagian hilir) sekitar 0-8 m

    mampu menahan air hujan yang jatuh lebih lama di suatu tempat sehingga infiltrasi

    lebih lama dibandingkan dengan daerah yang memiliki topografi miring. Jenis tanah

    didominasi regosol coklat keabuan dengan tekstur pasir membuat air hujan yang

    jatuh sangat mudah meresap kedalam tanah. Batuan induk berupa abu/ pasir dan

    tuff vulkan dimana sangat umum dijumpai pada bentanglahan gunungapi.

    Potensi airtanah yang tinggi mendominasi hampir seluruh morfologi Sub DAS

    Bedog mulai dari hulu sampai hilir (lereng tengah, lereng bawah, lereng kaki fluvio

    volkanic dan dataran aluvial) kecuali Perbukitan Sentolo di bagian hilir. Batuan induk

  • berupa abu/ pasir dan tuff vulkan dengan jenis tanah didominasi regosol coklat

    keabuan dengan tekstur pasir sehingga mampu meresapkan air dengan baik.

    Kedalaman akuifer sekitar 80-120 m, kemiringan lereng sekitar 0-15 meter dan

    kedalaman sumur relatif cukup dangkal sekitar 1-8 m. Kondisi geomorfologi yang

    mendukung terhadap meresapnya air ke dalam tanah ditambah lagi dengan curah

    hujan yang besar yaitu diatas 2.500 mm/th, membuat daerah ini memiliki kondisi

    potensi airtanah yang besar. Penduduk yang tinggal di daerah sangat tercukupi

    kebutuhannya akan air. Penggunaan lahannya didominasi sawah dan permukiman.

    Daerah yang memiliki potensi airtanah sedang terbagi menjadi 3 bagian yaitu

    dibagian hulu, tengah dan hilir. Bagian hulu meliputi lereng tengah,bagian tengah

    termasuk lereng bawah dan di bagiah hilir meliputi dataran aluvial, perbukitan

    denudasional (Sentolo) dan bukit sisa. Tekstur tanah berupa pasir dan lempung

    dengan batuan induk dibagian hulu, bagian tengah berupa abu/ pasir dan tuff dan

    batuan vulkan serta bagian hilir dengan campuran batu kapur dan napal. Wilayah

    yang termasuk berpotensi sedang adalah Desa Girikerto, sebagian Desa

    Wonokerto, Tridadi, Sendangadi, Pandowoharjo dan sebagian Desa Bangunjiwo.

    Kedalaman akuifer rata-rata 30-120 m, kemiringan lereng antara 3-15 m dan

    kedalaman sumur rata-rata 3-10 m dan penggunaan lahan didominasi permukiman

    membuat ketersediaan air pada kawasan ini cukup digunakan untuk penduduk.

    Airtanah dengan potensi rendah tersebar di bagian hulu yaitu di sebagian Desa

    Girikerto dan Hargobinangun dan di bagian hilir yang memiliki topografi berbukit

    (Formasi Sentolo) meliputi Desa Sendangsari, Guwosari dan Balecatur. Di bagian

    hulu batuan induknya berupa abu/ pasir dan tuff vulkan dengan tekstur lempung

    bergeluh dengan porositas kecil sehingga air sulit meresap kedalam tanah.

    Kemiringan lereng yang curam mengakibatkan air lebih dominan menjadi aliran

    permukaan. Di bagian hilir yang termasuk morfologi Perbukitan Sentolo terjadi

    proses pengikisan rendah sampai kuat memiliki batuan induk batugamping dan

    napal. Tekstur tanahnya lempung bergeluh. Sama seperti di bagian hulu dimana

    proses pergerakan air yang dominan adalah horizontal yaitu menjadi aliran

    permukaan. Penggunaan lahan di kedua bentuklahan didominasi tegalan dan

    permukiman.

    Beberapa daerah seperti Desa Sendangsari dan Guwosari memiliki potensi

    airtanah yang sangat rendah. Kawasan ini termasuk dalam bagian Formasi Sentolo

    dimana bentukan batuannya berupa campuran batugamping dan napal yang padu/

  • kompak. Sedangkan material lepas hasil lapukan dijumpai sangat tipis di

    permukaannya sehingga diperkirakan daerah ini termasuk akuifer yang tidak

    produktif. MacDonald (1984) mengklasifikasikannya sebagai akuifer minor yaitu

    akuifer yang hanya mampu menyediakan air untuk keperluan domestik. Airtanahnya

    langka karena kawasan ini memiliki bentukan batuan yang kedap air ditambah lagi

    dengan kondisi bentuklahannya yang berbukit dengan kemiringan lereng 8-30 m.

    Meskipun curah hujan cukup besar yaitu sekitar 2000 mm/th, namun tekstur

    tanahnya berupa lempung bergeluh dimana porositasnya sangat kecil menyebabkan

    air sulit meresap ke dalam tanah. Air hanya dapat meresap ke dalam rekahan-

    rekahan batuan yang berkekar. Penggunaan lahannya didominasi permukiman.

    Daerah yang potensi airtanahnya sangat rendah menandakan bahwa daerah

    tersebut tidak cocok untuk didirikan permukiman.

    Pada daerah tertentu di Sub DAS Bedog terdapat sumur-sumur yang

    mengalami kekeringan. Hal ini disebabkan oleh tekanan atau gencetan terhadap

    material akuifer di satu sisi dan di sisi yang lain mengalami kenaikan elevasi akuifer.

    Sedangkan tinggi muka airtanah tetap sehingga terkesan mengalami penurunan

    muka airtanah. Faktor lain yang menyebabkan terjadinya fenomena ini adalah

    kemungkinan karena timbulnya retakan baru/ sesarpadasaatgempatektonik

    Yogyakarta 26 Mei 2006 yang menyebabkan airtanah bocor. Disamping itu situasi

    anomali juga terjadi pada fenomena kemunculan artesian atau sumur muncrat,

    kualitas air berubah, sumur mengeluarkan lumpur/ tanah, sumur menjadi keruh,

    berbaubelerang, muncul mataair baru, mataair terhenti.

    Secara keseluruhan airtanah mengalir dari puncak-puncak ketinggian muka

    airtanah menuju level yang lebih rendah. Arah aliran airtanah relatif seirama dengan

    pola kontur topografinya. Arah aliran airtanah di Sub DAS Bedog dari utara ke

    selatan, berdasarkan interpolasi pengambilan data koordinat sumur-sumur yang

    didapatkan dari survei lapangan dari Hargobinangun, Sleman hingga Triharjo,

    Bantul. Fluktuasi yang terjadi karena perubahan yang diakibatkan dari suplai curah

    hujan atau perubahan musim dari kemarau atau ke hujan yang mempengaruhi

    infiltrasi air yang menyuplai akuifer. Fluktuasi bervariasi antara 0,5-9 m. Data

    fluktuasi ini didapatkan dari hasil wawancara dengan penduduk.

    Pemanfaatan terbesar ditunjukkan dengan adanya kontur-kontur TMA yang

    merapat dan menuju pada satu titik yang menunjukkan adanya penurapan airtanah.

    Pemanfaatan tersebut berada di lereng atas, tengah dan bawah. Penggunaan relatif

  • besar berada di daerah atas dan tengah (Sleman-Kota Yogyakarta) sedangkan di

    daerah bawah (Bantul) karena penduduknya lebih jarang maka penurapan

    airtanahnya tidak seintensif daerah atas dan tengah. Identifikasi penurapan diketahui

    dari tinggi muka airtanah dari titik-titik sampel pengukuran. Di daerah hulu terlihat

    pola kontur yang unik yaitu terlihat kontur tinggi muka airtanah yang dapat

    diidentifikasi sebagai discharge. Muka airtanah didaerah ini relatif dalam. Jadi di

    daerah tersebut terjadi pemanfaatan airtanah yang besar oleh penduduk. Daerah

    tersebut meliputi selatan Wonokerto, Donokerto, Bangunkerto dan Trimulyo

    kemudian di daerah hilir yaitu Bantul.

    Satuan Akuifer Merapi Bagian Tengah merupakan akuifer dengan sebaran

    airtanah luas dengan imbuh airtanah berasal dari lereng gunungapi dan infiltrasi

    setempat. Memperhatikan daerah imbuh airtanah, material penyusun akuifer dan

    curah hujannya, akuifer ini dikategorikan sebagai akuifer mayor yaitu sistem akuifer

    yang mampu menyediakan air untuk berbagai keperluan seperti untuk keperluan

    domestik, industri dan irigasi. Tebal akuifer pada lereng tengah untuk Sleman

    berkisar 133,82 m sedangkan untuk daerah Bantul sebesar 132 m.

    Di titik-titik tempat tertentu seperti di Desa Ambarketawang memiliki kedalaman

    muka airtanahnya 0 meter atau hampir sama ketinggiannya dengan permukaan

    tanah. Pada bagian lain Desa Ambarketawang ditemukan variasi kedalaman

    airtanah berkisar antara 1-2 m. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan kondisi

    geomorfologi yaitu perbedaan ketinggian kontur. Bagian selatan Sub DAS Bedog

    berakhir pada Perbukitan Sentolo. Satuan akuifer dari Perbukitan Sentolo ini

    terpisahkan oleh endapan aluvium. Material penyusun sistem ini berupa

    batugamping dan napal yang padu/ kompak. Sedangkan material lepas hasil

    lapukan dijumpai sangat tipis di permukaannya sehingga diperkirakan daerah ini

    termasuk akuifer yang tidak produktif. Dari flownet menunjukan daerah Sub DAS

    Bedog bagian selatan memiliki kontur TMA yang relatif datar yaitu dari Desa

    Tirtonirmolo sampai Sendangsari sehingga nilai TMA-nya lebih kecil dibandingkan

    dengan lereng atas Merapi.

    Sumber: Kajian Lingkungan Pasca Erupsi Merapi 2010