kagama kedaulatan pangan

33
KEDAULATAN PANGAN: KIBLAT KEDAULATAN BANGSA INDONESIA 1 Mochammad Maksum Machfoedz 2 Pendahuluan HARI INI, Kedaulatan Pangan, KP, menjadi isu paling berkibar dalam Pilpres 2014. Berkali naik tayang dalam aneka kesempatan meski tidak terlalu jelas alasan politiknya. Tidak jelas, apakah semata ikon pencitraan guna merebut hati rakyat atau iktikad untuk melaksanakan amanat KP sebagaimana ditegaskan oleh beragam landasan legal seperti UU 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan, UU 13/2010 tentang Hortikultura, UU 18/2012 tentang Pangan, dan UU No 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Pertanyaan ini dilontarkan karena faktanya selama masa Kabinet Indonesia Bersatu jilid II (KIB-II), komitmen legal KP tidak kunjung dijabarkan dan tanpa kawalan serius pemrakarsa UU, pihak DPR maupun Pemerintah, untuk tidak mengatakannya justru acapkali dikhianati sendiri. Selama sekian lama janji legal itu tetap menjadi janji legal tanpa penjabaran, tanpa ikhtiar membumikan dan nyaris tiada realisasi. KP dalam hal ini sebetulnya adalah kehendak politik untuk sebuah perubahan, tetapi ternyata sistem pangan RI, tetap saja berbasis import. Kehendak politik KP sudah sekian lama dikumandangkan dan bertsambut di tanah air. Berbagai elemen bangsa Indonesia semakin banyak terlibat. Isu KP ini nyaris menjadi gerakan nasional karena melibatkan semakin banyak elemen masyarakat sipil, rakyat tani lokal, perkumpulan masyarakat petani, organisasi sosial kemasyarakatan dan beragam jaringan, termasuk 1 Disampaikan dalam Seminar: ‘Kedaulatan Pangan sebagai Pilar Utama Kedaulatan bangsa’. Diselenggarakan oleh PP KAGAMA di Jakarta, 01 Juni 2014. 2 Guru Besar Sosial Ekonomi Agroindustri Fakultas Teknologi Pertanian UGM; Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Nasional; Anggota Dewan Penasehat Binadesa, Anggota Dewan Pakar KPA, Penasehat LPPNU (Lembaga Pengembangan Pertanian NU), dll; dan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). 1

Upload: susantosn

Post on 07-Feb-2016

128 views

Category:

Documents


21 download

DESCRIPTION

kagama kedaulatan pangan ini

TRANSCRIPT

Page 1: Kagama kedaulatan pangan

KEDAULATAN PANGAN:KIBLAT KEDAULATAN BANGSA INDONESIA1

Mochammad Maksum Machfoedz2

Pendahuluan

HARI INI, Kedaulatan Pangan, KP, menjadi isu paling berkibar dalam Pilpres 2014. Berkali naik tayang dalam aneka kesempatan meski tidak terlalu jelas alasan politiknya. Tidak jelas, apakah semata ikon pencitraan guna merebut hati rakyat atau iktikad untuk melaksanakan amanat KP sebagaimana ditegaskan oleh beragam landasan legal seperti UU 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan, UU 13/2010 tentang Hortikultura, UU 18/2012 tentang Pangan, dan UU No 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.

Pertanyaan ini dilontarkan karena faktanya selama masa Kabinet Indonesia Bersatu jilid II (KIB-II), komitmen legal KP tidak kunjung dijabarkan dan tanpa kawalan serius pemrakarsa UU, pihak DPR maupun Pemerintah, untuk tidak mengatakannya justru acapkali dikhianati sendiri. Selama sekian lama janji legal itu tetap menjadi janji legal tanpa penjabaran, tanpa ikhtiar membumikan dan nyaris tiada realisasi. KP dalam hal ini sebetulnya adalah kehendak politik untuk sebuah perubahan, tetapi ternyata sistem pangan RI, tetap saja berbasis import.

Kehendak politik KP sudah sekian lama dikumandangkan dan bertsambut di tanah air. Berbagai elemen bangsa Indonesia semakin banyak terlibat. Isu KP ini nyaris menjadi gerakan nasional karena melibatkan semakin banyak elemen masyarakat sipil, rakyat tani lokal, perkumpulan masyarakat petani, organisasi sosial kemasyarakatan dan beragam jaringan, termasuk masyarakat akademik di sejumlah kampus di tanah air. Tidak dipungkiri bahwa gerakan kolektif akademik pada tingkat kampus jauh belakangan dibanding masyarakat sipil.

UGM dalam Kedaulatan Pangan

Pada tingkat akademik, gerakan kolektif UGM dan jaringan KAGAMA-nya turut serta dalam pengawalan KP jauh sebelum adanya UU 41/2009. Kulminasi serangkaian gerakan akademik UGM adalah catatannya tentang sukses produksi 2008. Ketika itu Departemen Pertanian kelewat bersemangat memamerkan kenaikan produksi padi nasional dan potensi pertumbuhannya (Deptan, 2008), dan BULOG menyambut dengan syahwat klasiknya berujud kesiapan untuk eksportasi (Aliya, 2008). Hiruk-pikuk sukses produksi dan menguatnya sistem ketahanan pangan nasional itupun kemudian dikemas sebagai isu ekonomi politik paling seksi oleh sejumlah parpol akhir 2008, menyongsong prosesi demokrasi, Pemilu dan Pilpres 2009.

Ketika vulgaritas politik pangan semakin marak kaitannya dengan ketahanan pangan nasional, para pakar pangan UGM, termasuk jaringan KAGAMA, justru ngelus dada, tafakkur sungguh-sungguh, merenungi sukses ketahanan pangan tersebut dengan keprihatinan 1 Disampaikan dalam Seminar: ‘Kedaulatan Pangan sebagai Pilar Utama Kedaulatan bangsa’. Diselenggarakan oleh PP KAGAMA di Jakarta, 01 Juni 2014.2 Guru Besar Sosial Ekonomi Agroindustri Fakultas Teknologi Pertanian UGM; Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Nasional; Anggota Dewan Penasehat Binadesa, Anggota Dewan Pakar KPA, Penasehat LPPNU (Lembaga Pengembangan Pertanian NU), dll; dan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

1

Page 2: Kagama kedaulatan pangan

mendalam. Melalui diskusi kelompok ahli pangan yang amat intensif dalam putaran-putaran Focused Group Discussion (FGD) Pangan, difasilitasi Senat Akademik UGM, UGM justru merasa prihatin atas kemajuan pengembangan sistem ketahanan pangan yang makin tidak jelas jluntrung-nya karena pembangunan yang salah kiblat (Anonim, 2008). Keprihatinan itu terungkap dalam Sidang Pleno antar kelompok FGD, meliputi FGD Pangan, FGD Enersi, FGD Pendidikan, FGD Sumberdaya Alam, FGD Politik, dan FGD lain, yang diselenggarakan di Majlis Spiritual, Balai Senat UGM, Selasa Wage 10 Desember 2008.

Keprihatinan utama yang dipaparkan kelompok pakar pangan UGM yang dipimpin Prof. Murdijati Gardjito dalam Sidang Pleno tersebut adalah niscayanya krisis kedaulatan dalam penataan sistem ketahananan pangan nasional. Itulah kesimpulan utama dari beragam kasus ketahanan pangan nir-kedaulatan yang diungkap para peserta FGD. Orientasi impor dan romantisme pangan murah merupakan pangkal keterjebakan sistem pangan nasional yang sertamerta telah merampas habis SRT dan KRT, Sain dan Kedaulatan Rakyat Tani Indonesia.

Puncak dari segala penggerogotan KRT adalah pendekatan-pendekatan ketahanan pangan khususnya dan pembangunan umumnya, yang sebagian besar hanya berhasil menyebarkan demoralisasi, kemerosotan moral rakyat tani karena dipaksa berbudaya mandho. Akibatnya, nampak sekali pergeseran gairah sosial yang secara berjamaah merubah posisi diri dari muzakki, ahli berzakat dan bersedekah, menjadi mustahiq, orang yang paling berhak atas Raskin, BLT, Kompor Gas, dan hobi mandho, bahkan nomer wahid. Itulah wajah ketahanan pangan ketika tidak memperhatikan kedaulatan bangsa dan kedaulatan RTM (Maksum, 2012).

Tentu masih banyak lagi kritik FGD-Pangan terhadap salah urusnya sistem ketahanan pangan nasional, antara lain: (i) sangat supply-based management dengan importasi sebagai bemper; (ii) nyaris tidak menyentuh sisi konsumsi (demand-based) seperti persoalan daya beli, konsumsi berlebihan, selera konsumen dsb.; (iii) bias nabati dan terutama beras, tidak melirik potensi nabati lain dan apalagi hewani; (iv) bias kota-konsumen-industri dengan konsekuensi marjinalisasi terhadap rakyat tani; dan (v) jauh dari prinsip keterpaduan tujuan pembangunan pertanian: growth-equity-sustainability, pertumbuhan, keadilan dan keberlanjutan.

Krisis kedaulatan dalam ketahanan pangan adalah puncak kecelakaan kebangsaan dari segala kebijakan perekonomian salah kiblat. Dalam bernegara, kesadaran rekonstruksi kedaulatan sungguh tidak bisa ditawar karena kedaulatan pangan adalah elemen dasar dari kedaulatan ekonomi, dan bahkan kedaulatan nasional sebuah bangsa. Dengan nalar seperti inilah maka ahli pangan UGM menyambung keprihatinan FGD Pangan dengan aneka kegiatan aksi dan akademik yang dikemas dalam JKP, Jihad Kedaulatan Pangan, semenjak 2011, melanjutkan pemikiran tentang kedaulatan pangan UGM sebelumnya, dengan mencetuskan agenda gerakan rekonstruksi kebijakan ekonomi politik pangan (Anonim, 2013b; dan Anonim, 2013g ).

Kehendak politik akademik KP ini selanjutnya menjadi inspirasi Pimpinan UGM untuk lebih lanjut menggelorakan gerakan kedaulatan secara lebih menyeluruh, multi-perspektif dan berkenaan dengan keseluruhan aspek kehidupan berbangsa. Ajakan untuk menyadari perlunya memperkuat kedaulatan dalam segala urusan kebangsaan ini ditegaskan sebagai tema sentral yang digelorakan dalam Pidato Rektor UGM berjudul: ‘Tegakkan Kembali Kedaulatan Indonesia’, disampaikan dalam Rapat Terbuka Peringatan Dies Natalis UGM ke-64, di Grha Sabha Pramana, 19 Desember 2013 (Anonim, 2013f; Sudaryono, dkk. 2013).

2

Page 3: Kagama kedaulatan pangan

KP sebagai Kehendak Politik RI

Sebagai kehendak politik KP bisa dimaknai exclusive power and right bangsa dan rakyat Indonesia untuk mengatur tata pangannya sendiri, food governance, berdasarkan kekuatan sumberdayanya secara berkelanjutan. Rujukan resmi pemaknaan bebas ini adalah UU 18/2012 yang menyebut KP sebagai hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal.

Mengingat KP ini bagian dari urusan bernegara dalam hubungan global yang nyaris tidak terbatas, maka pemaknaan ini sedikit berbeda dengan mensiratkan bahwa KP bukanlah satu sikap antipati terhadap importasi, akan tetapi sebesar-besarnya mengutamakan potensi dalam negeri sebagaimana ditekankan dalam beberapa UU bahwa legalitas importasi itu terjadi hanya ketika produksi dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak diproduksi dalam negeri.

Sebagai kehendak politik, KP membedakan dirinya dari ketahanan pangan dalam hal proses sosial-politik yang menyertai. Hal ini mengingat bahwa Ketahanan Pangan yang takrif populernya dikumandangkan FA0 (1996): the access of all people at all time to good food for an active healthy life, sepenuhnya mensiratkan pendekatan yang teramat teknis, dengan tidak mempedulikan mekanisme bagaimana ketahanan pangan masyarakat terbentuk.

KP dengan political powernya, sekaligus membedakan dirinya dari kemandirian pangan yang dalam UU 18/2012 didefinisikan sebagai: kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi Pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan Pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat.

Sedari awal, dalam peradaban yang semakin diwarnai kelaparan, perang pangan dan komersialisasi pangan, La via Campesina gigih sekali mengetengahkan prinsip KP sejak 1996 dimulai dari kota kjecil Nyeleni, dengan mengutamakan perspektif politik paripurna sebagai prakondisi ketahanan pangan seperti tersirat dalam pengertian KP yang dirumuskannya: as the right of each nation to maintain and develop its own capacity to produce its basic foods respecting cultural and productive diversity. We have the right to produce our own food in our own territory. Food sovereignty is a precondition to genuine food security” (Lee, 2007).

Adalah kelatahan RI pula yang sertamerta mengadopsi KP secara legal, akan tetapi cenderung sebagai pencitraan tanpa ketegasan legalistik, sekaligus lupa bahwa hakekat KP sebenarnya adalah upaya sekuatnya meningkatkan kapasitas pangan sendiri. Apa lacur? Legalitas itu tinggal legalitas dan memang pencitraan, dan dalam banyak kebijakan malah lebih nampak sebagai pengkhianatan melalui aneka legalisasi. KP lebih banyak dimaknai para petinggi negara dengan segala kekuatan politiknya sebagai sekedar legitimasi kewenangan importasi.

Ketegasan Legalistik

Sesungguhnya, upaya legal untuk membangun semangat nasional pengembangan sistem pangan yang pro domestik, rakyat tani dan kedaulatan pangan telah dibangun cermat. Sekurang-kurangnya janji kedaulatan pangan ini sudah mulai tersirat dalam UU 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. UU yang gencar disosialisasikan semenjak tahun 2009 terus saja dikampanyekan. Intisari janji tersebut terletak pada sejumlah insentif, upaya perlindungan petani dan berbagai modus pemberdayaan, sebagaimana termaktub dalam Bab XI tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Anonim, 2009).

3

Page 4: Kagama kedaulatan pangan

Upaya perlindungan petani mengarah pada kedaulatan petani sebagai intisari kedaulatan pangan, tertuang dalam Pasal 62 UU 41/2009 yang antara lain menjamin harga komoditas pangan yang menguntungkan bagi petani, menjanjikan sarana-prasarana produksi, menjamin pemasaran hasil pertanian pokok, dan menjamin pengutamaan hasil pertanian pangan dalam negeri. Perlindungan ini sekaligus didukung oleh beragam bentuk pemberdayaan mulai dari penguatan kelembagaan, penyuluhan sampai pengembangan teknologi.

Efektifitas amanat perlindungan petani UU 41/2009, yang salah satunya adalah pengutamaan hasil pertanian pangan dalam negeri (Pasal 62), sangat menarik untuk dicermati, terlebih ketika secara legal urusan ini didukung pula oleh terbitnya UU 18/2012 dan UU 19/2013. Pasal 62 UU 41/2009 dalam pengutamaan hasil domestik, secara legal memiliki kekuatan lebih dahsyat dengan dukungan Pasal 36 UU 18/2012, dan Pasal 31 UU 19/2013, yang keduanya tegas sekali membatasi importasi dalam pengutamaan produk domestik.

UU 18/2012 menyebut pada Pasal 36 (1): Impor Pangan hanya dapat dilakukan apabila Produksi Pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri. Sementara, Pasal 31 UU-19/2013 berbunyi: Setiap orang dilarang memasukkan komoditas pertanian dari luar negeri pada saat ketersediaan komoditas pertanian di dalam negeri sudah mencukupi kebutuhan konsumsi dan cadangan pangan pemerintah.

Tanpa UU-pun, tuntutan substantif yang mencakup dua pasal ini sebenarnya telah sekian lama menjadi tekad Pemerintah RI, yang kemudian dirumuskan dalam segala road map swasembada pangan, dan dokumen lainnya, bahkan sejak Orba dan dahulu kala. Kenyataannya, dinamika pangan nasional tidak pernah lepas dari krisis tataniaga dengan penyebab utama besarnya pengaruh importasi, meski UU 41/2009 sudah lama diundangkan.

Selalu saja ada legalisasi legalitas importasi. Beragam kebijakan pangan, sengaja atau tidak sengaja, memudahkan terwujudnya fakta legal dan rekonstruksi kelangkaan, data pasar sulapan, gejolak sosial rekayasa, dan segala indikasi lapangan, sebagai pembenaran kelangkaan dan wajib import. Pesimisme mencuat ketika selalu tersuguh realitas aneka krisis pangan seperti kedele, beras, gula, bawang, cabe, singkong, produk horti umumnya, dan semuanya, sampai krisis daging sapi yang tak kunjung berhenti.

Bahasa pesimisnya: ‘lain legalitas, lain pula realitasnya’. Karut-marut tataniaga ini nyaris terjadi pada semua komoditas pangan yang disulap menjadi semakin tergantung negeri ini pada pangan import dengan pembenaran lebih canggih dibandingkan upaya proteksi petani. Model sulapan ini sudah sangat standard dan dipertontonkan sapi dalam aneka pendekatan.

Legalisasi legalitas Importasi

Sangat jelas sebetulnya status legalitas importasi sebagaimana ditekankan dalam berbagai UU. Legalitas importasi hanya terjadi ketika produksi Pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri. Kata tidak mencukupi adalah kata kunci legalitas importasi dalam UU itu. Sebagai kata kunci, dia teramat tidak jelas ukuran lapangannya. Akibatnya, berbagai upaya dan kreatifitas lapangan mudah sekali dilakukan guna legalisasi legalitas importasi ini, memanfaatkan kelemahan substantif penegakan hukum RI.

Pembenaran import ini biasa dilakukan melalui pelangkaan barang dan pendekatan agitatif. Untuk kasus daging sapi misalnya, dengan pelangkaan, sekurangnya terdapat sembilan jalur turunan: (1) membuat resah konsumen, (2) agitasi industri pemakai bahan baku, (3) membangun keresahan pedagang pasar dan perantara; (4) menggerakkan pekerja terkait, (5)

4

Page 5: Kagama kedaulatan pangan

advokasi ke partai politik, (6) menggalang isu politik fraksi DPRD-DPR, (7) negosiasi birokrasi, (8) mobilisasi kritik sejumlah Guru Besar dan akademisi, dan (9) menjual fatwa rohaniawan, para mufti. Kartelisasi atau tidak, sejumlah modus dekadensi nurani itu sangat standar dan sebenarnya mudah dideteksi (Maksum, 2013b, 2013c).

Memprihatinkan sekali ketika berbagai UU itu sering sekali dijinakkan, bahkan oleh peraturan perundangan yang lebih rendah seperti Peraturan Menteri, Surat Menteri, dan sejenisnya. Tidak dipungkiri bahwa persoalan kelemahan hukum ini bisa terjadi pada tingkat efektifitas operasionalnya, dan bisa pula terjadi pada materi substansi perundangannya yang tidak memadai seperti tertangkap dalam UU 19/2013 yang diperkarakan oleh jaringan masyarakat sipil beberapa bulan terakhir ini (Anonim. 2013h; Maksum, 2014d).

Kecuali kelemahan legal pada tingkat UU yang sebenarnya mudah diproteksi dengan aturan pelaksanaan terkait, oleh karena tidak jelasnya kehendak politik, political will, UU mudah dipelintir. Berbagai kelemahan kebijakan harian, senantiasa muncul mengebiri iktikad politik yang sudah paripurna terumuskan dalam berbagai UU, untuk menghalalkan tujuan yang lain.

Halalisasi Import dan Kartelisasi

Pengingkaran berlebihan terhadap legalitas UU dalam banyak kasus telah terjadi melalui perumusan kebijakan yang kekuatan legalnya jauh berada di bawah UU, mulai liberalisasi daging sapi, pembebasan cukai kedele, importasi beras sampai halalisasi kartel poultry, untuk sekedar contoh mewakili sejumlah modus pengkhianatan KP.

Liberalisasi daging sapi, Agustus 2013, menjadi legitimasi KIB-II untuk memanjakan importir. Dalam krisis nilai tukar rupiah dan indeks harga saham gabungan, Pemerintah menerbitkan PKPE, Paket Kebijakan Penyelamatan Ekonomi, 23 Agustus 2013, yang merubah pendekatan importasi daging sapi dari berbasis kuota menjadi berbasis harga dengan price reference Rp 76.000 per kilogram. Karena rendahnya harga referensi, harga ini tidak pernah tersentuh. Akibatnya, importasi tiada lagi terbatas. Liberalisasi terlegitimasi. PKPE bukan hanya legitimasi liberalisasi, tetapi menghalalkan kartelisasi untuk main harga daging.

Kedelai tidak pernah ketinggalan. Pasalnya, pelangkaan kedele kala itu berhasil memaksa KIB-II membebaskan cukai import dari tarifikasi import awalnya sebesar 5 persen, terdokumentasikan dalam Permendag Nomor 24 Tahun 2013. Sepenuhnya pembebasan ini adalah tuntutan importir dengan alasan kemerosotan nilai tukar Rupiah. Pembebasan cukai inipun tidak sertamerta menyelesaikan krisis kedele karena para importir kedele masih menahan barang, menunggu naiknya harga dasar kedele. Naiknya harga dasar kedele ini tentu hadiah ekonomis spontan bagi importir dengan tanpa keringat. Kenaikan ini nyaris tidak akan pernah memberikan manfaat apapun kepada petani karena diputuskan ketika produksi kedele tanah air pas-pasan dan jauh dari musim petani melepaskan hasil panennya.

Karteliasasi poultry mutakhir ini telah dihalalkan KIB-II. Demi pengamanan harga dasar, produksi DOC, day old chicken, dikurangi melalui pengurangan produksi telur tetas broiler dan layer sebesar 15% melalui surat Mendag no. 644/M-DAG/SD/4/2014, tertanggal 15 April 2014. Nalarnya keblinger. Naiknya harga dasar hanya bagus jikalau dinikmati peternak kecil. Akan tetapi, kalau DOC dibatasi, akses DOC peternak kecil pasti menjadi terbatas. Mereka justru akan mati karena harus berhenti beternak. Walhasil, harga naik tidak akan dinikmati peternak kecil, tetapi dinikmati oligopolis industri dan peternak besar, yang dengan demikian memperoleh legitimasi kartelisasi, sekaligus akan menguasai lebaran dengan harga tinggi.

5

Page 6: Kagama kedaulatan pangan

Importasi beras yang digagas Pemerintah baru-baru ini, 7 Mei 2014, juga penuh cacimaki karena 2014 ditargetkan surplus 10 juta ton beras. Setelah kisruh awal tahun, dengan terbongkarnya sindikasi importasi beras kualitas medium dalam importasi beras premium yang meledak beritanya 22 Januari 2014, awal Mei 2014 perberasan nasional dikejutkan oleh rencana import beras oleh Pemerintah dengan alasan yang terkesan mengada-ada, halalisasi.

Pertama, pengadaan pangan BULOG yang tahun ini mengalami kelambatan bukan main. Pada akhir April 2013 pengadaan BULOG bisa mencapai 1 juta ton, tetapi tahun ini baru 700.000 ton. Alasan pengadaan yang lambat inipun mengada-ada berdalih tingginya harga pasar. Alasan kedua, target produksi beras nasional 2014 terpaksa diturunkan sebesar 3.95 persen, menjadi 73 juta ton Gabah Kering Giling, GKG, dari target awal 76 juta ton GKG. Ketiga, pembenaran lain yang diharapkan memperoleh simpati publik adalah kegagalan panen di banyak kawasan karena serangan hama wereng yang mencapai 40.000 hektar lahan.

Ketika kalkulasi seksama dilakukan meliputi alasan serangan wereng yang sebetulnya tidak masif, turunnya target produksi yang sungguh masih surplus, dan utamanya, kegagalan BULOG melakukan domestic procurement, akan mengesankan kuatnya iktikad halalisasi ini. Setelah gagal menjalankan tugasnya justru mendapat bonus importasi dengan aneka rentenya.

Hari ini, sebenarnya hanyalah ramahnya kebijakan yang sungguh dibutuhkan, tidak hanya oleh rakyat, tetapi penguasa KIB-II sebagai modal soft landing, husnul khatimah sembari menghitung hari. Semuanya harus dikoreksi. Bukan sebaliknya, semakin menghalalkan kartelisasi, dan makin membabibuta dengan kedaulatan importasi.

Pangan dalam Dikotomi Ekonomis

Ketika makin mendekati Pemilu dan Pilpres 2014, partai politik apapun dengan segenap kontestannya semakin mengobral rayuan gombal kepada rakyat tani karena mereka sepenuhnya meyakini bahwa rakyat tani adalah pemilik hak dan kekuatan istimewa, exclusive power and right, yang menentukan siapa yang akan menjadi wakil rakyat di parlemen semua tingkatan dan siapa yang akan menjadi kepala negara untuk kurun waktu 2014-2019. Tetapi, dalam masa perayuan dimaksud, ternyata ada saja yang melakukan tindakan kontra produktif, menggerogoti penilaian rakyat atas kinerja Kabinet Indonesia Bersatu jilid II (KIB-II).

Adalah seorang anggota KIB-II yang mencederai perasaan dan nurani rakyat tani. Ketika KIB-II bersemangat menarik simpati dan mendongkrak indikator kinerja Kabinet untuk mempersiapkan soft landing, rakyat tani Indonesia justru dihentakkan oleh kontroversi rendahan karena harus menyaksikan polemik antar pejabat negara tentang positioning Bangsa terhadap rakyat tani dan sektor pertanian. Dengan teorisasinya yang canggih Menteri Keuangan RI memunculkan gagasan tentang the law of missing return (Ariyanti, 2014), untuk menggambarkan kinerja rakyat tani dan sektor pertanian yang tidak menjanjikan perolehan keuntungan usahatani serta potensi ketenagakerjaan, dan bukan sekedar deminishing return.

Pernyataan yang disampaikan di Kantor Kementerian Keuangan RI, Rabu 5 Februari 2014, didasarkan pada terbatasnya luas lahan, potensi dukungan terhadap pertumbuhan ekonomi dan serapan tenaga kerja. Fakta yang diungkapkan adalah capaian pertumbuhan sektor pertanian yang hanya mencapai 3,83%, jauh berada di bawah sektor pertambangan dan jasa-jasa, yang bisa mencapai 5,27%. Dikatakannya, bahwa oleh karena lahannya terbatas dan pertumbuhannya tidak memadai, maka sudah tidak bisa lagi diandalkan sebagai penyangga ketenagakerjaan dan pertumbuhan ekonomi. “Tanah kecil dikasih orang banyak akibatnya

6

Page 7: Kagama kedaulatan pangan

kepenuhan”, begitu kecongkakan seorang menteri ini. Sebetulnya sinyalemen Menteri itu mudah dijawab jikalau para petinggi negeri RI sudi berpikir tentang potensi reforma agraria.

Pernyataan Menteri Keuangan itu pun memperoleh tantangan dari seorang pejabat senior di Badan Pusat Statistik (BPS). Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS, Suhariyanto, menuturkan, pemerintah justru semestinya menumbuhkan sektor pertanian karena merupakan salah satu jalan dalam mengentaskan kemiskinan di Tanah Air (Ariyanti, 2014). Banyak sekali tanggapan lain yang mempertanyakan kesahihan pola pikir Menkeu. Sekurangnya optimisme Menteri ini dalam membangun nalar untuk menggeser pertanian ke industri sebagai exit strategy ketenagakerjaan dipertanyakan oleh Bimo (2014), sebagai pembela petani.

Mimpi Menteri untuk pergeseran pondasi ekonomi dari sektor pertanian ke industri, yang dianggapnya sebagai jalan terbaik untuk bergabung dengan G-7 dan agar supaya Indonesia segera setara dengan kumpulan negara maju G7 itu di bidang ekonomi pada tahun 2030, dikritisi keras oleh Bimo dalam untaian pertanyaan sederhana: sudah siapkah kita menjadi negara industri? Dalam ketergantungan sektor industri dewasa ini, kritik Bimo diungkapkan dengan menegaskan kuatnya realitas bahwasanya sektor pertanian, utamanya pangan, masih mengemban beban pengadaan penyediaan pangan bagi seperempat miliar manusia Indonesia. Belum lagi beban sektoral untuk menyediakan bahan baku bagi industri berbasis sumberdaya domestik (domestic-based industry, DBI).

Polemik pemikiran tidak akan pernah terjadi ketika para petinggi negara sepenuhnya memahami perjalanan kontributif semua sektor perekonomian, termasuk signifikansi peran sektor pertanian, dan utamanya subsektor pangan, dalam menyangga kemajuan kinerja perekonomian nasional RI menurut grand design yang telah dipersiapkan untuk beberapa dekade mutakhir, yang telah membiarkan sektor pangan dan pertanian berjalan di tempat.

Seperti disebutkan terdahulu, adalah Menteri Keuangan RI yang secara lantang menyatakan tidak ada harapan pada sektor pangan untuk bisa memberi kontribusi nyata terhadap pertumbuhan ekonomi nasional RI. Sungguh memprihatinkan sinisme Sang Menteri ini. Pertama, menteri itu terang-terangan telah melecehkan subsektor pangan, peran rakyat tani yang mayoritas pelaku ekonomi RI, dan jutaan investor gurem. Kedua, pemikiran seperti ini sudah seharusnya direformat karena mensiratkan bahwasanya tidak pernah memahami kalau minimalnya peran pangan itu semua sebetulnya adalah by design, untuk mendukung sektor industri yang butuh pangan dan bahan baku (Maksum, 2014b).

Ketiga, pemikiran pemimpin bangsa seharusnya dilandasi dengan pemahaman proses yang memandang peran kontributif itu sebagai sebab atau akibat. Faktanya, ketidakadilan pembangunan perekonomian RI selama ini telah sengaja memarjinalkan peran subsektor pangan yang hanya diposisikan sekedar sebagai penghasil pangan murah. Keempat, pak Menteri itu lupa bahwa pertumbuhan sektor jasa, pengolahan, transportasi dll, hakekatnya adalah kegiatan ekonomi hilir yang menjadi marak karena melayani dan/atau sebagai turunan subsektor pangan. Turunlah ke kaki lima, bukankah nyaris semua kegiatannya agro-based.

Kelima, harus sepenuhnya disadari bahwa faktanya, pertumbuhan sektor industri yang selama ini telah menganaktirikan sektor pangan ternyata sangat cacat karena pertumbuhan yang protektif ini ternyata, menurut kritik global,  merupakan pertumbuhan yang: sangat tidak stabil, terpusat di Jakarta, mengandalkan konsumsi tetapi barang import, dan berbasis sumberdaya alam mentah dan berbasis SDM melimpah tanpa peningkatan nilai tambah.

Dalam watak pertumbuhan dengan segala cacat dimaksud, bisa dipertanyakan kepada Menkeu khususnya dan anggota KIB-II pada umumnya: bagaimana bisa mengatasi rentannya lima

7

Page 8: Kagama kedaulatan pangan

watak pertumbuhan ekonomi nasional yang mengkawatirkan itu? Omong kosong adanya kalau penyelamatan yang paling potensial bukan melalui subsektor pangan. Pemikiran terbatas itu melanjutkan ketidakadilan pembangunan selama sekian dasawarsa industrialisasi.

Perlu diingatkan lagi, bahwa itulah standard pola pikir dikotomis yang tidak berkeadilan, yang selama beberapa dekade diadopsi Negara sampai sekarang. Selama itu pula potensi pangan memang sangat dimarjinalkan oleh kebijakan pembangunan ekonomi nasional yang dalam beberapa kasus sangat terrorizing dalam beberapa dekade sampai hari ini, yang teramat dikotomis karena terlanjur keblinger ke industrialisasi non-agro dan membunuh sektor pertanian dengan segala cara dan memposisikan sektor pangan sekedar sebagai: (i) produsen pangan murah, (ii) pengendali inflasi, (iii) penyedia bahan mentah melimpah, (iv) tumbal ketahanan pangan; dan (v) bemper ketenagakerjaan demi industrialisasi, (Maksum, 2012).

Marjinalisasi dan ketidakadilan sektoral yang terjadi dalam pembangunan nasional telah dipertontonkan jelas sekali melalui pendekatan ketahanan pangan yang pada satu sisi telah menopang sukses IBI, tetapi sekaligus pada sisi lain menghempaskan kesejahteraan petani sebagai pelaku utama DBI. Dalam konteks berbangsa, pemihakan seperti ini termasuk apa yang disindir Soekarno (1964) sebagai exploitation de l ‘homme par l ‘homme, untuk mengingatkan kondisi kehidupan dalam bahaya, vivere pericoloso, yang harus dirombak dan dihadapi secara revolusioner berbasis semangat Trisakti. Semuanya menjadi semakin politis dalam kaca mata Soekarno (1965) yang menutup amanat politiknya dalamn siaran RRI, pukul 13.30, 3 Oktober 1965, dengan untaian peringatan: “Marilah kita tetap membina semangat persatuan dan kesatuan Bangsa; marilah kita tetap menggelorakan semangat anti nekolim”.

Pemihakan terhadap IBI yang disifatkan oleh industri padat modal, berteknologi tinggi, dan berbasis tenaga ahli terdidik masih memiliki rasionalitas memadai andaikata highly protected business ini mampu berubah dari posisi awalnya sebagai infant industry menjadi dewasa dan berdaya-saing ketika disapih. Nyatanya tidak. Setelah proteksi, kedirgantaraan malah mundur banyak langkah, telekomunikasi dijarah Temasek dan RI menjadi users only, pertambangan dan energi makin asyik lego konsesi, dan industri elektronika, didominasi kemajuan teknologi adopsi, rakitan dan bajakan. Kehidupan industri senantiasa tergantung pada stimulus fiskal.

Seperti diutarakan sebelumnya, industrialisasi yang ternyata gagal total tersebut telah sertamerta menghempaskan pangan-pertanian-pedesaan sampai pada titik marjinal terendah dengan menempatkan RTM sebagai kelompok yang paling tidak beruntung. Dua sektor yang bersebarang sekaligus, sektor industri dan sektor pangan, pada akhirnya menjadi makin tergantung dan tidak berdaulat pada tingkat global akibat pemanjaan IBI berlebihan.

Berbasis perspektif kedaulatan sebuah negara merdeka inilah, para pemikir ditantang untuk mempertanyakan ulang arah kebijakan salah kiblat yang telah menyesatkan. Prioritasi pembangunan nasional sudah semestinya dirubah, dan sudah waktunya di-switch untuk segera kembali kepada pendekatan penguatan kedaulatan, termasuk bagi sistem pangan nasional RI. Karena hakekatnya, urusan pangan adalah soal hidup-mati bangsa (Soekarno, 1952) dan pangan itulah sumber kekuatan kedaulatan politik, kemandirian ekonomi dan kepribadian bangsa. Perspektif menyeluruh soal pangan akan menghindarkan diri dari pola pikir keblinger.

Pemahaman Keblinger Tentang Pangan

Apa yang terkandung dalam sebutir pangan semakin tidak terhitung macamnya meski pada awalnya dia hanyalah sekedar pengenyang dan sumber kekuatan dalam peradaban awal

8

Page 9: Kagama kedaulatan pangan

manusia di muka bumi. Perkembangan peradaban yang semakin dibatasi oleh kapasitas sumberdaya telah menggeser what’s in a grain of food ini menjadi berdimensi banyak. Dia bukan lagi semata sumber karbohidrat, dan bukan lagi sekedar komoditas sosial, tetapi sudah jauh bergeser dari posisi awalnya sebagai komoditas sosial, menjadi komoditas finansial dan ekonomis, dan kini semakin sarat nilai dalam aneka kepentingan politik dan kemanusiaan.

Realitas politiknya, setiap kali menghadapi krisis pangan, setiap kali itu pula rakyat tani harus dikorbankan, terlebih ketika KIB-II sudah gemetar menghadapi potensi inflasi dua digit. Paduan suara pun dikumandangkan untuk mengendalikan pangan untuk tidak infationary. Importasi dilakukan membabi-buta. Dalihnya teramat keblinger: harga import yang financially sangat murah. Reduksi pemaknaan selama ini telah menjadi blunder kebijakan pada tingkat elit. Padahal semestinya, diperhitungkan pula implikasi sosial-politik yang lain, karena senyatanya segelintir pangan itu memiliki aneka warna pemaknaan kebangsaan.

Bangsa ini juga sudah kualat karena mangabaikan sektor pangan-pertanian. Harus dicatat bahwa keterbatasan sumberdaya alam, telah menggeser posisi pangan yang dahulunya monopolis, sebagai peruntukan tunggal SDA, kini telah jauh bergeser dalam konflik antar peruntukan dalam 5-F, food-feed-fiber-fuel-finance: perebutan manfaat bagi produksi pangan-pakan-serat-minyak-investasi. Dalam konflik kepentingan global itulah, sektor pangan-pertanian menjadi penentu posisi negara, dan bukan lagi sebagai pemberat yang nggondheli untuk menjadi negara maju sebagaimana dogma teori ekonomi pembangunan konvensional. Akibatnya, pangan bukan lagi sekedar komoditas finansial, tetapi menjadi makin seksi sebagai sang primadona, untuk tidak menyebutnya komoditas ekonomi-politik paling seksi, sekaligus menjadi lambang kedaulatan bagi indonesia (Maksum, 2013e dan 2014a).

Berkenaan dengan persoalan pangan sebetulnya keyakinan dan semangat membangun sistem ekonomi pangan sebagai landasan ekonomis Republik Indonesia dideklarasikan sangat dini beberapa tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan RI melalui dibentuknya Panitia Agraria Jogjakarta, sampai dengan disahkannya Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang lebih dikenal dengan singkatan Undang-Undang Pokok Agraria dan diundangkan dalam Lembaran Negara tahun 1960 no. 104, 24 September 1960.

Secara singkat bisa disebut bahwa pemaknaan ekonomis atas pemilikan lahan merupakan satu tuntutan yang tidak terelakkan dalam UUPA ini. Untuk model perekonomian nasional yang agraris, land reform merupakan kebutuhan mendasar, necessary condition, yang tersirat dalam UU 5/1960 tidak pernah cukup kecuali memiliki makna ekonomis, melalui perlindungan dan pemberdayaan bagi kemanfaatan lahan, bagi keadilan dan kemakmuran, yaitu kesempatan pengembangan nilai ekonomis lahan yang meliputi pengembangan infrastruktur, kebijakan tata-niaga, aneka upaya proteksi sarana produksi, dukungan permodalan, pengembangan teknologi, penyuluhan, kedaulatan petani dan lain sebagainya (Maksum, 2014a).

Pelembagaan pembangunan masyarakat desa yang mewarnai tata-lembaga seluruh konfigurasi politik NKRI ternyata justru telah memupuk ketergantungan dan ketidakberdayaan rakyat (Haryati, 2003). Yang menyedihkan, kemunduran ini beberapa dekade terakhir justru terjadi karena pembangunan yang berpusat pada industrialisasi, telah menjajah bak terorisme dan memakai rakyat sebagai instrumen, pembenar dan legitimasi pembangunan. Menempatkan mereka sebagai obyekpun, Negara telah gagal total, apalagi sebagai subyek. RTM, rumah tangga miskin atau rakyat tani miskin lebih sering menjadi pembenar belaka (Maksum, 2008).

Faktanya, industrialisasi yang menganaktirkan pangan dan pertanian terbukti telah gagal total, dan justru menjadi biang terjerumusnya Indonesia menjadi bagian dari negara-negara melarat

9

Page 10: Kagama kedaulatan pangan

kurang pangan (the Low Income Food Deficit Countries, LIFDCs) dalam krisis belasan tahun lalu, menurut kategorisasi FAO (Jung at.al. 2003). Krisis ekonomi yang terjadi akibat industrialisasi kebablasen tersebut telah memarjinalkan sektor pangan dan pertanian. Agro-industri yang sebenarnya mudah berkembang keunggulan kempetitifnya, justru dibuntu daya saingnya dan dikorbankan bagi industrialisasi non-pertanian yang berbasis import.

Sementara beban historis pembangunan pedesaan sebagai sumber pangan masih memiliki persoalan domestik yang sangat serius untuk segera dibenahi pada masa reformasi, bangsa ini sudah harus pula mengantisipasi perubahan lingkungan eksternal yang tidak kondusif, seperti: (i) perubahan iklim yang sangat drastis; (ii) konflik pemanfaatan terhadap sumberdaya pertanian bagi penyediaan pangan, pakan dan enersi; (iii) semakin protektifnya negara maju terhadap produk pangan dan sektor pertanian; dan (iv) sewenang-wenangnya negara maju dalam memaksakan format perdagangan bebas melalui WTO yang tidak adil.

Persoalan internal dan eksternal sungguh menyulitkan pembenahan sektor pangan yang terlanjur dikebiri dengan konsepsi ketahanan pangan yang terjebak berlebihan dalam dalih finansial, tetapi teramat sarat dengan kisruh dan krisis terkait syahwat jangka pendek. Signifikansi derajat kenegaraan agraris seharusnya menempatkan urusan pangan yang berkedaulatan sebagai perihal terpenting dalam pembangunan pertanian dan pedesaan. Sayangnya beragam determinasi telah mengakibatkan disorientasi pembangunan dalam dikotomi ekonomis yang mencampakkan sektor pangan sebagai tumbal pembangunan.

Disorientasi pembangunan harus diluruskan untuk kembali ke kiblat yang benar, kiblat yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa yang telah meramalkan betapa seksinya sektor pangan sebagai urusan hidup-mati. Semakin seksinya posisi ekonomi politik pangan yang multidinensional seperti ini sudah barang tentu menuntut peran dan kebijakan pangan Pemerintah yang memadai, bukan sekedar pencitraan seperti banyak dilakukan dewasa ini.

Kebijakan Pangan Pemerintah

Seksinya pangan telah memancing maraknya syahwat jangka pendek yang mengarah pada perebutan rente tataniaga, dan karenanya urusan pangan senantiasa sarat moral hazards yang harus dibendung melalui Kebijakan Pangan Pemerintah, goverment food policy (GFP). Faktanya GFP senantiasa dicanangkan amat populis berdalih kepentingan bagi keadilan dan kesejahteraan rakyat, konsumen maupun produsen, meski sebetulnya bukan lagi tujuan sosial-ekonomi yang mewarnai segala kebijakan pangan nasional, tetapi tujuan politis, termasuk membangun citra dan simpati publik terhadap pemerintahan. Politik citra yang terselubung oleh jargon populis GFP di banyak negara cenderung lebih menonjol dibandingkan kemanfaatan sosial-ekonomi. Indonesia tidak pernah terlepas dari jebakan citra dimaksud.

Pada intinya, beragam kepentingan dalam kaitannya dengan kebijakan pangan nasional merupakan upaya mediatif yang mengakomodasi kepentingan dua kelompok besar: (i) golongan konsumen dengan keinginan memperoleh harga semurahnya, dan (ii) golongan produsen dengan harapan memperoleh harga setinggi-ttingginya. Kedua kelompok ini memiliki karakter tersendiri menurut lokalita kawasan dan sangat dipengaruhi kepentingan pembangunan negara yang bersangkutan. Ekstremitas harapan dua kelompok ini tidak mudah dipertemukan dan dalam banyak hal senantiasa kontroversial, melahirkan pro-kontra hampir di keseluruhan kebijakan pangan yang diputuskan Negara yang bersangkutan (Maksum, 2013e).

10

Page 11: Kagama kedaulatan pangan

Apapun upaya image building bagi the ruling party yang terselubung, kontrol publik dalam skema analitis menyangkut kebijakan pangan nasional sungguh sangat diperlukan sebagai upaya perimbangan, didasarkan atas skenario pembangunan nasional yang kerangka dasarnya terkemas dalam segitiga kritis tujuan pembangunan: growth-equity-sustainability, pertumbuhan, keadilan-kemerataan, dan keberlanjutan. Pemanfaatan anasir ini untuk penilaian efektifitas kebijakan pangan berdalih aneka tujuan dengan demikian semestinya dilakukan.

Untuk konteks Indonesia, pro-kontra tentang kebijakan nasional teramat sering muncul bagai sebuah audisi, baik mengenai substansi kebijakannya sampai dengan kualitas dan efektifitas implementasinya pada tingkat lapangan. Sebagai catatan penting, bahwa kontroversi ini tidak selalu semata berkait dengan kebijakan yang secara khusus berkenaan langsung dengan pangan nasional, tetapi juga menyangkut kebijakan perekonomian yang memiliki implikasi langsung maupun tidak langsung terhadap kinerja pasar pangan pada umumnya.

Sejumlah kontroversi yang selalu menyertai kebijakan perekonomian maupun kebijakan ketahanan pangan nasional merupakan indikasi nyata bahwa implikasinya dalam dimensi: growth-equity-sustainability masih mengundang banyak sekali pertanyaan. Lebih jauh lagi, ketika perspektif analitis ini dikembangkan bagi kebijakan perekonomian nasional, gampang sekali ditengarai mekanisme terjadinya stagnasi pembangunan sektor pangan dan pertanian setelah sekian lama Republik ini mengadopsi model pembangunan dan industrialiasasi yang bernuansa terorisme sektoral (Maksum, 2012).

Makin seksinya sektor pangan dalam kurun waktu mutakhir sepantasnya mengingatkan kepada pihak Pemerintah dalam merumuskan GFP untuk lebih keluar lagi, menyentuh dan merombak perspektif macroeconomics Indonesia yang selama ini tidak melirik potensi pangan-pertanian, menjadi terpusat ke pangan-pertanian karena potensi makro ekonominya sangat nyata dan potensial untuk bisa menyelesaikan kronika perekonomian nasional yang menyertai kinerja makroekonomi RI.

Kedaulatan Pangan dan Perekonomian Nasional

Diutarakan sebelumnya bahwa Negara telah menempatkan prioritasi pembangunan antar sektor sangat dikotomis memperhadapkan sektor pangan sebagai bagian terpenting dari DBI, domestic-based industry, vis-a-vis sektor industri berbasis import, IBI. Dengan pemanjaan terhadap IBI, maka apapun upaya proteksinya, melalui kebijakan moneter, fiskal, perdagangan, legal, dan sebagainya, adalah disinsentif bagi pengembangan sistem pangan nasional. Dalam asumsi dikotomis seperti ini maka kedaulatan pangan adalah hambatan.

Nalar dikotomis seperti ini sesungguhnya sangat tidak memiliki rasionalitas memadai, untuk tidak mengatakannya justru keblinger. Rasionalitas seperti ini hanya ada sedikit benarnya, bukan kebenaran mutlak, setelah Indonesia terjebak industrialisasi IBI. Setiap saat ada krisis setiap kali itu pula IBI memerlukan proteksi dan stimulus esktra. Akibatnya, setiap saat itu pula sistem pangan nasional dikebiri karena watak yang sangat berbeda antara DBI dan IBI.

Pemanjaan industri masih terjadi. Dalam komplikasi perekonomian dewasa ini, optimisme Komite Ekonomi Nasional (KEN) yang berlebihan dengan proyeksi pendapatan per kapita 5.300 US$ pada tahun 2015, 9.000 US$ untuk tahun 2020 dan 14.900 US$, 2025 (Tanjung, 2011), pembangunan perekonomian sebenarnya masih meninggalkan persoalan keadilan ekonomi dan distribusi pendapatan yang mempertanyakan sampai tingkat mana nasib rakyat tani mau diikutsertakan melalui skenario enam koridor dalam MP3EI (Masterplan Percepatan

11

Page 12: Kagama kedaulatan pangan

dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) dengan target-target dimaksud. Sangat mudah dijawab bahwa tanpa kedaulatan maka rakyat tani akan tetap tertinggal di landasan.

Lebih jauh lagi, dalam suasana internal perekonomian nasional yang sistem pangannya telah sangat terpenjara oleh perilaku kartel, baik antar pelaku bisnis maupun antara pelaku bisnis dan oknum birokrat menurut Misanam (2013), perekonomian nasional yang sangat progresif sebagaimana disampaikan oleh KEN harus menghadapi beragam kritik eksternal yang sebetulnya sangat nyata pada tingkat global, tetapi disebut oleh Oberman dkk (2012) sekedar sebagai mitos saja dalam menilai watak pertumbuhan perekonomian nasional Indonesia. Lima kritik global yang cerdas telah dinafikan para ekonomis dan disebutnya sebagai mitos belaka.

Lontaran lima kritik global tersebut telah dibantah kebenarannya oleh para ekonom Indonesia (Oberman dkk., 2012; dan Budiman, 2012). Dalam beragam kritik substantif, optimisme perekonomian nasional dalam framework MP3EI ini tetap saja dikampanyekan. Bahkan, optimisme tetap membara ketika dihadapkan dengan kemerosotan nilai tukar rupiah dan indek harga saham gabungan, IHSG (Mansuri, 2013; Sadewa, 2013), meski fakta lapangan menunjukkan kegelisahan luar biasa. Segala dalih yang dibangun terasa sekali sangat menghibur meski senantiasa dipertanyakan muaranya, bagai optimisme dalam pesimisme.

Berbeda sekali halnya ketika segala persoalan yang terbingkai dalam lima kritik global serta krisis nilai tukar dan IHSG tersebut diurai secara lebih rinci dalam perpektif sektor pertanian dan kedaulatan pangan, sebagai DBI. Pertama, instabilitas ekonomi sepenuhnya bisa dicermati dari prinsip perekonomian yang dikotomis. Sumber masalahnya adalah ketergantungan IBI terhadap apapun yang terjadi di dunia luar karena watak investasinya yang berbasis asing. Sebenarnya, stabilitas itu hanya ada pada DBI. Peran utama pengembangan DBI tentu saja bisa dimainkan oleh pangan ketika berkedaulatan untuk menjamin stabilitas.

Kedua, pertumbuhan ekonomi yang terpusat di Jakarta memang benar adanya sebagai akibat dari pemanjaan IBI. Persebaran pertumbuhan ke daerah-daerah luar Jakarta hanya mungkin terjadi ketika prioritasi sektor pertanian dan kedaulatan pangan tidak lagi sekedar basa-basi. Ketiga, Oberman et.al. (2012) dan Budiman (2012) telah membantah dominasi eksport dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia, karena yang terjadi adalah pertumbuhan konsumsi. Dalam perspektif kedaulatan pangan, bantahan itu kontra produktif ketika konsumsi dikuasai produk import, terutama produk pangan. Pergeseran ke dominasi produk domestik adalah solusi. Pergeseran konsumsi hanya bisa terjadi ketika Bangsa ini terbingkai dalam kedaulatan pangan

Keempat, kritik tentang sumberdaya hanya bisa dibantah ketika ada upaya besar-besaran dalam kebijakan perekonomian nasional Indonesia untuk tidak melakukan eksportasi terhadap bahan mentah, terutama bahan pangan-pertaniannya seperti peresan sawit, kelathak kering coklat, getah karet, dan sebagainya. Dan kelima, mengikuti tanggapan keempat, bahwa orientasi nilai tambah akan menggeser dominasi sumberdaya dan tenaga kerja dengan pengembangan nilai tambah dalam kegiatan ekonomi pertanian dan pangan. Itulah posisi sentral kedaulatan pangan sebagai intisari kemandirian dan kedaulatan ekonomi.

Selanjutnya, krisis ekonomi mutakhir yang ditandai oleh kemerosotan nilai tukar rupiah dan nilai IHSG semenjak pertengahan 2013, sangat terkait dengan bukti kebenaran kritik pertama: instabilitas perekonomian nasional. Kemerosotan indikator makroekonomi ini menunjukkan dengan jelas betapa besar ketergantungan ekonomi nasional terhadap perekonomian global sehingga menjadi over-sensitive. Ketergantungan yang memuncak ini diakibatkan oleh pilihan RI terhadap IBI. Sungguh sangat berbeda jadinya, ketika konsentrasi RI di DBI, dan itulah jalan menegakkan stabilitas ekonomi dan Kedaulatan Negara.

12

Page 13: Kagama kedaulatan pangan

Dalam kontes perekonomian nasional, memang tidak mudah menarik pergeseran tegas dari kebijakan pangan berbasis import yang selama ini tanpa daulat, untuk menjadi berkedaulatan. Terlebih, melihat fakta swasembada pangan yang awalnya dirancang sebagai upaya peningkatan kemandirian menuju kedaulatan pangan pun ternyata sangat politis dan setengah hati. Sejumlah landasan legal pembangunan nasional sebenarnya sudah diundangkan kaitannya dengan kedaulatan pangan ini meski masih dipertanyakan ketegasan legalitasnya.

Pengujian UU 19/2013

Disampaikan sebelumnya bahwa efektifitas operasional sebuah UU bisa terjadi karena pengingkaran operasional seperti dicontohkan dalam legalisasi, maupun substansial mutu UU yang tidak memiliki ketegasan legalitas. Seperti bisa dicontohkan bahwa mutakhir ini, sedikitnya terdapat 12 kelompok masyarakat sipil yang bersama mengajukan Uji Materiil UU 19/2013 kepada Mahkamah Konstitusi memperkarakan dua masalah besar yang terkait dengan UU 19/2013, yakni persoalan keagrariaan dan persoalan kelompok tani (Anonim, 2013).

Berkenaan dengan persoalan keagrariaan sebagai salah satu materi pengujian yang disampaikan dalam hal ini (Maksum, 2014d), perlu disampaikan ulang bahwa hakekatnya semangat membangun landasan ekonomis negeri agraris Republik Indonesia dideklarasikan beberapa tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan RI melalui dibentuknya Panitia Agraria Jogjakarta, berdasarkan Tappres 16/1948 tertanggal 21 Mei 1948. Semangat agraris yang tidak pernah luntur secara berturut-turut dilanjutkan dengan dibentuknya Panitia Agraria Djakarta, 1951, dan Panitia Soewahjo, 1955, serta diikuti oleh terumuskannya Rancangan Soenarjo, 1958, dan disempurnakan menjadi Rancangan Soedjarwo, 1960, sebelum pada akhirnya disahkan sebagai Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang lebih dikenal sebagai UUPA, Undang-Undang Pokok Agraria dan diundangkan dalam Lembaran Negara tahun 1960 no. 104, 24 September 1960 (Harsono, 1968).

Kepentingan perlindungan dan pemberdayaan rakyat tani untuk mewujudkan kesejahteraan adalah esensi utama diundangkannya UUPA, yang semangat revolusionernya didokumentasikan sebagai konsideran atas terbitnya Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 169/1963 tertanggal 26 Agustus 1963 tentang Penetapan 24 September sebagai Hari Tani, yang menyebutkan (Harsono, 1968):

Bahwa tanggal 24 September, hari lahirnja Undang-Undang Pokok Agraria merupakan hari kemenangan bagi Rakjat Tani Indonesia, dengan diletakkannja dasar-dasar bagi penjelenggaraan land reform untuk mengkikis habis sisa-sisa imperialisme dalam lapangan pertanahan, agar rakjat tani dapat membebaskan diri dari segala matjam bentuk penghisapan manusia atas manusia dengan beralat tanah, sehingga melempangkan djalan menudju ke arah masjarakat adil dan makmur.

Beberapa hal bisa disarikan dari konsideran yang mensarikan watak politis UUPA. Pertama, semangat revolusioner yang anti imperialisme dan anti nekolim, terutama dalam hal pertanahan, merupakan esensi dasar pemikiran perekonomian nasional untuk mengatasi kolonialisasi pertanahan semenjak penjajahan. Kedua, rakyat tani sebagai jutaan subyek ekonomi, sekaligus jutaan investor gurem, yang harus mampu membebaskan diri dari eksploitasi ekonomi, sehingga menghindarkan diri dari penghisapan manusia atas manusia. Ketiga, land reform adalah sebuah keharusan sebagai instrumen kebijakan utama. Keempat, tanah sebagai alat ekonomi menuju keadilan dan kemakmuran.

Keempat watak politis UUPA ini menjadi semangat operasional pelaksanaan Pasal 33 ayat (3) UU 1945 yang menyatakan, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di

13

Page 14: Kagama kedaulatan pangan

dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Mengejutkan sekali ketika mandat revolusioner dalam keagrariaan tersebut dibenturkan dengan Pasal 59 UU19/13: “Kemudahan bagi Petani untuk memperoleh lahan Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (3) huruf a diberikan dalam bentuk hak sewa, izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan.”

Kecuali mengingkari makna penguasaan yang kemudian diplesetkan menjadi pemilikan, semangat dasar perlindungan dan pemberdayaan menjadi cenderung eksploitatif dan bermakna pemerdayaan. Kecenderungan ini mudah sekali dipahami karena mekanisme persewaan dan perizinan jelas sekali sudah sekian lama terjerat moral hazard (Maksum, 2014d)

Dengan demikian, komplit sudah pemerdayaan petani akan menjadi outcome utama dari perlindungan dan pemberdayaan model UU 19/2013 karena jeratan moral hazard akan menjadi sempurna ketika perolehan lahan yang diamanatkan oleh Pasal 59 UU 19/13 ini sama sekali tidak pernah menjamin kepastian hukum dan dengan demikian mengingkari Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sekaligus mencederai hak asasi petani untuk memperoleh penghidupan yang layak [Pasal 28D ayat (1) UUD 1945] dan mencapai persamaan dan keadilan [Pasal 28H ayat (2) UUD 1945].

Dalam kaitan dengan masalah kedua, tentang kelompok tani, pengalaman lapangan mencatat adanya simplifikasi pembangunan masyarakat yang bukan main dan cenderung selalu diurus berbasis pendekatan generalisasi yang tidak pernah menggubris lokalita, karakter kelompok, keragaman ideologis, kesukuan, dan lainnya. Kebhinnekaan masyarakat ketika itu diperkosa menjadi ke-ekaan (Maksum, 2014d).

Konfigurasi politik mutakhir telah membawa perubahan. Tata pemerintahan yang sentralistik dan otoriter telah bergeser sempurna menjadi demokratis, desentralistik dan partisipatif. Pergeseran paradigmatik ini telah membawa konsekuensi bergesernya segala macam pendekatan yang tadinya monolitik dan top down, secara revolusioner bergeser menjadi pendekatan dari bawah, bottom up, lokalistik dan partisipatif.

Sesungguhnya sangat membahagiakan ketika mencermati adanya semangat perubahan dalam rumusan Pasal 69 ayat (1) dan ayat (2) UU 19/13 ini yang menyatakan: “(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban mendorong dan memfasilitasi terbentuknya Kelembagaan Petani dan Kelembagaan Ekonomi Petani. “(2) Pembentukan kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan perpaduan dari budaya, norma, nilai, dan kearifan lokal Petani.”

Akan tetapi menjadi tidak jelas arah kenegaraan UU 19/13 ini ketika Pasal berikutnya, Pasal 70 dan Pasal 71. Pasal 70 ayat (1) menyatakan: “Kelembagaan Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) terdiri atas: a. Kelompok Tani; b. Gabungan Kelompok Tani; c. Asosiasi Komoditas Pertanian; dan d. Dewan Komoditas Pertanian Nasional.” Sementara Pasal 71 menyatakan: “Petani berkewajiban bergabung dan berperan aktif dalam Kelembagaan Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1).”

Tanpa pengetahuan legal secuilpun, mudah sekali mengernyitkan mata ketika membaca pasal berurutan dari sebuah naskah legal yang ternyata saling bertolak belakang. Satu pasal memberikan mandat untuk mengapresiasi lokalita budaya, nilai, kearifan dan sejenisnya dalam pelembagaan petani, sementara pasal berikutnya mengharuskan

14

Page 15: Kagama kedaulatan pangan

generalisasi yang sangat terbatas keberlakuannya tetapi mewajibkan. Pemakaian kata “berkewajiban” yang sama dalam pasal berurutan (Pasal 69 dan Pasal 71) ternyata teramat kontradiktif semangat legalnya. Kontradiksi ini sudah barang tentu menjadi catatan tersendiri yang harus membatalkannya demi hukum.

Pada tingkat realitas, beberapa bentuk lembaga ‘wajib’ (dalam tanpa petik) menurut Pasal 70 UU 19/2013 ini memiliki kebakuan yang teramat terbatas, yang tidak mampu melakukan generalisasi terhadap ragam lokalita petani se Tanah Air Indonesia. Keragaman adat yang tidak terhitung jumlahnya, kelompok sosial dan aktifis, serta lokalita lainnya sudah barang tentu memerlukan akomodasi yang sama atas nama keadilan dan kesamaan pelayanan hak asasi yang berprinsip indivisible dan inclusive.

Kenyataan legalnya, Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menjamin bahwa: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Sementara, Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 menjamin bahwa: “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.

Beberapa catatan ini menunjukkan dengan jelas bahwa mutu perundangan pun bisa problematik. Mudah dibayangkan bahwa, ketika perundangan memiliki mutu legal sangat memadai juga bisa tidak efektif seperti dicontohkan sebelumnya, maka kelemahan mutu legal sudah barang tentu sangat potensial untuk melahirkan kerancuan terapan yang lebih mengkhawatirkan.

SETAHUN terakhir, empat UU itu seperti UU hampa belaka. Meski jargon pangan nasional sudah menegaskan kedaulatan pangan, diskursus kebijakan nampak sekali senantiasa dimenangkan oleh pemilik modal, para importer, nekolim dan komprador, vis-à-vis Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid-II. Materi Paket Kebijakan Penyelamatan Ekonomi (PKPE) yang dirumuskan dalam merespon krisis nilai tukar mutakhir adalah satu dari banyak kasus bagaimana komprador senantiasa dimanjakan. Kedaulatan Pangan nampak semakin dikhianati.

RI Pantang Anti Rakyat Tani3

Mencermati bagaimana tidak jelasnya sikap Pemerintah RI dalam pembelaan petani, meski sudah ada beragam UU berkenaan dengan pemberdaulatan dan pemberdayaan rakyat tani, kinerja delegasi RI dalam KTM-9, Bali 2-7 Desember 2013, nyaris menyimpulkan betapa krisisnya pemihakan Pemerintah terhadap soal pangan dan rakyat tani.

Anand Sharma dalam KTM-9, 2013, menjadi bintang lapangan melanjutkan keteguhan pembelaan India terhadap RTM, Rakyat Tani Miskin yang konsisten melanjutkan perjuangan India empat tahun sebelumnya, dalam sidang Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dengan agenda finalisasi Doha Round, Geneva 21-29 Juli 2009, oleh pejabat pendahulunya Kamal Nath, Menteri Perdagangan dan Industri India, gigih mempertahankan pembelaan RTM.

Kala itu, bersama G-4: India-Brasil-China-Afrika Selatan, Kamal Nath memproklamirkan ketegasannya:“I am not risking for the livelihood of millions of farmers”, saya tidak mau ambil resiko dan mempertaruhkan kehidupan jutaan rakyat tani. Dia hanya mau teken draft WTO hanya kalau Amerika memangkas subsidi pangan. Doha Round Buntu total dan rembug

3 Pemikiran ini telah dimuat dalam SKH Kedaulatan Rakyat, Edisi 12 Desember 2013, halaman pertama. 15

Page 16: Kagama kedaulatan pangan

berikutnya diserahkan G-20. Bagi RTM, begitulah seharusnya kegigihan negarawan RI, ketika mengingkan sebutan bahwa RI pantang anti rakyat tani.

Anand Sharma, adalah bintang KTM-9 bagi RTM. Sikapnya dalam KTM-9 ditegaskan sebagai kepentingan RTM dan sejumlah negara berkembang yang dia paparkan sama sekali tidak untuk dinego, not negotiable. Sikap ini mewarnai polemik persidangan hari ke-3, dan kekuatan sikap itu pula yang memaksa penutupan KTM-9 molor dari tanggal 6 menjadi 7 Desember 2013. Sungguh kebintangan tersebut hanya melekat pada kegigihannya mengawal posisi tawar yang disebutkan tidak bisa dinego, karena itu urusan RTM, dalam negeri, urusan kedaulatan pangan domestik, dan hak asasi masyarakat miskin. Posisi tawar dimaksud berintikan tiga hal yang sangat masuk akal bagi RTM di manapun, termasuk Indonesia.

Pertama, adalah kegigihannya mematok angka 15 persen subsidi pangan, dibandingkan dengan sikap awal Amerika Serikat dan sekutunya yang membatasi 10 persen. Kegigihan itulah yang membuat AS akhirnya mengendorkan sikapnya menjadi 15 persen. Kedua, keteguhan Sharma meminta subsidi tersebut berlaku tanpa batas waktu, menghadapi AS yang menetapkan keberlakuan sampai empat tahun saja. Ketiga, tentang referensi harga yang oleh AS ditentukan merujuk pada harga 2008. Sharma ngotot bahwa referensinya harus mutakhir.

Akal sehat RTM RI, mudah sekali untuk memahami dan mendukung Sharma. Tentang referensi harga, sungguh masuk akal ketika rujukan waktunya adalah waktu kesepakatan dirumuskan. Tentang butir kedua, RTM sangat memahami bahwa kemiskinan dan kepentingan subsidi RTM dan pangan tidak pernah bisa selesai tahun 2018. Butir pertama, besaran subsidi, menegaskan komitmen domestik pada arah mana sebenarnya RTM dan masyarakat miskin harus diberdayakan, dan itu adalah kedaulatan negara untuk memathok berdasar kepentingan.

Diametral sekali perseberangan India dan Amerika. Dalam jalan buntu Amerika kemudian menyerahkan urusan negosiasi kepada Tuan Rumah, RI. Peran RI menjadi menarik manakala justru lebih berpihak kepada Amerika dan sejumlah negara kapitalis, dan bukannya mengingat RTM, sebagai warga negara RI mayoritas. Mediasi itupun tidak menghasilkan perubahan kecuali mempersilahkan India memperoleh hak khusus, privilege, untuk pemikiran selanjutan.

Secara khusus peran mediatif RI menarik perhatian RTM dan pendukungnya. Delegasi RI seharusnya mengamini India dalam pembelaan RTM. Sekurang-kurangnya itulah yang disuarakan banyak pihak, termasuk PBNU, Muhammadyah, media massa, mahasiswa, aktifis LSM, Golkar, PDIP, dan lain sebagainya yang direpresentasikan dalam sejumlah demo di banyak kawasan pada tingkat basis. Dukungan publik yang disuarakan pro-RTM, amanat kedaulatan pangan UU 41/2009, UU 13/2010, UU 18/2012 dan UU 19/2013, ternyata tidak pernah didengarkan oleh sekumpulan negarawan dalam satuan delegasi RI KTM-9.

Fakta tersebut tentu menyedihkan. Amanat kedaulatan dan perlindungan petani diabaikan total, dan berarti mengingkaran terhadap UU 41/2009, 13/2010, 18/2012, 19/2013, dan tentu saja UUD’45. Para aktifis PBNU, Muhammadyah, dan pembela RTM lainnya, sertamerta menyimpulkan bahwa ternyata masih ada RI yang anti rakyat tani dan kedaulatan pangan.

Kesimpulan: Luruskan Kiblat Kebangsaan!

Kedaulatan pangan sebagai bagian terpenting dalam pembangunan pertanian dan pedesaan di Republik Agraris Indonesia telah lama diperjuangkan oleh jaringan kedaulatan pangan masyarakat sipil. Teriakan ini yang pada awalnya hanya terkait sebagai sampiran dalam UU terdahulu seperti UU 41/2009, UU 13/2010, dan turunannya, pada akhirnya bersambut dengan

16

Page 17: Kagama kedaulatan pangan

diterbitkannya UU 18/2012 dan UU 19/2013. Hakekat ideologis ini nyaris dilupakan dalam berbangsa karena terperangkapnya kebijakan oleh hingar-bingar perebutan kesempatan dan kekuasaan ekonomis. Untuk membangun kembali ideologisasi kebangsaan yang berkerakyatan, sudah tentu khitthah agraris ini merupakan basis khidmad yang menentukan4.

Kedaulatan pangan bukanlah berarti pengebirian terhadap IBI karena pemihakan terhadap DBI. Kedaulatan pangan sebagai DBI dalam hal ini diyakini sebagai kiblat reorientasi terhadap terbangunnya kedaulatan ekonomi dan pada gilirannya kedaulatan Bangsa Indonesia. Dalam konteks perekonomian yang lebih luas, kedaulatan pangan menjanjikan stabilitas ekonomi, penyebaran pertumbuhan ke daerah, pergeseran konsumsi berbasis produk domestik dan peningkatan nilai tambah bagi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia pedesaan.

Dalam kaitan inilah, naskah pendek ini sedikit menguak eksistensi sektor pangan-pertanian-pedesaan dalam peta perekonomian nasional vis-a-vis sektor industri manufaktur berbasis import yang dimanjakan luar biasa oleh Negara. Uraian singkat yang dipaparkan telah menyimpulkan bahwa pemanjaan sektor industri ternyata telah gagal total mendewasakan industri non pertanian, kecuali semakin manja dan protektif serta kian tergantung. Sementara itu, urusan pangan dan pertanian dianaktirikan, dinafikan kedaulatannya dan dijadikan tumbal.

Oleh karena itu, urusan kedaulatan pangan sebagaimana secara legal telah ditetapkan undang-undang bukanlah sekedar urusan teknis dan teknologis, tetapi urusan paradigmatik kaitannya dengan pilihan kiblat pembangunan. Untuk membangunnya sungguh diperlukan keberanian merubah kiblat pembangunan nasional dari perekonomian berbasis import ke perekonomian berbasis domestik. Dengan demikian, sungguh diperlukan rekonstruksi kebijakan ekonomi politik nasional melalui rekonstruksi struktural (structural reconstruction) dalam hal kebijakan: anggaran, moneter, fiskal, perdagangan dan kebijakan lainnya (Maksum, 2008).

Sudah waktunya Republik ini menyadari bahwa pilihan ekonomisnya seharusnya lebih terkonsentrasi pada sektor ekonomi dengan keunggulan komparatif yang dimilikinya, yaitu sektor ekonomi berbasis sumberdaya alam setempat, natural resource-based industry, utamanya sektor pangan nasional. Keunggulan kompetitif untuk sektor ini sudah pasti teramat mudah dikembangkan. Tidak demikian halnya dengan import-based industry yang sama sekali tidak didukung keunggulan komparatif, semakin ketinggalan keunggulan kompetitifnya dan selalu memaksa Negara untuk super protektif dan memanjakannya untuk sekedar layak hidup.

Memang diperlukan reorientasi struktural sangat segera bagi perubahan kiblat pembangunan nasional. Adalah sebuah tantangan yang merangsang sejumlah pihak ketika mengambil sikap berorientasi pada kedaulatan untuk membuktikan bahwa switching back ke semangat pangan sebagai urusan hidup-mati bagi Bung Karno (1952) bukanlah sebuah basa-basi politik. Mudah sekali dibuktikan bahwa penegakan Kedaulatan Pangan tidak butuh trade off yang mengorbankan sektor lain. Kedaulatan Pangan adalah dukungan utama bagi: pro poor-job-growth-green regional development, sekaligus menjamin pemerataan dan stabilitas pertumbuhan ekonomi, serta meningkatkan nilai tambah sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang melimpah di negeri ini.

Tanpa upaya reorientasi total tersebut, niscaya impian membangun ketahanan pangan yang berkedaulatan, dan mendongkrak kedaulatan Bangsa Indonesia dalam kancah pergaulan dunia pada umumnya, hanyalah sebuah isapan jempol belaka... NA’UDZU BILLAH...

4 Kesimpulan ini adalah bagian dari kesimpulan tulisan Maksum (2014): KEDAULATAN PANGAN: Antara Legalitas Proteksi dan Legalisasi Importasi. Jurnal KPA, Konsorsium Pembaruan Agraria. Proses cetak.

17

Page 18: Kagama kedaulatan pangan

DAFTAR PUSTAKA

Aliya, Angga. 2008. RI Ekspor Beras Medio 2009: 3 Negara Sudah Antre Impor. detikFinance, Selasa, 09/12/2008 16:14 WIB.

Anonim. 2008. Strategi dan Kebijakan Ketahanan Pangan dan Gizi menuju Kedaulatan Pangan. Hasil FGD Kelompok Pakar Pangan UGM. Dipaparkan pada Sidang Pleno antar Kelompok FGD. Senat Akademik UGM, 10 Desember 2008.

Anonim. 2009. Undang-Undang Nomer 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Tanaman Pangan Berkelanjutan.

Anonim. 2010. UU 13/2010 tentang Hortikultura.

Anonim. 2012. Undang-Undang Nomer 18/2012 tentang Pangan.

Anonim. 2013a. Undang-Undang No 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.

Anonim. 2013b. UGM Canangkan Gerakan Kedaulatan Pangan. Berita Antara, edisi Rabu, 16 Oktober 2013 23:31 WIB | 4676 Views.

Anonim. 2013c. Permendag No. 25/M-DAG/PER/6/2013 tentang Penetapan Harga Pembelian Kedelai Petani dalam rangka Program Stabilisasi Harga Kedelai.

Anonim. 2013d. Permendag No. 26/M-DAG/PER/6/2013 tentang Penetapan Harga Pembelian Kedelai Tingkat Pengrajin dalam rangka Program Stabilisasi Harga Kedelai.

Anonim. 2013e. Permendag No. 24 Tahun 2013 tentang Ketentuan Impor Kedelai dalam Rangka Program Stabilisasi Harga Kedelai.

Anonim. 2013f. Tegakkan Kembali Kedaulatan Indonesia. Lampiran Laporan Rektor tahun 2013. Disampaikan dalam Rapat Terbuka Majelis Wali Amanat, sebagai puncak acara Peringatan Dies Natalis UGM ke-64, Kamis, 19 Desember 2013

Anonim. 2013g. Jihad Menegakkan Kedaulatan Pangan. Suara dari Bulaksumur. Gadjah Mada University Press, 2013.

Anonim. 2013h. Perbaikan Permohonan Uji Materiil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani Terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Surat Permohonan kepada KETUA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA. Diajukan oleh Tim Advokasi Hak Asasi Petani, 11 Oktober 2013.

Ariyanti, Fiki. 2014. Lahan Pertanian Sempit, Menkeu: Jangan Lagi Jadi Andalan kerja. http://bisnis.liputan6.com/read/819025/lahan-pertanian-sempit-menkeu-jangan-lagi-jadi-andalan-kerja . 06 Februari 20142264.

Bimo, Dwi. 2014. Sudah Siapkah Kita Menjadi Negara Industri?. h ttp://m.kompasiana.com/post/read/633081/2/sudah-siapkah-kita-menjadi-negara- industri.html. 06 Feb 2014 | 12:01.

Budiman, Haryanto T. 2012. Indonesian Economic Outlook 2013 and Beyond. Disampaikan dalam Lokakarya Industri Strategis, BUMN. Yogyakarta, 01 November 2012.

Deptan. 2008. Peningkatan Produksi Padi Menuju 2020: Memperkuat Kemandirian Pangan dan Peluang Ekspor. Disampaikan dalam Roundtable Discussion di Badan Litbang Pertanian, 25 Nopember 2008.

18

Page 19: Kagama kedaulatan pangan

Harsono, Budi. 1968. Undang-Undang Pokok Agraria: Sejarah Penyusunan, Isi dan Pelaksanaannya. Penerbit: Djambatan Djakarta. Cetakan kedua, Nopember 1968.

Haryati, Eny. 2003. Pengembangan Masyarakat Desa dan Penanggulangan Kemiskinan. Disertasi Doktor, FISIPOL-UGM. Tidak dipublikasikan. Hal 507.

Jung, Ku-Hyun; Anuchat P; M. Maksum; dan T Park. 2003. Civil Society Response to Asian Crisis-Thailand, Indonesia and Korea. IEWS, Yonsei University.

Lee, Richard. 2007. Food Security and Food Sovereignty. Discussion Paper Series No. 11. Center for Rural Economy, the University of Newcastle.

Maksum, M. 2008. Kembali ke Pedesaan dan Pertanian: Landasan Rekonstruksi Perekonomian Nasional. Naskah Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar Sosial-Ekonomi Agroindustri. Rapat Terbuka MGB-UGM, 30 Januari 2008.

----------. 2012. Rakyat Tani Miskin: Korban Terorisme Pembangunan Nasional. Kumpulan tulisan a/n Maksum dalam SKH Kedaulatan Rakyat, diterbitkan PSPK-UGM, cetak 2.

-----------. 2013a. Membangun Kedaulatan Pangan: Rekonstruksi Kebijakan Ekonomi Politik Nasional. disampaikan pada putaran pertama diskusi: Jihad Kedaulatan Pangan UGM, 22-08-2011. Dalam: Jihad Kedaulatan Pangan. Gama Press, 2013 (proses penerbitan).

-----------. 2013b. Perlindungan Petani dan Sapi. Opini dalam SKH Kompas, 31 Juli 2013.

-----------. 2013c. Pembijakan Importasi Sapi Abadi. Opini dalam Gatra, 6 September 2013.

-----------. 2013d. Importasi Sapi dan Perlindungan Peternak Lokal. Materi FGD, diselenggarakan Ditjen PKH, Kementan. Pusat Informasi Kementan, 10-09-2013.

-----------. 2013e. KEDAULATAN PANGAN: Kiblat Kebijakan Ekonomi Politik Nasional. Seminar Nasional KAGAMA. Swissbell Hotel, Kendari, 9 Nopember 2013.

-----------. 2014a. KEDAULATAN PANGAN: Landasan Keberdayaaan Petani dan Kemandirian Daerah. Orasi Ilmiah Kedaulatan Pangan, Raker KAGAMA Jateng, dengan tema: “Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan Dalam Rangka Mewujudkan Kedaulatan Pangan dan Jawa Tengah Berdikari”. Semarang, 25 Januari 2014.

------------. 2014b. Pangan: Jaminan Pertumbuhan Ekonomi. SKH KR, 22 Februari 2014.

------------. 2014c. KEDAULATAN PANGAN: Landasan Pertumbuhan dan Keswasembadaan Peternakan Propinsi Jawa Tengah. Grand Candi Semarang, 27 FEBRUARI 2014.

------------. 2014d. Beberapa Catatan Kritis terhadap UU 19/2013: Persoalan Agraria dan Kelembagaan Petani. Bahan saksi ahli untuk MK. Jakarta, 16 Januari 2014.

------------. 2014e. KEDAULATAN PANGAN: Antara Legalitas Proteksi dan Legalisasi Importasi. Dalam Jurnal KPA, dalam proses penerbitan.

Mansuri, Pahala N. 2013. Strategi Pembiayaan Perbankan Tahun 2014. Disampaikan dalam Workshop Kementerian BUMN, Surabaya 27 September 2013.

Misanam, Munrokhim, 2013. Kartel Impor Pangan. Presentasi KPPU disampaikan pada acara Diskusi Publik, diselenggarakan oleh INFID, Jakarta, 30 Juli 2013.

Oberman, Raoul; R. Dobbs; A. Budiman; F. Thompson; and M. Rossee. 2012. The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia’s Potentials. A publication of the McKinsey Global Institute, submitted to the GOI.

19

Page 20: Kagama kedaulatan pangan

Rosset, Peter. 2003. Food First. Introductory Notes.

Sadewa, Purbaya Yudhi. 2013.Perkembangan Terkini dan Prosepek Perekonomian Indonesia. Disampaikan dalam Workshop Kementerian BUMN, Surabaya 27 September 2013.

Soekarno. 1952. Soal Hidup Atau Mati. Pidato Presiden dalam acara Peletakan Batu Pertama Gedung Fakultas Pertanian, Bogor. Digandakan oleh PSP3-IPB, 2005.

-----------. 1964. Vivere Pericoloso. Cuplikan Pidato Kenegaraan Presiden Soekarno menyambut Ulang Tahun Kemerdekaan RI, 1964.

-----------. 1965. PENA SOEKARNO. Pidato Bung Karno yang diucapkan melalui Radio Republik Indonesia, 3 Oktober 1965 jam 01;30

Sudaryono, dkk. 2013. Penguatan Teknologi dan Industri untuk Kedaulatan Bangsa. Pidato Dies Natalis, disampaikan dalam Rapat Terbuka Majelis Wali Amanat, sebagai puncak acara Peringatan Dies Natalis UGM ke-64, Kamis, 19 Desember 2013.

Tanjung, Chairul. 2011. Peran Wirausahawan Nasional dalam Visi Ekonomi Indonesia 2025. Seminar Sehari Pengembangan Wirausahawan NU. PBNU, Jakarta, 09 Juli 2011.

UNDP. 2005. Programming for Justice: Access for All. Published by UNDP Regional Office, Bangkok, Thailand.

Ziegler, Jean. 2008. Promotion and Protection of All Human Rights, Civil, Economic, Social and Cultural Rights, Including the Right to Development. Report of the Special Rapporteur on the right to food. UN General Assembly, Seventh session Agenda item 3. January 10, 2008.

20