kacamata driyarkara : paham radikalisme dan kaum muda di

14
1 Kacamata Driyarkara adalah program kerja Kementerian Sosial Politik Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Sanata Dharma 2021 berupa kajian yang berisi pemikiran-pemikiran atas isu-isu kontemporer di bidang sosial dan politik yang dikaji dari perspektif BEM USD Selamat membaca! Kacamata Driyarkara : Paham Radikalisme dan Kaum Muda di Indonesia Bernardin Chrisnaning Widowati Benedicta Dyah Ayu Wulandari Eugenia Rainja Lois Kementrian Sosial Politik BEM USD 2021 Radikalisme bisa didefinisikan sebagai upaya untuk melakukan perubahan sosial dengan jalan kekerasan. Paham ini memiliki keyakinan akan satu tujuan yang dianggap benar. Dalam artian bahasa, radikalisme adalah aliran yang menginginkan suatu perubahan atau pembaharuan sosial maupun politik dengan cara kekerasan atau aksi drastis. Pada dasarnya, radikalisme mengusung perubahan. Namun, radikalisme juga bisa diartikan sebagai suatu sikap yang ekstrim dan revolusioner untuk memperjuangkan perubahan dari arus utama yang dianut masyarakat. 1 Ketua umum Dewan Masjid Indonesia, Dr. dr. KH. Tarmidzi Taher, mengemukakan pengertian radikalisme dari segi politik. Menurut beliau, radikalisme memiliki makna tajdid (pembaharuan) dan islah (perbaikan) yang menunjukkan suatu jiwa perubahan menuju kebaikan. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, para pemikir radikal dianggap sebagai seorang pendukung reformasi jangka panjang. 2 Lebih lanjut, menurut pengamat terorisme, Ridwan Habib, pemerintah seharusnya melakukan identifikasi kelompok dan gerakan yang dianggap radikal. Hal ini dilakukan agar ada batasan yang jelas antara kelompok yang dapat dikategorikan bergerak dengan paham radikalisme. Saat ini batasan radikalisme sendiri belum 1 Dina, A. (2019). Paham Radikalisme Di Indonesia Menurut Ideologi Pancasila. 2 Dosenpendidikan. (2021, January 4). Home. DosenPendidikan.Com. https://www.dosenpendidikan.co.id/pengertian-radikalisme/. (diakses pada Jumat, 18 Juni 2021, pukul 21:15 WIB)

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kacamata Driyarkara : Paham Radikalisme dan Kaum Muda di

1

Kacamata Driyarkara adalah program kerja Kementerian Sosial Politik Badan Eksekutif Mahasiswa

Universitas Sanata Dharma 2021 berupa kajian yang berisi pemikiran-pemikiran atas isu-isu

kontemporer di bidang sosial dan politik yang dikaji dari perspektif BEM USD Selamat membaca!

Kacamata Driyarkara :

Paham Radikalisme dan Kaum Muda di Indonesia

Bernardin Chrisnaning Widowati

Benedicta Dyah Ayu Wulandari

Eugenia

Rainja Lois

Kementrian Sosial Politik BEM USD 2021

Radikalisme bisa didefinisikan sebagai upaya untuk melakukan perubahan sosial

dengan jalan kekerasan. Paham ini memiliki keyakinan akan satu tujuan yang dianggap benar.

Dalam artian bahasa, radikalisme adalah aliran yang menginginkan suatu perubahan atau

pembaharuan sosial maupun politik dengan cara kekerasan atau aksi drastis. Pada dasarnya,

radikalisme mengusung perubahan. Namun, radikalisme juga bisa diartikan sebagai suatu sikap

yang ekstrim dan revolusioner untuk memperjuangkan perubahan dari arus utama yang dianut

masyarakat.1

Ketua umum Dewan Masjid Indonesia, Dr. dr. KH. Tarmidzi Taher, mengemukakan

pengertian radikalisme dari segi politik. Menurut beliau, radikalisme memiliki makna tajdid

(pembaharuan) dan islah (perbaikan) yang menunjukkan suatu jiwa perubahan menuju

kebaikan. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, para pemikir radikal dianggap sebagai

seorang pendukung reformasi jangka panjang.2 Lebih lanjut, menurut pengamat terorisme,

Ridwan Habib, pemerintah seharusnya melakukan identifikasi kelompok dan gerakan yang

dianggap radikal. Hal ini dilakukan agar ada batasan yang jelas antara kelompok yang dapat

dikategorikan bergerak dengan paham radikalisme. Saat ini batasan radikalisme sendiri belum

1 Dina, A. (2019). Paham Radikalisme Di Indonesia Menurut Ideologi Pancasila. 2 Dosenpendidikan. (2021, January 4). Home. DosenPendidikan.Com.

https://www.dosenpendidikan.co.id/pengertian-radikalisme/. (diakses pada Jumat, 18 Juni 2021, pukul 21:15

WIB)

Page 2: Kacamata Driyarkara : Paham Radikalisme dan Kaum Muda di

2

jelas. Hal ini terlihat dari beragam definisi radikalisme yang justru menimbulkan kerancuan.3

Meskipun demikian, dari banyaknya definisi radikalisme, bisa ditarik kesimpulan bahwa

radikalisme merupakan suatu paham yang mengusung suatu perubahan, baik negatif ataupun

positif.

Menurut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), ada 4 kriteria radikal

yang harus dipahami. Pertama, adalah sikap intoleran. Dalam hal ini semua orang yang tidak

sejalan dengannya dianggap salah. Kedua, adalah konsep takfiri dalam masyarakat. Takfiri

adalah sebutan bagi seorang Muslim yang menuduh Muslim lainnya sebagai seorang kafir atau

murtad. Ketiga, adalah menolak Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Direktur

Deradikalisasi BNPT, Prof. Irfan Idris, menyatakan bahwa Indonesia bukanlah negara agama,

tapi negara orang beragama. Keempat, adalah seseorang yang menolak Pancasila. Pancasila

adalah pedoman yang mendasari berdirinya tanah air dan tak dapat dipisahkan dari NKRI.

Namun, patut disayangkan karena sebagian orang justru membenturkan pemahaman agama

dengan negara. Hal ini menjadi salah satu faktor yang dapat menimbulkan konflik di tengah

masyarakat. 4

Landasan Hukum Radikalisme

Indonesia sebagai negara hukum ditegaskan pada Pasal 1 Ayat (3) amandemen ketiga

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), yang

menyatakan bahwa semua orang harus diperlakukan sama di hadapan hukum. Maka dari itu,

para pelaku radikalisme harus menerima konsekuensi hukum atas apa yang ia perbuat.5

Jika ditinjau dari undang-undang yang berlaku di Indonesia, hukum lebih mengarah

pada penegakan hukum para pelaku terorisme, bukan penganut paham radikalisme. Menurut

Perpu Nomor 1 Tahun 2003 (sekarang menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003)

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, disebutkan bahwa tindak pidana terorisme

adalah setiap tindakan dari seseorang yang dengan segaja menggunakan kekerasan atau

ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap publik secara

luas. Nikmah (2016) menyebutkan, terorisme adalah kejahatan yang dilakukan dengan cara

merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau

menghancurkan objek-objek vital yang strategis atau fasilitas publik/internasional tersebut,

bahkan dapat menimbulkan korban yang bersifat massal.6 Tindak pidana terorisme dalam

hukum pidana Indonesia telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Buku II

tentang Kejahatan, pada Bab I tentang Kejahatan terhadap Keamanan Negara, Bab VII tentang

3 Aminah, A. N. (2019, November 4). Pemerintah Diimbau Identifikasi Batasan Kelompok Radikal. Republika

Online. https://nasional.republika.co.id/berita/q0g2w3384/pemerintah-diimbau-identifikasi-batasan-kelompok-

radikal. (diakses pada Jumat, 18 Juni 2021, pukul 21:29 WIB)

4 Mudassir, R. (2019, November 5). Ini 4 Kriteria Radikal yang Harus Dipahami, Menurut BNPT: Kabar24.

Bisnis.com. https://kabar24.bisnis.com/read/20191105/15/1167259/ini-4-kriteria-radikal-yang-harus-dipahami

menurut-bnpt. (diakses pada Jumat, 18 Juni 2021, pukul 21:34 WIB) 5 Jamil, M. (2017). Hukum dan Radikalisme Agama di Indonesia. Nusantara IKPMDI.

https://osf.io/3k7gf/download. 6 Nikmah, K. (2016). Hukuman Pelaku Tindak Pidana Terorisme Dalam Perspektif Hukum Positif di Indonesia

dan Hukum Pidana Islam (thesis). Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya.

Page 3: Kacamata Driyarkara : Paham Radikalisme dan Kaum Muda di

3

Kejahatan yang Membahayakan Keamanan Umum bagi Orang atau Barang, dan pada Bab

XXVII tentang Penghancuran atau Pengerusakan Barang.7

Saat ini, landasan hukum terkait radikalisme dapat dikatakan masih lemah. Staf Ahli

Kepala Kepolisian Republik Indonesia Bidang Sosial dan Budaya, Inspektur Jenderal Polisi

Saud Nasution, mengatakan bahwa penegakan hukum yang dilakukan oleh polisi selama ini

belum maksimal karena dasar hukum yang belum jelas, sehingga mengakibatkan adanya

keraguan dalam menindak pelaku.

Sejarah Radikalisme

Pemikiran radikalisme yang menyimpang dapat ditilik dari pemikiran yang dilahirkan

oleh Ibnu Taimiyah, seorang pemikir Islam yang pertama kali menyerukan kekufuran terhadap

sejumlah organisasi dan ormas Islam. Salah satunya kelompok Ikhwanul Muslimin yang

produktif mengorganisir aksi gerakan yang radikal. Contohnya gerakan Jama’ah Islamiyah

yang secara intens mengirimkan orang ke konflik Afganistan sejak pecah kepemimpinan

jamaah Negara Islam Indonesia pada awal tahun 1993. Pada tahun 1998, dimulai program

Diklat Akademi Militer Al-Jamaah Al-Islamiyah, dan pada tahun tersebut mereka dikirim ke

Ambon ketika sedang hangat konflik bersenjata antar suku beragama.8

Salah satu pengeboman karena paham kelompok radikal pertama kali terjadi di

Indonesia pada tahun 1962 di Kompleks Perguruan Cikini. Pengeboman ini bertujuan

membunuh Presiden Soekarno. Kelompok ini kemudian semakin dikenal di Indonesia ketika

terjadi peristiwa pengeboman di Kedutaan Besar Filipina di Jakarta pada Agustus 2000.

Mereka memiliki paham dan tujuan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam yang

diatur oleh Syariah Allah.

Dalam konteks agama yang sering dianggap berhubungan erat dengan radikalisme, kita

dapat melihat dari banyak sudut pandang agama yang berbeda. Dari sudut pandang Islam,

secara doktrinal agama Islam adalah agama yang menolak adanya kekerasan. Namun,

penaklukan atau pembebasan yang dilakukan mulai abad VII nyatanya menggandeng unsur

kekerasan. Radikalisme ekstrim pertama muncul di masa pemerintahan Ustam bin Afan. Ada

sebuah gerakan yang dipimpin oleh Abdulah bin Saba bersama dua ribu pengikutnya untuk

mengganti kedudukan Usman bin Afan sebagai khalifah dengan Ali bin Abi Tholib. Kelompok

ini berhasil membunuh Ustam bin Afan sehingga memicu kekacauan dan teror. Kemudian dari

sudut pandang Kristiani, agama yang memiliki misi mengedepankan cinta kasih, dalam

sejarahnya pun tidak jauh dari kekerasan. Banyak terjadi perang salib atau perang agama.

Radikalisme agama Kristen paling pertama muncul pada abad XVI dengan adanya reformasi

kelompok Protestan. Tokohnya, Martin Luther, yang dianggap radikal oleh kaum Katolik

karena dianggap mampu mengubah struktur Gereja baik secara fisik maupun ajaran. Dari sudut

pandang agama Hindu, ada ajaran yang memberi legitimasi pada kekerasan. Munculnya

radikalisme pada agama Hindu dapat dilihat dari adanya respon saat Mogul Emperor

menaklukkan India dan penjajahan Inggris yang menguasai India yang diikuti konversi Hindu

7 Ibid. 8 Husein, M. T. (2017). Fenomena Radikalisme Di Indonesia, 13.

https://doi.org/http://dx.doi.org/10.31000/rf.v13i2.404

Page 4: Kacamata Driyarkara : Paham Radikalisme dan Kaum Muda di

4

ke Kristen oleh para misionaris. Respon radikal tersebut antara lain muncul gerakan-gerakan

seperti Bajrangdal, Rashtriya Svayam Sevak, dan lain-lain. Dari sudut pandang agama Buddha,

kelompok radikal tergambar oleh sekelompok biksu dan masa radikal yang dikoordinir oleh

Biksu U Wirathu di Myanmar yang mengusir kaum Muslim Rohingya dengan cara membunuh

dan membakar harta benda. 9

Bisa dikatakan bahwa sejarah radikalisme dunia dari segi agama banyak memengaruhi

gerakan radikalisme di Indonesia. Anggota masyarakat yang merasa tidak puas dan ingin

mengusung perubahan bisa terdorong untuk memegang paham radikal yang membawa

kekerasan dan meneyebabkan teror serta kekacauan di tengah masyarakat. Agama pun menjadi

hal yang tidak bisa terlepas dari sejarah radikalisme, baik di seluruh dunia maupun di Indonesia.

Faktor Penyebab Munculnya Gerakan Radikalisme

Gerakan radikalisme adalah persoalan yang tidak asing, terutama bagi kita sebagai

masyarakat Indonesia yang memiliki kemajemukan dalam berbagai hal. Namun, gerakan

radikalisme tidak muncul hanya karena faktor kemajemukan. Berikut adalah latar belakang

yang menjadi faktor pendorong munculnya gerakan radikalisme:

a. Faktor Sosial – Politik

Memburuknya posisi negara muslim dalam konflik utara-selatan menjadi

penopang munculnya radikalisme. Dalam hal ini kaum radikalisme memandang bahwa

agama yang dianutnya tidak diuntungkan dengan adanya peradaban global. Persoalan

tersebut menimbulkan perlawanan dan munculnya kaum yang membawa bahasa,

simbol serta slogan. Mereka berusaha menyulut emosi keagamaan tertentu dengan

maksud untuk mencapai tujuan “mulia” dari politiknya. Hal ini pun didukung dengan

adanya pemikiran masyarakat mengenai suatu pemimpin negara yang hanya berpihak

pada suatu golongan, sehingga menyebabkan adanya kelompok masyarakat yang

seolah menjadi penegak keadilan.

b. Faktor Emosi Keagamaan

Faktor sentimen keagamaan juga menjadi peran dalam penyebab munculnya

radikalisme karena adanya rasa solidaritas untuk membantu orang lain yang tertindas

oleh suatu kekuatan. Walaupun gerakan radikalisme selalu membawa simbol agama,

tetapi ini lebih tepat dikatakan sebagai faktor emosi keagamaan, bukan karena suatu

agama yang memberontak.

c. Faktor Kultural

Budaya sekularisme atau budaya barat yang mendominasi dianggap menjadi

ancaman bagi sebagian umat beragama. Perubahan yang lebih maju dan bersifat

universal ini dipandang sebagai salah satu faktor kultural yang membuat suatu

9 Mage, R. I. (2017). Prospek Gerakan Radikalisme di Indonesia. Jurnal Sosial dan Humaniora, 2(3).

Page 5: Kacamata Driyarkara : Paham Radikalisme dan Kaum Muda di

5

kelompok menjadi terbelakang. Adanya pemikiran bahwa segala sesuatu harus

dikembalikan ke agama dengan cara apapun termasuk kekerasan juga menyebabkan

berkembangnya radikalisme. Didukung dengan adanya anggapan bahwa semua pihak

yang memiliki pandangan berbeda maka dianggap bersalah.

d. Faktor Ideologis Anti Westernisme

Westernisasi dianggap sebagai suatu pemikiran yang dapat membahayakan

dalam mengaplikasikan ajaran agama. Pemahaman tersebut mendorong simbol dan

gerakan Barat harus dihapuskan dan dihancurkan dengan cara apapun termasuk

kekerasan. Namun, justru hal inilah yang menunjukkan bahwa kaum radikalisme tidak

siap untuk bersaing dalam budaya dan peradaban yang semakin berkembang.

e. Faktor Kebijakan Pemerintah

Pemerintah kurang dapat menemukan akar penyebab munculnya tindak

kekerasan radikalisme sehingga tidak dapat mengatasi permasalahan sosial yang terjadi.

Ketidakmampuan ini menyebabkan rasa marah sebagian umat yang disebabkan adanya

dominasi ideologi, militer, maupun ekonomi. Selain itu, media barat yang dianggap

selalu membuat suatu kelompok agama menjadi terbelakang juga menjadi faktor

munculnya reaksi yang melibatkan kekerasan. Berbagai propaganda melalui pers

akhirnya tidak bisa pemerintah tanggapi secara lebih lanjut.

f. Faktor Ekonomi

Manusia akan melakukan segala cara untuk dapat bertahan hidup terlebih di

situasi yang terdesak dan cenderung mampu untuk melakukan apa saja. Hal ini

menyebabkan manusia untuk melakukan teror atau kekerasan terhadap manusia lain,

guna mencapai tujuan yang mereka inginkan. Terlebih diperparah dengan adanya

sebagian masyarakat berekonomi lemah dan memiliki pikiran sempit yang dapat

dengan mudah tertarik pada hal baru. Kelompok masyarakat tersebut cenderung mudah

percaya pada apa yang mereka anggap dapat membawa keberuntungan.

g. Faktor Pendidikan dan Pengalaman

Pendidikan sebenarnya merupakan salah satu sarana pembelajaran yang

seharusnya menjadi wadah untuk menimba pengetahuan yang positif. Tetapi, masih

banyak pendidikan non-formal yang justru “salah” dalam memberikan ajarannya,

terlebih pendidikan agama. Hal ini mendorong terjadinya radikalisme, terlebih dengan

Page 6: Kacamata Driyarkara : Paham Radikalisme dan Kaum Muda di

6

adanya suatu peristiwa pahit dalam seseorang seperti masalah ekonomi, keluarga, rasa

benci, dendam, yang justru akan berpotensi membentuk paham radikalisme.10

Civitas Akademika yang Terpapar Radikalisme

Pendidikan merupakan salah satu tonggak penting dalam kehidupan, terutama dalam

kelangsungan hidup manusia. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Nanang Martono, yang

mengatakan bahwa pendidikan merupakan tema yang sangat menarik bagi manusia, karena

pendidikan adalah lembaga yang penting terutama dalam investasi jangka panjang untuk suatu

negara. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang dalam prosesnya turut mencapai tujuan

dan fungsi yang mulia, yaitu memanusiakan manusia. Selain itu, pendidikan juga dapat

dijadikan indikator kemajuan suatu bangsa. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan

adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran

agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan

spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta

keterampilan yang diperlukan bagi dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. 11 Meskipun

demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa dalam proses pelaksanaan pendidikan terdapat

beberapa campur tangan, misalnya radikalisme.

Radikalisme dalam pendidikan bisa dilakukan oleh siapa saja; guru atau dosen dengan

siswa atau mahasiswa, siswa atau mahasiswa dengan guru atau dosen, maupun guru atau dosen

dengan orang tua. Singkatnya, bisa dilakukan oleh bawahan terhadap atasan ataupun atasan

terhadap bawahan, maupun dari salah satu civitas akademika yang melakukan radikalisme ke

luar lingkup pendidikan. Misalnya, perencanaan peledakan bom di gedung DPRD Riau dan

DPR RI oleh tiga mahasiswa Universitas Riau. Ketiga pelaku tersebut yakni ZM alumni

jurusan Ilmu Pariwisata FISIP Universitas Riau angkatan 2004, BM alumni jurusan

Administrasi Publik FISIP Universitas Riau angkatan 2005, dan ED alumni jurusan Ilmu

Komunikasi FISIP Universitas Riau angkatan 2005.12 Ketiga pelaku tersebut menginap dan

merakit serta merencanakan pengeboman Gedung DPRD Riau dan DPR RI di sekretariat

Mapala Sakai yang merupakan bagian dari Kampus Universitas Riau. Setelah kejadian tersebut

BNPT, Halim mengeluarkan statement bahwa terdapat tujuh universitas yang sedang

diawasinya karena terpapar radikalisme. Ketujuh universitas tersebut adalah Universitas

Indonesia, Universitas Diponegoro, Universitas Airlangga, Universitas Brawijaya, Institut

Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, dan Institut Sepuluh November. Sedangkan

menurut hasil kajian Setara Institute pada tahun 2019, ada beberapa universitas yang juga

10Raka Nur Wahyudi, “Makalah Radikalisme di Tinjau Dari Ideologi Pancasila”

https://www.academia.edu/33008417/MAKALAH_RADIKALISME_DI_TINJAU_DARI_IDEOLOGI_PANC

ASILA_docx (diakses pada Kamis, 17 Juni 2021, pukul 17:56 WIB)

11 Muchith, M. S. (2016). Radikalisme dalam dunia pendidikan. Addin, 10(1), 163-180. 12 Novitra R. (2018, Juni 03). Terduga Teroris di Universitas Riau Berencana Ledakkan Gedung DPR. Terduga

Teroris di Universitas Riau Berencana Ledakkan Gedung DPR - Nasional Tempo.co. (diakses pada Sabtu, 19

Juni 2021, pukul 19:54 WIB)

Page 7: Kacamata Driyarkara : Paham Radikalisme dan Kaum Muda di

7

terpapar radikalisme.13 Berikut merupakan ketiga belas universitas yang terpapar radikalisme,

berdasarkan gabungan kajian BNPT tahun 2016 dan Setara Institute tahun 2019; Universitas

Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, Institut Pertanian Bogor,

UIN Jakarta, UIN Bandung, Universitas Brawijaya, Universitas Samratulangi, Universitas

Negeri Yogyakarta, Universitas Airlangga, Institut Teknologi Sepuluh November, dan

Universitas Diponegoro.14 Kemudian, berdasarkan Survei Alvara Research Center pada tahun

2017 pun menunjukkan bahwa 29,5% mahasiswa menolak pemimpin non-muslim, 23,5%

mahasiswa mendukung terbentuknya negara islam, sedangkan 17,8% mahasiswa mendukung

khilafah.15

Radikalisme di Kalangan Pelajar SMA dan/atau SMP

Remaja atau adolescence merupakan sebuah fase peralihan dari anak-anak menuju

dewasa yang biasa disebut juga sebagai masa transisi. Menurut Elizabeth B. Hurlock,

adolescence atau remaja berasal dari kata latin yaitu adolescentia yang memiliki arti tumbuh

atau tumbuh menjadi dewasa. Sedangkan menurut John W. Santrock, masa remaja merupakan

periode transisi dari masa kanak-kanak menuju dewasa, dengan perubahan pada beberapa

aspek yaitu terkait biologis, kognitif serta sosial emosi. 16 Masa remaja merupakan masa di

mana seseorang sedang mencari jati dirinya. Dalam proses pencarian jati diri penting untuk

memilah hal yang baik dan buruk karena pilihan yang diambil akan berpengaruh untuk fase-

fase kehidupan selanjutnya.

Beberapa tahun terakhir, radikalisme sudah mulai masuk ke ranah pendidikan, tentu

saja remaja menjadi sasaran empuk bagi mereka yang menyebarkan paham radikal. Selain

remaja yang mudah dipersuasi dan didoktrin, jaringan pertemanan remaja yang luas dan

otonom juga menjadi incaran yang cocok untuk memasukkan paham-paham radikalisme. Hal

tersebut didukung oleh riset MAARIF Institute tahun 2011 tentang pemetaan problem

radikalisme di 50 SMU Negeri di 4 daerah (Pandeglang, Cianjur, Yogyakarta, dan Solo), yang

menyatakan bahwa sekolah menjadi ruang yang terbuka bagi diseminasi paham apa saja,

karena pihak sekolah terlalu terbuka, sehingga dapat dengan mudah dimanfaatkan oleh

kelompok radikali terutama keagamaan untuk masuk dan secara aktif menyebarkan pahamnya

dan memperluas jaringan. Selain itu, terdapat survei serupa yang dilakukan oleh Lembaga

Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP), yang dilakukan pada 2010 hingga 2011. Survei tersebut

dilakukan di 59 sekolah swasta dan 41 sekolah negeri di 10 wilayah Jabodetabek (Jakarta,

Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi), dengan sampel 993 siswa SMP dan SMA. Survei

tersebut menunjukkan bahwa terdapat 50% dari pelajar setuju tindakan kekerasan atau aksi

radikal demi agama, kemudian 14,2% siswa menyatakan setuju dengan terorisme yang

dilakukan Imam Samudra, Amrozi, dan Noordin M. Top, serta 84,8% siswa menyatakan setuju

13 Setiawan D. (2020, Maret 12). Fakta-fakta seputar radikalisme di kampus.

https://www.alinea.id/infografis/fakta-fakta-seputar-radikalisme-di-kampus-b1ZJF9ssl. (diakses pada Sabtu, 19

Juni 2021, pukul 20:15 WIB) 14 Ibid. 15 Ibid. 16 Lubis, D., & Siregar, H. S. (2021). Bahaya Radikalisme terhadap Moralitas Remaja melalui Teknologi

Informasi (Media Sosial). Aplikasia: Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, 20(1), 21-34.

Page 8: Kacamata Driyarkara : Paham Radikalisme dan Kaum Muda di

8

dengan penegakan syariat Islam. Selain itu, 25,8% lainnya menganggap bahwa Pancasila sudah

tidak relevan lagi sebagai ideologi negara.17 Najib M. (2012) mengemukakan tiga faktor yang

dapat menjelaskan mengenai radikalisme di kalangan kaum muda; adanya ketidakpastian

dalam dinamika sosial politik di fase awal transisi menuju demokrasi yang membuka struktur

kesempatan politik atau political opportunity structure, genealogi sebagian gerakan radikal

yang sudah ada sejak kemerdekaan, dan tingginya angka pengangguran di kalangan kaum

muda Indonesia.

Mudahnya penyebaran paham radikal maupun hoax terhadap remaja, dipengaruhi juga

oleh perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi banyak menciptakan hal baru, seperti

smartphone, internet maupun media sosial (youtube, instagram, line, whatsapp, telegram, dan

lain-lain). Media sosial menjadi wadah yang sangat strategis dalam penyebaran hoax maupun

paham radikal. Di media sosial orang dapat mengeluarkan statement apa saja, termasuk paham

radikalisme. Tak kalah modern, saat ini banyak pihak radikal yang menyebarkan paham

radikalisme dengan mengikuti arus perkembangan zaman seperti melalui video, tulisan di web,

gambar, bahkan meme yang bisa disebar di berbagai platform media sosial. Selain pengaruh

teknologi, Yusuf ”al-Qardawi” menjelaskan ada tujuh faktor yang memengaruhi kemunculan

radikalisme yaitu; pengetahuan agama yang setengah-setengah melalui proses belajar yang

doktriner, literal dalam memahami teks-teks agama sehingga kalangan radikal hanya

memahami Islam dari kulitnya saja tetapi pengetahuannya sangat minim tentang wawasan dan

esensi agama, tersibukkan oleh masalah-masalah sekunder (memanjangkan jenggot,

meninggikan celana) namun melupakan masalah primer, berlebihan dalam mengharamkan,

lemahnya wawasan sejarah dan sosiologi, dan munculnya radikalisme sebagai reaksi bentuk-

bentuk radikalisme lainnya (sikap radikal kaum sekuler yang menolak agama). 18 Selain

teknologi dan ketujuh faktor tersebut, tidak adanya proteksi dari dalam diri remaja serta

lemahnya nilai-nilai agama yang terkandung dalam kitab suci oleh pemangku kebijakan di

sekolah juga menjadi salah satu faktor penguat terjadinya radikalisme pada kaum muda

terutama remaja.

Bahaya Radikalisme di Kalangan Mahasiswa/Pelajar dan Karakteristik Kerentanan

Suatu kehendak yang dipaksakan apalagi menggunakan kekerasan pada dasarnya

memang tidak baik. Adanya gerakan radikalisme di Indonesia tentu menjadi salah satu tanda

bahwa pemerintah dan masyarakat perlu lebih berhati-hati. Salah satunya adalah pengaruh

paham radikalisme pada remaja yang tak dapat dianggap sepele. Masa remaja kerap kali

dianggap sebagai masa yang tidak stabil, baik pikiran, tindakan, maupun keadaan emosi. Aspek

kognitif dan sosial emosi menjadi salah satu alasan mengapa remaja kerap kali dianggap tidak

stabil. Kedua aspek tersebut masih terus dilatih dan beradaptasi dengan perubahan sehingga

hal tersebut membuat remaja mejadi lebih mudah untuk dipersuasi atau didoktrin.

17 Baedowi, A., AF, A., Maarif, A. S., Farikhatin, A., Darraz, M. A., Azca, M. N., & Qodir, Z. (2013).

Menghalau Radikalisasi Kaum Muda: Gagasan dan Aksi. Maarif, 8(1), 4-242. 18 Ibid.

Page 9: Kacamata Driyarkara : Paham Radikalisme dan Kaum Muda di

9

Berkaca pada aspek kerentanan tersebut, gerakan radikalisme yang terus-menerus

berkembang di Indonesia dapat mengancam negara dalam berbagai hal. Melemahnya

ketahanan negara karena rendahnya sikap nasionalisme dan cinta tanah air merupakan sikap-

sikap anti nasionalisme yang sering terjadi di ranah Pendidikan. Salah satu contoh konkretnya

adalah penolakan upacara bendera. Melemahnya sikap nasionalisme masyarakat akan menjalar

ke berbagai aspek kehidupan. Adanya perpecahan menjadi hal yang pasti apabila radikalisme

semakin menguat, terlebih berdasarkan hasil survei di atas menyatakan bahwa banyak remaja,

pelajar, dan mahasiswa yang mendukung terbentuknya negara Islam dan membenarkan

kekerasan demi membela agama tertentu. Hal tersebut merupakan bibit disintegrasi dan

gerakan separatisme, padahal bila disintegrasi dan gerakan separatisme secara terang-terangan

terjadi, tentu Indonesia tidak akan utuh lagi bahkan dapat dikatakan negara akan ‘habis’.

Pepatah Soekarno yang berbunyi ‘Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari

akarnya. Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia’, tentu tidak akan berlaku lagi.

Opini dan pemikiran remaja serta mahasiswa yang membenarkan perilaku kekerasan untuk

mendukung atau membela suatu agama, menjadi bukti bahwa adanya bibit-bibit terorisme pada

kaum muda. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Rizal Sukma (2004) yang menyatakan

bahwa radikalisme merupakan satu tahapan sebelum terorisme, hal itu tampak ketika banyak

teroris yang melegitimasi tindakannya dengan paham keagamaan radikal yang mereka anut.19

Sehingga apabila gerakan dan paham radikalisme tidak segera ditangani, tentu Indonesia bukan

lagi menjadi Indonesia, tidak ada kerukunan, kesatuan dan kedamaian.

Upaya Pencegahan Paham Radikalisme di Sekolah dan Kampus

Program Deradikalisasi

Teroris merupakan ancaman serius yang setiap saat dapat membahayakan keselamatan

bangsa dan negara serta kepentingan nasional. Pemerintah melalui lembaga terkait (salah

satunya pihak Kepolisian) telah menangkap, mengadili serta memenjarakan aktor utama

serangan terorisme dan melumpuhkan sebagian besar jaringan operasional teroris di

Indonesia. Akan tetapi dalam praktiknya, langkah yang dilakukan oleh pemerintah tidak

begitu efektif untuk merehabilitasi narapidana kasus terorisme dan membuat efek jera.

Bahkan tindakan tersebut cenderung akan menimbulkan masalah baru di mana para pelaku

teror merasa diperlakukan tidak adil, sehingga menghasilkan siklus kekerasan yang tidak

menyelesaikan masalah terorisme hingga ke akarnya. Hal ini tentu menunjukkan bahwa

penanganan terorisme tidak hanya bertumpu pada pendekatan hukum saja. Pendekatan yang

dikenal dengan istilah hard approach, dinilai tidak dapat sepenuhnya merehabilitasi

ideologi radikal yang diyakini oleh para narapidana terorisme karena kurang menyentuh

aspek personal dari individu tersebut.

Oleh karena itu, pendekatan yang bersifat persuasif dan humanis, juga diperlukan agar

penanganan terorisme di Indonesia dapat berjalan secara komprehensif dan efektif.

Pendekatan yang dikenal dengan istilah soft approach tersebut akhirnya diwujudkan dalam

bentuk strategi deradikalisasi. Menurut Agus Surya Bakti, program deradikalisasi ingin

19 Ibid.

Page 10: Kacamata Driyarkara : Paham Radikalisme dan Kaum Muda di

10

mengajarkan kepada para mantan teroris untuk kembali menjadi warga negara Indonesia

yang benar sesuai Pancasila dan UUD 1945 dalam wilayah NKRI, di bawah prinsip bersatu

dalam perbedaan dan berbeda dalam persatuan yang dirangkum dalam Bhineka Tunggal

Ika. 20 Dalam upaya untuk merealisasikan pendekatan soft approach ini, pemerintah

Indonesia pada tahun 2010 mengeluarkan Perpres 46 Tahun 2010 tentang Pembentukan

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.21

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) kemudian menjadi badan negara yang

mengurusi tindak kriminal terorisme di tanah air. BNPT sendiri memiliki beberapa fungsi

dan tugas yang salah satunya adalah melaksanakan program deradikalisasi. Dalam

implementasi program deradikalisasi, BNPT membagi progam tersebut ke dalam dua

klasifikasi. Program pertama adalah program deradikalisasi di dalam lapas yang dilakukan

melalui tahapan identifikasi, rehabilitasi, reedukasi, resosialisasi, serta pengamatan dan

evaluasi. Program ini menyasar pada narapidana kasus terorisme yang sedang menjalani

masa tahanannya. Program yang kedua adalah program deradikalisasi di luar lapas yang

dilakukan melalui tahapan identifikasi, pembinaan kontra radikalisme, pengamatan dan

evaluasi. Program ini menyasar pada mantan narapidana kasus terorisme dan kelompok

masyarakat yang rentan terhadap pengaruh ideologi radikal. Program ini lebih

dikonsentrasikan terhadap kemandirian ekonomi dari keluarga narapidana terorisme, proses

resosialisasi, dan reintegrasi mantan narapidana terorisme yang telah berhasil ter-

deradikalisasi ke dalam lingkungan masyarakat sosial mainstream serta pencegahan agar

nantinya mantan narapidana terorisme tidak kembali melakukan aksi-aksi terorisme.

Dalam pelaksanaan program deradikalisasi, BNPT juga bekerjasama dan berkoordinasi

dengan lembaga terkait, baik itu antar lembaga pemerintah maupun non pemerintah,

diantaranya: Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan, Lembaga Dakwah dan Ormas

Islam. Kerjasama dan koordinasi tersebut dilakukan agar program dan tujuan deradikalisasi

BNPT dapat berjalan dengan baik dan lancar tanpa adanya hambatan. Apalagi BNPT tidak

bisa bekerja sendiri dalam program deradikalisasi ini, karena bagaimanapun program

deradikalisasi merupakan tugas kita bersama agar paham-paham radikal tidak berkembang

di tengah masyarakat dan akhirnya menimbulkan disintegrasi.

Pembinaan Ideologi Pancasila

Tidak dapat dipungkiri bahwa penyebaran paham radikalisme di negara kita sudah sampai

pada tahap lampu merah, di mana penyebarannya sudah hampir ke berbagai sektor

kehidupan bernegara. Dilansir dari bpip.go.id, Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan

Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Antonius Benny Susetyo, menyampaikan bahwa

20 Indrawan Jerry dan Aji, M. Prakoso. “Efektifitas Program Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan

Terorisme Terhadap Narapidana Terorisme di Indonesia”. Jurnal Pertahanan & Bela Negara. Volume 9.

Nomor 2. Agustus 2019. 21 Perpres 46 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.

https://jdih.kemsos.go.id/pencarian/www/storage/repository/Perpres%20No.%2046%20Tahun%202010.pdf

(dikses pada Minggu, 13 Juni 2021, pukul 8:44 WIB)

Page 11: Kacamata Driyarkara : Paham Radikalisme dan Kaum Muda di

11

“radikalisme itu sudah sampai tahap lampu merah, sehingga kita perlu warning dan lakukan

pencegahan”.22 Ken Setiawan juga menambahkan bahwa para pelaku tindak radikal ini

membangun sebuah gagasan anti-Pancasila dengan mengaitkannya pada ayat-ayat. Artinya,

Pancasila yang dianggap berhala atau thogut harus ditinggalkan dengan perumpamaan ayat-

ayat.23

Tentu penyebaran paham radikal anti-Pancasila tidak bisa dianggap remeh, karena

bagaimanapun Pancasila sudah final dan tidak bisa diganggu-gugat atau digantikan dengan

ideologi-ideologi yang lain. Untuk mengatasi masalah ini, tentu langkah yang harus

dilakukan adalah dengan lebih menggalakkan pembinaan Ideologi Pancasila baik itu di

lingkungan pendidikan maupun di lingkungan sosial. Seperti yang sudah diamanatkan

dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

bahwa pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.24 Bagaimanapun dunia pendidikan kita merupakan ranah

yang paling memungkinkan untuk menanamkan dan membina ideologi Pancasila kepada

generasi penerus bangsa.

Selain itu, untuk semakin mempermudah dan memperluas jaringan dalam membina Ideologi

Pancasila terutama pada kalangan masyarakat luas, pemerintah kemudian melalui Perpres

Nomor 54 Tahun 2017 membentuk Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila

(UKP-PIP) kemudian pada tahun 2018 melalui Perpres Nomor 7 Tahun 2018 lembaga ini

kemudian diganti oleh Presiden menjadi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).25

BPIP adalah lembaga yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden yang

memiliki tugas membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi

Pancasila, melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi

Pancasila secara menyeluruh. BPIP juga bertanggung jawab untuk menyelenggarakan

pelatihan, serta memberikan rekomendasi berdasarkan hasil kajian terhadap kebijakan atau

regulasi yang bertentangan dengan pancasila kepada lembaga tinggi negara,

kementerian/lembaga, pemerintah daerah, organisasi sosial politik, dan komponen

masyarakat lainnya. 26

Sosialisasi terkait bahaya radikalisme

Dalam menyebarluaskan ajarannya, para kelompok radikal anti-Pancasila tidak pandang

bulu, semua lapisan masyarakat menjadi incaran mereka. Namun, kalangan generasi muda

22 Berita. “Cegah Paham Radikal Antipancasila”. https://bpip.go.id/bpip/berita/1035/373/cegah-paham-

radikal-antipancasila.html. (diakses pada Selasa, 15 Juni 2021, pukul 16:23 WIB). 23 Yeremia Sukoyo. 2021. “Penyebaran Paham Radikal di Indonesia Mengkhawatrikan”.

https://www.beritasatu.com/nasional/677781/penyebaran-paham-radikal-di-indonesia-mengkhawatirkan.

(diakses pada Selasa, 15 Juni 2021, pukul 16:40 WIB). 24 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

https://sipuu.setkab.go.id/PUUdoc/7308/UU0202003.htm (diakses pada Jumat, 18 Juni 2021, pukul 16:40 WIB). 25 Perpres No 7 Tahun 2018 tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila.

https://jdih.setkab.go.id/PUUdoc/175451/Perpres%20Nomor%207%20Tahun%202018.pdf (diakses pada

Selasa, 15 Juni 2021, pukul 17:00 WIB). 26 https://bpip.go.id/bpip/profil/440/profil.html (diakses pada Selasa, 15 Juni 2021, pukul 17:09 WIB).

Page 12: Kacamata Driyarkara : Paham Radikalisme dan Kaum Muda di

12

merupakan kelompok yang paling diincar oleh kelompok radikal ini. Kemudian, muncul

pertanyaan, kenapa kaum muda menjadi kaum yang paling diincar oleh kelompok radikal?

Dilansir dari news.detik.com, mantan Menteri Negara Riset dan Teknologi, Muhammad AS

Hikam, menyampaikan bahwa anak muda menjadi target penyebaran radikalisme karena

masih punya jiwa muda. Selain itu, biasanya anak muda yang terpapar radikalisme ialah

yang baru mendalami agama. Faktor lainnya ialah sifat ingin menunjukkan eksistensi diri.27

Mengingat bahwa sasaran empuk dari kelompok radikal ini adalah dari kalangan anak muda,

tentu hal ini merupakan keprihatinan kita bersama. Bagaimanapun generasi muda

merupakan aset bangsa di mana pada merekalah nantinya estafet kepemimpinan,

pembangunan, dan masa depan bangsa ini diletakkan. Apabila generasi muda sudah terpapar

paham radikal sudah barang tentu kita dapat memprediksi kemana arah bangsa ini akan

berlabuh. Oleh karena itu tindakan sosialisasi terkait bahaya radikalisme perlu digalakkan

lagi terutama kepada kaum muda. Mengenai sosialisasi bahaya radikalisme, salah satunya

Kepolisian RI melakukan upaya kontra radikalisme di lingkungan perguruan tinggi (PT),

antara lain program Goes To Campuss. Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas

Polri Brigjen (Pol) Dedi Prasetyo menyampaikan “Program Goes to Campuss dari

Direktorat Bimbingan Masyarakat (Binmas) baik Binmas Baharkam maupun Polda turun

ke kampus bekerja sama dengan tokoh formal dan informal, tokoh agama dan Majelis

Ulama Indonesia (MUI) yang ada di daerah untuk memberikan pemahaman bahaya

radikalisme di Indonesia”.28

Kendatipun tindakan sosialisasi sudah dilaksanakan, bukan berarti tugas kita sudah selesai.

Bagaimanapun tindakan sosialisasi bahaya radikalisme ini merupakan tindakan yang harus

berkelanjutan dan tidak cukup hanya melibatkan pihak kepolisian dan lembaga negara

lainnya akan tetapi juga harus melibatkan unsur-unsur masyarakat. Karena bagaimanapun

masyarakat merupakan pihak yang langsung bersentuhan dengan lingkungan sosial yang

rentan dengan penyebaran paham radikalisme. Apabila masyarakat bisa libatkan lebih aktif

lagi, maka program sosialisasi bahaya radikalisme akan lebih mudah dilaksanakan dan

pesan dari sosialisasi bahaya radikalisme pun dapat sampai ke kalangan masyarakat bawah.

Selain langkah “Program Goes to Campuss, langkah lainnya yang dapat dilakukan dalam

menggalakkan sosialisasi bahaya paham radikalisme adalah dengan membangun kesadaran

literasi. Melihat bahwa media sosial menjadi wadah yang sangat strategis dalam penyebaran

hoax, ujaran kebencian hingga paham radikalisme, maka langkah membangun kesadaran

literasi merupakan langkah yang efektif guna membangun pribadi kritis di kalangan

masyarakat Indonesia terhadap berita-berita yang beredar, baik itu di media cetak maupun

di media massa. Hanya saja yang sangat disayangkan bahwa minat baca masyarakat

Indonesia sangat rendah. Dilansir dari kominfo.go.id, UNESCO menyebutkan bahwa

27 Putri Zunita. 2018. “Mantan Menteri Ini Ungkap Alasan Anak Muda Jadi Target Radikalisme”.

https://news.detik.com/berita/d-4184478/mantan-menteri-ini-ungkap-alasan-anak-muda-jadi-target-radikalisme

(diakses pada Selasa, 15 Juni 2021, pukul 17:27 WIB). 28 Jurnalisto Reza. 2018. “Polri Tujurn ke Kampus untuk Sosialisasi Bahaya Radikalisme”.

https://nasional.kompas.com/read/2018/11/21/10501381/polri-turun-ke-kampus-untuk-sosialisasi-bahaya-

radikalisme?page=all (diakses pada Selasa, 15 Juni 2021, pukul 17:41 WIB).

Page 13: Kacamata Driyarkara : Paham Radikalisme dan Kaum Muda di

13

Indonesia urutan kedua dari bawah soal literasi dunia, artinya minat baca sangat rendah.

Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya

0,001%. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, Cuma 1 orang yang rajin membaca 29 .

Mengetahui fakta tentang kurangnya kesadaran literasi masyarakat Indonesia tentu

merupakan masalah yang harus segera dibenahi. Hal ini merupakan tanggung jawab negara

baik itu dari pusat maupun pada tingkat daerah dan semua komponen bangsa untuk

memenuhinya. Apalagi jika dikaitkan dengan amanat konstitusi kita yang menyatakan

bahwa negara berkewajiban “mencerdaskan kehidupan bangsa” (Alinea keempat

Pembukaan UUD 1945).

Penegakan Keadilan Sosial-ekonomi

Ada banyak spekulasi yang beredar tentang “kenapa orang-orang melakukan aksi terorisme

atau mudah terpapar paham radikalisme”, salah satunya untuk menegakkan ajaran agama

kembali ke jalurnya. Tentu spekulasi-spekulasi yang beredar ini tidak semuanya dapat

dibenarkan, karena bagaimanapun pasti ada alasan utama kenapa para pelaku terorisme ini

melakukan aksinya. Dilansir dari okenews, Anggota Komisi III DPR, Akbar Faisal

mengatakan, “penyebab terjadinya aksi terorisme itu, disebabkan oleh tiga faktor, yakni

faktor domestik, faktor internasional dan faktor kultural. Faktor domestik yakni masalah

kemiskinan, ketidakadilan dan kecewa kepada pemerintah membuat orang-orang itu

bergabung ke kelompok teroris atau ISIS…” 30 Fathali M. Assaf Moghadam juga

menyampaikan bahwa ada 5 tahap deradikalisasi. Tahap pertama adalah pra-deradikalisasi

dimana individu yang merupakan bagian dari suatu kelompok masyarakat, mempertanyakan

apakah dirinya diberlakukan secara adil oleh ruling power atau pemerintah dan berakhir

pada krisis identitas.31

Berdasarkan pernyataan tersebut, faktor domestik adalah salah satu faktor yang

memengaruhi penyebaran paham radikalisme. Apabila melihat penjelasan sebelumnya, dapat

disimpulkan bahwa seseorang memiliki kecenderungan untuk terpapar paham radikalisme

salah satunya karena ingin mendapatkan keadilan dalam hal sosial-ekonomi. Tidak dapat

dipungkiri bahwa keadilan sosial-ekonomi merupakan dambaan semua orang sehingga harus

berjuang untuk mendapatkannya. Segala cara akan ditempuh agar keadilan sosial-ekonomi

dapat terpenuhi, dari tindakan yang moderat hingga tindakan yang ekstrim termasuk dengan

melakukan tindakan kekerasan bahkan hingga aksi teror. Jika berbicara mengenai keadilan

sosial-ekonomi, dalam sila kelima Pancasila sudah terpampang jelas membahas “keadilan

sosial bagi seluruh bangsa Indonesia”. Selain itu juga dalam UUD 1945 Bab XIV tentang

Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial Pasal 33 dan Pasal 34 telah mengamanatkan

29 Evita Devega. 2017. “Teknoligi Masyarakat Indonesia: Malas Baca Tapi Cerewet di Medsos”.

https://www.kominfo.go.id/content/detail/10862/teknologi-masyarakat-indonesia-malas-baca-tapi-cerewet-di-

medsos/0/sorotan_media (diakses pada Senin, 28 Juni 2021, pukul 9:38 WIB). 30 Mohammad Saifulloh. 2015. “Tiga Faktor Pemicu Radikalisme”.

https://nasional.okezone.com/read/2015/07/30/337/1187812/tiga-faktor-pemicu-radikalisme. (diakses pada

Rabu, 16 Juni 2021, pukul 20:35 WIB). 31 Fitriana Saella. “Upaya BNPT Dalam Melaksanakan Program Deradikalisasi di Indonesia”. Jurnal of

International Relations. Volume 2. Nomor 3. Tahun 2016. https://media.neliti.com/media/publications/91026-

ID-20-upaya-bnpt-dalam-melaksanakan-program.pdf. (diakses pada Rabu, 16 Juni 2021, pukul 20:48 WIB).

Page 14: Kacamata Driyarkara : Paham Radikalisme dan Kaum Muda di

14

tugas dan kewajiban negara dalam merealisasikan keadilan sosial-ekonomi bagi rakyat.32.

Selain faktor sosial-ekonomi, terdapat juga beberapa faktor yang mempengaruhi generasi muda

saat ini untuk mempunyai pemikiran yang radikal, misalnya faktor lingkungan, pendidikan, dll.

Ditambah lagi dengan adanya perkembangan teknologi saat ini, banyak kaum muda yang

dengan mudah dapat terpapar paham radikalisme. Oleh karena itu, sangat penting untuk

memberikan sosialisasi kepada kaum muda mengenai pentingnya ideologi pancasila serta

bahaya radikalisme. Diharapkan dengan adanya serangkaian upaya tersebut, generasi muda

Indonesia dapat mengenal falsafah dan jiwa bangsa Indonesia yang berciri majemuk dan

toleransi, serta terhindar dari paham radikal.

PERNYATAAN SIKAP

Maka dari itu, berdasarkan uraian komprehensif di atas, Badan Eksekutif

Mahasiswa Universitas Sanata Dharma melalui Kementerian Sosial Politik 2021

menyatakan sikap untuk:

- Menolak segala bentuk paham radikalisme yang berupaya untuk menggaggu 4 pilar

kebangsaan Indonesia

- Mendukung segala bentuk usaha pemerintah dalam upaya penanggulangan paham-

paham radikalisme di Indonesia

- Mendorong peran aktif masyarakat dalam menanggulangi radikalisme di kalangan

pemuda

32 Undang-Undang Dasa Negara Republik Indonesia Tahun 1945. http://luk.tsipil.ugm.ac.id/atur/UUD1945.pdf

(diakses pada Jumat, 18 Juni 2021, pukul 17:56 WIB).