k o n se n t r a s i p e r b a n d i n g a n h u k u m...

89
DILEMA PRAKTEK IHDAD (STUDI SOSIOLOGI HUKUM PADA MASYARAKAT ISLAM KEBAYORAN LAMA) Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh: Heni NIM: 106043201334 K O N SE N T R A S I P E R B A N D I N G A N H U K U M PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1431 H/2010 M

Upload: dangphuc

Post on 30-Mar-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

i

DILEMA PRAKTEK IHDAD (STUDI SOSIOLOGI HUKUM PADA

MASYARAKAT ISLAM KEBAYORAN LAMA)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

Heni NIM: 106043201334

K O N SE N T R A S I P E R B A N D I N G A N H U K U M PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

1431 H/2010 M

i

DILEMA PRAKTEK IHDAD (STUDI SOSIOLOGI HUKUM

PADA MASYARAKAT ISLAM KEBAYORAN LAMA)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

OLEH:

Heni NIM: 106043201334

Di Bawah Bimbingan

Dr. H.Ahmad Mukri Aji, MA. NIP: 195703121985031003

K O N S E N T R A S I P E R B A N D I N G A N H U K U M PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

1431 H/2010 M

i

ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul DILEMA PRAKTEK IHDAD (STUDI SOSIOLOGI HUKUM PADA MASYARAKAT ISLAM KEBAYORAN LAMA) telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 15 Juni 2010. Skripsi ini diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada program Studi Perbandingan Mazhab Hukum (Perbandingan Hukum)

Jakarta, 15 Juni 2010 Mengesahkan Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 19550505198231012

PANITIA UJIAN 1. Ketua

Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA. (…………………….) NIP. 195703121985031003

2. Sekretaris Dr. H. Muhammad Taufiki, M. Ag. (…………………….) NIP. 196511191998031002

3. Pembimbing Skripsi Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA. (…………………….) NIP. 195703121985031003

4. Penguji I Dr. A. Sudirman Abbas, M. A. (…………………….) NIP. 150294051

5. Penguji II Sri Hidayati, M. Ag. (…………………….) NIP. 19710215199703200

ii

iii

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar strata 1 di Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berada di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 11 Januari 2010 Heni

(NIM: 106043201334)

iii

iv

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum. Wr. Wb.

Alhamdulillah, penulis panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT

yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa selalu

tercurahkan kepada nabi Muhammad SAW, keluarga para sahabat serta kaum

muslimin yang masih berpegang teguh kepada risalah-Nya hingga akhir hari.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari

kesempurnaan sebagaimana yang diharapkan. Walaupun waktu, tenaga dan

pikiran telah diperjuangkan dengan segala keterbatasan kemampuan yang penulis

miliki, demi terselesaikannya skripsi ini agar bermanfaat bagi penulis khususnya

dan pembaca pada umumnya.

Dalam penyusunan karya ilmiah ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa

tanpa bantuan dan dukungan serta dorongan dari berbagai pihak, karya tulis ini

tidak akan selesai. Maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih

yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Summa, SH., MA., MM. selaku

Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

iv

v

2. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA, Selaku Ketua Program Studi PMH

sekaligus sebagai dosen pembimbing penulis yang dengan penuh

kesabaran telah menjadi konsultan sampai skripsi ini selesai. Dan tak lupa

pula penulis sampaikan terima kasih kepada bapak Dr. H. Muhammad

taufiqi, M. ag Selaku Sekretaris Jurusan PMH yang telah memberikan

arahan, bimbingan dan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini.

3. Kedua orang tua dan keluarga yang selama ini selalu memberikan nasihat,

arahan serta motivasinya terhadap penulis semoga amal keduanya diterima

Allah SWT

4. Pimpinan Perpustakaan, baik perpustakaan pusat maupun perpustakaan

fakultas yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi

kepustakaan berupa buku ataupun litelatur lainnya sehingga memperoleh

informasi dan data-data yang valid.

5. Seluruh Dosen khususnya dosen Fakultas syariah dan Hukum, yang telah

memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama masa pendidikan

berlangsung.

6. Seluruh staf kantor Kecamatan Kebayoran Lama yang telah membantu

penulis dalam mendapatkan data-data yang dibutuhkan untuk penulisan

skripsi ini.

v

vi

7. Teman-teman seperjuangan yang sudah menemani penulis dalam

menimba ilmu di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini.

Demikian penulis mengucapkan syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT

yang mana telah memberikan kesehatan dan kesempatan dalam penulisan skripsi

ini sehingga bisa terselesaikan.

Wassalamu’alaikum. Wr. Wb

Jakarta, 11 Januari 2010

Penulis

vi

vii

OUTLINE

PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................................. ii

LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................. iii

KATA PENGANTAR ..................................................................................... iv

OUTLINE ........................................................................................................ vii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah ...................................... 9

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian................................................ 10

D. Studi Kajian Terdahulu............................................................. 11

E. Kerangka Teori dan Konseptual ............................................... 11

F. Metode Penelitian..................................................................... 13

G. Sistematika Penulisan............................................................... 15

BAB II DIMENSI IHDAD

A. Pengertian Ihdad ........................................................................ 17

B. Dasar Hukum Ihdad .................................................................. 21

C. Tujuan Dan Manfaat Ihdad ........................................................ 26

D. Dampak Ihdad Terhadap Wanita .............................................. 28

BAB III GAMBARAN UMUM KECAMATAN KEBAYORAN LAMA

A. Sejarah Kebayoran Lama ......................................................... 36

B. Keadaan Geografis ................................................................... 37

C. Keadaan Demografis ............................................................... 40

D. Keadaan Sosiologis .................................................................. 43

vii

viii

BAB IV DILEMA PRAKTEK IHDAD DIKELURAHAN KEBAYORAN

A. Efektifitas Praktek Ihdad di Kelurahan kebayoran Lama......... .47

B. Pemahaman masyarakat muslim tentang Ihdad ....................... 51

C. Tinjauan Sosiologis Praktek Ihdad Terhadap Masyarakat Muslim

Kebayoran Lama ...................................................................... 55

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan............................................................................... 59

B. Saran ......................................................................................... 60

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 62

LAMPIRAN-LAMPIRAN

A. Buku Monografi Kecamatan

B. Surat Keterangan Wawancara dan Permohonan Data

C. Pertanyaan Wawancara

viii

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Allah SWT menciptakan segala sesuatu di muka bumi ini selalu berpasang-

pasangan. Allah memberikan Rahmatnya yang begitu luas terhadap hamba-

hambanya.1 Maka diantara Rahmatnya ialah Dia menciptakan kamu semua, laki-

laki dan perempuan, dari jenis yang satu sehingga timbullah rasa kasih sayang,

cinta, dan senang agar sarana-sarana keterikatan tetap terpelihara dan proses

berketurunan pun berkesinambungan.2

ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Ar-Rum ayat 21 yang

berbunyi:

) /الروم ( ⌧

Artinya : ”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. Q.S (Ar-Rum) : 21

1 Muhammad Ali As-Shabuni, Rawai’ul Bayan Fi Tafsir Ayat Ahkam Minal Qur’an (Jakarta: Darrul Kutub Al-Islamiyyah, 2001), Jilid. 2, h. 143.

2 Muhammad Nasib Ar-Rifa’I, Kemudahan Dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir,

(Jakarta: Gema Insani, 2000), h. 759. Jilid 3.

2

Allah menciptakan perbedaan-perbedaan ini tentunya terkandung hikmah

yang besar didalamnya yang tidak lain adalah agar mereka bersatu, saling

mengasihi dengan cara saling memberi dan menerima agar mereka tentram dan

tentunya untuk mencari keridhaan Allah SWT.

Para filosof, khususnya Aristoteles (384-322 SM), menjuluki manusia

dengan zoon Politicon, yaitu sebagai makhluk yang pada dasarnya selalu

mempunyai keinginan untuk berkumpul dengan manusia-manusia lainnya.3

Manusia sesuai kodrat alam, manusia dimana-mana dan pada zaman apapun juga

hidup bersama, hidup berkelompok-kelompok, sekurang-kurangnya kehidupan

bersama itu terdiri dari dua orang. Dalam sejarah perkembangan manusia tak

dapat seorang pun yang hidup menyendiri, terpisah dari kelompok manusia

lainnya, kecuali dalam keadaan terpaksa dan itu pun hanya untuk sementara

waktu. Dan oleh karena sifatnya yang suka bergaul satu sama lain, maka manusia

disebut mahluk sosial.4 Oleh karena itu manusia akan selalu berusaha untuk

mewujudkan satu bentuk jalinan kehidupan bersama dalam masyarakat.

Keinginan untuk selalu berkumpul dan berkomunikasi merupakan hukum agama

yang tersirat, karena manusia diciptakan oleh Allah SWT untuk selalu hidup

3 Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, (Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2004), h. 1 4 C. S. T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta : Balai

Pustaka, 2002), h. 29.

3

berdampingan satu dengan yang lainnya dan saling menolong tanpa membedakan

ras, suku, dan bangsa. Hal ini mendapat legalitas dari sebuah hadits nabi yang

berbunyi:

( المسلم الذي يخالط الناس و يصبر علي اذاهم خير من الذي اليخالطهم

)رواه الترمذي

Artinya: “Seseorang muslim yang bergaul dengan manusia dan sabar atas gangguan mereka adalah lebih baik dari pada orang yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar atas gangguan mereka”. HR. Tirmidzi5

Islam membangun kehidupan keluarga dengan masyarakat atas dasar 2

tujuan. Pertama, menjaga keluarga dari kesesatan. Untuk itu Islam melarang

adanya hubungan intim antara lelaki dan perempuan tanpa ikatan yang sah.

Sebagaimana disyariatkan Allah SWT misalnya, perzinaan, dan mengambil isteri

yang tidak halal.6

Allah SWT berfirman dalam Al-Quran Surat An-Nisa : 4

)النساء (و المحصنات من النساء أآل ما ملكت أيمنكم

Artinya:” Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki “. Q.S (An-Nisa) : 24

5 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, (Jakarta: Gema Insani, 2000), h. 171 6 Abduttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW, Poligami Dalam Islam Vs

Monogami Barat, (Jakarta : CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1993), Cet. 1, h. 8-9.

4

Tujuan kedua adalah untuk menciptakan wadah yang bersih sebagai tempat

lahirnya sebuah generasi yang berdiri di atas landasan yang kokoh dan teratur

tatanan sosialnya.7

Oleh karena itu agar bentuk kehidupan bersama antara seorang pria dan

wanita terjaga baik kehormatan dan kemuliaannya, maka diaturlah dalam suatu

ikatan perjanjian yang suci dan kokoh untuk membentuk suatu keluarga yang

kokoh dan kekal. Masyarakat lebih mengenal perjanjian tersebut dengan istilah

Perkawinan yang mempunyai fungsi-fungsi sosial seperti re-generasi keturunan,

ekonomi, pendidikan dan sebagainya.

Agama Islam sangat menganjurkan perkawinan. Anjuran ini diungkapkan

dalam berbagai macam ungkapan yang terdapat dalam Al Quran dan Hadits. Ada

yang menyatakan bahwa perkawinan itu telah menjadi sunnah para Rasul sejak

dahulu, dan hendaklah diikuti pula oleh generasi-generasi yang akan datang

kemudian.8

Islam berpandangan positif terhadap seksualitas, tidak hanya sebagai

persoalan biologis, melainkan juga sebagai perbuatan hukum. Al-Qur’an

melukiskannya sebagai suatu kesenangan dan kenikmatan (Istimta’) dari tuhan.

Hubungan dalam Islam bersifat logistik, yakni disamping untuk memenuhi

7 Abduttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW, Poligami Dalam Islam Vs

Monogami Barat, h. 9 8 Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta : Bulan

Bintang, 1993), Cet, ke-3, h.9

5

kebutuhan biologis dan melengkapi hubungan sosial antara satu dengan lainnya

juga bernilai ibadah.9

Keturunan merupakan salah satu bagian yang terpenting dalam tujuan

sebuah perkawinan, karena keturunan dapat membuat perkawinan menjadi lebih

harmonis dan juga merupakan generasi penerus bangsa dan agama di masa

mendatang.10 Hal ini mutlak dibutuhkan supaya menjadikan manusia itu mahluk

yang selalu menjaga dan memelihara kehormatan dan martabat serta

kemuliaannya. Orang-orang yang tidak melakukan penyalurannya dengan

perkawinan akan mengalami ketidakwajaran dan dapat menimbulkan kerusakan,

entah kerusakan dirinya atau pun orang lain bahkan masyarakat, karena manusia

mempunyai nafsu, sedangkan nafsu itu condong untuk mengajak kepada

perbuatan yang tidak baik. Dorongan nafsu yang utama ialah nafsu seksual,

karenanya perlulah menyalurkannya dengan baik, yakni perkawinan. Perkawinan

dapat mengurangi dorongan yang kuat atau dapat mengembalikan gejolak nafsu

seksual.11

Membina sebuah mahligai rumah tangga atau hidup berkeluarga merupakan

perintah agama bagi setiap muslim dan muslimah. Melalui rumah tangga yang

9 Asyhari Abdul Ghafar, Pandangan Hukum Islam Tentang Zina dan Perkawinan

Sesudah Hamil, (Jakarta : Andes Utama, 1995), cet. Ke-III, h. 15

10 Sidi Nazar Bakry, Kunci Keutuhan Rumah Tangga, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1993), Cet. Ke-1, h. 52

11 Abdurrahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 28.

6

islami, diharapkan akan terbentuk komunitas kecil masyarakat islami. Keluarga

adalah satuan terkecil dari masyarakat. Bila setiap keluarga dibina dan dididik

dengan baik, sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam, maka pada akhirnya akan

terbentuk masyarakat yang islami pula.12 Karena itu untuk membangun sebuah

lembaga rumah tangga yang dapat mewujudkan kehidupan yang tentram, aman,

damai dan sejahtera dalam suasana cinta kasih sayang diantara mereka yang ada

didalamnya, perlu adanya kebersamaan yang baik dan sikap saling berbagi

tanggung jawab diantara mereka.13

Pernikahan dalam Islam merupakan akad yang diberkahi antara seorang

laki-laki dan seorang perempuan yang menyebabkan keduanya halal bergaul dan

mulai menempuh safari kehidupan panjang yang diwarnai saling mencintai, saling

toleransi. Masing-masing menemukan sakinah, ketentraman, kesejukan,

keamanan dan nikmatnya hidup. Ikatan syari yang luhur antara laki-laki dan

perempuan yang didalamnya tersebar embun mawaddah (cinta kasih), kelembutan

dan berhamburan darinya semerbak kasih sayang.14 Proses menuju keluarga

sakinah tidak bisa dianggap sepele, sebagaimana juga Nabi Muhammad SAW

tidak pernah menyepelekannya, oleh karena itu kita harus pahami dahulu tentang

12 Hasbi Indra, Potret Wanita Sholehah (Jakarta: Penamadani, 2004), h. 61. 13 Ibid 14 Moh. Ali Hasyim, Kepribadian Wanita Muslim Menurut Alquran dan Alhadits,

(Jakarta, Akademika Pressindo, 1997), H. 125

7

tujuan perkawinan tersebut sebelum kita melakukan perkawinan.15 Namun

tidaklah dapat dipungkiri bahwa untuk mempertahankan suatu mahligai

perkawinan yang sesuai dengan tujuan perkawinan dan ketentuan pergaulan

suami isteri seperti diharapkan oleh agama Islam itu tidaklah mudah. Sebab

didalam berumah tangga akan banyak terjadi cobaan dan rintangan laksana perahu

yang dihadang oleh berbagai gelombang. Begitu pula didalam ajaran syariat Islam

bahwa seseorang yang hidup tidak terlepas dari cobaan Allah SWT. Salah satu

bentuk cobaan terberat bagi suami istri adalah dengan adanya kematian orang

yang disayanginya, sebab kematian adalah pintu yang harus dilewati oleh

seseorang yang hidup dan bernyawa.

Hal ini merupakan tazkiyah bagi selurah manusia bahwa tidak ada seseorang

pun yang terus menerus hidup dimuka bumi bila sifat penciptaan berakhir, maka

Allah akan menghisab seluruh mahluk dengan perhitungan yang adil.16 Ketika

kematian menjemput salah seorang keluarga yang dicintai seperti suami, tentunya

hal ini membuat istri sangat terpukul selain faktor psikologis, mental dan

ekonomi, seorang istri itu sangat membutuhkan peran suami sebagai kepala

rumah tangga. Keadaan seperti ini membuat posisi istri tidak hanya sebagai ibu

15 Abdullah Gymnastiar, Aa Gym dan Fenomena Daarut Tauhid (Bandung: PT Mizan,

2002), h. 210. 16 Ibnu Katsir, Kemudahan Dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta: Gema

Insani, 1999), Jilid 1, h. 628.

8

rumah tangga akan tetapi merangkap sebagai kepala rumah tangga bagi anak-anak

yang diasuhnya serta memberikan nafkah kepada anak-anaknya.

Meninggalnya suami ataupun orang dekat yang dikasihi jelas menggoreskan

luka dan duka di dalam hati. Karena suasana hati yang berkabung, tak ada hasrat

berhias diri, menyentuh wewangian, ataupun berpakaian indah. Syariat Islam

yang mulia pun tidak mengabaikan keadaan ini. Maka dibolehkanlah ber-ihdad,

bahkan wajib bagi seorang istri bila suaminya meninggal dunia, disebabkan

besarnya hak suami terhadapnya. Berihdad atas kematian suami wajib dijalani

seorang istri selama empat bulan sepuluh hari. Demikian pendapat mayoritas

ulama bahkan hampir seluruh mereka kecuali Hasan Basry dan Asy-Sya’bi

sepakat pendapatnya mengatakan bahwa ihdad hukumnya sunnah bagi wanita

muslimah yang merdeka, selama masa iddah kematian suami.17

Didalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 170 No 1 disebutkan bahwa isteri

yang ditinggal mati oleh suaminya, wajib melaksanakan masa berkabung selama

masa iddah sebagai tanda turut berduka cita dan sekaligus menjaga timbulnya

fitnah. Wanita yang sedang berihdad dilarang memakai semua perhiasan yang

dapat menarik laki-laki kepadanya kecuali hal-hal yang dianggap bukan sebagai

perhiasan.18

17 Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muktasid, (Beirut: Daar el-Fikri, tth.),

Juz 2, h.92

18 Abdurrahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 304.

9

Ketika tuntutan-tuntutan tersebut harus melibatkan kaum isteri yang sudah

tidak mempunyai pendamping biasa terjadi benturan-benturan antara ajaran

agama yang mengharuskan melaksanakan ‘ihdad’ masa berkabung dengan

aktifitas sehari hari yang harus dijalaninnya terutama bagi para wanita-wanita

yang aktif diluar rumah.

Dari penjelasan singkat latar belakang tersebut, penulis merasa relevan jika

mengangkat masalah DILEMA PRAKTEK IHDAD (STUDI SOSIOLOGI

HUKUM PADA MASYARAKAT ISLAM KEBAYORAN LAMA)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Harus diakui bahwa kedudukan isteri sebagai wanita memiliki kelemahan

alamiah. Karenanya suami bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan isteri,

dan isteri tetap dituntut untuk memikul tanggung jawab almiahnya, yakni untuk

melahirkan dan mengasuh anak.

Untuk tidak melebar, ruang lingkup tulisan ini hanya pada persoalan wanita

yang berkewajiban menjalankan masa berkabung (ihdad) pada masyarakat

muslim Kebayoran Lama.

Dari pembahasan ini agar pembatasannya terarah, penulis akan merumuskan

permasalahan yang hendak diketengahkan dalam bentuk pertanyaan, yaitu :

1. Bagaimana efektifitas masa ihdad di masyarakat muslim Kebayoran

Lama?

10

2. Bagaimana pemahaman masyarakat muslim Kebayoran Lama tentang

hukum ihdad?

3. Bagaimana praktek ihdad masyarakat Kebayoran Lama yang ditinjau

dari aspek sosiologis?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, terangkum beberapa tujuan, diantaranya

1. Untuk mengetahui efektifitas ihdad ‘masa berkabung’ terhadap

masyarakat muslim kebayoran Lama.

2. Untuk mengetahui sejauh mana pemahaman masyarakat muslim

Kebayoran Lama tentang ihdad

3. Untuk mengetahui hal ihwal praktek ihdad dalam tataran praktis di

masyarakat Kebayoran Lama

Adapun manfaat penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk menambah perbendaharaan isi perpustakan di perpustakaan

fakultas Syari’ah dan Hukum dan Perpustakaan Utama UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Bagi penulis sendiri, penelitian ini bermanfaat untuk menambah

wawasan penulis agar lebih memahami hal-hal seputar konsep ihdad’

dalam tataran teoritis maupun praktis pada era sekarang ini.

11

3. Bagi kalangan akdemisi dan masyarakat umum, penelitian ini

diharapkan dapat memberikan suatu konstribusi besar keilmuwan bagi

yang berminat untuk mengkaji aspek-aspek yang berhubungan dengan

dinamika perkembangan hukum Islam di Indonesia.

D. Studi Kajian Terdahulu

Penulis melakukan studi pendahuluan terlebih dahulu sebelum menentukan

judul proposal, dan hanya terdapat satu skripsi yang membahas tentang ihdad

yaitu Ade Diawan jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum tahun 2005,

menyusun skripsi yang berjudul “Pandangan Imam-Imam Mazhab Tentang Ihdad

Wanita Yang Di Talak Ba’in” Dalam skripsinya dia hanya menceritakan masalah

ihdad terhadap seorang wanita yang dijatuhkan talak ba’in. Dalam skripsinya dia

juga membahas tentang pengertian ihdad menurut para ulama.

Setelah melakukan analisa dari skripsi diatas, penulis rasa bahwa

pembahasannya berbeda dengan judul penulis: “Dilema Praktek Ihdad (Studi

Sosiologi Hukum Pada Masyarakat Islam Kebayoran Lama)” Di sini penulis

mencoba menerangkan tentang pengertian hukum wanita yang menjalankan masa

berkabung (ihdad) terhadap suami yang telah meninggal dunia di daerah

Kebayoran Lama.

12

E. Kerangka Teori dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Menurut Abdul Wahhab Khallaf hukum didedefinisikan sebagai berikut

“Hukum dengan mengganti kalimat khitabullah (tuntutan Allah ta’ala)

dalam definisi di atas dengan khitabus syari’ (tuntutan syari’) dengan

tujuan agar hukum itu bukan saja ditentukan Allah, melainkan juga

ditentukan Rasulullah melalui sunnahnya dan melalui ijma’ para ulama”

Menurut Amir Syarifuddin, sebagai berikut:

"Bahwa Hukum berfungsi sebagai seperangkat peraturan yang

berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku

manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang

beragama Islam”.

Sedangkan Abdurrahman Ghazaliy mendifinisikan ihdad didalam

bukunya :

“Ihdad yaitu masa berkabung bagi seorang isteri yang ditinggal mati

suaminya. Masa tersebut adalah 4 bulan 10 hari beserta larangan-

larangannya”

2. Kerangka Konseptual

1. Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 113 tentang putusnya

perkawinan menyatakan sebagai berikut :

13

“Perkawinan dapat putus karena : kematian, perceraian dan atas

putusan pengadilan”

2. Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 170 tentang masa berkabung

dijelaskan sebagai berikut :

Isteri yang ditinggal mati oleh suaminya, wajib melaksanakan masa

berkabung selama masa iddah sebagai tanda turut berduka cita dan

sekaligus menjaga timbulnya fitnah”

F. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan

1. Jenis penelitian

Dalam penelitian karya ilmiah ini, penulis menggunakan pendekatan

empiris, yaitu suatu pendekatan penelitian yang dilakukan untuk

menggambarkan kondisi yang dilihat dilapangan secara apa adanya.

Pendekatan empiris ini diharapkan dapat menggali data dan informasi

semaksimal mungkin tentang ihdad dan praktek ihdad dalam tataran

praktis masyarakat Islam Kebayoran Lama sehingga diharapkan akan

menemukan sebuah hasil yang relevan dengan wacana-wacana yang

berkembang selama ini.

2. Pendekatan Penelitian

Di samping teknik yang penulis pergunakan di atas, penelitian ini juga

menggunakan metode pendekatan empiris, yaitu suatu pendekatan

14

3. Jenis Data dan Sumber Data

Adapun jenis dan sumber data yang digunakan adalah:

Data primer: Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

Kompilasi Hukum Islam Pasal 170 selain Undang Undang dan KHI

penulis mengambil data yang diperoleh hasil wawancara.

Data sekunder didapat dari studi pustaka dengan cara membaca dan

mempelajari buku literature dan teori dibangku kuliah serta sumber

lainya yang relevan dengan penelitian ini, seperti jurnal yang terkait

dengan penelitian, surat kabar, majalah dan sumber tertulis lainya.

4. Teknik Pengumpulan Data

a. Wawancara. Dalam penelitian ini, penulis menyusun konsep

wawancara, dengan cara menyusun berbagai pertanyaan yang

berkaitan dengan ‘ihdad’ serta serta praktek ihdad masyarakat

Muslim Kebayoran Lama

b. Observasi, dimana penulis mengadakan pengamatan dan pengkajian

secara langsung di wilayah Kebayoran Lama serta mengumpulkan

data-data dan informasi yang terkait erat dengan penelitian ini.

15

5. Alat Analisis Data

Seluruh data yang penulis peroleh dari lapangan, setelah itu penulis

melakukan klasifikasi data. Setelah diklasifikasi lalu dianalisis, dalam

hal ini data yang dikumpulkan penulis adalah kualitatif, maka teknik

analisis data yang digunakan adalah content analysis (analisis isi). Data-

data yang telah terkumpul diperiksa kembali mengenai kelengkapan

jawaban yang diterima, kejelasannya, konsistensi jawaban atau

informasi yang biasa disebut editing.

G. Sistematika Penulisan

Untuk lebih memudahkan penyusunan skripsi ini, maka penulis membagi

kedalam lima bab, sebagai berikut :

Bab pertama berisikan pendahuluan dengan uraian yaitu mengungkapkan

latar belakang masalah kajian skripsi ini, merumuskan identifikasi permasalahan,

menunjukkan maksud dan tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka

pemikiran, dan mengungkapkan metodelogi yang dipergunakan sebagai kerangka

menuju uraian yang sistematis dan terakhir sistematika penulisan.

Bab kedua berisikan mengenai landasan umum tentang pengertian masa

‘ihdad’ masa berkabung serta dasar hukumnya, tujuan dan manfaat ihdad, serta

dampak ihdad terhadap wanita.

Bab ketiga berisikan landasan umum mengenai profil wilayah Kebayoran

Lama, Masyarakat Kebayoran Lama, Kelurahan Dan Kecamatan serta aktifitas

16

masyarakat sehari-hari yang berkenaan dengan ekonomi, budaya, agama dan

pendidik.an

Bab keempat berisikan uraian mengenai analisa dilema praktek ihdad

masyarakat Kebayoran Lama, efektifitas praktek ihdad, serta pemahaman

masyarakat tentang kosep ihdad serta analisa Penulis.

Bab kelima merupakan bagian akhir dari seluruh rangkaian tulisan karya

ilmiah ini. Penulis akan menarik kesimpulan dari keseluruhan pembahasan untuk

kemudian penulis memberi saran-saran yang konstruktif. Dan saran yang dapat

mendukung kesempurnaan skripsi.

BAB II

DIMENSI IHDAD

17

A. Pengertian Ihdad

Meninggalnya suami ataupun orang dekat yang dikasihi jelas menggoreskan

luka dan duka di dalam hati. Karena suasana hati yang berkabung, tak ada hasrat

berhias diri, menyentuh wewangian, ataupun berpakaian indah. Syariat Islam

yang mulia pun tidak mengabaikan keadaan ini. Maka dibolehkanlah ber-ihdad,

bahkan wajib bagi seorang istri bila suaminya meninggal dunia, disebabkan

besarnya hak suami terhadapnya. Mungkin timbul tanya, apakah ihdad itu?

Menurut Abu Zakaria Al-Anshari, ihdad berasal dari kata أحد dan biasa

pula disebut الحدة yang diambil dari kata حد Secara bahasa mereka mengartikan

ihdad dengan المنع yang berarti cegahan atau larangan.19

Secara bahasa Ihdad berasal dari kata يحد بمعني وحد المرأة-حد yang berarti

tidak bersolek atau tidak berhias karena kematian suami.20

Ihdad berasal dari suku kata اددح yang berarti menanggalkan berhias karena

duka cita.21

Arti ihdad adalah larangan berhias dan memakai wewangian, seperti

larangan yang memberikan hukuman terhadap perbuatan maksiat, demikian

menurut Ibnu Dusturiyah. sedangkan Al-Farra mengatakan “disebut juga sebagai

19 Abu Yahya Zakariya Al-Ansary, Fath al-Wahab, (Beirut: Daar el- Fikri, tth.), juz 2, h. 43

20 A. Warson Munawir, Kamus Arab In esia, (Jakarta: Pustaka Progresif, !984), h.243 don 21 Idris Al-Marbawi, Kamus Arab Melayu, (Surabaya: Al-Hidayah, 1999), h. 122

17

18

besi karena kekuatan atau kesulitannya untuk dirubah. Adapun tahdid

(pembatasan pandangan) berarti larangan menghadapkan pandangan kearah

lain.2

mpercantik diri.24 Ihdad

artiny

ntuk benang sekalipun, tidak

diper

ترك الطيب والزينة والكحل والدهن المطيب وغير المطيبiasan, celak mata, dan minyak, baik

minyak yang mengharumkan ataupun tidak.

2

Ihdad dalam kamus Istilah Fiqih yaitu masa berkabung bagi seorang istri

yang ditinggal mati suaminya. Masa tersebut adalah: empat bulan sepuluh hari,

dengan larangan-larangannya, antara lain: bercelak mata, berhias diri, keluar

rumah kecuali dalam keadaan terpaksa.23Sedangkan menurut Ibnu Mansur, Ihdad

adalah menanggalkan berhias dan bersolek untuk me

a perkabungan perempuan yang kematian suami.

Dari definisi yang dikemukakan diatas terlihat bahwa pakaian yang dicelup

warna baik pencelupan itu dilakukan ketika masih dalam bentuk kain, atau sudah

menjadi pakaian, atau bahkan yang masih dalam be

bolehkan dipakai dalam masa iddah kematian.

Dr. Wahbah al-Zuhaili memberikan definisi ihdad: 25

Artinya: Meninggalkan harum-haruman, perh

22 Syaikh Kamil Muhammad’ Uwaidah, Fiqih Wanita, (Jakarta: Pustaka Alkautsar), cet.

24. h. 420-421 23 M. Abdul Mujieb, Kamus Istilah Fiqih , (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1994), h. 113 24 Ibnu Mansur, Lisan el-Arab, (Kairo: Daar el-Hadis, 2003), jilid 2, h. 356 25 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islamy Wa’Adillatuhu, (Damaskus: Daar el-Fikri, 2004),

Cet. Ke-4, Juz 9, h. 7204

19

Selanjutnya Dr. Wahbah az-Zuhaili menegaskan yang dimaksud dengan

harum-haruman, perhiasan, celak mata, dan minyak adalah khusus yang berkaitan

dengan anggota badan wanita. Oleh karena itu wanita yang sedang dalam keadaan

ihdad tidak dilarang memperindah tempat tidur, karpet, gorden dan alat-alat

rumah tangganya. Ia juga tidak dilarang duduk diatas kain sutra.26

Sayid Sabiq juga memberikan definisi senada tentang ihdad. Menurutnya

ihdad adalah:

27ترك ما تزين به المرأة من الحلي والكحل والحرير والطيب والخضاب Artinya: Meninggalkan bersolek seperti memakai perhiasan, celak mata, pakaian sutra, wangi-wangian dan inai.

Al-Imam Taqiyuddin menjelaskan bahwa ihdad menurut istilah adalah

28 من الزينة والطيب األمتناعو علي المتوفي عنها زوجها الحداد وهو Artinya: ihdad adalah melarang dari berhias dan berwangi-wangian.

Hal ini diwajibkan atas seorang istri yang ditinggal mati suaminya, selama

masa iddah dengan maksud untuk menunjukan kesetiaan dan menjaga hak-hak

suami.29

Sekalipun rumusan redaksional beberapa definisi diatas berbeda, namun inti

pokoknya sama, yaitu masa berkabung seorang perempuan yang ditinggal mati

26 Ibid, h. 7208 27 Sayyid Sabiq, Fiqih al-Sunnah, (Beirut: Daar el-Fikri, 1992), Cet. Ke-4, Jilid 1, h.427 28 Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Ad –Damsyiqi, Kifayatul Akhyar, (Semarang:

Putra Semarang, tth), juz 2, h. 133

20

oleh suaminya yang dalam masa itu ia tidak boleh bersolek atau berhias dengan

memakai perhiasan, pakaian yang berlebihan, wangi-wangian, celak mata, dan

yang lainnya. Dan tidak boleh juga bagi isteri yang ditinggal mati oleh suaminya

untuk keluar dari rumah tanpa adanya keperluan.30 Hal ini untuk menghormati

dan turut belasungkawa atas meninggalnya sang suami.

Jika kita lihat arti kata berhias dalam kamus besar bahasa Indonesia, maka

berhias itu adalah memperelok diri dengan pakaian dan sebagainya yang indah-

indah atau bisa juga diartikan dengan berdandan. Sedangkan berdandan itu asal

kata dari dandan yang memiliki dua arti yaitu pertama, mengenakan pakaian dan

perhiasan serta alat-alat rias. Kedua, memperbaiki, atau menjadikan baik (rapi).31

Ibnu Jarir At- Thabari, mengartikan perhiasan adalah wajah dan dua telapak

tangan, juga termasuk yang ada pada keduanya seperti celak, cincin, gelang dan

khidab (pewarna tangan).32

Wajah dan dua telapak tangan merupakan bagian anggota tubuh wanita yang

tidak tertutup yang dalam hal ini bukan termasuk aurat menurut sebagian ulama,

yang pada kebanyakan wanita memperindah bagian tubuh tersebut dengan

perhiasan seperti celak, cincin, gelang, dan sebagainya.

30 Abu Ishak Syairazi, At-Tanbih, (Beirut: Daar el-Fikri,1996), h. 178 31 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar

Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), Cet. Ke-7, h.348 32 Ibnu Jarir Al-Thabari, Jami’ al-Bayan Fi Ta’wil Ayat al-Quran,(Beirut: Daar el-

Fikri,1998), Juz 17, h.119

21

Sedangkan untuk kondisi zaman yang semakin modern dengan teknologi

yang semakin canggih, dapat membuat seluruh tubuh wanita dari ujung rambut

sampai ujung kaki merupakan bagian yang dapat diperindah, sehingga makna

berhias dan bentuk perhiasan menjadi semakin luas.

B. Dasar Hukum Ihdad

Berihdad atas kematian suami wajib dijalani seorang istri selama empat

bulan sepuluh hari. Demikian pendapat mayoritas ulama bahkan hampir seluruh

mereka kecuali Hasan Basry dan Asy-Sya’bi sepakat pendapatnya mengatakan

bahwa ihdad hukumnya sunnah bagi wanita muslimah yang merdeka, selama

masa iddah kematian suami.33 Adapun landasan hukum disyariatkannya ihdad

adalah sebagai berikut:

1. Ayat Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 234 yang berbunyi.

☺ ☺

☺ ☺ ) /البقرة(

33 Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muktasid, Juz 2, h.92

22

Artinya: “orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” Q.S (Al-Baqarah) :234

2. Hadis Nabi Muhammad SAW

صلى اهللا عليه دخلت على أم حبيبة زوج النبي: عن زينب بنت أبي سلمة قالت

جاءت امرأة إلى رسول اهللا صلى : وسلم، قالت زينب سمعت أمي أم سلمة تقول

ها اهللا عليه وسلم فقالت يارسول اهللا إن ابنتي توفي عنها زوجها وقد اشتكت عينا

مرتين أو ثالثا آل ذلك يقول ( أفتكتحلها ؟ فقال رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم ال

34 )رواه مسلم (ثم قال إنما هى أربعة أشهر وعشرا ) ال

Artinya: Dari Zainab binti Abi Salamah r.a. berkata: Dia datang ke rumah Ummu Habibah, Istri Nabi saw. Kata Zainab, aku mendengar Ummu Salamh menceritakan bahwa seorang wanita datang menemui Rasulullah saw. Kemudian bertanya, wahai Rasulullah, anak perempuanku ditinggal mati oleh suaminya, sedangkan ia mengeluh karna sakit kedua matanya , bolehkah ia memakai celak untuk kedua matanya? Rasulullah menjawab, tidak boleh. Beliau mengatakan itu dua atau tiga kali. Setiap perkataannya tersebut dikatakannya tidak boleh. Kemudian beliau bersabda, sesungguhhnya ‘iddah wanita itu empat bulan sepuluh hari. (HR. Muslim).

3. Hadis Nabi Muhammad SAW

34 An-Nawawi, Sahih Muslim Syarh An Nawawi, (Beirut: Daar el-Ihya, 1984), Cet. Ke-3,

Juz 10, h.113

23

عن أم حبيبة أن النبي صلى اهللا عليه وسلم قال ال يحل المرأة مسلمة تؤمن باهللا

رواه (ة أيام إال على زوجها أربعة أشهر وعشرا واليوم اآلخر أن تحد فوق ثالث

35) بخارى ومسلملا

Artinya: Dari Ummu Habibah r.a. katanya: saya mendengar Rasulullah saw bersabda: Seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, tidak diperbolehkan berkabung atas seorang yang meninggal dunia lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, maka ia boleh berkabung selama empat bulan sepuluh hari. HR. al- Bukhari dan Muslim)

4. Hadis Nabi Muhammad SAW

ال تحد إمرأة على ميت فوق : عليه وسلم قالن أم عطية أن رسول اهللا صلى اهللاعثالث، إال على زوج أربعة أشهر وعشرا، والتلبس ثوبا مصبوغا، إال ثوب عسب

وهذا . من قسط أو أظفار، متفق عليهوال تكتحل، وال تمس طيبا إال إذا طهرت نبذة 36 )رواه النسائ () والتحتضي(وألبي داود والنسائي من الزيادة . لفظ مسلم

Artinya: Dari Ummu Athiyah, bahwasanya Rasulullah saw telah bersabda: “Tidak boleh berkabung seorang perempuan atas satu mayit lebih dari tiga malam, kecuali atas suami (boleh) empat bulan sepuluh hari, dan jangan ia pakai pakaian yang bercelup kecuali kain genggang dan jangan ia bercelak dan jangan memakai bau-bauan, kecuali kalau ia bersih, sedikit dari qusth dan azhfar.

5. Hadis Nabi Muhammad SAW

جعلت على عيني صبرا بعد ان تو في ابو سلمة فقل رسول ا هللا : عن ام سلمة قالت

فال تجعليه اال باالليل وانزعيه بالنهار والتمتشيطي . انه يشب الوجه(ص م

35 Ahmad Sunarto, Terjemah Hadis Shahih Muslim, (Bandung: Husaini, 2002), h. 877 36 A. Hasan, Terjamah Bulughul Maram, (Bandung: Diponegoro, 2009), h. 498

24

Artinya: Dari Ummu Salamah, ia berkata: sesudah wafat Abu Salamah saya pakai jadam dimata saya . maka Rasulullah saw. Bersabda :“Sesungguhnya ia itu mencantikan muka. Maka janganlah engkau pakai dia melainkan pada malam, dan buanglah dia pada siang, dan jangalah engkau bersisir dengan menggunakan barang wangi dan jangan dengan pacar, karena yang demikian itu celupan.” Saya bertanya : Dengan apa saya boleh bersisir ? Jawabnya : “Dengan bidara”.

6. Hadis Nabi Muhammad SAW

لايحل إلمرأة تؤمن : عن حفصة أوعائشة أن رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم قال

فوق ثالثة أيام إال على ميتباهللا ويوم اآلخر أو تؤمن باهللا ورسوله أن تحد على

38 )النسائىرواه (زوجها

Artinya: Dari Hafsah atau dari Aisyah r.a, bahwa Rasulullah saw. Bersabda: Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir atau beriman kepada Allah dan Rasulnya berkabung karena kematian seorang kebih dari tiga hari kecuali karena kematian suaminya.(HR an-Nasa’i)

7. Hadis Nabi Muhammad SAW

ال تلبس ا و عشرر أشه فوق ثالث أال علي زوج أربعةتآنا ننهي أن تحد علي مي

الطهر أو أغتسلت احد أنا من ص لنا عندخثوبا مصبوغا أال ثوب عصب وقد ر

37 A. Hasan, Terjamah Bulughul Maram, h. 499 38 Muhammad bin Ismail Al-Kahlani, Subulus Salam, (Mesir: Daar el-Salam, tth), juz 3,

h. 199

25

Artinya: Seorang wanita tidak boleh berihdad karena kematian lebih dari tiga hari, kecuali karena kematian suami, maka ia berihdad selama empat bulan sepuluh hari. Janganlah wanita itu memakai pakaian berwarna, kecuali baju lurik, jangan menggunakan celak mata dan memakai harum-haruman, jangan memakai inai, dan menyisir rambut kecuali ia baru suci dari menstruasi, maka bolehlah ia mengambil sepotong kayu wangi. (HR: Ahmad, al-Bukhori, Muslim, Abu dawud, an-Nasa’I dan Ibnu Majah)

8. Hadis Nabi Muhammad SAW

فوق ثالث أال علي تعن أم عطية أن رسول اهللا ص م قال لا تحد أمرأة علي مي

زوج لأربعة أشهر و عشرا وال تلبس ثوبا مصبوغا ألا ثوب عصر وال تكتحل وال

)رواه البخاري(ا طهرت نبذة من قسط أو أظفار تمس طيبا ألا اذ

Artinya: Kami dilarang berkabung atas seorang yang meninggal dunia lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suami yaitu empat bulan sepuluh hari. Kami tidak memakai celak, tidak menggunakan pakaian yang diberi bahan pewarna, kecuali pakaian yaman dan tidak menggunakan wewangian. Sungguh kami diberi kemurahan ketika bersuci, yaitu jika salah seorang diantara kami mandi dan haid, maka diperbolehkan untuk menggunakan sedikit dari qust dan adhfar. (HR. Bukhari).39

9. Hadis Nabi Muhammad SAW

توفي أن أبنتيجاءت امرأة إلى رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم فقالت

مرتين أو ثالثا، -ال: عينها، أفتكحلها؟ فقال زوجها، وقد اشتكت عنها

39 Syaikh Kamil Muhammad’ Uwaidah, Fiqih Wanita, h. 421

26

Artinya : “Datang seorang wanita menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata, ”Wahai Rasulullah, suami putriku telah meninggal dunia. Sementara putriku mengeluhkan rasa sakit pada matanya. Apakah ia boleh mencelaki matanya?” ”Tidak,” jawab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak dua atau tiga kali.”40

Berdasarkan fakta sejarah bahwa pada jaman Rasul banyak wanita-wanita

muslimah yang telah ditinggal mati suaminya yang melaksanakan masa ihdad

atau berkabung selama masa iddah sebagai suatu ungkapan duka cita atas

kematian suaminya dan beberapa hal hal yang berhubungan dengan ihdad seperti

perbuatan yang diperbolehkan untuk dikerjakan selama masa berkabung dan hal-

hal yang dilarang pula sehingga dari sejumlah hadits dan atsar di atas menjadi

jelas bagi kita bahwa wanita yang ber-ihdad tidak boleh memakai celak, minyak

wangi/wewangian, pakaian yang dicelup kecuali kain ashb, semir, pacar kuku,

pakaian yang dicelup dengan warna merah (mu’ashfar), dan yang dicelup dengan

tanah merah (mumasysyaqah) serta perhiasan. berdasarkan dalil-dalil Al Qur’an

serta Hadist tersebut cukuplah menjadi fakta kekuatan bahwa hukum ihdad

merupakan salah satu ajaran syariat Islam.

C. Tujuan Ihdad

1. Memberi alokasi waktu yang cukup untuk turut berduka cita atau

berkabung dan sekaligus menjaga timbul fitnah.41

40 Muhammad bin Ismail Al-Kahlani, Subulus Salam, h. 202 41 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Garfindo Persada), h. 319

27

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 170 ayat 1 menegaskan “Seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya, wajib melaksanakan masa berkabung selama masa iddah sebagai tanda turut berduka cita dan menjaga timbulnya fitnah.42

2. Selain itu yang menjadi pertimbangan ialah bahwa untuk memelihara

keharmonisan hubungan keluarga suami yang meninggal dengan pihak

istri yang ditinggalkan dan keluarga besarnya43

3. Ihdad untuk menampakan kesedihan dan kedukaan atas kematian

suaminya, dan ukuran untuk bersedih karena yang lainnya. Selain

cerai mati, maka talak dalam bentuk apapun tidak membutuhkan

adanya ihdad. Hal ini sesuai dengan wanita-wanita yang hidup pada

masa Nabi dan Khulafa el-Rasyidin tidak pernah melakukan ihdad

selain cerai mati.44

4. Bagi seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya dan dalam

keadaan hamil, hikmah ihdad adalah selama empat bulan sepuluh hari

sicalon bayi yang tengah berada dalam perut ibu akan sempurna

penciptaannya, yaitu dengan ditiupkannya ruh adalah setelah seratus

42 Abdurrahman Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Presindo, 1999), h.155 43 Majelis Ulama Indonesia, ( Jakarta: MUI), h.64 28 Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), h. 372

28

duapuluh hari berlalu. Sepuluh hari disebut bentuk mu’anats yang

dimaksudkan sebagai waktu malamnya.45

D. Dampak Ihdad

Kita ketahui bahwa bila seorang suami yang meninggal, wajib bagi istrinya

untuk berihdad selama empat bulan sepuluh hari. Namun bila si istri dalam

keadaan hamil maka ihdadnya berakhir dengan melahirkan kandungannya, baik

masanya lama atau sebentar. Hal ini sesuai dengan pasal 170 Kompilasi Hukum

Islam46 yang berbunyi:

1. Isteri yang ditinggal mati oleh suaminya wajib melaksanakan masa berkabung sebagai tanda turut berduka cita sekaligus menjaga timbulnya fitnah

2. Seorang suami yang ditinggal mati oleh isterinya, melakukan masa berkabung menurut kepatutan

Menurut Wahbah Zuhaili bahwa ihdad merupakan hak syar’i dan

merupakan ungkapan atau manifestasi rasa duka cita karena hilangnya karunia

Allah. Dalam bentuk perkawinan sehingga ia tidak mungkin lagi berkumpul

dengan bekas suaminya.47

45 Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fikih Wanita, h. 421 46 Abdurrahman Kompilasi Hukum Islam, h. 155 47 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islamy Wa’adillatuhu, h.7206

29

Silang pendapat diantara fuqaha yang mewajibkannya atas wanita

muslimah, bukan wanita kafir, disebabkan oleh persoalan, karena bagi fuqaha

yang menganggap ihdad sebagai suatu ibadah (yang tidak dapat dipahami

ma’nanya), maka mereka tidak mewajibkan atas wanita kafir, sedangkan bagi

fuqaha yang menganggapnya suatu ibadah yang dapat dipahami ma’nanya, yaitu

untuk menghindarkan pandangan lelaki kepadanya dan untuk mencegah wanita

yang berihdad memandang kepada lelaki, maka mereka mempersamakan antar

wanita kafir dengan wanita muslimah.48

Mengenai hukum ihdad bagi wanita kitabah (ahli kitab), para ulama berbeda

pendapat. Menurut Jumhur kewajiban ihdad meliputi semua istri yang dinikahi

secara sah, baik wanita yang masih kecil, dewasa, gila, muslimah atau kitabiah.

Bahkan Hanabilah berpendapat termasuk budak yang dijadikan istri.49

Senada dengan pendapat jumhur adalah pendapat Imam Malik. Imam Malik

menyatakan Wajib ihdad atas wanita kitabah, karena wanita kitabah yang

melakukan perkawinan dengan laki-laki muslim memiliki hak yang sama dengan

hak wanita yang beragama Islam. Selain itu ihdad adalah ibadah yang tidak

dipahami maknanya yaitu menghindarkan wanita dari pandangan laki-laki atau

48 Abdurrahman Ghazaly, Fikih Munakahat, h. 307 49 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islamy Wa’adillatuhu, . h.7205

30

sebaliknya. Karena itu wanita muslimah dan non muslimah termasuk kitabah

sama-sama wajib ihdad. 50

Adapun menurut Abu Hanifah tidak wajib ihdad atas wanita kitabiyah,

demikian juga pendapat As-Syafi’i. Alasan mereka ialah bahwa hadits Nabi:

“Tidak boleh bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari kemudian berihdad

dan seterusnya.” menunjukan bahwa syarat wanita yang berihdad adalah beriman,

tanpa keimanan berarti tidak berlaku ketentuan-ketentuan tentang ihdad pada diri

wanita tersebut. Karenanya tidak wajib ihdad atas wanita non muslimah termasuk

kitabiyah.51

Akan hal silang pendapat fuqaha mengenai hamba mukatabah (hamba

perempuan ynag menebus kemerdekaannya dengan cara mencicil), maka hal itu

terjadi dari segi ketidak jelasan statusnya sebagai orang merdeka atau sebagai

budak. Sedangkan mengenai hamba perempuan yang dimiliki dan hamba

perempuan yang telah memperoleh anak dari tuannya (ummul walad), maka hal

yang mendorong jumhur ulama menggugurkan kewajiban ihdad dari keduanya.52

Selanjutnya mengenai hal-hal yang dilarang selama ihdad disimpulkan pula

oleh Ibnu Rusyd secara umum, yaitu segala bentuk perhiasan yang dapat menarik

perhatian laki-laki, kecuali Sesuatu yang bukan dianggap sebagai perhiasan.

50 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, juz 2, h.93 51 Ibid, h.93 52 Abdurrahman Ghazaly, Fikih Munakahat, h. 308

31

Namun menurutnya pula, para fuqaha membolehkan pemakaian celak mata kalau

terpaksa, tetapi sebagian ulama ada yang menyatakan bahwa celak itu bukan

dianggap sebagai perhiasan, dan sebagian lagi mensyaratkan bahwa pemakaian

dilakukan hanya pada malam hari.53

Sekalipun para ulama sepakat tentang wajibnya ihdad bagi wanita yang

ditinggal mati suaminya, tetapi mereka berbeda pendapat tentang penggunaan

celak mata. Perbedaan tersebut dilatar belakangi oleh pandangan mereka terhadap

celak mata itu sendiri, yaitu ada yang menganggap bahwa celak mata itu sebagai

perhiasan dan ada pula yang menganggap bukan perhiasan. Ibrahim Al-Bajuri

rahimahullahu menyatakan bahwa dibolehkannya menggunakan sesuatu yang

dapat menghilangkan aroma tidak sedap bila memang sifatnya bukan untuk

berhias atau berwangi-wangi seperti menggunakan minyak pada rambut kepala

atau selainnya.54 Dalam kondisi wanita karir, cara ihdad menggunakan cara lain.

Bagi wanita yang berprofesi diluar rumah seperti dokter, perawat dll, maka

mereka boleh keluar rumah untuk menunaikan kewajibannya. Demikian pula

karena mereka berhadapan dengan orang banyak, maka boleh baginya memakai

53 Ibnu Rustdi, Bidayatul Mujtahid, h.92 lihat juga Abu Ishak Syairazi, Al-Muhazzab Fi

Fiqh Imam Syafi’I, (Semarang: Putera Semarang, tth) juz 2, h.149 54 Ibrahim Al-Bajuri, Hasyiyah Al-Bajuri, (Surabaya: Daar el-Abidin, tth), juz 2, h. 175

32

parfum sekedarnya, serta ia boleh memakai aksesoris alakadarnya asal tidak

dimaksudkan untuk berhias dan pamer.55

Ibnu Qudamah56 rahimahullahu menyebutkan ada tiga macam yang harus

dijauhi wanita yang berihdad yaitu:

1. Bersolek atau menghiasi dirinya seperti memakai pacar, memakai

kosmetik pada wajah, memakai itsmid (celak).

2. Meninggalkan pakaian perhiasan seperti pakaian yang dicelup agar

menjadi indah misalnya mu’ashfar, muza’far, celupan berwarna merah,

dan seluruh warna yang memperindah pemakainya seperti biru, hijau,

dan kuning.

3. Perhiasan seluruhnya seperti cincin dan yang lainnya. Ibnu Qudamah

rahimahullahu berkata, “Perkataan ‘Atha` rahimahullahu, ‘Dibolehkan

memakai perhiasan dari perak karena yang dilarang adalah perhiasan

dari emas’, pendapat Atha’ ini tidaklah benar. Karena larangan yang

disebutkan dalam hadits sifatnya umum, dan juga perhiasan akan

menambah kebagusan si wanita dan memberi dorongan untuk

menggaulinya.

Dengan demikian, larangan memakai celak merupakan larangan yang

mutlak sekalipun wanita tersebut sedang menderita sakit pada kedua matanya.

55 Abu Yasid, Fiqh Realitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 330 56 Ibnu Qudamah, Al-Mughni, (Kairo: Hazr, 1989), jiiid 11, h. 286-289

33

Adapun pembolehan memakainya ketika malam lantas dihilangkan pada siang

hari, sandarannya adalah hadits yang sangat lemah sebagaimana diterangkan di

atas. Kalaupun ada keluhan sakit pada mata, bukankah Allah Subhanahu Wa

Ta'ala telah memberikan obat-obatan selain celak yang bisa dipakai untuk

menyembuhkan sakit tersebut dengan izin Allah Subhanahu Wa Ta’ala? Seperti

obat tetes mata, salep, dan selainnya. Bila demikian, tidak ada alasan bagi yang

berihdad untuk memakai celak dengan dalih sakit mata karena sakit mata Insya

Allah bisa diobati dengan obat-obatan yang lain.

Menurut satu pendapat bahwa tidak ada pakaian khusus bagi wanita yang

berkabung. Ia boleh memakai pakaian biasa dengan menjauhkan diri dari bersolek

dalam segala hal Adapun meyakini keharusan memakai pakian hitam saja bukan

pakian lainnya adalah haram.57

Begitupun ada satu pendapat yang menyatakan bahwa bagi wanita yang

ditingal mati suaminya wajib melalui masa iddahnya dirumah yang ditempatinya

bersama sang suami dan ditempat suaminya meninggal dunia dirumah itu. wanita

tersebut tidak boleh pindah kecuali keadaan yang memaksa. Seperti contoh jika ia

takut bahaya dalam kondisi seperti ini boleh pindah ketempat lain . misalnya ia

merasa ketakutan jika tetap berada dirumah tersebut atau ia dipaksa untuk pindah

dari rumah itu karena statusnya rumah sewaan. Atau misalnya pemilik rumah

menyuruhnya untuk meninggalkan tempat tersebut atau dengan cara meminta

57 Muhammad Nasib Ar-Rifai, Kemudahan Dari Allah Tafsir Ibnu Katsir, jilid 1, h 395

34

uang sewaan lebih mahal dari biasanya. Maka kondisi seperti ini bisa pindah dari

rumah tersebut kapan saja untuk menghindari bahaya yang mungkin terjadi.58

Tidak dilarang baginya untuk memotong kuku, mencabut rambut ketiak,

mencukur rambut kemaluan, mandi dengan daun bidara, atau menyisir rambut

karena tujuannya untuk kebersihan bukan untuk berwangi-wangi/berhias.

Sabda nabi SAW yang berbunyi : “Dari jabir, ia berkata: bibiku telah ditalak

tiga kali lalu ia keluar untuk memetik buah kurmanya kemudian ia berjumpa

dengan seorang laki-laki, lalu laki-laki itu mencegahnya. Kemudian bibiku datang

kepada Nabi saw. “keluarlah dan petiklah buah kurmamu, barangkali engkau bisa

bersedekah dari itu atau engkau bisa berbuat kebaikan.

Perkataan “memetik buah kurma” itu melihat zhahirnya, bahwa Nabi saw

memberi ijin keluar untuk memetik buah kurma itu menunjukan bolehnya keluar

kalau ada keeperluan dan yang sejenis dengan itu. sedangkan Imam Nawawi

mengatakan: bab bolehnya keluar bagi perempuan yang ditalak bain dari

rumahnya pada waktu siang untuk suatu keperluan.59

Syeikh Abdullah Bin Baz60 berkata: “Wanita yang sedang berkabung

dibolehkan untuk mandi dengan air, sabun, bidara, kapan saja ia mau, ia berhak

58 Saleh Al-Fauzan, Fiqih Sehari-Hari, (Jakarta: Gema Insani, 2006), h. 734 59 Terjemah Nailul Authar, Himpunan Hadis-hadis Hukum, ( Surabaya, PT Bina Ilmu

2001) Jilid 5, h. 2422 60 Abdullah Bin Baz, fatwa-fatwa tentang Wanita, ( Jakarta: Daar el- Haq 2001) Jilid 2, h.

234

35

untuk mengajak bicara kerabat-kerabatnya dan orang lain yang ia kehendaki, ia

boleh duduk-duduk bersama para mahramnya, menghidangkan kopi dan makanan

untuk mereka dan sebagainya. Ia boleh bekerja dirumahnya, diperkarangan, diatap

rumahnya baik siang atau malam dalam semua pekerjaan rumah seperti memasak,

menjahit, menyapu rumah, mencuci baju, memberi makan binatang ternak dan

sebagainya sebagai mana dilakukan oleh wanita yang tidak berkabung dia juga

boleh berjalan disaat terang bulan dalam keadaan tidak menutupi wajahnya

sebagaimana wanita lainnya. Dia juga boleh melepas kerudung jika tidak orang

lain kecuali hanya mahramnya.”

36

BAB III

KONDISI OBYEKTIF KECAMATAN KEBAYORAN LAMA

A. Sejarah Kebayoran Lama

Konon, nama Kebayoran berasal dari kata Bahasa Betawi "kabayuran",

yang artinya tempat penimbunan kayu bayur (pterospermum javanicum). Kayu

bayur tersebut dianggap sangat baik karena kuat dan tahan terhadap serangan

rayap. Sampai sebelum kemerdekaan Indonesia, Kebayoran adalah sebuah distrik

yang dikepalai oleh seorang wedana. Ia adalah bagian dari Kabupaten Meester

Cornelis, yang wilayahnya sampai meliputi Ciputat. Kira-kira tahun 1938,

Pemerintah Hindia Belanda merencanakan sebuah lapangan terbang internasional,

yang batal terwujud karena Perang Dunia Kedua. Permerintah Indonesia akhirnya

mengembangkan areal tersebut menjadi wilayah Kebayoran Baru tahun 1969,

sedangkan daerah lainnya menjadi wilayah Kebayoran Lama. Tahun 1990,

sebagian wilayah Kebayoran Lama kembali dipisahkan untuk menjadi wilayah

Pesanggrahan.61

Wilayah Kebayoran Lama membentang dari Pertigaan Rawa Belong,

Kemandoran, Palmerah hingga di selatan yakni Pasar Jumat, Ciputat, dan Lebak

Bulus. Wilayah ini terdapat sejumlah mall mulai dari ITC Permata Hijau, hingga

Pondok Indah Mall. Wilayah yang masih rindang terutama disepanjang jalan raya

61 id. wikipedia.org/wiki/Cipulir-Kebayoran Lama Jakarta Selatan

36

37

Kebayoran Lama menjadikan tempat ini cukup asri dan masih hijau guna

menyegarkan mata. 62

Wilayah elit Permata Hijau dipenuhi sejumlah real estate, perumahan,

apartemen, dan kondominium tingkat atas. Disebelah selatan, Pondok Indah

memiliki sejumlah perumahan yang masih hijau disepanjang jalan Metro Pondok

Indah. Apartemen dan kondominium mewah pun tak luput dari tempat ini.63

B. Letak Geografis Kecamatan Kebayoran Lama

Secara geografis Kecamatan Kebayoran Lama terletak dipinggir selatan kota

dan merupakan wilayah pendukung dan resapan serta daerah pemukiman di

Kotamadya Jakarta Selatan. Kecamatan Kebayoran Lama merupakan bagian dari

wilayah Kotamadya Jakarta Selatan. Wilayah pemerintahan Kecamatan

Kebayoran Lama adalah seluas 1.931.77 ha. Yang berada pada ketinggian 26.2 M

diatas permukaan laut.64

Kecamatan kebayoran Lama bercirikan daerah yang beriklim tropis dengan

temperatur udara maksimum 30 celcius, minimum 27 celcius. Curah hujan

mencapai ketinggian 77.8 pertahun.65

62 id. wikipedia.org/wiki/Cipulir-Kebayoran Lama Jakarta Selatan 63 Ibid 64 Buku Monografi Kecamatan Kebayoran Lama, 2008, h. 2 65 Ibid, h.2

38

Adapun batas-batas wilayahnya adalah sebagai berikut:66

1. Sebelah Utara :Jl. Palmerah Barat perbatasan dengan Kecamatan

Kebon Jeruk dan Kelurahan Grogol

2. Sebelah Timur :Kali Grogol perbatasan dengan Kecamatan

Kebayoran Baru

3. Sebelah Barat :Perbatasan dengan kali pesanggrahan Kecamatan

Pesanggrahan

4. Sebelah selatan :Jl Raya Lebak Bulus perbatasan Kecamatan

Cilandak

Adapun Kantor kecamatan Kebayoran Lama meliputi enam kelurahan yaitu67

• Grogol Utara, Kebayoran Lama dengan kode pos 12210

• Grogol Selatan, Kebayoran Lama dengan kode pos 12220

• Cipulir, Kebayoran Lama dengan kode pos 12230

• Kebayoran Lama Utara, Kebayoran Lama dengan kode pos 12240

• Kebayoran Lama Selatan, Kebayoran Lama dengan kode pos 12240

• Pondok Pinang, Kebayoran Lama dengan kode pos 12310 68

Berdasarkan data dari badan pusat statistik Kecamatan Kebayoran Lama,

luas tanah dan proyek pertanahan akan dilampirkan sebagai berikut

66 Buku Monografi Kecamatan Kebayoran Lama, 2008, h. 3 67 Ibid, h. 3 68 Ibid, h. 3

39

Table 1

Status Tanah69

No Status Tanah Luas

1 Milik Adat 689,45 Ha

2 Girik Partikelir 103.098 Ha

3 Kavling 591 Ha

4 Kartu Sewa 0,1 Ha

5 Garapan 247,61 Ha

Tabel 2

Proyek Pertanahan70

No Proyek Pertanahan Keterangan

1 Prona Pernah/Tidak

2 Jumlah Sertifikat Buku

3 Ajudikasi Pernah/Tidak

4 Jumlah Sertifikat Buku

5 P3HT Pernah/Tidak

6 Jumlah sertifikat Buku

69 Buku Monografi Kecamatan Kebayoran Lama, 2008, h. 2 70 Ibid, h. 2

40

C. Keadaan Demografis Kecamatan Kebayoran Lama

Dalam pemerintahan Kecamatan Kebayoran Lama dipimpin oleh seorang

Camat dan dibantu oleh beberapa stafnya, serta dibantu oleh 6 Kepala lurah, 77

Kepala Rukun Warga, 855 Kepala Rukun Tetangga.71

Adapun Sistem administrasi Kecamatan Kebayoran Lama cukup baik dan

teratur, dapat dilihat dari lengkapnya para staf kecamatan yang ada, dan tertibnya

pelayanan administrasi Kecamatan Kebayoran Lama kepada masyarakat

Table 3

Pemerintah Kecamatan72

No Pemerintah kecamatan Jumlah

1 Golongan 1 -

2 Golongan 2 7 orang

3 Golongan 3 21 orang

Mengenai kualitas penduduk Kecamatan Kebayoran Lama, termasuk

Kecamatan yang populasinya cukup terkendali. Adapun data di tahun 2008

jumlah penduduk Kecamatan kebayoran Lama terdiri dari 230.485 jiwa, laki-laki

71 Buku Monografi Kecamatan Kebayoran Lama, 2008, h. 3 72 Ibid, h. 3

41

120.506 orang dan perempuan 109.979 orang. WNI : 230.485 orang, dan WNA :

136 Orang.73

Tabel 4

Kependudukan (Jenis Kelompok Umur)74

No Umur LK PR Jumlah LK PR Jumlah 1 0-4 5. 556 4. 578 10. 134 - - - 10.

134 2 5-9 2. 019 1. 970 3. 989 - - - 3. 989 3 10-14 2. 209 2. 271 4. 480 - - - 4. 480 4 15-19 1. 040 2. 068 4. 008 - - - 4. 008 5 20-24 1. 719 1. 309 3. 028 - - - 3. 208 6 25-29 1. 329 1. 201 2.530 - - - 2. 530 7 30-34 1. 735 1. 270 3. 005 1 1 2 3. 007 8 35-39 1. 219 1. 377 2. 596 2 1 3 2. 599 9 40-44 1473 1055 2. 528 2 1 3 2. 531 10 45-49 960 668 1. 628 - - - 1. 628 11 50-54 529 744 1. 273 2 - 2 1. 275 12 55-59 487 362 849 - - - 849 13 60-64 318 333 651 - - - 651 14 65-69 237 337 574 - - - 574 15 70-74 72 247 319 - - - 319 16 75

Keatas 48 142 190 - - - 190

Jumlah 21.850 19. 932

41. 782 7 3 10 41. 792

Adapun mata pencaharian penduduk Kecamatan Kebayoran Lama pada

umumnya mayoritas sebagai Pegawai Swasta, selain itu ada pula sebagai Pegawai

73 Buku Monografi Kecamatan Kebayoran Lama, 2008, h. 3 74 Ibid, h. 3

42

Negeri, ABRI, buruh, pedagang, Pensiunan, serta yang lainnya. Aktivitas

ekonomi yang sangat menonjol diwilayah ini adalah jasa, industri dan

perdagangan.75

Tabel 5

Mata Pencaharian di Kecamatan Kebayoran lama Tahun 200876

No Jenis Mata Pencaharian Jumlah Penduduk

1 Tani -

2 Nelayan -

3 Buruh 19.321

4 Pedagang 7.632

5 Karyawan Swasta 37.502

6 PNS 5.435

7 ABRI 4.762

8 Pensiunan 2.132

9 Swasta Lainnya 23.645

10 Lain-lain 9.323

75 Buku Monografi Kecamatan Kebayoran Lama, 2008, h. 4 76 Ibid, h. 4

43

D. Keadaan Sosiologis Kebayoran Lama

1. Bidang Keagamaan

Dari data statistik menunjukan, mayoritas penduduk Kecamatan

Kebayoran lama beragama Islam, tetapi tidak mengurangi rasa saling

menghormati dalam pelaksanaan kegiatan peribadatan antara umat

beragama. Keberadaan sarana peribadatan di tiap wilayah juga sudah

dianggap mencukupi, sesuai dengan realita jumlah penduduk menurut

agama.

Tabel 6

Jumlah Penduduk Menurut Agama

di Kecamatan Kebayoran lama Tahun 200877

No Agama Jumlah Penduduk

1 Islam 206.815

2 Kristen 16.961

3 Hindu 3.126

4 Budha 3.855

5 Protestan -

6 Katolik -

77 Buku Monografi Kecamatan Kebayoran Lama, 2008, h. 3

44

Tabel 7

Jumlah Sarana Ibadah Kecamatan Kebayoran Lama tahun 200878

No Tempat ibadah Jumlah

1 Mesjid 82 Buah

2 Musholah 165 Buah

3 Gereja 12 buah

4 Kelenteng 1 buah

5 Pura 1 buah

6 Kuil - buah

7 Vihara 1 Buah

Tabel 8

Jumlah Perkumpulan Keagamaan79

No Perkumpulan keagamaan Jumlah

1 Majelis taklim 238 Buah

2 Persatuan gereja 65 Buah

3 Remaja masjid 816 Buah

4 Remaja gereja 122 Buah

78 Buku Monografi Kecamatan Kebayoran Lama, 2008, h. 7 79 Ibid, h. 7

45

5 Pesantren 1 buah

6 LAIN-LAIN -

2. Bidang pendidikan

Warga Kecamatan Kebayoran Lama pada umumnya berpendidikan

sekolah dasar, SLTP, SLTA dan Perguruan Tinggi. Kegiatan belajar

mengajar ini disukseskan dengan adanya sarana pendidikan yang

memadai, baik formal, informal, maupun non formal dengan kualitas

yang cukup baik.

Tabel 9

Jumlah Sarana Pendidikan80

No Saran pendidikan Jumlah

1 Taman kanak-kanak 66

2 Sekolah dasar 81

3 SLTP 31

4 SLTA 39

5 Akademi 7

6 Universitas 3

7 Kursus bahasa 74

80 Buku Monografi Kecamatan Kebayoran Lama, 2008, h. 7

46

8 Kurusus computer 112

9 Kursus tata boga 126

47

BAB 4

PELAKSANAAN IHDAD (MASA BERKABUNG)

MASYARAKAT KEBAYORAN LAMA

A. Efektifitas Pelaksanaan Ihdad di kebayoran Lama

Seperti yang tercantum dalam ayat “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan

mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan.” (QS. 29:57).81 tiap

orang yang pernah hidup di muka bumi ini ditakdirkan untuk mati. Tanpa kecuali,

mereka semua akan mati. Saat ini, kita tidak pernah menemukan jejak orang-

orang yang telah meninggal dunia. Mereka yang saat ini masih hidup dan mereka

yang akan hidup juga akan menghadapi kematian pada hari yang telah ditentukan.

Walaupun demikian, masyarakat pada umumnya cenderung melihat kematian

sebagai suatu peristiwa yang terjadi secara kebetulan saja.82

Ketika sebuah keluarga ditinggal oleh seseorang yang dikasihinya, hal ini

merupakan cobaan yang amat berat bagi keluarga yang ditinggalnya. Bagi

seorang isteri yang ditinggal mati suaminya, Islam mewajibkan isteri tersebut

menjalankan masa berkabung sebagai tanda turut berduka cita atas cobaan

tersebut.

Pelaksanaan ihdad ‘masa berkabung’ sebagai bagian dari penyelenggaraan

syariat Islam di Masyarakat Kebayoran Lama secara nyata terealisasi ditengah-

81 Al-Qur’an al-Karim 82 http//www. Harunyahya. Com/indo/artikel/042. htm

47

48

tengah masyarakat. Eksistensi hukum ihdad di Kebayoran Lama hingga saat ini

memiliki porsi tersendiri di dalam kehidupan masyarakat muslim Kebayoran

Lama. Hal ini tentunya sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 170

ayat 1 yang berbunyi “Seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya, wajib

melaksanakan masa berkabung selama masa iddah sebagai tanda turut berduka

cita dan menjaga timbulnya fitnah”.83 Selain landasan yuridis yang berupa

Kompilasi Hukum Islam (KHI), masa berkabung dilegalkan berdasarkan ayat-

ayat al-Qur’an dan al-Hadis. Sehingga dapat disimpulkan bahwa eksistensi

pelaksanaan masa berkabung ditengah-tengah masyarakat memiliki warna dan

cara tersendiri.

Anjuran berkabung demikian, meskipun hukum Islam tidak secara khusus

mengaturnya bagi laki-laki yang ditinggal mati isterinya tentu tidak dapat

dipahami hanya untuk pihak isteri yang ditinggal mati suaminya. Karena itu,

kompilasi mencoba menegaskannya dalam pasal 170 ayat 2 “suami yang ditinggal

mati oleh isterinya, melakukan masa berkabung menurut kepatutan”.84 Jadi dalam

masalah ini, tidak semata-mata persoalan yuridis formal, namun lebih

menekankan kepada aspek rasa, toleransi, dan kepantasan. Dan ini pun wajar

mendapat perhatian.85

83 Abdurrahman Kompilasi Hukum Islam, h.155 84 Ibid, h.155 85 Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, h. 319

49

Menurut hemat penulis, bahwa eksistensi hukum masa berkabung di

masyarakat kebayoran Lama ditanggapi dengan beragam pendapat. Disatu sisi

sebagian besar Masyarakat Kebayoran lama tidak mengetahui konsep masa

berkabung secara keseluruhan, akan tetapi disisi lain masyarakat Kebayoran Lama

melaksanakan masa berkabung tanpa mengetahui pengertian dasar ihdad itu

sendiri.

Pertanyaannya sekarang adalah, apakah masa berkabung yang disyariatkan

Islam berjalan dengan efektif ditengah masyarakat muslim kebayoran lama?

untuk menjawab pertanyaan efektif atau tidak hal ini merupakan bersifat relatif

sebab tidak adanya satu kesatuan pandangan. Setiap kepala memiliki cara berfikir

dan berpendapat.

Sejauh ini, efektifitas masa berkabung di masyarakat muslim Kebayoran

Lama memang belum mencapai hasil yang gemilang, akan tetapi sekurang-

kurangnya ada masyarakat yang telah berusaha menjalankan masa berkabung

menurut pengetahuan yang dimilikinya itupun pelakunya bias dihitung dengan

jari. Penulis melihat didalam masa berkabung yang dilaksanakan masyarakat

Kebayoran Lama adanya pertentangan antara aturan didalam fikih dengan

kebiasaan setempat.86

86 Kesimpulan ini diambil berdasarkan hasil wawancara penulis dilapangan terhadap para

janda masyarakat muslim Kebayoran Lama.

50

Berdasarkan hasil wawancara penulis terhadap janda masyarakat muslim

Kebayoran Lama menunjukan bahwa masyarakat Kebayoran Lama tidak banyak

yang mengetahui pengertian ihdad pada umumnya yang menyebabkan sedikit

pula orang yang menjalankan masa berkabung. Namun sebagian masyarakat

muslim yang lain bahwa ia hanya mengetahui praktek iddah ‘masa menunggu’

yang waktunya biasa dilakukan selama tiga bulan sepuluh hari.87

Sebagian masyarakat Kebayoran Lama tidak banyak yang menjalankan

ihdad dengan alasan mereka harus menjalankan pekerjaan diluar rumah guna

menghidupi anak-anaknya dan kebutuhan sehari-hari seperti halnya para wanita

karir dan wanita yang memiliki profesi diluar rumah. Selain itu ada juga yang

mengatakan bahwa masa berkabung itu tidak harus berdiam diri atau mengurung

didalam rumah saja akan tetapi mereka beranggapan bahwa meskipun janda

dalam masa berkabung seorang janda tersebut bebas melakukan segala kegiatan

yang positif diluar rumah.88

Sebagian mereka beranggapan masa berkabung kurang baik bila dilakukan

pada jaman sekarang sebab mereka beralasan selain tidak banyak yang

mengetahui pengertian ihdad, mereka juga mempunyai kesibukan masing-masing

yang tidak mungkin ditinggalkan seperti bekerja. Dengan tidak diketahuinya

pengertian ihdad secara komprehensif mengakibatkan mereka tidak dapat

87 Hasil wawancara penulis terhadap masyarakat muslim Kebayoran Lama 88 Ibid

51

menjalankan masa berkabung yang disyariatkan oleh ajaran Islam secara

maksimal.89

B. Pemahaman Masyarakat Muslim Kebayoran Lama Tentang Ihdad

(Masa Berkabung).

Kita ketahui bersama bahwa hukum merupakan aturan yang diderivasi dari

norma-norma yang berkembang di masyarakat. Pada dasarnya merupakan

seperangkat kesepakatan-kesepakatan yang telah dinegosiasikan antara anggota

komunitas. Sebagaimana kehadirannya. Hukum dimaksudkan untuk mengatur

hubungan-hubungan manusia. Karena itu sifat hukum tidak konstan, tidak tetap

dan atau given. Begitupun dalam Islam, hukum bukanlah sesuatu yang pasti.

Yang tetap dari Islam adalah nilai-nilai fundamental ajaran Islam.90

Mayoritas penduduk Kecamatan Kebayoran lama beragama Islam. Hal ini

berarti bahwa masyarakat muslim harus menjalankan syariat Islam yang

dipercayainya itu. Akan tetapi nilai keislaman yang dianutnya itu tidak

mengurangi rasa saling hormat menghormati dalam pelaksanaan kegiatan

peribadatan antara umat beragama. Keberadaan sarana peribadatan ditiap wilayah

89 Hasil wawancara penulis terhadap masyarakat muslim Kebayoran Lama 90 Hasanuddin Afwi, Hujaemah T. Y, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pustaka Al-

Husna Baru, 2004)

52

juga sudah dianggap mencukupi, sesuai dengan realita jumlah penduduk menurut

agama. Tabel 1

Jumlah Penduduk Menurut Agama

di Kecamatan Kebayoran lama Tahun 200891

No Agama Jumlah Penduduk

1 Islam 206.815

2 Kristen 16.961

3 Hindu 3.126

4 Budha 3.855

5 Protestan -

6 Katolik -

Data diatas menunjukan bahwa mayoritas penduduk masyarakat Kebayoran

Lama adalah beragama Islam. Namun didalam pelaksanaan syariat Islam sehari-

hari itu sendiri masih terdapat beberapa kekurangan. Hal ini terbukti dengan hasil

pengamatan penulis secara lansung dilapangan.

Penyelenggaraan syariat Islam dimasyarakat muslim Kebayoran Lama

sangat disadari ternyata belum berjalan secara final. Terutama dalam menjalankan

masa berkabung. Disamping menuai kritikan dan tanggapan masyarakat yang

91 Buku Monografi Kecamatan Kebayoran Lama, 2008, h. 3

53

beragam, aplikasi masa berkabung di masyarakat muslim Kebayoran Lama

memiliki tanggapan dan tantangan yang sangat serius. Faktor paling krusial tidak

berjalannya masa berkabung didalam masyarakat ialah pemahaman yang sangat

minim terhadap konsep hukum ihdad itu sendiri. Tentunya langkah-langkah

sosialisasi menjadi agenda utama dalam proses peningkatan rasa sadar hukum

masyarakat terhadap hukum masa berkabung.

Bagaimana pemahaman masyarakat muslim Kebayoran Lama tentang masa

berkabung? Setelah melakukan wawancara terhadap masyarakat Kebayoran Lama

penulis mengetahui bahwa masyarakat Kebayoran Lama tidak banyak yang

mengetahui pengertian ihdad (masa berkabung) itu sendiri secara tekstual, akan

tetapi setelah diberikan arahan oleh penulis tentang pengertian ihdad yaitu masa

berkabung, sebagian mereka tahu tentang hal itu.92 Menurut mereka bahwa masa

berkabung yang mereka ketahui itu adalah masa menunggu ‘iddah’. Akan tetapi

dalam literatur fikih menjelaskan bahwa masa berkabung dan masa menunggu itu

berbeda sekalipun antar kedua istilah itu memiliki keterkaitan yang sangat erat.

Sebagian masyarakat Kebayoran Lama menganggap bahwa hukum ihdad tidak

wajib oleh karena itu banyak masyarakat Kebayoran Lama yang tidak

melaksanakan masa berkabung ketika suaminya meninggal dunia. Penyebab tidak

tahunya mereka itu disebabkan kurangnya pengetahuan dan pemahaman mereka

92 Hasil wawancara penulis terhadap masyarakat muslim Kebayoran Lama

54

tentang hukum Islam itu sendiri sekaligus kurangnya sosialisasi pemuka-pemuka

agama tentang masa berkabung itu.93

Lain halnya dengan tokoh masyarakat yang berada di Kebayoran Lama,

mereka mengetahui pengertian ihdad namun beragam pendapat masalah lamanya

waktu ihdad. Seperti yang dikatakan Ustadjah St. Qoriamah setelah diwawancarai

beliau mengetahui tentang pengertian ihdad, akan tetapi tentang lamanya waktu

ihdad beliau mengatakan ihdad dijalankan oleh seorang janda selam dua bulan

sepuluh hari, lain halnya dengan H. Mifdat Abdul Ghani selaku tokoh masyarakat

Kebayoran Lama, setelah diwawancarai beliaupun mengetahui dan memahami

pengertian ihdad akan tetapi pemahaman beliau tentang lamanya ihdad adalah

selama tiga bulan sepuluh hari.94

Hal lain yang menarik adalah ketika penulis melakukan wawancara

mengenai pemahaman warga masyarakat muslim Kebayoran Lama tentang

manfaat masa berkabung. Sebagian mereka menjawab bahwa masa berkabung itu

mempunyai manfaat yang sangat besar yaitu untuk menjaga timbulnya fitnah

sekaligus tanda turut berduka cita atas wafatnya sang suami yang disayanginya,

namun ada segelintir masyarakat muslim Kebayoran Lama yang mengatakan

93 Ibid 94 Hasil wawancara dengan Tokoh masyarakat Kebayoran Lama yaitu Ustad H. Mifdat

dan Ustadjah Qoriamah pada hari Selasa 26 Januari 2010

55

bahwa manfaat ihdad bukanlah sebagai menjaga fitnah dan berbelasungkawa

melainkan kesempatan untuk mendapatkan warisan.95

Dari bukti empiris diatas dapat penulis simpulkan bahwa pemahaman

masyarakat muslim Kebayoran Lama memiliki pengetahuan yang sangat minim

tentang ihdad ‘masa berkabung’ sehingga masa berkabung tidak dapat berjalan

dengan baik.96

C. Praktek Ihdad Masyarakat muslim Kebayoran Lama

Pada hampir setiap bidang kehidupan sekarang ini kita jumpai peraturan-

peraturan hukum melalui penormaan terhadap tingkah laku manusia ini hukum

menjelajahi hampir semua bidang kehidupan manusia.97 Campur tangan hukum

yang semakin meluas kedalam bidang-bidang kehidupan masyarakat

menyebabkan bahwa perkaitannya dengan masalah-masalah sosial juga menjadi

semakin intensif. Keadaan ini menyebabkan, bahwa studi terhadap hukum harus

memperhatikan pula hubungan antara tertib hukum dengan tertib sosial yang lebih

luas. Penetrasi yang semakin meluas ini juga mengandung timbulnya pertanyaan

95 Hasil wawancara penulis terhadap masyarakat muslim Kebayoran Lama 96 Kesimpulan awal ini diambil berdasarkan hasil wawancara penulis dilapangan terhadap

para janda masyarakat muslim Kebayoran Lama. 97 Satjipto Rahardjo, Hukum Dan Masyarakat, (Bandung, Angkasa, 1980) h. 15

56

mengenai efektifitas pengaturan oleh hukum itu serta efek-efek yang ditimbulkan

oleh tingkah laku manusia terhadap masyarakat.98

Dilihat dari pengertian sosiologi sendiri menurut Selo Soemardjan dan

Soelaeman Soemardi menyatakan bahwa sosiologi atau ilmu masyarakat adalah

ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk

perubahan-perubahan sosial.99 Kaitannya dengan masa berkabung yaitu suatu

hukum yang harus ditaati sebagai pedoman di tengah-tengah masyarakat

terutama pada masyarakat Kebayoran Lama.

Objek sosiologi adalah masyarakat yang dilihat dari sudut hubungan antar

manusia dan proses yang timbul dari hubungan manusia di dalam masyarakat.100

Sosiologi mempunyai peran penting di masyarakat, agar tercipta suatu masyarakat

yang mengerti dan taat pada hukum terutama pada hukum agama. Sebagai mana

kita ketahui dalam agama islam terdapat hukum ihdad yang berlaku dan harus

ditaati bagi umat muslim terutama bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya.

Studi tentang hukum dan masyarakat ini akan memperhatikan

bagaimanakah efek sesungguhnya yang ditimbulkan oleh dianutnya ide-ide

tentang keadilan itu terhadap tertib hukum yang berlaku dan sebaliknya pula

98 Ibid, h. 15 99 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada,

2007)h. 18 100 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Penantar, h. 21

57

bagaimana efek suatu tertib hukum terhadap ide-ide yang dianut dalam

masyarakat.101

Latar belakang sosiologis turunnya ayat tentang iddah dan ihdad adalah

keadaan para isteri-isteri bangsa arab pada waktu itu yang ditinggal mati

suaminya, tidak melaksanakan masa berkabung dan menunggu. Tentunya hal ini

dikhawatirkan akan terjadinya percampuran benih sperma mantan suaminya

sehingga ketika Islam datang disyariatkanlah masa menunggu yang berfungsi

untuk mengetahui kekosongan rahim. Penggalan ayat diatas dapat pula ditarik

ketetapan ihwal keharusan berkabung bagi isteri yang ditinggal mati suaminya

sebagai tanda turut berduka cita.102

Kaitannya tinjauan sosiologis masa berkabung di tengah masyarakat

Kebayoran Lama ialah bahwa penulis melihat adanya unsur dilematis dalam

melaksanakan masa berkabung.103 Dalam tataran praktis, mayoritas masyarakat

Kebayoran Lama tidak menjalankan masa berkabung sebab keharusan mereka

sebagai ibu rumah tangga sekaligus ayah, mereka dituntut bekerja diluar rumah

sebagai wanita karir guna memenuhi kebutuhan hidup anak dan keluarganya.

101 Satjipto Rahardjo, Hukum Dan Masyarakat, h. 19 102 Muhammad Nasib Ar-Rifa’I, Kemudahan Dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir,

jilid 1, h. 395 103 Kesimpulan ini diambil penulis berdasarkan pengamatan dilapangan

58

Selain hal dilematis diatas, pelaksanakan ihdad terhadap sebagian

masyarakat Kebayoran Lama bervariatif, seperti tiga bulan sepuluh hari,

seminggu, empat puluh hari, dll.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan pelaksanaan masa berkabung tidak

sejalan dengan apa yang disyariatkan oleh ajaran agama Islam yaitu:

1. Faktor ekonomi, yang mengharuskan janda untuk mencari nafkah untuk

keluarganya

2. Faktor agama, kurangnya pemahaman tentang ajaran agama Islam

3. Faktor sosial dan budaya, bahwa Kebayoran Lama yang terletak

ditengah perkotaan mengakibatkan terjadinya pergeseran nilai-nilai

keagamaan kepada kehidupan yang lebih modern.104

Faktor-faktor diatas ini yang menyebabkan pelaksanaan masa berkabung

tidak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh ajaran Islam yang mengakibatkan

terjadinya hal dilematis.

104 Hasil wawancara penulis terhadap masyarakat muslim Kebayoran Lama

59

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Efektifitas ihdad ‘masa berkabung’ di Kebayoran Lama belum

memberikan hasil yang maksimal. Dari data-data yang diperoleh penulis

melalui wawancara, dapat dilihat bahwa masyarakat Kebayoran Lama

sedikit yang melaksanakan masa berkabung. Mereka tidak

melaksanakan ihdad ‘masa berkabung’ dengan beberapa faktor yang

beragam seperti kebutuhan ekonomi yang tinggi mendorong para janda-

janda untuk bekerja di luar rumah, sedikitnya pemahaman ajaran agama

Islam. dll

2. Dilihat dari pemahaman hukum ihdad ‘masa berkabung’ masyarakat

Kebayoran Lama banyak yang tidak mengetahuinya, hal ini dikarenakan

kurangnya pengetahuan masyarakat tentang hukum Islam. Jika dilihat

dari data yang terlampir dalam bab IV mayoritas masyarakat Kebayoran

Lama beragama muslim akan tetapi dalam penyelenggaraan syariat

Islam di Kebayoran Lama kurang terealisasi hal ini dapat dibuktikan

setelah penulis melakukan wawancara langsung kepada masyarakat.

3. Dilihat dari aspek sosiologis bahwa pelaksanaan praktek ihdad di

masyarakat muslim Kebayoran Lama terjadi sebuah dilematis. Yakni

adanya kebutuhan ekonomi yang tinggi yang menyebabkan seorang

59

60

janda harus bekerja di luar rumah guna memenuhi kehidupan pribadi

dan anak-anaknya. Selain itu juga, bahwa praktek ihdad yang biasa

dilaksanakan warga hanya berlangsung selama + 3 bulan–an.

B. Saran-saran

1. Dalam rangka meningkatkan syariat Islam di wilayah Kebayoran Lama

penulis menyarankan agar lebih ditingkatkan penyelenggaraan majelis

ta’lim dan pengajian untuk semua kalangan yang banyak membahas

tentang syariat Islam terutama tentang ihdad ‘masa berkabung’ agar

masyarakat Kebayoran Lama mengetahui lebih mendalam tentang ajaran

Islam sehingga terhindar dari kesalah pemahaman

2. Dalam rangka menunjang kemampuan intelektual para siswa siswi

sekolah, maka saran penulis dalam hal ini adalah kontribusi

pemerintahan pusat maupun daerah dalam hal ini Departemen

Pendidikan untuk menambah jam kurikulum agama Islam melalui

penambahan materi didalam proses kegiatan belajar mengajar

3. Perlunya peningkatan akidah terhadap masyarakat agar benar-benar

mengerti dan menjalankan syariat Islam dengan baik agar tercipta

lingkungan dan masyarakat yang benar-benar islami. Tidak menjadi

masyarakat yang hanya mementingkan pekerjaan, karir ataupun masalah

duniawi semata dengan melalaikan syariat Islam yang berlaku tapi juga

61

bisa membagi waktu dan menempatkan diri dimana waktu bekerja dan

kewajiban dia sebagai muslim yang mempunyai aturan.

62

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an el-Karim Abdul Ghafar, Asyari, Pandangan Hukum Islam Tentang Zina dan Perkawinan

Sesudah hamil, Jakarta: Andes Utama, 1995 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Akademika Presindo, 1999 Abdul Mujieb,, Muhammad, kamus Istilah Fiqih, Jakarta: PT Pustaka Firdaus,

1994 Abu Bakar Bin Muhammad ad- damsyiqi, Taqiyuddin, Kifayatul Akhyar,

Semarang: Putra Semarang, tth Afwi, Hasanuddin dan T. Y. Hujaemah, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pustaka

Al-Husna Baru, 2004 Al-Bajuri, Ibrahim, Hasyiyah Al-bajuri, Surabaya: Daar el-Abidin, tth Al-Fauzan, Saleh, Fikih Sehari-Hari, Jakarta: Gema Insani, 2006 Ali Hasyim, Mohammad, Kepribadian Wanita Mislim menurut Al-Qur’an dan Al-

Hadis, Jakarta: Akademika Pressindo, 1997 Al –Marbawi, Idris, Kamus Arab Melayu, Surabaya: Al-Hidayah, 1999 Al-Kahlani, Muhammad Bin Ismail, Subulus Salam, Mesir: Daar el Salam, tth Al-Thabari, Ibnu jarir, Jami Al-bayan fi Ta’wil Ayat Al-quran, Beirut: Daar el-

Fikri, 1998 Amin Summa, Muhammad, Hukum Keluarga Islam Di Dunia, Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2004 An-Nawawi, Sahih Muslim Syarh An Nawawi, Beirut: Daar el- Ihya, 1984 As-Shabuni, Ali Muhammad, Rawai’ul Bayan Fi Tafsir Ayat Ahkam Minal

Qur’an, Jakarta: Darrul Kutub Al Islamiyah, 2001

62

63

Baz, Abdullah, Fatwa-fatwa Tentang Wanita, Jakarta: Daar el- Haq, 2001 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai

Pustaka, 2002 Daly, Penoh, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1988 Ghazali, Abdurrahman, Fiqih Munakahat, Jakarta: Kencana, 2003 Gymnastiar, Abdullah, aa Gym dan fenomena Darurat tauhid, bandung: PT

Mizan, 2002 Haikkal, Abduttawab, Rahasia Perkawinan rasulullah SAW, Poligami Dalam

Islam Vs Monogami Barat, Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1993 Hamidy, Muammal, Terjemah Nailul Authar, Himpunan Hadis-Hadis Hukum,

Surabaya: PT Bina Ilmu, 2001 Hasan, A, Terjemah Bulughul Maram, Bandung: Diponegoro, 2009 Hasan Ayyub, Syaikh, Fikih keluarga, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006 Indra, Hasbi, Potret Wanita Sholehah, Jakarta: Penamadani, 2004 Katsir, Ibnu, Kemudahan Dari Allah ringkasan tafsir ibnu Katsir, Jakarta: Gema

Insani, 1999 Mansur, Ibnu, Lisan el-Arab, Kairo: Daar el- Hadis, 2003 Muhammad Uwaidah, Syaikh kamil, Fikih Wanita, Jakarta: Pustaka Alkautsar, tth Mukhtar, kamal, Asas- Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan

Bintang, 1993 Munawir, A.Warson, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Pustaka Progresif, 1984 Nasib Ar-Rifa’I, Muhammad, Kemudahan Dari allah Ringkasan tafsir Ibnu

Katsir, Jakarta: gema Insani 2000

Nazar bakry, Sidi, Kunci Keutuhan Rumah Tangga, Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1993

64

Qudamah, Ibnu, Al-Mughni, Kairo: Hazr, 1989 Quthub, Syyid, Tafsir Fi Zhilalil qur’an, Jakarta: Gema Insani, 2000 Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, tth Rusyd Ibnu, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muktasid, Beirut: Daar el-

Fikri,tth Sabiq, Sayyid, Fiqih al-Sunnah, Beirut: Daar el-Fikri, 1992 Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 2007 Sunarto, Ahmad, Terjemah Hadis Sahih Muslim, Bandung: Husaini, 2002 Syairazi, Abu Ishak, At-Tanbih, Beirut: Daar el-Fikri, 1996 Tim Penyunting MUI, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta: MUI Tim Penyusun Kamus Pustaka Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, kamus

besar bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1996 Yasid, Abu, Fiqh Realitas, Yogyakarta: pustaka Pelajar, 2005 Zakariya al- Anshari, Abu Yahya, Fath al- wahab, Beirut: Daar el- Fikri, tth Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islami Wa’Adillatuhu, Damaskus: Daar el-Fikri,

2004

PERTANYAAN WAWANCARA

1. Apakah setiap umat muslim harus mentaati peraturan?

Jawab : Bahwasannya hubungan vertical antara mahluk dengan kholik Nya

harus seimbang dengan hubungan antara sesama mahluk. Hubungan antar

sesama mahluk ini diatur dalam ajaran Islam oleh karena itu seorang muslim

wajib menjalankan syariat Islam agar terbina kehidupan yang baik dan mulia.

2. Jika seorang muslim tidak mentaati hukum Islam, apakah seorang tersebut

harus dihukum?

Jawab : Dalam kehidupan ada dua macam peraturan yang pertama peraturan

yang berdasarkan hukum Islam kedua peraturan yang berdasarkan aturan

ngara. Sudah barang tentu orang yang melanggar ajaran syariat islam akan

mendapatkan ganjaran dosan di akhirat kelak.

3. Apakah Ibu/Bapak mengetahui tentang Ihdad ‘masa berkabung’ ?

Jawab : Ya kurang lebih saya me ngetahuinya.

4. Apakah hukum masa berkabung itu diatur didalam ajaran Islam?

Jawab : Sepengetahuan saya bahwa hukum ihdad itu diatur didalam al-Quan

dan al-Hadis, akan tetapi saya kurang mengetahui secara mendetil bunyi hadis

tersebut.

5. Menurut Ibu/Bapak, apakah janda yang beragama Islam harus menjalankan

masa berkabung?

Jawab : ya tentu wajib, akan tetapi Tergantung konteksnya maksudnya untuk

jaman sekarang ini tidak perlu untuk melaksanakan ihdad sebab sekarang ini

banyak para wanita yang berprofesi wanita karir.

6. Sepengetahuan Ibu/Bapak, berapa lama seorang janda melaksanakan masa

berkabung?

Jawab : Selama empat bulan sepuluh hari.

7. Menurut Ibu/Bapak, apa manfaat dengan adanya masa berkabung bagi janda

tersebut?

Jawab : Sebagai tanda turut berbela sungkawa sebab salah satu cobaan

terberat dalam pasangan suami istri adalah pada saat kehilangan diantara salah

satu.

8. Kapan pertama kali Ibu/Bapak tahu tentang ihdad ‘masa berkabung’ ? atau

baru tahu sekarang?

Jawab : Jika ditanya waktu saya lupa kapan, akan tetapi sebelummyapun saya

sudah pernah mengetahui.

9. Apakah Ibu/Bapak setuju dengan adanya masa berkabung?

Jawab : Setuju tidak setuju. Stuju sebab hal tersebut memiliki nilai positif

yaitu sebagai tanda turut berduka cita, tidak setujunya untuk jaman sekarang

sepertinya sudah tidak relevan.

10. Apakah Ibu/bapak melaksanakan masa berkabung ketika suami/istri ibu/bapak

meninggal?

Jawab : Untuk pertanyaan ini saya tidak bias menjawab sebab sekarang ini

alhamdulillah pasangan saya masih hidup.

11. Menurut Ibu/Bapak, apakah masa berkabung baik dan perlu dilakukan pada

waktu sekarang?

Jawab : Seperti jawaban pada nomor sembilan.

12. Kita sudah ketahui bahwa masa berkabung hukumnya wajib. Menurut

Ibu/Bapak, apakah janda yang tidak mau melaksanakan masa berkabung itu

harus dihukum atau tidak?

Jawab : Tidak juga sebab hukum islam itu fleksibel, maksudnya hukum itu

selalu bergerak mengikuti perkembangan jaman, tempat dan waktu.

13. Sepengetahuan Ibu/Bapak, apakah janda-janda masyarakat muslim Kebayoran

Lama menjalankan masa berkabung ketika ditinggal mati suaminya?

Jawab : Tidak, dilingkungan saya ini mayoritas orang-orang non muslim

sehingga hukum Islam untuk daerah ini kurang berjalan dengan efektif.

14. Kendala apa saja yang menyebabkan para janda itu tidak melaksanakan masa

berkabung?

Jawab : Sedikitnya pengetahuan masyarakat tentang masyarakat tentang

agama Islam selain itu ketika terjadinya benturan antara agama dengan

kebutuhan ekonomi seperti wanita karir.

15. Faktor apa saja yang menyebabkan para janda-janda tersebut menjalankan

masa berkabung?

Jawab : Mungkin karena janda tersebut memiliki pengetahuan agama yang

cukup karena berasal dari pesantren attau para janda tidak aktif diluar rumah.

16. Apakah masa berkabung berjalan dengan baik ditengah-tengah masyarakat

Kebayoran Lama ?

Jawab :Menurut saya masa berkabung tidak efektif di Kebayoran Lama

bahkan yang menjalankan masa berkabung dapat dihitung dengan jari..

17. Menurut Ibu/Bapak, bagaimana solusinya agar para janda di Kebayoran Lama

menjalankan masa berkabung?

Jawab ; Dengan cara diadakannya pengajian-pengajian.

18. Bagaima bentuk praktek masa berkabung yang dilakukan masyarakat muslim

Kebayoran Lama?

Jawab : Masyarakat sini yang menjalankan masa beerkabung hanya tiga

bulan, selebihnya saya kurang tahu.

19. Ketika suami Ibu/Bapak meninggal, apakah ada tokoh masyarakat atau Ulama

setempat yang memberi tahu tentang kewajiban menjalankan masa

berkabung?

Jawab : Tidak ada.

PERTANYAAN WAWANCARA

20. Apakah setiap umat muslim harus mentaati peraturan?

Jawab : ya, sudah menjadi kewajiban setiap umat yang meyakini suatu ajaran

untuk mentati ajarannya, begitupun dengan agama Islam yang berkewajiban

mentaati semua peraturan yang berlaku.

21. Jika seorang muslim tidak mentaati hukum Islam, apakah seorang tersebut

harus dihukum?

Jawab : Dilihat dari keberadaannya, apakah berhak dalam suatu Negara atau

bangsa yang menggunakan hukum Islam ataukah tidak, akan tetapi minimal

ada hukum Allah yaitu ‘dosa’. Yang apabila suatu aturan yang terdapat dalm

islam dilanggar maka mereka mendapatkan balasan yang berupa dosa di

akhirat kelak.

22. Apakah Ibu/Bapak mengetahui tentang Ihdad ‘masa berkabung’ ?

Jawab : Ya saya mengetahui tentang ihdad atau berkabung, akan tetapi tidak

mendalam.

23. Apakah hukum masa berkabung itu diatur didalam ajaran Islam?

Jawab : Ya, sepengetahuan saya bahwa sumber hukum Islam sebagaimana

kita ketahui yaitu al-Qur’an dan al-Hadis.

24. Menurut Ibu/Bapak, apakah janda yang beragama Islam harus menjalankan

masa berkabung?

Jawab : ya, seorang wanita yang ditinggal mati suami diwajibkan beriddah

agar terhindar dari fitnah.

25. Sepengetahuan Ibu/Bapak, berapa lama seorang janda melaksanakan masa

berkabung?

Jawab : Yang saya tahu seorang istri yang ditinggal mati suami melaksanakan

masa berkabung selama satu bulann empat puluh hari.

26. Menurut Ibu/Bapak, apa manfaat dengan adanya masa berkabung bagi janda

tersebut?

Jawab : Masa berkabung yaitu suatu masa seorang istri yang telah ditinggal

mati suami untuk berfikir bagaiman melanjutkan hidup dimasa depan dengan

calon suami baru.

27. Kapan pertama kali Ibu/Bapak tahu tentang ihdad ‘masa berkabung’ ? atau

baru tahu sekarang?

Jawab : sudah tahu sejak lama namun tidak mendalam.

28. Apakah Ibu/Bapak setuju dengan adanya masa berkabung?

Jawab : Setuju

29. Apakah Ibu/bapak melaksanakan masa berkabung ketika suami/istri ibu/bapak

meninggal?

Jawab : Pasti, walaupun Alhamdulillah saya belum merasakan hal itu tetapi

sebagai umat muslim yang mencoba untuk taat kepada keyakinanya saya akan

menjalankan masa ihdad.

30. Menurut Ibu/Bapak, apakah masa berkabung baik dan perlu dilakukan pada

waktu sekarang?

Jawab : Menurut saya cukup baik walaupun mungkin pada saat ini banyak

yang tidak mengetahi.

31. Kita sudah ketahui bahwa masa berkabung hukumnya wajib. Menurut

Ibu/Bapak, apakah janda yang tidak mau melaksanakan masa berkabung itu

harus dihukum atau tidak?

Jawab : Tidak harus dihukum.

32. Sepengetahuan Ibu/Bapak, apakah janda-janda masyarakat muslim Kebayoran

Lama menjalankan masa berkabung ketika ditinggal mati suaminya?

Jawab : Ya, contohnya saja tetangga saya Ibu Mina namanya tetapi sekarang

dia sudah menikah.

33. Kendala apa saja yang menyebabkan para janda itu tidak melaksanakan masa

berkabung?

Jawab : faktor utama kendala seseorang tidak menjalankan ihdad karna profesi

atau pekerjaan yang tidak mungkin untuk ditinggalkan.

34. faktor apa saja yang menyebabkan para janda-janda tersebut menjalankan

masa berkabung?

Jawab : Ihdad dilaksanakan oleh para janda karena kesedihan yang mendalam

terhadap kematian suminya.

35. Apakah masa berkabung berjalan dengan baik ditengah-tengah masyarakat

Kebayoran Lama ?

Jawab : Masih ada tapi mungkin hanya beberapa janda yang melaksanakan.

36. Menurut Ibu/Bapak, bagaimana solusinya agar para janda di Kebayoran Lama

menjalankan masa berkabung?

Jawab ; Diberikan pengajian yang rutin kepada masyarakat muslim

Kebayoran Lama dan para pemuka agama hendaknya mensosialisasikan

hukum ihdad agar masyarakat kita menjadi tahu.

37. Bagaima bentuk praktek masa berkabung yang dilakukan masyarakat muslim

Kebayoran Lama?

Jawab : Biasanya dilakukan dengan cara tidak bersolaek, tidak keluar rumah

hanya itu yang saya tau.

38. Ketika suami Ibu/Bapak meninggal, apakah ada tokoh masyarakat atau Ulama

setempat yang memberi tahu tentang kewajiban menjalankan masa

berkabung?

Jawab : Yak arena di Kebayoran lama khususnya daerah saya masih ada

Ustad yang mau membimbing untuk kebaikan.

PERTANYAAN WAWANCARA

39. Apakah setiap umat muslim harus mentaati peraturan?

Jawab : Ya. Setiap muslim berkewajiban untuk mentaati peraturan yang telah

diperintahkan Allah SWT kepada umatnya. Baik berupa ibadah atau pun

hubungan dengan sesama manusia

40. Jika seorang muslim tidak mentaati hukum Islam, apakah seorang tersebut

harus dihukum?

Jawab : Tentu, seseorang yang tidak taat kepada peraturan hukum terutama

hukum Islam wajib untuk dihukum.

41. Apakah Ibu/Bapak mengetahui tentang Ihdad ‘masa berkabung’ ?

Jawab : Pengertian ihdad itu saya sendiri tidak tahu, yang saya tahu itu iddah

42. Apakah hukum masa berkabung itu diatur didalam ajaran Islam?

Jawab : Ya, sepengetahuan saya bahwa sumber hukum Islam sebagaimana

kita ketahui yaitu al-Qur’an dan al-Hadis.

43. Menurut Ibu/Bapak, apakah janda yang beragama Islam harus menjalankan

masa berkabung?

Jawab : Tidak tahu

44. Sepengetahuan Ibu/Bapak, berapa lama seorang janda melaksanakan masa

berkabung?

Jawab : Yang saya tahu seorang istri yang ditinggal mati suami melaksanakan

masa berkabung selama tiga bulan sepuluh hari.

45. Menurut Ibu/Bapak, apa manfaat dengan adanya masa berkabung bagi janda

tersebut?

Jawab : Turut berduka cita atas kematian suami sekaligus menjaga timbul

fitnah

46. Kapan pertama kali Ibu/Bapak tahu tentang ihdad ‘masa berkabung’ ? atau

baru tahu sekarang?

Jawab : Baru tahu sekarang

47. Apakah Ibu/Bapak setuju dengan adanya masa berkabung?

Jawab : Setuju

48. Apakah Ibu/bapak melaksanakan masa berkabung ketika suami/istri ibu/bapak

meninggal?

Jawab : Ya, tetapi itupun hanya beberapa hari setelah itu beraktifitas kembali

seperti biasa, karena saya tidak mungkin berdiam diri dirumah selama seratus

hari karena masih banyak yang perlu saya kerjakan diluar rumah. Seperti

halnya bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup saya dan anak-anak

49. Menurut Ibu/Bapak, apakah masa berkabung baik dan perlu dilakukan pada

waktu sekarang?

Jawab : Tidak harus, karena kenyataan banyak yang tidak dilakukan

dimasyarakat

50. Kita sudah ketahui bahwa masa berkabung hukumnya wajib. Menurut

Ibu/Bapak, apakah janda yang tidak mau melaksanakan masa berkabung itu

harus dihukum atau tidak?

Jawab : tidak juga

51. Sepengetahuan Ibu/Bapak, apakah janda-janda masyarakat muslim Kebayoran

Lama menjalankan masa berkabung ketika ditinggal mati suaminya?

Jawab : Yang saya tahu hanya sedikit sekali sebab masyarakat Kebayoran

Lama jarang yang mengetahui tentang ihdad itu secara rinci.

52. Kendala apa saja yang menyebabkan para janda itu tidak melaksanakan masa

berkabung?

Jawab : Pengetahuan yang sedikit tentang hukum Islam, faktor ekonomi yang

tinggi, dan lingkungan kebayoran lama ditengah perkotaan yang jauh dari bau

agama

53. faktor apa saja yang menyebabkan para janda-janda tersebut menjalankan

masa berkabung?

Jawab : Mungkin dia lulusan pesantren atau dia mengaji sehingga mengetahui

ajaran Islam itu sendiri

54. Apakah masa berkabung berjalan dengan baik ditengah-tengah masyarakat

Kebayoran Lama ?

Jawab : Tidak

55. Menurut Ibu/Bapak, bagaimana solusinya agar para janda di Kebayoran Lama

menjalankan masa berkabung?

Jawab ; Diberikan pengajian yang rutin kepada masyarakat muslim

Kebayoran Lama dan para pemuka agama hendaknya mensosialisasikan

hukum ihdad agar masyarakat kita menjadi tahu.

56. Bagaima bentuk praktek masa berkabung yang dilakukan masyarakat muslim

Kebayoran Lama?

Jawab : Biasanya janda-janda sini yang mengetahui hokum berkabung

menjalankan selama 3 bulan 10 hari atau 3 bulan-an.

57. Ketika suami Ibu/Bapak meninggal, apakah ada tokoh masyarakat atau Ulama

setempat yang memberi tahu tentang kewajiban menjalankan masa

berkabung?

Jawab : Tidak ada yang memberi tahu.