jurnal thp iv-1

34

Upload: lionny-candra-dewi

Post on 21-Oct-2015

307 views

Category:

Documents


16 download

DESCRIPTION

thp

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal Thp IV-1
Page 2: Jurnal Thp IV-1

Penanggung Jawab :

Yusya Abubakar (Unsyiah, Banda Aceh)

Eti Indarti (Unsyiah, Banda Aceh)

Editor :

Juanda (Unsyiah, Banda Aceh)

Ikhsan Sulaiman (Unsyiah, Banda Aceh)

Penyunting dan Layout :

Juanda (Unsyiah, Banda Aceh)

Martunis (Unsyiah, Banda Aceh)

Reviewer:

Budiyanto (Universitas Bengkulu, Bengkulu)

Erika Pardede (Nomensen, Medan)

Hasanuddin (Unsyiah, Banda Aceh)

M. Dani Supardan (Unsyiah, Banda Aceh)

Meika Alisyahbana (IPB, Bogor)

Penerbit :

Jurusan Teknologi Hasil Pertanian

Alamat Redaksi:

Redaktur Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia. Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Unsyiah, Darussalam, Banda Aceh. 23111. Indonesia. Telepon: +62651-7411250 atau +628126989591. Email: [email protected]; cc: [email protected]

Kata Pengantar

Jurnal ini adalah edisi pertama yang ditunggu-tunggu oleh para penulis dan pembaca di tahun 2012. Seperti edisi-edisi sebelumnya, edisi kali ini hanya memuat 5 artikel terpilih dari beberapa artikel yang masuk ke redaksi. Untuk artikel yang belum terpilih, akan Kami pertimbangkan untuk diterbitkan dalam edisi selanjutnya.

Terima kasih atas kerja keras para penulis dan pengurus jurnal, serta semua pihak yang berkontribusi atas terbitnya jurnal edisi kali ini Semoga dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.

Banda Aceh, 15 Februari 2012

Juanda, S.TP, MSc.Editor

Journal

Teknologi dan IndustriPertanian Indonesia

Profil Penetrasi Panas, Nilai Pasteurisasi, dan Jumlah Mikroba Susu Kambing yang Dipasteurisasi pada Suhu 70°C (Heat Penetration Profile, Pasteurization Value, and Total Microbe of Goat Milk Pasteurized on Temperature of 70°C) (Zalniati Fonna Rozali)

1

Pengaruh Penggunaan Bahan Pengawet Alami dan Sintetik terhadap Kualitas Nira Aren (Effect of Natural and Synthetic Preservatives on the Quality of Arenga Palm Sap)(Murna Muzaifa, Heru P. Widayat, Maswida)

6

Pengaruh Penambahan Buah Segar dan Jenis Bahan Tambahan terhadap Umur Simpan Yoghurt(The Influence of Fresh Fruit Addition and the Type of Skim Milk to the Shelf Life of Fruit Yoghurt)(Sri Haryani dan Yuliani Aisyah)

13

Pemanfaatan Pucuk Tebu dan Sekam Padi sebagai Media Tumbuh Kapang Aspergillus Niger dan Tricodherma Viridae(Utilization of Cane Tops and Rice Husk as Growth Media of Mold, Aspergillus Niger and Tricodherma Viridae)(Yuliani Aisyah dan Murna Muzaifa)

18

Penyimpanan Sayur Asin Sawi Hijau (Brassica Rapa Var. Parachinensis) dengan Variasi Konsentrasi Garam (NaCl) pada Ruang Terang dan Gelap The Storage of Salted Darker Colored Mustard Greens (Brassica Rapa Var. Parachinensis) with Variation of Salt (NaCl) in Good Light and Dark Rooms(Raida Agustina, Yusmanizar, Sirli)

22

Daftar Isi

ISSN: 2085-4927

Juan
Typewritten Text
Juan
Typewritten Text
Juan
Typewritten Text
Page 3: Jurnal Thp IV-1

Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. (4) No.1, 2012 1

PROFIL PENETRASI PANAS, NILAI PASTEURISASI, DAN JUMLAH MIKROBA SUSU KAMBING YANG DIPASTEURISASI PADA SUHU 70

oC

HEAT PENETRATION PROFILE, PASTEURIZATION VALUE, AND TOTAL MICROBE OF

GOAT MILK PASTEURIZED ON TEMPERATURE OF 70°C

Zalniati Fonna Rozali 1*)

1) Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh, 23111

*) email: [email protected]

ABSTRACT

The aim of this study was to determine the heat penetration profile, the pasteurization value and the total

microbial changes of pasteurized goat milk with a batch method and vacuum packed in aluminum foil flexible

packaging. This study uses an exploratory laboratory with three replications. The result indicated that the heat

penetration accured for 33 minutes. The pasteurization value obtained at 0.45 minutes. Pasteurization process is

performed to reduce the number of microbes as much as 5 log.

Keywords: heat penetration, pasteurization value, microbial changes, goat's milk

PENDAHULUAN

Susu kambing mengandung hampir semua zat

gizi yang dibutuhkan manusia. Kelebihan lainnya susu

kambing lebih mudah dicerna dibandingkan susu sapi

dan memiliki nilai terapi khusus bagi kesehatan. Susu

kambing kaya akan asam lemak tak jenuh tunggal

(Mono Unsaturated Fatty Acid/MUFA), asam lemak tak

jenuh jamak (Poly Unsaturated Fatty Acid/PUFA) dan

trigliserida rantai sedang (Medium Chain Trigliserida/

MCT), yang dikenal memiliki manfaat terhadap

kesehatan manusia, khususnya untuk kardiovaskuler

dan saluran pencernaan. Susu kambing cair segar

merupakan bentuk susu kambing yang paling baik untuk

dikonsumsi dibandingkan bentuk olahan susu kambing

lainnya. Tetapi kandungan nutrisi yang lengkap, kadar

air yang tinggi, pH netral dan ketersediaan beberapa

enzim di dalamnya, menyebabkan susu kambing

menjadi medium yang baik bagi pertumbuhan berbagai

jenis mikroba pembusuk dan patogen (Haenlein, 2004).

Susu kambing termasuk bahan pangan asam

rendah (pH > 4.6) dan mempunyai umur simpan yang

relatif singkat. Produk seperti ini membutuhkan proses

pasteurisasi dan penyimpanan pada suhu rendah.

Proses pasteurisasi adalah suatu proses pemanasan

fisik yang dilakukan untuk mengurangi kontaminasi.

Proses tersebut tergolong efisien, ramah lingkungan,

menyehatkan dan tidak mahal bila dibandingkan dengan

teknologi yang lain. Suhu pemanasan yang tidak terlalu

tinggi menyebabkan produk tetap mempunyai sifat yang

serupa dengan bahan segarnya. Oleh karena itu proses

pasteurisasi pada produk dengan pH > 4.6 dan

disimpan pada suhu dingin bertujuan untuk mengurangi

mikroba berbahaya yang menyebabkan timbulnya

keracunan dan penyakit tertentu pada manusia, selain

untuk mengurangi bakteri pembusuk (Silva dan Bibbs,

2010).

Untuk mengurangi kontaminasi selama dan

setelah proses pasteurisasi, beberapa industri pengolah

pangan basah memilih menggunakan kemasan retort

pouch. Keunggulan dari kemasan ini selain untuk

mengemas makanan semi basah, atau cair dengan

kadar air tinggi, kemasan ini bersifat fleksibel dan tahan

suhu sterilisasi. Kemasan yang telah terisi pangan juga

mempunyai ketahanan yang tinggi selama

penyimpanan, distribusi, dan pemajangan yang normal,

tidak bereaksi (inert) dengan senyawa-senyawa yang

terdapat pada bahan pangan. Selain itu pekerjaan

pengawetan bahan pangan dengan sterilisasi menjadi

jauh lebih mudah, lebih cepat, dan lebih murah. Pangan

yang terkemas di dalam RP juga lebih ringan dan

mudah dibuka (hanya disobek) (Hasbullah, 2000).

Penentuan mikroba target penting dalam

perhitungan nilai pasteurisasi (Pv). Hal ini barkaitan

dengan nilai z dan suhu referensi (Tref) yang digunakan.

Nilai z dan Tref yang berbeda akan menghasilkan nilai

pasteurisasi yang berbeda pula. Ristanti (2010) memilih

C. botulinum tipe nonproteolitik sebagai mikroba target

pada tempe yang dikemas secara vakum, dipasteurisasi

dengan metode batch dan disimpan pada suhu rendah.

Mikroba ini memiliki nilai D85 sebesar 1.69 menit dan

nilai z sebesar 7.2 oC. Artinya untuk dapat membunuh

mikroba tersebut sebesar 6D pada suhu 85 oC

dibutuhkan nilai pasteurisasi minimal sebesar 1.69

menit. Apabila perhitungan nilai pasteurisasi lebih

rendah dari 1,69 menit maka proses pasteurisasi

tersebut masih belum mencukupi untuk membunuh

mikroba target tersebut (C. botulinum tipe

nonproteolitik). Pemilihan ini karena pada suhu

Page 4: Jurnal Thp IV-1

2 Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. (4) No.1, 2012

pertumbuhan minimum spora mikroba berbahaya

lainnya yaitu B. cereus hanya dapat tumbuh pada suhu

minimum 10 oC dan C. perfringens hanya dapat tumbuh

pada suhu minimum 20 oC tetapi C. botulinum dapat

tumbuh di suhu 3.3 oC. Lebih lanjut Holdsworth dan

Simpson (2007) menjelaskan bahwa pada suhu 5 oC

spora tipe E dapat tumbuh setelah penyimpanan 42 jam

dan tipe B setelah 30.3 jam. Hal ini menyebabkan

terbatasnya umur simpan produk makanan yang

disimpan pada suhu dingin.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil

penetrasi panas, nilai pasteurisasi dan perubahan

jumlah total mikroba susu kambing yang dipasteurisasi

dengan metode batch dan dikemas vakum dalam

kemasan fleksibel aluminium foil.

METODOLOGI

A. Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian

ini adalah susu kambing segar, air, dan kemasan

fleksibel alumunium foil serta bahan untuk analisa total

mikroba yaitu buffer pepton water dan plate count agar

(PCA/Oxoid CM 325). Peralatan yang digunakan yaitu

bak pasteurizer, bak pendingin, pasteurizer steam

jacket, sealer, boiler, termorekorder, autoklaf, lemari

steril dan peralatan gelas.

B. Metode

Penelitian ini menggunakan metode

laboratorium eksploratif dengan tiga kali ulangan.

C. Proses Pasteurisasi

Sebelum pasteurisasi dilakukan, susu kambing

segar dipanaskan secara cepat dalam pasteurizer

steam jacket hingga hampir mencapai suhu 70 oC.

Selanjutnya susu tersebut dikemas dalam kantong

aluminium foil fleksibel sebanyak 250 ml, divakumkan

(dibuang udara) secara manual dan ditutup (seal). Pada

kantong kemasan dipasang sensor termokopel yang

dihubungkan ke termorekorder.

Proses pasteurisasi dilakukan dalam pasteurizer

berupa bak terbuka yang dialirkan uap panas dari

sebuah boiler. Sebelum susu dimasukkan, air dalam

pasteurizer dipanaskan sampai suhu 70oC. Susu yang

telah disusun dalam keranjang dan dihubungkan

dengan termorekorder dimasukkan ke dalam

pasteurizer, dan selanjutnya pengukuran suhu dimulai.

Selama proses pasteurisasi, suhu dalam susu akan

tercatat pada display termorekorder dan dicetak. Suhu

pemanasan yang digunakan sebesar 70 oC dan ketika

suhu pada pusat geometris berada dikisaran suhu 70 oC

dipertahankan selama 30 menit.

Suhu produk (Tr) dapat ditentukan melalui

eksperimen, empiris dan teori (Heldman & Singh, 2001).

Perhitungan penetrasi panas didapat dengan

menggunakan metode trapesium. Nilai F (pasteurisasi)

parsial merupakan bentuk dari luas bidang trapesium

pada grafik suhu dan waktu. Berikut adalah metode

perhitungan penetrasi panas:

F = [Lr(n) + Lr(n-1)] x Δt

2

Keterangan:

Lr(n) = Lethal rate pada menit ke- n

Lr(n-1) = Lethal rate pada n menit sebelumnya

Δt = rentang perubahan waktu yang dilakukan

Profil penetrasi panas yang diperoleh kemudian

digunakan untuk menghitung nilai pasteurisasi. Nilai

pasteurisasi dihitung dengan menggunakan persamaan

berikut (Heldman & Singh, 2001):

Pv = P85(z=7,2)

=

Keterangan:

T =suhu produk selama pemanasan dan pendinginan

85 = suhu pasteurisasi referensi sebesar 85 oC

z = 7,2 oC

t = waktu selama pemanasan dan pendinginan.

Sedangkan untuk jumlah total mikroba dihitung

ketika susu kambing belum dipasteurisasi dan setelah

dipasteurisasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Profil Penetrasi Panas

Pengukuran penetrasi panas dilakukan pada

suhu medium 70 oC dimulai saat susu yang sudah

dikemas dimasukkan ke dalam medium pemanas (mulai

menit ke 0 sampai menit ke 2) dan waktu holding ketika

suhu pada pusat geometris susu dalam kemasan sekitar

70 oC selama 30 menit (mulai menit ke 3 sampai menit

ke 33), sehingga waktu pemanasan yang dibutuhkan

yaitu selama 33 menit, kemudian dilanjutkan dengan

proses pendinginan cepat yaitu dengan memindahkan

produk dari bak pasteurizer ke bak pendingin yang berisi

air, sehingga suhu produk mencapai suhu 30 oC yaitu

mulai menit ke 34 sampai menit ke 43 (Gambar 1). Cara

mengetahui suhu produk sudah mencapai suhu medium

pemanas dan suhu medium pendingin adalah dengan

membaca data rekaman termorekorder yang tersaji

Page 5: Jurnal Thp IV-1

Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. (4) No.1, 2012 3

pada display dalam bentuk telah dicetak.

Gambar 1 menunjukkan pola kenaikan

dan penurunan suhu pusat geometris susu yang

dikemas dalam kantong fleksibel aluminium foil selama

proses pasteurisasi. Suhu susu kambing selama proses

mendekati suhu medium pemanas (air) yang digunakan

yaitu sekitar 70 sampai 73oC. Peningkatan dan

penurunan suhu produk terjadi karena pindah panas

antara medium pemanas atau pendingin dan

berlangsung secara steady state (pindah panas tunak).

Kondisi ini terjadi karena suhu di dalam susu mengalami

perubahan secara konveksi dari medium pemanas ke

produk. Suhu dari produk akan terus berubah selama

pemanasan dan pendinginan hingga tercapai kondisi

kesetimbangan (Holdsworth dan Simpson, 2007).

B. Nilai Pasteurisasi

Profil data penetrasi panas yang diperoleh

kemudian diolah untuk menentukan nilai pasteurisasi.

Nilai pasteurisasi dihitung berdasarkan total panas yang

diterima produk selama proses pemanasan dan

pendinginan.

Nilai pasteurisasi yang diperoleh yaitu sebesar 0

pada pemanasan pada menit ke 0 hingga 0,45 setelah

susu didinginkan (Gambar 2). Menurut FDA (2001),

standar reduksi mikroba target pada produk pasteurisasi

yaitu sebesar 5D dan bila produk tersebut disimpan

dingin dalam refrigerator maka produk membutuhkan

reduksi mikroba target sebesar 6D, yang bertujuan

untuk meningkatkan resiko keamanan pangan. Mikroba

target untuk produk dalam kemasan yang mengalami

Gambar 1. Profil penetrasi panas (perubahan suhu) pada pusat geometris susu kambing yang dikemas dengan kemasan flexible aluminium foil selama pasteurisasi pada suhu 70

oC.

Gambar 2. Hubungan antara waktu pemanasan dan pendinginan terhadap nilai pasteurisasi susu kambing

yang dikemas dengan kemasan flexible aluminium foil selama pasteurisasi pada suhu 70oC.

Page 6: Jurnal Thp IV-1

4 Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. (4) No.1, 2012

proses pasteurisasi dan penyimpanan suhu dingin

adalah Clostridium botulinum tipe nonproteolitik. Untuk

dapat membunuh mikroba tersebut sebesar 6D pada

suhu 85 oC dibutuhkan nilai pasteurisasi minimal

sebesar 1,69 menit. Apabila perhitungan nilai

pasteurisasi lebih rendah dari 1,69 menit maka proses

pasteurisasi tersebut masih belum mencukupi untuk

membunuh mikroba target (Clostridium botulinum tipe

nonproteolitik) (Mendez dan Abuin 2006 dalam Ristanti

2010).

Berdasarkan standar reduksi tersebut, waktu

pemanasan yang memberikan nilai pasteurisasi lebih

dari 6D85 tidak diperoleh pada perlakuan pemanasan

suhu 70 oC. Nilai pasteurisasi pemanasan suhu 70

oC

tidak mencapai 1,69 menit, yaitu hanya 0,45 menit.

C. Jumlah Total Mikroba

Hasil analisa terhadap jumlah total mikroba susu

kambing segar dan yang telah dipasteurisasi dapat

dilihat pada Gambar 3. Jumlah total mikroba pada susu

kambing segar yaitu sebesar 2.8 x 106 cfu/ml. Hal ini

dapat terjadi karena akumulasi jumlah mikroba selama

susu dalam perjalanan, karena susu yang digunakan

sampai di tempat penelitian telah berumur 5 jam setelah

perah, walaupun susu disimpan dalam keadaan dingin.

Jumlah total mikroba setelah proses pasteurisasi yaitu

sebesar 6 x 100 cfu/ml. Hal ini menunjukkan proses

pasteurisasi yang dilakukan dapat menekan jumlah

mikroba sebesar 5 log.

Berdasarkan standar susu pasteurisasi di

Indonesia (SNI 1995) jumlah total mikroba maksimal

sebesar 3 x 104 cfu per ml, dan total mikroba pada

penelitian ini masih termasuk dalam standar tersebut,

yaitu kurang dari 3x104 cfu per ml yaitu sebesar 6 x 10

0

cfu/ml.

KESIMPULAN

Dari penelitian yang telah dilakukan dapat

disimpulkan bahwa penetrasi panas susu kambing yang

dipasteurisasi pada suhu 70oC membutuhkan waktu

selama 33 menit dan pendinginan membutuhkan waktu

selama 9 menit. Nilai pasteurisasi yang diperoleh yaitu

sebesar 0.45 menit. Proses pasteurisasi yang dilakukan

dapat menekan jumlah mikroba sebanyak 5 log.

DAFTAR PUSTAKA

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1995. SNI 01-

3951-1995. Syarat Mutu Susu Pasteurisasi.

Indonesia

[FDA] Food and Drug Administration. 2001. Pathogen

Survival Through Pasteurization (A Biological

Hazard). US Departemen of Health and Human

Services.

Haenlein GFW. 2006. Goat milk in human nutrition.

Small Rum Res 51:155-163

Hasbullah. 2000. Teknologi Tepat Guna Untuk

Agroindustri Kecil Sumatera Barat. Dewan Ilmu

Pengetahuan, Teknologi dan Industri Sumatera

Barat, Padang.

Heldman,D.R, R.P. Singh. 2001. Introduct ion to Food

Engineering. London: Academic Press.p.

334-339.

Holdsworth D, Simpson R. 2007. Thermal Processing of

Packaged Foods. Springer.

Gambar 3. Jumlah total mikroba susu kambing sebelum dan setelah dilakukan pasteurisasi pada suhu 70oC.

Page 7: Jurnal Thp IV-1

Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. (4) No.1, 2012 5

Ristanti R. 2010. Mempelajari Keawetan Tempe

Pasteurisasi dalam Kemasan Vakum HDPE

dan Aluminium Foil [Tesis]. Bogor:Sekolah

Pascasarjana. IPB.

Silva FVM, Gibbs PA. 2010. Non-proteolytic Clostridium

botulinum spores in low-acid cold-

distributed foods and design of

pasteurization process. Trends Food Sci

Technol 21:95-105

Page 8: Jurnal Thp IV-1

6 Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. (4) No.1, 2012

PENGARUH PENGGUNAAN BAHAN PENGAWET ALAMI DAN SINTETIK TERHADAP KUALITAS NIRA AREN

EFFECT OF NATURAL AND SYNTHETIC PRESERVATIVES ON THE QUALITY OF ARENGA

PALM SAP

Murna Muzaifa1)

, Heru P. Widayat1)

, Maswida2)

1)

Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh, 23111 2)

Alumni Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh, 23111

Email: [email protected]

ABSTRACT

The aim of this research was to study the effect of natural and synthetic preservatives on the quality

of arenga palm sap. Preservatives used were natural and synthetic materials that consist of mangosteen bark, tan

bark, sodium benzoate, and calcium oxide. This research was conducted using randomized block design with

5 treatments: without preservatives/control(A), with addition of mangosteen bark 0,3 g/l (B), with: addition of tan bark

0,3g/l (D), with addition of sodium benzoate 0,2g/l (D) and addition of calcium oxide (0,2g/l). Parameter analyzed on

palm sap were pH value, level of reducing sugar and level of sucrose. The result showed that preservatives affected

the quality of palm sap. Addition of natural and synthetic materials on palm sap preservation did not show significant

difference on the quality of palm sap but was different with control. Value of pH and sucrose on palm sap added by

preservatives were higher than the control (without preservative). Reducing sugar on palm sap added by

preservative was lower than the control. This indicated that preservatives had ability to maintain the quality of palm

sap.

Keywords: arenga, palm sap, preservatives

PENDAHULUAN

Aren atau enau (Arrenga pinnata Merr.) adalah

salah satu keluarga palma yang memiliki potensi nilai

ekonomi yang tinggi dan dapat tumbuh subur di wilayah

tropis seperti Indonesia. Pohon aren memiliki potensi

ekonomi yang tinggi karena hampir semua bagiannya

dapat dimanfaatkan. Namun dari semua produk aren,

nira aren yang berasal dari lengan bunga jantan adalah

produk yang paling besar nilai ekonomisnya. Selain

dapat dinikmati sebagai minuman segar, nira aren .juga

digunakan sebagai bahan baku pembuatan gula. Gula

yang dihasilkan dari nira aren dikenal dengan sebutan

gula aren atau gula merah.

Kualitas gula aren sangat ditentukan oleh

kesegaran nira, disamping faktor pengolahan gula itu

sendiri. Nira mengandung sejumlah tertentu gula, lemak

dan protein yang merupakan media terbaik untuk

pertumbuhan mikroorganisme. Oleh karena itu nira

mudah sekali mengalami kerusakan akibat dari

terkontaminasi dengan mikroba di sekitarnya (Sunantyo

dan Martojo, 1992; Lukman, 1993).

Kerusakan nira dapat terjadi pada saat nira

mulai keluar dari malai dan ditampung pada bumbung

penampung atau pada waktu nira tersebut disimpan

untuk menunggu pengolahan. Walaupun sebenarnya

cairan yang keluar dari malai adalah steril dengan pH

netral namun beberapa waktu kemudian akan terjadi

proses fermentasi yaitu sukrosa dalam nira diubah

menjadi alkohol oleh mikroorganisme dan lama

kelamaan akan berubah menjadi semakin asam. Nira

yang telah asam tidak layak dijadikan gula aren karena

akan menghasilkan gula dengan kualitas rendah hal ini

tentu sangat merugikan secara ekonomis (Child, 1974;

Goutara dan Wijandi, 1985; Zakaria et al., 2000).

Usaha pengawetan nira telah banyak dilakukan

oleh petani sejak dulu. Berbagai macam cara telah

dilakukan dan berbeda pada setiap daerah, misalnya di

Jawa Barat dengan penambahan daun jambu mete dan

di Madura dengan penambahan kulit kayu kesambi.

Kulit batang nangka, sabut kelapa, kulit batang /buah

manggis, kulit buah/batang langsat, akar kawao

merupakan beberapa bahan alami yang dilaporkan

pernah digunakan oleh petani aren untuk mengawetkan

nira. Disamping itu, penambahan bahan pengawet

kimia telah banyak digunakan untuk mempertahankan

nira aren. Beberapa penelitian telah banyak

menggunakan bahan pengawet kimia seperti natrium

benzoat dan kapur tohor. Penambahan bahan pengawet

kimia akan mempertahankan pH nira tetap tinggi,

sehingga dapat menghambat terjadinya hidrolisa, baik

oleh mikroorganisme maupun pengaruh asam (Hamzah

dan Hasballah, 1997; Setyowati, 2000; Barlina et al.,

2006).

Petani nira aren di Propinsi Aceh umumnya

Page 9: Jurnal Thp IV-1

Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. (4) No.1, 2012 7

belum menggunakan bahan pengawet dalam

penyadapan nira. Hasil penelitian pendahuluan

menunjukkan bahwa pH nira aren yang dianalisis dari

beberapa petani aren masih sangat rendah. Beberapa

tanaman lokal yang banyak terdapat di sekitar tanaman

aren berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan

pengawet nira aren. Oleh karena itu perlu dilakukan

penelitian untuk mengetahui beberapa bahan pengawet

alami dan sintetik yang dapat digunakan untuk

mengawetkan nira. Masing-masing bahan pengawet

tersebut diamati pengaruhnya terhadap kualitas nira

aren yang dihasilkan.

METODOLOGI

A. Bahan dan Alat

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian

ini adalah nira aren yang diperoleh dari desa Banda

Safa, Aceh Besar. Bahan yang digunakan adalah kulit

batang manggis dan kulit batang langsat yang diperoleh

dari kebun petani Banda Safa, natrium benzoat dan

kapur tohor yang diperoleh dari Pasar Peunayong

Banda Aceh. Bahan-bahan yang digunakan untuk

analisis adalah Pb asetat, Na-oksalat, KI 20 %, H2SO4

265%, aquades, Na-thiosulfit 0,1 N, NaOH 0,1 N, larutan

Luff Schoorl, etanol dan indikator phenolptalein yang di

peroleh dari Laboratorium Fakultas MIPA dan Teknologi

Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian. Alat-alat yang

digunakan dalam penelitian ini adalah beaker glass, pH

meter (LaMotte), refraktometer Abbe, timbangan

analitik, erlenmeyer, buret, labu ukur, penangas air,

pendingin balik, tissue, kertas saring, labu takar, pipet

tetes, corong, dan gelas ukur.

B. Rancangan Percobaan

Penelitian dilakukan dengan menggunakan

Rancangan Acak Kelompok (RAK) terdiri atas 5

perlakuan, terdiri atas: A = nira yang tidak diberi

pengawet (kontrol), B = pemberian kulit batang manggis

(0,3 g/liter), C = pemberian kulit batang langsat (0,3g/

liter), D = pemberian Natrium benzoat (0,2 g/liter), dan E

= pemberian kapur tohor (0,2 g/liter). Setiap perlakuan

dilakukan 2 kali ulangan, sehingga diperoleh 10 satuan

percobaan. Susunan perlakuan percobaan dapat dilihat

pada Tabel 1. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis

secara statistik dengan menggunakan Analysis of

Variance (ANOVA). Bila hasil pengujian menunjukkan

adanya pengaruh beda nyata antar perlakuan, maka

akan dilanjutkan dengan uji lanjutan Beda Nyata

Terkecil (BNT).

C. Prosedur Penelitian

Prosedur pengawetan nira pada penelitian ini

dilakukan dengan metode Yasni et al., 1997 yang

dimodifikasi. Pemberian pengawet dilakukan di kebun

petani yang dimulai dengan perlakuan khusus terhadap

bumbung (wadah penampung nira). Wadah

penampung nira adalah bumbung dari bambu, bumbung

yang akan digunakan untuk penyadapan dicuci sampai

bersih (bagian dalam bumbung disikat dan setelah itu

bumbung dibilas dengan air), selanjutnya bumbung

diasapi dengan keadaan terbalik menggunakan asap

tungku.

Bumbung yang sudah diasapi dan kering

selanjutnya ditambahkan bahan pengawet sesuai

perlakuan yaitu kulit manggis 0,3g/liter, kulit batang

langsat 0,3g/liter, natrium benzoat 0,2g/liter, kapur tohor

0,2g/liter. Kontrol digunakan sebagai pembanding yaitu

nira tanpa pemberian bahan pengawet. Selanjutnya

bumbung dinaikkan dan diletakkan pada tongkol bunga

aren yang telah dipilih. Sebelumnya tongkol bunga aren

dibersihkan terlebih dahulu kemudian dilakukan

penyadapan. Dibiarkan selama ± 12 jam, bumbung yang

telah terisi nira diturunkan kemudian dipindahkan

kedalam wadah plastik yang sudah dibersihkan.

Nira hasil penyadapan dibawa ke laboratorium

dan dianalisis. Parameter yang dianalisis dalam

penelitian ini adalah nilai pH (Apriyantono et al., 1989),

Perlakuan Ulangan

I II

Kontrol (A) A1 A2

Kulit Batang Manggis (B) B1 B2

Kulit Batang Langsat (C) C1 C2

Natrium Benzoat (D) D1 D2

Kapur Tohor (E) E1 E2

Tabel 1. Susunan Kombinasi Perlakuan

Page 10: Jurnal Thp IV-1

8 Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. (4) No.1, 2012

kadar gula pereduksi (Sudarmadji et al., 1984), dan

kadar sukrosa (Apriyantono et al., 1989).

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Baku (Nira Aren)

Komposisi kimia nira dipengaruhi oleh

beberapa faktor, antara lain verietas tanaman, umur

tanaman, keadaan tanah, iklim, pemupukan dan

pengairan (Goutara dan Wijandi, 1985).

Dalam pengolahannya sebagai bahan baku gula aren,

komposisi kimia yang terpenting dari nira adalah jumlah/

jenis gula dan nilai keasamannya. Nilai pH, gula reduksi

dan sukrosa nira aren yang diperoleh dari Desa Banda

Safa, Aceh Besar disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Karakteristik Nira Aren

Nira yang dihasilkan dari hasil penyadapan

berwarna keruh (Gambar 1). Berdasarkan Tabel 4

terlihat bahwa nira yang diperoleh mempunyai pH yang

cukup rendah yaitu 4,78. Nilai pH nira dari Desa Banda

Safa ini relatif sama rendahnya dengan nira aren yang

diperoleh dari desa Tatengesen Minahasa (Barlina et

al,2006). Hasil ini menunjukkan bahwa nira sudah

mengalami fermentasi dan kualitasnya sudah menurun.

Sewaktu pertama kali menetes dari mulai pH nira aren

sebenarnya netral kemudian begitu kontak dengan

wadah dan lamanya proses penyadapan itu sendiri

berlangsung maka pH nira akan turun. Jadi dalam

keadaan segar (setelah diturunkan dari pohon aren) nira

mempunyai pH sekitar 5-6 (Rahman et al., 2004). Jika

kondisi wadah, penyadapan dan masa tunggu

pengolahan tidak terkontrol maka penurunan pH ini

akan terjadi secara drastis. Penurunan pH nira

disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme yang

merombak sukrosa menjadi gula pereduksi dan proses

selanjutnya menghasilkan asam (Okafor, 1978).

Reaksi kimia yang terjadi dalam proses

fermentasi nira adalah sebagai berikut:

Pada reaksi (1), apabila pH nira turun (asam)

atau terdapat enzim invertase yang berasal dari

mikroorganisme, maka akan terjadi inversi sukrosa

menjadi glukosa/ fruktosa. Pada reaksi (2) ini terjadi

proses fermentasi yang menghasilkan alkohol dan

dilepaskannya CO2, dan pada reaksi (3), terjadi

penguraian sejumlah alkohol menjadi asam asetat

(Marzoeki, 1993).

Kandungan gula pereduksi cukup tinggi, kadar

awal gula pereduksi nira yang baik untuk diolah menjadi

gula biasanya 0,5 - 1% . Hal ini menunjukkan telah

terjadi inverse atau hidrolisis sukrosa menjadi gula

pereduksi. Namun demikian kadar gula pereduksi dan

kadar sukrosa yang dihasilkan masih memenuhi syarat

untuk dijadikan gula aren. Moerdokusumo 1993

menyatakan bahwa kadar sukrosa dalam nira tebu yang

diolah menjadi gula harus lebih besar dari 11 % dan

kadar gula reduksi lebih rendah dari 2 %. Kandungan

gula pereduksi dan sukrosa nira aren yang diperoleh

pada penelitian ini sedikit berbeda dengan hasil

penelitian Hamzah dan Hasbulah (1997) yang

menghasilkan nira aren dengan kadar gula pereduksi

1.94% dan kadar sukrosa 12.26%.

B. Pengaruh Jenis Pengawet terhadap Kualitas Nira

Aren

1. Nilai pH

Pengukuran pH pada nira merupakan salah satu

cara untuk melihat adanya aktivitas dari

mikroorganisme. Kontaminasi mikroorganisme

menyebabkan penurunan pH nira (Goutara dan Wijandi,

1985). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa

perlakuan penambahan jenis bahan pengawet

berpengaruh sangat nyata terhadap pH nira aren.

Pengaruh penambahan jenis bahan pengawet terhadap

nilai pH nira aren disajikan pada Gambar 2.

Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa nilai pH nira

kontrol (tanpa pemberian bahan pengawet) berbeda

nyata dengan pH nira yang diberi bahan pengawet kulit

Komposisi Nira Aren Jumlah

Nilai pH

Kadar gula pereduksi

Kadar sukrosa

4.78

1.63%

14.83%

Gambar 1. Nira Aren

Page 11: Jurnal Thp IV-1

Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. (4) No.1, 2012 9

batang manggis dan pengawet lainnya. Nilai pH nira

kontrol lebih rendah dari semua nira yang diberi bahan

pengawet. Diantara jenis pengawet itu sendiri (alami

dan sintetik) menunjukkan perbedaan yang tidak nyata,

artinya semua jenis bahan pengawet tersebut baik kulit

batang manggis, kulit batang langsat, natrium benzoat

dan kapur tohor mempunyai kemampuan yang sama

baiknya dalam mempertahankan pH nira. Dengan

demikian, penambahan bahan pengawet baik sintetik

dan alami mampu menghambat penurunan pH nira.

Kemampuan kulit batang manggis dan batang

langsat mempertahankan pH nira berhubungan dengan

kandungan senyawa fitokimia yang dimilikinya.

Senyawa-senyawa yang berperan sebagai fitokimia

mempunyai efek antimikroba dan terdiri atas fenol,

terpena dan alkaloid (Harbourne, 1987; Cowan, 199).

Putra (2010) telah mengidentifikasi senyawa

antimikroba utama dalam kulit buah manggis yaitu

antrakuinon (9,10 antracenedione) sedangkan pada kulit

batang langsat adalah spathulenol, á-cadinal, dan

valerenal (Tukiran, 2010). Adapun penggunaan kapur

tohor dan natrium benzoat disebabkan oleh

karakteristiknya sebagai antiseptik dan antimikroba.

2. Kadar Gula Pereduksi

Kadar gula pereduksi perlu diketahui untuk

menilai adanya kerusakan nira. Kadar gula pereduksi

yang tinggi menunjukkan adanya degradasi komponen

utama nira sukrosa menjadi gula pereduksi. Hasil

analisis ragam menunjukkan bahwa jenis bahan

pengawet berpengaruh sangat nyata terhadap kadar

gula pereduksi nira aren. Pengaruh penambahan jenis

bahan pengawet terhadap kadar gula pereduksi nira

aren disajikan pada Gambar 3.

Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa kadar gula

pereduksi nira kontrol (tanpa pemberian bahan

pengawet) berbeda nyata dengan kadar gula pereduksi

nira yang diberi bahan pengawet baik kulit batang

manggis, kulit batang langsat, natrium benzoat dan

kapur tohor . Kadar gula pereduksi terendah didapatkan

pada nira yang diberi bahan pengawet batang kulit

langsat yang tidak berbeda dengan perlakuan lainnya,

artinya semua jenis bahan pengawet tersebut

mempunyai kemampuan yang sama dalam mencegah

inversi atau degradasi sukrosa menjadi gula pereduksi.

Kemampuan bahan pengawet alami mencegah

kerusakan sukrosa disebabkan oleh adanya komponen

Gambar 2. Pengaruh penambahan jenis bahan pengawet terhadap nilai pH nira (nilai yang diikuti huruf

yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata, BNT0,05 = 0.512, KK = 3.48%)

Gambar 3. Pengaruh penambahan jenis bahan pengawet terhadap kadar gula pereduksi nira (nilai yang diikuti

huruf yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata, BNT0,05 = 0.092, KK = 0,562%)

Page 12: Jurnal Thp IV-1

10 Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. (4) No.1, 2012

fitokimia dalam bahan alami serta adanya efek

antibakteri dan antiseptik dari natrium benzoat dan

kapur tohor. Komponen fitokimia yng terdapat dalam

bahan alami umumnya dari jenis yang sama (alkaloid,

flavonoid dan terpenoid) namun berbeda turunannya,

bersifat sebagai inhibitor enzim maupun antimikroba

(Harboune, 1987; Cowan, 1999). Adapun aktivitas

antimikroba kapur tohor disebabkan karena

terbentuknya kalsium hidroksida yang bersifat sebagai

desinfektan jika dilarutkan dalam air, disamping itu

kapur tohor juga bersifat menggumpalkan protein dan

asam nukleat serta merusak dinding sel mikroba

(Pelczar, 1977).

Mekanisme natrium benzoat sebagai pengawet

didasarkan pada kemampuannya mencapai sel-sel

mikroba yang permiabel terhadap molekul-molekul

asam benzoat yang tidak terdisosiasi. Didalam sel

mikroba, molekul-molekul asam benzoat akan

terdisosiasi dan menghasilkan ion-ion H+ yang akan

menurunkan pH sel mikroba sehingga metabolisme sel

akan terganggu dan akhirnya mati (Pelczar, 1977;

Winarno dan Laksmi, 1974; Ibekwe et al., 2007).

Reaksi yang terjadi dalam degradasi sukrosa menjadi

gula reduksi adalah sebagai berikut:

Kemampuan mencegah degradasi sukrosa dari

masing-masing pengawet yang digunakan dalam

penelitian ini relatif lebih baik dari hasil penelitian

Hamzah dan Hasballah (1997). Penelitian tersebut

menggunakan kulit batang rupih, kulit pohon nangka,

kulit buah manggis muda dan daun manggis sebagai

bahan pengawet nira.

3. Kadar Sukrosa

Sukrosa adalah gula utama dan paling bernilai

dalam nira aren. Kadar sukrosa berbanding terbalik

dengan kadar gula reduksi, jika kadar gula reduksi

dalam nira diharapkan rendah maka kadar sukrosa

justru diinginkan dalam kondisi tetap tinggi. Hasil

analisis ragam menunjukkan bahwa jenis bahan

pengawet berpengaruh sangat nyata terhadap kadar

sukrosa nira aren. Pengaruh penambahan jenis bahan

pengawet terhadap kadar sukrosa nira aren disajikan

pada Gambar 4.

Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa kadar

sukrosa nira kontrol (tanpa bahan pengawet) berbeda

nyata dengan kadar sukrosa nira yang diberi bahan

pengawet. Kadar nira kontrol lebih rendah dibandingkan

kadar sukrosa nira yang diberi pengawet. Kadar sukrosa

tertinggi didapatkan pada nira yang diberi bahan

pengawet natrium benzoat yang tidak berbeda nyata

dengan perlakuan pemberian bahan pengawet kulit

batang manggis, kulit batang langsat, natrium benzoat

dan kapur tohor. Rata-rata kadar sukrosa yang

dihasilkan dalam penelitian ini (setelah penambahan

bahan pengawet) lebih tinggi dibandingkan kadar

sukrosa nira aren yang diawetkan oleh Hamzah dan

Hasbullah (1997).

Kemampuan mempertahankan sukrosa, ini

berkaitan dengan komponen fitokimia bahan alami yang

bersifat antibakteri dan juga efek antimikroba/antiseptik

dari bahan pengawet kimia yang digunakan sehingga

mikroba tidak bisa beraktivitas secara normal

((Harboune, 1987; Cowan, 1999). Dengan demikian

aktivitas mikroba untuk mendegradasi sukrosa dihambat

sehingga sukrosa masih dapat dipertahankan dalam

jumlah yang tinggi.

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1) Pemberian jenis bahan pengawet alami dan

sintetik mempunyai kemampuan yang sama dalam

mempertahankan kualitas nira aren.

Gambar 4. Pengaruh penambahan jenis bahan pengawet terhadap kadar sukrosa nira (nilai yang diikuti

huruf yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata, BNT0.05 = 0.792, KK = 5.24%)

Page 13: Jurnal Thp IV-1

Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. (4) No.1, 2012 11

2) Nilai pH dan sukrosa nira aren yang diberi bahan

pengawet alami dan sintetik lebih tinggi dibandingkan

dengan nira yang tidak diberi bahan pengawet

(kontrol).

3) Gula reduksi nira aren yang diberi bahan pengawet

alami dan sintetik lebih rendah dibandingkan nira

yang tidak diberi pengawet (kontrol).

4) Pemberian bahan pengawet mampu

mempertahankan kualitas nira aren

B. Saran

Perlu diperkenalkan penggunaan jenis pengawet

yang lebih praktis kepada petani nira sehingga mudah

dilakukan petani dalam mempertahankan kualitas nira

aren. Karena jenis bahan pengawet alami dan sintetik

dalam penelitian ini tidak berbeda dalam

mempertahankan kualitas nira maka sebaiknya yang

digunakan adalah bahan pengawet yang alami.

DAFTAR PUSTAKA

Apriyantono, A., D. Fardiaz, N.L. Puspitasari,

Sedarnawati dan S. Budiyanto. 1989. Petunjuk

Laboratorium Analisa Pangan. Institut

Pertanian Bogor, Bogor.

Azima, F. 1996. Pembuatan dan Evaluasi Mutu Gula

Semut Dari Nira Nipah. Skripsi. Jurusan

Teknologi Pertanian. Universitas Andalas,

Padang.

Barlina, R., S. Karouw dan P. Pasang. 2006. Pengaruh

sabut Kelapa terhadap Kualitas Nira Aren dan

Palm Wine. Jurnal LITTRI Vol. 12 (4): 166-

171.

Child, R. 1974. Coconut, 2 ed. Longmans. Green and

Co, London.

Cowan, MM. 1999. Plant Products as Antimicrobial

Agent. Clinical Microbiology Reviews, October

1999:12:564-582.

Dachlan, M. A. 1984. Proses Pembuatan Gula Merah.

Balai Penelitian dan Pengembangan Industri,

BBIHP, Bogor.

Dharmaratne, H. R. W., K. G. N. P. Piyasena, S. B.

Tennakoon. 2005. A Geranylated biphenyl

derivative from Garcinia mangostana. Natural

Product Research 19 (3 April 2005): 239– 243.

Goutara dan S. Wujudi. 1985. Dasar-dasar Pengolahan

Gula II. Agro Industri Press, Jurusan TIN,

FATETA IPB, Bogor.

Hamzah, N dan Hasbullah. 1997. Evaluasi Mutu gula

Semut yang Dibuat Dengan Menggunakan

Beberapa Bahan Pengawet Alami. Prosiding

Seminar Nasional Teknologi Pangan tanggal

15 – 17 Juli 1997 di Denpasar. Perhimpunan

Ahli Teknologi Pangan.

Ibekwe, S., Eberechukwu., Uwakwe., A. Amadikwa dan

Monanu, M. Okechukwu. 2007. Effect Of Oral

Intake of Sodium Benzoate on Some

Haematological Parameters of Wistar Albino

Rats. Journal Scientific Research And Essay.

Vol. 2.(1). Pp. 006-009.

Lukman, T. L. 1993. Tanaman Sumber Pemanis.

Penebar Swadaya, Jakarta.

Marzoeki, A. A. M. 1993. Studi Tentang Perubahan

Kimia Nira Nipah Dari Hasil Penyadapan Sore

Hari. Majalah Kimia. No. 50, Desember 1993.

27-31. Balai Industri Ujung Pandang.

Moerdokusumo, A. 1993. Pengawasan Kualitas dan

Teknologi Pembuatan Gula di Indonesia. ITB,

Bandung.

Muchtadi, T. R dan Sugiyono, 1992. Ilmu Pengetahuan

Bahan Pangan. IPB, Bogor.

Okafor, N. 1978. Microbiology and Biochemistry of oil-

palm wine. Di dalam Aplied Microbiology. D.

Perlmen (ed), hal. 237. Academic Press, NY.

Pelczar, M. J., R. D. Read dan E. C. S. Chan. 1977.

Microbiology. Mc Graw-Hill Book Co, NY.

Putra, I.N. Kencana. 2010. Aktivitas antibakteri ekstrak

kulit buah manggis (Garcia mangostana L.)

serta kandungan senyawa aktifnya. J.Teknol.

dan Industri Pangan Vol.XXI No.: 1-5.

Rahardjo, J. M. 1979. Efektivitas Pemberian Kapur

terhadap Klarifikasi Nira Sebagai Bahan Gula

Kelapa. Fakultas Pertanian Universitas

Jenderal Soedirman, Purwokerto.

Page 14: Jurnal Thp IV-1

12 Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. (4) No.1, 2012

Rahman, SMM ; Mahbubur ; Palash ; Fida, KS ; Sarnad,

MH ; MAM dan Habibur MR 2004. Purification

and Characterization of Invertase Enzyme

from Sugarcane. Pakistan Journal of

Biologicaal Sciences. 7 (3): 340-345.

Sarjono dan M. A Dachlan. 1988. Penelitian

Pencegahan Fermentasi pada Penyadapan

Nira Sebagai Bahan Baku Pembuatan Gula

Merah. BBIHP, Bogor.

Setyowati, N. A. 2000. Pengaruh Perendaman

Konsentrasi Larutan Kapur Tohor Terhadap

Efektifitas Netralisasi Rasa Pahit Pada Produk

Jelly Kulit Buah Manggis. Fakultas Teknik

UNNES.

Sudarmadji, S., B. Haryono dan Suhardi. 1989. Analisa

Bahan Makanan Hasil Pertanian. Penerbit

Liberty bekerjasama dengan PAU_PG UGM,

Yogyakarta.

Sunantyo dan Martojo. 1992. Teknologi Pengawetan

Nira dan Gula Merah Nipah Kumpulan

Makalah Pertemuan Teknis Pemanis Alami

Bukan Gula Pasir. Dir. Jen. Bun. Bekerjasama

dengan Sekretaris Dewan Gula Indonesia.

Februari. Jakarta.

Tukiran. 2010. Tiga Senyawa Seskuiterpen Dari

Tumbuhan Langsat (Lansium domesticum

Corr.) (MELIACEAE). [25 Maret 2011].

Winarno, F.G dan B.S. Laksmi. 1974. Dasar

Pengawetan Pangan, Sanitasi dan Peracunan.

Departemen Teknologi Hasil Pertanian, IPB-

Press, Bogor.

Page 15: Jurnal Thp IV-1

Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. (4) No.1, 2012 13

PENGARUH PENAMBAHAN BUAH SEGAR DAN JENIS BAHAN TAMBAHAN TERHADAP UMUR SIMPAN YOGHURT

THE INFLUENCE OF FRESH FRUIT ADDITION AND THE TYPE OF SKIM MILK

TO THE SHELF LIFE OF FRUIT YOGHURT

Sri Haryani1*)

dan Yuliani Aisyah1)

1)

Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh, 23111 *)[email protected]

ABSTRACT

Yoghurt is a coagulated milk product obtained by lactic acid fermentation through the action of Lactobacillus

bulgaricus and Streptococcus thermophilus, from milk and milk products (pasteurized milk or concentrated milk), with

or without optional additions (milk powder, skimmed milk powder, whey powder etc). This research investigated

yoghurt quality after the addition of fresh fruit with three ranges of percentage (10%, 12.5%, and 15%), the type of

skim milk (produgen and anlene) and stored in refrigerator for maximum 8 days. The quality was measured by

analyzing the moisture, protein, fat and total lactic acid content as well as the organoleptic test. Result shows that

the addition of skim milk and time of storage significantly influenced (P<0.05) the moisture content only but not for

athers parameters. The addition of fresh fruit did not show any changes as well in moisture, protein, fat dan total

lactic acid content after storage. The yoghurt quality is fine for those three factors analyzed. After evaluate and

analyze the product characteristics, it can be concluded that yoghurt production at small scale in practical laboratory

was successful.

Keywords: yoghurt, fresh fruit, skim milk

PENDAHULUAN

Yoghurt (yogurt atau yogourt) adalah produk

fermentasi susu berbentuk semi padat berasal dari

Bulgaria yang ditemukan berabad-abad tahun yang lalu.

Pada saat ini yoghurt sudah sangat populer dan telah

dikonsumsi masyarakat hampir di seluruh dunia.

Kekentalan dan aroma yoghurt bisa sangat

bervariasi, tetapi bahan dasar pembuatan yoghurt

biasanya selalu sama yang terdiri dari susu sapi (susu

segar, susu pasteurisasi, susu UHT), bahan tambahan

(susu skim, krim, laktosa, whey), pemanis (glukosa,

sukrosa, aspartam, dan sebagainya), stabilizer (gelatin,

alginat, karagenan) dan flavor (bisa berupa buah segar,

buah kering, esens, dan pewarna).

Metode dasar untuk membuat yoghurt adalah

meningkatkan jumlah total padatan dalam susu, proses

homogenisasi, pemanasan atau sterilisasi, inokulasi,

fermentasi, pendinginan dan pengemasan. Pada masa

lalu, yoghurt diproduksi secara tradisional dengan

metode yang sangat sederhana, tetapi sekarang proses

produksinya telah melibatkan perkembangan teknologi

yang ada.

Yoghurt dijual secara komersial dengan asumsi

nilai gizinya yang tinggi dan manfaat kesehatan karena

merupakan “pabrik bakteri” yang menguntungkan bagi

tubuh manusia. Pada proses pembuatan yoghurt

digunakan dua jenis bakteri atau biasa disebut starter

culture seperti Lactobacillus bulgaricus dan

Streptococcus thermophylus yang hidup secara

bersimbiosis. Bakteri-bakteri ini sangat diperlukan dalam

proses pencernaan di dalam usus.

Penambahan susu skim ke dalam susu yang

telah diinokulasi selain berfungsi untuk menambah

jumlah padatan total di dalam campuran juga dapat

dapat meningkatkan nilai gizi yoghurt. Sukrosa, flavor

buah dan buah-buahan segar juga dapat ditambahkan

sebelum dan sesudah fermentasi selesai. Bahan

penstabil seperti gelatin, agar, alginat dapat pula

ditambahkan dengan tujuan untuk lebih meningkatkan

stabilitas dan konsistensi fisik produk. Adapun

campuran atau medium dasar yang digunakan dalam

pembuatan yoghurt dapat sangat beragam bergantung

dari jenis produk yang diinginkan. Pada umumnya

digunakan susu utuh (susu sapi segar), tetapi susu yang

telah dikurangi lemaknya, susu bebas lemak, susu

kental atau susu bubuk dapat pula digunakan.

Karena nilai ekonomis yang tinggi, produsen

yoghurt berlomba-lomba untuk meningkatkan mutu

produk dengan memvariasikan berbagai macam bahan

dasar dan bahan tambahan seperti tersebut diatas di

dalam campuran yoghurt. Kombinasi konsentrasi bahan-

bahan ini bertujuan untuk memperoleh campuran yang

tepat sehingga akan menghasilkan yoghurt dengan

rasa, tekstur, warna, flavor dan kekentalan yang terbaik

serta dapat memperpanjang umur simpan produk.

Pada proses pembuatan yoghurt juga

memerlukan bahan tambahan seperti susu skim.

Penambahan susu skim pada pembuatan yoghurt

Page 16: Jurnal Thp IV-1

14 Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. (4) No.1, 2012

bertujuan untuk meningkatkan total padatan,

meningkatkan tekstur yoghurt dengan mengikat air,

sehingga yoghurt yang dihasilkan mempunyai tekstur

yang lembut, selain itu juga sebagai tambahan nutrisi.

Konsentrasi buah segar dan susu skim yang

akan ditambahkan sangat mempengaruhi karakteristik

yoghurt yang dihasilkan. Demikian pula dengan

penggunaan kemasan yang akan berperan penting

dalam proses penyimpanan. Berdasarkan hal-hal

tersebut, maka perlu dilakukan penelitian untuk

mempelajari proses pembuatan fruit yoghurt dengan cita

rasa yang khas, memiliki konsistensi dan tekstur yang

baik serta dikemas dalam kemasan cup plastic untuk

lebih menarik minat konsumen dan memperpanjang

umur simpan yoghurt.

METODOLOGI

A. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian

ini terdiri atas susu segar, susu skim (produgen dan

anlene), gula pasir, starter (Streptococcus thermophilus

dan Lactobacillus bulgaricus) yang diperoleh dari Toko

Setia di Bogr, buah melon, es batu, dan bahan-bahan

kimia yang digunakan untuk analisis seperti asam asetat

glasial, H2SO4 pekat, HCl, dietil eter, sodium tiosulfat,

aseton dan lain-lain.

B. Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini

adalah inkubator suhu tinggi, lemari pendingin, cup

sealer, clean bench, termometer, cup aqua, panci,

pengaduk, timbangan, buret dan alat-alat gelas.

C. Rancangan Penelitian

Rancangan percobaan yang akan digunakan

adalah Rancangan Acak Kelompok Faktorial dengan 3

faktor. Faktor A adalah konsentrasi buah segar, faktor B

adalah jenis bahan tambahan dan faktor C adalah lama

penyimpanan. Faktor A terdiri atas 3 taraf yaitu A1 =

10%, A2 = 12,5%, A3 = 15%. Faktor B terdiri dari 2 taraf

yaitu B1 = susu skim 1 (produgen) dan B2 = susu skim 2

(anlene). Faktor C terdiri dari 2 taraf yaitu C1 = 4 hari, C2

= 8 hari, sehingga terdapat 12 kombinasi perlakuan.

Setiap perlakuan dilakukan ulangan 2 kali, sehingga 24

unit percobaan.

C. Prosedur Kerja

Susu segar distandarisasi terlebih dahulu

jumlah total padatannya dengan metode Pearson

Square Method. Kemudian ditambahkan gula sesuai

dengan perhitungan. Susu di pasteurisasi dengan suhu

85-900C sambil diaduk, setelah suhu pasteurisasi

dicapai, dipertahankan selama 20 menit tanpa

pengadukan. Kemudian didinginkan sampai suhu 43-

450C dengan cara diaduk dan direndam dalam air yang

ditambahkan es batu. Kemudian susu diisi ke dalam cup

-cup yang telah disterilisasi. Starter kultur diinokulasi

sebanyak 2% dari total campuran dengan perbandingan

1:1. Selanjutnya, semua cup ditutup denagn aluminium

foil dan difermentasikan pada suhu 430C didalam

inkubator selama 5-7 jam sampai diperoleh total asam

laktat > 0,9%, yang diukur dengan cara titrasi secara

regular. Kemudian yoghurt didinginkan di dalam lemari

pendingin selama lebih kurang 1 malam atau sampai

total asam laktat 1%, pH < 4,5 untuk menghentikan atau

mengurangi proses fermentasi. Setelah dicapai total

asam laktat 1%, yoghurt dicampurkan dengan buah

melon yang telah dipotong-potong di dalam clean bench

fruit yoghurt, kemudian ditutup dan diseal secara

aseptis. Yoghurt yang telah dikemas, disimpan didalam

lemari pendingin selama maksimum 8 hari.

D. Analisis Data

Analisis dilakukan setelah penyimpanan 4 hari

dan 8 hari dan dilakukan pengujian terhadap kadar air,

kadar protein, kadar lemak, total asam laktat, dan uji

organoleptik yang meliputi warna, rasa dan aroma

yoghurt. Pengumpulan data dilakukan dengan analisis di

laboratorium. Untuk menguji pengaruh setiap perlakuan

terhadap parameter-parameter yang dianalisis,

digunakan Analisis of Varian (ANOVA). Bila perlakuan

yang diberikan berpengaruh terhadap parameter uji,

maka dilakukan uji lanjut Duncan. Parameter uji yang

dilakukan adalah analisis fisik meliputi derajat keasaman

(pH), total asam, viskositas, dan analisis kimia meliputi

kadar air, kadar protein, kadar lemak, total asam laktat,

dan uji organoleptik yang meliputi warna, rasa, dan

aroma yoghurt.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Komposisi Susu Segar

Analisis proksimat terhadap susu segar yang

dilakukan sebelum proses pembuatan yoghurt (Tabel 1),

menunjukkan bahwa secara umum kandungan kimia

susu segar yang berasal dari Saree tidak jauh berbeda

dengan komposisi susu segar berdasarkan literatur.

Kandungan kadar air lebih rendah, kandungan lemak

dan protein masih berada dalam range, sedangkan

kandungan karbohidrat pada susu Saree tidak dapat

dibandingkan dengan kandungan laktosa pada

Page 17: Jurnal Thp IV-1

Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. (4) No.1, 2012 15

literature, karena laktosa adalah bagian dari karbohidrat

sehingga kandungannya pada susu lebih rendah

dibandingkan karbohidrat secara umum.

Tabel 1. Perbandingan komposisi susu segar hasil

penelitian dan literatur

aSumber : Tetra Pak (1995)

bHasil analisa proksimat susu segar dari Saree

B. Kadar Air

Hasil analisa kadar air terhadap yoghurt yang

dihasilkan berkisar antara 63,30-78,54% dengan rata-

rata 70,27%. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan

faktor jenis bahan tambahan (susu skim) dan lama

penyimpanan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap

kadar air yoghurt, sedangkan persentase penambahan

buah melon maupun interaksi antar perlakuan

berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap kadar air.

Pengaruh penambahan bahan tambahan (susu skim)

terhadap kadar air dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Pengaruh jenis susu skim terhadap kadar air

yoghurt

Berdasarkan Gambar 1, dapat dilihat bahwa

kadar air yoghurt yang dibuat dengan penambahan susu

anlene adalah 72,63% yang berbeda nyata dengan

yoghurt yang dibuat denga penambahan susu

produgen, yaitu 67,91%. Hal ini diduga disebabkan

karena jumlah penambahan (gram) anlene lebih sedikit

(77,92%) dibandingkan penambahan produgen (80

gram). Sedikitnya jumlah anlene yang ditambahkan ke

dalam susu segar karena susu anlene memiliki

Komponen Range (%)a

Rata-rataa

Hasil Penelitianb

Susu 1 Susu 2

Air 85,5-89,5 87,5 82,8 83,18 Total padatan

10,5-14,5 13,0

Lemak 2,5-6,5 3,9 4,15 4,00 Protein 2,9-5,0 3,4 3,04 3,86

Laktosa 3,6-5,5 4,8 9,34 8,33 Mineral 0,6-0,9 0,8 0,65 0,63

kandungan total padatan bukan lemak (solid non fat

atau SNF) yang lebih besar yaitu 93% dibandingkan

susu produgen (91%). Tinggi atau rendahnya SNF akan

sangat berpengaruh pada perhitungan standarisasi SNF

susu segar dengan Person Square Method. Dengan

asumsi total padatan yang sama untuk susu segar,

jumlah penambahan susu skim dengan SNF lebih tinggi

adalah lebih sedikit dibandingkan susu dengan SNF

yang lebih rendah.

Lamanya penyimpanan juga berpengaruh

terhadap kandungan air yoghurt (Gambar 2).

Berdasarkan Gambar 2, dapat dilihat bahwa yoghurt

yang disimpan lebih lama (8 hari) memiliki kandungan

air yang lebih besar (72,14%) dibandingkan yang

disimpan selama 4 hari (68,40%). Perbedaan

kandungan kadar air ini diduga karena pengaruh

penambahan buah. Melon yang ditambahkan

mengandung air yang cukup banyak, sehingga akan

menambah kadar air yoghurt. Semakin lama

penyimpanan, jumlah air yang berdifusi dari dalam sel

ke lingkungan (yoghurt) akan semakin besar.

Gambar 2. Pengaruh lama penyimpanan terhadap kadar

air yoghurt

Selain karena faktor buah, peningkatan kadar air

selama penyimpanan diduga pula dapat terjadi Karen

proses sineresis, yaitu keluarnya cairan dari gel yang

sudah terbentuk. Hal ini dapat terjadi karena koagulasi

casein yang terbentuk setelah 5-7 hari fermentasi

terganggu akibat pengadukan yoghurt sebelum

ditambahkan potongan buah. Tujuan pengadukan

adalah untuk menghomogenkan yoghurt, tetapi dapat

memicu terjadinya whey off pada buah.

C. Kadar Protein

Hasil analisa protein terhadap yoghurt yang

dibuat berkisar antara 4,13-5,22% dengan rata-rata

4,77%. Kadar protein yoghurt lebih tinggi dibandingkan

Page 18: Jurnal Thp IV-1

16 Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. (4) No.1, 2012

dengan kandungan protein susu segar. Hal ini diduga

karena penambahan susu skim pada saat standarisasi

total padatan menjadi 16%. Susu skim adalah susu

tanpa lemak, yang kaya protein sehingga penambahan

susu skim akan meningkatkan kandungan protein

yoghurt.

Protein susu terutama casein sangat berperan

penting dalam pembentukan tekstur yoghurt. Proses

pembentukan gel dibantu pula oleh proses pasteurisasi

yang dilakukan di awal proses. Pemanasan susu

berperan penting dalam modifikasi protein sehingga

koagulum yang terbentuk menjadi lebih stabil (Varnam

dan Sutherland, 1996). Panas dapat mendenaturasi

whey protein sehingga β-lactoglobulin dan α-lactalbumin

berinteraksi dengan casein (Robinson, 1986).

Disamping mengubah struktur protein dan

menyebabkan denaturasi panas juga membantu

pembentukan agregat yang diikuti dengan koagulasi.

Selama fermentasi, asam laktat yang dihasilkan

oleh kultur meningkatkan tingkat keasaman susu.

Proses ini akan berhenti setelah 4-5 jam dan tingkat

keasaman meningkat menjadi 1,2-1,4 g/100 g asam

laktat (pH 4,2-4,3). Peningkatan jumlah asam laktat

lebih dari 1 g/100 g akan menyebabkan tidak stabilnya

casein dan akhirnya menggumpal sehingga membentuk

gel yang keras. Struktur gel yang lebih kuat akan

dihasilkan jika kandungan protein di dalam susu lebih

tinggi (Tamime et al. 2001).

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam dapat

diketahui bahwa ketiga factor perlakuan, yaitu :

penambahan buah melon, jenis susu skim dan lama

penyimpanan berpengaruh tidak nyata (P>0.05)

terhadap kadar protein yoghurt. Artinya, protein yoghurt

tidak terganggu dengan penambahan potongan buah

(10-15%) dan lama penyimpanan 8 hari.

D. Kadar lemak

Analisis kadar lemak terhadap yoghurt

memperlihatkan bahwa kandungan lemak yoghurt relatif

stabil (rata-rata 4,28%) dibandingkan dengan kadar

lemak bahan baku utamanya yaitu susu segar (± 4%).

Tidak terjadi perubahan yang signifikan terhadap

kandungan lemak dari kombinasi tiga perlakuan yang

diteliti. Hal ini terbukti dengan hasil analisis sidik ragam

yang menunjukkan semua faktor dan interaksinya

berpengaruh tidak nyata (P>0.05) terhadap kadar

lemak.

E. Total asam laktat

Tingkat keasaman yoghurt diukur dengan

metode titrasi. Setelah proses fermentasi sempurna

yang ditandai dengan mengkoagulasinya susu menjadi

cairan kental sampai semi padat, yoghurt yang

dihasilkan hanya memiliki tingkat keasaman 0,8-0,9%.

Setelah kondisi ini dicapai, yoghurt dipindahkan ke

lemari pendingin. Pendinginan dalam proses produksi

yoghurt merupakan salah satu cara untuk mengontrol

aktivitas metabolism kultur dan enzim-enzimnya.

Pendinginan dimulai segera setelah produk mencapai

tingkat keasaman yang diinginkan yaitu pada pH 4,6

atau terbentuknya 0,9% asam laktat. Tujuan utama

pendinginan adalah mengurangi suhu dari 30-450C

menjadi 100C sesegera mungkin untuk mengontrol

tingkat keasaman produk akhir yang dihasilkan. Pada

suhu 100C kultur tidak dapat tumbuh secara optimal

(Tamime dan Robinson, 1999).

Setelah produk menjadi fruit yoghurt dan

dikemas serta disimpan, total asam laktat meningkat

menjadi 1,11-1,59% dengan rata-rata 1,27%. Tingkat

keasaman produk akhir masih dalam batas kisaran SNI

yoghurt yaitu 0,5-2%. Hasil analisis sidik ragam produk

menunjukkan bahwa semua faktor yang diujicobakan

berpengaruh tidak nyata terhadap perubahan total asam

laktat yang dihasilkan selama penyimpanan 8 hari.

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1) Persentase penambahan buah segar (melon)

berpengaruh tidak nyata (P>0.05) terhadap kadar air,

kadar protein, kadar lemak dan total asam laktat

2) Jenis bahan tambahan (susu skim) yang digunakan

hanya berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap kadar

air yoghurt dan berpengaruh tidak nyata terhadap

kadar protein, kadar lemak dan total asam laktat

3) Lama penyimpanan hanya berpengaruh nyata

(P<0.05) terhadap kadar air dan merpengaruh tidak

nyata terhadap kadar protein, kadar lemak dan total

asam laktat

4) Interaksi antara penambahan buah segar, jenis

bahan tambahan dan lama penyimpanan

berpengaruh tidak nyata (P>0.05) terhadap semua

parameter yang diuji

5) Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa yoghurt yang

dihasilkan dari penambahan buah melon dengan

persentase 10-15%, baik dengan tambahan susu

produgen ataupun susu anlene serta disimpan

selama 8 hari, masih memiliki mutu yang baik dilihat

dari kandungan air, protein, lemak dan total asam

laktat yoghurt yang tidak berubah secara signifikan.

Page 19: Jurnal Thp IV-1

Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. (4) No.1, 2012 17

B. Saran

1) Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan jenis

penambahan buah lain, dimana perlu dilakukan

analisa awal terhadap komposisi buah yang akan

ditambahkan

2) Penelitian lanjutan juga penting dilakukan dengan

melihat pengaruh penyimpanan yang lebih lama (3-4

minggu) terhadap mutu yoghurt yang dihasilkan

3) Penambahan pewarna dan penstabil perlu diteliti

untuk membuat yoghurt yang lebih menarik dan

bertekstur lebih stabil

DAFTAR PUSTAKA

Robinson, R.K. 1986. Teknologi Susu Modern. Elsevier

Applied Science.

Tamime, A.Y. dan R.K. Robinson. 1999. Ilmu Yoghurt

dan Teknologi. Cambridge: Woodhead.

Tamime, A.Y., R.K. Robinson and E. Latrille. 2001.

Yoghurt dan Susu Fermentasi Lainnya di

dalam Tamime, A.Y and B.A. Law. 2001.

Mekanisasi dan Automasi dalam Teknologi

susu. Sheffield Academic Press, England.

Tetra Pak. 1995. Dairy Processing Handbook. Tetra

Pak, Lund, Sweden.

Varnam, A.H. 1994. Susu dan Produk-Produk Susu.

Teknologi, Kimia dan Mikrobiolgi. Chapman

and Hall, London.

Page 20: Jurnal Thp IV-1

18 Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. (4) No.1, 2012

PEMANFAATAN PUCUK TEBU DAN SEKAM PADI SEBAGAI MEDIA TUMBUH KAPANG ASPERGILLUS NIGER DAN TRICODHERMA VIRIDAE

UTILIZATION OF CANE TOPS AND RICE HUSK AS GROWTH MEDIA OF MOLD,

ASPERGILLUS NIGER AND TRICODHERMA VIRIDAE

Yuliani Aisyah dan Murna Muzaifa1)

1)

Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh, 23111 *)

Email: [email protected]

ABSTRACT

Waste of agricultural material can be used optimally through bioconversion process into useful product. The

aim of this research was to study the growth of Aspergillus niger dan Tricodherma viridae on media containing cane

top and rice husk. The result showed that cane tops and rice husk can be used as growth media for Aspergillus niger

and Tricodherma viridae. The exponential phase of Aspergillus niger and Tricodherma viridae on media containing

cane tops occurred on 4 and 3 days. While on the media containing rice husk, the exponential phase both Aspergillus

niger and Tricodherma viridae occured on 3 days.

Keywords: media, mold, cane tops, rice husk, aspergillus, trichoderma

PENDAHULUAN

Sisa hasil pertanian merupakan bagian tanaman

yang sudah tidak dimanfaatkan dan umumnya banyak

mengandung selulosa, seperti jerami, sekam padi,

bagas dan pucuk tebu. Bahan berselulosa tersebut

dapat dimanfaatkan secara optimal melalui suatu proses

biokonversi (fermentasi) menjadi suatu produk yang

berguna bagi para petani dan dapat mengurangi

masalah pencemaran lingkungan, misalnya sebagai

pakan ternak atau produksi enzim selulase.

Pucuk tebu merupakan bagian tanaman yang

tidak ikut dipanen untuk kebutuhan manusia, namun

umumnya dijadikan pakan ternak. Pucuk tebu

mengandung sekitar 67,72% selulosa, sedikit protein,

vitamin dan mineral (Rahman, 1991), sehingga tidak

memberikan nutrisi yang cukup bagi ternak khususnya

untuk pertumbuhan ruminansia (sapi, kambing, kerbau

dan domba) yang optimal. Upaya pengolahan pucuk

tebu menjadi makanan tambahan yang lebih bermanfaat

bagi pertumbuhan ruminansia perlu dilakukan salah

satunya adalah menjadikannya sebagai media

pertumbuhan mikroorganisme yang nantinya

dimanfaatkan sebagai probiotik.

Istilah probiotik pertama kali digunakan oleh

Parker pada tahun 1974 untuk menggambarkan suatu

organisme beserta substansinya yang menyebabkan

keseimbangan mikroba dalam saluran pencernaan

(Lopez, 2000). Fuller (1992) telah mendefinisikan

probiotik di tahun 1989 sebagai makanan tambahan

berupa mikroba hidup yang menyebabkan

keseimbangan mikroba pencernaan yang

menguntungkan bagi ternak.

Aspergillus niger (An) dan Trichoderma viridae

(Tv) dilaporkan menghasilkan selulase sehingga

berpotensi sebagai probiotik (Kunt, 1975; Anderegg et

al. 1976; Krishnamurthy et al. 1999). Sebelum dijadikan

sebagai inokulum dari probiotik dalam pakan ternak

perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui

karakteristik pertumbuhan kedua kapang tersebut

khususnya dalam media yang akan dijadikan sebagai

substrat sehingga diketahui waktu panen yang tepat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan

kapang An dan Tv dalam media yang mengandung

selulosa tinggi dari pucuk tebu dan sekam padi yang

dapat bermanfaat sebagai probiotik bagi ruminansia.

METODOLOGI

A. Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini

terdiri dari kultur murni kapang Trichoderma viride, dan

Aspergillus niger, mikroba rumen. Bahan-bahan yang

digunakan sebagai media tumbuh, mineral dan analisa

adalah pucuk tebu, sekam padi, sukrosa, alkohol 70%,

NaOH, H2SO4 pekat, HCl, H3BO3, ekstrak tauge, bacto

agar, Potato Dextrose Broth (PDB), N-tartrat, Selenium,

n-hexana, CaCl2, MgSO4. Alat-alat yang digunakan yaitu

jarum ose, peralatan gelas, inkubator, hot plate

magnetic stirrer, neraca analitik, laminar air flow, oven,

tanur, desikator, pH meter, kertas saring, vortex,

autoklaf, water bath, rotary shaker dan peralatan gelas

lainnya.

B. Rancangan Percobaan

Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian

laboratorium eksploratif. Penelitian dilakukan dengan

menggunakan 3 jenis media substrat (M) yang terdiri

Page 21: Jurnal Thp IV-1

Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. (4) No.1, 2012 19

atas :

M1 = pucuk tebu 1% (b/v) + sukrosa 1% (b/v)

M2 = sekam padi 1% (b/v) + sukrosa 1% (b/v)

M3 = sukrosa 10 % (b/v)

Adapun konsentrasi inokulum yang digunakan masing-

masing adalah 5% untuk T. viride

dan A. niger. Diagram alir persiapan inokulum T. viride

dan A. niger disajikan pada Gambar 1.

C. Prosedur Penelitian

1. Penyegaran sel/regenerasi

Penyegaran sel T. viride dan A. niger dilakukan

pada agar miring TEA (Tauge Extract Agar), diinkubasi

pada suhu 280C selama 3 hari.

2. Propagasi sel kapang

Propagasi dengan menggunakan media Potato

Dextrose Broth (PDB) dalam labu kocok 250 ml (volume

kerja 100 ml) diinkubasi pada rotary shaker bersuhu

280C selama 1 hari dengan kecepatan 150 rpm.

3. Penyiapan substrat berselulosa

Pucuk tebu yang telah mengalami proses

pelayuan dan sekam padi digiling masing-masing,

sehingga menjadi berukuran 1 – 2 mm. Kemudian

dilakukan analisis proksimat meliputi bobot kering,

protein kasar, lemak, serat kasar, abu, NDF, ADF dan

lignin.

4. Inokulasi kapang

Substrat selulosa sebanyak 1 % (b/v)

ditambahkan pada media tumbuh kapang. Kapang yang

akan diinokulasikan ke media fermentasi masing-masing

adalah inokulum 5 % (v/v) T. viride dan 5 % (v/v) A.

niger. Fermentasi dilakukan dalam labu kocok 250 ml

(volume kerja 50 ml), diinkubasi pada suhu 280C di

rotary shaker dengan kecepatan 150 rpm. Pengambilan

sampel dilakukan setiap hari selama 6 hari.

Gambar 1. Penyiapan inokulum T. viride dan A. niger

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Komposisi Kimia Media Substrat Selulosa

Komposisi pucuk tebu dan sekam padi yang

digunakan sebagai substrat dalam penelitian ini

dianalisis secara proksimat. Hasil analisis yang

diperoleh dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil analisis proksimat dari pucuk tebu dan

sekam padi

Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa pucuk tebu

dan sekam padi memiliki kadar protein yang rendah

dan kadar serat tidak larut yang cukup tinggi (ADF dan

NDF). Hal ini berpengaruh terhadap nilai nutrisi dan

daya cerna. Rendahnya nilai gizi dan kecernaan dari

limbah-limbah hasil pertanian menyebabkan limbah-

limbah hasil pertanian tersebut belum dapat

dioptimalkan sebagai pakan ternak (Haryanto dan

Winugroho, 2000). Namun adanya pemanfaatan bahan

berselulosa tinggi (seperti pucuk tebu dan sekam padi

ini) sebagai media pertumbuhan mikroorganisme dapat

meningkatkan kualitasnya sebagai pakan ternak,

dimana mikroorganisme yang diperoleh nantinya dapat

dijadikan sebagai probiotik bagi ruminansia.

B. Pertumbuhan Kapang T. viride dan A. niger

Penentuan kurva pertumbuhan merupakan

sumber informasi mengenai karakteristik pertumbuhan

sel. Pembuatan kurva pertumbuhan dilakukan dengan

melakukan pengambilan sampel setiap hari sampai hari

ke-6. Kurva pertumbuhan kapang T. viride (Tv) dan A.

niger (An) yang menggunakan media M3. M1 dan M2

selama 6 hari dapat dilihat pada Gambar 2.

Pada media M3/fermentasi dengan sukrosa 10 %

(b/v) tanpa selulosa serat kasar pucuk tebu dan sekam

padi (Gambar 2a), terlihat bahwa fase eksponensial

terjadi hingga di hari ke-5 (untuk An) dan dari hari ke-4

(untuk Tv). Lamanya fase eksponensial ini dikarenakan

kedua kapang mampu mendegradasi sukrosa dengan

baik.

Penyegaran/regenerasi sel, media

Propagasi sel pada media , 280C, 3 hari

Inokulum

Sel T. Viride / A. niger

Komposisi (%) Pucuk Tebu Sekam Padi

Bobot kering 91,54 91,48

Protein kasar 3,21 5,14

Lemak 4,02 2,44

Abu 3,25 2.65

NDF 74,34 82,03

ADF 61,12 64,35

Lignin 2,96 7,74

Page 22: Jurnal Thp IV-1

20 Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. (4) No.1, 2012

0

10

20

30

40

50

60

0 1 2 3 4 5 6 7

Waktu (hari)

To

tal b

ob

ot

keri

ng

bio

massa s

el &

am

pas

(g/L

)

T. viride

A. niger

(a)

(b)

(c)

Gambar 2. Kurva pertumbuhan kapang T. viride dan A.

niger pada media (a) M3, (b) M1 dan (c) M2

Pada media M1/fermentasi menggunakan

selulosa serat kasar pucuk tebu dan sukrosa 10% (b/v)

terlihat bahwa fase eksponensial terjadi hingga hari ke-4

(untuk An) dan hari ke-3(untuk Tv). Sedangkan pada

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

0 1 2 3 4 5 6 7

Waktu (hari)

To

tal b

ob

ot

keri

ng

bio

massa s

el &

am

pas

(g/L

)

T. viride

A. niger

0

10

20

30

40

50

60

70

0 1 2 3 4 5 6 7

Waktu (hari)

To

tal b

ob

ot

keri

ng

bio

massa s

el &

am

pas

(g/L

)

T. virideA. niger

media M2/fermentasi menggunakan selulosa serat kasar

sekam padi dan sukrosa 10% (b/v) terlihat bahwa fase

eksponensial untuk An dan Tv keduanya terjadi hingga

hari ke-3. Akhir fase eksponensial ini perlu diketahui

untuk menentukan waktu panen inokulum. Waktu

inkubasi yang optimum adalah ketika sel berada pada

fase pertengahan eksponensial (Anggraeni, 2011).

Dengan demikian waktu panen yang tepat dari kedua

kapang tersebut dalam medium yang mengandung

selulosa serat kasar dari pucuk tebu dan sekam padi

kurang dari 3 hari yaitu 1-2 hari.

Dalam penelitian ini, kapang An cenderung

menghasilkan total bobot kering biomassa sel dan

ampas tertinggi Hal ini dikarenakan pembentukan

enzim ekstraseluler An berlangsung baik pada suhu

inkubasi 280C dengan pH optimum sekitar netral atau

asam (Hardjo et al. 1989), sehingga mampu

mendegradasi selulosa serat kasar pucuk tebu dan

sekam padi dalam jumlah yang lebih banyak. Biomassa

sel kapang Tv cenderung rendah disebabkan adanya

aktivitas selulase yang rendah dalam mendegradasi

selulosa pada suhu 280C. Olama et al. (1992)

melaporkan bahwa aktivitas selulase Tv akan

maksimum pada suhu inkubasi 450C dengan pH

optimum 5.

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Pucuk daun tebu dan sekam padi dapat

dimanfaatkan sebagai media pertumbuhan kapang An

dan Tv. Fase eksponensial kapang An dan Tv pada

media yang mengandung selulosa serat kasar pucuk

daun tebu masing-masing terjadi pada hari ke-4 dan hari

ke-3. Sedangkan pada media yang mengandung sekam

padi, fase eksponensial kedua kapang tersebut terjadi

pada hari ke-3.

B. Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk

menggunakan inokulum kapang T. viride dan A. niger

dalam fermentasi limbah hasil pertanian sehingga

dihasilkan pakan yang berkualitas bagi ruminansia.

Acknowledgment

Peneliti mengucapkan terima kasih sebesar-

besarnya kepada universitas Syiah Kuala yang telah

mendanai penelitian ini. Terima kasih juga peneliti

sampaikan kepada Novia Mehra Erfiza yang telah

banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian ini.

Page 23: Jurnal Thp IV-1

Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. (4) No.1, 2012 21

DAFTAR PUSTAKA

Anderegg. R.J., Biemannk., G. Buechi., M. Cushman.

1976. Malformint C, a New Metabolite of

Aspergillus niger. J. Americ. Chem. Soc (98) :

3365 – 337.

Andrighetto, I., L. Baioloni., G. Cozzi., P. Berzaghi.

1993. Effect of Yeast Culture Addition on

Digestion in Sheep Fed A High Concentrate

Diet. Small Ruminant Research. (12) : 27-34.

Fuller, R. 1992. Probiotics The Scientific Basis.

Chapman & Hall, London.

Hardjo,S., N. S. Indrasti dan T, Bantacut. 1989.

Biokonversi. Pemanfaatan Limbah Industri

Pertanian. PAU Bioteknologi. IPB, Bogor.

Haryanto, B dan M. Winugroho. 2000. Meningkatkan

kualitas silase jerami padi. Warta Litbang

Pertanian. 22(3): 18–19.

Krishnamurthy, J., R. Samiyappan., P. Vidhyasekaran.,

S. Nakkeeran., E. Rajeswari., J.A.J. Raja dan

P. Balasubramanian. 1999. Efficiency of

Trichoderma Chitinases Againts Rhizoctonia

solani. The Rice Sheath Blight Pathogen.

www.ias.ac.in/jbiosci/june1999/article10.htm.

06 Juni 2003.

Kulp. 1975. Carbohydrates. In Red G editor. Enzim and

Food Processing. New York : Academic Pr.

Lopez, J. 2000. Probiotics in Animal Nutrition. J.Anim

Sci (13) : 12-26.

Olama, A.Z., A.M. Hamza., M.M. El-Sayed dan M. Abdel

-Fattah. 1992. Purification, Properties and

Factors Affecting The Activity of Trichoderma

viride cellulases. Food Chemistry (47) : 221-

226.

Rahman, J. 1991. Pemanfaatan Silase Pucuk Tebu

Sebagai Sumber Hijauan Pada Ternak

Domba. Tesis. Univ Andalas, Padang.

Rohiani, A.1996. Penentuan Konsentrasi Efektif

Inokulum Trichoderma viride Terhadap Laju

Dekomposisi Serasah Acacia mangium Wild

di HTI PT. Musi Hutan Persada Subanjeriji

Sumsel. Skripsi. IPB Bogor.

Wiedmeier, R.D., M.J. Arambel., J.L. Walters. 1987.

Effects of yeast Culture and Aspergillus

oryzae Fermentation Extract on Ruminal

Characteristics and Nutrient Digestibility. J.

Dairy Sci. (70) : 2063-2068

Page 24: Jurnal Thp IV-1

22 Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. (4) No.1, 2012

PENYIMPANAN SAYUR ASIN SAWI HIJAU (BRASSICA RAPA VAR. PARACHINENSIS) DENGAN VARIASI KONSENTRASI GARAM (NaCl) PADA RUANG TERANG DAN GELAP

THE STORAGE OF SALTED DARKER COLORED MUSTARD GREENS (BRASSICA RAPA VAR. PARACHINENSIS) WITH VARIATION OF SALT (NaCl) IN GOOD LIGHT AND DARK

ROOMS

Raida Agustina1, Yusmanizar

1, Sirli

2

1Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh, 23111

2Alumni Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh, 23111

Email: [email protected]

ABSTRACT

Mustard is a perishable commodity vegetable and not durable. Damage to mustard was due to could the

shape and texture with relatively high water content. Mustard greens could be processed by fermentation. In fer-

mentation, salt was expected to delay the softening of the mustard tissue. This study aimed to determine the effect of

salt concentration and storage in light and dark space at room temperature (26 – 29oC). The analysis of physical and

chemical properties included the pH of the water salty vegetable storage, shrinkage weight, ash content, salinity,

content of vitamin C, and organoleptic tests, each observed on days 0, 3, 6, 9 and day-to-12 storage (up to the con-

sumer refused). This research used Completely Randomized Design (CRD) factorial with three factors tested, the

variation of storage space (A) of storage space that is light (A1), dark storage space (A2). variation in salt concentra-

tion (B) consists of four level is 0% (B0), 3% (B1), 5% (B2) and 8% (B3). and storage time (days) is day-to-0, 3,6,9,

and 12. The results showed that the variation of storage space and concentration of salt and salted vegetable stor-

age time had a very real effect on pH of water retention, weight shrinkage, salt and vitamin C content of the salted

vegetables. During 12 days storage of salted vegetables with the best treatment was able to inhibit the rate of shrink-

age to lose weight and content of vitamin C contained in a dark room storage treatment with 3% salt concentration

levels on the 6th day of storage and could still be maintained until the 12th day of storage, with pH value of water

storage 4.6, weight shrinkage 5.08%, ash content of 2.02%, 1.20% salt content and its vitamin C content of 85.27

mg/100g, and organoleptic test was still preferred flavor, color and texture and overall acceptance of the salted vege-

tables.

Keywords: Mustard, concentration of salt, variation of storage

PENDAHULUAN

Sawi merupakan komoditi sayuran yang mudah

rusak dan tidak tahan lama. Kerusakan yang terjadi

pada sawi dikarenakan bentuk dan tekstur sayuran yang

relatif lunak dengan kadar air yang tinggi. Terjadinya

kerusakan sayuran dapat dicegah dengan pengawetan.

Salah satu contoh produk pengawetan sayuran adalah

dengan cara pengasinan seperti sayur asin

(Kumorowati, 1997).

Sayuran sawi khususnya sawi hijau dapat diolah

dengan proses fermentasi garam menjadi sayur asin.

Proses fermentasi ini berlangsung didalam media garam

pada konsentrasi tertentu. Garam merupakan salah satu

bahan pembantu untuk pengawetan pangan. Didalam

fermentasi sawi, garam diharapkan dapat menunda

pelunakan jaringan sawi. Oleh karena itu diperlukan

penelitian lebih lanjut mengenai beberapa konsentrasi

garam yang tepat pada pengawetan sayur asin

khususnya sawi hijau. Hal ini juga disebabkan karena

sawi hijau ini memiliki rasa yang agak pahit diantara

jenis sawi lainnya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

pengaruh konsentrasi garam dan penyimpanan ruang

terang dan gelap pada suhu ruang (26 – 29oC) untuk

memperpanjang umur simpan sayuran sawi asin.

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di laboratorium

Penanganan Pasca Panen Jurusan Teknologi Hasil

Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala

Banda Aceh. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan

Maret – Juli 2008.

B. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah

timbangan digital, wadah plastik, pisau, stoples, alat-alat

gelas. Sedangkan bahan yang digunakan adalah:

1) Sayuran sawi hijau (yang sudah disortir) yang

diperoleh dari kebun petani di Darussalam. Sawi

yang digunakan berumur 28 hari dari pembibitan,

dimana keadaan ini merupakan umur panen sayuran

sawi, dan sawi dipilih yang mempunyai jumlah daun

sebanyak 6 helai, agar sawi yang digunakan

seragam.

2) Bahan kimia seperti garam (NaCl) yaitu garam meja

beriodium DOLPIN BRAND, SNI 01-556-2000,

produksi PT. PANGAN LESTARI SIDOARJO,

Page 25: Jurnal Thp IV-1

Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. (4) No.1, 2012 23

dengan kandungan rata-rata kadar air (H2O) 0,95%

(b/b), kadar NaCl 99,6% (b/b), Yodium dihitung

sebagai Kalium Yodat (KIO­3) 78 mg/kg, cemaran

logam Timbal (Pb) 0,07 mg/kg dan Raksa (Hg) 0,02

mg/kg; perak nitrat 0,1 M; larutan potasium kromat

5% dan lainnya.

C. Prosedur Penelitian

Adapun prosedur penelitian sawi asin ini adalah

sawi hijau disortir untuk memisahkan bagian-bagian

yang rusak, kemudian sawi tersebut dicuci dan

ditiriskan. Setelah itu dilakukan penimbangan untuk

menentukan bobot awal sawi hijau sebelum dilakukan

penggaraman dengan konsentrasi garam yang berbeda

selama 18 jam. Selanjutnya sawi asin tersebut

dimasukkan kedalam botol dan disimpan pada ruang

terang dan ruang gelap sampai komoditi tersebut

mengalami kerusakan dan dianalisis sifat fisik dan kimia

setiap 3 hari sekali untuk semua kombinasi perlakuan.

1. Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan bentuk Rancangan

Acak Lengkap (Randomized Completely Design) faktori­

al dengan 3 faktor yang diuji yaitu variasi penyimpanan

ruang (A) yang terdiri dari 2 perlakuan variasi

penyimpanan ruang, yaitu : 1. Penyimpanan ruang

terang (A1), dan 2. Penyimpanan ruang gelap (A2)

Konsentrasi kadar garam (B), yaitu : 1. Kontrol (B0), 2.

Penggaraman dengan konsentrasi garam 3 % (B1), 3.

Penggaraman dengan konsentrasi garam 5 % (B2), dan

4. Penggaraman dengan konsentrasi garam 8 % (B3).

Serta lama penyimpanan (hari), yaitu hari ke 0, 3, 6, 9,

dan 12.

Dianalisis setiap 3 hari sekali hingga komoditi

rusak. Dengan demikian terdapat 40 kombinasi

perlakuan dengan 3 kali ulangan. Untuk setiap analisis

dan perlakuan percobaan diwakili oleh 100 g sawi asin.

Data hasil pengamatan akan dianalisa dengan Sidik

Ragam atau ANOVA (Analysis of Variance). Dan

dilanjutkan dengan Uji Duncan pada taraf 5% .

2. Prosedur Analisis

a. Penentuan pH (Apriantono dkk., 1989).

Pengukuran nilai pH dilakukan dengan alat pH-

meter terhadap air penyimpanan sayur asin.

b. Susut bobot ( % ) (Sudarmadji dkk., 1984).

Penentuan susut bobot, sayur asin diambil dari

tempat penyimpanan dan kemudian ditimbang.

Sebelumnya timbangan diatur pada posisi 0,00. hasil

dapat dibandingkan dengan bobot awal dan dicari

persentasenya dengan menggunakan rumus:

c. Penentuan total abu (%) (Apriantono dkk., 1989).

Abu dalam bahan pangan ditetapkan dengan

menimbang sisa mineral hasil pembakaran bahan

organik pada suhu sekitar 550ºC. Peralatan yang

dibutuhkan yaitu : Cawan pengabuan, Tanur

pengabuan, Penjepit cawan. Cara kerjanya adalah :

1) Siapkan cawan, kemudian bakar dalam tanur,

dinginkan dalam desikator, dan timbang.

2) Timbang sebanyak 5 gr sampel dalam cawan

tersebut, kemudian letakkan dalam tanur pengabuan,

bakar sampai didapat abu berwarna abu-abu atau

sampai beratnya tetap. Pengabuan dilakukan dalam

2 tahap, yaitu pada suhu ±400ºC dan suhu ±550ºC.

3) Dinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang.

4) Perhitungan kadar abu :

d. Penentuan kandungan garam (% NaCl) dengan

Metode Modifikasi MOHR (Apriantono dkk., 1989).

Sampel kering hasil pengabuan dapat langsung

dititrasi dengan perak nitrat. Ion-ion perak mengendap

sebagai perak klorida sampai ion klorida habis dan

kelebihan perak diukur dengan potasium kromat. Untuk

mengukur kandungan garam sawi asin, dibutuhkan

larutan perak nitrat 0,1 M, larutan potasium kromat 5%,

erlenmeyer 250 ml, dan buret 50 ml. Cara kerjanya

adalah :

1) Timbang 5 g sampel dan abukan seperti pada cara

penetapan abu.

2) Cuci abu dengan akuades sedikit mungkin dan

pindahkan kedalam erlenmayer 250 ml.

3) Tambahkan 1 ml larutan potasium kromat 5% dan

titrasi dengan larutan perak nitrat 0,1 M. Titik akhir

titrasi tercapai apabila timbul warna orange/ jingga

yang pertama, maka didapat:

e. Penentuan kadar vitamin C ( % ) (Sudarmadji dkk.

1984).

Penentuan kadar vitamin C adalah dalam

%100)(

% xawalbobot

akhirbobotawalbobotbobotsusut

%100)(

)(% x

gSampelBerat

gAbuBeratAbu

W

xMxTNaCLGaram

84,5)(%

Page 26: Jurnal Thp IV-1

24 Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. (4) No.1, 2012

bentuk asam askorbat. Penentuan vitamin ini dapat

ditentukan dengan titrasi iodin. Hal ini berdasarkan sifat

bahwa vitamin C dapat bereaksi dengan iodin. 25 ml

filtrat dengan larutan iod 0,01 sebelum dititrasi

ditambahkan indikator amilum pada filtrase tersebut.

Titrasi dilakukan sampai terjadi perubahan warna yang

stabil (ditandai dengan terbentuknya warna biru

keunguan). Perhitungan vitamin C dengan standarisasi

larutan iodin yaitu pada setiap 1 ml 0,01 N iod ekuivalen

dengan 0,88 mg asam askorbat.

Dimana: P = Faktor pengecer

f. Uji organoleptik (Soekarto, 1985).

Uji organoleptik yang meliputi warna, aroma,

tekstur, dan penerimaan keseluruhan, yang dilakukan

dengan menggunakan uji rangking dengan 25 orang

panelis (mahasiswa) untuk mengetahui tingkat

kesukaan konsumen terhadap parameter yang akan

dianalisa dengan menggunakan skala hedonik (skala

penilaian) sebagai berikut : 5 = sangat suka, 4 = suka, 3

= agak suka, 2 = netral, dan 1 = tidak suka. Hasil

penilaian seluruh panelis kemudian dirata-ratakan. Nilai

rata-rata 4,6 – 5 diartikan sangat suka, 3,6 – 4,5

diartikan suka, 2,6 – 3,5 diartikan agak suka, 1,6 – 2,5

diartikan netral, dan 1 – 1,5 diartikan tidak suka.

sampelgram

xPxNIodmlbahangmgAskorbatAsam

10088,001,0)100/(

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. pH

pH air penyimpanan sayur asin yang disimpan

pada ruang terang dan ruang gelap untuk semua

perlakuan adalah sebesar 4 – 6,13 terlihat pada Gambar

1 dan 2. Keadaan ini menunjukkan bahwa semakin lama

penyimpanan maka pH air penyimpanan sayur asin

semakin turun menjadi kondisi asam. Hal ini sesuai

dengan pernyataan Jones dkk. (1962), bahwa setelah

pengasinan terjadi fermentasi disertai dengan

pembentukan asam.

Asam yang dihasilkan selama penyimpanan

sayur asin ditandai dengan terus menurunnya nilai pH

kecuali pH pada perlakuan penyimpanan ruang terang

dengan konsentrasi kadar garam 8% dan 5% pada hari

ke-3 dan ke-6 seperti terlihat pada Gambar 1. Keadaan

ini mungkin dipengaruhi oleh cahaya dan konsentrasi

kadar garam yang berlebihan. Penggunaan garam yang

berlebihan akan menghambat pembentukan bakteri

asam laktat yang heterofermentatif dan merangsang

pertumbuhan bakteri asam laktat homofermentatif yang

menghasilkan sedikit CO2. Hal ini menyebabkan

terciptanya kondisi anaerobik menjadi terhambat

sehingga merangsang pertumbuhan khamir aerobik

(Rahman, 1992).

Berdasarkan hasil analisis keragaman pH air

penyimpanan sayur asin dapat diketahui bahwa variasi

penyimpanan ruang, lama penyimpanan dan variasi

konsentrasi kadar garam serta semua interaksinya

Gambar 1. Grafik pH Air Penyimpanan Sayur Asin selama Penyimpanan pada Ruang Terang

Gambar 2. Grafik pH Air Penyimpanan Sayur Asin selama Penyimpanan pada Ruang Gelap

Page 27: Jurnal Thp IV-1

Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. (4) No.1, 2012 25

berpengaruh sangat nyata terhadap pH air

penyimpanan sayur asin. Dari hasil uji lanjut Duncan 5%

pengaruh lama penyimpanan terhadap pH air penyim­

panan sayur asin berbeda nyata untuk setiap 3 hari

penyimpanan. Sedangkan Hasil uji lanjut Duncan 5%

pengaruh konsentrasi kadar garam terhadap pH air

penyimpanan sayur asin juga berbeda nyata untuk

semua konsentrasi kadar garam. Ini menunjukkan

bahwa kombinasi variasi penyimpanan ruang, lama

penyimpanan dan variasi konsentrasi kadar garam

memberikan respon yang berbeda terhadap pH air

penyimpanan sayur asin.

Berdasarkan nilai pH dapat juga diduga jenis

mikroorganisme yang ada pada bahan pangan tertentu,

misalnya khamir dan bakteri asam laktat tumbuh baik

dalam bahan pangan pada kisaran nilai pH 3,0 – 6,0.

Bakteri asam laktat yang sangat berperan dalam proses

fermentasi sayur-sayuran (asinan) adalah Lactobacillus

dan Streptococcus (Syarief dan Halid, 1991). Sehingga

dapat disimpulkan bahwa bakteri yang dimungkinkan

tumbuh dalam sayur asin tersebut adalah bakteri asam

laktat karena pH air penyimpanan sayur asin tersebut

berkisar dari 4 – 6,13.

B. Susut Bobot

Dari hasil pengamatan pada penyimpanan

ruang terang dan ruang gelap susut bobot sayur asin

untuk semua perlakuan berkisar sebesar 2,36% -

34,78%. Susut bobot merupakan salah satu faktor yang

dapat digunakan untuk mengidentifikasi mutu fisik sayur

asin. Susut bobot sayur asin berubah bersamaan

dengan lamanya waktu penyimpanan.

Susut bobot sayur asin pada penyimpanan

ruang terang (kecuali kontrol) yang tertinggi terjadi pada

perlakuan konsentrasi kadar garam 8% sebesar

19,77%. Sedangkan pada penyimpanan ruang gelap

(kecuali kontrol) yang tertinggi terjadi pada perlakuan

konsentrasi kadar garam 8% sebesar 16,49%. Susut

bobot yang terjadi dikarenakan adanya penambahan

garam kedalam sayuran. Dimana semakin tinggi

konsentrasi kadar garam yang diberikan, maka semakin

tinggi pula susut bobot yang terjadi seperti terlihat pada

Gambar 3 dan 4. Keadaan ini didukung oleh Muctadi

(1997) yang mengemukakan bahwa garam yang

dimasukkan kedalam jaringan sayuran segar dapat

mendesak keluar cairan dan zat-zat yang larut lainnya

dari sayuran tersebut melalui proses osmosis. Sehingga

bobot sayuran tersebut menjadi susut.

Berdasarkan hasil analisis keragaman sayur

asin dapat diketahui bahwa variasi penyimpanan ruang,

lama penyimpanan dan variasi konsentrasi kadar garam

serta semua interaksinya berpengaruh sangat nyata

terhadap susut bobot. Ini menunjukkan bahwa

kombinasi ketiga perlakuan memberikan respon yang

berbeda terhadap susut bobot. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa hasil yang diinginkan adalah

Gambar 3. Grafik Susut Bobot Sayur Asin selama Penyimpanan pada Ruang Terang

Gambar 4. Grafik Susut Bobot Sayur Asin selama Penyimpanan pada Ruang Gelap

Page 28: Jurnal Thp IV-1

26 Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. (4) No.1, 2012

penyusutan yang serendah mungkin selama

penyimpanan. Dari hasil uji lanjut Duncan 5% pengaruh

lama penyimpanan terhadap susut bobot sayur asin

adalah berbeda nyata untuk setiap 3 hari penyimpanan.

Sedangkan Hasil uji lanjut Duncan 5% pengaruh

konsentrasi kadar garam terhadap susut bobot sayur

asin juga berbeda nyata untuk semua konsentrasi kadar

garam.

C. Kadar Abu

Kadar abu sayur asin yang disimpan pada

ruang terang dan ruang gelap untuk semua perlakuan

sebesar 0,52% - 2,20% seperti terlihat pada Gambar 5

dan 6. Pengukuran kadar abu bertujuan untuk

mengetahui besarnya kandungan mineral yang terdapat

dalam sayur asin. Makin rendah kadar abu yang

dihasilkan berarti pengolahan sayur asin ini bersih.

Menurut Sudarmadji dkk., (1989), abu adalah zat

organik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik.

Penentuan kadar abu berhubungan erat dengan

kandungan mineral yang terdapat dalam suatu bahan,

kemurnian serta kebersihan suatu bahan yang

dihasilkan.

Hasil analisis keragaman sayur asin ini dapat

diketahui bahwa lama penyimpanan dan variasi

konsentrasi kadar garam serta interaksinya berpengaruh

sangat nyata terhadap kadar abu, sedangkan variasi

penyimpanan ruang dan interaksi penyimpanan ruang

Gambar 6. Grafik Kadar Abu Sayur Asin selama Penyimpanan pada Ruang Gelap

Gambar 5. Grafik Kadar Abu Sayur Asin selama Penyimpanan pada Ruang Terang

dengan konsentrasi kadar garam serta interaksi

penyimpanan ruang, lama penyimpanan, dan

konsentrasi kadar garam tidak berpengaruh nyata

terhadap kadar abu sayur asin.

Dari hasil uji lanjut Duncan 5% pengaruh lama

penyimpanan terhadap kadar abu sayur asin untuk hari-

0, hari-3 dan hari-6 berbeda nyata, sedangkan hari-6

dengan hari-12 tidak berbeda nyata dan hari-12 dengan

hari-9 juga tidak berbeda nyata. Sedangkan pengaruh

konsentrasi kadar garam terhadap kadar abu sayur asin

berbeda nyata untuk setiap konsentrasi kadar garam. Ini

menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi kadar

garam yang diberikan, maka semakin tinggi pula kadar

abu yang dihasilkan. Penurunan kadar abu yang terjadi

pada sayur asin selama penyimpanan disebabkan oleh

menurunnya kadar garam dan terjadinya degradasi

vitamin serta mineral yang terdapat dalam sayur asin

tersebut.

D. Kadar Garam

Kadar garam sayur asin pada penyimpanan

ruang terang dan gelap untuk semua variasi konsentrasi

kadar garam (kecuali kontrol) selama penyimpanan

adalah sebesar 0,80% - 4,40%, sedangkan untuk

kontrol adalah 0%. Kadar garam tertinggi terjadi pada

perlakuan penyimpanan ruang terang dan ruang gelap

dengan konsentrasi kadar garam 8%, karena pada

perlakuan ini kadar garam yang diberikan pada saat

Page 29: Jurnal Thp IV-1

Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. (4) No.1, 2012 27

penggaraman lebih tinggi daripada perlakuan

penyimpanan ruang terang dan ruang gelap dengan

konsentrasi kadar garam 3% dan 5%. Semakin lama

penyimpanan, maka kadar garam juga semakin

menurun seperti terlihat pada Gambar 7 dan 8. Hal ini

dimungkinkan karena terjadinya degradasi vitamin dan

mineral sehingga cairan dan zat-zat larut dari sayur asin

tersebut terlarut dalam air.

Gambar 8. Grafik Kadar Garam Sayur Asin selama Penyimpanan pada Ruang Gelap

Gambar 7. Grafik Kadar Garam Sayur Asin selama Penyimpanan pada Ruang Terang

Berdasarkan hasil analisis keragaman dapat

diketahui bahwa variasi penyimpanan ruang, lama

penyimpanan dan variasi konsentrasi kadar garam serta

semua interaksinya berpengaruh sangat nyata terhadap

kadar garam sayur asin. Ini menunjukkan bahwa

kombinasi ketiga perlakuan memberikan respon yang

berbeda terhadap kadar garam sayuran asin sawi hijau.

Dari hasil uji lanjut Duncan 5% pengaruh lama penyim­

panan terhadap kadar garam sayur asin berbeda nyata

untuk setiap 3 hari penyimpanannya. Sedangkan

pengaruh kosentrasi kadar garam terhadap kadar garam

sayur asin juga berbeda nyata untuk semua konsentrasi

kadar garamnya.

E. Vitamin C

Kandungan vitamin C sayur asin yang disimpan

pada ruang terang dan ruang gelap untuk semua

perlakuan adalah 71,52 mg/100g – 96,14 mg/100g.

Sedangkan kandungan vitamin C sayur sawi segar

adalah sebesar 96,56 mg/100g. Rerata kandungan

vitamin C sayur asin yang dihasilkan berada diatas nilai

kandungan vitamin C sawi menurut Direktorat Gizi

Departemen Kesehatan R.I (1981) dan berada dibawah

nilai kandungan vitamin C sawi menurut Food and

Nutrition Research Center.Hand book No. 1 Manila

(1964).

Kandungan vitamin C pada sayur asin menurun selama

penyimpanan untuk semua konsentrasi kadar garam

dan variasi penyimpanan ruang seperti terlihat pada

Gambar 9 dan 10.

Dari data rerata vitamin C sayur asin selama

penyimpanan, dapat diketahui bahwa kandungan

vitamin C sayur asin pada penyimpanan ruang terang

lebih rendah daripada kandungan vitamin C sayur asin

yang disimpan pada ruang gelap, hal ini mungkin

dipengaruhi oleh cahaya sehingga terjadi degradasi

vitamin serta mineral dan konsentrasi kadar garam yang

tinggi. Asam askorbat sangat sensitif terhadap pengaruh

luar yang menyebabkan kerusakan seperti suhu,

konsentrasi gula dan garam, pH, oksigen, enzim, dan

katalisator logam.

Berdasarkan hasil analisis keragaman sayur

asin dapat diketahui bahwa variasi penyimpanan ruang,

Page 30: Jurnal Thp IV-1

28 Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. (4) No.1, 2012

lama penyimpanan dan konsentrasi kadar garam serta

semua interaksinya berpengaruh sangat nyata terhadap

vitamin C sayur asin. Dari hasil uji lanjut Duncan 5%

pengaruh lama penyimpanan terhadap vitamin C sayur

asin berbeda nyata untuk setiap 3 hari penyimpa­

nannya, sedangkan pengaruh konsentrasi kadar garam

terhadap vitamin C sayur asin juga berbeda nyata untuk

semua konsentrasi kadar garamnya. Secara umum

dapat disimpulkan bahwa interaksi perlakuan yang

menghasilkan kandungan vitamin C sayur asin tertinggi

selama penyimpanan terdapat pada perlakuan

penyimpanan ruang gelap dengan konsentrasi kadar

garam 3%.

Gambar 9. Grafik Vitamin C Sayur Asin selama Penyimpanan pada Ruang Terang

Gambar 10. Grafik Vitamin C Sayur Asin selama Penyimpanan pada Ruang Gelap

F. Uji Organoleptik

Uji organoleptik sayur asin menggunakan uji

hedonik yang meliputi aroma, warna, tekstur dan

penerimaan keseluruhan sayur asin. Panelis yang

digunakan adalah panelis tidak terlatih sebanyak 25

orang (mahasiswa). Penilaian panelis terhadap aroma

sayur asin selama penyimpanan rata-rata menurun

untuk semua perlakuan. Nilai yang panelis berikan

berkisar antara 1 (tidak suka) - 2,67 (agak suka). Aroma

merupakan salah satu faktor penting bagi konsumen

dalam memilih produk makanan yang disukai. Winarno

(1997) mengatakan bahwa dalam banyak hal kelezatan

makanan ditentukan oleh aroma atau bau dari makanan

tersebut.

Pengujian organoleptik yang dilakukan pada

sayur asin dimana rata-rata kesukaan panelis terhadap

warna sayur asin selama penyimpanan untuk semua

variasi perlakuan adalah 1 (tidak suka) - 3,43 (agak

suka). Warna merupakan parameter pertama yang

menentukan tingkat penerimaan konsumen terhadap

suatu produk. Penelitian secara subjektif dengan

penglihatan masih sangat menentukan dalam pengujian

organoleptik warna. Warna sayur asin untuk hari-0

adalah hijau, hari-3 hijau kekuning-kuningan, hari-6, 9

dan 12 adalah kuning kecokelatan.

Pengujian tekstur yang dilakukan pada sayur

asin untuk semua kombinasi perlakuan, dimana rata-

rata nilai yang panelis berikan terhadap tekstur sayur

asin sawi hijau selama penyimpanan adalah 1 (sangat

licin) - 4,96 (tidak licin). Tekstur sayur asin hari-0, 3, 6

adalah tidak licin, hari-9 agak licin dan hari-12 ada yang

agak licin, licin dan sangat licin.

Penerimaan keseluruhan sayur asin oleh

panelis untuk semua variasi perlakuan selama

penyimpanan adalah bervariasi ada yang suka dan tidak

suka, nilai yang diberikan oleh panelis berkisar antara 1

(tidak suka) sampai 3,01 (agak suka). Menurunnya nilai

Page 31: Jurnal Thp IV-1

Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. (4) No.1, 2012 29

penerimaan keseluruhan sayur asin oleh panelis

diakibatkan karena perubahan warna dari hijau menjadi

kuning kecokelatan, perubahan aroma yang menjadi

menyengat dan perubahan tektur menjadi licin selama

penyimpanan.

Tabel 1. Persamaan Regresi Linear Sederhana

Berdasarkan hasil analisis keragaman sayur

asin dapat diketahui bahwa lama penyimpanan dan

variasi konsentrasi kadar garam serta interaksinya

berpengaruh sangat nyata terhadap penerimaan

keseluruhan sayur asin. Sedangkan variasi

penyimpanan ruang, interaksi penyimpanan ruang

dengan lama penyimpanan, interaksi penyimpanan

ruang dengan konsentrasi kadar garam, dan interaksi

penyimpanan ruang dengan lama penyimpanan serta

konsentrasi kadar garam tidak berpengaruh nyata

terhadap penerimaan keseluruhan sayur asin.

Dari semua uji organoleptik yang dilakukan

pada sayur asin dapat disimpulkan bahwa tekstur sayur

asin kontrol pada penyimpanan ruang gelap yang paling

cepat ditolak oleh panelis. Ini dimungkinkan karena

pada kontrol tidak diberikan garam, sehingga teksturnya

menjadi lunak dan licin. Tetapi setelah diberikan garam

yang paling cepat ditolak oleh panelis adalah warna dari

sayur asin seperti terlihat pada Tabel 1.

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1) Variasi penyimpanan ruang dan variasi konsentrasi

kadar garam serta lama penyimpanan pada sayur

asin berpengaruh sangat nyata terhadap pH air

penyimpanannya, susut bobot, kadar garam dan

kandungan vitamin C sayur asin tersebut.

2) Selama 12 hari penyimpanan sayur asin dengan

perlakuan terbaik yang mampu menghambat laju

kehilangan susut bobot dan kandungan vitamin C

sayur asin terdapat pada perlakuan penyimpanan

ruang gelap dengan konsentrasi kadar garam 3%

pada hari-6 penyimpanan dan masih bisa

Kadar Garam (%) Aroma Warna Tekstur Penerimaan

keseluruhan

Ruang Terang

0 %

3%

5%

8%

y = -0,088x + 1,838

y = -0,085x + 2,196

y = -0,105x + 2,384

y = -0,085x + 2,252

y = -0,155x + 2,434

y = -0,123x + 2,854

y = -0,114x + 2,952

y = -0,133x + 3,042

y = -0,266x + 3,486

y = -0,050 + 4,87

y = -0,056x + 4,89

y = -0,057x + 4,888

y = -0,093x + 1,872

y = -0,082x + 2,544

y = -0,086x + 2,634

y = -0,091x + 2,612

Ruang Gelap

0 %

3%

5%

8%

y = -0,084x + 1,794

y = -0,078x + 2,224

y = -0,080x + 2,292

y = -0,085x + 2,132

y = -0,163 + 2,53

y = -0,12x + 2,982

y = -0,118x + 3,064

y = -0,126x + 3,04

y = -0,286 + 3,726

y = -0,042x + 4,87

y = -0,054x + 4,906

y = -0,046x + 4,88

y = -0,094 + 1,874

y = -0,083x + 2,568

y = -0,079x + 2,72

y =-0,029x + 2,626

dipertahankan sampai hari-12 penyimpanan. Dengan

nilai pH air penyimpanannya 4,6, susut bobotnya

5,08%, kadar abu sebesar 2,02%, dan kadar

garamnya 1,20% serta kandungan vitamin C nya

sebesar 85,27 mg/100g.

3) Dari hasil uji organoleptik dengan menggunakan

skala hedonik pada semua perlakuan yang pada

umumnya diminati oleh panelis adalah terdapat pada

pelakuan penyimpanan ruang gelap dengan

konsentrasi kadar garam 3% pada hari-6

penyimpanan.

B. Saran

1) Perlu adanya parameter tambahan uji analisis

proksimat.

2) Perlu dilakukan uji mikroorganisme, misalnya TCC.

3) Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan

menggunakan konsentrasi garam yang lebih rendah

(tidak boleh kurang dari 2%).

DAFTAR PUSTAKA

Apriantono A., Fardiaz D., Puspitasari N. L.,

Sedarnawati, Budiyanto S. 1989. Analisis

Pangan (Petunjuk Laboratorium).

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat

Kegiatan Antar Universitas Pangan dan Gizi.

Insitut Pertanian Bogor. Bandung.

Page 32: Jurnal Thp IV-1

30 Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. (4) No.1, 2012

Jones, I.D., R.C.White, E. Gibbs. Some pigment

changes in cucumber during brining and

brine storage. Food Technol.16 (1962) 96-

102.

Kumorowati N., Pembuatan Sayur Asin (Sauerkraut).

Kedaulatan Rakyat. 19 April 1997. 18-19.

Muchtadi, TR. 1997. Teknologi Proses Pengolahan

Pangan (Terjemahan). Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat

Pendidikan Tinggi. Pusat Kegiatan Antar

Universitas Pangan dan Gizi. Institut

Pertanian Bogor. Bogor.

Rahman, A. 1992. Teknologi Fermentasi Sayuran dan

Buah-buahan. Depdikbud. PAU Pangan dan

Gizi IPB. Bogor.

Soekarto T. 1985. Penilaian Organoleptik Untuk Industri

Pangan dan Hasil Pertanian. Bharata Karya

Aksara. Jakarta.

Sudarmadji, S.B. Haryono, dan Suhardi. 1989. Prosedur

Analisa untuk Bahan Makanan dan

Pertanian. Liberty. Yogyakarta.

Syarief, R. dan Halid, H. 1991. Teknologi Penyimpanan

Pangan. Arcan. Jakarta.

Page 33: Jurnal Thp IV-1

PENDAHULUANRedaksi menerima tulisan ilmiah orisinal hasil penelitian, review, catatan penelitian atau opini dalam bidang teknologi pertanian, teknologi pasca panen, keteknikan pertanian, pengolahan hasil pertanian, rekayasa pangan, kimia dan teknologi pangan, serta manajemen industri pertanian dan pangan. Hasil penelitian yang dapat diterima merupakan hasil penelitian mutakhir (< 7 tahun) dan belum pernah dipublikasikan dalam jurnal ilmiah nasional maupun internasional lainnya.

PEDOMAN UMUMPenulisan Naskah Tulisan ilmiah ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Inggris. Naskah, termasuk abstrak, diketik dua spasi pada kertas HVS ukuran A4 (21 cm x 29,5 cm) dengan pias 3 cm, huruf Times New Roman (12 pt). Naskah diketik dengan Word Processor seperti Microsoft Word atau Open Office Writer.Naskah hasil penelitian tidak boleh melebihi 15 lembar halaman (±2 000 karakter per halaman). Sementara naskah berupa ulasan, analisis kebijakan, dan catatan penelitian tidak boleh melebihi 5 halaman. Tabel dan gambar disajikan di bagian akhir naskah pada lembaran terpisah. Naskah dikirimkan via e-mail atau langsung dalam bentuk soft copy berekstensi “.doc” atau “.docx” yang telah dikompres (zip atau rar) ke Alamat Redaksi.

Susunan NaskahSusunan naskah mengikuti urutan Judul dalam Bahasa Indonesia dan Inggris, Nama Penulis dan Asal Instansi, Abstrak, Pendahuluan, Bahan dan Metode, Hasil dan Pembahasan, Kesimpulan dan Ucapan Terima Kasih ( jika ada), Daftar Pustaka, Tabel dan Gambar. Naskah berupa ulasan, review, analisis kebijakan dan catatan penelitian tidak harus ditulis menurut susunan naskah hasil penelitian.

a. Judul dan Nama PenulisJudul ditulis sesingkat mungkin yang menggambarkan isi dari naskah serta dicetak tebal dengan huruf kapital. Judul dalam dua bahasa dan ditulis miring untuk judul ke-2 (terjemahan).Di bawah judul, ditulis nama lengkap semua penulis beserta nama dan alamat lembaga afiliasi penulis. Penulis korespondensi diberi tanda * pada nama penulis untuk korespondensi. Alamat untuk korespondensi dilengkapi dengan kode pos dan email.

b. Abstrak dan Key wordsAbstrak adalah paragraf yang berdiri sendiri dan harus mencakup tujuan, metode, dan hasil secara ringkas tanpa kutipan pustaka. Abstrak ditulis dalam Bahasa Inggris maksimum 200 kata dan diketik dua spasi. Key words (kata kunci) ditulis setelah abstrak dan dicetak miring, maksimum 5 kata.

c. TeksAwal paragraf dimulai 5 indent dari sisi kiri naskah. Penulisan sub judul ditulis di kiri halaman dengan huruf kapital tebal dan

tidak menggunakan nomor. Sub-sub judul ditulis di kiri halaman dengan dicetak miring dan huruf kapital di setiap awal kata.Nama organisme harus diikuti dengan nama ilmiahnya secara lengkap pada pengungkapan pertama. Nama ilmiah ditulis

miring, sedangkan nama penulis dari nama ilmiah dan kata seperti var. Ditulis tegak. Contoh: Elaeis guinensis Jacq.Singkatan pertama kali ditulis dalam kurung setelah kata-kata yang disingkatnya. Penulisan satuan menggunakan Standar Internasional (SI), desimal menggunakan titik (bukan koma). Seluruh tabel dan gambar

harus dirujuk dalam teks. Isi teks harus menerangkan tabel atau gambar dan di dalam teks tidak boleh menulis ulang angka-angka yang sudah ada di dalam tabel atau gambar.

d. PustakaKetentuan untuk pustaka rujukan adalah:1) Sumber pustaka primer adalah jurnal, paten, disertasi, tesis, dan buku teks. Sumber pustaka dari internet atau buku populer

tidak dapat diterima kecuali jurnal dari instansi pemerintah atau swasta.2) Proporsi jurnal ilmiah minimal 60%.3) Abstrak tidak boleh menjadi sumber rujukan.

Pustaka di dalam teks ditulis menurut nama akhir (nama keluarga) dan tahun. Jika penulis lebih dari dua orang, maka kutipan di dalam teks harus menuliskan nama belakang penulis pertama diikuti et al. yang dicetak miring.Daftar pustaka ditulis berdasarkan urutan alfabet dari nama akhir penulis pertama. Pustaka dengan nama penulis (kelompok penulis) yang sama diurutkan secara kronologis. Apabila ada lebih dari satu pustaka yang ditulis penulis (kelompok penulis) yang sama pada tahun yang sama, maka huruf ‘a’, ‘b’ dan seterusnya ditambahkan setelah tahun.

e. TabelTabel harus ditulis dalam format tabel dari Word Processor dan tidak menggunakan tab keys atau space bar. Penomoran tabel harus berurutan. Judul tabel ditulis singkat namun lengkap. Judul dan kepala tabel menggunakan huruf kapitas pada awal kalimat. Garis vertikal tidak boleh digunakan. Catatan kaki menggunakan angka dengan kurung tutup dan diketik superscript. Tanda bintang (*) atau (**) digunakan untuk menunjukkan tingkat nyata berturut-turut pada taraf 95 dan 99%. Jika digunakan taraf nyata yang lain, gunakan simbol tambahan.

f. GambarGambar dan ilustrasi harus high resolution, kontras yang baik, dan dibuat dengan warna hitam. Setiap gambar harus diberi nomor, judul dan keterangan yang jelas. Foto dianjurkan hitam putih. Apabila ingin mencantumkan foto berwarna, biaya cetak akan dibebankan kepada penulis. Keterangan di dalam gambar harus jelas. Jika ukuran gambar diperkecil maka semua tulisan harus tetap dapat terbaca. Grafik statistik disertai dengan file data sumbernya untuk memudahkan editing.

PROSEDUR PUBLIKASIPenulis wajib membuat pernyataan dalam materai Rp. 6.000 bahwa naskah belum pernah atau tidak sedang diajukan untuk

dipublikasikan di jurnal lain dan dikirimkan ke alamat editor di atas.Seluruh naskah yang diterima akan dikirimkan ke reviewer untuk dinilai. Editor berhak meminta penulis untuk melakukan

perbaikan sebelum naskah dikirim ke reviewer. Editor juga berhak menolak naskah jika naskah tidak sesuai dengan format yang telah ditentukan.

Naskah akan ditelaah oleh seorang ahli di bidang yang bersangkutan. Editor akan menentukan naskah yang dapat diterbitkan berdasarkan hasil penelaahan. Hasil penelaahan diberitahukan kepada penulis.

BIAYA PUBLIKASIBiaya cetak untuk naskah yang telah disetujui adalah Rp. 200.000. Jika terdapat halaman dengan foto/gambar berwarna maka

dikenai biaya tambahan. Penulis akan mendapat 5 buah cetak lepas (reprint) dan 1 Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia untuk 3 edisi sejak

naskahnya dicetak.

Syarat Penulisan

Page 34: Jurnal Thp IV-1