jurnal theologi aletheia -...

135

Upload: vuongdung

Post on 05-Aug-2019

242 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

  • JURNAL THEOLOGI ALETHEIA

    Volume 21 No.16, Maret 2019

    Diterbitkan oleh:

    Sekolah Tinggi Teologi Aletheia

    (STT Aletheia)

    Alamat Redaksi :

    Sekolah Tinggi Teologi Aletheia

    Jl. Argopuro 28-34 (PO. Box 100) Lawang 65211, Jawa Timur

    Telp.: (0341) 426617 dan Fax.: (0341) 426971

    E-mail : [email protected]

    Rekening Bank: BCA Cab. Lawang a.n. Agung Gunawan & Herlini Y.

    No. 316-003-1131

    Staff Redaksi :

    Penasehat : Pdt. Dr.Agung Gunawan, Th.M.

    Pemimpin : Brury Eko Saputra, Th.M.

    Anggota : Pdt. Alfius Areng Mutak, Ed.D.

    Pdt. Amos Winarto, Ph.D.

    Pdt.Gumulya Djuharto, Th.M.

    Pdt. Kornelius A. Setiawan, D.Th.

    Pdt. Mariani Febriana, Th.M.

    Pdt. Marthen Nainupu, M.Th.

    Bendahara : Herlini Yuniwati

    Publikasi & Distributor : Suwandi & Adi Wijaya

    Tujuan Penerbitan :

    Memajukan aktivitas karya tulis Kristen melalui media penelitian

    dan pemikiran di dalam kerangka umum

    disiplin teologi reformatoris

  • DAFTAR ISI

    Gema Kitab Kejadian dalam 1 Korintus 11:7-9 1

    Liu Wisda

    Humor dalam Perumpamaan Tentang Pengampunan 23

    (Matius 18:21-35)

    Stefanus Kristianto

    Kemunafikan: Panggung Pertunjukan Orang Banyak 55

    Amos Winarto

    Iklan: Eksplorasi Aspek Teologis dalam Budaya Komersialisme 65

    dan Konsumerisme

    Linus Baito

    Relasi Gereja dan Negara Menurut John Calvin: Hukuman Mati 93

    Atas Michael Servetus Sebagai Sebuah Contoh Kasus

    Yakub Tri Handoko

    RESENSI BUKU

    Memahami Perjanjian Lama: Tiga Pertanyaan Penting 109

    Stefanus Kristianto

    A New Testament Theology 113

    Brury Eko Saputra

    Defending Substitution: An Essay on Atonement in Paul 119

    Stefanus Kristianto

  • i

    KATA PENGANTAR

    Jurnal Theologia Aletheia edisi kali ini tetap fokus pada tiga

    tekanan utama yang menjadi visi STT Aletheia, yaitu studi biblika,

    wawasan reformed dan pelayanan pastoral. Artikel dari Liu Wisda

    dan Stefanus Kristianto mewakili tekanan terhadap studi biblika. Di

    dalam artikelnya, Liu Wisda berusaha memaparkan kemungkinan

    adanya gema dari kitab Kejadian di dalam 1 Korintus 11:7-9. Hal

    menarik dari artikel tersebut adalah pada pembahasan perempuan

    dalam pemikiran Paulus, khususnya dalam 1 Korintus. Artikel

    Stefanus Kristianto berusaha menunjukkan bahwa kecenderungan

    anti humor yang telah ada sejak tulisan bapa gereja awal tidak

    semata-mata perlu dipertahankan. Menurutnya, ada banyak teks di

    Alkitab ditulis secara humoris. Salah satu teks tersebut adalah

    Matius 18:21-35.

    Artikel ketiga dan keempat dalam jurnal ini memberikan

    tekanan pada aspek pastoral dari visi STT Aletheia. Artikel ketiga

    ditulis oleh Amos Winarto dengan judul Kemunafikan: Panggung

    Pertunjukan Orang Banyak berusaha menelaah sikap orang Farisi

    yang munafik dari sudut pandang etis dan praktis. Menurutnya,

    setiap orang percaya harus berani hidup secara otentik dalam

    kesehariannya. Artikel keempat ditulis oleh Linus Baito dengan

    judul Iklan: Eksplorasi Aspek Teologis dalam Budaya

    Komersialisme dan Konsumerisme berusaha menjawab

    pertanyaan apakah ada elemen teologis di dalam dunia komersil,

    khususnya iklan. Menurutnya, iklan dapat menjadi sebuah sarana

    reflektif maupun ekspresif untuk iman Kristen dapat diwartakan.

    Artikel kelima mewakili elemen teologi Reformed dalam visi

    STT Aletheia seperti disebutkan di atas. Artikel dengan judul

    Relasi Gereja dan Negara Menurut John Calvin ini ditulis oleh

    Yakub Tri Handoko bertujuan memberikan klarifikasi terhadap

  • ii

    tudingan bahwa Calvinlah yang bertanggung jawab atas hukuman

    yang diterima oleh Servetus. Menurutnya, tulisan Calvin lebih

    fokus pada teologi politik daripada politik praktis. Secara teologis,

    Calvin meyakini bawah relasi antara gereja dan negara adalah

    interdependen; tidak saling bertentangan dan tidak tercampur.

    Kesimpulan dari artikel ini menunjukkan bahwa tudingan terhadap

    Calvin sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kematian

    Servetus harus dievaluasi berdasarkan pemikiran Calvin tentang

    politik, serta situasi politik di Jenewa pada waktu itu.

    Dengan terbitnya Jurnal Theologia Aletheia kali ini, segenap

    tim editor berharap bahwa edisi ini dapat memperkenalkan kembali

    visi STT Aletheia, serta menjadi berkat bagi dunia akademik dan

    pelayanan Kristiani di Indonesia.

    Redaksi

  • 1

    GEMA KITAB KEJADIAN DALAM

    1 KORINTUS 11:7-9

    Liu Wisda

    Abstrak: Beberapa pendekatan telah dilakukan, seperti pendekatan

    teologis, analisa kultural, dan konteks historis untuk mengerti 1

    Korintus 11:3-16 tentang kesopanan perempuan dalam ibadah.

    Tulisan ini berusaha mengerti teks ini melalui pendekatan

    intertekstual yang menggarisbawahi penggunaan kitab Kejadian

    dalam retorika Paulus (1 Kor. 11:7-9) yang mewajibkan perempuan

    memakai kerudung dalam ibadah.

    Kata Kunci: Intertextuality, Narrative Summary, 1 Korintus 11:7-

    9, Gambar dan Kemuliaan Allah, Kemuliaan Laki-laki, Urutan

    Penciptaan

    Abstract: Attempts have been made to understand 1 Corinthians

    11:7-9 regarding the women propriety in worship, such as

    theological approach, cultural analysis, and historical context. This

    article attempts to understand the text by the intertextual approach,

    which hightlights Pauls use of Genesis texts as a part of his

    rhetoric of why women must cover their heads in worship.

    Keywords: Intertextuality, Narrative Summary, 1 Corinthians

    11:7-9, Image and Glory of God, Glory of Man, Creation Order

    PENDAHULUAN

    Dalam menghadapi persoalan tentang kesopanan perempuan

    dalam beribadah (1 Kor. 11:3-16), Paulus menggunakan teks kitab

    Kejadian untuk mendukung argumennya dalam mewajibkan

    perempuan menutup kepalanya di dalam ibadah. Pernyataan Paulus

  • Gema Kitab Kejadian dalam 1 Korintus 11:7-9 2

    tampaknya mengekspresikan subordinasi kaum perempuan (pria

    sebagai pemimpin berotoritas atas perempuan); pernyataan tersebut

    kerap kali dijadikan argument definitif oleh pihak golongan Kristen

    tradisional. Akan tetapi, di dalam surat 1 Korintus sendiri,

    tampaknya ada indikasi bahwa pernyataan Paulus bertentangan

    dengan argumentasinya sendiri, yaitu argumentasi yang

    menekankan kesetaraan laki-laki dan perempuan, seperti referensi

    pada tubuh Kristus yang menjelaskan semua anggota adalah satu di

    dalam Kristus (1 Korintus 12:13; bdk. Galatia 3:28).1 Selain itu,

    penyebutan Akwila dan Priskila (suami istri) yang sama-sama

    melayani merupakan contoh adanya (indikasi) kepemimpinan

    perempuan di kalangan orang Kristen (1 Korintus 16:19).2

    Tambahan pula, para penganut egalitarian (persamaan gender)

    berargumen bahwa argumentasi Paulus dari urutan penciptaan

    tersebut didasarkan pada masalah budaya lokal, yang berbeda

    dengan budaya di zaman sekarang dan lokasi (budaya menudungi

    kepala), sehingga jawaban Paulus itu hanya relevan pada masalah

    lokasi yang berkaitan dengan budaya mereka saat itu.3

    Alih-alih mengkritisi pemahaman-pemahaman yang

    disebutkan di atas, penulis menggunakan pendekatan

    1 Galatia 3:28 (lebih ekspresif: laki-laki dan perempuan) yang dianggap

    menekankan kesetaraan dan kesatuan mereka di dalam Kristus Yesus. 2 Meskipun kita tidak bisa menentukan level atau seberapa besar pengaruh

    kepemimpinan Priskila bersama suaminya, Paulus mengakui bahwa mereka

    adalah misionaris yang menjadikan rumah mereka sebagai gereja dan menjadi

    rekan pelayanan Paulus yang penting. Lih. Peter Lampe, Prisca in The Anchor

    Bible Dictionary, ed. David Noel Freedman (New York: Doubleday, 1996,

    c1992), 5:467-468. 3 Contoh pendekatan budaya adalah redemptive-movement hermeneutic yang

    dipopulerkan oleh William J. Webb, yang memahami Alkitab dengan mencari

    semangat dari (gerakan penebusan) redemptive movement dalam teks untuk

    melihat apa yang bisa diaplikasikan hari ini. Asumsinya adalah mengubah umat-Nya selangkah demi selangkah sesuai dengan konteks masa kini, sehingga ada

    teks yang berlaku dan ada yang tidak berlaku. Contohnya sabat, sunat, hukum

    makanan, menstruasi dll di dalam PL. Lih. William J. Webb, Slave, Women and

    Homosexuals: Exploring the Hermeneutics of Cultural Analysis (Downers

    Grove, IL: IVP Academic, 2001).

  • Jurnal Theologia Aletheia Volume 21 No. 16 Maret 2019 3

    intertekstualitas4 untuk memahami 1 Kor. 11:7-9 (inti argumentasi

    Paulus yang didebatkan) dan menyimpulkan bahwa di dalam

    penggunaan teks Kejadian, Paulus menekankan perempuan yang

    menjadi kemuliaan pria, tanpa mengabaikan argumentasi hubungan

    hirarki berdasarkan urutan penciptaan. Tujuan Paulus dalam teks

    ini bukanlah untuk mendukung subordinasi kaum perempuan,

    tetapi memanggil para perempuan untuk mempraktikkan kasih

    Kristus di dalam komunitas yang memiliki budaya menutup kepala

    perempuan sebagai tanda kemuliaan. Karena itu, analisa

    intertekstual pada teks ini dikelompokkan ke dalam dua: ayat 7 dan

    ayat 8-9.

    Ayat 7

    Ayat 7 merupakan alasan dan argumentasi Paulus di ayat 4-5:

    seorang pria tidak seharusnya menutupi kepalanya (ayat 4), karena

    dia adalah gambar dan kemuliaan Allah (ayat 7a), sedangkan

    seorang perempuan seharusnya berkerudung karena dia adalah

    kemuliaan pria. Dengan asumsi bahwa jarang ada kata yang

    merupakan kreasi murni dari Paulus,5 pernyataan Paulus ini juga

    merupakan bagian dari dunia kata yang tidak asing dengan para

    pembaca. Di dalam periode bait suci kedua atau masa

    intertestamental, ada beberapa teks atau tradisi Yahudi yang

    memiliki ekpresi yang mirip di dalam ayat ini. Tabel berikut ini

    menggambarkan beberapa tradisi tersebut:

    4 Untuk definisi dan teknik pendekatan intertekstual, lihat Richard Hays, Echoes

    of Scripture in the Letters of Paul (New Haven, NH: Yale University Press, 1989). 5 Pendekatan intertekstual mengasumsi bahwa semua kata yang diekspresikan

    penulis Alkitab memiliki relasi dengan kata lain, sehingga tidak ada makna baru

    bahkan di dalam kata yang diciptakan (hapax legomenon). Dengan bahasa

    Fishbane, content teks atau traditum tidaklah monolitis (memiliki satu arti

    tunggal), tetapi merupakan: the complex result of a long and varied process of

    transmission, or traditio. Michael Fishbane, Biblical Interpretation in Ancient

    Israel (New York, NY: Oxford University Press, 1985), 6.

  • Gema Kitab Kejadian dalam 1 Korintus 11:7-9 4

    Frasa pertama memiliki kemiripan ekspresi di dalam Kejadian 1:27

    (Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya,

    menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan

    perempuan diciptakan-Nya mereka, dan 2:7 (ketika itulah TUHAN

    Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan

    menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah

    manusia itu menjadi makhluk yang hidup). Di samping itu, sirakh6

    dan kebijaksanaan Salomo7 juga menggunakan tradisi Kejadian ini

    di dalam ekspresi mereka.

    Ketika Paulus mengatakan bahwa manusia adalah gambar

    Allah, dia mungkin mengungkapkan narasi yang diringkas dari

    Kejadian 1 melalui lensa Kejadian 2 yang menunjukkan bahwa

    Adam/manusia adalah karya ciptaan Allah secara langsung.8 Meier

    6 17:1-3 Manusia diciptakan Tuhan dari tanah, dan ke sana akan dikembalikan

    juga. Ia menganugerahkan kepadanya sejumlah hari dan jangka, dan memberinya

    kuasa atas segala sesuatunya di bumi. Kepadanya dikenakan kekuatan yang

    serupa dengan kekuatan Tuhan sendiri dan menurut gambar Allah dijadikan-Nya. (TB LAI) 7 2:23: Sebab Allah telah menciptakan manusia untuk kebakaan, dan dijadikan-

    Nya gambar hakekat-Nya sendiri. (TB LAI) 8 Lih. John P. Meier, On the Veiling of Hermeneutics (1 Cor. 11:2-16), The

    Catholic Biblical Quarterly, 40, no. 2 (April 1978): 219; David E. Garland, 1

    Referensi Tidak Langsung Hubungan

    Intertekstual

    Frasa

    pertama

    Pria adalah gambar ()

    Allah

    Kejadian 1:27; 2:7;

    Sirakh 17:1-3;

    Kebijaksanaan Salomo

    2:23; Tulisan para rabi

    Frasa

    kedua

    [Pria] adalah kemuliaan ()

    Allah Tulisan rabinik

    Frasa

    ketiga

    Perempuan adalah kemuliaan

    pria (

    )

    Amsal 11:16 LXX; 1

    Esdras 4:17; batu nisan

    Yahudi di Roma.

  • Jurnal Theologia Aletheia Volume 21 No. 16 Maret 2019 5

    berkata: [Paul] understands the of Genesis 1 in terms of the

    concrete individual of Genesis 2. He, and he alone, is made

    directly by God, and is therefore the direct, precise image of God.9

    Implikasi tidak langsung dari cara pembacaan ini adalah

    perempuan bukanlah ciptaan langsung Allah, karena hanya pria

    yang dibentuk langsung oleh Allah dan perempuan dibentuk dari

    substansi pria.

    Akan tetapi, dengan ungkapan demikian, Paulus tidak sedang

    menyimpulkan bahwa perempuan adalah gambar dari pria.10

    Dia

    mungkin dipengaruhi oleh tradisi rabinik yang menunjukkan bahwa

    perempuan bukanlah gambar Allah: Tanch B Tazria 10,11

    BemR.

    3:140d.12

    Penafsiran ini menyebabkan masyarakat saat itu

    memperlakukan laki-laki dan perempuan secara hirarkis, karena

    pria dianggap lebih mulia sebagai ciptaan langsung Allah. Jervell

    mengobservasi bahwa, the tendency of rabbinic theology is not

    only to deny the status of the image of God to Eve -from the

    standpoint of salvation history- but so to every woman.13

    Dalam

    lingkungan tradisi-tradisi ini, dengan tidak menyebutkan bahwa

    status perempuan adalah gambar Allah, tidaklah berarti bahwa

    Paulus setuju dengan teologi Yahudi yang mendukung inferioritas

    perempuan. Pertanyaan Paulus tersebut bukanlah mengenai gambar

    Corinthians, Baker Exegetical Commentary on the New Testament (Grand

    Rapids, MI: Eerdmans, 219. 9 Meier, Hermeneutics, 219. 10 Gordon D. Fee, The First Epistle to the Corinthians. The New International

    Commentary on the New Testament (Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1987), 522. 11 Eve is not created in the image of God, but created out of Adam dikutip dari

    Jacob Jervell, Imago Dei: Gen I, 26 f. im Sptjudentum, in der Gnosis und in den paulinischen Briefen (Gttingen: Vandenhoeck & Ruprecht, 1960), 110. 12 Bdk. Tanch B Tazria 2 and Aggadat Bereshit 53, S. 107. Midrash Rabba

    Number R 3:8; Midrash Rabba Gen. R 21:5 (Before Eve was created, Adam was

    like an angel); lihat Jervell, Imago Dei, 110. 13 Jervell, Imago Dei, 111. Ada juga pemahaman lain dari teologi rabinik yang

    memahami bahwa pasangan yang sudah menikah adalah gambar Allah.

    Pemahaman ini tertuang dalam terjemahan Aquila, Theodosian, and Targum

    Jeremiah II pada Kej. 1:27 (Jervell, ibid.).

  • Gema Kitab Kejadian dalam 1 Korintus 11:7-9 6

    Allah (the image of God, karena dia tidak menjelaskan

    pernyataannya pria adalah gambar Allah lebih lanjut; malahan

    dia menambahkan penekanan bahwa pria adalah kemuliaan Allah,

    dan perempuan adalah kemuliaan pria.14

    Selain itu, menurut

    Jervell, ide ini (perempuan bukan gambar langsung Allah) yang

    dicampuradukkan dengan konsep keluarga juga melihat bahwa

    seorang anak laki-laki merepresentasikan gambar ayahnya [karena

    Allah yang menciptakan Adam/manusia (Kej. 5:1)], dan bukan

    seorang anak perempuan yang merepresentasikan ayahnya,

    sehingga perempuan bukan cermin atau gambar langsung Allah.15

    Hal yang menarik, pernyataan manusia atau pria sebagai

    kemuliaan Allah tidak terdapat dalam kitab Kejadian. Paulus

    mungkin sedang merujuk pada beberapa tradisi rabi yang

    menunjukkan bahwa Adam adalah cermin dari kemuliaan Allah.

    Tradisi-tradisi yang dimaksud di sini adalah Palestinian Talmud

    Shabbat 2:5b; Balylonian Talmud Baba Batra 58a; Aggadic

    Midrash Pesigta 4:36b; 12:10a; Tanch Achare Mot 3; Midrash

    Rabba: Koh R 8:1; Pirqe R El 14:33b; Babylonian Talmud Chag

    12a; Midrash Genesis R 12:6; Tanch Pikude 2.16

    Literatur-literatur

    ini mewakili teologi Yahudi yang memahami bahwa pria

    diciptakan menurut kemuliaan Allah, dan bukan perempuan yang

    diciptakan menurut kemuliaan Allah, dalam kaitannya dengan

    konsep penciptaan pria yang sesuai dengan gambar Allah. Dengan

    kata lain, tradisi Yahudi menghubungkan kemuliaan dengan

    gambar Allah17

    yang merujuk pada atribut dan kebesaran Allah,18

    14 Lih. Fee, Corinthians, 513; Garland, 1 Corinthians, 522; C.K. Barret, Blacks

    New Testament Commentary: The First Epistle to the Corinthians (Peabody,

    MA: Hendrickson Publishers, 1968), 252. 15 Jervell, Imago Dei, 111. Lihat juga Wolfgang Schrage, Der erste Brief an die

    Korinther, Bd.7/2:1 Kor 6,12-11,16 (Dsseldorf: Benziger Verlag, 1995), 509. 16 Tradisi-tradisi ini dirangkumkan oleh Jervell, Imago Dei, 100. 17 Jervell menunjukkan salah satu contoh relasi itu: In Tanch Pikude 2 it is said

    that man was created, which is explained in greater detail: according to the glory

    of his Creator. The expression can only be understood in such a way that one can

    use for . is the attribute of God. - Ex 23:15: Moses asked to see

  • Jurnal Theologia Aletheia Volume 21 No. 16 Maret 2019 7

    sehingga pria adalah refleksi kemuliaan Allah karena pria

    diciptakan sesuai keagungan dan kemuliaan Allah.19

    Paulus tidak menjelaskan atau mengklarifikasi konsep pria

    sebagai refleksi kemuliaan Allah lebih lanjut kemungkinan karena

    ia sedang menggambarkan pemahaman umum saat itu yang tidak

    memerlukan penjelasan tambahan. Akan tetapi, Paulus tidak

    berhenti sampai di titik ini yang seolah-olah hanya mengagungkan

    posisi pria sebagai kemuliaan dan gambar Tuhan. Paulus

    menambahkan tradisi tentang perempuan adalah kemuliaan pria

    untuk menekankan pentingnya perempuan di dalam budaya yang

    menegaskan dominasi pria.

    Tradisi di dalam pernyataan bahwa perempuan adalah

    kemuliaan pria terdapat dalam beberapa teks, seperti Amsal 11:16a

    God's image, : Let me see yours, Ex 33, 18. - Adam's divine image was his

    the light of the law. Gen. 1:27 corresponds to Ex 34, 29, according to Beth ,

    Ha-Midrash Tadsche 4. In Deut. Rabba 11.3 it is said that Moses and Adam

    discussed who was the greatest of them. Adam claims he was created. Moses

    then answers that Adam in his godlike Doxa, the image of God, did not remain,

    while he, Moses, did not lose his godlike equality. Jervell, Imago Dei, 100; tampaknya tradisi ini merupakan refleksi dari Bilangan 12:8 yang

    menggambarkan Musa bisa berkomunikasi langsung dengan Allah. 18 Lih. A. Feuillet, La Dignit Et Le Rle De La Femme D'aprs Quelques

    Textes Pauliniens: Comparaison Avec L'Ancien Testament, New Testament

    Studies 21, no. 2 (1975):160 dikutip oleh Anthony Thiselton, The First Epistle to

    the Corinthians: A Commentary on the Greek Text (Grand Rapids: MI: W. B.

    Eerdmans, 2000), 835. Beberapa ahli (Thiselton, Fee) mencoba melihat

    kemuliaan sebagai sebuah tanda kehormatan berdasarkan Maleakhi 1:6; tetapi

    tradisi Yahudi tidak memiliki pandangan demikian; Jervell menunjukkan bahwa

    teologi Yahudi somehow menghubungkan kemuliaan Adam dengan wajahnya:

    [Adam] is the image of God in the glorious appearance of man, that is, on his face see BBaba B 58a; Gene R 16.1; Koh R 8, 1 S 2; BMoed Q 15b; BSanh 46 b.

    This also explains why the meaning can have "face", see Gene R 53.6, Tanch

    Wajjesheb 2, Pb 3.6a, PMoed Q 3, 83a. Jervell, Imago Dei, 103. 19 Lihat juga BDAG yang memiliki pendapat sama bahwa kata kemuliaan ini

    lebih cenderung merujuk pada cermin/refleksi. Untuk penjelasan Bauer dkk, lihat

    William Arndt, Frederick W. Danker and Walter Bauer, A Greek-English

    Lexicon of the New Testament and Other Early Christian Literature (BDAG),

    3rd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 257.

  • Gema Kitab Kejadian dalam 1 Korintus 11:7-9 8

    (LXX);20

    1 Edras 4:17;21

    dan terdapat pada sebuah batu nisan, yang

    tertulis nama istri seorang Yahudi Romawi Sophronius, yang

    ditemukan di dalam bangunan bawah tanah (katakombe) dari Vigna

    Randanini (sebelah luar kota Roma).22

    Tradisi-tradisi ini

    mengungkapkan adanya penghormatan terhadap perempuan di

    tengah budaya patriarkat. Dengan merujuk pada tradisi-tradisi di

    atas secara tidak langsung, Paulus mengingatkan pembaca bahwa

    karena perempuan adalah kemuliaan pria, yang merupakan kepala

    metaforana, dia harus membawa atau menyinarkan kemuliaan pria

    dengan menutup atau menudungi kepalanya dalam ibadah.

    Ayat 8-9

    20 (perempuan yang cakap membangkitkan

    kemuliaan pada lelaki; terjemahan literal); Septuaginta: SESB Edition, ed.

    Alfred Rahlfs and Robert Hanhart (Stuttgart: Deutsche Bibelgesellschaft, 2006);

    or Amsal 12:4 (MT). 21 [Perempuan-perempuan] ini juga membuatkan baju untuk pria-pria;

    [perempuan-perempuan] ini membawa kemuliaan () atas para pria; dan

    tanpa perempuan para pria tidak bisa, diambil dari R. H. Charles, Apocrypha of the Old Testament, ed. Robert Henry Charles (Bellingham, WA: Logos Research

    Systems, Inc., 2004), 1:31. Dalam konteks keseluruhan perikop (ayat 13-32),

    ayat ini berbicara mengenai pentingnya perempuan dalam kaitannya dengan para

    lelaki. 22 Inskripsinya tertulis : Lucilla,

    kemuliaan Sophronius yang diberkati, dikutip oleh Garland dari R. Collins

    (1999:410), Corinthians, 522; lihat juga Pieter W. van der Horst, Ancient Jewish

    Epitaphs. Contributions to Biblical Exegesis and Theology 2, ed. Tj. Baarda and

    A.S. van der Woude (Kampen, the Netherlands: Kok Pharos Publishing House,

    1991), 143. Horst menunjukkan bahwa, We further note that Pauls conviction

    that woman is the glory () of man (1 Cor. 11:7) is also expressed by the Roman Jew Sophronius who inscribes his wifes tombstone with the words the

    glory of Sophronius (was) the blessed Lucilla; ibid, note 11. Sayangnya, sejak

    batu tersebut hilang, Horst menambahkan, cukup sulit bagi kita untuk

    menemukan informasi berkaitan dengan waktu dan konteks penulisan inskripsi

    ini; ibid.

  • Jurnal Theologia Aletheia Volume 21 No. 16 Maret 2019 9

    Dalam dua ayat ini, Paulus menggunakan ringkasan atau

    ikhtisar narasi23

    dari Kejadian 2 (kisah penciptaan) sebagai alat

    hermeneutikanya: urutan penciptaan24

    sebagai argumentasi

    lanjutannya berkaitan kesopanan dan penampilan dalam ibadah.

    Mengenai urutan penciptaan, tidak banyak tradisi dalam tulisan

    periode bait suci kedua yang berbicara mengenai perbandingan

    status perempuan dan laki-laki, hanya Philo dalam Question and

    Answers on Genesis 1:2725

    dan Sirakh 42:14.26

    Kedua tulisan ini

    lebih menekankan tentang status perempuan yang lebih rendah

    daripada laki-laki. Menurut Philo, perempuan itu lebih rendah dari

    laki-laki karena perempuan tidak diciptakan langsung oleh Allah,

    berbeda dengan laki-laki dan binatang yang merupakan ciptaan

    23 Penulis menggunakan framework narrative summary, salah satu pendekatan

    lanjutan intertekstualitas yang dikemukakan dari Leonard Wee Kong-Hwee

    dalam desertasinya Beyond the Echoes: Extending the framework for Biblical

    Intertextuality,Durham theses, Durham University (2012), available at Durham

    E-Theses Online:

    http://etheses.dur.ac.uk/6968/. 24 Sebagai tambahan, ada beberapa pandangan para ahli dalam mendefinisikan

    urutan penciptaan: Richard Hays berpendapat bahwa urutan penciptaan adalah

    urutan prioritas yang bersifat ontologis; sebaliknya, Belleville melihatnya

    sebagai urutan kronologis; C. Blomberg dan W. Webb berpendapat bahwa urutan ini adalah urutan yang didasarkan pada analisis budaya, viz. primogeniture or

    the privilege of firstborn, karena menurut mereka, Paulus berargumen

    berdasarkan konteks budaya (ayat 16). Lihat Richard Hays, First Corinthians:

    Interpretations: A Bible Commentary for Teaching and Preaching (Louisville,

    LV: John Knox Press, 1997), 187; Linda L. Belleville, Teaching and Usurping

    Authority: 1 Timothy 2:11-15 in Discovery Biblical Equality: Complementary

    Without Hierarchy, ed. R.W. Pierce, R.M. Groothuis, Gordon D. Fee (Downers

    Grove, IL: IVP Academic, 2005), 222; Craig Blomberg, The NIV Application

    Commentary: 1 Corinthians (Grand Rapids, MI: Zondervan Publishing House,

    1994), 216; William J. Webb, Slaves, Women And Homosexuals: Exploring The

    Hermeneutics Of Cultural Analysis (Downers Grove, IL: IVP Academic, 2001), 134-144. 25 Mengapa bukan perempuan, seperti binatang lain dan lelaki, juga dibentuk

    dari bumi, malahan dari sisi lelaki? Pertama, karena perempuan tidak setara

    dalam kehormatan (honour) dengan lelaki. Philo, Supplement 1. Questions and

    Answers on Genesis, LCL 380, transl. Raphl Marcus (London: Harvard

    University Press, 1951), 16. 26 Kejahatan laki-laki lebih baik dari pada kebajikan perempuan, dan

    perempuanlah yang mendatangkan malu dan nista (TB LAI).

  • Gema Kitab Kejadian dalam 1 Korintus 11:7-9 10

    langsung.27

    Karena itu, dia menyimpulkan bahwa perempuan lebih

    rendah secara hirarki dari laki-laki dan subordinasi perempuan

    diterima sebagai hal yang umum atau lazim dalam dunia saat itu.

    Kitab Sirakh juga merefleksikan tradisi mirip yang menghirarkikan

    pria di atas perempuan.

    Bagaimana dengan Paulus? Berbeda dari eksegesis Philo

    terhadap kisah penciptaan yang cenderung merendahkan

    perempuan, Paulus tidak memahaminya demikian, karena Paulus

    menekankan kesetaraan gender dalam tulisannya yang lain (bdk.

    Galatia 3:28; 1 Korintus 7:2-4). Dengan mengekspresikan urutan

    penciptaan, menurut penulis, Paulus berargumen bahwa karena

    laki-laki diciptakan sebelum perempuan, dan perempuan adalah

    penolong yang sepadan untuk pria, maka perempuan harus

    menudungi kepalanya. Argumentasi Paulus terlihat dari

    karakteristik dari ringkasan narasi berikut ini:

    1. Penyusunan Kembali Cerita pada Level Mikro

    (Rearrangement at Micro Level)

    Di dalam ringkasan narasi tentang kisah penciptaan kitab

    Kejadian 2 (ayat 8-9), Paulus tidak menyusun ringkasannya

    secara kronologis, sehingga hal ini disebut penyusunan atau

    penataan kembali pada level mikro. Contohnya, dia mengubah

    kata (LXX), yang diterjemahkan dari ,(Hadam)

    menjadi , bukan hanya dalam ayat 8-9, tetapi juga dalam

    ayat-ayat lain di perikop yang sama (ayat 2-16). Sementara itu,

    ketika Paulus menggunakan argumentasi yang sama (urutan

    penciptaan) dalam 1 Tim 2:13,28

    dia menggunakan ekspresi

    yang berbeda (). Di samping itu, pada ayat 8, Paulus

    27 Untuk mengetahui lebih lanjut persepsi Philo terhadap perempuan, lihat

    Dorothy Sly, Philos Perception of Women, Brown Judaic Studies 209 (Atlanta,

    GA: Scholars Press, 1990). 28 , .

  • Jurnal Theologia Aletheia Volume 21 No. 16 Maret 2019 11

    merangkum materi yang diambil dari Kejadian 2:21-23, tetapi

    pada ayat selanjutnya, dia kembali lagi pada Kejadian 2:18,

    yang tentunya tidak berurutan. Hal ini dapat dideskripsikan

    dalam tabel sebagai berikut:

    2. Kerangka Episodik (Episodic Frames)

    Paul meringkas dan mengubah kisah penciptaan (Kejadian

    2) menjadi kerangka eposide dalam bentuk dua

    argumentasi dan . Kedua argumentasi ini adalah

    argumentasi lanjutan dari pernyataan Paul di ayat 7c

    (perempuan adalah kemuliaan laki-laki), sebagaimana

    permulaan ayat 8 dan 9 dimulai dengan kata penghubung .29

    Dalam ayat 8, Paulus menggunakan kata preposisi atau

    argumentasi dari untuk menunjukkan elemen interpretatif

    bahwa pria atau manusia sudah ada ketika perempuan itu

    diciptakan. Dia tidak menggunakan kisah penciptaan dari

    Kejadian 1:27 yang mengindikasikan bahwa Allah menciptakan

    pria dan perempuan. Dia justru menggunakan ringkasan kisah

    dari Kejadian 2:7 untuk menunjukkan urutan penciptaan

    dengan menggunakan argumentasi dari: perempuan

    diciptakan dari pria.

    Dalam ayat 9, Paulus menggunakan kata preposisi

    30

    dengan merujuk pada Kejadian 2, yang di dalamnya

    29 Fee, Corinthians, 513. 30 Dalam konteks klausa ayat ini ( ), kata preposisi ini secara

    sintaks memiliki fungsi kausatif , karena memiliki deklensi akusatif sehingga

    Ringkasan Narasi/cerita

    (Summary Narrative) Teks PL

    Ayat 8 Perempuan diciptakan dari pria Kej 2:21-23

    Ayat 9 Perempuan diciptakan untuk pria Kej 2:18

  • Gema Kitab Kejadian dalam 1 Korintus 11:7-9 12

    menceritakan bahwa Hawa ditunjuk sebagai penolong yang

    sepadan untuk Adam. Dalam konteks 1 Kor. 11:9, Paulus

    menggunakan kisah itu untuk mendukung argumennya bahwa

    perempuan adalah kemuliaan pria/laki-laki (ayat 7c).31

    Tabel

    berikut meringkaskan perkembangan argumentasi Paulus:

    Selain argumentasi dari dan untuk, Paulus juga

    menunjukkan kontras argumentasi dengan menggunakan

    adversatif kuat untuk memperkuat argumentasinya.

    Sebagai contoh, dalam ayat 8, dia menunjukkan kontras

    argumentasi dari tentang urutan penciptaan, dan dia

    mengulanginya dalam nuansa negatif. Pola ini diulang dalam

    ayat 9. Repetisi ini (bukan pria dari/untuk perempuan)

    digunakan dengan tujuan untuk menekankan klausa

    berarti karena; lihat Andreas J. Kostenberger, Benjamin L. Merkle, and Robert L. Plummer, Going Deeper with New Testament Greek: An Intermediate Study of

    the Grammar and Syntax of the New Testament (Nashville, TN: B&H Academic,

    2016), 402; Daniel B. Wallace, Greek Grammar Beyond the Basics - Exegetical

    Syntax of the New Testament (Zondervan Publishing House, 2002), 369. 31 Fee, Corinthians, 517.

    Perkembangan

    argumentasi

    Ringkasan

    narasi

    Narasi PL

    Ay. 8 Argumentasi

    dari

    Perempuan

    diciptakan dari

    pria, bukan

    pria dari

    perempuan

    Kej 2:21-23

    Ay. 9 Argumentasi

    untuk

    Perempuan

    diciptakan

    untuk pria,

    bukan pria

    untuk

    perempuan

    Kej 2:18

  • Jurnal Theologia Aletheia Volume 21 No. 16 Maret 2019 13

    sebelumnya (perempuan diciptakan dari pria), karena mereka

    memiliki arti yang sama dengan klausa sebelumnya itu.

    3. Tujuan Retoris (Rhetorical Purpose)

    Ringkasan narasi Paulus memiki tujuan retoris, yang dapat

    dilihat dari dua cara: fokus yang selektif dan elemen yang

    interpretatif:

    a. Fokus yang Bersifat Selektif (Selective Focus)

    Dalam memilih ringkasan narasi/cerita, Paulus cukup

    selektif. Dia tidak memilih cerita penciptaan dari Kejadian

    1 yang menjelaskan bahwa Allah menciptakan pria dan

    perempuan (Kejadian 1:27), tetapi dari Kejadian 2. Dia

    juga tidak menggunakan urutan penciptaan dari Kejadian

    1,32

    dan menghindari deskripsi detil tentang penciptaan

    taman dan situasi di dalamnya (Kejadian 2:8-14), serta

    relasi antara pria dan perempuan itu (ayat 23-25). Fokus

    yang selektif dari ringkasannya digunakan untuk

    menunjukkan urutan penciptaan Paulus hanya diambil dari

    kisah penciptaan Kejadian 2.

    b. Elemen yang Bersifat Interpretatif (Interpretative Element)

    Dalam mendeskripsikan urutan penciptaan, Paulus

    memasukkan elemen yang interpretatif sebagai bagian dari

    argumentasinya dengan menggantikan kata

    menjadi . Apakah Paulus tidak sengaja melakukan

    kesalahan dengan mengubah kata ini? Penyalin p46

    sepertinya berpikir demikian dan mencoba menyelesaikan

    isu tekstual ini dengan mengubah kata ini kembali pada

    versi Septuaginta LXX (). Akan tetapi, penulis

    32 Dalam Kejadian 1, binatang dan ciptaan lainnya secara kronologis diciptakan

    sebelum manusia, yang mengimplikasikan bahwa urutan penciptaan tidak harus

    berarti hirarki; lihat Blomberg, Corinthians, 216.

  • Gema Kitab Kejadian dalam 1 Korintus 11:7-9 14

    yakin bahwa Paulus sengaja menggunakan kata

    daripada kata .

    Berdasarkan konteks perikop (ayat 2-16) dan gaya

    menulis Paulus, di satu sisi, ada empat belas kali

    kemunculan 33

    dalam Korintus: empat kali di pasal 7

    di dalam konteks hubungan suami-istri (kehidupan

    pernikahan); delapan kali di 11:2-16; dan sekali dalam

    13:11. Di sisi lain, Paulus juga menggunakan kata

    sebanyak tiga kali: 3:3; 9:8 dan 15:32 (di dalam

    arti yang lebih umum, yaitu manusia). Jika Paulus

    bermaksud merujuk obyek argumentasinya pada manusia

    secara umum, dia akan memilih menggunakan kata

    daripada kata , karena dia sengaja

    menggunakan kata juga dalam perikop-perikop

    lainnya di 1 Korintus. Bagi penulis, Paulus tidak salah atau

    dengan sengaja menggunakan kata . Pertanyaan lain

    yang muncul: apakah memiliki arti yang sama

    dengan ? Bauer mengamati adanya pergeseran

    makna dari penggunaan , yaitu dari penggunaan

    umum (manusia atau pria yang dikontraskan dengan

    perempuan) menjadi suami dalam zaman Paulus.34

    Hal ini

    berarti makna di masa Paulus sudah cenderung

    dipahami sebagai suami pada zaman Paulus. Dengan kata

    lain, pilihan Paulus untuk menggunakan kata

    daripada kata dalam konteks cerita Kejadian

    yang sedang dia rujuk merefleksikan penekanan

    interpretatifnya. Karena dia tidak merujuk pada manusia

    secara umum, Paulus sengaja menempatkan kontras antara

    33 1 Korintus 7:3, 4, 14, 39; 11:3, 4, 7, 8, 9, 11, 12, 14; 13:11. 34 Bdk. Mt 1:16, 19; Mk 10:2, 12; Lk 2:36; J 4:16ff; Kis 5:9f; Ro 7:2f; 1 Kor

    7:2ff, 10ff; 14:35; Gal 4:27; Eph 5:22ff; Kol 3:18f; 1 Ti 3:2, 12; 5:9; Tit 1:6;

    Homer et al.; Diodurus Siculus 2, 8, 6; Sir 4:10; Jos., Ant. 18, 149; Aristides 12,

    2; Fragment Milne p. 74 ln. 3; Just., A II, 2, 5ff; untuk data yang lebih lengkap

    lihat Bauer dkk, BDAG, 79.

  • Jurnal Theologia Aletheia Volume 21 No. 16 Maret 2019 15

    dan di dalam konteks relasi suami dan istri,

    sebagaimana dia sudah mendahului menggunakan

    argumentasinya dalam konteks itu pada ayat 3 bahwa

    suami () adalah kepala dari istrinya.35

    Blomberg

    sejalan dengan pemahaman ini: References to the creation

    of man and woman (vv. 8-9) have understandably given

    rise to the former translation [man and woman], but Adam

    and Eve were not only the prototypical male and female

    but also the first married couple.36

    Tentu saja tidak

    perlu menerjemahkan sebagai suami pada setiap ayat

    dalam perikop ini (ayat 2-16), karena Paulus berdiskusi

    tentang problem lajang dan janda dalam pasal 7 yang

    memahami bahwa tidak setiap perempuan dalam gereja

    Korintus telah menikah.37

    Di dalam ekspresi dan bersama pada ayat

    8-9, Paulus mungkin membatasi aplikasi/penggunaan

    urutan penciptaan dalam kaitannya dengan konteks

    sebelumnya, yaitu urutan kediaman order of the home

    (ayat 3).38

    Hal ini sesuai dengan logika dan tujuan retoris

    Paulus. Sebagaimana suami adalah kepala dari istrinya

    (ayat 3), suami memiliki otoritas atas istri, dan menudungi

    kepala adalah simbol ketaatan istri. Meskipun menudungi

    kepala adalah budaya yang tidak diwajibkan bagi para

    perempuan di Korintus,39

    prinsip ini tidak dimengerti oleh

    35 RSV dan NRSV sepakat menerjemahkan demikian. 36 Blomberg, 1 Corinthians, 209. 37 Blomberg, 1 Corinthians, 209. 38 Ketika mendiskusikan ayat 7, Fee juga mendeteksi hubungan antara ayat 8-9

    and ayat 3; Fee, Corinthians, 515. 39 Thompson dalam studi arkeologinya mengenai lukisan dinding Pompeii yang

    terkubur pada 79 M menyimpulkan bahwa tradisi menutupi/menudungi kepala

    adalah tradisi pilihan atau bukanlah kewajiban bagi para perempuan dalam dunia

    Yunani-Romawi pada masa Paulus. Untuk penjelasan lebih lanjut, lihat Cynthia

    L. Thompson, Hairstyles, Head-coverings, and St. Paul: Portraits from Roman

    Corinth, Biblical Archeologist 51 (2, June 1988): 112.

  • Gema Kitab Kejadian dalam 1 Korintus 11:7-9 16

    para lajang atau janda, penulis setuju dengan Keener yang

    mengamati bahwa tujuan Paulus ini adalah mempraktikkan

    pengorbanan diri (self-sacrifice) atau surrendering ones

    own right to avoid causing others to lose faith in Christ.40

    Menudungi kepala adalah manifestasi sikap berkorban

    demi kehidupan komunitas bersama. Hal ini sesuai dengan

    respons Paulus terhadap beberapa isu gereja Korintus

    dalam beberapa perikop lain. Contohnya, Paul menasihati

    saudara yang kuat mengorbankan hak mereka pada saudara

    yang lebih lemah berkaitan dengan isu memakan makanan

    yang dipersembahkan pada berhala (pasal 8), dan dalam

    pasal 9 Paulus mengorbankan haknya sendiri sebagai

    seorang rasul.41

    Karena itu, dengan mengenakan kerudung

    kepala, para perempuan menunjukkan kasih Kristus yang

    berkorban, dan mereka berkontribusi pada kesatuan gereja.

    Selain itu, pemilihan kata daripada

    dari Paulus juga merefleksikan konteks budaya dari

    komunitas saat itu, yakni relasi suami-istri menjadi pola

    bagi relasi pria-perempuan, bahkan untuk pria dan

    perempuan yang tidak menikah.42

    Meskipun otoritas

    dilaksanakan atau diekpresikan secara penuh oleh suami

    dan istri dalam konteks pernikahan (suami memiliki

    otoritas atas istri), pria yang tidak menikah dalam

    komunitas juga memiliki tanggung jawab ini, dan para

    perempuan juga memiliki tanggung jawab untuk taat di

    bawah otoritas pria dalam komunitas. Hal ini didasarkan

    pada struktur sosial dalam dunia Yunani-Romawi kuno.

    Para perempuan yang tidak menikah (para lajang dan

    40 Keener, Paul, Women and Wives, 41. 41 Keener, Paul, Women and Wives, 41. 42 Michael R. Riley, The Proper Translation of Aner and Gune in the New

    Testament, (paper presented for the Manitowoc Pastoral Conference, St. Johns,

    Newtonburg, April 19, 1993).

  • Jurnal Theologia Aletheia Volume 21 No. 16 Maret 2019 17

    janda) tidak independent, tetapi tetap berada di bawah

    otoritas ayah mereka atau anggota keluarga lelaki yang

    memiliki responsibilitas setelah ayah mereka.43

    Dengan

    kata lain, Paulus menasihatkan para perempuan untuk

    mengikuti tradisi ini (otoritas pria berdasarkan pola

    pernikahan) dengan menutupi kepala mereka pada saat itu

    demi kepentingan komunitas mereka, bahkan ketika

    mereka diikat oleh peraturan sosial untuk melakukan hal

    itu. Karena itu

    KESIMPULAN

    Pembacaan intertekstual terhadap 1 Kor. 11:7-9

    menghasilkan pemahaman yang mendalam dan kaya mengenai

    penggunaan teks Kejadian oleh Paulus yang di dalam lingkungan

    tradisi teks Yahudi yang merefleksikan tradisi Kejadian. Ada

    beberapa pengamatan yang dapat ditarik dari hubungan

    intertekstual ini:

    1. Secara umum, Paulus tampaknya mengikuti tradisi rabinik dan

    Yahudi yang bersandar pada tradisi Kitab Kejadian, yang

    menekankan subordinasi kaum perempuan di bawah otoritas

    pria (di dalam konteks urutan penciptaan), tetapi tentunya dia

    memberikan klarifikasi dengan menambahkan pemahaman

    tentang pentingnya perempuan di tengah budaya itu. Dengan

    kata lain, Paulus tidak menentang tradisi menutup kepala

    (khususnya di ayat 7), tapi tidak mengikuti sepenuhnya, karena

    dia menekankan pentingnya perempuan di dalam tradisi

    patriarkat. Selain itu, tujuan utama Paulus dengan rujukannya

    pada tradisi ini adalah untuk mendukung argumentasi tentang

    menutupi kepala perempuan di dalam ibadah. Sama halnya

    43 Riley, Aner and Gune; see also Michael Marlowe, The Womans

    Headcovering: 1 Corinthians 11:2-16, October 2008, accessed April 17, 2018,

    http://www.bible-researcher.com/headcoverings.html#note3.

  • Gema Kitab Kejadian dalam 1 Korintus 11:7-9 18

    juga dengan urutan penciptaan (ayat 8-9) dipakai Paulus untuk

    mendukung argumentasi Paulus di dalam konteks budaya yang

    tidak diaplikasikan ke dalam semua konteks (transcultural).

    2. Ringkasan narasi Paulus di dalam ayat 8-9 adalah hal yang

    unik, karena dia menempatkan argumentasi dari urutan

    penciptaan di dalam implikasi yang kontekstual. Dia menaruh

    logika urutan penciptaan di dalam konteks pernikahan, yang

    sesuai dengan latar belakang budaya sosial jemaat saat itu

    (tudung kepala). Dengan menganalisa ringkasan narasi Paulus

    (narrative summary), kita dapat menyimpulkan bahwa urutan

    penciptaan ini digunakan Paulus untuk menunjukkan bahwa

    otoritas suami atas istri di dalam pernikahan menjadi semacam

    pola untuk relasi pria dan perempuan di dalam komunitas.

    Selain itu, pola ini menjadi alasan bagi perempuan untuk

    menutupi kepala mereka sebagai tanda dari kemuliaan pria di

    dalam komunitas. Di samping itu, dengan berargumen dari

    urutan penciptaan, Paulus memanggil para perempuan untuk

    mempraktikkan kasih dalam bentuk pengorbanan diri demi

    keutuhan dan kesatuan komunitas dengan menutupi kepala

    mereka.

    3. Kita tetap harus ingat bahwa Paulus tidak menitikberatkan

    posisi para pria, tetapi mengkualifikasi argumentasinya dengan

    menjelaskan relasi interdependensi (kesaling-bergantungan)

    antara pria dan perempuan di dalam ayat 11-12, dan di dalam

    konteks sebelumnya (7:1-9) yang menunjukan relasi yang

    saling bergantung antara suami dan istri. Dengan kata lain,

    tujuan Paulus di sini tidaklah mendukung keadaan/martabat

    perempuan yang rendah (inferiority of women). Tujuannya

    jelas di dalam ayat 7-9, seperti yang diutarakan Garland:

    Woman, whose head is man and who represents his glory, is

  • Jurnal Theologia Aletheia Volume 21 No. 16 Maret 2019 19

    to be covered in worship. To do otherwise brings shame to

    their respective heads.44

    4. Relevansi pastoral: dari pengamatan di atas, penulis melihat

    bahwa pendekatan Paulus dalam memecahkan masalah di

    gereja Korintus adalah pendekatan yang moderate. Paulus

    tidak memberontak atau melabrak sistem yang ada (budaya

    patriarkat berdasarkan urutan penciptaan), tetapi di dalam

    tradisi yang dominan dan tidak menguntungkan posisi

    perempuan, dia berusaha memberikan alasan positif

    berdasarkan tradisi yang berimbang (perempuan adalah

    kemuliaan pria), tentunya di dalam konteks meneladani kasih

    Kristus. Dengan demikian, dengan menudungi kepala mereka,

    para perempuan tidak menjadi batu sandungan bagi jemaat,

    dan mereka berkontribusi pada kesatuan tubuh Kristus.

    DAFTAR RUJUKAN

    Barret, C.K. Blacks New Testament Commentary: The First

    Epistle to the Corinthians. Peabody, MA: Hendrickson

    Publishers, 1968.

    Belleville, Linda L. Teaching and Usurping Authority: 1 Timothy

    2:11-15 in Discovery Biblical Equality: Complementary

    Without Hierarchy. Edited by R.W. Pierce, R.M. Groothuis,

    Gordon D. Fee. Downers Grove, IL: IVP Academic, 2005.

    Blomberg, Craig. The NIV Application Commentary: 1

    Corinthians. Grand Rapids, MI: Zondervan Publishing

    House, 1994.

    44 Garland, Corinthians, 522.

  • Gema Kitab Kejadian dalam 1 Korintus 11:7-9 20

    Fee, Gordon D. The First Epistle to the Corinthians. The New

    International Commentary on the New Testament. Grand

    Rapids, MI: Wm. B. Eerdmans Publishing Co., 1987.

    Feuillet, A. La Dignit Et Le Rle De La Femme D'aprs

    Quelques Textes Pauliniens: Comparaison Avec L'Ancien

    Testament. New Testament Studies 21, no. 2 (1975): 157

    191.

    Fishbane, Michael. Biblical Interpretation in Ancient Israel. New

    York, NY: Oxford University Press, 1985.

    Garland, David E. 1 Corinthians. Baker Exegetical Commentary on

    the New Testament. Grand Rapids, MI: Baker Academic,

    2003.

    Gregg, J. A. F. The Wisdom of Solomon in the Revised Version with

    Introduction and Notes, The Cambridge Bible for Schools

    and Colleges. Cambridge: Cambridge University Press,

    1922), 21.

    Hays, Richard B. First Corinthians: Interpretations: A Bible

    Commentary for Teaching and Preaching. Louisville, LV:

    John Knox Press, 1997.

    Horst, Pieter W. van der. Ancient Jewish Epitaphs. Contributions to

    Biblical Exegesis and Theology 2. Edited by Tj. Baarda and

    A.S. van der Woude. Kampen, the Netherlands: Kok Pharos

    Publishing House, 1991.

    Jervell, Jacob. Imago Dei: Gen I, 26 f. im Sptjudentum, in der

    Gnosis und in den paulinischen Briefen (Gttingen:

    Vandenhoeck & Ruprecht, 1960.

  • Jurnal Theologia Aletheia Volume 21 No. 16 Maret 2019 21

    Keener, Craig S. Paul, Women and Wives: Marriage and Womens

    Ministry in the Letters of Paul. Grand Rapids, MI: Baker

    Academic, 2004.

    Marlowe, Michael. The Womans Head Covering: 1 Corinthians

    11:2-16, October 2008. Accessed April 17, 2018.

    Http://www.bible-researcher.com/headcoverings.html#note3.

    Meier, John P. On the Veiling of Hermeneutics (1 Cor. 11:2-16).

    The Catholic Biblical Quarterly, 40, no. 2 (April 1978): 212-

    226.

    Riley, Michael R. The Proper Translation of Aner and Gune in the

    New Testament. Paper presented for the Manitowoc Pastoral

    Conference, St. Johns. Newton burg. April 19, 1993.

    Schrage, Wolfgang. Der erste Brief an die Korinther, Bd.7/2:1 Kor

    6,12-11,16. Dsseldorf: Benziger Verlag, 1995.

    Sly, Dorothy. Philos Perception of Women, Brown Judaic Studies

    209. Atlanta, GA: Scholars Press, 1990.

    Thiselton, Anthony C. The First Epistle to the Corinthians: A

    Commentary on the Greek Text. Grand Rapids: MI: W. B.

    Eerdmans, 2000.

    Thompson, Cynthia L. Hairstyles, Head-coverings, and St. Paul:

    Portraits from Roman Corinth. Biblical Archeologist 51 (2,

    June 1988): 99-115.

    W. Arndt, F. W. Danker, & Bauer, W. A Greek-English lexicon of

    the New Testament and other early Christian literature.

    "Based on Walter Bauer's Griechisch -deutsches Wrterbuch zu

    den Schriften des Neuen Testaments und der frhchristlichen

  • Gema Kitab Kejadian dalam 1 Korintus 11:7-9 22

    [sic] Literatur, sixth edition, ed. Kurt Aland and Barbara

    Aland, with Viktor Reichmann and on previous English

    editions by W.F. Arndt, F.W. Gingrich, and F.W. Danker.",

    3rd ed. Chicago: University of Chicago Press, 2000.

    Wallace, Daniel B. Greek Grammar Beyond the Basics - Exegetical

    Syntax of the New Testament. Zondervan Publishing House

    and Galaxie Software, 1999; 2002.

    Webb, William J. Slaves, Women and Homosexuals: Exploring the

    Hermeneutics of Cultural Analysis. Downers Grove, IL: IVP

    Academic, 2001.

  • 23

    HUMOR DALAM PERUMPAMAAN

    TENTANG PENGAMPUNAN

    (MATIUS 18:21-35)

    Stefanus Kristianto

    Abstrak: Disadari atau tidak, untuk rentang waktu yang lama,

    sebenarnya ada tendensi anti-humor yang kuat dalam Kekristenan.

    Hal ini tidak mengejutkan sebab tradisi Kristen memang telah

    mewariskan semacam sentimen negatif terhadap humor. Dalam

    studi ini, penulis akan mencoba meresponi salah satu dampak

    negatif dari tradisi ini, yaitu pengabaian atau penolakan terhadap

    eksistensi humor dalam Alkitab. Lebih spesifiknya, penulis akan

    mencoba menunjukkan potensi humor dalam sebuah teks, yakni

    perumpamaan tentang pengampunan (Matius 18:21-35). Untuk

    mencapai hal tersebut, penulis akan lebih dulu berusaha

    memberikan definisi provisional tentang humor. Setelah itu,

    penulis akan membahas konteks dan konten dari perikop tersebut,

    sebelum pada akhirnya memaparkan beberapa usulan mengenai

    humor dalam teks tersebut.

    Kata-kata kunci: Humor, Injil Matius, Perumpamaan,

    Pengampunan, Keganjilan, Hyperbola

    Abstract: Whether it is realized or not, for a long period of time,

    there has been a strong anti-humor tendency within the church.

    This is not surprising since the Christian tradition has indeed

    bequeathed a kind of negative sentiment toward humor. In this

    study, the writer is trying to respond to one of the negative impacts

    of this tradition, namely the ignorance or the denial of the existence

    of humor in the Bible. Specifically, the writer will try to show

    humor potentials in a certain passage of the Bible, i.e. the parable

    of the Unmerciful Servant (Matthew 18:21-35). To achieve the

    goal, the writer will first attempt to give a provisional definition of

  • Humor Dalam Perumpamaan Tentang Pengampunan (Matius 18:21-35) 24

    humor. Afterwards, he will discuss the context and content of the

    passage, and finally, he will discuss some suggestions as to humor

    in the passage.

    Keywords: Humor, the Gospel of Matthew, Parables, Unmerciful

    Servant, Incongruity, Hyperbole

    PENDAHULUAN: TRADISI YANG ANTI-HUMOR

    Beberapa tahun yang lampau, dalam sebuah seminar, salah

    seorang mentor penulis pernah mengisahkan pengalamannya ketika

    dia mulai belajar berkhotbah di sebuah sekolah teologi. Dia

    menceritakan bahwa salah seorang dosennya pernah menegurnya,

    karena dia kerap menghadirkan gurauan-gurauan dalam khotbah-

    khotbahnya. Bagi dosen tersebut, khotbah dan mimbar adalah hal

    yang kudus dan, oleh sebab itu, tidak sepatutnya dikotori atau

    dinajiskan dengan berbagai gurauan.1 Pengalaman mentor

    penulis ini sebenarnya hanyalah salah satu contoh yang

    menunjukkan bahwa untuk jangka waktu yang lama ternyata ada

    semacam sentimen negatif terhadap humor dalam kekristenan. Hal

    ini tidak mengherankan, sebab tanpa disadari tradisi Kristen

    memang mewariskan semacam tendensi anti-humor dalam gereja.

    Pada abad-abad permulaan, humor dianggap sebagai sesuatu yang

    negatif oleh mayoritas bapa gereja.2 Dalam hal ini, salah satu

    1 Lihat rekaman pertama seminar Humor dalam Alkitab oleh Yakub Tri

    Handoko, yang bisa diakses secara daring di

    https://www.youtube.com/watch?v=7EkT5MN4obM&t=68s 2 Nampaknya ada dua alasan utama mengapa para bapa gereja melihat humor

    sebagai hal yang negatif. Alasan pertama bersifat teologis. Para tokoh ini melihat

    bahwa kemunculan humor dalam Alkitab (khususnya dalam Perjanjian Lama) biasanya terkait dengan kebencian dan kebodohan [(band. John Morreall,

    Philosophy and Religion, in Victor Raskin (ed.), The Primer of Humor

    Research (Berlin: Mouton de Gruyter, 2008), 212-3]. Terkait kebencian, hal ini

    bisa dilihat dalam tawa Allah di dalam Mazmur 2, yang muncul dalam konteks

    ejekan. Tawa Elia terhadap nabi-nabi Baal (1 Raja-Raja 18:20-46) maupun tawa

  • Jurnal Theologia Aletheia Volume 21 No. 16 Maret 2019 25

    contoh yang paling mengemuka ialah Yohanes Krisostomus.

    Dalam salah satu khotbahnya, dia pernah menulis demikian:

    Thus laughter often gives birth to foul discourse, and foul

    discourse to actions still more foul. Often from words and

    laughter proceed railing and insult; and from railing and

    insult, blows and wounds; and from blows and wounds,

    slaughter and murder. If, then, you would take good counsel

    for yourself, avoid not merely foul words, and foul deeds, or

    blows, and wounds, and murders, but unseasonable laughter,

    itself, and the very language of banter; since these things

    have proved the root of subsequent evils (The Homilies on the

    Statues to the People of Antioch, Homily XV. 11)3

    sekelompok anak kecil terhadap Elisa karena kebotakannya (2 Raja-Raja 2:23-

    24) juga dianggap mengandung konotasi yang sama. Sementara mengenai

    kebodohan, tawa Abraham dan Sarah terhadap janji Allah merupakan teks yang

    representatif (Kejadian 17:17; 18:12-15). Morreall menjelaskan jalan berpikir

    para tokoh ini, Abraham and Sarahs laughter did not express superiority or

    scorn towards God, but it did show two serious shortcomings: the intellectual

    inability to imagine the maker of heaven and earth performing a simple miracle,

    and a lack of trust in God. (Morreall, Philosophy and Religion, 212; band juga James H. Charlesworth, How Barisat Bellowed: Folklore, Humor, and

    Iconography in the Jewish Apocalypses and the Apocalypse of John. DSSCOL 3

    [North Richland Hill, TX: Bibal, 1998], 9-10). Beberapa nasihat yang

    disampaikan oleh Qoheleth juga terlihat mengaitkan tawa dengan kebodohan dan

    kesia-siaan (Pengkhotbah 2:2; 7:3-6). Selain itu, rujukan kepada teladan Kristus

    juga mengharuskan mereka menghindari tawa (lihat catatan kaki nomor 4; lih.

    Willie Van Herden, Why the Humour in the Bible Plays Hide and Seek with

    Us, in Social Identities 7/1 [2001]: 84). Alasan kedua terkait dengan pengaruh

    filosofis. Beberapa filsuf ternyata mengaitkan tawa sebagai wujud sikap anti-

    sosial yang lahir dari kurangnya pengendalian diri. Ide ini khususnya terlihat

    jelas dalam pemikiran Plato. Van Herden menuliskan, Plato claimed that humour is harmful because it involves the suspension of our highest faculty, our

    reason. Laughter is therefore to be suppressed, because it promotes and

    expresses silliness and irresponsibility, which are less than fully human

    qualities (Van Herden, Why the Humour in the Bible, 81). Akibatnya, tentu

    saja para bapa gereja awal (yang umumnya dipengaruhi Plato) juga cenderung

    melihat humor secara negatif. 3 Teks ini bisa diakses secara daring di

    http://www.newadvent.org/fathers/190115.htm

  • Humor Dalam Perumpamaan Tentang Pengampunan (Matius 18:21-35) 26

    Di tempat lain, Krisostomus menyatakan bahwa tawa

    bukanlah sikap yang mengikuti teladan Kristus dan orang-orang

    Kudus. Sebaliknya, dia berpendapat bahwa justru dengan

    menangislah orang-orang Kristen sebenarnya sedang meneladani

    Kristus dan Paulus, dan bahkan mempersiapkan dirinya untuk

    mewarisi Kerajaan Allah.4 Setali tiga uang dengan Krisostomus,

    beberapa bapa gereja lainnyasemisal Klemens Aleksandria,

    Ambrosiaster, Hieronimus (Jerome), dan Basil Kaesareaternyata

    juga mengemukakan pendapat serupa dalam beberapa khotbah

    mereka.5

    Pada era Monastik, keadaan ternyata tidak jauh berubah.

    Humor masih dipandang sebagai sesuatu yang negatif oleh banyak

    rahib. Morreall mendaftarkan beberapa contoh di antaranya:

    The oldest monastic ruleof Pachom of Egypt in the fourth

    centuryforbade joking. The Rule of St. Benedict, the

    foundation of Western monastic codes, enjoined monks to

    prefer moderation in speech and speak no foolish chatter,

    nothing just to provoke laughter; do not love immoderate or

    boisterous laughter. In Benedicts Ladder of Humility, Step

    Ten was a restraint against laughter, and Step Eleven a

    warning against joking. The monastery of Columban in

    Ireland assigned these punishments: He who smiles in the

    4 If you also weep thus, you have become a follower of your Lord. Yea, for He

    also wept, both over Lazarus, and over the city; and touching Judas He was

    greatly troubled. And this indeed one may often see Him do, but nowhere laugh,

    nay, nor smile but a little; no one at least of the evangelists has mentioned this.

    Therefore also with regard to Paul, that he wept, that he did so three years night

    and day, both he has said of himself, and others say this of him; but that he

    laughed, neither has he said himself anywhere, neither has so much as one other

    of the saints, either concerning him, or any other like him For this is not the

    theatre for laughter, neither did we come together for this intent, that we may give way to immoderate mirth, but that we may groan, and by this groaning

    inherit a kingdom (Homilies on Matthew VI.8-9). Teks khotbah ini bisa diakses

    secara daring di http://www.newadvent.org/fathers/200106.htm 5 Lihat Stephen Halliwell, Greek Laughter: A Study of Cultural Psychology from

    Homer to Early Christianity (Cambridge: CUP, 2008), 512-9.

  • Jurnal Theologia Aletheia Volume 21 No. 16 Maret 2019 27

    service . . . six strokes; if he breaks out in the noise of

    laughter, a special fast unless it has happened pardonably.

    One of the strongest condemnations of laughter came from

    the Syrian abbot Ephraem: Laughter is the beginning of the

    destruction of the soul, o monk; when you notice something of

    that, know that you have arrived at the depth of the evil. Then

    do not cease to pray God, that he might rescue you from this

    death.6

    Pada periode Puritanisme, cara pandang terhadap humor

    ternyata kian menjadi negatif. Beberapa tokoh Puritan bahkan

    menulis beberapa traktat untuk melawan humor dan komedi.

    William Pyrnne, misalnya, menganggap bahwa komedi adalah hal

    yang tidak sesuai dengan sikap hidup kristiani. Oleh karena itu, dia

    menasihatkan, orang Kristen tidak seharusnya melibatkan dirinya

    dalam sikap yang sembrono, sia-sia, dan berlebihan seperti

    demikian.7

    Dari skesta singkat ini, terlihat bahwa perjalanan sejarah

    kekristenan ternyata diwarnai oleh para pemikir yang anti-humor.

    Humor cenderung dianggap sebagai wujud keberdosaan, entah

    sebagai bentuk ekspresi kebencian atau absennya pengendalian diri.

    Willie Van Herden meringkaskan cara pandang ini dengan baik:

    The greater the degree of holiness, the less the degree of laughter

    and humour.8 Cara pandang ini tak pelak melahirkan dua

    konsekuensi praktis dalam sejarah Kekristenan. Pertama, orang-

    orang Kristen cenderung menghindari humor atau gurauan dalam

    kehidupan mereka sehari-hari, sebab hal tersebut dianggap sebagai

    tanda jauhnya hidup mereka dari kesalehan. Dengan kata lain,

    secara diam-diam, orang-orang Kristen cenderung dibentuk agar

    memiliki temperamen yang serius dan literal. Karena alasan ini,

    6 Morreall, Philosophy and Religion, 217. 7 Lihat John Morreall, Comic Relief: A Comprehensive Philosophy of Humor

    (Malden, Ma: Wiley-Blackwell, 2009), 5-6. 8 Van Herden, Why the Humour in the Bible, 77.

  • Humor Dalam Perumpamaan Tentang Pengampunan (Matius 18:21-35) 28

    tidak heran jika dosen tadi harus memberikan teguran kepada

    mentor penulis. Bukankah tidak layak untuk menggunakan piranti

    keberdosaan dalam menyampaikan firman yang kudus di atas

    mimbar yang kudus? Kedua, orang-orang Kristen cenderung

    melewatkan (atau bahkan memungkiri) eksistensi humor dalam

    Alkitab. Karena humor adalah manifestasi keberdosaan, maka

    menganggap bahwa Alkitab mengandung dan menampilkan sikap

    yang demikian tentunya merupakan sikap yang tidak masuk akal,

    bila bukan penghujatan.9

    Dalam tulisan ini, penulis tidak akan berfokus pada

    konsekuensi yang pertama.10

    Sebaliknya, di sini penulis akan

    mencoba memberikan jawaban terhadap konsekuensi kedua.

    Karena keterbatasan ruang, tentu saja adalah hal yang mustahil

    untuk menunjukkan potensi humor dalam seluruh bagian Alkitab.

    Apa yang akan penulis lakukan dalam tulisan ini ialah

    9 Van Herden, Why the Humour in the Bible, 81. Harus diakui bahwa tradisi

    Kristen bukanlah satu-satunya penyebab orang-orang Kristen dan pembaca

    modern lain tidak bisa menikmati humor dalam Alkitab. Penulis melihat (1) gap

    budaya dan bahasa antara masyarakat Alkitab (penulis dan penerimanya) dan

    pembaca modern, (2) perbedaan cara membaca antara masyarakat Alkitab

    dengan masyarakat modern, maupun (3) pengaruh para akademisi (bdk. catatan

    kaki 61), juga turut berperan menyebabkan banyak orang sulit mendeteksi keberadaan humor dalam Alkitab. Lih. Stefanus Kristianto, Jesuss Humor in the

    Antitheses (Unpublished MTh thesis; Singapore: Trinity Theological College,

    2017), 26-31. 10 Terkait hal ini Conrad Hyers memberi sebuah pendapat yang baik. Dia

    mengakui bahwa memang ada tawa yang terkait dengan kejatuhan (fallen

    laughter), yakni tawa yang ditujukan untuk mengolok seseorang atau

    meninggikan diri seseorang terhadap orang lain. Akan tetapi, dia menolak

    gagasan bahwa semua tawa adalah hal yang negatif. Sebaliknya, dia berpendapat

    bahwa humor dan tawa manusia berakar dalam Allah: manusia tertawa dan

    mengenali humor sebab manusia diciptakan menurut gambar Allah. Dengan kata

    lain, humor merupakan salah satu bagian dari karakter Allah. Oleh sebab itu, menolak humor karena menganggapnya sebagai sikap yang negatif merupakan

    sikap yang tidak berdasar. Humor, seperti yang Hyers jelaskan, merupakan salah

    satu anugerah Allah bagi manusia sebagai gambar-Nya. Lihat Conrad Hyers, And

    God Created Laughter: the Bible as Divine Comedy (Atlanta: John Knox, 1987),

    9-23.

  • Jurnal Theologia Aletheia Volume 21 No. 16 Maret 2019 29

    menunjukkan bahwa sebuah teks Alkitab yang dibahas ternyata

    sangat mungkin mengandung potensi humor;11

    dan bagian yang

    akan menjadi perhatian dalam tulisan ini ialah perumpamaan

    tentang pengampunan, yang terekam dalam Matius 18:21-35.

    Perumpamaan ini adalah salah satu perumpamaan Tuhan Yesus

    yang terkenal. Meski demikian, tidak banyak pembaca yang

    menyadari bahwa perikop ini mengandung beberapa potensi

    humor.12

    Untuk menunjukkan potensi humor dalam perikop ini,

    pertama-tama penulis akan mendiskusikan secara singkat mengenai

    definisi humor. Sesudahnya, penulis akan membahas konteks dan

    konten perumpamaan ini, sebelum akhirnya menunjukkan beberapa

    potensi humor dalam perikop ini. Apa yang menarik, bila

    interpretasi penulis dalam studi ini bisa diterima, itu berarti Alkitab

    (khususnya kitab Injil) bukan sekadar mengandung humor, tetapi

    lebih jauh lagi, Alkitab ternyata menampilkan Yesus sebagai sosok

    yang hidup dan humoris! (kontra Krisostomus).13

    11 Penting diingat bahwa studi humor dalam Alkitab bukanlah sebuah studi

    eksakta, melainkan sebuah studi interpretasi. Karena itu, ketika seorang penafsir

    berpendapat bahwa satu ayat atau bagian Alkitab mengandung humor, tentu saja

    derajat keyakinannya akan berbeda dengan saat ia mengatakan bahwa satu

    ditambah satu (dalam konteks perhitungan desimal!) adalah dua! Apa yang bisa

    seorang penafsir humor nyatakan ialah bahwa dengan berdasar pada sebuah teori

    atau konsep humor tertentu, sebuah ayat atau bagian Alkitab yang dibahas sangat

    mungkin (probably) mengandung unsur humor. 12 Jakob Jnsson sebenarnya tidak terlalu yakin apakah perikop ini memang

    mengandung humor. Meski demikian, ia melihat bahwa perubahan sikap yang

    tiba-tiba yang dilakukan si hamba nampaknya berpotensi mengandung unsur komikal (lihat Humor and Irony in the New Testament: Illuminated by Parallels

    in Talmud and Midrash [Leiden: Brill, 1965], 134-6). Sayangnya, Jnsson tidak

    mengelaborasi pendapatnya lebih jauh, sehingga usulannya menjadi tidak jelas. 13 Selain Krisostomus, beberapa pemikir lain juga berpendapat bahwa Yesus

    adalah pribadi yang anti-humor, misalnya Nietzsche, Harris, dan Chesterton.

    Lihat Henry F. Harris, The Absence of Humor in Jesus, in Methodist Quarterly

    Review 57/3 (July 1908): 460-7; Gilbert K. Chesterton, Heretics/Orthodoxy

    (Nashville: Thomas Nelson, 2000), 311.

  • Humor Dalam Perumpamaan Tentang Pengampunan (Matius 18:21-35) 30

    MENDEFINISIKAN HUMOR

    Apakah humor itu? The Oxford Advanced American

    Dictionary memberikan tiga pilihan definisi, yaitu: (1) the quality

    in something that makes it funny or amusing; the ability to laugh at

    things that are amusing; (2) the state of your feelings or mind at a

    particular time; and (3) one of the four liquids that were thought in

    the past to be in a persons body and to influence health and

    character.14

    Dari ketiga definisi di atas, terlihat jelas bahwa hanya

    ada satu definisi yang terkait dengan studi humor, yakni definisi

    pertama. Hanya saja, definisi tersebut tidak menjelaskan sifat dasar

    humor kepada pembacanya.

    Diskusi mengenai sifat dasar atau natur humor memang tidak

    pernah menjadi diskusi yang mudah, sehingga tidak mengherankan

    bila lantas para sarjana Alkitab cenderung menghindari diskusi ini

    dan memilih memberi pengertian minimal mengenai humor.

    Rogness, misalnya, mendefinisikan humor sebagai: those

    situations, comments, or stories that would cause us to smile,

    chuckle, or even laugh.15

    Akan tetapi, dalam halaman awal

    artikelnya, dia menuliskan:

    What is humorous or funny depends as much on the listener

    or viewer as the situation or humorist, so an exact definition

    is impossible. Defining humor is much like Supreme Court

    Justice Potter Stewart trying to define obscenity in a 1964

    case before the court (Jacobellis V. Ohio). He wrote, I shall

    not today attempt further to define the kinds of material I

    understand to be embraced but I know it when I see it. An

    adequate definition of humor is impossible, but we know it

    when we see it.16

    14 Oxford Advanced American Dictionary (Oxford: OUP, 2011), 740. 15 Michael Rogness, Humor in the Bible, in Word & World 32/2 (2012): 119. 16 Rogness, Humor in the Bible, 117. Penekanan oleh penulis.

  • Jurnal Theologia Aletheia Volume 21 No. 16 Maret 2019 31

    Kesimpulan yang sama juga bisa ditemukan dalam studi

    yang dilakukan John Reid dan Yehuda Radday. Reid berpendapat

    bahwa kualitas humor sebenarnya menolak semua upaya definisi.

    Bagi Reid, humor hanya bisa dirasakan dan dinikmati, tetapi tidak

    bisa didefinisikan dengan pasti.17

    Senada dengan Reid, Radday

    juga meyakini bahwa konsep humor sebenarnya menolak semua

    upaya definisi yang dilakukan manusia.18

    Bednarz merupakan

    contoh yang lain. Di dalam disertasinya, dia tidak sedikitpun

    membahas sifat humor.19

    Hal ini menjadi jelas dalam sebuah

    publikasi yang diterbitkannya kemudian. Dia berpendapat bahwa

    sarjana Alkitab telah bersikap bijak dengan menghindari diskusi

    yang kompleks mengenai teori humor. Dia melanjutkan, observasi

    sederhana bahwa humor terdiri atas beberapa bentuk keganjilan

    (incongruity) sudah lebih dari cukup untuk menjadi landasan dalam

    studi humor Alkitab.20

    Bila para sarjana tadi mewakili kelompok pesimisitis,

    beberapa sarjana lain ternyata cukup percaya diri dalam

    menguraikan natur humor. Jakob Jnsson, misalnya,

    mengalokasikan satu bab khusus untuk membahas natur humor dan

    ironi.21

    Dia mejelaskan bahwa studi humor pada dasarnya

    merupakan studi mengenai sesuatu yang lucu (comical). Dia lantas

    mengaitkan kelucuan ini dengan beberapa elemen lain, seperti sifat

    menggelikan (ludicrousness), kemenangan atas sesuatu yang tidak

    17 Dikutip dalam Jnsson, Humor and Irony, 16. 18 Yehuda T. Radday, On Missing the Humour in the Bible: An Introduction,

    dalam Yehuda T. Radday and Athalya Brenner (eds.), On Humour and Comic in

    the Hebrew Bible (Sheffield: Almond, 1990), 23. 19 Terri Bednarz, Humor-neutics: Analyzing Humor and Humor Function in the

    Synoptic Gospels (Unpublished Ph.D dissertation, Texas Christian University,

    2009). 20 Terri Bednarz, Humor in the Gospels: A Sourcebook for the Study of Humor in

    the New Testament 1863-2014 (Lanham: Lexington, 2015), 10. Bdk. juga Erik

    Thoennes, Laughing through Tears: Redemptive Role of Humor in in a Fallen

    World, in Presbyterion 33/2 (2007): 76. 21 Jnsson, Humor and Irony, 16-34.

  • Humor Dalam Perumpamaan Tentang Pengampunan (Matius 18:21-35) 32

    disukai, keganjilan (incongruity), inkoherensi, dan sebagainya.22

    Sementara itu, Leslie Flynn, sebagai perwakilan suara optimistis

    lainnya, juga mencoba mendefinisikan hal-hal yang mendorong

    seseorang tertawa. Dia mencatat bahwa humor sebenarnya

    mencakup salah satu dari beberapa elemen ini: keganjilan

    (incongruity), superioritas, kebaikan, dan kejutan

    (unexpectedness).23

    Tidak seperti Jnsson dan Flynn yang memberi

    definisi yang luas, Palmer membatasi esensi humor hanya pada

    aspek kejutan. Dia menuliskan, [t]here is a surprise at the center

    of everything that is funny.24

    Dari paparan singkat ini terlihat jelas

    bahwa nampaknya tidak ada definisi yang sama di antara para

    sarjana yang optimis ini.

    Tidak bisa disangkal bahwa memang, dalam taraf tertentu,

    ada aspek subyektif dalam pengenalan seseorang terhadap humor:

    apa yang dianggap seseorang lucu, belum tentu dianggap lucu oleh

    orang lain.25

    Karena alasan inilah, maka diperlukan sebuah definisi

    tentang humor meskipun sifatnya tentatif. Sebab bila tidak, maka

    studi humor akan menjadi sangat subyektif, yakni hanya

    mencerminkan selera humor dari pembaca atau penafsir.26

    Di sisi

    lain, tidak bisa juga disangkal bahwa mendefinisikan humor adalah

    sebuah tugas yang rumit, sehingga mencapai sebuah definisi yang

    22

    Jnsson, Humor and Irony, 17-8. 23 Leslie B. Flynn, Serve Him with Mirth: The Place of Humor in Christian Life

    (Grand Rapids: Zondervan, 1960), 41-9. 24 Earl F. Palmer, The Humor of Jesus: Sources of Laughter in the Bible

    (Vancouver: Regent College, 2001), 15. 25 Bdk. Donald Capps, A Time to Laugh: the Religion of Humor (New York:

    Continuum, 2005), 2; Kelly Iverson, Incongruity, Humor, and Mark:

    Performance and the Use of Laughter in the Second Gospel, in NTS 59 (2013):

    5. 26 Terkait studi humor terhadap literatur kuno, Meltzer memberikan peringatan serupa, Anyone attempting to discuss the humor of an extremely different and

    distant culture will indubitably reveal much more about his/her sense of humor

    than about that of the people under study. Edmund S. Meltzer, Humor and

    Wit, Ancient Egypt, in David Noel Freedman (ed.), The Anchor Bible

    Dictionary (New York: Doubleday, 1996), 3: 326.

  • Jurnal Theologia Aletheia Volume 21 No. 16 Maret 2019 33

    tepat mengenai humor pasti menjadi sangat sulit (bila bukan

    mustahil). Nyatanya, apa yang bisa dicapai sejauh ini ini ialah

    pemahaman yang cukup mengenai humor. Meski demikian,

    penulis tidak melihat definisi yang ditawarkan oleh para sarjana di

    atas sebagai definisi yang cukup tepat untuk mendefinisikan

    humor. Sebagian dari definisi tersebut sifatnya terlalu luas,

    sementara yang lainnya terlalu sempit. Karena itu, penulis akan

    menggunakan definisi dari studi mutakhir mengenai humor dalam

    bidang filsafat dan psikologi sebagai landasan definisi penulis.

    Dalam studi psikologi dan filsafat, sebenarnya ada beragam

    teori yang telah dimunculkan mengenai natur atau sifat humor. Di

    antara berbagai macam teori tersebut, tiga teori yang paling

    terkemuka ialah teori superioritas, teori pelepasan dan kelegaan

    (the release and relief theory), serta teori keganjilan (the

    incongruity theory).27

    Masing-masing teori ini tentu memiliki

    kelebihan dan kekurangan.28

    Meski demikian, banyak pemikir

    mengakui bahwa teori keganjilan merupakan teori yang paling

    unggul dibandingkan berbagai teori lain. Carroll menulis

    alasannya, it offers the most informative approach to locating the

    structure of the intentional object of comic amusement.29

    Akibatnya, tidak heran bahwa teori ini kini menjadi teori dominan

    dalam studi humor.30

    Martin, misalnya, mengakui bahwa mayoritas

    peneliti humor kini kian menyadari bahwa humor mencakup

    27 Di samping ketiga teori ini, masih ada beberapa teori lain mengenai humor,

    semisal teori permainan, teori disposisi, teori kejutan, teori ambivalensi, teori

    konfigurasi, dan sebagainya. Lihat Patricia Keith Spiegel, Early Conception of

    Humor: Varieties and Issues, in Jeffery H. Goldstein and Paul E. McGhee, The

    Psychology of Humor: Theoretical Perspectives and Empirical Issues (New York: Academic, 1972), 4-13; Noel Carroll, Humour: A Very Short Introduction

    (Oxford: OUP, 2014), 7-54. 28 Untuk analisa singkat terhadap tiga teori tersebut, lihat Kristianto, Jesuss

    Humor in the Antitheses, 10-17. 29 Carroll, Humour, 48. 30 Carroll berkomentar, the Incongruity theory of humour has attracted the

    largest allegiance among philosophers and psychologists (Carroll, Humour,

    17).

  • Humor Dalam Perumpamaan Tentang Pengampunan (Matius 18:21-35) 34

    keganjilan.31

    Ruch menambahkan bahwa hari ini nampaknya ada

    persetujuan yang luas bahwa keganjilan merupakan kondisi yang

    niscaya untuk terjadinya humor.32

    Secara sederhana, teori keganjilan berpendapat bahwa

    manusia belajar dari pengalaman mereka dan menciptakan sebuah

    pola dari pemahaman mereka atas pengalaman tersebut. Manusia

    tahu bahwa api itu panas, salju itu dingin, dan bahwa manusia tidak

    memiliki kemampuan untuk terbang karena mereka membuat pola

    dari pengalaman mereka. Jadi, menurut teori ini, humor terjadi

    ketika pola tersebut dilanggar atau ketika ekspektasi, yang

    didasarkan pada pola yang dipelajari tersebut, ternyata tidak

    terjadi.33

    Bila teori ini diterima, maka beberapa sarjana yang

    mengaitkan humor dengan keganjilan (mis. Bednarz, Jnsson,

    Flynn, Thoennes) berarti sudah berada di jalur yang benar.

    Meski demikian, teori ini bukannya tanpa kritik. Setidaknya

    ada dua keberatan utama terhadap teori keganjilan ini. Pertama,

    beberapa pemikir menyadari bahwa keganjilan per se tidaklah

    cukup untuk menjelaskan sifat dari humor. Ruch, misalnya,

    berpendapat bahwa keganjilan semata tidak otomatis menghasilkan

    humor, sebab hal tersebut juga bisa mendorong timbulnya

    kebingungan atau bahkan reaksi yang negatif.34

    Morreall

    menjelaskan lebih jauh:

    31 Rod A. Martin, The Psychology of Humor: An Integrative Approach

    (Burlington: Elsevier, 2007), 6 32 Lih. Willibald Ruch, Psychology of Humor, in Raskin (ed.), The Primer of

    Humor Research, 25. 33 Bdk. Morreal, Comic Relief, 11; Carroll, Humour, 17-18. Carroll

    mengingatkan bahwa kata ekspektasi dalam teori keganjilan bukan merujuk

    pada ekspektasi spesifik, melainkan ekspektasi yang bersifat global, yakni

    tentang how the world is or should be (Carroll, Humour, 18). 34 Ruch, Psychology of Humor, 25.

  • Jurnal Theologia Aletheia Volume 21 No. 16 Maret 2019 35

    In the late twentieth century, one serious flaw in several older

    versions of the theory came to light: they said or implied that

    the mere perception of incongruity is sufficient for humor.

    That is clearly false, since negative emotions like fear,

    disgust, and anger are also reactions to what violates our

    mental patterns and expectations. Coming home to find your

    family murdered, for example, is incongruous but not funny.

    Experiencing something incongruous can also evoke

    puzzlement or incredulity: we may go into a problem-solving

    mode to figure out how the stimulus might actually fit into

    our conceptual frameworks.35

    Kritik ini tentu perlu diperhatikan dengan serius, sebab tidak

    ada seorang pun yang akan menganggap keganjilan yang berbahaya

    untuk dirinya sebagai sesuatu yang menyenangkan. Ini berarti teori

    tersebut memerlukan penjelasan tambahan untuk menjadikannya

    lebih sempurna. Beberapa pendukung teori ini kemudian

    menambahkan satu aspek lagi untuk memperkuat teori ini, yakni

    aspek keamanan (safeness) atau non-serius.36

    Ketika sebuah

    keganjilan bersifat aman atau non-serius, maka seseorang tentunya

    lebih bisa menikmati keganjilan tersebut. Dengan kata lain,

    keganjilan itu akan terlihat menyenangkan dan bukan mengerikan.

    Martin meringkaskan versi revisi ini dengan baik: the essence

    of humor seems to be incongruity, unexpectedness,37

    and

    playfulness, which evolutionary theorists Matthew Gervais and

    David Wilson (2005) referred to as nonserious social

    incongruity.38

    Keberatan lain terhadap teori ini ialah the irrational

    objection. Seperti yang dijelaskan di atas, teori ini mengaitkan

    kemunculan humor dengan terjadinya pelanggaran terhadap pola

    35 Morreall, Comic Relief, 12-3. 36 Ruch, Psychology of Humor, 25; Carroll, Humour, 29-30. 37 Carroll menolak ide bahwa bahwa kejutan merupakan unsur yang niscaya

    untuk terjadinya humor (Humour, 17-8). 38 Martin, The Psychology of Humor, 6.

  • Humor Dalam Perumpamaan Tentang Pengampunan (Matius 18:21-35) 36

    konseptual yang dibuat manusia. Pertanyaannya ialah: bagaimana

    bisa seseorang menikmati pelanggaran terhadap pola

    konseptualnya? Morreall menjelaskan, Such enjoyment looks

    psychologically perverse or at least irrational. That is why,

    although the Incongruity Theory freed humor from the traditional

    stigma of being anti-social, it has not improved philosophers

    assessments of humor much over the last three centuries.39

    Dia

    menambahkan lebih jauh bahwa kecenderungan manusia ialah

    mengatasi keganjilan dan membuatnya bisa dijelaskan secara

    teoritis, bukan menikmatinya. Karena itu, dia dan beberapa pemikir

    lain memandang bahwa teori keganjilan sebenarnya tidak secara

    lengkap menjelaskan natur atau sifat dasar dari humor.

    Meresponi kritik ini, ada dua hal yang perlu dicatat. Pertama,

    kritik Morreall hanya bisa dibenarkan ketika seseorang

    mengabaikan aspek kelucuan (playful) dari sebuah keganjilan.

    Dengan kata lain, jika seseorang merasa bahwa pola konseptualnya

    sedang dilanggar itu berarti orang tersebut mencerna humor terlalu

    serius, dan dengan demikian kehilangan aspek jenaka dari sebuah

    humor. Kedua, ketika seseorang menangkap aspek jenaka dari

    sebuah humor, hal itu akan membawanya pada kenikmatan

    (enjoyment) atas humor tersebut. Carroll menjelaskan bahwa

    kejenakaan sebuah keganjilan akan membawa seseorang terlepas

    dari tirani norma dan konsep sehari-sehari. Dia melanjutkan, it

    does not give way to higher sense (i.e. explanation or overcome the

    incongruity); it leads to nonsense.40

    Dua hal ini, membuat

    keberatan Morreall menjadi tidak beralasan.

    Selain dua keberatan tadi, tentunya ada satu dua keberatan

    lain terhadap teori keganjilan. Tetapi, karena teori ini merupakan

    teori yang paling bermanfaat dan memberi harapan (di samping

    39 Morreall, Comic Relief, 13. 40 Carroll, Humour, 69.

  • Jurnal Theologia Aletheia Volume 21 No. 16 Maret 2019 37

    juga teori yang dominan), maka penulis akan menggunakan teori

    ini sebagai landasan dalam tulisan ini. Singkatnya, dalam

    mendefinisikan natur humor, penulis bergantung pada teori

    keganjilan yang telah direvisi, yang memahami humor terkait erat

    dengan ide, gambar, teks, atau peristiwa yang ganjil dan aman

    atau non-serius, sehingga hal tersebut menjadi menyenangkan dan

    bisa dinikmati.

    KONTEKS DAN KONTEN PERUMPAMAAN

    Dibanding ketiga Injil yang lain, Injil Matius bisa dibilang

    merupakan Injil yang paling ekklesiastikal atau mengandung

    perhatian gerejani paling kuat. Selain karena Matius adalah satu-

    satunya Injil yang mengandung kata , pengaturan tematis

    Injil ini nampaknya mencerminkan salah satu tujuan Injil ini, yakni

    sebagai buku katekisasi bagi gereja perdana.41

    Perhatian ekklesial

    Matius ini juga terlihat cukup kuat dalam keseluruhan Matius 18.

    Raymond Brown bahkan melihat keseluruhan pasal ini sebagai

    sebuah khotbah terhadap gereja.42

    Menarik dicatat, Matius meletakkan perumpamaan tentang

    pengampunan ini tepat setelah perikop mengenai disiplin gerejani

    (Matius 18:15-20). Melalui penempatan ini, Matius nampaknya

    ingin menegaskan bahwa disiplin gerejani harus berjalan

    berbarengan dengan pengampunan. Allison berpendapat, Its

    function is to be a hedge against rigidity and absolutism, to

    balance the hard teaching of the previous paragraph. The concern

    is to avoid any calculus of less and more and to make explicit the

    attitude that is necessary if one is to undertake the hard task of

    41 E.g. Joachim Jeremias, The Sermon on the Mount (Philadelphia: Fortress,

    1963), 19-23. 42 See Raymond E. Brown, An Introduction to the New Testament (New York:

    Doubleday, 1997), 191.

  • Humor Dalam Perumpamaan Tentang Pengampunan (Matius 18:21-35) 38

    correcting a brother.43

    Sedikit berbeda dengan Allison, penulis

    melihat bahwa kedua perikop ini bersifat saling menyeimbangkan

    satu sama lain. Dengan kata lain, Matius nampaknya hendak

    mengajar bahwa disiplin tanpa pengampunan sama tidak

    bergunanya dengan pengampunan tanpa disiplin.

    Perikop ini dimulai dengan pertanyaan Petrus kepada Yesus

    tentang berapa kali ia harus mengampuni saudaranya yang bersalah

    kepadanya (ay. 21). Menilik penggunaan kata dalam

    bagian lain Injil Matius (misal: 12:50; 23:8; 25:40), sangat

    mungkin bahwa saudara yang dimaksud berbicara lebih dari

    sekadar saudara secara biologis, yakni saudara secara rohani atau

    sesama saudara seiman. Apa yang mungkin menarik dalam prolog

    ini ialah angka yang diajukan Petrus kepada Yesus: Sampai tujuh

    kali ()?44

    Di sini, para sarjana biasanya merujuk pada

    sebuah teks rabbinik yang mungkin melatarbelakangi proposal

    Petrus. Dalam sebuah Talmud Babilonia (b. Yoma 86b), dinyatakan

    bahwa tiga adalah jumlah maksimal seseorang bisa mengampuni:

    It was taught in a baraita that Rabbi Yosei bar Yehuda says:

    When a person commits a transgression the first time, he is

    forgiven; a second time, he is forgiven; a third time, he is

    forgiven; but for the fourth time, he is not forgiven, as it is

    43 W. D. Davies and Dale C. Allison, A Critical and Exegetical Commentary on

    the Gospel According to Saint Matthew (ICC; 3 Vols; London/New York: T&T

    Clark, 2004), 2:791. 44 Luz berpendapat bahwa di sini Petrus tidak sedang berbicara mengenai angka

    tujuh secara literal, melainkan angka tujuh sebagai simbol kesempurnaan. Ia

    menuliskan, That Peter suggests forgiving seven times does not mean,

    therefore, that he wants to grant his brother only a limited forgiveness. Instead,

    the sense of Peters question is: Is perfect forgiveness expected of me?. Lihat

    Ulrich Luz, Matthew, in Helmut Koester (ed.), Hermeneia (Minneapolis: Augsburg, 2001), 465. Interpretasi ini menarik, namun bila Luz benar, maka

    jawaban Yesus dalam bagian selanjutnya justru akan menjadi mubazir. Selain

    itu, konsep yang mungkin melatarbelakangi usulan Petrus juga berbicara

    mengenai angka yang literal. Karena itu, penulis melihat nampaknya jauh lebih

    tepat memahami angka tujuh di sini secara literal.

  • Jurnal Theologia Aletheia Volume 21 No. 16 Maret 2019 39

    stated: Thus said the Lord: For three transgressions of

    Israel, but for four I will not reverse it (Amos 2:6). And it

    says: All these things does God do twice or three times with

    a man (Job 33:29).45

    Masalahnya, tarikh Talmud ini terbilang cukup belakangan,

    sehingga agak sulit dipastikan apakah tradisi ini memang bisa

    ditarik hingga ke abad pertama. Akan tetapi, seandainya tradisi ini

    memang cukup awal, ini berarti Petrus telah menyodorkan sebuah

    angka yang cukup fantastis! Ia telah mengusulkan sebuah angka

    yang jauh melebihi batas yang umum.

    Meskipun Petrus menyodorkan angka yang cukup fantastis,

    tenyata Yesus tidak terkesan dengan itu. Sebaliknya, dia justru

    menolak usulan Petrus46

    dan menyodorkan sebuah angka yang jauh

    lebih fantastis, yakni (ay. 22). Dalam sejarah

    gereja, nominal angka yang disebut Yesus di sini ternyata telah

    diartikan dalam dua cara. Pertama, beberapa terjemahan awal Injil

    Matius menerjemahkan ungkapan tersebut sebagai tujuh puluh

    kali tujuh kali (yaitu empat