jurnal tekno juli 2010

Upload: martanto-musijo

Post on 09-Mar-2016

278 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

fix

TRANSCRIPT

  • ISSN. 1907-4964

    J U R N A L

    T E K N O I N S E N T I F

    Volume 4 Nomor 1, Juli 2010

    Jurnal Tekno-Insentif adalah wadah informasi bidang ilmu Teknik berupa hasil penelitian, studi kepustakaan maupun

    tulisan ilmiah yang terkait. Terbit pertama kali tahun 2006 dengan frekuensi terbit dua kali setahun.

    Penanggung Jawab: Koordinator Kopertis Wilayah IV

    Ketua:

    Sekretaris Pelaksana Kopertis Wilayah IV

    Dewan Redaksi: Ir. Robertus Wahyudi Triweko, M.Eng., Ph.D

    Redaksi Pelaksana:

    Drs. Tia Sugiri, ST, M.Pd. Heni Hermina, S.H., M.Si.

    Ir. Nefli Yusuf, M.Eng. Dra. Maimunah

    Entin Hartini, S.Sos., M.Si. Aminatun, S.Sos.

    Penyunting Ahli:

    Prof. Dr. Ir. Eddy Yusuf Sapardi, M.Sc.

    Alamat Redaksi: Kopertis Wilayah IV

    Jl. Penghulu Hasan Mustafa No. 38 Telepon: (022) 7275630

    e-mail: [email protected]

  • ISSN. 1907-4964

    Jurnal TEKNO-INSENTIF

    Volume 4 Nomor 1, Juli 2010

    DAFTAR ISI

    IDETIFIKASI PERMASALAHAN PELAYANAN FASILITAS PEJALAN KAKI DI PUSAT KOTA DEPOK .............................................................................. (Studi Kasus : Trotoar Jalan Margonda Raya) Oleh: G.N. Purnama Jaya, Dosen Teknik Planologi FT UNPAK Bogor

    1

    MEMBANGUN APLIKASI COLLABORATIVE LEARNING BERBASIS WEB 2.0 .......................................................................... ..........................................................Oleh: Erlangga and Irawan Afrianto, Jurusan Teknik Informatika, Fakultas Teknik dan Ilmu Komputer, Universitas Komputer Indonesia

    10

    BENTUKAN ARSITEKTUR KORIDOR KOTA PADA JALAN SOEKARNO-HATTA DAN LINGKAR SELATAN .......................................................................... Oleh: Dewi Parliana, Teknik Arsitektur, ITENAS Bandung

    20

    MODEL STRATEGI LAYANAN TEKNOLOGI INFORMASI UNTUK ORGANISASI ................................................................................................................ Oleh: A r a d e a, Teknik Informatika, Fakultas Teknik, Universitas Siliwangi Tasikmalaya

    33

    EVALUASI PERENCANAAN TERMINAL PENUMPANG TIPE A SUDIRMAN KOTA SUKABUMI ................................................................................Oleh: Gde Ngurah Purnama Jaya, Dosen Teknik Planologi FT UNPAK Bogor

    46

    IC TCM3105 SEBAGAI MODEM FSK PADA PROSES KOMUNIKASI DATA Oleh: Sri Supatmi, Jurusan Teknik Komputer- Universitas Komputer Indonesia

    61

  • 1

    Jurnal Tekno Insentif Kopwil4, Volume 4 No.1, Juli 2010

    ISSN: 1907-4964, halaman 1 s.d 9

    IDETIFIKASI PERMASALAHAN PELAYANAN FASILITAS PEJALAN KAKI

    DI PUSAT KOTA DEPOK (Studi Kasus : Trotoar Jalan Margonda Raya)

    Oleh:

    G.N. Purnama Jaya Dosen Teknik Planologi FT UNPAK Bogor

    Abstrak - Jalan kaki merupakan salah satu moda angkutan bukan kendaraan bermotor. Berbagai penelitian menunjukkan, pengguna moda jalan kaki cukup besar jumlahnya, bahkan dapat dikatakan sebagai kebutuhan mayoritas. Sebagai suatu kebutuhan mayoritas, moda jalan kaki ini juga memerlukan fasilitas seperti halnya moda-moda lain, namun pada kenyataannya selama ini perencanaan dan penataan kota kurang memberikan perhatian pada fasilitas pejalan ini. Tujuan studi ini adalah: 1. Mengidentifikasi kapasitas trotoar yang ada (supply), 2. Mengidentifikasi pola permintaan pergerakan pejalan (demand), 3. Menentukan tingkat pelayanan trotoar (level of service), 4. Mengidentifikasi persepsi pejalan kaki terhadap fasiilitas pejalan kaki yang telah ada. Kata Kunci: Perencanaan Kota, Transportasi, Pejalan Kaki Abstracs Walking is a transportation mode without vehicle. Many research show that walking mode is the most quantity, moreover it can be said majority need. As a majority need, walking mode also use facility same with other mode, however in city planning and building isnt so interested factually to serve the facility. The aim of this research are: 1. identification side walk capacity (supply), 2. identification the walking movement need (demand), 3. determining the level of side walk service, 4. identification walker perception to the walking facility. Keywords: city planning, transportation, walker

    PENDAHULUAN Latar Belakang

    Berbagai penelitian telah dilakukan di

    Indonesia untuk memberi gambaran bahwa berjalan kaki sebagai moda angkutan memberi peranan yang cukup besar dalam menunjang sistem perangkutan dalam kota. Pejalan kaki adalah suatu bentuk transportasi yang penting di daerah perkotaan, sebagai contoh di DKI Jakarta 40% dari seluruh perjalanan dilakukan dengan berjalan kaki oleh karena itu kebutuhan pejalan kaki merupa-kan suatu yang integral/terpadu dalam sistem transportasi jalan (Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, 1998).

    Meningkatnya kawasan permukiman di Kota Depok juga berdampak kepada moda pejalan kaki yang juga ikut bertambah, terutama di Jalan Margonda Raya yang berfungsi sebagai pusat pelayanan semua kegiatan seluruh Kecamatan di Kota Depok, akan tetapi hal ini tidak diimbangi dengan pelayanan fasilitas pejalan kaki itu sendiri dimana dibeberapa titik di sepanjang Jalan Margonda Raya nampak terlihat menjadi sarana berjualan pedagang kaki lima (PKL).

  • 2

    Berdasarkan gambar di atas, jelas terlihat bahwa kondisi trotoar di jalan Margonda Raya belum memenuhi kriteria keamanan, kenyaman dan kelancaran atau dalam sisi lain belum sesuai dengan standar persyaratan dari Departemen Pekerjaan Umum. Hal ini pada akhirnya menimbulkan implikasi adanya masalah-masalah perangkutan, seperti kemacetan dan masalah lingkungan, seperti polusi udara dan suara, serta menjadikan lingkungan semakin semrawut. Masalah-masalah tersebut menyebabkan terganggunya keamanan, kenyamanan dan kelancaran pergerakan, terutama para pejalan. Arah Kebijakan

    Adapun Kebijakan Pemerintah Kota Depok yang berkaitan dengan Sistem Pedestrian diarahkan untuk: 1. Memperbaiki dan meningkatkan kualitas

    lingkungan. 2. Meningkatkan status pedestrian, terutama pada

    area yang didisain karena peranannya sebagai pedestrian sangat penting.

    3. Penambahan rute pedestrian sehingga menciptakan jaringan pathways dan footway yang komprehensif.

    Manfaat Pedestrianisasi Kaitan manfaat pedestrian-nisasi dengan fungsi dan peranan jalur pedestrian, Longo dan Brambilla (1977) dalam Suryandari (2003) berpendapat bahwa pedestrianisasi akan memberikan bebe-rapa manfaat yang penting bagi peningkatan kualitas jalan, seperti timbulnya pengaturan lalu lintas yang lebih baik antara manusia dan kendaraan bermotor (traffic management), menghidupkan kegiatan perekonomian kawasan setempat (economic revitalizetion), peningkatan kualitas kondisi lingkungan fisik (envi-ronmental improvement), serta peningkatan kualitas lingkungan sosial (social benefits).

    METODELOGI PENELITI-AN Waktu dan Lokasi Penelitian Waktu penelitian dilakukan pada 1 hari kerja (Senin), dan 1 hari libur (Minggu), adapun lokasinya ditempatkan di salah satu ruas Jalan Margonda Raya (pengambilan sampel dilakukan pada titik yang cukup banyak pergerakan pejalan dititik-titik tersebut).

    Penentuan Variabel Diteliti Variabel pokok ditentukan berdasarkan tujuan penelitian, dimana variabel tersebut dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan penelitian peningkatan pelayanan fasilitas pejalan kaki, variabel tersebut antara lain 1. Volume pejalan yang berjalan di atas trotoar; dan

    Pola permintaan pejalan kaki; 2. Kondisi fisik trotoar, meliputi Tingkat Pelayan

    trotoar; 3. Persepsi pejalan kaki.

    Penentuan Populasi Populasi sampel ditentukan berdasarkan jumlah fluktuasi pejalan pada trotoar di Jalan Margonda Raya, dimana jumlah fluktuasi pejalan pada hari libur sebanyak 4565 pejalan kaki dengan hari kerja sebanyak 6095 pejalan kaki dari pukul 06:00 hingga pukul 18:00, sehingga dalam menentukan ukuran populasi diambil jumlah pejalan kaki yang terbesar yaitu 6095.

    Penentuan Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel Berdasarkan penentuan populasi pejalan kaki diatas maka ditentukan besarnya sampel yang akan dijadikan sebagai bahan penelitian, sehingga dapat digunakan Rumus (Prasetyo dan Jannah, 2005):

    2 1Nn

    N e= +

    keterangan : n : Ukuran sampel N : Ukuran populasi E : Kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan

    sampel yang ditolerir (batasnya tidak sama), ada yang 1%, 2%, 3%, 4%, 5%, atau 10%)

    Jumlah populasi sebanyak 4565 hari libur dan 6095 pada hari kerja (penggabungan antara jalur 1 dan 2 pada hari libur dan hari kerja), yang rata-rata pejalan kaki pada kedua hari tersebut berjumlah 5330 populasi dan eror yang ditolerir pada awalnya sebesar 10%, kemudian dikarenakan dalam menyebarkan mengalami kekurangan dalam pengembalian kuisioner, maka tingkat eror meningkat hingga sebesar 13,5%, yang disesuaikan dengan perolehan data kuisioner yang kembali kepada penulis.

    2

    5330 5330 54,315330 (0,135) 1 98,14

    nx

    = = =+

    Gambar 1. Kondisi Eksisting Trotoar

    di Sepanjang Jalan Margonda Raya

  • 3

    Karakterisitik Responden Untuk lebih jelasnya mengenai jumlah pejalan berdasarkan kedua karakteristik di atas dapat dilihat pada tabel-tabel berikut:

    Tabel 1

    Jumlah Responden Menurut Struktur Umur

    No. Struktur

    Umur (tahun)

    Jumlah %

    1 < 20 11 19,6 2 21 30 21 37,5 3 31 40 9 16,1 4 > 40 15 26,8 56 100

    Sumber : Hasil Survey Lapangan 2008 Tabel 2

    Jumlah Responden Menurut Pekerjaan

    No Pekerjaan Jum-lah %

    1 Pegawai Negeri 11 19,7 2 Pegawai Swasta 15 26,8 3 Wiraswasta 8 14,3 4 Mahasiswa/

    Pelajar 10 17,8

    5 Ibu Rumah Tangga

    5 9

    6 Tidak bekerja 4 7,2 7 Lain-lain 3 5,2 56 100

    Sumber : Hasil Survey Lapangan 2008

    Instrumen Penelitian Instrumen kegiatan penelitian dibutuhkan guna mendukung kegiatan tersebut, diantaranya : 1. Hand Tally Model:H-102. 2. Kamera Digital 3. Tali Meteran 4. Kuisioner

    Pemilihan Lokasi Perhitungan Pejalan Penentuan lokasi pengamatan dilakukan pengelompokkan berdasarkan kriteria perkiraan pergerakan pejalan. Lebih jelas mengenai lokasi perkiraan pergerakan pejalan yang cukup tinggi.

    Table 3

    Kriteria Lokasi Perhitungan Pergerakan Pejalan No Lokasi Asumsi 1 Terminal,

    Kantor Pemerintah, Kantor Polresta Depok, dan Pelayanan

    - lokasi yang merupakan pergerakan penumpang ken-daraan sehingga memungkinkan banyaknya pergerakan pejalan.

    - Begitu juga kantor pelayanan umum memiliki

    Umum lainnya.

    intensitas cukup tinggi pergera-kan pejalannya.

    2 Pusat perbelanjaan (Mall).

    Banyaknya pejalan yang menuju lokasi perbelanjaan sudah menjadi rahasia umum.

    3. Pelayanan Pendidikan dan Perdagang-an dan Jasa.

    Demikian halnya lokasi pelayanan pendidikan dan perdagangan dan jasa, merupakan lokasi terpadat pergerakan pejalannya.

    Sumber: Ramdani (1992)

    Kependudukan Jumlah penduduk Kota Depok sejak berubah

    status dari kota administrasi menjadi kota otonom baru pada April 1999, wilayah penyangga DKI Jakarta ini makin berkembang pesat. Selama kurun waktu tahun 2001-2004, pertumbuhan rata-rata penduduk kota Depok adalah 4,37 %/tahun. Pertumbuhan yang tertinggi terjadi di kecamatan Pancoran Mas yaitu sebesar 6,28 %/tahun, sedangkan yang terendah adalah kecamatan Sukmajaya sebesar 2,83 %/tahun. Berdasarkan tabel di atas kota depok yang memiliki jumlah penduduk pada tahun 2006 sebesar 1.420.480 jiwa sehingga dapat dikategorikan sebagai kota besar (HCM 1997).

    Prasarana dan Sarana Wilayah Studi Pola Jaringan Jalan Berdasarkan status jalannya, jalan di Kota Depok terdiri atas jalan nasional, jalan propinsi dan jalan kota. Sedangkan berdasarkan fungsinya, terbagi atas Jalan Arteri Primer, Jalan Arteri Sekunder, Jalan Kolektor Primer, Jalan Kolektor Sekunder, dan Jalan Lokal Sekunder (DLLAJ Kota Depok, 2006). Status dan fungsi Jalan Margonda Raya.

    Tabel 4 Klasifikasi Berdasarkan Status dan Fungsi Jalan di

    Pusat Kota Depok Naama Ruas

    Jalan Status Jalan

    Fungsi Jalan

    Jl. Margonda Raya

    Propinsi Kolektor Primer Khusus

    Sumber: DLLAJ Kota Depok 2006 Kondisi Fisik Jalan dan Persimpangan Berdasarkan RTRW Kota Depok 2000-2010, jalan Margonda Raya ditetapkan sebagai jalan dengan fungsi kolektor primer khusus (Rumija min 28 m).

  • 4

    Tabel 5

    Kondisi Fisik dan Pola jaringan Jalan Jl. MARGONDA

    RAYA Fungsi Jalan Kolektor Primer

    Khusus Tipe Jalan 4 lajur / 2 arah terbagi

    (4/2D) Panjang Jalan 5,501 km Lebar Jalan 16 meter Lebar per Lajur 4 meter Hambatan Samping a) Dengan Bahu b) Dengan Kerb

  • 5

    Gambar 2 Pelayanan Trotoar Margonda Raya

    Gambargambar di atas menunjukan permasalahan trotoar diantaranya: 1. Trotoar relatif sempit (1,1 m) 2. Menjadi sarana parkir kendara-an bermotor 3. Penempatan pohon pada area trotoar cukup

    membuat pejalan terganggu 4. Penempatan tempat sampah pada sisi trotoar

    juga dirasakan pejalan cukup menganggu dari sisi bau sampah yang menyengat dan mengurangi visualisasi kota

    5. Menjadi lahan usaha PKL 6. Tidak adanya perkerasan 7. Tidak memiliki penghijauan yang dapat

    melindungi pejalan kaki Kondisi gambar di atas menunjukan bahwa,

    trotoar di Jalan Margonda Raya tidak mermberikan pelayanan fasilitas pejalan kaki dengan porsi yang layak untuk kebutuhan penggunanya. Analisis Kebijakan Ruang Berjalan dengan Kondisi Eksisting Trotoar Penentuan sesuai dan tidak sesuai kondisi trotoar di jalan Margonda Raya, penulis meng-gunakan dua pandangan, yaitu:

    1. City Of Portland 1995, tentang hal yang berkaitan dengan faktor-faktor lingkungan yang mendu-kung aksesibilitas pejalan kaki.

    2. Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 468/KPTS/ 1998 tentang Persyaratan Teknis Aksesibilitas Pada Bangunan Umum dan Lingkungan.

    Analisis Permintaan Pergerakan Pejalan Pengkajian seberapa besar peran jalur pejalan di Pusat Kota Depok dan untuk mendukung hasil analisis tingkat pelayanan trotoar sehubungan dengan upaya penanganan persoalan yang ada, maka perlu diketahui pola permintaan pergerakan pejalan yang ada. Pola permintaan pergerakan pejalan meliputi karakteristik pejalan, pola dan intensitas pergerakan, perilaku pergerakan pejalan, pola dan intensitas pergerakan, serta pemilihan jalur berjalan. Usaha untuk mendapatkan informasi berkenaan dengan pola permintaan ini dilakukan melalui penyebaran daftar pertanyaan (kuisioner) kepada pejalan di wilayah studi. Maksud Pergerakan Pusat kota merupakan pusat berbagai kegiatan kota. Hal ini menyebabkan timbulnya pergera-kan dalam kawasan dengan berbagai maksud berbeda, maksud utama pergerakan ke pusat kota pada studi ini dikelompokkan atas maksud berbelanja, bekerja, rekreasi (termasuk rekreasi anak, menonton, makan-minum, dan hiburan lainnya), jalan-jalan, dan tujuan lainnya. Pergerakan untuk maksud bekerja memiliki proporsi terbesar, yaitu 6 responden (10,7%) dari seluruh pergerakan, disusul kemudian oleh pergerakan untuk maksud belanja harian, rekreasi, dan sekolah/kuliah masing-masing sebesar 5 responden (8,9%), sedangkan pergerakan untuk maksud belanja kebutuhan lain dan jalan-jalan masing-masing 4 responden (7,1%), dan lainnya memiliki proporsi yang kecil 2 (3,6%). Tingginya proporsi perge-rakan untuk maksud bekerja ini sesuai dengan peruntukan lahan yang didominasi oleh kegiatan perkantoran, pendidikan dan perdagangan.

    Banyaknya responden yang bergerak untuk bekerja di kawasan Jalan Margonda Raya adalah hal yang wajar dikarenakan pada jalan tersebut di dominasi oleh kegiatan perkantoran dan perdagangan dan jasa. Teman Perjalanan Jumlah teman perjalanan berpengaruh pada kebutuhan ruang pejalan dan tingkat pelayanan trotoar. Sebagian besar responden atau sejumlah 25 (44,6%) responden memilih melakukan perjalanannya dengan sendiri, berdua 19 (33,9%), sedangkan yang memilih berjalan dengan lebih dari tiga orang sebesar 12 (21,5%). Pada umumnya pejalan yang memiliki teman perjalanan bergerak berdampingan. Akan tetapi hal tersebut tidak selalu bisa dilakukan mengingat adanya keterbatasan ruang atau hambatan-hambatan pada jalur pejalan.

  • 6

    Perhitungan lebar efektif trotoar di Jalan Margonda Raya memiliki lebar 1,1 m, akan tetapi lebar efektifnya kurang dari itu.

    Kenyataan tersebut mengaki-batkan timbulnya masalah kurangnya ruang gerak pejalan. Pergerakan pejalan pada trotoar di Jalan Margonda Raya dilakukan dalam dua arah yang berlawanan, dengan ruang minimal yang dibutuhkan jika dua orang berpapa-san tanpa konflik adalah 1,5 meter.

    Dengan lebar efektif trotoar yang hanya 1,1 m atau bahkan kurang, dimana pejalan sebagian besar memilih berjalan lebih dari 1 orang (dengan teman) atau sebesar 55,4%, maka akan berpengaruh pada kelancaran dan kenyamanan pergerakan pejalan.

    Berdasarkan hal ini pula perlunya dilakukan pelebaran trotoar agar pejalan dapat berjalan dengan aman, nyaman dan lancar. Lama Melakukan Kegiatan Lama kegiatan adalah seluruh waktu yang dipergunakan untuk melaksanakan kegiatan, dimulai dari waktu kedatangan di tempat asal berjalan kaki (baik tempat parkir atau tempat pemberhentian kendaraan umum) sampai pulang kembali meninggalkan pusat kota, dilihat dari lamanya melakukan kegiatan di kawasan pusat kota, sebagian besar pejalan (33,9%) melakukan kegiatan selama > 120 menit. Lama melakukan kegiatan belanja di pusat kota ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya jenis barang yang dibeli, kebiasaan menelusuri pertokoan serta kegia-tan tambahan lainnya. (Hanny, 1987, dalam Ramdani, 1992).

    Tabel 6

    Kesesuaian Faktor Lingkungan dan Kondisi Eksisting Trotoar Marginda Raya

    No Faktor Lingkungan

    Kondisi Trotoar Margonda

    1 Kawasan pejalan kaki harus aman

    Tidak sesuai, karena tidak bebas dari gangguan, seperti kebisingan lalu lintas, penghalang jalan seperti PKL, dan pepohonan

    2 Jalur pejalan kaki harus bisa diakses oleh semua orang

    Tidak sesuai, karena tidak semua orang bisa mengakses, terutama penyandang cacat yang menggunakan kursi dorong

    3 Jalur pejalan kaki harus bisa menghu-bungkan anta-ra tempat satu ke tempat lainnya

    Tidak sesuai, karena ada area yang terputus sehingga tidak bisa menghubungkan antara tempat satu ke tempat yang lainnya

    No Faktor Lingkungan

    Kondisi Trotoar Margonda

    4 Jalur pejalan kaki harus mudah digunakan

    Tidak sesuai, karena banyak hambatan, sehingga tidak mudah dipergunakan terutama penyandang cacat terlambat sampai ke tempat tujuannya

    5 Jalur pejalan kaki harus didesain dengan sebaik-baiknya

    Tidak sesuai, karena tidak menciptakan karakter yang khas bagi pejalan kaki, seperti disediakannya alun-alun, taman kota, dan penyediaan street furniture, art planting, serta tidak mempro-mosikan sejarah dan budaya Jalan Margonda Raya

    6 Jalur pejalan kaki harus bisa dipergunakan untuk banyak hal

    Tidak sesuai, karena banyak hal yang bisa digunakan tanpa terakomodir oleh Pemkot Depok, seprti PKL yang bebas berjualan tanpa memperdulikan apakah jualannya mengganggu atau tidak

    Sumber : Hasil Survey Lapngan 2008

    Tabel 7 Lama Kegiatan yang Dilakukan di Pusat Kota

    Lama Melakukan Kegiatan Frekuensi Persentase

    < 30 menit 4 7,1 31 60 menit 7 12,5 61 90 menit 11 19,6

    91 120 menit 15 26,8 > 120 menit 19 33,9

    Jumlah 56 100 Sumber : Hasil Survey Lapangan 2008

    Berdasarkan jenis barangnya, hasil penelitian

    Hanny tersebut menyebutkan bahwa sekitar 70% dari setiap jenis barang membutuh-kan lama belanja 91120 menit dan 3160 menit. pengunjung pusat kota sebagian besar kadang-kadang merencanakan jenis barang yang akan dibelinya, dan sebagian besar memiliki kebiasaan menelu-suri pertokoan (hanya 10% yang tidak pernah), sehingga membutuh-kan waktu kegiatan lebih lama.

    Jalan Margonda Raya memiliki banyak pusat perbelanja-an seperti, ITC Depok, Depok Town Square (Detos), Margo City, Ramayana, Matahari, Giant, Hypermart dan yang lainnya, sehingga pejalan kaki bisa memilih dimana ia akan

  • 7

    berbelanja untuk memenuhi kebutuhannya sehingga memakan waktu pergerakan yang cukup lama.

    Berdasarkan jumlah pejalan yang didominasi dengan lamanya melakukan kegiatan > 120 menit di Jalan Margonda Raya, maka perlu kiranya disediakan sarana peristirahatan, dan tempat duduk. Sehingga membuat para pejalan merasa nyaman dalam pergerakannya di Jalan Margonda Raya dengan hadirnya sarana pelengkap tersebut.

    Jarak Berjalan Berjalan di pusat kota (kawasan perbelanjaan) terasa lebih menyenangkan dengan jarak 500 meter, lebih dari itu akan diperlukan fasilitas lain yang dapat mengurangi perasaan lelah orang berjalan, seperti tempat duduk, kios/cafe makanan/minuman ringan, dan sebagainya (Yuliastuti, 1991, dalam Ramdani, 1992).

    Berdasarkan lokasi asal tujuan pergerakan pejalan di pusat kota Depok, maka hal tersebut juga menggambarkan bahwa sebagian besar jarak berjalan yang ditempuh sejauh 500 meter, sekitar 19 responden (33,9%), jarak tersebut tidak mutlak, karena berdasarkan hasil penelitian, 11 responden (19,6%) dari seluruh responden menyatakan bersedia menempuh jarak berjalan lebih dari 500 meter, sedangkan sebagian besar lainnya kurang dari jarak tersebut sebanyak 26 responden (46,5%).

    Tabel 8

    JARAK BERBELANJA Jarak

    (meter) Jumlah

    Responden Persentase

    500 11 19,6 Jumlah 56 100

    Analisis Penentuan Tingkat Pelayanan (LOS) Trotoar

    Fluktuasi Jumlah Pejalan Hasil penghitungan pejalan pada lokasi studi menunjukkan, bahwasanya pejalan kaki didominasi pada hari kerja dikarenakan kegiatan disekitarnya adalah perkantoran, perdagangan dan pendidikan. Adapun kepadatan tertinggi ada pada pagi hari jam-jam sibuk pejalan antara pukul 07:00 08:00 sedangkan kepadatan terendah 06:00 06:15, sedangkan kepadatan tertinggi pada hari libur pada pukul 16:15 17:15 dan terendah juga pada pagi hari yaitu pukul 06:00 06:15. Berdasarkan hasil perhitungan tingkat fluktuasi pejalan dilokasi studi, dapat dikemukakan bahwasa-nya jumlah rata pejalan/meter/menit untuk hari libur adalah 3,00 (Jalur 2) sampai 3,34 (Jalur 1) pejalan/meter/menit sedangkan untuk hari kerja 3,63 (Jalur 2) sampai 4,83 (Jalur 1) pejalan/meter/ menit.

    Analisis Tingkat Pelayanan

    Penentuan Tingkat Pelayanan trotoar di Jalan Margonda Raya maka, mengenai Fluktuasi Jumlah Pejalan/meter dan disesuaikan dengan Standar Tingkat Pelayanan trotoar HCM 2000, dapat disimpulkan bahwa, jalan Margonda Raya ini termasuk dalam Tipe A, karena hasil studi lapangan masih 16 orang/menit/meter, dimana rata-rata pejalan pada hari libur hanya mencapai 3,34 pejalan/menit/meter dan pada hari kerja 4,83 pejalan/menit/meter.

    Hasil penghitungan tingkat pelayanan pada jalur 2:

    3,63 1,535

    w = + maka w = 1,60m,

    Sedangkan penghitungan pada jalur 1 : 4,83 1,535

    w = + maka w = 1,64m. Berdasarkan perhitungan di atas, dapat

    disimpulkan bahwa lebar trotoar dijalan Margonda Raya (1,10 m) perlu ditambah 0,50 m sampai 0,54 m, sehingga tercapai lebar efektif trotoarnya. Rata-rata pejalaan kaki/menit/meter diambil dari jumlah yang terbesar. Persepsi Pejalan Terhadap Trotoar Persepsi Pejalan Terhadap Kebutuhan Ruang Trotoar

    Berdasarkan hasil pengo-lahan data, maka dapat dikemukakan hal-hal berikut: - Dari 56 responden, sebagian besar menyatakan

    bahwa hal yang paling tidak menyenang-kan (peringkat utama) selama berjalan kaki di Pusat Kota Depok adalah banyaknya hamba-tan (total nilai 110). Hambatan tersebut berupa penempatan pedagang kaki lima yang tidak teratur, parkir kendaraan yang menjorok kebadan trotoar.

    - Hal berikutnya (peringkat kedua) yang dianggap kurang menyenangkan adalah gangguan cuaca (82), sebagian besar jalur pejalan di Pusat Kota Depok tidak terlindung dari gangguan cuaca, seperti panas matahari dan hujan, sehingga dapat dimengerti bila pejalan merasakan hal yang kurang menyenangkan.

    - Sempitnya jalur berjalan merupakan hal berikutnya yang dirasakan pejalan kurang menyenangkan (44), sebenarnya sempitnya jalur pejalan ini berhubungan dengan adanya hambatan, seperti pedagang kaki lima, dan sebagainya.

    - Berikutnya adalah kondisi fisik yang buruk (38), gangguan lalu lintas kendaraan (29), gangguan suara dan udara (26), dan gangguan keamanan (7).

    Perbaikan Fasilitas Trotoar yang Diharapkan Pejalan

  • 8

    Berdasarkan hasil penyebaran kuisioner yang didalamnya juga menanyakan tentang perbaikan fasilitas pejalan yang diharapkan oleh responden, pejalan di pusat kota menghendaki adanya:

    Gambar 3.

    contoh trotoar diamerika yang dilengkapi peneduh dan penghijauan, rata dan tidak terputus-putus

    1. Trotoar diberi peneduh atau penghijauan (23

    responden) (dengan ditanamnya pohon-pohon diharapkan para pengguna trotoar bisa terlindungi dari cuaca panas dan juga sangat bermanfaat buat penghijauan kota).

    2. Permukaan trotoar dibuat rata dan tidak terputus-putus (12) (hal ini dimaksudkan agar seluruh pengguna fasilitas ini baik pejalan dalam kondisi normal maupun yang menggunakan alat bantu, bisa menggunakannya dengan aman dan nyaman).

    3. Trotoar dibebaskan dari PKL (9) (kemunculan PKL ini memang senantiasa menjadi masalah hampir disemua kota di Indonesia, sehingga diperlukan pendekatan khusus antara pihak perencana, pemerintah, pengguna trotoar dan dengan PKL itu sendiri, agar terciptanya keseimbangan pemikiran dari semua unsur tersebut). Adanya jalur trotoar yang lebih luas juga merupakan bagian dari keinginan para pengguna (7), diaturnya rambu lalu lintas yang menempel pada badan trotoar sehingga tidak mengganggu perjalanan dan tidak mengurangi kapasitas trotoar, sebagian lagi mengungkapkan agar adanya sarana penghijauan tidak mengganggu jalur trotoar, dan kendaraan sepeda motor tidak naik ke trotoar dimana hal ini kerap terjadi apabila timbul kemacetan lalu lintas.

    Dari tanggapan para responden

    menunjukkan bahwa kebutuhan ruang berjalan para pajalan terutama trotoar, mutlak diperlukan dan disesuaikan dengan kebijakan Menteri Pekerjaan Umum, kebijakan Pemerintah Kota Depok dan juga keinginan-keinginan penggunanya. KESIMPULAN

    Berdasarkan keseluruhan hasil studi yang

    meliputi tinjauan terhadap teori perencanaan fasilitas pejalan dan analisis penyediaan serta permintaan fasilitas pejalan disimpulkan sebagai berikut: 1. Jalan Margonda Raya memiliki 5 fasilitas

    pejalan, trotoar (1 buah) dengan lebar 1,10 meter, jembatan penyeberangan (3), zebra cross (11), halte (8), dan pelican cross (1).

    2. Kondisi trotoar Jalan Margonda Raya dalam kondisi yang tidak sesuai dengan standar yang ada.

    3. Adapun pola permintaan pejalan dengan mengambil sampel responden sebanyak 56 orang, dengan jumlah pejalan kaki terbesar pada jalur 1 mencapai 3481 (4,83) pejalan kaki terbesar pada jalur 2 dan 2614 (3,63).

    4. Standar tingkat pelayanan (LOS) untuk fasilitas pejalan di pusat kota Depok masuk pada tipe A, yakni masih dibawah 16 orang/menit/m, karena rata-rata pejalan di pusat kota Depok hanya mencapai 4,83 pejalan/menit/meter pada jalur 1 dan 3,63 pejalan/menit/meter pada jalur 2, dan walaupun hanya termasuk pada tipe A, trotoar di sepanjang jalan margonda raya memerlukan penambahan lebar trotoar dari 110 cm menjadi 160 cm, atau ditambah 50 cm.

    5. Pejalan pada hari kerja, sebagian besar pejalan kaki bergerak pada pagi dan sore hari, dengan didominasi oleh tujuan bekerja (10,7), pejalan dengan menggunakan teman perjalanan 31 responden (55,4%), 19 pejalan kaki (33,9%) sanggup melakukan kegiatan > 120 menit, jarak berjalan yang mampu ditempuh pejalan kaki < 500 meter adalah 26 responden (46,5%), pemilihan jalur berjalan karena tidak adanya jalur lain sebanyak 194 poin.

    6. Ada beberapa hal yang dianggap pengguna trotoar tidak menyenangkan diantaranya adalah banyaknya hambatan (110 poin) dan gangguan cuaca (82).

    Selain hal di atas persepsi dan keinginan

    pejalan kaki juga harus diikut sertakan, karena akan memberi penilaian langsung terhadap fasilitas trotoar yang dimanfaatkannya, diantaranya: a. Trotoar diberi peneduh atau penghijauan 23

    responden (41,08%) b. Permukaan trotoar dibuat rata dan tidak

    terputus-putus 12 responden (21,43%)

  • 9

    c. Trotoar dibebaskan dari pedagang kaki lima 9 responden (16,07%)

    d. Adanya jalur trotoar yang lebih luas 7 responden (12,5%)

    e. Diaturnya rambu lalu lintas yang menempel pada badan trotoar sehingga tidak mengganggu perjalanan dan tidak mengurangi kapasitas trotoar, sebagian lagi mengungkapkan agar adanya sarana penghijauan tidak mengganggu jalur trotoar, dan kendaran sepeda motor tidak naik ke trotoar dimana hal ini kerap terjadi apabila timbul kemacetan lalu lintas, sebanyak 5 responden (8,93%)

    SARAN

    Secara garis besar ada beberapa saran yang

    bisa penulis kemukakan, yaitu: 1. Pembangunan trotoar agar lebih mengutamakan

    kepentingan pejalan kaki guna memberi kenyamanan dan keamanan bagi pemakai.

    2. Penggunaan trotoar untuk keperluan lain yang sampai mengganggu fungsi trotoar perlu ditertibkan dengan penerapan sangsi yang tegas

    3. Apabila trotoar dibangun di atas got harus terjamin kelancaran aliran air dalam got sehingga tidak menimbulkan banjir.

    4. Pembangunan trotoar agar disesuaikan dengan standar moderen sehingga nyaman bagi pemakai dan kendaraan pemakai jalan.

    5. Pembangunan trotoar jangan sampai terputus apalagi ke pinggir got atau sungai. Apabila terputus harus diberi tanda peringatan.

    6. Pembangunan trotoar agar singkron dengan pembangunan got, jalan, jaringan listrik, telepon,air minum dan pananaman pohon penghijauan.

    DAFTAR PUSTAKA Access Board] U.S. Architectural and

    Transportation Barriers, Compliance Board, 1990, Americans with Disabilities Act Accessibility Guidelines for Buildings and Facilities, Washington DC, U.S. Architectural and Transportation Barriers, Compliance Board [Access Board]

    Direktorat Pembinaan Jalan Kota, 1990, Petunjuk Perencanaan Trotoar. No. 007/T/BNKT/1990, Jakarta, Direktorat Jenderal Bina Marga

    Departemen Pekerjaan Umum, 1995, Tata Cara Perencanaan Fasilitas Pejalan Kaki di

    Kawasan Perkotaan, Nomor: 011/T/Bt/1995. Jakarta, Direktorat Jenderal Bina Marga, 1999, Pedoman Perencanaan Jalur Pejalan Kaki Pada Jalan Umum. Nomor: 032/T/BM/1999. Lampiran Nomor: 10 Keputusan Direktur Jenderal Bina Marga, 76/KPTS/Db/1999, Tanggal 20 Desember 1999, Jakarta, PT. Mediatama Saptakarya

    Soefaat, H Hilmawati, I Taufan, E Aurihan, B Suharso, EB Kurniawan, S Peni, dan Rosaswara, 1998, Kamus Tata Ruang, Jakarta, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum, dan Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia

    Menteri Pekerjaan Umum, Nomor: 468/KPTS/1998, 1998, tentang Persyaratan Teknis Aksesibilitas Pada Bangunan Umum dan Lingkungan, Jakarta Selatan, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah

    RIWAYAT SINGKAT Ir. G N Purnama Jaya, M.T, lahir di Denpasar, 28 Nopember 1958, Menamatkan S1 Teknik Planologi Institute Teknologi Bandung pada tahun 1984, S2 Teknik Sipil Transportasi di Universitas Indonesia pada tahun 2003. Sebagai dosen dpk. di Universitas Pakuan mengampu matakuliah manajemen transportasi, perencanaan transport, pembiayaan pembangunan, perencanaan kota I, perencanaan wilayah II, prasarana wilayah dan kota I dan II serta ekonomi transportasi. Aktif mengikuti konferensi, seminar, lokakarya, simposium dalam dan luar negeri. Beberapa judul penelitian adalah: Analisis Transportasi Jalan Pajajaran di Kota Bogor, Analisis Permasalahan Transportasi di Pusat Kota Pandeglang, Analisis Masalah Kemacetan Sekitar Pasar Tegal Gubug pantura di Ruas Jalan Indrmayu Cirebon, Analisis Permasalah Terminal Penumpang Tipe A Sudirman Kota Sukabumi, Identifikasi Penyebab Kemacetan Lalu Lintas di Sekitar Pasar Cicurug Kabupaten Sukabumi, Identifikasi Faktor-faktor Penyebab Kemacetan di Jalan Raya Leuwiliang Kabupaten Bogor, Analisis Fungsi Jalan Pajajaran Sebagai Jalan Arteri Sekunder di Kota Bogor. Alamat kantor Jl. Pakuan PO Box. 452 Ciheuleut Bogor, telepon (0521) 8311007. Alamat rumah Jl. Cucur Timur III A2/12 Bintaro Jaya Sektor IV Kabupaten Tangerang Provinsi Banten, telepon (021) 7362861 E-mail: [email protected], [email protected]

  • 10

    Jurnal Tekno Insentif Kopwil4, Volume 4 No.1, Juli 2010

    ISSN: 1907-4964, halaman 10 s.d 19

    MEMBANGUN

    APLIKASI COLLABORATIVE LEARNING BERBASIS WEB 2.0

    Oleh: Erlangga, Irawan Afrianto

    Jurusan Teknik Informatika, Fakultas Teknik dan Ilmu Komputer Universitas Komputer Indonesia

    Abstrak - Penerapan metode pembelajaran kolaborasi (collaborative learning) dalam teknologi informasi pendidikan berbasis web dapat menggunakan teknologi web 2.0, karena teknologi tersebut menggunakan pendekatan social web dalam memperkaya layanan yang diberikan. Dalam konsep social web dimungkinkan terjadi interaksi sosial antara pengguna aplikasi web. Tujuan dari pengembangan aplikasi pembelajaran kolaborasi adalah untuk mempermudah pengguna agar dapat berkolaborasi mengolah materi pembelajarannya. Pada penelitian ini dilakukan studi kasus pada mata pelajaran biologi di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Secara konvensional, untuk menguasai bidang studi biologi tersebut, siswa dituntut untuk menghafal materi pelajaran. Metode ini dirasakan menjenuhkan bagi siswa, oleh karena itu perlu dicari metode pembelajaran yang memungkinkan siswa aktif dalam belajar sehingga tidak menjenuhkan. Metode pembelajaran kolaborasi ini diharapkan akan meningkatkan minat siswa dalam mempelajari biologi. Pengembangan aplikasi pembelajaran kolaborasi dilakukan dengan menggunakan metode pengembangan perangkat lunak waterfall. Data diperoleh dengan cara melakukan studi literatur dan studi lapangan dengan menganalisis kebutuhan dalam perancangan dan pembangunan aplikasinya. Data hasil analisis selanjutnya diterjemahkan ke dalam bahasa pemograman mengunakan bahasa pemrograman Pengujian kelayakan aplikasi dilakukan dengan dua langkah, yaitu: (1) pengujian alpha, yang dilakukan untuk melihat apakah setiap proses berjalan sesuai dengan fungsinya dan (2) pengujian betha, yang dilakukan untuk melihat respon pengguna (siswa SMA maupun umum) terhadap kelayakan aplikasi tersebut. Hasil yang diperoleh adalah bahwa aplikasi ini dapat dijadikan suatu metode pembelajaran alternatif yang lebih interaktif dimana dapat melibatkan berbagai kalangan untuk menghimpun pengetahuan yang tersimpan didalamnya. Kolaborasi materi dapat dilakukan oleh para partisipan dalam rangka memperkaya isi / content yang terdapat didalam aplikasi tersebut.

    Kata Kunci: Aplikasi Pembelajaran, Collaborative Learning, Web 2.0, Social Web, Metode pengembangan

    perangkat lunak Waterfall. Abstract The application of collaborative learning method in information technology of education based-web can be made by using web 2.0 technologies, because of that technology use social web approximation to add the given-service. The aim of developing collaborative learning is to make easy a user collaborating lesson. In this research we learned a case study of biology for senior high school. Consequently, to understand this biology, a student has to memorize the lesson. This activation makes a student boring, so that need a new method to increase a student motivation. In this way the collaborative learning method will make a strong desire of student to study biology. The development of collaborative learning is done by using the software developing method of waterfall. Data is taken from literature and survey by analyzing the need examination to design and develop the application. Analysis result data is translated to programming language of application suitable test by two stage: (1) alpha test, to examine whether a process running as function and, (2) beta test, to see the student response for approving application. The result is interactively approved as an alternative learning method because of accessing science inside. Lesson collaboration can be done by participant to excess the content. Keywords: learning application, collaborative learning, web 2.0, social web, software development method of

    waterfall. 1. Latar Belakang

    Dunia pendidikan di Indonesia pada

    umumnya masih mengunakan metode pembelajaran secara terpusat, di mana proses pembelajaran berlangsung secara searah. Akibatnya proses pengembangan pengetahuan hanya terjadi di dalam

    ruangan kelas. Dalam metode pembelajaran secara terpusat, tidak terdapat interaksi dalam membahas suatu materi pelajaran, akibatnya proses pengembangan pengetahuan tidak bertambah. Oleh karena itu diperlukan suatu metode pembelajaran yang memungkinkan terjadinya proses kolaborasi untuk menambah pengetahuan, metode tersebut

  • 11

    adalah metode pembelajaran kolaborasi (collaborative learning).

    Metode pembelajaran kolaborasi (collaborative learning) adalah Proses belajar kelompok yang setiap anggotanya aktif menyumbangkan informasi, pengalaman, ide, sikap, pendapat, kemampuan, dan keterampilan yang dimiliki untuk saling meningkatkan pemahaman (S.Gupta dan Dr.Robert P.Bostrom, 2004). Metode ini memungkinkan pengguna (guru, siswa, dan pakar) aktif dalam mengkonstruksi pengetahuan. Selain itu metode collaborative learning mendorong pengguna untuk berkomunikasi satu sama lain, menyatakan respon pada pertanyaan, bekerja dalam lontaran pendapat yang berbeda-beda dan menuliskan kesimpulan dengan jelas.

    Seiring dengan kemajuan teknologi informasi terutama di bidang jaringan dan internet, metode pembelajaran kolaborasi (collaborative learning) dapat diterapkan dalam teknologi informasi pendidikan berbasis web, yang salah satunya adalah dengan menggunakan teknologi web 2.0. Teknologi web 2.0 dianggap sebagai media yang tepat, karena teknologi tersebut menggunakan pendekatan social web, yang memungkinkan terjadinya interaksi sosial antara pengguna aplikasi web. Interaksi sosial ini misalnya seperti berkolaborasi dalam menambah, menghapus, menyunting ataupun mengkategorikan isi (content) dari suatu layanan (Zibriel dan Supangkat, 2008).

    Sebagai bahan uji coba aplikasi, maka diarahkan kepada bidang ilmu biologi khususnya tingkat SMA, karena menurut pengamatan penulis materi pembelajaran tersebut jika menggunakan metode konvensional dirasakan menjenuhkan. Dengan adanya metode pembelajaran kolaborasi tersebut memungkinkan pengguna aktif dalam menambah, mengedit, menghapus materi dalam sistem tersebut, sehingga pengguna akan dituntut lebih kreatif, dinamis, dan dapat belajar secara mandiri. Dengan demikian, penerapan metode pembelajaran kolaborasi diharapkan dapat meningkatkan minat pengguna dalam mempelajari biologi. 2. Landasan Teori 2.1. Definisi Collaborative Learning

    Beberapa definisi Collaborative learning

    (CL): 1. Umbrella term untuk berbagai jenis pendekatan

    edukasi yang melibatkan usaha bekerjasama secara intelektual antar siswa atau antar siswa dan pengajar (B.L.Smith dan J.T.MacGregor).

    2. An instruction method in wich students work in groups toward a common academic goal (Suatu metode instruksi dimana para siswa bekerja dalam suatu kelompok untuk mencapai tujuan akademik tertentu) (A.Anuradha dan Gokhale,

    1995). 3. Menurut Johnson (S.Gupta dan Dr.Robert

    P.Bostrom, 2004): Collaborative learning (CL) refers to instructional methods that encourage students to work together to accomplish shared goals, beneficial to all. It involves social (interpersonal) proceses where participants help each other to understand as well as encourage each other to work hand to promote learning.

    Gambar 2.1. Metode collaborative learning

    2.2. Web 2.0

    Istilah tentang web 2.0 dikeluarkan pada

    tahun 2004 oleh Dale Dougherty pada sebuah konfrensi mengenai aplikasi web (Paul Graham, 2005). Setelah melalui berbagai pembahasan dan perdebatan akhirnya disepakatilah bahwa web 2.0 bukanlah sebuah hipotesa atau teori atau paradigma ataupun metodologi dalam membangun aplikasi web.

    Web 2.0 adalah istilah untuk suatu aplikasi web yang berorientasi proses bisinis dan arsitektur layananya mengedepankan kontribusi dari setiap penggunanya serta memberikan fitur-fitur yang mempermudah pengguna untuk mempersonalisasi kebutuhanya (Zibriel dan Supangkat, 2008). 2.3. Kelebihan dari Web 2.0

    Dalam perkembanganya, aplikasi web yang

    dibangun dengan menggunakan orientasi web 2.0 ternyata dirasakan mempunyai beberapa nilai positif (Zibriel dan Supangkat, 2008). Nilai positifnya adalah sebagai berikut: 1. Web 2.0 berhasil menyajikan sebuah layanan

    yang komprehensif pada platform apapun. Cukup menggunakan sebuah browser dan melakukan koneksi dengan server maka setiap

  • 12

    orang sudah dapat menggunakanya. 2. Dalam penggunaanya, web 2.0 lebih mudah

    digunakan karena aplikasinya berjalan secara terpusat di server, pengguna tidak perlu repot lagi untuk memperbaharui aplikasi mereka secara mandiri.

    3. Dalam segi pemrograman , web 2.0 memiliki teknik pemrograman front-end yang relatif ringan hal ini dikarenakan web 2.0 adalah sebuah aplikasi yang berjalan di sebuah browser. Sehingga mudah untuk digunakan kembali (reuse).

    4. Kelebihan orientasi web 2.0 dibandingkan dengan web 1.0 (aplikasi yang layanannya hanya berorientasi pada pemenuhan tujuan bisnis) adalah lebih cepat dan lebih mudah mengumpulkan data karena kontributornya berasal dari berbagai sumber, tingkatan dan bidang keahlian.

    2.4. Kriteria Web 2.0

    Biasanya terdapat tiga kriteria yang harus

    dipenuhi sebuah aplikasi web agar dapat dinilai sebagai aplikasi web 2.0 (Zibriel dan Supangkat, 2008).

    1. Menggunakan SOA (Service Oriented

    Architecture) 2. Menggunakan RIA (Rich Internet Aplication)

    3. Menggunakan pendekatan Social Web

    Gambar 2.2 Perbedaan Web 1.0 dan 2.0 3. Analisis Sistem dan Perancangan

    3.1. Analisis Sistem

    Dalam analisis sistem dilakukan penguraian

    dari suatu aplikasi collaborative learning berbasis web 2.0 yang utuh ke dalam bagian-bagian komponennya dengan maksud untuk mengidentifikasikan dan mengevaluasi permasalahan-permasalahan sehingga ditemukan kelemahan-kelemahannya, kesempatan-kesempatan, hambatan-hambatan yang terjadi dan kebutuhan-kebutuhan yang diharapkan sehingga dapat diusulkan perbaikannya.

    Gambat 3.1 Sistem C-Learning

    Sistem ini berisi informasi ataupun pengetahuanpengetahuan dari partisipan (guru, siswa, pakar ilmu pengetahuan dalam bidang ilmu tertentu, bahkan masyarakat umum). Informasi tersebut ditampilkan dalam bentuk teks, tabel, gambar, dan simulasi animasi sehingga konten pembelajaran lebih menarik dan interaktif. Sedangkan untuk materi pelajaran, dikemas dalam bentuk file terkompresi yang dapat diunduh oleh pengguna. 3.3. Analisis Fungsional

    Sistem collaborative learning yang

    akan diimplementasikan meliputi subsistem pelayanan non anggota, dan sub sistem pelayanan anggota, Subsistem pelayanan non anggota bertujuan menyediakan berbagai fasilitas yang mendukung proses kolaborasi belajar tetapi tidak menyediakan akses untuk menambah materi pelajaran. Subsitem pelayanan anggota menyediakan fasilitas

    yang mendukung proses kolaborasi belajar, mengelola data materi pelajaran dan memberi akses untuk menambah materi pelajaran.

  • 13

    Gambar 3.2. Diagram Konteks Aplikasi Collaborative Learning

    (Lihat lampiran) 3.4. Perancangan Basis Data

    Perancangan basis data digunakan untuk

    merancang tabel yang terdapat di dalam aplikasi collaborative learning, perancangan basis data terdiri dari tabel relasi dan struktur tabel.

    3.4.1. Tabel Relasi

    Suatu file biasanya terdiri dari beberapa

    kelompok elemen yang berulang-ulang sehingga perlu untuk diorganisasikan kembali. Dalam proses pengorganisasian file yang berguna untuk menghilangkan kelompok elemen yang berulang disebut relasi antar tabel atau tabel relasi.

    Gambar 3.4. Skema Relasi Antar Tabel (Lihat lampiran)

    3.5. Perancangan Menu Aplikasi

    Perancangan menu aplikasi digunakan

    untuk menjelaskan menu, submenu yang terdapat di dalam aplikasi collaborative learning, agar pengguna dapat lebih mudah dalam menggunakanya. Perancangan menu ini terdiri dari perancangan menu admin, non anggota, dan anggota. Aplikasi collaborative learning ini berbasis web, oleh karena itu perancangan arsitektur menu menggunakan struktur arsitektur web murni (networked) (Pressman, 2001). 3.5.1. Menu Admin

    Gambar 3.5. Perancangan Menu Admin (Lihat lampiran)

    Menu ini hanya dapat diakses oleh

    administrator, menu ini berfungsi untuk melakukan pengolahan data dan menjaga agar isi (content) tidak menyimpang dari pembelajaran. Subsistem ini memiliki fasilitas: 1. Lihat Anggota

    Fasilitas ini digunakan untuk mengelola data anggota;

    2. Lihat Materi Fasilitas ini menyediakan informasi mengenai materi pembelajaran yang dikirim oleh anggota, dan dapat digunakan untuk menghapus materi yang tidak sesuai dengan materi pembelajaran;

    3. Lihat Animasi Fasilitas ini menyediakan informasi mengenai animasi pembelajaran biologi yang dikirim oleh anggota, dan dapat digunakan untuk menghapus animasi yang tidak sesuai dengan materi pembelajaran;

    4. Lihat Bank Soal Fasilitas ini menyediakan informasi mengenai kumpulan soal yang dikirim oleh anggota, dan dapat digunakan untuk menghapus soal-soal yang tidak sesuai dengan materi pembelajaran;

    5. Lihat Soal Ujian Fasilitas ini menyediakan informasi soal ujian yang dikirim oleh anggota, dan dapat digunakan untuk menghapus soal ujian yang tidak sesuai dengan materi pembelajaran;

    6. Lihat Forum Fasilitas ini dapat digunakan untuk mengelola forum;

    7. Tambah Matapelajaran Fasilitas ini dapat digunakan untuk menambah matapelajaran;

    8. Lihat Kategori Fasilitas ini digunakan untuk menambah kategori dari beberapa mata pelajaran dan terdapat juga menu untuk menghapus kategori;

    3.5.2. Menu Non Anggota

    Gambar 3.6. Diagram Menu Subsistem Non Anggota (Lihat lampiran)

    Menyediakan fasilitas antara lain:

    1. Materi Fasilitas ini menyediakan informasi mengenai materi pelajaran, disini non anggota dapat mengunduh (download) materi pelajaran;

    2. Bank Soal Fasilitas ini menyediakan informasi mengenai kumpulan soal, disini non anggota dapat mengunduh (download) kumpulan soal pelajaran;

    3. Daftar Proses pendaftaran non anggota untuk menjadi anggota, dengan menginputkan data-data non anggota.

    3.5.3. Menu Anggota Menu ini hanya dapat diakses oleh anggota,

    di dalam menu ini anggota dapat berkolaborasi dengan angota lainya untuk mengelola isi (content) dari aplikasi. Bagan menu anggota dapat dilihat pada gambar 3.7.

    Gambar 3.7. Diagram Menu Subsistem Anggota

    (Lihat lampiran)

    1. Personal Fasilitas ini menyediakan informasi mengenai profile anggota, anggota dapat mengubah profilnya dan melihat nilai ujian yang diikuti oleh anggota.

    2. Materi

  • 14

    Fasilitas ini menyediakan informasi mengenai materi pembelajaran tertentu, disini non anggota dapat mengunduh (download) materi pembelajaran tertentu, dan di dalam fasilitas ini anggota dapat mensunting materi pembelajaran hasil kiriman anggota lainya;

    3. Bank Soal Fasilitas ini menyediakan informasi mengenai kumpulan soal, disini non anggota dapat mengunduh (download) kumpulan soal materi pelajaran tertentu;

    4. Soal Ujian Di dalam fasilitas ini anggota dapat mengukur sejauh mana pemahamanya terhadap materi yang di pelajari, dengan mengikuti ujian dan menjawab soal yang diberikan;

    5. Kirim Materi Fasilitas ini memungkinkan anggota dapat mengirim materi, mengedit materi, menghapus materi yang telah dikirim, dan menghapus hasil suntingan;

    6. Kirim Bank Soal Fasilitas ini memungkinkan anggota dapat mengirim kumpulan soal, mengedit soal, dan menghapus kumpulan soal yang telah dikirim;

    7. Kirim Soal Ujian Fasilitas ini memungkinkan anggota dapat mengirim soal ujian;

    8. Kirim Animasi Fasilitas ini memungkinkan anggota dapat mengirim animasi, mengedit animasi, menghapus animasi yang telah dikirim;

    9. Kirim Forum Fasilitas ini menyediakan forum diskusi bagi anggota, disini anggota dapat mengikuti forum diskusi, menambah topik diskusi yang berhubungan dengan pembelajaran.

    3.6. Perancangan Antarmuka

    Antarmuka pemakai merupakan media

    komunikasi antara pemakai dengan sistem komputer.

    Rancangan Antarmuka Non Anggota

    Gambar 3.8. Tampilan Halaman Utama Aplikasi Collaborative Learning

    Rancangan Antarmuka Admin

    Gambar 3.9. Halaman Utama Admin

    Rancangan Antarmuka Anggota

    Gambar 3.10. Halaman Utama Anggota 4. Implementasi dan Pengujian 4.1 Implementasi

    Setelah aplikasi dianalisis dan didesain secara

    rinci, maka aka menuju tahap implementasi. Tujuan dari implementasi adalah untuk mengkonfirmasi modulmodul perancangan sehingga user (pengguna) dapat memberikan masukan kepada pengembangan sistem. 4.2. Pengujian 4.2.1. Pengujian Alpha Pengujian perangkat lunak ini menggunakan metode pengujian black box. Pengujian black box berfokus pada persyaratan fungsional perangkat lunak. 4.2.2. Pengujian Betha

    Pengujian beta merupakan pengujian yang

    dilakukan secara objektif dimana pengujian dilakukan secara langsung kepada responden dengan membuat kuisioner mengenai kepuasan pengguna dalam menggunakan aplikasi ini.

  • 15

    5. Penutup

    Berdasarkan pengujian yang dilakukan,

    maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Aplikasi collaborative learning berbasis web 2.0 (studi kasus pembelajaran biologi SMA) secara funsional dapat berjalan dengan baik, baik dari sisi lingkungan sistem (software maupun hardware) maupun di lingkungan pengguna yang memakainya. Aplikasi collaborative learning telah dapat mendukung metode pembelajaran kolaboratif, dimana setiap pengguna aplikasi dapat berkolaborasi dalam mengelola content (isi) yang berhubungan dengan materi pembelajaran Biologi SMA. Aplikasi collaborative learning juga dapat dijadikan sebagai sistem manajemen pengetahuan (Knowledge management system), dimana aplikasi ini menyediakan informasi materi pembelajaran dari berbagai bidang ilmu tidak hanya materi pembelajaran Biologi. Aplikasi collaborative learning telah menerapkan sistem pembelajaran yang dinamis dengan menggunakan bahan ajar bersifat mandiri (self learning materials) disimpan di komputer sehinga dapat dengan mudah diakses oleh pengguna aplikasi. Disamping itu Aplikasi collaborative learning yang dibangun telah mendukung teknologi web 2.0. Teknologi web 2.0 yang dimaksud lebih kearah social web dimana pengguna dengan pengguna lain dapat berkolaborasi dalam dalam menambah, menghapus, menyunting ataupun mengkategorikan isi (content) materi pembelajaran dari berbagai bidang ilmu. DAFTAR PUSTAKA Budhi Irawan, (2005), Jaringan Komputer, Graha

    Ilmu, Yogyakarta, 69-70. Bunafit Nugroho, (2004), PHP dan MYSQL Dengan

    Editor Dreamweaver MX, Andi, Yogyakarta. Fathansyah, Ir., (1999), Basis Data, Informatika,

    Bandung. Henry M. Walker, "Collaborative Learning: A Case

    Study for CS1 at Grinnell College and UT-Austin", Proceedings of the Twenty-eighth SIGCSE Technical Symposium on Computer

    Science Education February 27-March 1, 1997, pp. 209-213.

    Igel Zibriel, Suhono H. Supangkat, (2008), Ensiklopedia Nusantara Menggunakan Orientasi Web 2.0, e-Indonesia Initiative 2008 (EII2008) Konfrensi dan Temu Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Indonesia, Jakarta,Indonesia,69-70.

    Jogiyanto HM,Akt MBA, (2005), Analisis dan Desain Sistem Informasi: pendekatan terstruktur teori dan praktek aplikasi bisnis, Andi, Yogyakarta.

    Kumar Vive, Computer- Supported Collaborative Learning Issues for Research, Published at The Graduated Symposium, Department of Computer Science, University of Saskatchewan, Canada, 1996.

    Pressman, R. S. (2001). Software Engineering: A Practitioners Approach. Fifth Ed. New York: McGraw-Hill Book Company.

    S. Gupta, Dr. Robert P. Bostrom, Collaborative E-Learning: Information Systems Research Direction, Proceeding of The Tenth Americas Conference on Information System, New York, August 2004.

    Siemens, George, Learning Development Cycle: Bridging Learning Design and Modern Knowledge Needs, July 12, 2005, http://www.elearnspace.org/doing/index.htm.

    World Wide Web Consortium. 2005. Hyper Text Markup Language (HTML) (berkala sambung jaring) http://www.w3.org/MarkUp, (17 November 2008).

    Riwayat Singkat Penulis Erlangga adalah mahasiswa jurusan Teknik Informatika, Unikom. Tinggal di Komplek BTN Balitsa Cikole No. M-10, Cikole Lembang Bandung 40391. Hp. 081321397362. e-mail: [email protected], Irawan Afrianto adalah dosen jurusan Teknik Informatika, Unikom. Tinggal di Jl. Dipati Ukur 112-114 Bandung 40132. Hp. 08170223513. e-mail: [email protected]

  • 16

    Lampiran

    Gambar 3.2. Diagram Konteks Aplikasi Collaborative Learning

  • 17

    Gambar 3.4. Skema Relasi Antar Tabel

  • 18

    Gambar 3.5 Perancangan Menu Admin

    Gambar 3.6. Diagram Menu Subsistem Non Anggota

  • 19

    Gambar 3.7. Diagram Menu Subsistem Anggota

  • 20

    Jurnal Tekno Insentif Kopwil4, Volume 4 No.1, Juli 2010

    ISSN: 1907-4964, halaman 20 s.d 32

    BENTUKAN ARSITEKTUR KORIDOR KOTA PADA JALAN SOEKARNO-HATTA

    DAN LINGKAR SELATAN

    Oleh: Dewi Parliana

    Teknik Arsitektur, ITENAS Bandung

    Abstrak - Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana bentukan arsitektur koridor kota dengan adanya pembangunan jalan arteri yang berbentuk lingkar yang memotong cadaster dan kawasan terbangun kota. Analisa akan dilakukan pada setiap segmen jalan pada jalan Soekarno-Hatta, dan jalan Lingkar Selatan. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa pada lahan kosong dan terbangun yang sudah terpola kaplingnya seperti di koridor Jl.Soekarno Hatta (Segmen Kiaracondong-Cibiru, Kopo-Moh.Toha dan Moh.Toha-Buah Batu) dan Jl.Lingkar Selatan (segmen Pelajar Pejuang), hampir 90% memiliki tata letak massa bangunan yang mengikuti konteks bentuk kapling tegak lurus dan orientasi muka bangunan menghadap jalan arteri. Akibatnya, pada koridor tersebut tercipta kesinambungan fasade dan tercipta keteraturan. Untuk kawasan terbangun yang terbentuk secara spontaneous dan kemudian terpotong miring oleh jalan seperti di koridor Jl. Soekarno Hatta (segmen Sudirman Pasirkoja dan Pasirkoja-Kopo) dan Jl.Lingkar Selatan (segmen Peta dan Laswi), tata letak massa bangunannya mengikuti konteks bentuk kapling yang miring, dan mengabaikan pentingnya orientasi muka bangunan pada jalan arteri. Akibatnya pada koridor adalah, tidak adanya kesinambungan dan keharmonisan fasade. Namun untuk kawasan yang tidak terpotong miring seperti di Jl.Soekarno Hatta (segmen Kopo-Moh.Toha dan Moh.Toha-Buah Batu) dan Jl.Lingkar Selatan (segmen BKR 1 dan 2), bangunan-bangunan tetap mengikuti konteks bentuk kapling lurus dan muka bangunan berorientasi pada jalan. Kata kunci: jalan arteri, arsitektur koridor, kontekstual, fasade, skyline Abstract - This research aims to examine the architecture form of city caused by the construction of curved and tilted arterial road. The analysis will be performed on each segment of road at Jl. Soekarno-Hatta and Jl.Lingkar Selatan. Based on survey results, both empty and built land that has been patterned such as corridor of Jl.Soekarno Hatta (Road segment: Kiaracondong-Cibiru, Kopo-Moh.Toha and Moh.Toha-Buah Batu) and Jl.Lingkar Selatan (Road segment: Pelajar Pejuang), nearly 90% of buildings have a layout that shaping to a straight parcels of land and the orientation of building faade is facing arterial road. The impact on corridor is the continuity faade and created regularity. For the built area that formed spontaneously and then cut aslant by road such as Jl.Soekarno Hatta (Road segment: Sudirman-Pasirkoja and Pasirkoja-Kopo) and Jl.Lingkar Selatan (Road segment: Peta and Laswi), layout of the building mass adjust to aslant parcels of land and ignore the importance of the building faade orientation towards arterial road. The impact on corridor is the lack of continuity and faade harmony. However, in the road segments that are not cut at an angle but horizontally like Jl. Soekarno-Hatta (Road segment: Kopo-Moh Toha and Moh.Toha-Buah Batu) and Jl.Lingkar Selatan (Road segment: BKR 1 and BKR 2), the architectural form of the passageways is more regular and has been arranged more properly than the one cut aslant or diagonally. Keywords: arterial road, streetpicture, contextual, facade, skyline 1. PENDAHULUAN

    Sebuah koridor merupakan rangkaian dari

    kapling-kapling dengan berbagai bentuk dan ukurannya. Fungsi pada koridor yang sama atau campur juga mempengaruhi ukuran besar kecilnya kapling, contohnya kapling industri dan kaling hunian, mempunyai ukuran yang sangat berbeda. Oeh karena itu apabila sebuah koridor mempunyai

    fungsi yang tercampur, maka ia akan menghasilkan komposisi ukuran kapling yang beraneka ragam.

    Bentuk dan orientasi kapling akan membentuk massa-massa bangunan pada koridor yang mempengaruhi visual koridor. Komposisi dari bentuk dan besar kapling yang seragam pada satu koridor, ditambah dengan bentuk dan besar bangunan yang sama, akan membentuk koridor yang teratur dan harmoni. Sedangkan ketidak seragaman bentuk dan besar kapling, akan cenderung

  • 20

    menghasilkan bentuk dan besar massa bangunan yang tidak teratur dan tidak harmoni.

    Tata letak massa bangunan pada kapling juga mempengaruhi hasil dari rangkaian bangunan tersebut pada visual koridor, jarak antara bangunan serta ketinggian bangunan akan menciptakan skyline dan ruang kota yang bisa menjadi vista yang indah bagi yang memandangnya.

    Kriteria-kriteria urban design dari berbagai konsep para ahli perancang kota telah banyak dikemukakan, diantaranya oleh Clark dkk. Menurut mereka ada 11 variabel yang berkaitan dengan gagasangagasan bentuk, yaitu: struktur, pencahayaan alami, pembentukan massa, kaitan denah dengan potongan, sirkulasi, kaitan unit keseluruhan, pengulangan ke keunikan, simetri dan keseimbangan, geometri, adisi dan substraksi, hirarki.

    Brolin, (1980:153) mengusulkan 11 variabel dalam penggabungan bangunan baru pada bangunan lama sehingga tercipta kontinuitas visual yaitu setback, jarak antar bangunan, pembentukan massa, ketinggian, proporsi dan arah faade, raut dan silhouette, disposisi pintu dan jendela, material, warna, skala terhadap manusia.

    Sedangkan Fremantle (1980:78) mengajukan 9 variabel arsitektural (berkaitan preservasi) yakni bentuk, proporsi, skala, material, tekstur, craftmanship, kondisi bangunan, nilai kualitas arsitektural terhadap lingkungan, kontekstual.

    Hedman (1984 mengatakan untuk menganalisis suatu street picture ada 11 variabel, yaitu: silhouette bangunan, jarak antar bangunan, setback, proporsi bukaan, massa dari bentuk bangunan, lokasi entry, material permukaan (finishing dan tekstur, pola pembayangan, skala bangunan, langgam arsitektur, dan lansekap.

    Kota dibentuk oleh elemen-elemen dasar yang terdiri dari path, district, edges, landmark, dan nodes yang semuanya diwujudkan dalam bentuk-bentuk fisik di kota (Kevin Lynch, 1960). Sedangkan Elemen-Elemen Pembentuk Fisik Kota dari Shirvani, 1985 mengkategorikan Urban Design secara lebih rinci lagi, yaitu: Land use, Building Form and Massing, circulation and parking, Open space, Pedestrian ways, Activity support, Signage, Preservation.

    Menurut Danisworo (1991), perancangan kota merupakan kebijakan yang akan mengendalikan, ada tujuh kriteria yang harus dipegang, antara lain: 1. Pencapaian, yaitu kejelasan, orientasi,

    kemudahan. 2. Kesesuaian, yaitu harmonis, serasi, cocok. 3. Vista atau pemandangan, yaitu skala, pola,

    estetika. 4. Identitas, yaitu karakter, mudah dibedakan,

    mempunyai ciri. 5. Organisasi, yaitu keteraturan, kejelasan, dan

    efisiensi. 6. Citra, yaitu tata nilai, kesesuaian lingkungan.

    7. Kelayakan hidup, artinya kota itu layak dihuni. Dari kriteria-kriteria tersebut di atas timbul

    pertanyaan, bisakah kriteria-kriteria tersebut digunakan untuk menganalisa suatu koridor yang tumbuh secara spontaneous, tanpa pengendalian fungsi, intensitas dan estetika?

    Sehubungan dengan hal diatas, terdapat variabel pada kapling sebagai faktor bentukan arsitektur koridor, yaitu: luas, bentuk, fungsi, asal kawasan, dengan parameter: 1. Kaidah Arsitektur: bentuk, proporsi, datum, 2. Kaidah Arsitektur Kota-Koridor: harmony, unity,

    skyline, siluet, fasade 3. Kaidah Perancangan Tapak: Kapling: luas, lebar pada sisi jalan, bentuk Bangunan: intensitas (KDB, KLB), tata letak

    (setback, jarak samping, belakang), tinggi, orientasi bangunan terhadap jalan

    2. METODOLOGI PENELITIAN

    Metodologi penelitian yang dilakukan adalah

    dengan membaca fenomena yang terjadi di beberapa kasus bagian-bagian kota, khususnya pada transformasi kawasan-kawasan yang terkena intervensi pembangunan jalan baru. Karena penelitian ini juga merupakan penelitian kualitatif yang bertujuan untuk memberi penjelasan (explanatory), maka cara yang diambil dalam penelitian ini melalui penalaran induktif, yaitu memperoleh kesimpulan-kesimpulan umum dari sejumlah kasus tunggal. Pendekatan penelitian yang dipakai dalam melaksanakan penelitian ini adalah dengan grounded theory, yaitu jenis penelitian kualitatif yang mempunyai sasaran secara induktif menghasilkan sebuah teori dari hasil data-data yang didapat. Pada model penelitian ini peneliti membangun substantive theory yang berbeda dari grand atau formal theory.

    3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Bentukan Arsitektur pada Koridor Arteri

    Primer Soekarno-Hatta Koridor Arteri Primer Soekarno-Hatta dibagi

    menjadi 8 (delapan) segmen, yaitu segmen Sudirman-Pasirkoja, Pasirkoja-Kopo, Kopo-Moh.Toha, Moh.Toha-Buahbatu, Buahbatu-Kiaracondong, segmen Metro, segmen Makro dan segmen Gedebage-Cibiru. 3.1.1 Koridor Soekarno-Hatta 1 (Segmen

    Sudirman-Pasirkoja) Koridor segmen Sudirman-Pasirkoja terbentuk

    pada kawasan kampung yang padat, dan kawasan industri yang pada awalnya berada di pinggiran kota. Setelah lebih dari 20 tahun berlalu, koridor ini mengalami hanya sedikit perubahan. Perkampungan

  • 21

    yang kumuh yang berada di sisi selatan jalan, masih tetap menjadi perkampungan, tidak terjadi perubahan yang signifikan, bahkan bertambah buruk dengan berubahnya hunian menjadi usaha-usaha kecil yang kotor seperti warung, bengkel motor, depot minyak tanah, onderdil bekas dan banyak lainnya yang sifat pelayanannya lokal. Konstruksi dari bangunan-bangunan tersebut tidak permanen.

    Pada koridor ini terlalu banyak kategori kapling dengan bentuk dan ukuran yang berbeda, dengan fungsi yang sangat beragam. Selain itu, ke 5 fungsi tersebut tidak ada yang mengelompok, tetapi terletak acak bercampur baur. Akibatnya, koridor yang terbentuk ditinjau dari tata massa dan faade bangunan menjadi tidak teratur dan tidak harmonis

    Gambar 1 Bangunan di Sepanjang Koridor Soekarno-Hatta 1 (Segmen Sudirman-Pasikoja)

    Gambar 2 Koridor Soekarno-Hatta 1 (Segmen

    Sudirman-Pasirkoja) dalam tiga dimensi

    Hunian kampung, industri, komersial, dan perkantoran yang tidak mengelompok, tetapi terletak acak dengan ukuran kapling yang beragam dan berbentuk ireguler, menghasilkan koridor yang spesifik, yang seringkali terlihat di kota-kota di Indonesia. 3.1.2 Koridor Soekarno-Hatta 2 (Segmen

    Pasirkoja-Kopo) Jalan Soekarno-Hatta yang melengkung

    memotong kapling-kapling industri dan hunian kampung di sekitarnya, menghasilkan kapling-kapling yang berbentuk ireguler, dengan orientasi tidak tegak lurus ke jalan.

    Dominasi fungsi pada koridor ini adalah pabrik-pabrik besar, dengan kapling-kaplimg yang besar. Pada bentuk lengkung jalan, terlihat kapling-kapling menjadi tidak tegak lurus jalan, dan tata letak bangunannya juga tidak tegak lurus jalan, dan tetap berorientasi utara-selatan. Fungsi lain yang dominan adalah Pasar Induk Caringin yang menjadi penggerak kegiatan-kegiatan lainnya di sekitarnya.

  • 22

    Gambar 3 Bangunan di Sepanjang Koridor

    Soekarno-Hatta 2 (Segmen Pasikoja - Kopo)

    Secara visual koridor segmen jalan ini, tidak bisa menampilkan pemandangan yang bisa dinikmati, terutama pada bangunan-bangunan pabrik yang rendah dan menjorok kedalam. Juga pada kampung-kampung kumuh dengan setback yang berimpit dengan jalan, yang telah berubah fungsi menjadi usaha rumahan seperti warung, bengkel, penjual barang-barang bekas seperti tong, onderdil, kayu, dll.

    Gambar 4 Koridor Soekarno-Hatta 2 (Segmen

    Pasirkoja-Kopo) dalam tiga dimensi Ketidak teraturan dan buruknya kualitas suatu koridor, kadangkala disebabkan oleh faktor lain diluar bentuk dan tata letak massa bangunan. Pada koridor ini, selain ketidak teraturan yang disebabkan oleh fungsi yang sangat beragam, ukuran kapling

    yang tidak seragam serta bentuknya yang ireguler, ada faktor lain yaitu: keberadaan Pasar Induk Caringin yang menyebabkan pada koridor ini kotor oleh sampah dan roda-roda penjual keliling, dan macet oleh angkutan kota. 3.1.3 Koridor Soekarno-Hatta 3 (Segmen Kopo-

    Moh.Toha) Kapling pada koridor ini 60% berbentuk

    segiempat ireguler, dengan ukuran yang hampir merata, tetapi lebar kapling tidak seluruhnya ada pada sisi jalan, beberapa kapling panjangnya berada pada sisi jalan, sehingga membentuk facade yang memanjang. Fungsi kapling pada bagian barat adalah perkantoran dan komersial, dan sudah mengelompok. Sisi timur ditempati oleh fungsi jasa dan komersial kecil yang terjadi akibat perubahan fungsi dari hunian kampung ke komersial.

    Gambar 5 Bangunan di Sepanjang Koridor

    Soekarno-Hatta 3 (Segmen Kopo Moh.Toha)

  • 23

    Secara keseluruhan terlihat adanya keteraturan

    dalam tata massa bangunan pada bagian barat, tetapi pada bagian timur, masih memberi kesan tidak teratur. Secara visual koridor segmen jalan ini, cukup bisa dinikmati, selain ketinggian bangunan yang merata, bangunan-bangunan dirancang dengan material yang permanen, fasade bangunan terlihat harmonis, dan setback, dan jarak antara bangunan cukup seragam. Kecuali pada kampung yang terpotong, secara keseluruhan koridor segmen jalan ini cukup baik.

    Gambar 6 Koridor Soekarno-Hatta 3 (Segmen

    KopoMoh.Toha) dalam tiga dimensi

    Pengelompokan fungsi sangat penting untuk membentuk koridor yang baik, seperti terlihat pada gambar di atas ini, yang memperlihatkan perkantoran yang ukuran kaplingnya hampir seragam mengelompok, dan membentuk facade tata massa bangunan yang harmonis.

    3.1.4 Koridor Soekarno-Hatta 4 (Segmen Moh.

    Toha Buahbatu) Koridor ini hampir sama dengan koridor

    sebelumnya, hanya perbedaannya adalah pengelompokan fungsi terjadi tidak berseberangan, tetapi terjadi pada satu sisi jalan. Pada sisi utara didominasi oleh fungsi jasa dan komersial, disisi selatan fungsi perkantoran, dan di satu bagian lagi perumahan formal.

    Secara keseluruhan terlihat adanya keteraturan dalam tata massa bangunan, oleh karena kapling pada umumnya berbentuk regular, dan muka bangunan sejajar dengan jalan. Secara visual koridor segmen jalan ini, cukup bisa dinikmati, selain ketinggian bangunan yang merata, bangunan-bangunan dirancang dengan material yang permanen, fasade bangunan terlihat harmonis, dan setback dan jarak antara bangunan cukup seragam.

    Gambar 7 Koridor Soekarno-Hatta 4 (Segmen

    Moh.Toha-Buah Batu) dalam tiga dimensi

    3.1.5 Koridor Soekarno-Hatta 5 (Segmen

    Buahbatu-Kiaracondong) Pada koridor segmen jalan ini terjadi

    kemiringan yang memotong kapling, yang mengakibatkan terbentuk kapling-kapling berbentuk segitiga. Bentuk dan ukuran kapling yang beraneka ragam, dengan ke 5 fungsi yang menempati koridor, membentuk koridor dan tata massa bangunan menjadi tidak teratur. Dengan kondisi kapling-kapling miring, pada umumnya sisi muka bangunan mengambil sikap sejajar dengan sisi jalan, sehingga kesan koridor masih bisa dirasakan

  • 24

    Gambar 8 Bangunan di Sepanjang koridor

    Soekarno-Hatta 5

    Gambar 9 Koridor Soekarno-Hatta 5 (Segmen

    Buah Batu - Kiaracondong) dalam tiga dimensi

    Koridor pada gambar di atas ini, terlihat bentuk dan besar bangunan yang sangat beragam, orientasi muka bangunan sebagian tidak menghadap jalan, dan fungsi-fungsi yang beraneka ragam tidak berkelompok. 3.1.6 Koridor Soekarno-Hatta 6 (Segmen Metro)

    Koridor Soekarno-Hatta 6 ini berasal dari

    sawah, yang terpotong miring jalan Soekarno-Hatta. Koridor segmen ini didominasi oleh kantor pemerintahan wilayah besar dengan kategori kapling besar. Fungsi yang hampir seragam pada koridor, ditambah kapling yang besar, memberikan keleluasaan untuk mengembangkan variasi adaptasi

    bentuk bangunan, jarak pandang dari jalan ke bangunan sangat jauh, faktor-faktor ini menyebabkan bentukan tata massa bangunan terlihat teratur.

    Gambar 10 Bangunan di Sepanjang Koridor

    Soekarno-Hatta 6 (Segmen Metro)

    Gambar 11 Koridor Soekarno-Hatta 6 (Segmen

    Metro) dalam tiga dimensi

  • 25

    Pada gambar diatas terlihat bukti fisik proses terjadinya kapling pada koridor ini, dari sawah berbentuk segiempat besar terbelah menjadi 2 bagian, kemudian diiris-iris tipis menjadi kapling yang sempit dan panjang. Melalui proses tersebut, ada sisa-sisa kapling berbentuk segitiga pada ujungnya, yang kemudian setelah di adaptasi oleh bangunan, menghasilkan koridor yang bila dipandang dari arah jalan tidak terlalu terlihat perbedaan bentuk dan ukuran kaplingnya. 3.1.7 Koridor Soekarno-Hatta 7 (Segmen Makro)

    Koridor Soekarno-Hatta 7 ini membelakangi

    perumahan-perumahan besar seperti perumahan Margahayu Raya, Sanggar Hurip, Gading Regency dan Aria Graha. Sedangkan pada koridornya sendiri terdapat Rumah Sakit Al Islam, dan Grosir Makro. Pada koridor ini terdapat beberapa kantor besar dengan kategori ukuran kapling besar, dengan bentuk kapling tidak seragam tidak teratur, dan pada umumnya berbentuk segi empat ireguler.

    Gambar 12 Bangunan di Sepanjang Koridor

    Soekarno-Hatta 7 (Segmen Makro)

    Bentukan massa bangunan pada koridor sama dengan koridor sebelumnya terlihat teratur, karena kepadatan kurang, dan jarak pandang dari jalan bangunan sangat jauh. Secara keseluruhan terlihat adanya ketidak keteraturan dalam tata massa bangunan, oleh karena bentuk kapling yang iregular, dan setback bangunan yang tidak seragam. Secara visual koridor segmen jalan ini, cukup bisa dinikmati.

    Gambar 13 Koridor Soekarno-Hatta 7 (Segmen

    Makro) dalam tiga dimensi 3.1.8 Koridor Soekarno-Hatta 8 (Segmen

    Gedebage-Cibiru) Koridor ini didominasi oleh fungsi industri

    dengan kategori kapling sangat besar sekali, dan besar. Bentuk-bentuk kapling yang iregular diadaptasi dengan bentuk bangunan segiempat massa banyak, dengan jarak pandang yang jauh dari jalan, dan kepadatan kecil pada kawasan ini, menyebabkan koridor ini terlihat secara visual cukup teratur.

    Secara visual koridor segmen jalan ini, netral saja, dan berkesan masih rural. Selain ketinggian bangunan yang merata dan rendah, setback bangunan yang jauh dari jalan, mengakibatkan fasade bangunan tidak bisa terlihat jelas.

  • 26

    Gambar 14 Bangunan di Sepanjang Koridor

    Soekarno-Hatta 8 (Segmen Gedebage - Cibiru)

    Sebagai jalan arteri primer, fungsi segmen jalan ini sesuai, oleh karena akses ke setiap kapling bangunan dilakukan dari jalur lambat, sehingga tidak mengganggu kelancaran jalan arteri. Demikian juga dengan Angkutan kota yang melewati koridor ini bisa berhenti dimana saja setiap saat pada jalur lambat. Kecepatan yang ditempuh oleh setiap kendaraan bisa mencapai 60 km, dan kendaraan tidak mungkin berhenti atau parkir pada badan jalan arteri.

    Gambar 15 Koridor Soekarno-Hatta 8 (Segmen

    Gedebage-Cibiru) dalam tiga dimensi

    Fungsi yang hampir seragam pada koridor membentuk karakter tertentu. Terlihat kawasan industri, dan perkantoran besar pada ujung timur jalan Soekarno-Hatta, dengan bentuk bangunan fungsional segiempat tanpa estetika facade. 3.2 Bentukan Arsitektur pada Koridor Arteri

    Sekunder Lingkar Selatan 3.2.1 Koridor Lingkar Selatan

    Pada koridor jalan ini bentuk dan ukuran

    kaplingnya sangat bervariatif, ditambah dengan orientasi kapling yang mengarah ke berbagai titik, tidak ke arah jalan saja. Dengan demikian, maka orientasi muka bangunan yang dihasilkan juga mengarah ke berbagai titik. Kapling-kapling yang sama ukurannya tidak mengelompok, dan ketinggian bangunan tidak membentuk skyline yang baik. Setback bangunan tidak sama, ada yang mundur, dan ada yang berimpit dengan batas muka kapling. Fungsi yang campur dari hunian kampung, jasa dan komersial, serta industri, mengakibatkan sulit tercapainya koridor ini untuk disebut sebagai koridor komersial.

  • 27

    Gambar 16 Bangunan di Sepanjang Koridor

    Lingkar Selatan Pada koridor ini terdapat satu fungsi yang menonjol, yaitu Mall Holis, yang berada pada ujung jalan dekat persimpangan jalan Pasirkoja. Walaupun tata letak masa bangunan pada koridor ini tidak teratur, dengan setback yang tidak seragam, secara visual koridor ini bisa dinikmati. Selain ketinggian bangunan yang merata (kecuali Mall Holis sebagai landmark), bangunan-bangunan dirancang dengan material yang permanen, fasade bangunan terlihat harmonis, dan setback bangunan cukup seragam.

    Sebagai jalan arteri sekunder, fungsi segmen jalan ini tidak sesuai, oleh karena akses ke setiap kapling bangunan bisa dilakukan langsung dari jalan arteri. Angkutan kota yang melewati koridor ini bisa berhenti dimana saja setiap saat. Kecepatan yang ditempuh oleh kendaraan tidak bisa mencapai 60 km, oleh karena selalu terjadi kemacetan yang disebabkan oleh angkutan umum. Parkir kendaraan masih dilakukan pada badan jalan, dan trotoir dipergunakan oleh pedagang kaki lima.

    Gambar 17 Koridor Lingkar Selatan dalam tiga

    dimensi Konfigurasi ukuran dan bentuk bangunan yang tidak sama, orientasi muka bangunan mengarah tidak pada jalan, menghasilkan street picture yang tidak teratur.

    3.2.2 Koridor Peta Walaupun masih terdapat sedikit fungsi

    industri dan fungsi hunian kampung, fungsi pada koridor jalan ini hampir homogen yaitu jasa dan komersial,. Konfigurasi kapling pada koridor ini cukup seimbang, baik pada ukuran maupun bentuk-bentuk kapling, sehingga terbentuk street picture yang harmony. Setback bangunan masih tidak seragam, sehingga ruang muka bangunan tidak menerus. Apabila hal ini dikaitkan dengan ruang parkir, maka parkir masih dilakukan di badan jalan.

    Gambar 18 Bangunan di Sepanjang Koridor

    Peta

  • 28

    Secara visual koridor segmen jalan ini, cukup bisa dinikmati, selain ketinggian bangunan yang merata, bangunan-bangunan dirancang dengan material yang permanen, fasade bangunan terlihat harmonis, dan setback bangunan cukup seragam.

    Gambar 19 Koridor Peta dalam tiga dimensi Konfigurasi adaptasi bangunan yang terbentuk oleh bentuk dan besar kapling yang hampir seragam, ditambah dengan fungsi yang hampir homogen, membentuk street picture yang harmonis. 3.2.3 Koridor BKR 1

    Koridor jalan BKR 3 berada pada ruas

    lapangan Tegalega, dengan ukuran kapling besar sekali. Dengan fungsi institusi, perkantoran, hunian, dan industri. Terdapat 2 simpul jalan yang memotong jalan ini, yaitu jalan Otto Iskandardinata, dan jalan Astanaanyar.

    Gambar 20 Bangunan di Sepanjang Koridor

    BKR 1 Ukuran kapling yang sangat berbeda, serta ketinggian yang drastis dari bangunan PT. Inti dengan bangunan lainnya. Hal ini mengakibatkan koridor ini punya karakter yang spesifik, dan tandanya adalah bangunan PT. Inti

    Gambar 21 Koridor BKR 1 dalam tiga dimensi 3.2.4 Koridor BKR2

    Berbeda dengan koridor sebelumnya yang

    fungsinya hampir homogen, koridor ini masih mempunyai fungsi yang heterogen. Fungsi komersial yang dominan adalah bangunan-bangunan ruko yang menggabungkan beberapa kapling yang kemudian dibelah-belah lagi.

    Pada satu sisi utara bentuk dan ukuran kapling hampir seragam, tetapi fungsinya belum homogen, sehingga ruang muka bangunan untuk ruang publik komersial tidak menerus. Konfigurasi bentuk bangunan-bangunan teratur dan rapih, karena ukuran bangunan hampir sama, dan orientasi muka bangunan seluruhnya ke jalan. Pada sisi selatan jalan, kapling pada umumnya berbentuk segiempat, tetapi ukurannya tidak merata. Terdapat potongan kampung pada 3 titik, sehingga konfigurasi bentuk bangunan yang tercipta pada kelompok ini tidak teratur.

  • 29

    Gambar 22 Bangunan di Sepanjang Koridor

    BKR 2 Secara keseluruhan terlihat adanya keteraturan dalam tata massa bangunan, oleh karena bentuk kapling yang regular, dan muka bangunan sejajar dengan jalan. Secara visual koridor segmen jalan ini, cukup bisa dinikmati, selain ketinggian bangunan yang merata, bangunan-bangunan dirancang dengan material yang permanen, fasade bangunan terlihat harmonis, dan setback bangunan cukup seragam.

    Gambar 23 Koridor BKR 2 dalam tiga dimensi 3.2.5 Koridor BKR 3

    Koridor jalan BKR 1 (bagian utara) sebagian

    kaplingnya berasal dari perumahan formal yang terkena pelebaran jalan, sehingga kapling-kapling pada umumnya berbentuk segiempat dan sejajar jalan. Faktor ini yang menyebabkan pada bagian ini bangunan cukup tertata dengan baik dan teratur. Pada bagian lainnya (bagian selatan) adalah kawasan kampung yang terpotong, ukuran dan bentuk kapling tidak seragam, ditambah dengan beragamnya fungsi, sehingga terbentuk koridor yang tidak teratur. Ketinggian bangunan pada sisi selatan sangat bervariasi dari hotel Horison 8 lantai sampai dengan hunian kampung yang rendah 1 lantai.

  • 30

    Gambar 24 Bangunan di Sepanjang Koridor

    BKR 3 Secara keseluruhan terlihat adanya keteraturan dalam tata massa bangunan, oleh karena bentuk kapling yang regular, dan muka bangunan sejajar dengan jalan. Secara visual koridor segmen jalan ini, kurang bisa dinikmati, selain ketinggian bangunan yang tidak merata, setback bangunan tidak seragam.

    Gambar 25 Koridor BKR 3 dalam tiga dimensi Hotel Horison 8 lantai pada koridor BKR 1 menjadi landmark koridor. Disampingnya bangunan komersial lainnya berlantai 4, sedangkan disebelah selatan masih terdapat kawasan kampung yang tidak teratur, dengan kapling-kapling kecilnya yang terpotong. 3.2.6 Koridor Pelajar Pejuang

    Koridor jalan Pelajar Pejuang ini, berasal dari

    sebuah jalan di kawasan perumahan formal yang mengalami pelebaran jalan. Ukuran luas dan bentuk kapling yang seragam menghasilkan bentuk dan tata bangunan yang berderet rapih dan teratur. Koridor ini merupakan jalan lurus dan panjang dengan perubahan fungsi 60% dari fungsi hunian ke fungsi komersial.

    Gambar 26 Bangunan di Sepanjang Koridor Pelajar Pejuang

    Gambar 27 Koridor Pelajar Pejuang dalam tiga

    dimensi

  • 31

    Secara keseluruhan pada koridor ini terlihat adanya keteraturan dalam tata massa bangunan, oleh karena bentuk kapling yang regular, dan muka bangunan sejajar dengan jalan. Secara visual koridor segmen jalan ini, cukup bisa dinikmati, selain ketinggian bangunan yang merata, bangunan-bangunan dirancang dengan material yang permanen, fasade bangunan terlihat harmonis, dan setback bangunan cukup seragam.

    Koridor lurus dan panjang dengan perubahan fungsi dari hunian ke komersial. Keseragaman bentuk dan ukuran kapling, menciptakan keteraturan bentuk. Secara visual koridor memberi kesan rapih dan teratur, sedangkan skyline masih belum terlihat baik, karena ketinggian bangunan belum terbentuk. 4. KESIMPULAN

    Sebuah koridor merupakan rangkaian dari

    kapling-kapling dengan berbagai bentuk dan ukurannya. Fungsi pada koridor yang sama atau bercampur juga mempengaruhi ukuran besar kecilnya kapling. Contohnya, kapling industri dan kaling hunian, mempunyai ukuran yang sangat berbeda. Jadi apabila sebuah koridor mempunyai fungsi yang amat campur akan menghasilkan komposisi ukuran kapling yang beraneka ragam. Bentuk dan orientasi kapling akan membentuk massa-massa bangunan pada koridor yang mempengaruhi visual koridor.

    Komposisi dari bentuk dan besar kapling yang seragam pada satu koridor, ditambah dengan bentuk dan besar bangunan yang sama, akan membentuk koridor yang teratur dan harmoni. Sedangkan ketidak seragaman bentuk dan besar kapling, akan cenderung menghasilkan bentuk dan besar massa bangunan yang tidak teratur dan tidak harmoni. Tata letak massa bangunan pada kapling juga mempengaruhi hasil dari rangkaian bangunan tersebut pada visual koridor, jarak antara bangunan serta ketinggian bangunan akan menciptakan skyline dan ruang kota yang bisa menjadi vista yang indah bagi yang memandangnya.

    Dari ke 7 segmen jalan yang terdapat di jalan Soekarno-Hatta, terdapat perbedaan yang sangat signifikan yang mempengaruhi terbentuknya kualitas koridor dan berperannya fungsi jalan arteri yang sebenarnya. Faktor pembentuknya adalah konteks fisik pada saat jalan tersebut dibangun, yaitu lahan kosong yang telah terpola, lahan kosong yang tidak terpotong miring oleh jalan, kawasan terbangun yang terencana dengan baik, dan spontan, serta jalan lama yang dilebarkan.

    Sedangkan untuk kasus Jalan Lingkar Selatan, jalan ini memotong seluruhnya pada kawasan terbangun. Terdapat 3 faktor pembentuk koridor, yaitu bentukan fisik asal kawasan terbangun yang terpotong, yaitu yang mempunyai pola yang

    terencana, tidak terencana, dan jalan yang dibangun pada jalan yang sudah ada.

    Untuk setiap segmennya, dapat terlihat perbedaan kesesuaian fungsi jalan sebagai jalan arteri. Untuk beberapa segmen, fungsi jalan arteri primer (Jl.Soekarno Hatta) dan arteri sekunder (Jl.Lingkar Selatan) masih sesuai. Namun untuk beberapa segmen dapat terlihat bahwa tedapat penurunan fungsi jalan yang disebabkan oleh adanya akses langsung setiap kapling bangunan ke jalan. Selain itu, kecepatan kendaraan tidak dapat mencapai kecepatan ideal karena selalu terjadi kemacetan yang disebabkan oleh angkutan umum, on-street parking dan penggunaan trotoar oleh pedagang kaki lima. 5. DAFTAR PUSTAKA Barnett, Jonathan. 1982 An Introduction to Urban

    Design New York: Van Nostrand Reinhold Company

    Bishop, Kirk, no year. Designing Urban Corridors: Planning Advisory Service Report Number 418. American Planning Association.

    R. Hedman, dan A. Jaszewski, 1984 Fundamentals of Urban Design Washington DC : Planner Press American Planning Association

    Jacobs Allan B, 1996 Great Streets Massachusetts : MIT Press

    Lynch, Kevin, 1960 The image of The City Cambridge Massachussets The MIT Press

    Marshall, Stephen 2005 Streets and Patterns London, New York: Spon Press Taylor and Francis Group

    Mc Cluskey, Jim 1979. Road Form and Townscape London: The Architectural Press

    Moughtin, James Clifford. 1992 Urban Design : Street and Square Oxford Architectural Press

    R. Fyfe Nocholas, 1998 Images of The Street London New York Routledge

    Shirvani, Hamid, 1985 Urban Design Process New York: Van Nostrand Reinhold Company

    Southworth, Michael and Eran Ben-Joseph, 1997 Streets and The Shaping of Towns and Cities New York Mc Graw-Hill

    Zucker, P. 1959 Town and Square: From The Agora to The Village Green New York: Columbia University Press

    Siregar, Sandi A. 1990 Bandung- The Architecture of a City in Development Disertasi S3 Katholieke Universiteit Leuven

    7. RIWAYAT PENULIS Dr. Ir. Dewi Parliana, MSP. adalah dosen Kopertis Wilayah IV yang dipekerjakan pada Jurusan Teknik Arsitektur Itenas Bandung sejak tahun 1990.

  • 33

    Jurnal Tekno Insentif Kopwil4, Volume 4 No.1, Juli 2010

    ISSN: 1907-4964, halaman 33 s.d 45

    MODEL STRATEGI LAYANAN TEKNOLOGI INFORMASI UNTUK ORGANISASI

    Oleh:

    A r a d e a Teknik Informatika, Fakultas Teknik,

    Universitas Siliwangi Tasikmalaya Abstrak - Kerangka kerja disiplin teknologi informasi (TI) saat ini banyak diadopsi oleh berbagai jenis institusi atau organisasi untuk penunjang pencapaian tujuan organisasi. Organisasi telah menyadari bahwa tuntutan akan pengelolaan proses bisnis organisasi yang baik harus ditunjang oleh kerangka kerja yang terbaik. Peran TI dalam organisasi saat ini difungsikan tidak hanya untuk pengolahan data, tetapi dapat difungsikan untuk fungsi strategi dan layanan. Pada makalah ini akan dikaji model kerangka kerja layanan TI dengan tujuan untuk peningkatan performa TI sebagai fungsi strategi dan layanan. Kerangka kerja yang digunakan untuk model ini dengan menggunakan Information Technology Infrastructure Library (ITIL) versi 3, dengan pendekatan modul service strategy dan service design. Kombinasi kedua modul tersebut dilakukan secara selaras, mengacu pada tahapan pemodelan tata kelola TI. Kata Kunci: ITIL, service strategy, service design, teknologi informasi Abstract - Disciplinary framework of information technology (IT) is now widely adopted by various types of institutions or organizations to support the achievement of organizational goals. Organizations have realized that the demand for business process management of both organizations should be supported by the framework is the best. Role of IT in the organization currently functioned not only for data processing, but they can be used for strategy functions and services. In this paper, the model framework will be reviewed with the aim of IT services to increase IT performance as a function of strategy and service. The framework used for this model by using Information Technology Infrastructure Library (ITIL) version 3, with the module approach to service strategy and service design. Combination of the two modules are conducted in harmony, referring to the stages of IT governance model. Keywords: ITIL, service strategy, service design, information technology

    1. PENDAHULUAN

    Seiring dengan meningkatnya frekuensi

    kebutuhan layanan dalam organisasi, peran Teknologi Informasi (TI) dalam organisasi saat ini telah mengalami pergeseran paradigma, pada awalnya TI hanya berfokus pada otomatisasi data, pengolahan data atau manipulasi data, sekarang sudah bergeser pada fungsi perencanaan strategis dan layanan. Performa TI dapat menjadi faktor penentu pencapaian tujuan organisasi, apabila diposisikan dan difungsikan secara tepat dan selaras dengan tujuan dan kebutuhan proses bisnis organisasi.

    Guna merealisasikan berbagai tujuan bisnisnya, organisasi sudah seharusnya merespons positif kondisi tersebut, sehingga peran dari TI sebagai penunjang pencapaian visi, misi dapat berfungsi sesuai dengan kebutuhan serta selaras dengan tujuan dan sasaran organisasi. Adopsi kerangka kerja disiplin TI saat ini sudah banyak dilakukan oleh berbagai jenis organisasi, baik profit ataupun non profit, untuk keberlangsungan hidup proses bisnisnya dalam menghadapi perubahan-

    perubahan yang ada pada lingkungan bisnis. Salah satu kerangka kerja disiplin TI dalam hal fungsi layanan TI adalah Information Technology Infrastructure Library (ITIL). ITIL adalah kerangka kerja best practices yang dapat digunakan untuk membantu organisasi dalam mengembangkan proses Information Technology Service Management (ITSM). Ini adalah panduan untuk menetapkan proses-proses umum, peran, dan aktivitas, dengan referensi yang tepat satu sama lain dan bagaimana jalur komunikasi harus ada di antara mereka. Perusahaan atau organisasi dapat menggunakan ITIL, baik secara keseluruhan atau sebagian, tergantung pada preferensi mereka. ITIL menyediakan panduan tentang bagaimana menghubungkan proses dan kegiatan yang ada di departemen TI dalam konteks yang terstruktur, dan kaitannya adalah kunci kualitas layanan.

    Sejalan dengan kondisi tersebut, tantangan utama yang dihadapi perusahaan atau organisasi adalah bagaimana mengoptimalkan pemanfaatan sistem dan teknologi informasi yang siap pakai dengan sasaran akses yang tepat dan jelas, yaitu dengan mendefinisikan sebuah pe