jurnal pengembangan penyuluhan …...jurnal pengembangan penyuluhan pertanian bidang ilmu-ilmu...
TRANSCRIPT
JURNAL
PENGEMBANGAN PENYULUHAN PERTANIAN
Bidang Ilmu-ilmu Peternakan
Volume 11 (22), Desember 2015 ISSN: 1858- 1625
DAFTAR ISI
Penambahan Enzim Fitase Pada Ransum dengan Level Protein
Berbeda Terhadap Efisiensi Protein Ayam Broiler Apriliyana, K. T., Suprijatna E. dan Atmomarsono, U 1-9
Total Polifenol dan Aktivitas Antioksidan Yoghurt dengan
Penambahan Tepung Jewawut Laksito Rukmi, D., Legowo , A M., dan Dwiloka, B 10-18
Pengaruh Subtitusi Jagung dengan Tepung Biji Alpukat Terhadap
Konsumsi Ransum, Asupan Protein, dan Retensi Nitrogen Pada Ayam
Broiler S. Irianing , N. Suthama
dan I. Mangisah 19-24
Kecernaan In Vitro Jerami Padi Fermentasi dengan Menggunakan
Berbagai Level Inokulum Aspergillus Niger dan Lactobacillus
Plantarum Saputro , R. A. T. W, Ngadiyono, N., Yusiati, L. M, Budisatria, I. G. S. 25-35
Kajian Evaluasi Program Penyuluhan Pupuk Bokashi di Kelompok
Tani Angulir Hasto, Kecamatan Kedu Kabupaten Temanggung Supriyanto, Soeharso, N
dan Achadiati, N 36-47
Penggunaan Tepung Biji Alpukat dan Pengaruhnya Terhadap
Kecernaan Lemak Kasar dan Energi Metabolis Ransum Ayam
Broiler Nurrohman, A., Yunianto, V. D., dan Mangisah, I 48-57
Pengaruh Penggunaan Tepung Limbah Rumput Laut (Gracilaria
Verrucosa) Fermentasi dalam Ransum Terhadap Produksi Telur Itik
Pedaging Wijayanto, D., Suprijatna, dan E., Sarengat, W 58-63
Kecernaan Nutrien Pakan Konvensional yang Disubtitusi dengan
Berbagai Level Silase Pakan Komplit Berbahan Eceng Gondok Secara
In Vitro Hida, M. H. A, Muktiani, A. dan Pangestu, E 64-72
Respon Peternak Terhadap Pencegahan dan Pengobatan Penyakit
Cacing Gilig Pada Ternak Kambing di Desa Tracap Kecamatan
Kaliwiro Kabupaten Wonosobo Widiarso, B.P., Sunarsih
dan Meniati 73-88
Analisis Keseimbangan Harga Daging Ayam Broiler di Propinsi Jawa
Tengah
Nurdayati1 89-96
Pengaruh Pemberian Ramuan Herbal Sebagai Pengganti Vitamin dan
Obat-Obatan dari Kimia Terhadap Performan Ternak Ayam
Kampung Super Prabewi, N. dan Junaidi, P. S. 97-108
Pengantar Redaksi
Puji syukur kita panjatkan ke hadlirat Allah Swt., atas terbitnya jurnal
Pengambangan Penyuluhan Pertanian, Bidang Ilmu-ilmu Peternakan, Volume 11 (21), Juli
2015, yang diterbitkan oleh Program Studi Penyuluhan Peternakan, Sekolah Tinggi
Penyuluhan Peternakan. Jurnal ini merupakan publikasi ilmiah di bidang Ilmu Penyuluhan
Pertanian, khususnya Penyuluhan di bidang Peternakan, yang terbit 2 (dua) kali dalam
setahun, yaitu pada bulan Juli dan Desember.
Pada edisi kali ini kami menampilkan beberapa tulisan seperti: Penambahan Enzim
Fitase Pada Ransum dengan Level Protein Berbeda Terhadap Efisiensi Protein Ayam
Broiler; Total Polifenol dan Aktivitas Antioksidan Yoghurt dengan Penambahan Tepung
Jewawut; Pengaruh Subtitusi Jagung dengan Tepung Biji Alpukat Terhadap Konsumsi
Ransum, Asupan Protein, dan Retensi Nitrogen Pada Ayam Broiler; Kecernaan In Vitro
Jerami Padi Fermentasi dengan Menggunakan Berbagai Level Inokulum Aspergillus Niger
dan Lactobacillus Plantarum; Kajian Evaluasi Program Penyuluhan Pupuk Bokashi di
Kelompok Tani Angulir Hasto, Kecamatan Kedu Kabupaten Temanggung; Penggunaan
Tepung Biji Alpukat dan Pengaruhnya Terhadap Kecernaan Lemak Kasar dan Energi
Metabolis Ransum Ayam Broiler; Pengaruh Penggunaan Tepung Limbah Rumput Laut
(Gracilaria Verrucosa) Fermentasi dalam Ransum Terhadap Produksi Telur Itik Pedaging;
Kecernaan Nutrien Pakan Konvensional yang Disubtitusi dengan Berbagai Level Silase
Pakan Komplit Berbahan Eceng Gondok Secara In Vitro; Respon Peternak Terhadap
Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Cacing Gilig Pada Ternak Kambing di Desa Tracap
Kecamatan Kaliwiro Kabupaten Wonosobo; Pengaruh Pemberian Ramuan Herbal Sebagai
Pengganti Vitamin dan Obat-Obatan dari Kimia Terhadap Performan Ternak Ayam
Kampung Super.
Kami mengucapkan terima kasih kepada penulis dan semua pihak yang telah
membantu penerbitan jurnal ini dan semoga, dapat memberikan motivasi dan dorongan
kepada semua sivitas akademika STPP Magelang pada khususnya dan semua pihak pada
umumnya untuk memublikasikan hasil penelitian di bidang penyuluhan peternakan, hasil
telaahan pustaka, atau pengalaman lain yang dapat bermanfaat bagi kemajuan di bidang
ilmu penyuluhan peternakan pada khususnya dan pembangunan pertanian pada umumnya.
Redaksi
1 Penambahan Enzim Fitase Pada Ransum dengan Level Protein Berbeda Terhadap Efisiensi Protein
Ayam Broiler
PENAMBAHAN ENZIM FITASE PADA RANSUM DENGAN LEVEL PROTEIN
BERBEDA TERHADAP EFISIENSI PROTEIN AYAM BROILER
(Phytase Enzymes Addition in The Ration with Different Protein Level On Protein Efficiency
of Broiler Chickens)
Apriliyana, K. T1., Suprijatna E.
2 dan Atmomarsono, U
3
1)
Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro
Kampus drh. Soejono Koesoemowardojo Tembalang Semarang 50275
E-mail : [email protected]
2,3)
Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro
Kampus drh. R. Soejono Kusumowardojo Tembalang, Semarang 50275
Diterima : 15 Desember 2014 Disetujui : 25 September 2015
ABSTRACT
The research was conducted to learn the effect of phytase enzymes addition in the
ration with different protein level on protein efficiency broiler chickens. Material the
research used were 128 broiler chickens at 8 days old initial body weight 108,14 ± 11,44 g
(CV 10,58%) housed in 16 pen for 6 weeks. Complete Random Design (RAL) involving 4
treatments with 4 repetitions were used in this study are T0 (23% protein ration), T1 (21%
protein ration + 1000 FTU phytase enzymes), T2 (23% protein ration + 1000 FTU phytase
enzymes), T3 (23% protein ration + 1% bone meal). The data was analyzed using F test to
determine the effect of treatment, continued with Duncan's multiple range test with
probability level at 5% if any significant effect was found. Parameters research were protein
consumption, ileal protein digestibility and protein efficiency ratio (PER). The results
showed that the addition of phytase enzymes in the diet that there was significant effect
(P<0,05) on the protein consumption, ileal protein digestibility and protein efficiency ratio
(PER). The conclusion of this research is the addition of phytase enzymes in the 21% protein
ration results in protein efficiency have better than control ration, addition phytase in protein
23% of ration and addition mineral in protein 23% of ration.
Key words : phytase enzymes, protein level, protein efficiency, broiler chickens.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penggunaan enzim fitase dalam ransum pada
taraf protein yang tepat untuk meningkatkan efisiensi penggunaan protein ayam broiler.
Materi yang digunakan dalam penelitian adalah ayam broiler dengan bobot badan 108,14 ±
11,44 g (CV 10,58%) umur 1 minggu sebanyak 128 ekor (unsex) yang dipelihara dalam 16
unit kandang selama 6 minggu, masing-masing unit berisi 8 ekor ayam. Penambahan fitase
dilakukan pada minggu kedua pemeliharaan. Rancangan percobaan yang digunakan adalah
rancangan acak lengkap dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan yaitu T0 (Ransum protein 23%),
T1 (Ransum protein 21% + fitase 1000 FTU/kg), T2 (Ransum protein 23% + enzim fitase
1000 FTU/kg), T3 (Ransum protein 23% + mineral 1%). Data dianalisis ragam menggunakan
uji F pada taraf 5%, jika ada pengaruh perlakuan dilanjutkan dengan uji duncan untuk melihat
2 Penambahan Enzim Fitase Pada Ransum dengan Level Protein Berbeda Terhadap Efisiensi Protein
Ayam Broiler
perbedaan antar perlakuan. Parameter penelitian meliputi konsumsi protein, kecernaan
protein ileal dan rasio efisienfi protein. Hasil penelitian perlakuan menunjukkan berpengaruh
nyata (P<0,05) terhadap konsumsi protein, kecernaan protein ileal dan rasio efisiensi protein.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah ransum protein 21% yang ditambahkan fitase
menunjukkan hasil efisiensi protein yang lebih baik dibandingkan ransum kontrol, ransum
protein 23% yang ditambah fitase maupun ransum protein 23% yang ditambahkan mineral.
Kata kunci : fitase, level protein, efisiensi protein, broiler
PENDAHULUAN
Dewasa ini peternakan unggas
berkembang pesat, salah satunya peternakan
ayam broiler. Ransum unggas terutama
terdiri dari tumbuhan yang berasal dari biji-
bijian, namun dalam pemanfaatannya pakan
tersebut mengandung asam fitat yang tidak
bisa dihidrolisis oleh saluran pencernaan.
Asam fitat merupakan zat antinutrisi yang
terdapat dalam kacang-kacangan yang dapat
bervalensi dengan mineral (Ca, Mg, Zn, Fe)
dan protein sehingga menyebabkan
terjadinya gangguan kecernaan yang dapat
menurunkan nilai gizi. Ketersediaan protein
sebagai substrat dalam tubuh berhubungan
erat dengan metabolisme protein khususnya
proses deposisi protein yang menunjang
pertumbuhan. Proses pertumbuhan melalui
deposisi protein daging secara kimiawi
ditunjang oleh beberapa faktor antara lain
kalsium dalam bentuk ion dan aktivitas
enzim protease yang disebut Calcium
Activated Neutral Protease (CANP) dalam
daging (Biehl et al., 1997). Terbentuknya
senyawa fitat-mineral atau fitat-protein yang
tidak larut dapat menyebabkan penurunan
ketersediaan mineral dan nilai gizi protein
pakan. Mineral-mineral dan protein yang
membentuk komplek dengan fitat tersebut
tidak dapat diserap oleh dinding usus bagi
ternak (Kornegay et al., 1999). Aktivitas
enzim protease dan tripsine dalam saluran
pencernaan menjadi rendah dengan adanya
protein yang terikat asam fitat (Caldwell,
1992). Ikatan kompleks fitat dan mineral
yang tidak larut aktif sebagai penghambat
kecernaan protein. Asam fitat menghambat
penyerapan protein dan mineral saat
pencernaan pakan, oleh karena itu upaya
peningkatan efisiensi protein pakan
dilakukan dengan beberapa cara, salah
satunya dengan penggunaan enzim fitase.
Enzim fitase merupakan enzim yang
dapat mengkatalisis reaksi hidrolisis asam
fitat dan menghasilkan ortofosfat anorganik
serta senyawa inositol fosfat yang lebih
rendah. Enzim fitase dapat mengatasi efek
negatif dari asam fitat terhadap performan
ternak. Penggunaan enzim sebagai
suplementasi dalam ransum dapat
menguntungkan secara ekonomi bila dapat
meningkatkan secara nyata efisiensi ransum
dan menekan harga ransum. Enzim fitase
yang diproduksi oleh fungus Aspergillus
ficcum NRRL 3135 mempunyai aktivitas
enzim fitase tertinggi, sehingga sangat cocok
digunakan sebagai feed additive (Augspurger
et al. 2003). Suplementasi enzim fitase
Natuphos sebanyak 500 fitase total unit
(FTU)/kg pada ransum ayam broiler yang
mengandung P-tersedia rendah (0.22% untuk
umur 1 hari–3 minggu dan 0.14% untuk
ayam umur 3–6 minggu), mampu
memperbaiki performan dan meningkatkan
penggunaan mineral P, Ca, Mg dan Zn
(Viveros et al., 2002). Hasil penelitian Lan
et al. (2002), menunjukkan bahwa efisiensi
suplementasi fitase pada performan dan
kecernaan nutrisi ayam broiler pada pakan
rendah Non-Phospat Phospor (NPP)
menghasilkan performan pertumbuhan yang
lebih baik pada nilai kecernaan protein dan
bahan kering, penggunaan Ca, P, dan Cu,
dan mineralisasi tulang dibandingkan dengan
penambahan enzim fitase 250 FTU, 500 FTU
dan 750 FTU. Unggas tidak dapat
menghasilkan enzim fitase pemecah asam
fitat sehingga perlu diberikan enzim fitase
dalam pakan, hal ini bertujuan untuk
meningkatkan penyerapan nutrisi protein dan
mineral serta kecernaan bahan pakan.
3 Penambahan Enzim Fitase Pada Ransum dengan Level Protein Berbeda Terhadap Efisiensi Protein
Ayam Broiler
Sehingga, diharapkan akan meningkatkan
efisiensi penggunaan protein ayam broiler.
Tujuan dari penelitian ini adalah
mengkaji peningkatan efisiensi protein ayam
broiler akibat penambahan fitase pada
ransum taraf protein yang berbeda. Hasil
penelitian ini bermanfaat untuk memberikan
informasi bahwa penambahan enzim fitase
pada level protein berbeda dalam ransum
yang efisien untuk ayam broiler.
MATERI DAN METODE
Penelitian dilaksanakan di kandang
Fakultas Peternakan dan Pertanian
Universitas Diponegoro Semarang selama 6
minggu yaitu mulai bulan Desember 2013-
Januari 2014.
Materi
Materi yang digunakan adalah ayam
broiler dengan bobot badan 108,14 g ± 11,44
g (CV 10,58%) umur 1 minggu sebanyak
128 ekor, enzim fitase merk Natuphos
5000®, vaksin gumboro, vaksin NDIB dan
ND Lasota. Komposisi dan kandungan
nutrisi penyusun ransum terdapat pada Tabel
1 yang terdiri dari jagung kuning, bekatul,
bungkil kedelai, PMM (Poultry Meat Meal),
tepung ikan, tepung tulang steam. Ransum
dalam bentuk mash. Untuk analisis protein
ekskreta digunakan gelas ukur, pipet tetes,
labu Kjeldahl, erlenmeyer, beker glass, alat
destilasi, incubator, serta buret. Kandang
perlakuan kecernaan menggunakan kandang
cage sejumlah 16 buah cage.
Tabel 1. Bahan Pakan dan Kandungan Nutrisi Ransum Penelitian
T0 T1 T2 T3
Bahan Pakan : ----------------------------(%)------------------------------
Jagung 42,50 47,50 42,50 41,50 Bekatul 20,50 20,50 20,50 20,50
Tepung ikan 8,00 8,00 8,00 8,00
Bungkil kedelai 23,00 15,50 23,00 22,00 PMM 6,00 8,50 6,00 7,00
Tepung tulang steam 0 0 0 1,00
Enzim Fitase 0 1000 FTU 1000 FTU 0
Jumlah 100 100 100 100
Kandungan :
EM (kkal/kg)* 3163,40 3155,98 3163,40 3126,21
Protein (%)* 23,17 21,36 23,17 23,14
Serat Kasar (%)* 5,08 4,84 5,08 5,04 Lemak Kasar (%)* 7,64 8,94 7,64 8,47
Ca (%)* 0,79 0,90 0,79 1,07
P-tersedia (%)* 0,53 0,57 0,53 0,67 Lysin* 1,53 1,42 1,53 1,54
Metionin* 0,50 0,49 0,50 0,50
Arginin* 1,80 1,69 1,80 1,81
Triptofan* 0,29 0,26 0,29 0,29 Fitase (U/kg) 0 1000,00 1000,00 0
Sumber : * Kandungan nutrisi bahan pakan ransum dianalisis di Laboratorium Ilmu Nutrisi dan
Pakan.
4 Penambahan Enzim Fitase Pada Ransum dengan Level Protein Berbeda Terhadap Efisiensi Protein
Ayam Broiler
Metode
Rancangan Penelitian
Percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan,
setiap unit percobaan diisi 8 ekor DOC. Ransum perlakuan terdiri dari:
T0 : Ransum protein 23%
T1 : Ransum protein 21% + enzim fitase 1000 FTU/kg
T2 : Ransum protein 23% + enzim fitase 1000 FTU/kg
T3 : Ransum protein 23% + tepung tulang 1%
Prosedur Penelitian
Ransum dan air minum diberikan ad
libitum. Ransum perlakuan dengan
penambahan enzim fitase diberikan mulai
hari ke-8 sampai hari ke-42. Setiap akhir
minggu dilakukan penimbangan bobot badan
untuk mengetahui pertambahan bobot badan.
Pengambilan data konsumsi protein
dilakukan setiap hari dengan menimbang
jumlah konsumsi ransum dikalikan dengan
kadar protein ransum. Untuk pengambilan
data kecernaan protein diambil 1 ekor ayam
kemudian ditempatkan pada kandang cage
dan dipuasakan selama 24 jam namun air
minum tersedia ad libitum. Ayam diberi
pakan sebanyak 70 g per ekor dengan
metode force feeding setelah pemuasaan
selesai. Metode force feeding tidak dilakukan
dengan memasukkan pakan langsung ke
tembolok, namun dengan membentuk pakan
menjadi bolus (gumpalan) lalu dimasukkan
ke mulut ayam, pakan harus habis dalam
waktu 1 - 2 jam, namun air minum tetap
disediakan hingga saat penyembelihan.
Empat jam setelah pakan habis dikonsumsi,
ayam disembelih dan organ dalamnya
dikeluarkan. Digesta diambil dari usus halus
bagian ileum, yaitu 1 cm setelah Meckel's
diverticulum hingga batas 1 cm sebelum
ileo-ceca junction. Digesta diletakkan dalam
nampan dan dijemur selama empat hari,
setelah itu dianalisis kandungan proteinnya
dengan metode mikro Kjehldahl di
Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan
Fakultas Peternakan dan Pertanian
Universitas Diponegoro.
Data diolah menggunakan sidik ragam
dan apabila menunjukkan pengaruh nyata
(P<0,05) akibat perlakuan dilanjutkan
dengan uji Duncan untuk mengetahui
perbedaan antar perlakuan.
Parameter Penelitian
Parameter penelitian yang diteliti
adalah konsumsi protein, kecernaan protein
ileal dan rasio efisiensi protein. Konsumsi
protein dihitung setiap hari selama masa
penelitian, sedangkan parameter kecernaan
protein ileal diambil pada masa akhir
penelitian saat ayam broiler umur 42 hari.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh penambahan enzim fitase
pada ransum dengan level protein berbeda
terhadap efisiensi ransum yang terdiri dari
konsumsi protein, kecernaan protein ileal
dan rasio efisiensi protein disajikan dalam
Tabel 2.
5 Penambahan Enzim Fitase Pada Ransum dengan Level Protein Berbeda Terhadap Efisiensi Protein
Ayam Broiler
Tabel 2. Pengaruh Penambahan Enzim Fitase pada Level Protein Berbeda terhadap
Efisiensi Ransum Ayam Broiler
Parameter Perlakuan
T0 T1 T2 T3
Konsumsi Protein (g/ekor/hari) 12,47±1,85 b
13,67±1,62b 15,12±2,01
b 17,99±1,28
a
Kecernaan Protein Ileal (%) 40,79±2,02c 39,82±0,28
c 43,55±1,33
b 64,62±1,30
a
Rasio Efisiensi Protein (REP) 1,37±0,14b 1,66±0,13
a 1,54±0,11
ab 1,46±0,13
ab
Keterangan : Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)
Konsumsi Protein
Pengaruh penambahan enzim fitase
pada ransum dengan level protein berbeda
pada ayam broiler berpengaruh nyata
(P<0,05) terhadap konsumsi protein
(g/ekor/hari) disajikan dalam Tabel 2.
Berdasarkan uji Duncan, diperoleh bahwa
konsumsi protein perlakuan T3 (protein 23%
+ mineral 1%) meningkat secara nyata
dibandingkan perlakuan T0, T1 dan T2 yang
disebabkan konsumsi ransum perlakuan
berbeda nyata antar perlakuan. protein
dipengaruhi oleh konsumsi ransum,
sedangkan konsumsi ransum dipengaruhi
oleh metabolisme zat-zat makanan dalam
tubuh. Semakin baik metabolisme zat-zat
makanan dalam tubuh maka akan
berpengaruh juga nafsu makan dan konsumsi
ransumnya. Perlakuan T3 (protein
23%+mineral 1%) mengalami peningkatan
ketersediaan fosfor bagi tubuh ternak
akibat penambahan mineral. Menurut
Trisiwi et al (2004), fosfor mempunyai peran
dalam metabolisme karbohidrat. Penelitian
ketersediaan fosfor dalam defluorionated
fosfat dengan solubilitas fosfor yang berbeda
oleh Coffey et al., (1994), secara nyata
meningkatkan konsumsi ransum,
pertambahan bobot badan, konversi ransum,
kekuatan tulang tibia ayam broiler. Ahmed
et al., (2004), menyatakan bahwa konsumsi
ransum, konversi ransum, bobot badan ayam
broiler meningkat akibat suplementasi fitase
pada ransum berbasis tepung kedelai.
Menurut Wahju (2004), besarnya konsumsi
ransum mencerminkan besarnya protein
yang dikonsumsi. Konsumsi ransum yang
tinggi, maka konsumsi protein juga semakin
tinggi, begitu juga sebaliknya jika konsumsi
ransum rendah maka konsumsi protein juga
rendah.
Hasil penelitian ini menunjukkan
besarnya konsumsi protein berkisar 12,47-
17,99%. Wahju (2004) menyatakan bahwa,
kebutuhan protein ayam broiler umur 6
minggu adalah 14,1-19,1% dengan rata-rata
sekitar 16,6%. Berdasarkan hasil penelitian
rata-rata konsumsi protein ayam broiler
akibat penambahan fitase dalam ransum
dengan level protein berbeda yaitu 14,81%
sesuai dengan standar konsumsi protein yaitu
14,1-19,1%. Hal tersebut dikarenakan fitase
dapat memecah ikatan fitat dengan mineral
dan protein sehingga ketersediaan protein
dan mineral menjadi lebih baik. Augspurger
et al. (2003), yang menyatakan bahwa enzim
fitase aktif didalam saluran pencernaan
unggas. Ikatan fitat dengan fosfor lepas
akibat kerja enzim fitase sehingga
meningkatkan ketersediaan mineral fosfor,
protein dan energi.
Kecernaan Protein Ileal
Berdasarkan analisis ragam, perlakuan
penambahan fitase pada ransum level protein
berbeda memberikan pengaruh nyata
(P<0,05) terhadap kecernaan protein ileal
yang disajikan dalam Tabel 2. Uji duncan
6 Penambahan Enzim Fitase Pada Ransum dengan Level Protein Berbeda Terhadap Efisiensi Protein
Ayam Broiler
menunjukkan T3 meningkat secara nyata
akibat penambahan mineral 1%
dibandingkan dengan perlakuan T0, T1 dan
T2. Penambahan fitase pada ransum protein
rendah (T1) berbeda dengan ransum protein
tinggi yang ditambahkan mineral 1% (T3)
dan penambahan fitase pada protein tinggi
(T2), tetapi tidak berbeda dengan ransum
kontrol (T0) akibat konsumsi protein yang
berbeda antar perlakuan. Konsumsi nutrisi
yang meningkat diiikuti dengan kecernaan
yang tinggi menyebabkan jumlah nutrisi
yang tercerna dan terserap semakin banyak.
Konsumsi ransum dan konsumsi protein
ransum T0 dan ransum T2 tidak berbeda,
tetapi pada retensi protein ransum T2
(protein 23%+fitase 1000 FTU/kg)
menunjukkan hasil yang lebih baik
dibandingkan ransum kontrol. Penambahan
mineral 1% nyata lebih baik meningkatkan
kecernaan protein ileal dibandingkan ransum
protein 23% yang ditambahkan fitase akibat
ketersediaan mineral yang lebih baik pada
ransum T3 sehingga nutrisi yang terserap
dalam usus juga meningkat. Mirnawati et al.
(2013), menyatakan kecernaan protein kasar
tergantung pada kandungan protein di dalam
ransum. Ransum yang kandungan proteinnya
rendah, umumnya mempunyai kecernaan
yang rendah pula dan sebaliknya. Tinggi
rendahnya kecernaan protein tergantung
pada kandungan protein ransum dan
banyaknya protein yang masuk dalam
saluran pencernaan. Menurut Wahju (2004),
kecernaan dipengaruhi komposisi ransum,
jumlah pemberian, jenis ternak, penyajian
pakan.
Berdasarkan uji duncan kecernaan
protein ileal T3 meningkat secara nyata
dibandingkan T0, T1 dan T2. Penambahan
fitase pada ransum protein tinggi (T2)
berbeda dengan ransum protein tinggi yang
ditambahkan mineral 1% (T3), penambahan
fitase pada protein tinggi (T2) dan ransum
kontrol (T0). Perlakuan ransum T0 dan T1
tidak berbeda, hal tersebut merupakan akibat
dari penambahan fitase pada ransum protein
21% sehingga dapat menyamai kecernaan
protein ileal ransum kontrol protein 23%
yang menunjukkan bahwa ketersediaan
protein ransum yang ditambahkan fitase
meningkat. Enzim fitase berpengaruh positif
pada ketersediaan protein, dengan adanya
hidrolisis asam fitat oleh enzim dan
melepaskan ikatan fitat-protein-asam amino.
Sesuai Biehl dan Baker (1997) yang
menyatakan bahwa fitase memegang peran
kecil, akan tetapi signifikan berpengaruh
positif terhadap ketersediaan metionin,
treonin, lisin dan valin. Penambahan fitase
pada ransum protein rendah (T1) tidak
berbeda dengan ransum kontrol protein
23%(T0). Hal tersebut dikarenakan fitase
dapat melepaskan ikatan asam fitat dan
protein sehingga ketersediaan protein
meningkat dan kecernaan menjadi lebih baik
pula. Hasil penelitian Kies et al. (2001),
menunjukkan bahwa daya cerna protein
kasar secara signifikan meningkat pada ayam
broiler yang diberikan suplementasi fitase
mikroba. Hasil penelitian Lan et al (2001),
suplementasi enzim fitase 500 dan 1.000
FTU/kg pakan secara signifikan
meningkatkan kecernaan protein.
Rasio Efisiensi Protein
Penambahan enzim fitase pada level
protein yang berbeda dalam ransum broiler
memberikan pengaruh berbeda nyata
(P<0,05) terhadap rasio efisiensi protein
yang terdapat pada Tabel 2. Hasil analisis
menunjukkan penambahan penambahan
enzim fitase pada level protein yang berbeda
dalam ransum broiler memberikan pengaruh
berbeda nyata (P<0,05) terhadap rasio
efisiensi protein. Hal ini disebabkan karena
konsumsi protein dan pertambahan bobot
7 Penambahan Enzim Fitase Pada Ransum dengan Level Protein Berbeda Terhadap Efisiensi Protein
Ayam Broiler
badan yang berbeda nyata antar perlakuan.
Menurut Wahju (2004), diperoleh dengan
cara pertambahan bobot badan (g) dibagi
konsumsi protein (g) untuk mengetahui
kualitas protein. Menurut Kompiang et al.
(2001), penurunan imbangan efisiensi
protein merupakan indikator bahwa
konsumsi protein melebihi kebutuhan.
Hasil penelitian menunjukkan T1
(protein 21% + fitase 1000 FTU/kg) berbeda
dengan T0, tetapi T2 dan T3 tidak berbeda
nyata dengan T0 dan T1 yang menandakan
bahwa ransum dengan protein lebih rendah
memiliki efisiensi protein yang baik dengan
ditambahkan fitase dalam ransum
dibandingkan dengan ransum kontrol
(protein 23%). Penambahan fitase dalam
ransum menyebabkan ikatan asam fitat
dengan protein dan mineral terlepas sehingga
protein yang dicerna ketersediaannya
meningkat sehingga bioavability protein
dalam pakan meningkat. Onyango et al.
(2004) menyatakan bahwa suplementasi
enzim fitase sebanyak 1000 FTU/kg ke
dalam ransum dapat meningkatkan
pertambahan bobot badan dan efisiensi
ransum. Yusriani (2011) bahwa efisiensi
protein secara nyata lebih baik pada
perlakuan pakan dengan konsentrasi protein
dan energi rendah. Saima et al. (2010)
melaporkan bahwa ransum ayam broiler
yang diturunkan proteinnya menjadi lebih
efisien dengan koreksi asam-asam amino
esensial.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa penambahan fitase
dalam ransum broiler umur 6 minggu yang
berbeda taraf proteinnya berpengaruh nyata
pada konsumsi protein, kecernaan protein
ileal dan rasio efisiensi protein, namun tidak
berpengaruh terhadap penggunaan protein
netto (PPN). Penambahan fitase hanya akan
meningkatkan rasio efisiensi meningkat pada
ransum protein 21%. Penambahan mineral
berpengaruh meningkatkan konsumsi
protein, kecernaan ileal dan rasio efisiensi
protein (Lim, et al, 2003).
Saran
Berdasarkan hasil penelitian
disarankan bahwa sebaiknya pada ransum
dengan protein 21% ditambahkan fitase
untuk meningkatkan efisiensi pakan ayam
broiler.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, F., M. S. Rahman, S. U. Ahmed and
M. Y. Miah. 2004. Performance of
broiler on phytase supplemented
soybean meal based diet. J. Poultry
Sci. 3 (4) :266-271.
Augspurger. N. R., D. M. Webel., X.G. Lei
and D. H. Baker. 2003. Efficacy of an
E. Coli phytase expressed in yeast for
releasing phytate-bound phosphorus
in young chick and pigs. J. Anim. Sci.
81 : 474-483.
Biehl, R. R., and D. H. Baker. 1997a.
Microbial phytase improves amino
acid utilization in young chicks fed
diets based on soybean meal but not
diets based on peanut meal. Poult.
Sci. 76 : 355-360.
Caldwell, R.A. 1992. Effect of calcium and
phytic acid on the activation of
trypsinogen and the stability of
trypsin. J. Agric. A Food Chem. 40 :
406-413.
8 Penambahan Enzim Fitase Pada Ransum dengan Level Protein Berbeda Terhadap Efisiensi Protein
Ayam Broiler
Coffey, R. D., K. W. Mooney, G. L.
Cromwell and D. K. Aaron. 1994.
Biological availability of phosphorus
in defluorinated phosphates with
different phosphorus solubilities in
neutral ammonium citrate for chicks
and pigs. J. Anim. Sci. 72 : 2653-2660
de Carvalho, F.B., J.H. Stringhini, M.S.
Matos, R.M.J. Filho, M.B. Cafe,
N.S.M. Leandro, and M.A. Andrade.
2012. Performance and nitrogen
balance of laying hens fed increasing
levels of digestible lysine and
arginine. R. Bras. Zootec. 41 (10) :
2183 - 2188.
Kompiang, I.P., Supriyati, M.H. Togatorop,
dan S.N. Jarmani. 2001. Kinerja
ayam kampung dengan pemberian
pakan secara memilih dengan bebas.
Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 6
(2): 94 - 99.
Kornegay E.T., Z. Yi, and D.H Baker. 1999.
Effect of supplemental natuphos
phytase on trace mineral availability
for poultry. Di dalam: Coelho MB,
Kornegay ET. Phytase in Animal
Nutrition and Waste Management. A
BASF Reference Manual. Ed ke-2.
BASF Corporation. Hlm 497 - 506.
Lan G.Q., N. Abdullah, S. Jalaludin and
Y.W. Ho. 2002. Efficacy of
supplementation of a phytase
producing bacterial culture on the
performance and nutrisit use of
broiler chickens fed corn-soybean
meal diets. Poult. Sci. 81:1522–1532.
Lim, H.S., H., Namkung and I.K., Paik.
2003. Effects of phytase
supplementation on the performance,
egg qua lity, and phosphorus
excretion of laying hens fed differet
levels of dietary calcium and
nonphytate phosphorus. Poult. Sci.
82: 92-99.
McDonald, P., R. A. Edward, J. F. G.
Greenhalgh dan C. A. Morgan. 2002.
Animal Nutrition. Ed ke-6.
Longmann Singapore Publishers (Pte)
Ltd. Singapore.McLeod, M.G., C. C.
Whitehead, H. D. Griffin dan T. R.
Jewitt. 1988. Energy and nitrogen
retention and loss in broiler chickens
genetically selected for leanness and
fatness. Br. Poult. Sci. 67: 285-292
Mirnawati, B. Sukamto dan V., D. Yunianto.
2013. Kecernaan protein, retensi
nitrogen dan massa protein daging
ayam broiler yang diberi ransum daun
murbei (Morus alba L) yang
difermentasi dengan cairan rumen.
JITP 3 (1) : 25-32.
Nasoetion, M.H. 2001. Pengaruh Pemberian
Kelenjar Tiroid Sapi Pasca
Pembatasan Pakan terhadap
Penampilan dan Penggunaan Protein
Ayam Broiler. Tesis. Fakultas
Peternakan Universitas Diponegoro,
Semarang.
Onyango, E. M., R. N Dilger, J. S. Sands and
O., Adeola. 2004. Evaluation of
microbial phytase in broiler diets 1.
Poult Sci 83 : 962-970.
Saima, M., Z. U. Khan, M. A. Jabbar, A.
Mehmud, M. M. Abbas and A.
Mahmood. 2010. Effect of lysine
supplementation in low protein diets
on the performance of growing
broilers. Pakistan Vet. J. 30 (1):17-
20.
Trisiwi, H.F., Zuprizal, dan Supadmo. 2004.
Pengaruh level protein dengan
koreksi asam amino esensial dalam
pakan terhadap penampilan dan
9 Penambahan Enzim Fitase Pada Ransum dengan Level Protein Berbeda Terhadap Efisiensi Protein
Ayam Broiler
nitrogen ekskreta ayam kampung.
Buletin Peternakan 28 (3): 131 – 141.
Viveros A, A. Brenes, I. Arija and C.
Centeno. 2002. Effects of microbial
phytase suplementation on mineral
utilization and serum enzyme
activities in broiler chicks fed
different levels of phosphorus. Poult
Sci 81:1172–1183.
Wahju, J. 2004. Ilmu Nutrisi Unggas. Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.
Yusriani, Y., T. Toharmat, Sumiati, E. Wina
and A. Setiyono. 2011. Effect of
fermented Jatropha curcas meal
combined with enzymes on
metabolizable energy, retention of N,
P, Ca and digesteble crude fiber. JITV
16(3): 163-172.
10 Total Polifenol dan Aktivitas Antioksidan Yoghurt dengan Penambahan Tepung Jewawut
TOTAL POLIFENOL DAN AKTIVITAS ANTIOKSIDAN YOGHURT DENGAN
PENAMBAHAN TEPUNG JEWAWUT
(Total polyphenols and antioxidant activity yoghurt with addition of millet flour)
Laksito Rukmi, D.,1, Legowo , A M.
2, dan Dwiloka, B
3
1) Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Peternakan Dan Pertanian Universitas Diponegoro
Kampus drh. Soejono Koesoemowardojo Tembalang Semarang 50275
E-mail : dyah [email protected]
2,3)
Staf pengajar Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro
Kampus drh. R. Soejono Kusumowardojo Tembalang, Semarang 50275
Diterima : 15 Desember 2014 Disetujui : 25 November 2015
ABSTRACT
The purpose of this study was to determine the total polyphenols and antioxidant
activity of yogurt with millet flour addition. The research design used was a completely
randomized design (CRD) with 3 treatments and 7 replications. Treatments are L.
acidophilus starter inoculation comparison with S. thermophilus of 1: 1 (v / v), consisting of
T1 = 3%; T2 = 4%; T3 = 5%. Based on the results of comparative studies starter inoculum
affect significantly (P <0.05) of total polyphenols and antioxidant activity. Total polyphenols
increase from 50.30 ppm to 69.44 ppm and antioxidant activity increase from 9.55% to 11.41
%.
Keywords: yoghurt, millet flour, starter inoculation
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui total polifenol dan aktivitas
antioksidan yoghurt dengan penambahan tepung jewawut. Rancangan penelitian yang
digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan dan tujuh ulangan.
Perlakuan yang diberikan adalah perbandingan inokulasi starter L. acidophilus dengan S.
thermophilus sebesar 1 : 1 (v/v), terdiri atas T1 = 3% ; T2 = 4% ; T3 = 5%. Berdasarkan hasil
penelitian perbandingan inokulasi starter berpengaruh secara nyata (P<0,05) terhadap total
polifenol dan aktivitas antioksidan. Total polifenol meningkat dari 50,30 ppm sampai 69,44
ppm dan aktivitas antioksidan meningkat dari 9,55 % sampai 11,41%
Kata kunci: yoghurt, tepung jewawut, inokulasi starter
PENDAHULUAN
Yoghurt adalah produk susu fermentasi
bergizi tinggi namun tidak mengandung
serat. Dalam beberapa tahun terakhir,
penambahan serat makanan dalam produk
susu fermentasi telah meningkatkan
keragaman di bidang pangan fungsional.
Sebagian besar aplikasi serat pangan untuk
yoghurt terkait dengan penggunaan serat
pangan yang larut dalam air karena
mempunyai sifat mengikat air. Serat pangan
yang ditambahkan dalam proses pengolahan
11 Total Polifenol dan Aktivitas Antioksidan Yoghurt dengan Penambahan Tepung Jewawut
yoghurt pada penelitian ini adalah tepung
jewawut.
Millet/jewawut (Setaria italica L.)
termasuk tanaman tahan kering, sesuai di
lahan marginal mampu berproduksi 3-4 t/ha.
Menurut (Nurmala 2003) produksinya
jewawut di Indonesia mampu mencapai 4,0
t/ha di lahan marginal sementara tanaman
pangan lain kurang berhasil. Jewawut dapat
dijadikan sebagai sumber energi, protein,
kalsium, vitamin B-1, riboflavin (B-2),
sedangkan nutrisi lainnya setara dengan
beras. Jewawut juga mengandung senyawa
penting seperti vitamin B, antioksidan
bioaktif dan serat. Selain itu jewawut
mengandung gluten yang sifatnya elastis,
kedap udara, sehingga tidak mudah putus
saat pencetakan mie
Komponen serat pangan yang
terkandung dalam jewawut menurut
Muchtadi et al. (1992) yaitu hemiselulosa,
selulosa, ester – ester fenolik, dan
glikoprotein. Sedangkan komponen lainnya
seperti glukan, pektin, dan mucilage
merupakan serat pangan mudah larut
(soluble dietary fiber) yang mudah
terfermentasi oleh mikroba. Menurut
Suhartono (2002), ester – ester fenolik pada
jewawut dapat membentuk polifenol yang
berfungsi sebagai antioksidan. Antioksidan
merupakan zat yang mampu memperlambat
atau mencegah proses oksidasi. Antioksidan
adalah senyawa kimia yang dapat
menyumbangkan satu atau lebih elektron
kepada radikal bebas, sehingga radikal bebas
tersebut dapat diredam.
Tubuh manusia tidak mempunyai
cadangan antioksidan dalam jumlah berlebih,
sehingga jika terjadi paparan radikal berlebih
maka tubuh membutuhkan antioksidan
eksogen. Adanya kekhawatiran akan
kemungkinan efek samping yang belum
diketahui dari antioksidan sintetik
menyebabkan antioksidan alami menjadi
alternatif yang sangat dibutuhkan (Schmidl
et al, 2000) Oleh karena itu, berdasarkan
latar belakang tersebut dilakukan penelitian
mengenai tepung jewawut menjadi sumber
serat pangan yang ditambahkan pada yoghurt
dengan tujuan untuk memanfaatkan
probiotik dalam yoghurt untuk
memaksimalkan kesehatan saluran
pencernaan manusia serta sebagai
antioksidan alami yang aman dan bermanfaat
bagi kesehatan bagi tubuh manusia.
MATERI DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan pada
bulan Juli 2014 di Laboratorium Ilmu
Nutrisi Pakan dan Laboratorium Ekologi
dan Produksi Tanaman, Fakultas
Peternakan dan Pertanian, Universitas
Diponegoro, Semarang.
Materi Penelitian
Bahan yang digunakan dalam
pembuatan yoghurt adalah susu sapi, kultur
starter (Lactobacillus acidophilus FNCC
0051 dan Streptococcus thermophilus FNCC
0040 yang diperoleh dari Pusat Studi Pangan
dan Gizi Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta) dan jewawut (Setaria italica)
yang diperoleh dari Pasar Kartini. Bahan
yang digunakan dalam uji total bakteri asam
laktat antara lain aquades, medium MRS
Broth. Reagen yang dibutuhkan untuk
pengujian total polifenol yaitu : reagen Folin
Ciocalteu, larutan induk asam galat, Na2CO3
20%, dan aquabides. Pengujian aktivitas
antioksidan membutuhkan larutan DPPH
atau 2,2-dypheny-1-picrylhydrazil dan
etanol. Alat – alat yang dibutuhkan dalam
penelitian ini meliputi : mikro pipet, kuvet,
forteks, tabung reaksi, timbangan analitik,
penangas air, inkubator, erlenmeyer,
spektrofotometer, dan pH-meter.
12 Total Polifenol dan Aktivitas Antioksidan Yoghurt dengan Penambahan Tepung Jewawut
Metode
Persiapan Penelitian
Persiapan penelitian dilakukan melalui
beberapa kegiatan yaitu penghitungan alat
dan bahan, sterilisasi alat, media, dan
sterilisasi ruangan. Alat yang tahan panas
disterilisasi kering dalam oven dengan suhu
170 ºC selama 1 jam. Sedangkan media yang
digunakan untuk menumbuhkan bakteri
(MRS broth) disterilisasi dengan autoklaf
pada suhu 121 ºC selama 15 menit. Ruangan
dan meja yang akan digunakan dibuat aseptis
dengan penyemprotan alkohol 70%.
Penelitian Pendahuluan
Kegiatan yang terangkum dalam
penelitian pendahuluan yaitu: pengolahan
biji jewawut menjadi tepung jewawut. Proses
pembuatan tepung jewawut dimulai dengan
memisahkan biji – bijian jewawut dari
kotoran yang ada dengan cara ditampi, untuk
mendapatkan bijian jewawut yang bersih.
Selanjutnya merendam jewawut dalam air,
mengeringkannya, memblender hingga
halus, diayak lalu melakukan sterilisasi
dengan autoklaf pada suhu 121 ºC selama 15
menit.
Penelitian Utama
Penelitian tahap kedua bertujuan untuk
menganalisis pengaruh jumlah starter
terhadap kualitas yoghurt jewawut. Peneltian
tahap kedua dimulai dari menumbuhkan
starter BAL dalam media MRS broth
(Ilustrasi 1), pembuatan Mother Starter
dalam media susu (Ilustrasi 2), dan
pembuatan yoghurt jewawut (Ilustrasi 3).
Penumbuhan Starter dalam Media MRS broth
Ilustrasi 1. Diagram Alir Penumbuhan Starter dalam Media MRS broth (Widowati dan
Misgiyarta, 2007)
Kultur starter
Inkubasi pada suhu 39 ºC selama 48 jam
Sterilisasi pada suhu 121ºC
selama 15 menit
Starter yang tumbuh
mengalami duplikasi sel
MRS Broth (5,2 gram
dalam 100 ml aquades)
13 Total Polifenol dan Aktivitas Antioksidan Yoghurt dengan Penambahan Tepung Jewawut
Penumbuhan Starter dalam Media Susu
Ilustrasi 2. Diagram Alir Penumbuhan Starter dalam Media Susu (Widowati dan
Misgiyarta, 2007, dengan modifikasi)
Proses Pembuatan Yoghurt
Ilustrasi 3. Diagram Alir Proses Pengolahan Yoghurt dengan Penambahan Tepung Jewawut
(Legowo, 2005, dengan modifikasi)
Susu Segar
Tepung Jewawut
3% (b/v)
Pasteurisasi dengan suhu 72 ºC selama 15 detik
Penurunan suhu hingga 43 ºC
C Starter LA:ST =
1:1 (v/v)
Inokulasi sebanyak 3,4,5% (v/v)
Inkubasi 39 ºC selama 8 jam hingga keasaman pH 4 - 5
Yoghurt jewawut disimpan suhu 4-10 ºC
Susu UHT
Starter dalam
media MRS Inokulasi & inkubasi pada suhu 39
ºC selama 8 jam
Starter dalam media susu disimpan pada suhu dibawah 4-
10 ºC
14 Total Polifenol dan Aktivitas Antioksidan Yoghurt dengan Penambahan Tepung Jewawut
Perlakuan
Perlakuan yang diberikan adalah
variasi jumlah starter dengan persentase yang
berbeda. Perlakuan yang diberikan pada
proses pembuatan yoghurt jewawut antara
lain :
T1 = Perbandingan inokulasi starter L.
acidophilus dengan S. thermophilus
sebesar 1 : 1 sebanyak 3 % dari volume
susu (v/v).
T2 = Perbandingan inokulasi starter L.
acidophilus dengan S. thermophilus
sebesar 1 : 1 sebanyak 4 % dari
volume susu (v/v).
T3 = Perbandingan inokulasi starter L.
acidophilus dengan S. thermophilus
sebesar 1 : 1 sebanyak 5 % dari
volume susu (v/v).
Parameter dan Prosedur Pengujian
1) Total Polifenol (Waterhouse, 1999)
Pengujian total polifenol diawali
dengan pembuatan larutan
Na2CO320% dan larutan induk asam
galat. Pembuatan larutan Na2CO3 20 %
yaitu menimbang 5 g Na2CO3 dan
tambahkan 20 ml aquabidest lalu
didihkan kemudian diamkan selam 24
jam, saring dan encerkan dengan
aquabidest 25 ml. Pembuatan larutan
induk asam galat (5 mg/ml) yaitu
menimbang 0,25 g asam galat
tambahkan 5 ml etanol 96 % dan
tambahkan aquabidest sampai 50 ml,
sehingga diperoleh konsentrasi 5
mg/ml. Dari larutan induk dipipet 6, 8,
10, 12, 14 ml dan diencerkan dengan
aquabidest sampai volumenya 100 ml,
sehingga dihasilkan dengan
konsentrasi 300, 400, 500, 600, dan
700 mg/L asam galat. Dari masing-
masing konsentrasi di atas dipipet 0,2
ml tambah 15, 8 ml aquabidest
ditambah 1 ml Reagen Folin Ciocalteu
kocok. Diamkan selama 8 menit
tambah 3 ml larutan Na2CO3 20%
kocok homogen. Diamkan selama 2
jam pada suhu kamar. Ukur serapan
pada panjang gelombang serapan
maksimum 765 nm, lalu buat kurva
kaliberasi hubungan antara konsentrasi
asam galat (mg/L) dengan absorban.
2) Aktivitas Antioksidan (Yen dan
Cheng, 1995).
Menimbang 1-2 g sampel kemudian
larutkan menggunakan methanol pada
konsentrasi tertentu. Ambil 1 ml
larutan induk ,masukkan pada tabung
reaksi. Tambahkan 1 ml larutan 1 ,1 ,2
,2 –Diphenyl Picryl Hydrazyl (DPPH)
200 M. Inkubasikan pada ruang gelap
selama 30 menit. Encerkan hingga 5ml
menggunakan etanol. Buat blanko (1ml
larutan DPPH + 4 ml etanol). Tera
pada panjang gelombang 515 nm
Total Antioksidan ( % )
= OD Blangko – OD Sampel x 100 %.....(1)
OD Blangko
Analisis Data
Design penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak
Lengkap dengan tiga perlakuan dan tujuh
ulangan (Gomez dan Gomez, 1995). Data
yang diperoleh dari hasil pengujian
dianalisis menggunakan analisis ragam pada
taraf signifikansi 5%,jika terdapat pengaruh
nyata, maka diuji lanjut dengan uji Wilayah
Ganda Duncan untuk mengetahui
perbendaan antar perlakuan. Data ini
dihitung dengan bantuan program SAS 9.13
15 Total Polifenol dan Aktivitas Antioksidan Yoghurt dengan Penambahan Tepung Jewawut
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kandungan Nutrien Tepung Jewawut
Jewawut yang dipakai dalam penelitian
ini memiliki kandungan nutrien sebagai
berikut: 13,57% air; 3,61 protein kasar; 1,7%
lemak kasar; 2,22% serat kasar; 2.3% abu;
dan 78,83% karbohidrat. Sedangkan
kandungan serat pangan tak larut air sebesar
10,44% dan serat pangan larut airnya sebesar
0,31%. Kandungan serat kasar jewawut
yang digunakan dalam penelitian ini cukup
tinggi, yaitu sekitar 2,22%. Kandungan
jewawut menurut Widyaningsih dan
Mutholib (1999) meliputi 84,2% karbohidrat;
10,7% protein; 3,3% lemak; dan 1,4% serat.
Dijelaskan lebih lanjut untuk kandungan
mineral Ca, Fe, Vit B1, Vit B2, dan Vit C tiap
100 gram jewawut berturut-turut yaitu
sebesar 37; 6,2; 0,48; 0,14; dan 2,5 gram/mg.
Tingginya kadar serat kasar pada jewawut
tersebut menjadi latar belakang penambahan
jewawut ke dalam yoghurt sebagai sumber
serat.
Pengaruh Inokulasi Kultur Starter
terhadap Total Polifenol Yoghurt dengan
Penambahan Tepung Jewawut
Total polifenol semakin meningkat
dengan semakin banyaknya penambahan
jumlah starter. Selama fermentasi, terjadi
peningkatan total polifenol pada yoghurt
jewawut. Hal ini sejalan dengan analisis serat
pangan, semakin tinggi penurunan kadar
serat pangan jewawut pada yoghurt semakin
tinggi pula senyawa fenolik yang terdeteksi.
Data hasil pengujian total polifenol yoghurt
dengan penambahan tepung jewawut
disajikan pada Tabel 1.
Jewawut mengandung komponen
fitokimia seperti komponen fenolik yang
terdiri atas fenol, dan golongan flavonoid.
Glukan merupakan salah satu komponen
yang penting dalam sorgum dan jewawut,
dimana senyawa ini berfungsi sebagai
imunomodulator, antiateroskerosis,
antiradiasi dan antioksidan (Schmidl dan
Labuza, 2000). Komponen asam fenolik
yang tinggi adalah jenis asam ferulat,
kaumarat, sianamat, dan gensitin. Komponen
fenolik ini memiliki sifat antioksidan yang
dapat menekan reaksi oksidasi yang
merugikan bagi tubuh.
Tabel 1. Pengaruh Inokulasi Kultur Starter terhadap Total Polifenol Yoghurt dengan
Penambahan Tepung Jewawut
Ulangan Total Polifenol
T1 T2 T3
-------------------------------- (ppm) -----------------------------
u1 51,63 63,16 66,07
u2 51,15 63,04 64,87
u3 51,26 63,16 73,72
u4 51,63 54,80 83,92
u5 50,78 55,15 65,00
u6 47,63 58,06 65,35
u7 44,95 58,92 67,18
Rerata 50,30a 59,47
b 69,44
c
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom rerata menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
16 Total Polifenol dan Aktivitas Antioksidan Yoghurt dengan Penambahan Tepung Jewawut
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
yoghurt dengan penambahan tepung jewawut
memiliki total polifenol yang cukup tinggi
yaitu sekitar 50-73 ppm atau setara dengan
0,05-0,07 mg/ml. Berdasarkan hasil
penelitian Supriyono (2008) susu sapi yang
difermentasi dengan Candida kefir dan L.
bulgaricus dengan penambahan serat berupa
kacang hijau mengandung total polifenol
sebesar 0,0384-0,054 mg/ml atau setara
dengan 38,4-54 ppm. Tingginya kandungan
polifenol pada produk yoghurt dengan
penambahan tepung jewawut ini diduga
karena jewawut memiliki senyawa asam
hidroksi sinamat maupun asam ferulat yang
didekarboksilasi menjadi senyawa fenol oleh
enzim dari BAL.
Kenaikan total polifenol akibat
fermentasi diduga adanya senyawa fenolik
yang dibebaskan selama proses fermentasi.
Menurut Gawel (2004) peningkatan jumlah
senyawa fenol selama fermentasi diduga
karena Lactobacillus memiliki enzim ferulic
acid reductase dan vinyl phenol reductase
untuk mendegradasi asam ferulat dan asam
sinamat yang merupakan komponen
polisakarida dinding sel menjadi 4-vinyl
phenol dan 4-vinyl guaiacol.
Asam yang terbentuk dihasilkan oleh
Lactobacillus acidophillus yaitu dengan
mengkonversi glukosa menjadi asam laktat.
Reaksi oksidasi dari proses fermentasi juga
menyebabkan polifenol beraksi sebagai
antioksidan untuk melawan reaksi oksidasi
tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat
Kruszewka et al., 2002) yang menyatakan
bahwa selain dari asam laktat, antioksidan
merupakan metabolit sekunder dari
metabolisme BAL. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa bakteri probiotik
meningkatkan senyawa antioksidan dalam
bentuk vitamin C dan vitamin E.
Pengaruh Inokulasi Kultur Starter
terhadap Aktivitas Antioksidan Yoghurt
dengan Penambahan Jewawut
Meningkatnya antioksidan pada
yoghurt dengan penambahan tepung jewawut
sejalan dengan meningkatnya total polifenol.
Jewawut memiliki komponen bioaktif seperti
asam fenolik, flavonoid, dan kondensat tanin
yang memiliki fungsi sebagai penangkal atau
memperlambat reaksi radikal bebas atau
bersifat antioksidan (Awika dan Rooney,
2004). Menurut Singh et al., (2002)
komponen asam ferulat, cafeat, ρ-caumarin,
sinapat, dan flavonoid pada sorgum dan
jewawut, memiliki reaktivitas yang tinggi
untuk memicu terekspresinya enzim SOD,
sehingga dengan pemberian konsumsi 25
g/Kg BB sudah meningkatkan kadar SOD
hati secara signifikan. Menurut penelitian
Sirappa (2003) bahwa asam ferulat
mampunyai kemampuan antioksidan secara
invitro, dengan menangkal radikal
superoksida, sehingga mampu menurunkan
beban oksidasi pada saluran darah, selama
proses pengangkutan. Data hasil pengujian
aktivitas antioksidan yoghurt disajikan pada
Tabel 2.
17 Total Polifenol dan Aktivitas Antioksidan Yoghurt dengan Penambahan Tepung Jewawut
Tabel 2. Pengaruh Inokulasi Kultur Starter terhadap Aktivitas Antioksidan Yoghurt
dengan Penambahan Tepung Jewawut
Ulangan Aktivitas Antioksidan
T1 T2 T3
---------------------------------- (%) -------------------------------
u1 9,69 10,31 11,25 u2 9,38 10,62 11,56
u3 8.97 10,46 11,41
u4 9,53 10,54 11,38
u5 9,84 10,54 11,54
u6 9,50 10,32 11,50
u7 9,94 10,49 11,21
Rerata 9,55a 10,47
b 11,41
c
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom rerata menunjukkan perbedaan yang
nyata (P<0,05)
Semakin tinggi inokulasi starter yang
diberikan, semakin tinggi total polifenol
yang dilepaskan, semakin tinggi pula
aktivitas antioksidannya. Hal ini diduga
disebabkan adanya senyawa fenol yang
terbebaskan akibat hidrolisis serat oleh BAL
selama fermentasi sehingga aktivitas
antioksidan fenolik meningkat. Hal ini sesuai
dengan pendapat Baublis, et al. (2000) yang
menyatakan bahwa senyawa fenolik
memiliki aktivitas antioksidan lebih tinggi
setelah dihidrolisis oleh enzim mikroba dari
polisakarida yang mengikatnya. Senyawa
fenolik serealia sebesar 74 g (0,2% dari
fenolik terekstrak) memiliki aktivitas
antioksidan dengan menghambat oksidasi
lemak hingga 90%. Menurut Singh et al
(2002) antioksidan fenolik sulit untuk di
ekstrak karena terikat pada serat tidak larut.
Ikatan kovalen pada serat tidak larut dapat
dihidrolisis oleh mikroba. Menurut
Kruszewka (2002) terlepasnya ikatan
kovalen pada serat tidak larut menyebabkan
bioavaibilitas antioksidan fenolik meningkat.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Penambahan tepung jewawut ke dalam
proses pengolahan yoghurt berpengaruh
terhadap total polifenol dan aktivitas
antioksidan. Semakin tinggi persentase
penambahan starter menyebabkan semakin
meningkatnya total polifenol dan aktivitas
antioksidan.
Saran
Perlu penelitian lebih lanjut pada
penambahan tepung jewawut untuk
meningkatkan total polifenol dan aktivitas
antioksidan
DAFTAR PUSTAKA
Awika, J.M. dan Rooney L.W. 2004.
Sorghum phytochemical and their
potential impact on human health. J.
Sci Direct: Phytochemistry 65:1199-
1221.
Baublis, A., E.A. Decker, F.M. Clydesdale.
2000. Antioxidant effect of aqueous
extracts from wheat based ready to
18 Total Polifenol dan Aktivitas Antioksidan Yoghurt dengan Penambahan Tepung Jewawut
eat breakfast cereals. J. Food Chem
68: 1–6.
Gawel, R. 2004. Brettanomyces Character in
Wine. The Australian Society of
Wine Education National
Convention. Hunter Valley,
Australia. 4th-6
th of June 2004.
Gomez, K. A dan A.A Gomez. 1995.
Prosedur Statistik untuk Penelitian
Pertanian Edisi kedua. Badan
Penerbit Universitas Indonesia,
Jakarta.
Legowo, A. M. 2005. Diktat Kuliah
Teknologi Pengolahan Susu.
Universitas Diponegoro, Semarang
(Tidak Diterbitkan)
Muchtadi, D., N. S. Palupi, dan M. Astawan.
1993. Petunjuk Laboratorium :
Metoda Kimia Biokimia dan Biologi
dalam Evaluasi Nilai Gizi Pangan
Olahan. Pusat antar Universitas
Pangan dan Gizi. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Kruszewka, H, T. Zareba, and S. Tvski.
2002. Search of antimicrobial activity
of selected non-antibiotic drugs. Acta
Pol Pharm 59 (6):436-439.
Nurmala, T. 2003. Prospek Jewawut
(Pinnisetum spp.) Sebagai Pangan
Serealia Alternatif. Jurnal Bionatura
5 (1):11-20.
Schmidl, M.K. dan T.P. Labuza 2000.
Essentials of Functional Foods. USA:
Aspen Publisher Inc. Maryland.
Singh, R.P., Murthy K.N.C., Jayaprakasha
G.K. 2002. Studies on antioxidant
activity of ponegranate (Punica
granatum) peel and seed extract using
in vitro model. J.Agri Food Chem
50:81-86.
Sirappa, S.A. 2003. Pholyfenol : antioxidant
and beyond. J.Clinical Nutrition
81(1):215-229.
Suhartono, E., Fujiati, and I. Aflanie. 2002.
Oxygen toxicity by radiation and
effect of glutamic piruvat transamine
(GPT) activity rat plasma after
vitamine C treatmen, Diajukan pada
International seminar on
Environmental Chemistry and
Toxicology, Yogyakarta.
Supriyono, T. 2008. Kandungan Beta
Karoten, Polifenol Total, dan
Aktivitas “Merantas” Radikal Bebas
Kefir Susu Kacang Hijau (Vigna
radiata) Oleh Pengaruh
(Lactobacillus bulgaricus dan
Candida kefir) dan Konsentrasi
Glukosa. Tesis. Universitas
Diponegoro, Semarang .
Widowati, S dan Misgiyarta. 2007.
Efektifitas Bakteri Asam Laktat
(BAL) dalam Pembuatan Produk
Fermentasi Berbasis Protein/Susu
Nabati. Balai Penelitian Bioteknologi
dan Sumberdaya Genetik Pertanian
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Rintisan dan Bioteknologi Tanaman,
Jakarta, 360 – 373.
Widyaningsih, S. dan A. Mutholib. 1999.
Pakan Burung. Penebar Swadaya,
Jakarta
19 Pengaruh Subtitusi Jagung dengan Tepung Biji Alpukat Terhadap Konsumsi Ransum, Asupan
Protein, dan Retensi Nitrogen Pada Ayam Broiler
PENGARUH SUBTITUSI JAGUNG DENGAN TEPUNG BIJI ALPUKAT
TERHADAP KONSUMSI RANSUM, ASUPAN PROTEIN, DAN RETENSI
NITROGEN PADA AYAM BROILER
(The Effect of Dietary Corn Subtitution to Avocado Seed Meal in the Ration on Feed
Consumption, Protein Intake, And Nitrogen Retention in Broiler Chicken)
S. Irianing 1, N. Suthama
2 dan I. Mangisah
3
1)
Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Peternakan Dan Pertanian Universitas Diponegoro
Kampus drh. Soejono Koesoemowardojo Tembalang Semarang 50275
E-mail : Irianing [email protected]
2,3)
Staf pengajar Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro
Kampus drh. R. Soejono Kusumowardojo Tembalang, Semarang 50275
Diterima : 15 Desember 2014 Disetujui : 25 November 2015
ABSTRACT
This research aimed to clarify the effect of dietary corn subtitution to avocado seed
meal in the ration on feed consumption, protein intake, and nitrogen retention in broiler
chicken. 90 of day old chick (DOC) Lohmann strain broiler chickens with an average of
initial body weight of 41,38 ± 1,08 g were used in this research. The subjects were divided
based on completely randomized design (CRD) to 3 different feeding treatments, consisted of
T0 (control ration), T1 (ration with 7,5% avocado seed meal), and T2 (ration with 15%
avocado seed meal). The parameter of observed were feed consumption, protein intake, and
nitrogen retention. This result that feeding avocado seed meal significantly effected (P<0,05)
on feed consumption, protein intake, and nitrogen retention. In conclusion was that increase
of feeding avocado seed meal until 15% decrease effect on feed intake, protein intake, and
nitrogen retention in broiler chicken.
Keyword : broiler chicken, feed intake, protein intake, and nitrogen retention.
ABSTRAK
Penelitian bertujuan mengetahui dan mengkaji pengaruh penggunaan tepung biji
alpukat terolah sebagai subtitusi jagung dalam ransum terhadap konsumsi ransum, asupan
protein dan retensi nitrogen pada ayam broiler. Materi yang digunakan adalah 90 ekor day
old chick (DOC) unsex strain Lohmann dengan bobot badan awal rata-rata 41,38±1,08 g.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3
perlakuan dan 5 ulangan. Ransum perlakuan meliputi T0 = ransum kontrol (tanpa tepung biji
alpukat), T1= ransum dengan 7,5% tepung biji alpukat, T2= ransum dengan 15% tepung biji
alpukat. Parameter yang diamati adalah konsumsi ransum, asupan protein dan retensi
nitrogen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang nyata (p<0,05) tepung
biji alpukat terhadap konsumsi ransum, asupan protein dan retensi nitrogen. Simpulan
penelitian adalah peningkatan level penggunaan tepung biji alpukat sampai 15% sebagai
subtitusi jagung dalam ransum ayam broiler menurunkan konsumsi ransum, asupan protein
dan retensi nitrogen.
Kata kunci: broiler, konsumsi ransum, asupan protein, retensi nitrogen
20 Pengaruh Subtitusi Jagung dengan Tepung Biji Alpukat Terhadap Konsumsi Ransum, Asupan
Protein, dan Retensi Nitrogen Pada Ayam Broiler
PENDAHULUAN
Ketersediaan jagung sebagai bahan
penyusun ransum ternak unggas masih
bersaing dengan kebutuhan manusia. Selain
harganya yang semakin mahal, ketersediaan
jagung di Indonesia sebagian masih impor.
Oleh karena itu, untuk menekan biaya
produksi perlu bahan pakan sumber energi
alternatif yaitu biji alpukat. Biji alpukat
merupakan limbah dari buah alpukat adalah
bahan alternatif yang dapat dimanfaatkan
sebagai pakan ternak sumber energi untuk
subtitusi jagung. Persentase biji dalam buah
alpukat sebesar 10-15%. Produksi buah
alpukat di Indonesia pada tahun 2013
mencapai 276.311 ton, sehingga dapat
dihitung produksi limbah biji alpukat
mencapai 34.538 ton (Badan Pusat Statistik,
2013).
Pemanfaatan biji alpukat diharapkan
dapat mengurangi penggunaan jagung
sehingga biaya pakan menjadi murah. Biji
alpukat mengandung protein kasar 10,40%
dan energi metabolis 3570 kkal/kg, tetapi
pemakaiannya harus dibatasi karena
mengandung zat anti nutrisi berupa tanin
sebesar 1,02% (Nelwida, 2009). Tanin yang
membentuk senyawa komplek dengan ikatan
peptida dari protein, tidak larut di dalam
saluran pencernaan sehingga dapat
mempengaruhi ketersediaan protein. Oleh
karena itu, perlu pengolahan sebelum biji
alpukat dipakai sebagai komponen ransum
melalui perendaman dengan larutan kalsium
hidroksida Ca(OH)2 dan perebusan dengan
air panas.Penurunan kadar tanin sebagai anti
nutrisi yang dilakukan pada biji alpukat
diharapkan tidak mengganggu pencernaan
nutrien khususnya protein, sehingga dampak
positif pada produktivitas ayam broiler.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui
dan mengkaji pengaruh penggunaan tepung
biji alpukat terolah sebagai subtitusi jagung
terhadap asupan protein, retensi N dan
presentase karkas pada ayam broiler.
Manfaat penelitian adalah memberikan
informasi tentang penggunaan tepung biji
alpukat terolah sebagai substitusi jagung
yang tidak mengganggu produktivitas ayam
broiler berdasarkan pemanfaatan protein.
MATERI DAN METODE
Materi
Materi yang digunakan adalah 90 ekor
DOC unsex strain Lohmann dengan bobot
awal rata-rata 41,38±1,08 g. Komposisi dan
kandungan nutrisi dalam ransum penelitian
dapat dilihat pada Tabel 1. Perlengkapan
yang digunakan adalah peralatan kandang,
timbangan, dan termometer.
Metode
Penelitian dimulai dengan tahap
persiapan teknis meliputi persiapan kandang,
pembuatan tepung biji alpukat, penyusunan
ransum serta persiapan ternak dan peralatan
yang digunakan pada penelitian. Pembuatan
tepung biji alpukat dengan mengiris tipis biji
alpukat dengan pisau, kemudian merendam
biji alpukat dengan larutan kalsium
hidroksida Ca(OH)2 dengan perbandingan
200 g Ca(OH)2 dan 1 liter air selama 30
menit. Biji alpukat yang sudah direndam,
kemudian dibilas dengan air hingga bersih,
selanjutnya merebus biji alpukat dengan air
mendidih selama 30 menit. Biji alpukat yang
sudah direbus, dikeringkan dibawah sinar
matahari sampai kering. Proses selanjutnya
menggiling biji alpukat sampai halus
menjadi tepung.
21 Pengaruh Subtitusi Jagung dengan Tepung Biji Alpukat Terhadap Konsumsi Ransum, Asupan
Protein, dan Retensi Nitrogen Pada Ayam Broiler
Tabel 1. Komposisi dan Kandungan Nutrisi Ransum Penelitian
Bahan pakan T0 T1 T2 T2
----------------(%)---------------- Jagung kuning
Tepung biji alpukat
Bungkil kedelai Bekatul
PMM
Tepung ikan Premix
59,00
-
15,00 12,00
8,00
5,00 1,00
51,50
7,50
15,00 12,00
8,00
5,00 1,00
44,00
15,00
15,00 12,00
8,00
5,00 1,00
Jumlah 100 100 100
Kandungan nutrien (%)*
Protein kasar*a
Energi Metabolis (kkal/kg)a
Lemak kasar *a
Serat kasar
*b
Kalsium*a
Fosfor*a
Tanin*a
20,06
3.079,00
6,34 5,12
0,88
0,55 0,27
20,20
3.105,00
6,43 5,24
0,93
0,54 0,32
20,33
3.132,00
6,52 5,67
0,98
0,54 0,39
Keterangan : a
Dianalisis di Lab. Ilmu Nutrisi dan Pakan Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas
Diponegoro, Semarang. b
Dianalisis di Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Tahap pendahuluan, dilakukan
vaksinasi ND melalui tetes mata pada umur 4
hari. DOC hingga umur 10 hari diberi 100%
ransum komersial, umur 11-13 hari
dilakukan adaptasi pakan untuk digantikan
menjadi ransum kontrol, umur 14 hari diberi
100% ransum kontrol, sedangkan pada umur
15-41 hari diberi ransum perlakuan dan
dipindahkan dalam kandang petak. Ransum
perlakuan diberikan ad libitum setiap hari
selama pemeliharaan. Data yang diamati
meliputi konsumsi ransum, asupan protein,
dan retensi nitrogen.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengukuran terhadap konsumsi
ransum, asupan protein dan retensi nitrogen
ditampilkan pada Tabel 2. Pengaruh level
penggunaan tepung bii alpukat terolah
sebagai subtitusi jagung dalam ransum
menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)
menurunkan konsumsi ransum, asupan
protein dan retensi nitrogen.
Konsumsi ransum selama penelitian
(15-41 hari) menunjukkan bahwa
peningkatan penggunaan tepung biji alpukat
terolah (T1 dan T2) nyata (p<0,05)
dibandingkan ransum kontrol (T0) (Tabel 2).
Konsumsi ransum mengalami penurunan
seiring dengan peningkatan level
penggunaan tepung biji alpukat terolah.
Fenomena tersebut dapat diasumsikan
bahwa akibat pengaruh warna ransum
perlakuan karena semakin tinggi penggunaan
tepung biji alpukat terolah, warna ransum
menjadi semakin gelap. Warna ransum bagi
ternak unggas mempengaruhi selera makan
atau palatabilitas. Palatabilitas ransum
unggas tidak berdasarkan penciuman dan
melalui lidah, karena bau dan rasa ransum
bukan penentu selera makan pada unggas.
Selera makan unggas ditentukan oleh terang
atau gelapnya warna ransum. Menurut
22 Pengaruh Subtitusi Jagung dengan Tepung Biji Alpukat Terhadap Konsumsi Ransum, Asupan
Protein, dan Retensi Nitrogen Pada Ayam Broiler
Sulistyoningsih (2009) warna adalah aspek
utama dari cahaya, melalui retina mata
diteruskan oleh syaraf mata menuju
hipotalamus anterior, sehingga
mensekresikan hormon yang berfungsi
mempengaruhi enzim yang berhubungan
dengan proses metabolisme dan
meningkatkan aktiftas metabolisme.
Tabel 2. Rata-rata konsumsi ransum, asupan protein dan retensi nitrogen ayam broiler
Parameter Perlakuan
T0 T1 T2
................................g/ekor.............................................
Konsumsi ransum 105,05a 86,74
ab 80,08
b
Asupan protein 15,83a 12,46
b 11,03
b
Retensi nitrogen 3,35a 2,0
b 1,54
b
Keterangan : Huruf berbeda pada nilai rata-rata menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05).
Retnani et al. (2009) memperkuat
proses tersebut diatas bahwa ayam lebih
menyenangi warna orangye kuning dan
warna yang mengkilap yang dapat
merangsang perhatian. Hal lain yang
mempengaruhi menurunnya konsumsi
ransum dapat diasumsikan sebagai akibat
adanya kandungan tanin dalam ransum.
Kandungan tanin ransum semakin meningkat
seiring dengan semakin meningkatnya
penggunaan tepung biji alpukat terolah
dalam ransum sehingga dapat
mempengaruhi penurunan konsumsi ransum.
Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian
Akmal (2008) dan Anita et al. (2012) bahwa
semakin banyak kandungan tanin dalam
ransum dapat menurunkan konsumsi ransum
pada ayam broiler. Tanin merupakan satu
jenis antinutrisi yang terdapat pada bahan
pakan secara alami. Antinutrisi tersebut
dapat membatasi konsumsi ransum pada
ternak unggas karena dapat mengganggu
proses pencernaan ransum di dalam usus
akhirnya berakibat pada umpan balik
terhadap konsumsi.
Demikian pula Nilai asupan protein
nyata menurun karena dihitung dari nilai
daya cerna protein ransum dikalikan dengan
konsumsi protein. Nilai konsumsi protein
signifikan menurun dalam penelitian ini,
sehingga hal tersebut selaras dengan hasil
asupan protein yang nyata menurun. Asupan
protein dalam tubuh ternak unggas
dipengaruhi oleh jumlah konsumsi ransum
dan konsumsi protein. Konsumsi protein
semakin menurun akibat semakin
meningkatnya penggunaan tepung biji
alpukat. Kondisi ini sesuai dengan pendapat
Permana (2012) bahwa asupan protein
dipengaruhi oleh jumlah konsumsi ransum
dan protein. Demikian pula Gultom et al.
(2014) menyatakan bahwa konsumsi ransum
berhubungan dengan konsumsi protein,
apabila konsumsi protein tinggi
menyebabkan asupan protein juga tinggi.
Penurunan asupan protein juga dapat
dikaitkan dengan adanya tanin di dalam
ransum karena biji alpukat mengandung
tanin (Tabel 2). Tanin bersifat dapat
membentuk senyawa komplek dengan ikatan
peptida dari protein, tidak larut dalam
saluran pencernaan, dan segera dikeluarkan
melalui ekskreta sehingga mempengaruhi
ketersediaan protein. Menurut Akmal (2008)
tanin mempunyai kemampuan
mengendapkan protein, karena tanin
mengandung sejumlah kelompok fungsional
ikatan yang kuat dengan molekul protein dan
menghasilkan ikatan silang yang besar dan
kompleks dalam bentuk protein tanin. Tanin
menyebabkan daya cerna asam asam amino
menurun yang seharusnya dapat diserap oleh
23 Pengaruh Subtitusi Jagung dengan Tepung Biji Alpukat Terhadap Konsumsi Ransum, Asupan
Protein, dan Retensi Nitrogen Pada Ayam Broiler
villi usus yang dimanfaatkan untuk
perkembangan jaringan tubuh ternak unggas.
Selanjutnya, retensi nitrogen erat
kaitannya dengan asupan protein karena
dipengaruhi oleh jumlah protein ransum
yang dikonsumsi. Berdasarkan hasil analisis
ragam penggunaan tepung biji alpukat
terolah dalam ransum ayam broiler
menunjukkan adanya pengaruh nyata
terhadap retensi nitrogen (p<0,05). Hasil uji
Duncan menunjukkan bahwa peningkatan
level penggunaan tepung biji alpukat terolah
dalam ransum (T1 dan T2) nyata (p<0,05)
menurunkan retensi nitrogen dibandingkan
dengan ransum kontrol (T0). Rendahnya
nilai retensi nitrogen pada ayam broiler
berkaitan dengan semakin menurunnya
jumlah asupan protein akibat dari
berkurangnya tingkat konsumsi ransum.
Konsumsi nitrogen berbanding lurus dengan
konsumsi protein ransum, apabila konsumsi
nitrogen tinggi, maka retensi nitrogen yang
dihasilkan juga tinggi. Sebaliknya apabila
konsumsi nitrogen rendah maka retensi
nitrogen yang dihasilkan juga rendah. Hal ini
sesuai dengan pendapat Maulana (2008)
bahwa tingkat retensi nitrogen bergantung
pada konsumsi nitrogen. Demikian pula
menurut Sofiati (2008) bahwa meningkatnya
konsumsi nitrogen memberikan kesempatan
untuk retensi nitrogen lebih tinggi.
Rendahnya retensi nitrogen juga dapat
diakibatkan oleh keberadaan tanin dalam
ransum. Berdasarkan hasil penelitian
Nyachoti et al. (1996) bahwa semakin tinggi
kadar tanin dalam ransum semakin rendah
retensi nitrogen yang dihasilkan karena tanin
mengikat protein menjadi senyawa yang
tidak larut. Selanjutnya protein tersebut
diekskresikan melalui ekskreta yang
berakibat pada penurunan retensi nitrogen,
sehingga tidak bermanfaat bagi inang
(Bikrisima et al, 2014).
KESIMPULAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa peningkatan level
penggunaan tepung biji alpukat terolah
sampai 15% sebagai subtitusi jagung dalam
ransum ayam broiler, menurunkan konsumsi
ransum, asupan protein, dan retensi nitrogen.
Saran
Perlu pengkajian yang lebih
mendalam berkaitan dengan persentase
penggunaan tepung biji alpukat sebagia
subtitusi jagung dalam ransum ayam broiler.
DAFTAR PUSTAKA
Akmal. 2008. Pengaruh pemberian daun
sengon (Albizzia falcataria) hasil
rendaman dengan larutan Ca(OH)2
terhadap bobot karkas dan bobot
organ pencernaan ayam pedaging. J.
Ilmiah Ilmu – Ilmu Pet. 9 (4): 100 –
107.
Anita, W. Y., I. Astuti., Suharto. 2012.
Pengaruh pemberian tepung daun teh
tua dalam ransum terhadap performan
dan persentase lemak abdominal
ayam broiler. J. Trop. Anim.
Husbandry. 1(1) : 1-6.
Badan Pusat Statistik. 2013. Produksi Buah-
buahan dan Sayuran Tahunan di
Indonesia. www.bps.go.id. Diakses
tanggal 24 agustus 2014.
Bikrisima, S. H. L., L. D. Mahfudz., N.
Suthama. 2014. Kemampuan
produksi ayam broiler yang diberi
tepung jambu biji merah sebagai
24 Pengaruh Subtitusi Jagung dengan Tepung Biji Alpukat Terhadap Konsumsi Ransum, Asupan
Protein, dan Retensi Nitrogen Pada Ayam Broiler
sumber antioksidan alami. JITP. 3
(2): 69-75.
Gultom, S.M., Supratman, R.D.H., Abun.,
2014. Pengaruh imbangan energi dan
protein ransum terhadap bobot karkas
dan bobot lemak abdominal ayam
broiler umur 3 – 5 minggu. Students
e- Journal. 1(1) : 6 -10.
Maulana, Irfan. 2008. Nilai Retensi Nitrogen
pada Ayam Kampung Umur 12
Minggu yang diberi Pakan
Mengandung Tepung Silase Ikan.
Skripsi. Fakultas Peternanakan
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Nelwida. 2009. Efek Penggantian jagung
dengan biji alpukat yang direndam air
panas dalam ransum terhadap retensi
bahan kering, bahan organik dan
protein kasar pada ayam broiler. J.
Ilmiah Ilmu-Ilmu Pet. 8 (1) : 50 -56.
Nyachoti, C. M., J. L. Atkinson and S.
Leeson. 1996. Response of broiler
chicks fed a high tannin sorghum
diet. J. Appl. Poultry science. 239-
245.
Permana, Bintang Tampubolon. 2012.
Pengaruh Imbangan Energi dan
Protein Ransum Terhadap Energi
Metabolis dan Retensi Nitrogen
Ayam Broiler. Students e – Journal.
1(1) : 1 – 5.
Retnani, Y., E. Suprapti., I. Firmansyah., L.
Herawati., R. Mutia. 2009. Pengaruh
penambahan zat pewarna dalam
ransum ayam broiler terhadap
penampilan, persentase berat bursa
fabrisius, karkas dan organ dalam. J.
Indon. Trop. Anim. Agric. 34 (2) :
115 – 121.
Sofiati, E. A. M. R. 2008. Metabolisme
Energi dan Retensi Nitrogen Broiler
Pasca Perlakuan Ransum
Mengandung Tepung Daun Jarak
Pagar (Jatropha curcas L.). Skripsi.
Fakultas Peternakan Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Sulistyoningsih, M. 2009. Pengaruh
pencahayaan (lighting) terhadap
performans dan konusumsi protein
pada ayam. Prosiding Seminar
Nasional ISBN 978 – 602-95207-0-5.
Hal 1-20
25 Kecernaan In Vitro Jerami Padi Fermentasi dengan Menggunakan Berbagai Level Inokulum
Aspergillus Niger dan Lactobacillus Plantarum
KECERNAAN IN VITRO JERAMI PADI FERMENTASI DENGAN
MENGGUNAKAN BERBAGAI LEVEL INOKULUM Aspergillus niger DAN
Lactobacillus plantarum
( In Vitro Digestibility Value Fermented Rice Straw using Inoculum stratified level
Aspergillus niger and Lactobacillus plantarum)
Saputro , R. A. T. W1, Ngadiyono, N.
2, Yusiati, L. M
3, Budisatria, I. G. S.
4
1) Staf Pengajar Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Magelang
Jl.Magelang-Kopeng Km7 Tegalrejo Magelang
E-mail : [email protected]
2,3,4)
Staf Pengajar Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Diterima : 15 September 2015 Disetujui : 25 November 2015
ABSTRACT
Utilization of rice straw as the basic feed into the strategic thing to be developed to
meet the needs of fibrous feed for cattle. Cellulolytic microbes and lactic acid bacteria are
one source of inoculum that can improve the quality of rice straw as feed fibrous base. The
study was conducted with the aim to obtain the appropriate carbon source for the growth of
Aspergillus niger (AN) and Lactobacillus plantarum (LP) .The research was done by using
fermented rice straw AN and LP. Carbon source treatment given two kinds of substrates,
namely molasses and bran. AN treatment levels of 0, 5, 10, and 15%. Giving LP of 10% in
each treatment. Fermentation is carried out for 21 days, while the digestibility value using in
vitro method Tilley and Terrydan Gas Test. The variables were observed in this study were
pH, lactic acid, BK, BO, PK, SK, NDF, ADF, and TDN. Data were analyzed using analysis of
variance completely randomized design (Completely Randomized Design / CRD)
unidirectional pattern and pattern factor(2 x 3), if there is a real effect followed by DMRT
(Duncan's Multiple Range Test). The results showed the use of Aspergillus nigerdan
Lactobacillus plantarumuntuk best fermented rice straw is 15% of Aspergillus niger and 10%
Lactobacillus plantarum of dry matter. The use of molasses substrate better when compared
to bran, it is seen from the results of the analysis of the PK, SK, LK, ADF, and the results of
physical testing rice straw fermentation.
ABSTRAK
Pemanfaatan sisa hasil pertanian (jerami padi) sebagai pakan dasarmenjadi hal yang
strategis untuk dikembangkan guna memenuhi kebutuhan pakan berserat bagi ternak sapi
potong. Mikrobia selulolitik dan bakteri asam laktat merupakan salah satu sumber inokulum
yang dapat meningkatkan kualitas jerami padi sebagai pakan dasar berserat. Penelitian
dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan sumber karbon yang tepat untuk pertumbuhan
Aspergillus niger(AN) dan Lactobacillus plantarum(LP).Penelitian ini dilakukan dengan
menfermentasi jerami padi menggunakan AN dan LP. Perlakuan sumberkarbon yang
diberikan dua macam substrat, yaitu molasses dan dedak. Perlakuan level AN sebesar 0, 5,
10, dan 15%. Pemberian LP sebesar 10% pada setiap perlakuan. Fermentasi dilakukan selama
21 hari,sedang nilai kecernaannyadievaluasi dengan menggunakan metode in vitro Tilley and
Terrydan Gas Test. Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah pH, asam laktat,BK,
26 Kecernaan In Vitro Jerami Padi Fermentasi dengan Menggunakan Berbagai Level Inokulum
Aspergillus Niger dan Lactobacillus Plantarum
BO, PK, SK, NDF, ADF, dan TDN. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis
varian rancangan acak lengkap (Completely Randomized Design/CRD) pola searah dan pola
faktoril (2 x 3), bila terdapat pengaruh nyata dilanjutkan dengan uji DMRT (Duncan’s
Multiple Range Test). Hasil penelitian menunjukkan penggunaan Aspergillus nigerdan
Lactobacillus plantarumuntuk fermentasi jerami padi yang terbaik adalah 15% Aspergillus
nige rdan 10% Lactobacillus plantarum dari bahan kering. Penggunaan substrat molases
lebih baik jika dibandingkan dengan dedak, hal ini terlihat dari hasil analisis PK, SK, LK,
ADF, dan hasil uji fisik jerami padi fermentasi.
Kata Kunci: Jerami Padi, Fermentasi, Kecernaan
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jerami padi merupakan limbah
pertanian yang paling banyak tersedia dan
sering digunakan sebagai bahan pakan pada
saat persediaan rumput berkurang. Namun
salah satu kekurangan jerami padi yaitu
kandungan nutrisinya yang rendah, antara
lain karena dinding selnya tersusun oleh
selulosa, lignin, dan silika, sehingga dalam
pemanfaatan jerami padi diperlukan
suplementasi bahan yang berkualitas
kemudian diolah agar nilai nutrisinya dapat
ditingkatkan. Salah satu upaya untuk
membantu memecahkan permasalahan
kualitas pakan adalah melakukan pengolahan
(Bachrudin, 1992).
Oleh karena jerami padi merupakan
limbah tanaman tua maka telah terjadi
lignifikasi bertaraf lanjut yang menyebabkan
terjadinya ikatan yang erat dan kompleks
antara lignin dan selulosa maupun
hemiselulosa. Selain itu molekul selulosa
sebagaian besar telah berubah dari bentuk
amorf menjadi bentuk kristalin.
Kompleksitas kimia dan struktural bahan ini
akan mempersulit mikroorganisme untuk
dekomposisi bahan tersebut.
Rendahnya kandungan nutrisi terutama
protein dan rendahnya tingkat kecernaan
bahan kering serta tingginya kandungan serat
kasar, merupakan faktor pembatas jerami
padi sebagai pakan ternak. Penggunaan
jerami padi yang semula adalah limbah
pertanian sebagai pakan ternak, memerlukan
usaha untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan
menghasilkan produksi ternak yang sesuai
dengan harapan, maka jerami padi perlu
diberikan perlakuan khusus guna
meningkatkan nilai nutrisinya.
Untuk meningkatkan nilai nutrisi
jerami padi sebagai pakan diperlukan adanya
sentuhan teknologi seperi penggunaan starter
mikrobia dalam fermentasi jerami
padi.Sesungguhnya, perbaikan nilai gizi bisa
dilakukan melalui pengolahan limbah
pertanian secara fisik, kimia, maupun
mikrobiologi. Salah satu di antaranya, untuk
meningkatkan mutu jerami padi dengan
melakukan inovasi teknologi berupa
fermentasi jeramipadi dengan menggunakan
mikrobia selulolitik dan bakteri asam laktat
(BAL) (Cheeke, 2005).
Salah satu usaha peningkatan
kecernaan jerami padi dengan perlakuan
biologis adalah dengan penambahan
mikrobia Aspergillus niger (P. bryantii B14)
dan Lactobacillus plantarum selama proses
fermentasi. Manipulasi genetik dengan
mengatur kondisi pertumbuhan pada
mikrobia, hewan dan tumbuhan dapat
meningkatkan enzim baik dari segi kualitas
maupun kuantitasnya (Crueger dan Crueger,
1984). Selulase adalah enzim pemecah
selulosa, sedangxilanase dibentuk oleh
beberapa bakteri secara konstruktif yang
27 Kecernaan In Vitro Jerami Padi Fermentasi dengan Menggunakan Berbagai Level Inokulum
Aspergillus Niger dan Lactobacillus Plantarum
mampu memecah hemiselulosa (Schlegel,
1994).
Fermentasi jerami padi dengan
menggunakan inokulum mikrobia selulolitik
dan BAL, dengan mensekresikan enzim
selulase dan xilanase oleh mikrobia
selulolitik tersebut, maka selulosa dan
hemiselulosa dihidrolisis menjadi gula
sederhana yang selanjutnya oleh BAL diubah
menjadi asam laktat sehingga pH turun dan
terjadi proses defaunasi. Dengan demikian
akan terjadi peningkatan kecernaan bahan
kering dan total nutrient tercerna (TDN). Hal
ini menunjukkan bahwa mikrobia selulolitik
dapat menghasilkan enzim selulase dan
xilanase yang mampu memecah ikatan
lignoselulosa sehingga dapat mengadakan
penetrasi untuk merombak dan mendegradasi
dinding sel untuk selanjutnya dirubah
menjadi senyawa karbohidrat sederhana
yang digunakan sebagai substrat oleh
Lactobacillus plantarum untuk menghasilkan
asam laktat guna menurunkan pH. Isolat
mikrobia selulolitik dan Lactobacillus
plantarum dapat digunakan sebagai
perlakuan fermentasi jerami padi yang
memberi hasil pada peningkatan kualitas zat
pakan dengan menurunkan kandungan serat
kasar serta meningkatkan kecernaan pakan,
sehingga jerami padi dapat ditingkatkan nilai
nutrisinya dengan menggunakan beberapa
level Aspergillus nigerdan Lactobacillus
plantarum (Aderemi, 2008).
Hasil penelitian yang disampaikan
pada tahap ini merupakan tahap kedua dari
tiga tahap penelitian untuk ikut membantu
mengatasi permasalahan pakan pada ternak
ruminansia,khususnya sapi potong yang
kebanyakan dipelihara oleh peternak.
Permasalahan yang dapat diangkat dari
penelitian tahap ini adalah :
1. Bagaimana mendapatkan metode yang
tepat untuk menghasilkan kecernaan
jerami padidengan penggnaan
mikrobia pencerna serat, utamanya
selulolitik, yaitu Aspergillus niger dan
bakteri asam laktat(Lactobacillus
plantarum)jerami padi difermentasi.
2. Bagaimana kemampuan mikrobia
Aspergillus niger dan Lactobacillus
plantarum dalam mendegradasi bahan
pakan berserat untuk mengamati
kualitas kimia dan kecernaan secara in
vitro padajerami padi hasil fermentasi
yang menggunakan mikrobia tersebut.
Permasalahan ini akan dicoba
dipecahkan dengan melakukan serangkaian
penelitian yang terbagi dalam dua penelitian,
yakni :
1. Sejauh manakemampuan mikrobia
Aspergillus niger dan Lactobacillus
plantarum dalam mendegradasi
seratsetah proses fermentasi jerami
padi.
2. Berapa level inokulan selulolitik yang
tepat jika diaplikasikan pada
fermentasi jerami padi agar diperoleh
daya cerna yang optimal secara in
vitro.
Tujuan Penelitian
Tujuan yang akan dicapai dalam
penelitian ini adalah:Sejauh mana
kemampuan Aspergillus niger dan
Lactobacillus plantarum dalam
mendegradasi serat dan meningkatkann
kandungan nutrien jerami padi fermentasi.
Kegunaan Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahuisejauh
mana kemampuan Aspergillus niger dan
Lactobacillus plantarum dalam
mendegradasi seratdan meningkatkan
kandungan nutrien sehingga dapat
28 Kecernaan In Vitro Jerami Padi Fermentasi dengan Menggunakan Berbagai Level Inokulum
Aspergillus Niger dan Lactobacillus Plantarum
mengoptimalkan produksi jerami padi
fermentsi dalam rangka pemanfaatan jerami
padi sebagai pakan ternak.
MATERI DAN METODE
Materi
Materi peneltitian ini menggunakan
sumber mikrobia yang digunakan adalah
Aspergillus niger koleksi Pusat Antar
Universitas (PAU) Bioteknologi Universitas
Gadjah Mada dan Lactobacillus plantarum
koleksi Laboratorium Biokimia Nutrisi
Fakultas Peternakan Universitas Gadjah
Mada. Bahan yang difermentasi adalah
jerami padi varietas IR64dan molases
sebagai sumber karbon.Selain itu juga
digunakan reagensia analisis kecernaan in
vitro menggunakan metode Tilley and Terry
dan Gas Test.
Metode
Jalannya penelitian
a. PenumbuhanAspergillus niger dan
Lactobacillus plantarumpada
medium cair. Aspergillus niger
ditumbuhkan dalam medium Potato
Dextrose Broth(PDB) steril kemudian
diinkubasi pada suhu kamar selama 4
hari.Lactobacillus
plantarumditumbuhkan dalam medium
cairMan Rogosa Sharpe(MRS) steril
kemudian diinkubasi selama 24 jam.
Penelitian ini bertujuan untuk
memperbanyak isolat mikrobia
Aspergillus niger dan BAL
(Lactobacillus plantarum). Penelitian
diawali dari pengkayaan (enrichment
culture) isolat dan mengoptimasi
isolat dengan suhu dan waktu yang
berbeda.
b. Pertumbuhan Aspergillus niger
Dengan Cara Fermentasi Semi Solid.
Aspergillus niger ditumbuhkan dalam
medium PDB cair steril, kemudian
diperbanyak dalam fermentasi semi
solid. Medium semi solid merupakan
medium PDByang ditambah dengan
10% substrat jerami padi. Fermentasi
dilakukan selama 4 hari.
c. Fermentasi Jerami Padi Skala
Laboratorium. Pelaksanaan
fermentasi jerami padi dimulai dengan
memotong-motong jerami padi segar
dengan ukuran 3 sampai 5 cm.
Selanjutnya jerami padi tersebut
ditimbang sebanyak 100 g dicampur
dengan sumber karbon yaitu molasses
2% dari total as feed kemudian
ditambah dengan Aspergillus niger
dengan level 0, 5, 10 dan 15% dari
total asfeeddan 10%
Lactobacillusplantarum pada semua
level. Setelah dicampur rata kemudian
dimasukkan ke dalam gelas fermentor,
kemudian ditekan supaya padat
sehingga udaranya keluar dan suasana
tabung menjadi anaerob untuk
diinkubasi selama 3 minggu pada suhu
kamar.
d. Evaluasi kecernaan jerami
fermentasi. Sampel jerami padi hasil
fermentasi dikeringkan dengan
memasukkan ke dalam oven pada suhu
55°C selama 3 sampai 4 hari kemudian
digiling menggunakan Grinder dengan
lubang saringan 1mm. Sampel
digunakan untuk uji degradasi secara
in vitro menggunakan teknik produksi
gas menurut Mounfort et al (1985).
Setelah sampel pakan basal, larutan
buffer dan mikrobia selulolitik
dipersiapkan, selanjutnya dimasukkan
dalam tabung syringe, kemudian
dianalisis dan di inkubasi pada suhu
29 Kecernaan In Vitro Jerami Padi Fermentasi dengan Menggunakan Berbagai Level Inokulum
Aspergillus Niger dan Lactobacillus Plantarum
39°C, selanjutnya dimasukkan dengan
pipet semi otomatis sebanyak 30 ml.
Bila terdapat gelembung udara
diusahakan agar naik ke permukaan
dengan cara menggoyang-
goyangkannya. Gas CO₂ dialirkan
kedalam tabung syringe beberapa saat
(15 detik) sekala dibawah klep penutup
dibaca (V₀) kemudian di inkubasi pada
suhu 390C. Dibuat pula blanko sebagai
koreksi dengan cara seperti di atas,
hanya tanpa penambahan sampel bahan
pakan. Kenaikan volume gas setelah
diinkubasi selama 0, 1, 2, 4, 6, 8, 12,
24, 36, 48 dan 72 jam selanjutnya
dapat diamati. Pada saat tertentu, bila
volume gas dalam tabung syringe
sudah maksimum, maka gas
dikeluarkan dengan cara membuka
klep dan volume dikembalikan ke
posisi V₀. Pada dasarnya semakin
banyak karbohidrat atau zat nutrisi
bahan pakan yang mudah terfermentasi
oleh mikrobia inokulum, maka
produksi gas yang dihasilkan juga
semakin meningkat.
Menurut McDonald (1994) laju
produksi gas diukur dengan model
eksponensial yaitu :
P = a + b (1 – ect
)
Keterangan :
P = gas yang dihasilkan dalam waktu t
a = produksi gas dari fraksi yang
mudah larut
b = produksi gas dari fraksi yang
lambat terdegradasi
c = laju produksi gas dari b
Untuk mempermudah perhitungan
tersebut, maka digunakan program
NewayExcel(Church, 1978).
Selain menggunakan metode
kecernaan in vitro secara gas test,
fermentasi jerami juga dianalisis
kecernaan in vitro metode Tilley and
Terry (1963). Sampel pakan basal yang
telah dihaluskanditimbah sebanyak
0,25 gram kemudian dimasukkan ke
dalam tabung in vitro. Cairan rumen
yang sebelumnya telah dipersiapkan,
dicampurkan dengan larutan
McDougall dengan perbandingan 1:4.
Larutan campuran ini kemudian
dimasukkan ke dalam tabung in vitro
yang telah berisi sampel. Tabung in
vitro yang telah beisi sampel dan
larutan campuran kemudian diinkubasi
selama 48 jam menggunakan water
bath dan digojok setiap 8 jam sekali.
Setelah inkubasi selama 48 jam,
sampel kemudian disaring
menggunakan crusibel yang
sebelumnya telah dilapisi dengan
glasswoll.
Kecernaan Bahan Kering (KcBK) =
Kecernaan Bahan Organik (KcBO) =
Cairan rumen hasil analisis kecernaan
secara in vitro metode Tilley and Terry
kemudian dianalisis kadar protein
mikrobia menggunakan metode Lowry
dan kadar ammonia menggunakan
metode Chaney and Marbach.
Analisis Data
Data penelitian yang diperoleh
dianalisis statistik menggunakan pola searah.
Selanjutnya dilanjutkan dengan uji Duncan‘s
MultipleRangeTest (DMRT) untuk
mengetahui perbedaan antar rerata (Steel dan
Torrie, 1991).
30 Kecernaan In Vitro Jerami Padi Fermentasi dengan Menggunakan Berbagai Level Inokulum
Aspergillus Niger dan Lactobacillus Plantarum
HASIL DAN PEMBAHASAN
Nilai Kecernaan Nutrien
Kecernaan bahan kering
Tabel 1. Nilai kecernaan bahan kering
Waktu Cerna Level Aspergillus niger
0% 5% 10% 15%
48 jam (%)ns
20,26±3,01 25,95±5,00 27,00±9,85 24,59±0,76
72 jam (%)ns
31,00±2,62 35,04±2,32 37,12±1,34 35,77±2,41
ns: non signifikan.
Hasil penelitian yang dilakukan
didapat nilai kecernaan bahan kering (KcBK)
dengan perlakuan 0, 5, 10, dan 15% level
Aspergillus niger pada waktu 48 jam
(20,26±3,01; 25,95±5,00; 27,00±9,85; dan
24,59±0,76%) dan waktu 72 jam
(31,00±2,62; 35,04±2,32; 37,12±1,34; dan
35,77±2,41%). Hasil analisis statistik
kecernaan bahan kering dengan perlakuan 0,
5, 10, dan 15% level Aspergillus niger pada
waktu 48 dan 72 jam tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata (P<0,05) diantara
beberapa level tersebut. Pada waktu 48 dan
72 jam dengan pemberian atau level
Aspergillus niger 0, 5, dan 10% nilainya
terus naik, akan tetapi pada level ke-15%
nilainya turun. Namun, nilai disetiap level
pada waktu 48 jam lebih kecil dari nilai
disetiap level pada waktu 72 jam. Menurut
Anggorodi (1990) faktor yang
mempengaruhi kecernaan bahan kering
antara lain bentuk fisik bahan pakan,
komposisi ransum, suhu, laju perjalanan
melalui alat pencernaan. Penggunaan tepung
ikan dalam pakan konsentrat sebesar 10 dan
15% dalam ransum dapat meningkatkan
kecernaan berat kering 64,4 dan 65,7
gram/ekor/hari (Marjuki, 2008).
Kecernaan bahan organik
Tabel 2. Nilai kecernaan bahan organik
Waktu Cerna Level Aspergillus niger
0% 5% 10% 15%
48 jam (%)ns 36,63±1,63 36,99±2,72 39,32±1,13 38,86±0,94
72 jam (%)ns 44,07±2,62 42,13±6,05 45,65±2,52 46,30±0,65
ns: non signifikan.
Hasil penelitian yang dilakukan
didapat nilai kecernaan bahan organik
(KcBO) dengan perlakuan 0, 5, 10, dan 15%
level Aspergillus niger pada waktu 48 jam
(36,63±1,63; 36,99±2,72; 39,32±1,13; dan
38,86±0,94%) dan waktu 72 jam
(44,07±2,62; 42,13±6,05; 45,65±2,52; dan
46,30±0,65%). Hasil analisis statistik
kecernaan bahan kering dengan perlakuan 0,
5, 10, dan 15% level Aspergillus niger pada
waktu 48 dan 72 jam tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata (P<0,05) diantara
beberapa level tersebut. Pada waktu 48 jam
dengan pemberian atau level Aspergillus
niger 0, 5, dan 10% nilainya terus naik, akan
tetapi pada level ke-15% nilainya turun. Pada
waktu 72 jam dengan pemberian atau level
Aspergillus niger 0% ke 5% nilai mengalami
31 Kecernaan In Vitro Jerami Padi Fermentasi dengan Menggunakan Berbagai Level Inokulum
Aspergillus Niger dan Lactobacillus Plantarum
penurunan dan dari 5, 10, dan 15% nilainya
terus naik. Namun, nilai disetiap level pada
waktu 48 jam lebih kecil dari nilai disetiap
level pada waktu 72 jam. Daya cerna pakan
dalam sistem pencernaan ruminansia akan
mempengaruhi laju aliran pakan dari rumen
ke saluran pencernaan berikutnya sehingga
tersedia ruang dalam rumen untuk
penambahan pakan (Van Soest, 1994). Lebih
lanjut Soebarinoto et al. (1991) menjelaskan
bahwa daya cerna pakan juga mempengaruhi
jumlah pakan yang digunakan untuk proses
metabolisme dalam pertumbuhan ternak.
Dengan demikian semakin tinggi daya cerna
pakan semakin banyak jumlah pakan yang
digunakan untuk proses metabolisme.
Kecernaan serat kasar, produksi NH3, dan sintesis protein mikrobia
Tabel 3. Nilai kecernaan serat kasar, produksi NH3, dan sintesis protein mikrobia
Parameter Level Aspergillus niger
0% 5% 10% 15%
KcSK (%)ns 31,56±14,81 40,57±2,42 45,01±0,84 35,76±4,86
NH3 (mg/100ml)ns 27,92±2,05 27,39±2,02 24,71±2,59 24,46±0,30
SPM (mg/ml)ns 0,0950±0,01587 0,1170±0,00964 0,1063±0,01305 0,1087±0,00404
KcSK : Kecernaan serat kasar,
SPM : Sintesis protein mikrobia,
ns :Non signifikan.
Hasil penelitian yang dilakukan
didapat nilai kecernaan serat kasar (KcSK)
dengan perlakuan 0, 5, 10, dan 15% level
Aspergillus niger pada waktu 72 jam
(31,56±14,81; 40,57±2,42; 45,01±0,84; dan
35,76±4,86%). Hasil analisis statistik
kecernaan bahan kering dengan perlakuan 0,
5, 10, dan 15% level Aspergillus niger pada
waktu 72 jam tidak menunjukkan perbedaan
yang nyata (P<0,05) diantara beberapa level
tersebut. Pada waktu 72 jam dengan
pemberian atau level Aspergillus niger 0, 5,
dan 10% nilainya terus naik, akan tetapi pada
level ke-15% nilainya turun.
Arora (1989) menyatakan ketika
protein pakan diproteksi oleh suatu bahan
maka akan lolos degradasi mikrobia dalam
rumen sehingga dapat menurunkan
konsentrasi NH3. Sedangkan protein yang
tidak diproteksi dari konsentrat basal mampu
menyediakan NH3 yang cukup untuk
memenuhi bakteri selulolitik untuk
berkembang secara optimal.Bakteri
selulolitik merupakan bakteri yang mencerna
dinding sel tanaman khususnya fraksi serat
kasarnya (Arora, 1989). Dari hasil penelitian
terdapat perbedaan antara suplemen protein
yang terproteksi 15% dengan 45%,
dimungkinkan adanya aktifitas bakteri
selulolitik dalam mencerna serat berbeda
antara perlakuan pakan.
Degradasi fraksi a (%)
Ulangan Level Aspergillus niger
0% 5% 10% 15%
1 -2.20 -0.06 -2.09 0.32
2 -2.30 -0.32 -1.29 0.48 3 -1.03 -1.44 2.07 -0.86
Reratans
-1.84 ±0.70 -0.60±0.73 -0.43±2.20 -0.02±0.73
ns non signifikan.
32 Kecernaan In Vitro Jerami Padi Fermentasi dengan Menggunakan Berbagai Level Inokulum
Aspergillus Niger dan Lactobacillus Plantarum
Degradasi fraksi b (%)
Ulangan Level Aspergillus niger
0% 5% 10% 15%
1 56.28 55.03 57.98 56.51
2 57.38 57.79 57.83 57.31 3 54.54 54.25 56.56 55.33
Reratans
56.06±1.43 55.69±1.85 57.46±0.77 56.38±0.99
ns non signifikan.
Degradasi fraksi c (%)
Ulangan Level Aspergillus niger
0% 5% 10% 15%
1 0.02 0.02 0.03 0.03
2 0.03 0.02 0.03 0.02
3 0.02 0.03 0.03 0.03
Reratans
0.02±0.00 0.02±0.00 0.02±0.00 0.03±0.00
ns non signifikan.
Total Produksi Gas (ml)
Ulangan Level Aspergillus niger
0% 5% 10% 15%
1 41.25 40.5 43.25 43.75
2 42.5 42.75 43.5 44
3 41 41.5 43.25 44.5
Reratas 41.58±0.80
a 41.58±1.13
a 43.33±0.144
b 44.08±0.38
b
ns non signifikan.
Kadar Gas Metan (%)
Ulangan Level Aspergillus niger
0% 5% 10% 15%
1 5.73 4.24 3.33 9.72 2 5.84 10.46 11.21 5.70
3 11.12 8.20 6.17 9.08
Reratans
7.56±3.01 7.63±3.15 6.89±3.99 8.16±2.16
ns non signifikan.
Produksi Gas Metan (ml)
Ulangan Level Aspergillus niger
0% 5% 10% 15%
1 2.34 1.70 1.44 4.26
2 2.45 4.49 4.86 2.55 3 4.50 3.54 2.44 4.05
Reratans
3.10±1.22 3.24±1.42 2.91±1.76 3.62±0.93
ns non signifikan.
33 Kecernaan In Vitro Jerami Padi Fermentasi dengan Menggunakan Berbagai Level Inokulum
Aspergillus Niger dan Lactobacillus Plantarum
BKT(g/0,3g)
Ulangan Level Aspergillus niger
0% 5% 10% 15%
1 0.1156 0.1066 0.1162 0.1133
2 0.1068 0.1060 0.1159 0.1182 3 0.1075 0.1204 0.1220 0.1183
Reratans
0.1100±0.0049 0.1110±0.0081 0.1180±0.0034 0.1166±0.0028
ns non signifikan.
BOT (g/0,3g)
Ulangan Level Aspergillus niger
0% 5% 10% 15%
1 0.1405 0.1063 0.1322 0.1369
2 0.1315 0.1317 0.1331 0.1391
3 0.1248 0.1414 0.1458 0.1408
Reratans
0.1323±0.0078 0.1265±0.0181 0.1370±0.0076 0.1389±0.0019
ns non signifikan.
BKT/Produksi metan (ml/ g/0,3g)
Ulangan Level Aspergillus niger
0% 5% 10% 15%
1 20.26 15.95 12.38 37.58
2 22.97 42.36 41.91 21.54
3 41.84 29.38 20.03 34.19
Reratans
28.36±11.75 29.23±13.21 24.77±15.33 31.10±8.45
ns non signifikan.
BOT/Produksi metan (ml/ g/0,3g)
Ulangan Level Aspergillus niger
0% 5% 10% 15%
1 16.67 16.01 10.88 31.11
2 18.65 34.11 36.51 18.31
3 36.04 25.01 16.75 12.06
Reratans
23.79±10.66 25.04±9.05 21.38±13.43 20.49±9.71
ns non signifikan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini diperoleh hasil
dimana penggunaan Aspergillus nigerdan
Lactobacillus plantarumuntuk fermentasi
jerami padi yang terbaik dalah :
1. 15% Aspergillus nigerdan 10%
Lactobacillus plantarumdari bahan
kering
2. Penggunaan substrat molases lebih
baik jika dibandingkan dengan dedak,
hal ini terlihat dari hasil analisis PK,
SK, LK, ADF, dan hasil uji fisik jerami
padi fermentasi.
34 Kecernaan In Vitro Jerami Padi Fermentasi dengan Menggunakan Berbagai Level Inokulum
Aspergillus Niger dan Lactobacillus Plantarum
Saran
Dari hasil penelitian ini diperoleh hasil
dimana penggunaan Aspergillus nigerdan
Lactobacillus plantarum untuk fermentasi
jerami padi maka dapat disrankan :
1. Penggunaan cairan rumen sapi
hendaknya sesuai dengan kebutuhan
Protein kasar danenergi untuk minimal
memenuhi kebutuhan pokok hidupnya
2. Hasil fermentasinya pada akhir
inkubasi setidaknya diperoleh pH 4,5
sampai dengan 5, sehingga hasilnya
dapat dilakukan uji berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anggorodi, R. 1990. Ilmu Makanan Ternak
Umum. PT. Gramedia. Jakarta.
Aderemi, B. O., Abu, E., and Highina, B. K.,
2008.The Kinetics of glucose
production frromrice straw by
Aspergillus niger. African Journal of
Biotechnology. Vol. 7(11) pp. 1745-
1752.
Arora, S.P. 1989. Pencernaan Mikroba Pada
Ruminansia. Terjemahan Retno
Murwani. Gajah Mada University
Press. Yogyakarta.
Bachrudin, Z., 1992a. Aplikasi enzim dalam
bioteknologi pertanian. Buletin
Peternakan Fakultas Peternakan,
Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta. Edisi Khusus. Pp. 221-
137.
Cheeke, P. R., 2005. Aplied Animal
Nutrition Feed and Feeding 3rd
Ed.
Prentice Hall, UpperSaddle River,
New Jersey
Church, D. C. and W. G. Pond, 1978. Basic
Animal Nutrition and Feeding 3rd
Ed.
John Willeyand Sons. New York.
Crueger, W. and A. Crueger. 1984.
Biotechnology: A Text Book of
Industrial Microbiology Science
Tech., Inc., Madison, Wisconsin.
Leng, R. A., 1973. Salient features of
digestion of pastures by ruminant and
other herbivores. In: Chemistry and
Biochemistry of Herbage. Academic
Press. London and New York.
Marjuki. 2008. Penggunaan Tepung Ikan
Dalam Pakan Konsentrat Dan
Pengaruhnya Terhadap Pertambahan
Bobot Badan Kambing Betina. Jurnal
Ternak Tropika Vol. 9. No.2: 90-100.
McDonald. ., R. A. Edwards and J. F. D.
Green Halgh, 1994. Animal
Nutrition. 5th ed. EnglishLanguage
Book Society. Longman, London.
Mounfort, D. O. and R. A. Asher. 1985.
Production and regulation of
cellulose by two strins of the rumen
anaerobic fungus Neocallimastic
frontalis. J. Appl. Environt.
Microbiol. 49 (5): pp. 1314-1322.
Prayitno, 1997. Purifikasi dan analisis
Kinetika Reaksi Enzim Selulosa Dari
Aspergillusniger L-23. Tesis .
Program Pascasarjana. Fakultas
Peternakan, Universitas Gadjah
Mada. Yoguakarta.
Schlegel, H. G., 1994. Mikrobiologi Umum.
Ed. Ke 6. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Smith, J. E. 1990. Prinsip Bioteknologi. PT.
Gramedia. Jakarta.
Soebarinoto, S. Chuzaemi, dan Mashudi.
1991. Ilmu Gizi Ruminansia.
UniversitasBrawijaya.Malang.
Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie, 1991.
Prinsip dan Prosedur Statistika.
35 Kecernaan In Vitro Jerami Padi Fermentasi dengan Menggunakan Berbagai Level Inokulum
Aspergillus Niger dan Lactobacillus Plantarum
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
(Terjemahan).
Tilley, J.M. and R.A. Terry. 1963. A two
stage technique for in vitro digestion
of forage crops. J. Br. Grassl. Soc.
Vol 18: 105-111
van Soest, P.J. 1994. Nutrional Ecology Of
The Ruminant. Cornell University
Press. New York.
36 Kajian Evaluasi Program Penyuluhan Pupuk Bokashi di Kelompok Tani Angulir Hasto, Kecamatan
Kedu Kabupaten Temanggung
KAJIAN EVALUASI PROGRAM PENYULUHAN PUPUK BOKASHI DI
KELOMPOK TANI ANGULIR HASTO, KECAMATAN KEDU KABUPATEN
TEMANGGUNG
(Extension Program Evaluation Study of Bokashi Fertilizer in Farmers Group Angulir
Hasto, District Kedu County Temanggung)
Supriyanto1, Soeharso, N
2 dan Achadiati, N
3
1,2).
Staf Pengajar Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Magelang
Jl.Magelang-Kopeng Km 7 Tegalrejo Magelang
E-mail : [email protected]; [email protected]
3)
Fungsional Penyuluh Pertanian di BPP Berau Kabupaten Hulu Sungai Tengah Kalsel
Email : [email protected]
Diterima : 15 Oktober 2015 Disetujui : 25 November 2015
ABSTRACT
The extension Program Evaluation Study of Bokashi Fertilizer Production in Farmers
Group Angulir Hasto, Kedu, Temanggung. The objective to be achieved in this to know the
level of outcomes on education programs fertilizer bhokasi in Farmers Group Angulir Hasto.
The research activities carried out in the village of Mojotengah region Agricultural
Extension Hall Plantation and Forestry (BP3K) Kedu subdistrict, Temanggung. Tools and
materials are used to support the implementation of the study are: 1. The tools used in this
activity is stationery, measuring tools such as questionnaires and digital cameras. 2.
Material in the form of a monograph District of Kedu and Programa BP3K Agricultural
Extension District of Kedu in 2014. The analysis shows the respodents know-ledge reached
246 and the average score of (15.38), this means the category out (15.38), attitude of
respondents shows that j reaches 140 with an average score of 8.75 this means agreeing
(8.75) and Skills respondents indicated that at 78 and total average score of 4.87, not in
accordance with the target, this means that skilled (4.87). Results of analysis of the
effectiveness of counseling Bokashi organic fertilizer that has been implemented by = 80.5%,
this means that the value of the effectiveness of counseling on effective category (80.5%)
means that the extension can be run properly carried out according to the procedure of
extension.
The conclusions extension program that has been implemented is reached, but the
results of the evaluation on the skills aspect less category. The effectiveness of counseling
Bokashi organic fertilizer categorized as effective, behavior change outcomes reached 80.5%
of the targeted behavior change.
Keywords: Evaluation, Program Extension, Fertilizer Bokashi
ABSTRAK
Program Penyuluhan Pupuk Bokashi telah dilaksanakan di Kelompok Tani Angulir Hasto,
Kecamatan Kedu Kabupaten Temanggung. Tujuan dari penyuluhan ini untuk meningkatkan
pengetahuan, sikap dan keterampilan tentang pupuk Bokashi. Penelitian ini dilaksanakan di Balai
Penyuluhan Pertanian Kecamatan Kedu Kabupaten Temanggung. Alat dan bahan yang
digunakan demi mendukung pelaksanaan kajian adalah : alat tulis, alat ukur berupa kuisioner
37 Kajian Evaluasi Program Penyuluhan Pupuk Bokashi di Kelompok Tani Angulir Hasto, Kecamatan
Kedu Kabupaten Temanggung
dan kamera digital. Bahan berupa monografi Kecamatan Kedu dan Programa Penyuluhan
Pertanian BP3K Kecamatan Kedu tahun 2014.
Pengetahuan responden terhadap penyuluhaan pupuk organik bokashi dinilai
berdasarkan jawaban responden menunjukkan bahwa jumlah skor kumulatif pengetahuan
yang diperoleh responden mencapai 246 dan skor rata-rata sebesar (15,38), Sikap responden
terhadap anjuran pupuk organik bokashi dinilai berdasarkan jawaban responden
menunjukkan bahwa jumlah skor sikap yang diperoleh responden mencapai 140 dengan skor
rata-rata 8,75. Keterampilan responden terhadap anjuran pupuk organik bokashi dinilai
berdasarkan jawaban responden terhadap 3 pertanyaan keterampilan pada kuesioner
menunjukkan bahwa jumlah skor keterampilan yang diperoleh responden mencapai 78 dan
jumlah skor rata-rata 4,87
Hasil evaluasi program penyuluhan tercapai sesuai target, namun hasil evaluasi pada
aspek keterampilan kategori kurang terampil.
Efektivitas penyuluhan pupuk organik bokashi yang dilaksanakan pada tahun 2014 lalu
masuk kategori efektif, dengan capaian perubahan perilaku mencapai 80,5% dari perubahan
perilaku yang ditargetkan. Terbukti dari tingkat pengetahuan responden tentang materi yang
disuluhkan mencapai kategori pengetahuan baik, aspek sikap mencapai kategori baik tetapi
aspek keterampilan memiliki kategori kurang.
Kata kunci :Evaluasi, Program Penyuluhan, pupuk Bokashi
PENDAHULUAN
Penyuluh pertanian, memegang
peranan penting dalam menggerakan
pembangunan pedesaan. Penyuluh
diharapkan mampu menawarkan atau
“memasarkan” inovasi sampai dengan
inovasi tersebut diadopsi oleh masyarakat
tani. Penyuluhan pertanian sebagai bagian dari
sistem pembangunan pertanian mempunyai
peranan yang sangat penting, petani dan
keluarganya dikembangkan kemampuannya,
keswadayaannya dan kemandiriannya agar
mereka dapat mengelola usaha taninya secara
produktif, efektif, dan efisien sehingga
mempunyai daya saing tinggi dan dapat
meningkatkan mutu hidup. Pengalaman
menunjukan bahwa kegiatan penyuluhan
menjadi sangat mutlak, sebagai pemicu
sekaligus pemacu atau sering di sebut sebagai
“ujung tombak” pembangunan pertanian.
Pembangunan pertanian melalui
Penyuluh pertanian diharapkan mampu
meningkatkan kesejahtraan masyarakat
khususnya pelaku utama dan pelaku usaha,
untuk mengetahui seberapa besar tingkat
efektivitas dan out put dari dilaksanakannya
kegiatan penyuluhan pertanian maka perlu
dilakukan evaluasi.
Evaluasi adalah suatu proses untuk
menentukan relevansi, efisiensi, efektivitas,
dan dampak kegiatan-kegiatan
proyek/program sesuai dengan tujuan yang
akan dicapai secara sistematik dan obyektif.
Manfaat melakukan evaluasi adalah: 1.
Menentukan tingkat perubahan perilaku
petani setelah penyuluhan dilaksanakan; 2.
Perbaikan program, sarana, prosedur,
pengorganisasian petani dan pelaksanaan
penyuluhan pertanian; dan 3.
Penyempurnaan kebijakan penyuluhan
pertanian.
Di Balai Penyuluhan Pertanian
Perkebunan dan Kehutanan (BP3K)
Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung
pada tahun 2012 mempunyai program
kegiatan penyuluhan tentang pembuatan
pupuk organik bokashi, pada Kelompok Tani
“Angulir Hasto” Desa Mojotengah, hasil
analisa data sampai dengan saat ini belum
38 Kajian Evaluasi Program Penyuluhan Pupuk Bokashi di Kelompok Tani Angulir Hasto, Kecamatan
Kedu Kabupaten Temanggung
pernah dilakukan evaluasi program kegiatan
tersebut.
Berdasarkan data tersebut maka penulis
melakukan kegiatan pengkajian yang berjudul
“ Evaluasi Program Penyuluhan Pembuatan
Pupuk Bokashi di Kelompok Tani Angulir
Hasto, Kecamatan Kedu Kabupaten
Temanggung
MATERI DAN METODE
Materi
1. Waktu dan Tempat
Kegiatan kajian dilaksanakan pada
tanggal Mei – Juli 2015, di Desa
Mojotengah wilayah Balai Penyuluhan
Pertanian Perkebunan dan Kehutanan
(BP3K) Kecamatan Kedu, Kabupaten
Temanggung.
2. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan demi
mendukung pelaksanaan kajian adalah:
1. Alat yang digunakan dalam kegiatan
ini adalah alat tulis, alat ukur berupa
kuisioner dan kamera digital. 2. Bahan
berupa monografi Kecamatan Kedu
dan Programa Penyuluhan Pertanian
BP3K Kecamatan Kedu tahun 2014.
Metode
Jalannya Kajian
a. Metode Evaluasi
Rancangan evaluasi penyuluhan
dilaksanakan dengan metode evaluasi
formatif yaitu evaluasi yang
dilaksanakan setelah kegiatan
penyuluhan dilaksanakan dengan
mengukur hasil perubahan perilaku
yang terjadi sebagai akibat adanya
penyuluhan (Daryanto, 2001 dan
Arief, 2011).
Metode pengumpulan data
evaluasi dilaksanakan dengan
memadukan metode wawancara dan
menggunakan kuisioner, dipilihnya
metode wawancara dan kuesioner
dalam pengumpulan data karena
metode ini paling sederhana, namun
lebih teliti karena pertanyaan yang
diajukan telah dipersiapkan terlebih
dahulu dalam kuesioner.
Kuesioner adalah daftar dari
sejumlah pertanyaan yang persiapkan
untuk memperoleh data dari rseponden
dalam suatu kegiatan evaluasi atau
penelitian, termasuk evaluasi
penyuluhan pertanian (Padmowihardjo,
1999).
b. Instrumen Evaluasi
Instrumen adalah suatu alat yang
memenuhi persyaratan akademis,
sehingga dapat dipergunakan sebagai
alat ukur atau pengumpulan data
mengenai suatu variabel. Alat ukur
(instrumen) yang digunakan dalam
evaluasi ini adalah kuesioner, yang
terdiri dari pertanyaan pengetahuan,
sikap dan tindakan/ketrampilan.
Tahapan kegiatan yang
dilaksanakan dalam mempersiapkan
instrumen, pertama adalah mempelajari
materi penyuluhan yang pernah
disampaikan oleh penyuluh dalam
kegiatan penyuluhan yang dievaluasi.
Selanjutnya berdasarkan materi
tersebut ditetapkan variabel yang akan
diukur dalam hal ini adalah
pengetahuan, sikap dan
tindakan/ketrampilan peternak/petani
terhadap pembuatan pupuk organik
bokashi. Langkah selanjutnya adalah
menentukan indikator dan parameter
serta cara ukur masing-masing
variabel, sebagaimana uraian anak sub
bab dibawah ini.
39 Kajian Evaluasi Program Penyuluhan Pupuk Bokashi di Kelompok Tani Angulir Hasto, Kecamatan
Kedu Kabupaten Temanggung
1) Indikator dan parameter
Untuk mengetahui tingkat
pengetahuan, sikap dan
tindakan/ketrampilan responden
terhadap pupuk organik bokashi
digunakan indikator dan parameter
sebagaimana Tabel dibawah ini.
Tabel 1. Indikator dan Parameter Pengetahuan, Sikap dan Keterampilan Tentang
Pupuk Bokashi
Indikator Parameter
Aspek Pengetahuan Mengetahui apa itu pupuk bokashi. Dapat menjelaskan apa yang di maksud
dengan pupuk bokashi .
Mengetahui tentang manfaat dari pupuk bokashi bagi tanah dan tanaman
Mengetahui tentang jenis- jenis pupuk
bokashi.
Dapat menjelaskan manfaat dari pupuk bokashi bagi tanah dan tanaman.
Dapat menyebutkan berbagai macam
jenis pupuk bokashi .
Mengetahui tentang alat yang diperlukan dalam pembuatan pupuk bokashi
Mengetahui tentang bahan yang diperlukan
dalam pembuatan pupuk bokashi Mengetahui tentang ciri- ciri pupuk bokashi
yang jadi / gagal.
Dapat menyebutkan alat yang diperlukan dalam pembuatan pupuk
bokashi.
Dapat menyebutkan bahan yang diperlukan dalam pembuatan pupuk
bokashi.
Dapat menyebutkan ciri-ciri bokashi yang jadi / gagal.
Aspek Sikap
Respon positif berupa minat untuk membuat
bokashi.
Mau untuk membuat pupuk bokashi.
Respon positif untuk menggunakan pupuk
bokashi .
Mau untuk menggunakan pupuk
bokashi.
Respon positif untuk selalu memberikan pupuk bokashi di lahan usaha tani.
Mau untuk selalu memberikan pupuk bokashi pada lahan usaha tani.
Aspek Tindakan/Ketrampilan
Terampil dalam menyiapkan alat dan bahan
yang diperlukan dalam pembuatan pupuk organik.
Dapat menyiapakan alat dan bahan
sesuai waktu yang ditentukan.
Terampil dalam mencampur bahan- bahan
untuk pembuatan pupuk bokashi.
Dapat mencampur bahan – bahan untuk
pembuatan pupuk bokashi sesuai dengan waktu yang ditentukan.
Terampil dalam mengetahui pupuk bokashi
yang jadi / gagal
Dapat menentukan apakah pupuk
bokashi tersebut jadi / gagal dibuat sesuai dengan waktu yang ditentukan.
2) Cara ukur pengetahuan
Pengetahuan peternak adalah
segala sesuatu yang diketahui
peternak sebagai akibat
dilaksanakannya penyuluhan
tentang pupuk bokashi, yang
mencakup pengetahuan antara lain
tentang apa itu bokasi, manfaat,
jenis- jenis bokashi, manfaat
pupuk bokashi, alat dan bahan
yang diperlukan dan ciri – ciri
bokashi yang jadi / gagal.
Pengukuran tingkat
pengetahuan peternak dilakukan
dengan skala likert, yang diukur
melalui 6 pertanyaan pengetahuan.
Pertanyaan disusun dalam bentuk
pertanyaan terbuka, dimana
40 Kajian Evaluasi Program Penyuluhan Pupuk Bokashi di Kelompok Tani Angulir Hasto, Kecamatan
Kedu Kabupaten Temanggung
responden kemudian diminta
untuk menjawab setiap soal. Jika
responden dapat menjawab dengan
benar/tahu = skor 3, jika hanya
mampu menjawab sedikit /
sebagian dengan benar/kurang
tahu = skor 2, jika tidak mampu
menjawab atau salah/tadak tahu =
skor 1.
3) Cara ukur sikap.
Sikap peternak adalah tanggapan
peternak terhadap penyuluhan
tentang pembuatan pupuk bokashi,
yang mencakup sikap antara lain
minat untuk membuat bokashi,
setuju untuk menggunakan dan
keinginan untuk terus menerus
menggunakan bokashi.
Pengukuran sikap peternak
menggunakan model skala likert,
yang diukur melalui 3 pertanyaan
sikap, dengan alternatif jawaban
setuju = skor 3, Jawaban ragu-ragu
= skor 2, jawaban tidak setuju =
skor 1.
4) Cara ukur keterampilan.
Keterampilan adalah perbuatan
petani dalam pembuatan pupuk
bokashi, yang mencakup
keterampilan antara lain
keterampilan dalam menyiapkan
alat dan bahan, keterampilan
dalam mencampur bahan dan
keterampilan dalam menentukan
antara bokashi yang jadi atau
gagal sesuai dengan waktu yang
ditentukan.
Pengukuran keterampilan peternak
menggunakan model skala likert,
jumlah pertanyaan 3 soal, jika
responden terampil diberi skor 3,
jika cukup terampil diberi skor 2
dan jika responden kurang
terampil maka diberi skor 1.
c. Menetapkan Sampel
Sampel dari populasi ditetapkan
dengan teknik purposive sampling
yaitu sengaja memilih anggota
Kelompok Tani Angulir Hasto Desa
Mojotengah yang menjadi sasaran
kegiatan penyuluhan tentang
pembuatan pupuk bokashi pada tahun
2014 yang dapat mewakili populasi di
Kecamatan Kedu. Kriteria sampel
adalah seluruh anggota kelompok
pernah mengikuti penyuluhan tentang
pembuatan pupuk bokashi dan aktif
dalam kegiatan pertemuan kelompok.
d. Mentabulasikan Data Hasil Evaluasi
Tahapan kegiatan merekap dan
mentabulasikan data hasil evaluasi
penyuluhan dilaksanakan dengan
beberapa tahapan yaitu :
1) Editing
Kegiatan editing dilakukan dengan
cara memeriksa data hasil jawaban
dari kuesioner yang telah
diberikan kepada responden dan
kemudian dilakukan koreksi
apakah telah terjawab dengan
lengkap. Editing dilakukan di
lapangan sehingga bila terjadi
kekurangan atau tidak sesuai dapat
segera dilengkapi.
2) Coding
Coding dilakukan dengan cara
memberi kode angka pada
kuesioner terhadap dari jawaban
responden agar lebih mudah dalam
pengolahan data selanjutnya. Kode
untuk tingkat pengetahuan adalah
jawaban tahu = 3, jawaban kurang
tahu = 2, jawaban tidak tahu atau
salah = 1. Kode untuk sikap adalah
setuju = 3, ragu- ragu = 2, tidak
setuju= 1. Kode untuk
tindakan/keterampilan adalah
41 Kajian Evaluasi Program Penyuluhan Pupuk Bokashi di Kelompok Tani Angulir Hasto, Kecamatan
Kedu Kabupaten Temanggung
terampil = 3, cukup terampil = 2,
tidak terampil = 1.
3) Entry data
Entry data dilakukan dengan cara
memasukkan data tentang
pengetahuan sikap, dan
tindakan/keterampilan responden
yang sudah diubah dalam bentuk
kode angka untuk diolah memakai
program komputer Microsoft
Excel 2010 untuk dianalisis.
4) Cleaning
Cleaning merupakan kegiatan
pengecekan kembali data yang
sudah masukan apakah ada
kesalahan atau tidak.
5) Tabulating
Tabulasi data dilakukan dengan
meringkas data yang diperoleh
kedalam tabel yang telah
disiapkan, agar mudah
dianalisa.Untuk tabulasi
digunakan program komputer
Microsoft Excel 2010, dengan
proses kegiatan tabulasi adalah :
1) Siapkan tabel dengan kolom
dan baris sesuai kebutuhan.
2) Hitung banyaknya frekuensi
untuk setiap kategori jawaban.
3) Susun distribusi frekuensi dan
persentase kedalam tabel agar
data yang ada dapat tersusun
rapi, mudah dibaca dan di
analisa.
e. Analisa Data Hasil Evaluasi
Analisis data merupakan proses
dalam menyederhanakan data ke
bentuk yang lebih mudah dibaca dan
diinterpretasikan. Analisis data
ditujukan untuk mengetahui tingkat
pengetahuan, sikap dan keterampilan
peternak/petani terhadap pembuatan
pupuk bokashi. Analisis data yang
digunakan dalam evaluasi ini adalah
analisis diskriptif kuantitatif dan
kualitatif.
Analisis diskriptif kuantitatif
digunakan untuk menganalisis variabel
yang ada secara deskriptif dengan
menghitung distribusi frekuensi
berbentuk tabel yang meliputi
pengetahuan, sikap dan keterampilan
responden terhadap pembuatan pupuk
organik bokashi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Hasil Evaluasi
Hasil kegiatan merekap dan
mentabulasikan data hasil evaluasi berupa
rekap data jawaban responden dari aspek
pengetahuan, sikap dengan kuesioner dan
pengamatan kegiatan keterampilan dengan
mengunakan elemen ketrampilan. Kegiatan
analisis menggunakan analisis deskriptif,
dimana analisis data dilakukan dengan
perhitungan frekuensi dan persentase,
selanjutnya hasil analisis ditampilkan dalam
bentuk tabel distribusi frekuensi.
a. Analisis data pengetahuan
responden
Pengetahuan responden terhadap
penyuluhaan pupuk organik
bokashi dinilai berdasarkan
jawaban responden menunjukkan
bahwa jumlah skor kumulatif
pengetahuan yang diperoleh
responden mencapai 246 dan skor
rata-rata sebesar (15,38), hal ini
berarti bahwa responden pada
aspek pengetahuan pada katagori
tahu (15,38) terhadap materi
penyuluhan pembuatan pupuk
bokasi atau sesuai dengan target.
b. Analisis data sikap responden
Sikap responden terhadap anjuran
pupuk organik bokashi dinilai
berdasarkan jawaban responden
42 Kajian Evaluasi Program Penyuluhan Pupuk Bokashi di Kelompok Tani Angulir Hasto, Kecamatan
Kedu Kabupaten Temanggung
menunjukkan bahwa jumlah skor
sikap yang diperoleh responden
mencapai 140 dengan skor rata-
rata 8,75 hal ini berarti bahwa
responden mempunyai sikap
terhadap materi penyuluhan adalah
setuju (8,75) atau sesui dengan
yang ditargetkan.
c. Analisis data keterampilan
Keterampilan responden terhadap
anjuran pupuk organik bokashi
dinilai berdasarkan jawaban
responden terhadap 3 pertanyaan
keterampilan pada kuesioner
menunjukkan bahwa jumlah skor
keterampilan yang diperoleh
responden mencapai 78 dan
jumlah skor rata-rata 4,87, tidak
sesuai dengan yang ditargetkan.
Hal ini berarti bahwa responden
tidak trampil (4,87) dalam
pembuatan pupuk bokasi.
d. Analisis efektivitas penyuluhan
Pengukuran tingkat efektivitas
dilakukan berdasarkan jumlah skor
yang berhasil dicapai masing-
masing aspek perilaku yaitu
pengetahuan, sikap dan
keterampilan, menunjukkan
jumlah skor pengetahuan, sikap
dan keterampilan yang dicapai
yaitu dengan jumlah skor
maksimal pengetahuan, sikap dan
keterampilan yang ditargetkan.
Untuk menganalisis
efektivitas penyuluhan pupuk
organik bokashi yang telah
dilaksanakan di Kecamatan Kedu
Tahun 2014, digunakan rumus
efektivitas sebagai berikut Dewi
dkk. (2012), Efektifitas
Penyuluhan= 80,5%. Setelah
mendapatkan nilai efektivitas
penyuluhan selanjutnya nilai
efektivitas dikategorikan sesuai
dengan kriteria tingkat efektivitas
penyuluhan (Padmowiharjo, 1999)
sebagai berikut :
Efektifitas penyuluhan
dilakukan mendapat nilai sebesar
80,5%, ini berarti nilai efektifitas
penyuluhan pada katagori efektif
(80,5%) artinya bahwa penyuluhan
yang dilaksanakan pada tahun
2014 dengan materi pembuatan
pupuk organik bokasi dapat
berjalan dengan baik sesuai
prosedur penyuluhan.
2. Menetapkan Hasil Evaluasi
Hasil evaluasi disajikan dalam bentuk
teks narasi kualitatif untuk menggambarkan
perubahan perilaku (pengetahuan, sikap dan
keterampilan) yang terjadi sebagai akibat
dilaksanakannya penyuluhan.
Proses penyuluhan yang dilaksanakan
terdapat beberapa unsur antara lain:
penyuluh, materi penyuluhan, media
penyuluhan, metode dan tehnik penyuluhan,
sasaran penyuluhan dan tujuan penyuluhan.
Penyuluhnya adalah Danik Purwati,
adalah merupakan Tenaga Harian Lepas
(THL) dengan pengalaman kerja sebagai
penyuluh di bidang pertanian saat itu selama
6 tahun dengan masa kerja sebagai THL
sampai dengan saat 7 tahun 7 bulan, sesuai
dengan pendapat Soeharto (2005) dan
Deptan (2009) bahwa penyuluh adalah
perorangan warga Indonesia yang melakukan
kegiatan penyuluhan dibidang pertanian,
baik merupakan penyuluh PNS, swasta
maupun swadaya. Adapun yang menjadi
tugas pokok penyuluh adalah menyiapkan,
melaksanakan, mengembangan,
mengevaluasi dan melaporkan kegiatan
penyuluhan pertanian, sehingga penyuluh
dituntut mampu melaksanakan tugas dan
fungsinya sebagai penyuluh dilapangan
43 Kajian Evaluasi Program Penyuluhan Pupuk Bokashi di Kelompok Tani Angulir Hasto, Kecamatan
Kedu Kabupaten Temanggung
dengan menjadi mitra kerja petani yang
berperan sebagai fasilitator.
Materi penyuluhan yang diberikan saat
itu adalah Pembuatan Pupuk Organik Bokasi
yang sangat dibutuhkan oleh kelompok tani
dan ditunjang potensi wilayah dengan
adanya ± 50 ekor sapi karena setiap anggota
mempunyai rata-rata 2 ekor, hal ini sesuai
pendapat Setiana (2005) materi penyuluhan
adalah bahan penyuluhan yang akan
disampaikan kepada pelaku utama (petani)
dan pelaku usaha dalam berbagai bentuk
yang meliputi: informasi, teknologi, rekayasa
social, manajemen, ekonomi dan kelestarian
lingkungan.
Media penyuluhan yang digunakan
leaflet, power point, demplot terdapat di 3
onggota kelompok tani dan melakukan
demostrasi cara pada saat penyuluhan, hal ini
sesuai dengan pendapat yang menyatakan
bahawa media penyuluhan pertanian adalah
merupakan alat komunikasi untuk
memindahkan materi penyuluhan kepada
pelaku utama dan pelaku usaha yang
bertujuan untuk memperjelas pemahaman
dari kelayan tersebut terhadap materi
penyuluhan yang disampaikan (Salim, 2005).
Metode dan tehnik penyuluhan yang
dilakukan dengan metode pendekatan
kelompok sebanyak 2 kali dan pendekatan
perorangan pada seluruh anggota kelompok
tani, serta tehnik penyuluhan dengan
ceramah, diskusi dan demostrasi cara, hal ini
sesuai dengan pendapat bahwa metode
penyuluhan pertanian dapat diartikan sebagai
cara atau teknik penyampaian materi
penyuluhan kepada pelaku utama dan pelaku
usaha (kelayan) beserta keluarganya baik
secara langsung maupun tidak langsung agar
mereka lebih mudah memahami dan dapat
mempermudah penerapan suatu inovasi.
Dalam penggunaan metode penyuluhan
dapat dibedakan menjadi beberapa golongan
berdasarkan: teknik komonikasi, jumlah
sasaran dan indera penerima dari sasaran
(Sumardi, 2005).
Selanjutnya metode penyuluhan
pertanian penggunaan panca indera tidak
terlepas dari suatu proses belajar mengajar
seseorang karena panca indera tersebut selalu
terlibat di dalamnya, yang di dalam
penelitiannya memperoleh hasil sebagai
berikut: 1% melalui indera pengecap, 1,5%
melalui indera peraba,3% melalui indera
pencium, 11% melalui indera pendengar dan
83% melalui indera penglihat (Daryanto,
2001).
Sasaran penyuluhan pada Kelompok
Tani “Angulir Hasto” dengan karakteristik
sasarannya adalah: a. Seluruh anggota dan
pengurus telah mengalami pendidikan
minimal SD (31%) dan sebagian besar SLTA
(56%), b. Sebagian besar adalah umur/usia
produktif (88%), c. Semua anggota
mempunyai lahan pertanian rata-rata 0,2 ha,
d. Anggota dan pengurus terdiri dari laki-laki
(68,75%) dan perempuan (31,25%), tidak
ada perbedaan gender.
Sasaran penyuluhan pertanian adalah:
pelaku utama dan pelaku usaha. Dimaksud
pelaku utama disini adalah petani yang
merupakan warga Negara Indonesia beserta
keluarganya atau koperasi yang mengelola
usaha dibidang pertanian, wanatani,
minatani, agropastur, penangkaran satwa dan
tumbuhan didalam dan disekitar hutan, yang
meliputi usaha hulu, usaha tani, agroindustri,
pemasaran dan jasa penunjang. Sedangkan
pelaku usaha dimaksud adalah perorangan
waraga Negara Indonesia atau korporasi
yang dibentuk menurut hokum Indonesia
yang mengelola usaha pertanian, perikanan
dan kehutanan (Deptan, 2009).
Tujuan penyuluhan yang dilakukan
adalah proses perubahan perilaku di
kalangan masyarakat agar mereka tahu, mau
dan mampu melakukan perubahan demi
tercapainya peningkatan produksi,
44 Kajian Evaluasi Program Penyuluhan Pupuk Bokashi di Kelompok Tani Angulir Hasto, Kecamatan
Kedu Kabupaten Temanggung
pendapatan/keuntungan dan perbaikan
kesejahteraanya. Dalam perkembangannya,
pengertian tentang penyuluhan tidak sekadar
diartikan sebagai kegiatan penerangan, yang
bersifat searah (one way) dan pasif. Tetapi,
penyuluhan adalah proses aktif yang
memerlukan interaksi antara penyuluh dan
yang disuluh agar terbangun proses
perubahan “perilaku” (behaviour) yang
merupakan perwujudan dari: pengetahuan,
sikap, dan ketrampilan seseorang yang dapat
diamati oleh orang/pihak lain, baik secara
langsung (berupa: ucapan, tindakan, bahasa-
tubuh) maupun tidak langsung (melalui
kinerja dan atau hasil kerjanya) (Ibrahim
dkk., 2003).
Tujuan Penyuluhan Pertanian
mencakup tujuan jangka pendek dan tujuan
jangka panjang. Tujuan penyuluhan jangka
pendek yaitu menumbuhkan perubahan-
perubahan dalam diri petani yang mencakup
tingkat pengetahuan, kecakapan,
kemampuan, sikap, dan motivasi petani
terhadap kegiatan usaha tani yang dilakukan.
Tujuan penyuluhan jangka panjang yaitu
peningkatan taraf hidup masyarakat tani
sehingga kesejahteraan hidup petani
terjamin. Tujuan pemerintah terhadap
penyuluhan pertanian adalah: meningkatkan
produksi pangan, merangsang pertumbuhan
ekonomi, meningkatkan kesejahteraan
keluarga petani dan rakyat desa,
mengusahakan pertanian yang berkelanjutan
(Padmowikarjo, 2002).
Sesuai tujuan kegiatan evaluasi
penyuluhan dan hasil analisis data
pengetahuan, sikap dan
tindakan/keterampilan, maka hasil yang
diperoleh sebagaimana uraian pada anak sub
bab dibawah ini.
a. Gambaran tingkat pengetahuan
responden tentang pupuk
organik bokashi
Hasil analisis data
pengetahuan pada anak sub bab
sebelumnya, didapati hasil bahwa
tingkat pengetahuan responden
tentang pupuk organik bokashi,
sebagai akibat dilaksanakannya
penyuluhan tentang materi
tersebut pada tahun 2014,
mencapai tingkat pengetahuan
dengan kategori tahu (± 15,38).
Tingkat pengetahuan
responden yang mayoritas pada
kategori tahu (±15,38), sangat
dimungkinkan karena kegiatan
penyuluhan yang dilakukan sudah
sesuai dengan standart ketentuan
antara lain dengan materi
penyuluhan pembuatan pupuk
organik bokashi sangat dibutuhan
kelompok tani, disampaikan secara
langsung (ceramah, diskusi dan
demcar) dengan metode
pendekatan kelompok dan
perorangan, penyuluhan yang
dilakukan juga dengan media
penyuluhan berupa leaflet dan
power point, poin-poin tersebut
sebagai tindak lanjut materi
penguat serta akses ke aspek
pengetahuan.
Hal lainnya yang
memungkinkan pengetahuan
responden dalam kategori tahu
adalah tingkat pendidikan
responden dimana seluruh
responden (100%) telah
mengalami proses pendidikan
mulai dari SD hingga D III, hal ini
sesuai dengan apa yang ditulis
Sulistiyono (2010) bahwa semakin
tinggi jenjang pendidikan
seseorang akan memiliki
kemampuan lebih baik untuk
45 Kajian Evaluasi Program Penyuluhan Pupuk Bokashi di Kelompok Tani Angulir Hasto, Kecamatan
Kedu Kabupaten Temanggung
menerima dan menelaah informasi
yang diterima.
Selanjutnya Abdullah (2012)
yang menyatakan bahwa semakin
tinggi tingkat pendidikan akan
menyebabkan petani lebih
responsif terhadap suatu teknologi,
sebaliknya tingkat pendidikan
yang rendah akan menjadi kendala
dalam proses adopsi teknologi
pertanian.
b. Gambaran sikap responden
tentang pupuk organik bokashi.
Hasil analisis data sikap
responden didapati bahwa sikap
responden terhadap anjuran pupuk
organik bokashi, yang disuluhkan
mencapai kategori sikap mau
(±8,75).
Pengetahuan responden
tentang materi penyuluhan pupuk
organik bokashi yang berada pada
kategori pengetahuan tahu
(±15,38) sangat mungkin menjadi
faktor yang menyebabkan baiknya
sikap responden terhadap anjuran
penyuluhan. Hal ini sesuai dengan
uraian tentang sikap yang dikutip
Sulistiyono (2010) dari pendapat
Mar’at (1994) yang menyatakan
bahwa terbentuknya sikap sangat
dipengaruhi oleh aspek
kemampuan cognitif yang berupa
pengetahuan yang didasarkan pada
informasi yang berhubungan
dengan suatu obyek tertentu.
Selanjutnya Allum dkk. (2005)
menyatakan bahwa hasil penelitian
menunjukkan bahwa pengetahuan
mempunyai satu garis lurus
terhadap sikap pada sebuah ilmu
pengetahuan atau informasi yang
diterima.
c. Gambaran keterampilan
responden terhadap anjuran
pupuk organik bokashi
Hasil analisis data
keterampilan, didapati bahwa
keterampilan responden terhadap
anjuran pupuk organik bokashi,
sebagai akibat dilaksanakannya
penyuluhan tentang materi
tersebut pada tahun 2014, masih
dalam katagori tidak
terampil/mampu (±4,87) walaupun
tingkat pengetahuan pada katagori
tahu (±15,38) dan sikapnya
setuju/mau (±8,75), hal ini sangat
mungkin terjadi karena walaupun
peternak memiliki niat baik untuk
bertindak menerapkan anjuran
karena dukungan aspek
pengetahuannya dan sikap yang
positif, namun penerapannya
dalam bentuk keterampilan sangat
dipengaruhi oleh situasi sekitar
dan prioritas pemenuhan
kebutuhan, sehingga keinginan
untuk menerapkan apa yang
dianjurkan menjadi terhambat.
Prioritas pemenuhan kebutuhan
keluarga dan memerlukan waktu
dalam pembuatannya sering
menimbulkan keragu-raguan untuk
bertindak. Hal ini sesuai uraian
Sulistiyono (2010) tentang
keterampilan adalah perilaku yang
tidak hanya ditentukan oleh
attitude tetapi juga ditentukan oleh
lingkungannya. Selanjutnya Dewi
et al (2012) terbentuknya niat
untuk berperilaku dipengaruhi
oleh nilai sikap dan obyektif serta
Internal Conflict, faktor internal
yang paling berpengaruh adalah
antara pemenuhan kebutuhan dan
kendala usahanya.
46 Kajian Evaluasi Program Penyuluhan Pupuk Bokashi di Kelompok Tani Angulir Hasto, Kecamatan
Kedu Kabupaten Temanggung
d. Gambaran efektivitas
penyuluhan
Hasil analisis efektivitas
penyuluhan didapati bahwa skor
efektivitas penyuluhan yang
berhasil dicapai adalah 464 dari
576 skor maksimal efektivitas
penyuluhan yang ditargetkan. Hal
ini dapat diartikan bahwa dari
target maksimal perubahan
perilaku yang diharapkan terjadi
sebagai akibat dilaksanakannya
penyuluhan, tingkat
ketercapaiannya mencapai 80,5%.
Merujuk pada kategori efektivitas
penyuluhan yang dikemukakan oleh
Mardikanto (2009) maka tingkat efektivitas
penyuluhan pupuk organik bokashi yang
telah dilaksanakan pada tahun 2014 lalu
masuk kategori efektif.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa data dan
pembahasan maka program penyuluhan
pembuatan pupuk organik, adalah sebagai
berikut :
1. Hasil evaluasi program penyuluhan
tercapai sesuai target, namun hasil
evaluasi pada aspek keterampilan
kategori kurang trampil.
2. Efektivitas penyuluhan pupuk organik
bokashi yang dilaksanakan pada tahun
2014 lalu masuk kategori efektif,
dengan capaian perubahan perilaku
mencapai 80,5% dari perubahan
perilaku yang ditargetkan. Terbukti
dari tingkat pengetahuan responden
tentang materi yang disuluhkan
mencapai kategori pengetahuan baik,
aspek sikap mencapai kategori baik
tetapi aspek keterampilan memiliki
kategori kurang.
Saran
Pelaksanaan penyuluhan kedepannya
hendaknya dengan memadukan antara
metode pertemuan kelompok dengan
demonstrasi cara, agar sasaran dapat melihat
langsung keuntungan cara membuat pupuk
organik bokashi, sehingga aspek ketrampilan
dapat meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, R. (2012). Peranan penyuluhan
dan kelompok tani ternak untuk
meningkatan adopsi tehnologi
peternakan saapi potong. Proseding
Seminar Nasional Sapi Potong. Hal
.188-195.
Arif, W. 2011. Evaluasi Psikologi
Komunikasi dan Efektivitas
Komunikasi. Thesis Universitas
Sebelas Maret. Diakses 4 Juni 2015.
http://psikom-
mamoy.blogspot.com/2011/11/efekti
vitas-komunikasi.html
Daryanto. 2001. Evaluasi Pendidikan.
Rineka Cipta. Jakarta.
Deptan. 2009. Permentan Nomor :
25/permentan/ot.140/5/2009.
Pedoman Penyusunan
Programa Penyuluhan Pertanian.
Deptan Jakarta.
Dewi, I.A.C., M.K.S.Budhi, dan A.A.I.N.
Marhaeni. 2012. Efektivitas Program
Jaminan Kesehatan Bali Mandara
(JKBM) di Kecamatan Gianyar
Kabupaten Gianyar. Diakses 2 Mei
2015. lemlit.undiksha.ac.id/
media/1231._dr.
47 Kajian Evaluasi Program Penyuluhan Pupuk Bokashi di Kelompok Tani Angulir Hasto, Kecamatan
Kedu Kabupaten Temanggung
Ibrahim, J.T, A. Sudiyono dan Harpowo.
2003. Komunikasi dan Penyuluhan
Pertanian. Bayu Media Publishing.
Malang.
http://database.deptan.go.id:8081/portalpeny
uluhan
Mardikanto T. 1999. Penyuluhan
Pembangunan Pertanian. Sebelas
Maret University Press. Surakarta.
Padmowihardjo. 1999. Evaluasi Penyuluhan
Pertanian. Penerbit Universitas
Terbuka, Jakarta.
Padmowihardjo. 2002. Metode Penyuluhan
Pertanian. Universitas Terbuka.
Jakarta.
Salim, F. 2005. Dasar-dasar Penyuluhan
Pertanian. Bandung Pustaka Martim.
Setiana, L. 2005. Teknik Penyuluhan dan
Pemberdayaan Masyarakat. Ghalia
Indonesia. Bogor.
Soeharto, N.P. 2005. Progama Penyuluhan
Pertanian. UI Press. Jakarta.
Sulistiyono. 2010. Pengetahuan Sikap Dan
Tindakan Petani Bawang Merah
Dalam Penggunaan Pestisida (Studi
Kasus di Kabupaten Nganjuk
Propinsi Jawa Timur). J. Agroland.
Diakses 24 Mei 2015,
http://jurnal.
untad.ac.id/jurnal/index.php/AGROL
AND/article/viewFi le/37/3.
48 Penggunaan Tepung Biji Alpukat dan Pengaruhnya Terhadap Kecernaan Lemak Kasar dan Energi
Metabolis Ransum Ayam Broiler
PENGGUNAAN TEPUNG BIJI ALPUKAT DAN PENGARUHNYA TERHADAP
KECERNAAN LEMAK KASAR DAN ENERGI METABOLIS RANSUM AYAM
BROILER
(Use of Avocado Seed Meal And Effect in the Ration On Crude Fat Digestibilty And Energy
Metabolism in Broiler Chickens)
Nurrohman, A.1, Yunianto, V. D.,
2 dan Mangisah, I
3
1) Mahasiswa Fakultas Peternakan Dan Pertanian Universitas Diponegoro
Kampus drh. Soejono Koesoemowardjojo Tembalang Semarang 50275
Email : [email protected]
2,3)
Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro
Kampus drh. Soejono Koesoemowardjojo Tembalang Semarang 50275
Diterima : 15 Oktober 2015 Disetujui : 25 November 2015
ABSTRACT
This research was aimed to identify and review the effect of avocado seed meal in the
ration on crude fat intake, crude fat digestibility, energy intake, and true metabolizable
energy. Ninety of Day Old Chick (DOC) Lohmann strain broiler chickens with an average of
initial body weight of 41,38 ± 1,08 g were used in this research. Completely Randomized
Design (CRD) was used in this research with 3 treatments and 5 replications, consisted of T0
(control ration), T1 (ration with 7,5% avocado seed meal), and T2 (ration with 15% avocado
seed meal). Parameters observed were crude fat intake, crude fat digestibility, energy intake
dan true metabolizable energy. Results showed that utilization of avocado seed meal in
broiler ration significantly effected (P<0,01) on crude fat intake, crude fat digestibility and
energy intake, and significantly affected (P<0,05) the true metabolizable energy. In
conclusion, the utilization of avocado seed meal in the ration on level 7,5% did not decrease
true metabolizable energy, but decreased crude fat intake, crude fat digestibility and energy
intake.
Keyword : broiler chicken, crude fat intake, crude fat digestibility, energy intake, and true
metabolizable energy.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji pengaruh penggunaan tepung
biji alpukat dalam ransum terhadap konsumsi lemak kasar, kecernaan lemak kasar, konsumsi
energi dan energi metabolis murni. Materi yang digunakan dalam penelitian adalah ayam
broiler unsex strain Lohmann sebanyak 90 ekor yang berumur 1 hari dengan bobot awal rata-
rata 41,38 ± 1,08 g. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap
(RAL) dengan 3 perlakuan dan 5 ulangan. Ransum perlakuan meliputi T0 = ransum kontrol
(tanpa tepung biji alpukat), T1= ransum dengan 7,5% tepung biji alpukat, T2= ransum
dengan 15% tepung biji alpukat. Parameter yang diamati adalah konsumsi lemak kasar,
kecernaan lemak kasar, konsumsi energi dan energi metabolis murni. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penggunaan tepung biji alpukat dalam ransum berpengaruh nyata
(P<0,01) terhadap konsumsi lemak kasar, kecernaan lemak kasar dan konsumsi energi dan
49 Penggunaan Tepung Biji Alpukat dan Pengaruhnya Terhadap Kecernaan Lemak Kasar dan Energi
Metabolis Ransum Ayam Broiler
ayam broiler, dan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap energi metabolis murni. Simpulan
penelitian adalah penggunaan tepung biji alpukat dalam ransum pada level 7,5% tidak
menurunkan energi metabolis murni, tetapi menurunkan konsumsi lemak kasar, kecernaan
lemak kasar, dan konsumsi energi.
Kata kunci: broiler, konsumsi lemak kasar, kecernaan lemak kasar, konsumsi energi, energi
metabolisme murni.
PENDAHULUAN
Ayam broiler merupakan ayam
pedaging yang dipelihara dengan waktu yang
relatif cepat (±35 hari) dapat memproduksi
daging dengan efisien. Daging ayam broiler
dibutuhkan masyarakat untuk mencukupi
kebutuhan akan daging dan harganya
terjangkau. Populasi ayam broiler di
Indonesia mencapai 1.344.191.000 (BPS,
2014). Produktifitas ayam broiler didukung
dengan pakan yang berkualitas. Pakan
merupakan salah satu faktor keberhasilan
usaha ayam broiler mencapai 60-70% dari
total produksi. Tingginya harga pakan
menjadi salah satu kendala dalam usaha
ayam broiler, sehingga perlu alternatif yang
murah dan memiliki kuaitas yang baik untuk
menekan biaya produksi, salah satunya yaitu
biji alpukat.
Produksi buah alpukat di Indonesia
pada tahun 2012 mencapai 294.200 ton
(BPS, 2014). Biji alpukat mengandung
energi metabolisme 3570 kkal/kg dan protein
kasar 10,40% lebih tinggi dibanding jagung
yaitu kandungan energi metabolisme 3370
kkal/kg dan protein kasar 8,70%. Kandungan
lemak kasar biji alpukat 5,81%, serat kasar
6,11%, Ca 0,70%, dan P 0,21% (Nelwida,
2009). Penggunaan biji alpukat diharapkan
dapat mengurangi penggunaan jagung
dimana porsi jagung dalam ransum mencapai
50-60% sehingga biaya pakan menjadi
murah. Pemakaian biji alpukat harus dibatasi
karena mengandung tannin yang dapat
menurunkan daya cerna, palatabilitas dan
produktifitas ayam broiler.
Tannin dapat menyebabkan
palatabilitas menurun sehingga menurunkan
konsumsi ransum. Tannin menghambat kerja
enzim pencernaan yang daapt menyebabkan
pertambahan bobot badan menurun (Anita et
al., 2012). Oleh karena itu, perlu dilakukan
pengolahan terhadap biji alpukat untuk
menurunkan kadar tannin menggunakan
larutan kalsium hidroksida Ca(OH)2 dan
perebusan menggunakan air panas. Suhirman
et al. (2006) menyatakan bahwa Ca(OH)
merupakan larutan basa dan tannin sebagai
polifenol larut dalam air dan basa, sehingga
tannin akan berkurang setelah polifenol yang
terlarut dihilangkan dengan cara pencucian.
Berdasarkan penelitian Wiryawan (1999)
bahwa perendaman daun kaliandra dengan
menggunakan larutan kapur tohor (CaO) 2%
selama 30 menit mampu menurunkan
kandungan tannin sebesar 48% serta dapat
meningkatkan kecernaan protein 82,40%.
Penurunan kadar tannin dalam ransum
diharapkan mampu meningkatkan kecernaan
nutrisi ransum (protein kasar, serat kasar,
lemak kasar, dan energi metabolis) dan
meningkatkan nilai manfaat ransum sehingga
dapat meningkatkan produktifitas ayam
briler. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui dan mengkaji penggunaan
tepung biji alpukat yang telah diolah
terhadap konsumsi lemak kasar, kecernaan
lemak kasar, konsumsi energi dan energi
metabolisme murni ransum. Manfaat dari
penelitian ini diharapkan memberikan
informasi tentang pemanfaatan biji alpukat
sebagai sumber energi dalam ransum ayam
broiler.
50 Penggunaan Tepung Biji Alpukat dan Pengaruhnya Terhadap Kecernaan Lemak Kasar dan Energi
Metabolis Ransum Ayam Broiler
MATERI DAN METODE
Materi
Materi yang digunakan dalam
penelitian ini adalah 90 ekor anak ayam
umur 1 hari DOC unsex strain Lohmann
dengan bobot awal rata-rata 41,38±1,08 g.
Komposisi dan kandungan nutrisi dalam
ransum penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.
Perlengkapan yang digunakan dalam
penelitian ini antara lain kandang litter,
kandang batteray, tempat pakan, tempat
minum, timbangan digital, sekam, dab
nampan.
Metode
Penelitian dimulai dengan persiapan
kandang, pembuatan tepung biji alpukat,
penyusunan ransum serta persiapan ternak
dan peralatan yang digunakan pada
penelitian. Pembuatan tepung biji yaitu biji
alpukat diiris tipis menggunakan pisau.
Kemudian biji alpukat direndam dengan
larutan kalsium hidroksida Ca(OH)2 dengan
perbandingan 200 g kalsium hidroksida
dilarutkan dengan 1 liter air selama 30 menit.
Biji alpukat yang sudah direndam kemudian
dibilas dengan air bersih, selanjutnya direbus
selama 30 menit. Biji alpukat yang sudah
direbus, disaring dan dikeringkan dibawah
sinar matahari sampai kering. Proses
selanjutnya adalah membuat tepung biji
alpukat dengan cara menggiling biji alpukat
dengan grinder sampai halus.
Tahap pemeliharaan yaitu ayam broiler
dipelihara selama 41 hari. Ayam divaksin
ND melalui tetes mata pada umur 4 hari.
Ayam broiler diberi pakan komersial selama
2 minggu. Umur 11-14 hari dilakukan
adaptasi ransum perlakuan terhadap ayam
broiler, sedangkan ayam broiler diberi
ransum perlakuan 100% pada umur 15 hari
dan dipindahkan dalam kandang petak. Pada
umur 4 hari, ayam dilakukan vaksinasi ND
melalui tetes mata untuk mencegah penyakit
Newcastle Desease (ND).
Tahap pengambilan data dengan
mengukur konsumsi ransum, dan kecernaan
nutrien. Pengukuran kecernaan
menggunakan metode total koleksi selama 4
hari. Selama total koleksi dilakukan
pengukuran konsumsi ransum dengan
menghitung pemberian ransum dikurangi
sisa ransum. Ayam yang digunakan dalam
total koleksi diambil secara acak dari setiap
unit percobaan, masing-masing 1 ekor
dimasukkan dalam kandnag batteray pada
umur 38 hari dan dipuasakan selama 24 jam.
Umur 39 hari dan 40 hari ayam diberi
ransum yang telah dicampur dengan
indikator Fe2O3 sebanyak 0,05% dari jumlah
ransum dan dilakukan penampungan
menggunakan nampan yang telah dilapisi
plastik. Penampungan dimulai ketika
ekskreta ayam berubah warna menjadi
merah. Umur 41 hari ayam diberi ransum
tanpa indikator dan penampungan ekskreta
selesai dilakukan ketika ekskreta sudah
berubah menjadi normal atau tidak nampak
berwarna merah. Selama penampungan,
ekskreta disemprot dengan HCl 0,2 N setiap
2 jam sekali agar N eksreta tidak menguap.
Ayam diberi air minum secara adlibitum.
51 Penggunaan Tepung Biji Alpukat dan Pengaruhnya Terhadap Kecernaan Lemak Kasar dan Energi
Metabolis Ransum Ayam Broiler
Tabel 1. Komposisi dan Kandungan Nutrisi Ransum Penelitian
Bahan pakan T0 T1 T2
----------------(%)---------------- Jagung kuning
Tepung biji alpukat
Bungkil kedelai Bekatul
PMM
Tepung ikan Premix
59,00
-
15,00 12,00
8,00
5,00 1,00
51,50
7,50
15,00 12,00
8,00
5,00 1,00
44,00
15,00
15,00 12,00
8,00
5,00 1,00
Jumlah 100 100 100
Kandungan nutrien
Protein kasar (%)* Energi Metabolis (kkal/kg)****
Lemak kasar (%)*
Serat kasar (%)**
Kalsium (%)*** Fosfor (%)***
Tanin (%)*
20,06 3.079,00
6,34
5,12
0,88 0,55
0,27
20,20 3.105,00
6,43
5,24
0,93 0,54
0,32
20,33 3.132,00
6,52
5,67
0,98 0,54
0,39
Keterangan :
* Dianalisis di Lab. Ilmu Nutrisi dan Pakan Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas
Diponegoro, Semarang. **
Dianalisis di Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
*** Berdasarkan Tabel Hartadi et al. (1980), Patrick and Scott (1982), dan Nelwida (2009).
**** Dianalisis di Lab. Ilmu Nutrisi dan Pakan Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas
Diponegoro, Semarang. Perhitungan energi berdasarkan gross energi x 0,725 (NRC, 1994).
Pengukuran endogenus ekskreta ayam
broiler dimulai pada umur 38 hari dengan
dipuasakan selama 24 jam dan dilakukan
penampungan ekskreta endogenus pada hari
ke 39 selama 24 jam. Ekskreta yang telah
ditampung kemudian dipisahkan dari
rontokan bulu dan kotoran, kemudian
ditimbang untuk mendapatkan berat basah
ekskreta dan selanjutnya dijemur dibawah
sinar matahari. Ekskreta yang sudah kering
ditimbang untuk mendapatakan berat
ekskreta berat kering udata kemudian
ekskreta dihaluskan menggunakan blender.
Ekskreta yang sudah halus dianalisis untuk
mengetahui kadar lemak kasar dan energi
metabolis ekskreta.
Parameter yang diamati pada penelitian
ini yaitu konsumsi lemak kasar, konsumsi
energi metabolis, kecernaan lemak kasar dan
metabolisme energi murni. Rumus
perhitungannya diuraikan sebagai berikut:
1. Konsumsi Lemak Kasar = Konsumsi ransum (g) x Kadar lemak ransum (%)
2. Konsumsi Energi Metabolis = Konsumsi ransum x Kadar energi metabolis ransum
(Kkal/kg)
3. Kecernaan Lemak Kasar =
Lemak yang dikonsumsi (g) - Lemak dalam ekskreta (g) 100%
Lemak yang dikonsumsi (g)x
Keterangan:
Lemak yang dikonsumsi = Kadar lemak ransum x konsumsi ransum
Lemak dalam ekskreta = Kadar lemak Ekskreta x jumlah ekskrta
52 Penggunaan Tepung Biji Alpukat dan Pengaruhnya Terhadap Kecernaan Lemak Kasar dan Energi
Metabolis Ransum Ayam Broiler
4. Energi metabolis dihitung dengan rumus Sibbald (1976) yang disitasi oleh Mulyono et
al. (2009)
EMM (kkal/g) = (GEf x A - (YEf x B - YEc x C))
A
Keterangan:
EMM : energi metabolis murni
GEf : energi bruto (kkal/kg)
YEf : energi bruto ekskreta ayam yang diberi makan (kkal/kg)
YEc : energi bruto ekskreta ayam yang dipuasakan (kakl/kg)
A : berat pakan yang diberikan (g)
B : berat ekskreta yang diberi makan (g)
C : berat ekskreta yang dipuasakan (g)
Rancangan percobaan yang digunakan
adalah rancangan acak lengkap (RAL)
dengan 3 perlakuan dan 5 ulangan dengan 6
ekor ayam tiap ulangan. Perlakuan meliputi
T0: Ransum basal; T1: Ransum basal
subtitusi jagung dengan tepung biji alpukat
7,5% dan T2: Ransum basal subtitusi jagung
dengan tepung biji alpukat 15%. Data hasil
penelitian diolah secara statistik dengan
analisis ragam dan apabila hasil analisis
menunjukkan pengaruh yang nyata maka
dilakukan uji beda nilai tengah ganda
Duncan untuk mengetahui perbedaan antar
perlakuan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengukuran terhadap konsumsi
lemak kasar, kecernaan lemak kasar,
konsumsi energi dan energi metabolis murni
ditampilkan pada Tabel 2.
Pengaruh Perlakuan Terhadap Konsumsi
Lemak Kasar
Hasil analisis statistik menunjukkan
bahwa penggunaan biji alpukat berpengaruh
sangat nyata (p<0,01) terhadap konsumsi
lemak kasar. Dari Tabel 2 dapat diketahui
bahwa penggunaan tepung biji alpukat dalam
ransum menurunkan konsumsi lemak kasar.
Rata-rata konsumsi lemak kasar pada
perlakuan T0, T1, dan T2 secara berturut-
turut yaitu 3,22 g/ekor/hari, 2,18 g/ekor/hari,
dan 1,75 g/ekor/hari. Konsumsi lemak kasar
pada perlakuan T1 dan T2 lebih rendah
dibandingkan dengan T0, hal ini dapat
disebabkan oleh konsumsi ransum yang
rendah. Semakin rendah konsumsi ransum,
semakin rendah lemak yang dikonsumsi. Hal
ini sesuai dengan pendapat Meliandasari et
al. (2014) menyatakan bahwa konsumsi
ransum ayam broiler dapat dipengaruhi
beberapa faktor, diantaranya yaitu kualitas
dan kuantitas ransum, aktifitas ternak, umur,
suhu lingkungan, palatabilitas, kesehatan,
suhu lingkungan dan tingkat produksi dan
pengelolaannya.
Konsumsi lemak yang rendah dapat
dipengaruhi oleh warna ransum yang lebih
gelap akibat kandungan tannin dalam
ransum. Tannin memiliki warna gelap
sehingga menurunkan palatablitias ransum.
Aris et al. (2006) menyatakan bahwa
penurunan tingkat palatabilitas ransum dapat
dipengaruhi oleh warna ransum yang lebih
pekat, bau dan rasa yang tajam. Anita et al.
(2012) menyatakan bahwa pemberian tepung
daun teh dalam ransum menurunkan
konsumsi ransum yang disebabkan adanya
kandungan tannin dalam ransum, dimana
semakin rendah konsumsi ransum seiring
53 Penggunaan Tepung Biji Alpukat dan Pengaruhnya Terhadap Kecernaan Lemak Kasar dan Energi
Metabolis Ransum Ayam Broiler
dengan peningkatan level pemberian tepung
daun teh dalam ransum. Krisnan (2005)
menyatakan bahwa rendahnya palatabilitas
ransum dapat disebabkan oleh adanya tannin
dalam ransum. Palatabilitas rendah
menyebabkan konsumsi ransum rendah dan
berdampak pada laju pertumbuhan yang
rendah.
Tabel 2. Rata-rata konsumsi lemak kasar, konsumsi energi, kecernaan lemak kasar, dan
energi metabolisme murni ransum
Parameter Perlakuan
T0 T1 T2
Konsumsi lemak kasar
(g/ekor/hr)*
3,22a 2,18
b 1,75
b
Konsumsi energi (kkal/hr)* 356,73a 233,54
b 186,61
b
Kecernaan lemak kasar (%)* 83,20a 72,16
b 71,42
b
Energi metabolismemurni
(kkal/kg)**
3.122,34a 2.913,38
ab 2.793,71
b
Keterangan : * Huruf berbeda pada nilai rata-rata menunjukkan perbedaan nyata
(P<0,01).
**Huruf berbeda pada nilai rata-rata menunjukkan perbedaan nyata
(P<0,05).
Pengaruh Perlakuan Terhadap
Kecernaan Lemak Kasar
Hasil analisis statistik menunjukkan
bahwa penggunaan biji alpukat berpengaruh
sangat nyata (p<0,01) terhadap kecernaan
lemak kasar. Dari Tabel 2 dapat diketahui
bahwa penggunaan tepung biji alpukat dalam
ransum menurunkan kecernaan lemak kasar.
Rata-rata kecernaan lemak kasar pada
perlakuan T0, T1, dan T2 secara berturut-
turut yaitu 83,20%, 72,16%, dan 71,42%.
Kecernaan lemak kasar pada perlakuan T1
dan T2 lebih rendah dibandingkan dengan
T0, hal ini dapat disebabkan oleh rendahnya
konsumsi lemak kasar ransum ayam yang
juga semakin menurun. Hal ini sesuai dengan
pendapat Kiha et al. (2012) yang
menyatakan bahwa pengukuran kecernaan
lemak kasar berdasarkan konsumsi lemak
dikurangi lemak dalam eksreta dibagi
konsumsi lemak dikalikan 100 persen,
semakin tinggi konsumsi lemak maka
semakin tinggi pula kecernaan lemak.
Sukaryana et al. (2011) menyatakan bahwa
penentuan kecernaan dilakukan untuk
mengetahui nutrien yang dapat diserap untuk
kebutuhan pokok, pertumbuhan dan
produksi. Kecernaan dapat dipengaruhi oleh
tingkat pemberian pakan, spesies hewan,
defisiensi zat makanan, pengolahan bahan
pakan, pengaruh gabungan bahan pakan dan
gangguan saluran pencernaan.
Rata-rata kecernaan lemak kasar T0,
T1, dan T2 pada perlakuan secara berturut-
turut yaitu 83,20%, 72,16% dan 71,42%.
Nilai kecernaan ransum digunakan untuk
mengetahui tingkat penyerapan nutrien
dalam tubuh. Rendahnya nilai kecernaan
akibat penggunaan tepung biji alpukat dapat
disebabkan oleh kandungan tannin dalam
ransum. Hal ini sesuai dengan pendapat
Estiningdriati et al. (2009) yang menyatakan
bahwa kandungan tannin dalam ransum
dapat menghambat enzim pencernaan
sehingga menurunkan utilitas nutriennya.
Konsumsi ransum yang rendah
menyebabkan ayam broiler kekurangan
nutrien sehingga nutrien yang dikonsumsi
tidak mencukupi kebutuhan untuk
54 Penggunaan Tepung Biji Alpukat dan Pengaruhnya Terhadap Kecernaan Lemak Kasar dan Energi
Metabolis Ransum Ayam Broiler
produktifitas. Sukaryana et al. (2011)
menyatakan bahwa kecernaan dapat
dipengaruhi oleh defisiensi zat makanan,
pengolahan bahan pakan, dan gangguan
saluran pencernaan.
Garam empedu sangat diperlukan
unggas dalam pencernaan dan penyerapan
lemak. Jika garam empedu ternak tidak
mencukupi untuk mengemulsi dan
mengarbsopsi lemak maka dapat
menurunkan nilai kecernaan lemak kasar.
Hal ini sesuai dengan pendapat Widodo
(2002) yang menyatakan bahwa cairan
empedu adalah suatu cairan garam yang
mengandung kolesterol, fosfolipid lesitin,
serta pigmen empedu. Garam-garam empedu
(garam natrium dan kalium) dari asam
glikokolat dan taurokolat dari cairan empedu
yang berperan dalam pencernaan dan
penyerapan lemak. Garam empedu dapat
membantu dalam menciptakan suasana yang
lebih alkalis dalam khim usus halus agar
absorpsi berlangsung dengan lancar.
Pengaruh Pelakuan Terhadap Konsumsi
Energi
Hasil analisis statistik menunjukkan
bahwa penggunaan biji alpukat berpengaruh
sangat nyata (p<0,01) terhadap konsumsi
energi. Dari Tabel 2 dapat diketahui bahwa
penggunaan tepung biji alpukat dalam
ransum menurunkan konsumsi energi.
Konsumsi energi pada perlakuan T1 dan T2
lebih rendah dibandingkan dengan T0, hal ini
dapat disebabkan oleh rendahnya konsumsi
ransum. Hal ini sesuai dengan pendapat
Kayadoe dan Hartini (2009) yang
menyatakan bahwa konsumsi energi dihitung
berdasarkan konsumsi ransum dikalikan
dengan energi metabolis dalam ransum.
Selain konsumsi, warna ransum perlakuan
yang lebih gelap juga mempengaruhi
konsumsi ransum ayam broiler karena ayam
broiler lebih suka terhadap warna yang
terang dibanding warna yang gelap. Hal ini
sesuai dengan pendapat Situmorang et al.
(2013) yang menyatakan bahwa ayam broiler
lebih menyukai pakan yang berwarna kuning
dan tidak gelap. Nelwida (2009) menyatakan
bahwa tannin mempunyai warna merah dan
rasa kelat sehingga konsumsi ransum
menurun seiring dengan semakin
meningkatnya level penggantian jagung
dengan biji alpukat baik yang direndam
maupun yang tidak direndam dengan air
panas.
Berdasarkan hasil penelitian
menunjukkan bahwa penggunaan tepung biji
alpukat menurunkan konsumsi energi. Rata-
rata konsumsi energi pada perlakuan T0, T1,
dan T2 secara berturut-turut yaitu 356,73
Kkal/kg, 233,54 Kkal/kg dan 186,61
Kkal/kg. Hal ini tidak sesuai dengan
pendapat Kayadoe dan Hartini (2009) yang
menyatakan bahwa konsumsi energi ayam
broiler dapat mencapai 485,71 kkal.kg. Pada
umumnya ayam meningkatkan konsumsi
untuk memenuhi kebutuhan energinya, selain
itu tingkat palatabilitas dapat merangsang
ayam untuk meningkatkan konsumsinya.
Menurunnya konsumsi energi dapat
disebabkan oleh tannin yang terkandung
dalam ransum dan berpengaruh terhadap
performa ayam broiler. Semakin tinggi
konsumsi energi semakin besar peluang
ayam broiler memanfaatkan energi untuk
hidup pokok dan pertumbuhan lebih optimal.
Suci dan Setiyanto (2001) menyatakan
bahwa zat antinutrisi tannin dapat
menyebabkan konsumsi ransum, kecernaan
protein, penggunaan energi menurun
sehingga pertumbuhan menjadi terhambat.
Krisnan (2005) menyatakan bahwa
kandungan tannin dalam ampas teh dapat
menekan energi metabolis dan menurunkan
konsumsi ransum sehingga pertambahan
bobot hidup menjadi lebih rendah.
55 Penggunaan Tepung Biji Alpukat dan Pengaruhnya Terhadap Kecernaan Lemak Kasar dan Energi
Metabolis Ransum Ayam Broiler
Pengaruh Perlakuan Terhadap Energi
Metabolis Murni
Hasil analisis statistik menunjukkan
bahwa penggunaan biji alpukat berpengaruh
sangat nyata (p<0,05) terhadap energi
metabolis murni. Dari Tabel 2 dapat
diketahui bahwa energi metabolis murni
pada T1 tidak berbeda nyata dengan T0,
sedangkan T2 lebih rendah dibandingkan
dengan T0 dan T1. Pada perlakuan T1 tidak
berbeda nyata dengan T0, hal ini
menunjukkan bahwa kandungan energi
terhitung mencukupi kebutuhan meskipun
konsumsi ransum lebih rendah dibandingkan
dengan T0. Rendahnya energi metabolis
murni pada T2 disebabkan oleh rendahnya
konsumsi energi ransum ayam yang rendah.
Meskipun energi terhitung lebih tinggi
dibanding dengan T0 dan T1 tetapi konsumsi
ransum rendah, sehingga kebutuhan energi
tidak mencukupi. Hal ini sesuai dengan
pendapat Mulyono et al. (2009) yang
menyatakan bahwa konsumsi energi
metabolis diperoleh dari perkalian antara
energi metabolis dengan konsumsi ransum,
semakin tinggi konsumsi ransum peluang
konsumsi energi semakin semakin tinggi.
Kiha et al. (2012) yang menyatakan bahwa
konsumsi ransum menurun yang semakin
berkurang menyebabkan konsumsi nutrien
sumber energi juga ikut berkurang dimana
sumber energi dapat bersumber dari
konsumsi karbohidrat, lemak dan protein.
Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan
bahwa penggunaan tepung biji alpukat dalam
ransum menurunkan energi metabolis murni.
Rata-rata energi metabolis murni pada
perlakuan T0, T1, dan T2 dalam penelitian
ini berturut-turut 3.122,34 Kkal/kg, 2.913,48
Kkal/kg, dan 2.793,71 Kkal/kg. Hal ini
sesuai dengan pendapat Ichwan (2003) yang
menyatakan bahwa kebutuhan energi ayam
broiler periode starter sebesar 2800-3100
kkal/kg pada tingkat protein 21-23%,
sedangkan kebutuhan energi periode finisher
sebesar 2900-3200 kkal/kg pada tingkat
protein 19-21%. SNI (2006) menyatakan
bahwa kebutuhan energi ayam broiler
periode starter dan fisiher yaitu minimal
2900 Kkal/kg.
Energi metabolis yang rendah dapat
disebabkan oleh kecernaan lemak kasar yang
rendah. Energi dapat diperoleh dari
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein.
Hal ini sesuai dengan pendapat Wahju
(1997) yang menyatakan bahwa zat-zat
makanan yang menjadi sumber energi adalah
karboidrat, lemak dan protein. Berdasarkan
hasil penelitian terhadap kecernaan protein
(Nelwida, 2009) penggunaan tepung biji
alpukat menurunkan kecernaan protein
akibat semakin tinggi level penggunaan
tepung biji alpukat. Protein merupakan salah
satu sumber energi bagi ternak. Rendahnya
kecernaan dapat dipengaruhi oleh kandungan
tannin dalam ransum karena tannin bersifat
mengikat protein sehingga penyerapan
protein terhambat. Widodo (2002)
menyatakan bahwa tannin mempunyai
kemampuan mengendapkan protein, karena
tannin mengandung sejumlah kelompok
fungsional ikatan yang kuat dengan molekul
protein dan menghasilkan ikatan silang yang
besar dan kompleks yaitu protein tannin.
Wahyuni et al. (2008) menyatakan bahwa
tannin dalam ransum mempengaruhi
metabolisme zat gizi dalam tubuh karena
dapat menghambat kerja enzim amilase,
lipase dan protease sehingga menyebabkan
penurunan penyerapan gizi yang dapat
digunakan sebagai sumber energi dan
mempengaruhi nilai energi metabolisnya.
Kandungan tannin dalam ransum
mempengaruhi tingkat penyerapan nutrien
karena tannin mampu mengikat protein
sehingga proses abdosrpsi protein jadi
terhambat. Kandungan tannin dalam ransum
56 Penggunaan Tepung Biji Alpukat dan Pengaruhnya Terhadap Kecernaan Lemak Kasar dan Energi
Metabolis Ransum Ayam Broiler
penelitian yaitu 0,27% (T0), 0,32% (T1), dan
0,39 (T2). Tingginya kandungan tannin
semakin meningkat seiring dengan
meningkatnya kandungan tepung biji alpukat
dalam ransum. Widodo (2005) menyatakan
bahwa pemberian pakan yang mengandung
tannin sebesar 0,33 persen tidak
membahayakan. Akan tetapi apabila
kandungan tannin dalam pakan mencapai 0,5
persen atau lebih dapat menekan
pertumbuhan ayam karena tannin menekan
retensi nitrogen dan mengakibatkan
menurunnya daya cerna asam-asam amino
yang seharusnya dapat diserap oleh vili-vili
usus dan dimanfaatkan untuk pertumbuhan
dan perkembangan jaringan tubuh.
KESIMPULAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa penggunaan tepung biji
alpukat level 7,5% tidak menurunkan energi
metabolis murni, tetapi menurunkan
konsumsi lemak kasar, kecernaan lemak
kasar dan konsumsi energi.
Saran
Perlu pengkajian yang lebih
mendalam tentang penggunaan tepung biji
alpukat level dibawah atau di bawah 7,5%
dan pengaruh terhadap energi metabolis
murni, konsumsi lemak kasar, dan kecernaan
lemak kasar.
DAFTAR PUSTAKA
Anita, W. Y., I. Astuti, dan Suharto. 2012.
Pengaruh pemberian tepung daun teh
tua dalam ransum terhadap performan
dan persentase lemak abdominal
ayam broiler. Tropical Animal
Husbandry. 1 (1) : 1-6.
Aris, S., E. Mirwandhono, dan Emmyliam.
2006. Pemanfaatan tepung
temulawak (Curcuma xanthorriza
Roxb.) dan molases dalam ransum
terhadap performa dan income over
feed cost (IOFC) itik peking umur 1-
56 hari. Jurnal Agribisnis
Peternakan. 2 (2) : 67-71.
Badan Standarisasi Nasional. Pakan Ayam
Ras Pedaging (Broiler Finisher). SNI
01 – 3931-2006.
Badan Standarisasi Nasional. Pakan Ayam
Ras Pedaging (Broiler Starter). SNI
01 – 3930-2006.
Estiningdriati, I., U. Atmomarsono, L.
Jauhari, dan A. L. Nuary. 2009.
Penggunaan tempe sorghum dalam
ransum dan pengaruhnya terhadap
penampilan produksi ayam broiler.
Seminar Nasional Kebangkitan
Peternakan : 682-687.
Ichwan. 2003. Membuat Pakan Ayam Ras
Pedaging. Cetakan I. PT Agromedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Kayadoe, M., dan S. Hartini. 2009.
Kemampuan konsumsi ayam
pedaging pada ransum komersiil yang
disubstitusi dengan solid kelapa sawit
fermentasi. Jurnal Ilmu Peternakan.
4 (1) : 13-19.
Kiha, A. F., W. Murningsih, dan Tristiarti.
2012. Pengaruh pemeraman ransum
dengan sari daun pepaya terhadap
kecernaan lemak dan energi
metabolis ayam broiler. Animal
Agricultural Journal. 1 (1) : 265-276.
Krisnan, R. 2005. Pengaruh pemberian
ampas teh (Camellia sinensis)
57 Penggunaan Tepung Biji Alpukat dan Pengaruhnya Terhadap Kecernaan Lemak Kasar dan Energi
Metabolis Ransum Ayam Broiler
fermentasi dengan aspergillus niger
pada ayam broiler. JITV. 10 (1) : 1-5.
Meliandasari, D., B. Dwiloka, dan E.
Suprijatna. 2014. Profil perlemakan
darah ayam broiler yang diberi pakan
tepung daun kayambang (Salvinia
molesta). Jurnal Ilmu-Ilmu
Peternakan. 24 (1) : 45-55.
Mulyono, R., Murwani, dan F. Wahyono.
2009. Kajian penggunaan probiotik
Saccharomyces cereviceae sebagai
alternatif aditif antibiotik terhadap
kegunaan protein dan energi pada
ayam broiler. J.Indon.Trop.Agric. 34
(2) : 145-151.
Nelwida. 2009. Efek Penggantian jagung
dengan biji alpukat yang direndam air
panas dalam ransum terhadap retensi
bahan kering, bahan organik dan
protein kasar pada ayam broiler.
Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan.
12 (1) : 50-56.
Situmorang, N. A., L. D., Mahfudz, dan U.
Atmomarsono. 2013. Pengaruh
pemberian tepung rumput laut
(gracilaria verrucosa) dalam ransum
terhadap efisiensi penggunaan protein
ayam broiler. Animal Agricultural
Journal. 2 (2) : 49-56.
Suci, D. W., dan H. Setiyanto. 2001.
Pengaruh pengolahan sorgum
terhadap penurunan kadar tanin dan
pengukuran energi metabolis.
Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner : 647-651.
Suhirman, S., H. EA, dan Lince. 2006.
Pengaruh penghilang tanin dari jenis
pala terhadap sari buah pala. Bul.
Littro. 17 (1) : 39-52.
Sukaryana, Y., U. Atmomarsono, V. D.
Yunianto dan E. Suprijatna. 2011.
Peningkatan nilai kecernaan protein
kasar dan lemak kasar produk
fermentasi campuran bungkil inti
sawit dan dedak pagi pada broiler.
JITP. 1 (3) : 167-172.
Wahju, J. 1997. Ilmu Nutrisi Unggas. Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.
Wahyuni, H. I., R. I. Pujiningsih., dan P. W.
Sayekti. 2008. Kajian nilai energi
metabolis biji sorghum melalui
teknologi sangrai pada ayam petelur
periode afkir. Agripet. 8 (1) : 25-30.
Widodo, W. 2002. Nutrisi dan Pakan Unggas
Kontekstual. Fakultas Peternakan
Universitas Malang, Malang.
Widodo, W. 2005. Tanaman Beracun dalam
Kehidupan Ternak. Fakultas
Peternakan Universitas
Muhammadiyah Malang, Malang.
Wiryawan, K.G. 1999. Upaya pengurangan
kadar tanin dalam daun kaliandra
(Calliandra callothyrsus ) dengan
menggunakan larutan kapur tohor
(CaO) dan uji kecernaannya secara
in-vitro. Media Peternakan. 22 (2) :
52-59.
www.bps.go.id. 2014. Populasi Ternak,
2000-2014.
www.bps.go.id. 2014. Produksi Buah-
buahan dan Sayuran Tahunan di
Indonesia.
58 Pengaruh Penggunaan Tepung Limbah Rumput Laut (Gracilaria Verrucosa) Fermentasi dalam
Ransum Terhadap Produksi Telur Itik Pedaging
PENGARUH PENGGUNAAN TEPUNG LIMBAH RUMPUT LAUT (Gracilaria
verrucosa) FERMENTASI DALAM RANSUM TERHADAP PRODUKSI TELUR
ITIK PEDAGING
(The Effect of Fermented Seaweed (Gracilaria verrucosa) By Product Flour In The Diet on
Egg Production Pengging Duck)
Wijayanto, D1., Suprijatna, E
2., dan Sarengat, W
3
1) Mahasiswa Fakultas Peternakan Dan Pertanian Universitas Diponegoro
Kampus drh. Soejono Koesoemowardjojo Tembalang Semarang 50275
Email : [email protected]
2,3)
Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro
Kampus drh. Soejono Koesoemowardjojo Tembalang Semarang 50275
Diterima : 12 Oktober 2015 Disetujui : 25 November 2015
ABSTRACT
This study aims to determine the effect of fermented seaweed by product flour in rations
on egg production Pengging ducks. The material used is 125 ducks laying age of 32 weeks
with an average initial weight of 1290,008 ± 124,24 g. Duck were housed at floor system
house divided into 25 pen. Rations were used consisting of yellow corn, rice bran, soybean
meal, fish meal, premix, CaCO3, methyonin, lysine, coconut oil, Brotia costulla flour,
seaweed by product flour (SBPF) and fermented seaweed by product flour (FSBPF). This
study used a completely randomized design (CRD) with five treatments and five replications,
T0: ration without SBPF ; T1: ration with 15 % SBPF; T2: ration with 15 % FSBPF; T3:
ration with 17,5 % FSBPF and T4: ration with 20 % FSBPF. The results showed that the use
of FSBPF in rations did not significantly effect (P>0.05) the total feed intake, body weight
gain and feed conversion, but significantly decrease effect (P<0.05) level on daily weight
production.
Key words: pengging duck, seaweed by product, egg production.
ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan tepung limbah rumput
laut fermentasi terhadap produksi telur Itik Pengging. Materi penelitian adalah 125 ekor Itik
Pengging betina umur 32 minggu. Ransum tersusun dari jagung kuning, bekatul, bungkil
kedelai, tepung ikan, minyak nabati, CaCO3, premix, methionin, lysin, tepung sumpil (Brotia
costulla), tepung limbah rumput laut (TLRL) dan tepung limbah rumput laut fermentasi
(TLRLF). Rancangan Acak Lengkap (RAL) diterapkan dengan 5 perlakuan, 5 ulangan, T0:
ransum kontrol tanpa TLRL; T1:ransum mengandung 15% TLRL, T2:ransum mengandung
15% TLRLF; T3:ransum mengandung 17,5% TLRLF; T4:ransum mengandung 20% TLRLF.
Hasil penelitian menunjukkan perlakuan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap
konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan konversi ransum, tetapi berpengaruh
menurunkan (P<0,05) produksi telur.
Kata kunci : itik pengging, limbah rumput laut, produksi telur.
59 Pengaruh Penggunaan Tepung Limbah Rumput Laut (Gracilaria Verrucosa) Fermentasi dalam
Ransum Terhadap Produksi Telur Itik Pedaging
PENDAHULUAN
Itik Pengging, plasma nutfah tergolong
jenis Itik Jawa (Anas javanica) berasal dari
Boyolali, Jawa Tengah. Itik Pengging
membutuhkan pakan bernutrisi tinggi agar
berproduksi telur maksimal. Dewasa ini
bahan pakan mahal harganya, dikarenakan di
pasaran bahan pakan bersaing dengan pabrik
pakan ternak komersil lain. Diperlukan
alternatif sumber bahan pakan lain agar
dapat menekan biaya pakan sehingga biaya
produksi tidak meningkat.
Rumput laut jenis Gracilaria
verrucosa adalah rumput laut termasuk alga
merah yang memiliki banyak manfaat.
Indonesia termasuk sebagai pengekspor
rumput laut terbesar di dunia, mempunyai
potensi limbah rumput laut yang melimpah
dan dapat dimanfaatkan sebagai sumber
bahan pakan. Kandungan nutrisi rumput laut
menurut Istini dan Suhaini (1998), kadar air
12,90 %, karbohidrat 4,94 %, protein 7,30 %,
lemak 0,09%, serat kasar 2,50 %, Ca 29,925
ppm, vitamin B1 0,019 mg/100g, vitamin B2
4 mg/ 100 dan karaginan 47,37%. Rumput
laut merah mengandung sejumlah
polisakarida, yaitu karaginan dan agar
(Anggadireja et al., 2011).
Penggunaan rumput laut hingga level
12% dalam ransum menunjukkan
performans dan kualitas karkas yang baik
(El-Deek dan Brika, 2009; Horhoruw et al.,
(2009). Kandungan serat kasar yang pada
limbah rumput laut yang cukup tinggi perlu
diturunkan agar dapat dimanfaatkan secara
baik. Fermentasi diharapkan menurunkan
kandungan serat kasar, meningkatkan
kecernaan dan palatabilitas sehingga pakan
lebih efisien. Aspergillus niger menghasilkan
enzim amylase, amiloglukosidase dan
selulase yang dapat mendegradasi selulosa
serta meningkatkan kandungan protein dan
menurunkan kadar serat kasar (Setiawan, et
al., 2013).
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui
pengaruh penggunaan tepung limbah rumput
laut fermentasi dengan level yang berbeda
terhadap konsumsi ransum, produksi telur
harian, pertambahan bobot badan, dan
konversi ransum Itik Pengging.
MATERI DAN METODE
Materi
Materi penelitian adalah 125 ekor itik
Pengging betina umur 32 minggu. Kandang
yang digunakan adalah 25 petak kandang
litter berukuran 1 x 1 x 1 m, masing-masing
petak berisi 5 itik. Ransum tersusun dari
jagung kuning, bekatul, bungkil kedelai,
tepung ikan, minyak nabati, CaCO3, premix,
methionin, lysin, tepung sumpil (Brotia
costulla), tepung limbah rumput laut (TLRL)
dan tepung limbah rumput laut fermentasi
(TLRLF). Ransum berdasarkan isoprotein
dan isoenergi dengan kandungan PK 18 %
serta energi metabolis 2900 kkal/kg. Limbah
rumput laut diperoleh dari Kabupaten
Brebes.
Metode
Pembuatan tepung rumput laut diawali
dengan proses seleksi dan pencucian.
Menjemur limbah rumput laut hingga
kering, dan menggilingnya menjadi tepung.
Mengukus tepung limbah rumput laut
30 menit, mendinginkan hingg suhu 350C.
Mencampur Aspergillusniger sebanyak 12
gram per kg tepung limbah rumput laut.
Melakukan pemeraman 2 minggu secara
aerob. Membalik permukaan fermentasi
1x/minggu, menjemur dengan sinar
matahari selama1 hari untuk menghentikan
60 Pengaruh Penggunaan Tepung Limbah Rumput Laut (Gracilaria Verrucosa) Fermentasi dalam
Ransum Terhadap Produksi Telur Itik Pedaging
proses fermentasi. Parameter yang diamati
yaitu a) Konsumsi ransum (gram/ekor/hari);
b)PBB (gram/ekor); c) Produksi Telur
Harian (%); d) Konversi Ransum.Rancangan
percobaan yang digunakan adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL) terdiri dari
5 perlakuan dan 5 ulangan: T0 (Ransum
tanpa TLRL / ransum kontrol), T1(Ransum
dengan TLRL non fermentasi 15 %), T2
(Ransum dengan TLRLF 15%), T3 (Ransum
dengan TLRLF 17,5%), T4 (Ransum dengan
TLRLF 20%). Data dianalisis menggunakan
analisis ragam (Analysis of Variance /
ANOVA) dan uji F untuk mengetahui
pengaruh perlakuan dan dilanjut uji wilayah
ganda Duncan pada taraf 5 % bila terdapat
signifikasi.
Tabel 1. Komposisi ransum dan kandungan nutrient ransum perlakuan Bahan Pakan Perlakuan
T0 T1 T2 T3 T4 ------------------------------------%----------------------------
---- Jagung 56,1 49,1 48,3 46,8 45,0
Rumput Laut Non Fermentasi
0 15,0 0 0 0
Rumput Laut Fermentasi 0 0 15,0 17,5 20,0
Bungkil Kedelai 17,6 17,5 17,1 16,3 15,9
Minyak Nabati 0,7 0,7 0,5 0,4 0,4
Bekatul 13,8 6,7 8,7 8,2 8,3
Tepung Ikan 7,0 7,0 5,9 6,6 6,6
CaCO3 1,9 1,2 1,7 1,4 1,0
Premix 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0
Methionin 0,4 0,4 0,4 0,4 0,4
Lysin 0,5 0,4 0,4 0,4 0,4
Brotia costulla 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 Komponen Nutrien
EM (kkal/kg)* 2929,29 2900,66 2907,52 2902,74 2901,84 Protein kasar(%) 18,08 18,05 18,02 18,02 18,01
Serat Kasar (%) 6,44 6,44 6,59 6,72 6,99
Lemak Kasar(%) 8,01 7,67 8,53 8,58 8,72
Ca (%) 2,48 2,44 3,96 4,01 3,91
P (%) 0,72 0,60 0,60 0,61 0,61
*Hasil perhitungan berdasarkan rumus Carpenter dan Clegg (Anggorodi, 1985). BETN = 100 –
(%air+%abu+%PK+%LK+%SK)
EM = 40,81 (0,87 (Protein Kasar + 2,25 Lemak kasar + BETN) + 2,5)
Tabel 2. Kandungan Nutrisi Tepung Rumput Laut Non Fermentasi dan Tepung Rumput
Laut Fermentasi
Kadar dalam 100 % Bahan Kering Bahan
Pakan
Tepung Rumput
Laut Non
Fermentasi
Tepung Rumput
Laut Fermentasi
Persentase (-/+)
LK 3,87 11,48 + 7,61 % SK 14,28 12,30 - 1,98 % PK 6,98 11,46 + 4,48 %
Keterangan : Hasil Analisis Laboratorium Ilmu Nutrisi Dan Pakan, Fakultas Peternakan dan
Pertanian, Universitas Diponegoro, 2015.
61 Pengaruh Penggunaan Tepung Limbah Rumput Laut (Gracilaria Verrucosa) Fermentasi dalam
Ransum Terhadap Produksi Telur Itik Pedaging
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian penggunaan tepung limbah rumput laut fermentasi dalam ransum
terhadap produksi Itik Pengging Betina dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Pengaruh Perlakuan Terhadap Produktivitas Itik Pengging Betina
Parameter
Perlakuan T0 T1 T2 T3 T4
Konsumsi Ransum (g/ekor/hari)
130,61 128,85 128,13 128,86 130,45 PBB (g/ekor) 264,32 283,48 251,72 299,32 249,96 Produksi Telur (%)* 33,78a 24,92b 21,14c 19,21cd 12,21e Konversi * 14,934 13,31 13,02 11,36 11,39 Keterangan : *Nilai rataan menunjukkan adanya perbedaan nyata (P<0,05).
Konsumsi Ransum
Penggunaan TRLF tidak berpengaruh
nyata terhadap konsumsi pakan (P> 0,05).
Komposisi nutrien yang tidak berbeda dalam
ransum (lihat Tabel 1) dan penurunan
persentase serat kasar pada fermentasi
rumput laut (lihat Tabel 2), tidak
mempengaruhi tingkat konsumsi ransum.
Faktor yang mempengaruhi konsumsi
ransum itik adalah sistem pemeliharaan,
keadaan lingkungan, macam bahan makanan
dan kondisi ransum yang diberikan,
kebutuhan produksi dan hidup itik
berdasarkan tingkat pertumbuhannya, selera,
metode pemberian pakan, kandungan energi
ransum, dan jenis itik (Rasyaf, (1993);
Srigandono (1997); Amrullah (2004);
Arianti dan Ali (2009)).
Pertambahan Bobot Badan
Penggunaan TRLF tidak berpengaruh
terhadap rataan pertambahan bobot badan
(P> 0,05). Hal ini disebabkan oleh·konsumsi
ransum pada masing-masing perlakuan tidak
berbeda nyata, dimana kebutuhan itik pada
fase ini sudah melewati dewasa tubuh dan
masuk dalam fase produksi yang
membutuhkan asupannutrisi yang tinggi
untuk produksi telur. Rafian (2003)
me1aporkan bahwa ternak yang
mengkonsumsi ransum dengan kandungan
zat - zat makanan yang sama akan
memperlihatkan pertambahan bobot badan
yang hampir sama pula. Setioko et al. (2002)
menyatakan bahwa pertumbuhan itik
dipengaruhi oleh pakan yang dikonsumsi,
lingkungan sekitar, sistem perkandangan dan
potensi genetiknya.
Produksi Telur Harian
Penggunaan TRLF berpengaruh
menurunkan produksi telur (P< 0,05).
Semakin tinggi persentase pemberian rumput
laut dalam ransum berpengaruh terhadap
kecernaan protein yang menurun,
mengakibatkan produksi telur turun. Hal ini
karena karaginan larut air, sehingga
memberikan rasa kenyang pada itik.
Kandungan serat larut air (karaginan) dalam
rumput laut cukup tinggi (Burtin, 2003).
Rumput laut (Gracilaria verrucosa)
mengandung karaginan, yang mampu
mengurangi penyerapan nutrisi dalam usus
halus karena kandungan nutrisi rumput laut
tersebut dilapisi karaginan (Harianto, 1996).
Hal ini sesuai dengan pendapat Horhoruw et
al., (2009) yang menyatakan bahwa
pemberian pakan ternak ayam dengan menu
rumput laut (Porphyra atropurpurae) dengan
62 Pengaruh Penggunaan Tepung Limbah Rumput Laut (Gracilaria Verrucosa) Fermentasi dalam
Ransum Terhadap Produksi Telur Itik Pedaging
level 2,5 sampai 10% dari total pakan
memberikan hasil yang baik, meningkatkan
kesehatan, bobot telur, produksi telur,
kekuatan kulit telur dan daya tetas. Semakin
tinggi persentase penggunaan rumput laut
dalam pakan, maka akan menunjukkan
penurunan performans.
Konversi Ransum
Penggunaan TRLF tidak berpengaruh
terhadap rataan nilai konversi ransum (P<
0,05). Menunjukkan bahwa pada penelitian
ini, penggunaan TRLF Mengakibatkan
konversi pakan buruk, hal ini dikarenakan
semakin menurunnya produksi telur akibat
rendahnya kecernaan protein. Penelitian
Lisma (2009) menyatakan bahwa puyuh
membutuhkan beberapa unsur nutrisi untuk
kebutuhan tersebut seperti protein, energi,
vitamin, mineral dan air. Kekurangan unsur
– unsur tersebut dapat mengakibatkan
gangguan kesehatan dan menurunkan
produktivitasnya. Widyatmoko et al. (2013),
faktor yang mempengaruhi konversi ransum
adalah konsumsi, apabila kandungan serat
kasar yang dikonsumsi cukup tinggi maka
akan mempengaruhi konsumsi protein
mengakibatkan performans turun.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Penggunaan tepung limbah rumput laut
(Gracilaria verrucosa) fermentasi dalam
ransum itik Pengging sampai level 20% tidak
berpengaruh nyata terhadap konsumsi,
pertambahan bobot badan dan konversi
ransum,tetapi berpengaruh nyata
menurunkan produksi telur Itik Pengging
Betina.
Saran
Perlu pengkajian yang lebih mendalam
tentangpenggunaan tepung limbah rumput
laut fermentasi terhadap pertambahan berat
badan , konversi ransum, dan produksi telur
itik pada level dibawah 20%.
DAFTAR PUSTAKA
Amrullah, I. K. 2004. Nutrisi Ayam Petelur.
Cetakan Ke 3. Lembaga Satu
Gunungbudi, Bogor.
Anggadiredja, J. T., M. A. Widodo., A.
Arifah., A. Zatnika., S.
Kusnowirjono., I. Indrayani., D.
Ma’mun., Samila dan S. Hadi.
2011.Kajian strategi
pengembangan industri rumput laut
dan pemanfaatannya secara
berkelanjutan. Seminar Nasional.
Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (BPPT), Asosiasi Petani
dan Pengelola Rumput Laut
Indonesia (ASPPERLI) dan Indonesia
Seaweed Society (ISS).
Arianti dan A. Ali. 2009. Performans itik
pedaging (Lokal x Peking) pada fase
starter yang diberi pakan dengan
persentase penambahan jumlah air
yang berbeda. Fakultas Pertanian dan
Peternakan Universitas Islam Negeri
Sultan Syarif Kasim Riau. J.
Petemakan 6 (2) : 71-77.
Burtin, P. 2003. Nutritional Value of
Seaweeds. Electron. J. Agric. Food.
Chem. 2 (4) : 12 – 24.
El-Deek, A. dan A. Brikaa. 2009. Effect of
different level of seaweed in starter
and finisher diets in pellet and mash
form on performances and carcass
quality of ducks. International
63 Pengaruh Penggunaan Tepung Limbah Rumput Laut (Gracilaria Verrucosa) Fermentasi dalam
Ransum Terhadap Produksi Telur Itik Pedaging
Journal of Poultry Science. 8 (10) :
1014 -1021
Harianto. 1996. Manfaat serat makanan.
Sadar Pangan dan Gizi 5 (2) : 4-5.
Horhoruw, W.M., Wihandoyo., dan T.
Yuwanto. 2009. Pengaruh
pemanfaatan rumput laut G. edulis
dalam pakan terhadap kinerja ayam
fase pullet. Buletin Peternakan. 33
(1) : 8 – 16.
Lisma, P. R. 2009. Pemberian Tepung
Cangkang Telur Ayam Ras dalam
Ransum terhadap Fertilitas, Daya
Tetas dan Mortalitas Burung Puyuh
(Coturnix coturnix japonica). Skripsi.
Departemen Peternakan Fakultas
Pertanian Universitas Sumatera
Utara, Medan.
Rafian, A. 2003. Penampilan ayam broiler
dan komposisi kimia karkas dengan
perlakuan pembatasan konsumsi
energi pada awal fase starter. Skripsi.
Fakultas Peternakan Universitas
Gajah Mada, Yogyakarta.
Rasyaf, M. 1993. Beternak Itik Komersial.
Penerbit Kanisius,
Yogyakarta.Septyana, H. 2008.
Performa itik petelur lokal dengan
pemberian tepung daun katuk
(Sauropus androgynus(l.)merr.)
dalam ransumnya. Skripsi. Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Setiawan, A. S., Mahfudz, L. D., dan
Sumarsono. 2013. Performa dan
status kesehatan pada itik local jantan
akibat penggunaan daun eceng
gondok (Eichornia crassipes)
fermentasi dalam ransum.
Agromedia 31 (2) : 9 –19.
Setioko, A. R., L. H. Prasetyo, B.
Brahmantiyo dan M. Purba. 2002.
Koleksi dan Karakterisasi Sifat - Sifat
Beberapa Jenis Itik. Kumpulan Hasil-
hasil Penelitian APBN Tahun
Anggaran 2001. Balai Penelitian
Ternak Ciawi, Bogor.
Srigandono, B. 1997. Ilmu Unggas Air.
Gadjah Mada Press. Yogyakarta.
Widyatmoko, H., Zuprizal dan Wihandoyo.
2013. Penggunaan corn dried
distillers gains with solubles dalam
ransum terhadap performans puyuh
jantan. Bul. Peternakan. 37(2): 120 –
124.
64 Kecernaan Nutrien Pakan Konvensional yang Disubtitusi dengan Berbagai Level Silase Pakan
Komplit Berbahan Eceng Gondok Secara In Vitro
KECERNAAN NUTRIEN PAKAN KONVENSIONAL YANG DISUBTITUSI
DENGAN BERBAGAI LEVEL SILASE PAKAN KOMPLIT BERBAHAN ECENG
GONDOK SECARA IN VITRO
(In vitro Nutrient Digestibility of Conventional Feed Subtituted With Different Level
Complete Feed Silage Based on Water Hyacinth)
Hida, M. H. A1, Muktiani, A
2. dan Pangestu, E
3
1)
Mahasiswa Fakultas Peternakan Dan Pertanian Universitas Diponegoro
Kampus drh. Soejono Koesoemowardjojo Tembalang Semarang 50275
Email : [email protected]
2,3)
Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro
Kampus drh. Soejono Koesoemowardjojo Tembalang Semarang 50275
Diterima : 10 Oktober 2015 Disetujui : 25 November 2015
ABSTRACT
The study aims to assess the digestibility of dry matter, organic matter, and crude
protein, the conventional ration that subtituted with complete feed silage made from water
hyacinth. Research using a completely randomized design with 5 treatments and 3
replications. The treatments namely, P0 = Conventional feed (80% concentrate + 20%
napier grass), P1 = 75% P0 + 25% complete feed silage, P2 = 50% P0 + 50% complete
feed silage, P3 = 25% P0 + 75% complete feed silage, P4 = 100% complete feed silage. The
study was conducted at the Laboratory of Nutrition and Feed Science, Faculty of Agriculture
Diponegoro University in September 2014 to November 2014. Parameters observed were dry
matter digestibility (IVDMD), organic matter digestibility (IVOMD), and crude protein
digestibility (CPD) with in vitro (Tilley and Terry, 1963 method). The data obtained were
processed statistically using a completely randomized design. The results showed that
treatment with the silages level not significantly different (P <0.05) of dry matter digestibility
(ranging from 64.37 to 65.98%), organic matter digestibility (ranging from 69.42 to 70.64%)
and digestibility of crude protein (ranging from 64.94 to 69.24%). The conclusion of this
study, the replacement of conventional feed, in the form of napier grass and concentrates,
can be replaced by complete feed silage made from water hyacinth.
Keywords: silage,complete feed, water hyacinth, digestibility.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mengkaji kecernaan nutrien (bahan kering, bahan organik, dan
protein kasar) ransum konvensional yang disubtitusi dengan silase pakan komplit berbahan
eceng gondok (SPKEG). Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap dengan 5
perlakuan dan 3 ulangan yaitu P0= Pakan konvensional (80% pakan konsentrat + 20%
rumput), P1= 75% P0 + 25% silase pakan komplit, P2= 50% P0 + 50% silase pakan komplit,
P3= 25% P0 + 75% silase pakan komplit, P4= silase pakan komplit 100%. Penelitian
dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Nutrisi Pakan, Fakultas Peternakan dan Pertanian,
Universitas Diponegoro, Semarang pada bulan September 2014 sampai bulan November
2014. Parameter yang diamati adalah kecernaan bahan kering (KcBK), kecernaan bahan
organik (KcBO), dan kecernaan protein kasar (KcPK) yang dilakukan secara in vitro
65 Kecernaan Nutrien Pakan Konvensional yang Disubtitusi dengan Berbagai Level Silase Pakan
Komplit Berbahan Eceng Gondok Secara In Vitro
menggunakan metode Tilley dan Terry (1963). Data yang diperoleh diolah menggunakan
analisis of varian dengan uji F pada taraf 5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan
pemberian silase dengan taraf berbeda tidak berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kecernaan
bahan kering (berkisar 64,37 – 65,98%) , kecernaan bahan organic (berkisar 69,42 – 70,64%)
dan kecernaan protein kasar (berkisar 64,94 – 69,24%). Simpulan dari penelitian ini adalah
penggantian ransum konvensional berupa rumput dan konsentrat dapat dilakukan dengan
pemberian silase pakan komplit berbahan eceng gondok
Kata Kunci : silase, pakan komplit, eceng gondok, kecernaan.
PENDAHULUAN
Pakan komplit adalah ransum yang
cukup gizi untuk hewan ternak, dibentuk
untuk diberikan sebagai pakan yang mampu
memenuhi kebutuhan hidup pokok tanpa ada
penambahan substansi lain kecuali air
(Hartadi et al., 2005). Pemberin pakan
komplit dalam bentuk total mixed ration
(TMR) pada ternak, akhir-akhir ini menjadi
pilihan peternak di banyak negara, karena
pakan komplit memiliki beberapa
keunggulan antara lain mudah diaplikasikan,
hemat dalam penggunaan tenaga kerja,
praktis dan ekonomis serta harganya relatif
murah (Yuan et al., 2015). Menurut
Mahaputra et al. (2003), Pakan komplit
dapat dibuat dari limbah pertanian seperti
kulit kacang, jerami kedelai, tetes tebu, kulit
kakao, kulit kopi, ampas tebu, bungkil biji
kapuk, dedak padi, onggok kering, dan
bungkil kopra. Bahan pakan tersebut
diformulasikan sedemikian rupa sehingga
semua nutrisi kebutuhan ternak terpenuhi.
Beberapa bahan penyusun pakan komplit
ketersediaannya sering menjadi
permasalahan karena keterbatasan sumber
serat. Sumber serat merupakan salah satu
persyaratan yang mutlak harus dipenuhi
dalam menyusun pakan komplit, oleh karena
itu perlu dicari bahan sumber serat yang
ketersediannya kontinyu, murah dan
ekonomis, serta tidak bersaing dengan
manusia. Salah satu contoh sumber serat
yang dapat digunakan dalam membuat pakan
komplit yaitu eceng gondok.
Eceng gondok (Eichornia crassipes)
termasuk dalam divisio Embryophytasi
phanogama, sub divisio Angiospermae, kelas
Monocotyldone, famili Ponterderaceae, dan
termasuk dalam genus Eichornia. Eceng
gondok memiliki laju pertumbuhan yang
sangat cepat dan sangat mudah beradaptasi
dengan lingkungannya. Villamagna (2009)
menyebutkan bahwa eceng gondok memiliki
laju reproduksi yang cepat. Reproduksinya
secara seksual dan nonseksual, 10-100% biji
akan berkecambah dalam waktu 6 bulan.
Pasaribu dan Sahwalita (2007) melaporkan
bahwa dalam waktu 6 bulan pertumbuhan
eceng gondok pada areal 1 ha dapat
mencapai bobot basah sebesar 125 ton.
Eceng gondok mempunyai potensi
sebagai pakan karena kandungan nutrien
yang baik yaitu abu 24,68%, protein kasar
7,11%, serat kasar 16,9%, lemak kasar
1,31%, BETN 50,0% (Muktiani, 2013).
Kandungan serat kasar yang tinggi pada
eceng gondok menjadikan tanaman ini cocok
dijadikan sebagai sumber serat pengganti
rumput pada ternak ruminansia, khususnya
pada pembuatan pakan komplit. Pembuatan
silase pakan komplit dengan bahan eceng
gondok dan konsentrat merupakan salah satu
bentuk pengawetan pakan. Pengawetan
bahan pakan dengan resiko penurunan
kualitas nutrien yang paling sedikit dapat
dilakukan dengan cara ensilase. Oleh sebab
itu perlu dikaji lebih lanjut pemanfaatan
66 Kecernaan Nutrien Pakan Konvensional yang Disubtitusi dengan Berbagai Level Silase Pakan
Komplit Berbahan Eceng Gondok Secara In Vitro
silase pakan komplit dengan bahan dasar
eceng gondok sebagai pengganti ransum
konvensional.
Penelitian bertujuan mengkaji tingkat
kecernaan bahan kering, kecernaan bahan
organik dan kecernaan protein kasar ransum
konvensional yang disubtitusi dengan silase
pakan komplit berbahan eceng gondok
(SPKEG). Manfaat yang diperoleh dari
penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi yang akurat tentang tingkat
penggunaan eceng gondok dalam ransum
silase pakan komplit berbahan dasar eceng
gondok yang dilakukan secara in vitro,
sebelum diberikan kepada ternak secara
langsung. Hipotesis dari penelitian ini adalah
pemberian berbagai level silase pakan
komplit berbahan dasar eceng gondok
menghasilkan kecernaan bahan kering,
kecernaan bahan organik dan protein kasar
yang tidak berbeda nyata.
MATERI METODE
Penelitian dilaksanakan di Fakultas
Peternakan dan Pertanian Universitas
Diponegoro Semarang pada bulan
September 2014 sampai bulan November
2014.
Materi
Materi yang digunakan adalah sampel
silase pakan komplit eceng gondok, cairan
rumen sapi yang diambil dari Rumah
Pemotongan Hewan Kota Semarang,
akuades, larutan McDougall, larutan pepsin
HCl, CO2, H2SO4, selenium, asam borat,
indikator metil merah, HCl dan NaOH.
Peralatan yang digunakan antara lain tabung
fermentor, tutup tabung fermentor,
inkubator, oven, tanur, eksikator, kertas
saring, termos, termometer, timbangan
analitik, sentrifuge, beker glass, tabung ukur,
erlenmeyer, peralatan titrasi, kompor, tabung
kjedahl, lemari asam, dan peralatan destilasi.
Metode
Tahap Persiapan
Tahap persiapan yang dilakukan adalah
menyiapkan bahan pembuatan silase pakan
komplit berbahan eceng gondok sesuai yang
dilakukan Muktiani et al. (2013). Tahap awal
dalam pembuatan silase pakan komplit yaitu
meniriskan eceng gondok selama 24 jam.
Proses selanjutnya yaitu pencampuran yang
dilakukan dengan cara eceng gondok yang
sudah dicacah ditambah konsentrat dan
molasses, kemudian dicampur hingga
homogen. Eceng gondok yang sudah
dicampur dengan konsentrat kemudian
dimasukkan dalam drum plastik serta
dikemas sedemikian rupa sehingga
kondisinya anaerob. Setiap perlakuan
diulang 3 kali dan diperam selama 14 hari.
Susunan komposisi dan kandungan nutrien
silase pakan komplit seperti tertera pada
Tabel 1.
67 Kecernaan Nutrien Pakan Konvensional yang Disubtitusi dengan Berbagai Level Silase Pakan
Komplit Berbahan Eceng Gondok Secara In Vitro
Tabel 1. Susunan pakan komplit berbahan dasar eceng gondok
Bahan Pakan BK TDN* ABU PK LK SK BETN
---------- % ---------
Kulit kacang tanah 5 1,05 0,50 0,39 0,03 3,51 0,57
Onggok 10 7,83 0,24 0,19 0,89 0,03 8,65
Dedak 24 12,00 4,06 2,01 0,95 6,94 10,05
Bungkil Sawit 10 7,90 0,41 1,68 1,19 2,26 4,46
Kulit Kopi 7 1,48 0,71 0,55 0,04 4,91 0,8
Bungkil Kelapa 23 18,10 1,98 5,64 1,83 4,97 8,57
Bungkil Biji Kapuk 3 2,21 0,23 0,89 0,23 0,90 0,76
Tetes 2 1,41 0,22 0,08 0,01 0,01 1,69
Eceng Gondok 16 9,15 2,72 1,67 0,21 4,60 6,79
Jumlah 100 61,14 11,07 13,08 5,39 22,74 42,34
Formulasi silase pakan komplit eceng gondok (Muktiani et a.l, 2013).
*Hasil perhitungan berdasarkan persamaan Sutardi (2001).
Tahap Pelaksanaan
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu rancangan acak
lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 3
ulangan. Perlakuan yang diterapkan yaitu
P0= pakan konvensional (80% Pakan
konsentrat + 20% rumput, P1= 75% P0 +
25% silase pakan komplit, P2= 50% P0 +
50% silase pakan komplit, P3= 25% P0 +
75% silase pakan komplit, P4= silase pakan
komplit 100%. Kandungan nutrien pakan
perlakuan disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Kandungan nutrien pakan perlakuan
Perlakuan Nutrien
BK PK SK TDN* ABU LK BETN
---------------------------- %-----------------------------
P0 73.24 11,16 23,87 52,54 9,15 5,30 50,52 P1 63.68 11,70 24,09 52,50 9,81 5,35 49,05
P2 54.12 12,24 24,31 52,47 10,48 5,40 47,57
P3 44.56 12,78 24,52 52,43 11,14 5,45 46,11
P4 35.00 13,32 24,74 52,40 11,80 5,51 44,63
*Hasil perhitungan berdasarkan persamaan dari Sutardi, 2001.
Pengukuran KcBK, KcBO, dan KcPK
Waterbath diisi air secukupnya dan
disiapkan dengan temperatur 390C. Sampel
pakan setiap perlakuan ditimbang sebanyak
0,55-0,65 gram kemudian masukkan ke
dalam setiap tabung fermentor dan pada
masing-masing sampel pakan dibuat duplo,
selanjutnya pada masing-masing tabung
fermentor ditambahkan larutan penyangga
(McDougall) sebanyak 40 ml dan cairan
rumen 10 ml, kemudian tabung fermentor
ditutup rapat yang sebelumnya dialiri dengan
CO2 agar tercipta suasana anaerob. Blangko
dibuat tanpa menggunakan sampel. Tabung
tersebut diinkubasi pada suhu 390C dalam
waterbath selama 48 jam, setiap 6 jam sekali
dilakukan penggojokan dan ditambah CO2,
setelah inkubasi selesai, tabung diangkat dari
waterbath. Tabung fermentor dimasukkan
dalam air es agar fermentasi berhenti,
selanjutnya dilakukan sentrifugasi selama 8-
10 menit pada kecepatan 3000 rpm,
68 Kecernaan Nutrien Pakan Konvensional yang Disubtitusi dengan Berbagai Level Silase Pakan
Komplit Berbahan Eceng Gondok Secara In Vitro
kemudian dilakukan pemisahan larutan
supernatan dan residu. Supernatan dibuang,
selanjutnya ditambahkan 50 ml larutan
pepsin HCl, kemudian diinkubasi lagi dalam
waterbath bersuhu 390C selama 48 jam.
Fermentasi diberhentikan setelah 48 jam dan
kemudian tabung fermentor didinginkan,
residu disaring dengan kertas saring
Wathman 41 yang sudah diketahui bobotnya.
Residu ditimbang dengan kertas saring
tersebut dan residu dimasukkan dalam cawan
porselen dan dioven pada suhu 105-1100C
selama 12 jam. Dinginkan sampel dalam
eksikator selama 15 menit, kemudian
ditimbang hingga memperoleh bobot bahan
kering (BK) residu. Bahan dalam cawan
porselen kemudian diabukan pada tanur
listrik selama 6 jam dengan suhu 6000C,
setelah dingin bahan dimasukkan dalam
eksikator selama 15 menit dan ditimbang.
Pengukuran kecernaan in vitro dilakukan
dengan menggunakan metode Tilley dan
Terry (1963), dilakukan dengan dua tahan
yaitu uji tahap fermentasi dan tahap
pencernaan enzimatis. Bobot bahan organik
residu dapat diperoleh dengan
mengurangkan bobot BK residu dengan abu.
Bobot protein residu diperoleh dari hasil
perkalian dari bobot BK residu dan kadar
protein residu. Kadar protein residu
diperoleh setelah dilakukan destruksi,
destilasi, dan titrasi terhadap hasil residu in
vitro. Menurut metode Tilley dan Terry
(1963), kecernaan bahan kering (KcBK),
kecernaan bahan organik (KcBO) dan
kecernaan protein kasar (KcPK) dapat
diperoleh dengan rumus :
Analisis Data
Data hasil penelitian dilakukan dengan
uji F berdasarkan prosedur sidik ragam dan
apabila terdapat pengaruh perlakuan yang
nyata (p < 0,05) dilanjutkan dengan uji
wilayah ganda Duncan pada taraf 5%
(Siregar, 1994).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kecernaan Bahan Kering, Bahan Organik
dan Protein Kasar
Hasil penelitian terhadap KcBK,
KcBO, KcPK silase pakan komplit berbahan
dasar eceng gondok secara in vitro diperoleh
rata-rata KcBK, KcBO, KcPK seperti yang
disajikan pada Tabel 3
KcBK (%) = X 100%
KcBO (%) = X 100%
KcPK (%) = X 100%
69 Kecernaan Nutrien Pakan Konvensional yang Disubtitusi dengan Berbagai Level Silase Pakan
Komplit Berbahan Eceng Gondok Secara In Vitro
Tabel 3. Kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik dan kecernaan protein kasar
secara in vitro
Perlakuan Parameter
KcBK KcBO KcPK
--------------%------------
P0 65,02 69,42 69,24
P1 64,94 69,60 68,20
P2 64,37 70,64 64,94
P3 65,98 69,65 66,19
P4 64,74 69,48 65,36
Hasil analisis ragam menunjukkan
bahwa silase pakan komplit berbahan dasar
eceng gondok tidak berpengaruh nyata
terhadap nilai KcBK (P<0,05). Kecernaan
bahan kering yang diperoleh dari penelitian
ini cukup tinggi yaitu berkisar antara 64,37 -
65,98%. Hasil kajian ini sejalan dengan hasil
kajian Yuan et al. (2015), yang menunjukkan
tidak adanya perbedaan yang signifikan antar
kecernaan in vitro silase TMR yang
mendapat aditif molasses (69,2%) maupun L.
plantarum (64,9%) dengan tanpa aditif/
control (67,3%).
Bedasarkan hasil penelitian yang
didapat, kecernaan bahan kering relatif sama
pada masing-masing perlakuan. Hal ini
diduga disebabkan oleh kandungan SK
pakan perlakuan yang relatif sama.
Kandungan SK pada pakan perlakuan P0,
P1, P2, P3, dan P4 yaitu 23,87; 24,09; 24,31;
24,52; dan 24,74%. Serat kasar merupakan
komponen BO yang sulit tercerna dalam
rumen. Kandungan SK yang tinggi,
umumnya diikuti meningkatnya jumlah
lignin yang mengikat selulosa dan
hemiselulosa sehingga menyebabkan
semakin turunnya nilai kecernaan (Tillman et
al., 1998). Nilai ini sebanding dengan hasil
penelitian Fariani (2013), dengan SK pakan
perlakuan sebesar 34,03% menghasilkan
kecernaan bahan kering dengan rata-rata
55%. Semakin tinggi nilai serat kasar maka
nilai kecernaan akan semakin rendah. Hal ini
sesuai dengan pendapat Putri (2013) yang
menyatakan bahwa kandungan serat kasar
merupakan salah satu faktor yang
menurunkan kecernaan nutrien. Jumlah serat
kasar tinggi dalam pakan akan menyebabkan
tebal dinding sel meningkat dan akibatnya
daya cerna dari pakan semakin rendah.
Hasil analisis ragam menunjukkan
bahwa silase pakan komplit berbahan dasar
eceng gondok tidak berpengaruh nyata
terhadap nilai KcBO (P<0,05). Kecernaan
bahan organik yang diperoleh dari penelitian
ini cukup tinggi yaitu berkisar antara 69,42 –
70,64%. Kecernaan bahan organik pakan
relatif sama diduga disebabkan oleh
kandungan BO pakan yang juga relatif sama.
Bahan organik dalam suatu pakan komplit
yang mudah tercerna adalah BO yang mudah
larut, baik yang berasal dari protein,
karbohidrat dan lemak (Tillman et al. (1998).
McDonald et al. (2002) menyatakan, faktor-
faktor yang mempengaruhi kecernaan yaitu
komposisi bahan, pakan, perbandingan
bahan pakan satu dengan yang lainnya,
pakan perlakuan, suplementasi enzim dalam
pakan, ternak dan taraf pemberian pakan.
Kecernaan bahan organik yang
diperoleh dari penelitian ini berkisar antara
69,42 – 70,64%. Nilai KcBO ini lebih tinggi
dibandingkan hasil penelitian Achbar (2007)
yang menggunakan silase berbahan dasar
limbah sayur pasar dan menghasilkan KcBO
60,26 – 65,55%.
70 Kecernaan Nutrien Pakan Konvensional yang Disubtitusi dengan Berbagai Level Silase Pakan
Komplit Berbahan Eceng Gondok Secara In Vitro
Faktor lain yang diduga menjadi
penyebab kecernaan bahan organik relatif
sama yaitu kandungan Total Digestible
Nutrients (TDN) pakan perlakuan yang
relatif sama. Pakan komplit disusun dengan
kandungan TDN yang tidak berbeda jauh,
sehingga TDN yang digunakan juga relatif
sama. Kandungan TDN yang dihitung
menggunakan perhitungan Sutardi (2001)
pada pakan perlakuan P0, P1, P2, P3, dan P4
yaitu 52,54; 52,50; 52,47; 52,43; dan 52,40.
Total Digestible Nutrients (TDN) merupakan
jumlah BO pada bahan pakan yang dapat
dimanfaatkan sebagai sumber energi, baik
energi untuk mikrobia rumen dan tubuh
ternak dalam bentuk ATP (Tillman et al.,
1998).
Hasil analisis ragam menunjukkan
bahwa silase pakan komplit berbahan dasar
eceng gondok tidak berpengaruh nyata
terhadap nilai KcPK (P<0,05). Kecernaan
protein kasar yang diperoleh dari penelitian
ini berkisar antara 64,94 – 69,24 %.
Kecernaan bahan kering yang relatif sama
diduga dipengaruhi oleh kandungan PK
pakan perlakuan yang relatif sama.
Kandungan PK pada pakan perlakuan P0,
P1, P2, P3, dan P4 berturut turut yaitu 11,16;
11,70; 12,24; 12,78; 13,32. Protein kasar
dalam rumen mempunyai peranan penting,
karena di dalam rumen PK akan dihidrolisis
peptida oleh enzim proteolisis yang
dihasilkan mikrobia. Peptida tersebut
mengalami degradasi lebih lanjut menjadi
asam-asam amino, asam-asam amino
kemudian akan dideaminasi menjadi amonia
untuk menyusun protein mikrobia
(Tomankova et al., 2002).
Kecernaan protein kasar yang
diperoleh dari penelitian ini berkisar antara
64,94 – 69,24%. Nilai kecernaan protein
hasil penelitian ini termasuk pada kategori
sedang. Fatimah (2007) menyatakan nilai
kecernaan pada kisaran 50-60% adalah
rendah, antara 60-70% adalah sedang, dan
diatas 70% berkualitas tinggi. Nilai KcPK ini
lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian
Andayani (2010) yang menghasilkan KcPK
53,69 – 57,65%.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa perlakuan pemberian
silase pakan komplit berbahan eceng gondok
dapat diberikan pada ternak tanpa
berpengaruh pada kecernaan nutrien.
Saran
Perlu kajian yang lebih mendalam
tentang pemberian silase pakan komplit
berbahan eceng gondok pada berbagai ternak
tanpa berpengaruh pada kecernaan nutrien.
DAFTAR PUSTAKA
Achbar, M. 2007. Kecernaan bahan kering
dan bahan organik limbah sayur pasar
secara in vitro dengan starter dan
lama pemeraman berbeda. Fakultas
Peternakan Universitas Diponegoro,
Semarang. Agripet : 7 (1) : 67-74
Andayani, J. 2010. Evaluasi kecernaan in
vitro bahan kering, bahan organik dan
protein kasar penggunaan kulit buah
jagung amoniasi dalam ransum ternak
sapi. Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu
Peternakan. Jambi. 9 (2) : 88-92
Fariani, A., A. Abrar dan G. Muslim. 2013.
Kecernaan silase pelepah sawit dalam
complete feed block (CFB) untuk
sapi potong. Jurnal Lahan
Suboptimal 2 (2) : 129-136.
71 Kecernaan Nutrien Pakan Konvensional yang Disubtitusi dengan Berbagai Level Silase Pakan
Komplit Berbahan Eceng Gondok Secara In Vitro
Fatimah. 2007. Uji complete feed ditinjau
dari produksi nh3, nilai protein total
dan kecernaan protein secara in vitro.
Fakultas Peternakan. Universitas
Diponegoro, Semarang. Buletin
Peternakan 33 (2) : 81-87.
Hartadi, H., S. Reksohadiprodjo. Dan A.D.
Tillman. 2005. Tabel Komposisi
Pakan untuk Indonesia. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Jennings, John. 2006. Principle of Silage
Making. Division of Agriculture.
University of Arkansas. USA
Kuswandi. 2011. Teknologi pemanfaatan
pakan lokal untuk menunjang
peningkatan produksi ternak
ruminansia. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan. Bogor. 4
(3) : 189-204
Mahaputra, S., P. Kurniadhi, Rokhman dan
Kadiran. 2003. Analisis biaya
pemeliharaan domba dengan
complete feed. Buletin Teknik
Pertanian. Jakarta. 8 (2) : 22-28
McDonald, P., R. Edwards, J. Greenhalgh,
and C. Morgan. 2002. Animal
Nutrition. 6th Ed. Longman Scientific
& Technical, New York.
Muktiani, A. Kualitas eceng gondok
(Eichornia crassipes) sebagai pakan
di beberapa perairan di Jawa Tengah.
Prosiding Seminar Nasional. 12
November 2013. 8 (2) : 65-72
Muktiani, A., K.G. Wiryawan, B. Utomo, E.
Pangestu. 2013. Pemanfaatan eceng
gondok dalam pembuatan silase
complete feed dan suplementasi seng
organik untuk meningkatkan
produkstivitas peternakan rakyat.
Laporan Penelitian KKP3N Lembaga
Penelitian dan Pengabdian pada
Masyarakat Universitas Diponegoro,
Semarang.
Pasaribu, G dan Sahwalita. 2007.
Pengolahan eceng gondok sebagai
bahan baku kertas seni. Prosiding
Ekspose Hasil-hasil Penelitian :
Konservasi dan Rehabilitasi
Sumberdaya Hutan. Padang, 20
September 2006. 7 (2) 131-134
Putri, L. D. N. A. 2013. Pengaruh imbangan
protein dan energi pakan terhadap
produk fermentasi di dalam rumen
dan protein mikroba rumen pada sapi
madura jantan. Fakultas Peternakan
dan Pertanian. Universitas
Diponegoro, Semarang. J. Agripet 11
(2) : 35-40.
Siregar, S. 1994. Ransum Ternak
Ruminansia. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Sutardi, T. 2001. Revitalisasi peternakan sapi
perah melalui penggunaan ransum
berbasis limbah perkebunan dan
suplementasi mineral organic.
Laporan akhir RUT VIII 1. Kantor
mentri Negara riset dan tekhnologi
dan LIPI.
Tilley, J. M. A. And R. A. Terry 1963. Two-
stage Technique for The In Vitro
Digestion of Forage Crops. J. British
Grassland Soc.,18:104.
Tillman, A. D., H. Hartadi, S.
Reksohadiprojo, S. Prawirokusumo
dan S. Lebdosukojo. 1998. Ilmu
Makanan Ternak Dasar. Cetakan ke-
6, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Tománková O., Homolka P. 2002. Intestinal
digestibility of protein in concentrates
determined by combined enzymatic
72 Kecernaan Nutrien Pakan Konvensional yang Disubtitusi dengan Berbagai Level Silase Pakan
Komplit Berbahan Eceng Gondok Secara In Vitro
method. Czech. J. Anim. Sci., 47 : 15–
20.
Villamagna, A.M. 2009. Ecological effecy of
water hyacinth (Eichhornia crassipes)
on Lake Chapala, Mexico.
Dissertation. Faculty of the Virginia
Polytechnic Institute and State
University, Virginia
Yuan, X., G. Guo, A. Wen, Seare T. Desta, J.
Wang, Y., Wang, T. Shao. 2015. The
effect of different additives on the
fermentation quality, in vitro
digestibility and aerobic stability of a
total mixed ration silage. Animal
Feed Science and Technology. 207:
41-50.
73 Respon Peternak Terhadap Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Cacing Gilig Pada Ternak
Kambing di Desa Tracap Kecamatan Kaliwiro Kabupaten Wonosobo
RESPON PETERNAK TERHADAP PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN
PENYAKIT CACING GILIG PADA TERNAK KAMBING DI DESA TRACAP
KECAMATAN KALIWIRO KABUPATEN WONOSOBO
(Farmers Response To Prevention And Medication Goat Nematode Worm Disease At Tracap
Village Kaliwiro District Wonosobo Sub-Province.)
Widiarso, B.P.1, Sunarsih
2 dan Meniati
3
1,2)Staf Pengajar Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Magelang
Jl. Magelang-Kopeng Km 7 Tegalrejo Magelang PO BOX 101
E-mail : [email protected]
3)
Fungsional Penyuluhan Pertanian di Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah
Diterima : 15 Desember 2014 Disetujui : 25 September 2015
ABSTRACT
This research was conducted to know farmers respon to prevention and medication
goat nematode worm disease and know factor - factor influencing farmer respon to
prevention and medication of nematode worm disease . Appliance and used materials that is
stationery, questioner,, folder, worm drug and vitamin tablet of B complek.Responder amount
to 30 people. The data taking away from pre test and post test by interview to hit home
prevention and medication goat nemode worm disease by using questioner .Based from
couple linear as follows : Y = 28.946 + 5.084X1 - 0,215X2 + 0,171X3+ 0,548X4 + e
From model of regresi above earning and interpreting that each;every make-up of
value of X1 ( pendidikan) equal to 1 % will add respon equal to 5.084, each;every make-up of
value of X2 ( umur) equal to 1 % will lessen respon equal to 0,215, each;every make-up of
value of X3 ( experience of beternak) equal to 1 % will add value of respon equal to 0,171,
and each;every make-up of value of X4 ( amount of the ownership of livestock) equal to 1 %
will add value of 0,548
The result of statistical test as a whole showed that education factor, age, experience of
amount and ownership of livestock collectively/together was] same to have an effect on very
signifikan to farmers respon to prevention and medication of goat nematode worm disease of
that is from low respon become high respon Education represent .
This study was concluded that happened the make-up of knowledge aspect equal to
14,87 with EP 82,6 % and EPP 77,36 , attitude aspect equal to 10,47 with EP 90,88 % and
EPP 82,12 % and also skill aspect equal to 5,1 with EP 86,6 % and EPP 79,19 % and make-
up of value of respon of knowledge aspect, attitude, and skill equal to 30,39 % that is from
low respon become high respon to prevention and medication of goat nematode worm
disease.
Keywords: nematode worm,goat, response
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui respon peternak terhadap pencegahan dan
pengobatan penyakit cacing gilig pada ternak kambing dan mengetahui faktor – faktor yang
mempengaruhi respon peternak terhadap pencegahan dan pengobatan penyakit cacing gilig.
74 Respon Peternak Terhadap Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Cacing Gilig Pada Ternak
Kambing di Desa Tracap Kecamatan Kaliwiro Kabupaten Wonosobo
Alat dan bahan yang digunakan yaitu alat tulis, kuisioner, folder, EK, obat cacing dan tablet
vitamin B komplek.
Responden berjumlah 30 orang. Data di ambil dari pra test dan post test dengan cara
melakukan wawancara langsung mengenai pencegahan dan pengobatan penyakit cacing gilig
dengan alat bantu kuisioner. Berdasarkan analisis regresi didapatkan persamaan linear
berganda sebagai berikut : Y = 28.946 + 5.084X1 – 0,215X2 + 0,171X3+ 0,548X4 + e
Dari model regresi diatas dapat di artikan bahwa setiap peningkatan nilai X1
(pendidikan) sebesar 1% akan menambah respon sebesar 5.084, setiap peningkatan nilai X2
(umur) sebesar 1% akan mengurangi respon sebesar 0,215, setiap peningkatan nilai X3
(pengalaman beternak) sebesar 1% akan menambah nilai respon sebesar 0,171, dan setiap
peningkatan nilai X4 (jumlah kepemilikan ternak) sebesar 1% akan menambah nilai respon
sebesar 0,548.
Hasil uji statistik secara keseluruhan menunjukan bahwa faktor pendidikan, umur,
pengalaman beternak dan jumlah kepemilikan ternak secara bersama – sama berpengaruh
sangat nyata atau sangat signifikan terhadap respon peternak terhadap pencegahan dan
pengobatan penyakit cacing gilig pada ternak kambing.
Kajian ini disimpulkan bahwa terjadi peningkatan aspek pengetahuan sebesar 14,87
dengan EP 82,6% dan EPP 77,36% , aspek sikap sebesar 10,47 dengan EP 90,88% dan EPP
82,12% serta aspek keterampilan sebesar 5,1 dengan EP 86,6% dan EPP 79,19% dan
peningkatan nilai respon dari aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan sebesar 30,39%
yaitu dari respon rendah menjadi respon tinggi terhadap pencegahan dan pengobatan penyakit
cacing gilig pada ternak kambing. Pendidikan merupakan faktor yang paling berpengaruh
sangat signifikan 0,001 α (P ≤ 0,01) terhadap tingkat respon peternak (5,084).
Kata Kunci : Penyakit, cacing gilig, ternak kambing
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebijakan pembangunan pertanian,
khususnya pada sektor peternakan, diarahkan
untuk meningkatkan pendapatan dan taraf
hidup petani melalui produksi peternakan
baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
Usaha peternakan di Indonesia sampai
saat ini masih menghadapi kendala yang
mengakibatkan produktifitas ternak masih
rendah. Hal ini disebabkan oleh berbagai
jenis penyakit sering berjangkit di Indonesia
baik menular maupun tidak menular,
penyakit yang biasanya bisa menimbulkan
kerugian peternak.
Peningkatkan produktifitas ternak
khususnya kambing, maka kesehatan hewan
perlu mendapat perhatian, ternak yang sehat
dapat berkembangbiak dengan baik dan
produktifitasnya meningkat. Penyakit sangat
mempengaruhi pertumbuhan ternak, oleh
karena itu kita harus melakukan pencegahan
dan pengobatan terhadap ternak agar ternak
yang di pelihara dapat tumbuh sehat dan
berkembang tanpa ada penyakit yang di
derita oleh ternak. Seperti penyakit yang di
sebabkan oleh parasit ( penyakit cacing gilig
). Penyakit yang ini banyak terjangkit pada
ternak ruminansia yang mengakibatkan
pertumbuhan ternak lambat dan produktifitas
menurun.(Subekti et al, 1996)
Komoditas peternakan kambing
memiliki peluang untuk di kembangkan.
Kambing adalah salah satu ternak popular
yang banyak dipelihara di kalangan peternak
di pedesaan. Ternak kambing
pemeliharaannya mudah, cepat
berkembangbiak, modal yang di perlukan
relatif kecil di banding dengan ternak sapi
dan kerbau, bisa dipelihara di lahan sempit
75 Respon Peternak Terhadap Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Cacing Gilig Pada Ternak
Kambing di Desa Tracap Kecamatan Kaliwiro Kabupaten Wonosobo
dan fecesnya bisa di manfaatkan sebagai
pupuk organik untuk tanaman. Dilihat dari
potensinya maka ternak kambing dengan
pemeliharaan dan perawatan yang baik akan
di peroleh hasil yang baik pula.
Keberhasilan dalam beternak kambing
selain faktor bibit, tatalaksana pemeliharaan,
perkandangan dan pakan, kesehatan ternak
juga harus di perhatikan. Pemeliharaan
ternak kambing oleh peternakdi desa Tracap
Kecamatan Kaliwiro Kabupaten Wonosobo,
ditinjau dari kesehatan ternaknya masih
kurang terutama dalam pencegahan dan
pengobatan Penyakit cacing gilig. Ternak –
ternak yang mereka pelihara pada umumnya
kurus dan bulunya kusam walaupun cukup
pakan.
Di desa Tracap Kecamatan Kaliwiro
terdapat 4 (empat) dusun yaitu Dusun
Wonoruto, Dusun Tracap, Dusun Jojogan,
dan Dusun Cikalan. Masing – masing dusun
terdapat kelompok tani diantaranya adalah
kelompok tani Wonomaju, Kartika tani,
Tunas mukti, Harapan, Cikalsari dan Sari
mulyo. Jumlah populasi ternak yang ada di
Desa Tracap Kecamatan Kaliwiro,sapi perah
sekitar 48 ekor, kambing 1312 ekor, dan
domba 286 ekor.
Hasil identifikasi di Desa Tracap
Kecamatan Kaliwiro terhadap ternak –
ternak yang menunjukan tanda – tanda
terserang Penyakit cacing gilig sehingga
ternak kambing yang di pelihara belum dapat
memenuhi harapan peternak yaitu
perkembangan tubuh yang maksimal sehinga
memiliki nilai jual yang tinggi.
Rumusan Masalah
Berdasarkan hasil identifikasi di Desa
Tracap Kecamatan Kaliwiro Kabupaten
Wonosobo terhadap beberapa permasalahan
yaitu :
1. Belum diketahui respon peternak
terhadap pencegahan dan pengobatan
Penyakit cacing gilig pada ternak
kambing di Desa Tracap Kecamatan
Kaliwiro Kabupaten Wonosobo.
2. Belum diketahui faktor – faktor yang
mempengaruhi respon peternak
terhadap pencegahan dan pengobatan
penyakit cacing pada ternak kambing.
Tujuan Penelitian
Dilihat dari permasalahan tersebut di
atas maka tujuan yang ingin di capai adalah
sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui respon peternak
terhadap pencegahan dan pengobatan
penyakit cacing gilig tehadap ternak
kambing
2. Untuk mengetahui faktor – faktor yang
mempengaruhi respon peternak
terhadap pencegahan dan pengobatan
Penyakit cacing gilig pada ternak
kambing.
MATERI DAN METODE
Materi
Materi penelitian ini meliputi alat dan
bahan.Bahan yang digunakan adalah obat
cacing monil, buah pinang, antibiotik dan
tablet vitamin B kompleks. Alat yang
digunakan dalam peneltian adalah alat tulis,
kuesioner, folder dan Elemen keterampilan
(EK)
Metode
1. Metode Pengambilan Sampel
Metode pengambilan sampel
responden menggunakan metode purposive
Random sampling, dimana dari 6 (enam)
kelompok tani yang ada di desa Tracap
76 Respon Peternak Terhadap Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Cacing Gilig Pada Ternak
Kambing di Desa Tracap Kecamatan Kaliwiro Kabupaten Wonosobo
Kecamatan Kaliwiro dipilih peternak yang
mempunyai ternak kambing minimal 2 ekor,
Untuk setiap kelompok dipilih secara
random 5 (lima) orang peternak sehingga di
peroleh 30 responden. Jumlah ini dipilih agar
dapat memenuhi syarat perhitungan statistik
yang baik dengan penyebaran skor yang
mendekati kurva normal. (Rahmawati,
2008).
2. Metode Pengambilan Data
Metode pengambilan data dalam penelitian
dilakukan dengan :
observasi dan wawancara
Jenis data yang digunakan dalam penelitian
adalah :
a. Data primer
Yaitu data yang diperoleh secara
langsung dari peternak melalui
hasil wawancara dengan
menggunakan daftar pertanyaan
yang telah disiapkan terlebih
dahulu serta data hasil observasi.
Data primer dalam penelitian ini
meliputi data umur peternak
responden, tingkat pendidikan
responden, pengalaman beternak
dan jumlah ternak yang di miliki.
b. Data sekunder
Yaitu data yang diperoleh dari
sumber yang berkaitan dengan
masalah yang diteliti yaitu instansi
yang terkait dengan penelitian ini.
Data sekunder dalam penelitian ini
adalah data keadaan penduduk
Desa Tracap Kecamatan Kaliwiro
Kabupaten Wonosobo.
3. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian dilakukan dalam
rangka pengukuran respon maupun faktor-
faktor yang mempengaruhi terhadap
pencegahan dan pengobatan penyakit cacing
gilig pada ternak kambing di Desa Tracap
Kecamatan Kaliwiro Kabupaten Wonosobo.
Responden berjumlah 30 orang diambil data
awal (pra test) dan pos test dengan cara
melakukan wawancara langsung mengenai
pencegahan dan pengobatan Penyakit cacing
gilig menggunakan alat bantu kuesioner yang
mana tingkatan atau jenjang setiap gejala di
ukur dengan menggunakan skala likert yaitu
Respon tinggi (5), Respon sedang (3) Respon
rendah (1), dimana daftar pertanyaan
merupakan alternatif pengungkapan
permasalahan yang di dasarkan pada variabel
yang diamati yaitu perubahan prilaku yang
terdiri dari tiga aspek, yaitu aspek
pengetahuan, sikap dan keterampilan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi respon
dapat di uji menggunakan regresi linier
berganda.
4. Variabel Penelitian
Variabel penelitian yang ingin
diketahui adalah Pengetahuan, Sikap,
Keterampilan (PSK) peternak terhadap
pencegahan dan pengobatan penyakit cacing
gilig pada ternak kambing. Untuk mengukur
respon peternak terhadap pencegahan dan
pengobatan penyakit cacing gilig pada ternak
kambing dengan menggunakan kuesioner
PSK tersebut.
Analisis Data
Analisis yang digunakan adalah
analisis Deskriftif Comperatif yaitu
membandingkan perubahan pengetahuan
sebelum penyuluhan dan sesudah
penyuluhan dengan rancangan pra
eksperimental menggunakan two group Pra
Test and Post Test Designs (Mardikanto,
2009). Dalam rancangan ini, pengamatan
atau pengukuran di lakukan sebelum dan
sesudah variabel bebas atau perlakuan di
kenakan pada satu kelompok subjek yang di
teliti (O1 T O2) dengan penjelasan sebagai
berikut :
O1 : Pra test, untuk mengukur
pengetahuan, sikap dan
77 Respon Peternak Terhadap Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Cacing Gilig Pada Ternak
Kambing di Desa Tracap Kecamatan Kaliwiro Kabupaten Wonosobo
keterampilan sebelum kegiatan
penyuluhan
T : Treatment, kegiatan penyuluhan
O2 : Post test, untuk mengukur
pengetahuan, sikap dan keterampilan
setelah diadakan kategori
penyuluhan.
Berdasarkan hasil pra test dan post test
di tentukan kategori penilaian dengan
menggunakan skala likert yaitu jumlah skor
maksimal dari setiap pertanyaan variabel
ukur dikurangi jumlah skor minimal,
kemudian selisihnya dibagi tiga. Dengan
jumlah pertanyaan ada lima, adapun kategori
dan skala yang digunakan sebagai berikut :
1. Untuk mengukur aspek pengetahuan nilai minimal (1) dan maksimal (5)
Tahu (5)
Kurang tahu (3)
Tidak tahu (1)
5---------------------------11,6------------------------18,2------------------25
Tidak tahu Kurang tahu Tahu
2. Untuk mengukur aspek sikap nilai minimal (1) dan nilai maksimal (5)
Setuju (5)
Ragu – ragu (3)
Kurang setuju (1)
5---------------------------11,6------------------------18,2------------------25
Kurang setuju Ragu – ragu Setuju
3. Untuk mengukur aspek keterampilan nilai minimal (1) dan maksimal (5)
Terampil (5)
Kurang terampil (3)
Tidak terampil (1)
2---------------------------4,66------------------------7,32----------------------10
Tidak terampil Kurang terampil Terampil
Respon adalah tanggapan atau reaksi
mereka terhadap adanya tekhnologi / inovasi
baru yang berupa pengetahuan (kognitif),
sikap (afektif) dan keterampilan
(psikomotorik). Respon diukur dari jumlah
skor ketiga aspek pengetahuan, sikap dan
keterampilan, skala kategori yang diukur
adalah sebagai berikut :
Skor 12 – 28 = Rendah
Skor 29 – 44 = Sedang
Skor 46 – 60 = Tinggi
Skor 12 merupakan jumlah nilai
terendah dari seluruh pertanyaan, skor 60
merupakan jumlah nilai tertinggi dari seluruh
pertanyaan pada aspek pengetahuan sikap
dan keterampilan. Untuk mendapatkan skala
12 dan 28 caranya skor tertinggi dikurang
skor terendah dibagi tiga (60 – 12) : 3),
hasilnya dijadikan skala.
12 _______________ 28 _______________ 44 _______________ 60
Rendah Sedang Tinggi
Hasil dari rekapitulasi pra test aspek
pengetahuan, sikap dan keterampilan
sebelum dilakukan penyuluhan hasilnya
dijumlahkan, kemudian hasil dari
rekapitulasi post test aspek pengetahuan,
sikap dan keterampilan setelah dilakukan
78 Respon Peternak Terhadap Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Cacing Gilig Pada Ternak
Kambing di Desa Tracap Kecamatan Kaliwiro Kabupaten Wonosobo
penyuluhan juga dijumlahkan kemudian
diambil nilai rata-rata. Selisih dari kenakian
post test dikurang pra test dijadikan nilai
respon.
Analisis regresi, merupakan analisis
yang digunakan untuk menguji kesignifikan
pengaruh (keseluruhan atau masing-masing)
variabel-variabel bebas terhadap satu
variabel terikat, yang ditunjukan pada
koefisien regresinya.Maka untuk mengetahui
faktor – faktor yang mempengaruhi respon
digunakan analisis regresi linier berganda.
Dalam penelitian analisis regresi linier
berganda dapat digunakan dalam bentuk
yang model matematisnya Y = a + b1X1 +
b2X2 + b3X3 + b4X4 + e (Mardikanto, 2006)
Y = Tingkat respon peternak
(tinggi/sedang/rendah)
X1 = Variabel lama pendidikan (1,2,3)
X2 = Varabel umur peternak (thn)
X3 = Variabel pengalaman beternak (thn)
X4 = Variabel jumlah kepemilikan ternak
(ekor)
a = Konstanta
b1 = Koefisiensi regresi parsial yang
menghubungkan tingkat pendidikan
peternak terhadap respon
pencegahan dan pengobatan
penyakit cacing gilig pada ternak
kambing.
b2 = Koefisiensi regresi parsial yang
menghubungkan umur peternak
terhadap respon pencegahan dan
pengobatan penyakit cacing gilig
pada ternak kambing.
b3 = Koefisiensi regresi parsial yang
menghubungkan pengalaman
beternak terhadap respon
pencegahan dan pengobatan
penyakit cacing gilig pada ternak
kambing.
b4 = Koefisiensi regresi parsial yang
menghubungkan jumlah
kepemilikanternak terhadap respon
pencegahan dan pengobatan
penyakit cacing gilig pada ternak
kambing.
e = Faktor-faktor diluar persamaan.
Efektifitas penyuluhan (EP) dan
Efektifitas perubahan Perilaku (EPP)
dihitung untuk mengetahui hasil kegiatan
penyuluhan dengan rumus :
Skor Post Test
EP = _______________________ X 100 %
Nilai Maksimum
Skor Post Test – Skor Pra Test
EPP = ________________________ X 100%
Skor Maksimum – Skor Pra test
0_______________33,3%_____________66,6%_____________100%
Kurang efektif Cukup efektif Efektif
Adapun kriteria yang digunakan dalam skala sabagai berikut :
a. Skor 0 – 33,33% : Kurang efektif
b. Skor 33,34% – 66,66% : Cukup efektif
c. Skor 66,67% - 100% : Efektif
(Ginting, 1994).
79 Respon Peternak Terhadap Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Cacing Gilig Pada Ternak
Kambing di Desa Tracap Kecamatan Kaliwiro Kabupaten Wonosobo
HASIL DAN PEMBAHASAN
Respon Responden
Hasil respon peternak terhadap
pencegahan dan pengobatan penyakit cacing
gilig pada ternak kambing setelah dilakukan
penyuluhan mendapatkan hasil sebagai
berikut :
1. Tingkat Respon Responden Pada
Aspek Pengetahuan
Nilai aspek pengetahuan sebelum dan
sesudah dilakukan penyuluhan dapat dilihat
pada tabel 1 berikut ini :
Tabel 1. Nilai aspek pengetahuan
No Pertanyaan Pra test Post test Peningkatan
1 Pengertian penyakit cacing gilig 1,46 4,93 3,47
2 Tanda – tanda penyakit cacing gilig 1,26 4,46 3,2
3 Cara pencegahan penyakit cacing gilig 1 4,06 3,06
4 Cara memberikan obat cacing pada ternak kambing
1 3,6 2,6
5 Cara mengobati penyakit cacing gilig
dengan menggunakan obat tradisional
(serbuk buah pinang)
1,06 3,6 2,54
Jumlah 5,78 20,65 14,87
Rata –rata 1,156 4,13 2,974
Sumber Data Primer Terolah 2012
O1 (5,78) O2 (20,65)
5--x------------------11,6----------------------18,2-----x-------------------25
Tidak tahu Kurang tahu Tahu
O1 = Pra test (5,78)
O2 = Post test (20,65)
Perhitungan EP dan EPP pada aspek pengetahuan
EP = Skor Post Test__ X 100 %
Nilai Maksimum
= 20,65 X 100 %
25
= 82,,6 %
EPP = Skor Post Test - Skor Pra test__ X 100 %
Skor Maksimum – Skor Pra test
EPP = 20,65 – 5,78 X 100 %
25 – 5,78
= 77,36 %
EPP EP
0-----------------------33,3%----------------------66,6%--------xa----------xb-------100
Kurang efektif Cukup efektif Efektif
Keterangan : xa = EPP 77,36 % ( Efektif )
xb = EP 82,6 % ( Efektif )
80 Respon Peternak Terhadap Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Cacing Gilig Pada Ternak
Kambing di Desa Tracap Kecamatan Kaliwiro Kabupaten Wonosobo
Berdasarkan tabel 1 diatas dapat
diketahui pada aspek pengetahuan saat
dilakukan pra test memiliki nilai sebesar
5,78 (tidak tahu), setelah dilakukan treatmen
pada nilai post test menjadi 20,65 (tahu).
Dengan demikian terjadi peningkatan
sebesar 14,87 atau dari tidak tahu menjadi
tahu, hal ini di sebabkan oleh tingkat
pendidikan peternak dimana semua
responden rata-rata sudah mengenyam
bangku sekolah sehingga memungkinkan
mereka untuk dapat menyerap ilmu
pengetahuan dengan baik. Hal ini sesuai
pendapat Mardikanto (2006) bahwa tingkat
pendidikan yang dimiliki seseorang akan
berpengaruh terhadap kapasitas/kemampuan
belajar yang memerlukan tingkat
pengetahuan tertentu untuk dapat memahami
suatu teknologi/inovasi.
Peningkatan aspek pengetahuan
peternak tersebut juga disebabkan oleh
kesesuaian materi penyuluhan yang
diberikan menggunakan metode ceramah,
diskusi dan demontrasi cara dengan
menggunakan alat bantu berupa folder, EK
sehingga para petani lebih mudah memahami
apa yang disampaikan. Sesuai dengan
pendapat Mardikanto (2006) bahwa, dalam
penyampaian penyuluhan tidak hanya
dengan lisan, tetapi juga perlu alat bantu atau
alat peraga agar materi lebih mudah diterima
dan diserap serta lebih mengesankan.
Dari hasil analisis Pra Test dan Post
Test pada aspek pengetahuan responden
diketahui EP 82,6 % dinyatakan efektif dan
EPP 77,36 dinyatakan efektif. Efektifitas
Penyuluhan untuk merubah perilaku aspek
pengetahuan sebesar 82,6 % di katakan
efektif, hal ini berarti kegiatan penyuluhan
yang dilakukan dengan materi pencegahan
dan pengobatan penyakit cacing gilig pada
ternak kambing, dengan metode pendekatan
individu dan kelompok dan dengan teknik
ceramah, diskusi, serta demonstrasi cara
dapat berkesan / berpengaruh terhadap
perubahan aspek pengetahuan petani dari
sebelum dilakukan penyuluhan dengan nilai
5,78 dan setelah diberi penyuluhan
meningkat menjadi 20,65. Efektifitas
Perubahan Perilaku aspek pengetahuan
sebesar 77,36 % dikatakan efektif dimana
sasaran penyuluhan dapat menerima dengan
baik materi yang diberikan dalam
penyuluhan tersebut. Hal ini dapat dilihat
dari perubahan pengetahuan dari sebelum
dan sesudah dilakukan penyuluhan. Menurut
Ginting (1994), pada dasarnya dalam setiap
tahap dilakukan evaluasi ataupun
pemantauan dengan tujuan untuk
mengadakan perbaikan selama proses
berlangsung. Dalam kegiatan ini peternak
diikutsertakan agar mereka mengetahui
tingkat perubahan yang telah terjadi atau
sejauh mana efektifitas penyuluhan dan
efektifitas pengetahuan, sikap, dan
keterampilan yang dapat dicapai.
Peningkatan aspek pengetahuan
peternak tersebut juga disebabkan karena
dalam kegiatan penyuluhan menggunakan
teknik ceramah, diskusi dan demostrasi cara
dengan menggunakan alat bantu berupa
folder dan EK sehingga para peternak lebih
mudah memahami apa yang disampaikan.
Sesuai dengan pendapat Mardikanto (2006)
bahwa dalam penyampaian penyuluhan tidak
hanya dengan lisan, tetapi juga perlu alat
bantu atau alat peraga agar materi lebih
mudah diterima dan diserap serta lebih
mengesankan.
2. Tingkat Respon Responden Pada
Aspek Sikap
Nilai aspek sikap sebelum dan sesudah
dilakukan penyuluhan dapat dilihat pada
tabel 2 berikut ini :
81 Respon Peternak Terhadap Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Cacing Gilig Pada Ternak
Kambing di Desa Tracap Kecamatan Kaliwiro Kabupaten Wonosobo
Tabel 2. Nilai aspek sikap
No Pertanyaan Pra test Post test Peningkatan
1 Membersihkan kandang secara periodik 2,13 4,6 2,47
2 Memberikan obat cacing monil untuk
pencegahan penyakit cacing gilig
2,53 4,73 2,2
3 Kambing sakit cacing gilig memanggil petugas keswan
2,26 4 1,74
4 Mencari rumput setelah pukul 09.00
WIB
2,6 4,46 1,86
5 Menggunakan obat cacing tradisional (serbuk buah pinang) untuk mengobati
penyakit cacing gilig
2,73 4,93 2,2
Jumlah 12,25 22,72 10,47
Rata - rata 2,45 4,544 2,094
Sumber Data Primer Terolah 2012
O1 (12,25) O2(22,72)
5------------------------11,6---x-------------------18,2-------------x------25
Kurang setuju Ragu – ragu Setuju
O1 = Pra Test (12,25)
O2 = post test (22,72)
Perhitungan EP dan EPP pada aspek sikap
EP = Skor Post Test__ X 100 %
Nilai Maksimum
= 22,72 X 100 %
25
= 90,88 %
EPP = Skor Post Test - Skor Pra test__ X 100 %
Skor Maksimum – Skor Pra test
EPP = 22,72 – 12,25 X 100 %
25 – 12,25
= 82,12 %
EPP EP
0-----------------------33,3%----------------------66,6%--------xa----------xb-------100
Kurang efektif Cukup efektif Efektif
Keterangan : xa = EPP 82,12 % ( Efektif )
xb = EP 90,88 % ( Efektif )
Melihat tabel 2 diatas dapat dilihat
nilai pra test pada aspek sikap menunjukkan
nilai 12,25 dengan kategori respon setuju,
sedangkan hasil post test menunjukkan nilai
22,72 dengan kategori respon setuju.
Berdasarkan hasil analisis pra test dan post
test terjadi peningkatan nilai sebesar 10,47
hal ini disebabkan oleh adanya kegiatan
82 Respon Peternak Terhadap Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Cacing Gilig Pada Ternak
Kambing di Desa Tracap Kecamatan Kaliwiro Kabupaten Wonosobo
penyuluhan yang tepat sasaran dalam arti
baik materi maupun metode yang diberikan
sesuai dengan kebutuhan peternak yaitu
materi tentang pencegahan dan pengobatan
penyakit cacing gilig pada ternak kambing
dengan metode ceramah, diskusi dan
demontrasi cara alat bantu yang digunakan
berupa folder, EK (elemen ketrampilan)
sehingga para petani lebih mudah memahami
apa yang disampaikan, hal ini sesuai dengan
pendapat Mardikanto dan Sutarni (2006),
bahwa penyuluhan pertanian yang
terutamakan ditujukan kepada petani dan
keluarganya pada dasarnya dimaksudkan
untuk mengubah dalam arti dapat
meningkatkan perilakunya mengenai sikap
yang lebih progresif dan motifasi yang lebih
rasional.
Dari hasil analisis Pra Test dan Post
Test pada aspek sikap responden diketahui
EP 90,88 % dinyatakan efektif, berarti
bahwa program penyuluhan dengan materi
pencegahan dan pengobatan penyakit cacing
gilig pada ternak kambing dengan metode
pendekatan individu dan kelompok serta
dengan teknik ceramah, diskusi dan
demonstrasi cara dapat berpengaruh dan
berdampak bagi perubahan sikap petani
terhadap teknologi pencegahan dan
pengobatan penyakit cacing gilig pada ternak
kambing dapat dilihat dari aspek sikap
sebelum dan sesudah dilakukan penyuluhan
dari ragu – ragu (nilai 12,25) menjadi setuju
(nilai 22,72). Efektifitas Perubahan Perilaku
sebesar 82,12 adalah efektif berarti
penyuluhan yang dilaksanakan membawa
perubahan bagi sikap peternak dari ragu –
ragu dalam menerima teknologi pencegahan
dan pengobatan penyakit cacing gilig pada
ternak kambing (nilai 12,25) menjadi setuju
(nilai 22,72) dan berarti respon petani tinggi.
Menurut Ginting (1993), pada dasarnya
dalam setiap tahap dilakukan evaluasi
ataupun pemantauan dengan tujuan untuk
mengadakan perbaikan selama proses
berlangsung. Dalam kegiatan ini peternak
diikutsertakan agar mereka mengetahui
tingkat perubahan yang telah terjadi atau
sejauh mana efektifitas penyuluhan dan
efektifitas pengetahuan, sikap, dan
keterampilan yang dapat dicapai.
3. Responden Pada Aspek
Keterampilan
Nilai aspek keterampilan sebelum dan
sesudah dilakukan penyuluhan dapat dilihat
pada tabel 3 berikut ini :
Tabel 3. Nilai aspek keterampilan No Pertanyaan Pra test Post test Peningkatan
1 Pemberian obat cacing pada ternak dengan menggunakan
obat cacing monil
1,3 4,13 2,83
2 Cara apabila obat cacing monil
susah di telan
2,26 4,53 2,27
Jumlah 3,56 8,66 5,1
Rata -rata 1,78 4,33 2,55
Sumber data primer terolah 2012
O1 (3,56) O2 (8,66)
2------------x------------4,66----------------------7,32-----x-------------------10
Tidak terampil Kurang terampil Terampil
83 Respon Peternak Terhadap Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Cacing Gilig Pada Ternak
Kambing di Desa Tracap Kecamatan Kaliwiro Kabupaten Wonosobo
O1 = Pra Test (3,56)
O2 = post test (8,66)
Perhitungan EP dan EPP pada aspek sikap
EP = Skor Post Test__ X 100 %
Nilai Maksimum
= 8,66 X 100 %
10
= 86,6 %
EPP = Skor Post Test - Skor Pra test__ X 100 %
Skor Maksimum – Skor Pra test
EPP = 8,66 – 3,56 X 100 %
10 – 3,56
= 79,19 %
EPP EP
0-----------------------33,3%----------------------66,6%-------xa---------xb--------100
Kurang efektif Cukup efektif Efektif
Keterangan : xa = EPP 79,19 % ( Efektif )
xb = EP 86,6 % ( Efektif )
Melihat tabel 3 diatas dapat dilihat
nilai pra test pada aspek keterampilan
menunjukkan nilai 3,56 dengan kategori
respon kurang terampil, sedangkan hasil post
test menunjukkan nilai 8,66 dengan kategori
respon terampil. Berdasarkan hasil analisis
pra test dan post test terjadi perubahan
peningkatan nilai sebesar 5,1 atau dari
kategori kurang trampil menjadi trampil. Hal
ini disebabkan oleh adanya dampak dari
kegiatan penyuluhan yang telah diberikan
khususnya demonstrasi cara pemberian obat
cacing sehingga peternak dapat melihat dan
mempraktekan secara langsung pemberian
obat cacing pada ternak kambing tersebut.
Hal ini sesuai dengan pendapat
Kartasapoetra (1988) mengatakan bahwa
pengukuran aspek keterampilan dipengaruhi
beberapa faktor berikut : a. Metode
penyuluhan adalah pendekatan kelompok
biasanya lebih efektif dan lebih bermanfaat
apabila dilakukan terhadap kelompok tani.
Dimana petani diajak dan dibimbing serta
diarahkan untuk melakukan kegiatan yang
lebih preduktif atas dasar kerjasama. b.
Teknik penyuluhan. Teknik penyuluhan yang
digunakan adalah ceramah dan diskusi dan
demcar dengan demikian petani ikut
berpartisipasi petani akan lebih memahami
materi yang disampaikan. Selanjutnya
menurut Mardikanto (2006), bahwa dengan
petani melihat sendiri mereka akan lebih
percaya dengan penyuluhan yang kita
berikan dan dengan kepercayaan tersebut
mereka akan terdorong untuk melakukan
tindakan terhadap inovasi baru yang
diterima.
Dari hasil analisis Pra Test dan Post
Test pada aspek keterampilan responden
diketahui EP 86,6 % dinyatakan efektif
berarti program penyuluhan yang telah
dilakukan dapat berdaya guna karena dapat
merubah keterampilan dari tidak terampil
menjadi trampil. EPP 79,19 dinyatakan
84 Respon Peternak Terhadap Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Cacing Gilig Pada Ternak
Kambing di Desa Tracap Kecamatan Kaliwiro Kabupaten Wonosobo
efektif dapat dilihat dari peningkatan
perubahan aspek ketrampilan peternak dari
tidak trampil memberikan obat cacing pada
ternak kambing menjadi trampil.
4. Peningkatan nilai respon.
Nilai respon sebelum dan sesudah
dilakukan penyuluhan dapat dilihat pada
tabel 4 berikut ini :
Tabel 4. Nilai respon
Nilai Jumlah (orang) Post test Persentase (%)
Pengetahuan
Sikap
Keterampilan
5,8 20,66
12,26 22,73
3,6 8,66
12,54
4,4
3,66
Jumlah 21,66 52,05 30,39
Sumber : Data primer terolah 2012
O1(21,66) O2(52,05)
12---------------x---------28--------------------44--------------x-------60
Rendah Sedang Tinggi
Berdasarkan tabel diatas dapat
diketahui nilai respon saat dilakukan pra test
memiliki nilai sebesar 21,66 atau (Nilai
rendah), setelah dilakukan treatmen pada
nilai post test menjadi 52,05 atau (Nilai
tinggi). Dengan demikian terjadi
peningkatan sebesar 30,39 atau dari respon
rendah menjadi respon tinggi, untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada lampiran . Hal ini
di sebabkan oleh :
a. Tingkat pendidikan peternak
dimana semua responden rata-rata
sudah mengenyam bangku sekolah
sehingga memungkinkan mereka
untuk dapat menyerap ilmu
pengetahuan dengan baik. Hal ini
sesuai pendapat Mardikanto
(2006) bahwa tingkat pendidikan
yang dimiliki seseorang akan
berpengaruh terhadap
kapasitas/kemampuan belajar yang
memerlukan tingkat pengetahuan
tertentu untuk dapat memahami
suatu teknologi/inovasi.
Selanjutnya Padmowiharjo (2002),
menyatakan bahwa, semakin
tinggi tingkat pendidikan petani
maka pola pikir juga semakin luas
dan tentunya akan lebih cepat
dalam merespon teknologi baru
yang disampaikan.
b. Umur responden terbanyak adalah
36 – 49 tahun dengan persentase
43,33 % yang merupakan umur
produktif, karena umur responden
sangat mempengaruhi respon
petani. Junaidi (2007) Semakin
tinggi umur semakin sulit baginya
untuk menyerap dan menerima
suatu inovasi yang diberikan. Usia
15 s/d 65 tahun dikatakan
penduduk usia produktif adalah
yang melaksanakan produksi dari
segi ekonomi, dimana segala
kebutuhannya ditanggung mereka
sendiri, sedangkan penduduk usia
tidak produktif adalah penduduk
yang belum bisa bekerja atau tidak
mampu lagi memenuhi akan
kebutuhan hidupnya sendiri.
85 Respon Peternak Terhadap Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Cacing Gilig Pada Ternak
Kambing di Desa Tracap Kecamatan Kaliwiro Kabupaten Wonosobo
(Kependudukan kantor informasi
dan komunikasi pemerintah
Propinsi Jawa Tengah, 2004).
c. Pengalaman beternak responden
rata-rata 4 - 12 tahun , sehingga
diharapkan dengan pengalaman
yang cukup tinggi maka tingkat
respon terhadap pencegahan dan
pengobatan penyakit cacing gilig
juga semakin tinggi. Junaidi
(2007) menyatakan bahwa,
pengalaman merupakan faktor
personal yang berpengaruh
terhadap perilaku seseorang.
d. Kepemilikan ternak rata - rata
peternak mempunyai ternak lebih
dari satu ekor ini terlihat dari
jumlah kepemilikan ternak
responden yaitu 2 – 4 ekor
sebanyak 14 orang atau (46,66 %).
Iswandari (2006) menyatakan
bahwa, peternak yang memiliki
ternak dengan jumlah banyak dan
dikelola sendiri akan mempunyai
kemauan yang tinggi dalam
merespon, memperbaiki usaha tani
ternaknya guna meningkatkan
hasil dan pendapatannya untuk
memenuhi kebutuhan sehari-
harinya.
e. Peningkatan respon peternak
tersebut mungkin karena
kesesuaian materi penyuluhan
yang diberikan menggunakan
metode ceramah, diskusi dan
demontrasi cara dengan
menggunakan alat bantu berupa
folder, EK sehingga para peternak
lebih mudah memahami apa yang
disampaikan. Sesuai dengan
pendapat Mardikanto (2006)
bahwa, dalam penyampaian
penyuluhan tidak hanya dengan
lisan, tetapi juga perlu alat bantu
atau alat peraga agar materi lebih
mudah diterima dan diserap serta
lebih mengesankan.
Uji Statistik
1. Analisis Regresi
Berdasarkan analisis regresi
didapatkan persamaan linear berganda
sebagai berikut : Y = 28.946 + 5.084X1 –
0,215X2 + 0,171X3+ 0,548X4 + e
Dari model regresi diatas dapat di
artikan bahwa setiap peningkatan nilai X1
(pendidikan) sebesar 1 % akan menambah
nilai respon sebesar 5.084, setiap
peningkatan nilai X2 (umur) sebesar 1 %
akan mengurangi nilai respon sebesar 0,215,
setiap peningkatan nilai X3 (pengalaman
beternak) sebesar 1 % akan menambah nilai
respon sebesar 0,171 dan setiap peningkatan
nilai X4 (jumlah kepemilikan ternak) sebesar
1 % akan menambah nilai respon sebesar
0,548.
a. Uji Determinasi (R2)
Berdasarkan Uji Determinasi
(Adjujusted R Square), untuk menentukan
sejauh mana pendidikan, umur, pengalaman
dan jumlah kepemilikan ternak secara
bersama – sama mempengaruhi respon
peternak terhadap inovasi teknologi
pencegahan dan pengobatan penyakit cacing
gilig pada ternak kambing sebesar 47,4 %
(Adjusted R2 = 0,474) sedangkan 52,6 %
dipengaruhi oleh faktor-faktor lain diluar
persamaan. Semakin besar R2
(mendekati 1)
semakin baik hasil regresi tersebut (semakin
besar variabel independen dapat menjelaskan
variabel dependen dan semakin mendekati 0
maka variabel independen secara
keseluruhan semakin kurang bisa
menjelaskan variabel dependen (Mubyarto,
1999).
b. Uji F /ANOVA
86 Respon Peternak Terhadap Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Cacing Gilig Pada Ternak
Kambing di Desa Tracap Kecamatan Kaliwiro Kabupaten Wonosobo
Dilihat dari ANOVA, signifikansinya
0,000 α (P ≤ 0,01), hal ini berarti bahwa
pengaruh umur, pendidikan, pengalaman
beternak dan jumlah kepemilikan ternak
secara bersama – sama berpengaruh sangat
signifikan terhadap respon peternak terhadap
pencegahan dan pengobatan penyakit cacing
gilig.
c. Uji T
Nilai konstanta sebesar 28.946
menyatakan bahwa jika tidak ada variabel
independen, secara statistik nilai x1, x2, x3,
dan x4 adalah 0 maka nilai respon peternak
adalah 28.946 dengan nilai signifikan 0,000
yang artinya berpengaruh sangat signifikan
terhadap respon. Untuk mengetahui secara
parsial masing – masing variabel terhadap
variabel terkait, maka dapat digunakan uji t
dengan hasil sebagai berikut :
1) Pendidikan
Variabel pendidikan berpengaruh
sangat signifikan terhadap respon
dengan ⍺ (P ≤ 0, 01). Nilai
koefisien regresi dari variabel
pendidikan adalah 0,001
berpengaruh sangat signifikan
terhadap respon, hasil yang positif
ini dikarenakan rata-rata
pendidikan responden di Desa
Tracap sebagian besar lulus
Sekolah Dasar sehingga dapat
membaca dan menulis.
Mardikanto (2009) menyatakan
bahwa tingkat pendidikan yang
dimiliki seseorang akan
berpengaruh terhadap
kapasitas/kemampuan belajar yang
memerlukan tingkat pengetahuan
tertentu untuk dapat memahami
suatu teknologi/inovasi.
2) Umur
Variabel umur berpengaruh
signifikan ⍺ (P ≤ 0, 05) terhadap
respon dengan tingkat signifikansi
0,011 dan berpengaruh secara
negatif ( - ) artinya ada
kecenderungan semakin tinggi
umur peternak maka semakin
rendah pula respon peternak
terhadap inovasi teknologi
pencegahan dan pengobatan
penyakit cacing gilig pada ternak
kambing. Hal ini sesuai dengan
pendapat Mardikanto (2009) yang
menyatakan bahwa umur 50 tahun
keatas memiliki daya serap dan
pemahaman yang kurang atau
kurang merespon inovasi baru.
3) Jumlah ternak dan pengalaman
beternak
Variabel pengalaman beternak dan
jumlah ternak tidak berpengaruh
signifikan terhadap respon. Hal ini
disebabkan karena respon petani
lebih banyak dipengaruhi oleh
faktor-faktor selain variabel-
variabel tersebut. Mardikanto
(2009) mengemukakan ada
beberapa faktor yang
mempengaruhi kecepatan
seseorang untuk merespon
meliputi (1). Luas usaha tani,
semakin luas usaha taninya
biasanya semakin cepat merespon,
karena memiliki kemampuan
ekonomi yang lebih baik. (2).
Tingkat pendapatan semakin
tinggi pendapatan biasanya akan
semakin merespon inovasi. (3).
Keberanian mengambil resiko,
sebab pada tahap awal biasanya
tidak selalu berhasil seperti yang
diharapkan. Karena itu, individu
yang memiliki keberanian
menghadapi resiko biasanya lebih
inovatif. (4). Tingkat
partisipasinya dalam
kelompok/organisasi diluar
87 Respon Peternak Terhadap Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Cacing Gilig Pada Ternak
Kambing di Desa Tracap Kecamatan Kaliwiro Kabupaten Wonosobo
lingkungannya sendiri, umumnya
lebih inovatif dibandingkan
mereka yang hanya melakukan
kontak pribadi dengan warga
masyarakat setempat. (5).
Aktivitas mencari informasi dan
ide-ide baru biasanya lebih
inovatif dibandingkan dengan
orang-orang yang pasif apalagi
yang selalu tidak percaya terhadap
sesuatu yang baru.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Hasil kajian respon peternak yang
diukur melalui perubahan perilaku pada
penelitian ini dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1. Tingkat respon peternak terhadap
pencegahan dan pengobatan penyakit
cacing gilig pada ternak kambing
meningkat dari respon rendah (21,66)
menjadi respon tinggi (52,05).
2. Faktor pendidikan berpengaruh sangat
signifikan terhadap respon dengan nilai
signifikansi 0,001,α (P ≤ 0,01), dan
umur berpengaruh signifikan terhadap
nilai respon dengan nilai
signifikansinya 0,011 α (P ≤ 0,05),
sedangkan secara bersama - sama
faktor pendidikan, umur, pengalaman
beternak, jumlah ternak, berpengaruh
sangat signifikan terhadap peningkatan
respon, dengan nilai signifikansinya
0,000 α (P ≤ 0,01).
Saran
Berdasarkan hasil penelitian disarankan :
1. Perlu sosialisasi lebih lanjut tentang
pencegahan dan pengobatan penyakit
cacing gilig pada ternak kambing.
2. Perlu dilakukan pembinaan yang
berkelanjutan dari dinas atau instansi
terkait untuk terus dapat meningkatkan
pengetahuan, sikap, dan ketrampilan
petani dalam rangka peningkatan
usahatani.
DAFTAR PUSTAKA
Ginting, E. 1994. Pokok Pikiran Penerapan
Metode Penelitian Sosial dalam
Program Kuliah Kerja Lapang.
Universitas Brawijaya, Malang.
Iswandari. 2006. Respon Petani Terhadap
Pasca Panen Ubi Kayu di Kecamatan
Playen Kabupaten Gunung Kidul.
Skripsi Fakultas Pertanian UGM
Yogyakarta.
Junaidi. 2007. Pemahaman tentang Adopsi,
Difusi dan Inovasi (Teknologi) dalam
Penyuluhan Pertanian.
http://database.deptan.go.id:8081/portalpeny
uluhan
Kantor informasi dan komunikasi
pemerintah propinsi jawa tengah
tahun 2004
http://www.google.com/search?q=kependud
ukan+kantor+informasi+dan+komuni
kasi+pemerintah+provinsi+jawa+teng
ah&hl=en&prmd=ivns&ei=RO
Kartasapoetra. 1988. Metodologi Penelitian
Sosial dan Pendidikan Teori-
Aplikasi. Bumi Aksara. Jakarta
Mardikanto,T. 2006. Prosedur Penelitian
Untuk Penyuluhan Pembangunan dan
Pemberdayaan Masyarakat. Prima
Theresia Pressindo. Surakarta.
Mardikanto,T.2009. Sistem Penyuluhan
Pertanian. Lembaga pengembangan
pendidikan (LPP) UNS dan
Pencetakan (UNS Press). Surakarta.
88 Respon Peternak Terhadap Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Cacing Gilig Pada Ternak
Kambing di Desa Tracap Kecamatan Kaliwiro Kabupaten Wonosobo
Mubyarto, 1999. Reformasi Sistem Ekonomi
dari Kapitalisme Menuju Ekonomi
Kerakyatan. Aditia Media
Yogyakarta.
Padmowihardjo, S. 2002. Metode
Penyuluhan Pertanian. Universitas
Terbuka. Jakarta.
Subekti, S, S. Mumpuni, S. Koesdarto dan H.
Puspitawati. 1996. Ilmu Penyakit
Nematoda. Fakultas Kedokteran
Hewan. Universitas Airlangga.
Surabaya.
Suryabrata. 2005. Psikologi Pendidikan.
Raja Grafindo persada. Jakarta.
89 Analisis Keseimbangan Harga Daging Ayam Broiler di Propinsi Jawa Tengah
ANALISIS KESEIMBANGAN HARGA DAGING AYAM BROILER DI PROPINSI
JAWA TENGAH
(Analysis of the System Price Balance on Demand Curve of Commodity Broiler Meat In
Central Java)
Nurdayati1
1).
Staf Pengajar Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Magelang
Jl.Magelang-Kopeng Km 7 Tegalrejo Magelang
E-mail : [email protected];
Diterima : 11 Oktober 2015 Disetujui : 25 November 2015
ABSTRACT
This study aimed to analyze the balance system price on the demand curve and the
supply curve of commodity broiler meat in Central Java. Analysis of data using Cobweb
equilibrium model. The results show Using cobweb balance, the magnitude of price elasticity
of demand for broiler meat has a negative sign and is in elastic (e <1), where as the supply
elasticity which has a positive sign and have the elastic properties. It gives the sense that of
consumer behavior with the change in the price of its impact on the quantity demanded of the
smaller being on the side of the producers for its influence on the price changes of goods
produced greater
Keywords :price, broiler, meat
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk Menganalisis Sistem keseimbangan harga pada kurva
permintaan dan kurva penawaran komoditi daging ayam broiler di Jawa Tengah. Analisis
data menggunakan model keseimbangan COBWEB. Hasilnya menunjukkan Menggunakan
keseimbangan cobweb, besarnya elastisitas harga permintaan daging ayam broiler
mempunyai tanda yang negatif dan bersifat in elastik (e <1), sedangkan elastisitas penawaran
yang mempunyai tanda positif dan mempunyai sifat elastic. Ini memberikan arti bahwa dari
perilaku konsumen dengan adanya perubahan harga pengaruhnya terhadap jumlah barang
yang diminta lebih kecil sedang dari sisi produsen adanya perubahan harga pengaruhnya
terhadap barang yang diproduksi lebih besar.
Kata Kunci: Daging ayam broiler, keseimbangan harga
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Meningkatnya tingkat pendapatan dan
jumlah penduduk, menyebabkan permintaan
akan produk peternakan meningkat pula,
seperti daging sapi, daging ayam, telur, dan
susu. Hal tersebut dapat menimbulkan
ketimpangan atau kekurangan antara jumlah
pasokan produksi dengan jumlah kebutuhan
yang diminta pada komoditas peternakan
(Badan Pusat Statistik, 2000)
Daging ayam broiler merupakan salah
satu pangan yang memiliki peranan strategis
dan bernilai ekonomis serta mempunyai
peluang untuk dikembangkan. di Propinsi
Jawa Tengah daging ayam broiler
90 Analisis Keseimbangan Harga Daging Ayam Broiler di Propinsi Jawa Tengah
mempunyai peranan yang cukup penting
karena kemampuannya sebagai penyedia
daging paling besar jumlahnya apabila
dibanding dengan daging lainnya. Dari tahun
2008 – 2010 tercatat daging ayam broiler
menduduki urutan pertama selanjutnya
daging sapi dan sebagai urutan ketiga daging
ayam buras kemudian baru daging lainnya.
(Badan Pusat Statistik, 2010). Meningkatnya
produksi daging ayam broiler ini merupakan
alternatif sumber pendapatan bagi
masyarakat.
Konsumen pada dasarnya
menginginkan agar harga suatu barang turun,
sedangkan produsen menginginkan agar
harga suatu barang naik. Apabila kedua sisi
dipertemukan maka diperoleh suatu titik
tengah yang disebut dengan titik
keseimbangan. Titik keseimbangan adalah
harga dimana produsen memperoleh
keuntungan yang maksimum, sedangkan
konsumen memperoleh kepuasan
maksimum. Untuk mengetahui apakah harga
daging ayam broiler di Propinsi Jawa Tengah
telah memberikan kepuasan bagi konsumen
dan keuntungan bagi produsen maka perlu
adanya penelitian untuk mengetahui
keseimbangan harga daging broiler di
Propinsi Jawa Tengah.
Tujuan Penelitian
Menganalisis Sistem keseimbangan
harga pada kurva permintaan dan kurva
penawaran komoditi daging ayam broiler di
Jawa Tengah
Landasan Teori
Persamaan Simultan Fungsi Permintaan
dan Penawaran
Fungsi permintaan:
QD = D (P,α)
Keterangan: QD = jumlah permintaan, P =
harga barang, dan α = variabel yang
dimungkinkan dapat menggeser kurva
permintaan, termasuk didalamnya
pendapatan konsumen, harga barang lain,
perubahan preference, dan lainnya.
Persamaan tersebut diharapkan bahwa:
PD
= Dp < 0, P
D
= Dα, dan Dα dapat
bernilai positif atau negatif
Fungsi penawaran
Qs = S (P, β)
Keterangan Qs = jumlah penawaran, P =
harga barang, dan β = variabel yang dapat
menggeser kurva penawaran, seperti harga
input, teknologi, harga barang lain. Fungsi
penawaran tersebut diharapkan bahwa
PS
= Sp>0,
S = Sβ, danSβ = dapat positif atau
negatif. Keadaan keseimbangan dapat
tercapai pada saat:
QD = Qs
Deferensial total dari masing-masing fungsi
pada persamaan:
d QD = DPdP + Dα dα
dQs = SPdP + Sβdβ
Dalam keadaan seimbang
∂QD = ∂Qs
Persamaan tersebut dapat dicari perubahan
harga keseimbangan setiap kombinasi
pergeseran permintaan atau penawaran.
Misalnya permintaan berubah dan
penawaran tetap maka diperoleh persamaan:
DPdP +Dα dα = SPdP
atauDPSP
DP
Berdasarkan persamaan tersebut apabila α
merupakan pendapatan, dan barang yang
dimaksud adalah barang normal, maka D α
adalah positif.
91 Analisis Keseimbangan Harga Daging Ayam Broiler di Propinsi Jawa Tengah
Hubungan antara permintaan dan
penawaran suatu komoditi dapat
menggambarkan keadaan surplus, defisit
atau keadaan keseimbangan terhadap
komoditi yang bersangkutan.Keadaan
surplus dapat terjadi apabila jumlah
penawaran lebih banyak dari jumlah
permintaan.Atau keadaan surplus terjadi
pada tingkat harga tertentu, dimana jumlah
barang yang ditawarkan lebih banyak
dibandingkan dengan jumlah permintaan,
QS>QD.Keadaan kekurangan dapat terjadi
apabila jumlah permintaan lebih besar
dibanding jumlah penawaran, QS<QD.
Keadaan keseimbangan dapat terjadi apabila
jumlah permintaan sama dengan jumlah
penawaran (QD=QS), yakni terjadi pada saat
harga keseimbangan P dan jumlah
keseimbangan Q tercapai.Hal ini
menunjukkan bahwa kenaikan pendapatan
akan menambah permintaan atau menggeser
kurve permintaan kekanan.
Kondisi keseimbangan, yakni harga
yang dibayarkan oleh konsumen sama
dengan harga yang diterima produsen atau
jumlah permintaan sama dengan jumlah
penawaran. Konsumen dapat memperoleh
kepuasan maksimum dan produsen dapat
memperoleh keuntungan maksimum.
Proses penyesuaian terhadap harga
keseimbangan sangat ditentukan oleh
besarnya elastisitas penawaran dan elastisitas
permintaan. Apabila elastisitas penawaran
lebih elastis dari pada elastisitas permintaan
maka dalam penyesuaiannya, harga barang
pada saat itu tidak menuju pada harga
keseimbangan. Sebaliknya apabila elastisitas
penawaran kurang elastis dibanding dengan
elastisitas permintaannya maka dalam
penyesuaiannnya harga pada saat itu akan
mengarah pada harga keseimbangan.
Teori Cobweb menjelaskan mengenai
harga produk pertanian yang menunjukkan
fluktuasi tertentu dari musim ke musim,
fluktuasi tersebut makin lama makin
mengecil dan akhirnya menuju
keseimbangan.Penyebab fluktuasi tersebut
adalah reaksi yang terlambat (time lag) dari
produsen (petani) terhadap harga.Menurut
Tomek dan Robinson (1972) menyatakan
bahwa siklus harga dan produksi dapat
terjadi dengan siklus yang mengarah pada
fluktuasi tetap (kontinyu), mengarah ketitik
keseimbangan (konvergen) dan siklus
menjauhi titik keseimbangan
(divergen)model tersebut dikenal dengan
nama model Cobweb.
Untuk menganalisis fungsi permintaan dan
penawaran dapat dilakukan dengan cara (a)
menggunakan persamaan tunggal (single
equation) dan (b) menggunakan persamaan
simultan (simultan equation system).
Menggunakan persamaan simultan dapat
ditentukan harga yang berlaku di pasar dan
jumlah barang yang ideal pada tingkat harga
tersebut, yakni ditentukan oleh perpotongan
antara kurve permintaan dengan kurve
penawaran.
Materi dan Metode
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh produsen dan konsumen daging
ayam broiler di Jawa Tengah, yang datanya
diperoleh dan dikumpulkan melalui
pencatatan secara langsung pada data
Sekunder (Time series) dari tahun 1999
sampai dengan 2010 pada berbagai sumber
sesuai dengan permasalahan yang diteliti.
Berbagai sumber yang dimaksud adalah (1)
Statistik Jawa Tengah (BPS), (2) Dinas
Peternakan Jawa Tengah, (3) SUSENAS (4)
Internet (5) berbagai jurnal, majalah, literatur
dan sumber yang lain.
92 Analisis Keseimbangan Harga Daging Ayam Broiler di Propinsi Jawa Tengah
Metode
Metode dasar yang dipergunakan
dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu
metode dalam penelitian kelompok manusia,
suatu obyek, suatu set kondisi, suatu sistem
pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada
masa sekarang. Tujuan dari penelitian adalah
untuk membuat deskriptif, gambaran atau
lukisan secara sistematis, faktual dan akurat
mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta
hubungan antar fenomena yang diselidiki
(Gujarati, 1999)
Pembatasan Masalah dan Asumsi
a. Pembatasan masalah
Karena luasnya permasalahan yang
berkaitan dengan obyek penelitian maka
untuk penyederhanaan dilakukan pembatasan
masalah sebagai berikut:
(1) Secara parsial, faktor-faktor yang
mempengaruhi penawaran adalah
Harga daging ayam broiler, harga
doc, jumlah permintaan daging
ayam broiler tahun lalu, harga
pakan (complete feed) , Teknologi
(FCR) dan wabah flu burung.
(2) Secara parsial berbagai faktor
yang mempengaruhi permintaan
daging ayam broiler di Jawa
Tengah adalah harga daging ayam
broiler, harga telur, harga beras,
harga daging sapi, jumlah
penduduk, pendapatan, wabah flu
burung.
b. Asumsi
Sejalan dengan maksud dari pembatasan
masalah diatas, diasumsikan :
(1) Jumlah penawaran daging ayam
broiler sama dengan jumlah
produksinya
(2) Jumlah permintaan daging ayam
broiler sama dengan jumlah
konsumsinya.
c. Koseptualisasi Variabel dan
Pengukurannya
Pada penelitian ini dilakukan
penyeragaman pengertian dalam penafsiran
variabel, sehingga diharapkan dapat
mendukung tercapainya tujuan. Pengertian-
pengertian yang dimaksud adalah sebagai
berikut:
1. Permintaan daging ayam (Qd) ,
adalah jumlah konsumsi daging
ayam broiler di Jawa Tengah dan
pada tahun tertentu, dinyatakan
dalam satuan kilogram, (kg)
2. Penawaran daging ayam broiler
(QS), adalah jumlah produksi
daging ayam broiler yang
dihasilkan (kg).
3. Harga daging ayam broiler
(Pday)adalah harga rata-rata
daging ayam broiler di pasar
(Rp/kg)
4. Harga daging ayam broiler tahun
lalu (Qdt-t) adalah harga rata-rata
daging ayam broiler di pasar tahun
lalu (Rp/kg)
5. Harga barang lain
a. Barang yang sejenis yang
digunakan untuk lauk
Harga barang lain adalah
harga daging sapi, harga
daging ayam buras dan telur
adalah harga transaksi antara
penjual dan pembeli yang
diecerkan, yang dinyatakan
dalam satuan Rp/kg.
b. Barang yang bukan dari
sejenis daging dan bisa untuk
saling melengkapi yaitu:
Harga beras, adalah harga
transaksi antara penjual dan
93 Analisis Keseimbangan Harga Daging Ayam Broiler di Propinsi Jawa Tengah
pembeli , yang dinyatakan
dalam satuan Rp/kg.
6. Harga pakan (Pakn), adalah harga
rata-rata pakan jadi berupa
(complete feed) setiap periode
pemeliharaan yang dinyatakan
dalam Rp/kg.
7. Jumlah penduduk (Jp), adalah
banyaknya penduduk Jawa Tengah
pada tahun tertentu, yang
dinyatakan dalam satuan jiwa
(orang).
8. Pendapatan per kapita penduduk
Propinsi Jawa Tengah (I)
diperoleh dengan membagi PDRB
atas dasar harga konstan dengan
jumlah penduduk Propinsi Jawa
Tengah.
9. Dummy Wabah Flu burung
(Dwfb), adalah kondisi di Jawa
Tengah saat ada wabah flu burung
Dwfb diberi nilai 0, saat kondisi
Jawa Tengah tidak ada wabah flu
burung Dwfb diberi nilai 1.
Macam dan Jenis Data
Untuk menganalisis permasalahan
dalam penelitian ini menggunakan data
sekunder “time series” antara lain :
(1) Jumlah permintaan daging ayam
broiler di Jawa Tengah
(2) Jumlah penawaran daging ayam broiler
di Jawa Tengah
(3) Harga jenis daging, yakni harga daging
dari jenis-jenis daging ayam broiler,
daging ayam buras dan harga daging
sapi.
(4) Harga barang lain (selain daging), yang
berkaitan dengan permintaan daging
ayam broiler terdiri dari barang
substitusi dan komplementer. Barang
substitusi daging ayam broiler adalah
telur dan daging sapi, sedangkan
barang komplementer adalah beras.
(5) Harga pakan (complete feed)
(6) Teknologi, jumlah produksi per jumlah
pakan yang dihabiskan.
(7) Jumlah penduduk dan pendapatan per
kapita.
Metode Analisa
Alat analisa yang digunakan dalam
penelitian adalah dengan: regresi berganda
yang diselesaikan dengan system persamaan
simultan untuk mengetahui hubungan
interdependensi pada kedua variabel
endogen (Crutchey et al, 1999), Model
simultan adalah model yang mempunyai
lebih dari satu variabel tidak bebas
(endogenous variabel) dan lebih dari satu
persamaan, yaitu persamaan Permintaan dan
persamaan Penawaran. Hubungan
interdependensi menyebabkan variabel
endogen yang menjelaskan (dependent
explanatory variable) menjadi stokastik dan
terkolerasi dengan gangguan (disturbance)
dari persamaan yang muncul sebagai
variabel yang menjelaskan.
Mengacu pada asumsi keseimbangan
sistem COBWEB, model fungsi permintaan
daging ayam broiler pada tahun t
didefinisikan sebagai fungsi dari permintaan
harga daging ayam broiler tahun t-1, harga
daging ayam broiler tahun t, Secara
matemetis permintaan daging ayam broiler
dirumuskan sebagai berikut:
Pada persamaan simultan, fungsi
penawaran dan fungsi permintaan
dirumuskan sebagai berikut (Johnston,
1984).
Fungsi Penawaran : Qs = f (P*, A)
Fungsi Permintaan : Qd = f (P*, Ps, I)
Keterangan:
Qs = jumlah penawaran, P* = harga
keseimbangan, A = teknologi,
94 Analisis Keseimbangan Harga Daging Ayam Broiler di Propinsi Jawa Tengah
Qd = jumlah permintaan, Ps = harga barang
lain dan I = pendapatan.
Diasumsi bahwa fungsi penawaran dan
permintaan dibentuk oleh variabel non
stokastik dan komponen pengganggu.
Persamaan penawaran dan permintaan yang
dimaksud dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Persamaan fungsi penawaran
Qs = a0 + a1 P* + a2 A + U
b. Persamaan fungsi permintaan
Qd = b0 + b1 P* + b2 Ps + b3 I + V
c. Persamaan keseimbangan
Qs = Qd
Persamaan simultan disini adalah
persamaan yang dibentuk pada posisi
keseimbangan terseb ut. Selanjutnya untuk
melakukan estimasi dari kedua persamaan
tersebut maka dilakukan dengan metode Two
Stage Least Square (TSLS) dengan cara
sebagai berikut:
1. Mengidentikkan antara jumlah penawaran dan jumlah permintaan : Qs = Qd
a0 + a1 P* + a2 A + u = b0 + b1 P* + b2Ps + b3 I +V
a0 + a2 A + u – b0 – b2 Ps - b3 I – v = b1 P* - a1 P*
a0 – b0 + a2 A – b2 Ps – b3 I – v = (b1 – a1) P*
(a0 – b0) a1 b1 a2b2 a3b3
P* = ----------- + ---------- A - ----------- Ps - ----------- I
(b1 – a1) (b1 – a1) (b1 – a1) (b1 – a1)
Dari persamaan tersebut dapat disusun persamaan reduce form sebagai berikut:
P* = π0 + π1 A + π2 Ps + π3 I
2. Memasukkan harga P* tersebut ke dalam persamaan struktural pertama
a. Persamaan fungsi penawaran
Qs = a0 + a1 P* + a2 A + u
b. Persamaan fungsi permintaan
Qd = b0 + b1 P * + b2 Ps + b3 I + U
HASIL DAN PEMBAHASAN
Harga Keseimbangan Pasar Model
Cobweb
Model persamaan permintaan dan
penawaran daging ayam broiler dapat
diformulasikan sebagai berikut:
Penawaran daging ayam broiler :
Ln Qs = Ln a + b ln Pdayl
Permintaan daging ayam broiler :
Ln Qd = Ln c – d ln Pday
Keterangan:
Ln Qs = Penawaran daging ayam broiler
Ln Pdayl = Harga daging ayam broiler tahun
lalu
Ln Qd = Permintaan daging ayam broiler
Untuk ln a dan ln c masing-masing
adalah konstanta, sedangkan b, d masing-
masing adalah elastisitas harga penawaran,
elastisitas harga permintaan daging ayam
broiler.
Berdasarkan besarnya elastisitas harga
permintaan dan penawaran daging ayam
broiler, maka tercapainya kondisi
keseimbangan sangat tergantung pada
perbedaan besarnya elastisitas harga pada
permintaan dan penawaran daging ayam
broiler.
95 Analisis Keseimbangan Harga Daging Ayam Broiler di Propinsi Jawa Tengah
Berdasarkan besarnya nilai elastisitas harga
pada permintaan dan penawaran dengan
model cobweb (Tomek dan Robinson, 1990)
adalah:
Qt(s)
= δ + γ Pt-1 (Supply)
Qt(s)
= Qt (d)
( Equilibrium)
Pt = α – β Qt (d)
(demand)
(demand)
(Supply)
Kondisi slope:
( - > divergent cycle
( - = continous cycle
( - < convergent cycle
Hasil analisis fungsi permintaan dan fungsi
penawaran daging ayam broiler adalah :
Ln Qd = 22,878** - 0,643 Ln Pday
Ln Qs = 0,961 + 2,218** Ln Pdayl
Keterangan : ** = nyata (P < 0,01)
Besarnya nilai elastisitas harga
permintaan daging ayam broiler (εd) = 0,643
lebih kecil apabila dibandingkan dengan
elastisitas penawaran daging ayam broiler
(εs) = 2,218, sehingga Ed< Es. Jika
elastisitas penawaran relatif lebih elastis
apabila dibandingkan dengan elastisitas
permintaan maka harga akan menuju ke
keseimbangan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Menggunakan keseimbangan cobweb,
besarnya elastisitas harga permintaan daging
ayam broiler mempunyai tanda yang negatif
dan bersifat in elastik (e <1), sedangkan
elastisitas penawaran yang mempunyai tanda
positif dan mempunyai sifat elastis. Ini
memberikan arti bahwa dari perilaku
konsumen dengan adanya perubahan harga
pengaruhnya terhadap jumlah barang yang
diminta lebih kecil sedang dari sisi produsen
adanya perubahan harga pengaruhnya
terhadap barang yang diproduksi lebih besar.
Saran
Perlu pengkajian yang lebih mendalam
tentang perilaku konsumen terhadap
perubahan harga daging yang setiap saat
berubah, dan ketidakseimbangan jumlah
barang antara keinginan konsumen dengan
produsen.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2000. Pengeluaran
Untuk Konsumsi Penduduk Indonesia
2000. Jakarta.Indonesia.
Badan Pusat Statistik. 2000. Konsumsi
Kalori dan Protein Penduduk
Indonesia. Jakarta. Indonesia.
Badan Pusat Statistik.2010. Jawa Tengah
dalam Angka. Laporan Tahunan
Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa
Tengah.
Crutchley, C.E., M.R.H. Jensen, Jr. Jahera,
and J.E. Raymond. 1999. “Agency
Problems and The Simultaneity
Decision Making The Role of
Institusional Ownership”.
International Review Of Financial
Analysis, 8.2.
Gujarati, D. 1999. Ekonometrika Dasar
Terjemahan (Sumarno Zaen)
Erlangga.
Johnston, J. 1984. Econometric Methods.
Third Edition. Mcgraw Hill. New
York.
Romaully . 2010. Model Penawaran dan
Permintaan Daging Ayam Ras
Pedaging di Propinsi Kalimantan
Selatan dengan Pendekatan
96 Analisis Keseimbangan Harga Daging Ayam Broiler di Propinsi Jawa Tengah
Persamaan Simultan,
http://kopertis11.net/jurnal/MIRAND
A ROMAULLY-MODEL (Diakses
tanggal 20 Juni 2013).
Tomek dan Robinson.1990. Agriculture
Product Prices. 3rd
. New York .USA.
Cornell University
97 Pengaruh Pemberian Ramuan Herbal sebagai Pengganti Vitamin dan Obat-Obatan dari Kimia
Terhadap Performan Ternak Ayam Kampung Super
PENGARUH PEMBERIAN RAMUAN HERBAL SEBAGAI PENGGANTI VITAMIN
DAN OBAT-OBATAN DARI KIMIA TERHADAP PERFORMAN
TERNAK AYAM KAMPUNG SUPER
(The Effect Of Herbs As a subtitute for Vitamin And Medicine on Crossbreed Chicken
Performance)
Prabewi, N.1 dan Junaidi, P. S.
2
1).
Staf Pengajar Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Magelang
Jl.Magelang-Kopeng Km 7 Tegalrejo Magelang
E-mail : [email protected];
2)
Tenaga Teknis di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Timur
Jl. Pangeran M. Noor, Sempaja PO Box 1832. Samarinda 7511
Diterima : 11 Oktober 2015 Disetujui : 25 November 2015
ABTRACT
The research objective was to determine the performance of a crossbreed chicken
livestock by administering herbal ingredients. The method used is Complete Random Design
(CRD) composed-of three treatment provision of drinking water: Treatment (PH0) drinking
water without herbs, (PH1) of drinking water mixed with herbs fermented for 4 days, ( PH2)
drinking water mixed with herbs fermented for 6 days. Each repetition treatment three times
to obtain 9 a plot. Each repetition consisted of five chickens so that each treatment the
number of super chicken as much as 15 tails, and the number of crossbreedchicken for this
study a total of 45 heads reared from the age of 1 day or DOC until the age of 63 days. The
research variables were observed feed intake, FCR, body weight gain, mortality, harvesting
of live weight, carcass percentage. Data were analyzed using analysis methods Analyses Of
Variance (ANOVA), if there is a difference then further tested using Duncan's New Multeple
Rage Test (DNMRT). The results showed that administration of herb ingredients in the local
chicken super results were significantly different (P <0.05) on feed intake, body weight
harvesting, FCR, carcass percentage and daily body weight gain. While on a variable
percentage of mortality was not significantly different.
The conclusion that can be drawn is the treatment of herbs fermented for 6 days which
is given through drinking water as a substitute vitamins, medicines from chemicals to
maintain the performance of local chicken super, it is evident that the variable feed intake,
body weight gain, live weight harvesting , carcass percentage and thus obtain maximum feed
efficiency or lowest FCR
Keywords :herbs, crossbreed chicken performance
ABSTRAK
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui performan ternak ayam kampung super
dengan pemberian ramuan herbal. Metode penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak
Lengkap (RAL) terdiri-dari tiga perlakuan pemberian air minum,: Perlakuan (PH0) air
minum non herbal (tanpa herbal), (PH1) air minum yang dicampur dengan ramuan herbal
difermentasi selama 4 hari , (PH2) air minum yang dicampur dengan ramuan herbal yang
98 Pengaruh Pemberian Ramuan Herbal sebagai Pengganti Vitamin dan Obat-Obatan dari Kimia
Terhadap Performan Ternak Ayam Kampung Super
difermentasi selama 6 hari .Setiap perlakuan ulangannya sebanyak tiga kali sehingga
diperoleh 9 petak percobaan. Tiap ulangan terdiri dari 5 ekor ayam sehingga setiap perlakuan
jumlah ayam kampung super sebanyak 15 ekor, dan jumlah ternak ayam kampung super
untuk penelitian ini total 45 ekor dipelihara mulai umur 1 hari atau DOC sampai umur 63
hari. Variabel penelitian yang diamati konsumsi pakan, FCR, pertambahan bobot badan,
mortalitas, bobot hidup umur panen, persentase karkas. Metode analisis data dianalisis
menggunakan Analyses Of Variance (ANOVA), bila terdapat perbedaan maka diuji lanjut
menggunakan metode Duncan’s New Multeple Rage Test (DNMRT).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ramuan herbal pada ayam kampung
super memberikan hasil yang berbeda nyata (P<0,05) terhadap konsumsi pakan, bobot hidup
umur panen, FCR, persentase karkas dan pertambahan bobot badan. Sedangkan pada variabel
persentase mortalitas tidak berbeda nyata.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah perlakuan ramuan herbal fermentasi selama 6
hari yang diberikan melalui air minum sebagai pengganti vitamin, obat-obatan dari bahan
kimia dapat mempertahankan performan ayam kampung super, hal tersebut terbukti bahwa
variabel konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, bobot hidup umur panen, persentase
karkas dan sehingga mendapatkan efisiensi pakan yang maksimal atau FCR terendah.
Kata kunci: Ramuan Herbal, Ayam Kampung Super, Performan.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ayam kampung super merupakan hasil
persilangan ayam pejantan Jawa dengan
ayam ras petelur yang memiliki kualitas
genetik tinggi dan telah mengalami
pemuliabiakan sehingga performan
pertumbuhannya lebih baik dari kebanyakan
ayam Jawa lainnya, (Dawung, 2012).
Sedangkan pencegahan penyakitnya dengan
memanfaatan ramuan herbal sebagai
alternatif pengganti obat – obatan serta
vitamin dari bahan kimia, karena ramuan
herbal sejak dahulu dikenal masyarakat
sebagai obat maupun untuk memperbaiki
metabolisme tubuh. Pendapat Zainuddin dan
Wakradihardja (2002) menyatakan bahwa
penggunaan berbagai bahan ramuan herbal
untuk manusia juga ampuh dan dapat
menekan berbagai penyakit pada ternak
ayam. Perbaikan metabolisme melalui
pemberian ramuan herbal secara tidak
langsung akan meningkatkan performan
ternak ayam melalui zat bioaktif yang
dikandungnya.
Rumusan Masalah
Permasalahan yang muncul adalah
apakah dengan pemberian ramuan herbal
fermentasi sebagai pengganti vitamin dan
obat-obatan dari bahan kimia dapat
mempertahankan performan ayam kampung
/ ayam kampung super ?
Tujuan Penelitian
Mengetahui dengan pemberian ramuan
herbal sebagai pengganti vitamin, obat-
obatan dari bahan kimia dapat
mempertahankan performan ayam kampung
super.
Landasan Teori
Tanaman herbal yang dapat digunakan
untuk ternak ayam adalah jahe, kencur,
lengkuas, temulawak, temuireng, lempuyang,
mengkudu atau pace, kunyit, daun sirih,
99 Pengaruh Pemberian Ramuan Herbal sebagai Pengganti Vitamin dan Obat-Obatan dari Kimia
Terhadap Performan Ternak Ayam Kampung Super
daging lidah buaya, daun pepaya, daun
sambiloto, kayu manis, tetes tebu, bawang
putih, EM-4 dan air sumur. Ramuan herbal
memiliki aktivitas farmakologis sebagai
antibiotik alami, antivirus, antimikrobia,
antiradang, antiparasit (cacingan),
antikolesterol, antikanker dan meningkatkan
nafsu makan serta meningkatkan daya cerna
ternak ayam (Wakhid, 2013).
Ramuan herbal memiliki aktivitas
farmakologis sebagai antibiotik alami,
antivirus, antimikrobia, antiradang,
antikolesterol, antikanker, meningkatkan
nafsu makan dan meningkatkan daya cerna
ternak ayam (Cahyono, 2011).
Dudung (2013) menyatakan bahwa
ayam kampung super merupakan persilangan
menggunakan 3 ayam yaitu: ayam kedu,
ayam ras Rhode Island Red dan White
Leghorn. Ayam kampung super memiliki
pertumbuhan yang lebih cepat dari pada
ayam kampung biasa, dengan rasa dan
tekstur daging yang menyerupai ayam
kampung, dari segi warna bulu yang
dominan putih, sebagian kecil berwarna
cokelat dan hitam. Menurut Yaman (2011)
menyatakan bahwa ayam lokal pedaging
unggul (ALPU) adalah ayam hasil
Crossbreeding yang menggunakan ayam
kampung sebagai pejantan atau induk
dengan menggunakan teknologi
pemuliabiakan dengan melewati selection
program termasuk progeny test pada setiap
fase anak sehingga memenuhi kreteria
sebagai ayam pedaging produktif
dibandingkan ayam lokal asli, untuk ayam
lokal pedaging unggul pada umur 8 minggu
capaian berat badan rata rata mencapi 835
gram/ekor
Agus (2007) menyatakan bahwa
tepung ikan mempunyai kandungan protein
kasarnya bervariasi dari 60% sampai 70%,
lemak antara 2% sampai 12%, energi
metabolis 3.000 kkal/kg tergantung dari
proses yang dilakukannya.
Bekatul mempunyai kandungan protein
kasar 10,2%, energi metabolisme 1.630
Kkal/kg, lemak 7,9%, serat kasar 8,2%,
(Nawawi dan Nurrohmah, 2003).
Jagung mempunyai kandungan energi
metabolis 3.390 kkal/kg, protein kasar 8,9%
dan kandungan serat kasarnya 2,5%,
(Retnani, 2002). Yamin (2011) menyatakan
bahwa ayam lokal pedaging unggul (ALPU)
menghasilkan pertambahan bobot badan per
minggu sebesar 104 gram/ekor/minggu.
Sedangkan menurut Cahyono (2011)
menyatakan bahwa pertambahan bobot
badan ayam kampung per minggu sebesar
50,5 gram/ekor/minggu.
Karkas adalah hasil pemotongan
unggas tanpa disertai darah, bulu, kepala,
cakar, usus, hati, jantung dan paru-paru
masuk kedalam karkas karena sulit
dipisahkan (Yuwanta, 2004).
Konversi pakan atau Feed Conversi
Ratio (FCR) yaitu perbandingan antara
pakan yang dihabiskan dengan berat ayam
yang didapat (Santoso dan Sudaryani, 2011).
Sedangkan Cahyono (2011) menyatakan
bahwa Ayam kampung menghasilkan
konversi pakan sebesar 4.93. Hasil penelitian
Warasoma (2004) ayam kampung dipelihara
selama 10 minggu dengan pakan
mengandung PK 18%, EM 2.600 kkal/kg
menghasilkan rerata pertambahan bobot
badan panen 792,64 gram, rerata konsumsi
pakan 2.547 gram/ekor. Sedangkan menurut
Cahyono (2011) menyatakan bahwa
pertambahan bobot badan ayam kampung
yang dipelihara selama 10 minggu dengan
pakan campuran adalah sesbesar 505,2
gram/ekor. Selanjutnya Yamin (2011)
menyatakan bahwa ayam lokal pedaging
unggul pemeliharaan selama 10 minggu
menghasilkan bobot hidup umur panen 1.153
gram/ekor.
100 Pengaruh Pemberian Ramuan Herbal sebagai Pengganti Vitamin dan Obat-Obatan dari Kimia
Terhadap Performan Ternak Ayam Kampung Super
Hipotesis
Diduga pemberian ramuan herbal
sebagai pengganti vitamin, obat-obatan dari
bahan kimia dapat mempertahankan
performan ayam kampung super.
MATERI DAN METODE
Materi
Lokasi dan Waktu
Lokasi pelaksanaan penelitian
dikandang Laboratorium Ternak Unggas dan
Aneka Ternak Sekolah Tinggi Penyuluhan
Pertanian (STPP) Magelang. Waktu
pelaksanaan penelitian tanggal 07 Juli 2013
sampai 07 September 2013.
Alat dan Bahan
1. Alat
Alat yang digunakan selama
pelaksanaan penelitian, meliputi: 1) kandang
percobaan 9 petak terbuat dari bambu dan
kawat ram, 2) tempat pakan 9 buah terbuat
dari kayu dan bambu, 3) tempat air minum 9
buah dengan kapasitas 1 liter, 4) lampu 25
watt sebanyak 9 bolam untuk penerangan, 5)
hand sprayer 1 buah untuk penyemprotan
kandang, 6) 1 buah alat blender untuk
membuat ramuan herbal, 7) timbangan
elektrik 1 unit dengan kepekaan 0,1 gram
untuk menimbang bobot hidup ayam, pakan
dan bahan-bahan ramuan herbal, 8) gelas
ukur 1 buah untuk mengukur pemberian air
minum dengan ramuan herbal.
2. Bahan
Bahan yang digunakan selama
pelaksanaan penelitian, meliputi: 1) bibit
ayam kampung super sebanyak 45 ekor, 2)
bahan - bahan herbal (satu resep ini untuk
dua kali periode pemeliharaan dengan
jumlah 45 ekor per periode pemeliharaan) :
bawang putih 125 gram, kencur 125 gram,
jahe 62,5 gram , lempuyang 62,5 gram, temu
ireng 62,5 gram, temu lawak 62,5 gram ,
kunyit 62,5 gram, lengkuas 30 gram, kayu
manis 30 gram, daun pepaya , daging lidah
buaya, sambiloto, pace atau mengkudu ,
daun sirih , EM 4 125 cc dan tetes tebu 62,5
cc
Metode
1. Pembuatan Ramuan Herbal
Cara pembuatan ramuan herbal yaitu
semua bahan herbal kecuali EM4 dan tetes
ditumbuk halus kemudian diambil sarinya
dan ditambah air bersih dari sumur sebanyak
5 liter untuk satu resep ini, baru ditambah
EM4 dan tetes tebu kemudian ditutup rapat
untuk difermentasi, selama fermentasi kita
aduk larutan herbal tersebut untuk
mengeluarkan gasnya selama fermentasi,
yang 50% jumlah larutan herbal difermentasi
selama 4 hari (Perlakuan Herbal I) dan 50%
jumlah larutan herbal difermentasi selama 6
hari (Perlakuan Herbal II), setelah fermentasi
selesai diberikan melalui air minum pada
ternak ayam dosisnya 1 liter air besih + 40 cc
larutan herbal. Dan pemberiannya setiap 4
hari sekali pada waktu sore hari. 3) pakan
BR-1, 4) bekatul, 5) jagung kuning giling, 6)
tepung ikan, 7) garam, 8) desinfektan, 9)
kapur. Komposisi pakan, kandungan protein
(%) dan energi metabolisme (kkal/kg) per-
minggu ayam kampung super yang
digunakan selama pelaksanaan penelitian
disajikan pada Tabel 1 dibawah ini:
101 Pengaruh Pemberian Ramuan Herbal sebagai Pengganti Vitamin dan Obat-Obatan dari Kimia
Terhadap Performan Ternak Ayam Kampung Super
Tabel 1. Komposisi Pakan, Kandungan Protein dan Energi Metabolisme Per-Minggu
Ayam Kampung Super
Jenis Pakan
Jumlah Pakan (%)
Minggu
1 dan 2
Minggu
3 dan 4
Minggu
5 dan 6
Minggu
7 dan 8
Minggu
9
Konsentrat BR-1 100
Jagung kuning 65 65 65 65
Bekatul 15 17,5 20 20
Tepung ikan 20 17,5 15 15
Jumlah 100 100 100 100 100
Protein kasar (%) 21 19,3 18 16,8 16,8
Energi Metabolis (Kkal/kg) 3.200 3.048 3.013 2.979 2.979
Sumber: data terolah 2013
2. Variabel Penelitian
Variabel penelitian yang diukur atau
diamati selama pelaksanaan penelitian
adalah sebagai berikut:
a. Konsumsi Pakan
Konsumsi pakan dengan cara
menimbang pakan ayam kampung
super untuk kebutuhan 1 minggu
dan pada hari ke-7, sisa ditempat
pakan dan pakan yang tercecer
kemudian ditimbang sehingga
dapat diketahui jumlah pakan yang
dikonsumsi (gram/ekor/minggu).
b. Pertambahan Bobot Badan
Pertambahan bobot badan dengan
cara menimbang ayam kampung
super setiap ekornya dan
dilakukan setiap minggu
(gram/ekor/minggu).
c. Bobot Hidup Umur Panen
Bobot hidup umur panen dengan
cara menimbang bobot badan
ayam saat panen dan melakukkan
pencatatan umur panen.
d. Persentase Mortalitas
Mortalitas dengan menghitung
jumlah ayam yang mati dan ditotal
pada akhir pemeliharaan berguna
untuk mengetahui presentase
mortalitasnya.
e. Feed Conversion Ratio (FCR)
Feed Conversion Ratio (FCR)
dengan cara menghitung
perbandingan jumlah pakan yang
dikonsumsi (kg) dengan berat
badan yang dihasilkan (kg) selama
pemeliharaan 63 hari ayam
kampung super sebanyak 45 ekor.
f. Persentase Karkas
Persentase karkas dengan cara
memotong ayam umur 63 hari,
setiap perlakuan dipilih 1 ekor
ayam untuk diketahui persentase
karkas dengan bobot karkas
ditimbang dan dibagi dengan
bobot hidup ayam dikalikan 100%.
3. Analisis Data Penelitian
Analisis data yang digunakan untuk
mengetahui performan ayam kampung super
adalah menurut Nuroso (2011), Nastiti
(2010) untuk mengetahui performan ayam
dari segi teknis maupun ekonomis ada
beberapa metode, antara lain: dengan
menghitung rata-rata pertambahan bobot
badan, konsumsi pakan, efisiensi pakan atau
FCR, bobot hidup umur panen, persentase
mortalitas, persentase karkas. Selanjutnya
data dianalisis menggunakan Analyses Of
Variance (ANOVA), bila terdapat perbedaan
maka diuji lanjut menggunakan metode
Duncan’s New Multeple Rage Test
(DNMRT).
102 Pengaruh Pemberian Ramuan Herbal sebagai Pengganti Vitamin dan Obat-Obatan dari Kimia
Terhadap Performan Ternak Ayam Kampung Super
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis data secara statistik
selama pelaksanaan penelitian menggunakan
ramuan herbal sebagai pengganti vitamin dan
obat-obatan dari kimia pada ayam kampung
super sebanyak 45 ekor selama 63 hari,
meliputi: Perlakuan Non Herbal (PH0),
Perlakuan Herbal Fermentasi 4 hari (PH1)
dan Perlakuan Herbal Fermentasi 6 hari
(PH2) tertera pada Tabel 2 dibawah ini.
Tabel 2. Rerata Konsumsi Pakan, Pertambahan Bobot Badan, Bobot Hidup Umur Panen,
FCR dan Persentase Mortalitas serta Persentase Karkas Pada Ayam Kampung
Super Selama 63 Hari
Variabel kajian Perlakuan
PH 0 PH 1 PH 2
Konsumsi pakan (gram/ekor/63 hr) 2236,3 2298,3* 2315,3*
Pertambahan bobot badan (gram/ekor/minggu) 68,1 73,5* 80,0*
Bobot hidup umur panen (gram/ekor) 651,1 701,9* 761,8* FCR 3,4 3,2* 3,0*
Persentase mortalitas (%) 0 0 0
Persentase karkas (%) 56,8 66,5* 73,8*
*: Tanda bintang diatas angka menunjukkan berbeda nyata pada taraf nyata 0,05
Sumber: data terolah (2013).
Variabel yang diukur selama
pelaksanaan penelitian untuk mengetahui
performan ternak ayam kampung super
adalah rerata konsumsi pakan
(gram/ekor/63hari), pertambahan bobot
badan (gram/ekor/minggu), bobot hidup
umur panen (gram/ekor/63hr), persentase
mortalitas, FCR dan persentase karkas. Hal
ini sesuai pendapat Nuroso (2011), Nastiti
(2010), Santoso dan Sudaryani (2011),
menyatakan bahwa untuk mengetahui
performan ayam dari segi teknis maupun
ekonomis ada beberapa metode, antara lain:
dengan menghitung rerata konsumsi pakan,
pertambahan bobot badan, bobot hidup umur
panen, persentase mortalitas, FCR dan
persentase karkas. Selanjutnya Sugiyono
(2011) menyatakan bahwa data dianalisis
untuk membuktikan perbedaan data hasil
antara pemeliharaan tanpa penambahan
herbal dengan herbal langsung dan herbal
fermentasi dengan Uji ANOVA.
1. Konsumsi Pakan
Hasil analisis data menunjukkan bahwa
rerata konsumsi pakan ayam kampung super
selama 63 hari (9 minggu) pada perlakuan
pemberian herbal fermentasi 6 hari (2287
gram/ekor) berbeda nyata (P<0,05) atau
lebih tinggi dibandingkan perlakuan non
herbal (2225,8 gram/ekor), hal ini
disebabkan karena: perlakuan herbal yang
terdiri-dari bahan empon-empon seperti
temulawak, lengkuas, kunyit, tetes tebu dan
kayu manis melalui air minum berkhasiat
meningkatkan nafsu makan dan menjaga
stamina ternak ayam kampung super. Sesuai
pendapat Murdiati (2002) menyatakan
bahwa tanaman obat seperti: lengkuas,
temulawak dan kunyit memiliki zat aktif
seperti kurkumin dan minyak atsiri.
Kurkumin dapat meningkatkan kerja organ
dan memperlancar pencernaan sehingga
nafsu makan ternak ayam menjadi meningkat
dan minyak atsiri dapat memberi efek anti
mikrobia atau menghambat pertumbuhan
bakteri pada saluran pencernaan ternak
ayam. Hal sama dilaporkan oleh Zainuddin
dan Wakradihardja (2002) bahwa bagian
rimpang tanaman langkuas dan temulawak
dapat dimanfaatkan sebagai penambah nafsu
103 Pengaruh Pemberian Ramuan Herbal sebagai Pengganti Vitamin dan Obat-Obatan dari Kimia
Terhadap Performan Ternak Ayam Kampung Super
makan, menjaga stamina pada ternak ayam.
Selanjutnya Sudirman (2012) melaporkan
bahwa bagian rimpang tanaman kunyit
berfungsi sebagai anti bakteri, melancarkan
pencernaan dan menambah nafsu makan.
Sedangkan menurut Lokapirnasari (2007)
menyatakan bahwa kayu manis memiliki
efek farmakologis yang dibutuhkan dalam
obat-obatan seperti halnya: kulit batang,
daun dan akarnya. Kayu manis memiliki
kandungan minyak atsiri yang berguna
sebagai anti bakteri dan dapat meningkatkan
nafsu makan. Begitu juga menurut Retnani
(2002) menyatakan bahwa molases atau tetes
tebu merupakan sumber energi yang esensial
dengan kandungan gula didalamnya
sehingga dapat meningkatkan nafsu makan
dan menjaga stamina ternak. Selanjutnya
Sudirman (2012) menyatakan bahwa
molases dimanfaatkan sebagai bahan
tambahan pakan ternak dengan kandungan
protein kasar 3,1%, serat kasar 0,6%, BETN
83,5%, lemak kasar 0,9% dan abu 11,9%.
2. Pertambahan Bobot Badan
Hasil analisis data menunjukkan bahwa
rerata pertambahan bobot badan ternak ayam
kampung super selama 63 hari (9 minggu)
pada perlakuan pemberian herbal fermentasi
6 hari (78,9 gram/ekor/minggu) berbeda
nyata (P<0,05) atau lebih tinggi
dibandingkan perlakuan non herbal yang
hanya (70,6 gram/ekor/minggu), hal ini
disebabkan karena khasiat bahan campuran
ramuan herbal dapat memperbaiki
pertambahan bobot badan ternak ayam
kampung super. Sesuai pendapat
Lokapirnasari (2007) menyatakan bahwa
EM-4 berfungsi untuk menjaga
keseimbangan mikroorganisme yang ada
dalam saluran pencernaan sehingga
memperbaiki absorpsi makanan dalam usus,
dapat meningkatkan pertumbuhan dan
produksi serta antisipasi stres dengan cepat.
Sedangkan pemberian EM-4 pada ternak
akan menurunkan pH di dalam usus yang
dapat menghambat pertumbuhan bakteri
yang merugikan. Begitu juga menurut
Wakhid (2013) menyatakan bahwa probiotik
(EM-4) dapat menyeimbangkan
mikroorganisme dalam saluran pencernaan
ternak, meningkatkan nafsu makan,
menyehatkan ternak, mengurangi stres,
meningkatkan kualitas produksi ternak,
mengurangi bau kandang dan lingkungan.
Selanjutnya Hanura dan Sumang (2008)
menyatakan bahwa penambahan EM-4
dalam air minum dapat mengefisienkan
pemberian pakan dan dapat meningkatkan
pertambahan bobot badan ayam buras,
penggunaan EM-4 pada ternak ayam tidak
diberikan bersama dengan pemberian vaksin,
vitamin maupun antibiotik.
Pemberian temuireng dalam pakan
terbukti tidak menimbulkan dampak negatif
terhadap ayam dan bahkan dapat
meningkatkan pertambahan bobot badan.
Saenab et al. (2006) Selain itu interaksi
antara tepung temulawak dan molases pada
itik peking umur 1 sampai 56 hari dapat
meningkatkan pertambahan bobot badan.
Sedangkan Haruna dan Sumang (2008)
melaporkan bahwa pemberian kunyit sampai
dengan 0,05% terbukti dapat memperbaiki
pertambahan bobot badan ternak ayam serta
meningkatkan kandungan protein daging.
Cahyono (2011) menyatakan bahwa
faktor yang mempengaruhi terhadap
pertambahan bobot badan adalah konsumsi
pakan. Hal ini didukung pula oleh pendapat
Agus Ali (2007) yang menyatakan bahwa
secara umum penambahan bobot badan akan
dipengaruhi oleh jumlah konsumsi pakan
yang dimakan dan kandungan nutrisi yang
terdapat dalam pakan tersebut.
104 Pengaruh Pemberian Ramuan Herbal sebagai Pengganti Vitamin dan Obat-Obatan dari Kimia
Terhadap Performan Ternak Ayam Kampung Super
3. Bobot Hidup Umur Panen
Hasil analisis data menunjukkan bahwa
rerata bobot hidup umur panen ternak ayam
kampung super selama 63 hari (9 minggu)
pada perlakuan pemberian herbal fermentasi
6 hari (751,6 gram/ekor) berbeda nyata
(P<0,05) atau lebih tinggi dibandingkan
perlakuan non herbal (673,8 gram/ekor), hal
ini disebabkan karena adanya pemberian
ramuan herbal berfungsi untuk
meningkatkan dan menjaga stamina,
menekan angka mortalitas atau angka
kematian, efisiensi dalam penggunaan pakan,
menambah nafsu makan, menurunkan
persentase bobot lemak karkas dan
memberikan kekebalan tubuh yang
menjadikan ternak ayam tahan terhadap
serangan berbagai penyakit sehingga
menghasilkan bobot hidup umur panen yang
lebih tinggi dari pada ternak ayam kampung
super tanpa pemberian ramuan herbal.
Ramuan herbal tersebut seperti: a) bawang
putih, b) kencur, c) jahe, d) lengkuas dan
temulawak, e) temuireng, f) lempuyang, g)
kunyit, h) mengkudu, i) daun sirih, j) daun
lidah buaya, k) daun pepaya, l) daun
sambiloto, m) kayu manis, n) tetes tebu dan
EM-4. Sesuai pendapat Zainuddin dan
Wakradihardja (2002) menyatakan bahwa
tanaman herbal dan fungsinya pada ternak
unggas, meliputi: a) temuireng berfungsi
sebagai antibiotik dan obat cacing, b)
lempuyang berfungsi mencegah batuk dan
diare serta memperbaiki sel yang rusak dari
serangan virus dan bakteri, c) daun lidah
buaya berfungsi menekan angka mortalitas
dan meningkatkan efisiensi penggunaan
pakan, d) daun pepaya berfungsi
meningkatkan daya tahan tubuh dan
menurunkan persentase bobot lemak karkas,
e) kayu manis berfungsi antibakteri dan
meningkatkan nafsu makan, f) tetes tebu
berfungsi meningkatkan nafsu makan, g)
EM-4 berfungsi meningkatkan kesehatan,
pertumbuhan dan kualitas produksi ternak.
Selanjutnya Zainuddin (2006) melaporkan
bahwa tanaman herbal yang digunakan dan
fungsinya pada ternak unggas lokal (ayam
kampung dan itik), meliputi: a) buah
mengkudu berfungsi menjaga stamina,
efisiensi pakan dan memperbaiki warna
kuning telur, b) sambiloto berfungsi
mengatasi penyakit flu dan berak darah,
meningkatkan stamina dan antiviral, c) jahe
berfungsi mencegah dan mengobati penyakit
berak darah, ngorok dan meningkatkan
kekebalan tubuh, d) kunyit berfungsi
menambah nafsu makan, mencegah
gangguan pencernaan, e) lengkuas dan
temulawak berfungsi menambah nafsu
makan dan menjaga stamina, f) daun sirih
berfungsi mencegah dan mengobati berak
darah serta antiviral, g) kencur berfungsi
mengobati penyakit flu, i) bawang putih
berfungsi antibiotik dan obat cacing.
Sedangkan pemberian ramuan herbal dalam
bentuk tepung atau larutan jamu
menghasilkan bobot akhir umur 75 hari
adalah 1028,63 gram/ekor lebih tinggi
dibandingkan kontrol (999,17 gram/ekor).
4. Feed Conversion Ratio (FCR)
Hasil analisis data menunjukkan bahwa
rerata FCR ternak ayam kampung super
selama 63 hari (9 minggu) pada perlakuan
pemberian herbal fermentasi 6 hari (3,0)
berbeda nyata (P<0,05) dibandingkan
perlakuan non herbal (3,3) atau FCR
perlakuan herbal lebih rendah dari pada
perlakuan non herbal karena adanya
pemberian ramuan herbal, seperti: buah
mengkudu, daun lidah buaya dan sambiloto
yang salah-satu fungsinya untuk
meningkatkan efesiensi penggunaan pakan
pada ternak ayam. Angka FCR menunjukkan
perbandingan antara pakan yang dihabiskan
selama periode pemeliharaan dengan produk
daging yang dihasilkan, atau angka FCR
105 Pengaruh Pemberian Ramuan Herbal sebagai Pengganti Vitamin dan Obat-Obatan dari Kimia
Terhadap Performan Ternak Ayam Kampung Super
menunjukkan tingkat penggunaan pakan
ternak ayam dalam satu periode
pemeliharaan, jika angka FCR semakin kecil
maka penggunaan pakan semakin efisien dan
sebaliknya jika angka FCR semakin besar
maka penggunaan pakan tidak efisien.
Kajian ini menunjukkan perlakuan herbal
angka FCR nya lebih kecil atau rendah
dibandingkan dengan hasil penelitian
Sudirman (2012) yang melaporkan bahwa
angka FCR yang didapatkan: a) perlakuan
pemberian jamu ternak angka FCR 3,16
sedangkan perlakuan kontrol angka FCR
4,23, yaitu penelitian dengan pemberian
jamu terhadap ayam buras pada
pemeliharaan umur 5 minggu sampai umur 8
minggu. Didukung oleh hasil penelitian
Zainuddin (2006) melaporkan bahwa
pemberian sambiloto dan buah mengkudu
terhadap ayam kampung pada umur 40 hari
sampai 75 hari (35 hari/satu periode
pemeliharaan) dengan FCR sebagai berikut:
a) perlakuan yang diberi buah mengkudu
dengan FCR adalah 2,76, b) perlakuan yang
diberi sambiloto dengan FCR adalah 2,77, c)
kontrol dengan FCR adalah 3,20. Maka FCR
pemberian buah mengkudu dan sambiloto
(2,76 dan 2,77) lebih rendah atau lebih
efisien dalam penggunaan pakan dari pada
kontrol (3,20), sedangkan ayam percobaan
yang diberi perlakuan buah mengkudu
dengan kondisi bulu primer lebih berkilap
dibandingkan perlakuan lainnya. Sesuai
pendapat Zainuddin dan Wakradihardja
(2002) menyatakan bahwa pemberian larutan
sambiloto dan buah mengkudu melalui air
minum pada ternak ayam dapat
meningkatkan efisiensi penggunaan pakan
dan dapat menekan aflatoksin dalam pakan.
Sedangkan pendapat Saenab et al. (2006)
menyatakan bahwa penggunaan bioaktif
lidah buaya sebagai Feed Additive dalam
bentuk gel atau ekstrak terlihat adanya
peningkatan efisiensi pakan, selanjutnya
setelah diukur saluran pencernaan ternak
ayam yang diberi perlakuan gel lidah buaya
ternyata ukurannya lebih besar dan jumlah
bakteri aerob menjadi lebih sedikit.
Selanjutnya Hanura dan Sumang (2008)
menyatakan bahwa penggunaan jamu ternak
sebagai campuran air minum pada ternak
ayam buras berpengaruh nyata menurunkan
konversi ransum.
5. Persentase Mortalitas
Hasil analisis data menunjukkan bahwa
rerata persentase mortalitas ternak ayam
kampung super selama 63 hari (9 minggu)
pada perlakuan pemberian herbal fermentasi
6 hari adalah 0% atau tidak ada terjadi
kematian yang disebabkan oleh penyakit
karena pemberian ramuan herbal, seperti: a)
bawang putih, b) kencur, c) jahe, d)
temuireng, e) lempuyang, f) kunyit, g) daun
sirih, h) daun lidah buaya, i) daun sambiloto,
j) kayu manis ditambah EM-4. Salah-satu
khasiat ramuan herbal adalah meningkatkan
kekebalan tubuh ternak ayam kampung super
sehingga dapat terhindar dari serangan
berbagai penyakit disebabkan oleh: virus dan
bakteri, parasit (cacing), protozoa (berak
darah) yang berakibat pada kematian. Sesuai
pendapat Agustina et al. (2009) melaporkan
bahwa ekstrak ramuan herbal mengandung
berbagai zat bioaktif yang memiliki aktifitas
antimikroba, mampu menghambat bakteri
patogen gram positif sebanyak 4 jenis dan
gram negatif sebanyak 7 jenis, dapat
memperbaiki metabolisme dan menekan
berbagai penyakit. Selanjutnya Sudirman et
al. (2012) menyatakan bahwa manfaat
penggunaan tanaman obat bagi manusia dan
ternak yaitu untuk meningkatkan daya tahan
tubuh, pencegahan dan penyembuhan
penyakit serta pemulihan kesehatan.
Pemberian ramuan herbal yang terdiri-
dari: kencur, temulawak, lengkuas, jahe,
kunyit, bawang putih, bawang merah,
106 Pengaruh Pemberian Ramuan Herbal sebagai Pengganti Vitamin dan Obat-Obatan dari Kimia
Terhadap Performan Ternak Ayam Kampung Super
lengkuas, daun sirih, belimbing wuluh,
kemangi, temulawak, temu hitam serta
molasses dapat meningkatkan daya tahan
tubuh dengan mencegah pertumbuhan parasit
dan tidak ada ditemukan kematian yang
disebabkan oleh penyakit (Agustina, 2009).
Selanjutnya Lokapirnasari (2007)
menyatakan bahwa EM-4 berfungsi untuk
menjaga keseimbangan mikroorganisme
yang ada dalam saluran pencernaan sehingga
memperbaiki absorpsi makanan dalam usus,
dapat meningkatkan pertumbuhan dan
produksi serta antisipasi stres dengan cepat.
Sedangkan pemberian EM-4 pada ternak
akan menurunkan pH di dalam usus yang
dapat menghambat pertumbuhan bakteri
yang merugikan.
6. Persentase Karkas
Hasil analisis data menunjukkan bahwa
rerata persentase karkas ternak ayam
kampung super selama 63 hari (9 minggu)
pada perlakuan pemberian herbal fermentasi
6 hari (68,3%) berbeda nyata (P<0,05) atau
lebih tinggi dibandingkan Perlakuan Non
Herbal yang hanya (59,8%) hal ini
disebabkan karena didalam ramuan herbal
terdapat daun pepaya yang berfungsi untuk
meningkatkan daya tahan tubuh,
meningkatkan bobot karkas, memperbaiki
kualitas daging dan menurunkan persentase
bobot lemak karkas ayam kampung super.
Hal ini sesuai pendapat Belawa (2004)
menyatakan bahwa suplementasi
Lactobacillus komplek pada ransum yang
mengandung daun pepaya dapat
meningkatkan bobot karkas, meningkatkan
produksi daging, menurunkan persentase
bobot lemak karkas dan dapat memperbaiki
kualitas daging. Selanjutnya menurut Saenab
et al. (2006) menyatakan bahwa pemberian
jamu cenderung meningkatkan persentase
karkas akibat pembentukan daging dada pada
ayam yang diberi jamu lebih tinggi daripada
tidak diberi jamu. Diperkuat oleh pernyataan
Agustina et al (2009) bahwa pemberian daun
pepaya pada itik masa pertumbuhan ternyata
dapat memperbaiki kualitas daging.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Pemberian ramuan herbal melalui air
minum sebagai pengganti vitamin, obat-
obatan dari bahan kimia dapat
mempertahankan performan ayam kampung
super dengan ramuan herbal yang terdiri-
dari: bawang putih, kencur, jahe, lengkuas,
temulawak, temuireng, lempuyang, kunyit,
mengkudu, daun sirih, lidah buaya, daun
pepaya, daun, kayu manis, tetes tebu dan
EM-4 serta ditambah air sumur memberikan
hasil yang berbeda nyata (P<0,05) terhadap
konsumsi pakan, pertambahan bobot badan,
bobot hidup umur panen, FCR, persentase
karkas. Sedangkan untuk variabel persentase
mortalitas tidak ada kematian (0%).
Saran
Untuk membuktikan bahwa dengan
ramuan herbal dapat mengatasi segala
kendala perkembangan usaha peternakan
unggas yang disebabkan dari berbagai
penyakit perlu adanya pengujian titer
antibodi dari ternak yang diberi perlakuan
ramuan herbal fermentasi, sehingga dapat
menginformasikan sampai seberapa jauh
tinggkat kekebalan yang dihasilkan dengan
penjadwalan pemberian jamu herbal tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, Ali. 2007. Membuat Pakan Ternak
Secara Mandiri. PT Citra Aji
Pratama, Yogyakarta.
107 Pengaruh Pemberian Ramuan Herbal sebagai Pengganti Vitamin dan Obat-Obatan dari Kimia
Terhadap Performan Ternak Ayam Kampung Super
Agustina, M. Hatta dan S. Purwanti. 2009.
Penggunaan Ramuan Herbal Untuk
Meningkatkan Produktifitas dan
Kualitas Broiler. 1. Analisis Zat
Bioaktif dan Uji Aktifitas Antibakteri
Ramuan Herbal Dalam Menghambat
Bakteri Gram Positif dan Gram
Negatif. Prosiding Seminar Nasional
Peternakan Berkelanjutan, Hal. 60-
75. Fakultas Peternakan Universitas
Padjajaran. Diakses 05 Juni 2014.
http://balitnak.litbang.deptan.go.id/in
dex.php?option=com_phocadownloa
d&view=category&id=77:3&downlo
ad=1504:3&Itemid=1
Cahyono, B. 2011. Ayam Buras Pedaging.
Cetakan Pertama, Penebar Swadaya
Jakarta.
Dawung Farm. 2012. Analisa Usaha Ayam
Kampung Super. Diakses 17 Oktober
2013.
http://dawungfarm.blogspot.com/201
2/09/blog-post.html
Haruna, S dan Sumang. 2008. Pemanfaatan
Jamu Sebagai Campuran Air Minum
Pada Ternak Ayam Buras. STPP,
Gowa. Jurnal Agrisistem. STPP
Gowa Diakses 06 Juni 2014.
http://www.stppgowa.ac.id/DataDow
nloadCentrePap/data-jurnal-
agrisistem-stpp-gowa/1.pdf
Lokapirnasari, W. P. 2007. The Effect Of
Effective Microorganism To Feed
Consumption And Body Weight Of
Broiler Chicken. J. Protein. 14 (1):
37-40. Diakses 05 Juni 2014.
http://repository.ipb.ac.id/xmlui/bitstr
eam/handle/123456789/58019/D12yy
u.pdf
Murdiati, T. B. 2002. Obat Tradisional
Melengkapi Obat Konvensional.
Infovet. 93: 4-6.
Nastiti, R. 2010. Menjadi Milyarder
Budidaya Ayam Broiler. Pustaka
Baru Press, Yogyakarta.
Nawawi dan Nurrohmah. 2003. Ransum
Ayam Kampung. Swadaya, Jakarta.
Nuroso. 2011. Panen Ayam Pedaging
Dengan Produksi Dua Kali Lipat.
Penebar Swadaya, Jakarta.
Retnani, Y. 2002. Proses Produksi Pakan
Ternak. Ghalia Indonesia, Bogor.
Saenab, A. B. Bakrie, T. Ramadhan dan
Nasrullah. 2006. Pengaruh Pemberian
Jamu Terhadap Kualitas Karkas
Ayam Buras. Buletin Ilmu
Peternakan dan Perikanan, Vol X(2)
:133–143. Fakultas Peternakan
Universitas Hasanuddin, Makassar.
Sudirman, H. 2012. Pemanfaatan Tanaman
Obat Sebagai Jamu Untuk Ayam
Buras. Jurnal Agrisistem, Vol. 8
No.1. Sekolah Tinggi Penyuluhan
Pertanian (STPP), Gowa. Diakses 07
Juni 2014.
http://www.stppgowa.ac.id/DataDow
nloadCentrePap/data-jurnal-
agrisistem-stpp-gowa/7.pdf
Sugiyono. 2011. Statistika Untuk Penelitian.
Cetakan ke-16, CV. Alfabeta,
Bandung.
Wakhid, A. 2013. Beternak Itik. Cetakan
Pertama, Agromedia. Jakarta.
Yamin. 2007. Statistika. Diakses 17 Oktober
2013. http.//www.yaminsetiawan.com
Yuwanta, T. 2004. Dasar Beternak Unggas.
Kanisius, Yogyakarta.
Zainuddin, D, dan E. Wakradihardja. 2002.
Racikan Ramuan Tanaman Obat
Dalam Bentuk Larutan Jamu Dapat
Meningkatkan Kesehatan Hewan
Serta Produktifitas Ternak Ayam
108 Pengaruh Pemberian Ramuan Herbal sebagai Pengganti Vitamin dan Obat-Obatan dari Kimia
Terhadap Performan Ternak Ayam Kampung Super
Buras. Prosiding Seminar Nasional
XIX Tumbuhan Obat Indonesia.
Kerjasama POKJANAS Tumbuhan
Obat Indonesia dengan Puslit
Perkebunan. Bogor.