jurnal penelitan

57

Upload: anjar-nuryanto

Post on 25-Jul-2015

335 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: jurnal penelitan
Page 2: jurnal penelitan

i

Page 3: jurnal penelitan

EDITORIALPERKEMBANGAN ILMU KEDOKTERAN DARI DIAGNOSIS HINGGA TATA LAKSANA

Dalam rangka mengikuti perkembangan ilmu kedokteran yang pesat, kita perlu menambah pengetahuan dengan penelitian-penelitian terbaru. Dengan menambah informasi tentang penelitian-penelitian terbaru, diharapkan kita dapat mengelola pasien dengan tepat dan aman, mulai dari diagnosis hingga tatalaksananya.

Untuk memperkaya pengetahuan kita tentang diagnosis, dalam edisi ini kami ketengahkan penelitian tentang perbandingan hasil positif uji BCG dan uji tuberculin, validitas foto thorax proyeksi PA untuk menegakkan diagnosis emfisema pulmonum dan dislipidemia pada penderita stroke dengan demensia.

Sedangkan untuk menambah pengetahuan kita tentang tatalaksana pasien, edisi ini memuat penelitian-penelitian tentang perbandingan efek ekstrak etanol dan eter biji tua pisang klutuk, efek ekstrak mahkota dewa, pengaruh kitosan olahan udang putih pada penurunan trigliserida plasma tikus dan aktivitas antimikroba daun cocor bebek.

i

Page 4: jurnal penelitan

DAFTAR ISI

i

ii

1 - 8

9 - 15

17 - 23

25 - 32

33 - 36

37 - 41

43 - 50

ISSN 2085-8345Volume 1, No.1, Agustus 2009

Editorial

Daftar Isi

Perbandingan Hasil Positif Uji BCG dan Uji Tuberkulin sebagai Uji Tapis pada Anak dengan TuberkulosisMohammad Wildan

Validitas Foto Thorax Proyeksi Posterio-Anterior untuk Menegakkan Diagnosis Emfisema PulmonumSulistyani Kusumaningrum

Dyslipidemia pada Penderita Stroke dengan Demensia di RS Dr. Sardjito JogjakartaListyo A. Pujarini

Perbandingan Efek Ekstrak Eter dengan Ekstrak Etanol Biji Tua Pisang Kluthuk (Musa balbisiana Colla) pada Sekresi Asam Lambung Tikus Putih in vitroDomas Fitria Widyasari

Pengaruh Pemberian Ekstrak Buah Mahkota Dewa Dosis Bertingkat Terhadap Proliferasi Limfosit Lien pada Mencit BALB/CM. Saifulhaq M.

Pengaruh Kitosan Olahan Kulit Udang Putih terhadap Penurunan Kadar Trigliserida Plasma Tikus Putih (Rattus norvegicus)Nurina Risanty

Uji Aktivitas Antimikroba Ekstrak Etanol Daun Cocor Bebek (Kalanchoe pinnata) terhadap Bakteri Staphylococcus aureus Atcc 6538 dan Escherichia coli Atcc 11229 Secara InvitroRatih Pramuningtyas, Rahadiyan W.B.

ii

Page 5: jurnal penelitan

Perbandingan Hasil Positif Uji BCG dan Uji Tuberkulin sebagai Uji Tapis pada Anak dengan Tuberkulosis Mohammad Wildan 1

Perbandingan Hasil Positif Uji BCG danUji Tuberkulin sebagai Uji Tapis padaAnak dengan Tuberkulosis

Mohammad WildanE mail: [email protected]

AbstractUntil now tuberculosis (TB) is still a world health problem, especially in the third world countries like Indonesia.

World health Organization (WHO) reported in 1995 there were 3 millions people died caused by TB. Prevalence of lung TB with positive acid fast bacili (AFB) in Indonesia is still high, about 0.3%, it means that there were 3 persons suffering of TB every 1000 people. It's needed to improve the quality of lung TB disease elimination program. But, the problem that some of the cases of tuberculosis with positive AFB finding is low. May be it caused that the technique of AFB examination is dificult, especially in infant and young children. tuberculin test have been used widely for a long periode, but it reaction less sensitive (to be negative) for a moment time in anergy state. Recently, some centre uses BCG for diagnosing TB, but further research is still needed (to prove more high proportion of positive result and superiority of BCG test). This research uses Clinical Disagreement to measure kappa and chi square (Fisher's Exact test) to mesurep. The sample size were 100 respondents, boys and girls beetwen 4 months to 12 years old, who visited to General Pediatric Clinic and Pulmonology Clinic Dr Kariadi Hospital. To diagnosing TB, modified 1994 Starke Criteria is used. Tuberculin and BCG test was tested at the same time and evaluated after 72 hours (for tuberculin and BCG) and at 7th day (for BCG). The proportion of these tests were compared by cross tabulation. The respondents that suffering of tuberculosis were treated with 2HRZ 4HR regiment and reevaluated clinical, laboratoric and radiologic findings. The proportion of positive result of BCG test is higher (97%) than positive result of tuberculin test (24%), but not significant. Proportion of negative result of tuberculin test is higher (78%) than BCG test (3.3%), but not significant. Distribution of positive result of BCG test has the same proportion in groups of age and nutrition state. The proportion of positive result of BCG test is higher than tuberculin test, but not significant.Key Words: BCG, tuberculin, screening

diperlukan suatu "alat" uji tapis dan diagnostik yang mudah dikerjakan dengan hasil yang cukup efektif, bernilai diagnostik tinggi dan dengan biaya yang murah.

Uji tuberkulin (Mantoux) telah digunakan secara luas untuk mengetahui adanya infeksi TB sejak lebih dari enam dekade. Namun demikian, uji tuberkulin memiliki kelemahan, yaitu akan menjadi negatif untuk sementara pada penderita TB (anergi) dengan: (1) Malnutrisi Energi Protein; (2) TB berat; (3) Morbili, Varisela; (4) Pertusis, Difteria, Tifus abdominalis; (5) Pemberian kortikosteroid yang lama; (6) Vaksin virus dan (7) Penyakit keganasan (Wong, Oppenheimer, 1994).BCG diberikan secara langsung di Indonesia tanpa didahului uji tuberkulin. Anak yang mendapat BCG langsung terdapat reaksi lokal yang besar dalam waktu kurang dari 7 hari setelah penyuntikan, ia harus dicurigai adanya tuberkulosis dan diperiksa lebih lanjut kearah tuberkulosis. Pada anak dengan tuberkulosis, BCG akan menimbulkan reaksi lokal yang lebih cepat dan besar. Karena itu BCG dapat digunakan

PendahuluanHingga saat ini penyakit tuberkulosis (TB)

masih menjadi masalah kesehatan utama dunia, terutama di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Menurut WHO (World Health Organization) pada tahun 1995 terdapat kurang lebih 3 juta orang meninggal akibat penyakit TB. Prevalensi penyakit TB paru dengan Basil Tahan Asam (BTA) positif di Indonesia masih cukup tinggi, yaitu 0,3%, yang berarti terdapat 3 penderita penyakit TB paru yang menular pada setiap 1.000 penduduk. Prevalensi kasus anak dengan malnutrisi yang dicurigai menderita TB dan telah dibuktikan menderita TB di Asia kurang lebih 74 - 80 % (Kenyon, 1999).

Perlu dilakukan peningkatan mutu program Pemberantasan Penyakit Tuberkulosis Paru (P2TB-Paru). Strategi yang digunakan adalah pemutusan rantai penularan. Namun kendala yang dihadapi antara lain adalah masih rendahnya penemuan kasus TB dengan BTA (+). Hal ini disebabkan antara lain oleh sulitnya melakukan pemeriksaan BTA di lapangan, terutama pada anak. Oleh karena itu,

Page 6: jurnal penelitan

Biomedika, Volume 1, Nomor 2, Tahun 20092

karena : (1) Belum pernah dilakukan penelitian yang serupa di Indonesia, (2) Mungkin terdapat perbedaan hasil dengan hasil penelitian sebelumnya (di luar negeri) mengingat adanya perbedaan ras/ etnik, dan hampir semua responden sudah dilakukan vaksinasi BCG (3) Bagaimana pengaruh malnutrisi pada kedua uji tersebut, (4) Apakah vaksinasi BCG sebelumnya mempengaruhi uji BCG dan apakah hasil penelitian semacam ini (dari luar negeri) bisa langsung diterapkan di Indonesia, khususnya di RSUP Dokter Kariadi Semarang, mengingat prevalensi kasus TB anak cukup besar.

Metode dan Desain PenelitianJenis penelitian yang digunakan adalah clinical

disagreement.Populasi rujukan ialah bayi dan anak yang

dicurigai menderita tuberkulosis yang berobat jalan di Poliklinik 159 dan Poliklinik Paru Anak 151 RSUP dr. Kariadi Semarang. Populasi studi adalah bayi umur 4 bulan - anak usia 12 tahun. Unit analisis adalah bayi dan anak malnutrisi yang dicurigai menderita tuberkulosis dan dilakukan uji Mantoux dan uji BCG.

• Orang tua penridenta memberi ijin dan bersedia dilakukan pemeriksaan yang ditetapkan

• Tempat tinggal di dalam kota Semarang

Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah:• Menderita penyakit TB berat, morbili, varisela,

pertusis, difteri, tifus abdominalis

sebagai alat diagnostik. Uji BCG tidak terdapat anergi, sehingga lebih unggul bila dibandingkan dengan uji tuberkulin. Dikshit dan Surendra Singh (1977) melakukan uji Mantoux dan uji BCG secara bersamaan dengan hasil 93% uji BCG positif pada penderita tuberkulosis paru dan hanya 65% uji Mantoux positif; 82% uji BCG positif pada meningitis tuberkulosis dan hanya 40% uji Mantoux positif. Disimpulkan bahwa uji BCG merupakan bentuk protein natural sehingga reaksinya lebih cepat dan sensitif terutama untuk mendiagnosis tuberkulosis pada anak dengan malnutrisi dan tuberkulosis yang berat. Shrivastava dkk. (1977) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa BCG mempunyai indeks hipersensitivitas tuberkular yang lebih baik dan tidak dipengaruhi oleh faktor umur dan status gizi; jarang sekali menimbulkan efek samping dan reaksi yang berat; merupakan indikator yang kuat pada kontak tuberkulosis; sehingga BCG mempunyai keunggulan karena sederhana, aman, reabilitasnya tinggi dan murah sebagai alat diagnostik yang direkomendasikan untuk penggunaan rutin di lapangan, terutama di negara dengan prevalensi tinggi tuberkulosis seperti Indonesia. Selain itu uji BCG juga dapat langsung berguna sebagai profilaksis.

Perbandingan hasil positif uji BCG dan uji tuberkulin sebagai uji tapis menarik untuk diteliti

Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah:• Pasien rawat jalan yang menderita tuberkulosis

(memenuhi Kriteria Starke 1994) di Poliklinik Anak 159 dan Poliklinik Paru 151 RSUP dr. Kariadi

• Berumur antara 4 bulan sampai dengan 12 tahun dengan tinggi badan maksimal 145cm untuk anak laki-laki dan 137cm untuk anak perempuan

Besar sampel:n : (Z² 1-Ü/2) PQ d²

Keterangan :P : 0,8Q : 1 - P = 0,2Z² 1-Ü/2 : 1,96 (derajat kepercayaan)d : 0,1n : 1.96² (0,8) (0,2) : 62

0,1²

Prevalens 80% N : 100 X 62 : 77,5

80 Bila dihitung drop out 10% maka jumlah sampel menjadi 85.

Page 7: jurnal penelitan

Perbandingan Hasil Positif Uji BCG dan Uji Tuberkulin sebagai Uji Tapis pada Anak dengan Tuberkulosis Mohammad Wildan 3

positif (dengan hasil uji BCG positif atau negatif ) diberikan pengobatan anti TB dan follow up sampai dengan 6 bulan pengobatan. Rejimen pengobatan yang digunakan adalah 2HRZ 4HR.

Perbaikan yang dinilai adalah:• Klinik: demam sub febril menghilang, nafsu

makan membaik, berat badan bertambah (10% setelah pengobatan 2 bulan)

• Laboratorim membaik: Hb meningkat, LED menurun, lekositosis berkurang, pergeseran ke kiri berkurang

• Gambaran radiologik membaik dibanding sebelumnyaPengelolaan dan analisis data menggunakan

chi kuadrat (X2) dan Fisher's Exact test. Perhitungan nilai Kappa dengan menggunakan clinical disagreement.

Hasil PenelitianBerdasarkan penelitian didapatkan hasilnya

sebagai berikut:Sebaran Umur dan Jenis KelaminApabila dikelompokkan berdasarkan umur, dari 100 sampel dalam penelitian ini: baik pada laki-Iaki dan perempuan sampel kelompok umur < 5 tahun merupakan yang terbanyak, kemudian kelompok umur 6-10 tahun, dan paling sedikit kelompok umur >10 tahun.

Bila dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin didapatkan: proporsi sampel berjenis kelamin laki-laki dan perempuan relatif berimbang pada semua kelompok umur.Sebaran Status GiziBila dikelompokkan berdasarkan status gizi didapatkan: pada sampel laki-laki Kurang Energi Protein (KEP) ringan lebih banyak dibanding yang bergizi baik, yaitu 2:1. Sedangkan pada sampel perempuan didapatkan Kurang Energi Protein ringan lebih banyak dibanding gizi baik, tetapi dengan perbandingan hampir sama/ separuh jumlah. Secara keseluruhan sampel dengan Kurang Energi Protein ringan lebih banyak dibanding sampel dengan gizi baik, dengan perbandingan 3:2 dan Kurang Energi Protein ringan lebih banyak didapatkan pada sampel laki-laki dibanding sampel perempuan dengan perbandingan yang relatif berimbang.

Sebaran Hasil uji tuberkulin (Mantoux) dan uji BCGHasil uji tuberkulin (Mantoux) positif pada umur < 5 tahun sebagian besar negatif dibanding positif, yaitu 3,5:1, kelompok umur 6-10 tahun hasil uji positif dibanding negatif adalah 1:2, sedangkan

• Menderita penyakit keganasan• Mendapatkan pengobatan kortikosteroid

jangka lama, mendapatkan vaksin• Penderita pindah tanpa diketahui alamat yang

baru• Meninggal selama penelitian karena penyakit

lain• Gizi buruk

Kecurigaan tuberkulosis berdasarkan Modifikasi Kriteria Starke (1994): 1. Anamnesis didapatkan: ada sumber penularan;

panas subfebril terutama malam hari yang berlangsung ± 2 minggu tanpa sebab yang jelas, sering berkeringat malam; berat badan sulit naik (dalam 4 minggu terakhir); keluhan sesuai dengan organ yang terkena yaitu salah satu dari: benjolan disekitar leher, punggung, aksila, inguinal; nyeri pada lutut dan selangkangan; mata gatal dan merah dengan daerah kuning pada kelopak mata dan bengkak, berair; pembesaran limfonodi nares.

2. Pemeriksaan fisik didapatkan salah satu dari: t idak didapatkan kelainan; malnutrisi (antropometri); konjungtivitis fliktenularis; pembesaran kelenjar limfe (leher, aksila, inguinal, nares); gibbus/spondilitis; didapatkan gerak nafas asimetris, palpasi dada pekak, ronki , wheezing, atau krepitasi pada pemeriksaan fisik paru.

3. Pe m e r i k s a a n l a b o r a t o r i u m m u n g k i n didapatkan anemi atau lekositosis. Selain itu dijumpai peningkatan laju endap darah; peningkatan sel mononuklear; juga limfopeni.

4. Pemeriksaan X foto toraks didapatkan salah satu dari: hasil X foto toraks sesuai TB; perubahan parenkim dan atau konsolidasi alveolar; densitas interstitial; pleuritis; kelainan fokal; kelainan akibat perubahan mekanik; terdapat diskonkruensi.Uji Mantoux dilakukan di BKIA (Klinik Tumbuh

Kembang) RSUP dr. Kariadi, pembacaan setelah 72 jam, sedangkan uji BCG dilakukan di BKIA (Klinik Tumbuh Kembang) RSUP dr. Kariadi bersama-sama dengan uji Mantoux, pembacaan setelah 72 jam dan setelah 7 hariPemeriksaan radiologi dilakukan di SMF Radiologi RSUP dr. Kariadi, pembacaan dilakukan oleh seorang radiolog, untuk 1 pasien dilakukan pembacaan sebanyak 2 kali.

Anak yang secara klinis menderita TB dengan hasil uji BCG positif (dengan hasil uji Mantoux positif atau negatif ) atau dengan hasil uji Mantoux

Page 8: jurnal penelitan

Biomedika, Volume 1, Nomor 2, Tahun 20094

nilai p= 0,649 Sebaran status gizi pada kedua hasil uji BCG

dan tuberkulin tidak bermakna secara statistik.Sebaran hasil uji BCG dan tuberkulin

hubungannya dengan status gizi pada anak umur <5 tahun didapatkan nilai df= 3 dan nilai p = 0,58.

Sebaran Hasil uji BCG dan tuberkulin hubungannya dengan status gizi pada anak umur <6-10 tahun mendapatkan nilai df= 0,22 dan nilai p = 0,64.

PembahasanDari 100 pasien yang diambil sebagai sampel

dalam penelitian ini didapatkan bahwa sampel yang berumur <5 tahun persentase sampel perempuan (50,7%) lebih banyak dibanding laki-laki (49,3%) tetapi perbandingannya relatif berimbang, yaitu 1:1. Pada kelompok umur 6-10 tahun juga didapatkan hal yang sama. Demikian juga pada sampel kelompok umur >10 tahun, persentase sampel laki-laki dan perempuan adalah sama besar. Secara persentase menurut jenis kelamin dan kelompok umur sampel yang didapat pada penelitian ini tidak mencerminkan gambaran populasi. Pada anak yang berumur lebih muda morbiditas terhadap penyakit tuberkulosis lebih banyak terjadi pada anak laki-laki dibanding dengan anak perempuan, kemudian persentasenya akan menjadi sama dengan bertambahnya umur (Stead, 1993). Sedangkan persentase morbiditas terhadap penderita tuberkulosis pada jenis kelamin laki-laki dan perempuan untuk kelompok umur 6 tahun keatas pada penelitian ini relatif sama, yaitu 48% sampel laki-laki dan 52% perempuan, keadaan ini sesuai dengan persentase gambaran populasi, dimana pada anak yang lebh besar persentase morbiditas terhadap penyakit tuberkulosis adalah sama besar (Stead, 1993).

Apabila dikelompokkan menurut menurut umur, 100 sampel terbagi atas kelompok umur <5 tahun sebanyak 75 sampel atau 75,0%, kelompok umur 6-10 tahun sebanyak 21 sampel atau 21,0% dan kelompok umur >10 tahun sebanyak 4 sampel atau 4%. Berdasarkan persentase menurut kelompok umur sampel yang didapat pada penelitian ini sudah mencerminkan gambaran populasi, yaitu bahwa morbiditas terhadap penyakit tuberkulosis anak yang berumur < 5 tahun adalah yang tertinggi dibanding dengan anak yang berumur lebih tua (Stead, 1993).

Selain karakteristik sampel, jumlah sampel juga berpengaruh terhadap hasil penelitian. Sampel

p a d a k e l o m p o k u m u r > 1 0 t a h u n perbandingannya adalah 1:3 antara hasil positif dibanding negatif. Proporsi hasil positif uji tuberkulin paling besar didapatkan pada kelompok umur 6-10 tahun, menyusul kelompok umur >10 tahun dan paling kecil pada kelompok umur < 5 tahun.

Hasil uji BCG positif pada umur < 5 tahun sebagian besar (96%) negatif dibanding positif, kelompok umur 6-10 tahun dan >10 tahun perbandingannya 100% positif.

Didapatkan proporsi konjungtivitis fliktenularis, pada sampel laki-laki dan perempuan relatif sama.

Sebaran Hasil uji tuberkulin dan BCG, perbaikan radiologik dan laboratorikSebagian besar sampel mengalami perbaikan laboratorik baik pada responden dengan hasil uji tuberkulin positif dan negatif setelah mendapat pengobatan antituberkulosis rejimen 2HRZ 4HR.Sebagian besar sampel mengaiami perbaikan radiologik baik pada sampel dengan hasil uji tuberkulin positif dan negatif setelah mendapat pengobatan antituberkulosis rejimen 2HRZ 4HR. Proporsi perbaikan radiologik lebih besar pada sampel dengan hasil uji tuberkulin positif dibanding uji tuberkulin negatif, dengan pebandingan 6:5.

Sebagian besar (95,6%) sampel mengalami perbaikan laboratorik baik padda responden dengan hasil uji BCG positif setelah mendapat pengobatan antituberkulosis rejimen 2HRZ4HR.Sebagian besar sampel mengalami perbaikan radiologik baik pada sampel dengan hasil uji BCG positif dan negatif setelah mendapat pengobatan antituberkulosis rejimen 2HRZ4HR. Proporsi perbaikan radiologik lebih besar pada sampel dengan hasil uji BCG positif dibanding uji BCG negatif, dengan perbandingan 4:3.

Analisis StatistikNilai KappaDengan menggunakan tabulasi silang 2X2 perhitungan nilai kappa data hasil uji tuberkulin (Mantoux) dan uji BCG didapatkan nilai kappa -0,008, dengan nilai p=0,701.

Tabulasi silang data hasil uji tuberkulin (Mantoux) dan uji BCG responden umur < 5 tahun didapatkan nilai kappa - 0,013 dengan nilai p= 0,605.

Sebaran hasil uji BCG dan status gizi dengan Fisher's Exact test didapatkan nilai p= 0,331

Sebaran Hasil uji tuberkulin (Mantoux) dan Status Gizi Dengan Fisher's Exact test didapatkan

Page 9: jurnal penelitan

Perbandingan Hasil Positif Uji BCG dan Uji Tuberkulin sebagai Uji Tapis pada Anak dengan Tuberkulosis Mohammad Wildan 5

kemungkinan adanya under diagnosis. Sedangkan untuk hasil uji BCG positif dapat berarti bahwa memang benar sampel tersebut menderita penyakit tuberkulosis, atau tidak menderita penyakit tuberkulosis. Hal ini dapat terjadi akibat kemungkinan adanya overdiagnosis. Keadaan lain yang dipertimbangkan adalah (1) komposisi reagen BCG jauh lebih besar dibanding reagen tuberkulin (PPD S 5 TU) sehingga kemampuan menimbulkan reaksi hipersensitivitas lebih besar, (2) semua responden pada penelitian ini pernah mendapatkan vaksinasi BCG, sehingga mungkin lebih mudah tersensitisasi terhadap uji BCG.

Pengaruh status gizi responden terhadap hasil uji tuberkulin (Mantoux) dapat dilihat pada tabel 8. Tampak bahwa hasil uji tuberkulin (Mantoux) yang negatif lebih banyak didapatkan pada sampel dengan status gizi Kurang Energi Protein ringan, tetapi dengan menggunakan Fisher's Exact test tidak didapatkan hasil yang berbeda bermakna dengan p=0,331.

Sedangkan pengaruh status gizi sampel terhadap hasil uji BCG terlihat bahwa hasil uji BCG negatif lebih sedikit pada sampel dengan kurang energi protein ringan, dengan menggunakan Fisher's Exact test juga tidak didapatkan hasil yang berbeda bermakna dengan p=0,331.

Sampel dengan status gizi Kurang Energi Protein ringan dengan hasil uji BCG positif, hasil uji tuberkulin lebih banyak yang negatif dibanding yang positif, dengan perbandingan 3:1. Sedangkan pada sampel dengan gizi baik dan hasil uji BCG positif hasil uji tuberkulin negatif lebih banyak dibandimg yang positif, dengan perbandingan 4:1. Tetapi pada kedua keadaan tersebut secara statistik tidak bermakna (df= 1,12 dan p= 0,77). Demikian juga pada sampel yang berumur <5 tahun (df= 1,93 dan p= 0,58) dan 6-10 tahun (df= 0,22 dan p= 0,64) mempunyai gambaran yang hampir sama Hal ini dapat terjadi karena mungkin jumlah sampel yang terlalu sedikit sehingga uji chi square yang dilakukan kurang valid. Jaiswal dan Badhari (1977) mendapatkan 94% anak dengan berbagai derajat malnutrisi menunjukkan hasil uji tuberkulin positif relatif dalam proporsi yang lebih rendah (18%) dibanding dengan hasil uji BCG positif pada keadaan yang sama. Sedangkan Chandra (1979) mendapatkan hanya 10% dari 23 anak yang diketahui menderita tuberkulosis dengan malnutrisi. Shrivastava (1977) menyatakan bahwa BCG mempunyai indeks hipersensitivitas tuberkular yang lebih baik dibanding tuberkulin,

yang digunakan pada penelitian ini sudah diperhitungkan dengan beberapa persyaratan yang sesuai dengan rumus yang berlaku sehingga jumlah sampel untuk penelitian ini sudah dianggap cukup. Semakin banyak sampel akan semakin baik pula hasil penelitian tersebut.

Penelitian ini menggunakan perhitungan statistik uji clinical disagreement dengan membandingkan dua cara uji tapis tuberkulosis pada anak dengan menggunakan uji tuberkulin (Mantoux) dan uji BCG, sehingga tidak menggunakan baku emas. Perhitungan statistik dilakukan dengan mengukur nilai "kappa" dengan tabulasi silang 2X2 antara hasil uji BCG dan uji tuberkulin (Mantoux).

Jumlah sampel dengan hasil uji BCG positif dan hasil uji tuberkulin (Mantoux) positif adalah 23 sampel atau 23,0%, jumlah sampel dengan hasil uji BCG positif dan hasil uji tuberkulin (Mantoux) negatif adalah 74 sampel atau 74,0%, jumlah sampel dengan hasil uji BCG negatif dan hasil uji tuberkulin (Mantoux) positif adalah 1 sampel atau 1,0% dan jumlah sampel dengan hasil uji BCG negatif dan hasil uji tuberkulin (Mantoux) negatif adalah 3 sampel atau 3,0%. Apabila dijumlahkan secara keseluruhan, didapatkan sampel dengan hasil uji BCG positif adalah sebanyak 97 atau 97,0%, sedangkan sampel dengan hasil uji (tuberkulin) Mantoux positif adalah sebanyak 24 atau 24,0%. Dikshit dan Sursndra Singh (1977) melakukan uji tuberkulin dan uji BCG secara bersamaan dengan hasil 93% uji BCG positif pada responden tuberkulosis paru dan hanya 65% uji tuberkulin positif, 82% uji BCG positif pada meningitis tuberkulosis dan hanya 40% uji tuberkulin positif. Disimpulkan bahwa uji BCG merupakan bentuk protein natural sehingga reaksinya lebih cepat dan sensitif untuk mendiagnosis tuberkulosis pada anak dengan malnutrisi dan tuberkulosis yang berat.

Berdasarkan rumus maka didapatkan hasil perhitungan (seluruh sampel) nilai kappa sebesar - 0,008 dengan nilai p=0,701 (bermakna p=0,05) yang berarti bahwa kedua uji (uji BCG dan uji tuberkulin (Mantoux)) tidak ada kesesuaian dan tidak bermakna. Demikian juga pada sampel yang berumur <5 tahun didapatkan nilai kappa yang kecil (-0,013) dan nilai p= 0,605. Apabila hasil uji tuberkulin (Mantoux) positif berarti bahwa sampel benar menderita penyakit tuberkulosis; tetapi apabila hasil uji tuberkulin (Mantoux) negatif maka belum tentu tidak menderita penyakit tuberkulosis. Hal ini dapat terjadi akibat

Page 10: jurnal penelitan

Biomedika, Volume 1, Nomor 2, Tahun 20096

15 tahun (Ormerod LP, 1994). Ormerod (1994) mengatakan bahwa konjungtivitis fliktenularis biasanya terjadi pada anak yang mengalami infeksi primer tuberkulosis dalam 12 bulan. Hasil uji tuberkulin (Mantoux) pada kedua penderita ternyata negatif. Hal ini dapat dijelaskan bahwa indeks hipersensitvitas tuberkular terhadap uji tuberkulin (Mantoux) lebih rendah dibanding terhadap uji BCG, sebagaimana yang didapatkan oleh Shrivastava (1977) yang menyimpulkan bahwa BCG mempunyai indeks hipersensitivitas tuberkular yang lebih baik. Sonmez (1994) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa BCG lebih sensitif dan lebih spesifik dibanding PPD untuk membantu menegakkan diagnosis tuberkulosis. Kemungkinan lain adalah bahwa konjungtivitis fliktenularis disebabkan oleh infeksi streptokokus kelompok hemolitik atau stafilokokus, tetapi pada kedua penderita tidak dilakukan pemeriksaan pengecatan ataupun biakan sekret mata.

Ukuran diameter hasil positif uji BCG pada sampel yang dinyatakan sembuh didapatkan 62 sampel (77,5 %) berdiameter 5-10 mm dan 18 sampel (22,5 %). Sedangkan ukuran diameter rata-rata hasil positif uji BCG pada sampel yang dinyatakan sembuh adalah 9,7 mm.

Uji BCG positif didapatkan pada 73 sampel (97,33%) dari seluruh sampel yang berumur < 5 tahun, 20 sampel (95,23% dari seluruh sampel yang berumur 6-10 tahun dan 4 sampel (100%) dari seluruh sampel yang berumur >10 tahun. Dengan demikian, sebaran hasil positif uji BCG relatif sama pada semua kelompok umur, hal ini sesuai dengan hasil yang didapatkan oleh Shrivastava dkk (1977). Dapat dijelaskan bahwa BCG mempunyai indeks hipersensitivitas tuberkular yang lebih baik dan tidak dipengaruhi oleh faktor umur dan status gizi; jarang sekali menimbulkan efek samping dan reaksi yang berat; merupakan indikator yang kuat (96,7%) pada kontak tuberkulosis; sehingga BCG mempunyai k e u n g g u l a n k a r e n a s e d e r h a n a , a m a n , reabilitasnya tinggi dan murah sebagai alat diagnostik yang direkomendasikan untuk penggunaan rutin di lapangan, terutama di negara dengan prevalensi tinggi tuberkulosis. Choudhary dkk (1977) melaporkan bahwa respons terhadap vaksinasi BCG tidak berhubungan dengan umur.

Komplikasi akibat uji BCG pada sampel tidak didapatkan pada penelitian ini. Efek samping uji BCG (Choudhary, 1977) didapatkan adenitis regional 3,3% dan ulserasi 8%. Insiden

dan tidak dipengaruhi oleh status gizi. Dana S, Krishna K, Suskind RM (1997) mendapatkan bahwa anak dengan kecepatan pertumbuhan subnormal akibat defisiensi diit protein akan menurunkan respons reaksi hipersensitivitas tipe lambat terhadap tuberkulin. Respons hipersensitivitas tipe lambat terdiri atas tiga rangkaian proses yang jelas. Jalur aferen melibatkan sensitisasi limfosit T terhadap antigen yang "diproses" makrofag. Jalur eferen ditandai dengan produksi mediator kimia yang terlarut atau limfokin dan berperan pada sensitisasi sel T yang mengenal dan berinteraksi dengan antigen yang disuntikan intradermal. Respons peradangan kemungkinan dipacu oleh pelepasan limfokin pada sisi kulit yang diberi antigen; dan faktor kemotaktik menyebabkan indurasi kulit yang merupakan tanda reaksi positif (Grange JM, 1994). Defisiensi nutrisi menekan salah satu atau lebih komponen respons hipersensitivitas tipe lambat (Grange JM, 1994). Pada Kurang Kalori Protein ringan mungkin belum s a m p a i m e n e k a n k o m p o n e n r e s p o n s hipersensitivitas tipe lambat tersebut, sehingga tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara status gizi dan hasil negatif uji tuberkulin. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa status imunologi pada sampel belum sampai menurun sehingga belum sampai mengurangi sensitivitas reaksi hipersensitivitas, yang pada penelitian ini status imunologi tidak diteliti.

Didapatkan 2 sampel dengan konjungtivitis fliktenularis; yang pertama seorang anak perempuan berumur 8 tahun, anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang mendukung kearah tuberkulosis, sudah dikonsulkan ke Bagian Mata dengan kesimpulan konjungtivit is fliktenularis akibat tuberkulosis, tetapi hasil uji tuberkulin (Mantoux) negatif (diameter indurasi 5 mm) dan hasil uji BCG positif (diameter indurasi 12 mm), perkembangan penyakit setelah dilakukan pengobatan antituberkulosis selama 6 bulan dengan rejimen 2HRZ 4HR dinyatakan sembuh (klinik, laboratorik, radiologik perbaikan); kasus yang kedua seorang anak laki-laki berumur 6 tahun dengan keadaan yang sama dengan kasus pertama, hasil uji tuberkulin (Mantoux) negatif (diameter indurasi 7 mm) dan hasil uji BCG positif (diameter indurasi 12-16 mm). Konjungtivitis fliktenularis merupakan reaksi hipersensitivitas terhadap tuberkulin, terjadi akibat respons infeksi primer tuberkulosis. Insidensnya banyak terjadi pada negara dunia ketiga pada kelompok umur 5-

Page 11: jurnal penelitan

Perbandingan Hasil Positif Uji BCG dan Uji Tuberkulin sebagai Uji Tapis pada Anak dengan Tuberkulosis Mohammad Wildan 7

Saran1. Perlu hati-hati dalam menegakkan diagnosis

tuberkulosis tanpa hasi l b iak an dan pengecatan kuman BTA

2. Perlu dilakukan penelitian serupa lebih lanjut dengan menggunakan baku emas dan kontrol

Daftar PustakaChandra RK, Newberne PM. 1979. Nutrition, Immunity and Infection Mechanism of Interaction. New York: Plenum Press

Choudhary AK. 1977. BGC test for diagnosis of childhood tuberculosis. Indian Pediatrics. 13: 689-95.Christy C. 1996. Screening for tuberculosis infection in urban children. Archieves of Pediatrics & Adolescent Medicine 150: 722-26

Committee on Infection Diseases. Screening tuberculosis in infant and children. Pediatrics 93: 131-4

Dana S, Krishna K, Suskind RM. 1977. The Malnourished Child in Overview Dalam: Suskind RM, Leslie LS. 1997. The Malnourished Child. New York: Raven Press

Dikshit KP, Surendra Singh. 1977. BCG test for diagnosis of chilhood tuberculosis. Indian Pediatrics Vol XIII No 9: 687-95.

G r a n g e J M . 1 9 9 4 . I m m u n o p h y s i o l o g y a n d Immunopathology of Tuberculosis. Dalam: Davis PDO eds. 1994. Clinical Tuberculosis. London: Chapman & Hall Medical

Jaiswal S, Badhari NR. 1977. Evaluation of diagnostic valve of BCG test in childhood tuberculosis. Indian Pediatrics 14: 993-8.

Kenyon TA, Driver C, Haas E. 1999. Immigration and tuberculosis among children on the united states-mexico border, county of san diego, California. Pediatrics 104: 1-6

Ormerod LP. 1994. Respiratory Tuberculosis. Dalam: Davis PDO eds. Clinical

Shrivastava DK, Shingwekar AG, Choudhary AK. 1977. Evaluation of BCG test in childhood tuberculosis. Indian Pediatrics Vol XIV No 12: 993-8.

Soekendar AW. 1993. PAP-TB sebagai Penunjang Diagnosis dan Terapi Tuberkulosis. Jakarta: Forum Diagnosticum

Somnez. 1998. Diagnosis of tuberculosis: PPD or BCG test. Journal of Tropical Pediatric. 44: 40-2

limfadenopati regional yang diteliti oleh Udani dan Jaiswal (dikutip oleh Shrivastava) sebesar 7,1 %. Sehingga disimpulkan bahwa BCG dapat diberikan pada semua anak tanpa khawatir terhadap komplikasinya.

Sebagai bukti tambahan (yang perlu dipertimbangkan) adalah bahwa baik pada sampel dengan hasil uji tuberkulin positif dan negatif, sebagian besar (perbaikan laboratorik 95,8% dan 96,1%; perbaikan radiologik 95,8% dan 77,6%) mengalami perbaikan laboratorik dan radiologik dengan sebaran yang sama. Sedangkan pada responden dengan hasil uji BCG positif dan negatif, sebagian besar (perbaikan laboratorik 95,9% dan 100%; perbaikan radiologik 82,5% dan 66,7%) mengalami perbaikan laboratorik dan radiologik juga dengan sebaran yang hampir sama. Akan lebih baik lagi apabila penelitian ini juga menggunakan sampel kontrol.

Adapun keterbatasan-keterbatasan penelitian ini adalah:1. Tidak menggunakan baku emas dan kontrol2. Tidak dilakukan uji standar mutu reagen BCG

maupun PPDS 5TU secara biokimiawi sebelum disuntikkan

3. Penyuntikan reagen dilakukan oleh perawat yang telah berpengalaman, tetapi kesalahan akibat teknik penyuntikan reagen tidak dipertimbangkan secara teliti

4. Tidak diteliti variabel lain yang berpengaruh pada perbaikan status gizi

5. Tidak diteliti status imunologi yang dapat berpengaruh pada reaksi hipersensitvitas uji BCG maupun tuberkulin

6. Semua responden pada penelitian ini telah mendapatkan vaksinasi BCG sebelumnya

Simpulan dan SaranSimpulan1. Proporsi hasil positif uji BCG lebih besar

dibanding dengan proporsi hasil positif uji tuberkulin (Mantoux) pada anak dengan tuberkulosis, tetapi secara statistik tidak bermakna

2. Pada anak dengan tuberkulosis dan Kurang Energi Protein ringan proporsi hasil negatif uji tuberkulin (Mantoux) lebih besar dibanding dengan proporsi hasil negatif uji BCG, tetapi secara statistik tidak bermakna.

3. Sebaran hasil positif uji BCG relatif sama pada semua kelompok umur

4. Uji BCG dapat digunakan sebagai sarana uji tapis atau diagnosis tuberkulosis pada anak

Page 12: jurnal penelitan

Biomedika, Volume 1, Nomor 2, Tahun 20098

Stead WW, Dut AK. 1993. Epidemiology and Host Factors. Dalam: Schlossberg D. 1993. Tuberculosis. New York: Springer-VerlaagTuberculosis. London: Chapman & Hall Medical

Wong GWK, Oppenheimer SJ. 1994. Childhood Tuberculosis. Dalam: Davis PDO eds. 1994. Clinical Tuberculosis. London: Chapman & Hall Medical

Page 13: jurnal penelitan

Validitas Foto Thorax Proyeksi Posterio-Anterior untuk Menegakkan Diagnosis Emfisema Pulmonum Sulistyani Kusumaningrum 9

Validitas Foto Thorax Proyeksi Posterio-Anterior untuk Menegakkan Diagnosis Emfisema Pulmonum

Sulistyani KusumaningrumE mail: [email protected]

AbstractEmphysema as a condition of lung characterized by abnormal, permanent enlargement of airspaces distal to the

terminal bronchiole, accompanied by destruction of their walls. At first chronic inflammatory induced changed the lung structure. The abnormality of lung structure can manifest in Posterio-anterior chest X-ray. Posterio-anterior chest X-ray has good validity to establish change the lung structure. Posterio-anterior chest X-ray was a simple examination and cheap as good as spirometry for a gold standard. This study maintained to get validity of Posterio-anterior chest X-ray to establish diagnosis of emphysema.This study is a diagnostic test were that performed in Departement of Radiology RSUD Dr Moewardi Surakarta from July to October 2008. Samples of this study recruited were 192 subjects with range of age between 18-81 years old, 154 men and 38 women. emphysema was diagnosed if Posterio-Anterior chest X-ray showed : 1)Hyperinflation 2) Hyperlucency 3) Decrease and flattened of diaphragma and 4) Tear drop appearance of the heart, to determine either emphysema or non emphysema. emphysema was diagnosed if met with all criteria above. Spirometry showed obstruction with criteria of GOLD 2006, mild obstruction if FEV1/ FVC < 70%, FEV1 > 80% predicted, moderate obstruction if FEV1/FVC < 70%, 50%< FEV1<80% predicted, severe obstruction if FEV1/FVC < 70%, 30%< FEV1<50% predicted and very severe obstruction if FEV1/FVC < 70%, FEV1< 30% or FEV1<50% predicted plus chronic respiratory failure. F r o m 1 9 2 s u b j e c t s performed Posterio-Anterior chest X-ray, 126 subjects (66%) were diagnosed with emphysema and non emphysema were diagnosed in 66 subjects (34%). Posterio-Anterior chest X-ray emphysema with obstruction were establishe in 117 subjects (93%) and non obstruction were diagnosed in 9 subjects (7%). Posterio-Anterior chest X-ray non emphysema with obstruction were diagnosed in 12 subjects (18%) and non obstruction were diagnosed in 54 subjects (82%). Smoking habits was higher in emphysema Posterio-anterior chest X-ray group than non emphysema group. The validity of Posterio-Anterior chest X-ray to establish diagnosis of emphysema was 90.6% in sensitifity and 84.3% in spesifisity. Posterio-Anterior chest X-ray has good validity to establish diagnosis emphysema. Posterio-anterior chest X-ray was a simple examination and cheap as good as spirometry for a gold standard.Keywords: emphysema pulmonum, posterio-anterior projection, spirometry, validity

sulit dilakukan), sehingga penegakan diagnostik masih cenderung mempelajari emfisema dengan jalan mengukur derajat abnormalitas faal paru dengan pemeriksaan spirometri sebagai standar baku emas (Senior, 1998). Abnormalitas pemer iksaan faa l paru pada emfisema menunjukkan tanda obstruktif. Pemeriksaan spirometri cukup sulit dan cukup lama serta sangat memerlukan kerjasama pasien dalam hal melakukan manouver berkali-kali. Apabila pasien tidak mampu melakukan manuver secara benar maka tidak akan didapatkan hasil spirometri yang akurat.

Emfisema mempunyai kelainan berupa pelebaran abnormal dan permanen ruang udara sebelah distal dari bronkhiolus terminalis. Kelainan yang mendasari adalah destruksi difus dinding alveoli tanpa fibrosis yang nyata, bersifat kronis progresif dan memberikan kecacatan yang menetap (Thurlbeck, 1994:Finlay, 1996; Barnes,

PendahuluanDari tahun ke tahun angka kesakitan dan

k e m a t i a n p e n d e r i t a e m f i s e m a b e l u m menunjukkan penurunan. Penyakit Paru Obstruksi Khronis (PPOK) yang di dalamnya terdapat emfisema yang menjadi kontributor terbesar, di negara maju merupakan masalah kesehatan utama, karena semakin bertambahnya penderita (Widjaja, 1993).

Di Indonesia tidak ditemukan data yang akurat tentang prevalensi PPOK. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT ) DEPKES RI 1992 menunjukkan angka kematian emfisema, bronkhitis khronis dan asma menduduki peringkat ke 6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia (Widjaja, 1993).

Diagnosis emfisema berdasar pendekatan patologinya (diagnosis emfisema menggunakan pendek atan pemeriksaan histopatologi merupakan diagnosis pasti, akan tetapi sangat

Page 14: jurnal penelitan

Biomedika, Volume 1, Nomor 2, Tahun 200910

dalam penelitian ini adalah sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif, ras io kecenderungan pos i t i f dan ras io kecenderungan negatif dari foto thorax PA. Penghitungan dari variabel dilakukan dengan memakai tabel 2 x 2Teknik PemeriksaanSetiap subyek atau sampel penelitian menjalani prosedur pemeriksaan sebagai ber ik ut : Pemeriksaan radiologi thorax PA untuk menegakkan diagnosis emfisema dan non emfisema paru. Dilakukan pemeriksaan faal paru (spirometri) FEV1 dan FVC untuk menegakkan adanya emfisema (obstruksi) dan non emfisema paru (non obstruksi).

Interpretasi pembacaan hasil foto thorax PA dilakukan dokter spesialis radiologi sedangkan pemeriksaan faal paru dilakukan oleh dokter spesialis paru. Sebelum penelitian ini dimulai, dilakukan uji keandalan intra-observer seorang dokter spesialis radiologi untuk menilai foto thorax PA, penilaian foto thorax PA dilakukan dua kali. Penghitungan derajat kesesuaian (kappa) intra-observer dilakukan dengan perangkat lunak computer dan didapatkan kappa intra-observer 1,0. Nilai kappa tersebut termasuk dalam kategori sangat baik

Definisi operasional1. Pada foto thorax PA dinyatakan emfisema

pulmonum bila pada radiologi thorax ditemukan gambaran : diafragma turun dan mendatar hingga dapat mencapai di bawah costa XI aspek posterior atau di bawah costa VII aspek anterior (hiperinflasi, diafragma turun dan mendatar), penambahan lusensi paru yang dapat dibandingkan dengan gambaran udara sekitar di luar tubuh yang ikut terekspose film (hiperlusensi), gambaran jantung yang langsing disertai penurunan cardiothoracic ratio < 0,5 (tear drop appearance jantung)

2. Hasil Spirometri/gangguan faal paru dikatakan obstruksi (emfisema pulmonum) ringan bila nilai FEV1 / FVC < 70 % , FEV1 > 80 % prediksi , obstruksi sedang bila nilai FEV1 / FVC < 70 % , 50 % < FEV1 < 80 % prediksi dan obstruksi berat bila nilai FEV1 / FVC < 70 % , 30 % < FEV1 < 50 % prediksi, obstruksi sangat berat bila nilai FEV 1 / FVC < 70 %, FEV 1 < 30 % prediksi atau FEV 1 < 50% disertai gagal pernafasan khronis

1997; Senior, 1998). Kelainan struktur parenkim diawali terjadinya inflamasi khronis yang akan mengakibatkan destruksi jaringan elastin dinding jalan napas. Bentuk kelainan struktur yang dijumpai adalah destruksi serat elastin septum interalveoli dan ditemukannya peningkatan serat kolagen sebagai bentuk remodelling jaringan ikat paru akibat destruksi serat elastin tersebut. Keadaan inilah yang berkaitan dengan terjadinya penurunan fungsi paru. Elastin dan kolagen merupakan komponen utama dari anyaman (network) jaringan ikat paru yang secara bersama menentukan daya elastisitas paru (Finlay, 1997; Senior, 1998).

Destruksi serat elastin, deposisi dan bentuk remodelling kolagen, merupakan kelainan yang mendasari terjadinya pembesaran ruang udara pada emfisema. Kelainan struktur jaringan dapat memberi manifestasi pada gambaran radiologi foto thorax proyeksi posterio-anterior (foto thorax PA), sehingga pendekatan pemeriksaan foto thorax PA diharapkan mampu memberi kontribusi penegakan diagnosis yang cepat dan akurat pada e m f i s e m a p u l m o n u m d a n m e r u p a k a n pemeriksaan yang lebih nyaman bagi pasien dibandingkan spirometri.

Material dan Desain PenelitianJenis dan rancang penelitian yang dilakukan

ialah uji diagnostik. Tujuan uji diagnostik ini adalah untuk mengetahui seberapa tinggi validitas foto thorax PA untuk mendiagnosis emfisema pulmonum. Untuk keperluan ini, uji diagnostik harus sensitif (kemungkinan false negative kecil), sehingga apabila didapatkan hasil yang normal dapat dipergunakan untuk menyingkirkan adanya penyakit. Uji diagnostik ini juga harus spesifik (kemungkinan hasil false positive kecil), sehingga apabila hasilnya abnormal dapat digunakan untuk menentukan adanya penyakit (Sastroasmoro, 1995).

Penelitian dilakukan di RSU. Daerah Dr. Moewardi Surakarta selama bulan Juli hingga Oktober 2008. Cara pengambilan sampel dengan consecutive sampling. Cara kerja pada tahap pertama, saat pendaftaran penderita diseleksi berdasar kriteria inklusi dan eksklusi, pasien yang masuk kriteria inklusi dilakukan foto thorax PA untuk menegakkan diagnosis emfisema dan non emfisema paru. Dilanjutkan pemeriksaan faal paru (spirometr i ) FE V1 dan FVC untuk menegakkan adanya emfisema (obstruksi) dan non emfisema paru (non obstruksi). Analisis data

Page 15: jurnal penelitan

Validitas Foto Thorax Proyeksi Posterio-Anterior untuk Menegakkan Diagnosis Emfisema Pulmonum Sulistyani Kusumaningrum 11

Analisis DataPengujian Hipotesis dengan Uji Diagnostik. Dibuat tabel 2 x 2 hasil foto thorax PA dibandingkan spirometri

Selama periode Januari sampai dengan Desember 2004 didapatkan data dari catatan

Page 16: jurnal penelitan

Biomedika, Volume 1, Nomor 2, Tahun 200912

Hasil PenelitianPada periode bulan Juli hingga Oktober 2008 didapatkan 192 subyek penelitian, dibuat tabel 2x2 berdasar hasil foto thorax PA emfisema dan non emfisema dan hasil spirometri obstruksi dan non obstruksi.

1. Karakteristik data dasarTabel 1. Karakteristik data dasar

No1

2

3

4

5

Data DasarSubyek PenelitianHasil Foto Thorax PA emfisemaHasil Foto Thorax PA Non emfisema

Jenis KelaminLaki-Laki: emfisema Non emfisemaPerempuan: emfisema Non emfisema

Umur : Maksimal Minimal

Tingkat Pendidikan SD emfisema Non emfisema

SMP emfisema Non emfisema

SMA emfisema Non emfisema

PT emfisema Non emfisema

Kebiasaan Merokokemfisema : Ya TidakNon emfisema : Ya Tidak

Jumlah192126 66

154115 39 38 9 29

81 th18 th

785919

714625

381721

523

109 1763 3

Prosentase

66 %34 %

80 %75 %25 %20 %24 %76 %

41 %76 %24 %

37 %65 %35 %

20 %45 % 55 %

2 %40 %60 %

87 %13 %95 % 5 %

dan PT (2%). Semakin tinggi tingkat pendidikan angka kejadian emfisema lebih rendah daripada non emfisema Hal tersebut mulai tampak pada tingkat pendidikan SMA, dimungkinkan karena semakin tinggi tingkat pendidikan, seseorang akan semakin tahu tentang kesehatan.

Berdasar tabel di atas dapat diketahui penelitian ini terdiri dari 192 subyek. Jenis kelamin laki-laki (80%) lebih banyak daripada perempuan (20%). Jumlah laki-laki dengan emfisema adalah 75 % sedangkan perempuan dengan emfisema 24 %. Umur subyek penelitian antara18 sampai 81 tahun. Tingkat pendidikan subyek terbanyak adalah SD (41%) kemudian SMP (37%), SMA (20%)

Page 17: jurnal penelitan

Validitas Foto Thorax Proyeksi Posterio-Anterior untuk Menegakkan Diagnosis Emfisema Pulmonum Sulistyani Kusumaningrum 13

2. Uji diagnostik Tabel 2 . Tabel 2 x 2 hasil foto thorax PA dibandingkan spirometri

mencapai alveolus, di alveoli dapat timbul proses inflamasi, terjadi mobilisasi makrofag dan netrofil sehingga jumlah dan aktivitas sel fagosit tersebut meningkat (Samet, 1991). Aktivasi makrofag akan mengganggu keseimbangan protease anti protease. Disamping itu juga akan melepaskan Neutrophyl Chemotactic Factor (NCF) yang memobilisasi netrofil sehingga sekreasi elastase meningkat, dan dapat melepaskan oksidan yang akan menginaktifasi AAT sehingga terjadi proses perusakan elastin paru sebagai dasar kelainan emfisema (Fain, 2003;Hautamaki, 1997).

Kelompok emfisema tanpa kebiasaan merokok sejumlah 13 % karena perokok pasif mempunyai kemungkinan risiko yang sama dengan perokok aktif. Bahan toksik yang terdapat dalam asap rokok juga dapat mencapai setiap bagian trakhea, bronkhus sampai alveolus perokok pasif, sehingga timbul proses inflamasi, terjadi mobilisasi makrofag dan netrofil sehingga jumlah dan aktivitas sel fagosit tersebut meningkat. Aktifasi makrofag juga dapat disebabkan bahan polutan lain, seperti debu dan polusi udara (Barnes,1997)

Kelompok non emfisema namun dengan kebiasaan merokok terdapat 95% dan tanpa merokok 5%, perlu penelitian lebih lanjut berkaitan dengan pertanyaan berapa batang rokok yang dikonsumsi setiap harinya dan sudah berapa lama merokok. Menurut Sharma (2006), emfisema terjadi pada seseorang dengan kebiasaan merokok lebih dari 20 batang perhari dan kebiasaan merokok tersebut sudah terjadi selama 20 tahun. Kebiasaan merokok pada penelitian penulis ini belum bisa dimasukkan dalam faktor resiko, perlu dikembangkan pada penelitian lebih lanjut.

Sensitivitas foto thorax PA untuk mendiagnosis emfisema pulmonum yaitu hasil true positive dibagi jumlah true positive dan false negative ,dikalikan 100%, adalah sebesar 90,6 % ; spesifisitas yaitu hasil true negative dibagi jumlah false positive dan true negative , dikalikan 100% adalah sebesar 84,3 % ; nilai prediksi positif yaitu hasil true positive dibagi jumlah true positive dan false positive, dikalikan 100 % adalah sebesar 92,0 % ; nilai

Tabel 2x2 menunjukkan hasil pemeriksaan foto thorax PA dibandingkan pemeriksaan spirometri sebagai gold standard. Jumlah subyek penelitian dengan hasil true positive yaitu pasien dengan emfisema pada foto thorax PA yang menunjukkan tanda-tanda obstruksi pada pemeriksaan spirometri sebanyak 116 orang. Jumlah pasien dengan emfisema pada foto thorax PA namun tidak menunjukkan tanda-tanda obstruksi pada pemeriksaan spirometri sebanyak 10 orang (false positive). Jumlah pasien non emfisema pada foto thorax PA namun menunjukkan tanda-tanda obstruksi pada pemeriksaan spirometri sebanyak 12 orang (false negative) dan jumlah pasien non emfisema pada foto thorax PA yang juga tidak menunjukkan tanda-tanda obstruksi pada pemeriksaan spirometri sebanyak 54 orang (true negative).

PembahasanSubyek penelitian sejumlah 192, berdasarkan

pemeriksaan foto thorax PA diketahui emfisema adalah 126 orang (66%) sedangkan non emfisema 66 orang (34%). Kelompok emfisema pada pemeriksaan spirometri diketahui 117 (93%) dengan obstruksi dan 9 (7%) non obstruksi. Kelompok non emfisema pada pemeriksaan spirometri terdapat 12 (18%) dengan obstruksi dan 54 (82%) non obstruksi. Kelompok emfisema sendiri diketahui mempunyai angka kebiasaan merokok cukup tinggi yaitu 87 %, hanya 13 % saja tanpa kebiasaan merokok. Hal ini sesuai dengan teori tentang faktor penyebab terjadinya emfisema. Pendapat yang populer di Inggris (British hypothesis) menyatakan, faktor eksogen misalnya rokok, polusi udara, lingkungan kerja berdebu, dapat menjadi penyebab utama. Diantara semua faktor resiko tersebut, rokok merupakan faktor paling dominan dibandingkan dengan yang lain. Bahkan dinyatakan, emfisema hampir selalu disebabkan oleh asap rokok (Senior, 1998).

Bahan toksik yang terdapat dalam asap rokok dapat mencapai setiap bagian trakhea dan bronkhus sampai alveolus. Apabila bahan toksik

Hasil SpirometriObstruksi (+)

11612

128

Obstruksi (-)105464

Total12666

192

emfisema (+)emfisema (-)

Total

Foto Thorax PA

Page 18: jurnal penelitan

Biomedika, Volume 1, Nomor 2, Tahun 200914

emfisema pulmonum memberikan manfaat yang lebih dibanding dengan uji yang sudah ada yaitu spirometri sebagai gold standard untuk mengetahui fungsi faal paru. Definisi emfisema pulmonum menyebutkan kelainan paru secara anatomis, foto thorax PA mendeteksi kelainan emfisema tersebut sebagai suatu kelainan anatomis paru , sedangkan spirometri mendeteksi kelainan tersebut sebagai suatu kelainan dari fungsi faal paru. Nilai diagnostik foto thorax PA oleh karena itu lebih tinggi dibanding dengan spirometri, didapatkan sensitivitas 90,6 % dan spesifisitas 83,4%. Foto thorax PA pada pelaksanaan pemeriksaan juga lebih memberikan kenyamanan pada pasien, dikarenakan pasien hanya melakukan inspirasi maksimal kemudian menahan inspirasi tersebut saat foto diekspose tanpa harus melakukan manouver spirometri berkali-kali yang sulit dilakukan oleh pasien dengan sesak nafas. Foto thorax PA juga merupakan pemeriksaan yang lebih mudah dan lebih sederhana dengan biaya yang sama dengan pemeriksaan spirometri.

Standar baku emas emfisema pulmonum secara anatomi saat ini adalah High Resolution Computed Tomography, namun tidak semua rumah sakit di Indonesia memiliki alat tersebut. Biaya dari pemeriksaan HRCT juga sangat mahal. Tidak semua masyarakat bisa menjangkau p e m e r i k s a a n t e r s e b u t , s e h i n g g a p e r l u dipertimbangkan pemeriksaan lain yang lebih terjangkau untuk masyarakat kurang mampu tetapi memil ik i ni lai diagnostik t inggi . Pemeriksaan foto thorax PA diharapkan mampu memberi kontribusi penegakan diagnosis yang cepat dan akurat pada emfisema pulmonum dan merupakan pemeriksaan yang lebih mudah, lebih nyaman dan terjangkau bagi pasien dibandingkan spirometri.

Simpulan dan SaranSimpulanPemeriksaan foto thorax PA untuk mendiagnosis emfisema pulmonum, mempunyai sensitivitas 90,6 % dan spesifisitas 84,3 %.SaranPerlu dipertimbangkan untuk mengalihkan pemeriksaan spirometri ke pemeriksaan foto thorax PA pada pasien emfisema pulmonum dengan sesak nafas yang tidak dapat melakukan manouver spirometri berkali-kali.

prediksi negatif yaitu hasil true negative dibagi jumlah false negative dan true negative , dikalikan 100 % adalah sebesar 81,8 % ; rasio kecenderungan positif yaitu sensitifitas dibagi hasil false positive per jumlah false positive dan true negative adalah sebesar 5,8 ; rasio kecenderungan negatif yaitu hasil false negative per jumlah true positive dan false negative dibagi spesifisitas adalah sebesar 0,1.

Menurut Sharma (2006), sensitivitas foto thorax adalah 80 %. Pada penelitian ini didapatkan nilai sensitivitas lebih tinggi daripada hipotesis, hal itu disebabkan karena sejumlah 116 pasien dengan gambaran foto thorax PA menunjukkan emfisema, setelah dilakukan pemeriksaan spirometri juga menunjukkan tanda-tanda obstruksi sesuai dengan kelainan emfisema (hasil true positive tinggi).

Pada penelitian ini didapatkan nilai spesifisitas 84,3 % , angka tersebut lebih tinggi daripada hipotesis yang menyebutk an 80 %, ini dikarenakan sejumlah 54 pasien dengan gambaran foto thorax PA non emfisema setelah dilakukan pemeriksaan spirometri juga tidak menunjukkan tanda-tanda obstruksi (hasil true negative tinggi).

Sejumlah 10 pasien (false positive) pada foto thorax PA menunjukkan gambaran emfisema, namun setelah dilakukan pemeriksaan spirometri tidak didapatkan tanda-tanda obstruksi. Hal itu dimungkinkan karena menurut Enright (1987), gambaran hiperinflasi yang seolah-olah menyebabkan penurunan dan pendataran diafragma maupun tear drop appearance jantung disertai gambaran hiperlusensi juga dapat terlihat pada pasien normal dengan inspirasi dalam maupun atlet dewasa muda tanpa penyakit paru .Sejumlah 12 pasien (false negative) pada foto thorax PA menunjukkan gambaran non emfisema, namun setelah dilakukan pemeriksaan spirometri didapatkan tanda-tanda obstruksi, hal itu dikarenakan terdapat penyakit - penyakit di luar emfisema yang juga dapat menyebabkan terjadinya gangguan obstruksi jalan nafas (bronkhitis khronis, asma). Menurut Enright (1987), jalan nafas dapat diibaratkan seperti saluran karet. Aliran yang melalui saluran dapat menurun pada berbagai sebab. Penyempitan saluran dari dalam atau kompresi dari luar, akan menurunkan aliran udara di dalam saluran tersebut.

Pada penelitian uji diagnostik ini, foto thorax PA untuk mengetahui kelainan struktur paru pada

Page 19: jurnal penelitan

Validitas Foto Thorax Proyeksi Posterio-Anterior untuk Menegakkan Diagnosis Emfisema Pulmonum Sulistyani Kusumaningrum 15

Senior R., Anthonisen N., 1998. Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD). Am. J. Respir. Crit. Care. Med. 157 : 139-47.

Sharma S., 2000. Pulmonology Obstructive Airways Diseases,hhtp://ajplung.physiology.org/cgi/content/abstractSimon G., 1981. Diagnostik Roentgen, cetakan ke-2, Jakarta: Erlangga. Hal :328-332

Sutton D., 2003. Obstructive Airways Diseases, Texbook Radiology and Imaging : 168-172

Widjaja A., 1993. Penelitian Epidemiologi : Pengaruh lingkungan pada PPOM, Majalah Penyakit Dalam. FK. UNAIR Surabaya : 3-19.

Woolston C., 1997. Smoking Mice Lead to emfisema Breakthrough, Washington University School of Medicine.

Daftar PustakaBarnes P., Godfrey S., 1997. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Martin Dunitz Ltd. London : 1-28.

Enright P., 1997, Office Spirometry, Lea & Febiger, Philadelphia

Finlay G., O'Donnell, O'Connor , Hayes J., FitzGerald, 1996. Elastin and Collagen Remodeling in emfisema A Scanning Electron Microscopy Study. Am.J.Pathol,149: 1405-1415.

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 2006. Global Strategy for The Diagnosis, Management and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease, MCR Vision, Inc : 3

Hautamaki R., Kobayashi K., Senior R., Shapiro S., 1997. Requirement for Macrophage Elastase for Cigarette smoke Induced emfisema in Mice, 227 : 2002-4.

Samet J., 1991. The Relationship of Smoking to COPD . Cherniack NS, WB Saunders Company, Philadelphia : 249-54.

Sastroasmoro S., Ismael S., 1995. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , Jakarta : 267-268.

Page 20: jurnal penelitan

Biomedika, Volume 1, Nomor 2, Tahun 200916

Page 21: jurnal penelitan

Dyslipidemia pada Penderita Stroke dengan Demensia di RS Dr. Sardjito Jogjakarta Listyo A. Pujarini 17

Dislipidemia pada Penderita Strokedengan Demensia di RS Dr. SardjitoJogjakarta

Listyo A. Pujarini E mail: [email protected]

AbstractThere is rising in prevelence of dementia as changing of disease pattern from infection disease to degerenative

disease. Dyslipidemia is one of the risk factors that take part in vascular dementia's process. The aim of this study is to get lipid profile of stroke patients with dementia in Dr. Sardjito General Hospital Jogjakarta. This study is descriptive study from patients medical record that were diagnosed by stroke with dementia in Dr Sardjito General Hospital. There were 41 subject. Most of them are male (28/68%), age = 55-64 (19/47%), education = junior high school (15/37%), marital status = married (40/98%) and occupation = retired (12/29%) . Dyslipidemia history was positive in 21/ 52,5% subjects. Hypercholesterolemia found on 27/65,9% subjects, high LDL on 23/ 56,1% subjects, high trygliceride on 34/82,9% subjects, low HDL on 15/36,6% subjects. Highest, lowest, and average mean of lipid profile were : total cholesterole 327/130/208,97mg/dl; HDL78/22/46,76mg/dl; LDL 242/66/121,73mg/dl; trigliserid 244/120/183,27mg/dl respectively. HCTS examination reveal that most of lesion are ischemic lesion/infarct iskemik/imfark (23/56,1%), and mostly found in frontoparietal lobe (9/22,0%). Most patient with stroke with dementia had abnormal lipid profile.Keywords: dyslipidemia, stroke, dementia

Cholesterol (LDL-C) dengan demensia vaskular (Reitz et al.,2004). Hasil lain didapatkan pada penelitian cohort, bahwa LDL dan trigliserid plasma tidak berkaitan dengan gangguan fungsi kognitif, sedangkan HDL yang rendah dan kolesterol total yang tinggi berkaitan dengan fungsi kognitif terutama fungsi bahasa (Reitz et al.,2004).

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, kami ingin mengetahui bagaimana hasil pemeriksaan laboratorium profil lipid pada Penderita stroke dengan demensia di RS DR Sardjito Yogyakarta.Penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran profil lipid pada Penderita stroke dengan demensia di RS DR. Sardjito Yogyakarta.

Material dan Desain PenelitianMerupakan kajian deskriptif dari catatan medis

pasien yang terdiagnosa stroke dengan demensia yang dirawat di Unit Stroke RS DR. Sardjito Yogyakarta bulan Oktober sampai Desember 2007. Diagnosis stroke ditegakkan berdasarkan anamnesis riwayat medis, fisik, psikiatri, pemeriksaan fisik dan Computed Tomografi (CT). Gangguan kognitif ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan MMSE ( kurang 24). Demensia berdasarkan kriteria DSM-IV

PendahuluanPeningkatan usia harapan hidup akan

menambah jumlah lansia yang berdampak pada pergeseran pola penyakit dari infeksi ke degenerasi atau neoplasma. Peningkatan jumlah lansia akan menambah populasi Penderita demensia (Kaye,1998). Penelitian di Lundby Swedia memperlihatkan angka risiko terkena demensia vaskular sepanjang hidup 34,5% pada pria dan 19,94% pada wanita dengan semua tingkatan gangguan kognisi dimasukkan dalam perhitungan (PERDOSSI,2004).

Sudah lama diketahui bahwa defisit kognisi dapat terjadi setelah serangan stroke. Penelitian terakhir memperlihatkan, demensia terjadi rata-rata seperempat sampai sepertiga dari kasus stroke (Taternichi et al., 1992). Insidensi demensia pasca stroke bervariasi antara 23,5% sampai dengan 61% (Schmid et al, 1993)

Abnormalitas lipid berperan dalam proses aterosklerosis kranioserebral. Moroney et al., 1999, dalam penelitian prospective longitudinal community- based tentang LDL kolesterol dan risiko demensia dengan stroke, menyimpulkan bahwa peningkatan LDL kolesterol berhubungan dengan risiko demensia dengan stroke pada Penderita tua (RR:3,1; 95% CI: 1,5-6,1). Beberapa penelitian yang lain memberikan hasil yang kontroversial, yaitu menyimpulkan hubungan yang lemah antara level High Density Lipoprotein Cholesterol (HDL-C) dan Low Density Lipoprotein

Page 22: jurnal penelitan

Biomedika, Volume 1, Nomor 2, Tahun 200918

Hasil PenelitianDari penelitian kajian deskriptif ini didapatkan sebanyak 41 Penderita stroke dengan demensia.

Karakteristik subyek penelitian dapat dilihat pada gambar dan tabel di bawah ini :

Gambar 1. Karakteristik subyek menurut jenis kelamin

Gambar 2. Karakteristik subyek menurut umur

Dari gambar 1 dan 2 dapat dilihat bahwa sebagian besar subyek dalam penelitian ini berjenis kelamin laki-laki sebanyak 28 (68%) dan berumur antara 55-64 tahun sebanyak 19 (47%).

Gambar 3. Karakteristik subyek menurut tingkat pendidikan

Gambar 4. Karakteristik subyek menurut status perkawinan

Gambar 5. Karakteristik subyek menurut pekerjaan

Page 23: jurnal penelitan

Dyslipidemia pada Penderita Stroke dengan Demensia di RS Dr. Sardjito Jogjakarta Listyo A. Pujarini 19

Sedangkan dari gambar 3, 4, 5, dapat kita ketahui sebanyak 15 (37%) Subyek dengan tingkat pendidikan SLTP, 40 (98%) Subyek sudah menikah dan 12 (29%) Subyek dengan pekerjaan sudah pensiunan.

Tabel 2. Karakteristik faktor resiko vaskular

Dari tabel tersebut diatas, dapat dilihat bahwa sebagian besar profil lipid memang abnormal. Riwayat dislipidemia terdapat pada 21 (52,5%). Kolesterol total tinggi sebanyak 27 (65,9%) Subyek; LDL tinggi sebanyak 23 (56,1%) Subyek; dan trigliserid tinggi sebanyak 34 (82,9%) Subyek.

Tabel 3. Hasil HCTS sesuai patologi lesi

Tabel diatas menyatakan bahwa sebagian besar HCTS dengan patologi lesi berupa iskemik/infark sebesar 23 (56,1%%).

Faktor resiko

Riwayat dislipidemia

Riwayat hipertensi

Riwayat DM

Status merokok

Gula darah tinggi

Kolesterol total tinggi

HDL rendah

LDL tinggi

Trigliserid tinggi

yatidak

yatidak

yatidak

Perokok Mantan perokokBukan perokok

yatidak

yatidak

yatidak

yatidak

yatidak

Jumlah

211923188

3367

281225271415262318347

Persen(%)

52,547,556,143,919,580,514,617,167,329,370,165,934,136,663,456,143,982,917,1

Patologi lesi

AtrofiIskemik / InfarkPerdarahan

Jumlah

62312

Persen(%)

14,656,129,3

Page 24: jurnal penelitan

Biomedika, Volume 1, Nomor 2, Tahun 200920

Tabel diatas menyatakan bahwa sebagian besar HCTS dengan patologi lesi berupa iskemik/infark sebesar 23 (56,1%%).

Tabel 4. Hasil HCTS sesuai lokasi lesi

Dari hasil HCTS, ternyata sebanyak 9 (22,0%) Subyek, lokasi lesi di regio frontoparietal.

Gambar 6. Profil lipid pada subjek sesuai nilai minimal-maksimal

Dari gambar 6, ternyata nilai maksimal kolesterol total, LDL dan trigleserid diatas 200 mg/dl dan nilai rata-rata termasuk borderline high-high.

Gambar 7. Profil lipid subyek sesuai frekuensi yang abnormal

Gambar 7 menyatakan sebagian besar Subyek mempunyai nilai profil lipid yang tinggi yaitu: kolesterol total 27 Subyek, LDL 23 Subyek, trigliserid 34 Subyek.

Lokasi lesi

FrontotemporalisParaventrikulerFrontoparietalParietotemporalisParietooccipitalisTemporooccipitalisCapsula internaGanglia basalisOccipitalisParietalisLain-lain

Persen(%)

7,37,3

22,09,87,34,9

12,29,82,44,9

12,2

Jumlah

33943254125

Page 25: jurnal penelitan

Dyslipidemia pada Penderita Stroke dengan Demensia di RS Dr. Sardjito Jogjakarta Listyo A. Pujarini 21

Untuk menentukan demensia vaskular, kriteria yang paling sering digunakan adalah kriteria NINDS-AIRENS (National Institut of Neurological D i s o r d e r a n d S t r o k e a n d A s s o c i a t i o n Internationale pour la Recherche e t l'Enseigment en Neuroscience) (1991), sebagai berikut : 1) Adanya demensia yang ditetapkan dengan penurunan daya ingat yang disertai dengan dua atau lebih gangguan kognitif: orientasi, perhatian, bahasa, praksia, visuospasial, fungsi eksekutif dan kontrol motorik; 2) Munculnya tanda fokal neurologik; 3) Hubungan di antara kedua penyakit ini bermanifestasi atau berpengaruh dengan munculnya satu atau lebih keadaan berikut: onset demensia dalam tiga bulan mengikuti stroke, penurunan mendadak fungsi kognitif, fungsi kognitif berfluktuasi seperti anak tangga. Kriteria diagnosis demensia vaskular menurut DSM-IV: (a) Adanya gangguan kognitif multipleks yang dicirikan oleh 2 keadaan berikut: 1) Gangguan memori, 2) Satu atau lebih gangguan kognitif (afasia, apraksia, agnosia, gangguan funfsi eksekutif; (b) Gangguan kognitif pada a1 & a2 menyebabkan gangguan fungsi sosial & okupasional yang jelas dan penurunan tingkat kemampuan sebelumnya yang jelas; (c) Tanda & gejala neurologis fokal atau pemeriksaan radiologis menunjukkan infark multipel di daerah kortek & subkortek.

Dalam 4 tahun terakhir beberapa ilmuwan membagi faktor risiko demensia vaskular dalam 4 kategori : 1) Faktor demografi; 2) Faktor aterogenik ( hipertensi, merokok, penyakit jantung, diabetes, d i s l i p i d e m i a , m e n o p a u s e t a n p a t e ra p i penggantian estrogen; 3) Faktor non aterogenik; 4) Faktor yang berhubungan dengan stroke, diantaranya volume kehilangan jaringan otak, jumlah dan lokasi infark (Herbert et al.,2000).

Pembahasan

Sesuai PPDGJ III- (ICD-X) demensia adalah suatu sindrom akibat penyakit otak, biasanya bersifat kronik atau progresif serta terdapat gangguan fungsi luhur (fungsi kortikal yang multipel) termasuk daya ingat, daya pikir, daya orientasi, daya pemahaman, berbahasa, dan daya kemampuan menilai. Kesadaran tidak berkabut, biasanya disertai hendaya fungsi kognitif dan ada kalanya diawali oleh kemerosotan dalam pengendalian emosi, perilaku sosial atau motivasi.

Menurut PPDGJIII / ICD X: (1) F 00 Demensia pada penyakit Alzheimer, (2) F 01 Demensia vascular, (3) F 02 Demensia pada penyakit lain yang tidak diketahui, (4) F 03 Demensia yang tidak tergolongkan.

PPDGJ III membagi demensia vaskular sebagai berikut : (1) F01.0 Demensia vaskular onset akut, (2) F01.1 Demensiamulti-infark, (3) F01.2 Demensia vaskular subkortikal, (4) F01.3 Demensia vaskular campuran kortikal dan subkortikal, (5) F01.4 Demensia vaskular lainnya.

Demensia vaskular merupak an suatu kelompok kondisi heterogen yang meliputi semua sindrom demensia akibat iskemik, anoksia atau hipoksia otak, dengan penurunan fungsi kognisi mulai dari yang ringan sampai yang paling berat dan meliputi semua domain, tidak harus dengan gangguan memori yang menonjol (PERDOSSI, 2004).

Insiden dan prevalensi demensia vaskular dilaporkan berbeda-beda di berbagai negara. Di Asia prevalensi demensia vaskular lebih tinggi daripada demensia Alzheimer, yaitu berkisar 25-40%. Pada Penderita lanjut usia pasca stroke, prevalensi demensia vaskular sekitar 25% (Konsensus Pengenalan Dini & Penatalaksanaan Demensia Vaskular, 2004).

Mekanisme terjadinya demensia belum jelas s e p e n u h ny a . B e b e r a p a h i p o te s i s y a n g dikemukakan para ahli adalah : hipotesis genetik, hipotesis infeksi dan toksik, hipotesis vaskular dan metabolik, hipotesis neurotransmiter (Diaz, 1991).Mini Mental State Examination (MMSE) merupakan tes yang mudah dan berguna di dalam klinik untuk mengetahui adanya gangguan fungsi kognitif. Nilai maksimal 30, untuk penderita berpendidikan tinggi nilai di bawah 27 mengindikasikan gangguan kognitif, sedangkan pada Penderita berpendidikan rendah nilai di bawah 24 baru mengindikasikan gangguan kognitif (Bouchard et al., 1996).

Page 26: jurnal penelitan

Biomedika, Volume 1, Nomor 2, Tahun 200922

Simpulan dan SaranSimpulanPenelitian ini merupakan kajian deskristif, dan ternyata sebagian besar Subyek dalam penelitian mempunyai nilai profil lipid yang abnormal ( kadar kolesterol total tinggi, kadar LDL tinggi, kadar trigliserid tinggi; dan kadar HDL rendah juga dijumpai pada hampir setengah Subyek) .

Karena penelitian ini hanya merupakan penelitian deskriptif dengan melihat catatan medis dan terbatas dalam rentang waktu tertentu, maka didapatkan keterbatasan-keterbatasan, antara lain kelengkapan dalam penulisan rekam medis. SaranPerlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui apak ah didapatkan adanya hubungan antara profil lipid yang abnormal dari semuanya komponennya (kolesterol total, HDL, LDL & Trigleserid) dengan kejadian demensia pada Penderita stroke.

Daftar Pustaka

Bouchad, R.W., & Rossor,M.N., 1996. Typical Clinical Features. In: Gauthier S.(ed).

Clinical Diagnosis and Managemen of Alzheimer's Disease. London: Martin-Diaz, M.G., 1991, The Essential Brain.pp: 188-193, Merck, Madrid Dunitz .Ltd 35-50.

Guyton, A.C., 1986. Text Book of Medical Physiology. 7th ed. W.B. Sounders co Japan.

Hachinski, V.C., Ilif, L.D., & Zihlka, E., 1975. Cerebral blood flow in Dementia. Arch Neurol. 32(9): 632-7.

Herbert R et al, 2000. Incidence and Risk Factors in the Canadian Study of Health an Aging. American Heart Association, 3: 1487-93.

Kaye,J. A., 1998. Oldest-Old Healthy Brain Functio. Arch Neurol, 34: 1217-21.

Moroney, J. T., Tang M. X., Small S., Merchant C., Bell K., Stern Y., & Maeyeux R., 1999, Low Density Lipoprptein Cholesterol and the Risk of Dementia With Sroke, New York, JAMA, http://www. google.com.NINDS-AIRENS International Workshop, 1991. Vascular Dementia: Diagnostic Criteria for Research Studies. Neurology, 43 (2): 250-60.

(mg/dl)

LDL-C< 100 Optimal100-29 Hampir atau di atas normal130-159 Borderline high

= 190 Very High

Kolesterol Total< 200 Normal200-239 Borderline High= 240 High

HDL C< 40 Low = 60 High

Trigliserid< 150 Optimal150-199 Borderline high 200-499 High= 500 Very High

Tabel 1. Klasifikasi LDL-C, HDL-C, Kolesterol total dan Trigliserid menurut NCEP ATP III (National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel), 2001

Page 27: jurnal penelitan

Dyslipidemia pada Penderita Stroke dengan Demensia di RS Dr. Sardjito Jogjakarta Listyo A. Pujarini 23

Vascular Dementia, Arch Neurol, 61: 705-14.

Schmid, R., Mechler, L., Kinkel, P. R., Fazekas, F., & Freidl, W., 1993. Cognitif Impairment After Acut Supratentorial Stroke: a 6-month follow up Clinical and Computed Tomography Study. Eur Arch-Psychiatry-Clin-Neurosci, 241(1)5-11

PERDOSSI, 2004. Konsensus Pengenalan Dini dan Penatalaksanaan Demensia Vaskular.

PERKENNI, 1995. Konsensus Pengelolaan Dislipidemia pada Diabetes Mellitus di IndonesiaReitz, C., Toeng, M.X., Luchsinger, J., & Mayen, X., 2004. Relation of Plasma Lipid & Alzheimer Disease and

Page 28: jurnal penelitan

Biomedika, Volume 1, Nomor 2, Tahun 200924

Page 29: jurnal penelitan

Perbandingan Efek Ekstrak Eter dengan Ekstrak Etanol Biji Tua Pisang Kluthuk (Musa balbisiana Colla) pada Sekresi Asam Lambung Tikus Putih in vitro Domas Fitria Widyasari 25

Perbandingan Efek Ekstrak Eter dengan Ekstrak Etanol Biji Tua Pisang Kluthuk (Musa balbisiana Colla) pada Sekresi Asam Lambung Tikus Putih in vitro

Domas Fitria WidyasariE mail: [email protected]

AbstractKluthuk banana (musa balbisiana colla), a seeded banana, has been studied for its ability to reduce gastric acid

secretion. Is the active compound hydrophylic or hydrophobic has not been known yet.The aim of his study is to determine the effect of the seed of ripe kluthuk banana (musa balbisiana colla) etheric and ethanolic extract, and to compare the effect of both extract on rat gastric acid secretion in vitro. This study was conducted using isolated Wistar rat stomach, according to the methods modified from Barocelli. Fifty four rats (3-4 month) of 150-250 g were used in this study. They were divided into 9 groups (6 rats each). The rats were fasted and drinking water was given ad libitum for 24 hours before testing. The rats were weighted, anesthetized with ether inhalation, and then sacrified. The stomach was taken and suspended in an organ bath containing 37°C buffered serosal solution and bubbled with carbogen. The gastric lumen was perfused continuously with unbuffered mucosal solution 1 ml min-1 and bubbled with 100% O2. The isolated preparation was stabilized for 1 hour and perfusate spilled out. The perfusate

+was allowed to flow continuously, and collected for 10 minutes duration. The H consentration was measured by +titration with NaOH 0,002 N using phenolftalein as indicator, known as basal H consentration . Pretreatment was

added to the unbuffered mucosal solution for 30 minutes, after which the treatment (histamine 10-6 M) was added to the unbuffered solution in each group. Perfusate from gastric lumen were collected every 10 minutes untill 80

+ +minutes and H consentration were measured by mean of titration. The H consentration elevation was expressed as mean ± SEM, the AUC0-80 was calculated and analyzed by ANOVA.The result showed that the total area under

+curve (AUC0-80) of H consentration was 14550 ± 692,70 in control group (saline), 141,67 ± 2838,62 in etheric extract of the seed of ripe kluthuk banana doses-1 group (EESRKB I group) equivalent to 1,92 mg/kgBW, 8516,67 ± 3659,64 in EESRKB II group (equivalent to 3,84 mg/kgBW), 5650 ± 3191,94 in EESRKB III group (equivalent to 7,69 mg/kgBW), 4500 ± 2819,22 in ethanolic extract of the seed of ripe kluthuk banana doses-1 group (AESRKB I group) equivalent to 8,7 mg/kgBW, -5883,33 ± 760,45 in AESRKB II group (equivalent to 17,4 mg/kgBW), -1116,67 ± 3444,36 in AESRKB III group (equivalent to 34,8 mg/kgBW), -1333,33 ± 80,28 in cimetidin group, and 12683,33 ± 968,65 in DMSO group. The statistical analysis showed that the AUC0-80 of EESRKB and AESRKB were significantly (p<0,05) lower than those of control solution (except EESRKB II), the AUC0-80 of EESRKB I were not significantly different (p>0,05) than those of AESRKB I, the AUC0-80 of EESRKB II were significantly higher (p<0,05) than those of AESRKB II, and the AUC0-80 of EESRKB III were not significantly different (p>0,05) than those of AESRKB III. It was concluded that the etheric and ethanolic extract of the seed of ripe kluthuk banana (Musa balbisiana Colla) showed an inhibitory effect on rat gastric acid secretion induced by histamine, and the ethanolic extract showed an inhibitory effect more than those of etheric extract.Keywords : musa balbisiana molla, gastric acid secretion, histamine, etheric extract, ethanolic extract

yang mengurangi sekresi asam lambung sebagai terapi ulkus peptik dapat dikelompokkan ke dalam golongan antasida (Al(OH)3 dan Mg(OH)2), pelapis dan pelindung permukaan mukosa (sukralfat), penyekat reseptor Histamin H2 (simetidin, ranitidin, dan famotidin), dan penghambat pompa proton (Atman, 1998). Namun, obat-obat antiulkus di atas mempunyai efek samping yang tidak diinginkan seperti timbulnya tumor karsinoid, nefritis interstisial, pankreatitis akut, agranulositopenia dan trombosito-penia, selain harganya yang tidak murah (Dollery, 1991). Oleh karena itu, masyarakat

PendahuluanTukak lambung atau ulkus peptik merupakan

keadaan kontinuitas mukosa lambung terputus (Laurence, 1964). Ulkus peptik yang masih sering d i t e m u i d i m a s y a r a k a t t e r j a d i k a r e n a ketidakseimbangan faktor agresif berupa meningkatan volume asam lambung, pepsin dan infeksi Helicobacter pylori dengan faktor defensif berupa integritas mukosa lambung, sekresi bikarbonat, mukus, dan prostaglandin (Price, 1994).

Sekresi asam lambung dikontrol oleh 3 agonis utama yaitu histamin, asetilkolin, dan gastrin. Obat

Page 30: jurnal penelitan

Biomedika, Volume 1, Nomor 2, Tahun 200926

larutan ekstrak etanol biji tua pisang kluthuk 8,7 mg/kgBB dalam larutan unbuffered mucosal (kelompok EABPK I), kelompok VI dengan larutan ekstrak etanol biji tua pisang kluthuk 17,4 mg/kgBB dalam larutan unbuffered mucosal (kelompok EABPK II), kelompok VII dengan larutan ekstrak etanol biji tua pisang 34,8 mg/kg dalam larutan unbuffered mucosal (kelompok EABPK III), kelompok VIII (kelompok kontrol positif ) diberi praperlakuan dengan simetidin dalam unbuffered mucosal, Kelompok IX (kelompok DMSO) diberi praperlakuan dengan dimetil sulfoksida konsentrasi akhir 0,2 % v/v dalam unbuffered mucosal. Kemudian semua kelompok diberikan perlakuan dengan histamin 736,4 µg/kgBB dalam larutan unbuffered mucosal.

Uji ini menggunakan metode menurut Barocelli et al. (1997) yang dimodifikasi sejak tikus dianestesi. Modifikasi berupa penggantian system pengaliran larutan garam fisiologis (unbuffered mucosal) ke dalam lumen lambung tikus yang semula menggunakan pompa peristaltik, pada penelitian ini diganti dengan tetesan. Tikus ditimbang, dianestesi, kemudian lambung tikus diangkat dan dipasang pada organ bath yang berisi larutan buffered serosal pada suhu 37 ÍÍC dan dialiri gas karbogen (O2 95% dan CO2 5%). Lumen lambung selalu diperfusi dengan larutan unbuffered mucosal dengan kecepatan 1 ml/menit dan diberi gelembung O2 100%. Preparat dibiarkan mencapai ekuilibrium selama 1 jam dan cairan perfusat dibuang. Perfusat dikumpulkan s e l a m a 1 0 m e n i t d a n d i u k u r d e n g a n menggunakan NaOH 0,002 N dengan indikator fenolftalein. Hasil yang didapat merupakan konsentrasi H+ basal. Lalu masukkan bahan uji ke dalam larutan unbuffered mucosal untuk perfusi selama 30 menit, kemudian diberi perlakuan dengan histamin 736,4 µg/kgBB dalam unbuffered mucosal selama 80 menit untuk menstimulasi sekresi H+ asam lambung. Selama diberi perlakuan, cairan perfusat dari lambung dikumpulkan tiap 10 menit dan diukur konsentrasi H+ nya dengan titrasi. Peningkatan konsentrasi H+ cairan lambung dinyatakan dalam mean ± SEM. Total luas area di bawah kurva menit ke-0 sampai menit ke-80(AUC0-80) dihitung dan dianalisis menggunakan analisis varian.

mulai mencari alternatif pengobatan ulkus peptik dari obat-obat tradisional yang lebih murah dengan efek samping yang minimal.

Secara tradisional, pisang (Musa) telah dikenal masyarakat sebagai buah yang enak dimakan dan sebagai obat tradisional (Depkes RI, 1982). Pisang dapat digunakan sebagai obat sakit perut (sariawan perut dan maag), mengobati luka, diare, dan untuk pengobatan radang amandel (Sudarsono, 2002). Penelitian Sanyal et al. (1963) dan Elliot & Heward (1976) menunjukkan bahwa pisang dapat menurunkan produksi asam lambung dan menyembuhkan ulkus lambung. Penelitian Tjandrasari (1991) menunjukkan bahwa ekstrak air dan alkohol pisang kluthuk (Musa balbisiana Colla) dapat menyembuhkan ulkus lambung tikus yang ditimbulkan oleh aspirin. Penelitian yang dilakukan Sholikhah (2000) dan Sholikhah & Ngatidjan (2001) menyatakan bahwa ekstrak alkohol pisang kluthuk muda mempunyai efek mengurangi sekresi asam lambung tikus putih in vitro. Penelitian dengan menggunakan ekstrak eter biji tua pisang kluthuk belum pernah dilakukan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek ekstrak eter dan etanol biji tua pisang kluthuk, serta membandingkan keduanya, terhadap sekresi asam lambung tikus putih in vitro.

Material dan Desain PenelitianPenelitian ini menggunakan tikus putih atau

rat (Rattus norvegicus) galur Wistar jenis kelamin betina dan jantan yang sama jumlahnya dengan umur 3-4 bulan, dan berat 150-250 g sebanyak 54 ekor. Tikus tersebut kemudian dipuasakan 24 jam sebelum percobaan dengan tetap diberi air minum secukupnya.

Semua tikus dipilih acak dan dibagi 9 kelompok, masing-masing terdiri dari 6 ekor tikus (3 ekor jantan, 3 ekor betina). Pengelompokan ini berdasarkan jenis praperlakuan yang diberikan. Kelompok I (kelompok kontrol negatif garam fisiologis) diberi praperlakuan dengan larutan unbuffered mucosal, kelompok II dengan larutan ekstrak eter biji tua pisang kluthuk 1,92 mg/kgBB dalam larutan unbuffered mucosal (kelompok EEBPK I), kelompok III dengan larutan ekstrak eter biji tua pisang kluthuk 3,84 mg/kgBB dalam unbuffered mucosal (kelompok EEBPK II), kelompok IV dengan larutan ekstrak eter biji tua pisang kluthuk 7,69 mg/kg BB dalam unbuffered mucosal (kelompok EEBPK III), kelompok V dengan

Page 31: jurnal penelitan

Perbandingan Efek Ekstrak Eter dengan Ekstrak Etanol Biji Tua Pisang Kluthuk (Musa balbisiana Colla) pada Sekresi Asam Lambung Tikus Putih in vitro Domas Fitria Widyasari 27

Hasil PenelitianHasil penelitian dapat dilihat pada tabel dan gambar di bawah ini.

Tabel 1. Rerata peningkatan konsentrasi H+ (µEq) pada perfusat cairan lambung tikus putih (mean + SEM) sesudah perlakuan dengan histamin 736,4 µg/kgBB tiap 10 menit pada seluruh kelompok praperlakuan

10 menit ke-

150,00±6,83

-16,67±33,23

60,00±42,27

40,00±32,25

3,33±15,85

-123,33±72,19

0,00±53,42

-10,00±4,47

40,00±7,30

286,67±9,89

-13,33±43,10

46,67±38,53

53,33±37,48

6,67±21,08

-133,33±55,30

-23,33±48,56

-13,33±4,22

66,67±9,89

3110,00±6,83

-16,67±44,86

73,33±49,71

60,00±42,58

26,67±12,29

-133,33±47,23

-16,67±42,40

-20,00±0,00

96,67±6,15

6300,00±10,33

23,33±48,28

170,00±69,62

93,33±50,77

113,33±72,97

-23,33±69,75

-23,33±41,77

-20,00±0,00

263,33±20,28

4186,67±9,89

-3,33±19,61

88,33±49,15

73,33±44,62

20,00±11,55

-123,33±49,37

-13,33+45,22

-20,00±0,00

156,67±15,85

5250,00±6,83

0,00±41,95

51,67±54,55

93,33±50,77

76,67±50,44

-110,00±29,55

-20,00±9,26

-20,00±0,00

213,33±15,20

7313,33±14,30

23,33±52,36

226,67±82,25

100,00±54,65

166,67±99,29

53,33±137,76

-13,33±45,51

-20,00±0,00

293,33±19,09

8316,67±14,98

35,00±35,57

270,00±117,16

103,33±54,02

73,33±42,16

10,00±88,36

-3,33±44,25

-20,00±0,00

276,67±21,55

Kelompok

Garam Fisiologs

EEBPKI

EEBPKII

EEBPK III

EABKI

EABPKII

EABPK III

Simetidin

DMSO

Page 32: jurnal penelitan

Biomedika, Volume 1, Nomor 2, Tahun 200928

Gambar 1. Rerata peningkatan konsentrasi H+ pada perfusat cairan lambung tikus putih yang ditimbulkan histamin 736,4 µg/kgBB

Keterangan: Kontrol= larutan garam fisiologis unbuffered mucosal, EEBPK I= ekstrak eter biji tua pisang kluthuk 1,92 mg/kgBB, EEBPK II= ekstrak eter biji tua pisang kluthuk 3,84 mg/kgBB, EEBPK III= ekstrak eter biji tua pisang kluthuk 7,69 mg/kgBB, EABPK I= ekstrak etanol biji tua pisang kluthuk 8,7 mg/kgBB, EABPK II= ekstrak etanol biji tua pisang kluthuk 17,4 mg/kgBB, EABPK III= ekstrak etanol biji tua pisang kluthuk 34,8mg/kgBB, Simetidin= simetidin 27 mg/kgBB, DMSO= dimetil sulfoksida konsentrasi akhir 0,2% v/v dalam larutan unbuffered mucosal.

sebelumnya yaitu Barocelli (1997) dan Sholikhah & Ngatidjan (2001).

Peningkatan konsentrasi H+ per 10 menit pada kelompok praperlakuan dengan ekstrak eter dosis 1,92 mg/kgBB (EEBPK I), 3,84 mg/kgBB (EEBPK II), 7,69 mg/kgBB (EEBPK III), dan kelompok praperlakuan dengan ekstrak etanol dosis 8,7 mg/kgBB (EABPK I), 17,4 mg/kgBB (EABPK II), 34,8 mg/kgBB (EABPK III) tidak menunjukkan kenaikan yang bermakna (p>0,05) dari 10 menit pertama berturut-turut sampai 10 menit ke-8.

Tabel 1 menyajikan rerata peningkatan +konsentrasi H cairan lambung tikus putih (mean +

SEM) tiap 10 menit sesudah perlakuan dengan histamin 736,4 µg/kgBB pada semua kelompok praperlakuan.

Sedangk an grafik rerata peningkatan +konsentrasi H cairan lambung dari menit ke-10

sampai pada menit ke-80 pada semua kelompok praperlakuan dan kelompok kontrol disajikan pada Gambar 1. Tampak rerata peningkatan

+konsentrasi H pada perfusat cairan lambung tikus putih pada kelompok kontrol negatif garam fisiologis meningkat (p<0,05) mulai dari 10 menit pertama setelah perlakuan dengan histamin. Pada 10 menit ke-6 menunjukkan kenaikan yang konstan (p>0,05) sampai pada 10 menit ke-8. Hasil ini dapat menunjukkan bahwa histamin dapat

+meningkatkan sekresi H asam lambung. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari peneliti

Page 33: jurnal penelitan

Perbandingan Efek Ekstrak Eter dengan Ekstrak Etanol Biji Tua Pisang Kluthuk (Musa balbisiana Colla) pada Sekresi Asam Lambung Tikus Putih in vitro Domas Fitria Widyasari 29

Tabel 2. Luas area di bawah kurva (AUC0-80) pada perfusat cairan lambung tiap tikus putih pada seluruh kelompok sesudah perlakuan dengan histamin 736,4 µg/kgBB in vitro

Kelompok

Tabel 2 menunjukkan luas area di bawah kurva / Area Under Curve (AUC0-80) peningkatan konsentrasi H+ perfusat cairan lambung tiap tikus pada seluruh kelompok yang ditimbulkan oleh histamin in vitro.

+Nilai AUC menggambarkan jumlah konsentrasi H pada perfusat cairan lambung tikus putih dari 10 menit pertama sampai 10 menit ke-8 (AUC0-80). Semakin tinggi nilai AUC0-80, maka semakin besar konsentrasi H+ di dalam cairan perfusat preparat lambung tikus putih tersebut.

Gambar 2. Mean ± SEM luas area di bawah kurva (AUC0-80) peningkatan konsentrasi H+ pada perfusat cairan lambung tikus putih sesudah perlakuan dengan histamin 736,4 µg/kgBB in vitro pada seluruh kelompok

praperlakuan

garam fisiologis, dan nilai AUC0-80 kelompok praperlakuan dengan ekstrak eter biji tua pisang kluthuk dosis 7,69 mg/kgBB (EEBPK III) tidak berbeda bermakna (p>0,05) daripada kelompok kontrol garam fisiologis. Nilai AUC0-80 kelompok praperlakuan dengan ekstrak etanol dosis 8,7 mg/kgBB (EABPK I), 17,4 mg/kgBB (EABPK II), dan 34,8 mg/kgBB (EABPK III) lebih rendah (p<0,05) daripada kelompok kontrol garam fisiologis. Hasil ini menunjukkan bahwa ekstrak eter dosis 1,92 mg/kgBB, dan 7,69 mg/kgBB, serta ekstrak etanol

Gambar 2 menyajikan mean ± SEM luas area di bawah kurva (AUC0-80) peningkatan konsentrasi H+ pada perfusat cairan lambung tikus putih sesudah perlakuan dengan histamin 736,4 µg/kgBB invitro pada seluruh kelompok praperlakuan.

Nilai AUC0-80 kelompok praperlakuan dengan ekstrak eter biji tua pisang kluthuk dosis 1,92 mg/kgBB (EEBPK I) dan 7,69 mg/kgBB (EEBPK III) lebih rendah (p<0,05) daripada kelompok kontrol

Tikus

1.2.3.4.5.6.

MeanSEM

KONTROL15700155001320015700155001170014550692,70

EEBPKI

2100700

1350-12100

-6009400

141,672838,62

EEBPK II

11900-140021600-14007300

131008516,673659,64

EEBPKIII

200500

30001530015900-10005650

3191,94

EABPK I

137001290014001200-1200-10004500

2819,22

EABPKII

-5600-6900-6900-7800-5600-2500

-5883,33760,45

EABPKIII

14600-1600-6700-700

-2500-9800

-1116,673444,36

SIMETIDIN

-1100-1100-1300-1500-1500-1500

-1333,3380,28

DMSO

13400166001220013300107009900

12683,33968,65

Page 34: jurnal penelitan

Biomedika, Volume 1, Nomor 2, Tahun 200930

dosis 17,4 mg/kgBB (EABPK II) tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p>0,05) bila dibandingkan dengan kelompok praperlakuan dengan ekstrak etanol dosis 34,8 mg/kgBB (EABPK III). Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak etanol dosis 8,7 mg/kgBB (EABPK I) mempunyai kemampuan untuk menghambat kenaikan

+konsentrasi H pada perfusat cairan lambung tikus putih yang distimulasi oleh histamin in vitro yang lebih lemah daripada ekstrak etanol dosis 17,4 mg/kgBB (EABPK II). Sedangkan ekstrak etanol dosis 17,4 mg/kgBB (EABPK II) dan 34,8 mg/kgBB (EABPK III) mempunyai kemampuan yang sama besar dalam menghambat kenaikan konsentrasi

+H pada perfusat cairan lambung tikus putih yang distimulasi oleh histamin in vitro. Nilai AUC0-80 kelompok simetidin lebih rendah (p<0,05) daripada kelompok kontrol garam fisiologis. Hasil ini menunjukkan bahwa simetidin mempunyai kemampuan untuk menghambat

+kenaikan konsentrasi H pada perfusat cairan lambung tikus putih yang distimulasi oleh histamin in vitro. Hal ini sesuai dengan Altman (1998) yang menyatakan bahwa simetidin mengurangi sekresi asam lambung karena simetidin merupakan antagonis reseptor histamin yang bekerja berkompetisi secara reversibel dengan histamin pada reseptor H2.

Nilai AUC0-80 kelompok praperlakuan dengan ekstrak kelompok praperlakuan dengan ekstrak eter dosis 1,92 mg/kgBB (EEBPK I), ekstrak etanol dosis 8,7 mg/kgBB (EABPK I), ekstrak etanol dosis 17,4 mg/kgBB (EABPK II) , dan ekstrak etanol dosis 34,8 mg/kgBB (EABPK III) tidak menunjukkan hasil yang berbeda bermakna (p>0,05) dibandingkan dengan kelompok simetidin, sedangkan nilai AUC0-80 kelompok praperlakuan dengan ekstrak eter dosis 3,84 mg/kgBB (EEBPK II) dan ekstrak eter dosis 7,69 mg/kgBB (EEBPK III) lebih tinggi (p<0,05) daripada kelompok simetidin. Hasi l ini menunjukkan bahwa ekstrak eter dosis 1,92 mg/kgBB (EEBPK I), ekstrak etanol dosis 8,7 mg/kgBB (EABPK I), ekstrak etanol dosis 17,4 mg/kgBB (EABPK II), dan ekstrak etanol dosis 34,8 mg/kgBB (EABPK III) mempunyai kemampuan untuk menghambat kenaikan konsentrasi H+ pada perfusat cairan lambung tikus putih sama kuatnya dengan simetidin 27 mg/kgBB. Ekstrak eter dosis 3,84 mg/kgBB (EEBPK II) dan 7,69 mg/kgBB (EEBPK III) mempunyai kemampuan untuk menghambat kenaikan konsentrasi H+ lebih lemah daripada simetidin 27 mg/kgBB. Hal ini mendukung hasil penelitian sebelumnya yang

dosis 8,7 mg/kgBB, 17,4 mg/kgBB, dan 34,8 mg/kgBB mempunyai kemampuan untuk

+menghambat kenaikan konsentrasi H pada perfusat cairan lambung tikus putih yang distimulasi oleh histamin in vitro, sedangkan ekstrak eter dosis 3,84 mg/kgBB dapat menghambat kenaikan konsentrasi H+ pada perfusat cairan lambung tikus putih, tetapi tidak signifikan. Hal ini mendukung hasil penelitian S h o l i k h a h d a n N g a t i d j a n ( 2 0 0 1 ) y a n g menunjukkan bahwa ekstrak alkohol biji pisang kluthuk dapat mengurangi sekresi asam lambung tikus putih yang ditimbulkan oleh aspirin.

PembahasanNilai AUC0-80 kelompok praperlakuan dengan

ekstrak eter dosis 1,92 mg/kgBB (EEBPK I) lebih rendah (p<0,05) daripada kelompok praperlakuan dengan ekstrak eter dosis 3,84 mg/kgBB (EEBPK II), sedangkan bila dibandingkan dengan kelompok praperlakuan dengan ekstrak eter dosis 7,69 mg/kgBB (EEBPK III) menunjukkan hasil yang tidak berbeda (p>0,05). Nilai AUC0-80 kelompok praperlakuan dengan ekstrak eter dosis 3,84 mg/kgBB (EEBPK II) tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p>0,05) bila dibandingkan dengan kelompok praperlakuan dengan ekstrak eter dosis 7,69 mg/kgBB (EEBPK III). Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak eter dosis 1,92 mg/kgBB mempunyai kemampuan untuk

+menghambat kenaikan konsentrasi H pada perfusat cairan lambung tikus putih yang lebih kuat daripada ekstrak eter dosis 3,84 mg/kgBB, dan mempunyai kemampuan yang sama dengan ekstrak eter dosis 7,69 mg/kgBB. Ekstrak eter dosis 3,84 mg/kgBB dan 7,69 mg/kgBB mempunyai k e m a m p u a n y a n g s a m a b e s a r d a l a m menghambat kenaikan konsentrasi H+ pada perfusat cairan lambung tikus putih yang distimulasi oleh histamin in vitro. Nilai AUC0-80 pada kelompok EEBPK I menunjukkan nilai yang ekstrim bila dibandingkan dengan kelompok praperlakuan lain. Hal ini dimungkinkan oleh adanya kesalahan teknis di dalam penelitian

Nilai AUC0-80 kelompok praperlakuan dengan ekstrak etanol dosis 8,7 mg/kgBB (EABPK I) lebih tinggi (p<0,05) daripada kelompok praperlakuan dengan ekstrak etanol dosis 17,4 mg/kgBB (EABPK II) dan tidak menunjukkan hasil yang berbeda bermakna (p>0,05) bila dibandingkan dengan kelompok praperlakuan dengan ekstrak etanol dosis 34,8 mg/kgBB (EABPK III). Nilai AUC0-80 kelompok praperlakuan dengan ekstrak etanol

Page 35: jurnal penelitan

Perbandingan Efek Ekstrak Eter dengan Ekstrak Etanol Biji Tua Pisang Kluthuk (Musa balbisiana Colla) pada Sekresi Asam Lambung Tikus Putih in vitro Domas Fitria Widyasari 31

dalam air dan lemak, sedangkan ekstraksi dengan eter menyarikan zat aktif yang larut dalam lemak.

Simpulan dan SaranSimpulanDari penelitian ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Ekstrak eter dan etanol biji tua pisang kluthuk

(Musa balbisiana Colla) mempunyai efek menghambat sekresi asam lambung tikus putih yang ditimbulkan oleh histamin 736,4 µg/kgBB in vitro.

2. Ekstrak etanol biji tua pisang kluthuk menunjukkan efek yang lebih besar daripada ekstrak eter.

SaranPerlu penelitian lebih lanjut mengenai potensi ekstrak-ekstrak lain biji pisang kluthuk terhadap sek res i asam lambung (H+) dan per lu penambahan jumlah sampel (hewan coba) penelitian.

Daftar PustakaAltman D. 1998. Drugs used in gastrointestinal disease, dalam Katzung, B.G., (Editor): Basic and Clinical Pharmacology. 7th ed. East Notwalk: The Appleton & Lange: 1017-29

Barocelli E, Chiavarini M, Ballabeni V, Barlocco D, Vianello P, Dal Piaz V dan Impicciatore M. 1997. Study of antisecretory and antiulcer mechanism of new indenopiridazinone in rats. Pharmacol. Res. 35(5): 487-92Depkes RI. 1982. Pemanfaatan Tanaman Obat. Edisi II. Jakarta: Depkes RI

Dollery SC. 1991. Therapeutic Drugs. New York: Churchill Livingstone

Elliot RC and Heward GJF. 1976. The influence of banana supplemented died on gastric ulcers in mice. Pharmacological Research Communication 8(2): 167-71

Laurence DR and Bocharah AL. 1964. Evaluation of Drug Activities Pharmacometrics. Volume 1. London: Academic Press

Price SA. 1994. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta: EGC

Sanyal AK, Banerji CR, Das PK. 1963. Banana and restrain ulcer in albino rats (letters to the editor). J. Pharm. Pharmacol 15: 775-6

Sanyal AK, Gupta KK, Chowdhury NK. 1963. Banana and experimental peptic ulcer. J. Pharm. Pharmacol 15: 283-4

menunjukkan bahwa ekstrak alkohol biji pisang kluthuk mempunyai efek mengurangi sekresi asam lambung tikus putih yang ditimbulkan oleh histamin in vitro seperti halnya simetidin.

Perbandingan efek ekstrak eter dan etanol biji tua pisang kluthuk dihitung berdasarkan nilai AUC0-80 pada kedua jenis ekstrak dengan dosis yang bersesuaian. Nilai AUC0-80 kelompok praperlakuan dengan ekstrak eter dosis 1,92 mg/kgBB (EEBPK I) tidak menunjukkan hasil yang berbeda bermakna (p>0,05) bila dibandingkan dengan kelompok praperlakuan dengan ekstrak etanol dosis 8,7 mg/kgBB (EABPK I). Hal ini menunjukkan bahwa pada dosis yang setara dengan ½ pisang, ekstrak eter memberikan efek penghambatan kenaikan konsentrasi H+ yang sama besar dengan ekstrak etanol.

Nilai AUC0-80 kelompok praperlakuan dengan ekstrak eter 3,84 mg/kgBB (EEBPK II) lebih tinggi (p<0,05) daripada kelompok praperlakuan dengan ekstrak etanol 17,4 mg/kgBB (EABPK II). Hal ini menunjukkan bahwa pada dosis yang setara dengan 1 pisang, ekstrak eter memberikan efek penghambatan kenaikan konsentrasi H+ yang lebih lemah daripada ekstrak etanol.

Nilai AUC00-80 kelompok praperlakuan dengan ekstrak eter 7,69 mg/kgBB (EEBPK III) tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p>0,05) bila dibandingkan dengan kelompok praperlakuan dengan ekstrak etanol 34,8 mg/kgBB (EABPK III). Hal ini menunjukkan bahwa pada dosis yang setara dengan 2 pisang, ekstrak eter memberikan efek penghambatan kenaikan konsentrasi H+ yang sama besar dengan ekstrak etanol.

Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Tjandrasari (1991) dan Sholikhah (2000) yang menunjukkan bahwa pisang kluthuk mempunyai efek mencegah dan menyembuhkan ulkus lambung tikus yang disebabkan aspirin. Buah pisang kluthuk muda dapat mencegah timbulnya ulkus lambung tikus akibat pemberian salisilat, menyembuhkan ulkus serupa yang sudah ada, dan dapat mengurangi volume sekresi asam lambung seperti halnya simetidin.

Penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak etanol memberikan efek penghambatan sekresi asam lambung yang lebih kuat daripada ekstrak eter. Kemungkinan besar zat aktif yang berefek penghambatan sekresi asam lambung bersifat hidrofilik, dengan mengingat bahwa ekstraksi dengan etanol menyarikan zat aktif yang larut

Page 36: jurnal penelitan

Biomedika, Volume 1, Nomor 2, Tahun 200932

Sudarsono, Gunawan D, Wahyuono S, Donatus IA,dan Purnomo. 2002. Tumbuhan Obat II (hasil penelitian, sifat-sifat dan penggunaan). Yogyakarta: Pusat Studi Obat Tradisional Universitas Gadjah Mada

Tjandrasari S. 1991. Pengaruh ekstrak pisang kluthuk (Musa brachycarpa Beck) terhadap ulkus lambung tikus karena salisilat. Skripsi Fakultas Farmasi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada

Sanyal RK, Das PK, Sinha S, Sinha YK. 1961. Banana and gastic secretion (letters to the editor). J. Pharm. Pharmacol 13: 318-9

Sholikhah EN dan Ngatidjan. 2001. Efek ekstrak alkohol daging buah dan biji pisang kluthuk (Musa balbisiana Colla) pada sekresi asam lambung tikus putih in vitro. Berkala Ilmu Kedokteran 33(2): 77-82

Sholikhah EN, Ngatidjan, Pramono S. 2000. Efek ekstrak alkohol pisang kluthuk (Musa balbisiana Colla) pada sekresi asam lambung tikus putih yang ditimbulkan histamin in vitro. Mediagama 2(3): 14-9

Sholikhah EN. 2000. Cara kerja ekstrak alkohol pisang kluthuk (Musa balbisiana Colla) dalam mengurangi sekresi asam lambung tikus putih in vitro. Tesis Program Pasca Sarjana. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada

Page 37: jurnal penelitan

Pengaruh Pemberian Ekstrak Buah Mahkota Dewa Dosis Bertingkat Terhadap Proliferasi Limfosit Lien pada Mencit BALB/C M. Saifulhaq M. 33

Pengaruh Pemberian Ekstrak Buah Mahkota Dewa Dosis Bertingkat Terhadap Proliferasi Limfosit Lien pada Mencit BALB/C

M. Saifulhaq M.E mail: [email protected]

AbstractMahkota dewa (Phaleria papuana) fruits consists of chemicals that are able to increase lymphocytes

proliferation. The objective of this study was to show the influence of Mahkota dewa's fruits extract in spleen lymphocytes proliferation of BALB/C mice. An experimental study with the post-test only control group design was carried out on experiment animal BALB/C mice, consisted of 25 male mice which devided into 5 groups. K was control group without treatment with mahkota dewa extract, whereas P1 was group treated with mahkota dewa extract 0,2 ml/day (± 35 ìg extract). P2 was group given mahkota dewa extract 0,4 ml/day (± 70 ìg extract), P3 was group given mahkota dewa extract 0,8 ml/day (± 140 ìg extract), and P4 was group given mahkota dewa extract 1,5 ml/day (± 280 ìg extract). Lymphocytes from the spleen of all mice were isolated after 2 weeks treating. Lymphoblasts were counted in every 200 cells. There were significant differences in lymphoblasts count between K and P1 (p=0,009), K and P2 (p=0,028), P1 and P2 (p=0,009), P1 and P3 (p=0,009), P1 and P4 (p=0,009), P2 and P3 (p=0,012), P2 and P4 (p=0,028). And there were no significant differences in lymphoblasts count between K and P3 (p=0,917), K and P4 (p=0,675), P3 and P4 (p=0,917). On the giving of mahkota dewa's fruits extract there were significant increase of lymphocyte proliferations on BALB/C mice on P1 and P2 groups. But there were not on P3 and P4 ones.Keywords: lymphocyte proliferation, mahkota dewa

IL-4 (Middleton, 2000)Lien merupakan salah satu organ limfoid

sekunder yang di dalamnya terdapat limfosit T maupun limfosit B, terutama di daerah pulpa putih.7 Folikel limfoid lien kaya dengan sel B yang berperan dalam respon imun humoral. Aktivasi dan proliferasi sel T di lien terjadi di selubung limfoid periarterioler lalu terjadi migrasi ke zona marginalis. Sebagian kecil sel T yang teraktivasi masuk ke dalam folikel limfoid, dan sebagian lainnya akan bersirkulasi ke darah perifer.Penelitian ini diharapkan dapat memperjelas p e n g a r u h b u a h m a h k o t a d e w a d a l a m memodulasi sistem imun sehingga dapat menjadi tambahan informasi dalam pertimbangan konsumsi tanaman obat, dan dapat menjadi acuan untuk penelitian selanjutnya (Sepgana, 2003)

Metode dan Desain PenelitianJenis penelitian ini adalah penelitian

eksperimental dengan rancangan the post test only control group design. Menggunakan 5 kelompok, yaitu 1 kelompok kontrol dan 4 kelompok perlakuan, dengan randomisasi sederhana. Penilaian dilakukan hanya pada saat post test, dengan membandingkan hasil observasi pada

PendahuluanMahkota dewa atau Phaleria papuana

merupakan tanaman obat tradisional yang banyak dipergunakan masyarakat untuk berbagai penyakit dan penambah stamina pada orang sehat. Mahkota dewa yang digunakan biasanya dicampur dengan berbagai bahan lain dalam satu ramuan dimana untuk setiap penyakit tidak sama. Akhir-akhir ini semakin banyak masyarakat memanfaatkan pengobatan alternatif karena harganya yang relatif murah dan manfaatnya memuaskan (Hartati, 2005).

Buah mahkota dewa mengandung zat kimia antara lain alkaloid, terpenoid, saponin, dan senyawa resin, sedangkan pada kulit buahnya terkandung zat flavanoid, tannin. Penelitian membuktikan bahwa secara laboratoris senyawa flavonoid dapat meningkatkan produksi IL-2 dan meningkatkan proliferasi limfosit (Lisdawati, 2002)Proliferasi limfosit T yang dirangsang oleh antigen, terutama diatur oleh pengaruh IL-2 terhadap reseptor IL-2 yang dimiliki pada permukaan selnya. Selain itu, IL-2 juga merangsang proliferasi dan diferensiasi sel B dan NK (Natural Killer). Penelitian terbaru menunjukkan proliferasi limfosit T juga dapat terjadi tanpa melalui IL-2, misalnya melalui

Page 38: jurnal penelitan

Biomedika, Volume 1, Nomor 2, Tahun 200934

Perlakuan 3 (P3): diberi ekstrak mahkota dewa 0,8 ml/sonde/hari

Perlakuan 4 (P4): diberi ekstrak mahkota dewa 1,5 ml/sonde/hari

M e n c i t d i b u n u h u n t u k d i l a k u k a n pengambilan/isolasi splenosit (lien), setelah diberikan perlakuan selama 2 minggu. Setelah itu, di lakuk an pemeriksaan l imfosit dengan menghitung jumlah limfoblas dalam 200 sel dari tiap preparat, lalu dibuat persentasenya.Analisa statistik yang digunakan adalah statistik non parametrik, yaitu uji Kruskal Wallis dan uji Mann Whitney U. Nilai signifikasi pada penelitian ini adalah apabila variabel yang dianalisis memiliki nilai p < 0,05.

Hasil PenelitianHasil persentase jumlah limfoblas dalam 200 sel (limfosit dan limfoblas) semua kelompok ditampilkan pada Tabel 1 dan Gambar 1.

kelompok perlakuan dan kontrol, serta antar kelompok perlakuan.

Sampel penelitian diambil secara acak (random) dari populasi terjangkau dengan kriteria inklusi sebagai berikut: mencit strain BALB/C jantan, umur 8 minggu, dan sehat. Berdasarkan ketentuan WHO jumlah sampel 5 ekor per kelompok. Sehingga jumlah total sampel sebanyak 25 ekor.

Mencit BALB/C sebanyak 25 ekor dibagi menjadi 5 kelompok, masing-masing kelompok terdiri atas 5 ekor. Tiap kelompok mencit mendapatkan pakan standar dan minum yang sama secara ad libitum. Lima kelompok mencit tersebut adalah :Kontrol (K) : diberi aquades namun tidak

diberi ekstrak mahkota dewa.Perlakuan 1 (P1): diberi ekstrak mahkota dewa

0,2 ml/sonde/hariPerlakuan 2 (P2): diberi ekstrak mahkota dewa

0,4 ml/sonde/hari

Tabel.1 Persentase jumlah limfoblas semua kelompok mencit

No K P1 P2 P3 P41 23,5 39,5 26,5 20,5 202 14 31,5 27 10 12,53 16,5 41 22 13,5 264 15,5 33 20,5 19 145 12,5 37,5 28 16 10,5

Rerata + SD 16,4 + 4,23 36,5 + 4,11 24,8 + 3,33 15,8 + 4,22 16,6 + 6,34

Gambar. 1 Grafik rerata jumlah limfoblas

Page 39: jurnal penelitan

Pengaruh Pemberian Ekstrak Buah Mahkota Dewa Dosis Bertingkat Terhadap Proliferasi Limfosit Lien pada Mencit BALB/C M. Saifulhaq M. 35

i m u n o s t i m u l a n j u g a m e m i l i k i e f e k imunosupresan.10 Adanya efek sitotoksik dan imunosupresan memungkinkan terjadinya hambatan terhadap proliferasi limfosit pada batas dosis tertentu. Hal inilah yang mungkin menyebabkan tidak adanya perbedaan jumlah limfoblas yang bermakna antara kelompok perlakuan yang diberi ekstrak mahkota dewa 0,8 ml/hari dan 1,5 ml/hari selama 2 minggu dengan kelompok kontrol.

Simpulan dan SaranSimpulan

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pada pemberian ekstrak buah mahkota dewa didapatkan peningkatan proliferasi limfosit lien yang bermakna pada mencit BALB/C kelompok P1 dan P2. Dan tidak didapatkan perbedaan yang bermakna pada kelompok P3 dan P4.Saran

P e r l u d i l a k u k a n p e n e l i t i a n y a n g menghubungkan tingkat toksisitas buah mahkota dewa dengan dosis ekstrak yang diberikan, khususnya terhadap berbagai organ vital serta penelitian lebih lanjut untuk penggunaannya pada manusia sehat.

PembahasanDari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

pada kelompok mencit yang diberi ekstrak mahkota dewa 0,2 ml/hari selama 2 minggu dibanding dengan kelompok kontrol yang tidak diberi ekstrak didapatkan perbedaan jumlah limfoblas yang bermakna (p=0,009). Demikian juga antara kelompok yang diberi ekstrak mahkota dewa 0,4 ml/hari selama 2 minggu dengan kelompok kontrol (p=0,028).

Namun, antara kelompok yang diberikan ekstrak mahkota dewa 0,8 ml/hari selama 2 minggu dengan kelompok kontrol tidak didapatkan perbedaan jumlah limfoblas yang bermakna (p=0,917). Demikian juga antara kelompok yang mendapat ekstrak mahkota dewa 1,5 ml/hari selama 2 minggu dengan kelompok kontrol (p=0,675).

Menurut penelitian Jiao et al, disebutkan bahwa senyawa flavonoid meningkatkan aktivitas IL-2 dan meningkatkan proliferasi limfosit.5 Hal inilah yang mungkin menyebabkan peningkatan jumlah limfoblas secara bermakna antara kelompok perlakuan yang diberi ekstrak mahkota dewa 0,2 ml/hari dan 0,4 ml/hari selama 2 minggu dengan kelompok kontrol. Hartati dkk (2002) membuktikan bahwa dalam mahkota dewa terdapat senyawa Phalerin yang mempunyai efek sitotoksik.9 Middleton et al, menyebutkan bahwa senyawa flavonoid selain mempunyai efek

Dari Tabel 1 dan Gambar 1 dapat dilihat bahwa rata-rata persentase jumlah limfoblas pada kelompok P1 lebih besar dibandingkan dengan kelompok lainnya. Sedangkan kelompok P2 lebih besar dibandingkan dengan kelompok K, P3, maupun P4. Sedangkan kelompok K tidak jauh berbeda dibandingkan dengan kelompok P3 dan P4. Uji Kruskal Wallis didapatkan hasil p=0,002 (p<0,05) yang berarti terdapat perbedaan yang bermakna.

Tabel. 2 Nilai p dari uji statistik Mann Whitney U jumlah limfoblas

K P1 P2 P3P1 0,009*P2 0,028* 0,009*P3 0,917 0,009* 0,012*P4 0,675 0,009* 0,028* 0,917* Bermakna

Selanjutnya pada uji Mann Whitney U (Tabel 2) dapat dilihat bahwa jumlah limfoblas pada kelompok K dibanding dengan kelompok P3 (p=0,917) maupun dengan kelompok P4 (p=0,675) tidak terdapat perbedaan yang bermakna. Begitu juga antara kelompok P3 dengan kelompok P4 (p=0,917). Sedangkan pada kelompok lainnya didapatkan perbedaan yang bermakna, yaitu antara kelompok K dengan P1 (p=0,009) dan P2 (p=0,028), juga antara kelompok P1 dengan kelompok P2, P3, dan P4 ( masing-masing p=0,009). Selain itu, perbedaan bermakna juga didapat antara kelompok P2 dengan P3 (p=0,012) dan P4 (0,028).

Page 40: jurnal penelitan

Biomedika, Volume 1, Nomor 2, Tahun 200936

antikanker berdasarkan uji penapisan farmakologi. From : http://www.mahkotadewa.com/VPC/vivi.htm. Diakses 20 Oktober 2002

Middleton E, Kandaswami C, Theoharides TC. 2000. The e f f e c t s o f p l a n t f l a v o n o i d s o n m a m m a l i a n cells:implications for inflammation, heart disease, and cancer. Pharmacological Reviews.52 (4): 673-751

Sepgana S, Iwang S, Ganthina. 1988. Skrining fitokimia dan asam fenolat daun dewa/Gynura procumbens (Lour.) merr. Simposium penelitian Tumbuhan obat III, Universitas Indonesia, Jakarta.

Sumastuti R, M Sonlimar. Efek sitotoksik ekstrak buah dan daun mahkota dewa [Phaleria macrocarpa (Sceff) Boerl.] terhadap sel hela. Available at:URL:http://www.tempointeraktif.com/medika/online/index-isi.asp?file=art-3. Diakses 20 Juni 2003

Weir DM. 1990. Segi praktis imunologi. Alih Bahasa: Suryawidjaja, JE. Cetakan 1. Binarupa Aksara. Jakarta

Winarto W.P. 2003. Mahkota dewa budi daya dan pemanfaatan untuk obat. Penebar Swadaya. Jakarta

Daftar PustakaAbbas A, Lichtman AH, Pober JS. 1997. Antigen presentation and cell antigen recognition. In: Cellular and molecular immunology. 3rd ed. WB Saunders. Philadelphia. P. 116-35.

Baratawidjaja K. 2000. Imunologi dasar. Ed 4. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta

Hartati MS, Mubarika S, Gandjar IG, Hamann MT, Rao KV, Wahyuono S. 2005. Phalerin, a new benzophenoic glucoside isolated from the methanol ectract of mahkota dewa [Phaleria macrocarpa (Scheff ). Boerl.] leaves. Majalah farmasi Indonesia.15

Jiao Y, Wen J, Yux. Influence of flavanoid of Astragalus membranaceus's stam and leaves on the function of cell mediated immunity in mice.Available at:URL:http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed.Accessed Juny 20, 2003

Lisdawati V. Buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff ) Boerl.) toksisitas, efek antioksidan dan efek

Page 41: jurnal penelitan

Pengaruh Kitosan Olahan Kulit Udang Putih terhadap Penurunan Kadar Trigliserida Plasma Tikus Putih (Rattus norvegicus) M. Shoim Dasuki, Nurina Risanty 37

Pengaruh Kitosan Olahan Kulit Udang Putih terhadap Penurunan Kadar Trigliserida Plasma Tikus Putih (Rattus norvegicus)

M. Shoim Dasuki, Nurina RisantyE mail: [email protected]

AbstractChitosan is a natural compound (aminopolysaccharide) earned through a process deacetylation base on chitin

derived from processed shrimp white skin, are non-toxic, biodegradable, and have power fastening fat is higher than other fibers, so capable of preventing absorption body fat. This study aims to determine the effect chitosan to the triglyceride plasma level of white mouse. This study is laboratory experimental. The sample consists of a negative control group, positive control group (Simvastatin), chitosan dose of 3500 mg, 4500 mg, and 5500 mg group. The results showed that positive control group with all the variations dose chitosan is not different (ñ>0.05), whereas the negative control treatment with all groups is different (ñ<0.05). The conclusion, chitosan is able to decrease the triglyceride plasma level of white mouse (Rattus norvegicus) in second week. The effective dose is the 3500 mg.Keywords: chitosan, triglyceride, plasma of white mouse (Rattus norvegicus)

ekor, dan kulitnya. Hal ini berarti bahwa kepala, ekor, dan kulit udang menjadi limbah. Limbah udang tesebut dapat menjadi masalah pencemaran lingkungan, menimbulkan bau, dan mengurangi estetika lingkungan (Manjang, 1993). Dengan penggunaan kitosan yang merupakan hasil olahan dari udang tersebut, maka diharapkan dapat turut membantu menanggulangi pencemaran lingkungan akibat limbah udang.

Dalam penelitian ini, penulis ingin meneliti apakah kitosan olahan kulit udang putih mempunyai efek menurunkan kadar trigliserida plasma setelah pemberian lemak pada hewan coba tikus putih. Dan bagaimana efektivitas variasi dosis kitosan terhadap penurunan kadar trigliserida plasma setelah pemberian lemak pada hewan coba tikus putih.

Material dan Desain PenelitianP e n e l i t i a n y a n g d i l a k u k a n a d a l a h

eksperimental murni (Murti, 2004). Penelitian dilakukan di Laboratorium Farmasi, Laboratorium Biomedik III, Fakultas Kedokteran, Universitas Muhammadiyah Surakarta.Subjek Penelitian1. Tikus putih (Rattus norvegicus) jantan, strain

Wistar, berumur kira-kira 2 bulan dengan berat badan antara 100 200 gram.

2. Banyaknya sampel 25 ekor tikus putih yang dibagi menjadi 5 kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor tikus putih:

PendahuluanSalah satu penyebab obesitas yang saat ini

dianggap sebagai penyakit kronis dunia modern adalah hasil dari pilihan gaya hidup yang banyak mengonsumsi lemak berlebihan dan sedikit olahraga, (Nammi dkk, 2004). Pada obesitas terjadi akumulasi energi tubuh yang berlebihan dalam bentuk trigliserida (Gibney, 2002). Cara yang efektif untuk mengurangi kandungan kalori dari suatu diet menurunkan asupan lemak (Wardlaw dan Smith, 2006).

Kitosan olahan kulit udang putih adalah senyawa alami (aminopolisakarida) yang diperoleh melalui proses deasetilasi basa pada kitin, bersifat non toksik, dan biodegradabel (Shepherd dkk, 1997). Seperti serat tanaman, kitosan tidak dapat dicerna sehingga tidak memiliki nilai kalori. Sifat kitosan yang lain adalah mempunyai daya pengikatan lemak yang lebih tinggi dibandingkan serat lain sehingga mampu menghambat absorpsi lemak tubuh (Silvani, 2006). Dengan demikian, kitosan potensial untuk dijadikan sebagai obat penurun lemak (Rismana, 2001).

Saat in i , pembuatan k itosan banyak diusahakan masyarakat dengan menggunakan cangkang Crustaceae sp yang merupakan sumber utama zat kitin (Schiller dkk, 2001). Budidaya udang di Indonesia telah berkembang pesat. Udang di Indonesia pada umumnya diekspor dalam bentuk beku yang telah dibuang kepala,

Page 42: jurnal penelitan

Biomedika, Volume 1, Nomor 2, Tahun 200938

(suhu dan kelembapan) yang sama agar faktor-faktor luar yang dapat mengganggu hasil penelitian dapat ditekan seminimal mungkin. Semua tikus putih ditimbang terlebih dahulu sebelum dilakukan penelitian untuk menentukan dosis lemak kambing dan kitosan yang diberikan. Hasil penimbangan berat badan tikus dianalisa secara statistik dan didapatkan rata-rata berat badan tikus. Rata-rata berat badan tikus dapat dilihat pada Tabel 1.

Berdasarkan data di atas kemudian dilakukan uji Kruskal Wallis antara kelompok 1 hingga kelompok 5. Dari uji tersebut didapatkan hasil p=0,068 berarti tidak ada perbedaan bermakna (p>0,05) terhadap berat badan tikus antara kelompok 1 hingga kelompok 5.

Selanjutnya perlakuan terhadap tikus diberikan pada kelompok 1 hingga 5 mulai dari minggu pertama perlakuan hingga minggu ke empat, kemudian kadar trigliserida plasma diukur dan didapatkan hasil yang dapat dilihat pada gambar 1.

Kadar trigliserida pada kelompok 1 hingga 5 saat minggu ke 1 hingga minggu ke-4 terus meningkat, kecuali pada kelompok 1 (kontrol -). Pada minggu ke 4 trigliserid turun. Untuk mengetahui perubahan kadar trigliserid dilakukan perhitungan selisih dari waktu ke waktu. Dari perhitungan tersebut, didapatkan data yang dapat dilihat pada tabel 2.

Dari uji Kruskal Wallis dilanjutkan dengan uji M a n n W h i t n e y U, u n t u k m e l i h a t d a n membandingkan penurunan kadar trigliserid antara dua kelompok perlakuan, mulai minggu ke-1 hingga minggu ke-2. Tingkat probalitas dari dua kelompok tikus dapat dilihat pada tabel 2.

Kelompok I : kelompok kontrol negatif, tidak diberi kitosan

Kelompok II : kelompok kontrol positif, diberi obat antilipidemia Simvastatin

Kelompok III : k e l o m p o k p e r l a k u a n dengan dosis kitosan 3500 mg/hari

Kelompok IV : k e l o m p o k p e r l a k u a n dengan dosis kitosan 4500 mg/hari

Kelompok V : k e l o m p o k p e r l a k u a n dengan dosis kitosan 5500 mg/hari

Identifikasi Variabel Penelitian1. Variabel bebas : Kitosan2. Variabel terikat : Kadar trigliserida plasma tikus

putih.3. Variabel luar :

a. Dapat dikendalikan : makanan.b Tidak dapat dikendalikan :gangguan fungsi

empedu dan lipase, genetik.

Data yang didapat dianalisis secara statistik menggunakan uji Kruskal Wallis dengan derajat kemaknaan p = 0,05.

Penelitian dilakukan di Laboratorium Biomedik III, Fakultas Kedokteran UMS pada bulan Maret - Mei 2009.

Hasil PenelitianPenelitian ini menggunakan tikus putih (Rattus

norvegicus) jantan sebanyak 25 ekor dari strain yang sama yaitu wistar, berumur kira-kira 3 bulan. Tikus-tikus tersebut dibagi menjadi lima kelompok. Kelompok 1 merupakan kelompok kontrol negatif, kelompok 2 merupakan kelompok kontrol positif, kelompok 3 merupakan tikus dengan perlakuan dosis kitosan 3500 mg, kelompok 4 merupakan tikus dengan perlakuan dosis kitosan 4500 mg, kelompok 5 merupakan tikus dengan perlakuan dosis kitosan 5500 mg. Masing-masing kelompok berisi lima ekor tikus. Setiap kelompok ditempatkan pada kandang yang berbeda dan mempunyai faktor lingkungan

Page 43: jurnal penelitan

Pengaruh Kitosan Olahan Kulit Udang Putih terhadap Penurunan Kadar Trigliserida Plasma Tikus Putih (Rattus norvegicus) Nurina Risanty 39

Tabel 1. Rata-rata berat badan tikus putih sebelum perlakuan

KELOMPOK I KELOMPOK II KELOMPOK III KELOMPOK IV KELOMPOK VNO (KITOSAN (KITOSAN (KITOSAN KONTROL (-) KONTROL (+)3500 MG) 4500 MG) 5500 MG)

1 120 135 130 146 1422 168 153 147 119 1523 158 156 123 123 1504 156 165 129 148 1565 168 143 133 145 145RATA2 154 150,4 132,4 136,2 149

Gambar 1. Perubahan trigliserida dari minggu ke-1 hingga minggu ke-4

Tabel 2. Hasil uji Mann Whitney U.

Kelompok N Median p

Kelompok +

Kelompok-

Kitosan dosis 3500 mg

Kitosan dosis 4500 mg

Kontrol-Kitosan dosis 3500 mgKitosan dosis 4500 mgKitosan dosis 5500 mg

Kitosan dosis 3500 mgKitosan dosis 4500 mgKitosan dosis 5500 mg

Kitosan dosis 4500 mgKitosan dosis 5500 mg

Kitosan dosis 5500 mg

5555

555

55

5

0.0090.1080.2010.833

0.0090.0090.009

0.2310.140

0.156

0.050.050.050.05

0.050.050.05

0.050.05

0.05

Page 44: jurnal penelitan

Biomedika, Volume 1, Nomor 2, Tahun 200940

yang sudah mampu menurunkan mampu menurunkan kadar trigliserid plasma tikus putih (Rattus norvegicus).

Saran1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan

menggunakan sampel yang lebih besar agar lebih mewakili populasi.

2. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai efek kitosan terhadap kadar trigliserid plasma pada hewan coba yang lain.

3. Perlu penelit ian lebih lanjut dengan menggunakan jenis lemak yang berbeda sehingga dapat diketahui ada tidaknya perbedaan efek kitosan terhadap jenis lemak yang berbeda.

Daftar PustakaBray, G.A., Macdiarmid. 2000. The Epidemic of Obesity. Oxford: Blackwell Science.

Eastwood. 2003. Principles of Human Nutrition. Oxford: Blackwell Science.

Ganong, William F. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.

Guyton, A.C., Hall, J.E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.

Gybney, M.J., Vorster, H.H., Kok, F.J. 2002. Introduction to Human Nutrition. Oxford: Blackwell Science

Hardjito, L. 2006. Prosiding Kitin and Kitosan. Bogor: IPB.

Hirano, K. 1996. Kitosan. Jepang: Sukito.

Horton, R., Moran, L.A. 2002. Principles of Biochemistry. Oxford: Blackwell Science.

Koolman, J., Rohm, K.H. 2000. Atlas Berwarna dan Teks Biokimia. Jakarta: Hipokrates.

Linder, M.C. 1998. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme dengan Pemakaian Secara Klinis. Jakarta: UI-Press.

Manjang, S. 1993. Limbah Udang. Jogjakarta: PT. Dian Rakyat.Marieb, E. 1998. Human Anatomy and Physiology. 4th ed. California: Benjamin Science Publishing.

Marks, D.B. Dan Marks, A.D. 2000. Biokimia Kedokteran Dasar: Sebuah Pendekatan Klinis. Jakarta: EGC.

Mayes, P. 2003. Biokimia Harper. Jakarta: EGC.

Murti, D. 2004. Metodologi Penelitian. Jogjakarta: UGM press.

PembahasanDari hasil statistik menggunakan uji Kruskal

Wallis terhadap berat badan tikus sebelum perlakuan didapatkan hasil p= 0.068, berarti tidak ada perbedaan bermakna (p> 0,05) antara masing-masing kelompok. Hal ini dilakukan agar faktor gizi tidak mempengaruhi hasil penelitian.

Penelitian ini menggunakan rancangan eksperimental laboratorium murni sehingga setelah tikus putih diberi perlakuan, dilakukan pemeriksaan terhadap kadar trigliserida plasma plasma pada minggu ke-1 hingga ke-4. Dari data yang didapat, dilakukan perhitungan selisih kadar trigliserida masing-masing kelompok dari minggu ke minggu dengan melakukan uji Mann Whitney U. Dari hasil uji tersebut, Perubahan kadar kadar trigliserid dosis kitosan 3500 dengan kontrol positif tidak terdapat perbedaan, dosis kitosan 4500 dengan kontrol positif tidak terdapat perbedaan, dosis kitosan 5500 dengan kontrol positif tidak terdapat perbedaan, kontrol negatif dengan kontrol positif terdapat perbedaan, dosis kitosan 3500 dengan kontrol negatif terdapat perbedaan, dosis kitosan 4500 dengan kontrol negatif terdapat perbedaan, dosis kitosan 5500 dengan kontrol negatif terdapat perbedaan, dosis kitosan 3500 dengan dosis kitosan 4500 tidak terdapat perbedaan, dosis kitosan 4500 dengan dosis kitosan 5500 tidak terdapat perbedaan, dosis kitosan 3500 dengan dosis kitosan 5500 tidak terdapat perbedaan.

Berdasararkan data penelitian, perbadaan kadar trigliserid plasma pada kelompok 1 sebagai kontrol negatif dengan semua kelompok terdapat perbedaan yang signifikan. Antara kelompok dengan berbagai dosis kitosan yang diberikan dan perlakuan dengan simvastatin sama-sama terdapat penurunan yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa penelitian ini kitosan dengan berbagai dosis memik l ik i e fek menghambat absorbsi lemak pada tikus putih (Rattus norvegicus).

Simpulan dan SaranSimpulan1. Kitosan mampu menurunkan kadar trigliserid

plasma tikus putih (Rattus norvegicus) mulai minggu kedua setelah perlakuan.

2. Kitosan dengan dosis 3500 mg, 4500 mg, 5500 mg dapat menurunkan kadar trigliserid plasma tikus putih (Rattus norvegicus).

3. Dosis kitosan yang disarankan untuk aplikasi klinis adalah dosis terkecil, yakni dosis 3500 mg

Page 45: jurnal penelitan

Pengaruh Kitosan Olahan Kulit Udang Putih terhadap Penurunan Kadar Trigliserida Plasma Tikus Putih (Rattus norvegicus) Nurina Risanty 41

Sediaoetama, A.D. 2000. Ilmu Gizi I. Jakarta: Dian Rakyat.

Sheperd, R., Reader, S. 1997. Chitosan Funtional Properties. Oxford: Blackwell Science.

Silvani, M.D., Imam Prayitno, dan Ambar Sulistyawan. 2006. Potensi Kitosan sebagai Produk Olahan Limbah Industri Udang di Bidang Kesehatan. Surakarta. Karya Tulis Mahasiswa UMS.

Sodeman. 1995. Potofisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.

Wardlaw, G., Smith, A.M. 2006. Contemporary Nutrition. Boston: McGraw Hill.

Muzarelli, R.A.A. 2000. Chitin and Chitinase. Oxford: Pergamon press.

Nammi, U., Kristianto, Hamid. 2004. Hidup Sehat di Era Millenium. Surakarta: Media Press.

Olefsky, J.M. 1999. Harrison Principles of Internal Medicine. Boston: McGraw Hill.

Pittler, M.H. 1998. Dietary Suplement for Body-Weight Reduction. Oxford: Blackwell Science.

Rismana, U. 2001. Potensi Kitosan Di Berbagai Bidang. Surakarta. Karya Tulis Mahasiswa UMS.

Schiller, P., John E., Petter A. 2001. The Potention of Shrimp Shell. Boston: Science Press.

Page 46: jurnal penelitan

Biomedika, Volume 1, Nomor 2, Tahun 200942

Page 47: jurnal penelitan

Uji Aktivitas Antimikroba Ekstrak Etanol Daun Cocor Bebek terhadap Bakteri Staphylococcus aureus Atcc 6538 dan Escherichia coli Atcc 11229 Secara Invitro Ratih P., Rahadiyan W.B. 43

Uji Aktivitas Antimikroba Ekstrak Etanol Daun Cocor Bebek (Kalancho e pinnata) terhadap Bakteri Staphylococcus aureus Atcc 6538 dan Escherichia coli Atcc 11229 Secara Invitro

Ratih Pramuningtyas, Rahadiyan W.B. E mail: [email protected]

AbstractCocor Bebek leaves (Kalanchoe pinnata) contains cinamic acid, flavonoid, alphatocopherol dan bufadienolide acid which are presumably able to impede a bacterial growth so that the ethanol extract of cocor bebek leaves are indicated having an antimicrobe effect. This research purposes to find out the existence and nonexistence of the impeding power of the ethanol extract of cocor bebek leaves (Kalanchoe pinnata) on the Staphylococcus aureus and Escherichia coli bacterias growth. The research is laboratory experimental with the ethanol extract of cocor bebek leaves (Kalanchoe pinnata) as the research subject. Bacterias which are used are Staphylococcus aureus ATCC 6538 and Escherichia coli ATCC 11229. The research method is Kirby Bauer by using an oxoid disk. The first step is standardizing each of 24 hours-aged Staphylococcus aureus dan Escherichia coli on BAP and Mc. Conkey medias in the standard of 0.5 Mc.Farland, then smearing using a sterile cotton-rid on Muller Hinton media. The researcher uses an empty oxoid disk as a negative control, an amoxicillin antibiotic disk on Staphylococcus aureus and a chloramphenicol on Escherichia coli as a positive control, while the researcher also places the oxoid disk containing the ethanol extract of cocor bebek leaves (Kalanchoe pinnata) with 20%, 40%, 60%, 80% and 100% concentrations on the top of the plates. Then the researcher measures the impeding zone which is formed after the incubation on 370°C for 1x24 hours. After that, the researcher analyzes the data using Mann-Whitney Non Parametry Test. The result is that on the degrees of 80% and 100%, Staphylococcus aureus bacteria has a significant difference (p<0,05) from the positive and negative controls. In conclusion, this research proves the existence of the antibacteria effect of the ethanol extract of cocor bebek leaves (Kalanchoe pinnata) on the Staphylococcus aureus growth in the concentrations of 80% and 100% and the nonexistence of the antibacteria effect on the Escherichia coli growth.

Keywords: ethanol extract, cocor bebek leaves (kalanchoe pinnata), antibacteria, staphylococcus aureus, escherichia coli

terstandar, belum dilakukan uji klinik dan mudah tercemar berbagai jenis mikroorganisme serta adanya potensi toksisitas oleh toksik endogen yang terkandung didalamnya (Katno, 2004).

O b a t b a h a n a l a m I n d o n e s i a d a p a t dikelompokkan menjadi tiga yaitu jamu yang merupakan ramuan tradisional yang belum teruji secara klinis, obat herbal yaitu obat bahan alam yang sudah melewati tahap uji praklinis, sedangkan fitofarmaka adalah obat bahan alam yang sudah melewati uji praklinis dan klinis (SK Kepala BPOM No. HK.00.05.4.2411 tanggal 17 Mei 2004).

Salah satu dari keanekaragaman hayati yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai obat tradisional adalah cocor bebek (Kalanchoe pinnata) Tanaman ini termasuk tanaman sukulen (mengandung air) yang berasal dari Madagaskar. Tanaman ini terkenal dik arenak an cara

PendahuluanIndonesia merupakan negara yang memiliki

keanekaragaman hayati yang dapat diolah menjadi berbagai macam obat. Sejak ribuan tahun yang lalu, obat-obatan tradisional telah banyak digunakan dan menjadi budaya di Indonesia dalam bentuk ramuan jamu. Obat-obatan tradisional tersebut tidak hanya digunakan dalam fase pengobatan saja, melainkan juga digunakan dalam fase preventif, promotif dan rehabilitasi. Menurut penelitian obat-obatan tersebut banyak digunakan karena keberadaannya yang mudah didapat, ekonomis, dan menurut penelitian memiliki efek samping relatif rendah serta adanya kandungan yang berbeda yang memiliki efek saling mendukung secara sinergis. Namun selain keuntungan yang dimilikinya, bahan alam juga memiliki beberapa kelemahan seperti: efek farmakologisnya yang lemah, bahan baku belum

Page 48: jurnal penelitan

Biomedika, Volume 1, Nomor 2, Tahun 200944

pinnata maka dilakukan determiansi tanaman di laboratorium Biologi FKIP UMS dengan menggunakan bahan acuan “Flora of Java” (Backer ,1968).

2. Persiapan ekstrak etanol Kalanchoe pinnataDilakukan proses pembuatan ekstrak etanol Kalanchoe pinnata melalui metode maserasi sehingga didapatkan ekstrak etanol Kalanchoe pinnata dengan konsentransi 100%, 80%, 60%, 40% dan 20% di laborator ium Farmakologi FK UMS. Selanjutnya rendam cakram kosong pada masing-masing konsentrasi ekstrak etanol Kalanchoe pinnata selama 15 menit.

3. Persiapan kontrol positif dan kontrol negatifUntuk kontrol positif terhadap kuman gram positif Staphylococcus aureus digunakan cakram amoksisilin 20 µg sedangkan kontrol positif terhadap kuman gram negatif E s c h e r i c h i a c o l i d i g u n a k a n c a k r a m kloramfenikol 30 µg. Untuk kontrol negatif digunakan cakram kosong yang telah direndam dalam larutan akuades.

4. Persiapan alat uji aktivitas antibakteriAlat-alat yang akan digunakan pada proses uji aktivitas antibakteri terlebih dahulu dicuci bersih kemudian dikeringkan dan disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit.

5. Persiapan suspensi bakteriAmbil 1 ose bakteri dari biakan dan tanam pada media Mc.Conkey (Escherichia coli) dan media agar darah (Staphylococcus aureus). Eramkan selama 24 jam pada suhu 37°C hingga didapatkan koloni kuman.Ambil 1 ose bakteri dari koloni kuman untuk masing-masing spesies kuman untuk kemudian masing-masing ditanam pada 0,5 ml media BHI cair dan dieramkan selama 5-8 jam pada suhu 37°C.Siapkan 2 ml NaCl fisiologis steril dalam tabung reaksi. Kemudian ambil beberapa ose bakteri Staphylococcus aureus dari biakan dan masukkan kedalam tabung reaksi yang berisi NaCl fisiologis, dikocok sampai homogen untuk kemudian bandingkan dengan suspensi

80,5 Mc.Farland (10 CFU/ml). Bakteri diambil dengan kapas lidi steril, dioleskan pada agar Muller Hilton dan diratakan. Lakukan hal serupa pada biakan Escherichia coli.

6. Pelaksanaan uji antibakteriSiapkan 2 plat media Muller Hilton yang kemudian pada plate pertama diolesi secara

reproduksinya melalui tunas daun (tunas adventif ). Kalanchoe kaya akan kandungan alkaloid, triterpenes, glikosida, flavonoid, steroid dan lipid. Sedangkan pada daunnya terkandung senyawa kimia yang disebut bufadienolides. Bufadienolides pada Kalanchoe pinnata memiliki potensi untuk digunakan sebagai antibakteri, antitumor, pencegah kanker, dan insektisida (Lana, 2005).

Sehubungan dengan adanya indikasi ekstrak daun Kalanchoe pinnata mempunyai daya anti bakteri, maka untuk membuktikan hal tersebut, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui aktivitas antimikroba dari ekstrak tanaman tersebut. Pada uji aktivitas bakteri ini digunakan bakteri Staphylococcus aureus yang merupakan bakteri kokus gram positif (+) dan Escherichia coli yang merupakan bakteri batang gram negatif (-) (Jawetz et al, 2001).

Material dan Desain PenelitianP e n e l i t i a n i n i m e r u p a k a n p e n e l i t i a n eksperimental laboratorium dengan metode post test design only karena peneliti memberi pelakuan terhadap subjek dan mengevaluasi hasil akhirnya.Instrumentasi1. Instrumen

Instrumen yang digunakan adalah sebagai berikut :a. Alat ekstraksi : Blender, seperangkat alat

maserasi, tabung reaksi, alat timbang, penangas air

b. Alat uji aktivitas bakteri : Ose kolong, tabung reaksi , plat diameter 15 cm, autoklaf , inkubator.

2. BahanBahan yang akan digunakan adalah sebagai

berikut :a. Bahan utama berupa daun cocor bebek

(Kalanchoe pinnata).b. Bahan penyari : Etanol 70%, aquades steril.c. Bahan uji aktivitas antibakteri : Media Muller

Hinton, BHI, BAP, Nutrient Agar Plate, aquades, alkohol 70%, Standar 0,5 Mc. Farland, NaCl fisiologis, disk antibiotik amoksis i l in 20 µg, disk ant ibiot ik kloramfenikol 30 µg, disk oksoid kosong.

d. Biakan bakteri : Staphylococcus aureus ATCC 6538, Escherichia coli ATCC 11229 .

Cara Kerja1. Determinasi tanaman

Untuk memastikan bahan yang akan dijadikan bahan ekstrak adalah tanaman Kalanchoe

Page 49: jurnal penelitan

Uji Aktivitas Antimikroba Ekstrak Etanol Daun Cocor Bebek terhadap Bakteri Staphylococcus aureus Atcc 6538 dan Escherichia coli Atcc 11229 Secara Invitro Ratih P., Rahadiyan W.B. 45

Hasil determinasi tersebut memiliki kunci determinasi : 1b, 2b, 3b, 4b, 6b, 7b, 10b, 11b, 12b, 13b, 14b, 16b, 286a, 287b => Familia : Crassulaceae. 1 ==> Genus : Kalanchoe1 ==> Spesies : Kalanchoe pinnata L(Van Steenis, 2003; Tjitrosoepomo, 1988)

B. Hasil PenelitianPenelitian mengenai efek antibakteri ekstrak etanol daun cocor bebek (Kalanchoe pinnata) terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli diperoleh hasil sebagai berikut.

merata dengan bakteri Staphylococcus aureus yang telah dibandingkan dengan standar 0,5 Mc.Farland. Untuk plate yang kedua diolesi secara merata dengan bakteri Escherichia coli yang telah dibandingkan dengan standart 0,5 Mc. Farland. Kemudian pada masing-masing plate diletakkan disk yang telah mengandung ekstrak etanol daun Kalanchoe pinnata 100%, 80%, 60%, 40%, 20%, kontrol positif dan kontrol negatif. Atur jarak antar cakram sedemikian rupa agar tidak terlalu berdekatan. Selanjutnya inkubasi plate pada suhu 37°C selama 18-24 jam. Zona hambatan yang terbentuk diukur dengan jangka sorong dalam satuan milimeter (mm).

7. ReplikasiUji antibakteri ekstrak etanol daun Kalanchoe pinnata terhadap bakteri Staphylococcus aureus ATCC 6538 dan Escherichia coli ATCC 11229 dilakukan sebanyak 5 kali ulangan sesuai dengan perhitungan dengan menggunakan rumus estimasi besar sampel.

Hasil PenelitianA. Hasil Determinasi

Telah dilakukan determinasi tanaman yang dilakukan di Laboratorium Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UMS dengan menggunakan sampel tanaman yang akan digunakan sebagai bahan pembuatan ekstrak.

Hasil tes terhadap biakan Staphylococcus aureus

Tabel 1: daya hambat antimikroba ekstrak etanol daun cocor bebek (Kalanchoe pinnata) terhadap Staphylococcus aureus (mm)

Replikasi Staphylococcus aureus 0% 20% 40% 60% 80% 100% Amoksisilin

1 4 4 4 5,5 5,2 8 39,62 4 4 4 4 5,5 7,1 3 5,63 4 4 4,5 4,8 5,3 10,7 33,84 4 4 4 4,5 5,3 10,5 37,55 4 4 4 4 4 9 34,2

Órata-rata 4 4 4,1 4,5 6 5,1 9,06 36,14

Page 50: jurnal penelitan

Biomedika, Volume 1, Nomor 2, Tahun 200946

dilakukannya uji Anova adalah varian harus bersifat homogen.

• Uji Non Parametri Kruskall-WallisUntuk menilai data secara statistik maka kemudian data diolah dengan uji Non Parametri Kruskall-Wallis. Pada uji ini didapatkan p (Asymp. Sig) = 0,000.Oleh karena p < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antar varian data.

• Uji Non Parametri Mann-WhitneyUntuk mencari data mana yang berbeda secara bermakna maka dilakukan uji Non Parametri Mann-Whitney.

Pada uji yang dilakukan dengan pembanding kontrol negatif (-) digunakan untuk menilai daya hambat antibakteri secara statistik. Didapatkan pada konsentrasi 80% nilai p (Asymp. Sig) = 0,018 dan pada konsentrasi 100% nilai p = 0,005. Kedua nilai p tersebut < 0,05 maka dapat disimpulkan

Dari grafik dan data diatas maka dapat diketahui bahwa pada biakan I terdapat daya hambat yang dimulai dari konsentrasi ekstrak sebesar 40% dan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kadar konsentrasi ekstrak. Rerata diameter daya hambat tersebut secara berurutan dari konsentrasi ekstrak 40% hingga 100% adalah sebesar 41 mm; 45,6 mm; 51 mm dan 90,6 mm.

Data tersebut kemudian dianalisis pada á = 0,05, dan diperoleh hasil sebagai berikut :• Tes homogenitas varians

Hasil analisis menunjukkan Levene Test hitung = 9,120 ternyata memiliki p (sig) = 0,000Oleh karena p < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa varian yang ada adalah tidak homogen.

• Uji AnovaDikarenakan varian data yang ada tidak homogen maka uji Anova tidak dapat dilakukan, karena salah satu syarat untuk dapat

Grafik 1 : daya hambat antimikroba ekstrak etanol daun cocor bebek (Kalanchoe pinnata) terhadap Staphylococcus aureus (mm)

Tabel 2: Tes Mann-Whitney

No. Pembagian kelompok N P (Asymp. Sig)

1 Kontrol (-) 5 0,31740% 5

2 Kontrol (-) 5 0,05460% 5

3 Kontrol (-) 5 0,01880% 5

4 Kontrol (-) 5 0,005100% 5

5 Kontrol (+) 5 0,009100% 5

Page 51: jurnal penelitan

Uji Aktivitas Antimikroba Ekstrak Etanol Daun Cocor Bebek terhadap Bakteri Staphylococcus aureus Atcc 6538 dan Escherichia coli Atcc 11229 Secara Invitro Ratih P., Rahadiyan W.B. 47

ekstrak etanol daun cocor bebek dengan kadar 80% dan 100% memiliki daya hambat yang bermakna secara statistik. Namun demikian apabila dibandingkan dengan amoksisilin sebagai kontrol (+) potensi daya hambat ekstrak etanol daun cocor bebek sebagai antibakteri terhadap Staphylococcus aureus masih jauh kurang efektif. Dalam hal ini berarti amoksisilin masih jauh lebih poten dalam menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus bila dibandingkan daya hambat yang dihasilkan ekstrak etanol daun cocor bebek.

bahwa pada kedua konsentrasi tersebut memiliki daya hambat yang bermakna secara statistik.

Pada uji yang dilakukan dengan pembanding kontrol positif (+) digunakan untuk menilai besarnya potensi daya hambat antibakteri. Didapatkan pada konsentrasi dengan daya hambat tertinggi memiliki p (Asymp. Sig) = 0,009. Oleh karena p <0,05 maka dapat disimpulkan bahwa potensi daya hambat antibakteri ekstrak berbeda secara signifikan apabila dibandingkan dengan kontrol (+) yang berupa amoksisilin.

Perhitungan di atas menunjukkan bahwa

Hasil tes terhadap biakan Escherichia coliHasil yang diperoleh adalah sebagai berikut :Tabel 3: daya hambat antimikroba ekstrak etanol daun cocor bebek (Kalanchoe pinnata) terhadap Escherichia coli

(mm)

ReplikasiEscherichia coli 0% 20% 40% 60% 80% 100% Kloramfenicol

1 4 4 4 4 4 4 19,62 4 4 4 4 4 4 15,73 4 4 4 4 4 4 11,84 4 4 4 4 4 4 17,05 4 4 4 4 4 4 16,3

Ó rata-rata 4 4 4 4 4 4 16,08

Grafik 2 : daya hambat antimikroba ekstrak etanol daun cocor bebek (Kalanchoe pinnata) terhadap Escherichia coli (mm)

Page 52: jurnal penelitan

Biomedika, Volume 1, Nomor 2, Tahun 200948

besar ikut terambil termasuk bahan kimia yang bersifat antagonis sehingga kandungan kimia bahan yang diharapkan mampu bersifat bakteriostatik ternetralkan. Hal ini didukung oleh adanya pernyataan yang menyatakan bahwa cara ekstraksi dengan menggunakan etanol akan lebih banyak mengabsorbsi bahan kimia aktif dari bahan (Ansel, 1988). Sedangkan zat aktif yang diduga memiliki daya antibakteri adalah cinamic acid yang menghambat sintesis protein mikroba, flavonoid dan alfatokoferol yang bekerja dengan menghambat metabolisme sel mikroba, serta bufadienolide yang bekerja dengan merusak asam nukleat mikroba.

Kemungkinan yang lainnya adalah sifat ekstrak itu sendiri yang tidak homogen, yaitu sebagian besar zat aktif ekstrak memiliki berat molekul (BM) tinggi sedangkan sebagian zat aktif ekstrak lainnya memiliki BM yang rendah. Hal tersebut tampak pada sifat ekstrak yang cepat mengendap apabila didiamkan. Hal ini menyebabkan tidak semua zat aktif terserap kedalam disk, karena hanya zat aktif yang berada di dasar tabung yang terserap kedalam disk saat proses perendaman berlangsung.

Adanya perbedaan dalam hal zona hambat yang dihasilkan antara bakteri Staphylococcus aureus gram (+) dengan bakteri Escherichia coli gram (-) dikarenakan adanya perbedaan komponen pada dinding sel kedua bakteri tersebut, dimana Staphylococcus aureus sebagai gram (+) memiliki 3 lapisan yaitu selaput sitoplasma, lapisan peptidoglikan yang tebal dan simpai, sedangkan Escherichia coli sebagai gram (-) memiliki lapisan yang lebih kompleks dan berlapis-lapis yaitu selaput sitoplasma, lapisan tunggal peptidoglikan, dan selaput luar yang terdiri dari lipoprotein dan lipopolisakarida. Selaput luar Escherichia coli sebagai gram (-) memiliki karakteristik yang unik dimana pada selaput itu bersifat menolak molekul hidrofobik sekaligus hidrofilik dengan baik namun di lain pihak selaput ini memiliki saluran khusus yang mengandung molekul protein yang disebut porin. Saluran tersebut memudahkan difusi pasif senyawa hidrofilik dengan BM rendah seperti gula dan asam amino, sedangkan molekul yang besar seperti molekul antibiotika dan termasuk juga molekul zat aktif ekstrak daun cocor bebek akan mengalami kesulitan bahkan gagal untuk menembusnya. Adanya perbedaan-perbedaan tersebut menyebabkan Escherichia coli sebagai gram (-) lebih bersifat resisten ( Jawetz. et al, 2001).

Pada data yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan terhadap Escherichia coli dapat diketahui bahwa ekstrak etanol daun cocor bebek (Kalanchoe pinnata) dari konsentrasi 20% hingga konsentrasi 100% tidak memiliki daya hambat sama sekali terhadap biakan kuman Escherichia coli.

Dikarenakan semua data yang diperoleh memiliki rerata yang tidak berbeda dari rerata variabel pembanding (kontrol negatif ) maka data tersebut tidak dilanjutkan dengan penilaian data secara statistik. Hal tersebut dikarenakan kesemua kadar ekstrak tidak memiliki daya hambat maupun potensi terhadap biakan kuman Escherichia coli.

PembahasanTelah dilakukan penelitian mengenai efek

antibakteri ekstrak etanol daun cocor bebek (Kalanchoe pinnata) terhadap pertumbuhan Staphylococcus aureus ATCC 6538 dan Escherichia coli ATCC 11229 secara invitro. Pada grafik 1 dan 2 dapat dilihat gambaran dari diameter zona h a m b a t p e r t u m b u h a n d a l a m b e r b a g a i konsentrasi dan reratanya. Untuk bakteri Staphylococcus aureus diperoleh zona hambat dengan diameter 4 mm (20%), 4 mm (40%), 4,1 mm (60%), 4,56 mm (80%) dan 9,06 mm (100%). Namun daya hambat tersebut tidaklah bermakna signifikan apabila dibandingkan diameter daya hambat yang dihasilkan amoksisilin sebagai kontrol positif. Untuk bakteri Escherichia coli dari penelitian ini diketahui bahwa ekstrak etanol daun cocor bebek (Kalanchoe pinnata) dengan berbagai konsentrasi tidak memiliki daya hambat sama sekali.

Sebagai pembanding telah dilakukan percobaan dengan menggunakan metode sumuran dan Pour Plate dengan menggunakan ektrak yang sama dengan konsentrasi yang sama pula yaitu 20%, 40%, 60%, 80% dan 100%. Percobaan tersebut juga dilakukan baik terhadap biakan kuman Staphylococcus aureus ATCC 6538 dan Escherichia coli ATCC 11229 dan hasil yang diperoleh adalah terbentuk zona hambat dengan diameter 5,6 mm (60%), 7,2 mm (80%) dan 8,8 mm (100%) pada biakan Staphylococcus aureus, namun pada biakan Escherichia coli tetap tidak ditemukan zona hambat sama sekali.

Adanya potensi kadar hambat ekstrak yang tidak bermakna bagi Staphylococcus aureus dan bahkan tidak adanya hambatan sama sekali bagi Escherichia coli dimungkinkan karena berbagai kandungan kimia daun cocor bebek sebagian

Page 53: jurnal penelitan

Uji Aktivitas Antimikroba Ekstrak Etanol Daun Cocor Bebek terhadap Bakteri Staphylococcus aureus Atcc 6538 dan Escherichia coli Atcc 11229 Secara Invitro Ratih P., Rahadiyan W.B. 49

Staphylococcus aureus dan Escherichia coli tersebut.

Daftar PustakaAlmeida, A.P., Muzitano, M.F. et al. 2006. 1-octen-3-O-a-L-arabinopyranosyl-b-glucopyranoside, a minor substance from the leaves of Kalanchoe pinnata (Crassulaceae). Rev. Bras. Farmacogn. 16 (4). http://www.scielo.br

Ansel, H.C. 1988. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta : UI press: 607-15

Atata, Alhassan Sani et al. 2003. Effect of Stem Bark Extracts of Enantia chloranta on Some Clinical Isolates. Department of Biological Sciences, University of Ilorin, Nigeria. http://www.bioline.org.br

Bagian Mikrobiologi. 1994. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Edisi Revisi. Jakarta: Binarupa Aksara: 104-63

Bagian Mikrobiologi. 1997. Mikrobiologi Kedokteran. Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Jogjakarta: Penerbit FK UGM

Bonang, G., Koeswardono, E.S. 1996. Mikrobiologi Kedokteran Untuk Laboratorium dan Klinik. Jakarta: Gramedia: 107-109

Dalimarta, Setiawan. 1999. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Jilid I. Jakarta: PT. Niaga Swadaya: 139-42

Da-Silva, S.A.G., Pinheiro, R.O. et al. 2008. Chemical isolation of an apolar antileishmanial and lymphocyte-suppressive substance present in the plant Kalanchoe pinnata. Instituto de Biofísica and Núcleo de Pesquisas d e P r o d u t o s N a t u r a i s U F R J . http://www.memorias.ioc.fiocruz.br

Hariana, Arief. 2000. Tumbuhan Obat & Khasiatnya. Seri 3. Jakarta: PT. Niaga Swadaya: 94-5

Hidayati, Siti Nur. 2006. Uji Antibakteri Ekstrak Daun Cocor Bebek (Kalanchoe pinnata Pers) terhadap Staphylococcus aureus dan Shigella dysentriae. Skripsi. Pendidikan Biologi. FKIP UMS.

Jawetz , Melnick, Adelberg, J.L. 2001. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi 22. Penerjemah Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Jakarta: Salemba Medika: 15-23, 211-7, 234-48.

Katno, Pramono S. 2008. Tingkat Manfaat dan Keamanan Tanaman Obat Tradisional. Jogjakarta: Fakultas Farmasi UGM.

Lana, Ana. 2005. Toksisitas Fraksi Etil Asetat Daun Cocor Bebek Kalanchoe daigremontiana Hamet & Perrier. http://hpt.unpad

Penelitian ini seirama dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Siti Nur Hidayati dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UMS tentang infusa daun cocor bebek yang memiliki daya hambat yang s ignif ik an terhadap Staphylococcus aureus dari kadar infusa 20% - 100% namun tetap tidak signifikan bagi Shigella dysentriae. Hanya saja dibandingkan daya hambat yang dihasilkan oleh infusa daun cocor bebek, daya hambat yang dihasilkan ekstrak etanol daun cocor bebek bersifat lebih rendah. Selain itu, dari penelitian yang telah dilakukan oleh B. Muthuvelan dan R. Balaji Raja yang dimuat dalam J u r n a l M i k r o b i o l o g i d a n B i o t e h n o l o g i SpringerLink didapatkan bahwa ekstrak diethyl ether dari daun cocor bebek tidak memiliki daya hambat yang signifikan sedangkan pada ekstrak kloroform dan heksan dari daun cocor bebek sama sekali tidak memiliki daya hambat pada biakan koloni bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Hal tersebut menunjukkan bahwa daya antibakteri daun cocor bebek yang paling maksimal dapat diperoleh dari infusanya.

Simpulan dan SaranSimpulanDari hasil penelitian tentang uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun cocor bebek (Kalanchoe pinnata) terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus ATCC 6538 dan Escherichia coli ATCC 11229 secara invitro, maka dapat diambil simpulan bahwa ekstrak etanol daun cocor bebek dimulai dari kadar 40% - 100% terbukti memiliki daya hambat terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus namun potensi antibakterinya tidak signifikan apabila dibandingkan dengan amoksisilin sebagai kontrol posit i fnya, sedangkan terhadap pertumbuhan bakteri Escherichia coli ekstrak daun cocor bebek mulai dari kadar 20% - 100% sama sekali tidak memiliki daya hambat.Saran1. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai efek

daun cocor bebek terhadap biakan kuman lainnya dengan menggunakan cara ekstraksi yang berbeda.

2. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai efek ekstrak etanol daun cocor bebek terhadap biakan kuman lainnya.

3. Perlu penelit ian lebih lanjut dengan menggunakan jenis ekstrak tumbuhan yang berbeda sehingga dapat diketahui ada tidaknya efek antibakteri pada kuman

Page 54: jurnal penelitan

Biomedika, Volume 1, Nomor 2, Tahun 200950

Schunack, W., Mayer, K. et al. 1990. Senyawa Obat Buku Pelajaran Kimia Farmasi. Edisi 2 diperbarui. Jogjakarta: Gadjah Mada University Press

Setiabudy, R., Vincent, H.S.G. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4 (dengan perbaikan). Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: 571-83Sugiyono, 2005. Statistik untuk Penelitian. Bandung: CV. Alfabeta

Taylor, Leslie. 2005. Database File for Kalanchoe. http://rain-tree.com

Tjitrosoepomo, Gembong. 1993. Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). Jogjakarta: Gadjah Mada University Press: 192-3

United States Department of Agriculture., 1999. Plants Profile : Kalanchoe pinnata. http://www.USDA.com ( 4 Agustus 2008)

Wijayakusuma, Hembing. 2001. Atasi Asam Urat & Rematik ala Hembing. Jakarta: PT. Niaga Swadaya: 45

Willcox , Merlin L., Bodeker, G. Traditional Herbal Medicines for Malaria. http://www.BMJ.com

Lans, Cheryl A. 2006. Ethnomedicines used in Trinidad and Tobago for urinary problems and diabetes mellitus. Journal of Ethnobiology and Ethnomedicine. http://www.ethnobiomed.com

Levinson, Warren. 2004. Medical Microbiology and Immunology Examinationand Board Review. 8th Edition. Philadelphia: A Lange Medical Books: 91-102, 115-32

Muthuvelan, B., Raja, R. 2008. Studies on the efficiency of different extraction procedures on the anti microbial activity of selected medicinal plants. World J Microbiol Biotechnol 24: 283742. http://www.springerlink.com

Ouellette, Robert J. 1998. Organic Chemistry: A Brief Introduction. 2nd edition. New Jersey : Prentice Hall: 239, 314-5, 380-3

PDPERSI. 2003. Obat Tradisional : Cocor bebek (Kalanchoe pinnata). http://www.PDPERSI.CO.ID Priyatno, Duwi. 2008. Mandiri Belajar SPSS. Jakarta: MediaKom

Q u e l a b . 2 0 0 5 . M c F a r l a n d S t a n d a r t . http://www.quelab.com

Page 55: jurnal penelitan

PEDOMAN BAGI PENULIS BIOMEDIKA

Inf ormasi UmumJurnal Biomedika menerima makalah ilmiah dari para staf edukatif FK UMS, para alumnus FK UMS, dokter di

seluruh Indonesia dan dari luar negeri, baik dokter umum maupun spesialis. Makalah dapat berupa karangan asli (penelitian, laporan kasus, kajian pustaka, resensi buku dan tulisan lain dalam bidang kedokteran dan kesehatan). Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia yang baik dan benar berdasarkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah, atau dalam bahasa Inggris.

Format NaskahTulisan diketik pada kertas kuarto, batas atas, bawah, dan samping masing-masing 2,5 cm, spasi dobel, font

Times New Roman, ukuran 12 tidak bolak-balik dan mencantumkan alamat email penulis.Naskah penelitian (karangan asli) harus meliputi:1. Judul tulisan, dibuat singkat bersifat informatif, dan mampu menerangkan isi tulisan, nama para

penulis lengkap berikut gelar beserta alamat kantor/instansi/tempat kerja lain, diletakkan di bawah judul

2. Pendahuluan, berisi latar belakang, masalah, maksud & tujuan, serta manfaat penelitian3. Bahan/ subyek/ pasien dan cara kerja4. Hasil penelitian5. Pembahasan, kesimpulan dan saran6. Pernyataan terima kasih (kalau ada)7. Daftar pustaka8. Lampiran-lampiranNaskah laporan kasus memuat latar belakang/alasan pelaporan kasus, maksud & tujuan, manfaat, data

klinis, ilustrasi serta diskusi. Format naskah kajian pustaka, menyesuaikan, khususnya dalam pendahuluan hendaknya memuat penjelasan problematik yang dikaji, maksud, tujuan, dan manfaatnya serta pembahasan dari apa yang dikaji dan diakhiri dengan kesimpulan hasil kajian.

Tabel/bagan/grafik/gambar/foto dibuat dengan jelas dan rapi, disertai keterangan yang jelas dan informatif. Diberi nomor menurut urutan dalam naskah, tidak lebih dari tiga lembar, keterangan ditempatkan di bawah gambar/bagan. Keterangan tabel ditempatkan di atas tabel. Tabel/bagan/grafik/gambar/foto semuanya dilampirkan terpisah dari naskah. Rujukan dalam teks dibuat berdasarkan model Harvard.

AbstrakAbstrak dibuat dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, terdiri sekurang-kurangnya 100 kata,

sebanyak-banyaknya 350 kata. Diketik pada lembaran kertas terpisah dengan spasi ganda. Abstrak penelitian berisi latar belakang, material dan metode penelitian, hasil penelitian, kesimpulan, dan kata kunci.

Abstrak ditulis dalam 1 paragraf.PengirimanBerkas tulisan hendaknya dikirim rangkap dua disertai file dalam disket/CD dengan mempergunakan

program Microsoft Word, dialamatkan kepada Redaksi Biomedika, sekretariat Biomedika lantai 2, FK UMS Jl. Kebangkitan Nasional no 101 Penumping Surakarta.

Proses ReviewNaskah setelah dilakukan seleksi redaksional akan dikirim kepada reviewer (mitra bestari) untuk dinilai dan

hasil penilaian bisa berupa: 1) Diterima tanpa perubahan, 2) Diterima dengan perubahan ringan, 3) Diterima dengan perubahanbesar, 4) Ditolak.

Dalam hal perubahan ringan bisa dilakukan oleh dewan redaksi, namun perubahan besar atau melengkapi kekurangan-kekurangan perlu dilakukan sendiri oleh penulis. Diharapkan koreksi sudah bisa dikembalikan paling lama dalam 2 minggu.

Ketentuan LainRedaksi berhak memperbaiki susunan naskah atau bahasa tanpa mengubah isinya. Naskah yang telah

dimuat di majalah lain tidak diperkenankan diterbitkan dalam majalah ini.

Page 56: jurnal penelitan
Page 57: jurnal penelitan