jurnal pajajaran

98
Sabtu, 24 Agustus 2002 Menyikapi Penggalian Situs Batutulis Oleh REIZA D DIENAPUTRA TANPA diduga, berita yang semula terkesan biasa-biasa saja, dalam waktu relatif singkat segera berubah menjadi demikian menghebohkan. Bermula dari adanya informasi penggalian di Situs Prasasti Batutulis, yang terletak di Kelurahan Batutulis, Kecamatan Bogor Selatan, berita berkembang menjadi menarik ketika diketahui bahwa penggalian tersebut dikomandani langsung oleh Menteri Agama Said Agil Husin Al Munawar. Adapun tujuannya, dan ini yang membuat informasi dari Jalan Batutulis menjadi semakin menarik adalah untuk mencari harta karun. Konon kabarnya (bukan kata Mbah Dukun), harta karun tersebut bila berhasil ditemukan akan mampu menutup seluruh utang negara. Dengan demikian nilai harta karun tersebut setidaknya berjumlah 36,4 miliar dollar AS. Itupun bila angka yang digunakan adalah jumlah total utang luar negeri Indonesia yang jatuh tempo pada tahun 2002. Disadari atau tidak, upaya penggalian situs-situs purbakala untuk tujuan mencari harta karun sebenarnya bukanlah merupakan fenomena baru. Termasuk bagi bangsa yang tengah dilanda krisis multidimensional ini. Namun, upaya pencarian harta karun di seputar Situs Prasasti Batutulis ini menjadi istimewa karena 'petunjuk' ke arah penggaliannya tidak didasarkan atas bukti-bukti ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan tetapi hanya didasarkan atas informasi 'orang pintar'. Di balik itu semua, yang justru tidak kalah menarik untuk diamati adalah penyikapan yang diberikan oleh berbagai elemen masyarakat, khususnya masyarakat yang berasal dan atau tinggal di Jawa Barat. Prasasti Batutulis Berbicara tentang Prasasti Batutulis berarti berbicara tentang sebuah kerajaan Hindu Budha yang pernah manggung di tatar Sunda, sekaligus kerajaan Hindu Budah yang paling lama eksis di Indonesia, yakni Kerajaan Sunda Pajajaran. Prasasti Batutulis sendiri sebenarnya hanyalah salah satu dari sekian banyak prasasti yang ditinggalkan kerajaan Sunda Pajajaran selama 909 tahun eksistensinya (670 M-1579 M). Adapun jumlah keseluruhan prasasti yang berasal dari Kerajaan Sunda Pajajaran adalah 25 prasasti; 19 prasasti terbuat dari batu dan sisanya terbuat dari tembaga. Di samping Prasasti Batutulis, prasasati-prasasti lainnya yang merupakan peninggalan Kerajaan Sunda Pajajaran di antaranya adalah Prasasti Rakryan Juru Pangambat, Prasasti Sanghyang Tapak, dan Prasasti Kabantenan. Prasasti Rakryan Juru Pangambat, yang berangka tahun 654 Saka (932 M) dapat dikatakan merupakan prasasti tertua yang menyebut nama Sunda. Prasasti yang ditemukan di Desa Kebon Kopi, Bogor ini, antara lain menyebut keterangan, ...ini sabdakalanda rakryang juru pangambat i kawihaji panyca pasagi marcandeca barpulihkan haji sunda, yang artinya, (... ini tanda ucapan rakryan juru pangambat dalam tahun saka 854 bahwa pemerintahan daerah dipulihkan kepada raja sunda). Prasasti Sanghyang Tapak yang berasal dari tahun 952 Saka atau 1030 M ditulis dalam bahasa Jawa Kuno dan huruf Kawi. Prasasti ini isinya antara lain menyebutkan

Upload: jocker-madman

Post on 27-Jun-2015

3.720 views

Category:

Documents


58 download

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal Pajajaran

Sabtu, 24 Agustus 2002

Menyikapi Penggalian Situs Batutulis

Oleh REIZA D DIENAPUTRA

TANPA diduga, berita yang semula terkesan biasa-biasa saja, dalam waktu relatif

singkat segera berubah menjadi demikian menghebohkan. Bermula dari adanya informasi

penggalian di Situs Prasasti Batutulis, yang terletak di Kelurahan Batutulis, Kecamatan

Bogor Selatan, berita berkembang menjadi menarik ketika diketahui bahwa penggalian

tersebut dikomandani langsung oleh Menteri Agama Said Agil Husin Al Munawar.

Adapun tujuannya, dan ini yang membuat informasi dari Jalan Batutulis menjadi semakin

menarik adalah untuk mencari harta karun. Konon kabarnya (bukan kata Mbah Dukun),

harta karun tersebut bila berhasil ditemukan akan mampu menutup seluruh utang negara.

Dengan demikian nilai harta karun tersebut setidaknya berjumlah 36,4 miliar dollar AS.

Itupun bila angka yang digunakan adalah jumlah total utang luar negeri Indonesia yang

jatuh tempo pada tahun 2002.

Disadari atau tidak, upaya penggalian situs-situs purbakala untuk tujuan mencari harta

karun sebenarnya bukanlah merupakan fenomena baru. Termasuk bagi bangsa yang

tengah dilanda krisis multidimensional ini. Namun, upaya pencarian harta karun di

seputar Situs Prasasti Batutulis ini menjadi istimewa karena 'petunjuk' ke arah

penggaliannya tidak didasarkan atas bukti-bukti ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan

tetapi hanya didasarkan atas informasi 'orang pintar'. Di balik itu semua, yang justru tidak

kalah menarik untuk diamati adalah penyikapan yang diberikan oleh berbagai elemen

masyarakat, khususnya masyarakat yang berasal dan atau tinggal di Jawa Barat.

Prasasti Batutulis

Berbicara tentang Prasasti Batutulis berarti berbicara tentang sebuah kerajaan Hindu

Budha yang pernah manggung di tatar Sunda, sekaligus kerajaan Hindu Budah yang

paling lama eksis di Indonesia, yakni Kerajaan Sunda Pajajaran. Prasasti Batutulis sendiri

sebenarnya hanyalah salah satu dari sekian banyak prasasti yang ditinggalkan kerajaan

Sunda Pajajaran selama 909 tahun eksistensinya (670 M-1579 M). Adapun jumlah

keseluruhan prasasti yang berasal dari Kerajaan Sunda Pajajaran adalah 25 prasasti; 19

prasasti terbuat dari batu dan sisanya terbuat dari tembaga.

Di samping Prasasti Batutulis, prasasati-prasasti lainnya yang merupakan peninggalan

Kerajaan Sunda Pajajaran di antaranya adalah Prasasti Rakryan Juru Pangambat, Prasasti

Sanghyang Tapak, dan Prasasti Kabantenan. Prasasti Rakryan Juru Pangambat, yang

berangka tahun 654 Saka (932 M) dapat dikatakan merupakan prasasti tertua yang

menyebut nama Sunda. Prasasti yang ditemukan di Desa Kebon Kopi, Bogor ini, antara

lain menyebut keterangan, ...ini sabdakalanda rakryang juru pangambat i kawihaji panyca

pasagi marcandeca barpulihkan haji sunda, yang artinya, (... ini tanda ucapan rakryan juru

pangambat dalam tahun saka 854 bahwa pemerintahan daerah dipulihkan kepada raja

sunda). Prasasti Sanghyang Tapak yang berasal dari tahun 952 Saka atau 1030 M ditulis

dalam bahasa Jawa Kuno dan huruf Kawi. Prasasti ini isinya antara lain menyebutkan

Page 2: Jurnal Pajajaran

bahwa pada tahun 1030, Maharaja Sri Jayabhupati ... magaway tepek i purwwa

sanghyang tapak ... (membuat tepek atau daerah larangan di sebelah Timur Sanghyang

Tapak ...). Daerah larangan itu berupa sebagian dari sungai yang dinyatakan tertutup

untuk segala macam penangkapan ikan dan penghuni sungai lainnya. Bila melanggar

larangan tersebut akan termakan sumpah yang berlaku sepanjang masa, seperti, terbelah

kepalanya, terminum darahnya, terpotong-potong ususnya, terhisap otaknya, dan terbelah

dadanya. Prasasti Kabantenan termasuk jenis tamra prasasti, yaitu prasasti yang ditulis

pada lempengan tembaga. Dalam Prasasti Kabantenan yang berjumlah lima buah tersebut

pada intinya memuat pesan yang sama, yakni mengenai penetapan wilayah-wilayah

tertentu menjadi daerah yang dibebaskan dari pajak atas dasar kesucian atau kepentingan

keagamaan.

Prasasti Batutulis yang berangka tahun 1455 Saka (1533 M) ditulis dalam bahasa dan

huruf Sunda Kuno. Dibanding prasasti-prasasti lainnya, prasasti ini dapat dikatakan

merupakan prasasti yang paling banyak menyebut nama raja Kerajaan Sunda Pajajaran.

Setidaknya ada tiga nama raja yang tertulis dalam prasasti ini, yaitu, Prabu Guru

Dewataprana alias Sri Baduga Maharaja atau Sri Ratu Dewata, Rahiyang Dewa Niskala,

dan Rahiyang Niskala Wastu Kancana. Ketiga nama raja ini, memiliki hubungan sebagai

anak, ayah, dan kakek. Adapun terjemahan isi prasasti tersebut, sebagaimana

dikemukakan Saleh Danasasmita, adalah sebagai berikut. 'Semoga selamat. Ini tanda

peringatan untuk (peninggalan dari) Prabu Ratu Suwargi. Ia dinobatkan dengan gelar

Prabu Guru Dewataprana. Dinobatkan (lagi) ia dengan gelar Sri Baduga Maharaja Ratu

Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (di) Pakuan.

Dia anak Rahiyang Dewa Niskala yang mendiang di Guna Tiga; cucu Rahiyang Niskala

Wastu Kancana yang mendiang di Nusa Larang. Dialah yang membuat tanda peringatan

(berupa) gunung-gunungan, membangun jalan yang diperkras dengan batu, membuat

samida, membuat Sanghiyang Talaga Rena Mahawijaya. Ya dialah (yang membuat

segala itu), (dibuat) dalam (tahun) saka 1455 (sic.)'. Melihat tahun pembuatannya, yakni

1455 Saka atau 1533 M, maka dapat dipastikan bahwa pembangunan Prasasati Batutulis

ini dilakukan pada masa pemerintahan Sang Prabu Surawisesa (Ratu Sangiang). Prabu

Surawisesa yang merupakan anak kandung Sri Baduga Maharaja memerintah dari tahun

1521 M hingga 1535 M.

Melihat isi yang terkandung dalam Prasasti Batutulis secara eksplisit terlihat bahwa

pembuatan prasasti tersebut hanyalah sebagai sebuah monumen peringatan atas jasa besar

yang telah dilakukan Sri Baduga Maharaja. Dengan demikian, Prasasti Batutulis tersebut

sama sekali tidak memuat suatu 'pesan' yang dapat dijadikan alasan untuk menjadikan

prasasti atau tempat dimana prasasti tersebut berada dikeramatkan atau disakralkan. Hal

tersebut jelas berbeda dengan Prasasti Sanghyang Tapak. Melihat isi yang terkandung di

dalamnya, Prasasti Sanghyang Tapak memuat pesan yang jelas tentang adanya daerah

larangan dan sanksi bagi yang melanggarnya.

Bentuk Penyikapan

Dilihat dari panjangnya rentang waktu pejalanan sejarah Kerajaan Sunda Pajajaran,

Prasasti Batutulis, sebagaimana prasasti-prasasti Kerajaan Sunda Pajajaran lainnya yang

Page 3: Jurnal Pajajaran

telah berhasil ditemukan, hanya memberi sedikit informasi tentang Kerajaan Sunda

Pajajaran. Dalam kondisi seperti itu, maka setiap upaya penelitian, termasuk di dalamnya

penggalian situs, yang ditujukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang belum

terungkap seputar Kerajaan Sunda Pajajaran pada dasarnya perlu disikapi secara positif.

Penyikapan yang sama sebenarnya patut diberikan pada penggalian situs yang terjadi

pada tanggal 14 Agustus 2002. Penyikapan yang berupa dukungan ini tentunya, sekali

lagi, perlu diberikan apabila penggalian situs tersebut ditujukan untuk meneliti lebih

lanjut berbagai misteri yang menyelimuti Situs Prasasti Batutulis. Namun, bentuk

penyikapan tersebut bisa menjadi lain tampilannya manakala tujuan penggalian tersebut

adalah bukan untuk tujuan penelitian atau pengungkapan sejarah Kerajaan Sunda

Pajajaran.

Penjelasan gamblang menteri agama bahwa penggalian situs Prasasti Batutulis adalah

untuk tujuan mencari harta karun, benar-benar telah membuat banyak orang terperangah.

Tidak sedikit di antaranya yang sulit untuk mempercayai bahwa ucapan tersebut muncul

dari pejabat publik setingkat menteri. Terlebih manakala dikatakan bahwa petunjuk untuk

melakukan penggalian di sekitar situs tersebut diperoleh atas informasi dari seorang ustaz

yang diyakini sang menteri sebagai orang pintar. Untuk memberi legitimasi lebih kuat

atas prakarsa penggaliannya tersebut, meskipun kemudian dibantahnya sendiri dalam

jumpa pers tanggal 21 Agustus 2002, menteri agama juga mengatakan bahwa ia telah

memperoleh izin presiden. Akibatnya, hebohlah berita penggalian tersebut. Berbagai

reaksi pun segera muncul.

Namun demikian, sangat disayangkan komentar-komentar yang muncul di seputar

penggalian tersebut sebagian di antaranya cenderung emosional dan tidak proporsional.

Bahkan, yang lebih ironis lagi, perilaku irasional yang dituduhkan terhadap menteri

agama justru ditanggapi dengan cara-cara yang (sebenarnya) irasional pula. Termasuk

penyikapan yang kemudian memandang situs tersebut sebagai tempat keramat dan sakral

sehingga tidak boleh diusik sedikit pun juga. Bahkan adapula yang kemudian

menghubungkan akibat penggalian tersebut dengan berbagai kejadian yang menimpa

kota Bogor pasca terjadinya penggalian.

Sebenarnya, apabila mau berpikir jernih dan lebih hati-hati, dampak positif pasca

terjadinya penggalian akan lebih banyak muncul. Sebelum penyikapan diberikan,

tentunya perlu dipertanyakan dulu, apa tujuan sebenarnya penggalian tersebut? Benarkah

memang tujuannya hanya untuk mencari harta karun? Kalau memang untuk mencari

harta karun, jenis harta karun apa yang sebenarnya tengah dicari menteri agama?

Tidakkah ada kemungkinan bahwa dibalik semua itu sebenarnya ada skenario penting

yang tengah digulirkan menteri agama?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, tentu banyak kemungkinan jawaban

yang dapat dikedepankan. Namun demikian, bila kasus tersebut dilihat dari perspektif

lain bisa jadi di balik perilaku irasional yang jelas-jelas ditampilkan menteri agama ada

satu misi besar yang sebenarnya ingin dilakukan menteri agama, yakni ingin mengikis

perilaku irasional yang kini demikian mewabah pada bangsa ini. Bukan rahasia umum

Page 4: Jurnal Pajajaran

lagi bahwa di tengah krisis multidimensional ini banyak pihak yang kemudian

memanfaatkannya untuk menjual program-program pencarian harta karun, baik itu harta

karun para mantan raja, mantan presiden, sampai mantan pemberontak sekalipun.

Program-program pencarian harta karun yang sudah demikian mewabah ini anehnya

termasuk komoditi yang laku dijual sehingga mendapat sambutan penuh antusias dari

sebagian masyarakat, bahkan dukungan terkadang muncul dari mereka-mereka yang

berasal dari kalangan terdidik. Untuk meyakinkan para 'korbannya', tidak hanya tempat-

tempat tertentu yang ada di darat yang diindikasikan menyimpan harta karun tersebut,

termasuk sejumlah bank, khususnya bank di luar negeri, tetapi juga tempat-tempat di

sekitar perairan Indonesia. Para bobotoh harta karun ini biasanya baru akan tersadarkan

bahwa program tersebut hanya bualan belaka apabila waktu yang dijanjikan untuk

menerima pembagian harta karun telah lewat sementara mereka belum memperoleh

bagian atau para seller program menghilang entah kemana rimbanya.

Dalam kaitan itulah tampaknya menteri agama ingin membuka mata semua pihak

melalui penggalian yang dilakukan di Situs Prasasti Batutulis, meskipun untuk itu ia

harus menuai badai kritik dan cercaan. Mengapa Situs Prasasti Batutulis yang menjadi

objek perburuan harta karun? Jawabannya tegas, karena Situs Prasasti Batutulis termasuk

salah satu lokasi yang sering disebutkan banyak menyimpan harta karun, termasuk oleh

para seller program perburuan harta karun. Tujuan akhirnya jelas, dengan memilih

sampel di lokasi yang banyak diisukan, menteri agama tampaknya ingin memperlihatkan

kepada masyarakat bahwa program-program pencarian harta karun tersebut hanyalah

bualan belaka. Dengan cara ini, masyarakat yang selama ini telah termakan oleh mimpi-

mimpi tentang adanya sejumlah harta karun di sekitar Situs Prasasti Batutulis dapat

secepatnya tersadarkan karena bukti yang ditampilkan adalah bukti konkrit.

Kalau tujuannya memang seperti itu maka jelas kesalahan terbesar menteri agama adalah

ia kurang cerdik dalam memainkan skenario tersebut. Sebagai orang terdidik, ulama,

sekaligus pejabat negara, menteri agama seharusnya memperhatikan berbagai prosedur

yang dipersyaratkan untuk melakukan penggalian. Prosedur perizinan dan pengunaan

metode ilmiah dalam penggalian seyogianya ditempuh menteri agama. Bahkan pemetaan

lokasi dengan geo electric prospecting sebelum penggalian dimulai sudah seharusnya

dilakukan terlebih dahulu.

Selanjutnya, bila ide pencerahan ini memang menjadi tujuan sebenarnya menteri agama,

betapapun pada akhirnya kita perlu menyikapinya secara positif. Penggalian perlu

diteruskan tetapi dengan memperhatikan kaidah-kaidah ilmiah yang dapat

dipertanggungjawabkan. Bisa jadi dibalik ide pencerahan tersebut, justru pada akhirnya

akan muncul blessing in disguise. Harta karun benar-benar akan ditemukan di Situs

Prasasti Batutulis. Namun, harta karun tersebut bukan barang yang bernilai jual tinggi

sebagaimana yang selama ini diisukan, tetapi justru harta karun yang memiliki nilai

sejarah dan budaya tinggi, yakni bukti-bukti yang lebih lengkap tentang eksistensi

Kerajaan Sunda Pajajaran.

Berdasarkan perspektif pemikiran tersebut jelaslah penyikapan yang bersifat emosional

dan irasional jelas perlu dihindari dalam 'membaca' kasus Batutulis ini. Terkadang apa

Page 5: Jurnal Pajajaran

yang tersurat tidak selalu sama dengan apa yang tersirat. Penghormatan terhadap

peninggalan leluhur memang perlu dilakukan namun penghormatan tersebut tetap harus

dilakukan secara proporsional. Penyikapan secara berlebihan, termasuk menjadikannya

sebagai benda atau tempat keramat dan sakral pada dasarnya hanya akan semakin

memperkokoh perilaku irasional yang kini menghantui bangsa ini. Lebih dari itu, akan

lebih indah kiranya bila penyikapan (baca, penghormatan) terhadap peninggalan leluhur

tersebut tidak sekedar ditampilkan hanya pada saat kasus model Batutulis ini terjadi tetapi

justru ditampilkan dalam perilaku sehari-hari sebagaimana di antaranya diajarkan dalam

naskah Sewaka Darma (1021 Saka/1099 M), tentang larangan dan perintah; melarang

orang untuk salah langkah, salah ambil, salah dengar, dan salah cium, serta

memerintahkan orang untuk memiliki keberanian, kepribadian, kewaspadaan, dan

kegembiraan (rasa optimis). Sementara dalam naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian

(1440 Saka/1518 M) di antaranya diajarkan pula tentang sepuluh kebaktian, .... nihan

sinangguh dasa prebakti ngaranya: anak bakti di bapa, ewe bakti di laki, hulun bakti di

pacandaan, sisya bakti di guru, wong tani bakti di wado, wado bakti di mantri, mantri

bakti di nunangganan, nunangganan bakti di mangkubumi, mangkubumi bakti di ratu,

ratu bakti di dewata, dewata bakti di hyang ... (... inilah peringatan yang disebut sepuluh

kebaktian: anak bakti kepada bapa, istri bakti kepada suami, rakyat bakti kepada

pacandaan (=tempat bersandar), murid bakti kepada guru, petani bakti kepada wado

(=pegawai rendahan), mantri bakti kepada nu nangganan, nu nangganan bakti kepada

mangkubumi, mangkubumi bakti kepada raja, raja bakti kepada dewata, dewata bakti

kepada hyang ...).***

Penulis adalah Ketua Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran.

Selasa, 08 Oktober 2002

Kepemimpinan dalam Masyarakat Sunda

Oleh AYATROHAEDI

PERILAKU para pemimpin di jalan moderen ini sangat membingungkan masyarakat.

Ada pejabat yang dalam setiap kesempatan mengubah pernyataan sebelumya, ada yang

sering mengatakan lupa mengenai suatu hal jika sekiranya akan memojokkannya. Ada

pula para pejabat yang saling salahkan atau saling lindungi, tergantung situasi dan

suasana. Di samping itu, para atasan hampir selalu menganggap dirinya benar dan

bawahan kurang memahami saran, perintah, atau nasihat yang disampaikannya.

Semuanya ternyata mempunyai satu tujuan: menyelamatkan diri, baik kedudukan

maupun penghasilan. Semuanya ternyata mempunyai satu sasaran: mengorbankan

bawahan yang pasti tidak akan membant ah karena mereka pun perlu kedudukan dan

penghasilan.

Lalu, ke mana keteladanan harus dicari? Mungkinkah teladan itu dapat ditemukan dalam

berbagai warisan budaya yang umumnya sudah diabaikan karena tidak menjanjikan hidup

yang lebih dari segi sosial dan ekonomi? Mungkinkah teladan itu justru masih dapat

Page 6: Jurnal Pajajaran

ditemukan pada masyarakat "primitif" atau sekurang-kurangnya "terbelakang"

dibandingkan cara dan gaya hidup sehari-hari massa kini?

Sejumlah naskah berbahasa Sunda Buhun mengandung rucita (konsep) kepemimpinan

yang dapat dijadikan rujukan dalam upaya memahami citra kepemimpinan tradisional

Sunda berdasarkan naskah dan prasasti. Di antara naskah itu, yang terpenting adalah

Sanghyang Siksa Kandang Karesian (SSKK) dari tahun 1518 (Aca, 1972) dan oleh

Suhamir (1961) disebut sebagai 'ensikpoledi Sunda'. naskah lainnya adalah Carita

Parahyangan (CP) dari tahun 1580 (Aca 1967), berupa sebuah "ikhtisar sejarah" Tatar

Sunda sejak masa kerajaan Galuh dan Sunda hingga keruntuhan kerajaan Pajajaran (669-

1579), dan Sewakadarma (SD) yang tanpa tahun (Saleh Danasasmita dkk. 1987) namun

diperkirakan berasal dari masa yang hampir sama atau bahkan lebih tua (Ayatrohaedi

2001).

Ini beberapa kutipan dari naskah SSKK:

1.nihan sinangguh dasaprebakti ngaranya, anak bakti di bapa, ewe bakti di salaki, hulun

bakti di pacandaan, sisya bakti di guru, wang tani bakti di wado, waso bakti di mantri,

mantri bakti di nu nangganan, nu nangganan bakti di mangkubumi, mangkubumi bakti di

ratu, ratu di dewata, dewata bakti di hyang, ya ta sinangguh dasaprebakti ngaranna.

(Inilah yang disebut Dasarprebakti 'sepuluh kebaktian': Anak berbakti kepada ayah, istri

berbakti kepada suami, hamba berbakti kepada majikan, siswa berbakti kepada guru,

petani berbakti kepada wado, wado berbakti kepada nu nangganan, nu nangganan

berbakti kepada mantri, mantri berbakti kepada mangkabumi, mangkabumi berbakti

kepada raja, raja berbakti kepada dewata, dewata berbakti kepada hyang. Ya itulah yang

disebut Dasaprebakti namanya).

2. ini twah ing jnma, pigunaon na urang reya. ulah mo turut sanghyang siksa kandang

karesian, jaga rang dek luput ing pancagati, sangsara, mulah carut mulah sarereh, mulah

nyangcarutkon maneh, kalinganya nyangcarutkon maneh ma ngaranya: nu aya dipajar

hanto, nu hanto dipajar waya, nu inya dipajar lain, nu lain dipajar inya, nya karah edapna

ma kira-kira, budi-budi ngajerum mijahotan, eta byaktana nyangcarutkon maneh

ngaranna. nyangcarutkon sakalih ma ngaranna, mipit mi amit, ngala mo menta, ngajuput

mo sadu; makanguni tu tunumpu, maling, ngetal, ngabegal, sing sawatek cekap carut, ya

nyangcarutkon sakalih ngaranna. (Inilah perilaku manusia yang akan berguna bagi orang

banyak. Ikutilah Sanghyang Siksa Kandang karesian. Waspadalah, agar kita terluput dari

pancagati ('lima penyakit: keserakahan, kebododohan, kejahatan, ketekeburan,

keangkuhan) sehingga tidak sengsara. Janganah berkhianat, jangan culas, jangan

mengkhisnati diri sendiri. Yang dikatakan mengkhianati diri sendiri ialah jika yang ada

dikatakan tiada, yang tiada dikatakan ada, yang benar dikatakan salah, yang salah

dikatakan benar. Begitulah, tekadnya penuh dengan muslihat. Perbuatan memitnah,

menyakiti hati (orang lain), itulah kenyataannya yang disebut mengkhianati diri sendiri.

Yang disebut mengkhianati orang lain ialah memetik (milik orang lain) tanpa perkenan,

mengambil tanpa meminta, memungut tanpa memberi tahu. Demikian pula halnya

dengan merampas, mencari, merampok, menodong; segala macam perbuatan khianat, ya

Page 7: Jurnal Pajajaran

mengkhianati orang lain namanya).

3. ini ujar sang sadu, basana drebyana. ini tritangtu di bumi. bayu kita pinaka prebu,

sabda kita pinaka rama, hedap kita pinaka resi. ya tritangtu di bumi, ya kangken pineguh

ning bwana ngaranna. (Inilah nasihat Sang Budman ketika menyentosakan pribadinya.

Inilah tiga ketentuan di dunia: kesentosaan kita bagaikan raja, ucap kita ibarat tetua, budi

kita ibarat resi. Itulah tritangtu dibumi, yang disebut (sebagai) peneguh dunia).

4. ini triwarga di lamba. wisnu kangken prabu, brahma kangken rama, isora kangkeng

resi. nya mana tritangtu pineguh ning bwana, triwarga hurip ning jagat. ya sinangguh

tritangtu di nu reya ngaranya. (Inilah triwarga di lamba 'tiga golongan dalam kehidupan'.

Wisnu ibarat raja, Brahma ibarat tetua (=rama), Isora (Iswara) ibarat resi. Karena itulah

tritangtu menjadi peneguh dunia, triwarga menjadi kehidupan di dunia. Ya disebut

sebagai tritangtu pada orang banyak namanya).

5. teguhkon pagohkon sahingga ning tuhu, pepet, byakta warta manah. mana kreta na

bwana, mana hayu ikang jagat, kena twah ning janma kapahayu. (Teguhkan, kukuhkan

batas-batas kebenaran, penuh kenyataan sikap baik dalam jiwa sehigga dunia menjadi

baik sebagai akibat dari perbuatan manusia yang baik).

6. kitu keh, sang pandita pogoh dipakanditaanana, kreta; sang wiku pogoh di

kawikianana, kreta; sang manguyu pagoh di kamanguanana, kreta; sang paliken pagoh di

kapaliikennana, kreta; sang tetega pagoh di kategaanana, kreta; sang ameng pagoh di

kaamenganana, kreta; sang wasi pagoh di kawasianana, kreta; sang ebon pogoh di

kaebonana, kreta; makanguni sang walka pagoh di kawalkaanana, kreta; sang wong tani

pagoh di katanianana, kreta; sang owah pagoh di kaowahanana, kreta; sang gusit pagoh di

kagusitanana, kreta; sang mantri pagoh di kamantrianana, kreta; sang masang pagoh di

kamangsaanana, kreta; sang bujangga pagoh di kabujanganana, kreta; sang tarahan pogoh

di katarahanana, kreta; sang disi pagoh di kadisianana, kreta; sang rama pagoh di

karamaanana, kreta; sang resi pagoh di keresianana, kreta; prebu pagoh di kapreuanana,

kreta. (Demikianlah, sang pendeta kukuh dalam kependetaannya, sejahtera; sang wiku

(ahli agama) teguh dalam kewikuannya, sejahtera; manguyu (ahli gamelan) kukuh

dengan kemanguyuannya, sejahtera; paliken (senirupawan) kukuh dalam kepalikenannya,

sejahtera; ameng (pelayan biara) kukuh dalam keamengannya, sejahtera; wasi (cantik,

pengikut agama) teguh dalam kewasiannya, sejahtera; ebon (biarawati) kukuh dalam

keebonannya, sejahtera; tetega (biarawan) kukuh dalam ketegaannya, sejahtera; demikian

juga jika sang walka (petapa berpakaian kulit kayu) teguh dalam kewalkaannya,

sejahtera; petani teguh dalam kepetaniannya, sejahtera; owah (penjaga ladang) teguh

dalam keowahannya, sejahtera; gusti (tuan tanah) kukuh dalam kegustiannya, sejahtera;

mantri (menteri) kukuh dalam kemantriannya, sejahtera; sang masang (penjerat binatang)

kukuh dalam kemasangannya, sejahtera; bujangga (ahli agama) kukuh dalam

kebujanggaannya, sejahtera; sang tarahan (penambang perahu) kukuh dalam

ketarahannyal sejahtera; sang disi (ahli obat) teguh dalam kedisiannya, sejahtera; rama

(tetua desa) kukuh dalam keramaannya, sejahtera; resi (utuma) kukuh dalam keresiannya,

sejahtera; dan prebu (raja) kukuh dalam keprebuannya, sejahtera).

Page 8: Jurnal Pajajaran

7. nguni sang pandita kalawan sang dewaratu pagoh ngretakon ing bwana, nya mana

lreta lor kidul kuln wetan, saka kasangga dening pretiwi, saka kakurung dening akasa;

pahi manghurip ikang sarwo janma kabeh. (Demikianlah, jika penderita dan raja

sungguh-sungguh berupaya menyejahterakan dunia, maka sejahteralah di utara, selatan,

barat, dan timur; semua yang tersangga (terpikul) oleh bumi, semua yang ternaungi

langit, sejahteralah hidup sekalian makhluk (manusia).

Dalam pada itu, paparan naskah SD umumnya berkenan dengan kehidupan keagamaan.

SD merupakan salah satu bukti tentang pernah berkembangnya aliran Tantrayana di Tatar

Sunda. Ajaran itu menampilkan campuran aliran Siwasidanta yang menganggap semua

dewa sebagai penjelmaan Dewa Siwa, dengan agama Buda Mahayana. Di antara kerajaan

atau negara di Tatar Sunda yang meninggalkan bekasnya dalam hal ajaran itu adalah

kerajaan Talagamanggung yang berdiri sekitar abad ke-14 dan merupakan kerajaan

beragama Buda aliran Stwawirawada; di daerah pusat kerajaan Sunda terdapat batu

mandala yang membuktikan pernah berkembangnya agama Buda Wijrayana di daerah itu

(Saleh Danasasmita dkk.). Campuran agama Siwa dan Buda itu masih berbaur dengan

"agama pribumi" karena ternyata unsur hyang tetap dibedakan dengan dewata, walaupun

tempat tinggal para dewata juga disebut kahyangan. Jika dikaji lebih mendalam, akan

dapat diketahui bahwa kedudukan hyang dan dewata pada naskah SD (Kropak 408)

masih seimbang, sedangkan dalam SSKK (Kropak 630) sudah ditemukan dewa bakti di

hyang. Hal itu menunjukkan bahwa pada saat SSKK ditulis, anasir Hindu sudah kian

terdesak oleh anasir "pribumi" atau Nusantara, sekaligus menjadi petunjuk bahwa SD,

walaupun tanpa angka tahun, lebih tua dari SSKK (Ayatrohaedi).

Kehidupan masyarakat dan kepemimpinan

Naskah SSKK merupakan salah satu sumber penting dalam upaya memahami kehidupan

masyarakat Sunda masa silam, terutama pada masa sebelum masuknya pengaruh Islam.

Dilengkapi berbagai embaran yang terdapat dalam naskah lain (CP, SD, Carita Ratu

Pakuan, Galungung, Bujangga Manik, Waruga Jagat), dapat diperoleh gambaran hal-hal

yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat Sunda Islam itu. Hal-hal yang agak jelas

terdapat dalam naskah-naskah itu antara lain yang berkenaan dengan "birokrasi" dan

pembagian kekuasaan, pelapisan masyarakat, kesehatan dan lingkungan, dan hubungan

yang terjadi dalam tata masyarakat pada masa itu (kys.).

Menurut sumber Portugis, perjanjian antara Suanda dan Portugis berlangsung pada

tanggal 22 Agustus 1522. Dari pihak Sunda, penandatangan adalah Ratu Samiam yang

sebelumnya penguasa daerah Sangiang dengan bandar Kalapanya. Dihubungkan dengan

berita CP, berarti bahwa Ratu Samiam adalah Prabu Surawisesa yang berkuasa selama 14

tahun (1521-35) di kerajaan Sunda.

Dari berbagai sumber, antara lain CP, dapat diketahui bahwa kerajaan Sunda

berkembang sekira 900 tahun (669-1579). Negara itu terdiri atas sejumlah wilayah lebih

kecil, namun pada umumnya tetap mengakui kekuasaan kerajaan Sunda. Pada dasarnya

kerajaan Sunda merupakan "negara kembar", terdiri atas dua negara dengan wilayah yang

Page 9: Jurnal Pajajaran

luasnya berimbang, yaitu Sunda di barat dan Galur di timur. Di wilayah kedua negara itu

terdapat sejumlah negara bawahan dengan para penguasa yang umumnya masih kerabat

raja "pusat". Bahkan, dalam beberapa hal tertentu, sering calon raja "dilatih" dengan

memberinya kekuasaan di negara bawahan.

Rucita Dasaprebakti dalam SSKK menggambarkan bahwa pejabat yang paling dekat

hubungannya di bawah raja adalah mangkubumi 'perdana menteri'. Ia bertanggungjawab

atas segala sesuatu yang terjadi atau dilakukan oleh bawahannya, nu nangganan, lalu

berturut-turut ke bawah ada mantri dan wado. Jabatan nu nangganan juga tercatat dalam

naskah Carita Ratu Pakuan: /10b/ (....) tan liyan girang nangganan nu / I Ia/ nangganan

para putri nu golis (....) 'tidak lain (daripada) girang nangganan yang menangani

(mengasuh?) para putri yang jelita' (Aca 1970). Jadi, nu nangganan adalah pejabat yang

cukup memperoleh kepercayaan dari raja.

Dengan demikian, barangkali struktur kerajaan Suanda dapat dibinaulang sebagai

berikut: Di tingkat pemerintahan pusat, kekuasaan tertinggi berada di tangan raja. Dalam

pelaksanaan tugasnya sehar-hari, raja dibantu oleh mangkubumi yang membawahi

beberapa orang nu nangganan. Di samping itu, ada putra makuta yang akan

menggantikan kedudukan raja jika raja meninggal atau mengundurkan diri. Untuk

mengelola wilayah yang sangat luas itu, raja dibantu oleh beberapa orang raja bawahan

atau raja daerah. Raja-raja itu melaksanakan tugas mereka sehari-hari bertindak sebagai

raja yang merdeka, namun mereka tetap mengakui raja Sunda sebagai jungjunan mereka.

Dalam hal raja tidak mempunyai anak laki-laki yang berhak menggantikannya sebagai

raja, tahta dapat beralih kepada menantunya. Jika putra makuta masih terlalu muda untuk

memegang tampuk pemerintahan, mangkubumi dapat bertindak sebagai pejabat

sementara raja. Dalam pada itu, untuk masalah perniagaan, di bandar-bandar kerajaan

raja diwakili oleh syahbandar yang bertindak untuk dan atas nama raja Sunda di bandar

yang dikuasakan kepada mereka.

Struktur kerajaan itulah yang dianggap paling sesuai dengan kerajaan Sunda. Berbagai

carita pantun juga pada umumnya mengisahkan seorang anak raja Pajajaran yang

mengembara, dan dalam pengembaraannya ia menaklukkan berbagai raja kecil. Setelah

raja-raja itu takluk, diangkat kembali sebagai penguasa di daerahnya, dengan syarat harus

mengakui kekuasaan tertinggi yang berada di Pakuan Pajajaran.

Dalam CP dikisahkan bahwa selama rentang waktu yang sangat panjang itu, ada

beberapa orang raja Sunda yang berhasil membawa negaranya ke dalam masa keemasan

kena rampes na agama, kretayuga 'karena sempurna mengamalkan agama, maka

tercapailah keadaan yang serba sejahtera' (Saleh Danasasmita 1984). Secara khusus,

berkenaan dengan masa pemerintahan Niskala Wastukancana (1371-1475) CP

mengembarkan, .... nya mana sang rama enak amangan, sang resi enak ngaresianana,

ngawakan na purbatisti-purbajati. sang distri enak masini ngawakan na manusasana,

ngaduman alas pari alas. ku beet hamo diukih, ku gede diukih. nya mana sang tarahan

enak lalayaran ngawakan manurajasasana. sanghyang apah, teja, bayu, akasa, sangbu

enak-enak ngalungguh di sanghiyang jagatpalaka, ngawakan sanghiyang rajasasana,

angadeg disanghiyang linggawesi, brata siya puja tan palum. sang wiku enak

Page 10: Jurnal Pajajaran

ngadewasanana, ngawakan sanghiyang watang agong, enak mangadeg manurajasunyi....

'Dengan demikian, sang rama (sesepuh desa) dapat leluasa mengemong (membimbing)

rakyat, sang resi dapat leluasa melaksanakan tugas sebagai pendeta mengamalkan adat-

istiadat warisan leluhur. Sang disri dapat leluasa mengatur pembagian wilayah,

mengamalkan hukum Manu, membagikan hutan dan daerah sekitarnya. Yang kecil

maupun yang besar tidak ada yang menggugat. Karena itulah sang tarahan dapat leluasan

mengurangi perairan mengamalkan peraturan raja. Air, cahaya, angin, angkara, "eter"

merasa betah berada dalam naungan sang pelindung dunia. Wastu Kancana) menerapkan

undang-undang kerajaan, menetap (?) di sanghyang linggawesi (nama ajaran atau Astana

Gede?). Ia melakukan tapa dan puja tiada henti-hentinya. Sang Wiku (Wastu Kancana)

dengan leluasa melaksanakan undang-undang dewa, mengamalkan sanghyang watang

ageung (ajaran yang disusun oleh Sang Kandiawan, ayahanda Wretikandayun). Dengan

tenang ia melaksanakan manurajasuniya ('bertapa setelah turun tahta').

Seperti ditegaskan dalam SSKK, terdapat "trias politika" Sunda di masa lampau.

Pedoman itu disebut tritangtu(di bumi) yang pelaksanaannya muncul dalam wujud

triwarga di lamba. Pedoman itu mengatur dan menata fungsi, kedudukan, dan peran yang

melekat pada unsur-unsur tritangtu itu. Tujuannya adalah untuk menyentosakan pribadi

(seseorang). Ia harus sentosa bagaikan raja, ucapannya harus dapat dipegang bagaikan

petuah para tetua, sedangkan budinya haruslah bagaikan budi seorang resi. Tritangtu

itulah yang disebut sebagai peneguh dunia.

Dalam pada itu, dalam kehidupan sehari-hari pun ada tiga hal yang nyatanya merupakan

perwujudan rucita tritangtu itu. Ketiganya dikembalikan perumpamaannya kepada

Trimurti (Brahma, Wisnu, Siwa). Sesuai dengan fungsinya, raja diibaratkan Wisnu, para

tetua diibaratkan Brahma, sementara resi diibaratkan Siwa atau Iswara. Tritangtu menjadi

peneguh dunia, triwarga menjadi kehidupan di dunia.

Agar semuanya itu berlangsung dengan bai, maka setiap orang, sesuai dengan

kedudukannya, harus kukuh berpegang dan menjalankan tugas yang menjadi tanggung

jawab dan kudratnya. Pendeta, misalnya, harus kukuh sebagai pendeta, raja harus kukuh

sebagai raja, dan resi pun harus kukuh sebagai resi.

Ternyata, rucita tritangtu itu tetap bertahan atau dipertahankan pada masa yang jauh

lebih kemudian. Namun, karena ungkapannya disampaikan dalam bahasa Jawa, pada

umumnya rucita itu dianggap berasal dari kebudayaan Jawa sehingga "umurnya" baru

sekira 400 tahun (Mataram pertengahan abad ke-178). Ungkapan yang berbunyi guru ratu

wong atua karo wajib sinembah 'guru, raja, dan kedua orang tua wajib dijunjung tinggi'

itu, apa bedanya dengan prebu 'raja, pemimpin', rama 'orang tua, tetua', dan resi 'guru'

menurut SSKK?

Maka, sejauh manakah kita masih dapat berpegang pada pedoman lama yang ternyata

tetap baru itu? Jika upaya penyadaran akan warisan budaya (baik jasadi maupun ruhani)

tetap dilakukan seperti sekarang, pada masanya yang mungkin tidak terlalu lama lagi, kita

pun tidak tahu lagi bagaimana harus bersikap dan bertindak menghadapi segala kemelut

yang kian memuncak ini.***

Page 11: Jurnal Pajajaran

Prof. Dr. H. Ayatrohaedi adalah pengajar pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya

Universitas Indonesia, Depok.

Kamis, 30 Januari 2003

Islam-Sunda Bersahaja di Kampung Naga

Oleh AHMAD GIBSON AL-BUSTOMI

Cuntang gantang gurat

garet papetelan,

nyieun tali keukeumbingan,

nyieun gantar pupuntungan,

nyieun bom tali kerta.

TAHUN ini adalah tahun kambing. Ini bukan ramalan shio China, tapi hasil perhitungan

astronomi masyarakat adat Kampung Naga, Tasikmalaya. Sebagai masyarakat agraris,

penamaan tahun ini dikaitkan dengan curah hujan dan curah matahari. Tahun kambing

berada berada di bawah bayang-bayang Dewa Tumpekmindo, yang menandai karakter

tahun yang kadang-kadang hujan, kadang-kadang kemarau. Perhitungan tahun

masyarakat Kampung Naga menggunakan penanggalan Hijriah, lewat analisis terhadap

jenis hari yang bertepatan dengan 1 Muharam, mereka menemukan jejak-jejak cuaca bagi

kelangsungan kehidupan agraris mereka. Tahun 1423 H yang jatuh pada Sabtu

dirumuskan berada dalam karakter kambing, sesekali saja membutuhkan air.

Setiap bulan dalam setiap tahun, bisa juga dihitung arah cuacanya. Ada karakter dari

masing-masing bulan. Bulan ini, sebagai contoh, tanggal 1 Hapit jatuh pada Minggu,

Hapit bernaktu 1 ditambah dengan naktu tahun 1423: 4; berada di bawah bayangan Dewa

Diktekapata (atau congcorang, belalang sembah), merupakan bulan yang jarang turun

hujan.

Masyarakat adat Kampung Naga, tepatnya di wilayah Desa Neglasari Kecamatan Salawu

Tasikmalaya, merupakan masyarakat Muslim yang secara ketat masih menjadikan adat

Sunda sebagai rujukan kehidupannya. Hitungan waktu mereka merujuk pada hitungan

sistem hijriah, namun disisipkan dengan kepercayaan lokal mengenai kekuatan kala

(makhluk halus yang menempati horison langit) yang selalu berpindah-pindah dan

posisinya menentukan curah hujan. Mereka membuat delapan kategori tahun, dengan

kategori yang dikenal dalam penanggalan Islam sufi yaitu: tahun alif, tahun he, jim awal,

ze, dal, be, wau, dan jim ahir; sekaligus juga memercayai adanya Dewa-dewa

Diktekapata, Somamarocita, Angarakata, Budhaintuna, Laspatimariha, Sukramangkara,

dan Tumpekmindo. Nama-nama dewa itu bukan untuk disembah, namun diabstraksikan

karakternya dan dijadikan pedoman bagi cara bertanam.

Page 12: Jurnal Pajajaran

Harmonisasi kepercayaan lokal dengan sistem ajaran Islam tidak jarang membuat

mereka dipojokan sebagai komunitas yang berada di luar kebenaran (Islam). Apalagi,

mereka menyarankan warganya yang sudah berhaji untuk tidak tinggal di wilayahnya,

yang berhaji dianggap telah berziarah pada roh yang lebih suci ketimbang penghuni

Kampung Naga karena itu tidak pantas lagi tinggal di wilayah Kampung Naga.

Serangan terhadap keunikan tradisi kehidupan Kampung Naga ini berpuncak pada tahun

1956. Kampung Naga dibakar oleh gerombolan DI/TII yang menyebabkan seluruh

benda-benda pusaka hangus terbakar. Ada kisah lain yang menarik mengenai soal ini.

Konon (seperti ditulis Syukriadi Sambas dalam tesisnya "Pemimpin Adat dan Kosmologi

Waktu") pada tahun 1966 ada seorang warga Kampung Naga yang pulang dari pesantren.

Ajaran Islam yang didapatkan dari pesantren membuat ia menyimpulkan bahwa itung-

itungan masyarakatnya bertentangan dengan akidah Islam. Pemimpin adat waktu itu,

Djaja Sutidja menerima kritik dan melakukan perubahan sesuai dengan keinginan santri

muda tersebut. Untuk tanam padi tahun itu, ia menyerukan warganya untuk

menggunakan penghitungan masyarakat umum (tidak menggunakan itung-itungan

Kampung Naga). Namun, anehnya hasil pertanian gagal dipanen, ada hama wereng yang

merusak tanaman mereka.

Waktu tanam memang tidak diatur dalam Alquran dan Hadis karena itu mereka merasa

bukan soal besar jika menggunakan sistem penghitungan dari luar batas ajaran Islam atau

mereka tak lagi menyoalkan kategori benar-salah, hidup membutuhkan kategori lain yang

lebih membantu, yaitu bermanfaat-tidak bermanfaat. Upaya untuk mengategorikan

kehidupan dalam batas salah-benar, seperti kasus santri muda, membuat kehidupan jadi

berantakan. Walaupun demikian, secara sadar, warga Kampung Naga memulai

perhitungannya dengan doa:

Allahumma puter giling tulak bala

Saking gumiling aya di wetan

Bilih balai aya di wetan

Pulang deui ka wetan

Tunggal hurip ku kersaning Allah

La Ilaha Illallah

Selamet

Kampung Naga, menurut kepercayaan masyarakatnya, adalah keturunan kerajaan

Galunggung masa Islam. Mereka keturunan dari Sembah Dalem Singaparana, anak dari

Prabu Rajadipuntang, Raja Galunggung VII. Prabu Rajadipuntang adalah Raja

Galunggung terakhir yang menyingkir ke arah daerah Linggawangi. Menurut catatan

sejarah, buraknya Kerajaan Galunggung di tangan Prabu Rajadipuntang pada tahun 1520-

an karena diserang oleh Kerajaan Pajajaran di bawah Prabu Surawisesa (1535-1543). Saat

itu ada perebutan kuasa antara kerajaan Islam dan asli. Kerajaan Galunggung telah

menjadi pemeluk agama Islam dan berarti tidak lagi menjadikan Pajajaran sebagai pusat.

Menghadapi serangan itu, Prabu Rajadipuntang menyelamatkan harta pusaka dan

Page 13: Jurnal Pajajaran

menyerahkannya pada anak bungsunya yang bernama Singaparana. Untuk melaksanakan

tugas itu Singaparana dibekali ilmu kebodohan yang membuat dirinya bisa nyumput buni

dina caang (bersembunyi di keramaian).

Kampung Naga terletak diantara dua buah bukit dan di sisi Sungai Ciwulan. Ada sekira

420 takikan anak tangga di lereng perbukitan itu (konon pada penghitungan kali lain

jumlahnya bisa berubah). Kita harus menuruni anak tangga itu sampai di tepian Sungai

Ciwulan. Sungai itu melintasi Kampung Naga. Dengan menelusuri jalan di pinggir

Sungai Ciwulan tidak lebih dari dua ratus meter, sampailah kita ke wilayah Kampung

Naga yang dikelilingi pagar bambu. Di seberang sungai berdiri kokoh hutan kecil, sebuah

bukit yang dipenuhi oleh pohon-pohon yang tampaknya berumur sangat tua. Leuweung

Larangan itulah nama yang dikenal oleh masyarakat Kampung Naga. Leweung Larangan

berada di seberang Sungai Ciwulan, sebelah timur perkampungan; di sebelah barat (tepat

di belakang) perkampungan terdapat Leuweung Keramat.

Leuweung Larangan, yang terletak di sebelah timur pemukiman, disebut sebagai hutan

tempat para dedemit. Para dedemit dipindahkan oleh Mbah Dalem Singaparana dari

wilayah yang akan ditempatinya, yang kini menjadi wilayah yang ditempati masyarakat

Kampung Naga. Leuweung Larangan merupakan tempat yang sama-sekali dilarang untuk

diinjak oleh siapa pun, khususnya warga Kampung Naga. Jangankan memasukinya,

menginjakkan sebelah kakinya di hutan tersebut merupakan pantangan yang sangat keras.

Dengan demikian secara kosmologis, memilah dunia dalam tiga wilayah, yaitu Leuweung

Keramat (tempat nenek moyang mereka dimakamkan) yang ada di sebelah barat,

perkampungan tempat mereka hidup dan bercocok tanam di tengah-tengah, dan

Leuweung Larangan (tempat para dedemit) di sebelah timur. Posisi perkampungan tidak

secara langsung berhubungan dengan kedua hutan tersebut. Leuweung Larangan dibatasi

oleh sebuah Sungai Ciwulan, sedangkan Leuweung Keramat dibatasi oleh tempat masjid,

ruang pertemuan dan Bumi Ageung (tempat penyimpanan harta pusaka).

Berdasarkan pembagian wilayah tersebut, bila menggunakan kerangka teori antropologi

budaya, mereka membangun kosmologi ruang: atas-tengah-bawah; atau baik-netral-

buruk. Lueweung Larangan di arah timur dan leweung Keramat di arah barat sebagai

sumber kekuatan sakral kehidupan keseharian mereka. Leuweung Larangan sebagai

wilayah chaos, tempat semua dedemit dan roh jahat berada. Leweung Karamat berada di

sebelah barat adalah sumber kebaikan; masjid dan harta pusaka menjadi penghubung

untuk mengalirkan kesakralan ke arah barat.

Hutan Keramat dan Bumi Ageung yang berada di bagian barat masjid, di posisi kiblat,

secara simbolis menunjukkan negosiasi ajaran Islam dan tradisi lokal. Menghadap ke

kiblat berarti membayangkan penghadapan pada Kabah yang harus melalui penghadapan

terhadap harta pusaka dan hutan keramat. Keinginan mendapatkan kesakralan Kabah

didahului oleh penghubungan diri terhadap nenek moyang yang dikuburkan di Leuweung

Keramat. Kosmologi ruang seperti ini barangkali yang menjadi dasar penolakan mereka

terhadap warganya yang telah berhaji. Berhaji berarti berziarah secara langsung ke

makam Orang Suci. Yang berhaji telah secara langsung berhubungan karena itu tak lagi

membutuhkan kiblat yang dibungkus Bumi Ageung dan Leuweung Keramat.

Page 14: Jurnal Pajajaran

Melihat kompisisi dan kedudukan Bumi Ageung tersebut memperlihatkan garis

kosmologis yang tegas, yaitu bahwa seluruh rumah berpusat pada Bumi Ageung dan

Bumi Ageung berhubungan atau berpusat pada Leuweung Keramat, tempat nenek

moyang atau makam para Karuhun. Pandangan kosmologis yang menempatkan manusia

(bumi tempat manusia berada) dalam impitan antara yang sakral (Leuweung Keramat)

dan yang chaos (Leuweung Larangan), telah memosisikan manusia di antara dua keadaan

tersebut. Hal tersebut tampak pada pandangan mereka tentang kosmologi waktu, yang

secara umum dibagi dua, yaitu waktu nahas (tidak baik) dan waktu hade, baik. Keadaan

kehidupan (dunia) manusia yang terimpit antara Leuweung Larangan (kebaikan, Yang

Sakral) dan Leuweung Keramat (Ketidakbaikan, Yang Chaos) tersebut mengharuskan

manusia untuk teliti dan hati-hati dalam menjalani kehidupan karena kedua dunia yang

mengimpit tersebut telah pula memengaruhi waktu kehidupan manusia, waktu baik dan

waktu tidak baik.

Terhadap waktu mereka membuat tiga patokan aktivitas, yaitu: Bismillah, berhubungan

dengan awal dan asal (Yang Sakral), bernilai satu; Alhamdulillah, berhubungan dengan

harapan hidup manusia yang baik (Dunia Tengah), dengan nilai dua; dan, Astaghfirullah,

berhubungan dengan dunia yang tidak baik, bernilai tiga. Patokan ini menjadi dasar

aktivitas mereka dalam mencari keselamatan, kemakmuran, dan penghindaran dari

malapetaka. Misalnya, bagi orang yang hendak berobat disarankan untuk mulai berangkat

pada hari yang bernaktu satu, sedangkan terhadap ruang (alam) mereka memiliki patokan

nyangcang munding dina batu ku tambang sajeungkal, seug mun eling moal luput hami

nyangcang kuda sabatekan begung; gaduh satapak munding seug mun eling moal luput

mahi.

Di Kampung Naga, dialog Islam-Sunda menunjukkan bentuknya yang khas. Hirup kudu

tungkul ka jukut tanggah ka sadapan, demikian patokan kebersahajaan mereka.***

*) Penulis adalah kontributor Program Dialog Islam-Sunda, Laboratorium Budaya

DESANTARA Institut for Cultural Studies.**

Sabtu, 14 Juni 2003

Memprihatinkan, Penulisan Sejarahnya Hanya Warisan Penjajah

Perjumpaan Islam dengan Tradisi Sunda

Oleh ENGKUS RUSWANA K.

BELAKANGAN ini agak sering muncul tulisan maupun pandangan mengenai

perjumpaan Islam dengan budaya Sunda. Penulis merasa terusik untuk mengkaji ulang

klaim-klaim sebagian masyarakat yang mengatakan Islam identik dengan Sunda dan

Sunda identik dengan Islam.

Ada masyarakat yang mengungkapkan bahwa di masyarakat Sunda terdapat juga

penganut agama Sunda Wiwitan, komunitas pengikut Madrais dan komunitas pengikut

Page 15: Jurnal Pajajaran

Mei Kartawinata yang masih mempertahankan ajaran leluhurnya. Menurut pengetahuan

penulis, penghayat atau kelompok masyarakat yang masih menghormati dan

melaksanakan ajaran leluhur Sunda tidak hanya terdapat di Kanekes Baduy, Ciptagelar

Sukabumi, Cigugur Kuningan, dan Ciparay Bandung. Banyak sekali masyarakat yang

memegang teguh ajaran leluhurnya, tapi karena pertimbangan tertentu belum berani

mengungkapkan keyakinannya.

Penulis merasa perlu memberikan ulasan sehubungan dengan ada kajian yang tidak

lengkap yang mengundang penafsiran negatif dan pandangan yang keliru terhadap

masalah tersebut di atas. Bahkan, ada bahasan yang tidak didukung oleh kajian mendalam

khususnya yang berkaitan dengan ajaran Madrais dan ajaran Mei Kartawinata.

Hal pertama, jika ada pihak yang menyimpulkan bahwa Kerajaan Galuh dan Kerajaan

Sunda Padjadjaran menganut Hindu, masih patut diragukan kebenarannya sebab sampai

dengan saat ini belum ada bukti sejarah yang dapat mendukung kesimpulan tersebut.

Hingga saat ini masih terjadi perdebatan apakah Galuh dan Pajajaran menganut Hindu-

Buddha atau agama/kepercayaan asli Sunda.

Beberapa komunitas Sunda, termasuk Sunda Wiwitan, Cigugur, Ciparay dan beberapa

komunitas lainnya, berkeyakinan kepercayaan yang dianut kedua kerajaan tersebut adalah

agama/kepercayaan asli Sunda. Hal ini sejalan dengan penelitian antropolog Nanang

Saptono dalam tulisan berjudul "Di Jateng Ada Candi, di jabar Kabuyutan" yang dimuat

dalam Harian Kompas, 3 September 2001 yang menyatakan, "Dalam Carita Parahyangan

juga menunjuk bahwa kepercayaan umum raja-raja di Galuh ialah sewabakti ring batara

upati yang berorientasi kepada kepercayaan asli".

Hal kedua adalah mengenai kepercayaan leluhur bangsa yang disebut menganut

animisme dan dinamisme. Dalam hal ini, kita perlu arif dan berpandangan luas, kenapa

timbul kedua istilah yang seolah-olah merendahkan derajat dan kepercayaan leluhur kita,

yang pengertiannya secara harfiah adalah menyembah nenek moyang dan menyembah

kebendaan.

Kiranya patut direnungkan sedangkal itukah penghayatan leluhur kita terhadap arti dan

hakikat ketuhanan, kemanusiaan, dan alam. Padahal, leluhur kita tinggal di bumi

nusantara yang subur makmur loh jinawi. Sumber pangan yang disediakan alam lebih

dari cukup dan tinggal ambil apalagi penduduknya masih sedikit sehingga cukup banyak

waktu untuk merenung, berpikir, berdialog, dan mengkaji tentang alam dan penciptanya

serta berkreasi untuk mengembangkan budayanya.

Terbukti dari hasil penelitian Nandang Rusnandar (peneliti dari Jarahnitra Jawa Barat)

bahwa di tatar Sunda telah ditemukan 54 jenis huruf (wanda aksara) dalam budaya tulisan

dan penelitian Ali Sastramijaya yang menyimpulkan leluhur bangsa kita sudah sejak

ribuan tahun telah mengenal budaya sistem penanggalan yang didasarkan atas

perhitungan matahari (Kala Surya), perhitungnan bulan (Kala Candra), dan perhitungan

bintang (Kala Sukra) dengan presisi tinggi yang notabene didasarkan atas

penelitian/pengkajian alam secara seksama dan terus menerus selama puluhan tahun,

Page 16: Jurnal Pajajaran

bahkan ratusan tahun melewati berbagai generasi.

Dengan demikian, budaya tulisan tentunya dikenal jauh lebih tua lagi sebelum

dikenalnya budaya penanggalan. Alasannya, untuk mencatatkan penelitian peristiwa

alam, tentunya disimpan dalam bentuk tulisan.

Selain itu, telah ditemukan sejenis alat cor logam di sekitar Dago Bandung yang menurut

penelitian van Bemmelen (peneliti Belanda) usianya telah mencapai 125.000 tahun. Hal

itu berarti sejak zaman prasejarah orang Sunda telah memiliki keterampilan teknologi

logam (alat tersebut kini tersimpan di Musium Geologi Bandung). Dalam hal ini

hendaknya diingat, sejarah nasional dibuat oleh sebagian besar sejarawan Belanda pada

masa penjajahan, yang tentunya akan terkait dengan kepentingan penjajah Belanda

sehingga adalah suatu keniscayaan untuk merendahkan bangsa yang dijajahnya dengan

berbagai cara, termasuk penulisan sejarah.

Dengan demikian, fakta dapat diputarbalikkan dan opini dunia dapat dibangun bahwa

mereka tidak menjajah, melainkan berjasa dalam membudayakan bangsa yang masih

primitif dan biadab. Kenyataannya, banyak bukti-bukti sejarah yang menurut informasi

dibawa dan disimpan di negeri Belanda sejak masa penjajahan. Bukan hal yang tidak

mungkin bukti-bukti sejarah yang menguatkan kebesaran bangsa kita pada masa lalu

hilang atau sengaja dihilangkan (dalam hal ini penulis sependapat dengan tulisan Ari J.

Adipurwawidjana yang menyimpulkan berbagai pengaruh yang datang dari luar

nusantara begitu besar sehingga kebudayaan yang sebelumnya berkembang tergeser

kedudukannya dari wacana dominan menjadi wacana limbahan). Apalagi Belanda

menjajah nusantara ratusan tahun dan sebelumnya Hindu, Buddha, dan Islam pernah

mendominasi nusantara sehingga kita mangalami kegamangan akan jati diri bangsa yang

hakiki karena memang banyak kehilangan akar sejarahnya.

Hal lain yang mungkin perlu dijadikan pertimbangan adalah perbedaan budaya barat

yang lebih mengandalkan rasional dan simbol-simbol nyata yang nampak di permukaan

dibandingkan dengan budaya timur khususnya nusantara/Sunda yang religius dan banyak

mengandung falsafah yang tidak tampak ke permukaan (tersirat/ngandung siloka),

kemungkinan tidak mampu ditangkap sejarawan masa itu. Akibatnya, kepercayaan

leluhur kita yang sebetulnya cukup arif -- kita lahir dan hidup karena jasa ibu-bapak, ibu-

bapak ada karena nenek-kakek dan seterusnya (dalam budaya Sunda-Jawa dikenal

penamaan sampai tujuh turunan) --, demikian seterusnya dikenal sebagai leluhur atau

nenek moyang yang pada akhirnya bermuara ke Tuhan YME. Jadi wajar apabila kita

menghormati leluhur yang diwujudkan dalam bentuk tata-cara adat budaya sebagai

bentuk penghormatan.

Demikian pula halnya dengan kearifan leluhur kita atas kedekatannya terhadap alam dan

lingkungannya. Kesadaran bahwa mereka hidup dan bermukim ditopang oleh alam

lingkungannya, baik berupa batu, kayu, tanah, air, gunung, hutan, dan bermacam bahan

pangan khususnya padi sebagai bahan pokok menimbulkan kesadaran akan perlunya

berterima kasih dan penghormatan terhadap alam dan lingkungannya. Hal itu diwujudkan

dalam bentuk tata cara adat budaya sehingga untuk memanfaatkan apa pun yang dari

Page 17: Jurnal Pajajaran

alam, terlebih dahulu harus dilakukan upacara adat (mipit kudu amit, ngala kudu menta).

Misalnya pada waktu panen, menebang pohon, bongkar batu, bangun ruma,h dan

sebagainya, serta untuk menjaga daerah yang sensitif dikenal daerah terlarang (pamali),

begitu pula pepatah-pepatah yang sarat dengan pesan bagaimana memperlakukan alam.

Perilaku adat budaya tersebut di ataslah yang barangkali melahirkan vonis atau sengaja

didiskreditkan sebagai animisme dan dinamisme. Padahal, ini jusrtu sesunggungnya

merupakan bentuk perwujudan keluhuran budi pekerti leluhur kita, yang seharusnya

dilestarikan. Kalau demikian, apakah mungkin leluhur kita tidak mengenal Tuhannya?

Dalam pemahaman penulis yang juga sedang menghayati dan menggali kepercayaan asli

Sunda, dipahami bahwa kasih sayang Tuhan ada yang langsung, yaitu yang melekat pada

diri kita dan ada yang tidak langsung melalui orang tua dan seterusnya, ada yang lewat

sesama hidup (termasuk hewan dan tumbuh-tumbuhan) serta yang lewat alam (tanah, air,

udara, dan api) yang menjadikan diri kita dan memelihara hidup kita. Selain itu, setiap zat

di bumi alam ini punya lahir dan punya batin (misal gula, wujud gula adalah lahirnya,

sedangkan manis adalah batinnya; bibit ditanam hidup dan membesar karena tanah ada

batinnya). Begitu pula pada setiap kegiatan yang berhubungan dengan proses kehidupan

manusia (kelahiran, perkawinan, dan kematian) dikenal tata cara adat budaya yang sarat

dengan muatan religius sebagai perwujudan keluhuran budi pekerti dan pemahaman

tentang asas Ketuhanan dan Kemanusiaan.

Oleh karena itu, seyogianya pendiskreditan bahwa leluhur kita menganut animisme dan

dinamisme dengan gambaran sebagai masyarakat yang masih belum beradab, menurut

penulis sudah waktunya diluruskan (tantangan buat ahli sejarah).

Migrasi manusia

Hal yang sama berkaitan dengan penulisan periwayatan sejarah kebudayaan nusantara,

sebagaimana yang disitir oleh Ari J. Adipurwawidjana dalam makalahnya yang

mengemukakan zaman prasejarah; terjadi gelombang migrasi manusia dari daratan Asia

ke kepulauan nusantara. Pada awal zaman purba ditandai dengan datangnya manusia dari

Subbenua India yang memasukkan kebudayaan Hindu-Buddha yang seolah-olah bumi

nusantara belum berpenghuni, belum berbudaya, dan belum beragama.

Dalam pemahaman penulis, ini juga terkait dengan kepentingan penjajahan, untuk

mengeliminasi bahwa tidak ada bangsa asli karena yang mengaku pribumi pun nyatanya

bangsa pendatang. Jadi dapat dijadikan alasan bahwa baik Belanda maupun penduduk

nusantara sebelumnya punya hak yang sama dan tidak ada hak-hak istimewa bangsa

pribumi. Tinggal bersaing saja, siapa kuat itu yang menang.

Padahal, kalau dihubungkan dengan penelitian arkeologi, justru di tanah Jawa ini telah

ditemukan berbagai fosil manusia purba yang berumur 1,5-1,75 juta tahun yang dikenal

dengan sebutan "Java Man" (Misteri "Java Man" oleh Bintoro Gunadi dalam HU

Kompas) dan penemuan gigi manusia purba oleh Dr. Tony Djubianto di wilayah Rancah

dan Tambaksari Kabupaten Ciamis yang usianya lebih tua dari yang ditemukan di

Page 18: Jurnal Pajajaran

Sangiran (penulis tidak tahu apakah di belahan dataran Asia yang katanya asal migran

zaman purba telah ditemukan fosil yang umurnya lebih tua). Bukti sejarah apa yang dapat

memperkuat kebenaran adanya gelombang migrasi tersebut, suatu perkara yang perlu

pengkajian kembali.

Oleh karena itu, tidak heran kalau semua pemahaman dari catatan-catatan sejarah seperti

di atas yang ditanamkan ratusan tahun secara turun-temurun sebagai akibat penjajahan,

menimbulkan bangsa kita sampai sekarang kehilangan sebagian besar jati diri bangsanya,

kehilangan kepercayaan dirinya yang cenderung rendah diri di hadapan bangsa asing.

Jadi, semua hal yang datang dari luar selalu dianggap lebih tinggi derajatnya

dibandingkan yang datang dan dilahirkan dari tanah airnya sendiri. Kapan akan berubah,

mari kita renungkan bersama.

Penulis ingin memberi uraian, khususnya yang berkaitan dengan aliran kebatinan

Perjalanan. Perlu ditegaskan bahwa ajaran yang dikembangkan Mei Kartawinata

bukanlah kepercayaan baru yang dilahirkan sebagai hasil dari perjumpaan Islam dengan

budaya Sunda dan bukan merupakan sinkretisme antara ajaran Sunda Wiwitan, Hindu,

Buddha, dan Islam, sebagaimana ditulis oleh Dadan Wildan dalam Pikiran Rakyat

tanggal 26 Maret 2003.

Selain itu, ini diunsuri penggalian kepercayaan asli Sunda yang sedikit demi sedikit

dikumpulkan, diungkap dan dikaji kembali untuk memisahkan mana yang bersumber dari

ajaran asli dan mana yang berasal dari luar, yang memang sulit untuk membedakannya

karena sebagian telah terjadi percampuran dan sebagian lainnya sudah terkubur selama

ratusan tahun sejak masuknya kepercayaan dari luar. Sampai sekarang pun belum

seluruhnya dapat terungkapkan.

Ajaran Mei Kartawinata pada dasarnya tidak berbeda dengan ajaran Sunda Wiwitan,

hanya sedikit perbedaan dalam istilah dan metode pengajaran serta sedikit berbeda dalam

penerapan tata cara adat budaya. Tentunya komunitas Kanekes tidak seutuhnya

menerapkan tata cara adat budaya yang lengkap seperti pada zaman Padjadjaran

(komunitas ini pada waktu Islam masuk ke Padjadjaran terpaksa mengasingkan diri ke

suatu daerah yang medannya berat dan tidak ingin diketahui keberadaannya dalam rangka

mempertahankan keyakinannya sehingga harus menyesuaikan diri dan terpaksa

meninggalkan sebagian tata cara adat budaya sesuai dengan lingkungan alam dan

misinya).

Kalaupun dalam buku Budi Daya terdapat sebagian istilah-istilah dalam bahasa Arab,

semata-mata didasarkan atas kondisi dan situasi waktu itu para pengikutnya kebanyakan

berasal dari kalangan Islam yang menginginkan penjelasan dari apa yang mereka ketahui

dan ingin mendalami isi yang terkandung di dalamnya ditinjau dari sudut pandang

ajaran/kepercayaan Sunda, dan kalaupun terdapat persinggungan/kesamaan adalah wajar

adanya. Pasalnya, ilmu Tuhan yang hakiki adalah satu dan bersifat universal, serta

berlaku untuk semua umat-Nya.

Selain itu, terdapat pula buku-buku dan berbagai tulisan Mei Kartawinata yang

Page 19: Jurnal Pajajaran

menggunakan istilah-istilah bahasa Belanda bahkan istilah bahasa Cina. Hal ini sesuai

dengan kondisi waktu itu yang juga masyarakat banyak memahami bahasa Belanda, yang

tentunya tidak dapat disimpulkan sebagai sinkretisme dengan ajaran Belanda.

Ungkapan bahwa Budi Daya dijadikan sebagai "kitab suci" oleh para pengikutnya adalah

sungguh keliru dan menunjukkan bukti tidak mengetahui banyak tentang ajaran Mei

Kartawinata. Dalam pemahaman penganut ajaran Mei Kartawinata, kitab suci adalah

kumpulan tulisan Tuhan yang tidak bisa dibuat oleh manusia dan berlaku universal dan

dapat dipelajari oleh semua makhluk tanpa membedakan usia, agama, bangsa/ras maupun

gender, serta daripadanya kita bisa belajar. Tidak ada seorang pun yang akan mampu

menamatkan belajar "Kitab Suci Tuhan" dan tak ada seorang pun yang mampu mengukur

kedalaman maupun luasnya isi "Kitab Tuhan" ini, yaitu alam semesta beserta pengisinya.

Salah satu bagian kitab suci adalah dunia besar, yaitu alam semesta tempat kita bisa

belajar dan menghayati, bagaimana teraturnya alam (nyakra manggilingan). Bagaimana

gunung, bukit, lembah, hutan, pepohonan, air, api, tanah, angin/udara telah menjalankan

kodratnya dan telah memberikan hidup dan kehidupan seluruh makhluk. Begitu pula

tumbuh-tumbuhan dan hewan semuanya telah menjalankan kodratnya yang pada

dasarnya untuk kepentingan dan kesejahteraan umat manusia. Sekarang tinggal tanya

apakah manusia telah melaksanakan kodratnya melaksanakan kemanusiaannya, apakah

orang Sunda telah melaksanakan kodrat kesundaannya, apakah orang Jawa tidak ingkar

dari kodrat kejawaannya dan sebagainya, namun tidak berarti menganut paham

chauvinisme.

Begitu pula bagian kitab suci yang ada pada dunia kecil (diri kita), tidak ada seorang

manusia pun yang mampu membuat diri atau bagian dari diri kita yang sangat sempurna

ini. Banyak hal yang dapat dipelajari dari diri kita, bagaimana serasinya tubuh kita,

bagaimana saling kerja sama, saling ketergantungan dan tolong antarbagian diri kita yang

begitu harmoni, di dalam diri banyak hal yang dapat digali.

Kita juga tak akan mampu menamatkan belajar pada diri kita, bahkan sampai hayat

meninggalkan raga, begitu luasnya ilmu yang terkandung di dalam diri kita. Dengan

demikian, pernyataan Budi Daya dijadikan sebagai "kitab suci" adalah sama sekali tidak

benar, melainkan dijadikan sebagai buku ajaran biasa sebagaimana ditulis sendiri oleh

Mei Kartawinata sebagai pamendak (penemuan/pendapat). Selain itu, banyak pemikiran-

pemikiran dan penemuan Mei Kartawinata yang dituangkan dalam berbagai

buku/tulisan/diagram/skema yang punya kedudukan yang sama sebagai buku/materi

ajaran.

Hendaknya dipahami bahwa ajaran Mei Kartawinata banyak mengupas dan mendalami

tentang aspek-aspek kemanusiaan. Dalam ajaran Mei Kartawinata yang sepengetahuan

penulis juga dianut oleh Sunda Wiwitan maupun pengikut Madrais bahwa kita tidak

mungkin dapat mengenal Tuhan apabila tidak mengetahui diri kita sendiri. Untuk

mengenali Tuhan, kenalilah dulu diri sendiri "nyungsi diri nyuay badan angelo paesan

tunggal".

Page 20: Jurnal Pajajaran

Dalam pengkajian diri dan sejarah diri, terungkap 3 unsur, yaitu lahir (wadag), batin

(halus/hidup), dan aku (yang punya tekad dan menggerakkan lahir dan batin), atau dalam

bahasa Sunda dikenal kuring (aku), jelema (orang) dan hirup (hidup). Ke mana dan

bagaimana lahir dan batin akan digunakan tergantung sepenuhnya kepada aku (kuring),

aku yang bertindak sebagai pengendali (sopir).

Itulah sebabnya timbul istilah "agama kuring" yang sebetulnya sebutan yang bersifat

melecehkan dari kalangan yang tidak menyukai terhadap ajaran Mei Kartawinata, bukan

timbul dan dikemukakan oleh pengikut Mei Kartawinata sendiri. Penulis mengira kasus

yang sama dialami oleh pengikut Madrais yang juga disebut orang luar lingkungannya

sebagai "Agama Jawa-Sunda". Ajaran-ajaran lainnya dari Mei Kartawinata selain sarat

dengan aspek-aspek spiritual ketuhanan dan kemanusiaan, juga sarat dengan ajaran

mengenai kebangsaan dan "nation building". Ini bisa dikaji dalam buku-buku dan tulisan-

tulisan yang dibuatnya.

Nama Perjalanan memang didasarkan atas pengamatannya terhadap air yang terwujud

dari kesatuan tetesan-tetesan air yang tak terhingga banyaknya yang dalam rangka

perjalanannya menuju sumbernya di lautan telah memberikan manfaat terlebih dahulu

sepanjang jalan bagi kehidupan dan penghidupan segala umat Tuhan. Pengikut Mei

Kartawinata harus terus ingat dan mempertanyakan manfaat apa yang telah kita berikan

sebagai makhluk paling sempurna untuk kesejahteraan sesama hidup ini. Bagi penulis,

kemuliaan seseorang terjadi ketika manusia bersatu dan bekerja sama memberikan

manfaat bagi alam semesta ini, bukan malah merusaknya.

Selain itu, penulis merasa prihatin atas penulisan sejarah yang selama ini berlaku dan

dianut merupakan warisan penjajahan yang niscaya banyak mengalami distorsi yang

berdampak terhadap hilangnya jati diri bangsa dan kepercayaan diri bangsa. Oleh karena

itu, penulis mengimbau kepada para sejarawan, antropolog, dan arkeolog, atau siapa pun

yang berkompeten untuk coba secara objektif dan dibekali dengan hati nurani dengan

menjunjung rasa kebangsaan untuk mengkaji kembali dan merevisi sejarah kebudayaan

nasional kita.***

Penulis adalah pengikut ajaran Mei Kartawinata dan seorang planolog/praktisi konsultan

pembangunan daerah/kota.

Jumat, 09 Januari 2004

Talaga Siliwangi, Bekas Kerajaan Pajajaran yang Jadi Sumber Air

Bung Karno dan Para Petinggi Negara Pernah Datang

KANGJENG Prabu Silwangi pernah tinggal di lereng Gungung Ciremai sekira abad

XIV. Tepatnya di kawasan hutan Desa Pajajar Kecamatan Rajagaluh, kurang lebih 35 km

arah timur dari pusat kota Majalengka. Di hutan itulah Raja Pajajaran yang dikenal gagah

perkasa, bersemedi di sebuah keraton yang dibangunnya.

Page 21: Jurnal Pajajaran

Sayang, setalah mendapat gelar kehormatan sebagai Sri Ratu Dewata Wisesa, Prabu

Siliwangi lantas menghilang. Bangunan keraton megah dan semua infrastruktur yang ada

di kawasan hutan Pajajar lantas burak santak (hancur lebur) menjelma menjadi hutan

belantara.

Versi lain menurut babad Cirebon, menghilangnya Prabu Siliwangi dari bumi Pajajar

karena ia menolak masuk Islam. Kangjeng Sunan Gunungjati alias Syeh Syarif

Hidayatullah yang juga cucunya itu, pernah meminta agar Prabu Siliwangi segera masuk

Islam dan bersama-sama menyebarkan agama Allah di kawasan Parahiyangan. Namun,

permintaan cucunya itu ditolak.

Sebagai bukti bahwa Kangjeng Prabu Siliwangi pernah lama tinggal di kawasan

Majalengka, ditandai peninggalan sejarahnya. Seperti ada tumpukan bebatuan, bekas

bangunan di bukit Pajajar, dan sebuah sumber air bersih di atas bukit Pajajar. Bebatuan

itu adalah bekas bangunan keraton Prabu Siliwangi. Sebuah batu besar berukuran 5 X 6 x

2,5 meter yang di dalam batu besar itu terpancar sumber air bersih. Konon, batu itu bekas

tempat bertapa. Sumber pancaran air itu dinamakan Pancuran Talaga Siliwangi.

"Kalau masih ada yang meragukan tentang sejarah Prabu Siliwangi, silakan baca

silisilahnya di buku sejarah. Bahkan, menurut versi babad Cirebon, Kerajaan Pajajaran

tempatnya di Desa Pajajar yaitu di sini," kata Tata Solihin, pemimpin adat Desa Pajajar.

Dalam sejarah, Desa Pajajar dulu bernama Desa Pajajaran alias Desa Indrakila. Tahun

1600 diubah namanya menjadi Desa Pajajar. Perubahan nama itu akibat pertentangan

paham sejarah Prabu Siliwangi. Kuwu Pajajaran Mbah Dingklong terpaksa mengubah

menjadi Desa Pajajar karena dia berkeyakinan lokasi Kerajaan Pajajaran di Pakuan Bogor

bukan di Desa Pajajaran Kec. Rajagaluh.

Terlepas dari banyaknya paham mengenai sejarah Kerajaan Pajajaran, yang penting bagi

Tata selaku pemimpin adat dan masyarakat di desa itu, merupakan kewajiban dari nenek

moyangnya bahwa hutan Pajajar harus dijaga kelestarian. Hutan Pajajar adalah sebuah

tempat sumber air yang mampu membantu jutaan penduduk dari ancaman kekeringan.

Sumber air Pajajar berkhasiat untuk mengobati berbagai penyakit dan di bukit Pajajar

bekas Keraton Kerajaan Pajajaran, ada sebuah makam yang memiliki karomah bagi yang

memerlukan bantuannya.

Hutan Pajajar yang luasnya sekira 4.5 hektare ditumbuhi ribuan pepohonan besar yang

usianya ratusan tahun. Dari sumber air Pajajar telah dimanfaatkan untuk sumber air

PDAM Kab. Majalengka. Ratusan hektare sawah di Kec. Rajagaluh, Leuwimunding, dan

Kec. Sukahaji diairi dari sumber air hutan Pajajar. Ribuan rumah penduduk

menggunakan air bersih dengan selang plastik dari hutan Pajajar ke rumah-rumah

penduduk.

Hutan Pajajar dihuni aneka binatang, seperti kera, landak, ular, kelelawar, musang, babi

hutan, dan anjing hutan (serigala). Bahkan, sering orang menemukan harimau di tengah

malam. Di bawah sumber air terdapat kolam alami dengan bebatuan besar. Di kolam ini

Page 22: Jurnal Pajajaran

banyak dimanfaatkan para wisatawan untuk mandi sambil mengobati penyakit kulit.

Konon, bila minum air Pajajar bisa menyembuhkan penyakit lambung, seperti maag,

liver, dan mencret. Tak jauh dari kantor Desa Pajajar terdapat sebuah kolam renang yang

dilengkapi sarana bermain anak-anak. Kolam renang yang sudah hampir 10 tahun itu

dikelola Dinas Pariwisata Kab. Majalengka.

Aset wisata Pajajar dibagi dua. Untuk kawasan wisata hutan dikelola Kelompok Pemuda

Pariwisata Pajajar (KP3). Hasil tiket wisata, semuanya untuk kas pembangunan desa

karena status kepemilikan hutan adalah milik Desa Pajajar. Sementara itu, Pemkab

Majalengka hanya diberi porsi untuk wisata kolam renang dan jatah sumber air PDAM.

"Terlepas dari siapa pengelola areal hutan Pajajar, yang penting hutan dan segala isinya

harus dijaga kelestariannya. Demi menjaga amanat Kangjeng Prabu Siliwangi, siapa pun

tak dibolehkan mengambil, mencuri, merusak, dan menggangu kekayaan hutan dan satwa

liar. Bila coba-coba, jangan tanya si pelaku akan klenger dewek," kata Tata yang juga

juru kunci makam tetapakan Prabu Siliwangi, mengingatkan.

Petapaan pejabat

Di dekat batu besar yang sekelilingnya dipagar kawat berduri, konon bekas bertapanya

Kangjeng Prabu Siliwangi ada sebuah tulisan "Kayu Soekarno". Tulisan itu menandakan

bahwa pada tahun 1944 sebelum Indonesia merdeka, Bung Karno pernah bertapa di dekat

batu itu. Setelah bertapa sepuluh hari, Bung Karno menanam sepuluh batang bibit pohon

asem yang sekarang sudah besar-besar.

"Bung Karno pernah berpesan bahwa pepohonan dan binatang yang ada di hutan Pajajar

jangan diganggu manusia. Hutan dan binatang akan bermanfaat bagi kehidupan hajat

hidup masyarakat," kata Bung Karno yang diucap ulang Sodikun (82) tokoh masyarakat

Pajajar yang mengaku pernah bertemu Bung Karno ketika menanam bibit asem itu.

Bukan hanya Bung Karno, para petinggi negara, para jenderal, para pejabat teras di

Jawa, Lombok, Sumatra, serta yang lainnya banyak yang pernah bertapa di batu keramat

itu. Entah maksudnya apa mereka bertapa di Pajajar. Inti persoalannya bagi para petinggi

negara yang sengaja datang ke sini, berkeyakinan bahwa di Desa Pajajarlah Kangjeng

Prabu Siliwangi pernah memimpin Kerajaan Pajajaran.

"Bila Anda tak percaya, silakan lihat arsip nama-nama petinggi negara di buku tamu

yang saya simpan di rumah," kata Tata, meyakinkan penulis.

Selaku juru kunci alias pemimpin adat, Tata dan para ulama Desa Pajajar sering

menerangkan kepada para peziarah yang datang ke Patilasan Siliwangi. Para peziarah

dilarang keras meminta-minta dan memuja-muja, kecuali kepada Allah SWT. Kepada

tamu yang datang diwajibkan melapor dan mengisi buku tamu sambil diminta keterangan

maksud kedatangan ke Pajajar.

"Sebelum berdoa membaca tahlil di petilsan, saya ceramahi dulu, menerangkan sejarah

Page 23: Jurnal Pajajaran

Desa Pajajar. Saya pun titip agar peninggalan sejarah berupa hutan lindung dan segala

isinya dilindungi semua pihak," kata Tata.

Selain dijadikan hutan lindung, kawasan hutan Pajajar dimanfaatkan sebagai taman

wisata. Para pelanggan wisata yang mayoritas dari Kab. Cirebon, Majalengka, Kuningan,

dan Indramayu itu merasa betah menghidup udara gunung dengan lingkungan bersih

alami.

Menuju kawasan wisata alami ini sungguh memuaskan hati. Dari kota Rajagaluh

meluncur ke dataran tinggi sejauh 12 km dengan jalan berkelok. Di samping kiri jalan

banyak bibit tumbuhan durian, petai, mangga, suguhan bagi para wisatawan. Tentu saja

para wisatawan di tatar pantura merasa kagum menikmati alam Pajajar. Ternyata di alam

modern sekarang ini masih ada sepercik kekayaan hutan alami yang masih dilindungi dan

lestari. (H. Undang Sunaryo/"MD")***

Minggu, 22 Februari 2004

Peninggalan Prabu Siliwangi di Puncak Gunung Tampomas

GUNUNG Tampomas dengan kekuatan fenomena alamnya memang begitu unik, penuh

misteri dan mampu menggoda rasa keingintahuan para petualang alam bebas untuk

mencapainya. Jangan heran bila di satu sisi gunung ini dikaitkan pada berbagai hal

berbau magis. SALAH satu peninggalan sejarah di Gn. Tampomas.*DOK.IMAM

Gunung Tampomas yang menjulang tinggi di Kab. Sumedang memang tidak setenar

gunung-gunung lainnya di Indonesia, tetapi Gunung Tampomas mampu memberikan

pesona alam yang indah dan sarat dengan sejumlah cerita sejarah. Salah satu contohnya

tapak kaki Prabu Siliwangi sang Raja Pajajaran, makam Rangga Hadi dan istrinya yang

merupakan kerabat Prabu Siliwangi. Ini membuktikan bahwa Gunung Tampomas kaya

akan keindahan alam, cagar budaya, serta sejarah dari raja Pajajaran.

Rute pendakian kami kali ini melalui Dusun Narimbang Kec. Conggeang Kab.

Sumedang. Mentari pagi masih hangat membasuh kami. Geliat kehidupan Dusun

Narimbang mulai terasa denyutnya. Satu dua penduduk mulai pergi ke ladang atau kebun.

Sepanjang jalan menuju Dusun Narimbang akan ditemui kebun-kebun salak, kolam-

kolam ikan yang airnya berasal dari Gunung Tampomas.

Sebetulnya ada beberapa rute pendakian menuju puncak Tampomas, lewat Desa

Cibeureum, Desa Cimalaka atau lewat Dusun Narimbang. Jalur pendakian Dusun

Narimbang merupakan jalur yang sering digunakan oleh para pendaki untuk mencapai

puncak Tampomas.

Pukul 9.00 WIB, kami berdua mulai melakukan pendakian. Belum apa-apa kami

dihadapkan dengan tanjakan-tanjakan yang cukup menguras tenaga. Satu jam lebih kami

Page 24: Jurnal Pajajaran

tiba di sebuah pertigaan, yaitu rute dari arah Cibeureum, Narimbang dan dari arah Desa

Jambu. Dari arah Narimbang terus lurus ke arah puncak, jangan berbelok ke arah kanan,

karena kalau berbelok ke arah kanan akan menuju puncak Gunung Narimbang, bukan

puncak Gunung Tampomas.

Sejenak kami beristirahat sambil memandangi tanjakan yang siap menghadang laju

perjalanan kami. Dengan beban berat di punggung akhirnya kami sampai di sebuah batu

besar. Penduduk setempat yang tinggal di kaki Gunung Tampomas menyebutnya Batu

Kukus. Karena menurut cerita penduduk setempat batu ini sering digunakan oleh para

peziarah untuk bersemedi atau ngala berkah sebelum melanjutkan ziarah ke tempat yang

lebih tinggi, yaitu tapak kaki Prabu Siliwangi, dan makam Rangga Hadi dan istrinya yang

merupakan kerabat Prabu Siliwangi di puncak Gunung Tampomas.

Kami beristirahat di Batu Kukus sambil meregangkan kaki yang mulai terasa kaku dan

pegal. Sekira sepuluh menit kami beristirahat dengan ditemani kesejukan udara serta

kesegaran hembusan angin yang datang dari lembah-lembah sekitar Gunung Tampomas.

Badan terasa segar kembali.

Kami dihadapkan pada rute yang cukup menanjak dan menantang, terutama rute

Tanjakan Taraje. Dengan kemiringan sekitar 80 derajat diperlukan kehati-hatian ekstra

karena jalanan terjal dan berbahaya.

Selanjutnya kami harus melewati beberapa rute lagi sebelum mencapai puncak

Tampomas seperti melewati Batu Lawang atau Sanghiang Lawang, Sanghiang Tikoro

dan Tanjakan Taraje, dan terakhir puncak Gunung Tampomas.

Hutan Tampomas yang bervariatif serta keharmonisan penghuni Tampomas membuat

perjalanan kami terasa begitu indah. Sesekali suara binatang penghuni Tampomas saling

bersahutan satu sama lain. Seakan-akan mengucapkan selamat datang dan salam

persahabatan di Gunung Tampomas. Dengan semangat dan mental yang kuat untuk

meraih puncak Gunung Tampomas, kami tiba di sebuah batu yang ukurannya cukup

besar pula, disebut Batu Lawang. sebutan itu muncul karena persis di tengah-tengah batu

seperti ada pintunya, maka masyarakat yang tinggal di kaki Gunung Tampomas

menyebutnya Batu Lawang (Lawang dalam bahasa Sunda berarti jalan masuk). Batu

Lawang ini sering dikunjungi para peziarah, terutama para peziarah yang datang dari

Sumedang, Indramayu, Majalengka, Cirebon dan sebagainya.

Sekira 500 meter lagi kami akan mencapai puncak Gunung Tampomas. Dengan berjalan

menahan berat beban di pundak, akhirnya kami sampai juga di puncak Gunung

Tampomas yang cuacanya menampakkan rasa persahabatan. Sujud syukur kami

persembahkan atas keberhasilan kami mencapai puncak Gunung Tampomas. Naik turun

perbukitan merupakan pengalaman yang sangat menguji baik fisik maupun mental, tetapi

sangat mengasyikan dan terasa begitu indah ketika kami mencapai puncak. Kami merasa

lebih dekat kepada Tuhan Sang Pencipta Alam.

Page 25: Jurnal Pajajaran

Tampak dari kejauhan Gunung Ciremai berdiri tegak melambai-lambai seakan-akan

mengucapkan selamat atas keberhasilan kami.(Imam Saefudin).***

Minggu, 21 Maret 2004

Kawula-Gusti

Oleh Prof. Drs. JAKOB SUMARDJO

PARA penggemar pertunjukan pantun Sunda tentu tidak akan melupakan hubungan trio

antara Pangeran Pajajaran, Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung. Nama Gelap

Nyawang dan Kidang Pananjung tentu hadir kalau putra Raja Pajajaran sedang

mengembara mencari wilayah baru yang akan diperintahnya. Namun setelah pangeran

menjadi raja di tempatnya yang baru, peran Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung

biasanya tak disebutkan lagi.

Gelap Nyawang dan Kidang pananjung adalah spesialis pengiring sang Pangeran

Pajajaran yang tengah mengembara. Dalam wawacan dan babad tentang Pajajaran yang

ditulis di Sumedang pada abad 18 dan 19, biasanya Gelap Nyawang dan Kidang

Pananjung ditemani seorang pengiring lagi yang terkenal sebagai Purwa Kalih atau

Parwa Kali atau Pewakali. Ketiga pengiring serta disebutkan jabatannya masig-masing,

yakni Gelap Nyawang sebagai jaksa, Kidang Pananjung sebagai gegedug dan Purwa

kalih sebagai patih. Dari jabatan itulah kita baru mengetahui makna dari pengiring-

pengiring Pangeran Pajajaran.

Dalam masyarakat Jawa juga dikenal tiga pengiring kesatria Pandawa yang terkenal,

yakni Semar, Gareng dan Petruk. Kadang dilengkapi dengan Bagong. Namun yang

terakhir ini rupanya ditambahkan kemudian. Seperti halnya trio pengiring pangeran

Pajajaran dalam pantun Sunda, trio pengiring kesatria Pandawa ini juga hidup dalam

beberapa generasi. Semar Gareng - Petruk diceritakan sebagai pengiring setia Arjuna.

Kemudian juga pengiring setia anak Arjuna, yakni Abimanyu. Bahkan sampai cucu

Arjuna, Parikesit, trio pengiring ini tetap hidup "awet tua" seperti sedia kala. Begitu pula

di Sunda, Purwakalih - Gelap Nyawang - Kidang Pananjung terus mengiringi Silihwangi,

kakek Sulihwangi, dan anak Silihwangi, yakni Guru Gantangan. Mengapa trio pengiring

itu tak pernah mati? Mengapa ketiganya awet tua? Itulah misteri pemikiran nenek

moyang kita zaman dahulu kala.

Marilah kita mulai dengan nama Purwa Kalih yang disebut sebagai patih. Jabatan ini

jelas di bawah raja, atau dapat dikatakan mewakili raja. Kalau dalam rombongan

pengembangan sang pangeran Pajajaran mengalami sesuatu persoalan, maka Purwa kalih

inilah yang mewakili sang pangeran. Dalam cerita Guru Gantungan, misalnya, ketika

putri Mayang Karna bertanya kepada Guru Gantangan yang menyamar sebagai dalang

topeng, siapakah sebenarnya dirinya, maka yang menjawab Purwa Kalih. Guru

Gantangan yang menyamar Raden Gambuh tetap membisu. Jadi, pengiring Purwa Kalih

Page 26: Jurnal Pajajaran

memang benar-benar mewakili sang pangeran Pajajaran. Purwa Kalih adalah segi aktif

dari sang pangeran.

Sedangkan Gelap Nyawang disebut sebagai jaksa. Jabatan ini berarti "yang

memutuskan". Dan dalam cerita pantun, tugas Gelap Nyawang adalah pengatur atau

pengambil keputusan suatu masalah muncul dalam pengembangan. Gelap Nyawang

adalah aspek eksekutif dari rombongan. Gelap Nyawang digambarkan sebagai gemuk-

pendek dan memiliki mantra sakti bernama dadali putih. Ini mirip dengan peran Semar

yang suka memberikan saran dan nasihat kepada Arjuna yang sedang buntu menghadapi

suatu masalah. Gambaran bentuk badan keduanya mirip.

Tuan, raja, gusti

KIDANG Pananjung disebut sebagai gegedug. Ini jelas istilah Jawa, yang berarti

panglima perang. Dan tugas Kidang Pananjung memang merintis jalan pengembaraan. Ia

pelindung rombongan dan pelindas musuh-musuh yang menghadang. Tentunya dia ini

ahli silat ulung.

Dari gambaran pantun di atas tampak makna tersembunyi dari trio Purwa Kalih - Gelap

Nyawang - Kidang Pananjung dengan Pangeran Pajajaran. Barangkali masih dapat

disamakan dengan pasangan Arjuna dengan Semar - Gareng - Petruk. Gambaran ini

menunjukkan adanya pasangan abadi antara Hamba dan Tuan, Kawula dan Gusti, Raja

dan Rakyat. Tuan - Raja - Gusti adalah jabatan pemimpin teratas dalam masyarakat.

Tubuhnya selalu bagus, wajahnya selalu tampan, begitu digambarkan dalam mitos.

Sedangkan Hamba - Kawula - Rakyat digambarkan sebaliknya, yakni tubuhnya penuh

cacat, tidak semitris, tidak proporsional, dan selalu di tingkat terbawah masyarakat.

Pangeran Pajajaran selalu pasif karena dilindungi sepenuhnya oleh trio pengiring (atau

dua pengiring) yang selalu menyertainya ke mana pun sang pangeran itu pergi. Inilah

pasangan dualistik yang bersifat saling melengkapi meskipun masing-masing pihak amat

bertentangan substasnsinya. Pasangan antagonistik ini adalah pasangan ideal kehidupan

ini. Itulah etikanya. Majikan tak ada artinya tanpa Hamba. Hamba tak ada artinya tanpa

Majikan. Gusti tak ada makna tanpa Kawula. Kawula tak ada makna tanpa Gusti.

Dalam Cariosan Prabu Silihwangi terdapat simbol yang demikian itu. Ketika itu Prabu

Silihwangi masih berusia 9 tahun dan bernama Pamanahrasa. Kakaknya lain ibu, yakni

Parbamenak berusia 15 tahun, amat iri kepada adik tirinya ini, karena Pamanahrasa yang

akan menggantikan ayah mereka kelak. Setelah Parbamenak menipu Pamanahrasa dalam

ujian pandadaran sebagai putra mahkota, maka Pamanahrasa dilumuri getah dan jelaga

lalu dijual kepada Nakoda Palembang. Peristiwa ini dapat terjadi karena trio pengiring

dan pengaruh sang pangeran sedang tak ada di tempat, karena Prabu Anggalarang di

Pajajaran memerintahkan trio pengiring itu mencari obat untuk ibunda Pamanahrasa yang

sedang sakit dan hamil.

Di sini diagambarkan bagaimana tidak berdayanya Pangeran Pajajaran Pamanahrasa

kalau tidak didampingi oleh trio pengasuhnya yang tua-tua dan amat berpengalaman itu.

Page 27: Jurnal Pajajaran

Akibatnya Pamanahrasa mengalami musibah dijual sebagai budak belian. Nasib jelek

Pamanahrasa yang kelak akan menjadi raja terbesar Pajajaran, Silihwangi, terus

menyertainya. Pamanahrasa diambil sebagai pelayan oleh Dewi Ambetkasih di

Sindangkasih. Tetapi dengan munculnya Pamanahrasa sebagai pelayan budak hitam itu,

ajaib, tanam-tanaman dalam taman sang putri selalu rusak tanpa sebab.

Sebaliknya terjadi dengan trio Purwa Kalih - Gelap Nyawang - Kidang Pananjung yan

terus bersumpah mencari majikan kecilnya itu sampai ditemukan. Mereka mengembara

dan tiba di sebuah kampung. Setelah enam bulan berada di kampung tersebut, ajaib,

semua tumbuhan yang ditanam para petani kampung tumbuh dengan amat subur.

Di sini jelas digambarkan makna dwitunggal pasangan tersebut. Pamanahrasa tanpa trio

orang-orang tua itu tak berdaya apa-apa. Sedangkan trio orang tua tanpa Pamanahrasa

masih tetap berjaya dalam menyuburkan segala tanaman, Pamanahrasa bernilai kematian,

Purwa Kalih - Gelap Nyawang - Kidang Pananjung bernilai kehidupan. Itulah sebabnya

Pamanahrasa baru terkuak jati dirinya sebagai Pangeran Pajajaran ketika dua pasangan

tersebut bertemu kembali di negara Sindangkasih (Telaga?). Dwitunggal menyatu

kembali Kosmos terbangun seperti sedia kala.

Gusti tanpa kawula

APAKAH artinya Gusti tanpa Kawula? Tidak ada Gusti tanpa Kawula. Tidak ada Raja

tanpa Rakyat. Tidak ada pemimpin kalau tidak ada yang di pimpin alias Rakyat.

Pamanahrasa (Silihwangi) pun tak berdaya tanpa kehadiran Purwa Kalih - Gelap

Nyawang - Kidang Pananjung. Gusti Pamanahrasa yang belia ini malah mendatangkan

malapetaka majikannya Dewi Ambetkasih di Sindangkasih. Raja yang menjadi hamba

adalah malapetaka. Gusti menjadi Kawula merusak tanaman di taman negara.

Sebaliknya Kawula tanpa Gusti masih berjaya. Kehadiran trio pengiring pangeran

dimana pun membuat segala tanaman menjadi subur. Rakyat masih dapat hiidup tanpa

Raja. Kawula tetap hidup tanpa Gusti. Tetapi Gusti tak berdaya tanpa Kawula. Inilah

kearifan lama masyarakat Sunda lama, khususnya di daerah Sumedanglarang.

Mengapa Kawula tetap hidup berjaya tanpa Gusti? Karena Kawula, Hamba, Rakyat itu

adalah Dewa yang menyamar. Yang namanya Semar - gareng - Petruk dan Purwa Kalih -

Gelap Nyawang - Kidang Pananjung itu "awet tua" tidak mati-mati. Mereka selalu hadir

mengiringi para pangeran. Trio pengiring itu adalah keabadian itu sendiri. Setiap ada

Pangeran, trio pengiring selalu hadir. Pangerang Mundinglaya, Guru Gantangan,

Silihwangi, selalu memanggil para pengirignya sebagai ua. Yang dituakan.

Asal usul Semar kita ketahui. Tetapi asal usul Purwa Kalih cs belum kita temukan.

Purwa Kalih ini secara keliru sering disamakan dengan Lampung Jambul atau Nulawas.

Kalau dibetulkan, Purwa Kalih juga disebut Nulawas, yakni Yang Lama, Yang Tua, yang

sudah ada sebelum kita. Ia sudah ada sebelum yang namanya negara dan raja itu ada.

Semar adalah Sang Hyang Ismaya, kakak dari dewanya para dewa, Batara Guru. Ismaya

itu hitam legam, tanda keabadian. Ia lebih tua dari Batara Guru.

Page 28: Jurnal Pajajaran

Para Wulucumbu Sunda dan Jawa itu sama-sama digambarkan buruk rupa, cacat;

sedangkan majikannya selalu tampan dan lelaki sempurna. Namun yang cacat dan buruk

rupa itu berasal dari Dunia Atas. Yang tertinggi menjadi yang terendah di dunia ini.

Semar itu kalau bicara kepada majikan dunianya selalu memakai bahasa halus, tetapi

kalau berbicara kepada para dewa justru menggunakan bahasa rakyat. Semar itu

mengabdi kepada raja dunia, tetapi berani memarahi para dewa. Kalau marah pada para

dewa kentutnya tak pernah berhenti.

Itulah nilai penguasa yang sejatinya. Gusti itu hamba kawulanya. Raja itu hamba rakyat.

Dengan metode ini maka terjadilah dwitunggal kesempurnaan. Gusti manunggal dengan

kawulanya. Itulah kearifan lama. Seperti Semar Mahadewa yang melayani manusia.

Seperti maharaja yang melayani rakyatnya.

Pemimpin itu tak berdaya tanpa rakyat. Pemimpin yang kuat adalah yang menghamba

kepada rakyat. Rakyat tanpa pemimpin tetap hidup, tetapi pemimpin tanpa rakyat tak

bermakna. Itulah kearifan tua yang dapat dipetik dari Cariosan Prabu Silihwangi.***

Penulis Guru Besar STSI Bandung. Selain itu dikenal pula sebagai kritikus sastra, juga

pengamat film.*

Sabtu, 04 September 2004

Menelusuri Situs Gunung Nagara

OLEH RONI NUGRAHA

DALAM peradaban tatar Sunda, Kabupaten Garut pada umumnya, khususnya wilayah

Garut selatan kurang begitu diperhatikan. Terlebih jika dikaitkan dengan kerajaan atau

dengan isu penyebaran ajaran Islam. Sebab, dipungkiri ataupun tidak, di wilayah

Kabupaten Garut tidak pernah berdiri kerajaan besar sekaliber Galuh Pakuan, Sumedang

Larang, Pajajaran, Kasepuhan dan Banten. Akan tetapi, realitas tersebut tidak menutup

kemungkinan kalau di wilayah Garut pernah berdiri kerajaan kecil yang dijadikan basis

penyebaran agama Islam di wilayah Garut Selatan yang terjadi sekira awal abad ke 13.

Situs Gunung Nagara

BATU Nisan, salah satu peninggalan yang masih tersisa.*DOK. PRIBADI

Berbicara tentang gunung, pikiran kita tertuju pada sebuah gunung cukup tinggi.

Sebenarnya, Gunung Nagara bukanlah gunung dalam artian para pecinta alam. Ia lebih

merupakan bukit yang memiliki keragaman flora cukup unik. Di tempat tersebut masih

banyak terdapat pohon burahol, menyan, kananga, bintanu, kigaru, binong serta masih

banyak jenis tumbuhan lainnya yang mungkin secara ilmiah belum dikenal, dan belum

diketahui manfaatnya bagi kehidupan manusia.

Page 29: Jurnal Pajajaran

Kekayaan fauna juga dimiliki hutan Gunung Nagara. Kalau kebetulan, kita akan

menemukan burung rangkong (Buceros rhinoceros) yang sedang asyik berduaan bersama

pasangannya di atas pohon yang cukup tinggi. Tubuhnya yang cukup besar diperindah

dengan mahkota oranye di atas kepalanya. Bagi yang pertama kali menemukan burung

ini, mungkin akan merasa aneh, sebab ketika burung tersebut akan terbang, biasanya

memberi aba-aba dengan suara "gak" yang keras mirip suara monyet. Lantas, ketika

sudah tinggal landas, kepakan sayapnya mengeluarkan suara yang dramatis. Selain

burung Rangkong, masih terdapat hewan langka lainnya semisal kambing hutan, landak,

kucing hutan, macan kumbang, walik, surili, dan beragam jenis kupu-kupu.

Secara geografis, ia terletak di wilayah Desa Depok-Cisompet-Garut. Menuju daerah

tersebut relatif gampang, dari terminal Garut kita hanya tinggal naik elf jurusan

Pamengpeuk-Garut dengan membayar ongkos RP 10.000,00, atau jika berangkat dari

Bandung, kita tinggal naik bus tiga perempat jurusan Bandung-Pameungpeuk dengan

membayar ongkos Rp 15.000,00. Kita minta diturunkan di Kampung Pagelaran. Dari

kampung tersebut, bukit gunung Nagara sudah tampak begitu jelas, namun sekilas tidak

ada jalan menuju bukit tersebut, yang terlihat hanyalah tebing cadas yang menurut

pemikiran normal tidak mungkin untuk didaki tanpa peralatan panjat.

Dari Kampung Pagelaran, kita tinggal berjalan kaki menuju Kampung Depok dengan

jarak sekira satu kilometer. Menurut hikayat, nama Depok dikaitkan dengan padepokan.

Artinya, perkampungan tersebut pada awalnya merupakan padepokan tempat

peristirahatan para gegeden. Sebenarnya, menurut Ki Ecep (sesepuh kampung), pada era

enam puluhan, kampung Depok masih merupakan perkampungan dengan tradisi yang

sama dengan Baduy. Akan tetapi, setelah kampung tersebut dibumihanguskan

gerombolan DI/TII, terjadi perubahan cukup signifikan. Sekarang tidak akan lagi terlihat

rumah-rumah panggung berjajar menghadap kiblat.

Perjalanan Pagelaran-Depok akan melintasi sungai Cikaso. Bagi mereka yang suka akan

keindahan alam, alangkah baiknya terlebih dahulu mengunjungi Batu Opak yang berada

kurang lebih setengah kilometer ke arah hulu. Di tempat tersebut kita akan menyaksikan

fenomena geologis, yakni batu yang berjajar secara sinergis dari arah bukit menuju

sungai dengan bentuk mirip seperti opak. Penduduk sekitar menghubungkan fenomena

geologis tersebut dengan legenda Sangkuriang. Yaitu, ketika Sangkuriang akan menikah,

Embah Rajadilewa (penguasa daerah selatan) mau membantu nyambungan. Akan tetapi,

baru saja mereka sampai di Leuwi Tamiang, dari arah timur terlihat fajar, sehingga

mereka menyimpan barang bawaannya di tempat tersebut, hingga ia berubah menjadi

batu.

Bagi mereka yang baru mengunjungi tempat ini, di kampung Depok inilah bisa menemui

Ki Sanang (kuncen) untuk minta diantar. Dari Depok, kita melanjutkan perjalanan

menuju Cidadap dengan jarak kurang lebih setengah kilometer, perjalanan ini melewati

pesawahan yang tidak terlalu luas. Di Cidadap inilah terdapat mata air yang

dikeramatkan. Secara nalar, air dapat menyegarkan badan. Perjalanan baru akan

mendapat tantangan manakala kita mulai merayap mendaki jalanan setapak yang cukup

terjal (Cidadap-Gunung Nagara). Terkadang kita harus melewati jalanan yang

Page 30: Jurnal Pajajaran

kemiringannya mencapai 75 derajat. Dari Cidadap, kita tidak akan menjumpai jalanan

yang datar, kanan kiri jalan masih terdapat banyak pohon besar, sehingga walaupun

kelelahan kita bisa beristirahat cukup santai. Perjalanan ini jika ditempuh dengan santai

paling-paling memakan waktu sekira setengah jam.

Sesampainya di puncak Gunung Nagara, secara langsung kita telah sampai di kompleks

pemakaman. Tempat itu dikenal dengan pusaran ka hiji (kompleks pertama) yang di

tempat ini terdapat dua puluh enam kuburan. Kuburan-kuburan tersebut relatif besar-

besar. Setiap kuburan dihiasi batu "sakoja" dan batu nisan. Dinamai sakoja, karena batu

tersebut berasal dari sungai Cikaso diambil dengan menggunakan koja (kantong). Kalau

kita perhatikan secara seksama, komplek pekuburan tersebut tersusun secara rapi

membentuk sebuah struktur organigram. Lima belas meter ke arah utara, terdapat kubur-

an yang dikenal dengan pusaran kadua. Di tempat ini hanya terdapat dua kuburan. Sekira

dua kilometer ke arah utara, terdapat kuburan yang dikenal dengan pusaran katilu yang

hanya terdiri dari dua kuburan. Konon kabarnya, kuburan ini merupakan kuburan Embah

Ageung Nagara dan patihnya.

Menurut Kepala Desa Depok, Abdul Rasyid, tiga pusaran tersebut melambangkan

Alquran yang terdiri dari 30 juz. Pusaran pertama yang terdiri dari 26 kuburan

melambangkan bagian Mufassal (surat-surat) pendek, pusaran kedua melambangkan al-

mi'un dan pusaran ketiga melambangkan sab'ul matsani. Oleh sebab itu, tidak

diperbolehkan menambah kuburan. Lebih lanjut, ia mengatakan kalau pada pusaran

pertama itu terdiri dari para pengikut/pengawal yang salah satu di antaranya perempuan,

pusaran kedua merupakan kuburan panglima dan pusaran ketiga merupakan kuburan raja

dan patih. Sebenarnya, jika kita mau melanjutkan perjalanan ke arah utara, kita akan

menemukan sebuah kuburan yang terpisah, konon kabarnya kuburan tersebut merupakan

kuburan seorang berbangsa Arab.

Lebih jauh, menurut Abdul Rasyid, sebenarnya situs Gunung Nagara terdiri atas

beberapa peninggalan dalam bentuk barang. Namun sayang, naskah aslinya terbakar

manakala gorombolan (DI/TII) menyerang Kampung Depok, sedangkan beberapa naskah

lainnya yang tersisa dan barang-barang peninggalan sudah menjadi milik orang Tasik.

Barang-barang yang masih ada, terpencar di perseorangan.

Bagi para peziarah yang terbiasa melakukan semedi, disyaratkan baginya untuk

melakukan ritual mandi di Sumur Tujuh. Sumur tersebut berada sekira setengah

kilometer ke arah lembah. Sumur itu berada tepat di dekat sungai kecil. Sebenarnya,

sumur itu merupakan kubangan-kubangan kecil akibat dari resapan air.

Legenda Kian Santang

Menurut sebagian besar masyarakat Depok, Situs Gunung Nagara erat kaitannya dengan

penyebaran Islam di wilayah Garut Selatan yang disebarkan atas jasa Prabu Kian

Santang. Malahan diklaim kalau sesungguhnya daerah Leuweung Sancang merupakan

Page 31: Jurnal Pajajaran

tempat peristirahatan terakhir Prabu Siliwangi (raja pajajaran yang terkenal), sehingga

begitu melegenda kalau di leuweung tersebut terdapat harimau jadi-jadian, bekas pasukan

Prabu Siliwangi. Sementara itu, walaupun terdapat daerah yang diklaim sebagai tempat

peristirahatan terakhir Prabu Siliwangi, penduduk Garut selatan meyakini bahwa kuburan

asli Prabu Kian Santang itu berada di kompleks pemakaman Gunung Nagara.

Menurut mereka, keberadaan kuburan lainnya hanya merupakan tempat persinggahan

Prabu Kian Santang. Misalnya saja pemakaman Godog di daerah Suci-Karangpawitan-

Garut. Mereka menyatakan kalau sesungguhnya di tempat tersebut Prabu Kian Santang

hanya tinggal berkontemplasi merenungi kekeliruannya dalam melakukan sunat terhadap

orang yang masuk Islam. Oleh sebab itu, tempat tersebut dinamakan "Godog" yang

mengandung arti tempat penyucian jiwa atau dalam istilah pewayangan "Kawah

Candradimuka", dan karenanya pula tempat ketika ia turun dari daerah tersebut

dinamakan "Suci", yang berarti setelah melakukan kontemplasi ia kembali pada kesucian

yang kemudian melanjutkan perjalanan menuju Garut Selatan.

Dari data-data sepintas tersebut, rasanya tidak terlalu berlebihan kalau sesungguhnya

Gunung Nagara menyimpan rahasia yang harus segera dieksploitasi, baik bagi

kepentingan pendidikan ataupun bagi kepentingan pariwisata. (Penulis adalah anggota

KPA Jirim)

Rabu, 13 Oktober 2004

"Mahkota Binokasih" Bertuah Cinta Kasih

ADA tradisi unik berlaku di sebagian masyarakat Sumedang. Jika keturunan Raja

Sumedang Larang naik ke pelaminan, kedua mempelai diharuskan mengenakan mahkota.

Namun bukan sembarang mahkota. Mereka harus mengenakan sepasang mahkota

keramat dan terbuat dari emas, bernama Binokasih Sanghyang Pake.

"Pada akhir September, kedua mahkota kuno itu dipakai pada acara perkawinan di

Yogyakarta, karena ada keturunan Sumedang Larang yang menikah. Bukan hanya

mahkota, beberapa senjata kuno lainnya juga dipakai pada acara pernikahan itu," kata

Aom Ahmad, Wakil Ketua Yayasan Geusan Ulun.

Menurut Aom, mahkota keramat tersebut adalah warisan Prabu Ragamulya, Raja

Pajajaran terakhir, yang diberikan kepada Raja Geusan Ulun, sekira tahun 1579 M. Ada

pun makna dari tradisi pengenaan mahkota oleh pasangan mempelai adalah simbolisasi

dari sebuah harapan agar mereka bisa menjalani kehidupan rumah tangga secara sakinah

mawadah wa rahmah.

"Lebih dari itu, penyematan mahkota oleh pasangan mempelai juga diharapkan agar

barang bersejarah warisan leluhur itu bisa tetap eksis, dicintai, dan dilestarikan para

keturunan Sumedang Larang hingga akhir zaman," tandas Aom.

Page 32: Jurnal Pajajaran

Aom sendiri tidak bisa memberikan jaminan atau data yang bisa membuktikan bahwa

setelah mengenakan mahkota, perjalanan rumah tangga keturunan Sumedang Larang

benar-benar langgeng dan sakinah mawahdah wa rahmah. Hanya, sepengetahuannya,

bagi keturunan Sumedang Larang yang menikah dengan menggunakan mahkota kuno itu,

dalam menjalankan bahtera rumah tangganya terlihat runtut raut sauyunan (abadi).

"Sangat jarang yang berpisah, di tengah jalan terkecuali ada salah satu pasangan

meninggal dunia. Bagi pasangan keluarga yang tidak sampai bercerai, mungkin karena

mereka merasa malu, ketika pernikahan memakai mahkota wasiat itu. Itulah hikmah yang

punya arti menuju bahtera rumah tangga yang harmonis," kata Aom.

**

SALAH seorang warga Sumedang yang pada saat pernikahan pernah memakai mahkota

Binokasih Sanghyang Pake, mengaku ada getaran aneh pada dirinya ketika ia

membacakan akad nikah. Getaran aneh itu seolah membawa ketegaran bagi dirinya untuk

menggapai rumah tangga abadi. "Getaran mahkota sering kali terjadi bila kebetulan di

rumah tangga terjadi pertengkaran antara saya dan istri. Getaran itulah yang bisa

meredakan emosi kami ketika bertengkar, sehingga pertengkaran itu pudar seketika.

Alhamdulillah sudah lebih 35 tahun berumah tangga, kami masih sauyunan," papar Hapid

(63), warga Desa Sukajaya, Kec. Sumedang.

Bukan saja apa yang menimpa keluarganya, Hapid mengaku saudaranya yang pada saat

pernikahan pernah mengenakan mahkota keramat itu, keadaan rumah tangganya tetap

abadi. Setidaknya hal itu menurut pengakuan bersangkutan.

Namun, Abdus Syukur, salah seorang petugas museum mengatakan lain. Menurutnya,

Mahkota Binokasih Sanghyang Pake warisan Kerajaan Pajajaran sudah lama tak

digunakan untuk acara pernikahan. Pertimbangannya, agar jangan sampai mahkota

tersebut rusak. Mahkota yang sering dipakai untuk acara pernikahan, sebenarnya bukan

mahkota asli Raja Pajajaran terakhir. Melainkan replika yang dibuat Pangeran Sugih alias

Raden Suria Kusumahdinata, Bupati Sumedang yang memerintah di tahun 1836 s.d.

1882.

Mahkota Binokasih Sanghyang Pake yang asli cukup dikeluarkan dari tempatnya untuk

dibersihkan pada acara ritual di setiap bulan Maulud. "Meski demikian, khasiat dan

maunat dari mahkota (replika yang dibuat) Raden Sugih bagi sang pengantin sama saja,"

kata Abdus Syukur.

Sejumlah barang pusaka warisan Raja Pajajaran, Raja Sumedang Larang dan para Bupati

Sumedang, hingga kini masih terawat rapi dan tersimpan di ruangan Museum Geusan

Ulun, yang terletak di samping Kantor Pemkab Sumedang. Barang pusaka tersebut terdiri

dari pekakas kerajaan, pakaian para raja, senjata perang, naskah kuno, gamelan, dll.

Para keturunan raja, menurut Aom Ahmad, memang punya kewajiban memulasara

(memelihara), melestarikan, dan merawat barang pusaka warisan para leluhur. "Namun

Page 33: Jurnal Pajajaran

ada yang lebih penting, barang pusaka yang tersimpan di museum bukan untuk

dilestarikan saja. Lebih dari itu sangat bermanfaat untuk dijadikan bahan penelitian

sejarah Sumedang di masa silam," tambah Aom.

Seperti Mahkota Binokasih Sanghyang Pake misalnya, merupakan barang hukti

peninggalan sejarah yang faktual guna mengkaji dan mempelajari tentang sejarah

Kerajaan Pajajaran.

Menurut kisah, ketika Kerajaan Pajajaran tengah mendapat ancaman dari pasukan

Kerajaan Banten, Prabu Ragamulya (Raja Pajajaran) tak menghendaki Pajajaran runtuh.

Menjelang berakhirnya kerajaan Sunda Pajajaran pada tahun 1579 M, Ragamulya sengaja

menitipkannya kepada Raja Sumedang Larang yang pada saat itu dijabat Pangeran

Geusan Ulun, untuk melanjutkan dinasti Pajajaran.

Pada saat itu Prabu Ragamulya mengutus perwira perang Jaya Perkasa bersama empat

punggawanya untuk menyerahkan dua buah Mahkota Binokasih Sanghyang Peke kepada

Raden Geusan Ulun. Penyerahan kedua mahkota tersebut sebagai tanda bukti penyerahan

kekuasaan kerajaan Pajajaran untuk ditindaklanjuti oleh Raden Geusan Ulun.

"Setelah mahkota pusaka diterima Raden Geusan Ulun, maka runtuh sudah Kerajaan

Pajajaran. Makanya kedua mahkota itu merupakan ciri bukti tentang berakhirnya

Kerajaan Pajajaran di abad ke-16 M," kata Aan Merdeka Permana, salah seorang

wartawan senior yang sering menulis kisah sejarah Sunda.

Menurut Aan, pembuktian sejarah kerajaan Pajajaran, sangat sulit dicari. Soalnya pada

saat kerajaan dijabat Prabu Siliwangi bukti-bukti sejarah selalu menghilang tanpa sebab.

Malah yang banyak didapat di berbagai tempat adalah tapakan-tapakan atau petilasan

Siliwangi yang hingga sekarang oleh kalangan masyarakat sering dimistikkan dan

dianggap sebagai tempat keramat.(H. Undang Sunaryo/"MD")***

Jumat, 14 Januari 2005

Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh

Oleh JAKOB SUMARDJO

UNGKAPAN yang amat populer di masyarakat Sunda ini adalah bagian dari konsep

Trias Politika Sunda. Umumnya orang menafsirkan ungkapan budaya itu berdasarkan

pandangan masa kini, yakni dalam pola berpikir modernnya. Tetapi ungkapan ini bukan

berasal dari masa kini Sunda. Ungkapan itu berasal dari masa lampau Sunda, dan dengan

demikian harus kita letakkan dalam ekologi budaya Sunda masa lampau juga. Meskipun

demikian, karena ini merupakan produk berpikir manusia Sunda, maka ungkapan ini

tetap relevan bagi masyarakat Sunda sekarang.

Page 34: Jurnal Pajajaran

Silih asah, apa maksudnya? Artinya saling mengasah, saling mempertajam agar lebih

berdaya guna dalam kehidupan, saling mendalami makna. Tentunya ada yang mengasah

dan ada yang diasah. Siapa pengasahnya? Siapa yang diasah? Diakronik sejarah

masyarakat Sunda pada awalnya mengenal tritangtu, yang dalam pengertian sosio-

budayanya terdiri dari kesatuan tiga kampung utama Baduy, yakni Cikeusik,

Cikertawana, dan Cibeo. Kampung paling tua (indung) adalah Cikeusik, yang berperan

sebagai pemegang atau pewaris norma-norma adat dari karuhun. Cikeusik adalah pemilik

mandat kekuasaan.

Tetapi pemilik ini tidak menjalankan mandatnya, dan menyerahkan peran memerintah

berdasarkan norma-norma sakral itu kepada Cikertawana (si bungsu), dan anak

sulungnya, Cibeo, berperan menjaga indung dan si bungsu. Jadi, Cikeusik yang berperan

mengasah, Cikertawana yang berperan mengasihi, yakni berbuat, memberi, membina,

menyatukan. Dalam ungkapan di atas disebut silih asih. Sedang Cibeo yang berperan

mengasuh, melindungi, menjaga. Dalam ungkapan di atas disebut silih asuh.

Secara ringkas, Trias Politika Sunda ini terdiri dari Cikeusik (silih asah), Cikertawana

(silih asih), dan Cibeo (silih asuh). Dalam pengertian modern, memang seharusnya setiap

orang Sunda bersilih asah, bersilih asih, dan bersilih asuh sama lain. Tetapi dalam zaman

modern pun tidak setiap orang mampu mengasah, mengasih, maupun mengasuh.

Kenyataan bhinneka diakui oleh budaya Sunda. Bahwa setiap manusia itu berbeda-beda.

Yang pandai mengasah yang kurang pandai, yang kaya mengasihi yang miskin, yang kuat

mengasuh yang lemah.

Perbedaan-perbedaan itu harus disatukan dengan pembagian peran yang saling

melengkapi satu dengan yang lain. Itulah gunanya ika, esa, kesatuan. Ketiganya berbeda

namun saling melengkapi satu sama lain, sehingga terjadi homogenisasi yang tetap

mempertahankan heterogenitasnya. Inilah kearifan lokal, yang sudah sangat tua usianya.

Sebuah kondisi paradoks.

Ketika masyarakat Sunda mengenal cara berpikir asing yang masuk bersama sistem

kepercayaan Hindu-Budha pada awal abad pertama, pola pikir Trias Politika ini tetap

dipertahankan.

Siapakah yang berperan sebagai pengasah norma-norma Sunda yang baru? Siapakah

Cikeusik baru ini? Tak lain adalah Pajajaran dengan figur mitologisnya yang amat

masyhur, Prabu Siliwangi. Kalau dulu, Sunda itu Cikeusik, kini Sunda itu Siliwangi,

Pajajaran. Prabu Siliwangi adalah rex otiosus Sunda yang amat dihormati dan disegani.

Siapa yang berperan sebagai silih asih Sunda? Yakni pusat-pusat kekuasaan yang

tersebar di berbagai daerah antara pedalaman dan pesisir utara Jawa Barat. Mungkin saja

seperti Ciamis, Cianjur, Sumedang, Garut, Tasikmalaya. Inilah pelaksana kekuasaan yang

memperoleh mandat dari pemilik kekuasaan, Pajajaran.

Siapakah yang berperan sebagai silih asuh? Tak lain adalah daerah-daerah pesisir yang

berhadapan langsung dengan orang-orang luar. Mungkin saja seperti Karawang,

Page 35: Jurnal Pajajaran

Tangerang, Bekasi, Indramayu. Mereka inilah penjaga Pajajaran dan segenap pelaksana-

pelaksana mandatnya. Tugasnya jelas di bidang keamanan dan pelindung kesatuan

ketiganya.

Dari zaman inilah muncul ungkapan resi, ratu, rama. Resi adalah pendeta penguasa ilmu

dan pengetahuan agama, serta pemimpin dalam upacara-upacara keagamaan. Resi adalah

pemegang silih asahnya. Ratu adalah penguasa atau yang melaksanakan kekuasaan

praksis. Jadi, ratu atau raja daerah adalah pemegang silih asihnya. Sedangkan daerah-

daerah paling luar dari Trias Politika itu adalah pemegang silih asuhnya. Mengapa

disebut rama? Rama adalah kepala desa atau pemimpin-pemimpin lokal. Mereka ini

benar-benar bagian dari rakyat Sunda. Kesatuan resi, ratu, rama adalah kesatuan

golongan pendeta, raja, dan rakyat. Pendeta yang mengasah atau menggarami raja dan

rakyat dengan norma-norma kesundaan zaman itu, raja-raja yang menjalankan dan

mengawasi dilaksanakannya norma-norma itu, dan rakyat di desa-desa mengamankan

berjalannya kedua peran di atas.

Di zaman masuknya pola pikir baru di tanah Sunda bersama tersebarnya agama Islam,

pola pikir tritunggal ini masih dipertahankan pula. Pajajaran sebagai pemegang mandat

kekuasaan berdasarkan kepercayaan Hindu-Budha-Sunda, tidak dilanjutkan oleh

munculnya kerajaan Sunda-Islam. Kerajaan-kerajaan Islam yang muncul di Jawa Barat

(Banten dan Cirebon) bukan kelanjutan dari kekuasaan lokal. Sampai sekarang sisa-sisa

budaya non-Sunda itu masih hidup dalam masyarakatnya.

Dalam alam pikiran Sunda, kelanjutan atau pewaris silih asah ini adalah Kean Santang,

yakni putra Prabu Siliwangi sendiri, namun masuk Islam (di Mekah oleh Nabi

Muhammad saw. sendiri) tetapi tidak membentuk kerajaan Islam Sunda. Beliau ini hanya

mendirikan perguruan Islam (semacam pesantren) di desa-desa. Peran silih asah yang

dulu dipegang Cikeusik, Pajajaran/Siliwangi, kini berada di pesantren-pesantren. Para

ulama adalah penerus ulama pertama Sunda, Kean Santang. Hal ini tidak harus dibaca

secara historis-modern. Yang dipentingkan di sini adalah alam pikiran nyata masyarakat

Sunda, entah itu berdasarkan fakta historis maupun fakta mitologis.

Silih asih dipegang oleh kaum menak yang sudah amat dikenal dalam sejarah Sunda.

Dan silih asuh ditangani oleh rakyat perdesaan. Pada dasarnya trilogi resi-ratu-rama

masih hidup dalam bentuk baru, yakni ulama-menak-rakyat. Dalam banyak wawacan

Sunda jelas terlihat garis ini. Wawacan yang berisi ajaran Islam banyak ditulis dalam

huruf Pegon. Wawacan yang berisi cerita-cerita para raja ditulis dalam huruf Jawa dan

bahkan ada yang berbahasa Jawa. Sedangkan rakyat menerima dua jenis literatur itu

sebagai kekayaan rohani mereka.

Saya menduga bahwa ungkapan silih asah, silih asih, dan silih asuh ini berasal dari

zaman ini. Pada waktu itu pengaruh budaya Islam dari kerajaan Mataram cukup besar di

Sunda. Kosa kata itu cukup dikenal dalam bahasa Jawa juga. Sampai sekarang padanan

dari ungkapan silih asah, silih asih, dan silih asuh itu ada dalam semboyan pendidikan Ki

Hajar Dewantoro, yakni ing ngarso sun tulodo, ing madya mbangun karso, tut wuri

Page 36: Jurnal Pajajaran

handayani. Di depan memberi teladan (silih asah), di tengah membangun atau

mengarahkan tindakan (silih asih), di belakang menjaga dan melindungi (silih asuh).

Meskipun bunyi ungkapannya ada kesamaan dengan budaya Jawa, tetapi ini amat khas

Sunda. Jadi, bentuknya atau wujudnya bisa beda tetapi pola dan strukturnya tetap sama.

Bentuk dan wujud ungkapan yang mengalami proses perubahan, tetapi polanya tetap,

yakni pola tripartit Sunda. Jati diri Sunda itu bukan pada wujud ungkapannya, tetapi pada

pola tetapnya. Pola tetap Sunda itu adalah tritunggal atau tritangtu.

Kini setelah zaman kerajaan atau zaman menak telah lewat di Sunda, apakah terjemahan

silih asah, silih asih, dan silih asuh itu? Menurut pendapat saya, peran silih asah tetap

dipegang oleh kaum ulama yang berpusat di pesantren-pesantren atau lembaga-lembaga

keagamaan lain yang diakui masyarakat Sunda. Peran silih asih dipegang oleh para

pejabat pemerintahan modern maupun tradisional. Dan peran silih asuh dilakukan oleh

rakyat Sunda itu sendiri dengan pimpinan modern lembaga pertahanan nasional.

Dalam wawacan roman selalu dikisahkan anak lelaki keluarga menak bertemu anak

perempuan keluarga tani di pesantren, yakni ketika mereka sedang belajar (dengan versi

pertemuan yang bereda-beda). Intinya, pesantrenlah yang mempertemukan menak

(pejabat) dengan rakyat). Ulama yang mengasah, pejabat yang melaksanakan silih asih,

dan rakyat serta tentara yang melaksanakan silih asuh.

Peran boleh berbeda-beda, tetapi tidak ada yang saling mendominasi. Peran ketiganya

sama besar dan saling melengkapi. Ini tidak berarti bahwa pemegang mandat silih asah

dapat semena-mena menekan pemegang silih asih atau silih asuh. Begitu pula sebaliknya.

Kuncinya pada asas saling melengkapi. Dalam hal ini berarti saling mengisi kekurangan

yang lain.

Heterogenitas dalam homogenitas. Sebuah paradoks. Justru kelestarian budaya Sunda

akibat dari penciptaan paradoks ini. Tidak ada yang menguasai atau dikuasai dalam silih

asah, silih asih, dan silih asuh. Ketiganya menguasai dan dikuasai sekaligus. Saling

melengkapi sama sekali bukan saling menguasai. Ingatlah prinsip silih asih itu. Hukum

keseimbangan selalu dijaga. Bagaimana menjaganya? Ya dengan silih asah, silih asih,

dan silih asuh. Ketiga-tiganya dikenai prinsip dasar itu. Jadi bukan silih asah yang

menguasai silih asih dan silih asuh. Pemegang peran silih asih pun juga harus menaati

silih asah, silih asih, dan silih asuh.

Kalau pola tritangtu ini sejak zaman dulu kala tidak berubah sampai hari-hari ini,

mengapa masa depan Sunda harus berubah dari pola ini? Itulah jati diri Sunda.***

Penulis, Budayawan.

Senin, 24 Januari 2005

Page 37: Jurnal Pajajaran

Bianglala Etnis dan Budaya di Tangerang

Oleh EDI S. EKADJATI

PERJALANAN sejarah Tangerang ditandai oleh empat hal utama yang saling terkait.

Keempat hal itu adalah peranan Sungai Cisadane; lokasi Tangerang di tapal batas antara

Banten dan Jakarta; status bagian terbesar daerah Tangerang sebagai tanah partikelir

dalam jangka waktu lama; dan bertemunya beberapa etnis dan budaya dalam masyarakat

Tangerang.

Sungai Cisadane membujur dari selatan di daerah pegunungan ke utara di daerah pesisir.

Sungai ini memainkan peranan penting dalam kehidupan masyarakat pemukimnya

hingga dewasa ini.

Yang berubah hanyalah jenis peranannya. Sejak zaman Kerajaan Tarumanagara (abad

ke-5) hingga awal zaman Hindia Belanda (awal abad ke-19) sungai ini berperan sebagai

jalan lalu lintas air yang menghubungkan daerah pedalaman dengan daerah pesisir, di

samping sebagai sumber penghidupan manusia yang bermukim di sepanjang aliran

sungai ini. Sesudah itu yang lebih menonjol adalah perannya sebagai sumber irigasi bagi

pengairan lahan pertanian (pesawahan dan perikanan) di daerah dataran rendah bagian

utara Tangerang.

Dengan peran yang pertama itu, hasil bumi dari daerah pedalaman (lada, beras, kayu,

dan lain-lain) dapat dipasarkan ke daerah pesisir dan luar daerah Tangerang. Sebaliknya,

keperluan hidup penduduk pedalaman (garam, kain, keramik, dll.) dapat didatangkan dari

daerah pesisir dan luar daerah Tangerang. Sementara peran kedua dapat meningkatkan

produksi pertanian, terutama produksi beras, selain mencegah bahaya banjir.

Sesungguhnya pada awal abad ke-16, zaman Kerajaan Sunda, Tangerang tampil sebagai

kota pelabuhan bersama-sama Banten dan Kalapa (Jakarta kini), sebagaimana disaksikan

dan dicatat pada tahun 1513 oleh Tome Pires, orang Portugis.

Yang berbeda di antara ketiganya hanyalah tingkat kualitas dan kuantitas kegiatannya.

Kalapa menempati tingkatan tertinggi karena lokasinya paling dekat dan dapat

berhubungan langsung melalui jalan darat dan jalan air (Sungai Ciliwung) dengan Pakuan

Pajajaran yang menjadi ibu kota Kerajaan Sunda. Selain itu, Kalapa menjadi pusat kota

pelabuhan Kerajaan Sunda. Di bawahnya adalah kota pelabuhan Banten yang merupakan

kota pelabuhan paling barat. Banten menempati kedudukan strategis, setelah Malaka

diduduki oleh Portugis (1511) karena Selat Sunda dan pesisir barat Sumatra menjadi jalur

utama perdagangan.

Tangerang menempati kedudukan paling bawah karena lokasinya berada di antara dan

berdekatan dengan Banten dan Kalapa. Lokasi ketiga kota pelabuhan tersebut berada di

sekitar muara sungai, yaitu Sungai Cibanten bagi kota pelabuhan Banten, Sungai

Cisadane bagi kota pelabuhan Tangerang, dan Sungai Ciliwung bagi kota pelabuhan

Kalapa.

Page 38: Jurnal Pajajaran

Dalam perjalanannya sejak pertengahan abad ke-16 Banten dan Jayakarta (perubahan

nama dari Kalapa sejak berada di bawah kuasa Islam pada 1527) mengembangkan diri

menjadi pusat kegiatan pemerintahan dan perdagangan. Didukung oleh Cirebon dan

Demak, Banten meningkat pesat sebagai pusat penyebaran agama Islam, pemerintahan,

dan perniagaan laut (maritim) di Tatar Sunda bagian barat dan Sumatra bagian selatan.

Puncak keemasan Kesultanan Banten berlangsung sekira pertengahan abad ke-17, pada

masa pemerintahan Sultan Abulmafakhir Mahmud Abdulkadir (1596-1651) dan Sultan

Ageng Tirtayasa (1651-1684).

Adapun Jayakarta yang semula berperan sebagai penutup hubungan Pakuan Pajajaran ke

dunia luar dan merupakan bagian dari wilayah Kesultanan Banten, setelah jatuh ke dalam

kekuasaan Kompeni Belanda (1619) dan namanya diganti dengan Batavia berhasil

mengembangkan diri. Mula-mula Batavia berperan sebagai pusat kedudukan dan pusat

perdagangan Kompeni (VOC) di nusantara, kemudian (sejak tahun 1800) menjadi pusat

pemerintahan dan perdagangan internasional pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Sejak dasawarsa kedua 1600-an antara Banten dan Batavia berlangsung persaingan

perdagangan yang keras. Pada satu pihak Kompeni Belanda mendesakkan keinginannya

untuk melakukan monopoli perdagangan di wilayah Kesultanan Banten. Pada pihak lain,

Sultan Banten sendiri mempertahankan sistem perdagangan bebas dan kedaulatan negara.

Begitu keras persaingan itu sehingga berkembang menjadi konflik politik dan akhirnya

konflik senjata yang mula-mula (1652) berbentuk konflik senjata secara tertutup, namun

kemudian (1659) berbentuk perang terbuka.

Dalam suasana konflik itulah Tangerang menjadi daerah pertahanan sekaligus medan

pertempuran serta daerah rebutan antara Banten dan Batavia. Selanjutnya, pihak Banten

membangun benteng pertahanan di sebelah barat Sungai Cisadane dan pihak Kompeni

Belanda membangun benteng pertahanan di sebelah timur Sungai Cisadane. Itulah

sebabnya, dulu daerah ini dikenal dengan nama Benteng, baru kemudian muncul nama

Tangerang.

Dengan mengerahkan serdadu Kompeni secara besar-besaran, terutama serdadu sewaan

yang berasal dari kalangan orang nusantara sendiri, dan taktik adu-domba (divide et

impera), secara bertahap wilayah Kesultanan Banten jatuh ke tangan kekuasaan Kompeni

Belanda. Mula-mula (1659) daerah sebelah timur Sungai Cisadane jatuh ke tangan

Kompeni, kemudian tanah di sepanjang Sungai Cisadane sejak dari daerah hulu sampai

ke muara dan daerah sebelah selatan Sungai Cisadane sampai ke Laut Kidul (Samudra

Hindia) ditetapkan masuk ke wilayah Batavia (1684). Akhirnya (1809), Kesultanan

Banten dihapuskan serta seluruh wilayahnya dimasukkan ke wilayah pemerintahan

Hindia Belanda. Sejak itu berakhirlah kedudukan Tangerang sebagai daerah tapal batas

antara Banten dan Jakarta, karena seluruhnya berada di bawah kuasa pemerintah kolonial

Hindia Belanda.

Perubahan pemegang kekuasaan atas daerah Tangerang memberikan jalan bagi

perubahan status daerah itu. Semula berstatus sebagai daerah rebutan antara Banten dan

Batavia, Tangerang menjadi daerah tanah partikelir di bawah Batavia. Sepetak demi

Page 39: Jurnal Pajajaran

sepetak tanah di Tangerang dikuasai oleh pihak partikelir secara perseorangan dan

perusahaan.

Muncullah sejumlah tuan tanah di daerah ini yang umumnya terdiri dari orang Belanda

dan orang Cina. Di samping menguasai tanah garapan dan lingkungannya, mereka juga

menguasai penduduk yang bermukim di lahan itu. Penduduk setempat berkewajiban

menggarap tanah milik tuan tanah dengan upah kecil, padahal mereka pun harus

membayar berbagai pajak dan pungutan lainnya.

Karena itu, terdapat perbedaan yang sangat mencolok antara tingkat kesejahteraan tuan

tanah dan tingkat kesejahteraan penduduk pribumi. Selain itu, tuan tanah lebih berkuasa

daripada pejabat pemerintahan pribumi. Tuan tanah dilindungi dan dibantu oleh sejumlah

mandor yang bertindak sebagai jawara dan berstatus sebagai pegawai tuan tanah.

Keberadaan dan fungsi jawara dalam masyarakat Tangerang masa itu menjadi gejala

umum dan ciri khas lingkungan tanah partikelir. Situasi dan kondisi demikian

membentuk struktur dan karakter masyarakat tersendiri di lingkungan tanah partikelir.

Pendidikan sekolah hampir tak tersentuh oleh bagian terbesar penduduk pribumi. Mereka

mengutamakan pendidikan informal dari guru agama Islam secara individual, atau di

pesantren-pesantren secara kelembagaan. Peran dan kedudukan orang keturunan Cina dan

jawara dalam masyarakat Tangerang demikian berpengaruh besar terhadap suasana dan

peristiwa selama revolusi kemerdekaan pada tahun 1945-1949.

Pada masa itu orang-orang keturunan Cina di daerah ini pernah menjadi sasaran amuk

rakyat sebagai tindak balas dendam, dan amarah terhadap mereka karena dicurigai

membantu pihak kolonial. Pernah pula dibentuk pemerintahan mandiri oleh kalangan

jawara yang berjiwa merah dan bersikap kiri. Pemerintahan ini tak mengakui Republik

Indonesia. Mereka mendirikan negara di dalam negara.

Pada mulanya penduduk Tangerang dapat dikatakan hanya beretnis dan berbudaya

Sunda. Mereka terdiri atas penduduk asli setempat, serta pendatang dari Banten, Bogor,

dan Priangan. Kemudian (sejak 1526) datang penduduk baru dari wilayah pesisir

Kesultanan Demak dan Cirebon yang beretnis dan berbudaya Jawa, seiring dengan proses

Islamisasi dan perluasan wilayah kekuasaan kedua kesultanan itu. Mereka menempati

daerah pesisir Tangerang sebelah barat.

Keragaman etnis penduduk Batavia sebagai dampak kebijakan Kompeni Belanda di

bidang kependudukan di Kota Batavia melahirkan ragam etnis dan budaya Melayu

Betawi. Dinamakan demikian karena mereka berbicara dalam bahasa Melayu sebagai alat

komunikasi sosialnya dan bertempat tinggal di daerah Betawi, sebutan orang pribumi

bagi Kota Batavia. Penduduk etnis dan budaya Betawi ini menyebar ke daerah sekeliling

Kota Betawi, termasuk daerah Tangerang. Mereka menempati daerah pesisir sebelah

timur dan daerah pedalaman timur Tangerang.

Kebijakan Kompeni tersebut melahirkan pula keturunan orang Cina dalam jumlah

Page 40: Jurnal Pajajaran

banyak di Kota Batavia yang menyebar ke daerah Tangerang sebagai dampak dari

pemberontakan orang-orang Cina di Kota Batavia pada 1740 dan lahirnya status tanah

partikelir. Keturunan orang Cina ini tersebar di daerah tanah partikelir, terutama di daerah

pesisir Tangerang sebelah timur.

Selanjutnya, kebudayaan mereka berasimilasi dengan kebudayaan Melayu Betawi. Dari

pertemuan itu lahirlah jenis-jenis budaya yang bercirikan Melayu Betawi dan Cina yang

kini populer disebut budaya Betawi, seperti teater lenong, tari topeng, dan lain-lain.

Dengan perkembangan penduduk seperti itu, peta penduduk dan budaya di Tangerang

terbilang unik. Daerah Tangerang Utara bagian timur berpenduduk etnis Betawi dan Cina

serta berbudaya Melayu Betawi. Daerah Tangerang Timur bagian selatan berpenduduk

dan berbudaya Betawi. Daerah Tangerang Selatan berpenduduk dan berbudaya Sunda.

Sedang daerah Tangerang Utara sebelah barat berpenduduk dan berbudaya Jawa.

Dalam konteks keseluruhan pemerintahan di wilayah Tatar Sunda, kedudukan

Tangerang mengalami beberapa kali perubahan dalam tingkat dan struktur pemerintahan.

Sebagaimana telah dikemukakan, pada awal abad ke-16 Tangerang berstatus sebagai

salah satu kota pelabuhan dalam lingkungan Kerajaan Sunda. Pada masa itu kota

pelabuhan berada di bawah kuasa seorang syahbandar yang bertanggung jawab langsung

kepada raja Sunda.

Pada masa Tangerang di bawah kuasa Kesultanan Banten (sejak tahun 1526), diberitakan

bahwa sistem pemerintahannya berbentuk kemaulanaan dan pusat pemerintahannya

berada di daerah pedalaman, yaitu di sekitar Tigaraksa sekarang. Ketika sebagian daerah

ini jatuh ke tangan Kompeni (sejak 1659), demi keamanan pemerintahan di daerah ini

dipimpin oleh seorang komandan militer (orang Belanda). Namun, ketika seluruh daerah

ini berada di bawah kuasa Kompeni Belanda dan stabilitas keamanannya telah tercapai

(sejak 1682) pemerintahan di daerah ini berbentuk kabupaten (regentschap) yang

dipimpin oleh seorang bupati yang berasal dari kalangan penduduk pribumi.

Pada 1809 terjadi perubahan sistem pemerintahan secara menyeluruh di Hindia Belanda

yang ditetapkan oleh Gubernur Jenderal H.W. Daendels. Tingkat dan struktur

pemerintahan di daerah Tangerang berubah lagi. Kini Tangerang berada di bawah

wilayah administrasi pemerintahan De stad Batavia, de Ommelanden, en Jacatrasche

Preanger Regentschappen (Kota Batavia dan sekitarnya serta wilayah Jakarta-Priangan)

yang kemudian disebut Keresidenan Batavia.

Daerah Tangerang disebut Batavia Barat dan berada di bawah perintah seorang Asisten

Residen yang selalu dipegang oleh orang Belanda. Selanjutnya (sejak tahun 1860-an),

daerah ini berstatus afdeling yang disebut Afdeling Tangerang yang tetap dipimpin oleh

Asisten Residen. Daerah Afdeling Tangerang dibagi atas tiga distrik, yaitu Tangerang

Timur, Tangerang Selatan, dan Tangerang Utara yang selanjutnya (sejak 1880-an)

masing-masing disebut Distrik Tangerang, Distrik Balaraja, dan Distrik Mauk; lalu

ditambah dengan Distrik Curug.

Page 41: Jurnal Pajajaran

Kepala distrik dipegang oleh orang pribumi yang jabatannya disebut demang, kemudian

berubah jadi wedana. Tingkat dan struktur pemerintahan demikian di Tangerang

berlangsung hingga akhir kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda (1942).

Pada zaman Jepang (1942-1945), Tangerang yang bertetangga dengan ibu kota

pemerintah pusat Jakarta dipandang sebagai daerah strategis. Dengan demikian, tingkat

dan struktur pemerintahannya dinaikkan jadi kabupaten, dan didirikanlah lembaga

pendidikan militer (Seinendojo). Pembentukan Kabupaten Tangerang didasarkan

Maklumat Jakarta Syu Nomor 4 tanggal 27 Desember 2603 (1943), sedangkan

peresmiannya dilakukan pada hari Selasa, 4 Januari 1944, bersamaan dengan pelantikan

R. Atik Suardi menjadi Bupati Tangerang pertama. R. Atik Suardi adalah aktivis yang

kemudian (sejak akhir tahun 1920-an) jadi salah seorang pemimpin Paguyuban Pasundan,

organisasi pergerakan nasional masyarakat Sunda. Ia pernah menjabat sebagai pembantu

R. Pandu Suradiningrat di Gunseibu Jawa Barat.

Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945 mendapat sambutan hangat dari

para pemimpin dan masyarakat Tangerang. Wujudnya terdiri atas dua bentuk. Pertama,

menegakkan kemerdekaan dengan cara membentuk pemerintahan daerah di Tangerang

yang menunjang Proklamasi Kemerdekaan RI, mulai dari tingkat kabupaten ke bawah.

Kedua, mempertahankan kemerdekaan dengan cara menentang dan melawan pihak asing

dan antek-anteknya yang berusaha untuk menjajah kembali dan pihak yang mau

mendirikan negara sendiri yang tidak mengakui keberadaan Republik Indonesia.

Terjadilah revolusi kemerdekaan! Akhirnya, kedaulatan Republik Indonesia bisa

ditegakkan di Tangerang.

Kedudukan Kabupaten Tangerang dikukuhkan kembali pada awal masa Republik

Indonesia (19 Agustus 1945) dan berlaku terus hingga kini. Kabupaten ini jadi salah satu

kabupaten di Provinsi Jawa Barat.

Sesuai dengan semangat dan tuntutan otonomi daerah serta perkembangan Kota

Tangerang yang meningkat pesat, status pemerintahan di Kota Tangerang sendiri

ditingkatkan. Tadinya kota itu adalah kota kecamatan, lalu jadi kota administratif,

kemudian (sejak tahun 1993) jadi kotamadya (lantas jadi kota) yang kedudukannya setara

dengan tingkat kabupaten. Dengan demikian, di Tangerang terdapat dua jenis

pemerintahan daerah yang setara, yaitu Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang.

Sementara itu, dengan berdirinya Provinsi Banten (sejak 1999), Kabupaten Tangerang

dan Kota Tangerang pun jadi bagian dari wilayah Provinsi Banten.

Seiring dengan program pembangunan yang dilancarkan sejak tahun 1968, Kabupaten

Tangerang melaksanakan program ini setahap demi setahap. Dampak yang menonjol di

Tangerang dari pelaksanaan program pembangunan ini adalah berubahnya segala bidang

kehidupan masyarakat Tangerang. Semula mereka hanya mengandalkan kegiatan bidang

pertanian, kemudian mereka mengerjakan berbagai bidang kegiatan ekonomi, terutama

bidang industri, perdagangan, dan jasa yang tentu mengubah orientasi dan pola hidup

masyarakat.

Page 42: Jurnal Pajajaran

Sebagai gambarannya, kini di Tangerang terdapat beberapa kawasan industri, ditambah

dengan Bandara Internasional Sukarno-Hatta. Hal itu kian meningkatkan mobilitas

penduduk, bahkan migrasi penduduk. Ke dalam daerah Tangerang, terutama daerah

perkotaannya, masuklah banyak penduduk baru yang berasal dari luar, baik dari kawasan

lain di Pulau Jawa maupun dari luar Jawa, ataupun orang asing. Karena itu, etnis dan

budaya penduduk daerah ini kian beragam. Kondisi tersebut kian memperkokoh

Tangerang sebagai daerah pertemuan berbagai etnis dan budaya.

Kita harapkan dalam kondisi keragaman etnis dan budaya itu, Tangerang menjadi daerah

yang penduduknya hidup rukun, damai, sejahtera, dan tak tercerabut dari akar

budayanya.***

Penulis, Ketua Dewan Pengurus Yayasan Pusat Studi Sunda.

Sabtu, 29 Januari 2005

Seni Helaran, Seni Teater Jalanan

Oleh ARTHUR S. NALAN

KALAU Indonesia merupakan zamrud khatulistiwa, maka Jawa Barat adalah pusatnya,

demikianlah yang dikatakan Dauwes Dekker setengah abad yang lalu (Arief, 1990:21).

Kutipan ini sengaja disajikan dalam tulisan ini untuk menunjukkan bahwa Kementerian

Kebudayaan dan Pariwisata tidak salah memilih Jawa Barat, tepatnya Kota Bandung

untuk lokasi Kemilau Nusantara 2004, yang dirancang diselenggarakan tiap tahun di

Jawa Barat. Munculnya satu pengakuan dan perlakuan terhadap lemah cai Jawa barat

merupakan "tantangan" besar bagi pengelola dunia kebudayaan dan pariwisata Jawa

Barat. Tantangan itu adalah menjadikan peristiwa budaya itu sebagai peristiwa apresiasi

seni bagi masyarakat, baik masyarakat umum maupun masyarakat pelajar dan

mahasiswa. Hal ini esok hari tampaknya perlu dipikirkan keterlibatannya. Seni Helaran

dapat dianggap sebagai Theatre of The Road karena pertunjukannya bersifat mobile

(bergerak) sepanjang jalan yang dilalui. Di Jawa dikenal sebagai kirab, di Madura dan

Bali sebagai arak-arakan. Jalanan sebagai area pertunjukan yang menampilkan iring-

iringan pesta rakyat atau pesta persembahan rasa syukur dari satu tempat ke tempat lain

yang memiliki tujuan menunjukkan penghormatan pada yang dianggap patut dihormati.

Dalam kilasan sejarahnya teater jalanan di pelbagai tempat, baik di Asia maupun di

nusantara terdapat beberapa keterangan yang menunjukkan bahwa kita patut bersyukur

tentang helaran ini, karena sejak dulu peristiwa-peristiwa yang mengandung banyak

persamaan dengan pesta-pesta keramaian yang bertumpu pada agama, rasa kebersamaan,

perlombaan, perjudian, teater, lawakan dan ditinggalkannya larangan-larangan untuk

sementara. Konsep Dewaraja (Raja dianggap sebagai titisan Dewa) yang diacu, ibu kota

atau tempat yang dipakai kegiatan menjadi pusat magis dan menjadi bagian yang tak

terpisahkan dalam hidup mereka. Namun sejalan dengan kepentingan lain, yakni

kepentingan pariwisata khususnya, bentuk-bentuk tersebut telah mengalami proses tafsir

yang merujuk pada kebutuhan pasar, dengan cara mengembangkan bentuk seni kemas

Page 43: Jurnal Pajajaran

(package art) maka lahirlah pelbagai bentuk kemasan yang menunjukkan kemampuan

para pengemasnya. Di masa lalu, gambaran pesta-pesta keramaian itu dapat kita telisik di

relief Borobudur, dalam peristiwa iring-iringan Raja Ternate menuju Masjid, dalam arak-

arakan Raja Aceh menuju mesjid untuk Iduladha 1637, arak-arakan mengiring jenazah

orang Cina ke kuburan di Jakarta tempo doeloe dan lain-lain.

Sementara di Jawa Barat terdapat pada Kidung Sunda dan Pantun Mundinglaya (di Jawa

Barat lebih banyak artefak dalam bentuk keterangan tertulis daripada gambar). Pada masa

pascakemerdekaan, seringkali kita menyaksikan seni pawai terutama pada perayaan hari

Kemerdekaan RI yang pernah hidup dan berkembang di setiap kabupaten di Jawa Barat.

Hampir dapat dipastikan gambaran bentuknya memiliki similaritas antara satu kabupaten

dengan kabupaten lainnya. Gambarannya sebagai berikut: Pagi hari iring-iringan dari

setiap desa berkumpul di kecamatan dan kemudian berangkat ke kabupaten. Iring-iringan

berkumpul di Alun-alun di depan kantor bupati. Aneka hasil bumi, aneka hasil kerajinan,

aneka kamonesan (kreasi), aneka kesenian tampil di tempat itu, juga di sepanjang jalan

yang dilalui. Masyarakat memenuhi alun-alun, bahkan sepanjang jalan yang dilalui.

Upacara syukuran hari kemerdekaanpun berlangsung khidmat, dan setelah itu satu

persatu wakil kecamaataan itu secara tertib kembali ke tempatnya masing-masing.

Dewasa ini peristiwa itu tak terdapat lagi, sejalan dengan perkembangan pembangunan

banyak alun-alun yang dahulu berfungsi sebagai tempat berkumpul setahun sekali seluruh

masyarakat se-kabupaten telah berubah menjadi taman kota dan sarana pesona lainnya.

Kemudian di masa Orde Baru peristiwa helaran semacam ini, menjadi dipisahkan, ada

festival helaran yang masih tetap bergerak di jalanan ditambah atraksi di depan panggung

kehormatan dan ada pameran pembangunan (di mana hasil bumi, palawija, kerajinan dan

lain-lain dipamerkan statis). Kita sekarang mewarisinya. Namun apakah kita hanya

sebagai pewaris pasif atau mau sebagai pewaris aktif? Kalau kita mau menjadi pewaris

aktif, maka harus dirumuskan Seni Helaran atau Theatre of The Road yang bagaimana

yang akan dijalankan sebagai konsep pertunjukan yang menarik, atraktif, tanpa

meninggalkan akar ketradisiannya. Merumuskannya pun harus dengan orang yang benar-

benar ahli di bidangnya, sekarang sudah banyak ahli pertunjukan yang cukup mumpuni,

baik dari akademisi seni maupun dari seniman berpengalaman. Jadi jadikanlah mereka

mitra untuk duduk bersama, membicarakan apa yang harus dilakukan untuk pesona

nusantara, khususnya untuk pesona Jawa Barat, lebih khusus lagi untuk pesona Kota

Bandung.

**

MENONTON Kemilau Nusantara 2004 pada tanggal 5 Desember 2004 lalu, yang pantas

disimak dan menarik adalah ketika Menteri baru Budpar Jero Wacik mengomentari

pertunjukan awal pembuka acara, yang berbentuk kamonesan dari para mahasiswa STSI

(Sekolah Tinggi Seni Indonesia) Bandung yang membawa vandel tampir bertuliskan

"kelompok seni seret order" dengan penuh optimisme dan harapan besar, menteri

meminta khalayak berdoa supaya nanti yang seret-seret order menjadi kebanjiran order.

Itu saja sebenarnya sudah menjadi "tantangan" baru bagi pemerintah pusat, maupun

pemerintah Jawa Barat, juga bagi Wali Kota Bandung. Ibarat batu akik yang bagus kalau

tak pernah dibentuk dan digosok maka takan pernah muncul cerlangnya. Cerlang ini

Page 44: Jurnal Pajajaran

adalah Kemilau yang kita inginkan bersama. Lalu dari rangkaian yang tampil sebanyak

17 provinsi, dapat ditarik garis oleh saya, ada yang dikemas dengan baik, dengan biaya

yang cukup, tetapi ada yang dikemas tidak baik, dengan biaya yang tak cukup. Jawa

Barat sendiri tampil dua kali, sayangnya entah tak ada yang mengemasnya atau entah asal

ikut "ulah tambah teu ngilu era, piraku nu boga imah teu ngilu, era atuh ku semah" tetapi

nyatanya "ngerakeun", terus terang bagi saya memalukan, memiskinkan kekayaan Jawa

Barat. Apakah Jawa Barat tidak mau berkorban untuk seniman, memberi biaya yang

cukup, memanggil ahlinya yang mumpuni, mengemasnya dengan baik ? Bukankah kita

sudah punya Perda Kebudayaan 6-7-8 tahun 2003. Apakah Perda dibuat hanya untuk

dilihat dan hanya dicetak, tidak dibaca dan dimplementasikan ? Sayang sekali kalau

begitu.

Tampilan yang perlu disaluti adalah tampilan Kavaleri dengan kuda-kudanya yang

janggi (gagah), prajurit yang berseragam pakaian tradisi Sunda (konon menurut tuturan

ini pakaian kebesaran Pajajaran) saya berani katakan bukan, itu pakaian tradisi Sunda

Ayeuna, hasil kreasi tanpa studi yang benar tentang pakaian Sunda lama. Iket di Jawa

Barat ada 150 model (dari barangbang seplak sampai Merak Moyan dll). Sayang kuda

menjadi stress karena jalanan bukan tanah, tekanan kakinya yang kokoh tak mampu

meloncat dengan indah, sehingga ada yang gagal meloncat. Tak apa, ini potensi Jawa

Barat yang luar biasa, kelak harus dikemas dengan kolosal, ingat Asia Afrika sebentar

lagi, akankah potensi ini diabaikan ? Tampilan yang sungguh menarik, bagi saya

memenuhi kriteria menarik-atraktif -aura pesona adalah pertunjukan dari Jateng, Irian,

Jatim, dan NTB. Saya tidak perlu berpanjang lebar, dalam hal ini. Tetapi merekalah

contoh yang "kemilau". Demikian catatan saya tentang Kemilau Nusantara 2004,

meskipun saya "tidak jadi" untuk jadi pengamat, tetapi saya tetap mengamati.***

*) Arthur S. Nalan, Pengamat Budaya, Seniman Teater, Penulis Lakon, sekarang tengah

menjadi Ketua STSI Bandung.

Selasa, 22 Februari 2005

Kalasunda dan Rekonstruksi Sejarah

Oleh EDI S. EKADJATI

TELAH cukup lama saya mendengar keterangan lisan dan membaca uraian tertulis Kang

Ali Sastramijaya tentang sistem kalender Sunda yang oleh Kang Ali dinamai Kalasunda.

Bahwa Kang Ali telah berhasil menyusun sebuah sistem kalender berdasarkan konsep

perhitungan penanggalan khas Sunda. Menurut Kang Ali, pertama-tama sistem kalender

Kalasunda tersebut disusun berdasarkan sumber dari kakeknya sendiri dan kemudian

dikembangkan berdasarkan perhitungan perjalanan siklus matahari dan bulan yang teknis

penghitungannya dengan menggunakan teknologi modern (komputer). Hasilnya, menurut

Kang Ali, tingkat ketepatan penghitungan sistem kalender Kalasunda melebihi sistem

kalender Masehi (menurut penghitungan perjalanan siklus matahari) dan kalender Hijriah

(menurut penghitungan perjalanan siklus bulan).

Page 45: Jurnal Pajajaran

Ada tiga pertanyaan yang muncul dalam benak saya sejak mendengar keterangan Kang

Ali yang pertama sampai sekarang, yaitu: (1) Dari manakah kakek Kang Ali mendapat

sumber tentang pengetahuan sistem kalender Kalasunda itu? (2) Apakah masyarakat

Sunda dulu pernah menggunakan sistem kalender Kalasunda dalam kehidupan sehari-hari

mereka? (3) Adakah dokumen tertulis yang menjelaskan tentang sistem kalender

Kalasunda itu? Kiranya tiga pertanyaan itu muncul secara spontan dan biasa dari orang

yang bergerak dalam dunia sejarah.

Akhir-akhir ini muncul satu pertanyaan lagi yang sesungguhnya terinspirasi dan

membenarkan pertanyaan yang diajukan oleh Prof. Bambang Hidayat, ahli Astronomi,

pada seminar khusus membahas kalender Kalasunda yang diselenggarakan oleh Pusat

Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Universitas Padjadjaran, yaitu momen apa

yang dijadikan patokan sebagai titik awal penghitungan sistem kalender Kalasunda itu,

yang memang dalam sistem kalender Masehi dan kalender Hijriah ada?

Sayang sekali saya tidak dapat menghadiri penjelasan Kang Ali paling mutakhir pada

acara yang diadakan malam hari di Pendopo Kota Bandung, karena untuk acara malam

hari saya sulit bisa hadir berdasarkan pertimbangan kesehatan dan transportasi. Begitu

pula saya tidak dapat memenuhi undangan dan permohonan Kepala Pusat Penelitian

Kemasyarakatan dan Kebudayaan Universitas Padjadjaran untuk hadir dan berbicara

dalam forum seminar tersebut di atas, karena pada waktu yang sama terlebih dahulu

mendapat undangan dari Lembaga Kebudayaan Cirebon untuk membahas naskah Carita

Purwaka Caruban Nagari.

Adapun sikap saya terhadap kalender Kalasunda hasil penemuan Kang Ali itu selalu

mendua sejak dulu hingga sekarang. Pertama, menyambut baik dan menghargai setinggi-

tingginya aktivitas dan kreativitas (karancagean) Kang Ali Sastramijaya dalam proses

penemuan kalender Kalasunda itu. Atas inisiatif dan biaya sendiri Kang Ali melakukan

penelitian dan percobaan untuk mencari dan menemukan sistem kalender Kalasunda yang

memiliki ciri-ciri mandiri. Apalagi penemuannya yang sama sekali baru itu mengenai

salah satu aspek kebudayaan Sunda yang menjadi pusat perhatian saya pula. Kedua,

menunggu kebenaran dan kedapatdipercayaan kalender Kalasunda melalui pengujian dari

berbagai segi sehingga benar-benar dapat digunakan dalam dan bermanfaat bagi

kehidupan manusia (Sunda), termasuk yang dikaitkan dengan upaya rekonstruksi sejarah.

Menarik sekali pernyataan Kang Ali bahwa sistem kalender Kalasunda itu akan

mengubah gambaran sejarah Sunda, yang berarti akan mengubah pula gambaran sejarah

Indonesia dan gambaran sejarah dunia pada umumnya.

Ada dua masalah yang melatar-belakangi munculnya dua sikap saya tersebut. Pertama,

karena saya merasa awam dalam masalah penghitungan sistem kalender sehingga tak

punya pendapat dan alasan untuk membenarkan dan menyalahkan, bahkan mengeritik

sekalipun, terhadap penemuan sistem kalender Kalasunda itu. Dalam membuat

rekonstruksi sejarah pun saya menggunakan sistem kalender yang sudah tersedia dan

telah umum biasa digunakan, yaitu kalender Saka, kalender Jawa, kalender Hijriah, dan

kalender Masehi. Dalam hal pengujian sistem kalender Kalasunda itu saya betul-betul

menunggu reaksi baik komentar maupun penilaian para pakarnya. Kedua, dikaitkan

Page 46: Jurnal Pajajaran

dengan upaya rekonstruksi sejarah, masalahnya adalah ada rumus 5 W dan 1 H dalam

teori dan metode sejarah bertalian dengan rekonstruksi masa lampau itu. Yang dimaksud

dengan 5 W adalah kata tanya dalam bahasa Inggris What (Apa), Who (Siapa), When

(Kapan), Where (Di mana), dan Why (Mengapa), sedangkan 1 H adalah How

(Bagaimana). Bahwa sebuah rekonstruksi sejarah dipandang benar dan memenuhi syarat,

jika telah dapat memenuhi jawaban atas 6 (enam) pertanyaan tersebut. Dengan demikian,

waktu (kalender) bukan satu-satunya unsur sejarah, melainkan salah satu saja dari

keseluruhan (enam) unsur sejarah. Keenam unsur sejarah itu hendaknya masuk dan

bersesuaian dalam sebuah hasil rekonstruksi sejarah (historiografi). Maksudnya, jawaban

atas pertanyaan What (peristiwa) hendaknya bersesuaian dengan jawaban atas pertanyaan

Who (pelaku peristiwa), When (waktu peristiwa), Where (lokasi peristiwa), Why (sebab-

akibat peristiwa), dan How (situasi dan kondisi peristiwa).

Jika masalah pertama saya tidak dapat berbicara apa-apa lagi, karena keawaman saya

dalam pengetahuan sistem kalender, adapun masalah kedua akan dibahas lebih jauh

sesuai dengan bidang yang saya tekuni dalam kehidupan keilmuan saya, yaitu sejarah.

Untuk itu akan diambil contoh peristiwa sejarah yang terjadi di Tatar Sunda, yaitu

peristiwa yang diambil dari periode lama sejarah Sunda (masa Kerajaan Sunda).

Sebagaimana telah maklum bahwa salah satu sumber primer tentang Kerajaan Sunda

adalah prasasti Batutulis yang sejak mula pertama (abad ke-17) ditemukan di sekitar Kota

Bogor. Prasasti ini berisi doa (Wan na pun = Semoga Selamat), pernyataan untuk

memperingati almarhum Sri Baduga Maharaja, raja di Pakuan Pajajaran (Iti sakakala...

Sri Baduga Maharaja, Ratu Haji di Pakwan Pajajaran... = Inilah tanda peringatan...

(untuk) Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran...), identitas Sri Baduga

Maharaja (putra Rahiyang Dewa Niskala, cucu Rahiyang Niskala Wastukancana),

penyebutan jasa-jasa Sri Baduga Maharaja (membangun parit pertahanan Pakuan,

gunung-gunungan, jalan, hutan lindung, dan danau), dan waktu pembuatan prasasti yang

menggunakan kalender tahun Saka (Saka panca pandawa nge(m)ban bumi = Pada tahun

Saka panca pandawa ngemban bumi).

Sesuai dengan pokok pembicaraan sekarang ini prasasti Batutulis itu menginformasikan

tentang tahun pembuatan prasasti tersebut dengan menggunakan sistem kalender Saka

dan menunjukkan angka tahun 1455 yang kalau dikonversi dengan sistem kalender

Masehi menjadi 1533. Menarik untuk diperhatikan bahwa karena tulisan ngemban pada

prasasti itu sudah mengalami kerusakan (aus pahatannya) dan penafsiran makna atas kata

itu bermacam-macam, maka para ahli cukup lama mendiskusikan tentang bunyi dan

makna kata itu. Dalam hal ini muncul tiga pendapat tentang makna kata ngemban itu,

yaitu (1) menafsirkan bermakna angka 2, (2) bermakna angka 3, dan (3) bermakna angka

4, sehingga angka tahunnya ada tiga yakni 1255 Saka, 1355 Saka, dan 1455 Saka yang

bila dikonversikan kepada kalender Masehi (ditambah 78) menjadi 1333, 1433, dan 1533.

Perbedaan tafsir angka tahun tersebut berdampak pada perbedaan hasil rekonstruksi

(gambaran) sejarahnya. Tafsiran pertama (1255 Saka, 1333 Masehi) merekonstruksikan

bahwa tahun 1333 Masehi itu adalah waktu pendirian Kerajaan Pajajaran (Kerajaan

Sunda) dengan pendirinya Sri Baduga Maharaja. Tafsiran kedua (1255 Saka, 1433

Page 47: Jurnal Pajajaran

Masehi) membuat rekonstruksi sejarah Sunda lama yang sama, kecuali tentang waktu

pendiriannya yang berbeda dan dikaitkan dengan waktu runtuhnya kerajaan ini yang

candrasengkalanya tertera pada naskah Sajarah Banten yang berbunyi bumi rusak

rekeh/mangke iki (1501 Saka = 1579 Masehi).

Ada pun tafsiran ketiga (1455 Saka, 1533 Masehi) yang merupakan tafsiran mutakhir

menghasilkan rekonstruksi sejarah bahwa tahun 1455 Saka atau 1533 Masehi itu bukan

menunjukkan waktu pendirian Kerajaan Sunda, melainkan waktu diadakannya upacara

peringatan 12 tahun wafatnya Sri Baduga Maharaja yang dalam tradisi Hindu disebut

upacara srada. Tentu saja upacara srada itu diadakan oleh putranya, yaitu Prabu

Surawisesa yang memerintah tahun 1521-1535 Masehi. Sri Baduga Maharaja sendiri

dengan nama gelar lain: Ratu Purana, Ratu Jayadewata, Prebu Guru Dewataprana

memegang pemerintahan pada Kerajaan Sunda pada tahun 1482-1521 Masehi. Memang

benar beliau adalah putra Rahiyang Dewa Niskala (1475-1482) dan cucu Prabu Niskala

Wastukancana (1371-1475).

Pendirian Kerajaan Sunda sendiri jauh di masa lampau, yaitu sekira akhir abad ke-7 atau

awal abad ke-8 Masehi dengan pendirinya Prabu Tarusbawa. Di antara waktu didirikan

hingga runtuhnya terdapat 40 orang raja Sunda. Tafsiran ketiga muncul seiring dengan

lahirnya tafsiran baru atas sumber lama dan ditemukannya sumber-sumber baru yang

memuat informasi mengenai Kerajaan Sunda.

Sehubungan dengan penemuan kalender Kalasunda dan rekonstruksi sejarah Kerajaan

Sunda terurai di atas, timbul dua pertanyaan berikut. (1) Mengapa prasasti Batutulis yang

dibuat pada zaman Kerajaan Sunda masih hidup menggunakan kalender Saka untuk

menunjuk waktu pembuatannya? (2) Bagaimana gambaran sejarah Kerajaan Sunda, jika

dalam rekonstruksinya digunakan sistem kalender Kalasunda? Kiranya, merupakan

tantangan yang perlu dijawab, terutama oleh Kang Ali Sastramijaya, jika kalender

Kalasunda itu akan diterapkan dalam upaya rekonstruksi sejarah Sunda.

Terkait dengan pernyataan Kang Ali bahwa kalender Kalasunda akan mengubah

gambaran sejarah (Sunda) yang sudah terbentuk, saya teringat kepada pernyataan yang

sama yang dikemukakan oleh Drs. Atja bertalian dengan penemuan naskah-naskah

Pangeran Wangsakerta. Hanya setelah saya ikut mempelajari isi naskah-naskah Pangeran

Wangsakerta itu, segera dapat dipahami maksud pernyataan Pak Atja itu. Yang dimaksud

adalah melengkapi dan memperjelas gambaran sejarah (historiografi) yang sudah ada.

Betapa tidak, karena gambaran sejarah kuna Indonesia yang masih samar-samar dan

banyak menimbulkan pertanyaan yang belum dapat terjawab, dengan uraian yang tertera

pada naskah Pangeran Wangsakerta gambaran sejarahnya menjadi lebih jelas dan

lengkap. Misalnya, gambaran sejarah Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur, Kerajaan

Tarumanagara, dan Kerajaan Sunda di Tatar Sunda, Kerajaan-kerajaan: Mataram,

Medang, Kediri, Singosari, dan Majapahit di Tanah Jawa, serta Kerajaan Sriwijaya dan

Kerajaan Melayu di Sumatera yang semula gambaran sejarahnya seperti disebutkan di

atas, juga cenderung hidup sendiri-sendiri dan sering terjadi konflik, tetapi di dalam

naskah-naskah Pangeran Wangsakerta digambarkan kerajaan yang satu berkaitan dengan

kerajaan lainnya baik kaitan karena pernikahan antarkeluarga istana, kekeluargaan, kerja

Page 48: Jurnal Pajajaran

sama berbagai bidang kehidupan maupun konflik kepentingan, terlepas dari dapat atau

tidak dapat diterima informasinya oleh sebagian kalangan sejarawan dan arkeolog.

Namun tentang kedudukan dan peran kalender Kalasunda dalam mengubah gambaran

sejarah (Sunda) belum terbayangkan.

Jika kalender Kalasunda dapat dibuktikan (dengan contoh pemakaiannya) berguna dalam

menunjang keperluan penghitungan waktu (penanggalan) dan upaya rekonstruksi sejarah,

maka seyogianya masyarakat Sunda, bangsa Indonesia umumnya, merasa bangga dan

tersanjung, karena seorang putra bangsanya telah melahirkan kembali karya budaya

leluhur yang luhung nilainya.***

Penulis, Ketua Dewan Pengurus Yayasan Pusat Studi Sunda.

Selasa, 05 April 2005

Tanggapan Atas Tulisan Edi S. Ekajati

Revisi Tahun Masehi tentang Sejarah Jawa Dwipa

Oleh ALI SASTRAMIDJAJA

SAUDARA Edi S. Ekajati, dalam "PR" tanggal 22 Februari lalu menulis artikel berjudul,

"Kala Sunda dan Rekonstruksi Sejarah". Dalam tulisan tersebut, Sdr. Edi mengajukan 9

pertanyaan, berikut adalah jawabannya:

Pertanyaan ke 1. Dari manakah kakek Kang Ali mendapat sumber kalender pengetahuan

sistem kalender Kalasunda?

Kakek saya tidak menerangkan dari mana mendapatkannya. Saya tidak berani bertanya

asal-usul kalender itu. Tapi sudah pasti beliau tidak berbohong. Malah beliau berkata, "..

engke oge kapendak ku anjeun."

Begitulah beliau menerangkan mengenai kalender Sunda, dan dalam buku yang

ditinggalkannya ada tulisan mengenai bedanya pasar dalam kala Sunda dan kala Jawa.

Dari keterangan tertulis itu, setelah dipelajari ternyata menunjukkan pengertian

suklapaksa dan kresnapaksa yang dipakai dalam kala Sunda. Jadi kala Sunda diawali

pada saat bulan berbentuk setengah lingkaran. Lalu maju ke bulan purnama dan kembali

ke bentuk setengah lingkaran lagi. Waktu ini lamanya 15 hari, yang disebut suklapaksa

(atau paro terang). Selanjutnya yang lamanya 14 atau 15 hari disebut kresnapaksa (atau

paro gelap). Jumlahnya 29 atau 30 hari.

Sedangka kala Jawa, menggunakan aturan penanggalannya dari kala candra Sunda. Tapi

tanggalnya mengikuti kala Hijrah dari tanggal 1 hingga 29 atau 30 hari. Dalam kala Jawa

tak dipakai istilah suklapaksa dan kresnapaksa. Kala Hijrah mengawali bulannya dari

rukyat, tapi kala Jawa awal bulannya tetap pada aturan penanggalan kala Sunda.

Kala Jawa yang dikenal sekarang ini, baru ada pada waktu di Mataram meresmikan

Page 49: Jurnal Pajajaran

keraton yang bertepatan dengan tanggal 1 Muharam 1043 Hijrah. Sejak saat itu

dinyatakan kala Jawa dengan tanggal yang sama, ialah 1 Muharam tapi angka tahunnya

diambil dari kala surya Saka Sunda yang bersamaan dengan kala surya Saka India, ialah

1555.

Tegasnya tanggal peresmian Keraton Mataram ialah 01 Muharam (1) 1555 kala candra

Saka Jawa, Jumat Legi, Kulawu = 01 Muharam (1) 1043 kala candra Hijrah = 17 Kapitu

(7) 1555 kala surya Saka Sunda = 08 Juli (7) 1633 kala surya Masehi Gregorian = 8k

Kartika (1) 1558 kala candra Caka Sunda, Jumat Pon, Warigagung.

Adapun perbedaan pasar Sunda dan Jawa: Manis, Pahing, Pon, Wage, Kliwon (Sunda);

Wage, Kliwon, Legi, Paing, Pon (Jawa).

Pertanyaan ke-2

Apakah masyarakat Sunda dulu pernah menggunakan sistem kalender Kalasunda dalam

kahidupan sehari-hari mereka?

Dalam harian Pikiran Rakyat tanggal 23-24 Januari 2001, berjudul "Ditemukan Bukti

Keberadaan Benua Atlantis" (1 dan 2), yang ditulis oleh Winda D.

Riskomar/Sumber:CNN/BBC/Discovery. "Diduga keterkaitan masyarakat Atlantis

dengan Indonesia, yang pada waktu itu bernama Sunda Dwipa....."

Tulisan ini diambil dari catatan Plato. Jadi kehadiran Sunda sedikitnya sezaman dengan

Atlantis; jauh sebelum Babilon dan Mesir kuno. Wajarlah bila Ki Sunda telah berbuat

banyak dalam waktu yang sekian lamanya; satu di antaranya ialah berupa penanggalan

yang sangat akurat dan menakjubkan, karena pananggalan candra Sunda dibentuk dalam

biras (matrix), ialah 15 x 1 windu = 1 indungpoe = 120 tahun.

Di tatar Sunda terdapat banyak lingga, ialah alat ukur bayangan matahari, yang

menghasilkan pengetahuan mengenai peredaran surya. Perge-rakan surya dapat terlihat

dari bayangan lingga, terutama bayangan yang menghadap ke utara atau selatan pada tiap

tengah hari dengan diukur oleh lidi yang dipotong sepanjang bayangan lingga. Lidi ini

disusun pada papan. Setelah tersusun sebanyak 365 lidi (hari), terbentuklah sebuah garis

sinus (gelombang), yang bersamaan dengan kemunculan bulan purnama sebanyak 12

kali. Waktu yang 365 hari diberi nama tahun, yang disamakan dengan 12 bulan (ucapan

Aki Atmadiredja).

Entah berapa lamanya penelitian ini dilakukan oleh Ki Sunda, ahirnya menghasilkan dua

buah kalender, yaitu kalender yang didasarkan pada peredaran surya (365/366 hari), dan

kalender yang didasarkan pada peredaran candra (12 kali purnama = 354/355 hari).

Fungsi kalender tersebut adalah (1) Kalender surya berkaitan dengan musim; (2)

Kalender candra digunakan di antaranya dalam penanggalan sejarah, sebelum diganti

oleh kala Jawa (Mataram) sejak 1633 Masehi.

Hingga kini, penanggalan yang terdapat dalam naskah-naskah sejarah kita, dianggap

Page 50: Jurnal Pajajaran

menggunakan kala Surya Saka India, yang berselisih 78 + 1. 78 tahun dengan kala

Masehi. (tahun 1 Saka India = tahun 78 Masehi) oleh orang Belanda penanggalan sejarah

kita dianggap memahami Kala Surya Saka India. Karena ahli "timur" waktu itu bernama

"Dubois" beranggapan demikian kebutuhan karena awal Kala Mataram diambil dari

tahun yang terdapat dalam tahun Saka Surya saat itu ialah dengan tahun 1633 Masehi.

Selisih dua tarikh inilah yang besarnya 1633-1555 = 78 tahun. Untuk selanjutnya, angka

78 tahun itu digunakan untuk memindahkan penanggalan Caka dalam sejarah ke dalam

tahun Masehi ialah dengan menambahkan angka 78.

Dubois, Dr. M. Eugina F. Th (1858- 940). Doktor ahli biologi dan paleontologi, bangsa

Belanda pada tahun 1887, ia pergi ke Indonesia dan menemukan di Jawa Pithecanthopus

erectus pada tahun 1898 menjadi mahaguru geologi di perguruan tinggi Amsterdan

(Ensklopedi Indonesia) NV Penerbitan W. Van Hoeve. Bandung S. Gravenhage.

Setelah saya pelajari, dalam penanggalan India tidak dikenal istilah panca-wara (manis,

pahing, pon, wage, kaliwon); wuku, windu. Sedangkan dalam data sejarah, ada

penanggalan yang menyebutkan pancawara ini. Ini berarti penanggalan yang tertera

dalam naskah sejarah itu bukan memakai kala Saka India, melainkan kala Saka Sunda

atau Caka Sunda. Dengan adanya suklapaksa dan kresnapaksa, berarti penanggalannya

bukan kala surya melainkan kala candra. Jadi jelas penanggalan dalam sejarah itu tidak

memakai Saka India melainkan kala candra Saka Sunda.

Dalam kala Sunda ada kala surya dan kala candra, yang oleh kehadiran Aji Saka,

mencantumkan nama Saka ke dalam penanggalan itu. Maka untuk membedakan kedua

penanggalan itu, oleh penulis ditulis dengan Saka dan Caka. Saka untuk kala surya, Caka

untuk kala candra. Tapi bila dalam naskah ditulis "Saka", itu berarti tetap kala candra.

Malah ada yang menulis Syaka atau Gaka, tetap artinya kala candra Sunda.

Penggunaan sehari-hari pada zaman dahulu tentu hanya untuk kalangan atas, yang

penggunaannya di antaranya pada penanggalan sejarah. Sedangkan di kalangan

masyarakat umumnya, lebih mengutamakan pada hal-hal yang berkaitan dengan

paririmbon yang dibantu dengan kolenjer dan naktu.

Pertanyaan ke-3

Adakah dokumen tertulis yang menjelaskan tentang kalender sistem kalender Kalasunda

itu?

Dalam buku "Primbon Aji Caka, Manak Pawukon 1000 tahun, R. Tanojo ahli primbon"

diterangkan di antaranya, bahwa kala Jawa itu berupa gabungan dari kala Hijrah dan kala

Hindu.

Dari kala Hijrah diambil awal perhitungan tanggal, nama hari dan nama bulan.

Sedangkan dari kala Hindu diambil aturan penanggalan dan awal angka tahun ialah 1555.

Jadi kala Jawa tidak diawali dengan tahun 1 (satu) melainkan dengan tahun 1555.

Page 51: Jurnal Pajajaran

Kala Hindu di sini berarti kala pra-Jawa. Hingga kini kata Hindu itu diartikan Saka

India. Padahal kala Saka India itu tidak sama aturannya dengan yang digunakan dalam

kala Jawa. Kala Saka India adalah kala surya, sedangkan kala Jawa adalah kala candra.

Jelaslah kiranya bahwa kala pra-Jawa itu adalah kala candra Sunda, baik ditulis Caka,

Saka, Syaka atau Gaka. Kehadiran kala Jawa ini telah menghapus kala lainnya di

kawasan Mataram, termasuk kala Sunda.

Kala Jawa itu asalnya dari gabungan tiga kala, yaita, kala Caka Sunda, kala Saka Sunda

dan kala Hijrah. Kala Jawa ini diadakan pada zaman Mataram, yang diresmikeun oleh

Sultan Agung, pada waktu meresmikan karaton. Keterangan ini disalin dari buku

"Primbon Adji Caka Manak Pawukon 1000 tahun, R. Tanojo ahli primbon, tanpa tahun,

halaman 9", beginilah bunyinya:

Taun Djawa

Bareng saadeging karaton Djawa Islam ing Mataram, ing sadjumenenge Sri Sultan

Agung Prabu Anjakrakusuma, ana kaparenging karsa Nata jasa tahun Djawa, awewaton

tahun Kamariah ija iku tahun miturut petungan rembulan, kang bisa njakup antarane

kabudajan, Hindu lan Arab bareng paugeraning Taun Djawa iku wis kalakon kaanggit

kalajan mupakate para Sudjana Sardjana ahlun nujum, bandjur wiwit katindakake

tumapaki ana ing nusa Djawa lan Madura (kadjaba ing Banten kang ora kalebu wilajah

Mataram) wiwit tumindake marengi ing dina Djum'at Legi, tanggal sapisan sasi

Muharram tahun Alip windu Kuntara, nudju wuku Kulawu, wuku masa Prangbakat, masa

wuku Kasanga, angkaning tahun Caka 1555 (kang maune nganggo petungan surya),

kalestarekake kanggo angkaning tahun Djawa 1555 kang badjur nganggo petungan

rembulan; ing wektu iku marengi tanggal sapisan sasi Muharram sanatulhidjrat (=tahun

Hidjrah) 1043, utawa marengi kaping 8 Djuli sanatulmilladijah (tahun Milladi = Masehi)

1633.

Pertanyaan ke-4

Momen apa yang dijadikan patokan sebagai titik awal perhitungan sistem kalender

Kalasunda itu, yang memang dalam sistem kalender Masehi dan kalender Hijriah ada?

Data sejarah Sunda banyak yang belum dipelajari menunjuk kepada data Prasasti Sri

Jaya bupati Cibadak, Sukabumi tertera penanggalan sebagai berikut tahun 952 Caka,

bulan Kartika 12 Sukla Paksa, Kaliwon, Radite (minggu) Wara (Wuku) tambir...dst.

Selanjutnya kami hitung mundur ternyata awal tahun Saka tersebut jatuh pada masa Aki

Tirem. Beliau adalah seorang raja Sunda yang menyerahkan Kerajaan kepada

menantunya yaitu Dewawarman.

Saya lebih menitikberatkan kepada penanggalannya, mengenai hal kesejarahannya dapat

dilakuka untuk para sejarahan koran, naskah-naskah, sejarah Sunda yang ada di Musium

Nasional masih banyak yang belum dibaca sama sekali.

Page 52: Jurnal Pajajaran

Ini berarti bahwa Aki Tirem itu adalah seorang raja, seorang aji. Ia menjabat raja selama

52 tahun, dari tahun 1 hingga tahun 52. Kemungkina besar Aki Tiremlah yang

menetapkan awal kala Saka itu. Jadi Aki Tirem sosok itu adalah Aji Saka. Mengenai hal

kesejarahannya, lebih tepat dilakukan oleh sejarawan.

Pertanyaan ke-5

... dikaitkan dengan upaya rekonstruksi sejarah ....

Rekonstruksi sejarah yang saya maksud bukan mengubah sejarah, melainkan karena

salah "me-Masehi-kan" data yang ditulis dalam kala Saka Sunda, tapi dianggap ditulis

dalam kala Saka India. Dan lagi yang dikenal dari kala Saka India itu hanya mengenai

selisih 78 tahun dengan kala Masehi. Detail dari penanggalan Saka India itu kiranya tidak

dikuasai. Contohnya pada tulisan Saleh Danasasmita yang mengatakan berdirinya

Pajajaran itu pada tanggal 12 suklapaksa, bulan Caitra (Setra), tahun 1404 Saka, yang

jatuh pada antara tanggal 13 Maret hingga 11 April 1428 Masehi.

Menurut perhitungan kalangider (hasil penelitian penulis) tanggal 12 suklapaksa, bulan

Setra tahun 1404 Caka Sunda bersamaan dengan tanggal 14 Juni 1484 Masehi, hari Senin

Pahing.

Seperti inilah rekonstruksi sejarah yang berkaitan dengan kesalahan me-Masehi-kan itu.

Seandainya tanggal tersebut dijadikan tanggal hari jadi Bogor, dipakai yang kala Sunda-

nya atau kala Masehi-nya:

1. Bila tanggal Masehinya, berarti tahun 2005 ini, hari jadi ke 2005-1484 = 521, yang

jatuh pada tanggal 14 Juni 2005, Kamis Manis.

2. Tanggal ini bila dikonversi ke kala Sunda akan bersamaan dengan 15k Palguna 1941

Caka Sunda. Sedangkan tanggal 12 suklapaksa Setra 1941 Caka Sunda bersamaan

dengan 26 Juni 2005 Masehi, hari Ahad Manis, adalah hari jadi Bogor ke 1941- 1404 =

537 tahun candra.

Pertanyaan ke-6

Mengenai penanggalan pada batu tulis Bogor: Saka panca pendawa nge(m)ban bumi?

"Saka panca pendawa ngemban bumi" disebut candra-sangkala, ialah pernyataan

penanggalan atau menyebutkan tahun dengan kalimat yang berkaitan dengan kejadian

saat itu. Dalam candra-sangkala kata-kata itu mengandung arti angka. Panca = 5.

Pendawa = 5. Ngemban = ada beberapa tafsir, ada yang mengatakan = 2, ada yang

mengatakan 3 dan ada yang mengatakan 4. Bumi = 1. Maka candra-sangkala ini terdiri

dari susunan angka 5521 atau 5531 atau 5541. Angka ini dibaca dari kanan ke kiri, berarti

akan menjadi angka tahun dengan membalikkan angka tersebut, ialah 1255, 1355 atau

1455.

Page 53: Jurnal Pajajaran

Sebelum ada data sejarah tambahan lain, hal ini sukar ditentukan, mana yang benar. Tapi

dengan adanya data-data lain angka tahun ini dapat dengan tegas ditentukan yang benar.

Pajajaran berdiri tahun 1404 Caka Sunda. Dengan angka ini dapat kita pastikan bahwa

batu tulis itu, yang ditulis oleh putra Sri Baduga, bertahun 1455. Angka ini bila ditambah

78 menjadi tahun 1533 Masehi Julian. Menurut kalangider 1455 Caka Sunda =

1533/1534 Masehi Julian. Di sini Masehinya ada 2 angka karena tahun 1455 Caka Sunda

ada di antara 30-05-1533 dan 18-05-1534 Masehi Julian.

Pertanyaan ke-7

Runtuhnya kerajaan Pajajaran pada tahun 1501 Saka = 1579 Masehi?

Menurut kalangider, runtuhnya Kerajaan Pajajaran jatuh pada hari Kamis Pon, 11

suklapaksa Wesaka 1501 Caka Sunda = 21-08-1578 Masehi Julian. (Masehi Julian

berlaku sebelum 5 Oktober 1582 selanjutnya masehi Gregorian yang dimulai tanggal 15

Oktober 1582 entah kenapa lewat sampai 10 hari?).

Pertanyaan ke-8

Pendirian Kerajaan Sunda sendiri jauh di masa lampau, yaitu sekira akhir abad ke-7 atau

awal abad Tarus bawa adalah prabu di Kerajaan Sunda Sembawa, bawahan

Tarumanagara. Tarusbawa beristri Dewi Manasih atau Dewi Minawati, ialah putri Prabu

Linggawarman, raja Tarumanagara. Karena tak punya anak lelaki, kerajaan

Tarumanagara diteruskan oleh menantu, ialah Tarusbawa, yang menjadi raja

Tarumanagara ke-13, mulai hari Ahad Pon, 9 suklapaksa Yesta 591 Caka Sunda = 31

Oktober 695 Masehi Julian. Kemudian nama kerajaan Tarumanagara diganti menjadi

kerajaan Sunda. Dan ibu kota dipindahkan ke Bogor.

Bila hari jadi Bogor dikaitkan dengan peristiwa ini, maka kini tanggal 9 suklapaksa

Yesta 1941 Caka Sunda = 21 Agustus 2005 Masehi Gregorian, hari Ahad Pahing. Hari

jadi ke 1941-591 = 1350 tahun candra atau 2005-695 = 1310 tahun surya.

Pertanyaan ke-9

Mengenai naskah Wangsakerta?

Menurut penelitian saya, tanggal-tanggal dari data-data sejarah yang tertera dalam

naskah Wangsakerta tak ada yang salah. Ini berarti bahwa data-data itu merupakan

salinan dari data lain sebagai sumber.

Sedangkan Pangeran Wangsakerta sendiri sering menulis tanggal 14 suklapaksa itu saat

bulan purnama pada saat menutup tulisannya. Ini membuktikan bahwa Pangeran

Wangsakerta sudah tidak mengenal kala Sunda, sebab tanggal 14 yang dihubungkan

dengan bulan purnama adalah kala Jawa atau kala Hijrah. Purnama pada kala Sunda jatuh

pada tanggal 7 suklapaksa. Jadi kesalahan tanggal atau diragukan kebenaran tanggalnya

Page 54: Jurnal Pajajaran

pada naskah Wangsakerta itu, hanya pada penutup penulisan naskah yang ditulis oleh

Pangeran Wangsakerta.

Demikianlah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam harian Pikiran

Rakyat, 22 Februari 2005, berjudul "Kalasunda dan Rekonstruksi Sejarah".***

Minggu, 24 April 2005

Simbol Kejataman dan Daya Kritis Pola Pikir

Kujang Senjata Khas Jawa Barat

HAMPIR sebagian besar masyarakat Jawa Barat mengenal Kujang. Namun, tak banyak

dari mereka yang dapat mengetahui secara mendalam latar sejarah ataupun simbol di

balik Kujang. Kujang hanya dikenal sebatas sejenis senjata khas Sunda dengan bentuk

yang meruncing. Selebihnya mungkin, Kujang hanya dikenal sebagai lambang

pemerintah Provinsi Jawa Barat.

Senjata tradisional khas Jawa Barat Kujang.*

Bukan itu saja, meski masyarakat Jawa Barat meyakini Kujang sebagai simbol dari

sebuah kebesaran masyarakat Sunda dan cenderung dipandang memiliki kekuatan magis,

tak banyak literatur yang memberi penjelasan tentang perkakas ini. Beruntunglah,

SundaNet.com sebagai satu-satunya portal kesundaan yang cukup eksis dapat

memberikan informasi tersebut.

Sehingga keterbatasan mengenai informasi tersebut dapat dijembatani oleh sebuah ruang

maya yang tak lagi berbatas ruang dan waktu.

Lambang Jawa Barat

Kujang menurut SundaNet.com adalah sebuah senjata unik baik dari segi bentuk maupun

kesejarahannya. Kujang secara umum telah diakui sebagai milik asli Sunda. Menjadi ciri

khas, baik sebagai senjata, alat pertanian, perlambang, hiasan, ataupun cindera mata.

Lebih dari itu Kujang adalah lambang Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat. Apa

sebenarnya yang istimewa dari Kujang? Mengapa ia dikesankan sakral dan memiliki

daya magis? Mengapa Jawa Barat memilih Kujang sebagai lambang dan bukan benda

lain? Beberapa pertanyaan itu menarik untuk dikaji lebih jauh. Walau tak banyak sumber

(literatur) yang dapat memberikan informasi tentang itu.

Meski demikian, data ataupun informasi tentang Kujang beberapa di

antaranya tercantum dalam Pantun Bogor, Wawacan Terah Pasundan, Keris and Other

Weapon of Indonesia, termasuk sumber-sumber lisan di wilayah Bandung, Sukabumi,

Panjalu (Ciamis), Sumedang, Cirebon, dan Garut.

Page 55: Jurnal Pajajaran

Data tertulis lainnya dapat diperoleh dari Anis Djatisunda, seorang peneliti lapangan ahli

Kanekes yang tinggal di Sukabumi. Anis telah menyusun makalah (1996) berjudul

"Kujang Menurut Berita Pantun Bogor" yang disiapkannya untuk sebuah gatrasawala

mengenai kujang tetapi batal dilaksanakan. Keterangan lain dapat diperoleh dari buku

Wacana Nonoman Terah Pasundan karangan Kadar Rohmat dan H.S. Ranggawulya. Data

ini diperoleh dari buku Keris and Orther Weapons of Indonesia karangan Mubirman,

Profil Propinsi Republik Indonesia (Jawa Barat), dan Pengabdian DPRD DT. I Jabar yang

ketiganya ditemukan di perpustakaan Pemda Jabar.

Sementara brosur dari Gosali Pamor Siliwangi pimpinan Bayu S. Hidayat dapat menjadi

pelengkap, sebab perajin Tosan Aji adalah seorang yang secara sadar berniat

melestarikan kujang sebagai cindera mata yang berkelas. Dari tulisan Baju diperoleh

informasi mengenai teknik pembuatan kujang yang sudah menggunakan teknologi

muktahir.

Tajam dan kritis

Bila merujuk pada uraian SundaNet.com, maka dapat ditarik satu benang merah bahwa

Kujang merupakan sebuah perkakas yang notabene mereflesikan ketajaman dan daya

kritis dalam kehidupan. Utamanya pada saat diterapkan sebagai lambang Jawa Barat,

Kujang menjadi sebuah simbol bahwa masyarakat Jawa Barat (Sunda) adalah masyarakat

yang juga tajam dan kritis dalam memandang dan menjalani setiap perjalanan

kehidupannya.

Melihat pada bentuk, fungsi, dan "sertifikasi" para pemakai alat ini, membuktikan

Kujang bukanlah semata-mata perkakas biasa. Tetapi sebuah senjata khas yang

peruntukannya hanya digunakan oleh orang-orang tertentu dengan kriteria-kriteria

tertentu. Alih-alih demikian, maka dapat ditafsirkan, bahwa masyarakat Jawa Barat

dengan Kujang sebagai pelambangnya adalah sebuah masyarakat yang gagah berani, dan

bukan orang sembarangan ataupun orang kebanyakan. Baik itu dalam karakter individu

maupun kolektif masyarakat Kesundaan. Seperti yang terkandung dalam filosofi

pangadegna.

Bukan itu saja, dengan Kujang sebagai pelambang, masyarakat Sunda

maupun masyarakat internasional lainnya dapat mengetahui sebuah alur penelusuran

sejarah tentang kerajaan Pajajaran. Seperti dalam tulisan-tulisan tentang Kujang yang

menyuratkan ataupun menyiratkan tentang itu. Sebuah "jalan" yang tentu saja

memerlukan penguatan, dukungan, serta analisis terhadap sumber-sumber lainnya tentang

Kujang. Sehingga lewat Kujang tergerak semacam upaya penelusuran asal usul. Terlebih

Kujang tidak saja dikenal sebagai senjata khas Sunda ataupun cindera mata

dari sebuah gift shop yang dibeli saat meninggalkan Parahyangan tetapi juga sebuah

lambang masyarakat bernama Jawa Barat. Lambang Masyarakat Sunda.

Kelompok Tertentu

Page 56: Jurnal Pajajaran

Sekalipun Kujang identik dengan keberadaan kerajaan Pajajaran pada masa silam,

namun berita Pantun Bogor (PB) tidak menjelaskan alat itu dipakai oleh seluruh

masyarakat Sunda secara umum. Perkakas ini hanya digunakan kelompok tertentu seperti

para raja, prabu anom, golongan pangiwa, panengen, golongan agamawan, para putri

serta golongan kaum wanita tertentu, dan para kokolot. Sedangkan rakyat biasa

menggunakan perkakas-perkakas lain seperti golok, congkrang, sinduk, dan sebagainya.

Kalaupun ada yang menggunakan Kujang, sebatas jenis pemangkas untuk keperluan

berladang.

Setiap pemakai Kujang, mempunyai konvensi pembagian bentuk. Hal tersebut

ditentukan status sosial masing-masing. Bentuk Kujang untuk raja tidak akan sama

dengan Kujang Balapati atau barisan pratulap dan seterusnya. Melalui pembagian

tersebut akan tergambar tahapan fungsi para pejabat yang tertera dalam struktur jabatan

Pemerintahan Negara Pajajaran Tengah, seperti Raja, Lengser dan Brahmesta, Prabu

Anom, Bojapati; Bopati Panangkes atau Balapati, Geurang Seurat, Bopati Pakuan diluar

Pakuan; Patih termasuk Patih Tangtu dan Mantri Paseban; Lulugu; Kanduru; Sambilan;

Jero termasuk Jero Tangtu; Bareusan,guru, Pangwereg dan Kokolot.

Jabatan Prabu Anom sampai Berusan, Guru juga Pangwereg, tergabung di dalam

golongan Pangiwa dan Panengen. Tetapi dalam pemakaian Kujang ditentukan oleh

kesejajaran tugas dan fungsinya masing-masing, seperti Kujang Ciung Mata-9 dipakai

hanya oleh raja;. (Eriyanti N.D./"PR")***

Kamis, 12 Mei 2005

Menyusuri Jejak Benteng Sunda Kuno

SAAT mengunjungi perkebunan kina Argasari, Pacet, Kabupaten Bandung untuk

melihat parit pertahanan kuno, sayang saya belum membaca naskah-naskah Sunda kuno

yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Akibatnya, keraguan muncul

selama mengamati parit-parit pertahanan yang berlapis-lapis mengikuti garis ketinggian

itu. Apakah benar masyarakat Sunda kuno sudah memiliki strategi-strategi dalam

berperang?

Tak henti-hentinya saya memperhatikan foto udara kawasan tersebut, peta lokasi dan

melihat kenyataan di lapangan. Setelah menelusuri parit-paritnya, melingkari

punggungan dan lereng-lereng landainya, dengan tetap berpedoman pada foto udara dan

peta yang ada, yang diduga parit pertahanan itu keadaannya masih utuh tak banyak

perubahan, kecuali di bekas pabrik pengolahan dan di tempat bekas pembibitan kopi.

Perkebunan kina itu secara tidak langsung telah menyelamatkan situs parit pertahanan

kuno tersebut. Dua-tiga rumah yang berdiri di pinggir jalan raya yang membelakangi

situs parit pertahanan kuno perlu dipertimbangkan untuk direlokasi, agar situs ini dapat

dengan mudah dikembangkan nantinya, sebelum perumahan itu berkembang tak

Page 57: Jurnal Pajajaran

terkendali di sana.

Memang, parit-parit pertahanan kuno di Argasari agak sulit untuk dikenali bila tidak

cermat dalam mengamati dan menelusurinya. Namun, dalam foto udara terlihat jelas

adanya bentukan yang rapi melingkari bukit-bukit di tengahnya.

Pada dasarnya pemilihan lokasi parit sebagai benteng pertahanan itu dipilih di daerah

yang secara alami mempunyai bentukan yang sangat baik sebagai tempat berlindung dan

menjebak musuh-musuh yang menyerang. Para ahli perang saat itu merapikan, memapas

lereng, atau menggali bagian-bagian tertentu yang paritnya tidak menerus.

Lokasi parit pertahanan itu selalu mengindikasikan, di sana ada kota kuno. Kerajaan apa

dan siapa penguasanya perlu penelusuran lebih lanjut. Bila melihat citra satelit, sangat

mungkin manusia yang kemudian bermukim di sana bergerak dari arah utara, dari arah

Banjaran, Ciparay, atau Majalaya. Mungkin mereka adalah kelanjutan manusia-manusia

yang bermukim di tepian selatan Danau Bandung, yang perkakas batu obsidiannya

ditemukan dan dikumpulkan G.H.R. von Koeningswald, seperti ditulis dalam bukunya

Das Neolithicum der Umgebung von Bandung: Tijschrift voor Indische Taal, Land en

Volkenkunde terbitan tahun 1935.

Demikian juga musuh-musuh yang datang atau menyerang ke permukiman kuno tersebut

datang dari utara. Dari sisi timur dibatasi secara alami Gunung Rakutak yang berbatasan

dengan lembah Citarum yang sangat dalam dan terjal. Di sisi barat laut ada dinding

Gunung Malabar, Wayang-Windu yang menjulang. Bisa saja musuh datang dari arah

Pangalengan dengan cara melingkari ketiga gunung tersebut. Sedangkan dari sisi selatan,

dibentengi puncak-puncak gunung dengan lereng yang terjal ke arah Garut.

Penelusuran naskah Sunda kuno

Rasa penasaran tentang parit pertahanan di Tatar Sunda itu untuk sementara terobati

setelah membaca naskah Sunda kuno yang diterjemahkan Saleh Danasasmita, dkk.

(1987) ke bahasa Indonesia, seperti naskah Sanghyang Siksakandang Karesian, dan

Amanat Galunggung, serta terjemahan dua prasasti, Prasasti Kawali 1A dan Prasasti

Batutulis.

Dalam naskah Sunda kuno dan prasasti tersebut, jelas dituliskan untuk mempertahankan

ibu kota kerajaan-kerajaan kuno di Jawa Barat, rajanya membuat parit pertahanan

sekeliling ibu kota. Parit pertahanan sekeliling ibu kota itu tertulis dalam Prasasti Kawali

dengan sebutan marigi, dan dalam Prasasti Batutulis dengan sebutan nyusuk.

Setiap raja yang berkuasa selalu membuat parit-parit pertahanan di sekeliling ibu kota,

maka nama raja sering diganti dengan pekerjaan membuat parit pertahanan, seperti

tertulis dalam naskah Sunda kuno dari Kabuyutan Ciburuy, Bayongbong, Kabupaten

Garut:

“…Tetaplah mengikuti orangtua

Page 58: Jurnal Pajajaran

melaksanakan ajaran yang membuat parit (nyusuk) di Galunggung

agar unggul perang, serba tumbuh tanam-tanaman, lama berjaya

sungguh-sungguhlah mengikuti patikrama warisan dari para suwargi…”

(Amanat Galunggung, dalam Saleh Danasasmita, dkk., 1987).

Membuat parit pertahanan (marigi/nyusuk) merupakan standar prosedur dalam

pertahanan kota yang berlaku saat itu, maka raja yang berkuasa pasti akan menitahkan

rakyatnya untuk membuat parit-parit pertahanan sekeliling ibu kota. Parit-parit

pertahanan itu tidak selamanya membuat parit baru, tapi bisa saja hanya merapikan

sungai-sungai yang ada atau menegaskan parit-parit yang telah terbentuk secara alamiah.

Karena membuat parit adalah kehendak raja, rakyatnya harus mengerjakan pekerjaan itu

dengan sukacita, seperti tercermin dalam naskah kuno dari Kabuyutan Ciburuy:

“Resapkanlah puja dan berlindung kepada hyang dan dewata.

Bila kita diperintah bekerja ke ladang, ke sawah, ke serang besar, mengukuhkan tepian

sungai, menggali saluran (marigi), mengandangkan ternak, memasang ranjau tajam,

membendung sebagian alur sungai untuk menangkap ikan, menjala, menarik jaring,

memasang jaring, menangguk ikan, merentang jaring; segala pekerjaan untuk

kepentingan raja,

jangan marah-marah, jangan munafik,

jangan resah dan uring-uringan,

kerjakanlah dengan senang hati semuanya.”

(Sanghyang Siksakandang Karesian, dalam Saleh Danasasmita, dkk., 1987).

Dalam Prasasti Batutulis terdapat kata nyusuk, yang mempunyai arti membuat parit

pertahanan di sekeliling ibu kota Pakuan. Berikut kutipan Prasasti Batutulis,

“…Semoga Selamat.

Ini merupakan tanda peringatan (untuk) Prebu Ratu Suwargi.

Dinobatkan dia dengan nama Prebu Guru Dewataprana, dinobatkan (lagi) ia dengan

nama Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.

Dialah yang membuat parit (nyusuk) Pakuan. Dia Putera Rahiyang Dewa Niskala yang

mendiang di Gunatiga, cucu Rahyang Dewa Niskala Wastu Kancana yang mendiang di

Page 59: Jurnal Pajajaran

Nusalarang.

Dialah yang membuat tanda peringatan (berupa) gunung-gunungan, menjadikan sebuah

bukit punden untuk (hutan) samida, membuat telaga Rena Mahawijaya.

Ya, dialah itu.

(dibuat) Dalam tahun Saka 1455.

(Prasasti Batutulis, dalam Saleh Danasasmita, 1975)

Saleh Danasasmita (1975) menulis, sisa parit di ibu kota Pakuan selalu menjadi daya

tarik bagi orang-orang Barat yang datang ke kota ini. Karenanya tak heran berita tentang

parit pertahanan di Pakuan ini selalu menghiasi laporan ekspedisi VOC pada akhir abad

ke-17 dan awal abad ke-18.

Saleh Danasasmita menuturkan, sisa parit Pakuan itu masih bisa disaksikan di tiga

tempat, yaitu: 1. Sisi luar sisa kuta (benteng) Pakuan di Lawanggintung; 2. Batutulis,

mulai dari belakang stasiun Keretaapi menyusur Ci Haliwung dan mata air Cikahuripan,

terus ke Balekambang, dan 3. Kompleks pemakaman Dreded (Jero kota).

Demikian juga dalam Prasasti Kawali (1A) terdapat kata marigi (membuat parit

pertahanan) di sekeliling ibu kota Kawali. Namun saya belum mendapatkan keterangan

tertulis tentang lokasi parit pertahanan tersebut di lapangan.

Kutipan Prasasti Kawali (IA),

“…Inilah tanda bekas beliau yang mulia Prabu Raja Wastu,

yang berkuasa di kota Kawali,

yang memperindah kedaton Surawisesa,

yang membuat parit (marigi) di sekeliling ibu kota,

yang memakmurkan seluruh desa.

Semoga ada penerus yang melaksanakan berbuat kebajikan, agar lama jaya di dunia…”

(Prasasti Kawali IA, dalam Titi Surti Nastiti, 1996)

Di timur laut Bandung pun terdapat parit pertahanan kuno, seperti dilaporkan W.

Rothpletz tahun 1951 dalam bukunya Alte Seidlungsplatze Beim Bandung (Java) und die

Entdeckung Bronzezeitlicher Gussformer, yang terbit di Basel. Dengan teliti W.

Rothpletz membuat sketsa-sketa parit-parit pertahanan di perbukitan timur laut Bandung

tersebut.

Page 60: Jurnal Pajajaran

Manusia Sunda saat ini akan mengapresiasi parit-parit pertahanan itu dengan baik bila

mengetahui strategi atau praktek berperang yang berlaku saat itu. Penelusuran dalam

naskah-naskah Sunda kuno atau dari sumber lain, akan dapat menjelaskan sistem

pertahanan parit atau praktek berperangnya.

“Bila ingin tahu tentang perilaku perang, seperti: makarabihwa, katrabihwa, lisangbihwa,

singhabihwa, garudabihwa, cakrabihwa, suci muka, braja panjara, asu maliput, merak

simpir, gagak sangkur, luwak maturut, kidang sumeka, babah buhaya, ngalingga manik,

lemah mrewasa, adipati, prebu sakti, pake prajurit, tapak sawetrik, tanyalah panglima

perang.” (Sanghyang Siksakandang Karesian, dalam Saleh Danasasmita, dkk., 1987).

Masalahnya sekarang, adakah hulu jurit atau panglima perang atau ahli sejarah yang

mengetahui deskripsi dari nama-nama praktik berperang seperti disebutkan dalam naskah

itu?

Upaya mengalihaksarakan serta menerjemahkan naskah-naskah Sunda kuno yang

jumlahnya masih banyak, bukan saja akan bermanfaat bagi para ahli sejarah dan

budayawan, tapi akan sangat bermanfaat bagi masyarakat umum yang akan mengamati

kebudayaan masyarakat Sunda kuno dari berbagai sisi yang diminatinya. Melalui cara-

cara semacam itulah kekayaan alam pikiran dan budaya Sunda akan terbuka, sehingga

dapat memberikan dorongan, rangsangan untuk berprestasi lebih baik lagi agar sejahtera

di dunia dan akhirat.***

T. Bachtiar,

Anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung

(KRCB).

Sabtu, 14 Mei 2005

Islam dan Sunda Dalam Mitos

Oleh JAKOB SUMARDJO

PANDANGAN manusia Sunda masa kini terhadap hubungan antara agamanya (Islam)

dan kebudayaannya (Sunda) tentulah berdasarkan pandangan dan pengetahuan yang

sudah modern. Bagaimana hubungan itu seharusnya, tentulah menjadi bahan wacana

yang aneka ragam. Tetapi orang sering melupakan bagaimana gagasan manusia Sunda itu

dalam praksisnya. Bagaimana masyarakat Sunda pra-modern memandang dirinya dalam

hubungan antara Islam dan Sunda. Gagasan semacam itu bertebaran dalam bentuk

wawacan yang oleh Viviane Sukanda-Tessier dan Hasan M. Ambary telah dihimpun

ringkasan isinya setebal lebih dari 2000 (dua ribu) halaman.

Untuk memahami hubungan antara Islam dan Sunda, ratusan wawacan itu dapat menjadi

sumber utamanya. Kalau pikiran kolektif masyarakat Sunda di zaman Pajajaran dapat

Page 61: Jurnal Pajajaran

disimak dari carita pantun, pikiran kolektif masyarakat Sunda setelah memeluk agama

Islam dapat disimak dari wawacannya. Wawacan-wawacan inilah yang ikut membentuk

pikiran kolektif masyarakat Sunda sejak abad ke 17.

"Pantun dan wawacan itu bukankah dongengan saja Pak?" Memang kita sekarang

menampakkannya sebagai dongeng-dongeng belaka, tetapi di zamannya (bahkan

mungkin masa kini di perdesaan Sunda) masih merupakan mitos. Setiap masyarakat

memiliki sejumlah mitos untuk mempersatukan dirinya dalam sebuah bangunan alam

pikiran yang sama. Mitologi-mitologi Islami Sunda dalam bentuk ratusan wawacan ini

berperan sangat penting dalam menyatukan kesadaran sosial masyarakat Sunda pada

zamannya. Dan kesadaran inilah yang memimpin sikap mereka dalam mengarungi hidup

ini.

**

MASYARAKAT Sunda zaman wawacan itu memandang dirinya dalam hubungannya

dengan agama Islam, dapat dilihat dari hanya dua wawacannya saja, yakni Wawacan

Guru Gantangan dan Wawacan Kean Santang. Masih tersedia puluhan wawacan lain

yang dapat memperkuat thesis yang akan diajukan di sini. Dalam sebuah diskusi tentang

kesundaan, seorang mahasiswa menolak keras diperhitungkannya nama Kean Santang

dalam membaca budaya Sunda di masa lampau. Kean Santang itu tidak dapat dibuktikan

keberadaannya dalam sejarah Sunda. Jawaban saya, mana yang lebih penting, kesadaran

kolektif masyarakat Sunda atas "adanya" Kean Santang, atau bukti sejarah

keberadaannya? Kalau benar ada secara faktual, tetapi tidak ada secara kesadaran, mana

yang lebih penting dalam ilmu budaya? Realitas kesadaran bahwa Kean Santang itu

benar-benar ada dalam alam pikiran masyarakat Sunda di zaman itu, atau jauh lebih

penting dari realitas faktual yang memang "tidak ada"?

Perlu saya tambahkan di sini, bahwa wawacan bukan untuk dibaca secara personal

seperti kita sekarang membaca roman Siti Nurbaya. Wawacan itu untuk dibacakan di

depan sejumlah hadirin dengan melagukannya. Inilah second literary. Genesisnya dari

dua komunitas, yakni lingkungan pesantren Sunda dan lingkungan kaum menak. Inilah

sebabnya wawacan berhuruf Pegon (pesantren) dan berhuruf cacarakan Jawa (menak).

Wawacan berisi ajaran Islam dan mitos-mitos Islami diduga berasal dari komunitas

santri, sedangkan wawacan berisi mitos-mitos Sunda, Jawa, dan Islam, berasal dari

komunitas menak. Dua jenis wawacan ini diwarisi oleh rakyat Sunda. Dengan demikian,

jelaslah bahwa wawacan Sunda menggambarkan alam kesadaran seluruh masyarakat

Sunda.

Seperti halnya masyarakat Melayu, masyarakat Sunda memandang Sunda dan Islam itu

identik. Sunda itu Islam, Islam itu Sunda. Sebuah ungkapan yang amat membingungkan

dalam pola berpikir modern kita. Tetapi ungkapan ini berasal dari tradisi berpikir

masyarakat Sunda pra-modern. Dalam masyarakat Minang identitas Islam ini dirumuskan

dalam ungkapan: adat bersendi sarak (syariat), sarak bersendi Kitab Allah. Ungkapan

Minang ini kemudian dipakai cendekiawan Sunda modern untuk mengoreksi ungkapan

aslinya yang membingungkan itu, yakni Islam dahulu sebelum Sunda.

Page 62: Jurnal Pajajaran

**

MENGAPA muncul ungkapan "Islam itu Sunda?" Nenek Moyang Sunda bukan orang

bodoh yang tak tahu membedakan antara agama Islam yang dijunjung tinggi dengan adat

istiadat leluhurnya. Ungkapan "Islam itu Sunda" sama sekali tidak bermaksud mereduksi

Islam menjadi budaya. Ungkapan ini mirip dengan "Siliwangi itu Jawa Barat, Jawa Barat

itu Siliwangi". Sunda dan Siliwangi itu identik.

Identitas Sunda sebagai Islam itu mengacu kepad Trias Politika Sunda. Di masyarakat

Baduy, terdapat kesatuan tiga kampung besar yang masing-masing mempunyai

peranannya sendiri. Kampung yang amat dihormati adalah Cikeusik, karena kampung ini

bersifat resik yakni penentu adat seluruh kesatuan kampung. Meskipun ia dihormati,

tetapi tidak menjalankan kekuasaan kampung. Kekuasaan eksekutif diserahkan kepada

kampung di tengah, yakni Cikertawana. Sedang kampung paling luar, Cibeo,

bertanggung jawab atas keamanan tiga kampung besar dan bertugas menjalin komunikasi

dengan pihak luar kampung. Jadi, Cikeusik sebagai resi, Cikertawana sebagai ratu dan

Cibeo sebagai rama.

Dalam zaman Pajajaran, Pakuan menggantikan kedudukan Cikeusik, jadi raja Pajajaran

itu raja-pendeta. Kekuasaan eksekutif Pajajaran di Jawa Barat tersebar di negara-negara

"tengah", misalnya Sumedang, Tasikmalaya, Majalengka, dst. Sedangkan Cibeonya

Pajajaran adalah kota-kota pesisir seperti Indramayu, Karawang, Tangerang, dst. Inilah

muncul ungkapan Sunda bahwa Sunda itu Pajajaran dan Pajajaran itu Sunda, atau yang

lebih mutakhir, Siliwangi itu Sunda dan Sunda itu Siliwangi.

Bagaimana ketika Sunda memeluk Islam? Tetap trias politika. Triloginya adalah santri

(Islam), Menak, dan Rakyat mengikuti ungkapan resi, ratu, rama. Resinya menjadi

ulama, ratunya menjadi kaum menak, dan rama menjadi rakyat Sunda umumnya. Dibaca

secara demikian maka pola pikir masyarakat Sunda mengenai hubungan antara sistem

kepercayaannya dengan sosio-budayanya masih tetap Trias Politika Sunda. Cikeusik,

Pakuan-Pajajaran, dan Islam adalah otoritas rohaniah yang amat dihormati dan dipatuhi.

Inilah yang menyatukan alam pikir seluruh komunitas Sunda. Sunda itu ya Cikeusik itu,

Pakuan - Pajajaran itu, Islam itu sendiri.

Oleh karena itu masyarakat Sunda mentakan bahwa "Islam itu Sunda". Ungkapan ini

jangan dibaca secara modern, tetapi secara tradisi berpikir masyarakat Sunda sendiri,

yang artinya Islam adalah pengganti identitas Sunda yang sebelumnya dipegang oleh

Pajajaran. Karena kerajaan Pajajaran tidak berkelanjutan dengan berdirinya kerajaan

Islam-Sunda (kecuali kerajaan Banten dan Cirebon disebut sebagai Sunda), maka otoritas

rohani Sunda diserahkan kepada kaum ulama Sunda di pesantren-pesantren.

Jadi, resi-ratu-rama menjadi Islam-menak-rakyat. Seperti dahulu Pajajaran itu sunda,

maka sekarang Islam itu Sunda. Dengan demikian, ungkapan "Islam itu Sunda" harus

dibaca secara sosio-historis Sunda, dan jangan dibaca secara teologis.

Page 63: Jurnal Pajajaran

Permasalahannya sekarang, mengapa identitas Sunda adalah Islam? Inilah alam pikiran

Sunda pra-modern, suatu realitas kesadaran yang ditanamkan lewat berbagai mitos-mitos

Islami Sunda dalam wawacan. Dalam wawacan Guru Gantangan (abad 18?), masyarakat

Sunda percaya bahwa Pulau Jawa ini pada mulanya kosong. Maka raja Mesir, Sri Putih,

membawa seribu orang Mesir dan seribu orang Selon bermukim di Pulau Jawa (Sunda),

Penyebutan orang Mesir dalam abad 17 atau 18 dapat dipahami sebagai kekuasaan

kesultanan Turki di Mesir yang jelas Islam. Dengan demikian, masyarakat Sunda dalam

abad-abad itu percaya bahwa orang Sunda itu setengah Mesir (Arab, Turki, Islam) dan

setengah Selon (India). Mitos ini meneguhkan bahwa Sunda itu sejak mulanya memang

sudah Islam.

Mitologi kedua berasal dari wawacan Kean Santang. Kean Santang adalah putra

Siliwangi yang tak terkalahkan oleh siapa pun, sehingga ia mencari lawan yang dapat

melukainya dan dengan demikian ia akan dapat melihat darahnya sendiri. Petunjuk

mengatakan bahwa ia harus bertapa di Ujung Kulon. Dalam pertapaannya ia mendengar

suara agar pergi ke arah barat. Perjalanan ke barat sampai di Arab. Di sana ia bertemu

seorang kakek yang kemudian dikenal sebagai Baginda Ali. Kakek ini bersedia

mempertemukan Kean Santang dengan siapa yang dicari Kean Santang selama ini.

Dalam perjalanan, Baginda Ali menyuruh Kean Santang mengambilkan tongkatnya yang

ketinggalan. Kean Santang pergi mengambilnya, tetapi tongkat yang tertanam di pasir itu

tak bisa ditariknya, meskipun telah mengeluarkan segenap tenaganya. Baginda Ali datang

menyusul, dan dengan amat gampang menarik tongkat itu. Kean Santang sadar, bahwa

Baginda Ali yang hanya pengikut Nabi Muhammad SAW begitu perkasanya, apalagi

beliaunya sendiri. Kean Santang bertobat dan masuk Islam. Kean Santang mendapat

ajaran Islam dari nabi sendiri, dan ikut mendirikan sebuah tiang dalam membangun

masjid di Mekkah.

Kean Santang sebenarnya ingin tetap tinggal dekat nabi, namun ia diberi tugas untuk

menyebarkan agama Islam di Sunda. Sesampainya di tanah airnya, ia membujuk

ayahandanya Prabu Siliwangi agar bersedia masuk Islam. Namun Prabu Siliwangi

memilih moksha bersama keluarga dan pembesar-pembesarnya. Pajajaran lenyap. Tetapi

Kean Santang tidak mau menggantikan kedudukan ayahandanya sebagai raja. Ia

menyebarkan agama Islam ke seluruh rakyat Sunda.

**

SEKALI lagi mitos ini menunjukkan keyakinan masyarakat Sunda bahwa Islam di

Sunda itu berasal langsung dari Nabi Muhammad SAW yakni Islam yang semurni-

murninya Islam. Dan Kean Santang adalah murid dan sekaligus utusan Nabi Muhammad

SAW. Tidak mengherankan apabila rakyat hilang kenangannya terhadap kebudayaan

Hindu-Budha-Sunda yang pernah berjaya sekitar seribu tahun. Nama Siliwangi itu sendiri

barangkali dalam kesadaran rakyat hanya dikenal sebagai "bukan Islam", namun bukan

raja Hindu-Budha.

Pengalaman saya waktu ceramah di daerah Banjaran membuktikan kenyataan itu. Ketika

Page 64: Jurnal Pajajaran

saya jelaskan makna pantun yang berhubungan dengan sistem kepercayaan Hindu-Budha

di Sunda, salah seorang peserta membantah bahwa orang Sunda pernah memeluk agama

Hindu-Budha. Orang Sunda sejak dahulu kala telah memeluk agama Islam, tidak ada

agama yang lain. Mula-mulanya saya terperanjat, tetapi kemudian saya memahami

sikapnya setelah saya membaca ringkasan-ringkasan wawasan hasil kerja Ibu Viviane

dan Bapak Ambary.

Betapa hebatnya wawacan atas alam pikiran rakyat Sunda di perdesaan.***

Kamis, 21 Juli 2005

Setahun Penemuan Fosil Gajah dari Rancamalang, Bandung

Gajah Pernah Hidup di Tatar Sunda

Benda keras yang semula dikira catang kalapa (tunggul kelapa) itu ternyata fosil

geraham gajah purba yang pernah berkeliaran di Tatar Sunda. Penemuan fosil ini tidak

terduga.

Di musim kemarau tahun 2004, sumur keluarga Ishak Surjana (55) pun makin hari

semakin berkurang airnya. Maka diputuskanlah untuk memperdalam sumur yang

bentuknya persegi empat itu. Putranya, Imam Rismansyah (31) dibantu Ishak melakukan

pekerjaan memperdalam sumur tersebut.

Saat Imam menggali lapisan yang terdiri dari pasir dan bebatuan seukuran jeruk siam,

linggisnya menghantam benda keras. Saking kerasnya benda tersebut, Ishak

menyarankan Imam untuk memahatnya, dan benda keras itu berhasil diangkat. Tapi

sungguh mengagetkan.

Benda yang baru saja diterimanya itu bukan batu biasa. Ia memperlihatkan kepada

istrinya, yang mengomentarinya, “Seperti catang kalapa!” katanya, karena bentuknya

seperti serat-serat akar pohon kelapa, ada galur-galur seukuran kelingking.

Keluarga itu semakin penasaran, apalagi Imam yang saat SMP dulu pernah berkunjung

ke Museum Geologi, Bandung, dan melihat banyak fosil di sana. Atas dasar itulah Imam

dengan diantar saudaranya mengantarkan sepotong benda itu ke Museum Geologi di Jln.

Diponegoro No. 57, Bandung.

Ketika fosil gajah yang ditemukan di Rancamalang, Kabupaten Bandung, 7 Juli 2004 itu

diperlihatkan kepada ahlinya di Museum Geologi, Dr. Fachroel Aziz dengan hanya

mengamati sepintas pun sudah langsung dapat menduga, ini adalah fosil geraham gajah

Asia (Elephas maximus). Dari segi keutuhan fosil geraham, fosil dari Rancamalang ini

bisa jadi merupakan fosil geraham paling utuh, bahkan di dunia. Akar giginya masih

lengkap dan utuh.

Di Jawa Barat, sebenarnya sudah banyak ditemukan fosil stegodon dan gajah, seperti di

Page 65: Jurnal Pajajaran

Baribis, di Punggungan Tambakan (Subang), di Cibinong (Bogor), di Cikamurang

(Sumedang), di Cijurai (Cirebon), atau di Mauk (Tangerang).

Melihat banyaknya fosil gajah yang ditemukan di Jawa Barat, rasanya tak kebetulan bila

karuhun kita menamai tempat memakai kata gajah. Di Kota Cimahi ada Leuwigajah, di

Kabupaten Bandung ada Kampung Gajah, Gajahcipari, Gajaheretan, Gajahkantor,

Gajahmekar, di Garut ada Gununggajah dan Karang Gajah, di Cirebon ada Pagajahan dan

Palimanan.

Nama tempat lainnya yang memakai kata gajah dicatat oleh Bujangga Manik (abad ke

16) dalam perjalanannya yang kedua mengelilingi Pulau Jawa dan Bali. Bujangga Manik

menulis:

“….Samungkur aing ti Tumbuy,

meuntasing di Ci Haliwung,

nanjak di sanghyang Darah,

nepi ka Caringinbentik,

sananjak ka Balagajah,

ku ngaing geus kaleumpangan.

Nanjak aing ka Mayangu,

ngalalar ka Kandangserang

na jalan ka Ratujaya,

ku ngaing geus kaleumpangan.

Datang ka Kadukadaka,

meuntas aing di Ci Leungsi,

nyangkidul ka Gunung Gajah….”

Melihat begitu banyaknya nama tempat yang menggunakan kata gajah, dan hampir di

setiap daerah ada, sangat mungkin manusia prasejarah di Tatar Sunda sudah sangat

terkesan dengan binatang berkaki empat yang ukurannya sangat besar ini.

Bahkan, anak-anak di Pameungpeuk, Kabupaten Garut, yang pada tahun 1960-an belum

pernah melihat gajah, tetapi kalau tatarucingan (teka-teki) sehabis salat isa di masjid, ada

saja anak yang memberikan soal, “Gajah depa ngegel rokrak/ruhak!” atawa “Gajah depa

beureum hatena!” Jawabannya adalah hawu atau tungku.

Bukan hanya nama tempat yang memakai kata gajah, tapi juga nama tokoh dalam cerita

pantun Sunda, seperti Gajah Lumantung (Carita Gajah Lumantung), Prabu Munding

Liman (Lalakon Kuda Wangi), Bagawad Liman Sanjaya, Dipati Gajah Waringin, Dipati

Gajah Cina (Carita Raden Rangga Sawung Galing), Dipati Gajah Waringin (Carita Raden

Tanjung), Gajah Hambalang (Carita Nyi Sumur Bandung), Raden Pati Gajah Menggala

(Carita Panggung Keraton), Gajah Taruna Jaya (Carita Lutung Leutik), atau Gajah

Siluman, Liman Sanjaya (Carita Raden Mungdinglaya Di Kusumah).

Dalam babad, ada juga Gajah Manggala dan Arya Gajah, dua pembesar Pajajaran yang

menjadi utusan Prabu Siliwangi untuk melamar putri Limbangan yang cantik jelita

Page 66: Jurnal Pajajaran

Walaupun pada awalnya Nyi Putri menolak lamaran itu dengan jalan menghilang dari

kampungnya, sehingga meninggalkan jejak berupa nama-nama Kampung Buniwangi atau

Kampung Sempil. Setelah dinasihati orangtuanya, Nyi Putri berkenan dinikahi Prabu

Siliwangi.

Dari pernikahannya itu mereka dikaruniai dua putra, Basudewa, dan yang satunya lagi

namanya menggunakan kata gajah, Liman Sanjaya. Atau juga Anggaranting Gajah, putra

dari Sanghyang Cakradewa, atau adik dari Sanghyang Borosngora dari Panjalu.Dalam

cerita Sunda kuna dari kaki Gunung Cikuray, Kabupaten Garut yang berjudul Ratu

Pakuan terdapat kata gajah.

Perjalanan hidup

Kata gajah hampir dipakai dalam setiap kesempatan yang sangat penting dalam

perjalanan hidup manusia Sunda. Ketika menanam padi di sawah, ada sejenis rumput

yang tinggi, dengan buahnya seperti gandum yang biasa disebut petani sebagai

gagajahan.

Ketika berbahasa, ada peribahasa Banteng ngamuk gajah meta. Di Kepulauan Sunda

Besar ada juga peribahasa, Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan

belang, dan Tiada gading yang tak retak.

Rumput yang biasa ditanam di halaman rumah pun namanya jukut gajah. Ada juga jenis

rumput jukut cengceng yang disebut juga , tapak liman, atau tanaman pot berdaun lebar

di teras rumah, kuping gajah, yang pernah menjadi tanaman kesayangan para ibu.

Ketika membangun rumah (ngadegkeun imah), tiang-tiang rangka dengan palang dan

siku-sikunya dinamai gagajah. Demikian juga nama penyakit, kakigajah, dan Museum

Nasional di Jakarta.

Tampaknya masyarakat Sundakalapa tak ambil pusing dengan nama resmi, karena di

depan gedung itu ada patung gajah, maka disebutlah Gedonggajah atau Museum Gajah!

Sedangkan di Kesultanan Cirebon ada kereta zaman kesultanan yang diberi nama Joli

paksi naga liman. Kereta berkepala gajah, berbadan naga yang bersayap.

Bahasa Jawa kuno untuk gajah adalah liman, artinya binatang buas dengan satu tangan.

Bahasa Kawinya adalah asthi.

Bila melacak lebih ke belakang, dalam naskah Sunda kuna, gajah adalah binatang yang

sudah sangat akrab, seperti terulis dalam Carita Parahyangan. Pada saat Raja

Tarumanagara, Sri Maharaja Suryawarman melepas kepergian Resiguru Manikmaya

yang menikah dengan putrinya Dewi Tirthakancana, menghadiahi pengantin baru itu

berupa Mandala Kendan lengkap dengan hamba sahaya, pasukan bersenjata lengkap, dan

beberapa ratus warga masyarakat anak negeri. Lebih lanjut dituliskan:

Page 67: Jurnal Pajajaran

“Kepada menantunya, Sri Maharaja juga memberikan berbagai harta benda, perhiasan

raja, begitu juga pakaian dan tanda kebesaran raja beserta istri dan sejumlah menteri, abdi

raja, para pejabat kerajaan,

bahkan seluruh harta-benda, dan berbagai makanan dan minuman yang lezat,

berbagai kendaraan, yaitu kereta, liman (gajah), kuda, sapi, lembu, kambing, anjing,

ayam dan yang lainnya pula.(Dalam Drs. Atja dan Dr. Edi S. Ekadjati, 1988).

Naskah Sunda kuna yang juga memuat kata gajah (gajendra) adalah Sanghyang

Siksakandang Karesian, seperti tertulis dalam seloka:

“Telaga dikisahkan angsa

Gajendra (gajah) mengisahkan hutan

Ikan mengisahkan laut

Bunga dikisahkan kumbang.”(dalam Saleh Danasasmita, dkk., 1987)

Dalam naskah Sunda kuna Darmajati pun terdapat kata gajah, seperti yang ditulis di

bawah ini:

“Mengitarai kenyataan itu, kegiliran jadi hamba sahaya, sebab sudah ketentuan Hiyang

Guru, menjadi penyelam dan pemburu, menjadi penjaring dan pemarak ikan, menjadi

penggembala dan sarati (pawang gajah), menjadi pembantu dan pengusung, menjadi

penyapu orang, pelindung penopang orang, perahu tidak berhenti, tersapu banjir jadi

mengembang, egois jadi malu bercampur marah, racun ikan tidak mempan.”(dalam

Undang A. Darsa, dkk., 2004).

Naskah Sunda kuna lainnya yang memuat kata gajah adalah Sanghyang Raga Dewata:

“Adalah sepotong kayu di jalan, direbahkan ditegakkan,

diberdirikan untuk dihalangkan, dipalangkan waktu kita berperang, tatkala kekuatan kita

(akan) kalah. Sepertinya semua bergerak, gajah singa macan beruang,

kerbau sapi badak lasun.

Jangan takut oleh musuh!”(dalam Edi S. Ekadjati dan Undang A. Darsa, 2004)

Selain dalam naskah Sunda kuno, Dr. N.J. Krom, pada tahun 1914 melaporkan, banyak

patung yang ditemukan di Tatar Sunda berbentuk gajah. Patung-patung itu ada yang

disimpan di Museum Gajah di Jakarta. Demikian juga dalam Yantra/Mandala yang

ditemukan di Tapos (Bogor). Dalam batu itu terukir gambar stilisasi gajah.

Page 68: Jurnal Pajajaran

Kapan gajah datang?

Bila mengamati peta bumi Kala Plestosen, keadaan itu terjadi akibat adanya perubahan

iklim yang ekstrem di kawasan lintang tinggi, sehingga kawasan yang maha luas itu

membeku, bersatu dengan kutub-kutubnya. Akibatnya, air laut menyusut, sehingga

Paparan Sunda dan Paparan Sahul yang semula kedalamannya kira-kira 200 meter itu

menjadi kering. Situasi inilah yang dijadikan alasan bagi binatang, kemudian diikuti oleh

manusia untuk berjalan dari Asia menuju kawasan di daerah tropika. Pada Kala Plestosen

inilah gajah datang ke Indonesia, dan hidup dengan nyaman di Jawa Barat, yang saat itu

suhunya kira-kira 170C.

Kapan gajah musnah?

Anak gajah (menel) yang berupa boneka kain, kini menjadi sahabat setia anak-anak.

Gajah cilik yang empuk dan manis itu disukai dan dapat digendong ke mana saja oleh

anak-anak.

Dalam dunia usaha, gajah masih menjadi pilihan simbol yang dapat menggambarkan

kekuatan atau prodak yang berukuran besar atau mempunyai daya muat besar (jumbo),

seperti merek sarung, iklan kulkas, iklan mobil buntung (pick up), printer, atau kuaci.

Alfred Russel Wallace, pada bulan Oktober 1861 menjelajahi Jakarta, Bogor, Gunung

Gede dan Gunung Pangrango, tidak melaporkan adanya gajah yang secara alami berada

di alam asli kawasan ini.

Dalam ekspedisinya itu Wallace tidak mengadakan perjalanan di Bandung, yang

sesungguhnya masih sangat alami. Bisa jadi karena jalan kereta untuk berkuda belum

masuk ke Bandung. Keadaan jalan sampai tahun 1811 baru menyambungkan Anyer –

Jakarta – Bogor – Cirebon – Semarang – Surabaya - Panarukan. Berselang 27 tahun

kemudian, baru ada jalan kereta kuda antara Jakarta – Bogor – dan berakhir di Bandung.

Perburuan di Bandung yang dilakukan orang-orang Eropa pun tidak menceritakan

adanya gajah yang hidup secara alami. Mereka hanya menemukan badak, tak terkecuali

di sekitar Bandung.

Sampai kapan gajah-gajah itu berkeliaran di Tatar Sunda? Ataukah gajah-gajah asli yang

bermigrasi secara alami dari daratan Asia itu musnah ketika manusia prasejarah di Tatar

Sunda menemukan perkakas, sehingga mereka mempunyai kekuatan untuk membunuh

gajah yang dimanfaatkan dagingnya sebagai bahan makanan?

Bila fosil gajah yang ditemukan di Rancamalang itu ditaksir hidup kira-kira 35.000 tahun

yang lalu, pada saat itu Danau Bandung purba sedang berada pada kondisi puncak. Air

danau berada pada posisi tertinggi, mencapai kontur 712,5 meter dpl.

Danau Bandung purba mengering sejak 16.000 tahun yang lalu. Pada masa ini di

Page 69: Jurnal Pajajaran

Bandung sudah dihuni manusia, seperti adanya kerangka ngaringkuk di Gua Pawon, di

perbukitan kapur Citatah, lengkap dengan perkakas batu, obsidian, tulang, cangkang

siput, cangkang kemiri (muncang), bahkan ada perhiasan/kalung dari gigi ikan hiu yang

sudah dilubangi.

Mungkinkah musnahnya gajah di Tatar Sunda karena adanya perubahan iklim yang

ekstrem? Apakah suatu perubahan iklim yang ekstrem itu hanya berlaku di suatu

kawasan, dan tidak terjadi di kawsan lain atau di pulau lainnya? Mengapa gajah di

Sumatra tetap hidup hingga kini walau jumlahnya kian hari kian berkurang karena

kawasannya terus dipersempit manusia?

Gajah adalah binatang raksasa yang berat dan tak tahan panas. Itulah yang menyebabkan

telinganya selalu mengipas-ngipas, agar suhu di dalam dapat tetap seimbang. Karena tak

kuat panas itulah gajah sering pergi ke sungai atau rawa untuk berkubang.

Pada umumnya, fosil gajah yang ditemukan di Jawa Barat, berada di pinggir sungai, di

bekas danau atau sungai purba. Kebiasaan gajah berendam inilah yang dimanfaatkan

manusia untuk membunuhnya. Daging gajah adalah sumber protein bagi manusia

prasejarah.

Musnahnya gajah di Tatar Sunda adalah pelajaran bagi manusia saat ini, di kawasan ini

pernah dihuni binatang raksasa, dan hampir merata di setiap daerah, mulai dari pantai

hingga dataran tinggi.

Saat ini, kehauskuasaan, kerakusan, sedang berjangkit di kawasan ini. Sangat mungkin,

perilaku inilah yang akan atau sudah memusnahkan beberapa mahluk Tuhan, yang kita

sendiri belum menyadari betapa pentingnya keberadaan mereka bagi manusia, sementara

mahluk itu sudah musnah dan tak akan pernah lahir kembali. Sayang!***

T. Bachtiar, Anggota Masyarakat Geografi Indonesia, dan Kelompok Riset Cekungan

Bandung.

Sabtu, 27 Agustus 2005

Tampomas, Kerisnya Mana?

Oleh LILI SOMANTRI, S.Pd.

MESKIPUN kawah sedang memuntahkan awan panas dan batu-batu besar, sang raja

tidak menghiraukannya. Beliau melemparkan keris emas pusaka leluhurnya ke mulut

kawah tersebut. Suatu keajaiban terjadi, kawah yang tadinya bergolak berangsur-angsur

tenang. Bunyi gemuruh berhenti bertepatan dengan menghilangnya awan hitam, batu-

batu besar, dan kilatan api.

Langit kembali biru dan burung mulai menyanyi. Kedamaian menghiasi seluruh

kerajaannya. Gunung yang tadinya murka, tidak lagi memperlihatkan tanda-tanda akan

Page 70: Jurnal Pajajaran

meletus. Sejak itu, gunung ini dinamakan Gunung Tampomas. Artinya gunung yang

menerima emas.

Begitulah sekilas cerita rakyat tentang Gunung Tampomas. Gunung yang membuatku

penasaran seperti apakah bentuknya? Indahkah? Sehingga masyarakat Sumedang

melestarikannya dalam cerita rakyat yang menarik. Dengan berbagai kepenasaranan, saya

dan tiga orang teman melakukan perjalanan ke Gunung Tampomas.

**

MATAHARI mulai mendingin tepat pukul 17.00 WIB ketika kami tiba di Cibeureum

sebagai pintu masuk ke Gunung Tampomas. Sore itu truk-truk pasir yang sudah kosong

tampak beriringan melaju ke arah penambangan pasir. Arah lajunya seakan-akan menjadi

petunjuk bagi kami menuju Tampomas. Selintas saya berpikir, seluas apakah

penambangan pasir di Tampomas itu, yang katanya sering membuat masalah bagi

lingkungan sekitar?

Dari kejauhan tampak gunung tegak berdiri dengan bentuknya yang unik seperti

mahkota yang biasa dikenakan oleh ratu. Bentuk gunungnya berundak-undak dengan

puncak yang tidak terlalu runcing di tengahnya.

Menuju lokasi Gunung Tampomas tidak sulit, banyak jalur untuk bisa sampai ke tempat

ini. Jalur utama yang sering dikunjungi adalah lewat Cibeureum Kecamatan Cimalaka,

seperti yang baru kami lewati. Lokasi ini dapat ditempuh dari berbagai rute. Jika dari

Bandung, rute perjalanan yang ditempuh adalah Bandung - Sumedang - Cimalaka -

Cibeureum, sekira 53 km jauhnya. Kalau dari Cirebon rute perjalanannya adalah Cirebon

- Kadipaten - Cibeureum Wetan, sekira 74 km jauhnya.

Gunung Tampomas memiliki ketinggian 1.684 m dpl yang terletak di utara Kota

Sumedang. Luas keseluruhannya 1.250 hektare yang ditetapkan sebagai Taman Wisata

Alam (TWA).

**

SEBELUM meneruskan perjalanan, terlebih dahulu kami mengambil air mentah di

Masjid Cibeureum sebagai perbekalan untuk keperluan selama pendakian.

Perjalanan kami lakukan dengan mengikuti jalan aspal yang menghubungkan tempat

penambangan pasir dengan Cibeureum. Belum sepuluh menit perjalanan kami, tiba-tiba

di belakang ada truk pasir yanag akan kembali ke tempat penambangan. Untuk

menghemat waktu dan tenaga, dengan memasang senyum yang ramah, kami mencegat

truk tersebut. Syukur alhamdulillah truk yang kami cegat itu langsung berhenti, mungkin

karena sopirnya kasihan melihat kami yang kesorean akan naik ke Gunung Tampomas.

Di sepanjang perjalanan, kami melihat banyak lahan terbuka. Di sana sini terdapat

penambangan pasir. Gundukan-gundukan pasir hasil pengerukan tampak sudah siap

Page 71: Jurnal Pajajaran

diangkut untuk dipasarkan. Meskipun hari sudah sore bahkan matahari pun sudah diganti

dengan bulan, deru mesin pengeruk pasir masih bersemangat merobohkan bukit-bukit

kecil. Ternyata penambangan pasir di Gunung Tampomas begitu luas.

Sebenarnya penambangan pasir ini telah merusak kawasan hutan yang berada di kaki

Gunung Tampomas. Banyak sekali tebing hasil pengerukan di kaki gunung.

Bekas lahan galiannya dibiarkan begitu saja. Kalau hal ini terus dibiarkan, akan

menimbulkan bencana, terutama kekeringan karena kekurangan sumber air tanah.

Padahal salah satu fungsi hutan adalah sebagai pengatur tata air bagi daerah yang ada di

sekitarnya. Oleh karena itu, kerusakan kawasan ini merupakan suatu ancaman bagi

daerah sekitarnya.

Menjelang magrib kami tiba di mulut hutan Gunung Tampomas. Suasana mulai gelap

dan sepi, hanya terdengar irama satwa-satwa khas sore seperti tonggeret dan jangkrik.

Harumnya dedaunan tropis mulai terasa bercampur dengan wanginya getah pinus. Angin

gunung dari arah puncak seolah memperkenalkan pada kami bagaimana dinginnya udara

Tampomas.

Kami sempat salah jalan, sehingga harus kembali ke rute awal. Karena hari menjelang

malam, kami putuskan untuk bermalam dulu sebelum melanjutkan perjalanan.

Malam itu suasananya sangat romantis karena bulan sedang purnama. Suatu peristiwa

yang sangat indah dalam perjalanan di hutan. Sepinya suasana hutan seakan menambah

damainya hati dan pikiran yang pada hari-hari biasa selalu jenuh karena rutinitas.

Besoknya setelah beres mengepak barang, pukul 8.00 WIB kami melanjutkan perjalanan.

Akan tetapi baru beberapa meter mendaki, jalan setapak ini ternyata jalannya buntu. Di

atas hanyalah sebuah lahan terbuka bekas penebangan kayu. Karena itu, kami

memutuskan untuk kembali ke bawah dan mencari jalan utama ke Gunung Tampomas.

Setelah menyusuri lagi jalan berbatu ini, kira-kira setengah jam akhirnya kami

menemukan penunjuk arah menuju puncak Gunung Tampomas.

Tanpa ragu lagi kami mulai mendaki Gunung Tampomas. Vegetasi yang mula-mula

kami temui adalah pinus yang di bawahnya dipenuhi oleh semak belukar. Pinus ini

dimanfaatkan masyarakat dengan mengambil getahnya. Setelah hutan pinus, vegetasinya

kemudian berganti dengan hutan tropis pegunungan yang tumbuhannya antara lain

jamuju (Podocarpus imbricatus), saninten (Castanea argentea), rotan (Calamus sp), dan

kandaka (Dryanaria sp). Jenis rasamala (Altingia excelsea) akan ditemui setelah berada di

atas lagi.

Menjelang puncak, di kawasan Sanghyang Lawang, kami menemukan hal yang berbau

mistis, yaitu sesajen. Sesajen ini lengkap dengan bunga-bunga dan rokok cerutu. Tapi

kami tdak peduli, perjalanan dilanjutkan dan tanjakannya sungguh tidak berkesudahan.

Semakin ke atas topografinya semakin curam, dan tidak jarang perjalanan yang dilalui

berupa tebing-tebing batu.

Page 72: Jurnal Pajajaran

Kira-kira pukul 10.00 WIB akhirnya kami tiba juga di puncak. Kawah yang dilempari

keris emas sang raja dalam cerita rakyat itu, ternyata hanya berupa rekahan yang

memanjang. Goa-gua yang berdinding hitam di bawah rekahan tersebut sungguh

menyeramkan. Selintas saya berpikiran mudah-mudahan keris bertakhtakan emas yang

dilempar raja itu ada di bawah. Tapi sayang keris emas itu hanya dalam cerita rakyat

yang kebenarannya mungkin susah dibuktikan.

**

SUNGGUH indah melihat pemandangan alam dari puncak Tampomas. Perjalanan yang

melelahkan seakan terobati oleh keindahan hamparan Kabupaten Sumedang dan

sekitarnya. Puncak Tampomas atau yang sering disebut dengan Sanghyang Taraje

merupakan lahan terbuka seluas kurang lebih satu hektare. Selain padang rumput, di

puncak Tampomas banyak terdapat batu-batu yang berfungsi untuk berlindung dari

kencang angin.

Selain menikmati keindahan alam, di puncak Tampomas juga bisa melihat makam

keramat (pasarean) yang letaknya kira-kira 300 meter ke arah utara Sanghyang Taraje.

Menurut kisah, kedua makam tersebut merupakan peninggalan (patilasan) dari Dalem

Samaji dan Prabu Siliwangi pada waktu kerajaan Pajajaran lama.

Setelah puas menikmati keindahan alam dari puncak Tampomas, pukul 13.00 WIB kami

pulang dengan menuruni jalur pendakian. Dalam perjalanan pulang, kami menemukan

ayam hutan (Gallus gallus). Ayam ini terasa sangat aneh karena dari segi fisiknya hampir

sama dengan ayam kampung (Galls domesticus), ayam ini tidak berkokok, tetapi

suaranya melengking yang memekakkan telinga.

Teman saya sempat menangkap anak ayam hutan, dari situ saya tahu bahwa suara ayam

hutan ternyata aneh, melengking, tajam, dan singkat. Mengingat ayam hutan merupakan

satwa dilindungi dan terancam punah, kami melepaskannya kembali anak ayam itu.

Ternyata anak ayam hutan ini larinya sangat cepat, sungguh berbeda dengan perilaku

anak ayam yang ada di perkampungan.

Sebenarnya satwa liar yang hidup dalam kawasan ini masih banyak, seperti kancil

(Tragullus javanicus), lutung (Trachypithecus auratus), babi hutan (Susvitatus, kukang

(Nycticebus coucang), dan beberapa jenis burung. Padahal sebelumnya saya berharap

dalam perjalanan ini dapat menemukan kancil atau kukang. Saya sering membayangkan

ada kancil mengintip perjalanan kami di antara semak-semak atau kukang bertengger di

atas pohon bambu yang memang banyak di Tampomas.***

Penulis, alumni mahasiswa Jurusan Pendidikan Geografi UPI.

Sabtu, 23 Juli 2005

Page 73: Jurnal Pajajaran

Memandang Bubat Dari Luar

Oleh HER SUGANDA

SEJARAH tak bisa ditutup-tutupi, apalagi dihilangkan. Sedalam apapun dipendam,

bahkan dikubur sekalipun, suatu saat sejarah akan terangkat muncul dan menampakkan

diri ke permukaan sebagai pengakuan kebenaran.

Salah satu peristiwa lama yang selama ini terpendam adalah menyangkut Perang Bubat.

Tujuh tahun lalu, peristiwa tersebut sempat ditulis wartawan Galura Aan Merdeka

Permana melalui Harian Pikiran Rakyat (29 Juni 1998). Di bawah judul "Perang Bubat

Tidak Pernah Terjadi?", Aan mengutip pendapat Drs. Aris Soviyani, Kepala Seksi

Penyelamatan Benda Purbakala Kota Mojokerto, Jatim yang meragukan terjadinya

peristiwa tersebut. Alasannya, karena perang tersebut tidak dilengkapi data akurat.

Katanya, selama 16 tahun bertugas mengikuti penggalian purbakala di Trowulan dan di

lapangan Bubat, tak ada temuan yang dapat mendukung terjadinya peristiwa itu.

Untuk melengkapi tulisannya, wartawan dan pengarang yang gemar melakukan

perjalanan itu melengkapi tulisannya dengan ilustrasi foto sebuah jalan kecil yang lebih

mirip disebut gang. Di mulut jalan terpampang papan penunjuk: Jalan Bubat. Jalan kecil

itu merupakan pintu masuk ke areal Bubat, wilayah Kerajaan Majapahit tempo doeloe.

Tulisan itu segera saja menggelitik widyapurbawan Prof. Ayatrohaedi, Guru Besar

Arkeologi Universitas Indonesia. Bukan karena Mang Ayat, begitu panggilan akrabnya,

berasal dari Sunda. Sebagai widyapurbawan (arkeolog) yang pernah bertugas di

Trowulan, ia merasa tergerak hatinya untuk menanggapi pendapat Aris Soviyani lewat

tulisannya berjudul "Perang Bubat: Benarkah Tidak Pernah Terjadi?" ("PR", 11 Juli

1998).

Judul tulisannya yang diakhiri dengan tanda tanya (?) tidak dimaksudkan untuk

menunjukkan keraguannya terhadap Perang Bubat. Sebaliknya, lebih merupakan gugatan

terhadap pendapat Aris Soviyani yang meragukan peristiwa tersebut. Menurut Mang

Ayat, jika benar peristiwa tersebut tidak pernah terjadi, ia bersyukur karena dengan

demikian, salah satu dari yang mengganjal keserasian hidup damai bertetangga

memperoleh pijakan yang kuat untuk dicampakkan.

Namun, bagian lain tulisannya malah menepis dugaan selama ini yang menyebutkan

Trowulan sebagai pusat Kerajaan Majapahit. Menurutnya, anggapan itu makin tipis jika

kita mempercayai sepenuhnya berita Negarakertagama. Dalam naskah tersebut, Bubat

dilukiskan sebagai bandar tempat kapal atau perahu berlabuh karena terletak di tepi

sebatang sungai besar.

Di sana terdapat sebuah lapangan upacara yang luas tempat dipusatkan keramaian atau

upacara kenegaraan dan keagamaan. Jika ingin menghadiri upacara tersebut, Raja Hayam

Wuruk datang ke Bubat dengan mengendarai kereta yang ditarik empat ekor kuda.

Disebutkannya, pusat Kerajaan Majapahit berbeda dengan anggap-an awam selama ini

Page 74: Jurnal Pajajaran

yang membayangkan tempat tersebut sebagai sebuah wilayah yang dikelilingi tembok

tinggi sebagai benteng pertahanan. Pusat kota Kerajaan Majapahit dikelilingi oleh kanal-

kanal yang saling berpotongan sehingga membentuk areal yang berbentuk segi empat.

**

DI kalangan masyara-kat Sunda, peristiwa Bubat yang lebih sering disebut Perang

Bubat, bisa dijumpai dalam beberapa naskah kuno yang ditulis hampir dua abad setelah

peristiwanya terjadi. Naskah-naskah itu antara lain Pararaton, Kidung Sunda, Carita

Parahyangan, dan naskah Wangsakerta. Sebaliknya, naskah Nagarakertagama atau

Desawarnana karya Mpu Prapanca sama sekali tidak menyinggung peristiwa tersebut.

Naskah-naskah kuno itu banyak dijadikan acuan dalam menulis Sejarah Jawa Barat.

Salah satu di antaranya buku "Sejarah Jawa Barat" yang ditulis wartawan dan budayawan

Drs. Yoseph Iskandar. Di sana, Yoseph melukiskan peristiwa itu secara mengharukan.

Lewat "Pararaton" dan Pustaka Nusantara II/2 yang diambil dari naskah Wangsakerta

terjemahan Drs. Saleh Danasasmita (alm), peristiwa itu bisa dituturkan kembali sebagai

berikut: “Kemudian terjadi peristiwa orang Sunda di Bubat. Sri Prabu ingin memperistri

putri dari Sunda. Patih Madu diutus mengundang orang Sunda. Maksudnya mengharap

agar orang Sunda menikahkan putrinya. Lalu raja Sunda datang di Majapahit. Sang ratu

Maharaja tidak bersedia mempersembahkan putrinya. Orang Sunda harus meniadakan

selamatan (jangan mengharapkan adanya upacara pesta perkawinan) kata sang utusan.

Sang Mahapatih Majapahit tidak menghendaki pernikahan (resmi), sebab ia menganggap

rajaputri sebagai upeti".

Karena merasa terhina, Raja Sunda dan rom- bongannya menolak permintaan tersebut.

Apalagi Kerajaan Sunda bukan bawahan dari Kerajaan Majapahit. Raja Sunda merasa

sejajar dengan Majapahit, sehingga akhirnya terjadilah Perang Bubat pada hari Selasa-

Wage sebelum te-ngah hari, tanggal 13 bagian terang bulan Badra tahun 1279 Saka.

**

MASYARAKAT Sunda sebenarnya cukup lama bersabar menanti peng-akuan dari para

penulis sejarah di luar Jawa Barat dalam menyikapi peristiwa Perang Bubat. Jika

memang terjadi, mengapa hanya para penulis sejarah dari Jawa Barat saja yang

mengangkat peristiwa itu sebagai fakta sejarah.

Sebaliknya jika memang tidak pernah terjadi, bukan hanya ganjalan hubungan emosional

dua daerah yang bertetangga yang bisa dihilangkan. Tetapi bagian-bagian yang

mengisahkan peristiwa tersebut dalam naskah-naskah kuno di atas, patut dikesampingkan

atau bahkan diabaikan karena dianggap menyesatkan. Namun jika benar kandungan

naskah kuno tersebut, mengapa kita harus malu dan kemudian berusaha menutup aib

seseorang yang selama itu berambisi menyatukan seluruh wilayah Nusantara. Bukankah

pepatah lama mengatakan, "Tak ada gading yang tak retak?"

Page 75: Jurnal Pajajaran

Apalagi sejarah yang ditulis dengan jujur bukanlah untuk mempermalukan seseorang.

Tetapi bisa merupakan cermin untuk generasi berikutnya, sehingga tidak mengulang

kekeliruan atau kesalahan yang sama.

**

DALAM buku-buku sejarah yang ditulis oleh pengarang dari luar Jawa Barat, paling

tidak terdapat dua buku yang memuat Perang Bubat menurut versi masing-masing.

Peristiwa itu menjadi bagian dalam buku "Peperangan Kerajaan di Nusantara"

(Penelusuran Kepustakaan Sejarah) yang ditulis Capt. R.P. Suyono (Grasindo, 2003: 18).

Suyono tidak menyebut peristiwa itu sebagai peperangan, namun dianggap sebagai

"perkelahian". Padahal, katanya sendiri, dalam peristiwa itu, Raja Sunda dan seluruh

pengiringnya tewas. Putri Sunda dibawa paksa ke Majapahit, namun tak lama kemudian

meninggal.

Menjadi pertanyaan, jika dianggap "perkelahian" saja, mungkinkah mengakibatkan

banyak orang tewas? Kalau perkelahian kan paling tidak hanya mengakibatkan luka

kecil, benjol-benjol atau benjut. Paling tidak, tangan atau kakinya terkilir.

Perkelahian sangat berbeda dengan perang. Perkelahian, menurut Kamus Umum Bahasa

Indonesia Badudu-Zain (Pustaka Sinar Harapan, 1996) berasal dari kata "kelahi".

Berkelahi artinya mengadu tenaga, berhantam, bertinju, mengadu buku jari. Sebaliknya,

"perang" artinya pertempuran dengan senjata antara dua negara, perkelahian besar antara

dua kelompok orang, perlawanan yang sungguh-sungguh.

Yang tak kalah menariknya adalah buku sejarah terbaru yang memberi tempat cukup

panjang untuk Perang Bubat, "Jejak Nasionalisme Gajah Mada-Refleksi Perpolitikan dan

Kenegaraan Majapahit untuk Masa Depan Indonesia Baru" yang ditulis oleh Dr. Purwadi

M.Hum (DIVA Press, Jogjakarta, Agustus 2004). Kajiannya mengangkat Gajah Mada

sebagai mahapatih dan sekaligus tokoh sentral yang mengantarkan puncak kejayaan

Majapahit di bawah kepemimpinan Hayam Wuruk yang berhasil mempersatukan

kerajaan-kerajaan di wilayah Nusantara.

Sebagian besar perluasan wilayah kekuasaan itu berhasil diraih berkat peperangan.

Namun tidak demikian halnya dengan Kerajaan Sunda yang menguasai wilayah bagian

barat Pulau Jawa. Purwadi secara terang-terangan mengungkapkan upaya Gajah Mada

melalui tipu muslihat sehingga pada tahun 1357 bisa mendatangkan Sri Baduga dan para

pembesar Sunda ke Majapahit dan dibinasakan secara kejam di lapangan Bubat.

Mengutip dasar tulisannya dari Kidung Sundayana, buku setebal 270 halaman itu,

sembilan halaman dalam Bab VIII, Sumpah Palapa Gajah Mada Sebagai Politik Integrasi

Nasional, bagian ini mengangkat hubungan dengan dengan Kerajaan Pakuan Pajajaran

yang belum juga mengakui kekuasaan Majapahit, walau sudah dua kali diserang.

Akhirnya, alih-alih Raja Hayam Wuruk yang lajang ingin menyunting putri Sunda yang

kesohor cantik jelita, maka diutuslah Tuan Anepaken untuk melamar Dyah Pitaloka

Page 76: Jurnal Pajajaran

Citraresmi.

Maka ketika tiba saatnya, ratusan rakyat mengantar keberangkatannya yang disertai raja

dan para bangsawan Sunda ke Majapahit dengan menggunakan perahu. Namun tiba-tiba,

laut yang semula biru, secara mendadak dilihatnya berubah menjadi hamparan air yang

berwarna merah. Tanda-tanda buruk itu rupanya tidak dihiraukan, sehingga setelah

sepuluh hari berlayar, rombongan tiba di Bubat.

Namun apakah yang terjadi kemudian. Gajah Mada merasa keberatan menyambutnya

karena menganggap putri Dyah Pitaloka Citraresmi akan "dihadiahkan" kepada Sang

Raja. Sebaliknya Raja Sunda dan rombongan tetap bersikukuh bahwa putri Sunda yang

cantik jelita itu akan "dipinang" oleh Hayam Wuruk. Perbedaan pendapat yang kemudian

menimbulkan ketegangan itu akhirnya mencapai puncaknya setelah utusan Pasundan

yang bernama Patih Anakepan mencela dengan keras sikap Gajah Mada. Bahkan ia

mengingatkan adanya bantuan Pasundan yang tidak sedikit kepada Majapahit ketika

menaklukkan Bali.

Purwadi menuturkan, sebelum ada keputusan sidang mahkota, Gajah Mada mendahului

menyerang di sebelah utara kota Majapahit. Maka peperangan pun tak terhindarkan. Para

kstaria terkemuka dari pihak Sunda yang bersemangat berperang ialah Larang Agung,

Tuan Sohan, Tuan Gampong, Panji Melong, orang-orang dari Tobong Barang, Rangga

Cahot, Tuan Usus, Pangulu, Rangga Kaweni, orang Siring, Satrajali, Jagadsaya, dan

banyak lagi. Namun karena tujuan mereka bukan untuk berperang, maka hasil akhir

peperangan itu sudah bisa ditebak. Dalam membela kehormatan martabatnya dan

Kerajaan Sunda, Sang Prabu Maharaja gugur lebih dulu, jatuh bersama Tuan Usus.

Namun peperangan masih belum berakhir.

Para ksatria Sunda lainnya mengikuti jejak Prabu Maharaja, namun mereka terdesak dan

akhirnya gugur. Pada halaman 173, Purwadi menggambarkan korban akibat peperangan

tersebut secara dramatis: "Darah seperti lautan, bangkai seperti gunung, hancurlah orang

Sunda, tak ada yang ketinggalan".

Peristiwa ini terjadi pada tahun Saka sembilan kuda sayap bumi, atau tahun 1279.

**

PRABU Maharaja yang gugur di Bubat sebagaimana diungkapkan naskah-naskah kuno

di Sunda, memerintah selama tujuh tahun (1279-1357 M). Ia dikenal sebagai raja yang

adil dan bijaksana, sehingga kematiannya yang tragis selalu dikenang.

Untuk mengisi kekosongan, selama enam tahun dari tahun 1357-1363 M, tampuk

kekuasaan kerajaan berada di bawah perwalian Hyang Bunisora karena putra mahkota

Prabu Niskala Wastu Kancana saat itu masih berusia di bawah umur. Setelah itu, Prabu

Niskala Wastu Kancana memerintah dalam kurun waktu cukup lama, yakni selama 104

tahun, dari tahun 1363-1467. Ia dikenal juga sebagai Prabu Wangi yang menurut sumber-

sumber prasasti, pernah memerintah dan meninggal di Kawali/Galuh. Ia memerintah

Page 77: Jurnal Pajajaran

dengan adil, sehingga mengantarkan kerajaan pada kebesaran dan kejayaan.

Hayam Wuruk yang merasa sangat menyesal dengan terjadinya Perang Bubat, ternyata

tetap menepati janjinya tidak menyerang Kerajaan Sunda. Bahkan sampai akhirnya masa

keemasannya makin suram dan kemudian Majapahit mengalami kehancuran.***

HER SUGANDA,

Peminat buku sejarah,

Anggota Forum Wartawan dan Penulis Jawa Barat

Sabtu, 10 September 2005

Perang Bubat dan Prabu Siliwangi

Oleh IIP D. YAHYA

TULISAN Her Suganda, "Memandang Bubat dari Jauh", menarik untuk diberi catatan

tambahan. Artikel tersebut menegaskan bahwa Perang Bubat itu benar-benar pernah

terjadi dan membuat luka batin yang panjang dalam relung hati orang Sunda. Menafikan

Perang Bubat tidak hanya membuang sebagian memori kolektif orang Sunda, lebih jauh

berarti menghilangkan pula peran historis Prabu Siliwangi. Tanpa peristiwa syahidnya

Prabu Wangi, tidak akan ada sang pengganti bernama Silih-wangi itu. Padahal semua

orang Sunda bangga mengaku sebagai seuweu-siwi Siliwangi.

Artikel ini coba melihat Bubat dari sisi lain, yakni hikmah sejarah dari peristiwa Bubat,

munculnya tokoh Siliwangi. Allah Anu Maha Ngersakeun, telah menganugerahkan

Siliwangi kepada orang Sunda, sebagai pengganti dan pemimpin dari tewasnya

Linggabuana dan Dyah Pitaloka.

Siapakah Prabu Siliwangi?

Dalam prasasti Batutulis, Prabu Surawisesa tidak menuliskan nama Siliwangi untuk

ayahnya. Prasasti untuk mengabadikan jasa-jasa Sri Baduga Maharaja, itu dibuat tahun

1455 Saka atau 1533 M, dua belas tahun setelah ayahnya wafat. Dalam prasasti itu

disebutkan, "Semoga selamat. Inilah tanda peringatan (bagi) prabu ratu almarhum.

Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana, dinobatkan (lagi) dia dengan

nama Sri Baduga! Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah

yang membuat parit (pertahanan) Pakuan, dia putra Rahiyang Dewa Niskala yang

mendiang di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang mendiang ke

Nusalarang. yang membuat tanda peringatan (berupa) gunung-gunungan, membuat jalan-

jalan yang diperkeras dengan batu, membuat (hutan) samida, membuat Sanghiyang

Talaga Rena Mahawijaya. Ya dialah (yang membuatnya). (dibuat) dalam tahun Saka

Page 78: Jurnal Pajajaran

1455".

Demikian pula dalam prasasti yang lain, nama Siliwangi tidak tertera. Fakta ini sempat

membuat penasaran para sejarawan yang bertemu di Keraton Kasepuhan Cirebon tahun

1677 M. Sebagaimana diketahui, di keraton itu pernah diadakan gotrasawala sejarah,

yang hasilnya kemudian dikenal sebagai naskah Wangsakerta. Mengenai naskah ini bisa

dilihat dalam polemik di harian ini antara Edi S. Ekadjati (1) Persoalan Sekitar Hari Jadi

Jawa Barat (2/2/ 2002), (2) Sekitar Naskah Pangeran Wangsakerta (19/2/2002), (3) Sekali

Lagi Sekitar Naskah Wangsakerta (27/5/ 2002), dan Nina H. Lubis (1) Naskah

"Wangsakerta" dan Hari Jadi Jawa Barat (20/1/2002), (2) Naskah Wangsakerta Sebagai

Sumber Sejarah? (6-7/03/2002).

Karena menjadi pembicaraan luas pada gotrasawala itu, secara khusus Sultan Sepuh I

menugaskan adiknya, Pangeran Wangsakerta, yang menjadi ketua panitia pertemuan,

untuk meneliti lebih jauh mengenai tokoh tersebut. Terlepas dari sifat "kontroversi"-nya,

naskah Wangsakerta memberikan gambaran cukup jelas mengenai tokoh Siliwangi.

Pangeran Wangsakerta mencatat, pertama, dalam Nusantara Parwa II Sarga 2 (1678 M),

"Sesungguhnya tidak ada raja Sunda yang bernama Siliwangi, hanya penduduk Tanah

Sunda yang menyebut Prabu Siliwangi."

Kedua, dalam Kretabhumi I/4 (1695: 47), "Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta

semua penduduk Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi Raja Pajajaran. Jadi itu

bukan pribadinya. Jadi, siapa namanya Raja Pajajaran ini?"

Ketiga, dalam naskah yang sama halaman 47-48, "Raja Pajajaran dinobatkan dengan

nama Prabu Guru Dewataprana dan dinobatkan lagi dengan nama Sri Baduga Maharaja

Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata."

Keempat, masih dalam Kretabhumi halaman 51, "Rahiang Dewa Niskala berputra Sri

Baduga Maharaja Pajajaran yang menurut (oleh) orang Sunda disebut Prabu Siliwangi."

Dengan demikian, nama Siliwangi adalah julukan penduduk Sunda untuk Sri Baduga

Maharaja (w. 1521). Nama ini sebenarnya sudah muncul ketika beliau masih hidup,

sebagaimana termaktub dalam naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian (SSKK) yang

ditulis tahun 1518 M. Dalam naskah itu disebutkan, "Bila ingin tahu tentang pantun,

seperti Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi; tanyalah juru pantun."

Siliwangi berarti silih-wangi, pengganti Prabu Wangi (Linggabuana) yang gugur tahun

1357 M bersama putrinya Dyah Pitaloka. Jayadewata (Manahrasa) dianggap memiliki

keberanian seperti buyutnya itu. Karena itu, ia berhak menyandang gelar Sri Baduga

Maharaja. Sementara dalam perilakunya, ia merepresentasikan pribadi, Wastukancana,

kakeknya (w. 1475 M).

Jayadewata memang sangat layak dikenang segenap orang Sunda. Hingga sekarang kita

bangga disebut sebagai seuweu-siwi Siliwangi. Keagungannya itu antara lain ditandai

Page 79: Jurnal Pajajaran

oleh kemampuannya menyatukan kembali kerajaan Sunda. Setelah Wastukancana wafat,

kerajaan terbagi dua. Anak sulungnya, Susuktunggal (Sang Haliwungan), bertakhta di

Pakuan (Bogor), sementara anaknya yang lain, Dewa Niskala (Ningrat Kancana),

berkedudukan di Kawali (Ciamis).

Lalu datanglah cobaan besar pada tahun 1478 M, ketika Majapahit diserang Demak.

Sejumlah pembesar dari timur melarikan diri ke arah barat, meminta suaka kepada

penguasa Kawali. Di antara pengungsi itu terdapat Raden Baribin (putra Brawijaya IV)

dan seorang "istri larangan" (gadis yang sudah bertunangan). Dalam hukum Sunda,

perempuan seperti itu "haram" dinikahi kecuali tunangannya sudah meninggal atau

pertunangannya dibatalkan. Namun Dewa Niskala tetap menikahi "istri larangan" itu dan

Raden Baribin dijadikan menantunya, dinikahkan dengan Ratu Ayu Kirana.

Tindakan Dewa Niskala itu membuat keluarga keraton dan Susuktunggal marah. Mereka

menganggapnya telah melanggar hukum yang berlaku dan "tabu kerajaan". Sebagaimana

diketahui, setelah peristiwa Bubat, keluarga Keraton Kawali ditabukan menikah dengan

keluarga dari Majapahit. Maka perbuatan Dewa Niskala dianggap sebagai pelanggaran

yang tidak bisa dimaafkan. Di tengah suasana genting itulah, Jayadewata tampil sebagai

penengah. Ia mewarisi kerajaan dari ayah dan mertuanya tahun 1482 M. Oleh karena itu,

ia dinobatkan dua kali, di Kawali dan Pakuan, serta memperoleh dua gelar, Prabu Guru

Dewataprana dan Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu

Dewata.

Harta karun Siliwangi

Salah satu harta karun paling berharga dari Prabu Siliwangi ialah naskah bernama

Sanghyang Siksa Kangda ng Karesian (SSKK). Naskah ini ditulis pada tahun 1518.

Naskah ini secara jelas memaparkan apa yang harus dilakukan oleh pemimpin (menak)

dan rakyat (somah), jika ingin meraih keunggulan. Menegaskan apa yang bisa membuat

tugas hidup kita di dunia ini paripurna. Sayangnya, sampai sekarang belum ada kupasan

optimal atas naskah ini setelah ditransliterasi oleh Atja dan Saleh Danasamita tahun 1981.

SSKK adalah penjelasan dari Amanat Galunggung/AG (+ 1419 M). AG ditulis sebagai

nasihat Prabu Darmasiksa kepada putranya, Sang Lumahing Taman. Dalam AG tercatat

bahwa nasihat-nasihat itu bersumber kepada tokoh nu nyusuk na Galunggung (yang

membuat parit di Galunggung). Menurut prasasti Geger Hanjuang, pada tahun 1033 Saka

atau 1111 M, Batari Hyang membuat parit pertahanan. Di rajyamandala (kerajaan

bawahan) Galunggung. Tepatnya di Rumantak, Linggawangi (sekarang Leuwisari,

Singaparna, Tasikmalaya). Tokoh Batari Hiyang inilah yang dianggap telah

mengodifikasi petuah-petuah yang kelak menjadi AG dan SSKK.

Menurut Ayatrohaedi (2001), dalam bagian pertama naskah ini tercatat Dasakrjta sebagai

pegangan orang banyak, dan bagian kedua disebut Darmapitutur berisi hal-hal berkenaan

dengan pengetahuan yang seyogianya dimiliki oleh setiap orang agar dapat hidup

berguna di dunia. Uraian naskah itu tampak didasarkan kehidupan sehari-hari dalam

bermasyarakat dan bernegara. Atau dalam bahasa Atja dan Saleh Danasasmita (1981),

Page 80: Jurnal Pajajaran

naskah tersebut berisi aturan hidup warga negara (citizenship).

Substansi naskah itu masih sangat relevan untuk dikaji pada saat sekarang. Terutama

ajaran tentang kejujuran dan keluhuran perilaku hidup lainnya. Naskah ini dibuka dengan

anjuran menjaga sepuluh anggota tubuh (dasaindria) yang kita miliki, dari mata hingga

kaki. Misalnya tangan, dianjurkan agar tidak sembarang mengambil segala sesuatu yang

bukan haknya, karena akan menjadi pintu bencana dan kenistaan. Dalam konteks

sekarang bisa dimaknai, jangan korupsi.

Demikian pula dengan dasapasanta yang menjelaskan sepuluh syarat jika seorang

pemimpin ingin berwibawa di mata rakyatnya. Ditaati dan dijalankan

perintah/instruksinya. Yaitu guna (bijaksana), rama (ramah), hook (proporsional, bukan

like and dislike), pesok (membangkitkan semangat), asih (penuh kasih), karunya

(pembagian tugas yang jelas), mupreruk (membujuk), ngulas (membangkitkan harga

diri), nyecep (menumbuhkan percaya diri), dan ngala angen (mengambil hati).

Walhasil, sambil terus beradaptasi secara kritis dengan setiap perkembangan zaman,

menjaga tradisi leluhur yang baik itu tetaplah penting dan relevan.***

IIP D. YAHYA

visiting scholar University of Michigan (2004)

peminat sejarah Sunda, tinggal di Yogyakarta

Selasa, 13 September 2005

Pancakaki, Asal-usul dan Maknanya

Oleh EDI S. EKADJATI

DALAM "Mundinglaya Dikusumah" diceritakan bahwa lengser (pembantu umum raja)

Muaraberes ditugaskan mencari honje, sejenis tanaman berkelopak seperti jahe yang

buahnya masam dan biasa dijadikan bumbu atau bahan manisan. Ketika itu, permaisuri

raja yang sedang mengandung rupanya mengidam honje. Singkat kata, lengser

mendapatkannya. Tapi di tengah jalan ia berpapasan dengan lengser Pajajaran, yang juga

sedang mencari honje untuk permaisuri Pajajaran yang sedang mengandung pula. Apa

daya, kala itu honje amat langka.

Lengser Pajajaran tak kehabisan akal. Kepada lengser Muaraberes ia berkata, "Tatkala

kakekku kawin dengan nenekku, kakekmu juga kawin dengan nenekmu; lalu sama-sama

punya anak: ayahku dan ayahmu. Bapakku kawin dengan ibu, bapakmu kawin dengan

ibumu. Lalu sama-sama punya anak lagi, yaitu aku dan kamu. Jadi, kita ini sama-sama

anak ayah dan ibu. (Kita) masih bersaudara, tetapi lain ayah lain ibu. Kamu harus

memanggilku kakak."

Jelas, di antara keduanya tidak ada hubungan kekerabatan (darah). Hanya saja,

pendekatan lengser Pajajaran demikian memikat hati sehingga lengser Muaraberes rela

Page 81: Jurnal Pajajaran

memberikan sebagian honje-nya. Selamatlah lengser dan permaisuri kedua kerajaan itu.

Karena anak mereka berlainan jenis, yang pria dinamai Mundinglaya Dikusumah dari

Pajajaran sedang yang wanita dinamai Nyi Dewi Asri dari Muaraberes. Akhirnya kedua

keturunan raja itu menikah dan naik tahta menggantikan ayah mereka.

Apa yang dilakukan oleh lengser Pajajaran disebut pancakaki. Menurut Kamus Basa

Sunda karya R. Satjadibrata (1954; 2005: 278), pancakaki bermakna sebagai istilah-

istilah untuk menunjukkan hubungan kekerabatan. Dicontohkannya, pertama, saudara

yang berhubungan langsung, ke bawah, dan vertikal. Yaitu anak, incu (cucu), buyut

(piut), bao, canggahwareng atau janggawareng, udeg-udeg, kaitsiwur atau gantungsiwur.

Kedua, saudara yang berhubungan tidak langsung dan horizontal seperti anak paman,

bibi, atau uwak, anak saudara kakek atau nenek, anak saudara piut. Ketiga, saudara yang

berhubungan tidak langsung dan langsung serta vertikal seperti keponakan anak kakak,

keponakan anak adik, dan seterusnya.

Dalam Kamus Umum Basa Sunda (KUBS) susunan Tim Lembaga Basa Sastra Sunda

(1985: 352) pancakaki mengandung dua makna. Pertama, hubungan seseorang dengan

orang lain yang sekeluarga atau yang masih bersaudara. Contohnya, ibu, ayah, nenek,

kakek, paman, bibi, anak, cucu, buyut, keponakan, dsb. Kedua, menyelusuri hubungan

kekerabatan. Makna pertama sama dengan makna yang dirumuskan oleh Satjadibrata,

sedangkan makna kedua merupakan makna tambahan dengan memasukkan perbuatan

menyelusuri hubungan kekerabatan, seperti dalam contoh kalimat, "Cing urang pancakaki

heula, perenah kumaha saenyana Ujang jeung Emang tih?" (Mari kita menelusuri dulu

hubungan kekerabatan, bagaimana sesungguhnya hubungan kekerabatan Ananda dan

Paman?).

Dalam bahasa Sunda dikenal pula kosa kata sajarah dan sarsilah (salsilah, silsilah) yang

maknanya kurang lebih sama dengan kosa kata sejarah dan silsilah dalam bahasa

Indonesia. Makna sajarah adalah susun galur/garis keturunan, seperti A berputra B, B

berputra C, dst. beserta cabang-cabangnya, biasa digambarkan dalam bentuk pohon.

Sarsilah bermakna daftar asal-usul, uraian keturunan (KUBS, 1985: 443, 447; lihat pula

Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988: 794, 840).

Makna sajarah dan sarsilah tersebut sejajar dengan makna asal katanya sajarotun dari

perbendaharaan bahasa Arab, yaitu pohon. Maksudnya gambaran garis keturunan

seseorang yang sekilas berbentuk pohon dengan sejumlah cabang, ranting, dan daun. Di

lingkungan Keraton Yogyakarta masih terdapat contoh gambaran garis keturunan raja-

raja Jawa yang berbentuk pohon. Dalam kosa kata bahasa Indonesia masih ada istilah lain

untuk yang bermakna sama, yaitu genealogi. Istilah tersebut tentu berasal dari kosa kata

bahasa Belanda genealogie dan atau bahasa Inggris genealogy.

Dari rumusan-rumusan di atas tampak adanya persamaan dan perbedaan antara makna

pancakaki dengan makna sajarah dan sarsilah, juga genealogi. Pada satu pihak

persamaannya terletak pada semuanya bertalian dengan masalah hubungan kekerabatan

atau kekeluargaan. Pada pihak lain perbedaannya terletak pada penekanan hubungan

kekerabatan yang dilambangkan dengan istilah-istilah tertentu bagi makna pancakaki.

Page 82: Jurnal Pajajaran

Sedangkan makna sajarah, sarsilah, dan genealogi terletak pada penekanan asal-usul (ke

atas) dan keturunan (ke bawah) serta gambaran hubungan kekerabatan atau tali

persaudaraan.

Hubungan seseorang dengan orang lain dalam lingkungan kerabat atau keluarga dalam

masyarakat Sunda menempati kedudukan yang sangat penting. Hal itu bukan hanya

tercermin dari adanya istilah atau sebutan bagi setiap tingkat hubungan itu yang langsung

dan vertikal (bao, buyut, aki, bapa, anak, incu) maupun yang tidak langsung dan

horisontal (dulur, dulur misan, besan), melainkan juga berdampak kepada masalah

ketertiban dan kerukunan sosial. Bapa/indung, aki/nini, buyut, bao menempati kedudukan

lebih tinggi dalam struktur hubungan kekerabatan (pancakaki) daripada anak, incu, alo,

suan. Begitu pula lanceuk (kakak) lebih tinggi dari adi (adik), ua lebih tinggi dari

paman/bibi. Soalnya, hubungan kekerabatan seseorang dengan orang lain akan

menentukan kedudukan seseorang dalam struktur kekerabatan keluarga besarnya,

menentukan bentuk hormat menghormati, harga menghargai, kerjasama, dan saling

menolong di antara sesamanya, serta menentukan kemungkinan terjadi-tidaknya

pernikahan di antara anggota-anggotanya guna membentuk keluarga inti baru.

Pancakaki dapat pula digunakan sebagai media pendekatan oleh seseorang untuk

mengatasi kesulitan yang sedang dihadapinya. Dalam hubungan ini yang lebih tinggi

derajat pancakaki-nya hendaknya dihormati oleh yang lebih rendah, melebihi dari yang

sama dan lebih rendah derajat pancakaki-nya.

Betapa pentingnya kedudukan pancakaki dalam masyarakat Sunda, sampai-sampai pada

zaman sekarang pun orang Sunda masih biasa melakukan pancakaki dalam kehidupan

sehari-hari pada tiga jenis peristiwa berikut. (1) Pertemuan antara orang Sunda yang

sebelumnya sudah saling mengenal atau pernah berkenalan. (2) Pertemuan antara orang

Sunda yang baru berkenalan. (3) Pertemuan antara dua pihak orang Sunda dalam proses

pernikahan salah seorang anggotanya masing-masing. Dalam rangka membina suasana

akrab dalam pertemuan itu mereka melakukan pembicaraan tentang pancakaki mereka

masing-masing yang menjurus ke arah terjalinnya hubungan kekerabatan di antara

keluarga besar mereka.

Bahkan jika ternyata di antara mereka tidak memiliki hubungan kekerabatan (darah),

maka pembicaraan dilanjutkan dengan mencari pertalian hubungan lain, seperti melalui

kenalan, tetangga, teman sekolah, teman bekerja, dan lain-lain yang sama-sama dikenal

oleh mereka. Adapun tujuan pembicaraan tersebut adalah untuk saling mendekatkan

hubungan mereka. Tujuan selanjutnya, bergantung pada situasi dan kondisi pertalian

hubungan atau pertemuan mereka.

Kapan lahirnya pancakaki dalam masyarakat Sunda? Pertanyaan tersebut sulit

dijawabnya, karena data mengenai hal itu tidak ada. Namun, sebagai gambaran dapatlah

dilihat dari tradisi lisan (cerita mitologi, cerita legenda, cerita pantun, dongeng) dan

tradisi tulisannya (prasasti, naskah). Ternyata dalam setiap zaman perjalanan hidup orang

Sunda didapatkan sumber informasinya, baik lisan maupun tulisan.

Page 83: Jurnal Pajajaran

Tradisi lisan Sunda tertua yang mengemukakan keberadaan pancakaki kiranya adalah

cerita Sangkuriang. Cerita mitologi ini menggambarkan kehidupan zaman prasejarah

yang berlatarbelakang kejadian alam terbentuknya tiga gunung di sebelah utara Bandung,

yaitu Gunung Tangkuban Parahu, Bukittunggul, dan Burangrang serta sebuah Danau

Bandung Purba. Di dalam cerita ini sudah ada pancakaki, yaitu ada tokoh ayah (raja yang

sedang berburu dan si Tumang), ibu (Celeng Wayungyang dan Dayang Sumbi), dan anak

(Dayang Sumbi dan Sangkuriang). Di antara tokoh-tokoh tersebut terjalin hubungan

kekerabatan yang saling menghormati dan mengasihi sesuai dengan kedudukan

pancakakinya, kecuali dalam kondisi tanpa sadar dan tak tahu.

Kekecualian dimaksud adalah Sangkuriang membunuh si Tumang yang sesungguhnya

ayah kandungnya sendiri serta terjalinnya kisah asmara antara Dayang Sumbi dengan

Sangkuriang, walaupun pernikahan mereka tidak jadi karena Dayang Sumbi kemudian

tahu bahwa Sangkuriang adalah anak kandungnya. Jelas, cerita ini bertemakan tabu akan

pernikahan sedarah langsung (tabu incest).

Adapun tradisi tulisan tertua adalah prasasti Tugu (ditemukan di Tugu, sekitar

perbatasan Bekasi-Jakarta) yang ditulis pada batu dengan menggunakan aksara Palawa

dan bahasa Sansekerta dari zaman Kerajaan Tarumanagara (abad ke-5 Masehi). Dalam

prasasti ini disebutkan tiga orang raja yang memiliki hubungan kekerabatan langsung dan

vertikal, yaitu Rajaresi, Rajadiraja Guru, dan Purnawarman. Pancakaki-nya adalah

Purnawarman putra Rajadiraja Guru dan Rajadiraja Guru putra Rajaresi. Jadi, ada tiga

generasi berupa kakek, ayah, dan anak yang secara bergantian memerintah Kerajaan

Tarumanagara.

Prasasti Batutulis pun yang ditulis pada batu dengan aksara Jawa Kuna dan bahasa

Sunda Kuna serta dikeluarkan oleh Prabu Surawisesa, raja Sunda (1521-1535), pada

tahun 1533 dan berada di kota Bogor sekarang mengungkapkan pancakaki raja-raja

Sunda. Bahwa Sri Baduga Maharaja, raja Sunda di Pakuan Pajajaran, adalah putra

Rahiyang Dewa Niskala, cucu Rahiyang Niskala Wastukancana. Di sini pun tertera tiga

generasi raja Sunda yang hubungan kekerabatannya langsung dan vertikal.

Daftar raja Sunda yang paling lengkap terdapat pada naskah Carita Parahiyangan. Di

dalam naskah ini dapat dikatakan semua raja Sunda baik yang berkedudukan di Galuh

maupun yang berkedudukan di Pakuan Pajajaran didaftarkan secara kronologis sejak raja

pertama (sekitar abad ke-7-8) hingga raja terakhir (1579). Bahwa raja Sunda pertama

digantikan oleh raja Sunda kedua yang digantikan lagi oleh raja Sunda ketiga dan

seterusnya hingga raja terakhir. Pergantian raja-raja tersebut dilakukan oleh sesama

anggota kerabat keraton yang pancakaki-nya berdekatan dengan raja Sunda yang

digantikannya, seperti anak, adik, menantu.

Muncullah konsep kultus dewa raja dan sistem pergantian pemegang pemerintahan

berdasarkan hubungan kekerabatan (darah dan pernikahan). Mengemukanya hanya daftar

dan pancakaki raja-raja dalam tradisi lisan dan tradisi tulisan Sunda kiranya berlatar

belakang ajaran agama dan kebudayaan Hindu dari India yang menghantarkan kepada

periode sejarah di Tatar Sunda dan Nusantara pada umumnya serta memperkenalkan

Page 84: Jurnal Pajajaran

stratifikasi sosial berdasarkan kasta (brahmana, ksatria, waisya, sudra) yang berdampak

pada profesi masing-masing.

Runtuhnya Kerajaan Sunda diiringi oleh munculnya Kesultanan Cirebon, Kesultanan

Banten, dan kabupaten-kabupaten di wilayah Tatar Sunda yang telah dipengaruhi oleh

ajaran agama dan kebudayaan Islam serta dipengaruhi pula oleh kebudayaan Jawa.

Kiranya seiring dengan merasuknya agama dan kebudayaan Islam yang antara lain

dipengaruhi oleh kuatnya tradisi pancakaki di kalangan bangsa Arab yang menyebarkan

Islam ke mana-mana, termasuk ke Tatar Sunda dan nusantara umumnya, masuklah tradisi

sajarah dan sarsilah dalam kehidupan masyarakat Sunda.

Ada data baru yang memperlihatkan terjadinya masa peralihan sistem pancakaki antara

tradisi zaman kuna (Kerajaan Tarumanagara dan Sunda) dengan tradisi zaman baru

(kesultanan dan kabupaten). Data tersebut tertera pada naskah lontar dengan aksara

Sunda Kuna (unsur tradisi kuna), tetapi menggunakan bahasa Jawa, munculnya tokoh

Prabu Siliwangi sebagai awal pancakaki, berisi pancakaki yang sebagian besar tokohnya

tidak menduduki jabatan raja atau penguasa daerah, serta munculnya gelar dan nama

tokoh muslim dan Jawa (unsur tradisi baru). Data ini tertera pada naskah lontar Sunda

yang kini menjadi koleksi Perpustakaan Nasional di Jakarta dengan nomor kode Kropak

421. Dalam naskah ini disebutkan 85 nama tokoh yang berasal dari 22 generasi hubungan

kekerabatan (darah). Contoh gelar dan nama Islam dan Jawa antara lain Sunan Parung, Ki

Mas Yudamardawa, Nyi Mas Palembang, Ngabehi Mangunyuda, Raden Abdul, Pangeran

Demang, Dipati Darma, Ki Ariya Danupati, Kiyahi Wihataka.

Pancakaki para Sultan Cirebon dan Sultan Banten berpangkal pada dua leluhur. Pada

satu pihak (berdasarkan garis ibu) berpangkal pada Prabu Siliwangi yang disebutkan

sebagai raja Pajajaran terakhir; ada yang berlanjut sampai Prabu Seda (leluhur kelima

Prabu Siliwangi). Pada pihak lain (berdasarkan garis ayah) berpangkal pada Sultan Mesir

atau Sultan Banisrail di tanah Arab dan selanjutnya sampai Nabi Muhammad, penerima

dan pembawa agama Islam, bahkan ada yang sampai Nabi Adam, manusia dan nabi

pertama menurut ajaran Islam. Pancakaki demikian tertera pada naskah-naskah Carita

Purwaka Caruban Nagari, Babad Cirebon, "Sajarah Banten". Munculnya dua pangkal

pancakaki tersebut kiranya dilatarbelakangi oleh maksud pengarangnya untuk merangkul

dua kelompok masyarakat yang hidup pada masyarakat Sunda masa itu, yaitu kelompok

masyarakat penganut atau yang berorientasi kepada raja-raja Sunda dan kelompok

masyarakat penganut atau yang berorientasi kepada agama Islam. Dengan demikian,

pancakaki tersebut memiliki fungsi politis.

Kabupaten-kabupaten mengeluarkan pula dokumen tertulis berupa naskah-naskah yang

berisi pancakaki di lingkungan keluarga para bupati yang memerintah di kabupaten yang

bersangkutan, bahkan dari Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Bandung didapatkan

naskah yang judulnya menggunakan kata pancakaki, yaitu Kitab Pancakaki dari

Sumedang dan Kitab Pancakaki Masalah Karuhun Kabih (Kitab Pancakaki Masalah

Semua Leluhur) dari Bandung. Pancakaki yang berasal dari Kabupaten Bandung,

Batulayang, Parakanmuncang, dan Cianjur berpangkal pada tokoh Prabu Siliwangi, Raja

Pajajaran termasyhur dan terakhir, misalnya pada naskah Sajarah Bandung dan Babad

Page 85: Jurnal Pajajaran

Cikundul. Yang berasal dari Kabupaten Galuh (Ciamis) dan Kabupaten Sumedang

pancakaki-nya berpangkal pada Ratu Galuh, misalnya pada Wawacan Sajarah Galuh dan

Kitab Pancakaki. Pancakaki dari Kabupaten Sukapura (Tasikmalaya) berpangkal pada

Sultan Pajang dari Pengging (Jawa), yaitu terdapat pada naskah Sajarah Sukapura.

Pangkal pancakaki tersebut dimaksudkan pengarangnya untuk mempertinggi derajat dan

martabat para bupati serta melegitimasikan bupati yang bersangkutan dalam menduduki

jabatannya.

Makin kemudian (sejak abad ke-19) pancakaki dalam naskah-naskah dari kabupaten-

kabupaten di wilayah Priangan makin lengkap. Sejak itu dalam pancakaki itu bukan

hanya dikemukakan identitas (nama) bupati beserta putranya yang menggantikan jabatan

ayahnya sebagai bupati, melainkan disebutkan pula identitas (nama) semua putra bupati

beserta ibunya masing-masing serta masalah ketika terjadi pergantian pemegang

pemerintahan. Sejauh pengetahuan penulis, pancakaki paling lengkap terdapat pada

keluarga besar bupati (menak) Sumedang dan Bandung. Di samping didapatkan

naskahnya sebanyak beberapa buah, juga ada bagan pancakaki-nya secara keseluruhan

dan tiap-tiap cabang keluarga seorang bupati atau tokoh tertentu. Hal ini dimungkinkan

karena pancakaki memainkan peranan penting dalam proses pengangkatan/penggantian

bupati dan pejabat-pejabat pemerintahan lainnya (sistem feodal). Secara tersurat

dikemukakan tujuan dan fungsi naskah pancakaki pada masa lalu tertera dalam naskah

Sajarah Sukapura karya tulis Raden Kanduruan Kartinagara. Bahwa "...membuat

pancakaki ini, untuk dipakai mengingatkan, para anak-cucu, agar jangan putus hubungan

kekeluargaan, karena biasanya yang muda tak peduli, menghapalkan keturunan/leluhur.

Tetapi kalau sudah ada dalam bentuk tertulis, disimpan di dalam laci, kendatipun tidak

hafal, pasti tak akan sia-sia, sebab sudah ada dalam bentuk tertulis itu, asalkan mau

membaca, pasti ketemu.

Demikianlah, dapat disimpulkan bahwa pancakaki menempati kedudukan penting dalam

kehidupan masyarakat Sunda. Pancakaki memiliki fungsi individual dan sosial yang

bervariasi pada setiap zaman, seperti untuk memperoleh legitimasi kekuasaan,

mempertinggi derajat dan martabat seseorang, memperoleh dan mempertahankan jabatan

dalam pemerintahan, dan melakukan pendekatan dalam hubungan keluarga, pernikahan,

dan sosial budaya lainnya. Pancakaki mencerminkan gambaran bahwa tata kehidupan

orang Sunda berdasarkan kepada asas kekeluargaan yang ingin menempatkan setiap

anggota keluarganya dalam hubungan pancakaki. Dengan hubungan yang jelas tempatnya

dalam struktur kekerabatan mereka, di samping akan terbentuk dan terbina suasana rukun

dan damai, juga terbentuk dan terbina suasana tertib dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Mereka akan menempatkan diri pada kedudukan hubungan pancakaki masing-masing

serta menghormati dan menghargai sesamanya sesuai dengan tingkat hubungan

pancakaki-nya.***

Penulis, GuruBesar Universitas Padjadjaran dan Ketua Pengurus Pusat Studi Sunda

20 november 2007

Barang Peninggalan Padjadjaran Terbakar

Page 86: Jurnal Pajajaran

WARGA memeriksa puing-puing Padepokan Padjajaran yang terbakar di Kp. Adawarna,

Desa Sirnajaya, Kec. Sukaraja, Kab. Tasikmalaya, Minggu (18/11). Akibat kebakaran itu,

semua barang bersejarah peninggalan Kerajaan Padjajaran berikut barang antik habis

dilalap api.* UNDANG SUDRAJAT/"PR"

TASIKMALAYA, (PR).-

Padepokan Padjadjaran yang berada di Kampung Adawarna, Desa Sirnajaya, Kec.

Sukaraja, Kab. Tasikmalaya terbakar, Minggu (18/11). Semua barang yang memiliki nilai

sejarah peninggalan Kerajaan Padjadjaran, berikut barang antik yang ada di padepokan

itu habis dilalap api.

Pusaka peninggalan Kerajaan Padjadjaran yang terbakar di antaranya tempat tidur Ratu

Kalinyamat, stempel Kerajaan Padjadjaran, guci emas, dan alat bertani zaman dulu.

Selain itu, ada uang darurat zaman Kerajaan Majapahit, dan belasan lusin piring

antiracun, gagal diselamatkan.

Keterangan yang diperoleh "PR", kebakaran yang melumat padepokan yang dipimpin

oleh Sani Wijayakusumah alias Uyut Sani, diduga berasal dari kompor minyak tanah

yang meledak. Kompor itu berada di kamar bagian bawah, tempat anak santri yang

mondok. Hal itu disebabkan kelalaian atau lupa mematikan kompor setelah masak.

Kebakaran yang meludeskan bangunan berukuran 20x50 meter itu, pertama kali

diketahui oleh Ujang (24), santri yang sedang berada di kamar. Ujang saat itu mencium

bau asap dan merasa panas, hingga menyesakkan dadanya.

Saat itu juga, Ujang ke luar dari kamar dan minta tolong warga untuk turut memadamkan

api. Namun, karena kobaran api semakin membesar sehingga padepokan itu luluh lantak.

Tidak lama setelah itu datang tiga mobil pemadam kebakaran, namun tak mampu

menyelamatkan berbagai benda antik yang memiliki nilai sejarah itu. "Kalau nilainya,

jelas tidak ternilai karena barang-barang itu sangat bersejarah," kata Uyut Sani. (A-97/E-

38)***

Penulis:

Sabtu, 17 Nopember 2007

OPINI

Paham Kekuasaan Sunda

Oleh JAKOB SUMARDJO

KEKUASAAN kurang lebih berarti kemampuan, kesanggupan, kekuatan, kewenangan

untuk menentukan. Kekuasaan meliputi wilayah keluarga, kampung, negara, lembaga.

Dalam pengertian kebudayaan, wilayah-wilayah kekuasaan tadi menampakkan pola-pola

yang sama. Pengaturan kekuasaan dalam keluarga, dalam kampung, dalam kerajaan

sama. Itulah pola kekuasaan yang menampakkan dirinya dalam berbagai hasil budaya

Sunda. Namun, kebudayaan sebagai cara hidup kelompok itu berubah terus. Apa yang

akan diuraikan di sini berdasarkan artefak-artefak budaya yang sudah ada, jadi agak

kesejarahan, dalam arti "telah terjadi".

Page 87: Jurnal Pajajaran

Sumber dari pemahaman ini berasal dari cerita pantun, perkampungan Sunda, kampung

adat, dan silat Sunda. Paham ini tersembunyi di balik yang tampak (tangible), sehingga

memerlukan pemecahan simbol-simbolnya. Masyarakat Sunda sendiri dengan tidak

disadari berlaku berdasarkan paham Sundanya, sehingga kurang berjarak untuk melihat

realitas dirinya. Salah seorang mahasiswa pascasarjana di Bandung yang berasal dari

Jawa Timur, pada suatu hari menyatakan pada saya, bahwa dia senang tinggal di

Bandung karena orangnya ramah, baik, lembut hati. Masyarakat Sunda itu berkarakter

halus, bukan kasar. Kalau harus "kasar", tetap "halus". Tidak keras tapi lembut. Tidak

agresif tapi "diam".

Pada dasarnya, sikap hidupnya agak ganda dalam arti positif, yakni paradoksal.

Menyatu-memisah, menerima-mempertahankan, asli-berubah, mandiri-tergantung,

pemilik-pemakai, tiga tapi satu dan satu tapi tiga. Genealogi dari sikap ini adalah budaya

purbanya yang huma atau ladang. Hidup berladang itu menetap-pindah, produktif-

konsumtif, bebas-tergantung, terbuka tertutup. Paham kekuasaannya juga berkarakter

demikian itu.

Simbol kekuasaan Sunda dengan jelas sekali tergambar pada cerita pantun. Pangeran

Pajajaran, misalnya Mundinglaya Dikusumah, ke mana pun pergi selalu diiringi oleh

pengawal setianya, Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung. Dalam pengembaraan

Pangeran Pajajaran, dia digambarkan "diam dan pasif" tetapi sangat dihormati dan

dipatuhi keputusannya. Dalam hal ini Mundinglaya lebih banyak diam, sedangkan yang

aktif Gelap Nyawang sebagai pemikir dan pengatur strategi perjalanan (eksekutif) dan

Kidang Pananjung sebagai penyelesai persoalan. Namanya juga Kidang Pananjung yang

selalu ada paling depan.

Inilah tritangtu Sunda. Pangeran Pajajaran yang memiliki kekuasaan, namun tidak aktif

menjalankan kekuasaannya. Ia menyerahkannya kepada Gelap Nyawang untuk bekerja

dan Kidang Pananjung yang bertanggung jawab terhadap keselamatan, keamanan, dan

kesatuan ketiganya. Ini berbeda dengan cerita wayang Jawa. Arjuna punya tiga pengiring

seperti Mundinglaya, namun segala sesuatu dipecahkan sendiri oleh Arjuna. Ketiga

pengiringnya hanya bertugas menguatkan dan menghibur majikannya. Arjuna adalah

pemilik, pelaksana, dan penjaga dirinya sendiri.

Pola pengaturan kekuasaan semacam itu ternyata juga ada pada pantun Sunda sendiri.

Pantun Sunda dimulai dengan tugas raja Pajajaran kepada putranya agar mengembara

menemukan sebuah negara. Di negara yang ditemukannya itu ia menetap dan berkuasa

dengan cara mengawini putri setempat. Karena kecantikan putri tersebut, banyak raja di

sekitarnya yang juga ingin memilikinya. Terjadi perang antara raja-raja perebut putri

dengan abang putri tersebut (yang biasanya dipakai sebagai judul lakon pantun). Para raja

dapat dibunuh oleh abang putri yang menjadi istri Pangeran Pajajaran. Atas permintaan

putri, para raja dihidupkan kembali dan bersumpah mengabdi kepada Pangeran Pajajaran.

Tampak bahwa pemegang mandat kekuasaan, Pangeran Pajajaran, justru diam namun

berwibawa. Sedang yang aktif menyelesaikan persoalan negara adalah abang putri atau

penguasa setempat. Dan bekas-bekas musuh pangeran akhirnya menjadi pelindung dan

Page 88: Jurnal Pajajaran

penjaga kekuasaan pangeran. Kekuasaan Sunda yang sejati itu adanya di Pakuan

Pajajaran. Rajanya tidak beranjak dari kratonnya. Yang bergerak ke luar keraton justru

putra-putranya (memperluas wilayah kekuasaan). Dan pada gilirannya, para Pangeran

Pajajaran itu juga bersikap seperti ayahanda mereka di Pakuan. Pangeran-pangeran itu

pasif di pusat negaranya yang baru. Yang aktif menjalankan kekuasaan justru raja

setempat yang sudah menjadi keluarga Pajajaran. Sedangkan para pelindung (para

anggota kerajaan) adalah raja-raja asing yang non-Sunda.

Dengan demikian, kekuasaan itu dimiliki-tidak dimiliki karena yang memiliki kekuasaan

tidak menjalankan kekuasaan, sedang yang menjalankan kekuasaan tidak memiliki

kekuasaan yang dijalankannya. Pihak kekuasaan ketiga adalah mereka yang bertugas

menjaga kesatuan dan keamanan serta perlindungan pemilik dan pelaksana kekuasaan.

Kekuasaan, dalam paham ini, masuk kategori "perempuan" bukan "lelaki". Perempuan

itu yang memiliki, sedangkan lelaki yang menjalankan kepemilikan itu. Perempuan itu

adanya di dalam rumah, bukan di luar rumah. Yang bergerak aktif di luar rumah itu

lelaki. Kekuasaan sejati, yakni pemilik kekuasaan atau mandat kekuasaan surga adalah

Raja Pajajaran dan putra-putranya yang tersebar di seluruh Jawa Barat. Sedang yang

menjalankan kekuasaan bukan Raja Pajajaran atau putra-putranya di daerah, tetapi

penguasa setempat atas nama Pajajaran. Sedangkan para pelindung kekuasaan boleh

orang di luar pemilik dan pelaku kekuasaan.

Pola tripartit demikian itu rupanya bersumber pada pola pemerintahan kampung-

kampung Sunda. Kampung telah ada terlebih dahulu dari pada lembaga negara yang

bernama kerajaan. Dalam kampung-kampung Sunda tua, seperti di Kanekes-Baduy atau

di Ciptagelar-Sukabumi selatan, kekuasaan kampung terbagi menjadi pemilik kekuasaan

(kampung adat yang paling tua), pelaksana kekuasaan, dan penjaga kekuasaan kampung.

Kampung pemilik adat biasaya ada di bagian "dalam" dekat bukit dan hutan kampung,

kampung pelaksana kekuasaan ada di tengah, dan kampung penjaga kekuasaan ada di

luar. Dalam kampung adat Kanekes, masing-masing lembaga kekuasaan itu dipegang

oleh Cikeusik (dalam, tua, adat), kemudian Cikertawana (eksekutif), dan Cibeo

(pelindung batas).

Dalam kampung adat yang lebih modern, yakni di Ciptagelar, tripartit itu tetap

dijalankan dalam bentuk kampung buhun (pemilik dan penjaga adat buhun Sunda),

kampung nagara (pemerintahan modern nasional), dan kampung sarak (kampung yang

mengurus kepentingan Islam). Dalam pola pikir ini, adat Sunda diletakkan sebagai pihak

"dalam", "pemilik sejati", dan Islam berada di "luar" yakni batas wilayah kampung.

Pemerintahan nasional ada di tengah.

Ternyata pola tripartit yang sama masih berlaku di banyak perkampungan Sunda di Jawa

Barat seperti terjadi di Ciptagelar. Kampung Sunda di Darmaraja dekat Situraja,

misalnya, membagi kesatuan tiga kampung dalam Kampung Cipaku yang mengurus

kabuyutan kampung (Raja Haji Putih), Kampung Paku Alam mengurus pemerintahan

Page 89: Jurnal Pajajaran

nasional-modern (lurah), dan Kampung Karang Pakuan yang letaknya dekat jalan raya

Darmaraja, merupakan kampung Islam di mana masjid kampung berada.

Di sinilah sikap terbuka-tertutup, tetap-berubah, menjalankan mekanismenya.

Ketegangan budaya sering terjadi antara peran adat dan peran Islam. Sementara satu

pihak menekankan adat buhun Sunda sebagai pemilik kekuasaan, di pihak lain Islam

sebagai pemilik kekuasaan. Peran pelaku kekuasaan tetap lembaga pemerintahan nasional

yang disetujui keduanya. Bagi mereka yang menjunjung tinggi kesundaan bersikap

bahwa pemilik adalah Sunda (buhun, adat), sedang bagi yang menjunjung tinggi Islam

bersikap "Islam itulah Sunda", gerakan revivalisme Sunda, saya kira, berdasarkan pikiran

siapa yang seharusnya dinilai sebagai "dalam" dan siapa yang dinilai sebagai "luar".

Seperti kita baca dalam kasus pantun Sunda, kategori "luar" itu mengandung arti "asing"

juga.

Pola tripartit kekuasaan Sunda ini, dalam perjalanan sejarahnya menunjukkan sikap

"tetap" sekaligus "berubah". Hal ini tampak dari penyebutan ketiga lembaga kekuasaan

tersebut. Pada awalnya adalah pemilik kekuasaan, pelaksana kekuasaan, dan penjaga

kekuasaan. Lalu di masa kerajaan menjadi sebutan resi, ratu, rama. Resi adalah pemilik

kekuasaan yang tak bergerak, ratu adalah pelaksana yang bergerak aktif, dan rama yang

merupakan rakyat (kepala kampung) yang menjaga ketertiban kampung masing-masing.

Pada zaman perkembangan Islam rupanya menjadi pesantren (dalam), menak (bupati-

bupati di Priangan), dan rakyat Sunda di kampung-kampung.

Terjemahannya dalam masyarakat modern Sunda, rupanya pola tripartit ini masih

berlaku, yakni sebagai pemilik kekuasaan adalah rakyat Sunda (demokrasi), pelaksana

kekuasaan gubernur-bupati, dan penjaga kekuasaan adalah panglima wilayah.

Kategorinya; dalam, tengah, luar. Dalam dan tengah adalah Sunda, sedangkan pihak luar

boleh asing (mirip para ponggawa dalam carita pantun).

Dengan demikian dasar paham kekuasaan Sunda itu lebih maternal dari pada paternal.

Lebih mengasuh, rohani, adat, pikiran daripada sekadar memerintah. Sikap ini juga

tercermin dalam silat Sunda yang lebih menyimpan kekuatan dari pada menggunakan

kekuatan itu. Silat Sunda itu bageakeun baik untuk dirinya maupun "musuhnya". Diri

sendiri selamat dan yang menyerangnya juga selamat. Yang pertama dilakukan adalah

gerak menghindar sekaligus disertai gerak menyerang. Bukan untuk mematikan, tetapi

untuk membuat lawan tidak berdaya lagi. Inilah sebabnya pawang pembetul tulang

banyak terdapat di kampung-kampung Sunda. Jadi, sikap terhadap kekuatan lebih

menyimpan, defensif, daripada menggunakannya dan agresif. Ini tidak berarti bahwa para

jawara silat Sunda kurang "berani", justru sudah melampaui keberanian dan hanya

menggunakan kekuatan tersebut apabila lawan memang sudah tak mau dibageakeun.

Kekuasaan dan kekuatan itu tak boleh digunakan semena-mena, tetapi demi

kesejahteraan bersama, baik dalam maupun luar.

Dalam zaman yanga semakin menasional dan mengglobal ini, sikap feminin semacam

itu memang dapat mengancam kesundaan. Sikap asli yang purba ini ditantang

kearifannya dengan gelombang "kuasa laki-laki" yang agresif. Memang tidak mudah.

Page 90: Jurnal Pajajaran

Namun, pemahaman yang lebih mendalam tentang sikap hidup masyarakat Sunda ini

perlu dilakukan, sehingga dapat dikenali "kedalaman sejatinya" yang kokoh namun

lentur, tetap namun berubah. Feminin tidak berarti lemah, tetapi halus. Yang halus itu

bisa kuat. Suatu kekuatan, kekuasaan, yang kokoh namun halus, arif, tinggi. ***

Penulis, budayawan.

29 januari 2008,PR

Peninggalan Kerajaan Sunda

Surat kabar Pikiran Rakyat 20 November 2007 memberitakan, barang peninggalan

Pajajaran terbakar. Ini terjadi di Padepokan Padjadjaran yang berada di Kampung

Adawarna, Desa Sirnajaya, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Tasikmalaya.

Semua barang peninggalan Kerajaan Pajajaran habis dilalap api. Antara lain tempat tidur

Ratu Kalinyamat, stempel Kerajaan Padjadjaran, guci emas, dan alat bertani zaman dulu.

Ikut ludes pula uang darurat zaman Kerajaan Majapahit dan belasan lusin piring

antiracun. Ironis, karena saat ini kita sedang ramai-ramainya mengupayakan bangkitnya

apresiasi budaya Sunda, termasuk upaya penyimpanan dan pemeliharaan peninggalan

karuhun Sunda.

Lima tahun lalu, tepatnya tanggal 18 Agustus 2002, di Bojongmenje, Desa Cangkuang,

Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, ditemukan secara tak sengaja peninggalan

Kerajaan Sunda abad ke-7 Masehi, berupa candi Hindu. Kini dikenal sebagai candi

Bojongmenje, terletak 500 m dari jalan raya Rancaekek.

Temuan tak sengaja ini sempat menimbulkan perhatian masyarakat luas. Para ahli

menyimpulkan bahwa candi ini merupakan candi Hindu tertua, lebih tua dari candi

Borobudur di Jawa Tengah, seumur dengan candi Dieng.

Temuan itu, sayangnya, tidak bertindak lanjut. Bahkan, ada kesan ditinggalkan begitu

saja. Menurut sesepuh sana, di wilayah Bojongmenje dikabarkan terdapat 3 candi lain,

yaitu candi Kukuk di Rancamalaka, candi Orok di Bojongmenje, dan candi Wayang di

Legokrampa. Yang disebut candi Orok tersebut sebetulnya itu adalah candi Bojongmenje.

Tak ada keterangan yang jelas mengapa renovasi dan pemeliharaan candi peninggalan

kerajaan Sunda itu melempem tak dilanjutkan.

Saya teringat tembang sunda Cianjuran (Papatet) yang dilantunkan oleh Nenden Dewi

Kania, juara Damas tahun 2003. VCD-nya telah dijual di toko-toko kaset:

Pajajaran kari ngaran. Pangrango geus narikolot,

Mandalawangi ngaleungit. Nya dayeuh ngajadi leuweung,

Nagara geus lawas pindah. Saburakna Pajajaran;

Page 91: Jurnal Pajajaran

Di gunung Gumuruh suwung. Geus tilem jeung nagarana.

(Kerajaan Pajajaran tinggal nama, gunung Pangrango menua, Mandalawangi

menghilang, telah berubah menjadi hutan, negara sudah lama pindah, setelah leburnya

kerajaan Pajajaran, di gunung Gumuruh sepi, menghilang berikut negaranya).

Tembang dan rangkaian kata dan kalimat tadi membuat hati sepuh Sunda kagagas dan

ngangres. "Na kamarana atuh para pamimpin jeung inohong Sunda téh? Jigana abah mah

engké dina pilkada, rék milih téh bupati jeung gubernur, nyéta nu gédé perhatosan sareng

nyaahna kana patilasan Sunda." Demikian ucapan lugu seorang sepuh di Tarogong Garut.

Padahal, di setiap kabupaten di Jawa Barat terdapat banyak peninggalan zaman dulu,

seperti di Majalengka (Kerajaan Talaga), di Tasikmalaya (Kerajaan Galunggung), di

Bogor (Batutulis dari Prabu Sinala Aji). Sanghyang Tapak di Cibadak, Sukabumi,

prasasti Kawali di Banten, prasasti Tugu, prasasti Ciaruteun, prasasti Kebun Kopi, dan

prasasti Pasir Jambu, dan banyak lagi peninggalan sejenis tersebar di wilayah Jawa Barat.

Banyak di antara kita yang sudah tak kenal lagi kerajaan Galunggung yang pernah jaya

pada abad ke-8. Kerajaan ini terletak di perbatasan Kabupaten Ciamis dan Tasikmalaya

sekarang. Pada zaman kerajaan Genuh dan Galuh, Galunggung telah menjadi daerah

Kabuyutan raja-raja Sunda, tempat berkumpulnya para intelektual kerajaan zaman itu.

Kerajaan Galunggung menjadi acuan dan penentu raja-raja Sunda. Salah seorang rajanya,

Batara Hyang, pernah membuat prasasti Geger Hanjuang yang ditemukan di tutugan

Gunung Galunggung. Sementara itu penerusnya, Rakean Darmasiksa membuat Amanat

Galunggung, yang ditemukan di situs Kabuyutan Ciburuy, Garut selatan.

Akhir-akhir ini diberitakan ada dua arca yang berada di taman dekat kandang burung di

Kebon Binatang, Jalan Tamansari Bandung, yang sudah tak terpelihara lagi. Arca-arca

tersebut berasal dari abad ke-11 M atau zaman Kerajaan Pajajaran.

Menurut penelitian Dra. Endang Widyastuti dari Balai Kepurbakalaan Bandung tahun

2004, arca perempuan adalah arca Dewi Durga atau Dewi Durgamaha Sisuramardhini

istri dewa Siwa. Arca laki-laki berbentuk pria berjanggut adalah resi Agastya. Kedua arca

memiliki nilai historis sebagai peninggalan dari zaman kerajaan Pajajaran ("PR", 28

November 2007). Berdasarkan UU Cagar Budaya No. 59/1992, kedua arca tersebut

seharusnya mendapatkan perlindungan dan pemeliharaan.

Saya suka iri apabila melihat perlindungan dan pemeliharaan sisa-sisa peninggalan

kerajaan lama yang dilakukan provinsi lain. Misalnya candi Umbul di Kabupaten

Magelang, tepatnya di Desa Candi Umbul, Kecamatan Grebeg. Candi yang terkenal

dengan kolam air panasnya ini peninggalan Dinasti Syailendra abad ke -9. Demikian pula

candi Borobudur yang dibangun oleh Raja Samaratungga dan Dinasi Syailendra pada

abad ke-7.

Akhirnya, bukan mustahil peninggalan-peninggalan kerajaan Sunda Pajajaran lambat

laun akan punah terlupakan, apabila tak ada upaya penyimpanan dan pemeliharaan yang

Page 92: Jurnal Pajajaran

saksama terhadap mereka. Upaya dimaksud tidak hanya dari pihak pemerintah, namun

dari semua pihak, khususnya seuweu siwi Pajajaran. Kita tidak menghendaki "Pajajaran

Tinggal Ngaran" (Pajajaran tinggal nama), sebagaimana dilantunkan Nenden Dewi

Kania.***

H. Rochajat Harun

Dosen Pariwisata di UPI, Bandung dan STPB.

Situs Kendan di Nagreg

Jadi TPS atau Pekuburan?

Oleh PROF. DRS. YOSEPH ISKANDAR

AKHIR-AKHIR ini, tersiar kabar bahwa tempat pembuangan (penampungan) sampah

akhir regional Kota Bandung, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Garut, akan

dilokasikan di wilayah Nagreg Kabupaten Bandung. Konon menurut beberapa calon

pemborong (pelaksana) projek tersebut, di sekitar Desa Citaman, akan didirikan

bangunan pengolahan sampah secara modern.

Selain itu, di lokasi yang sama, rencananya akan dijadikan kompleks pekuburan etnis

Tionghoa, pindahan dari kompleks pekuburan Cikadut (Kota Bandung). Sehubungan,

lokasi Cikadut akan dijadikan lokasi pusat industri dan perdagangan.

Benar atau tidaknya kedua rencana tersebut, perlu kiranya dipertimbangkan dari berbagai

aspek, terutama dari kepentingan sejarah dan kepurbakalaannya. Terjadinya kasus

pemusnahan Situs Rancamaya dan perusakan Prasasti Batutulis Bogor beberapa waktu

yang lalu, yang sangat meresahkan dan menyakitkan masyarakat Jawa Barat (Sunda),

jangan sampai terulang kembali.

Ihwal Nagreg, sesungguhnya telah dipublikasikan dalam buku "Rintisan Masa Silam

Sejarah Jawa Barat" tahun 1984, Jilid II, yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah

Provinsi Jawa Barat. Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, ada baiknya

diungkapkan kembali beberapa catatan, tentang riwayat Nagreg di masa silam.

Situs kepurbakalaan Kendan

Kendan adalah nama sebuah bukit, yang berlokasi kira-kira 500 meter di sebelah timur-

laut stasiun kereta api Nagreg, sebelah tenggara Cicalengka, Kabupaten Bandung. Pada

kaki bukit ini terdapat sebuah kampung bernama Kendan, masuk Desa Citaman,

Kecamatan Cicalengka.

Kira-kira 200 meter di sebelah utara Stasiun Nagreg, terdapat sebuah situs

kepurbakalaan, yang oleh penduduk setempat disebut pamujaan (pemujaan). Mungkin,

tempat itu bekas kabuyutan. Karena, menurut Pleyte (1909), di situ pernah ditemukan

sebuah patung Durga yang sangat mungil, yang kini tersimpan di Museum Nasional di

Jakarta.

Adanya patung Durga di tempat itu merupakan indikasi bahwa di situ pernah

Page 93: Jurnal Pajajaran

berkembang agama Siwa. Mungkin dari aliran Syakta. Sebab Dewi Durga, dipandang

sakti, sebagai sumber kekuatan Siwa.

Nama Kendan, sudah lebih dikenal dalam dunia arkeologi. Sebab, tempat itu diketahui,

sebagai pusat industri perkakas neolitik. Istilah "batu Kendan", sudah merupakan

semacam tanda paten, di dalam dunia kepurbakalaan di tanah air kita.

Beberapa abad sebelum tarikh Masehi, di daerah Kendan, sudah terindikasi adanya

permukiman manusia. Merupakan permukiman yang ramai pada zamannya, dan menjadi

pusat pembuatan perkakas, yang diperuntukkan bagi penduduk di daerah sekitarnya.

Hasil penyelusuran Seksi Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Kabupaten Bandung (sekitar tahun 1980-an) membuktikan bahwa legenda Kendan masih

dikenal. Dalam segala kekaburan kisahnya, legenda itu masih menyebut tokoh

Manikmaya, sebagai salah seorang penguasa di tempat itu. Peninggalannya, sampai saat

ini, masih dianggap "keramat" oleh penduduk di sekitarnya.

Nama Resiguru Manikmaya masih mengendap dalam cerita rakyat. Tentu, sebab posisi

kesejarahannya yang sangat penting. Terbukti, penulis naskah Carita Parahiyangan pun,

memulai kisah kerajaan Galuh, dari tokoh Resiguru Kendan ini.

Resiguru Manikmaya, Raja Pertama Kendan

Kisah lengkap tokoh Resiguru Manikmaya dapat kita ikuti dalam naskah Pustaka

Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 4, yang selesai ditulis tahun 1602 Saka

(1680 Masehi) di Keraton Kasepuhan Cirebon.

Sang Resiguru Manikmaya datang dari Jawa Timur. Ia berasal dari keluarga

Calankayana, India Selatan. Sebelumnya, ia telah mengembara, mengunjungi beberapa

negara, seperti: Gaudi (Benggala), Mahasin (Singapura), Sumatra, Nusa Sapi (Ghohnusa)

atau Pulau Bali, Syangka, Yawana, Cina, dan lain-lain.

Resiguru Manikmaya menikah dengan Tirtakancana, putri Maharaja Suryawarman,

penguasa ke-7 Tarumanagara (535-561 M). Oleh karena itu, ia dihadiahi daerah Kendan

(suatu wilayah perbukitan Nagreg di Kabupaten Bandung), lengkap dengan rakyat dan

tentaranya.

Resiguru Manikmaya, dinobatkan menjadi seorang Rajaresi di daerah Kendan. Sang

Maharaja Suryawarman, menganugerahkan perlengkapan kerajaan berupa mahkota Raja

dan mahkota Permaisuri.

Semua raja daerah Tarumanagara, oleh Sang Maharaja Suryawarman, diberi tahu dengan

surat. Isinya, keberadaan Rajaresi Manikmaya di Kendan, harus diterima dengan baik.

Sebab, ia menantu Sang Maharaja, dan mesti dijadikan sahabat. Terlebih, Sang Resiguru

Kendan itu, seorang Brahmana ulung, yang telah banyak berjasa terhadap agama. Siapa

pun yang berani menolak Rajaresiguru Kendan, akan dijatuhi hukuman mati dan

Page 94: Jurnal Pajajaran

kerajaannya akan dihapuskan.

Penerus tahta

Kerajaan Kendan

Dari perkawinannya dengan Tirtakancana, Sang Resiguru Manikmaya Raja Kendan,

memperoleh keturunan beberapa orang putra dan putri. Salah seorang di antaranya

bernama Rajaputera Suraliman.

Dalam usia 20 tahun, Sang Suraliman semakin tampak ketampanannya dan sudah mahir

ilmu perang. Oleh karena itu, ia diangkat menjadi Senapati Kendan, kemudian diangkat

pula menjadi Panglima Balatentara (Baladika) Tarumanagara.

Resiguru Manikmaya memerintah di Kerajaan Kendan selama 32 tahun (536-568

Masehi). Setelah wafat, Sang Baladika Suraliman dirajakan di Kendan, sebagai penguasa

baru. Penobatan Rajaputra Suraliman, berlangsung pada tanggal 12 bagian gelap bulan

Asuji tahun 490 Saka (tanggal 5 Oktober 568 M.). Pada masa pemerintahannya, Sang

Suraliman terkenal selalu unggul dalam perang.

Dalam perkawinannya dengan putri Bakulapura (Kutai, Kalimantan), yaitu keturunan

Kudungga yang bernama Dewi Mutyasari, Sang Suraliman mempunyai seorang putra dan

seorang putri. Anak sulungnya yang laki-laki diberi nama Sang Kandiawan. Adiknya

diberi nama Sang Kandiawati.

Sang Kandiawan, disebut juga Rajaresi Dewaraja atau Sang Layuwatang. Sedangkan

Sang Kandiawati, bersuamikan seorang saudagar dari Pulau Sumatra, tinggal bersama

suaminya.

Sang Suraliman, menjadi raja Kendan selama 29 tahun (tahun 568-597 M). Kemudian ia

digantikan oleh Sang Kandiawan yang ketika itu telah menjadi raja daerah di Medang Jati

atau Medang Gana. Oleh karena itu, Sang Kandiawan diberi gelar Rahiyangta ri Medang

Jati.

Setelah Sang Kandiawan menggantikan ayahnya menjadi penguasa Kendan, ia tidak

berkedudukan di Kendan, melainkan di Medang Jati (Kemungkinan di Cangkuang,

Garut). Penyebabnya adalah karena Sang Kandiawan pemeluk agama Hindu Wisnu.

Sedangkan wilayah Kendan, pemeluk agama Hindu Siwa. Boleh jadi, temuan fondasi

candi di Bojong Menje oleh Balai Arkeologi Bandung, terkait dengan keagamaan masa

silam Kendan.

Sebagai penguasa Kendan ketiga, Sang Kandiawan bergelar Rajaresi Dewaraja. Ia punya

lima putra, masing-masing bernama Mangukuhan, Karungkalah, Katungmaralah,

Sandanggreba, dan Wretikandayun. Kelima putranya, masing-masing menjadi raja daerah

di Kulikuli, Surawulan, Peles Awi, Rawung Langit, dan Menir. Kemungkinan, lokasi

kerajaan bawahan Kendan tersebut berada di sekitar Kabupaten Bandung dan Kabupaten

Garut.

Page 95: Jurnal Pajajaran

Pendahulu

Kerajaan Galuh

Sang Kandiawan menjadi raja hanya 15 tahun (597-612 M). Tahun 612 Masehi, ia

mengundurkan diri dari tahta kerajaan, lalu menjadi pertapa di Layuwatang Kuningan.

Sebagai penggantinya, ia menunjuk putra bungsunya, Sang Wretikandayun, yang waktu

itu sudah menjadi rajaresi di daerah Menir.

Sang Wretikandayun dinobatkan sebagai penguasa Kerajaan Kendan pada tanggal 23

Maret 612 Masehi, dalam usia 21 tahun. Malam itu, bulan sedang purnama. Esok harinya,

matahari terbit, tepat di titik timur garis ekuator.

Sang Wretikandayun tidak berkedudukan di Kendan ataupun di Medang Jati, tidak juga

di Menir. Ia mendirikan pusat pemerintahan baru, kemudian diberi nama Galuh

(permata). Lahan pusat pemerintahan yang dipilihnya diapit oleh dua batang sungai yang

bertemu, yaitu Citanduy dan Cimuntur. Lokasinya yang sekarang, di desa Karang

Kamulyan, Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis.

Sebagai Rajaresi, Sang Wretikandayun memilih istri, seorang putri pendeta bernama

Manawati, putri Resi Makandria. Manawati dinobatkan sebagai permaisuri dengan nama

Candraresmi. Dari perkawinan ini, Sang Wretikandayun memperoleh tiga orang putra,

yaitu Sempakwaja (lahir tahun 620 M), Jantaka, (lahir tahun 622 M), dan Amara (lahir

tahun 624 M).

Ketika Sang Wretikandayun dinobatkan sebagai Raja Kendan di Galuh, penguasa di

Tarumanagara saat itu, adalah Sri Maharaja Kretawarman (561-628 M). Sebagai Raja di

Galuh, status Sang Wretikendayun adalah sebagai raja bawahan Tarumanagara.

Berturut-turut, Sang Wretikandayun menjadi raja daerah, di bawah kekuasaan

Sudawarman (628-639 M), Dewamurti (639-640 M), Nagajayawarman (640-666 M), dan

Linggawarman (666-669 M).

Ketika Linggawarman digantikan oleh Sang Tarusbawa, umur Sang Wretikandayun

sudah mencapai 78 tahun. Ia mengetahui persis tentang Tarumanagara yang sudah pudar

pamornya. Apalagi Sang Tarusbawa yang lahir di Sunda Sembawa dan mengganti nama

Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Ini merupakan peluang bagi Sang

Wretikandayun untuk membebaskan diri (mahardika) dari kekuasaan Sang Tarusbawa.

Sang Wretikendayun segera mengirimkan duta ke Pakuan (Bogor), sebagai ibu kota

Kerajaan Sunda (lanjutan Tarumanagara) yang baru, menyampaikan surat kepada Sang

Maharaja Tarusbawa. Isi surat tersebut menyatakan bahwa Galuh memisahkan diri dari

Kerajaan Sunda, menjadi kerajaan yang mahardika.

Sang Maharaja Tarusbawa adalah raja yang cinta damai dan adil bijaksana. Ia berpikir,

lebih baik membina separuh wilayah bekas Tarumanagara daripada menguasai

Page 96: Jurnal Pajajaran

keseluruhan, tetapi dalam keadaan lemah. Tahun 670 Masehi, merupakan tanda

berakhirnya Tarumanagara. Kemudian muncul dua kerajaan penerusnya, Kerajaan Sunda

di belahan barat dan Kerajaan Galuh di belahan timur, dengan batas wilayah kerajaan

Sungai Citarum. Pada tahun 1482, kedua kerajaan ini dipersatukan oleh Sri Baduga

Maharaja (Prabu Siliwangi), menjadi Kerajaan Sunda Pajajaran.

Oleh karena itu, betapa pentingnya posisi dan nilai Situs Kendan dan sekitarnya dalam

perspektif sejarah dan kepurbakalaan Jawa Barat. Tidak menutup kemungkinan, jika

diadakan penggalian dan penelitian arkeologis, pada tebaran radius 5-10 km dari situs

Kendan, akan ditemukan bekas candi, arca-arca, artefak, tembikar, keramik, terakota, dan

benda-benda peninggalan sejarah lainnya.

Semoga nilai sejarah dan kepurbakalaan Kerajaan Kendan di Nagreg, sebagaimana yang

diungkapkan dalam tulisan ini, akan menjadi pertimbangan kebijakan dan kearifan kita

semua, sebelum telanjur, wilayah Nagreg akan dijadikan pembuangan (penampungan)

sampah akhir, ataupun dijadikan pekuburan Tionghoa pindahan dari Cikadut

Bandung.***

Penulis, Alumnus Faculty of Arts and Sciences University of Pittsburgh, Pennsylvania,

USA

Taktik Tempur Pajajaran

KEKUATAN militer di negara mana pun dan di zaman apa pun tetap dibutuhkan.

Bahkan, hingga kini orang selalu beranggapan bahwa satu negara akan kuat bila

militernya kuat.

Para ahli sejarah tatar Sunda belum bisa memprediksi, apakah kerajaan yang ada di Jawa

Barat dahulu kala memiliki kehidupan militer yang kuat? Namun, kerajaan di tatar Sunda

punya rentang usia panjang itu, sudah dicatat dalam sejarah. Kerajaan Sunda dimulai 669

Masehi dengan rajanya Tarusbawa dan punya rentang tanpa putus hingga zaman

Kerajaan Pajajaran yang berakhir oleh serbuan Banten 1579 Masehi.

Bila catatan sejarah itu benar, maka Kerajaan Sunda telah sanggup bertahan hingga 910

tahun lamanya tanpa henti. Satu perjalanan sejarah yang cukup panjang dan tak gampang

merawatnya, kecuali dengan tatanan sosial-ekonomi-politik dan tentu juga ketahanan

militer yang handal.

Saya adalah penulis naskah fiksi dengan nuansa masa lalu Jawa Barat. Maka, bila saya

ingin menggambarkan kekuatan Kerajaan Pajajaran, maka saya pun mesti mengetahui,

sejauh mana dan sejauh apa kekuatan militer pada masa Pajajaran. Saya tak mau

tejerumus seperti tayangan sinetron klasik. Tatkala berbicara perihal pertempuran di tatar

Jawa, ataupun di tatar Sunda, para tokohnya selalu bertempur ala kungfu Cina dan

berkelebat ke sana-ke mari di angkasa bak Superman atau Spiderman.

Namun, kekuatan militer pada Pajajaran dipenuhi oleh berbagai ilmu kesaktian, saya bisa

maklumi. Dulu belum ada bedil bila berperang. Kalau tidak menggunakan pedang, golok

Page 97: Jurnal Pajajaran

atau panah, pastilah bergumul dengan tangan kosong. Mungkin banyak orang pandai

berkelahi dan dikatakan sebagai sakti.

Tapi, jenis perkelahian apa yang dulu dilakukan orang-orang Pajajaran? Inilah yang sulit

dicari. Saya temukan sejumput catatan ringkas, begini kalimatnya: dahulu kala di zaman

Pajajaran sudah ada ilmu pencak, tetapi bukan pencak yang sekarang. Saya tanyakan

pada kelompok masyarakat tradisional yang ada di Rancamaya Bogor (dipercaya sebagai

tempat keramat Raja Pajajaran). Mereka juga mengatakan memang ada ilmu-ilmu

Pajajaran, namun belum saatnya dibuka sekarang. Wow!

Saya sempat kunjungi wilayah Surade, Sukabumi selatan sebab masyarakat tradisional

dari mulut ke mulut telah dikabarkan bahwa di sana di zaman Pajajaran, Surade adalah

pusat pendidikan militer Pasukan Tempur Pajajaran. Lalu saya pun datangi juga wilayah

Bojongemas, Kabupaten Bandung, sebab Prabu Surawisesa raja kedua Pajajaran pun

sempat membuka akademi militer di sana, sekalian mengawal dan menjaga kamasan

(pusat industri perhiasan emas) milik negara.

Berhasilkah penelusuran ini? Hasilnya, ya hanya sayup-sayup belaka. Pepatah kaum

sejarawan tak boleh dilanggar bahwa yang namanya sejarah harus ada bukti tertulis dan

bukti arkeologi!

Taktik tempur Pajajaran

"Beruntung sekali", walau tidak jelas benar dan hanya sayup-sayup, saya "bisa" dapatkan

informasi ini. Bahwa benar katanya, di zaman Pajajaran orang sudah mengenal taktik

berkelahi, dari mulai taktik perseorangan, sampai taktik untuk pertempuran massal dan

frontal.

Masyarakat dari tempat terpencil di daerah Ciwidey sempat menyebutkan bahwa orang

Pajajaran mengenal ilmu tempur Sentak Dulang. Itu adalah semacam ilmu mengirim

suara, sehingga sanggup membelah isi dada lawan. Hingga kini, di salah satu tempat

pegunungan di kawasan Bandung Utara ada kampung bernama Sentakdulang, terinspirasi

ilmu orang Pajajaran itu.

Yang sempat tercatat dalam sejarah lokal adalah belasan taktik tempur pasukan. Walau

tidak diperinci bagaimana peragaannya, namun catatan telah memerinci nama-nama

taktik-tempur itu seperti asu-maliput, babah-buhaya, bajra-panjara, kidang-sumeka,

merak-simpir, cakra-bihwa, makara-bihwa, lisang-bihwa, suci-muka, gagak-sangkur,

luwak-maturun, ngaliga-manik, dan beberapa lainnya.

Taktik-tempur Pajajaran mungkin meniru-niru taktik perang Bharatayudha karya Mpu

Kanwa dan Mpu Panuluh. Namun, bila taktik-tempur Perang Bharatayudha hanya

mengenal sembilan taktik, taktik-tempur pasukan Pajajaran telah menguasai hampir 18

taktik.

Beberapa orang dari daerah Majalaya bagian selatan, sempat mengabarkan kepada

Page 98: Jurnal Pajajaran

penulis beberapa peragaan taktik-tempur Pajajaran. Namun, bila dipaparkan semuanya di

sini, akan menghabiskan halaman surat kabar saja. Kata orang Sunda, sekadar tamba

kawaranan, maka di bawah ini penulis uraikan secara singkat taktik tempur bajra-panjara.

Bajra-panjara adalah taktik penyerangan frontal, dilakukan belasan shaf anggota

pasukan. Shaf paling depan jumlahnya paling sedikit dibanding shaf di belakangnya.

Namun, shaf paling depan terdiri dari kelompok orang-orang handal.

Maksudnya, pertempuran harus cepat dihabisi dengan tenaga sedikit tapi efektif. Bila

serangan ini gagal, maka akan diganti shaf kedua yang jumlah anggotanya jauh lebih

banyak, tapi kemampuan tempurnya lebih rendah. Shaf paling akhir adalah prajurit biasa

dengan jumlah amat banyak.

Filosofi dari taktik tempur ini, pertempuran harus efektif, yaitu memenangi pertempuran

dengan korban sesedikit mungkin. Makanya, yang paling pandai harus berjuang paling

depan dan berusaha memenangkan pertempuran walau dengan jumlah sedikit. Mereka

akan bertempur habis-habisan, sebab bila gagal maka kegagalannya ini akan

mengakibatkan korban lebih banyak di barisan belakangnya. Orang paling pandai dan

punya pangkat paling tinggi, mesti berjuang paling depan dan bertugas mengayomi

anggota pasukan yang kepandaiannya berada di bawahnya.

Menurut catatan lokal, taktik ini terbukti efektif dalam menghalau musuh. Pada zaman

Prabu Surawisesa, raja kedua Pajajaran (1513-1527 Masehi), selama 14 tahun

memerintah, terjadi 15 kali perang melawan Cirebon, Pajajaran tak terkalahkan. Lalu

diserang Banten tiga kali, baru berhasil dilumpuhkan pada kali ketiga, bukan melalui

pertempuran terbuka, melainkan oleh serbuan gelap (gerilya). Maka 1579 Masehi,

Pajajaran runtuh. Kemenangan Banten ini pun lantaran menerima bantuan dari orang

dalam yang melakukan pengkhianatan.

Namun, pengetahuan masa lalu, siapa yang tahu secara persis. Taktik tempur Pajajaran

yang kabarnya dimiliki oleh seribu anggota Pasukan Belamati Pajajaran, secara turun-

temurun (terakhir dipunyai Dipati Ukur dan H. Prawatasari), tidak dicatat di kitab kuno

yang kemudian jadi rebutan para pendekar seperti laiknya cerita-cerita silat karya Kho

Ping Hoo.

Saya hanya mendapatkannya dari berita para penutur tradisional di kampung-kampung

dan tanpa pesaing, namun itu saya butuhkan untuk penyemarak karya-karya fiksi klasik

saja. Cag!***

AAN MERDEKA PERMANA

Pengamat folklor dan penulis fiksi sejarah, tinggal di Bandung.

Penulis: