jurnal madaniyah stit pemalang

148
Alamat Redaksi Jl. Pemuda Kompleks Masjid Al Hidayah / Asrama Haji Pemalang Telp. (0284) 323741 Kode Pos 52313 Email : [email protected] Kombinasi Pendekatan Studi Islam; Ikhtiar Menjawab Tantangan Studi Islam Ke Depan Achmad Irwan Hamzani Implementasi Strategi Pengembangan Pendidikan Ponpes Salafiyah Puji Khamdani Sistem Penilaian Terpadu Antara Kuantitatif Dan Kualitatif Miswanto Penerapan Strategi Guided Note Taking Sri Fariyati Manajemen Kelas Dalam Proses Pembelajaran Khaerudin Peranan MGMP PKn Dalam Meningkatkan Mutu Proses Pembelajaran PKn di SMP Eko Bambang EP Konfigurasi Politik Pada Masa Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Dan Implikasinya Isa Agus Amsori Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Melalui Pembelajaran Berbasis Inkuiri Indah Sukmawati

Upload: puji-khamdani

Post on 27-Dec-2015

154 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

IMPLEMENTASI STRATEGI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN SALAFIYAH Puji Khamdani AbstrakPesantren bukan hanya lembaga pendidikan agama, melainkan lembaga sosial yang hidup. Supaya pesantren betul-betul bisa menapaki tangga menuju cita-cita mulia itu, memerlukan beberapa langkah yang antara lain: 1) Penyelenggaraan program pendidikan pesantren yang lebih bercorak sosial, tanpa meninggalkan corak keagamaan. 2) Memberikan kesempatan pada para santri untuk memperoleh pengalaman-pengalaman kemasyarakatan dan sekaligus memanfaatkan mereka bagi pekerjaan-pekerjaan kemasyarakatan. 3) Pesantren hendaknya menjadi pusat penerang pemikiran baru keagamaan dan memperkenalkan pengetahuan dan pikiran-pikiran baru bagi usaha membangun dan memodernisir masyarakat. 4) Memanfaatkan semaksimal mungkin sumbangan pihak luar, pemerintah atau instansi, sehingga dampaknya dapat dirasakan masyarakat luas. 5) Proyek bersama antar pesantren dan madrasah agar dapat maju bersama dengan pekerjaan dan identitas masing-masing. 6) Mencari kemungkinan-kemungkinan bekerjasama dengan unit produksi atau tempat dan usaha lain untuk latihan kerja dan pendidikan kejujuran.Kata Kunci: Implementasi, Strategi Pengembangan, Pendidikan Pondok Pesantren

TRANSCRIPT

Page 1: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

Alamat Redaksi

Jl. Pemuda Kompleks Masjid Al Hidayah / Asrama Haji Pemalang Telp. (0284) 323741 Kode Pos 52313 Email : [email protected]

Kombinasi Pendekatan Studi Islam; Ikhtiar Menjawab Tantangan Studi Islam Ke Depan

Achmad Irwan Hamzani

Implementasi Strategi Pengembangan Pendidikan Ponpes Salafiyah Puji Khamdani

Sistem Penilaian Terpadu Antara Kuantitatif Dan Kualitatif

Miswanto

Penerapan Strategi Guided Note Taking Sri Fariyati

Manajemen Kelas Dalam Proses Pembelajaran

Khaerudin

Peranan MGMP PKn Dalam Meningkatkan Mutu Proses Pembelajaran PKn di SMP

Eko Bambang EP

Konfigurasi Politik Pada Masa Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Dan Implikasinya

Isa Agus Amsori

Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Melalui Pembelajaran Berbasis Inkuiri

Indah Sukmawati

Page 2: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

Visi

Sebagai sarana Komunikasi dan Publikasi Karya Ilmiah Ilmu Pendidikan dan Ke-Islaman

Misi

1. Mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Bidang pendidikan melalui penelitian dan pengabdian yang megacu pada Pola Induk Pengembangan Ilmiah (PIP) STIT Pemalang

2. Menyebarluaskan hasil-hasil penelitian dan pengabdian di bidang Pendidikan Islam melalui publikasi jurnal ilmiah dan pertemuan-pertemuan ilmiah

3. Menerapkan hasil-hasil penelitian melalui kegiatan pengabdian kepada masyarakat untuk memberikan kontribusi pada pengembangan Pendidikan Islam

Alamat Redaksi

Jl. Pemuda Kompleks Masjid Al Hidayah / Asrama Haji Pemalang Telp. (0284) 323741 Kode Pos 52313 Email : [email protected]

Visi

Sebagai sarana Komunikasi dan Publikasi Karya Ilmiah Ilmu Pendidikan dan Ke-Islaman

Misi

4. Mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Bidang pendidikan melalui penelitian dan pengabdian yang megacu pada Pola Induk Pengembangan Ilmiah (PIP) STIT Pemalang

5. Menyebarluaskan hasil-hasil penelitian dan pengabdian di bidang Pendidikan Islam melalui publikasi jurnal ilmiah dan pertemuan-pertemuan ilmiah

6. Menerapkan hasil-hasil penelitian melalui kegiatan pengabdian kepada masyarakat untuk memberikan kontribusi pada pengembangan Pendidikan Islam

Alamat Redaksi

Jl. Pemuda Kompleks Masjid Al Hidayah / Asrama Haji Pemalang Telp. (0284) 323741 Kode Pos 52313

Email : [email protected]

Page 3: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

ISSN 2086-3462

9 7 7 2 0 8 6 3 4 6 2 6 6

Alamat Redaksi

Jl. Pemuda Kompleks Masjid Al Hidayah / Asrama Haji Pemalang Telp. (0284) 323741 Kode Pos 52313 Email : [email protected]

Kombinasi Pendekatan Studi Islam; Ikhtiar Menjawab Tantangan Studi Islam Ke Depan

Achmad Irwan Hamzani

Implementasi Strategi Pengembangan Pendidikan Ponpes Salafiyah Puji Khamdani

Sistem Penilaian Terpadu Antara Kuantitatif Dan Kualitatif

Miswanto

Penerapan Strategi Guided Note Taking Sri Fariyati

Manajemen Kelas Dalam Proses Pembelajaran

Khaerudin

Peranan MGMP PKn Dalam Meningkatkan Mutu Proses Pembelajaran PKn di SMP

Eko Bambang EP

Konfigurasi Politik Pada Masa Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Dan Implikasinya

Isa Agus Amsori

Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Melalui Pembelajaran Berbasis Inkuiri

Indah Sukmawati

Page 4: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

i

DAFTAR ISI

Daftar Isi ................................................................................................... i

Kombinasi Pendekatan Studi Islam; Ikhtiar Menjawab Tantangan Studi Islam Ke Depan oleh Achmad Irwan Hamzani .............................. 1 Implementasi Strategi Pengembangan Pendidikan Ponpes Salafiyah oleh Puji Khamdani ................................................................................. 20 Sistem Penilaian Terpadu Antara Kuantitatif Dan Kualitatif oleh Miswanto .......................................................................................... 38 Penerapan Strategi Guided Note Taking oleh Sri Fariyati ....................... 51 Manajemen Kelas Dalam Proses Pembelajaran oleh Khaerudin ............. 81 Peranan MGMP PKn Dalam Meningkatkan Mutu Proses Pembelajaran PKn di SMP oleh Eko Bambang EP ........................................................ 97 Konfigurasi Politik Pada Masa Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Dan Implikasinya oleh Isa Agus Amsori ................................... 110 Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Melalui Pembelajaran Berbasis Inkuiri oleh Indah Sukmawati ............................................................................. 132

Page 5: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

1

KOMBINASI PENDEKATAN STUDI ISLAM; IKHTIAR MENJAWAB TANTANGAN STUDI ISLAM KE DEPAN

Achmad Irwan Hamzani1

ABSTRACT In this time many approach that can be used in Islamic realize. With unity will approach that will come islam comprehension completely. Islamic religion even also more will have? not only seen as symbolic message.Various approach that begin from approach mainstream like science al-tafsir, science al-qur'an, science al-hadits, science fiqh/ushul fiqh and another that still in scope Islamic studys, and approach very latest by using social science and the humanities. All approach combinable. Islamic study not again religious teacher circle monopoly, but opened for all discipline science. With combining to approaches supposed Islam teachings more functionaler and aplikatif to gives answer towards that problem along period dynamics and challenge towards Islamic study self in this time less devotee.

Keyword: Islam, approaches, Islamic study, mainstream, the humanities, social science.

A. Pendahuluan Menjadikan agama Islam sebagai obyek penelitian sampai saat ini

masih menimbulkan pro kontra lebih-lebih jika pendekatan yang digunakan adalah ilmu-ilmu sosial-humaniora sebagaimana yang dikembangkan di Barat. Kalangan yang pro berargumen bahwa agama Islam tidak dapat diperlakukan sebagai gejala wahyu an sich, karena justru Islam lebih banyak menampakan sebagai gejala budaya, pemikiran dan perilaku sosial yang dibuktikan dengan banyaknya wajah (multifaces) Islam, tidak single face. Karena itu, agama Islam harus didekati sebagai gejala sosial budaya, dan di sinilah pentingnya peran penelitian terhadap agama Islam. Sedangkan kalangan yang kontra mengajukan pertanyaan “kenapa agama Islam yang sudah begitu mapan mau diteliti? Agama Islam adalah wahyu Allah”. Bahkan ada pula yang mempertanyakan; “apa manfaatnya bagi perkembangan Islam ke depan dengan mengkaji doktrin agama seperti kritik terhadap wahyu, dekonstruksi syari‟ah, dekonstruksi nash, dll.” Jika merujuk pandangan Hasan al-Bana, bukanlah akan lebih baik dan bermanfaat jika akal pikiran umat Islam dikonsentrasikan dan dialokasikan

1 Achmad Irwan Hamzani, Fakultas Hukum Universitas Pancasakti (UPS) Tegal.

Page 6: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

2

untuk mengkaji perkembangan sains dan teknologi agar umat Islam tidak tertinggal, lebih beradab, dan lebih bermanfaat tidak hanya untuk umat Islam saja dari pada mengalokasikan pikiran untuk menggugat eksistensi Tuhan, wahyu, kevalidan al-Qur‟an, dll.2

Terlepas dari perdebatan di atas, dewasa ini kehadiran agama termasuk Islam semakin dituntut untuk terlibat secara aktif dalam memecahkan berbagai problem sosial. Agama tidak boleh hanya sekadar menjadi lambang kesalehan dan berhenti sekadar disampaikan dalam khutbah. Agama secara konseptual dan operasional harus menunjukkan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan problem sosial. Tuntutan terhadap agama yang demikian hanya dapat dijawab manakala pemahaman terhadap agama tidak semata-mata menggunakan pendekatan teologis-normatif, namun harus dilengkapi dengan pendekatan lain, terutama ilmu-ilmu sosial yang secara operasional konseptual dapat memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul.

Berkenaan dengan pemikiran di atas, makalah ini akan menyajikan kemungkinan agama Islam dikaji dengan berbagai pendekatan mulai dari pendekatan teologis-normatif yang sudah menjadi pendekatan maenstream di kalangan umat Islam, dan pendekatan dengan disiplin ilmu-ilmu sosial-humaniora seperti antropologis, sosiologis, psikologis, historis, kebudayaan, dan filosofis. Apakah karena faktor kebetulan atau tidak, pendekatan dengan ilmu-ilmu sosial-humaniora itulah yang dikembangkan di Barat, atau memang harus diakui karena Barat secara keilmuan saat ini lebih maju sehingga ilmu-ilmu itu berkembang di sana. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan di sini adalah cara pandang atau peradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama Islam. Untuk mengawali, penulis juga akan memberikan deskripsi tentang ajaran Islam sebagai wahyu dan sebagai gejala budaya.

B. Memposisikan Islam 1. Islam sebagai Wahyu

Memposisikan Islam sebagai wahyu atau doktrin Ialhiyah biasanya dengan mendefinisikan Islam sebagai berikut; al-Islam wahyun ilahiyun unzila ila nabiyi Muhammaddin Shallallahu ‘alaihi wasallama lisa’adati al-dunya wa al-akhirah (Islam adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. sebagai pedoman untuk kebahagiaan

2 Lihat Hasan al-Bana, Majmu’ al-Rasail, Mesir: Maktabah Daar al-Ilm, 1989,

hlm. 64.

Page 7: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

3

hidup di dunia dan akhirat). Menurut pemahaman ini, inti Islam adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dan dipercayai bahwa wahyu itu terdiri atas dua macam; wahyu yang berbentuk al-Qur‟an dan wahyu yang berbentuk hadits/sunnah Nabi s.a.w.3

Pemahaman ini berangkat dari kerangka teologis normatif yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa Islam sebagai agama yang paling absah dibandingkan dengan agama lainnya. Alur berpikirnya secara deduktif, yaitu cara berpikir yang berawal dari keyakinan bahwa agama yang diyakini benar dan mutlak adanya, karena berasal dari Tuhan yang tidak perlu dipertanyakan lagi kebenarannya.

Pemahaman seperti ini juga terkait dengan normatifisme dengan memandang Islam dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari Allah yang di dalamnya belum terdapat penalaran pemikiran manusia. Islam dilihat sebagai suatu kebenaran mutlak dari Allah, tidak ada kekurangan sedikitpun dan sangat ideal. Agama Islam tampil sangat prima dengan seperangkat cirinya yang khas. Misalnya, secara normatif Islam menjunjung nilai-nilai luhur. Untuk bidang sosial, Islam tampil menawarkan nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, kesetiakawanan, tolong menolong, tenggang rasa, persamaan derajat dan sebagainya. Untuk bidang ekonomi Islam tampil menawarkan keadilan, kebersamaan, kejujuran, dan saling menguntungkan. Untuk bidang ilmu pengetahuan, Islam tampil mendorong pemeluknya agar memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi yang setinggi-tingginya, menguasai ketrampilan, keahlian dan sebagainya. Demikian pula untuk bidang kesehatan, lingkungan hidup, kebudayaan, politik dan sebagainya Islam tampil sangat ideal dan yang dibangun berdasarkan dalil-dalil.

2. Islam sebagai Produk Sejarah dan Budaya

Meskipun Islam merupakan wahyu yang diturunkan Allah SWT kepada Muhammad s.a.w., namun dalam perkembangannya banyak bagiannya yang merupakan produk sejarah. Sekadar contoh; Khulafa’ al-Rasyidun, teologi Syi‟ah, Mu‟tazilah, Sunni, merupakan produk sejarah, karena nama ini muncul belakangan. Seluruh bangunan sejarah Islam klasik, tengah, dan modern adalah produk sejarah. Seandainya Islam tidak berhenti di Viena mungkin sejarah Islam di Eropa akan lain. Begitu pula seandainya Islam terus di Spanyol, sejarahnya lain lagi.

3M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam; dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 19.

Page 8: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

4

Seandainya Islam tidak bergumul dengan budaya Jawa, sejarahnya di Indonesia akan lain lagi. Demikianlah sebagian wajah Islam di berbagai belahan dunia adalah produk sejarah..

Jika Khalifah al-Mansur tidak meminta Imam Malik menulis al-Muwatta, kitab hadits semacam itu mungkin tidak ada, karena itu al-Muwatta sebagai kumpulan hadits juga merupaka produk sejarah. Sejarah politik, ekonomi, dan sosial Islam, sejarah regional Islam di Pakistan, Asia Tenggara, Indonesia, Brunei Darussalam adalah bagian dari Islam sebagai produk sejarah. Demikian juga filsafat Islam, kalam, fiqh, ushul fiqh, tasawuf, akhlak, juga produk sejarah. Memang akhlak sebagai nilai bersumber dari wahyu, tetapi sebagai ilmu yang disistematisir merupakan produk sejarah. Kebudayaan Islam klasik, tengah, modern, arsitektur Islam, seni lukis, musik, bentuk-bentuk masjid di Timur Tengah, Taj Mahal di India, masjid-masjid Walisongo di Jawa, merupakan bagian kebudayaan Islam yang dapat dijadikan objek studi dan penelitian. Demikian juga seni dan metode baca al-Qur‟an yang berkembang di Indonesia, adalah produk sejarah. Naskah-naskah Islam seperti Undang-undang Malaka, Maroko, Kairo, Arab, dll. merupakan produk sejarah juga.4 Demikianlah banyak bangunan pengetahuan tentang Islam sebenarnya adalah produk sejarah.

C. Beberapa Pendekatan Dalam Studi Islam Setelah memposisikan mana Islam sebagai wahyu, dan mana

Islam sebagai produk sejarah, selanjutnya akan penulis sajikan aneka pendekatan yang dapat digunakan untuk memahami Islam. Model-model pendekatan ini dapat dikelompokkan pada dua, yakni pendekatan mainstream yang bertumpu pada kajian teologis-normatif, dan pendekatan dengan ilmu-ilmu sosial. Penulis sengaja tidak menggunakan istilah tradisional untuk pendekatan mainstream sebagaimana yang biasa disebutkan dan pendekatan modern untuk jenis pendekatan dengan ilmu-ilmu sosial, sebab penggunaan istilah tersebut sangat konotatif.

1. Pendekatan Mainstream Pendekatan model ini berawal seiring berkembangnya masyarakat

muslim dalam semua aspek yang rujukannya tidak ditemukan secara jelas dalam al-Qur‟an dan Rasulullah s.a.w. telah wafat. Para pemikir

4 Ibid., hlm. 23.

Page 9: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

5

muslim mulai mencurahkan segala kemampuannya untuk memberikan jawaban atas persoalan yang muncul atau yang dikenal dengan istilah ijtihad.

Perkembangan selanjutnya muncul embrio ilmu-ilmu keislaman, seperti ulum al-Qur‟an, ushul fiqh/fiqh, ilmu tafsir, tafsir, ulum-al-hadits/hadits, ilmu bahasa, ilmu kalam, ilmu tasawuf, dan sebagainya. Selanjutnya, embrio ilmu-ilmu tersebut menjadi suatu disiplin tersendiri. Bahkan ilmu-ilmu alam murni pun telah ditemukan oleh pemikir Islam terutama pada masa periode keemasan Islam.5 Paradigma ilmu-ilmu keislaman yang sudah mulai mapan tersebut terus dikembangkan dan secara akademik mulai dipersiapkan rancang bangun ontologis, epistemologis, maupun aksiologisnya.

Munculnya ilmu-ilmu keislaman seperti ulum al-Qur‟an, tafsir, ushul fiqh, atau lainnya bukan untuk mempertanyakan kebenaran Islam sebagai wahyu. Sekadar contoh; obyek kajian dalam ulum al-Qur‟an dan ulum al-tafsir, bukan untuk mengkritisi al-Qur‟an sebagai wahyu, namun bagaimana cara membaca al-Qur‟an, kenapa cara membacanya begitu, berapa macam jenis bacaan itu, siapa yang menggunakan jenis-jenis bacaan tertentu, apa kaitannya dengan bacaan sebelumnya, apa sesungguhnya yang melatarbelakangi lahirnya suatu ayat, apa maksud ayat itu, dsb.

Begitu juga dalam bidang ushul fiqh dan fiqh bukan untuk menggugat atau mengkritisi eksistensi al-Qur‟an dan hadits sebagai sumber ajaran Islam. Bidang fiqh ibadah bukan untuk mengritisi atau menggugat eksistensi ibadah, tetapi membahas bagaimana beribadah secara benar. Bidang fiqh muamalah bukan untuk mengrisi adakah sistem ekonomi dalam Islam tetapi bagaimana membahas aturan-aturan berbisnis sesuai dengan syari‟at Islam. Bidang fiqh siyasah bukan untuk mengkritisi adakah politik dalam Islam, tetapi bagaimana menggali aturan-aturan politik dari al-Qur‟an dan hadits dan bagaimana menerapkannya.

Pendekatan mainstream tersebut berangkat dari kerangka teologis normatif yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa Islam sebagai wahyu yang diturunkan Tuhan dan mutlak kebenarannya. Islam bersifat ideal dan mencakup segala aspek kehidupan sebagaimana terangkum dalam al-Qur‟an maupun hadits.

5 Deskripsi selengkapnya lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai

Aspeknya, Jakarta: UI Press,1985, hlm. 71-73.

Page 10: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

6

Pendekatan mainstream sangat diperlukan, karena tanpa adanya pendekatan yang bertumpu dogmatis-normatif, ajaran-ajaran Islam akan mudah dicairkan dan akhirnya tidak jelas lagi identitas pelembagaannya. Proses pelembagaan perilaku keagamaan melalui mazhab-mazhab sebagaimana halnya yang terdapat dalam teologi, fiqh, tasawuf, atau lainnya diperlukan. Fungsi lainnya selain untuk semakin meyakini ajaran Islam, juga untuk mengawetkan sandaran normatif Islam dan sebagai pembentukan karakter pemeluknya dalam rangka membangun masyarakat ideal menurut ajaran Islam.

2. Pendekatan dengan Ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora Adanya disiplin social sciences dan humanities (humaniora)

terlepas setuju atau tidak setuju, merupakan kenyataan. Selain itu, terdapat pula berbagai macam teori, metode dan pendekatan dalam mengadakan penelitian dalam tiap-tiap disiplin tersebut.

Selanjutnya, ilmu-ilmu sosial dan humaniora, juga digunakan untuk mengkaji atau meneliti agama, sehingga muncul sosiologi agama, antropologi agama, filsafat agama, sejarah agama, psikologi agama, dll. Disiplin-disiplin yang sebagian cabangnya melibatkan nama agama ini biasa dipergunakan oleh para ilmuwan sosial Barat yang juga banyak diikuti oleh sebagian ilmuwan muslim sebagai pendekatan untuk mengkaji Islam. Berikut adalah contoh-contohnya:

1) Pendekatan Antropologis

Pendekatan antropologis dalam studi agama adalah memahami agama dengan cara melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembangan dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya.6

Antropologi dalam kaitan ini sebagaimana dikatakan oleh Dawam Rahardjo lebih mengutamakan pengalaman langsung, bahkan sifatnya partisipatif. Dari sini timbul kesimpulan-kesimpulan yang sifatnya induktif yang mengimbangi sifat-sifat deduktif. Penelitian yang antropologis dan grounded, yaitu dengan turun ke lapangan tanpa berpijak pada teori-teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak sebagaimana yang dilakukan di bidang sosilogi dan lebih-lebih ekonomi yang mempergunakan model-model

6 Haidar Baqir, Islamic Studies; Perbandingan Keilmuan antara Barat dan Timur,

Bandung: Mizan, 1995, hlm. 60.

Page 11: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

7

matematis.7 Oleh karena itu, dalam berbagai penelitian antropologi agama dapat ditemukan adanya hubungan positif antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik. Golongan masyarakat yang kurang mampu dan golongan miskin pada umumnya lebih tertarik kepada gerakan-gerakan keagamaan yang bersifat mesianis yang menjanjikan perubahan tatanan sosial kemasyarakatan. Sedangkan golongan orang kaya lebih cenderung untuk mempertahankan tatanan masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi lantaran tatanan itu menguntungkan pihaknya, dan lebih suka pada ajaran keagamaan yang bersifat ritual yang dapat mententramkan batin.

Melalui pendekatan antropologis dapat dilihat agama dalam hubungannya dengan mekanisme pengorganisasian (social organization). Penilitian Clipord Geertz dalam The Religion of Java dapat dijadikan contoh yang baik dalam bidang ini. Geertz melihat adanya klasifikasi sosial dalam masyarakat muslim Jawa yang terbagi dalam trikotomi; santri, priyayi dan abangan. Meskipun penelitian Geertz banyak mendapat sanggahan dari berbagai ilmuwan sosial lainnya, namun konstruksi stratifikasi sosial yang dikemukakannya cukup membuat orang berpikir ulang untuk melakukan cross cek.

Melalui pendekatan antropologis-fenomenologis juga dapat dilihat hubungan antara agama dan negara (state and religion). Topik ini juga tidak pernah kering dikupas oleh para peneliti seperti melihat fenomena negara Vatikan dalam bandingannya dengan negara-negara sekuler di Eropa Barat. Melihat negara Turki yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tetapi konstitusi negaranya menyebut sekularisme sebagai prinsip dasar kenegaraan yang tidak dapat dapat ditawar. Belum lagi meneliti dan membandingkan Kerajaan Arab Saudi dan negara Republik Islam Iran yang berdasarkan Islam. Begitu juga negara Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tetapi menjadikan Pancasila sebagai dasar.

Menurut Mukti Ali, pendekatan antropologis diperlukan dalam mendekati Islam, sebab banyak berbagai hal yang dibicarakan Islam hanya bisa dijelaskan dengan tuntas melalui pendekatan

7 Uraian lengkapnya bisa dilihat dalam M. Dawam Rahardjo, “Pendekatan Ilmiah

terhadap Fenomena Keagamaan”, dalam M. Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990, hlm. 19.

Page 12: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

8

antropologis.8 Sekadar contoh, dalam al-Qur‟an diperoleh informasi tentang kapal Nabi Nuh di gunung Arafat, kisah Ashab al-Kahfi yang dapat bertahan hidup di gua selama tiga ratus tahun. Pertanyannya, di mana kira-kira bangkai kapal Nabi Nuh itu, di mana kira-kira gua tempat tidur Ashab al-Kahfi itu, dan bagaimana pula bisa terjadi hal yang menakjubkan itu, ataukah hal yang demikian merupakan legenda atau kisah fiktif. Tentu masih banyak pula contoh lain yang hanya dapat dijelaskan dengan bantuan ahli geografi dan arekeologi.

2) Pendekatan Sosiologis

Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya itu. Sosiologi mencoba mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta berubahnya perserikatan-perserikatan hidup itu beserta kepercayaannya, dan keyakinan yang memberi sifat tersendiri kepada cara hidup bersama itu dalam tiap persekutuan hidup manusia.9 Artinya, bahwa sosiologi merupakan ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Dengan ilmu ini, suatu fenomena sosial dapat dianalisis dengan faktor-faktor yang mendorong terjadinya hubungan, mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan yang mendasari terjadinya proses tersebut.

Sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami Islam. Sebab, banyak bidang kajian keislaman yang baru dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila menggunakan jasa ilmu sosiologi. Sebagai contoh, dalam ajaran Islam terdapat informasi tentang kisah Nabi Yusuf yang dahulunya budak lalu akhirnya bisa jadi penguasa Mesir. Kemudian kisah Nabi Musa yang dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh Nabi Harun, dan masih banyak lagi contoh lain. Peristiwa-peristiwa ini baru dapat dijawab dan ditemukan hikmahnya dengan bantuan ilmu sosial. Tanpa ilmu sosial peristiwa-peristiwa tersebut sulit dijelaskan dan sulit dipahami maksudnya. Oleh karena itu, sosiologi juga urgent

8 A. Mukti Ali, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam, Bandung: Mizan, 1996,

hlm. 43. 9Lihat Hasan Shadily, Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia, Jakarta: Bina Aksara,

1983, hlm. 1.

Page 13: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

9

untuk dijadikan salah satu alat dalam memahami ajaran Islam yang berhubungan masalah-masalah sosial.

3) Pendekatan Filosofis

Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta kepada kebenaran, ilmu, dan hikmah. Filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat serta berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia.10 Sidi Gazalba mendefinisikan bahwa filsafat adalah berpikir secara mendalam, sistematik, radikal, dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah atau hakikat tentang segala sesuatu yang ada.11 Artinya, bahwa inti filsafat merupakan upaya menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah tentang sesuatu yang berada di balik objek formalnya. Contohnya dapat dijumpai bahwa ada berbagai merek pulpen dengan kualitas dan harga yang bervariasi, namun intinya semua pulpen itu adalah sebagai alat tulis. Ketika disebut alat tulis, maka tercakuplah semua nama dan jenis pulpen.

Berpikir secara filosofis selanjutnya dapat digunakan dalam memahami ajaran Islam, dengan maksud agar hikmah, hakikat atau inti dari ajaran Islam dapat dimengerti dan dipahami secara seksama. Pendekatan filosofis yang demikian itu sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh para pemikir Islam. Sekadar contoh, Muhammad al-Jurjawi dalam bukunya Himah al-Tasyri wa Falsafatuhu berupaya mengungkapkan hikmah yang terdapat di balik ajaran-ajaran Islam. Ajaran shalat berjamaah misalnya memiliki tujuan agar seseorang merasakan hikmahnya hidup secara berdampingan dengan orang lain. Dengan mengerjakan puasa, agar seseorang dapat merasakan lapar yang selanjutnya menimbulkan rasa iba kepada sesamanya yang hidup serba kekurangan. Ibadah haji yang dilaksanakan di kota Makkah, dalam waktu yang bersamaan, dengan bentuk dan gerak ibadah (manasik) yang sama dengan yang dikerjakan lainnya dimaksudkan agar seseorang berpandangan luas, merasa bersaudara dengan sesama muslim di seluruh dunia. Demikian halnya informasi tentang kehidupan para nabi terdahulu. Maksudnya bukan sekadar mengenangnya, tetapi bersamaan dengan itu diperlukan kemampuan mengungkap makna filosofis yang terkandung di belakang peristiwa

10Omar Mohammad al-Taumi al-Syaibani, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah,

Beirut: Daar al-Ummah, 1979, hlm. 25. 11 Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Jilid I, Jakarta: Bulan Bintang, 1967, hlm. 15.

Page 14: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

10

tersebut. Kisah Nabi Yusuf yang digoda seorang wanita bangsawan, secara lahiriah menggambarkan kisah yang bertema pornografi atau kecabulan. Kesimpulan demikian bisa terjadi manakala seseorang hanya memahami bentuk lahiriah dari kisah tersebut. Namun, sebenarnya melalui kisah tersebut Tuhan ingin mengajarkan kepada manusia agar memiliki ketampanan lahiriah dan betiniah secara prima. Nabi Yusuf telah menunjukkan kesanggupannya mengendalikan dorongan seksualnya dari berbuat mesum. Sementara lahiriahnya ia tampan dan menyenangkan orang yang melihatnya, sementara Julaikha merupakan wanita bangsawan yang cantik jelita.

Makna demikian dapat dijumpai melalui pendekatan yang bersifat filosofis. Dengan menggunakan pendekatan filosofis seseorang akan dapat memberi makna terhadap sesuatu yang dijumpainya, dan dapat pula menangkap hikmah dan ajaran yang terkandung di dalamnya.12

Melalui pendekatan filosofis ini, seseorang tidak akan terjebak pada pengalaman agama yang bersifat formalistik, yakni mengamalkan agama dengan susah payah tapi tidak memiliki makna apa-apa, kosong tanpa arti. Yang didapati dari pengalaman agama hanyalah pengakuan formalistik, misalnya sudah berpuasa, sudah zakat, sudah haji, dan berhenti sampai di situ. Mereka tidak dapat merasakan nilai-nilai spiritual yang terkandung di dalamnya. Namun demikian, pendekatna filosofis ini tidak berarti menafikan atau menyepelekan bentuk pengalaman agama yang bersifat formal. Filsafat mempelajari segi batin yang bersifat esoterik, sedangkan bentuk formal memfokuskan segi lahiriah yang bersifat eksoterik.

4) Pendekatan Sejarah

Sejarah adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperlihatkan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut.13 Menurut ilmu ini, segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, di mana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut.

12Demikian pentingnya pendekatan filosofis ini dapat dijumpai filsafat telah

digunakan untuk memahami berbagai bidang. Ada filsafat hukum Islam, filsafat sejarah, filsafat kebudayaan, filsafat ekonomi, dll.

13Taufik Abdullah (Ed), Sejarah dan Masyarakat, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989, hlm. 105.

Page 15: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

11

Pendekatan kesejarahan dibutuhkan dalam memahami Islam, karena Islam turun dalam situasi yang konkret bahkan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan. Sebagaimana dikatakan oleh Kuntowijoyo bahwa isi kandungan al-Qur‟an sendiri dapat dibagi menjadi dua; pertama, berisi konsep-konsep, dan kedua, berisi kisah-kisah sejarah dan perumpamaan.14

Melalui pendekatan sejarah seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Seseorang tidak akan memahami Islam keluar dari konteks historisnya, karena akan menyesatkan orang yang memahaminya. Pendekatan ini sebenarnya sudah ditemukan dalam keilmuan Islam misalnya dalam ulum al-Qur’an, bahwa seseorang yang hendak mempelajari al-Qur‟an secara benar, harus memepelajari sejarah turunnya al-Qur‟an atau kejadian-kejadian yang mengiringi turunnya al-Qur‟an yang disebut ilmu asbab al-nuzul. Dengan ilmu ini seseorang akan dapat mengetahui hikmah yang terkandung dalam suatu ayat yang berkenaan dengan hukum tertentu dan ditujukan untuk memelihara syari‟at dari kekeliruan memahaminya.15

5) Pendekatan Kebudayaan

Kebudayaan sebagaimana yang didefinisikan oleh Sutan Takdir Alisjahbana adalah keseluruhan yang kompleks yang terjadi dari unsur-unsurnya seperti pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat, dan segala kecakapan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.16 Kebudayaan merupakan hasil daya cipta manusia dengan menggunakan dan mengerahkan segenap potensi batin yang dimilikinya meliputi pengetahuan, keyakinan, seni, moral, dan adat yang selanjutnya digunakan sebagai blue print dalam menjawab berbagai persoalan. Kebudayaan tampil sebagai pranata yang secara terus menerus dipelihara oleh para pembentuknya dan generasi selanjutnya yang mewarisi kebudayaan tersebut.

14Lihat Kuntowijoyo, Paradigma Islam Intepretasi untuk Aksi, Bandung: Mizan,

1991, hlm. 326-328. 15 Mana al-Qaththan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Mesir: Daar al-Ma‟arif, 1997,

hlm. 79. 16 Sutan Takdir Alisjahbana, Antropologi Baru, Jakarta: Dian Rakyat, 1986,

hlm. 207.

Page 16: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

12

Kebudayaan yang demikian dapat digunakan untuk memahami Islam yang terdapat pada tataran empiris atau Islam yang tampil dalam bentuk formal sebagai gejala masyarakat. Pengamalan agama yang terdapat di masyarakat diproses oleh penganutnya dari sumber agama, yaitu wahyu melalui penalaran. Jika membaca kitab fiqh misalnya, maka fiqh yang merupakan pelaksanaan dari nash al-Qur‟an maupun hadits sudah melibatkan unsur-unsur penalaran dan kemampuan manusia. Dengan demikian, agama menjadi membudaya atau membumi di tengah-tengah masyarakat. Agama yang tampil berkaitan dengan kebudayaan yang berkembang di masyarakat tempat agama itu berkembang. Dengan melalui pemahaman terhadap kebudayaan seseorang akan dapat mengamalkan ajaran agama. Contoh lainnya seperti kebudayaan berpakaian, bergaul, bermasyarakat, dll. Unsur agama ikut berintegrasi dalam dalam produk kebudayaan tersebut. Sebaliknya, tanpa adanya unsur budaya, agama akan sulit dilihat sosoknya secara jelas.

6. Pendekatan Psikologi

Psikologi adalah ilmu yang mempelajari jiwa seseorang melalui gejala perilaku yang dapat diamatinya. Menurut Zakiah Daradjat, perilaku seseorang yang tampak lahiriah terjadi karena dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Seseorang ketika berjumpa saling mengucapkan salam, hormat pada kedua orang tua, kepada guru, menutup aurat, rela berkorban untuk kebenaran, dan sebagainya merupakan gejala-gejala keagamaan yang dapat dijelaskan melalui ilmu jiwa agama.17

Agama sendiri banyak menggunakan istilah-istilah yang menggambarkan sikap batin seseorang seperti sikap beriman dan bertakwa kepada Allah, sebagai orang saleh, orang yang berbuat baik, orang yang jujur (shadiq). Semuanya merupakan gejala-gejala kejiwaan yang berkaitan dengan agama.

Pendekatan psikologi dapat digunakan untuk mempelajari Islam. Dengan ilmu jiwa seseorang akan mengetahui tingkat keagamaan yang dihayati, dipahami dan diamalkan, juga dapat digunakan sebagai alat untuk memasukkan agama ke dalam jiwa sesuai dengan tingkat usianya. Dengan ilmu ini agama akan menemukan cara yang tepat dan cocok untuk menanamkannya.

17 Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1987, hlm. 76.

Page 17: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

13

Seseorang akan dapat mengetahui pengaruh dari shalat, puasa, zakat, haji dan ibadah-ibadah lainnya dengan melalui jiwa agama. Dengan pengetahuan ini, maka dapat disusun langkah-langkah baru yang lebih efesien lagi dalma menanamkan ajaran agama. Itulah sebabanya ilmu ini banyak digunakan sebagai alat untuk menjelaskan gejala atau sikap keagamaan seseorang.

D. Memadukan Model Pendekatan Mainstream Dengan Model Pendekan Ilmu-Ilmu Sosial-Humaniora

Sampai saat ini ajaran Islam masih diyakini oleh pemeluknya dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Ajaran Islam memberikan berbagai petunjuk tentang bagaimana idealnya manusia menyikapi dan mengisi hidup. Islam juga mengajarkan kehidupan yang dinamis, progresif, menghargai akal, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual, senantiasa mengembangkan kepedulian sosial, menghargai waktu, berorientasi pada kualitas, egaliter, kemitraan, anti feodalistik, mencintai kebersihan, mengutamakan persaudaraan, berakhlak mulia dan sikap-sikap positif lainnya. Bahkan Fazlur Rahman sampai pada suatu tesis bahwa secara ekplisit dasar ajaran al-Qur‟an adalah moral yang titik beratnya pada monoteisme dan keadilan sosial. Contohnya dapat dilihat pada ajaran tentang ibadah yang penuh dengan muatan peningkatan keimanan, ketakwaan yang diwujudkan dalam akhlak mulia yang saling terkait.18

Untuk memahami ajaran Islam yang memiliki banyak dimensi mulai dari dimensi keimanan, akal pikiran, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, lingkungan hidup, sejarah, perdamaian, sampai pada kehidupan rumah tangga, jelas diperlukan berbagai pendekatan yang digali dari berbagai disiplin ilmu, sebagaimana telah disebutkan di atas.

18Lihat Fazlur Rahman, Islam, terj. Jakarta: Bina Aksara, 1998, hlm. 49-51.

Gambaran ajaran Islam yang ideal itu pernah dipraktekkan pada masa Nabi yang manfaatnya juga masih dirasakan hingga saat ini. Namun jika melihat kondisi sekarang, sungguh berbalik 180 dejarat. Umat Islam sekarang menampilkan keadaan yang jauh dari cita ideal tersebut. Ibadah yang dilakukan umat Islam seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya hanya berhenti pada sebatas memenuhi kewajiban dan menjadi lambang kesalehan, sedangkan buah dari ibadah yang berdimensi kepedulian sosial tidak tampak. Umat Islam telah mengalami kesalahpahaman dalam memahami dan menghayati pesan simbolis keagamaan itu. Akibat dari kesalahpahaman memahami simbol-simbol keagamaan itu, Islam lebih dihayati sebagai penyelamatan individu dan bukan sebagai keberkahan sosial secara bersama. Seolah, Tuhan tidak hadir dalam problematika sosial, kendati nama-Nya semakin rajin disebut di mana-mana. Pesan spiritualitas Islam manjadi mandeg, terkristal dalam kumpulan mitos dan ungkapan simbolis tanpa makna. Islam tidak muncul dalam satu kesadaran kritis terhadap situasi aktual.

Page 18: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

14

Harus diakui pula, meskipun al-Qur‟an dan sunnah sebagai wahyu, namun kenyataannya kaya akan produk pemikiran dan kajian. Contohnya, debatable tentang nasikh-mansukh. Para ulama berbeda pendapat, misalnya tentang jumlah ayat yang dimansukh. Awalnya, berjumlah 115 ayat, kemudian turun menjadi 60 ayat, sekarang turun lagi menjadi 16 ayat. Menurut al-Itqan, paling kurang ada 80 topik persoalan yang perlu diteliti dalam persoalan-persoalan yang berkait dengan al-Qur‟an.

Topik yang sudah umum lainnya adalah Ilmu Tafsir, studi tekstual dan kontekstual. Sekarang ini ada juga studi hermeunita al-Qur‟an yang mungkin belum dikenal para mufassir terdahulu. Yang juga patut diperhatikan dalam studi al-Qur‟an adalah studi interdisipliner tentang al-Qur‟an. Sebab al-Qur‟an selain berbicara tentang keimanan, ibadah, aturan-aturan, juga berbicara tentang isyarat-isyarat ilmu pengetahuan. Maka ilmu-ilmu seperti sosiologi, batoni, dan semacamnya perlu dipelajari untuk memahami ayat-ayat al-Qur‟an.

Islam sebagai wahyu yang dicerminkan dalam hadits-hadits Nabi Muhammas s.a.w. juga menimbulkan persoalan yang tidak perlu dikemukakan banyaknya. Sekadar contoh, dalam buku hadits pertama, al-Muwatta, yang dikumpulkan ternyata hanya memuat sekitar 700 hadits, termasuk sunnah sahabat. Sementara itu oleh Imam Bukhari yang datang belakangan dicatat 4.000 hadits, dan oleh Imam Muslim dicatat 6.000 hadits. Lalu oleh Imam Ahmad bin Hambal dicatat 8.500 hadits. Kenapa ada pertambahan jumlah semacam itu? Kemudian ada hadits shahih, hadits mutawatir, hadits mashur, dan hadits ahad. Wilayah-wilayah inilah yang dijadikan kajian. Saat ini, dengan perlengkapan komputer lebih mudah untuk melakukan seleksi hadits. Mungkin perlu dipikirkan juga pandapat Fazlur Rahman, yang menyarankan penggunaan pendekatan historical critism terhadap hadits untuk mengetahui upaya pemalsuan hadits dalam sejarahnya. Imam Bukhari, Imam Muslim atau Imam Malik sampai melakukan wudhu‟ dan shalat lebih dahulu sebelum mencatat haditsnya sebagai usaha kehati-hatian. Imam Muslim dalam pengantarnya mengatakan, awalnya hadits yang dikumpulkan ada 300.000 buah, setelah diseleksi tinggal 6.000 buah. Pertanyaannya, dari mana dan sudah meresap ke mana saja sisanya itu? Persoalan-persoalan seperti ini merupakan wilayah yang terus harus dilakukan kajian-kajian. Juga dapat diteliti ulang matan hadits, rijal hadits, atau perawi hadits tertentu dengan bantuan komputer.

Sama seperti kajian terhadap al-Qur‟an yang membutuhkan studi interdisipliner, dalam hadits pun usaha ini perlu diupayakan. Hadits tentang

Page 19: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

15

psikologi, pendidikan, IPTEK dan sebagainya, perlu dikelompokkan dan dibandingkan dengan hasil penemuan ilmu modern. Hadits tentang idza waqa’a al-dzubabu fi inai ahadikum falyaqmishu (ketika sadar lalat terjatuh ke dalam bejanamu, maka benamkanlah), telah diterangkan misalnya dalam Subul al-Salam, bahwa sebabnya adalah di sayap kanan mengandung ini dan di sayap kiri mengandung itu. Sebetulnya penjelasan terhadap hadits ini memerlukan satu upaya untuk mencoba mengadakan studi interdisipliner terhadap hadits, barangkali memerlukan ilmu entemologi (ilmu tentang serangga).19

Jika melihat beragam pendekatan sebagaimana telah disebutkan, sebenarnya Islam dapat dipahami melalui beragam pendekatan. Dengan pendekatan itu semua orang akan sampai pada agama secara tuntas. Seorang teolog, sosiolog, antropolog, sejarawan, ahli ilmu jiwa, dan budayawan akan sampai pada pemahaman agama yang benar. Oleh karena itu, kajian agama Islam bukan melulu monopoli kalangan ulama belaka, melainkan dapat dipahami semua orang sesuai dengan pendekatan dan kesanggupan yang dimilikinya.

Namun perlu ada pemilahan obyek; mana yang dapat dikaji dengan pendekatan mainstream, dan mana yang dapat dikaji dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Wilayah-wilayah doktriner yang bernuansa transendent dan propertik tentu hanya bisa didekati dengan pendekatn mainstream seperti Islam sebagai wahyu atau yang diturunkan oleh Allah kepada Muhammad melalui malaikat Jibril. Sementara fenomena praktek keberagamaan umatnya, menjadi wilayah sosial dan umaniora. Jika tidak ada pemetaan wilayah, maka akan menimbulkan masalah-masalah berikut:

Pertama, akan terjadi gap. Sudah barang tentu sasaran utama kajian ilmu-ilmu sosial adalah perilaku sosial, sehingga yang berkaitan dengan Islam perilaku pemeluknyalah yang dilihat. Menggunakan istilah yang digunakan Gilsenan adalah; practical is key word in my view not ideal

19Sebagian ulama sebetulnya sudah melakukan pengelompokkan hadits seperti Imam Nawawi al-Dimasqy dengan hadits Arba’in yang singkat. Nawawi juga menulis Syarah Muslim yang panjang lebar. Pertanyaannya, kenapa ia memilih Arba’in. Persoalan lain, banyak terdapat hadits-hadits yang dicantumkan dalam kitab-kitab fiqh dan semacamnya sebelum hadits dibukukan oleh para perawi hadits. Adakah kesenjangan antara hadits yang masuk pada Kutub al-Sittah dengan hadits yang terdapat dalam kitab lain yang lahir sebelumnya? Ini juga wilayah yang dapat dijadikan objek studi sampai saat ini. Misalnya, apakah hadits-hadits dalam kitab al-Umm atau al-Risalah yang ditulis Imam Syafi‟i sebelum masa para perawi hadist, Imam Bukhari, Muslim, telah tertampung semuanya dalam Kutub al-Sittah. Contoh lain, hadits-hadits dalam kitab Ihya ‘Ulum al-Din sebagai karya yang datang belakangan dari masa Bukhari dan Muslim, apakah hadits-hadits yang ada di dalamnya tercantum dalam Kutub al-Sittah seluruhnya atau tidak. Lihat Atho Mudzhar, op.cit., hlm. 22.

Page 20: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

16

doctrinal,20 atau seperti yang dikatakan oleh Geerz; ‘religon is a social institution, worship a social activity, and faith a social force’.21 Dengan kata lain, disiplin ilmu sosial hanya akan membidik konteks sosialnya. Jika dalam praktik tidak ditemui tentang realisasi adanya Tuhan atau realisasi tentang adanya keadilan dalam Islam, maka akan diambil suatu kesimpulan bahwa Tuhan tidak ada, Islam itu tidak adil. Sementara itu, dalam ajaran Islam terlepas dari apakah ajaran Islam itu dipraktekkan masyarakat atau tidak, konsep tentang Tuhan dan tentang keadilan, dan doktrin-doktirn ideal lainnya secara normatif tetap ada. Selain itu, jika masyarakat mempraktekkan sebagian ajaran Islam, maka dengan pendekatan ilmu sosial akan menganggap kenyataan di tengah-tengah masyarakat itulah wujud Islam, sementara dari perspektif normatif akan menghasilkan kesimpulan bahwa sebagian ajaran Islam ada yang tidak dipraktekkan di tengah-tengah masyarakat.22

Kedua, akan terjadi generalisasi. Bukan rahasia lagi bahwa kajian ilmu sosial, terutama sekali antropologi sering membuat generalisasi hasilnya. Suatu studi tentang Islam (masyarakat beragama Islam di Timur Tengah) sering digeneralisasikan sebagai Islam di dunia. Untuk kasus Indonesia saja, ketika Cliford Geerz mengkaji budaya dan agama di sebuah desa kecil di Kediri, Jawa Timur, hasil yang ia munculkan dalam bukunya adalah The Religion of Java. Demikian pula generalisasi yang dilakukan oleh Mark Woodwar yang melakukan penelitian tradisi grebeg maulud di Yogyakarta menulis hasil penelitiannya dengan judul Islam of Java. Dengan membuat sampel penelitian sebuah kota kecil atau bahkan sebuah desa kesil, atau perilaku sekelompok orang hasilnya diklaim sebagai Jawa atau bahkan Indonesia. Model seperti ini yang sering terjadi dalam antropologi, termasuk kajian Meksiko, Timur Tengah, India, dll.23

Oleh karena itu, untuk menghindari kesenjangan ataupun kontradiksi perlu adanya pemetaan wilayah garapan. Sebab, disiplin-disiplin ilmu sosial secara fundamental berbeda dengan disiplin yang ada dalam ilmu keislaman maenstream. Atau mungkin bisa juga dengan cara merombak epistemologi disiplin ilmu sosial seperti Islamisation of knowledge sebagaimana

20Lihat Michael Gilsenan, Recognizing Islam; Religion and Society in The Modern

Arab World, New York: Pantheon Books, 1982, hlm.19. 21Clifford Geertz, Islam Observed; Religious Devlopment in Maroco and Indonesia,

Chicago: The University of Chicago Press, 1968, hlm. 19. 22Qodri A. Azizy, “Pendekatan Ilmu-ilmu Sosial untuk Kajian Islam; Sebuah Over

View, dalam Abdullah Masrur, ddk., Mencari Islam; Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2000, hlm. 139.

23Ibid., hlm. 140.

Page 21: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

17

ditawarkan oleh oleh Ziauddin Sardar dan Ismail al-Faruqi, sehingga pendekatan mainstream dan pendekatan dengan ilmu-ilmu sosial-humaniora saling melengkapi dalam mengkaji Islam dan dapat dikombinasikan.

E. Kesimpulan Ajaran Islam dapat dilihat dari dua dimensi; pertama, Islam sebagai

wahyu seperti kewahyuan al-Qur‟an dan hadits. Kedua, Islam sebagai produk budaya dan sejarah seperti penyebutan-penyebutan kosep, ataupun pemikiran-permikian yang muncul belakangan. Ajaran Islam juga memiliki banyak dimensi, mulai dari dimensi keimanan, akal pikiran, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, lingkungan hidup, sejarah, perdamaian, sampai pada kehidupan rumah tangga. Untuk dapat memahaminya secara tuntas, diperlukan berbagai pendekatan dari berbagai disiplin ilmu. Banyak pendekatan yang sudah ditawarkan oleh para pemikir Islam, mulai pendekatan mainstream, hingga pendekatan-pendekatan baru dengan menggunakan ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang kesemuanya dapat digunakan untuk mengkaji Islam agar diperoleh pemahaman Islam yang tuntas. Namun perlu ada pemetaan wilayah garapan; mana yang dapat dikaji dengan pendekatan mainstream, dan mana wilayah yang dapat dikaji dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Jika tidak ada pemetaan, akan terjadi gap bahkan kontradiksi, sebab disiplin ilmu sosial dan humaniora secara fundamental berbeda dengan disiplin yang ada dalam lingkup ilmu keislaman.

DAFTAR PUSTAKA

Page 22: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

18

Abdullah, Taufik (Ed), Sejarah dan Masyarakat, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989.

Al -Bana, Hasan, Majmu’ al-Rasail, Mesir: Maktabah Daar al-Ilm, 1989.

Al -Faruqi, Isma‟il R., Islam and Sociological Perspektif, Kualalumpur: ABIM, 1983.

Ali, A. Mukti, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam, Bandung: Mizan, 1996.

Alisjahbana, Sutan Takdir, Antropologi Baru, Jakarta: Dian Rakyat, 1986.

Al -Qaththan, Mana, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Mesir: Daar al-Ma‟arif, 1997.

Al -Syaibani, Omar Mohammad al-Taumi, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah, Beirut: Daar al-Ummah, 1979.

Azizy, Qodri A., “Pendekatan Ilmu-ilmu Sosial untuk Kajian Islam; Sebuah Over View, dalam Abdullah Masrur, ddk., Mencari Islam; Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2000.

Baqir, Haidar, Islamic Studies; Perbandingan Keilmuan antara Barat dan Timur, Bandung: Mizan, 1995.

Daradjat, Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1987.

Gazalba, Sidi, Sistematika Filsafat, Jilid I, Jakarta: Bulan Bintang, 1967.

Geertz, Clifford, The Religion of Java, Chicago: The University of Chicago Press, 1977.

, Islam Observed; Religious Devlopment in Maroco and Indonesia, Chicago: The University of Chicago Press, 1968.

Gilsenan, Michael, Recognizing Islam; Religion and Society in The Modern Arab World, New York: Pantheon Books, 1982.

Islamil, Faisal, Islam; Idealitas Ilahiyah dan Realitas Insaniyah, Yogyakarta: Adi Wacana, 1999.

Kuntowijoyo, Paradigma Islam Intepretasi untuk Aksi, Bandung: Mizan, 1991.

Mudzhar, M. Atho, Pendekatan Studi Islam; dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Page 23: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

19

Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press,1985.

Rahardjo, M. Dawam, “Pendekatan Ilmiah terhadap Fenomena Keagamaan”, dalam M. Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990.

Rahman, Fazlur, Islam, terj. Jakarta: Bina Aksara, 1998.

Shadily, Hasan, Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, 1983.

Woodwar, Mark, Islam of Java, New York: Pantheon Books, 1985.

Page 24: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

20

IMPLEMENTASI STRATEGI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN SALAFIYAH

Puji Khamdani1

Abstrak

Pesantren bukan hanya lembaga pendidikan agama, melainkan lembaga sosial yang hidup. Supaya pesantren betul-betul bisa menapaki tangga menuju cita-cita mulia itu, memerlukan beberapa langkah yang antara lain: 1) Penyelenggaraan program pendidikan pesantren yang lebih bercorak sosial, tanpa meninggalkan corak keagamaan. 2) Memberikan kesempatan pada para santri untuk memperoleh pengalaman-pengalaman kemasyarakatan dan sekaligus memanfaatkan mereka bagi pekerjaan-pekerjaan kemasyarakatan. 3) Pesantren hendaknya menjadi pusat penerang pemikiran baru keagamaan dan memperkenalkan pengetahuan dan pikiran-pikiran baru bagi usaha membangun dan memodernisir masyarakat. 4) Memanfaatkan semaksimal mungkin sumbangan pihak luar, pemerintah atau instansi, sehingga dampaknya dapat dirasakan masyarakat luas. 5) Proyek bersama antar pesantren dan madrasah agar dapat maju bersama dengan pekerjaan dan identitas masing-masing. 6) Mencari kemungkinan-kemungkinan bekerjasama dengan unit produksi atau tempat dan usaha lain untuk latihan kerja dan pendidikan kejujuran. Kata Kunci: Implementasi, Strategi Pengembangan, Pendidikan Pondok Pesantren

A. Pendahuluan

Pondok pesantren bila ditinjau dari jenisnya dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu: Pondok pesantren salaf (tradisional) dan pesantren khalaf (modern). Ada juga yang membagi menjadi tiga bagian, yaitu perpaduan antara tradisional dan modern.2 Sedangkan kalau dilihat dari fungsinya, pondok pesantren tidak lebih dari lembaga pendidikan biasa dan sebagai metode penyiaran agama Islam.

Seiring dengan perkembangan zaman, teknologi modern dan berkembang pesatnya ilmu pengetahuan, maka terjadilah perubahan pandangan (pola pikir) masyarakat dan mengalami pergeseran nilai dalam setiap aspek kehidupan

1 Puji Khamdani, Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Pemalang 2 Dalam perpaduan tersebut, pondok pesantren lebih memegang prinsip “al-Mukhafadhatu

‘ala al-Qodimi al-sholih wa al-Akhdu bi al-Jadidi al-Ashlah”, yaitu mempertahankan tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang jauh lebih baik.

Page 25: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

21

manusia. Diantara perubahan yang nampak adalah yang berhubungan langsung dengan dunia pendidikan, khususnya pendidikan yang berkembang di pondok pesantren.

Sebagai sebuah lembaga pendidikan, sistem atau metodologi pengajaran yang diterapkan di pondok pesantren sangat unik. Selama ini pondok pesantren masih “kental” dengan beberapa metode klasik, seperti bandongan (weton) dan sorogan. Sang kiai biasanya menyampaikan pengajaran dengan cara membacakan kitab kuning, sementara para santri mendengarkan sambil memberi catatan pada kitab yang dikaji. Dalam lingkungan pondok pesantren, metode pengajaran seperti ini sering disebut dengan istilah bandongan atau layanan kolektif (Collective Learning Process).3

Gambaran lain tentang dunia pondok pesantren bila dibandingkan dengan kualitas kehidupan pada masa sekarang adalah gambaran diri seseorang yang terbatas kemampuannya, sehingga eksistensinya di tengah masyarakat hanya menyentuh sebagian sendi-sendi kehidupan masyarakat pinggiran dari keseluruhan sistem kehidupan yang ada di masyarakat. Hal ini bisa dilihat, bahwa meskipun seorang alumni pondok pesantren mempunyai ilmu yang memadai dengan berbagai predikat yang disandang (ustadz, kiai, santri), namun bila diukur dengan keharusan yang diperankan dalam kehidupan bermasyarakat masih banyak kekurangan.

Dari segi keilmuan, pondok pesantren sampai saat ini masih terlihat adanya dikotomi dalam memaknai pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari kurikulum dan sistem pengajaran yang ada masih memprioritaskan materi keagamaan yang hukumnya fardhu ‘ain dan menganggap materi pengetahuan lain tidak penting, karena hukumnya fardhu kifayah. Tanpa disadari dalam hal ini pesantren hanya menjalankan sebagian tugas yang diembannya, padahal Allah telah mengamanatkan kepada manusia di samping sebagai hamba Allah yang bertugas mengabdi kepada-Nya, juga diberi amanah menjadi kholifah di bumi yang bertugas mengelola, mengatur dan menguasai bumi beserta isinya, sesuai dengan firman Allah dalam Al Qur‟an Surat Al Baqarah ayat 30:

3 Amin Haedari dan M. Ishon El-Saha, Peningkatan Mutu Terpadu Pesantren dan

Madrasah Diniyah, Cet. 1, ( Jakarta: Diva Pustaka, 2004 ), hal. 4

Page 26: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

22

Dan Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".4

Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan Islam tidak mengenal adanya

dikotomi antara ilmu agama dengan ilmu umum. Keduanya merupakan satu kesatuan yang saling mendukung. Para pengkaji Islam di Jawa khususnya, masih mengidentikan pendidikan Islam terutama yang ada di pondok pesantren masih dikenal sebagai pendidikan asli Indonesia yang sifatnya tradisional. Predikat tradisional masih mengakar dalam studi-studi Islam, seperti yang diungkapkan oleh Clifford Geertz, ia menuduh bahwa orang pesantren adalah orang-orang kolot.5 Anggapan ini mungkin terlalu premature mengingat masa sekarang ini pondok pesantren telah banyak membuka diri terhadap perkembangan dan perubahan menuju pada perbaikan keadaan. Proses dinamisasi dan modernisasi dalam pondok pesantren terus berlanjut dengan mengedepankan nilai-nilai kepesantrenan dan kemajuan.6 Di sisi lain masih banyak yang menganggap bahwa pondok pesantren adalah pendidikan murah yang diadakan untuk masyarakat ekonomi lemah.

4 Departemen Agama RI, AL-Qur’an danTerjemahnya, (Jakarta: Ditjen Bimas Islam dan

Penyelenggaraan Haji, 2005) , 5 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantre: Studi Pandangan Hidup Kiai, (Jakarta: LP3ES,

1982), hal. 24 6 Abdurahman Wahid, Dinamisasi dan Modernisasi Pesantren: Dalam Bungan Rampai

Pesantren, (Jakarta: Dharma Bhakti, 1985), hal.52

Page 27: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

23

B. Pendidikan Pesantren 1. Pengertian Pondok Pesantren

Pondok pesantren adalah salah satu pendidikan Islam di Indonesia yang mempunyai ciri-ciri khas tersendiri. Definisi pesantren sendiri mempunyai pengertian yang bervariasi, tetapi pada hakekatnya mengandung pengertian yang sama. Perkataan pesantren berasal dari bahasa sansekerta yang memperoleh wujud dan pengertian tersendiri dalam bahasa Indonesia. Asal kata san berarti orang baik (laki-laki) disambung tra berarti suka menolong, santra berarti orang baik baik yang suka menolong. Pesantren berarti tempat untuk membina manusia menjadi orang baik. Sementara itu HA Timur Jailani7 memberikan batasan pesantren adalah gabungan dari berbagai kata pondok dan pesantren, istilah pesantren diangkat dari kata santri yang berarti murid atau santri yang berarti huruf sebab dalam pesantren inilah mula-mula santri mengenal huruf, sedang istilah pondok berasal dari kata funduk (dalam bahasa Arab) mempunyai arti rumah penginapan atau hotel. Akan tetapi pondok di Indonesia khususnya di pulau jawa lebih mirip dengan pemondokan dalam lingkungan padepokan, yaitu perumahan sederhana yang dipetak-petak dalam bentuk kamar-kamar yang merupakan asrama bagi santri.

Selanjutnya Zamakhsari Dhofir8 memberikan batasan tentang pondok pesantren yakni sebagai asrama-asrama para santri yang disebut pondok atau tempat tinggal terbuat dari bambu, atau barangkali berasal dari kata funduk atau berarti hotel atau asrama. Perkataan pesantren berasal dari kata santri yang mendapat awalan pe dan akhiran an yang berarti tempat tinggal para santri.

2. Tujuan Pendidikan Pesantren

Setiap kita membicarakan tentang pendidikan sebagai suatu ilmu pengetahuan, kita selalu melibatkan perbincangan tentang tujuan-tujuan pendidikan, karena tujuan pendidikan sejalan dengan tujuan hidup manusia.

Tujuan inilah yang disebutkan dalam Al-Qur‟an Surat Až Žāriyāt ayat 56 yang

berbunyi:

7 Jailani, A Timur, Peningkatan Mutu Pendidikan Islam, dan Pengembangan Perguruan

Agama, (Jakarta: Darmaga, 1983), hal. 51 8 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. (Jakarta:

LP3ES. 1990), Hal. 18

Page 28: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

24

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.. ( QS. Adz-Dzariyat : 56 ).9

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa segala usaha untuk menjadikan manusia menjadi hamba (‟Abid), itulah tujuan tertinggi dalam Pendidikan Pesantren. Lebih lanjut para tokoh Pendidikan Pesantren memberi gambaran tentang tujuan Pendidikan Pesantren ke dalam dua masalah pokok, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. a. Tujuan Umum Pendidikan Pesantren

Para pemerhati pendidikan berusaha mengkaji tentang tujuan Pendidikan Pesantren untuk memberikan warna perjalanan Pendidikan Pesantren. Sebut saja misalnya Muhammad Athiyah Al-Abrasi. Beliau secara tegas telah memberikan gambaran paling tidak ada lima tujuan umum Pendidikan Pesantren: 1) Mendidik budi pekerti. Dari sini dapat dipahami bahwa inti dari Pendidikan Pesantren adalah pembentukan budi pekerti (akhlaq al-l karimah) dan inilah bentuk tujuan pendidikan yang sebenarnya. Hal ini senada dengan misi utama kerasulan Muhammad SAW, yaitu untuk menyempurnakan akhlak. 2) Persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan akherat. Pendidikan Pesantren tidak hanya menitikberatkan pada keagamaan saja atau pada keduniaan saja, tetapi keduanya harus berjalan seimbang. Jadi tidak dibenarkan kalau ada orang yang mementingkan salah satunya. 3) Mempersiapkan sumber daya manusia yang profesional dalam rangka mempersiapkan untuk mencari rizki dan pemeliharaan segi manfaat, sehingga mempunyai sumber kehidupan yang baik dan halal. 4) Menumbuhkan semangat ilmiah bagi para pencari ilmu sehingga mampu berpikir kritis dan memuaskan keingintahuan (curio city) dengan mengedepankan akhlak yang mulia. 5) Menyiapkan pelajar dari segi profesional dan menempatkannya sesuai dengan bidang keahliannya dengan tetap memperhatikan nilai-nilai agama. Dari kelima tujuan Pendidikan Pesantren tersebut, sangat luas cakupannya kalau dijabarkan secara terperinci yang menyangkut segala aspek dalam kehidupan.10

9 Departemen Agama RI, AL-Qur’an danTerjemahnya, (Jakarta: Ditjen Bimas Islam dan

Penyelenggaraan Haji, 2005) , 10 Atiyah Al-Abrasy, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1993),

hal. 2-5

Page 29: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

25

Berbeda dengan Al-Saibani, beliau mengatakan bahwa tujuan Pendidikan Pesantren yaitu: 1) Tujuan yang berkaitan dengan individu, mencakup perubahan yang berupa pengetahuan, tingkah laku, jasmani dan rohani serta kemampuan untuk mencapai kesejahteraan dunia dan akherat. 2) Tujuan yang berkaitan dengan masyarakat, mencakup tingkah laku masyarakat, tingkah laku individu dalam masyarakat dan memperkaya diri untuk terjun ke tengah masyarakat. 3) Tujuan professional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi dan sebagai kegiatan masyarakat.11 Dari ketiga tujuan di atas, dapat dipahami bahwa tujuan Pendidikan Pesantren berkaitan dengan fungsi manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial dalam rangka menggapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

Hasan Langgulung berpendapat lain, beliau memaknai bahwa tujuan Pendidikan Pesantren adalah adanya perubahan-perubahan pada masyarakat dan di situlah peran Pendidikan Pesantren. Lebih lanjut Langgulung mengatakan bahwa tujuan tertinggi pendidikan tidaklah terletak pada institusi tertentu, tahap tertentu atau umur (masa) tertentu.12

b. Tujuan Khusus Pendidikan Pesantren

Maksud dari tujuan khusus adalah perubahan-perubahan yang diingini yang merupakan bagian yang termasuk di bawah tiap tujuan umum pendidikan. Dengan kata lain bahwa tujuan khusus adalah suatu hal yang ingin dicapai terlaksananya tujuan umum secara sempurna. Di antara tujuan-tujuan khusus yang mungkin dimasukkan di bawah “penumbuhan semangat agama dan akhlak” adalah: 1) Memperkenalkan kepada generasi muda tentang ketauhidan, dasar-dasar dan unsur-unsurnya, cara beribadah, berhati-hati dalam berakidah Islamiyah dan menjalankan syi‟ar-syi‟ar Islam. 2) Menumbuhkan kesadaran yang tinggi pada diri pelajar terhadap agama termasuk prinsip-prinsip dan dasar-dasar akhlak yang mulia. 3) Menanamkan keimanan kepada Allah, para malaikat, rasul-rasul, kitab-kitab dan hari akherat berdasar paham kesadaran dan perasaan yang tinggi. 4) Menumbuhkan minat generasi muda untuk menambah pengetahuan

11 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Persepektif Islam, Cet. IV, (Bandung: Remaja

Rosdakarya, 1994), hal. 49. lihat juga Jalaludin dan Abdullah Idi, (Filsafat Pendidikan, Manusia, Filsafat dan Pendidikan)

12 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, Cet. 5 , (Jakarta : Pustaka al-Khusna Baru, 2004), hal. 51

Page 30: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

26

dalam adab dan pengetahuan keagamaan dan untuk mengikuti hukum-hukum agama dengan ikhlas. 5) Menanamkan rasa cinta dan penghargaan kepada al-Qur‟an, membacanya dengan baik, memahami dan mengamalkan ajaran-ajarannya. 6) Menumbuhkan rasa banggga terhadap sejarah dan kebudayaan Islam serta pahlawan-pahlawannya, kemudian mengikuti jejak mereka. 7) Menumbuhkan rasa rela, optimisme, kepercayaan diri, kasih sayang, sabar, berjuang untuk kebaikan, berkorban untuk agama dan tanah air serta selalu siap untuk membelanya. 8) Mendidik naluri, motivasi dan keinginan generasi muda dan menguatkannya dengan akidah dan membimbingnya dengan baik, kemudian membekali mereka dengan akhlak yang baik sehingga bisa bergaul di mana saja. 9) Menanamkan pada diri mereka iman yang kuat kepada Allah, perasaan dan semangat keagamaan dan akhlak yang kuat pada diri mereka sehingga hatinya dapat tersuburkan untuk timbul rasa cinta, dzikir, takwa dan takut kepada Allah. 10) Membersihkan hati mereka dari rasa dengki, benci, hasud, iri hati, egois, khianat, perpecahan dan perselisihan.13

3. Komponen Pondok Pesantren Secara umum pesantren memiliki komponen-komponen pondok,

masjid, santri, kiai, dan kitab kuning. Berikut ini pengertian dan fungsi masingmasing komponen. Sekaligus menunjukkan serta membedakannya dengan lembaga pendidikan lainnya, yaitu :

a. Pondok

Merupakan tempat tinggal kiai bersama para santrinya. Adanya pondok sebagai tempat tinggal bersama antara kiai dengan para santrinya dan bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, merupakan pembeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Pesantren juga menampung santri-santri yang berasal dari daerah yang jauh untuk bermukim. Pada awalnya pondok tersebut bukan semata-mata dimaksudkan sebagai tempat tinggal atau asrama para santri, untuk mengikuti dengan baik pelajaran yang diberikan oleh kiai, tetapi juga sebagai tempat latihan bagi santri yang bersangkutan agar mampu hidup mandiri dalam masyarakat. Para santri dibawah bimbingan kiai bekerja

13 Hasan Langgulung, Manusia………, hal. 54-55

Page 31: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

27

untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dalam situasi kekeluargaan dan bergotong royong sesame warga pesantren. Perkembangan selanjutnya, pada masa sekarang pondok tampaknya lebih menonjol fungsinya sebagai tempat pemondokan atau asrama, dan setiap santri dikenakan sewa atau iuran untuk pemeliharaan pondok tersebut.

b. Masjid

Dalam konteks ini, masjid adalah sebagai pusat kegiatan ibadah dan belajar mengajar. Masjid yang merupakan unsure pokok kedua dari pesantren, disamping berfungsi sebagai tempat melakukan sholat berjamaah setiap waktu sholat, juga berfungsi sebagai tempat belajar mengajar. Biasanya waktu belajar mengajar berkaitan dengan waktu shalat berjamaah, baik sebelum maupun sesudahnya. Dalam perkembangannya, sesuai dengan perkembangan jumlah santri dan tingkatan pelajaran, dibangun tempat atau ruangan-ruangan khusus untuk halaqah-halaqah. Perkembangan terakhir menunjukkan adanya ruanganruangan yang berupa kelas-kelas sebagaimana yang terdapat pada madrasah madrasah. Namun demikian, masjid masih tetap digunakan sebagai tempat belajar mengajar. Pada sebagian pesantren masjid juga berfungsi sebagai tempat I‟tikaf dan melaksanakan latihan-latihan dan dzikir, maupun amalan amalan lainnya dalam kehidupan tarekat dan sufi.14

c. Santri

Santri merupakan unsur pokok dari suatu pesantren, tentang santri ini biasanya terdiri dari dua kelompok: 1) Santri mukim; ialah santri yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam pondok pesantren. 2) Santri kalong; ialah santri-santri yang berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren dan biasanya mereka tidak menetap dalam pesantren. Mereka pulang ke rumah masing-masing setiap selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren.

d. Kiai

Adanya kiai dalam pesantren merupakan hal yang mutlak bagi sebuah pesantren, sebab dia adalah tokoh sentral yang memberikan pengajaran, karena kiai menjadi salah satu unsure yang paling dominant

14 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. (Jakarta:

LP3ES, 1990), Hal. 136

Page 32: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

28

dalam kehidupan suatu pesantren. Kemasyhuran, perkembangan dan kelangsungan kehidupan suatu pesantren banyak bergantung pada keahliah dan kedalaman ilmu, kharismatik, wibawa dan ketrampilan kiai yang bersangkutan dalam mengelola pesantrennya. Gelar kiai biasanya diberikan oleh masyarakat kepada orang yang mempunyai ilmu pengetahuan mendalam tentang agama Islam dan memiliki serta memimpin pondok pesantren, serta mengajarkan kitab-kitab klasik kepada para santri.

e. Kitab-kitab Islam klasik Unsur pokok lain yang cukup membedakan peantren dengan

lembaga lainnya adalah bahwa pada pesantren diajarkan kitab-kitab Islamklasik atau yang sekarang terkenal dengan sebutan kitab kuning, yang dikarang oleh para ulama terdahulu, mengenai berbagai macam ilmu pengetahuan agama Islam dan bahasa Arab. Pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab tentang berbagai ilmu yang mendalam. Tingkatan suatu pesantren dan pengajarannya, biasanya diketahui dari jenis-jenis kitab-kitab yang diajarkan.15

4. Tipologi Pondok Pesantren Secara faktual ada beberapa tipe pondok pesantren yang berkembang

dalam masyarakat, yang meliputi: a) Pondok Pesantren Tradisional. Pondok pesantren ini masih tetap mempertahankan bentuk aslinya dengan semata-mata mengajarkan kitab yang di tulis oleh ulama‟ pada abad ke 15 dengan menggunakan bahasa arab. Pola pengajarannya dengan menerapakan sisitem “halaqah” yang dilaksanakan di masjid atau surau. Hakekat dari sistem pengajaran halaqah adalah penghapalan yang titik akhirnya dari segi metodologi cenderung kepada terciptanya santri yang menerima dan memiliki ilmu. Artinya ilmu itu tidak berkembang kearah paripurnanya ilmu itu, melainkan hanya terbatas pada apa yang di berikan oleh kyainya. Kurikulumnya tergantung sepenuhnya kepada para kyai pengasuh pondoknya. Santrinya ada yang menetap di dalam pondok (santri mukim), dan santri yang tidak menetap di dalam pondok (santri kalong). b). Pondok

15 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

1999), hal. 142 - 145

Page 33: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

29

Pesantren Modern. Pondok pesantren ini merupakan pengembangan tipe pesantren karena orietasi belajarannya cenderung mengadopsi seluruh sistem belajar secara klasik dan meninggalkan system belajar tradisional. Penerapan sistem belajar modern ini terutama nempak pada bangunan kelas-kelas belajar baik dalam bentuk madrasah maupun sekolah. Kurikulum yang dipakai adalah kurikulum sekolah atau madrasah yang berlaku secara nasional. Santrinya ada yang menetap ada yang tersebar di sekitar desa itu. Kedudukan para kyai sebagai koordinator pelaksana proses belajar mengajar langsung di kelas. Perbedaannya dengan sekolah dan madrasah terletak pada porsi pendidikan agama dan bahasa Arab lebih menonjol sebagai kurikulum lokal. c). Pondok Pesantren Komprehensif. Sistem pesantren ini disebut komprehensif merupakan sistem pendidikan dan pengajaran gabungan antara yang tradisional dan yang modern. Artinya di dalamnya diterapkan pendidikan dan pengajaran kitab kuning dengan metode sorogan, bandongan dan watonan, namun secara reguler sistem pesekolahan terus dikembangkan. Bahkan pendidikan ketrampilan pun diaplikasikan sehingga menjadikannya berbeda dari tipologi kesatu dan kedua.16

5. Metode Pembelajaran Pola pendidikan dan pengajaran di pondok pesantren erat kaitannya

dengan tipologi pondok pesantren sebagaimana yang dituangkan dalam ciri-ciri (karakteristik) pondok pesantren yang diutarakan terdahulu. Berangkat dari pemikiran dan kondisi pondok pesantren ang ada, maka ada beberapa metode pembelajaran pondok pesantren: a. Metode Pembelajaran yang bersifat Tradisional. Metode tradisional adalah

berangkat dari pola pelajaran yang sangat sederhana dan sejak semula timbulnya, yakni pola pengajaran sorogan, bandongan dan wetonan dalam mengkaji kitab-kitab agama yang ditulis oleh para ulama‟ pada zaman abad pertengahan dan kitab-kitab itu dikenal dengan istilah “kitab kuning”. 1) Metode Sorogan. Sorogan berasal dari kata sorog (bahasa jawa) yang berarti menyodorkan, sebab setiap santri menyodorkan kitabnya dihadapan kiai atau pembantunya (badal, asisten kiyai). System sorogan ini termasuk belajar secara individual, dimana seorang santri berhadapan dengan seorang guru, dan terjadi interaksi saling mengenal diantara keduanya.

16 M. Bahri Ghazali, Pesantren Berwawasan Lingkungan, ( Jakarta: Prasasti 2003),

Hal. 15

Page 34: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

30

System sorogan ini terbukti sangat efektif sebagai taraf pertama bagi seorang murid yang bercitacita menjadi alim. System ini memungkinkan seorang guru mengawasi, menilai dan membimbing secara maksimal kemampuan seorang santri dalam menguasai materi pembelajaran. Sorogan merupakan kegiatan pembelajaran bagi para santri yang lebih menitik beratkan pada pengembangan kemampuan perorangan (individual), di bawah bimbingan seorang kiyai atau ustadz.17 Pelaksanaannya, santri yang banyak itu datang bersama, kemudian mereka antri menunggu giliran masing-masing, dengan system pengajaran secara sorogan ini memungkinkan hubungan kiai dengan santri sangat dekat, sebab kiai dapat mengenal kemampuan pribadi santri secara satu satu persatu. Kitab yang disorogkan kepada kiai oleh santri yangsatu dengan santri yang lain tidak harus sama.18 2) Metode Wetonan/Bandongan. Wetonan, istilah weton ini berasal dari kata wektu (bahasa jawa) yang berarti waktu, sebab pengajian tersebut diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum dan atau sesudah melakukan shalat fardu.19 Metode weton ini merupakan metode kuliah, dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kiai yang menerangkan pelajaran kuliah, santri menyimak kitab masing-masing dan membuat cacatan padanya. Istilah wetonan ini di Jawa Barat di sebut dengan

bandongan.Tetapi sekarang ini banyak pesantren telah menggunakan metode pengajaran dengan memadukan antara model yang lama dengan model pengajaran yang modern yaitu dengan memadukan metode klasikal yang bertingkat.

b. Metode Pembelajaran yang Bersifat Modern. Ada beberapa metode yang

diterapkan, antara lain: 1) Klasikal. Pola penerapan system klasikal ini adalah

dengan pendirian sekolah-sekolah baik kelompok yang mengelola pengajaran agama atau ilmu yang dimasukkan dalam katagori umum dalam arti termasuk di dalam disiplin ilmu-ilmu kauni (“Ijtihadi – hasil perolehan manusia) yang berbeda dengan agama yang sifatnya “tauqili“ (dalam arti kata langsung diterapkan bentuk dan wujud ajarannya). 2) Kursus-kursus. Pola pengajaran

17 Departemen Agama RI, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah, Pertumbuhan dan

Perkembangannya, (Jakarta: Ditjen Kelembagaan Agama, 2003), hal. 38 18 Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999),

hal. 50 - 51 19 Departemen Agama RI, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah, Pertumbuhan dan

Perkembangannya, (Jakarta: Ditjen Kelembagaan Agama, 2003), hal. 39

Page 35: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

31

yang ditempuh melalui kursus (takhassus) ini ditekankan pada pengembangan keterampilan berbahasa inggris, disamping itu diadakan keterampilan tanggan yang menjurus kepada terbinanya kemampuan psikomotorik seperti, kursus menjahit, mengetik komputer, dan sablon. 3) Pelatihan. Di samping sitem

pengajaran klasikal dan kursus-kursus, dilaksanakan juga system pelatihan yang menekankan pada kemampuan psikomotorik. Pola pelatihan yang dikembangkan adalah termasuk menumbuhkan kemampuan praktis seperti, pelatihan pertukangan, perkebunan, perikanan, manajemen koperasi, dan kerajinan-kerajinan yang mendukung terciptanya kemandirian intergratif. Hal ini erat kaitannya dengan kemampuan yang lain yang cenderung lahirnya santri intelek dan ulama yang mumpuni.

6. Dinamika Perkembangan Pondok Pesantren Memasuki era 1970-an pesantren pengalami perkembangan

signifikan. perubahan dan perkembangan itu bisa di tilik dari dua sudut pandang. Pertama, pesantren mengalami perkembangan kuantitas luar biasa dan menakjubkan, baik di wilayah rural (pedesaan), sub-urban (pinggiran kota), maupun urban (perkotaan). Data Departemen agama menyebutkan pada 1977 jumlah pesantren masih sekitar 4.195 buah dengan jumlah santri sekitar 677.394 orang. Jumlah ini mengalami peningkatan berarti pada tahun 1985, di mana pesantren berjumlah sekitar 6.239 buah dengan jumlah santri sekitar 1.084.801 orang. Dua dasawarsa kemudian 1997, Depag mencatat jumlah pesantren sudah mencapai kenaikan mencapai 224% atau 9.388 buah dan kenaikan jumlah santri mencapai 261% atau 1.770.768 orang. Data terakhir Depag tahun 2001 menunjukan jumlah pesantren seluruh Indonesia

sudah mencapai 11.312 buah dengan santri sebanyak 2.737.805 orang. Jumlah ini meliputi pesantraen salafiyah, tradisional sampai modern.20 Perkembangan kedua, menyangkut penyelenggaraan pendidikan, sejak tahun 1970-an bentuk-bentuk pendidikan yang diselenggarakan di pesantren sudah variasi, bentuk-

bentuk pendidikan dapat diklasifikasikan menjadi empat tipe yaitu: a) Pesantren

yang menyelenggarakan pendidikan formal dengan menerapkan kurikulum nasional, baik yang memiliki sekolah keagamaan (MI, MTs, MA dan PT Agama Islam) maupun juga memiliki sekolah umum (SD, SMP, SMA dan PT Umum). b) Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk

20 Masyhud, H. M.Sulthon dan Moh. Khusnurdilo, Manajemen Pondok Pesantren,

(Jakarta: Diva Pustaka, 2003) hal. 4

Page 36: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

32

madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu umum meski tidak menerapkan kurikulum nasional, seperti pesantren Gontor. c) Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-

ilmu agama dalam bentuk madarasah Diniyah, seperti pesantren Langitan Tuban, pesantren Lirboyo Kediri. d) Pesantren yang hanya sekedar menjadi tempat

pengajian. Sejalan dengan kecenderungan deregulasi di bidang pendidikan,

penyeretan pendidikan juga di arahkan kepada pesantren. Jika pada masa lalu (orde baru) tidak ada satupun pendidikan pesantren (terutama tipe kedua) yang mendapatkan status (sertifikasi), saat ini sudah dua pesantren yang telah mendapatkan (disamakan dengan pendidikan umum), yakni pesantren Gontor (Ponorogo), dan pesantren Al-Amin (Madura). Sedangkan pesantren tipe ketiga atau dikenal dengan “Pesantren Salafiyah” telah memperoleh penyetaraan melalui SKB dua menteri (Menag dan Mendiknas) No. 1/U/KB/2000 dan No. MA/86/2000, tertanggal 30 Maret 2000. SKB ini memberikan kesempatan kepada pesantren salafiyah untuk ikut menyelengarakan pendidikan dasar sebagai upaya mempercepat pelaksanaan program wajib belajar, dengan persyaratan penambahan mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika dan IPA dalam kurikulumnya. SKB memiliki implikasi yang sangat besar, karena dengan demikian eksistensi pendidikan pesantren tipe ketiga tetap terjaga, dan bahkan dapat memenuhi ketentuan sebagai pelaksana wajib belajar pendidikan dasar. Pendidikan pesantren juga dapat dikatakan sebagai modal sosial dan bahkan soko guru bagi perkembangan pendidikan nasional di Indonesia. Karena pendidikan pesantren yang berkembang sampai saat ini dengan berbagai ragam modelnya senantiasa selaras dengan jiwa, semangat, dan kepribadian bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Maka dari itu, sudah sewajarnya apabila perkembangan dan pengembangan pendidikan pesantren akan memperkuat karakter sosial system pendidikan nasional yang turut membantu melahirkan sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang memiliki kehandalan penguasaan pengetahuan dan kecakapan teknologi yang senantiasa dijiwai nilainilai luhur keagamaan. Pada akhirnya, sumber daya manusia yang dilahirkan dari pendidikan pesantren ini secara ideal dan praktis dapat berperan dalam setiap proses perubahan sosial menuju terwujudnya tatanan kehidupan masyarakat yang paripurna.21

21 Masyhud, H. M.Sulthon dan Moh. Khusnurdilo, Manajemen Pondok Pesantren, ......,

hal. 9

Page 37: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

33

7. Reformulasi Model Ideal Pendidikan Pesantren Pada era otonomi daerah sekarang ini, keberadaan pesantren kembali

menemukan momentum relevansinya yang cukup besar untuk memainkan kiprahnya sebagai elemen penting dalam proses pembangunan sosial. Terlebih lagi otonomi mengandalkan kemandirian tiap-tiap daerah dalam mengatur rumah tangga daerahnya sendiri berdasarkan kemampuan swadaya daerah tersebut tanpa adanya campur tangan pemerintah pusat yang cukup besar.

Sebagai institusi yang menempati posisi penting di masyarakat, pesantren diharapkan mampu memberikan stimulasi dan pengaruh kepada masyarakat tentang makna pendidikan. Tambahan lagi, saat ini ada kencenderungan kuat di kalangan keluarga muslim untuk menyekolahkan anaknya ke pesantren, baik karena alasan relegius ataupun lingkungan social dan budaya. Fenomena ini satu sisi menunjukkan bahwa lembaga pendidikan pesantren tengah mengalami semacam “kebangkitan”, atau setidaknya menemukan “popularitas” baru. Hal ini menjadi indikasi lebih lanjut tentang kerinduan dan harapan (expectation) orang tua-orang tua muslim untuk mendapat pendidikan Islam yang baik, sekaligus kompetitif, bagi anak-anak mereka. Namun sebaliknya, boleh jadi fenomena ini menjadi indikasi “kepasrahan” orang tua muslim terutama di wilayah urban – yang merasa “tidak mampu” lagi mendidik anak-anak mereka secara islami atau “tidak yakin” bahwa anak-anak mereka mendapatkan pendidikan agama yang memadahi dari sekolah-sekolah umum. Jika melihat keadaan diatas tampaknya akselerasi pendidikan dan pengembangan masyarakat di pesantren optimis bisa berjalan.

8. Pengembangan Unit Usaha dan Ketrampilan di Pondok Pesantren Dengan anggapan bahwa tidak semua lulusan pondok pesantren akan

menjadi ulama atau kyai, dan memilih lapangan pekerjaan di bidang agama, maka keahlian-keahlian lain seperti pendidikan ketrampilan perlu diberikan kepada santri sebelum santri itu terjun ke tengah-tengah masyarakat sebenarnya. Di pihak lain, guna menunjang suksesnya pembangunan, diperlukan partisipasi semua pihak, termasuk pihak pondok pesantren sebagai suatu lembaga yang cukup berpengaruh di tengah-tengah masyarakat ini merupakan potensi yang dimiliki oleh pondok pesantren secara histories dan tradisi. Perkenalan dan persentuhan dunia pondok pesantren dengan berbagai bidang ketrampilan dan usaha pemberdayaan masyarakat sangatlah strategis. Kegiatan pondok pesantren dimulai dengan: a) Perencanaan (menumbuhkan gagasan, menetapkan tujuan, mencari data dan informasi, merumuskan kegiatan-kegiatan usaha dalam

Page 38: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

34

mencapai tujuan sesuai dengan potensi yang ada, melakukan analisis SWOT, memusyawarahkan). b) Pemelihan jenis usaha dan macam usaha.

9. Sarana Pendidikan Pesantren Sarana pendidikan menurut Jalaludin yaitu suatu tindakan atau

perbuatan atau benda yang dengan sengaja diadakan untuk mencapai suatu tujuan dalam pendidikan. Sarana ini harus disesuaikan dengan tujuan dari pendidikan itu sendiri. Dengan demikian, sarana pendidikan tidak hanya sebatas benda-benda yang bersifat konkrit akan tetapi berupa nasihat, tuntunan, bimbingan, ancaman dan hukuman.22

Merujuk pada sejarah peradaban Islam, sarana pendidikan pesantren mencakup beberapa hal, yaitu: a). Rumah, rumah merupakan salah satu sarana pendidikan pesantren, karena dalam kehidupan rumah tangga tercermin kehidupan yang mulia, yaitu : Penanaman akidah, pembentukan psikologis, membentuk anak-anak yang sholeh dan memenuhi kebutuhan bathin yaitu kasih sayang anak. b). Masjid, Masjid adalah alat pendidikan yang tidak kalah pentingnya. Dalam pendidikan pesantren, masjid mempunyai fungsi edukatif. Pada awal perkembangan Islam, masjid dipergunakan untu musyawarah, menjauhkan diri dari kerusakan, mempertahankan akidah, dan pusat pengaturan strategi militer. Juga tidak sedikit masjid yang dijadikan pusat pendidikan yang mengajak manusia pada kecintaan, kesadaran serta mengenal hak dan kewajiban manusia sebagai makhluk Allah. Melihat peranannya, masjid sangat penting dalam membantu mewujudkan pendidikan Islam yang sifatnya universal. c) Perpustakaan, Perpustakaan juga memegang peranan sangat penting dalam pendidikan Islam. Pada masa Daulat Abasiyah telah dibangun Darul Khikmah sebagai pusat pendidikan, diantaranya berkumpul berbagai macam ulama dan mahasiswa yang mengkaji berbagai macam ilmu.23

10. Pengembangan Pondok Pesantren Salafiyah Program Pondok Pesantren Salafiyah dilakukan di dua segi, yaitu

pengembangan yang meliputi fisik dan non fisik a. Pengembangan fisik melalui pengembangan sarana belajar, yaitu ruang

belajar dan kelengkapan belajar. Pengembangan kelengkapan hunian

22 Jalaludin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, Konsep dan Perkembangan, cet.

II, (Jakarta: Grafindo Persada, 1996), hal. 57 23 Al-Abrasyi, Dasar-dasar………..hal. 85. lihat pula Ahmad tafsir, Ilmu…….. hal. 90

Page 39: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

35

santri, seperti asrama santri, aula dan kelengkapannya. Pengembangan pengabdian masyarakat seperti pengembangan kantor koperasi, gedung pertemuan dan lain sebagainya.

b. Pengembangan Non fisik 1) Pengembangan status kelembagaan

Pengembangan status kelembagaan dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum yang lebih mandiri dan kuat pada setiap jenis lembaga pendidikan sehingga dapat bekerja profesional dan meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) lebih maksimal dalam rangka meningkatkan status dan jenjang pendidikan yang berada pada naungan pondok pesantren.

2) Pengembangan jenis dan jenjang pendidikan Mengingat kebutuhan dan tuntunan masyarakat yang semakin beragam dalam memilih lembaga pendidikan untuk anak-anaknya, sementara jenis pendidikan yang berada di lingkungan pondok pesantren masih sebatas jenis pendidikan yang bernaung dibawah Departemen Agama, maka sangat dibutuhkan untuk mengembangkan jenis pendidikan yang bernaung di bawah Departemen Pendidikan, selain SMP juga SMA / SMK. Begitu pula perlu melengkapi jenjang lebih tinggi yaitu dengan mendirikan Perguruan Tinggi (PT) dan Ma‟hadul „Ali (Tingkatan tinggi Madrasah Diniyah).

3) Pengembangan Kwalitas dan kesantrian Pengembangan Kwalitas ketenagaan dan kesantrian adalah pengembangan potensi SDM yang ada dilingkungan Pondok Pesantren Salafiyah yang meliputi pengembangan tenaga guru, tenaga administrasi lainnya melalui penataran-penataran atau pelatihan-pelatihan sesuai dengan bidangnya masing-masing. Sedangkan pengembangan kwalitas kesantrian melalui peningkatan kedisiplinan, program dan kwalitas kegiatan belajar peningkatan kedisplinan, program dan kwalitas kegiatan belajar mengajar (KBM) dan pembinaan terhadap santri berbakat.

4) Pengembangan pengabdian sosial keagamaan dan kemasyarakatan Pengembangan ini berupa pengembangan pelayanan kepada masyarakat dibidang sosial dan keagamaan. Pengembangan ini dapat dikelompokkan menjadi dua macam, pertama pelayanan dibidang

Page 40: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

36

rohaniah, misalnya melembagakan biro pelayanan dan konsultasi rohani dan agama, mengirimkan para da‟i santri dan sebagainya. Kedua pelayanan dibidang jasmaniah yang meliputi pelayanan kesehatan, seperti membuat poliklinik dan pelayanan dibidang ekonomi, seperti meningkatkan pelayanan simpan pinjam melalui koperasi.

C. Penutup Ketika arus global sudah merambah masyarakat secara menyeluruh,

pendidikan pesantren dituntut menjadi semakin terstruktur dan kurikulum pesantren menjadi lebih tetap, sehingga saat ini banyak pesantren selain kurikulum agama, sekarang ini kebanyakan pesantren juga menawarkan mata pelajaran umum. Bahkan, banyak pesantren sekarang melaksanakan kurikulum Depdiknas. Sekolah-sekolah Islam yang melaksanakan kurikulum Depdiknas ini kebanyakan di Madrasah.

Dalam pengembangan program pendidikan di pesantren Salafiyah hal-hal yang di perhatikan oleh pengelola pesantren, yaitu, munculnya sekolah-sekolah terpadu (mulai tingkat dasar hingga menengah); dan penyelenggaraan sekolah bermutu yang sering disebut dengan boarding school. Nama lain dari istilah boarding school adalah sekolah berasrama. Para murid mengikuti pendidikan reguler dari pagi hingga siang di sekolah, kemudian dilanjutkan dengan pendidikan agama atau pendidikan nilai-nilai khusus di malam hari. Selama 24 jam anak didik berada di bawah didikan dan pengawasan para ustadz pembimbing.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Abrasy, Atiyah. Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1993.

Departemen Agama RI. AL-Qur’an danTerjemahnya. Jakarta: Ditjen Bimas Islam

dan Penyelenggaraan Haji, 2005.

Page 41: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

37

__________________. Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah, Pertumbuhan dan Perkembangannya. Jakarta: Ditjen Kelembagaan Agama, 2003.

Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kiai. Jakarta:

LP3ES, 1982. Ghazali, M. Bahri. Pesantren Berwawasan Lingkungan, Jakarta: Prasasti, 2003. Haedari, Amin dan M. Ishon El-Saha. Peningkatan Mutu Terpadu Pesantren dan

Madrasah Diniyah. Cet. 1, Jakarta : Diva Pustaka, 2004. Hasbullah. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

1999. ________. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 1999. Jailani, A Timur, Peningkatan Mutu Pendidikan Islam, dan Pengembangan

Perguruan Agama. Jakarta: Darmaga, 1983. Jalaludin dan Usman Said. Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan

Perkembangan. cet. II, Jakarta: Grafindo Persada, 1996. Langgulung, Hasan. Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi dan

Pendidikan, Cet. 5. Jakarta: Pustaka al-Khusna Baru, 2004. Masyhud, H. M. Sulthon dan Moh. Khusnurdilo. Manajemen Pondok Pesantren,

Jakarta: Diva Pustaka, 2003. Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Persepektif Islam, Cet. IV. Bandung:

Remaja Rosdakarya, 1994. Wahid, Abdurahman. Dinamisasi dan Modernisasi Pesantren: Dalam Bungan

Rampai Pesantren. Jakarta: Dharma Bhakti, 1985.

Page 42: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

38

SISTEM PENILAIAN TERPADU ANTARA KUANTITATIF DAN KUALITATIF DALAM PEMBELAJARAN STATISTIK

Oleh: Miswanto1

Abstrak

Tulisan ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research) yang bertujuan untuk memperbaiki mutu pembelajaran Statistik pada Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Pemalang melalui sistem penilaian terpadu. Tindakan yang dilakukan adalah memberikan penilaian kualitatif berupa catatan, komentar, tanggapan, saran, atau kritik yang menyertai penilaian kuantitatif pada setiap lembar pekerjaan mahasiswa sebelum dikembalikan kepada yang bersangkutan. Penilaian kualitatif tersebut pada akhirnya dijadikan pedoman utama dalam menentukan nilai akhir mahasiswa (nilai kuantitatif) yang berupa angka 0, 1, 2, 3 atau 4. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penilaian kualitatif dapat (1) menghindarkan mahasiswa untuk membuat kesalahan yang serupa untuk soal yang sejenis dan tingkat kesukaran hampir sama, (2) meningkatkan motivasi belajar mahasiswa dalam mata kuliah Statistik, dan (3) meningkatkan prestasi belajar mahasiswa pada mata kuliah Statistik.

Kata Kunci: Sistem penilaian terpadu, kuantitatif, kualitatif, Statistik.

A. Pendahuluan Sejak diberlakukannya Sistem Kredit Semester atau yang lazim disingkat

dengan sistem SKS pada awal tahun 1980-an, dunia Perguruan Tinggi di Indonesia seakan-akan menerapkan dua sistem penilaian yang berbeda dalam mengukur kemampuan mahasiswa menyerap ilmu pengetahuan. Pertama, dosen menggunakan nilai berupa huruf A, B, C, D atau E yang ditransfer dari nilai rata-rata atau prosentase jawaban yang benar yang diperoleh mahasiswa dari tugas-tugas kuis dan ujian pada satu semester tertentu. Kedua, pada perhitungan akhir Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) atau pada saat penyelesaian studi mahasiswa, nilai-nilai tersebut ditransfer kembali menjadi angka-angka, yaitu 4, 3 , 2, 1 atau 0.

1 Miswanto, Sekolah Tinggi Illmu Tarbiyah (STIT) Pemalang

Page 43: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

39

Mekanisme transfer atau alasan menggunakan mekanisme ini kadang-kadang tidak dipahami oleh sebagian besar mahasiswa karena tidak mendapatkan penjelasan dari dosen. Dengan demikian, sistem penilaian dengan hanya mengandalkan penilaian kuantitatif semata kurang mencerminkan posisi seorang mahasiswa dalam suatu prestasi belajar tertentu.2

Untuk mempertajam pemahaman mahasiswa terhadap kemampuan memperoleh ilmu pengetahuan pada mata kuliah tertentu, maka nilai kuantitatif yang diberikan kepada mereka perlu disertai dengan nilai kualitatif yang berisi catatan, komentar, tanggapan, kritik dan saran terhadap setiap hasil pekerjaan mahasiswa. Dengan demikian, tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan perhatian dan aktivitas mahasiswa terhadap mata kuliah Statistik melalui sistem penilaian terpadu antara kuantitatif dan kualitatif.

B. Kajian Pustaka Sebagaimana dimaklumi bahwa inti suatu Penelitian Tindakan Kelas (PTK)

terletak pada pelaksanaannya, bukan pada metodenya. Oleh karena itu, kajian literatur penelitian ini tidak ditampilkan lebih banyak. Namun demikian, sejumlah teori yang mendasari setiap langkah pelaksanaan yang penting tetap ditampilkan pada bagian lain (misalnya pada bagian metodologi). Sistem penilaian dengan hanya kuantitatif semata sering kali mengundang ketidakpuasan sejumlah mahasiswa terhadap nilai yang diperolehnya dari suatu mata kuliah tertentu.3 Bahkan, mahasiswa kadang-kadang memprotes nilai akhir yang menurut penilaian mereka kurang adil.

Berkaitan dengan hal di atas, sering mahasiswa mengatakan bahwa "nampaknya si Anu biasa-biasa saja dalam mengikuti perkuliahan, termasuk nilai harian yang diperolehnya, tetapi nilai akhirnya adalah A. Nilai harian saya juga tidak jauh berbeda, bahkan sama dengan Anu, tetapi nilai akhir saya adalah C. Apakah saya dua kali lebih bodoh dari si Anu? Atau si Anu itu dua kali lebih pintar dari saya? Pertanyaan seperti ini mungkin, dan bahkan sering terjadi karena

2 Gates, L. Evaluating mathematical knowledge elements. In P. C. Clarkson (Ed.).

Technology in mathematics education. Melbourne: The University of Melbourne, 1996), P.56 3 Kidman, G and Cooper, T. Assessing the major trends and direction of research into

students' judgements of area. In P. C. Clarkson (Ed.). Technology in mathematics education. Melbourne: The University of Melbourne: 1984), P.32

Page 44: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

40

seorang mahasiswa belum mengenal sistem penilaian yang bermacam-macam. Apalagi kalau perhatian mereka hanya tertuju pada skala rasio. Untuk mengurangi resiko tersebut, setiap nilai kuantitatif seharusnya diikuti oleh penjelasan secara kualitatif.4

Untuk melaksanakan kegiatan yang dimaksud di atas, salah satu paradigma penelitian yang paling relevan adalah classroom action research. Hal ini disebabkan karena paradigma ini memuat rangkaian kegiatan yang memungkinkan dosen melihat perubahan yang sistematis. Rangkaian kegiatan tersebut meliputi; perencanaan, selanjutnya pelaksanaan tindakan. Bersamaan dengan fase ini, dilakukan observasi, pencatatan, perekaman dan interviukepada sejumlah mahasiswa terhadap pelaksanaan tindakan yang telah dilakukan. Ketiga rangkaian kerja tersebut melahirkan suatu refleksi diri untuk penyusunan rencana berikutnya (Mc Taggart, 1990). Refleksi menurut (Mc Taggart, 1989) adalah dasar untuk memperbaiki atau mengembangkan perencanaan pada siklus berikutnya.

Masalah tersebut di atas menunjukkan bahwa tugas seorang dosen dalam memberikan nilai kepada mahasiswa tidak berhenti pada batas pemberian nilai secara kuantitatif yang ditransfer menjadi huruf-huruf A, B, C, D atau E. Akan tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah penyertaan nilai kualitatif terhadap nilai kuantitatif berupa catatan, komentar, tanggapan, saran ataupun kritik terhadap setiap lembar pekerjaan mahasiswa.

Dengan menyertakan penilaian kualitatif pada setiap nilai tugas, kuis, Ujian Tengah Semester (UTS), dan Ujian Akhir Semester (UAS) sebelum pekerjaan tersebut dikembalikan kepada mahasiswa, maka keuntungan minimal yang dapat diperoleh adalah meyakinkan mahasiswa bahwa seorang dosen telah bertindak objektif dalam hal pemberian.5

4 Kemmis, S and Carr, W. Becoming critical: education, knowledge and action research.

Melbourne: Deakin University, 1996), P.154

5 Dole, S., Cooper, T., Bleicher, R., Nisbet, S. and Warren, E. Collaborative team writing of

assessment task and professional development. In P. C. Clarkson (Ed.). Technology in mathematics education. Melbourne: The University of Melbourne, 1996), P.241

Page 45: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

41

Selain itu, sistem penilaian seperti ini akan mengundang perhatian mahasiswa pada mata kuliah yang bersangkutan. Mengapa? Karena hampir setiap kekurangan maupun kelebihan yang mereka tunjukkan pada lembar pekerjaan mereka tidak dibiarkan berlalu begitu saja.

Penelitian yang telah dilakukan untuk meningkatkan motivasi dan prestasi belajar Statistik mahasiswa dengan metode penilaian seperti di atas menunjukkan sejumlah hasil yang menggembirakan. Di antaranya adalah karena penilaian kualitatif tersebut dapat membantu mereka untuk memahami kesalahan yang dilakukan dalam mengerjakan setiap soal yang diberikan. Selanjutnya, penilaian kualitatif tersebut dapat meningkatkan kepercayaan diri mahasiswa yang bersangkutan. Mereka dapat melihat catatan, komentar, tanggapan, saran atau kritik yang diberikan oleh dosen terhadap setiap kesalahan pada lembar jawaban. Bahkan melalui penilaian kualitatif, mahasiswa dapat melihat, mempelajari, atau menganalisis kembali pekerjaan yang kurang tepat. Pada akhirnya mahasiswa dapat melakukan introspeksi terhadap diri mereka masing-masing.

C. Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama dua siklus dalam satu semester pada

pembelajaran Statistik di semester satu dan dua tahun 2012. Metode pelaksanaannya mengikuti prinsip kerja classroom action research, yang terdiri dari empat tahap, yaitu perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi yang memuat pencatatan, perekaman dan interviudan refleksi.

1. Rencana Pelaksanaan Penelitian Bagian ini meliputi asumsi awal (semi penelitian), subyek penelitian,

instrumen penelitian dan teknik analisis data. a. Asumsi Awal (Semi Penelitian)

Pengalaman mengajar pada mata kuliah statistik deskriptif dan statistik inferensial selama satu tahun cukup menjadi semi penelitian pada paradigma classroom action researh. Temuan semi penelitian (pengalaman) tersebut menunjukkan bahwa mahasiswa yang mengikuti mata kuliah statistik deskriptif dan statistik inferensial suatu penyakit, yaitu aktivitas belajar mereka di kelas sangat kurang. Salah satu penyebabnya adalah sistem penilaian dosen yang kurang relevan dengan kenyataan yang sebenarnya.

Page 46: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

42

b. Subyek Penelitian Subyek penelitian ini adalah semua mahasiswa Program Studi

Pendidikan Agama Islam Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Pemalang (STIT) yang mengikuti mata kuliah Statistik Deskriptif dan Statistik Inferensial pada tahun pelajaran 2012 yang diajar oleh peneliti. Jumlah responden masing-masing adalah 41 orang yang mengikuti mata kuliah Statistik Deskriptif dan 38 orang yang mengikuti mata kuliah Statistik Inferensial.

c. Instrumen Penelitian

Sesuai dengan paradigma classroom action researh, terdapat tiga instrumen pokok yang digunakan untuk mengumpulkan data, yaitu daftar observasi (check list observation), pedoman wawancara (interview schedule) dan tape recorder. Fungsi masing-masing instrumen adalah sebagai berikut.

Daftar observasi digunakan untuk mengumpulkan data mengenai perhatian, cara, kesungguhan, dan keberanian mahasiswa mengikuti mata kuliah Statistik Deskriptif dan Statistik Inferensial melalui analisis terhadap setiap lembar pekerjaan. Sementara itu, pedoman wawancara digunakan untuk mengejar lebih jauh mengenai perhatian, cara, kesungguhan, dan keberanian mahasiswa mengikuti mata kuliah Statistik Deskriptif dan Statistik Inferensial melalui analisis materi wawancara. Sedangkan tape recorder digunakan untuk merekam sejumlah data (komentar, tanggapan, pertanyaan, saran, atau kritik) pada saat perkuliahan berlangsung, tanpa diketahuan oleh mahasiswa.

d. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pengelompokkan kategori-kategori tertentu yang menjadi pusat perhatian peneliti Miles dan Huberman (1984).6 Dalam hal ini, pengelompokkan itu meliputi komentar, tanggapan, pertanyaan, saran atau kritik mahasiswa terhadap perkuliahan Statistik Deskriptif dan Statistik Inferensial.

6 Miles, Mathew B, Huberman, A. Michael, Qualitative Data Analysis, (England : Sage

Publication, 1992), P.182

Page 47: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

43

2. Pelaksanaan Penelitian Bagian ini meliputi perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan,

observasi, dan refleksi. a. Perencanaan Tindakan

Untuk mengaktifkan mahasiswa dalam proses pembelajaran Statistik dan meningkatkan kepercayaan diri mereka terhadap mata kuliah tersebut, direncanakan pemberian kuis lima belas menit sebelum perkuliahan berakhir. Pemberian kuis tersebut berlangsung setiap dua kali pertemuan. Berkaitan dengan rencana ini mahasiswa diharapkan lebih sungguh-sunguh memperhatikan materi perkuliahan dan bersemangat serta dapat mempersiapkan diri di rumah masing-masing dalam mempelajari materi yang akan diajarkan di kelas.

Hasil kuis yang telah diperiksa, dikembalikan kepada yang bersangkutan (mahasiswa) setelah terlebih dahulu dilengkapi dengan catatan, komentar, tanggapan, saran maupunkritik terhadap jawaban yang diberikan oleh mahasiswa. Bahkan, jika waktu memungkinkan, sebagian dari jawaban yang salah dituliskan pedoman atau langkah-langkah menuju kepada jawaban yang benar. Selanjutnya, mahasiswa disarankan untuk melanjutkan sendiri jawaban yang lebih lengkap atau sempurna.

Pemberian kuis yang dilaksanakan setiap dua kali pertemuan juga diharapkan dapat memotivasi mahasiswa untuk menyelesaikan soal-soal yang berkaitan dengan masalah Statistik lebih awal daripada jadwal perkuliahan. Harapan penyelesaian soal tersebut terutama yang berkaitan dengan pokok bahasan yang akan diajarkan pada dua kali pertemuan yang akan datang. Soal-soal yang diharapkan dapat diselesaikan oleh mahasiswa sebelum waktu perkuliahan dilaksanakan adalah soal-soal latihan dari buku-buku yang diwajibkan atau soal-soal latihan dari buku-buku lain yang relevan dengan mata kuliah Statistik.

b. Pelaksanaan Tindakan

Adapun hal-hal yang dilakukan pada tahap pelaksanaan tindakan adalah implementasi rencana yang telah dirumuskan sebelumnya. Dalam penelitian ini yang dimaksud adalah sebagai berikut. (1) Melaksanakan pemberian kuis pada akhir pertemuan dan mengembalikan lembar pekerjaan mahasiswa setelah diperiksa (diberi catatan, komentar, tanggapan, saran, kritik atau dituliskan sebagian jawaban yang benar, jika

Page 48: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

44

jawaban mahasiswa tersebut terlalu jauh dari yang sebenarnya). (2) Meminta tanggapan mahasiswa, baik secara lisan maupun tertulis (tanpa disertai identitas diri) tentang sistem penilaian yang dilakukan pada mata kuliah Statistik. (3) Mengevaluasi dan menganalisis tanggapan mahasiswa bersama dengan dosen pengajar mata kuliah Statistik yang lain. Untuk memantapkan tindakan ini, maka sewaktu-waktu diminta klarifikasi dari sejumlah mahasiswa yang diasumsikan dapat mewakili teman-temannya. (4) Sambil melanjutkan materi perkuliahan dan pemberian kuis, dilakukan diskusi terbatas antara mahasiswa yang mengikuti mata kuliah Statistik dan dosen pengajar mata kuliah Statistik. Hal ini dilaksanakan mengingat jika sewaktu-waktu dapat dilakukan perubahan perlakuan secara sederhana tanpa mengganggu rencana awal yang telah dirumuskan.

c. Observasi

Selama pelaksanaan tindakan, dilakukan pencatatan atau perekaman dengan menggunakan daftar observasi (check list observation), pedoman wawancara (interview schedule) dan recorder. Untuk memudahkan pelaksanaannya, maka anggota tim peneliti yang tidak mengajar mengambil posisi tempat duduk paling belakang sambil mengisi daftar observasi yang telah disiapkan. Sementara itu, anggota tim yang mengajar melakukan perekaman dengan cara mengantongi tape recorder dalam keadaan on (siap merekam) segala komentar, tanggapan, pertanyaan, atau jawaban, baik dari dosen maupun mahasiswa.

Adapun hal-hal yang dicatat atau direkam selama berlangsungnya kegiatan observasi adalah sebagai berikut. (1) Perhatian mahasiswa terhadap mata kuliah Statistik, yang ditandai dengan aktivitas mereka merespons proses pembelajaran. Misalnya aktif bertanya, memberi komentar, tanggapan, atau menjawab pertanyaan, baik secara lisan maupun secara tertulis pada buku catatan masing-masing. (2) Keberanian mahasiswa untuk tampil menjawab soal di depan kelas (di papan tulis) yang diberikan oleh dosen. (3) Jawaban yang diberikan oleh mahasiswa terhadap soal kuis yang tingkat kesukarannya hampir sama, setelah disertakan catatan, komentar, tanggapan atau saran pada lembar jawaban mereka masing-masing. (4) Kesungguhan dan kemampuan mengajukan pertanyaan, setelah mahasiswa mengetahui bahwa dilakukan perekaman terhadap pertanyaan mereka. (5) Kemampuan dan kejelian mahasiswa

Page 49: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

45

untuk menghindari kekeliruan yang serupa untuk soal kuis yang tingkat kesukarannya hampir sama, setelah disertakan catatan, komentar, tanggapan atau saran pada lembar jawaban mereka. (6) Perhatian, cara, kesungguhan dan kemampuan mahasiswa menyelesaikan soal-soal biasa (tidak sulit) yang ditugaskan oleh dosen mata kuliah Statistik. (7) Perhatian, cara, kesungguhan dan kemampuan mahasiswa menyelesaikan soal-soal sulityang ditugaskan oleh dosen mata kuliah Statistik. (8) Keadaan (jumlah) mahasiswa yang mengajukan pertanyaan, tanggapan, komentar, saran, kritik atau yang memberi jawaban secara tertulis baik pada buku catatan maupun jawaban yang diselesaikan di papan tulis untuk setiap perkuliahan. (9) Keadaan (jumlah) mahasiswa yang memperoleh peningkatan nilai atau skor dari kuis sebelumnya. (10) Keadaan (jumlah) mahasiswa yang memperoleh penurunan nilai (skor) atau nilainya tetap dari kuis sebelumnya.

d. Refleksi

Rangkaian kegiatan berupa perencanaan, tindakan, dan observasi yang telah dilakukan melahirkan refleksi diri yang berkaitan dengan proses pembelajaran Statistik.

Adapun refleksi yang timbul selama pelaksanaan tindakan adalah selama dua minggu pertama perkuliahan berlangsung dan sebelum diadakan kuis pertama, hampir tidak ada mahasiswa memberi tanggapan, komentar, pertanyaan, saran apalagi kritik terhadap materi yang diberikan. Pada umumnya mereka hanya menyalin materi perkuliahan tanpa memahami atau menganalisis dengan baik materi tersebut.

Selain itu, selama dua minggu pertama perkuliahan berlangsung, mahasiswa kurang berani tampil di depan kelas untuk menjawab soal yang diberikan oleh dosen. Mereka pada umumnya lebih senang menjawab soal secara lisan, kurang jelas dan pada umumnya dilakukan secara bersama-sama. Dengan demikian, sulit untuk diketahui dari arah mana datangnya jawaban tersebut.

Refleksi ini juga memberikan gambaran kepada dosen bahwa pada awal-awal perkuliahan, pada umumnya mahasiswa masih kurang dalam pemahaman dasar-dasar materi Statistik. Misalnya, mahasiswa mengalami kesulitan dalam menentukan, proporsi, menaksir proprsi μ rentang pada

Page 50: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

46

tabel distribusi frekuensi. Dalam menguji rata-rata μ dua pihak juga masih banyak yang salah.

Memperhatikan hal tersebut, semakin meyakinkan dosen mata kuliah Statistik bahwa memberi kuis, yang disertai dengan catatan, komentar, tanggapan, saran, kritik atau menuliskan jawaban singkat pada lembar kerja mahasiswa, dapat mendorong mereka untuk lebih aktif dalam mengikuti perkuliahan. Pada akhirnya, mereka akan senang dan prestasi belajar Statistik dapat meningkat.

Sama halnya pada ststitik inferensial dalam menentukan r korelasi product moment, dan regresi linier sederhana, dan yang paling fatal adalah pada saat mahasiswa menentukan tabel analisis variansi dan uji linieritas regresi karena masih sedikit yang benar dari 38 mahasiswa hanya 3 mahasiswa yang sudah benar.

D. Hasil dan Pembahasan Temuan penelitian ini terdiri dari temuan kuantitatif dan kualitatif.

1. Temuan Kuantitatif dan Pembahasannya Tingkat pencapaian penguasaan materi Statistik mengalami

peningkatan dari sekitar 53 persen pada awal pelaksanaan penelitian menjadi sekitar 69 persen pada akhir pelaksanaan penelitian. Peningkatan ini terutama disebabkan oleh banyaknya kuis yang diberikan kepada mahasiswa dan pemberian sejumlah catatan, komentar, tanggapan, kritik, dan saran pada lembar jawaban mereka sebelum dikembalikan. Jumlah mahasiswa yang mengajukan pertanyaan, komentar, tanggapan, kritik, dan saran pada saat perkuliahan berlangsung mengalami peningkatan dari 20 persen hingga 30 persen pada awal pelaksanaan penelitian menjadi 33 persen hingga 45 persen pada akhir pelaksanaan penelitian. Salah satu penyebab dari peningkatan ini adalah mahasiswa mengetahaui kalau pertanyaannya memperoleh skor tersendiri dan direkam dengan alat rekam comcoder.

2. Temuan Kualitatif dan Pembahasannya

Perhatian mahasiswa terhadap mata kuliah Statistik meningkat. Situasi ini ditandai dengan banyaknya respons pada saat proses belajar mengajar berlangsung. Respons tersebut pada umumnya berupa pertanyaan, komentar atau tanggapan. Namun demikian, aktivitas mahasiswa menjawab pertanyaan selama tiga hingga empat minggu perkuliahan masih kurang. Hal ini antara

Page 51: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

47

lain disebabkan karena mereka belum terbiasa atau cara ini masih asing bagi mereka. Setelah tiga hingga empat minggu perkuliahan barulah mahasiswa menyadari pentingnya memberi pertanyaan, tanggapan, atau komentar atas materi yang diajarkan oleh dosen pada saat itu.

Keberanian untuk tampil menjawab soal di depan kelas (di papan tulis) mulai tampak pada perkuliahan minggu kelima (setelah diadakan kuis dua kali). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemberian kuis yang disertai dengan catatan, komentar, tanggapan, saran, kritik atau jawaban singkat pada lembar jawaban mahasiswa sebelum dikembalikan, efektif mendorong mahasiswa untuk lebih siap menghadapi perkuliahan di kelas. Penyebab lain adalah mahasiswa menyadari bahwa dengan mengerjakan sendiri soal di depan kelas semakin meyakinkan diri mereka.

Kemampuan dan kejelian mahasiswa menghindari kekeliruan yang serupa untuk soal kuis yang sejenis dan tingkat kesukaran yang hampir sama dengan materi yang berbedaadalah naik. Hal ini berarti penilaian kualitatif berhasil untuk menghindarkan mahasiswa pada kesalahan yang serupa. Keberhasilan ini lebih banyak ditentukan oleh saran dan kritik yang terdapat pada lembar jawaban mereka yang ditulis oleh dosen.

Perhatian, cara, kesungguhan, dan kemampuan mahasiswa menyelesaikan soal-soal umum (tidak sulit) yang ditugaskan oleh dosen mata kuliah Statistik meningkat. Hal ini dapat dilihat dari cara kerja dan usaha mereka membuat kelompok-kelompok kecil untuk belajar bersama di luar kuliah setelah adanya tugas ini. Mahasiswa menyadari bahwa hanya dengan perhatian, cara, dan kesungguhan yang tinggi mereka mampu mengajukan permasalahan Statistik dengan baik dan benar. Perhatian, cara, kesungguhan, dan kemampuan mahasiswa menyelesaikan soal-soal yang sulit yang ditugaskan oleh dosen mata kuliah Statistik mengalami kemajuan. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya usaha mereka untuk memanfaatkan mahasiswa senior yang pintar dalam membimbing mereka secara berkelompok menyelesaikan soal-soal yang sulit. Kesadaran ini juga dipicu oleh kesiapan mereka dalam rangka mengikuti kuiz berikutnya.

E. Simpulan dan Saran Simpulan dan saran yang penting berdasarkan hasil dan pembahasan

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

Page 52: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

48

1. Simpulan Terdapat beberapa simpulan penting yang dapat ditarik berdasarkan

temuan dan pembahasan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut. Jumlah mahasiswa yang mengajukan pertanyaan, tanggapan, komentar, saran, kritikan ataupun yang memberi jawaban secara tertulis baik pada buku catatan mereka maupun jawaban yang diselesaikan di papan tulis untuk setiap perkuliahan mengalami kemajuan. Selain itu, jumlah mahasiswa yang memperoleh peningkatan nilai dari kuis sebelumnya pada umumnya meningkat. Peningkatan ini mencapai 16 persen hingga 20 persen. Perhatian, cara, kesungguhan dan kemampuan mahasiswa menyelesaikan soal-soal umum (tidak sulit) maupun soal-soal tergolong sulit yang ditugaskan oleh dosen mata kuliah Statistik juga mengalami peningkatan. Di samping itu, nilai akhir mahasiswa mengalami peningkatan yang pesat, utamanya bagi mereka yang sebelumnya memperoleh nilai E, D atau C. Peningkatan tipis juga dialami oleh mereka yang sebelumnya memperoleh nilai B. Mahasiswa yang memperoleh nilai A sebelumnya pada umumnya dapat mempertahankan nilai tersebut.

2. Saran Berdasarkan hasil, pembahasan dan kesimpulan maka disarankan

kepada beberapa pihak yang berkompeten untuk memperbaiki pembelajaran umumnya dan pembelajaran Statistik khususnya. Perbaikan tersebut adalah sebagai berikut. Untuk meningkatkan aktivitas belajar Statistik mahasiswa atau siswa serta dosen atau guru disarankan untuk tidak hanya memberi tanda cek (v) untuk jawaban yang benar atau tanda silang (x) untuk jawaban yang salah pada setiap lembar kerja mahasiswa atau siswa. Melainkan, dosen atau guru sebaiknya memberi penjelasan mengapa jawaban mahasiswa atau siswa salah. Selanjutnya, diberi nilai dalam bentuk angka atau huruf.

Page 53: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

49

Daftar Pustaka

Barnes, M., Clark, D. and Stephens, M. 1996. The impact of external assessment on teaching practice: Constraints on change in the classroom. In P. C. Clarkson (Ed.). Technology in mathematics education. Melbourne: The University of Melbourne.

Burns, Anne, 1999, Collaborative Action Research for English Language

Teacher, London : Cambridge University Press. Cook, L. 1991. Ethical implication. Research methods in social relation. Edited by

Charles Judd, Eliot Smith and Louise Kidder, 6 th edition. In H. Connole (Ed.). Research methodology I: Issues and methods in research: Reader part 1. Underdale, South Australia: The University of South Australia.

Dole, S., Cooper, T., Bleicher, R., Nisbet, S. and Warren, E. 1996. Collaborative

team writing of assessment task and professional development. In P. C. Clarkson (Ed.). Technology in mathematics education. Melbourne: The University of Melbourne.

Gall, Meredith, Joyce P. Gall, Walter B. Borg, 2003. Educational ResearchAn

Introduction, Boston: Alyn and Bacon Galbraith, P., Pemberton, M. and Hainest, C. 1996. Testing to a purpose:

Assessing the mathematicval knowledge of entering undergraduate. In P. C. Clarkson (Ed.). Technology in mathematics education. Melbourne: The University of Melbourne.

Gates, L. 1996. Evaluating mathematical knowledge elements. In P. C. Clarkson

(Ed.). Technology in mathematics education. Melbourne: The University of Melbourne.

Kemmis, S and Carr, W. 1990. Becoming critical: education, knowledge and

action research. Melbourne: Deakin University. Kidman, G and Cooper, T. 1984. Assessing the major trends and direction of

research into students' judgements of area. In P. C. Clarkson (Ed.). Technology in mathematics education. Melbourne: The University of Melbourne.

Madya, Suwarsih. 2006. Teori dan Praktik, Penelitian Tindakan, Bandung:

Alfabeta, Miles, M and Huberman, M. 1984. In qualitative data analysis: A source book of

new methods. Beverly Hills: Sage Publication.

Page 54: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

50

Miles, Mathew B, Huberman, A. Michael, 1992, Qualitative Data Analysis, England : Sage Publication,

Mc Taggart, R. 1989. Principle participatory action research. A paper presented

for the third world encounter participatory action research. In B. Smith (Ed.). Research methodology 1: Issues and methods in research: Reader part 3. Underdale, South Australia: The University of South Australia.

Mc Taggart, R and Kemmis, S. 1990. The action research planner. Melbourne:

Deakin University. Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Bandung :

Alfabeta.

Page 55: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

51

PENERAPAN STRATEGI GUIDED NOTE TAKING Sri Fariyati1

ABSTRAK

Penelitian ini dilatar belakangi oleh rendahnya aktivitas dan hasil belajar siswa kelas VIII A MTs NU Petarukan dengan menggunakan metode ceramah. Berdasar pada pemikiran bahwa operasional pembelajaran memerlukan metode tertentu yang relevan sebagai alat untuk menghasilkan pembelajaran yang aktif, maka strategi guided note taking menjadi salah satu alternatif yang bisa dilakukan di MTs NU Petarukan untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa kelas VIII A pada mata pelajaran Qur‟an Hadits. Permasalahan penelitian ini adalah bagaimana pelaksanaan pembelajaran Qur‟an hadits sebelum melaksanakan strategi guided note taking dan bagaimana peningkatan aktivitas dan hasil belajar siswa dengan penerapan strategi guided note taking pada siswa kelas VIII A MTs NU Petarukan. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK) melalui 3 siklus meliputi perencanaan, tindakan, observasi dan refleksi. Pengumpulan data dilakukan melalui tes, observasi di kelas dan dokumentasi hasil tindakan. Analisa datanya adalah dengan statistic deskriptif. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa peningkatan aktivitas dan hasil belajar siswa kelas VIII A MTs NU Petarukan. Hasil penenelitian menunjukkan bahwa 1) Strategi guided note taking dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa kelas VIII A pada mata pelajaran Qur‟an Hadits dengan tema Keseimbangan Hidup di Dunia dan Akhirat di MTs NU Petarukan. 2) Strategi guided note taking dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas VIII A. Kata Kunci : Strategi Guided Note Taking, Aktivitas Belajar, Hasil Belajar,

Qur‟an Hadis A. Latar Belakang Masalah

Menurut Hilgrad dan Bower2, belajar (to learn) memiliki arti: 1) to gain knowledge, comprehension, or mastery of trough experience or study; 2) to fix in

1 Sri Fariyati, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) STIT Pemalang

2 Baharudin, dkk., 2010, Teori Belajar & Pembelajaran, Yogyakarta, Ar-Ruzz Media, h. 13

Page 56: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

52

the mind or memory; memorize; 3) to acquire trough experience; 4) to become in forme of to find out. Menurut definisi tersebut, belajar memiliki pengertian memperoleh pengetahuan atau menguasai pengetahuan melalui pengalaman, mengingat, menguasai, dan mendapatkan informasi atau menemukan. Dengan demikian belajar memiliki arti dasar adanya aktivitas atau kegiatan dan penguasaan tentang sesuatu yang dirumuskan dalam tujuan pembelajaran.

Tujuan pembelajaran Qur‟an Hadits, adalah siswa mampu membaca, menulis, menerjemahkan, memahami surat-surat pendek, dan hadits-hadits serta mengkaitkannya dengan kehidupan sehari-hari.3 Penguasaan terhadap mata pelajaran ini menjadi sangat penting karena al Qur‟an dan al Hadits adalah pedoman hidup bagi umat manusia untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

Penerapan strategi pembelajaran berkaitan erat dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Seorang guru akan menggunakan strategi pembelajaran yang efektif yaitu strategi yang dapat membuat siswa menjadi aktif sejak mulai pembelajaran sampai selesai dan agar siswa mampu mencapai tujuan pembelajaran. Dalam hal ini adalah siswa mampu menulis, menterjemahkan, menghafal, dan menjelaskan kandungan hadits tentang keseimbangan hidup di dunia dan akhirat.

Peran serta guru dalam menentukan strategi pembelajaran sangatlah penting. Guru dituntut maksimal untuk menjadikan siswa memahami pelajaran termasuk pelajaran Qur‟an Hadits.

Berdasarkan pengamatan, ceramah adalah sebuah metode mengajar yang paling disukai oleh guru-guru di MTs NU Petarukan. MTs NU Petarukan adalah sebuah Madratsah di bawah naungan Lembaga Pendidikan Ma‟arif NU Petarukan. Madratsah ini secara kuantitas lebih maju dibandingkan dengan dua madratsah swasta di sekitarnya dalam penerimaan siswa baru pada dua tahun terakhir.

Berdasarkan evaluasi hasil belajar melalui tes sumatif semester gasal pada Tahun Pelajaran 2010/2011 pada mata pelajaran Qur‟an Hadits, kelas VIII A mempunyai nilai rerata hasil belajar paling rendah yaitu 6,7 dibandingkan kelas-kelas yang lain yaitu VII A nilai rerata 6,9, VII B 70, VIII B nilai rerata 7,1 dan kelas IX nilai rerata 7,9.

3 Tim Penyusun KTSP MTs, 2010, KTSP MTs NU Petarukan, h 17

Page 57: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

53

Menurut Arief,4 banyak faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal antara lain: motivasi belajar, minat, perhatian, sikap, kecerdasan, kebiasaan, ketekunan, kondisi sosial ekonomi, kondisi fisik dan psikis. Sedangkan faktor eksternal berasal dari luar siswa seperti: guru, sarana dan prasarana, teknik pembelajaran, kurikulum dan lingkungan. Sementara tinggi rendahnya aktivitas belajar siswa sangat dipengaruhi oleh ketepatan guru dalam menetapkan tehnik pembelajaran itu sendiri. Teknik pembelajaran adalah variabel penting yang berpengaruh terhadap tercapainya prestasi siswa. Dengan penggunaan teknik pembelajaran yang sesuai maka akan mampu meningkatkan pemahaman siswa sehingga berimbas pula pada peningkatan hasil belajar siswa.

Mel Silberman5 mengatakan jika ceramah digunakan terlalu sering, ceramah tidak akan mengarah ke belajar, tetapi ini dapat menjadi metode yang efektif jika pengajar dapat membangun daya tarik siswa, memaksimalkan pengertian dan ingatan, melibatkan siswa selama ceramah, dan memberikan penguatan apa yang telah disampaikan.

Salah satu strategi alternative untuk dapat mengaktifkan siswa dalam proses pembelajaran Qur‟an Hadits dengan metode ceramah adalah strategi guided note taking. Strategi ini merupakan salah satu usaha untuk membuat siswa lebih berkonsentrasi saat guru sedang menjelaskan pelajaran dengan metode ceramah yang selama ini dilakukan

Secara terminologi guided note taking adalah strategi dimana seorang guru menyiapkan suatu bagan, skema (handout) sebagai media yang dapat membantu siswa dalam membuat catatan ketika seorang guru sedang atau setelah menyampaikan pelajaran dengan metode ceramah.6

Menurut Mel Silberman,7 strategi ini merupakan pembelajaran berbasis siswa aktif (Active Learning). Yaitu usaha untuk membantu siswa memperoleh

4 Arief, Armai, 2003, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta, h. 39

5 Siberman, Mel, 2009, Active Learning, 101 Strategi Pembelajaran Aktif, (penerjemah

Sarjuli dkk), Jogjakarta, Pustaka Insan Madani, h. 24 6 Hisyam Zaeni, dkk., Strategi Pembelajaran Aktif, 2008, Yogyakarta, Insan Madani, h. 32

h. 32 7 Siberman, Mel, 2009, Active Learning, 101 Strategi Pembelajaran Aktif, (penerjemah

Sarjuli dkk), Jogjakarta, Pustaka Insan Madani, h. 99

Page 58: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

54

pengetahuan, ketrampilan, dan sikap secara aktif dalam pembelajaran. Pembelajaran aktif (active learning) juga dimaksudkan untuk menjaga perhatian siswa atau anak didik tetap tertuju pada proses pembelajaran.

Maka berdasarkan latar belakang di atas, penulis akan melakukan upaya perbaikan pada mata pelajaran Qur‟an Hadits untuk siswa kelas VIII A melalui penelitian tindakan kelas dengan menggunakan strategi guided note taking.

Penelitian ini berjudul “Penerapan strategi guided note taking untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa kelas VIII A pada mata pelajaran Qur‟an Hadits di MTs NU Petarukan”. Diharapkan dengan penelitian tindakan kelas ini mampu meningkatkan aktivitas siswa dan pada akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar siswa.

B. Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang di atas, penulis mengajukan rumusan masalah

sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pembelajaran Qur‟an Hadits di kelas VIII A MTs NU

Petarukan pra tindakan? 2. Bagaimanakah peningkatan aktivitas belajar siswa melalui strategi guided note

taking pada pembelajaran Quran Hadits kelas VIII A MTs NU Petarukan? 3. Bagaimanakah peningkatan hasil belajar siswa melalui strategi guided note

taking pada pembelajaran Quran Hadits kelas VIII A MTs NU Petarukan?

C. Strategi Guided Note Taking, Aktivitas Belajar, Hasil Belajar Dan Pembelajaran Qur’an Hadits

1. Strategi Guided Note Taking a. Definisi Strategi Guided Note Taking

Secara umum strategi mempunyai pengertian suatu garis-garis besar haluan untuk bertindak dalam usaha mencapai sasaran yang telah ditentukan. Jika dihubungkan dengan proses belajar mengajar, strategi bisa diartikan sebagai pola umum kegiatan guru dan anak

Page 59: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

55

didik dalam perwujudan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang telah digariskan.8

Strategi pada hakikatnya merupakan usaha untuk memperoleh kesuksesan dan keberhasilan dalam mencapai tujuan. Dalam dunia pendidikan, menurut David sebagaimana dikutip oleh Sanjaya, strategi dapat diartikan sebagai a plan, method, or series of activities designed to achieves a particular educational goal. Strategi pembelajaran dapat diartikan sebagai perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Strategi pembelajaran merupakan rencana tindakan (rangkaian kegiatan) termasuk penggunaan metode dan pemanfaatan berbagai sumber daya atau kekuatan dalam pembelajaran yang disusun untuk mencapai tujuan tertentu, dalam hal ini adalah tujuan pembelajaran.9

Untuk memilih strategi mengajar, harus dipertimbangkan maksud tujuan pelajaran secara keseluruhan.10

Adapun guided note taking berisi 3 kata yakni guide, note dan taking. Secara etimologi guided berasal dari kata guide sebagai kata benda berarti buku pedoman, pemandu, dan sebagai kata kerja berarti mengemudikan, menuntun, menjadi petunjuk jalan, membimbing dan mempedomani. Sedangkan guided sebagai kata sifat berarti kendali. Note berarti catatan dan taking sebagai kata benda yang berasal dari take mempunyai arti pengambilan.11

Strategi guided note taking adalah strategi dimana seorang guru menyiapkan suatu bagan, skema (handout) sebagai media yang dapat membantu siswa dalam membuat catatan ketika seorang guru sedang atau setelah menyampaikan pelajaran dengan metode ceramah.

8 Trianto, 2007, Model-model pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik, Konsep, landasan Teoritis-Praktis dan implementasinya, Jakarta, Prestasi Pustaka, cet. Ke 1, h. 85

9 Sanjaya, Wina, 2009, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta, Kencana. h. 294

10 Nasution, 2006, Kurikulum dan Pengajaran, Jakarta, PT Bumi Aksara, h. 85

11 John M. Echols & Hasan Shadily, 2003, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta, Gramedia,

h. 283)

Page 60: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

56

Tujuan dari strategi ini adalah agar metode ceramah yang dikembangkan oleh guru mendapat perhatian siswa.12

b. Relevansi Strategi Guided Note Taking Dengan Pembelajaran Aktif

Strategi guided note taking selain sebagai pengembangan dari metode ceramah, juga merupakan strategi yang menggunakan pendekatan pembelajaran aktif (active learning). Pembelajaran aktif (active learning) adalah segala bentuk pembelajaran yang memungkinkan siswa berperan secara aktif dalam proses pembelajaran itu sendiri baik dalam bentuk interaksi antar siswa maupun siswa dengan guru dalam pembelajaran tersebut. Pembelajaran aktif (active learning) dimaksudkan untuk mengoptimalkan penggunaan semua potensi yang dimiliki oleh anak didik, sehingga semua anak didik dapat mencapai hasil belajar yang memuaskan sesuai dengan karakteristik pribadi yang mereka miliki. Disamping itu pembelajaran aktif (active learning) dimaksudkan untuk menjaga perhatian siswa agar tetap tertuju pada proses pembelajaran.13

Dari sini jelas terlihat bahwa strategi guided note taking adalah strategi pembelajaran yang meski dalam pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari metode ceramah namun strategi ini cocok digunakan untuk menghadirkan suasana belajar yang aktif sehingga siswa akan terfokus perhatiannya pada istilah dan konsep yang akan dikembangkan dan materi yang berhubungan dengan kompetensi serta tujuan yang telah dirancang.

c. Langkah-langkah Pembelajaran Strategi Guided Note Taking

Ada berbagai macam metode untuk membuat catatan secara terbimbing ini. Cara paling sederhana adalah melibatkan pengisian blangko. Prosedurnya adalah sebagai berikut :

12 Hisyam Zaeni, dkk., Strategi Pembelajaran Aktif, 2008, Yogyakarta, Insan Madani,

h. 32 13

Siberman, Mel, 2009, Active Learning, 101 Strategi Pembelajaran Aktif, (penerjemah Sarjuli dkk), Jogjakarta, Pustaka Insan Madani, h. 99

Page 61: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

57

1) Persiapkan sebuah handout yang menyimpulkan poin-poin yang penting dari sebuah pelajaran yang disampaikan dengan ceramah yang diberikan.

2) Sebagai ganti memberikan teks yang lengkap, tinggalkan bagian-bagian teks itu kosong.

3) Bagikan handout kepada siswa. Jelaskan bahwa blangko-blangko itu untuk membuat mereka mendengarkan secara aktif pelajaran yang disampaikan dengan ceramah.14

Variasinya diantaranya dengan membagi suatu pelajaran yang disampaikan dengan ceramah menjadi beberapa bagian. Kemudian meminta siswa mendengarkan penuh perhatian selagi guru berbicara tapi tidak boleh mencatat. Kemudian ajaklah mereka menulis catatan-catatan selama break dalam pelajaran yang disampaikan dengan ceramah.15

Penulis melakukan penelitian dengan menggunakan variasi dari strategi guided note taking yaitu dengan menambahkan kesempatan bagi siswa lain untuk merespond hasil tulisan siswa setelah dibacakan oleh siswa dan memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya atau menjawab pertanyaan guru di sela-sela penyampaian materi.

d. Kelebihan dan Kekurangan Strategi Guided Note Taking Adapun keunggulan-keunggulan strategi guided note taking

adalah: 1) Strategi ini cocok untuk kelas besar dan kecil. 2) Strategi ini dapat digunakan sebelum, selama berlangsung, atau

sesuai kegiatan pembelajaran. 3) Strategi ini cukup berguna untuk materi pengantar. 4) Strategi ini sangat cocok untuk materi-materi yang mengandung

fakta-fakta, sila-sila, rukun-rukun atau prinsip-prinsip dan definisi-definisi.

14 Op. Cit., h. 108-109

15 Op. Cit., h. 110

Page 62: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

58

5) Strategi ini mudah digunakan ketika siswa harus mempelajari materi yang bersifat menguji pengetahuan kognitif.

6) Strategi ini cocok untuk memulai pembelajaran sehingga siswa akan terfokus perhatiannya pada istilah dan konsep yang akan dikembangkan dan yang berhubungan dengan mata pelajaran untuk kemudian dikembangkan menjadi konsep atau bagan pemikiran yang lebih ringkas.

7) Strategi ini dapat digunakan beberapa kali untuk merangkum bab-bab yang berbeda.

8) Strategi ini cocok untuk menggantikan ringkasan yang bersifat naratif atau tulisan naratif yang panjang.

9) Strategi ini dapat dimanfaatkan untuk menilai kecenderungan seseorang terhadap suatu informasi tertentu

10) Strategi ini memungkinkan siswa belajar lebih aktif, karena memberikan kesempatan mengembangkan diri, fokus pada handout dan materi ceramah serta diharapkan mampu memecahkan masalah sendiri dengan menemukan (discovery) dan bekerja sendiri.

Di samping memiliki kelebihan, strategi guided note taking juga memiliki beberapa kelemahan, yaitu: 1) Jika guided note taking digunakan sebagai strategi pembelajaran

pada setiap materi pelajaran, maka guru akan sulit mengontrol kegiatan dan keberhasilan siswa.

2) Kadang-kadang dalam mengimplementasikannya, memerlukan waktu yang panjang sehingga guru sulit menyesuaikannya dengan waktu yang ditentukan.

3) Kadang-kadang sulit dalam pelaksanaan karena guru harus mempersiapkan handout atau perencanaan terlebih dahulu, dengan memilah bagian atau materi mana yang harus dikosongkan dan pertimbangan kesesuaian materi dengan kesiapan siswa untuk belajar dengan model strategi tersebut.

4) Guru-guru yang sudah terlanjur menggunakan strategi lama sulit beradaptasi pada strategi baru.

5) Menuntut para guru untuk lebih menguasai materi lebih luas lagi dari standar yang telah ditetapkan.

Page 63: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

59

6) Biaya untuk penggandaan handout bagi sebagian guru masih dirasakan mahal dan kurang ekonomis.

2. Aktivitas Dan Hasil Belajar a. Aktivitas Belajar 1) Definisi Aktivitas Belajar

Menurut Echols dan Shadily16 aktivitas berasal dari bahasa Inggris activity yang berarti kegiatan. Aktivitas belajar adalah kegiatan yang dilakukan oleh siswa baik berupa kegiatan fisik maupun mental untuk mencapai tujuan pembelajaran berupa perubahan tingkah laku, pengetahuan maupun kecakapan.

2) Macam-macam Aktivitas Belajar Menurut Paul B. Diedrich dalam Sardiman,17 siswa dalam

belajar digolongkan atas 8 kelompok sebagai berikut: Visual Activities, Oral Activities, Listening Activities, Writing Activities, Drawing Activities, Motor Activities, Mental Activities, dan Emotional Activities.

Aktivitas siswa selama proses belajar mengajar merupakan salah satu indikator adanya keinginan siswa untuk belajar. Aktivitas siswa merupakan kegiatan atau perilaku yang terjadi selama proses belajar mengajar. Sedangkan dalam penelitian ini, siswa dikatakan memiliki keaktifan apabila ditemukan ciri – ciri perilaku sebagai berikut: siswa menaruh perhatian dalam mengikuti proses pembelajaran (visual activities), mendengarkan penjelasan guru (listening activities), mengingat materi kemudian dituangkan dalam handout (mental activities), aktif dalam menulis handout (writing activities), berani untuk bertanya atau menjawab (emotional activities), dan membaca atau mempresentasikan hasil (oral activities).

16 John M. Echols & Hasan Shadily, 2003, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta, Gramedia,

h. 10 17

Sardiman, A.M., 2007, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta, Raja Grafindo Pustaka, h. 100

Page 64: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

60

3) Faktor-faktor Yang mempengaruhi Aktivitas Belajar Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas belajar, menurut

Soemanto ada tiga faktor, yaitu: faktor stimulasi belajar, metode belajar, dan faktor individual. Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas belajar adalah faktor yang mempengaruhi hasil belajar. Faktor ini dibedakan atas dua kategori, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Kedua faktor tersebut saling mempengaruhi dalam proses belajar individu sehingga menentukan kualitas hasil belajar.18

b. Hasil Belajar

1) Definisi Hasil Belajar Hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai,

pengertian-pengertian, sikap-sikap, apresiasi dan keterampilan.19 Suprayekti20mengatakan hasil belajar adalah suatu psikis atau mental yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan yang relatif konstan dan berbekas. Perolehan aspek-aspek perubahan perilaku tersebut tergantung pada apa yang dipelajari oleh pembelajar. Perubahan perilaku yang harus dicapai oleh pembelajar setelah melaksanakan belajar dirumuskan dalam tujuan pembelajaran.

Dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikuler maupun tujuan instruksional, menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Benyamin Bloom yang secara garis besar membagi hasil belajar menjadi 3 ranah yaitu: ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotoris. Menurut Bloom dalam Supriyono,21 domain kognitif adalah knowledge (pengetahuan, ingatan), comprehension (pemahaman, menjelaskan, meringkas, contoh),

18 Baharudin, dkk., 2010, Teori Belajar & Pembelajaran, Yogyakarta, Ar-Ruzz Media, h. 207

19 Supriyono, Agus, 2009, Cooperative Learning Teori & Aplikasi PAIKEM, Yogyakarta,

Pustaka Pelajar, Cet. Ke 1, h. 7 20

Soewondo, M.S., 2003, Interaksi Belajar Mengajar, Jakarta, Direktorat Kependidikan Dirjendikdasmen Depdiknas

21 Op. Cit., h. 28

Page 65: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

61

application (menerapkan), analysis (menguraikan, menetukan hubungan), synthesis (mengorganisasikan, merencanakan, membentuk bangunan baru), dan evaluation (menilai). Domain afektif adalah receiving (sikap menerima), responding (memberikan respons), valuing (nilai), organization (organisasi), characterization (karakterisasi). Domain Psikomotor meliputi initiatory, pre-routine, dan routinized. Psikomotor juga mencakup keterampilan produktif, teknik, fisik, sosial, manajerial, dan intelektual. Sementara menurut Lindgren hasil pembelajaran meliputi kecakapan, informasi, pengertian, dan sikap.

2) Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Hasil Belajar

Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar dibedakan atas dua kategori, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Kedua faktor tersebut saling mempengaruhi dalam proses belajar individu sehingga menentukan kualitas hasil belajar.22 a. Faktor internal

Faktor internal adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam diri individu dan dapat mempengaruhi hasil belajar individu. Faktor-faktor internal ini meliputi faktor fisiologis dan psikologis.

Faktor fisiologis adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik individu. Faktor-faktor ini dibedakan menjadi dua macam. Pertama, keadaan tonus jasmani pada umumnya sangat mempengaruhi aktivitas belajar seseorang. Kondisi fisik yang sehat dan bugar akan memberikan pengaruh positif terhadap kegiatan belajar individu. Kedua, keadaan fungsi jasmani/fisiologis. Selama proses belajar berlangsung, peran fungsi fisiologi pada tubuh manusia sangat mempengaruhi hasil belajar, terutama pancaindra. Pancaindra yang berfungsi dengan baik akan mempermudah aktivitas belajar dengan baik pula. Dalam proses belajar pancaindra merupakan pintu masuk bagi

22 Baharudin, dkk., 2010, Teori Belajar & Pembelajaran, Yogyakarta, Ar-Ruzz Media,

h.207

Page 66: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

62

segala informasi yang diterima dan ditangkap oleh manusia, sehingga manusia dapat mengenal dunia luar. Pancaindra yang memiliki peran besar dalam aktivitas belajar adalah mata dan telinga.

Faktor psikologis adalah keadaan psikologi seseorang yang dapat mempengaruhi proses belajar. Beberapa faktor psikologis yang utama mempengaruhi proses belajar adalah kecerdasan siswa, motivasi, minat, sikap, dan bakat.

b. Faktor eksternal/eksogen

Syah dalam Baharuddin23 menjelaskan bahwa faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi belajar dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu faktor lingkungan sosial dan faktor lingkungan nonsosial.

Faktor lingkungan sosial mencakup lingkungan sosial sekolah, lingkungan sosial masyarakat, dan lingkungan sosial keluarga. Sedangkan faktor lingkungan nonsosial meliputi: lingkungan alamiah, faktor instrumental, dan faktor materi pelajaran. Faktor materi pelajaran ini hendaknya disesuaikan dengan usia perkembangan siswa, begitu juga dengan metode mengajar guru, disesuaikan dengan kondisi perkembangan siswa. Karena itu, agar guru dapat memberikan kontribusi yang positif terhadap aktivitas belajar siswa, maka guru harus menguasai materi pelajaran dan berbagai metode mengajar yang dapat diterapkan sesuai dengan kondisi siswa.

3. Pembelajaran Qur’an Hadits Dengan Strategi Guided Note Taking Tema Keseimbangan Hidup di Dunia dan Akhirat a. Belajar dan Pembelajaran

Belajar adalah aktivitas mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, ketrampilan dan sikap.24 Sedangkan

23 Op. Cit., h. 28

24 Winkel, WS, 1999, Psikologi Pengajaran, Jakarta, PT Grasindo, h. 53

Page 67: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

63

menurut Hilgrad dan Bower,25 belajar (to leaarn) memiliki arti: 1) to gain knowledge, comprehension, or mastery of trough experience or study; 2) to fix in the mind or memory; memorize; 3) to acquire trough experience; 4) to become in forme of to find out. Menurut definisi tersebut, belajar memiliki pengertian memperoleh pengetahuan atau menguasai pengetahuan melalui pengalaman, mengingat, menguasai pengalaman, dan mendapatkan informasi atau menemukan. Dengan demikian belajar memiliki arti dasar adanya aktivitas atau kegiatan dan penguasaan tentang sesuatu.

Pembelajaran merupakan terjemahan dari learning, pembelajaran berdasarkan makna leksikal berarti proses, cara, perbuatan mempelajari. Pada pembelajaran, guru mengajar diartikan sebagai upaya guru mengorganisir lingkungan terjadinya pembelajaran.26

Menurut Gagne,27 proses belajar, terutama belajar yang terjadi di sekolah, itu melalui tahap-tahap atau fase-fase: motivasi, konsentrasi, mengolah, menggali 1, menggali 2, prestasi, dan umpan balik.

Tahap motivasi, yaitu saat motivasi dan keinginan siswa untuk melakukan kegiatan belajar bangkit. Misalnya siswa tertarik untuk memperhatikan apa yang akan dipelajari, melihat gurunya datang, melihat apa yang ditunjukkan guru (buku, alat peraga), dan mendengarkan apa yang diucapkan guru.

Tahap konsentrasi, yaitu saat siswa harus memusatkan perhatian, yang telah ada pada tahap motivasi, untuk tertuju pada hal-hal yang relevan dengan apa yang akan dipelajari.

Tahap mengolah, siswa menahan informasi yang diterima dari guru dalam Short Term Memory (STM), atau tempat penyimpanan ingatan jangka pendek, kemudian mengolah informasi-informasi

25 Baharudin, dkk., 2010, Teori Belajar & Pembelajaran, Yogyakarta, Ar-Ruzz Media,

h. 13 26

Supriyono, Agus, 2009, Cooperative Learning Teori & Aplikasi PAIKEM, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Cet. Ke 1, h. 13

27 Baharudin, dkk., 2010, Teori Belajar & Pembelajaran, Yogyakarta, Ar-Ruzz Media,

h. 17

Page 68: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

64

untuk diberi makna (meaning) berupa sandi-sandi sesuai dengan penangkapan masing-masing.

Tahap menyimpan, yaitu siswa menyimpan simbol-simbol hasil olahan yang telah diberi makna ke dalam Long Term Memory (LTM) atau gudang ingatan jangka panjang. Pada tahap ini hasil belajar sudah diperoleh baik baru sebagian maupun keseluruhan.

Tahap menggali 1, yaitu siswa menggali informasi yang telah disimpan dalam LTM ke STM untuk dikaitkan dengan informasi baru yang dia terima. Ini terjadi pada pelajaran waktu berikutnya yang merupakan kelanjutan pelajaran sebelumnya. Penggalian ini diperlukan agar apa yang telah dikuasai menjadi kesatuan dengan yang akan diterima, sehingga bukan menjadi sesuatu yang lepas satu sama lain. Setelah penggalian informasi dan dikaitkan dengan informasi baru, maka terjadi lagi pengolahan informasi untuk diberi makna seperti halnya dalam tahap mengolah untuk selanjutnya disimpan dalam LTM lagi.

Tahap menggali 2, menggali informasi yang telah disimpan dalam LTM untuk persiapan fase prestasi, baik langsung maupun melalui STM. Tahap menggali 2 diperlukan untuk kepentingan kerja, menyelesaikan tugas, menjawab pertanyaan atau soal.

Tahap Prestasi, informasi yang telah tergali pada tahap sebelumnya digunakan untuk menunjukkan prestasi yang merupakan hasil belajar. Hasil belajar itu, misalnya, berupa ketrampilan mengerjakan sesuatu, kemampuan menjawab soal, atau menyelesaikan tugas.

Tahap Umpan Balik, siswa memperoleh penguatan (konfirmasi) saat perasaan puas atas prestasi yang ditunjukkan. Hal ini terjadi jika prestasinya tepat. Tapi sebaliknya, jika prestasinya jelek, perasaan tidak puas maupun tidak senang itu bisa saja diperoleh dari guru atau dari diri sendiri.28

28 Op. Cit., h. 18

Page 69: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

65

b. Pembelajaran Qur’an Hadits Standar Kompetensi : Memahami Hadits tentang keseimbangan hidup di dunia dan akhirat. Kompetensi Dasar : 1) Menulis Hadits tentang keseimbangan hidup di dunia dan akhirat 2) Menerjemahkan makna hadits tentang keseimbangan hidup di

dunia dan akhirat 3) Menghafal hadits tentang keseimbangan hidup di dunia dan

akhirat 4) Menjelaskan keterkaitan isi kandungan hadits dalam perilaku

keseimbangan hidup di dunia dan akhirat dalam fenomena kehidupan dan akibatnya.

Indikator Pencapaian Hasil Belajar Siswa dapat : 1) Menulis hadits tentang keseimbangan hidup di dunia dan di

akherat. 2) Memembaca hadits tentang keseimbangan hidup didunia dan di

akherat. 3) Menterjemahkan hadits tentang keseimbangan hidup di dunia dan

di akherat. 4) Menghafal hadits tentang keseimbangan hidup di dunia dan di

akherat. 5) Menjelaskan isi kandungan hadits tentang keseimbangan hidup di

dunia dan di akherat. 6) Menjelaskan keterkaitan hadits dalam perilaku keseimbangan

hidup di dunia dan di akherat 7) Menjelaskan dampak positif dari sifat menyeimbangkan hidup di

dunia dan di akherat.

c. Tujuan Pembelajaran Adapun tujuan pembelajaran pada tema keseimbangan hidup

di dunia dan akhirat adalah siswa mampu menulis, menterjemahkan, menghafal, dan mengetahui kandungan hadits tentang keseimbangan hidup di dunia dan akhirat serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Page 70: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

66

D. METODE PENELITIAN 1. Jenis dan Desain Penelitian

Jenis penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) atau classroom action research (CAR) yang berbentuk Teacher-as-Research yaitu guru sebagai peneliti. Jenis data yang diperoleh dari penelitian ini ada dua, yaitu data kuantitatif berupa data hasil tes siswa sebelum dan sesudah mengikuti proses pembelajaran dengan menerapkan strategi guided note taking dan data hasil observasi aktivitas belajar selama proses pembelajaran. Selanjutnya data ini akan dianalisis dengan analisa statistik deskriptif.29

Inti dari Penelitian Tindakan Kelas ini adalah untuk menerapkan strategi guided note taking yang bertujuan untuk memperbaiki aktivitas dan hasil pembelajaran Qur‟an Hadits di dalam kelas.

Peneliti melaksanakan penelitian ini dalam tiga siklus yaitu siklus I, siklus II, dan siklus III. Setiap siklus terdiri atas empat tahap kegiatan yaitu : a. Perencanaan

Tahap perencanaan merupakan tahap awal yang berupa : menyusun rencana pembelajaran sesuai dengan tindakan yang akan dilakukan, menyusun observasi kelas, mempersiapkan metode dan tehnik pembelajaran, dan mempersiapkan alat evaluasi dan dokumentasi.

b. Tindakan Merupakan penerapan dari rencana yang telah dibuat

sebelumnya. Tahap ini merupakan tahap inti dari proses pembelajaran. c. Observasi

Kegiatan ini berlangsung seiring dengan kegiatan pembelajaran pada tahap kedua. Peneliti mengobservasi kegiatan kelas yang dilakukan oleh setiap siswa, yaitu tentang aktivitas siswa ketika mengikuti pelajaran

29 Arikunto, Suharsimi, 2006, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, edisi revisi,

Jakarta, Rineka Cipta, h. 131

Page 71: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

67

d. Refleksi Refleksi berarti evaluasi terhadap jalannya proses

pembelajaran dari awal sampai akhir, berfikir ulang terhadap apa yang sudah dilakukan, apa yang belum dilakukan, apa yang sudah dicapai, dan apa yang belum dicapai, apakah suatu kegiatan sudah berjalan dengan baik atau belum, masalah apa saja yang belum terpecahkan, dan menentukan tindakan yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas aktivitas dan hasil pembelajaran. Jika evaluasi tersebut menyatakan kegiatan belum berhasil, maka kegiatan dilanjutkan dengan melakukan siklus II dan seterusnya.

2. Setting, waktu dan subyek penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Madrasah Tsanawiyah (MTs) NU

Petarukan, yang beralamat di Jalan Raden Saleh No 73 Petarukan kecamatan Petarukan kabupaten Pemalang Jawa Tengah. Penelitian ini dilaksanakan pada proses belajar mengajar semester genap yaitu pada bulan Maret sd. Mei 2011 yang dibagi dalam tiga siklus. Sedangkan subyek penelitian adalah siswa kelas VIII A MTs NU Petarukan sebanyak 43 anak.

a. Variabel Penelitian

Penelitian ini menggunakan dua variabel yakni variabel bebas/independent dan variabel terikat/dependen. Adapun variabel bebas/independent adalah strategi guided note taking (X) sedangkan variabel terikat/dependent adalah aktivitas belajar siswa (Y1) dan hasil belajar siswa (Y2).

b. Siklus Penelitian Penelitian tindakan ini dilaksanakan dalam 3 (tiga) siklus.

Tiap-tiap siklus dilaksanakan dalam 2 (dua) kali pertemuan, dan masing-masing siklus terdiri dari empat kegiatan utama yaitu: perencanaan/Planning, pelaksanaan/acting, pengamatan/observing

Page 72: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

68

dan refleksi /reflecting.30 Hasil dari siklus I menjadi bahan pertimbangan dalam melaksanakan siklus II, dan hasil dari siklus II menjadi bahan pertimbangan dalam melaksanakan siklus III.

3. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian tindakan ini terdiri dari 4 tahap, yakni

perencanaan, melakukan tindakan, observasi, dan evaluasi. Keempat tahap ini dilaksanakan dalam 3 siklus. Tiap siklus terdiri plan (perencaan), act (tindakan), observasi (pengamatan), reflect (refleksi).31

Sebelum melakukan tindakan inti, peneliti terlebih dahulu melakukan observasi awal sebagai refleksi awal, peneliti dalam hal ini mengadakan observasi kelas untuk mendapatkan gambaran dan hasil belajar siswa pra tindakan.

4. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan untuk

mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati.32 Instrumen dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis instrumen, yaitu:

a) Instrumen Tes Tes yang digunakan adalah tes tertulis berupa pilihan ganda.

Setiap jawaban yang benar diberi bobot nilai (skore) 1 dan setiap jawaban yang salah diberi bobot nilai (skore) 0. Instrumen ini dipakai untuk mengukur hasil belajar siswa dengan menjawab soal-soal tentang keseimbangan hidup di dunia dan akhirat yang dilaksanakan pada setiap akhir siklus.

b) Instrumen Observasi Jenis instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah

observasi terstruktur yang telah dirancang sebelumnya berdasarkan pedoman observasi berupa lembar observasi untuk melihat aktivitas

30 Aqib, Zainal, dkk., 2009, Penelitian Tindakan Kelas, Bandung, Yrama Widya h.

30 31

Arikunto, Suharsimi, 2006, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, edisi revisi, Jakarta, Rineka Cipta, h. 16

32 Sugiyono, 2009, Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan

R&D, Bandung, Alfabeta, h. 148

Page 73: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

69

siswa dalam proses pembelajaran. Indikator siswa yang diamati dalam penelitian ini adalah adanya perubahan perilaku dalam pembelajaran yakni perhatian siswa dalam mengikuti proses pembelajaran (visual activities), keaktifan siswa dalam mendengarkan penjelasan guru (listening activities), keaktifan siswa dalam membaca ayat atau hadits (oral activities), keaktifan siswa dalam mengingat materi yang dituliskan dalam handout atau hafalan (mental activities), keaktifan siswa dalam menulis handout (writing activities), dan keberanian untuk bertanya, menjawab, atau maju ke depan. (emotional activities).33

5. Metode Analisa Data

Jenis data yang diperoleh dari penelitian ini akan dianalisis dengan analisa statistic deskriptif.

Teknik yang digunakan adalah perhitungan persentasi perolehan nilai dan peningkatannya tiap siklus. Perhitungannya dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Data aktivitas siswa melalui observasi dihitung dengan rumus:

∑skore perolehan Nilai = ----------------------------------------X 100% ∑skore maksimal

2. Data nilai hasil belajar dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

∑jawaban benar Nilai = -----------------------------------------X 100 ∑skore total

3. Data tentang ketuntasan belajar Ketuntasan belajar dihitung menggunakan rumus:

33 Sardiman, A.M., 2007, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta, Raja

Grafindo Pustaka, h. 100

Page 74: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

70

∑ Nilai siswa Nilai = -----------------------------------------X 100

∑nilai total

∑siswa dengan nilai ≥ 70 (f) Nilai = ----------------------------------------- X 100%

∑ siswa (n) Ketuntasan hasil belajar seluruh siswa jika target nilai rata-rata

mencapai 70 dengan jumlah siswa yang tuntas belajar 85% dari jumlah siswa di k-elas.34

Adapun standar konversi data kuantitatif ke data kualitatif menurut Acep35 adalah sebagai berikut :

Tabel 1.5

Kualifikasi Prosentase Aktivitas Belajar Siswa

PROSENTASE KRITERIA

0 % - 25 % Kurang

26 % - 50 % Cukup

51 % - 75 % Baik

76 % - 100 % Sangat Baik

E. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Analisa Data Awal Tentang Aktivitas Dan Hasil Belajar Siswa

dalam Proses Pembelajaran Qur’an Hadits Untuk megetahui aktivitas dan hasil belajar siswa kelas VIII A

MTs NU Petarukan secara valid, maka peneliti mengadakan penelitian pra tindakan pada kelas VIII A dengan menggunakan metode yang biasa dipakai yaitu metode ceramah.

Penelitian ini dilaksanakan dalam waktu dua pertemuan dalam durasi waktu 2 x 80 menit atau 4 x 40 menit. Materi yang diajarkan adalah

34 Muslich, Masnur, 2009, KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual,

Jakarta, Bumi Aksara, h. 22 35

Yoni, Acep, 2010, Menyusun Penelitian Tindakan Kelas, Jogjakarta, Famalia, h. 177

Page 75: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

71

QS. Al Qashash : 77 tentang keseimbangan hidup di dunia dan akhirat. Adapun objek penelitiannya adalah siswa kelas VIII A yang berjumlah 43 anak. Penelitian ini dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 19 dan 26 maret 2011. Adapun hasil penelitian menunjukkan :

a. Aktivitas Belajar Siswa

Data aktivitas belajar dari hasil observasi pada proses pembelajaran pra tindakan ini ada dua, yaitu data aktivitas belajar siswa pada pertemuan pertama dan data aktivitas belajar siswa pada pertemuan kedua. Masing-masing hasil aktivitas dijumlah, kemudian hasil pertemuan pertama ditambahkan hasil pertemuan kedua, selanjutnya dicari rata-ratanya dan rata-rata tersebut menjadi skore perolehan aktivitas belajar siswa.

Data di atas menunjukkan bahwa Aktivitas belajar siswa Kelas VIII A terbagi dalam beberapa kriteria antara lain:

1. Kurang Aktif = 0 siswa : 43 x 100 = 0 % 2. Cukup Aktif = 20 siswa : 43 x 100 = 46,51 % 3. Aktif = 18 siswa : 43 x 100 = 41,86 % 4. Sangat Aktif = 5 siswa : 43 x 100 = 11,63 %

Jika aktivitas belajar siswa pada pra tindakan dengan menggunakan metode ceramah menunjukkan angka 53,49 % yaitu hasil akumulasi dari nilai siswa aktif dan siswa sangat aktif, maka hal ini menunjukkan bahwa aktivitas belajar siswa belum berhasil karena belum mencapai angka 75%. Sedangkan nilai rata-rata aktivitas belajar siswa adalah 58,7. b. Hasil Belajar Siswa

Hasil belajar siswa diambil dari tes akhir kegiatan pra tindakan dengan menjawab 10 butir soal pilihan ganda, setiap jawaban yang benar mendapat nilai satu (1) dan jawaban yang salah mendapat nilai nol (0).

Berdasarkan data di atas maka jumlah siswa yang hadir mengikuti tes pra tindakan sebanyak 42 anak, dengan kriteria sebagai berikut:

Page 76: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

72

a) Siswa dengan nilai ≥ 70 = Tuntas = 31 anak b) Siswa dengan nilai < 70 = Tidak tuntas = 11

Siswa yang memperoleh nilai lebih besar sama dengan 70 dan dinyatakan tuntas individu sebanyak 31 anak. Sedangkan siswa yang tidak tuntas sebanyak 11. Maka ketuntasan secara klasikal adalah 31 : 42 x 100 % = 73,81 %. Sedangkan prosentase siswa yang tidak tuntas adalah 11 : 42 x 100 % = sebesar 26,19 %. Jika ketuntasan belajar seluruh siswa adalah nilai rata-rata mencapai 70 dengan jumlah siswa yang tuntas belajar 85% dari jumlah siswa di kelas36 maka dengan demikian dapat dikatakan bahwa hasil belajar siswa pada kegiatan pembelajaran pra tindakan belum mencapai ketuntasan klasikal karena baru mencapai 73,81 % dengan nilai rata-rata kelas 69,76. Selanjutnya nilai rata-rata 69,76 dan ketuntasan klasikal 73,81% menjadi nilai dasar untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan hasil belajar siswa pada penerapan strategi guided note taking.

2. Strategi Guided Note Taking Untuk Meningkatkan Aktivitas Belajar

Siswa Pada Mata Pelajaran Qur’an Hadits Pada Siklus I, II, dan III Kegiatan Tindakan ini dilakukan sebagai usaha perbaikan

pembelajaran untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa yang belum berhasil. Usaha perbaikan yang dipilih adalah dengan menerapkan sebuah strategi pembelajaran. Hal ini dipilih karena menurut Arief,37 bahwa aktivitas belajar siswa yang berdampak pada hasil belajar siswa akan dipengaruhi oleh strategi pembelajaran yang diterapkan di kelas.

a. Siklus I Penerapan strategi guided note taking pada pembelajaran Qur‟an

Hadis di Kelas VIII A MTs NU Petarukan siklus I dilaksanakan dalam dua pertemuan yaitu pada tanggal 9 dan 16 April 2011. Tahapan-tahapan yang dilakukan tiap-tiap siklus antara lain, perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi.

36 Muslich, Masnur, 2009, KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual,

Jakarta, Bumi Aksara, h. 22 37

Arief, Armai, 2003, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta, h. 39

Page 77: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

73

Data aktivitas belajar dari hasil observasi pada proses pembelajaran siklus ini ada dua, yaitu data aktivitas belajar siswa pada pertemuan pertama dan data aktivitas belajar siswa pada pertemuan kedua. Masing-masing hasil aktivitas dijumlah, kemudian hasil pertemuan pertama ditambahkan hasil pertemuan kedua, selanjutnya dicari rata-ratanya dan rata-rata tersebut menjadi skore perolehan aktivitas belajar siswa

Data di atas menunjukkan bahwa Aktivitas belajar siswa Kelas VIII A terbagi dalam beberapa kriteria antara lain:

1) Kurang Aktif = 0 siswa : 43 x 100 = 0 % 2) Cukup Aktif = 12 siswa : 43 x 100 = 27,91 % 3) Aktif = 24 siswa : 43 x 100 = 55,81 % 4) Sangat Aktif = 7 siswa : 43 x 100 = 16,28 %

Indikator Keberhasilan pada aktivitas belajar siswa pada saat proses pembelajaran adalah apabila seluruhnya atau setidaknya 75% siswa terlibat secara aktif, baik fisik maupun mental.38 Jika aktivitas belajar siswa pada siklus ke 1 dengan menggunakan strategi guided note taking menunjukkan angka 72,09 % yaitu hasil akumulasi dari nilai siswa aktif dan siswa sangat aktif, maka hal ini menunjukkan bahwa aktivitas belajar siswa belum berhasil karena belum mencapai angka 75%, namun sudah ada peningkatan sebesar 18,60 % dari aktivitas belajar siswa pada pelaksanaan pra tindakan sebesar 53, 49% dengan nilai rata-rata aktivitas belajar siswa sebesar 62,60.

b. Siklus II

Kegiatan Tindakan pada siklus ke 2 ini dilakukan sebagai usaha perbaikan pembelajaran untuk meningkatkan aktivitas belajar siswa yang belum berhasil secara klasikal. siklus II ini dilaksanakan dalam dua pertemuan yaitu pada tanggal 23 April dan 7 Mei 2011.

38 Mulyasa, 2003, Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, karakteristik dan

Implementasi, Bandung, Remaja Rosdakarya, h. 101

Page 78: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

74

Data aktivitas belajar dari hasil observasi pada proses pembelajaran siklus ini ada dua, yaitu data aktivitas belajar siswa pada pertemuan pertama dan data aktivitas belajar siswa pada pertemuan kedua. Masing-masing hasil aktivitas dijumlah, kemudian hasil pertemuan pertama ditambahkan hasil pertemuan kedua, selanjutnya dicari rata-ratanya dan rata-rata tersebut menjadi skore perolehan aktivitas belajar siswa

Data di atas menunjukkan bahwa Aktivitas belajar siswa Kelas VIII A terbagi dalam beberapa kriteria antara lain:

1) Kurang Aktif = 0 siswa : 43 x 100 = 0 % 2) Cukup Aktif = 3 siswa : 43 x 100 = 6,98 % 3) Aktif = 34 siswa : 43 x 100 = 79,07 % 4) Sangat Aktif = 6 siswa : 43 x 100 = 13,95 %

Jika aktivitas belajar siswa pada siklus ke 1I dengan menggunakan strategi guided note taking menunjukkan angka 93,02 % yaitu hasil akumulasi dari prosentase siswa aktif dan siswa sangat aktif, maka hal ini menunjukkan bahwa aktivitas belajar siswa sudah berhasil karena sudah melebihi angka 75% dan mengalami peningkatan sebesar 20,93 % dari 72,09% pada siklus ke-1 dengan rata-rata aktivitas belajar siswa adalah 64,62.

c. Siklus III

Kegiatan Tindakan pada siklus ke 3 ini dilakukan sebagai usaha perbaikan pembelajaran untuk meningkatkan aktivitas belajar siswa terutama panda indikator keberanian siswa. siklus III ini dilaksanakan dalam dua pertemuan sebagaimana pada pelaksanaan siklus I dan siklus II, yaitu pada hari Sabtu tanggal 21 dan hari Jum‟at tanggal 27 Mei 201.

Penelitian ini menunjukkan bahwa Aktivitas belajar siswa Kelas VIII A terbagi dalam beberapa kriteria antara lain:

Kurang Aktif = 0 siswa : 43 x 100 = 0 % Cukup Aktif = 2 siswa : 43 x 100 = 4,65 % Aktif = 30 siswa : 43 x 100 = 69,77 % Sangat Aktif = 11 siswa : 43 x 100 = 25,58 %

Page 79: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

75

Jika aktivitas belajar siswa pada siklus ketiga dengan menggunakan strategi guided note taking menunjukkan angka 95,35 % yaitu hasil akumulasi dari nilai siswa aktif dan siswa sangat aktif, maka hal ini menunjukkan bahwa aktivitas belajar siswa sudah berhasil karena sudah mencapai angka 75% dan mengalami peningkatan sebesar 2,33 % dengan nilai rata-rata aktivitas belajar siswa sebesar 73,21.

3. Strategi Guided Note Taking Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Qur’an Hadits Pada Siklus I, II, dan III a. Siklus I

Hasil belajar siswa pada siklus I ini diambil dari tes akhir siklus pada akhir pertemuan kedua. Tes ini berupa 10 butir soal pilihan ganda, siswa memilih jawaban yang tepat dengan memberi tanda silang atau melingkarinya. Setiap jawaban yang benar mendapat nilai satu (1) dan jawaban yang salah mendapat nilai nol (0).

Berdasarkan data di atas maka jumlah siswa yang hadir mengikuti tes siklus ke-1 adalah sebanyak 43 anak, dengan kriteria sebagai berikut:

a) Siswa dengan nilai ≥ 70 = Tuntas = 37 anak b) Siswa dengan nilai < 70 = Tidak tuntas = 6 anak

Berdasarkan perolehan nilai di atas, maka jumlah siswa yang memperoleh nilai lebih besar sama dengan 70 dan dinyatakan tuntas individu sebanyak 37 siswa. Sedangkan ketuntasan secara klasikal adalah 37 : 43 x 100 % = 86, 04 %. Siswa yang tidak tuntas sebanyak 6 siswa yaitu sebesar 13,95 %. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hasil belajar siswa pada kegiatan pembelajaran Siklus ke-1 dengan menggunakan strategi guided note taking telah mencapai ketuntasan klasikal yaitu lebih dari 85%. Sedangkan nilai rata-rata kelas mencapai 81,40. Berikut adalah tabel peningkatan hasil belajar siklus ke-1 dibanding dengan hasil belajar pra tindakan.

b. Siklus II

Sebagaimana pada siklus ke-1, hasil belajar siswa pada siklus ke-2 diambil dari tes akhir siklus pada akhir pertemuan kedua. Tes ini berupa

Page 80: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

76

10 butir soal pilihan ganda. Siswa memilih jawaban yang tepat dengan memberi silang ataiu melingkarinya. Setiap jawaban yang benar mendapat nilai satu (1) dan jawaban yang salah mendapat nilai nol (0).

Berdasarkan perolehan nilai di atas maka jumlah siswa yang memperoleh nilai lebih besar sama dengan 70 dan dinyatakan tuntas individu sebanyak 41 siswa maka ketuntasan secara klasikal adalah 41 : 43 x 100 % = 95,35 %. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hasil belajar siswa pada kegiatan pembelajaran Siklus ke 2 dengan menggunakan strategi guided note taking telah mencapai ketuntasan klasikal yaitu sebesar 95,35 % Sedangkan nilai rata-rata kelas mencapai 88,14.

c. Siklus III

Sebagaimana pada siklus ke-1 dan ke-2, hasil belajar siswa pada siklus ini diambil dari tes akhir siklus pada akhir pertemuan kedua. Tes ini berupa 10 butir soal pilihan ganda. Siswa memilih jawaban yang tepat dengan memberi silang ataiu melingkarinya dari empat jawaban yang telah disediakan. Setiap jawaban yang benar mendapat nilai satu (1) dan jawaban yang salah mendapat nilai nol (0).

Berdasarkan data di atas maka jumlah siswa yang hadir mengikuti tes siklus ke-3 adalah sebanyak 43 anak, dengan kriteria sebagai berikut:

a) Siswa dengan nilai ≥ 70 = Tuntas = 41 anak b) Siswa dengan nilai < 70 = Tidak tuntas = 2 anak

Berdasarkan perolehan nilai di atas maka jumlah siswa yang memperoleh nilai lebih besar sama dengan 70 dan dinyatakan tuntas individu sebanyak 43 siswa maka ketuntasan secara klasikal adalah 41 : 43 x 100 % = 95,35 %. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hasil belajar siswa pada kegiatan pembelajaran Siklus ke-3 dengan menggunakan strategi guided note taking telah mencapai ketuntasan klasikal yaitu sebesar 95,35 % Sedangkan nilai rata-rata kelas mencapai 92,56.

Page 81: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

77

F. KESIMPULAN Hasil analisis penelitian tentang Penerapan Strategi Guided Note Taking

untuk Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa Kelas VIII A MTs NU Petarukan Tahun Pelajaran 2010/2011 dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Penelitian pra tindakan dengan menggunakan metode ceramah pada kelas

VIII A dengan jumlah siswa sebanyak 43 anak, menunjukkan bahwa siswa yang cukup aktif sebanyak 20 anak dengan prosentase 46,51%, siswa yang aktif sebanyak 18 anak dengan prosentase 41, 86%, dan sangat aktif 5 anak dengan prosentase 11,63%. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan aktivitas belajar siswa adalah 53,49 % yaitu hasil akumulasi dari nilai siswa aktif dan siswa sangat aktif, dengan demikian ini menunjukkan bahwa aktivitas belajar siswa belum berhasil karena belum mencapai angka 75%. Sedangkan nilai rata-rata aktivitas belajar siswa adalah 58,7. Untuk nilai hasil belajar siswa yang memperoleh nilai lebih besar sama dengan 70 dan dinyatakan tuntas individu sebanyak 31 anak. Maka ketuntasan hasil belajar siswa secara klasikal adalah 73,81 % dengan rata-rata 69,76. Jika ketuntasan belajar secara klasikal adalah seluruh siswa nilai rata-ratanya mencapai 70 dengan jumlah siswa yang tuntas belajar 85% dari jumlah siswa di kelas, maka dengan demikian dapat dikatakan bahwa hasil belajar siswa pada kegiatan pembelajaran pra tindakan belum mencapai ketuntasan secara klasikal. Selanjutnya nilai rata-rata 69,76 dan ketuntasan klasikal 73,81% menjadi nilai dasar untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan hasil belajar siswa pada penerapan strategi guided note taking.

2. Penerapan strategi guided note taking dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa kelas VIII A MTs NU Petarukan pada mata pelajaran Qur‟an Hadits. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisa pelaksanaan siklus I, II, dan III. Pada Siklus I, aktivitas belajar siswa dengan menggunakan strategi guided note taking menunjukkan angka 72,09 % yaitu hasil akumulasi dari prosentase siswa aktif dan siswa sangat aktif dengan rata-rata 62,60. Ini menunjukkan bahwa aktivitas belajar pada siklus I mengalami peningkatan 18,60% dibandingkan dengan kegiatan pra tindakan. Walaupun demikian, pada siklus I ini aktivitas belajar siswa belum berhasil karena belum mencapai angka 75%. Selanjutnya pada siklus II dengan menggunakan strategi guided note taking, aktivitas belajar siswa menunjukkan angka 93,02 % yaitu hasil akumulasi dari prosentase siswa aktif dan siswa sangat aktif, maka hal ini

Page 82: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

78

menunjukkan bahwa aktivitas belajar siswa sudah berhasil karena sudah melebihi angka 75% dan mengalami peningkatan sebesar 20,93 % dengan rata-rata aktivitas belajar siswa adalah 64,62. Pada siklus III aktivitas belajar siswa menunjukkan angka 95,35%. Aktivitas belajar siswa mengalami peningkatan sebesar 2,33 % dengan nilai rata-rata aktivitas belajar siswa sebesar 73,21.

3. Penerapan strategi guided note taking dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas VIII A MTs NU Petarukan pada mata pelajara Qur‟an Hadits. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisa pelaksanaan siklus I, II, dan III. Pada Siklus I, jumlah siswa yang memperoleh nilai lebih besar sama dengan 70 dan dinyatakan tuntas individu sebanyak 37 siswa dengan ketuntasan klasikal adalah 86, 04 %, mengalami peningkatan 12,23% dibandingkan dengan pembelajaran pra tindakan. Adapun nilai rata-rata kelas mencapai 81,40 mengalami peningkatan 11,64. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hasil belajar siswa pada kegiatan pembelajaran Siklus ke-1 dengan menggunakan strategi guided note taking telah mencapai ketuntasan klasikal. Selanjutnya pada siklus II, jumlah siswa yang tuntas individu sebanyak 41 anak. Ketuntasan secara klasikal adalah 95,35 % mengalami peningkatan 9,31 dibandingkan dengan siklus I dengan nilai rata-rata kelas mencapai 88,14, dengan peningkatan 6,74. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hasil belajar siswa pada kegiatan pembelajaran Siklus kedua dengan menggunakan strategi guided note taking telah mencapai ketuntasan klasikal dan mengalami peningkatan. Penelitian dilanjutkan pada siklus III dengan hasil ketuntasan klasikal adalah 95,35 % dan nilai rata-rata kelas 92,56. Secara ketuntasan klasikal Tindakan siklus ketiga tidak mengalami peningkatan dibandingkan dengan siklus kedua, namun ada peningkatan pada rata-rata yaitu sebesar 4,42. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hasil belajar siswa pada kegiatan pembelajaran Siklus III dengan menggunakan strategi guided note taking telah mencapai ketuntasan individu dan ketuntasan klasikal.

Page 83: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

79

DAFTAR PUSTAKA

Aqib, Zainal, dkk., 2009, Penelitian Tindakan Kelas, Bandung, Yrama Widya.

Arief, Armai, 2002, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta.

Arikunto, Suharsimi, 2006, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, edisi revisi, Jakarta, Rineka Cipta.

-------------------------, dkk., 2009, Penelitian Tindakan Kelas, Jakarta, Bumi Aksara.

Baharudin, dkk., 2010, Teori Belajar & Pembelajaran, Yogyakarta, Ar-Ruzz Media.

Hisyam Zaeni, dkk., Strategi Pembelajaran Aktif, 2008, Yogyakarta, Insan Madani.

Ibrohim, dkk., 2009, Pemahaman al-Qur’an dan hadits Untuk Kelas VIII Madratsah Tsanawiyah, Solo, PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri

John M. Echols & Hasan Shadily, 2003, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta, Gramedia

Mulyasa, 2003, Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, karakteristik dan Implementasi, Bandung, Remaja Rosdakarya.

Muslich, Masnur, 2009, KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual, Jakarta, Bumi Aksara.

----------, 2009, Melaksanakan PTK Itu Mudah,(classroom Action Risearch), Jakarta, Bumi Aksara.

Nasution, 2006, Kurikulum dan Pengajaran, Jakarta, PT Bumi Aksara.

Sanjaya, Wina, 2009,Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta, Kencana.

-------------------, 2009, Kurikulum dan Pembelajaran : Teori dan Praktek Pengembangan KTSP, h. 294.

Sardiman, A.M., 2007, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta, Raja Grafindo Pustaka.

Siberman, Mel, 2009, Active Learning, 101 Strategi Pembelajaran Aktif , (penerjemah Sarjuli dkk), Jogjakarta, Pustaka Insan Madani.

Page 84: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

80

Sugiyono, 2009, Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Bandung, Alfabeta.

Suhardjono, dkk., 2009, Penelitian Tindakan Kelas, Jakarta, Bumi Aksara.

Supriyono, Agus, 2009, Cooperative Learning Teori & Aplikasi PAIKEM, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Cet. Ke 1.

Trianto, 2007, Model-model pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik, Konsep, landasan Teoritis-Praktis dan implementasinya, Jakarta, Prestasi Pustaka, cet. Ke 1

Winkel, WS, 1999, Psikologi Pengajaran, Jakarta, PT Grasindo

Yoni, Acep, 2010, Menyusun Penelitian Tindakan Kelas, Jogjakarta, Famalia

http://izaskia.wordpress.com/2010/04/03/penerapan-strategi-guided-note-taking-dalam-pembelajaran-qur%E2%80%99an-hadits-bagian-2 & 4/

Page 85: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

81

MANAJEMEN KELAS DALAM PROSES PEMBELAJARAN Khaerudin1

[email protected]

Abstrak

Pengelolaan kelas tidak hanya berupa pengaturan kelas, fasilitas fisik dan rutinitas. Kegiatan pengelolaan kelas dimaksudkan untuk menciptakan dan mempertahankan suasana dan kondisi kelas. Sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung secara efektif dan efisien. Misalnya memberi penguatan, mengembangkan hubungan guru dengan siswa dan membuat aturan kelompok yang produktif. Manajeman kelas dapat diterjemahkan pula menjadi pengelolaan, berarti proses penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran. Sedangkan pengelolaan adalah proses yang memberikan pengawasan pada semua hal yang terlibat dalam pelaksanaan dan pencapaian tujuan. Maksud manajemen kelas adalah mengacu kepada penciptaan suasana atau kondisi kelas yang memungkinkan siswa dalam kelas tersebut dapat belajar dengan efektif. Usaha-usaha guru untuk me-manage kelas berdasarkan pendekatan psikososial yaitu antara lain: 1) Memahami konsep tentang pembawaan, 2) Guru perlu mengenal latar belakang dan kehidupan murid, 3) Memahami interaksi murid dengan murid dan murid dengan guru,4) Guru perlu mendalami ilmu manajemen kelas, 5) Guru perlu memahami ilmu psikologi perkembanagn dan sosial, 6) Guru perlu memahami diri sendiri.

Kata Kunci: Manajemen Kelas dan Proses Pembelajaran

A. PENDAHULUAN Sumber daya manusia yang berkualitas merupakan hal yang penting bagi

suatu negara untuk menjadi negara maju, kuat, makmur dan sejahtera. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia tidak bisa terpisah dengan masalah pendidikan bangsa. Menurut Mulyasa ”Setidaknya terdapat tiga syarat utama yang harus diperhatikan dalam pembangunan pendidikan agar dapat berkontribusi terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) yakni: (1) sarana

1 Khaerudin Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Pemalang Tahun

Page 86: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

82

gedung, (2) buku yang berkualitas, (3) guru dan tenaga kependidikan yang yang professional.2

Guru memiliki andil yang sangat besar terhadap keberhasilan pembelajaran di sekolah. Guru sangat berperan dalam membantu perkembangan peserta didik untuk mewujudkan tujuan hidupnya secara optimal. Di dalam kelas guru malaksanakan dua kegiatan pokok yaitu kegiatan mengajar dan kegiatan mengelola kelas. Kegiatan mengajar pada hakikatnya adalah proses mengatur, mengorganisasi lingkungan yang ada di sekitar siswa. Semua komponen pengajaran yang meliputi tujuan, bahan pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, metode, alat dan sumber, serta evaluasi diperankan secara optimal guna mencapai tujuan pengajaran yang telah ditetapkan sebelum pengajaran dilaksanakan.

Djamaroh menyebutkan ”Masalah yang dihadapi guru, baik pemula maupun yang sudah berpengalaman adalah pengelolaan kelas. Aspek yang sering didiskusikan oleh penulis professional dan pengajar adalah juga pengelolaan kelas”. Mengingat tugas utama dan paling sulit bagi pengajar adalah pengelolaan kelas, sedangkan tidak ada satu pendekatan yang dikatakan paling baik. Sebagian besar guru kurang mampu membedakan masalah pengajaran dan masalah pengelolaan. Masalah pengajaran harus diatasi dengan cara pengajaran dan masalah pengelolaan harus diatasi dengan cara pengelolaan.3

B. PEMBAHASAN 1. Pengertian Manajemen Kelas

Manajemen kelas mengandung pengertian, yaitu proses pengelolaan kelas untuk menciptakan suasana dan kondisi kelas yang memungkinkan siswa dapat belajar secara efektif.4 Manajemen kelas juga dapat diartikan sebagai proses seleksi yang menggunakan alat yang tepat terhadap problem dan situasi manajemen kelas, atau juga dapat diartikan sebagai segala usaha yang diarahkan untuk mewujudkan suasana belajar mengajar yang efektif dan menyenangkan serta dapat memotivasi siswa untuk belajar dengan baik sesuai dengan kemampuan. Selain itu ada beberapa defenisi manajemen

2 Mulyana, D. Metodologi Penelitian Kualitatif. Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan

Ilmu Sosial lainnya, Rosdakarya. Bandung, 2002. p. 3 3 http://sekolah-dasar.blogspot.com/2009/02/pendekatan-dalam-pengelolaan kelas.html 4 Maman Rachman. Manajemen Kelas. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 1998, p. 11.

Page 87: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

83

kelas yang dikemukan, menurut konsepsi lama, “manajemen kelas diartikan sebagai upaya mempertahankan ketertiban kelas”. Menurut konsepsi modern manajemen kelas adalah “proses seleksi yang menggunakan alat yang tetap terhadap problem dan situasi manajemen kelas” (Lois V. Jhonson dan Mary Bany, 1970),

Manajemen kelas merupakan usaha sadar untuk mengatur kegiatan proses belajar mengajar secara sistematis. Usaha sadar itu mengarah kepada penyiapan bahan belajar, penyiapan sarana dan alat peraga, pengaturan ruang belajar, mewujudkan situasi dan kondisi proses belajar mengajar dan pengaturan waktu sehingga pembelajaran berjalan dengan baik dan tujuan kurikuler dapat tercapai (Dirjen. PUOD dan Dirjen. Dikdasmen, 1996).

Dengan demikian manajeman kelas dapat diterjemahkan pula menjadi pengelolaan, berarti proses penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran. Sedangkan pengelolaan adalah proses yang memberikan pengawasan pada semua hal yang terlibat dalam pelaksanaan dan pencapaian tujuan. Maksud manajemen kelas adalah mengacu kepada penciptaan suasana atau kondisi kelas yang memungkinkan siswa dalam kelas tersebut dapat belajar dengan efektif.

2. Tujuan Manajemen Kelas Manajemen kelas bertujuan untuk menciptakan kondisi dalam

kelompok, guru harus memiliki norma atau aturan dalam kelas, sehingga kemajemukan kelas diciptakan kondisi yang baik. Selain itu tujuan yang lain yaitu: a. Mewujudkan situasi dan kondisi kelas, baik sebagai lingkungan belajar

maupun sebagai kelompok belajar, yang memungkinkan peserta didik untuk mengembangkan kemampuan semaksimal mungkin.

b. Menghilangkan berbagai hambatan yang dapat menghalangi terwujudnya interaksi pembelajaran.

c. Menyediakan dan mengatur fasilitas serta perabot belajar yang mendukung dan memungkinkan siswa belajar sesuai dengan lingkungan social, emosional dan intelektual siswa dalam kelas.

d. Membina dan membimbing siswa sesuai dengan latar belakang sosial, ekonomi, budaya serta sifat-sifat individunya (Dirjen PUOD dan Dirjen Dikdasmen tahun 1996 : 2)

Page 88: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

84

3. Bentuk Pendekatan dalam Manajemen Kelas Dalam melakukan aktivitas manajemen kelas untuk pembinaan disiplin

kelas yang berbasis psikologi pendidikan, ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan, yaitu pendekatan otoriter pendekatan permisif, pendekatan instruksional, pendekatan pengubahan perilaku, pendekatan sosial emosional, dan pendekatan proses kelompok. Keenam pendekatan ini dijelaskan secara sekilas berikut. 5 a. Dalam membina disiplin kelas dengan pendekatan otoritas, yang perlu

dilakukan oleh para guru di kelas ialah menegakkan peraturan yang berlaku di kelas secara persuasive dan mendidik. Jika siswa melanggar disiplin kelas, maka guru dapat memberikan hukuman yang mendidik, sedangkan jika siswa menaati peraturan disiplin kelas diberikan penguatan (reward) agar sikap dan perilaku terpuji tersebut semakin diintensifkan oleh siswa sehingga dapat menjadi model bagi siswa lainnya.

b. Dalam membina disiplin kelas dengan pendekatan permisif, yang perlu dilakukan oleh para guru di kelas ialah memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk mengembangkan potensinya dengan difasilitasi oleh guru. Guru perlu menghargai hak dan mengetahui kewajiban para peserta didik agar peserta didik di samping memenuhi haknya juga perlu mematuhi kewajibaruiya sebagai peserta didik di kelas, sehingga suasana disiplin kelas tetap terjamin, dalam membina disiplin kelas dengan pendekatan instruksional, yang perlu dilakukan oleh para guru, di kelas ialah merencanakan dengan teliti pelajaran yang baik dan kegiatan belajar yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan setiap peserta didik. Dengan pendekatan ini, perilaku instruksional guru yang disiplin akan menjadi pedoman atau teladan bagi peserta didik dalam melakukan disiplin di kelas.

c. Dalam membina disiplin kelas dengan pendekatan pengubahan perilaku, yang perlu dilakukan oleh para guru di kelas ialah bagaimana mengubah perilaku peserta didik yang tidak disiplin di kelas menjadi disiplin di kelas. Adapun yang dapat dilakukan oleh guru ialah dengan memberikan

5 http://gurukreatif.wordpress.com/2008/03/26/6-indikator-pengelolaan-kelas-yang-berhasil/

Page 89: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

85

hukuman yang mendidik kepada peserta didik yang tidak disiplin agar menjadi disiplin. Selain itu, guru juga dapat menjadi model perilaku disiplin bagi anak didiknya, agar anak didik yang tidak disiplin menjadi disiplin karena meneladani gurunya.

d. Dalam membina disiplin kelas dengan pendekatan sosial emosional, yang perlu dilakukan oleh para guru di kelas ialah bagaimana hubungan sosial emosional yang baik antara guru dengan para peserta didik di kelas. Melalui hubungan sosial emosional yang baik antara guru dengan anak didiknya, maka anak didik akan mudah mengikuti berbagai perilaku teladan guru, termasuk perilaku disiplin yang dimiliki oleh guru di dalam kelas sehingga para peserta didik juga menjadi disiplin di kelas.

e. Dalam membina disiplin kelas dengan pendekatan proses kelompok, yang perlu dilakukan oleh para guru di kelas ialah membimbing para siswa agar dapat saling berinteraksi sosial dalam suasana kelas yang penuh disiplin.

f. Dalam suasana kelas yang disiplin tersebut akan terjadi interaksi sosial yang disiplin pula dengan bimbingan dari guru sehingga antara siswa yang satu dengan siswa yang lain saling mendisiplinkan diri melalui interaksisosial.

Manajemen kelas bukanlah masalah yang berdiri sendiri, tetapi terkait dengan berbagai faktor. Permasalahan anak didik adalah faktor utama yang dilakukan guru tidak lain adalah untuk meningkatkan kegairahan siswa baik secara berkelompok maupun secara individual. Keharmonisan hubungan guru dan anak didik, tingginya kerjasama diantara siswa tersimpul dalam bentuk interaksi. Lahirnya interaksi yang optimal bergantung dari pendekatan yang guru lakukan dalam rangka pengelolaan kelas.(Djamarah 2006:179) yaitu:

4. Aspek, Fungsi, dan Masalah Manajemen Kelas Manajemen kelas merupakan keterampilan yang harus dimiliki guru

dalam memutuskan, memahami, mendiaknosis dan kemampuan bertindak menuju perbaikan suasana kelas terhadap aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam manajenen kelas adalah sifat kelas, pendorong kekuatan kelas, situasi kelas, tindakan seleksi dan kreatif (Lois V.Johnson dan Mary A.Bany, 1970).

Page 90: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

86

a. Manajenen kelas selain memberi makna penting bagi tercipta dan terpeliharanya kondisi kelas yang optimal, manajenen kelas berfungsi :Memberi dan melengkapi fasilitas untuk segala macam tugas seperti : membantu kelompok dalam pembagian tugas, membantu pembentukan kelompok, membantu kerjasama dalam menemukan tujuan-tujuan organisasi, membantu individu agar dapat bekerjasama dengan kelompok atau kelas, membantu prosedur kerja, merubah kondisi kelas.

b. Memelihara agar tugas–tugas itu dapat berjalan lancar. Masalah manajenen kelas dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori yaitu : masalah individual dan masalah kelompok.

Munculnya masalah individual disebabkan beberapa kemungkinan tindakan siswa seperti : 1) Tingkah laku yang ingin mendapat perhatian orang lain. 2) Tingkah laku yang ingin menujukkan kekuatan. 3) Tingkah laku yang bertujuan menyakiti orang lain. 4) Peragaan ketidakmampuan. Sedangkan masalah-masalah kelompok yang mungkin muncul dalam kelas : 1) Kelas kurang kohesif lantaran alasan jenis kelamin, suku, tingkatan

sosial ekonomi, dan sebagainya. 2) Penyimpangan dari norma-norma tingkah laku yang telah disepakai

sebelumnya. 3) Kelas mereaksi negatif terhadap salah seorang anggotanya. 4) “Membombang” anggota kelas yang justru melanggar norma kelompok. 5) Kelompok cenderung mudah dialihkan perhatiannya dari yang tengah

digarap, semangat kerja rendah, kelas kurang mampu menyesuaikan diri dengan keadaan baru seperti gangguan jadwal guru terpaksa diganti sementara oleh guru lain. ( Lois V.Johnson dan Mary A.Bany, dalam M.Entang dan T.Raka Joni1983 ).

5. Prinsip-prinsip dalam Manajemen Kelas Sikap disiplin yang dilakukan oleh seseorang atau peserta didik,

hakekatnya adalah suatu tindakan untuk memenuhi nilai-nilai tertentu. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan oleh para guru ialah menanamkan prinsip-prinsip disiplin kelas yang mengacu kepada nilai-nilai keagamaan dan nilai-nilai kepercayaan, nilai-nilai dan norma yang berlaku di masyarakat, nilai-

Page 91: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

87

nilai kekuasaan yang dimiliki oleh para guru, dan nilai rasional yang selalu berbasis pada akal yang cerdas dan sehat. Nilai-nilai tersebut biasanya tersurat dalam peraturan tata tertib suatu sekolah yang harus dipedomani oleh para warga sekolah. Disiplin kelas merupakan hal penting terhadap terciptanya perilaku tidak menyimpang dari ketertiban kelas. Dalam semangat pendekatan pendidikan disiplin yang mengacu psikologi pendidikan, hendaknya memiliki basis kemanusiaan dan prinsip-prinsip demokrasi. Prinsip kemanusiaan dan demokrasi dalam penegakkan disiplin berfungsi sebagai petunjuk dan pengecek bagi para guru dalam mengambil kebijakan yang berhubungan dengan disiplin.6

Oleh karena itu, pendekatan disiplin yang dilakukan oleh para guru harus memperhatikan beberapa prinsip berikut ini, yaitu: (1) menggambarkan prinsip-prinsip pedagogi dan hubungan kemanusiaan di kelas, (2) mengembangkan budaya disiplin di kelas dan mengembangkan profesionalisme guru dalam menumbuh kembangkan budaya disiplin di dalam kelas, (3) merefleksikan tumbuhnya kepercayaan dan kontrol dari peserta didik dalam melaksanakan budaya disiplin di kelas, (4) menumbuhkembangkan kesungguhan untuk berbuat dan berinovasi dalam menegakkan budaya disiplin di kelas oleh para guru dan peserta didik di kelas, dan (5) menghindari perasaan tertekan dan rasa terpaksa pada diri guru dan peserta didik dalam menegakkan dan melaksanakan budaya disiplin di kelas.7

Prinsip-prinsip dalam mendisiplinkan kelas tersebut sangat perlu dilakukan, karena disiplin kelas merupakan hal penting terhadap terciptanya perilaku yang disiplin di kelas. Namun, dalam usaha penegakkan disiplin di kelas, para guru harus tetap memperhatikan berbagai teori, prinsip, dan konsep yang tersurat dalam materi psikologi pendidikan, agar penegakkan disiplin di dalam kelas tetapi dilakukan oleh para guru secara edukatif, persuasif, dan demokratif yang menguntungkan bagi para guru dan peserta didik disekolah. “Secara umum faktor yang mempengaruhi manajemen kelas dibagi menjadi dua golongan yaitu, faktor intern dan faktor ekstern siswa.” (Djamarah 2006:184). Faktor intern siswa berhubungan dengan masalah

6 Maman Rachman, Op. cit., p. 170

7 Ibid. p., 32

Page 92: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

88

emosi, pikiran, dan perilaku. Kepribadian siswa denga ciri-ciri khasnya masing-masing menyebabkan siswa berbeda dari siswa lainnya sacara individual. Perbedaan sacara individual ini dilihat dari segi aspek yaitu perbedaan biologis, intelektual, dan psikologis.

Faktor ekstern siswa terkait dengan masalah suasana lingkungan belajar, penempatan siswa, pengelompokan siswa, jumlah siswa, dan sebagainya. Masalah jumlah siswa di kelas akan mewarnai dinamika kelas. Semakin banyak jumlah siswa di kelas, misalnya dua puluh orang ke atas akan cenderung lebih mudah terjadi konflik. Sebaliknya semakin sedikit jumlah siswa di kelas cenderung lebih kecil terjadi konflik. Djamarah (2006:185) menyebutkan “Dalam rangka memperkecil masalah gangguan dalam pengelolaan kelas dapat dipergunakan.” Prinsip-prinsip pengelolaan kelas yang dikemukakan oleh Djamarah adalah sebagai berikut.8 a. Hangat dan Antusias

Hangat dan Antusias diperlukan dalam proses belajar mengajar. Guru yang hangat dan akrab pada anak didik selalu menunjukkan antusias pada tugasnya atau pada aktifitasnya akan berhasil dalam mengimplementasikan pengelolaan kelas.

b. Tantangan Penggunaan kata-kata, tindakan, cara kerja, atau bahan-bahan yang menantang akan meningkatkan gairah siswa untuk belajar sehingga mengurangi kemungkinan munculnya tingkah laku yang menyimpang.

c. Bervariasi Penggunaan alat atau media, gaya mengajar guru, pola interaksi antara guru dan anak didik akan mengurangi munculnya gangguan, meningkatkan perhatian siswa. Kevariasian ini merupakan kunci untuk tercapainya pengelolaan kelas yang efektif dan menghindari kejenuhan.

d. Keluwesan Keluwesan tingkah laku guru untuk mengubah strategi mengajarnya dapat mencegah kemungkinan munculnya gangguan siswa serta menciptakan iklim belajar mengajar yang efektif. Keluwesan pengajaran

8 http://gurukreatif.wordpress.com/2008/03/26/6-indikator-pengelolaan-kelas-yang-berhasil/

Page 93: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

89

dapat mencegah munculnya gangguan seperti keributan siswa, tidak ada perhatian, tidak mengerjakan tugas dan sebagainya.

e. Penekanan pada Hal-Hal yang Positif Pada dasarnya dalam mengajar dan mendidik, guru harus menekankan pada hal-hal yang positif dan menghindari pemusatan perhatian pada hal-hal yang negative. Penekanan pada hal-hal yang positif yaitu penekanan yang dilakukan guru terhadap tingkah laku siswa yang positif daripada mengomeli tingkah laku yang negatif. Penekanan tersebut dapat dilakukan dengan pemberian penguatan yang positif dan kesadaran guru untuk menghindari kesalahan yang dapat mengganggu jalannya proses belajar mengajar.

6. Mendasain Lingkungan Fisik Kelas Lingkungan kelas adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan

tempat proses pembelajaran dilaksanakan. Doyle (1979, 1986) mendeskripsikan kelas sebagai sesuatu yang bersifat multidimensional, serentak, segera, dan tidak dapat diprediksi. Ruang kelas adalah lingkungan yang kompleks dimana manusia berinteraksi, saling bergantung antar satu orang ke orang lain, dan dengan berbagai karakter unik dalam lingkungan sosial dan fisik yang spesifik.

Faktor penting yang menentukan hasil belajar adalah lingkungan kelas. Dalam lingkungan kelas yang menyenangkan, siswa akan senang belajar, dan secara langsung akan meningkatkan hasil belajar. Sebaliknya jika lingkungan kelas tidak nyaman maka tidak akan mendukung hasil belajar yang maksimal. Lingkungan kelas merupakan segala sesuatu yang ada di sekitar siswa.

Lingkungan kelas tersebut dapat bersifat fisik, misalnya ruang kelas, perabotan kelas, kebersihan kelas, meja-kursi, dan lain lain. Lingkungan kelas juga dapat bersifat non fisik, misalnyai nteraksi, ketenangan, dan kenyamanan.

7. Prinsip Penataan Kelas Berikut adalah empat prinsip dasar yang bisa digunakan ketika

menyusun kelas (Evertson, Emmer, & Worsham, 2006) a. Mengurangi hambatan di arena macet.

Page 94: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

90

Gangguan dan kekacauan sering kali muncul di area macet. Ini meliputi area kerja kelompok, meja siswa, meja guru, rautan, rak buku, ruang komputer, dan lokasi penyimpanan. Sebisa mungkin, pisahkanlah area ini satu sama lain dan pastikanlah area tersebut mudah didatangi.

b. Memastikan bahwa guru bisa dengan mudah melihat semua siswa. Sebuah tugas manajemen yang penting adalah memantau siswa dengan seksama. Untuk melakukan ini, guru harus mampu untuk melihat semua siswa pada pada setiap waktu. Pastikanlah ada barisan meja yang kosong di antara meja guru, lokasi pembelajaran, meja siswa, dan semua area kerja siswa. Berdirilah di tempat-tempat yang berbeda di ruangan untuk mencari tempat yang terhalangi.

c. Membuat materi pengajaran yang sering digunakan dan persediaan siswa menjadi mudah untuk diakses. Hal ini meminimalisasi waktu persiapan dan pembersihan, begitu pula dengan kemunduran dan istirahat dalam alur aktivitas.

d. Memastikan bahwa siswa bisa dengan mudah mengobservasi presentasi seluruh kelas. Tetapkanlah dimana guru dan siswa akan mengambil tempat ketika presentasi seluruh kelas terjadi. Untuk aktivitas ini, siswa seharusnya tidak perlu memindahkan kursi atau menoleh. Untuk mencari tahu seberapa baik siswa bisa melihat dari tempat mereka, duduklah di kursi mereka di bagian-bagian yang berbeda dari ruangan tersebut.

Menurut Louisell, ketika menata lingkungan fisik kelas, guru harus mempertimbangkan beberapa hal sebagai berikut: 1) Visibility (keleluasan pandangan), artinya penempatan atau penataan

barang-barang di dalam kelas tidak mengganggu pandangan siswa sehingga mereka secara leluasa dapat memandang guru, benda, atau kegiatan yang sedang berlangsung.

2) Accebility (mudah dicapai), artinya barang-barnag atau alat-alat yang biasa digunakan oleh siswa dalam proses pembelajaran mudah dijangkau.

3) Fleksibilitas (keluwesan), artinya barang-barang yang ada di dalam kelas hendaknya mudah untuk ditata dan dipindah-pindahkan sesuai dengan tuntutan kegiatan pembelajaran yang akan dilakukan oleh siswa dan guru.

Page 95: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

91

4) Kenyamanan, baik bagi siswa maupun bagi guru sendiri. 5) Keindahan, berkenaan dengan usaha guru menata ruangan kelas yang

menyenangkan dan kondusif bagi kegiatan pembelajaran. Ruangan kelas yang indah dan menyenangkan, berpengaruh positif terhadap sikap dan tingkah laku siswa terhadap kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan.

8. Tujuan Penataan Kelas Tujuan utama penataan lingkungan fisik kelas adalah mengarahkan

kegiatan siswa dan mencegah munculnya tingkah laku siswa yang tidak yang tidak diharapkan melalui penataan tempat duduk, perabot, dan barang-barang lainnya yang ada di dalam kelas, sehingga memungkinkan terjadinya interaksi aktif antara siswa dan guru serta antar siswa, dalam kegiatan pembelajaran. Selain itu penataan kelas harus memungkinkan guru dapat memantau semua tingkah laku siswa sehingga dapat dicegah munculnya masalah disiplin. Melalui penataan kelas, diharapkan siswa dapat memusatkan perhatiannya dalam proses pembelajaran dan akan bekerja secara efektif.

9. Gaya Penataan Kelas a. Gaya auditorium (auditorium style), semua siswa menghadap guru.

Susunan ini mencegah kontak siswa secara berhadap-hadapan dan guru bebas untuk bergerak ke manapun di dalam ruangan. Sering digunakan ketika guru memberikan kuliah atau seseorang mengaddakan presentasi untuk semua kelas.

b. Gaya berhadap-hadapan (face-to-face style), siswa duduk berhadap-hadapan satu sama lain. Gangguan dari siswa lain akan lebih tinggi dalam susunan ini daripada gaya auditorium.

c. Gaya off-set (off-set style), siswa dalam jumlah yang kecil (biasanya tiga sampai empat orang) duduk di meja, tetapi tidak duduk berseberangan secara langsungdari satu sama lain.

d. Gaya seminar (seminar style), siswa dalam jumlah besar (empat sampai delapan) duduk dalam susunan sirkuler, persegi empat, atau bentuk U. Ini efektif ketika guru menginginkan para siswa untuk berbicara satu sama lain atau berbincang dengan anda.

Page 96: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

92

e. Gaya kelompok (cluster style), siswa dalam jumlah kecil (biasanya empat sampai delapan) bekerja dalam kelompok kecil yang saling berdekatan. Susunan ini sangat efektif untuk aktifitas belajar secara kolaboratif.

10. Langkah-Langkah Mendesain Kelas Langkah-langkah mendesain kelas (Weinstein dan Mignano, 1997)

a. Pertimbangkan apa aktivitas yang akan dilakukan murid. Jika anda akan mengajar TK atau SD, anda perlu menciptakan

setting untuk membaca dengan suara keras, mengajar membaca secara berkelompok, tempat untuk berbagi pandangan, pengajaran matematika dan tempat pelajaran untuk keterampilan dan seni. Guru sains sekolah menengah mungkin harus mengakomodasi intruksi untuk seluruh kelompok, aktivitas laboratorium dan presentasi media. Di sebelah kiri kertas kerja, buat daftar aktivitas murid yang akan dilakukan. Disebelahnya ditulis susunan khusus yang perlu dipertimbangkan; misal area seni dan sains perlu berada di dekat komputer, dekat outlet listrik.

b. Buat gambar rencana tata ruang. Sebelum anda memindah perabot, gambar beberapa rancangan

tata ruang dan kemudian pilih salah satu yang menurut anda paling baik.

c. Libatkan murid dalam perencanaan tata ruang kelas. Anda dapat merancanakan tata ruang sebelum sekolah dimulai,

tetapi setelah sekolah dimulai, tanyakan kepada murid tentang bagaimana pendapat mereka tentang rencana anda itu. Jika mereka menyarankan perbaikan yang masuk akal, cobalah. Murid sering melaporkan bahwa mereka ingin ruang yang memadai dan tempat sendiri dimana mereka bisa menyimpan barang-barang mereka.Cobalah rancangan dan bersikaplah fleksibel dalam mendesainnya. Beberapa minggu setelah masuk sekolah, evaluasilah efektivitas ruang anda. Waspadalah pada problem yang mungkin muncul akibat penataan itu. Misalnya, sebuah studi menemukan bahwa ketika murid TK berkerumun di dekat guru yang membacakan sebuah cerita, mereka kerap ribut sendiri (Krantz dan

Page 97: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

93

Risley, 1972). Atur murid dalam posisi setengah lingkaran agar dapat mengurangi keributan.

11. Yang Harus Diperhatikan dalam Penataan Kelas

Ruang kelas yang baik adalah ruang kelas yang dapat mendukung usaha para guru dalam mengajar. Untuk mencapai tujuan itu, selain ruang kelas harus aman, ruang kelas juga harus diciptakan sedemikian rupa sehingga nyaman untuk menjadi tempat belajar dan bermain. Berikut ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan: a. Perabotan Furniture

Lihatlah tempat duduk di Sekolah Anda, apakah sudah sesuai dengan ukuran anak-anak atau belum. Tempat duduk yang tepat bagi anak-anak adalah apabila anak-anak dapat duduk dengan posisi nyaman, dengan kaki menyentuh lantai. Apabila tempat duduk terlalu tinggi maka setelah 10 menit duduk, anak-anak akan gelisah dan segera mencoba menggerakkan badan dan memindahkan kakinya. Demikian pula mejanya. Jika dalam kelas anak-anak menggunakan meja dengan ukuran tinggi/besar yang sebenarnya untuk orang dewasa, maka kegiatan belajar ataupun bermain yang memerlukan meja tidak akan efektif, karena dengan meja yang terlalu tinggi atau terlalu besar, jangkauan kegiatan belajar dan bermain anak-anak akan sangat terbatas. Untuk itu pastikan perabotan (meja, bangku, kursi, rak buku, peralatan permainan, dll.) di ruang kelas Sekolah Minggu Anda sesuai dengan ukuran anak-anak.

Apabila di tempat Anda hanya tersedia tempat duduk (kursi atau bangku) dan meja ukuran dewasa, maka cara mengatasinya Anda dapat menggunakan tikar saat mengajar atau bermain sehingga anak-anak dapat duduk dan bermain di atas tikar dengan nyaman.

b. Penerangan Penerangan ruang kelas yang kurang terang akan dapat

menyebabkan kelelahan pada mata dan menyebabkan sakit kepala, sehingga mempengaruhi semangat anak-anak dan guru dalam melakukan kegiatan belajar mengajar di Sekolah. Penerangan yang baik dapat diperoleh jika tersedia jendela dan ventilasi yang cukup. Namun demikian, perlu juga diperhatikan agar penataan tempat duduk tidak

Page 98: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

94

membuat penerangan dari luar menyilaukan penglihatan anak-anak. Karena sinar yang terlalu kuat juga akan mengganggu penglihatan.

c. Lantai, Dinding, dan Langit-langit Ada baiknya jika lantai ruangan menggunakan karpet. Karena

selain dapat meredamkan suara, karpet juga dapat menyediakan lantai yang hangat untuk diduduki anak-anak dengan nyaman ketika melakukan kegiatan bermain di lantai. Juga agar dapat mendukung sistim akustik ruangan, dinding, dan langit-langit sebaiknya menggunakan bahan yang dapat meredamkan suara. Sehingga kegiatan yang dilakukan oleh kelas yang satu tidak mengganggu kelas yang lain.

d. Warna Cat Bagaimana dengan warna cat di ruang kelas? Warna gelap dan

warna yang kuat kurang cocok bagi ruang kelas. Anda dapat memilih warna pastel dan warna cerah untuk ruang kelas Anda, karena hal ini dapat menambah semarak dan semangat anak-anak dalam belajar maupun bermain. Demikian pula kombinasikan warna-warna secara harmonis akan sangat membantu meriangkan suasana ketika anak-anak bermain.

e. Gambar dan Poster Gambar-gambar dan poster-poster sebaiknya dipasang sesuai

dengan arah pandang anak-anak. Untuk memperbaharui suasana di sekolah Anda, kurang lebih sebulan sekali, rubahlah posisi gambar-gambar dan poster-poster yang menempel di dinding. Bisa juga Anda mengganti dengan gambar-gambar dan poster-poster yang lain atau kadangkala biarkan dinding ruangan kelas kosong untuk membuat suasana yang berbeda supaya anak-anak tidak jenuh dengan suasana yang itu-itu saja.

f. Ukuran Ruang Sebaiknya ruang kelas cukup luas, sehingga anak-anak memiliki

ruang gerak yang cukup untuk melakukan aktivitas bermain. Anak bisa melakukan aktivitas bermain di tempat duduk, namun bisa juga di lantai dengan nyaman. Apabila Anda berasal dari sekolah yang kecil dimana kelasnya sempit, beberapa hal berikut ini dapat Anda lakukan: 1) Apabila jumlah anak terlalu banyak sehingga ruang kelas tidak

cukup, maka sebaiknya Anda membagi anak-anak dalam dua kelas.

Page 99: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

95

Bila hanya ada satu ruangan maka Anda dapat membagi menjadi kelas pagi dan sore (atau dengan jam yang berbeda).

2) Anda juga dapat menyingkirkan perabotan yang tidak digunakan, seperti meja besar, bangku cadangan, lemari dan sebagainya. Karena ruang kelas seringkali menjadi seperti gudang, maka pindahkan perabot-perabot yang bisa dipindahkan dan yang tidak digunakan.

3) Buatlah rak-rak yang menempel di dinding, dengan jarak 125 cm dari atas lantai untuk mengganti rak-rak penyimpanan yang ada di lantai. Dengan demikian lantai menjadi lebih luas.

4) Letakkan benda-benda yang tidak digunakan diluar jangkauan anak-anak. Tapi sediakan rak-rak rendah bagi alat-alat yang akan digunakan anak-anak pada saat belajar dan bermain. Hal ini akan menolong anak untuk dapat mengambil dan mengembalikan barang-barang mainan sendiri tanpa bantuan guru.

5) Jika perlu, sediakan ruang penyimpanan bagi guru di luar ruang kelas, sehingga ruang kelas hanya diperuntukkan bagi kegiatan anak-anak saja.

C. Kesimpulan. Manajemen kelas merupakan usaha sadar untuk mengatur kegiatan proses

pembelajaran secara sistematis. Usaha sadar itu mengarah kepada penyiapan bahan belajar, penyiapan sarana dan alat peraga, pengaturan ruang belajar, mewujudkan situasi dan kondisi proses pembelajaran dan pengaturan waktu sehingga pembelajaran berjalan dengan baik dan tujuan kurikuler dapat tercapai.

Manajemen kelas berfungsi sebagai upaya mendayagunakan potensi kelas berupa murid dan sarana. Dalam perjalanan prosesnya ditemukan bahwa kelas terdiri dari anak murid yang berbeda-beda. Manajemen kelas bertujuan untuk menciptakan kondisi dalam kelompok, guru harus memiliki norma / aturan dalam kelas, sehingga kemajemukan kelas diciptakan kondisi yang baik.

Murid (yang masih dalam kategori remaja) dipengaruhi oleh berbagai faktor dalam kehidupannya termasuk aspek sosial. Segala macam aspek yang mencakup hubungan sosial dengan kawan, orangtua, ataupun guru bisa disebut dengan aspek psikososial. Hubungan antara lingkungan psikologi dan sosial dengan perkembangan murid timbul karena adanya beberapa kebutuhan perkembangan tertentu yang sangat bergantung dari kondisi-kondisi sosial.

Page 100: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

96

Usaha-usaha guru untuk me-manage kelas berdasarkan pendekatan psikososial yaitu antara lain: 1) Memahami konsep tentang pembawaan, 2) Guru perlu mengenal latar belakang dan kehidupan murid, 3) Memahami interaksi murid dengan murid dan murid dengan guru, 4) Guru perlu mendalami ilmu manajemen kelas, 5) Guru perlu memahami ilmu psikologi perkembangan dan sosial, 6) Guru perlu memahami diri sendiri.

DAFTAR PUSTAKA http://one.indoskripsi.com/node/10486 http://sekolah-dasar.blogspot.com/2009/02/pendekatan-dalam-pengelolaan

kelas.html http://gurukreatif.wordpress.com/2008/03/26/6-indikator-pengelolaan kelas-yang-

berhasil/ http://www.contohmakalah.co.cc/2010/06/manajemen-kelas-yang-berbasis-

psikologi.html John W. Santrock, Psikologi Pendidikan, terjemahan oleh Tri Wibowo, cetakan

kedua. Jakarta : Kencana, 2008. Mulyana, D. Metodologi Penelitian Kualitatif. Paradigma Baru Ilmu Komunikasi

dan Ilmu Sosial lainnya, Rosdakarya. Bandung.2002 Rachman, Maman. Manajemen Kelas. Jakarta: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 1998. Yin, Robert, K. 1981. Case Study Research Design and Methods, Penerjemah

Mudzakir. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2002.

Page 101: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

97

Peranan MGMP PKn Dalam Meningkatkan Mutu Proses Pembelajaran PKn di SMP Negeri 2 Ampelgading

Eko Bambang EP1 [email protected]

Abstrak

Dewasa ini profesionalitas guru di Indonesia masih dipertanyakan. Banyak kalangan mulai dari masyarakat awam, akademisi, politisi bahkan sampai penentu kebijakan publik merasa bahwa mutu guru masih di bawah standar.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Peranan MGMP PKn dalam meningkatkan mutu Proses Pembelajaran PKn di SMP Negeri 2 Ampelgading Kabupaten Pemalang. Untuk mengetahui kendala-kendala dan solusi peran strategis MGMP PKn dalam meningkatkan mutu Proses Pembelajaran PKn di SMP Negeri 2 Ampelgading Kabupaten Pemalang .

Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif, dengan pendekatan kuantitatif, Metode pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah sosio legal research dengan metode kualitatif.

Dari hasil analisis data dapat diperoleh hasil penelitian bahwa empat faktor yang menyebabkan Peranan Musyawarah Guru Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (MGMPPKn) tidak mengalami peningkatan secara merata, pertama, kebijakan dan penyelenggaraan Musyawarah Guru Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (MGMPPKn) menggunakan pendekatan education production function atau input-output analysis yang tidak dilaksanakan secara konsekuen, kedua, penyelenggaraan Musyawarah Guru Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (MGMPPKn) yang dilakukan masih belum dapat melepaskan dari sistem birokrasi pemerintah, ketiga, akuntabilitas kinerja Musyawarah Guru Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (MGMPPKn) selama ini belum dilakukan dengan baik, keempat, belum adanya panduan /petunjuk kegiatan kelompok kerja yang jelas untuk dapat digunakan sebagai acuan bagi guru dan pengurus Musyawarah Guru Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (MGMPPKn) dalam melakukan aktivitasnya.

Kata kunci : Peranan, MGMP PKn, Mutu Proses Pembelajaran.

A. Pendahuluan Dewasa ini profesionalitas guru di indonesia masih dipertanyakan. Banyak

kalangan mulai dari masyarakat awam, akademisi, politisi bahkan sampai

1 Eko Bambang EP, Guru SMP N 2 Ampelgading Pemalang

Page 102: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

98

penentu kebijakan publik merasa bahwa mutu guru masih di bawah standar. Berbagai upaya dilakukan oleh Pemerintah melalui Pendidikan dan pelatihan Kompetensi guru, sampai pada masalah peningkatan kesejahteraan guru melalui tunjangan sertifikasi guru diperuntukkan bagi peningkatan kualitas guru pada umumnya dan diharapkan meningkat pula hasil belajar peserta didik. Tentunya hal ini dibutuhkan peranan vital pada guru mata pelajaran termasuk guru mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan ( PKn ).

Sesuai dengan latar belakang dan perumusan masalah diatas, maka penelitian ini bertujuan : 1. Untuk mengetahui Peranan MGMP PKn dalam meningkatkan mutu Proses

Pembelajaran PKn di SMP Negeri 2 Ampelgading Kabupaten Pemalang. 2. Untuk mengetahui kendala-kendala dan solusi peran strategis MGMP PKn

dalam meningkatkan mutu Proses Pembelajaran PKn di SMP Negeri 2 Ampelgading Kabupaten Pemalang .

B. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian MGMP

MGMP merupakan kepanjangan dari Musyawarah Guru Mata Pelajaran. Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) PKn SLTP dan SLTA menurut Masri Muhammad dkk dalam bukunya petunjuk teknis penyelenggaraan MGMP PKn adalah :“forum / wadah kegiatan guru mata pelajaran sejenis pada jenjang SLTA untuk memecahkan masalah – masalah dan penyempurnaan pelaksanaan proses belajar mengajar yang meliputi berbagai hal seperti menghilangkan perbedaan penguasaan materi pelajaran antar guru dan antar wilayah, perbaikan metode penyajian, penggunaan media dan alat pelajaran, system evaluasi belajar serta hal – hal lain yang secara langsung atau tidak langsung menunjang terlaksananya kegiatan proses belajar mengajar”. 2

Dari pengertian yang disampaikan oleh Drs. Masri Muhammad dkk di atas memperlihatkan bahwa apabila guru – guru mata pelajaran menjumpai berbagai permasalahan baik yang berupa perbedaan penguasaan materi, penggunaan metode, penggunaan media dan alat pelajaran dan sistem

2 Muhamad, Masri, Drs, 1997. Materi Latihan Kerja Guru PPKn SLTP dan SLTA. Depdikbud. Jakarta. Hlm 3

Page 103: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

99

evaluasi belajar dapat diselesaikan melalui kegiatan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). MGMP dilakukan terutama dalam rangka meningkatkan kemampuan dan keterampilan edukatif untuk menunjang kegiata proses belajar mengajar.3

Sedangkan tempat atau pusat kegiatan guru mata pelajaran sejenis yang menampung guru dari berbagai sekolah yang berdekatan dalam wilayah tertentu dan mempunyai kemudahan transportasi disebut sanggar. Sehingga kegiatan dalam rangka menyelesaikan masalah – masalah yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dengan proses belajar mengajar kegiatannya adalah Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) yang bertempat di sanggar.4

2. Prinsip – Prinsip Dalam MGMP

Kegiatan MGMP merupakan satu kesatuan tugas dan profesi guru dalam usaha meningkatkan kemampuan dan keterampilan edukatif untuk menunjang peningkatan belajar mengajar. Di mana dalam kegiatan menggunakan prinsip – prinsip sebagai berikut : 1) Prinsip Kebersamaan

MGMP merupakan wadah kegiatan guru mata pelajaran sejenis untuk bersama-sama memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapi dalam penyelenggaraan proses belajar mengajar. Pemecahan masalah dilakukan secara musyawarah dan menganut paham kebersamaan bahwa setiap anggota atau peserta memilki kedudukan yang sama dengan peran serta yang sama pula. Selain itu prinsip saling asih, saling asah dan saling asuh mendasari usaha para guru untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya.5

2) Prinsip dari guru, oleh guru dan untuk guru

Permasalahan yang dihadapi oleh guru baik yang meyangkut peranan, pelaksanaan, penilaiandan pengelolaan kegiatan pembelajaran

3 Ibid 4 Muhamad, Masri, Drs, 1997. Materi Latihan Kerja Guru PPKn SLTP dan SLTA.

Depdikbud. Jakarta. Hlm 3 5 Muhamad, Masri, Drs, 1998. Petunjuk Teknis Penyelenggara MGMP PPKn SLTP dan

SLTA. Depdikbud. Jakarta. hlm 25

Page 104: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

100

dipecahkan oleh para guru mata pelajaran sejenis melalui tukar menukar pengalaman, diskusi kelompok ataupun pedoman dalam pelaksanaan. Prinsip ini harus didasari oleh peserta demi kelangsungan dan keaktifan MGMP.

3) Prinsip Kemandirian

Pada dasarnya MGMP dibentuk atas dasar kebutuhan professional guru untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam usaha peningkatan mutu pembelajaran sekaligus proses pembelajaran. Dengan demikian motivasi atau dorongan yang melatarbelakangi kegiatan MGMP adalah harus dating dari tuntutan individual para guru itu untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan. Oleh karena itu kegiatan ini pada prinsipnya dilakukan secara mandiri dengan dukungan dari setiap sekolah yang gurunya terlibat dalam kegiatan MGMP. Terutama sumber dana kegiatan MGMP berasal dari sekolah yang gurunya terlibat dalam kegiatan MGMP. Karena sumber dananya bersifat mandiri, maka sekolah-sekolah yang gurunya terlibat dalam kegiatan MGMP perlu merencanakan dan mengalokasikan dana kegiatan MGMP guru – guru dalam RAPBS sesuai dengan kebutuhannya.6

C. Metode Penelitian Secara teoritis dikenal 2 ( dua ) metode pendekatan yaitu metode

pendekatan yaitu metode yuridis normative dan metode pendekatan sosio legal research. Metode pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah sosio legal research dengan metode kualitatif. Metode pendekatan sosiologis melihat berkerjanya undang – undang dalam masyarakat atau undang – undang itu berinteraksi dengan masyarakat.

6 Muhamad, Masri, Drs, 1998. Petunjuk Teknis Penyelenggara MGMP PPKn SLTP dan SLTA. Depdikbud. Jakarta. hlm 27

Page 105: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

101

D. Pembahasan 1. Peranan MGMP Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dalam

Meningkatan Mutu Proses Pembelajaran. Sebagaimana pengertian dari MGMP yang merupakan wadah

kegiatan guru mata pelajaran sejenis untuk bersama-sama memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapi dalam penyelenggaraan proses belajar mengajar. Terlihat sekali apabila dalam kegiatan belajar mengajar mata pelajaran PKn menjumpai berbagai macam permasalahan baik yang secaara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi proses belajar mengajar, maka penyelesaiannya dapat dilakukan dalam kegiatan MGMP. Karena memungkinkan ada suatu permasalahan yang timbul dalam kegiatan belajar mengajar PKn yang tidak dapat diselesaikan oleh gurunya sendiri sehingga penyelesaiannya memerlukan masukan, bantuan, saran ataupun pengalaman dari guru mata pelajaran PKn dari sekolah lain peserta MGMP untuk dijadikan pertimbangan dalam memecahkan masalah tersebut.

Dengan adanya kegiatan MGMP, para peserta MGMP dapat saling tukar menukar pengalaman terutama mnyangkut perencanaan, pelaksanaan, penilaian dan pengelolaan kegiatan belajar mengajar PKn sehingga dapat digunakan sebagai pedoman dalam meningkatkan proses belajar mengajar dan hasil belajar siswa pun meningkat lebih optimal. Adanya kesadaran dari para guru PKn untuk mengikuti MGMP dapat menjadikan MGMP berjalan dengan lancar sehingga kemampuan dan keterampilan para guru akan meningkat. Dengan meningkatnya kemampuan dan keterampilan para guru peserta MGMP maka kegiatan belajar mata pelajaran PKn juga akan meningkat pula.7

Karena salah satu tujuan MGMP adalah mengadakan pemerataan kemampuan dan kemahiran guru dalam proses belajar mengajar sehingga kegiatan proses belajar mengajar akan lebih maksimal dalam rangka menunjang usaha pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan.8

7 Muhamad, Masri, Drs, 1998. Petunjuk Teknis Penyelenggara MGMP PPKn SLTP dan SLTA. Depdikbud. Jakarta. hlm 25

8 AD/ART MGMP PKn Kabupaten Pemalang Bab II tentang Tujuan MGMP , Pemalang, 2010, Tidak Diterbitkan, hlm 3

Page 106: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

102

Sejalan dengan perkembangan kehidupan dalam masyarakat, dan pendidikan harus bertumpu pada tuntutan masyarakat sehingga banyak sekali pembaharuan-pembaharuan dalam bidang pendidikan yang juga menyangkut pembaharuan-pembaharuan dalam kegiatan belajar mengajar. Sedangkan dalam penyampaian informasi yang berkaitan dengan pembaharuan kegiatan belajar mengajar yang memegang peranan penting adalah kegiatan MGMP. Dimana kegiatan MGMP dapat diisi dengan kegiatan penyampaian informasi-informasi pembaharuan terutama yang berhubungan dengan kegiatan belajar mengajar sehingga relatif ada kesamaan dalam menerima informasi perubahan dan pembaharuan tersebut bagi sekolah-sekolah yang mengikut sertakan gurunya dalam MGMP.

2. Peranan MGMP dalam Meningkatkan Kompetensi Pribadi Guru PKn

Adanya MGMP akan terjadi interaksi antar teman sejawat/antar para peserta MGMP sehingga dapat melatih diri untuk mau menerima dan memberikan pendapat, saran, kritik dan masukan yang berkaitan dengan tugas dan profesinya. Bahkan kegiatan MGMP dapat digunakan sebagai wadah untuk tukar-menukar pengalaman pribadi terutama dalam melaksanakan misi pendidikan di masyarakat.

Karena manusia sebagai makhluk sosial dimana antara yang satu dengan yang lain saling berhubungan dan saling membutuhkan. Oleh karena itu dalam kegiatan MGMP juga terjadi hubungan antar peserta MGMP. Dalam mengadakan hubungan inilah dapat dibiasakan untuk menerapkan sifat-sifat yang terpuji misalnya, sabar, demokratis, menghargai pendapat orang lain, sopan santun dan tanggap terhadap pembaharuan. Tanpa adanya sikap terpuji ini sulit kegiatan MGMP dapat berjalan dengan lancar, karena masing-masing anggota memiliki tewmperamen, karakter dan watak yang berbeda yang dapat menimbulkan perselisihan dan mengganggu kegiatan MGMP.

Kegiatan MGMP yang merupakan wadah dalam menyelesaikan masalah, maka akan melatih para guru PKn untuk mampu menyelesaikan masalah-masalah yang ada bahkan dapat memberikan bantuan pada siswanya yang mengalami kesulitan-kesulitan dalam belajar.

Dalam proses belajar mengajar penampilan guru juga memberikan andil yang besar. Oleh karena itu dengan adanya MGMP ini guru-guru PKn

Page 107: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

103

diharapkan akan berpenampilan yang menyenangkan baik dalam proses belajar mengajar maupun di luar proses belajar mengajar. Adanya penampilan yang baik ini karena didukung oleh sikap percaya diri dan penuh keyakinan terhadap hasil-hasil yang diperoleh dalam kegiatan MGMP tersebut.

Secara pribadi intelektualitas guru PKn yang telah mengikuti kegiatan MGMP akan meningkat sejalan dengan penguasaan terhadap materi pelajaran, pembuatan program pengajaran serta membuat penilaian terutama yang menyangkut ranah afektif.

Dengan berbagai masalah yang timbul dalam kegiatan belajar mengajar yang selanjutnya dapat dipecahkan dalam kegiatan MGMP sedikit banyak akan mendorong anggota MGMP untuk mengadakan penelitian sederhana untuk keperluan pengajaran.

3. Peranan MGMP dalam Meningkatkan Profesionalisme Guru PKn Melihat karakteristik profesionalisme guru di atas, maka sebagian

besar karakteristik tersebut dapat ditingkatkan melalui kegiatan MGMP terutama yang berhubungan dengan kompetensi / kemampuan profesional guru yang meliputi : 1) Penguasaan Landasan Pendidikan

Penguasaan landasan pendidikan bagi guru PKn selain didasari dengan pengetahuan dari lembaga pendidikan yang mempersiapkan menjadi guru dan informasi – informasi serta pembinaan dari kepala sekolah di sekolah tersebut. Juga sangat penting peranannya dalam meningkatkan penguasaan landasan pendidikan guru PKn yaitu dalam kegiatan MGMP.

Di mana dalam kegiatan MGMP termasuk di dalamnya adalah tentang pembuatan tujuan pembelajaran khusus yang merupakan penjabaran dari tujuan pembelajaran. Bahkan tujuan ini dibuat dalam rangka untuk menunjang tercapainya tujuan di atasnya sampai pencapaian tujuan pendidikan nasional.pengkajian terhadap tujuan pendidikan nasional merupakan salah satu unsur penguasaan landasan pendidikan.

Page 108: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

104

2) Penguasaan Bahan Pengajaran Walaupun oleh lembaga pendidikan yang mempersiapkan mereka

menjadi guru telah dibekali dengan berbagai macam ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan mata pelajaran yang diajarkan yaitu PKn. Tetapi belumlah cukup untuk diberikan atau ditranserkan kepada siswa-siswanya karena ilmu pengetahuan, nilai-nilai, moral, etika yang diberikan dan ditanamkan kepada siswa harus disesuaikan dengan kurikulum, tuntutan masyarakat, perkembangan kejiwaan siswa dan pedoman khusus mata pelajaran PKn.

Oleh karena itu salah satu upaya peningkatan penguasaan bahan pengajaran bagi guru PKn adalah melalui kegiatan MGMP. Bahwa di dalam kegiatan MGMP salah satu materi kegiatannya adalah pendalaman materi pelajaran. Di mana dalam memperdalam materi pelajaran dilakukan penelaahan terhadap buku teks PKn dan bahan-bahan penunjang yang relevan dengan bahan pengajaran mata pelajaran PKn.

3) Penyusunan Program Pengajaran Bahwa di dalam lembaga pendidikan akademis para guru telah

mendapat bekal untuk dapat membuat program pengajaran seperti dalam merumuskan tujuan pembelajaran, pemilihan metode mengajar, pembuatan program satuan pelajaran dan lain-lain. Namun bekal ini belumlah cukup memadahi untuk diterapkan dalam penyusunan program pengajaran sehinggaperlu didukung oleh pengalaman-pengalaman dan kegiatan yang di dalamnya diadakan musyawarah untuk penyusunan program pengajaran.

Kegiatan MGMP PKn salah satu kegiatannya adalah penyusunan program pengajaran. Sehingga guru PKn dengan mengikuti MGMP akan meningkat kemampuan dan kecakapannya dalam menuju program pengajaran. Dari relita yang ada di lapangan bahwa secara administratif, hampir seluruh guru PKn menggunakan perangkat pembelajaran terutama program pengajaran merupakan hasil kerja MGMP PKn SMP.

Dalam penggunaan media pengajaran serta memilih dan memanfaatkan sumber belajar yang tepat, juga karena adanya tukar-menukar pengalaman dalam penggunaan media pengajaran dan sumber belajar antar anggota MGMP, karena pada hakekatnya bahwa manusia

Page 109: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

105

cenderung untuk menirukan orang lain terutama kalau penggunaan media pengajaran dan sumber belajar dapat berhasil dengan baik maka perlu ditirukan oleh peserta MGMP yang lain.

4) Pelaksanaan Program Pengajaran Walaupun guru yang sudah mengajar lama namun tetap memiliki

kekurangan-kekurangan dalam pelaksanaan program pengajaran/ penyajian materi pelajaran, karena tidak dapat melihat sendiri kelemahan dan kekurangannya sendiri. Oleh karena itu dengan diadakannya MGMP terutama dengan kegiatan ”peer teaching” atau simulasi belajar mengajar, maka kelemahan dan kekurangan yang dimiliki oleh peserta guru PKn dapat diketahui oleh yang lain. Dan anggota yang lain dapat memberikan saran, masukan dan kritik agar dalam melaksanakan program pengajaran akan lebih meningkat.

Bahkan dengan adanya ”peer teaching” atau simulasi belajar mengajar, bagi guru PKn yang dalam penyajian materi / pelaksanaan program pengajaran telah berjalan dengan baik dapat dicontoh oleh peserta MGMP yang lain dan diterapkan dalam pelaksanaan program pengajaran di sekolah masing – masing.

Bila dalam MGMP ada seorang instruktur, atau anggota MGMP yang pernah mengikuti pelatihan instruktur maka mereka dapat mnyampaikan materi tentang teknik menciptakan iklim belajar mengajar yang tepat, teknik mengatur ruangan belajar, dan teknik pengelolanaan interaksi belajar mengajar yang dapat digunakansebagai bekal / bahan dalam pelaksanaan program pengajaran di muka kelas.

5) Penilaian Hasil dan Proses Belajar Mengajar yang Telah Dilaksanakan Semua guru PKn pada dasarnya sudah mampu melakukan

penilaian hasil dan proses belajar mengajar yang telah dilaksanakan. Namun pembuatan alat penilaian yang dilakukan sendiri – sendiri cenderung berbeda bobot dan tingkat kesukarannya antar sekolah yang satu dengan yang lain. Sehingga agar dari masing-masing sekolah memiliki alat penilaian yang bobot dan tingkat kesukarannya relatif sama maka dalam kegiatan MGMP dijadwalkan kegiatan penyusunan kisi-kisi soal sebagai alat penelitian.

Sedangkan untuk mengolah dan menafsirkan data dalam rangka untuk mengetahui taraf pencapaian atau ketuntasan belajar para guru

Page 110: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

106

PKn sebagian besar mendapatkan pengalaman tentang cara pengolahan dan penafsiran tentang ketuntasan belajar berasal dari kegiatan yang ada dalam MGMP.

Bahkan untuk mengadakan analisa butir soal dalam rangka menentukan soal / alat penilaian yang digunakan itu kategori jelek, perlu direvisi atau baik. Tata cara dan teknik menganalisa butir soal ini banyak didapatkan dari kegiatan MGMP. Setelah melakukan penilaian proses belajar mengajar dalam menentukan program selanjutnya yaitu dengan program pengayaan ataupun program perbaikan baik secara individual maupun secara klasikal. MGMP sangat besar perannya dalam memberikan informasi tentang teknik pengolahan dan penentuan kegiatan setelah diadakan penilaian proses tersebut.

E. Penutup Berdasarkan hasil pemaparan penelitian diatas, dapat disimpulkan bahwa :

1. Peranan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dalam Meningkatkan Mutu Proses Pembelajaran PKn DI SMP Negeri 2 Ampelgading Kabupaten Pemalang dilaksanakan dengan melakuan kegiatan organisasi profesi ini adalah : a. Meningkatkan kompetensi guru dalam berbagai hal, khususnya

penguasaan substansi materi pembelajaran, penyusunan silabus, penyusunan bahan ajar, strategi dan metode pembelajaran, memaksimalkan pemakaian sarana/prasarana belajar, memperbaiki sistem penilaian, memanfaatkan sumber belajar dan pendalaman lesson study serta lebih memahami teknik-teknik penulisan Karya Tulis Ilmiah.

b. Memberi kesempatan kepada anggota untuk berbagi pengalaman serta saling memberikan bantuan dan umpan balik.

c. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan serta mengadopsi pendekatan-pendekatan yang disesuaikan dengan kemajuan teknologi dalam pembelajaran yang lebih profesional bagi anggota.

d. Memberdayakan dan membantu anggota dalam melaksanakan tugas-tugas pembelajaran di sekolah.

Page 111: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

107

e. Mengubah budaya kerja anggota dan mengembangkan profesionalisme guru melalui kegiatan-kegiatan yang menunjang pengembangan profesionalisme.

f. Meningkatkan mutu proses pendidikan dan pembelajaran yang tercermin dari peningkatan hasil belajar peserta didik

2. Hambatan – hambatan dan solusi peranan MGMP PKn dalam Peningkatan Pembelajaran PKn di SMP Negeri 02 Ampelgading Pemalang.

Dari berbagai pengamatan dan analsis, sedikitnya ada empat faktor Hambatan-hambatan yang menyebabkan Peranan Musyawarah Guru Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (MGMP PKn) tidak mengalami peningkatan secara merata sebagai berikut : a. Pertama, kebijakan dan penyelenggaraan MGMP Peranan Musyawarah

Guru Mata Pelajaran (MGMP) Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) menggunakan pendekatan education production function atau input-output analysis yang tidak dilaksanakan secara konsekuen,

b. Kedua, penyelenggaraan MGMP Peranan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) yang dilakukan masih belum dapat melepaskan dari system birokasi pemerintah.

c. Ketiga, akuntabilitas kinerja MGMP Peranan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) selama ini belum dilakukan dengan baik.

d. Keempat, belum adanya panduan/petunjuk kegiatan kelompok kerja yang jelas untuk dapat digunakan sebagai acuan bagi guru dan pengurus MGMP Peranan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dalam melakukan aktivitas kelompok kerja atau musyawarah kerja.

3. Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut di atas, tentu saja diperlukan solusi – solusi antara lain : a. Dipenuhinya semua input (masukan) yang diperlukan dalam kegiatan

produksi tersebut. Memperhatikan proses kinerja, apabila input Peranan Musyawarah Guru Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (MGMP PKn) seperti pelatihan guru dan perbaikan sarana dan prasarana lainnya dipenuhi, akan meningkatkan kinerja Peranan Musyawarah Guru Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan ( MGMP PKn ) maka lembaga ini akan menghasilkan output yang dikehendaki.

Page 112: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

108

b. Diberikannya kemandirian dengan melepaskan dari ketergantung an sistem birokrasi pemerintah daerah, motivasi dan insiatif untuk mengembangkan dan memajukan lembaganya termasuk peningkata profesionalisme guru sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi mutupendidikan nasional.

c. Mewujudkan akuntabilitas kinerja Musyawarah Guru Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (MGMPPKn) sehingga memiliki beban untuk mempertanggungjawabkan hasil pelaksanaan kegiatannya kepada sesama rekan guru, pimpinan sekolah, dan masyarakat.

d. Melakukan revitalisasi penyelenggaraan MGMP, Peranan Musyawarah Guru Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (MGMPPKn) melalui penyusunan panduan penyelenggaraan MGMP Peranan Musya -warah Guru Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (MGMPPKn) dalambentuk: (1) Buku Standar Pengembangan MGMP dan (2) Buku Standar Operasional PelaksanaanMGMP.

Diharapkan dengan adanya panduan pelaksanaan Musyawarah Guru Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan ( MGMP PKn ) ini kegiatan - kegiatan Musyawarah Guru Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan ( MGMP PKn ) dapat lebih terarah dan dapa dijadikan pengembangan profesionalisme guru secara mandiri dan berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

Aristo Rahadi, 2003, Media Pembelajaran. DEPDIKNAS Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta.

Herry Sukarman, 2003, Dasar – dasar didaktik dan penerapannya dalam

pembelajaran. DEPDIKNAS Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta.

Hamidi, 2004, Metode Penelitian Kualitatif Aplikasi Praktis Pembuatan Proposal

dan Laporan Penelitian, UMM Press, Malang.

Page 113: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

109

Sujatmiko, Lili Nurlaili, 2003. Kurikulum berbasis kompetensi. DEPDIKNAS Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta.

Sukmadinata, Jami‟at, Ahman. 2006, Pengendalian Mutu Pendidikan Sekolah

Menengah, Konsep, Prinsip, dan Instrumen, Refika ADITAMA, Bandung. Muhamad, Masri, 1997, Materi Latihan Kerja Guru PPKn SLTP dan SLTA,

Depdikbud, Jakarta. Muhamad, Masri, 1998, Petunjuk Teknis Penyelenggara MGMP PPKn SLTP

dan SLTA, Depdikbud, Jakarta. M. Moeliono, Anton dkk, 1995, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,

Jakarta. Saakah, dkk, 1996, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, IKIP Malang, Malang. Uzer Usman, Muhamad, 1999, Menjadi Guru Profesional, Remaja Rosda Karya,

Bandung. Engkoswara, 2010, Adminsitrasi Pendidikan, Alfabeta, Bandung. Hadis A, dan Nurhayati, 2010, Manajemen Mutu Pendidikan, Alfabeta,

Bandung. Jam‟an, S, 2001, Penjaminan Sistem Jaminan Mutu dalam prakter supervise

sekolah, Makalah, tidak diterbitkan, Bandung. Saodih, S, 2011,Kualitas Proses Pembelajaran, Tersedia di

http://sambasalim.com/pendidikan/kualitas-proses-pembelajaran,html, 12 Januari 2012.

Surakhmad, W, 1986,Metodologi Pengajaran Nasional, Jemmars, Bandung.

Page 114: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

110

KONFIGURASI POLITIK PADA MASA IKATAN CENDEKIAWAN MUSLIM INDONESIA (ICMI) DAN IMPLIKASINYA

Isa Agus Amsori1

Abstrak

Dalam tempo yang teramat singkat, ICMI telah menjadi salah satu pemain utama dalam perebutan kekuasaan antar faksi-faksi elite Orde Baru pada awal dan pertengahan 1990-an, dan menjadi rival paling kuat bagi kelompok militer dan kaum sekuler serta non Muslim yang juga saling berebut pengaruh dan beraliansi. Kelahiran ICMI dapat dijelaskan melalui dua perspektif, yaitu sosial dan politik. 1). Perspektif sosial lebih menekankan pada tumbuhnya kekuatan politik Islamisasi masyarakat dan budaya Indonesia. 2). Perspektif politik lebih mengfokuskan pada tumbuhnya konflik elit di dalam negara otoritarian di masa Orde Baru, khususnya mengenai tindakan politik presiden Soeharto. Banyak yang berargumen bahwa kelahiran ICMI harus dipahami sebagai sebuah konsekuensi alamiah dari kian membesarnya jumlah kelas menengah baru dari kalangan Muslim terdidik yang membutuhkan ruang bagi aktualisasi dirinya dan untuk dapat bersuara melawan proses marjinalisasi ekonomi dan politik yang terus melanda umat Islam. Namun seiring runtuhnya rezim Habibie, banyak institusi dan program ICMI yang mulai berguguran. Hal ini terjadi karena banyak dari program dan institusi tersebut yang lebih dimotivasi oleh kepentingan-kepentingan politik sesaat dan di bawah sponsor lingkaran dalam pemegang kekuasaan Orde Baru. Sehingga dengan berubahnya rezim, banyak dari institusi ini yang kehilangan relevansi dan basis dukungannya. Aktivis ICMI yang non-birokrat tetap gagal meraih posisi-posisi politik dalam struktur kekuasaan Orde Baru via ICMI. Kegagalan inilah yang menjadi katalis bagi dukungan mereka terhadap gerakan reformasi. Kata Kunci : ICMI, konflik elit, katalis A. Pendahuluan

Pada dasa warsa 80-an mitos bahwa umat Islam Indonesia merupakan mayoritas tetapi secara teknikal minoritas. Para pengamat politik pada umumnya sepakat bahwa ICMI pasca reformasi telah mengalami penurunan pengaruh dan daya tarik, setelah ia mengalami kegagalan dalam upaya menjadi salah satu powerhouse dalam politik nasional menjelang tumbangnya Orde Baru. Sejarah pembentukan dan perkembangan ormas Islam yang satu ini memang tak mungkin

1 Isa Agus Amsori, Mahasiswa Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang

Page 115: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

111

lepas dari sebuah rekayasa politik dari gabungan dua kekuatan: sebagian elite rezim Orde Baru (Prof. Dr. Ing. B.J Habibie) dan kelompok cendekiawan muslim (Adi Sasono, Dawam Rahardjo, dan Nurcholish Majid dkk). Dalam tempo yang teramat singkat, ICMI telah menjadi salah satu pemain utama dalam perebutan kekuasaan antar faksi-faksi elite Orde Baru pada awal dan pertengahan 1990-an, dan menjadi rival paling kuat bagi kelompok militer dan kaum sekuler serta non Muslim yang juga saling berebut pengaruh dan beraliansi.

Para pemimpin politik Islam pada awal Orde Baru mulai merasakan bahwa harapan agar posisi kaum muslimin bisa berkembang lebih baik dibandingkan periode Orde Lama ternyata tidak menjadi kenyataan, bahkan yang ditemui adalah semakin terdesaknya aspirasi umat Islam akibat berbagai tekanan negara.2

ICMI cukup berhasil memperluas pengaruh di Golkar, birokrasi sipil, dan ditopang beberapa pentolan ormas-ormas besar Islam, serta mendapat dukungan diam-diam dari beberapa elite militer, serta mencapai puncaknya ketika berhasil mendorong B.J Habibie, menjadi orang kuat kedua setelah Soeharto. Kemampuan politik ICMI tak bertahan terlalu lama, karena gelombang reformasi pada akhirnya menumbangkan bukan saja Orde Baru, tetapi juga mengakhiri kekuatan hegemonik ormas ini berikut kekuasaan politik B.J. Habibie dan para pendukungnya. Maka wajar jika untuk sementara, sampai beberapa tahun setelah reformasi, ICMI lebih cenderung pasif dan kiprahnya terbatas.

Mungkin sangat keliru jika menganggap ICMI sebagai ormas maupun kekuatan politik telah usai perannya. Justru pada era pasca reformasi ada perkembangan baru yakni terjadinya kristalisasi dan pemberdayaan organisasi yang bertujuan untuk membuat distingsi antara ICMI lama (sarat politik praktis) dengan pola baru yang diwarnai oleh gerakan masyarakat sipil (atau masyarakat madani dalam jargon ICMI). Kelompok baru ini dimotori generasi muda ICMI yang muncul setelah reformasi mulai yang lebih non-politik praktis. Meski demikian, pada arah pimpinan presidium pusat pengaruh politisi masih kuat.

Pergulatan internal ICMI akan sangat menarik dan mempengaruhi karakternya ke depan, lalu apa yang menjadi latar belakang di balik berdirinya ICMI dan bagaimanakah implikasi politiknya terhadap umat Islam, dan kenapa ICMI mengalami surut gelombang politiknya.

2 Aminudin, 1999, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia: Sebelum dan Sesudah Runtuhnya Rezim Orba Baru,Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm.3.

Page 116: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

112

B. Latar Belakang Dibalik Berdirinya ICMI 1. Posisi Umat Islam di Awal Orde Baru

Orde Baru merupakan tatanan pemerintahan negara Republik Indonesia

yang berkuasa sejak tahun 1966 sampai Mei 1998 di bawah pemerintahan Soeharto, setelah keruntuhan rezim Soekarno dengan demokrasi terpimpin, yang bercorak otoritarian.3 Pada „Islam politik‟ Orde Baru hubungannya diwarnai dengan kecurigaan, dan kepada „Islam Ibadah‟ menunjukkan kenaikan terus menerus.4 Pemerintah menunjukkan kebijakan yang meminggirkan peran politik umat Islam, sehingga muncul sikap antagonistik dari umat Islam.5 Kebijakan Orde Baru di bawah kepeminpinan Soeharto, sekalipun mengakui pentingnya nilai-nilai keagamaan dan moral, nilai-nilai keagamaan dan moral ini diberi bingkai Pancasila. Ada pembatasan- pembatasan tertentu yang mengarahkan pemikiran-pemikiran keagamaan sehinga tidak memunculkan dan terbentuknya politik keagamaan.

Tatkala Orde Baru lahir, umat Islam mulai menaruh harapan besar untuk menyelenggarakan pemerintahan demokratis. Harapan Orde Baru akan memberikan nuansa kehidupan baru dari sekedar menata kekuasaan. Karena itu, menjelang runtuhnya rezim Orde Lama beberapa aktivis muslim tanpa ragu-ragu langsung mendukung dan bergandengan tangan dengan tokoh-tokoh Orde Baru untuk mendesain lahirnya era baru tersebut. Respon umat Islam ketika Orde Baru bangkit mengikuti tiga pola; pertama, pola apologi, diikuti dengan usaha penyesuaian diri dan adaptasi terhadap modernisasi. Kedua, melakukan apologi terhadap ajaran-ajaran Islam, tapi menolak modernisasi yang dinilai sebagai westernisasi dan sekulerisasi. Ketiga, pola tanggapan yang kreatif dengan menempuh jalan dialogis yang mengutamakan pendekatan intelektual dalam menanggapi modernisasi.6

Sementara itu, ada beberapa hal yang menyebabkan hubungan antara pemerintah dan Islam tidak harmonis pada periode awal perjalanan Orde Baru: pertama, Islam sangat percaya pada demokrasi. Kedua, orang-orang Islam adalah mayoriti penduduk Indonesia sehingga dengan mekanisme

3 Moh. Mahfud, Politik Hukum Islam di Indonesia , Jakarta : LP3ES, 1998, hal.196. 4 Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, Cet. Ke-2, 1997, hlm. 198. 5 Khamami Zada, Islam Radikal Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia, Jakarta: Teraju, Cet. Ke-1, 2002, hlm. 29. 6 M. Dawan Raharjo, 1993, Intelektual Muslim, Intelejensia, dan Perilaku Politik Bangsa:

Risalah Cendekiawan Muslim, Bandung: Mizan. hlm. 381-382

Page 117: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

113

penyelenggaraan negara yang demokratis akan mudah bagi Islam untuk mengambil kendali kehidupan politik dan mewujudkan nilai-nilai Islam dalam segala aspek kehidupan politik. Ketiga, adanya individu-individu dikalangan umat Islam yang menginterpretasikan Islam secara harfiah sehingga dalam proses artikulasinya sering dilakukan secara keras dan memicu konflik primodialistik. Keempat, terutama kalangan Angkatan Darat, karena pengalaman masa lampau yang sangat traumatik dengan DI/TII, mempunyai persepsi kurang positif bahkan cenderung mencurigai pihak Islam sebagai ekstrim kanan. Kelima, karateristik pemerintahan otoriter yang dipilih sebagai upaya membentuk format politik baru terutama dalam masa transisi dari Orde Lama ke Orde Baru.7

Posisi umat Islam dan era Orde Baru periode pertama berada dalam posisi berhadapan (vis a vis), ditambah dengan berbagai kasus yang semakin merenggangkan hubungan tersebut, sebutlah kasus Tanjung Priok, Lampung, Peledakan Borobudur dan lainnya. Perubahan perilaku politik muslim erat juga hubungannya dengan kerangka utama politik Orde Baru terhadap Islam merupakan bagian terbesar warga negara terletak dalam konsep deideologisasi Islam sebagai agama dan birokratisasi kehidupan pemeluk Islam dalam mempraktekkan ajaran agama yang menjadi keyakinannya. Deideologisasi pada akhirnya melunturkan watak ideologi Islam, setidaknya secara formal. Demikian pula birokratisasi kehidupan agama telah menempatkan hampir seluruh aktifitas sosial muslim dalam kontrol dan pelayanan pemerintah bersamaan dengan kooperatisasi yang menempatkan elite santri diberbagai lembaga sosial yang dikontrol oleh pemerintah.

Perubahan sikap Orde Baru yang akomodatif terhadap umat Islam sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari fenomena sosial dari tahun 80-an berupa terjadinya Islamisasi birokrasi. Proses ini ditandai dengan masuknya sarjana-sarjana muslim ke jenjang birokrasi, parpol dan kelompok sosial lainnya. KeIslaman yang mereka tampilkan tidak lagi bersifat partisan, tetapi lebih bersifat paguyuban yang menekankan serba harmoni. Mereka berjasa dalam mengembangkan saling pengertian antara umat Islam dengan pemerintah.

7 Afan Gaffar dan Moh. Mahfud, 1993, "Dua menteri Agama dalam Pergumulan Politik

hukum Islam di Indonesia", dalam Abdurahman et.al (ed), Agama dan Masyarakat: 70 tahun H.A. Mukti Ali, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press. hlm. 126-127

Page 118: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

114

Proses yang semacam ini sebagai proses integrasi birokratik-santri. Proses tersebut tidak bisa dilepaskan dari usaha pemerintah Orde Baru dalam mengembangkan modernisasi birokrasi dari sistem pendidikan Islam. Pada bulan Desember 1990, presiden Soeharto memberi restu bagi berdirinya ICMI. Sebuah peristiwa luar biasa, karena organisasi ini menampung kalangan pegawai dan tokoh-tokoh Islam, termasuk beberapa di antara mereka yang sejak dulu sering memberikan kritik tajam kepada Orde Baru dan cara-cara Soeharto menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan Islam.

Berdirinya ICMI tidak dengan sendirinya membangkitkan kesepakatan cendekiawan yang lain. gabungan dalam suatu aliansi antara rezim Orde Baru dengan organisasi cendekiawan Muslim menimbulkan kekhawatiran beberapa kalangan. Abdurrahman Wahid, Ketua PBNU saat itu, menolak mentah-mentah ICMI dan mengatakan bahwa ICMI menyebarkan sekterianisme. NU sebagai organisasi menolak masuk ke dalam ICMI. Dipihak lain, Abdurrahman Wahid membentuk Forum Demokrasi bersama-sama dengan cendekiawan “bebas”, termasuk beberapa orang yang sudah duduk di dalam ICMI pada tahun 1991, hanya berselang beberapa bulan setelah ICMI terbentuk. Forum Demokrasi, dengan Abdurrahman Wahid sebagai ketuanya, sama sekali tidak penting dari segi organisasi. Namun, gabungan antara kaum agama dan kaum sekuler yang mengumumkan niat untuk berkoalisi dengan siapa saja yang membuka jalan menuju Indonesia yang demokratis membuat pemerintah Orde Baru khawatir terutama penyebutan kata demokrasi tanpa embel-embel Pancasila. Kalau kelahiran ICMI sepenuhnya didukung pemerintah Orde baru, Forum Demokrasi justru sebaliknya. Mereka dilarang membentuk cabang dan hanya diperkenankan berdiri sebagai forum, tidak diperkenankan menjadi organisasi yang melantik anggota.

Di lingkungan ICMI, cendekiawan diartikan secara luas yang titik beratnya adalah memiliki kepekaan sosial dan komitmen terhadap persoalan masyarakat. Dengan perkataan lain, cendekiawan adalah mereka yang dengan potensi manusiawinya, khususnya pengetahuan, keterampilan, atau ilmunya,

Page 119: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

115

akademis atau tidak, terpanggil untuk membaktikan dirinya untuk kepentingan masyarakat.8

Kelahiran ICMI dapat dijelaskan melalui dua perspektif, yaitu sosial dan politik. 1). Perspektif sosial lebih menekankan pada tumbuhnya kekuatan politik Islamisasi masyarakat dan budaya Indonesia. 2). Perspektif politik lebih mengfokuskan pada tumbuhnya konflik elit di dalam negara otoritarian di masa Orde Baru, khususnya mengenai tindakan politik presiden Soeharto.

Kelahiran ICMI ini tak lepas dari peran mahasiswa, bermula dari diskusi-diskusi di kampus Universitas Barwijaya Malang, mereka mengkhawatirkan kondisi umat Islam, terutama perpecahan yang terjadi di kalangan cendekiawan. Akhirnya muncul keinginan untuk mengadakan simposium yang menghadirkan para tokoh cendekiawan muslim. Ini sebuah bukti bahwa pendidikan politik mahasiswa merupakan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari perkembangan intelektual. Perubahan sikap pemerintah mulai akomodatif terhadap aspiratif umat Islam disambut gembira oleh sebagian kelompok Islam.

2. Perubahan Sikap Akomodatif Pemerintah Orde Baru Bakhtiar Efendy menyebutkan ada empat bukti yang menunjukkan

tumbuhnya sikap akomodatif negara terhadap Islam mencakup diterapkannya kebijakan yang sejalan dengan kepentingan sosial-ekonomi dan politik umat Islam.9 1) Akomodasi Struktural

Ini bisa dibuktikan dengan direkrutnya para pemikir dan aktivis Islam politik generasi baru ke dalam lembaga eksekutif (birokrasi) dan legislatif negara, seperti dalam tim ekonomi Soeharto, Golkar dan Bappenas. Ada juga mereka yang dipromosikan untuk menduduki posisi yang tinggi. Dalam periode itu, seperti Abdul Ghafur, AkbarTanjung, Bustanul Arifin, Saleh Afif, Azwar Anas, Hasrul Harahap, Arifin Siregar, Syamsudin Sumintaputra, Sa'adillah Mursyid dan Syafrudin Baharsyah.10

8 M. Dawan Raharjo dalam Nasrullah Ali Fauzi (ed), 1995, ICMI; Antara Status Quo dan

Demokratisasi, Bandung: Mizan, cet. Ke-1. hlm. 38 9 Bakhtiar Efendy, 1998, Islam dan Negara, Trasformasi Pemikiran dan Praktik Politik

Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina. hlm.273 10 Ibid. hlm. 276

Page 120: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

116

2) Akomodasi Legislatif Ini bisa dilihat pada lima hal, (1) disahkannya UU Pendidikan Nasional

(UUPN) tahun 1989, (2) diberlakukannya UU Peradilan Agama tahun 1989 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) tahun 1991, (3) diubahnya kebijakan tentang jilbab tahun 1991, (4) dikeluarkannya keputusan bersama tingkat menteri berkenaan dengan Badan Amil Zakat, Infak dan Shadaqah (Bazis) tahun 1991, (5) dihapuskannya Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB) tahun 1993.11

3) Akomodasi Inftrastruktural

Jenis akomodasi ini pada dasarnya dirancang untuk menyediakan infrastruktur yang diperlukan guna membantu umat Islam dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban agama mereka. Realisasi paling umum dari akomodasi jenis ini adalah pembangunan masjid-masjid yang disponsori negara. Dan juga yang terjadi pada awal 1990-an ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mendapat dukungan secara finansial dari pemerintah dalam rangka pengiriman seribu orang da'i ke daerah-daerah transmigrasi.12

4) Akomodasi Kultural

Ini bisa dilihat dengan diterimanya idiom-idiom Islam dalam perbendaharaan kosakata instrumen-instrumen politik dan idiologi negara, seperti kata-kata sultan, sayidin. Kata-kata dalam Pancasila terdiri dari idiom-idiom Islam seperti adil, adab, rakyat, hikmah, musyawarah dan wakil. Jenis ini juga bisa dibuktikan dengan diselenggarakannya festival istiqlal di Jakarta tahun 1991 dan 1995.13

Disamping hal tersebut, pemerintahan Soeharto memperlihatkan dukungan yang nyata bagi perkembangan Islam di tanah air yang juga ditandai dengan sejumlah tindakan dan kebijakan pemerintahan Orde Baru, seperti: a. Sertifikasi dan labelisasi Halal.

Ini merupakan sebuah proyek untuk memeriksa produk makanan, minuman dan komestik dari segi kehalalannya. Produk yang dinyatakan halal diberi sertifikat dan label halal. Sertifikasi ini ditangani oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) bersama pemerintah (Depertemen Agama dan Depertemen Kesehatan).

11 ibid, hlm 278 12 Ibid. hlm 305 13 Ibid. hlm. 308

Page 121: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

117

Gagasan sertifikasi halal muncul setelah berakhirnya isu lemak babi yang dikhawatirkan terdapat dalam produk makanan tertentu pada akhir 1980-an. Pada saat itu muncul isu tentang kemungkinan adanya lemak babi pada barang konsumsi, umat Islam terdorong untuk mempersoalkan kehalalan produk makanan, minuman, kosmetik yang banyak beredar di pasar. Keinginan umat ini mendapat tanggapan positif dari pemerintah, sehingga lahirlah sertifikasi dan labelisasi halal.14

b. Islam Menjadi Tuan Rumah Beberapa Kegiatan Dunia Islam.

Selama tahun 1970-an dan 1980-an Indonesia dianggap kurang dekat dengan negara-negara Islam, khususnya yang berada di Timur Tengah. Ada yang menduga pemerintah Orde Baru khawatir terhadap kelompok-kelompok radikal muslim di Timur Tengah yang akan mempengaruhi kelompok muslim di Tanah Air, apabila terjalin hubungan yang dekat dengan negara-negara di kawasan. Pada tahun 1990-an Soeharto sendiri menghadiri KTT OKI (Konfrensi Tingkat Tinggi Organisasi Konferensi Islam), dan bahkan Indonesia menjadi tuan rumah bagi beberapa kegiatan dunia Islam, seperti pertemuan OKI, dan IFTIHAR (The International Islamic Forum For Science, Technology dan Human Resources) sebuah Forum Islam International untuk pengembangan Iptek dan Sumber Daya Manusia, pada Desember 1996.15

Setidaknya ada dua perspektif akademis utama yang saling berlawanan dalam memandang kelahiran ICMI di ruang publik Indonesia; Perspetif pertama; muncul dari para kritikus. Mereka berargumen bahwa kemunculan ICMI merupakan bagian dari rencana strategis Soeharto untuk memobilisasi dukungan Muslim sebagai kompensasi atas potensi penyusutan dukungan ABRI kepadanya dan untuk menjauhkan para intelektual Muslim dari elemen-elemen politik yang lebih radikal di tingkatan akar rumput. Perspektif kedua; datang dari para sarjana yang lebih simpatik. Mereka berargumen bahwa kelahiran ICMI harus dipahami sebagai sebuah konsekuensi alamiah dari kian membesarnya jumlah kelas menengah baru dari kalangan Muslim terdidik yang membutuhkan ruang bagi aktualisasi dirinya dan untuk bisa bersuara melawan proses marjinalisasi ekonomi dan politik yang terus melanda umat Islam.

14 Sudirman Teba, 2001, Islam Menuju Era Reformasi, Yogyakarta: Tiara Wacana. hlm. xv. 15 Ibid., hlm. xvii i.

Page 122: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

118

Perspektif yang pertama diwakili oleh seorang ilmuwan politik Amerika, R. William Liddle, yang berargumen bahwa kemunculan dan keterkemukaan ICMI bisa dipahami secara paling baik sebagai bagian dari strategi dan taktik politik presiden Soeharto ketimbang sebagai ekspresi dari tuntutan kaum Muslim Indonesia.16 Dalam pandangannya, perspektif kedua gagal memahami relasi antara negara dan Islam politik pada masa-masa akhir Orde Baru.

Mereka semua melupakan faktor penentu yang krusial, yaitu peranan yang dimainkan Presiden Soeharto sebagai pembentuk utama sistem politik dan kekuatan-kekuatan yang ada di dalam sistem tersebut.17 Namun, terhadap tuduhan ini, kritik yang sama juga bisa diajukan. Jika kemunculan ICMI sekedar hasil dari inisiatif Soeharto, lalu bagaimana kita bisa menjelaskan antusiasme dari puluhan ribu anggota ICMI (non-elit) luar Jakarta yang bergabung dengan ICMI tanpa mempedulikan kepentingan politik personal para elitnya. Bagaimana bisa menjelaskan adanya setengah juta pembeli saham P.T. Abdi Bangsa dalam harian Republika (koran harian ICMI) tanpa menuntut hak-hak mereka dan tak pernah menuntut akuntabilitas saham mereka. Bagaimana bisa menjelaskan adanya fakta bahwa beberapa tokoh utama ICMI (sebut saja Amien Rais dan Nurcholish Madjid) memainkan peran kritis dalam mendesak Presiden Soeharto untuk mundur. Perspektif yang kedua diwakili oleh antropolog Amerika, Robert W. Hefner, yang berargumen bahwa usaha untuk mendirikan sebuah perhimpunan intelektual Muslim, setidaknya pada ide awalnya, lahir dalam komunitas Muslim sendiri.18

Berbeda dengan perspektif pertama, Hefner menyatakan bahwa bagaimanapun kuatnya gagasan ICMI ditarik ke dalam konteks intrik birokratik, ide pendirian ICMI pada mulanya bukanlah hasil rekayasa pemerintah; asal-usul pendiriannya terletak pada interaksi negara masyarakat yang memiliki sejarah lebih panjang dan penuh pergolakan.19 Pandangan bahwa ICMI sebagai sekedar alat pemerintah, menurut Hefner, mencerminkan sebuah kecenderungan dikalangan para sarjana Barat untuk melihat agama tak lebih sekadar instrumen untuk mencapai tujuan ekonomi politik yang lebih sejati.

16 R. William Liddle, 1996, „The Islamic Turn In Indonesia: A Political Explanation’,

Journal of Asian Studies, vol. 55, no. 3. hlm. 631 17 Ibid. hlm. 620 18 Hefner, R. W. 1993, „Islam, State And Civil Society: I.C.M.I. And The Struggle For The

Indonesian Middle Class‟, a working paper, Boston University, Massachusetts.. hlm 20 19 Ibid 20

Page 123: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

119

Pandangan ini mengabaikan fakta bahwa banyak kalangan santri yang memandang politik bukan sebagai tujuan dalam dirinya sendiri, namun sebagai sarana untuk menciptakan kebaikan bersama, untuk mewujudkan nilai-nilai ideal Islam dalam masyarakat.20

Namun, terhadap argumen inipun, muncul beberapa pertanyaan. Jika Soeharto tak memiliki peran yang spesifik dalam pendirian ICMI, lalu mengapa dia mendukung pendirian sebuah perhimpunan berbasis agama yang digambarkan oleh seorang jenderal senior di Indonesia sebagai bencana terbesar yang menghantam Orde Baru.21 Lebih dari itu, jika ICMI merupakan sebuah organisasi yang menggunakan politik semata-mata demi tujuan-tujuan agama, lalu bagaimana kita bisa memahami pandangan Adi Sasono, seorang intelektual organik terkemuka ICMI, berikut ini; “Sungguh sulit mengorganisir massa demi tujuan-tujuan demokratisasi dan de-militerisasi jika kita tak menggunakan alasan agama”.22

Sejarah kelahiran ICMI telah menyita perhatian pengamat politik baik dari dalam maupun luar negeri. Berbagai tanggapan, komentar dan kritik merebak mewarnai perjalanan Organisasi tersebut. Bahkan sejak pencetusannya hingga kini seakan-akan ICMI menjadi faktor baru yang diperhitungkan sebagai kekuatan strategis dalam peta perpolitikkan Indonesia pada umumnya dan Islam pada khususnya, ICMI lahir sebagai buah dari proses politik. Dimana pada waktu itu, mulai membaiknya hubungan Islam dengan Birokrasi (Pemerintah). Hubungan itu bersifat reprokal atau timbal balik. Sehingga menumbuhkan konvergensi diantara dua belah pihak. Ketika pengumuman susunan pengurus ICMI, pada 13 Februari 1991, Habibie mengatakan bahwa ICMI bukanlah organisasi politik dan bukan pula organisasi massa yang bernaung dibawah organisasi politik.

Tujuan pembentukan ICMI adalah untuk meningkatkan kualitas hidup, kualitas kerja, kualitas karya, serta kualitas berfikir seluruh bangsa indonesia, khususnya umat Islam. Sepertinya mengesankan bahwa ICMI tidak akan berpolitik. Persoalannya adalah mungkinkah cendekiawan tidak berpolitik ?23

20 Ibid. 29 21 Vatikiotis, M. J. 1994, Indonesian Politics under Soeharto: Order, Development and

Pressure for Change, Routledge, London. hlm 133 22 Ramage, D. E. 1995, Politics in Indonesia: Democracy, Islam and the Ideology of

Tolerance, Routledge, New York. hlm 75 23 M. Syafi‟i Anwar, 1995, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, Sebuah Kajian Politik

Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina. hlm. 296

Page 124: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

120

Salah satu dari fungsi utama kaum cendekiawan, menurut Edward Shil adalah “Memainkan peran politik“ sebab dengan memainkan peran politik, seorang cendekiawan terlibat dalam persoalan masyarakatnya. Sehingga tokoh semacam Bung Hatta pun tidak ragu untuk mengatakan, politik adalah salah satu bentuk keterlibatan kaum cendekiawan. Jika demikian persoalannya, adakah peluang bagi organisasi semacam ICMI untuk berpolitik?24

Pernyataan Habibie tersebut, seolah ruang untuk berpolitik bagi ICMI telah tertutup. Tetapi apakah benar bahwa ICMI memang apolitik? Bagi Dr. Afan Gaffar pakar politik dan pengamat politik dari UGM Yogyakarta, “ICMI tidak akan a-politik, tidak ada Ormas di Indonesia ini yang tidak berpolitik ICMI pun juga berpolitik hanya artikulasinya saja yang berbeda dengan Ormas lain. Sebagai cendekiawan muslim, ICMI merupakan lahan yang efektif untuk menggalang potensi mengkomunikasikan dan mendesiminasikan ide-ide, menggalang lobi dan lainnya. Menurut Affan, peran politik ICMI yang paling signifikan adalah mengkondisikan hubungan yang tidak konfrontatif antar Islam dengan birokrasi Orde Baru.25

Senada dengan pendapat Affan, Dr. Arbisanit mengatakan “sepak terjang ICMI jelas menunjukkan keterlibatannya dalam politik praktis”. Hal ini tampak dalam “penghijauan” MPR 1993-1998, kabinet pembangunan VI, dan pengurus Golkar. Amin Rais dari kalangan dalam juga mengakuinya, “ walaupun ICMI bukan Organisasi politik dan tidak berpolitik praktis, saya (Amin Rais) yakin ICMI mempunyai politik leverge yang besar. Sejalan dengan pendapat Adi Sasono, ICMI tidak boleh buta politik.26

Diantara artikulasi politik ICMI yang tidak konfrontatif dengan birokrasi Orde Baru menjadikan pengaruh nyata bagi kelompok-kelompok kelas menengah yang soleh dan tekun menjalankan perintah agama, dan membuat birokrat yang semula takut berjama‟ah jum‟at menjadi bangga melakukannya. Dan menguatnya kepatuhan pada Islam dikalangan kelas menengah dan pejabat pemerintah, menurut Nurcholish Majid adalah sebuah pencapaian yang sangat berharga.27

24 Ibid, hlm. 297 25 Ibid 26 Abdul Aziz Thaba,1996, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru, Jakarta: Gema

Insani. hlm. 292 27 W. Hafner Robert, 1995, ICMI dan Perjuangan Menuju Kelas Menengah Indonesia, Alih

bahasa: Endi Haryono, Jakarta: Tiara Wacana. hlm. 64

Page 125: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

121

B.J Habibie sebagai ketua umum ICMI, dan politisi yang ada dalam pemerintahan dan dekat dengan lingkaran kekuasaan pada waktu itu menjadikan langkah-langkah politiknya yang sebenarnya tidak berkaitan langsung dengan ICMI oleh banyak kalangan telah dilihat sebagai realisasi manufer politik ICMI, sebagai suatu bentuk dari dinamisasi program dan kegiatan ICMI. Disamping Habibie, banyak anggota ICMI yang masuk dalam dunia politik, sehingga hal itu telah memberikan pengaruh politik yang dalam perkembangan politik Islam di Indonesia. Partisipasi anggota ICMI tampak pada anggota legislatif 1993-1998, sebagaimana yang dikemukakan Arbisanit, DPR dan MPR telah menjadi hijau karena ICMI, demikian dengan kabinet dan Golkar.

Dalam fase transisi antara represi dan keterbukaan ini, konflik-konflik antar faksi dalam elit kekuasaan menjadi semakin intens. Situasi inilah yang pada tahun 1990 memungkinkan diwujudkannya sebuah ambisi yang telah lama terpendam dikalangan kaum Muslim untuk mendirikan ICMI. Tampil sebagai satu satunya organisasi besar Islam yang mendapatkan status legal sepanjang Orde Baru, di tengah-tengah merebaknya gerakan oposisional, menjadikan ICMI sebagai perhimpunan intelektual yang paling kontroversial dalam sejarah Indonesia. Organisasi itu segera menjadi fokus perdebatan politik dan perhatian media pada akhir era Orde Baru. Namun, signifikansi politiknya tidak bertahan lama, karena negeri ini segera disapu oleh gelombang reformasi.

Berdasarkan teori-teori gerakan sosial, dukungan Soeharto terhadap ICMI bisa dipandang sebagai tanda tentang adanya peluang politik yang positif yang bisa dimanfaatkan untuk mentransformasikan gerakan-gerakan intelektual Muslim yang telah lama terbangun menjadi perhimpunan inteligensia Muslim yang terorganisir secara longgar. Terlalu melebih-lebihkan faktor Soeharto akan beresiko mengabaikan fakta bahwa ICMI mungkin memiliki agendanya sendiri, meskipun retorika formal dari tokoh-tokoh terkemuka ICMI tetap menegaskan bahwa ICMI semata-semata merupakan „gerakan kebudayaan‟ yang bebas dari kepentingan-kepentingan politik.

Hubungan dekat Islam dengan negara di era 1990-an sekadar menunjukkan peralihan basis politik Soeharto setelah hubungan antara Presiden dan petinggi Angkatan Darat mulai dingin. Liddle memperlihatkan ketidakpercayaannya pada terjadinya proses Islamisasi di tengah masyarakat secara luas, maupun aparat

Page 126: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

122

birokrasi dan tidak percaya bahkan politik kalangan santri mengalami pasang naik dan kalangan abangan mengalami pasang surut.28

Setelah menganalisis dari perspektif pertama, sekarang kita beralih untuk memeriksa perspektif yang kedua. Karena terlalu mengapresiasi latar historis dari kemunculan ICMI, perspektif yang kedua seperti yang diungkapkan Hefner, gagal memperlihatkan esensi dari pergulatan ICMI dalam jaring-jaring relasi politik yang riil. Dengan menyatakan bahwa asal-usul ICMI terletak dalam interaksi negara-masyarakat‟, perspektif ini merefleksikan teori-teori Marxis yang mengunci lokus kuasa ke dalam relasi-relasi antara penguasa dan yang dikuasai, dan melebih-lebihkan makna pentingnya Negara dalam menentukan relasi kuasa. Pandangan monolitik terhadap kuasa ini, teramat dangkal mengenai hakekat dari kuasa dan relasi-relasinya. Pergulatan kuasa bukan hanya berlangsung di sepanjang sumbu relasi negara dan masyarakat, namun juga terjadi dalam benturan-benturan antar individu-individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat. Pergulatan kuasa ICMI bisa dipahami secara lebih baik dengan menempatkannya dalam konteks relasi-relasi kuasa yang lebih luas.

Patut dicatat bahwa perspektif yang kedua ini menyebut proyek historis ICMI sebagai perjuangan dari „kelas menengah‟ Muslim. Padahal, akan muncul beberapa masalah jika kita mendeksripsikan pergulatan ICMI dalam kerangka tindakan kelas. Pertama, jalan tokoh intelektual Indonesia menuju kekuasaan tidak benar-benar bersumber dari posisi kelas (ekonomi)-nya, namun lebih berumber dari keistimewaan statusnya sebagai sebuah strata masyarakat Indonesia yang terdidik dan modern. Kedua, keanggotaan ICMI tidak sungguh-sungguh merepresentasikan „kelas menengah‟ (Muslim), namun lebih merepresentasikan strata Muslim yang terdiferensiasi secara struktural, baik secara ekonomi maupun pendidikan. Sebagian besar anggota ICMI memang termasuk ke dalam kelompok masyarakat berpenghasilan menengah. Namun beberapa yang lain memiliki kekayaan yang besar, dalam banyak hal mampu berbagi kekuatan ekonomi dengan para pemilik modal, sedangkan sisanya masih berpendapatan rendah. Ketiga, pergulatan kuasa di antara kelompok intelektual Indonesia jarang yang diartikulasikan dalam kerangka kelas, namun lebih banyak diartikulasikan dalam kerangka kelompok solidaritas kultural.

28 Eep Saefullah Fattah, 1999 , “Masa Depan Politik Islam: Dari Pusaran Menuju Arus

Balik” dalam Abu Zahro (ed.), Politik Demi Tuhan: Nasionalisme Religius di Indonesia, Bandung: Pustaka Hidayah, , hlm. 13-14.

Page 127: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

123

Yang terakhir namun juga penting, konflik-konflik di antara kelompok intelektual serta di antara cendekia Muslim dan negara (di Indonesia) tidak saja merefleksikan kepentingan ekonomi, namun juga kepentingan kultural dan simbolik yang tak bisa direduksi semata-mata menjadi sebuah pertarungan kelas (kepentingan-kepentingan ekonomi). Dikarenakan faktor Islam sebagai ideologi dan dasar perjuangan politik umat untuk waktu yang lama Islam pernah dianggap sebagai sesuatu yang mengancam ideologi politik negara bangsa.29

Dalam penjelasan perspektif teori inilah, kemunculan ICMI bisa dipahami sebagai sebuah hasil dari proses interaksi. Yaitu, sebagai hasil kombinasi dari gerakan intelektual Islam yang telah lama berkembang dalam berbagai bidang dan orientasi ideologis dengan ketersediaan peluang politik yang lahir dari perubahan-perubahan dalam struktur patronase Soeharto. Jaringan-jaringan intelektual dan struktur kognitif dari gerakan intelektual Muslim terdahulu menjadi prakondisi bagi mobilisasi para intelektual Muslim ke dalam ICMI, sementara dukungan dari Soeharto membukakan peluang baru bagi perwujudan perhimpunan intelektual Muslim yang telah begitu lama ditunggu.

Munculnya ICMI juga merefleksikan sebuah kombinasi pertarungan kuasa antara negara dan masyarakat dan antar berbagai kelompok dalam masyarakat, selain juga kombinasi dari pertarungan kuasa demi kepentingan politik-ekonomi dengan kepentingan identitas-kultural. Berhubung banyaknya konsesi yang diberikan kepada komunitas Muslim serta kian menguatnya peran intelektual Muslim yang mulai mendominasi wacana sosial-politik dalam ruang publik Indonesia, maka sesuatu yang alamiah bila inteligensia Muslim memiliki keinginan untuk bisa memainkan peran yang lebih menentukan dalam dunia politik dan birokrasi Orde Baru. C. ICMI dan Implikasi Politiknya

Menjelang dan setelah Pemilihan Umum 1992, media massa Indonesia memunculkan spekulasi mengenai proses penghijauan, ijo royo-royo, dalam dunia politik Indonesia. Dalam kenyataannya, proses Islamisasi ini tidaklah sehebat

29 Bahtiar Effendy, 2001, Teologi Baru Politik Islam, Pertautan Agama, Negara dan

Demokrasi, Yogyakarta, Galang Press,. hlm. 144-145

Page 128: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

124

seperti yang disangka publik. Samsudin Haris30 mengamati bahwa para wakil Muslim di DPR hanya meningkat sebesar 1% dari 80,8% pada tahun 1987 menjadi 81,8% pada tahun 1992. Para wakil Muslim dalam faksi Golkar di DPR meningkat sebesar 1,1% dari 78,3% pada tahun 1987 menjadi 79,4% pada tahun 1992.

Meski ada kenaikan, namun sedikit sekali anggota ICMI di antara wakil-wakil baru Muslim di DPR dan lebih sedikit lagi jumlah aktivis ICMI yang berlatar belakang non-birokrat yang menjadi wakil-wakil baru di DPR itu. Soeharto ternyata tidak mengangkat para aktivis ICMI yang memiliki latar belakang NGO ataupun intelektual dakwah sebagai anggota MPR tahun 1992.31 Fenomena yang sama tampak dalam komposisi Kabinet Pembangunan VI (1993-1998). Meskipun pada periode ini hanya ada empat wakil non-Muslim dalam kabinet, yang menunjukkan kemersosotan jika dibandingkan dengan kabinet sebelumnya, Soeharto ternyata tidak mengangkat aktivis ICMI (non-birokrat) dalam Kabinet ini. Menurut Deliar Noer bahwa pembentukan ICMI yang memperoleh dukungan dari presiden tak lebih hanya sebagai sarana terpilihnya jabatan kembali Soeharto sebagai presiden.32

Kecewa dengan perolehan politik mereka setelah Pemilihan Umum 1992, para aktivis ICMI yang sesungguhnya berharap akan bernasib lebih baik di masa depan. Namun, tampak jelas bahwa para aktivis ICMI yang berlatar belakang nonbirokratik tak bisa dengan mudah menyesuaikan diri dengan kultur politik elit kekuasaan Orde Baru. Hanya beberapa bulan setelah pembentukan Kabinet Pembangunan Enam pada bulan Maret 1993, Amien Rais (asisten ketua ICMI selama periode 1990-1995 dan ketua Dewan Pakar ICMI periode 1995-2000) memecah „tabu‟ politik Orde Baru dengan memunculkan isu mengenai suksesi presiden.

Pada titik ini di era Orde Baru, menyebarluaskan gagasan pengunduran diri Presiden merupakan sesuatu yang sungguh di luar pikiran. Kritik-kritik yang menohok dari Amin Rais terus berlanjut dengan pemuatan gagasan-gagasannya

30 Haris, S. 1997, „Struktur, Proses Dan Fungsi Pemilihan Umum: Catatan Pendahuluan‟,

Pemilihan Umum di Indonesia: Telaah atas Struktur, Proses dan Fungsi, eds S. Haris et.al., PPW-LIPI, Jakarta. hlm. 95-97

31 Ramage, D. E. 1995, Politics in Indonesia: Democracy, Islam and the Ideology of Tolerance, Routledge, New York. hlm. 100

32 Ahmad Bahar (ed). 1995, ICMI Kekuasaan dan Demokrasi, Yogyakarta, Pena Cendekia, Cet.I. hlm. 23

Page 129: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

125

dalam kolom regulernya di harian Republika sejak akhir tahun 1996. Artikelnya yang paling penting berjudul „Inkonstitusional‟ yang dimuat pada 9 Januari 1997. Dalam artikel tersebut, dia mengungkap praktik eksploitatif dan korup dari industri pertambangan emas yang beroperasi di Busang (Kalimantan Timur) dan Papua Barat (Freeport), yang melibatkan keluarga Soeharto dan kroni-kroninya.

Artikel Amin Rais ini membuat marah keluarga Soeharto dan menyebabkan posisinya di dalam ICMI mulai dipersoalkan. Untuk menyelamatkan kepentingan (politik) kolektif ICMI, Amin Rais sepakat untuk mengundurkan diri dari posisinya sebagai ketua Dewan Pakar ICMI pada 24 Februari 1997. Beberapa bulan sebelumnya, anggota ICMI terkemuka lainnya yang juga anggota DPR dari PPP, Sri Bintang Pamungkas, dijatuhi hukuman penjara selama tiga tahun karena dituduh melakukan penghinaan terhadap Presiden saat memberikan kuliah di universitas Berlin pada April 1995. Dia juga dikeluarkan dari DPR dan kepengurusan ICMI.

Peristiwa tersebut membuat Soeharto dan keluarganya memusuhi para aktivis ICMI dari kalangan non-birokrat. Menjelang Pemilihan Umum 1997, beberapa aktivis ICMI non-birokrat yang sebelumnya dicalonkan sebagai wakil Golkar di DPR/MPR, seperti Adi Sasono dan Dawam Rahadjo dicoret dari daftar. Situasi ini dengan cepat dimanfaatkan oleh Gusdur untuk membangun kembali aliansi NU dengan pemegang kekuasaan Orde Baru. Selama kampanye pemilu, dia sering tampil bersama dengan Siti Hardiyanti Rukmana (anak perempuan Suharto dan deputi ketua Golkar) di depan publik dari kalangan tradisionalis.

Maka, hasil pemilihan umum 1998 tidak menempatkan satu wakil (lembaga) ICMI-pun di MPR. Jimly Asshiddiqie (Wakil Sekretaris ICMI) memang menjadi anggota MPR, namun dalam kapasitasnya sebagai wakil MUI. Para anggota ICMI yang lain hanya menjadi anggota DPR/MPR sebagai buah dari posisi mereka sebagai anggota Golkar atau partai politik yang lain.

Komposisi Kabinet Soeharto yang ketujuh mencerminkan pola yang sama. Karena negara mulai merasakan dampak dari krisis ekonomi (pertengahan tahun 1997) dan dilanda kerusuhan sosial, Soeharto membentuk kabinet terdiri dari mereka yang loyal kepadanya. Habibie diangkat sebagai wakil presiden, meski muncul penentangan kuat dari faksi utama dalam Golkar dan dari kalangan militer. Pengangkatan Habibie ini barangkali didasarkan pada anggapan akan „kenaifan‟ politiknya yang tak akan mengancam posisi Soeharto. Pada saat yang sama, Soeharto tidak ingin berbagi kekuasaan dengan para intelektual kritis ICMI.

Page 130: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

126

Daftar anggota kabinet yang diumumkan pada tanggal 14 Maret 1998 hanya mencantumkan satu anggota ICMI dari latar belakang non-birokrat, yaitu Tuty Alawiyah, sebagai Menteri Urusan Peranan Wanita. Meski demikian, sebagai wakil ketua Dewan Penasehat ICMI, dia bukanlah figur vokal dalam ICMI. Pengangkatannya sebagai menteri tampaknya juga mencerminkan relasinya yang terbangun sejak lama dengan (almarhumah) istri Soeharto (Tien Soeharto) dan anak perempuannya, Siti Hardiyanti Rukmana, daripada karena keanggotaannya dalam ICMI. Para anggota ICMI lainnya yang diangkat sebagai menteri ialah mereka yang memiliki latar belakang birokrasi (termasuk Golkar). Salah satunya ialah deputi ketua Dewan Pengurus Harian ICMI yang masih aktif, yaitu Haryanto Dhanutirto (sebagai Menteri Pangan, Hortikultura dan Obat-obatan), empat anggota pasif ICMI, yaitu Fuad Bawazier, Rahardi Ramelan (keduanya anggota Dewan Penasehat ICMI), Muladi (wakil ketua Dewan Pakar ICMI) dan Quraish Shihab (asisten ketua umum ICMI) yang masing-masing menjadi Menteri Keuangan, Menteri Riset dan Teknologi, Menteri Kehakiman dan Menteri Agama.

Jadi, sampai kabinet terakhir Soeharto, para aktivis ICMI yang non-birokrat tetap gagal meraih posisi-posisi politik dalam struktur kekuasaan Orde Baru via ICMI. Kegagalan inilah yang menjadi katalis bagi dukungan mereka terhadap gerakan reformasi. Manakala para intelektual Muslim menjadi kian diterima dalam dunia politik dan birokrasi Orde Baru, capaian sosio-ekonomi dari rezim ini melahirkan konsekuensinya tersendiri yang tak terduga. Meningkatnya akumulasi modal swasta, adanya ledakan dalam jumlah lulusan pendidikan tinggi dan kelas menengah perkotaan yang terborjuiskan, serta berubahnya iklim dalam hubungan internasional, membawa perluasan peluang bagi kemungkinan manuver oposisional.

D. Surutnya Gelombang Politik ICMI Dalam hal relasi negara dan agama dalam masyarakat Indonesia, Islam telah

menjadi unsur yang paling berpengaruh dalam budaya Indonesia dan merupakan salah satu unsur terpenting dalam politik Indonesia. Namun demikian Islam hanya berperan marjinal dalam wilayah kehidupan politik nasional. Hal ini antara lain disebabkan karena dikotomi “politik Islam” dan “non politik Islam” di kalangan

Page 131: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

127

umat Islam Indonesia yang telah berlangsung lama.33 Pertentangan atau konflik antara Islam dengan birokrasi (negara) bukanlah suatu hal yang baru, tetapi telah mempunyai akar-akar sejarah dan kultural sejak lama.34

Sebenarnya Habibie memiliki mandat konsitusional untuk melanjutkan masa jabatan Soeharto sampai tahun 2003. Pasal 8 UUD 1945 menegaskan bahwa jika presiden berhalangan, maka wakil presiden akan melanjutkan sisa masa jabatan presiden. Namun, suasana kebatinan bangsa secara umum pada saat itu mendesak adanya percepatan penyegaran pemerintahan. Karena itu, Habibie tak punya pilihan lain selain mengikuti opini publik yang menuntut diselenggarakannya pemilihan umum secepat mungkin pada tanggal 7 Juni 1999.

Kemunculan banyak partai politik yang berasaskan agama, baik Islam maupun Kristen, merupakan salah satu fenomena politik menarik pada masa pasca-Soeharto. Kebangkitan partai-partai seperti ini, khususnya Islam, mendorong munculnya semacam kekhawatiran kalangan sementara pihak, baik dalam maupun luar negeri. Kekhawatiran itu menyangkut; apakah partai politik Islam itu merupakan indikasi dari kemunculan “fundamentalisme Islam” di Indonesia. Kekhawatiran ini tidak diragukan lagi bersumber dari pandangan dan citra terhadap gerakan militan dan radikal Islam di Timur Tengah yang sering disebut “fundamentalisme” Islam.35 Dalam hal ini, Azyumardi Azra menolak anggapan bahwa kemunculan parpol Islam di Indonesia sebagai indikasi bangkitnya fundamentalisme Islam di Indonesia.36

Tiga minggu setelah Habibie menduduki jabatan kepresidenan, masih belum jelas apakah dia akan mencalonkan diri sebagai kandidat presiden pada pemilihan presiden yang akan datang. Dalam dua kesempatan yang terpisah pada minggu kedua bulan Juni 1998, dia menyatakan bahwa dalam Pemilu mendatang dia tak akan mencalonkan diri sebagai presiden. Namun. Achmad Tirtosudiro dan tokoh-tokoh ICMI lainnya mengingatkan bahwa terlalu dini untuk sampai pada kesimpulan itu dan menyarankan agar dia menguji opini publik. Maka, pada

33 Din Syamsuddin, 2001, Islam dan Politik Era Orde Baru, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu.

hlm. 21 34 M. Syafi‟i Anwar, 1995, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia Sebuah Kajian Politik tentang

Cendikiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina. hlm. 4 35 Azyumardi Azra, 2000, “Fundamentalisme Partai Islam” dalam Hamid Basyaib dan Hamid

Abidin (ed.), Mengapa Partai Islam Kalah? Perjalanan Politik Islam dari Pra-Pemilu 1999 sampai Pemilihan Presiden, Jakarta: Alvabet. hlm. 30-31

36 ibid, hlm. 38-39

Page 132: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

128

tanggal 29 Juni, Habibie mengklarifikasi pernyataan sebelumnya dan menyatakan bahwa dia belum memutuskan apakah dia akan mencalonkan diri atau tidak.

Kemudian, dengan dukungan antusias dari lingkaran dalamnya, dia memutuskan untuk ikut mencalonkan diri menjadi presiden dan berharap bisa menggunakan Golkar sebagai kendaraan politiknya. Meski Habibie telah bersedia untuk ikut mencalonkan diri, namun signifikansi ICMI sebagai sebuah kendaraan politik sebenarnya telah mulai merosot. Keputusan Sjarwan Hamid, sebagai Menteri Dalam Negeri dalam Kabinet Habibie, pada awal Juni untuk mencabut larangan pembentukan partai politik melahirkan euforia kebebasan baru untuk ikut serta dalam kegiatan politik. Kebijakan dan euforia politik ini segera mengarah pada pelipatgandaan kemunculan beragam partai politik baru yang jumlahnya mencapai 100 lebih, namun hanya 48 saja yang diperkenankan mengikuti pemilihan umum. Menyadari bahwa partai-partai politik sekarang merupakan jalan utama menuju kekuasaan politik, para tokoh ICMI mulai mengendurkan keterikatannya dengan ICMI dan mendirikan partai-partainya sendiri.

Runtuhnya rezim Habibie, banyak institusi dan program ICMI yang mulai berguguran. Hal ini terjadi karena banyak dari program dan institusi tersebut yang lebih dimotivasi oleh kepentingan-kepentingan politik sesaat dan di bawah sponsor lingkaran dalam pemegang kekuasaan Orde Baru. Sehingga dengan berubahnya rezim, banyak dari institusi ini yang kehilangan relevansi dan basis dukungannya.

Meski demikian, hal ini tidak dengan sendirinya mengakhiri kehidupan politik dari individu anggota ICMI, dan tentu saja tidak mengakhiri posisi strategis para intelektual Muslim dalam perpolitikan Indonesia. Ketika Akbar Tandjung gagal memenuhi persyaratan formal untuk mencalonkan diri menjadi presiden, aliansi antara Poros Tengah dan Golkar berhasil memenangkan Abdurrahman Wahid menjadi presiden. Euforia setelah keluar dari suatu kurun panjang represi politik; banyak kepentingan politik yang sodok menyodok berebut posisi, dan tidak adanya otoritas politik yang mempunyai kemauan mencegah hal itu.37 Sementara itu, bersama surutnya ICMI, sebuah generasi baru Muslim muncul, dengan tetap menunjukkan kecenderungannya secara beragam.

37 Valina Singka Subekti, 2001, “Meletakkan Landasan Menuju Konsolidasi Demokrasi” dalam Lukman Hakim, Reformasi dalam Stagnasi, Jakarta: Yayasan Al-Qur‟an Mukmin. hlm. 21

Page 133: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

129

E. Kesimpulan dan Penutup Suatu gugus besar dari kelas terdidik yang berjumlah semakin besar, turut

berperan dalam meningkatkan ekspektasi dan aspirasi yang kritis. Tatkala sirkulasi elit di pusat struktur politik menjadi macet, kesempatan ini untuk memegang kekuasaan politik menjadi terhambat. Jadi, semakin diterimanya kaum Muslim dalam dunia politik Orde Baru berlangsung pada saat gerakan oposisi menunjukkan gelombang pasang, sedang rezim Soeharto berada dalam gelombang surut. Situasi paradoks seperti ini melatari berdirinya ICMI.

Konsekuensinya, para intelektual Muslim pada tahun 1980-an dan 1990-an jauh lebih merasa percaya diri daripada para pendahulunya, serta menuntut peran publik yang lebih besar dalam masyarakat. Kebijakan good will yang dijalankan pemerintah terhadap kepentingan Muslim juga tampak jelas lewat peningkatan dukungannya terhadap Islam kultural.

Saat Orde Baru semakin hegemonik, represi politik bukan hanya dialami oleh kelompok Islam, namun juga oleh segmen lain dari bangsa Indonesia. Sebagai dampaknya, gerakan hegemoni-tandingan secara perlahan melibatkan spektrum luas dari masyarakat Indonesia. Di luar kelompok Islam dan aksi mahasiswa, gerakan oposisional juga datang dari NGO yang berorientasi pada usaha untuk menciptakan civil society (masyarakat madani). Selain itu, gerakan oposisi juga datang dari kelompok yang pernah menjadi bagian dari elit bekuasa yang kemudian terpental dari struktur politik formal. Runtuhnya legitimasi Orde Baru sebagai akibat dari krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997/1998 menjadi katalis bagi oposisi yang berserakan ini untuk bersatu dalam sebuah blok historis bersama.

Page 134: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

130

DAFTAR PUSTAKA

Aminudin, 1999, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia: Sebelum dan Sesudah Runtuhnya Rezim Orba Baru,Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Anwar, M. Syafi‟i, 1995, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, Sebuah Kajian

Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina Azra, Azyumardi, 2000, “Fundamentalisme Partai Islam” dalam Hamid Basyaib

dan Hamid Abidin (ed.), Mengapa Partai Islam Kalah? Perjalanan Politik Islam dari Pra-Pemilu 1999 sampai Pemilihan Presiden, Jakarta: Alvabet.

Bahar, Ahmad (ed). 1995, ICMI Kekuasaan dan Demokrasi, Yogyakarta: Pena

Cendekia. Effendy, Bahtiar, 2001, Teologi Baru Politik Islam, Pertautan Agama, Negara

dan Demokrasi, Yogyakarta: Galang Press. ____________ , 1998, Islam dan Negara, Trasformasi Pemikiran dan Praktik

Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina. Fattah, Eep Saefullah, 1999, “Masa Depan Politik Islam: Dari Pusaran Menuju

Arus Balik” dalam Abu Zahro (ed.), Politik Demi Tuhan: Nasionalisme Religius di Indonesia, Bandung: Pustaka Hidayah.

Gaffar, Afan dan Moh. Mahfud, 1993, "Dua menteri Agama dalam Pergumulan

Politik hukum Islam di Indonesia", dalam Abdurahman et.al (ed), Agama dan Masyarakat: 70 tahun H.A. Mukti Ali, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press.

Haris, S. 1997, „Struktur, Proses Dan Fungsi Pemilihan Umum: Catatan

Pendahuluan’, Pemilihan Umum di Indonesia: Telaah atas Struktur, Proses dan Fungsi, eds S. Haris et.al., Jakarta: PPW-LIPI.

Kuntowijoyo, 1997, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan Liddle, R. William, 1996, „The Islamic Turn In Indonesia: A Political

Explanation‟, Journal of Asian Studies, vol. 55, no. 3 Mahfud, Moh., 1998, Politik Hukum Islam di Indonesia , Jakarta: LP3ES. Raharjo, M. Dawan, 1993, Intelektual Muslim, Intelejensia, dan Perilaku Politik

Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim, Bandung: Mizan.

Page 135: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

131

Raharjo, M. Dawan, dalam Nasrullah Ali Fauzi (ed), 1995, ICMI; Antara Status Quo dan Demokratisasi, Bandung: Mizan, cet. Ke-1.

Ramage, D. E. 1995, Politics in Indonesia: Democracy, Islam and the Ideology of

Tolerance, Routledge: New York. Robert, W. Hafner, 1995, ICMI dan Perjuangan Menuju Kelas Menengah

Indonesia, Alih bahasa: Endi Haryono, Jakarta: Tiara Wacana. Robert, W. Hafner. 1993, „Islam, State And Civil Society: I.C.M.I. And The

Struggle For The Indonesian Middle Class’, a working paper, Boston University, Massachusetts.

Subekti, Valina Singka, 2001, Meletakkan Landasan Menuju Konsolidasi

Demokrasi dalam Lukman Hakim, Reformasi dalam Stagnasi, Jakarta: Yayasan Al-Qur‟an Mukmin.

Syamsuddin, Din, 2001, Islam dan Politik Era Orde Baru, Jakarta: PT. Logos

Wacana Ilmu. Teba, Sudirman, 2001, Islam Menuju Era Reformasi, Yogyakarta: Tiara Wacana. Thaba, Abdul Aziz, 1996, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru, Jakarta:

Gema Insani. Vatikiotis, M. J. 1994, Indonesian Politics under Soeharto: Order, Development

and Pressure for Change, Routledge, London. Zada, Khamami, 2002, Islam Radikal Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis

Keras di Indonesia, Jakarta: Teraju.

Page 136: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

132

MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA DENGAN MENERAPKAN PEMBELAJARAN BERBASIS INKUIRI

(Topik Getaran Dan Gelombang Pada Siswa Kelas VIII H SMP N 3 Pemalang)

Indah Sukmawati1

Abstrak

Prestasi belajar fisika yang relatif rendah ditandai siswa yang tuntas belajar di bawah 85 % materi Getaran dan Gelombang dua tahun terakhir , sehingga guru perlu mengubah model pembelajaran, Tujuan penelitian ini meningkatkan hasil belajar siswa konsep Getaran dan Gelombang, melalui model pembelajaran inkuiri. Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas, dilakukan pada kelas VIII H yang berjumlah 37 siswa , terdiri 17 siswa perempuan dan 20 siswa laki-laki . Metode pengumpulan data, menggunakan metode dokumentasi, tes, observasi dan angket. Analisis data deskriptif prosentase. Penelitian dilaksanakan dalam dua siklus. Indikator keberhasilan penelitian pada akhir siklus 85% siswa tuntas belajar (dengan KKM 72).Hasil penelitian :Siklus I : Tes rerata hasil belajar 72,84 ketuntasan klasikal 62% Siklus II : Tes hasil belajar 82,70 , ketuntasan klasikal 100%. Simpulan penelitian pembelajaran fisika berbasis inkuiri konsep getaran dan gelombang dapat meningkatkan hasil belajar. Pembelajaran fisika berbasis inkuiri bila dilaksanakan konsisten dan didukung dengan media pembelajaran dapat lebih meningkatkan penguatan penerapan konsep sehingga hasil belajar fisika lebih meningkat. Agar pembelajaran lebih efisien perlu diperbanyak alat-alat percobaan dan media yang sesuai dengan materi agar siswa memperoleh kesempatan melakukan praktek lebih leluasa dan berperan aktif dalam memahami konsep. Kata Kunci : Hasil belajar, Inkuiri. Getaran dan gelombang.

A. Pendahuluan Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kenyataan di lapangan bahwa siswa

kurang berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran, terutama pelajaran fisika, sehingga mengakibatkan hasil belajar yang dicapai siswa dalam pelajaran

1 Indah Sukmawati, Guru SMP N 3 Pemalang

Page 137: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

133

fisika masih relatif rendah. Untuk mengatasi hal tersebut perlu dilakukan upaya, salah satunya adalah menentukan metode pembelajaran yang dapat melibatkan siswa secara aktif dalam kegiatan pembelajaran. Dalam hal ini, mencoba menerapkan pembelajaran dengan menggunakan metode inkuiri terbimbing dan termodifikasi sebagai upaya untuk meningkatkan peran aktif siswa.

Upaya penyelesaian agar siswa aktif dalam pembelajaran Fisika dapat dilakukan dengan menggunakan pembelajaran inkuiri terbimbing dan termodifikasi. Pembelajaran inkuiri bebas berarti siswa secara nyata mencari pengetahuan sendiri tanpa bantuan dan bimbingan dari guru, sedangkan pembelajaran inkuiri terbimbing proses siswa dalam memperoleh pengetahuan dengan bantuan bimbingan dan petunjuk dari guru. Pembelajaran inkuiri termodifikasi merupakan gabungan pembelajaran inkuiri bebas dan terbimbing. Dengan pembelajaran inkuiri terbimbing siswa melakukan penyelidikan dan akhirnya menemukan sendiri konsep-konsep Fisika sehingga siswa memiliki pengalaman pribadi, terlebih jika berhasil menemukan konsep yang belum diketahui, maka siswa akan merasakan kebanggaan dan kepuasan. Kebanggaan, kepuasan hati atas hasil yang diperoleh dapat membuat pemahaman siswa terhadap suatu konsep dapat tersimpan lama dalam ingatan siswa sehingga pelaksanaan penelitian tindakan kelas (PTK) yang lakukan ini diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar Fisika pada siswa kelas VIII H SMP Negeri 3 Pemalang.

Dalam rangka mempermudah pemahaman siswa peranan kegiatan laboratorium sangat diperlukan, karena melalui kegiatan ini membantu siswa mewujudkan sesuatu yang abstrak menjadi nyata, melalui proses siswa dapat menemukan konsep,memperoleh pengetahuan yang dipahami. Menurut Bruner, belajar dengan baik apabila peserta didik ikut terlibat langsung dalam pembangunan ilmu seperti yang dilakukan oleh para ilmuwan, pengetahuan itu bukan suatu produk melainkan suatu proses2.

Dalam praktiknya Pendekatan pembelajaran melalui proses penemuan diupayakan agar konsep-konsep fisika yang sulit bagi siswa dapat mudah dipahami. Melalui pembelajaran ini siswa diberi materi yang ada dalam kehidupan sehari-hari sehingga siswa terdorong untuk memperoleh pengalaman

2 Suparno, A Suhaenah.. Membangun Kompetensi Belajar. Jakarta: Depdiknas, 2000,

hlm. 69

Page 138: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

134

dan melakukan percobaan yang memungkinkan mereka menemukan konsep sendiri. Secara garis besar proses penemuan (inkuiri) ini terdiri atas kegiatan-kegiatan mengamati, memperkirakan, mengukur, menggunakan peralatan dan mengkomunikasikan hasil-hasil yang diperoleh.

Menurut Roestiyah3, keunggulan metode inkuiri yaitu: 1) Siswa akan memahami konsep dasar dan menemukan ide-ide lebih baik; 2) Menghindarkan siswa dari cara belajar menghafal; 3) Kegiatan belajar mengajar terpusat pada siswa; proses belajar mengajar menjadi lebih merangsang; 4) Memberi kebebasan siswa dalam belajar sendiri sehingga akan termotivasi untuk belajar; dan 5) Dapat mengembangkan bakat atau kemampuan individual.

Wiyanto, dkk4 mengatakan bahwa penerapan model pembelajaran melalui laboratorium berbasis inkuiri dapat mengembangkan sikap ilmiah siswa, apabila guru akan menerapkan kegiatan laboratorium berbasis inkuiri mereka hendaknya selalu mengarahkan siswa pada kegiatan discovery atau inkuiri sehingga sikap-sikap ilmiah yang dimiliki dapat benar-benar muncul.

Dalam inkuiri terbimbing siswa belajar dari pengalaman nyata yang didukung dengan petunjuk LKS, observasi atau media lain secara terbuka terhadap pengalaman baru dan mendorong siswa lebih aktif selama pembelajaran berlangsung. Petunjuk dari LKS dapat berupa pertanyaan yang membimbing siswa menemukan konsep jika dibutuhkan dapat melalui kartu bimbingan yang terdiri dari beberapa tahap.

Beberapa pendapat mengenai inkuiri, menurut Amien5, kegiatan inkuiri adalah suatu kegiatan atau pelajaran yang dirancang sedemikian rupa sehingga siswa dapat menemukan konsep-konsep dan prinsip-prinsip melalui proses mentalnya sendiri. Sedangkan menurut Carte, Beenirce Golmark dan Fenton yang dikutip oleh Nasution6, inkuiri sebagai pola beraksi dalam bentuk bertanya yang terarah, menguji suatu nilai , inkuiri adalah suatu proses yang memungkinkan anak didik menafsirkan massa lampau dan menemukan masalah-masalah personal dan berbagai isu lainya didalam masyarakat yang menimbulkan reaksi untuk

3 Roestiyah, N.K, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta: Rineka Cipta, 1998, hlm. 76-77

4 Wiyanto, Kiswanto dan Suharto Linuwih., Pengembangan Kompetensi Dasar Bersikap Ilmiah melalui kegiatan laboratorium berbasis inkuiri Bagi Siswa SMA, Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, FMIPA UNNES Semarang. 2005, hlm, 159.

5 Amien, Moh.. Mengajar Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dengan menggunakan Metode Discovery dan Inquiry. Jakarta . Depdikbud, 1987, hlm 126

6 Nasution. Metode Research. Bandung: Jemmars. 1992, hlm 117

Page 139: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

135

berfikir. Lebih lanjut inkuiri dirumuskan sebagai proses belajar yang memberi kesempatan kepada anak didik untuk aktif menguji dan menafsirkan masalah secara saintifik yang memberi konklusi berdasarkan pembuktian.

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan hasil belajar siswa kelas VIII H SMP N 3 Pemalang konsep Getaran dan Gelombang melalui pembelajaran inkuiri.

B. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas, dilaksanakan dalam 2 siklus, dengan tiap siklusnya terdiri dari 4 tahap yaitu : perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, observasi, dan refleksi.

Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan di SMP Negeri 3 Pemalang yang terletak di jalan Gatot Subroto Pemalang di kelas VIII H Tahun Pelajaran 2013/2014 yang nilai rata-rata setiap ulangan harian paling rendah, dengan jumlah 37 siswa, terdiri dari 17 siswa perempuan dan 20 siswa laki-laki.

Metode pengumpulan data pada penelitian ini metode dokumentasi, tes, observasi dan angket. Metode dokumentasi digunakan untuk mendapatkan informasi tentang daftar nama siswa, daftar hasil belajar siswa. Metode tes, digunakan untuk mendapatkan informasi tentang hasil belajar aspek kognitif, adapun tes yang digunakan dalam penelitian ini ,tes bentuk pilihan ganda, jumlah soal 25, untuk siklus I sejumlah 15 butir dan persiapan siklus II sejumlah 10 butir.

Metode Observasi digunakan untuk mengetahui kemampuan afektif dan psikomotor siswa. Aspek afektif meliputi, jujur, kerjasama kelengkapan catatan, kehadiran dikelas, perhatian dalam mengukuti pelajaran. dan mengemukakan pendapat dan atau bertanya, sedangkan aspek psikomotor meliputi merangkai alat percobaan, menggunakan alat ukur dan mencatat hasil percobaan, serta membuat kesimpulan. Instrumen untuk mengukur kemampuan afektif dan psikomotorik terdiri dari 4 aspek. Rentangan yang dipakai adalah 4 sampai 1, sehingga skor tertinnggi adalah 4 x 4 = 16 dan skor terendah adalah 1 x 4 = 4. skor keseluruhan diperoleh dengan menjumlahkan skor tiap aspek penilaian. Untuk mendapatkan nilai psikomotorik dihitung dengan rumus sebagai berikut :

N = maksimalskor

siswadicapaiyangskorjumlah x 100 %

Page 140: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

136

Angket dari penelitian ini digunakan untuk mengetahui tanggapan siswa terhadap pembelajaran Getaran dan Gelombang berbasis inkuiri terbimbing. Setiap pertanyaan dari angket dianalisis dengan memberi skor 4 untuk jawaban sangat setuju, skor 3 untuk jawaban setuju, skor 2 untuk jawaban kurang setuju dan skor 1 untuk jawaban tidak setuju.

Metode analisis data pada penelitian ini adalah metode deskriptif persentase. Data hasil penelitian yang dianalisis adalah hasil belajar , ketuntasan belajar individu dan ketuntasan belajar secara klasikal. Selanjutnya, hasil data yang diperoleh ini diinterprestasi, dan disimpulkandan digunakan untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Rata-rata kelas: Untuk menghitung rata-rata kelas pada masing-masing siklus digunakan rumus sebagai berikut7 :

N

XX __

Keterangan : __

X = rata-rata kelas

= jumlah seluruh skor , N = banyaknya belajar secara individual Rumus yang digunakan untuk mengetahui ketuntasan belajar secara individual sebagai berikut:

Ketuntasan individual = %10072

xtesmengikutiyangsiswajumlah

nilainmendapatkayangsiswajumlah

Indikator Keberhasilan

Sebagai indikator keberhasilan penelitian tindakan kelas adalah : Siswa dipandang mencapai tuntas belajar kognitif apabila siswa mampu

menyelesaikan, menguasai kompetensi atau tujuan pembelajaran minimal 72% dari seluruh tujuan pembelajaran yang ada. Sedangkan keberhasilan kelas

7 Sudjana, Nana.. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja Rosda

Karya. 1989, hlm. 109

Page 141: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

137

diperoleh dari jumlah siswa yang mampu menyelesaikan atau mencapai minimal 72% sekurang-kurangnya 85% dari jumlah siswa yang mengikuti tes8.

Siswa dipandang mencapai tuntas belajar afektif apabila siswa mampu menguasai kompetensi minimal 72% dari tujuan pembelajaran yang ada, sedangkan keberhasilan kelas dicapai bila jumlah siswa yang mencapai minimal 72% sekurang-kurangnya 75% dari jumlah siswa yang mengikuti tes9. Siswa dipandang mencapai tuntas belajar psikomotorik apabila siswa mampu menguasai kompetensi minimal 75% dari tujuan pembelajaran10, sedangkan keberhasilan kelas dicapai apabila dari jumlah siswa yang mencapai meinimal 75% sekurang-kurangnya 75% dari jumlah siswa yang mengikuti tes11.

Ketutasan individual digunakan untuk menentukan ketuntasan secara klasikal, sedangkan ketuntasan klasikal digunakan untuk menentukan keberlangsungan penelitian tindakan kelas (siklus selanjutnya).

Ketuntasan klasikal : jika siswa yang tuntas individual mencapai 85 %

C. Hasil Penelitian

1. Siklus I Penelitian tindakan kelas siklus I dengan materi getaran

dilaksanakan pada tanggal 10 Januari 2013 hari kamis di kelas VIII H. Observasi Siklus I Hasil penilaian kognitif, psikomotor dan afektif materi getaran model pembelajaran inkuiri batas KKM 72, jumlah siswa 37 dapat dilihat pada tabel 1.

8 Mulyasa, E.. Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik, dan

Implemantasi. Bandung : Remaja Rosdakarya. 2004, hlm.99 9 Ibid, hlm. 102

10 Laili Farihah. 2005. Model Pembelajaran Tipe STAD Pada Konsep Perubahan Lingkungan Fisik dan Prosesnya Dalam Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Sains Siswa Kelas IV SD Negeri Sekaran Semarang Tahun 2005/2006. FMIPA, Jurusan Fisika : UNNES.

11 Mulyasa, E. 2004. Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik, dan Implemantasi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya, hlm, 102

Page 142: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

138

Tabel 1. Hasil Belajar Aspek Kognitif, Psikomotor dan Afektif.

Berdasarkan hasil observasi, temuan observer diantaranya : Siswa

kurang memahami langkah-langkah percobaan, Siswa kesulitan mengerjakan soal hitungan dalam bentuk tabel pada LKS.

Refleksi siklus I : Berdasarkan hasil pengamatan dan observasi dinyatakan seperti pada tabel 2.

Tabel 2. Temuan Observer dan Tindak Lanjut Hasil Observasi Siklus I

No. Temuan Observer Tindak Lanjut Hasil

Observasi (Refleksi Siklus I) 1.

2.

Siswa kesulitan memahami petunjuk praktikum.

Siswa kesulitan menyelesai kan soal hitungan dalam bentuk tabel.

Petunjuk praktikum di buat dengan bahasa singkat dan mudah difahami siswa.

Soal dalam bentuk tabel diubah dalam bentuk kalimat lengkap dengan besaran dan satuannya, sehingga siswa mudah memahami , dan menggunakan rumus.

2. Siklus II

Penelitian tindakan kelas siklus II dengan materi : gelombang dilaksanakan pada tanggal 24 Januari 2013 hari kamis di kelas VIII H. Observasi Siklus II Hasil pengamatan langsung pelaksanaan tindakan dan

NO Kategori

Hasil Belajar

Kognitif Psikomotor Afektif

jml % jml % jml % 1 Siswa yang telah

tuntas

23

62

31

84

33

89

2 Siswa yang belum tuntas

14

38

6

16

4

11

3 Rata – rata Hasil Belajar

72, 84

87,16

79,05

Page 143: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

139

post tes siklus II materi gelombang model pembelajaran inkuiri batas KKM 72, jumlah siswa 37 dengan hasil sebagai berikut :

Tabel 3. Hasil Belajar Aspek Kognitif, Psikomotor dan Afektif

NO Kategori

Hasil Belajar

Kognitif Psikomotor Afektif

jml % jml % jml %

1 Siswa yang telah tuntas

37 100 34 92 35 95

2 Siswa yang belum tuntas

- - 3 8 2 5

3 Rata – rata Hasil Belajar

82,70

92,40

83,38

Refleksi Siklus II : Berdasarkan hasil pengamatan, pelaksanaan

tindakan dan posttes siklus II diperoleh hasil aspek psikomotor batas tuntas klasikal 75 % tercapai 92 % aspek afektif batas tuntas klasikal 75 % tercapai 95 % dan aspek kognitif batas klasikal 85 % tercapai 100 %.

Tanggapan siswa terhadap pembelajaran fisika berbasis inkuirdapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Page 144: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

140

Tabel 4. Tanggapan Siswa Terhadap Pembelajaran Inkuiri

No. Indikator STS TS S SS 1. 2. 3. 4. 5. 6

Pembelajaran berangkat dari fenomena disekitar kita Konsep yang dikaji sesuai dengan fenomena disekitar kita Pembelajaran dapat menumbuhkan inovasi siswa Pembelajaran dapat menumbuhkan rasa ingin tahu siswa Pembelajaran dapat memupuk kerja sama antar siswa Pembelajaran melibatkan siswa secara aktif

0 0 5 2 2 0

0 1 6 4 3 2

23

21

19

18

22 4

14

15 7

12

13

31

7. 8. .

Pembelajaran terasa menyenangkan Pembelajaran dapat memotivasi siswa untuk lebih giat belajar fisika.

3 2

3 4

25

24

6 7

Jumlah 14 23 176 119

Prosentase 4,2 6,9 53 35,9

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa tanggapan siswa terhadap

pembelajaran fisika berbasis inkuiri adalah sebagai berikut :. Sangat Setuju : 4,2% , Setuju : 6,9%, Tidak Setuju : 53%, dan. Sangat Tidak Setuju : 35,9%.

D. Pembahasan Pembahasan antar siklus dimaksudkan untuk membedakan pelaksanaan

tindakan kelas antar siklus dengan memaparkan perkembangan yang terjadi dan membandingkan hasilnya. Pembahasan antar siklus pada pelaksanaan tindakan kelas pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Page 145: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

141

Tabel 5. Perbedaan pelaksanaan tindakan siklus I dan siklus II.

No. Siklus I Siklus II 1.

2.

Anak kurang memahami langkah-langkah dalam LKS. Siswa kesulitan memahami langkah percobaan menjadikan waktu percobaan menjadi lama. Soal hitungan rumus frekuensi dan periode getran mengguna kan tabel.

Petunjuk praktikum di buat dengan bahasa singkat dan mudah difahami siswa. Soal dalam bentuk tabel diubah dalam bentuk kalimat lengkap dengan besaran dan satuannya, sehingga siswa mudah mema- hami, dan menggunakan rumus.

Dengan adanya perbedaan pelaksanaan tindakan antar siklus I dan siklus II

ternyata berpengaruh pula terhadap hasil yang diperolehnya. Adapun hasil belajar antar siklus dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 6. Perbandingan pelaksanaan tindakan Siklus I dan Siklus II.

No. Siklus I Siklus II 1 Ketuntasan belajar -kognitif

mencapai 62 % berarti baru 23 siswa tuntas belajar. Psikomotor mencapai 84 % berarti 31 siswa telah tuntas, - Afektif mencapai 89 % berarti 33 siswa telah tuntas dari jumlah 37 siswa dikelas VIII H.

Ketuntasan belajar -Kognitif mencapai 100% berarti berarti 37 siswa telah tuntas. Psikomotor mencapai 92 % berarti 34 siswa telah tuntas, Afektif mencapai 95 % berarti 35 siswa telah tuntas dari jumlah 37 siswa dikelas VIII H

2 Pencapaian aspek kognitif kurang 23 % dari batas tuntas klasikal 85 %

Pencapaian aspek kognitif lebih 15% dari batas tuntas klasikal 85 %

3 Nilai rata-rata hasil Belajar = 72,84 Nilai rata-rata hasil Belajar = 82,70

Hasil pelaksanaan tindakan siklus I = 62 % dan pelaksanaan tindakan siklus II =100%.

Dengan hasil tersebut diatas berarti bahwa Pembelajaran fisika berbasis inkuiri konsep getaran dan gelombang dapat meningkatkan hasil belajar pada

Page 146: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

142

siswa kelas VIII H SMP N 3 Pemalang Semester 2 tahun pelajaran 2013/2014. Hal ini sesuai dengan penelitian Yuni Triningsih ( 2006 : 49 ) yang menyimpulkan bahwa Pembelajaran fisika berbasis Inkuiri dapat meningkatkan hasil belajar pada pokok bahasan hukum Newton tentang gerak pada siswa kelas X semester 1 SMA N 8 Semarang. Sementara itu pembelajaran fisika berbasis inkuiri merupakan salah satu model pembelajaran yang menarik bagi siswa, hal ini dapat dilihat dari hasil angket respon siswa terhadap pembelaaran inkuiri yaitu 53% siswa menyatakan Sangat Setuju dan 35,9% siswa menyatakan setuju.

E. Simpulan Dan Saran 1. Kesimpulan

Pembelajaran berbasis inkuiri dapat meningkatkan hasil belajar Getaran dan Gelombang. Setelah diadakan tindakan kelas pada siklus I mencapai 62% dan pada siklus II mencapai 100% dari batas tuntas klasikal 85%. 2. Saran

a. Pembelajaran fisika berbasis inkuiri bila dilaksanakan secara konsisten dan didukung dengan media pembelajaran dapat lebih meningkatkan penguatan penerapan konsep sehingga hasil belajar fisika lebih meningkat.

b. Untuk meningkatkan efektifitas pembelajaran fisika berbasis inkuiri perlu diperbanyak alat-alat percobaan dan media yang sesuai dengan materi pembelajarannya sehingga siswa memperoleh kesempatan melakukan praktek lebih leluasa untuk berperan aktif dalam memahami konsep.

Page 147: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

143

DAFTAR PUSTAKA

Amien, Moh. 1987. Mengajar Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dengan menggunakan Metode Discovery dan Inquiry. Jakarta . Depdikbud.

Laili Farihah. 2005. Model Pembelajaran Tipe STAD Pada Konsep Perubahan Lingkungan Fisik dan Prosesnya Dalam Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Sains Siswa Kelas IV SD Negeri Sekaran Semarang Tahun 2005/2006. Jurusan Fisika : UNNES

Mulyasa, E. 2004. Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik, dan Implemantasi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Nasution. 1992. Metode Research. Bandung: Jemmars.

Roestiyah, N.K., (1998), Strategi Belajar Mengajar, Jakarta : Rineka Cipta. Sudjana, Nana.1989. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT

Remaja Rosda Karya

Suparno, A Suhaenah. 2000. Membangun Kompetensi Belajar. Jakarta: Depdiknas

Wiyanto, Kiswanto dan Suharto Linuwih. 2005, Pengembangan Kompetensi Dasar Bersikap Ilmiah melalui kegiatan laboratorium berbasis inkuiri Bagi Siswa SMA, Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, FMIPA UNNES Semarang.

Yuni Triningsih, 2006. Pengembangan Model Inquiry Learning Sebagai Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Fisika Pokok Bahasan Hukum Newton Tentang Gerak Siswa Kelas X Semester I SMA Negeri 8 Semarang. Skripsi. FMIPA.Unnes Semarang:

Page 148: JURNAL MADANIYAH STIT PEMALANG

Pedoman Penulisan Artikel Jurnal Madaniyah bagi Penulis Redaksi menerim kiriman artikel dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Artikel merupakan karya ilmiah orisinil dan belum dipublikasikan pada media mana pun.

2. Artikel yang dimuat adalah naskah yang berkaitan dengan Pendidikan dan budaya.

3. Artikel merupakan hasil penelitian atau berupa hasil pemikiran yang setara dengan hasil penelitian.

4. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dengan jumlah minimal 15 dan maksimal 20 halaman. Jarak 1,5 spasi dan dicetak pada kertas jenis A4, dengan font Times New Roman 12. Dengan ketentuan memuat; a. Judul b. Nama penulis c. Identitas penulis d. Abstrak (Indonesia dan Inggris) dan kata kunci e. Bagian pendahuluan

Jika Artikel hasil penelitian, pendahuluan memuat: tinjauan pustaka, konsep penelitian, kerangka teoritis, metodologi penelitian, dan lokasi penelitian.

f. Bagian inti (Pembahasan) g. Bagian penutup (Simpulan) h. Daftar pustaka

5. Kutipan menggunakan Footnote sebagai berikut: Gates, L. Evaluating mathematical knowledge elements. In P. C.

Clarkson (Ed.). Technology in mathematics education. Melbourne: The University of Melbourne, 1996), P.56

6. Penulisan daftar pustaka ditulis dengan tata cara sebagai berikut : Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D,

Bandung : Alfabeta. 7. Kutipan wajib mencantumkan sumbernya pada daftar pustaka 8. Daftar pustaka yang tidak ada kutipannya wajib dihilangkan 9. Setiap naskah artikel akan dinilai terlebih dahulu oleh penyunting

ahli, dan apabila ada hal-hal yang dirasa kurang maka naskah akan dikembalikan kepada penulis untuk diperbaiki.

10. Penulis artikel berhak mendapat 2 eksemplar Jurnal Madaniyah sebagai bukti cetak.

11. Artikel dapat dikirim dalam bentuk soft file ke email : [email protected] atau [email protected]

12. Redaksi tidak berkewajiban mengembalikan naskah yang tidak dimuat.