jurnal lengkap vol 14-1-2011

76
ISSN 1410 9565 Akreditasi B No. 284/AU1/P2MBI/05/2010 SK Kepala LIPI Nomor : 452/D/2010 Tanggal : 6 Mei 2010 JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH Volume 14 Nomor 1 Juli 2011 Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir Nasional J. Tek. Peng. Lim. Vol. 14 No. 1 Hal. 1-68 Jakarta Juli 2011 ISSN 1410-9565

Upload: riki-vernando

Post on 07-Aug-2015

187 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

ISSN 1410 – 9565 Akreditasi B No. 284/AU1/P2MBI/05/2010

SK Kepala LIPI Nomor : 452/D/2010 Tanggal : 6 Mei 2010

JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH

Volume 14 Nomor 1 Juli 2011

Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir Nasional

J. Tek. Peng. Lim. Vol. 14 No. 1 Hal. 1-68 Jakarta

Juli 2011 ISSN 1410-9565

Page 2: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Akreditasi B No. 284/AU1/P2MBI/05/2010 SK Kepala LIPI Nomor : 452/D/2010, Tanggal : 6 Mei 2010

JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH Volume 14 Nomor 1 Juli 2011

Jurnal enam bulanan Pertama terbit Juni 1998

Penanggung Jawab / Pengarah

Drs. R. Heru Umbara (Ka. PTLR BATAN)

Pemimpin Redaksi merangkap Ketua Editor

Dr. Ir. Budi Setiawan M.Eng. (PTLR BATAN)

Editor

Dr. Ir. Djarot S. Wisnubroto, M. Sc. (PTLR BATAN) Dr. Sri Harjanto (Universitas Indonesia)

Dr. Thamzil Las (Univ. Islam Negeri Syarif Hidayatullah) Dr. Heny Suseno, S.Si., M.Si. (PTLR BATAN)

Drs. Gunandjar SU. (PTLR BATAN)

Mitra Bestari

Dr. Sahat M. Panggabean (Kementerian Negara Riset dan Teknologi) Dr. Muhammad Nurdin (Universitas Haluoleo)

Tim Redaksi

Endang Nuraeni, S.T. Yanni Andriani, A.Md. Adi Wijayanto, A.Md.

Penerbit

Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir Nasional

Kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang 15310, Indonesia Tel. +62 21 7563142, Fax. +62 21 7560927

e-mail : [email protected]

Page 3: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

i

Akreditasi B No. 284/AU1/P2MBI/05/2010 SK Kepala LIPI Nomor : 452/D/2010, Tanggal : 6 Mei 2010

JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH Volume 14 Nomor 1 Juli 2011

Jurnal enam bulanan Pertama terbit Juni 1998

Penanggung Jawab / Pengarah

Drs. R. Heru Umbara (Ka. PTLR BATAN)

Pemimpin Redaksi merangkap Ketua Editor

Dr. Ir. Budi Setiawan M.Eng. (PTLR BATAN)

Editor

Dr. Ir. Djarot S. Wisnubroto, M. Sc. (PTLR BATAN) Dr. Sri Harjanto (Universitas Indonesia)

Dr. Thamzil Las (Univ. Islam Negeri Syarif Hidayatullah) Dr. Heny Suseno, S.Si., M.Si. (PTLR BATAN)

Drs. Gunandjar SU. (PTLR BATAN)

Mitra Bestari

Dr. Sahat M. Panggabean (Kementerian Negara Riset dan Teknologi) Dr. Muhammad Nurdin (Universitas Haluoleo)

Tim Redaksi

Endang Nuraeni, S.T. Yanni Andriani, A.Md.. Adi Wijayanto, A.Md.

Penerbit

Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir Nasional

Kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang 15310, Indonesia Tel. +62 21 7563142, Fax. +62 21 7560927

e-mail : [email protected]

Page 4: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

ii

Akreditasi B No. 284/AU1/P2MBI/05/2010 SK Kepala LIPI Nomor : 452/D/2010, Tanggal : 6 Mei 2010

JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH Volume 14 Nomor 1 Juli 2011

Pengantar Redaksi

Puji syukur ke hadirat Allah Yang Maha Esa atas terbitnya Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah, Volume 14

Nomor 1, Juli 2011. Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah memuat karya tulis ilmiah dari kegiatan penelitian dan

pengembangan di bidang pengelolaan limbah yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, penyimpanan limbah,

dekontaminasi-dekomisioning, keselamatan lingkungan dan radioekologi kelautan.

Pertama-tama kami Dewan Redaksi mohon maaf atas keterlambatan kami untuk kembali menyapa para peneliti

dan pemerhati pengelolaan limbah dan lingkungan karena tingginya frekuensi kegiatan rutin kami sehingga penyajian jurnal ini

baru dapat terbit pada bulan Juli 2011, mudah-mudahan hal ini dapat menjadi pelajaran berharga bagi kami di masa yang

akan datang. Pada penerbitan kami kali ini kembali kami menyajikan makalah-makalah hasil penelitian dan pengembangan

yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan pengolahan limbah, penyimpanan limbah, dekontaminasi-dekomisioning,

keselamatan lingkungan dan radioekologi kelautan.

Semoga penerbitan jurnal ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat untuk dijadikan acuan dalam

pelaksanaan kegiatan penelitian dan pengembangan pengelolaan limbah di masa yang akan datang, amien.

Jakarta, Juli 2011

Page 5: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

iii

Akreditasi B No. 284/AU1/P2MBI/05/2010 SK Kepala LIPI Nomor : 452/D/2010, Tanggal : 6 Mei 2010

JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH Volume 14 Nomor 1 Juli 2011

Daftar Isi Sutanto dan Ani Iryani: Hujan Asam dan Perubahan Kadar Nitrat dan Sulfat Dalam Air Sumur di Wilayah Industri Cibinong-Citeureup Bogor (1-9)

Wati, Husen Zamroni, Herlan Martono: Pengolahan Limbah Rafinat Simulasi yang Ditimbulkan dari Produksi Radioisotop Molibdenum-99 Menggunakan Bentonit Berpilar dan Resin Epoksi (10-22)

Aisyah: Sensitisasi Pada Pengelasan Tabung Baja Tahan Karat Aisi 304 Wadah Limbah Sumber 226ra Bekas Radioterapi (23-33)

Budi Setiawan: Tahapan-Tahapan dalam Penentuan Tapak Disposal Limbah Radioaktif Aktivitas Rendah di Pulau Jawa

(34-41)

Budi Setiawan: Parameter-Parameter Penting pada Interaksi Radiocesium dengan Bentonit (42-48)

Heny Suseno: Kemampuan Kerang Hijau (Perna viridis) Mengakumulasi dan Mendistribusi 60Co dan 137Cs (49-55)

Budiawan, Heny Suseno: Prediksi Metilasi Merkuri pada Bioakumulasi Merkuri Anorganik oleh Oreochromiss mossambicus (56-62)

Suzie Darmawati: Aspek Lingkungan pada Sistem Proteksi Radiasi (63-68)

Page 6: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

iv

Akreditasi B No. 284/AU1/P2MBI/05/2010 SK Kepala LIPI Nomor : 452/D/2010, Tanggal : 6 Mei 2010

JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH

Pedoman Penulisan Naskah

Redaksi Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah menerima naskah/makalah karya tulis ilmiah dari kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang pengelolaan limbah yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, penyimpanan limbah, dekontaminasi-dekomisioning, keselamatan lingkungan dan radioekologi kelautan untuk penerbitan pada bulan Juni dan Desember setiap tahun.

Ketentuan penulisan naskah : 1. Naskah asli yang belum pernah dipublikasikan berupa karya tulis ilmiah dari hasil penelitian, survei, pengkajian atau

studi literatur. 2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dengan format: menggunakan kertas A4, 1 kolom dengan

margin atas, bawah, kiri dan kanan masing-masing 3 cm (1,18”). Gunakan jenis huruf “Arial” ukuran 9. Jumlah halaman naskah termasuk gambar dan tabel maksimal 20 halaman,

3. Sistematika penulisan meliputi JUDUL, ABSTRAK, KATA KUNCI, PENDAHULUAN, TATA KERJA, HASIL DAN PEMBAHASAN, KESIMPULAN, UCAPAN TERIMA KASIH (bila ada), DAFTAR PUSTAKA. Untuk makalah pengkajian dan perancangan dapat menyesuaikan.

4. Judul tulisan menggunakan huruf Kapital, bold, font 14. Nama penulis dicantumkan tanpa gelar, bold, font 11, sedangkan alamat penulis berupa Nama Unit Kerja, Instansi dan alamat Instansi.

5. Abstrak tidak melebihi 250 kata, dengan spasi 1, font 9 dan Judul tulisan dicantumkan kembali di dalam abstrak sebagai kalimat pertama. Abstrak berbahasa Inggris ditulis dalam format Italic.

6. Bab dan Sub-bab dalam tulisan tidak bernomor tapi dibedakan dengan huruf besar dan huruf kecil, bold, font 9 7. Penulisan “Tabel” dan “Gambar” dibelakangnya diserta dengan angka Arab dan penjelasannya. Contohnya:

i) . Tabel 1. Hasil Analisis X-RF ………………………………… (ditulis di atas Tabel) ii) . Gambar 2. Kurva Kesetimbangan …………………………. (ditulis di bawah Gambar)

8. Pustaka yang dikutip dalam teks diberi nomor angka Arab di belakangnya sesuai dengan urutan pemunculan dalam Daftar Pustaka. Contoh: Standar IAEA memberi arahan bahwa kegiatan siting umumnya dilaksanakan melalui 4 tahapan utama [3],...

9. Penulisan Daftar Pustaka menggunakan format sebagai berikut: Buku referensi : [1] Akhmediev, M. and Ankiewicz, Y.: A Solution, Nonlinear Pulses and Beams, Chapman & Hall, London (1997). Artikel yang terdapat dalam buku referensi:

[2] Dean, R.G.: Freak waves: A Possible Explanation, in Water Wave Kinetics, Editor: Torum, A and Gudmestad, O.T., Kluwer, Amsterdam, 609 – 612, (1990).

Artikel dari jurnal :

[3] Choppin, G.R.: The Role of Natural Organics in Radionuclide Migration in Natural Aquifer Systems, Radiochim. Acta 58/59, 113, (1992)

Artikel dalam proceeding [4] Chung, F., Erdös, P., Graham , R.: On Sparse Sets Hitting Linear Forms, Proc. of the Number Theory for the

Millennium, I, Urbana, IL, USA, 57 – 72, (2000).

10. Dewan Redaksi berhak untuk menolak suatu tulisan yang dianggap tidak memenuhi syarat. 11. Dewan Redaksi dapat mengedit naskah tanpa mengurangi makna. 12. Isi tulisan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis. 13. Naskah diserahkan dalam bentuk cetakan 2 rangkap disertai compact disk (CD) berisi file naskah dalam format MS

Word.

Page 7: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565

Volume 14 Nomor 1 Juli 2011 (Volume 14, Number 1, July, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

1

HUJAN ASAM DAN PERUBAHAN KADAR NITRAT DAN SULFAT DALAM AIR SUMUR DI WILAYAH INDUSTRI

CIBINONG-CITEUREUP BOGOR

Sutanto dan Ani Iryani Jurusan kimia FMIPA Universitas Pakuan,

Jl. Pakuan, Bogor 16144, Indonesia

ABSTRAK

HUJAN ASAM DAN PERUBAHAN KADAR NITRAT DAN SULFAT DALAM AIR SUMUR DI WILAYAH INDUSTRI CIBINONG-CITEUREUP BOGOR. Hujan asam dan perubahan kadar nitrat dan sulfat dalam air sumur di wilayah industri Cibinong-Citeureup Bogor. Wilayah industri Cibinong-Citeureup Bogor telah mengalami hujan asam. Salah satu dampak hujan asam adalah degradasi

kualitas air sumur. Sebanyak 75% penduduk di wilayah ini mengkonsumsi air sumur untuk minum. Telah dipelajari dampak hujan asam terhadap perubahan kadar nitrat (NO3

-) dan sulfat (SO4

=) dalam air

sumur pada daerah hujan asam intensitas tinggi (pH<5,0). Monitoring keasaman air hujan, kadar NO3-

dan SO4= air hujan maupun air sumur dilakukan pada 9 lokasi dari tahun 1999 sampai 2009. Keasaman

air hujan diukur menggunakan pH meter elektronik, kadar NO3- ditentukan dengan metoda brucin sulfat,

dan kadar SO4= ditentukan dengan metoda turbidimetri (BaSO4) menggunakan spektrofotometer UV-

VIS. Dalam daerah hujan asam intensitas tinggi ini keasaman air hujan terus meningkat. Kadar nitrat

dalam air hujan meningkat nyata (Fhit 1,61 > F tabel ; P 0,193 < 0,05) tetapi kadar sulfat menurun meskipun tidak nyata (Fhit<Ftabel ; P 0,721). Meningkatnya kadar nitrat dalam air hujan menyebabkan

peningkatan kadar nitrat dalam air sumur ( r = 0,85) secara nyata (F hit 8,93 > F tabel; P 0,000< 0,05). Kata kunci: hujan asam, sulfat, nitrat, air sumur, Industri ABSTRACT

ACID RAIN AND TREND OF NITRATE AND SULPHATE CONTAIN IN WELL WATER IN THE AREA OF CIBINONG-CITEUREUP BOGOR. In the industry area of Cibinong-Citeureup Bogor there has been an acid rain. One of the impact of acid rain is well water quality. About 75% people in this area consume well water for drinking.It was studied the acid rain impact ofnitrate (NO3-) and sulphate (SO4=) trend contain in well waters in the area of high acid rain intensity (pH<5,0).The acidity of NO3-, and SO4= of acid rain and well waters where monitored on 9 locations from the year of 1999 to 2009.The acidity (pH) was measured using electronic pHmeter; NO3-was determined by brucine sulphate method, and SO4=was determined by turbidimetri BaSO4 method using spectrophotometer UV-VIS.In the are of research has been continues high intensity acid rain and has decrease trend of pH.Nitrate contained in the rain water has an increased trend significantly (F 1,61 > F table; P 0,193 <a0,05, but the sulphate contain has decrease trend not significantly (Fcal <F table;P 0,721). The nitrate contained in acid rain has increasing the nitratecontained in the well waters (r=0,8515) significantly (Fcal 8,93> F table; P 0,000 < a0,05). Keywords: acid rain, leaching, Fe, well water, industry, Cibinong PENDAHULUAN

Wilayah industri banyak dihasilkan polutan penyebab hujan asam. Polutan penting penyebab hujan asam adalah NOx dan SOx [6]. Kedua polutan ini dengan adanya oksidan di atmosfir dan awan dapat terkonversi menjadi asam nitrat dan asam sulfat. Asam-asam terbawa oleh air hujan turun kebumi dan dapat meresap kedalam tanah, akhirnya masuk ke dalam sumur. Air sumur merupakan salah satu sumber air minum yang paling banyak digunakan oleh masyarakat. Di wilayah industrti Cibinong-Citeureup Kabupaten Bogor sebanyak 75,63% penduduk di wilayah penelitian mengkonsumsi air tanah/air sumur [3]. Pada tahun 1999 air sumur penduduk memiliki rata-rata konsentrasi nitrat 0,25

Page 8: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Sutanto dan Ani Iryani: Hujan Asam dan Perubahan Kadar Nitrat dan Sulfat Dalam Air Sumur di Wilayah Industri Cibinong-Citeureup Bogor

2

ppm [12], dan pada tahun 2001 terukur rata-rata kadar nitrat 6,19 ppm [5]. Hal ini mengindikasikan bahwa kadar nitrat dalam air sumur terjadi peningkatan dalam kurun waktu 2 tahun. Peningkatan kadar nitrat ini tidak terlepas dari peningkatan kadar nitrat dalam air hujan. Kadar nitrat dalam air hujan di wilayah industri Cibinong-Citeureup mencapai rata-rata 0,550 ppm [12]. Pada tahun 2001 kadar nitrat mencapai 3,33 ppm [5].

Kadar nitrat dalam air minum yang tinggi dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Knobeloch [9] menemukan kasus penyakit Blue Baby syndrome atau methemoglobinemia. Gejala penyakit ini

disebabkan oleh karena besi II dalam darah (hemoglobin) sebagai inti sel darah merah teroksidasi oleh nitrat menjadi besi III (methemoglobin) sehingga darah tak dapat mengangkut oksigen. Menurut Permenkes No. 416/MENKES/PER/IX/1990 dan Peraturan Pemerintah RI PP No. 82 tahun 2001 klas I yaitu air yang dapat diminum nilai ambang batas atau baku mutu kadar nitrat sebesar 10 mg/L, namun demikian jika kadar nitrat dalam air sumur sudah mencapai 3 mg/L harus dilakukan pemantauan setiap tahun.

Kandungan nitrat dalam air sumur dapat berasal dari berbagai sumber. Apabila sumur berada pada lokasi yang tidak terbuka maka satu-satunya jalan masuk polutan kedalam air sumur adalam melewati tanah terbawa oleh air dan merembes masuk kedalam sumur. Pada tanah pertanian nitrat berasal dari pemupukan tanaman dengan ure atau ammonium nitrat. Pupuk ini sebagian diserap oleh akar tanaman untuk pertumbuhan, dan sebagain lagi tercuci dan berpindah ke tempat lain (leaching). Jumlah Nitrat ter-leaching dipengaruhi oleh jumlah pupuk yang diberikan dan curah hujan, atau air irigasi, dan jenis tanaman. Pada tanaman kapas nitrogen ter-leaching dapat mencapai antara 45-55% dari jumlah pupuk yang diberikan [15]. Musim juga berpengaruh terhadap leaching nitrogen [7], hal ini berhubungan dengan curah hujan. Pada daerah non pertanian sumber nitrat adalah polusi udara yaitu gas NOx. Sumber NOx dari aktifitas manusia diantaranya adalah kendaraan bermotor, mesin stationer putaran tinggi yang menghasilkan panas tinggi. Gas NOx (N2O, NO2, N2O4 dan sebagainya) terbentuk karena pembakaran (panas tinggi) yang melibatkan gas Nitrogen (N2). Gas NOx diudara dengan adanya oksidan dan uap air diubah menjadi asam nitrat (HNO3) dan turun bersama air hujan. Dengan demikian kandungan asam nitrat dalam air hujan merupakan sumber nitrat dalam air sumur. Efe et al.

[7] mempelajari kandungan nitrat dalam air sumur terbuka dan air sumur bor dan mendapatkan bahwa kadar nitrat dalam air sumur dipengaruhi oleh musim, dalam hal ini curah hujan.

Di atmosfir dengan adanya oksidan dan uap air, gas SOx akan bereaksi membentuk asam sulfat [6]. Gas SOx bersumber dari pembakaran bahan bakar fosil (minyak bumi dan batubara) khususnya pada kegiatan PLTU batubara (power plants). Namun demikian semakin berkembangnya teknologi desulfurisasi pada berbagai industri deposisi sulfur semakin menurun mencapai sekitar 16,5 kg/ha/tahun. Dengan demikian diramalkan pada tahun 2010 deposisi sulfur tak lagi berdampak pada lingkungan. Perkembangan pertumbuhan lalu lintas dapat menaikkan trend deposisi nitrogen dari 15,4 kg/ha/tahun pada tahun 1990 menjadi 25,7 kg/ha/tahun pada tahun 2001. Jika trend ini berlangsung terus maka deposisi nitrogen akan mencapai 37,8 kg/ha/tahun pada tahun 2015 yang berarti nitrogen memegang peran penting dalam hujan asam [9].

Kendaraan bermotor dengan bahan bakar bensin merupakan salah satu sumber polutan SOx. Berdasarkan spesifikasi bahan bakar bensin dengan kadar belerang mencapai 0,2 % [8], dapat dihitung bahwa setiap satu liter bensin akan menghasilkan 1-2 kg gas CO2, 0,05-1,5 g Pb, 1-2 g SO2 dan sejumlah kecil hidrokarbon (HC) khususnya senyawa poliaromatik. Hasil analisis minyak solar menunjukkan kadar belerang antara 0,14-0,33 % bobot [11] yang berati bahwa minyak solar dalam menyumbang SO2 di udara tidak jauh berbeda dengan bensin.

Air hujan yang terpolusi oleh gas SOx akan membentuk asam sulfat (H2SO4) yang dapat menyebabkan hujan asam, dan merupakan input sulfat penting yang dapat menyebabkan perubahan kadar sulfat dalam air sumur. Keberadaan SO4

= dalam air sumur tidak cukup membahayakan karena

ion ini cukup stabil tidak mudah beraksi secara kimia. Namun demikian dalam jumlah yang berlebihan dapat mempengaruhi rasa. Untuk keperluan air minum, air sumur harus, memenuhi syarat air bersih Permenkes No. 416/MENKES /PER/IX/1990 yaitu kadar maksimum SO4

= 400 mg/L.

Penelitian ini bertujuan: (1), memantau dan mengevaluasi keasaman dan keberadaan nitrat dan sulfat dalam air hujan dan air sumur, (2) menentukan pola perubahan kadar nitrat dan sulfat dalam air sumur di wilayah industri, (3) menentukan persamaan yang menghubungkan antara kadar nitrat atau sulfat dalam air hujan dengan kadar nitrat atau sulfat dalam air sumur. dengan studi kasus di wilayah industri Cibinong-Citeureup Kabupaten Bogor.

Page 9: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565

Volume 14 Nomor 1 Juli 2011 (Volume 14, Number 1, July, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

3

TATA KERJA

Penelitian ini melibatkan data sekunder dari penelitian sebelumnya (data tahun, 1999, dan 2001) yang telah dipublikasikan dan data primer pengamatan tahun 2006, 2008, dan 2009. Lokasi penelitian adalah Kabupaten Bogor meliputi Kecamatan Cibinong, Kecamatan Citeureup, dan Kecamatan Gunung Putri, dengan luas cakupan wilayah penelitian 15 km

2.

Peralatan meliputi: botol/jerigen sampling kapasitas 2 liter, alat penampung air hujan dari plastik, pH meter (LUTRON), spektrofotometer UV-VIS (Thermo Scientific, tipe Genesys 10V), neraca analitik, penangas air, dan peralatan gelas lainnya,. Bahan-bahan yang digunakan adalah: asam sulfat, kertas pH, larutan buffer (pH 4, 7 dan 10), air suling, akuabides, KNO3 pa, Na2SO4 pa, brucin sulfat, H2SO4 p pa. HNO3 p. dan BaCl2. Monitoring dan Evaluasi Hujan Asam

Analisis kimia merujuk pada APHA (2005) [1]. Sampling air hujan dilakukan pada 30 menit pertama kemudian dibagi 2, masing-masing diawetkan dengan asam nitrat pekat sampai pH 2, dan sebagian lagi diawetkan dengan asam sulfat pekat sampai pH 2. Sampel yang diawetkan dengan asam sulfat digunakan untuk analisis kadar nitrat, dan sampel yang diawetkan dengan asam nitrat digunakan untuk analisis kadar sulfat.

Pengukuran Kadar Nitrat (APHA, 419 D) [1]: Pengukuran kadar nitrat dilakukan dengan metoda brucin sulfat menggunakan peralatan spektrofotometer. Ion nitrat dalam air sampel diwarnai dengan

larutan brucin pada kondisi asam sulfat (pH 2) dan suhu tinggi hampir mendidih. Warna kuning intensif reaksi brucin nitrat diukur serapannya pada panjang gelombang 410 nm.

Pengukuran Kadar SO4

= ( APHA, 427 C) [1]: Pengukuran kadar nitrat dilakukan dengan metoda

turbidimetri menggunakan peralatan spektrofotometer. Ion SO4=

dalam air sample direaksikan dengan BaCl2 pada kondisi asam dan didiamkan selama 5 menit. Tingkat kekeruhan suspensi diukur serapannya pada panjang gelombang 420 nm. Menetukan Pola kecenderungan Peningkatan kadar NO3

- dan SO4

= Air Sumur

Nilai rata-rata kadar NO3- atau SO4

= air sumur pada wilayah penelitian dari tahun 1999 sampai

2009 diplot terhadap waktu dan ditentukan persamaan matematika sehingga diperoleh pola kecenderungan peningkatan rata-rata kadar NO3

- atau SO4

= air sumur terhadap waktu. Untuk maksud

ini dilakukan dengan bantuan komputer program excel. Menetukan hubungan matematik kadar NO3

- dan SO4

= air hujan dengan kadar NO3

- dan SO4

=

Air Sumur

Hasil analisis rata-rata kadar NO3- dan SO4

=air sumur dan air hujan masing-masing di

kelompokkan sehingga diperoleh data series dari tahun 1999, 2001, 2006, 2008, dan 2009. Setiap data series setiap parameter dibuat plot antara parameter air sumur vs parameter air hujan pada 5 kali pengamatan (dalam kurun waktu 10 tahun) dengan menggunakan bantuan program komputer excel/minitab baik untuk mendapatkan persamaan matematik kurva, nilai korelasi, dan visualisasi grafik. Interpretasi korelasi didasarkan pada koefisien korelasi. Korelasi dianggap baik jika nilai koefisien korelasi > 0,70 dan yang dapat menyatakan bahwa kualitas air sumur benar-benar dipengaruhi oleh kualitas air hujan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pemantauan dan evaluasi keasaman dan keberadaan nitrat dan sulfat dalam air hujan dan air sumur

Keasaman Air Hujan

Keasaman air hujan rata-rata berubah dari 5.00 padat tahun 1999 menjadi 4,77 pada tahun 2009. Perubahan pH air hujan menunjukkan adanya perubahan kadar polutan di udara. Semakin menurunnya pH berarti semakin tinggi kadar polutan penyebab asam, salah satunya adalah meningkatnya kadar nitrat dalam air hujan. Gambar 1 memperlihatkan perubahan rata-rata pH air hujan yang semakin menurun.

Page 10: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Sutanto dan Ani Iryani: Hujan Asam dan Perubahan Kadar Nitrat dan Sulfat Dalam Air Sumur di Wilayah Industri Cibinong-Citeureup Bogor

4

Kadar nitrat dalam air hujan

Hasil pemantauan kualitas air hujan di wilayah penelitian menunjukkan kadar nitrat berkisar antara 0.0152 sampai 30,925 mg/l. Rata-rata tahunan kadar nitrat pada daerah yang sering mengalami hujan asam intensitas tinggi disajikan pada Tabel 1. Rata-rata kadar nitrat tahunan selama 10 tahun terakhir cenderung meningkat dari 0,405 mg/L menjadi 5,284 mg/L. Peningkatan kadar nitrat dalam air

hujan ini signifikan (F 1,61 < F tabel ; P 0,193 < 0,05) disebabkan oleh tingginya kadar NO2 diudara dan kadar ozon sebagai oksidan dalam reaksi pembentukan asam nitrat bersama air hujan. Kadar NO2 di daerah hujan asam intensitas tinggi antara 36,44 ug/m

3 sampai 709,3 ug/m

3 dan kadar ozon antara

5,13 ug/m3 sampai 27,14 ug/m

3 [4]. Reaksi pembentukan nitrat dalam air hujan dapat dinyatakan

dengan reaksi sebagai berikut : Kadar sulfat dalam air hujan

Rerata kadar sulfat dalam air hujan cenderung menurun dari tahun ke tahun yaitu mengalami penurunan dari 4,953 mg/L pada tahun 1999 menjadi 3,547 mg/L pada tahun 2009 (Tabel 2),. Hasil uji

statistik perubahan rata-rata penurunan tidak signifikan (Fhit 0,73<Ftabel, dan P 0,540 > 0,05)

Keasaman air hujan meningkat atau pH air hujan di daerah ini cenderung menurun. Tingkat keasaman air hujan salah satunya ditentukan oleh kandungan sulfat yang mencerminkan terbentuknya asam sulfat di atmosfir akibat adanya polusi SO2. Dengan semakin menurunnya kadar sulfat dalam air hujan akan tetapi keasaman air hujan semakin meningkat (pH semakin menurun) menunjukkan bahwa sulfat bukan merupakan satu-satunya penentu keasaman air hujan, namun kandungan nitrat dalam air hujan lebih dominan dalam penentuan keasaman air hujan.

Industri yang melibatkan pembakaran suhu tinggi (seperti industri semen) menghasilkan polutan NOx tinggi akibat ikut terbakarnya nitrogen dalam udara. Selain itu industri juga menjadi penyebab cepatnya pertumbuhan kendaraan bermotor karena kebutuhan akan transportasi, baik transportasi barang/produk industri maupun transportasi pekerja industri. Kendaraan bermotor yang berbasis mesin/motor bakar menghasilkan gas NOx dari ruang bakar akibat pembakaran udara (78% gas nitrogen) beserta bahan bakar berupa bensin atau solar dengan rasio udara : bahan bakar = 100 : 1. Fenomena ini juga didukung dengan pertambahan jumlah kendaraan yang cukup fantastik di Bogor , menurut catatan POLWIL Bogor jumlah kendaraan meningkat dari 49808 (1998) menjadi 56296 (2000) dan menjadi 136222 (2005), akhirnya menjadi 200139 unit (2008). Menurut HRKAL et al. [9]

perkembangan pertumbuhan lalu lintas dapat menaikkan trend deposisi nitrogen dari 15,4 kg/ha/tahun pada tahun 1990 menjadi 25,7 kg/ha/tahun pada tahun 2001. Jika trend ini berlangsung terus maka deposisi nitrogen akan mencapai 37,8 kg/ha/tahun pada tahun 2015 yang berarti nitrogen memegang peran penting dalam hujan asam.

Gambar 1. Pola perubahan rata-rata keasaman (pH) air hujan di wilayah industri Cibinong-Citeureup

Bogor dari tahun 1999 sampai tahun 2009.

4

4,25

4,5

4,75

5

5,25

5,5

5,75

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Tahun pengamatan

Rata

-rata

pH

air h

uja

n

99 00 01 02 03 04 05 06 07 08 09

Batasan hujan asam ( pH 5,6 )

Batas hujan asam intensitas tinggi (pH < 5)

Trend pH air hujan

Page 11: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565

Volume 14 Nomor 1 Juli 2011 (Volume 14, Number 1, July, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

5

Tabel 1. Rata-rata kadar nitrat (NO3-) dalam air hujan pada daerah yang sering mengalami hujan asam

intensitas tinggi di wilayah industri Cibinong-Citeureup Kabupaten Bogor

Lokasi Sampling Kadar NO3 ( mg/L)

1999[12]

2001[5]

2006 2008 2009

Kr.Asem Barat 0.156 0.426 0.799 0.885 6.825

Puspasari 0.239 2.754 - - 4.58

Kranggan 0.159 0.234 - 0.565 2.575

Kr.Asem Timur 1.169 - 9.550 30.925 11.45

Puspanegara 1.39 1.522 2.042 1.175 4.2

Gn. Putri 0.143 5.475 - - 3.95

Tlajung Udik 0.022 0.152 - 0.925 3.45

Ps.Citeureup 0.015 3.906 4.889 5.175 5.325

ITC CCibinong 0.355 6.131 7.530 1.425 3.825

Rata-rata 0.405 3.018 4.962 5.868 5.284

Keterangan : - tidak diukur /missing data

Kadar nitrat dalam air sumur

Hasil analisis kadar nitrat air sumur disajikan pada Tabel 3. Dari tabel ini nampak bahwa kadar nitrat dalam air sumur di wilayah penelitian tertinggi 10,550mg/L. Kadar nitrat dalam air sumur secara keseluruhan memenuhi persyaratan kualitas air minum menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 416/MENKES/PER/IX/1990 dan Peraturan Pemerintah RI PP No. 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air klas I bahwa nilai ambang batas atau baku mutu kadar nitrat 10 mg/L, kecuali pada desa Gunung Putri tahun 2009. Meskipun demikian dari tahun ketahun kadar nitrat dalam air sumur terus meningkat. Rata-rata kadar nitrat air sumur meningkat hampir 4 kali lipat dari tahun 1999 sampai tahun 2008. Hasil uji statistik peningkatan ini cukup signifikan (F hitung 8,93 > F tabel; P 0,000). Peningkatan kadar nitrat dalam air sumur ini disebabkan oleh meningkatnya kadar nitrat dalam air hujan (r = 0,9).

Tabel 2. Rata-rata kadar sulfat (SO4=) dalam air hujan pada daerah yang sering mengalami hujan

asam intensitas tinggi di wilayah industri Cibinong-Citeureup Kabupaten Bogor

Lokasi sampling

Kadar SO4= (mg/L)

1999[12]

2001[5]

2008 2009

Tol Citeureup 3.360 0.899 3.093 2.293

Puspasari 4.960 1.798 - 2.120

Kranggan G. Putri 6.540 11.364 - 9.567

Kr.Asem Timur 3.890 - 2.693 3.360

Puspanegara 7.610 9.434 5.360 4.960

Tol Gn. Putri 3.890 3.034 3.627 4.827

Tlajung Udik 1.060 0.899 - -

Ps.Citeureup 8.320 5.556 2.427 3.770

Sukahati - - 1.493 2.490

ITC Cibinong - 1.011 1.227 2.293

Rata-rata 4.953 4.249 2.846 3.547

Keterangan : - tidak diukur /missing data

Page 12: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Sutanto dan Ani Iryani: Hujan Asam dan Perubahan Kadar Nitrat dan Sulfat Dalam Air Sumur di Wilayah Industri Cibinong-Citeureup Bogor

6

Tabel 3. Rata-rata kadar nitrat (NO3-) dalam air sumur pada daerah yang sering mengalami hujan

asam intensitas tinggi di wilayah industri Cibinong- Citeureup Kabupaten Bogor

Lokasi sampling

Konsentrasi NO3- (mg/L)

1999[12]

2001[5]

2008 (I) 2008 (II) 2009 (I) 2009 (II)

Karangasem Barat 0.292 0.299 1.593 2.213 - 7.988

Kranggan, 0.253 0.286 0.941 1.725 1.000 2.550

Puspanegara I 0.223 0.281 0.771 4.175 4.125 5.925

Puspanegara II 0.264 0.349 0.381 3.963 - 4.175

Tarikolot, Tajur - 1.295 1.627 8.800 9.050 1.363

Desa G.Putri 0.154 0.336 0.559 2.075 3.225 10.550

Tlajung Udik. G. Putri 0.275 1.027 - 9.175 8.675 8.113

ITC Cibinong 0.292 0.162 0.720 1.925 1.788 6.925

Rata-rata 0.250 0.504 0.942 4.256 4.644 5.947

Keterangan: ((I) =sampling bulan Juni-Juli, II) sampling bulan basah (Desember-Januari) - Tidak diukur

Tabel 4. Rata-rata kadar sulfat ( SO4

= ) air sumur pada daerah yang sering mengalami hujan

asam tinggi di wilayah industri Cibinong-Citeureup Kabupaten Bogor

Lokasi sampling

Konsentrasi SO4= (mg/L)

1999[12]

2001[5]

2008 (I) 2008 (II) 2009 (I) 2009 (II)

Karangasem Barat - 46.218 91.753 - 8.693 66.693

Kranggan, - 18.868 6.598 - 12.693 6.960

Puspanegara 1 10.912 46.218 148.454 47.360 22.027 6.960

Puspanegara II 67.045 42.857 20.515 18.027 - 54.027

Jl. Raya G.Putri 72.586 42.017 22.062 50.960 34.293 7.627

Tlajung Udik (G. Putri) 4.426 16.981 9.887 9.887 - 1.360

ITC Cibinong 5.311 10.84 13.959 12.160 12.560 1.893

Rata-rata tahunan 32.056 43.731 24.966 27.311 19.480 20.789

Keterangan: (I) =sampling bulan Juni-Juli, II) sampling bulan basah (Desember-Januari) - =Tidak diukur Kadar sulfat dalam air sumur

Kadar sulfat dalam air sumur disajikan pada Tabel 5. Kadar sulfat dalam air sumur tertinggi terukur sebesar 148,454 mg/L yaitu sampel air sumur Puspanegara pada tahun 2008, dan terendah sumur Gunung Putri sebesar 9,887 mg/L. Secara umum kualitas air sumur berdasarkan evaluasi kadar sulfat adalah memenuhi syarat menurut KepMenKES No. 416/MENKES/PER/IX/1990 dan Peraturan Pemerintah RI PP No. 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, bahwa nilai ambang batas yang diperbolehkan adalah 400 mg/L.

Rerata kadar sulfat dalam air sumur menurun dari 32,056 mg/L (1999) menjadi 20.789 mg/L (2009). Namun demikian perubahan ini tidak signifikan, hasil uji statistik menunjukkan Fhit<Ftabel ; P 0,721. Hasil analisis kadar sulfat dalam tanah didaerah penelitian berkisar antara 1,2 mg/L sampai 6 mg/L jauh lebih rendah dari kadar sulfat dalam air sumur. Hal ini menunjukkan bahwa kadar sulfat dalam air sumur dominan berasal dari atmosfir, walaupun rata-rata kadar sulfat dalam air hujan masih kurang dari 10 mg/L (Tabel 2). Namun demikian tingginya kadar sulfat dalam air sumur tidak dapat dijelaskan dalam penelitian ini, dan memerlukan kajian lebih lanjut.

Page 13: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565

Volume 14 Nomor 1 Juli 2011 (Volume 14, Number 1, July, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

7

Pola perubahan kadar nitrat dan sulfat dalam air hujan dan air sumur

Pola perubahan kadar nitrat

Gambar 2(a) memperlihatkan pola perubahan rata-rata kadar nitrat dalam air hujan dan air sumur. Perubahan rata-rata kadar nitrat air hujan (mg/L) mengikuti persamaan [NO3

-]ah = 2,1665Ln(th) +

0,4936 dengan koefisien determinasi R2 = 0,9828.

Gambar 2. Kecenderungan rata-rata perubahan kadar nitrat dalam air hujan (a) (error bars 10%) dan

pola perubahan kadar nitrat dalam air sumur (b) pada daerah yang sering mengalami hujan asam intensitas tinggi di wilayah industri Cibinong-Citeureup Kabupaten Bogor.

Pola perubahan kadar nitrat dalam air sumur pada daerah yang sering mengalami hujan asam

intensitas tinggi mengikuti persamaan [NO3-]as = 0,1881e

0,1407(th) R

2 = 0,84. Kenaikan kadar nitrat

cukup tajam pada tahun 2009 hingga mencapai konsentrasi rata-rata 5,947 mg/L. Nilai koefisien determinasi atas persamaan tersebut 0,84 yang berarti menunjukkan hubungan yang cukup kuat peningkatan kadar nitrat dengan waktu. Artinya kadar nitrat semakin meningkat dari waktu ke waktu selama dalam kurun waktu pengamatan. Pola perubahan kadar sulfat

Pada daerah yang sering mengalami hujan asam rata-rata tahun kadar sulfat mengalami perubahan yang berbeda dengan perubahan kadar nitrat yang meningkat tetapi justru mengalami perubahan menurun. Fenomena ini sama dengan yang disinyalir oleh HRKAL et al.,[9] bahwa pada tahun 2015 nitrogen memegang peran penting dalam hujan asam. Penurunan kadar sulfat mengikuti persamaan [SO4

=] = 51.296e

-0.0299(th) R

2 = 0.64 seperti ditunjukkan pada Gambar 3. Penurunan kadar

sulfat ini secara umum disebabkan oleh penurunan kadar sulfat dalam air hujan, dengan korelasi linier positif, r = 0,70.

Hubungan antara kadar nitrat dan sulfat dalam air sumur dan dalam air hujan

Hubungan kadar nitrat dalam air sumur dan air hujan

Uji korelasi antara kadar nitrat dalam air hujan dan kadar nitrat dalam air sumur menghasilkan kurva regresi linier koefisien korelasi, r sebesar 0,74. Nilai koefisien korelasi ini menunjukkan bahwa kadar nitrat dalam air sumur tergantung kepada kadar nitrat dalam air hujan. Hal ini dapat dipahami karena air hujan jatuh kebumi dan merembes kedalam air sumur. Oleh karena itu hubungan antara keduanya sangat erat. Proses nitrifikasi yang terjadi dalam tanah dan menghasilkan nitrat sebagai penyumbang kadar nitrat dalam air sumur dalam hal ini tidak sebesar jumlah nitrat yang datang bersama air hujan.

[NO3] ah = 2,1665Ln(th) + 0,4936

R2 = 0,9828

0

1

2

3

4

5

6

7

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Waktu (tahun pengamatan)

Rata

-rata

[N

O3]

air

hu

jan

(m

g/L

)

99 00 01 02 03 04 05 06 07 08 09

(a)

[NO3]as = 0,1881e0,1407(th)

R2 = 0,8384

0

1

2

3

4

5

6

7

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24

Waktu (tahun pengamatan)

Rata

-rata

[N

O3]

air

su

mu

r (m

g/L

) 99 00 01 02 03 04 05 06 07 08 09

(b

)

Page 14: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Sutanto dan Ani Iryani: Hujan Asam dan Perubahan Kadar Nitrat dan Sulfat Dalam Air Sumur di Wilayah Industri Cibinong-Citeureup Bogor

8

Gambar 3. Pola perubahan kadar SO4

= dalam air hujan (a) dan kadar SO4

= dalam air sumur (b) pada

daerah yang sering mengalami hujan asam intensitas tinggi di wilayah industri Cibionong-Citeureup Kabupaten Bogor (error bar 15% dan 20%).

Gambar 4. Hubungan kadar nitrat dalam air hujan terhadap kadar nitrat dalam air sumur (a) dan

hubungan antara kadar sulfat dalam air hujan dan air sumur (b) pada daerah yang sering mengalami hujan asam intensitas tinggi di wilayah industri Cibinong-Citeureup kabupaten Bogor.

Artinya kadar nitrat dalam air sumur sangat dipengaruhi oleh kadar nitrat dalam air hujan. Hubungan matematik antara kadar nitrat (mg/L) dalam air sumur (as) dengan nitrat dalam air hujan (ah) mengikuti persamaan : Gambar 4 (a) [NO3

-]as = 0,1515e

0,5975[NO3]ah dengan koefisien determinasi, R

2 = 0,90.

Hubungan kadar sulfat dalam air sumur dan air hujan

Hubungan rata-rata kadar sulfat dalam air sumur ([SO4=]as dalam mg/L) dengan rata-rata

kadar sulfat dalam air hujan ([SO4=]ah dalam mg/L) berkorelasi positif lemah dengan dengan koefisien

regresi linier, r = 0,50. Perubahan kadar sulfat air sumur dipengaruhi oleh kadar sulfat dalam air hujan mengikuti persamaan : [SO4

=]as = 5,29007[SO4]ah + 10,344 dengan koefisien determinasi R

2 = 0,25

(Gambar 4 (b)). Hal ini menunjukkan bahwa SO4= dalam air sumur tidak dipengaruhi oleh kadar SO4

=

dalam air hujan, tetapi kemungkinan disebabkan adanya ion sulfat dalam tanah.

[NO3]as = 0,1515e0,5975[NO3]ah

R2 = 0,9017

0

1

2

3

4

5

6

7

0 1 2 3 4 5 6 7

Rata-rata [NO3]air hujan (mg/L)

Rata

-rata

[N

O3]

air

su

mu

r

(mg

/L)

(a)

[SO4]as = 5,2907[SO4]ah + 10,344

R2 = 0,2456

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

50

2 3 4 5 6

Rata-rata [SO4=] air hujan (mg/L)

Rata

-rata

[S

O4

=]

air

su

mu

r (m

g/L

)

(b)

[SO4=] ah = 5,0352x

-0,1909

R2 = 0,8212

0

1

2

3

4

5

6

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Waktu (tahun pengamatan)

Rata

-rata

[S

O4

=]

air

hu

jan

(m

g/L

)

99 00 01 02 03 04 05 06 07 08 09

[SO4=]as = 41,232e-0,0282xth

R2 = 0,6763

0

10

20

30

40

50

60

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24

Rata

-rata

[S

O4=] air

su

mu

r

(mg

/L)

Waktu (tahun pengamatan)

99 00 01 02 03 04 05 06 07 08

09

Page 15: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565

Volume 14 Nomor 1 Juli 2011 (Volume 14, Number 1, July, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

9

KESIMPULAN

Keasaman air hujan di wilayah penelitian semakin meningkat (pH semakin menurun). Kadar nitrat dalam air sumur dipengaruhi oleh kadar nitrat dalam air hujan (r=0,74), dan kadar nitrat dalam air

sumur dari tahun ke tahun meningkat secara nyata (Fh 8,93 > Ftabel; P 0,0001 < 0,05). Kadar sulfat air sumur tidak dipengaruhi oleh kadar sulfat air hujan (r=0,25), dan menurun tidak nyata (Fhit<Ftabel ; P 0,721). UCAPAN TERIMAKASIH

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada DP2M Dikti atas hibah dana penbelitian fundamental multi tahun yang diberikan dari Dipa No 0145.0/023-04.0/-/2008 dan Dipa No.0868.0/023-04.1/2009. DAFTAR PUSTAKA

[1]. APHA.: Standart methods for the examination of water and waste, 14ed

. APHA. Washington D.C. (2005).

[2]. BLH: Laporan kegiatan unit pelaksana teknis laboratorium lingkungan tahun 2009. Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor (2009).

[3]. BPS: Biro Pusat statistik. Kabupaten Bogor dalam Angka. BPS Kab. Bogor (2008).

[4]. DTLH: Laporan pemantauan lingkungan hidup, Dinas tata ruang dan lingkungan hidup Kabupaten Bogor (2007).

[5]. Iryani, A.: Pengaruh pencemaran udara terhadap kualitas air sumur penduduk (studi kasus air sumur penduduk wilayah industri Cibinong-Citeureup kab. Bogor Jawa Barat) . Tesis. UI. Jakarta (2002).

[6]. Manahan, S.: Environment Chemistry, Lewis Publ. Boca Raton, (2005).

[7]. Efe, S.I. Ogban, F.E., Horsfall, M. Jnr, Akporhonor, E.E. : Seasonal variations of physico-chemical characteristics in water resources quality in western Niger Delta Region, Nigeria. J. Appl.Sci. Environ. Mgt. Vol 9 No.I, 191-195 (2006).

[8]. Haberle, J. Helena, K. Pavel, S. Jan, K.: The Change of Soil Mineral Nitrogen Observe on Farms between Autumn and Spring and Modelled with a Simple Leaching Equation, Soil & Water Res, Vol. 4, No.4, 159-167 (2009).

[9]. HRKAL, Z. Hana, P. Dana, F.: Trends in Impact of Acidification on Groundwater Bodies in the Czech Republic: An Estimation of Atmospheric Deposition at the Horizon 2015, Journal of Atmospheric Chemistry Vol 53, 1-12 (2006).

[10]. Knobeloch, L. Barbara, S. Adam,H. Jeffrey, P. Henry, A.: Blue Babies and Nitrate-Contaminated Well Water. Environmental Health Perspectives Volume 108, Number 7(2000).

[11]. Pupung, P.L.: Pengaruh angka setana minyak solar terhadap kinerja mesin. Lembaran publikasi LEMIGAS Vol. 36 No.2,10-23 (2002).

[12]. Sutanto, Eka, H. Ani, I. Budi, S.: Pemeriksaan kualitas air hujan di wilayah Cibinong-Citeureup Bogor, J. hasil penelitian, LPP univ, Pakuan, Bogor, 7-15 (2000).

[13]. Sutanto, Ani, I. Yusnira: Profil hujan asam di wilayah industri Citeureup-Cibinong Bogor, Ekologia, Vol 2 No.2, 1-6 (2002).

[14]. Sijabat O: Bahan Bakar Minyak Bensin (Bertimbel dan tidak bertimbel): Pengaruhnya terhadap Lingkungan dan Permasalahannya. Lembaran Publikasi Lemigas. Vol 37. No 2, 22-30 (2003).

[15]. Yusron, M. dan Ian, R.P.: Nitrogen Leaching from urea and ammonium sulphate fertilizer under uncropped and cotton cropped conditions, Indonesian Journal of Crop Scioence, Vol 12. No.1,

23-29 (1997).

Page 16: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565

Volume 14 Nomor 1 Juli 2011 (Volume 14, Number 1, July, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

10

PENGOLAHAN LIMBAH RAFINAT SIMULASI YANG DITIMBULKAN DARI PRODUKSI RADIOISOTOP

MOLIBDENUM-99 MENGGUNAKAN BENTONIT BERPILAR DAN RESIN EPOKSI

Wati, Husen Zamroni, Herlan Martono

Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN, Kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang 15310

ABSTRAK

PENGOLAHAN LIMBAH RAFINAT SIMULASI YANG DITIMBULKAN DARI PRODUKSI RADIOISOTOP MOLIBDENUM-99 MENGGUNAKAN BENTONIT BERPILAR DAN RESIN EPOKSI. Metode yang umum digunakan untuk memisahkan uranium dari larutan adalah adsorpsi menggunakan adsorben seperti bentonit. Penelitian ini mempelajari tentang adsorpsi uranium oleh bentonit berpilar dan imobilisasi bentonit jenuh uranium tersebut menggunakan resin epoksi. Uranil nitrat heksahidrat dengan konsentrasi 50 ppm digunakan sebagai limbah rafinat simulasi dari produksi Mo

99. Bentonit

berpilar dibuat dengan mereaksikan Na-bentonit dan zirkonil khlorid (ZrOCl2.8H2O). Penelitian dilakukan dengan memvariasi faktor yang berpengaruh terhadap proses adsorbsi uranium oleh bentonit berpilar, yaitu variabel konsentrasi Zr sebagai bahan pilar, waktu kontak dan derajat keasaman (pH). Hasil variabel terbaik digunakan untuk membuat bentonit jenuh uranium yang akan diimobilisasi menggunakan resin epoksi dengan berbagai variasi kandungan limbah. Blok polimer-limbah sebagai fungsi kandungan limbah ditentukan densitas, kuat tekan dan laju pelindihannya. Kondisi optimum penyerapan limbah rafinat dari produksi molibdenum-99 oleh bentonit berpilar diperoleh pada konsentrasi Zr 0,01 M, pH = 7, dan waktu kontak 16 menit dengan efisiensi penyerapan sebesar 42,60 %. Berdasarkan densitas, kuat tekan, dan laju pelindihan diperoleh bahwa blok polimer-limbah terbaik adalah pada kandungan limbah 20 %. Pada kondisi tersebut blok polimer-limbah mempunyai densitas 0,99 gram/cm

3, kuat tekan 20,18 kN/cm

2, dan tidak terdeteksi adanya uranium yang terlindih.

Kata kunci : uranium, bentonit berpilar, adsorpsi, resin epoksi, imobilisasi.

ABSTRACT

PROCESSING OF RAFINAT SIMULATION WASTE GENERATED FROM RADIOISOTOP MOLIBDENUM-99 PRODUCTION USING PILLARED CLAY AND EPOXY RESIN. Commonly available methods for adsorption of uranium from an aqueous solution is used pillared clay as adsorbent. This research is about sorption of uranium from aquous solution with pillared clay and immobilization pillared clay containing uranium by using epoxy resin. Simulation waste was made from uranyl nitrat hexahidrat with 50 ppm in concentration. Pillared clay was made by reacting between Ba-bentonit and zirconyl chloride (ZrOCl2.8H2O).The research was carried out by varying influent factors to the adsorption uranium process, i.e : variable of Zr as pillar material, contact time, and pH to find the optimum condition. The optimum condition is used to make pillared clay containing uranium which would be immobilized by using epoxy resin and to variate the waste loading. The product qualities of waste-polymer blocks as function of waste loading were determined by measurement of its density, compressive strength, and leaching rate. The optimum condition of uranium adsorption was obtained at Zr concentration of 0,01 M, pH 7, contact time 16 minutes with the adsorption uranium was 42.60 %. Base on the density, compressive strength, and leaching rate the best block polymer-waste with waste loading of 20 %. On this condition, the density of polymer-waste block is 0.99 gram/cm

3, compressive

strength is 20.18 kN/cm2 and there is no detection for leaching rate.

Keywords : uranium, pillared clay, adsorption, epoxy resin, immobilization.

Page 17: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Wati, Husen Zamroni, Herlan Martono: Pengolahan Limbah Rafinat Simulasi yang Ditimbulkan dari Produksi Radioisotop Molibdenum-99 Menggunakan Bentonit Berpilar dan Resin Epoksi.

11

PENDAHULUAN

Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi nuklir, pemanfaatan tenaga nuklir semakin meluas di bidang penelitian, pertanian, kesehatan, industri dan lain-lain. Pemakaian zat radioaktif di bidang kesehatan misalnya pemanfatan radioisotop Mo

99 untuk kegiatan diagnosis penyakit

seperti fungsi hati, ginjal dan adanya tumor [1]. Mo

99 diproduksi dari pemisahan hasil fisi nuklir dengan sasaran uranium-235 (U

235). Uranium-

235 ditembak dengan neutron di dalam reaktor nuklir sehingga pecah menjadi berbagai jenis isotop yang sebagian besar berupa radioisotop. Radioisotop Mo

99 yang merupakan salah satu hasil fisi

tersebut selanjutnya dipisahkan dari hasil fisi lainnya. Di Instalasi Produksi Radioisotop, isotop Mo99

dibuat dari High Enriched Uranium (HEU) atau yang dikenal dengan uranium diperkaya 93 %, yang diiradiasi dalam reaktor G.A. Siwabessy. Uranium diperkaya 93 %, berarti U

235 93 % yang akan

mengalami reaksi fisi, sedangkan 7 % U238

yang mengalami reaksi serapan neutron. Reaksi tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut [2] : 92U

235 + 0n

1 → X + Y + 2-3 0n

1 + energi (1)

92U238

+ 0n1 → 92U

239 + γ (2)

92U239

→ 93Np239

+ -1β0 (t½ = 23,5 menit)

93Np239

→ 94Pu239

+ -1β0 (t½ = 2,3 hari)

Reaksi yang menghasilkan radioisotop Mo

99 dan hasil belah yang lain adalah reaksi (1). Pada reaksi (1)

dengan lama iradiasi 103,5 jam U235

yang bereaksi sekitar 7 %, sedangkan reaksi (2) sangat kecil terjadinya karena persentase campuran yang kecil dan tampang lintang reaksinya juga kecil. Setelah iradiasi dalam reaktor, kelongsong dilepas dan U teriradisi dilarutkan ke dalam HNO3 6 – 8 M. Setelah Mo

99 diambil dengan penyerapan dalam Al2O3, maka uranium diekstraksi dengan pelarut tributil

dodekan [2]. Produksi radioisotop Mo

99 dari target uranium diperkaya 93 % yang diiradiasi dalam reaktor akan

menghasilkan limbah cair yang dikenal dengan sebutan limbah cair rafinat. Limbah ini merupakan hasil

samping ekstraksi uranil nitrat [UO2(NO3)2] yang mengandung uranium, aktinida lain dan hasil belah. Dari hasil analisis laboratorium dan prediksi berdasarkan program komputer Code ORIGEN-2, diketahui kandungan uranium dalam rafinat sebesar 50 ppm [2]. Berdasarkan keputusan Kepala BAPETEN No. 02/Ka.BAPETEN/V-99 tentang Baku Tingkat Radioaktivitas di Lingkungan Tahun 2009 konsentrasi tertinggi yang diizinkan dalam air lingkungan untuk U

235 adalah 12,612 x 10

-3 ppm, sedangkan menurut

Environmental Protection Agency (EPA) standar uranium adalah 44 ppm untuk groundwater dan 20 ppm untuk air minum. Limbah rafinat tersebut perlu dikelola untuk menghindari potensi bahaya dan dampaknya terhadap pekerja, masyarakat, dan lingkungan hidup. Oleh karena itu diperlukan penelitian pengelolaan limbah rafinat dari produksi radioisotop Mo

99 agar diperoleh teknologi pengelolaan yang

sederhana, ekonomis, dan dapat diterapkan di PTLR-BATAN serta tentunya memenuhi standar keselamatan International Atomic Energy Agency (IAEA).

Bentonit mempunyai kandungan mineral montmorillonite lebih dari 85 % dengan rumus kimianya Al2O3.4SiO2.xH2O. [3]. Kandungan lain dalam bentonit merupakan pengotor dari beberapa jenis mineral

seperti kuarsa, ilit, kalsit, mika, dan klorit. Struktur montmorillonite terdiri dari 3 lapisan yang terdiri dari 1 lapisan alumina (AlO6) berbentuk oktahedral pada bagian tengah diapit oleh 2 lapisan silika (SiO4) berbentuk tetrahedral seperti ditunjukkan pada Gambar 1 [4].

Page 18: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565

Volume 14 Nomor 1 Juli 2011 (Volume 14, Number 1, July, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

12

Gambar 1. Struktur kristal montmorillonite, mineral major dalam bentonit [4].

Diantara lapisan oktahedral dan tetrahedral terdapat kation monovalent maupun bivalent, seperti Na

+,

Ca2+

, dan Mg2+

. Tetrahedral silika terikat secara hexahedral Si4O6(OH)4 sedangkan oktahedral Al berikatan secara Van Der Waals (fisik) membentuk lapisan alumino silikat karena kondisi terjadinya bentonit, memungkinkan terjadinya substitusi Si oleh Al (bentuk tetrahedral), menyebabkan bentonit kekurangan muatan negatif yang dinetralisir oleh logam alkali dan alkali tanah. Ion logam tersebut di antara lapisan, sehingga dapat dipertukarkan dengan ion lain menyebabkan bentonit mempunyai sifat penukar ion [5].

Montmorillonite memiliki struktur yang membentuk lapisan-lapisan. Ruang antar lapisan tersebut biasanya ditempati oleh molekul air ataupun kation-kation yang dapat dipertukarkan. Struktur yang demikian menyebabkan bentonit tidak tahan terhadap perlakuan panas dan akan mengalami kerusakan struktur pada suhu 650 ºC. Disamping itu bentonit mudah mengalami swelling apabila kontak dengan air [3,6]. Guna menghindari keduanya dan untuk memperbaiki sifat bentonit maka struktur yang berupa lapisan tersebut dapat diubah menjadi suatu bahan yang memiliki struktur pori dua dimensi yaitu dengan membentuk pilar-pilar antara lapisan-lapisannya. Pembentukan pilar ini menyebabkan bentonit tidak mengalami swelling, luas permukaannya menjadi besar dan mempunyai porositas yang sama [7]. Luas permukaan bentonit berpilar dapat mencapai 341 m

2/gram, tergantung bahan pilar yang

digunakan. Bahan yang digunakan sebagai pilar biasanya polikation anorganik berbentuk metal organik.

Zirkonium merupakan salah satu bahan pilar yang dapat membentuk bentonit berpilar yang stabil [6,8]. Dalam penelitian ini untuk membuat Zr pillared clay digunakan ZrOCl2.8H2O (zirkonium khlorida).

Faktor yang mempengaruhi kapasitas adsorbsi oleh bentonit yaitu luas permukaan adsorben, ukuran partikel, waktu kontak dan distribusi ukuran pori. Derajat keasaman (pH) perlu dipertimbangkan sebagai parameter penting dalam keefektifan penyerapan uranium oleh bentonit, karena distribusi uranil dipengaruhi oleh pH dan konsentrasi uranium dalam larutan [9]. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan memvariasi faktor yang berpengaruh terhadap proses adsorbsi bentonit terhadap uranium, yaitu variabel konsentrasi Zr sebagai bahan pilar, waktu kontak dan derajat keasaman (pH), sehingga diperoleh kondisi proses yang optimum dan dapat diaplikasikan untuk pengolahan limbah rafinat yang ditimbulkan dari produksi radioisotop Mo

99. Bentonit yang telah jenuh uranium selanjutnya

diimobilisasi menggunakan polimer agar uranium tidak larut dan lepas ke lingkungan. Dalam penelitian ini digunakan resin epoksi sebagai bahan matriks untuk imobilisasi bentonit

yang telah jenuh uranium tersebut. Epoksi merupakan salah satu jenis polimer yang banyak digunakan sebagai material struktur. Epoksi memiliki sifat yang unggul diantaranya kekuatan mekanik yang bagus, tahan terhadap bahan kimia, adesif, mudah diproses dan proses curing berlangsung dengan reaksi polimerisasi yang bersifat eksotermis sehingga lebih ekonomis [10]. Berdasarkan pada keunggulan ini, maka resin epoksi dipilih untuk imobilisasi bentonit berpilar yang mengandung limbah rafinat dari produksi Mo

99. Epoksi terbentuk dari reaksi antara epiklorohidrin dengan bisfenol propana (bisfenol A)

dengan persamaan reaksi sebagai berikut [10,11] :

Page 19: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Wati, Husen Zamroni, Herlan Martono: Pengolahan Limbah Rafinat Simulasi yang Ditimbulkan dari Produksi Radioisotop Molibdenum-99 Menggunakan Bentonit Berpilar dan Resin Epoksi.

13

CH3

(n+1) H O C OH (n+2) H2C CH CH2Cl

CH3 O

bisfenol A epiklorohidrin

CH3 CH3

R O C O CH2 CH CH2 O C O R

CH3 OH n CH3

epoksi

Gambar 2. Reaksi antara epiklorohidrin dengan bisfenol A [10,11].

Reaksi polimerisasi dimulai dengan adanya radikal bebas yang terbentuk karena dekomposisi

bahan yang tidak stabil oleh temperatur, radiasi maupun katalis. Radikal bebas dengan monomer akan mengadakan reaksi polimerisasi dan akhirnya jika radikal bebas bereaksi dengan radikal bebas terjadi reaksi terminasi yang menghasilkan polimer. Terbentuknya polimer melibatkan perubahan fase cair dan pasta menjadi padat yang disebut curing atau pengeringan. Proses ini terjadi secara fisika karena adanya penguapan pelarut atau medium pendispersi dan dapat juga terjadi karena adanya perubahan kimiawi misal polimerisasi pembentukan ikatan silang.

Epoksi merupakan campuran dari monomer-monomer bisfenol A dan epiklorohidrin, yang mempunyai rumus dan struktur kimia seperti ditunjukkan dalam Gambar 2. Hardener (pengeras) mempunyai fungsi sebagai katalisator reaksi berantai dalam pembentukan polimer, dengan pencampuran epoksi dan pengeras tersebut terbentuklah polimer epoksi. Polimer epoksi termasuk jenis resin termoset. Resin termoset mempunyai struktur tiga dimensi. Polimer tiga dimensi adalah polimer yang dapat membentuk struktur jaringan bila monomer yang bereaksi bersifat fungsional ganda, artinya mereka dapat menghubungkan tiga atau lebih molekul yang berdekatan [12]. Bila dalam pencampuran resin epoksi dan pengeras tersebut ditambahkan pula limbah radioaktif, maka konstituen limbah akan terkungkung dalam struktur kerangka tiga dimensi polimer tersebut sebagai filler.

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh komposisi polimer-limbah yang optimal sehingga diperoleh karakteristik blok polimer-limbah yang baik. Karakteristik blok polimer-limbah yang dipelajari adalah densitas, kuat tekan dan laju pelindihan sebagai fungsi kandungan limbah (waste loading). Uranil nitrat heksahidrat dengan konsentrasi 50 ppm digunakan sebagai limbah rafinat simulasi dari produksi Mo

99, yang mewakili aktinida (U, Ce, dan aktinida yang lain).

Blok polimer-limbah diukur densitasnya, kemudian dilakukan pengujian terhadap kuat tekan dan laju pelindihan. Densitas merupakan salah satu parameter blok polimer- limbah yang dibutuhkan untuk memprediksi keselamatan transportasi, penyimpanan sementara (interm storage), dan penyimpanan lestari. Densitas dari blok polimer-limbah ditentukan dengan persamaan :

V

m (1)

dimana: ρ = densitas (g/cm

3), m = massa sampel (g), V = volume sampel (cm

3).

Kuat tekan adalah gaya maksimum yang dibutuhkan untuk menghancurkan benda uji dibagi luas permukaan yang mendapat tekanan. Kuat tekan blok polimer- limbah merupakan parameter penting untuk mengevaluasi besarnya benturan agar menjamin keselamatan penanganan, transportasi dan penyimpanan lestarinya. Kuat tekan benda uji dihitung menggunakan persamaan :

Page 20: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565

Volume 14 Nomor 1 Juli 2011 (Volume 14, Number 1, July, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

14

A

Pmaksc (2)

dimana: σc = kuat tekan (kN/cm

2), Pmaks = beban tekanan maksimum (kN), A = luas

penampang (cm2). Faktor yang mempengaruhi kuat tekan adalah komposisi dan homogenitas.

Laju pelindihan adalah salah satu karakteristik blok polimer limbah yang penting untuk evaluasi hasil imobilisasi, karena tujuan akhir imobilisasi limbah memperkecil potensi terlepasnya radionuklida yang ada dalam limbah itu ke lingkungan. Laju pelindihan dipercepat digunakan pada penelitian jangka pendek untuk mengetahui pengaruh beberapa parameter dan mengevaluasi kualitas hasil imobilisasi. Laju pelindihan dalam hal ini diasumsikan sebagai lepasnya sejumlah unsur limbah (uranium) dari blok polimer-limbah. Untuk mengetahui uranium yang terlindih selama uji pelindihan dilakukan analisis air pelindih menggunakan Spektrometri UV-VIS dengan pengompleks arsenazo III. TATA KERJA

Bahan

Bahan yang digunakan untuk penelitian antara lain : bentonit alam, uranil nitrat heksahidrat [UO2(NO3)2.6 H2O], larutan NaCl 3 M, larutan AgNO3 1 %, Zirconil chloride [ZrOCl2.8 H2O], air bebas mineral, resin epoksi EPOSIR 7120, hardener (bahan pengeras), pengompleks arsenazo III, larutan standar Na, dan larutan standar Ca. Alat

Alat-alat yang digunakan meliputi : timbangan elektrik, jangka sorong, alat uji tekan Paul Weber, alat uji lindih (soxhlet), rolling, oven, furnace, ayakan (laboratory test sieve), Atomic Absorbsion Spectrometer (AAS), Spektrofotometri UV-VIS, bejana isap (gelas erlenmeyer vakum), corong gelas, kertas filter, gelas ukur 1.000 ml, labu ukur 1.000 ml, stopwatch, cetakan polimer, cawan porselin, termometer, erlenmeyer 250 ml, dan lain-lain. Metode

Pembuatan limbah rafinat simulasi

Dalam penelitian ini, limbah yang digunakan adalah limbah simulasi yang memiliki karakteristik seperti limbah rafinat yang berasal dari produksi Mo

99 di Instalasi Produksi Radioisotop (IPR).

Kandungan uranium dalam limbah rafinat sebesar 0,05 gram/liter (50 ppm). Limbah rafinat simulasi dibuat dengan cara melarutkan uranil nitrat heksahidrat sebanyak 0,2109 gram ke dalam 1 liter air bebas mineral. Pembuatan Na-bentonit

Na-bentonit dibuat dari bentonit alam asal Sukabumi. Aktivasi bentonit dilakukan secara fisika dan kimia. Aktivasi fisika dilakukan dengan cara 400 gram bentonit alam ukuran 100 mesh dipanaskan dalam oven pada suhu 300 ºC selama 2 jam. Sedangkan aktivasi kimia dilakukan dengan cara 50 gram bentonit yang sudah diaktivasi secara fisika ditambah 1.000 ml larutan NaCl 3 M kemudian di-rolling selama 24 jam dengan kecepatan konstan 300 – 400 rpm. Setelah itu didiamkan sebentar, dilanjutkan dengan penyaringan cuplikan menggunakan corong gelas dan kertas filter yang dilengkapi dengan pompa vakum. Filtrat yang diperoleh dianalisis dengan AAS untuk mengetahui kandungan Ca

2+ dan

Na+. Untuk menganalisis ion Ca

2+ yang terlepas, diambil 10 ml dari filtrat tersebut langsung dianalisis

dengan SSA. Sedangkan untuk analisis ion Na+ yang terserap, diambil 1 ml dari filtrat tersebut

kemudian diencerkan menjadi 50 ml dengan labu ukur. Setelah itu, diukur dan dianalisis dengan AAS. Na-bentonit yang diperoleh selanjutnya dicuci dengan air bebas mineral sampai bebas ion klor (tes dengan AgNO3 1%), kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 110 ºC selama 1 jam. Na-bentonit yang dihasilkan siap digunakan untuk penelitian selanjutnya. Pembuatan larutan zirkonil 0,01 M, 0,05 M, dan 0,1 M

Pembuatan larutan zirkonil 0,01 M dilakukan dengan cara melarutkan 3,22 gram Zirconil chloride [ZrOCl2.8 H2O] ke dalam 1.000 ml air bebas mineral, selanjutnya dikocok sampai homogen dan

dihidrolisis selama 24 jam sehingga terbentuk larutan polioksakation. Sedangkan untuk pembuatan

Page 21: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Wati, Husen Zamroni, Herlan Martono: Pengolahan Limbah Rafinat Simulasi yang Ditimbulkan dari Produksi Radioisotop Molibdenum-99 Menggunakan Bentonit Berpilar dan Resin Epoksi.

15

larutan zirkonil 0,05 M dan 0,1 M dilakukan dengan cara yang sama, yaitu dengan melarutkan berturut-turut sebanyak 16,11 gram dan 32,22 gram Zirconil chloride [ZrOCl2.8 H2O] ke dalam 1.000 ml air

bebas mineral, selanjutnya dikocok sampai homogen dan dihidrolisis selama 24 jam sehingga terbentuk larutan polioksakation. Pembuatan bentonit berpilar

Dalam penelitian ini, variasi konsentrasi Zr yang digunakan untuk bentonit berpilar yaitu 0,01 M (BP 1), 0,05 M (BP 2) dan 0,1 M (BP 3). Ke dalam masing-masing 1.000 ml larutan zirkonil 0,01 M, 0,05 M dan 0,1 M dimasukkan 33 gram Na-bentonit. Selanjutnya campuran diaduk dan dipanaskan pada 90 ºC selama 24 jam. Campuran disaring dan dicuci dengan air bebas mineral sampai bebas ion khlor (tes dengan AgNO3 1%). Bentonit yang sudah terpilar kemudian dikeringkan dalam oven pada 110 ºC dan dikalsinasi pada suhu 500 ºC. Bentonit berpilar yang dihasilkan siap digunakan untuk penelitian selanjutnya. Penentuan pengaruh variabel konsentrasi Zr sebagai bahan pilar, waktu kontak dan derajat keasaman (pH) terhadap proses adsorbsi Uranium pada bentonit berpilar

Penentuan pengaruh variabel konsentrasi Zr terhadap proses adsorbsi uranium pada bentonit berpilar (BP 1, BP 2 dan BP 3) dilakukan dengan cara bentonit berpilar BP 1, BP 2, dan BP 3 masing-masing seberat 0,25 gram dimasukkan ke dalam masing-masing botol polietilen yang berisi 250 ml limbah rafinat simulasi dari produksi Mo

99 dengan konsentrasi uranium 50 ppm. Campuran di-rolling

selama 3 jam hingga bentonit berpilar BP 1, BP 2, dan BP 3 jenuh uranium. Filtrat dianalisis menggunakan Spektrometri UV-VIS dengan pengompleks arsenazo III untuk mengetahui uranium yang terserap ke dalam masing-masing bentonit berpilar. Hasil serapan bentonit berpilar terbaik (paling banyak) digunakan untuk penelitian selanjutnya, yaitu penentuan pengaruh waktu kontak dan derajat keasaman (pH) terhadap proses adsorbsi uranium pada bentonit berpilar. Penelitian dilakukan dengan cara yang sama, waktu kontak dibuat bervariasi : 0, 4, 8, 12, 16, 32, dan 42 menit. Sedangkan variasi derajat keasaman (pH) adalah : 3, 5, 7, dan 9. Untuk pengaturan pH larutan digunakan NaOH 0,1 N dan HCl 0,1 N. Penentuan pengaruh waktu kontak dan derajat keasaman (pH) juga dilakukan terhadap proses adsorpsi pada bentonit alam dan Na-bentonit. Hasil terbaik digunakan untuk penelitian selanjutnya. Pengolahan awal/partisi limbah rafinat simulasi dari produksi Mo

99

Limbah rafinat simulasi dari produksi Mo99

yang mengandung uranium selanjutnya diserap menggunakan bentonit berpilar sampai bentonit berpilar menjadi jenuh terhadap uranium (± 1 hari) sambil diaduk menggunakan magnetic stirer. Setelah bentonit berpilar jenuh uranium kemudian dikeringkan pada suhu 100 ºC menggunakan oven untuk menguapkan kadar airnya sampai bentonit berpilar benar-benar kering. Bentonit berpilar yang telah jenuh uranium ini selanjutnya disebut sebagai “limbah” yang akan digunakan untuk penelitian selanjutnya dan akan diimobilisasi menggunakan resin

epoksi. Pembuatan blok polimer-limbah

Polimer yang digunakan sebagai pengungkung adalah jenis polimer EPOSIR 7120 yang dicampur dengan bahan pengeras (hardener) dengan perbandingan 2 : 1 (perbandingan sesuai dengan petunjuk aplikasi). Limbah (bentonit berpilar yang telah jenuh uranium) masing-masing dicampur dengan polimer dengan berbagai kandungan limbah (waste loading) yaitu 0, 10, 20, 30, 40, dan 50 % berat untuk mencari rasio optimum limbah-polimer. Perbandingan komposisi limbah-polimer ditunjukkan pada Tabel 1. Pengadukan campuran dilakukan selama 10 menit, kemudian campuran yang telah homogen dimasukkan ke dalam blok cetakan silinder yang berukuran tinggi 20 mm dan diameter 25 mm, kemudian dibiarkan mengeras selama 8 - 12 jam. Setelah blok polimer-limbah mengeras kemudian dikeluarkan dari cetakan dan selanjutnya dilakukan uji kualitas meliputi uji densitas, kuat tekan dan laju pelindihan.

Page 22: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565

Volume 14 Nomor 1 Juli 2011 (Volume 14, Number 1, July, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

16

Tabel 1. Komposisi limbah-polimer untuk berbagai kandungan limbah dengan berat total 10 gram.

No Kandungan limbah (%

berat) Bentonit berpilar

(gram) Resin Epoksi

(gram) Hardener (gram)

1. 0 - 6,67 3,33

2. 10 1 6 3

3. 20 2 5,33 2,67

4. 30 3 4,67 2,33

5. 40 4 4 2

6. 50 5 3,33 1,67

Kualitas blok polimer-limbah

Uji kualitas blok polimer-limbah meliputi uji densitas, kuat tekan dan laju pelindihan. Pengukuran densitas dilakukan dengan cara mengukur tinggi dan diameter sampel dengan jangka sorong serta menimbang blok polimer-limbah yang telah berulang-ulang dikeringkan dalam oven dan didinginkan dalam desikator hingga diperoleh berat konstan. Densitas sampel dihitung berdasarkan persamaan (1). Pengujian kekuatan tekan dilakukan dengan kompaktor buatan Paul Weber jenis D.7064 Remshaiden-Grunbach. Sampel polimer-limbah yang berbentuk silinder dilakukan penekanan sampai pecah. Kuat tekan polimer-limbah dihitung berdasarkan persamaan (2). Pelindihan dilakukan dengan alat soxhlet pada 100 ºC, 1 atm selama 6 jam. Untuk mengetahui uranium yang terlindih selama uji pelindihan dilakukan analisis air pelindih menggunakan Spektrometri UV-VIS dengan pengompleks arsenazo III. Rasio optimum blok polimer-limbah hasil imobilisasi didapatkan dari hasil penentuan densitas, kuat tekan dan laju pelindihannya. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada pembuatan Na-bentonit untuk menaikkan kapasitas absorbsi dilakukan dengan aktivasi fisika terlebih dahulu sebelum dilakukan aktivasi kimia. Bentonit yang telah mengalami aktivasi fisika secara visual mengalami perubahan warna dari coklat muda menjadi coklat tua. Pada saat pemanasan pada suhu 300 ºC selama 2 jam permukaan bentonit akan mempunyai jumlah muatan negatif yang lebih besar. Pemanasan dapat menghancurkan ikatan OH-O, sehingga bentonit menjadi lebih aktif. Hal ini akan mengakibatkan semakin banyak ion Na

+ yang terikat pada saat aktivasi kimia. Dengan

demikian proses pertukaran ion akan lebih sempurna [13]. Pada aktivasi kimia, logam-logam pengotor dan kation seperti Ca

+2, K

+ dan Mg

+2 digantikan oleh Na

+ yang berasal dari NaCl. Hasil analisis pada

proses aktivasi kimia diperoleh ion Na+ yang terserap sebanyak 54.860,3 ppm dan ion Ca

2+ yang

terlepas sebanyak 275,5 ppm (sedangkan untuk ion Mg2+

, K+ dan lain-lain tidak dilakukan karena

keterbatasan alat analisis). Dari hasil analisis ini dapat diperkirakan bahwa pada pembentukan bentonit alam menjadi Na-bentonit tidak mutlak melalui pertukaran ion Na

+ dengan Ca

2+, tetapi juga melalui

proses adsorbsi. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya ion Na+ yang terserap jauh lebih besar dibanding

dengan Ca2+

yang terlepas. Na-bentonit yang terbentuk selanjutnya dipilarisasi menggunakan Zr untuk mengubah struktur

yang berupa lapisan menjadi suatu bahan yang memiliki struktur pori dua dimensi yaitu dengan membentuk pilar-pilar antara lapisan-lapisannya. Pembentukan pilar ini menyebabkan bentonit tidak mengalami swelling, luas permukaannya menjadi lebih besar dan mempunyai porositas yang sama [7]. Dengan demikian diharapkan dapat menyerap limbah uranium secara maksimal. Perbedaan bentonit alam dan bentonit berpilar dapat dilihat pada Gambar 3 [4].

Page 23: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Wati, Husen Zamroni, Herlan Martono: Pengolahan Limbah Rafinat Simulasi yang Ditimbulkan dari Produksi Radioisotop Molibdenum-99 Menggunakan Bentonit Berpilar dan Resin Epoksi.

17

Gambar 3. Efek swelling pada bentonit alam dan bentonit berpilar [4].

Bentonit berpilar disintesis dengan mengganti ion Na+ di dalam antarlapis bentonit dengan

oligokation yang besar dari logam Zr. Melalui kalsinasi, spesies pemilar akan teroksidasi sehingga terbentuk oksida logam yang akan menyangga dan membuka lembaran-lembaran bentonit sehingga terbentuk pori-pori [14]. Hasil analisis menggunakan Small Angel X-ray menunjukkan adanya kenaikan jumlah zirkon yang ada dalam bentonit berpilar diikuti dengan penurunan jumlah ion Ca

2+ dan Na

+

seperti ditunjukkan pada Tabel 2 [5]. Tabel 2. Komposisi bentonit alam dan bentonit berpilar [5].

Sampel SiO2 Al2O3 TiO2 MnO Fe2O3 MgO CaO Na2O K2O ZrO2 Si/Al

Bentonit Alam 57,50 15,95 0,74 0,07 9,35 2,33 1,66 2,16 0,30 - 3,6

Bentonit Berpilar 46,17 12,32 0,62 0,04 7,01 1,48 0,27 0,55 0,27 11,97 3,7

Kenaikan jumlah zirkon di dalam bentonit berpilar tidak mempengaruhi nilai perbandingan Si/Al di dalam bentonit tersebut. Pada bentonit alam perbandingan Si/Al adalah 3,6 sedangkan dalam bentonit berpilar perbandingan Si/Al adalah 3,7. Perbandingan ini menunjukkan secara struktur bentonit tidak mengalami perubahan. Hasil analisis menggunakan SEM dan EDS menunjukkan adanya distribusi dari zirkon oksida yang merata masuk dalam lapisan bentonit [5]. Electron Probe Micro Analizer menunjukkan adanya zirkon oksida antara dua lapisan pada bentonit [5]. Zirkon yang berada dalam bentonit membentuk pilar diantara dua lapisan sehingga bentonit mempunyai porositas yang tetap. Variabel yang berpengaruh terhadap proses adsorbsi bentonit berpilar terhadap uranium, yaitu konsentrasi Zr sebagai bahan pilar, waktu kontak dan derajat keasaman (pH). Oleh karena itu untuk mempelajari proses adsorbsi bentonit berpilar terhadap limbah uranium dilakukan dengan memvariasi faktor-faktor yang berpengaruh tersebut. Penentuan pengaruh konsentrasi Zr sebagai bahan pilar terhadap efisiensi penyerapan uranium dengan waktu kontak 3 jam, pada pH 7 ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Pengaruh konsentrasi Zr terhadap efisiensi penyerapan uranium.

Konsentrasi Zr (M)

Uranium terserap (mg/g bentonit)

Efisiensi penyerapan uranium (%)

0,01 20,66 41,66

0,05 11,82 23,84

0,10 4,76 9,59

Tabel 3 memperlihatkan bahwa semakin tinggi konsentrasi bahan pilar Zr maka efisiensi penyerapan limbah uranium semakin menurun. Hal ini disebabkan semakin tinggi konsentrasi Zr maka ruang interlayer akan semakin terisi oleh Zr tersebut hingga penuh, sehingga dapat menghambat penyerapan uranium oleh bentonit tersebut [15]. Berdasarkan Tabel 3, kapasitas serap terbaik adalah bentonit

Page 24: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565

Volume 14 Nomor 1 Juli 2011 (Volume 14, Number 1, July, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

18

berpilar dengan konsentrasi Zr 0,01 M (BP 1) dan efisiensi penyerapan 41,66 %. Bentonit berpilar dengan efisiensi penyerapan terbaik ini selanjutnya dibandingkan dengan efisiensi penyerapan uranium oleh bentonit alam dan Na-bentonit. Hasil percobaan penyerapan uranium oleh bentonit berpilar BP 1, bentonit alam, dan Na-bentonit pada berbagai variasi waktu kontak ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4. Grafik pengaruh waktu kontak terhadap efisiensi penyerapan uranium oleh

bentonit berpilar BP 1, bentonit alam, dan Na-bentonit.

Gambar 4 memperlihatkan bahwa bentonit alam dan Na-bentonit memiliki kemampuan penyerapan uranium yang lebih kecil dibanding dengan BP 1. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan pilar pada bentonit dapat meningkatkan kemampuan serapnya terhadap uranium. Peningkatan kapasitas serap ini disebabkan pada proses pemilaran bentonit dengan oksida ZrO2 menyebabkan terjadinya peningkatan luas permukaan spesifik yang cukup tinggi dari senyawa tersebut. Dengan adanya peningkatan luas permukaan pada bentonit berpilar menyebabkan peningkatan adsorpsi uranium oleh bentonit berpilar [8,15]. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wijaya, Karna et al luas permukaan Na-bentonit 81,34 m

2/g, sedangkan luas permukaan bentonit berpilar menggunakan Zr

adalah 171 m2/g [14]. Hal serupa juga disampaikan oleh N. Maes et al yang menyebutkan bahwa luas

permukaan Na-bentonit akan meningkat setelah ditambahkan pilar didalamnya [7]. Waktu kontak merupakan suatu hal yang sangat menentukan dalam proses adsorpsi. Waktu kontak yang lebih lama memungkinkan proses penyerapan uranium terhadap bentonit berlangsung lebih baik. Namun, waktu kontak yang terlalu lama tidak efektif jika diterapkan dalam pengolahan limbah untuk skala industri. Gambar 4 menunjukkan serapan maksimal bentonit berpilar BP 1 berada pada waktu kontak 32 – 42 menit. Pada kisaran waktu kontak tersebut bentonit berpilar BP 1 telah jenuh oleh uranium. Meskipun waktu kontak ditambah lagi (lebih lama) namun kemampuan serapnya tidak akan bertambah. Hasil penyerapan yang mendekati serapan maksimal adalah serapan dengan waktu kontak 16 menit. Oleh karena itu, waktu kontak 16 menit dijadikan sebagai waktu kontak terpilih untuk penelitian selanjutnya (variasi pH) karena 16 menit merupakan waktu yang relatif singkat, namun serapannya mendekati serapan maksimal yaitu sebesar 19,62 ppm dengan efisiensi penyerapan 39,10 %. Kapasitas serap pada waktu kontak 16 menit disebut kapasitas serap optimum dan 16 menit adalah waktu kontak optimum.

Hasil penelitian penyerapan uranium oleh bentonit berpilar BP 1, bentonit alam, dan Na-bentonit pada waktu kontak 16 menit pada berbagai variasi pH ditunjukkan pada Gambar 5.

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

Waktu kontak (menit)

Efi

sien

si p

enye

rap

an u

ran

ium

(%

)

Bentonit berpilar BP 1

Bentonit alam

Na-Bentonit

Page 25: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Wati, Husen Zamroni, Herlan Martono: Pengolahan Limbah Rafinat Simulasi yang Ditimbulkan dari Produksi Radioisotop Molibdenum-99 Menggunakan Bentonit Berpilar dan Resin Epoksi.

19

Gambar 5. Grafik pengaruh derajat keasaman (pH) terhadap efisiensi penyerapan

uranium oleh bentonit berpilar BP 1, bentonit alam, dan Na-bentonit. Gambar 5 memperlihatkan bahwa efisiensi penyerapan uranium oleh bentonit berpilar BP 1 adalah yang paling tinggi dibanding dengan bentonit alam maupun Na-bentonit untuk berbagai variasi pH. Disamping itu terlihat juga bahwa pada pH 7 efisiensi penyerapan uranium oleh bentonit berpilar BP 1, bentonit alam dan Na-bentonit adalah yang paling tinggi dibanding pada pH 3 (kondisi asam) maupun pH 9 (kondisi basa). Fakta ini sesuai dengan yang ditunjukkan oleh Park et al [9] tentang pengaruh pH terhadap penyerapan uranium oleh chitosan. Pengaruh pH terhadap efisiensi penyerapan uranium oleh citosan dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Pengaruh pH pada efisiensi penyisihan uranium oleh citosan pada

(a) 50 mg/l uranium dan (b) 300 mg/l uranium [9]. Variasi pH berpengaruh terhadap karakteristik permukaan adsorben dan hidrolisis uranil dalam

larutan [9]. Pernyataan serupa disampaikan oleh Dyer A. et al, bahwa faktor penting yang berpengaruh terhadap adsorpsi uranium yaitu karakteristik dari adsorben dan keberadaan ion uranium dalam larutan dimana kedua faktor ini dipengaruhi oleh konsentrasi dan pH larutan [8].

Efek pH pada penyerapan uranium oleh bentonit berpilar BP 1 dapat dijelaskan dengan larutan kimia uranium. Pada saat pH larutan uranium meningkat, uranil akan mudah mengalami hidrolisis. Tipe spesies hasil uranil yang telah terhidrolisis misalnya yaitu UO2

2+, UO2(OH)

+, (UO2)2(OH)2

2+,

(UO2)3(OH)5+. Pada pH tinggi akan dihasilkan spesies uranium dalam bentuk anion yaitu (UO2)3(OH)7

+

dengan ukuran ion uranil yang lebih besar. Grafik distribusi ion uranil disajikan pada Gambar 7 [9]. Pada saat pH rendah, larutan kontak dengan permukaan oksigen pada lapisan oktahedral

bentonit dan pada lapisan tersebut akan dihasilkan proton yang berlebih sehingga permukaan bentonit cenderung untuk menangkap anion-anion. Proton tersebut berasal dari SiOH

2+ yang mendominasi

permukaan bentonit [7]. Sementara itu Zakutevskii et al menjelaskan bahwa pada pH ≤ 3,5 lebih dari 90

0

10

20

30

40

50

60

70

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Derajat keasaman (pH)

Efi

sien

si p

enye

rap

an u

ran

ium

(%

)

Bentonit berpilar BP 1

Bentonit alam

Na-Bentonit

Page 26: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565

Volume 14 Nomor 1 Juli 2011 (Volume 14, Number 1, July, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

20

% uranium pada larutan terdapat dalam bentuk UO22+

[8]. Permukaan bentonit pada kondisi asam cenderung untuk menangkap anion, namun spesies ion uranil yang dihasilkan dalam bentuk kation. Hal ini yang menyebabkan efisiensi penyerapan uranium sangat kecil pada kondisi pH rendah.

Gambar 7. Distribusi ion uranil pada berbagai variasi pH [9].

Pada pH sangat tinggi, larutan kontak dengan permukaan oksigen pada lapisan oktahedral

bentonit dan pada lapisan tersebut akan dihasilkan OH- yang berlebih sehingga permukaan bentonit

cenderung untuk menangkap kation [9]. Namun pada pH > 7 spesies uranium yang dihasilkan adalah dalam bentuk anion yaitu (UO2)3(OH)7

+ dengan ukuran ion uranil yang lebih besar [9]. Hal inilah yang

menyebabkan efisiensi penyisihan uranium sangat kecil pada pH > 7. Berdasarkan Tabel 3 (Pengaruh konsentrasi Zr terhadap efisiensi penyerapan uranium), Gambar

1 (Grafik pengaruh waktu kontak terhadap efisiensi penyerapan uranium oleh bentonit berpilar BP 1, bentonit alam, dan Na-bentonit), dan Gambar 2 (Grafik pengaruh pH terhadap efisiensi penyerapan uranium oleh bentonit berpilar BP 1, bentonit alam, dan Na-bentonit) dapat disimpulkan bahwa untuk pengelolaan limbah rafinat produksi Mo

99, efisiensi penyerapan uranium terbaik yaitu menggunakan

bentonit berpilar BP 1 ( konsentrasi Zr 0,01 M), waktu kontak 16 menit pada pH 7 (netral). Pada kondisi tersebut, efisiensi penyerapan uranium sebesar 66,0 %.

Bentonit berpilar BP 1 yang telah jenuh uranium selanjutnya disebut sebagai “limbah” dan

diimobilisasi menggunakan bahan matriks resin epoksi dengan berbagai variasi kandungan limbah seperti disajikan dalam Tabel 1. Pengamatan secara visual hasil imobilisasi limbah dengan resin epoksi menunjukkan bahwa resin epoksi yang tidak mengandung limbah tidak berwarna (bening) dan tembus cahaya, sedangkan yang mengandung limbah berwarna kuning, makin tinggi kandungan limbah warna polimer makin kuning. Hal ini dapat terjadi karena semakin tinggi kandungan limbah akan diikuti dengan semakin banyaknya bentonit berpilar BP 1 maupun kandungan uranium yang ada dalam blok polimer-limbah tersebut seperti ditunjukkan pada Tabel 1.

Pengaruh kandungan limbah terhadap densitas blok polimer-limbah disajikan pada Gambar 8. Gambar 8 menunjukkan bahwa makin besar kandungan limbah, makin besar pula densitas blok polimer-limbah yang dihasilkan. Hal ini disebabkan oleh kenaikan kandungan limbah akan diikuti dengan penurunan jumlah/volume polimer yang digunakan untuk mengungkung limbah seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1. Resin epoksi disusun oleh atom-atom C dan H yang massanya jauh lebih kecil dibandingkan dengan limbah uranium. Semakin tinggi kandungan limbah maka makin banyak atom-atom berat (uranium) yang terkandung dalam blok polimer-limbah yang dihasilkan tersebut, sehingga densitasnyapun akan semakin besar.

Page 27: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Wati, Husen Zamroni, Herlan Martono: Pengolahan Limbah Rafinat Simulasi yang Ditimbulkan dari Produksi Radioisotop Molibdenum-99 Menggunakan Bentonit Berpilar dan Resin Epoksi.

21

Gambar 8. Pengaruh kandungan limbah terhadap densitas blok polimer-limbah.

Pengaruh kandungan limbah terhadap kuat tekan blok polimer-limbah dapat dilihat pada

Gambar 9. Gambar 9 menunjukkan bahwa harga kuat tekan naik dengan kenaikan kandungan limbah sampai nilai optimumnya yaitu sebesar 22,12 kN/cm

2 pada kandungan limbah 10 % (b/b). Hal tersebut

disebabkan oleh unsur-unsur limbah mengisi rongga antara ikatan-ikatan dalam struktur kerangka tiga dimensi polimer sebagai filler [12]. Sedangkan pada kandungan limbah di atas 10 % (b/b) rongga yang terbentuk tidak cukup mengungkung limbah yang ada, sehingga kekuatan tekannya semakin menurun.

Gambar 9. Pengaruh kandungan limbah terhadap kuat tekan blok polimer-limbah.

Laju pelindihan sangat penting diketahui untuk menentukan kualitas hasil imobilisasi yang harus

memenuhi standar untuk penanganan selanjutnya. Sampai kandungan limbah 50 % hasil imobilisasi masih memenuhi syarat, tidak ada uranium yang terlindi.

Dalam suatu proses pengolahan limbah ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan yaitu hasil pengolahan yang memenuhi persyaratan, proses sederhana sehingga dapat diterapkan di Instalasi Pengolahan Limbah (IPLR) PTLR-BATAN dan ekonomis. Kandungan limbah yang besar akan lebih ekonomis, namun karakteristik blok polimer-limbah yang dihasilkan cenderung menurun. Demikian pula sebaiknya karakteristik blok polimer-limbah yang baik dapat diperoleh pada proses dengan

0.98

1

1.02

1.04

1.06

1.08

1.1

1.12

1.14

0 10 20 30 40 50

Kandungan limbah (%)

Den

sita

s (g

/cm

3)

Blok polimer-limbah BP 1

0

5

10

15

20

25

0 10 20 30 40 50

Kandungan limbah (%)

Ku

at

tek

an

(k

N/c

m2)

Blok polimer-limbah BP 1

Page 28: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565

Volume 14 Nomor 1 Juli 2011 (Volume 14, Number 1, July, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

22

kandungan limbah yang lebih rendah. Berdasarkan densitas, kuat tekan, dan laju pelindihan maka hasil terbaik imobilisasi bentonit berpilar BP 1 dengan resin epoksi ini akan memberikan karakteristik blok polimer-limbah yang optimum pada kandungan limbah 20 % (b/b). Pada kondisi tersebut blok polimer-limbah mempunyai densitas 0,99 gram/cm

3, kuat tekan 20,18 kN/cm

2, dan tidak terdeteksi adanya

uranium yang terlindi. Meskipun kuat tekan tidak setinggi pada kandungan limbah 10 % (b/b) tetapi masih memenuhi syarat dan lebih ekonomis karena dapat menampung limbah lebih banyak. Blok polimer-limbah dengan kandungan limbah lebih besar dari 20 % (b/b) berat terjadi penurunan kuat tekan yang sangat besar.

KESIMPULAN

Kondisi optimum penyerapan limbah rafinat simulasi dari produksi molibdenum-99 oleh bentonit berpilar diperoleh pada konsentrasi Zr 0,01 M, pH = 7, dan waktu kontak 16 menit dengan efisiensi penyerapan sebesar 42,60 %. Berdasarkan densitas, kuat tekan, dan laju pelindihan diperoleh bahwa blok polimer-limbah terbaik adalah pada kandungan limbah 20 %, densitas 0,99 gram/cm

3, kuat tekan

20,18 kN/cm2, dan tidak terdeteksi adanya uranium yang terlindih.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Putra, htttp://www.chem-is-try.org/?sec=fokus&ext=25, diperoleh tanggal 9 Maret 2009. [2] Martono, H., Status Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan Limbah Aktivitas Tinggi di Pusat

Teknologi Limbah Radioaktif, Diktat Diklat Pengelolaan Limbah Radioaktif dan B3, Pusdiklat-BATAN, Jakarta, (2008)

[3] Ohtsuka, K., Preparation and Properties if Two-Dimensional Microporous Pillared Interlayered Solids, J. Chem. Mater, Vol. 9, p 2039 – 2050, (1997)

[4] Grimm, R.E. Clay Mineralogy, 2nd edition, McGraw-Hill Book Company, New York, (1968). [5] Zamroni, H., LAS, T., “Pembuatan Bentonit Berpilar Untuk Penyerapan Limbah Radioakti Sr-90”,

Hasil Penelitian dan Kegiatan P2PLR 2001, BATAN, Jakarta, (2002). [6] Klopproge, J.T., Synthesis of Smectites and Porous Pillared Clay Catalyst”, Journal of Porous

Material, Kluwer Academic, Netherland, Vol. 5, pp 5 – 41, (1998). [7] Maes, N., Heylen, I., Cool P., Vansant, E.F., The Relation Between The Syntesis of Pillared

Clays and Their Resulting Porosity, J. Applied Clay Science, Vol. 12, pp 43 – 60, (1997). [8] Dyer, A. et al., Preparation and Properties of Clay Pillared with Zirkonium and Their Use in

Separation, Elsevier Science Publisher, Netherlands. (1989) [9] PARK, G.I, PARK, H.S., Influence of pH on the Adsorption of Uranium Ions by Oxidized

Activated Carbon and Chitosan, Korea Atomic Energy Research Institute, Vol. 34 (5), pp. 833 – 854, (1999).

[10] Tata Surdia MS. and Saito, S., Pengetahuan Bahan Teknik, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, (1992).

[11] Fried, J. R., Polymer Science and Technology, Prentice Hall Inc. USA, (1995). [12] Van Vlack, L.H., dan Sriati Djaprie, Ilmu dan Teknologi Bahan (Ilmu Logam dan Bukan Logam),

Erlangga, Jakarta, (1986). [13] Al Zahrani A.A., Al Shahrani S.S., Al Tawil Y.A., Study on The Activation of Saudi Natural

Bentonit Part I : Investigation on The Conditions That Give Best Results Kinetics of The Sulfuric Acid Activation Process, Chemical and Materials Engineering Department King Abdul Azis

University, Vol. 13, pp. 57 – 72, (2001). [14] Wijaya, K., IQMAL T., BAIKUNI , A. Sintesis Lempung Terpilar Cr2O3 dan Pemanfaatannya

Sebagai Inang Senyawa p-Nitroanilin, Indonesian Journal of Chemistry, Chemistry Department, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Gadjah Mada University, 2002, 2(1), pp. 12 – 21, (2002).

[15] Paul S., Clearfield A., and R.J. Diaz. Pillared Montmorillonites : Cesium Selective Ion Exchange Materials, Journal Separation Science and Technology , Department of Chemistry, Texas A & M University, Vol. 34(12), pp. 2293 – 2305, (1999).

Page 29: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565

Volume 14 Nomor 1 Juli 2011 (Volume 14, Number 1, July, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

23

SENSITISASI PADA PENGELASAN TABUNG BAJA TAHAN KARAT AISI 304 WADAH LIMBAH SUMBER 226Ra BEKAS

RADIOTERAPI

Aisyah Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN

Kawasan PUSPIPTEK, Serpong-Tangerang 15310

ABSTRAK

SENSITISASI PADA PENGELASAN TABUNG BAJA TAHAN KARAT AISI 304 WADAH LIMBAH SUMBER

226Ra BEKAS RADIOTERAPI. Pusat Teknologi Limbah Radioaktif melakukan

pengelolaan limbah sumber 226

Ra bekas radioterapi dengan cara memasukkan limbah kedalam tabung baja tahan karat AISI 304 yang ditutup dengan cara pengelasan. Tabung yang telah berisi limbah dimasukkan kedalam Long Term Storage Shield (LTSS), dan kemudian LTSS dimasukkan kedalam shell drum 200 liter untuk penyimpanan sementara. Sensitisasi pada pengelasan baja tahan karat AISI

304 adalah dimungkinkan. Telah dilakukan penelitian sensitisasi pada pengelasan tabung baja tahan karat AISI 304 wadah limbah dengan parameter arus pengelasan. Sensitisasi ditandai dengan terbentuknya presipitat Cr23C6 pada batas butir, dan adanya presipitat diamati dengan mikroskop optik dan elektron. Uji tarik guna mendukung pengamatan struktur mikro dilakukan untuk mengetahui kekuatan tabung wadah limbah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa arus optimal pada pengelasan tabung baja tahan karat AISI 304 wadah limbah adalah 110 A dengan kuat tarik 64 kg/mm

2. Terbentuk

HAZ dalam daerah 14 mm dari sumbu las dengan kekerasan tertinggi 162 HVN. Pada HAZ terjadi sensitisasi, namun presipitat Cr23C6 yang terbentuk pada batas butir masih terisolir antara satu dengan yang lain dan korosi batas butir tidak signifikan. Sensitisasi pada pengelasan tabung wadah limbah dengan kondisi seperti ini diyakini berada dalam batas yang selamat. Kata kunci: Sensitisasi, pengelasan, baja tahan karat, limbah sumber bekas

226Ra

ABSTRACT

SESITIZATION IN WELDING OF AISI 304 STAINLESS STEEL USED FOR THE CAN OF 226

Ra WASTE FROM RADIOTHERAPHY. The Center for Radioactive Waste manages the

226Ra source

wastes originated from radiotheraphy by containing them in a welded waste can made of AISI 304 stainless steel. The loaded can is then put in a Long Term Storage Shield (LTSS), and the LTSS is put in a shell drum of 200 liters for temporary disposal. In the welding of the can, sensitization is assumed to take place. A research of sensitization on welding of stainless steel AISI 304 can under a varied welding current has been carried ou. The sensitization was identified by the production of Cr23C6 precipitates at the grain boundaries, the precipitates was observed by means of optic and electron microscopes. Tensile strenght test was performed to back up the observation of microstructure in order to know the strength of the can. The result shows that the electrical current of 110 Ampheres was optimum for welding of the can, yield strength of 64 kg/cm

2 was obtained. HAZ was present in between

14 mm distance from the weld center, and the hardnest was 162 HVN. Sensitization was occurred in the HAZ, but the precipitates in grain boundary was isolated one to the other, and therefore the intergranular corrossion is believed insignificant. The sensitization in welding of AISI 304 steel can used for containing

226Ra waste under welding parameter mentioned above is safe.

Keywords: Sensitization, welding, stainless steel,

226Ra spent source waste

PENDAHULUAN

Saat ini pemanfaatan teknologi nuklir dalam dunia kedokteran berkembang dengan pesat. Salah satunya adalah pemanfaatan sumber radiasi dalam bidang radioterapi. Radioterapi merupakan salah satu cara yang efektif untuk mengobati penyakit dengan memanfaatkan kemampuan radiasi pengion

Page 30: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Aisyah: Sensitisasi Pada Pengelasan Tabung Baja Tahan Karat Aisi 304 Wadah Limbah Sumber 226

ra Bekas Radioterapi

24

yang dapat membunuh sel-sel yang tumbuh abnormal seperti tumor atau kanker. Brachiterapy adalah suatu radioterapi dengan zat radioaktif sebagai sumber radiasinya. Brachiterapy dilakukan dengan cara penyinaran pada jarak sangat dekat bahkan pada kondisi tertentu sumber radiasi tertutup dimasukkan ke dalam tubuh pasien. Di Indonesia sumber radiasi yang digunakan adalah

226Ra,

137Cs,

60Co dan

192Ir.

Di masa lampau Indonesia banyak menggunakan 226

Ra sebagai sumber radiasi yang dipakai dalam radioterapi. Sumber radiasi

226Ra merupakan radionuklida yang berumur panjang, sehingga akan

menyulitkan dalam pengelolaan sumber bekasnya (limbah). Atas rekomendasi International Atomic Energy Agency (IAEA), Indonesia telah menghentikan pemakaian sumber radiasi

226Ra, sehingga

pihak rumah sakit telah mengirimkan limbah sumber 226

Ra bekasnya ke Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (PTLR) untuk dilakukan pengelolaan. Pengelolaan dilakukan sesuai standar IAEA seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1 [1,2,3].

1. Sejumlah tertentu limbah sumber 226

Ra bekas yang berupa jarum atau kapsul dimasukkan kedalam tabung baja tahan karat dengan dimensi tabung 110 x 20x 8 mm.

2. Limbah sumber 226

Ra bekas merupakan radionuklida yang dalam masa peluruhannya mengeluarkan gas radon yang cukup berbahaya bagi kesehatan manusia, sehingga tabung baja tahan karat yang telah berisi sumber radiasi bekas

226Ra dilas rapat agar gas radon tidak

lepas ke lingkungan. 3. Pengelasan tabung baja tahan karat AISI 304 dilakukan dengan tungsten inert gas (TIG) dan

dilakukan pengujian kebocoran hasil lasan dengan metode Vacum buble test 4. Tabung baja tahan karat AISI 304 yang telah terisi limbah sumber bekas

226Ra dan telah lolos

uji pengelasan , kemudian dimasukkan dalam Long Term Storage Shield (LTSS) yang terbuat dari Pb dengan maksud sebagai perisai radiasi untuk membatasi paparan radiasi yang cukup tinggi

5. Long Term Storage Shield kemudian dimasukkan dalam shell drum 200 liter untuk kemudian disimpan sementara di tempat penyimpanan sementara limbah aktivitas rendah dan sedang.

Gambar 1. Pengelolaan limbah sumber

226Ra bekas radioterapi [1,2,3]

A) Tabung baja tahan karat wadah limbah sumber 226

Ra B) Pengelasan tabung baja tahan karat C) LTSS untuk memuat tabung baja tahan karat D) Pemuatan LTSS dalam shell drum 200 Liter

Tabung yang digunakan sebagai wadah limbah sumber 226

Ra bekas radioterapi terbuat baja tahan karat austenitik AISI 304 yang memerlukan pengelasan pada tutupnya agar tidak terjadi kebocoran dari gas radon akibat peluruhan limbah sumber

226Ra. Seperti diketahui dalam pengelasan

baja tahan karat AISI 304 sering timbul masalah yaitu kemungkinan terjadi sensitisasi. Sensitisasi adalah timbulnya presipitat krom karbida (Cr23C6) pada batas butir. Sensitisasi akan timbul pada baja tahan karat austenitik yang mengalami siklus termal akibat pengelasan atau perlakuan panas lainnya

Page 31: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565

Volume 14 Nomor 1 Juli 2011 (Volume 14, Number 1, July, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

25

yaitu pemanasan pada suhu sensitisasi (500-800 oC) yang diikuti dengan pendinginan lambat [4,5,6].

Akibat adanya sensitisasi ini maka bahan akan cenderung mengalami penurunan kekuatannya karena terjadi korosi batas butir. Hal ini harus dihindari karena wadah limbah sumber

226Ra ini nantinya akan

disimpan lestari pada formasi geologi. Jika suatu saat pada penyimpanan lestari air tanah mencapai wadah, maka wadah yang telah mengalami sensitisasi ini akan meningkatkan laju korosi dan wadah akan hancur sebelum waktunya. Dalam bahan yang mengalami pengelasan, sensitisasi biasanya timbul pada HAZ (Heat Affected Zone), sedangkan daerah las maupun daerah logam induk tidak mengalami sensitisasi. Heat Affected Zone adalah daerah dekat las yang terpengaruh panas sehingga mengalami perubahan struktur mikro dan sifat mekanik.

Pengelasan TIG (tungsten inert gas) adalah teknik pengelasan berkualitas tinggi dimana elektrodanya tidak meleleh dan hanya berfungsi sebagai penghantar arus. Untuk pengelasan lembaran logam yang tipis, pengelasan TIG dapat digunakan tanpa bahan pengisi logam, sedangkan untuk lembaran logam yang lebih tebal dapat digunakan bahan pengisi logam dalam bentuk kawat batangan atau kawat gulungan. Lelehan logam, elektroda tungsten yang panas dan bagian ujung bahan pengisi logam yang meleleh dilindungi dari atmosfir dengan menggunakan gas argon [7,8].

Proses pengelasan merupakan proses yang tidak bisa dihindari dalam fabrikasi atau pemakaian tabung wadah limbah sumber

226Ra bekas radioterapi. Adanya pengelasan memungkinkan terjadinya

perubahan struktur mikro dan sifat mekanik. Perubahan struktur mikro dan sifat mekanik terjadi terutama pada HAZ, dimana pada daerah ini akan terjadi sensitisasi. Sensitisasi diamati dengan mikroskop optik dan elektron terhadap terbentuknya presipitat Cr23C6 pada batas butir, sedangkan kuat tekan dan kekerasan diamati melalui pengujian dengan mesin uji tarik dan mesin uji kekerasan Vikers. Dengan penelitian ini diharapkan dapat diketahui sejauh mana efek pengelasan tabung limbah sumber 226

Ra bekas radioterapi terhadap terjadinya sensitisasi, sehingga potensi terjadinya korosi batas butir dapat diminimalkan. TATA KERJA

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bidang Teknologi Pengolahan Limbah Radioaktif Dekontaminasi dan Dekomisioning di Pusat Teknologi Limbah Radioaktif, Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Kawasan Puspiptek Serpong pada Tahun 2009 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Pelat baja tahan karat AISI 304 dengan komposisi kimia seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1

[9,10]. 2. Bahan pengisi jenis OK AUTROD 16.10 yang berupa kawat dengan diameter 3,2 mm dengan

komposisi kimia seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2 [11].

Tabel 1. Komposisi kimia baja tahan karat AISI 304 [9,10].

Unsur Prosentase (%) Unsur Prosentase (%)

C 0,050 S 0,030

Si 0,370 Ni 8,080

Mn 1,340 Cr 18,470

P 0,029 Fe 71,630

Tabel 2. Komposisi Bahan Pengisi jenis OK Autrod 16.10 [11].

Unsur Prosentase (%) Unsur Prosentase (%)

C 0,020 S 0,018

Si 0,400 Ni 10,000

Mn 1,600 Cr 20,000

P 0,018

Page 32: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Aisyah: Sensitisasi Pada Pengelasan Tabung Baja Tahan Karat Aisi 304 Wadah Limbah Sumber 226

ra Bekas Radioterapi

26

Peralatan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah mesin las TIG dengan pelindung gas argon, mesin uji tarik Servopulser Shimadzu, mesin uji keras (Vickers Hardness Testing Machine), mesin grinding, polishing, peralatan etsa, mikroskop optik, dan lainnya.

Metode

Dalam penelitian ini dilakukan pengelasan terhadap bahan tabung wadah limbah 226

Ra bekas radioterapi yang berupa pelat baja tahan karat AISI 304. Dipelajari pengaruh arus pengelasan terhadap kuat tarik bahan. Pada penggunaan arus las yang optimal diamati kekerasan dan struktur mikronya. Pengamatan struktur mikro terutama dilakukan pada HAZ, dimana pada daerah ini kemungkinan terjadi sensitisasi. Pengamatan sensitisasi dilakukan secara mikroskopis dengan mengamati terbentuknya presipitat Cr23C6 pada batas butir. Sedangkan kuat tarik dan kekerasan diamati dengan mesin uji tarik dan mesin uji kekerasan Vikers.

Pengelasan

Dua potong baja tahan karat AISI 304 dengan ukuran 200x125x5 mm disambung dengan cara dilas dengan cara penyambungan seperti ditunjukkan pada Gambar 2 [12]. Pengelasan dilakukan dengan mesin las TIG dengan pelindung gas argon [7,8]. Besarnya arus yang digunakan dalam penelitian ini divariasikan, yaitu 60, 70, 80, 90, 100, 110, 120, 130 dan 140A. Bahan pengisi yang digunakan adalah jenis OK AUTROD 16.10. Dilakukan pengamatan pengaruh arus pengelasan terhadap kuat tarik bahan, sehingga diperoleh arus pengelasan yang optimal.

Gambar 2. Bentuk kampuh las pada pengelasan [12].

Pengujian tarik

Pengujian tarik dilakukan untuk mengetahui tegangan tarik bahan yang mengalami pengelasan. Pengujian dilakukan sesuai dengan standar JIS Z 2201 dengan ukuran sampel seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3. Kekuatan tarik merupakan kemampuan dari sambungan las untuk menerima beban tarik. Pengujian dilakukan dengan menggunakan mesin uji tarik Servopulser Shimadzu dengan cara menjepit sampel dengan kuat dan beban diberikan secara kontinyu sampai sampel tersebut putus [13-15]. Tegangan tarik (kuat tarik), yaitu tegangan maksimum yang dapat ditahan oleh sampel

σt = Fmak/A0 (1) dimana : σt : Kuat tarik sampel (kg/mm

2)

Fmak : Gaya maksimum yang dapat ditahan oleh sampel (kg) A0 : Luas penampang awal sampel (mm

2)

Page 33: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565

Volume 14 Nomor 1 Juli 2011 (Volume 14, Number 1, July, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

27

Gambar 3 . Bentuk sampel pada uji tarik ( standar JIS Z 2201) [13-15].

Pengujian kekerasan

Pengujian kekerasan dimaksudkan untuk mendapatkan data perubahan kekerasan dari bahan akibat adanya pengelasan. Pengujian dilakukan dengan mesin uji keras Vickers (Vickers Hardness Testing Machine) dengan cara melakukan penekanan pada sampel menggunakan penekan berbentuk piramida intan yang dasarnya bujur sangkar. Besarnya sudut puncak identor piramida intan 136

0. Besarnya angka kekerasan dihitung berdasarkan persamaan [13,14,16]:

HVN = 1,8544 x P/d2 (2)

dimana: HVN : Angka kekerasan Vickers (Hardness Vickers Number ) P : Beban yang digunakan (kg) d : Diagonal identasi (mm)

Pengujian kekerasan dilakukan pada sampel yang telah dilas dengan arus pengelasan yang

optimal. Pengujian kekerasan dilakukan mulai dari daerah las, HAZ dan daerah sampai jarak tertentu kearah logam induk .

Pengujian metalografi

Pengamatan struktur mikro dilakukan terhadap sampel yang mengalami pengelasan dengan arus las yang optimal. Pengujian metalografi dilakukan pada daerah logam induk, HAZ dan daerah las. Pengujian dilakukan dengan cara memotong sampel sesuai ukuran, kemudian dibingkai dengan resin dan selanjutnya dilakukan pemolesan. Penggerindaan dilakukan dengan kertas amplas yang bertingkat kekasarannya sedangkan pemolesan dilakukan dengan pasta alumina. Sampel yang telah mengkilap dietsa dengan metode etsa elektrolitik yaitu dengan cara memasang sampel sebagai anoda, sedangkan sebagai katoda adalah bahan dengan jenis dan dimensi yang sama. Jarak katoda dan anoda adalah 25 mm dan sebagai larutan etsa digunakan larutan asam oksalat 10 %. Arus yang digunakan adalah 5 A dengan voltase 12 V dan waktu etsa 15 menit [17– 19]. Selanjutnya diamati

struktur mikronya dengan mikroskop optik. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian ditunjukkan pada gambar-gambar berikut. Gambar 4 menunjukkan pengaruh arus pengelasan terhadap kuat tarik bahan.

Gambar 4. Pengaruh arus pengelasan terhadap kuat tarik

45

50

55

60

65

50 70 90 110 130 150

Arus Pengelasan (A)

Ku

at

Tari

k (

kg

mm

-2)

P

L

R R

W L = 200 mm P = 220 mm W = 40 mm R = 25 mm

Page 34: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Aisyah: Sensitisasi Pada Pengelasan Tabung Baja Tahan Karat Aisi 304 Wadah Limbah Sumber 226

ra Bekas Radioterapi

28

Dari Gambar 4 terlihat bahwa pada arus pengelasan yang rendah akan memberikan kuat tarik yang rendah, hal ini terjadi karena pada penggunaan arus yang rendah akan menyebabkan sukarnya penyalaan busur listrik. Busur listrik yang terjadi menjadi tidak stabil. Panas yang terjadi tidak cukup untuk melelehkan bahan pengisi dan bahan induk, sehingga hasilnya merupakan rigi-rigi las yang kecil dan tidak rata serta penembusan kurang maksimal. Oleh karena itu akan dihasilkan sambungan las yang kurang kuat dengan kuat tarik yang rendah. Hal ini ditandai dengan putusnya sambungan las sewaktu pengujian tarik.

Makin besar kuat arus yang digunakan maka kuat tarik semakin tinggi. Kuat tarik tertinggi dicapai pada arus pengelasan 110A dengan kuat tarik 64 kg mm

-2. Hal ini dapat diterangkan bahwa

makin tinggi arus pengelasan maka akan memberikan panas yang tinggi, penetrasi yang dalam dan kecepatan pencairan logam yang tinggi. Pencairan logam induk dan logam pengisi memerlukan energi panas yang cukup. Dalam proses pengelasan, energi panas berasal dari listrik yang besarnya tergantung dari parameter pengelasan yaitu arus las, tegangan las dan kecepatan pengelasan. Hubungan ketiga parameter tersebut akan menghasilkan masukan panas (H) menurut persamaan [8,20]:

H =P/v = EI/v (3) dimana P : Tenaga input ( watt )

v : Kecepatan pengelasan ( mm/s ) E : Potensial listrik (volt) I : Arus listrik ( amper ).

Dari persamaan (3) terlihat bahwa pada pemakaian arus yang besar menghasilkan panas yang

besar. Adanya panas dengan jumlah yang cukup besar mampu menghasilkan sambungan las yang betul-betul kuat, sehingga sewaktu dilakukan pengujian tarik, bahan tidak patah pada sambungan las, tetapi patah pada HAZ atau pada logam induknya. Hal ini sesuai dengan hasil pengujian bahwa pada pemakaian arus pengelasan 110 A memberikan kuat tarik yang maksimum yaitu 64 kg mm

-2 dan

sewaktu pengujian, sampel patah pada daerah logam induk. Pada pemakaian arus pengelasan yang semakin besar, maka kuat tarik akan semakin

menurun. Hal ini terjadi karena bahwa pada pemakaian arus yang terlalu besar maka percikan busur menjadi lebih besar sehingga mengakibatkan masukan panas yang terlalu besar. Sesuai dengan diagram siklus termal yang ditunjukkan pada Gambar 5 bahwa semakin besar masukan panas maka akan terjadi kecepatan pendinginan yang lebih lambat.

Gambar 5. Siklus termal pada pengelasan [20].

Pada kecepatan pendinginan lambat akan terjadi pembesaran butir. Butir yang besar akan

menurunkan kekuatan bahan. Hal ini sesuai dengan persamaan Hall-Petch berikut [8,20]:

= o + kd-1/2

(4)

dimana : tegangan luluh

o : tegangan friksi (friction stress) k : koefisien penguat (strengthening coefficient) d : ukuran (diameter) butir.

Page 35: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565

Volume 14 Nomor 1 Juli 2011 (Volume 14, Number 1, July, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

29

Menurut persamaan (4) bahwa bahan akan mempunyai kekuatan yang tinggi jika memiliki batas butir yang kecil. Butir yang kecil mampu menahan pergerakan dislokasi sehingga bahan mempunyai kekuatan yang besar. Oleh karena itu dalam penelitian ini diperoleh arus pengelasan yang optimal adalah 110 A dengan kuat tarik 64 kg mm

-2. Selanjutnya dilakukan pengujian kekerasan dan struktur

mikro pada pengelasan yang menggunakan arus 110 amper. Hasil pengujian kekerasan bahan untuk sampel yang dilas dengan arus 110 A yang diukur pada

setiap jarak 2 mm dari sumbu las ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 6.Pengaruh jarak terhadap kekerasan.

Dari Gambar 6 tampak bahwa untuk jarak sampai dengan 6 mm dari sumbu las harga kekerasan semakin meningkat. Hal ini terjadi karena daerah tersebut merupakan HAZ dimana pada daerah itu tumbuh presipitat Cr23C6 yang keras. Krom karbida ini tumbuh pada HAZ karena pada HAZ mengalami sensitisasi akibat siklus panas pada saat pengelasan. Untuk daerah yang lebih besar dari 6 mm harga kekerasan akan makin menurun. Hal ini karena pada daerah yang semakin jauh dari sumbu las semakin sedikit menerima panas sehingga kesempatan tumbuhnya presipitat Cr23C6 semakin kecil. Seperti diketahui bahwa presipitat Cr23C6 merupakan senyawa yang keras karena mengandung karbon, sehingga jika presipitat Cr23C6 sedikit maka kekerasan akan semakin menurun. Pada daerah dengan jarak 14 – 16 mm dari sumbu las harga kekerasan sudah sama dengan bahan induk. Dengan demikian HAZ panjangnya sekitar 14 mm dari sumbu las dengan kekerasan tertinggi 162 HVN. Daerah las memiliki kekerasan yang lebih besar dari bahan induknya, karena pada daerah ini terjadi peleburan bahan yang kemudian mendingin dengan cepat, sehingga terbentuk tegangan termal yang menghasilkan distorsi. Daerah dengan distorsi yang cukup tinggi mempunyai kekerasan yang lebih tinggi. Hasil pengujian struktur mikro pada bahan yang mengalami pengelasan dengan arus 110 amper yang diamati dengan mikroskop optik pada perbesaran 500 kali ditunjukkan pada Gambar 7. Gambar 7A menunjukkan foto struktur mikro daerah bahan induk sedangkan Gambar 7B menunjukkan gambar struktur mikro HAZ serta Gambar 7C menunjukkan foto struktur mikro daerah las.

Gambar 7. Struktur mikro bahan yang mengalami pengelasan,

pengamatan dengan mikroskop optik (A). Daerah bahan induk (B). HAZ (C) Daerah las

130

140

150

160

170

0 4 8 12 16 20

Jarak dari Sumbu Las (mm)

Kekera

san

(H

VN

)

Page 36: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Aisyah: Sensitisasi Pada Pengelasan Tabung Baja Tahan Karat Aisi 304 Wadah Limbah Sumber 226

ra Bekas Radioterapi

30

Pada Gambar 7A tampak struktur mikro daerah bahan induk yang bersih bebas dari presipitat Cr23C6. Bahan induk adalah bagian logam dasar di mana panas dan suhu pengelasan tidak menyebabkan terjadinya perubahan struktur mikro dan sifat mekanik. Hal ini sesuai dengan hasil pengujian kekerasan yang ditunjukkan pada Gambar 6 dimana daerah yang terpengaruh panas hanya sejauh 14 mm dari sumbu las. Lebih jauh dari itu merupakan daerah bahan induk. Sedangkan pada Gambar 7B merupakan gambar struktur mikro HAZ dimana dalam gambar tampak batas butir yang berwarna hitam dan tebal yang merupakan bekas jejak presipitat Cr23C6. Daerah tampak terkorosi akibat terbentuknya daerah deplesi krom. Struktur mikro daerah las ditunjukkan pada Gambar 7C. Komposisi daerah las terdiri dari komponen bahan induk dan bahan pengisi. Logam las dalam proses pengelasan mencair kemudian membeku, sehingga kemungkinan terjadi pemisahan komponen yang menyebabkan terjadinya struktur yang tidak homogen. Daerah las pada umumnya memiliki struktur berbutir panjang (columnar grains). Pertumbuhan struktur ini berawal dari logam induk yang tumbuh ke arah tengah daerah logam las.

Dalam proses pengelasan adanya siklus termal yaitu pemanasan yang diikuti dengan pendinginan lambat , maka HAZ akan berada pada suhu sensitisasi (500-800

oC). Hal ini sesuai

dengan yang ditunjukkan oleh Kurva Time Temperature Sensitisation pada Gambar 8 [21].

Gambar 8. Kurva Time Temperature Sensitization [21]

Pada Gambar 8 tampak bahwa untuk bahan baja tahan karat AISI 304 dengan kadar C 0,05 % jika berada pada suhu 700

0C selama minimal 10 menit sudah terkena sensitisasi yaitu terbentuknya

presipitat Cr23C6 pada batas butir. Untuk bahan baja tahan karat dengan kadar karbon yang lebih rendah misalnya AISI 304L atau 316L pada suhu tersebut tidak terjadinya sensitisasi. Sensitisasi adalah terbentuknya presipitat karbida M23C6 pada batas butir. Presipitat M23C6 mempunyai unsur utama adalah Cr23C6 dengan besi (Fe) atau Molybdenum (Mo) akan mensubtitusi sebagian dari Cr. Besarnya subtitusi ini tergantung pada paduan dan kondisi presipitasinya. Pada tingkat awal presipitasi, maka presipitat M23C6 mengandung Fe cukup tinggi. Dengan naiknya suhu maupun waktu presipitasi maka kadar Cr akan meningkat. Oleh karena itu pada penggunaan baja tahan karat AISI 304 maka

M23C6 biasanya berupa presipitat Cr23C6 [10,22,23]. Kinetika pembentukan presipitat Cr23C6 ini melaui mekanisme difusi C dalam matrik ke batas butir dan berikatan dengan Cr membentuk presipitat Cr23C6. Akibat dari difusi C kebatas butir tersebut maka terdapat daerah yang kekurangan Cr (cromium depleted zone). Secara mikro akan terjadi perbedaan potensial antara daerah yang kekurangan Cr dibanding presipitat Cr23C6 yang kaya unsur Cr sehingga terjadi korosi batas butir (intergranular corrosion). Gambar 9a. menunjukkan pertumbuhan presipitat Cr23C6 pada batas butir, sedangkan

Gambar 9b menunjukkan terbentuknya daerah deplesi Cr [5,24].

Page 37: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565

Volume 14 Nomor 1 Juli 2011 (Volume 14, Number 1, July, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

31

Gambar 9. Bahan yang mengalami sensitisasi [5,24].

(a) Terbentuknya Cr23C6 pada batas butir (b) Terbentuk daerah deplesi krom akibat adanya sensitisasi

Krom karbida merupakan senyawa yang keras karena mengandung C. Oleh karena itu sejalan dengan hasil pengujian kekerasan pada HAZ pada Gambar 6 yang menunjukkan nilai kekerasan yang paling tinggi. Untuk lebih mendeteksi kondisi presipitat Cr23C6, maka dapat dilakukan pengamatan struktur mikro menggunakan Transmision Electron Microscope (TEM) dengan hasil foto seperti yang ditunjukkan pada Gambar 10 [25].

Gambar 10. Presipitat Cr23C6, hasil pengamatan TEM [25].

Dari Gambar 10 tampak bahwa presipitat Cr23C6 tumbuh pada batas butir namun masih terisolir antara satu dengan yang lainnya. Artinya pada kondisi ini korosi batas butir cenderung belum tampak. Namun jika bahan berada pada suhu sensitisasi yang cukup lama maka presipitat Cr23C6 akan tumbuh semakin banyak dan membentuk jaringan yang kontinyu menutup seluruh batas butir, maka pada kondisi ini terjadi korosi batas butir. Serangan korosi batas butir ini akan semakin hebat, jika bahan terus terpapar pada suhu sensitisasi yang terlalu lama. Pada kondisi ini batas butir mengalami serangan korosi yang cukup besar, bahkan banyak diantara butir-butirnya terlepas atau tidak ada ikatan antar butir lagi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 11 [26].

Gambar 11.Batas butir mengalami serangan korosi yang berat,

hasil pengamatan SEM [26].

Page 38: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Aisyah: Sensitisasi Pada Pengelasan Tabung Baja Tahan Karat Aisi 304 Wadah Limbah Sumber 226

ra Bekas Radioterapi

32

Berdasarkan pada kondisi presipitat Cr23C6 yang terbentuk pada batas butir masih terisolir satu sama lain, maka dikatakan bahwa serangan korosi batas butir cenderung belum signifikan. Hal ini berarti bahwa peristiwa sensitisasi yang menyertai pengelasan tabung bahan baja tahan karat AISI 304 wadah limbah

226Ra bekas radioterapi masih dalam batas yang wajar dan selamat. Namun bila

presipitat Cr23C6 yang terbentuk pada batas butir mengakibatkan serangan korosi batas butir, maka harus dilakukan upaya pencegahan agar tabung wadah limbah sumber

226Ra bekas radioterapi dapat

selamat sesuai dengan disain yang direncanakan. Upaya pencegahan terjadinya sensitisasi pada baja tahan karat AISI 304 yang mengalami

pengelasan dapat dilakukan dengan mengontrol kadar C pada bahan atau dengan menambahkan unsur yang bisa mengikat C lebih stabil dari pada Cr. Pada baja tahan karat austenitik, mereduksi kadar C sampai 0,03 % atau lebih kecil lagi akan mencegah sensitisasi selama pengelasan atau perlakuan panas lainnya. Akan tetapi cara ini kurang efektif untuk mencegah timbulnya korosi batas butir bila bahan berada dalam waktu yang lama pada suhu sensitisasi. Titanium dan Columbium (Cb) atau Niobium (Nb) yang ditambahkan pada baja tahan karat austenitik akan membentuk karbida yang lebih stabil (TiC, CbC dan NbC) dari pada Cr. Titanium, Cb atau Nb akan mengikat C yang ada dalam matriks, sehingga mencegah presipitasi Cr23C6. Baja tahan karat seperti ini biasanya disebut Stabilized Grades yaitu baja tahan karat austenitik 321 atau 347 [10,27,28]. KESIMPULAN

Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa, pada pengelasan wadah limbah sumber

226Ra bekas radioterapi arus 110 A merupakan arus yang optimal dengan kekuatan tarik

sebesar 64 kg/mm2. Pada pengujian kekerasan diperoleh bahwa HAZ mempunyai panjang 14 mm dari

sumbu las dengan kekerasan teringgi 162 HVN. Dari pengamatan struktur mikro menggunakan mikroskop optik terlihat bahwa pada HAZ terjadi sensitisasi yang ditandai dengan batas butir yang menebal yang merupakan bekas jejak presipitat Cr23C6. Pengamatan dengan mikroskop elektron tampak bahwa presipitat Cr23C6 yang terbentuk masih terisolir satu dengan lainnya, sehingga pada kondisi ini dikatakan bahwa korosi batas butir cenderung belum signifikan. Oleh karena itu adanya pengelasan pada wadah limbah sumber

226Ra bekas radioterapi ini meskipun terjadi sensitisasi namun

masih dalam batas yang wajar dan selamat. Untuk lebih meningkatkan keselamatan dalam pengelolaan sumber

226Ra ini maka wadah limbah sumber

226Ra dapat dipilih dari baja tahan karat Stabilized

Grades yaitu AISI 321 atau 347 yang lebih selamat dari serangan sensitisasi.

DAFTAR PUSTAKA

[1]. International Atomic Energy Agency, Management of Waste from The Use of Radioactive Material in Medicine, Industry, Agriculture, Research and Education, Safety Guide No.WS-G-2.7, IAEA, Vienna, (2005).

[2]. Al-Mughrabi, M., Technical Manual for Conditioning of Spent Radium Sources, IAEA, Vienna, (1998).

[3]. International Atomic Energy Agency, Handling, Conditioning and Storage of Spent Sealed Radioactive Sources, IAEA-TECDOC-1145, IAEA, Vienna, (2000).

[4]. Matula, M, et.al., Intergranular Corrosion of 316L Steel, Materials Characterization, 46: 203-210, (2001).

[5]. Korostelev, A.B, et.al., Evaluation of Stainless Steel for Their Resistance to Intergranular Corrosion, Journal of Nuclear Materials, 233-237:1361-1363, (1996).

[6]. Karokaro, M., et.al., Effect of Repair Welding Process on Microstructure and Corrosion Resistance of Stainless Steel Type 304, http://www.its.ac.id/.../2484-hariyati-Lampiran%20B.3- paper%20IACD%20Karokaro%20(ITS).doc, diunduh pada tanggal 4 Oktober 2009.

[7]. Messler, Jr., Robert W., Principle of Welding: Process, Physics, Chemistry, and Metallurgy, John

willey & Sons, New York, (1999). [8]. Wiryosumarto, H. dan Okumura, T., Teknologi Pengelasan Logam, PT. Pradya Paramita,

Jakarta, (2000). [9]. Davis, J. R., Metals Handbook, 10

th Ed., Vol. 6, ASM International, USA, (1990).

[10]. Peckner, D and Berstein, I. M., Handbook Of Stainless Steels, McGraw Hill Book , USA, (1977). [11]. Esab, OK.Autrod 16.10, http://marsenterprises.co.in/ESABStanderdCONSUMABLES/GTAW_

consumables/gtawleft.pdf. diunduh pada tanggal 16 Nopember 2009 [12]. Gurulas’S Weblog, SMAW Lanjut, http://gurulas.wordpress.com/materi-smaw-lanjut/, diunduh

pada tanggal 17 November 2009

Page 39: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565

Volume 14 Nomor 1 Juli 2011 (Volume 14, Number 1, July, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

33

[13]. Khun, H., Meslin, D., ASM Handbook, Vol. 8 : Mechanical Testing and Evaluation, 9th

ed, ASM, USA, (1992).

[14]. Crancovic, M.,G., ASM Handbook, Vol. 10 : Materials Characterization, 9th

ed, ASM, USA.

(1992) [15]. Anonim, Mengenal Uji Tarik dan Sifat-sifat Mekanik Logam, http://www.infometrik.com/2009/09/

mengenal-uji-tarik-dan-sifat-sifat-mekanik-logam/, diunduh pada tanggal 15 September 2009. [16]. Tata Surdia, dkk., Pengetahuan Bahan Teknik, Edisi 4, PT. Pradya Paramita, Jakarta, (1999). [17]. Sindo Kou, Welding Metallurgy, 2

nd ed., John Wiley & Sons Inc, New York, (2003).

[18]. George F. Vander Voort, ASM Handbook, Vol. 9 : Metallography and Micro Structures, 9th

ed, ASM, USA, (1992).

[19]. Amelinckx, S., et.al., Handbook of Microscopy: Applications in Materials Science, Solid-State Physics and Chemistry, 1

st ed., Wiley-VCH, (1996).

[20]. Subeki, N., Nilai Ketangguhan dan Bentuk Struktur Mikro dari Perubahan Kuat Arus Pengelasan Pipa Spiral, Naskah Publikasi, Universitas Muhamadiyah Malang, (2006).

[21]. Anonim, L, H And Standard Grades Of Stainless Steels http://www.corrosionist.com/L_H_

grades_Stainless_Steels.htm. diunduh pada tanggal 15 Oktober 2009 [22]. Karl-Eric, T., Steel and Its Heat Treatment, 2

nd ed , Buffer Warth & Co, Boston, London, (1994).

[23]. Angelini, E., et.al., Instability of Stainless Steel Reference Weights Due To Corrosion Phenomena, Corrosion Science, 40 (7):1139 – 1148, (1998).

[24]. Koekoeh, K.W, Pengaruh Proses Perlakuan Panas Pada Baja AISI 304 Terhadap Kekerasan dan Laju Korosi Dalam Media HCl (35%), http://www.lurik.its.ac.id/Senta/R.K.K.Wibowo.pdf, diunduh pada tanggal 17 Nopember 2009

[25]. Sourmail, T., and Bhahadeshia, H.K.D.H.,Microstructural Evolution in Two Variants of NF709 at 1023 and 1073

0 K, Metall. Mater. Trans. A,36A, p23-34, (2005).

[26]. Kartaman, M.A, dkk., Efek Perlakuan Panas Terhadap Korosi Intergranular Baja Tahan Karat Austenitik Menggunakan Metode Kimia (Heuy Test), Hasil-Hasil Penelitian EBN Tahun 2006, PEBN, Tangerang, 217-222, (2007).

[27]. Anonim, Different Types of Corrosion - Recognition, Mechanisms & Prevention Intergranular Corrosion (Cracking), http://www.corrosionclinic.com/types_of_corrosion/intergranular corrosion_ cracking.htm, diunduh pada tanggal 15 Oktober 2009

[28]. Steiner, R., ASM Handbook, Volume 1: Properties and Selection: Irons, Steels, and High-Performance Alloys, ASM, USA, (1998).

Page 40: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565

Volume 14 Nomor 1 Juli 2011 (Volume 14, Number 1, July, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

34

TAHAPAN-TAHAPAN DALAM PENENTUAN TAPAK DISPOSAL LIMBAH RADIOAKTIF AKTIVITAS RENDAH DI PULAU JAWA

Budi Setiawan

Pusat Teknologi Limbah Radioaktif – BATAN, Kawasan PUSPIPTEK, Serpong-Tangerang 15310

ABSTRAK

TAHAPAN-TAHAPAN DALAM PENENTUAN TAPAK TERPILIH UNTUK DISPOSAL LIMBAH RADIOAKTIF AKTIVITAS RENDAH DI PULAU JAWA. Kegiatan penggunaan teknologi nuklir di

banyak bidang telah menghasilkan limbah radioaktif dalam rentang radioaktivitas yang beragam. Apalagi dengan adanya rencana introduksi pusat listrik tenaga nuklir di pulau Jawa diperkirakan akan menambah total volume limbah secara kuantitas, sehingga perlu dipertimbangkan adanya suatu fasilitas penyimpanan limbah di pulau Jawa. Sampai sekarang Indonesia belum memilih suatu lokasi untuk penyimpanan limbahnya. Introduksi pusat listrik tenaga nuklir yang pertama akan membuat masyarakat ingin tahu tentang masalah keselamatan lingkungan, termasuk program penyimpanan limbah. Untuk itu prosedur penyiapan tapak untuk disposal limbah radioaktif, utamanya aktivitas rendah perlu disiapkan. Dengan mengadopsi prosedur penyiapan tapak IAEA, secara internal program penyiapan tapak untuk disposal limbah telah didiskusikan dengan intensif. Penetapan program dan kriteria-standar menjadi pekerjaan yang penting. Adanya kondisi lokal yang spesifik di pulau Jawa, batuan lempung dipertimbangkan sebagai host rock untuk disposal limbah radioaktif. Dengan mengikuti prosedur penyiapan tapak akan di evaluasi beberapa area potensial kemudian untuk memperoleh lokasi-lokasi yang potensi yang akhirnya menjadi lokasi-lokasi terpilih. Kata kunci : Penentuan tapak, limbah radioaktif aktivitas rendah, pulau Jawa

ABSTRACT

SOME STEPS ON SELECTION OF PREFERRED SITE FOR LOW-LEVEL RADWASTE DISPOSAL IN JAWA ISLAND. Activities on the application of nuclear technology in Indonesia have generated radioactive wastes in wide range of activity levels. Moreover the introduction of NPP in Jawa island is predicted will increase the total volume of waste quantitatively, and necessity of disposal facility in Jawa island is considered. Up to now Indonesia has not been choose a location for dispose its radwaste. Introduction of first NPP will increase public awareness to environment safety problem, included the disposal program. For that reason the procedure of siting for radwaste disposal, especially for low-level activity needs to be prepared. By adopting the IAEA siting procedures, internally preparation of siting program for radwaste disposal in Jawa Island has been discussing intensively. Establishing program and standards-criteria becomes important works. Due to local condition in Jawa Island, clay rock was considered as host rock for radwaste disposal. By following the siting procedure, some potential areas have been evaluated to find out the potential sites and then were selected as preferred sites.

Keywords: Siting, low-level waste, Jawa island

PENDAHULUAN

Kegiatan penelitian dan pemakaian teknologi nuklir di sektor-sektor industri, kesehatan, pertanian dan pendidikan telah berlangsung lama yang akhirnya telah pula menghasilkan limbah radioaktif dengan tingkat radioaktivitas yang beragam, dimana hal tersebut perlu dilakukan suatu pengelolaan limbah secara baik dan benar. Demikian pula dengan rencana introduksi pusat listrik tenaga nuklir di waktu yang akan datang diperkirakan akan meningkatkan volume limbah radioaktif dalam jumlah yang signifikan, terutama limbah-limbah radioaktif beraktivitas rendah-sedang. Hal ini dapat menyebabkan meningkatnya rasa ingin tahu dari masyarakat terhadap program pengelolaan limbah radioaktif, terutama dalam hal penyimpanan limbah karena ini sangat berkaitan erat dengan

Page 41: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565

Volume 14 Nomor 1 Juli 2011 (Volume 14, Number 1, July, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

35

kepedulian mereka terhadap keselamatan lingkungan. BATAN sebagai suatu badan penyelenggara pada penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi

nuklir di Indonesia harus mampu memberi jaminan pada aspek keselamatan penggunaan iptek nuklir kepada masyarakat luas terhadap segala dampak atas kegiatan yang dilakukannya. Sehingga berkaitan dengan program pengelolaan limbah radioaktif maka penentuan suatu lokasi penyimpanan limbah merupakan suatu kegiatan yang dimaksudkan untuk dapat mengantisipasi dampak dari kegiatan pengelolaan limbah radioaktif, sehingga hal ini benar-benar harus dipertimbangkan dengan baik dan program ini perlu diinisiasi. Penyimpanan limbah merupakan ujung belakang (back-end) dari suatu program pengelolaan limbah radioaktif.

Untuk menjamin rasa aman pada masyarakat terhadap aspek penyimpanan limbah maka secara internal persiapan program penyiapan tapak untuk disposal limbah radioaktif di pulau Jawa telah diinisiasi. Program ini juga ditujukan untuk mendorong rencana introduksi program PLTN di Indonesia, dan secara khusus program ini bertujuan untuk mencari dan menemukan suatu lokasi yang cocok dan aman untuk menyimpan limbah radioaktif di pulau Jawa, utamanya limbah-limbah yang beraktivitas rendah.

Pulau Jawa dipilih karena sebagian besar pengguna dan penimbul limbah (dari kegiatan industri, kesehatan, pertanian-pertambangan dan pendidikan) di Indonesia dengan skala yang cukup besar ada di pulau ini, walaupun ada juga beberapa berada diluar pulau Jawa [1]. Rencana penempatan PLTN pertama direncanakan ada di pulau Jawa untuk menopang kebutuhan energi listrik sehingga bila dilihat dari aspek resiko keselamatan dan keamanan transportasi limbah maka logislah bila lokasi penyimpanan limbah juga berada di pulau Jawa agar berdekatan dengan lokasi penimbul limbah. Program penyiapan tapak ini juga untuk mengantisipasi masalah penggunaan lahan yang semakin menyempit, mahal dan rumit karena masalah penyebaran penduduk, utamanya di pulau Jawa. Selain itu kegiatan ini juga dimaksudkan untuk menyempurnakan kegiatan penyiapan tapak yang ada di masa lalu[2-5]. Melalui program ini akan dapat diketahui ada atau tidaknya suatu tapak yang cocok dan aman di pulau jawa yang nantinya akan menjadi masukan yang sangat penting bagi manajemen BATAN untuk membuat kebijakan pengelolaan limbah radioaktif dalam jangka panjang. Untuk itu semua maka langkah-langkah penentuan dan penyiapan tapak disposal limbah radioaktif perlu disusun. PROGRAM PENYIAPAN TAPAK

Tahap penyiapan tapak disposal limbah radioaktif mengadopsi prosedur penyiapan tapak yang dipandukan oleh IAEA dan juga dari hasil penelaahan program penyiapan tapak dari beberapa negara kemudian dimodifikasi sesuai dengan kondisi geologi dan alam Indonesia. Tahapannya berupa (1) pembuatan konsep dan perencanaan, (2) pelaksanaan survei wilayah, (3) karakterisasi tapak dan (4) konfirmasi tapak [6-12]. TAHAPAN-TAHAPAN PENENTUAN TAPAK

1. Pembuatan Konsep dan Perencanaan.

1.a. Identifikasi faktor penting dalam kegiatan siting

Pada tahapan pembuatan konsep dan perencanaan, pengidentifikasian faktor-faktor yang dianggap penting pada kegiatan penyiapan tapak menjadi hal yang signifikan, karena hal ini akan berkaitan dengan peraturan dan perundangan yang berlaku disuatu negara yang diharapkan akan mendukung seluruh kegiatan seleksi tapak secara aspek hukum dan teknis [13-15], karena dari parameter-parameter yang dipakai akan menjadi dasar penyusunan kriteria dan standar yang nantinya akan digunakan pada kegiatan seleksi tapak disposal.

Berdasarkan acuan dari IAEA, negara-negara lain yang mempunyai kegiatan sejenis serta beberapa peraturan dari BAPETEN dan Kementerian Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan penyiapan tapak disposal limbah maka telah diperoleh beberapa parameter-parameter penting yang berkaitan dengan aspek geologi dan non-geologi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Beberapa parameter penting yang digunakan untuk menyusun criteria dan standar

No Parameter Fungsi

1. Geologi mengisolasi dan menjaga kestabilan sistem disposal LRA dengan volume yang cukup serta untuk membatasi adanya sebaran radionuklida ke biosfer

Page 42: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Budi Setiawan: Tahapan-Tahapan dalam Penentuan Tapak Disposal Limbah Radioaktif Aktivitas Rendah di Pulau Jawa

36

2. Hidrogeologi mengidentifikasi aliran dan flowpath air tanah di lokasi untuk mengupayakan penghambatan perpindahan radionuklida

3. Geokimia membatasi sebaran radionuklida dari fasilitas

4. Kegempaan mengidentifikasi potensi kegempaan di lokasi

5. Proses permukaan

mengidentifikasi proses-proses alam seperti banjir, longsor, erosi di lokasi

6. Meteorologi evaluasi kemungkinan kondisi meteorologi yang ekstrem di lokasi

7. Intrusi manusia prediksi kegiatan manusia di masa depan tidak mempengaruhi kemampuan isolasi sistem disposal

8. Transportasi mengidentifikasi rute pengangkutan dengan risiko yang minimal terhadap masyarakat

9. Tata guna lahan prediksi/perkiraan perkembangan dan rencana tata ruang wilayah pada wilayah yang diinginkan

10. Kependudukan prediksi bahaya yang masih dapat diterima oleh masyarakat potensial pada masa kini dan yang akan datang dari adanya sistem disposal

11. Perlindungan alam kemampuan lingkungan untuk melindungi dirinya selama masa hidup (lifetime) fasilitas

Dari parameter penting yang ditetapkan kemudian disusun suatu kriteria dan standar yang berkesesuaian dengan kepentingan dan kondisi lokal. Kriteria dan standar yang disusun mempunyai aspek-aspek yang lebih rinci berkaitan dengan masalah geologi dan non-geologi yang berhubungan dengan aspek keselamatan dan keamanan. Kriteria yang dibuat akan berfungsi sebagai faktor penapis terhadap informasi, data dan wilayah yang tidak disukai untuk memperoleh wilayah dan lokasi yang diinginkan dan kemudian akan dipilih sebagai lokasi terpilih untuk suatu fasilitas disposal limbah radioaktif. Dimana faktor penapis dapat berupa kriteria penolak dan kriteria pembanding. Kriteria penolak akan berisi parameter yang apa bila hal itu ada atau ditemui di suatu wilayah/lokasi maka wilayah/lokasi itu akan seketika tertolak (rejected) sebagai wilayah/lokasi disposal yang

dipertimbangkan. Sedangkan faktor pembanding berupa parameter-parameter pembanding yang akan dipakai untuk menilai dan membandingkan suatu wilayah/lokasi dengan wilayah/lokasi yang lain, dengan cara pembobotan/pengharkatan (scoring) akan diperoleh wilayah/lokasi yang lebih cocok dan sesuai untuk lokasi disposal. Beberapa contoh parameter faktor penolak dan pembanding ditunjukkan pada Tabel 2 dan Tabel 3. Tabel 2. Beberapa contoh parameter faktor penolak

No Parameter

1. Dimensi tapak < 1 x 1 km2

2. Kelulusan air host rock

3. Host rock retak dan bukan absorbent

4. Berdekatan dengan patahan

5. Dampak patahan > 400 gal

6. Dampak seismik > 400 gal

7. Diterjang lava, lahar, awan panas dalam radius 1 km

8. Bersisian dengan badan akuifer

9. Dekat dengan cebakan tambang

10. Potensi liquefaction dll.

Tabel 3. Beberapa contoh parameter faktor pembanding

No Parameter

1. Ketebalan sedimen abu vulkanik

2. Sejarah dampak kegempaan

3. Dampak patahan

Page 43: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565

Volume 14 Nomor 1 Juli 2011 (Volume 14, Number 1, July, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

37

4. Tsunami

5. Banjir laut dan sungai

6. Tornado dan petir

7. Kedekatan dengan badan akuifer dan cebakan tambang

8. Kepadatan penduduk < 1000 jiwa/km2

9. Jarak dari fasilitas militer dan peluncuran roket

10. Jarak dari jalan utama, dll.

Faktor-faktor penolak dan pembanding ini dikenakan pada wilayah yang ditetapkan untuk mengevaluasi kecocokan dan keselamatan wilayah menjadi wilayah potensial, kemudian menjadi calon tapak potensial sampai akhirnya terpilih menjadi suatu tapak potensial. 1.b. identifikasi host rock potensial

Pulau Jawa dengan karakter alamnya yang bercurah hujan serta kelembaban yang tinggi [16], serta jenis tanah/batuannya yang mudah retak maka host rock yang berkonduktivitas hidrolik rendah (10

-7 m/s) seperti lempung dapat diusulkan sebagai calon host rock untuk fasilitas penyimpanan limbah

radioaktif di pulau Jawa. Peta curah hujan Indonesia ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Peta rerata curah hujan di Indonesia

Batuan/tanah lempung adalah salah satu jenis host rock untuk fasilitas disposal penyimpanan

limbah di dunia karena sifatnya yang tidak lulus air/imparmeable [17,18] akan dapat mengkontrol aliran air tanah secara baik dan selain itu juga mempunyai sifat serap/sorpsi radionuklida yang baik [19-22] sehingga penggunaan batuan/tanah lempung akan memberikan suatu keuntungan tersendiri bagi keselamatan fasilitas penyimpanan limbah radioaktif terhadap lingkungan sekitarnya. Adanya sifat-sifat yang baik ini tentunya diharapkan akan juga memberikan hal yang baik pula bila suatu saat digunakan batuan/tanah lempung sebagai host rock untuk fasilitas penyimpanan limbah di pulau Jawa.

1.c. identifikasi wilayah yang dimungkinkan

Dengan menggunakan peta-peta geologi, rupa bumi, tataguna lahan, lexicon stratigraphy untuk pulau Jawa dan gambar citra satelit [23-28], maka dari desk-top study telah diperoleh beberapa daerah yang dikenali sebagai daerah yang berbasis lempung seperti daerah: Karawang, Subang, Majalengka

Page 44: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Budi Setiawan: Tahapan-Tahapan dalam Penentuan Tapak Disposal Limbah Radioaktif Aktivitas Rendah di Pulau Jawa

38

(di Jawa Barat), Rembang (di Jawa Tengah) dan Tambakrogo, Tuban dan Madura (di Jawa Timur) [29]. Dari kegiatan-kegiatan sebelumnya yang diketahui ada beberapa wilayah potensial yang

ditunjuk sebagai calon lokasi penyimpanan limbah seperti daerah: Karimunjawa (P. Genting dan P. Parang, batuan basalt), Masalembo (P. Masalembu dan P. Keramaian, batuan andesit) bekerjasama dengan pihak universitas, Semenanjung Muria (batuan vulkanik), PPTN Serpong (batuan vulkanik) [2-5] sehingga secara keseluruhan telah diketahui ada 14 wilayah potensial yang dikenali dan akan dievaluasi.

Untuk penyelidikan terhadap wilayah-wilayah potensial yang telah dikenali maka dilakukan suatu kegiatan survei lapangan yang dimaksudkan untuk menghimpun data dan informasi yang berkaitan dengan kriteria dan standar pemilihan lokasi disposal. Data tersebut dikumpulkan secara hati-hati dan kemudian diklasifikasikan sesuai dengan parameter yang diinginkan agar dapat dievaluasi untuk mendapatkan wilayah potensial. Proses penapisan selanjutnya terhadap wilayah potensial digunakan faktor pembanding untuk memperoleh lokasi potensial dan terakhir dipilih sejumlah lokasi tertentu yang mempunyai nilai terbaik untuk diranking sebagai urutan lokasi terpilih. Secara ringkas proses penapisan suatu wilayah yang telah dikenali sampai terpilihnya tapak terpilih untuk pulau Jawa dapat ditunjukkan pada Gambar 2.

1.d. menetapkan tujuan penyelidikan

Kegiatan terakhir dari pembuatan konsep dan perencanaan adalah menetapkan rencana keseluruhan dan tujuan dari kegiatan siting serta penetapan kriteria dan standar yang akan digunakan pada masing-masing tahap kegiatan.

2. Survei Wilayah

Mempunyai tujuan untuk mengidentifikasi satu atau lebih lokasi yang dianggap potensial untuk disposal limbah radioaktif, dimana kegiatan penapisan terhadap suatu wilayah yang dimungkinkan harus dilakukan secara sistematis yang nantinya akan menghasilkan wilayah potensial. Pada tahapan ini perlu pertimbangan hal-hal yang berkaitan dengan perekayasaan, operasional, sosioekonomi dan lingkungan.

Tahap survei wilayah mencakup 2 fase kegiatan, yaitu pemetaan wilayah untuk mengidentifikasi wilayah yang diperkirakan cocok sebagai lokasi-lokasi disposal yang potensial, dan proses penapisan untuk menseleksi lokasi-lokasi yang potensial untuk tahap evaluasi selanjutnya.

Pada kegiatan ini akan dilakukan pemetaan wilayah, dimana kegiatan pengumpulan dan evaluasi data sekunder dari wilayah-wilayah memungkinkan (terutama yang berbasis lempung) yang ada di pulau Jawa dilakukan, termasuk data dari wilayah-wilayah yang telah ditunjuk sebelumnya. Wilayah-wilayah yang dimungkinkan ini kemudian diadakan kegiatan observasi secara visual ke lapangan untuk dilakukan cross-check dengan hasil pekerjaan desk-top study. Data yang bersifat

geologis dan non-geologis yang diperoleh dari kegiatan survei lapangan kemudian di kumpulkan dan diklasifikasikan sesuai dengan parameter tertentu untuk dievaluasi dengan kriteria penolak sehingga akan diperoleh wilayah-wilayah yang tertolak dan yang diterima. Untuk wilayah-wilayah yang dapat diterima selanjutnya disebut sebagai wilayah potensial.

Page 45: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565

Volume 14 Nomor 1 Juli 2011 (Volume 14, Number 1, July, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

39

Gambar 2. Proses penapisan suatu wilayah yang dikenali untuk pulau Jawa

Parameter yang digunakan pada saat pemetaan wilayah berdasarkan faktor-faktor yang

Page 46: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Budi Setiawan: Tahapan-Tahapan dalam Penentuan Tapak Disposal Limbah Radioaktif Aktivitas Rendah di Pulau Jawa

40

diinginkan, kemudahan petunjuk pelaksanaan dan ketersediaan data wilayah/lokasi. Adanya persyaratan, peraturan dan petunjuk yang khusus harus pula dipertimbangkan dan digunakan dalam parameter pemetaan wilayah yang cocok untuk suatu fasilitas disposal limbah radioaktif. Secara sederhana, pemetaan wilayah dimulai dari suatu wilayah yang luas yang mempunyai kondisi geologi, struktur, hidrologi, geohidrologi dan cuaca yang favourable yang ada di wilayah tersebut, dan pada kegiatan selanjutnya kondisi yang diinginkan dikerucutkan menjadi wilayah yang lebih sempit dan akhirnya menjadi suatu wilayah yang lebih cocok untuk keperluan fasilitas disposal.

Beberapa wilayah-wilayah potensial yang diperoleh pada tahap ini kemudian ditapis kembali dengan menggunakan kriteria penolak dengan cakupan wilayah dan standar harga/nilai yang lebih detil, hasil yang diperoleh kemudian dibandingkan satu dengan lainnya berdasarkan data/identifikasi wilayah yang didapat saat survei ke lapangan. Penilaian evaluasi dengan cara pembandingan diperoleh setelah kriteria yang diperoleh diberi bobot dari nilai terjelek sampai terbaik dengan rentang nilai yang disesuaikan dengan rentang bobot yang diinginkan. Hasil penjumlahan dari nilai yang diperoleh kemudian diurutkan menjadi tapak potensial. Disini ada sejumlah wilayah dan lokasi yang tersisih dari evaluasi, daerah yang diterima atau lolos dari tahap penapisan ini disebut sebagai tapak potensial. Tapak potensial diperoleh dari hasil kerja identifikasi diantara lokasi-lokasi yang berada pada wilayah yang bersesuaian.

Dari hasil perolehan tapak potensial kemudian dipilih beberapa lokasi terpilih (tergantung berapa lokasi terpilih yang akan diusulkan, biasanya < 5 lokasi). Lokasi terpilih merupakan hasil seleksi lanjutan dari tapak potensial dengan menggunakan standar pembanding yang lebih detil yang dapat mencerminkan adanya akibat timbal balik antara rona/informasi antara yang berada diluar dan didalam lokasi yang diselidiki, yang dapat berpengaruh dan mempengaruhi terhadap lokasi-lokasi yang diusulkan sebagai tempat fasilitas disposal. Dengan meggunakan cara yang seperti ini, proses penapisan akan menghasilkan identifikasi (calon) lokasi terpilih yang kemudian akan diuji dalam tahapan selanjutnya yaitu karakterisasi tapak.

Kondisi aktual dari desk-top study wilayah berbasis lempung yang ada di pulau Jawa telah diperoleh 9 wilayah potensial yang ada di Banten (Serang, Serpong), di Jawa Barat (Karawang, Subang, Sumedang dan sekitarnya), di Jawa Tengah (Jepara dan Rembang) dan di Jawa Timur (Tuban dan Madura) [29] setelah dilakukan penapisan wilayah diperoleh 6 wilayah potensial yaitu wilayah di kabupaten Serang, Serpong, Sumedang, Jepara, Rembang dan Tuban [30]. Wilayah potensial dengan tapak-tapak potensial inilah yang terus didalami untuk nantinya akan diperoleh beberapa tapak potensial dan akhirnya menjadi tapak terpilih.

KESIMPULAN

Introduksi PLTN pertama di Indonesia akan meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap masalah keselamatan lingkungan, seperti misalnya program disposal. Dengan mengadopsi prosedur penyiapan tapak IAEA, hasil review dari beberapa negara dan peraturan nasional yang ada, secara internal persiapan program penyiapan tapak untuk disposal limbah radioaktif terus didiskusikan secara intensif. Kegiatan penyiapan tapak yang sedang dilakukan juga dimaksudkan untuk melengkapi kegiatan-kegiatan penyiapan tapak terdahulu. Dengan mempertimbangkan kondisi lokal pulau Jawa maka batuan lempung dipertimbangkan sebagai host rock untuk fasilitas disposal limbah, dan beberapa informasi yang berkaitan dengan wilayah potensial yang ada di pulau Jawa terus dikumpulkan dan dievaluasi secara hati-hati untuk mendapatkan lokasi potensial. Dengan mengikuti prosedur penyiapan tapak akan di evaluasi beberapa area potensial kemudian untuk memperoleh lokasi-lokasi yang potensial yang akhirnya menjadi lokasi-lokasi terpilih. DAFTAR PUSTAKA

[1]. Muziyawati, A., Data Hasil Pengolahan Limbah Padat Tahun 2007-2010, PTLR - BATAN, Tidak

dipublikasi (2010) [2]. ITB, Preliminary Site Investigation for Radioactive Waste Repositories (Masalembu Islands), ITB-

Bandung 1989 [3]. ITB, Preliminary Survey at Genting and Parang Islands for The location of Radioactive Waste

Repository, ITB-Bandung 1990 [4]. Sucipta, Evaluasi Pendahuluan Geologi Lingkungan Untuk Calon Lokasi Penyimpanan Limbah

Radioaktif PLTN Daerah Muria Bagian Utara, Pros. Seminar Teknol. dan Keselamatan PLTN, PPTKR/PRSG-BATAN, Serpong, DBBL2-1 (1995).

Page 47: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565

Volume 14 Nomor 1 Juli 2011 (Volume 14, Number 1, July, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

41

[5]. Sucipta, Pemilihan Tapak Penyimpanan Limbah Radioaktif di Kawasan PUSPIPTEK Serpong, J.Teknol. Pengelolaan Limbah Vol.9(2), p.28 (Des. 2006)

[6]. IAEA, Classification of Radioactive Waste, Safety Standards Series GSG-1, IAEA-Vienna (2009) [7]. IAEA, Near Surface Disposal of Radioactive Wastes, Safety Series No. 111-S.3, IAEA, Vienna,

(1994) [8]. IAEA, Siting of Near Surface Disposal Facilities, Safety Series No. 111-G-3.1, IAEA-Vienna (1994) [9]. IAEA, , Site Investigations for Repositories for Solid Radioactive Wastes in Shallow Ground

Technical Reports Series No. 216, IAEA, Vienna, (1982) [10]. IAEA, Design, Construction Operation and Closure of Near Surface Repositories, Safety Series

No. 111-G-3.2, IAEA-Vienna (1994) [11]. Schaller, A., Site Selection of Low And Intermediate Level Radioactive Waste Repository In The

Republic of Croatia, APO - Hazardous Waste Management Agency, Zagreb-Croatia (1996) [12]. Dept. of Primary Industries and Energy, A Radioactive Waste Repository For Australia Site

Selection Study-Phase 3, Reg. Assess., A Public Discussion Paper, Canberra-Australia (1997) [13]. Peraturan Kepala BAPETEN No. 03/Ka.BAPETEN/V-99, tentang Petunjuk Keselamatan

Pengelolaan Limbah Radioaktif, BAPETEN-Jakarta (1999) [14]. Peraturan Pemerintah No. 27/2002 tentang Pengelolaan Limbah Radioaktif, BAPETEN-Jakarta

(2002) [15]. UU No.23/1997 Pengelolaan Lingkungan Hidup, Kementerian Lingkungan Hidup, Jakarta (1997) [16]. Dep. Dalam Negeri, Peta Curah Hujan Tahunan, skala 1:2.500.000, Dir.Tata Guna Tanah, Dirjen

Agraria-Depdagri, September 1981. [17]. www.world-nuclear.org/info/inf94.html, Nuclear Power in Belgium (August 2007) [18]. www.uic.com.au/nip28.htm, Nuclear Power in France, Briefing Paper 28 (Dec 2007) [19]. Setiawan, B., Karakterisasi Migrasi Radionuklida Dalam Lempung (Clay) Tipikal p. Jawa Pada

Sistem Penyimpanan Limbah Radioaktif, Laporan Riset Insentif Diknas – Kementerian Pendidikan Nasional, Jakarta (2009)

[20]. Setiawan, B., Karakterisasi Keandalan Host Rock Jenis Konduktivitas Hidrolik Rendah Tipikal p. Jawa Sebagai Calon Wilayah Potensial Untuk Penyimpanan Akhir Limbah Radioaktif (daerah Subang), Laporan Riset Insentif PKPP Tahun 2010 – Kementerian Negara Riset dan Teknologi, Jakarta (2010)

[21]. Wendling LA ., et.al., Cesium Sorption Illite, Clay and Clay Minerals Vol. 52 No. 3, 375-381 (2004)

[22]. Setiawan, B., Potencies of Kaolinite and Bentonite Clays as Candidate of Buffer Materials for Radwaste Disposal System, Proc. 2nd Int. Conference on Math. and Natural Scie., ITB-Bandung 28-30 Oktober 2008

[23]. Amin, TC., Ratman N., Gafoer S., Peta Geologi Lembar Jawa Bagian Barat skala 1: 500.000. Puslitbang Geologi, Bandung-Indonesia (1998)

[24]. Amin, TC., Ratman N., Gafoer S., Peta Geologi Lembar Jawa Bagian Tengah skala 1: 500.000. Puslitbang Geologi, Bandung-Indonesia (1999)

[25]. Amin, TC., Ratman N., Gafoer S., Peta Geologi Lembar Jawa Bagian Timur skala 1: 500.000. Puslitbang Geologi, Bandung-Indonesia (1998, 1999).

[26]. Harahap, B., et.al., Stratigraphic Lexicon of Indonesia 1st ed., Geology R&D Center, Bandung-

Indonesia (2003). [27]. Van Bemmelen, RW., The Geology of Indonesia, Vol. 1A, Martinus Nijhoff, The Hague., (1949) [28]. Google Earth, Europa Technologies (2008) [29]. Setiawan, B. dkk, Penyiapan Tapak Penyimpanan Lestari Limbah Radioaktif di Pulau Jawa dan

Sekitarnya, Prosid. Seminar Teknologi Pengelolaan Limbah VI, ISSN 1410-6086, PTLR-BATAN, Serpong 24 Juni 2008

[30]. Sucipta, Setiawan, B., Pratomo, BS., Suganda, D., Pemilihan Wilayah Potensial Untuk Disposal Limbah Radioaktif di Pulau Jawa dan Sekitarnya, J. Teknologi Pengelolaan Limbah, Volume 13 No. 1 Juni 2010, ISSN 1410-9565, Nomor Akreditasi : 452/D/2010 (2010)

Page 48: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565

Volume 14 Nomor 1 Juli 2011 (Volume 14, Number 1, July, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

42

PARAMETER-PARAMETER PENTING PADA INTERAKSI RADIOCESIUM DENGAN BENTONIT

Budi Setiawan

Pusat Teknologi Limbah Radioaktif – BATAN, Kawasan PUSPIPTEK, Serpong-Tangerang 15310

ABSTRAK

PARAMETER-PARAMETER PENTING PADA INTERAKSI RADIOCESIUM DENGAN BENTONIT. Untuk menanggulangi adanya migrasi radionuklida dari suatu fasilitas disposal ke lingkungan maka bahan penyangga seperti bentonit diletakkan disekeliling fasilitas tersebut. Bahan penyangga yang digunakan biasanya mempunyai konduktivitas hidrolik yang rendah dan bersifat sebagai penyerap ion logam/radionuklida yang baik. Sedangkan radiocesium digunakan karena sebagai radionuklida acuan untuk limbah radioaktif aras rendah-sedang. Tujuan dari makalah ini adalah mengkaji beberapa parameter yang biasanya digunakan pada penelitian interaksi antara radionuklida/ion logam dengan sampel bentonit. Untuk maksud tersebut biasanya metode catu diadopsi dalam kegiatan ini, dan penelitian dilakukan dengan parameter percobaan yang bervariasi seperti berat massa bentonit, konsentrasi ion logam, kekuatan ion larutan, pH yang berbeda serta pengamatan terhadap isoterm sorpsi yang terjadi. Hasilnya menunjukkan bahwa meningkatnya waktu kontak, massa bentonit dan pH larutan akan menaikkan banyaknya cesium yang terserap di contoh bentonit sampai dicapai nilai yang konstan, sedangkan meningkatnya konsentrasi ion logam, kekuatan ion larutan dapat menurunkan koefisien distribusi dari cesium ke contoh bentonit. Isoterm sorpsi yang mengikuti hukum Freundlich dapat memberikan indikasi tentang heterogenitas permukaan dari bentonit. Kata kunci: cesium, bentonit, interaksi, parameter-parameter

ABSTRACT

IMPORTANT PARAMETERS ON INTERACTION OF RADIOCESIUM WITH BENTONIT. To overcome the radionuclides migration from a disposal facility to environment, buffer material such as bentonite material is placed in surrounding of facility. Buffer material usually has low hydraulic conductivity and as a good absorbent of metal ions/radionuclides. Radiocesium is applied due to as reference radionuclide for low intermediate-level radwaste. Objective of the paper was to review some using parameters usually applied on the interaction of radionuclides/metal ions with bentonite samples. For that purpose batch method was adopted in the experiment, and the experiments were done under various conditions such as different of mass weight of bentonit, metal ion concentrations, ionic strength of solution, pH and also observation to sorption isotherm. The results showed that increasing in contact time, mass of bentonite and pH will increase the amount of cesium sorbed onto bentonit samples until its reached constant value, however increasing in metal ion concentrations, ionic strength could decrease distribution coefficient of cesium into bentonite sample. Sorption isotherm of cesium followed Freundlich law gave indicator of the dergree of heterogeneity of the mineral surface of bentonit.

Keywords: cesium, bentonite, interaction, parameters

PENDAHULUAN

Kemungkinan terjadinya radionuklida hasil belah seperti Cs-137 release ke lingkungan membuat

setiap peneliti keselamatan fasilitas disposal limbah radioaktif selalu berpikir tentang opsi jenis disposal yang akan diadopsi untuk merancang disain bangunan fasilitas disposal. Untuk meningkatkan sifat isolatif dari suatu fasilitas disposal maka fasilitas tersebut dapat dikelilingi oleh bahan inorganik alami sebagai bahan penyangga. Bahan penyangga alami seperti bentonit umumnya digunakan yang diletakkan disekeliling fasilitas tersebut [1]. Bahan penyangga/bentonit yang digunakan mempunyai sifat konduktivitas hidrolik yang rendah akan berperan penting sebagai pengontrol laju air tanah, selain itu bentonit juga mempunyai kemampuan untuk menggelembung (swelling) ketika melakukan kontak

Page 49: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Budi Setiawan: Parameter-Parameter Penting pada Interaksi Radiocesium dengan Bentonit

43

dengan air tanah dan bersifat plastis sehingga diharapkan dapat menyumbat serta mengisi pori atau retakan disekitar fasilitas [2]. Sifat lain yang menonjol adalah mempunyai kemampuan serap ion logam/radionuklida di air tanah yang baik sehingga diharapkan akan memberikan keuntungan sebagai bahan penghambat migrasi radionuklida dari fasilitas penyimpanan akhir limbah radioaktif (PA-LRA) ke lingkungan [3]. Kemungkinan terjadinya radionuklida lepas dari fasilitas disposal limbah radioaktif ke lingkungan melalui jalur tanah, air (migrasi) maupun udara merupakan kejadian yang sangat tidak diinginkan oleh siapapun sehingga subjek mengenai kemampuan tanah dan batuan sebagai host dari

diposal maupun sebagai bahan penyangga di sistem penyimpanan limbah untuk menghambat migrasi radionuklida menjadi penting untuk dipelajari. Bahan alam seperti bentonit digunakan karena murah, mudah diperoleh dan secara kuantitatis cukup berlimpah tersedia di Indonesia khususnya P. Jawa [4].

Sedangkan radiocesium digunakan karena sebagai radionuklida acuan untuk limbah radioaktif aras rendah-sedang dengan umur paro yang relatif panjang (+ 30 tahun) sehingga diperkirakan dapat memberikan masalah radioekologis pada lingkungan [5]. Selain itu sifatnya yang mirip dengan ion K sehingga diperkirakan mudah berasimilasi dengan sistem yang ada di lingkungan seperti tumbuhan dan organisme lainnya di permukaan dan akuatik [6]. ISecara umum, banyaknya radiocesium terserap di tanah, batuan atau sedimen tergantung dari besarnya kapasitas serap dari fase padatan [7]. Mineral lempung seperti bentonit diharapkan mampu menyerap radiocesium tersbut sehingga dapat menghambat mobilitasnya ke lingkungan. Hal inilah sebagai salah satu sebab dari penggunaan lempung/bentonit sebagai penghalang/ penyangga di fasilitas disposal limbah radioaktif.

Metode catu umumnya diadopsi dalam penelitian tentang interaksi radiocesium dengan bahan penyangga/bentonit, dan parameter percobaan yang digunakan dengan variasi konsentrasi yang beragam seperti berat massa bentonit, konsentrasi ion logam/CsCl, kekuatan ion larutan/NaCl, pH yang berbeda serta pengamatan terhadap isotherm sorpsi yang terjadi [8-17].

Pengkajian ini perlu dilakukan untuk mengetahui secara jelas parameter-parameter penting yang biasa digunakan untuk meneliti kemampuan bentonit menyerap/menghambat kemungkinan adanya migrasi radionuklida dari suatu fasilitas disposal limbah radioaktif melalui jalur tanah atau air tanah ke lingkungan. Sehingga potensi kemungkinan pemanfaatan bentonit alam lokal Indonesia untuk digunakan sebagai bahan penyangga pada fasilitas penyimpanan limbah radioaktif dapat dipelajari lebih rinci dimasa yang akan datang karena sampai saat ini data potensi sorpsi radionuklida oleh bentonit asli Indonesia masih sangat minim. Kegiatan ini termasuk dalam kegiatan penelitian pengelolaan limbah radioaktif dimana salah satunya adalah kegiatan penelitian tentang kemungkinan pemanfaatan mineral alam lokal untuk bahan penyangga pada sistem penyimpanan limbah radioaktif yang merupakan salah satu Tugas Pokok dan Fungsi (TUPOKSI) yang penting dilaksanakan di Satuan Kerja Pusat Teknologi Limbah Radioaktif - Badan Tenaga Nuklir Nasional (PTLR-BATAN), berdasarkan Peraturan Ka.BATAN No.123/KA/VIII/2007 tentang Organisasi Tata Laksana [18]. TATA KERJA

Pengkajian dilakukan dengan cara studi pustaka melalui penelusuran makalah-makalah hasil penelitian terdahulu atau laporan hasil penelitian dan kemudian dilakukan analisis data sekunder yang diperoleh dari hasil penelusuran. Data yang diperoleh kemudian dikelompokkan, dianalisis dan dievaluasi berdasarkan parameter-parameter yang diperoleh dengan memperhatikan besaran koefisien distribusi atau banyaknya serapan radiocesium oleh contoh bentonit yang terjadi. Koefisien distribusi (Kd) diperoleh dari perbandingan banyaknya ion logam/radiocesium yang terserap di fase padatan dibandingkan dengan yang tersisa di larutan [19],

W

Vx

A

A

C

CKd

l

s 1][

][

larutan fase di tersisalogamion banyaknya

padat fase di terseraplogamion banyaknya 0

dimana Cs adalah konsentrasi radionuklida pada fasa padat (mol/g), Cl adalah konsentrasi radionuklida

pada fasa cair (mol/ml), A0 adalah aktivitas awal radionuklida ( Ci/ml), At adalah aktivitas akhir

radionuklida ( Ci/ml), V adalah volume larutan (ml), W adalah berat padatan (g). Kegiatan pengkajian ini dilakukan di Pusat Teknologi Limbah Radioaktif pada tahun 2011 sebagai kegiatan pendukung dari Program Insentif Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa Tahun 2011.

Page 50: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565

Volume 14 Nomor 1 Juli 2011 (Volume 14, Number 1, July, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

44

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ketergantungan banyaknya radiocesium dapat terserap oleh contoh bentonit dilakukan dengan mengontakkan massa bentonit yang divariasikan dari 5 sampai 50 g/dm

-3 dengan larutan CsCl dengan

3 konsentrasi yang berbeda seperti ditunjukkan pada Gambar 1. Hasilnya menunjukkan bahwa nilai Kd meningkat dengan meningkatnya konsentrasi bentonit yang berfungsi sebagai penyerap sampai dicapai suatu kondisi koefisien distribusi yang konstan, sedangkan meningkatnya konsentrasi CsCl di larutan dapat memberikan nilai Kd yang lebih rendah dibandingkan dengan konsentrasi CsCl yang lebih rendah. Hal ini disebabkan dengan meningkatnya konsentrasi penyerap akan meningkatkan pula site pertukaran di bentonit untuk melakukan penyerapan ion logam/radiocesium, sedangkan meningkatnya konsentrasi ion logam di larutan akan membuat kapasitas site pertukaran pada bentonit segera jenuh dan akan menyisakan ion logam yang lebih banyak dilarutan [8-10].

Gambar 1. Nilai Kd sebagai fungsi perubahan konsentrasi bahan penyerap/ bentonit

Sorpsi radionuklida kedalam suatu sampel tanah/batuan selalu membutuhkan waktu yang cukup

untuk dapat mencapai kondisi yang setimbang, untuk itu biasanya dilakukan percobaan penentuan kinetika sorpsi atau waktu kontak antara suatu radionuklida dengan contoh tanah/batuan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2. Nilai Kd pada awal pengontakkan beranjak meningkat sampai mencapai waktu kontak tertentu nilai Kd menjadi mendatar yang menunjukkan telah tercapainya kondisi kesetimbangan antara radionuklida yang “masuk” dan “keluar” bentonit. Cepat lambatnya kondisi kesetimbangan tercapai akan tergantung dari kapasitas serap tanah/batuan serta besar-kecilnya konsentrasi radionuklida/cesium di larutan. Hasil dari waktu kontak yang diperoleh akan digunakan sebagai waktu acuan untuk pengontakkan pada parameter selanjutnya [8,11-14].

Page 51: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Budi Setiawan: Parameter-Parameter Penting pada Interaksi Radiocesium dengan Bentonit

45

Gambar 2. Pengaruh waktu kontak pada nilai Kd bentonit

Penelitian pengaruh konsentrasi ion logam/CsCl terhadap sorpsi CsCl ke contoh bentonit

biasanya dilakukan dengan cara memvariasi konsentrasi awal CsCl di larutan yang kemudian dikontakkan ke bentonit, dimana rentang konsentrasi awal yang diberikan antara 10

-9 sampai 10

-3 M

CsCl. Pengontakan antara larutan yang mengandung CsCl dengan sampel bentonit dilakukan dengan waktu yang tertentu sesuai dengan hasil analisis waktu kontak yang optimum. Hasil dari pengaruh konsentrasi CsCl terhadap sorpsi CsCl oleh bentonit dapat ditunjukkan pada Gambar 3. Terlihat bahwa secara umum nilai Kd akan menurun/berkurang seiring dengan bertambahnya konsentrasi CsCl di larutan. Nilai Kd akan menurun tajam bersamaan dengan meningkatnya konsentrasi CsCl menuju nilai kejenuhan yang lebih rendah, hal ini menunjukkan bahwa factor kejenuhan dari kapasitas serap/tukar ion dari site akan berpengaruh sehingga sebagian dari CsCl yang diberikan sebagai konsentrasi awal CsCl akan tersisa di larutan dan ini dapat menurunkan nilai Kd CsCl oleh bentonit. [11,13,15,16].

Page 52: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565

Volume 14 Nomor 1 Juli 2011 (Volume 14, Number 1, July, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

46

Gambar 3. Pengaruh konsentrasi cesium terhadap nilai Kd bentonit

Pengaruh kekuatan ionic larutan dapat diketahui dengan cara pengontakkan antara radiocesium dengan contoh bentonit dalam kondisi larutan mempunyai konsentrasi NaCl yang bervariasi yang berperan sebagai garam latar. Nilai serap dari radiocesium oleh contoh bentonit terlihat menurun seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4, hal ini disebabkan telah terjadinya netralisasi site pertukaran dari bentonit oleh ion-ion sodium yang ada disekitar contoh bentonit sehingga adanya ion-ion logam lain seperti ion Cs yang akan berinteraksi dengan bentonit akan berkompetisi dengan sodium yang ada disekitar contoh bentonit. Gangguan adanya ion sodium di larutan telah mampu menurunkan banyaknya ion cesium yang dapat berinteraksi dengan bentonit [12,15,17].

Gambar 4. Pengaruh kekuatan ionic larutan terhadap nilai Kd bentonit

Kondisi keasaman dari larutan/air tanah ternyata dapat pula mempengaruhi banyaknya ion logam yang dapat terserap oleh bentonit. Hasil sorpsi CsCl dengan konsentrasi 7,5 x 10

-4, 1,5 x 10

-3

dan 3 x 10-3

M CsCl dalam larutan dengan pH larutan yang divariasi dari 6 sampai 10 ditunjukkan pada Gambar 5. Pada pH larutan yang rendah (asam) nilai sorpsi yang diperoleh kecil, sedangkan dengan semakin meningkatnya pH larutan maka nilai sorpsi dari CsCl ke bentonit juga meningkat hal ini disebabkan karena terjadinya kompetisi antara ion logam dengan ion-ion hydrogen yang berperan

Page 53: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Budi Setiawan: Parameter-Parameter Penting pada Interaksi Radiocesium dengan Bentonit

47

sebagai site pertukaran atau karena meningkatnya deprotonasi gugus aluminol pada bentonit telah menyebabkan site pertukaran di bentonit semakin terbuka untuk berinteraksi dengan ion-ion logam yang ada di larutan [8,9,12].

Gambar 5. Pengaruh pH larutan terhadap nilai Kd bentonit

Variasi konsentrasi awal CsCl yang dikontakkan dengan bentonit telah memberikan nilai Kd yang menurun dan membentuk pola yang tidak lurus seperti pada Gambar 3, sedangkan isoterm sorpsinya akan ditunjukkan dengan mem-plotkan data antara banyaknya ion Cs yang terserap di padatan per-unit massa padatan, xCs (mol/g bentonit) terhadap banyaknya konsentrasi ion Cs di larutan (mol/ml) dalam bentuk skala logaritma. Walaupun nilai Kd berkurang bersamaan dengan meningkatnya konsentrasi awal Cs di larutan, tetapi banyaknya ion Cs yang terserap di padatan/bentonit telah meningkat sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 6. Hasil regresi yang linier terlihat pada grafik log vs log untuk seluruh data Cs yang terserap di bentonit dan Cs yang tersisa di larutan, hal ini mengindikasikan bahwa isotherm sorpsi yang terjadi telah mengikuti isotherm Freundlich di sepanjang rentang consentrasi awal yang diberikan [11,15,17].

Gambar 10. Isoterm sorpsi dari ion Cs yang ada di larutan [Cs] dan yang ada di bentonit, xCs

Page 54: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565

Volume 14 Nomor 1 Juli 2011 (Volume 14, Number 1, July, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

48

KESIMPULAN

Dari kajian interaksi antara radiocesium dengan bentonit terlihat bahwa parameter-parameter penting yang perlu didapatkan datanya adalah selain perbandingan massa padatan dan cairan juga parameter tentang waktu kontak yang akan dipakai sebagai waktu kontak pada pencarian data parameter selanjutnya. Selain itu interaksi Cs dengan kondisi konsentrasi Cs yang divariasi perlu diperoleh untuk mendapatkan kecenderungan pola sorpsi dari bentonit pada waktu bahan bentonit tersebut menyerap ion logam/ CsCl dari larutan. Nilai Kd dari bentonit akan menurun dengan meningkatnya kekuatan ionic di larutan akibat terjadinya kompetisi antara garam latar dengan ion logam/CsCl. Keasaman larutan dapat meningkatkan nilai Kd karena terjadinya kompetisai antara ion logam dengan ion-ion hydrogen di site pertukaran bentonit dan adanya protonisasi pada kerangka bentonit. Slope log-log plot dari banyaknya ion logam yang terserap di bentonit dan yang tersisa di larutan yang mengikuti pola Freundlich dapat memberikan indikasi tentang derajat heterogenitas permukaan mineral dari bentonit. DAFTAR PUSTAKA

[1]. Cornell, RM., Adsorption of cesium on minerals: A review. J Radioanal Nucl Chem 171, p.483-500 (1993).

[2]. IAEA, Use of Local Mineral in The Treatment of Radioactive Waste, TRS No. 136, IAEA-Vienna (1972).

[3]. Rousseau JP., et.al., Review of the Transport of Selected Radionuclides in the Interim Risk Assessment for the Radioactive Waste Management Complex, Idaho National Engineering and Environmental Laboratory, Idaho, Volume II, USGS Scientific Investigations Report 2005-5026, 2005

[4]. Dir. SDM, Peta Sebaran Mineral Industri dan Batuan Indonesia, skala 1: 5000.000, (1990). [5]. Suryanto, Radionuklida Acuan Pada Analisis Keselamatan Penyimpanan Limbah Radioaktif,

Prosid. Pertemuan dan Presentasi Ilmiah I, PTPLR-BATAN, Serpong, p.138-142 (1997). [6]. Coughtrey, PJ., Thorne, MC., Radionuclide Distribution and Transport in Terrestrial and Aquatic

Ecosistems, vol 1. Rotterdam: A. A. Balkema Publ. (1983). [7]. Livens, FR., Loveland, PJ., The Influence of Soil Properties on The Environmental Mobility of

Cesium in Cumbria, Soil Use Manage 4, p.69-75 (1988). [8]. Bangash, MA., Adsorption of Fission Products and Other Radionuclides on Inorganic Exchangers,

Ph.D Thesis, University of The Punjab, Lahore (1991). [9]. Khan, SA., Ion Exchange and Adsorption Behavior of Natural Clays and Hydrated Metal Oxides,

Ph.D Thesis, University of The Punjab, Lahore (1992). [10]. Ishikawa NK., et.al., Radiocesium Sorption Behavior on Illite, Kaolinite and Their Mixtures,

Radioprotection Vol. 44 No. 5, p.141-145 (2009) [11]. Cornell, RM., Adsorption Behavior of Cesium on MARL, Clay Minerals 27, p.363-371 (1992) [12]. Wendling LA., et.el., Cesium Sorption to Illite as Affected by Oxalate, Clays and Clay Minerals Vol.

52 Vol. 3, p.375-381 (2004) [13]. Akiba K. et.el., Distribution Coefficient of Cesium and Cation Exchange Capacity on Minerals and

Rocks, J.Nucl. Sci and Technology 26 [12], p.1130-1135 (1989) [14]. Schlegel ML., et.al., Sorption of Metal Ions on Clay Minerals, J.Colloid and Interface Sci., 215,

p.140-158 (1999) [15]. Staunton, S., and Roubaud, M., Adsorption of

137Cs on Montmorillonite and Illite: Effect of Charge

Compensating Cation, I, Concentration of Cs, K and Fulvic Acid, Clay and Clay Minerals Vol. 45 No. 2, p.251-260 (1997).

[16]. McKnight ME., and Norgon RWE.,, A Study of The Exchange Characteristics of Montmorillonite Clay for FP Cations for Use in The Generation of Insoluble Aerrosols, AEC, Lovelace Foundation,

New Mexico (1967). [17]. Apak R., et.al., Sorptive Removal of Cs-137 and Sr-90 From Water by Unconventional Sorbents:

II. Usage of Coal Fly Ash, J. Nucl.Sci and Technology Vol. 33 No. 5, p.396-402 (1996). [18]. BATAN, Per.Ka. BATAN No.123/KA/VIII/2007, BATAN-Jakarta (2007). [19]. Erten, HN., et.al., Sorption of Cesium and Stontium on Montmnorillonite and Kaolinite, Radiochim.

Acta 44/45, p.147 (1988).

Page 55: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565

Volume 14 Nomor 1 Juli 2011 (Volume 14, Number 1, July, 2011)

Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

49

KEMAMPUAN KERANG HIJAU (Perna viridis) MENGAKUMULASI DAN MENDISTRIBUSI 60Co DAN 137Cs

Heny Suseno

Pusat Teknologi Limbah Radioaktif – BATAN, Kawasan PUSPIPTEK, Serpong-Tangerang 15310

ABSTRAK

KEMAMPUAN KERANG HIJAU (Perna viridis) MENGAKUMULASI DAN MENDISTRIBUSI 60

Co dan 137

Cs. Pelepasan radionuklida dari fasilitas nuklir termasuk PLTN menjadi perhatian karena prilaku kimiawi dan biologinya dalam lingkungan akuatik. Diantara radionuklida antropogenik yang dilepas ke dalam lingkungan laut,

60Co dan

137Cs yang merupakan produk fisi menjadi perhatian utama

karena mempunyai waktu paro yang cukup panjang dan berada dalam kolom air untuk waktu yang lama. Kekerangan adalah moluska yang banyak didapati pada daerah pesisir dan muara di wilayah Indonesia. Kekerangan banyak digunakan sebagai organisme sanitel untuk pengukuran kontaminan dan pembanding konsentrasi berbagai radionuklida. Untuk memahami bioakumulasi

60Co dan

137Cs

oleh kerang hijau (Perna viridis), dilakukan penelitian kinetika pengambilan dan pelepasan kedua radionuklida tersebut dari air laut dalam kondisi laboratorium. Hasil eksperimen menunjukkan Faktor Biokonsentrasi (BCF)

60Co dan

137Cs berturut-turut 22,31 to 24,88 l.kg

-1 dan 2,43 to 3,24 l.kg

-1.

Radionuklida 60

Co diakumulasi oleh kerang hijau 10 kali lipat dibandingkan dengan 137

Cs. Sebagian besar kedua radionuklida tersebut terdistribusi dalam jaringan lunak terutama pada cairan pencernaan Kata kunci: Bioakumulasi, Perna viridis, radionuklida ABSTRACT

THE ABILITY OF GREEN MUSSEL (Perna viridis) TO ACCUMULATED AND DISTRIBUTED 60

Co AND 137

Cs. Releases of radionuclides from nuclear facilities including power stations have resulted in considerable concern for their chemical and biological fates in aquatic environments. Among the many radionuclides discharged into marine environments,

60Co and

137Cs are the fission products

of particular interest because of their long physical half-lives and residence times in the water column. Mussels are common marine molluscs found in most coastal areas and estuaries in a wide range of latitudes of Indonesia. They have been used as sentinel organisms for measuring contaminants and comparing concentrations of radionuclides. In order to understand the bioaccumulation of

60Co and

137Cs in green mussel, the uptake and elimination kinetics of these two radionuclides were investigated

in Perna viridis exposed via seawater under laboratory conditions. The result of experiment were shown Bioconcentration Factor (BCF) of

60Co and

137Cs were were 22.31 to 24.88 l.kg

-1 and 2.43 to

3.24 l.kg-1

respectively. Generally, 60

Co was about tenfold than 137

Cs accumulated by green mussel. Most of

60Co and

137Cs was distributed in the soft tissue, with the remaining contained mostly in the

disgestive gland.

Keywords: Bioaccumulation, Perna viridis, radionuclides PENDAHULUAN

Operasional fasilitas nuklir memungkinkan lepasnya radionuklida seperti 241

Am, 57

Co, 137

Cs atau 57

Mn ke lingkungan dan masuk ke dalam jejaring makanan[1]

. Lingkungan akuatik merupakan jalur paparan utama zat-zat radioaktif yang terlepas dari fasilitas nuklir, oleh karena itu investigasi lengkap harus dilakukan

[2]. Salah satu data yang dibutuhkan dalam investigasi tersebut adalah kemampuan

akumulasi radionuklida oleh biota laut. Bagaimana radionuklida terakumulasi ke dalam jejaring makanan di lingkungan laut dan seberapa besar dampaknya terhadap manusia menjadi focus program monitoring dan survey lingkungan

[3].

Radionuklida 60

Co dan 137

Cs merupakan salah satu produk aktivasi neutron yang berasal dari berasal dari operasi reactor nuklir dan terakmulasi dalam biota laut

[4]. Pemahaman bioakumulasi

Page 56: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Heny Suseno: Kemampuan Kerang Hijau (Perna viridis) Mengakumulasi dan Mendistribusi 60

Co dan 137

Cs

50

radionuklida (termasuk 60

Co dan 137

Cs) oleh biota laut dapat membantu program-program pemantauan lingkungan dan diperlukan dalam pengambangan model dan metodologi untuk menilai dampak yang berkaitan dengan radioaktivitas di lingkungan laut

[5]. International Atomic Energy Agency (IAEA)

mensyaratkan data dasar (baseline) dan dan model bioakumulasi 60

Co dan 137

Cs dalam menentukan calon lokasi PLTN

[6-8]. Studi bioakumulasi banyak dilakukan di seluruh dunia tetapi hanya berdasarkan

pada pemantauan lingkungan yang bersifat temporal. Sebagian besar studi tersebut dilakukan dengan mengumpulkan berbagai komponen abiotik (air dan sedimen) serta komponen biotik (fitoplankton, zoplankton, invertebrata, berbagai jenis ikan dan sebagainya). Kemampuan akumulasi ditentukan berdasarkan rasio konsentrasi radionuklida dalam komponen biotik terhadap konsentrasinya dalam komponen abiotik. Menggunakan metode ini akan diperoleh data kemampuan bioakumulasi pada kisaran yang lebar walaupun diamati pada organisme, lokasi dan kontaminan yang sama

[9].

Untuk melengkapi kekurangan tersebut, saat ini studi bioakumulasi dilakukan di laboratorium menggukan sistem akuaria yang memodelkan kondisi ekosistem akuatik. Studi bioakumulasi ini menggunakan pendekatan model biokinetik kompartemen tunggal dan multi kompartemen dimana faktor bioakumulasi ditentukan dari seluruh jalur paparan (air, pakan, partikulat dan sedimen). Pada penelitian ini dilakukan studi bioakumulasi

60Co dan

137Cs oleh kerang hijau (Perna viridis) melaluli jalur

air. Kerang hijau dari family Mytiladea mempunyai kemampuan mengakumulasi berbagai kontaminan termasuk kobal non radioaktif maupun radioaktif

[10]. Penelitian bertujuan untuk memperoleh informasi

kemampuan akumulasi 60

Co dan 137

Cs oleh kerang hijau. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai salah satu parameter untuk kajian dampak keberadaan

60Co dan

137Cs dalam lingkungan laut.

TATA KERJA

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan terdiri dari: air laut yang berasal dari Seaworld Ancol (difiltrasi dilaboratorium Bidang Radioekologi Kelautan PTLR BATAN menggunakan filter 0,2µl dan disterilisasi menggunakan lampu UV), radionuklida

60Co

2+ dan

137Cs

+ buatan Amersham, point source radioactive

calibration (buatan Canberra-Tenelec) dan bahan gelas. Alat yang digunakan adalah: spektrometer gamma yang dilengkapi dengan multy chanel analysis (buatan Canberra) terhubung dengan komputer dan detector NaI (buatan Bicorn). Aklimatisasi

Kerang hijau (Perna viridis) yang digunakan sebagai hewan uji diambil dari lokasi budi daya di Pantai Dadap Teluk Jakarta dimasukan ke dalam kontak PVC yang berisi es batu dilengkapi dengan aerator. Hewan uji ditransportasikan ke laboratorium untuk dilakukan aklimatisasi. Aklimatisasi bertujuan untuk menghilangkan stres kerang hijau dalam kondisi aquarium sehingga dapat digunakan dalam percobaan bioakumulasi. Aklimatisasi dilakukan dengan menempatkan masing-masing sebanyak 30 kerang hijau yang diperoleh dari lapangan ke dalam akuarium berkapasitas 250 l yang dilengkapi dengan sistem penyaringan bertingkat, penghilang buih dan aerator. Pada hari pertama tidak ada pencahayaan ruangan dan hari berikutnya pencahayaan dilakukan 12 jam diberi cahaya, 12 jam kondisi gelap. Pemberian pakan (alga hijau) dilakukan 2 kali sehari. Seluruh proses aklimatisasi dilakukan selama 2 minggu tanpa pemberian kontaminan. Mortalitas selama aklimatisasi harus kurang dari 10%. Jika selama aklimatisasi, mortalitas melebihi 10% hewan percobaan tersebut tidak dapat digunakan untuk eksperimen bioakumulasi. Bioakumulasi

Penandaaan air laut dengan 60

Co dan 137

Cs dilakukan dengan menambahkan kontaminan tersebut ke dalam akuarium 5 l sehingga konsentrasinya 1 Bq.l

-1. Setelah dihomogenasi selama 24 jam,

air laut dianalis kandungan 60

Co dan 137

Cs menggunakan spektrometer gamma. Sebanyak 5 ekor kerang hijau masing-masing berukuran 3,0+0,2 cm ( 13,9 g) dan 5,4+ 0,3 cm (25,4 g) ditempatkan ke dalam aquarium tersebut dan dibiarkan hidup normal tanpa diberi pakan. Kandungan

60Co dan

137Cs di

dalam tubuh kerang hijau dianalisis menggunakan spektrometer gamma pada interval waktu 1, 6, 10, 24, 48, 72, 116, 140 dan 162 jam. Analisis dilakukan dengan mencacah kerang tersebut selama 5 menit, kesalahan (error) pencacahan tidak boleh lebih dari 10% . Kerang hijau yang telah dianalisis ditempatkan dalam medium baru yang mengandung

60Co dan setelah terkontaminasi selama 24 jam

berikutnya, dianalisis kembali menggunakan spectrometer gamma. Kemampuan akumulasi dinyatakan oleh nilai Faktor Konsentrasi (CF) yang ditunjukkan pada persamaan (1)

Page 57: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565

Volume 14 Nomor 1 Juli 2011 (Volume 14, Number 1, July, 2011)

Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

51

(1)

Dimana: CF adalah faktor konsentrasi (l.kg-1

), Cb adalah konsentrasi 60

Co dalam tubuh kerang hijau (Bq.g

-1) dan Ca adalah konsentrasi

60Co dan

137Cs dalam air (Bq.ml

-1)

Proses Depurasi

Setelah menjalani proses bioakumulasi, ketiga kerang hijau ditempatkan dalam aquarium yang berisi air laut bebas kontaminan dan dalam kondisi mengalir (debit 50 l/jam). Pemberian pakan dilakukan 2 kali sehari. Selama proses depurasi, secara periodik, kerang hijau dianalisis kandungan 60

Co dan 137

Cs menggunakan spektrometer gamma untuk memperoleh data pelepasan kontaminan. Konstanta laju pelepasa (ke,) diperoleh dari slope grafik waktu (t) terhadap konsentrasi (C) perunut tersebut. Retensi kontaminan dari masing-masing jalur dinyatakan dalam waktu paro biologi (t1/2b) yang

dihitung menggunakan persamaan (2)

(2)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bioakumulasi merupakan proses yang kompleks dan dinamis, tetapi dapat dijelaskan melalui model yang dikonstruksi dari hasil eksperimen. Model kompartemen tunggal secara luas paling banyak digunakan untuk beragam spesies perairan. Model kompartemen tunggal memberikan penjelasan matematis kuantitas senyawaan kimia termasuk (

60Co dan

137Cs) yang ditentukan oleh laju

pengambilan dan pelepasannya [11]

. Jalur utama bioakumulasi kedua radionuklida tersebut oleh P. viridis melalui jalur air dan pakan. Namun demikian bioakumulasi melalui jalur air memberikan kontribusi yang signifikan terhadap keseluruhan proses bioakumulasi

[12]. Radionuklida

60Co dan

137Cs dalam

medium air langsung diakumulasi melalui insang. Bioakumulasi melalui jalur air merupakan keseimbangan antara 2 mekanisme yaitu: pengambilan dan pelepasan

60Co dan

137Cs dari medium

air. Radionukida 60

Co mempunyai sifat kimia yang sama dengan mikroelemen Co non radioaktif sehingga prilakunya di dalam lingkungan laut identik. Kobalt merupakan komponen dari vitamin B12 yang sangat dibutuhkan oleh hampir seluruh organism hidup sehingga dapat dengan mudah dieksternaliasi ke dalam tubuh

[13]. Disisi lain

137Cs mempunyai sifat kimiawi yang sama dengan K

+

sehingga dapat diakumulasi oleh biota laut [14-15]

. Kemampuan akumulasi dan eliminasi kedua radionuklida tersebut ditunjukkan pada Gambar 1 dan 2.

A

B

Gambar 1. Kemampuan akumulasi 60

Co dan 137

Cs oleh kerang hijau dari jalur air A. Ukuran perna viridis + 3,2 cm B. Ukuran perna viridis + 5,6 cm

y = 0.042x + 0.105R² = 0.921

y = 0.004x + 0.515R² = 0.906

0

2

4

6

8

10

12

1 30 59 88 117 146 175 204

Fa

kto

r K

on

se

ntra

si,

CF

(l.

kg

-1)

Waktu (jam)

Co-60

Cs-137

y = 0.041x + 0.076R² = 0.918

y = 0.002x + 0.599R² = 0.280

0

2

4

6

8

10

12

1 30 59 88 117 146 175 204

Fa

kto

r K

on

se

ntra

si,

CF

(l.

kg

-1)

Waktu (jam)

Co-60

Cs-137

Page 58: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Heny Suseno: Kemampuan Kerang Hijau (Perna viridis) Mengakumulasi dan Mendistribusi 60

Co dan 137

Cs

52

A

B

Gambar 2. Kemampuan eliminasi 60

Co dan 137

Cs oleh dari dalam tubuh kerang hijau A. Ukuran perna viridis + 3,2 cm B Ukuran perna viridis + 5,6 cm

Gambar 1 menunjukkan kemampuan P. viridis mengakumulasi

60Co selama periode

eksperimen cenderungan meningkat. Nilai CF kerang hijau berukuran 3 dan 5,4 cm berturut-turut 6,76 dan 4,75 ml.g

-1. Pada periode eksperimen ini kondisi tunak (steady state) belum tercapai, tetapi dari

hasil eksperimen ini diperoleh nilai laju pengambilan radionuklida oleh biota tersebut dari dalam air (ku). Laju pengambilan merupakan slope dari plot Faktor Konsentrasi (CF) terhadap lama paparan. Laju pengambilan

60Co oleh kerang berukuran 3 dan 5,4 cm berturut-turut adalah 1,01 dan 0,98 ml.g

-1.hari

-1.

Nilai CF 137

Cs pada kedua jenis ukuran tersebut P. viridis berturut-turut 1,40 dan 1,49 ml.g-1

dan kondisi steady state telah tercapai. Laju pengambilan

137Cs oleh kedua jenis kerang tersebut sebesar

0,096 ml.g-1

.hari-1

. Hasil eksperimen menunjukkan ukuran tubuh P. viridis hanya berpengaruh terhadap proses bioakumulasi

60Co. Disisi lain ukuran tubuh biota tersebut tidak berpengaruh terhadap proses

bioakumulasi 137

Cs. Kebanyakan jenis biota laut mempunyai kecenderungan ukuran tubuhnya mengendalikan dan mempunyai korelasi terhadap akumulasi logam

[16]. Ukuran tubuh merupakan faktor

yang mempengaruhi konsentrasi logam di dalam tubuh biota. Konstanta pengambilan berhubungan dengan sistem regulasi tersebut sehingga laju bioakumulasi juga akan lebih tinggi pada organisme yang berusia muda (berukuran lebih kecil)

[17]. Secara umum bioakumulasi terjadi karena interaksi

antara biomasa dan beberapa senyawaan atau ion dilingkungan. Bioakonsentrasi senyawaan kimia dikontrol oleh proses kesetimbangan kimia dan distribusi (misalnya log Kow), pembentukan senyawaan koordinasi. Bioligan memiliki ligan-ligan potensial antara lain gugus amino-, carboxylate-, phenolate-, imidazole dan sebagainya yang mampu berinteraksi dengan ion logam atau spesies organologam dan membentuk senyawaan kompleks

[18]. Radionuklida

60Co merupakan golongan logam transisi yang

mempunyai kemampuan membentuk senyawaan koordinat. Disisi lain 137

Cs adalah unsur golongan alkali dan kemampuan membentuk senyawaan kompleks dengan bioligan lebih rendah dibandingkan dengan logam golongan transisi.

Gambar 2 menunjukkan eliminasi (pelepasan) kedua radionuklida tersebut oleh P. viridis setelah paparan dihentikan. Laju pelepasan merupakan slope (ke) fraksi yang tertahan dalam tubuh hewan terhadap waktu. Laju pelepasan

60Co oleh kedua jenis ukuran P. viridis berturut-turut 0,03 dan 0,045

hari-1

. Disisi lain laju pelepasann 137

Cs berturut-turut 0,037 dan 0,04 hari-1

. Waktu tinggal biologis kedua kontaminan tersebut dihitung menggunakan persamaan (2). Estimasi waktu tinggal biologis

60Co

dan 137

Cs berturut-turut 15,34 sampai dengan 23,39 hari dan 17,53 sampai dengan 19,06 hari. Estimasi kemampuan bioakumulasi

60Co dan

137Cs dari jalur air dihitung menggunakan

persamaan (3)

……………………………………………………..(3)

Dimana BCF adalah faktor bioakumulasi dari jalur air (ml.g-1

). Hasil perhitungan BCF 60

Co dan 137

Cs pada kedua ukuran P. viridis tersebut di atas berturut-turut 22,31 sampai dengan 24,88 l.kg

-1 dan 2,43

sampai dengan 3,24 l.kg-1

. Berdasarkan data tersebut, P. viridis mengakumulasi 60

Co 6,9 sampai

y = -4.518x + 83.56R² = 0.789

y = -2.964x + 36.87R² = 0.652

0

20

40

60

80

100

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Fra

ksi

ya

ng

te

rta

ha

n d

ala

m t

ub

uh

(%

)

Waktu (hari)

Co-60

Cs-137

y = -3.955x + 79.17R² = 0.682

y = -3.637x + 34.86R² = 0.781

0

20

40

60

80

100

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Fra

ksi

ya

ng

te

rta

ha

n d

ala

m t

ub

uh

(%

)

Waktu (hari)

Co-60

Cs-137

Page 59: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565

Volume 14 Nomor 1 Juli 2011 (Volume 14, Number 1, July, 2011)

Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

53

dengan 10,3 kali dibandingkan 137

Cs. Sebagai perbandingan, kemampuan akumulasi Cs yang direpresentasikan oleh nilai BCF oleh moluska secara umum berkisar antara 9 - 50

[19]. Hasil penelitian

menunjukkan nilai CF 137

Cs tidak berada pada kisaran tersebut. Namun demikian sebagai perbandingan BCF

134Cs oleh sejenis kerang laut dari jenis P. maximus adalah 1,0. Waktu tinggal

biologis 22 hari[14]

. Pentingnya studi bioakumulasi dijelaskan dalam Safety Report Series IAEA.[8)

. Taiwan melakukan studi biokinetika

137Cs sebagai antisipasi dampak rencana pembangunan PLTN di

Guangdong Cina[16]

. Mengacu pada Safety Report Series IAEA, perpindahan radionuklida dari air

melalui tingkatan jejaring makanan yang berakhir pada manusia selaku pengkonsumsi organism laut. Nilai Faktor Bioakumulasi

60Co dan

137Cs direkomendasikan berturut-turut 5000 dan 30 l.kg

-1. Nilai

Faktor Bioakumulasi tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan hasil eksperimen. Perbedaan ini karena nilai Faktor Bioakumulasi menurut dokumen tersebut merupakan penyederhanaan dari berbagai parameter yang mempengaruhi akumulasi

60Co dan

137Cs. Konsentrasi kedua radionuklida tersebut di

dalam air dianggap merupakan gabungan dari fraksi partikel tersuspensi. Mikro algae yang merupakan pakan P. viridis merupakan fraksi tersuspensi. Disisi lain kontribusi bioakumulasi melalui jalur pakan jauh lebih besar dibandingkan dari jalur air. Informasi kontribusi proses bioakumulasi melalui jalur pakan dan partikulat harus ditetapkan untuk membandingkan seluruh hasil eksperimen dengan rekomendasi IAEA.

Organisme akuatik memiliki kecenderungan dan pola yang berbeda dalam hal akumulasi dan eleminasi logam (termasuk Cs dan Co)

[20]. Beberapa organisme mengakumulasi secara ekstrim tetapi

sedikit melepaskan kembali logam tersebut dari dalam tubuhnya.Proses kesetimbangan antara pengambilan dan pelepasan logam dinamakan dengan istilah regulasi akumulasi. Regulasi ini umumnya dilakukan pada tingkatan organ tertentu organisme akuatik seperti insang, otot/daging, cairan pencernaan (hepatopancreas) atau ginjal. Regulasi

137Cs dan

60Co oleh P. viridis ditunjukkan pada

Gambar 3 .

A B

Gambar 3. Distribusi radionuklida di dalam organ tubuh P. viridis. (A) 60

Co (B) 137

Cs

Berdasarkan Gambar 3, sebagian besar kedua radionuklida tersebut berada pada cairan pencernaan. Hal yang sama ditunjukkan oleh eksperimen yang dilakukan oleh Ke dan kawan-kawan, dimana fraksi terbesar

137Cs berada pada jaringan lunak dan kebanyakan berada pada cairan

pencernaan[16]

. KESIMPULAN

Faktor Biokonsentrasi (BCF) 60

Co dan 137

Cs di dalam tubuh kerang hijau berturut-turut 22,31 - 24,88 l.kg

-1 dan 2,43 - 3,24 l.kg

-1. Radionuklida

60Co diakumulasi oleh kerang hijau 10 kali lipat

dibandingkan dengan 137

Cs. Sebagian besar kedua radionuklida tersebut terdistribusi dalam jaringan lunak terutama pada cairan pencernaan. Estimasi waktu tinggal biologis

60Co dan

137Cs berturut-turut

15,34 sampai dengan 23,39 hari dan 17,53 sampai dengan 19,06 hari. Nilai Faktor Biokonsentrasi

66.1

5.87

28.03

Cairan Pencernaan

Daging

Cangkang

2

1.2

97.8

Cairan Pencernaan

Daging

Cangkang

Page 60: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Heny Suseno: Kemampuan Kerang Hijau (Perna viridis) Mengakumulasi dan Mendistribusi 60

Co dan 137

Cs

54

kedua radionuklida tersebut merepresentasikan kemampuan akumulasi kedua radionuklida tersebut hanya dari dalam air laut yang tidak mengandung berbagai bahan tersuspensi dan bahan partikulat. UCAPAN TERIMAKASIH

Riset ini merupakan salah satu bagian dari kegiatan Program Insentif Riset Kompetitif yang dibiayai oleh Kementerian Riset dan Teknologi. Terimakasih kepada Kantor Kementrian Riset dan Teknologi. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Sdri Wahyu Retno Prihatiningsih, S.Si, M.Si yang membantu pelaksanaan riset ini. DAFTAR PUSTAKA

[1]. Lacoue-Labarthe, T., Warnau, M., Oberhänsli, F., Teyssié, J-L., Bustamante, P. Contrasting accumulation biokinetics and distribution of 241Am, Co, Cs, Mn and Zn during the whole development time of the eggs of the common cuttlefish, Sepia officinalis. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 382(2): 131-138.( 2010)

[2]. Leggett, R.W., Eckerman, K.F., Meck, R.A. Reliability of Current Biokinetic and Dosimetric Models for Radionuclides: A Pilot Study. OAK RIDGE ORNL/TM-2008/131. (2008) .

[3]. Fowler, S.W. , Holm, E., Mee, L.D. Monitoring the marine environment IAEA's Laboratory at Monaco offers valuable instruction in measuring contaminants in the sea IAEA BULLETIN, 2: 40-42 (1998)

[4]. Watabe, T., Ishii, T., Hirano, S., Yokosuka, S., . Kurosawa , A. Application of the marine organisms as a ―biological monitor‖ to evaluation of the background levels of radioactivity in the coastal environment Laboratory for Marine Radioecology, National Institute of Radiological Sciences , Japan(2007)

[5]. Zalewska, T., Saniewski, M. Bioaccumulation of gamma emitting radionuclides in red algae from the Baltic Sea under laboratory conditions, Oceanologia, 53 (2), 2011. pp. 631–650 (2011)

[6]. IAEA, Dispersion of Radioactive Material in Air and Water And Consideration of Population Distribution in Site Evaluation For Nuclear Power Plants: Safety Guide. — Vienna : International Atomic Energy Agency, 2002. Safety Standards Series, ISSN 1020–525X ; No. NS-G-3.2, IAEA, Vienna

[7]. IAEA (2005) Radionuclide levels in oceans and seas : Final report of a coordinated research project. IAEA-TECDOC-1429, IAEA, Vienna

[8]. IAEA. Generic models for use in assessing the impact of discharges of radioactive substances to the environment. Safety report series, no. 19. International Atomic Energy Agency, Vienna (2001)

[9]. Luoma, S.N., Rainbow, P. Why Is Metal Bioaccumulation So Variable? Biodynamics as a Unifying Concept Critical Review. Environmental Science & Technology 39 (7):1921-1931.(2005)

[10]. Kamaruzsaman, B.Y., Mohd Zahir, M.S., Akbar-John, B., Jalal, K.C.A., Shahbudin, S. Bioaccumulation of Some Metal by Green Mussel Perna viridis (Linnaeus 1758) from Pekan,

Pahang, Malaysia. Intl J. of Biol Chem. 5(1):54-60, 2011 [11]. Newman, M.C., Jagoe, R.H. Bioaccumulation Models With Time Lags: Dynamics And Stability

Criteria. Ecological Modelling 84 ,281-286 (1996) [12]. Bank, M.S., Loftin, C.S., Jung, R.E. Mercury Bioaccumulation in Northern Two-lined

Salamanders from Streams in the Northeastern United States. Ecotoxicology, 14: 181–191 (2005)

[13]. Adam, C., Garnier-Laplace, J. Bioaccumulation of silver-110m, cobalt-60, cesium-137, and manganese-54 by the freshwater algae Scenedesmus obliquus and Cyclotella meneghiana and by suspended matter collected during a summer bloom event . Limnol. Oceanogr., 48(6): 2303–2313 (2003)

[14]. Metian, M., Warnau., M.; Teyssié, J-L.; Bustamante, P (2009) Characterization of 241

Am and 134

Cs bioaccumulation in the king scallop Pecten 2 maximus: investigation via three exposure

pathways. Journal of Environmental Radioactivity 102(6):543-550 (2011) [15]. Wang,W-X , Ke, C., Yu, K.N., Lam, P.K.S. Modeling radiocesium bioaccumulation in a marine

food chain Mar Ecol Prog Ser 208: 41–50.( 2000) [16]. Ke, C., Yu, K.N., Lam, P.K.S. Uptake and Depuration Cesium in Green Mussel Pernaviridis.

Marine Biologi 137:567-575 (2000)

Page 61: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565

Volume 14 Nomor 1 Juli 2011 (Volume 14, Number 1, July, 2011)

Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

55

[17]. Kojadinovic, J et al. Mercury content in commercial pelagic fish and its risk assessment in the Western Indian. Ocean Science of the Total Environment 366, 688–700 (2006)

[18]. Fränzle, S., Markert, B. What Does Bioaccumulation Really Tell Us? Analytical Data in Their Natural Environment. Ecological Chemistry and Engineering Vol. 14(1) : 8-23 (2007)

[19]. Till JE, Meyer HR. Radiological Assessment: A Textbook on Environmental Dose Analysis. NUREG/CR-3332. U.S. Nuclear Regulatory Commission, Washington, DC (1983).

[20]. Rainbow, P.S.Biomonitoring of Trace Metals in Estuarine and Marine Environments Australasian Journal of Ecotoxicology. 12: 107-122 (2006)

Page 62: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565

Volume 14 Nomor 1 Juli 2011 (Volume 14, Number 1, July, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

56

PREDIKSI METILASI MERKURI PADA BIOAKUMULASI MERKURI ANORGANIK OLEH Oreochromiss mossambicus

Budiawan1), Heny Suseno2)

1)

Departemen Kimia - Universitas Indonesia, Kampus UI Depok

2) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif BATAN ABSTRAK

PREDIKSI METILASI MERKURI PADA BIOAKUMULASI MERKURI ANORGANIK OLEH Oreochromiss mossambicus. Ikan mujair (O. mossambicus ) yang dibudidaya di perairan payau

kemungkinan tercemar berbagai polutan termasuk merkuri. Prilaku bioakumulasi senyawaan merkuri dalam tubuh ikan mujair belum banyak diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prilaku senyawaan merkuri termasuk apakah terjadi metilasi internal dalam tubuh ikan. Eksperimen dilakukan menggunakan radiotracer

203Hg

2+ dan CH3

203Hg

+ sehingga diperoleh prilaku bioakumulasi kedua

senyawaan tersebut. Hasil eksperimen menunjukan kemampuan bioakumulasi CH3Hg+ dan Hg

2+

berturut-turut berkisar 1217,65 – 1308,46 dan 137,61-179,72. Prediksi berdasarkan persamaan non linier nilai CFss CH3Hg

+ dan Hg

2+ berturut-turut 1763l,90 - 2001,92 dan 162,42 – 222,60. Laju

pengambilan CH3Hg+ oleh O.mossambicus melalui jalur air lebih besar dibandingkan Hg

2+. Prediksi

kandungan CH3Hg+ di dalam O.mossambicus sebagai akibat prilaku bioakumulasinya air adalah 62,5 –

85,7%. Berdasarkan kalkulasi tersebut maka metilasi tidak terjadi di dalam tubuh ikan. Kata kunci: Bioaccumulasi, metilasi, mercury

ABSTRACT

BIOACCUMULATION MERCURY COMPOUND BY Oreocromis mossambicus AND PREDICTION OF IT’S INTERNAL MERCURY METHYLATION. Java tilapia (O. mossambicus) are cultured in brackish water have possibility contaminate by various pollutant including mercury compound. Only limited the information of fate and behavior of mercury compound on Java tilapia body. This research aims to determine the behavior of mercury coumpound, including the possibility of internal mercury methylation. Experiment carry out using radiotracer

203Hg

2+ and CH3

203Hg

+ in order to

obtain bioaccumulation behavior. The results of experiment obtain the capability bioaccumulation both CH3Hg

+ and Hg

2+ were 1217.65 to 1308,46 and 137.61 to 179.72 respectively. The prediction base on

nonlinear equations that found the CFss value 17361,90 to 2001,92 and 162.42 to 222,60. The uptake rate of CH3Hg

+ more higher than Hg

2+. The prediction of CH3Hg+ content on O. mossambicus as result

of b ioaccumulation behavior were 85.7%. Base on these calculation, the methylation of mercury did not occur in internal body of fish. Keywords : Bioaccumulation, methylation, mercury PENDAHULUAN

Merkuri merupakan salah satu zat pencemar, bersifat neutrotoksin, masuk ke ekosistem akuatik melalui deposisi atmosferik maupun bersumber dari eksternalisasi limbah industry

[1,2]. Menurut

sudut pandang ekotoksikologi, terdapat dua bentuk utama senyawaan merkuri di lingkungan hidup yaitu CH3Hg

+ dan Hg

2+. Kedua bentuk tersebut terakumulasi dalam berbagai spesies organisme

akuatik dan masuk ke dalam jejaring makanan. Ikan merupakan predator teratas dalam ekosistem akuatik dan mempunyai posisi ditengah pada jejaring makanan. Sebagai sumber protein ikan banyak dikonsumsi oleh manusia sehingga menjadi sumber utama paparan merkuri pada manusia

[3]. Ikan

mujair (O. mossambicus ) yang dibudidaya di perairan payau banyak dikonsumsi oleh masyarakat karena harganya cukup terjangkau. Lingkungan pesisir tempat budibaya ikan tersebut (misalnya sepanjang pantai utara laut Jawa) kebanyakan tercemar berbagai polutan termasuk merkuri. Disisi lain prilaku bioakumulasi senyawaan merkuri dalam tubuh ikan mujair belum banyak diketahui.

Page 63: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Budiawan, Heny Suseno: Prediksi Metilasi Merkuri pada Bioakumulasi Merkuri Anorganik oleh Oreochromiss mossambicus

57

Secara umum pada jaringan otot ikan, akumulasi merkuri dominan dalam bentuk CH3Hg+.

Persentase kandungan CH3Hg+ merkuri dalam otot ikan berkisar antara 80% - 92%

terhadap merkuri

total[4]

. Disisi lain, pada perairan oksik, proporsi metil merkuri terhadap total merkuri umumnya sangat rendah sehingga kontribusi metil merkuri dibandingkan total merkuri dalam proses bioakumulasi bersifat sangat spekulatif

[5]. Terdapat beberapa bukti yang dapat dipertimbangkan bahwa metilasi dan

demetilasi merkuri dapat terjadi dalam jaringan otot ikan, walaupun berbagai penelitian juga membuktikan bahwa metilasi tidak terjadi dalam tubuh ikan

[5]. Sebuah penelitian membuktikan metilasi

merkuri terjadi di dalam usus 6 jenis ikan[6]

. Jika benar terjadi metilasi merkuri maka kandungan metil merkuri dalam tubuh ikan cenderung dominan walaupun rasio konsentrasinya terhadap metil merkuri di dalam air sangat kecil.

Untuk mempelajari prilaku bioakumulasi merkuri dalam tubuh ikan mujair, langkah pertama adalah melakukan kuantisasi pengaruh eksternal dan internal terhadap proses bioakumulasi CH3Hg

+

dan Hg2+

menggunakan model biokinetik. Teknik percobaan yang dilakukan menggunakan perunut radioaktif. Langkah kedua adalah menghitung rasio kontribusi bioakumulasi merkuri dan metil merkuri. Perhitungan rasio tersebut digunakan untuk membuktikan terjadi atau tidaknya metilasi merkuri dalam tubuh O. mossambicus. TATA KERJA

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan terdiri dari: air payau yang diambil dari tambak-tambak rakyat di Panimbang Banten (difiltrasi dilaboratorium menggunakan filter 0,2µl), Hg(NO3)2 spesifikasi proanalisis E merck, CH3HgCl spesifikasi pro analisis E merck, perunut radioaktif

203Hg

2+ dan CH3

203Hg

+ aktivitas

20 mCi buatan Pusat Produksi Radioisotope BATAN, point source radioactive calibration (buatan Canberra-Tenelec). Alat yang digunakan adalah: spektrometer gamma yang dilengkapi dengan multy chanel analysis (buatan Canberra) terhubung dengan komputer dan detector NaI (buatan Bicorn), penangas air, centrifuge, water qulity checker dan sebagainya. Metode

Metode yang digunakan meliputi: aklimatisasi, pembuatan medium, bioakumulasi dan pelepasan kontaminan. Aklimatisasi hewan percobaan, tahapan ini dimulai dari pengambilan hewan percobaan di lapangan (tambak), penanganan dan transportasi hewan percobaan dari lapangan ke laboratorium dan adaptasi hewan percobaan di lingkungan akuatik buatan (sistem akuaria).Pembuatan medium paparan melalui jalur air untuk mensimulasikan: perubahan konsentrasi CH3Hg

+ dan Hg

2+ (0,021 sampai dengan

1,832 µg.l-1

untuk CH3Hg+

dan 0,4 sampai dengan 20,0 µg.l-1

Hg2+

). Penandaaan medium air dengan perunut radioaktif CH3

203Hg

+ dan

203Hg

2+. Metil merkuri dan Hg

2+ di dalam medium air bercampur

dengan perunut radioaktif membentuk suatu matriks. Penambahan perunut radioaktif CH3203

Hg+ dan

203Hg

2+ (masing-masing hingga kadarnya dalam air mencapai 1 Bq.ml

-1) tidak mempengaruhi kadar

CH3Hg+ dan Hg

2+ di dalam air. Hasil pengukuran perunut radioaktif tersebut akan ekivalen dengan

kuantitas CH3Hg+ dan Hg

2+ di dalam medium air. Bioakumulasi CH3Hg

+ dilakukan dengan

menempatkan O. mossambicus dalam medium air yang mengandung CH3Hg+

dan CH3203

Hg+ dalam

interval waktu 1 - 30 hari. Bioakumulasi Hg2+

dilakukan dengan menempatkan O. mossambicus dalam medium air yang mengandung Hg

+ dan

203Hg

2+ dalam interval waktu 1 - 30 hari. Secara terpisah,

perunut CH3203

Hg+

dan 203

Hg dalam air dan tubuh ikan dianalisis menggunakan spektrometer gamma. Rasio konsentrasi CH3

203Hg

+ atau

203Hg

2+ dalam ikan dibandingkan konsentrasinya dalam air

merupakan nilai Faktor Konsentrasi (CF). Nilai slope yang berasal dari plot nilai CF terhadap waktu merupakan konstanta kecepatan pengambilan (ku, hari

-1). Nilai CFss diperoleh dari CF pada kondisi

tunak[6]

. Pelepasan CH3Hg+ dan Hg

2+ dari tubuh O.mossambicus dilakukan dengan menempatkan ikan

yang telah terakumulasi akuarium berisi air payau yang tidak ditambahkan CH3Hg+ dan Hg

2+ maupun

perunut radioaktifnya. Perunut CH3203

Hg+

dan 203

Hg dalam tubuh ikan dianalisis menggunakan spektrometer gamma. Persentase kedua kedua perunut radioaktif tersebut pada waktu t terhadap waktu t=0 (sebelum dilakukan depurasi) yang tertinggal dalam tubuh O. mossambicus ditetapkan setiap hari. nilai slope yang berasal dari plot nilai persentase kontaminan yang tertahan CF terhadap waktu merupakan konstanta laju pelepasan (hari

-1)[6]

.

Page 64: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565

Volume 14 Nomor 1 Juli 2011 (Volume 14, Number 1, July, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

58

HASIL DAN PEMBAHASAN

Proses bioakumulasi CH3Hg+ dan Hg

2+ oleh O. Mossambicus dari medium air dipengaruhi oleh

perubahan konsentrasi kedua senyawaan tersebut. Pada eksperimen ini, O.mossambicus

disimulasikan berada dalam kondisi lingkungan perairan yang mengandung CH3Hg+ dan Hg

2+ dengan

konsentrasi rendah sampai menengah. Kisaran konsentrasi CH3Hg+ dan Hg

2+ yang digunakan adalah

seperlimaratus sampai sepersepuluh dari nilai LC50-96h pada O. mossambicus[7]

. Pengaruh perubahan konsentrasi CH3Hg

+ dan Hg

2+ terhadap kemampuan akumulasi oleh O.mossambicus yang

direpresentasikan oleh nilai Faktor Konsentrasi (CF) ditunjukkan pada Gambar 1 Mengacu pada Gambar 1, kondisi tunak akumulasi CH3Hg

+ dan Hg

2+ tidak dicapai dalam waktu yang

bersamaan. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa kondisi tunak dalam medium CH3Hg+ dan Hg

2+

tercapai berturut-turut setelah 29 – 30 hari dan 21 – 23 hari. Berdasarkan hasil eksperimen, nilai CFss CH3Hg

+ adalah 1308,46; 1217,65; 1286,02; dan

1032,62 berturut-turut setelah terpapar dalam medium yang mengandung CH3Hg

+ 0,021; 0,105; 0,361

dan 1,832µg.l-1

. Hasil kali CFss dengan konsentrasi CH3Hg+

dalam medium air merupakan kandungan CH3Hg

+ dalam tubuh O. mossambicus. Berdasarkan hasil perhitungan, kandungan CH3Hg

+ dalam O.

mossambicus berkisar antara 0,03 – 1,86 µg.g-1

. Laju akumulasi 0,0007- 0,0570 µg.g-1

.hari-1

. Nilai CFss Hg

2+ setelah terpapar medium Hg

2+ 0,4; 02; 10,0 dan 20,0 μg.l

-1 berturut-turut adalah 179,72;

165,03; 145,40 dan 137,61. Menggunakan metoda perhitungan yang sama maka konsentrasinya di dalam O. mossambicus sebesar 0,07 – 2,70 µg.g

-1. Laju akumulasi Hg

2+ 0,0022 – 0,0382.

Estimasi kondisi tunak berdasarkan fitting persamaan non linier dan hasil yang diperoleh berbeda dengan hasil eksperimen. Estimasi kondisi tunak CH3Hg

+ berdasarkan prediksi persamaan non

linier dicapai setelah 72 hari dan estimasi CFss berturut-turut sebesar 1763,90; 1944,32; 2001,92 dan 1472,88. Hal serupa ditunjukkan oleh bioakumulasi Hg

2+, estimasi kondisi tunak berdasarkan prediksi

persamaan non linier dicapai setelah 68 hari dan estimasi CF berturut-turut sebesar 222,60; 215,77; 175,72 dan 162,42.

Menurut rekomendasi IAEA, nilai CF Hg2+

adalah 3 x 104 secara umum untuk seluruh jens

ikan[9]

. Nilai tersebut berbeda dengan eksperimen ini maupun berbagai eksperimen yang telah dilakukan oleh peneliti lainnya. Pada berbagai hasil eksperimen tersebut, nilai CF CH3Hg

+ dan Hg

2+

sangat bervariasi dan pada kisaran yang lebar[5, 9,10, 11]

. Perbedaan ini disebabkan oleh jenis biota serta

kondisi lingkungan akuatik dan metoda yang digunakan dalam percobaan yang tidak sama. Sebagai contoh, nilai CF CH3Hg

+ dan Hg

2+ O. mossambicus jauh kecil dibandingkan dengan nilai CF O.

notilicus[11]

.

(a)

(b)

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80

10

100

1000

10000

CFt =1763,90 (1- e

-0,040.t)

CFt =222,60 (1- e

-0,068.t)

Fak

tor

Kon

sent

rasi

, CF

Lama Paparan (Hari)

Prediksi CH3Hg

+

CH3Hg

+ 0,021 g.l

-1

Prediksi Hg2+

Hg2+

0,2 g.l-1

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80

10

100

1000

10000

CFt =1944,32 (1- e

-0,040.t)

CFt =215,77 (1- e

-0,059.t)

Fak

tor

Kon

sent

rasi

, CF

Lama Paparan (Hari)

Prediksi CH3Hg

+

CH3Hg

+ 0,105 g.l

-1

Prediksi Hg2+

Hg2+

2,0 g.l-1

Page 65: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Budiawan, Heny Suseno: Prediksi Metilasi Merkuri pada Bioakumulasi Merkuri Anorganik oleh Oreochromiss mossambicus

59

(c)

(d)

Gambar 1. Pengambilan CH3Hg

+ dan Hg

2+ oleh O. mossambicus dari medium air pada

berbagai kadar. (a) 0,021 µg.l-1

CH3Hg+; 0,2 µg.l

-1 Hg

2+ (b) 0,105 µg.l

-1

CH3Hg+; 2,0 µg.l

-1 Hg

2+ (c) 0,361 µg.l

-1 CH3Hg

+; 10,0 µg.l

-1 Hg

2+ (d) 1,832 µg.l

-

1 CH3Hg

+; 20,0 µg.l

-1 Hg

2+

Namun demikian hasil penelitian tersebut tidak dapat dibandingkan secara proporsional karena

eksperimen dilakukan pada konsentrasi yang sangat rendah (3,3–100 ng.l-1

Hg2+

dan 1,1 – 130 ng.l-1

CH3Hg

+) dan waktu yang sangat singkat (8 jam). Berbagai spesies biota akuatik mempunyai

perbedaan kemampuan mengakumulasi CH3Hg+ dan Hg

2+. Hal ini yang disebabkan oleh sistem

pengaturan logam (termasuk merkuri) di dalam tubuh berbagai spesies tersebut tidak sama[12]

. Perbedaan ini dimulai dari kemampuan adsorpsi CH3Hg

+ dan Hg

2+ ke dinding sel selanjutnya melewati

membran sel sampai dengan detoksifikasi keluar sel[13]

. Internalisasi CH3Hg+ dan Hg

2+ dari medium air

ke dalam tubuh tergantung dari kemampuan sel insang masing-masing biota mentransportasikan ke dalam sel darah merah.

Tahapan berikutnya adalah CH3Hg+ dan Hg

2+ didistribusikan ke seluruh organ tubuh biota dan

sebagian lagi diekresikan. Sistein merupakan protein yang kaya akan gugus sulfhidril berperan dalam proses pengambilan dan distribusi CH3Hg

+ dan Hg

2+. Metalotionin adalah protein berbobot molekul

rendah, kaya akan gugus sulfhidril berperan mengekresikan Hg2+

keluar tubuh biota[14]

. Glutation yang juga kaya akan gugus sulfhidril berperan mengeluarkan CH3Hg

+

[15]. Berdasarkan penjelasan di atas,

maka berbagai jenis spesies memiliki perbedaan kemampuan sintesis sistein, metalotionin dan glutation yang berperan dalam proses pengambilan, pelepasan dan akumulasi CH3Hg

+ dan Hg

2+ .

Pelepasan CH3Hg+ dan Hg

2+ dari dalam tubuh O. mossambicus setelah terpapar kedua

kontaminan tersebut selama 30 hari ditunjukkan pada Gambar 2.

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80

10

100

1000

10000

CFt =2001,92 (1- e

-0,043.t)

CFt =175,72 (1- e

-0,071..t)

Fak

tor

Kon

sent

rasi

, CF

Lama Paparan (Hari)

Prediksi CH3Hg

+

CH3Hg

+ 0,361 g.l

-1

Prediksi Hg2+

Hg2+

10,0 g.l-1

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80

10

100

1000

10000

CFt =159.88 (1- e

-0,0766.t )

CFt =1445,41 (1- e

-0,0483.t )

Fak

tor

Ko

nse

ntr

asi

(m

l.g

-1)

Lama Paparan (Hari)

Prediksi CH3Hg

+

CH3Hg

+ 1,832 g.l

-1

Prediksi Hg2+

Hg2+

20 g.l-1

Page 66: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565

Volume 14 Nomor 1 Juli 2011 (Volume 14, Number 1, July, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

60

(a)

(b)

Gambar 2. Pelepasan Hg dari tubuh O. Mossambicus setelah terpapar berbagai konsentrasi CH3Hg+

dan Hg2+

selama 30 hari. (a) terpapar CH3Hg+ (b) terpapar Hg

2+

Mengacu pada Gambar 2, mekanisme pelepasan CH3Hg

+ melalui satu tahapan. Disisi lain

mekanisme pelepasan Hg2+

melalui 1 tahapan dan 2 tahapan (laju lambat dan cepat). Konstanta laju pelepasan cepat Hg

2+ berkisar antara 0,0302 -0,0614 hari

-1. Laju pelepasan lambat berkisar antara

0,0141 – 0,0178 hari-1

. Perkiraan pelepasan Hg2+

setelah terpapar oleh medium Hg2+

2,0; 10,0 dan 20,0 µg.l

-1 adalah:

(1)

(2)

(3)

Untuk memprediksi kemampuan bioakumulasi merkuri laju pelepasan dihitung hanya satu tahapan

[12]. Menggunakan metode perhitungan tersebut, maka konstanta laju pelepasan CH3Hg

+ dan

Hg2+

dari tubuh O. mossambicus masing-masing sebesar 0,0102 – 0,0110 hari-1

dan 0,0270 – 0,0238 hari

-1. Berdasarkan data tersebut maka CH3Hg

+ ditahan 2,13 - 2,16 kali lebih lama dalam tubuh O.

mossambicus dibandingkan dengan Hg2+

. Sebagai perbandingan, ikan G. affinis menahan CH3Hg+

1,17 kali lebih lama dibandingkan Hg2+ [11]

. Ikan L. microlophus menahan CH3Hg+ 1,43 - 1,67 kali lebih

lama dibandingkan Hg2+

[11]

. Ikan O. niloticus menahan CH3Hg+ 7,2 kali lebih lama dibandingkan Hg

2+

[12]. Oreochromis mossambiscus menahan CH3Hg

+ lebih lama dibandingkan Hg

2+ karena jalur

pelepasannya terdiri dari berbagai mekanisme. Jalur utama pelepasan CH3Hg

+ melalui biotransformasi menjadi bentuk anorganik untuk

selanjutnya diekresikan sebagai ion Hg2+

. Jalur lainnya adalah sekresi CH3Hg+ ke dalam empedu,

berikatan dengan berbagai macam senyawaan sulfhidril nonprotein. Sebagai tambahan pelepasan CH3Hg

+ juga dapat melalui sistem pernafasan. Metil merkuri bersaifat lifofilik dan cepat diserap insang

dari medium air. Ultrafiltrasi atau fraksi CH3Hg+ yang tidak terikat oleh darah merah dan tetap berada

dalam plasma darah dapat dipindahkan kembali ke dalam insang dan selanjutnya diekskresikan keluar tubuh

[17].

Untuk memprediksi relatif kontribusi pengambilan Hg2+

pada proses bioakumulasi merkuri, fraksi CH3Hg

+ dalam lingkungan perairan harus ditetapkan. Berbagai studi pemantauan lingkungan

melaporkan fraksi CH3Hg+ sangat kecil dibandingkan total merkuri yang terkandung di dalam air.

Secara umum fraksi CH3Hg+ terhadap Hg

2+ pada lingkungan perairan sebesar 5%

[18]. Pada prediksi

ini digunakan asumsi rasio CH3Hg+

terhadap Hg2+

sebesar 5 - 10%. Prediksi menggunakan persamaan (4).

0 5 10 15 20 25 30

40

50

60

70

80

90

100

110

F

raksi te

rta

ha

n d

ala

m tu

bu

h (

%)

Lama depurasi (hari)

Prediksi 0,021 g.l-1

CH3Hg

+

Prediksi 0,015 g.l-1

CH3Hg

+

Prediksi 0,0361 g.l-1

CH3Hg

+

Prediksi 1,832 g.l-1

CH3Hg

+

0,021 g.l-1

CH3Hg

+

0,015 g.l-1

CH3Hg

+

0,0361 g.l-1

CH3Hg

+

1,832 g.l-1

CH3Hg

+

0 5 10 15 20 25 30

40

50

60

70

80

90

100

110

Fra

nsi te

rta

ha

n d

ala

m tu

bu

h (

%)

Lama depurasi (hari)

Prediksi 0,4 g.l-1

Hg2+

Prediksi 2,0 g.l-1

Hg2+

Prediksi 10,0 g.l-1

Hg2+

Prediksi 20,0 g.l-1

Hg2+

0,4 g.l-1

Hg2+

2,0 g.l-1

Hg2+

10,0 g.l-1

Hg2+

20,0 g.l-1

Hg2+

Page 67: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Budiawan, Heny Suseno: Prediksi Metilasi Merkuri pada Bioakumulasi Merkuri Anorganik oleh Oreochromiss mossambicus

61

(4)

Untuk keperluan perhitungan tersebut parameter bioakumulasi (CFss, ku, ke) dari seluruh

variabel yang mempengaruhi bioakumulasi melalui jalur air ( konsentrasi Hg2+

dan CH3Hg+, kandungan

partikulat, perubahan salinitas dan pengaruh ukuran O. mossambicus) harus ditetapkan. Nilai CF digunakan untuk prediksi metilasi adalah rerata CF prediksi yang diperoleh dari

eksperimen yaitu: Variabel percobaan pengaruh konsentrasi, digunakan nilai CF CH3Hg+ 2001,92 dan

CF Hg2+

222,6. Hasil perhitungan yang merepresentasikan kontibusi Hg

2+ terhadap bioakumulasi total merkuri

ditunjukkan pada Gambar 3

Gambar 3. Prediksi persentase kontribusi Hg

2+ terhadap bioakumulasi

merkuri secara keseluruhan oleh O. mossambicus

Gambar 3 menunjukkan bahwa pada asumsi rasio konsentrasi CH3Hg+ terhadap Hg

2+ di perairan

payau 0,1 sampai 0,25, maka diperoleh estimasi rasio fraksi Hg2+

di dalam tubuh O. mossambicus hanya berkisar 14,3 - 27,5%. Hasil perhitungan menunjukkan kontribusi CH3Hg

+ terhadap total

akumulasi merkuri adalah 85,7%. Berdasarkan hal tersebuk terbukti tidak terjadi metilasi dalam tubuh O. mossmbicus.

KESIMPULAN

1. Kemampuan bioakumulasi CH3Hg+ dan Hg

2+ dari medium air yang dinyatakan sebagai CF berturut-

turut berkisar 1217,65 – 1308,46 dan 137,61-179,72. Prediksi berdasarkan persamaan non linier nilai CFss CH3Hg

+ dan Hg

2+ berturut-turut 1763l,90 - 2001,92 dan 162,42 – 222,60.

2. Laju pengambilan CH3Hg+ oleh O.mossambicus melalui jalur air lebih besar dibandingkan Hg

2+.

Metil merkuri lebih lama ditahan dalam tubuh O. mossambicus dibandingkan dengan Hg2+

3. Prediksi kandungan CH3Hg

+ di dalam O.mossambicus sebagai akibat prilaku bioakumulasinya air

adalah 85,7%. Berdasarkan kalkulasi tersebut maka metilasi tidak terjadi di dalam tubuh ikan.

0

20

40

60

80

100

1200

0.02

0.04

0.06

0.08

0.1

0.12

0.14

0.16

0.18

0.2

0.22

0.24

Frak

si H

g2+

dal

am t

ub

uh

ikan

(%

)

Rasio relatif konsentrasi CH3Hg+ terhadap Hg2+

Page 68: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565

Volume 14 Nomor 1 Juli 2011 (Volume 14, Number 1, July, 2011) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

62

DAFTAR PUSTAKA

[1]. WHO. Guidance for identifying populations at risk from mercury exposure, Issued by UNEP DTIE Chemicals Branch and WHO Department of Food Safety, Zoonoses and Foodborne Diseases Geneva, Switzerland(2008)

[2]. Gochfeld, M . Cases of mercury exposure, bioavailability, and absorption. Ecotoxicology and Environmental Safety 56, 174–179(2003)

[3]. Schwindt, R.A et al. Mercury Concentrations in Salmonids from Western U.S. National Parks and Relationships With Age and Macrophage Aggregates. Environ. Sci. Technol. 2, 1365–1370(2008)

[4]. Houserova,P., et al. Determination of total mercury and mercury species in fish and aquatic ecosystems of moravian rivers. Veterinarni Medicina, 51(3): 101–110, 2006

[5]. Wang, W-X ., Wong, R.S.K. Bioaccumulation kinetics and exposure pathways of inorganic mercury and methylmercury in a marine fish, the sweetlips Plectorhinchus gibbosus. Mar Ecol Prog Ser 261: 257–268(2003)

[6]. Rudd, J.W.M. ,Furutani, A., Turner, M.A. Mercury methylation by fish intestinal contents, Appl Env Micobiology 40,4:777-7(1980)

[7]. Ishikawa, N.M., et al. Hematological Parameters in Nile Tilápia, Oreochromis niloticus Exposed to Sub-letal Concentrations of Mercury. Brazilian Archives of Biology and Technology. 50, 4 : 619-626 (2007)

[8]. IAEA. Sediment Kds and concentration factors for radionuclides in the marine environment.

International Atomic Energy Agency Tech Rep Ser 247:1–44(1985) [9]. Lacoue-Labarthe, T. et al. Bioaccumulation of Inorganic Hg by the Juvenile Cuttlefish Sepia

officinalis Exposed to 203

Hg Radiolabelled Seawater and Food, Aquat Biol 6, 91–98 (2009) [10]. Pickhardt, P.C., Stepanova,M.C., Fisher, N.S. Contrasting Uptake Routes and Tissue

Distributions of Inorganic and Methylmercury in Mosquitofish (Gambusia affinis) and Redear Sunfish (Lepomis microlophus) Environ. Toxicol. Chem. 25,8: 2132–2142 (2006)

[11]. Wang, R., Wong, M.H., Wang, W-X. Mercury exposure in the freshwater tilapia Oreochromis niloticus. Environmental Pollution 158: 2694-2701 (2010)

[12]. Luoma, S.N., Rainbow, P. Why Is Metal Bioaccumulation So Variable? Biodynamics as a Unifying Concept Critical Review. Environmental Science & Technology 39, 7:1921-1931 (2005)

[13]. Vijver, M.G. The Ins and Outs of Bioaccumulation Metal Bioaccumulation Kinetics in Soil Invertebrates in Relation to Availability and Physiology. PhD Desertation, Vrije Universiteit,

Amsterdam, The Netherlands(2005) [14]. Otsuka, F.Molecular Mechanism of the Metallothionein Gene Expression Mediated by Metal-

Responsive Transcription Factor, Journal of Health Science, 47(6): 513-519(2001) [15]. Grotto, D., et al. Low level and sub-chronic exposure to methylmercury induces hypertension in

rats: nitric oxide depletion and oxidative damage as possible mechanisms, Arch Toxicol. 83, 653–

662 (2009). [16]. Schultz, I.R., Peters, E.L., Newman, M.C. Toxicokinetics and Disposition Of Inorganic Mercury

And Cadmium In Channel Catfish After Intravascular Administration. Toxiicol. Appl. Pharmacol. 140, 39-43 (1996)

[17]. Morel,F.M.M., Kraepiel, A.M.L., Amyot, M (1998). The Chemical Cycle and Bioaccumulation of Mercury. Annu. Rev. Ecol. Syst. 29,543–66 (1998)

Page 69: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565

Volume 14 Nomor 1 Juli 2011 (Volume 14, Number 1, July, 2011)

Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

63

ASPEK LINGKUNGAN PADA SISTEM PROTEKSI RADIASI

Suzie Darmawati Pusat Standardisasi dan Jaminan Mutu Nuklir-BATAN,

Kawasan Puspiptek, Serpong, Tangerang 15310 ABSTRAK

ASPEK LINGKUNGAN PADA SISTEM PROTEKSI RADIASI. Proteksi radiasi adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk memberikan perlindungan bagi manusia terhadap efek pajanan radiasi yang berbahaya. Untuk mencapai tujuan ini telah dikembangkan sistem proteksi radiasi yang menerapkan prinsip pembenaran, optimisasi dan pembatasan dosis. Selama bertahun-tahun diyakini bahwa dengan menerapkan ketiga prinsip tersebut kepada manusia, semua spesies yang lain tidak berada dalam bahaya. Namun demikian dalam sepuluh tahun terakhir ini timbul kesadaran bahwa banyak kegiatan terkait nuklir dan radiasi oleh manusia modern yang walaupun tidak berbahaya bagi manusia, ternyata membawa dampak bagi lingkungan. Untuk itu maka telah dikembangkan suatu sistem proteksi radiasi lingkungan yang memperhitungkan efek yang terjadi pada hewan dan tanaman jika menerima pajanan radiasi. Lebih jauh, mengingat saat ini dipandang tidak ada lagi bagian bumi yang lingkungannya terisolasi dari populasi manusia, telah dikembangkan pula suatu sistem proteksi radiasi terpadu yang menggabungkan sistem proteksi radiasi manusia dengan sistem proteksi radiasi lingkungan. Kata Kunci : Proteksi radiasi, lingkungan, sistem terpadu

ABSTRACT

ENVIRONMENTAL ASPECTS IN RADIATION PROTECTION SYSTEM. Radiation protection is a mean to give protection to people from the detrimental effects of exposure to radiation. To achieve this objective a radiation protection system which implements the principles of justification, optimisation and dose limits has been developed. For years it has been believed that by implementing those three principles to people, all other species are not put at risk. In the last decade, however, it is realized that many modern human activities related to nuclear or radiation which even though not bring a dangerous situation to people, bring about an impact to the environment. For this purpose it has been developed a system of radiation protection for non-human environment by considering effects that may happen to animals and plants if they receive radiation exposures. Moreover, since at present there is no part of earth considered to be isolated from human population, it has also been developed an integrated radiation protection system which combine both human and environment radiation protection systems. Keywords : Radiation protection, environmental, integrated system PENDAHULUAN

Bahan nuklir, zat radioaktif dan atau sumber radiasi lainnya merupakan bahan yang banyak membawa manfaat dan berperan penting dalam upaya meningkatkan mutu hidup manusia. Selain bahan nuklir yang dapat digunakan utuk memproduksi energi listrik, berbagai zat radioaktif dan atau sumber radiasi lainnya telah dimanfaatkan di berbagai bidang terutama medik, industri dan pertanian. Selain membawa manfaat yang sangat besar, diketahui pula bahwa penggunaan ketiga bahan ini (yang untuk memudahkan selanjutnya disebut hanya sebagai radiasi) memiliki efek yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Efek radiasi dapat berupa deterministik maupun stokastik. Efek deterministik merupakan efek yang dapat terjadi pada suatu organ atau jaringan tubuh tertentu yang menerima radiasi dengan dosis tinggi, sementara efek stokastik merupakan efek akibat penerimaan radiasi dosis rendah di seluruh tubuh yang baru diderita oleh orang yang menerima dosis setelah selang waktu tertentu, atau oleh turunannya. Dengan adanya kedua jenis efek yang berbahaya ini maka setiap aplikasi radiasi harus diatur dan diawasi secara ketat oleh instansi yang diberi tanggung jawab untuk melaksanakan pengawasan tersebut.

Page 70: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Suzie Darmawati: Aspek Lingkungan pada Sistem Proteksi Radiasi

64

Upaya pemahaman tentang fenomena yang terjadi jika radiasi berinteraksi dengan jaringan tubuh ini termasuk dalam cabang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) proteksi radiasi. Secara umum, proteksi radiasi adalah tindakan yang dilakukan untuk melindungi pekerja, anggota masyarakat dan lingkungan hidup dari efek bahaya radiasi.

Proteksi radiasi merupakan iptek yang pada awalnya dikembangkan dengan pendekatan moral anthroposentrik. Dengan pendekatan ini maka umat manusia merupakan obyek utama atau bahkan satu-satunya yang perlu diberikan perlindungan dari efek radiasi yang berbahaya tersebut. Komisi Internasional untuk Proteksi Radiologik (ICRP, International Commission on Radiological Protection), suatu organisasi internasional yang bekerja untuk memberikan rekomendasi dan pedoman mengenai proteksi terhadap risiko yang berkaitan dengan radiasi pengion, merupakan salah satu institusi yang menggunakan pendekatan ini dalam rekomendasinya. Pada paragraf 14 dari rekomendasi ICRP tahun 1977, misalnya, dinyatakan bahwa “… tingkat keselamatan yang diperlukan untuk proteksi semua individu manusia dipercaya cukup untuk melindungi spesies lain, meskipun bukan anggota individual dari spesies tersebut. ICRP dengan demikian yakin bahwa jika manusia telah cukup diproteksi, maka semua makhluk hidup lain juga telah cukup terproteksi”. [1].

Hingga tahun 1990 ICRP mempertahankan pendekatan anthroposentrik ini terkait dengan pengendalian lingkungan akibat kegiatan manusia yang melibatkan penggunaan radiasi. Hal ini terlihat pada paragraf 16 dari rekomendasinya pada tahun 1990 tersebut yang menyatakan bahwa: “ICRP yakin bahwa standar pengendalian lingkungan yang diperlukan untuk melindungi manusia sampai pada tingkat yang diinginkan saat ini dijamin tidak berisiko bagi spesies lain. Kadang-kadang anggota individual spesies non-manusia mungkin dalam bahaya, namun tidak sampai membahayakan seluruh spesies atau menimbulkan ketidakseimbangan antara spesies….”[2].

Namun demikian, dalam perkembangan lebih lanjut timbul kesadaran bahwa banyak kegiatan terkait nuklir oleh manusia modern yang walaupun tidak berbahaya bagi manusia, ternyata membawa dampak bagi lingkungan. Sebagai contoh adalah penipisan lapisan ozon sebagai akibat penggunaan chlorofluorocarbons (CFC) yang sebenarnya zat kimia non-racun bagi manusia namun mengakibatkan kerusakan yang sangat besar bagi lingkungan. Contoh lain dari kegiatan yang mungkin dapat merusak lingkungan namun tidak langsung membahayakan manusia adalah pembuangan limbah nuklir ke laut dalam, atau dekomisioning kapal selam nuklir.

Dengan pertimbangan di atas, pendekatan anthroposentrik sudah tidak lagi dapat diterima oleh beberapa komponen masyarakat. Sebagai gantinya diperkenalkan pendekatan biosentrik. Dalam pendekatan biosentrik ini, posisi moral dapat dan juga telah diperluas ke anggota individu spesies lain, sehingga sebagai akibatnya juga timbul kewajiban yang terkait dengan individu tersebut [3].

Namun demikian, pendekatan biosentrik ternyata masih belum memenuhi etika moral yang diharapkan. Pendekatan ini hanya menggeser pemantauan lingkungan dari manusia ke spesies yang dipilihnya tanpa dasar yang kuat. Pemilihan ikan sebagai hewan yang dilindungi dan bukan hewan yang lain, misalnya, hanya bergantung pada kebutuhan sesaat manusia yang memberikan perlindungan tersebut.

Pendekatan lain yang kemudian menjadi pilihan utama adalah pendekatan ekosentrik. Dalam pendekatan ini, etika moral dapat diperluas ke hampir semua yang ada di lingkungan, walaupun fokus utamanya adalah keseluruhan dan keragaman ekosistem dan bukan signifikansi moral dari masing-masing komponen individu yang ada di dalamnya. Pendekatan ini dengan demikian memperlihatkan adanya kebutuhan akan suatu sistem yang memadukan berbagai komponen kehidupan yang ada. Dalam kaitannya dengan sistem proteksi radiasi, pendekatan ekosentrik meminta agar sistem tersebut dapat memadukan proteksi manusia dengan proteksi lingkungan.

Sebelum menyusun suatu sistem proteksi yang terpadu, sudah tentu perlu ditetapkan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan proteksi lingkungan. Lebih jauh lagi, apa yang dimaksud dengan lingkungan itu sendiri. Selanjutnya, apa yang ingin diproteksi, bagaimana mengkaji efek dan memperkirakan risikonya, bagaimana pengaturan proteksinya, dan juga bagaimana memadukan sistem proteksi radiologik lingkungan ini dengan sistem proteksi radiologik manusia yang telah jauh lebih mapan [4]. Setelah sistem proteksi lingkungan ini ditetapkan, barulah sistem proteksi terpadu dapat dikembangkan dengan baik.

LINGKUNGAN DAN PROTEKSI LINGKUNGAN

Pada dasarnya lingkungan dapat diartikan secara sempit, tapi juga bisa diartikan secara luas. Jika lingkungan dibatasi hanya yang terkait dengan habitat manusia, maka sistem proteksi radiasi manusia juga, jika dilaksanakan dengan benar, telah memberikan proteksi lingkungan. Dengan sistem proteksi manusia, lingkungan dipantau untuk menjamin bahwa masyarakat tidak menerima dosis radiasi

Page 71: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565

Volume 14 Nomor 1 Juli 2011 (Volume 14, Number 1, July, 2011)

Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

65

dari lingkungan. Untuk maksud ini, misalnya, badan pengawas radiasi atau nuklir dapat menetapkan batas buangan zat radioaktif ke lingkungan.

Namun demikian, jika lingkungan didefinisikan lebih luas dari sekedar manusia dan lingkungan terdekatnya, maka sistem proteksi manusia tidak dapat memberikan proteksi lingkungan yang diinginkan. Beberapa contoh yang dikemukakan sebelumnya, seperti pembuangan limbah nuklir ke laut dalam, memperlihatkan bahwa lingkungan mungkin saja tercemar tanpa ada manusia yang terkena efeknya.

Dalam hal lingkungan yang ingin diproteksi, isu ini juga cukup pelik. Konvensi PBB tentang Hukum Laut, misalnya, menyatakan bahwa setiap negara harus “ … melakukan semua tindakan yang perlu untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut dari semua sumber” [5]. Di bagian lain dari konvensi ini dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan pencemaran didefinisikan sebagai sesuatu yang dapat menyebabkan bahaya. Namun, apa itu bahaya? Apakah adanya suatu bahan di lingkungan, ataukah jumlah bahan tersebut yang dapat, misalnya, membunuh suatu populasi ikan?

Dalam lingkungan yang lebih luas, dapat pula dipertanyakan apakah yang akan diproteksi itu individu flora atau fauna tertentu, atau populasinya, atau ekosistem secara keseluruhan yang mengandung flora dan fauna tersebut?

Dalam hal pengaturan proteksi radiologik lingkungan, sifat dari efek secara global, regional maupun lokal perlu dipertimbangkan. Untuk efek yang melintasi batas negara melalui pergerakan radioaktif lewat udara atau lautan seperti akibat dari percobaan senjata nuklir atau kecelakaan Chernobyl, pengaturan dengan konsensus secara internasional mutlak diperlukan. Namun demikian, untuk kecelakaan yang efeknya terbatas hanya pada dua atau tiga negara, konsensus regional tampaknya dapat dilakukan. Jika efeknya sangat terbatas hanya pada satu negara, seperti dari penyimpanan limbah radioaktif di suatu lokasi tertentu, konsensus tampaknya juga bisa dilakukan secara nasional. Dengan demikian, sistem proteksi radiologik lingkungan tampaknya harus cukup fleksibel untuk dapat mengadaptasi keadaan lokal, regional atau global, tanpa melupakan keragaman ekosistem yang ada. STUDI EFEK RADIASI PADA LINGKUNGAN

Pada tahun-tahun terakhir ini studi efek radiasi pada lingkungan telah banyak dilakukan. Studi difokuskan pada pengembangan metodologi dalam mengkaji dan mengevaluasi pajanan pada flora dan fauna yang terdapat pada lingkungan akuatik dan terestrial, dan melalui tahapan seperti yang diberikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Tahapan pada kajian dan evaluasi pajanan dan biota di lingkungan akuatik dan terestrial

Page 72: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Suzie Darmawati: Aspek Lingkungan pada Sistem Proteksi Radiasi

66

Pada tahun 2005, ICRP membentuk komite yang khusus membahas isu proteksi lingkungan

dengan tujuan untuk menyusun suatu kerangka yang mengkaji dan mengevaluasi pajanan pada biota. Komite memutuskan untuk mengadopsi pendekatan yang dibuat oleh dua buah proyek Komisi Eropa, FASSET dan ERICA, untuk melakukan kajian dan evaluasi tersebut.

Mengingat sangat beragamnya komponen lingkungan, akan mustahil untuk mempertimbangkan semua komponen lingkungan tersebut dalam pengkajian dan evaluasi. Untuk itu maka telah diambil suatu set 12 organisme hewan dan tanaman acuan untuk mewakili ekosistem terestrial, air tawar dan air laut [6].

Isu penting dalam pengkajian proteksi radiasi pada lingkungan adalah kaitan pajanan dengan efek yang terjadi pada komponen lingkungan. Jika tujuan utama pada sistem proteksi radiasi manusia adalah mencegah terjadinya efek deterministik dan membatasi kemungkinan terjadinya efek stokastik, maka ICRP telah menyatakan bahwa tujuan proteksi radiasi lingkungan adalah konservasi spesies, dan melindungi habitat, komunitas, dan ekosistem [7].

Untuk tujuan ini ICRP menggunakan pendekatan hewan dan tanaman acuan sebagai dasar sistematik untuk menghubungkan pajanan radiasi dengan dosis, dan dosis ke berbagai efek yang mungkin timbul, seperti kematian awal, morbiditas, pengurangan kapasitas reproduksi, atau kerusakan kromosom baik dari efek stokastik maupun deterministik. Dalam memilih hewan dan tanaman acuan ini ICRP menggunakan beberapa kriteria, antara lain informasi radiobiologi dari yang dipilih telah tersedia cukup banyak, merupakan wakil tipikal dari ekosistem tertentu, paling mungkin menerima radiasi, efek pada setiap organisme individu akibat pajanan radiasi dapat diidentifikasi, dan pembuat keputusan serta masyarakat umum telah mengenalnya dalam bahasa sehari-hari [6]. Hewan dan tanaman acuan yang diambil ICRP adalah kijang (mewakili mamalia terestrial besar), tikus (mamalia terestrial kecil), bebek (burung akuatik), katak (amfibi), trout (ikan air tawar), ikan pari (ikan laut), kumbang (serangga terestrial), kepiting (hewan air berkulit keras), cacing tanah (annelid terestrial), pinus (tanaman terestrial besar), rumput liar (tanaman terestrial kecil) dan rumput laut coklat (rumput laut).

Berdasarkan data hubungan pajanan dengan efek yang ada, ICRP telah mengusulkan suatu Tingkat Acuan Tertimbang Turunan (DCRL, derived consideration reference levels) untuk 12 hewan dan tanaman acuan di atas (lihat Tabel 1). Nilai DCRL dipilih sebagai rentang dosis yang dalam berbagai studi tidak menunjukkan adanya efek yang berbahaya bagi biota tersebut.

DCRL pada dasarnya juga bukan nilai batas dosis, namun merupakan suatu zona dosis yang memerlukan evaluasi lebih rinci terhadap situasi yang terjadi sekiranya dosis tersebut dicapai. Evaluasi yang dilakukan antara lain adalah jenis situasi pajanan (terencana, yang ada atau kedaruratan), ukuran daerah yang terkena, periode waktu pajanan, fraksi populasi spesies yang tersinar pada tingkat dosis tersebut, kelayakan basis data yang digunakan untuk perkiraan dosis, dan tingkat kehati-hatian yang diperlukan untuk pengkajian [8].

Tabel 1. Tingkat Acuan Tertimbang Turunan (DCRL) untuk biota (hewan dan tanaman) acuan.

Biota acuan DCRL (mGy/hari) Biota acuan DCRL (mGy/hari)

Kijang 0,1 - 1 Kumbang 10 – 100

Tikus 0,1 – 1 Kepiting 10 – 100

Bebek 0,1 – 1 Cacing tanah 10 – 100

Katak 1 – 10 Pinus 0,1 – 1

Trout 1 – 10 Rumput liar 1 – 10

Ikan pari 1 - 10 Rumput laut coklat 10 – 100

PROTEKSI RADIASI TERPADU

Dalam perkembangan lebih lanjut disadari bahwa proteksi radiasi manusia tidak dapat dipisahkan dari proteksi radiasi lingkungan, karena sebenarnya keduanya merupakan komponen penghuni bumi yang bergantung satu sama lain. Untuk itu, sambil terus mengembangkan sistem proteksi radiasi lingkungan, para ahli juga mulai mengembangkan suatu sistem proteksi radiasi terpadu yang menggabungkan kedua sistem proteksi radiasi manusia dan lingkungan ini.

Sistem proteksi radiasi terpadu pertama kali diusulkan oleh Penreath [9]. Menurut Penreath, tujuan proteksi radiasi terpadu adalah menjaga kesehatan manusia dengan mencegah terjadinya efek deterministik dan membatasi efek stokastik pada individu dan meminimalkannya pada populasi, serta menjaga lingkungan dengan mencegah atau mengurangi frekuensi efek yang mungkin dapat

Page 73: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565

Volume 14 Nomor 1 Juli 2011 (Volume 14, Number 1, July, 2011)

Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

67

menyebabkan terjadinya kematian awal atau mengurangi keberhasilan reproduksi pada individu fauna dan flora tanpa memberikan dampak pada pelestarian spesies, pemeliharaan keragaman hayati, atau kesehatan dan status ekosistem.

Sistem proteksi radiologik terpadu secara umum dengan demikian harus mengembangkan sistem proteksi radiologik lingkungan dengan metodologi dan dasar ilmiah yang sama dengan sistem proteksi radiologik manusia. Pendekatan dalam sistem proteksi radiologik terpadu ini dapat dilihat pada Gambar 2 [8]. Seperti terlihat pada Gambar 2, untuk semua sumber pajanan radiasi, pengkajian pajanan dan evaluasi pajanan pada manusia dan biota diawali dengan tingkat konsentrasi radiasi di lingkungan. Pajanan masing-masing dihitung untuk manusia acuan dan hewan dan tanaman acuan. Keputusan yang akan diambil terkait pajanan manusia ditentukan oleh perbandingannya dengan nilai batas dosis dan penghambat dosis untuk situasi pajanan terencana dan yang ada, dan dengan tingkat acuan untuk situasi pajanan kedaruratan. Sedang pajanan pada biota dapat dievaluasi dengan membandingkannya dengan DCRL, dengan mempertimbangkan kondisi spesifik situasi pajanan.

Dalam kaitan di atas, situasi pajanan terencana adalah situasi pajanan yang melibatkan penggunaan sumber radiasi dengan sengaja, situasi pajanan yang ada adalah situasi pajanan yang melibatkan pajanan berkepanjangan setelah terjadinya kecelakaan, sementara situasi pajanan kedaruratan adalah situasi pajanan yang memerlukan tindakan segera untuk menghindari atau mengurangi konsekuensi yang tidak diinginkan [7].

Gambar 2. Skema untuk pengkajian dan evaluasi pajanan pada manusia dan biota

Jika lepasan radiasi ke lingkungan yang dapat menimbulkan pajanan pada manusia masih memenuhi nilai batas dosis, pada umumnya tidak ada risiko pajanan bagi biota yang ada di lokasi yang sama. Namun demikian, jika pajanan pada biota terjadi pada daerah yang tidak ada populasi manusianya, tidak berarti dampak radiologik pada biota ini dapat diisolasi. Di dunia yang memiliki hampir tujuh milyar manusia ini, lingkungan yang tidak berpopulasi akan selalu menjadi bagian dari habitat manusia – atau akan menjadi bagian habitat manusia dalam waktu mendatang, sehingga tetap harus diperhitungkan sebagai sumber aktual atau potensi sumber bagi pajanan manusia.

Page 74: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Suzie Darmawati: Aspek Lingkungan pada Sistem Proteksi Radiasi

68

KESIMPULAN

Proteksi radiasi lingkungan merupakan topik yang masih akan terus dibahas karena pengetahuan mengenai efek radiasi pada spesies non-manusia masih sangat terbatas. Untuk mendukung pengembangannya maka pada tahun-tahun terakhir ini telah dikembangkan metodologi untuk memperkirakan pajanan pada hewan dan tanaman dan mengevaluasi pajanan tersebut dalam kaitannya dengan efek yang dapat terjadi. Tingkat Acuan Tertimbang Turunan (DCRL) yang diusulkan ICRP merupakan salah satu dasar untuk dapat mengevaluasi lebih rinci terhadap situasi yang terjadi sekiranya dosis tersebut dicapai.

Selain itu, perkembangan terakhir menunjukkan perlunya disusun suatu sistem proteksi radiasi terpadu yang menggabungkan sistem proteksi radiasi manusia dengan sistem proteksi radiasi lingkungan, mengingat saat ini dipandang tidak ada lagi bagian bumi yang lingkungannya terisolasi dari populasi manusia.

DAFTAR PUSTAKA

[1]. ICRP. Recommendations of the International Commission on Radiological Protection. Publication 26. Annals of the ICRP Vol.1 No.3. Pergamon Press, Oxford (1977).

[2]. ICRP. Recommendations of the International Commission on Radiological Protection. Publication 60. Annals of the ICRP Vol.21 No.1-3. Pergamon Press, Oxford (1991).

[3]. ICRP. A Framework for Assessing the Impact of Ionizing Radiation on Non-human Species. Publication 91. Annals of the ICRP Vol.33 No.3. Pergamon Press, Oxford (2003).

[4]. OECD/NEA. Radiological Protection of the Environment. ISBN 92-64-18497-X. OECD, Paris (2003).

[5]. Konvensi PBB tentang Hukum Laut. [6]. ICRP. Environmental Protection: The Concept and Use of Reference Animals and Plants.

Publication 108. Annals of the ICRP Vol.38 No.4-6. Pergamon Press, Oxford (2008). [7]. ICRP. The 2007 Recommendations of the International Commission on Radiological Protection.

Publication 103. Annals of the ICRP Vol.27 No.2-4. Pergamon Press, Oxford (2007).

[8]. Gerhard, P., et.al, The Activities of The IAEA in Developing Standards on Radiological Protection of The Environment, Proc. Third European IRPA Congress, June 14-16 2010, Helsinki, Finland.

[9]. Penreath, J., Radiation Protection of People and The Environment: Developing a common approach. J.Radiol. Prot. 22 (2002).

Page 75: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011

Akreditasi B No. 284/AU1/P2MBI/05/2010 SK Kepala LIPI Nomor : 452/D/2010, Tanggal : 6 Mei 2010

JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH

Pedoman Penulisan Naskah

Redaksi Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah menerima naskah/makalah karya tulis ilmiah dari kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang pengelolaan limbah yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, penyimpanan limbah, dekontaminasi-dekomisioning, keselamatan lingkungan dan radioekologi kelautan untuk penerbitan pada bulan Juni dan Desember setiap tahun.

Ketentuan penulisan naskah : 1. Naskah asli yang belum pernah dipublikasikan berupa karya tulis ilmiah dari hasil penelitian, survei, pengkajian atau

studi literatur. 2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dengan format: menggunakan kertas A4, 1 kolom dengan

margin atas, bawah, kiri dan kanan masing-masing 3 cm (1,18”). Gunakan jenis huruf “Arial” ukuran 9. Jumlah halaman naskah termasuk gambar dan tabel maksimal 20 halaman,

3. Sistematika penulisan meliputi JUDUL, ABSTRAK, KATA KUNCI, PENDAHULUAN, TATA KERJA, HASIL DAN PEMBAHASAN, KESIMPULAN, UCAPAN TERIMA KASIH (bila ada), DAFTAR PUSTAKA. Untuk makalah pengkajian dan perancangan dapat menyesuaikan.

4. Judul tulisan menggunakan huruf Kapital, bold, font 14. Nama penulis dicantumkan tanpa gelar, bold, font 11, sedangkan alamat penulis berupa Nama Unit Kerja, Instansi dan alamat Instansi.

5. Abstrak tidak melebihi 250 kata, dengan spasi 1, font 9 dan Judul tulisan dicantumkan kembali di dalam abstrak sebagai kalimat pertama. Abstrak berbahasa Inggris ditulis dalam format Italic.

6. Bab dan Sub-bab dalam tulisan tidak bernomor tapi dibedakan dengan huruf besar dan huruf kecil, bold, font 9 7. Penulisan “Tabel” dan “Gambar” dibelakangnya diserta dengan angka Arab dan penjelasannya. Contohnya:

i) . Tabel 1. Hasil Analisis X-RF ………………………………… (ditulis di atas Tabel) ii) . Gambar 2. Kurva Kesetimbangan …………………………. (ditulis di bawah Gambar)

8. Pustaka yang dikutip dalam teks diberi nomor angka Arab di belakangnya sesuai dengan urutan pemunculan dalam Daftar Pustaka. Contoh: Standar IAEA memberi arahan bahwa kegiatan siting umumnya dilaksanakan melalui 4 tahapan utama [3],...

9. Penulisan Daftar Pustaka menggunakan format sebagai berikut: Buku referensi : [1] Akhmediev, M. and Ankiewicz, Y.: A Solution, Nonlinear Pulses and Beams, Chapman & Hall, London (1997). Artikel yang terdapat dalam buku referensi:

[2] Dean, R.G.: Freak waves: A Possible Explanation, in Water Wave Kinetics, Editor: Torum, A and Gudmestad, O.T., Kluwer, Amsterdam, 609 – 612, (1990).

Artikel dari jurnal :

[3] Choppin, G.R.: The Role of Natural Organics in Radionuclide Migration in Natural Aquifer Systems, Radiochim. Acta 58/59, 113, (1992)

Artikel dalam proceeding [4] Chung, F., Erdös, P., Graham , R.: On Sparse Sets Hitting Linear Forms, Proc. of the Number Theory for the

Millennium, I, Urbana, IL, USA, 57 – 72, (2000).

10. Dewan Redaksi berhak untuk menolak suatu tulisan yang dianggap tidak memenuhi syarat. 11. Dewan Redaksi dapat mengedit naskah tanpa mengurangi makna. 12. Isi tulisan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis. 13. Naskah diserahkan dalam bentuk cetakan 2 rangkap disertai compact disk (CD) berisi file naskah dalam format MS

Word.

Page 76: Jurnal Lengkap Vol 14-1-2011