jurnal ilmiah - fh.unram.ac.id filepenjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus...
TRANSCRIPT
JURNAL ILMIAH
SISTEM PERKAWINAN „‟BELIS‟‟ DAN AKIBAT HUKUMNYA DI TINJAU DARI
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
( Studi di Kabupaten Manggarai Nusa Tenggara Timur )
Oleh:
FRANSISKUS DARIS
NIM. D1A011112
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
MATARAM
2015
SISTEM PERKAWINAN „‟BELIS‟‟ DAN AKIBAT HUKUMNYA DITINJAU DARI
UU NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
(Studi di Kabupaten Manggarai Nusa Tenggara Timur)
FRANSISKUS DARIS
D1A011112
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana pelaksanaan
sistem perkawinan „‟Belis‟‟ di Kabupaten Manggarai, untuk mengetahui dan menganalisis
tentang kedudukan dan akibat hukum dari sistem perkawinan „‟Belis‟‟ di tinjau dari Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Untuk mengetahui dan menganalisis
apakah sah perkawinan „‟Belis‟‟ di tinjau dari Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normativ
empiris.Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pelaksanaan sistem perkawinan‟‟Belis‟‟ suda
sesuai dengan aturan adat di Kabupaten Manggarai, jika ditinjau dari Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 bahwa sistem perkawinan „‟Belis‟‟ adalh sah kedudukannya.Akibat
hukum yang ditimbulkan adalah berdampak pada status anak dan kedudukan suami-istri serta
kepastian dalam hal pembagian harta warisan.
Kata kunci: Perkawinan Belis, Akibat Hukumnya
„‟BELIS‟‟ MARRIAGE SYSTEM AND ITS LEGAL EFECT VIEWED FROM LAW
NUMBER OF YEAR 1974 ON MARRIAGE
(A STUDY IN MANGGARAI DISCTRCT NTT)
ABSTRACT
This study aims to incover and analize (1) the system implementation of „‟Belis‟‟
marriage in Manggarai, (2) the position and legal effect of „‟Belis‟‟ marriage system viewed
from the law Number 1 of year 1974 on marriage, (3) if „‟Belis‟‟ marrige is legal if viewed
from Article 2 of Law Number 1 of Year1974 on Marriage. This study applies normative and
empirical law research methot. The result of is study shows that the implementation of
„‟Belis‟‟ marrige is already in accordance with the local custom in Manggarai, and is legalis
viewed from article 2 of law number 1 of year 1974. The legal effects of this marriage are the
status of the children and the spouse and the assurance of inheritance split.
Keywords : „‟Belis” Marriage, Legal Effect
i
I. PENDAHULUAN
Perkawinan adalah merupakan salah satu azas pokok, hidup yang paling utama
dalam pergaulan masyarakat atau suku yang sempurna. Di mana setiap manusia yang
normal pasti memiliki hasrat untuk membina rumah tangga atau keluarga yang bahagia.
Kuatnya pengaruh agama, kepercayaan, serta keyakinan terhadap hukum kekeluargaan
terutama sekali hukum perkawinan yang berlaku bagi tiap-tiap masyarakat di Indonesia
maka dirasa perlu adanya Undang-Undang Perkawinan yang bersifat Nasional.
Sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
sebagai berikut :1
Bagi suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia adalah Mutlak adanya Undang-
Undang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan
memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan
telah berlaku bagi golongan dalam masyarakat kita.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 baru dapat dilaksanakan
secara efektif mulai tanggal 10 Oktober 1975, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
9 Tahun 1975.
Berdasarkan ketentuan pasal 2 ayat satu (1) dan ayat dua (2) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah sebagai berikut :
Perkawinan adalah sah, ababila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu (pasal 2 ayat 1).
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku
(pasal 2 ayat 2).
1 Indonesia, Penjelasan atas Undang-Undang Perkawinan di Indonesia No.1 Th. 1974
ii
Permasalahan yang di angkat dalam penelitian ini adalah (a) Bagaimana tata cara
pelaksanaan sistem perkawinan „‟Belis‟‟ di Kabupaten Manggarai; (b) Untuk mengetahui
dan menganalisis apakah sah system perkawonan „‟Belis‟‟ jika di tinjau dari Pasal 2 UU
No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan; (c) Bagaimana kedudukan dan akibat hukum dari
system perkawinan „‟Belis‟‟ di tinjau dari UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Dalam penelitian ini, penyusun menggunakan penelitian hukum normatif empiris.
Metode Pendekatan yang dipergunakan adalah Pendekatan Perundang-undangan (statute
Approach), Pendekatan Konsep (Conseptual Approach), Pendekatan Perbandingan
Hukum, dan Pendekatan sosiologis (Sosiologicall Approach). Dengan mengumpulkan
jenis data primer dan sekunder , yang di dapat dari sumber data kepustakaan dan data
lapangan. Tehnik pengumpulan data menggunakan data primer, data ini dikumpulkan
dengan cara interview atau wawancara, dan data sekunder yaitu bahan hukum yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang meliputi teori-teori,
pandangan atau pendapat ahli hukum ( doktrin), buku, jurnal-jurnal ilmiah dan jurnal
hukum atau literature, bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus (hukum)
ensiklopedia Indonesia. Serta analisis data yang dipakai adalah metode analisis kualitatif
yaitu penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang di alami
oleh subjek penelitian. Maksud dari pendekatan kualitatif ini yaitu pengumpulan data
diperoleh, disusun, dan disajikan berupa rangkaian berupa rangkaian kalimat-kalimat yang
menggambarkan hasil penelitian yang didasarkan pada masalah yang diteliti, kemudian
dideskripsikan dengan kata-kata sehingga akan lebih muda menjelaskan maksud dari
penelitian ini atau suatu analisa hukum yang didasarkan pada bahan-bahan kepustakaan,
iii
dari hasil wawancara dengan informan yaitu dari instansi terkait, Tokoh agama, tokoh adat
dan atau instansi lain yang berhubungan dengan judul yang diteliti.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mengetahui dan
menganalisis bagaimana pelaksanaan seistem perkawinan “Belis” di Kabupaten
Manggarai, untuk mengetahui dan menganalisis apakah sah perkawinan belis ditinjau dari
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, untuk mengetahui
dan menganalisis tentang kedudukan dan akibat hukum dari sistem perkawinan belis
ditinjau dai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
iv
I. PEMBAHASAN
A. Tata Cara Pelaksanaan Sistem Perkawinan Belis di Kabupaten Manggarai
Nusa Tenggara Timur
Kata “BELIS” adalah sebua istilah budaya manggarai yang tidak bisa
dipisahkan dari ritual adat (sakral) Manggarai dalam proses perkawinan, selain
proses nikah menurut konsep agama. Jika dilihat dari asal muasal kata “BELIS” ini,
dapat disimpulkan bahwa sebuah adiluhung yang bermaksud membudayakan
penghargaan terhadap perempuan dan perkawinan itu sendiri..2
Weda rewa Tuke Mbaru
Dalam upacara ini ada pertemuan resmi antara keluarga laki-laki dengan
keluarga perempuan melalui dialog perundingan yang di motori oleh juru bicara
(tongka) dari masing-masing keluarga.
Upacara Nempung ( Pesta Perkawinan Secara Adat)
Pada upacara ini semua keputusan sejak meminang harus dibawa pada
upacara nempung (wagal) yang mata acara pentingnya (yang mutlak) sebagai berikut
: 3 Tuank Curi (bahan minuman/tuak jemput).
Acara persiapan penentuan tanggal di mana juru bicara dari pihak
perempuan dalam menyampaikannya harus memegang sebotol minuman bertanda
kekrabatan.
2 Antonius Bagul Dagur, Kebudayaan Manggarai sebagai Salah Satu Khasanah kebudayaan Nasional,
(Surabaya:Ubhara Press 1997) hlm. 51 3 Ibid, hlm. 48
v
Keti Ritet (pernyataan tanggal jatuh tempo/hari putusan).
Acara mengambil keputusan tentang tanggal acara puncaknya di
laksanakan, mangambil keputusan bersama antara kedua bela pihak.
Pembayaran belis (uang dan hewan), istilah linnya: Kala Agu Raci Ba.
Membayar belis yang telah di sepakati antara kedua belapihak.
Pembayaran hewan sembelian (rame kawing). Bias di bayar langsun dengan
hewan dan langsung disembeli dan juga bias di bayar pake uang sebanyak yang
telah di tntukan dan di sepakati bersam.
Somp/Wela Hendeng oleh pihak anak rona (pengantaran). Mengantar calon
mempelai perempuan ke rumah mempelai laki-laki.
Wida dan wali tuak yaitu acara rama tamah antara kedua belah pihak dengan
saling menukarkan barang antara keluarga laki-laki dan keluarga perempuan.
Karong lo‟ang yaitu menghantar calon mempelai perempuan ke dalam kamar
dengan mengikuti prosedur adat yang yang telah di tentukan oleh ketua adat.
Upacara Podo/Padong (Antar pengantin wanita kerumah pengantin pria).
Ada dua acara inti dalam upacara ini : 4
a. upacara penjemputan yang diakhiri dengan cara menginjak sebuah telur
ayam (gerep ruha/keda rugha manuk) yang beralaskan dedaunan
berlapis/perempas (saung rntek/saung ngelong, dengan kaki kanan tanpa
alas kaki) sampai pecah. Maknanya, telur yang pecah lambing resmi
4 Ibid, hlm. 51
vi
masuk keluarga suami, air telur yang pecah memenuhi dedaunan berlapis
tadi, bermakna, semoga akan melahirkan anak banyak, berangkai-rangkai
seperti dedaunan itu. Upacara ini dapat dilaksanakan bila keluarga laki-
laki sanggup karena membutuhkan biaya yang relatif mahal untuk
serangkaian acara adat seperti pedeng enden (pembayaran berupa uang
kepada orang tua pengantin wanita sebagai pamitan).
b. upacara “Tempang Pitak”/Petang Pitak (bersihkan lumpur).
Hewan sembelian dalam upacara ini adalah seekor babi/kambing untuk
memohon kepada nenek moyang kedua keluarga mempelai, agar semua
penyakit keturunan baik dari keturunan mempelai laki-laki, dijauhkan,
dibuang oleh darah babi itu dan semua tradisi pantang/tabu (ceki) dari
keluarga mempelai perempuan dinyatakan dibuang dan segera mengikuti
ceki (makanan yang tabu) dari keluarga laki-laki. Makna lain dari upacra
ini adalah do‟a permohonan untuk penghapusan semua kelemahan, baik
kelemahan dari mempelai laki-laki maupun mempelai perempuan
sehingga mereka senantiasa saling mengasihi dan saling melengkapi.5
Berikut ada dua pendapat dari Tokoh adat mengenai Pengertian dari Perkawinan
“belis”, adalah sebagai berikut:
Menurut Bapak Gaspar jawa (Selaku Ketua Adat Mok) mengatakan bahwa;
Pekawinan Belis adalah suatu tata cara perkawinan di mana seorang laki-laki
yang akan melangsungkan perkawinan harus membayar/memberi penghargaan
kepada pihak perempuan yang akan di kawinkannya, dimana pemberian itu harus
berdasarkan permintaan dari pihak perempuan dan telah disepakati oleh kedua
belah pihak (baik itu dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan ). Tata
5 Ibid, hlm. 53
vii
cara perkawinan belis ini harus dilaksanakan karena merupakan suatu budaya
leluhur yang harus dilestarikan.6
Menurut Bapak yohanes Jani (Selaku Ketua Adat Tenda Gereng) mengataakan
bahwa, Perkawinan Belis adalah suatu perkawinan yang dilaksanakan secara adat
dimana seorang laki-laki harus membayar atau member apa yang dimintai oleh
pihak perempuan yang akan dinukahinya sebagai istri, apabila calon suami telah
memenuhi permintaan dari calon istri barulah perkawinan itu sah menurut adat
dan boleh tinggal bersama sebagai suami-istri. 7
B. Keabsahan Perkawinan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan.
Keabsahan suatu perkawinan di atur dalam pasal 2 ayat satu (1) dan ayat dua (2)
Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan, yaitu :
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu ( pasal 2 ayat 1)
Tiap-Tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku
(pasal 2 ayat 2).
Berdasarkan bunyi ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) UUP, sahnya suatu
perkawinan selain menurut hukum agamanya, juga harus menurut kepercayaan dari
agamanya itu yang di anut oleh calon mempelai yang bersangkutan.
Penjelasan atas Pasal 2 ayat (1) UUP antara lain menyatakan:
“Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu
termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan
kepercayaanya itu sepanjang tidak bertentangan dengan atau tidak ditentukan lain
dalam undang-undang ini”
6 Hasil Wawancara dengan Bapak Gaspar Jawa, Sebagai Tokoh Adat di kampong Mok,Desa Mbengan,
Pada Tangga l 2 Juni 2015. 7 Hasil Wawancara Dengan Bapak yohanes Jani, sebagai Tokoh Adat di Tenda Gereng, Pada Tanggal 8 Juni 2015.
viii
Adapun pencatatan perkawinan di maksud untuk menjadikan peristiwa
perkawinan itu menjadi jelas, baik bagi yang bersangkutan, maupun bagi orang lain
dan masyarakat, hal ini dapat di baca dalam suatu surat yang bersifat resmi dan
termuat pula dalam daftar khusus yang disediakan untuk itu, sehingga sewaktu-
waktu dapat di gunakan di mana perlu, terutama sebagai alat bukti tertulis yang
autentik.8
Syarat-Syarat Sahnya perkawinan
Syarat-yarat melangsungkan perkawinan di atur dalam pasal 6 sampai dengan
pasal 7 UU Nomor 1Tahun 1974. Di dalam ketentuan itu ditentukan dua syarat
untuk dapat melangsunkkan perkawinan, yaitu syarat intern dan syarat eksteren.
Syarat intern, yaitu syarat yang menyangkut pihak yang akan melaksanakan
perkawinan. Syarat-syarat itern meliputi: (1) persetujuan kedua belah pihak; (2)
izin dari kedua orang tua apabila belum mencapai umur 21 tahun; (3) pria
berumur 19 tahun. Pengecualiannya yaitu ada dispensasi dari pengadilan atau
camat atau bupati; (a) Kedua belah pihak dalam keadaan tidak kawin; (b) Wanita
yang kawin untuk kedua kalinya harus melewati masa tunggu (iddah). Bagi
wanita yang putus perkawinannya karena perceraian, masan iddahnya90 hari
dank arena kematiannya 130 hari. Syarat ekstern, yaitu syarat yang berkaitan
dengan formalitas-formalitas dalam pelaksanaan perkawinan. Syarat-syarat itu
8 Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, 1996, Aspek Hukum Akta Catatan Sipil Di Indonesia,
Jakarta:Sinar Grafika, hlm 38
ix
meliputi: (1) Harus mengajukan laporan ke Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan
Rujuk; (2) Pengumuman yang di tandatangani oleh oleh Pegawai Pencatat.9
Beberapa Pendapat Tokoh Adat dan Tokoh Agama Terhadap Sah atau Tidaknya
Sistem Perkawinan „‟Belis‟‟ di Tinjau Menurut Pasal 2 ayat (1) UUP adalah,
sebagai berikut:
Bapak Gaspar Jawa ( selaku Kepala suku adat dusun Mok)Berpendapat bahwa
perkawinan belis adalah suatu perkawinan yang sah menurut hukum Adat Manggarai
karena perkawinan belis merupakan suatu budaya turun temurun yang wajib
dilaksanakan oleh masyarakat manggarai yang akan melangsungkan perkawinan. Di
dasari atas konsep dan kesepakatan antara anak rona/keluarga laki-laki dan anak wina
atau keluarga perempuan. Perkawinan adat dengan agama tidak ada bedanya, semua
perkawinan di satukan dalam agama, tetapi sah dulu secara adat baru ke agama. Nikah
secara agama harus dilaksanakan sehingga tidak membebankan anak cucu dalam hal
melanjutkan pendidikan.10
Bapak Adolfus Latong (selaku Tokoh Adat Nunur)
Sahnya Perkawinan Belis tergantung perundingan kedua belah pihak antara anak rona
dan anak wina, apabila semuanya sepakat maka perkawinan belis itu sah menurut
aturan adat dan syarat umur bagi yang melakukan perkawinan minimal 25-35 tahun,
perempuan minimal 20 Tahun.11
Rm. Fransiskus Martinus Pr ( Pastor Paroki ST Agustinus Mok, Keuskupan
Ruteng) : Gereja Sebagai komunitas yang tidak diterminasi oleh kekuatan-kekuatan
apapun termasuk adat istiadat. Gereja sebagai lembaga hidup masyarakat adat
mempunyai aturan tersendiri. Perkawinan dalam keluarga merupakan Hak Asasi
Manusia. Yang namanya lembaga keagamaan adalah suatu lembaga yang meneguhkan
ikatan seseorang yang diberikan status martabat dalam perkawinan khatolik diangkat
pada martabat sakramen untuk yang khatolik tidak ada pembatasan-pembatasan
regulasi yang mengikat orang, yang pasti ada norma kanonik (Hukum Perkawinan
gereja) yang mengatur tentang sahnya suatu perkawinan. 12
9 Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW),2011, Cetakan ketujuh, Jakarta:Sinar Grafika, hlm 62
10 Hasil Wawancara dengan Bapak Gaspar Jawa, Sebagai Tokoh Adat di kampung Mok,Desa Mbengan,
Pada Tangga l 2 Juni 2015. 11
Hasil Wawancara dengan Bapak Adolfus Latong sebagai tokoh adat di kampung Nunur, Manggarai Timur, 8 Juni
2015. 12
Hasil Wawancara dengan Rm. Fransiskus Martinus Pr, Pastor Paroki ST Agustinus Mok, Keuskupan
ruteng/Tokoh Agama khatolik Pada Tanggal 14 juni 2015
x
Fr. Serilus San ( Toko Agama)
Hidup sebagai suami-istri yang sah harus menaati dan melaksanakan aturan
gereja. Untuk gereja tidak diperbolehkan tinggal bersama apabilah belum nikah
secara agama khususnya agama khatolik. Apabila sudah disahkan atau diikatkan
oleh sakramen perkawinan mereka boleh hidup bersama.13
C. Kedudukan dan Akibat Hukum Dari Sistem Perkawinan “Belis” di Tinjau
dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
a. Kedudukan Hukum dari Sistem Perkawinan „‟Belis”
Apabila di tinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, yaitu pada pasal 1 ayat satu (1), maka perkawinan Belis adalah
sah.
Menurut Bapak Yohanes Jani ( selaku Ketua Adat Tenda Gereng),
mengatakan bahwa kedudukan dari sitem perkawinan adalah sah, karena
hukum adat terlahir terlebi dahulu dengan Undang-Undang Perkawinan, dan
hukum adat merupakan suatu kebiasaan yang turun temurun harus
dilaksanakan oleh masyarakat suku adat manggarai.14
b. Kedudukan anak Dalam sistem perkawinan „‟Belis‟‟
Di tinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
bahwa kedudukan anak di atur dalam Pasal 42, yaitu :
Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah. Jadi anak yang sah adalah anak yang lahir dalam
perkawinan yang sah, anak luar kawin yang diakui dan anak yang disahkan.
Pengakuan merupakan perbuatan untuk meletakan hubungan hukum antara
anak dan orang tua yang mengakuinya. Pengesahan hanya terjadi dengan
perkawinan orang tuannya, yang telah mengakuinya terlebi dahulu atau
mengakuinya pada saat perkawinan di langsungkan.15
13
Hasil Wawancara dengan Fr. Serilus San, Mahasiswa STFK Ledalero, 14 Juni 2015 14
Hasil Wawancara dengan Bapak Yohanes Jani, Sebagai Tokoh Adat di kampung Tenda Gereng, Pada Tangga 8
Juni 2015. 15
R. Subekti, 1987, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta : Pradnya Paramita, hlm.21
xi
Dalam hal anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (di atur dalam Pasal 43
ayat 1 UUP).
Dalam sistem perkawinan „‟Belis‟‟ berdasarkan hasilpenelitian penulis,
bahwa anak yang lahir sebelum atau selama sistem perkawinan belis adalah
anak sah, karena anak yang lahir mempunyai orang tua yang sah dlm sistem
perkawinan adat dan telah melaksanakan/menjalankan ritual adat.
Menurut R. Soepomo
Menurut Soepomo hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis di dalam
peraturan-peraturan legislative (unstatutory law) meliputi peraturan-peraturan
hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib, toh ditaati dan
didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwa sahnya suatu
peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum. Menurut beliau
hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan didalam
pergaulan hidup, baik dikota-kota maupun di desa-desa (customary law),
semua inilah merupakan adat atau hukum yang tidak tertulis yang disebut oleh
Pasal 32 UUDS Tahun 1950.16
c. Akibat Hukum Dari sistem Perkawinan „‟Belis‟‟ di Tinjau Dari Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
Perkawinan yang dilakukan diluar ketentuan hukum tidak akan mendapat
pengakuan dan tidak dilindungi oleh hukum. Indonesia adalah Negara hukum,
dan segenap bangsa Indonesia harus tunduk kepada hukum yang berlaku di
Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah hukum Negara
Indonesia yang mengatur tentang Perkawinan. Maka sejak diundangkannya
undang-undang tersebut, bangsa Indonesia terikat oleh undang-undang itu
karena sifatnya yang memaksa oleh karenanya harus ditaati dan dijalankan.
16
Dominikus Rato, HUKUM ADAT (Suatu Pengantar Singkat Memahami Hukum Adat di Indonesia),
Laksbang Perssindo, Yokyakarta, 2011, hlm 14
xii
Suatu perkawinan yang dilaksanakan tidak mematuhi hukum perkawinan
tersebut, akan berakibat kepada mereka yang melaksanakan perkawinan
tersebut, keturunan dan harta kekayaannya.17
Kejelasan status perkawinan suami-istri melalui bukti otentik tentang
perkawinan mereka, menjadi landasan bagi kejelasan status hukum seorang anak.
Misalnya untuk pengurusan akta kelahiran si anak landasannya adalah surat
nikah. Jika suami istri tersebut tidak pernah mencatatkan perkawinannya, maka
ketika lahir anak dan memerlukan akta kelahiran, kantor kependudukan/kantor
pencatatan sipil tidak mengeluarkan akte kelahiran dimaksud. Suami-istri yang
tidak mempunyai akta perkawinan sebagai akibat perkawinannya tidak
dicatatkan, tidak memberikan kepastian hukum terhadap perkawinan mereka.18
17
H. M. Anshary MK, S.H, M.H., 2010, Hukum Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, hlm
45
18 Ibid, hlm 48
xiii
II. PENUTUP
Kesimpulan yang di ambil yaitu, Pertama, Sistem pelaksanaan perkawinan
„‟belis‟‟ adalah suatu sistem perkawinan adat bagi masyarakat suku manggarai dalam
persiapan perkawinan, di mana sistem perkawinan „‟belis‟‟ ini merupakan suatu
penghargaan yang diberikan oleh pihak anak rona (keluarga mempelai laki-laki) kepada
pihak anak wina ( keluarga mempelai wanita). Apabila antara ke dua belah pihak
mendapatkan kesepakatan bersama dengan menjalankan semua rangkaian ritual adat
maka keduanya dapat tinggal dan hidup bersama sebagai suami istri yang bahagia dan
kekal; Kedua, Dalam hal keabsahan suatu perkawinan dan dampak/akibat hukumnya,
sistem perkawinan „‟belis‟‟ adalah sah karena perkawinan „‟belis‟‟ merupakan suatu
proses hukum yaitu hukum adat bagi masyarakat adat suku manggarai. Jika ditinjau dari
pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
maka sistem perkawinan „‟belis‟‟ adalah tidak sah kedudukannya, karena suami-istri yang
sah adalah suami-istri yang perkawinannya sah menurut hukum positiv. Adapun akibat
hukum yang ditimbulkan adalah berdampak pada status atau kedudukan suami-istri,
status hukum anak serta kepastian dalam hal pembagian harta warisan. Namun demikian
sekarang masyarakat adat suku manggarai suda menyadari akan arti pentingnya peraturan
hukum yang berlaku, khususnya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
perkawinan ( Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). Ketiga, Jika ditinjau dari Pasal 2
ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan maka kedudukan
hukum darai sistem Perkawinan “Belis” adalah sah dan akibat hukum yang ditimbulkan
adalah di mana kedudukan anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya;
Keempat, Di lihat dari tata cara dan sistem pelaksanaannya, sistem perkawinan „‟belis‟‟
xiv
suda sesuai aturan adat yang berlaku di kabupaten manggarai, namun dalam hal ini tidak
mendapatkan suatu kepastian hukum jika di tinjau dai Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang perkawinan.
Saran Penulis berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana telah
dikemukakan di atas, maka penyusun merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut:
(a) Mengingat arti pentingnya suatu peraturan hukum kususnya hukum perkawinan, maka
perlu kiranya semua masyarakat, khususnya masyarakat adat suku manggarai untuk
menyadari dan mematuhi aturan-aturan hukum yang berlaku, khususnya aturan-aturan
hukum perkawinan, sehingga dalam melaksanakan suatu perkawinan mendapatkan suatu
kepastian hukum; (b) Mengingat kurangnya kesadaran hukum masyarakat dalam
melakukan atau melaksanakan perbuatan hukum, maka penulis memohon kepada para
penagak hukum, praktisi hukum,ahli hukum, atau orang yang mengerti tentang hukum
khususnya tentang hukum perkawinan agar bias memberikan atau melakukan sosialisasi
tentang hukum, khususnya tentang hukum perkawinan.
xv
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku, Makalah, dan Artikel
Antonius Bagul Dagur, 2008, Budaya Daerah Dalam Konteks Komunikasi, ARNOLDUS,
ENDE: NUSA INDAH
………………………, 1997, Kebudayaan Manggarai sebagai Salah Satu Khasanah
kebudayaan Nasional, Surabaya:Ubhara Press
Dominikus Rato, HUKUM ADAT (Suatu Pengantar Singkat Memahami Hukum Adat di
Indonesia), Laksbang Perssindo, Yokyakarta, 2011
M. Anshary MK, 2010, Hukum Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
R. Subekti, 1987, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta : Pradnya Paramita
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), 2011, Cetakan ketujuh, Jakarta:Sinar
Grafika.
Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, 1996, Aspek Hukum Akta Catatan
Sipil Di Indonesia, Cetakan ke dua, Jakarta:Sinar Grafika
B. Peraturan Perundang-undangan
Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 Tentang
Atministrasi Kependudukan.