jurnal empowerment fixz

126

Upload: bobby-self-tamer

Post on 03-Jan-2016

162 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal Empowerment Fixz
Page 2: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah P.S. Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung

EMPOWERMENT

Pelindung:

Prof.H.Aas Syaefuddin,MA

Prof.Dr.H.Engking S.Hasan,M.Pd

Dr.H.Heris Hendriana,M.Pd

Dr.H.T.Effendy Suryana,SH,M.Pd

Pimpinan Umum :

Prof.Dr.H.Enceng Mulyana,M.Pd

Pimpinan Redaksi :

Ansori Al-B,S.Pd,M.Pd

Dewan Redaksi :

Dr.H.E.Kuswandy A.Marfu,M.Pd

Drs.HM.Kosim Sirodjuddin,M.Pd

Sri Nurhayati,S.Pd,M.Pd

Editor Pelaksana :

Lenny Nuraeni,S.Pd,M.Pd

Sirkulasi :

Wedi Fitriana,S.Pd,M.Pd

Dinno Mulyono,S.Pd

Administrasi :

Dewi Safitri Elsap,S.Pd

Prita Kartika,S.Pd

Dadan Gandara,S.Pd

Desain Grafis dan Editing :

Firdy Ardiansyah

Alamat Redaksi :

STKIP Siliwangi Jl. Terusan Jenderal Sudirman, Cimahi – Jawa Barat

Telp : 022-6658680, Fax : 022-6629735 Website : www.stkipsiliwangi.ac.id email : [email protected]

Pengantar Redaksi ................................................................ ii Pedoman Penulisan Naskah ................................................ iii PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH DAN PEMBANGUNAN MANUSIA INDONESIA Oleh : Prof.Dr.H.Engking S.Hasan,M.Pd dan Sri Nurhayati,S.Pd,M.Pd ................................................. 1 EFEKTIVITAS PENGGUNAAN METODE THEURAPEUTIC COMMUNITY (TC) DALAM MEMBANGUN KESADARAN KELAYAN EKS PENYALAHGUNA NAPZA Oleh : Lenny Nuraeni,S.Pd,M.Pd ........................................ 13 STRATEGI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEAKSARAAN TINGKAT LANJUTAN MELALUI VOKASIONAL SKILL MENJAHIT DI PKBM ASH-SHODDIQ DESA PAGERWANGI KECAMATAN LEMBANG KABUPATEN BANDUNG Oleh : Purnomo,S.Pd,M.Pd ................................................. 31 PROSES PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEAKSARAAN BERBASIS KELUARGA DI PUSAT KEGIATAN BELAJAR MASYARAKAT KANDAGA DESA MAYANG KECAMATAN CISALAK KABUPATEN SUBANG Oleh : Ansori Al-B,S.Pd,M.Pd .............................................. 47 MENEGASKAN KARAKTER PENDIDIKAN NONFORMAL Oleh : Dinno Mulyono .......................................................... 63 ANALISIS TERHADAP TINGGINYA ANGKA PUTUS SEKOLAH SISWA SMP TERBUKA Oleh : Dr.H.T.Effendy Suryana,SH,M.Pd ............................ 69 MANAJEMEN GURU DALAM PENUNTASAN WAJIB BELAJAR PENDIDIKAN DASAR Oleh : Dr.H.Kuswandy Achmad Marfu,M.Pd ....................... 89

PERAN KOMITE NASIONAL PEMUDA INDONESIA (KNPI) DALAM MEMBERDAYAKAN PARA PEMUDA PUTUS SEKOLAH MELALUI PELATIHAN KECAKAPAN HIDUP BERBASIS KEWIRAUSAHAAN Oleh : Dr.Kusniada Indrajaya,M.Si .................................... 101

DAFTAR ISI

Page 3: Jurnal Empowerment Fixz

PENGANTAR REDAKSI

Rencana pembangunan pendidikan nasional jangka panjang adalah membangun

pemerataan pendidikan di semua kalangan masyarakat. Hal ini membuktikan bahwa

fokus utama pendidikan yaitu menciptakan pendidikan yang bermutu dan berdaya

saing global. Untuk mewujudkan misi tersebut dibutuhkan para penggerak yang

mempunyai etos kerja, koordinasi, dan tata nilai yang dapat mendukung terhadap

peningkatan kualitas pendidikan. Penerbitan Jurnal Ilmiah Empowerment ini

diharapkan dapat mendukung terciptanya kualitas pendidikan yang bermutu dan

berdaya saing global.

Pada edisi perdana Jurnal Ilmiah Empowerment ini, kami menyajikan beberapa penulis

yang memiliki kompetensi, pengalaman, dan integritas di bidang Pendidikan Luar

Sekolah, sehingga kami memandang memang perlu untuk menyebarkan gagasan dan konsep

kontemporer tentang Pendidikan Luar Sekolah kepada masyarakat luas.

Sebagai penutup Kami mengucapkan terima kasih kepada para penulis atas

kontribusinya serta Pimpinan STKIP Siliwangi atas dukungan dalam penerbitan Jurnal

Ilmiah Empowerment ini. Tidak lupa juga, kami mohon maaf apabila di dalam

penulisan Jurnal Ilmiah Empowerment ini terdapat kesalahan. Untuk itu kami terbuka

menerima saran dan kritik untuk memperbaiki kualitas jurnal ini.

Cimahi, Februari 2012

Redaksi

Page 4: Jurnal Empowerment Fixz

PEDOMAN PENULISAN NASKAH

1. Jurnal Empowerment menerima naskah yang meliputi hasil penelitian, pikiran dan pandangan dari segala bidang pendidikan atau profesi yang belum pernah dan tidak sedang dalam pertimbangan untuk diterbitkan dalam jurnal lain.

2. Naskah dapat dikirim dalam bentuk softcopy (dalam bentuk CD) ke Redaksi Jurnal Empowerment dengan alamat STKIP Siliwangi Jl. Terusan Jenderal Sudirman, Cimahi-Jawa Barat. Atau naskah dapat dikirim ke alamat email : [email protected]

3. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris dengan menggunakan MS Word, jarak spasi 2, jenis huruf Times New Roman, ukuran 12, margin 1 inci pada setiap sisinya. Panjang maksimal seluruh naskah (termasuk gambar, tabel, dan daftar pustaka) berjumlah 20 halaman.

4. Naskah disertai abstrak dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris terdiri dari maksimal 200 kata, dan kata kunci sebanyak 4-6 kata yang ditempatkan di bawah abstrak.

5. Sistematika penulisan naskah meliputi : a. Pendahuluan

berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, serta tujuan yang telah dicapai dari penelitian yang telah dilakukan.

b. Metode menguraikan tentang prosedur pelaksanaan penelitian, bahan atau alat yang digunakan, serta teknik pengumpulan data.

c. Hasil dan Pembahasan memuat gambara yang jelas tentang kajian atau hasil penelitian yang dikaitkan dengan rumusan masalah serta hasil penelitian sejenis yang telah dipublikasi sebelumnya. Diskusi mengenai hasil kajian atau penelitian diuraikan pada bagian ini.

d. Kesimpulan dan Saran memuat kesimpulan penelitian yang singkat dan jelas. Jika ada sertakan saran-saran yang muncul sebagai akibat dari hasil kajian atau penelitian yang telah dilakukan.

e. Daftar Pustaka ditulis dan disusun berdasarkan abjad, dengan urutan untuk setiap pustaka : nama penulis, tahun terbit, judul/sumber artikel, nama penerbit,/jurnal, edisi/volume, halaman, nama kota dan nama penerbit.

6. Naskah yang diterbitkan telah melalui penilaian sekurang-kurangnya oleh dua independent referee.

7. Naskah yang tidak memenuhi syarat untuk diterbitkan akan

dikembalikan dengan hasil penilaiannya.

Page 5: Jurnal Empowerment Fixz
Page 6: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

1

PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH DAN PEMBANGUNAN MANUSIA INDONESIA

Oleh:

Prof.Dr.H. Engking S. Hasan,M.Pd

Direktur Pascasarjana STKIP Siliwangi Bandung dan

Sri Nurhayati, S.Pd, M.Pd Dosen STKIP Siliwangi Bandung

Abstract

Indonesia today is still struggling to find the best way in developing its human resources. The essence of human development according to Tilaar (1998:107) is the development of dignity and human quality, and to develop human dignity and quality is to give them choices, so the role of education is very vital in giving human the ability to choose and to widening their horizons on what they need to choose. According to National Education System Law No. 23, there are three lines of education: formal, nonformal, and informal education. Coombs (1973) defines nonformal education as every organized and sistematic activity outside the well-established schooling system, conducted independently or as part of wider activity, and intended to serve specific students in order to achieve their learning goals (Sudjana, 2004:22). This paper aims at providing information on how nonformal education has become the answer of today’s struggling of Indonesia in developing its human resources.

Kata Kunci: Pendidikan nonformal, pembangunan manusia, kualitas sumber daya manusia.

Pendahuluan Makalah ini mencoba untuk menganalisa pembangunan manusia Indonesia melalui upaya-upaya pendidikan. Sudah banyak kajian yang menyimpulkan bahwa pendidikan memiliki peran sentral dalam rangka pembangunan manusia. Namun, selama ini kajian yang menganalisa bagaimana upaya pembangunan manusia melalui jalur pendidikan nonformal belum banyak dikenal. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pendidikan formal cakupannya begitu terbatas untuk melayani kebutuhan pendidikan bagi bangsa sebesar dan sekompleks Indonesia baik bila dilihat dari segi geografis ataupun demografis. Asumsi kami adalah bahwa upaya-upaya pembangunan manusia Indonesia jauh lebih efektif dan efisien serta holistik dan kreatif sejalan dengan sifat pendidikan nonformal yang lentur dan bisa diselenggarakan oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia.

Page 7: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

2

Ada fakta menarik dalam hasil survey UNDP pada tahun 2011 yang dikutip dari harian The Jakarta Post (http://www.thejakartapost.com/news/2011/11/02/ indonesia-ranks-124th-2011-human-development-index.html), Indonesia menempati posisi ke 124 dari 187 negara yang disurvey dengan skor 0,617 yang mengalami kenaikan skor sebesar 0,004 dari tahun sebelumnya. Ini berarti secara statistik pembangunan manusia Indonesia mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya. Indonesia bukanlah negara yang jumlah penduduknya sekecil Singapura (5,08 juta jiwa pada Juni 2010) dan Malaysia (28,53 juta jiwa pada Juni 2010). Dalam pendataan penduduk oleh Kementerian Dalam Negeri, jumlah penduduk Indonesia terhitung 31 Desember 2010 mencapai angka yang fantastatis, yaitu sebanyak 259,94 juta jiwa (http://nasional.kompas.com/read/2011/09/19/ 10594911/Jumlah.Penduduk.Indonesia), tersedia [on line] diakses tanggal 20 Februari 2012. Sehingga percepatan penaikan angka Indeks Pembangunan Manusia di negara-negara yang jumlah penduduknya relatif kecil tentu lebih mudah daripada di negara yang jumlah penduduknya lebih besar. Selain itu, Indonesia juga secara geografis mencakup area yang sangat luas yang berdampak pada kecepatan mobilitas sumber daya yang diperlukan dalam rangka pembangunan manusianya. Seringkali, Indonesia tampak sangat jelek bila dibandingkan dengan prestasi pembangunan manusia di negara lain. Padahal, belum tentu perbandingan tersebut dilakukan secara adil. Mungkin saja, kesalahan yang seringkali kita perbuat adalah kesalahan membandingkan. Meskipun negara yang dibandingkan dengan Indonesia dalam hal pembangunan manusia masih satu kawasan, namun dari segi kompleksitas manusia dan area, Indonesia tentu memiliki keunikan dan tingkat evolusinya sendiri. Dengan segala kemampuan, kompleksitas, serta segala keterbatasan yang dimiliki secara unik oleh bangsa Indonesia, pemerintah dan masyarakat Indonesia sudah melakukan berbagai upaya positif dalam rangka membangun sumber daya manusianya. Upaya-upaya tersebut tersebar di seluruh bidang, baik di bidang agama, ekonomi, seni, pendidikan, budaya, politik, sosial dan kemasyarakatan, sampai upaya-upaya di bidang informasi dan teknologi. Tilaar (1998:107) mengemukakan bahwa inti dari pengembangan manusia adalah pengembangan martabat serta kualitas manusia, dan martabat serta kualitas manusia tidak lain dari memberikan pilihan-pilihan. Maka tidak dapat dipungkiri, peranan pendidikan dalam memberikan kemampuan kepada manusia untuk dapat memilih dan memperkaya horizon pilihannya itu. Pembangunan manusia adalah konsekuensi logis dari aktivitas pendidikan. Tanpa ada pendidikan, manusia mustahil bisa membangun dirinya sendiri. Secara kualitatif, tingkat keterdidikan seseorang akan berbanding lurus dengan

Page 8: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

3

tingkat kemampuannya untuk membangun dirinya sendiri dengan mengolah hasil pendidikannya menjadi kebiasaan kebiasaan yang konstruktif dan produktif. Pembangunan manusia akan berdampak secara langsung pada pembangunan suatu bangsa, seperti yang dikemukakan oleh Suryadi (2009:11) yang berpendapat bahwa memajukan pendidikan berarti sama dengan memajukan martabat bangsa agar sejajar dengan negara-negara maju lainnya. Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003, pendidikan di Indonesia dibagi ke dalam tiga jalur, yaitu: jalur pendidikan formal, jalur pendidikan nonformal, dan jalur pendidikan informal. Selama ini proses pembangunan manusia Indonesia melalui upaya-upaya pendidikan, lebih ditekankan pada pendidikan persekolahan atau pendidikan formal saja. Perhatian pemerintah dan masyarakat jarang sekali diarahkan kepada pendidikan nonformal yang sebenarnya memiliki nilai penting yang sama. Bahkan, dalam beberapa konteks situasi bisa dipandang lebih penting dalam rangka pembangunan manusia Indonesia secara efektif, efisien, integratif, kreatif, dan holistik. Hal ini senada dengan pemikiran Tilaar (1998:16) yang menyatakan bahwa jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah itu saling komplementer dalam sistem pendidikan nasional, sehingga perhatian yang sama dan adil harus diberikan kepada jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah. Pembangunan manusia Indonesia melalui jalur pendidikan formal selama ini sudah kita ketahui bersama. Meskipun pendidikan formal tampak lebih wajib dan dibutuhkan daripada pendidikan nonformal, pendidikan nonformal memiliki kiprah dan kontribusi yang tidak lebih penting daripada pendidikan formal. Hal ini senada dengan pendapat Suryadi (2009:28) yang menyatakan hal bahwa pendidikan nonformal belum mendapat pemahaman dan perhatian yang proporsional dari pemerintah maupun masyarakat dalam pembangunan nasional, baik yang berkenaan dengan peraturan perundangan maupun dukungan anggaran ehingga pemerataan pelayanan pendidikan nonformal bagi masyarakat di berbagai laposan dan di berbagai daerah belum dapat dilaksanakan secara informal. Kurangnya informasi mengenai kiprah dan kontribusi pendidikan nonformal dalam pembangunan manusia Indonesia menjadikan pendidikan nonformal dipandang sebagai jalur pendidikan “kelas dua”. Makalah ini bertujuan untuk memberi penjelasan mengenai bagaimana sebenarnya kiprah dan kontribusi Pendidikan Luar Sekolah dalam pembangunan manusia Indonesia di masa kini serta bagaimana Pendidikan Luar Sekolah berperan dalam meningkatkan pencapaian Indeks Pembangunan Manusia Indonesia kini dan nanti.

Page 9: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

4

Pendidikan Luar Sekolah untuk Membangun Manusia Indonesia lama sebelum sekolah-sekolah didirikan di Indonesia, pendidikan diselenggarakan secara nonformal dan informal. Pada awalnya, pendidikan yang berjalan di masyarakat berupa pesantrian-pesantrian yang bila ditilik dari segi sejarah, berawal ketika penyebaran islam di nusantara ini dilakukan secara intensif oleh Wali Songo. Sudjana (2004:2) menulis bahwa pendidikan nonformal telah tumbuh dan berkembang dalam alur kebudayaan setiap masyarakat, dan sering bersumber pada agama dan tradisi yang berkembang di masyarakat. Coombs (1973) dalam Sudjana (2004:22) mendefinisikan pendidikan nonformal sebagai setiap kegiatan terorganisasi dan sistematis, di luar sistem persekolahan yang mapan, dilakukan secara mandiri atau merupakan bagian penting dari kegiatan yang lebih luas, yang sengaja dilakukan untuk melayani peserta didik tertentu di dalam mencapai tujuan belajarnya. Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan nonformal memiliki tiga fungsi yaitu sebagai pengganti (substitusi), penambah (supplemen, dan pelengkap (komplemen) pendidikan formal bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan dalam rangka pengembangan diri dan potensinya. Pendidikan nonformal mempunyai karakteristik memberi penekanan lebih pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional yang untuk tahap selanjutnya diarahkan pada longlife learning. Dalam perkembangannya, di masa kini pendidikan luar sekolah (pendidikan nonformal) mengalami perubahan cakupan seperti yang dikemukakan Rogers (2004) “The term non-formal education now covers a very wide continuum of educational programmes. At one extreme lies the flexible schooling model - national or regional sub-systems of schools for children, youth and adults. At the other extreme are the highly participatory educational programmes, hand-knitted education and training, tailor-made for each particular learning group, one-off teaching events to meet particular localised needs.” Pendapat Rogers tentang perubahan paradigma pendidikan nonformal dalam makalahnya yang ditulis pada tahun 2004 tersebut membukakan mata kita bahwa pendidikan nonformal kini telah mengalami perluasan yang signifikan. Perluasan ini berdampak pada lebih meluas dan beragamnya jenis layanan pendidikan luar sekolah yang beredar di masyarakat. Secara riil yang terjadi di masyarakat Indonesia masa kini, upaya-upaya yang dilakukan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya melalui program-program pendidikan nonformal dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu: upaya yang muncul sebagai inisiatif dari pemerintah dan upaya yang muncul sebagai inisiatif dari individu atau masyarakat.

Page 10: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

5

Upaya-upaya yang muncul sebagai inisiatif pemerintah disalurkan kepada masyarakat melalui birokrasi pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal. Adapun program Ditjen PAUDNI di Tahun 2011 ini yang dikutip dari situs resminya (http://www.paudni.kemdiknas.go.id/profil_paudni.html) tersedia [on line] diakses tanggal 20 Februari 2012, diarahkan untuk memenuhi tuntutan peningkatan kualitas layanan dengan tetap berupaya terus mendorong ketersediaan dan akses layanan pendidikan yang semakin luas. Dalam melaksanakan tugasnya, Ditjen PAUDNI menyelenggarakan fungsi: 1. Meningkatkan ketersediaan dan keterjangkauan layanan PAUD yang

memenuhi standar pelayanan minimal PAUD dan mendorong peningkatan mutu layanan secara simultan, holistik-integratif dan berkelanjutan, dalam rangka mewujudkan anak yang cerdas, kreatif, sehat, ceria, berakhlak mulia sesuai dengan karakteristik, pertumbuhan dan perkembangan anak sehingga memiliki kesiapan fisik serta mental untuk memasuki pendidikan lebih lanjut.

2. Meningkatkan ketersediaan dan keterjangkauan layanan pendidikan keaksaraan usia 15 tahun ke atas yang berbasis pemberdayaan, berkesetaraan gender dan relevan dengan kebutuhan individu dan masyarakat dalam kerangka Literacy Initiative For Empowerment /LIFE.

3. Meningkatkan ketersediaan dan keterjangkauan layanan pendidikan kecakapan hidup, kursus dan pelatihan, dan pendidikan kewirausahaan yang bermutu dan berdaya saing serta relevan dengan kebutuhan pemberdayaan masyarakat, dunia usaha dan dunia industri, khususnya bagi penduduk putus sekolah dalam dan antar jenjang, sehingga dapat bekerja dan/atau berusaha secara produktif, mandiri, dan profesional.

4. Meningkatkan ketersediaan, mutu serta profesionalisme pendidik dan tenaga kependidikan PAUDNI melalui peningkatan kualifikasi, kompetensi serta pemberian penghargaan dan perlindungan yang bermutu, merata, berkelanjutan, dan berkedilan.

5. Mengembangkan layanan pembelajaran untuk menumbuhkan minat dan budaya baca masyarakat melalui penyediaan dan peningkatan layanan Taman Bacaan Masyarakat, penyediaan bahan-bahan bacaan yang berguna untuk meningkatkan wawasan, pengetahuan dan produktifitas baik untuk aksarawan baru maupun untuk masyarakat umum lainnya.

6. Mengembangkan pendidikan pemberdayaan perempuan, lanjut usia, dan pengarustumaan gender, untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan, meningkatkan partisipasi perempuan dalam seluruh sektor pembangunan, dan menghapuskan diskriminasi serta kekerasan terhadap perempuan, mendukung upaya pencegahan tindak pidana perdagangan orang (trafficking), serta pendidikan keorangtuaan.

Page 11: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

6

7. Meningkatkan pelayanan pendidikan kepramukaan dalam rangka membangun karakter bangsa melalui pembinaan gugus depan, peningkatan mutu pembina dan pelatih pramuka serta jambore pramuka.

8. Meningkatkan mutu pelayanan program PAUDNI melalui pengembangan model dan program percontohan yang dilakukan oleh UPT Pusat dan Daerah.

9. Meningkatkan ketersediaan, keterjangkauan, kualitas, kesetaraan dan kepastian layanan program PAUDNI melalui penyelenggaraan program PAUDNI oleh satuan kerja perangkat daerah Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota dan lembaga PAUDNI yang dikelola oleh masyarakat.

10. Meningkatkan kapasitas kelembagaan PAUDNI, baik di tingkat pusat maupun daerah melalui perbaikan sistem manajemen informasi, peningkatan sarana dan prasarana yang memadai, agar lembaga PAUDNI mampu memberikan pelayanan prima bagi semua warga dan terjamin kepastian dan keberlangsungannya.

Dari fungsi-fungsi yang diselenggarakan Ditjen PAUDNI di atas, bisa kita tarik kesimpulan bahwa layanan pendidikan nonformal dan informal di Indonesia secara resmi sangatlah luas. Mencakup layanan Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Keaksaraan, Pendidikan kecakapan hidup, kursus dan pelatihan, pendidikan kewirausahaan, layanan Taman Bacaan Masyarakat, Pendidikan Pemberdayaan Perempuan, Pendidikan Keorangtuaan, dan Pendidikan Kepramukaan. Apabila layanan-layanan pendidikan nonformal ini sungguh-sungguh dilaksanakan, maka dampaknya akan sangat luar biasa bagi pembangunan manusia Indonesia. Terdapat beberapa karakteristik penting dari program-program pendidikan nonformal yang muncul sebagai inisiatif dari pemerintah. Pertama, sumber pendanaan program dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah. Kedua, meskipun pelaksanaan program pendidikan nonformal dilakukan oleh masyarakat sepenuhnya, namun pemerintah tetap melakukan supervisi, monitoring, dan evaluasi program. Ketiga, program-program pendidikan nonformal tersebut biasanya dimunculkan sebagai bagian dari kebijakan atau program pemerintah baik pemerintah Kota, Provinsi, maupun Pusat. Luasnya cakupan layanan pendidikan luar sekolah (pendidikan nonformal) sama luasnya dengan kehidupan manusia itu sendiri. Dari mulai pendidikan anak usia dini sampai dengan pendidikan keorangtuaan. Hal ini bagaikan mengimplementasikan pepatah indah dari John Dewey, “life is the education itself.” Namun faktanya, layanan pendidikan ini di lapangan masih kurang terlihat (highlighted). Ada beberapa faktor yang bisa dijadikan bahan pemikiran kita bersama. Pertama, upaya-upaya pembangunan manusia melalui jalur pendidikan nonformal yang muncul sebagai inisiatif pemerintah

Page 12: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

7

cenderung kurang menarik bagi masyarakat perkotaan karena biasanya hanya muncul sebagai program-program pemerintah (government centered) meskipun tampak seperti melayani kebutuhan masyarakat, tapi sebenarnya hal itu dilakukan sebagai bagian dari agenda pemerintah. Hal ini berdampak pada kurangnya motivasi masyarakat untuk berpartisipasi dalam program-program pendidikan nonformal yang diselenggarakan oleh pemerintah. Sehingga perjalanan program-program pendidikan nonformal yang dimunculkan oleh pemerintah biasanya berjalan tersendat-sendat seiring dengan tersendat-sendatnya pendanaan program dari pemerintah. Sedangkan upaya-upaya yang muncul sebagai inisiatif dari individu atau masyarakat meliputi program-program yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pendidikan yang ada di masyarakat. Program-program pendidikan nonformal ini biasanya dilatarbelakangi oleh beberapa hal. Pertama, keresahan masyarakat akan berbagai permasalahan pendidikan yang ada di masyarakat. Misalnya, program les atau bimbingan belajar bagi para siswa sekolah formal. Kedua, idealisme yang muncul baik dari individu maupun masyarakat mengenai gambaran pendidikan yang berkualitas ideal yang ingin direalisasikan dalam lingkungan sekitarnya. Misalnya, program homeschooling yang dewasa ini marak di masyarakat. Yang terakhir adalah, lahirnya inovasi-inovasi baru dalam hal pembelajaran di bidang-bidang tertentu yang dibutuhkan dan diminati oleh masyarakat yang belum mampu diadopsi oleh sekolah formal. Misalnya program kursus Mathemagics. Idealnya, layanan pendidikan nonformal yang muncul sebagai inisiatif dari pemerintah dan inisiatif dari individu atau masyarakat ini dapat bersinergi dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya. Contohnya, program Pendidikan Keaksaraan dapat disinergikan dengan pelatihan-pelatihan merangkai bunga yang menarik dan populer. Pendidikan pemberdayaan perempuan dapat disinergikan dengan Hypnotic Goal Setting Workshop dan program sejenis lainnya yang banyak beredar di masyarakat. Bila hal ini diimplementasikan maka akan menjadi suatu terobosan baru dalam penyelenggaraan layanan pendidikan nonformal. Dengan program pelatihan atau kursus-kursus yang memang menggunakan penemuan-penemuan terkini (up to date) di bidang pembelajaran, pemerintah tidak perlu lagi pusing bagaimana menaikkan angka partisipasi sekolah dan bagaimana menolkan angka buta aksara, karena program pembelajarannya sendiri sudah sedemikian menariknya untuk diikuti oleh warga belajar yang merupakan sasaran pembangunan manusia Indonesia. Pembangunan manusia Indonesia melalui jalur pendidikan nonformal yang dibahas dalam makalah ini meliputi layanan program pendidikan anak usia

Page 13: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

8

dini, pendidikan keaksaraan, Home Schooling, kursus dan bimbingan belajar, pelatihan, dan peningkatan budaya baca melalui taman bacaan masyarakat. Pendidikan anak usia dini di Indonesia diberikan bagi anak Indonesia dari Sabang sampai Merauke dari usia 0-6 tahun. Usia 0 tahun ini tidak bisa dimaknai bahwa pendidikan anak usia dini diberikan setelah anak lahir. Namun, pendidikan diberikan dari sejak masa kehamilan ibu ketika fetus berusia 1 minggu sampai dengan anak lahir dan berkembang sampai usia 6 tahun. Mengingat banyaknya penemuan-penemuan empirik terkini yang menyimpulkan bahwa perkembangan besar dari segi fisik, kecerdasan, dan karakter justru terjadi pada usia 0-6 tahun, menyebabkan layanan pendidikan anak usia dini menjadi krusial dan sangat mendesak bila kita ingin membangun manusia Indonesia yang berkualitas dan berkarakter. Dengan jumlah penduduk 250 juta jiwa pada tahun 2011, kebutuhan akan layanan PAUD Indonesia ke depan akan lebih banyak. Dengan demikian, para sarjana, akademisi, dan praktisi pendidikan nonformal memiliki kesempatan yang luas untuk bekerja bersama dengan pemerintah dalam membentuk lembaga-lembaga PAUD yang dibutuhkan masyarakat Indonesia. Selama ini, pemerintah melalui ditjen PAUDNI selalu memberikan bantuan dana bagi para pengelola PAUD dalam rangka pengembangan PAUD maupun dalam rangka pembentukan lembaga-lemabaga PAUD baru yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dalam penentuan indeks pembangunan pendidikan manusia, angka buta aksara adalah salah satu penentunya. Apabila suatu negara memiliki angka buta aksara yang tinggi, maka skor indeks pembangunan pendidikan akan semakin rendah. Oleh sebab itu, layanan pendidikan untuk pemberantasan buta aksara sangatlah urgent bagi pembangunan manusia Indonesia. Implikasi program-program pendidikan keaksaraan pada pembangunan manusia Indonesia sangat signifikan. Gerbang peningkatan pengetahuan adalah dengan membaca. tanpa kemampuan membaca ini otomatis tidak akan ada peningkatan pengetahuan. Pengetahuan akan membuka wawasan masyarakat tentang bagaimana memberikan nilai tambah dalam bidang-bidang yang terkait dengan dirinya. Semakin tinggi jumlah warga negara yang memiliki kemampuan keaksaraan dasar dan fungsional, maka akan semakin tinggi penyebaran dan penggunaan informasi yang tersedia begitu luas di era berteknologi tinggi sekarang ini. Dengan begitu, diharapkan ada pemerataan kesempatan bagi seluruh warga negara untuk terus membangun dirinya melalui akses pengetahuan yang dimilikinya.

Page 14: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

9

Pendidikan keaksaraan tidak hanya berkutat dengan pemberantasan angka buta huruf saja. Namun berkaitan dengan peningkatan kemampuan keaksaraan fungsional dan advanced literacy yang mencakup kemampuan analisis, berpikir konseptual dan kritis, serta mencakup kemampuan untuk mengembangkan dan mengaktualisasikan dirinya dalam rangka memberikan kontribusi yang bernilai bagi kemajuan dan kesejahteraan, baik bagi dirinya sendiri maupun lingkungan di sekitarnya. Peran para sarjana, akademisi, dan praktisi pendidikan nonformal sangat sentral dalam pemberian layanan pendidikan keaksaraan yang sangat krusial ini. Bersama-sama dengan pemerintah, para sarjana, akademisi, dan praktisi pendidikan nonformal dapat meningkatkan kemampuan keaksaraan masyarakat dari yang asalnya buta huruf, menjadi masyarakat yang mampu membaca, memperoleh dan mengolah informasi serta mampu memiliki kapasitas yang sesuai dengan tingkat advanced literacy. Home Schooling (Sekolah rumah) sangat marak terutama di kota-kota besar, hal ini dikarenakan banyaknya orangtua yang merasa lebih siap menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anaknya di rumah ataupun karena kesibukan (misalnya para artis remaja) dan kebutuhan khusus (anak autis yang butuh pengawasan orangtua). Sekolah rumah ini berbeda dengan sekolah umum baik dalam hal pembelajarannya maupun dalam pendekatan kurikulumnya. Pembelajaran lebih bersifat student centered dan pendekatan kurikulumnya lebih banyak menggunakan materi-materi yang sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa. Sekolah rumah banyak dipilih karena dapat menyesuaikan dengan pribadi siswa yang unik. Para siswa dapat berfokus untuk mempelajari subjek-subjek yang dapat memperkuat kekuatan dirinya tanpa harus dipaksa untuk mengikuti pelajaran-pelajaran yang memang tidak disukainya sampai siswa dapat memperoleh suatu kecakapan khusus dalam bidang yang dia geluti dan menjadi menonjol di bidangnya tersebut. Di samping kelebihan-kelebihan sekolah rumah di atas, sekolah rumah juga memiliki kelemahan-kelemahan, yaitu: anak akan kurang bersosialisasi dengan teman sebayanya karena anak hanya berinteraksi dengan keluarganya saja dan tidak banyak berinteraksi dengan teman seumurnya seperti halnya di sekolah-sekolah umum. Keunikan pembelajarannya membuat siswa sekolah rumah harus mengikuti ujian negara khusus untuk bisa menyetarakan diri dengan sekolah formal apabila siswa ingin melanjutkan sekolah ke sekolah umum. Hal ini tentu saja membutuhkan lebih banyak upaya dan tambahan waktu.

Page 15: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

10

Implikasi Sekolah Rumah pada pembangunan manusia Indonesia secara langsung adalah pada peningkatan rata-rata lama pendidikan yang pada tahap selanjutnya akan mempengaruhi indeks pembangunan pendidikan manusia Indonesia. Selain itu, pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan pribadi siswa akan mempercepat pengaktualisasian potensi siswa sehingga dapat berkontribusi positif bagi pembangunan masyarakat dan negara Indonesia dengan aktualisasi dirinya itu. Kursus, Bimbingan Belajar, dan Pelatihan merupakan layanan pendidikan nonformal yang tidak pernah surut peminat. Ketiga layanan pendidikan nonformal ini banyak yang muncul sebagai inisiatif masyarakat. Meskipun banyak lembaga pemerintah yang juga memiliki badan pendidikan dan pelatihan (diklat), secara riil di lapangan, lebih banyak lembaga kursus, bimbingan belajar, dan pelatihan yang muncul akibat inisiatif-inisiatif masyarakat sebagai reaksi terhadap perkembangan-perkembangan yang terjadi di masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan. Kursus dan pelatihan merupakan wadah (tempat) belajar siapapun yang ingin memperoleh pengetahuan atau keterampilan spesifik tertentu dengan kurikulum yang spesifik. Nama kursus disesuaikan dengan isi kursus. Misalnya Kursus Memasak untuk kursus yang berisi segala pengetahuan dan keterampilan khusus untuk memasak saja. Atau kursus menjahit untuk kursus yang berisi segala pengetahuan dan keterampilan khusus untuk menjahit saja. Bimbingan belajar merupakan tempat dan kesempatan belajar di luar sistem sekolah yang penekanannya lebih kepada upaya untuk menguasai materi-materi yang berkaitan dengan kurikulum yang dipelajari di sekolah. Bimbingan belajar ini mengalami booming di Indonesia terutama ketika diberlakukannya standar kelulusan baik untuk ujian akhir semester ataupun ujian akhir nasional. Implikasi kursus, pelatihan, dan bimbingan belajar bagi pembangunan manusia Indonesia sangatlah signifikan. Kursus dan pelatihan merupakan tempat yang tepat bagi siapapun yang ingin mengurangi gap antara kebutuhan lapangan kerja riil dan kemampuan yang dimiliki seseorang. Hal ini tentu dapat mengurangi pengangguran dan jumlah kemiskinan di Indonesia. Berkurangnya angka pengangguran dan kemiskinan akan memberikan pengaruh positif dalam indeks pembangunan kesehatan dan indeks pembangunan ekonomi yang dalam tahap selanjutnya berdampak besar pada skor pembangunan manusia Indonesia. Program pengembangan minat dan budaya baca merupakan salah satu upaya pembangunan manusia Indonesia melalui jalur pendidikan nonformal yang tujuannya adalah untuk mengembangkan budaya baca, bahasa, sastra

Page 16: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

11

Indonesia dan daerah untuk membangun masyarakat yang berpengetahuan (Knowledge society), berbudaya, maju dan mandiri (Suryadi, 2009). Dalam implementasi di lapangan, lembaga yang memberikan layanan program pengembangan minat dan budaya baca ini adalah Taman Bacaan Masyarakat (TBM).

Pengembangan minat baca pada jalur pendidikan nonformal ini bertumpu pada tiga pilar utama, yaitu Taman Bacaan Masyarakat, Bahan Bacaan, dan Calon Pembaca. TBM merupakan tempat pertemuan antara calon pembaca dan bahan bacaan yang merupakan sumber untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan praktis. Pengetahuan dan keterampilan praktis yang didapatkan dari aktivitas membaca tersebut selanjutnya dapat berdampak pada peningkatan produktivitas masyarakat dan bangsa pada umumnya.

Implikasi membaca pada pembangunan manusia Indonesia sangatlah besar. Pengetahuan pada zaman sekarang ini berubah sangat cepat. Bila manusia Indonesia tidak mengikuti perkembangan pengetahuan dengan sering membaca hasil-hasil perkembangan pengetahuan dalam bidang tertentu, maka tentu akan tertinggal karena berkutat dengan pengetahuan dan data yang sudah tidak valid. Ketersediaan bahan bacaan yang up to date tentu sangat membantu pertumbuhan pengetahuan dan keterampilan masyarakat tentang bidang yang digelutinya. Dengan peningkatan pemahaman akan bidang yang digeluti oleh masyarakat, maka pendapatan masyarakat akan mengalami peningkatan. Peningkatan ekonomi ini akan berdampak pada indeks pembangunan ekonomi yang selanjutnya berdampak pada peningkatan indeks pembangunan manusia Indonesia.

Taman Bacaan Masyarakat yang ada di masyarakat ada yang didirikan sepenuhnya oleh masyarakat dan ada pula yang sepenuhnya didirikan oleh pemerintah. Bahan bacaan yang ada di Taman Bacaan Masyarakat itu ada yang sepenuhnya berasal dari masyarakat itu sendiri. Taman Bacaan Masyarakat sekarang menjangkau semua tempat yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat. Misalnya TBM @ Mall, TBM di perumahan, TBM di pendopo desa, TBM di pasar, TBM di perkampungan, dan lain-lainnya.

Penutup

Tidak dapat dipungkiri pembangunan manusia Indonesia harus dilaksanakan secara berkelanjutan, terintegrasi, efektif, efisien, holistik, dan merata pada seluruh rakyat Indonesia. Bagaimana hal ini bisa dilakukan? Layanan pendidikan nonformal adalah jawabannya. Dengan kelenturan dan keluasan layanannya yang merupakan karakteristik penting pendidikan nonformal, pendidikan nonformal mampu menjadi solusi dari tantangan pembangunan manusia Indonesia. Di era learning society seperti sekarang ini, pendidikan

Page 17: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

12

nonformal memiliki dimensi yang begitu luas, karena peran, fungsi, dan layanannya selalu mengikuti dinamika kebutuhan masyarakat.

Gambaran kiprah dan kontribusi pendidikan nonformal dalam rangka membangun manusia Indonesia telah disampaikan sehingga diharapkan adanya limpahan perhatian dan dukungan dari pemerintah dan masyarakat terhadap pendidikan nonformal agar percepatan pembangunan manusia bisa tercapai sekaligus percepatan skor Indeks Pembangunan manusia pun bisa tercapai dan hanya ketika Indonesia bisa mencapai skor IPM yang tinggi sajalah negara kita bisa berubah status dari negara berkembang menjadi negara maju seperti yang kita idam-idamkan sejak awal pembentukan negara kesatuan ini.

Daftar Rujukan

Sudjana, Djudju. 2004. Pendidikan Nonformal. Bandung: Alfabeta. Sujiono, Yuliani Nurani. Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta:

Indeks. Suryadi, Ace. 2009. Mewujudkan Masyarakat Pembelajar. Bandung: Widya

Aksara Press. Tilaar, H.A.R. 1998. Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung: Remaja

Rosdakarya Djojonegoro, Wardiman. 1998. Education and Culture Key Aspects of

Indonesia’s Development. Jakarta: Ministry of Education and Culture.

Rogers, A. 2004. 'Looking again at non-formal and informal education - towards a new paradigm', the encyclopaedia of informal education, (online), ( www.infed.org/biblio/non_formal_paradigm.htm, diakses tanggal 20 Februari 2012)

Soewarman, Engking. 2002. Strategi Menciptakan Sumber Daya Manusia Unggul. Jurnal Pendidikan dan Kebbudayaan, No. 37 (8): 532-542.

Nurhayati, Sri. 2011. Proses Pembelajaran Pendidikan Holistik Berbasis Pendidikan Karakter Bagi Anak Usia Dini: Studi Kasus di Kelompok Bermain ANNUR di Desa Lampegan Kecamatan Ibun Kabupaten Bandung. Tesis tidak diterbitkan. Bandung: PPS STKIP Siliwangi Bandung.

Hatta, Muhammad. 2012. Rethinking Educational Administration. Makalah disajikan dalam Seminar International Rethinking Educational Administration, Universitas Pendidikan Bandung, Bandung, 11 Februari.

http://nasional.kompas.com/read/2011/09/19/10594911/Jumlah.Penduduk.Indonesia (diakses tanggal 20 Februari 2012)

http://www.thejakartapost.com/news/2011/11/02/indonesia-ranks-124th-2011-human-development-index.html (diakses tanggal 20 Februari 2012)

Page 18: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

13

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN METODE THEURAPEUTIC

COMMUNITY (TC) DALAM MEMBANGUN KESADARAN KELAYAN

EKS PENYALAHGUNA NAPZA

(Studi di Panti Rehabilitasi Sosial Wilayah Bandung)

Oleh: Lenny Nuraeni,S.Pd,M.Pd

Dosen PS PLS STKIP Siliwangi Bandung

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1) Mendeskripsikan dan menganalisis persepsi Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA terhadap penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) di Panti Rehabilitasi Sosial Wilayah Bandung, 2) Mendeskripsikan dan menganalisis tingkat kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA setelah mengikuti program pemulihan dengan menggunakan Metode Theurapeutic Community di Panti Rehabilitasi Sosial Wilayah Bandung, 3) Menganalisis hubungan antara penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) dengan kesadaran pada Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA di Panti Rehabilitasi Sosial Wilayah Bandung. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif analitik dengan teknik pengumpulan data wawancara, angket, observasi, studi literatur, dan studi dokumentasi. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA yang ada di Panti Rehabilitasi Sosial Wilayah Bandung terdiri dari 3 Panti Rehabilitasi Sosial diantaranya adalah Balai Pemulihan Sosial Pamardi Putera Lembang (BPSPP), Yayasan Sekar Mawar, dan Yayasan Rumah Cemara. Sampel diambil sebanyak 62 orang dengan cara proportional random sampling. Berdasarkan hasil pengolahan data diperoleh keterangan bahwa variabel X (Metode Theurapeutic Community) memberikan pengaruh terhadap variabel Y (kesadaran) secara signifikan. Persamaan regresi yang dibentuk oleh kedua variabel tersebut adalah Y = 68,218 + 0,765 X. Hubungan di antara kedua variabel tersebut dikategorikan sedang. Hal ini ditunjukan oleh harga koefisien korelasi sebesar 0,571. Namun demikian harga tersebut signifikan pada tingkat kepercayaan 95 %, dimana harga t hitung jatuh di daerah penolakan (H0 ditolak). Atas dasar harga-harga tersebut maka disimpulkan bahwa Metode Theurapeutic Community (TC) efektif dalam membangun kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA. Kata Kunci: Metode Theurapeutic Community (TC), Kesadaran Kelayan eks penyalahguna NAPZA

A. PENDAHULUAN

Epidemi penyalahguna Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) untuk negara berkembang seperti Indonesia, merupakan permasalahan yang sangat besar dan sanggup mengancam keberlangsungan kehidupan manusia. Usaha untuk menghentikan penyebaran epidemi ini telah dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, namun pada kenyataannya belum mampu menghentikan epidemi penyalahguna NAPZA khususnya di Jawa Barat.

Page 19: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

14

Dewasa ini masih banyak sekali remaja yang menimbulkan keresahan masyarakat, seperti banyaknya mengenai bentuk kenakalan remaja. Salah satu persoalan adalah meningkatnya kenakalan remaja yang manjadi penyalahguna NAPZA. Akibat langsung yang dirasakan adalah semakin maraknya penyalahgunaan NAPZA terutama dikalangan remaja, pemuda, bahkan meluas melibatkan banyak siswa SMU dan SLTP bahkan sampai SD. Kondisi ini sangat memprihatinkan jika tidak bisa diatasi secara efektif, maka akan merusak generasi muda Indonesia dan merupakan bahaya yang sangat besar bagi kehidupan bangsa dan negara. Salah satu usaha mengatasi hal tersebut pada tahun 2007 pemerintah mengeluarkan beberapa undang-undang yang mengatur produksi, impor, ekspor, menanam, menyimpan, mengedarkan dan menggunakan Narkotika dan Psikotropika. Hampir setiap negara mempunyai ketentuan-ketentuan hukum yang keras dan memiliki satuan-satuan aparat keamanan yang handal dalam usaha menangkal masalah ini. Di Indonesia, ketentuan hukum itu antara lain dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 yang dalam satu bagiannya, yaitu pasal 23 ayat 2, dengan tegas melarang perbuatan menyimpang untuk memiliki atau menguasai narkotika. Ancaman hukumannya adalah pidana penjara maksimum selama 10 tahun dan denda setinggi-tingginya sebanyak lima belas juta rupiah dan bagi pemakai narkotika menurut ayat 7, diancam pidana maksimum 3 tahun penjara. Namun demikian mengapa jumlah orang yang menggunakan NAPZA dari tahun ke tahun terus meningkat? Boleh jadi persoalannya bukan hanya terletak pada kecanggihan hukum yang disusun atau tingkat kehandalan aparat keamanannya, melainkan juga pada bagaimana kebiasaan menggunakan NAPZA tersebut tersosialisasikan dalam masyarakat. Kebiasaan semacam itu tentu tidak dengan tiba-tiba atau hanya mencuat sesaat, atau ditularkan melalui proses sosial yang panjang dan secara sosiologis melibatkan sistem serta struktur sosial yang berlaku dalam masyarakat. Menurut data Mabes POLRI, April 2007 kasus narkoba pada saat ini berjumlah 7735 kasus narkotika, 7151 kasus psikotropika, dan 722 kasus bahan adiktif. Menurut data yang dihimpun dari Depkes, presentase zat yang paling banyak adalah golongan opium. Pengguna jarum suntik pada penyalahgunaan NAPZA terakhir mengalami peningkatan dari 22,2 % pada tahun 2006 menjadi 61,8 % pada tahun 2007. Dilihat dari data yang ada, maka masalah penyalahgunaan NAPZA memerlukan penanganan yang serius dan professional dari berbagai pihak yang terkait. Hal tersebut karena permasalahan NAPZA merupakan masalah yang kompleks

Page 20: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

15

yang menyangkut kesehatan psikologis, sosial dan keamanan. Dampak yang dialami yakni dapat merusak ciri dan citra masa depan bangsa. Ancaman bagi potensi generasi muda selaku generasi penerus dan generasi yang diharapkan dapat mempertahankan eksistensi bangsa dan negara, merongrong tata kehidupan masyarakat sehingga pada gilirannya akan melemahkan ketahanan nasional bangsa Indonesia. Dari dampak tersebut, maka keberadaan pusat-pusat rehabilitasi korban penyalahgunaan NAPZA sangat diperlukan. Di Wilayah Bandung terdapat beberapa lembaga baik itu lembaga milik pemerintah maupun lembaga milik swasta yang melaksanakan program rehabilitasi bagi remaja penyalahguna NAPZA yang mempunyai tujuan untuk memulihkan, menyadarkan dan menumbuhkan peran serta fungsi kehidupan yang normal dan dapat kembali ke dalam kehidupan yang normal serta diterima oleh masyarakat sebagai manusia yang berguna. Dalam upaya menumbuhkan kesadaran masyarakat khususnya pada kelompok berisiko tinggi dapat dilakukan melalui penyebaran informasi yang menyeluruh mengenai penyalahguna NAPZA, sehingga pada akhirnya setiap orang akan mampu melindungi dirinya sendiri. Menurut UU pokok kesehatan RI yaitu: “Tiap-tiap warga negara berhak untuk mendapatkan derajat kesehatan setinggi-tingginya dan perlu diikutsertakan di dalam usaha-usaha kesehatan masyarakat”. (Depkes, 1982 : 5). Sehubungan dengan hal tersebut, salah satu proses penyadaran masyarakat terhadap pentingnya kesehatan adalah melalui pendidikan, karena pendidikan merupakan bagian terpenting dan integral dari pembangunan nasional yang memiliki nilai dan kekuatan strategis dalam pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM). Dalam peningkatan Sumber Daya Manusia ini pemerintah terus berupaya untuk memajukan Pendidikan Nasional. Di bidang pendidikan terlihat upaya serius dari pemerintah untuk membangun Sistem Pendidikan Nasional yang mampu mendayagunakan seluruh warga negara agar turut aktif dalam pembangunan. Diupayakan pula pendekatan sinergis atau kerjasama untuk meningkatkan kualitas pendidikan agar mendukung penyediaan tenaga kerja yang produktif dan efisien melalui pengembangan Pendidikan Luar Sekolah (PLS). Pendidikan di sekolah diselenggarakan mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Sedangkan Pendidikan Luar Sekolah dilaksanakan di luar sistem pendidikan sekolah dimana dalam pelaksanaannya melalui beberapa program antara lain melalui program: pendidikan keluarga, pendidikan anak usia dini, keaksaraan fungsional, kesetaraan, pendidikan berkelanjutan, pemberdayaan perempuan, dan pendidikan sejenis lainnya.

Page 21: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

16

Pendidikan Non Formal sebagai sub Sistem Pendidikan Nasional memegang peranan penting dalam menggerakan masyarakat salah satunya melalui kegiatan pembelajaran partisipatif yang terefleksi dalam pembelajaran kelompok untuk meningkatkan pengertian, pengetahuan dan kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan sesuai dengan pengertian PNF menurut Coombs (D. Sudjana, 2004:22) Pendidikan Non Formal adalah sebagai berikut: Pendidikan Non Formal adalah setiap kegiatan terorganisasi dan sistematis, diluar sistem persekolahan yang mapan dilakukan secara mandiri atau merupakan bagian penting dari kegiatan yang lebih luas, yang sengaja dilakukan untuk melayani peserta didik tertentu di dalam mencapai tujuan belajarnya. Dari pengertian tersebut jelas bahwa pengetahuan, sikap, keterampilan dan nilai tidak hanya diperoleh melalui jalur pendidikan formal. Pendidikan non formal atau pendidikan luar sekolah pun dapat menjadikan seseorang lebih berdaya bagi dirinya sendiri maupun bagi masyarakat. Satu pelaksanaan PLS tersebut diantaranya yaitu melalui Metode Theurapeutic Community (TC) yang dilaksanakan di Panti Rehabilitasi Sosial Wilayah Bandung. Dengan berdiam dalam suatu tempat Panti Rehabilitasi Sosial Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA diharapkan dapat menumbuhkan rasa percaya diri yang berada dibawah bimbingan para ahli. Dalam pelaksanaan program rehabilitasi terdapat beberapa pendekatan seperti biologis, psikologis sosial, spritual dan religi. Salah satu metode yang digunakan dalam proses rehabilitasi dari para pecandu NAPZA adalah Metode Theurapeutic Community (TC). Metode ini dianggap lebih efektif untuk menyembuhkan serta menyadarkan para Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA di Panti Rehabilitasi Wilayah Bandung. Dengan adanya metode tersebut maka Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA dapat lebih mengembangkan kemampuan dirinya, memahami diri dan lingkungannya sehingga dalam indvidu terjadi perubahan sikap dan memiliki kecakapan serta mampu menerapkan pola hidup sehat serta meningkatkan kesadarannya terhadap bahaya yang ditimbulkan dari pekerjaannya tersebut. Dalam penelitian ini penulis akan meneliti dan mengkaji permasalahan tentang: Efektivitas Penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) Dalam Membangun Kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA (Studi di Panti Rehabilitasi Sosial Wilayah Bandung). B. TUJUAN

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk:

Page 22: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

17

1. Mendeskripsikan dan menganalisis persepsi Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA terhadap penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) di Panti rehabilitasi Sosial Wilayah Bandung.

2. Mendeskripsikan dan menganalisis tingkat kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA setelah mengikuti program pemulihan dengan menggunakan Metode Theurapeutic Community (TC) di Panti Rehabilitasi Sosial Wilayah Bandung.

3. Menganalisis hubungan antara penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) dengan kesadaran pada Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA di Panti Rehabilitasi Sosial Wilayah Bandung.

C. METODE

Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap dan mengkaji hubungan antara penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) dengan kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA di Panti Rehabilitasi Wilayah Bandung. Sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian, maka penulis menggunakan metode penelitian yang sesuai dalam rangka memudahkan pengumpulan data sesuai dengan ketentuan dalam melakukan kegiatan penelitian. Berkenaan dengan pendapat Suharsimi Arikunto (1990:34) bahwa: “Metode adalah cara-cara yang dapat digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data”. Winarno Surakhmad (1990:21) memiliki definisi metode adalah sebagai berikut: Metode merupakan cara utama yang dipergunakan untuk mencapai tujuan, misalnya untuk menguji serangkaian hipotesis dengan mempergunakan teknik serta alat-alat tertentu, cara utama ini digunakan setelah penyelidik memperhitungkan kewajarannya, ditinjau dari arti luas, yang biasanya perlu diperjelas lebih spesifik dalam setiap penyelidikan. Berkaitan dengan uraian diatas, maka metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif yang berusaha mendeskripsikan suatu gejala yang terjadi pada saat sekarang. Dengan kata lain, penelitian deskriptif mengambil masalah atau memusatkan perhatian kepada masalah-masalah aktual sebagaimana adanya pada suatu penelitian dilaksanakan. Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran atau suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Menurut Whitney dalam Nazir (1988: 63) bahwa metode deskriptif adalah sebagai berikut: Metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta

Page 23: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

18

situasi-situasi tertentu termasuk hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pendangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena. Dari penjelasan tersebut, maka metode deskriptif dianggap sebagai metode yang paling relevan untuk digunakan dalam penelitian. Karena penelitian ditujukan pada masalah yang tejadi pada masa sekarang dan dalam pelaksanaannya tidak terbatas pada pengumpulan data dan penyusunan data, akan tetapi lebih jauh lagi dianalisis setiap data yang terkumpul. Sejalan dengan hal tersebut, Winarno Surakhmad (1990: 140) menjelaskan ciri-ciri metode deskriptif, yaitu: (1) Memusatkan diri pada pemecahan masalah-masalah yang aktual; dan (2) Data yang dikumpulkan mula-mula disusun, dijelaskan dan kemudian dianalisa serta menginterpretasikan hasil data. Oleh sebab itu metode ini sering dikenal dengan metode analitik. Adapun penelitiannya adalah korelasional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variabel Metode Theurapeutic Community (X) dengan kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA (Y). Nana Sudjana (1989: 77) memberikan definisi mengenai metode korelasional adalah sebagai berikut: Studi korelasional adalah studi yang mempelajari hubungan dua variabel atau lebih, yakni sejauh mana variansi dalam variabel lain. Derajat hubungan antara variabel-variabel dinyatakan dalam suatu indeks yang dinamakan koefisian korelasi. Korelasi dapat menghasilkan dan menguji suatu hipotesis mengenai hubungan antar variabel . Hal diatas dipertegas pula oleh Suharsimi Arikunto (1998: 201) mengemukakan bahwa: Penelitian yang bertujuan untuk menemukan ada tidaknya hubungan dan berapa eratnya hubungan serta berarti tidaknya hubungan itu. Studi korelasional itu digunakan untuk menelaah hubungan antara variabel-variabel ini diusahakan dengan mengidentifikasi variabel yang ada kemudian dilihat apakah ada hubungan antara keduanya. Penelitian ini menggunakan dua metode statistik untuk menganalisa data yaitu statistik deskriptif untuk mengukur nilai rata-rata simpangan baku serta statistik inferensial yaitu dalam bentuk analisis regresi dan analisis korelasi. Analisis regresi digunakan untuk mengungkapkan hubungan fungsional antara variabel-variabel penelitian, sedangkan analisis korelasi digunakan untuk mengukur derajat keeratan atau hubungan variabel penelitian.

Page 24: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

19

D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

a) Balai Pemulihan Sosial Pamardi Putera Lembang

Pada mulanya, Panti ini bernama Asrama Pembangunan yang merupakan warisan dari Federal Belanda pada tahun 1948. Kemudian pada tahun 1955, namanya diubah menjadi Panti Karya Mulya yang berfungsi sebagai tempar transit/bimbingan sosial/keterampilan bagi Gepeng (Gelandangan dan Pengemis), pemukiman sementara wanita tuna susila (hasil razia) dan tempat latihan Satgaso (Satuan Tenaga Sosial). Pada Tahun 1978 ditetapkan menjadi sarana rehabilitasi sosial pengemis, gelandangan dan orang terlantar (SRPGOT) “Marga Mulya” Lembang. Selanjutnya berdasarkan SK Menteri Sosial RI No. 58/HUK/1986 tanggal 03 Juni 1986, panti ini digunakan untuk pelaksanaan rehabilitasi sosial korban Narkotika dengan menggunakan sarana dan fasilitas SRPGOT “Marga Mulya” Lembang dengan nama Sarana Rehabilitasi Sosial Korban Narkotika (SRKN) “Marga Mulya” Lembang. Pada Tahun 1994, berdasakan SK Menteri Sosial No. 6/HUK/1994 tentang pembentukan 18 panti di lingkungan Departemen Sosial RI, nama SRKA “Marga Mulya” Lembang diubah menjadi Panti Sosial Pamardi Putera “Binangkit” Lembang (PSPP “Binangkit” Lembang). Sejalan dengan Otonomi Daerah, pada tanggal 29 Februari, PSPP Binangkit diserahkan dari Departemen Sosial ke Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 5 tahun 2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah provinsi Jawa Barat, Panti Sosial Pamardi Putera “Binangkit” Lembang berubah menjadi Balai Pemulihan Sosial “Pamardi Putera” (BPSPP) Lembang Bandung.

b) Yayasan Rumah Cemara

Pusat Pemulihan Rumah Cemara adalah sebuah lembaga non-profit yang bertujuan membantu masyarakat bandung khususnya dalam menanggulangi masalah pemakaian NAPZA. Didirikan pada tanggal 1 Januari 2003 oleh sekelompok pecandu dalam pemulihan yang telah menyelesaikan perawatannya dan ingin berbagi pengalaman pemulihan dan pengetahuannya.

Page 25: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

20

Penyelenggaraan dan staf dari Rumah Cemara adalah mantan kelayan dari suatu panti rehabilitasi. Atas dasar keprihatinan mereka terhadap maraknya korban yang berjatuhan akibat barang haram itu, maka akhirnya mereka sepakat untuk mendirikan suatu tempat pemulihan dengan Metode Theurapeutic Community (TC) yang kemudian berdirilah pusat pemulihan Rumah Cemara. Pusat Pemulihan Rumah Cemara merupakan lanjutan atau pindahan dari panti rehabilitasi yang bernama Agung Pekerti yang terletak di Kota Bandung. Akibat manajemen yang kurang baik maka panti rehabilitasi agung pekerti dibubarkan, oleh pihak-pihak yang peduli maka sisa-sisa dari agung pekerti ini dibentuklah pusat Rumah Cemara. Pertama kali didirikan, Pusat Pemulihan Rumah Cemara terletak di Jalan Setrasari Indah No 4 A. Kemudian karena sesuatu dan lain hal akhirnya Pusat Pemulihan Rumah Cemara berpindah tempat ke Jl. Geger Kalong Girang No 52 RT 01 Kelurahan Isola Kecamatan Sukasari Kota Bandung dibandingkan dengan bangunan di Setrasari Indah, bangunan di Gegerkalong Girang lebih luas dan lingkungannya lebih mendukung terhadap proses pemulihan, maka untuk itu penyelenggara dan staf berusaha menciptakan setting yang menyenangkan bagi para pecandu NAPZA yang ikut program pemulihan. Hal-hal yang menjadi latar belakang berdirinya Pusat Pemulihan Rumah Cemara antara lain adalah: 1) Adanya data yang diperoleh dari rumah sakit di Bandung. Pasien

ketergantungan NAPZA yang diterima pada tahun 1998 sebanyak 16 orang tahun 1999 sebanyak 104 orang, dan tahun 2002 mencapai 150 orang.

2) Kemudian di sebuah LSM Yayasan Bahtera Bandung, yang mendampingi pemakai NAPZA suntikan (IDU-Injecting Drug User) dalam rangka pengurangan bahaya, terdapat 460-an IDU yang sedang mengikuti program dampingan tersebut.

3) Di Polda Jawa Barat, 2003 terdapat 19 IDU yang sedang ditahan 4) Polwiltabes Bandung dalam 5 bulan terakhir ini menangani 63 kasus

Narkotika dengan 132 tersangka dan 34 kasus psikotropika dengan 53 tersangka. 85 % dari seluruh jumlah tersangka adalah usia produktif, yaitu 17 s/d 45 tahun.

5) Kemudian Bandung Plus Support, sebuah kelompok dukungan bagi pengidap HIV di Bandung, melaporkan 10 orang pengidap HIV menjadi anggota dan secara rutin bertemu.

Page 26: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

21

Data-data tersebut menunjukan peningkatan pemakaian NAPZA ilegal di Bandung beserta dampak negatifnya (angka kriminalitas, kematian akibat over dosis, serta penularan virus hepatitis dan HIV) secara terus menerus. Hal inilah yang menjadi landasan Pusat Pemulihan Rumah Cemara untuk berdiri dan terus bertahan memberikan pelayanan kepada para pecandu yang ingin pulih dari ketergantungan NAPZA. Biaya yang diperoleh untuk mendirikan Pusat Pemulihan Rumah Cemara adalah swadaya dari seluruh penyelenggara. Sedangkan biaya yang harus dikeluarkan kelayan (kelayan) untuk program pemulihan disesuaikan dengan kemampuan ekonomi keluarga kelayan. Bahkan dengan adanya sistem subsidi siang yang ditawarkan oleh Pusat Pemulihan Rumah Cemara dapat membantu para kelayan yang kurang mampu. Saat ini biaya yang harus dikeluarkan kelayan setiap bulannya bervariasi sekitar Rp. 150.000,00 sampai dengan Rp. 1.500.000,00/orang. Biaya yang dihimpun tersebut digunakan sebagai biaya operasional setiap bulan yang jumlahnya berkisar antara 10 juta sampai dengan 15 juta rupiah. Status kepemilikan panti rehabilitasi seluas 900 m² ini adalah milik swasta atau masyarakat, dengan hak sewa. Yaitu gedung atau balai yang digunakan sebagai sarana program pemulihan merupakan rumah milik salah satu penyelenggara Pusat Pemulihan Rumah Cemara.Pusat Pemulihan Rumah Cemara berada di bawah naungan Yayasan Insan Hamdani Jakarta.

c) Yayasan Sekar Mawar

Yayasan Sekar Mawar adalah sebuah Yayasan Sosial yang berada di bawah naungan keuskupan Bandung yang bergerak dalam bidang pencegahan dan penanggulangan masalah penyalahgunaan dan ketergantungan pada NAPZA (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya).Yayasan ini didirikan oleh para rohaniawan dan pemuka umat dari berbagai bidang keahlian dalam lingkungan keuskupan Bandung. Yayasan Sekar Mawar didirikan atas dasar keprihatinan dan kepedulian terhadap suatu kondisi, dimana semakin meningkatnya jumlah korban NAPZA tengah kehidupan masyarakat, khususnya kalangan generasi muda. Hal ini tentu saja dapat menjadi jerat yang sangat yang dapat menghancurkan kehidupan pribadi dan masa depan korban itu sendiri. Dampak yang lebih luas dari kondisi tersebut adalah hancurnya generasi muda dan masa depan bangsa di masa yang akan datang.

Page 27: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

22

Yayasan Sekar Mawar memiliki dasar hukum yang melindungi dasar hukum yang melindungi berjalannya segala kegiatan yang di adakan, yaitu: 1) Akte Notaris : Nomor 35 tanggal 20 Maret 2000. 2) Notaris : Ibu Lien Tanudirdja, SH. Beralamat di Jln. Naripan 43,

Bandung. 3) Terdaftar pada Direktorat Sosial Politik Propinsi Jawa Barat, dengan

nomor 289/LK-Yayas/2000, tanggal 14 Oktober 2000. 2. Analisis Penelitian dan Pembahasan

a) Persepsi Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA terhadap Metode Theurapeutic

Community (TC) yang diselenggarakan di Panti Rehabilitasi Sosial Wilayah Bandung.

Persepsi Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA terhadap Penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) yang diselenggarakan di Panti Rehabilitasi Wilayah Bandung cenderung tinggi. Hal ini dilihat dari skor umum responden sebesar 125.1290, apabila skor ini dibandingkan dengan skor ideal diperoleh skor kecenderungan responden sebesar 75,84 %. Faktor-faktor yang dijadikan indikator dalam menilai efektivitas penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) dapat dilihat dari hasil wawancara yang dilakukan kepada Pihak konselor bahwa terdapat beberapa kegiatan atau tahap yang dilaksanakan di Panti Rehabilitasi diantaranya: Pertama melakukan tahap pendekatan awal, yaitu mencakup kegiatan identifikasi dan pemberian motivasi pada Kelayan beserta keluarganya sebelum Kelayan mengikuti program pemulihan di Panti Rehabilitasi. Profesi yang terlibat dalam tahap ini adalah pekerja sosial dan staf lembaga lainnya. Tahap ini dilaksanakan di lingkungan masyarakat dalam rangka rekruitmen Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA. Kedua, melakukan tahap penerimaan, yaitu mencakup kegiatan registrasi, pengisian kontrak kerja, penyelesaian administrasi, menempatkan kelayan pada program dan penentuan pembimbing bagi kelayan setelah calon kelayan resmi diterima sebagai Kelayan. Profesi yang terlibat dalam tahap ini adalah pekerja sosial dan staf lembaga lainnya. Ketiga, melakukan tahap orientasi, yaitu mencakup kegiatan pengenalan program dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan program, serta pengenalan fasilitas yang dimiliki lembaga, termasuk pelaksanaan asesmen terhadap kelayan. Profesi yang terlibat dalam tahap ini adalah pekerja sosial, psikolog dan staf lembaga lainnya. Keempat, melakukan tahap intervensi, yaitu meliputi kegiatan :

Page 28: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

23

1) Rehabilitasi dalam bentuk kegiatan yang difokuskan pada penanaman disiplin pribadi, pemantapan perubahan tingkah laku, peningkatakan keterampilan, pembinaan mental-spiritual, bimbingan sosial dan pemberian konsultasi pada keluarga kelayan. Profesi yang terlibat adalah pekerja sosial, psikolog dan pembimbing agama dan instruktur keterampilan.

2) Resosialisasi dalam bentuk kegiatan yang dilakukan untuk melibatkan kelayan pada berbagai aktivitas sosial yang positif di luar lingkungan lembaga, yaitu melalui pelaksanaan Praktek Belajar Kerja (PBK) di perusahan-perusahaan, melakukan pembinaan terhadap lingkungan sosial kelayan, melakukan bakti sosial, menyelenggarakan pameran dan widya wisata, serta melakukan home visit. Profesi yang terlibat adalah pekerja sosial dan staf lembaga lainnya, termasuk instruktur keterampilan.

3) Bimbingan lanjut, yaitu kegiatan bimbingan lanjutan yang dilaksanakan setelah kelayan selesai mengikuti program pemulihan sosial di Panti Rehabilitasi dan kembali ke lingkungan keluarga dan masyarakatnya.

b) Tingkat Kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA di Panti Rehabilitasi Sosial

Wilayah Bandung?

Dari hasil pengolahan data mengenai variabel kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA di Panti Rehabilitasi Sosial Wilayah Bandung menunjukan pada kategori yang sangat tinggi. Hal ini dilihat dari rata-rata skor umum responden sebesar 74,4194, apabila skor ini dibandingkan dengan skor ideal diperoleh skor kecenderungan responden sebesar 78,34 %. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Kartini Kartono (1981: 49), yang menyatakan bahwa: “kesadaran itu diartikan sebagai intensionalitas atau relasi antara subjek yang aktif mengalami dengan objek yang dialami”. Selanjutnya kartini Kartono (1981: 6) menyatakan bahwa intensionalitas itu selalu mengandung tiga aspek yaitu aspek kognitif (pengenalan atau ginositis), aspek emosional (afektif, perasaan), dan aspek kemauan (volutif, konatif). Hal ini terbukti dari hasil penyebaran instrumen penelitian yang menyatakan bahwa Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA tidak kembali lagi mengkonsumsi NAPZA. Kenyataan tersebut disebabkan oleh keinginan kelayan eks penyalahguna NAPZA untuk memiliki rasa kesadaran sehingga tidak kembali lagi mengkonsumai NAPZA.

Page 29: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

24

Timbulnya kesadaran bukan semata-mata dipengaruhi oleh penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC). 67,4 % kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA dipengaruhi oleh faktor lain. Hal ini sejalan dengan pendapat Freud yang mengemukakan pendapatnya tentang kesadaran, dengan membandingkan jiwa dengan gunung es dimana bagian lebih kecil yang muncul di permukaan air menggambarkan daerah kesadaran, sedangkan massa yang jauh lebih besar di permukaan air menggambarkan daerah ketidaksadaran. Dalam daerah ketidaksadaran yang sangat luas ini ditemukan dorongan-dorongan, nafsu-nafsu, ide-ide dan perasaan yang ditekan suatu dunia bawah yang berisi kekuatan-kekuatan vital yang tak kasat mata yang melaksanakan kontrol penting atas pikiran-pikiran dan perbuatan-perbuatan dasar individu. Dari pendapat Freud tadi, dapat diketahui bahwa ketidaksadaran dapat memberikan kontrol dan dorongan-dorongan atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan individu. Hal ini dapat dilihat dari tingkat korelasi sebesar r = 0,571. Sedangkan daerah kesadaran yang diibaratkan gunung es tadi hanya mempu memberikan pengaruh sebesar 32,6 %.

c) Apakah tingkat kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA dipengaruhi oleh

penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC)?

Penelitian yang dilakukan mengajukan satu hipotesis, hasil analisis ini membuktikan hipotesa penelitian yang menyatakan bahwa: “Terdapatnya hubungan yang berarti antara penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) dengan kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA di Panti Rehabilitasi Sosial Wilayah Bandung”. Dari pengujian yang dilakukan hipotesis yang telah diajukan dalam penelitian ini diterima, hipotesis yang menguji kedua variabel X dan Variabel Y dibuktikan dengan mengujikan t hitung yang memperoleh nilai lebih besar dari t tabel pada tingkat kepercayaan 95 % dengan dk = 60. Hasil analisis data penelitian mengenai penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) dalam membangun kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA, berdasarkan perhitungan menunjukan bahwa persamaan regresi yang diperoleh adalah Y = 68,218 + 0.765 X koefisien regresi yang diperoleh menunjukan harga yang positif. Makin tinggi efektivitas penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC), maka makin tinggi pula atau semakin baik pula kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA untuk tidak kembali mengkonsumsi NAPZA. Perubahan pada kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA terjadi 0,765 satuan setiap penambahan penggunaan Metode Theurapeutic Community sebesar satu satuan dengan persentase setiap peningkatan penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) yang dilaksanakan

Page 30: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

25

di Panti Rehabilitasi sebesar 100 %, maka kesadaran akan meningkat sebesar 76,5 %. Berarti efektivitas penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) dapat meningkatkan kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA. oleh karena itu semakin tinggi efektivitas penggunaan Metode Theurpeutic Community (TC) yang dilaksanakan di Panti Rehabilitasi maka semakin tinggi pula kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA untuk tidak kembali lagi mengkonsumsi NAPZA. Dengan demikian, untuk menaikan tingkat kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA perlu lebih ditingkatkan mengenai efektivitas penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) yang dilaksanakan di Panti-panti Rehabilitasi Wilayah Bandung. Pada perhitungan koefisien determinasi menunjukan bahwa efektivitas penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) dalam membangun kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA adalah 32,6 % sedangkan sisanya 67,4 dipengarui oleh faktor lain. Berdasarkan kontribusi tersebut diatas, penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA, namun penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) perlu ditingkatkan dalam membangun kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA. Menurut Evi Supiadi (2000) memang dalam pelaksanaan penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) dalam sebuah komunitas pecandu dalam program Theurapeutic Community (TC) para Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA yang sedang melaksanakan kegiatan rehabilitasi di Panti dilakukan dengan memanfaatkan pengalaman sejarah pecandu dalam fungsi sosial, kemampuan pendidikan, kemampuan intelektual komunitas yang positif dan ikatan keluarga. Pada pelaksanaannya Metode Theurapeutic Community (TC) pendekatan yang dilakukan dalam penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) adalah: biologis yaitu mengobati semua dampak kesakitan, menahan laju perkembangan virus penyakit (bagi yang terkena NAPZA). Detoksifikasi tidak diperlukan sepanjang tidak mengancam keselamatan jiwa, pendekatan psikologis dilakukan dengan memperbaiki karakter jiwa yang rusak enggan menanamkan pola fikir, sosial dilakukan dengan memulihkan kembali interaksi sosial antara korban atau pecandu dengan lingkungan sosial keduanya, spiritual dilakukan dengan memulihkan eksistensi diri sebagai manusia, merupakan bagian dari makhluk yang ada di alam.

Page 31: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

26

E. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

1. Kesimpulan

Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah diolah dan dianalisis pada BAB IV disimpulkan bahwa penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) di Panti Rehabilitasi Wilayah Bandung berada pada kategori tinggi. Hal ini didukung oleh adanya pendapat responden yang mengatakan bahwa penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) sangat efektif karena dalam pelaksanaannya lebih menekankan pada kegiatan-kegiatan kelompok yang menekankan prinsip-prinsip self-help (bantu diri). Kegiatan kelompok yang dilaksanakan oleh Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA di Panti Rehabilitasi Sosial misalnya adalah: Morning Meeting, Encounter Group, Peer/Personal Accountability Group Evaluation (P.A.G.E.), Static Group, Evening Wrap Up, Weekend Wrap Up, Discussion Group, Seminar Group. Kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA memiliki kecenderungan tinggi. Hal ini didukung oleh hal-hal sebagai berikut: (1) Persepsi melalui adanya suatu pemberian makna yang ditentukan oleh faktor personal dan faktor situasional, sehingga persepsi bersifat subjektif. Hal inilah yang memungkinkan adanya persepsi yang bersifat positif atau negatif. Apabila yang dipersepsikan berupa informasi tentang bahaya NAPZA dari proses pemaknaan sensasi, maka apabila seseorang berhasil memperoleh pemaknaan yang positif dari penyampaian informasi tersebut, dengan mudah akan sampai pada proses penyadaran, (2) memori dilakukan Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA dengan merekonstruksi seluruh masa lalu dari satu petunjuk memori kecil yaitu dengan cara membuang kenangan-kenangan yang negatif ketika mengkonsumsi NAPZA, (3) partisipasi dilakukan oleh Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA dengan mengikuti setiap kegiatan yang dilaksanakan di Panti Rehabilitasi Sosial. Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA berpartisipasi aktif dalam melaksanakan semua kegiatan tersebut karena mereka memiliki motivasi yang kuat. Hasil Uji Empiris menyatakan bahwa pengaruh yang dihasilkan oleh Metode Theurapeutic Community (TC) terhadap kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA bersifat positif. Hasil ini ditunjukan koefisien regresi yang positif. Hal ini memberikan arti bahwa perubahan atau kenaikan yang terjadi pada variabel Metode Theurapeutic Community (TC) dapat meningkatkan kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA. Hubungan antara kedua variabel bersifat dependent dan signifikan. Artinya kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA secara nyata dipengaruhi oleh penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC).

Page 32: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

27

2. Rekomendasi

Berdasarkan hasil penelitian tersebut dibuat rekomendasi untuk para pihak yang terkait diantaranya adalah sebagai berikut: a) Bagi Lembaga Penyelenggara

Untuk kelancaran pelaksanaan kegiatan Rehabilitasi di Panti yang dilakukan terhadap Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA pihak pengelola lembaga harus lebih semakin profesional dalam melaksanakan program Rehabilitasi Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA dengan menggunakan Metode Theurapeutic Community (TC).

b) Bagi Konselor

Peran konselor dalam penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) sangat besar sehingga konselor harus memusatkan perhatian pada peningkatan kesadaran dan pemahaman kelayan untuk tidak kembali lagi mengkonsumsi NAPZA. Konselor harus lebih banyak terlibat di dalam pelaksanaan Metode Theurapeutic Community (TC) sehingga mampu meningkatkan motivasi dan kesiapan kelayan dalam mengikuti program pemulihan dan menjaga agar kelayan selalu berada dalam kondisi yang memiliki motivasi dan kesiapan yang cukup tinggi dalam mengikuti program pemulihan.

c) Bagi Kelayan

Kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA terbentuk karena adanya penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC). Oleh karena itu Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA diharapkan agar dapat mengikuti kegiatan dengan baik, memiliki komitmen dan motivasi yang kuat untuk berubah dengan memperbaiki diri agar benar-benar dapat melepaskan diri dari ketergantungan NAPZA, dapat mengisi waktu luang dengan kegiatan positif terutama setelah selesai menjalani terapi dan rehabilitasi serta berada kembali di tengah-tengah kehidupan masyarakat, serta setelah keluar dari Panti Rehabilitasi Sosial harus terus mempertahankan keinginan untuk tidak menggunakan NAPZA lagi, menjalankan ajaran agama dan mentaati norma-norma yang berlaku di masyarakat.

d) Bagi Masyarakat

Penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) yang dilaksanakan di Panti Rehabilitasi dapat dijadikan sebagai alternatif pilihan dalam penyembuhan Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA. Sehingga apabila ada anggota keluarga yang terkena NAPZA dapat mengikuti kegiatan Rehabilitasi di Panti Rehabilitasi Sosial yang menggunakan Metode Theurapeutic Community (TC).

Page 33: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

28

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. (1990). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta. Badan Narkotika Nasional. (2007). Kamus Istilah Tentang dan Yang Berhubungan

Dengan Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Bahan Adiktif Lainnya, Jakarta: BNN.

Badan Narkotika Nasional. (2007). Komunikasi Penyuluhan Pencegahan Penyalahgunaan NAPZA, Jakarta: BNN.

Badan Narkotika Nasional. (2007). Memilih Lingkungan Bebas Narkoba, Jakarta: BNN. Badan Narkotika Nasional. (2007). Pedoman Pelaksanaan P4GN Melalui Peran Serta

Kepala Desa/Lurah Babinkamtibmas dan PLKB di Tingkat Desa atau Kelurahan, Jakarta: BNN.

Badan Narkotika Nasional. (2007). Pencegahan Penyalahgunaan NARKOBA Sejak Usia Dini, Jakarta: BNN.

Balai Pemulihan Sosial Pamardin Putera.(2006). Petunjuk Teknis Pelaksanaan Kegiatan Peningkatan Penanganan Anak Nakal dan Korban Narkotika Jawa Barat Tahun Anggaran 2006, Bandung: BPSPP.

Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat Subdin Pemulihan Sosial Seksi Pemulihan Anak Nakal dan Korban Narkotika. (2005). Pedoman Metode Dua Belas Langkah Pada Rehabilitasi Korban NAPZA Melalui Pendekatan Pekerjaan Sosial, Jakarta: Dinsos.

Direktorat Jendral Pelayanan Rehabilitasi dan Rehabilitasi Sosial Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Korban NAPZA Departemen Sosial RI. (2003).Standarisasi Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Korban NAPZA Dalam Panti, Jakarta: Depsos RI

Direktorat Jendral Pelayanan Rehabilitasi Sosial Departemen Sosial RI. (2003). Metode Theurapeutic Community (Komunitas Terapeutic) Dalam Rehabilitasi Sosial Penyalahgunaan NAPZA, Jakarta: Depsos RI.

Fakih., et, al. (2001). Pendidikan Popular Membangun Kesadaran Kritis. Yogya: Insist. Gerungan .W.A. (2004). Psikologi Sosial. Bandung: PT. Refika Aditama. Hamalik, O. (1999). Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung: Bumi Aksara. Hariworjanto-S, K. (1987). Metoda Bimbingan Sosial Masyarakat. Bandung. PT. Bale

Bandung. Harvill, Jacobs & Masson. (2000). Group Counseling: Strategies & Skills. Virginia:

Brooks/Cole Publishing Company. Hastuti, P (2005). Metode Theurapeutic Community pada rehabilitasi Korban NAPZA

Melalui Pendekatan Pekerjan Sosial. Bandung. Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat.

Hatimah, I. (2000). Strategi dan Metode Pembelajaran PLS. Bandung: Andira. Hawari, D. (2003). Penyalahgunaan Narkotika atau obat Keras dan penanggulangannya.

Jakarta: Gramedia. Hidayat, T. (2000). Materi Simposium Pencegahan dan Penanggulangan Narkoba.

Bekasi : Yayasan Tunas Harapan Bangsa. Idochi-Anwar, M. (2003). Dasar-Dasar Statistika. Bandung: Alfabeta. Johnson, J.L. (2004). Fundamentals of Subtance Abuse Practice. Toronto: Thomson

Learning, Inc.

Page 34: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

29

Kartaatmaja, R. (2002). Pekerjaan Sosial. Bandung. Jurusan Pendidikan Luar Sekolah, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Pendidikan Indonesia.

Kartono, K (1987). Patologi Sosial 3 Gangguan-Gangguan Kejiwaan. Jakarta: CV. Rajawali.

Kusuma, W (2008). Pengantar Psikologi. (Edisi Kesebelas). Batam: Interaksara. Mercer, D.E & Woody, G. E. 2000. Individual Drugs Counseling: Therapy Manual For

Drugs Addiction Series. Maryland: U.S. Departemen of Health And Human Services.

Nazir, M. (1999). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Nasution, S. (2003). Metode Research (penelitian ilmiah). Jakarta: Bumi Aksara. Pemerintah Provinsi Jawa Barat Dinas Sosial. (1997). Pedoman Dukungan Keluarga

(Family Support) Dalam Rehabilitasi Sosial Bagi Penyalahguna NAPZA, Bandung: Dinas Sosial

Pemerintah Provinsi Jawa Barat Dinas Sosial. (1997). UndangUndang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, Bandung: Dinas Sosial

Poerwadarminta. (1989). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007. (2007). Perlindungan Anak. Bandung:

Citra Umbara. Pramesti, G. (2006). Panduan Lengkap SPSS 13.0 dalam Mengolah Data Statistik.

Jakarta. Elex Media Komputindo Rakhmat, J. (2005). Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosda Karya. Simanjuntak, B. (1991). Pengantar Kriminologi & Pathologi Sosial. Bandung: Tarsito. Stanislaus-S, U. (2006). Pedoman Analisis Data Dengan SPSS. Yogyakarta. Graha Ilmu. Sudjana, D. (2003). Pendidikan Luar Sekolah, Wawasan, Sejarah Perkembangan

Filsafah dan Teori Pendukung Azas. Bandung: Nusantara Press. Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Surachmad, W. (1998). Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito. Syamsudin-M, A. (2001). Psikologi Kependidikan. Bandung. Remaja Rosda Karya. Togar-M, S. (2007). Pedoman Pencegahan Penyalahgunaan NAPZA Bagi Pemuda.

Jakarta. Badan Narkotika Nasional (BNN). Triyanti, W. (2004). Pengaruh Kredibilitas Pengelola Terhadap Peningkatan Kesadaran

Orang Tua Dalam Mengikutsertakan Anaknya Pada Program PAUD di Kecamatan Lembang. Skripsi pada FIP/PLS UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Universitas Pendidkan Indonesia. (2007). Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: UPI

UU RI. No 5 Th. 1997. (2007). PSIKOTROPIKA. Bandung: Citra Umbara UU RI No 22 Th. 1997. (2007). NARKOTIKA. Bandung: Citra Umbara Yanny, D. (2001). Narkoba Pencegahan dan Penangannya. Jakarta: Gramedia. Yatim, D. (1993). Kepribadian, Keluarga dan Narkotika. Jakarta: Arcar.

Page 35: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

30

Page 36: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

31

STRATEGI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEAKSARAAN TINGKAT LANJUTAN MELALUI VOKASIONAL SKILL MENJAHIT

DI PKBM ASH-SHODDIQ DESA PAGERWANGI KECAMATAN LEMBANG

KABUPATEN BANDUNG

Oleh: Purnomo,S.Pd,M.Pd

Dosen PS-PLS STKIP Siliwangi Bandung

Abstrak

Masalah pokok berfokus pada bagaimana strategi pembelajaran keaksaraan tingkat lanjutan, melalui vokasional skill menjahit. Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah: 1) Untuk mendeskripsikan perencanaan pembelajaran pendidikan keaksaraan tingkat lanjutan melalui vocational skills menjahit yang dilakukan oleh PKBM Ash-Shoddiq di Desa Pagerwangi Kecamatan Lembang. 2) Untuk mendeskripsikan proses pembelajaran pendidikan keaksaraan tingkat lanjutan yang dilakukan PKBM Ash-Shoddiq di Desa Pagerwangi Kecamatan Lembang. 3) Untuk mendeskripsikan hasil yang diperoleh setelah dilaksanakan proses pembelajaran pendidikan keaksaraan tingkat lanjutan melalui vocational skills menjahit oleh PKBM Ash-shoddiq di Desa Pagerwangi Kecamatan Lembang. Landasan teoritis yang mendasari penelitian ini adalah Peranan Pendidikan Nonformal dalam Pendidikan Nasional, Strategi Pembelajaran Pendidikan Keaksaraan, dan Konsep Vokasional Skill. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh warga belajar keaksaraan pasca tingkat dasar yang berjumlah 8 orang, pengelola program berjumlah 1 orang, tutor berjumlah 1 orang, sehingga populasi berjumlah 10 orang. Penelitian ini dirancang dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian strategi pembelajaran dimulai dari tahapan perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, serta evaluasi dan hasil pembelajaran. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi, studi dokumentasi, studi literatur, catatan lapangan dan format penilaian disertai dengan soal-soal evaluasi sumatif keaksaraan tingkat lanjutan melalui vokasional skill menjahit. Berdasarkan data dan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa strategi pembelajaran keaksaraan tingkat lanjutan (pasca tingkat dasar) melalui vokasional skill menjahit menjadi salah satu pendekatan yang tepat dalam proses pembelajaran keaksaraan. Permasalahan dalam belajar yang dirasakan oleh warga belajar, terutama berkaitan dengan psikologisnya seperti rasa jenuh, bosan dan susah mengingat dapat teratasi dengan menggunakan pendekatan vokasional skill menjahit. Selain itu warga belajar memiliki dua kemampuan, yakni kemampuan keaksaraan (membaca, menulis, berhitung) dan keterampilan dasar menjahit Kata Kunci : Strategi Pembelajaran, Pendidikan Keaksaraan Tingkat Lanjutan, vokasional skill

Page 37: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

32

A. PENDAHULUAN

Program Education For All (EFA) yang dicanangkan United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada 1993 memberikan statment bahwa "Indonesia termasuk dalam 30 negara di dunia yang berprospek untuk dapat menghapuskan buta huruf bagi orang dewasa pada tahun 2015," papar Director EFA Nicholas Burnett di Hotel Westin Nusa Dua Bali. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004 – 2009 dan Rencana Strategis Pendidikan Nasional 2005 – 2009 serta dalam Inpres Nomor 5 Tahun 2006 ditegaskan bahwa akhir tahun 2009, angka buta huruf usia 15 tahun ke atas tersisa 5% atau 7,7 Juta orang. Sementara itu, sampai dengan bulan Juni 2007, menunjukan bahwa penduduk buta huruf adalah 12,24 juta orang atau setara dengan 7,49 persen populasi (Bambang Sudibyo, pada situs resmi Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat). Penduduk penderita buta huruf tersebar pada tiap daerah (propinsi, kabupaten/kota) yang memiliki karakteristik sosial, budaya, ekonomi, sumber daya yang berbeda. Sampai pada akhir tahun 2007, di Jawa Barat terdapat 970.333 orang yang buta huruf, yang tersebar diseluruh kota dan kabupaten yang ada di Jawa Barat (jabarprov.go.id). Ada beberapa alasan mengapa mereka buta huruf, antara lain disebabkan : a) Tidak sekolah sejak awal (geografis dan ekonomi), b) drop out sekolah dasar (SD kelas 1-3), c) keterbatasan kemampuan pemerintah pusat dan daerah, d) buta huruf kembali. Menyimak permasalahan diatas, sesuai dengan UU No 23 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 26 ayat 3, maka upaya gerakan pemberantasan buta huruf diupayakan oleh lembaga pendidikan nonformal atau kita kenal dengan Pendidikan Luar Sekolah (PLS). Program Pendidikan Luar Sekolah dapat diartikan sebagai kegiatan yang disusun secara terencana dan memiliki tujuan, sasaran, isi dan jenis kegiatan, pelaksana kegiatan, proses kegiatan, waktu, fasilitas, alat-alat, biaya dan sumber-sumber pendukung lainnya. (D Sudjana, 2004:4). Menyimak pengertian tersebut diatas, maka peranan Pendidikan Luar Sekolah telah tersusun secara sistematis dan terencana, sehingga bangkitnya Pendidikan Luar Sekolah akan menjadi solusi dalam penuntasan buta huruf dewasa ini.

Page 38: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

33

Berkaitan dengan strategi pembelajaran pendidikan keaksaraan dan berbagai model maupun pendekatan yang diterapkan selama ini, sangatlah berpengaruh besar terhadap akselerasi program. Model tersebut antara lain Kuliah Kerja Nyata (KKN) tematik melalui bahasa Ibu yang dilakukan mahasiswa, Program Praktek Kerja Lapangan (PKL) melalui pendekatan tokoh masyarakat (aparat terkait), pendekatan bahasa dan seni, pendekatan melalui pasantren (membaca iqro-latin) hingga kepada pendekatan melalui Life skills. Hal ini dipandang penting dan berpengaruh, karena melalui upaya ini akan mencegah buta huruf kembali.

Secara empiris, mayoritas warga belajar buta huruf tergolong usia dewasa yang produktif, sehingga perlu dilakukan strategi pembelajaran yang mencakup 2 dimensi, yakni pendidikan dan skills (keterampilan). Warga belajar buta huruf sebagian besar berusia 30 th keatas, dengan indikator : a) memiliki pendidikan rendah (DO kelas 1 s.d kelas 3), b) ekonomi lemah c) tidak memiliki keterampilan khusus, sehingga diperlukan upaya strategi pembelajaran pendidikan keaksaraan di lembaga-lembaga pendidikan nonformal, dalam memenuhi ke tiga indikator tersebut.

Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) adalah tempat pembelajaran dalam bentuk berbagai macam keterampilan dengan memanfaatkan sarana, prasarana, dan segala potensi yang ada di sekitar lingkungan kehidupan masyarakat, agar masyarakat memiliki keterampilan dan pengetahuan yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan dan memperbaiki taraf hidupnya (BPKB Jatim, 2000).

Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat diarahkan untuk dapat mengembangkan potensi-potensi tersebut menjadi bermanfaat bagi kehidupannya. Agar mampu mengembangkan potensi-potensi tersebut, maka diupayakan kegiatan pembelajaran yang diselenggarakan di PKBM bervariasi sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Selain itu, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat sebagai basis pendidikan bagi masyarakat perlu dikembangkan secara komprehensif, fleksibel, dan beraneka ragam serta terbuka bagi semua kelompok usia dan anggota masyarakat sesuai dengan peranan, hasrat, kepentingan, dan kebutuhan belajar masyarakat. Oleh karena itu, jenis pendidikan yang diselenggarakan dalam Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) juga beragam sesuai dengan kebutuhan pendidikan dan pembelajaran masyarakat.

Jika melihat data empiris Monografi Desa Pagerwangi didalam penelitian ini, terdapat warga buta huruf berjumlah 153 orang yang terdiri dari 64 orang laki-laki dan 89 orang perempuan, usia 7- 45 tahun yang tidak pernah sekolah berjumlah 119 orang yang terdiri dari 53 orang laki-laki dan 66 orang perempuan, dan yang DO SD berjumlah 51 orang yang terdiri dari 26 orang laki-laki dan 25 orang perempuan (sumber; monografi desa pagerwangi 2007).

Page 39: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

34

PKBM Ash-Shoddiq merupakan lembaga nonformal yang dikelola di bawah binaan Laboratorium Pendidikan Luar Sekolah Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia (Lab. PLS FIP UPI). Dengan program-program yang telah dan sedang dilaksanakan antara lain PAUD, KF, Life skills, TBM, KBO, Pemberdayaan Perempuan dan Majelis Ta'lim. Langkah aksi program PKBM ini dilakukan di tingkat Kecamatan Lembang, namun pada pelaksanaan yang telah dilakukan lebih banyak bergerak di Desa Pagerwangi. Strategi pembelajaran pendidikan keaksaraan yang sedang dilaksanakan di PKBM Ash-Shoddiq, adalah melalui vocational skills menjahit bagi ibu-ibu keaksaraan tingkat lanjutan atau pasca tingkat dasar keaksaraan. Hal ini dilakukan berdasarkan pada need assessment (penelusuran kebutuhan) di masyarakat, dengan fokus identifikasi pada warga buta huruf. Sebagian besar warga belajar penyandang pasca keaksaraan tingkat dasar tersebut adalah perempuan (ibu rumah tangga). Maka dari itu strategi yang dilakukan oleh PKBM Ash-Shoddiq, merupakan strategi yang dianggap tepat dilakukan di Desa Pagerwangi khususnya di sekitar Kampung Babakan Bandung. Hal ini ditinjau dari minat/keinginan warga belajar serta aktifitas yang dinamis dilakukan oleh warga, yang membuktikan bahwa kegiatan ini bermanfaat bagi warga belajar pasca keaksaraan tingkat dasar, selain memperoleh pendidikan warga pun memiliki keterampilan dan kemampuan untuk berwirausaha kelak. Jika dilihat secara ideal, maka strategi ini merupakan upaya yang tepat dilakukan berdasarkan kebutuhan dan fungsional bagi warga belajar, namun perlu diketahui melalui penelitian tentang kebenaran hal tersebut. Dalam hal ini penulis mencoba mengangkat keluar untuk mencari jawaban mengenai strategi pembelajaran pendidikan keaksaraan tingkat lanjutan melalui vocational skills menjahit di PKBM Ash-Shoddiq Desa Pagerwangi Kec. Lembang. B. TUJUAN DAN MANFAAT

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan strategi pembelajaran pendidikan keaksaraan tingkat lanjutan melalui vocational skills menjahit, sebagai bentuk implementasi penyelenggaraan program di Desa Pagerwangi Kec. Lembang. Adapun secara khusus tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mendeskripsikan perencanaan pembelajaran pendidikan keaksaraan

tingkat lanjutan melalui vocational skills menjahit yang dilakukan oleh PKBM Ash-Shoddiq di Desa Pagerwangi Kecamatan. Lembang.

Page 40: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

35

2. Untuk mendeskripsikan proses pembelajaran pendidikan keaksaraan tingkat lanjutan yang dilakukan PKBM Ash-Shoddiq di Desa Pagerwangi Kecamatan. Lembang.

3. Untuk mendeskripsikan hasil yang diperoleh setelah dilaksanakan proses pembelajaran pendidikan keaksaraan tingkat lanjutan melalui vocational skills menjahit oleh PKBM Ash-shoddiq di Desa Pagerwangi Kecamatan Lembang.

Dari hasil penelitian ini penulis berharap dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Sebagai bahan kajian bagi kelembagaan pendidikan nonformal dalam

meningkatkan mutu kinerja yang professional dalam konteks pemberdayaan masyarakat dibidang pendidikan luar sekolah;

2. Memberikan masukan kepada pengelola PKBM Ash-Shoddiq, Tutor KF dan Fasilitator life skills;

3. Memberikan solusi permasalahan pendidikan luar sekolah , khususnya pada pendidikan keaksaraan;

4. Memberikan arah dan pedoman bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian lanjutan.

C. METODOLOGI PENELITIAN

Penggunaan metode dalam sebuah penelitian akan menentukan kualitas hasil Penelitian tersebut. Oleh karena itu metode yang akan digunakan hendaknya memperhatikan kriteria-kriteria tertentu yang akan mempermudah kita dalam penelitian. Menurut Sugiyono (2004:61) dijelaskan bahwa pemilihan metode dalam penelitian harus didasarkan pada aspek efektifitas dan efesiensi. Efektifitas mengarah pada pemilihan metode yang sesuai dengan data yang akan diperoleh, tujuan, dan masalah yang akan dipecahkan. Sedangkan efesiensi mengarah pada pemilihan metode dengan memperhatikan keterbatasan, dana, tenaga, waktu dan kemampuan. Karena itu, penggunaan metode penelitian deskriptif lebih tepat dipakai untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini. Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Moh. Ali (1995:120) bahwa : Metode penelitian deskriptif dipergunakan untuk berupaya memecahkan atau menjawab permasalahan yang sedang dihadapi pada situasi sekarang. Dilakukan dengan menempuh langkah-langkah pengumpulan, klasifikasi dan analisis/ pengolahan data, membuat kesimpulan dan laporan dengan tujuan utama untuk membuat penggambaran tentang suatu keadaan secara objektif dalam suatu deskripsi situasi.

Page 41: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

36

Selanjutnya Winarno Surakhmad (1990 : 140) mengemukakan ciri-ciri metode deskriptif, sebagai berikut : 1. Memusatkan diri pada pemecahan masalah yang ada pada masa sekarang,

yang sifatnya aktual. 2. Data yang aktual dikumpulkan, disusun, dijelaskan dan dianalisis, sehingga

metode ini disebut juga metode analitik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan dari penelitian ini yaitu tidak bermaksud merusak situasi dan kondisi objek penelitian, tetapi mencoba mempelajari suatu keadaan yaitu perilaku individu dalam melaksanakan tugas-tugas organisasi yang terjadi di masa sekarang, yang kegunaannya tidak saja untuk keperluan pelaku organisasi itu saja, namun lebih banyak lagi bagi perbaikan pola perilaku lembaga/objek penelitian di masa yang akan datang. Berdasarkan pertimbangan rumusan masalah penelitian yang ingin diungkap diharapkan dengan menggunakan metode ini. peneliti dapat mendeskripsikan partisipasi dan persepsi masyarakat terhadap rumah belajar di Kampung Nyingkir Rw 01 Desa Cihideung Kecamatan Parongpong Kabupaten Bandung Barat. D. PEMBAHASAN

Adapun pengertian strategi pembelajaran, (Abdulhak 2000:49), menyatakan bahwa : Secara sempit strategi pembelajaran mempunyai kesamaan dengan metode yang berarti cara untuk mencapai tujuan belajar yang telah ditetapkan. Secara luas, strategi diartikan dengan cara penetapan keseluruhan aspek yang berkaitan dengan pencapaian tujuan belajar, termasuk dalam penyusunan perencanaan, pelaksanaan kegiatan pembelajaran, dan penilaian proses serta hasil belajar. Berdasarkan pengertian diatas, strategi pembelajaran adalah suatu pola rancangan kegiatan yang telah direncanakan dan disusun sedemikian rupa dalam suatu kegiatan untuk mencapai tujuan tertentu. Dengan demikian, strategi ini mencakup tujuan kegiatan, siapa yang terlibat dalam kegiatan, isi kegiatan, proses kegiatan, dan sarana penunjang kegiatan, sehingga dapat diperoleh hasil dari strategi pembelajaran tersebut. Hasil wawancara pengelola (PW 03) dan wawancara tutor (PW02) menyatakan bahwa: strategi pembelajaran yang dilaksanakan di PKBM Ash-shoddiq, merupakan upaya yang dilakukan agar pembelajaran berjalan lebih optimal,

Page 42: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

37

serta efektif sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Strategi pembelajaran melalui vokasional skill menjahit ini, tidak hanya dijadikan sebagai ragi belajar, melainkan sebagai pendekatan pada proses pembelajaran yang lebih efektif, fungsional dan kontinu. Hal ini dikarenakan pada proses pembelajaran, yaitu 70% Praktik dan 30% Teori (PW 02) dan (PW 03). Tentu dalam hal ini pembelajaran lebih bermakna, dikarenakan melalui kegiatan praktik langsung dan terus menerus serta melalui penugasan-penugasan, warga belajar akan lebih terbiasa. 1. Perencanaan pembelajaran pendidikan keaksaraan tingkat lanjutan melalui

vocational skills menjahit yang dilakukan oleh PKBM Ash-Shoddiq di Desa Pagerwangi Kecamatan Lembang.

Tahap perencanaan pembelajaran keaksaraan yang dilakukan oleh PKBM Ash-Shoddiq tergolong sesuai dengan prosedur perencanaan, seperti yang dijelaskan Depdiknas,Dirjen PLS (2006:3) berikut ini : Perencanaan program pembelajaran keaksaraan, adalah suatu penentuan urutan tindakan, perkiraan kegiatan, serta penggunaan waktu untuk suatu kegiatan pembelajaran keaksaraan yang didasarkan atas data tentang kebutuhan, potensi dan sumberdaya di sekitar warga belajar, dengan memperhatikan prioritas yang wajar dan efisien untuk tercapainya tujuan pembelajaran. Seperti pada hasil pengamatan catatan lapangan (CL02) tanggal 03 dan 10 Juni 2008, dan hasil wawancara pengelola (PW03) serta hasil wawancara tutor (PW02). Bahwa perencanaan program disusun berdasarkan pada berbagai kebutuhan warga belajar, melalui berbagai teknik identifikasi dan penentuan prioritas pelaksanaan kegiatan. Adapun hal lain yang mendukung perencanaan adalah minat dan keseriusan warga belajar itu sendiri mengikuti keterampilan menjahit. Sehingga menjahit digunakan sebagai media pembelajaran pendidikan keaksaraan, dengan tujuan ketercapaian kompetensi keaksaraan tingkat lanjutan. Sebagai bentuk strategis, sesuai dengan hasil pengamatan catatan lapangan (CL02) tanggal 03 dan 10 Juni 2008, dan hasil wawancara pengelola (PW03) serta hasil wawancara tutor (PW02). Perencanaan pembelajaran yang dilakukan oleh PKBM, memuat : a. Tujuan yang jelas, dimana tujuan dari program ini adalah ketercapaian

kemampuan keaksaraan bagi tingkat lanjutan dan menjahit digunakan sebagai media pembelajaran.

Page 43: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

38

b. Berbagai upaya identifikasi, dimana upaya tersebut bertujuan untuk memperoleh pelaksanaan program yang tepat dan sesuai dengan minat potensi warga belajar.

c. Pelaksanaan pembelajaran yang dinamis, yaitu penggunaan variasi metode pembelajaran, sehingga warga belajar tidak merasa bosan atau jenuh. Serta pelaksanaan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan warga belajar itu sendiri.

d. Hasil pembelajaran yang tergolong memuaskan, dapat dilihat dari hasil sumatif, sebagian besar warga belajar lulus pada keaksaraan tingkat lanjutan. Dan unsur-unsur penilaian lainnya, baik secara kognitif, afektif dan psikomotor.

Seperti yang dijelaskan oleh Kusnadi (2005: 203) Perencanaan strategis program KF sekurang-kurangnya memuat 4 unsur penting : (1) tujuan yang jelas, (2) Penggalian dan pemanfaatan sumber-sumber yang meliputi survey/penelitian sumber-sumber yang ada termasuk kemungkinan-kemungkinan upaya pemanfaatannya (3) Pelaksanaan perencanaan dengan memperhatikan strategi, kaidah-kaidah, dan prinsip – prinsip perencanaan, dan (4) evaluasi serta umpan balik guna perencanaan program berikutnya.

Tahapan perencanaan yang dilakukan oleh PKBM Ash-Shodiq dan tutor, pada dasarnya sudah memuat unsur-unsur terpenting diatas. Hal ini seperti yang telah dipaparkan, bahwa kegiatan perencanaan yang dilaksanakan PKBM Ash-shodiq bersifat bottom up, sesuai dengan kebutuhan masyarakat, sehingga tokoh masyarakat; pemuda; serta warga belajar ikut serta dalam menyusun perencanaan.

Berdasarkan pada pengamatan pedoman observasi (PO 02) dan wawancara Pengelola (PW 03) dan Tutor (PW 02), menyatakan beberapa pendapat sebagai berikut :

Pada perencanaan program, yaitu pada tahap identifikasi ditemukan beberapa hambatan, diantaranya :

a. Banyak warga belajar yang tidak aktif dalam proses pembelajaran (80% kehadiran), dikarenakan pada penetapan rencana pelaksanaan program berada di satu tempat yang bersifat central (di PKBM Ash-shoddiq). Tentunya dengan keadaan geografis pegunungan dan letak rumah satu ke rumah yang lain berjauhan, menjadikan hambatan pada proses pembelajaran.

b. Pembagian bahan kain untuk praktik menjahit yang tidak merata, dikarenakan keterbatasan dana sehingga menyebabkan warga belajar kurang aktif dikarenakan media untuk praktik kurang.

Page 44: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

39

2. Proses pembelajaran pendidikan keaksaraan tingkat lanjutan yang dilakukan PKBM Ash-Shoddiq di Desa Pagerwangi Kecamatan Lembang

Langkah-langkah yang jelas pada metode, memudahkan tutor untuk melaksanakan proses pembelajaran, serta membentuk keaktifan warga belajar menjadi lebih berani dan mandiri serta melatih warga belajar dalam berkomunikasi. Hal ini dibuktikan dengan kemampuan warga belajar untuk mengeluarkan pendapatnya, serta aktif pada penugasan-penugasan baik yang dilaksanakan secara individu maupun kelompok. Metode pembelajaran merupakan langkah oprasional dari strategi pembelajaran yang dilakukan. Metode pembelajaran yang dilaksanakan di PKBM Ash-shoddiq telah berjalan efektif dan dapat dirasakan hasilnya, baik oleh warga belajar sendiri maupun oleh tutor. Dengan memandang prosedur yang sistematis, didasarkan pada susunan perencanaan dan pedoman tutor untuk melaksanakan strategi pembelajaran (PW 02 dan PW03). Seperti yang di nyatakan oleh Abdulhak (2000:51) sebagai berikut "Dalam kegiatan pembelajaran metode pembelajaran dapat diartikan dengan prosedur yang teratur dan sistematis untuk membelajarkan orang dewasa dalam mencapai tujuan belajar yang telah ditetapkan". Berdasarkan pengamatan melalui Pedoman Observasi (PO 02); Hasil wawancara tutor (PW02); dan hasil wawancara warga belajar (PW 04), melahirkan beberapa pendapat mengenai metode pembelajaran yang digunakan, adalah sebagai berikut : a. Tanya Jawab b. Diskusi Kecil / Brainstroming c. Penugasan d. Metode Kelompok Kerja (workshop)

Adapun kelemahan dipandang dari proses pembelajaran, yaitu keterbatasan dana untuk menyelenggarakan program dengan kurun waktu yang panjang. Sehingga alternatif dari proses pembelajaran adalah (1) memadatkan jam pelajaran dengan penugasan-penugasan baik tertulis maupun lisan serta lebih banyak pada praktik; (2) membuka selebar-lebarnya pintu PKBM sebagai tempat belajar dan praktik, dengan sarana dan prasarana yang sudah disediakan oleh pengelola PKBM baik itu meminjam ke rumah atau menggunakannya langsung.

Page 45: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

40

Metode pembelajaran keaksaraan yang dipergunakan beraneka ragam dan hadir di masyarakat, sebagai bentuk kemudahan-kemudahan dalam proses pembelajaran. Seperti yang disampaikan Kusnadi (2005:151) sebagai berikut :

"Dengan memahami pendekatan andragogi dan kurikulum sebagai dasar proses pembelajaran KF, yang sebagian besar peserta didiknya terdiri atas orang dewasa,...........".

Adapun pendapat lain menurut Kusnadi (2005:152) sebagai berikut :

"................... semua strategi dan metode pembelajaran pada hakekatnya adalah baik dan dapat dipergunakan oleh tutor dalam proses pembelajaran, namun yang perlu dipahami bahwa tidak satupun strategi dan metode pembelajaran yang paling baik/efektif, tepat dan sesuai, semuanya memiliki kelebihan dan kelemahan dalam penerapannya".

Dipandang dari metode pembelajaran keaksaraan pada umumnya, maka beberapa metode yang dipergunakan oleh tutor sesuai pada kriteria metode pembelajaran pendidikan keaksaraan seperti yang dipaparkan oleh Kusnadi (2005:152), adalah sebagai berikut : a) Participatory Rural Appraisal (PRA)

Metode PRA digunakan sebagai strategi pembelajaran, karena adanya pemunculan ide – ide murni yang berasal dari warga belajar sendiri, mempermudah terjadinya proses diskusi antar warga belajar, juga adanya tindakan/aksi bersama diantara warga belajar.

b) Reflect Warga belajar diberikan kesempatan untuk mengembangkan sendiri materi-materi belajarnya, sehingga tumbuh rasa memiliki terhadap rencana belajar dan rencana kerja/aksi yang berasal dari gagasan mereka, sehingga pada akhirnya mengubah perilaku dan sikapnya. Dalam proses belajarnya, baik warga belajar maupun tutor sama-sama belajar, dan sama –sama memiliki kesempatan untuk merefleksikan kembali peran dan posisi masing-masing serta menggali potensi yang ada dalam diri mereka untuk berubah kearah yang lebih positif.

c) Problem Possing Problem possing merupakan metode untuk memunculkan masalah baik individu maupun kelompok yang kurang disadari oleh pelakunya.

Page 46: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

41

3. Hasil yang diperoleh setelah dilaksanakan proses pembelajaran pendidikan keaksaraan tingkat lanjutan melalui vocational skills menjahit oleh PKBM Ash-shoddiq di Desa Pagerwangi Kecamatan Lembang

Tutor selaku peran (actor) pada proses pembelajaran, lebih berperan aktif untuk mendisign pola pembelajaran yang lebih fungsional, mudah dan mampu mencapai tujuan yang diharapkan. Seperti yang disampaikan oleh Depdiknas, Dirjen PLS (2006:1) adalah sebagai berikut : Evaluasi atau penilaian pembelajaran, bertujuan untuk mengetahui kemajuan warga belajar (WB) selama mengikuti program pendidikan keaksaraan. Mengacu pada tujuan program pendidikan keaksaraan yaitu untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan baca-tulis-hitung dan kemampuan fungsional warga belajar, maka dalam rangka mengetahui sejauh mana kemampuan tersebut perlu dilaksanakan penilaian secara bertahap, berkala, rutin dan teratur. Berdasarkan pada hasil wawancara pengelola (PW 03); hasil wawancara tutor (PW 02); Pedoman observasi (PO 02), maka Pada tahapan evaluasi atau penilaian hasil, dilakukan 3 jenis penilaian yaitu penilaian awal, penilaian proses dan penilaian akhir. Hal ini dijadikan acuan keberlangsungan program, dengan melihat dokumen-dokumen yang telah dianalisis dari hasil yang telah dicapai. Berdasarkan pada hasil wawancara pengelola (PW 03); hasil wawancara warga belajar (PW 04); hasil wawancara tutor (PW02); Format Pengamatan Hasil warga belajar (FPH 01) dan catatan lapangan (CL04) memberikan beberapa pernyataan, sebagai berikut: Warga belajar mengalami perubahan, setelah dilaksanakannya strategi pembelajaran keaksaraan melalui vokasional skill menjahit . Dimana adanya proses perubahan yang asalnya tidak tahu menjadi tahu, yang tidak mengerti menjadi mengerti, dan selalu mencoba untuk bertindak. Selain kemampuan keaksaraan kemampuan skill (keterampilan) menjadi bertambah pula, karena program ini bertujuan untuk memberikan kemudahan akses pengetahuan berkaitan dengan pendidikan keaksaraan yang berintegrasi dengan vokasional skill menjahit. Seperti yang disampaikan oleh Anwar (2006:76) bahwa "program pendidikan keaksaraan memiliki tingkat vokasional skill sangat kuat", digambarkan sebagai berikut:

Page 47: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

42

Tabel Keterkaitan antara Komponen Life Skills dalam Pembelajaran Masyarakat pada Satuan

dan Program PLS Life Skills

Program PLS

Personal Skills

Sosial Skills

Academic Skills

Vocational Skills

1. PADU ** ** * 2. Keaksaraan Fungsional ** ** *** 3. Kesetaraan ** * *** ** 4. Kursus ** * ** *** 5. Magang ** * *** 6.Kelompok Belajar Usaha ** ** *** 7. KUPP ** ** *** 8. Pendidikan Wanita ** ** ** Sumber : Anwar (2006:76)

Menurut D.Sudjana (2000:34) mengungkapkan bahwa : "Dalam pendidikan luar sekolah, perubahan ranah psikomotor atau keterampilan lebih diutamakan disamping tidak mengabaikan perubahan ranah kognitif dan afektif". Tujuan program keaksaraan pada dasarnya bukan hanya sekedar memiliki pengetahuan membaca, menulis dan berhitung, akan tetapi memiliki tujuan untuk memberikan keterampilan hidup. Untuk mencapai tujuan tersebut hendaknya tutor dituntut untuk bisa mengajak warga belajarnya agar dapat memanfaatkan kemampuan yang diperoleh dari proses pembelajaran untuk difungsikan / dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga dapat meningkatkan kulaitas hidupnya. Hasil pembelajaran keaksaraan di PKBM Ash-Shoddiq secara kuantitas dan kualitas sudah cukup baik. Secara kuantitas dapat terlihat dari jumlah warga belajar keaksaraan lanjutan yang selalu aktif hadir dan mengikuti program keaksaraan serta intensitasnya dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Sedangkan secara kualitas dapat terlihat dari kemampuan warga belajar keaksaraan tingkat lanjutan telah mampu menerapkan pengetahuan keaksaraanya pada keterampilan yang dimilikinya dan telah dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari, hingga warga belajarpun mampu mentrasformasikan pengetahuannya pada warga belajar lain yang tidak mengikuti pembelajaran dan belum paham atau terampil. Keterampilan yang dipelajari warga belajar memiliki pengaruh yang cukup besar bagi kehidupan warga belajar. Hal ini sesuai dengan pendapat D. Sudjana (2000 : 38) bahwa pengaruh meliputi :

Page 48: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

43

1) Perubahan taraf hidup lulusan yang ditandai dengan perolehan pekerjaan atau berwirausaha, perolehan atau peningkatan pendapatan, kesehatan dan penampilan diri;

2) Membelajarkan orang lain terhadap hasil belajar yang telah dimiliki dan dirasakan manfaatnya oleh lulusan; dan

3) Peningkatan partisipasinya dalam kegiatan sosial dan pembangunan masyarakat, baik partisipasi buah pikiran, tenaga, harta benda dan dana.

Berdasarkan hasil penelitian, terdapat beberapa orang warga belajar yang telah memanfaatkan keterampilan menjahitnya dalam kehidupan sehari-hari, seperti membuat pola baju untuk anaknya, disamping itu warga belajar telah mampu memaknai pembelajaran membaca, menulis dan berhitung pada setiap rutinitas kesehariannya, seperti membuat rincian belanja, mendesign pakaian dengan hitungan dan membaca model-model baju di modul menjahit yang dipergunakan atau majalah-majalah yang disediakan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) PKBM Ash-Shoddiq.

Adapun beberapa kelemahan dan keunggulan yang secara teknis dapat dirasakan dalam proses pembelajaran, sesuai dengan hasil pengamatan Pedoman Observasi (PO 02), hasil wawancara tutor (PW02) dan hasil wawancara pengelola (PW 03), diantaranya:

a. Kelemahan secara umum dari proses pembelajaran yang telah berlangsung adalah :

1) Kehadiran warga belajar pada umumnya hanya 80%, dikarenakan pelaksanaan program bersifat central (di PKBM Ash-shoddiq). Tentunya dengan keadaan geografis pegunungan dan letak rumah satu ke rumah yang lain berjauhan, menjadikan hambatan pada proses pembelajaran.

2) Pembagian bahan kain untuk praktik menjahit yang tidak merata, dikarenakan keterbatasan dana sehingga menyebabkan warga belajar kurang aktif.

3) Penyampaian materi mengalami kesulitan, karena jumlah sarana prasarana dan dana yang terbatas.

4) Kegiatan belajar mengajar yang sedikit, diantaranya hanya dilakukan 1 kali dalam 1 minggu, sehingga tugas individu atau kelompok di luar pembelajaran yang selalu dimaksimalkan (monitoring tutor kurang).

5) Waktu yang seringkali berubah-ubah dikarenakan kesibukan warga belajar.

b. Keunggulan secara umum metode pembelajaran yang digunakan adalah : 1) Warga belajar merasa tidak bosan, karena berbagai variasi metode

pembelajaran yang dipergunakan. 2) Warga belajar merasa berkesan dengan adanya praktek menjahit

Page 49: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

44

3) Warga belajar lebih merasakan manfaat belajar keaksaraan, karena terasa melalui kegiatan praktek.

4) Warga belajar memiliki dua kemampuan, yakni kemampuan keaksaraan dan kemampuan kecakapan dasar menjahit.

E. KESIMPULAN

Adapun beberapa kesimpulan yang dapat penulis sampaikan, dari hasil penelitian dilapangan adalah sebagai berikut :

1. Perencanaan pembelajaran pendidikan keaksaraan tingkat lanjutan melalui vocational skills menjahit yang dilakukan oleh PKBM Ash-Shoddiq di Desa Pagerwangi Kec. Lembang.

Perencanaan dalam pembelajaran keaksaraan sangatlah penting, karena dapat menentukan strategi dan metode yang digunakan; pengelolaan pembelajaran; hingga evaluasi dan pencapaian tujuan yang diharapkan.

Bahwa perencanaan program disusun berdasarkan pada berbagai kebutuhan warga belajar, melalui berbagai teknik identifikasi dan penentuan prioritas pelaksanaan kegiatan. Adapun hal lain yang mendukung perencanaan adalah minat dan keseriusan warga belajar itu sendiri mengikuti keterampilan menjahit. Sehingga menjahit digunakan sebagai media pembelajaran pendidikan keaksaraan, dengan tujuan ketercapaian kompetensi keaksaraan tingkat lanjutan. Alasannya lainnya, bahwa vokasional skill memiliki hubungan yang erat dengan pendidikan keaksaraan.

Yang termasuk pada perencanaan pembelajaran ini, diantaranya adalah :

a. Identifikasi dan Rekruitmen Warga Belajar. b. Identifikasi dan Rekruitmen Tutor c. Penyiapan Sarana Prasarana dan Bahan Ajar d. Orientasi Tutor Keaksaraan e. Identifikasi Minat Warga Belajar f. Identifikasi Kemampuan Awal g. Merumuskan Pelaksanaan Program Pembelajaran dan Tahap Evaluasi

serta Pelaporan Akhir.

2. Proses pembelajaran pendidikan keaksaraan tingkat lanjutan melalui vocational skills menjahit yang dilakukan oleh PKBM Ash-Shoddiq di Desa Pagerwangi Kec. Lembang.

Metode pembelajaran merupakan langkah operasional dari strategi pembelajaran yang dilakukan. Metode pembelajaran yang dilaksanakan di PKBM Ash-shoddiq telah berjalan efektif dan dapat dirasakan hasilnya, baik oleh warga belajar sendiri maupun oleh tutor.

Page 50: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

45

Semua strategi dan metode pembelajaran pada hakekatnya adalah baik dan dapat dipergunakan oleh tutor dalam proses pembelajaran, namun yang perlu dipahami bahwa tidak satupun strategi dan metode pembelajaran yang paling baik/efektif, tepat dan sesuai, semuanya memiliki kelebihan dan kelemahan dalam penerapannya. Sehingga metode pembelajaran pendidikan keaksaraan yang digunakan oleh PKBM Ash-shoddiq ini, lebih menggunakan metode pembelajaran yang lebih spesifik, agar ketercapaian hasil dapat lebih diketahui.

3. Evaluasi dan hasil yang diperoleh setelah dilaksanakan proses pembelajaran

pendidikan keaksaraan tingkat lanjutan melalui vocational skills menjahit oleh PKBM Ash-Shoddiq di Desa Pagerwangi Kec. Lembang.

Tahap evaluasi merupakan upaya penilaian untuk mengetahui kemampuan warga belajar. Pada tahapan ini PKBM Ash-shoddiq melakukan tiga langkah evaluasi, diantaranya :

a. Penilaian awal b. Penilaian proses c. Penilaian akhir

Hasil pembelajaran keaksaraan di PKBM Ash-Shoddiq secara kuantitas dan kualitas sudah cukup baik. Secara kuantitas dapat terlihat dari jumlah warga belajar keaksaraan lanjutan yang selalu aktif hadir dan mengikuti program keaksaraan serta intensitasnya dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Sedangkan secara kualitas dapat terlihat dari kemampuan warga belajar keaksaraan tingkat lanjutan telah mampu menerapkan pengetahuan keaksaraanya pada keterampilan yang dimilikinya dan telah dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari, hingga warga belajarpun mampu mentrasformasikan pengetahuannya pada warga belajar lain yang tidak mengikuti pembelajaran dan belum paham atau terampil.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulhak,I., (2000), Metodologi Pembelajaran Orang Dewasa, Bandung : Andira.

Anwar, (2006), Pendidikan Kecakapan Hidup, Bandung : Alfabeta

Admuddipura, E dan Atmaja,SB. (1986). Pendidikan Orang Dewasa. Jakarta : Karunika

Ali, M., (1995), Penelitian Kependidikan : Prosedur dan Strategi, Bandung: Angkasa

Arikunto, S., (1998), Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta : Rineka

Cipta

Page 51: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

46

Departemen Pendidikan Nasional (2006), Acuan Penyelenggaraan Program Pendidikan

keaksaraan: Direktorat Pendidikan Luar Sekolah, Direktorat Pendidikan

Masyarakat

Gerungan, (2000), Psikologi Sosial, Bandung:Refika Aditama

Herlina, (2006), Studi Tentang Proses Pembelajaran Program Keaksaraan Fungsional

Di Kelurahan Margasari Kecamatan Margacinta Kota Bandung, Bandug :

Jurusan Pendidikan Luar Sekolah Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas

Pendidikan Indonesia.

Hidayat, S., (2002), Metodologi Penelitian, Bandung : Mandar Maju.

Jalal, Fasli., (2005), Pendidikan Keaksaraan : Filosofi, Strategi, dan Implementasi,

Jakarta:Dirjen PLS Direktorat Pendidikan Masyarakat

Kartaatmaja, R., ______, Diktat Perencanaan Program PLS, ________: Tanpa Penerbit

Kusnadi, (2005), Pendidikan Keaksaraan, Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional

Dirjen PLS.

Mappa, S., (1994). Evaluasi Program Pendidikan Luar Sekolah, Jakarta:Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan Dirjen Pendidikan Tinggi.

Shahab, K., (2007). Sosiologi Pedesaan, Jogjakarta : Ar-Ruzz Media Group

Sirodjuddin, K., (2006). Perencanaan Pembelajaran. Jurusan Pendidikan Luar Sekolah

FIP UPI.

Sudjana,D., (2004), Pendidikan Nonformal, Bandung : Falah Production.

Sudjana, D., (2005), Strategi Pembelajaran, Bandung : Falah Production

Sugiyono, (2007), Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung : Alfabeta.

Suharto, E., (2005), Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat :

Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial, Bandung :

PT Refika Aditama

Surakhmad, W., (1990), Pengantar Penelitian Ilmiah : Dasar, Metoda, Teknik, Bandung :

Tarsito

Page 52: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

47

Proses Pembelajaran Pendidikan Keaksaraan Berbasis Keluarga di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat Kandaga Desa Mayang

Kecamatan Cisalak Kabupaten Subang

Oleh: Ansori Al-B,S.Pd,M.Pd

Dosen PS-PLS STKIP Siliwangi Bandung Abstrak

Latar belakangg penelitian ini banyaknya buta aksara di Desa Mayang Kec. Cisalak Kab. Subang, maka Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat Kandaga mengupayakan meminimalisir penduduk yang belum melek aksara, skripsi ini berdasarkan masalah proses pembelajaran, hasil dan dampak pendidikan keaksaraan berbasis keluarga di PKBM Kandaga. Dengan tujuan memperoleh data tentang: (1) Bagaimana proses pembelajaran pendidikan keaksaraan berbasis keluarga yang dilaksanakan oleh PKBM Kandaga (2) Bagaimana hasil yang diperoleh setelah dilaksanakan proses pembelajaran pendidikan keaksaraan berbasis keluarga yang dilaksanakan oleh PKBM Kandaga (3) Bagaimana dampak yang diperoleh setelah dilaksanakan proses pembelajaran pendidikan keaksaraan berbasis keluarga yang dilaksanakan oleh PKBM Kandaga.

Konsep yang digunakan adalah konsep pendidikan non formal, pembelajaran orang dewasa dan pendidikan keaksaraan berbasis keluarga. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Dalam penelitian ini jumlah responden lima orang, yang terdiri dari warga belajar yang memperoleh nilai evaluasi baik, sedang dan kurang, satu orang tutor dan satu orang pengelola.

Berdasarkan perolehan data hasil penelitian sebagai berikut: (1) Proses pembelajaran pendidikan keaksaraan berbasis keluarga adalah pendamping keluarga mempunyai peranan penting, karena sebagian besar pembelajaran dilakukan bersama pendamping keluarga, tutor hanya sebagai pemantau, mengevaluasi hasil belajar di rumah (2) Hasil dari pembelajaran tersebut warga belajar mampu membeca, menulis, berhitung dan mempunyai keterampilan fungsionalnya seperti menanam nilam (3) Dampak yang diperoleh oleh warga belajar adalah warga belajar mempu meningkatkan pendapatannya setelah mengikuti pendidikan keaksaraan berbasis keluarga.

Kesimpulannya adalah warga belajar yang mengikuti proses pembelajaran pendidikan keaksaraan berbasis keluarga, mereka mampu membaca, menulis dan berhitung. Dari kegiatan fungsionalnya mereka menanam nilam agar dapat meningkatkan pendapatannya. Selain itu dampak yang berkaitan dengan peningkatan taraf hidup warga belajar seperti dalam kehidupan sosial ekonomi, penerapan perolehan belajar dalam lingkungan kerja, upaya membelajarkan orang lain, dan partisispasinya dalam pembangunan masyarakat atau dalam lingkungannya.

Kata Kunci: Pendidikan Keaksaraan berbasis keluarga

A. Pendahuluan

Pendidikan merupakan langkah awal yang harus dilakukan sebuah negara, jika ingin maju di bidang pembangunan ekonomi. Tidak ada negara yang maju perekonomiannya hanya berdasarkan kekayaan alam. Negara harus berinvestasi pada manusia karena manusia bisa selalu diperbaharui (renewed.

Page 53: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

48

Persoalan mendasar berkenaan dengan kemiskinan dan ketidakberdayaan masyarakat, merupakan salah satu pemicu ketidak-tersentuhan pendidikan (un-educated). Deklarasi Dakkar berkenaan dengan pendidikan untuk semua (education for all), semakin menguatkan dan memacu negara-negara berkembang untuk berbuat dan berusaha menepati komitmennya dalam memberi kesempatan kepada setiap warga masyarakat untuk mengikuti pendidikan. Hal ini dilandasi pemikiran bahwa permasalahan di bidang pendidikan, baik di Indonesia maupun di kawasan Asia Pasifik lainnya adalah jumlah angka buta aksara yang masih besar.

Sehubungan dengan itu, pertemuan Dakar di Senegal tahun 2000 (UNESCO) yang berjudul pendidikan untuk semua, menekankan komitmen atas pokok-pokok tersebut, yaitu sebagai berikut:

1. Memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan anak dini usia, terutama bagi anak-anak yang sangat rawan dan kurang beruntung

2. Menjamin bahwa menjelang tahun 2015 semua anak, khususnya anak perempuan, anak-anak dalam keadaan sulit dan mereka yang termasuk minoritas etnik, mempunyai akses dan menyelesaikan pendidikan dasar yang bebas dan wajib dengan kualitas baik

3. Menjamin bahwa kebutuhan belajar semua manusia muda dan orang dewasa terpenuhi melalui akses yang adil pada program-program belajar dan kecakapan hidup (life skills) yang sesuai

4. Mencapai perbaikan 50% pada tingkat keniraksaraan orang dewasa menjelang tahun 2015, terutama bagi kaum perempuan, dan akses yang adil pada pendidikan dasar dan berkelanjutan bagi demua orang dewasa

5. Menghapus disparitas gender dalam pendidikan dasar dan menengah menjelang tahun 2005 dan mencapai persamaan gender dalam pendidikan menjelang tahun 2015 dengan suatu fokus jaminan bagi perempuan atas akses penuh dan sama pada prestasi dalam pendidikan dasar dengan kualitas yang baik

6. Memperbaiki semua aspek kualitas pendidikan dan menjamin keunggulannya, sehingga hasil-hasil belajar yang diakui dan terukur dapat diraih oleh semua, terutama dalam keaksaraan, angka dan kecakapan hidup (life skills) yang penting.

Upaya yang dilakukan untuk menangani persoalan pendidikan khusunya un-literacy atau buta aksara, adalah diselenggarakannya program pendidikan keaksaraan fungsional (KF). Program ini dianggap strategis dan harus menjadi gerakan nasional yang perlu dikampanyekan secara menyeluruh dengan bebarapa alasan aktual, yaitu: 1. merupakan salah satu unsur utama yang mempengaruhi indeks

pembangunan manusia, 2. masih adanya kelompok masyarakat yang buta aksara,

Page 54: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

49

3. adanya kelompok masyarakat yang telah melek huruf namun menjadi buta huruf kembali, dan

4. kemelek-hurufan merupakan dasar pengetahuan bagi seluruh manusia (the essential learning needs).

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004 – 2009 dan Rencana Strategis Pendidikan Nasional tahun 2005 – 2009 serta dalam Inpres Nomor 5 Tahun 2006 ditegaskan bahwa akhir tahun 2009, angka buta huruf usia 15 tahun ke atas tersisa 5% atau 7,7 juta orang. Sementara itu, sampai akhir tahun 2008 menunjukkan bahwa penduduk buta huruf 9,76 juta orang atau setara dengan 7,51 persen populasi (www.diknas.depdiknas.co.id).

Penduduk penderita buta huruf tersebar pada tiap daerah (provinsi, kabupaten/ kota) yang memiliki karakteristik sosial, budaya, ekonomi, sumber daya yang berbeda. Sampai pada akhir tahun 2008, di Jawa Barat terdapat 970.333 orang yang buta huruf (jabarprov.go.id). Ada beberapa alasan mengapa mereka buta huruf, antara lain disebabkan: a) Tidak sekolah sejak awal (geografis dan ekonomi); b) drop out sekolah dasar (SD kelas 1-3); c) keterbatasan kemampuan pemerintah pusat dan daerah; d) buta huruf kembali. Untuk mencapai hal ini Direktorat Pendidikan Masyarakat melaksanakan program pemberantasan buta aksara yang sejalan dengan prakarsa keaksaraan untuk pemberdayaan.

Kemelekhurufan merupakan bagian utama mengingat secara psikologis dan ekonomis memiliki pengaruh yang nyata pada kemajuan warga belajar, dan untuk meningkatkan kemampuan peserta belajar untuk semua tingkatan dibutuhkan kemampuan dan kecakapan hidup.

Sesuai dengan amanat UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 26 ayat 3 dinyatakan bahwa: Pendidikan non formal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik”.

Gerakan pemberantasan buta huruf merupakan salah satu program untuk menuntaskan penduduk yang masih buta huruf, mereka dituntut untuk bisa menulis, membaca, dan menghitung dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kasus Desa Mayang jumlah penduduk yang buta huruf masih banyak. Jika melihat data empiris monografi Desa Mayang menunjukkan bahwa dari 2.259 jumlah penduduk terdapat 329 orang yang buta huruf 59 laki-laki dan 88 perempuan. Sedangkan usia 7- 45 tahun yang tidak pernah sekolah berjumlah 108 orang 48

Page 55: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

50

laki-laki dan 60 perempuan dan Drop Out Sekolah Dasar (DO SD) 36 laki-laki dan 38 perempuan. (Sumber: Data Monografi Desa Mayang tahun 2008).

Sebagai realisasi untuk menuntaskan penduduk yang belum melek aksara maka PKBM Kandaga mencoba mengupayakan strategi baru dalam pembelajaran pendidikan keaksaraan berbasis keluarga bagi masyarakat Desa Mayang. Pendidikan keaksaraan berbasis keluarga yang diilhami oleh konsep family literacy, dipadukan dengan pendekatan berbasis lingkungan kerja dan sosial merupakan salah satu alternatif, sistem pembelajaran menekankan pendekatan volunter dan partisipatif berdasarkan pendekatan pembelajaran orang dewasa.

Melalui tanggung jawab keluarga sebagai unit paling kecil, diharapkan berkembang budaya malu apabila tidak bisa baca tulis dan hitung. Sementara itu, anggota keluarga diminta untuk mengakrabi dan membantu mengajarkan kembali yang sudah diajarkan oleh tutor. Tutor di PKBM Kandaga merupakan lulusan SMA yang dibina dan dilatih melalui pelitihan tutor yang dilaksanakan oleh SKB, sedangkan fungsi pendampingan dalam keluarga bertujuan untuk mendampingi warga belajar melakukan pembelajaran dalam keluarga. Dengan cara ini bisa berlaku one teach one, sehingga anggota keluarga yang sudah melek aksara melakukan transformasi pembelajaran secara sadar dan bermakna dalam kehidupan sehari-hari. Anak maupun cucu umumnya merupakan inspirasi yang sangat mendalam untuk membiasakan proses belajar dan dapat memfasilitasi proses pembelajaran bagi orang tua atau pembantu yang belum melek huruf dengan membawa situasi pada pembelajaran yang sesungguhnya. Keluarga umumnya sensitif dalam mengurai kesulitan dalam melakukan pembelajaran.

Kriteria pendampingan dalam proses pembelajaran pendidikan keaksaraan ini adalah anggota keluarga yang mempunyai kemampuan membaca, menulis, hitung dan paling utama mempunyai kesabaran yang tinggi untuk mendampingi warga belajar. Dengan teknik pendampingan dalam keluarga, proses pembelajaran pendidikan keaksaraan akan lebih efektif dan efisien dalam percepatan pembertasan buta akasara. B. Tujuan

Secara umum penelitian ini betujuan untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai proses pembelajaran serta hasil pembelajaran pada program pendidikan keaksaraan berbasis keluarga di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat Kandaga.

Page 56: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

51

Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah:

1. Untuk mendeskripsikan proses pembelajaran pendidikan keaksaraan berbasis keluarga di PKBM Kandaga Desa Mayang Kecamatan Cisalak Kabupaten Subang.

2. Untuk mendeskripsikan hasil pembelajaran pendidikan keaksaraan berbasis keluarga terhadap kemampuan membaca, menulis dan berhitung dalam kehidupan sehari-hari di PKBM Kandaga Desa Mayang Kecamatan Cisalak Kabupaten Subang.

3. Untuk mendeskripsikan dampak pembelajaran pendidikan keaksaraan berbasis keluarga terhadap peningkatan taraf hidup peserta didik dalam kehidupan sosial ekonomi di PKBM Kandaga Desa Mayang Kecamatan Cisalak Kabupaten Subang

C. Metode Penelitian

Penggunaan metode dalam sebuah penelitian akan menentukan kualitas hasil penelitian tersebut. Metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah melalui pendekatan kualitatif. Alasan menggunakan kualitatif adalah lebih menghendaki penyusunan teori subtantif yang berasal dari data. Hal ini disebabkan karena: Pertama, tidak ada teori a priori yang dapat mencakupi kenyataan-kenyataan ganda yang mungkin akan dihadapi; Kedua, penelitian ini mempercayai apa yang dilihat sehingga ia berusaha untuk sejauh mungkin menjadi netral; dan Ketiga, teori dari pemahaman yang mendasar dapat merespons nilai-nilai kontekstual. Dengan menggunakan analisis secara induktif, pencarian data bukan dimaksudkan untuk membuktikan hipotesis yang telah dirumuskan sebelum penelitian diadakan. Analisis ini merupakan pembentukan abstraksi berdasarkan bagian-bagian yang telah dikumpulkan, kemudian di kelompokkan. Jadi, penyusunan teori ini berasal dari bawah ke atas, yaitu dari sejumlah bagian yang banyak data yang dikumpulkan dan saling berhubungan. Berdasarkan pertimbangan rumusan masalah penelitian yang ingin diungkap diharapkan dengan menggunakan metode ini, peneliti dapat mendeskripsikan apa yang telah diteliti tentang pendidikan keaksaraan berbasis keluarga yang diselenggarakan oleh PKBM Kandaga Desa Mayang Kecamatan Cisalak Kabupaten Subang.

D. Hasil Penelitian dan Pembahasan

1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Berdasarkan hasil data dari aparat desa, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat Kandaga berada tepat di Desa Mayang Kecamatan Cisalak Kabupaten

Page 57: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

52

Subang. Adapun kondisi geografis Desa Mayang Kecamatan Cisalak Kabupaten Subang merupakan desa yang letak geografisnya dataran tinggi dengan mata pencaharian penduduk sebagian besar mengandalkan sektor pertanian dan hanya sebagian kecil terdiri dari pedagang, kerajinan, PNS dan lain-lain.

Luas wilayah Desa Mayang adalah 735 hektare dengan batas-batas administratif sebagai berikut :

a. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Gardusayang b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Perhutani Bandung Utara c. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Sukakerti d. Sebelah Timur berbatasan dengan Cimanggu

Orbit jarak tempuh ke pusat pemerintahan adalah:

a. Jarak ke Ibu Kota Kecamatan terdekat 3 Km b. Jarak ke Ibu Kota luar Kabupaten 27 Km

Penelitian ini difokuskan di kelompok belajar keaksaraan fungsional yang tepat berada di RW 02 yang terdiri dari dua RT dengan jumlah penduduk 147 orang, 36 kepala keluarga. Berdasarkan hasil wawancara dengan pemerintah dan tokoh masyarakat ternyata masih terdapat 600 penduduk yang masih buta huruf. Tapi upaya meminimalkan jumlah yang begitu banyak tersebut masih tetap dilakukan sampai sekarang dengan kerjasama beberapa pihak baik pemerintah daerah, organisasi masyarakat, maupun dengan PKBM. Salah satunya yaitu kerjasama dengan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat.

Jika ditinjau dari pekerjaan penduduk di RW 02 ini sebagian besar yaitu sebagai petani. Lokasi penelitian ini merupakan salah satu penghasil pertanian seperti padi, ketela dan pisang. Berdasarkan hasil observasi yang mendalam, salah satu penyebab banyaknya penduduk yang buta huruf yaitu kondisi geografis Desa Mayang yang sangat jauh dari aksesibilitas pendidikan. Untuk belajar di sekolah dasar saja harus berjalan kaki sekitar 2 km.

2. Analisis Penelitian dan Pembahasan

Bagian ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan temuan hasil penelitian secara lebih khusus yang selanjutnya ditelaah, dibandingkan dan disoroti berdasarkan konsep yang relevan. Sebagaimana yang telah dijelaskan, bahwa kajian utama dalam penelitian ini adalah 1) Untuk mendeskripsikan proses pembelajaran pendidikan keaksaraan berbasis keluarga di PKBM Kandaga Desa Mayang Kec.Cisalak Kab. Subang 2) Untuk mendeskripsikan hasil Pembelajaran pendidikan keaksaraan berbasis keluarga di PKBM

Page 58: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

53

Kandaga Desa Mayang Kec.Cisalak Kab. Subang 3) Untuk mendeskripsikan dampak pembelajaran pendidikan keaksaraan berbasis keluarga di PKBM Kandaga Desa Mayang Kec.Cisalak Kab. Subang Dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran ini, para peserta didik yang dibantu oleh pendidik, melibatkan diri dalam proses pembelajaran. "Proses pembelajaran adalah proses yang didalamnya terdapat kegiatan interaksi antara guru – siswa dan komunikasi timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan belajar" (Rustman, 2001). Peserta didik dibantu oleh pendidik dapat melibatkan diri untuk mengembangkan atau memodifikasi kegiatan pembelajaran. Upaya mengembangkan atau memodifikasi kegiatan tersebut erat kaitannya dengan hasil dan dampak pembelajaran. Adapun pengertian proses pembelajaran, (Sudjana 2005: 69) menyatakan bahwa: Proses pembelajaran ini mencakup kegiatan untuk menyiapkan fasilitas dan alat bantu pembelajaran, menerima informasi tentang materi/bahan belajar dan prosedur pembelajaran, membahas materi/bahan belajar, dan melakukan saling tukar pengalaman dan pendapat dalam membahas materi atau memecahkan masalah yang dihadapi bersama. Berdasarkan pengertian diatas bahwa proses pembelajaran adalah satu pola untuk mentransformasikan ilmu dari pendidik kepada peserta didik yang didalamnya mencakup mempersiapkan bahan pelajaran, mempersiapkan media pembelajaran, membahas materi belajar, prosedur pembelajaran serta memecahkan masalah bersama antara peserta didik dan pendidik. Hasil wawancara pengelola dan wawancara tutor menyatakan bahwa: proses pembelajaran yang dilaksanakan di PKBM Kandaga, merupakan upaya yang dilakukan agar pembelajaran berjalan lebih optimal, serta efektif sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Proses pembelajaran berbasis keluarga merupakan program percepatan dalam pemberantasan buta huruf, anggota keluarga sebagai salah satu pendamping dan merupakan pendekatan pada proses pembelajaran yang lebih efektif, fungsional dan kontinu. Hal ini dikarenakan pada proses pembelajaran, yaitu 60% belajar bersama pendamping di rumah dan 40% belajar bersama tutor. Tentu dalam hal ini pembelajaran lebih bermakna, dikarenakan melalui pembelajaran di rumah bersama pendamping keluarga, warga belajar tidak merasa canggung untuk menanyakan hal-hal kurang dimengerti.

Page 59: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

54

3. Proses pembelajaran pendidikan keaksaraan berbasis keluarga di PKBM Kandaga Desa Mayang Kec. Cisalak Kab. Subang

Langkah-langkah yang jelas pada metode, memudahkan tutor untuk melaksanakan proses pembelajaran, serta membentuk keaktifan warga belajar menjadi lebih berani dan mandiri serta melatih warga belajar dalam berkomunikasi. Hal ini dibuktikan dengan kemampuan warga belajar untuk mengeluarkan pendapatnya. Proses pembelajaran berbasis keluarga yang dilaksanakan di PKBM Kandaga telah berjalan efektif dan dapat dirasakan hasilnya, baik oleh warga belajar sendiri maupun oleh tutor. Dengan memandang prosedur yang sistematis, didasarkan pada susunan perencanaan dan pedoman tutor untuk melaksanakan prosesi pembelajaran.

Seperti yang dinyatakan oleh Sudjana (2005: 69) sebagai berikut :

"Dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran ini, para peserta didik yang dibantu oleh pendidik, melibatkan diri dalam proses pembelajaran”.

Berdasarkan pengamatan melalui hasil wawancara tutor; warga belajar melahirkan beberapa pendapat mengenai kelemahan atau keuntungan proses pembelajaran yang digunakan, adalah sebagai berikut :

a. Proses Pembelajaran Bersama Pendamping Proses pembelajaran bersama pendamping dilaksanakan di rumah warga belajar, mempunyai keuntungan antara lain, 1) memudahkan warga belajar dalam menyerap materi atau bahan belajar, 2) warga belajar tidak merasa canggung untuk menanyakan materi yang kurang dimengerti, dan 3) media yang digunakan tidak sulit karena yang dijadikan media pembelajaran benda – benda yang ada disekitar tempat tinggal WB. Adapun kelemahan proses pembelajaran bersama pendamping antara lain, 1) waktu untk melakakukan proses pembelajaran tidak ada jadwal khususn mereka melakukan pembelajaran pada waktu senggang, 2) proses pembelajaran cenderung santai, dan 3) kurangnya monotoring dari tutor.

b. Proses Pembelajaran Bersama Tutor Proses pembelajaran bersama tutor dilaksanakan di PKBM Kandaga, mempunyai keuntungan antara lain, 1) tutor melakukan evaluasi hasil pembelajaran di rumah, 2) tutor menerangakan kembali apa yang sudah diajarkan oleh pendamping di rumah, sehingga WB lebih memahami materi tersebut, dan 3) tutor bisa mengindentfikasi WB yang cepat menyerap materi pelajaran. Adapun kelemahan belajar bersama tutor adalah, 1) jika musim panen tidak semua WB hadir di PKBM, 2) motivasi

Page 60: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

55

WB untuk hadir bersama tutor tidak selamanya kesadaran sendiri tetapi karena ragi belajar, dan 3) WB telat hadir jika belajar di kelas.

Metode pembelajaran keaksaraan yang dipergunakan beraneka ragam dan hadir di masyarakat, sebagai bentuk kemudahan-kemudahan dalam proses pembelajaran. Seperti yang disampaikan Kusnadi (2005: 151) sebagai berikut "Dengan memahami pendekatan andragogi dan kurikulum sebagai dasar proses pembelajaran KF, yang sebagian besar peserta didiknya terdiri atas orang dewasa.

Adapun pendapat lain menurut Kusnadi (2005:15) sebagai berikut:

“Melalui pendekatan keaksaraan keluarga, pembelajaran keaksaraan dimulai dari lingkungan dan selanjutnya didukung dan dipelihara melalui pemberdayaan dan menjadikan model dari mereka yang berada dalam lingkungan keluarga untuk sama-sama saling meningkatkan kemampuan keaksaraannya di luar lingkungan keluarga”.

Dipandang dari metode pembelajaran keaksaraan pada umumnya, maka beberapa metode yang dipergunakan oleh tutor sesuai pada kriteria metode pembelajaran pendidikan keaksaraan seperti yang dipaparkan oleh Kusnadi (2005:152), adalah sebagai berikut :

a) Participatory Rural Appraisal (PRA)

Metode PRA digunakan sebagai strategi pembelajaran, karena adanya pemunculan ide–ide murni yang berasal dari warga belajar sendiri, mempermudah terjadinya proses diskusi antar warga belajar, juga adanya tindakan/aksi bersama diantara warga belajar.

b) Reflect Warga belajar diberikan kesempatan untuk mengembangkan sendiri materi-materi belajarnya, sehingga tumbuh rasa memiliki terhadap rencana belajar dan rencana kerja/aksi yang berasal dari gagasan mereka, sehingga pada akhirnya mengubah perilaku dan sikapnya. Dalam proses belajarnya, baik warga belajar maupun tutor sama-sama belajar, dan sama –sama memiliki kesempatan untuk merefleksikan kembali peran dan posisi masing-masing serta menggali potensi yang ada dalam diri mereka untuk berubah kearah yang lebih positif.

c) Problem Possing

Problem possing merupakan metode untuk memunculkan masalah baik individu maupun kelompok yang kurang disadari oleh pelakunya.

2. Hasil pembelajaran pendidikan keaksaraan berbasis keluarga di PKBM Kandaga Desa Mayang Kec. Cisalak Kab. Subang

Dalam proses pembelajaran pendidikan keaksaraan berbasis keluarga tutor dan pendamping selaku peran (actor) pada proses pembelajaran, lebih

Page 61: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

56

berperan aktif untuk mendisign pola pembelajaran yang lebih fungsional, mudah dan mampu mencapai tujuan yang diharapkan. Seperti yang dikemukakan oleh Sudjana (2005: 70) adalah sebagai berikut: Aspek – apek kegiatan yang dinilai adalah proses, hasil, dan dampak kegiatan pembelajaran. Penilaian terhadap proses bertujuan untuk mengetahui tingkat kesesuaian antara pelaksanaan kegiatan pembelajaran dengan rencana yang telah ditetapkan. Penilaian ini mencakup perubahan tingkah laku seperti pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai yang telah diperoleh peserta didik melalui kegiatan pembelajaran. Berdasarkan pada hasil wawancara pengelola; hasil wawancara warga belajar; hasil wawancara tutor; memberikan beberapa pernyataan, sebagai berikut: Warga belajar mengalami perubahan, setelah dilaksanakannya proses pembelajaran keaksaraan berbasis keluarga. Dimana adanya proses perubahan yang asalnya tidak tahu menjadi tahu, yang tidak mengerti menjadi mengerti, dan selalu mencoba untuk bertindak. Selain kemampuan keaksaraan kemampuan skill (keterampilan) menjadi bertambah pula, karena program ini bertujuan untuk memberikan perubahan dalam kehidupan mereka khusunya dalam ekonomi. Tujuan program keaksaraan pada dasarnya bukan hanya sekedar memiliki pengetahuan membaca, menulis dan berhitung, akan tetapi memiliki tujuan untuk memberikan keterampilan hidup. Untuk mencapai tujuan tersebut hendaknya tutor dituntut untuk bisa mengajak warga belajarnya agar dapat memanfaatkan kemampuan yang diperoleh dari proses pembelajaran untuk difungsikan/dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Hasil pembelajaran keaksaraan di PKBM Kandaga secara kuantitas dan kualitas sudah cukup baik. Secara kuantitas dapat terlihat dari jumlah warga belajar keaksaraan tingkat dasar yang selalu aktif hadir dan mengikuti program keaksaraan serta intensitasnya dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Sedangkan secara kualitas dapat terlihat dari kemampuan warga belajar keaksaraan tingkat dasar telah mampu menerapkan pengetahuan keaksaraanya pada keterampilan yang dimilikinya dan telah dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari, hingga warga belajarpun mampu mentrasformasikan pengetahuannya pada warga belajar lain yang tidak mengikuti pembelajaran dan belum paham atau terampil. Keterampilan yang dipelajari warga belajar memiliki pengaruh yang cukup besar bagi kehidupan warga belajar. Hal ini sesuai dengan pendapat Sudjana (2000: 38) bahwa pengaruh meliputi : 1) Perubahan taraf hidup

Page 62: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

57

lulusan yang ditandai dengan perolehan pekerjaan atau berwirausaha, perolehan atau peningkatan pendapatan, kesehatan dan penampilan diri; 2). Membelajarkan orang lain terhadap hasil belajar yang telah dimiliki dan dirasakan manfaatnya oleh lulusan; dan 3). Peningkatan partisipasinya dalam kegiatan sosial dan pembangunan masyarakat, baik partisipasi buah pikiran, tenaga, harta benda dan dana. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat beberapa orang warga belajar yang telah memanfaatkan keterampilan menanam nilam, untuk meningkatkan taraff hidupnya. Adapun beberapa kelemahan dan keunggulan yang secara teknis dapat dirasakan dalam proses pembelajaran, sesuai dengan hasil wawancara pengelola, diantaranya:

a. Kelemahan secara umum dari proses pembelajaran yang telah berlangsung adalah : 1) Kehadiran warga belajar pada umumnya hanya 70%, dikarenakan

pelaksanaan program bersifat central (di PKBM Kandaga). Tentunya dengan keadaan geografis pegunungan dan letak rumah satu ke rumah yang lain berjauhan, menjadikan hambatan pada proses pembelajaran.

2) Penyampaian materi oleh pendamping keluarga tidak terlalu intensif karena mereka belajar sambil ngobrol dan nonton TV.

3) Kegiatan belajar mengajar yang sedikit, diantaranya hanya dilakukan 1 kali dalam 1 minggu.

4) Monotoring ke tiap rumah oleh tutor jarang dilaksanakan. 5) Keterlambatan warga belajar hadir dalam kelas, sehingga menyita

waktu dalam proses pembelajaran

b. Keunggulan secara umum metode pembelajaran yang digunakan adalah : 1) Warga belajar merasa tidak bosan, karena berbagai variasi metode

pembelajaran yang dipergunakan. 2) Warga belajar merasa berkesan dengan adanya praktek membuat bolu

atau kue. 3) Warga belajar lebih merasakan manfaat belajar keaksaraan, dengan

adanya pendampingan anggota keluarga 4) Warga belajar memiliki dua kemampuan, yakni kemampuan

keaksaraan fungsional. 3. Dampak Pembelajaran Pendidikan Keaksaraan Berbasis Keluarga di Pusat Kegiatan

Belajar Masyarakat Kandaga

Proses pembelajaran yang paling penting dari pendidikan keaksaraan berbasis keluarga adalah dampak dari hasil pembelajarannya, hal ini yang menentukan berhasil atau tidaknya suatu metode pembelajaran.

Page 63: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

58

Seperti yang dikemukakan oleh Sudjana (2005: 70) adalah sebagai berikut: Sedangkan penilaian terhadap pengaruh adalah untuk mengetahui sejauh mana hasil belajar mempunyai dampak terhadap kehidupan peserta didik. Dampak ini berkaitan dengan peningkatan taraf hidup peserta didik seperti dalam kehidupan sosial-ekonomi, penerapan perolehan belajar dalam lingkungan kerja, upaya membelajarkan orang lain, dan partisipasinya dalam pembangunan masyarakat atau dalam lingkungannya. Sesuai dengan hasil wawancara dengan tutor dan warga belajar bahwa dampak dari pembelajaran pendidikan keaksaraan berbasis keluarga sangat dirasakan oleh warga belajar, yang menyatakan bahwa : Dampak pembelajaran secara umum dari proses pembelajaran yang telah berlangsung adalah:

1) Warga belajar mampu menerapkan informasi baik dari media cetak maupun elektronik.

2) Warga belajar mau, tahu dan praktek dalam inovasi-inovasi baru. 3) Warga belajar mampu menerima setiap informasi. 4) Warga belajar berpartisipasi dari segala bentuk sumber informasi dan

lebih mampu untuk memaknai inforamsi tersebut. 5) Warga belajar mengenal, menyadari dan menyesuaikan diri di

masyarakat tanpa rasa canggung. 6) Warga belajar mampu berhemat dalam mengeluarkan kebutuhannya.

Warga belajar membuat koperasi kecil-kecilan (simpan pinjam) untuk keperluan mereka.

E. Kesimpulan dan Rekomendasi

1. Kesimpulan

Beberapa kesimpulan yang dapat penulis sampaikan, dari hasil penelitian dilapangan adalah sebagai berikut : 1) Proses Pembelajaran Pendidikan Keaksaraan Berbasis Keluarga di PKBM

Kandaga Desa Mayang Kec. Cisalak Kab. Subang Proses pembelajaran pendidikan keaksaraan berbasis keluarga adalah upaya untuk percepatan dalam pemberatasan buta akasara, hal ini dibuktikan dengan adanya pendampingan keluarga sehingga pembelajaran tidak terpaku bersama tutor saja, tetapi proses pembelajaran dilakukan di rumah bersama pendamping.

a. Proses Pembelajaran Bersama Pendamping

Page 64: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

59

Proses pembelajaran bersama pendamping dilakukan di rumah WB, waktu pembelajaran tidak baku hanya saja pendampingan bersama anggota keluarga harus dilaksanakan 30-60 menit. Bahan pelajaran diberikan kepada pendamping kemudian di transforasikan kepada WB.

b. Proses Pembelajaran Bersama Tutor Proses pembelajaran bersama tutor dilakukan di PKBM Kandaga, belajar bersama tutor yaitu mengkaji ulang bahan / materi yang telah diberikan oleh pendamping keluarga di rumah. Dari proses pembelajaran ini WB semakin faham dalam kemampuan menulis, membaca dan berhitung.

2) Hasil yang diperoleh setelah dilaksanakan proses pembelajaran pendidikan keaksaraan berbasis keluarga di PKBM Kandaga Desa Mayang Kec. Cisalak Kab. Subang

Hasil yang diperoleh dari proses pembelajaran pendidikan keaksaraan berbasis keluarga terdiri dari aspek-aspek sebagai berikut : a. Aspek membaca : kemampuan membaca hasil tulisan (bahan bacaan)

yang dibuatnya sendiri atau di kelompok belajar, membaca resep makanan dan lain-lain.

b. Aspek menulis : kemampuan menulis tentang kegiatan sehari-hari dari pikiran, pengalaman, perasaan, informasi, dan masalah yang dihadapi dalam kehidupan, mengisi formulir KTP dan identitas sederhana dan lain-lain.

c. Aspek berhitung : kemampuan menulis dan mengoperasikan simbol-simbol hitung seperti menambah, mengurangi, mengali dan membagi untuk hitungan harga, berat dan lain-lain yang terkait dengan kegiatan sehari-hari seperti berbelanja, mengukur, menimbang, dan menghitung jarak, kemudian menghitung tanggal, bulan di dalam kelender.

Dari ketiga aspek tersebut, warga belajar mempunyai hasil evaluasi yang berbeda, walaupun dengan pendekatan yang sama. Warga belajar A kemampuan membaca, menulis, dan berhitung dengan nilai baik, sedangkan warga belajar B dengan nilai baik hanya membaca dan berhitung, kemampuan menulisnya kurang. Dan terakhir warga belajar C dalam aspek membaca, menulis dan berhitung nilainya kurang.

3) Dampak Yang Diperoleh Setelah Dilakanakan Proses Pembelajaran Pendidikan Keaksaraan Berbasis Keluarga di PKBM Kandaga Desa. Mayang Kec. Cisalak Kab. Subang

Page 65: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

60

Pengaruh atau dampak dalam pendidikan keaksaraan adalah hasil yang diharapkan setelah program pendidikan keaksaraan selesai, warga belajar diharapkan mampu memanfaatkan hasil belajarnya dalam kehidupan sehari-hari yang meliputi : a. Peningkatan taraf hidup peserta didik dalam sosial ekonomi

Setelah mengikuti proses pembelajaran pendidikan keaksraan berbasis keluarga warga belajar merasakan adanya peningkatan khusunya dalam finansial.

b. Penerapan perolehan belajar dalam lingkungan kerja Dampak setelah mengikuti proses pembelajaran pendidikan keaksaraan berbasis keluarga adalah warga belajar bisa menerapkan hasil belajarnya dalam lingkungan sekitar misalnya : bisa menjawab waktu (jam), menyebarkan informasi yang ada di media baik media cetak atau elektronik.

c. Upaya membelajarkan orang lain Warga belajar yang mengikuti pendidikan keaksaraan mampu membaca, menulis dan berhitung. Dari kemampuan tersebut warga belajar yang sudah lancar dalam membaca, menulis dan berhitung bisa membelajarkan warga belajar yang lain yang mengalami kesulitan.

d. Partisipasi dalam pembangunan masyarakat atau dalam lingkungannya Upaya pengembangan masyarakat menempatkan manusia (termasuk masyarakat buta huruh) sebagai subyek pembangunan. Hal ini didasarkan pada suatu kayakinan bahwa setiap orang punya pengalaman, begitu pula dengan penyandang buta aksara. Artinya bahwa sampai pada tingkat kehidupan saat ini, manusia telah melewati berbagai proses penyesuaian diri melalui proses belajar dan yang paling penting adalah manusia itu sendirilah yang harus menentukan dan memutuskan tentang apa yang diinginkan dan yang akan dicapai dalam kehidupannya.

e. Warga Belajar mampu berhemat dan menabung Setelah mengikuti program tersebut mereka mampu berhemat dala keperluan sehari hari serta mereka membuat koperasi simpan pinjam kecil-kecilan sehingga apabila mereka membutuhkan dana cepat mereka bisa mengambil dari simpan pinjam tersebut

2. Rekomendasi

Memandang proses pembelajaran yang digunakan pada pendidikan keaksaraan bertujuan untuk memperoleh ketercapaian tujuan keaksaraan. Berbagai macam pendekatan dapat dipergunakan, namun pendekatan tersebut tentunya memilliki berbagai kelemahan dan kekuatan.

Page 66: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

61

Beberapa saran yang ingin disampaikan penulis pada pelaksanaan program ini adalah: 1) Monitoring tutor terhadap warga belajar pada saat pendampingan

berlangsung harus ditingkatkan. 2) Pemberian motivasi dan pemberian penghargaan kepada warga belajar

perlu terus dikembangkan agar warga belajar memiliki kepercayaan diri yang kuat untuk terus belajar tanpa mengenal batas usia.

3) Pendamping keluarga membimbing warga belajar melakukan proses pembelajaran diupayakan lebih serius

4) Tutor harus menumbuhkan kepercayaan diri warga belajar, agar mereka tidak selalu bergantung kepada tutor setempat dan pendamping keluarga dalam kegiatan belajar. Hal tersebut dapat dilakukan dengan memotivasi kepada warga belajar, serta memberikan dorongan agar warga belajar tampil percaya diri.

5) Setelah mengikuti proses pendidikan keaksaraan WB diharapkan mampu menerapkan keterampilannya untuk meningkatkan pendapatannya.

Demikian beberapa rekomendasi yang penulis sampaikan, maksud dari saran ini merupakan masukan-masukan penulis sebagai peneliti. Apabila ada kata-kata yang kurang berkenan, penulis menghaturkan permohonan maaf yang sebesar-besarnya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulhak, I. (2000). Metodologi Pembelajaran Orang Dewasa, Bandung: Andira. Admuddipura, E dan Atmaja,SB. (1986). Pendidikan Orang Dewasa. Jakarta : Karunika Departemen Pendidikan Nasional (2006), Acuan Penyelenggaraan Program Pendidikan

keaksaraan: Direktorat Pendidikan Luar Sekolah, Direktorat Pendidikan Masyarakat

Faisal, Sanapiah. (2006). ”Paradigma Baru Pendidikan Keaksaraan, Tawaran Bagi Pengembangan Program Keaksaraan di Indonesia”. Dirjen PLS, Depdiknas.

Kamil, Mustofa. (2008). Pusat Budaya dan Belajar Masyarakat, PKBM (Indonesia) dan Kominkan (Jepang). Bandung: Penerbit Dewa Ruchi.

Kartono, Kartini. (1996). Pengantar Metode Riset Sosial, Bandung: Mandar Maju. Kusnadi. (2005). Pendidikan Keaksaraan, Filosofi, Strategi, dan Implementasi. Jakarta:

Dirjen PLS, Depdiknas. M, Quillan, Mark K. (etc). (2007). A Guide to Early Childhood prog Development.

Connecticut. Olim, Ayi. (2008). ”Makalah Peran Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) dalam

Penuntasan Wajib Belajar 9 Tahun”. Makalah pada Semilok Kontribusi Ilmu Pendidikan dalam Penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun. Bandung.

----------. (2006). Panduan Umum Pelatihan Program Pendidikan Keaksaraan. Jakarta: Dirjen PLS, Depdiknas.

Page 67: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

62

----------. (2006). Teknik Identifikasi Kebutuhan Belajar. Jakarta: Dirjen PLS, Depdiknas. Nasution, S. (2002). Metode Peneltian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Penerbit

Tarsito. Sudjana. (2004). Pendidikan Nonformal, Wawasan Sejarah Perkembangan Filsafat

Teori Pendukung Asas. Bandung: Falah Production. Sudjana. (2005). Metoda dan teknik pembelajaran partisipatif. Bandung: Falah

Production Suwandi dan Basrowi. (2008). Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta. ---------. (2005). Metoda dan Teknik Pembelajaran Partisipatif. Bandung: Falah

Production. www.google/uu/no20/2003. www.diknas.depdiknas.co.id. www. bpkbjatim.2004

Page 68: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

63

MENEGASKAN KARAKTER PENDIDIKAN NONFORMAL

Oleh : Dinno Mulyono

Dosen PS-PLS STKIP Siliwangi Bandung Abstract

Nonformal education has a great role in modern education system. Since its introducing by Ahmed and Coombs in 1964, nonformal education has been seen as panachea for all education problems, include the further education for adult people or disadvantage people that can’t access the formal education. But, in other hands, nonformal education had been seen as the shadows of formal education. It’s happens when nonformal education doesn’t contribute the people with a real compensation for their lives. Keyword :pendidikan nonformal, masyarakat, karakter pendidikan

PENDAHULUAN Impementasi program Pendidikan Non Formal (PNF) selama ini tak bisa dipisahkan dari program-program pendidikan lainnya, terutama program pendidikan formal. Beragam ketentuan pendidikan lebih banyak mengatur dan menegaskan kehadiran institusi-institusi pendidikan formal. Dengan demikian, banyak pola yang terbentuk menuju pada upaya imitatif kompleksitas pendidikan formal dengan beragam bentuk dan aplikasinya. Hal ini berdampak pada adanya penurunan kepercayaan masyarakat pada satuan-satuan pendidikan nonformal. Penggunaan standar pendidikan formal untuk proses akreditasi pendidikan nonformal, menekan karakter PNF. Dengan demikian, ciri dan kualifikasi pendidikan nonformal mengalami proses degradasi yang kian hari semakin menegaskan posisi PNF yang semakin kritis. Pengembangan program PNF hanya menekankan pada inventarisasi dan penyusunan model-model pendidikan yang tak pernah diimplementasikan dalam dunia PNF secara utuh. Pandangan masyarakat masih tetap teguh pada pendiriannya, sedangkan PNF sendiri tak sanggup untuk berkembang secara signifikan. Menurunnya kepercayaan masyarakat yang ditandai dengan semakin sepinya peminat jurusan Pendidikan Luar Sekolah pada satuan-satuan pendidikan tinggi, memperkuat indikasi pentingnya revitaslisasi pendidikan nonformal yang lebih mumpuni dan tak sekedar beretorika dengan beragam argumentasi ilmiah yang membentang jauh dari kebutuhan masyarakat itu sendiri. Pendidikan Nonformal tak akan pernah dibutuhkan masyarakat jika tak mampu memberikan kontribusi yang positif bagi masyarakat di masa sekarang maupun di masa yang akan datang. Community Welfare yang menjadi tujuan

Page 69: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

64

dasar PNF membutuhkan adanya tindakan khusus yang membuat PNF kembali dikenal dan dihormati masyarakat. Kualitas output (luaran) program PNF harus secara nyata memberikan kontribusi yang jelas terhadap pembangunan masyarakat secara utuh, baik dari sisi ekonomi, sosial maupun dalam upaya meningkatkan mobilitas masyarakat untuk mencapai tingkat kesejahteraan yang diharapkan. Harus diakui bahwa pembangunan masyarakat berawal dari adanya tingkat kecukupan ekonomi yang jelas. Sebagian besar masyarakat lebih memilih memenuhi kebutuhan ekonominya terlebih dahulu daripada kebutuhan pendidikan. Karena, kebutuhan pendidikan sifatnya bisa ditunda, sedangkan kebutuhan ekonomi berkaitan dengan keberlangsungan hidup seseorang, hingga hampir tak mungkin dapat ditunda. Menurunnya kepercayaan masyarakat menandakan adanya sebuah fenomena baru, yaitu generasi masyarakat yang rasional. Mereka hanya membutuhkan program pendidikan yang benar-benar memenuhi kualifikasi akademik dan kompetensi yang dapat membantu mereka keluar dari permasalahan yang ada dalam kehidupannya. Program-program pendidikan nonformal, mau tak mau harus memberikan tingkat alasan rasional untuk dapat membuat masyarakat percaya bahwa program yang dilaksanakan benar-benar aplikatif dengan berbagai sektor kehidupannya sekarang maupun di masa yang akan datang. Kualifikasi PNF, menghadapi permasalahan yang sama. Program-program PNF yang cenderung stagnan, bahkan sekarang mulai tergeser dengan adanya kebijakan untuk mengedepankan program pendidikan formal vokasional, seperti SMK, membuat posisi PNF untuk berkembang bertambah sulit. Kualifikasi yang dulu disediakan oleh balai-balai pelatihan dan kursus, kini dapat diperoleh melalui jalur pendidikan formal, dengan prestise yang jauh lebih baik. Hal ini harus segera diperbaiki, bukan hanya melalui iklan, tapi harus melalui sebuah jalur yang benar-benar memberikan nilai tambah bagi daya saing PNF di tengah-tengah masyarakat. Permasalahan mengenai relevansi antara output program PNF dengan kebutuhan masyarakat dirasakan semakin membebani tanggung jawab program-program PNF itu sendiri. Karena, kesesuaian antara kualitas dan kualifikasi lulusan program PNF dengan kebutuhan masyarakat sangat penting untuk menjaga kredibilitas jurusan PNF itu sendiri di tengah persaingan dengan berbagai lulusan program lainnya. Seringkali masyarakat melihat output lulusan program-program lain lebih acceptable di dunia industri dewasa ini dibandingkan lulusan program dan satuan PNF. Hal ini perlu segera diperbaiki untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat pada program PNF. Kondisi ini akan berdampak pula pada upaya revitalisasi program dan satuan PNF di mata masyarakat. Keterkaitan antara kondisi masyarakat sekarang dengan harapan adalah pola dasar kebutuhan yang penting untuk segera dikaji

Page 70: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

65

dan ditemukan pemecahan masalahnya, sehingga membuat PNF semakin berdaya guna bagi masyarakat. PEMBAHASAN Karakter pendidikan nonormal dapat kembali terlihat selama program-program yang dilaksanakan senantiasa konsisten dengan berbagai proses yang benar-benar memperhatikan program pembangunan masyarakat (community development) secara menyeluruh. Masyarakat akan memilih program yang benar-benar dapat dirasakannya dan membuatnya merasa diakui. Oleh karena itu, perlu kiranya setiap pengembangan program PNF melibatkan partisipasi masyarakat secara utuh dan menyeluruh. Bukan hanya berupa program yang selintas lalu. Hal ini berkaitan dengan pembentukan kepercayaan masyarakat terhadap program-program PNF. Sekolah lebih terlihat, karena bentuknya yang konsisten dan terus menerus melanjutkan programnya dalam berbagai posisi terhadap masyarakat. Dari sejak zaman kolonial hingga sekarang, sekolah tetaplah sekolah dengan pemangku program yang konsisten, walaupun berbagai kebijakan pemerintah seringkali memperoleh kritik yang cukup kerasa dari masyarakat, tapi sekolah tetap berjalan. Dan masyarakat mengakui hal tersebut sebagai sebuah kebutuhan yang tak terelakkan. Manusia secara kodrati diberikan berbagai kebutuhan. Sehingga A. Maslow (D. Sudjana, 2003) menyebutkan bahwa kebutuhan pertama manusia selalu menyangkut kebutuhan fisiologis. Kebutuhan fisik yang tak bias ditunda. Program pendidikan dalam kondisi apapun, dengan filosopi apapun berupaya untuk menegakkan status kemampuan manusia untuk berdiri diatas kakinya sendiri dan merapat sejajar dengan anggota masyarakat lainnya. Inilah yang menjadi basis utama PNF dalam mereposisi kedudukannya di tengah-tengah masyarakat. Semakin kuat kontribusi PNF dalam upaya penegakkan status kemanusiaan, maka semakin kuat pula kepercayaan masyarakat. Terlampau sulit bila kita membayangkan kontribusi PNF dalam interval program yang terlalu sempit dan datang secara insidental. Karena, kebutuhan manusia tak pernah tercukupi, sedangkan alat pemuas kebutuhan manusia terbatas. Diversifikasi kompetensi lulusan sangat diperlukan. Tema besar masyarakat sekarang adalah memperkuat basis kewirausahaan masyarakat untuk membentuk lapangan-lapangan tersendiri yang akan menopang pergerakkan roda perekonomian masyarakat. Inilah yang menjadi salah satu agenda PNF dalam memperkuat posisinya di tengah masyarakat. Lulusan yang mampu mengembangkan potensi sekitarnya secara baik dan disisi lain mampu memberdayakan masyarakat lainnya. Penguatan struktur social harus serta merta diperkuat dengan ketahanan ekonomi, untuk membentuk sebuah struktur masyarakat yang sejahtera sesuai ukuran dasar kebutuhan manusia.

Page 71: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

66

Lulusan PNF yang kini dianggap kelas dua harus pula diperbaiki. Dengan demikian akan memberikan nilai positif bagi jalur PNF di tengah masyarakat. Peningkatan ini bukan semata dengan meniru berbagai gaya standarisasi jalur pendidikan formal, tapi harus menekankan pada upaya internalisasi segala kompetensi yang diberikan dalam jalur PNF. Standarisasi tersebut harus memberikan kesempatan kepada pemangku kepentingan serta warga belajar itu sendiri dalam kehidupannya di masa datang untuk terus eksis di tengah masyarakat secara utuh. Eksistensi PNF semakin terbuka bila program-program PNF dapat dirangkai dengan program-program swasta yang sekarang tengah berupaya meningkatkan citra di masyarakat. Selain itu, upaya peningkatan relevansi lulusan dapat dikembangkan dengan berbagai jalinan kerjasama dengan pihak-pihak swasta. Pemangku kebijakan PNF pun bisa mendapatkan berbagai masukan dari pihak swasta mengenai proses pembentukan format-format program PNF yang lebih acceptable dengan dunia swasta. Dengan demikian, lulusan PNF lebih marketable, karena berorientasi pada kebutuhan dunia kerja secara nyata, tanpa mengabaikan upaya pengembangan masyarakat di lini lainnya, seperti sosial dan budaya. Secara historis, PNF memiliki kedudukan yang kuat dalam berbagai jalur birokrasi pemerintahan maupun jalur kehidupan masyarakat lainnya. Namun, seiring dengan berkembangnya waktu, jalur PNF perlu untuk melakukan revitalisasi pada komponen-komponen program yang dianggap penting untuk dikembangkan. Tak perlu ragu untuk menghapuskan berbagai pola-pola yang dianggap sudah tertinggal (out of date) dalam percaturan pembangunan dan pengembangan masyarakat. Karena, bila hal tersebut dibiarkan akan mengakibatkan adanya stagnasi dalam pengembangan program-program PNF. Dukungan pemerintah harus lebih realistis, terutama mengenai dukungan peraturan yang memayungi pelaksanaan program-program PNF. Tak hanya berjalur pada satuan dan institusional yang sudah ada, tapi membutuhkan jalur yang lebih luas dan lintas lembaga, sehingga mutu lulusan yang dihasilkan tak lagi terbatas pada apa yang dibutuhkan pada saat itu, tapi apa yang dibutuhkan pada saat ini dan yang akan datang. Sikap program yang antisipatif akan membantu PNF untuk terus eksis dengan berbagai tuntutan masyarakat dewasa ini, yang tengah memasuki sebuah perkampungan global (global village). Pendidikan formal takkan sanggup untuk menangani seluruh tantangan yang hadir di masyarakat bahkan di tengah masyarakat maju, seperti Eropa sekalipun, sebagaimana diutarakan oleh Council of Europe (A. Rogers, 2004), “The Assembly recognises that formal educational systems alone cannot respond to the challenges of modern society and therefore welcomes its reinforcement by non-formal educational practices”.

Page 72: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

67

PENUTUP Pendidikan nonformal bukan lagi sebagai jalur pendidikan yang hanya melengkapi, mengganti atau penambah pada jalur pendidikan formal. Pendidikan nonformal harus bergerak sejajar dan setara dengan jalur-jalur pendidikan lainnya. Apalagi, Presiden telah mengamanatkan prioritas pendidikan di tahun 2012, yaitu “meningkatkan akses dan pemerataan pelayanan pendidikan yang bermutu dan terjangkau, baik melalui jalur formal maupun non-formal di semua jenjang pendidikan” (Kopertis XII, 2012). Penegasan mengenai pentingnya pendidikan nonformal sebagai alternatif bagi pendidikan formal, semestinya tidak membuat PNF terus berada di bawah bayang-bayang pendidikan formal. Karena pendidikan nonformal, dapat pula berkontribusi dalam program-program pendidikan informal, tak seperti pendidikan formal. McGivney (1999: 1) menyebutkan, “It is difficult to make a clear distinction between formal and informal learning as there is often a crossover between the two”. Referensi Sudjana, D. (2003). Pendidikan Luar Sekolah. Falah Production; Bandung. Rogers, A. (2004) 'Looking again at non-formal and informal education - towards

a new paradigm', the encyclopaedia of informal education, Accessed : February 29th, 2012. Available in :www.infed.org/biblio/non_formal_paradigm.htm

Kopertis XII. (2011). Arahan Bapak Presiden RI Tanggal 16 Agustus 2011, Rencana Pembangunan Pendidikan Tahun 2012. Accessed : February 28th, 2012. Available in : http://www.kopertis12.or.id/2011/08/18/paparan-menteri-pendidikan-nasional-mengenai-rapbn-2012.html

Hodkinson, P. Prof. (2002). Non-formal learning: mapping the conceptual terrain, a consultation report. Accessed : 8 - 3 -2012. Available at : http://www.infed.org/biblio/b-nonfor.htm

Page 73: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

68

Page 74: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

69

ANALISIS TERHADAP TINGGINYA ANGKA PUTUS SEKOLAH SISWA SMP TERBUKA

(Studi Kasus di SMP Terbuka Pacet Kecamatan Pacet Kabupaten Bandung)

Oleh :

Dr. H.T. Effendy Suryana., SH., M.Pd Dosen PS-PLS STKIP Siliwangi Bandung

ABSTRACT

The research was to get a description about the factors that caused SMP Terbuka drop out rates highly at SMP Terbuka Pacet and the cope efforts must be done by someone that concern to it.

The focus are : (1) how is the student’s motivation and a social economic conditions that cause drop out rates highly? (2) how is the human resources, facilities, and fund that cause drop out rates highly? (3) how is the leadership being done by head teacher that cause drop out rates highly? (4) how is the teaching learning process to cause drop out rates highly? (5) how is the societies and compulsory basic education coordination team support that cause drop out rates highly? and (6) how are alternative efforts to reduce the drop out rates that must be done by a head teacher, managers, teachers, parents, the societies and compulsory basic education coordination team at SMP Terbuka Pacet?

As a conceptual reference, I wrote the administration theory, the leadership theory, and the open distance learning theory.

The research was held at SMP Terbuka Pacet, Pacet Sub district, Bandung regency, with the main school is at SMP Negeri 1 Pacet and the independent learning places (TKB) are Padaulun, Ciherang, and Cisaat. This is a qualitative descriptive approachment, to describe a current fact at this time. The data and information were collected by interview, observation, and documentation.

The results showed that main factor drop outs is economic factor. And less facilities in the independent learning places that cause students was bored in their learning activities.

Based on the result above, the related ones had better find a fund for scholarship, in order to make a teaching learning activities at SMP Negeri 1 Pacet as main school, and to empower all facilities in teaching learning process.

Page 75: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

70

Latar Belakang Penelitian Belajar merupakan faktor penting dalam menentukan kualitas kehidupan seseorang. Oleh karena itu kesempatan belajar seharusnya dapat dimiliki oleh siapapun, di manapun dan kapanpun. Konsep pendidikan sepanjang hayat (life-long education) dan pendidikan untuk semua (education for all) yang dicetuskan oleh UNESCO merupakan suatu gagasan yang harus dapat diwujudkan, termasuk di Indonesia. Pemerintah telah menjamin semua warga negaranya untuk mengenyam pendidikan, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat (1) menyatakan bahwa, “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan” dan ayat (2), “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Upaya pemerintah tersebut diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional seperti yang tercantum dalam pasal 3 Undang-undang no. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, adalah : Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Makna yang terkandung dalam tujuan pendidikan di atas adalah untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas harus melalui proses pendidikan atau belajar. Pembangunan bidang pendidikan dititikberatkan pada 4 (empat) kebijakan yaitu perluasan kesempatan memperoleh pendidikan, peningkatan mutu, peningkatan relevansi, dan peningkatan efisiensi serta efektivitas pengelolaan pendidikan. Perluasan kesempatan pendidikan diupayakan sejalan dengan keadilan dalam memperoleh pendidikan melalui kebijakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun. Secara legal keberadaan SMP Terbuka berasal dari kebijakan pemerintah untuk memperluas kesempatan belajar. Pada tahun 1976 diidentifikasikan empat alternatif untuk perluasan kesempatan itu, yaitu : 1) pembangunan gedung sekolah baru, 2) penambahan daya tampung sekolah yang sudah ada (memperbesar rasio murid guru), 3) mendirikan sekolah terbuka, dan 4) menyelenggarakan pendidikan keterampilan. Setelah diuji kelayakannya

Page 76: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

71

berdasarkan kriteria waktu, tenaga, biaya, dan organisasi akhirnya dipilih alternatif sekolah terbuka.

Sekolah Menengah Pertama (SMP) Terbuka sebagai subsistem pendidikan adalah salah satu bentuk pendidikan terbuka, yang merupakan aplikasi teknologi pendidikan. Sistem ini dirancang untuk dapat mengatasi masalah belajar khususnya bagi mereka yang karena berbagai macam kendala tidak dapat memperoleh kesempatan untuk belajar secara lazim, sementara mereka mempunyai potensi untuk belajar, dan masih ada sumber belajar lain yang belum dimanfaatkan.

SMP Terbuka Pacet Kecamatan Pacet Kabupaten Bandung dikembangkan pada tahun 1998. Ada beberapa alasan pengembangan SMP Terbuka Pacet, diantaranya : 1) secara geografis wilayah Kecamatan Pacet berada di daerah pegunungan, dimana jangkauan anak-anak usia lulusan SD yang ingin meneruskan ke tingkat SMP terhambat jarak yang cukup jauh, 2) secara sosial ekonomi, persebaran lulusan SD/MI cukup banyak, sedangkan SMP Negeri yang ada di Kecamatan Pacet hanya ada dua sekolah. Banyak orangtua yang ingin menyekolahkan anaknya di SMP negeri namun faktor ekonomi dan jarak yang jauh dan memerlukan biaya transportasi yang tidak sedikit, sehingga tidak dapat bersekolah di SMP negeri (berdasarkan wawancara dengan salah satu guru bina pada studi pendahuluan). Karena itu dipandang perlu mengembangkan SMP Terbuka dengan lokasi tempat kegiatan belajar (TKB) yang dekat dengan siswa agar SMP Terbuka ini dapat membantu masyarakat yang tidak bisa menyekolahkan anaknya di SMP reguler.

Faktor internal SMP Negeri 1 Pacet sebagai SMP Induk pun sangat menentukan pengembangan SMP Terbuka, karena SMP Negeri 1 Pacet memiliki tenaga pendidik sebanyak 71 orang dengan kualifikasi 67 orang berijazah S1, dan 4 orang berijazah D3. Pada awal pengembangannya, SMP Terbuka Pacet membuka empat Tempat Kegiatan Belajar (TKB), yaitu TKB Padaulun, TKB Nagrak, TKB Cisaat, dan TKB Ciherang. Jumlah siswanya pun pada saat itu terbilang banyak yakni hampir 150 orang. Namun dengan banyaknya yayasan pendidikan yang membuka lembaga pendidikan setingkat SMP/MTs di daerah pelosok di wilayah Kecamatan Pacet, serta adanya bantuan dana BOS sebagai kompensasi kenaikan harga BBM sehingga sebagian biaya sekolah dibebaskan, jumlah siswa SMP Terbuka pun semakin menurun. Kondisi tersebut memaksa SMP Induk (SMP Negeri 1 Pacet) tidak lagi menyelenggarakan kegiatan pembelajaran di TKB Nagrak.

Disamping itu, faktor ekonomi menjadi salah satu penyebab angka putus sekolah tinggi. Tidak sedikit siswa yang putus sekolah bekerja untuk membantu perekonomian keluarga. Data SMP Terbuka Pacet menunjukkan angka putus sekolah pada tahun 2007/2008 adalah 24 orang. Angka ini meningkat dari tahun pelajaran 2006/2007 sejumlah 19 orang.

Page 77: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

72

Bertolak dari uraian di atas, maka dipandang perlu untuk melakukan suatu analisis terhadap tingginya angka putus sekolah siswa SMP Terbuka. Dalam kasus ini, akan dilakukan di SMP Terbuka Pacet Kecamatan Pacet Kabupaten Bandung. METODE PENELITIAN Penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian naturalistik dengan metode kualitatif yang tidak akan menguji hipotesis, tidak akan menguji hubungan antara variabel bebas dan variabel terpengaruh tetapi meneliti kenyataan-kenyataan sebagai kebutuhan yang tidak dapat dipahami jika dipisahkan dari konteksnya. Penelitian ini bersifat deskriptif karena data yang dikumpulkan akan berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka. Laporan penelitian akan berupa kutipan-kutipan data yang berasal dari hasil wawancara, catatan lapangan, foto, rekaman dalam pita kaset, dokumen pribadi, catatan atau memo dan dokumen yang lainnya (Moleong, 2000 : 4-6) Winarno, 1980, Best 1981 : Donald Ary, 1982; dan Jalaludin Rachmat, 1989 (Iim Wasliman, 1998) mengemukakan bahwa : 1. Penelitian deskriptif menuturkan sesuatu secara sistematis tentang data

atau karakteristik populasi tertentu atau bidang tertentu secara faktual dan cermat, menganalisis (karena itu metode ini sering disebut metode analitik) dan menginterprestasikan data yang ada.

2. Penelitian deskritif lebih menekankan pada observasi dan suasana alamiah (natural setting), ia mencari teori dan bukan menguji teori (hypothesis-generating) dan bukan (hypothesis-testing), heuristic dan bukan verifikatif, oleh karena itu penelitian deskriptif sangat berguna untuk melahirkan teori-teori tentatif.

Terdapat beberapa jenis penelitian deskriptif, atara lain : studi kasus, survey, studi perkembangan, studi tindak lanjut (follow-up studies), analisis dokumenter, analisis kecenderungan (trend analysis), analisis tingkah laku, studi waktu dan gerak (time and motion study), dan studi korelasional. Pembahasan Pembahasan hasil penelitian diawali dengan penyebab siswa putus sekolah, selanjutnya dituangkan dalam analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Treath) atau analisis kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman untuk mencari alternatif upaya penanggulangan.

Page 78: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

73

Kondisi Geografis Dari 24 siswa yang putus sekolah pada tahun pelajaran 2007/2008 hanya 19 orang yang dapat diwawancara. Sedangkan data lain didapat dari wawancara dengan salah seorang guru pamong. Data mereka adalah sebagai berikut:

Tabel 4.2 Keadaan Geografis Tempat Tinggal Siswa ke TKB dan Sekolah Induk

Data Siswa Putus Sekolah

No. Nama Siswa Putus Sekolah di Kelas

Alamat Jarak Rumah ke TKB

Jarak Rumah Ke SMP Induk

1. Dani VIII Ciherang 3 km 10 km

2. Eneng IX Pesanggrahan 3 km 9 km

3. Wawat VII Pesanggrahan 3 km 9 km

4. Neng Siti IX Ciherang 2 km 10 km

5. Neng Siti Jubaedah VIII Pesanggrahan 2 km 10 km 6. Sumiyati VII Ciherang 3 km 9 km

7. Deni Koswara VII Sayuran 2 km 15 km

8. Iip Mutakin VIII Ciherang 2 km 11 km 9. Dede IX Malabenghar 3 km 7 km

10. Ujang Empi Suparman VII Pangauban 0,5 km 8 km

11. Ahmad Sodikin VII Ranca 1 km 8 km

12. Entin Martini VII Cisaat 0,5 km 8 km 13. Sulaeman VIII Cisaat 0,5 km 8 km

14. Asep yana VII Cisaat 0,5 km 8 km

15. Eulis Wahyuni VII Cisaat 0,5 km 8 km 16. Agus VII Loa 2 km 5 km

17. Reini IX Loa 2 km 5 km

18. Wulan VII Loa 2 km 5 km 19. Ati VII Loa 2 km 5 km

20. Widya IX Tanjung Kaler 2 km 7 km

21. Arip VIII Tanjung Kaler 2 km 7 km

22. Hamid VIII Tanjung Kaler 2 km 7 km 23. Rohimat VII Tanjung Kaler 2 km 7 km

24. Firman VII Tanjung Kaler 2 km 7 km

Sumber : Hasil Wawancara dengan Siswa putus sekolah dan salah seorang guru pamong Bulan Agustus 2008. Berdasarkan tabel di atas, siswa putus sekolah pada tahun 2007/2008, 14 orang siswa atau sekitar 58,33% adalah mereka yang jarak rumah ke SMP Induk lebih dari 8 km. Sedangkan 41,67% dari mereka yang jarak dari rumah ke SMP Induk lebih dari 3 km sampai 7 km. Ini berarti biaya transportasi yang

Page 79: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

74

harus dikeluarkan untuk pembelajaran di SMP Induk sekitar Rp. 3000,- sampai Rp. 6.000,- dari TKB terdekat dan biaya transportasi dari TKB terjauh sekitar Rp. 15.000,- sampai Rp. 25.000,- (bila naik ojeg). Dari sampel di atas, ada 13 siswa laki-laki dan 11 siswa perempuan. Hal ini berarti medan yang harus ditempuh baik ke TKB maupun ke SMP Induk tidak berpengaruh kepada siswa laki-laki maupun perempuan untuk melakukan kegiatan pembelajaran. Meskipun keadaan geografis yang dihadapi relatif sama tidak mempengaruhi siswa baik laki-laki maupun perempuan untuk terus melanjutkan sekolah sampai lulus. Motivasi Siswa Berdasarkan hasil temuan penelitian, motivasi siswa SMP Terbuka untuk sekolah dapat dikatakan rendah. Rendahnya motivasi siswa SMP Terbuka karena dipengaruhi pula oleh persepsi mereka tentang makna pendidikan. Untuk memotivasi siswa dalam belajar bisa dari faktor internal (dari dalam siswa itu sendiri) dan faktor eksternal (dari luar diri siswa). Wahjosomudjo (1994: 174) menyatakan: Motivasi merupakan suatu proses psikologis yang mencerminkan interaksi antara sikap, kebutuhan, persepsi, dan keputusan yang terjadi pada diri seseorang. Dan motivasi sebagai proses psikologis timbul diakibatkan oleh faktor di dalam diri seseorang itu sendiri yang disebut intrinsik atau faktor di luar diri yang disebut faktor ekstrinsik. Faktor instrinsik dapat berupa cita yang menjangkau ke masa depan. Sedangkan faktor ekstrinsik dapat ditimbulkan oleh berbagai sumber, bisa pengaruh orang tua, kolega atau faktor-faktor lain yang sangat kompleks. Kenyataan di lapangan mereka bangkit dan tumbuh setelah diberi dorongan oleh orang tua, guru pamong, guru bina dan kepala sekolah. Untuk daerah tertentu, guru pamong, guru bina, dan pengelola memberikan penyuluhan terlebih dahulu kepada masyarakat, terutama calon orang tua siswa SMP terbuka. Dengan demikian, membangkitkan dan memelihara motivasi mereka memerlukan kerjasama dan kesabaran serta ketekunan dari semua pihak. Sejak akhir tahun ajaran 2002/2003, perhatian guru pamong, guru bina dan kepala sekolah serta pengelola terhadap program SMP terbuka mulai menurun, begitupun terhadap keluhan dan permasalahan yang dihadapi oleh siswa. Sikap dan perlakuan seperti itu, berdampak buruk pada stabilitas motivasi siswa. Motivasi siswa untuk belajar, secara perlahan, terus mengalami penurunan. Pada akhirnya siswa yang berpotensi putus sekolah benar-benar mengalami putus sekolah. Penurunan motivasi belajar siswa juga terlihat dari

Page 80: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

75

nilai ujian nasional yang mengalami penurunan. Berikut ini nilai ujian nasional dua tahun terakhir:

Tabel 4.3 Rata-rata Nilai Ujian Nasional SMP Terbuka Pacet

No. Mata Pelajaran Tahun Pelajaran 2006/2007 2007/2008

1. Bahasa Indonesia 6,75 6.00 2. Matematika 6,33 6,25 3. B. Inggris 6.35 6,00

Sumber : Studi Dokumentasi hasil ujian nasional 2 tahun terakhir SMP Terbuka Pacet pada Bulan Agustus 2008 1) Kondisi Sosial Ekonomi Orangtua Siswa Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa keadaan ekonomi orangtua siswa SMP Terbuka kurang bahkan tidak memadai. Pendapatan mereka tiap bulan hanya cukup untuk memenuhi keperluan pangan sehari-hari yang sederhana, jauh dari gizi yang memadai. Jika dimasukan ke dalam katagori yang dikeluarkan BKKBN, mereka termasuk keluarga pra sejahtera karena seperti ini tidak memungkinkan bagi mereka untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Program SMP Terbuka dirancang sedemikian rupa agar orangtua siswa tidak mengeluarkan biaya operasioal penyelenggaraan pendidikan seperti yang berlaku bagi siwa SMP reguler. Namun demikian, persebaran rumah siswa SMP Terbuka 1 Pacet mengharuskan orang tua mengeluarkan sejumlah Rp. 3000,- sampai Rp. 6.000,- untuk transport setiap kali anak mengikuti tatap muka di TKB. Jika siswa mengikuti tatp muka empat kali dalam setiap bulan, maka akan dibutuhkan Rp. 12.500,- sampai Rp. 25.000,- setiap bulan. Meskipun siswa diberikan modul kegiatan siswa, namun siswa tetap memerlukan alat tulis, baik buku maupun pencil dan pulpen. Untuk memenuhi kebutuhan ini pun, orang tua harus mengeluarkan sejumlah uang. Merujuk ilustrasi tersebut, sangat rasional jika lemahnya kemampuan ekonomi orang tua mempunyai pengaruh yang besar terhadap angka putus sekolah dan jumlah siswa yang rawan putus sekolah.

Page 81: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

76

2) Dukungan Orangtua Hasil penelitian para ahli, menyatakan bahwa peran paling penting dan paling efektif dari orangtua adalah menyediakan lingkungan belajar yang kondusif, sehingga siswa dapat belajar dengan baik. (Depdikbud, 1999:150). Berdasarkan hasil temuan di lapangan, meskipun dalam kondisi yang pas-pasan, orang tua dalam kapasitasnya sebagai penanggung jawab kelangsungan keluarga, telah berupaya menciptakan lingkungan yang kondusif. Meskipun diakui oleh guru bina dan guru pamong bahwa karena berada dalam segala keterbatasan, pada saat-saat tertentu harus menentukan pilihan dan akhirnya mereka memprioritaskan kebutuhan jangka pendek keluarga mereka. Dengan demikian tidak jarang pendidikan anak yang menjadi korban keadaan seperti ini dirasakan dan dialami oleh guru pamong yang setiap hari mengetahui dengan pasti frekuensi kehadiran dan penyebab ketidakhadiran siswa di TKB baik pada saat belajar kelompok dibimbing guru maupun pembelajaran tatap muka dengan guru bina. 3) Ketenagaan Berdasarkan uraian tentang ketenagaan di atas, sumber daya manusia dalam pengelolaan SMP Terbuka Pacet sangat memadai. Di SMP Negeri 1 Pacet guru berjumlah 71 orang dengan kualifikasi 67 orang berijazah S1, dan 4 orang berijazah D3. Dari 71 orang guru tersebut, 10 orang menjadi guru bina, dengan kualifikasi 10 orang berijazah S1. Beberapa orang guru bina tersebut telah membina pembelajaran di SMP Terbuka sejak tahun 1998, dengan demikian pengalaman mereka sebagai guru bina sudah cukup lama dan bisa dikatakan memadai. Selain guru bina, ada 12 orang yang bertugas sebagai guru pamong yang sehari-hari membimbing siswa belajar kelompok di TKB. Dari 12 orang, 9 orang berijazah S-1, dan 3 orang berijazah D-3. Dari 12 orang guru pamong tersebut, dua orang bekerja sebagai pegawai di Kantor Kecamatan Pacet dan yang lainnya guru SD/MI dan MTs swasta. Dengan latar belakang mereka seperti itu, guru pamong diyakini mempunyai kemampuan yang memadai untuk membimbing siswa mempelajari modul di TKB. Namun mereka belum pernah mengikuti pelatihan tentang SMP Terbuka. Melihat data tersebut di atas, SMP Terbuka Pacet dari segi sumber daya manusia tidak menemui kendala, karena dilihat dari segi kuantitas maupun kualitas sangat memadai. Sondang P. Siagian (1999 : 3) menyatakan:

Page 82: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

77

Demikian pula halnya dengan organisasi-organisasi yang bergerak di bidang pendidikan, baik yang dikelola oleh pemerintah maupun yang dimiliki, dikelola dan diselenggarakan oleh masyarakat. Mutu seluruh kegiatan pendidikan baik yang bersifat kurikuler maupun ekstra kurikuler – yang pada akhirnya mencerminkan mutu para lulusan lembaga pendidikan tersebut – pada tingkat yang sangat dominan ditentukan oleh kelompok dan admnistratif dalam organisasi pendidikan yang bersangkutan.

Disamping itu, pada ahli administrasi dan manajemen menyatakan bahwa manusia sebagai sumber daya mempunyai peranan yang sangat penting dan menentukan dalam pencapaian tujuan. Pengertian terhadap pentingnya peranan manusia dalam usaha mencapai tujuan yang telah ditentukan mengakibatkan para ahli dan sarjana memusatkan penyelidikannya dalam masalah manusia kerja ini (Sondang P Siagian, 1984 : 24 ).

4) Sarana

Para ahli menyatakan bahwa pada dasarnya sumber daya itu selalu dalam keadaan terbatas, oleh karena itu harus ditata agar sumber daya yang terbatas itu dimanfaatkan semaksimal mungkin sehingga tujuan bisa tercapai secara efektif dan efisien.

Jika memperhatikan hasil temuan penelitian seperti yang tertuang dalam tabel 4.1 di atas, keterbatasan-keterbatasan sumber daya sarana bagi SMP Terbuka Pacet telah diminimalisir oleh pemerintah. Artinya sumber daya sarana yang dibutuhkan untuk terjadinya pengelolaan SMP Terbuka yang baik dan benar, sudah disediakan minimal untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan daya dukung sarana tersebut. Namun demikian, banyak sarana yang ada tidak difungsikan dalam menunjang pembelajaran sehingga manfaatnya bagi para siswa tidak dirasakan dalam memberikan kemudahan dalam proses pembelajaran. 5) Dana Sebelum pelaksanaan otonomi daerah, biaya operasional SMP Terbuka disediakan oleh pemerintah pusat dalam bentuk anggaran pembangunan bidang pendidikan. Pada saat ini, biaya operasional berasal dari dana BOS setiap tiga bulan. Dan anggaran tersebut belum dapat menutupi kebutuhan pengelolaan SMP Terbuka. Namun demikian, ada peluang untuk mencari dana dari masyarakat sekitar yang peduli terhadap pendidikan. Keadaan itupun tergantung pada usaha dan kreativitas pengelola, pengambil kebijakan, guru bina, serta guru pamong.

Page 83: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

78

6) Kepemimpinan Kepala Sekolah/Pengelola Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala sekolah yang menyatakan bahwa: Masih tingginya tingkat putus sekolah tingkat pendidikan SMP, letak geografis Kecamatan Pacet yang sulit dijangkau oleh SMP reguler, serta masih banyaknya warga yang memberdayakan siswa usia sekolah untuk menunjang perekonomian keluarga menjadi alasan dikembangkannya SMP Terbuka. Ditambah dengan kebijakan/progam Wajar Dikdas 9 tahun. Karena itu, kita wajib membantunya dengan menyelenggarakan SMP Terbuka. Ini adalah peluang yang memungkinkan untuk mengakomodasi mereka (anak-anak tersebut) selanjutnya saya melakukan konsolidasi dengan pihak dalam yaitu guru di SMP Negeri 1 Pacet dan ternyata mereka mendukungnya. Selanjutnya saya melakukan koordinasi dengan pihak kecamatan, dinas pendidikan baik kecamatan maupun kabupaten, serta tokoh masyarakat untuk terlaksananya program ini. Pernyataan kepala sekolah di atas, merupakan modal yang sangat besar dan akan menjadi daya dorong untuk kelancaran pelaksanaan program SMP Terbuka, sebab progam SMP Terbuka ini akan menjadi bagian integral dalam kepemimpinannya. Lipham James H., et. Al (Wahjosumidjo, 2001 : 82) menyatakan: Studi keberhasilan kepala sekolah menunjukkan bahwa kepala sekolah adalah seseorang yang menentukan titik pusat dan irama suatu sekolah. Bahkan lebih jauh studi tersebut menyimpulkan bahwa “keberhasilan sekolah adalah keberhasilan kepala sekolah”. Beberapa diantara kepala sekolah dilukiskan sebagai orang yang memiliki harapan tinggi bagi para staf dan para siswa, kepala sekolah adalah mereka yang banyak mengetahui tugas-tugas mereka dan mereka yang menentukan irama bagi sekolah mereka. Banyaknya siswa di SMP Terbuka, mencerminkan kepercayaan masyarakat terhadap SMP Terbuka semakin tinggi. Sondang P. Siagian (1999 : 3) menyatakan : bahkan keberhasilan suatu organisasi sosial yang nirlaba mencapai tujuannya sangat tergantung pada kepercayaan masyarakat atas manfaat organisasi tersebut serta mutu organisasi sebagai keseluruhan yang dicerminkan oleh mutu para pemimpin dalam organisasi yang bersangkutan. Pelaksanaan fungsi kepemimpinan kepala seklah di SMP Terbuka Pacet adalah sebagai berikut:

Page 84: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

79

1) Selaku Penentu Arah Kepala sekolah seharusnya mengenali dengan seksama apa yang sedang terjadi di sekolah yang ia pimpin, baru membuat keputusan. Frank W Banghart dan Albert Trull, Jr (1973:3) menyampaikan bahwa langkah awal yang harus dilakukan dalam menyusun suatu rencana adalah defining the educational planning problem : (1) delineating the scope of educational problem, (2) studying “what has been” (3) determining “what is”” versus “ what should be “, (4) resources and constraints (5) establishing educational planning parts and priorities. Dalam menyusun suatu perencanaan pendidikan harus dipertimbangkan masalah-masalah berikut: (1) menggambarkan bidang kajian pendidikan (2) mengkaji “apa yang telah dilakukan”, (3) menentukan “apa yang ada” versus “apa yang seharusnya ada”, (4) mengidentifikasi sumber daya dan bidang kajian, (5) menyusun bagian dan prioritas perencanaan pendidikan. Pertimbangan-pertimbangan dalam langkah-langkah tersebut sangat penting mengingat perencanaan pada dasarnya adalah pembuatan keputusan-keputusan dalam rangka mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan. Jika kepala sekolah melakukan apa yang disampaikan oleh Banghart, maka SMP Terbuka 1 pacet akan tetap pada eksistensinya bahkan bisa lebih maju dari sebelumnya. Hal tersebut sangat dimungkinkan mengingat potensi intern dan peluang yang tercipta dan diberikan oleh pemerintah pusat maupun daerah semakin terbuka.

2) Wakil, Juru Bicara, dan Komunikator

Dalam kerangka otonomi pengelolaan pendidikan dimana diupayakan semaksimal mungkin pemberdayaan masyarakat dalam membantu mengatasi permasalahan yang dihadapi sekolah. Optimalisasi fungsi Dewan sekolah dalam konteks School Based Management adalah peluang yang nyata. Termanfaatkan atau tidaknya peluang yang ada, sangat bergantung pada kemampuan dan kemauan Kepala Sekolah menjalankan fungsi wakil, juru bicara dan komunikator bagi sekolah.

7) Proses Belajar Mengajar Proses belajar mengajar dilakukan di TKB dengan frekuensi 14 kali dalam sebulan. Pembelajaran tatap muka dengan guru bina tidak dilakukan di SMP Induk karena terbentur biaya transportasi, karena itu kepala sekolah membuat

Page 85: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

80

kebijakan melakukan sistem guru kunjung, artinya guru bina yang datang ke TKB untuk melakukan kegiatan tatap muka. Berdasarkan wawancara dengan beberapa siswa, siswa merasa senang belajar dengan guru bina. 8) Dukungan Masyarakat dan Tim Koordinasi Dukungan masyarakat seperti itu sesuai dengan peraturan Pemerintah No. 39 tahun 1992, yaitu : Pada pasal 3, Peran serta masyarakat bertujuan mendayagunakan kemampuan yang ada pada masyarakat bagi pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pasal 4, peran serta masyarakat dapat berbentuk :

a. Pendirian dan penyelenggaraan satuan pendidikan pada jalur pendidikan sekolah atau jalur pendidikan luar sekolah, pada semua jenis pendidikan kecuali pendidikan kedinasan, dan pada semua jenjang pendidikan di jalur pendidikan sekolah.

b. Pengadaan dan pemberian bantuan tenaga kependidikan untuk melaksanakan atau membantu melaksanakan pengajaran, pembimbingan dan/atau pelatihan peserta didik.

c. Pengadaan dan pemberian tenaga ahli untuk membantu pelaksanaan atau membantu pelaksanaan kegiatan belajar mengajar dan/atau penelitian dan pengembangan.

d. Pengadaan dan/atau penyelenggaraan program pendidikan yang belum diadakan dan/atau diselenggarakan oleh pemerintah untuk menunjang pendidikan nasional.

e. Pengadaan dana dan pemberian bantuan yang dapat berupa wakaf , hibah, sumbangan, pinjaman, beasiswa, dan bentuk lain yang sejenis.

f. Pengadaan dan pemberian bantuan ruangan, gedung, dan tanah untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar.

g. Pengadaan dan pemberian bantuan buku pelajaran dan peralatan pendidikan untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar

h. Pemberian kesempatan untuk magang dan atau latihan kerja. i. Pemberian bantuan manajemen bagi penyelenggaraan satuan

pendidikan dan pengembangan pendidikan nasional. j. Pemberian pemikiran dan pertimbangan berkenaan dengan penentuan

kebijaksanaan dan/atau penyelenggaraan pengembangan pendidikan. Dukungan masyarakat tersebut akan tercipta jika masyarakat menaruh kepercayaan kepada SMP Terbuka. Sondang P Siagian (1999 :3) menyatakan, kepercayaan masyarakat atas mutu itulah yang menyebabkan mereka secara ikhlas memberikan dukungan dan bantuan yang diperlukan, misalnya berupa

Page 86: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

81

dana. Tanpa kepercayaan demikian, sukar mengharapkan keikhlasan masyarakat memberikan dukungan dan bantuan yang diperlukan yang pada gilirannya akan mengakibatkan organisasi tersebut menghadapi berbagai jenis kesulitan dalam menyelenggarakan kegiatannya. Tim koordinasi sebagai satuan tugas yang berkewajiban mengkoordinasikan pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, tidak bisa berbuat banyak. Keberadaanya sebagai suatu tim tidak memberikan kontribusi yang signifikan terhadap upaya yang sungguh-sungguh untuk mensukseskan wajib belajar pendidikan dasar pada umumnya dan SMP Terbuka pada khususnya. Keberhasilan SMP Terbuka Pacet lebih disebabkan oleh aktifnya jajaran SMP Terbuka Pacet melakukan koordinasi dengan berbagai pihak. Jika pihak SMP Terbuka tidak jemput bola bahkan melempar stimulus, jajaran Tim Koordinasi tidak akan terlibat dengan aktivitas SMP Terbuka. Analisis SWOT Faktor Internal Faktor internal dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu kekuatan dan kelemahan yang diyakini mempunyai signifikansi yang tinggi terhadap tercapai atau tidaknya tujuan program SMP Terbuka Pacet. Faktor tersebut akan diuraikan seperti paparan berikut ini. (1) Kekuatan

(a) Sumber daya manusia Sumber daya manusia terdiri atas tenaga pendidik (guru) dan tenaga administrasi yang memadai. Berdasarkan data yang diperoleh per 1 Agustus 2008, guru di SMP Negeri 1 Pacet berjumlah 71 orang dengan kualifikasi 67 orang berijazah S1, dan 4 orang berijazah D3. Dari 71 orang guru tersebut, 10 orang menjadi guru bina, dengan kualifikasi 10 orang berijazah S1. Beberapa orang guru bina tersebut telah membina pembelajaran di SMP Terbuka sejak tahun 1998, dengan demikian pengalaman mereka sebagai guru bina sudah cukup lama dan bisa dikatakan memadai. Selain guru bina, ada 12 orang yang bertugas sebagai guru pamong yang sehari-hari membimbing siswa belajar kelompok di TKB. Dari 12 orang, 9 orang berijazah S-1, dan 3 orang berijazah D-3. Dari 12 orang guru pamong tersebut, dua orang bekerja sebagai pegawai di Kantor Kecamatan Pacet dan yang lainnya guru SD/MI dan MTs swasta. Dengan latar belakang mereka seperti itu, guru pamong diyakini mempunyai kemampuan yang memadai untuk membimbing siswa mempelajari modul di TKB.

Page 87: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

82

(b) Sarana Sarana belajar yang terdapat di SMP Terbuka Pacet sebagai berikut:

Tabel 4.4

Sarana Belajar SMP Terbuka Pacet

No. Nama Barang Keterangan 1. 2. 3. 4. 5.

Modul (kegiatan siswa, petunjuk untuk guru, tes akhir modul, dan kunci jawaban tes akhir modul) Perpustakaan Laboratorium (Fisika dan Biologi) Ruang kelas untuk tatap muka Tempat kegiatan belajar

Lengkap, terdapat di TKB dan SMP Induk, bila di TKB kurang, guru pamong meminta ke pengelola di SMP Induk Di SMP Induk Di SMP Induk Di SMP Induk Di sekitar tempat tinggal siswa.

Sumber : Hasil Observasi di SMP Induk dan TKB pada Bulan Agustus 2008. Kelemahan Faktor kesejahteraan merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan tugas. Faktor kesejahteraan guru baik guru bina maupun guru pamong belum memadai, artinya honor yang diberikan belum sebanding dengan pelaksanaan tugas mereka. Disamping itu, kondisi sosial ekonomi orang tua siswa yang tidak mendukung dan terus memburuk (seiring dengan harga kebutuhan pokok dan harga BBM yang terus melonjak naik), mengakibatkan angka rawan putus sekolah terus meningkat Faktor Eksternal Analisis faktor eksternal dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor peluang dan ancaman yang akan dipaparkan pada uraian berikut ini: (a) Peluang

1) Masyarakat di sekitar wilayah Kecamatan Pacet masih sangat memerlukan kehadiran program SMP Terbuka di SMP Negeri 1 pacet.

2) Beberapa tempat seperti sekolah dasar yang selama ini dijadikan lokasi tempat kegiatan belajar masih tetap membuka kesempatan untuk diaktifkan kembali dan sarana belajar berupa modul masih tersimpan di TKB.

3) Anggaran operasional SMP Terbuka diberikan oleh Pemerintah Pusat berupa dana BOS.

Page 88: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

83

4) Pucuk pimpinan Dinas Pendidikan Kabupaten Bandung yang bertangung jawab atas pendidikan di Kabupaten Bandung termasuk didalamnya program SMP Terbuka.

(b) Ancaman 1) Kekecewaan tokoh masyarakat terutama di lokasi TKB-TKB yang

selama ini memperjuangkan SMP Terbuka, dikhawatirkan tidak akan mendukung karena merasa dikecewakan serta dipermalukan di depan masyarakatnya.

2) Kekecewaan orang tua siswa yang selama ini menyekolahkan siswa ke SMP Terbuka, mungkin akan menyebarkan isu tentang ketidakjelasan program SMP Terbuka.

3) Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tidak kunjung membaik, akan merasa terbebani cukup berat ketika siswa memerlukan biaya transportasi untuk mengikuti kegiatan tatap muka di SMP Induk.

4) Jarak yang cukup jauh antara tempat tinggal siswa dan TKB terhadap SMP Induk tempat mereka melakukan tatap muka. Jarak yang jauh berdampak pada biaya transportasi dan keberanian siswa.

Faktor Penghambat Penghambat muncul dari faktor internal berupa kelemahan dan dari faktor eksternal berupa ancaman. Faktor tersebut antara lain:

(a) Faktor kesejahteraan merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan tugas. Faktor kesejahteraan guru baik guru bina maupun guru pamong belum memadai, artinya honor yang diberikan belum sebanding dengan pelaksanaan tugas mereka.

(b) Kondisi sosial ekonomi orang tua siswa yang tidak mendukung dan terus memburuk, mengakibatkan angka rawan putus sekolah terus meningkat

(c) Kekecewaan tokoh masyarakat terutama di lokasi TKB-TKB yang selama ini memperjuangkan SMP Terbuka, dikhawatirkan tidak akan mendukungnya karena kecewa dan merasa dipermalukan di depan masyarakat.

(d) Kekecewaan orang tua siswa yang selama ini menyekolahkan anaknya di SMP Terbuka, mungkin akan menyebarkan isu tentang ketidakjelasan progam SMP Terbuka

(e) Jarak yang cukup jauh antara tempat tinggal siswa dengan TKB dan atau SMP induk tempat mereka melakukan tatap muka.

Page 89: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

84

Alternatif Strategi Pemecahan Untuk menentukan strategi dalam pemecahan masalah, akan disajikan dalam bentuk tabel berikut ini:

Kekuatan Pendorong Strategi

1. Tersedia guru bina dan guru pamong yang memadai

Beri dukungan moral dan tangung jawab secara yuridis.

2. Tersedia sarana dan prasarana yang memadai

Manfaatkan dengan maksimal

3. Tingginya pemahaman masyarakat tentang pentingnya SMP Terbuka

Pelihara dengan komitmen dan konsistensi dalam mengelola SMP Terbuka

4. Tersedia SD dan TK untuk dijadikan TKB Manfaatkan dengan pengelolaan yang maksimal 5. Tersedia anggaran SMP Terbuka

(berupa dana BOS) Manfaatkan dengan akuntabilitas dan tranparansi yang tinggi

No. Kekuatan Penghambat Strategi 1. Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang

tidak kunjung membaik Cari donator untuk memberi beasiswa siswa SMP Terbuka

2. Kekecewaan tokoh masyarakat Berikan penyuluhan kembali, konsisten dalam komitmen

3. Kekecewaan orang tua siswa Berikan penyuluhan kembali, konsisten dalam komitmen

4. Jarak yang jauh ke SMP induk Carikan beasiswa untuk membantu biaya transportasi

Upaya Penanggulangan Sesuai dengan tujuan penelitian dan peta persebaran faktor internal dan eksternal serta alternatif strategi, berikut ini beberapa alternatif upaya penanggulangan yang harus diakukan oleh masing-masing pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung, tapi mempunyai pengaruh yang cukup tinggi terhadap penanggulangan angka putus sekolah siswa SMP Terbuka Pacet. (1) Tim Koordinasi Sejalan dengan jiwa otonomi daerah, pemerintah daerah bersama dinas, badan dan lembaga di daerah mempunyai kewenangan untuk melaksanakan dan mengurus bidangnya masing-masing termasuk bidang pendidikan, kecuali beberapa hal termasuk pengendalian mutu masih tetap kewenangan pemerintah pusat. Tim koordinasi wajar dikdas 9 tahun yang telah dibentuk

Page 90: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

85

sejak perintisan pelaksanaan wajar dikdas, diharapkan mampu menjalankan fungsi koordinatif lintas departemen agar wajar dikdas sukses. (2) Kepala Sekolah Kepala Sekolah agar segera menyadari bahwa sekolah adalah sebagai ujung tombak dan merupakan kepanjangan tangan pemerintah yang bertanggung jawab menyelenggarakan pendidikan. Oleh karena itu wajib mensukseskan program-program yang sifatnya nasional yang telah dicanangkan oleh pemerintah, salah satunya adalah program SMP Terbuka. Demi suksesnya program SMP Terbuka kepala sekolah harus mengambil keputusan yang tepat dan konsisten menjalankan fungsi kepimpinannya yaitu sebagai penentu arah yang akan ditempuh dalam usaha pencapaian tujuan, wakil dan juru bicara organisasi dalam hubungannya dengan pihak luar organisasi, sebagai komunikator, sebagai mediator ke dalam terutama dalam menangani situasi konflik, sebagai integrator yang efektif, rasional objektif serta netral. (3) Guru Guru sebagai pelaksana utama pengelolaan SMP Terbuka mempunyai porsi yang paling besar menangani SMP Terbuka, karena setiap hari guru berinteraksi dengan siswa terutama guru pamong. Meskipun demikian, guru bina dengan pengalamannya menangani anak-anak usia SMP, dukungannya sangat dibutuhkan. Dalam upaya menanggulangi siswa putus sekolah yang tinggi, guru dituntut untuk kembali melakukan upaya persuasif yang kontinyu dan berkesinambungan. Upaya persuasif tidak hanya dilakukan terhadap siswa, namun juga terhadap keluarga dan akan sangat membantu apabila guru mengetahui lebih dalam kondisi kehidupan keluarganya. Disamping upaya persuasif, guru juga harus aktif mencari donatur baik ke lembaga, maupun perorangan. Dana yang terkumpul diberikan kepada siswa yang benar - benar mengalami kesulitan dalam menyediakan ongkos untuk kegiatan tatap muka di SMP induk. Lebih dari itu untuk memelihara kepercayaan masyarakat dan siswa terhadap SMP Terbuka , mereka yang lulus kelas IX dan berminat melanjutkan ke SMA, diberikan beasiswa terutama bantuan transport. (4) Masyarakat Masyarakat sebagai salah satu pihak yang ikut bertanggung jawab terhadap pendidikan, partisipasinya dalam membantu pembiayaan dan menciptakan situasi dan yang kondusif sangat dibutuhkan. Partisipasi yang nyata berupa pemberian beasiswa kepada siswa SMP Terbuka sangat membantu mencegah

Page 91: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

86

angka putus sekolah yang tinggi. Selain itu, bergotong royong memelihara Tempat Kegiatan Belajar dan menjaga fasilitas belajar siswa agar siswa SMP Terbuka bisa belajar dengan nyaman merupakan wujud nyata upaya menciptakan situasi yang kondusif.

(5) Orang Tua

Salah satu kewajiban dan tanggung jawab orangtua terhadap anaknya adalah memberikan bekal pendidikan yang cukup. Peran serta secara aktif yang dilakukan di lingkungan keluarga, terutama adalah memberikan motivasi dan menciptakan suasana yang mendukung belajar bagi anak. Perhatian terhadap aktivitas anak dalam konteks pendidikan, diyakini akan memberikan dampak positif terhadap pemeliharaan dan peningkatan motivasi belajar untuk anak. Oleh karena itu mengingatkan anak mengenai tugas, waktu belajar di TKB dan induk, memberikan kesempatan khusus bagi anak belajar mandiri, adalah upaya-upaya positif menciptakan suasana rumah dan keluarga yang kondusif bagi anak untuk belajar. Disamping itu, kesediaan orangtua untuk terbuka dan bekerja sama dengan para pengelola SMP Terbuka, Tim Koordinasi Wajar Diknas, Aparat Desa dan Kecamatan Pacet merupakan modal yang amat berharga.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat ditarik beberapa kesimpulan. Keadaan geografis yang dihadapi oleh siswa SMP Terbuka Pacet untuk melakukan pembelajaran di Tempat Kegiatan Belajar (TKB) yang relatif jauh menyebabkan siswa malas untuk melakukan proses belajar di TKB. Sehingga menyebabkan angka ketidakhadiran siswa di TKB hanya rata-rata 40% - 90% per bulan. Pencapaian angka kahadiran 90% sangat jarang terjadi. Keadaan ini bila dibiarkan berlarut-larut akan berpotensi anak mengalami putus sekolah. Dengan keadaan geografis yang relatif jauh dan merupakan daerah pegunungan, juga masih agak terpencil, keadaan medan yang harus ditempuh untuk kegiatan pembelajaran tidak berpengaruh kepada motivasi siswa baik laki-laki maupun perempuan. Meskipun keadaan geografis yang dihadapi relatif sama tidak mempengaruhi siswa baik laki-laki maupun perempuan untuk terus melanjutkan sekolah sampai lulus.

Motivasi siswa pun mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tingginya angka putus sekolah dan rawan putus sekolah. Pada dasarnya, motivasi siswa SMP terbuka untuk bersekolah tidak sekuat motivasi siswa SMP reguler. Oleh karena itu perlu usaha yang sungguh-sungguh baik dari pengelola SMP Terbuka dan guru maupun orangtua untuk membangiktkan dan memelihara motivasinya belajar dengan sungguh-sungguh di SMP Terbuka.

Page 92: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

87

Siswa SMP Terbuka pada umumnya berasal dari keluarga yang secara ekonomi tidak beruntung atau ekonomi lemah, pendapatan mereka tidak cukup bahkan untuk kebutuhan sehari-hari. Sehingga jika ongkos untuk ke TKB tidak ada, mereka tidak masuk sekolah. Jika keadaan ini berlangsung dalam kurun waktu yang relatif lama, siswa cenderung meninggalkan sekolah. Disamping itu, siswa harus membantu orangtua mencari nafkah dengan memelihara ternak dan membantu kegiatan buruh tani orangtua. Orangtua mendukung pendidikan anaknya dilihat dari pemberian motivasi kepada anaknya untuk sekolah cukup besar. Namun karena keterbatasan pengetahuan tentang makna pendidikan, maka orangtua beranggapan bahwa hasil dari pendidikan (sekolah) harus segera dirasakan terutama secara ekonomis. Dilihat dari tenaga pendidik baik guru bina maupun guru pamong secara kuantitas dan kualitas di SMP Terbuka Pacet ini sangat memadai. 10 orang guru bina dan mereka berijazah S1 cukup mempunyai kapabilitas untuk mendukung program pembelajaran di SMP Terbuka Pacet. Dari 12 orang guru pamong yang membimbing siswa di TKB mempunyai kualifikasi pendidikan S1 sekitar 75% dan kualifikasi pendidikan D3 ada 25%. Sarana dan prasarana yang ada untuk mendukung pembelajaran di SMP Terbuka cukup tersedia, baik di TKB maupun di SMP Induk. Namun pemanfaatannya kurang optimal. Untuk mendukung proses pembelajaran supaya menyenangkan dan tidak membosankan, harus diupayakan pemanfaatan sarana dan prasarana yang ada secara optimal. Agar siswa merasa senang bila belajar di SMP Terbuka. Secara formal, kepala SMP Terbuka adalah Kepala SMP Induk. Namun dalam melaksanakan tugasnya, kepala SMP Induk memberikan mandat (memberikan tugas) kepada salah seorang guru senior (yang juga merupakan guru bina) untuk pengelolaan SMP Terbuka tersebut. Upaya untuk mewujudkan tujuan SMP Terbuka dilakukan dengan cara konsolidasi dengan guru bina, dan koordinasi dengan berbagai pihak. Pengelolaan SMP Terbuka dimulai dengan penerimaan siswa baru pada bulan Agustus sampai September, penyusunan program, pembagian tugas, pelaksanaan pembelajaran, penanganan siswa bermasalah, dan penilaian hasil belajar. Tim Koordinasi Wajar Dikdas Kecamatan tidak mampu memberikan kontribusi yang optimal terhadap pengelolaan SMP Terbuka Pacet pada umumnya dan pencegahan putus sekolah pada khususnya.

Page 93: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

88

DAFTAR PUSTAKA Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1999. Panduan Manajemen Sekolah.

Jakarta : Depdikbud, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan Menengah Umum.

Depdiknas.Ikhtisar Data Pendidikan Nasional Tahun 2005/2006. 2006 .Jakarta :

Depdiknas. ( www.depdiknas.go.id ) ________. 2004.25 Tahun SMP Terbuka. Jakarta : Depdiknas. ________. 2004.SMP Terbuka Selayang Pandang. Jakarta : Depdiknas. Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat. 2003. Buku Panduan Pengembangan

SMP Terbuka. Bandung : Kegiatan Pembinaan SLTP Terbuka. Engkoswara. 1987. Dasar-dasar Administrasi Pendidikan. Jakarta : Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.

Kartono, Kartini. 1998. Pemimpin dan Kepemimpinan, Apakah Pemimpin

Abnormal Itu. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Makmun, Abin Syamsudin. 2000. “Analisis Posisi Sistem Pendidikan”, Jakarta,

Materi Pelatihan Tenaga Perencana Pendidikan, Biro Perencanaan Departemen Pendidikan Nasional.

Miarso, Yusufhadi. 2004. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta :

Kencana. Moleong, Lexy J. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja

Rosda Karya. Mulyana, Ris. R. 2007. Pelaksanaan Belajar Jarak Jauh SMP Terbuka (Studi

Kasus Implementasi Kurikulum SMP Terbuka di Plumbon Jawa Barat. Jurnal Mimbar Pendidikan No. 2 Tahun XXVI.

Muhadjir, N. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta : Rake Sarasin. Nawawi, H. 1984. Administrasi Pendidikan. Jakarta : Gunung Agung.

Page 94: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

89

MANAJEMEN GURU DALAM PENUNTASAN WAJIB BELAJAR PENDIDIKAN DASAR

Strategi Manajemen Guru Berorientasi Pemerataan Akses dan Peningkatan Mutu Pendidikan Dasar di Kabupaten Kuningan

oleh :

Dr. H.Kuswandy Achmad Marfu, M.Pd. Dosen PS-PLS STKIP Siliwangi Bandung

Abstract :

The efforts to accelerate finishing the compulsory of basic education in Kuningan Regency - one of the regencies located in West Java Province - related to three important aspects. First, the compulsory of basic education including equality and equity. Second, to finish the compulsory of basic education requires good commitment of the Regency especially in developing strategic management based on the existing conditions. Third, to finish the compulsory of education requires comprehensive efforts including the improvement of the role of the teachers in field of basic education itself. The improvement itself should cover : (1) all of the teachers in basic education field; (2) the understanding of the minimum academic qualification of teachers based on the Law of Teacher and Lecturer and the governmental rules especially the Standards of National Education. Based on the issue and identification, the writer focuses the study on “How to develop the management of teachers in basic education field is able to finish the Program of the Nine Year Compulsory Basic Education in Kuningan Regency?” This study uses the qualitative approach, by gathering information through interview, observation, and documentary study. The validity of the data is tested by member check, triangulation, and audit trail; then analyzed by analysis techniques. The findings of the study are as follow. First, the content of vision of The Education Board as the main reference in finishing the basic education program reflects the commitment of the political will which has competitive value. Second, the program of finishing the basic education in Kuningan Regency is effective enough based on the achievements of the attainment effects of education in the form of “ Gross Enrollment Rate (GER)/Angka Partisipasi Kasar (APK),Net Enrollment Rate (NER)/Angka Partisipasi Murni (APM), drop out and “School Enrollment Rate (SER)/Angka Mengulang”. Third, the management of teachers in the field of basic education has good impacts. This is withdrawn based on : 1) the additional number of the teachers appointed to be civil servant (Pegawai Negeri Sipil); 2) the additional number

Page 95: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

90

of the teacher whose educational background are suitable with the subject matter they teach, this is the result of special program like special training for teachers or giving scholarship to the teachers who are attending further education. Fourth, the program of finishing basic education and the management of the teachers has significant effect to the quality of basic education in Kuningan Regency. This proved by achieving 98.72 of the efficiency of education for elementary school; 97.33 for junior high school. The achievement effect proved by the graduate number reaches 97.44% for MTs and 97.22% for Junior High School (SMP). Fifth, the hypothetic model of the management of the teachers in the basic education field has significant effect to the quality of basic education in Kuningan Regency. This covers the components of vision, comprehensive planning, the competence of the superintendent in the basic education field, the competence of teachers in the basic education field. All of the components focused on the accessibility and the quality of the ongoing of the basic education. This study recommends that the development of the academic qualification and the competence of the teacher in the basic education field will give good significant to the service of basic education for the society. The competence itself refers to the competences based on the laws and rules, besides, considered on the geographical, economic, social, cultural, technical factors. The Alternative of strategy proposed in this study, needs to be followed up in implementation stage, in order to recover the strengths and weaknesses. Therefore, the studies on the management of the teacher in the basic education field is still available.

I. MASALAH Manajemen guru pendidikan dasar dalam kerangka penuntasan Wajar Dikdas Sembilan Tahun memerlukan upaya komprehensif. Salah satu ciri krisis pendidikan di Indonesia: guru belum mampu menunjukkan kinerja (work performance) yang memadai (Danim, 2006). Hasil survei kualifikasi pendidikan guru (Depdiknas, 2004) menginformasikan bahwa: (1) Guru SD, SDLB dan Ml yang berpendidikan Diploma-2 ke atas adalah 61,4 %. Hal itu berarti bahwa guru SD, SDLB dan Ml yang tidak memenuhi kualifikasi sejumlah 38,6%; (2) Guru SMP dan MTs yang berpendidikan Diploma-3 ke atas adalah 75,1%, artinya guru SMP dan MTs yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan sebesar 24,9%.

Page 96: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

91

Selanjutnya, hasil uji kompetensi guru (Direktorat Tenaga Kependidikan, 2004) terhadap 29.238 guru SD secara nasional, menunjukkan bahwa rerata tingkat penguasaan guru atas substansi materi uji kompetensi profesional masih rendah, yaitu (1) Bahasa Indonesia 36,67%; (2) IPS 36,47%; (3) IPA 33,87%; (4) Pembelajaran dan Wawasan Kependidikan 38,26%. Sebelum itu, Direktorat Tenaga Kependidikan (2003) mempertelakan pula masih banyaknya guru sekolah menengah yang mismatch, yaitu: SMP 31.821 guru; SMA 17.663 guru; dan SMK 10.543 guru. Dilihat dari segi manajemen guru, upaya komprehensif itu berkenaan dengan optimalisasi peran guru pendidikan dasar, yang secara operasional meliputi tiga dimensi. Pertama, pemerataan pengadaan guru yang menjangkau satuan-satuan pendidikan formal dan nonformal, mengingat peran mereka berhubungan langsung dengan peserta didik dan warga belajar Dikdas Sembilan Tahun. Kedua, pemenuhan tuntutan kualifikasi dan kompetensi guru sebagaimana yang dituangkan dalam UU Guru dan Dosen serta Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan. Ketiga, kesepadanan bidang studi, dalam arti meniadakan atau mengurangi guru missmatch di pendidikan dasar. Kuningan sebagai salah satu kabupaten di wilayah Provinsi Jawa Barat tidak luput dari kewajiban menuntaskan program Wajar Dikdas Sembilan Tahun. Di dalam kerangka kebijakan otonomi daerah dan otonomi penyelenggaraan pendidikan, penuntasan Wajar Dikdas Sembilan Tahun di Kabupaten Kuningan pun dihadapkan dengan permasalahan di atas. Rendahnya mutu guru dan tenaga kependidikan merupakan salah satu masalah yang menandai kondisi pendidikan di Kabupaten Kuningan. Kondisi sebagian besar guru: (1) kurang memiliki bekal pengetahuan (didaktik, metodik, materi) dan kreativitas dalam pembelajaran; (2) belum mendapat penghargaan yang berupa insentif yang layak; (3) belum mendapat perlindungan profesi yang memadai; dan (4) belum mendapat peluang karir yang mendorong motivasi berprestasi. Dalam konstelasi permasalahan aktual, tuntutan, dan pilihan kebijakan itulah Pemerintah Kabupaten Kuningan menjalankan manajemen guru pendidikan dasar. Bertolak dari isu dan identifikasi tersebut dapat dirumuskan pokok masalah penelitian: Bagaimanakah manajemen guru pendidikan dasar untuk mendukung percepatan Program Penuntasan Wajar Dikdas Sembilan Tahun di Kabupaten Kuningan? Pokok masalah penelitian ini lebih lanjut difokuskan ke dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:

Page 97: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

92

1. Bagaimanakah rencana strategik pendidikan sebagai rujukan kebijakan penuntasan Wajar Dikdas dan manajemen guru pendidikan dasar di Kabupaten Kuningan?

2. Bagaimanakah implementasi kebijakan penuntasan Wajar Dikdas Sembilan Tahun di Kabupaten Kuningan?

3. Bagaimana manajemen guru pendidikan dasar di Kabupaten Kuningan, terutama dari segi pemerataan pengadaan, pemenuhan kualifikasi, dan kesepadanan latar belakang akademik dengan bidang studi yang diajarkan oleh guru?

4. Bagaimanakah dampak manajemen guru pendidikan dasar terhadap penuntasan Wajar Dikdas di Kabupaten Kuningan, terutama dari segi angka efisiensi edukasi?

5. Bagaimanakah konsep strategi manajemen guru yang mengakomodasi tuntutan pemerataan akses dan mutu pendidikan dasar di Kabupaten Kuningan?

KEBIJAKAN

PENDIDIKAN

KO N D IS I

ID EAL

KONDISI

AKTUAL

GAPFO KU S

P EN ELITIAN

TELAAH

KONSEP

TEORETIK

KOMPARASI

EMPIRIKAL

ANALISIS

MASALAH

• Renstra

sebagai

Rujukan

Kebijakan

Wajar Dikdas

dan

Manajemen

Guru Dikdas

• Kebijakan

Penuntasan

Wajar Dikdas

• Manajemen

Guru Dikdas

• Dampak

Manajemen

Guru terhadap

Akses dan

Mutu Dikdas

S TRATEG I

ALTERN ATIF

M AN AJEM EN

G U R U

D IKD AS

U M P AN B ALIK

VISI

PENDIDIKAN

NASIONAL

KONSEP

STRATEGI

Gambar 1 Kerangka Fikir Penelitian

Page 98: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

93

II. TEORI DAN PENELITIAN TERDAHULU Pokok masalah dan pertanyaan penelitian ini dijelaskan secara teoretik dalam konteks kajian administrasi pendidikan. Teori dan konsep yang dibangun meliputi: Manajemen SDM dan Peranannya dalam Organisasi; Fungsi, Tujuan, dan Aktivitas Manajemen SDM; Posisi Guru Pendidikan Dasar dalam Kategorisasi Tenaga Kependidikan; Wajib Belajar Pendidikan Dasar; Penyelenggaraan Wajar Dikdas dalam Kerangka Kebijakan Otonomi Daerah; Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Wajar Dikdas; Mutu Pendidikan Dasar; Manajemen Guru dalam Kerangka Penuntasan Wajib Belajar. Selain itu dikomparasi pula dengan hasil-hasil penelitian terdahulu (Pidarta,1980; Undap, 1988; Satori, 1989; Duke dan Canady, 1991; Kasmianto, 1997; Danim, 1998; Wasliman, 1999; Somantri, 1999). Hasil kajian pustaka dan review terhadap penelitian terdahulu dapat disarikan bahwa: (1) Manajemen tenaga kependidikan adalah bagian dari system adminsitrasi

pendidikan yang meliputi pendidikan pra jabatan, rekruitmen, placemen, rotasi, mutasi, pengembangan profesionalisme.

(2) Pengembangan profesionalisme tenaga kependidikan adalah bagian dari manajemen tenaga kependidikan yang juga merupakan garapan administrasi pendidikan.

(3) Organisasi pengelola pendidikan merupakan organisasi dengan keunikan tersendiri, karena di dalamnya terdapat kelompok professional yang memiliki ciri dan watak tersendiri. Karena itu pendekatan birokrat pendidikan haruslah berbeda dengan birokrat umumnya, di mana suasana organisasinya harus yang terbebas dari unsur paternalistik, primordial dan kaku. Organisasi pendidikan harus dikelola oleh pemimpin yang memahami dan menghayati profesiolisme tenaga kependidikan.

(4) SDM tenaga kependidikan memiliki keunikan dibanding sumberdaya lainnya, di samping memiliki pungsi sejajar dengan komponen organisasi, SDM menjadi sangat penting disebabkan fungsi lainnya sebagai komponen yang mengatur jalannya roda organisasi menjadi dinamis.

(5) Pengembangan SDM dapat dilakukan melalui orientasi, pendidikan dan pelatihan ataupun pengembangan manajemen. Pendidikan yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi adalah salah satu sasaran pengembangan sebagai bentuk proporsional secara akademis mampu meningkatkan kompetensi profesional. Model tugas belajar dan ijin belajar merupakan alternatif kebijakan pengembangan yang bisa ditawarkan.

(6) Otonomi daerah memberikan peluang melaksanakan pendidikan, termasuk mengembangkan profesionalisme/kualifikasi tenaga kependidikan secara profesional sesuai dengan kebutuhan daerah. Untuk

Page 99: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

94

kepentingan ini dibutuhkan komitmen pihak-pihak terkait untuk melaksanakan kebijakan pengembangan tenaga kependidikan sebagai prioritas utama.

(7) Dari sejumlah model konseptual manajemen SDM tenaga kependidikan, akan memberikan masukan berarti dalam menemukan model yang ideal bagi profesionalisasi tenaga kependidikan.

(8) Profesionalisasi tenaga kependidikan harus dimulai sejak mahasiswa calon tenaga kependidikan berada di semester awal di LPTK. Materi perkuliahan hendaknya terdapat keseimbangan antara perkulihan teori dengan pengalaman praktek mengajar.

(9) Bentuk layanan profesional yang terbukti memberikan pengaruh pada peningkatan mutu pendidikan adalah dengan melakukan suverpisi pada proses belajar mengajar yang berlangsung di kelas dapat dilakukan melalui wadah-wadah guru, kepala sekolah atau penagawas sekolah/pengawas mata pelajaran. Supervisi harus dilakukan secara wajar dalam suasana kesejawatan profesi, bukan hubungan birokratik atas bawah yang cenderung kaku dan administratif formal.

(10) Sekolah harus diberikan kesempatan untuk menentukan kebutuhan program pengembangan profesional bagi tenaga pendidiknya, agar segala upaya peningkatan profesionalisme bermanfaat bagi sekolah dan hasil dari program dapat dimonitor oleh Kepala Sekolah. Otonomi sekolah dalam berbagai hal akan berpengaruh pada profesionalisme tenaga kependidikan dan kualitas sekolah secara umum.

(11) Masih terdapat keanekaragaman status guru pada suatu lembaga pendidikan, padahal fungsi tenaga pendidik di depan kelas adalah melakukan proses interaksi edukatif. Perbedaan status berpengaruh pada motivasi, loyalitas dan dedikasi tenaga pendidik, karena perbedaan status juga menentukan besar kecilnya gaji seorang guru pendidik. Gaji memberikan pengaruh kuat pada dedikasi, motivasi dan loyalitas tenaga kependidikan.

(12) Profesi tenaga kependidikan belum diatur secara kuat dibandingkan dengan jenis profesi lainnya. Wadah atau organisasi profesi tanaga kependidikan perlu meningkatkan kualitas gerakannya menuju kokohnya profesi tenaga kependidikan.

(13) Manajemen SDM guru harus berorientasi dan berbasis pada kepemilikan kompetensi kependidikan/keguruan. Pemenuhan kepemilikan kompetensi keguruan bagi tenaga kependidikan akan menentukan tampilan mutu lembaga pendidikan. Strategi manajemen guru berbasis kompetensi merupakan bentuk yang paling baik untuk perwujudan otonomi pendidikan di era otonomi daerah.

Page 100: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

95

III. TEMUAN PENELITIAN

1. Kebijakan manajemen guru pendidikan dasar tidak terpisahkan dari program penuntasan wajar dikdas di Kabupaten Kuningan. Kebijakan tersebut merujuk kepada Renstra kelembagaan Dinas Pendidikan Kabupaten Kuningan. Substansi Renstra Dinas Pendidikan Kabupaten Kuningan mencerminkan kehendak menyelenggarakan pendidikan yang memiliki keunggulan bersaing, dan karenanya renstra tersebut dijadikan pula sebagai the fundamental source of power Dinas Pendidikan Kabupaten Kuningan. Meskipun demikian, Renstra Dinas Pendidikan Kabupaten belum difungsikan sebagai pembimbing kognitif segenap aparat dan seluruh stakeholder Dinas Pendidikan, terutama mengenai posisi, nilai, core competencies dan peluang di masa sekarang serta masa mendatang. Selain itu, belum secara tepat diimplementasikan ke dalam perencanaan pendidikan.

2. Manajemen guru pendidikan dasar di Kabupaten Kuningan menunjukkan bahwa jumlah yang direkrut dan diangkat menjadi PNS cukup signifikan. Demikian pula halnya jumlah guru PNS yang diikutsertakan dalam program peningkatan kemampuan profesional, dan penerima beasiswa penyetaraan pendidikan S1 kependidikan. Dibandingkan dengan keadaan pada tahun 2002/2003, kelayakan mengajar tenaga pendidik dikdas tahun 2006/2007 di Kabupaten Kuningan sudah baik. Guru SD/MI yang layak mengajar dan semi layak adalah 87,22% dan 83,96%, sedangkan guru SMP/MTs yang layak mengajar masing-masing 86,32% dan 80,87%. Selain itu, observasi kinerja sampel 53 orang guru dikdas menunjukkan pula kondisi di atas rata-rata. Kinerja yang dimaksud meliputi aspek-aspek kemampuan mengelola proses belajar mengajar, dorongan bekerja, tanggung jawab dalam bekerja, minat terhadap tugas, penghargaan dan peluang untuk berkembang.

3. Manajemen guru pendidikan dasar memberikan kontribusi yang positif terhadap penuntasan wajar dikdas di Kabupaten Kuningan, terutama dilihat dari perbaikan angka efisiensi edukasi yang berupa Angka Partisipasi Kasar (APK); Angka Partisipasi Murni (APM); Angka Putus Sekolah dan Angka Mengulang. Membandingkan keadaan antara tahun 2002/2003 dengan 2006/2007, terdapat 27 kecamatan yang SD/MI-nya meraih APK/APM di atas 100%; dua kecamatan dengan capaian APK/APM 100%; dan tiga kecamatan dengan APK/APM kurang dari 100%. APM SMP/MTs 75% dicapai oleh 16 kecamatan; belum mencapai 75% di 16 kecamatan; dan kurang dari 50% di tiga kecamatan. Kenaikan yang cukup berarti terjadi pula dalam angka melanjutkan pendidikan, baik lulusan SD/MI maupun lulusan SMP/MTs di Kabupaten Kuningan.

Page 101: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

96

4. Manajemen guru pendidikan dasar berpengaruh cukup efektif terhadap mutu dikdas di Kabupaten Kuningan. Dari segi mutu proses, ditunjukkan oleh angka efisiensi edukasi SD/MI di Kabupaten Kuningan yang cukup tinggi, mencapai 98,72; SMP/MTs 97,33. Rasio keluaran berbanding masukannya mencapai 0,97. Tetapi rata-rata persentase lulusan MTs (97,44%) lebih baik daripada SMP (97,22%). Sedangkan rasio nilai UN terhadap NEM pada saat diterima sebagai siswa baru, menunjukkan capaian nilai kelulusan SMP lebih besar daripada MTs.

5. Ketersediaan prasarana dan sarana merupakan masalah penting pendidikan dasar di Kabupaten Kuningan. Hingga kini, ruang kelas SD dan SMP yang berkategori kondisi baik masing-masing 68,88% dan 89,41%; sedangkan yang berkondisi rusak berat, SD sebesar 11,46%, MTs sebesar 4,34%. Fasilitas sekolah yang berupa perpustakaan, lebih banyak dimiliki oleh MI. Tetapi, lapangan olahraga dan ruang UKS lebih banyak terdapat di SD. Apabila setiap sekolah diharuskan memiliki ketiga fasilitas tersebut, maka lebih dari separuh SD di Kabupaten Kuningan telah memilikinya; sedangkan MI yang memiliki ketiga fasilitas tersebut baru 38,28% saja. MTs yang memiliki perpustakaan lebih besar daripada SMP. Tetapi MTs yang memiliki lapangan olahraga, ruang UKS lebih, dan ruang laboratorium lebih sedikit daripada SMP. Apabila setiap sekolah diharuskan memiliki keempat fasilitas tersebut, maka 58,04% SMP di Kabupaten Kuningan telah memilikinya.

6. Mutu pendidikan dasar ditunjukkan pula oleh sumber-sumber pembiayaannya, yaitu Pemerintah Pusat, Pemkab, dan peranserta orang tua siswa. Dari ketiga sumber biaya tersebut, Pemkab Kuningan merupakan sumber terbesar bagi SD (70,91%) melampaui proporsi biaya MTs yang bersumber dari Pemerintah Pusat (60,20%). Pemkab juga menyediakan 49,76% biaya SMP, dan 13,07% biaya MTs. Sedangkan peranserta orang tua siswa berkisar 0,74% untuk biaya SD, 19,70% SMP, dan 20,37% MTs.

7. Berdasar ramuan antara kondisi empirik, analisis teoretik hasil-hasil studi terdahulu, dan diskusi validasi model, maka strategi alternatif manajemen guru pendidikan dasar di Kabupaten Kuningan mencakup komponen-komponen visi, misi, perencanaan komprehensif, wawasan manajemen para penyelenggara dikdas, wawasan kompetensi dan profesi guru dikdas

IV. IMPLIKASI

1. Visi dan Renstra Dinas Pendidikan menuntut dilakukannya dua hal dalam penyelenggaraan dikdas di Kabupaten Kuningan. Pertama, menciptakan iklim kondusif secara makro institusional terhadap pengembangan wawasan keunggulan dalam keseluruhan aktivitas pendidikan yang diselenggarakan. Kedua, menciptakan iklim kompetitif yang positif dalam

Page 102: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

97

semua aktivitas pendidikan. Dalam hal ini dibutuhkan sistem yang terbuka dan adil dalam memberikan reward dan punishment kepada semua pihak yang terlibat.

2. Dinas Pendidikan harus membuat perencanaan yang komprehensif. Dari segi kemampuan penyelenggara pendidikan, perencanaan itu mencerminkan kemampuan: (1) memadukan berbagai komponen sumberdaya potensial pendidikan sebagai kekuatan bagi terselenggaranya pendidikan; (2) mewujudkan relevansi pendidikan dengan kebutuhan masyarakat sebagai manifestasi dari konsep community based education; dan (3) kemampuan menciptakan lulusan yang kompetitif.

3. Produk pengembangan guru pendidikan dasar hendaknya menyentuh area kualifikasi dan kompetensi untuk meningkatkan profesionalime guru, yang berupa inovasi pedagogik. Elemen penting dalam inovasi pedagogik di satuan-satuan dikdas adalah sumber belajar, teknologi pendidikan, dan kurikulum.

RENSTRA

PENDIDIKAN

KABUPATEN

KUNINGAN

PERAN DINAS

PENDIDIKAN

•PELAYAN

•FASILITATOR

•PENDAMPING

•MITRA

KRITERIA FUNGSI, PROSES, DAN KELUARAN

MANAJEMEN GURUDIKDAS

KRITERIA

PERENCANAAN

• KOMPREHENSIF

• BERORIENTASI

MUTU DAN

KOMPETENSI

REKRUTMEN

DAN SELEKSI

PENGEMBANGAN

KRITERIA PROSES

PENGEMBANGAN

• SINERGIK INTEGRAL

• ALIANSI STRATEGIK

• MEMBERDAYAKAN

KRITERIA

KELUARAN

GURU

KOMPETEN &

PROFESIONAL

PEMERATAAN

AKSES DAN

MUTU DIKDAS

YANG DIDUKUNG

OLEH GURU

KOMPETEN &

PROFESIONAL

KRITERIA PROGRAM

PENGEMBANGAN

MURAH, MUDAH, TEPAT

WAKTU, TERDUKUNG

SUMBERDAYA

PENEMPATAN

LANDASAN

KEBIJAKAN

MANAJEMEN

GURU DIKDAS

Gambar 2 Strategi manajemen GURU Berorientasi pemerataan akses dan Peningkatan

Mutu Dikdas di kabupaten kuningan

Page 103: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

98

V. REKOMENDASI

1. Manajemen Guru pendidikan dasar di Kabupaten Kuningan hendaknya dipahami sebagai upaya peningkatan kualitas komponen sistem dan kualitas kinerja sistem pendidikan dasar. Kualitas komponen sistem meliputi masukan, proses, keluaran, dan dampak pendidikannya yang mendasarkan diri kepada landasan filosofis, visi, dan misi kelembagaannya.

2. Kualifikasi dan kompetensi guru pendidikan dasar yang harus dikembangkan hendaknya mendukung pengembangan kinerja layanan dikdas. Kompetensi yang dimaksud meliputi kompetensi sebagaimana yang dituntut oleh peraturan dan perundang-undangan serta mengakomodasi keragaman konteks lokal, seperti faktor-faktor kondisi geografik ekonomi, sosial budaya, dan faktor teknis yang meliputi: (1) kurangnya daya tampung siswa di beberapa sekolah; (2) mutu sarana prasarana belum memadai; (3) ketidakmerataan sebaran guru SD/MI dan SMP/MTs; (4) adanya angka drop out; (5) rendahnya partisipasi masyarakat dalam mendukung wajib belajar dikdas; (6) masih ada guru SD/MI dan SMP/MTs yang kurang layak mengajar; (7) masih terbatasnya anggaran pendidikan.

3. Kajian-kajian komprehensif mengenai manajemen guru pendidikan dasar, masih sangat diperlukan. Adapun penelitian yang penulis lakukan ini perspektifnya terbatas. Konsep strategi manajemen yang diajukan dalam penelitian ini pun, masih perlu divalidasi dalam konteks praksis sehingga dapat dikenali aspek-aspek kekuatan dan kelemahannya.

DAFTAR PUSTAKA Alma, Buchori, 2008, Guru Profesional Menguasasi Metode dan Terampil Mengajar, Bandung:

Alfabeta Bafadal, Ibrahim, 2006, Peningkatan Profesionalisme Guru Sekolah Dasar dalam kerangka

Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Jakarta: Bumi Aksara. Banghart, Frank W & Trull, Albert, Jr, 1973, Educational Planning, New York: The Macmilan

Company Bernadin, H. J. & Russel, J. A. 1998. Human Resources Management: An Experiential Approach.

New York: MacGraw-Hill Book Company. Biro Perencanaan. 1993. Stakeholder yang Berkaitan dengan Pembangunan dan Pendidikan di

Propinsi. Jakarta: Depdikbud. Bryson, John M. 2000. (Alih Bahasa oleh M. Miftahuddin). Perencanaan Strategis Bagi Organisasi

Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Buchori, Mochtar, 2001, Pendidikan Antisipatoris, Jogyakarta, Kanisius Burhanuddin, 1999, Analisis Administrasi, Manajemen, dan Kepemimpinan, Jakarta : Bumi

Aksara. Bush, Tony., Coleman, Marianne. 2006, Manajemen Strategis Kepemimpinan Pendidikan,

Jogjakarta: IRCiSod. Danim, Sudarwan, 2002, Inovasi Pendidikan Dalam Rangka Peningkatan Profesionalisme Tenaga

Kependidikan, Bandung, Pustaka Setia.

Page 104: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

99

Danin, Sudarwan, 2006, Visi Baru Manajemen Sekolah Dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik, Jakarta: Bumi Aksara.

Dean, Joan. 1991, Developing Teachers and Teaching Professional Development in School, Buckingham: Open University Press.

Depdikbud, 1996, Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia, Jakarta: Depdikbud. Depdiknas, 2002, Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun , Jakarta:

Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama. Engkoswara. 1987. Dasar-dasar Administrasi Pendidikan. Jakarta: Depdikbud. Gaffar, Moch. Fakry. 1995. Perencanaan Strategis Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9

Tahun di Indonesia. Bandung: IKIP Bandung. Gilley, Jerry W, and Eggland, Steven A., 1989, Principles of Human Resources Development,

Massachusetts: Addison Wesley Publishing Company. Hardiyanto, 2004, Mencari Sosok Desentralisasi Manajemen Pendidikan Di Indonesia, Jakarta:

Rineka Cipta. IKIP Bandung, 1991. Majalah Mimbar Penddidikan, No.2 Tahun X. Juli Jalal, Fasli dan Dedi Supriadi. 2001. Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah.

Yogyakarta: Adicita. Jarvis, Peter, 1986, Profesional Education, London-Canbera: Croom Helm. Jeffrey Pfeffer, at.all, (2007), Paradigma Baru Manajemen Sumber Daya Manusia, Yogyakarta:

Amara Book. Jiyono, at al, (1999), School Based Manajemen di Tingkat Pendidikan Dasar, Jakarta: Bapenas. Kabupaten Kuningan, Bappeda, Kuningan Dalam Angka 2007, Kuningan: Bappeda Kabupaten Kuningan, BPS, SUSEDA Tahun 2006, Kuningan: BPS Kabupaten Kuningan, Dinas Pendidikan, 2006, Profil Wajar Dikdas Kabupaten Kuningan Tahun

2005, Kuningan: Dinas Pendidikan Kabupaten Kuningan, Dinas Pendidikan, 2007. Profil Dinas Pendidikan Tahun 2007, Kuningan:

Dinas Pendidikan. Kasmianto. 1997. “Studi tentang Pengelolaan Guru Honor Daerah di Kabupaten Indragiri Hulu”,

Disertasi, Bandung: IKIP Bandung. Kaufman, Roger. 1988. Planning Educational Systems. New Holland Avenue: Technomic

Publishing Company, Inc. Kydd,Lesley, at all, 1997, Professional Development for Educational Management (terjemahan),

Jakarta: Grasindo. Luthans, F. & Davis, K. 1996. Human Resources and Personnel Management. New York: McGraw-

Hill Book Company. Makmun, Abin Syamsuddin. 1996, Pengembangan Profesi dan Kinerja Tenaga Kependidikan,

Bandung: Program Pascasarjana IKIP Bandung. Makmun, Abin Syamsudin, 1999, ”Pemberdayaan Sistem Perencaraan dan Manajemen Berbasis

Sekolah Menuju Kearah Peningkatan Kualitas Kinerja Pendidikan yang Diharapkan”, Pidato Pengukuhan Guru Besar, IKIP Bandung.

Makmun, Abin Syamsudin. 1996. Analisis Posisi Pendidikan. Jakarta: Biro Perencanaan Depdikbud.

Mangkunegara, Anwar Prabu, 2004, Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan, Bandung, Remaja Rosda Karja.

Mangkuprawira, TB.Syafri, 2001, Manajemen Sumber Daya Manusia Stategik, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Mathis,Robert.L-Jachson, John H. 2006, Human Resource Management, Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: Salemba Empat.

Moleong, Lexy J. 1988. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya. Morrisey, George L. 1996. Pedoman Pemikiran Strategik: Pembangunan Landasan Perencanaan

Anda. Jakarta: Prenhallindo.

Page 105: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

100

Nawawi, Hadari. 1998. Manajemen Strategic dengan Ilustrasi Organisasi Profit dan Nonprofit. Jakarta : Rajawali Perss.

Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Pidarta, Made. 1980. “Pengembangan Sikap Keguruan Profesional di IKIP Surabaya”. Disertasi.

Bandung: IKIP Bandung. Quigley, Joseph V. 1993. Vision How Leaders Develop It, Share It and Sustain It. New York: Mc

Graw Hill, Inc. Sagala, Syaiful, 2007, Manajemen Strategik dalam Peningkatan Mutu Pendidikan, Bandung:

Alfabeta. Satori, Djam’an. 1989. “Studi Efektivitas Sistem Pelayanan Bantuan Profesional bagi Guru-guru

Sekolah Dasar di Cianjur”. Disertasi. Bandung: IKIP Bandung. Schuler, Randall S. & Jackson. 1997. Personal and Human Resources Management, St Paul: West

Publishing Company. Sergiovanni, Thomas J. et. al. 1987. Educational Governance and Administration. New Jersey:

Prentice Hall, Inc. Simamora, Henry. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia, STIE YPKN Bandung Somantri, Manap. 1999. “Pengembangan Model Perencanaan Strategis Perencanaan Wajib

Belajar dan Peningkatan Mutu Pendidikan Dasar”. Disertasi. Bandung: PPS IKIP Bandung.

Supriadi, Dedi. 1998. Mengangkat Citra dan Martabat Guru, Yogyakarta: Adicita Karya. Supriadi, Dedi.1997. Globalisasi dan Pendidikan: Implikasi pada Perguruan Swasta Menghadapi

Abad ke-21. Bandung: BMPS Jawa Barat. Surya M. 1997. “Pergeseran Paradigma Pendidikan Menyongsong Abad ke 21”. Jurnal Pendidikan

IKIP Bandung. Mimbar Pendidikan 4 (XVI), 17-22. Surya,M, 2008, Menjadi Guru terus Guru selamanya Guru, Bandung: Yayasan Bakti Winaya. Suryadi A. dan Tilaar H. A. R. 1993. Analisis Kebijakan Pendidikan Suatu Pengantar. Bandung:

Rosda Karya. Suryadi, Ace. 1998. Pendidikan, Investasi Sumberdaya Manusia dan Pembangunan, Jakarta: Balai

Pustaka. Sutisna, Oteng. 1989. Administrasi Pendidikan: Dasar Teoritik untuk Praktek Profesional,

Bandung: Angkasa. Suyanto dan Hisyam Djihad, 2005, Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia menuju

Milinieum III, Yogyakarta: Adicita Suyanto, 2006, “Membangun Sekolah yang Efektif”, dalam Kompas: Rubrik Otonomi Daerah, 26

Januari 2001. Suyanto, 2006, Dinamika Pendidikan Nasional Dalam Percaturan Dunia Global, Jakarta: PSAP

Muhammadiyah. Tilaar, HAR. 1994. Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung: Remaja Rosdakarya. Turney C. et. al. 1992. The School Manager. North Sidney: Allen & Unwin Pty Ltd. Umaedi, 2002, Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun, Jakarta: Depdiknas Undang-undang No. 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional Undang-undang RI No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Undap, Andi. P. 1988. “Pola Kepemimpinan dan Profesionalisasi Tenaga Kependidikan di IKIP

Manado”, Disertasi, Bandung: IKIP Bandung. Vredenbergt,J, 1984, Pengantar Metodologi untuk Ilmu-ilmu Sosial, Jakarta: Gramedia, Wahjoesumidjo, 1999, Kepemimpinan Kepala Sekolah Tinjauan Teoritik dan Pemsasahannya,

Jakarta: Grafindo Persada. Wasliman, Iim. 1999. “Studi Pemberdayaan Tim Koordinator Wajar Dikdas Propinsi Jawa Barat”.

Disertasi. Bandung: IKIP

Page 106: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

101

PERAN KOMITE NASIONAL PEMUDA INDONESIA (KNPI) DALAM MEMBERDAYAKAN PARA PEMUDA PUTUS SEKOLAH

MELALUI PELATIHAN KECAKAPAN HIDUP BERBASIS KEWIRAUSAHAAN

Oleh :

Dr. Kusniada Indrajaya,M.Si Dosen Universitas Negeri Palangkaraya

Abstrak

Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) adalah merupakan salah satu lembaga non formal atau wadah berhimpunnya para pemuda yang salah satu perannya adalah untuk membekali atau mengembangkan kemampuan para pemuda. Uraian ini sejalan dengan Undang-undang No. 8 Tahun 1985 yang mengukuhkan bahwa KNPI merupakan satu-satunya wadah resmi tempat berkumpul atau berhimpunnya para pemuda. Dengan tersedianya wadah tersebut diharapkan para pemuda akan dapat terkoordinir dengan baik dalam menjalankan pembangunan. Konsep pengembangan kemampuan pemuda sebagai SDM mengacu pada pandangan holistik, yang juga mengacu pada upaya pemberdayaan melalui berbagai kegiatan yang menghasilkan nilai ekonomis seperti keterampilan dan berusaha. Di samping tersedianya wadah atau oraganisasi kepemudaan, secara spesifik juga berbagai kebijakan baik politik maupun ekonomi harus mampu memberikan dukungan dan terobosan-terobosan yang dapat memberikan pengaruh langsung pada peningkatan kualitas pemuda sebagai sumberdaya manusia, yang akhirnya akan berdampak pada peningkatan produktifitas dan mengurangi angka pengangguran. Kata Kunci : KNPI, Pemuda Putus Sekolah, pelatihan dan wirausaha

Latar Belakang Krisis multidimensi yang dialami bangsa Indonesia, yang diawali sejak terjadimnya krisis ekonomi 1977, ternyata sangat berpengaruh terhadap jalannya pembangunan nasional sebagaimana yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia. Pendidikan nasional sebagai salah satu sistem dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mendapatkan imbas yang berat untuk memulihkan berbagai trauma yang dialami masyarakat, yang kemudian menyadarkan untuk bangkit dan membelajarkannya dengan ilmu dan keterampilan untuk menghadapi kehidupannya yang lebih baik. Jalan yang ditempuh akibat terjadinya krisis multidimensional adalah dengan pemulihan ekonomi, yaitu dengan mengupayakan peningkatan kesejahteraan masyarakat agar terbebas dari belenggu kemiskinan. Kemiskinan yang terjadi bukan semata-mata karena

Page 107: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

102

ketidakberdayaan, melainkan juga karena dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah yang kurang memberikan iklim kondusif bagi masyarakat untuk menjadi berdaya. Ketidakberdayaan ini banyak terjadi hampir di semua lapisan masyarakat baik yang tinggal kota maupun desa. Apalagi ketidakberdayaan yang dialami masyarakat tidak saja menimpa kaum tua, akan tetapi banyak juga menimpa para kaum atau genersi muda yang sesungguhnya memiliki tenaga potensial dalam pembangunan bangsa. Kondisi seperti ini tidak mungkin akan dibiarkan begitu saja dan terjadi secara terus menerus, melainkan harus segera dicarikan jalan keluarnya. Hal ini cukup beralasan karena pemuda sebagai generasi penerus dalam pelaksanaan pembangunan bangsa, merupakan aset dalam bentuk sumberdaya manusia (SDM) yang perlu diberdayakan dan dikembangkan kemampuannya. Sejalan dengan konsep pengembangan kemampuan pemuda, Gilley dan Eggland (1989:6) mengungkapkan ada tiga kategori dalam konsep SDM. Pertama, pemanfaatan SDM, ini berkaitan dengan hasil yang diinginkan dari setiap bidang yaitu peningkatan pengembangan, kompetensi, keahlian serta penyerapan perubahan sikap, pemberdayaan dan perbaikan. Kedua, perencanaan dan forecast SDM, berkaitan dengan perkiraan SDM di masa yang akan datang dan perencanaan yang sesuai untuk penerimaan, seleksi, training, dan peningkatan karier. Ketiga, pengembangan SDM, berkaitan dengan persiapan melalui kegiatan-kegiatan belajar dari SDM untuk posisi yang sekarang, tugas-tugas kerja di masa yang akan datang (pengembangan) selain meningkatkan secara pribadi (pendidikan). Pemberian bekal berupa kemampuan bagi pemuda, sebagai upaya pengembangan SDM menurut Schuler (1987) dalam Tjiptoherijanto (1997) merupakan upaya untuk meningkatkan kinerja dengan memberikan bekal keterampilan dan pengetahuan yang relevan dengan kebutuhan. “Development is any attempt to improve current or future employee performance by increasing, trough learning, and employee’s ability to perform, usuallly by increasing the employee’s skills and knowledge”. Pemuda sebagai SDM dalam kegiatan organisasi, menurut Campbell (1981:2) harus memahami benar bidang garapan organisasinya, apakah operasinya berskala besar, apakah ada marketnya, dan apakah telah dapat atau mampu berkompetisi dengan SDM lain dengan mengikuti aturan yang ada. Dari berbagai uraian tentang keberadaan dan peran SDM terutama pemuda dalam pembangunan, maka keberadaan oraganisasi pemuda seperti KNPI sangatlah penting. Walaupun disisi lain tidak tertutup kemungkinan keberadaan organisasi pemuda seperti KNPI masih perlu banyak mendapat

Page 108: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

103

perhatian dan dukungan dari pemerintah baik pusat maupun daerah. Lebih jauh tentang keberadaan dan kegiatan organisasi KNPI dapat di uraikan sebagai berikut: 1. Dasar Kegiatan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 sebagai hasil revisi dari Undang-Undang No.2 tahun 1989 tentang Sistim Pendidikan Nasional dijelaskan mengenai pengertian pendidikan secara umum yaitu merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. KNPI sebagai salah satu organisasi nirlaba yang berfungsi melayani masyarakat dari berbagai organisasi kepemudaan juga dapat melaksanakan program pendidikan melalui berbagai kegiatan seperti pelatihan. Pernyataan ini sesuai dengan semangat yang tertuang dalam GBHN 1999, yaitu memiliki peluang untuk melaksanakan visi dan misi pembangunan dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Peningkatan yang ingin dicapai mencakup kualitas lembaga sebagai penyelenggara/pelaksana pelatihan yang efektif dan efisien dalam menghadapai berbagai tantangan perkembangan pengetahuan dan teknologi. Serta mampu memecahkan berbagai permasalahan atau memenuhi kebutuhan yang menjadi kesenjangan dikalangan masyarakat. Kedudukan dan fungsi tersebut sejalan dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor: 73 Tahun 1991, yang tertuang pada BAB II pasal 2 tentang Pendidikan Luar Sekolah yang sekarang menjadi Pendidikan Non Formal menyebutkan, Melayani dan Membina warga belajar supaya dapat tumbuh dan berkembang, memiliki pengetahuan dan keterampilan guna meningkatkan martabat dan mutu kehidupannya, serta Memenuhi kebutuhan belajar masyarakat. KNPI sebagai organisasi pemuda yang bergerak di jalur pendidikan Non Formal dalam melaksanakan pelatihan atau pembelajarannya harus berdasarkan atas kebutuhan anggota. Keberadaan KNPI sendiri diantaranya bertujuan untuk membantu pemuda yang kebanyakan putus sekolah dari pendidikan formal, baik itu putus sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan atas. Sedangkan pelatihan yang diberikan kepada pemuda bertujuan untuk membantu memberi bekal pengetahuan dan keterampilan khusus, bagi mereka yang telah memiliki pengetahuan dan keterampilan tetapi ingin meningkatkan pengetahuannya sesuai kebutuhan dan perkembangan dunia ketenagakerjaan.

Page 109: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

104

2. Kendala-Kendala yang dihadapi KNPI Kota Bandung. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh KNPI kota Bandung, di kota Bandung sendiri masih banyak ditemukan beberapa pemuda yang tergabung sebagai anggota KNPI belum memiliki penghasilan. Di samping itu dari kegiatan yang diikuti dalam organisasi belum sepenuhnya dapat memenuhi kebutuhan dirinnya apalagi untuk masyarakat di sekitarnya. Sebagai akibatnya tidak jarang kalau KNPI hanya dianggap sebagai tempat bermain dan bersenang-senang saja. Hal ini disebabkan selain kurangnya fasilitas dan dana yang dimiliki KNPI kota Bandung, juga aksesibiltas organisasi kurang mampu menyentuh pada kepentingan masyarakat banyak. Oleh sebab itu agar mampu memberikan pelayanan dengan kualitas yang baik kepada masyarakat, dirasa masih perlu ditingkatkatnya kemampuan dan kesejahteraan pemuda atau anggota melalui kegiatan usaha. Kelemahan lain yang dirasakan KNPI kota Bandung adalah, bila dilihat dari sisi peranannya sebagai organisasi pemuda. Seperti dengan masih banyaknya para pemuda dari latar belakang disiplin ilmu yang berbeda, belum mampu menemukan jenis usaha yang dapat dijadikan sebagai sumber penghasilan. Di antara para pemuda juga masih banyak yang lebih senang menganggur daripada bekerja atau berusaha, karena lapangan pekerjaan yang ada belum sesuai dengan minat atau apa yang mereka harapkan. Disinilah diperlukannya seorang tokoh atau sosok pemimpin pemuda sebagai agen perubahan yang mampu mengantisipasi keadaan tersebut, karena untuk menghasilkan suatu proses pembelajaran maupun pelatihan yang baik dan berkualitas sesuai tuntutan dan kebutuhan yang berkembang di masyarakat tidak terlepas dari kemampuan para pengurus organisasi itu sendiri. Kemampuan merupakan paduan dari pengetahuan , keterampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kegiatan berpikir dan bertindak. Peningkatan kemampuan pemuda yang ingin dikembangkan terdiri dari empat golongan yaitu ; a) kemampuan individu, b) kemampuan vokasional, c) kemampuan akademik , dan d) kemampuan sosial. 3. Kegiatan Pelatihan dan Wirausaha Sebagai Pendukung Organisasi Meskipun usaha-usaha pemberdayaan dan pengembangan kegiatan pemuda melalui berbagai kegiatan dan pelatihan terus digalakkan di KNPI, namun dalam pelaksanaannya, masih ada yang belum mampu menyentuh sesuai harapan anggotanya baik itu secara individu maupun tim. Kesan selama ini menunjukkan bahwa berbagai kegiatan maupun pelatihan-pelatihan yang dilaksanakan tidak lebih merupakan hasil desain secara top down yang tentunya belum tentu sesuai dengan kebutuhan yang diharapkan pemuda..

Page 110: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

105

Kecenderungan yang terlihat masih banyak para pemuda yang tergabung dalam KNPI, masih merasa kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Para pemuda lebih banyak menganggur walupun telah menjadi anggota cukup lama, sedangkan para pengurus yang diharapkan dapat menjadi agen pembaharu dalam organisasi tidak mampu berbuat banyak. Pelaksanaan pelatihan bagi pemuda yang dilaksanakan oleh KNPI selama ini, kebanyakan dalam rancangannya kurang memperhatikan kebutuhan anggota dan lebih mengutamakan pada kebutuhan oraganisasi. Hasil pelatihan semacam ini lebih banyak menekankan pada aspek sosial dan bukan pada kebutuhan pokok anggota, sedangkan keberadaan anggota secara umum, selain rata-rata putus sekolah juga tidak memiliki usaha atau matapencaharian. Oleh sebab itu, diperlukan sutau jenis pelatihan yang dapat memotivasi dan menumbuhkan jiwa wirausaha bagi peserta, khusunya pemuda anggota KNPI Kota Bandung. Pemberian pelatihan dan wirausaha kepada para anggota bertujuan agar para pemuda tidak saja hanya sekedar terampil, tetapi juga mampu menerapkannya sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Program pelatihan dan wirausaha yang diberikan dapat berjalan dengan baik, juga ditunjang oleh hasil kegatan identifikasi kebutuhan yang tepat. A. Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas ditemukan suatu rumusan yang menjadi permasalahan pokok di kalangan pemuda, yaitu : adanya kesenjangan antara kondisi atau kemampuan pemuda anggota KNPI yang sekarang dengan kondisi atau harapan kemampuan pemuda yang seharusnya dimiliki. Permasalahan tersebut difokuskan pada ; Pertama, tentang bagaimana meningkatkan kompetensi/keterampilan pemuda agar disamping menjadi pengurus KNPI juga mampu bekerja untuk meningkatkan penghasilan,. Kedua, bagaimana pula bentuk proses pelatihan yang telah diterima pemuda sebelumnya, yang membuat pemuda tidak mampu menjalankan usaha. B. Perumusan Masalah Menanggapi tentang perlunya pelatihan bagi pemuda dalam upaya meningkatkan pengetahuan keterampilan dan kemampuan berusaha, tampaknya perlu sebuah pemikiran tentang pelaksanaan model pelatihan yang dapat mengakomodasi kebutuhan para pemuda tersebut baik di KNPI itu sendiri maupun di masyarakat. Dari hasil pelatihan diharapkan para pemuda di lapangan mampu mengembangkan secara terus menerus dan berkelanjutan sesuai kebutuhannya masing-masing. Sebagian besar para pemuda anggota KNPI kota Bandung, belum memiliki keterampilan atau kecakapan yang dapat dihandalkan untuk dijadkan sebagai sumber usaha yang dapat mendatangkan penghasilan. Kenyataan ini disebabkan oleh selain pengetahuan dan

Page 111: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

106

kemampuan berusaha yang sangat minim, juga mereka belum pernah diberdayakanan untuk menguasai jenis keterampilan tertentu dan menjadikannya sebagai sumber usaha. Yang terjadi selama ini, para pemuda anggota KNPI kota Bandung hanya diberdayakan untuk mampu melaksanakana kegiatan-kegiatan yang bernuansa sosial saja, dan belum pada upaya atau kegiatan yang mampu mendatangkan penghasilan bagi mereka. Dari beberapa permasalahan ini kemudian dijabarkan kedalam beberapa jenis pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimana kondisi kemampuan pemuda yang tergabung dalam wadah KNPI kota Bandung pada saat ini ?

2. Bagaimana model konseptual pelatihan kecakapan hidup dan berwirausaha yang dapat meningkatkan keberdayaan pemuda KNPI Kota Bandung?

3. Bagaimana efektivitas model pelatihan kecakapan hidup dan berwirausaha dalam meningkatkan keberdayaan pemuda KNPI Kota Bandung?

C. Definisi Operasional Untuk lebih mengarahkan dalam proses penelitian ini, ada beberapa konsep istilah yang digunakan dan perlu didefinisikan dalam penelitian ini seperti: 1. Model Pelatihan Keterampilan bagi pemuda

Model pelatihan keterampilan bagi pemuda diartikan sebagai upaya untuk memperluas kemampuan, dan memajukan dari pola kegiatan peningkatan partisipasi individu, kelompok maupun masyarakat yang dilakukan dalam rangka memberi kekuatan dan keberdayaan diri sehingga dapat mengaktualisasikan diri secara optimal.

2. Pemuda Sebagai Usia Produktif Pemuda sebagai usia produktif yang dimaksudkan dalam konteks penelitian ini merupakan individu dan atau kelompok masyarakat yang tergabung dalam suatu wadah atau organisasi kepemudaan KNPI yang dilihat dari usia sekitar 15-30 tahun, dengan rata-rata memiliki latar belakang pendidikan, sosial dan ekonomi yang tidak memadai berdasarkan kriteria kelayakan kebutuhan hidup.

3. Kemampuan menjalankan usaha (berwirausaha)

Kemampuan menjalankan usaha (berwirausaha) yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah kondisi sosiologis, psikologis dan ekonomis dari para pemuda yang tergabung dalam organisasi kepemudaan. Kondisi seperti ini, dalam perspektif PLS dikategorikan sebagai kelompok pemuda yang tidak

Page 112: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

107

berdaya, artinya kelompok pemuda ini tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dikarenakan beberapa aspek yang mendasarinya seperti tidak memiliki pekerjaan, tidak ada penghasilan, keterampilan hidup yang tidak memadai, lapangan kerja yang sempit, dan modal usaha maupun modal kerja yang tidak ada.

4. Model Pelatihan Kecakapan Hidup dan Berwirausaha untuk Pemberdayaan

Pemuda Model pelatihan kecakapan hidup dan berwirausaha untuk pemberdayaan pemuda anggota KNPI kota Bandung yang dimaksudkan dalam konteks penelitian ini adalah satu model pelatihan keterampilan secara terstruktur dan sistematis yang ditujukan memberikan bekal pengetahuan, keterampilan bagi pemuda atau anggota masyarakat dewasa khususnya yang tergabung dalam organisasi kepemudaan seperti KNPI dengan senantiasa memperhatikan kebutuhan belajar, minat pekerjaan dan modal kemampuan yang dimiliki secara psikologis dan sosiologis guna pemenuhan kebutuhan hidup. Sedangkan berwirausaha atau kegiatan menjalankan usaha yang dimaksudkan dalam pelatihan adalah, bahwa mereka yang tergabung dalam KNPI atau yang akan diberikan pelatihan, saat ini belum memiliki keterampilan yang dapat diandalkan sebagai sumber penghasilan.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian a. Tujuan Penelitian ; Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menemukan model pelatihan yang dapat meningkatkan kemampuan pemuda sesuai kebutuhan dan perannya di organisasi. Tujuan-tujuan tersebut dapat diperinci untuk :

1. Memperoleh data kondisi kemampuan pemuda yang tergabung dalam wadah KNPI kota Bandung pada saat ini.

2. Mengembangkan model konseptual pelatihan kecakapan hidup dan berwirausaha yang dapat meningkatkan keberdayaan pemuda KNPI Kota Bandung.

3. Menemukan efektivitas model pelatihan kecakapan hidup dan berwirausaha dalam meningkatkan keberdayaan pemuda KNPI Kota Bandung

b. Manfaat Penelitian ; Secara teoritis, kegunan dari penelitian ini bila dilihat dari segi kontribusinya diharapkan mampu memberikan sumbangan terhadap pengembangan teori ilmu pendidikan, khususnya dalam pendidikan luar sekolah seperti konsep belajar sepanjang hayat. Yang dalam pelaksanaannya harus relevan dengan kondisi pemuda dan masyarakat lingkungan yang memiliki berbagai macam karakteristik.

Page 113: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

108

Secara praktis, penelitian ini bertujuan dapat memberikan masukan dalam membantu mengarahkan dan meningkatkan kemampuan pemuda, serta pengembangannya di organisasi kepemudaan seperti KNPI seusai tugas pokok dan fungsinya seperti: 1. Bagi Organisasi atau KNPI

Tentang pengkajian kembali terhadap pelatihan maupun berbagai program yang telah dilaksanakan, apakah pelatihan atau berbagai program yang dilaksanakan telah sesuai bila ditinjau dari segi manfaat dan kegunaanya baik bagi pemuda sendiri, organisasinya atau KNPI maupun bagi masyarakat yang menerima secara tidak langsung.

2. Bagi Pemuda Efektifitas program pelatihan dalam memberikan bekal maupun dalam meningkatkan kemampuan pemuda sebagai sumber daya manusia, baik dalam proses pelatihan itu sendiri maupun penerapan serta pengembangannya dilapangan dalam melaksanakan tugas sesuai tugas pokok organisasi maupun kebutuhan pemuda itu sendiri.

3. Bagi Masyarakat dan Lingkungannya Penyelenggaraan program-program Pendidikan Luar Sekolah yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat lingkungan dimana KNPI itu berada, baik melalui pelatihan maupun pembinaan yang telah dilakukan.

E. Prosedur Penelitian Penelitian ini terdiri dari dua bentuk kegiatan, yaitu: (1) exploration, yang bersifat kualitatif, dan (2) experimental. Kegiatan pertama, penelitian dilakukan secara exploratif-kualitatif dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut;

1. Studi pendahuluan; Kegiatan ini merupakan studi awal yang bertujuan untuk merefleksi situasi yang terjadi di lapangan.

2. Penyusunan model konseptual; Dalam penyusunan model konseptual selalu mengacu pada hasil studi awal atau studi pendahuluan. Pada tahap ini akan dikembangkan suatu model konseptual pelatihan keterampilan sebagai upaya pemberdayaan pemuda .

3. Kegiatan validasi/verifikasi model konseptual; Model konseptual yang telah disusun dilakukan vilidasi/verifikasi dengan melibatkan pakar di bidang Pendidikan Luar Sekolah, nara sumber pelatihan, dan dengan anggota kelompok pemuda. Kegiatan ini bertujuan untuk penyempurnaan model konseptual yang dilaksanakan melalui seminar, tukar pendapat dan sejenisnya. Hasil dari kegiatan ini kemudian diikuti dengan melakukan cek silang (cross check) dengan temuan-temuan dari hasil studi lain yang memiliki hubungan.

Page 114: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

109

2. Kegiatan revisi model konseptual; Revisi model didasarkan atas saran-saran dan masukan pakar dan praktisi, serta didukung oleh sumber-sumber bacaan berupa literatur maupun hasil penelitian. Selanjutnya, model revisi siap untuk diuji cobakan atau dieksperimenkan.

Kegiatan kedua, yaitu pelaksanaan uji coba dengan menggunakan metode pre-eksperimen. Penelitian tahap ini merupakan implementasi model pemberdayaan pemuda melalui pelatihan keterampilan yang telah direvisi terhadap kelompok (pemuda) eksperimen. Desain yang digunakan adalah One-Group Pretest-Posttest Design. Disain ini dilakukan dengan membandingkan hasil pre-test dengan hasil post-test ujicoba pada kelompok yang diujicobakan, dan tidak menggunakan kelompok kontrol. Desain penelitian tersebut dapat dilihat pada gambar 3.1 sebagai berikut:

Gambar. 3.1. One-Group Pretest-Posttest Design

Keterangan : T1 = Pre Test T2 = Post Test X = Perlakuan

Pelaksanaan eksperimen terhadap kelompok pemuda dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Persiapan eksperimen; Tahap ini merupakan kelanjutan dari studi pendahuluan, yang dilakukan sesudah melakukan studi awal. Pada tahap persiapan ini juga dilakukan reviu hasil analisis studi pendahuluan. Rambu-rambu pertanyaan yang akan digunakan dalam mereviu adalah, apa yang harus dilakukan, tentang apa, siapa melakukan apa, dimana, kapan, dan bagaimana kegiatan itu dilakukan. Di tahap ini peneliti melakukan kolaborasi dengan pelatih/instruktur keterampilan yang ada sesuai kebutuhan di kota Bandung dan kelompok-kelompok usaha kecil yang ada di kota Bandung.

2. Pelaksanaan eksperimen; Dalam tahap ini masih diperlukan prinsip partisipatoris dan kolaboratif dari peneliti. Sebelum dilakukannya pelaksanaan eksperimen, terlebih dahulu dilakukan pre-test. Kegiatan ini bertujuan untuk memperoleh pemahaman terhadap anggota kelompok dalam pengimplementasian prinsip-prinsip pelatihan keterampilan, strategi pendekatan yang dilakukan, langkah-langkah, sumber belajar/instruktur, dan pemberdayaan unsur-unsur kerjasama dalam kelompok pemuda setelah eksperimen dilaksanakan.

T1 X T2

Page 115: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

110

3. Observasi pada kelompok eksperimen; Selama kegiatan uji coba atau eksperimen berlangsung, dilakukan juga kegiatan monitoring atau pemantauan terhadap pelaksanaan eksperimen. Observasi dilakukan secara langsung dan dengan mengunakan lembaran dalam bentuk terstuktur (sistematis), dengan tujuan untuk mengetahui perkembangan maupun penghambat kegiatan eksperimen. 4. Tahap evaluasi; Evaluasi dilakukan setelah diperoleh hasil dari kegiatan observasi dan monitoring pada tahap sebelumnya (perlakuan kelompok ekperimen). Kegiatan evaluasi berisikan tentang analisis, interpretasi dan eksplanasi dari informasi yang diperoleh dari pengamatan atas pelaksanaan eksperimen pada kelompok eksperimen. Untuk memperjelas alur pemikiran atau langkah-langkah yang ditempuh dalam penelitian dan pengembangan ini dapat dilihat pada gambar 3.2 berikut:

Kegiatan I Kegiatan II Gambar . Langkah-langkah Penyusunan Model Penelitian Pengembangan F. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data Teknik-teknik pelaksanaan pengumpulan data dilakukan dengan: Observasi, dalam kegiatan ini dilakukan dan diupayakan agar peserta sebagai sasaran penelitian tidak merasa kalau dirinya sedang diobservasi. Kegiatan ini dilakukan untuk mencermati beragam fenomena dari mulai tahap studi orientasi suasana lingkungan penelitian, implementasi, sampai evaluasi hasil. Data observasi diperoleh melalui sumber belajar maupun dinas atau instansi terkait lainnya, serta dari anggota masyarakat. Materi yang akan di

Page 116: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

111

eksperimenkan meliputi ; (1) kegiatan nara sumber selama berinteraksi dengan calon peserta yang dilanjutkan dengan diskusi dalam pelatihan, (2) kegiatan nara sumber dalam menjelaskan materi selama diskusi berlangsung (3) kegiatan nara sumber dalam menciptakan suasana dalam kelompok, (4) aktifitas para pemuda (kelompok) selama mengikuti pelaksanaan eksperimen, dan (5) kegiatan implementasi komponen-komponen pelatihan di masyarakat. Studi dokumentasi, kegiatan ini bertujuan untuk menjaring data atau dokumen tertulis yang ada kaitannya dengan penyelenggaraaan pelatihan yang akan dilaksanakan. Data ini digunakan untuk melengkapi dalam upaya menemukan data yang benar. Data yang diperoleh melalui hasil penelaahan serta interpretasi terhadap dokumen, dapat dijadikan sumber data yang dapat dimanfaatkan untuk menguji, bahkan untuk meramalkan data yang didapat dari Dinas/instansi terkait maupun Pemerintah Kota Bandung. Wawancara, kegiatan ini bertujuan untuk mewawancarai sejumlah tokoh yang dianggap sebagai kunci dalam penelitian, seperti Pemerintah Kota, Instansi terkait dan tokoh masyarakat tempat pemuda yang akan dijadikan sasaran. Sedang kepada nara sumber berkisar tentang pengalaman, cara pengimplementasian dan metode yang digunakan dalam melaksanakan pelatihan di masyarakat. Teknik ini dilakukan peneliti untuk mengamati masyarakat khususnya pemuda, melalui pengamatan data yang intensif dalam bentuk komunikasi vertikal sebagai proses interaksi peneliti dengan sumber data sebagai responden. Teknis yang digunakan dalam pengumpulan data adalah dengan teknis saturasi atau kecukupan data dan trianggulasi. Teknis ini disamping bertujuan untuk menguji apakah model yang diajukan sudah layak untuk diimplementasikan, juga untuk merefleksikan data melakukan interpretasi atas dasar acuan teori serta memberikan penguatan terhadap proses pelatihan. Untuk menjaga viliditas, reliabilitas dan objektifitas temuan dilakukan melalui pengujian yang disebut; validitas internal (credibility), validitas eksternal (transferability), reliabilitas (dependability) dan objektifitas (confirmability). Credibility (kepercayaan), dilakukan agar hasil-hasil temuan dapat dicapai kebenarannya oleh peneliti, untuk data dan informasi ganda atau yang memiliki penafsiran berbeda. Penarikan keabsahan data dan informasi melalui upaya (1) activies increasing the probality that credible finding will be pruduced, (2) persistent observation , (3) triangulation, (4) peer debiefing, (5) referential adequacy, (6) negative case analysis dan (7) member checks. Transferability (validitas eksternal), dilakukan untuk mengkaji sejauhmana hasil penelitian dapat diaplikasi atau digunakan dalam situasi berbeda.

Page 117: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

112

Trasferability ditempuh peneliti dengan mencari dan mengumpulkan kajian-kajian empiris, yaitu model-model faktual dalam penyelenggaraan pelatihan, baik yang dilakukan oleh tenaga-tenaga PLS, instansi terkait maupun kelompok-kelompok usaha serta lembaga swadaya masyarakat. Dependability (ketergantungan), yaitu upaya untuk melihat sejauh mana hasil penelitian atau model pelatihan yang dikembangkan dan diujicobakan pada kondisi atau setting tertentu, sehingga model tersebut dinyatakan memiliki dependability. Comfirmability (derajat keyakinan), ditempuh untuk melihat kebenaran data yang diperoleh melalui audit trail. Audit trail dilakukan dengan (1) pemeriksaan terhadap semua catatan lapangan, laporan dan dokumen, (2) hasil analisis data, tabel, gambar dan konsep-konsep dan (3) catatan mengenai proses penelitian. Pengujian efektifitas model dilakukan terhadap model konseptual yang dikembangkan sehingga dapat menjadi model empirik atau layak terap. Sedangkan pengukuran antara data pre-test dan post-test dilakukan dengan uji beda dua data rata-rata berpasangan Teknik yang dianggap cocok adalah teknik Wilcoxon Match Pairs Test atau uji Wilcoxon (Siegel,1997:93, Sugiyono,1999:240, dan Borg and Gall, 1989:565). Uji beda dilakukan untuk melihat sejauh mana perbedaan antara sebelum dan sesudah diberikan perlakuan pada kelompok ujicoba. H. Temuan Penelitian dan Implikasi Hasil Penelitian 1. Temuan Penelitian Dalam penelitian model pelatihan keterampilan kecakapan hidup dan berwirausaha ini peneliti menggunakan subjek penelitian yang diambil secara purposive, dan terpilih sebanyak 20 orang sebagai peserta belajar. Untuk kegiatan analisis, seluruh peserta belajar yang terpilih digunakan seluruhnya. Dari kegiatan analisis yang dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif, jawaban seluruh peserta belajar ditabulasikan kedalam tabel induk penelitian. Berdasarkan tabel induk penelitian tersebut kemudian dianalisis secara rinci sesuai dengan rancangan analisis yang telah dikemukakan sebelumnya. Hasil kegiatan analisis yang dilakukan secara kualitatif ditemukan bahwa seluruh peserta belajar tersebut mampu diberdayakan melalui pelatihan dan menjalankan berusaha. Selesai mengikuti pelatihan peserta belajar dapat mengidentifikasi sumber-sumber yang dapat mendukung usaha mereka. Sumber-sumber tersebut seperti penyandang dana atau modal, dan mitra kerja

Page 118: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

113

dalam menjalankan usaha. Target dari kegiatan pelatihan ini dirasa telah tercapai dan cukup memuaskan. Hasilnya, ditandai dengan tingkat pemahaman peserta terhadap konsep dasar dan manfaat pelatihan kecakapan hidup termasuk dalam kategori baik. Dampak dari pelatihan selain mampu meningkatkan keterampilan peserta belajar yang sebelumnya tidak mereka pahami, juga mampu mendatangkan pekerjaan tetap. Jenis keterampilan/kecakapan hidup yang dijadikan usaha, selain sesuai dengan kondisi lingkungan setempat, juga tingkat kepedulian sesama peserta dalam bekerjasama menjalankan usaha kelompok semakin tinggi. Jadi secara deskriptif tujuan pengimplementasian dari model yang dikembangkan telah tercapai. Temuan hasil analisis kualitatif diperkuat oleh temuan kuantitatf. Analisis kuantitatif dilakukan dengan tujuan untuk melihat hasil perbandingan dua subjek yang berpasangan yaitu peserta belajar sebelum dan sesudah pelatihan. Dari hasil analisis kuantitatif diketahui bahwa telah terjadi perbedaan secara nyata antara pengetahuan dan kemampuan peserta belajar sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan, sehingga dapat dikatakan bahwa pelatihan kecakapan hidup dan berwirausaha terbukti efektif dalam memberdayakan peserta belajar untuk menguasai keterampilan dan menjalankan usaha. Di samping itu dari hasil analisis juga menunjukan bahwa kegiatan pelatihan ternyata membawa dampak posistif terhadap peserta belajar. Diantara dampak yang ditimbulkan seperti dapat merubah persepsi maupun sikap dari peserta belajar dalam menjalankan usaha. Secara detail desain temuan model konseptual pelatihan kecakapan hidup dan berwirausaha yang telah diujicobakan dan disempurnakan tersebut dapat dilihat dalam bentuk visualisasi sebagai berikut: Dari hasil analisis deskriptif maupun uji non parametrik, keduanya menunjukan bahwa tujuan dari penelitian untuk memberdayakan masyarakat petani penggarap dalam menemukan dan menjalankan usaha baru dapat tercapai. Dari hasil temuan di lapangan juga menunjukkan bahwa model pelatihan ini ternyata sesuai dan ideal bagi masyarakat petani penggarap dalam meningkatkan kemampuan berusaha. 2. Implikasi Hasil Penelitian Berkaitan dengan temuan penelitian yang telah dikemukakan, dapat juga dideskripsikan yang berkaitan tentang implikasi hasil pengembangan model Pelatihan Kecakapan Hidup dan Berwirausaha, yaitu:

Page 119: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

114

Pertama, pengembangan model Pelatihan Keterampilan Kecakapan Hidup dan Berwirausaha yang dilakukan KNPI kota Bandung, merupakan model pembelajaran yang praktis dan strategis. Praktis karena secara teknis mereka telah memiliki dasar-dasar keterampilan berusaha dan hasilnya dapat diaplikasikan dalam waktu singkat. Strategis karena dapat membuka lapangan kerja baru dan meningkatkan perekonomian masyarakat khususnya pemuda. Para peserta dapat mengembangkan pengetahuan dan keterampilan melalui konsultasi secara berkesinambungan dengan pihak KNPI sebagai mitra belajar dan mitra usaha lainnya baik yang melalui jaringan KNPI maupun yang tidak. Tempat dan waktu kegiatan usaha dan pembelajaran dapat dilaksanakan di tempat kerja/usaha, di KNPI kota Bandung, di rumah atau di tempat lain yang dipandang strategis. Kedua, pengembangan model Pelatihan Kecakapan Hidup dan Berwirausaha ini dalam implementasi model melalui pelatihan, dapat meningkatkan pengetahuan para peserta atau calon pengusaha. Para peserta menjadi sadar akan arti pentingnya pendidikan dan pengembangan usaha, serta melalui pendidikan juga dapat meningkatkan motivasi belajar dan berwirausaha, sehingga berdampak semakin berkembangnya kemampuan para pemuda maupun usaha kecil, dan para pemuda menjadi lebih terbuka terhadap informasi dari luar, dan lebih mendidik generasi muda untuk menguasai berbagai jenis pengetahuan dan keterampilan. Uraian diatas merupakan gambaran keberhasilan dari penyelenggaran sebuah model pelatihan kecakapan hidup dan berwirausaha yang telah dikembangkan. Hasil penyelenggaraan pelatihan bagi pemuda pengurus dan anggota KNPI yang ada di kota Bandung, diharapkan dapat berekembang menjadi bentuk usaha. Dengan adanya keberlanjutan program dalam bentuk usaha, maka para pemuda dapat menemukan jenis keterampilan baru yang dapat digunakan untuk meningkatkan pendapatan, yang akhirnya akan berdampak pada peningkatan kehidupan I. Kesimpulan dan Rekomendasi

1. Kesimpulan Secara umum, penelitian ini telah mencapai tujuan sesuai yang diharapkan yakni menemukan dan mengembangkan sebuah model Pelatihan Kecakapan Hidup dan Berwirausaha bagi pemuda di KNPI kota Bandung.. Berdasarkan permasalahan dan tujuan yang dipaparkan dalam penelitian ini, kemudian dikaitkan dengan hasil temuan penelitian dan pembahasannya, maka secara garis besar dapat di buat beberapa kesimpulan sebagai berikut:

Page 120: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

115

a. Kondisi kemampuan pemuda yang tegabung dalam organisasi KNPI di kota Bandung Dari hasil identifikasi terhadap kondisi pemuda yang tergabung di organisasi KNPI peneliti menemukan: Pertama: Pada awalnya keberadaan organisasi KNPI hanya membawa misi untuk kepentingan politis bagi sebagian golongan saja, namun seiring dengan perkembangan zaman organisasi tersebut dapat mengembangkan program-programnya ke berbagai kegiatan sosial lain, seperti memberikan pembinaan dan pelatihan kepada generasi muda. Kedua: Para pemuda yang tergabung dalam organisasi KNPI di Kota Bandung masih banyak yang belum memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dapat diandalkan. Ketiga: Para pemuda yang masuk menjadi anggota KNPI rata-rata berpendidikan SLTA dan berusia sekitar 20 sampai 30 tahun. Keempat: Belum adanya dana khusus yang disediakan pemerintah maupun instansi terkait, yang dapat dgunakan sebagai program pembinaan dan pengembangan sumberdaya manusia bagi pengurus maupun anggota

b. Temuan model pelatihan kecakapan hidup dan berwirausaha bagi pemuda

di KNPI kota Bandung. Dari hasil ekplorasi di KNPI kota Bandung dalam upaya memberdayakan pemuda untuk dapat memiliki keterampilan dan mengembangkan menjadi usaha, maka langkah yang dirasa tepat adalah melalui pemberian pelatihan kecakapan hidup. Model pelatihan kecakapan yang dikembangkan diarahkan pada pengembangan usaha produktif yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan, dan kebutuhan anggota. Dari hasil pengujian model yang dilakukan sebanyak dua kali membuktikan pengetahuan dan keterampilan peserta secara umum menunjukkan peningkatan. Kalau pada uji coba tahap pertama peserta hanya baru mengetahui dan menguasai sebagian kecil mengenai keterampilan yang mereka praktekkan, namun pada uji coba tahap kedua seluruh peserta sudah dapat menguasai baik teori mauun praktek Untuk menjamin kalau keterampilan yang mereka kuassai layak untuk dijadikan sumber usaha, tetap akan dilakukan pembinaan lanjutan melalui program pendampingan.

c. Keefektifan Model Pelatihan Kecakapan Hidup dan Berwirausaha Keefektifan dari model yang telah diterapkan dapat terlihat dari deskripsi hasil pengujian baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Berdasarkan temuan hasil uji coba dari model pelatihan yang dikembangkan dapat disimpulkan sebagai berikut :

Page 121: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

116

1) Konseptualisasi model pelatihan Pertama: Berangkat dari nilai-nilai budaya gotong royong yang ada di organisasi, ternyata mampu memberikan inspirasi yang kuat dalam melandasi kerangka kerja model konseptual pelatihan kecakapan hidup dan berwirausaha Kedua: Dalam penyusunan model konseptual, selalu diawali dengan pertimbangan kondisi objektif pada kelompok sasaran yaitu para pemuda yang belum memiliki keterampilan dan usaha. Proses pelatihan dilakukan melalui tahapan pelatihan dalam dua tahap. Ketiga: Dalam melakukan pengembangan model, KNPI kota Bandung memiliki beberapa daya dukung seperti, keberadaan lembaga atau organisasi yang legal, letak KNPI yang strategis, memiliki SDM yang berklasifikasi baik dan mampu berkembang, serta dimilikinya jaringan kemitraan baik kepada beberapa individu, kelompok kemasyarakatan, maupun para pengusaha. Keempat: Peserta pelatihan menganggap kalau model konseptual dan jenis keterampilan yang dikembangkan telah sesuai dengan kebutuhan mereka (peserta). Kelima: Implementasi model pelatihan kecakapan hidup yang dikembangkan terdiri dari dua tahapan:

a) Uji coba terbatas atau tahap pertama, yaitu bertujuan untuk melihat sejauh mana kemampuan awal yang dimiliki peserta pelatihan.

b) Uji coba tahap kedua, yaitu bertujuan untuk lebih memantapkan lagi dari hasil uji coba sebelumnya yang dianggap masih kurang.

2) Validasi dan implementasi model konseptual Validasi: Untuk mendapatkan keyakinan kesesuaian dari rancangan model yang disusun dengan kebutuhan peserta pelatihan, dilakukan validasi model kepada berbagai pihak atau para ahli. Instrumen validasi Bagian-bagian yang divalidasi adalah struktur model konseptual dan relevansinya dengan objek dan subjek penelitian. Hasil validasi dianalisis secara deskriptif untuk membuat keputusan dalam memperbaiki model konseptual yang telah dibuat untuk siap diuji-cobakan. Implementasi: Berdasarkan hasil implementasi atau uji coba yang dilakukan, model pelatihan keterampilan usaha terpadu telah dianggap sesuai untuk memberdayakan pemuda. Dalam pelaksanaan dan hasil penilaian dari model

Page 122: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

117

yang diujicobakan pada tahap pertama dan kedua, secara nyata mampu memberikan kontribusi yang positif dalam kehidupan pemuda/peserta belajar. Hasil analisis data menunjukkan, disamping adanya kesadaran dari peserta untuk mengikuti, juga pengetahuan dan keterampilan dari peserta menjadi meningkat. Secara kuantitatif menunjukkan telah terjadi peningkatan penguasaan pengetahuan dan aplikasi keterampilan. Peningkatan rata-rata tersebut terlihat dari hasil pre-test ke post-test, yang diperoleh sebesar 36,9%,. Dengan hasil tersebut juga menunjukkan bahwa secara keseluruhan telah terjadi peningkatan skor pencapaian pada masing-masing peserta, dalam arti bahwa telah terjadi peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan sikap untuk berwirausaha pada diri peserta. 2. Rekomendasi Sehubungan dengan temuan penelitian dan teori-teori yang dijadikan pegangan sebagai landasan operasional dan pembahasan dalam penelitian ini, direkomendasikan beberapa hal.

a) Rekomendasi untuk Penerapan Model Temuan Model pengelolaan Pelatihan Kecakapan Hidup dan Berwirausaha terbukti selain efektif untuk meningkatkan kesadaran pemuda, juga dapat memotivasi pemuda untuk aktif dalam proses pelatihan. Melalui model ini pemuda sebagai peserta juga telah dapat merencanakan kegiatan usahanya, mengorganisir diri dalam kelompok jaringan usaha, dan mengembangkan jenis dan kualitas produksi/layanan. Hasil belajar dapat meningkatkan pengetahuan dan aspirasi pendidikan, keterampilan, dan sikap kewirausahaan. Bagi para agen perubahan selayaknya mau dan mampu mendorong pelaksanaan pembelajaran di kalangan pemuda baik bagi yang tergabung dalam KNPI maupun tidak, yang tingkat pengetahuan dan keterampilannya rendah. Bila model ini akan diimplementasikan, maka para agen perubahan dan fasilitator perlu lebih awal melakukan proses pendekatan kepada organisasi KNPI dan para pemuda secara langsung. Hal ini bertujuan untuk dapat mengubah sikap tertutup yang dimiliki peseta untuk dapat berubah menjadi terbuka terhadap informasi dan bersedia mengikuti pembelajaran melalui pelatihan. Proses pemilihan bahan belajar keterampilan hendaknya diorientasikan pada terwujudnya kepemilikan vocational skill kepada kelompok sasaran. Untuk mewujudkannya, perlu melalui proses seleksi bahan latihan yang ada di tengah-tengah masyarakat maupun berupa inovasi

Page 123: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

118

dari luar. Sedangkan dalam upaya merekonstruksi konsep pendidikan secara umum, seperti dalam belajar dan pembelajaran, terutama memasuki era globalisasi, perlu juga mempertimbangkan rekomendasi UNESCO tentang empat pilar pendidikan sebagai upaya pengembangan pemuda.

b) Rekomendasi untuk Penelitian Lanjutan

Bagi peneliti lanjutana dapat direkomendasi untuk mengambil beberapa tema yang besumber dari hasil penelitian ini. baik yang bersifat replikasi atau perluasannya maupun yang berkenaan dengan fokus yang diteliti. Secara spesifik rekomendasi ditujukan kepada peneliti lanjutan yang bergerak dalam bidang pengembangan program pendidikan luar sekolah, terutama yang bersumber dari penelitian ini adalah : Pertama ; Model pelatihan kecakapan hidup dan berwirausaha ini telah memadai untuk dikatakan sebuah model, karena telah melalui pengujian atau validasi baik secara teoritik dan empirik. Namun demikian dalam ujicobanya masih dilakukan secara terbatas, baik itu dari sisi kelompok sasarannya, lokasi maupun siklus ujicobanya, untuk itu masih diperlukan kegiatan ujicoba yang lebih luas. Kedua ; Berkaitan dengan model penelitian, masih perlu dilakukan pengujian secara kuantitatif melalui desain penelitian eksperimental yang ketat. Sebagai variabel kriteria dapat dipilih misalnya besarnya modal awal, tingkat pendidikan, jenis usaha, keterlibatan pihak lain, dan asal daerah peserta seperti kota atau desa. Ketiga ; Model yang dikembangkan dalam penelitian ini hanya dilakukan pengujian pada dua kelompok berpasangan yaitu sebelum dan sesudah diberikan pelatihan. Sehubungan dengan itu untuk lebih meyakinkan keefektifan dari model ini, masih perlu dikembangkan lagi dengan memberikan bandingan melalui pembentukan kelompok kontrol (sebagai pembanding) diluar kelompok berpasangan yang telah diberikan pelatihan. Keempat; Model yang dikembangkan dalam pelatihan ini juga masih hanya pada dua jenis keterampilan saja, yaitu hanya pada perakitan dan pelayanan jasa perbaikan computer dan ponsel. Bagi peneliti lanjutan masih memungkinkan untuk mengembangkan dalam jenis keterampilan lain Kelima ; Hasil model yang dikembangkan dalam penelitian ini tidak untuk digeneralisasikan kepada semua kalangan, namun demikian dapat

Page 124: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

119

juga diterapkan pada sasaran atau kelompok lain yang memiliki kesamaan karakteristik baik dari segi peserta maupun kondisi lingkungan seperti dalam penelitian ini (pemuda anggota KNPI kota Bandung).

DAFTAR PUSTAKA

Abdulhak, Ishak. (1995). Metodologi Pembelajaran pada Pendidikan Orang Dewasa. Bandung :

Cipta Intelektual. Alwasilah, A. Caedar, 2003. Pokoknya Kualitatif. Jakarta, PT. Kiblat Buku Utama Anderson, arnold C, Bowman, Mary Jean. (1965). Educational Economic Development. Chicago :

Aldine Publishing Comp. Arief, Zainudin,(1997). Andragogi. Bandung : Angkasa. Arikunto, Suharsini,(1989). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta :Bina Aksara. Basleman, Anisah & Mappa, Syamsu, (1994).Teori Belajar Orang Dewasa. Jakarta : Proyek

Pembinaan dan Peningkatan Mutu Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdikbud.

Bogdan, Robert C., Biklen, Sari Knopp,(1982). Qualitative Research For Education: An Introduction to Theory and Method. Boston :Allyn and Bacon, Inc.

Caplow, Theodore. 1954. The Sociologi of Work. New Jersey: Princetown University Press. Cary, Lee J. 1970. Community Development As A Process. Columbia: Missouri. Chambers, Robert. 1987. Pembangunan Desa Mulai Dari Belakang. Jakarta: LP3ES. Combs, Philip H. dan Manzoor Ahmed. 1984. Memerangi Kemiskinan di Dunia Ketiga Melalui

Pendidikan Non-Formal. Jakarta: Rajawali. Darkenwald, Gordon D., and Merriam, Sharan B.,(1982). Adult Education: Foundation of Practic.

New York : Harper and Row, Publisher. Depdikbud,(2003). Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta : BP. Restindo

Mediatama. Dharma, Agus,(1998). Perencanaan Pelatihan, Pusdiklat Pegawai Depdikbud Dunn, Edgar S, Jr. 1971. Economic dan Social Development: A Process of Social Learning.

Baltimore: The Johns Hopkins University Press. Freire, Paulo. 1984. Pendidikan, Pembebasan, Perubahan Sosial. Jakarta: Sangkala Pulsar. Good, Tom W.(1982). Delivering Effective Training. San Diego. California, Inc.: University Associates. Havelock, G. Ronald. 1975. The Change Agent’s Gide to Inovation in Education. New Jersey:

Educational Technology Publication. Hikmat, Harry. 2001. Strategi Pemberdayaan Masyarakat, Bandung, Humaniora Utama. Ingalls, John D. (1972). A Trainers Guide to Andragogi. Revised Edition. Washington, D.C. :U.S.

Departement Of Healt, Education, And Welfare. Iskandar, Anwas. 1988. Petunjuk Teknis Program Kejar Paket A dan Program kejar Usaha.

Jakarta: Depdikbud. Keputusan Menteri Negara Koordinator Bidang Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan

Aparatur Negara, Nomor : 25/KEP/MK.WASPAN/6/1999, Tentang Jabatan Fungsional Pamong Belajar dan Angka Kreditnya.

Kidervatter, Suzanne. 1979. Nonformal Education as An Empowering Process. Massachusetts: Center for International Education University of Massachusetts.

Kinlaw, Dennis.C. (1996). The ASTD Trainer’s Sourcebook; Coaching. Mc Graw-Hill. Knowles, Malcom S. (1986). The Adult Learner A Neglected Species. Third Edition. Houston : Gulf

Publishing Company. Korten, David C. 1980. “Community Organization dan Rural Development: A Learning Process

Approach” dalam Public Administration Review. Sept-Oct. 1980.

Page 125: Jurnal Empowerment Fixz

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

120

Leask, Marilyn, et al. 1996. Recruiting Science Teachers from Ethnic Minority Groups: Selection for initial Teacher Education. In Research ini Science & Technological Education. Number. 1 Volume. 14. Massachusetts: Carfax.

Maryono. 1997. “Pemberdayaan Nakerwan Lewat Model Pembelajaran Luar Sekolah”. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Luar Sekolah dan Konvensi ISPPSI tahun 1997, tanggal 13-15 Nopember 1997.

Naisbitt, John. 1995. Megatrends Asia: Delapan Megatrend Asia yang Mengubah Dunia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Nasution, Zulkarimein. 1992. Komunikasi Pembangunan: Pengenalan Teori dan Penerapannya. Jakarta: Rajawali.

Peraturan Pemerintah Nomor 73. Tahun 1991. Tentang Pendidikan Luar Sekolah. Jakarta: Sekretariat Jenderal Depdikbud.

Rogers, Everett M. dan Shoemaker F. Floyd. 1971. Communication of Innovations. New York: The Free Press.

Rogers, Everett M. 1983. Diffusion of Innovations. New York. A Devision of Macmillan Publishing Co. Inc.

Siagian, Sondang. P.(1998). Manajemen Sumber Daya Manusia.Jakarta: Bumi Aksara. Srinivasan, Lyra.(1979). Beberapa Pandangan Mengenai Pendidikan Non Formal Bagi Orang

Dewas., Bandung :BPKB Jayagiri Lembang. Sudirman,. (2001), Dampak Pelatihan Terhadap Peningkatan Pendapatan Lulusan Pelatihan.

Tesis. Sudjana, H.D.(1996). Pendidikan Luar Sekolah, Wawasan Sejarah Perkembangan Falsafah & Teori

Pendukung Azas. Bandung : Nusantara Press. ___________,(1993). Strategi Pembelajaran dalam Pendidikan Luar Sekolah. Bandung :Nusantara

Press. ___________,(1993). Metode dan Teknik Pembelajaran Partisipatif dalam Pendidikan Luar Sekolah.

Bandung : Nusantara Press. ____________ ,(1992). Pengantar Manajemen Pendidikan Luar Sekolah. Bandung : Nusantara Press. Soedomo, M. 1993. “Pendidikan Luar Sekolah ke Arah Sistem Belajar Masyarakat. Jakarta:

P2LPTK-Depdikbud. Tilaar, H.A.R. 1999. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Indonesia Tera. Trisnamansyah, Sutaryat dkk. 1995. Studi Tentang Karakteristik Kebutuhan Pendidikan Pasca

Melek Huruf dan Pendidikan Berkelanjutan dalam Hubungan dengan Kebutuhan Tenaga Kerja Sektor Industri di Jawa Barat. Dalam Mimbar Penelitian. No. 26 Juli 1995. (Hal. 62-75).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003. Tentang Sistem Pendidikan Nasional: Jakarta, BP Restindo Mediatama.

UNESCO. 1992. Program Berorientasi Masa Depan. Jakarta: Depdikbud. Usman, Sunyoto. 1998. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar. Zaltman, Gerald dan R. Duncam. 1987. Creating Social Change. New York: Holt Reneihart dan

Winston, Inc.

Page 126: Jurnal Empowerment Fixz