jurnal emasains no 1

117
VOLUME I, NOMOR 1, SEPTEMBER TAHUN 2012 ISSN 2302-2124 Emasains JURNAL EDUKASI MATEMATIKA dan SAINS Studi Morfologi dan Anatomi Bunut Amplas (Ficus amplas). Pemanfaatan Laboratorium Biologi Implementasi Pendekatan Pembelajaran Kontekstual Uji Aktivitas Ekstrak Daun Saba (Piper majusculum Blumae) Eksplorasi Senyawa Aktif pada Tumbuhan Sebagai Pestisida Nabati Penerapan Strtategi Pembelajaran Open Ended. Pola Latihan Berjenjang Berbasis Kooperatif Hubungan Cara Belajar dan Motivasi Berprestasi Perbandingan Metode Saringan Erastostones, Teorema Kecil Format, dan Teorema Willson Pengetahuan Dan Sikap Kesadaran Terhadap Lingkungan Hidup Penerapan Senam Otak terhadap Kemampuan Berpikir kreatif. FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (IKIP) PGRI BALI Jln Akasia Desa Sumerta No.: 16 Denpasar Timur Telp. (0361) 265693 Email: [email protected] JEms

Upload: hijimeru

Post on 28-Oct-2015

588 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal Emasains No 1

VOLUME I, NOMOR 1, SEPTEMBER

TAHUN 2012

ISSN 2302-2124

Emasains

JURNAL EDUKASI

MATEMATIKA dan SAINS

Studi Morfologi dan Anatomi Bunut Amplas (Ficus amplas).

Pemanfaatan Laboratorium Biologi

Implementasi Pendekatan Pembelajaran Kontekstual

Uji Aktivitas Ekstrak Daun Saba (Piper majusculum Blumae)

Eksplorasi Senyawa Aktif pada Tumbuhan Sebagai Pestisida Nabati

Penerapan Strtategi Pembelajaran Open Ended.

Pola Latihan Berjenjang Berbasis Kooperatif

Hubungan Cara Belajar dan Motivasi Berprestasi

Perbandingan Metode Saringan Erastostones, Teorema Kecil Format, dan Teorema Willson

Pengetahuan Dan Sikap Kesadaran Terhadap Lingkungan Hidup

Penerapan Senam Otak terhadap Kemampuan Berpikir kreatif.

FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (IKIP) PGRI BALI Jln Akasia Desa Sumerta No.: 16 Denpasar Timur

Telp. (0361) 265693 Email: [email protected]

JEms

Page 2: Jurnal Emasains No 1

Emasains jurnal edukasi matematika dan sains

Emasains, Jurnal Edukasi Matematika dan Sains terbit dua kali dalam setahun (Maret dan

September), Berbahasa Indonesia maupun Inggris. Sebagai media komunikasi ilmiah dengan

kajian masalah pendidikan, pendidikan matematika, sains dan lingkungan hidup. Memuat tulisan

yang berasal dari hasil penelitian, kajian teoretis dan aplikasi teori.

Penasehat

Dr. I Made Suarta, SH., M. Hum

Penanggungjawab

Drs. I Wayan Suanda, SP., M.Si.

Ketua Redaksi

Drs. I Nengah Suka Widana, M.Si

Sekretaris Redaksi

Dra. I Gusti Ayu Rai, M.Si.; I Wayan Eka Mahendra, S.Pd., M.Pd

Redaksi Ahli

Prof.Dr. I Wayan Suparta, M.S (UNUD).

Prof. Dr. Putu Budiadnyana, M.Si (Undiksha Singaraja).

Dr. Bayu Aji (LIPI-Kebun Raya Eka Karya Bali).

Dr. Ir. I G.N. Alit Wirya Susanta, M.Agr. (UNUD).

Drs. I Wayan Budiyasa, M.Si. (IKIP PGRI Bali).

Drs. I Dewa Putu Juwana, M.Pd. (IKIP PGRI Bali).

Redaksi Pelaksana

Drs. Made Surat, M.Pd.; Drs I Wayan Sudiarsa.; Drs. I Made Sunastra, M.Si.

M.Si.; Drs. I Made Subrata; M.Si; I Wayan Widana, S.Pd., M.Pd.

N. Putri Sumaryani, SP., M.MA.; Made Wahyu Cerianingsih, S.Si.

Ni Luh Mery Marlinda, S.Pd.

Bendahara

Dra. Ni Nyoman Parmithi, MM.

Distribusi

Putu Sukerteyasa, S.Pd.; Made Mahendrajaya, S.S.

Pembantu Pelaksana Tata Usaha

Sri Utami, S.Pd.; Wayan Ariastini Dewi.

Alamat Redaksi

Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IKIP PGRI Bali

Jln Akasia Desa Sumerta No.: 16 Denpasar Timur

Telp. (0361) 265693 Email: [email protected]

JEms

Page 3: Jurnal Emasains No 1

Emasains jurnal edukasi matematika dan sains

DAFTAR ISI

PENGANTAR REDAKSI iii

Studi Morfologi dan Anatomi Bunut Amplas (Ficus amplas) Sebagai Bahan Penghalus

Permukaan Kayu (Ampelas)

I Nengah Suka Widana dan Indah Putu Murtiwati

1 – 9

Pemanfaatan Laboratorium Biologi sebagai Upaya Meningkatkan Aktivitas dan

Prestasi Belajar Mata Kuliah Zoologi Invertebrata.

I Wayan Budiyasa

10 - 15

Implementasi Pendekatan Pembelajaran Kontekstual untuk Meningkatkan Hasil

Belajar dan Sikap Ilmiah Peserta Didik Kelas VII pada Pelajaran IPA di SMP Negeri

11 Denpasar.

Ni Wayan Ratnadi dan I Wayan Suanda

16 - 24

Uji Aktivitas Ekstrak Daun Saba (Piper majusculum Blumae) terhadap daya hambat

Jamur Fusarium oxisforum f.sp vanilae Penyebab Penyakit Busuk Batang Panili.

I Gusti Ayu Rai

25 - 31

Eksplorasi Senyawa Aktif pada Tumbuhan Sebagai Pestisida Nabati.

I Made Subrata

32 - 40

Upaya Peningkatan Prestasi Belajar Matematika Siswa Kelas XII IPA-2 SMA Negeri 1

Kerambitan Semester 2 Tahun Pelajaran 2009/2010 Melalui Penerapan Strtategi

Pembelajaran Open Ended.

I Wayan Widana

41 - 47

Meningkatkan Kemampuan Memahami Konsep Limit Melalui Pola Latihan Berjenjang

yang Berbasis Kooperatif pada Mahasiswa Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA

IKIP PGRI Bali.

I Made Surat

48 - 56

Hubungan Cara Belajar dan Motivasi Berprestasi Terhadap Prestasi Belajar

Matematika SMP Negeri 2 Mengwi.

I Dewa Putu Juwana

57 - 70

Perbandingan Metode Saringan Erastostones, Teorema Kecil Format, dan Teorema

Willson dalam Menentukan Keprimaan Suatu Bilangan

I Wayan Sudiarsa

71 - 84

Pengetahuan Dan Sikap Kesadaran Terhadap Lingkungan Hidup Mahasiswa Menurut

Bidang Ilmu Yang Ditekuni Di IKIP PGRI BALI Tahun 2011-2012.

Ni Nyoman Parmithi, I Nengah Suka Widana, I Gusti Ayu Rai.

85 - 94

Pengaruh Penerapan Senam Otak terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa Kelas

VII SMP N 1 Marga.

I Wayan Eka Mahendra

95-98

PEDOMAN PENULISAN EMASAINS 99-100

JEms

Page 4: Jurnal Emasains No 1

Studi Anatomi Dan Morfologi Bunut Ampelas (Ficus ampelas Burm) Sebagai Bahan

Penghalus Permukaan Kayu (Ampelas)

I Nengah Suka Widana dan Putu Indah Murtiwati.

Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali,

Email: [email protected], [email protected]

ABSTRACT Study of Anatomy and Morphology Bunut Ampelas (Ficus ampelas Burm) For Smoother Surface

Material Wood (Sandpaper). Leaves are plants that serve the principal organ of photosynthesis, found in the trunk and

is often used as a distinguishing morphological characters. Bunut sandpaper (emery Ficus Burm)

is a wild plant but sometimes grown/cultivated for its leaves is taken as smoothing wood surfaces

(sandpaper). The study aims to determine the structure of the morphology, anatomy and silicate

content in the leaves. Qualitative descriptive research-based single species of plant, such as

leaves Subjects sandpaper on two types of sandpaper types bunut white and black objects such as

anatomy, morphology and content of silicates. The study was conducted in February s / d April

2012, leaf sampling locations in the Gianyar and Tabanan. Analysis of the anatomy and

morphology and the amount of silicate performed at the Laboratory of Biology Department of

Education FPMIPA IKIP PGRI Bali. Findings of each difference in morphological structure, leaf

anatomy and content of silicates in both types bunut sandpaper. Leaves a rough surface due

trikomata containing many silicate (SiO2) on the surface of leaves and very strong to smooth the

surface of the wood, when the leaves have dried. Comparison of the average number of

trichomes: 1:3 among whites with black sandpaper. Thus sandpaper black type trichomes contain

more powerful and capable of smoothing over the survace of the wood.

Keywords: Bunut ampelas, anatomy, morphology, sandpaper.

PENDAHULUAN

Daun tergolong organ utama pada tumbuhan, dan berfungsi penting dalam fotosintesis.

Organ ini hanya tumbuh pada batang saja, dan tidak terdapat pada bagian lain tubuh tumbuhan.

Daun biasanya tipis melebar, kaya akan zat warna hijau (klorofil), oleh karenanya daun

umumnya berwarna hijau dan menyebabkan daerah-daerah yang ditempati tumbuhan nampak

sebagai hamparan hijau. Daun mempunyai umur yang terbatas, akhirnya akan runtuh dan

meninggalkan bekas pada batang. Pada saat akan runtuh warna daun berubah menjadi

kekuningan dan akhirnya menjadi perang. Jadi daun yang telah tua, kemudian mati dan runtuh

dari batang mempunyai warna yang berbeda dengan daun yang masih segar. Karakter yang

terdapat pada daun baik aspek morfologi dan anatomi sering digunakan untuk membedakan

antara tanaman yang dekat kekerabatannya. Morfologi tumbuhan adalah cabang biologi yang

mengkaji bentuk dan susunan tubuh tumbuhan dan bertugas untuk menentukan fungsi masing-

masing yang beraneka ragam bagian tubuh tumbuhan serta mengetahui dari mana asal bentuk

dan susunan tumbuhan yang beraneka ragam (Gembong, 2007). Anatomi tumbuhan merupakan

analogi dari anatomi manusia atau hewan. Walaupun secara prinsip kajian yang dilakukan adalah

melihat keseluruhan fisik sebagai bagian-bagian yang secara fungsional berbeda, anatomi

tumbuhan menggunakan pendekatan metode yang berbeda dari anatomi hewan. Organ tumbuhan

terekspos dari luar, sehingga umumnya tidak perlu dilakukan "pembedahan". Daun lengkap

terdiri dari pelepah daun, tangkai daun serta helai daun. Helai daun sendiri memiliki urat daun

Page 5: Jurnal Emasains No 1

yang tidak lain adalah kelanjutan dari jaringan penyusun batang yang berfungsi menyalurkan

hara atau produk fotosintesis. Genus Ficus (sebangsa bunut/beringin) merupakan tumbuhan yang

banyak ditemukan di Indonesia, meliputi ratusan jenis. Banyak berguna bagi manusia (pakaian

dari kulit pohon, karet, kayu bakar, makanan ternak, tali temali, lalab, ampelas dan lainnya (Van

Steenis et. al., 1981). Ficus ampelas Pohon besar, tinggi 20-25 m, berakar tunggang. Batang

tegak, bulat, permukaan kasar, coklat kehitaman, percabangan simpodial, pada batang keluar

akar gantung (akar udara). Daun tunggal, bertangkai pendek, letak bersilang berhadapan,

bentuknya lonjong, tepi rata, ujung runcing, pangkal tumpul, panjang 3-6 cm, lebar 2-4 cm,

pertulangan menyirip, berwarna hijau. Bunga tunggal, keluar dari ketiak daun, kelopak bentuk

corong, mahkota bulat, halus, kuning kehijauan. Buah buni, bulat, panjang, 0,5-1 cm, masih

muda hijau, setelah tua merah. Biji bulat, keras, putih (Farmasi UGM, 2010). Ficus ampelas atau

bunut ampelas merupakan salah satu anggota ficus-ficusan yang umumnya tumbuh liar di

pinggiran sungai atau tegalan namun sering dibudidayakan karena kegunaan daunnya sebagai

penghalus kayu, dan sebagai salah satu tanaman yang digemari untuk dikerdilkan menjadi

tanaman bonsai. Kegunaan lain dimana cairan dari tumbuhan ini dapat diminum, berguna untuk

pengobatan bagi orang yang mengalami kesulitan mengeluarkan air kencing dan sebagai obat

murus/mencret. Cairan tersebut mengandung air, berwarna cokelat kekuningan dan rasanya

pedas, diperoleh dengan cara memotong akar dan airnya ditampung dalam bejana kecil.

Berdasarkan paparan tersebut permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian meliputi

bagaimanakah stuktur morfologi dan anatomi daun ampelas (F.ampelas Burm)? dan apakah

terdapat kandungan silikat pada daun sehingga mampu menghaluskan kayu? Adapun tujuan

penelitian adalah untuk mengetahui struktur morfologi dan anatomi daun ampelas (F.ampelas

Burm) dan untuk mengetahui kandungan silikat pada daun sehingga dapat digunakan sebagai

bahan penghalus kayu (ampelas). Temuan yang diperoleh bermanfaat menambah wawasan siswa

tentang manfaat berbagai jenis tumbuhan dalam kehidupan sehari-hari dan meningkatkan minat

mempelajari tumbuhan-tumbuhan (Botani), terutama struktur anatomi dan morfologi daun

ampelas (F.ampelas Burm), karena dengan melihat struktur anatomi dan morfologi maka dapat

diketahui kegunaannya.

Anatomi daun dapat dibagi menjadi 5 bagian yaitu epidermis dan derivatnya. Epidermis

daun terdapat dipermukaan atas maupun bawah, umumnya terdiri atas selapis sel, tetapi ada pula

yang terdiri beberapa lapis sel (epidermis ganda). Jumlah lapisan epidermis bagian atas sebagai

derivate biasanya lebih banyak daripada permukaan bawah. Bila epidermis bawah berlapis

banyak maka akan terdapat ruang substomata yang besar antara sel penutup dengan jaringan

mesofil. Stomata sebagai derivat epidermis terdapat di kedua permukaan daun atau salah satu

permukaan saja, umumnya di bagian bawah. Stomata dapat tersebar merata di seluruh

permukaan daun, tersusun menurut alur-alur tertentu. Trikoma berasal dari sel-sel epidermis,

terdiri atas sel tunggal atau banyak sel. Trikoma mempunyai peranan yang sangat penting dalam

taksonomi tumbuhan karena familia tertentu dapat dikenal dari jenis trikomanya. Fungsi trikoma

bagi tumbuhan adalah mengurangi penguapan (apabila terdapat pada epidermis daun),

meneruskan rangsang, mengurangi gangguan hewan, membantu penyebaran biji, membantu

penyerbukan bunga, menyerap air serta garam-garam mineral. Berdasarkan ada tidaknya fungsi

sekresi, trikoma dibedakan menjadi dua yaitu trikoma yang tidak menghasilkan secret (non-

glanduler) berupa rambut bersel satu atau bersel banyak dan tidak pipih, rambut sisik yang

memipih dan bersel banyak, rambut bercabang dan bersel banyak, rambut akar yang merupakan

pemanjangan sel epidermis dalam bidang yang tegak lurus permukaan akar. Trikoma yang

menghasilkan secret (glanduler) yaitu trikoma hidatoda, terdiri atas sel tangkai dan beberapa sel

Page 6: Jurnal Emasains No 1

kepala, mengeluarkan larutan yang berisi asam organic, kelenjar garam, terdiri atas sebuah sel

kelenjar besar dengan tangkai yang pendek. Kelenjar madu, berupa rambut bersel satu atau lebih

dengan plasma yang kental dan mampu mengeluarkan madu ke permukaan sel. Rambut gatal,

berupa sel tunggal dengan pangkal berbentuk kantong dan ujung runcing. Isi sel menyebabkan

rasa gatal (Nugroho, dan Hartanto, 2006).

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriftif-kualitatif berbasis satu spesies

tanaman, berupaya menjelaskan atau menggambarkan keadaan subjek atau objek penelitian pada

saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui struktur morfologi, anatomi dan kandungan silikat pada daun

ampelas sehingga dapat digunakan sebagai bahan penghalus permukaan kayu (ampelas).Subjek

penelitian adalah setiap individu/ subjek yang dituju untuk diselidiki/ diteliti oleh peneliti yang

didalamnya terkandung objek penelitian. Dalam penelitian ini sebagai subjek adalah daun

ampelas (F. ampelas Burm).Objek penelitian adalah sesuatu yang menjadi problematika/

masalah bagi peneliti. Objek penelitian juga merupakan setiap gejala atau peristiwa yang akan

diselidiki. Dalam penelitian ini yang menjadi objek penelitian adalah anatomi morfologi dan

kandungan silikat pada daun ampelas .

Prosedur Penelitian dengan menerapkan langkah-langkah berikut, yaitu persiapan alat dan

bahan diperlukan. Alat yang digunakan dalam identifikasi morfologi dan anatomi yaitu kamera,

mikroskop, pisau atau silet, kaca objek dan kaca penutup. Sedangkan untuk identifikasi

kandungan silikat (SiO2), menggunakan tabung reaksi, gelas kimia, corong, labu elemeyer,

pembakar spritus, penjepit tabung reaksi. Bahan yang digunakan adalah daun ampelas (jenis

hitam dan putih), kertas saring, air (H2O), asam sulfat pekat (H2SO4), natrium sulfat (Na2SO4),

NaHCO3, NaOH. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP

PGRI Bali, dan Laboratorium Biologi dan Kimia SMA Negeri 1 Sukawati dari tanggal Pebruari

sampai April 2012.

Identifikasi morfologi daun F.ampelas Burm berdasarkan karakter-karakter yang ada pada

daun, meliputi bangun daun (circum scriptio), ujung daun (apex), pangkal daun (basis),

pertulangan daun, tepi daun (margo folii), Daging daun (mesofil), Warna daun, Permukaan daun.

Identifikasi anatomi dengan melalukan prosedur sebagai berikut: Umbi ubi kayu dibelah

kearah memanjang atau membujur (sebagai penjepit), memilih sampel daun yang umurnya tidak

terlalu tua dan tidak terlalu muda, kemudian diletakkan atau dijepit pada belahan umbi ubi kayu.

Daun tersebut diiris melintang menggunakan silet/pisau tajam. Diusahakan diperoleh irisan

setipis mungkin, lalu diletakkan pada kaca objek kemudian tetesi dengan air dan tutup dengan

kaca penutup (cover glass).; dilakukan pengamatan di bawah mikroskop. Hasil pengamatan

berupa gambar didokumentasi (difoto atau digambar pada kertas gambar); Pengamatan

mikroskup difokuskan pada karakter anatomi (letak dan jumlah trikomata pada permukaan

daun), dan juga letak kristal silikat (SiO2) pada daun ampelas.

Analisis kualitatif kandungan silikat, dengan prosedur sebagai berikutl sebanyak 0,25 gr daun

ampelas dipotong tipis, kemudian dicampur dengan 1,080 gr NaHCO3: lalu dibakar sampai

menjadi abu. Abu sebanyak 1 gr dilarutkan dengan aquades, hingga volume 10 ml; kemudian

tambahkan dengan 1 ml NaOH 1 M, dipanaskan sampai suhu 1000C (mendidih) selama 5 menit;

Air abu yang mendidih ditambahkan larutan H2SO4 (asam sulfat) pekat dan dipanaskan kembali

selama 2 menit. Dinginkan kemudian difiltrasi dan filtrate dilarutkan pada air bermineral (air

Page 7: Jurnal Emasains No 1

yang mengandung ion-ion); dilakukan penyaringan sehingga ditemukan endapan putih berupa

silikat (SiO2).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Pengumpulan data dengan menerapkan teknik observasi terhadap aspek morfologi, anatomi

dan uji kualitatif kandungan silikat. Data tersebut dianalisis secara deskriptif dengan

mengorganisasikan data, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun dalam

pola, memilah dan membuat simpulan (Sugiyono, 2010).

1. Hasil pengamatan morfologi daun amplas hitam disajikan pada tabel 1.

Tabel 1. Morfologi Daun F.ampelas Burm hitam

No Morfologi Deskripsi Karakter

1 Bangun daun A Panjang : lebar = 2 ½-3:1. Memanjang

2 Ujung daun A

B

Kedua tepi daun di kanan kiri ibu tulang sedikit

demi sedikit menuju ke atas dan pertemuannya

pada puncak daun membentuk sudut lancip.

Pertemuan kedua ujung daun nampak sempit

panjang dan runcing.

Runcing

Meruncing

3 Pangkal daun A

B

Tepi daun yang semula masih agak jauh dari ibu

tulang, cepat menuju ke suatu titik pertemuan,

hingga membentuk sudut tumpul.

Pada pangkal yang tumpul tetapi tidak terbentuk

sudut sama sekali, hingga pangkal daun

merupakan semacam suatu busur.

Tumpul

Membulat

4 Pertulangan

daun

A Memiliki satu ibu tulang yang berjalan dari

pangkal ke ujung dan merupakan terusan tangkai

daun.

Menyirip

5 Tepi daun A

B

C

Tepi daunnya rata

Sinus tumpul dan angulus lancip

Dalamnya toreh kurang daripada setengah

panjangnya tulang-tulang daun yang terdapat di

kanan kirinya

Rata

Bergigi

Berlekuk

6 Daging daun A Tipis tetapi cukup kaku Seperti

perkamen

7 Warna daun A

B

Masih muda

Sudah tua

Hijau

Kuning

8 Permukaan

daun Atas

Bawah

A

B

Permukaan daun kasar seperti pasir.

Berambut kaku dan jika diraba terasa kasar

Kasap

Berbulu

kasar

Perbandingan morfologi daun amplas hitam dan putih berdasarkan pengamatan di habitat

aslinya.

Page 8: Jurnal Emasains No 1

Gambar 1. Daun ampelas hitam

(Sumber: Pengamatan sendiri) Gambar 2. Daun ampelas putih

(Sumber: Pengamatan sendiri)

Berdasarkan pengamatan lapangan terhadap ampelas hitam diperoleh data morfologi,

disajikan pada tabel 1 dan gambar 1 dapat dilihat morfologi daun ampelas yaitu: dalam satu

pohon memiliki tepi daun yang berbeda, yaitu ada yang rata, bergigi dan berlekuk, pada ujung

daun ada yang runcing, tumpul, meruncing, pangkal daun ada yang tumpul dan membulat.

Dilihat dari morfologi daunnya pada permukaan atas maupun bawah dari daun ampelas terdapat

bulu yang kasar sehingga permukaan daun menjadi kasar. Di tempat peneliti menemukan

tanaman ampelas ini, masyarakat menggunakannya sebagai pembersih peralatan dapur.

Tabel 2. Morfologi Daun F.ampelas Burn putih

No Morfologi Deskripsi Karakter

1 Bangun daun A Panjang: lebar = 1,5-2:1 Jorong

2 Ujung daun A

Ujung daun tampak sebagai garis

yang rata

Rompang

3 Pangkal daun A

Tepi daun yang semula masih agak

jauh dari ibu tulang

Tumpul

4 Pertulangan daun A Memiliki satu ibu tulang yang

berjalan dari pangkal ke ujung dan

merupakan terusan tangkai daun

Menyirip

5 Tepi daun A Tidak tedapat angulus dan sinus Rata

6 Daging daun A Tipis tapi cukup kaku Seperti perkamen

7 Warna daun A Muda Hijau

8 Permukaan daun

Atas

Bawah

A

B

Mengkilat

Kasar

Licin

Kasap

2. Anatomi Daun Ampelas

Trikoma

Page 9: Jurnal Emasains No 1

Gambar 3. Irisan Melintang Daun Ampelas Hitam (repro)

Pada struktur anatomi daun ampelas putih terdapat epidermis ganda (epidermis atas dan

epidermis bawah), jaringan tiang, kristal, stomata, jaringan bunga karang, sarung berkas

pengangkut, dan trikoma yang berupa bulu yang berduri.

Gambar 4. Irisan melintang daun ampelas putih (repro)

Anatomi daun ampelas putih adalah epidermis ganda (epidermis atas dan epidermis bawah),

jaringan tiang, kristal, stomata, jaringan bunga karang, sarung berkas pengangkut.

3. Analisis Kandungan Silikat Pada Daun Ampelas

Tabel 3. Hasil Pengamatan Kandungan Silikat

No. Cara Kerja Pengamatan

1 Air abu Agak keruh

2 Air abu + NaOH Tetap keruh

3 Air abu + H2SO4 Endapan Hitam

4 Filtrate + air dimineralisasi (Na2SO4) Terbentuk endapan putih (silikat)

5 Filtrate + air dimineralisasi (Na2SO4KCl) Terbentuk endapan putih sedikit (sulit diamati)

Berdasarkan hasil identifikasi kandungan silikat pada daun ampelas hitam dan daun

ampelas putih, ditemukan adanya endapan putih. Hal tersebut membuktikan pada kedua jenis

Epidermis atas

Kristal

Jaringan berkas

pengangkut

Stomata Epidermis

bawah

Sarung berkas pengangkut

Sarung berkas pengangkut

Jaringan tiang

Jaringan

bunga karang

Stomata Epidermis

bawah

Epidermis atas

atas

Page 10: Jurnal Emasains No 1

daun amplas tersebut mengandung cukup banyak silikat (SiO2), terutama pada bagian permukaan

daunnya. Temuan tersebut memperkuat dugaan bahwa silikat tersebut menyebabkan permukaan

daun menjadi kasap atau kasar, sehingga memiliki kemampaun cukup kuat untuk menghaluskan

permukaan kayu seperti halnya amplas yang diproduksi oleh pabrik.

4. Hasil Pengamatan Jumlah Trikoma pada Amplas hitam dan putih

Tabel 4. Hasil pengamatan trikoma melalui mikroskop

No Pengamatan Tipe daun ampelas

hitam putih

1 1 cm pada ujung daun 5 0

2 1 cm pada bagian pinggir atas daun 9 2

3 1 cm pada bagian pinggir atas daun 8 3

4 1 cm pada bagian pinggir atas daun 8 2

5 1 cm pada bagian tengah daun 12 4

6 1 cm pada bagian tengah daun 10 4

7 1 cm pada bagian tengah daun 14 6

8 1 cm pada bagian pinggir bawah daun 10 5

9 1 cm pada bagian pinggir bawah daun 8 3

10 1 cm pada bagian pinggir bawah daun 8 5

11 1 cm pada pangkal daun 7 2

Jumlah 99 36

Rata-rata 9 3,3

5. Hasil Pengamatan Amplasan Permukaan Kayu

Tabel 5.Hasil Ampelasan Permukaan Kayu

Daun ampelas hitam Daun ampelas putih

Permukaan daun sebelum diampelas kasar dan

berwarna coklat.

Permukaan daun sebelum diampelas kasar dan

berwarna coklat.

Setelah diampelas dengan 25 kali gosokan,

permukaan kayu menjadi lebih halus.

Setelah diampelas dengan 25 kali gosokan,

pada permukaan kayu terdapat goresan, tetapi

tidak halus.

Setelah diampelas dengan 35 kali gosokan,

permukaan kayu menjadi halus.

Setelah diampelas dengan 35 kali gosokan,

pada permukaan kayu terdapat goresan, tetapi

tidak halus.

Pembahasan

Pengamatan pada karakter morfologi, anatomi daun bunut ampelas, maka dapat

mengetahui kegunaan dari daun ampelas tersebut. Karakter morfologi daun ampelas hitam pada

karakter tepi daun yaitu diperoleh hasil tepi daun rata, bergigi, berlekuk, ujung daun ada yang

runcing, tumpul, meruncing, pangkal daun tumpul dan membulat, permukaan daun kasap dan

berbulu kasar. Temuan berupa ujung daun yang tidak konsisten karena dipengaruhi oleh umur

pertumbuhan dan perkembangan daun yang dimati. Sedangkan struktur morfologi daun ampelas

putih yaitu bangun daunnya jorong, ujung daun rompang, pangkal daun tumpul, pertulangan

daunya menyirip, tepi daun rata, daging daunnya seperti perkamen, warna daun hijau, permukaan

daun muda licin, setelah tua menjadi lebih kasar. Dilihat dari permukaan daunnya yang kasap

masyarakat banyak yang menggunakan daun ampelas untuk mencuci galon, gelas, perabotan

Page 11: Jurnal Emasains No 1

dapur yang susah dibersihkan, dengan cara menggosokkan ke bagian yang akan dibersihkan.

Selain itu daun ampelas pada jaman dulu digunakan sebagai bahan penghalus permukaan kayu

karena permukaan daunnya kasap/ kasar dan kaku. Berdasarkan temuan pada permukaan daun,

permukaan kasar pada daun ampelas lebih disebabkan oleh adanya trikoma yang tersebar di

permukaan daun, dan hasil pengamatan dengan membandingkan kedua tipe daun ampelas yaitu

hitam dengan putih (data disajikan pada tabel 4), terdapat perbedaan dalam hal jumlah sebaran

trikoma pada masing-masing permukaan daun. Penghitungan jumlah trikoma dlakukan pada

permukaan daun dengan metode plot di sejumlah titik yang tersebar pada permukaan daun, yaitu

pada pangkal, tengah dan ujung pada sebanyak 11 titik. Jumlah trikoma yang ditemukan pada

daun ampelas hitam 99 dan pada ampelas putih 36, jika dibuat rasion perbandingan antara

ampelas hitam dengan putih, 3:1. Temuan tersebut mengindikasikan bahwa kemampuan ampelas

hitam dalam meghaluskan permukaan kayu lebih baik dibandingkan ampelas putih. Hal tersebut

diperkuat oleh hasil ampelasan pada kayu dimana permukaan kayu yang lebih halus dihasilkan

oleh daun ampelas hitam (data pada tabel 5). Daun ampelas hitam yang biasa digunakan sebagai

ampelas sehingga dapat memperoleh hasil yang lebih bagus adalah daun yang sudah tua atau

yang sudah kering walaupun daun yang muda juga dapat digunakan tetapi hasilnya kurang

bagus, sedangkan daun ampelas putih yang dapat digunakan adalah daun yang sudah tua atau

yang sudah dikeringkan, karena yang masih muda permukaan daunnya masih licin. Cara

penggunaan daun ampelas sebagai penghalus permukaan kayu adalah daun ampelas digosokkan

ke permukaan kayu sampai permukaannya halus, cara penggunaannya sama seperti kita

menggunakan amplas. Selain itu dengan melihat anatomi dari daun ampelas kita juga dapat

mengetahui kegunaan dan fungsi dari daun ampelas. Dilihat dari anatomi daun ampelas terdapat

epidermis ganda, jaringan tiang, jaringan bunga karang, stomata, trikoma, sarung berkas

pengangkut. Dilihat dari struktur anatominya terdapat trikoma yang merupakan derivat dari

epidermis yang biasanya sebagai pelindung daun. Pada anatomi daun juga terdapat kristal yang

juga berpengaruh sehingga permukaan daun menjadi kasar. Adanya kristal pada daun diperkuat

dengan melakukan analisis silikat. Pada proses analisis silikat peneliti menemukan endapan putih

yang merupakan silikat (SiO2). Setelah melakukan pengamatan tentang anatomi daun ampelas

dan analisis kandungan silikat, dapat dilihat trikoma yang berupa rambut berduri yang muncul

dipermukaan daun, yang menyebabkan daun menjadi kasar, dan juga kristal yang terdapat pada

daun ampelas sehingga dapat digunakan sebagai ampelas (penghalus permukaan kayu).

Dari hasil penelitian, baik morfologi, anatomi dan analisis kandungan silikat pada daun

ampelas hitam dan daun ampelas putih yang paling baik digunakan untuk bahan penghalus

permukaan kayu adalah daun ampelas hitam, karena pada daun ampelas hitam lebih banyak

terdapat kandungan silikat dan trikomanya lebih terlihat jelas dari pada daun ampelas putih.

Page 12: Jurnal Emasains No 1

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Struktur morfologi daun ampelas, permukaan daunnya yang kasar/kasap dan kaku sehingga

dapat digunakan sebagai ampelas.

2. Dilihat dari anatominya, daun ampelas dapat digunakan sebagai ampelas karena terdapat

trikoma yang menonjol ke permukaan daun yang menyebabkan daun menjadi kasar.

3. Setelah dilakukan analisis silikat, ternyata terdapat endapan putih (silikat) pada daun

ampelas, sehingga pada permukaan atas dan bawah daun terasa kasar seperti pasir. Hal inilah

yang menyebabkan daun ampelas digunakan sebagai bahan penghalus permukaan kayu

(ampelas).

4. Dari dua jenis daun ampelas yang diteliti, daun ampelas yang paling bagus digunakan

sebagai bahan penghalus permukaan kayu (ampelas) adalah daun ampelas hitam, karena pada

permukaan daunnya lebih kasap dan kandungan silikatnya lebih banyak dari pada daun

ampelas putih.

5. Persepsi masyarakat terhadap keberadaan tumbuhan ampelas adalah: tumbuhan liar yang

tumbuh dengan sendirinya yang memiliki manfaat bagi kehidupan sehari-hari dan memiliki

nilai ekonomi yang tinggi.

Saran-saran

1. Kepada masyarakat diharapkan untuk melestarikan tanaman yang ada dilingkungan sekitar

yang tidak diperhatikan agar lingkungan tetap lestari, karena semua tumbuhan memiliki

kegunaan masing-masing bagi kebutuhan hidup manusia.

2. Kepada ilmuwan diharapkan untuk meneliti manfaat tumbuhan yang ada dilingkungan

sekitar, khususnya tanaman bunut ampelas yang memiliki manfaat bagi kehidupan yang

belum diketahui oleh masyarakat. Sehingga masyarakat akan melestarikan tumbuhan yang

bermanfaat bagi kehidupan makhlukhidup.

3. Kepada pihak-pihak terkait diharapkan untuk mengadakan penelitian lebih lanjut tentang

tanaman ampelas dan memberikan penyuluhan terhadap masyarakat untuk memanfaatkan

tanaman ampelas sebagai bahan penghalus permukaan kayu (ampelas). Karena dengan

memanfaatkan tanaman ampelas masyarakat dapat melestarikan tanaman ampelas yang

ternyata memiliki nilai ekonomis yang tinggi.

4. Kepada pihak guru diharapkan untuk mengajak peserta didik lebih mengenal seluk beluk

tumbuhan ampelas melalui kegiatan-kegiatan ilmiah.

5. Penelitian ini perlu ditindak lanjuti dengan penelitian lainnya oleh kalangan pelajar,

mahasiswa, guru, dosen dan peneliti lainnya dengan mengambil objek yang sama untuk

menambah wawasan kita bersama mengenai manfaat tanaman bunut ampelas di wilayah

lainnya yang belum pernah diteliti untuk manfaat bersama dalam kehidupan.

Page 13: Jurnal Emasains No 1

DAFTAR RUJUKAN

Anonim,2011.Anatomi Tumbuhan. Http://zipcodezoo.com/Plant/F/Ficus_ampelas/ diakses pada

15 Desember 2011

Wikipedia bahasa Indonesia,2011.Ficus ampelas dari:

http://www.ask.com/web?qsrc=2417&o=101702&l=dis&q=ficus+ampelas diakses pada

15 desember 2011

Wikipedia bahasa Indonesia,2011. Morfologi tumbuhan.dari:

http://www.pustaka.ut.ac.id/website/index.php?option=com_content&view=article&id=

136:pebi4107-morfologitumbuhan&catid=30:fkip&Itemid=75 diakses pada 15

Desember 2011

Wikipedia bahasa Indonesia,2011. Tanaman Ficus ampelas.dari:

http:zipcodezoo.com/Plant/F/Ficusampelas/ diakses pada 15 Desember 2011

Budiyasa,I Wayan.2005.Prosedur Penelitian.Denpasar: IKIP PGRI Bali

Budiyasa,I Wayan.2005.Prosedur Penelitian.Suatu; Suatu Pendekatan Praktek Denpasar.

Dantes, Nyoman. 2007. Metodelogi Penelitian, Universitas Pendidikan Ganesha. Singaraja

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan RI; Departemen Pertanian RI; Lembaga Pengetahuan

Indonesia; Perpustakaan Nasional RI, 1992. Prosiding Seminar dan Likakarya Nasional

Etnobotani. Penerbit Pemerintah New-Zealand.

Lubis,Muhsin.1993/1994.Pengelolaan Laboratorium IPA. Jakarta: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan.Penerbit Universitas Terbuka.

Nugroho,L.Hartanto,2006.Struktur dan Perkembangan Tumbuhan. Jakarta: Penebar Swadaya

Subliyanto, 2010. Subjek Penelitian dan Responden. Dari:

Subliyanto.blogspot.com/2010/06/subjek-penelitian-dan responden.html. diakses pada

tanggal 08 april 2012.

Sugiyono,2010.Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta

Tjitrosoepomo,Gembong,2007. Morfologi Tumbuhan . Gadjah Mada University Press.

Wibisono dan Woelanningsih.1987. Anatomi Tumbuhan. Jakarta: Karunika, Universitas terbuka

Van Steenis, C.G.G.J., et. al.,1981. Flora Untuk sekolah di Indonesia. Jakarta Pusat: PT Pradnya

Paramita.

Page 14: Jurnal Emasains No 1

Optimalisasi Pemanfaatan Laboratorium Sebagai Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar

Dalam Mata Kuliah Zoologi pada Mahasiswa Semester III Jurusan Pendidikan Biologi

FPMIPA IKIP PGRI Bali Tahun Akademik 2011/2012.

I Wayan Budiyasa

Dosen Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali

ABSTRACT

Optimizing Utilization Laboratory For Effort to Improve Learning Achievement In

Zoology Courses.

Zoology Invertebrata represent the branch from biology and as one of subject in Biological

Education Majors of FPMIPA IKIP PGRI Bali. To learn the Zoology Invertebrata do not only by

giving just just concept and fact, but how student trained on how to to find the the concept and

fact. activity of Lecturing of Zoology Invertebrata in Biological Education Majors of FPMIPA

IKIP PGRI Bali these days have been conducted by through theory and practice. Practice aim so

that student do not only comprehend the just theory but also can apply the theory which have

been given previously thereby student more get the picture what submitted/sent previously,

others student expected to yield a inovatif which can be applied by a public society

Pursuant to result of observation and note which writer own the, activity and result of

learning obtained by student that way low in of subject and practice of Zoology Invertebrata, this

matter [is] indication of existence of serious problems in carrying out lecturing and practice. As

its resolving [is] [done/conducted] [by] research of class action.

Main problem studied and wish looked for its resolving answer through this action

research, is the following : 1). Whether optimalisasi exploiting laboratory can improve the

achievement learn in subject of Zoology at student of semester of Biological III Education

Majors of FPMIPA IKIP PGRI of Bali of Year Akademik 2011 / 2012. 2). What will be student

activity in activity of lecturing and praktikum. This Research target is to know the make-up of

quality [of] result of study in eye of kuliah of Zoology Invertebrata [of] [through/ passing]

optimalisasi of laboratory exploiting seen from make-up of average value. 2). To know the

student livelines in activity of lecturing and praktikum of Zoology Invertebrata. Subyek Research

[is] student of Majors of Biology Education which sit [in] semester of III of year Akademik 2011

/ 2012 as much 33 people. To get the appropriate data hence instrument used in this research [is]

sheet of observation and tes. Observation sheet developed by relate to indikato-indikator activity

intended to be used mengunpulkan data [of] about student activity to laboratory activity while

tes intended to be used collect the data [of] about achievement learn the student

Page 15: Jurnal Emasains No 1

As according to type of research device weared here, that is research of class action

(classroom action research), hence technique analyse the relevant data and applied by technique

analyse the deskriptif-kualitatif. Summary Result Of Data Analysis.

Cycle Aktivity Praktikum Result Of Learning

Averege Katagori Averege Absorpsion KK (%)

I 51,43 Lowering 59,03 59,03% 40%

II 74,29 High 65,86 65,86% 71,43%

III 91,43 Very high 69,29 69,29% 85,71%

Thereby this research as a whole can be told to succeed, because by the end of research [of]

all criteria efficacy which have previous disepakti have been fullfiled the

Keyword : Laboratory, practice, activity and result of learning

PENDAHULUAN

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk

memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak

mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.

IKIP PGRI Bali adalah salah satu Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidikan (LPTK) pada

hakekatnya merupakan lembaga yang berfungsi untuk melestarikan, mengembangkan,

menyebarluaskan dan menggali ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu, IKIP PGRI Bali juga

berfungsi untuk mengembangkan kualitas sumber daya manusia dan menghasilkan jasa. Fakultas

Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FPMIPA) merupakan salah satu Fakultas

yang dikelola IKIP PGRI Bali, Jurusan Pendidikan Biologi merupakan salah satu jurusan yang

dikelola oleh FPMIPA. Jurusan Pendidikan Biologi yang berada di IKIP PGRI Bali ini selain

membelajarkan ilmu Biologi juga membelajarkan bagaimana menjadi pendidik yang berkualitas.

Biologi atau ilmu hayat merupakan suatu ilmu tentang kehidupan yang membantu manusia

mengenal dirinya sehingga organisma mengenal lingkungannya. Biologi bukan hanya

merupakan penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, prinsip-

prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses menemukan. Salah satu mata kuliah dalam

jurusan pendidikan biologi IKIP PGRI Bali adalah mata kuliah Zoologi Invertebrata.

Page 16: Jurnal Emasains No 1

Mempelajari Zoologi Invertebrata tidak hanya dengan pemberian fakta dan konsep saja,

tetapi bagaimana peserta didik dilatih untuk menemukan fakta dan konsep tersebut. Untuk

mendukung kegiatan pembelajaran dalam mata kuliah zoologi Invertebrata diperlukan sarana-

prasarana pendukung seperti peralatan dan laboratorium. Secara teoritis keberadaan laboratorium

diharapkan mampu menunjang kegiatan-kegiatan yang berpusat pada pengembangan

keterampilan tertentu, antara lain keterampilan proses, keterampilan motorik dan pembentukan

sikap ilmiah, khususnya pengemabngan minat untuk melakukan penyelidikan, penelitian dan

minat mempelajarai biologi khususnya Zoologi secara lebih mendalam. Kegiatan laboratorium

sangat memegang peranan penting dalam pembelajaran zoology invertebrate karena kerja

praktek merupakan cara yang sangat relevan untuk mebantu peserta didik mengembangkan

kompetensinya. Oleh karena itu tujuan utama kegiatan laboratorium (praktek) adalah melatih

keterampilan siswa bekerja secara ilmiah untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan

nilai-nilai ilmiah.

Kegiatan perkuliahan dalam mata kuliah Zoologi Invertebrata di Jurusan Pendidikan

Biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali telah dilakukan melalui teori dan praktek, kegiatan di

laboratorium (praktek) bertujuan agar mahasiswa tidak hanya memahami teorinya saja tetapi

juga dapat benar-benar mengauasai materi sepenuhnya melalui praktek dan demonstrasi, selain

itu mahasiswa diharapkan dapat menghasilkan sebuah inovatif yang dapat dimanfaatkan oleh

masyarakat umum. Adanya kegiatan laboratorium (praktek), mahasiswa dapat menerapkan teori

yang telah diberikan sebelumnya dengan demikian mahasiswa lebih dapat memahami apa yang

disampaikan oleh dosen.

Berbagai cara telah diupayakan agar semua mahasiswa aktif dalam kegiatan perkuliah.

Perkuliahan standar juga telah dilakukan oleh dosen, berbagai media pembelajaran yang ada di

kampus telah dimanfaatkan, berbagai bentuk penugasan telah pula diberikan untuk dilaksanakan

oleh mahasiswa, baik di dalam maupun di luar kelas, mulai dari tugas membuat makalah,

observasi, membuat eksperimen, membuat laporan singkat hasil eksperimen, dan lain

sebagainya. Namun demikian, dalam berbagai kesempatan tanya jawab, diskusi kelas, maupun

kuis, ulangan harian, aktivitas dan prestasi belajar mereka sangat rendah.. Berdasarkan catatan

yang penulis miliki, aktivitas siswa dalam tanya jawab dan diskusi kelas masing-masing hanya

sebesar 30% dan 35% dari 35 mahasiswa yang ada. Sebagian besar dari mahasiswa justru

memperlihatkan aktivitas yang tidak relevan dengan pembelajaran, seperti kelihatan bengong

dan melamun, kurang bergairah, kurang memperhatikan, bermain-main sendiri, berbicara dengan

teman ketika dijelaskan, canggung berbicara atau berdialog dengan teman waktu diskusi, dan

lain sebagainya. Sementara itu dari hasil kuis, ulangan harian dan ujian tengah semester prestasi

belajar mereka hanya 4 orang (11,40%) yang berhasil memproleh nilai 4 (A), 10 orang (28,57%)

yang berhasil memperoleh nilai 3 (B), 15 orang (42,85%) memperoleh nilai 2 (C), dan 6 orang

(17,14%) memperoleh nilai 1 (D). Sesuai dengan kontrak kuliah pada awal pertemuan telah

disepakati bahwa mahasiswa dinyatakan lulus bila telah mendapat nilai 3 (B).

Page 17: Jurnal Emasains No 1

Melihat data aktivitas dan nilai yang diperoleh mahasiswa yang demikian rendah tersebut

jelas hal ini mengindikasikan adanya permasalahan serius dalam kegiatan pembelajaran di kelas

dan di laboratorium yang harus dicari pemecahannya. Sebagai langkah dan upaya pemecahan

terhadap masalah yang timbul dalam kegiatan perkuliahan Zoologi Invertebrata bagi mahasiswa

semester III tersebut maka dilakukan Penelitian Tindakan kelas dengan judul “Optimalisasi

Pemanfaatan Laboratorium Sebagai Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar Zoologi Invertebrata

Mahasiswa Semester III Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali Tahun Akademik

2011/2012.”

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, maka masalah-masalah pokok yang

dikaji dan ingin dicarikan jawaban pemecahannya melalui penelitian tindakan ini, sebagai

berikut : 1). Apakah optimalisasi pemanfaat laboratorium dapat meningkatkan prestasi belajar

dalam mata kuliah Zoologi pada mahasiswa semester III Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA

IKIP PGRI Bali Tahun Akademik 2011/2012. 2). Bagaimanakah aktivitas mahasiswa dalam

kegiatan laboratorium (praktek).

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan kualitas pembelajaran dalam

mata kuliah Zoologi Invertebrata melalui optimalisasi pemanfaatan laboratorium yang dilihat

dari peningkatan nilai rata-rata.. 2). Untuk mengetahui keaktifan mahasiswa dalam kegiatan

praktikum pada praktikum Zoologi Invertebrata.

Berbagai temuan dan informasi yang dapat digali dalam penelitian ini diharapkan dapat

bermanfaat bagi: 1). Mahasiswa dapat mengalami secara langsung belajar dengan suasana yang

lebih kondusif, humanistic serta menggaerahkan yang dapat memacu semangatnya untuk aktif,

kreatif, inovativ menuju pencapaian prestasi serta melatih untuk berpartisipasi, bekerja bersama-

sama dan berinteraksi secara aktif dalam proses pembelajaran baik antar mahasiswa maupuan

antar mahasiswa dengan dosen. 2). Dosen menambah pengalaman yang berkaitan dengan upaya

peningkatan kemampuan dalam merencanakan dan mengimplementasikan dalam kegiatan

pembelajaran dan kegiatan praktek serta menambah wawasan dan kemampuan dalam

manentukan materi pokok dalam mata kuliah Zoologi Invertebrata yang lebih inovatif dan

sebagai alternative dalam mengoptimalkan waktu belajar mahasiswa sehingga pembelajaran

lebih bermanfaat. 3). Lembaga hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan dalam

upaya meningkatkan kualitas dan mutu kegiatan praktek

Page 18: Jurnal Emasains No 1

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas, disingkat PTK berasal dari istilah

bahasa inggris Classroom Action Reserch, yang berarti penelitian yang dilakukan pada sebuah

kelas untuk mengetahui akibat tindakan yang dilakukan terhadap subyek penelitian di kelas

tersebut. Menggunakan model penelitian tindakan dari Kemmis dan Taggart (dalam Arikunto,

suharsini,2002), yaitu berbentuk spiral dari siklus yang satu ke siklus berikutnya. Setiap siklus

meliputi planning (rencana), action (tindakan), observation (pengamatan) dan reflection

(refleksi)

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali selama

kurang lebih 3 (tiga) bulan, mencakup keseluruhan tahapan yang diperlukan. Subyek penelitian

adalah mahasiswa Jurusan Pendidikan Biologi yang duduk disemester III tahun Akademik

2011/2012 sebanyak 33 orang. Untuk mendapatkan data yang sesuai maka instrument yang

digunakan dalam penelitian ini adalah lembaran observasi dan tes. Lembaran observasi

dikembangkan dengan mengacu kepada indikato-indikator aktivitas dimaksudkan untuk

digunakan mengunpulkan data tentang aktivitas mahasiswa terhadap kegiatan laboratorium

(praktek) sedangkan tes dimaksudkan untuk digunakan mengumpulkan data tentang prestasi

belajar praktikan (mahasiswa).

Sesuai dengan jenis rancangan penelitian yang dipakai disini, yaitu penelitian tindakan kelas

(classroom action research), maka teknik analisis data yang relevan dan yang diterapkan adalah

teknik analisis deskriptif-kualitatif. Dengan teknik ini maka data yang telah dikumpulkan dari

hasil penelitian disusun secara sistematis dan selanjutnya disajikan dalam bentuk prosentase atau

table distribusi untuk selanjutnya dilakukan penafsiran dan pemaknaan secara kualitatif dalam

bentuk seperti tuntas-tidak tuntas dan aktif-tidak aktif.

Selanjutnya perlu pula dikemukakan disini criteria penilaian hasil sehubungan dengan

penguasaan mahasiswa terhadap materi atau kompetensi dasar dan criteria proses terkait dengan

aktivitas kegiatan belajar dan kegiatan laboratorium (praktek), sebagai berikut :

Tabel 1. Kriteria Penilaian Hasil Belajar

No. Nilai Kriteria

1 < 65 Tidak tuntas

2 65 – 75 Tuntas dan cukup

3 76 – 90 Tuntas dan memuaskan

4 91 – 100 Tuntas dan sangat memuaskan

Page 19: Jurnal Emasains No 1

Tabel 2.Kriteria Aktivitas Mahasiswa Dalam Praktek

No. Nilai/Frekuensi Kriteria

1 < 40 Sangat rendah

2 41 – 55% Rendah

3 56 – 70% Cukup

4 71 – 85% Tinggi

5 86 – 100% Sangat tinggi

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian.

Penelitian ini berjalan dalam tiga siklus, yang dalam setiap siklusnya berlangsung satu kali

pertemuan atau setiap pertemuan = 3 x 50 menit. Setiap siklus terdiri dari 4 (empat) tahap

kegiatan utama, yaitu perencanaan, tindakan, pengamatan dan refleksi. Data yang dikumpulkan

dalam setiap siklus adalah data yang berhubungan dengan aktivitas dan prestasi belajar

mahasiswa melalui instrument pengumpul data yang telah disiapkan, dalam hal ini adalah

melalui format observasi dan lembar soal tes. Hasil Obserfvasi terhadap aktivitas kegiatan

laboratorium dari siklus ke siklus setelah diolah dapat dilihat pada table 1 berikut.

Tabel 3. Data Aktivitas Kegiatan Laboratoium

No.

Indikator Proses

Ketercapaian

Siklus I Siklus II Siklus III

f % f % f %

1 Antusias mahasiswa dalam

mengikuti praktikum

16 45,72 24 68,27 30 85,71

2 Keberanian mahasiswa dalam

bertanya dan mengemukakan

pendapat

22 62,86 29 82,50 33 94,29

Page 20: Jurnal Emasains No 1

3 Motivasi dan kegairahan dalam

proses belajar (menyelesaikan

tugas mandiri atau tugas

kelompok)

20 57,15 28 79,70 31 88,58

4 Kerjasama dalam kelompok 22 62,86 30 85,41 35 100

5 Kreaktivitas belajar mahasiswa

(membuat catatan hasil

pengamatan, menggambar)

24 70 30 87,50 33 94,29

6 Interkasi dan komunikasi dengan

sesame mahasiswa selama

kegiatan laboratorium (dalam

kerja kelompok)

19 55,00 27 77,55 33 94,29

7 Interaksi dan komunikasi dengan

dosen selama kegiatan

laboratorium)

15 42,86 25 71,43 31 88,57

8 Partisipasi mahasiswa dalam

kegiatan laboratorium

(memperhatikan dan

mendengarkan, ikut melakukan

kegiatan kelompok, selalu

mengikuti petunjuk dosen

18 51,43 26 74,29 32 91,43

Rerata 19,5 55,7 27,38 78,21 32,25 92,14

Berdasarkan data pada tabel 3 tersebut diketahui bahwa aktivitas mahasiswa dalam

mengikuti kegiatan laboratorium (praktikum) mengalami peningkatan dari 55,70% pada siklus I

meningkat menjadi 78,21% pada siklus II dan meningkat menjadi 92,14% pada siklus III yang

berarti dari siklus I ke siklus II mengalami peningkatan sebesar 22,51% dan dari siklus II ke

siklus III mengalami peningkatan sebesar 13,93%. Berdasarkan teknik analisis data tentang

aktivitas dalam mengikuti kegiatan laboratorium (praktikum) yang telah ditetapkan sebelumnya

diperoleh rerata pada masing-masing siklus (siklus I, II, dan III) sebagai tertera pada tabel 1

sebesar 55,70% pada siklus I dengan katagori rendah, sebesar 78,21% pada siklus II dengan

katagori tinggi dan sebesar 92,14% pada siklus III dengan katagori sangat tinggi.

Selanjutnya, prestasi hasil belajar dan atau ketuntasan belajar mahasiswa setelah mengikuti

kegiatan laboratorium (praktikum) dalam mata kuliah Zoologi Invertebrata setelah diolah dan

ditabulasi disajikan dalam bentuk tabel 4

Page 21: Jurnal Emasains No 1

Tabel 4. Data Prestasi Belajar Mahasiswa

No.

Kriteria Penilaian

Ketercapaian

Siklus I Siklus II Siklus III

f % f % f %

1 Tuntas 21 60 25 71,43 30 85,71

2 Tidak tuntas 14 40 10 28,57 5 14,29

3 DS 59,03% 65,86% 69,29%

4 Rerata 59,03 65,86 69,29

Berdasarkan hasil analisis data pada siklus I diperoleh nilai rata-rata sebesar 59,03, daya

serap 59,03% ketuntasan 60%. Jika dibandingkan dengan ketuntasan yang disepakati pada awal

perkuliahan oleh dosen dan mahasiswa yaitu untuk mata kuliah Zoologi Invertebrata hasil belajar

65 dan dikatakan tuntas secara individu minimal penguasaan materi 65%. Dari materi mata

kuliah yang telah diajarkan dan ketuntasan klasikal ≥ 85%. Berdasarkan hasil tersebut, maka

hasil belajar, ketuntasan individu dan klasikal pada siklus I belum memenuhi tuntutan yang telah

ditetapkan bersama. Hasil analisis data pada siklus II diperoleh nilai rata-rata kelas sebesar

65,86, daya serap 65,86 dan ketuntasan klasikal 71,43%. Jika dibandingkan dengan tuntutan

yang telah disepakati, maka hasil belajar, daya serap dan ketuntasan belum tercapai.

Hasil analisis data siklus III diperoleh nilai rata-rata sebesar 69,29, daya serap 69,29 dan

ketuntasan 85,71% Jika dibandingkan dengan ketetntuan yang telah disepakti maka pada siklus

III, baik hasil belajar, daya serap dan ketuntasan telah tercapai.

Tabel 5. Rekapitulasi Hasil Analisis Data

Siklus Ativitas Praktikum Hasil Belajar

Rerata Katagori Rerata DS (%) KK (%)

I 51,43 Rendah 59,03 59,03% 40%

Page 22: Jurnal Emasains No 1

II 74,29 Tinggi 65,86 65,86% 71,43%

III 91,43 Sangat tinggi 69,29 69,29% 85,71%

B. Pembahasan

Dari data hasil penelitian yang telah tersaji pada tabel 5 tersebut dengan jelas diketahui

bahwa aktivitas belajar siswa dalam segala aspek pengamatan mengalami peningkatan yang

sangat berarti dari sikulus I ke Siklus II dan siklus II ke siklus III. Optimalisasi femanfaatan

laboratorium (praktikum) melalui tindakan yang berupa kegiatan praktik yang kontinu,

pembentukan keompok secara acak, membuat laporan sementara hasil praktikum dan kegiatan

akhir praktikum yang diakhiri dengan tes atau penilaian sepertinya cukup ampuh untuk

menggugah motivasi dan gairah mahasiswa untuk mengikuti kegiatan laboratorium (praktikum).

Mahasiswa seolah-olah menjadi sangat terkesan dengan penciptaan suasana belajar dan proses

yang Nampak serius dan resmi dari dosen. Mereka berusaha untuk tampil sebaik mungkin dalam

rangka mendapat penilaian yang terbaik dari dosen selama proses kegiatan laboratorium

(praktek). Apalagi setelah mereka mengetahui tentang aturan main dalam penilaian proses

maupun penilaian akhir.

Itulah kiranya yang mendorong untuk, sepertinya, berlomba dan terpacu meningkatkan

aktivitas belajar dan kegiatan laboratorium (praktek) mereka di laboratorium. Dari yang semula

kelihatan pemalu dan pendiam berubah menjadi pro-aktif dalam berinterakssi dan

berkomunikasi, baik dengan dosen maupun apalgi dengan teman sekelas atau teman kelompok

belajarnya, dari yang semula pemalas, pelamun dan kurang bergairah mengikuti kegiatan

laboratorium (praktek) mendadak menjadi rajin dan bersemangat, dari yang semula kelihatan

peragu dan penakut berubah menjadi penuh percaya diri dalam kegiatan Tanya jawab, dari yang

semula cuek dan egois berubah menjadi penuh atensi dan mau berbagi dengan teman. Hal ini

semua terbukti dari data hasil penelitian sebagaimana tersaji pada tabel 5 di atas, dimana

aktivitas belajar mahasiswa dari segala aspek pengamatan dari 51,43% pada siklus I meningkat

menjadi 74,29% pada siklus II dan meningkat menjadi 91,43% pada akhir siklus III. Berdasarkan

criteria penilaian aktivitas yang telah ditetapkan pada tabel5. Prosentase aktivitas belajar sebesar

91,43 tergolong tinggi sekali. Berarti optimalisasi pemanfaat laboratorium dalam mata kuliah

Zoologi Invertebrata terbukti dapat meningkatkan ativitas belajar mahasiswa.

Hal yang nyata juga dilihat terjadinya peningkatan hasil belajar mahasiswa baik secara

kualitatif maupun kuantitatif, dari semula hanya 21 mahasiswa atau sebesar 60% yang tuntas

pada siklus I meningkat menjadi 25 mahasiswa atau sebesar 71,43% pada siklus II dan

meningkat menjadi 30 mahasiswa atau sebesar 85,71% pada akhir siklus III. Demikian pula

semula rata-rata hasil belajar 59,03, daya serap 59,03% dan ketuntasan klasikal 40% pada siklus

I, meningkat menjadi 65,86, daya serap 65,86% dan ketuntasan klasikal 71,43% pada siklus II

dan menjadi 69,29, daya serap 69,29% dan ketuntasan klasikal 85,57% pada akhir siklus III.

Page 23: Jurnal Emasains No 1

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa skor rerata aktivitas belajar dan skor rerata

hasil belajar telah mencapai ketuntasan sesuai dengan kesepakatan yang telah ditetapkan.

Dengan demikian penelitian ini secara keseluruhan dapat dikatakan berhasil, karena pada akhir

penelitian semua criteria keberhasilan yang telah disepakti sebelumnya telah terpenuhi.

Walaupun penelitian ini dikatakan berhasil, namun masih terdapat beberapa kendala dan

kelemahan, antara lain :

1. Dalam kurikulum belum terpisahnya jam kegiatan praktikum dengan jam teori, sehingga

jumlah jam pertemuan per kegiatan perkuliahan kurang memberikan keleluasaan mahasiswa

yang ingin meningkatkan keterampilan dan memenuhi rasa ingin tahu.

2. Belum adanya petugas laboratorium sehingga dosen pengampu mata kuliah merangkap

sebagai pembimbing praktikum. Sehingga dosen sekaligus pembimbing tidak sanggup

mengelola proses perkuliahan yang ada kegiatan laboratorium (praktek) sendiri, karena rasio

dosen dan pembimbing praktikum tidak seimbang.

3. Sumber belajar yang dimiliki mahasiswa dalam hal ini buku-buku penunjang sangat terbatas.

4. Laboratorium yang dimiliki oleh jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali

belum memenuhi syarat laboratorium biologi yang ideal karena masih terbatasnya fasilitas

pendukung kegiatan praktikum yang dimiliki

5. Praktikum tidak bisa dilaksanakan karena sulitnya mendapat hewan percobaan saat

dilaksanakan kegiatan praktikum (praktek)

6. Praktikan malas dan tidak serius dalam melaksanakan praktikum serta cendrung menilai

rendah peran praktikum

7. Praktikan malas mengumpulkan laporan praktikum dan jika mengumpulkan laporan tidak

tepat pada waktu yang ditentukan

8. Kurangnya kerjasama antara mahasiswa dalam setiap kelompok dan rasa kompetisi atau

bersaing antar mahasiswa dan kelompok masih rendah.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Optimalisasi pemanfaatan laboratorium dalam mata kuliah Zoologi invertebrata dapat

meningkatkan aktivitas belajar dan kegiatan laboratorium (praktek) bagi mahasiswa Jurusan

Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali. Hal ini, rerata skor aktivitas 51,43% menjadi

74,29% pada siklus II dan menjadi 91,43% pada akhir siklus III. Terbukti telah berhasil

meningkat sebesar 22,51% dari siklus I ke siklus II dan 13,93% dari siklus II ke siklus III.

2. Optimalisasi pemanfaatan laboratorium dalam mata kuliah Zoologi dapat meningkatkan hasil

belajar mahasiswa. Hal ini ditunjukan dengan adanya peningkatan hasil belajar pada setiap

siklus. Pada siklus I diperoleh nilai rata-rata 59,03 pada siklus II meningkat menjadi 65,86

dan pada siklus III meningkat menjadi 69,29

Saran

1. Dosen jurusan pendidikan biologi umumnya dan dosen pengampu mata kuliah Zoologi

Invertebrata khususnya dimasa-masa mendatang hendaknya lebih mengoptimalkan kegiatan

laboratorium (praktekum)

Page 24: Jurnal Emasains No 1

2. pengampu kepentingan:

a. Perlu pemisahan dalam kurikulum jam untuk mata kuliah teori dan jam untuk kegiatan

laboratorium (praktek)

b. Perlu keseragaman dalam pembobotan praktikum dan teori

c. Agar diusahakan adanya menambah sarana pendukung (alat dan bahan) sehingga tersedia

alat dan bahan setiap saat bila dibutuhkan

d. Agar diusahakan tenaga laboran sehingga kegiatan praktikum dapat dilakukan setiap saat.

Page 25: Jurnal Emasains No 1

DAFTAR RUJUKAN

Alit Mariana, Made, 2007. Pembelajaran IPA Kreaktif dan Inovatif, P4TK IPA Depdiknas:

Jakarta

Depdikbud, 1993. Buku Katalog Alat Laboratorium Sains Untuk SMA. Jakarta Dikmenum

_______, 1999. Pengelolaan Laboratorium Sekolah dan Manual Alat Ilmu Pengetetahuan,

Jakarta

_______, 2000. Pengelolaan Laboratorium Sains. Direktorat Pendidikan Dasar dan Memengah

Direktorat Pendidikan Menengah Umum: Jakarta.

Dediknas, 2004. Materi Pelatihan Terintegrasi Sains, Buku 4, Direktorat Pendidikan Dasar dan

Menengah Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama: Jakarta

Joni, R.T. 1998. Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Reseacrh) Konsep Dasar,

Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Proyek

Pengembangan Guru Sekolah Menengah: Jakarta.

Moejadi, 1986. Pengelolaan Laboratorium IPA, Dekdikbud: Jakarta

Rideng, I Made, 2005. Kajian Terhadap Pelaksanaan Praktikum di Jurusan Pendidikan Biologi

Semester Ganjil Tahun Akademik 2005. Laporan Penelitian IKIP Negeri Singaraja.

Sarna, Ketut. Dkk, 2001. Efektivitas Pengelolaan dan Pemanfaatan Laboratorium SMU Negeri

Di Kabupaten Bulelelng, Dalam Proses Pembelajaran Siswa, Laporan Penelitian IKIP

Negeri Singaraja.

Setiawan, I G.A.Nyoman (2005). Pembelajaran kontekstual. Makalah disampaikan dalam

lokakarya Pembelajaran Inovatif di IKIP Negeri Singaraja Tanggal 19-20 Juli 2005.

Suastra, I Wayan.2004. Implementasi Pembelajaran Sains Kontekstual Sebagai Upaya

Pengembangan Kecakapan Hidup (Life Skill) di SD Laboratorium IKIP Negeri

Singaraja, Laporan Penelitian IKIP Negeri Singaraja.

Supriatna, Mamat, 2009. Studi Deskriptif Analitik Terhadap Laboratorium Sains SMA di

Sekolah Binaan PPPPTK IPA. P4TK Depdiknas: Jakarta

Wardani, I G.A.K. 2004. Penelitian Tindakan Kelas, Buku Materi Pokok, IDIK 4420/2

SKS/MODUL 1 – 6, Universitas Terbuka.

Widnyana, A.A.N.A. 2005. Manajemen Laboratorium. Denpasar : Program Studi Teknik

Elektro.

Rahmawati, 2001. Memaksimalkan Laboratorium. http:/karya-

ilmiah.um.ac.id/index.php/disertasi/article/view/2481 di Akses 24 Desember 2010

Page 26: Jurnal Emasains No 1

PENGARUH IMPLEMENTASI PENDEKATAN PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL

TERHADAP PRESTASI BELAJAR IPA DAN SIKAP ILMIAH SISWA KELAS VII

SMP NEGERI 11 DENPASAR TAHUN PELAJARAN 2009/2010

Ni Wayan Ratnadi

(1) dan I Wayan Suanda

(2)

(1) Pengajar SMP Negeri 11 Denpasar

(2) Dosen Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali

ABSTRACT

Effect Of Implementation Approach Contextual Study Of Achievement IPA Scientific

Learning And Attitude Vii Class Students SMP State School Year 11 Denpasar 2009/2010

This study mainly aimed at finding out the effect of the implementation of contextual

teaching and learning approach upon scientific learning achievement. This study used posttest-

only control group design by involving a sample of 94 students of SMP Negeri 11 Denpasar.

Contextual teaching and learning approach (CTL) which was treated to the experimental group

and conventional instruction approach which was treated to the control group were used as the

independent variables. The study used science achievement test and questionnaire as the

instruments for data collection. The science achievement test was used to collect data on science

achievement and the questionnaire to collect data on scientific attitude. The data were analyzed

with inferential statistics. The hypothesis was tested with one-way MANOVA.

The results of data analysis showed: firs, CTL had a positive effect upon science learning

achievement, implying that the implementation of CTL in science teaching caused a higher

science learning achievement in the group of students whose learning process implemented CTL

compared to those whose learning implemented comventional instruction approach as the control

(t observed = 19.68 at α = 0.05). Second, the implementation of CTL also had positive effect

upon scientific attitude, implying that its implementation in science teaching caused a higher

scientific attitude of the students whose learning process used CTL (t observed = 11.52 at α =

0.05). Third, the implementation of CTL simultaneously caused higher science achievement and

scientific attitude of the students than those of the students whose learning process implemented

conventional instruction approach.

The findings of this study indicate that the implementation of CTL approach on improve

science learning achievement and scientific attitude of the students of SMP Negeri 11 Denpasar.

On the basis of these findings it is recommended that science teachers implement CTL in the

suitable science teaching process.

Key words: Contextual Learning Approach, Science Learning Achievement, Scientific Attitude.

PENDAHULUAN

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan berupa

penambahan sarana pendidikan, termasuk pendidikan IPA, diantaranya dengan mengadakan

buku ajar atau bahan ajar berupa buku paket sebagai referensi, meningkatkan mutu guru dan

tenaga kependidikan lainnya, baik melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP),

pelatihan, seminar, peningkatan kualifikasi pendidikan mereka, serta menyempurnakan

kurikulum. Penyempurnaan kurikulum 1994 menjadi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)

atau Kurikulum 2004, yang kemudian kembali mengalami revisi menjadi Kurikulum Tingkat

Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006, yang implementasi di lapangan belum sesuai dengan

Page 27: Jurnal Emasains No 1

teori yang ada (Badan Standar Nasional Pendidikan, 2006). Hal ini dapat dilihat dari pelaksanaan

pembelajaran di sekolah yang belum sesuai dengan KTSP, karena guru masih sering menerapkan

pendekatan pembelajaran konvensional.

Selama ini, pendekatan yang sering digunakan dalam pembelajaran adalah dengan

metode ceramah dan tanya jawab. Pendekatan ini ternyata kurang efektif, sehingga prestasi

belajar dan terbentuknya sikap ilmiah siswa belum maksimal. Sikap ilmiah dari siswa akan

muncul apabila dalam proses pembelajaran di kelas menekankan proses keterlibatan siswa

secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan

situasi kehidupan nyata untuk mendorong agar mereka dapat menerapkan dalam kehidupannya.

Namun saat ini pola pembelajaran pada umumnya masih didominasi oleh guru, sehingga

keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran sangat minim. Siswa tidak dibiasakan untuk

memecahkan masalah dan menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya secara mandiri. Ini

menyebabkan siswa beranggapan bahwa keberadaan mereka di kelas hanya sebagai penerima

materi pelajaran dari guru atau sebagai benda mati yang tidak mampu beraktivitas. Hal ini

tampak dari perolehan Nilai Ujian Akhir Nasional (NUAN) IPA pada tingkat SMP dari tahun ke

tahun masih belum memenuhi standar Nasional. Hasil NUAN sampai saat ini masih dijadikan

sebagai salah satu indikator yang mudah diakses oleh masyarakat luas untuk dijadikan acuan

tentang keberhasilan pendidikan di Indonesia.

Para ahli pendidikan telah banyak mengemukakan dan mengenalkan pendekatan

pembelajaran untuk lebih mengefektifkan proses belajar mengajar. Setiap proses belajar

mengajar menuntut upaya pencapaian suatu tujuan tertentu. Dalam proses belajar mengajar tidak

ada suatu pendekatan pembelajaran yang paling baik (Arends, 1997). Pendekatan pembelajaran

yang kurang variatif, mengakibatkan kebanyakan siswa bosan dan kurang memahami materi

pelajaran yang dijelaskan oleh guru. Dari hal tersebut, guru hendaknya perlu menguasai dan

menerapkan berbagai pendekatan pembelajaran agar dapat tercapai tujuan pembelajaran yang

maksimal. Dari beranekaragamnya pendekatan pembelajaran, guru dapat memilih pendekatan

pembelajaran yang sesuai dengan lingkungan belajar serta kelompok siswa. Dalam memilih

suatu pendekatan pembelajaran, guru harus berorientasi pada tujuan pembelajaran yang hendak

ingin dicapai dan tidak semua materi harus diajarkan dengan pendekatan pembelajaran yang

sama.

Dari rumusan masalah, maka secara operasional tujuan yang ingin dicapai dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut. 1) Untuk mengetahui apakah prestasi belajar IPA siswa

yang mengikuti pendekatan pembelajaran kontekstual lebih baik daripada prestasi belajar IPA,

siswa yang mengikuti pendekatan pembelajaran konvensional. 2) Untuk mengetahui apakah

sikap ilmiah siswa yang mengikuti pendekatan pembelajaran kontekstual lebih baiak daripada

sikap ilmiah siswa yang mengikuti pendekatan pembelajaran konvensional. 3) Untuk mengetahui

apakah secara silmultan, terdapat perbedaan prestasi belajar IPA dan sikap ilmiah antara siswa

yang mengikuti pendekatan pembelajaran kontekstual dengan sikap ilmiah siswa yang mengikuti

pendekatan pembelajaran konvensional.

Bila hasil penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan, maka hasil

penelitian ini dapat bermanfaat secara teoritis maupun praktis bagi peningkatan pelayanan

pendidikan baik bagi guru, siswa maupun praktisi pendidikan.

Page 28: Jurnal Emasains No 1

METODE PENELITIAN

Mengacu pada fokus permasalahan dan kaitan antar variabel yang dilibatkan maka

penelitian ini termasuk katagori penelitian eksperimen semu (quasi experimental) (Campbell dan

J.C. Stanly, 1996; Sugiyono, 2008). Hal ini disebabkan karena: (1) proses pengacakan

(randomisasi) terhadap siswa yang telah dikelompokkan ke dalam kelas-kelas tertentu tidak

mungkin dilakukan dengan mengubah tatanan kelas yang sudah ada dan (2) tidak mungkin

mengontrol secara ketat variabel-variabel lain selain variabel yang diteliti. Namun dengan

menggunakan metodologi yang tepat, hasil eksperimen quasi masih dapat dipertanggung

jawabkan secara ilmiah (Tuckman, 1972). Rancangan eksperimen yang digunakan adalah

rancangan atau desain kelompok kontrol post test saja (The Post Test-Only Control Group

Design) (Arikunto, 2006; Emzir, 2008). Pemilihan desain ini karena peneliti hanya ingin

mengetahui perbedaan prestasi belajar IPA dan sikap ilmiah antara kelompok eksperimen dan

kelompok kontrol dan bukan untuk mengetahui peningkatan prestasi belajar IPA kedua

kelompok, dengan demikian tidak menggunakan skor pre test.

Data prestasi belajar IPA dalam penelitian ini diambil dari skor post test saja, yang

dilakukan pada akhir penelitian atau dengan kata lain tanpa memperhitungkan skor pre test.

Campbell dan Stanley (1966), Novak dan Gowin (1985) menyatakan bahwa data penelitian yang

hanya memperhitungkan skor post test saja dan tanpa memperhitungkan skor pre test, faktor

ancaman validitas internal dapat ditekan seminimal mungkin serta dapat dikontrol, seperti:

sejarah, kematangan, test, instrumen, regresi, kematian (mortalitas), dan implementasi.

Populasi penelitian adalah seluruh siswa kelas VII SMP Negeri 11 Denpasar dengan

jumlah 185 siswa yang tersebar dalam empat kelas yaitu kelas VII A, VII B, VII C, dan VII D,

yang terdistribusi ke dalam kelas-kelas yang setara secara akademik. Pada pemilihan sampel

penelitian dilakukan dengan teknik random sampling, tetapi yang dirandom adalah kelas.

Untuk mengukur validitas butir tes digunakan rumus korelasi product moment dengan

angka kasar, karena tes prestasi belajar IPA kelompok siswa bersifat politomi.. Adapun rumus

yang digunakan adalah sebagai berikut.

2222 YYNXXN

YXXYNrxy (Winarsunu, 2002)

dengan:

X = skor butir tes

Y = skor total

N = jumlah responden

Dalam menghitung validitas butir tes prestasi belajar IPA, peneliti menggunakan

bantuan program Microsoft Excel dengan bantuan fungsi korelasi (CORREL) yang secara

otomatis menampilkan koefisien validitas masing-masing butir soal. Fungsi correl ini sama

dengan rumus korelasi produk moment. Kriteria yang digunakan adalah dengan membandingkan

harga rxy dengan r tabel pada taraf signifikansi 5%, dengan ketentuan rxy dikatakan valid apabila

rxy rTabel. Dalam penelitian ini jumlah responden yang diikutkan dalam ujicoba tes gaya

berpikir siswa adalah 30 orang, sehingga diperoleh r-tabel untuk N = 32 pada taraf signifikan

5%.

Rumus yang digunakan untuk mencari koefisien reliabilitas bentuk tes yang bersifat

politomi adalah rumus Alpha Cronbach, yaitu:

Page 29: Jurnal Emasains No 1

2

2

11 11

t

i

s

s

n

nr dengan:

Varians tiap butir tes : N

N

XX

si

2

2

2

)(

Untuk tes sikap ilmiah juga dilakukan uji validitas isi sama halnya dengan tes prestasi

belajar IPA, tes sikap ilmiah siswa hanya mengalami revisi redaksional saja. Untuk mengetahui

koefisien validitas isi tes sikap ilmiah digunakan teknik dari Gregory.

DCBA

DVKVI

/ (Gregory, 2000)

Untuk mengukur validitas tes digunakan rumus korelasi product moment dengan angka

kasar, karena tes berpikir ilmiah siswa bersifat politomi. Adapun rumus yang digunakan adalah

sebagai berikut.

2222 YYNXXN

YXXYNrxy

Dalam menghitung validitas butir tes prestasi belajar dan kuesioner sikap ilmiah siswa,

peneliti menggunakan bantuan program Microsoft Excel dengan bantuan fungsi korelasi

(CORREL) yang secara otomatis menampilkan koefisien validitas masing-masing butir soal.

Fungsi Correl ini sama dengan rumus korelasi produk moment. Kreteria yang digunakan adalah

dengan membandingkan harga rxy dengan r tabel pada taraf signifikansi 5%, dengan ketentuan rxy

dikatakan valid apabila rxy rtabel.

Analisis reliabilitas tes prestasi belajar dan kuesioner sikap ilmiah dilakukan hanya

untuk butir yang valid. Sehingga menentukan koefisien reliabilitas bisa dilakukan jika analisis

validitas sudah dilakukan. Rumus yang digunakan untuk mencari koefisien reliabilitas bentuk tes

yang bersifat politomi adalah rumus Alpha Cronbach, yaitu:

2

2

11 11

t

i

s

s

n

nr dengan:

Varian tiap butir tes : N

N

XX

si

2

2

2

)(

Sebelum dilakukan uji hipotesis terlebih dahulu dilakukan uji prasyarat analisis dengan

melakukan Uji Normalitas Sebaran Data dan Uji Homogenitas Varians. Uji normalitas dilakukan

dengan bantuan SPSS-10 for windows, dengan grafik dan melihat besaran Kolmogorov-Smirnov.

Kriteria pengujian data adalah data berdistribusi normal jika angka signifikansi Sig > 0,05.

Sedangkan pengujian homogenitas dilakukan untuk menguji bahwa setiap kelompok yang akan

dibandingkan memiliki variansi yang sama. Dengan demikian perbedaan yang terjadi dalam uji

hipotesis benar-benar berasal dari perbedaan antar kelompok, bukan sebagai akibat dari

perbedaan yang terjadi di dalam kelompok. Uji homogenitas dilakukan dengan uji kesamaan

varians-kovarians melalui uji Box’s M untuk uji homogenitas secara bersama-sama dengan Uji

Levene untuk uji homogenitas secara terpisah. Kriteria pengujian adalah data memiliki matriks

Page 30: Jurnal Emasains No 1

varians–kovarians yang sama (homogen) jika angka signifikansi yang dihasilkan dalam uji Box’s

M lebih dari 0,05.

Hipotesis pertama dan kedua diuji dengan menggunakan uji beda mean berupa uji t.

Adapun rumus yang digunakan adalah sebagai berikut.

21

21

11

nns

yyt AA

(Winarsunu, 2002)

Taraf signifikansi pengujian ditetapkan sebesar = 0.05 dengan kriteria pengujian

adalah tolak hipotesis nol (Ho), jika thitung ttabel dengan derajat kebebasan n1 + n2 -2.

Hipotesis ketiga, yang menyatakan secara simultan terdapat perbedaan prestasi belajar

IPA dan sikap ilmiah antara siswa yang mengikuti pembelajaran kontekstual dengan siswa yang

mengikuti peendekatan konvensional diuji dengan menggunakan uji F dengan analisis

MANOVA (one way multivariate analysis of variance) satu jalur denagan bantuan SPSS 10.00

for windows. Kreteria pengujian adalah menolak Ho jika harga sig. F-Wilk’s Lamda kurang dari

0,05.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hipotesis pertama, hasil perhitungan uji t menunjukkan bahwa nilai thitung sebesar

19,677; sedangkan harga ttabel untuk dk = 1n + 2n - 2 = 92 pada taraf signifikansi 5% ( 05,0 )

(one-tail test) sebesar 1,98. Ternyata thitung lebih besar daripada ttabel (thitung = 19,677 ttabel (0,05)

(92) = 1,98). Begitu juga uji F, dari statistik diketahui bahwa nilai Fhitung sama dengan kuadrat

dari nilai thitung 2

hitunghitung tF , sehingga nilai Fhitung = (19,679)2 = 387,18. Sementara itu, nilai

Ftabel untuk derajat pembilang 1 dan derajat penyebut 94 pada taraf signifikansi 5% sebesar 3,94.

Ternyata Fhitung lebih besar daripada Ftabel (Fhitung = 387,18 Ftabel (1:94;0,05) = 3,94). Dari kedua

uji statistik di atas menunjukkan bahwa hipotesis nol (H0) yang menyatakan bahwa prestasi

belajar IPA siswa yang mengikuti pendekatan pembelajaran kontekstual tidak berbeda daripada

prestasi belajar IPA siswa yang mengikuti pendekatan pembelajaran konvensional, ditolak.

Sebaliknya, hipotesis alternatif (Ha) yang menyatakan bahwa prestasi belajar IPA siswa yang

mengikuti pendekatan pembelajaran kontekstual lebih tinggi daripada prestasi belajar IPA siswa

yang mengikuti pendekatan pembelajaran konvensional, diterima (gagal ditolak).

Implementasi penerapan pembelajaran kontekstual dengan pembelajaran konvensional,

terdapat pengaruh terhadap prestasi belajar IPA (Biologi). Dalam pembelajaran IPA, penerapan

pembelajaran kontekstual secara keseluruhan terbukti lebih baik dan efektif dibandingkan

penerapan pembelajaran konvensional. Lebih efektifnya penerapan pembelajaran kontekstual

dalam pembelajaran IPA, tidak lepas dari substansi IPA itu sendiri. IPA merupakan disiplin ilmu

yang tidak hanya berupa konsep, rumus atau prinsip, tetapi juga memuat proses bagaimana

konsep, rumus dan prinsip itu diperoleh. Untuk mencapai tujuan pembelajaran secara utuh tidak

cukup hanya dengan “transfer” pengetahuan dari guru ke siswa, tetapi lebih ditekankan pada

pengkonstruksian pengetahuan lewat berbagai aktivitas berpikir dan dialog pengalaman belajar.

Pada pembelajaran IPA, proses konstruksi pengetahuan dan dialog oleh siswa nampaknya lebih

terkondisikan dalam pembelajaran kontekstual.

Dalam pembelajaran kontekstual, seorang guru memusatkan perhatian siswa dengan

menyebutkan fenomena-fenomena kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan topik yang

dipelajari. Dengan mengemukakan fenomena-fenomena tersebut diharapkan siswa

mengemukakan gagasannya dengan menghubungkannya dengan kehidupannya sehari-hari (Fajar

Page 31: Jurnal Emasains No 1

dkk. 2006). Berdasarkan gagasan itu, siswa diharapkan dapat mengkonstruksi pengetahuan baru.

Pengaruh interaksi siswa dengan lingkungan memberikan kontribusi terhadap pembentukan

pengetahuan IPA bagi siswa tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Piaget (1951), yang

menyatakan bahwa seseorang yang memperoleh kecakapan intelektual, pada umumnya akan

berhubungan dengan proses mencari keseimbangan antara apa yang ia rasakan dan diketahui

pada satu sisi dengan apa yang ia lihat sebagai suatu fenomena baru sebagai pengalaman.

Selanjutnya Vygotsky yang menekankan pada hakikat pembelajaran sosiokultural, yang

menekankan interaksi pada aspek internal dan eksternal dari pembelajaran dengan penekanannya

pada lingkungan sosial pembelajaran (Vygotsky, 1978). Belajar seperti ini selain berkenaan

dengan hasil (outcome) juga memperhatikan proses.

Masih rendahnya prestasi belajar siswa kelas VII SMP Negeri 11 Denpasar dalam

pembelajaran IPA, karena prestasi belajar tidak hanya dipengaruhi oleh pendekatan

pembelajaran yang diterapkan guru, namun juga dipengaruhi oleh raw input (siswa yang masuk)

dan environmental input (lingkungan). Hal ini juga dinyatakan oleh Tirtarahardja dan La Sula

(2001), bahwa proses belajar mengajar dalam sistem pendidikan saling berhubungan antara

komponen instrumental input (masukan instrumental), raw input (masukan mentah) dan

environmental input (masukan lingkungan). Komponen instrumental input dalam hal ini adalah

pendekatan pembelajaran kontekstual.

Hipotesis kedua, hasil perhitungan uji t menunjukkan bahwa nilai thitung sebesar 11,52;

sedangkan harga ttabel untuk dk = 1n + 2n - 2 = 92 pada taraf signifikansi 5% ( 05,0 ) (one-

tail test) sebesar 1,98. Ternyata thitung lebih besar daripada ttabel (thitung = 11,52 ttabel (0,05) (92) =

1,98). Begitu juga uji F, dari statistik diketahui bahwa nilai F hitung sama dengan kuadrat dari nilai

t hitung 2

hitunghitung tF , sehingga nilai Fhitung = (11,52)2 = 132,71. Sementara itu, nilai Ftabel untuk

derajat pembilang 1 dan derajat penyebut 94 pada taraf signifikansi 5% sebesar 3,94. Ternyata

Fhitung lebih besar daripada Ftabel (Fhitung = 132,71 ttabel (1:94;0,05) = 3,94). Dari kedua uji statistik

di atas menunjukkan bahwa hipotesis nol (H0) yang menyatakan bahwa sikap ilmiah siswa yang

mengikuti pendekatan pembelajaran kontekstual tidak berbeda daripada sikap ilmiah siswa yang

mengikuti pendekatan pembelajaran konvensional, ditolak. Sebaliknya, hipotesis alternatif (Ha)

yang menyatakan bahwa sikap ilmiah siswa yang mengikuti pendekatan pembelajaran

kontekstual lebih tinggi daripada sikap ilmiah siswa yang mengikuti pendekatan pembelajaran

konvensional, diterima (gagal ditolak).

Pada penerapan pembelajaran kontekstual, kreativitas dan sikap ilmiah siswa dapat

dikembangkan lebih maksimal. Siswa diberi kesempatan untuk melakukan kegiatan belajar

mengamati, mendeskripsikan, mengklasifikasikan dan melakukan percobaan/pengujian dengan

menggunakan keterampilan ilmiah yang dimilikinya. Kegiatan belajar seperti ini dapat

membangun dan mentransformasikan persepsi yang dimiliki siswa, sejalan dengan paham

konstruktivisme. Menurut paham konstruktivisme, dalam proses pengamatan dan proses

pembelajaran siswa harus aktif mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, melalui proses

asimilasi, akomodasi dan equiliberasi (penyeimbangan) (Komalasari, 2010).

Kegiatan pengamatan langsung melalaui observasi dalam proses pembelajaran

kontekstual memberikan ruang lebih luas untuk tumbuhnya rasa ingin tahu yang lebih besar

kepada siswa, karena siswa berhadapan dengan fenomena-fenomena baru. Selain itu, kegiatan

pengamatan di laboratorium maupun di luar laboratorium umumnya membutuhkan sekaligus

melatih kesabaran, ketekunan, keseriusan dan kedisiplinan siswa bekerja. Bila siswa dihadapkan

pada suatu masalah, sehingga siswa dituntut untuk menyelesaikan masalah dengan memberikan

jawaban yang ada sesuai kemampuan penalaran yang dimilikinya. Pada kegiatan inilah siswa

Page 32: Jurnal Emasains No 1

diberi kesempatan melatih kemampuannya untuk berpikir kritis dan berdaya temu dengan

mentransformasikan pengetahuannya ke dalam masalah yang hendak dipecahkan, melalui

kegiatan menganalisis dan menginterpretasi data yang diperoleh dalam observasi. Lebih lanjut

Sudiarta (2005) menyatakan bahwa pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran IPA

memberikan ruang yang cukup bagi siswa untuk membangun dan mengembangkan konsep IPA

secara mendalam, khususnya membangun kompetensi IPA siswa dalam: 1) memecahkan

masalah, 2) berargumentasi dan berkomunikasi secara sistematis, 3) melakukan penemuan

kembali, dan 4) berpikir kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, penemuan dan generalisasi

melalui pemikiran kreatif (divergen).

Hipotesis Ketiga, hasil multivariate test tentang perbedaan prestasi belajar IPA dan

sikap ilmiah siswa yang mengikuti pendekatan pembelajaran kontekstual dan siswa yang

mengikuti pendekatan konvensional menghasilkan angka Sig. yaitu 0,00 pada nilai F Pillai's

Trace, Wilks' Lambda, Hotelling's Trace, Roy's Largest Root. Angka signifikan ini berada di

bawah 0,05 yang berarti terdapat perbedaan prestasi belajar IPA dan sikap ilmiah siswa yang

mengikuti pendekatan pembelajaran kontekstual dan siswa yang mengikuti pendekatan

konvensional. Selanjutnya, test of between-subjects sffects menunjukkan bahwa hubungan

pendekatan pembelajaran dengan prestasi belajar IPA memberikan harga F sebesar 387,199

dengan signifikansi 0,00 yang jauh lebih kecil daripada 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa

terdapat perbedaan prestasi belajar IPA yang diakibatkan oleh perbedaan pendekatan

pembelajaran. Dilain pihak, hubungan antara pendekatan pembelajaran dengan sikap ilmiah

siswa memberikan harga F sebesar 132,906 dengan signifikansi 0,00 yang juga jauh lebih kecil

daripada 0,05. hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan sikap ilmiah siswa yang

diakibatkan oleh perbedaan pendekatan pembelajaran.

Berdasarkan hasil analisis deskriptif tentang prestasi belajar IPA dan sikap ilmiah

ditinjau dari pendekatan pembelajaran yang diterapkan, menunjukkan bahwa: 1) rata-rata

prestasi belajar IPA siswa yang mengikuti pendekatan pembelajaran kontekstual yaitu sebesar

41,42 yang lebih besar daripada rata-rata prestasi belajar IPA siswa yang mengikuti pendekatan

pembelajaran konvensional yaitu sebesar 29,61; dan 2) rata-rata sikap ilmiah siswa yang

mengikuti pendekatan pembelajaran kontekstual yaitu sebesar 114,53 yang lebih besar daripada

rata-rata sikap ilmiah siswa yang mengikuti pendekatan pembelajaran konvensional, yaitu

sebesar 99,59. Dengan kata lain, prestasi belajar IPA dan sikap ilmiah siswa yang mengikuti

pendekatan pembelajaran kontekstual lebih baik daripada siswa yang mengikuti pendekatan

pembelajaran konvensional. Hal ini terjadi karena adanya kesesuaian antara pembelajaran IPA

dengan pembelajaran kontekstual, karena pembelajaran IPA harus bisa menghubungkan antara

ide abstrak dan gagasan dengan situasi dunia nyata yang pernah dialami ataupun yang pernah

dipikirkan siswa. Berarti penerapan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran IPA, akan

mampu mengkondisikan siswa untuk: 1) mencari kaitan antara konten materi dengan konteksnya

dalam keseharian, 2) menemukan sendiri dan mengkonstruksi pengetahuannya dari proses

pengamatan menjadi pemahaman, 3) melakukan learning community (masyarakat belajar)

dengan bekerja kelompok untuk memecahkan permasalahan dan menemukan konsep baru, 4)

mengembangkan keterampilan bertanya dan berpikir kritis dalam menyikapi permasalahan, 5)

melakukan pemodelan, serta 6) melakukan refleksi terhadap apa yang telah dipelajarinya.

Hal ini disebabkan karena pendekatan pembelajaran kontekstual lebih menekankan

pada siswa untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, dan guru memberikan kebebasan

kepada siswa untuk mengembangkan aspek kognitif, psikomotor dan learning community dalam

proses pembelajaran (Agustina, 2009). Oleh sebab itu peranan guru dalam pembelajaran lebih

Page 33: Jurnal Emasains No 1

cendrung sebagai fasilitator dan mediator bagi siswa. Kondisi ini akan lebih memotifasi siswa

untuk aktif dan kreatif, sehingga muncul rasa ingin tahu dengan mengkonstruksi pengetahuannya

dalam pembelajaran. Hasil penelitian ini sejalan dengan temuan Sujanem (2003), pada

penelitiannya menunjukkan bahwa implementasi pendekatan pembelajaran kontekstual dalam

pembelajaran sains dapat meningkatkan pemahaman konsep sains siswa SLTP, dan melalui

penerapan pendekatan kontekstual juga dapat meningkatkan sikap ilmiah serta aktivitas siswa

dalam pembelajaran. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Suastra (1996) yang menyatakan

bahwa kehidupan sehari-hari di alam ini mempengaruhi pembentukan makna pembelajaran IPA

bagi siswa. Pernyataan ini juga sejalan dengan pemikiran Piaget (1951), yang menuntut seorang

anak (siswa) bertindak aktif terhadap lingkungannya untuk mengembangkan skemata dan tingkat

pengetahuannya.

Perkembangan struktur kognitif akan berjalan dengan baik bila anak mengasimilasikan

dan mengakomodasikan rangsangan dalam lingkungannya. Proses ini terjadi bila anak bertindak

terhadap lingkungannya, bergerak dalam ruang, berinteraksi dengan objek, mengamati, meneliti

serta berpikir kritis dan kreatif (Suparno, 1997). Bekerja dengan proses ini akan memberi

kesempatan untuk menumbuhkan sikap ilmiah pada siswa, sebagai efek ikutan (nuturant effects).

Selanjutnya Bruner (1977) menjelaskan bahwa perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui

tiga tahap (fase), yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan, yaitu: 1) tahap enaktif,

artinya seseorang melakukan aktivitasnya untuk memahami dunia sekitarnya dengan

menggunakan pengetahuan motorik, 2) tahap ikonik, artinya seseorang memahami objek atau

lingkungan melalui bentuk visualisasi yang melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan

perbandingan (komparasi), dan 3) tahap simbolik, artinya seseorang telah mampu memiliki ide

atau gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya. Tahap kegiatan belajar yang

dikemukakan Bruner dan Piaget tampaknya sejalan dengan proses pembelajaran dengan

pendekatan kontekstual, sehingga dapat menghasilkan sikap ilmiah dan penguasaan konsep IPA

yang lebih tinggi. Hal ini tentunya akan bermuara pada prestasi belajar IPA yang semakin baik.

Keunggulan yang dimiliki oleh pembelajaran kontekstual, ternyata tidak terjadi pada

siswa yang proses pembelajarannya dengan pendekatan konvensional. Hal ini terjadi karena

siswa yang diajar dengan pendekatan konvensional, cendrung kurang percaya diri dalam

menyelesaikan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya. Mereka menjadi sulit menentukan arah

kegiatan belajar, karena itu dalam kegiatan belajarnya lebih suka mempertahankan kebiasaan

yang sudah ada dan kurang tertarik kepada pembaruan, sehingga dibutuhkan peran guru yang

lebih banyak untuk mengarahkan dan menjelaskan materi pelajaran selama proses pembelajaran

berlangsung. Pembelajaran yang lebih mementingkan peran guru dalam proses belajar mengajar

termasuk pembelajaran konvensional.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis analisis statistik dalam penelitian ini, maka dapat

disimpulkan. 1) Prestasi belajar IPA siswa yang mengikuti pendekatan pembelajaran kontekstual

lebih tinggi daripada prestasi belajar IPA siswa yang mengikuti pendekatan pembelajaran

konvensional; 2) Sikap ilmiah siswa yang mengikuti pendekatan pembelajaran kontekstual lebih

tinggi daripada sikap ilmiah siswa yang mengikuti pendekatan pembelajaran konvensional; dan

3) secara silmultan, terdapat perbedaan prestasi belajar IPA dan sikap ilmiah antara siswa yang

mengikuti pendekatan pembelajaran kontekstual dengan sikap ilmiah siswa yang mengikuti

pendekatan pembelajaran konvensional.

Page 34: Jurnal Emasains No 1

Dari simpulan di atas, maka dapat disarankan 1) Dalam proses pembelajaran di kelas

khususnya mata pelajaran IPA (biologi) proses pembelajaran dengan menerapkan pendekatan

pembelajaran kontekstual. Oleh karena itu pembelajaran kontekstual perlu dikenalkan dan

dikembangkan lebih lanjut kepada guru, siswa khususnya di SMP Negeri 11 Denpasar dan

kepada praktisi pendidikan sebagai salah satu alternatif pendekatan pembelajaran. Penelitian

lanjutan yang berkaitan dengan pendekatan pembelajaran kontekstual dengan materi-materi IPA

yang lain, dengan melibatkan sampel yang lebih luas juga perlu dilakukan.

DAFTAR RUJUKAN

Adnyana, P. B. 2006. Pengaruh Penggunaan Model siklus Belajar dalam Pembelajaran IPA

terhadap Penguasaan Konsep, Penalaran, dan keterampilan Inkuiri Siswa SMP di Laboratorium

IKIP Negeri Singaraja. Jurnal Penelitian IKIP Negeri Singaraja.

Agustina, E. I Putu. 2009. Pengaruh Model Pembelajaran Kontekstual terhadap Pemahaman

Konsep dan Keterampilan Proses Sains Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Tabanan Tahun Ajaran

2008/2009. Tesis (tidak diterbitkan). Singaraja: Program Studi Pendidikan Dasar Program

Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha.

Arends, R. 1997. Classroom Instruction and Management. New York: McGraw-Hill Company.

Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Bruner, J. 1977. The Process of Education. Cambridge: Havard University Press.

Campbell, D.T. & J. C. Stanley. 1996. Eksperimental and Quasi-Eksperimental Designs for

Research. Chicago: Rand Mc.Nally College Publishing Company.

Emzir. 2008. Metodologi Penelitian Pendidikan Kuantitatif dan Kualitatif. Jakarta: Raja

Grafindo Persada.

Fajar, Crys P; Ristiningsih; Suhardi; Supriyanto dan Susiloningsih. 2006. Pembelajaran Ilmu

Pengetahuan Alam Terpadu dan Kontekstual Kelas VII SMP dan MTs. Surakarta: Mediatama.

Gregory, R.J. 2000. Psychological Testting: History, Principles, and Applications. Boston: Allyn

dan Bacon

Komalasari, K. 2010. Pembelajaran Kontekstual Konsep dan Aplikasi. Bandung: Rifika

Aditama.

Piaget, J. 1951. The Child’s Conception of the World Savage. Maryland: Littlefield Publishers.

Setiawan, I G.A.N. 2006. Pengaruh Pembelajaran Konstekstual dalam Strategi Inkuiri dan

Pembelajaran berdasarkan Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir dan Penguasaan

Kosep IPA SMP di Kecamatan Buleleng. Desertasi (tidak diterbitkan). Program Pascasarjana

Universitas Negeri Malang.

Suastra, I.W. 1996. Penerapan Model Pembelajaran Heuristik Vee dengan Peta Konsep dalam

Pembelajaran Fisika. Tesis (tidak diterbitkan). IKIP Bandung.

Sudiarta, P. 2005. Pengembangan Kompetensi Berpikir Divergen dan Kritis melalui Pemecahan

Masalah Matematika Open-Ended, Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja,

Edisi Mei 2005.

Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R & D.

Bandung: Alfabeta.

Sujanem, Rai. 2003. Implementasi Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Fisika sebagai

Upaya untuk Meningkatkan Sikap Ilmiah, Aktivitas dan Hasil Belajar Fisika Siswa Kelas IB

SLTPN 6 Singaraja. Laporan Penelitian (tidak diterbitkan). IKIP Negeri Singaraja.

Suparno, P. 1997. Filsafat Konstruktivistik dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.

Tirtarahardja, U dan La Sula. 2001. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Page 35: Jurnal Emasains No 1

Tuckman, Bruce W. 1972. Conditioning Educational Research. New York: Harcourt Brace

Javonovich Inc.

Vygotsky, L.S. 1978. Mind in Society. Cambridge: Havard University Press.

Warpala, I W. S. 2006. Pengaruh Pendekatan Pembalajaran dan Strategi Belajar Kooperatif yang

Berbeda terhadap Pemahaman dan Kemampuan Berpikir Kritis dalam Pembelajaran IPA SD.

Disertasi (tidak diterbitkan). Program Studi Teknologi Pembelajaran, Program Pascasarjana

Universitas Negeri Malang.

Winarsunu, T. 2002. Statistik dalam Pendidikan. Bandung: Rineka Cipta.

Page 36: Jurnal Emasains No 1

Aktivitas Fungisida Ekstrak Daun Saba (Piper Majusculum Blume) Terhadap

Pertumbuhan Jamur Fusarium oxysporum f.sp vanillae Penyebab Penyakit Busuk Batang

Panili

I Gusti Ayu Rai Dosen Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali.

ABSTRACT

Fungicide Activity Saba Leaf Extract (Piper Majusculum Blume) the fungus Fusarium

oxysporum f.sp. vanillae causes stem rot disease Vanilla.

The study entitled "Fungicide Activity Saba Leaf Extract (Piper Majusculum Blume) the

fungus Fusarium oxysporum f.sp. vanillae causes stem rot disease Vanilla ", aims to determine

the antifungal activity of the crude extract of leaves of Saba to fungus F. Oxyxporum f.sp.

vanillae. Tests conducted in vitro on the growth of fungal colonies on PDA and activity of the

extracts on the formation and germination of fungal spores with GDP media.

The results showed that the crude extract of leaves of Saba is able to inhibit the growth of

fungal radial F.oxysporum f.sp. vanillae in vitro on PDA. Inhibition of the crude extract of leaves

of Saba with a concentration of 0.5% to 0.3% increase from 59.99% to 95.76%, and 0.35%

concentration of the extract to inhibit fungal radial growth to 100%.

Crude extract of leaves of Saba is also able to suppress the growth of fungi F. Oxysporum F.sp.

vanillae on PD Broth media, through the inhibition of germination. Through germination

inhibition at concentrations of 0.1% to 0.4% concentration increased from 38.89% to 87.04%,

and 0.5% at concentrations capable of inhibiting germination of 100%. While inhibition of spore

formation at concentrations of 0.1% to 0.4% concentration increased from 46.54% to 92.20%,

and 0.5% at concentrations of extract can inhibit spore formation to 100%.

From the test results, it can be concluded that the coarse leaf extract in vitro Saba has

antifungal activity against F. oxysporum f.sp. vanillae. The mechanism of antifungal activity of

the crude extract of leaves of Saba to F. Oxysporum f.sp. vanillae is both fungistatik that

suppress fungal growth through the inhibition of colony growth, germination inhibition, and

inhibition of sporeformation.

Keywords: Activities fungicides, Piper majusculum Blume, vanilla stem rot disease.

PENDAHULUAN

Panili (Vanilla planifolia Andrews), merupakan salah satu jenis komoditi perkebunan

yang bernilai ekonomi tinggi dan memiliki prospek yang cukup cerah di sektor non migas, baik

untuk menambah pendapatan petani maupun sebagai penghasil devisa negara (Usman, 1991).

Panili Indonesia dalam perolehan devisa, menduduki urutan ke tiga dalam (dalam kelompok

rempah) di bawah lada dan kayu manis (Nuryani dkk., 1995). Pada tahun 1998 penerimaan

devisa negara dai panili sebesar US $ 31,4 juta. Indonesia memasok 40% dari kebutuhan panili

dunia (Sumawa, dkk., 2003). Penyakit busuk batang merupakan penyakit paling populer karena

keganasannya menimbulkan kerugian terbesar. Penyakit ini disebabkan oleh jamur F.

Oxysporum f.sp vanillae atau disebut Fusarium batatatis (Rismunandar dan Sukma, 2003).

Busuk batang dapat pula disebabkan oleh luka yang terjadi tidak cepat tertutup oleh kalus,

Page 37: Jurnal Emasains No 1

sehingga mudah terserang oleh jamur. Gejala penyakit ini umumnya terlihat pada pangkal batang

tanaman, dan banyak menimbulkan kerusakan yang mengakibatkan terjadinya kemunduran

tanaman panili (Tjahjadi, 2005).

Busuk batang tidak menyebabkan tanaman mati mendadak tetapi perlahan-lahan.

Menurut Hidayat (1996) tanda-tanda tanaman yang terserang penyakit ini dapat dibedakan

berdasarkan lingkungan, yaitu pada lingkungan kering, jaringan tanaman yang membusuk akan

berwarna hijau kecokelatan, pembatas antara bagian tanaman yang sakit dengan yang sehat tidak

nampak. Pada lingkungan lembab, jaringan tanaman yang busuk berwarna cokelat sampai hitam.

Pembatas antara bagian yang sehat dengan yang sakit nampak dengan jelas. Apabila batang yang

sakit dibelah sampai sebatas yang sehat, maka akan nampak di sebelah dalam pembusukan

terjadi lebih cepat jika dibandingkan dengan yang di sebelah luar.

F.oxysporum secara khusus menyebabkan teriadinya layu pembuluh. Walaupun secara

mikroskopik Fusarium tidak berwarna, namun pada kultur dan pada bagian tanaman yang

diserang pertumbuhan miseliumnya menghasilkan warna merah muda. Selain itu, dapat juga

menghasilkan makrokonidia dan mikrokonidia. Kadang-kadang dihasilkan satu sel yang

berbentuk bulat, berdinding tebal yang dibentuk dari sel hifa yang disebut klamidospora. Di

dalam biakan murni F. Oxysporum f.sp. vanillae membentuk makrokonidium yang agak

melengkung, tidak berwarna, berdinding tipis, umumnya bersekat 3, berukuran 20-46 x 3,2-8

µm. Mikrokonidium bulat panjang, tidak berwarna, berdinding tipis, berukuran 4-9 x 2-5 µm.

Klamidospora berwarna cokelat muda, berdinding tebal, berukuran 6-10 µm, dibentuk pada

ujung (terminal) atau di tengah hifa (interkalar), dan juga dibentuk oleh makrokonidium

(Semangun, 2000). Selanjutnya dijelaskan bahwa makrokonidium berbentuk sabit atau

membentuk kait dengan ujung runcing. Mikrokonidium mempunyai bentuk yang sama atau

berbeda dengan makrokonidium. Apabila bentuknya sama mempunyai ukuran yang lebih kecil

dan mempunyai sekat lebih sedikit. Kalau bentuknya berbeda, dapat bulat, bulat telur, berbentuk

ginjal dan lanset. Secara luas pestisida diartikan suatu zat yang dapat bersifat racun, menghambat

pertumbuhan/perkembangan, tingkah laku, perkembangbiakan, kesehatan, mempengaruhi

hormon, penghambat, membuat mandul, sebagai pemikat, penolak, dan aktivitas lainnya yang

mempengaruhi organisme pengganggu tanaman (OPT) (Kardinan, 2001). Pestisida digunakan di

sektor pertanian dan perkebunan dengan tujuan untuk meningkatkan taraf hidup petani juga

masyarakat luas sebagai konsumen primer (Sastroutomo, 1992).

Setelah ditemukannya pestisida sintetis pada awal abad ke-20, para petani secara

berangsur mulai melupakan penggunaan pestisida nabati. Apalagi efektivitasnya dalam

membunuh hama sangat cepat dan residunya bertahan lama dibandingkan pestisida nabati.

Kondisi demikian menyebabkan terjadinya penggunaan pestisida yang kurang bijaksana. Untuk

menghindari dampak negatif yang ditimbulkan akibat penggunaan pestisida sintetis, maka sangat

perlu menggalakkan kembali penggunaan pestisida nabati. Pestisida nabati sebenarnya sudah

dilakukan sejak lama, jauh sebelum intensifnya penggunaan pestisida sintetis.

Pestisida nabati diartikan sebagai suatu pestisida yang bahan dasarnya berasal dari

tumbuhan. Oleh karena terbuat dari bahan alami maka jenis pestisida ini bersifat mudah terurai

(bio-degradable) di alam, sehingga tidak mencemari lingkungan dan relatif aman bagi manusia,

ternak peliharaan, karena residunya mudah hilang. Secara alami tumbuhan memproduksi

senyawa beracun yang disebut metabolit sekunder, yang digunakan untuk melindungi diri dari

serangan hama dan patogen (Novizan, 2004). Selanjutnya Suprapta (2005) menyatakan bahwa

tumbuhan tingkat tinggi melalui metabolit sekunder mampu menghasilkan berbagai senyawa

kimia untuk melindungi dirinya dari gangguan hama, penyakit, maupun gulma. Metabolit

Page 38: Jurnal Emasains No 1

sekunder di antaranya ada yang bersifat anti jamur. Sebagian senyawa anti jamur, ada dalam

bentuk constitutive yaitu ada dalam tumbuhan sehat dalam bentuk aktif secara biologis. Banyak

senyawa constitutive dari tumbuhan dilaporkan mempunyai aktivitas anti jamur. Contoh yang

populer adalah fenol dan glikosida fenol, lakton tidak jenuh, senyawa-senyawa sulfur, saponins,

glikosida syanogenik dan glikosinolat (Suprapta, 2001). Fungisida merupakan salah satu

pestisida yang digunakan untuk mengendalikan hama jamur. Fungisida tersebut dalam bentuk

alkaloid atau prohibitin dapat membantu melawan serangan patogen (Suprapta, 2005).

Dalam dunia tumbuhan, tanaman Saba termasuk anggota familia Piperaceae. Tanaman

ini bukan termasuk tanaman budi daya sehingga tumbuhnya terkesan liar. Cara tumbuh tanaman

ini adalah merambat atau menjalar sama seperti sirih dan lada. Media sebagai tempatnya

merambat bisa berupa tanaman hidup atau mati, di tembok atau menjalar di atas tanah. Tanaman

ini paling banyak dijumpai di antara semak-semak, dan banyak memiliki persamaan dengan sirih

baik mengenai cara hidupnya, morfologi, maupun fisiologi. Apabila tanaman ini diremas maka

baunya menyebar seperti bau sirih. Manfaat tanaman ini selain dapat dimakan sebagai pengganti

sirih, juga banyak dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak sapi.

Dalam dunia tumbuhan tanaman Saba termasuk salah satu anggota familia Piperaceae.

Oleh karena memiliki banyak persamaan dengan tanaman sirih (Piper betle), maka dalam

penelitian ini tanaman Saba diuji aktivitasnya sebagai anti jamur dengan harapan mempunyai

potensi yang sama dengan tanaman sirih, yaitu mempunyai sifat anti jamur. Sirih sebagai salah

satu anggota famili Piperaceae mengandung minyak atsiri yang terdiri dari betlephenol, kavikol,

seskuiterpen, hidroksikavikol, cavibetol, estragol, eugenol dan karvakrol. Selain itu, juga

mengandung enzim diastase, gula dan tanin. Biasanya daun sirih muda mengandung diastase,

gula dan minyak atsiri lebih banyak dibandingkan dengan daun sirih tua (Moeljanto dan

Mulyono, 2003). Selanjutnya Heyne (1987) menyatakan bahwa sepertiga dari minyak atsiri

dalam daun sirih terdiri dari fenol, dan sebagian besar dari fenol tersebut adalah kavikol. Kavikol

ini memberikan aroma khas dari daun sirih dan memiliki daya pembunuh bakteri lima kali

daripada fenol biasa.

Di Bali panili merupakan salah satu komoditi andalan di sektor perkebunan. Pada tahun

1991, luas areal panili di daerah Bali tercatat 4.093 ha dan merupakan areal panili terluas di

Indonesia (Arya, 2003). Walaupun demikian upaya peningkatan produksi panili masih

mengalami beberapa kendala. Salah satu faktor penyebab utamanya adalah adanya penyakit

busuk batang panili yang disebabkan oleh jamur Fusarium oxysporum f.sp vanillae

(Hadisutrisno, 2004).

Penyakit busuk batang panili merupakan jenis penyakit yang paling berbahaya untuk

tanaman panili di Indonesia, karena penyakit ini selain dapat menurunkan hasil, serangan

patogennya juga dapat mematikan tanaman 50% sampai 100%, memperpendek umur produksi

10 kali pannen menjadi 2 kali panen, atau bahkan tidak dapat berproduksi, serta mutu buah yang

berasal dari tanaman sakit sangat rendah.

Akibat adanya penyakit busuk batang panili, maka jumlah ekspor panili menjadi semakin

merosot. Tahun 2001 hanya 339 ton polong kering dengan nilai US$.5.497.000. Jumlah ekspor

tersebut jauh berkurang dibandingkan dengan tahun 1998, sekitar 729 ton polong kering dengan

nilai US$.8.764.000. Produktivitas rata-rata tanaman panili pada tahun 2002 sekitar 0,2 – 0,5 kg

polong kering per pohon, pada hal potensinya dapat mencapai 1,0 – 1,5 kg polong kering per

pohon (Ruhnayat, 2004).

Penyakit busuk batang panili sejak dulu sampai sekarang masih menjadi faktor utama

yang menyebabkan produksi panili di Indonesia merosot tajam. Usaha pengendalian penyakit

Page 39: Jurnal Emasains No 1

yang dilakukan oleh petani selama ini masih bertumpu pada penggunaan pestisida sintetis. Di

lain pihak penggunaan pestisida sintetis yang kurang bijaksana sering merugikan lingkungan,

seperti terjadinya kasus keracunan, polusi lingkungan, perkembangan serangga menjadi resisten,

resurgensi, ataupun toleran terhadap pestisida (Kardinan, 1999). Pengendalian penyakit secara

kimia yang kurang bijaksana juga mengandung residu pestisida yang tinggi, suatu keadaan yang

tidak memungkinkan produk pertanian diterima oleh negara konsumen yang telah menerapkan

ecolabeling (Hadisutrisno, 2004).

Di masa mendatang dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan produk pertanian

yang berkualitas, aman dari segi kesehatan dan lingkungan, maka sudah saatnya

mengembangkan pestisida nabati. Pestisida nabati dapat mengurangi efek negatif pestisida

sintetis terhadap lingkungan biologis (Suprapta dkk., 2003). Pestisida ini umumnya dihasilkan

oleh tumbuhan tingkat tinggi. Indonesia sebagai daerah tropis mempunyai berbagai jenis

tumbuhan dengan keanekaragaman jenis yang paling tinggi di dunia, sehingga mempunyai

potensi yang tinggi untuk menghasilkan senyawa kimia yang mempunyai sifat anti jamur yang

dapat digunakan sebagai fungisida nabati (Tjitrosoepomo, 1994).

Suprapta (1998) menyatakan bahwa peranan senyawa aktif seperti tanin dan saponin

dapat menekan pertumbuhan jamur. Beberapa tanaman yang telah diuji potensinya sebagai

pestisida nabati yaitu ekstrak daun sirih (Piper betle), ekstrak rimpang lengkuas (Alpinia

galanga) dan ekstrak daun sembung delan (Sphaeranthus indicus) ditemukan lebih efektif

dibandingkan dengan fungisida sintetis chlorotanolil dalam pengendalian penyakit layu pisang

pada pembibitan dari bonggol (Suprapta, 2003). Beberapa spesies dari famili Piperaceae yaitu

sirih dan lada diketahui efektif digunakan sebagai pestisida nabati. Menurut Moeljanto dan

Mulyono (2005), daun sirih mengandung minyak atsiri yang terdiri dari betlephenol, kavikol,

seskuiterpen, hidroksikavikol, cavibetol, estragol, eugenol, dan karvakrol. Beberapa tumbuhan

tertentu dapat menghasilkan metabolit sekunder yang dapat digunakan sebagai bahan obat, dan

memiliki potensi sebagai pestisida nabati. Tanaman Saba (Piper majusculum Blume), termasuk

salah satu anggota famili Piperaceae, sehingga masih memiliki kekerabatan dengan tanaman

sirih. Salah satu sifat dari tanaman yang memiliki kekerabatan adalah selain memiliki persamaan

secara morfologi juga memiliki persamaan secara anatomi dan fisiologi.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas fungisida ekstrak daun Saba

(Piper majusculum Blume) terhadap pertumbuhan jamur Fusarium oxysporum f.sp. vanillae)

penyebab penyakit busuk batang panili.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali. Alat yang

digunakan adalah : pisau, botol kaca, tabung reaksi, piring Petri, timbangan, autoclave, laminar-

flow cabinet, vacum rotary evavorator, beaker glass, gelas ukur, mikropipet, pipet pasteur,

lampu bunsen, jarum ose, aluminum foil, kain kasa. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini

daun Saba, jamur F. Oxysporum f.sp. vanillae, media PDA, media PDB, aquadesh, metahol PA,

aceton, hexan, etil asetat, tween, alkohol 70%.

Jamur diisolasi dari batang panili yang menunjukkan gejala busuk batang. Batang

dipotong, dicuci dengan air steril, kemudian didesinfeksi dengan alkohol 70% selama ± 15

menit. Selanjutnya dicuci kembali dengan air steril sebanyak 2 kali. Jaringan yang diambil

adalah jaringan yang terletak pada perbatasan antara batang yang sehat dengan batang yang sakit.

Jaringan ditanam pada media PDA. Jamur yang berhasil diisolasi kemudian dimurnikan dengan

menumbuhkannya kembali pada media PDA beberapa kali sampai tidak tidak ada kontaminasi

Page 40: Jurnal Emasains No 1

oleh bakteri atau jamur lain pada biakan. Selanjutnya dilakukan identifikasi isolat jamur.

Identifikasi didasarkan atas bentuk koloni, bentuk spora dan konidianya.

Daun Saba yang telah dicincang dan dikeringanginkan direndam dalam 1 liter methanol

PA pada suhu kamar selama 48 jam. Tujuannya untuk menarik zat aktif yang terkandung pada

daun Saba. Selanjutnya dilakukan filtrasi dengan menggunakan dua lapis kain kasa dan kertas

saring Whatman No.2. Filtrat yang diperoleh dievaporasi dengan vacuum rotary evaporator pada

suhu 400C. Hasil evaporasi ini berupa ekstrak kasar yang akan diuji aktivitasnya terhadap jamur

F.oxyxporum f.sp.vanillae.

Uji Aktivitas Ekstrak daun Saba Terhadap Pertumbuhan Koloni Jamur F.oxysporum

f.sp.vanillae pada Media PDA Pengujian aktivitas ekstrak daun Saba terhadap pertumbuhan koloni jamur dilakukan

pada konsentrasi 1%, 2%, 3%, 4%, 5%, dan kontrol 0%. Solven yang digunakan untuk

pengenceran adalah tween 80 (2,5%), dan etil asetat (3:1). Masing-masing ekstrak diambil

dengan menggunakan mikropipet sebanyak 0,5 ml dan dituangkan ke dalam piring Petri.

Selanjutnya ditambahkan media PDA (10 ml) yang masih encer, digoyang simultan sampai

merata, dan dibiarkan sampai padat. Konsentrasi ekstrak setelah tercampur media menjadi

0,05%, 0,1%, 0,15%, 0,2%, 0,25%, 0,3%, dan 0,35%. Jamur F.oxysporum f.sp. vanillae yang

telah dibiakkan dalam piring Petri selama empat hari, dipotong dengan cork borer, potongannya

diambil dengan jarum ose, dan diletakkan pada bagian tengah media, selanjutnya diinkubasi

pada suhu kamar. Sebagai kontrol digunakan media PDA tanpa ekstrak. Pengujian ini dilakukan

dengan tiga kali ulangan.

Pengamatan dilakukan terhadap pertumbuhan koloni jamur yaitu dengan mengukur

diameter koloni mulai dari hari kedua setelah inokulasi, sampai jamur yang tumbuh pada kontrol

memenuhi piring Petri. Penentuan aktivitas ekstrak dilakukan dengan menghitung daya hambat

ekstrak terhadap pertumbuhan jamur dengan rumus :

Diameter koloni control – diameter koloni perlakuan

Daya hambat (%) = _________________________________________ x 100%

Diameter koloni kontrol

(Suwari, 2002)

Uji Aktivitas Ekstrak Daun Saba terhadap Perkecambahan dan Pembentukan Spora

Jamur F.oxysporum f.sp.vanillae pada Media PDB

Pengujian terhadap perkecambahan spora diawali dengan membuat suspensi spora.

Caranya, jamur yang telah dibiakkan dalam tabung reaksi selama 4 hari ditambahkan dengan 20

ml air steril, kemudian disaring dengan kertas wathman No.2, agar filtrat yang diperoleh murni

berupa suspensi spora. Sebanyak 200 µl suspensi spora kemudian diinokulasikan ke dalam

tabung reaksi yang telah berisi campuran 1 ml media PDB dan 100 µl ekstrak. Konsentrasi

ekstrak setelah tercampur menjadi 0,1%, 0,2%, 0,3%, 0,4%, 0,5%, dan kontrol 0%. Masing-

masing perlakuan dibuat 3 kali ulangan, dan diinkubasi pada suhu kamar. Kerapatan spora saat

inokulasi dihitung dengan haemositometer, dan pengamatan dilakukan 24 jam setelah inkubasi.

Pengujian terhadap pembentukan spora juga diawali dengan membuat suspensi spora.

Kemudian 200 µl suspensi spora diinokulasikan ke dalam piring petri yang telah berisi 10 µl

media PD Broth dan 500 µl ekstrak, sehingga konsentrasi ekstrak yang diperoleh menjadi 0,1%,

0,2%, 0,3%, 0,4%, 0,5%, dan kontrol 0%. Kerapatan spora saat inokulasi dihitung, masing-

Page 41: Jurnal Emasains No 1

masing perlakuan dibuat tiga kali ulangan, diinkubasi pada suhu kamar, dan pengamatan

dilakukan 48 jam setelah inokulasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Aktivitas Ekstrak daun Saba Terhadap Pertumbuhan Koloni Jamur F.oxysporum

f.sp.vanillae Pada Media PDA. Ekstrak kasar daun Saba mampu menekan pertumbuhan jamur F.oxysporum f.sp. vanillae

pada media PDA. Daya hambat ekstrak kasar daun Saba pada konsentrasi 0,05% sampai 0,3%

meningkat dari 59,99% sampai 95,76%, dan pada konsentrasi ekstrak 0,35% memberikan daya

hambat penuh (100%) terhadap pertumbuhan F.oxysporum f.sp. vanillae. Data ini menunjukkan

adanya kecenderungan bahwa peningkatan konsentrasi ekstrak diikuti oleh peningkatan daya

hambat (aktivitas fungisida) terhadap jamur F.oxysporum f.sp. vanillae. Adapun perbandingan

pertumbuhan koloni jamur yang diberikan perlakuan dengan konsentrasi ekstrak yang berbeda

dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1.Daya hambat ekstrak kasar daun Saba terhadap pertumbuhan jamur

F.oxysporum f.sp. vanillae pada media PDA hari ke-8 inkubasi.

No. Konsentrasi

(%)

Rata-rata diameter koloni (mm) Daya hambat

1. 0,05 34,67±0,47 59,99

2. 0,10 22,67±1,70 73,84

3. 0,15 19,67±0,47 77,30

4. 0,20 14,33±3,03 83,46

5. 0,25 7,00±0,82 91,92

6. 0,30 3,67±0,94 95,76

7. 0,35 0,00 100

Keterangan : Rata-rata diameter koloni kontrol hari ke-8 = 86,67

Pertumbuhan koloni jamur pada kontrol mulai terlihat sejak hari II pengamatan,

sedangkan pada perlakuan dengan konsentrasi ekstrak 0,05% pertumbuhan diameter koloni

jamur baru terlihat pada hari III pengamatan.

Hasil Pengujian Aktivitas Ekstrak daun Saba Terhadap Perkecambahan Jamur

F.oxysporum f.sp.vanillae pada Media PD Broth

Ekstrak kasar daun Saba mampu menekan pertumbuhan jamur F. Oxysporum F.sp.

vanillae pada media PD Broth, melalui penghambatan terhadap perkecambahan dan

pembentukan spora. Penghambatan melalui perkecambahan pada konsentrasi 0,1% sampai

konsentrasi 0,4% meningkat dari 38,89% sampai 87,04%, dan pada konsentrasi 0,5% mampu

menghambat perkecambahan 100% (tabel 2)

Tabel 2. Kerapatan spora F. Oxysporum f.sp. vanillae yang berkecambah pada media

PD Broth yang diberi perlakuan ekstrak daun Saba dengan konsentrasi yang

berbeda 24 jam setelah inokulasi.

Konsentrasi ekstrak

(%)

Spora yang berkecambah

(x103/ml)

Daya hambat

(%)

Page 42: Jurnal Emasains No 1

0(kontrol) 180 ± 14,14 0,00

0,1 110 ± 24,49 38,89

0,2 60 ± 8,16 66,67

0,3 50 ± 8,16 72,22

0,4 23,33 ± 4,71 87,04

0,5 0,00 100

Keterangan: Pengamatan dilakukan terhadap tiga kali ulangan Kerapatan spora pada sasat

inokulasi 285 x 103

spora/ml

Hasil Pengujian Aktivitas Fungisida Ekstrak daun Saba terhadap pembentukan spora F.

Oxysporum f.sp. vanillae dalam media PD Broth

Ekstrak kasar daun Saba juga mampu menghambat pertumbuhan jamur F.oxysporum

f.sp. vanillae pada media PD Broth melalui penghambatan terhadap pembentukan spora.

Penghambatan melalui pembentukan spora pada konsentrasi 0,1% sampai konsentrasi 0,4%

meningkat dari 46,54% sampai 92,20%, dan pada konsentrasi 0,5% mampu menghambat

pembentukan spora 100% (tabel 3).

Tabel 3. Kerapatan spora F. Oxysporum f.sp. vanillae pada media PD Broth pada

perlakuan ekstrak daun Saba dengan konsentrasi yang berbeda 48 jam

setelah inokulasi.

Konsentrasi ekstrak

(%)

Spora yang berkecambah

(x103/ml)

Daya hambat

(%)

0(kontrol) 6,266,67 ± 478,42 0,00

0,1 3,350 ± 267,71 46,54

0,2 1,570 ± 80,42 74,93

0,3 823,33 ± 40,39 86,86

0,4 50 ± 8,16 92,20

0,5 0,00 100

Keterangan: Pengamatan dilakukan terhadap tiga kali ulangan Kerapatan spora pada saat

inokulasi 12,4 x103 spora/ml

PEMBAHASAN

Dari hasil pengujian yang telah dilakukan terhadap pertumbuhan koloni jamur,

perkecambahan dan pembentukan spora, diketahui bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak,

daya hambat ekstrak (aktivitas fungisida) semakin besar. Hal ini diketahui dari pertumbuhan

diameter koloni yang semakin kecil, jumlah spora yang berkecambah semakin berkurang, begitu

juga pembentukan spora menjadi semakin kecil.

Tanaman Saba merupakan salah satu anggota famili Piperaceae. Salah satu anggota

famili Piperaceae yang sudah populer bersifat anti jamur adalah sirih, karena kandungan minyak

atsirinya yang terdiri dari fenol dan kavikol. Senyawa phenol pada tanaman umumnya

merupakan metabolit sekunder, yang sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup tanaman.

Turunan phenol dapat membentuk penghambat yaitu lignin dan suberin sebagai penebal dinding

sel (Petruci dan Suminar, 1989). Suprapta (2001) menyatakan bahwa zat penghambat dalam

tumbuhan sering spesifik untuk jaringan tertentu, dan ada kecenderungan bahwa senyawa ini

terkonsentrasi pada lapisan sel bagian luar dari organ tumbuhan, yang menunjukkan bahwa

senyawa ini memang bertindak sebagai barier terhadap patogen dan serangan hama. Pada

Page 43: Jurnal Emasains No 1

umumnya jamur patogen peka terhadap senyawa phenol, sehingga fungisida aromatik pertama

yang dijumpai adalah fungisida dengan memakai bahan aktif senyawa phenol.

Tanaman Saba yang merupakan famili Piperaceae selain memiliki kemiripan secara

morfologi juga memiliki kemiripan secara fisiologi yaitu aromanya yang sama seperti sirih dan

juga dapat dimakan sebagai pengganti sirih. Oleh karena itu, daun Saba diduga memiliki

kandungan senyawa yang sama yaitu phenol, sehingga memiliki potensi sebagai fungisida nabati

khususnya terhadap jamur F oxysporum f.sp. vanillae penyebab penyakit busuk batang pada

panili.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Ekstrak kasar daun Saba secara in vitro mempunyai aktivitas anti jamur terhadap F.

oxysporum f.sp. vanillae.

2. Mekanisme aktivitas anti jamur ekstrak kasar daun Saba terhadap F. Oxysporum f.sp. vanillae

adalah bersifat fungistatik yaitu menekan pertumbuhan jamur melalui penghambatan

pertumbuhan koloni, perkecambahan dan pembentukan spora.

Saran

1. Perlu dilakukan pengujian ekstrak daun Saba terhadap tanaman panili di lapangan dan patogen

lainnya.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yaitu identifikasi terhadap senyawa aktif yang

terkandung pada daun Saba.

DAFTAR RUJUKAN

Arya, N. 2003. Teknik Aplikasi Agents Hayati Pseudomonas Fluorescense dan Pengaruhnya

Terhadap Intensitas Serangan Penyakit Busuk batang Panili. Majalah Agritop. Jurnal

Ilmu-Ilmu Pertanian

Hadisutrisno, B.2004. Budidaya Vanili. Jakarta : Penebar Swadaya.

Hidayat, A. 1996. Teknik Pertanian dan Budidaya Panili. Surabaya : Karya Anda.

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jakarta : Yayasan Sarana Wana Jaya.

Kardinan, A. 1999. Pestisida Nabati Ramuan dan Aplikasi. Jakarta : Penebar Swadaya.

Kardinan, A. 2001. Pestisida Nabati Ramuan dan Aplikasi. Jakarta : Penebar Swadaya.

Moeljanto,D.R. dan Mulyono. 2005. Khasiat dan Manfaat Daun sirih Obat Mujarab dari Masa ke

Masa. Jakarta : Agromedia Pustaka.

Novizan. 2004. Membuat dan Memanfaatkan Pestisida Ramah Lingkungan. Jakarta : Agromedia

Pustaka.

Nuryani, Y.,R. Asnawi dan Nasrun. 1995. Perkembangan Penelitian Plasma Nutfah Tanaman

Rempah dan Obat. Balitro.

Rismunandar dan E.S. Sukma. 2003. Bertanam Panili. Jakarta : Penebar Swadaya.

Ruhnayat. A. 2004. Bertanam Panili si Emas Hijau Nan Wangi. Jakarta : Agromedia.

Sastroutomo, S.S. 1992. Pestisida Dasar dan Dampak Penggunaannya. Jakarta : Gramedia

Pustaka Utama.

Semangun. H. 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia. Yogyakarta :

Universitas Gadjah Mada Press.

Suprapta, D.N. 1998. Mekanisme Ketahanan Jamur terhadap Saponin. Majalah Ilmiah Fakultas

Pertanian Universitas Udayana.

Page 44: Jurnal Emasains No 1

Suprapta, D.N. 2001. Senyawa Antimikroba dan Pertahanan Tumbuhan Terhadap Infeksi Jamur.

Majalah Agritop, Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian.

Suprapta, D.N. 2003. Bacterial Activity of Spaeranthus indicus Extract Againts Ralstonia

solanacearum in Tomato, Journal of ISSAAS.

Suprapta, D.N. 2005. Pertanian Bali Dipuja Petaniku Merana. Denpasar : Taru Lestari

Foundation.

Sumawa, I.N., Arimbawa, I.B., Kamandalu, A.A.N., dan Sunantara, M.M. 2003. Uji Adaptasi

Pengendalian Penyakit Busuk Batang Panili, Laporan Akhir Proyek Pengkajian

Teknologi Pertanian Partisipatif, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali.

Suwari. I.G.N.A. 2002. Aktivitas Fungisida Ekstrak Daun Matoa (Pometia pinnata Forst)

Terhadap Phytopthora infestans Penyebab Penyakit Hawar Daun pada Tanaman Kentang.

Tjahyadi, N. 2005. Bertanam Panili. Yogyakarta : kanisius.

Tjitrosoepomo, S.1994. Taksonomi Tumbuhan Obat-Obatan. Yogyakarta : Gadjah Mada

University Press.

Usman, N. 1991. Pedoman Praktis Budidaya Tanaman Perkebunan (Suatu Rangkuman). Jakarta :

PD. Mahkota.

Petruci, R.H. dan Suminar. 1989. Kimia Dasar Prinsip dan Terapan Modern. Jakarta : Erlangga.

Page 45: Jurnal Emasains No 1

Eksplorasi Tumbuhan Sebagai Bahan Pestisida Nabati

I Made Subrata

Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali

ABSTRACT

Plant Exploration Become Botanical Pesticide

Plant intruders invading organisms (OPT) is one of the factors that lead to decreased

plant productivity. These symptoms usually anticipated by farmers using chemical pesticides as a

repellent organism. How to handle such a negative impact on the environment and can cause

poisoning to the consumer due to pesticide residues in agricultural products.

The negative impact of the use of chemical pesticides can be reduced by using botanical

pesticides are pesticides produced by plants through active substances, such as phenolic

compounds. This article describe the various types of plant exploration efforts that can serve as a

pesticide plant through a review of the literature.

Keywords: exploration, botanical pesticides

PENDAHULUAN

Dalam budidaya pertanian, pengendalian hama dan penyakit tanaman mutlak diperlukan

untuk peningkatan hasil pertanian. Konsep pengendalian hama ini sering diterjemahkan dengan

pembasmian hama sehingga digunakan obat pembasmi hama yang dikenal dengan pestisida.

Pembasmi hama atau Pestisida adalah bahan yang digunakan untuk mengendalikan, menolak,

memikat, atau membasmi organisme pengganggu. Nama ini berasal dari kata pest ("hama") dan

cide ("pembasmi"). Sasaran pestisida ini bermacam-macam, yaitu; serangga, tikus, gulma,

burung, mamalia, ikan, atau mikrobia yang dianggap mengganggu. Pestisida pada umumnya

beracun, sehingga dalam bahasa sehari-hari, pestisida seringkali disebut sebagai "racun"

tergantung dari organisme sasarannya, yang disebut Organisme Pengganggu Tanaman (OPT).

Organisme pengganggu tanaman (OPT) merupakan faktor biotik yang dapat

mengganggu pertumbuhan tanaman. OPT dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu : Hama (serangga,

tungau, hewan menyusui, burung dan moluska) ; Penyakit (jamur, bakteri, virus dan nematoda)

dan Gulma (tumbuhan pengganggu). Gangguan yang disebabkan oleh OPT inilah yang bisa

dikendalikan dengan pestisida (Anonim a, 2012).

Petani selama ini tergantung pada penggunaan pestisida kimia atau pestisida sintetis

untuk mengendalikan organisme pengganggu tanaman, walaupun harganya cukup mahal. Selain

harganya mahal, pestisida kimia atau sintetis juga banyak memiliki dampak negatif bagi

lingkungan dan kesehatan manusia. Dampak negatif dari penggunaan pestisida kimia antara lain

adalah: (1) hama menjadi kebal (resisten), (2) peledakan hama baru (resurjensi), (3) penumpukan

residu bahan kimia di dalam hasil panen, (4) terbunuhnya musuh alami, (5) pencemaran

lingkungan oleh residu bahan kimia dan (6) kecelakaan bagi pengguna (Zaka, 2008)

Langkah yang perlu ditempuh untuk mengatasi dampak negatif yang ditimbulkan oleh

penggunaan pestisida sintetis, adalah dengan pengadaan pestisida alternatif yang dapat

dihasilkan secara lokal terjangkau oleh sebagian besar petani dan aman bagi lingkungan, baik

pestisida yang berasal dari mikroba antagonis (biopestisida) maupun pestisida yang berasal dari

tumbuh-tumbuhan. Pestisida yang mendapat perhatian adalah pestisida dari tumbuh-tumbuhan,

Page 46: Jurnal Emasains No 1

sering disebut dengan pestisida nabati. Secara evolusi, tumbuhan telah mengeluarkan bahan

kimia sebagai alat pertahanan alami terhadap pengganggunya yaitu sebagai respon invasi

patogen ke tanaman inang (Kardinan, 2005). VanEtten at al. (1994) dalam Suprapta (2001)

mengusulkan istilah fitoantisipin untuk membedakan senyawa yang sudah ada pada tumbuhan

sehat dengan fitoaleksin yang terbentuk sebagai respon terhadap serangan patogen.

Penggunaan senyawa aktif dari tumbuhan telah mulai digalakkan untuk bahan pestisida

nabati. Penggunaan ekstrak tanaman sebagai pestisida nabati dapat mengurangi efek negatif

pestisida sintetik terhadap lingkungan biologis (Suprapta et al., 2003). Indonesia sebagai daerah

tropis, mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan tertentu dapat

menghasilkan metabolit sekunder yang dapat digunakan untuk bahan obat-obatan atau bahan

pestisida nabati. Moeljanto dan Mulyono (2003), menyebutkan bahwa tanaman sirih (Piper betle

L.) bisa dimanfaatkan sebagai fungisida, yakni untuk membasmi jamur Phythophthora

palmivora yang menyerang tanaman lada. Fungisida botani dari daun sirih ini mampu

menghambat perkecambahan spora dan menekan pertumbuhan jamur.

Ekstrak daun sirih (Piper betle), ekstrak rimpang lengkuas (Alpinia galanga), dan ekstrak

daun sembung delan (Sphaeranthus indicus) ditemukan lebih efektif dibandingkan dengan

fungisida sintetis chlorotanolil dalam mengendalikan penyakit layu pisang pada pembibitan dari

bonggol (Suprapta, 2005). Penulisan artikel ini bertujuan untuk menggali lebih jauh potensi

kekayaan alam Indonesia dengan mengeksplorasi berbagai jenis tumbuhan yang dapat berperan

sebagai bahan pestirida nabati melalui kajian literatur.

PEMBAHASAN

Pestisida Nabati

Setelah ditemukan pestisida sintetis pada awal abad ke-20, manfaat pestisida dari bahan

alami dilupakan (Novizan, 2002). Pestisida sintetis memiliki beberapa keunggulan yang tidak

dimiliki oleh pestisida alami. Pestisida sintetis dapat dengan cepat menurunkan populasi

organisme pengganggu tanaman (OPT) dengan periode pengendalian (residu) yang lebih

panjang. Penggunaan pestisida sintetis disatu sisi memang berhasil, tetapi di sisi lain

mengakibatkan efek samping yang sangat membahayakan. Menurut WHO paling tidak 20.000

orang mati per tahun akibat keracunan pestisida, sekitar 5.000 – 10.000 orang per tahun

mengalami dampak yang sangat fatal, seperti kanker, cacat tubuh, kemandulan dan penyakit liver

(Novizan, 2002). Berbagai jenis pestisida terakumulasi di dalam tanah dan air yang berdampak

buruk terhadap keseluruhan ekosistem. Beberapa spesies katak jantan di Amerika Serikat

dilaporkan mengalami perubahan genetik menjadi berkelamin ganda (hermaphrodit) akibat

keracunan Atrazin (bahan aktif pestisida). Tragedi Bhopal di India pada bulan Desember 1984

ketika bahan kimia metik isosianat bocor dari pabrik Union Carbide yang memproduksi pestisida

sintetis sevin, menewaskan lebih dari 2.000 orang dan mengakibatkan lebih dari 50.000 orang

dirawat akibat keracunan. Kejadian ini merupakan musibah terburuk dalam sejarah produksi

insektisida sintetis.

Menurut Suprapta (2005), secara ringkas dapat diformulasikan pengaruh dampak negatif

pemakaian pestisida sintetis adalah : (a) pencemaran air dan tanah yang berpengaruh pada

manusia dan mahluk lainnya karena mengkonsumsi makanan dan minuman yang tercemar, (b)

matinya musuh alami dari hama maupun patogen, sehingga menimbulkan resurgensi yaitu

Page 47: Jurnal Emasains No 1

serangan hama yang jauh lebih berat dari sebelumnya, (c) kemungkinan terjadinya serangan

hama sekunder, karena terbunuhnya predator hama sekunder tersebut, (d) kematian serangga

yang berguna dan menguntungkan misalnya lebah dan (e) timbulnya kekebalan/resistensi hama

maupun patogen terhadap pestisida sintetis.

Untuk mengatasi dampak negatif yang ditimbulkan oleh penggunaan pestisida sintetis,

maka perlu adanya pengadaan pestisida alternatif yang dapat dihasilkan secara lokal, terjangkau

oleh sebagian besar petani dan aman bagi lingkungan. Salah satu sumber pestisida yang

mendapat perhatian ilmuwan adalah dari tumbuh-tumbuhan. Tumbuhan tingkat tinggi melalui

metabolisme sekunder mampu menghasilkan berbagai senyawa kimia untuk melindungi dirinya

dari gangguan hama, penyakit, maupun gulma. Tumbuhan yang menghasilkan metabolit

sekunder tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan pestisida nabati. Jenis pestisida ini mudah

terurai (biodegradable) di alam, sehingga tidak mencemarkan lingkungan dan relatif aman bagi

manusia dan ternak, karena residunya akan terurai dan mudah hilang. Pestisida nabati dapat

membunuh atau mengganggu serangan hama dan penyakit melalui cara kerja yang unik, yaitu

dapat melalui perpaduan berbagai cara atau secara tunggal. Cara kerja pestisida nabati pada hama

serangga sangat spesifik, yaitu :

1. merusak perkembangan telur, larva dan pupa.

2. menghambat pergantian kulit.

3. mengganggu komunikasi serangga.

4. menyebabkan serangga menolak makan.

5. menghambat reproduksi serangga betina.

6. mengurangi nafsu makan.

7. memblokir kemampuan makan serangga.

8. mengusir serangga.

9. menghambat perkembangan patogen penyakit.

Pestisida nabati mempunyai beberapa keunggulan dan kelemahan. Keunggulan pestisida nabati

adalah :

1. murah dan mudah dibuat sendiri oleh petani.

2. relatif aman terhadap lingkungan.

3. tidak menyebabkan keracunan pada tanaman.

4. sulit menimbulkan kekebalan terhadap hama.

5. kompatibel digabung dengan cara pengendalian yang lain.

6. menghasilkan produk pertanian yang sehat karena bebas residu pestisida kimia.

Kelemahan pestisida nabati adalah :

1. daya kerjanya relatif lambat.

2. tidak membunuh jasad sasaran secara langsung.

3. tidak tahan terhadap sinar matahari.

4. kurang praktis.

5. tidak tahan disimpan.

6. kadang-kadang harus diaplikasikan / disemprotkan berulang-ulang.

Pestisida nabati dapat diaplikasikan dengan menggunakan alat semprot (sprayer) gendong

seperti pestisida kimia pada umumnya. Namun, apabila tidak dijumpai alat semprot, aplikasi

pestisida nabati dapat dilakukan dengan bantuan kuas penyapu (pengecat) dinding atau merang

yang diikat. Supaya penyemprotan pestisida nabati memberikan hasil yang baik, butiran semprot

harus diarahkan ke bagian tanaman tempat jasad sasaran berada. Apabila sudah tersedia ambang

kendali hama, penyemprotan pestisida nabati sebaiknya berdasarkan ambang kendali. Untuk

Page 48: Jurnal Emasains No 1

menentukan ambang kendali, perlu dilakukan pengamatan hama seteliti mungkin (Anonim b,

2012).

Pestisida nabati adalah senyawa organik yang tersusun oleh C, H, O, N, P, K dan unsur-

unsur lainnya. Kebanyakan senyawa ini bisa dicerna oleh mikroorganisme dan segera mengalami

pemecahan oleh panas, oksigen dan sinar matahari. Senyawa kimia organik atau pestisida nabati

merupakan senyawa yang dihasilkan tanaman untuk mempertahankan diri dari gangguan

herbivora. Pestisida alami yang berasal dari bahan-bahan yang terdapat di alam tersebut

diekstraksi, diproses atau dibuat menjadi konsentrat dengan tidak mengubah struktur kimianya

(Novizan, 2002).

Menurut Suprapta (2005), di Indonesia ada sekitar 20.000 spesies tumbuhan berbunga,

4.000 spesies pohon serta jutaan jenis mikroba yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan atau agen

pengendalian OPT. Jumlah tersebut baru sebagian kecil (kurang dari 10%) diteliti dan diketahui

kandungan kimia sekaligus kegunaannya, sehingga masih sangat terbuka peluang untuk

mengembangkan pestisida nabati (pestisida alam) yang berasal dari tumbuhan, misalnya

fungisida nabati. Fungisida nabati adalah salah satu bagian dari pestisida nabati, yaitu senyawa

kimia anti jamur yang diekstrak dari tumbuhan tingkat tinggi. Fungisida tersebut dalam bentuk

alkaloid atau prohibitin dapat membantu melawan patogen (Suprapta, 2005).

Banyak senyawa “constitutive” dari tumbuhan dilaporkan mempunyai aktivitas anti

jamur. Contoh yang sangat populer adalah fenol dan glikosida fenol, lakton tidak jenuh,

senyawa-senyawa sulfur, saponins, glikosida syanogenik dan glikosinolat (Suprapta, 2001).

Senyawa tersebut merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh tumbuhan melalui

metabolisme sekundernya.

Nikotin yang dikandung oleh tumbuhan dapat juga berperan sebagai fungisida, selain

bersifat refellent terhadap serangga (Kardinan, 2005). Dalam Rustini (2004) disebutkan bahwa

ekstrak rimpang dringo (Acorus calamus L.) mempunyai aktivitas anti jamur terhadap jamur

Botryodiplodia theobromae penyebab penyakit busuk buah pada pisang. Ekstrak daun sirih

(Piper betle), ekstrak rimpang lengkuas (Alpinia galanga) dan ekstrak daun sembung delan

(Sphaeranthus indicus) ditemukan lebih efektif dibandingkan dengan fungisida sintetis

chlorotanolil dalam pengendalian penyakit layu pisang pada pembibitan dari bonggol (Suprapta,

2005). Metil eugenol yang terkandung dalam daun dan bunga selasih (Ocimum sp.) dapat

bertindak sebagai fungisida (Kardinan, 2005).

Badan Litbang Pertanian Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) Bogor

telah melakukan penelitian secara intensif untuk menghasilkan komponen pengendalian penyakit

Busuk Batang Panili (BBP) yang berwawasan lingkungan. Komponen yang dihasilkan antara

lain : agensia hayati, produk cengkeh yang mengandung eugenol, penggunaan bibit sehat, bahan

organik serta menghindari terjadinya perlukaan mekanik (Tombe, 1996).

Hasil penelitian Balittro telah dideteksi bahwa eugenol yang merupakan senyawa utama

dalam minyak cengkeh ternyata toksik terhadap beberapa jamur patogen tanah yaitu : F.

oxysporum f.sp. vanillae (patogen BBP), Phytopthora capsici, Rhizoctonia solani, Rigidoporus

lignosis dan Sclerotium rolfsii (Tombe, 1996).

Jenis-jenis tumbuhan sebagai bahan pestisida nabati

Page 49: Jurnal Emasains No 1

Dewasa ini sedang digalakkan usaha eksplorasi jenis-jenis tumbuhan yang bisa

dimanfaatkan sebagai bahan pestisida nabati, beberapa yang telah diuji penggunaannya adalah :

1. Pestisida Nabati Daun Pepaya

Daun pepaya mengandung bahan aktif Papain, sehingga efektif untuk mengendalikan ulat

dan hama penghisap.

2. Pestisida Nabati Biji Jarak Biji Jarak mengandung Reisin dan Alkaloit, efektif untuk mengendalikan ulat dan hama

penghisap (dalam bentuk larutan ). Biji jarak ini juga efektif untuk mengendalikan

nematoda/cacing (dalam bentuk serbuk).

3. Pestisida Nabati Daun Sirsak Daun sirsak mengandung bahan aktif Annonain dan Resin. Ahan ini efektif untuk

mengendalikan hama Trip.

4. Pestisida Nabati Daun Sirsak dan Jeringau Rimpang jeringau mengandung Arosone, Kalomenol, Kalomen, Kalomeone, Metil eugenol

dan Eugenol. Bahan ini Efektif untuk mengendalikan hama wereng coklat.

5. Pestisida Nabati Pacar Cina Pacar Cina mengandung minyak atsiri, alkaloid, saponin, flavonoin, dan tanin. Bahan ini

efektif untuk mengendalikan Hama ulat.

6. Pestisida Nabati Rendaman Daun Tembakau Daun tembakau mengandung nikotin. Efektif untuk mengendalikan hama penghisap.

7. Pestisida Nabati Daun Sirih Hutan

Daun sirih hutan mengandung fenol dan kavikol,efektif untuk hama penghisap.

8. Pestisida Nabati Umbi Gadung Umbi gadung mengandung diosgenin, steroid, saponin, alkohol dan fenol, efektif untuk

mengendalikan ulat dan hama penghisap.

9. Pestisida Nabati Daun Gamal Daun gamal mengandung Tanin, efektif untuk mengendalikan ulat dan hama penghisap.

Daun gamal bila ditambah dengan minyak tanah dan detergen akan dapat dipakai sebagai

insektisida. Penggunaannya harus hati-hati karena dengan adanya minyak tanah

mengakibatkan tanaman terbakar dan berbau bila diaplikasikan mendekati panen.

10. Pestisida Nabati Daun Mimba dan Umbi Gadung. Pestisida ini efektif untuk mengendalikan ulat dan hama penghisap.

11. Pestisida Nabati Serbuk Bunga Piretrum

Serbuk bunga piretrum mengandung bahan Piretrin, efektif untuk mengendalikan ulat

(Media Penyuluhan Pertanian, 2012).

12. Tuba, Jenu (Derriseleptica)

Tumbuhan ini bisa digunakan untuk mengendalikan berbagai jenis hama tanaman.

13. Temu-temuan (Temu hitam, kencur, kunyit)

Batangnya digunakan untuk membasmi berbagai jenis serangga penyerang tanaman.

14. Kucai (Allium schonaoresum)

Page 50: Jurnal Emasains No 1

Kalau menggunakan kucai, cara meramunya adalah dengan menyeduhnya, yang kemudian

didinginkan. Kemudian saring. Air saringannya ini mampu untuk memberantas hama yang

biasanya menyerang tanaman mentimun.

15. Bunga Camomil (Chamaemelum sp)

Bunga yang sudah kering diseduh, kemudian dinginkan dan saring. Gunakan air saringan

tersebut untuk mencegah damping off atau penyakit rebah.

16. Bawang Putih (Allium sativum)

Bawang putih secara alami akan menolak banyak serangga. Tanamlah di sekitar pohon buah

dan lahan sayuran untuk membantu mengurangi masalah-masalah serangga.

Bawang putih, begitu juga dengan bawang bombai dan cabai, digiling, tambahkan air

sedikit, dan kemudian diamkan sekitar 1 jam. Lalu berikan 1 sendok makan deterjen, ADUK

sampai rata, dan kemudian ditutup. Simpan di tempat yang dingin selama 7 - 10 hari. Bila

ingin menggunakannya, campur ekstrak tersebut dengan air. Campuran ini berguna untuk

membasmi berbagai hama tanaman, khususnya hortikultura.

17. Abu Kayu

Abu sisa bakaran kayu ditaburkan di sekeliling perakaran tanaman bawang bombay, kol atau

lobak dengan tujuan untuk mengendalikan root maggot. Abu kayu ini bisa juga untuk

mengendalikan serangan siput dan ulat grayak. Caranya, taburkan di sekeliling parit

tanaman.

18. Mint (Menta sp)

Daun mint dicampur dengan cabai, bawang daun dan tembakau. Kemudian giling sampai

halus untuk diambil ekstraknya. Ekstrak ini dicampur dengan air secukupnya.

Dari ekstrak tersebut bisa digunakan untuk memberantas berbagai hama yang menyerang

tanaman.

19. Kembang Kenikir (Tagetes sp)

Ambil daunnya 2 genggam, kemudian campur dengan 3 siung bawang putih, 2 cabai kecil

dan 3 bawang bombay. Dari ketiga bahan tersebut dimasak dengan air lalu didinginkan.

Kemudian tambahkan 4 - 5 bagian air, aduk kemudian saring. Air saringan tersebut dapat

digunakan untuk membasmi berbagai hama tanaman.

20. Cabai Merah (Capsium annuum)

Cara pembuatannya dengan mengeringkan cabai yang basah dulu. Kemudian giling sampai

menjadi tepung. Tepung cabai tersebut kalau dicampur dengan air dapat digunakan untuk

membasmi hama tanaman.

21. Sedudu Sedudu (sejenis tanaman patah tulang) diambil getahnya. Getah ini bisa dimanfaatkan untuk

mengendalikan berbagai hama tanaman.

22. Kemangi (Ocimum sanetu)

Cara pembuatannya: kumpulkan daun kemangi segar, kemudian keringkan. Setelah kering,

baru direbus sampai mendidih, lalu didinginkan dan disaring. Hasil saringan ini bisa

digunakan sebagai pestisida alami.

23. Dringgo (Acarus calamus)

Page 51: Jurnal Emasains No 1

Akar dringgo dihancurkan sampai halus (menjadi tepung), kemudian dicampur dengan air

secukupnya. Campuran antara tepung dan air tersebut dapat digunakan sebagai bahan

pembasmi serangga.

24. Tembelekan (Lantana camara) Daun dan cabang tembelekan dikeringkan lalu dibakar. Abunya dicampur air dan dipercikkan

ke tanaman yang terserang hama, baik yang berupa kumbang maupun pengerek daun.

25. Rumput Mala (Artimista vulgaris). Caranya bakar tangkai yang kering dari rumput tersebut. Kemudian manfaatkan asap ini

untuk mengendalikan hama yang menyerang suatu tanaman.

26. Tomat (Lycopersicum eskulentum)

Daun tomat bagus sebagai insektisida dan fungisida alami. Dapat digunakan untuk

membasmi kutu daun, ulat bulu, telur serangga, belalang, ngengat, lalat putih, jamur, dan

bakteri pembusuk.

Gunakan batang dan daun tomat, dan dididihkan. Kemudian biarkan dingin lalu saring. Air

dari saringan ini bisa digunakan untuk mengendalikan berbagai hama tanaman.

27. Gamal (Gliricidia sepium) Daun dan batang gamal ditumbuk, beri sedikit air lalu ambil ekstraknya. Ekstrak daun segar

ini dan batang gamal ini dapat digunakan untuk mengendalikan berbagai jenis hama

tanaman, khususnya jenis serangga.

28. Bunga Mentega (Nerium indicum) Gunakan daun dan kulit kayu mentega dan rendamlah dalam air biasa selama kurang lebih 1

jam, kemudian disaring. Dari hasil saringan tadi dapat digunakan untuk mengusir semut.

29. Minyak Cengkeh

Cengkeh merupakan tanaman perkebunan yang banyak dibudidayakan di tingkat petani.

Tanaman ini banyak mengandung minyak atsiri yang mempunyai nilai jual tinggi. Minyak

atsiri diperoleh melalui proses ekstraksi maupun penyulingan bagian daun atau bunga

cengkeh. Minyak tersebut diketahui mengandung sampai dengan 80% eugenol dan

berdasarkan uji laboratorium dan rumah kaca diketahui sangat efektif membunuh nematode

puru akar, M. incognita.

30. Mimba (Azadirachta indica)

Tanaman ini telah lama dikenal dan mulai banyak digunakan sebagai pestisida nabati

menggantikan pestisida kimia. Tanaman ini dapat digunakan sebagai insektisida, bakterisida,

fungisida, acarisida, nematisida dan virisida. Senyawa aktif yang dikandung terutama

terdapat pada bijinya yaitu azadirachtin, meliantriol, salannin, dan nimbin.

Tanaman ini dapat mengendalikan OPT seperti : Helopeltis sp,; Empoasca sp.; Tungau jingga

(Erevipalpis phoenicis), ulat jengkal (Hyposidra talaca), Aphis gossypii, Epilachna varivestis,

Fusarium oxyporum, Pestalotia, sp.; Phytophthora sp.; Heliothis armigera, pratylenchus sp.;

Nilaparvata lugens, Dasynus sp.; Spodoptera litura, Locusta migratoria, Lepinotarsa

decemlineata, palnoccocus citri, Agrotis ipsilon, Callosobruchus chinensis, Alternaria tenuis,

Carpophilus hemipterus, kecoa, Crysptolestes pussillus, Corcyra cephalonnomia,

Crocidolomia binotalis, Dysdercus cingulatus, Earias insulana, Helycotylenchus sp.;

Meloidogyne sp.; Musca domestica, Nephotettix virescens, Ophiomya reticulipennis,

Page 52: Jurnal Emasains No 1

Rhizoctonia solani, Sclerotium rolfsii, Sitophilus sp.; Sogatella furcifera, Tribolium sp.;

tungro pada padi, Tylenchus filiformis.

31. Serei Wangi (Andropogon nardus L). Tanaman ini dikenal sebagai tanaman obat tradisional dan kosmetik, di Jawa dikenal sebagai

sere wangi dan di Sunda dikenal sebagai sereh wangi. Tanaman ini dapat digunakan sebagai

menggantikan pestisida kimia yaitu untuk insektisida, bakterisida, dan nematisida.

Senyawa aktif dari tanaman ini berbentuk minyak atsiri yang terdiri dari senyawa sitral,

sitronella, geraniol, mirsena, nerol, arnesol, metil heptenol dan dipentena.

Tanaman ini dapat mengendalikan Tribolium sp,; Sitophilus sp.; Callosobruchus sp.;

Meloidogyne sp.; dan Pseudomonas sp.

32. Piretrum (Chysanthemum cinerariaefolim VIS)

Tanaman ini lebih dikenal sebagai bunga chrysan, banyak ditanam dipekarangan (taman) dan

juga sebagai obat mata. Tanaman ini mulai banyak digunakan sebagai pestisida nabati

menggantikan pestisida kimia. Tanaman ini dapat berfungsi sebagai insektisida, fungisida,

dan nematisida. Senyawa aktif dari tanaman ini terdapat pada bunga bersifat racun kontak

yang dapat mempengaruhi sistem syaraf pusat serangga, menghambat perkembangan

serangga dengan penetasan telur.

33. Bakung (Crinum asiaticum L)

Tanaman ini telah lama digunakan sebagai bahan obat tardisional depresan sistem syarat

pusat. Tanaman ini dapat digunakan sebagai pengganti pestisida yang berfungsi sebagai

bakterisida, dan virisida. Senyawa dari tanaman ini mengandung alkaloid yang terdiri dari

likorin, hemantimin, krinin dan krianamin.

Tanaman ini bermanfaat untuk menekan /menghambat pertumbuhan Fusarium oxyporum.

34. Sirih (Piper betle L)

Tanaman sirih dengan banyak nama daerah merupakan tanaman yang telah lama dikenal

sebagai bahan dasar obat tradisional, dapat digunakan sebagai bahan pestisida alternatif

karena dapat digunakan/bersifat sebagai fungisida dan bakterisida. Senyawa yang dikandung

oleh tanaman ini antara lain profenil fenol (fenil propana), enzim diastase tanin, gula,

amilum/pati, enzim katalase, vitamin A,B, dan C, serta kavarol. Cara kerja zat aktif dari

tanaman ini adalah dengan menghambat perkembangan bakteri dan jamur.

Tanaman ini walaupun belum secara efektif dapat mengendalikan genus Phytophthora sp,;

Fusarium oxyporum, Streptococcus viridans dan Staphylococcus aureus.

35. Mindi (Melia azedarach L)

Tanaman mindi dikenal dengan nama mindi kecil, banyak digunakan dalam industri sebagai

bahan baku sabun. Tanaman ini dapat digunakan sebagai pestisida nabati karena dapat

bersifat sebagai insektisida, fungisida, dan nematisida. Senyawa aktif yang dikandung antara

lain margosin (sangat beracun bagi manusia), glikosida flavonoid dan aglikon.

Tanaman ini dapat digunakan untuk mengendalikan / menekan OPT seperti Hidari irava,

Spodoptera litura, Spodoptera abyssina, Myzus persicae, Orsealia oryzae, Alternaria tenuis,

Aphis citri, Bagrada crucifearum, Blatella germanica, Kecoa, Jangkrik, Kutu, Belalang,

Heliothis virescens, H. Zea; Helminthosporium sp.; Holocrichia ovata, Locusta migratoria,

Meloidogyne javanica, Nephotettox virescens, Nilaparvata lugens, Ostrina furnacalis,

Page 53: Jurnal Emasains No 1

Panochychus citri, Sagotella furcifera, Tribolium castaneum, Tryporyza incertulas,

Tylenchus filiformis (Anonim c, 2012).

SIMPULAN DAN SARAN

Pertumbuhan tanaman sering dihambat oleh organisme pengganggu tanaman (OPT),

sehingga produktivitas tanaman menurun. Selama ini penanggulangan terhadap serangan OPT

tersebut kebanyakan menggunakan pestisida sintetis/pestisida kimia, yang berdampak negatif

terhadap lingkungan, terhadap pemakai dan terhadap konsumen yang mengkonsumsi produk

pertanian tersebut.

Upaya untuk menekan dampak negatif penggunaan pestisida kimia tersebut adalah

dengan memanfaatkan berbagai jenis tumbuhan yang dapat berperan sebagai pestisida nabati.

Secara biokimiawi, tumbuhan dapat membentuk senyawa sekunder yang berperan sebagai alat

pertahanan alami terhadap invasi patogen. Secara analogi, ekstrak dari bagian tumbuhan yang

mengandung zat aktif tersebut dapat digunakan sebagai bahan pestisida.

Keanekaragaman jenis tumbuhan yang dimiliki oleh Indonesia karena berada di daerah

tropis, memungkinkan untuk dieksplorasi jenis-jenis tumbuhan yang menghasilkan zat aktif

sebagai bahan pestisida. Hasil eksplorasi tersebut diharapkan dapat menambah inventarisasi jenis

tumbuhan sebagai bahan pestisida nabati, sehingga penggunaannya bisa lebih ditingkatkan untuk

menekan dampak negatif penggunaan pestisida kimia.

DAFTAR RUJUKAN

Anonim a. 2012. Pestisida. http://www.tanindo.com/index.php?option=comcontent&view= section

&layout=blog&id=9&Itemid=15. Dikutip tanggal 7 September 2012

Anonim b, 2012. Tanaman untuk Pestisida Nabati. http://www.smallcrab.com/others/681-tanaman-

untuk-pestisida-nabati. Dikutip tanggal 6 September 2012

Anonim c, 2012. Tanaman Untuk Pestisida Nabati. http://www.smallcrab.com/others/681-tanaman-

untuk-pestisida-nabati. Dikutip tanggal 6 September 2012

Kardinan, A. 2005. Pestisida Nabati Ramuan & Aplikasi. Jakarta : Penebar Swadaya. 88 h.

Media Penyuluhan Pertanian , 2012. Pestisida Nabati dan Cara Penggunaannya. http://media-

penyuluhan.blogspot.com/2012/06/pestisida-nabati-dan-cara-pembuatannya.html. dikutip

tanggal 06 September 2012

Moeljanto, R. D. dan Mulyono. 2003. Khasiat & Manfaat Daun Sirih Obat Mujarab dari Masa ke

Masa. Jakarta : Agromedia Pustaka. 77 h.

Novizan. 2002. Membuat & Memanfaatkan Pestisida Ramah Lingkungan. Jakarta: Agromedia

Pustaka. 94 h.

Rustini, N. L. 2004. Aktivitas Fungisida Ekstrak Rimpang Dringo (Acorus calamus L.) Terhadap

Jamur Botryodiplodia theobromae Penyebab Penyakit Busuk Buah Pisang (tesis).

Denpasar : Universitas Udayana. 50 h.

Suprapta, D. N. 2001. Senyawa Antimikroba dan Pertahanan Tumbuhan Terhadap Infeksi Jamur.

Agritrop. 20 : 52-55.

Suprapta, D. N. 2005. Pertanian Bali Dipuja Petaniku Merana. Denpasar : Taru Lestari

Foundation. 159 h.

Page 54: Jurnal Emasains No 1

Tombe, M. 1996. Paket Teknologi dan Strategi Pengendalian Penyakit Busuk Batang Panili

(BBP). Makalah Seminar Gelar Teknologi dan Pertemuan Regional Pengendalian

Penyakit Busuk Batang Panili (BBP), 28-29 Nopember 1996, Denpasar Bali.

Zaka, H..2008. Pengendalian Hama dan Penyakit dengan Pestisida Nabati http://isroi.com/2008

/06/02/pengendalian-hama-dan-penyakit-dengan-pestisida-nabati/. Dikutip tanggal 6 september

2012.

Page 55: Jurnal Emasains No 1

Implementasi Metode Pembelajaran Problem Posing Tipe Post Solution Posing Untuk

Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika Dan Ketuntasan Siswa Kelas X-2 SMA Negeri

1 Kerambitan Semester 2 Tahun Pelajaran 2008/2009

I Wayan Widana

Dosen Jur.Pendidikan Matematika FPMIPA IKIP PGRI Bali-Denpasar

ABSTRACT

Implementation Method of Learning Problem Posing Posing Solution Post Types To Boost

Math Achievement and mastery of Grade X-2 SMA Negeri 1 Kerambitan Semester 2

Academic Year 2008/2009.

The action classroom reseach aimed at finding out of implementasion problem posing

method post solution posing type, to improve the student’s mathematics achievement and

student’s learning achievement of X-2 class at SMA Negeri 1 Kerambitan in the second semester

of academic year 2008/2009. To achieve the objectives, the problem posing method post solution

posing type was implemented toward the students of X-2 class at SMA Negeri 1 Kerambitan in

the second semester of academic year 2008/2009, which consisted of 33 students. The object of

this study were student’s mathematics achievement and learning achievement. The data of

student’s mathematics achievement was collected by using achievement test. Meanwhile, the

data of student’s learning achievement was collected from percentage the score of student’s

mathematics achievement already achieve the KKM or more than KKM (score of KKM=68).

Then, the data was analyzed descriptively.

The result of the study shown that, after implementing the problem posing method post

solution posing type, there was improvement the achievement of student’s. In the first cycle, the

mean score was 69,09 and 75,32 in the second cycle. Then, student’s learning achievement in the

first cycle was 81,82% and it was getting increased in the second cycle that is 87,88%.

Key word: Method Problem Posing, Post Types Solution Posing, Achievement and mastery

PENDAHULUAN

Matematika merupakan mata pelajaran yang dipelajari oleh semua siswa dari SD hingga

SMA bahkan perguruan tinggi. Menurut Cornelus (dalam Alit: 2008:2) mengatakan bahwa ada

banyak alasan tentang perlunya siswa belajar matematika, yaitu (1) merupakan sarana berpikir

yang jelas dan logis, (2) sarana memecahkan masalah kehidupan sehari-hari, (3) sarana mengenal

pola-pola hubungan generalisasi pengalaman, (4) sarana mengembangkan kreativitas, dan (5)

sarana untuk meningkatkan kesadaran terhadap perkembangan budaya.

Mengingat begitu pentingnya matematika di sekolah seperti yang disebutkan di atas,

diperlukan suatu metode yang tepat dalam pembelajaran agar tujuan yang diharapkan dapat

dicapai sesuai dengan yang diinginkan. Semestinya matematika merupakan salah satu pelajaran

yang digemari oleh siswa terkait dengan kegunaannya.

Kenyataannya keluhan dan kekecewaan terhadap sikap dan hasil yang dicapai siswa

dalam pembelajaran matematika hingga kini masih sering diperbincangkan. Umumnya siswa

mengatakan matematika merupakan pelajaran yang sulit dan membosankan, tidak menarik, dan

bahkan penuh misteri. Ini disebabkan karena mata pelajaran matematika dirasakan sukar,

gersang, dan tidak tampak kaitannya dengan kehidupan sehari-hari (Mohamad Soleh dalam Alit,

2008:3). Kondisi ini juga sangat dirasakan di lingkungan siswa SMA Negeri 1 Kerambitan. Pada

Page 56: Jurnal Emasains No 1

umumnya siswa tidak senang belajar matematika dengan berbagai alasan, misalnya tidak akan

melanjutkan ke perguruan tinggi, tidak akan memilih jurusan IPA atau sikap yang ditampilkan

siswa dalam pembelajaran matematika sekedar untuk mengikuti pelajaran agar memperoleh nilai

semata-mata.

Hal lain yang juga diduga sebagai penyebab rendahnya prestasi belajar matematika siswa

kelas X-2 SMA Negeri 1 Kerambitan adalah kebiasaan guru yang dominan mengajar

menggunakan metode ceramah, sehingga komunikasi yang terjadi hanya satu arah yaitu dari

guru ke siswa. Kebiasaan ini muncul karena pada umumnya guru kurang yakin dengan

kemampuan yang dimiliki siswa untuk memecahkan permasalahan sendiri. Siswa kurang

diberikan kesempatan untuk merumuskan sendiri cara-cara pemecahan masalah yang diajukan

guru.

Apabila kondisi ini dibiarkan, akan menyebabkan rendahnya budaya belajar siswa

khususnya belajar matematika. Siswa akan menganggap pelajaran matematika merupakan

pelajaran yang sulit dan tidak disukai. Lebih jauh lagi akan berdampak pada rendahnya mutu

lulusan, sehingga akan menjadi kendala yang sangat signifikan dalam mengikuti ujian nasional

(UN). Oleh karena itu perlu segera dicarikan solusi sejak dini, agar permasalahan ini dapat

diatasi. Guru harus berupaya membangkitkan semangat belajar siswa, memilih metode

pembelajaran yang dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk memecahkan sendiri

permasalahannya, serta menemukan upaya-upaya untuk meningkatkan pemahaman siswa

terhadap konsep-konsep matematika.

Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan di atas, adalah mengimplementasikan

metode pembelajaran problem posing tipe post solution posing, yaitu merumuskan atau membuat

soal sejenis dari situasi yang diberikan. Siswa akan dilatih kemampuannya untuk menyusun soal

sendiri, selanjutnya soal atau permasalahan tersebut diselesaikan sendiri sesuai dengan contoh-

contoh yang diberikan oleh guru. Sesuai dengan kedudukan problem posing merupakan langkah

awal dari problem solving, maka pembelajaran problem posing juga merupakan pengembangan

dari pembelajaran problem solving. Sutiarso (2000) menyatakan bahwa dalam problem posing

diperlukan kemampuan siswa dalam memahami soal, merencanakan langkah-langkah

penyelesaian soal, dan menyelesaikan soal tersebut. Ketiga kemampuan tersebut juga merupakan

sebagian dari langkah-langkah pembelajaran problem solving. Problem posing adalah kegiatan

perumusan soal atau masalah oleh siswa. Siswa hanya diberikan situasi tertentu sebagai stimulus

dalam merumuskan soal/masalah. Berkaitan dengan situasi yang dipergunakan dalam kegiatan

perumusan masalah/soal dalam pembelajaran matematika, Walter dan Brown (1993: 302)

menyatakan bahwa soal dapat dibangun melalui beberapa bentuk, antara lain gambar, benda

manipulatif, permainan, teorema/konsep, alat peraga, soal, dan solusi dari soal. Suyitno Amin (2006) merumuskan langkah-langkah metode pembelajaran problem posing tipe post solution posing yang dilakukan

secara kelompok adalah sebagai berikut:

1) Guru menyampaikan tujuan pembelajaran;

2) Guru menjelaskan materi pelajaran kepada para siswa; 3) Guru memberikan latihan soal secukupnya;

4) Guru membentuk kelompok-kelompok belajar yang heterogen, tiap kelompok terdiri atas 4-5 orang siswa;

5) Setiap kelompok diminta menyelesaikan soal pada lembar kerja kelompok; 6) Setiap kelompok diminta mengajukan soal yang menantang, dan kelompok yang bersangkutan harus mampu menyelesaikannya;

7) Secara acak guru meminta perwakilan kelompok untuk menyajikan soal temuannya di depan kelas;

8) Guru memberikan penugasan secara individual.

Dengan demikian, penelitian ini mengarah ke persoalan sejauh mana implementasi

metode pembelajaran Problem Posing tipe Post Solution Posing dapat meningkatkan prestasi

belajar matematika dan ketuntasan siswa kelas X-2 SMA Negeri 1 Kerambitan semester 2 tahun

pelajaran 2008/2009?

Page 57: Jurnal Emasains No 1

METODE PENELITIAN Desain Penelitian. Desain penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas model Kemmis &

Taggart (Arikunto: 2008) yang dapat dilaksanakan dalam beberapa siklus, dimana setiap siklus terdiri dari

empat langkah, yaitu: 1) perencanaan, 2) pelaksanaan tindakan, 3) observasi, dan 4) refleksi.

Subjek Penelitian. Subjek penelitian tindakan adalah siswa kelas X-2 SMA Negeri 1 Kerambitan

semester 2 tahun pelajaran 2008/2009, yang berjumlah 33 orang.

Objek Penelitian. Objek penelitian tindakan adalah prestasi belajar matematika siswa kelas X-2

SMA Negeri 1 Kerambitan semester 2 tahun pelajaran 2008/2009 yang ditandai dengan nilai rata-rata

ulangan harian dan persentase siswa yang telah mencapai kriteria ketuntasan minimal (KKM) atau lebih

yang selanjutnya dinyatakan dalam bentuk ketuntasan klasikal.

Teknik Pengumpulan Data. Instrumen yang digunakan untuk mendapatkan data prestasi belajar

matematika siswa adalah tes prestasi belajar bentuk uraian/esai. Tes prestasi belajar ini disusun dan

dikembangkan sendiri oleh peneliti, mengacu pada Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar sesuai

dengan Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi. Sedangkan data ketuntasan klasikal

diperoleh dengan cara menghitung persentase siswa yang telah mencapai KKM atau lebih.

Analisis Data. Data prestasi belajar matematika siswa dianalisis secara deskriptif yaitu

dengan menentukan nilai rata-rata kelas dengan rumus :

Keterangan :

= nilai rata-rata kelas

= jumlah nilai seluruh siswa

N = Banyak siswa

Hasil ulangan harian pada akhir siklus dibandingkan dengan nilai KKM matematika kelas

X tahun pelajaran 2008/2009 yaitu 68. Siswa yang telah mencapai KKM atau lebih dinyatakan

tuntas, sedangkan siswa yang belum mencapai KKM dinyatakan belum tuntas.

Ketuntasan Klasikal ditentukan dengan cara menghitung persentase siswa yang telah

mencapai KKM (ketuntasan) menggunakan rumus:

KK = x 100

Keterangan: KK = Ketuntasan klasikal

N = Banyak siswa

Kriteria Keberhasilan. Penelitian tindakan kelas ini dikatakan berhasil apabila dipenuhi

kriteria sebagai berikut: 1) Nilai rata-rata prestasi belajar matematika siswa kelas X-2 pada akhir siklus, secara klasikal

minimal 68.

2) Ketuntasan klasikal pada masing-masing siklus minimal 85%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian.

Page 58: Jurnal Emasains No 1

Setelah diimplementasikan metode Problem Posing tipe Post Solution Posing dalam

pembelajaran matematika di kelas X-2, ternyata hasil yang diperoleh cukup signifikan untuk

meningkatkan prestasi belajar matematika siswa. Ringkasan hasil penelitian tentang prestasi

belajar matematika dan ketuntasan siswa kelas X-2 dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1. Prestasi dan Ketuntasan Belajar

Rata-rata Ulangan

Harian Ketuntasan Klasikal

Sebelum Tindakan 67,85 78,79%

Siklus I 69,09 81,82%

Siklus II 75,32 87,88%

Siklus I

Berdasarkan teknik analisis data yang telah ditetapkan maka diperoleh hasil penelitian

pada siklus I sebagai berikut: 1) Prestasi belajar matematika siswa kelas X-2 dalam bentuk rata-rata nilai ulangan harian adalah

sebagai berikut:

2) Ketuntasan Klasikal (KK):

KK = x 100%

KK = x 100% = 81,82% Hasil yang diperoleh dalam siklus I selanjutnya dikonsultasikan dengan kriteria keberhasilan

yang telah ditetapkan sebelumnya yaitu peneltitian tindakan ini dikatakan berhasil jika nilai rata-rata kelas

mencapai minimal 68 (sesuai dengan KKM) dan persentase ketuntasan kelas minimal 85%. Pada siklus I,

nilai rata-rata kelas yang diperoleh siswa mencapai 69,09 dan ketuntasan klasikal mencapai 81,82%. Hal

ini berarti bahwa pelaksanaan tindakan pada siklus I belum berhasil, walaupun nilai rata-rata kelas sudah

melampaui target yang ditetapkan tetapi ketuntasan belum mencapai 85%. Oleh karena itu, maka

penelitian tindakan ini perlu dilanjutkan untuk memperbaiki hasil yang telah dicapai pada siklus I melalui

berbagai penyempurnaan pada pelaksanaan siklus II.

Bertolak dari hasil yang diperoleh dalam siklus I dan untuk mengatasi beberapa kendala

yang dihadapi, maka dalam pelaksanaan tindakan siklus II dilakukan beberapa penyempurnaan

sesuai dengan hasil refleksi siklus I sebagai berikut: 1) Guru lebih memotivasi siswa dengan cara mengatakan bahwa setiap siswa punya potensi dan

kemampuan untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri melalui pengalaman belajar yang

dilaluinya.

2) Untuk lebih meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep/materi pokok dalam

pembelajaran, guru mengoptimalkan penggunaan alat peraga dan bantuan slide powerpoint.

3) Pada saat kerja kelompok, guru menekankan agar kerjasama dalam kelompok dioptimalkan dengan

meningkatkan kualitas diskusi dalam kelompok. Guru mengingatkan kepada siswa yang belum

menguasai konsep agar proaktif bertanya kepada teman dalam kelompok atau guru.

4) Pada saat siswa merumuskan soal-soal sejenis dengan soal buatan guru, guru lebih mengintensifkan

bimbingan individual kepada siswa.

Page 59: Jurnal Emasains No 1

Siklus II Hasil yang dicapai dalam siklus II setelah dilakukan penyempurnaan-penyempurnaan dalam

pelaksanaan tindakan serta mengacu pada teknik analisis data yang telah ditetapkan sebelumnya diperoleh

hasil-hasil sebagai berikut.

a) Prestasi belajar matematika siswa kelas X-2 dalam bentuk rata-rata nilai ulangan harian:

b) Ketuntasan Klasikal (KK):

KK = x 100%

KK = x 100%

KK = 87,88%. Berdasarkan kriteria keberhasilan yang telah ditetapkan sebelumnya, yaitu nilai rata-rata ulangan

harian mencapai minimal 68 dan ketuntasan klasikal (KK) minimal 85%, ternyata nilai rata-rata ulangan

harian yang telah dicapai pada siklus II adalah 75,32 (sudah mencapai kriteria keberhasilan). Sedangkan

ketuntasan klasikal yang dicapai adalah 87,88% juga sudah berada di atas kriteria yang telah ditetapkan.

Dengan demikian, penelitian tindakan ini dikatakan sudah berhasil. Artinya peningkatan

prestasi belajar matematika berupa nilai rata-rata ulangan harian dan ketuntasan siswa secara

klasikal telah berhasil ditingkatkan dengan penerapan metode Problem Posing tipe Post Solution

Posing di kelas X-2 dalam dua siklus.

Pembahasan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan baik pada siklus I dan siklus II, ternyata

penerapan metode pembelajaran Problem Posing tipe Post Solution Posing dapat meningkatkan

prestasi belajar matematika dan ketuntasan belajar secara klasikal. Pada siklus I nilai rata-rata

ulangan harian mencapai 69,09 dengan persentase ketuntasan 81,82%, sedangkan pada siklus II

nilai rata-rata ulangan harian berhasil ditingkatkan menjadi 75,32 dengan persentase ketuntasan

87,88%. Hasil ini menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan nilai rata-rata ulangan harian

sebesar 6,23 dan ketuntasan belajar sebesar 5,95% dari siklus I ke siklus II. Peningkatan prestasi

belajar matematika dan ketuntasan belajar secara klasikal sebagai dampak dari implementasi

metode Problem Posing tipe Post Solution Posing merupakan implikasi logis dari meningkatnya

pemahaman siswa terhadap konsep-konsep matematika. Meningkatnya pemahaman siswa

terhadap konsep-konsep matematika tersebut di atas, tidak terlepas dari latihan-latihan yang

intensif dalam merumuskan soal-soal yang sejenis dengan soal buatan guru. Selain merumuskan

soal, siswa juga dituntut dapat menjawab soal-soal yang telah disusunnya itu. Dalam kegiatan

tersebut, sesungguhnya telah terjadi suatu proses pengkonstruksian pemahaman konsep

matematika dalam pemikiran siswa melalui pengalaman belajar yaitu latihan merumuskan soal

dan jawabannya. Semakin intensif latihan yang diberikan dalam menyusun soal dan jawabannya

itu, semakin meningkat pula pemahaman siswa terhadap konsep-konsep yang diajarkan.

Sebagai upaya nyata guru untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep

matematika telah ditempuh dengan jalan diskusi kelompok. Dengan diskusi kelompok, siswa

dapat meningkatkan komunikasi dengan teman-temannya. Kerjasama dalam kelompok sangat

menentukan keberhasilan kelompok untuk memahami konsep-konsep yang diajarkan guru.

Mereka harus satu tujuan serta bertanggung jawab penuh terhadap tugas-tugas yang diberikan

Page 60: Jurnal Emasains No 1

guru. Keberhasilan penerapan metode Problem Posing tipe Post Solution Posing juga tidak

terlepas dari upaya guru dalam meningkatkan intensitas diskusi dalam kelompok. Pengawasan

ketat guru terhadap diskusi yang dilakukan oleh kelompok sangat mempengaruhi kualitas diskusi

dalam kelompok serta meminimalkan kebiasaan siswa bermain-main. Hal ini berdampak positif

dalam upaya meningkatkan kesadaran siswa untuk mengkonstruksi pemahamannya melalui

pengalaman belajar yang dijalaninya.

Berdasarkan paparan di atas, penerapan metode Problem Posing tipe Post Solution

Posing memberikan kontribusi yang signifikan dalam upaya meningkatkan prestasi belajar

matematika. Oleh karena itu pengembangan metode Problem Posing tipe Post Solution Posing

perlu dilakukan guru untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan analisis data dan pembahasan hasil penelitian ini, dapat dikemukakan

simpulan sebagai berikut. 1) Implementasi metode Problem Posing tipe Post Solution Posing dapat meningkatkan prestasi belajar

matematika dan ketuntasan belajar siswa kelas X-2 SMA Negeri 1 Kerambitan. Pada siklus I nilai

rata-rata ulangan harian mencapai 69,09 dengan persentase ketuntasan 81,82%, sedangkan pada

siklus II nilai rata-rata ulangan harian berhasil ditingkatkan menjadi 75,32 dengan persentase

ketuntasan 87,88%. Hasil ini menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan nilai rata-rata ulangan

harian sebesar 6,23 dan ketuntasan belajar sebesar 5,95% dari siklus I ke siklus II.

2) Implementasi metode Problem Posing tipe Post Solution Posing dapat meningkatkan kualitas

pembelajaran matematika di kelas. Hal ini terlihat dari meningkatkan antusiasme siswa dalam

pembelajaran, meningkatnya komunikasi antara siswa dan siswa, antara siswa dan guru dalam

kegiatan presentasi di depan kelas.

Saran

Berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini dapat diajukan saran-saran sebagai

berikut. 1) Pengembangan metode Problem Posing tipe Post Solution Posing perlu dilakukan guru untuk

meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas, dapat pula dikombinasikan dengan metode

pembelajaran lainnya.

2) Pengembangan metode Problem Posing perlu dilakukan oleh peneliti lain untuk tipe-tipe lainnya

pada lokasi yang berbeda dengan subjek yang berbeda pula.

DAFTAR RUJUKAN

Arikunto Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Bumi Aksara.

Arikunto Suharsimi. 2008. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Budi Adnyana. 2004. Pengembangan Metode Pembelajaran Kooperatif Bermodul Yang

Berwawasan Sains Teknologi Masyarakat (STM) dan Pengaruh Implementasinya

Terhadap Hasil Belajar Biologi Siswa SMA di Singaraja (Disertasi). Malang: UM

Depdiknas. 2006. Metode Penilaian Kelas. Jakarta: Puskur Depdiknas

Depdiknas. 2006. Permendiknas Nomor 22 Tentang Standar Isi. Jakarta: Direktorat Pembinaan

SMA.

Page 61: Jurnal Emasains No 1

Depdiknas. 2007. Permendiknas Nomor 16 Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan

Kompetensi Guru. Jakarta: Direktorat Pembinaan SMA.

Depdiknas. 2007. Permendiknas Nomor 20 Tentang Standar Penilaian. Jakarta: Direktorat

Pembinaan SMA.

Dewi Mahabbah Intan. 2007. Model Pembelajaran Problem Posing Tipe Post Solution Posing

Untuk Mengajarkan Pemahaman Konsep Matematika Pokok Bahasan Bangun Segi

Empat Pada Peserta Didik Kelas VII SMPN 1 Batupulang Tegal. Skripsi (Tidak

Dipublikasikan).

Narohita, Alit. 2008. Optimalisasi Penggunaan Lembar Kerja Siswa Dengan Pendekatan

Konstruktivis Dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika Siswa Kelas VIII E

SMP Negeri 1 Tejakula. Penelitian Tindakan Kelas (Tidak Dipublikasikan).

Nur, M dan Wikandari. 2000. Pengajaran Berpusat pada Siswa dan Pendekatan Konstruktivis

dalam Pengajaran. Surabaya: PSMS.

Panitia Penerimaan Siswa Baru. 2008. Data Penerimaan Siswa Baru SMA Negeri 1 Kerambitan.

(Tidak Dipublikasikan).

Santyasa, I.W. 2005. Teknik Penyusunan Proposal PTK. Makalah disajikan dalam seminar

penyusunan proposal PTK untuk guru-guru SMP se-Provinsi Bali. Oktober 2005, di

Jurusan Pendidikan MIPA STKIP Singaraja.

Samani, M. 2006. Menjadi Guru Profesional dalam Persepektif UU Guru dan Dosen. Makalah.

Disampaikan pada workshop Guru Berprestasi Nasional. Bandung, 29 Mei 2006.

Slavin Robert E. 1995. Cooperative Learning, Theory, Research and Practice 2th

. Boston: Allyn

and Bacon

Suparno.1997. Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.

Suyitno, Amin. 2006. Pemilihan Model-Model Pembelajaran dan Penerapannya di Sekolah.

Semarang : Universitas Negeri Semarang.

Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta:

Prestasi Pustaka Publisher.

Usmanto. 2007. Implementasi Model Pembelajaran Problem Posing Tipe Pre Solution Posing

Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas III D SMP 2 Petarukan Kabupaten

Pemalang Pada Pokok Bahasan Lingkaran. Skripsi (Tidak Dipublikasikan).

Page 62: Jurnal Emasains No 1

Meningkatkan Kemampuan Memahami Konsep Limit Melalui Pola Latihan Berjenjang Berbasis

Kooperatif pada Mahasiswa Semester I Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA IKIP PGRI Bali

Tahun Akademik 2011/2012

I Made Surat, MPd.

Dosen Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA IKIP PGRI Bali

email: [email protected]

ABSTRACT

The Improvement of Students’ Understanding, Learning Activities and Responses Toword the

Study of Base Limit Concept through Step-By-Step Drill Model With Cooperatif Base.

The research is aimed to know the improvement of students’ understanding, learning activities

and responses toword the study of base limit concept through step-by-step drill model with cooperatif

base. This research is short of a class action research which is conducted in 2 cicles. Each cicle consists of

planning, action, observation, and reflection. The subjects of the research are 43 semester I students of

Mathematics study program of FPMIPA IKIP PGRI Bali in the academic year of 2011/2012. The scoring

data of understanding the limit concept are collected by tests, while the data of learning activities are

collected through observation, and the data of students responses are collected by using questionaires.

More over, the data of the students’ understanding is analyzed based on descriptive statistic using the

students’ mean score, then it is Converted to PAP, and it is finally compared to work indicators. As well,

the data of the students’ activities and responses are analyzed with descriptive statistic wich are converted

to PAP.

The results of the research shows that there is an improvement of the students’ understanding and

learning activities in each cicle. In cicle I, the students’ learning activity score is 65,81 in category

’actively enaugh’ and the mean score of the students’ understanding in limit concept is 68,37 wich means

its coprehension level is 68,37 % with the classical passing score is 79,1%. Furthermore, in cicle II, the

students’ score of learning activities is improved into 73,21 in category ’active’. The students’ mean score

of understanding the limit concept becomes 76,7 (the coprehesien level is 76,7%) and the passing score is

90,6 %. At the end of this cicle, the result of the questionaires of the students’ respons toward the learning

proces is good (agree)

The research shows the significant improvement in the students’ understanding, learning

activities, and responses so that it should be appreciated by the calculus lecturers to try implementing the

step-by-step drill model in order to help the students in improving their understanding step-by-step.

Keyword: Limit concept, Step-by-step drill model, Cooperatif

Page 63: Jurnal Emasains No 1

PENDAHULUAN

Mata kuliah kalkulus merupakan kelompok mata kuliah analisis. Manfaat yang dirasakan dalam

penerapan mata kuliah ini sangat luar biasa, antara lain dalam bidang teknologi, fisika, kimia, biologi dan

bahkan dalam bidang ilmu sosial. Rasanya tidak berlebihan para teknolog mengatakan bahwa

kenyamanan hidup sebagai akibat dari penerapan IPTEK adalah akibat dari peranan kalkulus yang sangat

besar.Topik-topik kalkulus merupakan materi yang cukup rumit untuk dipelajari, di samping bersifat

abstrak juga bersifat hierarkis. Dibutuhkan kemampuan dasar yang memadai agar dapat menguasai materi

kalkulus dengan baik. Salah satu konsep dasar yang sangat penting dalam mempelajari kalkulus adalah

konsep tentang limit. Limit merupakan konsep dasar yang digunakan untuk membangun definisi dan

mengembangkan teorema dalam topok-topik kalkulus khususnya diferensial dan integral. Sehingga

pembuktian setiap teorema, collorary maupun lemma akan berlandaskan kepada konsep limit. Oleh

karena itu pemahaman tentang konsep dasar limit merupakan kata kunci untuk menguasai kalkulus.

Kenyataan menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa mengalami kesulitan dalam memahami

konsep tentang limit. Pengalaman mengajar peneliti menemukan kenyataan bahwa hampir 90 %

mahasiswa masih kesulitan menangkap makna definisi limit, diskusi tidak jalan, mereka kurang aktif

bertanya ataupun menjawab mengalami kebuntuan dalam membuktikan soal soal tentang limit, hal ini

berakibat pada peroses perkuliahan kurang interaktif.. Demikian abstraknya definisi tentang limit, maka

diperlukan upaya agar mahasiswa dapat memahaminya dengan baik. Nampaknya dalam upaya memahami

definisi limit dibutuhkan tahapan-tahapan pemahaman. Oleh karena itu dicoba untuk memilah-milah

peroses pemahaman secara bertahap melalui pola latihan berjenjang.

Berdasarkan pada latar belakang tersebut maka masalah yang akan dikaji untuk ditemukan

jawabannya adalah berupa tiga permasalahan pokok sebagai berikut yaitu (1) bagaimana aktivitas belajar

mahasiswa dalam mempelajari konsep limit melalui pola latihan berjenjang ? dan (2) apakah ada

peningkatan pemahaman mahasiswa Semesterm I Jurusan Pendidikan Matematika tentang konsep dasar

limit melalui pola latihan berjenjang ? (3) Bagaimana respon mahasiswa terhadap perkuliahan topik limit

dengan menggunakan pola latihan berjenjang ?

Limit fungsi adalah konsep yang penting dan merupakan dasar dari kalkulus diferensial dan

integral. Konsep limit fungsi juga memegang peranan penting dalam mengkonstruksi teorema-teorema

inti dari kalkulus. Misal suatu fungsi dengan rumus f(n) = 2-1/n, apabila n kita ganti dengan nilai bilangan

asli n = 1, 2, 3, ......, maka akan diperoleh nilai f yang membentuk barisan 1, 3/2, 5/3, 7/4, 9/5, ........., 2-

1/n,... Jika digambarkan pada garis bilangan ternyata titik-titik tersebut mengelompok sekitar titik 2

sedemikian rupa sehingga ada titik-titik dari barisan bilangan tersebut yang jaraknya terhadap 2 kurang

dari suatu bilangan positif yang telah ditetapkan terlebih dahulu, betapapun kecilnya. Sebagai contoh, titik

2001/1001 dan semua titik berikutnya berada pada jarak

< 1/1000 dari 2, titik 20000001/10000001 dan semua titik berikutnya berada pada jarak < 1/10000000

dari 2, demikian seterusnya. Keadaan seperti ini dinyatakan dengan mengatakan bahwa limit barisan

adalah 2. Jika x adalah peubah bilangan real yang bergerak mendekati sebuah bilangan real a, maka

dikatakan bahwa LxfLimax

)(. , berarti bahwa untuk setiap ξ > 0 yang diberikan (betapapun

kecilnya) maka terdapat δ > 0 yang besesuaian sedemikian sehingga ,)( Lxf asalkan bahwa 0<

ax ; yakni 0< ax maka ,)( Lxf Ini berarti, secara implisit tersirat makna bahwa

Page 64: Jurnal Emasains No 1

limit f(x) akan mendekati L apabila x mendekati a. Kata f(x) mendekati L ini berarti selisih f(x) dengan L

adalah sangat kecil yang biasa disimbolkan dengan . Begitu pula untuk x mendekati a ini berarti

bahwa selisih x dengan a adalah sangat kecil yang biasa disimbolkan dengan . Secara matematis

pernyataan tersebut dapat ditulis ke dalam pertidaksamaan harga mutlak sbb:

axdanLxf 0..,)( .

Pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning) merupakan suatu pembelajaran yang dibentuk

dalam kelompok kecil dengan anggota kelompoknya saling bekerja sama mengoptimalkan keterlibatan

dirinya dalam belajar, untuk menyelesaikan tugas (Widiarsa, 1997). Dalam pembelajaran kooperatif

setiap anggota kelompok harus mencapai ketuntasan materi. Belajar belum selesai jika salah satu anggota

kelompok ada yang tuntas dalam menguasai materi pelajaran. Jadi setiap anggota kelompok bertanggung

jawab atas belajarnya dan dan juga kelompoknya. Ini berarti dalam pembelajaran kooperatif

memungkinkan siswa dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajarnya. Belajar secara kooperatif

memiliki beberapa ciri penting di antaranya setiap anggota kelompok berperan dalam proses

pembelajaran, adanya hubungan interaksi langsung di antara para maha siswa dan dosen membantu

mahasiswa untuk mengembangkan keterampilan intern personal kelompok. Wirta (1999), menyatakan

bahwa manfaat pembelajaran kooperatif adalah: (1) memperluas perspektif intelektual ; (2) merangsang

kemampuan berpikir; (3) menyempurnakan atau meluruskan pandangan/pendapat; (4) mengembangkan

sikap tidak egosentris.

Upaya menjembatani karakteristik matematika dengan kondisi anak didik yang mempelajarinya,

merupakan tantangan dalam pendidikan matematika untuk mencari pola maupun model penyajian yang

menarik dan sekaligus dapat memudahkan untuk mempelajarinya. Pemilihan model atau pola

pembelajaran matematika perlu berorientasi pada perkembangan mutakhir di dunia, dengan terus

memperpendek kesenjangan antara kemajuan di dunia dan keadaan nyata di Indonesia.

Model pembelajaran matematika yang berkembang di dasarkan pada teori-teori belajar (Gatot

Muhsetyo, dkk., 2007). Hakikat dari teori-teori belajar yang sesuai dengan pembelajaran matematika

perlu dipahami sungguh-sungguh sehingga tidak keliru dalam menerapkannya. Teori teori belajar itu

menjadi tidak berguna jika makna dari konsep-konsep yang dikembangkan tidak dipahami dengan baik.

Jika suatu teori belajar ternyata efektif untuk membantu seorang pendidik menjadi lebih profesional, yaitu

meningkatkan kesadaran pendidik bahwa mereka wajib menolong anak didiknya untuk mengintegrasikan

konsep baru dengan konsep yang sudah ada, maka teori itu berharga dan patut untuk dipertimbangkan.

Sampai tahun 1970-an, para pengajar di Indonesia masih percaya bahwa cara yang terbaik untuk

menjamin keberhasilan belajar matematika adalah melalui pengulangan-pengulangan yang merupakan

prinsip dari teori belajar. Peserta didik menggunakan waktunya untuk mengulang rumus-rumus

matematika, cara memanipulasi simbol-simbol berkali kali. Dengan cara ini peserta didik belajar

informasi-informasi. Teori yang mendasari pelaksanaan belajar yang seperti ini adalah berasal dari

Stimulus-Respons. Pandangan dari psikologi ini didasarkan didasarkan pada faktor-faktor lingkungan

yang disebut stimulus dan tingkah lakunya disebut dengan respon. Psikologi ini menyebutkan bahwa

tingkah laku dikendalikan oleh peristiwa yang berupa ganjaran yang datangnya dari luar yang disebut

penguatan. Stimulus dan respon itu saling berasosiasi. Dengan demikian teori S-R ini memusatkan

perhatian kepada cara respon-respon peserta didik yang di kontrol dari luar peserta didik. Memahami

akan karateristik dari matematika, maka secara umum peroses belajar matematika biasa digunakan adalah

bahwa konsep, prinsip maupun prosedur/algoritma harus diterima oleh anak didik melalui peroses

pemahaman. Karena menurut teorinya Ausubel, bahwa pembelajaran harus bermakna. Anak didik harus

Page 65: Jurnal Emasains No 1

mampu menyerap makna dari setiap konsep atau prinsip yang dipelajari. Penggabungan dari ke dua teori

ini menginspirasikan penulis untuk merancang pola latihan yang di awali dengan pemahaman terlebih

dahulu. Oleh karena konsep-konsep matematika sangat abstrak maka sulit bagi mahasiswa untuk dapat

menyerap arti dari suatu definisi maupun teorema secara cepat. Untuk membantu peroses pemahaman

yang kuat maka dilakukan pola latihan berjenjang yang berfungsi untuk meningkatkan dan memperkuat

pemahaman akan kosep dan prinsip tentang limit secara bertahap dan hirarkis. Herman Hudoyo (2003)

menyatakan bahwa dengan latihan yang cukup peserta didik tidak mudah melupakan konsep dan teorema

yang dipelajari.

Pola latihan berjenjang yang diterapkan dalam perkuliahan topik limit, di bagi ke dalam tiga

tahapan sebagai berikut. (a) Pemahaman secara intuitif: yaitu membangun pengetahuan dan pengertian

awal tentang limit, yang berawal dari kehidupan sehari hari, dan kemudian mengkonstruksinya ke dalam

model matematis. Pola ini bermaksud menarik perhatian mahasiswa bahwa persoalan tentang limit ada di

sekitar kehidupan mereka, dan tanpa sadar mereka sering menggunakan istilah tersebut. Sebagai contoh,

misalnya seseorang dilahirkan oleh ibunya, ibunya dilahirkan oleh neneknya, dan neneknya dilahirkan

oleh buyutnya demikian seterusnya sehingga sampailah kepada suatu sumber yang misteri yang diyakini

sebagai Tuhan. Tetapi manusia tidak akan pernah sama dengan Tuhan ( manusia bukan Tuhan). Contoh

lain lagi misalnya ada suatu daerah berbentuk persegi dengan ukuran luasnya 100 cm2

persegi. Jika kita

bagi dua terus menerus secara logika luas yang diperoleh tidak akan pernah sama dengan nol, tetapi hanya

mendekati nol. Selanjutnya barulah mengkonstruksinya ke dalam model matematis berupa suku-suku sbb:

100, 50, 25, 22 ½ , 11 ¼ . . . dst tidak pernah = 0. Kemudian secara matematis ditulis ke dalam model

matematis : 12

100

n

nLim . Diharapkan dengan melalui peroses diskusi dan tanya jawab mahasiswa akan

dapat memahami serta dapat memberikan contoh-contoh lainnya. (b) Melakukan Analisis Pendahuluan:

yaitu membentuk pertidaksamaan harga mutlak, untuk menjabarkan apa yang tersirat dalam definisi

tentang limit. Jadi dalam peroses pembelajaran tentang limit, setelah mahasiswa mengenal beberapa

contoh kasus sehari hari tentang limit maka mereka diajak untuk mengkonstruksi definisi informal, dan

selanjutnya menuju kepada definisi formal. Dalam bentuk LxfLimax

)(. . Sebagai ilustrasi,

perhatikan fungsi f yang didefinisikan oleh: 1

32)(

2

x

xxf x . Fungsi f ini terdefinisi untuk setiap

bilangan real x kecuali x=1. Apabila nilai peubah x mendekati 1, maka perubahan nilai f(x) adalah

disajikan pada tabel 1 berikut

Tabel 1. Perubahan nilai f(x)

x 0,9 0,99 0,999 0,9999 ............................... 1,0001 1,001 1,01 1,1

f(x) 4,8 4,98 4,998 4,9998 ................................ 5,0002 5,002 5,02 5,2

Berdasarkan tabel tersebut Jika jarak x dengan 1 kurang dari 0,1 maka jarak f(x) dengan 5 kurang dari

0,2 ; jika jarak x dengan 1 kurang dari 0,01 maka jarak f(x) dengan 5 kurang dari 0,02 ; ...... demikian

seterusnya jika x semakin dekat dengan 1 maka nilai f(x) semakin dekat dengan 2. Jika dikonstruksi

secara matematis dengan menggunakan nilai mutlak untuk menyatakan jarak, maka kita dapat menuliskan

kondisi di atas yaitu, jika 0 < /x-1/ < 0,1 maka / f(x)-5 / < 0,2 dan jika 0 < /x-1/ < 0,01 maka / f(x) -5 / <

0,02 demikian seterusnya. Ditinjau dari sudut lain, yaitu kita perhatikan lebih dahulu nilai-nilai f(x). Nilai

f(x) dapat didekatkan ke 5 sekehendak kita asal saja nilai x diambil cukup dekat ke 1, artinya /f(x)-5/

Page 66: Jurnal Emasains No 1

dapat kita buat kecil sekehendak kita asalkan /x-1/ cukup kecil pula dan x≠1. Lambang-lambang yang

lazim digunakan untuk selisih-selisih yang kecil ini adalah bilangan positif kecil ξ dan δ dan kita

nyatakan /f(x)-5/ < ξ apabila 0 < /x-1/ < δ. Adalah penting untuk menekankan bahwa nilai δ tergantung

dari ξ. Dari tabel kita dapatkan /f(x)-5/ < 0,2 jika /x-1/ < 0,1 jadi untuk ξ = 0,2 ada δ = 0,1 . Secara

implisit tersirat makna bahwa limit f(x) akan mendekati L apabila x mendekati a. Kata f(x) mendekati L

ini berarti selisih f(x) dengan L adalah sangat kecil yang biasa disimbolkan dengan . Begitu pula untuk

x mendekati a ini berarti bahwa selisih x dengan a adalah sangat kecil yang biasa disimbolkan dengan .

Secara matematis pernyataan tersebut dapat ditulis ke dalam pertidaksamaan harga mutlak sbb:

axdanLxf 0..,)( .

(c). Melakukan langkah pembuktian formal: yaitu mengkonstruksi kembali hasil analisis pendahuluan

agar sesuai dengan tahapan/langkah yang dimaksud dengan definisi. Definisi formal dari limit adalah

sebagai berikut: ” Dikatakan bahwa, LxfLimax

)(. berarti bahwa untuk setiap 0 yang diberikan

(betapapun kecilnya), terdapat > 0 yang berpadanan sedemikian sehingga Lxf )( asalkan

bahwa ax0 ; yakni, ax0 maka Lxf )( (Edwin J. Purcell & Dale Vargerg,

2002).

Aktivitas adalah melakukan suatu kegiatan tertentu secara aktif. Aktivitas menunjukkan adanya

kebutuhan untuk aktif bekerja atau malakukan kegiatan-kegiatan tertentu (Usman, 2000). Pendapat lain

menyatakan bahwa aktivitas adalah segala kegiatan yang dilaksanakan baik secara jasmani maupun

rokhani (Sriyono, 2001). Aktivitas dalam belajar adalah bentuk-bentuk kegiatan yang muncul dalam

peroses belajar mengajar, baik kegiatan fisik yang mudah diamati, maupun kegiatan psikis yang bersifat

laten sehingga sulit diamati langsung. Kegiatan fisik meliputi membaca, menulis, memeragakan, dan

mengukur, sedangkan kegiatan non fisik (psikis) meliputi mengingat kembali isi pelajaran,

menyimpulkan, membandingkan suatu konsep yang lain dan sebagainya (Moejiono dan Moh. Dimyati,

1994). Purwati et. al. (2002) ciri-ciri aktivitas belajar adalah meliputi antusiasme dalam mengikuti

perkuliahan, interaksi antar mahasiswa dan mahasiswa dengan dosen, kerjasama dalam kelompok,

berdiskusi, usaha, dan partisipasi.

Sesuai dengan karakteristik matematika yang sangat abstrak, bersifat deduktif dan hierarkis, maka

diperlukan teknik atau pola tertentu untuk mempelajarinya. Materi tentang limit yang merupakan salah

satu topik matematika kalkulus, konsep dasarnya sangat abstrak. Dilihat dari substansi konsep yang

terkandung dalam definisi limit ternyata memuat konsep pernyataan berkuantor dalam logika matematika

dan pertidaksamaan harga mutlak. Pernyataan logika ” untuk setiap ....... ada.....” sangat berbeda makna

substansinya dengan pernyataan ” ada.... untuk setiap...... Dibutuhkan aktivitas mental yang kritis dan

teliti untuk memaknainya.Dengan mencoba memilah ke dalam beberapa konsep maka peroses

pemahamannya dapat dicapai. Pemahaman secara logika tersebut selanjutnya dimantapkan dengan

latihan-latihan dengan pola berjenjang melalui diskusi kelompok dan selanjutnya dipresentasikan.

Diharapkan dengan pola latihan berjenjang yang berbasis kooperatif ini akan mengoperasionalkan

konsep-konsep limit, sehingga pada gilirannya pemahaman tentang konsep dasar limit dapat ditingkatkan.

Berdasarkan pada kajian teori dan kerangka berpikir maka dapat diajukan hipotesis tindakan yang

merupakan jawaban sementara terhadap permasalahan di atas, sebagai berikut: Melalui pola latihan

berjenjang yang berbasis kooperatif, dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa mengenai konsep dasar

tentang limit.

Page 67: Jurnal Emasains No 1

METODE PENELITIAN

Jenis, Seting, subjek dan objek Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas. Penelitian ini dilaksanakan di Jurusan

Pendidikan Matematika pada semester I tahun akademik 2011/2012 bulan September-Oktober. Banyak

kelas yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1 kelas yaitu kelas A yang berjumlah 43 orang. Jumlah

dosen pengampu 2 orang, yang secara bergantian saling mengamati.

Subjek penelitian adalah mahasiswa semester I Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA IKIP

PGRI Bali Tahun Akademik 2011/2012, dan teman sejawat dosen. Objek penelitian adalah pola latihan

berjenjang, pemahaman konsep dasar Limit, aktivitas belajar, respon.

Tabel 2. Sumber, Jenis,Teknik dan Alat Pengumpul Data

Sumber Data Jenis Data Teknik Pengumpulan Data Alat yg Digunakan

1. Mahasiswa a.Prestasi Belajar (Kuantitatif)

b. Aktivitas (Kualitatif)

c. Respon (Kualitatif)

a. Tes (setiap siklus)

b. Non Tes (tiap siklus)

c. Non Tes (diakhir siklus2)

a. Tes Uraian

b Pedoman

Observasi

c. Angket

2. Dosen Kesesuaian SAP, Skenario dan

Pelaksanaan (Kualitatif)

Non Tes (Setiap Siklus) Pedoman Observasi

Instrumen pengumpul data sebelum digunakan diuji validitasnya secara teoritik berdasarkan

judgement beberapa pakar. Data dianalisis sebagai berikut (1) Data prestasi belajar pada setiap akhir

siklus dianalisis dengan analisis deskriptif komparatif dengan rumus N

XMean

, kemudian

dibandingkan dengan Nilai Ketuntasan Minimal (KKM) Individual untuk mata kuliah kalkulus adalah

60. Untuk menentukan Daya Serap (DS) dan Ketuntasan Klasikal (KK) menggunakan rumus:

%100xSkorMax

MeanDS dan %100

..

60.....x

PesertaTesSeluruhJumlah

nilaimemperolehygPesertaBanyaknyaKK

, Nilai KK

minimal adalah 85 %. (2) Data tentang aktivitas yang merupakan hasil observasi dan data tentang respon

yang merupakan hasil dari angket merupakan data kualitatif. Begitu pula data tentang kesesuaian SAP,

Skenario dan Pelaksanaan juga merupakan data kualitatif. Sebelum dianalisis maka dikonversi dahulu

menjadi data kuantitatif dengan rentangan skor 0 – 4, dengan kwalifikasi Sangat Baik (SB) = 4; Baik (B)

= 3; Cukup (C) = 2 ; Kurang Baik (KB) = 1 dan Tidak Baik (TB) = 0

Perhitungan konversi Skor-Nilai yang diperoleh (X) dihitung dg rumus :

100xalSkorMaksim

erolehanTotalSkorPX ; Kualifikasi Skor: 86–100= sangat baik; 66–85= baik; 56 – 65

= cukup; 46 – 55= kurang; 36 – 45= tidak baik (Mimin H, 2006: 35)

Prosedur Penelitian

Penelitian ini dirancang pelaksanaannya dalam 2 siklus hal ini disebabkan karena topik Limit

dirancang habis dalam 4 kali pertemuan, ini berrarti tiap siklus terdiri dari 2 kali pertemuan (2x 150

menit). Masing-masing siklus terdiri dari empat tahapan yaitu: 1) perencanaan tindakan (planning), 2)

pelaksanaan tindakan (action), 3) observasi (observation), dan 4) refleksi (reflection). Untuk dapat

mengetahui kemampuan mahasiswa dalam menguasai konsep-konsep dasar yang merupakan prasyarat

Page 68: Jurnal Emasains No 1

untuk menguasai konsep limit maka diberikan tes diagnostik yang berfungsi sebagai initial evaluation,

sedangkan observasi awal dilakukan untuk dapat mengetahui tindakan yang tepat, yang akan diberikan

dalam upaya meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam memahami konsep dasar limit. Dari evaluasi

dan observasi awal maka dalam refleksi akan ditetapkan bahwa tindakan yang dipergunakan untuk

meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam memahami konsep limit adalah melalui pola latihan

berjenjang yang berbasis kooperatif, dilaksanakan dalam perkuliahan di kelas.

Mengacu kepada refleksi awal, maka dilakukan tindakan-tindakan dengan prosedur: planning,

acting, observing, dan reflecting , secara rinci dapat diuraikan sebagai berikut: (1) Planning

(perencanaan), dalam tahap perencanaan ini dilakukan tahapan kegiatan berikut (a) Membuat skenario

perkuliahan dengan menggunakan berbagai pola latihan yang berjenjang dari bentuk yang sederhana

menuju kekompleks. Skenario ini dirancang materi untuk diskusi kelompok yang beranggotakan 3-4

orang dengan panduan dosen pembina. Selanjutnya hasil diskusinya dipresentasikan ke depan kelas; (b)

Membuat lembar observasi, untuk mengamatiaktivitas serta bagaimana jalannya proses belajar mengajar

di kelas ketika pola-pola latihan berjenjang di terapkan melalui kelompok kelompok. Untuk

memaksimalkan pengamatan hal ini akan dibantu oleh teman sejawat; (c) Merancang angket/quistionaire

yang akan digunakan di akhir siklus 2; (d). Mendisain alat evaluasi untuk tiap siklus, dengan

mengoperasionalkan kompetensi dasar kedalam beberapa indikator untuk selanjutnya dibuat butir-butir

soalnya. (2) Pelaksanaan Tindakan, dalam tahap pelaksanaan tindakan ini akan dilaksanakan kegiatan

sebagaimana yang telah diskenariokan pada tahap 1) yang di awali dengan pembentukan kelompok kecil

(3-4 orang). (3) Observing (pengamatan), kegiatan yang dilaksanakan pada tahap ini adalah melakukan

observasi, dengan bantuan pengamatan dari teman sejawat/dosen anggota peneliti. (4) Reflecting

(refleksi), hasil yang diperoleh dalam observasi dikumpulkan dan dianalisis. Dari analisis hasil observasi

akan dapat memberikan refleksi kepada dosen pembina, apakahan pelaksanaan perkuliahan sudah sesuai

dengan skenario pembelajaran, dan bagaimana aktivitas mahasiswa dalam mengikuti perkuliahan. serta

apakah ada peningkatan tahapan pemahaman mengenai konsep dasar limit. Hasil analisis data yang

diperoleh dalam tahap ini akan dipergunakan sebagai acuan untuk merencanakan tindakan pada siklus

berikutnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam pelaksanaan tindakan pada siklus I dan II diproleh hasil observasi aktivitas belajar

disajikan pada tabel 2 berikut.

Tabel 2. Distribusi Tingkat Aktivitas pada Siklus I dan II.

No Tingkat Aktivitas Siklus 1 Siklus 2

1

2

3

4

5

Sangat Baik

Baik

Cukup

Kurang Baik

Tidak Baik

5

9

20

6

3

9

13

17

4

0

Tampak bahwa tingkat aktivitas mahasiswa dalam mengikuti perkuliahan dari siklus I dan II

mengalami peningkatan pada kategori cukup ke atas. Diharapkan mestinya terjadi penurunan pada derajat

aktivitas Kurang baik. Rata-rata skor aktivitas peserta pada siklus I adalah 65,81 dengan kategori cukup

baik, sedangkan pada siklus II Rata-rata skor aktivitasnya adalah 73,21 dengan kategori baik. Pada tabel

Page 69: Jurnal Emasains No 1

di atas, terlihat bahwa tingkat aktivitas berkategori cukup keatas meningkat dari 34 orang menjadi 39

orang, yaitu meningkat dari 79,1 % menjadi 90,7 % dan yang tergolong aktivitasnya baik ada sebanyak

14 orang yaitu 32,6 % dan meningkat menjadi 22 orang yaitu 51,2 %. Ada sebanyak 9 orang mahasiswa

pada siklus I yang tergolong kurang dan bahkan tidak aktif. Hasil pengamatan peneliti bahwa mereka

yang tergolong kurang keaktifannya nampaknya belum terbiasa berdiskusi, belum mempersiapkan

penguasaan materi prasyarat. Hal ini tampak dari sikap diskusinya kebanyakan pertanyaannya tentanga

Apa...., bukan mengapa...... Peneliti sarankan kepada mereka untuk mempersiapkan secara intensip materi

prasyarat dalam mempelajari konsep limit, karena matematika itu adalah ilmu yang bersifat hirarkis.

Dengan mendiagnose masalah yang menghambat jalannya diskusi maka sedikit banyak dapat dicari

alternatif pemecahannya agar diskusi berjalan maksimal, antara lain menekankan kembali pentingnya

penguasaan materi prasyarat, belatih mengeluarkan pendapat, jangan takut salah. Pepatah mengatakan

orang akan belajar dari kesalahan. Alternatif pemecahan ini mulai menampakkan hasil, dengan melihat

adanya peningkatan aktivitas pada siklus II menjadi 90,7 persen. Suatu prosentase yang sangat

menggembirakan, sebagai indikasi perkuliahan berjalan dengan baik karena interaksi maksimal.

Peningkatan ini menjadi catatan yang menggembirakan bagi peneliti yang sekaligus sebagai

pembina mata kuliah kalkulus, karena dari pengalaman-pengalaman pada perkuliahan terdahulu interaksi

belajar mengajar pada topik Limit tidak maksimal, boleh dikatakan berjalan pasif. Mahasiswa bersikap

hanya menerima konsep yang disampaikan dalam kondisi kebingungan. Terbawa akan suasana belajar

seperti di SLTA, sedangkan konsep dasar Limit sangat abstrak. Sebanyak 4 orang mahasiswa yang

tergolong kurang aktif (9,3 %) perlu ditelusuri lebih lanjut. Informasi sementara yang diperoleh memang

yang bersangkutan mempunyai kemampuan yang kurang di antaranya disebabkan mereka berasal dari

SLTA kejuruan, dan memang kurang siap untuk mengikuti diskusi, dan karakter anak yang bersangkutan

agak pemalu dan introvert.

Pengukuran terhadap kemampuan memahami konsep dasar limit pada akhir siklus I diperoleh

hasil sebagai berikut: pada siklus I dari jumlah mahasiswa 43 orang diperoleh total skor 2940, dengan

skor rata-rata sebesar 68,37. Banyaknya mahasiswa yang memperoleh skor di atas KKM ( ≥ 60) ada

sebanyak 34 orang, ini berarti bahwa Daya Serap (DS) baru mencapai 66,37 % dengan Ketuntasan

Klasikal (KK) 34/43 x 100 % = 79,1 %. Belum tercapainya ketuntasan klasikal sebagaimana yang

ditetapkan pada indikator kinerja yaitu 85 %. apabila di cermati leih jauh ada bebrapa hal antara lain: a).

Dari 9 orang mahasiswa yang kurang aktif dalam mengikuti diskusi, mereka tidak menindak lanjuti diluar

jam perkuliahan untuk bertanya kepada teman-temannya apalagi kepada dosennya tentang konsep-konsep

yang belum mereka fahami. Keaktifan dalam diskusi biasanya sebagai indikasi akan kemampuan

kognitifnya. b). Kesulitan mengkonstruksi model matematis secara formal. c). Kurang teliti dalam

perhitungan. Kelemahan-kelemahan ini diupayakan dicari pemecahannya dengan menghimbau mereka

yang masih merasa kurang untuk memanfaatkan waktu yang disediakan untuk berkonsultasi dengan

dosen mengenai materi yang belum jelas atau yang belum dikuasai. Atau kalau merasa malu sendiri-

sendiri maka dapat berkelompok. Lebih berhati-hati melakukan perhitungan dan dibutuhkan latihan.

Pemahaman bahasa matematika harus dilatih dengan membaca pernyataan-pernyataan logika yang

berkuantor.

Alternatif pemecahan yang dilakukan untuk mengatasi kelemahan yang terjadi pada siklus I,

nampak menunjukkan hasilnya pada siklus II dengan adanya peningkatan aktivitas yang diikuti dengan

meningkatnya kemampuan memahami konsep limit. Total skor yang diperoleh berjumlah 3299 dengan

jumlah peserta 43 orang. Dengan demikian skor rata-rata klasnya menjadi 76,7 ini berarti Daya Serapnya

adalah 76,7 %. Dari 43 peserta ada 39 peserta yang telah mencapai kategori tuntas, ini berarti bahwa

Page 70: Jurnal Emasains No 1

Ketuntasan klasikal (KK) yang dicapai adalah 39/43 x 100 % = 90,67%, suatu angka yang telah

melampaui batas ketuntasan klasikal ( 85%). Menurut peneliti ini merupakan hal yang cukup

menggembirakan, karena dari pengalaman selama mengampu mata kuliah kalkulus penanaman konsep

dasar limit merupakan hal yang sulit. Dari 4 orang peserta yang belum tuntas nampaknya mereka

memangkurang teliti dalam melakukan perhitungan, dan juga ada yang merasakan terbebani harus belajar

lebih ekstra mengingat latar belakang mereka bukan dari SMA.

Hasil Observasi tentang kesesuaian SAP dan skenario maupun pelaksanaan perkuliahan model

kooperatif dengan pola latihan berjenjang, nampak ada beberapa hambatan dalam pelaksanaan diskusi.

Dua kali ketidaksesuaian waktu. Waktu untuk presentasi kelompok benar-benar dibatasi. Ragam contoh-

contoh soal yang dapat mengarahkan pola pikir mahasiswa dari sederhana ke kompleks harus

diperbanyak sesuai dengan ragam kemampuan mahasiswa. Ketegasan menengahi diskusi dan cepat

mengarahkan jalannya diskusi yang buntu. Memimpin diskusi sambil mengamati aktivitas benar-benar

dibutuhkan team teaching yang kooperatif dan tidak ikut larut dengan materi diskusi yang sedang

menghangat.

Hasil pengukuran respons peserta menunjukkan hasil yang baik dengan total jumlah skor respon

= 3493 dari 43 peserta, sehingga diperoleh skor rata-rata 81,23. Skor rata-rata ini berada dalam interval 66

– 85 = Baik. Hali ini tampak dari awal pelaksanaan siklus I sampai akhir siklus II sebagian besar peserta

antusias mengikuti jalannya diskusi, apalagi bisa disajikan contoh-contoh penerapan matematika yang

menarik dan ada hal-hal yang lucu dengan konsep limit, maupun jawaban salah seorang peserta yang ga

masuk akal.

Keberhasilan penelitian yang berupa peningkatan aktivitas dan hasil belajar serta respons yang

positif dari peserta, umumnya merupakan suatu rangkaian yang nampaknya saling terkait. Untuk

meningkatkan prestasi sebagai hasil belajar hendaknya di awali dengan aktivitas yang baik sebagai suatu

proses belajar. Aktivitas dalam belajar matematika lebih banyak melibatkan aktivitas mental, yaitu

aktivitas berpikir. Dibutuhkan pula kemampuan menyimak definisi maupun kemampuan membuat

kalimat matematika untuk mengkonstruksi pembuktian yang bersifat formal. Hal ini dibutuhkan latihan

yang banyak dan berjenjang dari hal yang konkret dan sederhana sampai kepada hal yang lebih abstrak

dan kompleks, hal ini sejalan dengan karakteristik dari matematika yang bersifat abstrak dan hierarkis.

Latihan-latihan memang masih diperlukan dalam belajar matematika, hal ini dimaksudkan untuk

memantapkan konsep, serta melancarkan algoritme yang dipelajari. Suatu hal yang harus diingat bahwa

setiap latihan haruslah didasarkan pada pemahaman, dan setiap pemahaman agar dimantapkan dengan

latihan.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan di atas, maka dapat diambil

kesimpulan tentang penerapan pola latihan berjenjang yang berbasis kooperatif pada mahasiswa Jurusan

Pendidikan Matematika FPMIPA IKIP PGRI Bali: (1) Dapat meningkatkan aktivitas belajar dari 65,81

menjadi 73,21 dengan kategori baik; (2) Dapat meningkatkan kemampuan memahami konsep limit pada

siklus I Rata-rata skor yang dicapai 68,37 dengan daya serap 68,37 % dan ketuntasan klasikal 79,1 %,

pada siklus II Rata-rata skor 76,7 dengan daya serap 76,7% dan ketuntasan klasikal 90,6%; (3). Mendapat

respon yang baik dengan skor sebesar 81,23.

Saran

Page 71: Jurnal Emasains No 1

Berdasarkan temuan yang diperoleh dalam penelitian ini disarankan kepada para pembina mata

kuliah yang memuat tofik-topik yang sulit dan esensial hendaknya mencoba menerapkan pola latihan

berjenjang yang berbasiskan kooperatif, setelah pemahaman konsep ditanamkan. Hal ini untuk

memantapkan kosep-konsep yang telah dipahami, dan perlu diingat bahwa latihan tanpa dasar

pemahaman tidak akan bermanfaat bagi anak didik.

DAFTAR RUJUKAN

Abimanyu, Soli. 1998. Penyusunan Proposal PTK. Makalah dalam PCP PTK Proyek PGSM tgl 18 – 22

Oktober.

Arikunto, Suarsini. 2008. Dasar Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara

Blanchard A. 2001. Contextual Teaching and Learning. B.E.S.T

Dahar, Ratna Wilis. 1998.Teori Teori Belajar. Jakarta: Erlangga.

Frank Ayres, JR., & Ault, J.C. Theory and Problems of Differential and Integral, Calculus, 2nd

Eddition.

New York: McGraw-Hill.

Hudojo, H. 2003. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Edisi Revisi. Malang :

Universitas Negeri Malang.

Johnston , M. 1997. Action Research in School University Partnership. AERA Chicago. IL.

Joni, T Raka. 1998. Penelitian Tindakan Kelas beberapa permasalahan. Bogor: PCP. PPGSM Ditjen

Dikti.

Mimin Haryati. 2006. Sistem Penilaian Berbasis Kelas. Jakarta: Gaung Persada Press.

NCTM. (1996). Profesional Standarts For Teaching Mathematics. Reston: NCTM.

Nurkancana, Wayan dan P.P.N. Sunartana. 1992. Evaluasi Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional

Parjono, 2002. Active Learning: The Dewey, Piaget, Vygostsky, and Construktivist Theory Perscpective.

Jurnal Ilmu Pendidikan, no. 3, jilid 9.

Purcell,E.J., & Dale Varberg. 1989. Calculus With Analytic Geometry, 4th Edition. New York: Prentice-

Hall

Riduan. 2010. Skala Pengukuran Variabel-Variabel Pendidikan. Bandung: Alfabeta

Soedarsono, F.X. 1997. Rencana Desain dan Implementasi, Dalam Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta :

BP3SD, Dirjen Dikti, Depdikbud.

Soedjadi.(1999). Kiat pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta: Ditjen Dikti Depdiknas.

Sriyono, dkk. 2001. Aktivitas Dalam Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya

Wingkel SJ., W.S. 1999. Psikologi Pengajaran. Edisi Revisi. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Wono Setia Budi. 2001. Kalkulus Peubah Banyak dan Penggunaannya. bandung: ITB Bandung

Page 72: Jurnal Emasains No 1

Hubungan Cara Belajar dan Motivasi Berprestasi dengan Prestasi Belajar Matematika

SMP Negeri 3 Mengwi.

I Dewa Putu Juwana

Dosen Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA IKIP PGRI Bali

ABSTRACT

Relationship Learning and Achievement Motivation Method to Learning Mathematics

Achievement.

Data resulting from the establishment of the National Secondary School Examination

Diknas Bali in 2006, junior high school in Denpasar, predicated school graduation eight zero

percent (0%). For this exciting studied to address the problem if there is a way to learn the

relationship between academic achievement, achievement motivation with the relationship

between academic achievement and the relationship between learning styles and achievement

motivation to academic achievement. Research conducted on students of SMP Negeri 3 Mengwi.

Total population of 840 students, 15% of the sample was determined population is 126 students

with a proportional stratified random sampling technique, how to draw. This type of research is

correlational research. Data ways of learning and achievement motivation obtained through

questionnaires and observation techniques to study mathematics achievement data with

documentation. Data were analyzed with product moment correlation technique to test

hypotheses one and two. The third hypothesis tested by statistical F.

The first finding that learning has a significant positive correlation with academic achievement.

Based on the analysis of the level of zero correlation between learning with academic

achievement, obtained a positive correlation coefficient (r = 0.230) and more than (RT5% =

0.176). The first level of the partial correlation analysis with regard achievement motivation

remains, obtained r = 0.221 which is also positive. The calculation of the price obtained by the t

test statistic t = 2.51 is outside the reception area H0, so accept Ha significantly on the level of

significance (ts) 5%. The second finding of partial correlation analysis between achievement

motivation to academic achievement by learning how to control the changes found r2, y-1 =

0.297, and t = 3.48. After consultation with the t table on ts5% and 124 degrees of freedom,

obtained H0 acceptance region is -1.96 <t <1.96. Apparently the price t, are in the rejection of

H0, so reject Ho and accept the alternative hypothesis that there is a positive, significant

correlation between achievement motivation to academic achievement. Findings of the three,

based on multiple regression analysis two predictors, Ry multiple correlation coefficient (1,2) =

0.3700, the coefficient of determination (R2) = 0.1369 and Freg = 9.75567. Consulted with the F

table, degrees of freedom 2 to 123 and ts 5%, the acceptance of H0 is F0, 95 (2.123) <3.07. Freg

prices are far to the right of the reception area H0, hence significantly accept that there is a

relationship between ha learning and achievement motivation together with student achievement.

Relations between the two predictors with kriteriumnya is positive and significant with the

regression line equation: Y = 0.008444716 0.011637271 X1 + X2 + 6.00075619.

Key word: Relationship, Learning and Achievement Motivation Method

PENDAHULUAN

Tenaga terampil secara kuantitas dan kualitas untuk mensukseskan pembangunan

dihasilkan melalui jalur pendidikan formal maupun non formal. Oleh karenanya pemerintah

Page 73: Jurnal Emasains No 1

memberi perhatian yang besar pada bidang pendidikan, melalui program yang

menitikberatkan pada peningkatan mutu dan perluasan pendidikan dasar, menengah dan

pendidikan tinggi. Pada sektor pendidikan non formal melalui program pemantapan

pelajaran/les pribadi, bimbel, sehingga sebagian besar siswa sudah mengikuti pemantapan

pelajaran/les pribadi di luar jam pelajaran sekolah. Program pemantapan pelajaran di luar

jam sekolah diharapkan akan meningkatkan mutu pendidikan dengan lebih mendalamnya

penguasaan materi pelajaran oleh siswa. Namun kenyataan yang terjadi masih jauh dari

harapan. Berdasarkan hasil pemantapan Ujian Nasional Sekolah Menengah Pertama yang

diadakan Diknas Bali tahun 2006, dari sejumlah SMP di Kota Denpasar, delapan sekolah

mendapat predikat kelulusan nol persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa dari jumlah siswa

kelas III yang akan mengikuti Ujian Nasional di Delapan sekolah tersebut, semuanya

dinyatakan tak lulus ujian pemantapan. (Bali Post, Maret 2006). Beberapa faktor penyebab

kegagalan tersebut antara lain kurang diperhatikan cara belajar yang diterapkan oleh siswa

baik sebelum mengikuti pelajaran, saat mengikuti pelajaran maupun sesudah pelajaran.

Sebab cara belajar siswa sangat mempengaruhi prestasi yang dicapai.

Dari kesenjangan harapan dan kenyataan tersebut, maka diadakan penelitian untuk

menjawab permasalahan apakah ada hubungan antara cara belajar dengan prestasi belajar,

apakah ada hubungan antara motivasi berprestasi dengan prestasi belajar dan apakah ada

hubungan antara cara belajar dan motivasi berprestasi dengan prestasi belajar siswa,

penelitian dilakukan terhadap siswa di SMP Negeri 3 Mengwi. Adapun tujuan yang hendak

dicapai dalam penelitian yaitu ingin mengetahui hubungan antara cara belajar siswa dengan

prestasi belajar; untuk mengetahui hubungan antara motivasi berprestasi dengan prestasi

belajar; dan ingin mengetahui hubungan antara cara belajar siswa dan motivasi berprestasi

dengan prestasi belajar siswa SMP Negeri 3 Mengwi.

Secara teoritis cara belajar adalah rangkaian kegiatan mencakup berbagai cara

(metode) yang digunakan seseorang dalam kegiatan belajarnya. Cara yang dikenal, dipahami,

dan dipraktekkan seseorang dalam belajarnya adalah bersifat individual (Suryabrata,

1983:61). Dibalik perbedaan-perbedaan yang dianut oleh masing-masing individu menurut

Gie (1986) ada dua prinsip yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk mengamati cara

belajar siswa yaitu prinsip keteraturan dan prinsip konsentrasi, didukung oleh Heuken dkk

(1986:28) mengatakan bahwa kesulitan pokok untuk belajar adalah tidak mampu bekerja

dengan penuh konsentrasi dan teratur. Pokok pangkal pertama dalam belajar adalah dalam

hal keteraturan. Kalau siswa sudah terbiasa teratur dalam mengikuti pelajaran, dalam

memantapkan pelajaran dan dalam mempersiapkan diri menghadapi ujian, maka sifat

keteraturan ini akan mempengaruhi jalan pikirannya. Konsentrasi dalam belajar berarti

pemusatan pikiran terhadap pelajaran yang sedang dipelajari. Tanpa konsentrasi maka akan

sulit atau bahkan kemungkinan tidak berhasil dalam menguasai pengetahuan yang sedang

dipelajari (Gie, 1986:58-60). Kemampuan seseorang dalam berkonsentrasi berbeda-beda, ada

siswa yang mampu berkonsentrasi dalam jangka waktu yang cukup lama, tetapi ada pula

siswa yang sukar untuk memusatkan pikirannya terhadap pelajaran yang sedang dipelajari.

Motivasi adalah suatu keadaan dalam individu yang menyebabkan seseorang melakukan

kegiatan tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Kernu (1991:30) bahwa motivasi

merupakan daya pendorong bagi individu untuk melakukan perbuatan. Berarti bahwa

semakin tinggi motivasi seseorang maka semakin tinggi intensitas usahanya untuk mencapai

tujuan. Suryabrata (1977:85) mengatakan motivasi adalah sesuatu yang mendorong individu

untuk melakukan aktifitas. Motivasi seseorang ada yang timbul dari dalam diri seseorang

Page 74: Jurnal Emasains No 1

(internal) dan dapat juga dari luar individu (external). Motivasi mempunyai daya penggerak

yang besar adalah motivasi yang datang dari dalam diri individu. (Surakhmad, 1973:62).

Dorongan yang kuat pada diri siswa tersebut akan timbul apabila siswa menaruh perhatian

yang besar terhadap semua kegiatan belajar. Karena motivasi berprestasi timbul atas dasar

siswa menaruh perhatian dan minat terhadap apa yang dipelajari, maka bagi siswa yang

mempunyai sikap yang positip terhadap apa yang dipelajari. Sikap positif terhadap apa yang

dipelajari didorong oleh kebutuhan akan pentingnya pengetahuan. Hal ini didukung oleh

Simanjuntak (1980:18) bahwa tujuan yang akan dicapai siswa merupakan kebutuhan yang

harus dipenuhi. Lebih lanjut Martaniah (1984:34) mengatakan motivasi berprestasi adalah

motivasi yang mendorong individu untuk berpacu dengan standar keunggulan. Yang

dimaksud standar keunggulan dapat berupa diri-sendiri, orang lain dan kesempurnaan tugas.

Dalam hal ini terkandung maksud bahwa tinggi rendahnya motivasi berprestasi berbanding

lurus dengan tinggi rendahnya usaha dan kegigihan seseorang dalam mencapai prestasi.

Dengan demikian siswa yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi akan memperoleh

pengetahuan yang tinggi pula sehingga prestasi yang diperoleh juga tinggi.

Nilai yang diperoleh siswa yang diberikan oleh guru merupakan hasil keluaran

(output) dari proses belajarnya, dan pada umumnya disebut prestasi belajar. Sehubungan

dengan prestasi belajar ini, Bloom dalam Roestiyah dkk (1982:116) mengemukakan prestasi

belajar sebagai hasil perubahan tingkah laku yang meliputi aspek kognitif, afektif, dan

psikomotorik. Kemudian Nancy (1986:1) mengemukakan prestasi merupakan hasil belajar

dalam suatu ragkaian tes standar, biasanya bersifat pendidikan. Tes ini disusun dan

distandarisasi untuk mengukur efektifitas mata pelajaran di sekolah. Dari teori tersebut, maka

dapat ditarik suatu pengertian bahwa prestasi belajar merupakan kecakapan siswa yang dapat

diukur dari penguasaan pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang dicapai dalam proses

belajar di lembaga pendidikan formal.

Dalam dunia pendidikan prestasi belajar dapat diartikan prestasi secara umum dan

dapat pula diartikan sebagai prestasi suatu mata pelajaran tertentu. Pendapat ini didukung

oleh Simanjuntak (1988:29) bahwa prestasi belajar dapat dikelompokkan ke dalam prestasi

belajar seluruh bidang studi dan prestasi belajar mata pelajaran tertentu. Lebih jauh dikatakan

bahwa prestasi belajar siswa dapat ditentukan dengan menilai rapornya. Sejalan dengan

pendapat ini Suryabrata (1984:324) dan Jas (1987:34) mengatakan bahwa nilai rapor

merupakan perumusan terakhir yang diberikan oleh guru mengenai kemajuan atau prestasi

belajar siswa selama masa tertentu. Demikian juga Gandi Wirawan (1976:20) dan Suryabrata

(1984:324) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan prestasi belajar adalah hasil yang

dicapai seseorang dalam usaha belajarnya yang dinyatakan dalam rapornya.

Berdasarkan masalah, tujuan, dan paparan teoritis maka diajukan hipotesis yaitu ada

hubungan antara cara belajar dengan prestasi belajar siswa, ada hubungan antara motivasi

berprestasi dengan prestasi belajar; dan ada hubungan antara cara belajar dan motivasi

berprestasi dengan prestasi belajar siswa SMP Negeri 3 Mengwi.

METODE PENELITIAN

1. Tempat, Waktu, Populasi dan Sampel.

Penelitian dilakukan di SMP Negeri 3 Mengwi Desa Buduk, Kecamatan Mengwi

Kabupaten Badung. Sekolah ini dipilih karena belum pernah diadakan penelitian dengan

topik sama, dilaksanakan pada September sampai Desember 2006. Secara teoritis populasi

menurut Furcan (1982:189), Sujana (1989: 161) adalah semua individu dengan rumusan yang

Page 75: Jurnal Emasains No 1

jelas, yang akan dikenai generalisasi, memiliki sifat-sifat atau gejala-gejala yang akan

diselidiki. Jadi terkandung dua pengertian populasi yaitu populasi subyek dan obyek

penelitian. Populasi subyek penelitian adalah semua individu yang dirumuskan dengan jelas

yang akan digeneralisasi sifat-sifatnya. Dalam penelitian ini populasi subyek adalah semua

siswa kelas VII dan kelas VIII SMP Negeri 3 Mengwi tahun ajaran 2005/2006. Berdasarkan

dokumen yang tersedia jumlah siswa kelas VII adalah 443 orang dan jumlah kelas VIII

adalah 307 orang sehingga jumlah populasi subyek penelitian adalah 840 orang. Populasi

obyek penelitian adalah sifat-sifat dari subyek penelitian yang akan diteliti. Dalam penelitian

ini populasi obyek adalah cara belajar, motivasi berprestasi dan prestasi belajar siswa kelas

VII dan kelas VIII SMP Negeri 3 Mengwi tahun ajaran 2005/2006. Penelitian menggunakan

sampel, diperoleh degan teknik proporsional stratified random sampling cara undian.

Penerapan stratified diambil karena populasi terdiri dari tingkat-tingkat atau strata yaitu

kelas VII dan VIII, dan karena jumlah populasi pada masing-masing tingkat tidak sama maka

diterapkan teknik proposional. Untuk memberi kesempatan yang sama kepada setiap individu

anggota pada tiap tingkat dilakukan pengambilan sampel secara acak dengan cara undian.

Jumlah subyek penelitian ini cukup besar yaitu 840 maka untuk menentukan besarnya sampel

dalam penelitian digunakan 15% dari populasi yaitu 126.

2. Teknik Pengumpulan Data

Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah angket dan dokumentasi.

Angket digunakan untuk mengumpulkan data cara belajar dan motivasi berprestasi.

Sedangkan dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data prestasi belajar. Data motivasi

diperoleh dengan menggunakan kuesioner tipe pilihan berganda dengan empat alternatif

jawaban. Sedangkan nilai prestasi belajar diperoleh dengan metode dokumentasi. Alasan

yang mendukung penggunaan teknik dokumenter dalam mengumpulkan data prestasi belajar

adalah adanya data yang relatif bermutu karena didukung oleh proses penilaian hasil belajar

yang teratur yang dilakukan oleh guru dan kecermatan pencatatan nilai serta

penyimpangannya yang dilakukan oleh staf pengajar relatif kecil. Selain itu Furchan

(1982:257) mengatakan variabel terikat dalam kebanyakan penelitian tentang keefektifan

metode pengajaran adalah prestasi belajar. Oleh karena itu prestasi belajar sangat banyak

dipakai dalam penelitian pendidikan maupun di sekolah.

3. Instrumen Penelitian dan Pengukuran

Secara keseluruhan butir-butir angket yang tersusun untuk pengukuran cara belajar

siswa dalam penelitian ini sebanyak 22 butir. Penyebaran butir-butir tersebut ditunjukkan

pada tabel 1.

Tabel 1. Uraian kisi-kisi angket cara belajar

Nomer Faktor/sub faktor No. butir soal

A. Kegiatan mengikuti pelajaran

1. Persiapan sebelum mengikuti pelajaran 1, 2, 3

2. Selama mengikuti pelajaran 4, 5, 6

3. Setelah pelajaran selesai 7, 8, 9

B. Kegiatan memantapkan pelajaran

1. Bahan yang dipelajari 12

2. Jadwal pelajaran 10, 11

Page 76: Jurnal Emasains No 1

3. Memantapkan hasil pelajaran 13, 14

4. Kegiatan membaca 15, 16

C. Kegiatan Ujian

1. Kegiatan sebelum ujian 17, 18, 19

2. Kegiatan selama ujian 20, 21

3. Kegiatan setelah ujian 22

Siswa atau responden dipersilahkan memilih salah satu dari empat alternatif tersebut

sesuai dengan yang dilakukan atau dialami dalam belajarnya. Keempat alternatif jawaban

tersebut yaitu pilihan selalu (sl), sering (sr), kadang-kadang (kk), dan tidak pernah (tp).

Pernyataan dalam angket tersebut terdiri dari dua jenis yaitu yang bersifat positif dan bersifat

negatif. Dalam olahan selanjutnya pemberian skor untuk pernyataan bersifat positif yaitu

skor 4 untuk jawaban (sl), skor 3 untuk jawaban (sr), skor 2 untuk jawaban (kk), dan skor 1

untuk jawaban (tp). Sedangkan untuk pernyataan yang bersifat negatif diberi skor sebaliknya

yaitu skor 4 untuk jawaban (tp), skor 3 untuk jawaban (kk), skor 2 untuk jawaban (sr), dan

skor 1 untuk jawaban (sl).

Pengukuran motivasi berprestasi siswa dilakukan dengan cara memberikan daftar

pernyataan/pertanyaan yang harus dijawab siswa. Penyusunan pernyataan/pertanyaan

tersebut berdasarkan indikator-indikator dari motivasi berprestasi. Indikator yang digunakan

adalah usaha untuk selalu hadir pada setiap pelajaran baik itu pelajaran teori maupun

pelajaran praktek. Ada beberapa pertanyaan/pernyataan mengenai usaha yang dilakukan

untuk memahami dan memantapkan pelajaran seperti dalam hal belajar, berdiskusi dengan

teman, bertanya pada guru, belajar di perpustakaan dan menambah pengetahuan.

Pertanyaan/pernyataan berikutnya adalah usaha untuk mengerjakan tugas-tugas yang

diberikan sekolah. Secara keseluruhan butir-butir angket yang tersusun untuk pengukuran

motivasi berprestasi siswa dalam penelitian ini sebanyak 22 butir. Penyebaran butir-butir

ditunjukkan pada tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2. Uraian kisi-kisi butir angket motivasi belajar

Nomer Faktor yang diukur Nomer butir

1. Usaha untuk memahami dan memantapkan

pelajaran

2, 3, 4, 11, 16

2. Usaha untuk hadir pada setiap pelajaran 17, 21

3. Usaha untuk berprestasi 5, 7, 9, 10, 14, 15, 18, 20, 22

4. Usaha untuk mengerjakan tugas-

tugas/berdiskusi dengan teman

1, 6, 8, 12, 13

Pada setiap butir pertanyaan/pernyataan ada empat pilihan. Untuk

pertanyaan/pernyataan yang positif, jawabannya untuk pilihan pertama diberi skor 4, pilihan

kedua diberi skor 3, pilihan ketiga diberi skor 2, dan pilihan keempat diberi skor 1.

Sedangkan pertanyaan/pernyataan yang negatif diberi skor sebaliknya. Pengukuran prestasi

belajar yang dicapai siswa tidak dilakukan secara langsung, tetapi menggunakan data

sekunder yaitu data prestasi belajar kelas VII semester 1 dan 2 sedangkan kelas VIII semester

3 dan 4 yang dihitung nilai rata-rata komulatifnya.

Page 77: Jurnal Emasains No 1

4. Uji Coba Instrumen

Untuk menentukan tingkat kesahihan dan keandalan instrumen, dilakukan uji coba

instrumen. Responden yang digunakan uji coba ini diambil dari populasi yang sama, tetapi

tidak termasuk responden sampel penelitian. Uji coba dilaksanakan pada 30 orang siswa

kelas VII dan kelas VIII SLTPN 3 Mengwi tahun ajaran 2005/2006.

Uji Validitas, alat ukur dikatakan valid jika mengukur apa yang seharusnya diukur

oleh alat itu. (Nasution, 1982: 86). Tujuannya adalah menentukan apakah item tersebut ada

kemampuan untuk membedakan kelompok-kelompok dalam aspek yang diukur sesuai

dengan perbedaan yang ada pada kelompok-kelompok tersebut (Masrun, 1982:11). Setelah

koefisien korelasi diperoleh, maka untuk menetapkan tinggi rendahnya korelasi tersebut,

kemudian dikonsultasikan dengan nilai “r” pada tabel. Apabila ternyata “r hitung” yang

diperoleh lebih besar dari “r tabel” maka butir tersebut dinyatakan valid, dan siap digunakan

untuk mengumpulkan data penelitian. Sebaliknya apabila koefisien korelasi yang diperoleh

lebih kecil daripada “r tabel” maka butir tersebut dinyatakan tidak valid atau gugur dan tidak

dapat digunakan untuk mengumpulkan data penelitian. Untuk lebih jelasnya validitas butir

tes yang diuji coba hasilnya disajikan pada tabel 3 berikut.

Tabel 3. Ringkasan hasil uji validitas butir-butir angket

Ubahan Jumlah item gugur Valid

Cara belajar 22 6 16

Motivasi berprestasi 22 8 14

Uji Reliabilitas. Reliabilitas adalah derajat keajegan alat tersebut dalam mengukur apa

saja yang diukur (Furchan, 1982: 295). Nasution (1982 :89) mengemukakan bahwa suatu

instrumen dikatakan reliabel apabila instrumen itu dalam mengukur suatu gejala pada waktu

yang berlainan menunjukkan hasil yang sama. Sehubungan dengan reliabilitas ini, Untuk

mengetahui reliabilitas tes digunakan rumus Alpha (Suharsimi, 1987:101). Rumus ini

digunakan karena instrumen yang digunakan skala Likert yang jawabannya bersifat gradasi.

Setelah koefisien reliabilitas diperoleh, maka untuk menetapkan tinggi rendahnya reliabilitas

angket tersebut maka r11 yang diperoleh dari hasil perhitungan dikonsultasikan dengan nilai r

tabel sebagai berikut.

Tabel 4. Nilai r dan Interpretasinya

Besarnya r Interprestasi

Antara 0,800 sampai dengan 1,00

Antara 0,600 sampai dengan 0,800

Antara 0,400 sampai dengan 0,600

Antara 0,200 sampai dengan 0,400

Antara 0,000 sampai dengan 0,200

Tinggi

Cukup

Agak rendah

Rendah

Sangat rendah (tidak terkorelasi)

(Suharsimi, 1986 : 208)

Untuk lebih jelasnya reliabilitas dari instrumen hasil uji coba disajikan pada tabel di bawah

ini.

Tabel 5. Ringkasan hasil uji coba reliabilitas butir instrumen

Ubahan r11 Keterangan

Page 78: Jurnal Emasains No 1

Cara belajar 0,68 Cukup

Motivasi berprestasi 0,70 Cukup

5. Tehnik analisa data

Hasil pengukuran data dalam penelitian ini adalah data kuantitatif yang berupa angka-

angka. Dengan demikian maka data yang terkumpul dalam penelitian semuanya diolah

dengan analisis statistik. Metode analisis statistik adalah cara-cara ilmiah yang digunakan

untuk mengumpulkan, menyusun, menyajikan, dan menganalisis data yang berwujud angka-

angka (Hadi, 1980:54). Dalam penelitian hubungan antara ubahan bebas dengan ubahan

terikat dianilisis dengan teknik korelasi product momentt. Kemudian hubungan antara kedua

ubahan bebas secara bersama-sama dengan ubahan terikat digunakan teknik analisis regresi

ganda dengan dua prediktor. Sebelum melakukan pengolahan data dan analisa statistik dalam

rangka pengujian hipotesis, terlebih dahulu dilakukan uji persyaratan analisis, yaitu uji

normalitas, untuk penentuan teknik analisis. Untuk mengetahui normalitas sebaran skor tiap-

tiap ubahan, menurut Hadi (1983:317) dipergunakan analisis Chi Kuadrat. Pengujian kedua

adalah uji linearitas regresi, yakni menguji apakah model linier yang telah diambil itu betul-

betul cocok dengan keadaannya atau tidak. Tujuan utama dilakukannya uji linieritas regresi

karena untuk melakukan analisis regresi lebih lanjut maka harus ditentukan terlebih dahulu

bentuk persamaan regresi yang menyatakan hubungan fungsional antara variabel terikat

dengan variabel bebasnya, sehingga kita dapat menghitung harga-harga parameternya dengan

rumus yang sesuai. Uji linearitas dilakukan untuk menguji apakah bentuk linier cocok

dengan keadaan yang menghubungkan antara variabel terikat dengan variabel bebasnya. Jika

cocok maka analisis regresi linier bisa kita lanjutkan. Jika hasil pengujian mengatakan

bentuk linier tidak cocok maka harus diambil bentuk lain yang non linier (Sujana, 1989:332).

Pengujian hipotesis dilakukan setelah semua uji persyaratan analisis terpenuhi,

dilanjutkan dengan pengujian hipotesis. Dalam penelitian ini ada tiga hipotesis yang akan

diuji. Hipotesis satu dan dua dicari terlebih dahulu koefisien korelasi product moment jenjang

pertama, kemudian signifikansinya diuji dengan statistik t. Sedangkan hipotesis ketiga diuji

dengan statistic F dengan terlebih dahulu dicari koefisien korelasi regresi ganda.

Untuk mengetahui hubungan antara cara belajar dan motivasi berprestasi, dimana

keduanya sebagai prediktor secara bersama-sama dengan prestasi belajar siswa sebagai

kretiriumnya, digunakan teknik analisis regresi ganda dengan dua prediktor. Kemudian

perolehan nilai F dari hasil perhitungan dikonsultasikan dengan F tabel pada taraf

signifikansi (ts) 5% dengan derajat kebebasan db reg lawan dbres. Jika nilai F yang diperoleh

tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara kedua prediktor dengan

kretiriumnya atau garis regresi yang dianalisis tidak signifikan untuk dijadikan landasan

prediksi secara efisien. Dengan demikian pekerjaan analisis berakhir sampai disini. Akan

tetapi apabila nilai F yang diperleh dari hasil perhitungan lebih atau sama dengan nilai F

tabel, berarti koefisien korelasi ganda yang diperoleh signifikan antar kedua prediktor dengan

kretiriumnya. Atau garis regresi tersebut signifikan untuk dijadikan landasan prediksi secara

efisien. Dengan demikian pekerjaan analisis dilanjutkan untuk menghitung besarnya

sumbangan efektif garis regresi, sehingga dapat diketahui seberapa besar varians cara belajar

dan motivasi berprestasi dapat menjelaskan prestasi belajar. Efektifitas garis regresi dapat

dihitung dengan rumus :

%100tot

reg

JK

JK

Page 79: Jurnal Emasains No 1

(Hadi, 1987:44)

Menurut Hadi untuk menghitung besarnya sumbangan efektif (SE) tiap prediktor

harus dihitung dari presentase efektifitas garis regresi. Selanjutnya Sutrisno Hadi

mengatakan efektifitas garis regresi dicerminkan dalam koefisien determinasi (R2), maka

sumbangan efektif tiap prediktor dapat dihitung langsung dari R2. Rumus untuk menghitung

sumbangan efektif tiap prediktor adalah sebagai berikut :

2% RSRSE (Hadi, 1987:46)

Dalam mana :

2R = Koefisien Determinasi

SR = Sumbangan Relatif

SE = Sumbangan Efektif

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengambilan Sampel Penelitian

Sebagian dari populasi selain diambil untuk sampel penelitian, sebelumnya juga

diambil 30 orang siswa masing-masing 15 siswa dari kelas VII dan kelas VIII untuk uji coba

instrumen penelitian. Berdasarkan dokumen dari tempat penelitian yaitu SMP Negeri 3

Mengwi diperoleh data jumlah populasi dan setelah dihitung berdasarkan teknik stratified

proporsional random sampling cara undian, maka diperoleh sampel uji coba dan sampel

penelitian, disajikan pada tabel 9.

Tabel 9. Sampel Uji Coba dan Sampel Penelitian

Kelas Jumlah siswa Sampel

Uji coba

Sampel

Penelitian

VII 443 15 66

VIII 397 15 60

J u m l a h 840 60 126

B. Deskripsi data

Setelah sampel penelitian diperoleh maka instrumen penelitian berupa angket cara

belajar dan angket motivasi berprestasi dibagikan kepada setiap anggota sampel. Hasil skor

dari setiap anggota sampel terhadap masing-masing ubahan ditabulasikan. Deskripsi data

yang disajikan dalam penelitian ini terdiri dari harga rata-rata, median, modus dan standar

deviasi. Kemudian disajikan juga distribusi frekuensi dan histogram dari masing-masing

ubahan.

1. Cara belajar

Sesuai dengan jumlah item ubahan cara belajar yaitu 16 item, maka skor terendah

yang mungkin dicapai adalah 16 dan skor tertinggi yang mungkin dicapai adalah 64. Dari

data yang telah dikumpulkan diperoleh skor terendah 35 dan skor tertinggi 61. Dari data

tersebut didapat nilai rata-rata sebesar 47,857, mediannya sebesar 48,541, modusnya sebesar

49,910 dan standar deviasinya sebesar 5,194. Distribusi frekwensi skor ubahan cara belajar

disajikan pada tabel 6.

Tabel 6. Distribusi frekwensi skor ubahan cara belajar.

Page 80: Jurnal Emasains No 1

No.

Interval

Frekwensi

Absolut

Frekwensi

Relative (%)

1. 33 – 37 3 2,381

2. 38 – 42 15 11,905

3. 43 – 47 35 27,778

4. 48 – 52 48 38,095

5. 53 – 57 22 17,460

6. 58 – 62 3 2,381

J u m l a h 126 100,000

Berdasarkan tabel 6, bahwa siswa yang mempunyai skor cara belajar di bawah rata-rata

sebanyak 53 orang (42,064%). Sedangkan siswa yang mempunyai skor cara belajar di atas

harga rata-rata sebesar 73 orang (57,936%). Dengan demikian cara belajar siswa SMP Negeri

3 Mengwi sebagian besar di atas rata-rata.

2. Motivasi berprestasi.

Dari data yang telah dikumpulkan, skor ubahan motivasi berprestasi memiliki

rentangan skor antara 28 dan 55. Dari data tersebut diperoleh nilai rata-rata sebesar 42,817,

mediannya sebesar 43,480, modusnya sebesar 44,806 dan standar deviasinya sebesar 5,178.

Distribusi frekwensi skor motivasi berprestasi disajikan pada tabel 7.

Tabel 7. Distribusi frekwensi skor motivasi berprestasi

No.

Interval

Frekwensi

Absolut

Frekwensi

Relative (%)

1. 28 – 32 5 3,968

2. 33 – 37 12 9,524

3. 38 – 42 36 28,572

4. 43 – 47 51 40,476

5. 48 – 52 19 15,079

6. 53 – 57 3 2,381

J u m l a h 126 100,000

Berdasarkan tabel 7 dapat dilihat bahwa siswa yang mempunyai skor motivasi

berprestasi di bawah harga rata-rata sebanyak 53 orang (42,064%). Sedangkan siswa yang

mempunyai skor cara belajar di atas harga rata-rata sebesar 73 orang (57,936%). Dengan

demikian motivasi berprestasi siswa SMP Negeri 3 Mengwi sebagian besar di atas rata-rata.

3. Prestasi Belajar

Dari data yang terkumpul, skor ubahan prestasi belajar memiliki rentangan skor

antara 6,30 dan 7,42 Dari data tersebut diperoleh nilai rata-rata sebesar 6,903, mediannya

sebesar 6,908, modusnya sebesar 6,918 dan standar deviasinya sebesar 0,207. Distribusi

frekwensi skor motivasi berprestasi disajikan pada tabel 8.

Tabel 8. Distribusi frekwensi skor prestasi belajar

Page 81: Jurnal Emasains No 1

No.

Interval

Frekwensi

Absolut

Frekwensi

Relative (%)

1. 6,30 – 6,48 3 2,381

2. 6,49 – 6,67 13 10,318

3. 6,68 – 6,86 37 29,365

4. 6,87 – 7,05 44 34,921

5. 7,06 – 7,24 24 19,047

6. 7,25 – 7,43 5 3,968

J u m l a h 126 100,000

Berdasarkan tabel 8 dapat dilihat bahwa siswa yang mempunyai skor berprestasi belajar di

bawah harga rata-rata sebanyak 53 orang (42,064%). Sedangkan siswa yang mempunyai skor

cara belajar di atas harga rata-rata sebesar 73 orang (57,936%). Dengan demikian motivasi

berprestasi siswa SMP Negeri 3 Mengwi sebagian besar diatas rata-rata.

C. Uji Persyaratan Analisis

1. Uji Normalitas

Untuk keperluan analisis data selanjutnya, dalam penelitian ini teori-teori yang

digunakan untuk menaksir parameter dan menguji hipotesis dianut berdasarkan kepada

asumsi bahwa populasi yang sedang diselidiki berdistribusi normal, maka sebelum teori-

teori tersebut digunakan lebih lanjut untuk menganalisis data dan mengambil kesimpulan

sudah seharusnya diselidiki terlebih dahulu apakah asumsi diatas dipenuhi atau tidak.

Sehingga terlebih dahulu akan dilakukan uji normalitas data sampel. Hasil uji coba

normalitas untuk masing-masing ubahan cara belajar, motivasi berprestasi dan prestasi

belajar siswa, disajikan pada tabel 10.

Tabel 10. Ringkasan hasil uji normalitas ubahan-ubahan

No. Nama ubahan db Harga

χ2

o χ2

(0.95,5)

1. Cara belajar 5 3,71188 11,07

2. Motivasi berprestasi 5 7,08656 11,07

3. Prestasi belajar 5 6,15286 11,07

Berdasarkan tabel 10 diatas ternyata harga χo2 yang diperoleh, untuk ubahan cara belajar,

motivasi berprestasi dan prestasi belajar siswa lebih kecil daripada harga χ2

(0.95,5). Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa sebaran skor semua ubahan tersebut adalah normal.

2. Uji Linieritas

Untuk analisa uji linieritas dilakukan satu persatu dari dua ubahan bebas terhadap

ubahan terikatnya. Pertama setiap data ubahan bebas dikelompokkan berdasarkan skor yang

sama sebagai hasil pengamatan yang dilakukan dengan pengulangan, hal ini untuk menilai

kekeliruan atau galat yang terjadi. (Sujana, 1984). Kemudian dengan analisis regresi linier

satu prediktor masing-masing dicari persamaan garis regresinya. Sedangkan untuk uji

independent guna mengetahui apakah koefisien regresi linier mempunyai harga tertentu

ditempuh dengan menggunakan analisis varian dengan mencari harga F.

Untuk ubahan cara belajar terdapat 25 kelompok yang berbeda dan ditemukan

persamaan garis regresi Y = 0,009220X1 + 6,4617 dan diperoleh harga Fres = 0,84 dengan db

Page 82: Jurnal Emasains No 1

pembilang 23 dan db penyebut 101 pada taraf signifikansi 5% diperoleh Ftabel = 1,64. Dengan

demikian harga Fres lebih kecil daripada Ftabel, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan

antara cara belajar dengan prestasi belajar adalah linier.

Pada ubahan motivasi berprestasi terdapat 24 kelompok yang berbeda dan diperoleh

persamaan garis regresi yaitu Y = 0,012206 X2 + 6,38052 dan diperoleh harga Fres = 1,34 dari

daftar distribusi F untuk db pembilang 22 dan db penyebut 102 pada taraf signifikansi 5% =

1,65 (dengan interpolasi). Jadi harga Fres observasi lebih kecil daripada Ftabel, maka

disimpulkan hubungan antara ubahan motivasi berprestasi dengan prestasi belajar adalah

linier. Hasil rangkuman analisis uji linieritas skor masing-masing ubahan, disajikan pada

tabel 11.

Tabel 11. Rangkuman hasil uji linieritas ubahan bebas dengan ubahan

terikat.

No. Jenis ubahan SV db JK RK Fres

1. Cara belajar TC 23 0,829 0,036

0,842 E 101 4,321 0,042

2. Motivasi berprestasi TC 22 1,106 0,050

1,339 E 102 3,830 0,037

Keterangan : SV = Sumber Variasi TC = Tuna Cocok

db = Derajat kebebasan E = Kekeliruan

JK = Jumlah kuadrat Fres = F residu

RK = Rerata kuadrat

D. Pengujian Hipotesis

Dalam penelitian ini ada tiga hipotesis yang akan diuji. Hipotesis satu dan dua dicari

terlebih dahulu koefisien korelasi product moment jenjang pertama, kemudian

signifikansinya diuji dengan statistik t. Sedangkan hipotesis ketiga diuji dengan statistik F

dengan terlebih dahulu dicari koefisien korelasi regresi ganda.

1. Hubungan antara cara belajar dengan prestasi belajar siswa.

Hipotesis pertama menyatakan ada hubungan antara cara belajar terhadap prestasi belajar.

Untuk keperluan analisis data dan pengujian hipotesis maka perlu dirumuskan hipotesis nol

yaitu tidak ada hubungan antara cara belajar terhadap prestasi belajar. Kemudian setelah

dihitung koefisien korelasi antara ubahan cara belajar dengan prestasi belajar dengan

mengontrol ubahan motivasi berprestasi (korelasi parsial jenjang pertama) diperoleh r1,y-2

0,221. transformasi r1,y-2 ke harga t maka diperoleh harga t = 2,51. Dengan taraf signifikansi

5%, hipotesis nol diterima jika –t(0.975,124) < t < t(0.975,124). Setelah dikonsultasikan dengan t

tabel pada derajat kebebasan 124, didapat daerah penerimaan H0 adalah -1,96 < t < 1,96.

Ternyata harga t yang diperoleh berada di daerah penolakan H0. Jadi diinterprestasikan bahwa

hipotesis nol ditolak dan menerima hipotesis alternatif. Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara cara belajar dengan prestasi belajar.

2. Hubungan antara Motivasi berprestasi dengan prestasi belajar.

Hipotesis kedua menyatakan ada hubungan antara motivasi berprestasi dengan prestasi

belajar. Untuk keperluan analisis data dan pengujian hipotesis maka perlu dirumuskan

hipotesis nol yang menyatakan tidak ada hubungan antara motivasi berprestasi dengan

prestasi belajar. Hasil analisis korelasi parsial antara motivasi berprestasi dengan prestasi

Page 83: Jurnal Emasains No 1

belajar dengan mengontrol ubahan cara belajar ditemukan r2,y-1 = 0,297 sehingga diperoleh

harga t = 3,48. Setelah dikonsultasikan dengan t tabel pada ts 5% dan derajat kebebasan 124,

didapat daerah penerimaan H0 adalah -1,96 < t < 1,96. Ternyata harga t yang diperoleh

berada di daerah penolakan H0. Jadi hipotesis nol ditolak dan menerima hipotesis alternatif.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara

motivasi berprestasi dengan prestasi belajar.

3. Hubungan antara Cara Belajar dan Motivasi Berprestasi dengan Prestasi Belajar

Hipotesis ketiga menyatakan bahwa ada hubungan antara cara belajar dan motivasi

berprestasi secara bersama-sama dengan prestasi belajar siswa. Untuk menguji hipotesis ini

digunakan uji F statistic dengan teknik analisis regresi ganda dua prediktor. Hasil analisis

regresi tersebut adalah sebagai berikut: Koefisien korelasi ganda Ry(1,2) = 0,3700, koefisien

determinasi (R2)= 0,1369 dan Freg= 9,75567. Ringkasan hasil analisis regresi ganda ini

disajikan pada tabel 12.

Tabel 12. Ringkasan analisis regresi

Sumber Variasi JK db RK F

Regresi 0,744758321 2 0,37237916 9,755678595

Residu 4,694971881 123 0,038170503

Jumlah 5,439730202 125

Keterangan: JK = Jumlah kuadrat RK = Rerata Kuadrat

db = derajat kebebasan F = F Observasi

Dari perhitungan diperoleh Fo sebesar 9,755678595 setelah dikonsultasikan dengan

Ftabel, dengan db 2 lawan 123 dan ts 5%, batas penerimaan H0 adalah F0,95(2,123) < 3,07.

Ternyata diperoleh F hasil perhitungan berada jauh di sebelah kanan daerah penerimaan H0.

Jadi hipotesis nol yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara cara belajar dan

motivasi berprestasi dengan prestasi belajar, ditolak atau hipotesis alternanif yang diajukan,

diterima. Dengan demikian dapat diinterprestasikan bahwa terdapat hubungan positif yang

signifikan antara cara belajar dan motivasi berprestasi dengan prestasi belajar siswa.

Hubungan antara kedua prediktor dengan kriteriumnya adalah positif dan signifikan dengan

persamaan garis regresi Y = 0,008444716 X1 + 0,011637271 X2 + 6,00075619.BSumbangan

relatif dan sumbangan efektif dari masing-masing ubahan prediktor terhadap kriterium

disajikan pada tabel 13.

Tabel 13. Bobot sumbangan relatif dan sumbangan efektif masing-masing prediktor.

Prediktor Sumbangan relative

SR (%)

Sumbangan Efektif

SE (%)

Cara Belajar 35,56 4,8679

Motivasi Berprestasi 64,44 8,8231

Jumlah 100,00 13,6910

Dari tabel tersebut ternyata sumbangan efektif yang paling besar diberikan oleh

ubahan motivasi berprestasi yaitu sebesar 8,8231%, sedangkan ubahan cara belajar

memberikan sumbangan efektif sebesar 4,8679%. Hal ini berarti bahwa varians prestasi

Page 84: Jurnal Emasains No 1

belajar dapat dijelaskan oleh ubahan cara belajar sebesar 4,8679% dan dapat dijelaskan oleh

ubahan motivasi berprestasi sebesar 8,8231%. Ringkasan hasil analisis regresi.

E. Pembahasan terhadap hasil pengujian hipotesis

1. Pembahasan terhadap hasil pengujian hipotesis pertama

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa cara belajar mempunyai hubungan positif

yang signifikan dengan prestasi belajar. Berdasarkan hasil analisis korelasi jenjang nihil

antara cara belajar dengan prestasi belajar menunjukkan koefisien korelasi yang positif yaitu

r = 0,230 dan ini lebih besar daripada rtabel pada taraf signifikansi 5% yaitu rt5% = 0,176.

Demikian juga setelah dianalisis dengan korelasi parsial jenjang pertama dengan

menganggap motivasi berprestasi tetap, diperoleh r = 0,221 yang juga positif. Uji t diperoleh

t= 2,51 yang berada di luar daerah penerimaan H0, yang berarti menerima hipotesis

alternative secara signifikan pada ts 5%. Dengan demikian terdapat hubungan positif yang

signifikan antara cara belajar dengan prestasi belajar. Dalam hal ini, cara belajar dapat

digunakan sebagai landasan untuk melakukan prediksi terhadap prestasi belajar. Hal ini pula

menguatkan teori-teori yang dikemukakan para ahli seperti yang sudah dipaparkan pada

landasan teori. Antara lain prinsip keteraturan dan prinsip konsentrasi yang dikemukakan

oleh The Liang Gie (1986) yang didukung oleh Heuken dkk (1986). Semakin teratur dan

semakin berkonsentrasi siswa dalam belajar maka semakin tinggi prestasi yang diraih siswa.

Demikian pula teori yang dikemukakan oleh Surakhman (1982) yang menyatakan bahwa

semakin baik persiapan siswa menghadapi pelajaran dan semakin baik siswa dalam

mengikuti pelajaran yang sedang berlangsung serta semakin baik menyempurnakan pelajaran

setelah sampai di rumah maka semakin baik pula prestasi yang diraih siswa. Demikian pula

sebaliknya semakin jelek cara belajar siswa yang diterapkan maka prestasi belajarnya

semakin jelek juga.

Dengan demikian berdasarkan penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa cara

belajar ikut menentukan secara signifikan yaitu sebesar 4,8679% terhadap prestasi belajar

siswa disamping faktor-faktor yang lain.

2. Pembahasan terhadap hasil pengujian hipotesis kedua

Hasil analisis hubungan antara motivasi berprestasi dengan prestasi belajar diperoleh

koefisien korelasi positif sebesar r = 0,304 dan setelah dikonsultasikan ternyata lebih besar

dengan rtabel pada taraf signifikansi 5%. Demikian juga setelah dianalisis dengan korelasi

parsial jenjang pertama diperoleh r = 0,297 juga positif. Hasil perhitungan uji t statistik

memperoleh harga t sebesar 3,48 yang berada pada daerah penolakan H0 yang berarti

X1

X2

Y

r1,y-2 = 0,221

Ry(1,2) = 0,37

r2,y-1 = 0,297

Keterangan :

X1= Cara belajar disebut variable bebas

X2=Motivasi berprestasi disebut variable bebas

Y= Prestasi belajar disebut variable terikat

Page 85: Jurnal Emasains No 1

menerima hipotesis alternative secara signifikan pada taraf signifikansi 5%. Dengan

demikian berarti koefisien korelasi yang diperoleh positif dan signifikan atau terdapat

hubungan positif yang signifikan antara motivasi berprestasi dengan prestasi belajar. Hasil

penelitian ini sangat menguatkan teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli seperti yang

sudah dipaparkan pada landasan teori. Semakin tinggi motivasi siswa untuk mengerjakan

tugas-tugas sekolah yang diberikan, semakin tinggi motivasi siswa untuk menyempurnakan

materi pelajaran yang didapat di kelas, semakin tinggi motivasi siswa untuk menjadi yang

terbaik, maka semakin tinggi pula prestasi belajar yang diraih (Martaniah, 1984). Demikian

juga sebaliknya semakin rendah motivasi yang dimiliki siswa semakin rendah prestasi belajar

yang diperoleh.

Dengan demikian berdasarkan hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa

motivasi berprestasi sangat menentukan secara signifikan yaitu sebesar 8,8231% menentukan

tinggi rendahnya prestasi belajar siswa disamping faktor-faktor yang lain.

3. Pembahasan hasil pengujian hipotesis ketiga

Dari analisis regresi diperoleh hasil yang menunjukkan hipotesis ketiga diterima. Hal

ini terbukti dengan diperolehnya nilai koefisien korelasi ganda ry(1,2)= 0,370. Nilai r > rtabel

pada ts 5%. Juga diperoleh Freg sebesar 9,755 > Ftabel pada ts 5% yaitu sebesar 3,07. Hal ini

menunjukkan hubungan positif yang signifikan antara cara belajar dan motivasi berprestasi

dengan prestasi belajar. Varian prestasi belajar yang dijelaskan melalui ubahan cara belajar

dan motivasi berprestasi sebesar 13,69% selebihnya yaitu 86,31% dapat dijelaskan oleh

faktor lain yang tidak dibahas dalam penelitian ini. Perincian varian prestasi belajar dapat

dijelaskan oleh kedua ubahan tersebut adalah: cara belajar menjelaskan sebesar 4,87% dan

motivasi berprestasi menjelaskan sebesar 8,82%.

Dengan demikian maka berdasarkan hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan

bahwa hubungan cara belajar dan motivasi berprestasi dengan prestasi belajar, signifikan

pada taraf signifikansi 5% dan ini berarti bahwa kedua ubahan bebas tersebut dapat dijadikan

landasan untuk memprediksi prestasi belajar.

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara cara belajar dan motivasi

berprestasi baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama dengan prestasi belajar.

Dan ingin pula mengetahui besarnya sumbangan efektif dari masing-masing ubahan bebas

terhadap ubahan terikatnya. Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan sebagai

berikut:

1. Terdapat hubungan positif dan signifikan antara cara belajar dengan prestasi belajar siswa

SMP Negeri 3 Mengwi. Hal ini berarti semakin baik cara belajar siswa maka akan

semakin tinggi prestasi yang akan dicapai siswa.

2. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara motivasi berprestasi dengan prestasi

belajar siswa SMP Negeri 3 Mengwi. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi motivasi untuk

berprestasi maka akan semakin tinggi pula prestasi belajar yang akan dicapai siswa.

3. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara cara belajar dan motivasi berprestasi

secara bersama-sama dengan prestasi belajar siswa SMP Negeri 3 Mengwi. Hal ini berarti

cara belajar dan motivasi berprestasi dapat digunakan sebagai landasan untuk

Page 86: Jurnal Emasains No 1

memprediksi prestasi belajar siswa. Semakin baik cara belajar dan semakin tingga

motivasi berprestasi siswa maka semakin tinggi prestasi belajar yang dicapai siswa.

B. Saran-saran

Berdasarkan simpulan penelitian yang telah dikemukan maka diajukan beberapa saran

sebagai berikut:

1. Kepada para siswa agar terbiasa belajar dengan konsentrasi, teratur, terarah dan kontinyu.

Kepada para guru sebaiknya membagikan silabi dari materi pelajaran yang akan diajarkan.

Pada silabi dapat diketahui tujuan pelajaran, materi yang akan diajarkan, teknik belajar

mengajar, tugas-tugas yang akan diberikan dan buku wajib yang harus dibaca siswa serta

cara evaluasi yang dilakukan oleh guru. Dengan demikian siswa dapat mempersiapkan diri

sebelum pelajaran dimulai.

2. Untuk meningkatkan motivasi berprestasi siswa maka guru harus mampu memilih strategi

belajar mengajar yang dapat menunjang tumbuhnya motivasi berprestasi dalam proses

belajar mengajarnya antara lain dengan cara: memberi peranan yang besar kepada siswa

dalam proses mengajar, menciptakan persaingan yang sehat dalam meraih prestasi dan

memberikan penghargaan atau hukuman secara tepat.

3. Kepada guru Bimbingan dan Penyuluhan disarankan agar mengisi waktu-waktu kosong

pelajaran dengan memberikan bimbingan cara belajar yang efesien dan membangkitkan

motivasi berprestasi siswa.

DAFTAR RUJUKAN

Adolf Heuken S.J., Aku Berhasil Dalam Studi, Cipta Loka Caraka, Jakarta,1986.

Izhar Salim, Peranan Disiplin Belajar Dalam Mencapai Prestasi Belajar Pada Siswa Kelas II

SMEA Hamong Putera Pakem Sleman Yogyakarta Tahun 1985, Yoyakarta, 1985.

Kernu, Drs., Wayan, Perbedaan Motivasi Berprestasi Ditinjau Dari Tingkat Pendidikan Orang

Tua Pada Siswa SMP Negeri II Sungaraja, FKIP Unud, Singaraja, 1991.

Martaniah, Sri Mulyani, Motif Sosial Suku Jawa dan Keturunan Cina di beberapa SMA

Yogyakarta, Gajah Mada Univercity Press, Yogyakarta,1984.

Nasution, Metode Research, Jemmars, Bandung, 1982. Roestiyah, N.K., Masalah-Masalah

Keguruan, Bina Aksara, Jakarta, 1982. Sujana, Statistika, Tarsito, Bandung, 1982.

Sumadi Suryabrata, Proses Belajar Mengajar di Perguruan Tinggi, Andi Offset, Yogyakarta,

1983.

Surakhmad, W., Pengantar Interaksi Belajar-Mengajar Dasar dan Tehnik Metodelogi

Pengajaran Edisi V, Tarsito, Bandung, 1986.

Sutrisno Hadi, Prof. Drs., Metodelogi Research, Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi

UGM, Yogyakarta, 1987.

The Liang Gie, Cara Belajar Yang Efisien, Pusat Kemajuan Studi, Yogyakarta,1986.

Page 87: Jurnal Emasains No 1

Penggunaan Model Regresi Cox Dengan Time-Dependent Variable Untuk Mengatasi

Nonproportional Hazard

I Wayan Sudiarsa1)

dan Adji Achmad Renaldo Fernandes2)

1)

Dosen Jur. Pendidikan Matematika FPMIPA IKIP PGRI Bali dan 2)

Dosen Jur. Statistika

FMIPA Univ. Brawijaya. email: [email protected].

ABSTRACT

Use Cox Regression Model With Time-Dependent Variable To Overcome Nonproportional Hazard

Cox regression method with variable time respondent is a development of the Cox

regression model and can be used to form the model when the proportional hazard assumption

was not met. The tujauan this study to determine whether the regression method can be used to

cope with non-proportional hazard. The data used in this study were taken from the site with

variabale www.uhasselt.be survivar response in the form of time and predictor variables are

continuously maupyn katagorik. The study was conducted on 1177 patients suffering from

AIDS. Based on the analysis dilakmukan Cox regression model with time-dependent variables

used better than the regression model to the data did not meet the proportional hazards

assumption.

Keyword: Cox regression method, Time-Dependent Variable, Nonproportional Hazard

PENDAHULUAN

McCullagh and Nelder (1997), salah satu model linier tergeneralisir adalah model untuk

data survival, yaitu dengan variabel respon berupa waktu hidup (lifetime) komponen atau

survival time (waktu ketahanan) pasien dari suatu penyakit. Durasi waktu antar dua kejadian

tersebut didefinisikan sebagai waktu survival dan dilambangkan dengan T. Metode yang dapat

dipakai untuk memodelkan antara variabel respon yang berupa waktu survival dengan satu atau

lebih variabel prediktor adalah regresi cox (Fox, 2002). Regresi Cox yang diperkenalkan oleh D.

R. Cox pada tahun 1972 dan digunakan untuk menjelaskan pengaruh antara kegagalan individu

pada suatu waktu dengan satu atau lebih variabel prediktor dimana variabel prediktor dapat

bersifat kontinyu maupun kategorik.

Model regresi Cox juga dikenal dengan istilah proportional hazard model karena asumsi

proporsional pada fungsi hazardnya. Proportional hazard merupakan asumsi yang penting yang

mendasari regresi Cox yang merupakan rasio antara dua level fungsi hazard. Fungsi Hazard

untuk level satu adalah proporsional terhadap fungsi hazard untuk level dua jika rasio keduanya

bernilai konstan dan tidak tergantung waktu. Jika asumsi ini tidak terpenuhi berarti komponen

linier dari model berubah-ubah tergantung waktu dan dikatakan nonproportional hazard.

Akibatnya, model yang dihasilkan tidak sesuai. Salah satu metode yang dapat digunakan pada

kasus nonproportional hazard ialah model regresi Cox dengan time-dependent variable. Time-

dependent variable diartikan sebagai variabel yang nilainya berubah-ubah setiap saat (Kleinbaum

dan Klein, 2005), misalnya tekanan darah, kadar kolesterol. Ata dan Sozer (2007) mengatakan

bahwa jika terdapat time-dependent variable dalam model, asumsi proportioanal hazard tidak

lagi diperlukan dalam model regresi Cox. Model regresi Cox dengan time-dependent variable

merupakan pengembangan dari model regresi Cox dan dapat digunakan untuk membentuk model

ketika asumsi proportioanal hazard tidak terpenuhi. Berdasarkan latar belakang di atas dapat

dirumuskan masalahnya “Apakah Model Regresi Cox Dengan Team Devepdent variabel dapat

Page 88: Jurnal Emasains No 1

)(1)()( tFtTPtS

digunakan untuk mengatasi non proporsional hazard. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah

untuk mengetahui apakah model regresi cox dapat digunakan untuk mengatasi non proporsional

hazard.

1. Fungsi Survival dan Fungsi Hazard

Misal t didefinisikan sebagai waktu survival yang sebenarnya dari suatu objek, dan nilai

dari variabel T mempunyai nilai yang non-negatif. Fungsi survival S(t), didefinisikan sebagai

sebagai peluang atau probabiltas suatu objek mempunyai waktu survival lebih besar daripada t,

dengan kata lain suatu objek mempunyai peluang hidup yang lebih lama daripada t dapat

dinyatakan sebagai (Collet, 2003) :

(1)

Menurut Kleinbaum dan Klein (2005), S(t) adalah fungsi non-increasing terhadap waktu t

dinyatakan sebagai :

tuntuk

tuntuktS

0

01

(2)

Berdasarkan persamaan (2) pada waktu t = 0 maka S(t) = S(0) = 1 yang diartikan sebagai

awal dari pengujian di mana tidak ada satupun objek yang mendapatkan kejadian yang

dispesifikasikan dan peluang hidup dari suatu objek bernilai satu. Pada waktu t = ∞ maka S(t) =

S(∞) = 0, artinya jika periode pengujian meningkat sampai tidak terbatas maka pada akhirnya

tidak akan ada suatu objek yang dapat bertahan hidup sehingga peluang hidup dari suatu objek

akan mendekati nilai nol. Secara grafik, fungsi S(t) diilustrasikan pada Gambar 1.

t = time

S (

t) =

fu

ng

si s

urv

iva

l

0

1

Gambar 1. Grafik Fungsi S(t) Berdasarkan Nilai t.

Berdasarkan Gambar 1. secara teori fungsi survival S(t) digambarkan sebagai fungsi

menurun seiring dengan peningkatan t.

Fungsi hazard h(t) didefinisikan sebagai probabilitas suatu individu yang mati pada waktu

t, dengan syarat objek telah bertahan hidup sampai waktu tersebut. Fungsi ini menyatakan angka

atau laju kematian suatu individu yang bertahan sampai waktu ke-t. Misal peluang bahwa

variabel random adalah waktu survival dari suatu objek disimbolkan dengan T berada di antara t

dan t+δt dengan syarat T lebih besar sama dengan nilai t, ditulis sebagai P(t ≤ T < t+δt | T ≥ t).

Peluang bersyarat tersebut kemudian dinyatakan sebagai peluang per unit waktu dibagi interval

waktu δt yang menyatakan tingkat atau rate (banyaknya perubahan kuantitatif yang terjadi

terkait dengan waktu). Fungsi hazard h(t) adalah nilai limit dengan δt yang mendekati nilai nol.

Fungsi hazard dapat dinyatakan sebagai berikut :

Page 89: Jurnal Emasains No 1

t

tTttTtPlimth

0t

(3)

2. Model Regresi Cox

Menurut Sun dan Tanaka (2003), model Cox Proportional Hazard yang biasa disebut

dengan Regresi Cox mempunyai peranan penting di dalam analisis survival. Model dasar dari

regresi Cox dihasilkan dari fungsi hazard untuk objek ke-i pada waktu ke-t yang terdiri dari dari

dua faktor yaitu fungsi baseline hazard yang disimbolkan sebagai th 0 dan fungsi linier dari

sekumpulan k variabel prediktor yang terbentuk secara eksponen. Secara umum model regresi

Cox didefinisikan sebagai berikut (Allison, 1995) :

ikk1i10i x...xexpthth (4)

Fungsi th 0 dapat dianggap sebagai fungsi hazard untuk suatu objek, jika variabel prediktor

dari persamaan (11) bernilai 0, maka ikk1i1 x...xexp dapat ditulis sebagai iexp dan

disebut sebagai relatif hazard dimana i disebut sebagai kombinasi linier dari k variabel

prediktor dalam jx dimana k...,,2,1j .

ikk2i21i1i x...xx

k

1j

ijji x (5)

di mana merupakan vektor dari koefisien parameter variabel prediktor jx dalam model.

Jumlah i disebut sebagai komponen linier model, tetapi juga diketahui sebagai nilai resiko

untuk objek ke-i. Model umum dari regresi Cox dapat juga ditulis sebagai berikut :

ikk2i21i1

0

i x...xxexpth

th

(6)

Di mana tS

tfth 0

th i adalah peluang objek ke-i mengalami kegagalan atau mati pada waktu t, th 0

adalah fungsi baseline hazard, tf adalah fungsi kepekatan peluang ketahanan objek ke-t,

sedang tS adalah fungsi survival. Nilai fungsi hazard, th i ditentukan setelah nilai th 0

diperoleh.

Menurut Chan (2004), model regresi Cox menunjukkan bahwa rasio kematian antar objek

di dalam kelompok ditunjukkan oleh jexp kali rasio kematian antar objek di dalam kendali

kelompok secara terus-menerus. Model regresi Cox dapat diinterpretasikan sebagai nisbah

peluang kegagalan atau kematian objek pada suatu level dari faktor relatif terhadap peluang

kegagalan pada level lainnya dari faktor tersebut. Oleh karena itu dalam penerapannya terkadang

tidak memerlukan pendugaan fungsi baseline hazard.

3. Pendugaan Parameter dalam Regresi Cox

Dalam model regresi Cox, koefisien merupakan parameter yang tidak diketahui, oleh

karena itu diperlukan adanya suatu estimasi untuk menaksir parameter ini. Menurut Collet

Page 90: Jurnal Emasains No 1

(2003), koefisien dalam model model regresi Cox dapat ditaksir dengan menggunakan metode

Maximum Partial Likelihood. Jika terdapat sebanyak n objek yang mempunyai jarak waktu

kegagalan (r) dengan waktu survival (n-r), dengan r waktu kegagalan yang dinyatakan dengan

t(1) < t(2) <…. < t(r) dan t(j) adalah waktu urutan kegagalan ke-j, maka suatu objek yang

mendapat resiko pada waktu t(j) dinyatakan sebagai R(t(j)), di mana R(t(j)) adalah kelompok

objek yang masih hidup dan tidak tersensor oleh waktu t(j). Penjumlahan dari R(t(j)) disebut

dengan sekumpulan resiko. Menurut Bastien (2004) fungsi likelihood untuk model proportional

hazard adalah :

r

1j tRl l

'

j

'

'

j

xexp

xexp)(L (7)

X(j) merupakan vektor variabel prediktor dari objek yang mati pada saat ke-j pada urutan

waktu t(j). Apabila data terdiri dari n pengamatan ditulis sebagai nttt ,,, 21 , dengan indikator

kejadian ( t ) maka fungsi likelihood pada persamaan (13) dapat dinyatakan dalam bentuk :

n

1i tRl l

i' ,x'exp

x'exp)(L

i

i

(8)

di mana R(t(i)) adalah kelompok objek yang beresiko saat ti, dan i merupakan indikator

tersensor yang bernilai nol jika ti, i=1,2,..,n adalah tersensor kanan dan bernilai 1 untuk lainnya.

Fungsi kesesuaian log-likelihood adalah sebagai berikut :

n

1i tRl

iii

i

x'explogx'Llog (9)

penaksiran parameter β pada model proportional hazard didapatkan dengan cara

memaksimumkan fungsi log-likelihood menggunakan prosedur Newton-Raphson di mana

penaksiran parameter β1,β2,..., βp diperoleh dari penyelesaian sejumlah px1 vektor persamaan

yang dinyatakan dengan skor koefisien vektor u . Skor koefisien untuk βj adalah

,

log

j

j

Lu

sehingga

n

1j

tRl

l

tRl

ljl

jlij

i

i

xexp

xexpx

xu (10)

Misal matriks I(β) adalah matriks pxp yang merupakan turunan kedua dari fungsi log-likelihood

yang bernilai negatif maka I(β) adalah :

kj

2 Llog)I(

(11)

dengan j = 1, 2,…, p dan k = 1, 2,…, p, maka I(β) disebut matriks Hessian atau matriks informasi

pengamatan. Berdasarkan prosedur Newton-Raphson, penaksiran dari parameter pada s+1

yang disimbolkan 1sˆ

adalah :

ssss uI ˆˆˆ 1

1

(12)

dengan

Page 91: Jurnal Emasains No 1

i

i

i

i

i

i

tRl

l

tRl

lkl

tRl

l

tRl

ljl

tRl

l

tRl

lkljl

jk

1

xexp

xexpx

xexp

xexpx

xexp

xexpxx

I (13)

di mana :

s : 0, 1, 2, …

u s : vektor skor koefisien

I-1 s : invers matriks informasi yang diamati

Proses iterasi dimulai dengan menentukan nilai awal 0ˆ0 dan proses akan dihentikan

jika perubahan pada fungsi likelihood relatif kecil atau perubahan dalam nilai perkiraan

parameter terbesar relatif kecil.

A. Uji Signifikansi Parameter Model Regresi Cox

Pengujian signifikansi parameter model regresi Cox meliputi uji simultan dan parsial.

Uji Simultan

Uji simultan digunakan untuk memeriksa pengaruh variabel prediktor secara bersama-

sama terhadap variabel respon. Uji yang digunakan ialah uji likelihood ratio.

Uji hipotesis :

H0 : β1 = β2= … = βp=0

H1 : minimal ada satu βj ≠ 0, untuk j = 1, 2, …, p.

Statistik Uji :

0

2 ˆ2 LLnLLnLR (14)

Apabila 2

,

2

pLR atau p-value ≤ α maka H0 ditolak yang berarti secara bersama-sama

variabel prediktor berpengaruh nyata terhadap variabel respon.

Uji Parsial

Uji signifikansi parameter secara parsial digunakan untuk memeriksa pengaruh dari

masing-masing variabel prediktor terhadap variabel respon secara individu pada model. Uji ini

dilakukan dengan merasio antara penduga koefisien dengan standard error penduga koefisien.

Rasio antar keduanya disebut dengan statistik Wald dan uji yang digunakan disebut uji Wald.

Uji hipotesis :

H0 : βj = 0

H1 : βj ≠ 0, untuk j = 1, 2, …, p.

Statistik Uji :

2

12

j

2

j~

)ˆ(Se

ˆW

(15)

di mana : j : koefisien regresi pada variabel ke-j

2j )ˆ(Se : ragam koefisien regresi

Apabila 2

1W atau p-value ≤ α maka H0 ditolak yang berarti bahwa variabel prediktor

ke-j berpengaruh nyata terhadap variabel respon (Kutner et al., 2005).

B. Sisaan Model Regresi Cox

Page 92: Jurnal Emasains No 1

Pemerikasaan sisaan pada model regresi Cox bertujuan untuk memeriksa apakah model

sudah sesuai. Sisaan yang sering digunakan dalam pengujian model regresi Cox adalah sisaan

Cox-Snell. Sisaan Cox-Snell dapat diartikan sebagai nilai harapan setiap pengamatan. Sisaan

Cox-Snell untuk individu ke-i dapat dirumuskan :

i0iCi tHx'ˆexpr (16)

dimana : Cir = Sisaan Cox-Snell untuk individu ke-i

i0 tH = dugaan dari fungsi kumulatif garis dasar hazard pada waktu ti

Menurut Nelson-Aalen dalam Collet (2003) Cir adalah nilai dari:

iiii tSlogtH (17)

di mana )t(H ii dan ii tS adalah nilai penduga dari kumulatif hazard dan fungsi survivor dari

objek ke-i pada waktu ti

C. Pengujian Asumsi Proportional Hazard

Proportional hazard merupakan suatu asumsi penting yang mendasari regresi Cox.

Proportional hazard merupakan rasio antara dua level fungsi hazard. Fungsi hazard untuk level

satu adalah proportional terhadap fungsi hazard untuk level dua jika rasio keduanya bernilai

konstan dan tidak tergantung waktu. Asumsi proportional hazard berarti hazard ratio yang

konstan sepanjang waktu. Pelanggaran terhadap asumsi ini mengakibatkan komponen linier dari

model berubah-ubah terhadap waktu sehingga model yang dihasilkan tidak sesuai.

Menurut Ata dan Sozer (2007), cara untuk memeriksa asumsi proporsional hazard ialah

secara visual dengan melihat grafis dari plot antara Log {-log[S(t, X)]} terhadap waktu survival.

Jika grafik Log {-log[S(t, X)]} terhadap waktu survival untuk beberapa kategori dalam suatu

variabel prediktor terlihat sejajar atau tidak bersilangan, mengindikasikan bahwa asumsi

proportional hazard terpenuhi. Sebaliknya jika terlihat bersilangan maka asumsi proportional

hazard tidak terpenuhi. Untuk lebih jelasnya tentang asumsi ini dapat dilihat pada Gambar 2.

Waktu (time)

Log { - Log [S(t,X)]}

Laki-laki

Perempuan

Gambar 2. Pengujian Asumsi Proportional Hazard

Jika asumsi ini tidak terpenuhi maka model yang dihasilkan dikatakan nonproportional

hazard dan mengakibatkan model yang dihasilkan tidak sesuai. Salah satu metode yang dapat

digunakan jika terdapat nonproportional hazard ialah model regresi Cox dengan time-dependent

variable.

Regresi Cox dengan Time-Dependent Variable

Page 93: Jurnal Emasains No 1

A. Time-Dependent Variable

Time-dependent variable diartikan sebagai variabel yang nilainya berubah-ubah setiap

saat. Sebaliknya time-independent variable ialah variabel yang nilainya konstan atau tidak

tergantung waktu. Pada banyak kasus data variabel prediktor yang diteliti terutama dalam bidang

kedokteran seperti tekanan darah, berat badan relatif, dan kadar kolesterol ialah data yang

dikumpulkan berdasarkan suatu periode waktu tertentu. Nilai pengamatan dari variabel tersebut

dapat berubah-ubah sepanjang waktu sehingga besar kemungkinan hazard ratio yang dihasilkan

juga berubah-ubah menurut waktu dan dikatakan fungsi hazard untuk level satu tergantung

waktu terhadap fungsi hazard untuk level dua (tidak konstan). Oleh karena itu model regresi Cox

biasa tidak sesuai lagi untuk digunakan. Untuk mengatasi hal ini digunakan model regresi Cox

dengan time-dependent variable.

B. Model Regresi Cox dengan Time-Dependent Variable

Sebagaimana model regresi Cox pada persamaan (11), model regresi Cox dengan time-

dependent variable terdiri dari baseline hazard function h0(t) dan fungsi eksponen. Perbedaannya

terletak pada fungsi eksponennya, pada regresi Cox hanya terdapat variabel prediktor Xi yang

nilainya tidak tergantung waktu (konstan) atau disebut time-independent variable. Pada model

regresi Cox dengan time-dependent variable, selain time-independent variable yang

dilambangkan dengan Xi, juga terdapat time-dependent variable yang dilambangkan dengan

Xj(t). Model regresi Cox dengan time-dependent variable dapat ditulis sebagai berikut

(Kleinbaum and Klein, 2005) :

2p

1j

jj

1p

1i

ii0 )t(XXexp)t(h)t(X,th (18)

dimana :

h0(t) : fungsi baseline hazard pada saat t

β : parameter atau koefisien regresi untuk time-independent variable.

: parameter atau koefisien regresi untuk time-dependent variable.

p1 : banyaknya time-independent variable

p2 : banyaknya time-dependent variable

X(t)j : variabel yang tergantung waktu (time-dependent variable)

Ata dan Sozer (2007) mengatakan bahwa jika terdapat time-dependent variable dalam model,

asumsi proportioanal hazard tidak lagi diperlukan dalam model regresi Cox. Model regresi Cox

dengan time-dependent variable merupakan pengembangan dari model regresi Cox dan dapat

digunakan untuk membentuk model ketika asumsi proportioanal hazard tidak terpenuhi.

Shumway (2000) telah meneliti penggunaan model regresi Cox dengan time-dependent variable

dan regresi logistik pada data kebangkrutan Bank. Dari hasil penelitian tersebut, Shumway

(2000) mengatakan bahwa regresi Cox dengan time-dependent variable menghasilkan prediksi

yang lebih akurat pada data kebangkrutan Bank.

C. Pendugaan Parameter Model Regresi Cox dengan Time-Dependent Variable

Untuk menentukan model regresi Cox dengan time-dependent variable diperlukan

estimasi koefisien variabel prediktor X1, X2,…,Xp1 yaitu β1,β2,..., βp1 dan koefisien variabel

tergantung waktu X(t)p1+1, X(t) p1+2,…, X(t)p γp1+1, γp1+2,…, γp. Sama halnya dengan model

regresi Cox, Koefisien β dan γ dalam model regresi Cox dengan time-dependent variable dapat

ditaksir menggunakan metode Maximum Partial Likelihood. Apabila terdapat sebanyak n

Page 94: Jurnal Emasains No 1

sampel, diantaranya terdapat r jarak waktu kegagalan (failure) dengan waktu yang berbeda,

dengan urutan waktu kegagalan t(1) < t(2) <…. < t(r) dengan t(j) sebagai urutan waktu kegagalan

ke-j, maka suatu objek yang mendapat resiko pada waktu t(j) dinyatakan sebagai R(t(j)), di mana

R(t(j)) adalah kelompok objek yang masih hidup dan tidak tersensor oleh waktu t(j). Penjumlahan

dari R(t(j)) disebut dengan sekumpulan resiko. Misalkan W(j) adalah vektor variabel prediktor

pada model regresi Cox dengan time-dependent variable dari individu yang meninggal pada saat

ke-j dengan urutan waktu t(j), dan α ialah koefisien model regresi cox dengan time-dependent

variable. W(j) dan α didefinisikan sebagai berikut :

pnpn

pp

pnn

p

tXtX

tXtX

XX

XX

W

,11,

,111,1

1,1,

1,11,1

)()(

)()(

p

p

1

1

1

dimana p1 = banyaknya variabel prediktor yang tidak tergantung waktu

Mengacu pada pendugaan parameter model regresi Cox, fungsi likelihood untuk model

regresi Cox dengan time-dependent variable adalah :

r

1j )R(t

'

'

'

(j)

)exp(

)exp()(L

l lW

W(j) (19)

W(j) adalah vektor variabel prediktor dari individu yang meninggal pada saat ke-j dengan urutan

waktu t(j).

Apabila data terdiri dari n pengamatan ditulis sebagai n21 t,,t,t , dengan indikator

kejadian ( i ) maka fungsi partial likelihood dapat dinyatakan dalam bentuk :

n

1i

)R(t

'

(i)

'

'

'i

i

)Wexp(

)Wexp()(L

l

l

(20)

dimana :

1, jika terjadi event atau kejadian

δi =

0, tersensor

dan R(t(i)) adalah kelompok individu yang beresiko saat ti, dan δi adalah indikator sensoring

yang bernilai nol jika ti, i=1,2,..,n adalah tersensor dan bernilai 1 untuk lainnya. Penyebut

merupakan jumlah dari semua peluang kegagalan dari individu yang mungkin pada waktu t(j).

Fungsi kesesuaian log-likelihood adalah :

Page 95: Jurnal Emasains No 1

n

1i

l

'

R(t

(i)

'

i

' )W( explogWδ)L( log(i)l

(28)

Penaksiran nilai parameter α diperoleh dengan memaksimumkan fungsi log-likelihood

dengan menggunakan metode numerik. Fungsi yang maksimum dapat diperoleh dengan

menggunakan metode iterasi Newton Raphson. Dengan p=p1+p2, penaksiran parameter β1,β2,...,

βp1 dan γ1, γ2, …, γp2 diperoleh dari penyelesaian sejumlah px1 vektor persamaan yang

dinyatakan dengan skor koefisien vektor u . Skor koefisien untuk αj adalah

,

log

j

j

Lu

sehingga

n

1j

tRl

l

tRl

ljl

jij

i

i

W'exp

W'expW

Wu (21)

Misal matriks I(α) adalah matriks pxp yang merupakan turunan kedua dari fungsi log-likelihood

yang bernilai negatif maka I(α) adalah :

kj

2 Llog)(I

(22)

dengan j = 1, 2,…, p dan k = 1, 2,…, p, maka I(α) disebut matriks Hessian atau matriks informasi

pengamatan.

Berdasarkan prosedur iterasi Newton-Raphson, penaksiran dari parameter pada s+1

yang disimbolkan 1sˆ

adalah :

ss

1

s1sˆuˆIˆˆ

(23)

dengan

i

i

i

i

i

i

tRl

ll

tRl

lkl

tRl

l

tRl

ljl

tRl

l

tRl

lkljl

jk

1

W'expW

W'expW

W'exp

W'expW

W'exp

W'expWW

I

di mana :

s : 0, 1, 2, …

u s : vektor skor koefisien

I-1 s : invers matriks informasi yang diamati

Proses iterasi dimulai dengan menentukan nilai awal 0ˆ0 dan proses akan dihentikan jika

perubahan pada nilai αs+1 dan αs kurang dari 10-6

.

Kesesuaian Model

Untuk melihat kesesuaian model Akaike's Information Criterion (AIC) dikembangkan

oleh Hirotsugu Akaike pada tahun 1971 merupakan ukuran kebaikan penduga model

statistik dengan mempertimbangkan banyaknya parameter dalam model. AIC tidak

digunakan untuk pengujian suatu hipotesis, melainkan sebagai alat ukur perbandingan

model dimana model dengan nilai AIC paling kecil dianggap sebagai model yang terbaik

(Hu, 2007). Secara umum AIC dapat dirumuskan sebagai

Page 96: Jurnal Emasains No 1

AIC = 2k – 2 ln (L) (24)

di mana:

k : banyaknya parameter dalam model

L : maximum likelihood model yang diduga

Semakin banyak peubah prediktor yang diuji, maka kebaikan model juga akan meningkat.

Oleh karena itu AIC tidak hanya bermanfaat untuk melihat kesesuaian model, tetapi juga

sesuai digunakan untuk melihat kebaikan model untuk fungsi peningkatan sejumlah

parameter.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari www.uhasselt.be. dengan variabel

respon berupa waktu survival dan variabel prediktor bersifat kontinyu maupun kategorik.

Penelitian dilakukan terhadap 1177 pasien yang mengidap penyakit AIDS dengan variabel yang

diamati meliputi :

T : waktu survival (hari)

S : status kematian (1=mati, 0=sensor)

SEX : sex (0=laki-laki, 1=perempuan)

IVDRUG : Penggunaan obat (0=tidak pernah,

1=pernah)

MACSTAT : Status Mac (1=ya, 0=tidak mac)

MACTIME : Waktu mengidap penyakit Mac (hari)

KARNOF : skor Karnof

Variabel prediktor dalam kasus ini ialah sex, ivdrug, macstat, karnof dengan variabel respon T

(waktu survival). Mactime merupakan waktu kapan diketahui status pasien mengidap penyakit

mac (bukan waktu survival). Variabel tergantung waktu (time-dependent variable) dalam kasus

ini ialah hasil perkalian antara macstat dan mactime.

Hasil Penelitian

1. Model Regresi Cox

Pendugaan koefisien β dilakukan dengan memaksimumkan log-likelihood dengan metode

iterasi Newton Raphson. Nilai β model regresi cox dapat dilihat pada Tabel 1. Dari hasil yang

diperoleh pada Tabel 1, model persamaan regresi cox yang terbentuk ialah : ivdrug0.095-SkorKarnof0.0453-Sex0.2370-MacStat 0.0285-exp),( Xth

Uji secara simultan model regresi Cox dengan menggunakan uji likelihood ratio. Nilai 2

LR

model regresi Cox ialah sebesar 84.703 dengan p-value sebesar 0.000. Karena p-value < 0.05

maka H0 ditolak dan dapat dikatakan bahwa secara bersama-sama variabel macstat, sex, skor

karnof, dan ivdrug memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peluang kematian pasien.

Uji secara parsial menggunakan uji Wald. Tolak H0 jika W > 2

05.0,1 = 3.841 atau p-value ≤

0.05. Pengujian signifikansi disajikan pada tabel 4.6 sebagai berikut

Tabel 1. Pengujian Signifikansi β Model Regresi Cox

Variabel Koefisien β Wald Sig. Exp(B)

macstat -0.0285 0.0445 0.8330 0.9719

Sex -0.2370 2.6607 0.1029 0.7890

skor karnof -0.0453 80.3390 0.0000 0.9557

Page 97: Jurnal Emasains No 1

ivdrug -0.0951 0.6031 0.4374 0.9092

Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa variabel yang memberikan pengaruh signifikan

terhadap peluang kegagalan pasien ialah skor karnof karena memiliki p-value = 0.000 < 0.05.

Besar nilai pengaruh variabel skor karnof ialah sebesar 0.9557 dengan koefisien parameter

bertanda negatif, artinya setiap meningkatnya kesehatan pasien akan menurunkan resiko

kematian pasien tersebut sebesar 0.9557 kali. Variabel yang lain yaitu macstat, sex, dan ivdrug

memiliki p-value > 0.05 sehingga ketiga variabel tersebut tidak memberikan pengaruh signifikan

terhadap peluang kematian pasien.

2. Pengujian Asumsi Proportional Hazard Model Regresi Cox

Pemeriksaan asumsi proportional hazard dilakukan secara grafis dengan melihat plot

antara Log {-log[S(t, X)]} terhadap waktu survival. Jika plot antara Log {-log[S(t, X)]} terhadap

waktu survival untuk beberapa kategori dalam variabel prediktor terlihat sejajar atau terdapat

perbedaan yang konstan, maka asumsi proportional hazard dikatakan terpenuhi. Hasil uji asumsi

proportional hazard pada variabel macstat, sex, dan ivdrug dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Grafik Log {-log[S(t, X)]} terhadap waktu survival

Agar terlihat dengan jelas, waktu survival pada Gambar 3 dapat dipotong pada waktu t >

200 dan di ambil pada waktu t=30 sampai t=200 sehingga Gambar 4 menjadi :

Gambar 4. Grafik Log {-log[S(t, X)]} terhadap waktu survival

-4.0

-3.0

-2.0

-1.0

0.0

0 100 200

Log(

-lo

g s(

t,x)

)

time

Mac

Tidak mac

Page 98: Jurnal Emasains No 1

Dari Gambar 4 pada variabel macstat dapat dilihat antara kategori pasien yang terjangkit

penyakit mac atau tidak terjangkit penyakit mac saling bersilangan (tidak sejajar) di beberapa

selang waktu t yaitu sekitar t=60, t=110, t=150 sehingga asumsi proportional hazard pada

variabel ini tidak terpenuhi.

3. Model Regresi Cox dengan Time-Dependent Variable

Pendugaan koefisien β dan γ dilakukan dengan memaksimumkan log-likelihood dengan

metode iterasi Newton Raphson. Nilai β model regresi cox dengan time-dependent variable dapat

dilihat pada Tabel 2. Dari hasil yang diperoleh pada Tabel 2, model persamaan regresi cox

dengan time-dependent variable yang terbentuk ialah :

karnofskor 0.045-sex0.245-macstat 1.163-exp))(,( tXth

mactime*macstat0.003-ivdrug0.095- dengan t merupakan waktu survival dan X ialah himpunan variabel prediktor yang diteliti. β

merupakan koefisien dari variabel macstat, sex, skor karnof, dan ivdrug. Sedangkan γ ialah

koefisien dari variabel tergantung waktu (macstat*mactime). Uji secara simultan model regresi Cox dengan menggunakan uji likelihood ratio. Nilai

2

LR

model regresi Cox dengan time-dependent variable ialah sebesar 105.490 dengan p-value sebesar

0.000. Karena p-value < 0.05 maka H0 ditolak dan dapat dikatakan bahwa secara bersama-sama

variabel macstat, sex, skor karnof, macstat*mactime, dan ivdrug memberikan pengaruh yang

signifikan terhadap peluang kematian pasien.

Uji Parsial menggunakan uji Wald. Tolak H0 jika W > 2

05.0,1 = 3.841 atau p-value ≤ 0.05.

Pengujian signifikansi disajikan pada tabel berikut :

Tabel 2. Pengujian Signifikansi β Model Regresi Cox dengan time-dependent variable

Variabel Koefisien β Wald Sig. Exp(B)

macstat -1.1628 18.0736 0.0000 0.3126

sex -0.2454 2.8477 0.0915 0.7824

skor karnov -0.0450 78.1937 0.0000 0.9560

ivdrug -0.0854 0.4854 0.4860 0.9181

macstat*mactime -0.0030 17.3739 0.0000 0.9970

Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa hanya variabel sex dan ivdrug yang tidak memberikan

pengaruh signifikan terhadap peluang kegagalan pasien karena memiliki p-value > 0.005.

Sedangkan variabel macstat, skor karnof, dan macstat*mactime yang digunakan sebagai time-

dependent variable menunjukkan pengaruh signifikan terhadap peluang kegagalan pasien karena

semuanya memiliki nilai p-value yang sangat kecil (0.000) < 0.05.

Pada variabel macstat, besar nilai pengaruh pasien yang terkena penyakit mac (status=1)

relatif terhadap pasien yang tidak terkena penyakit (status=0) adalah 0.3126 atau dapat dikatakan

bahwa dengan menggunakan analisis regresi cox dengan time-dependent variable, pasien yang

terkena penyakit mac mempunyai peluang meninggal sebesar 0.3126 kali lebih tinggi daripada

pasien yang tidak terkena penyakit mac. Pada variabel skor karnof, besar pengaruh terhadap

resiko kematian ialah sebesar 0.9560 dengan koefisien parameter bertanda negatif, artinya setiap

meningkatnya kesehatan pasien akan menurunkan resiko kematian pasien tersebut sebesar

0.9560 kali

Page 99: Jurnal Emasains No 1

4. Pengujian Asumsi Proportional Hazard Model Regresi Cox dengan Time-Dependent

Variable

Hasil uji asumsi proportional hazard setelah penambahan time-dependent variable dapat

dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Grafik Log {-log[S(t, X)]} terhadap waktu survival

Dari Gambar 5 pada variabel macstat dapat dilihat dengan jelas adanya perbedaan antara

kategori pasien yang terjangkit penyakit mac atau tidak terjangkit penyakit mac pada semua

selang waktu t (tidak bersilangan), sehingga asumsi proportional hazard pada varaibel macstat

ini terpenuhi dan model yang dihasilkan layak.

5. Pemeriksaan Kesesuaian Model

Langkah selanjutnya ialah pemeriksaan kesesuaian model. Pemeriksaan kesesuaian model

dilakukan menggunakan sisaan Cox-Snell dengan melihat plot antara Log dari sisaan Cox-Snell

terhadap Log Cumulative Hazard seperti pada Gambar 6.

Page 100: Jurnal Emasains No 1

Gambar 6. Plot Log Sisaan Cox-Snell terhadap Log Cumulative Hazard

Dari Gambar 6 dapat dilihat bahwa plot antara Log Sisaan Cox-Snell terhadap Log

Cumulative Hazard membentuk garis lurus. Hal ini mengindikasikan bahwa model regresi Cox

dengan time-dependent variable yang dihasilkan sesuai.

Nilai AIC untuk model regresi Cox dan model regresi Cox dengan time-dependent variable

dapat disajikan sebagai berikut :

Tabel 3. Nilai AIC Model Regresi Cox dan dengan time-dependent variable

Model Q2 AIC

Model Regresi Cox 0.8999929 6714.609

Mode Regresi Cox dengan

time-dependent variable 0.8999928 6698.306

Berdasarkan Tabel 3, dapat diketahui nilai AIC untuk model regresi Cox sebesar 6714.609

dan untuk model regresi Cox dengan time-dependent variable sebesar 6698.306. Jika dilihat dari

nilai AIC, model regresi Cox dengan time-dependent variable memiliki nilai AIC terkecil

sehingga dapat dikatakan bahwa model ini lebih baik daripada model regresi Cox.

SIMPULAN DAN SARAN

Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : Adanya nonproportional

hazard pada model regresi Cox dapat diatasi dengan penambahan time-dependent variable. Hal

ini terlihat dari grafik Log {-log[S(t, X)]} terhadap waktu survival pada variabel macstat untuk

model regresi Cox dengan time-dependent variable yang menunjukkan kesejajaran antara dua

kategori pasien sehingga asumsi proportional hazard terpenuhi. Berdasarkan nilai AIC, model

regresi Cox dengan time-dependent variable lebih baik digunakan daripada model regresi Cox

pada data yang tidak memenuhi asumsi proportional hazard.

Pada penelitian selanjutnya dapat dikembangkan :

1. Membentuk model regresi Cox dengan time-dependent variable jika terdapat lebih dari satu

variabel yang tidak memenuhi asumsi proportional hazard.

2. Pembentukan variabel tergantung waktu dapat menggunakan fungsi dari waktu survival yaitu

hasil interaksi antara variabel prediktor dengan waktu survival (X*t) atau dengan log waktu

survival (X*log t).

-8

-7

-6

-5

-4

-3

-2

-1

0

-8 -6 -4 -2 0 2

Log

-Cu

mu

lati

ve h

azar

d o

f R

esi

du

al

Log of Cox-Snell Residual

Page 101: Jurnal Emasains No 1

DAFTAR RUJUKAN

Anderson, P. K. 1982. Testing Goodness of Fit of Cox Regression and Life Model. Biometrics,

38, 67-77.

Ata, Nihal and Sozer, M. Tekin. 2007. Cox Regression Model with Nonproportional Hazard

Applied to Lung Cancer Survival Data. Hacetttepe Journal of Mathematics and Statistics

Volume 36(2), 157-167.

Chan, YH. 2004. Bostatistics 203 : Survival Analysis. Singapore Med J Vol. 45 (6) : 249

Collet, D. 2003. Modelling Survival Data in Medical Research Second Edition. Chapman and

Hall. London.

Cox, D.R. 1972. Regression Model and Life Table (With Discussion). Journal of the Royal

Statistical Society, B, 74, 187 – 220.

Fisher, Lloyd D. and Lin D. Y. 1999. Time-Dependent Covariates in The Cox Proportional

Hazards Regression Model. Department of Biostatistics, University of Washington,

Seaattle, Washington.

Fox, J. 2002. Cox Proportional-Hazard Regression for Survival Data.

Hosmer, DW., Lemeshow, S. 1999. Applied Survival Analysis: Regression Modelling of Time to

Event Data. John Wiley and Son. Canada.

Kleinbaum, D.G. and Klein, M. 2005. Survival Analysis : A Self-Learning Text. Second Edition.

Springer-Verlag. New York.

Klein, P. John and Moeschberger, Melvin L. 2003. Survival analysis Techniques for Censored

and Truncated Data Second Edition. Springer-Verlag. New York.

Kutner, M. H., Machtseim, and J. Neter. 2005. Applied Linier Regression Models. Fourth

Edition. Mc Graw Hill. New York.

Lee, E.T. 1997. Statistical Methods for Survival Data Analysis. Belmont, CA : Wadsworth.

Miller, R. G. 1998. Survival Analysis. John Willey and Sons, New York.

Polanski, J; A. Bak; R. Gieleciak and T. Magdzdiarz. 2004. Self-Organizing Neural Network for

Modelling Robust 3D and 4D QSAR: Application to Dihydofolate Reductase Inhibitors

Shumway, T. 2001. Forecasting bankruptcy more accurately : A simple hazard model, Journal of

Business, 74 (1), pp. 101-124.

Page 102: Jurnal Emasains No 1

Pengetahuan Dan Sikap Kesadaran Terhadap Lingkungan Hidup Mahasiswa Menurut

Bidang Ilmu Yang Ditekuni Di IKIP PGRI BALI

Ni Nyoman Parmithi, I Nengah Suka Widana, I Gusti Ayu Rai.

Dosen Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali.

ABSTRACT

Knowledge and Attitude Toward Environmental Awareness Student In Science Field that

Occupied In IKIP PGRI Bali.

The issue of environmental crisis since the last ten years is very tight exhaled by all

people around the world. There are gaps in the environmental assessment that is less deep aspect

of the role and place of humanity. Purpose of the study to determine the level of knowledge and

attitudes toward environmental awareness, and to obtain a description of the significant influence

of the occupied areas of science (science and social studies). To achieve these objectives the

research done by taking the population of research students IKIP PGRI Bali Year 2012-2013

with a sample size of 329 by random sampling technique proporsionate. Data were analyzed

descriptively to get an idea of the level of knowledge and attitudes towards environmental

awareness and the t-test to obtain a picture of the influence of the occupied areas of science

(science and social studies) in IKIP PGRI Bali. Findings made by the knowledge and attitudes

toward nature and environmental awareness in the student life IKIP PGRI Bali Year 2011-2012

categorized very good (Score 91.22). Clumps of the occupied areas of science (the science and

social studies) did not affect the appreciation of students IKIP Bali PGRI academic year 2011-

2012 in terms of knowledge and attitudes to nature and environmental awareness.

Key words: Knowledge, attitudes, awareness, the natural environment.

PENDAHULUAN

Peranan dan kedudukan manusia sangat penting dalam pengembangan lingkungan hidup.

Pengembangan lingkungan hidup terutama ditujukan agar lingkungan tempat hidup manusia

(sebagai sumber daya pendukung kehidupannya) terjaga dan lestari. Misalnya sebagai sumber

bahan bakar, sumber makanan (nutrisi), sumber oksigen, dan yang terpenting adalah sebagai

wahana melakukan aktivitas kehidupan manusia. Emil Salim (1983) menyatakan meskipun

peranan manusia sangat penting dalam pengembangan lingkungan hidup, namun terdapat

kesenjangan dimana perpustakaan ataupun pengetahuan yang mengkaji lingkungan hidup kurang

mendalami aspek peranan dan kedudukan manusia. Pembahasan dan pengkajian lingkungan

hidup saat ini lebih banyak menyangkut segi di luar manusia, misalnya erosi tanah, gundulnya

hutan, punahnya satwa, pencemaran laut, pemanasan global, menipisnya atau melebarnya lubang

ozon (O3), dan lainnya. Manusia tidak menjadi fokus sentral dalam analisis, tatapi hanya bagian

dari unsur analisis yang titik beratnya diletakkan pada penyelamatan tanah dari bahaya erosi,

penghijauan hutan, perlindungan satwa, pembersihan laut dari sampah organik maupun

anorganik. Banyak artikel, buku telah ditulis tentang metode serta teknik dalam memperbaiki

lingkungan hidup, tetapi mengabaikan manusia sebagai faktor penentu pengembangan

lingkungan. Beberapa penyebab mungkin karena lambanya (inertia) Ilmu Lingkungan Hidup

menyesuaikan diri dengan keadaan perubahan dan perkembangan global saat ini. Di Indonesia

pada umumnya, hutan dianggap sebagai tempat yang dihuni mahkluk gaib yang menjaga hutan

sehingga diangkerkan, demikian juga sumber mata air, sering disucikan. Hal tersebut diterima

oleh masyarakat tanpa mendalami musababnya. Namun masuk akal jika dikaji secara rasional

Page 103: Jurnal Emasains No 1

bahwa hutan yang diangkerkan dan sumber mata air disucikan adalah sangat vital dijaga

kelestariannya untuk memelihara keseimbangan lingkungan. Namun kemajuan teknologi

menyebabkan kehidupan manusia berubah secara total, dalam hal peningkatan kemampuan

bertahan hidup (survival of life) karena kemajuan bidang kesehatan, mendorong hasrat

berkembang biak dan mempertahankan diri sehingga pertambahan jumlah penduduk tidak dapat

dielakkan. Sikap pasrah menjadi sikap mengendalikan alam, pola hidup yang semula mengikuti

irama dan hukum alam, kini ditentukan oleh irama dan hukum masyarakat (Emil Salim, 1983).

Tradisi, kebiasaan dan hukum tak tertulis berangsur-angsur didesak oleh hukum tertulis dan cara-

cara (precedent) yang berkembang di masyarakat dalam menghadapi masalah baru. Pertambahan

jumlah penduduk dan ditakutkan oleh hukum Malthus terbukti bisa diatasi berkat ilmu dan

teknologi (Iptek), bahkan kesejahtraan material meningkat sangat tinggi melebihi tingkat

kebutuhan manusia. Prestasi yang dicapai dengan cara mengolah lingkungan menjadi lingkungan

buatan manusia (man-made environment). Tumbuhnya kota, jalan raya, waduk raksasa, hutan

buatan, pulau buatan dimungkinkan berkat kemajuan Iptek. Alfian (1983) penerapan Iptek yang

tidak bertanggungjawab, mengakibatkan rusaknya lingkungan hidup sebagai sumber kehidupan

manusia, alam menjadi tidak ramah lagi, melainkan menjadi lingkungan yang pengap dan tidak

enak untuk didiami. Pengertian mengenai jenis dan nilai setiap sumber daya alam sangat penting

diketahui dan dipahami, karena masing-masing sumber daya alam masing-masing memiliki

karakteristik yang berbeda dalam hubungannya dengan ekosistem dan pembangunan. Sumber

daya alam yang tidak dapat pulih sangat perlu dikelola sehemat dan seefektif mungkin untuk

meningkatkan dan mempertahankan perkembangan ekonomi yang baik secara lestari. Odum

(1969) dalam Haeruman (1983) bahwa pemanfaatan sumber daya alam perlu diperhatikan empat

lingkungan yang saling berkaitan yaitu lingkungan perlindungan yang matang, lingkungan

produksi yang bertumbuh, lingkungan serbaguna, lingkungan pembangunan dan industry.

Keseimbangan antar keempat lingkungan pembangunan tersebut sangat diperlukan bagi

pembangunan ekonomi yang lestari. Pelaku pembangnan dalam pemanfaatan sumber daya alam

adalah manusia, sehingga factor manusia dalam hubungannya dengan pengelolaan sumber daya

alam perlu dikaji secara lebih mendalam dan dikembangkan dalam bentuk system nilai dan sikap

hidup yang mengembalikan keserasian diri manusia dan masyarakat dengan lingkungan alam

dan lingkungan buatan manusia. Selanjutnya mengingat eratnya hubungan antara insan manusia

dan masyarakat baik di lingkungan perkotaan maupun di pedesaan, intelektual (pemikir) maupun

pekerja dengan lingkungan alam, maka perlu adanya pembinaan kesadaran dan pengetahuan

manusia dan masyarakat untuk ikut dalam pengelolaan sumber-sumber daya alam dan

lingkungan agar dapat terjamin kelestariannya dan pemanfaatan yang sebaik-baiknya. Pola sikap

yang seyogyanya dikembangkan pada insan manusia adalah pembentukan sikap berperilaku arif

dan bijaksana dalam pemanfaatan sumber daya alam terutama dalam kehidupan sehari-hari.

Pembentukan sikap yang baik terhadap alam dan lingkungannya harus didahului oleh

pemahaman yang benar tentang alam dan lingkungannya. Hal tersebut secara menyeluruh baik

pemahaman maupun perilaku yang benar terhadap alam dan lingkungan dapat dilakukan melalui

proses pendidikan formal di sekolah, maupun non formal di masyarakat. Berdasarkan hal-hal

tersebut, bahwa pengkajian terhadap manusia sebagai faktor penentu dalam pengelolaan

lingkungan adalah mendesak dilakukan, terutama pembentukan karakter (character building)

insan manusia dalam bagaimana seharusnya memperlakukan alam lingkungan untuk sumber

kehidupannya. IKIP PGRI Bali sebagai lembaga pendidikan pencetak guru, seyogyanya selain

membekali calon lulusannya dengan pengetahuan dan ketrampilan (kompetensi sesuai bidang

studi) juga pengetahuan, pemahaman dan pembentukan sikap yang baik dan seharusnya

Page 104: Jurnal Emasains No 1

diperbuat, terhadap alam lingkungan dijadikan sebagai unsur penting dalam pembentukan

karakter. Selain hal tersebut penanaman konsep karakter pada diri insan manusia (mahasiswa)

belum memadai bila difokuskan hanya pada aspek-aspek hubungan antara manusia dengan

manusia (sosiologis) saja, seperti yang sering peneliti ikuti dalam kesempatan-kesempatan

seminar-seminar, workshop sehubungan pembentukan karakter bangsa. Alam dan lingkungan

tempat mahkluk hidup adalah penyangga kehidupan semua mahkluk hidup, bila alam dan

lingkungan tidak memadai sebagai penyangga kehidupan maka mahkluk hidup akan mengalami

degradasi hingga mengarah pada kelangkaan dan berakhir dengan kepunahan. Oleh hal tersebut

penting dikaji seberapa besar pengetahuan, pemahaman serta perilaku mahasiswa IKIP PGRI

Bali terhadap alam lingkungannya. Hasil penelitian ini sangat berguna sebagai dasar

pertimbangan dalam peninjauan dan penyusunan kurikulum IKIP PGRI Bali yang berwawasan

lingkungan dengan tujuan agar lulusan memiliki karakter bersikap, dan cinta terhadap alam dan

lingkungannya sehingga ke depan lulusan IKIP PGRI Bali memiliki daya saing dan unggul

dalam menyongsong kompetisi era global. Hal tersebut juga sebagai perwujudan visi dan misi

IKIP PGRI Bali. Mengingat pentingnya alam lingkungan sebagai sumber daya kehidupan yang

berperan penting dalam menyangga semua mahkluk hidup di permukaan Bumi, maka alam

lingkungan sangat mendesak untuk dilestarikan. Dalam hal ini, mahasiswa sebagai tulang

punggung bangsa dan agen pembaharuan dijadikan sebagai sebagai pusat kajian, sehingga

masalah yang ingin dipecahkan dalam penelitian adalah seberapa besarkah pengetahuan dan

sikap kesadaran terhadap alam dan lingkungan pada mahasiswa IKIP PGRI Bali Tahun 2011?

Dan apakah kelompok bidang ilmu yang ditekuni (jurusan/program studi dalam kelompok IPA

dan IPS) mempengaruhi apresiasi mahasiswa dalam aspek pengetahuan dan sikap kesadarannya

terhadap alam dan lingkungan hidup? Utuk hal tersebut maka diajukan hipotesis bahwa

pengetahuan dan sikap kesadaran terhadap alam dan lingkungan pada mahasiswa IKIP PGRI

Bali Tahun 2011 lebih tinggi 75% dari yang diharapkan, dan bidang rumpun ilmu yang ditekuni

(kelompok IPA dan IPS) tidak berpengaruh terhadap apresiasi mahasiswa IKIP PGRI Bali Tahun

akademik 2011-2012 dalam aspek pengetahuan dan sikap kesadaran pada alam dan lingkungan.

Tujuan penelitian yang ingin dicapai untuk mengetahui seberapa besar tingkat pengetahuan dan

sikap kesadaran terhadap lingkungan hidup pada mahasiswa IKIP PGRI Bali Tahun Akademik

2011-2012, dan ingin memperoleh deskripsi signifikan tentang pengaruh bidang ilmu yang

ditekuni (jurusan/program studi yang termasuk dalam kelompok IPA dan IPS) terhadap apresiasi

mahasiswa dalam aspek pengetahuan dan sikap kesadarannya terhadap alam dan lingkungannya.

Hasil penelitian yang berupa deskripsi tingkat pengetahuan dan sikap kesadaran terhadap alam

dan lingkungan pada mahasiswa IKIP PGRI Bali, diharapkan dapat bermanfaat, sebagai bahan

pertimbangan dalam pengembangan konsep pembentukan karakter (character building) insan

manusia (mahasiswa) sebagai agen perubahan dalam pengelolaan lingkungan. Oleh karena aspek

karakter tidak hanya meliputi hubungan antar manusia dalam konteks sosial, tetapi seyogyanya

menyeluruh (holistic) yang juga menyangkut hubungan manusia dengan alam lingkungannya,

dan bermanfaat sebagai bahan pertimbangan dalam pengembangan IKIP PGRI Bali.

METODE PENELITIAN

Ditinjau dari tingkat eksplanasinya maka penelitian tentang pengetahuan dan sikap

kesadaran terhadap lingkungan hidup mahasiswa menurut bidang ilmu yang ditekuni di IKIP

PGRI Bali, adalah penelitian deskriptif yaitu dengan melakukan survey terhadap gejala yang

sedang berlangsung tanpa melakukan pengendalian.

Page 105: Jurnal Emasains No 1

Penelitian dilakukan di IKIP PGRI Bali tersebar pada 5 Fakultas dengan 9 jurusan,

jumlah populasi 6000 mahasiswa. Oleh karena pada fakultas-fakultas tersebut dikelompokkan

menjadi 2 bidang kajian yaitu bidang kependidikan (jurusan/program studi) bidang Ilmu

Pengetahuan Sosial (IPS) dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), maka kedua bidang tersebut

dijadikan variabel bebas dalam kajian tentang pengetahuan dan sikapnya terhadap alam dan

lingkungannya. Sedangkan penelitian dilakukan selama sekitar tiga bulan yaitu sejak Pebruari

sampai dengan April 2012. Sampel penelitian ditetapkan dengan menggunakan formulasi yang

dikemukakan oleh Isaac dan Michael dalam Sugiyono (2009): dalam tingkat

kesalahan (s) 5% maka akan ditetapkan sampel sejumlah 329 mahasiswa, dengan menggunakan

teknik proporsionate random sampling. Rincian sebaran sampel pada tiap jurusan disajikan pada

tabel berikut.

Tabel 1. Rincian Sampel Penelitian No Fakultas Jumlah Mahasiswa Jumlah Sampel Proporsional 1 FIP 600 32,90 2 FPBS 2000 109,67 3 FPIPS 500 27,29 4 FPOK 2000 109,67 5 FPMIPA 900 49,35

Jumlah 328,88 (dibulatkan 329)

Penetapan sampel random dimaksudkan agar semua anggota populasi memiliki

kesempatan yang sama terpilih menjadi anggota sampel. Sumber data adalah seluruh mahasiswa

IKIP PGRI Bali, jenis data yang dikumpulkan berupa bidang ilmu yang ditekuni dan

pengetahuan dan sikap kesadaran terhadap lingkungan hidup. Jenis data tersebut digolongkan

sebagai data kuantitatif, dan bersifat primer. Instrumen pengumpul data Pengetahuan dan sikap

yang berupa kuesioner pengetahuan dan sikap kesadaran terhadap lingkungan hidup. Sebelum

instrumen tersebut digunakan untuk mengumpulkan data, dilakukan uji validitas isi dengan

teknik uji validitas konstrak (construct validity) oleh para pakar/ahli serta menguji daya beda

dengan t-test. Sedangkan reliabilitas diuji teknik belah dua dari Spearman Brown (split half).

HASIL DAN PEBAHASAN

Penggalian data penelitian yang dilaksanakan melalui penyebaran angket/kuesioner

kepada mahasiswa IKIP PGRI Bali tahun 2012, dari sebanyak 329 sampel mahasiswa meliputi 5

Fakultas (10 Jurusan/Program Studi) yang ada di lingkungan IKIP PGRI Bali. Untuk mengetahui

sebaran data, dilakukan langkah (a) menentukan skor terbesar dan terkecil. Skor terbesar = 66

dan skor terkecil = 41.(b) Menentukan rantangan (R) = skor terbesar - skor terkecil = 66 – 41 =

25. (c) Menentukan banyaknya kelas (BK) = 1 + 3,3 log n (Rumus Sturgess)= 9,38307 = 9

(pembulatan). (d) Menentukan panjang kelas (i)= 777778,29

25

BK

R= 3 (pembulatan).

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Data Pengetahuan Dan Sikap Kesadaran Terhadap

Alam Dan Lingkungan pada Mahasiswa IKIP PGRI Bali.

No. Kelas Interval Batas

Kelas F Xi Xi

2 F.Xi F.Xi

2

1 41 – 43 40,5 ⁴ 42 1764 84 7056

Page 106: Jurnal Emasains No 1

2 44 - 46 43,5 3 45 2025 135 18225

3 47 – 49 46,5 5 48 2304 240 57600

4 50 – 52 49,5 12 51 2601 612 374544

5 53 – 55 52,5 28 54 2916 1512 2286144

6 56 – 58 55,5 63 57 3249 3591 12895281

7 59 – 61 58,5 79 60 3600 4740 22467600

8 62 – 64 61,5 84 63 3969 5292 28005264

9 65 – 67 64,5 71 66 4356 4686 21958596

JUMLAH 347 20892 88070310

Berdasarkan tabel distribusi frekuensi tersebut, maka dapat dibuat grafik histogram sebagai

berikut.

Gambar 1. Sikap dan Kesadaran

Analisis tingkat pengetahuan dan sikap kesadaran terhadap alam lingkungan, maka data

dikonversi menjadi data kuantitatif dengan rentangan skor 0-4. Kualifikasi nilai: 86-100=sangat

baik; 66-85=baik; 56-65= cukup; 46-55= kurang; 36-45= tidak baik. Berdasarkan pegolahan

data, dapat diketahui bahwa total skor perolehan ∑ F.Xi = 20892, total skor maksimal = 22902.

Dikonversi ke data kuantitatif menggunakan rumus (X= total skor perolehan/skor maksimal x

100) maka diperoleh hasil X= 91,22. Diinterpretasikan bahwa hipotesis yang menyatakan

pengetahuan dan sikap kesadaran terhadap alam dan lingkungan hidup pada mahasiswa IKIP

PGRI Bali Tahun 2011 lebih tinggi 75% dari yang diharapkan, diterima dan dikategorikan

sangat baik perolehan 91,22 (dalam persen 91,22%).

Untuk mendapatkan deskripsi pengetahuan dan sikap kesadaran mahasiswa IKIP PGRI

Bali terhadap alam dan lingkungan dilihat dari bidang ilmu yang ditekuni, maka dipilah skor

pengetahuan dan sikap kesadaran mahasiswa IKIP PGRI Bali terhadap alam dan lingkungan

berdasarkan jurusan pada waktu mengikuti jenjang pendidikan di sekolah menengah atas yaitu

yang berasal dari jurusan IPA dan Jurusan IPS. Sehubungan hal tersebut maka dilakukan analisis

dengan Uji t dua sampel, maka sebelumnya dilakukan uji prasyarat yaitu uji normalitas sebaran

data dengan teknik Kolmogorov-Smirnov berbantuan SPSS 16 for windows terhadap data yang

berasal dari mahasiswa yang mengambil studi pada rumpun IPA dan IPS sebagai berikut. Uji

Normalitas sebaran data sikap dan pengetahuan terhadap lingkungan pada mahasiswa yang

menekuni bidang IPA.

Page 107: Jurnal Emasains No 1

Gambar. 2 Histogram Sebaran Data Sikap Dan Pengetahuan Terhadap Lingkungan Pada

Mahasiswa Yang Menekuni Bidang IPA.

Tabel 3 Hasil Uji Normalitas Data untuk Jurusan IPA

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic Df Sig.

SIKAP .123 216 .000 .839 216 .000

a. Lilliefors Significance Correction

Pengujian normalitas data dengan SPSS pada tarif signifikansi 5 %, diketahui bahwa bilangan

signifikansi (sig) lebih kecil daripada taraf signifikansi a, maka dapat dikatakan bahwa hipotesis

nol ditolak dan hipotesis 1 diterima sehingga data sampel berasal dari populasi yang bedistribusi

tidak normal.

Uji Normalitas sebaran data pengetahuan dan sikap kesadaran terhadap alam dan

lingkungan pada mahasiswa yang menekuni bidang IPS, aka diajukan hipotesis berikut (H0)

bahwa data sampel berasal dari populasi normal, sedangkan (H1) adalah data sampel tidak

berasal dari data yang berdistribusi normal. Berdasarkan hasil uji prasyarat Uji Normalitas

sebaran data pengetahuan dan sikap kesadaran terhadap alam dan lingkungan pada mahasiswa

yang menekuni bidang IPS diperoleh sebaran data seperti pada grafik histogram berikut ini.

Page 108: Jurnal Emasains No 1

Gambar 4.

Histogram Sebaran Data pada mahasiswa yang menekuni bidang IPS

Berdasarkan hal tersebut, diperoleh keluaran data sebagai berikut.

Tabel 4. Hasil Tes Normalitas sebaran data mahasiswa yang menekuni bidang IPS Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic Df Sig.

SIKAP .109 133 .001 .903 133 .000

a. Lilliefors Significance Correction

Pengujian normalitas data dengan SPSS tersebut pada tarif signifikansi 5 persen, dapat

diketahui bahwa bilangan signifikansi (sig) lebih kecil daripada taraf signifikansi a, maka dapat

dikatakan bahwa hipotesis nol ditolak dan hipotesis 1 diterima sehingga data sampel berasal dari

populasi yang bedistribusi tidak normal. Walaupun data tidak berdistribusi normal, namun

analisis tetap dilanjutkan untuk mengetahui tingkat perbedaan pengetahuan dan sikap kesadaran

terhadap alam dan lingkungan dikalangan mahasiswa IKIP PGRI Bali antara yang berasal dari

rumpun ilmu IPA dengan IPS. Analisis dilakukan dengan Uji-t berbantuan SPSS 16 For

Windows. Maka diperoleh keluaran sebagai berikut.

Tabel 5. Hasil Analisis Data Spss Untuk Pengujian Perbedaan Bidang Ilmu Yang

Ditekuni Terhadap Sikap Dan Kesadaran Mahasiswa.

Group Statistics

grup N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

SIKAP 1 133 59.9699 4.89889 .42479

2 216 60.0972 5.09033 .34635

Page 109: Jurnal Emasains No 1

Independent Samples Test

Levene's Test for

Equality of

Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t Df

Sig. (2-

tailed)

Mean

Difference

Std. Error

Difference

95% Confidence

Interval of the

Difference

Lower Upper

SIKAP Equal

variances

assumed

.028 .867 -.230 347 .818 -.12730 .55312 -1.21519 .96060

Equal

variances

not assumed

-.232 287.764 .817 -.12730 .54809 -1.20607 .95148

Hasil pada tabel di atas, menunjukkan bahwa hasil pengujian homogenitas data dengan

uji Lavene mendapatkan koefisien F sebesar 0,028 dengan signifikansi (sig.) sebesar 0,867.

Dalam taraf signifikansi 0,05, maka sig lebih besar. Artinya, data dari kedua sampel Homogen.

Selanjutnya, hasil uji t mendapatkan t hitung sebesar – 0,230 dengan taraf signifikansi sama

dengan 0,818. Dalam taraf signifikansi 0,05, maka nilai signifikansi (0,818) jauh lebih besar

daripada a. Dengan demikian dapat diinterpretasikan bahwa Hipotesis yang diajukan yang

menyatakan bahwa Bidang rumpun ilmu yang ditekuni (kelompok IPA dan IPS) tidak

berpengaruh terhadap apresiasi mahasiswa IKIP PGRI Bali Tahun akademik 2011-2012 dalam

aspek pengetahuan dan sikap kesadaran pada alam dan lingkungan.

Pembahasan

Temuan yang didasarkan analisis deskriptif diperoleh nilai X sebesar 91.22 yang cukup

signifikan menerima hipotesis yang diajukan yang menyatakan bahwa pengetahuan dan sikap

kesadaran terhadap alam dan lingkungan pada mahasiswa IKIP PGRI Bali Tahun 2011 lebih

tinggi 75% dari yang diharapkan. Perolehan nilai X sebesar 91,22 (jika dalam persen diperoleh

angka 91,22%) dikategorikan sangat baik. Secara teoretis fakta tersebut jika diorientasikan

dengan landasan teoretis dan fakta yang terjadi pada mahasiswa yang mengambil studi di IKIP

PGRI Bali, walaupun para mahasiswa tersebut menempuh studi di jurusan-jurusan yang

termasuk rumpun IPA dan IPS, namun secara kurikuler dan ekstrakurikuler telah bermuatan

kompetensi pengetahuan dan kesadaran terhadap alam dan lingkungan. Pengetahuan dan sikap

kesadarannya terhadap alam dan lingkungan hidup sangat perlu lebih diintensifkan mengingat

prinsip-prinsip solideritas kosmis yang dikemukakan oleh Samderubun (2006) bahwa prinsip

solidaritas kosmis mendorong manusia untuk menyelamatkan lingkungan, menyelamatkan

semua kehidupan di alam ini karena alam dan semua kehidupan di dalamnya mempunyai nilai

yang sama dengan kehidupan manusia. Solidaritas kosmis juga mencegah manusia untuk tidak

merusak dan mencemari alam dan seluruh kehidupan di dalamnya. Solidaritas kosmis berfungsi

sebagai pengendali moral. Mengutip pendapat Emil Salim (1983) bahwa meskipun peranan

manusia sangat penting dalam pengembangan lingkungan hidup, namun terdapat kesenjangan

dimana pengkajian lingkungan hidup kurang mendalami aspek peranan dan kedudukan manusia.

Pembahasan dan pengkajian lingkungan hidup saat ini lebih banyak menyangkut segi-segi di luar

manusia, misalnya masalah erosi tanah, gundulnya hutan, punahnya satwa, pencemaran laut,

Page 110: Jurnal Emasains No 1

pemanasan global, menipisnya atau melebarnya lubang ozon (O3), dan lainnya. Manusia tidak

menjadi fokus sentral dalam analisis, tatapi hanya sebagai bagian dari unsur analisis yang titik

beratnya diletakkan pada penyelamatan tanah dari bahaya erosi, penghijauan hutan, perlindungan

satwa, pembersihan laut dari sampah-sampah baik organik maupun anorganik. Sejalan dengan

pemikiran Emil Salim tersebut seharusnya dilakukan kajian yang intensif menyangkut aspek

manusia dan kemanusiaannya. Mengubah paradigma dan cara bersikap dan memperlakukan

alam dan lingkungan hidup secara lebih arif dan bijak dan adanya solideritas kosmis sebagai

pengendali moral dalam memperlakukan (eksploitasi) alam dan lingkungan hidup.

Temuan kedua dari penelitian ini adalah bahwa bidang rumpun ilmu yang ditekuni

(kelompok IPA dan IPS) tidak berpengaruh terhadap apresiasi mahasiswa IKIP PGRI Bali Tahun

akademik 2011-2012 dalam aspek pengetahuan dan sikap kesadaran pada alam dan lingkungan.

Temuan tersebut menjadikan bukti bahwa kurikulum yang diberlakukan di IKIP PGRI Bali pada

semua jurusan/program studi telah mengandung unsur-unsur yang memadai sehubungan dengan

kompetensi pengetahuan dan sikap kesadaran terhadap alam dan lingkungan hidup. Namun

sangat perlu dilakukan kajian secara lebih mendalam perihal temuan ini, apakah semata

disebabkan oleh karena kompetensi pengetahuan dan sikap kesadarannya terhadap alam dan

lingkungan hidup telah termuat kurikulum ataukah disebabkan oleh faktor aktivitas

ekstrakurikuler melalui wadah UKM Mapala di BEM masing-masing Fakultas. Mengutip pidato

Sri Sultan Hamengkubuwono X saat menjadi pembicara kunci dalam konggres Pendidikan,

Pengajaran dan Kebudayaan bertema "Pembangunan Karakter Bangsa Melalui Pendidikan,

Pengajaran, dan Kebudayaan Dalam Menghadapi Globalisasi". Selanjutnya bahwa pendidikan

dan pengajaran merupakan dua proses satu nafas, memiliki keterkaitan yang berbeda kadarnya

dengan kebudayaan. Pendidikan memerdekakan nurani, pengajaran memerdekakan pikiran

(Agung, 2008). Dalam hubungan pembangunan karakter semestinya juga memuat aspek-aspek

hubungan manusia dengan alam lingkungannya bukan hanya hubungan antar manusia

(humaniora) sehingga menjadi menyeluruh dan terpadu (holistic). Mondo (2011) menyatakan

bahwa kaum muda, sebagai agent of change tentunya mengkretisi anggapan manakah yang

merupakan penyebab terjadinya permasalahan lingkungan? Sebagai Mahasiswa (seorang muda)

yang bijaksana dengan latar belakang pengetahuan dan wawasan memadai, hendaknya tidak

menghakimi penyebab dari permasalahan lingkungan ini. Kemajuan teknologi membantu

peningkatan kesejahteraan dan produktivitas dari manusia. Proses pembangunan sangat

diperlukan bagi suatu negara yang sedang berkembang. Alam sengaja diciptakan Tuhan untuk

memenuhi kebutuhan manusia. Penebangan hutan dan pembakaran merupakan hal yang wajar

yang dilakukan seorang petani untuk berladang. Dengan demikian sebagai kaum muda yang arif,

masalahnya bukan untuk mempertanyakan akibat dari adanya teknologi, membangun atau tidak

membangun, membakar hutan atau tidak membakar hutan. Namun yang menjadi perhatian

adalah bagaimana menggunakan teknologi dan melakukan proses pembangunan dengan tidak

merusak lingkungan. Hal tersebut menyiratkan bahwa peranan kaum muda sangat sentral dalam

menjaga alam dan lingkungan agar tetap lestari sehingga memberikan manfaat secara

berkesinambungan.

Page 111: Jurnal Emasains No 1

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan analisis data pengetahuan dan sikap kesadaran terhadap alam dan

lingkungan hidup pada mahasiswa IKIP PGRI Bali Tahun 2011 dan pembahasan, maka

disimpulkan hal-hal sebagai berikut.

a. Pengetahuan dan sikap kesadaran terhadap alam dan lingkungan pada mahasiswa IKIP PGRI

Bali Tahun 2011-2012 dapat dikategorikan sangan baik (Skor 91,22).

b. Bidang rumpun ilmu yang ditekuni (kelompok IPA dan IPS) tidak berpengaruh terhadap

apresiasi mahasiswa IKIP PGRI Bali Tahun akademik 2011-2012 dalam aspek pengetahuan

dan sikap kesadaran pada alam dan lingkungan.

Saran

Mengacu kepada hasil-hasil temuan penelitian ini, beberapa hal yang dapat disarankan

baik bagi kesempurnaan penelitian maupun bagi pengguna (IKIP PGRI Bali) adalah sebagai

berikut:

1. Dalam menghasilkan lulusan yang kompetitif dan unggul sesuai dengan visi yang diusung

oleh IKIP PGRI Bali yaitu unggul dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi yang berlandaskan

Budaya dan Teknologi Informasi, lulusan kompetitif dapat diwujudkan melalui kurikulum

yang bermuatan karakter. Karakter yang dimaksud seyogyanya bersifat menyeluruh (holistik)

memuat aspek hubungan harmonis antar manusia dan hubungan manusia dengan alam

lingkungannya.

2. Pengatahuan dan sikap kesadaran terhadap alam dan lingkungan hidup di kalangan mahasiswa

IKIP PGRI Bali sangat perlu dioptimal dan ditingkatkan melalui kegiatan-kegiatan baik

kurikulerbdan ekstrakurikuler, sehingga menjadikan karakter unggul bagi lulusan IKIP PGRI

Bali yang membedakan dengan lulusan LPTK lainnya.

3. Bagi pembaca diharapkan masukan dan sarannya sehingga laporan hasil penelitian ini

menjadi lebih baik.

DAFTAR RUJUKAN Agung, 2008, Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan

Sumber;file:///E:/laporan PENELITIAN SIKAP-LINGK/membangun karakter bangsa

melalui pendidikan dan pengajaran”.htm. Diunduh pada 1-8-2012.

Ahmadi, A., A., Supatmo.1998. Ilmu Alamiah Dasar. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Alfian, 1983, Manusia dalam Berbagai Kelompok Sosial dengan Lingkungannya. dalam

Soerjani, M., dan Samad B.(Editor), Manusia Dalam Keserasian Lingkungan, Jakarta:

Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Anonimous, 2005, Pedoman Studi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) PGRI Bali,

Denpasar: IKIP PGRI Bali.

Emil Salim, 1983, Manusia dan Lingkungan, dalam Soerjani, M., dan Samad B.(Editor),

Manusia Dalam Keserasian Lingkungan, Jakarta: Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas

Indonesia.

Fandi, L., 2011, Tindakan Manusia dalam Memperlakukan Alam, Sumber:. file:///E:/laporan

PENELITIAN SIKAP-LINGK/”Manusia sebagai Pelaku Utama bagi Perubahan

Alam”.htm. Diunduh pada 30 Juli 2012.

Page 112: Jurnal Emasains No 1

Gandadiputra, M. 1983, Pribadi Manusia dalam Lingkungan, dalam Soerjani, M., dan Samad

B.(Editor), Manusia Dalam Keserasian Lingkungan, Jakarta: Penerbit Fakultas Ekonomi

Universitas Indonesia

Haeruman, H. Pengelolaan Sumber daya Alam dan Lingkungan Hidup dalam Usaha

Pengingkatan Kualitas Hidup Jangka Panjang dalam Soerjani, M., dan Samad B.(Editor),

Manusia Dalam Keserasian Lingkungan, Jakarta: Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas

Indonesia.

Marjono, M. 1983, Pembinaan Kepribadian yang Kuat dengan Keahlian yang tinggi dan yang

menyatu dengan hakikat Kerakyatan dalam Soerjani, M., dan Samad B.(Editor), Manusia

Dalam Keserasian Lingkungan, Jakarta: Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Maskuri, J. 1999. Ilmu Alamiah Dasar. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Mondo, Y. 2011, Budayakan Sikap Ramah Lingkungan, sumber: file:///E:/laporan PENELITIAN

SIKAP-LINGK/”Budayakan Sikap Ramah Lingkungan”.htm. Diunduh pada 30 Juli 2012

Poedjawijatna, I.R. 1983. Manusia dengan Alamnya (Filsafat Manusia). Jakarta: Penerbit-PT

Bina Aksara.

Saifuddin, A. 1988. Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: penerbit Liberty.

Samderubun, G., 2006. Manusia Dan Tanggung Jawab Terhadap Krisis Ekologi. Sumber:

J:\laporan PENELITIAN SIKAP-LINGK\tanggungjawab manusia thd lingkungannya.html

Diunduh pada 30 Juli 2012. Sugiyono, 2006. Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: Alfabeta.

Suhartin. R.I.C. 1984. Cara Mendidik Anak Dalam Keluarga Masa Kini. Jakarta: Penerbit Bhrata

Karya Aksara.

Sumantri, M. dan N. Syaodih. 2007. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Penerbit Universitas

Terbuka Departemen Pendidikan Nasional.

Suparlan, P., 1983, Manusia, Kebudayaan, Dan Lingkungannya: Perspektif Antropologi Budaya

dalam Soerjani, M., dan Samad B.(Editor), Manusia Dalam Keserasian Lingkungan,

Jakarta: Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Supartono, W. dkk. 1999. Ilmu Alamiah Dasar. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia.

Suwasono, H., Sutiman, BS., Sardjono,S., 1989, Pengantar Ekologi, Jakarta: Rajawali Pers,

diterbitkan dalam rangka Penulisan Bersama Paket Biologi antar Hub-AAUCS.

Tambunan, N.R.. 1992. Kuis Remaja. Jakarta: Penerbit ARCAN.

Wawan, A dan Dewi, M., 2010. Teori dan Pengukuran Pengetahuan, Sikap dan Perilaku

Manusia, Yogyakarta: Nuha Medika.

Page 113: Jurnal Emasains No 1

Pengaruh Penerapan Senam Otak (Brain Gym) Terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Peserta

Didik Kelas VII SMP Negeri 1 Marga

I Wayan Eka Mahendra

Jurusan Pendidikan Matematika IKIP PGRI Bali

ABSTRACT

The Effect Of Contextual Problem Based Learning Application Towards The S1 Students’

Mathematics Learning Achievement Of Pgsd Upp Denpasar In Academic Year 2011/2012

This research aimed at finding out the effect of contextual problem based learning application

towards the S1 students’ mathematics learning of PGSD UPP Denpasar in academic year 2011/2012. The

subjects of this study were the fifth semester of S1 students in PGSD UPP Denpasar which consisted of

253 students. The selections of this subject based of the random sampling technique that was a class

random only. This research was an experimental research which obtained the post test only control group

design. The design of this study analyzed the score of post test from the control group.

The result of the t-test analysis showed that t-observation of 6,48 and t-table 1,98 which were

significant. Therefore, based on the result of this study, it could be concluded that there was significant

effect in the problem based learning application towards the s1 students’ mathematics learning

achievement of PGSD UPP Denpasar in academic year 2011/2012.

Key words: Contextual Problem-Based-Learning, Mathematic learning Achievement

PENDAHULUAN

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan semua pihak dapat memperoleh

informasi dengan melimpah, cepat dan mudah melalui berbagai sumber dan tempat di dunia ini. Dengan

demikian, peserta didik perlu memiliki kemampuan memperoleh, memilih dan mengolah informasi untuk

bertahan pada keadaan yang selalu berubah dan penuh dengan persaingan. Kemampuan untuk

memperoleh, memilih dan mengolah informasi membutuhkan pemikiran kritis, sistematis, logis, kreatif

dan kemauan bekerja sama yang efektif. Cara berpikir seperti ini dapat dikembangkan dengan belajar

matematika, karena matematika memiliki struktur dan keterkaitan yang kuat dan jelas antar konsepnya

sehingga memungkinkan peserta didik terampil berpikir rasional (Depdiknas, 2005).

Namun, matematika sering dianggap sebagai ilmu yang hanya menekankan pada kemampuan

berpikir logis dengan penyelesaian yang tunggal dan pasti. Hal ini yang menyebabkan matematika

menjadi mata pelajaran yang ditakuti dan dijauhi peserta didik. Tentunya hal ini akan berpengaruh pada

hasil belajar peserta didik. Di mana hasil belajar merupakan hasil akhir dari proses belajar yang berupa

pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang tergolong dalam perubahan tingkah laku dalam kawasan

kognitif, afektif, psikomotorik. Salah satu alat ukur hasil belajar adalah dari kemampuan kognitifnya.

Page 114: Jurnal Emasains No 1

Ranah kognitif menunjukkan pada tujuan pendidikan yang terarah pada kemampuan-kemampuan

intelektual, kemampuan berpikir dan kecerdasan yang dicapai. Menurut Iskandar (2009) kemampuan

berpikir adalah berkaitan dengan seorang individu dalam menggunakan kedua domain kognitif dan afektif

dalam usaha untuk mendapatkan atau memberikan informasi, menyelesaikan masalah atau membuat

keputusan.

Dalam pelajaran matematika selama ini di sekolah, peserta didik jarang diberi kesempatan untuk

mengembangkan kemampuan berpikirnya, terutama berpikir kreatif. Fokus dan perhatian pada upaya

meningkatkan kemampuan berpikir kreatif dalam matematika juga jarang atau tidak pernah

dikembangkan. Padahal kemampuan itu yang sangat diperlukan agar peserta didik dapat memiliki

kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan

yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif. Terampilan berpikir kreatif merupakan salah satu

kompetensi yang sangat penting dalam membangun pilar belajar yang bernilai untuk membangun daya

kompetisi bangsa dalam meningkatkan mutu produk pendidikan. Kemampuan berpikir kreatif merupakan

kecakapan mengolah pikiran untuk menghasilkan ide-ide baru agar produk bangsa kita tidak kalah oleh

produk bangsa lain.

Para ahli kependidikan telah menyadari bahwa mutu pendidikan sangat tergantung pada kualitas

guru dan praktek pembelajaran, sehingga peningkatan pembelajaran merupakan isu yang sangat mendasar

bagi peningkatan mutu pendidikan secara nasional. Peningkatan mutu pendidikan dan pengajaran harus

selalu diupayakan dan dilaksanakan dengan cara meningkatkan kualitas pembelajaran. Melalui

peningkatan kualitas pembelajaran maka peserta didik akan semakin termotivasi untuk belajar, semakin

bertambah pengetahuan dan ketrampilannya, serta semakin mantap pemahamannya terhadap materi yang

dikuasai sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif peserta didik.

Kemampuan berpikir peserta didik sangat erat kaitannya dengan kemampuan otaknya. Dalam

proses belajar mengajar guru perlu membantu mengaktifkan peserta didik untuk memaksimalkan kinerja

otak peserta didik agar kemampuan berpikirnya juga semakin meningkat, dan kurikulum saat ini telah

mengarah kepada pemikiran peserta didik yang bersifat pengoptimalan fungsi otak. Dengan bekerjanya

otak secara maksimal, maka akan semakin meningkat pula kemampuan berpikir kreatif peserta didik.

Suatu strategi yang dapat digunakan sebagai alternatif untuk meningkatkan konsentrasi peserta didik

dalam belajar, yang selanjutnya diharapkan dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif peserta didik

adalah Brain Gym (senam otak).

Gerakan-gerakan sederhana dalam Brain Gym disinyalir dapat membantu peserta didik untuk

memaksimalkan kinerja otak mereka, dapat meningkatkan konsentrasi peserta didik saat pembelajaran

berlangsung, mengurangi stres bagi peserta didik yang mengalami kesulitan belajar, menguatkan

mekanisme integrasi otak yang melemah, menajamkan penerimaan informasi yang diterima di otak

bagian belakang yang sulit diekspresikan sehingga peserta didik minat belajar. Brain gym didasarkan pada

tiga pokok yang sederhana yaitu; 1) belajar adalah kegiatan yang alami dan menyenangkan yang terus

terjadi sepanjang hidup, 2) kesulitan belajar adalah ketidakmampuan mengatasi stres dan keraguan dalam

menghadapi suatu tugas yang baru, dan 3) kita semua mengalami “kesulitan belajar” selama kita telah

belajar untuk tidak bergerak.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “pengaruh

penerapan senam otak (brain gym) terhadap kemampuan berpikir kreatif peserta didik kelas VII SMP N 1

Marga”. Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapat dikemukakan rumusan masalah, yaitu apakah

ada pengaruh penerapan senam otak (brain gym) terhadap kemampuan berpikir kreatif peserta didik kelas

Page 115: Jurnal Emasains No 1

VII SMP N 1 marga? Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penerapan senam otak (brain

gym) terhadap kemampuan berpikir kreatif peserta didik kelas VII SMP N 1 marga.

Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan kepada dunia pendidikan, terutama dalam hal

cara berpikir. Ketika seorang guru bisa mengetahui atau memahami cara berpikir peserta didik, maka

akan lebih mudah memberikan pendidikan kepada peserta didik tersebut, tetapi sebaliknya jika seorang

guru tidak bisa memahami apa yang dipikirkan oleh peserta didiknya, maka pendidikan tersebut kurang

bisa optimal. Hasil penelitian ini juga dapat dipergunakan sebagai salah satu alternatif guru untuk

meningkatkan kemampuan berpikir kreatif peserta didik.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen semu (quasy exsperiment) dengan menggunakan

non-eqivalent control group design. Populasi penelitian ini adalah seluruh peserta didik kelas VII SMP

Negeri 1 Marga yang terdistribusi menjadi delapan kelas pada tahun ajaran 2012/2013. Pengambilan

sampel dilakukan melalui dua tahap. Pada tahap pertama dipilih dua kelas secara random, dan hasilnya

terpilih kelas VIIB dan VIIF. Pada tahap kedua, kedua kelas tersebut dipilah menjadi dua, yaitu kelompok

eksperimen (VIIF) dan kelompok kontrol (VIIB). Sebagai variabel bebas adalah senam otak (Bryn Gym)

dan variabel terikat adalah kemampua berpikir kreatif. Dalam penelitian ini mengkaji tentang pengaruh

penerapan senam otak kemampuan berpikir kreatif. Untuk itu, instrumen yang digunakan dalam

penelitian ini instrumen kemampuan berpikir kreatif.

Dalam penelitian ini dikaji adalah terdapat perbedaan kemampuan berpikir kreatif antara peserta

didik yang diberikan senam otak dengan peserta didik yang tidak diberikan senam otak. Hipotesis terbut

dianalisi dengan menggunakan statistik infrensial yaitu, uji beda mean (uji-t)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil analisis data terbukti bahwa terdapat perbedaan kemampuan berpikir kreatif

antara peserta didik yang mengikuti pembelajaran dengan senam otak (Bryn Gym) dan peserta didik yang

mengikuti pembelajaran tanpa senam otak (Bryn Gym). Hal ini ditunjukkan dari hasil uji-t yang ternyata

signifikan. Selanjutnya terbukti bahwa kemampuan berpikir kreatif peserta didik yang diberikan senam

otak (Bryn Gym) memiliki skor rata-rata sebesar 75,61 lebih tinggi daripada hasil belajar matematika

peserta didik yang tidak diberikan senam otak (Bryn Gym) dengan skor rata-rata sebesar 57,43. Jadi

dalam perbandingan antara peserta didik yang diberikan senam otak (Bryn Gym) dengan peserta didik

yang tidak diberikan senam otak (Bryn Gym), terdapat pengaruh penerapan senam otak (Bryn Gym)

terhadap kemampuan berpikir kreatif. Dengan kata lain, ada perbedaan pengaruh antara peserta didik

yang diberikan senam otak (Bryn Gym) dengan peserta didik yang tidak diberikan senam otak (Bryn

Gym).

Terampilan berpikir kreatif merupakan salah satu kompetensi yang sangat penting dalam

membangun pilar belajar yang bernilai untuk membangun daya kompetisi bangsa dalam meningkatkan

mutu produk pendidikan. Kemampuan berpikir kreatif merupakan kecakapan mengolah pikiran untuk

menghasilkan ide-ide baru agar produk bangsa kita tidak kalah oleh produk bangsa lain. Peserta didik

yang kreatif adalah peserta didik yang selalu bertanya. Mereka membedahkan serangkaian pertanyaan

yang mereka rumuskan sehingga mendapatkan aneka gagasan baru. Di balik pertanyaan terbentang luas

hamparan gagasan kreatif yang menunggu untuk diekspresikan. Tugas utama guru dalam mengelola

pembelajaran untuk mengasah keterampilan peserta didik berpikir kreatif mencakup peningkatan

keterampilan guru dalam merancang skenario mengelola kelas, merancang perencanaan pembelajaran

Page 116: Jurnal Emasains No 1

melalui perumusan RPP, menerapkan rencana pembelajaran dalam kegiatan belajar peserta didik, menilai

proses dan hasil belajar, dan mengevaluasi pembelajaran.

Lebih lanjut LTSIN (2001) menyatakan bahwa ide seseorang berpikir kretif minimal mempunyai

salah satu karakteristik dari: (a) ide itu belum ada sebelumnya; (b) sudah ada di tempat lain hanya saja ia

tidak tahu; (c) ia menemukan proses baru untuk melakukan sesuatu; (d) ia menerapkan proses yang sudah

ada pada area yang berbeda; (e) ia mengembangkan sebuah cara untuk melihat sesuatu pada perspektif

yang berbeda. Dari lima karakteristik diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa berpikir kreatif dapat

berupa ide baru yang belum ada sebelumnya dan dapat berupa ide baru sebagai penyempurnaan dari yang

sudah ada sebelumnya.

Kemampuan berpikir peserta didik sangat erat kaitannya dengan kemampuan otaknya. Dalam

proses belajar mengajar guru perlu membantu mengaktifkan peserta didik untuk memaksimalkan kinerja

otak peserta didik agar kemampuan berpikirnya juga semakin meningkat, dan kurikulum saat ini telah

mengarah kepada pemikiran peserta didik yang bersifat pengoptimalan fungsi otak. Dengan bekerjanya

otak secara maksimal, maka akan semakin meningkat pula kemampuan berpikir kreatif peserta didik.

Suatu strategi yang dapat digunakan sebagai alternatif untuk meningkatkan konsentrasi peserta didik

dalam belajar, yang selanjutnya diharapkan dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif peserta didik

adalah senam otak (Brain Gym). Adanya keterkaitan antara kemampuan berpikir kreatif dengan

kemampuan otak peserta didik, maka wajar senam otak mampu meningkatkan kemampuan berpikir

kreatif, karena senam otak sekaligus dapat meningkatkan kemampuan otak peserta didik. Penelitian ini

sejalan dengan penelitian Sawitri (2011) yang menunjukkan bahwa senam otak dapat meningkatakan

prestasi belajar matematika siswa.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis tersebut, maka dalam penelitian ini diperoleh simpulan

sebagai berikut. Penelitian ini menemukan bahwa kemampuan berpikir kreatif peserta didik yang

mengikuti pembelajaran dengan senam otak (Brain Gym) berbeda secara signifikan dengan kemampuan

berpikir kreatif peserta didik yang mengikuti pembelajaran tanpa senam otak (Brain Gym). Lebih jauh

dapat dilihat dari rata-ratanya bahwa kemampuan berpikir kreatif peserta didik yang mengikuti

pembelajaran dengan senam otak (Brain Gym) lebih baik daripada kemampuan berpikir kreatif peserta

didik yang mengikuti pembelajaran tanpa senam otak (Brain Gym).

Berkenaan dengan hasil penelitian yang diperoleh maka beberapa saran yang dapat diajukan

adalah sebagai berikut. 1) Senam otak (Brain Gym) perlu dikenalkan lebih lanjut oleh para guru, peserta

didik dan praktisi pendidikan lainnya sebagai salah satu alternatif dalam meningkatkan kemampuan kerja

otak. 2) Penelitian lanjutan yang berkaitan dengan senam otak (Brain Gym) perlu dilakukan dengan

materi-materi matematika yang lain dengan melibatkan sampel yang lebih luas. Di samping itu, variabel

lain seperti: intelegensi, minat, bakat, motivasi, konsep diri yang merupakan bagian yang tidak

terpisahkan dari peserta didik perlu dikaji pengaruhnya.

DAFTAR RUJUKAN

Arends, R.I. 200. Classromm Instruction and Management. New York: McGraw-Hill.

Campbell, Donald T. & Julian C. Stanley. 1996. Eksperimental and Quasi-Eksperimental Designs for

Research. Chicago: Rand Mc.Nally College Publishing Company.

Depdiknas. 2005. Matematika (Materi Latihan Terintegrasi). Jakarta: Derektorat Jendral Pendidikan

Dasar dan Menengah.

Emzir. 2007. Metodelogi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers

Page 117: Jurnal Emasains No 1

Fraenkel, J.R & Wallen, N.E. 1993. How To Design and Evaluative Research. New York: Graw-Hill Inc.

Iskandar. 2009. Psikologi Pendidikan. Ciputat: GP Press

LTSIN (2004). Learning teaching. Scotland: Learning and Teaching Scotland.

Sevilla, G. Consuelo, et. All. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: Universitas Indonesia.