jurnal emasains no 1
TRANSCRIPT
VOLUME I, NOMOR 1, SEPTEMBER
TAHUN 2012
ISSN 2302-2124
Emasains
JURNAL EDUKASI
MATEMATIKA dan SAINS
Studi Morfologi dan Anatomi Bunut Amplas (Ficus amplas).
Pemanfaatan Laboratorium Biologi
Implementasi Pendekatan Pembelajaran Kontekstual
Uji Aktivitas Ekstrak Daun Saba (Piper majusculum Blumae)
Eksplorasi Senyawa Aktif pada Tumbuhan Sebagai Pestisida Nabati
Penerapan Strtategi Pembelajaran Open Ended.
Pola Latihan Berjenjang Berbasis Kooperatif
Hubungan Cara Belajar dan Motivasi Berprestasi
Perbandingan Metode Saringan Erastostones, Teorema Kecil Format, dan Teorema Willson
Pengetahuan Dan Sikap Kesadaran Terhadap Lingkungan Hidup
Penerapan Senam Otak terhadap Kemampuan Berpikir kreatif.
FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (IKIP) PGRI BALI Jln Akasia Desa Sumerta No.: 16 Denpasar Timur
Telp. (0361) 265693 Email: [email protected]
JEms
Emasains jurnal edukasi matematika dan sains
Emasains, Jurnal Edukasi Matematika dan Sains terbit dua kali dalam setahun (Maret dan
September), Berbahasa Indonesia maupun Inggris. Sebagai media komunikasi ilmiah dengan
kajian masalah pendidikan, pendidikan matematika, sains dan lingkungan hidup. Memuat tulisan
yang berasal dari hasil penelitian, kajian teoretis dan aplikasi teori.
Penasehat
Dr. I Made Suarta, SH., M. Hum
Penanggungjawab
Drs. I Wayan Suanda, SP., M.Si.
Ketua Redaksi
Drs. I Nengah Suka Widana, M.Si
Sekretaris Redaksi
Dra. I Gusti Ayu Rai, M.Si.; I Wayan Eka Mahendra, S.Pd., M.Pd
Redaksi Ahli
Prof.Dr. I Wayan Suparta, M.S (UNUD).
Prof. Dr. Putu Budiadnyana, M.Si (Undiksha Singaraja).
Dr. Bayu Aji (LIPI-Kebun Raya Eka Karya Bali).
Dr. Ir. I G.N. Alit Wirya Susanta, M.Agr. (UNUD).
Drs. I Wayan Budiyasa, M.Si. (IKIP PGRI Bali).
Drs. I Dewa Putu Juwana, M.Pd. (IKIP PGRI Bali).
Redaksi Pelaksana
Drs. Made Surat, M.Pd.; Drs I Wayan Sudiarsa.; Drs. I Made Sunastra, M.Si.
M.Si.; Drs. I Made Subrata; M.Si; I Wayan Widana, S.Pd., M.Pd.
N. Putri Sumaryani, SP., M.MA.; Made Wahyu Cerianingsih, S.Si.
Ni Luh Mery Marlinda, S.Pd.
Bendahara
Dra. Ni Nyoman Parmithi, MM.
Distribusi
Putu Sukerteyasa, S.Pd.; Made Mahendrajaya, S.S.
Pembantu Pelaksana Tata Usaha
Sri Utami, S.Pd.; Wayan Ariastini Dewi.
Alamat Redaksi
Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IKIP PGRI Bali
Jln Akasia Desa Sumerta No.: 16 Denpasar Timur
Telp. (0361) 265693 Email: [email protected]
JEms
Emasains jurnal edukasi matematika dan sains
DAFTAR ISI
PENGANTAR REDAKSI iii
Studi Morfologi dan Anatomi Bunut Amplas (Ficus amplas) Sebagai Bahan Penghalus
Permukaan Kayu (Ampelas)
I Nengah Suka Widana dan Indah Putu Murtiwati
1 – 9
Pemanfaatan Laboratorium Biologi sebagai Upaya Meningkatkan Aktivitas dan
Prestasi Belajar Mata Kuliah Zoologi Invertebrata.
I Wayan Budiyasa
10 - 15
Implementasi Pendekatan Pembelajaran Kontekstual untuk Meningkatkan Hasil
Belajar dan Sikap Ilmiah Peserta Didik Kelas VII pada Pelajaran IPA di SMP Negeri
11 Denpasar.
Ni Wayan Ratnadi dan I Wayan Suanda
16 - 24
Uji Aktivitas Ekstrak Daun Saba (Piper majusculum Blumae) terhadap daya hambat
Jamur Fusarium oxisforum f.sp vanilae Penyebab Penyakit Busuk Batang Panili.
I Gusti Ayu Rai
25 - 31
Eksplorasi Senyawa Aktif pada Tumbuhan Sebagai Pestisida Nabati.
I Made Subrata
32 - 40
Upaya Peningkatan Prestasi Belajar Matematika Siswa Kelas XII IPA-2 SMA Negeri 1
Kerambitan Semester 2 Tahun Pelajaran 2009/2010 Melalui Penerapan Strtategi
Pembelajaran Open Ended.
I Wayan Widana
41 - 47
Meningkatkan Kemampuan Memahami Konsep Limit Melalui Pola Latihan Berjenjang
yang Berbasis Kooperatif pada Mahasiswa Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA
IKIP PGRI Bali.
I Made Surat
48 - 56
Hubungan Cara Belajar dan Motivasi Berprestasi Terhadap Prestasi Belajar
Matematika SMP Negeri 2 Mengwi.
I Dewa Putu Juwana
57 - 70
Perbandingan Metode Saringan Erastostones, Teorema Kecil Format, dan Teorema
Willson dalam Menentukan Keprimaan Suatu Bilangan
I Wayan Sudiarsa
71 - 84
Pengetahuan Dan Sikap Kesadaran Terhadap Lingkungan Hidup Mahasiswa Menurut
Bidang Ilmu Yang Ditekuni Di IKIP PGRI BALI Tahun 2011-2012.
Ni Nyoman Parmithi, I Nengah Suka Widana, I Gusti Ayu Rai.
85 - 94
Pengaruh Penerapan Senam Otak terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa Kelas
VII SMP N 1 Marga.
I Wayan Eka Mahendra
95-98
PEDOMAN PENULISAN EMASAINS 99-100
JEms
Studi Anatomi Dan Morfologi Bunut Ampelas (Ficus ampelas Burm) Sebagai Bahan
Penghalus Permukaan Kayu (Ampelas)
I Nengah Suka Widana dan Putu Indah Murtiwati.
Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali,
Email: [email protected], [email protected]
ABSTRACT Study of Anatomy and Morphology Bunut Ampelas (Ficus ampelas Burm) For Smoother Surface
Material Wood (Sandpaper). Leaves are plants that serve the principal organ of photosynthesis, found in the trunk and
is often used as a distinguishing morphological characters. Bunut sandpaper (emery Ficus Burm)
is a wild plant but sometimes grown/cultivated for its leaves is taken as smoothing wood surfaces
(sandpaper). The study aims to determine the structure of the morphology, anatomy and silicate
content in the leaves. Qualitative descriptive research-based single species of plant, such as
leaves Subjects sandpaper on two types of sandpaper types bunut white and black objects such as
anatomy, morphology and content of silicates. The study was conducted in February s / d April
2012, leaf sampling locations in the Gianyar and Tabanan. Analysis of the anatomy and
morphology and the amount of silicate performed at the Laboratory of Biology Department of
Education FPMIPA IKIP PGRI Bali. Findings of each difference in morphological structure, leaf
anatomy and content of silicates in both types bunut sandpaper. Leaves a rough surface due
trikomata containing many silicate (SiO2) on the surface of leaves and very strong to smooth the
surface of the wood, when the leaves have dried. Comparison of the average number of
trichomes: 1:3 among whites with black sandpaper. Thus sandpaper black type trichomes contain
more powerful and capable of smoothing over the survace of the wood.
Keywords: Bunut ampelas, anatomy, morphology, sandpaper.
PENDAHULUAN
Daun tergolong organ utama pada tumbuhan, dan berfungsi penting dalam fotosintesis.
Organ ini hanya tumbuh pada batang saja, dan tidak terdapat pada bagian lain tubuh tumbuhan.
Daun biasanya tipis melebar, kaya akan zat warna hijau (klorofil), oleh karenanya daun
umumnya berwarna hijau dan menyebabkan daerah-daerah yang ditempati tumbuhan nampak
sebagai hamparan hijau. Daun mempunyai umur yang terbatas, akhirnya akan runtuh dan
meninggalkan bekas pada batang. Pada saat akan runtuh warna daun berubah menjadi
kekuningan dan akhirnya menjadi perang. Jadi daun yang telah tua, kemudian mati dan runtuh
dari batang mempunyai warna yang berbeda dengan daun yang masih segar. Karakter yang
terdapat pada daun baik aspek morfologi dan anatomi sering digunakan untuk membedakan
antara tanaman yang dekat kekerabatannya. Morfologi tumbuhan adalah cabang biologi yang
mengkaji bentuk dan susunan tubuh tumbuhan dan bertugas untuk menentukan fungsi masing-
masing yang beraneka ragam bagian tubuh tumbuhan serta mengetahui dari mana asal bentuk
dan susunan tumbuhan yang beraneka ragam (Gembong, 2007). Anatomi tumbuhan merupakan
analogi dari anatomi manusia atau hewan. Walaupun secara prinsip kajian yang dilakukan adalah
melihat keseluruhan fisik sebagai bagian-bagian yang secara fungsional berbeda, anatomi
tumbuhan menggunakan pendekatan metode yang berbeda dari anatomi hewan. Organ tumbuhan
terekspos dari luar, sehingga umumnya tidak perlu dilakukan "pembedahan". Daun lengkap
terdiri dari pelepah daun, tangkai daun serta helai daun. Helai daun sendiri memiliki urat daun
yang tidak lain adalah kelanjutan dari jaringan penyusun batang yang berfungsi menyalurkan
hara atau produk fotosintesis. Genus Ficus (sebangsa bunut/beringin) merupakan tumbuhan yang
banyak ditemukan di Indonesia, meliputi ratusan jenis. Banyak berguna bagi manusia (pakaian
dari kulit pohon, karet, kayu bakar, makanan ternak, tali temali, lalab, ampelas dan lainnya (Van
Steenis et. al., 1981). Ficus ampelas Pohon besar, tinggi 20-25 m, berakar tunggang. Batang
tegak, bulat, permukaan kasar, coklat kehitaman, percabangan simpodial, pada batang keluar
akar gantung (akar udara). Daun tunggal, bertangkai pendek, letak bersilang berhadapan,
bentuknya lonjong, tepi rata, ujung runcing, pangkal tumpul, panjang 3-6 cm, lebar 2-4 cm,
pertulangan menyirip, berwarna hijau. Bunga tunggal, keluar dari ketiak daun, kelopak bentuk
corong, mahkota bulat, halus, kuning kehijauan. Buah buni, bulat, panjang, 0,5-1 cm, masih
muda hijau, setelah tua merah. Biji bulat, keras, putih (Farmasi UGM, 2010). Ficus ampelas atau
bunut ampelas merupakan salah satu anggota ficus-ficusan yang umumnya tumbuh liar di
pinggiran sungai atau tegalan namun sering dibudidayakan karena kegunaan daunnya sebagai
penghalus kayu, dan sebagai salah satu tanaman yang digemari untuk dikerdilkan menjadi
tanaman bonsai. Kegunaan lain dimana cairan dari tumbuhan ini dapat diminum, berguna untuk
pengobatan bagi orang yang mengalami kesulitan mengeluarkan air kencing dan sebagai obat
murus/mencret. Cairan tersebut mengandung air, berwarna cokelat kekuningan dan rasanya
pedas, diperoleh dengan cara memotong akar dan airnya ditampung dalam bejana kecil.
Berdasarkan paparan tersebut permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian meliputi
bagaimanakah stuktur morfologi dan anatomi daun ampelas (F.ampelas Burm)? dan apakah
terdapat kandungan silikat pada daun sehingga mampu menghaluskan kayu? Adapun tujuan
penelitian adalah untuk mengetahui struktur morfologi dan anatomi daun ampelas (F.ampelas
Burm) dan untuk mengetahui kandungan silikat pada daun sehingga dapat digunakan sebagai
bahan penghalus kayu (ampelas). Temuan yang diperoleh bermanfaat menambah wawasan siswa
tentang manfaat berbagai jenis tumbuhan dalam kehidupan sehari-hari dan meningkatkan minat
mempelajari tumbuhan-tumbuhan (Botani), terutama struktur anatomi dan morfologi daun
ampelas (F.ampelas Burm), karena dengan melihat struktur anatomi dan morfologi maka dapat
diketahui kegunaannya.
Anatomi daun dapat dibagi menjadi 5 bagian yaitu epidermis dan derivatnya. Epidermis
daun terdapat dipermukaan atas maupun bawah, umumnya terdiri atas selapis sel, tetapi ada pula
yang terdiri beberapa lapis sel (epidermis ganda). Jumlah lapisan epidermis bagian atas sebagai
derivate biasanya lebih banyak daripada permukaan bawah. Bila epidermis bawah berlapis
banyak maka akan terdapat ruang substomata yang besar antara sel penutup dengan jaringan
mesofil. Stomata sebagai derivat epidermis terdapat di kedua permukaan daun atau salah satu
permukaan saja, umumnya di bagian bawah. Stomata dapat tersebar merata di seluruh
permukaan daun, tersusun menurut alur-alur tertentu. Trikoma berasal dari sel-sel epidermis,
terdiri atas sel tunggal atau banyak sel. Trikoma mempunyai peranan yang sangat penting dalam
taksonomi tumbuhan karena familia tertentu dapat dikenal dari jenis trikomanya. Fungsi trikoma
bagi tumbuhan adalah mengurangi penguapan (apabila terdapat pada epidermis daun),
meneruskan rangsang, mengurangi gangguan hewan, membantu penyebaran biji, membantu
penyerbukan bunga, menyerap air serta garam-garam mineral. Berdasarkan ada tidaknya fungsi
sekresi, trikoma dibedakan menjadi dua yaitu trikoma yang tidak menghasilkan secret (non-
glanduler) berupa rambut bersel satu atau bersel banyak dan tidak pipih, rambut sisik yang
memipih dan bersel banyak, rambut bercabang dan bersel banyak, rambut akar yang merupakan
pemanjangan sel epidermis dalam bidang yang tegak lurus permukaan akar. Trikoma yang
menghasilkan secret (glanduler) yaitu trikoma hidatoda, terdiri atas sel tangkai dan beberapa sel
kepala, mengeluarkan larutan yang berisi asam organic, kelenjar garam, terdiri atas sebuah sel
kelenjar besar dengan tangkai yang pendek. Kelenjar madu, berupa rambut bersel satu atau lebih
dengan plasma yang kental dan mampu mengeluarkan madu ke permukaan sel. Rambut gatal,
berupa sel tunggal dengan pangkal berbentuk kantong dan ujung runcing. Isi sel menyebabkan
rasa gatal (Nugroho, dan Hartanto, 2006).
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriftif-kualitatif berbasis satu spesies
tanaman, berupaya menjelaskan atau menggambarkan keadaan subjek atau objek penelitian pada
saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui struktur morfologi, anatomi dan kandungan silikat pada daun
ampelas sehingga dapat digunakan sebagai bahan penghalus permukaan kayu (ampelas).Subjek
penelitian adalah setiap individu/ subjek yang dituju untuk diselidiki/ diteliti oleh peneliti yang
didalamnya terkandung objek penelitian. Dalam penelitian ini sebagai subjek adalah daun
ampelas (F. ampelas Burm).Objek penelitian adalah sesuatu yang menjadi problematika/
masalah bagi peneliti. Objek penelitian juga merupakan setiap gejala atau peristiwa yang akan
diselidiki. Dalam penelitian ini yang menjadi objek penelitian adalah anatomi morfologi dan
kandungan silikat pada daun ampelas .
Prosedur Penelitian dengan menerapkan langkah-langkah berikut, yaitu persiapan alat dan
bahan diperlukan. Alat yang digunakan dalam identifikasi morfologi dan anatomi yaitu kamera,
mikroskop, pisau atau silet, kaca objek dan kaca penutup. Sedangkan untuk identifikasi
kandungan silikat (SiO2), menggunakan tabung reaksi, gelas kimia, corong, labu elemeyer,
pembakar spritus, penjepit tabung reaksi. Bahan yang digunakan adalah daun ampelas (jenis
hitam dan putih), kertas saring, air (H2O), asam sulfat pekat (H2SO4), natrium sulfat (Na2SO4),
NaHCO3, NaOH. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP
PGRI Bali, dan Laboratorium Biologi dan Kimia SMA Negeri 1 Sukawati dari tanggal Pebruari
sampai April 2012.
Identifikasi morfologi daun F.ampelas Burm berdasarkan karakter-karakter yang ada pada
daun, meliputi bangun daun (circum scriptio), ujung daun (apex), pangkal daun (basis),
pertulangan daun, tepi daun (margo folii), Daging daun (mesofil), Warna daun, Permukaan daun.
Identifikasi anatomi dengan melalukan prosedur sebagai berikut: Umbi ubi kayu dibelah
kearah memanjang atau membujur (sebagai penjepit), memilih sampel daun yang umurnya tidak
terlalu tua dan tidak terlalu muda, kemudian diletakkan atau dijepit pada belahan umbi ubi kayu.
Daun tersebut diiris melintang menggunakan silet/pisau tajam. Diusahakan diperoleh irisan
setipis mungkin, lalu diletakkan pada kaca objek kemudian tetesi dengan air dan tutup dengan
kaca penutup (cover glass).; dilakukan pengamatan di bawah mikroskop. Hasil pengamatan
berupa gambar didokumentasi (difoto atau digambar pada kertas gambar); Pengamatan
mikroskup difokuskan pada karakter anatomi (letak dan jumlah trikomata pada permukaan
daun), dan juga letak kristal silikat (SiO2) pada daun ampelas.
Analisis kualitatif kandungan silikat, dengan prosedur sebagai berikutl sebanyak 0,25 gr daun
ampelas dipotong tipis, kemudian dicampur dengan 1,080 gr NaHCO3: lalu dibakar sampai
menjadi abu. Abu sebanyak 1 gr dilarutkan dengan aquades, hingga volume 10 ml; kemudian
tambahkan dengan 1 ml NaOH 1 M, dipanaskan sampai suhu 1000C (mendidih) selama 5 menit;
Air abu yang mendidih ditambahkan larutan H2SO4 (asam sulfat) pekat dan dipanaskan kembali
selama 2 menit. Dinginkan kemudian difiltrasi dan filtrate dilarutkan pada air bermineral (air
yang mengandung ion-ion); dilakukan penyaringan sehingga ditemukan endapan putih berupa
silikat (SiO2).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Pengumpulan data dengan menerapkan teknik observasi terhadap aspek morfologi, anatomi
dan uji kualitatif kandungan silikat. Data tersebut dianalisis secara deskriptif dengan
mengorganisasikan data, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun dalam
pola, memilah dan membuat simpulan (Sugiyono, 2010).
1. Hasil pengamatan morfologi daun amplas hitam disajikan pada tabel 1.
Tabel 1. Morfologi Daun F.ampelas Burm hitam
No Morfologi Deskripsi Karakter
1 Bangun daun A Panjang : lebar = 2 ½-3:1. Memanjang
2 Ujung daun A
B
Kedua tepi daun di kanan kiri ibu tulang sedikit
demi sedikit menuju ke atas dan pertemuannya
pada puncak daun membentuk sudut lancip.
Pertemuan kedua ujung daun nampak sempit
panjang dan runcing.
Runcing
Meruncing
3 Pangkal daun A
B
Tepi daun yang semula masih agak jauh dari ibu
tulang, cepat menuju ke suatu titik pertemuan,
hingga membentuk sudut tumpul.
Pada pangkal yang tumpul tetapi tidak terbentuk
sudut sama sekali, hingga pangkal daun
merupakan semacam suatu busur.
Tumpul
Membulat
4 Pertulangan
daun
A Memiliki satu ibu tulang yang berjalan dari
pangkal ke ujung dan merupakan terusan tangkai
daun.
Menyirip
5 Tepi daun A
B
C
Tepi daunnya rata
Sinus tumpul dan angulus lancip
Dalamnya toreh kurang daripada setengah
panjangnya tulang-tulang daun yang terdapat di
kanan kirinya
Rata
Bergigi
Berlekuk
6 Daging daun A Tipis tetapi cukup kaku Seperti
perkamen
7 Warna daun A
B
Masih muda
Sudah tua
Hijau
Kuning
8 Permukaan
daun Atas
Bawah
A
B
Permukaan daun kasar seperti pasir.
Berambut kaku dan jika diraba terasa kasar
Kasap
Berbulu
kasar
Perbandingan morfologi daun amplas hitam dan putih berdasarkan pengamatan di habitat
aslinya.
Gambar 1. Daun ampelas hitam
(Sumber: Pengamatan sendiri) Gambar 2. Daun ampelas putih
(Sumber: Pengamatan sendiri)
Berdasarkan pengamatan lapangan terhadap ampelas hitam diperoleh data morfologi,
disajikan pada tabel 1 dan gambar 1 dapat dilihat morfologi daun ampelas yaitu: dalam satu
pohon memiliki tepi daun yang berbeda, yaitu ada yang rata, bergigi dan berlekuk, pada ujung
daun ada yang runcing, tumpul, meruncing, pangkal daun ada yang tumpul dan membulat.
Dilihat dari morfologi daunnya pada permukaan atas maupun bawah dari daun ampelas terdapat
bulu yang kasar sehingga permukaan daun menjadi kasar. Di tempat peneliti menemukan
tanaman ampelas ini, masyarakat menggunakannya sebagai pembersih peralatan dapur.
Tabel 2. Morfologi Daun F.ampelas Burn putih
No Morfologi Deskripsi Karakter
1 Bangun daun A Panjang: lebar = 1,5-2:1 Jorong
2 Ujung daun A
Ujung daun tampak sebagai garis
yang rata
Rompang
3 Pangkal daun A
Tepi daun yang semula masih agak
jauh dari ibu tulang
Tumpul
4 Pertulangan daun A Memiliki satu ibu tulang yang
berjalan dari pangkal ke ujung dan
merupakan terusan tangkai daun
Menyirip
5 Tepi daun A Tidak tedapat angulus dan sinus Rata
6 Daging daun A Tipis tapi cukup kaku Seperti perkamen
7 Warna daun A Muda Hijau
8 Permukaan daun
Atas
Bawah
A
B
Mengkilat
Kasar
Licin
Kasap
2. Anatomi Daun Ampelas
Trikoma
Gambar 3. Irisan Melintang Daun Ampelas Hitam (repro)
Pada struktur anatomi daun ampelas putih terdapat epidermis ganda (epidermis atas dan
epidermis bawah), jaringan tiang, kristal, stomata, jaringan bunga karang, sarung berkas
pengangkut, dan trikoma yang berupa bulu yang berduri.
Gambar 4. Irisan melintang daun ampelas putih (repro)
Anatomi daun ampelas putih adalah epidermis ganda (epidermis atas dan epidermis bawah),
jaringan tiang, kristal, stomata, jaringan bunga karang, sarung berkas pengangkut.
3. Analisis Kandungan Silikat Pada Daun Ampelas
Tabel 3. Hasil Pengamatan Kandungan Silikat
No. Cara Kerja Pengamatan
1 Air abu Agak keruh
2 Air abu + NaOH Tetap keruh
3 Air abu + H2SO4 Endapan Hitam
4 Filtrate + air dimineralisasi (Na2SO4) Terbentuk endapan putih (silikat)
5 Filtrate + air dimineralisasi (Na2SO4KCl) Terbentuk endapan putih sedikit (sulit diamati)
Berdasarkan hasil identifikasi kandungan silikat pada daun ampelas hitam dan daun
ampelas putih, ditemukan adanya endapan putih. Hal tersebut membuktikan pada kedua jenis
Epidermis atas
Kristal
Jaringan berkas
pengangkut
Stomata Epidermis
bawah
Sarung berkas pengangkut
Sarung berkas pengangkut
Jaringan tiang
Jaringan
bunga karang
Stomata Epidermis
bawah
Epidermis atas
atas
daun amplas tersebut mengandung cukup banyak silikat (SiO2), terutama pada bagian permukaan
daunnya. Temuan tersebut memperkuat dugaan bahwa silikat tersebut menyebabkan permukaan
daun menjadi kasap atau kasar, sehingga memiliki kemampaun cukup kuat untuk menghaluskan
permukaan kayu seperti halnya amplas yang diproduksi oleh pabrik.
4. Hasil Pengamatan Jumlah Trikoma pada Amplas hitam dan putih
Tabel 4. Hasil pengamatan trikoma melalui mikroskop
No Pengamatan Tipe daun ampelas
hitam putih
1 1 cm pada ujung daun 5 0
2 1 cm pada bagian pinggir atas daun 9 2
3 1 cm pada bagian pinggir atas daun 8 3
4 1 cm pada bagian pinggir atas daun 8 2
5 1 cm pada bagian tengah daun 12 4
6 1 cm pada bagian tengah daun 10 4
7 1 cm pada bagian tengah daun 14 6
8 1 cm pada bagian pinggir bawah daun 10 5
9 1 cm pada bagian pinggir bawah daun 8 3
10 1 cm pada bagian pinggir bawah daun 8 5
11 1 cm pada pangkal daun 7 2
Jumlah 99 36
Rata-rata 9 3,3
5. Hasil Pengamatan Amplasan Permukaan Kayu
Tabel 5.Hasil Ampelasan Permukaan Kayu
Daun ampelas hitam Daun ampelas putih
Permukaan daun sebelum diampelas kasar dan
berwarna coklat.
Permukaan daun sebelum diampelas kasar dan
berwarna coklat.
Setelah diampelas dengan 25 kali gosokan,
permukaan kayu menjadi lebih halus.
Setelah diampelas dengan 25 kali gosokan,
pada permukaan kayu terdapat goresan, tetapi
tidak halus.
Setelah diampelas dengan 35 kali gosokan,
permukaan kayu menjadi halus.
Setelah diampelas dengan 35 kali gosokan,
pada permukaan kayu terdapat goresan, tetapi
tidak halus.
Pembahasan
Pengamatan pada karakter morfologi, anatomi daun bunut ampelas, maka dapat
mengetahui kegunaan dari daun ampelas tersebut. Karakter morfologi daun ampelas hitam pada
karakter tepi daun yaitu diperoleh hasil tepi daun rata, bergigi, berlekuk, ujung daun ada yang
runcing, tumpul, meruncing, pangkal daun tumpul dan membulat, permukaan daun kasap dan
berbulu kasar. Temuan berupa ujung daun yang tidak konsisten karena dipengaruhi oleh umur
pertumbuhan dan perkembangan daun yang dimati. Sedangkan struktur morfologi daun ampelas
putih yaitu bangun daunnya jorong, ujung daun rompang, pangkal daun tumpul, pertulangan
daunya menyirip, tepi daun rata, daging daunnya seperti perkamen, warna daun hijau, permukaan
daun muda licin, setelah tua menjadi lebih kasar. Dilihat dari permukaan daunnya yang kasap
masyarakat banyak yang menggunakan daun ampelas untuk mencuci galon, gelas, perabotan
dapur yang susah dibersihkan, dengan cara menggosokkan ke bagian yang akan dibersihkan.
Selain itu daun ampelas pada jaman dulu digunakan sebagai bahan penghalus permukaan kayu
karena permukaan daunnya kasap/ kasar dan kaku. Berdasarkan temuan pada permukaan daun,
permukaan kasar pada daun ampelas lebih disebabkan oleh adanya trikoma yang tersebar di
permukaan daun, dan hasil pengamatan dengan membandingkan kedua tipe daun ampelas yaitu
hitam dengan putih (data disajikan pada tabel 4), terdapat perbedaan dalam hal jumlah sebaran
trikoma pada masing-masing permukaan daun. Penghitungan jumlah trikoma dlakukan pada
permukaan daun dengan metode plot di sejumlah titik yang tersebar pada permukaan daun, yaitu
pada pangkal, tengah dan ujung pada sebanyak 11 titik. Jumlah trikoma yang ditemukan pada
daun ampelas hitam 99 dan pada ampelas putih 36, jika dibuat rasion perbandingan antara
ampelas hitam dengan putih, 3:1. Temuan tersebut mengindikasikan bahwa kemampuan ampelas
hitam dalam meghaluskan permukaan kayu lebih baik dibandingkan ampelas putih. Hal tersebut
diperkuat oleh hasil ampelasan pada kayu dimana permukaan kayu yang lebih halus dihasilkan
oleh daun ampelas hitam (data pada tabel 5). Daun ampelas hitam yang biasa digunakan sebagai
ampelas sehingga dapat memperoleh hasil yang lebih bagus adalah daun yang sudah tua atau
yang sudah kering walaupun daun yang muda juga dapat digunakan tetapi hasilnya kurang
bagus, sedangkan daun ampelas putih yang dapat digunakan adalah daun yang sudah tua atau
yang sudah dikeringkan, karena yang masih muda permukaan daunnya masih licin. Cara
penggunaan daun ampelas sebagai penghalus permukaan kayu adalah daun ampelas digosokkan
ke permukaan kayu sampai permukaannya halus, cara penggunaannya sama seperti kita
menggunakan amplas. Selain itu dengan melihat anatomi dari daun ampelas kita juga dapat
mengetahui kegunaan dan fungsi dari daun ampelas. Dilihat dari anatomi daun ampelas terdapat
epidermis ganda, jaringan tiang, jaringan bunga karang, stomata, trikoma, sarung berkas
pengangkut. Dilihat dari struktur anatominya terdapat trikoma yang merupakan derivat dari
epidermis yang biasanya sebagai pelindung daun. Pada anatomi daun juga terdapat kristal yang
juga berpengaruh sehingga permukaan daun menjadi kasar. Adanya kristal pada daun diperkuat
dengan melakukan analisis silikat. Pada proses analisis silikat peneliti menemukan endapan putih
yang merupakan silikat (SiO2). Setelah melakukan pengamatan tentang anatomi daun ampelas
dan analisis kandungan silikat, dapat dilihat trikoma yang berupa rambut berduri yang muncul
dipermukaan daun, yang menyebabkan daun menjadi kasar, dan juga kristal yang terdapat pada
daun ampelas sehingga dapat digunakan sebagai ampelas (penghalus permukaan kayu).
Dari hasil penelitian, baik morfologi, anatomi dan analisis kandungan silikat pada daun
ampelas hitam dan daun ampelas putih yang paling baik digunakan untuk bahan penghalus
permukaan kayu adalah daun ampelas hitam, karena pada daun ampelas hitam lebih banyak
terdapat kandungan silikat dan trikomanya lebih terlihat jelas dari pada daun ampelas putih.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Struktur morfologi daun ampelas, permukaan daunnya yang kasar/kasap dan kaku sehingga
dapat digunakan sebagai ampelas.
2. Dilihat dari anatominya, daun ampelas dapat digunakan sebagai ampelas karena terdapat
trikoma yang menonjol ke permukaan daun yang menyebabkan daun menjadi kasar.
3. Setelah dilakukan analisis silikat, ternyata terdapat endapan putih (silikat) pada daun
ampelas, sehingga pada permukaan atas dan bawah daun terasa kasar seperti pasir. Hal inilah
yang menyebabkan daun ampelas digunakan sebagai bahan penghalus permukaan kayu
(ampelas).
4. Dari dua jenis daun ampelas yang diteliti, daun ampelas yang paling bagus digunakan
sebagai bahan penghalus permukaan kayu (ampelas) adalah daun ampelas hitam, karena pada
permukaan daunnya lebih kasap dan kandungan silikatnya lebih banyak dari pada daun
ampelas putih.
5. Persepsi masyarakat terhadap keberadaan tumbuhan ampelas adalah: tumbuhan liar yang
tumbuh dengan sendirinya yang memiliki manfaat bagi kehidupan sehari-hari dan memiliki
nilai ekonomi yang tinggi.
Saran-saran
1. Kepada masyarakat diharapkan untuk melestarikan tanaman yang ada dilingkungan sekitar
yang tidak diperhatikan agar lingkungan tetap lestari, karena semua tumbuhan memiliki
kegunaan masing-masing bagi kebutuhan hidup manusia.
2. Kepada ilmuwan diharapkan untuk meneliti manfaat tumbuhan yang ada dilingkungan
sekitar, khususnya tanaman bunut ampelas yang memiliki manfaat bagi kehidupan yang
belum diketahui oleh masyarakat. Sehingga masyarakat akan melestarikan tumbuhan yang
bermanfaat bagi kehidupan makhlukhidup.
3. Kepada pihak-pihak terkait diharapkan untuk mengadakan penelitian lebih lanjut tentang
tanaman ampelas dan memberikan penyuluhan terhadap masyarakat untuk memanfaatkan
tanaman ampelas sebagai bahan penghalus permukaan kayu (ampelas). Karena dengan
memanfaatkan tanaman ampelas masyarakat dapat melestarikan tanaman ampelas yang
ternyata memiliki nilai ekonomis yang tinggi.
4. Kepada pihak guru diharapkan untuk mengajak peserta didik lebih mengenal seluk beluk
tumbuhan ampelas melalui kegiatan-kegiatan ilmiah.
5. Penelitian ini perlu ditindak lanjuti dengan penelitian lainnya oleh kalangan pelajar,
mahasiswa, guru, dosen dan peneliti lainnya dengan mengambil objek yang sama untuk
menambah wawasan kita bersama mengenai manfaat tanaman bunut ampelas di wilayah
lainnya yang belum pernah diteliti untuk manfaat bersama dalam kehidupan.
DAFTAR RUJUKAN
Anonim,2011.Anatomi Tumbuhan. Http://zipcodezoo.com/Plant/F/Ficus_ampelas/ diakses pada
15 Desember 2011
Wikipedia bahasa Indonesia,2011.Ficus ampelas dari:
http://www.ask.com/web?qsrc=2417&o=101702&l=dis&q=ficus+ampelas diakses pada
15 desember 2011
Wikipedia bahasa Indonesia,2011. Morfologi tumbuhan.dari:
http://www.pustaka.ut.ac.id/website/index.php?option=com_content&view=article&id=
136:pebi4107-morfologitumbuhan&catid=30:fkip&Itemid=75 diakses pada 15
Desember 2011
Wikipedia bahasa Indonesia,2011. Tanaman Ficus ampelas.dari:
http:zipcodezoo.com/Plant/F/Ficusampelas/ diakses pada 15 Desember 2011
Budiyasa,I Wayan.2005.Prosedur Penelitian.Denpasar: IKIP PGRI Bali
Budiyasa,I Wayan.2005.Prosedur Penelitian.Suatu; Suatu Pendekatan Praktek Denpasar.
Dantes, Nyoman. 2007. Metodelogi Penelitian, Universitas Pendidikan Ganesha. Singaraja
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan RI; Departemen Pertanian RI; Lembaga Pengetahuan
Indonesia; Perpustakaan Nasional RI, 1992. Prosiding Seminar dan Likakarya Nasional
Etnobotani. Penerbit Pemerintah New-Zealand.
Lubis,Muhsin.1993/1994.Pengelolaan Laboratorium IPA. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.Penerbit Universitas Terbuka.
Nugroho,L.Hartanto,2006.Struktur dan Perkembangan Tumbuhan. Jakarta: Penebar Swadaya
Subliyanto, 2010. Subjek Penelitian dan Responden. Dari:
Subliyanto.blogspot.com/2010/06/subjek-penelitian-dan responden.html. diakses pada
tanggal 08 april 2012.
Sugiyono,2010.Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta
Tjitrosoepomo,Gembong,2007. Morfologi Tumbuhan . Gadjah Mada University Press.
Wibisono dan Woelanningsih.1987. Anatomi Tumbuhan. Jakarta: Karunika, Universitas terbuka
Van Steenis, C.G.G.J., et. al.,1981. Flora Untuk sekolah di Indonesia. Jakarta Pusat: PT Pradnya
Paramita.
Optimalisasi Pemanfaatan Laboratorium Sebagai Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar
Dalam Mata Kuliah Zoologi pada Mahasiswa Semester III Jurusan Pendidikan Biologi
FPMIPA IKIP PGRI Bali Tahun Akademik 2011/2012.
I Wayan Budiyasa
Dosen Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali
ABSTRACT
Optimizing Utilization Laboratory For Effort to Improve Learning Achievement In
Zoology Courses.
Zoology Invertebrata represent the branch from biology and as one of subject in Biological
Education Majors of FPMIPA IKIP PGRI Bali. To learn the Zoology Invertebrata do not only by
giving just just concept and fact, but how student trained on how to to find the the concept and
fact. activity of Lecturing of Zoology Invertebrata in Biological Education Majors of FPMIPA
IKIP PGRI Bali these days have been conducted by through theory and practice. Practice aim so
that student do not only comprehend the just theory but also can apply the theory which have
been given previously thereby student more get the picture what submitted/sent previously,
others student expected to yield a inovatif which can be applied by a public society
Pursuant to result of observation and note which writer own the, activity and result of
learning obtained by student that way low in of subject and practice of Zoology Invertebrata, this
matter [is] indication of existence of serious problems in carrying out lecturing and practice. As
its resolving [is] [done/conducted] [by] research of class action.
Main problem studied and wish looked for its resolving answer through this action
research, is the following : 1). Whether optimalisasi exploiting laboratory can improve the
achievement learn in subject of Zoology at student of semester of Biological III Education
Majors of FPMIPA IKIP PGRI of Bali of Year Akademik 2011 / 2012. 2). What will be student
activity in activity of lecturing and praktikum. This Research target is to know the make-up of
quality [of] result of study in eye of kuliah of Zoology Invertebrata [of] [through/ passing]
optimalisasi of laboratory exploiting seen from make-up of average value. 2). To know the
student livelines in activity of lecturing and praktikum of Zoology Invertebrata. Subyek Research
[is] student of Majors of Biology Education which sit [in] semester of III of year Akademik 2011
/ 2012 as much 33 people. To get the appropriate data hence instrument used in this research [is]
sheet of observation and tes. Observation sheet developed by relate to indikato-indikator activity
intended to be used mengunpulkan data [of] about student activity to laboratory activity while
tes intended to be used collect the data [of] about achievement learn the student
As according to type of research device weared here, that is research of class action
(classroom action research), hence technique analyse the relevant data and applied by technique
analyse the deskriptif-kualitatif. Summary Result Of Data Analysis.
Cycle Aktivity Praktikum Result Of Learning
Averege Katagori Averege Absorpsion KK (%)
I 51,43 Lowering 59,03 59,03% 40%
II 74,29 High 65,86 65,86% 71,43%
III 91,43 Very high 69,29 69,29% 85,71%
Thereby this research as a whole can be told to succeed, because by the end of research [of]
all criteria efficacy which have previous disepakti have been fullfiled the
Keyword : Laboratory, practice, activity and result of learning
PENDAHULUAN
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
IKIP PGRI Bali adalah salah satu Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidikan (LPTK) pada
hakekatnya merupakan lembaga yang berfungsi untuk melestarikan, mengembangkan,
menyebarluaskan dan menggali ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu, IKIP PGRI Bali juga
berfungsi untuk mengembangkan kualitas sumber daya manusia dan menghasilkan jasa. Fakultas
Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FPMIPA) merupakan salah satu Fakultas
yang dikelola IKIP PGRI Bali, Jurusan Pendidikan Biologi merupakan salah satu jurusan yang
dikelola oleh FPMIPA. Jurusan Pendidikan Biologi yang berada di IKIP PGRI Bali ini selain
membelajarkan ilmu Biologi juga membelajarkan bagaimana menjadi pendidik yang berkualitas.
Biologi atau ilmu hayat merupakan suatu ilmu tentang kehidupan yang membantu manusia
mengenal dirinya sehingga organisma mengenal lingkungannya. Biologi bukan hanya
merupakan penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, prinsip-
prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses menemukan. Salah satu mata kuliah dalam
jurusan pendidikan biologi IKIP PGRI Bali adalah mata kuliah Zoologi Invertebrata.
Mempelajari Zoologi Invertebrata tidak hanya dengan pemberian fakta dan konsep saja,
tetapi bagaimana peserta didik dilatih untuk menemukan fakta dan konsep tersebut. Untuk
mendukung kegiatan pembelajaran dalam mata kuliah zoologi Invertebrata diperlukan sarana-
prasarana pendukung seperti peralatan dan laboratorium. Secara teoritis keberadaan laboratorium
diharapkan mampu menunjang kegiatan-kegiatan yang berpusat pada pengembangan
keterampilan tertentu, antara lain keterampilan proses, keterampilan motorik dan pembentukan
sikap ilmiah, khususnya pengemabngan minat untuk melakukan penyelidikan, penelitian dan
minat mempelajarai biologi khususnya Zoologi secara lebih mendalam. Kegiatan laboratorium
sangat memegang peranan penting dalam pembelajaran zoology invertebrate karena kerja
praktek merupakan cara yang sangat relevan untuk mebantu peserta didik mengembangkan
kompetensinya. Oleh karena itu tujuan utama kegiatan laboratorium (praktek) adalah melatih
keterampilan siswa bekerja secara ilmiah untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan
nilai-nilai ilmiah.
Kegiatan perkuliahan dalam mata kuliah Zoologi Invertebrata di Jurusan Pendidikan
Biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali telah dilakukan melalui teori dan praktek, kegiatan di
laboratorium (praktek) bertujuan agar mahasiswa tidak hanya memahami teorinya saja tetapi
juga dapat benar-benar mengauasai materi sepenuhnya melalui praktek dan demonstrasi, selain
itu mahasiswa diharapkan dapat menghasilkan sebuah inovatif yang dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat umum. Adanya kegiatan laboratorium (praktek), mahasiswa dapat menerapkan teori
yang telah diberikan sebelumnya dengan demikian mahasiswa lebih dapat memahami apa yang
disampaikan oleh dosen.
Berbagai cara telah diupayakan agar semua mahasiswa aktif dalam kegiatan perkuliah.
Perkuliahan standar juga telah dilakukan oleh dosen, berbagai media pembelajaran yang ada di
kampus telah dimanfaatkan, berbagai bentuk penugasan telah pula diberikan untuk dilaksanakan
oleh mahasiswa, baik di dalam maupun di luar kelas, mulai dari tugas membuat makalah,
observasi, membuat eksperimen, membuat laporan singkat hasil eksperimen, dan lain
sebagainya. Namun demikian, dalam berbagai kesempatan tanya jawab, diskusi kelas, maupun
kuis, ulangan harian, aktivitas dan prestasi belajar mereka sangat rendah.. Berdasarkan catatan
yang penulis miliki, aktivitas siswa dalam tanya jawab dan diskusi kelas masing-masing hanya
sebesar 30% dan 35% dari 35 mahasiswa yang ada. Sebagian besar dari mahasiswa justru
memperlihatkan aktivitas yang tidak relevan dengan pembelajaran, seperti kelihatan bengong
dan melamun, kurang bergairah, kurang memperhatikan, bermain-main sendiri, berbicara dengan
teman ketika dijelaskan, canggung berbicara atau berdialog dengan teman waktu diskusi, dan
lain sebagainya. Sementara itu dari hasil kuis, ulangan harian dan ujian tengah semester prestasi
belajar mereka hanya 4 orang (11,40%) yang berhasil memproleh nilai 4 (A), 10 orang (28,57%)
yang berhasil memperoleh nilai 3 (B), 15 orang (42,85%) memperoleh nilai 2 (C), dan 6 orang
(17,14%) memperoleh nilai 1 (D). Sesuai dengan kontrak kuliah pada awal pertemuan telah
disepakati bahwa mahasiswa dinyatakan lulus bila telah mendapat nilai 3 (B).
Melihat data aktivitas dan nilai yang diperoleh mahasiswa yang demikian rendah tersebut
jelas hal ini mengindikasikan adanya permasalahan serius dalam kegiatan pembelajaran di kelas
dan di laboratorium yang harus dicari pemecahannya. Sebagai langkah dan upaya pemecahan
terhadap masalah yang timbul dalam kegiatan perkuliahan Zoologi Invertebrata bagi mahasiswa
semester III tersebut maka dilakukan Penelitian Tindakan kelas dengan judul “Optimalisasi
Pemanfaatan Laboratorium Sebagai Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar Zoologi Invertebrata
Mahasiswa Semester III Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali Tahun Akademik
2011/2012.”
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, maka masalah-masalah pokok yang
dikaji dan ingin dicarikan jawaban pemecahannya melalui penelitian tindakan ini, sebagai
berikut : 1). Apakah optimalisasi pemanfaat laboratorium dapat meningkatkan prestasi belajar
dalam mata kuliah Zoologi pada mahasiswa semester III Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA
IKIP PGRI Bali Tahun Akademik 2011/2012. 2). Bagaimanakah aktivitas mahasiswa dalam
kegiatan laboratorium (praktek).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan kualitas pembelajaran dalam
mata kuliah Zoologi Invertebrata melalui optimalisasi pemanfaatan laboratorium yang dilihat
dari peningkatan nilai rata-rata.. 2). Untuk mengetahui keaktifan mahasiswa dalam kegiatan
praktikum pada praktikum Zoologi Invertebrata.
Berbagai temuan dan informasi yang dapat digali dalam penelitian ini diharapkan dapat
bermanfaat bagi: 1). Mahasiswa dapat mengalami secara langsung belajar dengan suasana yang
lebih kondusif, humanistic serta menggaerahkan yang dapat memacu semangatnya untuk aktif,
kreatif, inovativ menuju pencapaian prestasi serta melatih untuk berpartisipasi, bekerja bersama-
sama dan berinteraksi secara aktif dalam proses pembelajaran baik antar mahasiswa maupuan
antar mahasiswa dengan dosen. 2). Dosen menambah pengalaman yang berkaitan dengan upaya
peningkatan kemampuan dalam merencanakan dan mengimplementasikan dalam kegiatan
pembelajaran dan kegiatan praktek serta menambah wawasan dan kemampuan dalam
manentukan materi pokok dalam mata kuliah Zoologi Invertebrata yang lebih inovatif dan
sebagai alternative dalam mengoptimalkan waktu belajar mahasiswa sehingga pembelajaran
lebih bermanfaat. 3). Lembaga hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan dalam
upaya meningkatkan kualitas dan mutu kegiatan praktek
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas, disingkat PTK berasal dari istilah
bahasa inggris Classroom Action Reserch, yang berarti penelitian yang dilakukan pada sebuah
kelas untuk mengetahui akibat tindakan yang dilakukan terhadap subyek penelitian di kelas
tersebut. Menggunakan model penelitian tindakan dari Kemmis dan Taggart (dalam Arikunto,
suharsini,2002), yaitu berbentuk spiral dari siklus yang satu ke siklus berikutnya. Setiap siklus
meliputi planning (rencana), action (tindakan), observation (pengamatan) dan reflection
(refleksi)
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali selama
kurang lebih 3 (tiga) bulan, mencakup keseluruhan tahapan yang diperlukan. Subyek penelitian
adalah mahasiswa Jurusan Pendidikan Biologi yang duduk disemester III tahun Akademik
2011/2012 sebanyak 33 orang. Untuk mendapatkan data yang sesuai maka instrument yang
digunakan dalam penelitian ini adalah lembaran observasi dan tes. Lembaran observasi
dikembangkan dengan mengacu kepada indikato-indikator aktivitas dimaksudkan untuk
digunakan mengunpulkan data tentang aktivitas mahasiswa terhadap kegiatan laboratorium
(praktek) sedangkan tes dimaksudkan untuk digunakan mengumpulkan data tentang prestasi
belajar praktikan (mahasiswa).
Sesuai dengan jenis rancangan penelitian yang dipakai disini, yaitu penelitian tindakan kelas
(classroom action research), maka teknik analisis data yang relevan dan yang diterapkan adalah
teknik analisis deskriptif-kualitatif. Dengan teknik ini maka data yang telah dikumpulkan dari
hasil penelitian disusun secara sistematis dan selanjutnya disajikan dalam bentuk prosentase atau
table distribusi untuk selanjutnya dilakukan penafsiran dan pemaknaan secara kualitatif dalam
bentuk seperti tuntas-tidak tuntas dan aktif-tidak aktif.
Selanjutnya perlu pula dikemukakan disini criteria penilaian hasil sehubungan dengan
penguasaan mahasiswa terhadap materi atau kompetensi dasar dan criteria proses terkait dengan
aktivitas kegiatan belajar dan kegiatan laboratorium (praktek), sebagai berikut :
Tabel 1. Kriteria Penilaian Hasil Belajar
No. Nilai Kriteria
1 < 65 Tidak tuntas
2 65 – 75 Tuntas dan cukup
3 76 – 90 Tuntas dan memuaskan
4 91 – 100 Tuntas dan sangat memuaskan
Tabel 2.Kriteria Aktivitas Mahasiswa Dalam Praktek
No. Nilai/Frekuensi Kriteria
1 < 40 Sangat rendah
2 41 – 55% Rendah
3 56 – 70% Cukup
4 71 – 85% Tinggi
5 86 – 100% Sangat tinggi
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian.
Penelitian ini berjalan dalam tiga siklus, yang dalam setiap siklusnya berlangsung satu kali
pertemuan atau setiap pertemuan = 3 x 50 menit. Setiap siklus terdiri dari 4 (empat) tahap
kegiatan utama, yaitu perencanaan, tindakan, pengamatan dan refleksi. Data yang dikumpulkan
dalam setiap siklus adalah data yang berhubungan dengan aktivitas dan prestasi belajar
mahasiswa melalui instrument pengumpul data yang telah disiapkan, dalam hal ini adalah
melalui format observasi dan lembar soal tes. Hasil Obserfvasi terhadap aktivitas kegiatan
laboratorium dari siklus ke siklus setelah diolah dapat dilihat pada table 1 berikut.
Tabel 3. Data Aktivitas Kegiatan Laboratoium
No.
Indikator Proses
Ketercapaian
Siklus I Siklus II Siklus III
f % f % f %
1 Antusias mahasiswa dalam
mengikuti praktikum
16 45,72 24 68,27 30 85,71
2 Keberanian mahasiswa dalam
bertanya dan mengemukakan
pendapat
22 62,86 29 82,50 33 94,29
3 Motivasi dan kegairahan dalam
proses belajar (menyelesaikan
tugas mandiri atau tugas
kelompok)
20 57,15 28 79,70 31 88,58
4 Kerjasama dalam kelompok 22 62,86 30 85,41 35 100
5 Kreaktivitas belajar mahasiswa
(membuat catatan hasil
pengamatan, menggambar)
24 70 30 87,50 33 94,29
6 Interkasi dan komunikasi dengan
sesame mahasiswa selama
kegiatan laboratorium (dalam
kerja kelompok)
19 55,00 27 77,55 33 94,29
7 Interaksi dan komunikasi dengan
dosen selama kegiatan
laboratorium)
15 42,86 25 71,43 31 88,57
8 Partisipasi mahasiswa dalam
kegiatan laboratorium
(memperhatikan dan
mendengarkan, ikut melakukan
kegiatan kelompok, selalu
mengikuti petunjuk dosen
18 51,43 26 74,29 32 91,43
Rerata 19,5 55,7 27,38 78,21 32,25 92,14
Berdasarkan data pada tabel 3 tersebut diketahui bahwa aktivitas mahasiswa dalam
mengikuti kegiatan laboratorium (praktikum) mengalami peningkatan dari 55,70% pada siklus I
meningkat menjadi 78,21% pada siklus II dan meningkat menjadi 92,14% pada siklus III yang
berarti dari siklus I ke siklus II mengalami peningkatan sebesar 22,51% dan dari siklus II ke
siklus III mengalami peningkatan sebesar 13,93%. Berdasarkan teknik analisis data tentang
aktivitas dalam mengikuti kegiatan laboratorium (praktikum) yang telah ditetapkan sebelumnya
diperoleh rerata pada masing-masing siklus (siklus I, II, dan III) sebagai tertera pada tabel 1
sebesar 55,70% pada siklus I dengan katagori rendah, sebesar 78,21% pada siklus II dengan
katagori tinggi dan sebesar 92,14% pada siklus III dengan katagori sangat tinggi.
Selanjutnya, prestasi hasil belajar dan atau ketuntasan belajar mahasiswa setelah mengikuti
kegiatan laboratorium (praktikum) dalam mata kuliah Zoologi Invertebrata setelah diolah dan
ditabulasi disajikan dalam bentuk tabel 4
Tabel 4. Data Prestasi Belajar Mahasiswa
No.
Kriteria Penilaian
Ketercapaian
Siklus I Siklus II Siklus III
f % f % f %
1 Tuntas 21 60 25 71,43 30 85,71
2 Tidak tuntas 14 40 10 28,57 5 14,29
3 DS 59,03% 65,86% 69,29%
4 Rerata 59,03 65,86 69,29
Berdasarkan hasil analisis data pada siklus I diperoleh nilai rata-rata sebesar 59,03, daya
serap 59,03% ketuntasan 60%. Jika dibandingkan dengan ketuntasan yang disepakati pada awal
perkuliahan oleh dosen dan mahasiswa yaitu untuk mata kuliah Zoologi Invertebrata hasil belajar
65 dan dikatakan tuntas secara individu minimal penguasaan materi 65%. Dari materi mata
kuliah yang telah diajarkan dan ketuntasan klasikal ≥ 85%. Berdasarkan hasil tersebut, maka
hasil belajar, ketuntasan individu dan klasikal pada siklus I belum memenuhi tuntutan yang telah
ditetapkan bersama. Hasil analisis data pada siklus II diperoleh nilai rata-rata kelas sebesar
65,86, daya serap 65,86 dan ketuntasan klasikal 71,43%. Jika dibandingkan dengan tuntutan
yang telah disepakati, maka hasil belajar, daya serap dan ketuntasan belum tercapai.
Hasil analisis data siklus III diperoleh nilai rata-rata sebesar 69,29, daya serap 69,29 dan
ketuntasan 85,71% Jika dibandingkan dengan ketetntuan yang telah disepakti maka pada siklus
III, baik hasil belajar, daya serap dan ketuntasan telah tercapai.
Tabel 5. Rekapitulasi Hasil Analisis Data
Siklus Ativitas Praktikum Hasil Belajar
Rerata Katagori Rerata DS (%) KK (%)
I 51,43 Rendah 59,03 59,03% 40%
II 74,29 Tinggi 65,86 65,86% 71,43%
III 91,43 Sangat tinggi 69,29 69,29% 85,71%
B. Pembahasan
Dari data hasil penelitian yang telah tersaji pada tabel 5 tersebut dengan jelas diketahui
bahwa aktivitas belajar siswa dalam segala aspek pengamatan mengalami peningkatan yang
sangat berarti dari sikulus I ke Siklus II dan siklus II ke siklus III. Optimalisasi femanfaatan
laboratorium (praktikum) melalui tindakan yang berupa kegiatan praktik yang kontinu,
pembentukan keompok secara acak, membuat laporan sementara hasil praktikum dan kegiatan
akhir praktikum yang diakhiri dengan tes atau penilaian sepertinya cukup ampuh untuk
menggugah motivasi dan gairah mahasiswa untuk mengikuti kegiatan laboratorium (praktikum).
Mahasiswa seolah-olah menjadi sangat terkesan dengan penciptaan suasana belajar dan proses
yang Nampak serius dan resmi dari dosen. Mereka berusaha untuk tampil sebaik mungkin dalam
rangka mendapat penilaian yang terbaik dari dosen selama proses kegiatan laboratorium
(praktek). Apalagi setelah mereka mengetahui tentang aturan main dalam penilaian proses
maupun penilaian akhir.
Itulah kiranya yang mendorong untuk, sepertinya, berlomba dan terpacu meningkatkan
aktivitas belajar dan kegiatan laboratorium (praktek) mereka di laboratorium. Dari yang semula
kelihatan pemalu dan pendiam berubah menjadi pro-aktif dalam berinterakssi dan
berkomunikasi, baik dengan dosen maupun apalgi dengan teman sekelas atau teman kelompok
belajarnya, dari yang semula pemalas, pelamun dan kurang bergairah mengikuti kegiatan
laboratorium (praktek) mendadak menjadi rajin dan bersemangat, dari yang semula kelihatan
peragu dan penakut berubah menjadi penuh percaya diri dalam kegiatan Tanya jawab, dari yang
semula cuek dan egois berubah menjadi penuh atensi dan mau berbagi dengan teman. Hal ini
semua terbukti dari data hasil penelitian sebagaimana tersaji pada tabel 5 di atas, dimana
aktivitas belajar mahasiswa dari segala aspek pengamatan dari 51,43% pada siklus I meningkat
menjadi 74,29% pada siklus II dan meningkat menjadi 91,43% pada akhir siklus III. Berdasarkan
criteria penilaian aktivitas yang telah ditetapkan pada tabel5. Prosentase aktivitas belajar sebesar
91,43 tergolong tinggi sekali. Berarti optimalisasi pemanfaat laboratorium dalam mata kuliah
Zoologi Invertebrata terbukti dapat meningkatkan ativitas belajar mahasiswa.
Hal yang nyata juga dilihat terjadinya peningkatan hasil belajar mahasiswa baik secara
kualitatif maupun kuantitatif, dari semula hanya 21 mahasiswa atau sebesar 60% yang tuntas
pada siklus I meningkat menjadi 25 mahasiswa atau sebesar 71,43% pada siklus II dan
meningkat menjadi 30 mahasiswa atau sebesar 85,71% pada akhir siklus III. Demikian pula
semula rata-rata hasil belajar 59,03, daya serap 59,03% dan ketuntasan klasikal 40% pada siklus
I, meningkat menjadi 65,86, daya serap 65,86% dan ketuntasan klasikal 71,43% pada siklus II
dan menjadi 69,29, daya serap 69,29% dan ketuntasan klasikal 85,57% pada akhir siklus III.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa skor rerata aktivitas belajar dan skor rerata
hasil belajar telah mencapai ketuntasan sesuai dengan kesepakatan yang telah ditetapkan.
Dengan demikian penelitian ini secara keseluruhan dapat dikatakan berhasil, karena pada akhir
penelitian semua criteria keberhasilan yang telah disepakti sebelumnya telah terpenuhi.
Walaupun penelitian ini dikatakan berhasil, namun masih terdapat beberapa kendala dan
kelemahan, antara lain :
1. Dalam kurikulum belum terpisahnya jam kegiatan praktikum dengan jam teori, sehingga
jumlah jam pertemuan per kegiatan perkuliahan kurang memberikan keleluasaan mahasiswa
yang ingin meningkatkan keterampilan dan memenuhi rasa ingin tahu.
2. Belum adanya petugas laboratorium sehingga dosen pengampu mata kuliah merangkap
sebagai pembimbing praktikum. Sehingga dosen sekaligus pembimbing tidak sanggup
mengelola proses perkuliahan yang ada kegiatan laboratorium (praktek) sendiri, karena rasio
dosen dan pembimbing praktikum tidak seimbang.
3. Sumber belajar yang dimiliki mahasiswa dalam hal ini buku-buku penunjang sangat terbatas.
4. Laboratorium yang dimiliki oleh jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali
belum memenuhi syarat laboratorium biologi yang ideal karena masih terbatasnya fasilitas
pendukung kegiatan praktikum yang dimiliki
5. Praktikum tidak bisa dilaksanakan karena sulitnya mendapat hewan percobaan saat
dilaksanakan kegiatan praktikum (praktek)
6. Praktikan malas dan tidak serius dalam melaksanakan praktikum serta cendrung menilai
rendah peran praktikum
7. Praktikan malas mengumpulkan laporan praktikum dan jika mengumpulkan laporan tidak
tepat pada waktu yang ditentukan
8. Kurangnya kerjasama antara mahasiswa dalam setiap kelompok dan rasa kompetisi atau
bersaing antar mahasiswa dan kelompok masih rendah.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Optimalisasi pemanfaatan laboratorium dalam mata kuliah Zoologi invertebrata dapat
meningkatkan aktivitas belajar dan kegiatan laboratorium (praktek) bagi mahasiswa Jurusan
Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali. Hal ini, rerata skor aktivitas 51,43% menjadi
74,29% pada siklus II dan menjadi 91,43% pada akhir siklus III. Terbukti telah berhasil
meningkat sebesar 22,51% dari siklus I ke siklus II dan 13,93% dari siklus II ke siklus III.
2. Optimalisasi pemanfaatan laboratorium dalam mata kuliah Zoologi dapat meningkatkan hasil
belajar mahasiswa. Hal ini ditunjukan dengan adanya peningkatan hasil belajar pada setiap
siklus. Pada siklus I diperoleh nilai rata-rata 59,03 pada siklus II meningkat menjadi 65,86
dan pada siklus III meningkat menjadi 69,29
Saran
1. Dosen jurusan pendidikan biologi umumnya dan dosen pengampu mata kuliah Zoologi
Invertebrata khususnya dimasa-masa mendatang hendaknya lebih mengoptimalkan kegiatan
laboratorium (praktekum)
2. pengampu kepentingan:
a. Perlu pemisahan dalam kurikulum jam untuk mata kuliah teori dan jam untuk kegiatan
laboratorium (praktek)
b. Perlu keseragaman dalam pembobotan praktikum dan teori
c. Agar diusahakan adanya menambah sarana pendukung (alat dan bahan) sehingga tersedia
alat dan bahan setiap saat bila dibutuhkan
d. Agar diusahakan tenaga laboran sehingga kegiatan praktikum dapat dilakukan setiap saat.
DAFTAR RUJUKAN
Alit Mariana, Made, 2007. Pembelajaran IPA Kreaktif dan Inovatif, P4TK IPA Depdiknas:
Jakarta
Depdikbud, 1993. Buku Katalog Alat Laboratorium Sains Untuk SMA. Jakarta Dikmenum
_______, 1999. Pengelolaan Laboratorium Sekolah dan Manual Alat Ilmu Pengetetahuan,
Jakarta
_______, 2000. Pengelolaan Laboratorium Sains. Direktorat Pendidikan Dasar dan Memengah
Direktorat Pendidikan Menengah Umum: Jakarta.
Dediknas, 2004. Materi Pelatihan Terintegrasi Sains, Buku 4, Direktorat Pendidikan Dasar dan
Menengah Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama: Jakarta
Joni, R.T. 1998. Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Reseacrh) Konsep Dasar,
Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Proyek
Pengembangan Guru Sekolah Menengah: Jakarta.
Moejadi, 1986. Pengelolaan Laboratorium IPA, Dekdikbud: Jakarta
Rideng, I Made, 2005. Kajian Terhadap Pelaksanaan Praktikum di Jurusan Pendidikan Biologi
Semester Ganjil Tahun Akademik 2005. Laporan Penelitian IKIP Negeri Singaraja.
Sarna, Ketut. Dkk, 2001. Efektivitas Pengelolaan dan Pemanfaatan Laboratorium SMU Negeri
Di Kabupaten Bulelelng, Dalam Proses Pembelajaran Siswa, Laporan Penelitian IKIP
Negeri Singaraja.
Setiawan, I G.A.Nyoman (2005). Pembelajaran kontekstual. Makalah disampaikan dalam
lokakarya Pembelajaran Inovatif di IKIP Negeri Singaraja Tanggal 19-20 Juli 2005.
Suastra, I Wayan.2004. Implementasi Pembelajaran Sains Kontekstual Sebagai Upaya
Pengembangan Kecakapan Hidup (Life Skill) di SD Laboratorium IKIP Negeri
Singaraja, Laporan Penelitian IKIP Negeri Singaraja.
Supriatna, Mamat, 2009. Studi Deskriptif Analitik Terhadap Laboratorium Sains SMA di
Sekolah Binaan PPPPTK IPA. P4TK Depdiknas: Jakarta
Wardani, I G.A.K. 2004. Penelitian Tindakan Kelas, Buku Materi Pokok, IDIK 4420/2
SKS/MODUL 1 – 6, Universitas Terbuka.
Widnyana, A.A.N.A. 2005. Manajemen Laboratorium. Denpasar : Program Studi Teknik
Elektro.
Rahmawati, 2001. Memaksimalkan Laboratorium. http:/karya-
ilmiah.um.ac.id/index.php/disertasi/article/view/2481 di Akses 24 Desember 2010
PENGARUH IMPLEMENTASI PENDEKATAN PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL
TERHADAP PRESTASI BELAJAR IPA DAN SIKAP ILMIAH SISWA KELAS VII
SMP NEGERI 11 DENPASAR TAHUN PELAJARAN 2009/2010
Ni Wayan Ratnadi
(1) dan I Wayan Suanda
(2)
(1) Pengajar SMP Negeri 11 Denpasar
(2) Dosen Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali
ABSTRACT
Effect Of Implementation Approach Contextual Study Of Achievement IPA Scientific
Learning And Attitude Vii Class Students SMP State School Year 11 Denpasar 2009/2010
This study mainly aimed at finding out the effect of the implementation of contextual
teaching and learning approach upon scientific learning achievement. This study used posttest-
only control group design by involving a sample of 94 students of SMP Negeri 11 Denpasar.
Contextual teaching and learning approach (CTL) which was treated to the experimental group
and conventional instruction approach which was treated to the control group were used as the
independent variables. The study used science achievement test and questionnaire as the
instruments for data collection. The science achievement test was used to collect data on science
achievement and the questionnaire to collect data on scientific attitude. The data were analyzed
with inferential statistics. The hypothesis was tested with one-way MANOVA.
The results of data analysis showed: firs, CTL had a positive effect upon science learning
achievement, implying that the implementation of CTL in science teaching caused a higher
science learning achievement in the group of students whose learning process implemented CTL
compared to those whose learning implemented comventional instruction approach as the control
(t observed = 19.68 at α = 0.05). Second, the implementation of CTL also had positive effect
upon scientific attitude, implying that its implementation in science teaching caused a higher
scientific attitude of the students whose learning process used CTL (t observed = 11.52 at α =
0.05). Third, the implementation of CTL simultaneously caused higher science achievement and
scientific attitude of the students than those of the students whose learning process implemented
conventional instruction approach.
The findings of this study indicate that the implementation of CTL approach on improve
science learning achievement and scientific attitude of the students of SMP Negeri 11 Denpasar.
On the basis of these findings it is recommended that science teachers implement CTL in the
suitable science teaching process.
Key words: Contextual Learning Approach, Science Learning Achievement, Scientific Attitude.
PENDAHULUAN
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan berupa
penambahan sarana pendidikan, termasuk pendidikan IPA, diantaranya dengan mengadakan
buku ajar atau bahan ajar berupa buku paket sebagai referensi, meningkatkan mutu guru dan
tenaga kependidikan lainnya, baik melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP),
pelatihan, seminar, peningkatan kualifikasi pendidikan mereka, serta menyempurnakan
kurikulum. Penyempurnaan kurikulum 1994 menjadi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)
atau Kurikulum 2004, yang kemudian kembali mengalami revisi menjadi Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006, yang implementasi di lapangan belum sesuai dengan
teori yang ada (Badan Standar Nasional Pendidikan, 2006). Hal ini dapat dilihat dari pelaksanaan
pembelajaran di sekolah yang belum sesuai dengan KTSP, karena guru masih sering menerapkan
pendekatan pembelajaran konvensional.
Selama ini, pendekatan yang sering digunakan dalam pembelajaran adalah dengan
metode ceramah dan tanya jawab. Pendekatan ini ternyata kurang efektif, sehingga prestasi
belajar dan terbentuknya sikap ilmiah siswa belum maksimal. Sikap ilmiah dari siswa akan
muncul apabila dalam proses pembelajaran di kelas menekankan proses keterlibatan siswa
secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan
situasi kehidupan nyata untuk mendorong agar mereka dapat menerapkan dalam kehidupannya.
Namun saat ini pola pembelajaran pada umumnya masih didominasi oleh guru, sehingga
keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran sangat minim. Siswa tidak dibiasakan untuk
memecahkan masalah dan menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya secara mandiri. Ini
menyebabkan siswa beranggapan bahwa keberadaan mereka di kelas hanya sebagai penerima
materi pelajaran dari guru atau sebagai benda mati yang tidak mampu beraktivitas. Hal ini
tampak dari perolehan Nilai Ujian Akhir Nasional (NUAN) IPA pada tingkat SMP dari tahun ke
tahun masih belum memenuhi standar Nasional. Hasil NUAN sampai saat ini masih dijadikan
sebagai salah satu indikator yang mudah diakses oleh masyarakat luas untuk dijadikan acuan
tentang keberhasilan pendidikan di Indonesia.
Para ahli pendidikan telah banyak mengemukakan dan mengenalkan pendekatan
pembelajaran untuk lebih mengefektifkan proses belajar mengajar. Setiap proses belajar
mengajar menuntut upaya pencapaian suatu tujuan tertentu. Dalam proses belajar mengajar tidak
ada suatu pendekatan pembelajaran yang paling baik (Arends, 1997). Pendekatan pembelajaran
yang kurang variatif, mengakibatkan kebanyakan siswa bosan dan kurang memahami materi
pelajaran yang dijelaskan oleh guru. Dari hal tersebut, guru hendaknya perlu menguasai dan
menerapkan berbagai pendekatan pembelajaran agar dapat tercapai tujuan pembelajaran yang
maksimal. Dari beranekaragamnya pendekatan pembelajaran, guru dapat memilih pendekatan
pembelajaran yang sesuai dengan lingkungan belajar serta kelompok siswa. Dalam memilih
suatu pendekatan pembelajaran, guru harus berorientasi pada tujuan pembelajaran yang hendak
ingin dicapai dan tidak semua materi harus diajarkan dengan pendekatan pembelajaran yang
sama.
Dari rumusan masalah, maka secara operasional tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut. 1) Untuk mengetahui apakah prestasi belajar IPA siswa
yang mengikuti pendekatan pembelajaran kontekstual lebih baik daripada prestasi belajar IPA,
siswa yang mengikuti pendekatan pembelajaran konvensional. 2) Untuk mengetahui apakah
sikap ilmiah siswa yang mengikuti pendekatan pembelajaran kontekstual lebih baiak daripada
sikap ilmiah siswa yang mengikuti pendekatan pembelajaran konvensional. 3) Untuk mengetahui
apakah secara silmultan, terdapat perbedaan prestasi belajar IPA dan sikap ilmiah antara siswa
yang mengikuti pendekatan pembelajaran kontekstual dengan sikap ilmiah siswa yang mengikuti
pendekatan pembelajaran konvensional.
Bila hasil penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan, maka hasil
penelitian ini dapat bermanfaat secara teoritis maupun praktis bagi peningkatan pelayanan
pendidikan baik bagi guru, siswa maupun praktisi pendidikan.
METODE PENELITIAN
Mengacu pada fokus permasalahan dan kaitan antar variabel yang dilibatkan maka
penelitian ini termasuk katagori penelitian eksperimen semu (quasi experimental) (Campbell dan
J.C. Stanly, 1996; Sugiyono, 2008). Hal ini disebabkan karena: (1) proses pengacakan
(randomisasi) terhadap siswa yang telah dikelompokkan ke dalam kelas-kelas tertentu tidak
mungkin dilakukan dengan mengubah tatanan kelas yang sudah ada dan (2) tidak mungkin
mengontrol secara ketat variabel-variabel lain selain variabel yang diteliti. Namun dengan
menggunakan metodologi yang tepat, hasil eksperimen quasi masih dapat dipertanggung
jawabkan secara ilmiah (Tuckman, 1972). Rancangan eksperimen yang digunakan adalah
rancangan atau desain kelompok kontrol post test saja (The Post Test-Only Control Group
Design) (Arikunto, 2006; Emzir, 2008). Pemilihan desain ini karena peneliti hanya ingin
mengetahui perbedaan prestasi belajar IPA dan sikap ilmiah antara kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol dan bukan untuk mengetahui peningkatan prestasi belajar IPA kedua
kelompok, dengan demikian tidak menggunakan skor pre test.
Data prestasi belajar IPA dalam penelitian ini diambil dari skor post test saja, yang
dilakukan pada akhir penelitian atau dengan kata lain tanpa memperhitungkan skor pre test.
Campbell dan Stanley (1966), Novak dan Gowin (1985) menyatakan bahwa data penelitian yang
hanya memperhitungkan skor post test saja dan tanpa memperhitungkan skor pre test, faktor
ancaman validitas internal dapat ditekan seminimal mungkin serta dapat dikontrol, seperti:
sejarah, kematangan, test, instrumen, regresi, kematian (mortalitas), dan implementasi.
Populasi penelitian adalah seluruh siswa kelas VII SMP Negeri 11 Denpasar dengan
jumlah 185 siswa yang tersebar dalam empat kelas yaitu kelas VII A, VII B, VII C, dan VII D,
yang terdistribusi ke dalam kelas-kelas yang setara secara akademik. Pada pemilihan sampel
penelitian dilakukan dengan teknik random sampling, tetapi yang dirandom adalah kelas.
Untuk mengukur validitas butir tes digunakan rumus korelasi product moment dengan
angka kasar, karena tes prestasi belajar IPA kelompok siswa bersifat politomi.. Adapun rumus
yang digunakan adalah sebagai berikut.
2222 YYNXXN
YXXYNrxy (Winarsunu, 2002)
dengan:
X = skor butir tes
Y = skor total
N = jumlah responden
Dalam menghitung validitas butir tes prestasi belajar IPA, peneliti menggunakan
bantuan program Microsoft Excel dengan bantuan fungsi korelasi (CORREL) yang secara
otomatis menampilkan koefisien validitas masing-masing butir soal. Fungsi correl ini sama
dengan rumus korelasi produk moment. Kriteria yang digunakan adalah dengan membandingkan
harga rxy dengan r tabel pada taraf signifikansi 5%, dengan ketentuan rxy dikatakan valid apabila
rxy rTabel. Dalam penelitian ini jumlah responden yang diikutkan dalam ujicoba tes gaya
berpikir siswa adalah 30 orang, sehingga diperoleh r-tabel untuk N = 32 pada taraf signifikan
5%.
Rumus yang digunakan untuk mencari koefisien reliabilitas bentuk tes yang bersifat
politomi adalah rumus Alpha Cronbach, yaitu:
2
2
11 11
t
i
s
s
n
nr dengan:
Varians tiap butir tes : N
N
XX
si
2
2
2
)(
Untuk tes sikap ilmiah juga dilakukan uji validitas isi sama halnya dengan tes prestasi
belajar IPA, tes sikap ilmiah siswa hanya mengalami revisi redaksional saja. Untuk mengetahui
koefisien validitas isi tes sikap ilmiah digunakan teknik dari Gregory.
DCBA
DVKVI
/ (Gregory, 2000)
Untuk mengukur validitas tes digunakan rumus korelasi product moment dengan angka
kasar, karena tes berpikir ilmiah siswa bersifat politomi. Adapun rumus yang digunakan adalah
sebagai berikut.
2222 YYNXXN
YXXYNrxy
Dalam menghitung validitas butir tes prestasi belajar dan kuesioner sikap ilmiah siswa,
peneliti menggunakan bantuan program Microsoft Excel dengan bantuan fungsi korelasi
(CORREL) yang secara otomatis menampilkan koefisien validitas masing-masing butir soal.
Fungsi Correl ini sama dengan rumus korelasi produk moment. Kreteria yang digunakan adalah
dengan membandingkan harga rxy dengan r tabel pada taraf signifikansi 5%, dengan ketentuan rxy
dikatakan valid apabila rxy rtabel.
Analisis reliabilitas tes prestasi belajar dan kuesioner sikap ilmiah dilakukan hanya
untuk butir yang valid. Sehingga menentukan koefisien reliabilitas bisa dilakukan jika analisis
validitas sudah dilakukan. Rumus yang digunakan untuk mencari koefisien reliabilitas bentuk tes
yang bersifat politomi adalah rumus Alpha Cronbach, yaitu:
2
2
11 11
t
i
s
s
n
nr dengan:
Varian tiap butir tes : N
N
XX
si
2
2
2
)(
Sebelum dilakukan uji hipotesis terlebih dahulu dilakukan uji prasyarat analisis dengan
melakukan Uji Normalitas Sebaran Data dan Uji Homogenitas Varians. Uji normalitas dilakukan
dengan bantuan SPSS-10 for windows, dengan grafik dan melihat besaran Kolmogorov-Smirnov.
Kriteria pengujian data adalah data berdistribusi normal jika angka signifikansi Sig > 0,05.
Sedangkan pengujian homogenitas dilakukan untuk menguji bahwa setiap kelompok yang akan
dibandingkan memiliki variansi yang sama. Dengan demikian perbedaan yang terjadi dalam uji
hipotesis benar-benar berasal dari perbedaan antar kelompok, bukan sebagai akibat dari
perbedaan yang terjadi di dalam kelompok. Uji homogenitas dilakukan dengan uji kesamaan
varians-kovarians melalui uji Box’s M untuk uji homogenitas secara bersama-sama dengan Uji
Levene untuk uji homogenitas secara terpisah. Kriteria pengujian adalah data memiliki matriks
varians–kovarians yang sama (homogen) jika angka signifikansi yang dihasilkan dalam uji Box’s
M lebih dari 0,05.
Hipotesis pertama dan kedua diuji dengan menggunakan uji beda mean berupa uji t.
Adapun rumus yang digunakan adalah sebagai berikut.
21
21
11
nns
yyt AA
(Winarsunu, 2002)
Taraf signifikansi pengujian ditetapkan sebesar = 0.05 dengan kriteria pengujian
adalah tolak hipotesis nol (Ho), jika thitung ttabel dengan derajat kebebasan n1 + n2 -2.
Hipotesis ketiga, yang menyatakan secara simultan terdapat perbedaan prestasi belajar
IPA dan sikap ilmiah antara siswa yang mengikuti pembelajaran kontekstual dengan siswa yang
mengikuti peendekatan konvensional diuji dengan menggunakan uji F dengan analisis
MANOVA (one way multivariate analysis of variance) satu jalur denagan bantuan SPSS 10.00
for windows. Kreteria pengujian adalah menolak Ho jika harga sig. F-Wilk’s Lamda kurang dari
0,05.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hipotesis pertama, hasil perhitungan uji t menunjukkan bahwa nilai thitung sebesar
19,677; sedangkan harga ttabel untuk dk = 1n + 2n - 2 = 92 pada taraf signifikansi 5% ( 05,0 )
(one-tail test) sebesar 1,98. Ternyata thitung lebih besar daripada ttabel (thitung = 19,677 ttabel (0,05)
(92) = 1,98). Begitu juga uji F, dari statistik diketahui bahwa nilai Fhitung sama dengan kuadrat
dari nilai thitung 2
hitunghitung tF , sehingga nilai Fhitung = (19,679)2 = 387,18. Sementara itu, nilai
Ftabel untuk derajat pembilang 1 dan derajat penyebut 94 pada taraf signifikansi 5% sebesar 3,94.
Ternyata Fhitung lebih besar daripada Ftabel (Fhitung = 387,18 Ftabel (1:94;0,05) = 3,94). Dari kedua
uji statistik di atas menunjukkan bahwa hipotesis nol (H0) yang menyatakan bahwa prestasi
belajar IPA siswa yang mengikuti pendekatan pembelajaran kontekstual tidak berbeda daripada
prestasi belajar IPA siswa yang mengikuti pendekatan pembelajaran konvensional, ditolak.
Sebaliknya, hipotesis alternatif (Ha) yang menyatakan bahwa prestasi belajar IPA siswa yang
mengikuti pendekatan pembelajaran kontekstual lebih tinggi daripada prestasi belajar IPA siswa
yang mengikuti pendekatan pembelajaran konvensional, diterima (gagal ditolak).
Implementasi penerapan pembelajaran kontekstual dengan pembelajaran konvensional,
terdapat pengaruh terhadap prestasi belajar IPA (Biologi). Dalam pembelajaran IPA, penerapan
pembelajaran kontekstual secara keseluruhan terbukti lebih baik dan efektif dibandingkan
penerapan pembelajaran konvensional. Lebih efektifnya penerapan pembelajaran kontekstual
dalam pembelajaran IPA, tidak lepas dari substansi IPA itu sendiri. IPA merupakan disiplin ilmu
yang tidak hanya berupa konsep, rumus atau prinsip, tetapi juga memuat proses bagaimana
konsep, rumus dan prinsip itu diperoleh. Untuk mencapai tujuan pembelajaran secara utuh tidak
cukup hanya dengan “transfer” pengetahuan dari guru ke siswa, tetapi lebih ditekankan pada
pengkonstruksian pengetahuan lewat berbagai aktivitas berpikir dan dialog pengalaman belajar.
Pada pembelajaran IPA, proses konstruksi pengetahuan dan dialog oleh siswa nampaknya lebih
terkondisikan dalam pembelajaran kontekstual.
Dalam pembelajaran kontekstual, seorang guru memusatkan perhatian siswa dengan
menyebutkan fenomena-fenomena kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan topik yang
dipelajari. Dengan mengemukakan fenomena-fenomena tersebut diharapkan siswa
mengemukakan gagasannya dengan menghubungkannya dengan kehidupannya sehari-hari (Fajar
dkk. 2006). Berdasarkan gagasan itu, siswa diharapkan dapat mengkonstruksi pengetahuan baru.
Pengaruh interaksi siswa dengan lingkungan memberikan kontribusi terhadap pembentukan
pengetahuan IPA bagi siswa tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Piaget (1951), yang
menyatakan bahwa seseorang yang memperoleh kecakapan intelektual, pada umumnya akan
berhubungan dengan proses mencari keseimbangan antara apa yang ia rasakan dan diketahui
pada satu sisi dengan apa yang ia lihat sebagai suatu fenomena baru sebagai pengalaman.
Selanjutnya Vygotsky yang menekankan pada hakikat pembelajaran sosiokultural, yang
menekankan interaksi pada aspek internal dan eksternal dari pembelajaran dengan penekanannya
pada lingkungan sosial pembelajaran (Vygotsky, 1978). Belajar seperti ini selain berkenaan
dengan hasil (outcome) juga memperhatikan proses.
Masih rendahnya prestasi belajar siswa kelas VII SMP Negeri 11 Denpasar dalam
pembelajaran IPA, karena prestasi belajar tidak hanya dipengaruhi oleh pendekatan
pembelajaran yang diterapkan guru, namun juga dipengaruhi oleh raw input (siswa yang masuk)
dan environmental input (lingkungan). Hal ini juga dinyatakan oleh Tirtarahardja dan La Sula
(2001), bahwa proses belajar mengajar dalam sistem pendidikan saling berhubungan antara
komponen instrumental input (masukan instrumental), raw input (masukan mentah) dan
environmental input (masukan lingkungan). Komponen instrumental input dalam hal ini adalah
pendekatan pembelajaran kontekstual.
Hipotesis kedua, hasil perhitungan uji t menunjukkan bahwa nilai thitung sebesar 11,52;
sedangkan harga ttabel untuk dk = 1n + 2n - 2 = 92 pada taraf signifikansi 5% ( 05,0 ) (one-
tail test) sebesar 1,98. Ternyata thitung lebih besar daripada ttabel (thitung = 11,52 ttabel (0,05) (92) =
1,98). Begitu juga uji F, dari statistik diketahui bahwa nilai F hitung sama dengan kuadrat dari nilai
t hitung 2
hitunghitung tF , sehingga nilai Fhitung = (11,52)2 = 132,71. Sementara itu, nilai Ftabel untuk
derajat pembilang 1 dan derajat penyebut 94 pada taraf signifikansi 5% sebesar 3,94. Ternyata
Fhitung lebih besar daripada Ftabel (Fhitung = 132,71 ttabel (1:94;0,05) = 3,94). Dari kedua uji statistik
di atas menunjukkan bahwa hipotesis nol (H0) yang menyatakan bahwa sikap ilmiah siswa yang
mengikuti pendekatan pembelajaran kontekstual tidak berbeda daripada sikap ilmiah siswa yang
mengikuti pendekatan pembelajaran konvensional, ditolak. Sebaliknya, hipotesis alternatif (Ha)
yang menyatakan bahwa sikap ilmiah siswa yang mengikuti pendekatan pembelajaran
kontekstual lebih tinggi daripada sikap ilmiah siswa yang mengikuti pendekatan pembelajaran
konvensional, diterima (gagal ditolak).
Pada penerapan pembelajaran kontekstual, kreativitas dan sikap ilmiah siswa dapat
dikembangkan lebih maksimal. Siswa diberi kesempatan untuk melakukan kegiatan belajar
mengamati, mendeskripsikan, mengklasifikasikan dan melakukan percobaan/pengujian dengan
menggunakan keterampilan ilmiah yang dimilikinya. Kegiatan belajar seperti ini dapat
membangun dan mentransformasikan persepsi yang dimiliki siswa, sejalan dengan paham
konstruktivisme. Menurut paham konstruktivisme, dalam proses pengamatan dan proses
pembelajaran siswa harus aktif mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, melalui proses
asimilasi, akomodasi dan equiliberasi (penyeimbangan) (Komalasari, 2010).
Kegiatan pengamatan langsung melalaui observasi dalam proses pembelajaran
kontekstual memberikan ruang lebih luas untuk tumbuhnya rasa ingin tahu yang lebih besar
kepada siswa, karena siswa berhadapan dengan fenomena-fenomena baru. Selain itu, kegiatan
pengamatan di laboratorium maupun di luar laboratorium umumnya membutuhkan sekaligus
melatih kesabaran, ketekunan, keseriusan dan kedisiplinan siswa bekerja. Bila siswa dihadapkan
pada suatu masalah, sehingga siswa dituntut untuk menyelesaikan masalah dengan memberikan
jawaban yang ada sesuai kemampuan penalaran yang dimilikinya. Pada kegiatan inilah siswa
diberi kesempatan melatih kemampuannya untuk berpikir kritis dan berdaya temu dengan
mentransformasikan pengetahuannya ke dalam masalah yang hendak dipecahkan, melalui
kegiatan menganalisis dan menginterpretasi data yang diperoleh dalam observasi. Lebih lanjut
Sudiarta (2005) menyatakan bahwa pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran IPA
memberikan ruang yang cukup bagi siswa untuk membangun dan mengembangkan konsep IPA
secara mendalam, khususnya membangun kompetensi IPA siswa dalam: 1) memecahkan
masalah, 2) berargumentasi dan berkomunikasi secara sistematis, 3) melakukan penemuan
kembali, dan 4) berpikir kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, penemuan dan generalisasi
melalui pemikiran kreatif (divergen).
Hipotesis Ketiga, hasil multivariate test tentang perbedaan prestasi belajar IPA dan
sikap ilmiah siswa yang mengikuti pendekatan pembelajaran kontekstual dan siswa yang
mengikuti pendekatan konvensional menghasilkan angka Sig. yaitu 0,00 pada nilai F Pillai's
Trace, Wilks' Lambda, Hotelling's Trace, Roy's Largest Root. Angka signifikan ini berada di
bawah 0,05 yang berarti terdapat perbedaan prestasi belajar IPA dan sikap ilmiah siswa yang
mengikuti pendekatan pembelajaran kontekstual dan siswa yang mengikuti pendekatan
konvensional. Selanjutnya, test of between-subjects sffects menunjukkan bahwa hubungan
pendekatan pembelajaran dengan prestasi belajar IPA memberikan harga F sebesar 387,199
dengan signifikansi 0,00 yang jauh lebih kecil daripada 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan prestasi belajar IPA yang diakibatkan oleh perbedaan pendekatan
pembelajaran. Dilain pihak, hubungan antara pendekatan pembelajaran dengan sikap ilmiah
siswa memberikan harga F sebesar 132,906 dengan signifikansi 0,00 yang juga jauh lebih kecil
daripada 0,05. hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan sikap ilmiah siswa yang
diakibatkan oleh perbedaan pendekatan pembelajaran.
Berdasarkan hasil analisis deskriptif tentang prestasi belajar IPA dan sikap ilmiah
ditinjau dari pendekatan pembelajaran yang diterapkan, menunjukkan bahwa: 1) rata-rata
prestasi belajar IPA siswa yang mengikuti pendekatan pembelajaran kontekstual yaitu sebesar
41,42 yang lebih besar daripada rata-rata prestasi belajar IPA siswa yang mengikuti pendekatan
pembelajaran konvensional yaitu sebesar 29,61; dan 2) rata-rata sikap ilmiah siswa yang
mengikuti pendekatan pembelajaran kontekstual yaitu sebesar 114,53 yang lebih besar daripada
rata-rata sikap ilmiah siswa yang mengikuti pendekatan pembelajaran konvensional, yaitu
sebesar 99,59. Dengan kata lain, prestasi belajar IPA dan sikap ilmiah siswa yang mengikuti
pendekatan pembelajaran kontekstual lebih baik daripada siswa yang mengikuti pendekatan
pembelajaran konvensional. Hal ini terjadi karena adanya kesesuaian antara pembelajaran IPA
dengan pembelajaran kontekstual, karena pembelajaran IPA harus bisa menghubungkan antara
ide abstrak dan gagasan dengan situasi dunia nyata yang pernah dialami ataupun yang pernah
dipikirkan siswa. Berarti penerapan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran IPA, akan
mampu mengkondisikan siswa untuk: 1) mencari kaitan antara konten materi dengan konteksnya
dalam keseharian, 2) menemukan sendiri dan mengkonstruksi pengetahuannya dari proses
pengamatan menjadi pemahaman, 3) melakukan learning community (masyarakat belajar)
dengan bekerja kelompok untuk memecahkan permasalahan dan menemukan konsep baru, 4)
mengembangkan keterampilan bertanya dan berpikir kritis dalam menyikapi permasalahan, 5)
melakukan pemodelan, serta 6) melakukan refleksi terhadap apa yang telah dipelajarinya.
Hal ini disebabkan karena pendekatan pembelajaran kontekstual lebih menekankan
pada siswa untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, dan guru memberikan kebebasan
kepada siswa untuk mengembangkan aspek kognitif, psikomotor dan learning community dalam
proses pembelajaran (Agustina, 2009). Oleh sebab itu peranan guru dalam pembelajaran lebih
cendrung sebagai fasilitator dan mediator bagi siswa. Kondisi ini akan lebih memotifasi siswa
untuk aktif dan kreatif, sehingga muncul rasa ingin tahu dengan mengkonstruksi pengetahuannya
dalam pembelajaran. Hasil penelitian ini sejalan dengan temuan Sujanem (2003), pada
penelitiannya menunjukkan bahwa implementasi pendekatan pembelajaran kontekstual dalam
pembelajaran sains dapat meningkatkan pemahaman konsep sains siswa SLTP, dan melalui
penerapan pendekatan kontekstual juga dapat meningkatkan sikap ilmiah serta aktivitas siswa
dalam pembelajaran. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Suastra (1996) yang menyatakan
bahwa kehidupan sehari-hari di alam ini mempengaruhi pembentukan makna pembelajaran IPA
bagi siswa. Pernyataan ini juga sejalan dengan pemikiran Piaget (1951), yang menuntut seorang
anak (siswa) bertindak aktif terhadap lingkungannya untuk mengembangkan skemata dan tingkat
pengetahuannya.
Perkembangan struktur kognitif akan berjalan dengan baik bila anak mengasimilasikan
dan mengakomodasikan rangsangan dalam lingkungannya. Proses ini terjadi bila anak bertindak
terhadap lingkungannya, bergerak dalam ruang, berinteraksi dengan objek, mengamati, meneliti
serta berpikir kritis dan kreatif (Suparno, 1997). Bekerja dengan proses ini akan memberi
kesempatan untuk menumbuhkan sikap ilmiah pada siswa, sebagai efek ikutan (nuturant effects).
Selanjutnya Bruner (1977) menjelaskan bahwa perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui
tiga tahap (fase), yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan, yaitu: 1) tahap enaktif,
artinya seseorang melakukan aktivitasnya untuk memahami dunia sekitarnya dengan
menggunakan pengetahuan motorik, 2) tahap ikonik, artinya seseorang memahami objek atau
lingkungan melalui bentuk visualisasi yang melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan
perbandingan (komparasi), dan 3) tahap simbolik, artinya seseorang telah mampu memiliki ide
atau gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya. Tahap kegiatan belajar yang
dikemukakan Bruner dan Piaget tampaknya sejalan dengan proses pembelajaran dengan
pendekatan kontekstual, sehingga dapat menghasilkan sikap ilmiah dan penguasaan konsep IPA
yang lebih tinggi. Hal ini tentunya akan bermuara pada prestasi belajar IPA yang semakin baik.
Keunggulan yang dimiliki oleh pembelajaran kontekstual, ternyata tidak terjadi pada
siswa yang proses pembelajarannya dengan pendekatan konvensional. Hal ini terjadi karena
siswa yang diajar dengan pendekatan konvensional, cendrung kurang percaya diri dalam
menyelesaikan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya. Mereka menjadi sulit menentukan arah
kegiatan belajar, karena itu dalam kegiatan belajarnya lebih suka mempertahankan kebiasaan
yang sudah ada dan kurang tertarik kepada pembaruan, sehingga dibutuhkan peran guru yang
lebih banyak untuk mengarahkan dan menjelaskan materi pelajaran selama proses pembelajaran
berlangsung. Pembelajaran yang lebih mementingkan peran guru dalam proses belajar mengajar
termasuk pembelajaran konvensional.
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis analisis statistik dalam penelitian ini, maka dapat
disimpulkan. 1) Prestasi belajar IPA siswa yang mengikuti pendekatan pembelajaran kontekstual
lebih tinggi daripada prestasi belajar IPA siswa yang mengikuti pendekatan pembelajaran
konvensional; 2) Sikap ilmiah siswa yang mengikuti pendekatan pembelajaran kontekstual lebih
tinggi daripada sikap ilmiah siswa yang mengikuti pendekatan pembelajaran konvensional; dan
3) secara silmultan, terdapat perbedaan prestasi belajar IPA dan sikap ilmiah antara siswa yang
mengikuti pendekatan pembelajaran kontekstual dengan sikap ilmiah siswa yang mengikuti
pendekatan pembelajaran konvensional.
Dari simpulan di atas, maka dapat disarankan 1) Dalam proses pembelajaran di kelas
khususnya mata pelajaran IPA (biologi) proses pembelajaran dengan menerapkan pendekatan
pembelajaran kontekstual. Oleh karena itu pembelajaran kontekstual perlu dikenalkan dan
dikembangkan lebih lanjut kepada guru, siswa khususnya di SMP Negeri 11 Denpasar dan
kepada praktisi pendidikan sebagai salah satu alternatif pendekatan pembelajaran. Penelitian
lanjutan yang berkaitan dengan pendekatan pembelajaran kontekstual dengan materi-materi IPA
yang lain, dengan melibatkan sampel yang lebih luas juga perlu dilakukan.
DAFTAR RUJUKAN
Adnyana, P. B. 2006. Pengaruh Penggunaan Model siklus Belajar dalam Pembelajaran IPA
terhadap Penguasaan Konsep, Penalaran, dan keterampilan Inkuiri Siswa SMP di Laboratorium
IKIP Negeri Singaraja. Jurnal Penelitian IKIP Negeri Singaraja.
Agustina, E. I Putu. 2009. Pengaruh Model Pembelajaran Kontekstual terhadap Pemahaman
Konsep dan Keterampilan Proses Sains Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Tabanan Tahun Ajaran
2008/2009. Tesis (tidak diterbitkan). Singaraja: Program Studi Pendidikan Dasar Program
Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha.
Arends, R. 1997. Classroom Instruction and Management. New York: McGraw-Hill Company.
Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Bruner, J. 1977. The Process of Education. Cambridge: Havard University Press.
Campbell, D.T. & J. C. Stanley. 1996. Eksperimental and Quasi-Eksperimental Designs for
Research. Chicago: Rand Mc.Nally College Publishing Company.
Emzir. 2008. Metodologi Penelitian Pendidikan Kuantitatif dan Kualitatif. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Fajar, Crys P; Ristiningsih; Suhardi; Supriyanto dan Susiloningsih. 2006. Pembelajaran Ilmu
Pengetahuan Alam Terpadu dan Kontekstual Kelas VII SMP dan MTs. Surakarta: Mediatama.
Gregory, R.J. 2000. Psychological Testting: History, Principles, and Applications. Boston: Allyn
dan Bacon
Komalasari, K. 2010. Pembelajaran Kontekstual Konsep dan Aplikasi. Bandung: Rifika
Aditama.
Piaget, J. 1951. The Child’s Conception of the World Savage. Maryland: Littlefield Publishers.
Setiawan, I G.A.N. 2006. Pengaruh Pembelajaran Konstekstual dalam Strategi Inkuiri dan
Pembelajaran berdasarkan Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir dan Penguasaan
Kosep IPA SMP di Kecamatan Buleleng. Desertasi (tidak diterbitkan). Program Pascasarjana
Universitas Negeri Malang.
Suastra, I.W. 1996. Penerapan Model Pembelajaran Heuristik Vee dengan Peta Konsep dalam
Pembelajaran Fisika. Tesis (tidak diterbitkan). IKIP Bandung.
Sudiarta, P. 2005. Pengembangan Kompetensi Berpikir Divergen dan Kritis melalui Pemecahan
Masalah Matematika Open-Ended, Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja,
Edisi Mei 2005.
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R & D.
Bandung: Alfabeta.
Sujanem, Rai. 2003. Implementasi Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Fisika sebagai
Upaya untuk Meningkatkan Sikap Ilmiah, Aktivitas dan Hasil Belajar Fisika Siswa Kelas IB
SLTPN 6 Singaraja. Laporan Penelitian (tidak diterbitkan). IKIP Negeri Singaraja.
Suparno, P. 1997. Filsafat Konstruktivistik dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Tirtarahardja, U dan La Sula. 2001. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Tuckman, Bruce W. 1972. Conditioning Educational Research. New York: Harcourt Brace
Javonovich Inc.
Vygotsky, L.S. 1978. Mind in Society. Cambridge: Havard University Press.
Warpala, I W. S. 2006. Pengaruh Pendekatan Pembalajaran dan Strategi Belajar Kooperatif yang
Berbeda terhadap Pemahaman dan Kemampuan Berpikir Kritis dalam Pembelajaran IPA SD.
Disertasi (tidak diterbitkan). Program Studi Teknologi Pembelajaran, Program Pascasarjana
Universitas Negeri Malang.
Winarsunu, T. 2002. Statistik dalam Pendidikan. Bandung: Rineka Cipta.
Aktivitas Fungisida Ekstrak Daun Saba (Piper Majusculum Blume) Terhadap
Pertumbuhan Jamur Fusarium oxysporum f.sp vanillae Penyebab Penyakit Busuk Batang
Panili
I Gusti Ayu Rai Dosen Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali.
ABSTRACT
Fungicide Activity Saba Leaf Extract (Piper Majusculum Blume) the fungus Fusarium
oxysporum f.sp. vanillae causes stem rot disease Vanilla.
The study entitled "Fungicide Activity Saba Leaf Extract (Piper Majusculum Blume) the
fungus Fusarium oxysporum f.sp. vanillae causes stem rot disease Vanilla ", aims to determine
the antifungal activity of the crude extract of leaves of Saba to fungus F. Oxyxporum f.sp.
vanillae. Tests conducted in vitro on the growth of fungal colonies on PDA and activity of the
extracts on the formation and germination of fungal spores with GDP media.
The results showed that the crude extract of leaves of Saba is able to inhibit the growth of
fungal radial F.oxysporum f.sp. vanillae in vitro on PDA. Inhibition of the crude extract of leaves
of Saba with a concentration of 0.5% to 0.3% increase from 59.99% to 95.76%, and 0.35%
concentration of the extract to inhibit fungal radial growth to 100%.
Crude extract of leaves of Saba is also able to suppress the growth of fungi F. Oxysporum F.sp.
vanillae on PD Broth media, through the inhibition of germination. Through germination
inhibition at concentrations of 0.1% to 0.4% concentration increased from 38.89% to 87.04%,
and 0.5% at concentrations capable of inhibiting germination of 100%. While inhibition of spore
formation at concentrations of 0.1% to 0.4% concentration increased from 46.54% to 92.20%,
and 0.5% at concentrations of extract can inhibit spore formation to 100%.
From the test results, it can be concluded that the coarse leaf extract in vitro Saba has
antifungal activity against F. oxysporum f.sp. vanillae. The mechanism of antifungal activity of
the crude extract of leaves of Saba to F. Oxysporum f.sp. vanillae is both fungistatik that
suppress fungal growth through the inhibition of colony growth, germination inhibition, and
inhibition of sporeformation.
Keywords: Activities fungicides, Piper majusculum Blume, vanilla stem rot disease.
PENDAHULUAN
Panili (Vanilla planifolia Andrews), merupakan salah satu jenis komoditi perkebunan
yang bernilai ekonomi tinggi dan memiliki prospek yang cukup cerah di sektor non migas, baik
untuk menambah pendapatan petani maupun sebagai penghasil devisa negara (Usman, 1991).
Panili Indonesia dalam perolehan devisa, menduduki urutan ke tiga dalam (dalam kelompok
rempah) di bawah lada dan kayu manis (Nuryani dkk., 1995). Pada tahun 1998 penerimaan
devisa negara dai panili sebesar US $ 31,4 juta. Indonesia memasok 40% dari kebutuhan panili
dunia (Sumawa, dkk., 2003). Penyakit busuk batang merupakan penyakit paling populer karena
keganasannya menimbulkan kerugian terbesar. Penyakit ini disebabkan oleh jamur F.
Oxysporum f.sp vanillae atau disebut Fusarium batatatis (Rismunandar dan Sukma, 2003).
Busuk batang dapat pula disebabkan oleh luka yang terjadi tidak cepat tertutup oleh kalus,
sehingga mudah terserang oleh jamur. Gejala penyakit ini umumnya terlihat pada pangkal batang
tanaman, dan banyak menimbulkan kerusakan yang mengakibatkan terjadinya kemunduran
tanaman panili (Tjahjadi, 2005).
Busuk batang tidak menyebabkan tanaman mati mendadak tetapi perlahan-lahan.
Menurut Hidayat (1996) tanda-tanda tanaman yang terserang penyakit ini dapat dibedakan
berdasarkan lingkungan, yaitu pada lingkungan kering, jaringan tanaman yang membusuk akan
berwarna hijau kecokelatan, pembatas antara bagian tanaman yang sakit dengan yang sehat tidak
nampak. Pada lingkungan lembab, jaringan tanaman yang busuk berwarna cokelat sampai hitam.
Pembatas antara bagian yang sehat dengan yang sakit nampak dengan jelas. Apabila batang yang
sakit dibelah sampai sebatas yang sehat, maka akan nampak di sebelah dalam pembusukan
terjadi lebih cepat jika dibandingkan dengan yang di sebelah luar.
F.oxysporum secara khusus menyebabkan teriadinya layu pembuluh. Walaupun secara
mikroskopik Fusarium tidak berwarna, namun pada kultur dan pada bagian tanaman yang
diserang pertumbuhan miseliumnya menghasilkan warna merah muda. Selain itu, dapat juga
menghasilkan makrokonidia dan mikrokonidia. Kadang-kadang dihasilkan satu sel yang
berbentuk bulat, berdinding tebal yang dibentuk dari sel hifa yang disebut klamidospora. Di
dalam biakan murni F. Oxysporum f.sp. vanillae membentuk makrokonidium yang agak
melengkung, tidak berwarna, berdinding tipis, umumnya bersekat 3, berukuran 20-46 x 3,2-8
µm. Mikrokonidium bulat panjang, tidak berwarna, berdinding tipis, berukuran 4-9 x 2-5 µm.
Klamidospora berwarna cokelat muda, berdinding tebal, berukuran 6-10 µm, dibentuk pada
ujung (terminal) atau di tengah hifa (interkalar), dan juga dibentuk oleh makrokonidium
(Semangun, 2000). Selanjutnya dijelaskan bahwa makrokonidium berbentuk sabit atau
membentuk kait dengan ujung runcing. Mikrokonidium mempunyai bentuk yang sama atau
berbeda dengan makrokonidium. Apabila bentuknya sama mempunyai ukuran yang lebih kecil
dan mempunyai sekat lebih sedikit. Kalau bentuknya berbeda, dapat bulat, bulat telur, berbentuk
ginjal dan lanset. Secara luas pestisida diartikan suatu zat yang dapat bersifat racun, menghambat
pertumbuhan/perkembangan, tingkah laku, perkembangbiakan, kesehatan, mempengaruhi
hormon, penghambat, membuat mandul, sebagai pemikat, penolak, dan aktivitas lainnya yang
mempengaruhi organisme pengganggu tanaman (OPT) (Kardinan, 2001). Pestisida digunakan di
sektor pertanian dan perkebunan dengan tujuan untuk meningkatkan taraf hidup petani juga
masyarakat luas sebagai konsumen primer (Sastroutomo, 1992).
Setelah ditemukannya pestisida sintetis pada awal abad ke-20, para petani secara
berangsur mulai melupakan penggunaan pestisida nabati. Apalagi efektivitasnya dalam
membunuh hama sangat cepat dan residunya bertahan lama dibandingkan pestisida nabati.
Kondisi demikian menyebabkan terjadinya penggunaan pestisida yang kurang bijaksana. Untuk
menghindari dampak negatif yang ditimbulkan akibat penggunaan pestisida sintetis, maka sangat
perlu menggalakkan kembali penggunaan pestisida nabati. Pestisida nabati sebenarnya sudah
dilakukan sejak lama, jauh sebelum intensifnya penggunaan pestisida sintetis.
Pestisida nabati diartikan sebagai suatu pestisida yang bahan dasarnya berasal dari
tumbuhan. Oleh karena terbuat dari bahan alami maka jenis pestisida ini bersifat mudah terurai
(bio-degradable) di alam, sehingga tidak mencemari lingkungan dan relatif aman bagi manusia,
ternak peliharaan, karena residunya mudah hilang. Secara alami tumbuhan memproduksi
senyawa beracun yang disebut metabolit sekunder, yang digunakan untuk melindungi diri dari
serangan hama dan patogen (Novizan, 2004). Selanjutnya Suprapta (2005) menyatakan bahwa
tumbuhan tingkat tinggi melalui metabolit sekunder mampu menghasilkan berbagai senyawa
kimia untuk melindungi dirinya dari gangguan hama, penyakit, maupun gulma. Metabolit
sekunder di antaranya ada yang bersifat anti jamur. Sebagian senyawa anti jamur, ada dalam
bentuk constitutive yaitu ada dalam tumbuhan sehat dalam bentuk aktif secara biologis. Banyak
senyawa constitutive dari tumbuhan dilaporkan mempunyai aktivitas anti jamur. Contoh yang
populer adalah fenol dan glikosida fenol, lakton tidak jenuh, senyawa-senyawa sulfur, saponins,
glikosida syanogenik dan glikosinolat (Suprapta, 2001). Fungisida merupakan salah satu
pestisida yang digunakan untuk mengendalikan hama jamur. Fungisida tersebut dalam bentuk
alkaloid atau prohibitin dapat membantu melawan serangan patogen (Suprapta, 2005).
Dalam dunia tumbuhan, tanaman Saba termasuk anggota familia Piperaceae. Tanaman
ini bukan termasuk tanaman budi daya sehingga tumbuhnya terkesan liar. Cara tumbuh tanaman
ini adalah merambat atau menjalar sama seperti sirih dan lada. Media sebagai tempatnya
merambat bisa berupa tanaman hidup atau mati, di tembok atau menjalar di atas tanah. Tanaman
ini paling banyak dijumpai di antara semak-semak, dan banyak memiliki persamaan dengan sirih
baik mengenai cara hidupnya, morfologi, maupun fisiologi. Apabila tanaman ini diremas maka
baunya menyebar seperti bau sirih. Manfaat tanaman ini selain dapat dimakan sebagai pengganti
sirih, juga banyak dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak sapi.
Dalam dunia tumbuhan tanaman Saba termasuk salah satu anggota familia Piperaceae.
Oleh karena memiliki banyak persamaan dengan tanaman sirih (Piper betle), maka dalam
penelitian ini tanaman Saba diuji aktivitasnya sebagai anti jamur dengan harapan mempunyai
potensi yang sama dengan tanaman sirih, yaitu mempunyai sifat anti jamur. Sirih sebagai salah
satu anggota famili Piperaceae mengandung minyak atsiri yang terdiri dari betlephenol, kavikol,
seskuiterpen, hidroksikavikol, cavibetol, estragol, eugenol dan karvakrol. Selain itu, juga
mengandung enzim diastase, gula dan tanin. Biasanya daun sirih muda mengandung diastase,
gula dan minyak atsiri lebih banyak dibandingkan dengan daun sirih tua (Moeljanto dan
Mulyono, 2003). Selanjutnya Heyne (1987) menyatakan bahwa sepertiga dari minyak atsiri
dalam daun sirih terdiri dari fenol, dan sebagian besar dari fenol tersebut adalah kavikol. Kavikol
ini memberikan aroma khas dari daun sirih dan memiliki daya pembunuh bakteri lima kali
daripada fenol biasa.
Di Bali panili merupakan salah satu komoditi andalan di sektor perkebunan. Pada tahun
1991, luas areal panili di daerah Bali tercatat 4.093 ha dan merupakan areal panili terluas di
Indonesia (Arya, 2003). Walaupun demikian upaya peningkatan produksi panili masih
mengalami beberapa kendala. Salah satu faktor penyebab utamanya adalah adanya penyakit
busuk batang panili yang disebabkan oleh jamur Fusarium oxysporum f.sp vanillae
(Hadisutrisno, 2004).
Penyakit busuk batang panili merupakan jenis penyakit yang paling berbahaya untuk
tanaman panili di Indonesia, karena penyakit ini selain dapat menurunkan hasil, serangan
patogennya juga dapat mematikan tanaman 50% sampai 100%, memperpendek umur produksi
10 kali pannen menjadi 2 kali panen, atau bahkan tidak dapat berproduksi, serta mutu buah yang
berasal dari tanaman sakit sangat rendah.
Akibat adanya penyakit busuk batang panili, maka jumlah ekspor panili menjadi semakin
merosot. Tahun 2001 hanya 339 ton polong kering dengan nilai US$.5.497.000. Jumlah ekspor
tersebut jauh berkurang dibandingkan dengan tahun 1998, sekitar 729 ton polong kering dengan
nilai US$.8.764.000. Produktivitas rata-rata tanaman panili pada tahun 2002 sekitar 0,2 – 0,5 kg
polong kering per pohon, pada hal potensinya dapat mencapai 1,0 – 1,5 kg polong kering per
pohon (Ruhnayat, 2004).
Penyakit busuk batang panili sejak dulu sampai sekarang masih menjadi faktor utama
yang menyebabkan produksi panili di Indonesia merosot tajam. Usaha pengendalian penyakit
yang dilakukan oleh petani selama ini masih bertumpu pada penggunaan pestisida sintetis. Di
lain pihak penggunaan pestisida sintetis yang kurang bijaksana sering merugikan lingkungan,
seperti terjadinya kasus keracunan, polusi lingkungan, perkembangan serangga menjadi resisten,
resurgensi, ataupun toleran terhadap pestisida (Kardinan, 1999). Pengendalian penyakit secara
kimia yang kurang bijaksana juga mengandung residu pestisida yang tinggi, suatu keadaan yang
tidak memungkinkan produk pertanian diterima oleh negara konsumen yang telah menerapkan
ecolabeling (Hadisutrisno, 2004).
Di masa mendatang dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan produk pertanian
yang berkualitas, aman dari segi kesehatan dan lingkungan, maka sudah saatnya
mengembangkan pestisida nabati. Pestisida nabati dapat mengurangi efek negatif pestisida
sintetis terhadap lingkungan biologis (Suprapta dkk., 2003). Pestisida ini umumnya dihasilkan
oleh tumbuhan tingkat tinggi. Indonesia sebagai daerah tropis mempunyai berbagai jenis
tumbuhan dengan keanekaragaman jenis yang paling tinggi di dunia, sehingga mempunyai
potensi yang tinggi untuk menghasilkan senyawa kimia yang mempunyai sifat anti jamur yang
dapat digunakan sebagai fungisida nabati (Tjitrosoepomo, 1994).
Suprapta (1998) menyatakan bahwa peranan senyawa aktif seperti tanin dan saponin
dapat menekan pertumbuhan jamur. Beberapa tanaman yang telah diuji potensinya sebagai
pestisida nabati yaitu ekstrak daun sirih (Piper betle), ekstrak rimpang lengkuas (Alpinia
galanga) dan ekstrak daun sembung delan (Sphaeranthus indicus) ditemukan lebih efektif
dibandingkan dengan fungisida sintetis chlorotanolil dalam pengendalian penyakit layu pisang
pada pembibitan dari bonggol (Suprapta, 2003). Beberapa spesies dari famili Piperaceae yaitu
sirih dan lada diketahui efektif digunakan sebagai pestisida nabati. Menurut Moeljanto dan
Mulyono (2005), daun sirih mengandung minyak atsiri yang terdiri dari betlephenol, kavikol,
seskuiterpen, hidroksikavikol, cavibetol, estragol, eugenol, dan karvakrol. Beberapa tumbuhan
tertentu dapat menghasilkan metabolit sekunder yang dapat digunakan sebagai bahan obat, dan
memiliki potensi sebagai pestisida nabati. Tanaman Saba (Piper majusculum Blume), termasuk
salah satu anggota famili Piperaceae, sehingga masih memiliki kekerabatan dengan tanaman
sirih. Salah satu sifat dari tanaman yang memiliki kekerabatan adalah selain memiliki persamaan
secara morfologi juga memiliki persamaan secara anatomi dan fisiologi.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas fungisida ekstrak daun Saba
(Piper majusculum Blume) terhadap pertumbuhan jamur Fusarium oxysporum f.sp. vanillae)
penyebab penyakit busuk batang panili.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali. Alat yang
digunakan adalah : pisau, botol kaca, tabung reaksi, piring Petri, timbangan, autoclave, laminar-
flow cabinet, vacum rotary evavorator, beaker glass, gelas ukur, mikropipet, pipet pasteur,
lampu bunsen, jarum ose, aluminum foil, kain kasa. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini
daun Saba, jamur F. Oxysporum f.sp. vanillae, media PDA, media PDB, aquadesh, metahol PA,
aceton, hexan, etil asetat, tween, alkohol 70%.
Jamur diisolasi dari batang panili yang menunjukkan gejala busuk batang. Batang
dipotong, dicuci dengan air steril, kemudian didesinfeksi dengan alkohol 70% selama ± 15
menit. Selanjutnya dicuci kembali dengan air steril sebanyak 2 kali. Jaringan yang diambil
adalah jaringan yang terletak pada perbatasan antara batang yang sehat dengan batang yang sakit.
Jaringan ditanam pada media PDA. Jamur yang berhasil diisolasi kemudian dimurnikan dengan
menumbuhkannya kembali pada media PDA beberapa kali sampai tidak tidak ada kontaminasi
oleh bakteri atau jamur lain pada biakan. Selanjutnya dilakukan identifikasi isolat jamur.
Identifikasi didasarkan atas bentuk koloni, bentuk spora dan konidianya.
Daun Saba yang telah dicincang dan dikeringanginkan direndam dalam 1 liter methanol
PA pada suhu kamar selama 48 jam. Tujuannya untuk menarik zat aktif yang terkandung pada
daun Saba. Selanjutnya dilakukan filtrasi dengan menggunakan dua lapis kain kasa dan kertas
saring Whatman No.2. Filtrat yang diperoleh dievaporasi dengan vacuum rotary evaporator pada
suhu 400C. Hasil evaporasi ini berupa ekstrak kasar yang akan diuji aktivitasnya terhadap jamur
F.oxyxporum f.sp.vanillae.
Uji Aktivitas Ekstrak daun Saba Terhadap Pertumbuhan Koloni Jamur F.oxysporum
f.sp.vanillae pada Media PDA Pengujian aktivitas ekstrak daun Saba terhadap pertumbuhan koloni jamur dilakukan
pada konsentrasi 1%, 2%, 3%, 4%, 5%, dan kontrol 0%. Solven yang digunakan untuk
pengenceran adalah tween 80 (2,5%), dan etil asetat (3:1). Masing-masing ekstrak diambil
dengan menggunakan mikropipet sebanyak 0,5 ml dan dituangkan ke dalam piring Petri.
Selanjutnya ditambahkan media PDA (10 ml) yang masih encer, digoyang simultan sampai
merata, dan dibiarkan sampai padat. Konsentrasi ekstrak setelah tercampur media menjadi
0,05%, 0,1%, 0,15%, 0,2%, 0,25%, 0,3%, dan 0,35%. Jamur F.oxysporum f.sp. vanillae yang
telah dibiakkan dalam piring Petri selama empat hari, dipotong dengan cork borer, potongannya
diambil dengan jarum ose, dan diletakkan pada bagian tengah media, selanjutnya diinkubasi
pada suhu kamar. Sebagai kontrol digunakan media PDA tanpa ekstrak. Pengujian ini dilakukan
dengan tiga kali ulangan.
Pengamatan dilakukan terhadap pertumbuhan koloni jamur yaitu dengan mengukur
diameter koloni mulai dari hari kedua setelah inokulasi, sampai jamur yang tumbuh pada kontrol
memenuhi piring Petri. Penentuan aktivitas ekstrak dilakukan dengan menghitung daya hambat
ekstrak terhadap pertumbuhan jamur dengan rumus :
Diameter koloni control – diameter koloni perlakuan
Daya hambat (%) = _________________________________________ x 100%
Diameter koloni kontrol
(Suwari, 2002)
Uji Aktivitas Ekstrak Daun Saba terhadap Perkecambahan dan Pembentukan Spora
Jamur F.oxysporum f.sp.vanillae pada Media PDB
Pengujian terhadap perkecambahan spora diawali dengan membuat suspensi spora.
Caranya, jamur yang telah dibiakkan dalam tabung reaksi selama 4 hari ditambahkan dengan 20
ml air steril, kemudian disaring dengan kertas wathman No.2, agar filtrat yang diperoleh murni
berupa suspensi spora. Sebanyak 200 µl suspensi spora kemudian diinokulasikan ke dalam
tabung reaksi yang telah berisi campuran 1 ml media PDB dan 100 µl ekstrak. Konsentrasi
ekstrak setelah tercampur menjadi 0,1%, 0,2%, 0,3%, 0,4%, 0,5%, dan kontrol 0%. Masing-
masing perlakuan dibuat 3 kali ulangan, dan diinkubasi pada suhu kamar. Kerapatan spora saat
inokulasi dihitung dengan haemositometer, dan pengamatan dilakukan 24 jam setelah inkubasi.
Pengujian terhadap pembentukan spora juga diawali dengan membuat suspensi spora.
Kemudian 200 µl suspensi spora diinokulasikan ke dalam piring petri yang telah berisi 10 µl
media PD Broth dan 500 µl ekstrak, sehingga konsentrasi ekstrak yang diperoleh menjadi 0,1%,
0,2%, 0,3%, 0,4%, 0,5%, dan kontrol 0%. Kerapatan spora saat inokulasi dihitung, masing-
masing perlakuan dibuat tiga kali ulangan, diinkubasi pada suhu kamar, dan pengamatan
dilakukan 48 jam setelah inokulasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Aktivitas Ekstrak daun Saba Terhadap Pertumbuhan Koloni Jamur F.oxysporum
f.sp.vanillae Pada Media PDA. Ekstrak kasar daun Saba mampu menekan pertumbuhan jamur F.oxysporum f.sp. vanillae
pada media PDA. Daya hambat ekstrak kasar daun Saba pada konsentrasi 0,05% sampai 0,3%
meningkat dari 59,99% sampai 95,76%, dan pada konsentrasi ekstrak 0,35% memberikan daya
hambat penuh (100%) terhadap pertumbuhan F.oxysporum f.sp. vanillae. Data ini menunjukkan
adanya kecenderungan bahwa peningkatan konsentrasi ekstrak diikuti oleh peningkatan daya
hambat (aktivitas fungisida) terhadap jamur F.oxysporum f.sp. vanillae. Adapun perbandingan
pertumbuhan koloni jamur yang diberikan perlakuan dengan konsentrasi ekstrak yang berbeda
dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1.Daya hambat ekstrak kasar daun Saba terhadap pertumbuhan jamur
F.oxysporum f.sp. vanillae pada media PDA hari ke-8 inkubasi.
No. Konsentrasi
(%)
Rata-rata diameter koloni (mm) Daya hambat
1. 0,05 34,67±0,47 59,99
2. 0,10 22,67±1,70 73,84
3. 0,15 19,67±0,47 77,30
4. 0,20 14,33±3,03 83,46
5. 0,25 7,00±0,82 91,92
6. 0,30 3,67±0,94 95,76
7. 0,35 0,00 100
Keterangan : Rata-rata diameter koloni kontrol hari ke-8 = 86,67
Pertumbuhan koloni jamur pada kontrol mulai terlihat sejak hari II pengamatan,
sedangkan pada perlakuan dengan konsentrasi ekstrak 0,05% pertumbuhan diameter koloni
jamur baru terlihat pada hari III pengamatan.
Hasil Pengujian Aktivitas Ekstrak daun Saba Terhadap Perkecambahan Jamur
F.oxysporum f.sp.vanillae pada Media PD Broth
Ekstrak kasar daun Saba mampu menekan pertumbuhan jamur F. Oxysporum F.sp.
vanillae pada media PD Broth, melalui penghambatan terhadap perkecambahan dan
pembentukan spora. Penghambatan melalui perkecambahan pada konsentrasi 0,1% sampai
konsentrasi 0,4% meningkat dari 38,89% sampai 87,04%, dan pada konsentrasi 0,5% mampu
menghambat perkecambahan 100% (tabel 2)
Tabel 2. Kerapatan spora F. Oxysporum f.sp. vanillae yang berkecambah pada media
PD Broth yang diberi perlakuan ekstrak daun Saba dengan konsentrasi yang
berbeda 24 jam setelah inokulasi.
Konsentrasi ekstrak
(%)
Spora yang berkecambah
(x103/ml)
Daya hambat
(%)
0(kontrol) 180 ± 14,14 0,00
0,1 110 ± 24,49 38,89
0,2 60 ± 8,16 66,67
0,3 50 ± 8,16 72,22
0,4 23,33 ± 4,71 87,04
0,5 0,00 100
Keterangan: Pengamatan dilakukan terhadap tiga kali ulangan Kerapatan spora pada sasat
inokulasi 285 x 103
spora/ml
Hasil Pengujian Aktivitas Fungisida Ekstrak daun Saba terhadap pembentukan spora F.
Oxysporum f.sp. vanillae dalam media PD Broth
Ekstrak kasar daun Saba juga mampu menghambat pertumbuhan jamur F.oxysporum
f.sp. vanillae pada media PD Broth melalui penghambatan terhadap pembentukan spora.
Penghambatan melalui pembentukan spora pada konsentrasi 0,1% sampai konsentrasi 0,4%
meningkat dari 46,54% sampai 92,20%, dan pada konsentrasi 0,5% mampu menghambat
pembentukan spora 100% (tabel 3).
Tabel 3. Kerapatan spora F. Oxysporum f.sp. vanillae pada media PD Broth pada
perlakuan ekstrak daun Saba dengan konsentrasi yang berbeda 48 jam
setelah inokulasi.
Konsentrasi ekstrak
(%)
Spora yang berkecambah
(x103/ml)
Daya hambat
(%)
0(kontrol) 6,266,67 ± 478,42 0,00
0,1 3,350 ± 267,71 46,54
0,2 1,570 ± 80,42 74,93
0,3 823,33 ± 40,39 86,86
0,4 50 ± 8,16 92,20
0,5 0,00 100
Keterangan: Pengamatan dilakukan terhadap tiga kali ulangan Kerapatan spora pada saat
inokulasi 12,4 x103 spora/ml
PEMBAHASAN
Dari hasil pengujian yang telah dilakukan terhadap pertumbuhan koloni jamur,
perkecambahan dan pembentukan spora, diketahui bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak,
daya hambat ekstrak (aktivitas fungisida) semakin besar. Hal ini diketahui dari pertumbuhan
diameter koloni yang semakin kecil, jumlah spora yang berkecambah semakin berkurang, begitu
juga pembentukan spora menjadi semakin kecil.
Tanaman Saba merupakan salah satu anggota famili Piperaceae. Salah satu anggota
famili Piperaceae yang sudah populer bersifat anti jamur adalah sirih, karena kandungan minyak
atsirinya yang terdiri dari fenol dan kavikol. Senyawa phenol pada tanaman umumnya
merupakan metabolit sekunder, yang sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup tanaman.
Turunan phenol dapat membentuk penghambat yaitu lignin dan suberin sebagai penebal dinding
sel (Petruci dan Suminar, 1989). Suprapta (2001) menyatakan bahwa zat penghambat dalam
tumbuhan sering spesifik untuk jaringan tertentu, dan ada kecenderungan bahwa senyawa ini
terkonsentrasi pada lapisan sel bagian luar dari organ tumbuhan, yang menunjukkan bahwa
senyawa ini memang bertindak sebagai barier terhadap patogen dan serangan hama. Pada
umumnya jamur patogen peka terhadap senyawa phenol, sehingga fungisida aromatik pertama
yang dijumpai adalah fungisida dengan memakai bahan aktif senyawa phenol.
Tanaman Saba yang merupakan famili Piperaceae selain memiliki kemiripan secara
morfologi juga memiliki kemiripan secara fisiologi yaitu aromanya yang sama seperti sirih dan
juga dapat dimakan sebagai pengganti sirih. Oleh karena itu, daun Saba diduga memiliki
kandungan senyawa yang sama yaitu phenol, sehingga memiliki potensi sebagai fungisida nabati
khususnya terhadap jamur F oxysporum f.sp. vanillae penyebab penyakit busuk batang pada
panili.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Ekstrak kasar daun Saba secara in vitro mempunyai aktivitas anti jamur terhadap F.
oxysporum f.sp. vanillae.
2. Mekanisme aktivitas anti jamur ekstrak kasar daun Saba terhadap F. Oxysporum f.sp. vanillae
adalah bersifat fungistatik yaitu menekan pertumbuhan jamur melalui penghambatan
pertumbuhan koloni, perkecambahan dan pembentukan spora.
Saran
1. Perlu dilakukan pengujian ekstrak daun Saba terhadap tanaman panili di lapangan dan patogen
lainnya.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yaitu identifikasi terhadap senyawa aktif yang
terkandung pada daun Saba.
DAFTAR RUJUKAN
Arya, N. 2003. Teknik Aplikasi Agents Hayati Pseudomonas Fluorescense dan Pengaruhnya
Terhadap Intensitas Serangan Penyakit Busuk batang Panili. Majalah Agritop. Jurnal
Ilmu-Ilmu Pertanian
Hadisutrisno, B.2004. Budidaya Vanili. Jakarta : Penebar Swadaya.
Hidayat, A. 1996. Teknik Pertanian dan Budidaya Panili. Surabaya : Karya Anda.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jakarta : Yayasan Sarana Wana Jaya.
Kardinan, A. 1999. Pestisida Nabati Ramuan dan Aplikasi. Jakarta : Penebar Swadaya.
Kardinan, A. 2001. Pestisida Nabati Ramuan dan Aplikasi. Jakarta : Penebar Swadaya.
Moeljanto,D.R. dan Mulyono. 2005. Khasiat dan Manfaat Daun sirih Obat Mujarab dari Masa ke
Masa. Jakarta : Agromedia Pustaka.
Novizan. 2004. Membuat dan Memanfaatkan Pestisida Ramah Lingkungan. Jakarta : Agromedia
Pustaka.
Nuryani, Y.,R. Asnawi dan Nasrun. 1995. Perkembangan Penelitian Plasma Nutfah Tanaman
Rempah dan Obat. Balitro.
Rismunandar dan E.S. Sukma. 2003. Bertanam Panili. Jakarta : Penebar Swadaya.
Ruhnayat. A. 2004. Bertanam Panili si Emas Hijau Nan Wangi. Jakarta : Agromedia.
Sastroutomo, S.S. 1992. Pestisida Dasar dan Dampak Penggunaannya. Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama.
Semangun. H. 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia. Yogyakarta :
Universitas Gadjah Mada Press.
Suprapta, D.N. 1998. Mekanisme Ketahanan Jamur terhadap Saponin. Majalah Ilmiah Fakultas
Pertanian Universitas Udayana.
Suprapta, D.N. 2001. Senyawa Antimikroba dan Pertahanan Tumbuhan Terhadap Infeksi Jamur.
Majalah Agritop, Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian.
Suprapta, D.N. 2003. Bacterial Activity of Spaeranthus indicus Extract Againts Ralstonia
solanacearum in Tomato, Journal of ISSAAS.
Suprapta, D.N. 2005. Pertanian Bali Dipuja Petaniku Merana. Denpasar : Taru Lestari
Foundation.
Sumawa, I.N., Arimbawa, I.B., Kamandalu, A.A.N., dan Sunantara, M.M. 2003. Uji Adaptasi
Pengendalian Penyakit Busuk Batang Panili, Laporan Akhir Proyek Pengkajian
Teknologi Pertanian Partisipatif, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali.
Suwari. I.G.N.A. 2002. Aktivitas Fungisida Ekstrak Daun Matoa (Pometia pinnata Forst)
Terhadap Phytopthora infestans Penyebab Penyakit Hawar Daun pada Tanaman Kentang.
Tjahyadi, N. 2005. Bertanam Panili. Yogyakarta : kanisius.
Tjitrosoepomo, S.1994. Taksonomi Tumbuhan Obat-Obatan. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press.
Usman, N. 1991. Pedoman Praktis Budidaya Tanaman Perkebunan (Suatu Rangkuman). Jakarta :
PD. Mahkota.
Petruci, R.H. dan Suminar. 1989. Kimia Dasar Prinsip dan Terapan Modern. Jakarta : Erlangga.
Eksplorasi Tumbuhan Sebagai Bahan Pestisida Nabati
I Made Subrata
Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali
ABSTRACT
Plant Exploration Become Botanical Pesticide
Plant intruders invading organisms (OPT) is one of the factors that lead to decreased
plant productivity. These symptoms usually anticipated by farmers using chemical pesticides as a
repellent organism. How to handle such a negative impact on the environment and can cause
poisoning to the consumer due to pesticide residues in agricultural products.
The negative impact of the use of chemical pesticides can be reduced by using botanical
pesticides are pesticides produced by plants through active substances, such as phenolic
compounds. This article describe the various types of plant exploration efforts that can serve as a
pesticide plant through a review of the literature.
Keywords: exploration, botanical pesticides
PENDAHULUAN
Dalam budidaya pertanian, pengendalian hama dan penyakit tanaman mutlak diperlukan
untuk peningkatan hasil pertanian. Konsep pengendalian hama ini sering diterjemahkan dengan
pembasmian hama sehingga digunakan obat pembasmi hama yang dikenal dengan pestisida.
Pembasmi hama atau Pestisida adalah bahan yang digunakan untuk mengendalikan, menolak,
memikat, atau membasmi organisme pengganggu. Nama ini berasal dari kata pest ("hama") dan
cide ("pembasmi"). Sasaran pestisida ini bermacam-macam, yaitu; serangga, tikus, gulma,
burung, mamalia, ikan, atau mikrobia yang dianggap mengganggu. Pestisida pada umumnya
beracun, sehingga dalam bahasa sehari-hari, pestisida seringkali disebut sebagai "racun"
tergantung dari organisme sasarannya, yang disebut Organisme Pengganggu Tanaman (OPT).
Organisme pengganggu tanaman (OPT) merupakan faktor biotik yang dapat
mengganggu pertumbuhan tanaman. OPT dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu : Hama (serangga,
tungau, hewan menyusui, burung dan moluska) ; Penyakit (jamur, bakteri, virus dan nematoda)
dan Gulma (tumbuhan pengganggu). Gangguan yang disebabkan oleh OPT inilah yang bisa
dikendalikan dengan pestisida (Anonim a, 2012).
Petani selama ini tergantung pada penggunaan pestisida kimia atau pestisida sintetis
untuk mengendalikan organisme pengganggu tanaman, walaupun harganya cukup mahal. Selain
harganya mahal, pestisida kimia atau sintetis juga banyak memiliki dampak negatif bagi
lingkungan dan kesehatan manusia. Dampak negatif dari penggunaan pestisida kimia antara lain
adalah: (1) hama menjadi kebal (resisten), (2) peledakan hama baru (resurjensi), (3) penumpukan
residu bahan kimia di dalam hasil panen, (4) terbunuhnya musuh alami, (5) pencemaran
lingkungan oleh residu bahan kimia dan (6) kecelakaan bagi pengguna (Zaka, 2008)
Langkah yang perlu ditempuh untuk mengatasi dampak negatif yang ditimbulkan oleh
penggunaan pestisida sintetis, adalah dengan pengadaan pestisida alternatif yang dapat
dihasilkan secara lokal terjangkau oleh sebagian besar petani dan aman bagi lingkungan, baik
pestisida yang berasal dari mikroba antagonis (biopestisida) maupun pestisida yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan. Pestisida yang mendapat perhatian adalah pestisida dari tumbuh-tumbuhan,
sering disebut dengan pestisida nabati. Secara evolusi, tumbuhan telah mengeluarkan bahan
kimia sebagai alat pertahanan alami terhadap pengganggunya yaitu sebagai respon invasi
patogen ke tanaman inang (Kardinan, 2005). VanEtten at al. (1994) dalam Suprapta (2001)
mengusulkan istilah fitoantisipin untuk membedakan senyawa yang sudah ada pada tumbuhan
sehat dengan fitoaleksin yang terbentuk sebagai respon terhadap serangan patogen.
Penggunaan senyawa aktif dari tumbuhan telah mulai digalakkan untuk bahan pestisida
nabati. Penggunaan ekstrak tanaman sebagai pestisida nabati dapat mengurangi efek negatif
pestisida sintetik terhadap lingkungan biologis (Suprapta et al., 2003). Indonesia sebagai daerah
tropis, mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan tertentu dapat
menghasilkan metabolit sekunder yang dapat digunakan untuk bahan obat-obatan atau bahan
pestisida nabati. Moeljanto dan Mulyono (2003), menyebutkan bahwa tanaman sirih (Piper betle
L.) bisa dimanfaatkan sebagai fungisida, yakni untuk membasmi jamur Phythophthora
palmivora yang menyerang tanaman lada. Fungisida botani dari daun sirih ini mampu
menghambat perkecambahan spora dan menekan pertumbuhan jamur.
Ekstrak daun sirih (Piper betle), ekstrak rimpang lengkuas (Alpinia galanga), dan ekstrak
daun sembung delan (Sphaeranthus indicus) ditemukan lebih efektif dibandingkan dengan
fungisida sintetis chlorotanolil dalam mengendalikan penyakit layu pisang pada pembibitan dari
bonggol (Suprapta, 2005). Penulisan artikel ini bertujuan untuk menggali lebih jauh potensi
kekayaan alam Indonesia dengan mengeksplorasi berbagai jenis tumbuhan yang dapat berperan
sebagai bahan pestirida nabati melalui kajian literatur.
PEMBAHASAN
Pestisida Nabati
Setelah ditemukan pestisida sintetis pada awal abad ke-20, manfaat pestisida dari bahan
alami dilupakan (Novizan, 2002). Pestisida sintetis memiliki beberapa keunggulan yang tidak
dimiliki oleh pestisida alami. Pestisida sintetis dapat dengan cepat menurunkan populasi
organisme pengganggu tanaman (OPT) dengan periode pengendalian (residu) yang lebih
panjang. Penggunaan pestisida sintetis disatu sisi memang berhasil, tetapi di sisi lain
mengakibatkan efek samping yang sangat membahayakan. Menurut WHO paling tidak 20.000
orang mati per tahun akibat keracunan pestisida, sekitar 5.000 – 10.000 orang per tahun
mengalami dampak yang sangat fatal, seperti kanker, cacat tubuh, kemandulan dan penyakit liver
(Novizan, 2002). Berbagai jenis pestisida terakumulasi di dalam tanah dan air yang berdampak
buruk terhadap keseluruhan ekosistem. Beberapa spesies katak jantan di Amerika Serikat
dilaporkan mengalami perubahan genetik menjadi berkelamin ganda (hermaphrodit) akibat
keracunan Atrazin (bahan aktif pestisida). Tragedi Bhopal di India pada bulan Desember 1984
ketika bahan kimia metik isosianat bocor dari pabrik Union Carbide yang memproduksi pestisida
sintetis sevin, menewaskan lebih dari 2.000 orang dan mengakibatkan lebih dari 50.000 orang
dirawat akibat keracunan. Kejadian ini merupakan musibah terburuk dalam sejarah produksi
insektisida sintetis.
Menurut Suprapta (2005), secara ringkas dapat diformulasikan pengaruh dampak negatif
pemakaian pestisida sintetis adalah : (a) pencemaran air dan tanah yang berpengaruh pada
manusia dan mahluk lainnya karena mengkonsumsi makanan dan minuman yang tercemar, (b)
matinya musuh alami dari hama maupun patogen, sehingga menimbulkan resurgensi yaitu
serangan hama yang jauh lebih berat dari sebelumnya, (c) kemungkinan terjadinya serangan
hama sekunder, karena terbunuhnya predator hama sekunder tersebut, (d) kematian serangga
yang berguna dan menguntungkan misalnya lebah dan (e) timbulnya kekebalan/resistensi hama
maupun patogen terhadap pestisida sintetis.
Untuk mengatasi dampak negatif yang ditimbulkan oleh penggunaan pestisida sintetis,
maka perlu adanya pengadaan pestisida alternatif yang dapat dihasilkan secara lokal, terjangkau
oleh sebagian besar petani dan aman bagi lingkungan. Salah satu sumber pestisida yang
mendapat perhatian ilmuwan adalah dari tumbuh-tumbuhan. Tumbuhan tingkat tinggi melalui
metabolisme sekunder mampu menghasilkan berbagai senyawa kimia untuk melindungi dirinya
dari gangguan hama, penyakit, maupun gulma. Tumbuhan yang menghasilkan metabolit
sekunder tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan pestisida nabati. Jenis pestisida ini mudah
terurai (biodegradable) di alam, sehingga tidak mencemarkan lingkungan dan relatif aman bagi
manusia dan ternak, karena residunya akan terurai dan mudah hilang. Pestisida nabati dapat
membunuh atau mengganggu serangan hama dan penyakit melalui cara kerja yang unik, yaitu
dapat melalui perpaduan berbagai cara atau secara tunggal. Cara kerja pestisida nabati pada hama
serangga sangat spesifik, yaitu :
1. merusak perkembangan telur, larva dan pupa.
2. menghambat pergantian kulit.
3. mengganggu komunikasi serangga.
4. menyebabkan serangga menolak makan.
5. menghambat reproduksi serangga betina.
6. mengurangi nafsu makan.
7. memblokir kemampuan makan serangga.
8. mengusir serangga.
9. menghambat perkembangan patogen penyakit.
Pestisida nabati mempunyai beberapa keunggulan dan kelemahan. Keunggulan pestisida nabati
adalah :
1. murah dan mudah dibuat sendiri oleh petani.
2. relatif aman terhadap lingkungan.
3. tidak menyebabkan keracunan pada tanaman.
4. sulit menimbulkan kekebalan terhadap hama.
5. kompatibel digabung dengan cara pengendalian yang lain.
6. menghasilkan produk pertanian yang sehat karena bebas residu pestisida kimia.
Kelemahan pestisida nabati adalah :
1. daya kerjanya relatif lambat.
2. tidak membunuh jasad sasaran secara langsung.
3. tidak tahan terhadap sinar matahari.
4. kurang praktis.
5. tidak tahan disimpan.
6. kadang-kadang harus diaplikasikan / disemprotkan berulang-ulang.
Pestisida nabati dapat diaplikasikan dengan menggunakan alat semprot (sprayer) gendong
seperti pestisida kimia pada umumnya. Namun, apabila tidak dijumpai alat semprot, aplikasi
pestisida nabati dapat dilakukan dengan bantuan kuas penyapu (pengecat) dinding atau merang
yang diikat. Supaya penyemprotan pestisida nabati memberikan hasil yang baik, butiran semprot
harus diarahkan ke bagian tanaman tempat jasad sasaran berada. Apabila sudah tersedia ambang
kendali hama, penyemprotan pestisida nabati sebaiknya berdasarkan ambang kendali. Untuk
menentukan ambang kendali, perlu dilakukan pengamatan hama seteliti mungkin (Anonim b,
2012).
Pestisida nabati adalah senyawa organik yang tersusun oleh C, H, O, N, P, K dan unsur-
unsur lainnya. Kebanyakan senyawa ini bisa dicerna oleh mikroorganisme dan segera mengalami
pemecahan oleh panas, oksigen dan sinar matahari. Senyawa kimia organik atau pestisida nabati
merupakan senyawa yang dihasilkan tanaman untuk mempertahankan diri dari gangguan
herbivora. Pestisida alami yang berasal dari bahan-bahan yang terdapat di alam tersebut
diekstraksi, diproses atau dibuat menjadi konsentrat dengan tidak mengubah struktur kimianya
(Novizan, 2002).
Menurut Suprapta (2005), di Indonesia ada sekitar 20.000 spesies tumbuhan berbunga,
4.000 spesies pohon serta jutaan jenis mikroba yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan atau agen
pengendalian OPT. Jumlah tersebut baru sebagian kecil (kurang dari 10%) diteliti dan diketahui
kandungan kimia sekaligus kegunaannya, sehingga masih sangat terbuka peluang untuk
mengembangkan pestisida nabati (pestisida alam) yang berasal dari tumbuhan, misalnya
fungisida nabati. Fungisida nabati adalah salah satu bagian dari pestisida nabati, yaitu senyawa
kimia anti jamur yang diekstrak dari tumbuhan tingkat tinggi. Fungisida tersebut dalam bentuk
alkaloid atau prohibitin dapat membantu melawan patogen (Suprapta, 2005).
Banyak senyawa “constitutive” dari tumbuhan dilaporkan mempunyai aktivitas anti
jamur. Contoh yang sangat populer adalah fenol dan glikosida fenol, lakton tidak jenuh,
senyawa-senyawa sulfur, saponins, glikosida syanogenik dan glikosinolat (Suprapta, 2001).
Senyawa tersebut merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh tumbuhan melalui
metabolisme sekundernya.
Nikotin yang dikandung oleh tumbuhan dapat juga berperan sebagai fungisida, selain
bersifat refellent terhadap serangga (Kardinan, 2005). Dalam Rustini (2004) disebutkan bahwa
ekstrak rimpang dringo (Acorus calamus L.) mempunyai aktivitas anti jamur terhadap jamur
Botryodiplodia theobromae penyebab penyakit busuk buah pada pisang. Ekstrak daun sirih
(Piper betle), ekstrak rimpang lengkuas (Alpinia galanga) dan ekstrak daun sembung delan
(Sphaeranthus indicus) ditemukan lebih efektif dibandingkan dengan fungisida sintetis
chlorotanolil dalam pengendalian penyakit layu pisang pada pembibitan dari bonggol (Suprapta,
2005). Metil eugenol yang terkandung dalam daun dan bunga selasih (Ocimum sp.) dapat
bertindak sebagai fungisida (Kardinan, 2005).
Badan Litbang Pertanian Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) Bogor
telah melakukan penelitian secara intensif untuk menghasilkan komponen pengendalian penyakit
Busuk Batang Panili (BBP) yang berwawasan lingkungan. Komponen yang dihasilkan antara
lain : agensia hayati, produk cengkeh yang mengandung eugenol, penggunaan bibit sehat, bahan
organik serta menghindari terjadinya perlukaan mekanik (Tombe, 1996).
Hasil penelitian Balittro telah dideteksi bahwa eugenol yang merupakan senyawa utama
dalam minyak cengkeh ternyata toksik terhadap beberapa jamur patogen tanah yaitu : F.
oxysporum f.sp. vanillae (patogen BBP), Phytopthora capsici, Rhizoctonia solani, Rigidoporus
lignosis dan Sclerotium rolfsii (Tombe, 1996).
Jenis-jenis tumbuhan sebagai bahan pestisida nabati
Dewasa ini sedang digalakkan usaha eksplorasi jenis-jenis tumbuhan yang bisa
dimanfaatkan sebagai bahan pestisida nabati, beberapa yang telah diuji penggunaannya adalah :
1. Pestisida Nabati Daun Pepaya
Daun pepaya mengandung bahan aktif Papain, sehingga efektif untuk mengendalikan ulat
dan hama penghisap.
2. Pestisida Nabati Biji Jarak Biji Jarak mengandung Reisin dan Alkaloit, efektif untuk mengendalikan ulat dan hama
penghisap (dalam bentuk larutan ). Biji jarak ini juga efektif untuk mengendalikan
nematoda/cacing (dalam bentuk serbuk).
3. Pestisida Nabati Daun Sirsak Daun sirsak mengandung bahan aktif Annonain dan Resin. Ahan ini efektif untuk
mengendalikan hama Trip.
4. Pestisida Nabati Daun Sirsak dan Jeringau Rimpang jeringau mengandung Arosone, Kalomenol, Kalomen, Kalomeone, Metil eugenol
dan Eugenol. Bahan ini Efektif untuk mengendalikan hama wereng coklat.
5. Pestisida Nabati Pacar Cina Pacar Cina mengandung minyak atsiri, alkaloid, saponin, flavonoin, dan tanin. Bahan ini
efektif untuk mengendalikan Hama ulat.
6. Pestisida Nabati Rendaman Daun Tembakau Daun tembakau mengandung nikotin. Efektif untuk mengendalikan hama penghisap.
7. Pestisida Nabati Daun Sirih Hutan
Daun sirih hutan mengandung fenol dan kavikol,efektif untuk hama penghisap.
8. Pestisida Nabati Umbi Gadung Umbi gadung mengandung diosgenin, steroid, saponin, alkohol dan fenol, efektif untuk
mengendalikan ulat dan hama penghisap.
9. Pestisida Nabati Daun Gamal Daun gamal mengandung Tanin, efektif untuk mengendalikan ulat dan hama penghisap.
Daun gamal bila ditambah dengan minyak tanah dan detergen akan dapat dipakai sebagai
insektisida. Penggunaannya harus hati-hati karena dengan adanya minyak tanah
mengakibatkan tanaman terbakar dan berbau bila diaplikasikan mendekati panen.
10. Pestisida Nabati Daun Mimba dan Umbi Gadung. Pestisida ini efektif untuk mengendalikan ulat dan hama penghisap.
11. Pestisida Nabati Serbuk Bunga Piretrum
Serbuk bunga piretrum mengandung bahan Piretrin, efektif untuk mengendalikan ulat
(Media Penyuluhan Pertanian, 2012).
12. Tuba, Jenu (Derriseleptica)
Tumbuhan ini bisa digunakan untuk mengendalikan berbagai jenis hama tanaman.
13. Temu-temuan (Temu hitam, kencur, kunyit)
Batangnya digunakan untuk membasmi berbagai jenis serangga penyerang tanaman.
14. Kucai (Allium schonaoresum)
Kalau menggunakan kucai, cara meramunya adalah dengan menyeduhnya, yang kemudian
didinginkan. Kemudian saring. Air saringannya ini mampu untuk memberantas hama yang
biasanya menyerang tanaman mentimun.
15. Bunga Camomil (Chamaemelum sp)
Bunga yang sudah kering diseduh, kemudian dinginkan dan saring. Gunakan air saringan
tersebut untuk mencegah damping off atau penyakit rebah.
16. Bawang Putih (Allium sativum)
Bawang putih secara alami akan menolak banyak serangga. Tanamlah di sekitar pohon buah
dan lahan sayuran untuk membantu mengurangi masalah-masalah serangga.
Bawang putih, begitu juga dengan bawang bombai dan cabai, digiling, tambahkan air
sedikit, dan kemudian diamkan sekitar 1 jam. Lalu berikan 1 sendok makan deterjen, ADUK
sampai rata, dan kemudian ditutup. Simpan di tempat yang dingin selama 7 - 10 hari. Bila
ingin menggunakannya, campur ekstrak tersebut dengan air. Campuran ini berguna untuk
membasmi berbagai hama tanaman, khususnya hortikultura.
17. Abu Kayu
Abu sisa bakaran kayu ditaburkan di sekeliling perakaran tanaman bawang bombay, kol atau
lobak dengan tujuan untuk mengendalikan root maggot. Abu kayu ini bisa juga untuk
mengendalikan serangan siput dan ulat grayak. Caranya, taburkan di sekeliling parit
tanaman.
18. Mint (Menta sp)
Daun mint dicampur dengan cabai, bawang daun dan tembakau. Kemudian giling sampai
halus untuk diambil ekstraknya. Ekstrak ini dicampur dengan air secukupnya.
Dari ekstrak tersebut bisa digunakan untuk memberantas berbagai hama yang menyerang
tanaman.
19. Kembang Kenikir (Tagetes sp)
Ambil daunnya 2 genggam, kemudian campur dengan 3 siung bawang putih, 2 cabai kecil
dan 3 bawang bombay. Dari ketiga bahan tersebut dimasak dengan air lalu didinginkan.
Kemudian tambahkan 4 - 5 bagian air, aduk kemudian saring. Air saringan tersebut dapat
digunakan untuk membasmi berbagai hama tanaman.
20. Cabai Merah (Capsium annuum)
Cara pembuatannya dengan mengeringkan cabai yang basah dulu. Kemudian giling sampai
menjadi tepung. Tepung cabai tersebut kalau dicampur dengan air dapat digunakan untuk
membasmi hama tanaman.
21. Sedudu Sedudu (sejenis tanaman patah tulang) diambil getahnya. Getah ini bisa dimanfaatkan untuk
mengendalikan berbagai hama tanaman.
22. Kemangi (Ocimum sanetu)
Cara pembuatannya: kumpulkan daun kemangi segar, kemudian keringkan. Setelah kering,
baru direbus sampai mendidih, lalu didinginkan dan disaring. Hasil saringan ini bisa
digunakan sebagai pestisida alami.
23. Dringgo (Acarus calamus)
Akar dringgo dihancurkan sampai halus (menjadi tepung), kemudian dicampur dengan air
secukupnya. Campuran antara tepung dan air tersebut dapat digunakan sebagai bahan
pembasmi serangga.
24. Tembelekan (Lantana camara) Daun dan cabang tembelekan dikeringkan lalu dibakar. Abunya dicampur air dan dipercikkan
ke tanaman yang terserang hama, baik yang berupa kumbang maupun pengerek daun.
25. Rumput Mala (Artimista vulgaris). Caranya bakar tangkai yang kering dari rumput tersebut. Kemudian manfaatkan asap ini
untuk mengendalikan hama yang menyerang suatu tanaman.
26. Tomat (Lycopersicum eskulentum)
Daun tomat bagus sebagai insektisida dan fungisida alami. Dapat digunakan untuk
membasmi kutu daun, ulat bulu, telur serangga, belalang, ngengat, lalat putih, jamur, dan
bakteri pembusuk.
Gunakan batang dan daun tomat, dan dididihkan. Kemudian biarkan dingin lalu saring. Air
dari saringan ini bisa digunakan untuk mengendalikan berbagai hama tanaman.
27. Gamal (Gliricidia sepium) Daun dan batang gamal ditumbuk, beri sedikit air lalu ambil ekstraknya. Ekstrak daun segar
ini dan batang gamal ini dapat digunakan untuk mengendalikan berbagai jenis hama
tanaman, khususnya jenis serangga.
28. Bunga Mentega (Nerium indicum) Gunakan daun dan kulit kayu mentega dan rendamlah dalam air biasa selama kurang lebih 1
jam, kemudian disaring. Dari hasil saringan tadi dapat digunakan untuk mengusir semut.
29. Minyak Cengkeh
Cengkeh merupakan tanaman perkebunan yang banyak dibudidayakan di tingkat petani.
Tanaman ini banyak mengandung minyak atsiri yang mempunyai nilai jual tinggi. Minyak
atsiri diperoleh melalui proses ekstraksi maupun penyulingan bagian daun atau bunga
cengkeh. Minyak tersebut diketahui mengandung sampai dengan 80% eugenol dan
berdasarkan uji laboratorium dan rumah kaca diketahui sangat efektif membunuh nematode
puru akar, M. incognita.
30. Mimba (Azadirachta indica)
Tanaman ini telah lama dikenal dan mulai banyak digunakan sebagai pestisida nabati
menggantikan pestisida kimia. Tanaman ini dapat digunakan sebagai insektisida, bakterisida,
fungisida, acarisida, nematisida dan virisida. Senyawa aktif yang dikandung terutama
terdapat pada bijinya yaitu azadirachtin, meliantriol, salannin, dan nimbin.
Tanaman ini dapat mengendalikan OPT seperti : Helopeltis sp,; Empoasca sp.; Tungau jingga
(Erevipalpis phoenicis), ulat jengkal (Hyposidra talaca), Aphis gossypii, Epilachna varivestis,
Fusarium oxyporum, Pestalotia, sp.; Phytophthora sp.; Heliothis armigera, pratylenchus sp.;
Nilaparvata lugens, Dasynus sp.; Spodoptera litura, Locusta migratoria, Lepinotarsa
decemlineata, palnoccocus citri, Agrotis ipsilon, Callosobruchus chinensis, Alternaria tenuis,
Carpophilus hemipterus, kecoa, Crysptolestes pussillus, Corcyra cephalonnomia,
Crocidolomia binotalis, Dysdercus cingulatus, Earias insulana, Helycotylenchus sp.;
Meloidogyne sp.; Musca domestica, Nephotettix virescens, Ophiomya reticulipennis,
Rhizoctonia solani, Sclerotium rolfsii, Sitophilus sp.; Sogatella furcifera, Tribolium sp.;
tungro pada padi, Tylenchus filiformis.
31. Serei Wangi (Andropogon nardus L). Tanaman ini dikenal sebagai tanaman obat tradisional dan kosmetik, di Jawa dikenal sebagai
sere wangi dan di Sunda dikenal sebagai sereh wangi. Tanaman ini dapat digunakan sebagai
menggantikan pestisida kimia yaitu untuk insektisida, bakterisida, dan nematisida.
Senyawa aktif dari tanaman ini berbentuk minyak atsiri yang terdiri dari senyawa sitral,
sitronella, geraniol, mirsena, nerol, arnesol, metil heptenol dan dipentena.
Tanaman ini dapat mengendalikan Tribolium sp,; Sitophilus sp.; Callosobruchus sp.;
Meloidogyne sp.; dan Pseudomonas sp.
32. Piretrum (Chysanthemum cinerariaefolim VIS)
Tanaman ini lebih dikenal sebagai bunga chrysan, banyak ditanam dipekarangan (taman) dan
juga sebagai obat mata. Tanaman ini mulai banyak digunakan sebagai pestisida nabati
menggantikan pestisida kimia. Tanaman ini dapat berfungsi sebagai insektisida, fungisida,
dan nematisida. Senyawa aktif dari tanaman ini terdapat pada bunga bersifat racun kontak
yang dapat mempengaruhi sistem syaraf pusat serangga, menghambat perkembangan
serangga dengan penetasan telur.
33. Bakung (Crinum asiaticum L)
Tanaman ini telah lama digunakan sebagai bahan obat tardisional depresan sistem syarat
pusat. Tanaman ini dapat digunakan sebagai pengganti pestisida yang berfungsi sebagai
bakterisida, dan virisida. Senyawa dari tanaman ini mengandung alkaloid yang terdiri dari
likorin, hemantimin, krinin dan krianamin.
Tanaman ini bermanfaat untuk menekan /menghambat pertumbuhan Fusarium oxyporum.
34. Sirih (Piper betle L)
Tanaman sirih dengan banyak nama daerah merupakan tanaman yang telah lama dikenal
sebagai bahan dasar obat tradisional, dapat digunakan sebagai bahan pestisida alternatif
karena dapat digunakan/bersifat sebagai fungisida dan bakterisida. Senyawa yang dikandung
oleh tanaman ini antara lain profenil fenol (fenil propana), enzim diastase tanin, gula,
amilum/pati, enzim katalase, vitamin A,B, dan C, serta kavarol. Cara kerja zat aktif dari
tanaman ini adalah dengan menghambat perkembangan bakteri dan jamur.
Tanaman ini walaupun belum secara efektif dapat mengendalikan genus Phytophthora sp,;
Fusarium oxyporum, Streptococcus viridans dan Staphylococcus aureus.
35. Mindi (Melia azedarach L)
Tanaman mindi dikenal dengan nama mindi kecil, banyak digunakan dalam industri sebagai
bahan baku sabun. Tanaman ini dapat digunakan sebagai pestisida nabati karena dapat
bersifat sebagai insektisida, fungisida, dan nematisida. Senyawa aktif yang dikandung antara
lain margosin (sangat beracun bagi manusia), glikosida flavonoid dan aglikon.
Tanaman ini dapat digunakan untuk mengendalikan / menekan OPT seperti Hidari irava,
Spodoptera litura, Spodoptera abyssina, Myzus persicae, Orsealia oryzae, Alternaria tenuis,
Aphis citri, Bagrada crucifearum, Blatella germanica, Kecoa, Jangkrik, Kutu, Belalang,
Heliothis virescens, H. Zea; Helminthosporium sp.; Holocrichia ovata, Locusta migratoria,
Meloidogyne javanica, Nephotettox virescens, Nilaparvata lugens, Ostrina furnacalis,
Panochychus citri, Sagotella furcifera, Tribolium castaneum, Tryporyza incertulas,
Tylenchus filiformis (Anonim c, 2012).
SIMPULAN DAN SARAN
Pertumbuhan tanaman sering dihambat oleh organisme pengganggu tanaman (OPT),
sehingga produktivitas tanaman menurun. Selama ini penanggulangan terhadap serangan OPT
tersebut kebanyakan menggunakan pestisida sintetis/pestisida kimia, yang berdampak negatif
terhadap lingkungan, terhadap pemakai dan terhadap konsumen yang mengkonsumsi produk
pertanian tersebut.
Upaya untuk menekan dampak negatif penggunaan pestisida kimia tersebut adalah
dengan memanfaatkan berbagai jenis tumbuhan yang dapat berperan sebagai pestisida nabati.
Secara biokimiawi, tumbuhan dapat membentuk senyawa sekunder yang berperan sebagai alat
pertahanan alami terhadap invasi patogen. Secara analogi, ekstrak dari bagian tumbuhan yang
mengandung zat aktif tersebut dapat digunakan sebagai bahan pestisida.
Keanekaragaman jenis tumbuhan yang dimiliki oleh Indonesia karena berada di daerah
tropis, memungkinkan untuk dieksplorasi jenis-jenis tumbuhan yang menghasilkan zat aktif
sebagai bahan pestisida. Hasil eksplorasi tersebut diharapkan dapat menambah inventarisasi jenis
tumbuhan sebagai bahan pestisida nabati, sehingga penggunaannya bisa lebih ditingkatkan untuk
menekan dampak negatif penggunaan pestisida kimia.
DAFTAR RUJUKAN
Anonim a. 2012. Pestisida. http://www.tanindo.com/index.php?option=comcontent&view= section
&layout=blog&id=9&Itemid=15. Dikutip tanggal 7 September 2012
Anonim b, 2012. Tanaman untuk Pestisida Nabati. http://www.smallcrab.com/others/681-tanaman-
untuk-pestisida-nabati. Dikutip tanggal 6 September 2012
Anonim c, 2012. Tanaman Untuk Pestisida Nabati. http://www.smallcrab.com/others/681-tanaman-
untuk-pestisida-nabati. Dikutip tanggal 6 September 2012
Kardinan, A. 2005. Pestisida Nabati Ramuan & Aplikasi. Jakarta : Penebar Swadaya. 88 h.
Media Penyuluhan Pertanian , 2012. Pestisida Nabati dan Cara Penggunaannya. http://media-
penyuluhan.blogspot.com/2012/06/pestisida-nabati-dan-cara-pembuatannya.html. dikutip
tanggal 06 September 2012
Moeljanto, R. D. dan Mulyono. 2003. Khasiat & Manfaat Daun Sirih Obat Mujarab dari Masa ke
Masa. Jakarta : Agromedia Pustaka. 77 h.
Novizan. 2002. Membuat & Memanfaatkan Pestisida Ramah Lingkungan. Jakarta: Agromedia
Pustaka. 94 h.
Rustini, N. L. 2004. Aktivitas Fungisida Ekstrak Rimpang Dringo (Acorus calamus L.) Terhadap
Jamur Botryodiplodia theobromae Penyebab Penyakit Busuk Buah Pisang (tesis).
Denpasar : Universitas Udayana. 50 h.
Suprapta, D. N. 2001. Senyawa Antimikroba dan Pertahanan Tumbuhan Terhadap Infeksi Jamur.
Agritrop. 20 : 52-55.
Suprapta, D. N. 2005. Pertanian Bali Dipuja Petaniku Merana. Denpasar : Taru Lestari
Foundation. 159 h.
Tombe, M. 1996. Paket Teknologi dan Strategi Pengendalian Penyakit Busuk Batang Panili
(BBP). Makalah Seminar Gelar Teknologi dan Pertemuan Regional Pengendalian
Penyakit Busuk Batang Panili (BBP), 28-29 Nopember 1996, Denpasar Bali.
Zaka, H..2008. Pengendalian Hama dan Penyakit dengan Pestisida Nabati http://isroi.com/2008
/06/02/pengendalian-hama-dan-penyakit-dengan-pestisida-nabati/. Dikutip tanggal 6 september
2012.
Implementasi Metode Pembelajaran Problem Posing Tipe Post Solution Posing Untuk
Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika Dan Ketuntasan Siswa Kelas X-2 SMA Negeri
1 Kerambitan Semester 2 Tahun Pelajaran 2008/2009
I Wayan Widana
Dosen Jur.Pendidikan Matematika FPMIPA IKIP PGRI Bali-Denpasar
ABSTRACT
Implementation Method of Learning Problem Posing Posing Solution Post Types To Boost
Math Achievement and mastery of Grade X-2 SMA Negeri 1 Kerambitan Semester 2
Academic Year 2008/2009.
The action classroom reseach aimed at finding out of implementasion problem posing
method post solution posing type, to improve the student’s mathematics achievement and
student’s learning achievement of X-2 class at SMA Negeri 1 Kerambitan in the second semester
of academic year 2008/2009. To achieve the objectives, the problem posing method post solution
posing type was implemented toward the students of X-2 class at SMA Negeri 1 Kerambitan in
the second semester of academic year 2008/2009, which consisted of 33 students. The object of
this study were student’s mathematics achievement and learning achievement. The data of
student’s mathematics achievement was collected by using achievement test. Meanwhile, the
data of student’s learning achievement was collected from percentage the score of student’s
mathematics achievement already achieve the KKM or more than KKM (score of KKM=68).
Then, the data was analyzed descriptively.
The result of the study shown that, after implementing the problem posing method post
solution posing type, there was improvement the achievement of student’s. In the first cycle, the
mean score was 69,09 and 75,32 in the second cycle. Then, student’s learning achievement in the
first cycle was 81,82% and it was getting increased in the second cycle that is 87,88%.
Key word: Method Problem Posing, Post Types Solution Posing, Achievement and mastery
PENDAHULUAN
Matematika merupakan mata pelajaran yang dipelajari oleh semua siswa dari SD hingga
SMA bahkan perguruan tinggi. Menurut Cornelus (dalam Alit: 2008:2) mengatakan bahwa ada
banyak alasan tentang perlunya siswa belajar matematika, yaitu (1) merupakan sarana berpikir
yang jelas dan logis, (2) sarana memecahkan masalah kehidupan sehari-hari, (3) sarana mengenal
pola-pola hubungan generalisasi pengalaman, (4) sarana mengembangkan kreativitas, dan (5)
sarana untuk meningkatkan kesadaran terhadap perkembangan budaya.
Mengingat begitu pentingnya matematika di sekolah seperti yang disebutkan di atas,
diperlukan suatu metode yang tepat dalam pembelajaran agar tujuan yang diharapkan dapat
dicapai sesuai dengan yang diinginkan. Semestinya matematika merupakan salah satu pelajaran
yang digemari oleh siswa terkait dengan kegunaannya.
Kenyataannya keluhan dan kekecewaan terhadap sikap dan hasil yang dicapai siswa
dalam pembelajaran matematika hingga kini masih sering diperbincangkan. Umumnya siswa
mengatakan matematika merupakan pelajaran yang sulit dan membosankan, tidak menarik, dan
bahkan penuh misteri. Ini disebabkan karena mata pelajaran matematika dirasakan sukar,
gersang, dan tidak tampak kaitannya dengan kehidupan sehari-hari (Mohamad Soleh dalam Alit,
2008:3). Kondisi ini juga sangat dirasakan di lingkungan siswa SMA Negeri 1 Kerambitan. Pada
umumnya siswa tidak senang belajar matematika dengan berbagai alasan, misalnya tidak akan
melanjutkan ke perguruan tinggi, tidak akan memilih jurusan IPA atau sikap yang ditampilkan
siswa dalam pembelajaran matematika sekedar untuk mengikuti pelajaran agar memperoleh nilai
semata-mata.
Hal lain yang juga diduga sebagai penyebab rendahnya prestasi belajar matematika siswa
kelas X-2 SMA Negeri 1 Kerambitan adalah kebiasaan guru yang dominan mengajar
menggunakan metode ceramah, sehingga komunikasi yang terjadi hanya satu arah yaitu dari
guru ke siswa. Kebiasaan ini muncul karena pada umumnya guru kurang yakin dengan
kemampuan yang dimiliki siswa untuk memecahkan permasalahan sendiri. Siswa kurang
diberikan kesempatan untuk merumuskan sendiri cara-cara pemecahan masalah yang diajukan
guru.
Apabila kondisi ini dibiarkan, akan menyebabkan rendahnya budaya belajar siswa
khususnya belajar matematika. Siswa akan menganggap pelajaran matematika merupakan
pelajaran yang sulit dan tidak disukai. Lebih jauh lagi akan berdampak pada rendahnya mutu
lulusan, sehingga akan menjadi kendala yang sangat signifikan dalam mengikuti ujian nasional
(UN). Oleh karena itu perlu segera dicarikan solusi sejak dini, agar permasalahan ini dapat
diatasi. Guru harus berupaya membangkitkan semangat belajar siswa, memilih metode
pembelajaran yang dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk memecahkan sendiri
permasalahannya, serta menemukan upaya-upaya untuk meningkatkan pemahaman siswa
terhadap konsep-konsep matematika.
Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan di atas, adalah mengimplementasikan
metode pembelajaran problem posing tipe post solution posing, yaitu merumuskan atau membuat
soal sejenis dari situasi yang diberikan. Siswa akan dilatih kemampuannya untuk menyusun soal
sendiri, selanjutnya soal atau permasalahan tersebut diselesaikan sendiri sesuai dengan contoh-
contoh yang diberikan oleh guru. Sesuai dengan kedudukan problem posing merupakan langkah
awal dari problem solving, maka pembelajaran problem posing juga merupakan pengembangan
dari pembelajaran problem solving. Sutiarso (2000) menyatakan bahwa dalam problem posing
diperlukan kemampuan siswa dalam memahami soal, merencanakan langkah-langkah
penyelesaian soal, dan menyelesaikan soal tersebut. Ketiga kemampuan tersebut juga merupakan
sebagian dari langkah-langkah pembelajaran problem solving. Problem posing adalah kegiatan
perumusan soal atau masalah oleh siswa. Siswa hanya diberikan situasi tertentu sebagai stimulus
dalam merumuskan soal/masalah. Berkaitan dengan situasi yang dipergunakan dalam kegiatan
perumusan masalah/soal dalam pembelajaran matematika, Walter dan Brown (1993: 302)
menyatakan bahwa soal dapat dibangun melalui beberapa bentuk, antara lain gambar, benda
manipulatif, permainan, teorema/konsep, alat peraga, soal, dan solusi dari soal. Suyitno Amin (2006) merumuskan langkah-langkah metode pembelajaran problem posing tipe post solution posing yang dilakukan
secara kelompok adalah sebagai berikut:
1) Guru menyampaikan tujuan pembelajaran;
2) Guru menjelaskan materi pelajaran kepada para siswa; 3) Guru memberikan latihan soal secukupnya;
4) Guru membentuk kelompok-kelompok belajar yang heterogen, tiap kelompok terdiri atas 4-5 orang siswa;
5) Setiap kelompok diminta menyelesaikan soal pada lembar kerja kelompok; 6) Setiap kelompok diminta mengajukan soal yang menantang, dan kelompok yang bersangkutan harus mampu menyelesaikannya;
7) Secara acak guru meminta perwakilan kelompok untuk menyajikan soal temuannya di depan kelas;
8) Guru memberikan penugasan secara individual.
Dengan demikian, penelitian ini mengarah ke persoalan sejauh mana implementasi
metode pembelajaran Problem Posing tipe Post Solution Posing dapat meningkatkan prestasi
belajar matematika dan ketuntasan siswa kelas X-2 SMA Negeri 1 Kerambitan semester 2 tahun
pelajaran 2008/2009?
METODE PENELITIAN Desain Penelitian. Desain penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas model Kemmis &
Taggart (Arikunto: 2008) yang dapat dilaksanakan dalam beberapa siklus, dimana setiap siklus terdiri dari
empat langkah, yaitu: 1) perencanaan, 2) pelaksanaan tindakan, 3) observasi, dan 4) refleksi.
Subjek Penelitian. Subjek penelitian tindakan adalah siswa kelas X-2 SMA Negeri 1 Kerambitan
semester 2 tahun pelajaran 2008/2009, yang berjumlah 33 orang.
Objek Penelitian. Objek penelitian tindakan adalah prestasi belajar matematika siswa kelas X-2
SMA Negeri 1 Kerambitan semester 2 tahun pelajaran 2008/2009 yang ditandai dengan nilai rata-rata
ulangan harian dan persentase siswa yang telah mencapai kriteria ketuntasan minimal (KKM) atau lebih
yang selanjutnya dinyatakan dalam bentuk ketuntasan klasikal.
Teknik Pengumpulan Data. Instrumen yang digunakan untuk mendapatkan data prestasi belajar
matematika siswa adalah tes prestasi belajar bentuk uraian/esai. Tes prestasi belajar ini disusun dan
dikembangkan sendiri oleh peneliti, mengacu pada Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar sesuai
dengan Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi. Sedangkan data ketuntasan klasikal
diperoleh dengan cara menghitung persentase siswa yang telah mencapai KKM atau lebih.
Analisis Data. Data prestasi belajar matematika siswa dianalisis secara deskriptif yaitu
dengan menentukan nilai rata-rata kelas dengan rumus :
Keterangan :
= nilai rata-rata kelas
= jumlah nilai seluruh siswa
N = Banyak siswa
Hasil ulangan harian pada akhir siklus dibandingkan dengan nilai KKM matematika kelas
X tahun pelajaran 2008/2009 yaitu 68. Siswa yang telah mencapai KKM atau lebih dinyatakan
tuntas, sedangkan siswa yang belum mencapai KKM dinyatakan belum tuntas.
Ketuntasan Klasikal ditentukan dengan cara menghitung persentase siswa yang telah
mencapai KKM (ketuntasan) menggunakan rumus:
KK = x 100
Keterangan: KK = Ketuntasan klasikal
N = Banyak siswa
Kriteria Keberhasilan. Penelitian tindakan kelas ini dikatakan berhasil apabila dipenuhi
kriteria sebagai berikut: 1) Nilai rata-rata prestasi belajar matematika siswa kelas X-2 pada akhir siklus, secara klasikal
minimal 68.
2) Ketuntasan klasikal pada masing-masing siklus minimal 85%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian.
Setelah diimplementasikan metode Problem Posing tipe Post Solution Posing dalam
pembelajaran matematika di kelas X-2, ternyata hasil yang diperoleh cukup signifikan untuk
meningkatkan prestasi belajar matematika siswa. Ringkasan hasil penelitian tentang prestasi
belajar matematika dan ketuntasan siswa kelas X-2 dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1. Prestasi dan Ketuntasan Belajar
Rata-rata Ulangan
Harian Ketuntasan Klasikal
Sebelum Tindakan 67,85 78,79%
Siklus I 69,09 81,82%
Siklus II 75,32 87,88%
Siklus I
Berdasarkan teknik analisis data yang telah ditetapkan maka diperoleh hasil penelitian
pada siklus I sebagai berikut: 1) Prestasi belajar matematika siswa kelas X-2 dalam bentuk rata-rata nilai ulangan harian adalah
sebagai berikut:
2) Ketuntasan Klasikal (KK):
KK = x 100%
KK = x 100% = 81,82% Hasil yang diperoleh dalam siklus I selanjutnya dikonsultasikan dengan kriteria keberhasilan
yang telah ditetapkan sebelumnya yaitu peneltitian tindakan ini dikatakan berhasil jika nilai rata-rata kelas
mencapai minimal 68 (sesuai dengan KKM) dan persentase ketuntasan kelas minimal 85%. Pada siklus I,
nilai rata-rata kelas yang diperoleh siswa mencapai 69,09 dan ketuntasan klasikal mencapai 81,82%. Hal
ini berarti bahwa pelaksanaan tindakan pada siklus I belum berhasil, walaupun nilai rata-rata kelas sudah
melampaui target yang ditetapkan tetapi ketuntasan belum mencapai 85%. Oleh karena itu, maka
penelitian tindakan ini perlu dilanjutkan untuk memperbaiki hasil yang telah dicapai pada siklus I melalui
berbagai penyempurnaan pada pelaksanaan siklus II.
Bertolak dari hasil yang diperoleh dalam siklus I dan untuk mengatasi beberapa kendala
yang dihadapi, maka dalam pelaksanaan tindakan siklus II dilakukan beberapa penyempurnaan
sesuai dengan hasil refleksi siklus I sebagai berikut: 1) Guru lebih memotivasi siswa dengan cara mengatakan bahwa setiap siswa punya potensi dan
kemampuan untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri melalui pengalaman belajar yang
dilaluinya.
2) Untuk lebih meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep/materi pokok dalam
pembelajaran, guru mengoptimalkan penggunaan alat peraga dan bantuan slide powerpoint.
3) Pada saat kerja kelompok, guru menekankan agar kerjasama dalam kelompok dioptimalkan dengan
meningkatkan kualitas diskusi dalam kelompok. Guru mengingatkan kepada siswa yang belum
menguasai konsep agar proaktif bertanya kepada teman dalam kelompok atau guru.
4) Pada saat siswa merumuskan soal-soal sejenis dengan soal buatan guru, guru lebih mengintensifkan
bimbingan individual kepada siswa.
Siklus II Hasil yang dicapai dalam siklus II setelah dilakukan penyempurnaan-penyempurnaan dalam
pelaksanaan tindakan serta mengacu pada teknik analisis data yang telah ditetapkan sebelumnya diperoleh
hasil-hasil sebagai berikut.
a) Prestasi belajar matematika siswa kelas X-2 dalam bentuk rata-rata nilai ulangan harian:
b) Ketuntasan Klasikal (KK):
KK = x 100%
KK = x 100%
KK = 87,88%. Berdasarkan kriteria keberhasilan yang telah ditetapkan sebelumnya, yaitu nilai rata-rata ulangan
harian mencapai minimal 68 dan ketuntasan klasikal (KK) minimal 85%, ternyata nilai rata-rata ulangan
harian yang telah dicapai pada siklus II adalah 75,32 (sudah mencapai kriteria keberhasilan). Sedangkan
ketuntasan klasikal yang dicapai adalah 87,88% juga sudah berada di atas kriteria yang telah ditetapkan.
Dengan demikian, penelitian tindakan ini dikatakan sudah berhasil. Artinya peningkatan
prestasi belajar matematika berupa nilai rata-rata ulangan harian dan ketuntasan siswa secara
klasikal telah berhasil ditingkatkan dengan penerapan metode Problem Posing tipe Post Solution
Posing di kelas X-2 dalam dua siklus.
Pembahasan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan baik pada siklus I dan siklus II, ternyata
penerapan metode pembelajaran Problem Posing tipe Post Solution Posing dapat meningkatkan
prestasi belajar matematika dan ketuntasan belajar secara klasikal. Pada siklus I nilai rata-rata
ulangan harian mencapai 69,09 dengan persentase ketuntasan 81,82%, sedangkan pada siklus II
nilai rata-rata ulangan harian berhasil ditingkatkan menjadi 75,32 dengan persentase ketuntasan
87,88%. Hasil ini menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan nilai rata-rata ulangan harian
sebesar 6,23 dan ketuntasan belajar sebesar 5,95% dari siklus I ke siklus II. Peningkatan prestasi
belajar matematika dan ketuntasan belajar secara klasikal sebagai dampak dari implementasi
metode Problem Posing tipe Post Solution Posing merupakan implikasi logis dari meningkatnya
pemahaman siswa terhadap konsep-konsep matematika. Meningkatnya pemahaman siswa
terhadap konsep-konsep matematika tersebut di atas, tidak terlepas dari latihan-latihan yang
intensif dalam merumuskan soal-soal yang sejenis dengan soal buatan guru. Selain merumuskan
soal, siswa juga dituntut dapat menjawab soal-soal yang telah disusunnya itu. Dalam kegiatan
tersebut, sesungguhnya telah terjadi suatu proses pengkonstruksian pemahaman konsep
matematika dalam pemikiran siswa melalui pengalaman belajar yaitu latihan merumuskan soal
dan jawabannya. Semakin intensif latihan yang diberikan dalam menyusun soal dan jawabannya
itu, semakin meningkat pula pemahaman siswa terhadap konsep-konsep yang diajarkan.
Sebagai upaya nyata guru untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep
matematika telah ditempuh dengan jalan diskusi kelompok. Dengan diskusi kelompok, siswa
dapat meningkatkan komunikasi dengan teman-temannya. Kerjasama dalam kelompok sangat
menentukan keberhasilan kelompok untuk memahami konsep-konsep yang diajarkan guru.
Mereka harus satu tujuan serta bertanggung jawab penuh terhadap tugas-tugas yang diberikan
guru. Keberhasilan penerapan metode Problem Posing tipe Post Solution Posing juga tidak
terlepas dari upaya guru dalam meningkatkan intensitas diskusi dalam kelompok. Pengawasan
ketat guru terhadap diskusi yang dilakukan oleh kelompok sangat mempengaruhi kualitas diskusi
dalam kelompok serta meminimalkan kebiasaan siswa bermain-main. Hal ini berdampak positif
dalam upaya meningkatkan kesadaran siswa untuk mengkonstruksi pemahamannya melalui
pengalaman belajar yang dijalaninya.
Berdasarkan paparan di atas, penerapan metode Problem Posing tipe Post Solution
Posing memberikan kontribusi yang signifikan dalam upaya meningkatkan prestasi belajar
matematika. Oleh karena itu pengembangan metode Problem Posing tipe Post Solution Posing
perlu dilakukan guru untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan analisis data dan pembahasan hasil penelitian ini, dapat dikemukakan
simpulan sebagai berikut. 1) Implementasi metode Problem Posing tipe Post Solution Posing dapat meningkatkan prestasi belajar
matematika dan ketuntasan belajar siswa kelas X-2 SMA Negeri 1 Kerambitan. Pada siklus I nilai
rata-rata ulangan harian mencapai 69,09 dengan persentase ketuntasan 81,82%, sedangkan pada
siklus II nilai rata-rata ulangan harian berhasil ditingkatkan menjadi 75,32 dengan persentase
ketuntasan 87,88%. Hasil ini menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan nilai rata-rata ulangan
harian sebesar 6,23 dan ketuntasan belajar sebesar 5,95% dari siklus I ke siklus II.
2) Implementasi metode Problem Posing tipe Post Solution Posing dapat meningkatkan kualitas
pembelajaran matematika di kelas. Hal ini terlihat dari meningkatkan antusiasme siswa dalam
pembelajaran, meningkatnya komunikasi antara siswa dan siswa, antara siswa dan guru dalam
kegiatan presentasi di depan kelas.
Saran
Berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini dapat diajukan saran-saran sebagai
berikut. 1) Pengembangan metode Problem Posing tipe Post Solution Posing perlu dilakukan guru untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas, dapat pula dikombinasikan dengan metode
pembelajaran lainnya.
2) Pengembangan metode Problem Posing perlu dilakukan oleh peneliti lain untuk tipe-tipe lainnya
pada lokasi yang berbeda dengan subjek yang berbeda pula.
DAFTAR RUJUKAN
Arikunto Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Bumi Aksara.
Arikunto Suharsimi. 2008. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Budi Adnyana. 2004. Pengembangan Metode Pembelajaran Kooperatif Bermodul Yang
Berwawasan Sains Teknologi Masyarakat (STM) dan Pengaruh Implementasinya
Terhadap Hasil Belajar Biologi Siswa SMA di Singaraja (Disertasi). Malang: UM
Depdiknas. 2006. Metode Penilaian Kelas. Jakarta: Puskur Depdiknas
Depdiknas. 2006. Permendiknas Nomor 22 Tentang Standar Isi. Jakarta: Direktorat Pembinaan
SMA.
Depdiknas. 2007. Permendiknas Nomor 16 Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan
Kompetensi Guru. Jakarta: Direktorat Pembinaan SMA.
Depdiknas. 2007. Permendiknas Nomor 20 Tentang Standar Penilaian. Jakarta: Direktorat
Pembinaan SMA.
Dewi Mahabbah Intan. 2007. Model Pembelajaran Problem Posing Tipe Post Solution Posing
Untuk Mengajarkan Pemahaman Konsep Matematika Pokok Bahasan Bangun Segi
Empat Pada Peserta Didik Kelas VII SMPN 1 Batupulang Tegal. Skripsi (Tidak
Dipublikasikan).
Narohita, Alit. 2008. Optimalisasi Penggunaan Lembar Kerja Siswa Dengan Pendekatan
Konstruktivis Dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika Siswa Kelas VIII E
SMP Negeri 1 Tejakula. Penelitian Tindakan Kelas (Tidak Dipublikasikan).
Nur, M dan Wikandari. 2000. Pengajaran Berpusat pada Siswa dan Pendekatan Konstruktivis
dalam Pengajaran. Surabaya: PSMS.
Panitia Penerimaan Siswa Baru. 2008. Data Penerimaan Siswa Baru SMA Negeri 1 Kerambitan.
(Tidak Dipublikasikan).
Santyasa, I.W. 2005. Teknik Penyusunan Proposal PTK. Makalah disajikan dalam seminar
penyusunan proposal PTK untuk guru-guru SMP se-Provinsi Bali. Oktober 2005, di
Jurusan Pendidikan MIPA STKIP Singaraja.
Samani, M. 2006. Menjadi Guru Profesional dalam Persepektif UU Guru dan Dosen. Makalah.
Disampaikan pada workshop Guru Berprestasi Nasional. Bandung, 29 Mei 2006.
Slavin Robert E. 1995. Cooperative Learning, Theory, Research and Practice 2th
. Boston: Allyn
and Bacon
Suparno.1997. Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Suyitno, Amin. 2006. Pemilihan Model-Model Pembelajaran dan Penerapannya di Sekolah.
Semarang : Universitas Negeri Semarang.
Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta:
Prestasi Pustaka Publisher.
Usmanto. 2007. Implementasi Model Pembelajaran Problem Posing Tipe Pre Solution Posing
Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas III D SMP 2 Petarukan Kabupaten
Pemalang Pada Pokok Bahasan Lingkaran. Skripsi (Tidak Dipublikasikan).
Meningkatkan Kemampuan Memahami Konsep Limit Melalui Pola Latihan Berjenjang Berbasis
Kooperatif pada Mahasiswa Semester I Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA IKIP PGRI Bali
Tahun Akademik 2011/2012
I Made Surat, MPd.
Dosen Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA IKIP PGRI Bali
email: [email protected]
ABSTRACT
The Improvement of Students’ Understanding, Learning Activities and Responses Toword the
Study of Base Limit Concept through Step-By-Step Drill Model With Cooperatif Base.
The research is aimed to know the improvement of students’ understanding, learning activities
and responses toword the study of base limit concept through step-by-step drill model with cooperatif
base. This research is short of a class action research which is conducted in 2 cicles. Each cicle consists of
planning, action, observation, and reflection. The subjects of the research are 43 semester I students of
Mathematics study program of FPMIPA IKIP PGRI Bali in the academic year of 2011/2012. The scoring
data of understanding the limit concept are collected by tests, while the data of learning activities are
collected through observation, and the data of students responses are collected by using questionaires.
More over, the data of the students’ understanding is analyzed based on descriptive statistic using the
students’ mean score, then it is Converted to PAP, and it is finally compared to work indicators. As well,
the data of the students’ activities and responses are analyzed with descriptive statistic wich are converted
to PAP.
The results of the research shows that there is an improvement of the students’ understanding and
learning activities in each cicle. In cicle I, the students’ learning activity score is 65,81 in category
’actively enaugh’ and the mean score of the students’ understanding in limit concept is 68,37 wich means
its coprehension level is 68,37 % with the classical passing score is 79,1%. Furthermore, in cicle II, the
students’ score of learning activities is improved into 73,21 in category ’active’. The students’ mean score
of understanding the limit concept becomes 76,7 (the coprehesien level is 76,7%) and the passing score is
90,6 %. At the end of this cicle, the result of the questionaires of the students’ respons toward the learning
proces is good (agree)
The research shows the significant improvement in the students’ understanding, learning
activities, and responses so that it should be appreciated by the calculus lecturers to try implementing the
step-by-step drill model in order to help the students in improving their understanding step-by-step.
Keyword: Limit concept, Step-by-step drill model, Cooperatif
PENDAHULUAN
Mata kuliah kalkulus merupakan kelompok mata kuliah analisis. Manfaat yang dirasakan dalam
penerapan mata kuliah ini sangat luar biasa, antara lain dalam bidang teknologi, fisika, kimia, biologi dan
bahkan dalam bidang ilmu sosial. Rasanya tidak berlebihan para teknolog mengatakan bahwa
kenyamanan hidup sebagai akibat dari penerapan IPTEK adalah akibat dari peranan kalkulus yang sangat
besar.Topik-topik kalkulus merupakan materi yang cukup rumit untuk dipelajari, di samping bersifat
abstrak juga bersifat hierarkis. Dibutuhkan kemampuan dasar yang memadai agar dapat menguasai materi
kalkulus dengan baik. Salah satu konsep dasar yang sangat penting dalam mempelajari kalkulus adalah
konsep tentang limit. Limit merupakan konsep dasar yang digunakan untuk membangun definisi dan
mengembangkan teorema dalam topok-topik kalkulus khususnya diferensial dan integral. Sehingga
pembuktian setiap teorema, collorary maupun lemma akan berlandaskan kepada konsep limit. Oleh
karena itu pemahaman tentang konsep dasar limit merupakan kata kunci untuk menguasai kalkulus.
Kenyataan menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa mengalami kesulitan dalam memahami
konsep tentang limit. Pengalaman mengajar peneliti menemukan kenyataan bahwa hampir 90 %
mahasiswa masih kesulitan menangkap makna definisi limit, diskusi tidak jalan, mereka kurang aktif
bertanya ataupun menjawab mengalami kebuntuan dalam membuktikan soal soal tentang limit, hal ini
berakibat pada peroses perkuliahan kurang interaktif.. Demikian abstraknya definisi tentang limit, maka
diperlukan upaya agar mahasiswa dapat memahaminya dengan baik. Nampaknya dalam upaya memahami
definisi limit dibutuhkan tahapan-tahapan pemahaman. Oleh karena itu dicoba untuk memilah-milah
peroses pemahaman secara bertahap melalui pola latihan berjenjang.
Berdasarkan pada latar belakang tersebut maka masalah yang akan dikaji untuk ditemukan
jawabannya adalah berupa tiga permasalahan pokok sebagai berikut yaitu (1) bagaimana aktivitas belajar
mahasiswa dalam mempelajari konsep limit melalui pola latihan berjenjang ? dan (2) apakah ada
peningkatan pemahaman mahasiswa Semesterm I Jurusan Pendidikan Matematika tentang konsep dasar
limit melalui pola latihan berjenjang ? (3) Bagaimana respon mahasiswa terhadap perkuliahan topik limit
dengan menggunakan pola latihan berjenjang ?
Limit fungsi adalah konsep yang penting dan merupakan dasar dari kalkulus diferensial dan
integral. Konsep limit fungsi juga memegang peranan penting dalam mengkonstruksi teorema-teorema
inti dari kalkulus. Misal suatu fungsi dengan rumus f(n) = 2-1/n, apabila n kita ganti dengan nilai bilangan
asli n = 1, 2, 3, ......, maka akan diperoleh nilai f yang membentuk barisan 1, 3/2, 5/3, 7/4, 9/5, ........., 2-
1/n,... Jika digambarkan pada garis bilangan ternyata titik-titik tersebut mengelompok sekitar titik 2
sedemikian rupa sehingga ada titik-titik dari barisan bilangan tersebut yang jaraknya terhadap 2 kurang
dari suatu bilangan positif yang telah ditetapkan terlebih dahulu, betapapun kecilnya. Sebagai contoh, titik
2001/1001 dan semua titik berikutnya berada pada jarak
< 1/1000 dari 2, titik 20000001/10000001 dan semua titik berikutnya berada pada jarak < 1/10000000
dari 2, demikian seterusnya. Keadaan seperti ini dinyatakan dengan mengatakan bahwa limit barisan
adalah 2. Jika x adalah peubah bilangan real yang bergerak mendekati sebuah bilangan real a, maka
dikatakan bahwa LxfLimax
)(. , berarti bahwa untuk setiap ξ > 0 yang diberikan (betapapun
kecilnya) maka terdapat δ > 0 yang besesuaian sedemikian sehingga ,)( Lxf asalkan bahwa 0<
ax ; yakni 0< ax maka ,)( Lxf Ini berarti, secara implisit tersirat makna bahwa
limit f(x) akan mendekati L apabila x mendekati a. Kata f(x) mendekati L ini berarti selisih f(x) dengan L
adalah sangat kecil yang biasa disimbolkan dengan . Begitu pula untuk x mendekati a ini berarti
bahwa selisih x dengan a adalah sangat kecil yang biasa disimbolkan dengan . Secara matematis
pernyataan tersebut dapat ditulis ke dalam pertidaksamaan harga mutlak sbb:
axdanLxf 0..,)( .
Pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning) merupakan suatu pembelajaran yang dibentuk
dalam kelompok kecil dengan anggota kelompoknya saling bekerja sama mengoptimalkan keterlibatan
dirinya dalam belajar, untuk menyelesaikan tugas (Widiarsa, 1997). Dalam pembelajaran kooperatif
setiap anggota kelompok harus mencapai ketuntasan materi. Belajar belum selesai jika salah satu anggota
kelompok ada yang tuntas dalam menguasai materi pelajaran. Jadi setiap anggota kelompok bertanggung
jawab atas belajarnya dan dan juga kelompoknya. Ini berarti dalam pembelajaran kooperatif
memungkinkan siswa dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajarnya. Belajar secara kooperatif
memiliki beberapa ciri penting di antaranya setiap anggota kelompok berperan dalam proses
pembelajaran, adanya hubungan interaksi langsung di antara para maha siswa dan dosen membantu
mahasiswa untuk mengembangkan keterampilan intern personal kelompok. Wirta (1999), menyatakan
bahwa manfaat pembelajaran kooperatif adalah: (1) memperluas perspektif intelektual ; (2) merangsang
kemampuan berpikir; (3) menyempurnakan atau meluruskan pandangan/pendapat; (4) mengembangkan
sikap tidak egosentris.
Upaya menjembatani karakteristik matematika dengan kondisi anak didik yang mempelajarinya,
merupakan tantangan dalam pendidikan matematika untuk mencari pola maupun model penyajian yang
menarik dan sekaligus dapat memudahkan untuk mempelajarinya. Pemilihan model atau pola
pembelajaran matematika perlu berorientasi pada perkembangan mutakhir di dunia, dengan terus
memperpendek kesenjangan antara kemajuan di dunia dan keadaan nyata di Indonesia.
Model pembelajaran matematika yang berkembang di dasarkan pada teori-teori belajar (Gatot
Muhsetyo, dkk., 2007). Hakikat dari teori-teori belajar yang sesuai dengan pembelajaran matematika
perlu dipahami sungguh-sungguh sehingga tidak keliru dalam menerapkannya. Teori teori belajar itu
menjadi tidak berguna jika makna dari konsep-konsep yang dikembangkan tidak dipahami dengan baik.
Jika suatu teori belajar ternyata efektif untuk membantu seorang pendidik menjadi lebih profesional, yaitu
meningkatkan kesadaran pendidik bahwa mereka wajib menolong anak didiknya untuk mengintegrasikan
konsep baru dengan konsep yang sudah ada, maka teori itu berharga dan patut untuk dipertimbangkan.
Sampai tahun 1970-an, para pengajar di Indonesia masih percaya bahwa cara yang terbaik untuk
menjamin keberhasilan belajar matematika adalah melalui pengulangan-pengulangan yang merupakan
prinsip dari teori belajar. Peserta didik menggunakan waktunya untuk mengulang rumus-rumus
matematika, cara memanipulasi simbol-simbol berkali kali. Dengan cara ini peserta didik belajar
informasi-informasi. Teori yang mendasari pelaksanaan belajar yang seperti ini adalah berasal dari
Stimulus-Respons. Pandangan dari psikologi ini didasarkan didasarkan pada faktor-faktor lingkungan
yang disebut stimulus dan tingkah lakunya disebut dengan respon. Psikologi ini menyebutkan bahwa
tingkah laku dikendalikan oleh peristiwa yang berupa ganjaran yang datangnya dari luar yang disebut
penguatan. Stimulus dan respon itu saling berasosiasi. Dengan demikian teori S-R ini memusatkan
perhatian kepada cara respon-respon peserta didik yang di kontrol dari luar peserta didik. Memahami
akan karateristik dari matematika, maka secara umum peroses belajar matematika biasa digunakan adalah
bahwa konsep, prinsip maupun prosedur/algoritma harus diterima oleh anak didik melalui peroses
pemahaman. Karena menurut teorinya Ausubel, bahwa pembelajaran harus bermakna. Anak didik harus
mampu menyerap makna dari setiap konsep atau prinsip yang dipelajari. Penggabungan dari ke dua teori
ini menginspirasikan penulis untuk merancang pola latihan yang di awali dengan pemahaman terlebih
dahulu. Oleh karena konsep-konsep matematika sangat abstrak maka sulit bagi mahasiswa untuk dapat
menyerap arti dari suatu definisi maupun teorema secara cepat. Untuk membantu peroses pemahaman
yang kuat maka dilakukan pola latihan berjenjang yang berfungsi untuk meningkatkan dan memperkuat
pemahaman akan kosep dan prinsip tentang limit secara bertahap dan hirarkis. Herman Hudoyo (2003)
menyatakan bahwa dengan latihan yang cukup peserta didik tidak mudah melupakan konsep dan teorema
yang dipelajari.
Pola latihan berjenjang yang diterapkan dalam perkuliahan topik limit, di bagi ke dalam tiga
tahapan sebagai berikut. (a) Pemahaman secara intuitif: yaitu membangun pengetahuan dan pengertian
awal tentang limit, yang berawal dari kehidupan sehari hari, dan kemudian mengkonstruksinya ke dalam
model matematis. Pola ini bermaksud menarik perhatian mahasiswa bahwa persoalan tentang limit ada di
sekitar kehidupan mereka, dan tanpa sadar mereka sering menggunakan istilah tersebut. Sebagai contoh,
misalnya seseorang dilahirkan oleh ibunya, ibunya dilahirkan oleh neneknya, dan neneknya dilahirkan
oleh buyutnya demikian seterusnya sehingga sampailah kepada suatu sumber yang misteri yang diyakini
sebagai Tuhan. Tetapi manusia tidak akan pernah sama dengan Tuhan ( manusia bukan Tuhan). Contoh
lain lagi misalnya ada suatu daerah berbentuk persegi dengan ukuran luasnya 100 cm2
persegi. Jika kita
bagi dua terus menerus secara logika luas yang diperoleh tidak akan pernah sama dengan nol, tetapi hanya
mendekati nol. Selanjutnya barulah mengkonstruksinya ke dalam model matematis berupa suku-suku sbb:
100, 50, 25, 22 ½ , 11 ¼ . . . dst tidak pernah = 0. Kemudian secara matematis ditulis ke dalam model
matematis : 12
100
n
nLim . Diharapkan dengan melalui peroses diskusi dan tanya jawab mahasiswa akan
dapat memahami serta dapat memberikan contoh-contoh lainnya. (b) Melakukan Analisis Pendahuluan:
yaitu membentuk pertidaksamaan harga mutlak, untuk menjabarkan apa yang tersirat dalam definisi
tentang limit. Jadi dalam peroses pembelajaran tentang limit, setelah mahasiswa mengenal beberapa
contoh kasus sehari hari tentang limit maka mereka diajak untuk mengkonstruksi definisi informal, dan
selanjutnya menuju kepada definisi formal. Dalam bentuk LxfLimax
)(. . Sebagai ilustrasi,
perhatikan fungsi f yang didefinisikan oleh: 1
32)(
2
x
xxf x . Fungsi f ini terdefinisi untuk setiap
bilangan real x kecuali x=1. Apabila nilai peubah x mendekati 1, maka perubahan nilai f(x) adalah
disajikan pada tabel 1 berikut
Tabel 1. Perubahan nilai f(x)
x 0,9 0,99 0,999 0,9999 ............................... 1,0001 1,001 1,01 1,1
f(x) 4,8 4,98 4,998 4,9998 ................................ 5,0002 5,002 5,02 5,2
Berdasarkan tabel tersebut Jika jarak x dengan 1 kurang dari 0,1 maka jarak f(x) dengan 5 kurang dari
0,2 ; jika jarak x dengan 1 kurang dari 0,01 maka jarak f(x) dengan 5 kurang dari 0,02 ; ...... demikian
seterusnya jika x semakin dekat dengan 1 maka nilai f(x) semakin dekat dengan 2. Jika dikonstruksi
secara matematis dengan menggunakan nilai mutlak untuk menyatakan jarak, maka kita dapat menuliskan
kondisi di atas yaitu, jika 0 < /x-1/ < 0,1 maka / f(x)-5 / < 0,2 dan jika 0 < /x-1/ < 0,01 maka / f(x) -5 / <
0,02 demikian seterusnya. Ditinjau dari sudut lain, yaitu kita perhatikan lebih dahulu nilai-nilai f(x). Nilai
f(x) dapat didekatkan ke 5 sekehendak kita asal saja nilai x diambil cukup dekat ke 1, artinya /f(x)-5/
dapat kita buat kecil sekehendak kita asalkan /x-1/ cukup kecil pula dan x≠1. Lambang-lambang yang
lazim digunakan untuk selisih-selisih yang kecil ini adalah bilangan positif kecil ξ dan δ dan kita
nyatakan /f(x)-5/ < ξ apabila 0 < /x-1/ < δ. Adalah penting untuk menekankan bahwa nilai δ tergantung
dari ξ. Dari tabel kita dapatkan /f(x)-5/ < 0,2 jika /x-1/ < 0,1 jadi untuk ξ = 0,2 ada δ = 0,1 . Secara
implisit tersirat makna bahwa limit f(x) akan mendekati L apabila x mendekati a. Kata f(x) mendekati L
ini berarti selisih f(x) dengan L adalah sangat kecil yang biasa disimbolkan dengan . Begitu pula untuk
x mendekati a ini berarti bahwa selisih x dengan a adalah sangat kecil yang biasa disimbolkan dengan .
Secara matematis pernyataan tersebut dapat ditulis ke dalam pertidaksamaan harga mutlak sbb:
axdanLxf 0..,)( .
(c). Melakukan langkah pembuktian formal: yaitu mengkonstruksi kembali hasil analisis pendahuluan
agar sesuai dengan tahapan/langkah yang dimaksud dengan definisi. Definisi formal dari limit adalah
sebagai berikut: ” Dikatakan bahwa, LxfLimax
)(. berarti bahwa untuk setiap 0 yang diberikan
(betapapun kecilnya), terdapat > 0 yang berpadanan sedemikian sehingga Lxf )( asalkan
bahwa ax0 ; yakni, ax0 maka Lxf )( (Edwin J. Purcell & Dale Vargerg,
2002).
Aktivitas adalah melakukan suatu kegiatan tertentu secara aktif. Aktivitas menunjukkan adanya
kebutuhan untuk aktif bekerja atau malakukan kegiatan-kegiatan tertentu (Usman, 2000). Pendapat lain
menyatakan bahwa aktivitas adalah segala kegiatan yang dilaksanakan baik secara jasmani maupun
rokhani (Sriyono, 2001). Aktivitas dalam belajar adalah bentuk-bentuk kegiatan yang muncul dalam
peroses belajar mengajar, baik kegiatan fisik yang mudah diamati, maupun kegiatan psikis yang bersifat
laten sehingga sulit diamati langsung. Kegiatan fisik meliputi membaca, menulis, memeragakan, dan
mengukur, sedangkan kegiatan non fisik (psikis) meliputi mengingat kembali isi pelajaran,
menyimpulkan, membandingkan suatu konsep yang lain dan sebagainya (Moejiono dan Moh. Dimyati,
1994). Purwati et. al. (2002) ciri-ciri aktivitas belajar adalah meliputi antusiasme dalam mengikuti
perkuliahan, interaksi antar mahasiswa dan mahasiswa dengan dosen, kerjasama dalam kelompok,
berdiskusi, usaha, dan partisipasi.
Sesuai dengan karakteristik matematika yang sangat abstrak, bersifat deduktif dan hierarkis, maka
diperlukan teknik atau pola tertentu untuk mempelajarinya. Materi tentang limit yang merupakan salah
satu topik matematika kalkulus, konsep dasarnya sangat abstrak. Dilihat dari substansi konsep yang
terkandung dalam definisi limit ternyata memuat konsep pernyataan berkuantor dalam logika matematika
dan pertidaksamaan harga mutlak. Pernyataan logika ” untuk setiap ....... ada.....” sangat berbeda makna
substansinya dengan pernyataan ” ada.... untuk setiap...... Dibutuhkan aktivitas mental yang kritis dan
teliti untuk memaknainya.Dengan mencoba memilah ke dalam beberapa konsep maka peroses
pemahamannya dapat dicapai. Pemahaman secara logika tersebut selanjutnya dimantapkan dengan
latihan-latihan dengan pola berjenjang melalui diskusi kelompok dan selanjutnya dipresentasikan.
Diharapkan dengan pola latihan berjenjang yang berbasis kooperatif ini akan mengoperasionalkan
konsep-konsep limit, sehingga pada gilirannya pemahaman tentang konsep dasar limit dapat ditingkatkan.
Berdasarkan pada kajian teori dan kerangka berpikir maka dapat diajukan hipotesis tindakan yang
merupakan jawaban sementara terhadap permasalahan di atas, sebagai berikut: Melalui pola latihan
berjenjang yang berbasis kooperatif, dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa mengenai konsep dasar
tentang limit.
METODE PENELITIAN
Jenis, Seting, subjek dan objek Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas. Penelitian ini dilaksanakan di Jurusan
Pendidikan Matematika pada semester I tahun akademik 2011/2012 bulan September-Oktober. Banyak
kelas yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1 kelas yaitu kelas A yang berjumlah 43 orang. Jumlah
dosen pengampu 2 orang, yang secara bergantian saling mengamati.
Subjek penelitian adalah mahasiswa semester I Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA IKIP
PGRI Bali Tahun Akademik 2011/2012, dan teman sejawat dosen. Objek penelitian adalah pola latihan
berjenjang, pemahaman konsep dasar Limit, aktivitas belajar, respon.
Tabel 2. Sumber, Jenis,Teknik dan Alat Pengumpul Data
Sumber Data Jenis Data Teknik Pengumpulan Data Alat yg Digunakan
1. Mahasiswa a.Prestasi Belajar (Kuantitatif)
b. Aktivitas (Kualitatif)
c. Respon (Kualitatif)
a. Tes (setiap siklus)
b. Non Tes (tiap siklus)
c. Non Tes (diakhir siklus2)
a. Tes Uraian
b Pedoman
Observasi
c. Angket
2. Dosen Kesesuaian SAP, Skenario dan
Pelaksanaan (Kualitatif)
Non Tes (Setiap Siklus) Pedoman Observasi
Instrumen pengumpul data sebelum digunakan diuji validitasnya secara teoritik berdasarkan
judgement beberapa pakar. Data dianalisis sebagai berikut (1) Data prestasi belajar pada setiap akhir
siklus dianalisis dengan analisis deskriptif komparatif dengan rumus N
XMean
, kemudian
dibandingkan dengan Nilai Ketuntasan Minimal (KKM) Individual untuk mata kuliah kalkulus adalah
60. Untuk menentukan Daya Serap (DS) dan Ketuntasan Klasikal (KK) menggunakan rumus:
%100xSkorMax
MeanDS dan %100
..
60.....x
PesertaTesSeluruhJumlah
nilaimemperolehygPesertaBanyaknyaKK
, Nilai KK
minimal adalah 85 %. (2) Data tentang aktivitas yang merupakan hasil observasi dan data tentang respon
yang merupakan hasil dari angket merupakan data kualitatif. Begitu pula data tentang kesesuaian SAP,
Skenario dan Pelaksanaan juga merupakan data kualitatif. Sebelum dianalisis maka dikonversi dahulu
menjadi data kuantitatif dengan rentangan skor 0 – 4, dengan kwalifikasi Sangat Baik (SB) = 4; Baik (B)
= 3; Cukup (C) = 2 ; Kurang Baik (KB) = 1 dan Tidak Baik (TB) = 0
Perhitungan konversi Skor-Nilai yang diperoleh (X) dihitung dg rumus :
100xalSkorMaksim
erolehanTotalSkorPX ; Kualifikasi Skor: 86–100= sangat baik; 66–85= baik; 56 – 65
= cukup; 46 – 55= kurang; 36 – 45= tidak baik (Mimin H, 2006: 35)
Prosedur Penelitian
Penelitian ini dirancang pelaksanaannya dalam 2 siklus hal ini disebabkan karena topik Limit
dirancang habis dalam 4 kali pertemuan, ini berrarti tiap siklus terdiri dari 2 kali pertemuan (2x 150
menit). Masing-masing siklus terdiri dari empat tahapan yaitu: 1) perencanaan tindakan (planning), 2)
pelaksanaan tindakan (action), 3) observasi (observation), dan 4) refleksi (reflection). Untuk dapat
mengetahui kemampuan mahasiswa dalam menguasai konsep-konsep dasar yang merupakan prasyarat
untuk menguasai konsep limit maka diberikan tes diagnostik yang berfungsi sebagai initial evaluation,
sedangkan observasi awal dilakukan untuk dapat mengetahui tindakan yang tepat, yang akan diberikan
dalam upaya meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam memahami konsep dasar limit. Dari evaluasi
dan observasi awal maka dalam refleksi akan ditetapkan bahwa tindakan yang dipergunakan untuk
meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam memahami konsep limit adalah melalui pola latihan
berjenjang yang berbasis kooperatif, dilaksanakan dalam perkuliahan di kelas.
Mengacu kepada refleksi awal, maka dilakukan tindakan-tindakan dengan prosedur: planning,
acting, observing, dan reflecting , secara rinci dapat diuraikan sebagai berikut: (1) Planning
(perencanaan), dalam tahap perencanaan ini dilakukan tahapan kegiatan berikut (a) Membuat skenario
perkuliahan dengan menggunakan berbagai pola latihan yang berjenjang dari bentuk yang sederhana
menuju kekompleks. Skenario ini dirancang materi untuk diskusi kelompok yang beranggotakan 3-4
orang dengan panduan dosen pembina. Selanjutnya hasil diskusinya dipresentasikan ke depan kelas; (b)
Membuat lembar observasi, untuk mengamatiaktivitas serta bagaimana jalannya proses belajar mengajar
di kelas ketika pola-pola latihan berjenjang di terapkan melalui kelompok kelompok. Untuk
memaksimalkan pengamatan hal ini akan dibantu oleh teman sejawat; (c) Merancang angket/quistionaire
yang akan digunakan di akhir siklus 2; (d). Mendisain alat evaluasi untuk tiap siklus, dengan
mengoperasionalkan kompetensi dasar kedalam beberapa indikator untuk selanjutnya dibuat butir-butir
soalnya. (2) Pelaksanaan Tindakan, dalam tahap pelaksanaan tindakan ini akan dilaksanakan kegiatan
sebagaimana yang telah diskenariokan pada tahap 1) yang di awali dengan pembentukan kelompok kecil
(3-4 orang). (3) Observing (pengamatan), kegiatan yang dilaksanakan pada tahap ini adalah melakukan
observasi, dengan bantuan pengamatan dari teman sejawat/dosen anggota peneliti. (4) Reflecting
(refleksi), hasil yang diperoleh dalam observasi dikumpulkan dan dianalisis. Dari analisis hasil observasi
akan dapat memberikan refleksi kepada dosen pembina, apakahan pelaksanaan perkuliahan sudah sesuai
dengan skenario pembelajaran, dan bagaimana aktivitas mahasiswa dalam mengikuti perkuliahan. serta
apakah ada peningkatan tahapan pemahaman mengenai konsep dasar limit. Hasil analisis data yang
diperoleh dalam tahap ini akan dipergunakan sebagai acuan untuk merencanakan tindakan pada siklus
berikutnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam pelaksanaan tindakan pada siklus I dan II diproleh hasil observasi aktivitas belajar
disajikan pada tabel 2 berikut.
Tabel 2. Distribusi Tingkat Aktivitas pada Siklus I dan II.
No Tingkat Aktivitas Siklus 1 Siklus 2
1
2
3
4
5
Sangat Baik
Baik
Cukup
Kurang Baik
Tidak Baik
5
9
20
6
3
9
13
17
4
0
Tampak bahwa tingkat aktivitas mahasiswa dalam mengikuti perkuliahan dari siklus I dan II
mengalami peningkatan pada kategori cukup ke atas. Diharapkan mestinya terjadi penurunan pada derajat
aktivitas Kurang baik. Rata-rata skor aktivitas peserta pada siklus I adalah 65,81 dengan kategori cukup
baik, sedangkan pada siklus II Rata-rata skor aktivitasnya adalah 73,21 dengan kategori baik. Pada tabel
di atas, terlihat bahwa tingkat aktivitas berkategori cukup keatas meningkat dari 34 orang menjadi 39
orang, yaitu meningkat dari 79,1 % menjadi 90,7 % dan yang tergolong aktivitasnya baik ada sebanyak
14 orang yaitu 32,6 % dan meningkat menjadi 22 orang yaitu 51,2 %. Ada sebanyak 9 orang mahasiswa
pada siklus I yang tergolong kurang dan bahkan tidak aktif. Hasil pengamatan peneliti bahwa mereka
yang tergolong kurang keaktifannya nampaknya belum terbiasa berdiskusi, belum mempersiapkan
penguasaan materi prasyarat. Hal ini tampak dari sikap diskusinya kebanyakan pertanyaannya tentanga
Apa...., bukan mengapa...... Peneliti sarankan kepada mereka untuk mempersiapkan secara intensip materi
prasyarat dalam mempelajari konsep limit, karena matematika itu adalah ilmu yang bersifat hirarkis.
Dengan mendiagnose masalah yang menghambat jalannya diskusi maka sedikit banyak dapat dicari
alternatif pemecahannya agar diskusi berjalan maksimal, antara lain menekankan kembali pentingnya
penguasaan materi prasyarat, belatih mengeluarkan pendapat, jangan takut salah. Pepatah mengatakan
orang akan belajar dari kesalahan. Alternatif pemecahan ini mulai menampakkan hasil, dengan melihat
adanya peningkatan aktivitas pada siklus II menjadi 90,7 persen. Suatu prosentase yang sangat
menggembirakan, sebagai indikasi perkuliahan berjalan dengan baik karena interaksi maksimal.
Peningkatan ini menjadi catatan yang menggembirakan bagi peneliti yang sekaligus sebagai
pembina mata kuliah kalkulus, karena dari pengalaman-pengalaman pada perkuliahan terdahulu interaksi
belajar mengajar pada topik Limit tidak maksimal, boleh dikatakan berjalan pasif. Mahasiswa bersikap
hanya menerima konsep yang disampaikan dalam kondisi kebingungan. Terbawa akan suasana belajar
seperti di SLTA, sedangkan konsep dasar Limit sangat abstrak. Sebanyak 4 orang mahasiswa yang
tergolong kurang aktif (9,3 %) perlu ditelusuri lebih lanjut. Informasi sementara yang diperoleh memang
yang bersangkutan mempunyai kemampuan yang kurang di antaranya disebabkan mereka berasal dari
SLTA kejuruan, dan memang kurang siap untuk mengikuti diskusi, dan karakter anak yang bersangkutan
agak pemalu dan introvert.
Pengukuran terhadap kemampuan memahami konsep dasar limit pada akhir siklus I diperoleh
hasil sebagai berikut: pada siklus I dari jumlah mahasiswa 43 orang diperoleh total skor 2940, dengan
skor rata-rata sebesar 68,37. Banyaknya mahasiswa yang memperoleh skor di atas KKM ( ≥ 60) ada
sebanyak 34 orang, ini berarti bahwa Daya Serap (DS) baru mencapai 66,37 % dengan Ketuntasan
Klasikal (KK) 34/43 x 100 % = 79,1 %. Belum tercapainya ketuntasan klasikal sebagaimana yang
ditetapkan pada indikator kinerja yaitu 85 %. apabila di cermati leih jauh ada bebrapa hal antara lain: a).
Dari 9 orang mahasiswa yang kurang aktif dalam mengikuti diskusi, mereka tidak menindak lanjuti diluar
jam perkuliahan untuk bertanya kepada teman-temannya apalagi kepada dosennya tentang konsep-konsep
yang belum mereka fahami. Keaktifan dalam diskusi biasanya sebagai indikasi akan kemampuan
kognitifnya. b). Kesulitan mengkonstruksi model matematis secara formal. c). Kurang teliti dalam
perhitungan. Kelemahan-kelemahan ini diupayakan dicari pemecahannya dengan menghimbau mereka
yang masih merasa kurang untuk memanfaatkan waktu yang disediakan untuk berkonsultasi dengan
dosen mengenai materi yang belum jelas atau yang belum dikuasai. Atau kalau merasa malu sendiri-
sendiri maka dapat berkelompok. Lebih berhati-hati melakukan perhitungan dan dibutuhkan latihan.
Pemahaman bahasa matematika harus dilatih dengan membaca pernyataan-pernyataan logika yang
berkuantor.
Alternatif pemecahan yang dilakukan untuk mengatasi kelemahan yang terjadi pada siklus I,
nampak menunjukkan hasilnya pada siklus II dengan adanya peningkatan aktivitas yang diikuti dengan
meningkatnya kemampuan memahami konsep limit. Total skor yang diperoleh berjumlah 3299 dengan
jumlah peserta 43 orang. Dengan demikian skor rata-rata klasnya menjadi 76,7 ini berarti Daya Serapnya
adalah 76,7 %. Dari 43 peserta ada 39 peserta yang telah mencapai kategori tuntas, ini berarti bahwa
Ketuntasan klasikal (KK) yang dicapai adalah 39/43 x 100 % = 90,67%, suatu angka yang telah
melampaui batas ketuntasan klasikal ( 85%). Menurut peneliti ini merupakan hal yang cukup
menggembirakan, karena dari pengalaman selama mengampu mata kuliah kalkulus penanaman konsep
dasar limit merupakan hal yang sulit. Dari 4 orang peserta yang belum tuntas nampaknya mereka
memangkurang teliti dalam melakukan perhitungan, dan juga ada yang merasakan terbebani harus belajar
lebih ekstra mengingat latar belakang mereka bukan dari SMA.
Hasil Observasi tentang kesesuaian SAP dan skenario maupun pelaksanaan perkuliahan model
kooperatif dengan pola latihan berjenjang, nampak ada beberapa hambatan dalam pelaksanaan diskusi.
Dua kali ketidaksesuaian waktu. Waktu untuk presentasi kelompok benar-benar dibatasi. Ragam contoh-
contoh soal yang dapat mengarahkan pola pikir mahasiswa dari sederhana ke kompleks harus
diperbanyak sesuai dengan ragam kemampuan mahasiswa. Ketegasan menengahi diskusi dan cepat
mengarahkan jalannya diskusi yang buntu. Memimpin diskusi sambil mengamati aktivitas benar-benar
dibutuhkan team teaching yang kooperatif dan tidak ikut larut dengan materi diskusi yang sedang
menghangat.
Hasil pengukuran respons peserta menunjukkan hasil yang baik dengan total jumlah skor respon
= 3493 dari 43 peserta, sehingga diperoleh skor rata-rata 81,23. Skor rata-rata ini berada dalam interval 66
– 85 = Baik. Hali ini tampak dari awal pelaksanaan siklus I sampai akhir siklus II sebagian besar peserta
antusias mengikuti jalannya diskusi, apalagi bisa disajikan contoh-contoh penerapan matematika yang
menarik dan ada hal-hal yang lucu dengan konsep limit, maupun jawaban salah seorang peserta yang ga
masuk akal.
Keberhasilan penelitian yang berupa peningkatan aktivitas dan hasil belajar serta respons yang
positif dari peserta, umumnya merupakan suatu rangkaian yang nampaknya saling terkait. Untuk
meningkatkan prestasi sebagai hasil belajar hendaknya di awali dengan aktivitas yang baik sebagai suatu
proses belajar. Aktivitas dalam belajar matematika lebih banyak melibatkan aktivitas mental, yaitu
aktivitas berpikir. Dibutuhkan pula kemampuan menyimak definisi maupun kemampuan membuat
kalimat matematika untuk mengkonstruksi pembuktian yang bersifat formal. Hal ini dibutuhkan latihan
yang banyak dan berjenjang dari hal yang konkret dan sederhana sampai kepada hal yang lebih abstrak
dan kompleks, hal ini sejalan dengan karakteristik dari matematika yang bersifat abstrak dan hierarkis.
Latihan-latihan memang masih diperlukan dalam belajar matematika, hal ini dimaksudkan untuk
memantapkan konsep, serta melancarkan algoritme yang dipelajari. Suatu hal yang harus diingat bahwa
setiap latihan haruslah didasarkan pada pemahaman, dan setiap pemahaman agar dimantapkan dengan
latihan.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan di atas, maka dapat diambil
kesimpulan tentang penerapan pola latihan berjenjang yang berbasis kooperatif pada mahasiswa Jurusan
Pendidikan Matematika FPMIPA IKIP PGRI Bali: (1) Dapat meningkatkan aktivitas belajar dari 65,81
menjadi 73,21 dengan kategori baik; (2) Dapat meningkatkan kemampuan memahami konsep limit pada
siklus I Rata-rata skor yang dicapai 68,37 dengan daya serap 68,37 % dan ketuntasan klasikal 79,1 %,
pada siklus II Rata-rata skor 76,7 dengan daya serap 76,7% dan ketuntasan klasikal 90,6%; (3). Mendapat
respon yang baik dengan skor sebesar 81,23.
Saran
Berdasarkan temuan yang diperoleh dalam penelitian ini disarankan kepada para pembina mata
kuliah yang memuat tofik-topik yang sulit dan esensial hendaknya mencoba menerapkan pola latihan
berjenjang yang berbasiskan kooperatif, setelah pemahaman konsep ditanamkan. Hal ini untuk
memantapkan kosep-konsep yang telah dipahami, dan perlu diingat bahwa latihan tanpa dasar
pemahaman tidak akan bermanfaat bagi anak didik.
DAFTAR RUJUKAN
Abimanyu, Soli. 1998. Penyusunan Proposal PTK. Makalah dalam PCP PTK Proyek PGSM tgl 18 – 22
Oktober.
Arikunto, Suarsini. 2008. Dasar Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
Blanchard A. 2001. Contextual Teaching and Learning. B.E.S.T
Dahar, Ratna Wilis. 1998.Teori Teori Belajar. Jakarta: Erlangga.
Frank Ayres, JR., & Ault, J.C. Theory and Problems of Differential and Integral, Calculus, 2nd
Eddition.
New York: McGraw-Hill.
Hudojo, H. 2003. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Edisi Revisi. Malang :
Universitas Negeri Malang.
Johnston , M. 1997. Action Research in School University Partnership. AERA Chicago. IL.
Joni, T Raka. 1998. Penelitian Tindakan Kelas beberapa permasalahan. Bogor: PCP. PPGSM Ditjen
Dikti.
Mimin Haryati. 2006. Sistem Penilaian Berbasis Kelas. Jakarta: Gaung Persada Press.
NCTM. (1996). Profesional Standarts For Teaching Mathematics. Reston: NCTM.
Nurkancana, Wayan dan P.P.N. Sunartana. 1992. Evaluasi Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional
Parjono, 2002. Active Learning: The Dewey, Piaget, Vygostsky, and Construktivist Theory Perscpective.
Jurnal Ilmu Pendidikan, no. 3, jilid 9.
Purcell,E.J., & Dale Varberg. 1989. Calculus With Analytic Geometry, 4th Edition. New York: Prentice-
Hall
Riduan. 2010. Skala Pengukuran Variabel-Variabel Pendidikan. Bandung: Alfabeta
Soedarsono, F.X. 1997. Rencana Desain dan Implementasi, Dalam Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta :
BP3SD, Dirjen Dikti, Depdikbud.
Soedjadi.(1999). Kiat pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta: Ditjen Dikti Depdiknas.
Sriyono, dkk. 2001. Aktivitas Dalam Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya
Wingkel SJ., W.S. 1999. Psikologi Pengajaran. Edisi Revisi. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Wono Setia Budi. 2001. Kalkulus Peubah Banyak dan Penggunaannya. bandung: ITB Bandung
Hubungan Cara Belajar dan Motivasi Berprestasi dengan Prestasi Belajar Matematika
SMP Negeri 3 Mengwi.
I Dewa Putu Juwana
Dosen Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA IKIP PGRI Bali
ABSTRACT
Relationship Learning and Achievement Motivation Method to Learning Mathematics
Achievement.
Data resulting from the establishment of the National Secondary School Examination
Diknas Bali in 2006, junior high school in Denpasar, predicated school graduation eight zero
percent (0%). For this exciting studied to address the problem if there is a way to learn the
relationship between academic achievement, achievement motivation with the relationship
between academic achievement and the relationship between learning styles and achievement
motivation to academic achievement. Research conducted on students of SMP Negeri 3 Mengwi.
Total population of 840 students, 15% of the sample was determined population is 126 students
with a proportional stratified random sampling technique, how to draw. This type of research is
correlational research. Data ways of learning and achievement motivation obtained through
questionnaires and observation techniques to study mathematics achievement data with
documentation. Data were analyzed with product moment correlation technique to test
hypotheses one and two. The third hypothesis tested by statistical F.
The first finding that learning has a significant positive correlation with academic achievement.
Based on the analysis of the level of zero correlation between learning with academic
achievement, obtained a positive correlation coefficient (r = 0.230) and more than (RT5% =
0.176). The first level of the partial correlation analysis with regard achievement motivation
remains, obtained r = 0.221 which is also positive. The calculation of the price obtained by the t
test statistic t = 2.51 is outside the reception area H0, so accept Ha significantly on the level of
significance (ts) 5%. The second finding of partial correlation analysis between achievement
motivation to academic achievement by learning how to control the changes found r2, y-1 =
0.297, and t = 3.48. After consultation with the t table on ts5% and 124 degrees of freedom,
obtained H0 acceptance region is -1.96 <t <1.96. Apparently the price t, are in the rejection of
H0, so reject Ho and accept the alternative hypothesis that there is a positive, significant
correlation between achievement motivation to academic achievement. Findings of the three,
based on multiple regression analysis two predictors, Ry multiple correlation coefficient (1,2) =
0.3700, the coefficient of determination (R2) = 0.1369 and Freg = 9.75567. Consulted with the F
table, degrees of freedom 2 to 123 and ts 5%, the acceptance of H0 is F0, 95 (2.123) <3.07. Freg
prices are far to the right of the reception area H0, hence significantly accept that there is a
relationship between ha learning and achievement motivation together with student achievement.
Relations between the two predictors with kriteriumnya is positive and significant with the
regression line equation: Y = 0.008444716 0.011637271 X1 + X2 + 6.00075619.
Key word: Relationship, Learning and Achievement Motivation Method
PENDAHULUAN
Tenaga terampil secara kuantitas dan kualitas untuk mensukseskan pembangunan
dihasilkan melalui jalur pendidikan formal maupun non formal. Oleh karenanya pemerintah
memberi perhatian yang besar pada bidang pendidikan, melalui program yang
menitikberatkan pada peningkatan mutu dan perluasan pendidikan dasar, menengah dan
pendidikan tinggi. Pada sektor pendidikan non formal melalui program pemantapan
pelajaran/les pribadi, bimbel, sehingga sebagian besar siswa sudah mengikuti pemantapan
pelajaran/les pribadi di luar jam pelajaran sekolah. Program pemantapan pelajaran di luar
jam sekolah diharapkan akan meningkatkan mutu pendidikan dengan lebih mendalamnya
penguasaan materi pelajaran oleh siswa. Namun kenyataan yang terjadi masih jauh dari
harapan. Berdasarkan hasil pemantapan Ujian Nasional Sekolah Menengah Pertama yang
diadakan Diknas Bali tahun 2006, dari sejumlah SMP di Kota Denpasar, delapan sekolah
mendapat predikat kelulusan nol persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa dari jumlah siswa
kelas III yang akan mengikuti Ujian Nasional di Delapan sekolah tersebut, semuanya
dinyatakan tak lulus ujian pemantapan. (Bali Post, Maret 2006). Beberapa faktor penyebab
kegagalan tersebut antara lain kurang diperhatikan cara belajar yang diterapkan oleh siswa
baik sebelum mengikuti pelajaran, saat mengikuti pelajaran maupun sesudah pelajaran.
Sebab cara belajar siswa sangat mempengaruhi prestasi yang dicapai.
Dari kesenjangan harapan dan kenyataan tersebut, maka diadakan penelitian untuk
menjawab permasalahan apakah ada hubungan antara cara belajar dengan prestasi belajar,
apakah ada hubungan antara motivasi berprestasi dengan prestasi belajar dan apakah ada
hubungan antara cara belajar dan motivasi berprestasi dengan prestasi belajar siswa,
penelitian dilakukan terhadap siswa di SMP Negeri 3 Mengwi. Adapun tujuan yang hendak
dicapai dalam penelitian yaitu ingin mengetahui hubungan antara cara belajar siswa dengan
prestasi belajar; untuk mengetahui hubungan antara motivasi berprestasi dengan prestasi
belajar; dan ingin mengetahui hubungan antara cara belajar siswa dan motivasi berprestasi
dengan prestasi belajar siswa SMP Negeri 3 Mengwi.
Secara teoritis cara belajar adalah rangkaian kegiatan mencakup berbagai cara
(metode) yang digunakan seseorang dalam kegiatan belajarnya. Cara yang dikenal, dipahami,
dan dipraktekkan seseorang dalam belajarnya adalah bersifat individual (Suryabrata,
1983:61). Dibalik perbedaan-perbedaan yang dianut oleh masing-masing individu menurut
Gie (1986) ada dua prinsip yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk mengamati cara
belajar siswa yaitu prinsip keteraturan dan prinsip konsentrasi, didukung oleh Heuken dkk
(1986:28) mengatakan bahwa kesulitan pokok untuk belajar adalah tidak mampu bekerja
dengan penuh konsentrasi dan teratur. Pokok pangkal pertama dalam belajar adalah dalam
hal keteraturan. Kalau siswa sudah terbiasa teratur dalam mengikuti pelajaran, dalam
memantapkan pelajaran dan dalam mempersiapkan diri menghadapi ujian, maka sifat
keteraturan ini akan mempengaruhi jalan pikirannya. Konsentrasi dalam belajar berarti
pemusatan pikiran terhadap pelajaran yang sedang dipelajari. Tanpa konsentrasi maka akan
sulit atau bahkan kemungkinan tidak berhasil dalam menguasai pengetahuan yang sedang
dipelajari (Gie, 1986:58-60). Kemampuan seseorang dalam berkonsentrasi berbeda-beda, ada
siswa yang mampu berkonsentrasi dalam jangka waktu yang cukup lama, tetapi ada pula
siswa yang sukar untuk memusatkan pikirannya terhadap pelajaran yang sedang dipelajari.
Motivasi adalah suatu keadaan dalam individu yang menyebabkan seseorang melakukan
kegiatan tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Kernu (1991:30) bahwa motivasi
merupakan daya pendorong bagi individu untuk melakukan perbuatan. Berarti bahwa
semakin tinggi motivasi seseorang maka semakin tinggi intensitas usahanya untuk mencapai
tujuan. Suryabrata (1977:85) mengatakan motivasi adalah sesuatu yang mendorong individu
untuk melakukan aktifitas. Motivasi seseorang ada yang timbul dari dalam diri seseorang
(internal) dan dapat juga dari luar individu (external). Motivasi mempunyai daya penggerak
yang besar adalah motivasi yang datang dari dalam diri individu. (Surakhmad, 1973:62).
Dorongan yang kuat pada diri siswa tersebut akan timbul apabila siswa menaruh perhatian
yang besar terhadap semua kegiatan belajar. Karena motivasi berprestasi timbul atas dasar
siswa menaruh perhatian dan minat terhadap apa yang dipelajari, maka bagi siswa yang
mempunyai sikap yang positip terhadap apa yang dipelajari. Sikap positif terhadap apa yang
dipelajari didorong oleh kebutuhan akan pentingnya pengetahuan. Hal ini didukung oleh
Simanjuntak (1980:18) bahwa tujuan yang akan dicapai siswa merupakan kebutuhan yang
harus dipenuhi. Lebih lanjut Martaniah (1984:34) mengatakan motivasi berprestasi adalah
motivasi yang mendorong individu untuk berpacu dengan standar keunggulan. Yang
dimaksud standar keunggulan dapat berupa diri-sendiri, orang lain dan kesempurnaan tugas.
Dalam hal ini terkandung maksud bahwa tinggi rendahnya motivasi berprestasi berbanding
lurus dengan tinggi rendahnya usaha dan kegigihan seseorang dalam mencapai prestasi.
Dengan demikian siswa yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi akan memperoleh
pengetahuan yang tinggi pula sehingga prestasi yang diperoleh juga tinggi.
Nilai yang diperoleh siswa yang diberikan oleh guru merupakan hasil keluaran
(output) dari proses belajarnya, dan pada umumnya disebut prestasi belajar. Sehubungan
dengan prestasi belajar ini, Bloom dalam Roestiyah dkk (1982:116) mengemukakan prestasi
belajar sebagai hasil perubahan tingkah laku yang meliputi aspek kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Kemudian Nancy (1986:1) mengemukakan prestasi merupakan hasil belajar
dalam suatu ragkaian tes standar, biasanya bersifat pendidikan. Tes ini disusun dan
distandarisasi untuk mengukur efektifitas mata pelajaran di sekolah. Dari teori tersebut, maka
dapat ditarik suatu pengertian bahwa prestasi belajar merupakan kecakapan siswa yang dapat
diukur dari penguasaan pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang dicapai dalam proses
belajar di lembaga pendidikan formal.
Dalam dunia pendidikan prestasi belajar dapat diartikan prestasi secara umum dan
dapat pula diartikan sebagai prestasi suatu mata pelajaran tertentu. Pendapat ini didukung
oleh Simanjuntak (1988:29) bahwa prestasi belajar dapat dikelompokkan ke dalam prestasi
belajar seluruh bidang studi dan prestasi belajar mata pelajaran tertentu. Lebih jauh dikatakan
bahwa prestasi belajar siswa dapat ditentukan dengan menilai rapornya. Sejalan dengan
pendapat ini Suryabrata (1984:324) dan Jas (1987:34) mengatakan bahwa nilai rapor
merupakan perumusan terakhir yang diberikan oleh guru mengenai kemajuan atau prestasi
belajar siswa selama masa tertentu. Demikian juga Gandi Wirawan (1976:20) dan Suryabrata
(1984:324) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan prestasi belajar adalah hasil yang
dicapai seseorang dalam usaha belajarnya yang dinyatakan dalam rapornya.
Berdasarkan masalah, tujuan, dan paparan teoritis maka diajukan hipotesis yaitu ada
hubungan antara cara belajar dengan prestasi belajar siswa, ada hubungan antara motivasi
berprestasi dengan prestasi belajar; dan ada hubungan antara cara belajar dan motivasi
berprestasi dengan prestasi belajar siswa SMP Negeri 3 Mengwi.
METODE PENELITIAN
1. Tempat, Waktu, Populasi dan Sampel.
Penelitian dilakukan di SMP Negeri 3 Mengwi Desa Buduk, Kecamatan Mengwi
Kabupaten Badung. Sekolah ini dipilih karena belum pernah diadakan penelitian dengan
topik sama, dilaksanakan pada September sampai Desember 2006. Secara teoritis populasi
menurut Furcan (1982:189), Sujana (1989: 161) adalah semua individu dengan rumusan yang
jelas, yang akan dikenai generalisasi, memiliki sifat-sifat atau gejala-gejala yang akan
diselidiki. Jadi terkandung dua pengertian populasi yaitu populasi subyek dan obyek
penelitian. Populasi subyek penelitian adalah semua individu yang dirumuskan dengan jelas
yang akan digeneralisasi sifat-sifatnya. Dalam penelitian ini populasi subyek adalah semua
siswa kelas VII dan kelas VIII SMP Negeri 3 Mengwi tahun ajaran 2005/2006. Berdasarkan
dokumen yang tersedia jumlah siswa kelas VII adalah 443 orang dan jumlah kelas VIII
adalah 307 orang sehingga jumlah populasi subyek penelitian adalah 840 orang. Populasi
obyek penelitian adalah sifat-sifat dari subyek penelitian yang akan diteliti. Dalam penelitian
ini populasi obyek adalah cara belajar, motivasi berprestasi dan prestasi belajar siswa kelas
VII dan kelas VIII SMP Negeri 3 Mengwi tahun ajaran 2005/2006. Penelitian menggunakan
sampel, diperoleh degan teknik proporsional stratified random sampling cara undian.
Penerapan stratified diambil karena populasi terdiri dari tingkat-tingkat atau strata yaitu
kelas VII dan VIII, dan karena jumlah populasi pada masing-masing tingkat tidak sama maka
diterapkan teknik proposional. Untuk memberi kesempatan yang sama kepada setiap individu
anggota pada tiap tingkat dilakukan pengambilan sampel secara acak dengan cara undian.
Jumlah subyek penelitian ini cukup besar yaitu 840 maka untuk menentukan besarnya sampel
dalam penelitian digunakan 15% dari populasi yaitu 126.
2. Teknik Pengumpulan Data
Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah angket dan dokumentasi.
Angket digunakan untuk mengumpulkan data cara belajar dan motivasi berprestasi.
Sedangkan dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data prestasi belajar. Data motivasi
diperoleh dengan menggunakan kuesioner tipe pilihan berganda dengan empat alternatif
jawaban. Sedangkan nilai prestasi belajar diperoleh dengan metode dokumentasi. Alasan
yang mendukung penggunaan teknik dokumenter dalam mengumpulkan data prestasi belajar
adalah adanya data yang relatif bermutu karena didukung oleh proses penilaian hasil belajar
yang teratur yang dilakukan oleh guru dan kecermatan pencatatan nilai serta
penyimpangannya yang dilakukan oleh staf pengajar relatif kecil. Selain itu Furchan
(1982:257) mengatakan variabel terikat dalam kebanyakan penelitian tentang keefektifan
metode pengajaran adalah prestasi belajar. Oleh karena itu prestasi belajar sangat banyak
dipakai dalam penelitian pendidikan maupun di sekolah.
3. Instrumen Penelitian dan Pengukuran
Secara keseluruhan butir-butir angket yang tersusun untuk pengukuran cara belajar
siswa dalam penelitian ini sebanyak 22 butir. Penyebaran butir-butir tersebut ditunjukkan
pada tabel 1.
Tabel 1. Uraian kisi-kisi angket cara belajar
Nomer Faktor/sub faktor No. butir soal
A. Kegiatan mengikuti pelajaran
1. Persiapan sebelum mengikuti pelajaran 1, 2, 3
2. Selama mengikuti pelajaran 4, 5, 6
3. Setelah pelajaran selesai 7, 8, 9
B. Kegiatan memantapkan pelajaran
1. Bahan yang dipelajari 12
2. Jadwal pelajaran 10, 11
3. Memantapkan hasil pelajaran 13, 14
4. Kegiatan membaca 15, 16
C. Kegiatan Ujian
1. Kegiatan sebelum ujian 17, 18, 19
2. Kegiatan selama ujian 20, 21
3. Kegiatan setelah ujian 22
Siswa atau responden dipersilahkan memilih salah satu dari empat alternatif tersebut
sesuai dengan yang dilakukan atau dialami dalam belajarnya. Keempat alternatif jawaban
tersebut yaitu pilihan selalu (sl), sering (sr), kadang-kadang (kk), dan tidak pernah (tp).
Pernyataan dalam angket tersebut terdiri dari dua jenis yaitu yang bersifat positif dan bersifat
negatif. Dalam olahan selanjutnya pemberian skor untuk pernyataan bersifat positif yaitu
skor 4 untuk jawaban (sl), skor 3 untuk jawaban (sr), skor 2 untuk jawaban (kk), dan skor 1
untuk jawaban (tp). Sedangkan untuk pernyataan yang bersifat negatif diberi skor sebaliknya
yaitu skor 4 untuk jawaban (tp), skor 3 untuk jawaban (kk), skor 2 untuk jawaban (sr), dan
skor 1 untuk jawaban (sl).
Pengukuran motivasi berprestasi siswa dilakukan dengan cara memberikan daftar
pernyataan/pertanyaan yang harus dijawab siswa. Penyusunan pernyataan/pertanyaan
tersebut berdasarkan indikator-indikator dari motivasi berprestasi. Indikator yang digunakan
adalah usaha untuk selalu hadir pada setiap pelajaran baik itu pelajaran teori maupun
pelajaran praktek. Ada beberapa pertanyaan/pernyataan mengenai usaha yang dilakukan
untuk memahami dan memantapkan pelajaran seperti dalam hal belajar, berdiskusi dengan
teman, bertanya pada guru, belajar di perpustakaan dan menambah pengetahuan.
Pertanyaan/pernyataan berikutnya adalah usaha untuk mengerjakan tugas-tugas yang
diberikan sekolah. Secara keseluruhan butir-butir angket yang tersusun untuk pengukuran
motivasi berprestasi siswa dalam penelitian ini sebanyak 22 butir. Penyebaran butir-butir
ditunjukkan pada tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2. Uraian kisi-kisi butir angket motivasi belajar
Nomer Faktor yang diukur Nomer butir
1. Usaha untuk memahami dan memantapkan
pelajaran
2, 3, 4, 11, 16
2. Usaha untuk hadir pada setiap pelajaran 17, 21
3. Usaha untuk berprestasi 5, 7, 9, 10, 14, 15, 18, 20, 22
4. Usaha untuk mengerjakan tugas-
tugas/berdiskusi dengan teman
1, 6, 8, 12, 13
Pada setiap butir pertanyaan/pernyataan ada empat pilihan. Untuk
pertanyaan/pernyataan yang positif, jawabannya untuk pilihan pertama diberi skor 4, pilihan
kedua diberi skor 3, pilihan ketiga diberi skor 2, dan pilihan keempat diberi skor 1.
Sedangkan pertanyaan/pernyataan yang negatif diberi skor sebaliknya. Pengukuran prestasi
belajar yang dicapai siswa tidak dilakukan secara langsung, tetapi menggunakan data
sekunder yaitu data prestasi belajar kelas VII semester 1 dan 2 sedangkan kelas VIII semester
3 dan 4 yang dihitung nilai rata-rata komulatifnya.
4. Uji Coba Instrumen
Untuk menentukan tingkat kesahihan dan keandalan instrumen, dilakukan uji coba
instrumen. Responden yang digunakan uji coba ini diambil dari populasi yang sama, tetapi
tidak termasuk responden sampel penelitian. Uji coba dilaksanakan pada 30 orang siswa
kelas VII dan kelas VIII SLTPN 3 Mengwi tahun ajaran 2005/2006.
Uji Validitas, alat ukur dikatakan valid jika mengukur apa yang seharusnya diukur
oleh alat itu. (Nasution, 1982: 86). Tujuannya adalah menentukan apakah item tersebut ada
kemampuan untuk membedakan kelompok-kelompok dalam aspek yang diukur sesuai
dengan perbedaan yang ada pada kelompok-kelompok tersebut (Masrun, 1982:11). Setelah
koefisien korelasi diperoleh, maka untuk menetapkan tinggi rendahnya korelasi tersebut,
kemudian dikonsultasikan dengan nilai “r” pada tabel. Apabila ternyata “r hitung” yang
diperoleh lebih besar dari “r tabel” maka butir tersebut dinyatakan valid, dan siap digunakan
untuk mengumpulkan data penelitian. Sebaliknya apabila koefisien korelasi yang diperoleh
lebih kecil daripada “r tabel” maka butir tersebut dinyatakan tidak valid atau gugur dan tidak
dapat digunakan untuk mengumpulkan data penelitian. Untuk lebih jelasnya validitas butir
tes yang diuji coba hasilnya disajikan pada tabel 3 berikut.
Tabel 3. Ringkasan hasil uji validitas butir-butir angket
Ubahan Jumlah item gugur Valid
Cara belajar 22 6 16
Motivasi berprestasi 22 8 14
Uji Reliabilitas. Reliabilitas adalah derajat keajegan alat tersebut dalam mengukur apa
saja yang diukur (Furchan, 1982: 295). Nasution (1982 :89) mengemukakan bahwa suatu
instrumen dikatakan reliabel apabila instrumen itu dalam mengukur suatu gejala pada waktu
yang berlainan menunjukkan hasil yang sama. Sehubungan dengan reliabilitas ini, Untuk
mengetahui reliabilitas tes digunakan rumus Alpha (Suharsimi, 1987:101). Rumus ini
digunakan karena instrumen yang digunakan skala Likert yang jawabannya bersifat gradasi.
Setelah koefisien reliabilitas diperoleh, maka untuk menetapkan tinggi rendahnya reliabilitas
angket tersebut maka r11 yang diperoleh dari hasil perhitungan dikonsultasikan dengan nilai r
tabel sebagai berikut.
Tabel 4. Nilai r dan Interpretasinya
Besarnya r Interprestasi
Antara 0,800 sampai dengan 1,00
Antara 0,600 sampai dengan 0,800
Antara 0,400 sampai dengan 0,600
Antara 0,200 sampai dengan 0,400
Antara 0,000 sampai dengan 0,200
Tinggi
Cukup
Agak rendah
Rendah
Sangat rendah (tidak terkorelasi)
(Suharsimi, 1986 : 208)
Untuk lebih jelasnya reliabilitas dari instrumen hasil uji coba disajikan pada tabel di bawah
ini.
Tabel 5. Ringkasan hasil uji coba reliabilitas butir instrumen
Ubahan r11 Keterangan
Cara belajar 0,68 Cukup
Motivasi berprestasi 0,70 Cukup
5. Tehnik analisa data
Hasil pengukuran data dalam penelitian ini adalah data kuantitatif yang berupa angka-
angka. Dengan demikian maka data yang terkumpul dalam penelitian semuanya diolah
dengan analisis statistik. Metode analisis statistik adalah cara-cara ilmiah yang digunakan
untuk mengumpulkan, menyusun, menyajikan, dan menganalisis data yang berwujud angka-
angka (Hadi, 1980:54). Dalam penelitian hubungan antara ubahan bebas dengan ubahan
terikat dianilisis dengan teknik korelasi product momentt. Kemudian hubungan antara kedua
ubahan bebas secara bersama-sama dengan ubahan terikat digunakan teknik analisis regresi
ganda dengan dua prediktor. Sebelum melakukan pengolahan data dan analisa statistik dalam
rangka pengujian hipotesis, terlebih dahulu dilakukan uji persyaratan analisis, yaitu uji
normalitas, untuk penentuan teknik analisis. Untuk mengetahui normalitas sebaran skor tiap-
tiap ubahan, menurut Hadi (1983:317) dipergunakan analisis Chi Kuadrat. Pengujian kedua
adalah uji linearitas regresi, yakni menguji apakah model linier yang telah diambil itu betul-
betul cocok dengan keadaannya atau tidak. Tujuan utama dilakukannya uji linieritas regresi
karena untuk melakukan analisis regresi lebih lanjut maka harus ditentukan terlebih dahulu
bentuk persamaan regresi yang menyatakan hubungan fungsional antara variabel terikat
dengan variabel bebasnya, sehingga kita dapat menghitung harga-harga parameternya dengan
rumus yang sesuai. Uji linearitas dilakukan untuk menguji apakah bentuk linier cocok
dengan keadaan yang menghubungkan antara variabel terikat dengan variabel bebasnya. Jika
cocok maka analisis regresi linier bisa kita lanjutkan. Jika hasil pengujian mengatakan
bentuk linier tidak cocok maka harus diambil bentuk lain yang non linier (Sujana, 1989:332).
Pengujian hipotesis dilakukan setelah semua uji persyaratan analisis terpenuhi,
dilanjutkan dengan pengujian hipotesis. Dalam penelitian ini ada tiga hipotesis yang akan
diuji. Hipotesis satu dan dua dicari terlebih dahulu koefisien korelasi product moment jenjang
pertama, kemudian signifikansinya diuji dengan statistik t. Sedangkan hipotesis ketiga diuji
dengan statistic F dengan terlebih dahulu dicari koefisien korelasi regresi ganda.
Untuk mengetahui hubungan antara cara belajar dan motivasi berprestasi, dimana
keduanya sebagai prediktor secara bersama-sama dengan prestasi belajar siswa sebagai
kretiriumnya, digunakan teknik analisis regresi ganda dengan dua prediktor. Kemudian
perolehan nilai F dari hasil perhitungan dikonsultasikan dengan F tabel pada taraf
signifikansi (ts) 5% dengan derajat kebebasan db reg lawan dbres. Jika nilai F yang diperoleh
tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara kedua prediktor dengan
kretiriumnya atau garis regresi yang dianalisis tidak signifikan untuk dijadikan landasan
prediksi secara efisien. Dengan demikian pekerjaan analisis berakhir sampai disini. Akan
tetapi apabila nilai F yang diperleh dari hasil perhitungan lebih atau sama dengan nilai F
tabel, berarti koefisien korelasi ganda yang diperoleh signifikan antar kedua prediktor dengan
kretiriumnya. Atau garis regresi tersebut signifikan untuk dijadikan landasan prediksi secara
efisien. Dengan demikian pekerjaan analisis dilanjutkan untuk menghitung besarnya
sumbangan efektif garis regresi, sehingga dapat diketahui seberapa besar varians cara belajar
dan motivasi berprestasi dapat menjelaskan prestasi belajar. Efektifitas garis regresi dapat
dihitung dengan rumus :
%100tot
reg
JK
JK
(Hadi, 1987:44)
Menurut Hadi untuk menghitung besarnya sumbangan efektif (SE) tiap prediktor
harus dihitung dari presentase efektifitas garis regresi. Selanjutnya Sutrisno Hadi
mengatakan efektifitas garis regresi dicerminkan dalam koefisien determinasi (R2), maka
sumbangan efektif tiap prediktor dapat dihitung langsung dari R2. Rumus untuk menghitung
sumbangan efektif tiap prediktor adalah sebagai berikut :
2% RSRSE (Hadi, 1987:46)
Dalam mana :
2R = Koefisien Determinasi
SR = Sumbangan Relatif
SE = Sumbangan Efektif
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengambilan Sampel Penelitian
Sebagian dari populasi selain diambil untuk sampel penelitian, sebelumnya juga
diambil 30 orang siswa masing-masing 15 siswa dari kelas VII dan kelas VIII untuk uji coba
instrumen penelitian. Berdasarkan dokumen dari tempat penelitian yaitu SMP Negeri 3
Mengwi diperoleh data jumlah populasi dan setelah dihitung berdasarkan teknik stratified
proporsional random sampling cara undian, maka diperoleh sampel uji coba dan sampel
penelitian, disajikan pada tabel 9.
Tabel 9. Sampel Uji Coba dan Sampel Penelitian
Kelas Jumlah siswa Sampel
Uji coba
Sampel
Penelitian
VII 443 15 66
VIII 397 15 60
J u m l a h 840 60 126
B. Deskripsi data
Setelah sampel penelitian diperoleh maka instrumen penelitian berupa angket cara
belajar dan angket motivasi berprestasi dibagikan kepada setiap anggota sampel. Hasil skor
dari setiap anggota sampel terhadap masing-masing ubahan ditabulasikan. Deskripsi data
yang disajikan dalam penelitian ini terdiri dari harga rata-rata, median, modus dan standar
deviasi. Kemudian disajikan juga distribusi frekuensi dan histogram dari masing-masing
ubahan.
1. Cara belajar
Sesuai dengan jumlah item ubahan cara belajar yaitu 16 item, maka skor terendah
yang mungkin dicapai adalah 16 dan skor tertinggi yang mungkin dicapai adalah 64. Dari
data yang telah dikumpulkan diperoleh skor terendah 35 dan skor tertinggi 61. Dari data
tersebut didapat nilai rata-rata sebesar 47,857, mediannya sebesar 48,541, modusnya sebesar
49,910 dan standar deviasinya sebesar 5,194. Distribusi frekwensi skor ubahan cara belajar
disajikan pada tabel 6.
Tabel 6. Distribusi frekwensi skor ubahan cara belajar.
No.
Interval
Frekwensi
Absolut
Frekwensi
Relative (%)
1. 33 – 37 3 2,381
2. 38 – 42 15 11,905
3. 43 – 47 35 27,778
4. 48 – 52 48 38,095
5. 53 – 57 22 17,460
6. 58 – 62 3 2,381
J u m l a h 126 100,000
Berdasarkan tabel 6, bahwa siswa yang mempunyai skor cara belajar di bawah rata-rata
sebanyak 53 orang (42,064%). Sedangkan siswa yang mempunyai skor cara belajar di atas
harga rata-rata sebesar 73 orang (57,936%). Dengan demikian cara belajar siswa SMP Negeri
3 Mengwi sebagian besar di atas rata-rata.
2. Motivasi berprestasi.
Dari data yang telah dikumpulkan, skor ubahan motivasi berprestasi memiliki
rentangan skor antara 28 dan 55. Dari data tersebut diperoleh nilai rata-rata sebesar 42,817,
mediannya sebesar 43,480, modusnya sebesar 44,806 dan standar deviasinya sebesar 5,178.
Distribusi frekwensi skor motivasi berprestasi disajikan pada tabel 7.
Tabel 7. Distribusi frekwensi skor motivasi berprestasi
No.
Interval
Frekwensi
Absolut
Frekwensi
Relative (%)
1. 28 – 32 5 3,968
2. 33 – 37 12 9,524
3. 38 – 42 36 28,572
4. 43 – 47 51 40,476
5. 48 – 52 19 15,079
6. 53 – 57 3 2,381
J u m l a h 126 100,000
Berdasarkan tabel 7 dapat dilihat bahwa siswa yang mempunyai skor motivasi
berprestasi di bawah harga rata-rata sebanyak 53 orang (42,064%). Sedangkan siswa yang
mempunyai skor cara belajar di atas harga rata-rata sebesar 73 orang (57,936%). Dengan
demikian motivasi berprestasi siswa SMP Negeri 3 Mengwi sebagian besar di atas rata-rata.
3. Prestasi Belajar
Dari data yang terkumpul, skor ubahan prestasi belajar memiliki rentangan skor
antara 6,30 dan 7,42 Dari data tersebut diperoleh nilai rata-rata sebesar 6,903, mediannya
sebesar 6,908, modusnya sebesar 6,918 dan standar deviasinya sebesar 0,207. Distribusi
frekwensi skor motivasi berprestasi disajikan pada tabel 8.
Tabel 8. Distribusi frekwensi skor prestasi belajar
No.
Interval
Frekwensi
Absolut
Frekwensi
Relative (%)
1. 6,30 – 6,48 3 2,381
2. 6,49 – 6,67 13 10,318
3. 6,68 – 6,86 37 29,365
4. 6,87 – 7,05 44 34,921
5. 7,06 – 7,24 24 19,047
6. 7,25 – 7,43 5 3,968
J u m l a h 126 100,000
Berdasarkan tabel 8 dapat dilihat bahwa siswa yang mempunyai skor berprestasi belajar di
bawah harga rata-rata sebanyak 53 orang (42,064%). Sedangkan siswa yang mempunyai skor
cara belajar di atas harga rata-rata sebesar 73 orang (57,936%). Dengan demikian motivasi
berprestasi siswa SMP Negeri 3 Mengwi sebagian besar diatas rata-rata.
C. Uji Persyaratan Analisis
1. Uji Normalitas
Untuk keperluan analisis data selanjutnya, dalam penelitian ini teori-teori yang
digunakan untuk menaksir parameter dan menguji hipotesis dianut berdasarkan kepada
asumsi bahwa populasi yang sedang diselidiki berdistribusi normal, maka sebelum teori-
teori tersebut digunakan lebih lanjut untuk menganalisis data dan mengambil kesimpulan
sudah seharusnya diselidiki terlebih dahulu apakah asumsi diatas dipenuhi atau tidak.
Sehingga terlebih dahulu akan dilakukan uji normalitas data sampel. Hasil uji coba
normalitas untuk masing-masing ubahan cara belajar, motivasi berprestasi dan prestasi
belajar siswa, disajikan pada tabel 10.
Tabel 10. Ringkasan hasil uji normalitas ubahan-ubahan
No. Nama ubahan db Harga
χ2
o χ2
(0.95,5)
1. Cara belajar 5 3,71188 11,07
2. Motivasi berprestasi 5 7,08656 11,07
3. Prestasi belajar 5 6,15286 11,07
Berdasarkan tabel 10 diatas ternyata harga χo2 yang diperoleh, untuk ubahan cara belajar,
motivasi berprestasi dan prestasi belajar siswa lebih kecil daripada harga χ2
(0.95,5). Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa sebaran skor semua ubahan tersebut adalah normal.
2. Uji Linieritas
Untuk analisa uji linieritas dilakukan satu persatu dari dua ubahan bebas terhadap
ubahan terikatnya. Pertama setiap data ubahan bebas dikelompokkan berdasarkan skor yang
sama sebagai hasil pengamatan yang dilakukan dengan pengulangan, hal ini untuk menilai
kekeliruan atau galat yang terjadi. (Sujana, 1984). Kemudian dengan analisis regresi linier
satu prediktor masing-masing dicari persamaan garis regresinya. Sedangkan untuk uji
independent guna mengetahui apakah koefisien regresi linier mempunyai harga tertentu
ditempuh dengan menggunakan analisis varian dengan mencari harga F.
Untuk ubahan cara belajar terdapat 25 kelompok yang berbeda dan ditemukan
persamaan garis regresi Y = 0,009220X1 + 6,4617 dan diperoleh harga Fres = 0,84 dengan db
pembilang 23 dan db penyebut 101 pada taraf signifikansi 5% diperoleh Ftabel = 1,64. Dengan
demikian harga Fres lebih kecil daripada Ftabel, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan
antara cara belajar dengan prestasi belajar adalah linier.
Pada ubahan motivasi berprestasi terdapat 24 kelompok yang berbeda dan diperoleh
persamaan garis regresi yaitu Y = 0,012206 X2 + 6,38052 dan diperoleh harga Fres = 1,34 dari
daftar distribusi F untuk db pembilang 22 dan db penyebut 102 pada taraf signifikansi 5% =
1,65 (dengan interpolasi). Jadi harga Fres observasi lebih kecil daripada Ftabel, maka
disimpulkan hubungan antara ubahan motivasi berprestasi dengan prestasi belajar adalah
linier. Hasil rangkuman analisis uji linieritas skor masing-masing ubahan, disajikan pada
tabel 11.
Tabel 11. Rangkuman hasil uji linieritas ubahan bebas dengan ubahan
terikat.
No. Jenis ubahan SV db JK RK Fres
1. Cara belajar TC 23 0,829 0,036
0,842 E 101 4,321 0,042
2. Motivasi berprestasi TC 22 1,106 0,050
1,339 E 102 3,830 0,037
Keterangan : SV = Sumber Variasi TC = Tuna Cocok
db = Derajat kebebasan E = Kekeliruan
JK = Jumlah kuadrat Fres = F residu
RK = Rerata kuadrat
D. Pengujian Hipotesis
Dalam penelitian ini ada tiga hipotesis yang akan diuji. Hipotesis satu dan dua dicari
terlebih dahulu koefisien korelasi product moment jenjang pertama, kemudian
signifikansinya diuji dengan statistik t. Sedangkan hipotesis ketiga diuji dengan statistik F
dengan terlebih dahulu dicari koefisien korelasi regresi ganda.
1. Hubungan antara cara belajar dengan prestasi belajar siswa.
Hipotesis pertama menyatakan ada hubungan antara cara belajar terhadap prestasi belajar.
Untuk keperluan analisis data dan pengujian hipotesis maka perlu dirumuskan hipotesis nol
yaitu tidak ada hubungan antara cara belajar terhadap prestasi belajar. Kemudian setelah
dihitung koefisien korelasi antara ubahan cara belajar dengan prestasi belajar dengan
mengontrol ubahan motivasi berprestasi (korelasi parsial jenjang pertama) diperoleh r1,y-2
0,221. transformasi r1,y-2 ke harga t maka diperoleh harga t = 2,51. Dengan taraf signifikansi
5%, hipotesis nol diterima jika –t(0.975,124) < t < t(0.975,124). Setelah dikonsultasikan dengan t
tabel pada derajat kebebasan 124, didapat daerah penerimaan H0 adalah -1,96 < t < 1,96.
Ternyata harga t yang diperoleh berada di daerah penolakan H0. Jadi diinterprestasikan bahwa
hipotesis nol ditolak dan menerima hipotesis alternatif. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara cara belajar dengan prestasi belajar.
2. Hubungan antara Motivasi berprestasi dengan prestasi belajar.
Hipotesis kedua menyatakan ada hubungan antara motivasi berprestasi dengan prestasi
belajar. Untuk keperluan analisis data dan pengujian hipotesis maka perlu dirumuskan
hipotesis nol yang menyatakan tidak ada hubungan antara motivasi berprestasi dengan
prestasi belajar. Hasil analisis korelasi parsial antara motivasi berprestasi dengan prestasi
belajar dengan mengontrol ubahan cara belajar ditemukan r2,y-1 = 0,297 sehingga diperoleh
harga t = 3,48. Setelah dikonsultasikan dengan t tabel pada ts 5% dan derajat kebebasan 124,
didapat daerah penerimaan H0 adalah -1,96 < t < 1,96. Ternyata harga t yang diperoleh
berada di daerah penolakan H0. Jadi hipotesis nol ditolak dan menerima hipotesis alternatif.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara
motivasi berprestasi dengan prestasi belajar.
3. Hubungan antara Cara Belajar dan Motivasi Berprestasi dengan Prestasi Belajar
Hipotesis ketiga menyatakan bahwa ada hubungan antara cara belajar dan motivasi
berprestasi secara bersama-sama dengan prestasi belajar siswa. Untuk menguji hipotesis ini
digunakan uji F statistic dengan teknik analisis regresi ganda dua prediktor. Hasil analisis
regresi tersebut adalah sebagai berikut: Koefisien korelasi ganda Ry(1,2) = 0,3700, koefisien
determinasi (R2)= 0,1369 dan Freg= 9,75567. Ringkasan hasil analisis regresi ganda ini
disajikan pada tabel 12.
Tabel 12. Ringkasan analisis regresi
Sumber Variasi JK db RK F
Regresi 0,744758321 2 0,37237916 9,755678595
Residu 4,694971881 123 0,038170503
Jumlah 5,439730202 125
Keterangan: JK = Jumlah kuadrat RK = Rerata Kuadrat
db = derajat kebebasan F = F Observasi
Dari perhitungan diperoleh Fo sebesar 9,755678595 setelah dikonsultasikan dengan
Ftabel, dengan db 2 lawan 123 dan ts 5%, batas penerimaan H0 adalah F0,95(2,123) < 3,07.
Ternyata diperoleh F hasil perhitungan berada jauh di sebelah kanan daerah penerimaan H0.
Jadi hipotesis nol yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara cara belajar dan
motivasi berprestasi dengan prestasi belajar, ditolak atau hipotesis alternanif yang diajukan,
diterima. Dengan demikian dapat diinterprestasikan bahwa terdapat hubungan positif yang
signifikan antara cara belajar dan motivasi berprestasi dengan prestasi belajar siswa.
Hubungan antara kedua prediktor dengan kriteriumnya adalah positif dan signifikan dengan
persamaan garis regresi Y = 0,008444716 X1 + 0,011637271 X2 + 6,00075619.BSumbangan
relatif dan sumbangan efektif dari masing-masing ubahan prediktor terhadap kriterium
disajikan pada tabel 13.
Tabel 13. Bobot sumbangan relatif dan sumbangan efektif masing-masing prediktor.
Prediktor Sumbangan relative
SR (%)
Sumbangan Efektif
SE (%)
Cara Belajar 35,56 4,8679
Motivasi Berprestasi 64,44 8,8231
Jumlah 100,00 13,6910
Dari tabel tersebut ternyata sumbangan efektif yang paling besar diberikan oleh
ubahan motivasi berprestasi yaitu sebesar 8,8231%, sedangkan ubahan cara belajar
memberikan sumbangan efektif sebesar 4,8679%. Hal ini berarti bahwa varians prestasi
belajar dapat dijelaskan oleh ubahan cara belajar sebesar 4,8679% dan dapat dijelaskan oleh
ubahan motivasi berprestasi sebesar 8,8231%. Ringkasan hasil analisis regresi.
E. Pembahasan terhadap hasil pengujian hipotesis
1. Pembahasan terhadap hasil pengujian hipotesis pertama
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa cara belajar mempunyai hubungan positif
yang signifikan dengan prestasi belajar. Berdasarkan hasil analisis korelasi jenjang nihil
antara cara belajar dengan prestasi belajar menunjukkan koefisien korelasi yang positif yaitu
r = 0,230 dan ini lebih besar daripada rtabel pada taraf signifikansi 5% yaitu rt5% = 0,176.
Demikian juga setelah dianalisis dengan korelasi parsial jenjang pertama dengan
menganggap motivasi berprestasi tetap, diperoleh r = 0,221 yang juga positif. Uji t diperoleh
t= 2,51 yang berada di luar daerah penerimaan H0, yang berarti menerima hipotesis
alternative secara signifikan pada ts 5%. Dengan demikian terdapat hubungan positif yang
signifikan antara cara belajar dengan prestasi belajar. Dalam hal ini, cara belajar dapat
digunakan sebagai landasan untuk melakukan prediksi terhadap prestasi belajar. Hal ini pula
menguatkan teori-teori yang dikemukakan para ahli seperti yang sudah dipaparkan pada
landasan teori. Antara lain prinsip keteraturan dan prinsip konsentrasi yang dikemukakan
oleh The Liang Gie (1986) yang didukung oleh Heuken dkk (1986). Semakin teratur dan
semakin berkonsentrasi siswa dalam belajar maka semakin tinggi prestasi yang diraih siswa.
Demikian pula teori yang dikemukakan oleh Surakhman (1982) yang menyatakan bahwa
semakin baik persiapan siswa menghadapi pelajaran dan semakin baik siswa dalam
mengikuti pelajaran yang sedang berlangsung serta semakin baik menyempurnakan pelajaran
setelah sampai di rumah maka semakin baik pula prestasi yang diraih siswa. Demikian pula
sebaliknya semakin jelek cara belajar siswa yang diterapkan maka prestasi belajarnya
semakin jelek juga.
Dengan demikian berdasarkan penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa cara
belajar ikut menentukan secara signifikan yaitu sebesar 4,8679% terhadap prestasi belajar
siswa disamping faktor-faktor yang lain.
2. Pembahasan terhadap hasil pengujian hipotesis kedua
Hasil analisis hubungan antara motivasi berprestasi dengan prestasi belajar diperoleh
koefisien korelasi positif sebesar r = 0,304 dan setelah dikonsultasikan ternyata lebih besar
dengan rtabel pada taraf signifikansi 5%. Demikian juga setelah dianalisis dengan korelasi
parsial jenjang pertama diperoleh r = 0,297 juga positif. Hasil perhitungan uji t statistik
memperoleh harga t sebesar 3,48 yang berada pada daerah penolakan H0 yang berarti
X1
X2
Y
r1,y-2 = 0,221
Ry(1,2) = 0,37
r2,y-1 = 0,297
Keterangan :
X1= Cara belajar disebut variable bebas
X2=Motivasi berprestasi disebut variable bebas
Y= Prestasi belajar disebut variable terikat
menerima hipotesis alternative secara signifikan pada taraf signifikansi 5%. Dengan
demikian berarti koefisien korelasi yang diperoleh positif dan signifikan atau terdapat
hubungan positif yang signifikan antara motivasi berprestasi dengan prestasi belajar. Hasil
penelitian ini sangat menguatkan teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli seperti yang
sudah dipaparkan pada landasan teori. Semakin tinggi motivasi siswa untuk mengerjakan
tugas-tugas sekolah yang diberikan, semakin tinggi motivasi siswa untuk menyempurnakan
materi pelajaran yang didapat di kelas, semakin tinggi motivasi siswa untuk menjadi yang
terbaik, maka semakin tinggi pula prestasi belajar yang diraih (Martaniah, 1984). Demikian
juga sebaliknya semakin rendah motivasi yang dimiliki siswa semakin rendah prestasi belajar
yang diperoleh.
Dengan demikian berdasarkan hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa
motivasi berprestasi sangat menentukan secara signifikan yaitu sebesar 8,8231% menentukan
tinggi rendahnya prestasi belajar siswa disamping faktor-faktor yang lain.
3. Pembahasan hasil pengujian hipotesis ketiga
Dari analisis regresi diperoleh hasil yang menunjukkan hipotesis ketiga diterima. Hal
ini terbukti dengan diperolehnya nilai koefisien korelasi ganda ry(1,2)= 0,370. Nilai r > rtabel
pada ts 5%. Juga diperoleh Freg sebesar 9,755 > Ftabel pada ts 5% yaitu sebesar 3,07. Hal ini
menunjukkan hubungan positif yang signifikan antara cara belajar dan motivasi berprestasi
dengan prestasi belajar. Varian prestasi belajar yang dijelaskan melalui ubahan cara belajar
dan motivasi berprestasi sebesar 13,69% selebihnya yaitu 86,31% dapat dijelaskan oleh
faktor lain yang tidak dibahas dalam penelitian ini. Perincian varian prestasi belajar dapat
dijelaskan oleh kedua ubahan tersebut adalah: cara belajar menjelaskan sebesar 4,87% dan
motivasi berprestasi menjelaskan sebesar 8,82%.
Dengan demikian maka berdasarkan hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan
bahwa hubungan cara belajar dan motivasi berprestasi dengan prestasi belajar, signifikan
pada taraf signifikansi 5% dan ini berarti bahwa kedua ubahan bebas tersebut dapat dijadikan
landasan untuk memprediksi prestasi belajar.
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara cara belajar dan motivasi
berprestasi baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama dengan prestasi belajar.
Dan ingin pula mengetahui besarnya sumbangan efektif dari masing-masing ubahan bebas
terhadap ubahan terikatnya. Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Terdapat hubungan positif dan signifikan antara cara belajar dengan prestasi belajar siswa
SMP Negeri 3 Mengwi. Hal ini berarti semakin baik cara belajar siswa maka akan
semakin tinggi prestasi yang akan dicapai siswa.
2. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara motivasi berprestasi dengan prestasi
belajar siswa SMP Negeri 3 Mengwi. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi motivasi untuk
berprestasi maka akan semakin tinggi pula prestasi belajar yang akan dicapai siswa.
3. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara cara belajar dan motivasi berprestasi
secara bersama-sama dengan prestasi belajar siswa SMP Negeri 3 Mengwi. Hal ini berarti
cara belajar dan motivasi berprestasi dapat digunakan sebagai landasan untuk
memprediksi prestasi belajar siswa. Semakin baik cara belajar dan semakin tingga
motivasi berprestasi siswa maka semakin tinggi prestasi belajar yang dicapai siswa.
B. Saran-saran
Berdasarkan simpulan penelitian yang telah dikemukan maka diajukan beberapa saran
sebagai berikut:
1. Kepada para siswa agar terbiasa belajar dengan konsentrasi, teratur, terarah dan kontinyu.
Kepada para guru sebaiknya membagikan silabi dari materi pelajaran yang akan diajarkan.
Pada silabi dapat diketahui tujuan pelajaran, materi yang akan diajarkan, teknik belajar
mengajar, tugas-tugas yang akan diberikan dan buku wajib yang harus dibaca siswa serta
cara evaluasi yang dilakukan oleh guru. Dengan demikian siswa dapat mempersiapkan diri
sebelum pelajaran dimulai.
2. Untuk meningkatkan motivasi berprestasi siswa maka guru harus mampu memilih strategi
belajar mengajar yang dapat menunjang tumbuhnya motivasi berprestasi dalam proses
belajar mengajarnya antara lain dengan cara: memberi peranan yang besar kepada siswa
dalam proses mengajar, menciptakan persaingan yang sehat dalam meraih prestasi dan
memberikan penghargaan atau hukuman secara tepat.
3. Kepada guru Bimbingan dan Penyuluhan disarankan agar mengisi waktu-waktu kosong
pelajaran dengan memberikan bimbingan cara belajar yang efesien dan membangkitkan
motivasi berprestasi siswa.
DAFTAR RUJUKAN
Adolf Heuken S.J., Aku Berhasil Dalam Studi, Cipta Loka Caraka, Jakarta,1986.
Izhar Salim, Peranan Disiplin Belajar Dalam Mencapai Prestasi Belajar Pada Siswa Kelas II
SMEA Hamong Putera Pakem Sleman Yogyakarta Tahun 1985, Yoyakarta, 1985.
Kernu, Drs., Wayan, Perbedaan Motivasi Berprestasi Ditinjau Dari Tingkat Pendidikan Orang
Tua Pada Siswa SMP Negeri II Sungaraja, FKIP Unud, Singaraja, 1991.
Martaniah, Sri Mulyani, Motif Sosial Suku Jawa dan Keturunan Cina di beberapa SMA
Yogyakarta, Gajah Mada Univercity Press, Yogyakarta,1984.
Nasution, Metode Research, Jemmars, Bandung, 1982. Roestiyah, N.K., Masalah-Masalah
Keguruan, Bina Aksara, Jakarta, 1982. Sujana, Statistika, Tarsito, Bandung, 1982.
Sumadi Suryabrata, Proses Belajar Mengajar di Perguruan Tinggi, Andi Offset, Yogyakarta,
1983.
Surakhmad, W., Pengantar Interaksi Belajar-Mengajar Dasar dan Tehnik Metodelogi
Pengajaran Edisi V, Tarsito, Bandung, 1986.
Sutrisno Hadi, Prof. Drs., Metodelogi Research, Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi
UGM, Yogyakarta, 1987.
The Liang Gie, Cara Belajar Yang Efisien, Pusat Kemajuan Studi, Yogyakarta,1986.
Penggunaan Model Regresi Cox Dengan Time-Dependent Variable Untuk Mengatasi
Nonproportional Hazard
I Wayan Sudiarsa1)
dan Adji Achmad Renaldo Fernandes2)
1)
Dosen Jur. Pendidikan Matematika FPMIPA IKIP PGRI Bali dan 2)
Dosen Jur. Statistika
FMIPA Univ. Brawijaya. email: [email protected].
ABSTRACT
Use Cox Regression Model With Time-Dependent Variable To Overcome Nonproportional Hazard
Cox regression method with variable time respondent is a development of the Cox
regression model and can be used to form the model when the proportional hazard assumption
was not met. The tujauan this study to determine whether the regression method can be used to
cope with non-proportional hazard. The data used in this study were taken from the site with
variabale www.uhasselt.be survivar response in the form of time and predictor variables are
continuously maupyn katagorik. The study was conducted on 1177 patients suffering from
AIDS. Based on the analysis dilakmukan Cox regression model with time-dependent variables
used better than the regression model to the data did not meet the proportional hazards
assumption.
Keyword: Cox regression method, Time-Dependent Variable, Nonproportional Hazard
PENDAHULUAN
McCullagh and Nelder (1997), salah satu model linier tergeneralisir adalah model untuk
data survival, yaitu dengan variabel respon berupa waktu hidup (lifetime) komponen atau
survival time (waktu ketahanan) pasien dari suatu penyakit. Durasi waktu antar dua kejadian
tersebut didefinisikan sebagai waktu survival dan dilambangkan dengan T. Metode yang dapat
dipakai untuk memodelkan antara variabel respon yang berupa waktu survival dengan satu atau
lebih variabel prediktor adalah regresi cox (Fox, 2002). Regresi Cox yang diperkenalkan oleh D.
R. Cox pada tahun 1972 dan digunakan untuk menjelaskan pengaruh antara kegagalan individu
pada suatu waktu dengan satu atau lebih variabel prediktor dimana variabel prediktor dapat
bersifat kontinyu maupun kategorik.
Model regresi Cox juga dikenal dengan istilah proportional hazard model karena asumsi
proporsional pada fungsi hazardnya. Proportional hazard merupakan asumsi yang penting yang
mendasari regresi Cox yang merupakan rasio antara dua level fungsi hazard. Fungsi Hazard
untuk level satu adalah proporsional terhadap fungsi hazard untuk level dua jika rasio keduanya
bernilai konstan dan tidak tergantung waktu. Jika asumsi ini tidak terpenuhi berarti komponen
linier dari model berubah-ubah tergantung waktu dan dikatakan nonproportional hazard.
Akibatnya, model yang dihasilkan tidak sesuai. Salah satu metode yang dapat digunakan pada
kasus nonproportional hazard ialah model regresi Cox dengan time-dependent variable. Time-
dependent variable diartikan sebagai variabel yang nilainya berubah-ubah setiap saat (Kleinbaum
dan Klein, 2005), misalnya tekanan darah, kadar kolesterol. Ata dan Sozer (2007) mengatakan
bahwa jika terdapat time-dependent variable dalam model, asumsi proportioanal hazard tidak
lagi diperlukan dalam model regresi Cox. Model regresi Cox dengan time-dependent variable
merupakan pengembangan dari model regresi Cox dan dapat digunakan untuk membentuk model
ketika asumsi proportioanal hazard tidak terpenuhi. Berdasarkan latar belakang di atas dapat
dirumuskan masalahnya “Apakah Model Regresi Cox Dengan Team Devepdent variabel dapat
)(1)()( tFtTPtS
digunakan untuk mengatasi non proporsional hazard. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui apakah model regresi cox dapat digunakan untuk mengatasi non proporsional
hazard.
1. Fungsi Survival dan Fungsi Hazard
Misal t didefinisikan sebagai waktu survival yang sebenarnya dari suatu objek, dan nilai
dari variabel T mempunyai nilai yang non-negatif. Fungsi survival S(t), didefinisikan sebagai
sebagai peluang atau probabiltas suatu objek mempunyai waktu survival lebih besar daripada t,
dengan kata lain suatu objek mempunyai peluang hidup yang lebih lama daripada t dapat
dinyatakan sebagai (Collet, 2003) :
(1)
Menurut Kleinbaum dan Klein (2005), S(t) adalah fungsi non-increasing terhadap waktu t
dinyatakan sebagai :
tuntuk
tuntuktS
0
01
(2)
Berdasarkan persamaan (2) pada waktu t = 0 maka S(t) = S(0) = 1 yang diartikan sebagai
awal dari pengujian di mana tidak ada satupun objek yang mendapatkan kejadian yang
dispesifikasikan dan peluang hidup dari suatu objek bernilai satu. Pada waktu t = ∞ maka S(t) =
S(∞) = 0, artinya jika periode pengujian meningkat sampai tidak terbatas maka pada akhirnya
tidak akan ada suatu objek yang dapat bertahan hidup sehingga peluang hidup dari suatu objek
akan mendekati nilai nol. Secara grafik, fungsi S(t) diilustrasikan pada Gambar 1.
t = time
S (
t) =
fu
ng
si s
urv
iva
l
0
1
Gambar 1. Grafik Fungsi S(t) Berdasarkan Nilai t.
Berdasarkan Gambar 1. secara teori fungsi survival S(t) digambarkan sebagai fungsi
menurun seiring dengan peningkatan t.
Fungsi hazard h(t) didefinisikan sebagai probabilitas suatu individu yang mati pada waktu
t, dengan syarat objek telah bertahan hidup sampai waktu tersebut. Fungsi ini menyatakan angka
atau laju kematian suatu individu yang bertahan sampai waktu ke-t. Misal peluang bahwa
variabel random adalah waktu survival dari suatu objek disimbolkan dengan T berada di antara t
dan t+δt dengan syarat T lebih besar sama dengan nilai t, ditulis sebagai P(t ≤ T < t+δt | T ≥ t).
Peluang bersyarat tersebut kemudian dinyatakan sebagai peluang per unit waktu dibagi interval
waktu δt yang menyatakan tingkat atau rate (banyaknya perubahan kuantitatif yang terjadi
terkait dengan waktu). Fungsi hazard h(t) adalah nilai limit dengan δt yang mendekati nilai nol.
Fungsi hazard dapat dinyatakan sebagai berikut :
t
tTttTtPlimth
0t
(3)
2. Model Regresi Cox
Menurut Sun dan Tanaka (2003), model Cox Proportional Hazard yang biasa disebut
dengan Regresi Cox mempunyai peranan penting di dalam analisis survival. Model dasar dari
regresi Cox dihasilkan dari fungsi hazard untuk objek ke-i pada waktu ke-t yang terdiri dari dari
dua faktor yaitu fungsi baseline hazard yang disimbolkan sebagai th 0 dan fungsi linier dari
sekumpulan k variabel prediktor yang terbentuk secara eksponen. Secara umum model regresi
Cox didefinisikan sebagai berikut (Allison, 1995) :
ikk1i10i x...xexpthth (4)
Fungsi th 0 dapat dianggap sebagai fungsi hazard untuk suatu objek, jika variabel prediktor
dari persamaan (11) bernilai 0, maka ikk1i1 x...xexp dapat ditulis sebagai iexp dan
disebut sebagai relatif hazard dimana i disebut sebagai kombinasi linier dari k variabel
prediktor dalam jx dimana k...,,2,1j .
ikk2i21i1i x...xx
k
1j
ijji x (5)
di mana merupakan vektor dari koefisien parameter variabel prediktor jx dalam model.
Jumlah i disebut sebagai komponen linier model, tetapi juga diketahui sebagai nilai resiko
untuk objek ke-i. Model umum dari regresi Cox dapat juga ditulis sebagai berikut :
ikk2i21i1
0
i x...xxexpth
th
(6)
Di mana tS
tfth 0
th i adalah peluang objek ke-i mengalami kegagalan atau mati pada waktu t, th 0
adalah fungsi baseline hazard, tf adalah fungsi kepekatan peluang ketahanan objek ke-t,
sedang tS adalah fungsi survival. Nilai fungsi hazard, th i ditentukan setelah nilai th 0
diperoleh.
Menurut Chan (2004), model regresi Cox menunjukkan bahwa rasio kematian antar objek
di dalam kelompok ditunjukkan oleh jexp kali rasio kematian antar objek di dalam kendali
kelompok secara terus-menerus. Model regresi Cox dapat diinterpretasikan sebagai nisbah
peluang kegagalan atau kematian objek pada suatu level dari faktor relatif terhadap peluang
kegagalan pada level lainnya dari faktor tersebut. Oleh karena itu dalam penerapannya terkadang
tidak memerlukan pendugaan fungsi baseline hazard.
3. Pendugaan Parameter dalam Regresi Cox
Dalam model regresi Cox, koefisien merupakan parameter yang tidak diketahui, oleh
karena itu diperlukan adanya suatu estimasi untuk menaksir parameter ini. Menurut Collet
(2003), koefisien dalam model model regresi Cox dapat ditaksir dengan menggunakan metode
Maximum Partial Likelihood. Jika terdapat sebanyak n objek yang mempunyai jarak waktu
kegagalan (r) dengan waktu survival (n-r), dengan r waktu kegagalan yang dinyatakan dengan
t(1) < t(2) <…. < t(r) dan t(j) adalah waktu urutan kegagalan ke-j, maka suatu objek yang
mendapat resiko pada waktu t(j) dinyatakan sebagai R(t(j)), di mana R(t(j)) adalah kelompok
objek yang masih hidup dan tidak tersensor oleh waktu t(j). Penjumlahan dari R(t(j)) disebut
dengan sekumpulan resiko. Menurut Bastien (2004) fungsi likelihood untuk model proportional
hazard adalah :
r
1j tRl l
'
j
'
'
j
xexp
xexp)(L (7)
X(j) merupakan vektor variabel prediktor dari objek yang mati pada saat ke-j pada urutan
waktu t(j). Apabila data terdiri dari n pengamatan ditulis sebagai nttt ,,, 21 , dengan indikator
kejadian ( t ) maka fungsi likelihood pada persamaan (13) dapat dinyatakan dalam bentuk :
n
1i tRl l
i' ,x'exp
x'exp)(L
i
i
(8)
di mana R(t(i)) adalah kelompok objek yang beresiko saat ti, dan i merupakan indikator
tersensor yang bernilai nol jika ti, i=1,2,..,n adalah tersensor kanan dan bernilai 1 untuk lainnya.
Fungsi kesesuaian log-likelihood adalah sebagai berikut :
n
1i tRl
iii
i
x'explogx'Llog (9)
penaksiran parameter β pada model proportional hazard didapatkan dengan cara
memaksimumkan fungsi log-likelihood menggunakan prosedur Newton-Raphson di mana
penaksiran parameter β1,β2,..., βp diperoleh dari penyelesaian sejumlah px1 vektor persamaan
yang dinyatakan dengan skor koefisien vektor u . Skor koefisien untuk βj adalah
,
log
j
j
Lu
sehingga
n
1j
tRl
l
tRl
ljl
jlij
i
i
xexp
xexpx
xu (10)
Misal matriks I(β) adalah matriks pxp yang merupakan turunan kedua dari fungsi log-likelihood
yang bernilai negatif maka I(β) adalah :
kj
2 Llog)I(
(11)
dengan j = 1, 2,…, p dan k = 1, 2,…, p, maka I(β) disebut matriks Hessian atau matriks informasi
pengamatan. Berdasarkan prosedur Newton-Raphson, penaksiran dari parameter pada s+1
yang disimbolkan 1sˆ
adalah :
ssss uI ˆˆˆ 1
1
(12)
dengan
i
i
i
i
i
i
tRl
l
tRl
lkl
tRl
l
tRl
ljl
tRl
l
tRl
lkljl
jk
1
xexp
xexpx
xexp
xexpx
xexp
xexpxx
I (13)
di mana :
s : 0, 1, 2, …
u s : vektor skor koefisien
I-1 s : invers matriks informasi yang diamati
Proses iterasi dimulai dengan menentukan nilai awal 0ˆ0 dan proses akan dihentikan
jika perubahan pada fungsi likelihood relatif kecil atau perubahan dalam nilai perkiraan
parameter terbesar relatif kecil.
A. Uji Signifikansi Parameter Model Regresi Cox
Pengujian signifikansi parameter model regresi Cox meliputi uji simultan dan parsial.
Uji Simultan
Uji simultan digunakan untuk memeriksa pengaruh variabel prediktor secara bersama-
sama terhadap variabel respon. Uji yang digunakan ialah uji likelihood ratio.
Uji hipotesis :
H0 : β1 = β2= … = βp=0
H1 : minimal ada satu βj ≠ 0, untuk j = 1, 2, …, p.
Statistik Uji :
0
2 ˆ2 LLnLLnLR (14)
Apabila 2
,
2
pLR atau p-value ≤ α maka H0 ditolak yang berarti secara bersama-sama
variabel prediktor berpengaruh nyata terhadap variabel respon.
Uji Parsial
Uji signifikansi parameter secara parsial digunakan untuk memeriksa pengaruh dari
masing-masing variabel prediktor terhadap variabel respon secara individu pada model. Uji ini
dilakukan dengan merasio antara penduga koefisien dengan standard error penduga koefisien.
Rasio antar keduanya disebut dengan statistik Wald dan uji yang digunakan disebut uji Wald.
Uji hipotesis :
H0 : βj = 0
H1 : βj ≠ 0, untuk j = 1, 2, …, p.
Statistik Uji :
2
12
j
2
j~
)ˆ(Se
ˆW
(15)
di mana : j : koefisien regresi pada variabel ke-j
2j )ˆ(Se : ragam koefisien regresi
Apabila 2
1W atau p-value ≤ α maka H0 ditolak yang berarti bahwa variabel prediktor
ke-j berpengaruh nyata terhadap variabel respon (Kutner et al., 2005).
B. Sisaan Model Regresi Cox
Pemerikasaan sisaan pada model regresi Cox bertujuan untuk memeriksa apakah model
sudah sesuai. Sisaan yang sering digunakan dalam pengujian model regresi Cox adalah sisaan
Cox-Snell. Sisaan Cox-Snell dapat diartikan sebagai nilai harapan setiap pengamatan. Sisaan
Cox-Snell untuk individu ke-i dapat dirumuskan :
i0iCi tHx'ˆexpr (16)
dimana : Cir = Sisaan Cox-Snell untuk individu ke-i
i0 tH = dugaan dari fungsi kumulatif garis dasar hazard pada waktu ti
Menurut Nelson-Aalen dalam Collet (2003) Cir adalah nilai dari:
iiii tSlogtH (17)
di mana )t(H ii dan ii tS adalah nilai penduga dari kumulatif hazard dan fungsi survivor dari
objek ke-i pada waktu ti
C. Pengujian Asumsi Proportional Hazard
Proportional hazard merupakan suatu asumsi penting yang mendasari regresi Cox.
Proportional hazard merupakan rasio antara dua level fungsi hazard. Fungsi hazard untuk level
satu adalah proportional terhadap fungsi hazard untuk level dua jika rasio keduanya bernilai
konstan dan tidak tergantung waktu. Asumsi proportional hazard berarti hazard ratio yang
konstan sepanjang waktu. Pelanggaran terhadap asumsi ini mengakibatkan komponen linier dari
model berubah-ubah terhadap waktu sehingga model yang dihasilkan tidak sesuai.
Menurut Ata dan Sozer (2007), cara untuk memeriksa asumsi proporsional hazard ialah
secara visual dengan melihat grafis dari plot antara Log {-log[S(t, X)]} terhadap waktu survival.
Jika grafik Log {-log[S(t, X)]} terhadap waktu survival untuk beberapa kategori dalam suatu
variabel prediktor terlihat sejajar atau tidak bersilangan, mengindikasikan bahwa asumsi
proportional hazard terpenuhi. Sebaliknya jika terlihat bersilangan maka asumsi proportional
hazard tidak terpenuhi. Untuk lebih jelasnya tentang asumsi ini dapat dilihat pada Gambar 2.
Waktu (time)
Log { - Log [S(t,X)]}
Laki-laki
Perempuan
Gambar 2. Pengujian Asumsi Proportional Hazard
Jika asumsi ini tidak terpenuhi maka model yang dihasilkan dikatakan nonproportional
hazard dan mengakibatkan model yang dihasilkan tidak sesuai. Salah satu metode yang dapat
digunakan jika terdapat nonproportional hazard ialah model regresi Cox dengan time-dependent
variable.
Regresi Cox dengan Time-Dependent Variable
A. Time-Dependent Variable
Time-dependent variable diartikan sebagai variabel yang nilainya berubah-ubah setiap
saat. Sebaliknya time-independent variable ialah variabel yang nilainya konstan atau tidak
tergantung waktu. Pada banyak kasus data variabel prediktor yang diteliti terutama dalam bidang
kedokteran seperti tekanan darah, berat badan relatif, dan kadar kolesterol ialah data yang
dikumpulkan berdasarkan suatu periode waktu tertentu. Nilai pengamatan dari variabel tersebut
dapat berubah-ubah sepanjang waktu sehingga besar kemungkinan hazard ratio yang dihasilkan
juga berubah-ubah menurut waktu dan dikatakan fungsi hazard untuk level satu tergantung
waktu terhadap fungsi hazard untuk level dua (tidak konstan). Oleh karena itu model regresi Cox
biasa tidak sesuai lagi untuk digunakan. Untuk mengatasi hal ini digunakan model regresi Cox
dengan time-dependent variable.
B. Model Regresi Cox dengan Time-Dependent Variable
Sebagaimana model regresi Cox pada persamaan (11), model regresi Cox dengan time-
dependent variable terdiri dari baseline hazard function h0(t) dan fungsi eksponen. Perbedaannya
terletak pada fungsi eksponennya, pada regresi Cox hanya terdapat variabel prediktor Xi yang
nilainya tidak tergantung waktu (konstan) atau disebut time-independent variable. Pada model
regresi Cox dengan time-dependent variable, selain time-independent variable yang
dilambangkan dengan Xi, juga terdapat time-dependent variable yang dilambangkan dengan
Xj(t). Model regresi Cox dengan time-dependent variable dapat ditulis sebagai berikut
(Kleinbaum and Klein, 2005) :
2p
1j
jj
1p
1i
ii0 )t(XXexp)t(h)t(X,th (18)
dimana :
h0(t) : fungsi baseline hazard pada saat t
β : parameter atau koefisien regresi untuk time-independent variable.
: parameter atau koefisien regresi untuk time-dependent variable.
p1 : banyaknya time-independent variable
p2 : banyaknya time-dependent variable
X(t)j : variabel yang tergantung waktu (time-dependent variable)
Ata dan Sozer (2007) mengatakan bahwa jika terdapat time-dependent variable dalam model,
asumsi proportioanal hazard tidak lagi diperlukan dalam model regresi Cox. Model regresi Cox
dengan time-dependent variable merupakan pengembangan dari model regresi Cox dan dapat
digunakan untuk membentuk model ketika asumsi proportioanal hazard tidak terpenuhi.
Shumway (2000) telah meneliti penggunaan model regresi Cox dengan time-dependent variable
dan regresi logistik pada data kebangkrutan Bank. Dari hasil penelitian tersebut, Shumway
(2000) mengatakan bahwa regresi Cox dengan time-dependent variable menghasilkan prediksi
yang lebih akurat pada data kebangkrutan Bank.
C. Pendugaan Parameter Model Regresi Cox dengan Time-Dependent Variable
Untuk menentukan model regresi Cox dengan time-dependent variable diperlukan
estimasi koefisien variabel prediktor X1, X2,…,Xp1 yaitu β1,β2,..., βp1 dan koefisien variabel
tergantung waktu X(t)p1+1, X(t) p1+2,…, X(t)p γp1+1, γp1+2,…, γp. Sama halnya dengan model
regresi Cox, Koefisien β dan γ dalam model regresi Cox dengan time-dependent variable dapat
ditaksir menggunakan metode Maximum Partial Likelihood. Apabila terdapat sebanyak n
sampel, diantaranya terdapat r jarak waktu kegagalan (failure) dengan waktu yang berbeda,
dengan urutan waktu kegagalan t(1) < t(2) <…. < t(r) dengan t(j) sebagai urutan waktu kegagalan
ke-j, maka suatu objek yang mendapat resiko pada waktu t(j) dinyatakan sebagai R(t(j)), di mana
R(t(j)) adalah kelompok objek yang masih hidup dan tidak tersensor oleh waktu t(j). Penjumlahan
dari R(t(j)) disebut dengan sekumpulan resiko. Misalkan W(j) adalah vektor variabel prediktor
pada model regresi Cox dengan time-dependent variable dari individu yang meninggal pada saat
ke-j dengan urutan waktu t(j), dan α ialah koefisien model regresi cox dengan time-dependent
variable. W(j) dan α didefinisikan sebagai berikut :
pnpn
pp
pnn
p
tXtX
tXtX
XX
XX
W
,11,
,111,1
1,1,
1,11,1
)()(
)()(
p
p
1
1
1
dimana p1 = banyaknya variabel prediktor yang tidak tergantung waktu
Mengacu pada pendugaan parameter model regresi Cox, fungsi likelihood untuk model
regresi Cox dengan time-dependent variable adalah :
r
1j )R(t
'
'
'
(j)
)exp(
)exp()(L
l lW
W(j) (19)
W(j) adalah vektor variabel prediktor dari individu yang meninggal pada saat ke-j dengan urutan
waktu t(j).
Apabila data terdiri dari n pengamatan ditulis sebagai n21 t,,t,t , dengan indikator
kejadian ( i ) maka fungsi partial likelihood dapat dinyatakan dalam bentuk :
n
1i
)R(t
'
(i)
'
'
'i
i
)Wexp(
)Wexp()(L
l
l
(20)
dimana :
1, jika terjadi event atau kejadian
δi =
0, tersensor
dan R(t(i)) adalah kelompok individu yang beresiko saat ti, dan δi adalah indikator sensoring
yang bernilai nol jika ti, i=1,2,..,n adalah tersensor dan bernilai 1 untuk lainnya. Penyebut
merupakan jumlah dari semua peluang kegagalan dari individu yang mungkin pada waktu t(j).
Fungsi kesesuaian log-likelihood adalah :
n
1i
l
'
R(t
(i)
'
i
' )W( explogWδ)L( log(i)l
(28)
Penaksiran nilai parameter α diperoleh dengan memaksimumkan fungsi log-likelihood
dengan menggunakan metode numerik. Fungsi yang maksimum dapat diperoleh dengan
menggunakan metode iterasi Newton Raphson. Dengan p=p1+p2, penaksiran parameter β1,β2,...,
βp1 dan γ1, γ2, …, γp2 diperoleh dari penyelesaian sejumlah px1 vektor persamaan yang
dinyatakan dengan skor koefisien vektor u . Skor koefisien untuk αj adalah
,
log
j
j
Lu
sehingga
n
1j
tRl
l
tRl
ljl
jij
i
i
W'exp
W'expW
Wu (21)
Misal matriks I(α) adalah matriks pxp yang merupakan turunan kedua dari fungsi log-likelihood
yang bernilai negatif maka I(α) adalah :
kj
2 Llog)(I
(22)
dengan j = 1, 2,…, p dan k = 1, 2,…, p, maka I(α) disebut matriks Hessian atau matriks informasi
pengamatan.
Berdasarkan prosedur iterasi Newton-Raphson, penaksiran dari parameter pada s+1
yang disimbolkan 1sˆ
adalah :
ss
1
s1sˆuˆIˆˆ
(23)
dengan
i
i
i
i
i
i
tRl
ll
tRl
lkl
tRl
l
tRl
ljl
tRl
l
tRl
lkljl
jk
1
W'expW
W'expW
W'exp
W'expW
W'exp
W'expWW
I
di mana :
s : 0, 1, 2, …
u s : vektor skor koefisien
I-1 s : invers matriks informasi yang diamati
Proses iterasi dimulai dengan menentukan nilai awal 0ˆ0 dan proses akan dihentikan jika
perubahan pada nilai αs+1 dan αs kurang dari 10-6
.
Kesesuaian Model
Untuk melihat kesesuaian model Akaike's Information Criterion (AIC) dikembangkan
oleh Hirotsugu Akaike pada tahun 1971 merupakan ukuran kebaikan penduga model
statistik dengan mempertimbangkan banyaknya parameter dalam model. AIC tidak
digunakan untuk pengujian suatu hipotesis, melainkan sebagai alat ukur perbandingan
model dimana model dengan nilai AIC paling kecil dianggap sebagai model yang terbaik
(Hu, 2007). Secara umum AIC dapat dirumuskan sebagai
AIC = 2k – 2 ln (L) (24)
di mana:
k : banyaknya parameter dalam model
L : maximum likelihood model yang diduga
Semakin banyak peubah prediktor yang diuji, maka kebaikan model juga akan meningkat.
Oleh karena itu AIC tidak hanya bermanfaat untuk melihat kesesuaian model, tetapi juga
sesuai digunakan untuk melihat kebaikan model untuk fungsi peningkatan sejumlah
parameter.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari www.uhasselt.be. dengan variabel
respon berupa waktu survival dan variabel prediktor bersifat kontinyu maupun kategorik.
Penelitian dilakukan terhadap 1177 pasien yang mengidap penyakit AIDS dengan variabel yang
diamati meliputi :
T : waktu survival (hari)
S : status kematian (1=mati, 0=sensor)
SEX : sex (0=laki-laki, 1=perempuan)
IVDRUG : Penggunaan obat (0=tidak pernah,
1=pernah)
MACSTAT : Status Mac (1=ya, 0=tidak mac)
MACTIME : Waktu mengidap penyakit Mac (hari)
KARNOF : skor Karnof
Variabel prediktor dalam kasus ini ialah sex, ivdrug, macstat, karnof dengan variabel respon T
(waktu survival). Mactime merupakan waktu kapan diketahui status pasien mengidap penyakit
mac (bukan waktu survival). Variabel tergantung waktu (time-dependent variable) dalam kasus
ini ialah hasil perkalian antara macstat dan mactime.
Hasil Penelitian
1. Model Regresi Cox
Pendugaan koefisien β dilakukan dengan memaksimumkan log-likelihood dengan metode
iterasi Newton Raphson. Nilai β model regresi cox dapat dilihat pada Tabel 1. Dari hasil yang
diperoleh pada Tabel 1, model persamaan regresi cox yang terbentuk ialah : ivdrug0.095-SkorKarnof0.0453-Sex0.2370-MacStat 0.0285-exp),( Xth
Uji secara simultan model regresi Cox dengan menggunakan uji likelihood ratio. Nilai 2
LR
model regresi Cox ialah sebesar 84.703 dengan p-value sebesar 0.000. Karena p-value < 0.05
maka H0 ditolak dan dapat dikatakan bahwa secara bersama-sama variabel macstat, sex, skor
karnof, dan ivdrug memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peluang kematian pasien.
Uji secara parsial menggunakan uji Wald. Tolak H0 jika W > 2
05.0,1 = 3.841 atau p-value ≤
0.05. Pengujian signifikansi disajikan pada tabel 4.6 sebagai berikut
Tabel 1. Pengujian Signifikansi β Model Regresi Cox
Variabel Koefisien β Wald Sig. Exp(B)
macstat -0.0285 0.0445 0.8330 0.9719
Sex -0.2370 2.6607 0.1029 0.7890
skor karnof -0.0453 80.3390 0.0000 0.9557
ivdrug -0.0951 0.6031 0.4374 0.9092
Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa variabel yang memberikan pengaruh signifikan
terhadap peluang kegagalan pasien ialah skor karnof karena memiliki p-value = 0.000 < 0.05.
Besar nilai pengaruh variabel skor karnof ialah sebesar 0.9557 dengan koefisien parameter
bertanda negatif, artinya setiap meningkatnya kesehatan pasien akan menurunkan resiko
kematian pasien tersebut sebesar 0.9557 kali. Variabel yang lain yaitu macstat, sex, dan ivdrug
memiliki p-value > 0.05 sehingga ketiga variabel tersebut tidak memberikan pengaruh signifikan
terhadap peluang kematian pasien.
2. Pengujian Asumsi Proportional Hazard Model Regresi Cox
Pemeriksaan asumsi proportional hazard dilakukan secara grafis dengan melihat plot
antara Log {-log[S(t, X)]} terhadap waktu survival. Jika plot antara Log {-log[S(t, X)]} terhadap
waktu survival untuk beberapa kategori dalam variabel prediktor terlihat sejajar atau terdapat
perbedaan yang konstan, maka asumsi proportional hazard dikatakan terpenuhi. Hasil uji asumsi
proportional hazard pada variabel macstat, sex, dan ivdrug dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Grafik Log {-log[S(t, X)]} terhadap waktu survival
Agar terlihat dengan jelas, waktu survival pada Gambar 3 dapat dipotong pada waktu t >
200 dan di ambil pada waktu t=30 sampai t=200 sehingga Gambar 4 menjadi :
Gambar 4. Grafik Log {-log[S(t, X)]} terhadap waktu survival
-4.0
-3.0
-2.0
-1.0
0.0
0 100 200
Log(
-lo
g s(
t,x)
)
time
Mac
Tidak mac
Dari Gambar 4 pada variabel macstat dapat dilihat antara kategori pasien yang terjangkit
penyakit mac atau tidak terjangkit penyakit mac saling bersilangan (tidak sejajar) di beberapa
selang waktu t yaitu sekitar t=60, t=110, t=150 sehingga asumsi proportional hazard pada
variabel ini tidak terpenuhi.
3. Model Regresi Cox dengan Time-Dependent Variable
Pendugaan koefisien β dan γ dilakukan dengan memaksimumkan log-likelihood dengan
metode iterasi Newton Raphson. Nilai β model regresi cox dengan time-dependent variable dapat
dilihat pada Tabel 2. Dari hasil yang diperoleh pada Tabel 2, model persamaan regresi cox
dengan time-dependent variable yang terbentuk ialah :
karnofskor 0.045-sex0.245-macstat 1.163-exp))(,( tXth
mactime*macstat0.003-ivdrug0.095- dengan t merupakan waktu survival dan X ialah himpunan variabel prediktor yang diteliti. β
merupakan koefisien dari variabel macstat, sex, skor karnof, dan ivdrug. Sedangkan γ ialah
koefisien dari variabel tergantung waktu (macstat*mactime). Uji secara simultan model regresi Cox dengan menggunakan uji likelihood ratio. Nilai
2
LR
model regresi Cox dengan time-dependent variable ialah sebesar 105.490 dengan p-value sebesar
0.000. Karena p-value < 0.05 maka H0 ditolak dan dapat dikatakan bahwa secara bersama-sama
variabel macstat, sex, skor karnof, macstat*mactime, dan ivdrug memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap peluang kematian pasien.
Uji Parsial menggunakan uji Wald. Tolak H0 jika W > 2
05.0,1 = 3.841 atau p-value ≤ 0.05.
Pengujian signifikansi disajikan pada tabel berikut :
Tabel 2. Pengujian Signifikansi β Model Regresi Cox dengan time-dependent variable
Variabel Koefisien β Wald Sig. Exp(B)
macstat -1.1628 18.0736 0.0000 0.3126
sex -0.2454 2.8477 0.0915 0.7824
skor karnov -0.0450 78.1937 0.0000 0.9560
ivdrug -0.0854 0.4854 0.4860 0.9181
macstat*mactime -0.0030 17.3739 0.0000 0.9970
Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa hanya variabel sex dan ivdrug yang tidak memberikan
pengaruh signifikan terhadap peluang kegagalan pasien karena memiliki p-value > 0.005.
Sedangkan variabel macstat, skor karnof, dan macstat*mactime yang digunakan sebagai time-
dependent variable menunjukkan pengaruh signifikan terhadap peluang kegagalan pasien karena
semuanya memiliki nilai p-value yang sangat kecil (0.000) < 0.05.
Pada variabel macstat, besar nilai pengaruh pasien yang terkena penyakit mac (status=1)
relatif terhadap pasien yang tidak terkena penyakit (status=0) adalah 0.3126 atau dapat dikatakan
bahwa dengan menggunakan analisis regresi cox dengan time-dependent variable, pasien yang
terkena penyakit mac mempunyai peluang meninggal sebesar 0.3126 kali lebih tinggi daripada
pasien yang tidak terkena penyakit mac. Pada variabel skor karnof, besar pengaruh terhadap
resiko kematian ialah sebesar 0.9560 dengan koefisien parameter bertanda negatif, artinya setiap
meningkatnya kesehatan pasien akan menurunkan resiko kematian pasien tersebut sebesar
0.9560 kali
4. Pengujian Asumsi Proportional Hazard Model Regresi Cox dengan Time-Dependent
Variable
Hasil uji asumsi proportional hazard setelah penambahan time-dependent variable dapat
dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Grafik Log {-log[S(t, X)]} terhadap waktu survival
Dari Gambar 5 pada variabel macstat dapat dilihat dengan jelas adanya perbedaan antara
kategori pasien yang terjangkit penyakit mac atau tidak terjangkit penyakit mac pada semua
selang waktu t (tidak bersilangan), sehingga asumsi proportional hazard pada varaibel macstat
ini terpenuhi dan model yang dihasilkan layak.
5. Pemeriksaan Kesesuaian Model
Langkah selanjutnya ialah pemeriksaan kesesuaian model. Pemeriksaan kesesuaian model
dilakukan menggunakan sisaan Cox-Snell dengan melihat plot antara Log dari sisaan Cox-Snell
terhadap Log Cumulative Hazard seperti pada Gambar 6.
Gambar 6. Plot Log Sisaan Cox-Snell terhadap Log Cumulative Hazard
Dari Gambar 6 dapat dilihat bahwa plot antara Log Sisaan Cox-Snell terhadap Log
Cumulative Hazard membentuk garis lurus. Hal ini mengindikasikan bahwa model regresi Cox
dengan time-dependent variable yang dihasilkan sesuai.
Nilai AIC untuk model regresi Cox dan model regresi Cox dengan time-dependent variable
dapat disajikan sebagai berikut :
Tabel 3. Nilai AIC Model Regresi Cox dan dengan time-dependent variable
Model Q2 AIC
Model Regresi Cox 0.8999929 6714.609
Mode Regresi Cox dengan
time-dependent variable 0.8999928 6698.306
Berdasarkan Tabel 3, dapat diketahui nilai AIC untuk model regresi Cox sebesar 6714.609
dan untuk model regresi Cox dengan time-dependent variable sebesar 6698.306. Jika dilihat dari
nilai AIC, model regresi Cox dengan time-dependent variable memiliki nilai AIC terkecil
sehingga dapat dikatakan bahwa model ini lebih baik daripada model regresi Cox.
SIMPULAN DAN SARAN
Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : Adanya nonproportional
hazard pada model regresi Cox dapat diatasi dengan penambahan time-dependent variable. Hal
ini terlihat dari grafik Log {-log[S(t, X)]} terhadap waktu survival pada variabel macstat untuk
model regresi Cox dengan time-dependent variable yang menunjukkan kesejajaran antara dua
kategori pasien sehingga asumsi proportional hazard terpenuhi. Berdasarkan nilai AIC, model
regresi Cox dengan time-dependent variable lebih baik digunakan daripada model regresi Cox
pada data yang tidak memenuhi asumsi proportional hazard.
Pada penelitian selanjutnya dapat dikembangkan :
1. Membentuk model regresi Cox dengan time-dependent variable jika terdapat lebih dari satu
variabel yang tidak memenuhi asumsi proportional hazard.
2. Pembentukan variabel tergantung waktu dapat menggunakan fungsi dari waktu survival yaitu
hasil interaksi antara variabel prediktor dengan waktu survival (X*t) atau dengan log waktu
survival (X*log t).
-8
-7
-6
-5
-4
-3
-2
-1
0
-8 -6 -4 -2 0 2
Log
-Cu
mu
lati
ve h
azar
d o
f R
esi
du
al
Log of Cox-Snell Residual
DAFTAR RUJUKAN
Anderson, P. K. 1982. Testing Goodness of Fit of Cox Regression and Life Model. Biometrics,
38, 67-77.
Ata, Nihal and Sozer, M. Tekin. 2007. Cox Regression Model with Nonproportional Hazard
Applied to Lung Cancer Survival Data. Hacetttepe Journal of Mathematics and Statistics
Volume 36(2), 157-167.
Chan, YH. 2004. Bostatistics 203 : Survival Analysis. Singapore Med J Vol. 45 (6) : 249
Collet, D. 2003. Modelling Survival Data in Medical Research Second Edition. Chapman and
Hall. London.
Cox, D.R. 1972. Regression Model and Life Table (With Discussion). Journal of the Royal
Statistical Society, B, 74, 187 – 220.
Fisher, Lloyd D. and Lin D. Y. 1999. Time-Dependent Covariates in The Cox Proportional
Hazards Regression Model. Department of Biostatistics, University of Washington,
Seaattle, Washington.
Fox, J. 2002. Cox Proportional-Hazard Regression for Survival Data.
Hosmer, DW., Lemeshow, S. 1999. Applied Survival Analysis: Regression Modelling of Time to
Event Data. John Wiley and Son. Canada.
Kleinbaum, D.G. and Klein, M. 2005. Survival Analysis : A Self-Learning Text. Second Edition.
Springer-Verlag. New York.
Klein, P. John and Moeschberger, Melvin L. 2003. Survival analysis Techniques for Censored
and Truncated Data Second Edition. Springer-Verlag. New York.
Kutner, M. H., Machtseim, and J. Neter. 2005. Applied Linier Regression Models. Fourth
Edition. Mc Graw Hill. New York.
Lee, E.T. 1997. Statistical Methods for Survival Data Analysis. Belmont, CA : Wadsworth.
Miller, R. G. 1998. Survival Analysis. John Willey and Sons, New York.
Polanski, J; A. Bak; R. Gieleciak and T. Magdzdiarz. 2004. Self-Organizing Neural Network for
Modelling Robust 3D and 4D QSAR: Application to Dihydofolate Reductase Inhibitors
Shumway, T. 2001. Forecasting bankruptcy more accurately : A simple hazard model, Journal of
Business, 74 (1), pp. 101-124.
Pengetahuan Dan Sikap Kesadaran Terhadap Lingkungan Hidup Mahasiswa Menurut
Bidang Ilmu Yang Ditekuni Di IKIP PGRI BALI
Ni Nyoman Parmithi, I Nengah Suka Widana, I Gusti Ayu Rai.
Dosen Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali.
ABSTRACT
Knowledge and Attitude Toward Environmental Awareness Student In Science Field that
Occupied In IKIP PGRI Bali.
The issue of environmental crisis since the last ten years is very tight exhaled by all
people around the world. There are gaps in the environmental assessment that is less deep aspect
of the role and place of humanity. Purpose of the study to determine the level of knowledge and
attitudes toward environmental awareness, and to obtain a description of the significant influence
of the occupied areas of science (science and social studies). To achieve these objectives the
research done by taking the population of research students IKIP PGRI Bali Year 2012-2013
with a sample size of 329 by random sampling technique proporsionate. Data were analyzed
descriptively to get an idea of the level of knowledge and attitudes towards environmental
awareness and the t-test to obtain a picture of the influence of the occupied areas of science
(science and social studies) in IKIP PGRI Bali. Findings made by the knowledge and attitudes
toward nature and environmental awareness in the student life IKIP PGRI Bali Year 2011-2012
categorized very good (Score 91.22). Clumps of the occupied areas of science (the science and
social studies) did not affect the appreciation of students IKIP Bali PGRI academic year 2011-
2012 in terms of knowledge and attitudes to nature and environmental awareness.
Key words: Knowledge, attitudes, awareness, the natural environment.
PENDAHULUAN
Peranan dan kedudukan manusia sangat penting dalam pengembangan lingkungan hidup.
Pengembangan lingkungan hidup terutama ditujukan agar lingkungan tempat hidup manusia
(sebagai sumber daya pendukung kehidupannya) terjaga dan lestari. Misalnya sebagai sumber
bahan bakar, sumber makanan (nutrisi), sumber oksigen, dan yang terpenting adalah sebagai
wahana melakukan aktivitas kehidupan manusia. Emil Salim (1983) menyatakan meskipun
peranan manusia sangat penting dalam pengembangan lingkungan hidup, namun terdapat
kesenjangan dimana perpustakaan ataupun pengetahuan yang mengkaji lingkungan hidup kurang
mendalami aspek peranan dan kedudukan manusia. Pembahasan dan pengkajian lingkungan
hidup saat ini lebih banyak menyangkut segi di luar manusia, misalnya erosi tanah, gundulnya
hutan, punahnya satwa, pencemaran laut, pemanasan global, menipisnya atau melebarnya lubang
ozon (O3), dan lainnya. Manusia tidak menjadi fokus sentral dalam analisis, tatapi hanya bagian
dari unsur analisis yang titik beratnya diletakkan pada penyelamatan tanah dari bahaya erosi,
penghijauan hutan, perlindungan satwa, pembersihan laut dari sampah organik maupun
anorganik. Banyak artikel, buku telah ditulis tentang metode serta teknik dalam memperbaiki
lingkungan hidup, tetapi mengabaikan manusia sebagai faktor penentu pengembangan
lingkungan. Beberapa penyebab mungkin karena lambanya (inertia) Ilmu Lingkungan Hidup
menyesuaikan diri dengan keadaan perubahan dan perkembangan global saat ini. Di Indonesia
pada umumnya, hutan dianggap sebagai tempat yang dihuni mahkluk gaib yang menjaga hutan
sehingga diangkerkan, demikian juga sumber mata air, sering disucikan. Hal tersebut diterima
oleh masyarakat tanpa mendalami musababnya. Namun masuk akal jika dikaji secara rasional
bahwa hutan yang diangkerkan dan sumber mata air disucikan adalah sangat vital dijaga
kelestariannya untuk memelihara keseimbangan lingkungan. Namun kemajuan teknologi
menyebabkan kehidupan manusia berubah secara total, dalam hal peningkatan kemampuan
bertahan hidup (survival of life) karena kemajuan bidang kesehatan, mendorong hasrat
berkembang biak dan mempertahankan diri sehingga pertambahan jumlah penduduk tidak dapat
dielakkan. Sikap pasrah menjadi sikap mengendalikan alam, pola hidup yang semula mengikuti
irama dan hukum alam, kini ditentukan oleh irama dan hukum masyarakat (Emil Salim, 1983).
Tradisi, kebiasaan dan hukum tak tertulis berangsur-angsur didesak oleh hukum tertulis dan cara-
cara (precedent) yang berkembang di masyarakat dalam menghadapi masalah baru. Pertambahan
jumlah penduduk dan ditakutkan oleh hukum Malthus terbukti bisa diatasi berkat ilmu dan
teknologi (Iptek), bahkan kesejahtraan material meningkat sangat tinggi melebihi tingkat
kebutuhan manusia. Prestasi yang dicapai dengan cara mengolah lingkungan menjadi lingkungan
buatan manusia (man-made environment). Tumbuhnya kota, jalan raya, waduk raksasa, hutan
buatan, pulau buatan dimungkinkan berkat kemajuan Iptek. Alfian (1983) penerapan Iptek yang
tidak bertanggungjawab, mengakibatkan rusaknya lingkungan hidup sebagai sumber kehidupan
manusia, alam menjadi tidak ramah lagi, melainkan menjadi lingkungan yang pengap dan tidak
enak untuk didiami. Pengertian mengenai jenis dan nilai setiap sumber daya alam sangat penting
diketahui dan dipahami, karena masing-masing sumber daya alam masing-masing memiliki
karakteristik yang berbeda dalam hubungannya dengan ekosistem dan pembangunan. Sumber
daya alam yang tidak dapat pulih sangat perlu dikelola sehemat dan seefektif mungkin untuk
meningkatkan dan mempertahankan perkembangan ekonomi yang baik secara lestari. Odum
(1969) dalam Haeruman (1983) bahwa pemanfaatan sumber daya alam perlu diperhatikan empat
lingkungan yang saling berkaitan yaitu lingkungan perlindungan yang matang, lingkungan
produksi yang bertumbuh, lingkungan serbaguna, lingkungan pembangunan dan industry.
Keseimbangan antar keempat lingkungan pembangunan tersebut sangat diperlukan bagi
pembangunan ekonomi yang lestari. Pelaku pembangnan dalam pemanfaatan sumber daya alam
adalah manusia, sehingga factor manusia dalam hubungannya dengan pengelolaan sumber daya
alam perlu dikaji secara lebih mendalam dan dikembangkan dalam bentuk system nilai dan sikap
hidup yang mengembalikan keserasian diri manusia dan masyarakat dengan lingkungan alam
dan lingkungan buatan manusia. Selanjutnya mengingat eratnya hubungan antara insan manusia
dan masyarakat baik di lingkungan perkotaan maupun di pedesaan, intelektual (pemikir) maupun
pekerja dengan lingkungan alam, maka perlu adanya pembinaan kesadaran dan pengetahuan
manusia dan masyarakat untuk ikut dalam pengelolaan sumber-sumber daya alam dan
lingkungan agar dapat terjamin kelestariannya dan pemanfaatan yang sebaik-baiknya. Pola sikap
yang seyogyanya dikembangkan pada insan manusia adalah pembentukan sikap berperilaku arif
dan bijaksana dalam pemanfaatan sumber daya alam terutama dalam kehidupan sehari-hari.
Pembentukan sikap yang baik terhadap alam dan lingkungannya harus didahului oleh
pemahaman yang benar tentang alam dan lingkungannya. Hal tersebut secara menyeluruh baik
pemahaman maupun perilaku yang benar terhadap alam dan lingkungan dapat dilakukan melalui
proses pendidikan formal di sekolah, maupun non formal di masyarakat. Berdasarkan hal-hal
tersebut, bahwa pengkajian terhadap manusia sebagai faktor penentu dalam pengelolaan
lingkungan adalah mendesak dilakukan, terutama pembentukan karakter (character building)
insan manusia dalam bagaimana seharusnya memperlakukan alam lingkungan untuk sumber
kehidupannya. IKIP PGRI Bali sebagai lembaga pendidikan pencetak guru, seyogyanya selain
membekali calon lulusannya dengan pengetahuan dan ketrampilan (kompetensi sesuai bidang
studi) juga pengetahuan, pemahaman dan pembentukan sikap yang baik dan seharusnya
diperbuat, terhadap alam lingkungan dijadikan sebagai unsur penting dalam pembentukan
karakter. Selain hal tersebut penanaman konsep karakter pada diri insan manusia (mahasiswa)
belum memadai bila difokuskan hanya pada aspek-aspek hubungan antara manusia dengan
manusia (sosiologis) saja, seperti yang sering peneliti ikuti dalam kesempatan-kesempatan
seminar-seminar, workshop sehubungan pembentukan karakter bangsa. Alam dan lingkungan
tempat mahkluk hidup adalah penyangga kehidupan semua mahkluk hidup, bila alam dan
lingkungan tidak memadai sebagai penyangga kehidupan maka mahkluk hidup akan mengalami
degradasi hingga mengarah pada kelangkaan dan berakhir dengan kepunahan. Oleh hal tersebut
penting dikaji seberapa besar pengetahuan, pemahaman serta perilaku mahasiswa IKIP PGRI
Bali terhadap alam lingkungannya. Hasil penelitian ini sangat berguna sebagai dasar
pertimbangan dalam peninjauan dan penyusunan kurikulum IKIP PGRI Bali yang berwawasan
lingkungan dengan tujuan agar lulusan memiliki karakter bersikap, dan cinta terhadap alam dan
lingkungannya sehingga ke depan lulusan IKIP PGRI Bali memiliki daya saing dan unggul
dalam menyongsong kompetisi era global. Hal tersebut juga sebagai perwujudan visi dan misi
IKIP PGRI Bali. Mengingat pentingnya alam lingkungan sebagai sumber daya kehidupan yang
berperan penting dalam menyangga semua mahkluk hidup di permukaan Bumi, maka alam
lingkungan sangat mendesak untuk dilestarikan. Dalam hal ini, mahasiswa sebagai tulang
punggung bangsa dan agen pembaharuan dijadikan sebagai sebagai pusat kajian, sehingga
masalah yang ingin dipecahkan dalam penelitian adalah seberapa besarkah pengetahuan dan
sikap kesadaran terhadap alam dan lingkungan pada mahasiswa IKIP PGRI Bali Tahun 2011?
Dan apakah kelompok bidang ilmu yang ditekuni (jurusan/program studi dalam kelompok IPA
dan IPS) mempengaruhi apresiasi mahasiswa dalam aspek pengetahuan dan sikap kesadarannya
terhadap alam dan lingkungan hidup? Utuk hal tersebut maka diajukan hipotesis bahwa
pengetahuan dan sikap kesadaran terhadap alam dan lingkungan pada mahasiswa IKIP PGRI
Bali Tahun 2011 lebih tinggi 75% dari yang diharapkan, dan bidang rumpun ilmu yang ditekuni
(kelompok IPA dan IPS) tidak berpengaruh terhadap apresiasi mahasiswa IKIP PGRI Bali Tahun
akademik 2011-2012 dalam aspek pengetahuan dan sikap kesadaran pada alam dan lingkungan.
Tujuan penelitian yang ingin dicapai untuk mengetahui seberapa besar tingkat pengetahuan dan
sikap kesadaran terhadap lingkungan hidup pada mahasiswa IKIP PGRI Bali Tahun Akademik
2011-2012, dan ingin memperoleh deskripsi signifikan tentang pengaruh bidang ilmu yang
ditekuni (jurusan/program studi yang termasuk dalam kelompok IPA dan IPS) terhadap apresiasi
mahasiswa dalam aspek pengetahuan dan sikap kesadarannya terhadap alam dan lingkungannya.
Hasil penelitian yang berupa deskripsi tingkat pengetahuan dan sikap kesadaran terhadap alam
dan lingkungan pada mahasiswa IKIP PGRI Bali, diharapkan dapat bermanfaat, sebagai bahan
pertimbangan dalam pengembangan konsep pembentukan karakter (character building) insan
manusia (mahasiswa) sebagai agen perubahan dalam pengelolaan lingkungan. Oleh karena aspek
karakter tidak hanya meliputi hubungan antar manusia dalam konteks sosial, tetapi seyogyanya
menyeluruh (holistic) yang juga menyangkut hubungan manusia dengan alam lingkungannya,
dan bermanfaat sebagai bahan pertimbangan dalam pengembangan IKIP PGRI Bali.
METODE PENELITIAN
Ditinjau dari tingkat eksplanasinya maka penelitian tentang pengetahuan dan sikap
kesadaran terhadap lingkungan hidup mahasiswa menurut bidang ilmu yang ditekuni di IKIP
PGRI Bali, adalah penelitian deskriptif yaitu dengan melakukan survey terhadap gejala yang
sedang berlangsung tanpa melakukan pengendalian.
Penelitian dilakukan di IKIP PGRI Bali tersebar pada 5 Fakultas dengan 9 jurusan,
jumlah populasi 6000 mahasiswa. Oleh karena pada fakultas-fakultas tersebut dikelompokkan
menjadi 2 bidang kajian yaitu bidang kependidikan (jurusan/program studi) bidang Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS) dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), maka kedua bidang tersebut
dijadikan variabel bebas dalam kajian tentang pengetahuan dan sikapnya terhadap alam dan
lingkungannya. Sedangkan penelitian dilakukan selama sekitar tiga bulan yaitu sejak Pebruari
sampai dengan April 2012. Sampel penelitian ditetapkan dengan menggunakan formulasi yang
dikemukakan oleh Isaac dan Michael dalam Sugiyono (2009): dalam tingkat
kesalahan (s) 5% maka akan ditetapkan sampel sejumlah 329 mahasiswa, dengan menggunakan
teknik proporsionate random sampling. Rincian sebaran sampel pada tiap jurusan disajikan pada
tabel berikut.
Tabel 1. Rincian Sampel Penelitian No Fakultas Jumlah Mahasiswa Jumlah Sampel Proporsional 1 FIP 600 32,90 2 FPBS 2000 109,67 3 FPIPS 500 27,29 4 FPOK 2000 109,67 5 FPMIPA 900 49,35
Jumlah 328,88 (dibulatkan 329)
Penetapan sampel random dimaksudkan agar semua anggota populasi memiliki
kesempatan yang sama terpilih menjadi anggota sampel. Sumber data adalah seluruh mahasiswa
IKIP PGRI Bali, jenis data yang dikumpulkan berupa bidang ilmu yang ditekuni dan
pengetahuan dan sikap kesadaran terhadap lingkungan hidup. Jenis data tersebut digolongkan
sebagai data kuantitatif, dan bersifat primer. Instrumen pengumpul data Pengetahuan dan sikap
yang berupa kuesioner pengetahuan dan sikap kesadaran terhadap lingkungan hidup. Sebelum
instrumen tersebut digunakan untuk mengumpulkan data, dilakukan uji validitas isi dengan
teknik uji validitas konstrak (construct validity) oleh para pakar/ahli serta menguji daya beda
dengan t-test. Sedangkan reliabilitas diuji teknik belah dua dari Spearman Brown (split half).
HASIL DAN PEBAHASAN
Penggalian data penelitian yang dilaksanakan melalui penyebaran angket/kuesioner
kepada mahasiswa IKIP PGRI Bali tahun 2012, dari sebanyak 329 sampel mahasiswa meliputi 5
Fakultas (10 Jurusan/Program Studi) yang ada di lingkungan IKIP PGRI Bali. Untuk mengetahui
sebaran data, dilakukan langkah (a) menentukan skor terbesar dan terkecil. Skor terbesar = 66
dan skor terkecil = 41.(b) Menentukan rantangan (R) = skor terbesar - skor terkecil = 66 – 41 =
25. (c) Menentukan banyaknya kelas (BK) = 1 + 3,3 log n (Rumus Sturgess)= 9,38307 = 9
(pembulatan). (d) Menentukan panjang kelas (i)= 777778,29
25
BK
R= 3 (pembulatan).
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Data Pengetahuan Dan Sikap Kesadaran Terhadap
Alam Dan Lingkungan pada Mahasiswa IKIP PGRI Bali.
No. Kelas Interval Batas
Kelas F Xi Xi
2 F.Xi F.Xi
2
1 41 – 43 40,5 ⁴ 42 1764 84 7056
2 44 - 46 43,5 3 45 2025 135 18225
3 47 – 49 46,5 5 48 2304 240 57600
4 50 – 52 49,5 12 51 2601 612 374544
5 53 – 55 52,5 28 54 2916 1512 2286144
6 56 – 58 55,5 63 57 3249 3591 12895281
7 59 – 61 58,5 79 60 3600 4740 22467600
8 62 – 64 61,5 84 63 3969 5292 28005264
9 65 – 67 64,5 71 66 4356 4686 21958596
JUMLAH 347 20892 88070310
Berdasarkan tabel distribusi frekuensi tersebut, maka dapat dibuat grafik histogram sebagai
berikut.
Gambar 1. Sikap dan Kesadaran
Analisis tingkat pengetahuan dan sikap kesadaran terhadap alam lingkungan, maka data
dikonversi menjadi data kuantitatif dengan rentangan skor 0-4. Kualifikasi nilai: 86-100=sangat
baik; 66-85=baik; 56-65= cukup; 46-55= kurang; 36-45= tidak baik. Berdasarkan pegolahan
data, dapat diketahui bahwa total skor perolehan ∑ F.Xi = 20892, total skor maksimal = 22902.
Dikonversi ke data kuantitatif menggunakan rumus (X= total skor perolehan/skor maksimal x
100) maka diperoleh hasil X= 91,22. Diinterpretasikan bahwa hipotesis yang menyatakan
pengetahuan dan sikap kesadaran terhadap alam dan lingkungan hidup pada mahasiswa IKIP
PGRI Bali Tahun 2011 lebih tinggi 75% dari yang diharapkan, diterima dan dikategorikan
sangat baik perolehan 91,22 (dalam persen 91,22%).
Untuk mendapatkan deskripsi pengetahuan dan sikap kesadaran mahasiswa IKIP PGRI
Bali terhadap alam dan lingkungan dilihat dari bidang ilmu yang ditekuni, maka dipilah skor
pengetahuan dan sikap kesadaran mahasiswa IKIP PGRI Bali terhadap alam dan lingkungan
berdasarkan jurusan pada waktu mengikuti jenjang pendidikan di sekolah menengah atas yaitu
yang berasal dari jurusan IPA dan Jurusan IPS. Sehubungan hal tersebut maka dilakukan analisis
dengan Uji t dua sampel, maka sebelumnya dilakukan uji prasyarat yaitu uji normalitas sebaran
data dengan teknik Kolmogorov-Smirnov berbantuan SPSS 16 for windows terhadap data yang
berasal dari mahasiswa yang mengambil studi pada rumpun IPA dan IPS sebagai berikut. Uji
Normalitas sebaran data sikap dan pengetahuan terhadap lingkungan pada mahasiswa yang
menekuni bidang IPA.
Gambar. 2 Histogram Sebaran Data Sikap Dan Pengetahuan Terhadap Lingkungan Pada
Mahasiswa Yang Menekuni Bidang IPA.
Tabel 3 Hasil Uji Normalitas Data untuk Jurusan IPA
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig. Statistic Df Sig.
SIKAP .123 216 .000 .839 216 .000
a. Lilliefors Significance Correction
Pengujian normalitas data dengan SPSS pada tarif signifikansi 5 %, diketahui bahwa bilangan
signifikansi (sig) lebih kecil daripada taraf signifikansi a, maka dapat dikatakan bahwa hipotesis
nol ditolak dan hipotesis 1 diterima sehingga data sampel berasal dari populasi yang bedistribusi
tidak normal.
Uji Normalitas sebaran data pengetahuan dan sikap kesadaran terhadap alam dan
lingkungan pada mahasiswa yang menekuni bidang IPS, aka diajukan hipotesis berikut (H0)
bahwa data sampel berasal dari populasi normal, sedangkan (H1) adalah data sampel tidak
berasal dari data yang berdistribusi normal. Berdasarkan hasil uji prasyarat Uji Normalitas
sebaran data pengetahuan dan sikap kesadaran terhadap alam dan lingkungan pada mahasiswa
yang menekuni bidang IPS diperoleh sebaran data seperti pada grafik histogram berikut ini.
Gambar 4.
Histogram Sebaran Data pada mahasiswa yang menekuni bidang IPS
Berdasarkan hal tersebut, diperoleh keluaran data sebagai berikut.
Tabel 4. Hasil Tes Normalitas sebaran data mahasiswa yang menekuni bidang IPS Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic Df Sig.
SIKAP .109 133 .001 .903 133 .000
a. Lilliefors Significance Correction
Pengujian normalitas data dengan SPSS tersebut pada tarif signifikansi 5 persen, dapat
diketahui bahwa bilangan signifikansi (sig) lebih kecil daripada taraf signifikansi a, maka dapat
dikatakan bahwa hipotesis nol ditolak dan hipotesis 1 diterima sehingga data sampel berasal dari
populasi yang bedistribusi tidak normal. Walaupun data tidak berdistribusi normal, namun
analisis tetap dilanjutkan untuk mengetahui tingkat perbedaan pengetahuan dan sikap kesadaran
terhadap alam dan lingkungan dikalangan mahasiswa IKIP PGRI Bali antara yang berasal dari
rumpun ilmu IPA dengan IPS. Analisis dilakukan dengan Uji-t berbantuan SPSS 16 For
Windows. Maka diperoleh keluaran sebagai berikut.
Tabel 5. Hasil Analisis Data Spss Untuk Pengujian Perbedaan Bidang Ilmu Yang
Ditekuni Terhadap Sikap Dan Kesadaran Mahasiswa.
Group Statistics
grup N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
SIKAP 1 133 59.9699 4.89889 .42479
2 216 60.0972 5.09033 .34635
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of
Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t Df
Sig. (2-
tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
SIKAP Equal
variances
assumed
.028 .867 -.230 347 .818 -.12730 .55312 -1.21519 .96060
Equal
variances
not assumed
-.232 287.764 .817 -.12730 .54809 -1.20607 .95148
Hasil pada tabel di atas, menunjukkan bahwa hasil pengujian homogenitas data dengan
uji Lavene mendapatkan koefisien F sebesar 0,028 dengan signifikansi (sig.) sebesar 0,867.
Dalam taraf signifikansi 0,05, maka sig lebih besar. Artinya, data dari kedua sampel Homogen.
Selanjutnya, hasil uji t mendapatkan t hitung sebesar – 0,230 dengan taraf signifikansi sama
dengan 0,818. Dalam taraf signifikansi 0,05, maka nilai signifikansi (0,818) jauh lebih besar
daripada a. Dengan demikian dapat diinterpretasikan bahwa Hipotesis yang diajukan yang
menyatakan bahwa Bidang rumpun ilmu yang ditekuni (kelompok IPA dan IPS) tidak
berpengaruh terhadap apresiasi mahasiswa IKIP PGRI Bali Tahun akademik 2011-2012 dalam
aspek pengetahuan dan sikap kesadaran pada alam dan lingkungan.
Pembahasan
Temuan yang didasarkan analisis deskriptif diperoleh nilai X sebesar 91.22 yang cukup
signifikan menerima hipotesis yang diajukan yang menyatakan bahwa pengetahuan dan sikap
kesadaran terhadap alam dan lingkungan pada mahasiswa IKIP PGRI Bali Tahun 2011 lebih
tinggi 75% dari yang diharapkan. Perolehan nilai X sebesar 91,22 (jika dalam persen diperoleh
angka 91,22%) dikategorikan sangat baik. Secara teoretis fakta tersebut jika diorientasikan
dengan landasan teoretis dan fakta yang terjadi pada mahasiswa yang mengambil studi di IKIP
PGRI Bali, walaupun para mahasiswa tersebut menempuh studi di jurusan-jurusan yang
termasuk rumpun IPA dan IPS, namun secara kurikuler dan ekstrakurikuler telah bermuatan
kompetensi pengetahuan dan kesadaran terhadap alam dan lingkungan. Pengetahuan dan sikap
kesadarannya terhadap alam dan lingkungan hidup sangat perlu lebih diintensifkan mengingat
prinsip-prinsip solideritas kosmis yang dikemukakan oleh Samderubun (2006) bahwa prinsip
solidaritas kosmis mendorong manusia untuk menyelamatkan lingkungan, menyelamatkan
semua kehidupan di alam ini karena alam dan semua kehidupan di dalamnya mempunyai nilai
yang sama dengan kehidupan manusia. Solidaritas kosmis juga mencegah manusia untuk tidak
merusak dan mencemari alam dan seluruh kehidupan di dalamnya. Solidaritas kosmis berfungsi
sebagai pengendali moral. Mengutip pendapat Emil Salim (1983) bahwa meskipun peranan
manusia sangat penting dalam pengembangan lingkungan hidup, namun terdapat kesenjangan
dimana pengkajian lingkungan hidup kurang mendalami aspek peranan dan kedudukan manusia.
Pembahasan dan pengkajian lingkungan hidup saat ini lebih banyak menyangkut segi-segi di luar
manusia, misalnya masalah erosi tanah, gundulnya hutan, punahnya satwa, pencemaran laut,
pemanasan global, menipisnya atau melebarnya lubang ozon (O3), dan lainnya. Manusia tidak
menjadi fokus sentral dalam analisis, tatapi hanya sebagai bagian dari unsur analisis yang titik
beratnya diletakkan pada penyelamatan tanah dari bahaya erosi, penghijauan hutan, perlindungan
satwa, pembersihan laut dari sampah-sampah baik organik maupun anorganik. Sejalan dengan
pemikiran Emil Salim tersebut seharusnya dilakukan kajian yang intensif menyangkut aspek
manusia dan kemanusiaannya. Mengubah paradigma dan cara bersikap dan memperlakukan
alam dan lingkungan hidup secara lebih arif dan bijak dan adanya solideritas kosmis sebagai
pengendali moral dalam memperlakukan (eksploitasi) alam dan lingkungan hidup.
Temuan kedua dari penelitian ini adalah bahwa bidang rumpun ilmu yang ditekuni
(kelompok IPA dan IPS) tidak berpengaruh terhadap apresiasi mahasiswa IKIP PGRI Bali Tahun
akademik 2011-2012 dalam aspek pengetahuan dan sikap kesadaran pada alam dan lingkungan.
Temuan tersebut menjadikan bukti bahwa kurikulum yang diberlakukan di IKIP PGRI Bali pada
semua jurusan/program studi telah mengandung unsur-unsur yang memadai sehubungan dengan
kompetensi pengetahuan dan sikap kesadaran terhadap alam dan lingkungan hidup. Namun
sangat perlu dilakukan kajian secara lebih mendalam perihal temuan ini, apakah semata
disebabkan oleh karena kompetensi pengetahuan dan sikap kesadarannya terhadap alam dan
lingkungan hidup telah termuat kurikulum ataukah disebabkan oleh faktor aktivitas
ekstrakurikuler melalui wadah UKM Mapala di BEM masing-masing Fakultas. Mengutip pidato
Sri Sultan Hamengkubuwono X saat menjadi pembicara kunci dalam konggres Pendidikan,
Pengajaran dan Kebudayaan bertema "Pembangunan Karakter Bangsa Melalui Pendidikan,
Pengajaran, dan Kebudayaan Dalam Menghadapi Globalisasi". Selanjutnya bahwa pendidikan
dan pengajaran merupakan dua proses satu nafas, memiliki keterkaitan yang berbeda kadarnya
dengan kebudayaan. Pendidikan memerdekakan nurani, pengajaran memerdekakan pikiran
(Agung, 2008). Dalam hubungan pembangunan karakter semestinya juga memuat aspek-aspek
hubungan manusia dengan alam lingkungannya bukan hanya hubungan antar manusia
(humaniora) sehingga menjadi menyeluruh dan terpadu (holistic). Mondo (2011) menyatakan
bahwa kaum muda, sebagai agent of change tentunya mengkretisi anggapan manakah yang
merupakan penyebab terjadinya permasalahan lingkungan? Sebagai Mahasiswa (seorang muda)
yang bijaksana dengan latar belakang pengetahuan dan wawasan memadai, hendaknya tidak
menghakimi penyebab dari permasalahan lingkungan ini. Kemajuan teknologi membantu
peningkatan kesejahteraan dan produktivitas dari manusia. Proses pembangunan sangat
diperlukan bagi suatu negara yang sedang berkembang. Alam sengaja diciptakan Tuhan untuk
memenuhi kebutuhan manusia. Penebangan hutan dan pembakaran merupakan hal yang wajar
yang dilakukan seorang petani untuk berladang. Dengan demikian sebagai kaum muda yang arif,
masalahnya bukan untuk mempertanyakan akibat dari adanya teknologi, membangun atau tidak
membangun, membakar hutan atau tidak membakar hutan. Namun yang menjadi perhatian
adalah bagaimana menggunakan teknologi dan melakukan proses pembangunan dengan tidak
merusak lingkungan. Hal tersebut menyiratkan bahwa peranan kaum muda sangat sentral dalam
menjaga alam dan lingkungan agar tetap lestari sehingga memberikan manfaat secara
berkesinambungan.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan analisis data pengetahuan dan sikap kesadaran terhadap alam dan
lingkungan hidup pada mahasiswa IKIP PGRI Bali Tahun 2011 dan pembahasan, maka
disimpulkan hal-hal sebagai berikut.
a. Pengetahuan dan sikap kesadaran terhadap alam dan lingkungan pada mahasiswa IKIP PGRI
Bali Tahun 2011-2012 dapat dikategorikan sangan baik (Skor 91,22).
b. Bidang rumpun ilmu yang ditekuni (kelompok IPA dan IPS) tidak berpengaruh terhadap
apresiasi mahasiswa IKIP PGRI Bali Tahun akademik 2011-2012 dalam aspek pengetahuan
dan sikap kesadaran pada alam dan lingkungan.
Saran
Mengacu kepada hasil-hasil temuan penelitian ini, beberapa hal yang dapat disarankan
baik bagi kesempurnaan penelitian maupun bagi pengguna (IKIP PGRI Bali) adalah sebagai
berikut:
1. Dalam menghasilkan lulusan yang kompetitif dan unggul sesuai dengan visi yang diusung
oleh IKIP PGRI Bali yaitu unggul dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi yang berlandaskan
Budaya dan Teknologi Informasi, lulusan kompetitif dapat diwujudkan melalui kurikulum
yang bermuatan karakter. Karakter yang dimaksud seyogyanya bersifat menyeluruh (holistik)
memuat aspek hubungan harmonis antar manusia dan hubungan manusia dengan alam
lingkungannya.
2. Pengatahuan dan sikap kesadaran terhadap alam dan lingkungan hidup di kalangan mahasiswa
IKIP PGRI Bali sangat perlu dioptimal dan ditingkatkan melalui kegiatan-kegiatan baik
kurikulerbdan ekstrakurikuler, sehingga menjadikan karakter unggul bagi lulusan IKIP PGRI
Bali yang membedakan dengan lulusan LPTK lainnya.
3. Bagi pembaca diharapkan masukan dan sarannya sehingga laporan hasil penelitian ini
menjadi lebih baik.
DAFTAR RUJUKAN Agung, 2008, Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan
Sumber;file:///E:/laporan PENELITIAN SIKAP-LINGK/membangun karakter bangsa
melalui pendidikan dan pengajaran”.htm. Diunduh pada 1-8-2012.
Ahmadi, A., A., Supatmo.1998. Ilmu Alamiah Dasar. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Alfian, 1983, Manusia dalam Berbagai Kelompok Sosial dengan Lingkungannya. dalam
Soerjani, M., dan Samad B.(Editor), Manusia Dalam Keserasian Lingkungan, Jakarta:
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Anonimous, 2005, Pedoman Studi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) PGRI Bali,
Denpasar: IKIP PGRI Bali.
Emil Salim, 1983, Manusia dan Lingkungan, dalam Soerjani, M., dan Samad B.(Editor),
Manusia Dalam Keserasian Lingkungan, Jakarta: Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia.
Fandi, L., 2011, Tindakan Manusia dalam Memperlakukan Alam, Sumber:. file:///E:/laporan
PENELITIAN SIKAP-LINGK/”Manusia sebagai Pelaku Utama bagi Perubahan
Alam”.htm. Diunduh pada 30 Juli 2012.
Gandadiputra, M. 1983, Pribadi Manusia dalam Lingkungan, dalam Soerjani, M., dan Samad
B.(Editor), Manusia Dalam Keserasian Lingkungan, Jakarta: Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia
Haeruman, H. Pengelolaan Sumber daya Alam dan Lingkungan Hidup dalam Usaha
Pengingkatan Kualitas Hidup Jangka Panjang dalam Soerjani, M., dan Samad B.(Editor),
Manusia Dalam Keserasian Lingkungan, Jakarta: Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia.
Marjono, M. 1983, Pembinaan Kepribadian yang Kuat dengan Keahlian yang tinggi dan yang
menyatu dengan hakikat Kerakyatan dalam Soerjani, M., dan Samad B.(Editor), Manusia
Dalam Keserasian Lingkungan, Jakarta: Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Maskuri, J. 1999. Ilmu Alamiah Dasar. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Mondo, Y. 2011, Budayakan Sikap Ramah Lingkungan, sumber: file:///E:/laporan PENELITIAN
SIKAP-LINGK/”Budayakan Sikap Ramah Lingkungan”.htm. Diunduh pada 30 Juli 2012
Poedjawijatna, I.R. 1983. Manusia dengan Alamnya (Filsafat Manusia). Jakarta: Penerbit-PT
Bina Aksara.
Saifuddin, A. 1988. Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: penerbit Liberty.
Samderubun, G., 2006. Manusia Dan Tanggung Jawab Terhadap Krisis Ekologi. Sumber:
J:\laporan PENELITIAN SIKAP-LINGK\tanggungjawab manusia thd lingkungannya.html
Diunduh pada 30 Juli 2012. Sugiyono, 2006. Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: Alfabeta.
Suhartin. R.I.C. 1984. Cara Mendidik Anak Dalam Keluarga Masa Kini. Jakarta: Penerbit Bhrata
Karya Aksara.
Sumantri, M. dan N. Syaodih. 2007. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Penerbit Universitas
Terbuka Departemen Pendidikan Nasional.
Suparlan, P., 1983, Manusia, Kebudayaan, Dan Lingkungannya: Perspektif Antropologi Budaya
dalam Soerjani, M., dan Samad B.(Editor), Manusia Dalam Keserasian Lingkungan,
Jakarta: Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Supartono, W. dkk. 1999. Ilmu Alamiah Dasar. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia.
Suwasono, H., Sutiman, BS., Sardjono,S., 1989, Pengantar Ekologi, Jakarta: Rajawali Pers,
diterbitkan dalam rangka Penulisan Bersama Paket Biologi antar Hub-AAUCS.
Tambunan, N.R.. 1992. Kuis Remaja. Jakarta: Penerbit ARCAN.
Wawan, A dan Dewi, M., 2010. Teori dan Pengukuran Pengetahuan, Sikap dan Perilaku
Manusia, Yogyakarta: Nuha Medika.
Pengaruh Penerapan Senam Otak (Brain Gym) Terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Peserta
Didik Kelas VII SMP Negeri 1 Marga
I Wayan Eka Mahendra
Jurusan Pendidikan Matematika IKIP PGRI Bali
ABSTRACT
The Effect Of Contextual Problem Based Learning Application Towards The S1 Students’
Mathematics Learning Achievement Of Pgsd Upp Denpasar In Academic Year 2011/2012
This research aimed at finding out the effect of contextual problem based learning application
towards the S1 students’ mathematics learning of PGSD UPP Denpasar in academic year 2011/2012. The
subjects of this study were the fifth semester of S1 students in PGSD UPP Denpasar which consisted of
253 students. The selections of this subject based of the random sampling technique that was a class
random only. This research was an experimental research which obtained the post test only control group
design. The design of this study analyzed the score of post test from the control group.
The result of the t-test analysis showed that t-observation of 6,48 and t-table 1,98 which were
significant. Therefore, based on the result of this study, it could be concluded that there was significant
effect in the problem based learning application towards the s1 students’ mathematics learning
achievement of PGSD UPP Denpasar in academic year 2011/2012.
Key words: Contextual Problem-Based-Learning, Mathematic learning Achievement
PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan semua pihak dapat memperoleh
informasi dengan melimpah, cepat dan mudah melalui berbagai sumber dan tempat di dunia ini. Dengan
demikian, peserta didik perlu memiliki kemampuan memperoleh, memilih dan mengolah informasi untuk
bertahan pada keadaan yang selalu berubah dan penuh dengan persaingan. Kemampuan untuk
memperoleh, memilih dan mengolah informasi membutuhkan pemikiran kritis, sistematis, logis, kreatif
dan kemauan bekerja sama yang efektif. Cara berpikir seperti ini dapat dikembangkan dengan belajar
matematika, karena matematika memiliki struktur dan keterkaitan yang kuat dan jelas antar konsepnya
sehingga memungkinkan peserta didik terampil berpikir rasional (Depdiknas, 2005).
Namun, matematika sering dianggap sebagai ilmu yang hanya menekankan pada kemampuan
berpikir logis dengan penyelesaian yang tunggal dan pasti. Hal ini yang menyebabkan matematika
menjadi mata pelajaran yang ditakuti dan dijauhi peserta didik. Tentunya hal ini akan berpengaruh pada
hasil belajar peserta didik. Di mana hasil belajar merupakan hasil akhir dari proses belajar yang berupa
pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang tergolong dalam perubahan tingkah laku dalam kawasan
kognitif, afektif, psikomotorik. Salah satu alat ukur hasil belajar adalah dari kemampuan kognitifnya.
Ranah kognitif menunjukkan pada tujuan pendidikan yang terarah pada kemampuan-kemampuan
intelektual, kemampuan berpikir dan kecerdasan yang dicapai. Menurut Iskandar (2009) kemampuan
berpikir adalah berkaitan dengan seorang individu dalam menggunakan kedua domain kognitif dan afektif
dalam usaha untuk mendapatkan atau memberikan informasi, menyelesaikan masalah atau membuat
keputusan.
Dalam pelajaran matematika selama ini di sekolah, peserta didik jarang diberi kesempatan untuk
mengembangkan kemampuan berpikirnya, terutama berpikir kreatif. Fokus dan perhatian pada upaya
meningkatkan kemampuan berpikir kreatif dalam matematika juga jarang atau tidak pernah
dikembangkan. Padahal kemampuan itu yang sangat diperlukan agar peserta didik dapat memiliki
kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan
yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif. Terampilan berpikir kreatif merupakan salah satu
kompetensi yang sangat penting dalam membangun pilar belajar yang bernilai untuk membangun daya
kompetisi bangsa dalam meningkatkan mutu produk pendidikan. Kemampuan berpikir kreatif merupakan
kecakapan mengolah pikiran untuk menghasilkan ide-ide baru agar produk bangsa kita tidak kalah oleh
produk bangsa lain.
Para ahli kependidikan telah menyadari bahwa mutu pendidikan sangat tergantung pada kualitas
guru dan praktek pembelajaran, sehingga peningkatan pembelajaran merupakan isu yang sangat mendasar
bagi peningkatan mutu pendidikan secara nasional. Peningkatan mutu pendidikan dan pengajaran harus
selalu diupayakan dan dilaksanakan dengan cara meningkatkan kualitas pembelajaran. Melalui
peningkatan kualitas pembelajaran maka peserta didik akan semakin termotivasi untuk belajar, semakin
bertambah pengetahuan dan ketrampilannya, serta semakin mantap pemahamannya terhadap materi yang
dikuasai sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif peserta didik.
Kemampuan berpikir peserta didik sangat erat kaitannya dengan kemampuan otaknya. Dalam
proses belajar mengajar guru perlu membantu mengaktifkan peserta didik untuk memaksimalkan kinerja
otak peserta didik agar kemampuan berpikirnya juga semakin meningkat, dan kurikulum saat ini telah
mengarah kepada pemikiran peserta didik yang bersifat pengoptimalan fungsi otak. Dengan bekerjanya
otak secara maksimal, maka akan semakin meningkat pula kemampuan berpikir kreatif peserta didik.
Suatu strategi yang dapat digunakan sebagai alternatif untuk meningkatkan konsentrasi peserta didik
dalam belajar, yang selanjutnya diharapkan dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif peserta didik
adalah Brain Gym (senam otak).
Gerakan-gerakan sederhana dalam Brain Gym disinyalir dapat membantu peserta didik untuk
memaksimalkan kinerja otak mereka, dapat meningkatkan konsentrasi peserta didik saat pembelajaran
berlangsung, mengurangi stres bagi peserta didik yang mengalami kesulitan belajar, menguatkan
mekanisme integrasi otak yang melemah, menajamkan penerimaan informasi yang diterima di otak
bagian belakang yang sulit diekspresikan sehingga peserta didik minat belajar. Brain gym didasarkan pada
tiga pokok yang sederhana yaitu; 1) belajar adalah kegiatan yang alami dan menyenangkan yang terus
terjadi sepanjang hidup, 2) kesulitan belajar adalah ketidakmampuan mengatasi stres dan keraguan dalam
menghadapi suatu tugas yang baru, dan 3) kita semua mengalami “kesulitan belajar” selama kita telah
belajar untuk tidak bergerak.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “pengaruh
penerapan senam otak (brain gym) terhadap kemampuan berpikir kreatif peserta didik kelas VII SMP N 1
Marga”. Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapat dikemukakan rumusan masalah, yaitu apakah
ada pengaruh penerapan senam otak (brain gym) terhadap kemampuan berpikir kreatif peserta didik kelas
VII SMP N 1 marga? Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penerapan senam otak (brain
gym) terhadap kemampuan berpikir kreatif peserta didik kelas VII SMP N 1 marga.
Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan kepada dunia pendidikan, terutama dalam hal
cara berpikir. Ketika seorang guru bisa mengetahui atau memahami cara berpikir peserta didik, maka
akan lebih mudah memberikan pendidikan kepada peserta didik tersebut, tetapi sebaliknya jika seorang
guru tidak bisa memahami apa yang dipikirkan oleh peserta didiknya, maka pendidikan tersebut kurang
bisa optimal. Hasil penelitian ini juga dapat dipergunakan sebagai salah satu alternatif guru untuk
meningkatkan kemampuan berpikir kreatif peserta didik.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen semu (quasy exsperiment) dengan menggunakan
non-eqivalent control group design. Populasi penelitian ini adalah seluruh peserta didik kelas VII SMP
Negeri 1 Marga yang terdistribusi menjadi delapan kelas pada tahun ajaran 2012/2013. Pengambilan
sampel dilakukan melalui dua tahap. Pada tahap pertama dipilih dua kelas secara random, dan hasilnya
terpilih kelas VIIB dan VIIF. Pada tahap kedua, kedua kelas tersebut dipilah menjadi dua, yaitu kelompok
eksperimen (VIIF) dan kelompok kontrol (VIIB). Sebagai variabel bebas adalah senam otak (Bryn Gym)
dan variabel terikat adalah kemampua berpikir kreatif. Dalam penelitian ini mengkaji tentang pengaruh
penerapan senam otak kemampuan berpikir kreatif. Untuk itu, instrumen yang digunakan dalam
penelitian ini instrumen kemampuan berpikir kreatif.
Dalam penelitian ini dikaji adalah terdapat perbedaan kemampuan berpikir kreatif antara peserta
didik yang diberikan senam otak dengan peserta didik yang tidak diberikan senam otak. Hipotesis terbut
dianalisi dengan menggunakan statistik infrensial yaitu, uji beda mean (uji-t)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis data terbukti bahwa terdapat perbedaan kemampuan berpikir kreatif
antara peserta didik yang mengikuti pembelajaran dengan senam otak (Bryn Gym) dan peserta didik yang
mengikuti pembelajaran tanpa senam otak (Bryn Gym). Hal ini ditunjukkan dari hasil uji-t yang ternyata
signifikan. Selanjutnya terbukti bahwa kemampuan berpikir kreatif peserta didik yang diberikan senam
otak (Bryn Gym) memiliki skor rata-rata sebesar 75,61 lebih tinggi daripada hasil belajar matematika
peserta didik yang tidak diberikan senam otak (Bryn Gym) dengan skor rata-rata sebesar 57,43. Jadi
dalam perbandingan antara peserta didik yang diberikan senam otak (Bryn Gym) dengan peserta didik
yang tidak diberikan senam otak (Bryn Gym), terdapat pengaruh penerapan senam otak (Bryn Gym)
terhadap kemampuan berpikir kreatif. Dengan kata lain, ada perbedaan pengaruh antara peserta didik
yang diberikan senam otak (Bryn Gym) dengan peserta didik yang tidak diberikan senam otak (Bryn
Gym).
Terampilan berpikir kreatif merupakan salah satu kompetensi yang sangat penting dalam
membangun pilar belajar yang bernilai untuk membangun daya kompetisi bangsa dalam meningkatkan
mutu produk pendidikan. Kemampuan berpikir kreatif merupakan kecakapan mengolah pikiran untuk
menghasilkan ide-ide baru agar produk bangsa kita tidak kalah oleh produk bangsa lain. Peserta didik
yang kreatif adalah peserta didik yang selalu bertanya. Mereka membedahkan serangkaian pertanyaan
yang mereka rumuskan sehingga mendapatkan aneka gagasan baru. Di balik pertanyaan terbentang luas
hamparan gagasan kreatif yang menunggu untuk diekspresikan. Tugas utama guru dalam mengelola
pembelajaran untuk mengasah keterampilan peserta didik berpikir kreatif mencakup peningkatan
keterampilan guru dalam merancang skenario mengelola kelas, merancang perencanaan pembelajaran
melalui perumusan RPP, menerapkan rencana pembelajaran dalam kegiatan belajar peserta didik, menilai
proses dan hasil belajar, dan mengevaluasi pembelajaran.
Lebih lanjut LTSIN (2001) menyatakan bahwa ide seseorang berpikir kretif minimal mempunyai
salah satu karakteristik dari: (a) ide itu belum ada sebelumnya; (b) sudah ada di tempat lain hanya saja ia
tidak tahu; (c) ia menemukan proses baru untuk melakukan sesuatu; (d) ia menerapkan proses yang sudah
ada pada area yang berbeda; (e) ia mengembangkan sebuah cara untuk melihat sesuatu pada perspektif
yang berbeda. Dari lima karakteristik diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa berpikir kreatif dapat
berupa ide baru yang belum ada sebelumnya dan dapat berupa ide baru sebagai penyempurnaan dari yang
sudah ada sebelumnya.
Kemampuan berpikir peserta didik sangat erat kaitannya dengan kemampuan otaknya. Dalam
proses belajar mengajar guru perlu membantu mengaktifkan peserta didik untuk memaksimalkan kinerja
otak peserta didik agar kemampuan berpikirnya juga semakin meningkat, dan kurikulum saat ini telah
mengarah kepada pemikiran peserta didik yang bersifat pengoptimalan fungsi otak. Dengan bekerjanya
otak secara maksimal, maka akan semakin meningkat pula kemampuan berpikir kreatif peserta didik.
Suatu strategi yang dapat digunakan sebagai alternatif untuk meningkatkan konsentrasi peserta didik
dalam belajar, yang selanjutnya diharapkan dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif peserta didik
adalah senam otak (Brain Gym). Adanya keterkaitan antara kemampuan berpikir kreatif dengan
kemampuan otak peserta didik, maka wajar senam otak mampu meningkatkan kemampuan berpikir
kreatif, karena senam otak sekaligus dapat meningkatkan kemampuan otak peserta didik. Penelitian ini
sejalan dengan penelitian Sawitri (2011) yang menunjukkan bahwa senam otak dapat meningkatakan
prestasi belajar matematika siswa.
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis tersebut, maka dalam penelitian ini diperoleh simpulan
sebagai berikut. Penelitian ini menemukan bahwa kemampuan berpikir kreatif peserta didik yang
mengikuti pembelajaran dengan senam otak (Brain Gym) berbeda secara signifikan dengan kemampuan
berpikir kreatif peserta didik yang mengikuti pembelajaran tanpa senam otak (Brain Gym). Lebih jauh
dapat dilihat dari rata-ratanya bahwa kemampuan berpikir kreatif peserta didik yang mengikuti
pembelajaran dengan senam otak (Brain Gym) lebih baik daripada kemampuan berpikir kreatif peserta
didik yang mengikuti pembelajaran tanpa senam otak (Brain Gym).
Berkenaan dengan hasil penelitian yang diperoleh maka beberapa saran yang dapat diajukan
adalah sebagai berikut. 1) Senam otak (Brain Gym) perlu dikenalkan lebih lanjut oleh para guru, peserta
didik dan praktisi pendidikan lainnya sebagai salah satu alternatif dalam meningkatkan kemampuan kerja
otak. 2) Penelitian lanjutan yang berkaitan dengan senam otak (Brain Gym) perlu dilakukan dengan
materi-materi matematika yang lain dengan melibatkan sampel yang lebih luas. Di samping itu, variabel
lain seperti: intelegensi, minat, bakat, motivasi, konsep diri yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari peserta didik perlu dikaji pengaruhnya.
DAFTAR RUJUKAN
Arends, R.I. 200. Classromm Instruction and Management. New York: McGraw-Hill.
Campbell, Donald T. & Julian C. Stanley. 1996. Eksperimental and Quasi-Eksperimental Designs for
Research. Chicago: Rand Mc.Nally College Publishing Company.
Depdiknas. 2005. Matematika (Materi Latihan Terintegrasi). Jakarta: Derektorat Jendral Pendidikan
Dasar dan Menengah.
Emzir. 2007. Metodelogi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers
Fraenkel, J.R & Wallen, N.E. 1993. How To Design and Evaluative Research. New York: Graw-Hill Inc.
Iskandar. 2009. Psikologi Pendidikan. Ciputat: GP Press
LTSIN (2004). Learning teaching. Scotland: Learning and Teaching Scotland.
Sevilla, G. Consuelo, et. All. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: Universitas Indonesia.