jurnal ekonomi lingkungan vol.17 no.1 ipb

Click here to load reader

Upload: m-maksum

Post on 29-May-2015

4.410 views

Category:

Education


15 download

DESCRIPTION

Ekonomi Lingkungan

TRANSCRIPT

  • 1. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 1-16ANALISIS KERUGIAN EKONOMI PENCEMARAN AIR TERHADAP PERIKANAN BUDIDAYA SISTEM KERAMBA JARING APUNG (KJA) DI WADUK CIRATA, KABUPATEN BANDUNG BARAT Radityo, Rizky1), Benny Osta Nababan2) dan Tridoyo Kusumastanto3) 1) Alumni Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan,FEM, IPB 2) Dosen Pengajar Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Gelar: S.Pi, M.Si 3) Dosen Pengajar Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Gelar: Prof. Dr. Ir, MSABSTRACT This research aims to analyze the economic impact of water pollution on aquaculture in Cirata.The impact of water pollution in Cirata is declining fish productivity of float cage aquaculture. Based on the data analysis, there are 8 factors that could explain the presence of contamination in the last 5 years which has exceeded the threshold of category C i.e. Pb, Zn, Cl2, H2S, DO, Cu, Cd, and Nitrite. Furthermore, multiple regression analysis of water quality impact on the productivity of float cage is conducted. Based on the results of the regression analysis, a variable which statistically significant effect on productivity float cage is DO levels. The loss value due to water pollution on aquaculture is calculated based on productivity decline of KJA perceived in the last 5 years; with the total is Rp 985.485.382.718 in 2011. This is calculated from the 2 dominant species farmed fish commodities. While the results of the economic loss in the last 5 years is reach Rp 4.219.702.954.280. Based on the field observations and discussions with relevant stakeholders, there are 5 policies to handling water pollution. The policies include restrictions on the amount of float cage with progressive taxation, tax collection at each float cage aquaculture for environmental improvement costs (Rp 10/kg harvest), installation of filter waste, biological cleaners with restocking fish that eat dirt and moss, and disallow unfriendly float cage environment (Styrofoam float cage) and discard the unused. From the AHP analysis, the first policy prioritized is the installation of filter waste policy. Keyword : Economic Loss, Water Pollution, Float Cage Aquaculture, Cirata Reservoir, West Bandung. ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak ekonomi dari pencemaran air pada budidaya di Cirata. Dampak dari pencemaran air di Cirata adalah menurunnya produktivitas ikan mengapung kandang budidaya. Berdasarkan analisis data yang ada 8 faktor yang dapat menjelaskan adanya kontaminasi dalam 5 tahun terakhir yang telah melampaui ambang kategori C adalah Pb, Zn, Cl2, H2S, DO, Cu, Cd, dan nitrit. Analisis regresi ganda lebih lanjut dari dampak 1

2. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 1-16kualitas air terhadap produktivitas mengapung kandang. Berdasarkan hasil analisis regresi dilakukan, hanya variabel signifikan secara statistik tingkat DO berpengaruh signifikan terhadap produktivitas mengambang kandang. Nilai kerugian pencemaran air pada budidaya dihitung penurunan produktivitas berbasis KJA dirasakan dalam 5 tahun terakhir, sebesar Rp 985.485.382.718 pada tahun 2011 . Ini dihitung dari 2 spesies yang dominan bertani komoditi ikan. Sedangkan hasil perhitungan Kerugian Ekonomi dalam 5 tahun terakhir sebesar Rp 4.219.702.954.280 . Berdasarkan pengamatan lapangan dan diskusi dengan stakeholder terkait, diperoleh 5 penanganan kebijakan polusi air. Kebijakan mencakup pembatasan jumlah pelampung kandang dengan pajak progresif, pengumpulan pajak pada setiap budidaya mengambang kandang untuk biaya perbaikan lingkungan ( tanaman Rp 10/kg ), instalasi limbah filter, pembersih biologis dengan restocking ikan yang memakan kotoran dan lumut , dan penarikan tidak ramah lingkungan mengambang kandang (float yang terbuat dari styrofoam) dan tidak terpakai. Hasil analisis AHP diperoleh dari prioritas kebijakan pertama adalah pemasangan kebijakan limbah filter. Kata Kunci: Economic Loss, Water Pollution, Float Cage Aquaculture, Cirata Reservoir, West Bandung. PENDAHULUAN Waduk Cirata merupakan salah satu dari tiga waduk yang dialiri oleh Sungai Citarum dengan total luas 6.603,14 ha. Waduk Cirata memiliki fungsi sebagai pembangkit tenaga listrik tenaga air terbesar di Pulau Jawa dengan kapasitas listrik 1.008 MW (8126 MW). Selain fungsi utamanya sebagai sumber air PLTA, pembangunan Waduk Cirata membuka peluang usaha budidaya ikan sistem Keramba Jaring Apung (KJA) dan aktivitas penangkapan ikan bagi masyarakat yang kehilangan mata pencaharian akibat pembangunan Waduk Cirata. Kini Waduk Cirata juga dimanfaatkan untuk lalu lintas air, reservoir atau penyediaan air, dan aktivitas ekonomi lainnya, termasuk pariwisata. Pencemaran air di Waduk Cirata bukan hanya disebabkan berlebihannya KJA, pencemaran juga disebabkan karena air dari SungaiCitarum yang masuk ke dalam Waduk Cirata sudah tercemar. Pencemaran Sungai Citarum disebabkan karena Sungai Citarum dijadikan pembuangan limbah kotoran sapi, penggunaan pupuk dan pestisida kimia pada pertanian di hulu Citarum, tempat pembuangan limbah pemukiman, serta pembuangan limbah industri. Dampak pencemaran air pada Waduk Cirata dirasakan pada sektor perikanan yaitu menurunnya produktivitas ikan pada KJA. Penurunan produktivitas KJA dirasakan oleh pembudidaya ikan dengan meningkatnya FCR (Feed Convertion Ratio) dari 1,5 menjadi 2. Peningkatan FCR menyebabkan penurunan keuntungan budidaya ikan sistem KJA sehingga memberikan dampak secara ekonomi pada sektor perikanan. Permasalahan pencemaran tersebut belum dapat diselesaikan dengan kebijakan 2 3. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 1-16pengelolaan waduk yang ada. Dengan demikian perlu adanya penelitian mengenai dampak ekonomi pencemaran air terhadap budidaya ikan sistem KJA serta solusi kebijakan penanganan pencemaran air untuk pengelolaan Waduk Cirata yang lebih baik. Berdasarkan uraian tersebut maka penelitian berupaya untuk memecahkan permasalahan tersebut dengan tujuan: (1) mengidentifikasi faktor-faktor pencemaran air apa saja yang mempengaruhi kegiatan perikanan budidaya, (2) menganalisis pengaruh pencemaran air terhadap kegiatan perikanan budidaya, (3) mengestimasi nilai kerugian akibat pencemaran air terhadap kegiatan perikanan budidaya di Waduk Cirata, (4) mengkaji perbaikan kebijakan pengelolaan air di Waduk Cirata secara lestari. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Waduk Cirata, Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa di kondisi air di Waduk Cirata sudah tercemar oleh beberapa faktor kualitas air yang telah melebihi ambang batas golongan C yang berpengaruh pada perikanan budidaya (BPWC, 2012). Waktu penelitian dilakukan dari bulan Maret 2012 hingga Mei 2013. Metode Penelitian Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian survei. Pengertian surveidibatasi pada pengertian survei sample, informasi dikumpulkan dari sebagian populasi untuk mewakili seluruh populasi.Dalam penelitian survei, informasi dikumpulkan dari responden dengan menggunakan kuesioner dan wawancara. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan wawancara kepada masyarakat yang bekerja pada KJA Waduk Cirata untuk mengetahui perubahan output setelah terjadinya pencemaran melalui kuesioner. Data mengenai kebijakan penanganan didapatkan melalui wawancara dengan stakeholder yang dapat mempengaruhi kebijakan pengelolaan Waduk Cirata yaitu Ketua ASPINDAC, Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan, Kabupaten Bandung Barat, Kepala BPWC, dan Kepala UP Cirata.Data sekunder yang diperlukan dalam penelitian ini yaitu data time series produksi ikan perbulan, data kualitas air per bulan, serta data time series jumlah KJA setiap tahun. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait, buku-buku, internet, dan informasi lainnya yang mendukung. Metode Pengambilan Sampel Metode pengambilan sampel dilakukan dengan metode nonprobability samplingyaitu purposive sampling, pengambilan sampel tidak dilakukan secara acak melainkan dengan pertimbangan tertentu dan secara sengaja sesuai dengan tujuan penelitian. Pertimbangan tertentu yang dimaksud adalah responden yang merupakan pembudidaya ikan yang telah berprofesi sebagai pembudidaya ikan di Waduk Cirata minimal 5 tahun dengan asumsi kondisi sebelum pencemaran adalah 5 3 4. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 1-16tahun yang lalu. Responden yang diwawancara untuk melihat dampak pencemaran terhadap perikanan budidaya sebanyak 30 responden yang diambil dari pembudidaya ikan di Waduk Cirata wilayah kabupaten Bandung Barat. Responden yang diwawancara untuk memilih alternatif kebijakan dilakukan dengan purposive (sengaja) yaitu para pembuat kebijakan (policy maker). = + 1 1 + 2 2 + 3 3 + 4 4 + 5 5 + 6 6 + 7 7 + 8 8 + (1) Keterangan: Y = Produktivitas KJA (kg/petak/bulan) a = Intercept X1 = Pb (mg/l) X5 = DO (mg/l) X2 = Zn (mg/l) X6 = Cu (mg/l) X3 = Cl2 (mg/l) X7 = Cd (mg/l) X4 = H2S (mg/l) X8 = Nitrit (mg/l)Metode Analisis Data Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah secara kualitatif dan kuantitatif.Data diolah dengan program komputer software SPSS 15 dan program Microsoft Office Excel.Valuasi Kerusakan Air Nilai ekonomi total merupakan konsep yang sesuai untuk memperhitungkan biaya atau kerusakan yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan (Yunus dan Dharmawan, 2005). Nilai kerusakan pada perikanan budidaya sistem KJA diestimasi dengan menggunakan metode pendekatan produktivitas dan Economic Loss.Analisis Deskriptif Identifikasi faktor-faktor pencemaran dan persepsi terhadap perikanan budidaya dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif. Tujuannya adalah untuk membuat deskripsi, gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Analisis Regresi Berganda Analisis regresi berganda menggunakan variabel produktivitas KJA dan indikator pencemaran air. Analisis model regresi berganda akan dilakukan dengan program SPSS. Data yang digunakan pada semua variabel ditransformasi dengan menjadi . Hal ini dilakukan untuk mendapatkan model terbaik, yang meminimumkan berbagai masalah seperti multikolinearitas dan autokorelasi. Model dugaan sebagai berikut:Pendekatan Produktivitas Kehilangan sumberdaya air yang bersih berdampak pada kerugian ekonomi pengguna air tersebut. Kerugian tersebut dapat dilihat dari jumlah produksi yang dihasilkan (produktivitas) yang berkurang akibat pencemaran air. Nilai kerugian dari perubahan produktivitas dapat dihitung dengan rumus: Penurunan Produksi .................. = VP x L x hx Nt+1 ................... (2) Penurunan Frekuensi Panen = (Nt Nt+1) x Pt x h x L ........... (3) Kerugian Ekonomi = Penurunan Produksi + Penurunan Frekuensi Panen..(4) Keterangan: Penurunan Produksi = Kerugian Penurunan produksi (Rp/tahun)Penurunan Frekuensi Panen= 4 5. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 1-16Kerugian Penurunan frekuensi panen (Rp/tahun) VP = Perubahan produktivitas (kg/panen/petak) Pt = Produktivitas KJA sebelum pencemaran (kg/panen/petak) Pt+1 = Produktivitas KJA setelah pencemaran (kg/panen/petak) Nt = Frekuensi panen per tahun sebelum pencemaran (panen/tahun) Nt+1 = Frekuensi panen per tahun setelah pencemaran (panen/tahun) L = Jumlah KJA (petak) h = Harga ikan (Rp/kg) Kerugian = Nilai kerugian KJA (Rp/tahun)1 Petak KJA Ikan Mas 7m x 7m x 3m=(panjang x lebar x kedalaman)1 Petak KJA Ikan Nila 7m x 14m x 6m=(panjang x lebar x kedalaman)Analisis Economic Loss Pengaruh pencemaran air akan berdampak pada keberlangsungan hidup ikan budidaya dalam jangka panjang sehingga penting untuk mengetahui kerugian yang ditimbulkan dimasa depan. Kerugian ekonomi terhadap perikanan budidaya dapat dihitung dengan rumus : K E = 5 [Pbtp i hbtp i ] [Pbp i hbp i ] . (5) 1 Keterangan : KE : Kerugian Ekonomi (Rp/5 tahun) Pbtp i : Produksi budidaya saat situasi tanpa polusi (kg/tahun) hbtp i : Harga hasil budidaya saat situasi tanpa polusi (Rp/kg)Pbp ihbp ii: Produksi budidaya saat situasi polusi karena adanya pencemaran (kg/tahun) : Harga hasil budidaya saat situasi polusi karena adanya pencemaran (Rp/kg) : 5 tahunPemilihan Alternatif Kebijakan Penanganan Pencemaran Kondisi Waduk Cirata yang sudah tercemar memerlukan sebuah kebijakan untuk penanganan kualitas air agar kondisi air membaik. Hasil dari observasi lapang dan diskusi dengan stakeholder terkait terdapat lima kebijakan penanganan pencemaran yaitu : (A) Pembatasan jumlah KJA dengan pajak progresif, (B) Pemungutan pajak pada setiap KJA untuk biaya perbaikan lingkungan (Rp 10/kg hasil panen), (C) Pemasangan penyaring sampah, (D) Pembersih biologis dengan restocking ikan yang memakan kotoran dan lumut, dan (E) Penarikan KJA yang tidak ramah lingkungan (pelampung terbuat dari styrofoam) dan KJA yang sudah tidak terpakai. Alternatif kebijakan tersebut akan dinilai berdasarkan beberapa kriteria yaitu kriteria sosial ekonomi dan kriteria lingkungan. Setiap kriteria memiliki atribut yang akan menjadi bahan penilaian kelima kebijakan tersebut. Atribut dari kriteria sosial ekonomi meliputi: (T1) kemudahan kebijakan diterima oleh masyarakat (acceptance), (T2) kemudahan kebijakan dilaksanakan (aksesibilitas), (T3) besarnya biaya yang dikeluarkan, (T4) ketersediaan infrastruktur untuk melaksanakan kebijakan tersebut, dan (T5) distribusi pengetahuan terhadap masyarakat. 5 6. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 1-16Atribut dari kriteria lingkungan meliputi hasil dari kebijakan tersebut yaitu: (T6) pengurangan sampah, (T7) peningkatan kualitas air, (T8) pengurangan sedimentasi, (T9) penurunan penyakit ikan, dan (T10) pemulihan habitat ikan. Tahapan-tahapan pengambilan keputusan dalam metode AHP menurut Mora (2009) adalah: 1. Mendefinisikan masalah dan menetukan solusi yang diinginkan. 2. Membuat struktur hirarki yang diawali tujuan umum, dilanjutkan dengan kriteriakriteria alternatif-alternatif pilihan yang ingin dirangking. Bentuk struktur hirarki dapat dilihat pada Gambar 1. 3. Membentuk matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan kontribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan atau kriteria yang setingkat di atasnya.4.5.6. 7.Perbandingan dilakukan berdasarkan pilihan atau judgement dari pembuat keputusan dengan menilai tingkat-tingkat kepentingan suatu elemen dibandingkan elemen lainnya. Menormalkan data yaitu dengan membagi nilai dari setiap elemen di dalam matriks yang berpasangan dengan nilai total dari setiap kolom. Menghitung nilai eigen vector dan menguji konsistensinya, jika tidak konsisten maka pengambilan data (preferensi) perlu diulangi. Nilai eigen vector yang dimaksud adalah nilai eigen vector maksimum yang diperoleh dengan menggunakan matlab maupun dengan manual. Mengulangi langkah 3,4, dan 5 untuk seluruh tingkat hirarki. Menghitung eigen vector dari setiap matriks perbandingan berpasangan. Nilai eigen vector merupakan bobot dari setiapTujuanT1T2T3AT4T5BT6T7CT8DT9T10EGambar 1. Struktur Hirarki Keterangan : Tingkat pertama Tingkat kedua Tingkat ketiga: Tujuan Keputusan : Kriteria-kriteria : Alternatif-alternatif 6 7. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 1-16elemen. Langkah tersebut untuk mensintesis pilihan dalam penentuan prioritas elemen-elemen pada tingkat hirarki terendah sampai pencapaian tujuan. 8. Menguji konsistensi hirarki. Jika tidak memenuhi kriteria CR < 0,1 maka penilaian harus diulangi kembali. HASIL DAN PEMBAHASAN Fator-faktor Pencemaran yang Mempengaruhi Perikanan Tercemarnya kualitas air dapat ditentukan dari kondisi fisika, kimia, serta biologi. Faktor yang mempengaruhi kondisi fisika antara lain temperatur, residu terlarut, zat tersuspensi, transparansi, kekeruhan, kedalaman, dsb. Faktor yang mempengaruhi kondisi kimia perairan antara lain pH, H2S, amonia, oksigen terlarut, COD, BOD, logam berat, dsb. Faktor yang mempengaruhi kondisi biologi perairan merupakan jumlah bakteri, virus, atau plankton yang hidup diperairan seperti bakteri E. coli, Coliform, dan lain-lain. Pencemaran air terjadi apabila kadar dari faktor-faktor tersebut melebihi ambang batas yang ditentukan. Terdapat 8 faktor yang dapat menjelaskan adanya pencemaran dalam 5 tahun terakhir yang telah melebihi ambang batas golongan C. Faktor tersebut yaitu Pb, Zn, Cl2, H2S, DO, Cu, Cd, dan Nitrit. Data parameter tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1. Berdasarkan data parameter kualitas air, dari tahun ke tahun terdapat parameter yang tidak memenuhi standar. Namun terdapatperbedaan antara kualitas air tahun 2004 dengan kualitas air 5 tahun terakhir. Pada 5 tahun terakhir, kualitas air memburuk dengan ditandai lebih banyak parameter yang tidak memenuhi standar. Kualitas air terburuk terjadi pada tahun 2011 caturwulan pertama dengan adanya 7 parameter kualitas air yang melebihi baku mutu golongan C. Kualitas air terburuk selanjutnya pada tahun 2007 caturwulan 2, tahun 2008 caturwulan 3, tahun 2011 caturwulan 2, serta tahun 2011 caturwulan 3 dengan 6 parameter kualitas air yang tidak sesuai dengan baku mutu golongan C. Pada tahun 2012 awal, kualitas air kembali membaik dengan hanya 3 parameter kualitas air yang tidak memenuhi standar golongan C yaitu H2S, DO, dan Nitrit. Parameter yang merupakan logam berat adalah Pb, Zn, Cu, dan Cd. Menurut BPWC (2009), toksisitas logam-logam berat yang melukai insang dan struktur jaringan luar lainnya, dapat menimbulkan kematian terhadap ikan yang disebabkan oleh proses anoxemia, yaitu terhambatnya fungsi pernapasan yakni sirkulasi dan eksresi dari insang. Oksigen diperlukan ikan untuk melakukan pernapasan yang digunakan sebagai bahan bakar pembakaran makanan untuk menghasilkan energi. Oleh karena itu ketersediaan oksigen akan menentukan aktivitas ikan. Menurut Ghufran dan Kordi (2010), ikan akan tumbuh baik pada perairan dengan kadar DO 6-7 ppm (mg/l). Pada konsentrasi DO kurang dari 4 ppm (mg/l), ikan masih dapat hidup namun nafsu makannya berkurang. 7 8. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 1-16H2S berpengaruh terhadap ikan. Menurut Ghufran dan Kordi (2010), ikan biasa keracunan (kehilangan keseimbangan pada konsentrasi H2S 0,1-0,2 ppm (mg/l) dan pada konsentrasi 0,25 ppm (mg/l) kematian massal umumnya terjadi. Menurut Alfiansyah (2011), nitrit merupakan mineral yang diasimilasikan oleh tumbuh-tumbuhan hijau untuk menyusun asam amino kembali dalam tubuhnya, untuk menbentuk protoplasma itu selanjutnya tergantung pada nitrit, phitoplankton itu selanjutnya menjadi bahan makanan bagi organisme yang lebih tinggi. Nitrit tersebut pada suatu saat dapat dibongkar lebih lanjut oleh bakteri denitrifikasi (yang terkenal yaitu Micrococcus denitrifikan), bakterium nitroxus menjadi nitrogennitrogen bebas. Bila hasil pembongkaran bahan organik terhenti sehingga tidak terbentuk nitrat sebagai hasil akhir, maka air tersebutdisebut sedang mengalami pengotoran (Pollution) (Alfiansyah, 2011). Cl2 merupakan bahan kimia. Berlebihannya Cl2 dapat menjadi racun terhadap ikan. Keberadaan ion Cl2 dalam air akan berpengaruh terhadap tingkat keasinan air. Semakin tinggi konsentrasi Cl2, berarti semakin asin air dan semakin rendah kualitasnya (Suwito, 2011). Pengaruh Pencemaran Air Terhadap Perikanan Budidaya Pengaruh pencemaran dilihat dari model pengaruh pencemaran air terhadap produktivitas KJA. Hasil pengolahan data dari fungsi produktivitas KJA didapat sebagai berikut : Y = 4,838 + 1,470 X1 + 2,977 X2 + 0,775 X3 + 0,512 X4 + 2,746 X5 + 2,669 X6 - 10,582 X7 + 0,537 X8 + ........................................ (6)Tabel 1. Hasil Analisis Regresi Kualitas Air Terhadap Produktivitas Budidaya Dependent Variabel: Y Variabel Coefficient t-statistic Probabilitas VIF C 4,838 1,597 0,154 X1 1,470 0,476 0,648 2,458 X2 2,977 0,971 0,364 1,859 X3 0,775 0,438 0,675 1,645 X4 0,512 0,331 0,750 1,942 X5 2,746 2,896 0,023** 3,906 X6 2,669 0,548 0,601 2,867 X7 -10,582 -1,462 0,187 1,919 X8 0,537 0,174 0,867 2,019 R-squared 0,793 Adj R-squared 0,556 DW stat 1,428 Prob (F-stat) 0,065* Sumber: Hasil Analisis Data, 2012 Keterangan: ** : Signifikan pada taraf nyata 5% * : Signifikan pada taraf nyata 10% 8 9. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 1-16Pada persamaan pengaruh kualitas air terhadap produktivitas memiliki nilai probabilitas (F-stat) nyata pada taraf 5 persen. Hal ini menunjukkan bahwa variabel bebas dalam model secara bersama-sama memiliki pengaruh yang nyata terhadap variabel tak bebas. Variabel bebas yang mempunyai pengaruh nyata pada taraf nyata 5 persen (Prob < 0,05) adalah DO. Artinya, jika kadar DO dalam perairan waduk meningkat sebesar satu mg/liter, maka diperkirakan produktivitas KJA akan meningkat sebesar 2,746 kg/KJA/ bulan. Batas peningkatan produktivitas KJA karena adanya peningkatan kadar DO adalah 7 mg/l (7 ppm). Hal tersebut didasarkan pada Ghufran dan Kordi (2010), ikan akan tumbuh baik pada perairan dengan kadar DO 6-7 mg/l. Pada konsentrasi DO kurang dari 4 mg/l, ikan masih dapat hidup namun nafsu makannya berkurang yang menyebabkan pertumbuhan menjadi melambat. Kadar DO pada perairan Waduk Cirata berdasarkan data kualitas air tahun 2012 triwulan pertama sebesar 4,2 mg/l. Jika kadar DO meningkat ke batas kondisi optimum yaitu 7 mg/l maka akan terjadi peningkatan produktivitas KJA sebesar 21,112 kg/KJA/bulan. Dengan kata lain batas peningkatan maksimum produktivitas KJA karena peningkatan kadar DO adalah sebesar 21,112 kg/KJA/bulan jika dilihat berdasarkan kadar DO tahun 2012 triwulan pertama. Suhu air Waduk Cirata pengukuran tahun 2012 triwulan pertama yaitu sebesar 30,6o C. Berdasarkan Cole (1983) dalam Efendi(2003), kadar DO jenuh pada perairan tawar dengan suhu 31o C adalah sebesar 7,43 mg/l.Persamaan pengaruh kualitas air terhadap produktivitas KJA memiliki nilai koefisien determinasi sebesar 0,556. Artinya, persamaan model pengaruh kualitas air terhadap produktivitas KJA dapat dijelaskan oleh variabelvariabel yang terdapat di dalam model tersebut sebesar 55,6 persen, sisanya sebesar 44,4 persen dijelaskan oleh variabel lain diluar model pengaruh kualitas air terhadap produktivitas KJA. Penilaian Kerusakan Akibat Pencemaran Penurunan Produktivitas Budidaya Ikan Terdapat penurunan rata-rata hasil panen ikan mas per petak dengan ukuran satu petak sebesar 7m x 7m x 3m. Penurunan yang terjadi sebesar 290,3 kg/panen/ petak (VP) dengan kondisi sebelum pencemaran rata-rata hasil panen sejumlah 1.092 kg/panen/petak (Pt) menjadi 801,7 kg/panen/petak (Pt+1). Jika diketahui harga ikan mas pada tahun 2012 adalah Rp 15.000/kg, maka harga ikan mas tahun 2011 berdasarkan IHK bahan makanan Provinsi Jawa Barat adalah Rp 14.795/kg (h). Jumlah kolam ikan mas sebanyak 21.754 petak (L). Sebelum pencemaran dapat 4 kali panen (Nt), sedangkan setelah pencemaran hanya 3 kali panen (Nt+1). maka: Penurunan produksi = VP x L x h x Nt+1 = 290,3 kg/panen/petak x 21.754 petak x Rp 14.795/kg x 3 panen/thn 9 10. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 1-16= Rp 0.315.031.564/thn.....(7) Penurunan frekuensi panen = (Nt Nt+1) x Pt x h x L = (4 panen 3 panen) x 1.092 kg/petak/panen/thn x 14.795/kg x 21.754 petak = Rp 351.480.094.693/thn.(8) Kerugian ekonomi (ikan mas) = Penurunan produksi ikan mas + Penurunan frekuensi panen ikan mas = Rp 280.315.031.564/thn + Rp 351.480.094.693/thn = Rp 631.795.126.258/thn... (9) Terdapat penurunan rata-rata hasil panen ikan nila per petak dengan ukuran satu petak sebesar 7m x 14m x 6m. Penurunan yang terjadi sebesar 515 kg/panen/petak (VP) dengan kondisi sebelum pencemaran rata-rata hasil panen sejumlah 1.133,3 kg/panen/petak (Pt) menjadi 618,3 kg/panen/petak (Pt+1). Jika diketahui harga ikan nila pada tahun 2012 adalah Rp 10.000/kg, maka harga ikan nila tahun 2011 berdasarkan IHK bahan makanan Provinsi Jawa Barat adalah Rp 9.864/kg (h). Jumlah kolam ikan nila sebanyak 10.877 petak (L). Sebelum pencemaran dapat 4 kali panen (Nt), sedangkan setelah pencemaran hanya 2 kali panen (Nt+1). maka: Penurunan produksi = VP x L x h x Nt+1 = 515 kg/panen/petak x 10.877 petak x Rp 9.864/kg x 2 panen/tahun = Rp 110.508.088.380/thn..(10) Penurunan frekuensi panen = (Nt Nt+1) x Pt x h x L = (4 panen 2 panen) x 1.133,3kg/petak/panen/tahun x 9.864/kg x 10.877 petak = Rp243.182.168.080/thn...(11) Kerugian ekonomi (ikan nila) = Penurunan produksi ikan nila + Penurunan frekuensi panen ikan nila = Rp 110.508.088.380/thn + Rp 243.182.168.080/thn = Rp 353.690.256.461/thn..(12) Kerugian ekonomi total = Kerugian ekonomi (ikan mas) + Kerugian ekonomi(ikan nila) = Rp 631.795.126.258/thn + Rp 353.690.256.461/thn = Rp 985.485.382.718/thn..(13) Jadi berdasarkan perhitungan kerusakan dengan metode pendekatan produktivitas, didapatkan nilai kerugian dari perikanan budidaya dalam satu tahun sebesar Rp 985.485.382.718. Nilai tersebut dihitung dari 2 jenis komoditas ikan yang dominan dibudidayakan. Analisis Economic Loss Economic Loss dinilai dari kerusakan perikanan budidaya yang dialami pembudidaya ikan selama 5 tahun terakhir. Hasil perhitungan analisis Economic Loss dari komoditas ikan mas dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2, hasil perhitungan Economic Loss komoditas ikan mas didapatkan kerugian ekonomi sebesar Rp 2.463.829.350.157 dalam jangka waktu 5 tahun.Perbedaan nilai Economic Loss antara tahun 20072011 didasarkan pada perbedaan harga ikan mas yang dilihat dari IHK dan perbedaan jumlah KJA setiap tahunnya dengan nilai penurunan produktivitas yang tetap setiap 10 11. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 1-16tahunnya. Selain berdasarkan komoditas ikan mas, perhitungan Economic Loss juga didasarkan pada komoditas ikan nila yang disajikan pada Tabel 3.mas dan ikan nila adalah sebesar Rp 4.219.702.954.280. Hasil tersebut menunjukan kerugian yang sangat besar pada sektor perikanan budidaya sistem KJA.Tabel 2. Hasil Perhitungan Economic Lossikan Mas Tahun 2007-2011 Kerugian Ikan MasHarga (Rp)Junlah KJA (petak)Penurunan Produksi (Rp)TahunIHK rasio2011146,041,0014.79621.754280.315.031.564351.480.094.693631.795.126.2582010141,060,9714.29120.705257.701.106.647323.125.052.771580.826.159.4172009120,870,8312.24619.655209.625.079.741262.843.710.044472.468.789.7852008116,110,8011.76418.605190.611.516.898239.003.073.203429.614.590.1012007100,000,6810.13217.555154.899.733.972Penurunan Frekuensi Panen (Rp)194.224.950.623 Economic LossKerugian Ekonomi Ikan Mas (Rp)349.124.684.595 2.463.829.350.157Sumber: Hasil Analisis Data, 2012 Berdasarkan Tabel 2, hasil perhitungan Economic Loss komoditas ikan nila didapatkan kerugian ekonomi sebesar Rp 1.379.242.690.236 dalam jangka waktu 5 tahun.Perbedaan nilai Economic Loss antara tahun 20072011 didasarkan pada perbedaan harga ikan nila yang dilihat dari IHK dan perbedaan jumlah KJA setiap tahunnya dengan nilai penurunan produktivitas yang tetap setiap tahunnya. Total kerugian perikanan budidaya berdasarkan perhitungan Economic Loss selama 5 tahun di kawasan Waduk Cirata Kabupaten Bandung Barat dari komoditas ikanPemilihan Alternatif Kebijakan Kondisi Waduk Cirata yang sudah tercemar memerlukan sebuah kebijakan untuk penanganan kualitas air agar kondisi air membaik. Hasil dari observasi lapang dan diskusi dengan stakeholder terkait (Disnakan Bandung Barat, BPWC, UP Cirata, dan ASPINDAC) terdapat lima kebijakan penanganan pencemaran yaitu : A. Pembatasan jumlah KJA dengan pajak progresif. B. Pemungutan pajak pada setiap KJA untuk perbaikan lingkungan (Rp 10/kg hasil panen).Tabel 3. Hasil perhitungan Economic Lossikan nila dari tahun 2007-2011 Kerugian Ikan Nila TahunIHK rasioHarga (Rp)Junlah KJA (petak)2011146,041,009.86410.877110.508.088.380243.182.168.080353.690.256.4612010141,060,979.52810.352101.588.134.931223.553.074.402325.141.209.3332009120,870,838.1649.82782.635.911.872181.847.143.542264.483.055.4142008116,110,807.8439.30275.140.394.945165.352.639.983240.493.034.928112007100,000,686.7548.77761.062.363.685134.372.770.415195.435.134.100Penurunan Produksi (Rp)Penurunan Frekuensi Panen (Rp)Economic LossSumber: Hasil Analisis Data, 2012Kerugian Ekonomi Ikan Nila (Rp)1.379.242.690.236 12. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 1-16C. Pemasangan penyaring sampah. D. Pembersih biologis dengan restocking ikan yang memakan kotoran dan lumut. E. Penarikan KJA yang tidak ramah lingkungan (pelampung terbuat dari styrofoam) dan KJA yang sudah tidak terpakai. Alternatif kebijakan tersebut akan dinilai berdasarkan kriteria sosial ekonomi dan kriteria lingkungan. Setiap kriteria memiliki atribut yang akan menjadi bahan penilaian kelima kebijakan tersebut. Atribut dari kriteria sosial ekonomi meliputi: (T1) kemudahan kebijakan diterima oleh masyarakat (acceptance), (T2) kemudahan kebijakan dilaksanakan (aksesibilitas), (T3) besarnya biaya yang dikeluarkan, (T4) ketersediaan infrastruktur untuk melaksanakan kebijakan tersebut, dan (T5) distribusi pengetahuan terhadap masyarakat. Atribut dari kriteria lingkungan meliputi hasil dari kebijakan tersebut yaitu: (T6) pengurangan sampah, (T7) peningkatan kualitas air, (T8) pengurangan sedimentasi, (T9) penurunan penyakit ikan, dan (T10) pemulihan habitat ikan. Berdasarkan hasil analisis AHP yang dilakukan maka dapat dilihat kebijakan yang paling relevan untuk penanganan pencemaran air di Waduk Cirata Kabupaten Bandung Barat. Secara detail prioritas pemilihan alternatif kebijakan berdasarkan analisis AHP dapat dilihat pada Tabel 4. Berdasarkan hasil perhitungan Tabel 4 diperoleh urutan prioritas global yaitu: 1. Alternatif kebijakan C (Pemasangan penyaring sampah)menjadi prioritas pertama dengan nilai bobot 0,323 atau 32,3%. 2. Alternatif kebijakan D (Pembersih biologis dengan restocking ikan yang memakan kotoran dan lumut) dengan nilai bobot 0,247 atau 24,7 %. 3. Alternatif kebijakan A (Pembatasan jumlah KJA dengan pajak progresif) dengan nilai bobot 0,175 atau 17,5%. 4. Alternatif kebijakan E (Penarikan KJA yang tidak ramah lingkungan (pelampung terbuat dari styrofoam) dan KJA yang sudah tidak terpakai) dengan nilai bobot 0,157 atau 15,7%. 5. Alternatif kebijakan B (Pemungutan pajak pada setiap KJA untuk perbaikan lingkungan (Rp 10/kg hasil panen)) dengan nilai bobot 0,099 atau 9,9%. Berdasarkan hasil yang diperoleh, dihitung nilai CR untuk menguji konsistensi dari preferensi penilaian. Berdasarkan hasil perhitungan, nilai CR yang diperoleh dari seluruh matriks penilaian < 0,1 yang artinya preferensi penilaian konsisten. Kebijakan pemungutan pajak lingkungan pada setiap KJA untuk perbaikan lingkungan (Rp 10/kg hasil panen) (kebijakan B) memiliki nilai terendah karena tiga dari empat stakeholder tidak setuju dengan adanya kebijakan ini karena tidak ada payung hukum yang melandasi kebijakan ini. Selain itu belum adanya badan yang menampung pajak dan menggunakannya untuk perbaikan lingkungan.12 13. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 1-16Tabel 4. Prioritas Pemilihan Alternatif Kebijakan Berdasarkan Analisis AHP KriteriaT1T2T3T4T5T6T7T8T9T10Bobot0,2250,0890,0890,0340,0340,2250,0890,0890,0890,034A0,0440,0400,3790,0490,1460,1050,1580,4840,405B0,0700,0860,3790,0760,0580,0630,0890,0790,059C0,3350,4680,0560,5020,3520,4590,2980,222D0,4800,3210,0560,2540,3520,0630,298E0,0700,0860,1300,1190,0910,3100,158Prioritas GlobalRanking0,0990,17530,0620,09950,1440,2620,32310,0790,2480,4160,24720,1360,1440,1610,1574Sumber : Hasil Analisis Data, 2012 Kebijakan penarikan KJA yang sudah tidak terpakaimudah dilaksanakan, namun penarikan KJA yang tidak ramah lingkungan (pelampung terbuat dari styrofoam) cukup sulit dilaksanakan karena terjadi penolakan dari pemilik KJA. Penarikan KJA memerlukan biaya yang cukup besar. Kebijakan ini telah dilakukan oleh BPWC namun terkendala dari sisi biaya. Kebijakan pembatasan jumlah KJA dengan pajak progresif (kebijakan A) sulit dilakukan dan sulit diterima oleh masyarakat. Kebijakan tersebut sulit dilakukan karena belum ada payung hukum yang melandasi kebijakan ini. Namun jika kebijakan tersebut dilaksanakan dengan asumsi terjadi penurunan jumlah KJA dimungkinkan peningkatan kualitas air akan terjadi. Kebijakan penanaman pembersih biologis dengan restocking ikan (kebijakan D) mudah dilaksanakan dan diterima masyarakat namun memerlukan biaya yang besar. Kebijakan ini sudah dilakukan oleh Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bandung Barat bekerjasama dengan ASPINDAC yangsetiap tahunnya telah melakukan restocking sebanyak 2 juta ekor ikan nila dengan ukuran 3,5 cm. Berdasarkan hasil perhitungan Tabel 4 diperoleh urutan ranking 1yaitu alternatif kebijakan C (Pemasangan penyaring sampah) menjadi ranking pertama dengan nilai bobot 0,323 atau 32,3%. Kebijakan pemasangan penyaring sampah mudah dilaksanakan dan diterima masyarakat, namun memerlukan biaya yang besar. Hasil dari kebijakan pun terlihat nyata dari sisi pengurangan sampah di Waduk Cirata. Pemasangan penyaring sampah telah dilakukan oleh BPWC sebanyak 3 penyaring sampah di Waduk Cirata. Hasil pemasangan penyaring sampah pun sudah terlihat namun masih banyak sampah yang mengapung di Waduk Cirata karena tidak semua tempat memiliki penyaring sampah. Pemasangan penyaring sampah secara tidak langsung dapat mempengaruhi kadar DO dalam perairan karena sampah yang berada di Waduk Cirata selain sampah anorganik juga terdapat sampah organik yaitu tanaman eceng gondok yang mati. Selain itu, sampah anorganik (plastik, karet, styrofoam, dan lain-lain) pada kenyataannya tidak murni sampah anorganik karena sering kali di dalam sampah anorganik menempel sampah organik. Menurut Efendi (2003), penurunan kadar oksigen di perairan diakibatkan oleh keberadaan limbah organik yang membutuhkan oksigen untuk proses 13 14. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 1-16perombakan (dekomposisi). Oleh karena itu, dengan adanya pemasangan penyaring sampah secara tidak langsung dapat meningkatkan kadar DO dalam perairan Waduk Cirata. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah: 1. Waduk Cirata Kabupaten Bandung Barat telah mengalami pencemaran air yang dibuktikan dengan peningkatan parameter kualitas air yang melebihi ambang batas standar mutu Golongan C yaitu Pb, Zn, Cl2, H2S, DO, Cu, Cd, dan nitrit. 2. Pembudidaya ikan telah mengalami dampak pencemaran air berupa penurunan hasil panen dan frekuensi panen. Seluruh parameter yang telah melebihi ambang batas memiliki pengaruh terhadap produktivitas KJA, namun berdasarkan hasil analisis regresi hanyakadar DO yang secara statistik mempunyai pengaruh nyata terhadap produktivitas KJA. 3. Nilai kerugian pembudidaya ikan karena adanya pencemaran air yang menyebabkan penurunan hasil panen sebesar Rp 985.485.382.718 pada tahun 2011 dan economic loss yang terjadi pada sektor perikanan budidaya selama 5 tahun terakhir sebesar Rp 4.219.702.954.280. 4. Berdasarkan analisis AHP prioritas kebijakan yang direkomendasikan adalah (1) kebijakan pemasangan penyaring sampah, (2) kebijakan pembersihbiologis dengan restocking ikan yang memakan kotoran dan lumut, (3) kebijakan pembatasan jumlah KJA dengan pajak progresif, (4) kebijakan penarikan KJA yang tidak ramah lingkungan (pelampung terbuat dari styrofoam) yang sudah tidak terpakai, dan (5) Pemungutan pajak pada setiap KJA untuk biaya perbaikan lingkungan (Rp 10/kg hasil panen). Saran Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan: 1. Perlu diupayakan penyelesaian permasalahan kualitas air di Waduk Cirata dengan menambah jumlah penyaring sampah pada titik-titik sebelum area KJA dan meningkatkan efektivitas pengangkutan dan pengolahan sampah pada setiap penyaring sampah di Waduk Cirata. 2. Pembentukan payung hukum yang melandasi pemungutan pajak progresif oleh BPWC dalam membatasi jumlah KJA serta dilakukan pengawasan secara berkala. 3. Pembentukan peraturan yang melarang penggunaan pelampung KJA yang terbuat dari styrofoam serta dilakukan pengawasan secara berkala. 4. Sosialisasi penggunaan kincir air pada setiap KJA untuk meningkatkan kadar DO perairan Waduk Cirata. DAFTAR PUSTAKA Alfiansyah, M. 2011. Nitrogen Dalam Air & Pengaruhnya Pada Ikan. http://www.sentra14 15. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 1-16edukasi.com/2011/06/nitrogendalam-air-pengaruhnyapada.html. Diakses Pada Tanggal 5 Juli 2012. BPWC. 2009. Laporan Pemeriksaan Kadar Logam Berat pada Ikan, Pakan dan Sedimen di Waduk Cirata. Badan Pengelola Waduk Cirata.Sub DAS Segara Anakan Jawa Tengah). Project Working Paper Series No. 5. Pusat Studi Pembangunan. Institut Pertanian Bogor. BogorBadan Pengelola Waduk Cirata. 2012. Data Parameter Kualitas Air 2004-2012. Badan Pengelola Waduk Cirata. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. Ghufran H, M dan K. Kordi. 2010. Nikmat Rasanya, Nikmat Untungnya - Pintar Budidaya Ikan di Tambak Secara Intensif. Andi Publisher. Bukukita.com Mora, M. 2009. Analisis Sensitivitas dan Pengaruhnya Terhadap Urutan Prioritas dalam Metode Analytic Hierarchy Process (AHP) [Skripsi]. Medan: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sumatera Utara. Suwito, V. A. 2011. Penentuan Kadar Klorin (Cl2) Dalam Cairan Pemutih Menggunakan Titrasi Iodometri. Paper. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau. Pekanbaru. Yunus, L dan A. H. Dharmawan. 2005. Kerusakan Hulu Daerah Aliran Sungai Citanduy dan Akibatnya Di Hilir (Studi penilaian ekonomi di sub DAS Citanduy Hulu Jawa Barat dan 15 16. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 1-16Lampiran 1. Perbandingan kualitas air tahun 2004, 2007-2012 pada pengujian stasiun 4 (tengah danau) Tahun Baku Parameter 2004 2007 2008 2009 Mutu 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 Pb 0,03 M M M M M M M M M T M M M M M T T Zn 0,02 M T M T M T M M T M T M M M T T M2010 2 3 M M M M4 M M1 T T2011 2 3 T T T T4 T T2012 1 M MCl20,003MMMMTMTTMMMMMTMTMMTTTMTTMH2S0,002TTTTMTTTTMTTTMMTMMTTTTTTTDO 3 M M T M T T T Cu 0,02 M T T M M T M Cd 0,01 M M M M M T M Nitrit 0,259 M M M M T T T Sumber: BPWC Diolah Tahun (2012) Keterangan: M : Memenuhi standar kualitas Golongan C T : Tidak memenuhi standar kualitas Golongan CT M M TM M M TM M M MT T T TM T M TM M M TT T M TM T T MT M M MT T M TT T M MM T M TT T M MT T M TT T T MM T T MM M M MT M M T16 17. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39ANALISIS PERAN EKONOMI KELEMBAGAAN LOKAL TERHADAP PEMANFAATAN PERAIRAN DALAM PENGELOLAAN IKAN LARANGAN KOTA PARIAMAN PROVINSI SUMATERA BARAT (Studi Kasus Desa Sungai Pasak Kecamatan Pariaman Timur) Rizal Bahtiar 1), Fajriyah, Iftitahul 1)2)Dosen Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Gelar: S.Pi, M.Si. 2) Alumni Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan FEM-IPB.ABSTRACT This research based onfisheries resources management by community in Desa Sungai Pasak, West Sumatera. The management of this fisheries resources is known as ikan larangan. Ikan larangan is a kind of fisheries management system that applies closing seasons to fishing in some part of river or canal for a certain period. The purpose of this study was to indentify the institutional aspects of fisheries management, transaction cost, and describe the benefit from management of ikan larangan in Desa Sungai Pasak. The sampling method used were purposive and snowball sampling. The methods in supporting the result of interview are observations and documentation. The result of research showed that Ikan larangan areas are under the management of community from local government and local comunity representative. Management cost for ikan larangan include operational cost (IDR 12 000 000) and transaction cost (IDR 8 000 000 anually). Field observation shows that the management of the ikan larangan areas has a positive impact to the local community. Some of the benefits from the system are fisheries resources in the open waters are kept sustainable, facilitating brotherhood among the local community, and generating income. Keywords : fisheries management, ikan larangan, local institution, management cost. ABSTRAK Penelitian ini didasarkan pada pengelolaan sumber daya perikanan oleh masyarakat di Desa Sungai Pasak Provinsi Sumatera Barat. Pengelolaan sumber daya perikanan yang dilakukan adalah ikan Larangan. Ikan Larangan adalah semacam sistem pengelolaan perikanan yang berlaku penutupan musim untuk memancing di sebagian sungai atau kanal untuk jangka waktu tertentu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pengelolaan perikanan kelembagaan, biaya transaksi, dan menjelaskan manfaat dari pengelolaan Ikan Larangan di Desa Sungai Pasak. Metode penelitian adalah purposive sampling dan snowball sampling. Metode lainnya yang mendukung adalah hasil wawancara,17 18. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39pengamatan dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daerah Ikan Larangan berada di bawah pengelolaan masyarakat dari pemerintah desa dan perwakilan komonitas lokal. Biaya manajemen untuk Ikan Larangan termasuk biaya operasional (Rp 12 000 000) dan biaya transaksi (Rp 8 000 000 per tahun). Pengamatan lapangan menunjukkan bahwa pengelolaan daerah Ikan Larangan memiliki dampak positif pada penduduk desa. Beberapa manfaat dari sistem tersebut adalah sumber daya perikanan di perairan terbuka dilakukan secara berkelanjutan, memfasilitasi silaturahmi antara warga desa, dan menghasilkan pendapatan bagi penduduk desa. Kata kunci : Pengelolaan Perikanan, ikan larangan, Kelembagaan Lokal, Biaya Pengelolaan. PENDAHULUAN Berdasarkan sejarahnya, pengelolaan perikanan di Indonesia sesungguhnya dimulai dari masyarakat lokal dengan menggunakan pemahaman lokal (local knowledge) yang kemudian dilembagakan menggunakan sistem hukum adat. Pengelolaan perikanan yang dilakukan oleh masyarakat lokal telah mampu bertahan lama melewati berbagai perubahan sistem pemerintahan. Pengelolaan perikanan yang sebelumnya bersifat tersentralisasi berubah menjadi desentralisasi sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam pasal 3 UU No. 22/1999 disebutkan bahwa wilayah daerah provinsi terdiri atas wilayah darat dan wilayah laut sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis pantai. Lebih lanjut, pasal 10 UU No. 22/1999 menyebutkan kewenangan daerah kabupaten/kota sejauh sepertiga dari batas laut provinsi. Kenyataannya kebijakan pengelolaan perikanan yang telah dilakukan oleh pemerintah saat ini masih memiliki beberapa kelemahan.Kelemahannya diantara lain adalah belum mampunya pemerintah dalam mengatasi permasalahan overfishing dan overcapacity. Hal ini mengakibatkan permasalahan dalam pengelolaan perikanan yang menjadi tidak efisien, baik secara ekonomi, sosial dan teknis. Berdasarkan kelemahan tersebut, pemerintah menyadari bahwa keterlibatan masyarakat tradisional merupakan suatu rumusan yang perlu dikembangkan terutama dalam rangka pengelolaan sumberdaya perikanan. Pengelolaan sumberdaya perikanan ada baiknya dilakukan dengan memandang situasi dan kondisi lokal daerah yang di kelola. Banyak studi yang menunjukan bahwa masyarakat adat di Indonesia secara tradisional berhasil mengelola sumberdaya perikanan, seperti sasi yang dilakukan oleh masyarakat pesisir di Provinsi Maluku. Keberhasilan pengelolaan perikanan juga telah ditunjukan oleh komunitas masyarakat beberapa daerah di Sumatera Barat dalam pengelolaan perikanan sungai. Pola pengelolaan perikanan sungai yang dipraktikan masyarakat Sumatera Barat ini dikenal dengan istilah ikan larangan.18 19. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39Menurut Dinas Perikanan Propinsi Sumatera Barat (1998) dalam Pahlevi (2002), jumlah daerah ikan larangan telah menurun selama beberapa tahun terakhir. Namun tradisi ini bangkit lagi sejalan dengan kembalinya Propinsi Sumatera Barat menerapkan bentuk pemerintahan nagari setelah diberlakukannya UU No 32 tahun 2004. Di sisi lain, daerah ikan larangan telah meningkat karena kepala desa/nagari bersedia untuk membudidayakan ikan mas (Cyprinus carpio) di daerah ikan larangan. Selain itu, mengelola daerah ikan larangan jauh lebih mudah karena pemerintah daerah memberikan dukungan dengan memberikan bantuan pemberian benih ikan dan ikut membantu melestarikan tradisi tersebut. Konsep ini yang tetap dipertahankan masyarakat di Desa Sungai Pasak, Kecamatan Pariaman Timur, Kota Pariaman. Namun, seiring perkembangan zaman masyarakat di desa ini mulai mengubah pola ikan larangan yang dahulunya di uduah dan diniatkan dengan pengelolaan ikan larangan dengan pengelolaan budidaya ikan. Dalam perkembangannya ikan larangan yang terdapat di Kota Pariaman dan sekitarnya yang ada saat ini adalah ikan larangan seperti budidaya ikan dimana adanya kegiatan penebaran benih, pemeliharaan dalam beberapa waktu kemudian dipanen. Sejauh ini, sangat sedikit informasi mengenai peran kelembagaan lokal terhadap pemanfaatan perairan yang digunakan untuk kegiatan ikan larangan. Informasi yang ada lebihbanyak kepada manfaat ekologis saja. Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian yaitu 1. Bagaimana kelembagaan ikan larangan di Desa Sungai Pasak, Kecamatan Pariaman Timur? 2. Bagaimana kinerja kelembagaan ikan larangan di Desa Sungai Pasak, Kecamatan Pariaman Timur? 3. Bagaimana persepsi masyarakat mengenai manfaat yang terdapat dalam pengelolaan ikan larangan di Desa Sungai Pasak, Kecamatan Pariaman Timur? 4. Berapakah biaya pengelolaan ikan larangan di Desa Sungai Pasak, Kecamatan Pariaman Timur? Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi kelembagaan pengelolaan ikan larangan yang terdapat di Desa Sungai Pasak, Kecamatan Pariaman Timur. 2. Menganalisis kinerja kelembagaan pengelolaan ikan larangan yang terdapat di Desa Sungai Pasak, Kecamatan Pariaman Timur. 3. Menganalisis biaya pengelolaan ikan larangan di Desa Sungai Pasak, Kecamatan Pariaman Timur melalui pendekatan biaya transaksi. 4. Mendeskripsikan persepsi masyarakat mengenai manfaat yang terdapat dalam pengelolaan ikan larangan di Desa Sungai Pasak, Kecamatan Pariaman Timur. Adapun ruang lingkup sebagai batasan-batasan dari penelitian ini adalah: 1. Studi Kasus yang dilakukan untuk mengetahui bentuk pengelolaan19 20. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39sumberdaya perikanan melalui sistem ikan larangan di Desa Sungai Pasak, Kecamatan Pariaman Timur. 2. Kelembagaan yang diidentifikasi merupakan kelembagaan lokal pengelola ikan larangan di Desa Sungai Pasak, Kecamatan Pariaman Timur. 3. Analisis kinerja kelembagaan ikan larangan terkait dengan kejelasan kelembagaan dan efektifitas dalam mencapai tujuan kelembagaan. 4. Manfaat pengelolaan ikan larangan pada penelitian ini hanya bersifat deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui manfaat yang diperoleh dari pengelolaan sumberdaya perikanan melalui sistem ikan larangan. KERANGKA PENELITIAN Ikan larangan di Sumatera Barat merupakan tradisi budidaya ikan yang dilakukan di perairan umum yang dikelola bersama oleh masyarakat. Ikan larangan adalah sebuah komitmen bersama untuk memelihara sungai sebagai pusat kegiatan masyarakat. Komitmen bersama masyarakat untuk memelihara sungai tersebutlah yang menjadikan ikan larangan terus berkembang hingga saat ini. Hal terpenting yang bisa dipelajari dari tradisi ini adalah kemampuan masyarakat sebuah jorong (wilayah hunian di bawah nagari) dalam menjaga nilai-nilai musyawarah dan keajegan ekosistem perairan diwilayah mereka. Sebab dalam proses pembukaan ikan larangan, mufakat dan kesediaan mematuhi aturan nagari merupakan unsur yang utama. Dengan menggunakan analisis aktor, penelitian ini akan mencoba untuk menggambarkan bagaimana posisi tokoh pengelola berdasarkan pengaruh dan kepentingan yang dimiliki, penelitian ini juga mendeskripsikan bentuk aturan main (rule) yang terdapat dalam pengelolaan sumberdaya ikan dalam ikan larangan di Desa Sungai Pasak. Selain itu, penelitian ini juga menganalisis biaya transaksi pengelolaan ikan larangan serta manfaat pengelolaan ikan larangan tersebut sehingga ikan larangan dapat dijadikan salah satu alternatif pengelolaan sumberdaya ikan. Kerangka operasional dari penelitian ini disajikan pada Gambar 1. METODOLOGI Penelitian ini akan dilakukan di Desa Sungai Pasak, Kecamatan Pariaman Timur, Kota Pariaman, Provinsi Sumatera Barat. Lokasi penelitian ini ditentukan secara sengaja karena Desa Sungai pasak memiliki kawasan ikan larangan. Masyarakat Desa Sungai pasak masih memelihara kultur pengelolaan sumberdaya ikan dengan sistem ikan larangan. Waktu yang digunakan untuk pengambilan data primer dilaksanakan pada bulan Februari dan Maret 2013.20 21. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39Memanfaatkan dan mengembangkan sumberdaya perairan umum melalui perikananPengelolaan sumberdaya perikanan melalui kearifan lokalPengelolaan ikan larangan Desa Sungai PasakPengelola ikan larangan Desa Sungai PasakAturan pengelolaan ikan laranganIdentifikasi aktorBiaya transaksiKepentingan dan pengaruh aktorKinerja kelembagaan pengelolaan ikan laranganManfaat ikan laranganRekomendasi alternatif pengelolaan sumberdaya perikananGambar 1. Kerangka Operasional PenelitianData yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini diperoleh langsung dari informan kunci (key informant) dan responden dengan menggunakan panduan wawancara dengan daftar pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya dan hasil pengamatan langsung di lapangan (observasi). Data sekunder, yang dikumpulkan dari kantor desa dan Dinas Kelautan Perikanan Sumatera Barat berupa laporan-laporan, arsip dandokumentasi yang terkait dengan permasalahan penelitian. Penelitian ini menggunakan informan dan responden sebagai sumber data primer. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah non-probability sampling. Informan adalah pihak-pihak yang berpotensi memberikan informasi mengenai objek penelitian. Teknik pemilihan informan menggunakan snowball sampling sebanyak 7 orang. Sedangkan responden adalah masyarakat Desa Sungai Pasak.21 22. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39Selain itu, teknik pemilihan responden dengan teknik purposive sampling dengan responden sebanyak 40 responden. Responden berasal dari masyarakat yang tinggal dekat dengan area ikan larangan. Data yang diperoleh dalam penelitian antara lain adalah data kualitatif dan kuantitatif yang menggunakan kuesioner. Pengolahan data dengan terlebih dahulu melakukan pengkodean. Kegiatan ini bertujuan untuk penyeragaman data. Setelah pengkodean, tahap selanjutnya adalah perhitungan persentase jawaban responden dan dipresentasikan dalam bentuk analisis deskriptif berupa tabel frekuensi, grafik, ukuran pemusatan, dan ukuran penyebaran. Pengolahan dan analisis data dilakukan secara manual dan menggunakan komputer dengan program Microsoft Excel 2007. Berikut matriks keterkaitan antara tujuan penelitian, sumber data dan metode analisis data yang digunakan.Analisis Kelembagaan Pengelolaan Ikan LaranganBeberapa atribut yang digunakan dalam menganalisis kelembagaan ikan larangan adalah: Pertama, aktor dalam kelembagaan dianalisis dengan mengidentifikasi struktur kelembagaan yang ada pada ikan larangan Desa Sungai Pasak. Kemudian masing-masing aktor tersebut diidentifikasikan peran dimiliki dalam kelembagaan bedasarkan kepentingan dan pengaruh. Kedua, aturan kelembagaan diklasifikasikan dalam empat bagian yaitu: (1) boundary rule mengenai tata aturan yang terdapat dalam kelembagaan; (2) aturan akses terhadap sumberdaya yang dikelola bersama-sama; (3) monitoring dan sanksi dalam setiap pelanggaran yang dilakukan; serta (4) aturan dalam setiap penyelesaian konflik yang terjadi dalam lingkup kelembagaan.Tabel 1. Matriks keterkaitan tujuan penelitian, analisis data No Tujuan Penelitian Sumber Data 1 Mengidentifikasi Data primer kelembagaan pengelolaan dan data ikan larangan sekunder 234Menganalisis kinerja kelembagaan pengelolaan ikan larangan Mendeskripsikan manfaat dari pengelolaan ikan larangan Menganalisis biaya tansaksi pada pengelolaan ikan larangandalamData primer dan data sekunder Data primerData Primer dan data sekundersumber data, dan metode Metode Analisis Data Analisis aktor dan analisis mengenai aturan (boundary rules, sanksi dan monitoring) Analisis deskriptifAnalisis deskriptif dan Skala Likert Analisis biaya transaksi22 23. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39Analisis Kinerja Kelembagaan Kinerja kelembagaan didefinisikan sebagai kemampuan suatu kelembagaan untuk menggunakan sumberdaya yang dimilikinya secara efisien dan menghasilkan output yang sesuai dengan tujuannya dan relevan dengan kebutuhan pengguna (Peterson, 2003) dalam Syahyuti(2004). Analisis kenerja kelembagaan yang digunakan adalah teori Mackay (1999) dalam Syahyuti (2004) yang dalam penelitian ini terdapat dua hal sebagai parameter analisis yaitu kejelasan kelembagaan dalam mencapai outcome yaitu keberlanjutan pengelolaan ikan larangan Desa Sungai Pasak dan efektivitas kinerja kelembagaan.Tabel 2. Matriks Analisis Kinerja Kelembagaan Parameter Indikator 1. Kejelasan Kelembagaan: Struktur1. Struktur kelembagaan meliputi: a. Kelengkapan susunan pengurus b. Memahami peran dari susunan pengurus c. Keteraturan waktu pergantian atau penyempurnaan pengurus kelembagaan 2. Kejelasan aturan merupakan analisis untuk mengetahui aturan informal yang dibuat secara tertulis atau lisan. 3. Pengetahuan masyarakat terhadap kelembagaan merupakan analisis untuk mengetahui seberapa besar tingkat pengetahuan masyarakat mengenai aktor yang terlibat beserta interaksi dan aturan yang berlaku.2. Efektivitas Kinerja Kelembagaan dalam mencapai tujuan1. Partisipatif, indikatornya adalah: Memberikan kesempatan kepada anggotanya untuk mengemukakan pendapat dalam merencanakan kegiatan atau membuat keputusan 2. Transparansi(keterbukaan), indikatornya adalah menyampaikan informasi mengenai pengelolaan ikan larangan dari segi keuntungan dan penggunaan dari hasil yang di dapat. 3. Efektifitas kelembagaan adalah tercapainya tujuan kelembagaan yang dihubungkan besarnya kepuasan anggota dalam mencapai tujuan kelembagaan melalui indikator sebagai berikut: a. Penerimaan yang diterima dari pengelolaan ikan larangan b. b. Manfaat pengelolaan ikan larangan yang dirasakan masyarakat Sumber : Data primer (2013)23 24. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39Analisis kinerja kelembagaan dalam penelitian ini menggunakan analisis deskriptif melalui persepsi masyarakat mengenai kinerja kelembagaan ikan larangan. Berikut parameter dan indikator yang digunakan dalam analisis kinerja kelembagaan ikan larangan. Analisis Manfaat Pengelolaan Ikan Larangan Secara umum metode analisis yang digunakan dalam menilai manfaat dari pengelolaan ikan larangan merupakan analisis deskriptif, yaitu menggambarkan manfaat yang dirasakan oleh masyarakat di Desa Sungai Pasak yang telah sejak tahun 1970 melakukan pengelolaan ikan dengan sistem ikan larangan. Berdasarkan Suhana (2008a), lubuk larangan memiliki dampak terhadap masyarakat, seperti dampak ekologis, ekonomi dan sosial budaya. Data yang digunakan untuk menganalisis manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan dari pengelolaan ikan larangan adalah data primer melalui observasi dan wawancara. Analisis ini menggunakan skala pengukuran instrumen yaitu skala likert. Skala Likert merupakan metode untuk mengukur luas/dalamnya persepsi dan pendapat dari responden. Dalam metode ini sebagian besar pertanyaan dikumpulkan, setiap pertanyaan disusun sedemikian rupa sehingga bisa dijawab dalam lima tingkatan jawaban (Gumilar, 2012). Urutan untuk skala Likert menggunakan lima angka penilaian, yaitu (1) sangat setuju (SS, bobot 5), (2) setuju (S, bobot 4), (3) netral/ abstain (A, bobot3), (4) tidak setuju (TS, bobot 2), dan (5) sangat tidak setuju (STS, bobot 1). Menurut Riduwan dan Sunarto (2007) cara menghitung skor dari pernyataan yang dinilai menggunakan skala likert adalah setiap skor jawaban yang dijawab responden dikalikan dengan jumlah responden yang menjawab pernyataan tersebut. Misalkan dari 70 responden yang digunakan dalam menilai suatu aspek, berikut rangkuman hasil penilaian menjawab (5) = 2 orang, menjawab (4) = 8 orang, menjawab (3) = 15 orang, menjawab (2) = 25 orang, dan menjawab (1) = 20 orang. Maka jumlah skor untuk yang menjawab (5) = 2 x 5 = 10, skor yang menjawab (4) = 8 x 4 = 32, dan seterusnya hingga jawaban skala 1. Interpretasi skor perhitungan dilakukan dengan menghitung skor ideal yaitu 5 x 70 = 350 dan skor terrendah 1 x 70 = 70. Jadi, jika total skor penilaian di peroleh angka 157, maka penilaian responden adalah : (157/350) x 100% = 44.86%, atau bisa dikategorikan sebagai cukup. Berikut kriteria interpretasi skor : 0 % 20% 21% 40% 41% 60% 61% 80% 81% 100%= = = = =Sangat lemah Lemah Cukup Kuat Sangat kuatAnalisis Biaya Transaksi Persamaan yang digunakan untuk biaya transaksi dalam kelembagaan ikan larangan Desa Sungai Pasak adalah: TrC= Sij.(1) Keterangan: TrC :Total Biaya Transaksi Sij :Komponen Biaya Transaksi24 25. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39Analisis biaya transaksi pada penelitian ini lebih difokuskan pada biaya menjalankan organisasi seperti biaya pengambilan keputusan (biaya investasi) dan biaya operasional bersama yang meliputi biaya penetapan lokasi ikan larangan serta biaya pada waktu ikan larangan dibuka atau dipanen. HASIL DAN PEMBAHASAN Kelembagaan dan Tata Aturan Aktor Kelembagaan Ikan Larangan Desa Sungai Pasak Apabila dikaji dari perspektif kelembagaan, keberadaan masyarakat di sekitar aliran Sungai Pasak serta adanya kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan, maka interaksi yang dilakukan masyarakat terhadap sumberdaya ikan di sungai tersebut adalah sebuah arena aksi (action arena). Arena aksi ini terdiri dari dua komponen, yaitu situasi aksi (action situation) dan aktor (actor). Situasi aksi yaitu interaksi masyarakat Desa Sungai Pasak terhadap sumberdaya ikan. Aktor sendiri meliputi partisipan , yaitu semua pihak yang terlibat dalam situasi aksi antara masyarakat disekitar Sungai Pasak dengan sumberdaya ikan yang dimanfaatkan, posisi yang ditempati partisipan, danaksi yang dilakukan oleh partisipan tersebut. Secara struktural, posisi pengelola ikan larangan terdiri dari Ninik Mamak, Alim Ulama, Cadiak Pandai, Bundo Kanduang, dan pemuda. Kelima unsur ini merupakan tokoh penting pengelola ikan larangan. Jika salah satu dari lima unsur tersebut tidak menyetujui kesepatan yang dibuat maka kesepakatan tersebut batal. Pada tahun 2010 keberadaan ikan larangan Desa Sungai Pasak yang dahulunya dikelola oleh Ninik Mamak bersama masyarakat desa dibentuk menjadi kelompok masyarakat pengawas (Pokmaswas) ikan larangan. Setelah terbentuknya Pokmaswas posisi pengelolaan ikan larangan tidak banyak berubah. Keberadaan Pokmaswas ini melengkapi pengelolaan ikan larangan Desa Sungai Pasak. Selain untuk membantu pengawasan ikan yang terdapat dalam wilayah ikan larangan, pokmaswas juga membantu memberikan pengetahuan baru kepada masyarakat bagaimana kegiatan yang telah dilakukan selama ini (pengelolaan ikan larangan) tidak hanya bermanfaat sebagai pendanaan desa tetapi juga bermanfaat menjaga lingkungan. Adapun peranan tokoh pengelola ikan larangan disajikan pada Tabel 3.25 26. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39Tabel 3 Identifikasi Aktor Dan Peranan No Aktor Peranan 1 Ninik Mamak - Unsur pimpinan (adat istiadat) dalam masyarakat adat di Minangkabau dimana unsur tersebut masih ada di Desa Sungai Pasak. - Pengawas ikan larangan mulai dari tahapan penetapan lokasi sampai masa pembukaan ikan larangan 2 Alim Ulama - Unsur pimpinan (agama) masyarakat adat di (Labai) Minangkabau dimana unsur tersebut masih ada di Desa Sungai Pasak. - Pengawas ikan larangan mulai dari tahapan penetapan lokasi sampai masa pembukaan ikan larangan 3 Cadiak - Unsur pimpinan masyarakat adat di Minangkabau Pandai dimana unsur tersebut masih ada di Desa Sungai Pasak (cendekiawan). - Pengawas ikan larangan mulai dari tahapan penetapan lokasi sampai masa pembukaan ikan larangan 4 Bundo - Unsur kepemimpinan perempuan yang ikut mengelola kanduang ikan larangan 5 Pemuda - Pengelola harian ikan larangan. - Mengawasi keadaan area ikan larangan. 6 Kepala Desa - Membina, mengayomi dan melestarikan nilai-nilai sosial budaya dan adat istiadat. - Mengembangkan potensi sumberdaya alam dan melestarikan lingkungan hidup. - Pengawas kegiatan ikan larangan. - Membentuk Kelompok Masyarakat Pengawas Ikan Larangan untuk mengoptimalkan pengelolaan potensi dari lubuk dan banda larangan yang terdapat di Desa Sungai Pasak 7 Pokmaswas - Mengawasi pengelolaan ikan larangan dari penangkapan ikan yang menggunakan bahan terlarang dari oknum masyarakat. 8 Masyarakat - Memanfaatkan sungai pasak dan banda irigasi serta Desa Sungai ikut mengawasi pengelolaan ikan larangan yang Pasak terdapat di sungai maupun di banda tersebut. - Menjaga keamanan pengelolaan ikan larangan. 9 Pawang - Memiliki kemampuan untuk mengamankan keberadaan ikan yang terdapat pada area ikan larangan. - Keberadaaan pawang dalam pengelolaan ikan larangan Desa Sungai Pasak bersifat sementara karena untuk kegiatan yang ikan larangan saat ini telah tidak menggunakan jampi. Sumber: Data primer diolah (2013)26 27. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39Aktor pengelola ikan larangan memiliki pengaruh dan kepentingan yang telah teridentifikasi melalui peranan yang dimiliki masing-masing. Berdasarkan pengaruh dan kepentingan yang dimiliki oleh para aktor maka dapat digambarkan pada aktor grid. Hasil pemetaan aktor berdasarkan derajat kepentingan dan pengaruhnya dalam memanfaatkan dan mengelola sumberdaya ikan larangan dapat dilihat pada Gambar 2. Hasil pemetaan aktor berdasarkan derajat kepentingan dankanduang memiliki kepentingan tinggi terhadap sumberdaya ikan larangan desa sungai Pasak namun kurang terlibat dalam merumuskan berbagai kebijakan pengelolaan sumberdaya tersebut. Kuadran II (pemain) ditempati oleh Labai, Ninik Mamak, Kepala Desa, Cadiak Pandai dan Pemuda. Kelompok ini memiliki tingkat kepentingan dan pengaruh yang tinggi dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Lubuk Larangan dan Banda Larangan Desa Sungai Pasak. Pengaruh dalam pengelolaan dan pemanfaatanGambar 2. Pemetaan Aktor Pengelola Ikan Larangan Desa Sungai Pasak Sumber : Hasil analisis (2013) Keterangan : 1. Labai (alim ulama), 2. Ninik Mamak, 3. Kepala Desa, 4. Cadiak Pandai 5. Pemuda, 6. Bundo Kanduang, 7. Pokmaswas, 8. Pawang dan 9 Warga Desa Sungai Pasakpengaruhnya dalam memanfaatkan dan mengelola sumberdaya ikan larangan baik di sungai maupun banda irigasi terlihat pada gambar diatas. Pada kuadran I (subjek) ditempati bundo kanduang. Bundosumberdaya ikan pada wilaya ikan larangan tersebut terkait dengan perumusan peraturan mengenai ikan larangan baik formal maupun non formal.27 28. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39Kuadaran III (penonton) ditempati oleh Pokmaswas dan Pawang/tukang jampi. Keberadaan mereka dinilai tidak terlalu bergantung terhadap sumberdaya ikan di wilayah ikan larangan Desa Sungai Pasak. Selain itu posisi mereka tidak terlalu berpengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya ikan di wilayah ikan larangan Desa Sungai Pasak. Hal ini terlihat dari tingkat pengaruh dari kedua aktor tersebut. Kuadran IV (Aktor) ditempati oleh masyarakat Desa Sungai Pasak. Kelompok masyarakat Desa Sungai Pasak memiliki pengaruh yang tinggi dengan sedikit kepentingan terhadap sumberdaya ikan di wilayah ikan larangan desa. Hal ini dikarenakan masyarakat memiliki peran memanfaatkan sungai pasak dan banda irigasi serta ikut mengawasi pengelolaan ikan larangan yang terdapat di sungai maupun di banda tersebut. Pengaruh yang dimiliki oleh kelompok masyarakat merupakan suatu proses pengontrolan proses dan hasil dari kegiatan ikan larangan yang terdapat di wilayah tempat tinggal mereka. Berdasarkan pemetaan aktor pengelolaan ikan larangan di Desa Sungai Pasak dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok aktor, yaitu kelompok formal dan kelompok informal. Aktor-aktor yang berperan ditingkat kelompok formal yaitu kepala desa sebagai pemimpin pemerintahan administrasi dan Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) yang dibentuk berdasarkan surat keputusan kepala desa. Kelompok informal terdiri dari Ninik Mamak, Alim Ulama, CadiakPandai, Bundo Kanduang dan pemuda serta pawang. Kelompok ini merupakan komunitas lokal yang berperan mengelola ikan larangan Desa Sungai Pasak selama ini. Walaupun keberadaan pawang sudah tidak digunakan saat ini, kepercayaan masyarakat akan larangan mengambil ikan tidak sesuai waktu tetap berlangsung hingga saat ini. Pembagian kelompok ini disebabkan karena pengaruh dari Ninik Mamak, Alim, Ulama, Cadiak Pandai merupakan orang yang dituakan dan dihormati di Desa Sungai Pasak. Keberadaan pawang dalam pengelolaan ikan larangan merupakan unsur dimensi spiritual yang berkembang di masyarakat. Adapun hubungan aktor-aktor pengelola Ikan Larangan Desa Sungai Pasak disajikan pada Gambar 3.28 29. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39Kepala Desa Sungai Pasak Ninik Mamak, Alim Ulama, Cadiak PandaiCollective LevelBUNDO KANDUANG,PEMUDA, MASYARAKAT POKMASWAS SEIPA LESTARIOperational Choice LevelFORMULASI ATURANATURANIKAN LARANGANGambar 3. Hubungan Antar Aktor Pengelola Ikan Larangan Desa Sungai Pasak Sumber : Hasil analisis (2013) Ostrom (1990) dalam Suhana (2008b) menyatakan bahwa dalam menganalisis hubungan antar aktor dalam sistem kelembagaan perlu dibedakan berdasarkan tingkatannya (level), yaitu pertama, level konstitusi (constitutional), yaitu lembaga yang berperan dalam menyusun aturan main untuk level collective choice. Kedua, level pilihan kolektif (collective choice), yaitu lembaga yang berperan dalam menyusun peraturan untuk dilaksanakan oleh lembaga operasional. Ketiga, lembaga operasional (operational), yaitu lembaga yang secara langsung melaksanakan kebijakan di lapangan. Berdasarkan teori Ostrom (1990) dalam Suhana (2008b) maka aktoraktor pengelolaan dan pemanfaatan ikan larangan di Desa Sungai Pasak yang tergolong kedalam level penentuaturan (collective choice level) adalah Ninik Mamak, Alim Ulama, Cadiak Pandai (tungku tigo sajarangan) dan Kepala Desa Sungai Pasak. Kelompok ini berperan dalam menyusun dan menetukan aturan main dalam pengelolaan ikan larangan Desa Sungai Pasak. Sementara itu, yang termasuk level operasional (operational level) adalah kelompok Bundo Kanduang, Pemuda, Masyarakat Desa Sungai Pasak dan Kelompok Masyarakat Pengawas ikan larangan Desa Sungai Pasak. Boundary Rule, Sanksi, Monitoring terhadap AturandanSecara umum, aturan mengenai ikan larangan masyarakat Desa Sungai Pasak ini berisi aturanaturan dalam pemanfaatan (appropriation problems) dan29 30. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39pemeliharaan (provision problems) sumberdaya ikan di lubuk larangan dan banda larangan. Adapun aturanaturan tersebut antara lain aturan batas wilayah ikan larangan, aturan akses pemanfaatan sumberdaya ikan, aturan sanksi, dan monitoring. Wilayah ikan larangan desa Sungai Pasak terdiri dari sungai dan banda irigasi. Wilayah sungai yang menjadi wilayah ikan larangan adalah wilayah lubuk larangan. Batas wilayah lubuk larangan dengan bukan lubuk larangan ditandai oleh jembatan. Jembatan ini yang jalan membatasi satu desa dengan desa lain. Sedangkan batas banda larangan adalah sepanjang aliran irigasi yang melewati desa Sungai Pasak. Ikan hanya boleh ditangkap ketika telah ada pemberitahuan bahwa lubuk larangan dan banda larangan telah dibuka oleh ninik mamak dengan waktu yang telah ditetapkan. Dalam mengambil ikan hanya boleh menggunakan alat pancing, tidak boleh mengunakan racun, menyentrum ikan dan tidak boleh menggunakan jala. Aturan mengenai sanksi untuk wilayah ikan larangan di desa Sungai Pasak secara formal tidak ada. Namun, sanksi tersebut akan terlihat dengan sendirinya jika mereka melanggar ketentuan yang telah dibuat bersama. Pengelolaan ikan larangan di Desa Sungai Pasak masih semi tradisional. Sanksi yang dirasakan bagi pelanggar bersifat alamiah. Berdasarkan penuturan tokoh agama desa (Labai), apapun yang terdapat di daerah yang sifatnya milik bersama pasti akan ada saja yang ingin berbuat curang. Terkadang kita tidak dapat menyalahkan sehingga kitahanya dapat memohon pada yang Maha Kuasa agar kesalahannya menghianati kesepakatan yang ada diampuni. Ikan larangan Desa Sungai Pasak dahulu pernah di jampi, namun penggunaan jampi telah dibuka karena pada saat itu membuat ikan yang berada di kawasan tersebut tidak berkembang dengan baik. Namun, kepercayaaan terhadap ikan yang terdapat di lubuk dan banda yang ada larangan untuk tidak diambil masih dianut sampai saat ini. Walau tidak menggunakan jampi lagi masyarakat masih percaya bahwa sesuatu yang telah disepakati untuk tidak diambil sebelum masa diperbolehkan maka akan mendapat bala. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, bagi yang mengambil ikan yang terdapat di wilayah berlarangan tersebut akan mendapat penyakit yang tidak dapat disembuhkan secara medis. Untuk menghilangkan penyakit tersebut, maka seseorang harus mengingat kesalahan yang telah diperbuat dan memohon kepada Allah agar kesalahannya diampuni. Dahulu saat masih di jampi, orang yang mengambil ikan di wilayah ikan larangan akan mengaku ditempat ia mengambil ikan tersebut. Hal ini membuat seseorang merasa bersalah dan mendapat sanksi sosial karena diperlihatkan secara langsung. Mengingat akibat dari perilaku tersebut yang berdampak bagi psikologi seseorang maka untuk menghindari permasalahan yang akan muncul dari perilaku buruk tersebut, ninik mamak bersama alim ulama dan cadiak pandai desa Sungai Pasak30 31. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39Tabel 4. Sebaran Persepsi Masyarakat Desa Sungai Pasak Mengenai Kelengkapan Pengurus Kelembagaan Masyarakat Desa Sungai Pasak Kelengkapan Kelembagaan Jumlah Persentase (%) Tinggi 37 92,5 Kurang 3 7,5 Rendah 0 0 Jumlah 40 100 Sumber: Data primer diolah (2013) memutuskan untuk tidak menggunakan jampi lagi. Hal ini membuat tidak adanya monitoring yang jelas dalam pengelolaan ikan larangan tersebut. Menurut penuturan pemuka agama desa (Labai) dan Kepala Desa Sungai Pasak yang mengawasi tindakan pelanggaran adalah pribadi masingmasing. Hal ini diharapkan agar tidak menimbulkan permasalahan di masyarakat dan menegaskan bahwa melalui kesepakatan yang telah dibentuk harus dibuat atas dasar kepercayaan satu sama lain. Karena percaya dengan sesama maka dapat mewujudkan kebaikan dari apa yang diperbuat sehingga ikan larangan dapat menghasilkan manfaat bagi seluruh masyarakat desa. 4.1 Analisis Kinerja Kelembagaan 4.2.1 Kejelasan Kelembagaan Ikan Larangan Analisis mengenai kejelasan kelembagaan ikan larangan dalam mencapai tujuan tersebut yang meliputi: (1) kejelasan struktur kelembagaan dan (2) kejelasan aturan. Kejelasan Struktur Kelembagaan Kelengkapan Pengurus KelembagaanMenurut masyarakat Desa Sungai Pasak, kelembagaan ikan larangan yang ada telah lengkap. Hal tersebut diperkuat dengan hasil penelitian yaitu sekitar 92,5 persen sebanyak 37 orang responden menyatakan telah lengkap dan sisanya 7,5 persen (3 orang) menyatakan kurang lengkap. Responden yang menyatakan kelembagaan kurang lengkap dikarenakan mereka tidak terlalu mengerti tentang kepengurusan kelembagaan tersebut dan kelembagaan yang ada telah ada sejak turun temurun. Sebaran persepsi masyarakat Desa Sungai Pasak mengenai kelengkapan pengurus ikan larangan yang ada dapat dilihat pada (Tabel 4). Pengetahuan Angota Susunan KelembagaanTerhadapPengetahuan masyarakat Desa Sungai Pasak terhadap kelembagaan dinilai berdasarkan tingkat pemahaman mereka terhadap susunan kelembagaan tersebut. Gambaran mengenai sebaran pengetahuan masyarakat terhadap susunan kelembagaan dapat dilihat pada Tabel 5. Sebagian besar masyarakat desa sudah paham mengenai susunan kelembagaan yang31 32. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39Tabel 5. Sebaran Pengetahuan Masyarakat Desa Sungai Pasak Mengenai Peran Dari Susunan Kelembagaan Masyarakat Desa Sungai Pasak Pengetahuan Terhadap Kelembagaan Jumlah Persentase (%) Paham 39 97,5 Kurang Paham 1 2,5 Tidak Paham 0 0 Jumlah 40 100 Sumber: Data primer diolah (2013) ada pada kelembagaan ikan larangan Desa Sungai Pasak yaitu sekitar 97,5% (39 orang). Sedangkan sisanya 2,5% (1 orang) kurang paham karena responden hanya mengetahui pengelola harian saja yaitu pemuda. Periode Pergantian Kepengurusan Untuk kepengurusan lembaga adat (komunal) dalam pengelolaan ikan larangan pergantian tidak begitu tinggi dirasakan oleh masyarakat. Hal ini terkait dengan pola kepemimpinan yang turun temurun dan berdasarkan penilaian masyarakat sekitar. Untuk kepengurusan inti seperti ninik mamak tidak ada proses untuk pergantian karena kepengurusan tersebut bersifat alami. Proses pergantian kepengurusan terlihat pada kelembagaan pemuda yang merupakan kepengurusan harian dalam ikan larangan sebelum adanya kelompok masyarakat pengawas ikanlarangan. Sebaran persepsi masyarakat tentang periode pergantian kepengurusan tersaji pada Tabel 6. Masyarakat Desa Sungai Pasak mengetahui pengurus ikan larangan secara umum, namun untuk pergantian pengurus harian tidak terlalu dirasakan oleh masyarakat. Sebagian besar responden menyatakan tidak teratur yaitu sekitar 40 persen (16 orang). Hal ini disebabkan karena kepengurusan yang ada diganti hanya berdasar kesepakatan saja dan biasanya pengurus yang diganti hanya bertukar peran. Kejelasan Aturan Kelembagaan Kelembagaan Ikan Larangan Desa Sungai Pasak secara umum yang terlihat adalah kelembagaan adat (komunal) yang telah ada sejak dahulu. Sedangkan dalamTabel 6. Sebaran Persepsi Masyarakat Desa Sungai Pasak Mengenai Periode Pergantian Pengurus Periode Pergantian Pengurus Masyarakat Desa Sungai Pasak Kelembagaan Jumlah Persentase (%) Teratur 9 22,5 Kurang Teratur 15 37,5 Tidak Teratur 16 40,0 Jumlah 40 100 Sumber: Data primer diolah, 2013 32 33. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39perkembangannya, kelembagaan komunal menyepakati dibentuknya kelembagaan baru yang disebut kelompok pengawas (POKMASWAS) ikan larangan. Hal ini menjelaskan bahwa aturan pengelolaan ikan larangan dapat berupa lisan, tertulis, atau keduanya. Oleh karena itu, diperlukan analisis untuk mengetahui kejelasan aturan tersebut.kepemimipinan yang berkonsultasi dengan bawahan dan mengunakan ide serta saran mereka dalam mengambil keputusan. Sebesar 87,5 persen (35 orang) responden menyatakan bahwa kelembagaan ikan larangan Desa Sungai Pasak pastisipatif. Ninik Mamak sebagai orang yang dituakan di desa dapat memberikanTabel 7. Sebaran Persepsi Masyarakat Desa Sungai Pasak Mengenai Partisipasi Dalam Kelembagaan Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Masyarakat Desa Sungai Pasak Kelembagaan Jumlah Persentase Tinggi 35 87,5 Sedang 5 12,5 Rendah 0 0 Jumlah 40 100 Sumber : Data primer diolah (2013) Berdasarkan data dilapangan, seluruh responden (100%) menyatakan bahwa aturan kelembagaan ikan larangan bersifat lisan karena aturan tersebut telah dikenal secara turun temurun. Kekuatan aturan lisan lebih dipercaya masyarakat desa, karena merupakan tradisi dan modal terbentuknya kelembagaan baru seperti kelompok masyarakat pengawas ikan larangan. Keefektifan Kinerja Kelembagaan Ikan Larangan Partisipasi dalam Kelembagaan Kelembagaan ikan larangan dipimpin oleh Ninik Mamak, Alim Ulama, dan Cadiak Pandai sebagai pihak dihormati atau dituakan oleh masyarakat desa setempat. Prinsip kepemimpinan yang terdapat diantara ketiganya adalah prinsip partisipatif. Partisipatif adalah gayamotivasi kepada masyarakat atau anggotanya untuk bersama-sama mengembangkan potensi yang dimiliki desa mereka. Motivasi yang diberikan oleh pemimpin kelembagaan ikan larangan ini tergambar dari kegiatan yang mereka lakukan. Mulai dari waktu yang tepat ikan larangan di buka dan ditutup semua berdasarkan suara dari masyarakat dan hasilnya juga dirasakan masyarakat secara bersama. Transparansi dalam Kelembagaan Secara umum kelembagaan ikan larangan Desa Sungai Pasak sangat transparan dalam pengelolaan potensi desa mereka. Masyarakat menyatakan bahwa hasil pengelolaan ikan larangan diketahui oleh masyarakat desa. Hal ini terbukti dari sebaran persepsi masyarakat sebesar 100 persen (Tabel 8) menyatakan33 34. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39Tabel 8. Sebaran Persepsi Masyarakat Desa Sungai Pasak Mengenai Transparansi Kelembagaan Ikan Larangan Transparansi Kelembagaan Terhadap Masyarakat Desa Sungai Pasak Hasil dari Kegiatan yang dilakukan Jumlah Persentase (%) Tinggi 40 100 Sedang 0 0 Rendah 0 0 Jumlah 40 100 Sumber : Data primer diolah (2013) kelembagaan ini bersifat terbuka (transparan). Menurut penuturan salah satu narasumber, pengelolaan ikan larangan tidak boleh sembunyisembunyi, harus diberitahu kepada semua masyarakat karena sumberdaya ikan tersebut hidup di perairan desa yang tentunya diketahui oleh masyarakat. Efektifitas Kelembagaan Ikan Larangan Efektifitas kelembagaan ikan larangan Desa Sungai Pasak diukur melalui perubahan hasil panen ikan dan perubahan perilaku masyarakat sejak dikembangkannya ikan larangan di desa tersebut. Indikator perubahan perilaku tersebut terlihat dari manfaat yang diterima masyarakat desa ketika musim panen ikan dilaksanakan. Melalui kegiatan ikan larangan tersebut memberikan dampak positif terhadap masyarakatmenuju kemandirian ekonomi. Hal ini terlihat beberapa warga desa yang memiliki warung mendapat penerimaan yang lebih dari biasanya. Sebanyak 95 persen (38 orang) reponden menjawab tinggi (Tabel 9). Hal ini menggambarkan bahwa hasil panen meningkat setiap periode musim buka. Meningkatnya hasil panen menandakan bahwa peserta pemancingan pada musim buka ikan larangan desa banyak sehingga Desa Sungai Pasak ramai dikunjungi. Banyaknya pengunjung pemancingan tentunya membawa dampak bagi pendapatan masyarakat desa. Selain memancing para pengunjung juga berbelanja sehingga memberikan dampak tambahan pendapatan bagi masyarakat sekitar. Sebanyak 100 persen responden menyatakan bahwa kegiatan pemancingan saat musim bukaTabel 9. Sebaran Persepsi Masyarakat Desa Sungai Pasak Terhadap Hasil Panen Hasil panen Tinggi Sedang Rendah Jumlah Sumber : Data primer diolah (2013)Masyarakat Desa Sungai Pasak Jumlah Persentase (%) 38 95 2 5 0 0 40 10034 35. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39bermanfaat (Tabel 10). Jawaban tersebut dipilih oleh responden karena selain menambah pendapatan masyarakat, kegiatan ini juga bermanfaat bagi orang-orang yang gemar memancing sehingga ikut meramaikan kegiatan yang dilakukan Desa Sungai Pasak. Persepsi Masyarakat Mengenai Manfaat Pengelolaan Ikan Larangan Manfaat pengelolaan ikan larangan Desa Sungai Pasak yang dirasakan masyarakat paling besar adalah sebagai sumber pendanaan pembangungan desa. Terlihat dari sebaran persepsi responden sebesar 94 persen (Gambar 4) memilih indikator tersebut dari parameter aspek ekonomi. Sedangkan manfaat yang kurang dirasakan masyarakat adalah sebagai alternatif wisata atau hiburan desa sebesar 65 persen. Secara keseluruhan pengelolaan ikan melalui sistem ikan larangan sangat baik untuk dilakukan. Mencermati keberadaan ikan larangan terdapat tiga aspek manfaat yaitu manfaat ekologi/lingkungan, aspek ekonomi, dan aspek sosial. Berdasarkan persepsi masyarakat diperoleh hasil bahwa manfaat dari aspek ekologi /lingkungan yang lebih menonjol. Hal ini terlihat pada Gambar 3, dimana pernyataan mengenai manfaat ekologi terdapat pada urutan atas. Manfaat kelestarian lingkungan, menjaga keberadaan sungai dan banda irigasi dari pencemaran menjadi manfaat utama yang dapat diterima oleh masyarakat. Sedangkan, manfaat sosial merupakan manfaat kedua yang dirasakan oleh masyarakat. Keberadaan ikan larangan juga meningkatkan kerukunan masyarakat Desa Sungai Pasak karena sikap saling percaya dalam mengelola sumberdaya ikan baik yang berada di sungai maupun banda irigasi. Manfaat ekonomi bukan menjadi manfaat utama pengelolaan ikan larangan. Analisis Biaya Tansaksi Kelembagaan Ikan Larangan Biaya transaksi yang dikeluarkan masyarakat Sungai Pasak dalam kegiatan kelembagaan meliputi (1) Biaya transaksi yang merupakan biaya yang akan dikeluarkan saat pelaksanaan kegiatan pembukaan lubuk dan banda larangan. Dalam biaya transaksi termasuk biaya pertemuan membahas bagaimana pelaksanaan kegiatan dan kapanTabel 10. Sebaran Persepsi Masyarakat Terhadap Manfaat Dari Kegiatan Pemancingan Musim Buka Ikan Larangan Manfaat dari kegiatan pemancingan Bermanfaat Kurang Bermanfaat Tidak Bermanfaat Jumlah Sumber : Data primer diolah (2013)Masyarakat Desa Sungai Pasak Jumlah Persentase (%) 40 100 0 0 0 0 40 10035 36. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39akan dilaksanakan. Biasanya pertemuan ini dilakukan di masjid pada hari Jumat setiap enam bulan sekali. Pertemuan ini di buka oleh ninik mamak dan diikuti oleh perwakilan masyarakat dari setiap dusun, (2) Biaya Operasional Ikan Larangan yang meliputi biaya rutin yang harus dikeluarkan seperti biaya pakan ikan. Besaran pengelolaan ikan larangan terdapat pada Tabel 11. Total biaya yang wajib dikeluarkan Desa Sungai Pasak setiap tahunnya sekitar Rp. 20 000 000. Biaya terbesar dikeluarkan adalah biaya operasional. Hal ini dikarenakan adanya biaya penebaran kembali ikan dan pembelian pakan. Hasil dari pemancingan ikan larangan menurut kesepakatan bersama dibagi menjadi beberapa pos seperti perbaikansarana ibadah, kas pemuda, sarana umum berupa jalan desa dan kebutuhan lain yang sesuai dengan kesepakatan tokoh-tokoh ikan larangan dengan masyarakat desa. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Desa Sungai Pasak merupakan salah satu desa di Kecamatan Pariaman Timur, Kota Pariaman yang masih menerapkan pengelolaan sumberdaya ikan melalui sistem ikan larangan. Kelembagaan ikan larangan ini memiliki aktor dan aturan didalamnya. Meskipun kelembagaan tersebut bersifat informal, tetapi bersifat mengikat bagi seluruh masyarakat desa.menjaga keberadaan ikan garing79Salah satu cara untuk melestarikan91menjaga sumber air bersih90Membuat lingkungan bersih (sungai dan81Mencegah kerusakan lingkungan86.5mendorong terwujudnya kemandirian77.5pewarisan budaya85.5kedisiplinan di masyarakat86Terbinanya Kerukunan Sosial91sebagai alternatif wisata atau hiburan di65.5sumber pendanaan pembangunan desa94menjaga ketersediaan produksi ikan77meningkatkan pendapatan85 020406080100persentaseGambar 4. Persentase Sebaran Persepsi Masyarakat Desa Sungai Pasak Mengenai Manfaat Pengelolaan Ikan Larangan Sumber : Data primer diolah (2013) 36 37. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39Tabel 11. Analisis Biaya Dan Penerimaan Pengelolaan Ikan Larangan Desa Sungai Pasak No Uraian Nilai (Rupiah) Keterangan 1 Penerimaan musim 47 400 000 Hasil pendapatan dari biaya buka (pemancingan) masuk pemancingan ikan larangan dengan biaya biaya masuk Rp 40 000/ orang. Total hasil penjualan tiket Total pendapatan dari masuk pemancingan ikan saat 47 400 000 pemancingan musim buka selama tahun 2012 2 Biaya pengelolaan ikan larangan a. Biaya operasional Dikeluarkan setiap musim berupa : tutup dimulai untuk restocking wilayah ikan larangan. - Bibit ikan 7 000 000 5 000 000 - Pakan b. Biaya transaksi Dikeluarkan untuk pelaksanaan musyawarah - Biaya untuk menetapkan musim musyawarah 1 Musim tutup 500 000 tutup dan musim buka wilayah 500 000 ikan larangan. 2 Musim buka - Biaya informasi kegiatan pemancingan saat musim buka Total biaya pengelolaan ikan larangan Manfaat bersih ikan larangandari7 000 00020 000 000 27 400 000Biaya pembuatan pamflet, surat undangan, iklan elektronik untuk menginformasikan kegiatan pemancingan ikan larangan Desa Sungai Pasak. Biaya yang dikeluarkan untuk pengelolaan wilayah ikan larangan selama setahun Total pendapatan dari pemancingan dikurangi total biaya pengelolaanSumber : Data primer diolah (2013) 2. Pengelolaan kelembagaan ikan larangan telah menjadi tradisi dalam kehidupan masyarakat hingga saat ini. Pengelolaan ikan larangan Desa Sungai Pasak secara teknis sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat setempat. Meskipun telah dibentukPOKMASWAS, pengelolaan ikan larangan melalui kelembagaan adat yang dipimpin ninik mamak masih berperan sebagai pengontrol dan pengawas dari setiap kegiatan yang berkaitan pengelolaan ikan larangan.37 38. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-393. Biaya pengelolaan ikan larangan setiap tahunnya mencapai Rp 20 000 000 biaya tersebut terbagi menjadi dua bagian yaitu biaya operasional sebesar Rp 12 000 000 dan biaya transaksi sebesar Rp 8 000 000. 4. Kelembagaan pengelolaan sumber daya ikan melalui ikan larangan merupakan salah satu upaya untuk mencapai pembangunan berkelanjutan yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Saran 1. Sistem ikan larangan merupakan kearifan lokal yang patut dijaga dan dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman seperti halnya memperkuat aturan pengelolaan ikan larangan dari yang tidak tertulis menjadi aturan tertulis. Aturan dapat ditingkatkan menjadi aturan tertulis seperti dimasukan kedalam peraturan desa atau surat keputusan kepala desa dimana isinya tetap bersumber pada aturan terdahulu. 2. Struktur pengelola harian ikan larangan Desa Sungai Pasak yang ada perlu dilakukan pergantian secara berkala dan pembaharuan peran serta tanggung jawab pengurus. Hal ini bertujuan agar pengelolaan ikan larangan Desa Sungai Pasak lebih terorganisasi dan terstruktur. Pada kelembagaan baru pengelola ikan larangan yaitu Pokmaswas perlu lebih diaktifkan peranannya, selain itu perludiperkuat dengan mendaftarkan kepada Dinas Perikanan Kota Pariaman agar tercatat dan bersifat legal. 3. Dalam mewujudkan pemanfaatan sumberdaya alam berkelanjutan, termasuk sumberdaya perikanan perairan umum, diperlukan pengelolaan menyeluruh yang melibatkan semua pihak terutama komunitas masyarakat lokal yang tinggal disekitar sumberdaya tersebut. 4. Peran serta masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi diharapkan dapat mengurangi biaya pengawasan yang dibebankan pada pemerintah. Selain itu, pembentukan kelembagaan formal (Pokmaswas) dapat dijalankan lebih baik sehingga pengelolaan ikan larangan memiliki struktur organisasi yang jelas. DAFTAR PUSTAKA Gumilar, Iwang. 2012. Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Ekosistem Hutan Mangrove Berkelanjutan di Kabupaten Indramayu. Jurnal Akuatika Vol.III no2./September 2012 (198-211). ISSN 0853-2523 Pahlevi, Reza Shah. 2002. Ikan Diniatkan and Ikan Larangan: Areas of Tradisional Fish Cultivation in the Districts of Pasaman and Padang Pariaman, West Sumatera Province [Internet]. [diakses 29 Desember 2012]. Tersedia pada : www.konservasi.org Riduwan,Sunarto.2007.Pengantar38 39. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39Statistika untuk Penelitian Pendidikan, Sosial, Komunikasi, Ekonomi, dan Bisnis. Akdon, editor. Bandung (ID): ALFABETA Suhana. 2008a. Pengakuan Keberadaan Kearifan Lokal Lubuk Larangan Indarung, Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau dalam Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup. COMIT [Internet].[diakses 2012 Nov 15]. Tersedia pada: http://suhanaocean.blogspot.com ______. 2008b. Analisis Ekonomi Kelembagaan dalam Pengelolaan Sumberdaya Ikan Teluk Pelabuhan Ratu Kabupaten Sukabumi [tesis]. Bogor. (ID): Institut Pertanian Bogor Syahyuti. 2004. Model Kelembagaan Penunjang Pengembangan Pertanian di Lahan Lebak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor39 40. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 40-53PERHITUNGAN PDRB HIJAU SEBAGAI INSTRUMEN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN ASMAT, PROVINSI PAPUA1 Yugi Setyarko2 2) Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Budi Luhur, Jakarta dan Peneliti pada Lembaga Penelitian dan Pelatihan Ekonomi Lingkungan (LPPEL) Wacana Mulia, Jakarta.ABSTRACT Asmat regency, Papua province is the eastern area of Indonesia, which still has abundant natural resources. Positive steps taken by the Asmat Government related to the Asmat management of natural resources and the environment is the application of the Green PDRB calculation. Furthermore, the results of the calculation and the concept are socialized to Asmat local government in order to perform the development activities which focus on the sustainability of natural resources and the quality of environmental services. Green PRDB calculation results show that Asmat regency still has abundant natural resources in good condition. It is more due to development activities that run relatively slow, because many constraints and obstacles in the economic development in Asmat regency, such as the quality of human resources, science and technology, and/or the availability of infrastructure, especially the transportations. Therefore, the final result of the application of Green PDRB calculation indicates present depletion of natural resources and environmental degradation in the Asmat regency is still relatively low. It is expected that the implementation of the Green PDRB calculation on the policy decision for development activities, especially when the economy will be driven, more accurately and rights on target while also maintaining the balance of the carrying capacity of natural resources and environmental services.Key words: Green PDRB, natural resource, environmental services, depletion, degradation ABSTRAK Kabupaten Asmat, Provinsi Papua merupakan daerah di ujung timur Indonesia yang masih memiliki sumber daya alam yang melimpah. Langkah positif yang ditempuh oleh Pemda Asmat dalam kaitannya dengan pengelolaan SDA dan lingkungan adalah melakukan penerapan penghitungan PDRB Hijau. Selanjutnya hasil dan konsep perhit