jurnal biologi indonesia - · pdf filejabatan terakhir almarhumah sebagai peneliti madya/ivc...
TRANSCRIPT
Jurnal Biologi Indonesia diterbitkan oleh Perhimpunan Biologi Indonesia. Jurnal ini memuat hasil penelitian ataupun kajian yang berkaitan dengan masalah biologi yang diterbitkan secara berkala dua kali setahun (Juni dan Desember).
Editor Ketua
Prof. Dr. Ibnu Maryanto Anggota
Prof. Dr. I Made Sudiana Dr. Deby Arifiani
Dr. Izu Andry Fijridiyanto
Dewan Editor Ilmiah
Dr. Abinawanto, F MIPA UI
Dr. Achmad Farajalah, FMIPA IPB
Prof. Dr. Ambariyanto, F. Perikanan dan Kelautan UNDIP
Dr. Didik Widiyatmoko, Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya-LIPI
Dr. Dwi Nugroho Wibowo, F. Biologi UNSOED
Dr. Gatot Ciptadi F. Peternakan Universitas Brawijaya
Dr. Parikesit, F. MIPA UNPAD
Dr. Faisal Anwari Khan, Universiti Malaysia Sarawak Malaysia
Assoc. Prof. Monica Suleiman, Universiti Malaysia Sabah, Malaysia
Dr. Srihadi Agungpriyono, PAVet(K), F. Kedokteran Hewan IPB
Y. Surjadi MSc, Pusat Penelitian ICABIOGRAD
Drs. Suharjono, Pusat Penelitian Biologi-LIPI
Dr. Tri Widianto, Pusat Penelitian Limnologi-LIPI
Dr. Witjaksono Pusat Penelitian Biologi-LIPI
Sekretariat Eko Sulistyadi M.Si, Dewi Citra Murniati M.Si, Hetty Irawati PU, S.Kom
Alamat d/a Pusat Penelitian Biologi - LIPI
Jl. Ir. H. Juanda No. 18, Bogor 16002 , Telp. (021) 8765056 Fax. (021) 8765068
Email : [email protected]; [email protected]; [email protected]; [email protected] Website : http://biologi.or.id
Jurnal Biologi Indonesia : Akreditasi: No. 657/AU3/P2MI-LIPI/07/2015.
JURNAL BIOLOGI INDONESIA
Diterbitkan Oleh:
Perhimpunan Biologi Indonesia
Bekerja sama dengan
PUSLIT BIOLOGI-LIPI
OBITUARI
Redaksi Jurnal Biologi Indonesia telah kehilangan seorang editor penelaah Dr. Ir Sri Sulandari, M.Sc.
yang telah berpulang kerahmat Allah SWT pada tanggal 18 Agustus 2015 Jam 16.10 di RSCM,
Jakarta. Jabatan terakhir almarhumah sebagai Peneliti Madya/IVc di Pusat Penelitian Biologi-LIPI
sebagai ahli DNA Molekuler yang menekuni kajian DNA pada ayam lokal Indonesia dan berbagai
hidupan liar khususnya pada burung. Tiga tahun terakhir sangat aktif berusaha menyelamatkan
populasi kambing Gembrong di Kabupaten Karanganyar, Bali. Almarhumah meninggalkan seorang
suami Prof. Dr. Muladno, MSA yang bekerja sebagai guru besar di Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian bogor dan saat ini juga sebagai Direktur Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan,
Kementerian Pertanian, serta dua anak laki-laki Aussie Andry Vermarchnanto M. dan Endyea
Mendelian.
Jurnal Biologi Indonesia yang diterbitkan oleh PERHIMPUNAN BIOLOGI INDONESIA bekerjasama
dengan PUSLIT BIOLOGI-LIPI. Edisi volume 11 No. 2 tahun 2015 memuat 15 artikel lengkap dan
satu artikel tulisan pendek. Penulis pada edisi ini sangat beragam yaitu dari Balai Besar Penelitian
Veteriner-Deptan, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik
Pertanian, Bogor, Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang, Bandung, Departemen Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan-IPB, Dept. Biokimia FMIPA-IPB, Institut
Sains dan Teknologi Nasional Jakarta, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Pesisir &
Laut, Balitbang Kelautan & Perikanan, Kementerian Kelautan & Perikanan, Departemen Manajemen
Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Program Studi Manajemen
Sumberdaya Perairan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan-Universitas Maritim Raja Ali Haji-
Tual, Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya–LIPI, Puslit Biologi-LIPI, Puslit Bioteknologi-LIPI.
Jurnal Biologi Indonesia mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada para pakar yang telah
turut sebagai penelaah dalam Volume 11 No 2, Desember 2015:
Dr. Niken Tunjung Murti Pratiwi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB
Dr. Agus Prijono Kartono, Fakultas Kehutanan IPB
Ir. Drs. Eko Harsono MSi, Puslit Limnologi-LIPI
Dra. Donowati Tjokrokusumo M.Phil, Pusat Teknologi Bioindustri, BPPT
Ir. M. Syamsul Arifin Zein MSi, Puslit Biologi LIPI
Drh. Anang S. Achmadi MSc, Puslit Biologi LIPI
Dr. Yuyu S. Poerba, Puslit Biologi LIPI
Ir. Dwi Agustiyani MSc, Puslit Biologi LIPI
Dr. Apon Zaenal Mustopa, Puslit Bioteknologi LIPI
Dr. Yopi Puslit Bioteknologi LIPI
Dr. Joeni S. Rahajoe, Puslit Biologi LIPI
Dr. Wartka Rosa Farida, Puslit Biologi LIPI
BIOLOGI
Halaman
Efikasi Vaksin Inaktif Bivalen Avian Influenza Virus Subtipe H5N1 (Clade 2.1.3. dan Clade
2.3.2) di Indonesia
169
NLP. Indi Dharmayanti & Risa Indriani
Klon-klon Kentang Transgenik Hasil Persilangan Terseleksi Tahan terhadap Penyakit
Hawar Daun Phytophthora infestans Tanpa Penyemprotan Fungisida di Empat Lapangan
Uji Terbatas
177
Alberta Dinar Ambarwati, Kusmana, & Edy Listanto
Penambahan Inokulan Mikroba Selulolitik pada Pengomposan Jerami Padi untuk Media 187
Tanam Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus)
Iwan Saskiawan
Identifikasi Molekular dan Karakterisasi Morfo-Fisiologi Actinomycetes Penghasil Senyawa
Antimikroba
195
Arif Nurkanto & Andria Agusta
Populasi dan Kesesuaian Habitat Langkap (Arenga obtusifolia Mart.) 205
di Cagar Alam Leuweung Sancang, Jawa Barat
Didi Usmadi, Agus Hikmat, Joko Ridho Witono, & Lilik Budi Prasetyo
Optimasi Produksi Enzim Amilase dari Bakteri Laut Jakarta (Arthrobacter arilaitensis ) 215
Awan Purnawan, Y. Capriyanti, PA. Kurniatin, N. Rahmani, & Yopi
Pengaruh Antioksidan Eksopolisakarida dari Tiga Galur Bakteri Asam Laktat pada Sel
Darah Domba Terinduksi tert-Butil Hidroperoksida (t-BHP)
225
Fifi Afiati, Nina Ainul Widad, & Kusmiati
Ekosistem Lamun sebagai Bioindikator Lingkungan di P. Lembeh, Bitung, Sulawesi Utara 233
Agustin Rustam, Terry L. Kepel, Mariska A. Kusumaningtyas, Restu Nur Afi
Ati, August Daulat, Devi D. Suryono, Nasir Sudirman, Yusmiana P. Rahayu,
Peter Mangindaan, Aida Heriati, & Andreas A. Hutahaean
Identification of Bioactive Compound from Microalga BTM 11 as Hepatitis C Virus RNA 243
Helicase Inhibitor
Apon Zaenal Mustopa, Rifqiyah Nur Umami, Prabawati Hyunita Putri, Dwi
susilaningsih, & Hilda Farida
Kemampuan Cerna Protein dan Energi Metabolisme Perkici Pelangi (Trichoglossus
haematodus )
253
Rini Rachmatika & Andri Permata Sari
Optimasi Enzim α-Amilase dari Bacillus amyloliquefaciens O1 yang Diinduksi Substrat
Dedak Padi dan Karboksimetilselulosa
259
Yati Sudaryati Soeka, Maman Rahmansyah, & Sulistiani
Kajian Aspek Ekologis dan Daya Dukung Perairan Situ Cilala 267
Niken T.M. Pratiwi, Sigid Hariyadi, Inna Puspa Ayu, Aliati Iswantari,
Novita MZ, & Tri Apriadi
Halaman
Penanda Genetik Tarsius (Tarsius spp.) dengan Menggunakan Gen Cytochrome Oxidase I
(COI) DNA Mitokondria (mtDNA) Melalui Metode Sekuensing
275
Wirdateti, Sri Wijayanti Wulandari, & Paramita Cahyaningrum Kuswandi
Carboxymethyl Cellulose Hydrolyzing Yeast Isolated from South East Sulawesi, Indonesia 285
Atit Kanti
Uji Bakteri Simbiotik dan Nonsimbiotik Pelarutan Ca vs. P dan Efek Inokulasi Bakteri pada
Anakan Turi (Sesbania grandiflora L. Pers.)
295
Sri Widawati
TULISAN PENDEK 309
Mating behavior of Slow Loris (Nycticebus coucang ) at Captivity
Wartika Rosa Farida & Andri Permata Sari
Ekosistem Lamun sebagai Bioindikator Lingkungan di P. Lembeh, Bitung, Sulawesi Utara
(Seagrass Ecosystem As Environmental Bioindicator In Lembeh Island, Bitung, North Sulawesi)
Agustin Rustam, Terry L. Kepel, Mariska A. Kusumaningtyas, Restu Nur Afi Ati, August Daulat, Devi D. Suryono, Nasir Sudirman, Yusmiana P. Rahayu, Peter Mangindaan, Aida
Heriati, & Andreas A. Hutahaean
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Pesisir & Laut, Balitbang Kelautan & Perikanan, Kementerian Kelautan & Perikanan Republik Indonesia
Email: [email protected] & [email protected]
Memasukkan: Desember 2014, Diterima: April 2015
ABSTRACT Seagrass ecosystem has a function of spawning, nursery, and feeding ground. Besides, it could be used as a bio-indicator of environmental health. This study of seagrass ecosystem was done in 17- 22 May 2014 in Lembeh Island and Tanjung Merah, Bitung. The purpose of the study is to obtain existing condition of seagrass ecosystem and its role as environment bio-indicator. Purposive sampling method was used representing all study sites. Structure analysis of seagrass communities describes the existing condition, while scoring / weighting method estimate current condition of the seagrass. Results that show there are seven species of seagrass. In the stations opposite to Bitung mainland, 75% of the seagrass are Enhalus acoroides (10-50% covers). Importance value index of the seagrass species were Enhalus acoroides (231–300 %), Thalassia hemprichii ( 102–198 %) and Halophila ovalis (110 %) respectively. Based on the weighting method and environmental standard quality, seagrass ecosystem in Lembeh island opposite to Bitung mainland was in damage and unhealthy condition, while seagrass ecosystem opposite to the open sea was in a good and healthy condition. This was due to the domestic waste that is trapped in seagrass ecosystem in the study site. It is necessary to improve awareness to maintain quality of environmental. Keywords: seagrass, existing, bioindicator, Lembeh Island
ABSTRAK
Ekosistem lamun dapat dijadikan sebagai suatu bioindikator kesehatan lingkungan selain berperan sebagai tempat mencari makan, membesarkan anakan, atau sebagai tempat memijah. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 17-22 Mei 2014 di Pulau Lembeh dan Tanjung Merah, Bitung. Tujuan penelitian ini mendapatkan kondisi eksisting ekosistem lamun dan peranannya sebagai bioindikator perairan. Metode pengambilan sampel secara purposive sampling yang mewakili seluruh lokasi penelitian. Analisis sampel yang dilakukan adalah analisis struktur komunitas untuk menggambarkan kondisi eksisting lamun dan metode skoring/bobot untuk mengestimasikan kondisi ekosistem lamun. Terdapat tujuh spesies lamun yang ditemukan dengan penutupan berkisar antara 10–50 %. Stasiun di Pulau Lembeh yang berhadapan dengan daratan Bitung 75 % monospesies Enhalus acoroides sedangkan stasiun lainnya padang lamun campuran. Nilai INP (Indeks Nilai Penting) spesies terbesar adalah Enhalus acoroides (231–300 %), Thalassia hemprichii (102–198 %) dan Halophila ovalis (110 %). Berdasarkan sistem pembobotan dan baku mutu kondisi lingkungan ekosistem lamun di Pulau Lembeh yang menghadap daratan Bitung dalam kondisi rusak dan kurang sehat, sedangkan yang berhadapan langsung dengan laut lepas dalam kondisi baik, kaya, dan sehat. Hal ini dapat disebabkan dari limbah daratan Bitung yang terperangkap di ekosistem lamun sehingga terjadi kerusakan. Diperlukan kemauan masyarakat untuk tidak membuang sampah ke laut, sehingga lingkungan perairan dapat terjaga dengan baik. Kata Kunci: Lamun, eksisting, bioindikator, Pulau Lembeh
PENDAHULUAN
Perairan pesisir merupakan lingkungan yang
memperoleh sinar matahari cukup. Perairan ini juga
kaya akan nutrien karena mendapat pasokan dari
daratan dan lautan sehingga menjadi ekosistem yang
produktivitas organiknya tinggi. Lingkungan yang
sangat mendukung di perairan pesisir menjadikan
lamun dapat hidup dan berkembang secara optimal.
Namun kondisi ini juga menjadi ancaman jika nutrien
dalam konsentrasi yang terlalu tinggi. Akibatnya terjadi
pengayaan nutrien (eutrophycation) yang dapat
menyebabkan meledaknya populasi alga (algae
bloom). Ekosistem lamun menurut Philips & Menez
(1988) adalah salah satu ekosistem bahari yang
produktif di perairan dangkal yang berfungsi
234
Rustam dkk.
tegak lurus garis pantai, kemudian kuadrat berukuran
50x50 cm² diletakkan secara sistematik dengan
jarak antar kuadrat 10 m atau tergantung kondisi.
Jarak antar transek 50-100 m atau tergantung kondisi.
Parameter yang diambil di setiap stasiun penelitian
adalah persentase tutupan lamun dalam setiap
kuadrat 50x50 cm² secara estimasi visual berdasarkan
panduan persentase tutupan lamun standar Seagrass
Watch (McKenzie et al. 2003). Analisis struktur
komunitas lamun untuk mengetahui kondisi
ekosistem dilakukan dengan menghitung
komposisi jenis lamun, frekuensi jenis dan
frekuensi relatif, kerapatan jenis dan kerapatan
relatif, penutupan jenis dan penutupan relatif.
Untuk menduga keseluruhan dari peranan suatu
jenis lamun dilakukan perhitungan indeks nilai
penting. Dilanjutkan dengan analisis kriteria
baku kerusakan dan status ekosistem lamun
berdasarkan Kepmen LH No. 200 tahun 2004.
Perhitungan komposisi jenis dilakukan
dengan membandingkan antara jumlah individu
tiap jenis dengan jumlah total individu seluruh
jenis lamun yang ditemukan. Identifikasi jenis
berdasarkan taksonomi dan kunci identifikasi
lamun (Kuo & den Hartog 2001; den Hartog &
Kuo 2006). Indonesia hanya memiliki 12 jenis
lamun.
Frekuensi dan kerapatan jenis lamun dihitung
dengan mengacu pada Fachrul (2007). Penutupan
jenis yaitu luas area yang ditutupi oleh jenis
lamun, dapat dihitung menggunakan metode
Saito & Atobe (English et al. 1997).
Indeks Nilai Penting (INP) (Brower et al.
1990), digunakan untuk menghitung dan menduga
keseluruhan dari peranan jenis lamun di dalam suatu
komunitas. Semakin tinggi nilai INP suatu jenis
relatif terhadap jenis lainnya, semakin tinggi
peranan jenis pada komunitas tersebut.
Kriteria baku kerusakan padang lamun
adalah ukuran batas perubahan fisik dan atau
Gambar 1. Lokasi penelitian di Pulau Lembeh, Bitung, Sulawesi Utara, Mei 2014
untuk menstabilkan sedimen dari arus dan
gelombang (sediment trap), memberikan
perlindungan terhadap hewan di padang lamun,
membantu organisme epifit yang menempel
pada daun, memiliki produktifitas yang tinggi,
menfiksasi karbon di kolom air sebagian masuk
ke sistem rantai makanan dan sebagian tersimpan
dalam biomassa dan sedimen. Eksistensi lamun
merupakan adaptasi terhadap salinitas tinggi,
kemampuan menancapkan akar di substrat, dan
kemampuan untuk tumbuh dan bereproduksi
pada saat terbenam. Jenis lamun mencapai 58
spesies di seluruh dunia (Kuo & McComb
1989) dengan konsentrasi utama di wilayah
Indo-Pasifik. Dari jumlah tersebut 16 spesies
dari 7 genus ditemukan di Asia Tenggara.
Jumlah spesies terbesar ditemukan di Filipina
sebanyak 16 spesies. Di Indonesia ditemukan
jenis lamun sebanyak 12 spesies dari 7 genus.
Pemanfaatan lamun sebagai bioindikator
monitoring keberadaan logam berat, antara lain
jenis Cymodecae rotundata, Enhalus acoroides
dan Thalassia hemprichii, untuk logam berat
Cu, Cd, Pb dan Zn di perairan Teluk Xincun,
Cina Selatan ( Li & Huang 2012). Zostera
capriconi sebagai bioindicator Cd, Cu, Pb, Se
dan Zn di ekosistem lamun Lake Macquarie,
Australia (Rappe 2010). Halophila ovalis
sebagai bioindikator perairan estuaria (River
Science 2013). Berdasarkan peranan dan fungsi
tersebut maka ekosistem lamun dijadikan
bioindikator lingkungan berdasarkan kriteria
Kepmen LH Nomor 200 tahun 2004 tentang
kriteria baku kerusakan dan pedoman penentuan
padang lamun atau ekosistem lamun. Penelitian
ini bertujuan untuk mendapatkan kondisi eksisting
lamun dan kondisi lingkungan penelitian dan peranan
lamun sebagai bioindikator lingkungan di Pulau
Lembeh terkait keberadaan pelabuhan Bitung
dan aktivitas daratan di sekitarnya.
BAHAN DAN CARA KERJA
Lokasi penelitian di Bitung, yang difokuskan
di Pulau Lembeh yang berada di depan Bitung.
Terdapat 8 stasiun di Pulau Lembeh (14LT01-
14LT09 kecuali 14TL6) dan 1 di daratan Bitung
(Tanjung Merah: 14TL6) ( Gambar 1).
Metode penngambilansampel dilakukan secara
purposive sampling, dengan line transect, secara
235
Ekosistem Lamun sebagai Bioindikator Lingkungan di P. Lembeh,
hayati padang lamun yang dapat ditenggang
yang ditetapkan berdasarkan persentase luas
area kerusakan atau luas penutupan lamun yang
hidup dicantumkan pada Tabel 1.
Selain itu metode pemboboton juga dapat
dipakai berdasarkan beberapa komponen ekosistem
lamun berdasarkan (Supriyadi 2010) dapat dilihat
pada Tabel 2 dan Tabel 3.
Indeks keanekaragaman Shannon–Wiener,
kesergaman dan dominasi mengikuti formulasi
seperti pada Brower et al. 1990 dan Krebs (1989) .
HASIL
Kondisi eksisting ekosistem lamun
Selama penelitian didapatkan tujuh spesies
lamun yang tergolong ke dalam dua famili,
yaitu Hydrocharitaceae dan Cymodoceaceae.
Tiga jenis dari famili Hydrocharitaceae, yaitu
Enhalus acoroides (Linnaeus f) Royle,
Thalassia hemprichii (Ehrenberg) Ascherson
dan Halophila ovalis (R. Brown) Hooker f.
Empat jenis dari famili Cymodoceaceae, yaitu
Cymodocea serrulata (R. Brown) Ascherson,
Cymodocea rotundata Ehrenberg & Hemprich
ex Ascherson, Halodule uninervis (Forsskål)
Ascherson, dan Syringodium isoetifolium
(Ascherson) Dandy. Jenis lamun yang ditemukan di
sembilan lokasi disajikan pada Tabel 4.
Di dunia terdapat 60 jenis lamun yang
terbagi dalam 13 genus dan 5 famili (Short et.
al. 2001). Indonesia terdapat 12 jenis lamun
dalam dua famili yang tersaji dalam Tabel 4.
Perairan Indonesia memiliki 12 jenis
lamun, walaupun menurut Kiswara (2009)
Indonesia memiliki 14 jenis lamun. Dua jenis
lamun lainnya yaitu Ruppia maritime dan
Halophila beccarii berdasarkan herbarium
lamun yang terdapat di Herbarium Bogoriense
Cibinong, Bogor.
Komposisi lamun yang ditemukan di Pulau
Lembeh dan Tanjung Merah selama penelitian
menunjukkan tidak adanya dominansi berdasarkan
jumlah individu di lokasi penelitian. Hal ini
dibuktikan dengan nilai kisaran komposisi
lamun yang rendah yaitu 5–20 % (Gambar 3).
Gambar 3 menunjukkan komposisi jenis
lamun di Pulau Lembeh dan Tanjung Merah,
nilai komposisi lamun terbesar adalah jenis S.
soetifolium (20 %), diikuti tiga jenis lamun
Penutupan (Ci) (% )
Baik Kaya (Sehat) ? 60
Kurang kaya/sehat 30 – 59,9
Miskin ? 29,9
Kondisi
Rusak
Tabel 1. Status padang lamun (KepmenLH No. 200 tahun 2004)
Komponen Kisaran Skor
Spesies lamun ? 2 1
4-Mar 3
6-May 5
? 7 7
Spesies alga 6-Jan 1
12-Jul 3
13 - 18 5
19 - 24 7
Tutupan lamun (%) 25-May 1
26 - 50 3
51 - 75 5
76 - 100 7
Tabel 2. Pembobotan beberapa komponen ekosistem lamun
KondisiPenutupan (Ci)
(% )
Kaya (Sehat) ≥ 60
Kurang
kaya/sehat30 – 59,9
Miskin ≤ 29,9
Tabel 3. Klasifikasi kondisi ekosistem lamun
Gambar 2. E acoroides pada substrat pasir stasiun 14TL03 (panel kiri) dan substrat karang dan pasir stasiun 14TL04 (panel kanan)
236
Rustam dkk.
dengan prosentase yang sama yaitu C. serrulata,
H. uninervis dan C. rotundata sebesar 16 %.
Komposisi jenis lamun yang terkecil adalah E.
acoroides sebesar 5%. Rendahnya nilai komposisi
jenis lamun menunjukkan bahwa tidak adanya
dominansi lamun jenis tertentu di lokasi
penelitian. Hal ini diperkuat dengan nilai indeks
dominansi yang didapat rendah 0,16 (Gambar 3
panel kanan).
14TL01 14TL02 14TL03 14TL04 14TL05 14TL06 14TL07 14TL08 14TL09
HydrocharitaceaeEnhalus acoroides X X X X X X X X XHalophila decipiens - - - - - - - - -Halophilaovalis - - - X - X X X XHalophila minor - - - - - - - - -Halophila spinulosa - - - - - - - - -Thalassia hemprichii - - - X X X X X -CymodoceaceaeCymodocea serrulata - - - X X X X - -Cymodocea rotundata - - - X X - X - -Syringodium isoetifolium - - - - X X X - -Thalassodendron ciliatum - - - - - - - - -Halodule uninervis - - - X X - X X -Halodule pinifolia - - - - - - - - -Keterangan: X =ada
Jenis lamunStasiun
Tabel 4. Spesies lamun yang ditemukan di perairan Pulau Lembeh dan Tanjung Merah, Bitung, Sulawesi Utara, Mei 2014 dari 12 lamun di perairan Indonesia
Gambar 3. Komposisi lamun (panel kiri) dan nilai indeks (panel kanan) yang ditemukan di Pulau Lembeh dan Tanjung Merah, Bitung, Sulawesi Utara, pada bulan Mei 2014
Gambar 4. Kerapatan jenis lamun di Pulau Lembeh dan Tanjung Merah, Bitung, Sulawesi Utara, Mei 2014
237
Ekosistem Lamun sebagai Bioindikator Lingkungan di P. Lembeh,
Stasiun Substrat
Kisaran
tutupan
total (%)
Rata-rata
tutupan
total (%)
14TL01 Lumpur pasir 0 - 30 1514TL02 Lumpur pasir 30 - 50 41,67 Ea14TL03 Pasir Oct-35 21,67 Ea14TL04 Pasir dan karang Mar-80 50,514TL05 Pasir dan karang 70 - 100 8514TL06 Pasir 40 - 100 8014TL07 Pasir 40 - 100 8014TL08 Pasir 25 - 90 62,5
14TL09 Pasir 0 - 15 10,5 Ea dan Ho
Jenis lamun
Ea
Cs, Ea, Ho, Hu, Cr, Si dan ThCs, Ea, Hu, Cr, Si dan ThCs, Ea, Ho dan ThEa, Cs, Hu, Cr, Si dan ThEa, Ho, Hu dan Th
Tabel 5. Prosentase tutupan total lamun, substrat, dan jenis lamun yang ditemukan di Pulau Lembeh dan Tanjung Merah, Bitung, Sulawesi Utara, Mei 2014
Keterangan: Ea= Enhalus acoroides, Cs =Cymodocea serrulata Hu=Halodule uninervisTh=Thalassia hemprichii Cr=Cymodocea rotundataHo=Halophila ovalisSi=Syringodium isoetifolium
Keterangan: Pi= Jumlah petak sampel tempat ditemukan jenis ke -i, FR=Frekuensi relatif, Ki= Kerapatan jenis KR= Kerapatan relatif, C(Pi)=Penutupan jenis lamun ke- i, PR=Penutupan relatif, INP= Indeks nilai penting Fi = Frekuensi Jenis
Tabel 6. Indeks Nilai Penting (INP) lamun di Pulau Lembeh dan Tanjung Merah, Bitung, Mei 2014
Stasiun Pi Fi FR Ki KR C(Pi) PR INP
14TL01 Enhalus acoroides 5 0,09 100% 64 100% 0,15 100% 300%
14TL02 Enhalus acoroides 6 1,00 100% 96 100% 0,42 100% 300%
14TL03 Enhalus acoroides 6 1,00 100% 32 100% 0,22 100% 300%
14TL04 Enhalus acoroides 2 0,33 15% 0 0% 0,01 2% 18%
Halophila ovalis 4 0,67 31% 512 52% 0,14 27% 110%
Thalassia hemprichii 2 0,33 15% 0 0% 0,03 6% 22%
Cymodocea rotundata 2 0,33 15% 0 0% 0,10 20% 35%
Cymodocea serrulata 2 0,33 15% 208 21% 0,18 34% 71%
Halodule uninervis 1 0,17 8% 256 26% 0,05 10% 44%
14TL05 Halophila ovalis 4 0,67 57% 32 1% 0,00 0% 58%
Thalassia hemprichii 0 0,00 0% 16 0% 0,35 17% 17%
Cymodocea rotundata 0 0,00 0% 1120 32% 0,14 7% 39%
Cymodocea serrulata 2 0,33 29% 208 6% 0,14 7% 41%
Halodule uninervis 1 0,17 14% 880 25% 0,07 3% 43%
Syringodium isoetifolium 0 0,00 0% 1200 35% 1,39 66% 101%
14TL06 Enhalus acoroides 4 0,67 29% 0 0% 0,56 11% 40%
Thalassia hemprichii 6 1,00 43% 496 72% 4,17 83% 198%
Halophila ovalis 3 0,50 21% 192 28% 0,28 6% 55%
Cymodocea serrulata 1 0,17 7% 0 0% 0,00 0% 7%
14TL07 Enhalus acoroides 5 0,83 19% 64 8% 0,11 16% 42%
Halophila ovalis 3 0,50 11% 0 0% 0,03 4% 15%
Thalassia hemprichii 6 1,00 22% 416 51% 0,23 32% 105%
Cymodocea rotundata 5 0,83 19% 16 2% 0,16 22% 43%
Cymodocea serrulata 2 0,33 7% 64 8% 0,03 4% 19%
Halodule uninervis 1 0,17 4% 0 0% 0,01 1% 5%
Syringodium isoetifolium 5 0,83 19% 256 31% 0,16 22% 72%
14TL08 Enhalus acoroides 1 0,17 7% 0 0% 0,00 0% 7%
Halophila ovalis 4 0,67 27% 256 32% 0,00 0% 59%
Thalassia hemprichii 5 0,83 33% 32 4% 3,60 64% 102%
Cymodocea rotundata 0 0,00 0% 32 4% 0,00 0% 4%
Cymodocea serrulata 0 0,00 0% 416 52% 0,00 0% 52%
Halodule uninervis 5 0,83 33% 64 8% 2,00 36% 77%
14TL09 Enhalus acoroides 5 0,83 71% 64 100% 1,88 60% 231%
Halophila ovalis 2 0,33 29% 0 0% 1,25 40% 69%
238
Rustam dkk.
Gambar 4 menjelaskan kerapatan lamun dan
sebaran lamun pada seluruh stasiun penelitian.
Terlihat stasiun 14TL05 ditemukan 5 jenis lamun
sedangkan stasiun 14TL01, 14TL02, 14TL03 dan
14TL09 hanya satu jenis lamun (E. acoroides).
Gambar 4 menunjukkan kerapatan jenis
lamun pada lokasi penelitian berdasarkan tunas
atau individu lamun per luasan (individu/m2).
Terdapat tiga spesies lamun yang memiliki
kerapatan tinggi, yaitu S. isoetifolium (1200
individu/m2), C. rotundata (1120 individu/m2)
dan H. uninervis (880 ind/m2) yang ditemukan
pada stasiun yang sama yaitu 14TL05. Lamun
jenis E. acoroides, walaupun ditemukan di
semua stasiun pengamatan, tidak memiliki
kerapatan yang tinggi. Kerapatan terendah
lamun jenis E. acoroides (32 ind/m2) di stasiun
14TL03. Hal ini diperkuat dengan prosentase
tutupan lamun jenis E. acoroides yang cukup
rendah pada tiga stasiun monospesies (Tabel 5).
Pentingnya E. acoroides di Pulau Lembeh
dan Tanjung Merah, Bitung diperkuat juga dengan
besarnya indeks nilai penting jenis (INP) tertinggi
pada lamun jenis E. acoroides berkisar antara 231–
300 % yang merupakan tertinggi pada empat stasiun
(14TL01, 14TL02, 14TL03 dan 14TL09). Hal ini
menunjukkan terbentuknya padang lamun
monospesies pada 3 stasiun (14TL01-14TL03) dan
campuran dominan E. acoroides pada satu
stasiun 14TL09. Nilai INP untuk semua jenis
lamun setiap stasiun pengamatan dipaparkan
pada Tabel 6.
Ekosistem lamun sebagai bioindikator lingkungan
Ekosistem lamun sebagai bioindikator
perairan dapat dilihat berdasarkan status kondisi
ekosistem/padang lamun sesuai Kepmen LH no
200 tahun 2004. Penentuan kriteria status
kondisi ekosistem lamun berdasarkan Kepmen
LH no 200 tahun 2004 dapat dilihat pada Tabel
1. Kondisi dan status ekosistem lamun juga
dapat dilihat berdasarkan pembobotan seperti
yang dilakukan Supriyadi (2010) dapat dilihat
pada Tabel 2 dan Tabel 3.
Pada Tabel 7 status padang lamun di Pulau
Lembeh dan Tanjung Merah, Bitung terdapat 5
stasiun dalam kondisi rusak dengan status tiga
stasiun kurang kaya dan kurang sehat (14TL02,
14TL03 dan 14TL04), dua stasiun miskin
(14TL01 dan 14TL09). Empat stasiun dalam
kondisi baik dengan status kaya dan sehat.
Hal yang sama ditunjukkan pada Tabel 8, tabel
tersebut memperlihatkan kondisi ekosistem lamun
dalam kondisi buruk sebanyak 4 stasiun dan
kondisi medium 3 stasiun dan kondisi baik
hanya 2 stasiun.
PEMBAHASAN
Kondisi eksisting ekosistem lamun
Berdasarkan hasil yang didapat pada Tabel
4 bahwa stasiun 14TL07 ditemukan lamun
sebanyak tujuh jenis dan stasiun 14TL01
sampai 14TL03 hanya di jumpai satu jenis
lamun, merupakan padang lamun monospesies
E. acoroides dengan persentase tutupan antara
10 sampai 40 % (Gambar 2 panel kiri). Lamun
jenis E. acoroides ditemukan pada seluruh
stasiun. Keberadaan lamun jenis E.acoroides
pada semua stasiun menunjukkan kemampuan
hidup lamun ini pada berbagai macam substrat,
yaitu dari substrat pasir, karang sampai lumpur
(Gambar 2). Selain itu nilai INP (Tabel 6) yang
cukup tinggi pada lamun jenis E. acoroides
Stasiun Penutupan
14TL01 15 Rusak Miskin
14TL02 41,67 Rusak Kurang kaya/kurang
14TL03 21,67 Rusak Kurang kaya/kurang
14TL04 50,5 Rusak Kurang kaya/kurang
14TL05 85 Baik Kaya/ sehat
14TL06 80 Baik Kaya/ sehat
14TL07 80 Baik Kaya/ sehat
14TL08 62,5 Baik Kaya/ sehat
14TL09 10,5 Rusak Miskin
Kondisi
Tabel 7. Status kondisi padang lamun di Pulau Lembeh dan Tanjung Merah Bitung berdasarkan Kepmen LH 200 tahun 2004
239
Ekosistem Lamun sebagai Bioindikator Lingkungan di P. Lembeh,
( 231 -300 %) memperkuat peran penting lamun
E. acoroides di lokasi penelitian.
Namun rendahnya kerapatan lamun jenis E.
acoroides, hal ini lebih disebabkan lamun E.
acoroides merupakan lamun berukuran terbesar
dari 12 jenis lamun yang ada di Indonesia,
sehingga kerapatan dalam ruang yang sama
akan berbeda dengan jenis lamun lainnya.
Selain itu besarnya lamun jenis E. acoroides
merupakan tempat perlindungan dan mencari
makan dari berbagai jenis ikan.
Nilai indeks keanekaragaman yang didapat
1,89, dan berdasarkan nilai tersebut menunjukkan
bahwa keanekaragaman lamun di lokasi
penelitian termasuk kategori sedang, produktivitas
cukup, kondisi ekosistem cukup seimbang dan
tekanan ekologis sedang ( 1,0 < H’ < 3,322)
(Fitriana 2006). Nilai indeks keanekaragaman
Shannon-Wiener berdasarkan kategori Krebs,
1989 berada pada kategori H’<3,2 yang berarti
keanekaragaman populasi kecil.
Nilai indeks keseragaman lamun sebesar
0,97 menunjukkan bahwa di lokasi penelitian
keseimbangan populasi besar sesuai dengan
kategori Krebs, 1989 (E ≥ 0,6) Hal ini terkait
erat dengan nilai dominansi yang rendah pada
keseluruhan lokasi penelitian (0,16).
Tabel 6 terlihat pada stasiun yang menghadap
Laut Maluku (14TL04, 14TL05, 14TL06, 14 TL07
dan 14TL08) ada kecenderungan membentuk
padang lamun campuran, dengan INP tertinggi
umumnya pada lamun jenis T. hemprichii berkisar
pada 102–198% di tiga stasiun (14TL06,14TL07 dan
14TL08). Dua stasiun lainnya yaitu 14TL04 dan
14TL05 yang berperan penting adalah lamun jenis H.
ovalis dan S. isoetifolium dengan INP sebesar 110%
dan 101%.
Stasiun 14TL01, 14TL02, 14TL03 dan
14TL09 menghadap daratan Bitung di Selat
Lembeh, umumnya membentuk padang lamun
monospesies E. acoroides dengan substrat lumpur
berpasir kecuali pada stasiun 14TL09 ditemukan
H. ovalis dengan substrat pasir.
Ekosistem lamun sebagai bioindikator ling-
kungan
Berdasarkan Tabel 7 dan Tabel 8 terlihat
bahwa kondisi ekosistem lamun yang dekat dengan
daratan Bitung (14TL01, 14TL02, 14TL03, 14TL09)
dalam kondisi rusak dan kurang sehat. Hal ini dapat
disebabkan terlindungnya perairan mengakibatkan
limbah padat (sampah) dan organik dari daratan
Bitung terkumpul di ekosistem lamun. Limbah
seperti bungkus plastik dan tingginya tingkat
kekeruhan dapat mengganggu proses fotosintesis
dari lamun, akibat berkurangnya cahaya matahari
yang masuk. Limbah organik menyebabkan
kekeruhan dan sedimentasi tinggi yang berdampak
negatif karena terganggunya cahaya matahari
yang berpengaruh pada fotosintesis (Duarte &
Gattuso 2008). Selain itu keberadaan ekosistem
lamun di stasiun ini merupakan daerah yang
padat dengan lalu lalang kapal karena dekat
dengan pelabuhan Bitung yang berdampak
negatif (Engeman et al. 2008). Sehingga yang
dapat bertahan pada lokasi ini adalah lamun
yang berukuran besar seperti E. acoroides. Hal
ini menjelaskan keberadaan lamun jenis E. acoroides
Stasiun Jumlah Jenis
Lamun
Skor Jumlah Jenis
Alga
Skor Rata-Rata
Tutupan
Skor Total Skor Kondisi
14TL01 1 1 0 1 15 1 3 Buruk
14TL02 1 1 0 1 41,67 3 5 Buruk
14TL03 1 1 0 1 21,67 1 3 Buruk
14TL04 6 5 0 1 50,5 3 10 Medium
14TL05 6 5 0 1 85 7 13 Baik
14TL06 4 3 1 1 80 7 11 Medium
14TL07 7 7 0 1 80 7 15 Baik
14TL08 4 3 0 1 62,5 5 9 Medium
14TL09 2 1 0 1 10,5 1 3 Buruk
Tabel 8. Kondisi ekosistem lamun berdasarkan skoring (Supriyadi 2010)
240
Rustam dkk.
yang mampu bertahan dengan substrat lumpur
sampai pasir (Gambar 2) pada stasiun-stasiun ini.
Secara keseluruhan ekosistem lamun di
lokasi penelitian dalam kondisi ‘buruk/rusak’ (55.56
%) dan ‘baik’ (44,44 %) berdasarkan KepmenLH no
200 tahun 2004 dan berdasarkan pemboobotan
(Supriyadi 2010) adalah ‘buruk’ (44,44%),
‘medium’ (33,33 %) dan ‘baik’ (22,22 %). Supriyadi
(2010) mendapatkan ekosistem lamun di Toli-Toli
dengan kondisi buruk (9,5 %), sedang (61,9 %) dan
baik/bagus (28,6 %).
Jika pencemaran ini terus berlanjut maka
ekosistem lamun di lokasi akan menghilang karena
kondisi perairan yang tenang dengan limbah daratan
yang masuk cukup besar menyebabkan daun-daun E.
acoroides yang penuh dengan epifit dan alga
sehingga tidak dapat berfotosintesis, hal ini juga
berlaku untuk rhizoma di dasar perairan yang tertutup
sampah plastik.
KESIMPULAN
Lamun yang ditemukan di Pulau Lembeh
dan Tanjung Merah terdapat tujuh spesies lamun
dalam dua famili. Famili Hydrocharitaceae tiga jenis
yaitu E. acoroides, T. hemprichii dan H. ovalis.
Empat jenis dari famili Cymodoceaceae yaitu C.
serrulata, C. rotundata, H. uninervis dan S.
isoetifolium. Kisaran prosentase penutupan rata-
rata antara 10,5% - 85%. Kerapatan individu
lamun perstasiun tertinggi lamun jenis Si
sebesar 1200 ind/m2. Lamun yang memiliki
niilai INP tertinggi adalah E. acoroides.
.Keberadaan lamun di lokasi penelitian
berdasarkan Kepmen LH no 200 tahun 2004
sebagian dalam kondisi kurang baik atau kurang
sehat. Diperlukan regulasi dan aksi yang
melindungi keberadaan lamun, seperti perlunya
transplantasi, penanaman lamun dan peraturan
yang mendukung lainnya. Salah satunya adalah
pembentukan zonasi daerah perlindungan laut
dengan area tertentu dapat dijadikan suatu
regulasi yang baik di daerah yang memiliki tiga
atau salah satu dari ekosistem utama di pesisir,
yaitu ekosistem terumbu karang, mangrove dan
lamun.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terimakasih kepada Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut
dan Pesisir, Balitbang Kelautan dan Perikanan,
Kementerian Kelautan dan Perikanan.
DAFTARPUSTAKA
Brower, JE., JH. Zar, & Von Ende. 1990. Field
and Laboratory Methods for General
Ecology.WmC. Brown Publisher. USA.
den Hartog, C. & J. Kuo. 2006. Taxonomy and
biogeography of seagrasses. Dalam :
Larkum, A.W.D., R.J. Orth, & C.M.
Duarte (eds), Seagrasses: Biology,
Ecology and Conservation. Springer.
Netherlands. 1-23.
Duarte, CM. & JP. Gattuso. 2008. Seagrass
meadows. Dalam: Cleveland, C.J. (ed).
Encyclopedia of Earth. Washington DC.
http://www.eoearth.org/view/
article/155952/.
Engeman, RM., JA. Dugnesnel, EM. Cowan,
HT. Smith., SA. Shwiff & M. Karlin.
2008. Assesing boat damage to seagrass
bed habitat in a Florida park farm a
bioeconomic prospective. Journal Coastal
Research. 24(2): 527 -532.
English, S., C. Wilkinson & V. Baker. 1994. Survey
Manual for Tripocal Marine Resources.
ASEAN-Australia Marine Scisence. Project:
Living Coastal Resources. Townsville.
Fachrul, F. 2007. Metode Sampling Bioekologi.
Bumi Aksara Press. Jakarta.
Fitriana, YR. 2006. Keanekaragaman dan
kelimpahan makrozoobentos di hutan
mangrove hasil rehabilitasi Taman Hutan
Raya Ngurah Rai Bali. Jurnal Biodiversitas. 7
(1): 67-72.
Kepmen LH Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup No. 200 tahun 2004.
Tentang kriteria baku kerusakan dan
pedoman penentuan status padang lamun.
Jakarta
Kiswara, W. 2009. Potensi padang lamun
sebagai penyerap karbon: Studi kasus di Pulau
Pari, Teluk Jakarta. Disampaikan dalam PIT
ISOI VI 16-17 November 2009. Jakarta
241
Ekosistem Lamun sebagai Bioindikator Lingkungan di P. Lembeh,
Kuo, J. & AJ. Mc Comb. 1989. Seagrass taxonomy,
structure and development. Dalam: Larkum,
AWD., AJ. Comb, & SA. Shepherd (eds),
Biology of Seagrasses : a Treatise on the
Biology of Seagrasses with Special Reference
to Australian Region. Elsevier., Amsterdam: 6
-73.
Kuo, J. & C. den Hartog. 2001. Seagrass
identification. Dalam: Short, F.T & R. Coles
(eds.). Global Seagrass Research Methods.
Elsevier Science B.V. Amsterdam. 32 - 58.
Krebs C.J. 1989. Ecological Methodology.
Harper and Row. NY. USA.
Li, Lei & X. Huang. 2012. Three tropical
seagrasses as potential bio-indicators to
trace metal in Xincun Bay, Hainan Island,
South China. Chinese Journal of Oceanology
and Limnology. 30(2):212-224.
McKenzie. LJ., SJ. Campbell, & CA. Roder.
2003. Seagrasswatch: Manual for mapping &
monitring seagrass resources by community
(citizen) volunteers 2sd edition. The state of
Queensland, Department of Primary
Industries, CRC Reef. Queensland..
Phillips, RC., & EG. Menéz 1988. Seagrasses.
smithsonian contributions to the marine
sciences. Smithsonian Institution Press,
Washington D.C.
Rappe, RA. 2010. Population and community
level indicator in assessment of heavy
metal contamination in seagrass ecosystem.
Special section Ocean Pollution. Coastal
marine science 34(1):198 – 204.
River Science. 2013. Using seagrass to understand
the condition of the estuary. Goverment of
Western Australia, Departement of Water.
Short, FT., RG, Coles & C. Pergent-Martini. 2001.
Global seagrass distribution. Dalam: Short, FT
& R. Coles (eds.). Global Seagrass Research
Methods. Elsevier Science B.V. Amsterdam.
5 – 30.
PANDUAN PENULIS
Naskah dapat ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Naskah disusun dengan urutan: JUDUL (bahasa Indonesia dan Inggris), NAMA PENULIS (yang disertai dengan alamat Lembaga/Instansi), ABSTRAK (bahasa Inggris, dan Indonesia maksimal 250 kata), KATA KUNCI (maksimal 6 kata), PENDAHULUAN, BAHAN DAN CARA KERJA, HASIL, PEMBAHASAN, UCAPAN TERIMA KASIH (jika diperlukan) dan DAFTAR PUSTAKA. Penulisan Tabel dan Gambar ditulis di lembar terpisah dari teks.
Naskah diketik dengan spasi ganda pada kertas HVS A4 maksimum 15 halaman termasuk gambar, foto, dan tabel disertai CD. Batas dari tepi kiri 3 cm, kanan, atas, dan bawah masing-masing 2,5 cm dengan program pengolah kata Microsoft Word dan tipe huruf Times New Roman berukuran 12 point. Setiap halaman diberi nomor halaman secara berurutan. Gambar dalam bentuk grafik/diagram harus asli (bukan fotokopi) dan foto (dicetak di kertas licin atau di scan). Gambar dan Tabel di tulis dan ditempatkan di halaman terpisah di akhir naskah. Penulisan simbol a, b, c, dan lain-lain dimasukkan melalui fasilitas insert, tanpa mengubah jenis huruf. Kata dalam bahasa asing dicetak miring. Naskah dikirimkan ke alamat Redaksi sebanyak 3 eksemplar (2 eksemplar tanpa nama dan lembaga penulis).
Penggunaan nama suatu tumbuhan atau hewan dalam bahasa Indonesia/Daerah harus diikuti nama ilmiahnya (cetak miring) beserta Authornya pada pengungkapan pertama kali.
Pustaka didalam teks ditulis secara abjad.
Contoh penulisan Daftar Pustaka sebagai berikut :
Jurnal : Achmadi, AS., JA. Esselstyn, KC. Rowe, I. Maryanto & MT. Abdullah. 2013. Phylogeny, divesity , and
biogeography of Southeast Asian Spiny rats (Maxomys). Journal of mammalogy 94 (6):1412-123. Buku : Chaplin, MF. & C. Bucke. 1990. Enzyme Technology. Cambridge University Press. Cambridge. Bab dalam Buku : Gerhart, P. & SW. Drew. 1994. Liquid culture. Dalam : Gerhart, P., R.G.E. Murray, W.A. Wood, & N.R.
Krieg (eds.). Methods for General and Molecular Bacteriology. ASM., Washington. 248-277. Abstrak : Suryajaya, D. 1982. Perkembangan tanaman polong-polongan utama di Indonesia. Abstrak Pertemuan
Ilmiah Mikrobiologi. Jakarta . 15 –18 Oktober 1982. 42. Prosiding : Mubarik, NR., A. Suwanto, & MT. Suhartono. 2000. Isolasi dan karakterisasi protease ekstrasellular dari
bakteri isolat termofilik ekstrim. Prosiding Seminar nasional Industri Enzim dan Bioteknologi II. Jakarta, 15-16 Februari 2000. 151-158.
Skripsi, Tesis, Disertasi : Kemala, S. 1987. Pola Pertanian, Industri Perdagangan Kelapa dan Kelapa Sawit di Indonesia.[Disertasi].
Bogor : Institut Pertanian Bogor. Informasi dari Internet : Schulze, H. 1999. Detection and Identification of Lories and Pottos in The Wild; Information for surveys/
Estimated of population density. http//www.species.net/primates/loris/lorCp.1.html.