jurnal april 2009

112
Jurnal Tenaga Kependidikan Vol. 4, No. 1, April 2009 1 PENGANTAR REDAKSI Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya Direktorat Tenaga Kependidikan Ditjen PMPTK dapat menerbitkan Jurnal Tenaga Kependidikan Vol. 4, No. 1, April 2009. Tujuan diterbitkannya jurnal ini adalah untuk menyebarluaskan hasil-hasil penelitian dan opini tentang tenaga kependidikan. Dengan berbagi informasi ini diharapkan terjadi pertukaran informasi informasi antar penulis, pembaca, dan pembuat kebijakan dalam rangka meningkatkan mutu tenaga kependidikan secara terus-menerus. Jurnal edisi ini diawali dengan artikel yang ditulis Sujono Surokarijo berjudul, ” Korelasi antara Kepemimpinan Demokratis Kepala Sekolah dengan Kepuasan Kerja Karyawan Tata Usaha.” Artikel ini ditulis berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan untuk mengetahui korelasi antara kepemimpinan demokratis kepala sekolah dengan kepuasan kerja karyawan tata usaha dan perpustakaan sekolah di SMPN Kota Ponorogo. Penelitian menyimpulkan bahwa terdapat korelasi positif antara kepemimpinan demokratis kepala sekolah dengan kepuasan kerja karyawan tata usaha. Selanjutnya, Wukir Ragil menulis artikel dengan judul, ” Makna Pendidikan dalam Menjunjung Nilai-nilai Budaya dan Hukum Positif dalam Rangka Menegakkan Akhlak Mulia Bangsa Indonesia.” Menurut Wukir R, dulu kita terkenal sebagai bangsa yang memiliki semangat gotong royong yang tinggi, sopan, ramah, murah senyum dan santun. Namun akhir-akhir ini kondisi tersebut seakan- akan telah mulai luntur, dan memaksakan kehendak dalam menyampaikan pendapatnya. Melalui suatu kajian pustaka dan kajian empiris diketahui bahwa, perubahan perilaku ini disebabkan beberapa hal antara lain kini kita merasa telah ”Bebas” dari segala belenggu yang dianggap menghambat kreativitas dan ekspresinya sehingga kini seolah-olah bisa bebas dalam berperilaku apa saja dalam menentukan kehidupan bermasyarakat. Penegakkan hukum yang konsisten dan adil akan membawa kita pada suatu kepastian hidup bahwa dalam berkehidupan, berbangsa dan bernegara yang bebas, dan dalam kebinekaan ini kita harus menghargai juga hak asasi orang lain dan dengan tetap patuh pada norma dan hukum yang berlaku. Pendidikan dalam suatu sistem merupakan wahana yang ampuh untuk menegakkan kembali sikap bangsa Indonesia yang memiliki falsafah Pancasila ini dalam sikap hidup gotong royong yang tinggi, ramah, santun, sopan

Upload: asgobest

Post on 05-Dec-2014

90 views

Category:

Documents


16 download

DESCRIPTION

Contoh Jurnal

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal April 2009

Jurnal Tenaga Kependidikan Vol. 4, No. 1, April 2009

1

PENGANTAR REDAKSI

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya Direktorat Tenaga Kependidikan Ditjen PMPTK dapat menerbitkan Jurnal Tenaga Kependidikan Vol. 4, No. 1, April 2009. Tujuan diterbitkannya jurnal ini adalah untuk menyebarluaskan hasil-hasil penelitian dan opini tentang tenaga kependidikan. Dengan berbagi informasi ini diharapkan terjadi pertukaran informasi informasi antar penulis, pembaca, dan pembuat kebijakan dalam rangka meningkatkan mutu tenaga kependidikan secara terus-menerus.

Jurnal edisi ini diawali dengan artikel yang ditulis Sujono Surokarijo berjudul, ” Korelasi antara Kepemimpinan Demokratis Kepala Sekolah dengan Kepuasan Kerja Karyawan Tata Usaha.” Artikel ini ditulis berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan untuk mengetahui korelasi antara kepemimpinan demokratis kepala sekolah dengan kepuasan kerja karyawan tata usaha dan perpustakaan sekolah di SMPN Kota Ponorogo. Penelitian menyimpulkan bahwa terdapat korelasi positif antara kepemimpinan demokratis kepala sekolah dengan kepuasan kerja karyawan tata usaha.

Selanjutnya, Wukir Ragil menulis artikel dengan judul, ” Makna Pendidikan dalam Menjunjung Nilai-nilai Budaya dan Hukum Positif dalam Rangka Menegakkan Akhlak Mulia Bangsa Indonesia.” Menurut Wukir R, dulu kita terkenal sebagai bangsa yang memiliki semangat gotong royong yang tinggi, sopan, ramah, murah senyum dan santun. Namun akhir-akhir ini kondisi tersebut seakan-akan telah mulai luntur, dan memaksakan kehendak dalam menyampaikan pendapatnya. Melalui suatu kajian pustaka dan kajian empiris diketahui bahwa, perubahan perilaku ini disebabkan beberapa hal antara lain kini kita merasa telah ”Bebas” dari segala belenggu yang dianggap menghambat kreativitas dan ekspresinya sehingga kini seolah-olah bisa bebas dalam berperilaku apa saja dalam menentukan kehidupan bermasyarakat. Penegakkan hukum yang konsisten dan adil akan membawa kita pada suatu kepastian hidup bahwa dalam berkehidupan, berbangsa dan bernegara yang bebas, dan dalam kebinekaan ini kita harus menghargai juga hak asasi orang lain dan dengan tetap patuh pada norma dan hukum yang berlaku. Pendidikan dalam suatu sistem merupakan wahana yang ampuh untuk menegakkan kembali sikap bangsa Indonesia yang memiliki falsafah Pancasila ini dalam sikap hidup gotong royong yang tinggi, ramah, santun, sopan

Page 2: Jurnal April 2009

dalam berperilaku. Pendidikan bukan hanya menekankan aspek kognitif dan afektif, serta psikomotorik saja akan tetapi juga pembetukan akhlak mulia.

Moh. Suryadi Syarif dengan artikelnya yang berjudul, ”Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Era Otonomi Daerah dan Beberapa Faktor yang Mempengaruhinya.” Menurut Moh. Suryadi Syarif, kepemimpinan kepala sekolah dalam era otonomi daerah mengutamakan pemberian kesempatan, dan atau mendorong semua unsur dalam struktur organisasi sekolah untuk bekerja atas dasar sistem nilai yang luhur sehingga semua unsur yang terlibat bersedia tanpa paksaan untuk berpartisipasi secara optimal dalam mendukung komitmen organisasi sekolah dalam pencapaian tujuannya. Karakteristik kepemimpinan tersebut ditunjukkan oleh indikator-indikator: idealized influence, inspirational motivation, intellectual stimulation, dan individualized consideration.

Ali Imron menulis artikel, “Perilaku Tenaga Administrasi Sekolah dalam Pelayanan Publik di Tingkat Satuan Pendidikan.” Ali Imron mengemukakan gagasannya bahwa dalam perspektif total quality management (TQM), sekolah dipandang sebagai institusi publik yang harus dapat memuaskan customer-nya. Perspektif TQM ini, mendapatkan momentum tepat ketika reformasi di berbagai bidang digulirkan di negeri ini, termasuk di dalamnya adalah reformasi pelayanan publik di bidang pendidikan. Paradigma pelayanan publik di tingkat satuan pendidikan sekolah patut digeser dari yang konvensional menuju ke kondisi yang senantiasa ter-update, agar ketika dibutuhkan berada dalam keadaan on-service. Tenaga administrasi sekolah haruslah menunjukkan perilaku sebagai seorang pelayan publik yang pro aktif, responsif dan antisipatif terhadap berbagai kebutuhan, aspirasi dan harapan stake holders sekolah sesuai Permendiknas Nomor 24 Tahun 2008 tentang Standar Tenaga Administrasi Sekolah/Madrasah. Oleh karena itu, selain harus menguasai berbagai hard skill, yang berupa ketrampilan teknis, juga menguasai berbagai shoft skill yang senantiasa ditampilkan pada saat memberikan pelayanan prima sekaligus memuaskan kepada customer-nya.

Sri Marmoh dengan artikelnya yang berjudul, “Problematika Perpustakaan Sekolah pada Pendidikan Dasar dan Alternatif Solusinya.” Artikel ini membahas tentang segala problematika perpustakaan sekolah yang selama ini kurang diminati dan kurang diberi makna oleh sekolah dan stakeholdersnya. Eksistensi perpustakaan sekolah seharusnya dapat dijadikan tempat atau sarana untuk membantu menggairahkan semangat belajar, menumbuhkan minat baca, dan mendorong membiasakan siswa belajar secara mandiri. Fakta yang ada di tiap-tiap sekolah adalah banyaknya sekolah-sekolah pada pendidikan dasar yang belum memiliki

Page 3: Jurnal April 2009

perpustakaan. Sementara sekolah yang memiliki perpustakaan juga belum sepenuhnya dapat memenuhi harapan tersebut. Hal ini disebabkan oleh berbagai kendala di lapangan. Tulisan ini akan membahas tentang segala problematika perpustakaan sekolah yang selama ini kurang diminati dan kurang diberi makna oleh sekolah dan stakeholdersnya.

Rokhmaniyah menulis artikel dengan judul, “Perilaku Kepemimpinan Entrepreneurship Kepala Sekolah.”. Menurut Rokhmaniyah, kepala sekolah harus dapat melaksanakan fungsinya sebagai pendidik (educator), pemimpin (leader), pengelola (manager), administrator (administrator), penyelia (supervisor), wirausahawan (entrepreneur), dan pencipta iklim kerja (climator). Perilaku kepemimpinan entrepreneurship kepala sekolah adalah ilmu dan seni mempengaruhi warga sekolah agar mau dan mampu bertindak sebagai intrapreneurship. Kepala Sekolah dimaksud terbukti telah mampu memasarkan lulusannya, mampu membaca peluang tenaga kerja di dunia usaha dan industri (dui), kreatif dan inovatif dalam membekali lulusan dengan keterampilan yang dibutuhkan masyarakat. Selain itu, ia mampu bekerja keras dan berani menanggung risiko.

Ujang Didi Supriadi menulis artikel berjudul, “Kajian atas Kebijakan Pemerintah tentang Kepemimpin Kepala Sekolah pada SMPN 115 Jakarta sebagai Salah Satu Rintisan Sekolah Bertaraf Internasioanal.” Ujang Didi Supriadi menyatakan bahwa kualifikasi seorang kepala sekolah harus memiliki tingkat pendidikan S2 dari perguruan tinggi yang program studinya terakreditasi A dan memiliki kemampuan berbahasa Inggris secara aktif. Selain itu terdapat pula 16 kriteria seorang kepala sekolah yang memimpin RSBI. Penetapan standar dan kriteria tersebut diarahkan untuk mewujudkan tujuan sebuah sekolah yang memiliki daya saing pada tingkat nasional dan internasional.

Akhirnya, jurnal ini ditutup dengan artikel yang berjudul, “Pemimpin Komunitas Pembelajaran” ditulis oleh Zainun Misbah. Penulis mengungkapkan gasasannya bahwa Pembelajaran Profesional (KPP) telah dilakukan oleh peneliti pendidikan dan dipublikasikan dalam beberapa jurnal ilmiah. Selama tiga puluh tahun belakangan ini kajian tentang KPP terus dilakukan sebagai upaya pengembangan dan inovasi sekolah, meskipun penelitian tentang efek KPP terhadap nilai siswa belum banyak dilakukan. Dari beberapa kajian tersebut karakteristik KPP adalah adanya reflective dialogue, de-privatization of practice, collective focus on student learning, collaboration dan shared norms and values.

Dengan terbitnya jurnal ini diharapkan saran-saran yang membangun dari pembaca sehingga penerbitan berikutnya semakin berkualitas. Adanya kekurangan-

Page 4: Jurnal April 2009

kekurangan pada jurnal ini kiranya dapat dimaklumi karena di dunia ini tak ada yang sempurna. Atas segala saran-saran yang membangun pembaca, kami mengucapkan banyak terima kasih.

Page 5: Jurnal April 2009

KORELASI ANTARA KEPEMIMPINAN DEMOKRATIS KEPALA SEKOLAH DENGAN KEPUASAN KERJA

KARYAWAN TATA USAHA

Sujono Surokarijo Universitas Negeri Jakarta

Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui korelasi antara kepemimpinan demokratis kepala sekolah dengan kepuasan kerja karyawan tata usaha dan perpustakaan sekolah di SMPN Kota Ponorogo. Metode penelitian adalah survai, dengan pendekatan korelasional. Sampel penelitian 50 orang karyawan tata usaha, dijaring secara teknik sampling acak sederhana dari 57 orang karyawan tata usaha. Instrumen yang dipakai adalah kuisioner tertutup menggunakan skala Likert dengan 4 alternatif jawaban, divalidasi dengan analisis butir, sedang reliabilitas dianalisis dengan teknik Alpha Cronbach. Analisis data menggunakan teknik korelasi Product Moment dan teknik regresi linear. Hasil penelitian menunjukan, terdapat korelasi positif antara kepemimpinan demokratis kepala sekolah dengan kepuasan kerja karyawan tata usaha, diperoleh koefisien korelasi (r) = 0,39, pada persamaan regresi � = 35,48 + 0,36 X. Setelah dikoreksi dengan uji t, di dapat th > tt ( 2,93 > 1,70), berarti korelasi signifikan. Kepemimpinan demokratis kepala sekolah memberi sumbangan positip 15 % pada kepuasan kerja karyawan tata usaha. Kata Kunci: Kepemimpinan, kepuasan kerja.

PENDAHULUAN

Sudah menjadi kodrat manusia, bahwa setiap manusia membutuhkan pekerjaan dan hidup layak. Bila seseorang dapat bekerja dan hidup layak, dalam dirinya ada kepuasan hidup. Caranya (1992), menyatakan bahwa kepuasan hidup meliputi kepuasan: keluarga, perkawinan, kepuasan masa luang, dan kerja. Sedang kepuasan kerja sendiri mempunyai enam segi, yaitu: (1) kepuasan hubungan antar karyawan, (2) kepuasan supervise, (3) kepuasan prestasi, (4) kepuasan gaji, (5) kepuasan kepemimpinan, dan (6) kepuasan tugas.

Menurut Strauss (Hadikusumo, 1990), kebutuhan yang terpenuhi dari pekerjaan ada tiga bentuk, yaitu: (1) kebutuhan fisik dan keamanan, (2) kebutuhan sosial, dan (3) kebutuhan egois. Kebutuhan fisik pokok dapat berupa uang. Dengan uang seseorang dapat memenuhi segala macam kebutuhan. Status sosial seseorang di masyarakat dipengaruhi oleh besar kecilnya penghasilan yang dihitung

Page 6: Jurnal April 2009

Sujono Surokarijo

2

berdasarkan besar-kecilnya uang. Tuntutan seseorang dari pekerjaan adalah pekerjaan tersebut memberi penghasilan yang berupa gaji dan gaji tersebut dapat memenuhi kebutuhan hidup yang layak. Seseorang hidupnya layak bila kebutuhan pertama manusia sebagai makluk biologis yaitu kebutuhan makan, pakaian, dan tempat tinggal terpenuhi. Selanjutnya, pemenuhan kebutuhan keamanan dalam pekerjaan atau pemenuhan kebutuhan-kebutuhan lain akan terpenuhi di masa yang akan datang. Termasuk kemajuan yang akan diperoleh dari pekerjaan berupa: (1) kenaikan upah; (2) senioritas sebagai jalan untuk maju, senioritas yang lebih tinggi biasanya berarti keamanan dalam pekerjaan lebih aman; dan (3) segi jaminan nilai material yang meningkat sehingga semua kebutuhan hidup terpenuhi baik kebutuhuan biologis maupun kebutuhan nonbiologis.

Kebutuhan sosial pokok adalah keanggotaan dalam kelompoknya, yaitu perasaan rasa bersatu dan diakui keberadaannya. Karyawan cenderung bersikeras untuk membentuk kelompok-kelompok informal, walaupun kadang-kadang bertentangan dengan pihak pimpinan organisasi kerja. Kenyataan karyawan yang berbentuk team work memiliki moral yang lebih tinggi dari pada yang sendirian. Selain itu, hasil kerjanya lebih baik dari yang sendirian karena kelemahan dari anggota team work ditutup oleh anggota team work yang lain. Dalam aktivitasnya melaksanakan pekerjaan seseorang membutuhkan dukungan orang lain, ingin menjadi orang yang berarti dalam kelompoknya. Jika berhasil ingin dihargai dan bila ada kesulitan ingin dibantu.

Kebutuhan egois yang utama adalah kebutuhan akan prestasi. Orang menyukai pekerjaan-pekerjaan yang dianggap berharga oleh masyarakat. Pekerjaan tata usaha pada Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) termasuk jenis pekerjaan yang dihargai masyarakat karena statusnya sebagai pegawai negeri sipil. Manusia dewasa membutuhkan pemenuhan kebutuhan egois dan aktualisasi diri tingkat tinggi melalui pekerjaan mereka. Seseorang bila berhasil melaksanakan tugas dan dapat mengatasi berbagai hambatan dalam melaksanakan tugas, maka keberhasilannya dihargai oleh pimpinan. Iapun akan merasa puas.

Menurut Iskandar (Media Indonesia, 20 November 2001), tingkat pencapaian rata-rata hasil ujian nasional, SD, SMP, dan SMU tidak mencapai tingkat ketuntasan untuk semua mata pelajaran. Demikian juga untuk daya saing kemampuan sumber daya manusia Indonesia semakin menurun. Seiring dengan pernyataan tersebut berarti sumber daya manusia para guru dan karyawan tata usaha pada sekolah-sekolah di Indonesia menurun. Oleh karenanya kinerja mereka menurun. Hal ini berakibat menurunnya mutu pendidikan di Indonesia termasuk pendidikan di SMP.

Page 7: Jurnal April 2009

Korelasi Kepemimpinan

3

Kenyataan gaji yang diterima para guru dan karyawan tata usaha sekolah di Indonesia kurang mencukupi untuk biaya hidup mereka.

Argyris (Buchori Zainun,1976) menyatakan bahwa jika kebutuhan yang diidam-idamkan seseorang tidak tercukupi, maka orang itu kecewa. Mereka resah, gundah dan runyam. Dengan demikian, para guru dan karyawan tata usaha sekolah tersebut kurang puas karena gaji yang ia terima kurang mencukupi untuk pemenuhan hidup. Apalagi bagi mereka yang sudah berkeluarga. Hal ini dapat berakibat turunnya kinerja mereka.

Darwis (Scermerhorn, 1991) menyatakan bahwa kepuasan kerja berkaitan dengan sejumlah variabel yang memungkinkan para manajer memperkirakan kelompok yang lebih cenderung mengalami masalah ketidakpuasan. Variabel tersebut adalah pegawai, lingkungan kerja, usia, pangkat, dan organisasi.

Sesuai dengan pendapat di atas, kepuasan kerja seseorang terkait dengan beberapa variabel. Salah satu variabel yang ada sangkut pautnya adalah variabel organisasi. Dalam organisasi secara struktural ada pemimpin dan bawahan. Pemimpin ialah orang yang mempengaruhi orang lain dan yang bertanggung jawab atas kelangsungan hidup organisasi. Bawahan ialah orang yang dipengaruhi untuk melaksanakan tugas guna pencapaian tujuan organisasi.

Siagian (1989) menyatakan bahwa pemimpin sebagai motor penggerak semua sumber daya yang tersedia dalam organisasi. Sumber daya meliputi sumber daya manusia dan nonmanusia. Karenanya dapat dikatakan keberhasilan organisasi dalam mencapai tujannya tergantung kemampuan pemimpin dalam mendayagunakan semua sumber daya yang tersedia dalam organisasi tersebut.

Karyawan tata usaha sekolah merupakan sumber daya manusia yang tersedia di SMP yang terdiri atas: koordinator administrasi dan karyawan-karyawan yang menangani administrasi kurikulum, kesiswaan, perlengkapan, hubungan masyarakat, bimbingan penyuluhan, keuangan, ketenagaan, kearsipan, laboran, dan karyawan perpustakaan.

Kepala Sekolah sebagai manajer dan pemimpin menggerakkan bawahannya baik guru maupun karyawan tata usaha sekolah melalui gaya kepemimpinan. Secara garis besar gaya kepemimpinan dibagi tiga tipe yaitu: (1) gaya kepemimpinan otokratis, pada tipe ini pemimpin menganggap bawahan sebagai alat produksi atau alat untuk pencapaian tujuan organisasi; (2) gaya kepemimpinan demokratis, pada tipe ini pemimpin menganggap bawahan sebagai mitra kerja, dan (3) gaya kepemimpinan kendali bebas, pada tipe ini, pelaksanaan tugas atau pekerjaan diserahkan kepada bawahan.

Page 8: Jurnal April 2009

Sujono Surokarijo

4

Seiring kepuasan kerja karyawan terkait dengan gaya kepemimpinan, maka permasalahannya dalam meningkatkan kepuasan kerja karyawan tata usaha sekolah adalah, ”Bagaimana hubungan antara gaya kepemimpinan demokratis kepala sekolah dengan kepuasan kerja karyawan tata usaha sekolah?”

KAJIAN PUSTAKA

Menurut Poerwadarminta (1991), kepuasan adalah perasaan lega atau senang karena merasa sudah terpenuhi kebutuhannya atau hasrat hatinya. Sedang yang dimaksud kerja adalah perbuatan melakukan sesuatu atau sesuatu yang dilakukan. Menurut Patton (Hesmes, 2001), kepuasan kerja dalam diri seseorang akan tumbuh bila bekerja selaras dengan diri sendiri. Coreman (Timpe A Dale, 1999) mendefinisikan kepuasan kerja ialah respons seseorang terhadap bermacam-macam lingkungan kerja yang dihadapinya termasuk komunikasi organisasi, supervisor, promosi, hubungan teman sekerja. Sedang Grunerberg (Buchori Zainun, 1976) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah seperangkat perasaan karyawan tentang menyenangkan atau tidaknya jenis pekerjaan. Dengan demikian yang dimaksud kepuasan kerja adalah perasaan senang atau lega karena apa yang dilakukan tersebut sesuai dengan dirinya dan telah memenuhi kebutuhan atau hasrat hatinya.

Pada penelitian ini teori-teori yang dianalisis dan relevan dengan tujuan penelitian adalah: (1) Teori discrepancy oleh Porter (Stoner, 1989). Menurut teori ini, untuk mengukur kepuasan kerja adalah dengan membandingkan apa yang seharusnya atau diharapkan dengan kenyataan yang dirasakan. Seseorang akan merasa puas bila tidak ada perbedaan antara apa yang diinginkan atau diharapkan dengan kenyataan yang dirasakannya, karena batas minimum yang diinginkan telah terpenuhi. (2) Teori pemenuhan kebutuhan oleh Maslow (1970), Menurut teori ini walaupun kebutuhan manusia beragam, namun kebutuhan utama manusia pada hakikatnya sama dan merupakan hirarki yang terdiri dari lima tingkat. Hirarki kebutuhan manusia menurut Maslow sebagai berikut: a. kebutuhan fisiologis (makan, pakaian, tempat tinggal); b. kebutuhan rasa aman; c. kebutuhan hidup berkelompok dan bermasyarakat; d. kebutuhan penghargaan, pengakuan; dan e. kebutuhan aktualisasi diri atau menunjukkan jati-diri. Menurut teori ini kebutuhan akan menimbulkan ketidak seimbangan pada diri seseorang, sesorang akan menjadi resah dan ia melakukan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Setelah kebutuhannya terpenuhi ia merasa puas. Seterusnya setelah terpenuhi kebutuhannya dan merasa puas, kebutuhan pada peringkat di atasnya atau berikutnya muncul dan orang tersebut berusaha untuk memenuhinya. 3. Teori Existence – Relatedness –

Page 9: Jurnal April 2009

Korelasi Kepemimpinan

5

Growth (ERG) oleh Aldefer (Stoner, 1989). Menurut teori ini hirarki kebutuhan seseorang terdiri dari tiga peringkat, yaitu: a. Existence kebutuhan yang dipuaskan oleh faktor-faktor makanan, minuman, udara, serta lingkungan kerja (kondisi pekerjaan); b. Relatedness, puas karena hubungan sosial yang bermanfaat; dan c. Growth, kepuasan karena memberi sumbangan pada pribadi maupun organisasi.

Mitchel menyatakan bahwa penyebab kepuasan kerja adalah: supervisi, tantangan pekerjaan, keceriaan kerja, isi pekerjaan, dan intensif tradisional. Menurut Strauss (1990), faktor faktor kepuasan kerja adalah: penghargaan, penilaian diri, norma-norma sosial, perbandingan perbandingan sosial, keterikatan, dan dasar pemikiran. Lain lagi dengan Byars (Buchori Zainun, 1976), menurut ia ada lima komponen utama dalam kepuasan kerja, yaitu: (1) sikap terhadap kelompok kerja, (2) kondisi umum pekerjaan, (3) sikap terhadap organisasi, (4) keuntungan keuangan, dan (5) sikap terhadap supervisi. Sedangkan Smith (Cranny,1992), berpendapat bahwa ada lima segi kepuasan kerja, yaitu: (1) kepercayaan pada pimpinan, (2) hubungan teman sekerja, (3) supervisi, (4) gaji, dan (5) jenis dan isi pekerjaan.

Dari beberapa teori-teori dan konsep konsep di atas, yang dimaksud kepuasan kerja dalam penelitian ini adalah perasaan senang atau lega karena merasa terpenuhi kebutuhan atas harapan yang dialami oleh seseorang dari suatu pekerjaan.

Indikator kepuasan kerja, ada empat faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja, yaitu: (1) faktor psikologis, meliputi minat, ketentraman dalam bekerja, bakat; (2) faktor sosial, hal hal yang berhubungan dengan interaksi antara sesama karyawan, hubungan dengan pimpinan; (3) faktor fisik yaitu faktor faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik lingkungan kerja; dan (4) faktor kesejahteraan, meliputi: gaji, tunjangan maupun lain lain yang berhubungan dengan peningkatan kesejahteraan.

Menurut Stoner (1989), kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktivitas yang berkaitan dengan tugas dari para anggota kelompok. Sedang Hotgetts dan Kuratko (1975) mendefinisikan bahwa kepemimpinan sebagai proses mempengaruhi orang orang untuk mengarahkan kegiatan demi pencapaian tujuan. Lain halnya dengan Hainan (1991), ia menyatakan bahwa yang dimaksud kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi pandangan, sikap dan perilaku orang lain. Dari pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam proses kepemimpinan ada orang yang mempengaruhi (pemimpin) dan ada orang yang dipengaruhi (bawahan).

Page 10: Jurnal April 2009

Sujono Surokarijo

6

Dengan demikian yang dimaksud kepemimpinan adalah proses mempengaruhi orang lain, berupa pandangan, perilaku, sikap sehingga orang yang dipengaruhi mau melakukan kegiatan sesuai dengan tugasnya demi pencapaian tujuan yang telah ditentukan.

Menurut teori perilaku, pemimpin dalam mempengaruhi dan berhubungan dengan bawahan mengemban dua fungsi utama, yaitu: (1) fungsi yang berkenaan dengan tugas, dan (2) fungsi yang berkenaan dengan pembinaan pelaksana tugas atau fungsi sosial. Pemimpin yang efektif dapat menjalankan kedua fungsi tersebut. Pemimpin yang cenderung menjalankan fungsi yang berkenaan dengan tugas menganggap bawahan sebagai alat produksi atau alat pencapaian tujuan. Sedang pemimpin yang cenderung menjalankan fungsi yang berkenaan dengan pelaksana tugas mengganggap bawahan sebagai mitra kerja.

Hodgetts (1975) menyatakan bahwa ciri-ciri kepemimipnan demokratis adalah pemimpin yang perhatiannya tinggi terhadap bawahan serta pelaksanaan tugas yang dilakukan bawahan. Sedang Bove (1995) menyatakan sifat kepemimpinan demokratis berorientasi pada pegawai atau karyawan. Pada kepemimpinan ini perilaku pemimpin dalam pengambilan keputusan berdasarkan hasil musyawarah mufakat dengan bawahan, di dalam organisasi tercipta jalur komunikasi ke segala arah, pemimpin memberi keleluasaan pada bawahan dalam menetapkan sasaran pekerjaan dalam pelaksanaan tugas. Sehubungan tanggung jawab baik buruknya organisasi di tangan pemimpin, maka bila ada bawahan yang kesulitan melaksanakan tugas dibimbingnya. Menurut Woods (Timpe A Dale, 1999), gaya kepemimpinan demokratis dalam mempengaruhi bawahan, kegiatannya: (1) bermusyawarah dengan kelompok mengenai hal hal yang menarik perhatian; (2) komunikasi lancar, saluran komunikasi ke segala arah, saran, pujian, kritikan digunakan; (3) melibatkan bawahan dalam melaksanakan sasaran organisasi; dan (4) memberi keleluasaan pada bawahan dalam pelaksanaan tugas. Sedang Hodgetts dan Kuratko (1975) menyatakan ciri-ciri pemimpin yang demokratis dalam berhubungan dengan bawahan sebagai berikut: a. memberi dorongan keberanian melalui arus komunikasi yang berkelanjutan antara ia dengan bawahan, b. mendukung adanya pertukaran informasi antar bawahan yang berkelanjutan, c. menciptakan arus informasi timbal balik, d. pemimpin mendelegasikan sebagian wewenang pada bawahan dan mendorong bawahan untuk berperan aktif dalam pengoperasian perusahaan. Lain dengan Siagian (1989), ia manyatakan bahwa ciri ciri kepemimpinan demokratis sebagai berikut: (1) pemimpin dalam proses menggerakan bawahan selalu bertitik tolak dari pendapat bahwa manusia adalah

Page 11: Jurnal April 2009

Korelasi Kepemimpinan

7

makluk yang mulia, (2) berusaha mensinkronkan tujuan dan kepentingan organisasi dengan tujuan dan kepentingan pribadi bawahan, (3) senang dan mau menerima saran, pendapat maupun kritik dari bawahan, (4) berusaha mengutamakan kerja sama dalam team work dalam usaha pencapaian tujuan organisasi, (5) berusaha untuk menjadikan bawahan lebih sukses, dan (6) memberi keleluasaan bawahan dalam berbuat kesalahan kemudian dibimbing dan diperbaiki agar tidak membuat kesalahan yang sama. Sesuai analisis teori teori dan konsep konsep di atas, dalam penelitian ini yang dimaksud kepemimpinan demokratis adalah kepemimpinan yang memperhatikan bawahan dan juga memperhatikan proses pelaksanaan tugas yang dilakukan bawahan.

Indikator kepemimpinan demokratis adalah: (1) menganggap bawahan sebagai mitra kerja, (2) dalam menentukan kebijakan organisasi melalui musyawarah mufakat dengan bawahan, (3) membudayakan adanya saran dan kritik, (4) menciptakan jalur komunikasi timbal balik, langsung, terbuka dan ke segala arah, (5) memberi keleluasaan bawahan dalam melaksanakan tugas, (6) mendelegasikan sebagian wewenang pada bawahan, (7) lebih mengutamakan kerja sama, (8) memberi kesempatan bawahan untuk mengembangkan karier, (9) mengakui dan menghargai keberhasilan bawahan, (10) melaksanakan supervisi, dan (11) berusaha meningkatkan kesejahteraan bawahan.

METODOLOGI PENELITIAN

Dalam penelitian ini variabel terikat adalah kepuasan kerja karyawan tata usaha (variabel Y), sedang variabel bebas adalah kepemimpinan demokratis kepala sekolah (variabel X). Metode penelitian ini adalah metode survai. Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan korelasional, karena peneliti ingin mengetahui hubungan antara kepemimpinan demokratis kepala sekolah dengan kepuasan kerja karyawan tata usaha sekolah.

Populasi penelitian seluruh karyawan tata usaha SMPN di Kabupaten Ponorogo, sedang populasi terjangkau seluruh karyawan tata usaha SMPN Kota Ponorogo tahun 2007 yang berjumlah 57 orang. Sampel penelitian sebanyak 50 orang dijaring dengan teknik sampling acak sederhana.

Pengumpulan data dilakukan melalui angket, menggunakan skala Likert dengan empat alternatif jawaban. Analisis data menggunakan teknik korelasi product moment dan teknik analisis regresi linear.

Page 12: Jurnal April 2009

Sujono Surokarijo

8

HASIL PENELITIAN

Pada penelitian ini ditemukan bahwa terdapat korelasi positip antara kepemimpinan demokratis kepala sekolah dengan kepuasan kerja karyawan tata usaha sekolah; diperoleh koefisien korelasi r = 0,39, pada persamaan regresi �= 35,48 + 0,36 X. Selanjutnya dikoreksi dengan uji t, di dapat th > tt ( 2,93 > 1,70), berarti korelasi signifikan. Setelah di analisis dengan analisis determinasi diperoleh r2 = 0,15.

KESIMPULAN

Berdasarkan temuan di atas peneliti menyimpulkan bahwa semakin demokratis kepemimpinan kepala sekolah, semakin meningkat kepuasan kerja karyawan tata usaha sekolah, termasuk karyawan perpustakaan. Kepemimpinan demokratis kepala sekolah memberi sumbangan positif sebesar 15% dan sumbangan tersebut berarti terhadap kepuasan kerja karyawan tata usaha sekolah.

DAFTAR RUJUKAN

Bovee, C. L. 1995. Management. New York: Mc Graw Hill Inc. Buchori Zainun. 1976. Manajemen dan Motivasi. Jakarta: Balai Aksara. Cranny, P. C. S. 1992. Job Satisfaction How People About Their Job And How It

Affects Their Performance. New York: Lexington Books. Hadikusumo. 1990. The Human Problem of Management (Terjemahan). Jakarta:

Pustaka Binaman Pressindo. Hodgeets, R.M. 1975. Management. London: Sounder Company. Maslow, A. 1970. Motivation and Personality. London: Harper and Row. Mitchell, T.R. 1982. People in Organization An Introcdution to Organization

Behavior. Tokyo: Mc.Graw Hill Inc. Poerwadarminta W.J.S. 1991. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai

Pustaka, 1991. Scermerhorn J.R., James G.H., & Richard, N.N. 1991. Managing Organizational

Behavior. New York: John Willey Inc.

Page 13: Jurnal April 2009

Korelasi Kepemimpinan

9

Siagian, S.P. 1989. Filsafat Administrasi. Jakarta: CV Haji Masagung. Stoner, J.A.F & Freeman, R.E. 1989. Management. Upper Saddle River, New

Jersey: Prentice Hall Inc. Timpe A.D. 1999. Leadership - Kepemimpinan.(Terjemahan: Susanto Budidharmo).

Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Page 14: Jurnal April 2009

Jurnal Tenaga Kependidikan Vol. 4, No. 1, April 2009

10

MAKNA PENDIDIKAN DALAM MENJUNJUNG NILAI-NILAI BUDAYA DAN HUKUM POSITIF DALAM

RANGKA MENEGAKKAN AKHLAK MULIA BANGSA INDONESIA

(Suatu Kajian Empiris terhadap Perubahan Sosial bagi Warga Belajar)

Wukir Ragil Staf Ahli Menteri Pendidikan Nasional Bidang Hukum dan Sosial

Dosen Luar Biasa Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Abstrak Sistem Pendidikan Nasional menggariskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dulu kita terkenal sebagai bangsa yang memiliki semangat gotong royong yang tinggi, sopan, ramah, murah senyum dan santun. Namun akhir-akhir ini kondisi tersebut seakan-akan telah mulai luntur, dan memaksakan kehendak dalam menyampaikan pendapatnya. Melalui suatu kajian pustaka dan kajian empiris diketahui bahwa, perubahan perilaku ini disebabkan beberapa hal antara lain kini kita merasa telah ”Bebas” dari segala belenggu yang dianggap menghambat kreativitas dan ekspresinya sehingga kini seolah-olah bisa bebas dalam berperilaku apa saja dalam menentukan kehidupan bermasyarakat. Adalah penegakkan hukum yang konsisten dan adil akan membawa kita pada suatu kepastian hidup bahwa dalam berkehidupan, berbangsa dan bernegara yang bebas, dan dalam kebinekaan ini kita harus menghargai juga hak asasi orang lain dan dengan tetap patuh pada norma dan hukum yang berlaku. Adalah pendidikan dalam suatu sistem merupakan wahana yang ampuh untuk menegakkan kembali sikap bangsa Indonesia yang memiliki falsafah Pancasila ini dalam sikap hidup gotong royong yang tinggi, ramah, santun, sopan dalam berperilaku. Pendidikan bukan hanya menekankan aspek kognitif dan afektif, serta psikomotorik saja akan tetapi juga pembentukan akhlak mulia yang merupakan makna dari pendidikan budi pekerti yang harus dimiliki seluruh peserta didik dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara. Kata Kunci: Penegakkan hukum, Keteladanan, dan Akhlak mulia,

menghargai hak asasi orang lain terutama perbedaan dalam kebinekaan.

Page 15: Jurnal April 2009

Makna Pendidikan

11

PENDAHULUAN

Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna. Sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan masyarakat, pendidikan berlangsung sepanjang hayat dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat. Sedangkan pengertian budaya mempunyai makna yang luas, Herskovits menyatakan lebih dari seratus enam puluh definisi kebudayaan. Kebudayaan adalah hasil dari karya, rasa, cipta, dan karsa. (Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, 1974 hal 113). Demikian semua hasil karya, rasa, cipta, dan karsa masyarakat tadi akan berguna bagi masyarakat yang menciptakannya. Kebudayaan akan dimiliki dan akan tetap hidup dalam masyarakat pemiliknya. Kebudayaan yang dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat akan berbeda yang dimiliki oleh kelompok masyarakat lainnya. Hal ini karena kebudayaan akan hidup dan berkembang dalam masyarakat itu sendiri serta untuk memenuhi keperluan masyarakat tersebut. Selanjutnya menurut Herskovits ada empat unsur pokok dalam kebudayaan yaitu: 1) technological equipment (alat-alat tehnologi), 2) economic system ( sistim ekonomi), 3) family (keluarga), dan 4) political control (kekuasaan politik). Penulis menambahkan unsur kelima yaitu Kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat setempat.

Dengan demikian menurut Herskovits, perkembangan kebudayaan dalam masyarakat akan dipengaruhi adanya empat unsur pokok tersebut. Kebudayaan akan berkembang karena ada perkembangan ilmu dan tehnologi sehingga akan menciptakan alat/sarana tehnologi yang baru/mutakhir.

Kebudayaan akan berkembang seiring dengan berubahnya sistim ekonomi dalam masyarakat. Masyarakat agraris yang selama ini dianut oleh sebagian masyarakat Indonesia sehingga dapat mewujudkan swasembada beras sekaligus menciptakan suatu tatanan/nilai budaya dalam masyarakat petani yang relatif nrimo, kompak, sabar, dan sifat gotong royong yang tinggi dan menjadi masyarakat produsen pangan, pada saat tanah pertanian berubah menjadi kawasan industri seketika itu tata nilai masyarakat berubah menjadi bersifat konsumtif, bersaing untuk mendapat produk yang terbaru dan terbaik, ”sifat gotong royong” agak luntur, kecuali masyarakat pedesaan yang masih menjunjung sifat gotong royong ini sebagai sarana yang jitu dalam bermasyarakat.

Kebudayaan akan berkembang atau berubah dengan berubah tata nilai dalam kehidupan keluarga. Kehidupan keluarga yang agamis akan membuat tata kehidupan dalam keluarga itu selalu menuju pada kehidupan keluarga sakinah, mawardah, dan

Page 16: Jurnal April 2009

Wukir Ragil

12

warokhmah dan selalu bersyukur. Sebaliknya keluarga yang berpola kehidupan ”modern kebarat-baratan” akan menjadikan kehidupan pada keluarga yang serba ”praktis” dan menganggap tata nilai akan mengganggu aktifitas, dan privasinya.

Kekuasaan politik yang mewarnai secara mencolok tata nilai dan kehidupan masyarakat apabila tidak disaring secara intensif oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, akan dapat merubah pola pikir, pola kehidupan, tata nilai, ataupun kelestarian kebudayaan pada masyarakat tertentu. Namun demikian, kaidah hukum itu berlaku, dipatuhi dan menyatu pada tata nilai budaya masyarakat setempat dan akan mampu mempertahankan kehidupan tata nilai atau berkembangnya kebudayaan masyarakat tersebut. Sanksi akan diberikan terhadap pelanggarnya terutama sanksi moral yang diberikan masyarakat untuk membuat jera perbuatan yang dianggap menyimpang dalam masyarakat tersebut. Mereka akan merasa terasing dalam lingkungannya, demikian juga sanksi hukum dari penguasa akan membuat jera untuk mengulangi kesalahannya lagi.

Dipicu oleh sebab musabab yang kurang jelas dan rasa solidaritas sesama teman telah menimbulkan sebuah kekerasan yang dilakukan oleh oknum mahasiswa antar fakultas disebuah perguruan tinggi di Makasar tanggal 3 November 2008 yang lampau, terlihat di televisi seorang oknum dengan membawa berbagai senjata tajam dalam bentrokan adalah sungguh sangat merisaukan. Walaupun tidak menimbulkan korban jiwa, akan tetapi tindakan itu merupakan suatu yang mengarah pada indikasi bahwa budaya penyelesaian suatu perkara dengan kekerasan dianggap sebagai cara yang ”tepat”.

METODE PENELITIAN

Kegiatan kajian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis-normatif dan penelitian empiris melalui pengamatan. Penelitian normatif disini adalah untuk memahami kaidah hukum dan perundang-undangan mengenai gejala sosial dan kebijakan pendidikan. Selanjutnya penelitian normatif ini akan didukung dengan penelitian empiris. Penggabungan penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis-normatis dan penelitian empiris ini akan dapat mengkaitkan antara konsep kebijakan peraturan perundang-undangan dan interaksi sosial masyarakat warga belajar terhadap fenomena yang terjadi di masyarakat.

Page 17: Jurnal April 2009

Makna Pendidikan

13

Nilai-Nilai Budaya dalam Kehidupan Masyarakat.

Organisasi kehidupan sosial masyarakat adalah dasar utama kehidupan hukum (Dawan Raharjo, hal 102). Dinyatakan bahwa kehidupan masyarakat yang terorganisir dengan baik akan menciptakan suatu pranata dalam kehidupan masyarakat. Tata kehidupan yang semula baru merupakan gagasan sebagian dari anggota masyarakat ini lambat laun akan menjadi kesepakatan bersama dan diciptakan untuk menjadi norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. Ia akan dipatuhi dan masyarakat akan memberikan sanksi bagi para pelanggarnya. Norma ini akan dihormati dan lambat laun akan menjadi suatu pola hidup atau nilai-nilai budaya dalam kehidupan masyarakat. Dalam kehidupan sosial nilai-nilai ini akan terus disesuaikan dan dikembangkan oleh masyarakat untuk mengikuti tata kehidupan dalam kelompok masyarakat yang lebih luas lagi. Dalam konteks kehidupan bernegara dan berbangsa, tata nilai budaya semula yang berasal dari kelompok-kelompok masyarakat Indonesia ini akan menyatu dalam suatu konsep sosial budaya yang` satu sama lain saling mewarnai sehingga puncaknya akan menjadi tata nilai budaya Indonesia/budaya nasional.

Para pakar menyatakan bahwa Budaya Nasional merupakan puncak-puncak budaya daerah yang jumlahnya ratusan bahkan ribuan, dan menyatu menjadi suatu tata nilai dan budaya dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Masing-masing tata nilai memberikan ciri tersendiri dan tidak bisa dihapuskan oleh tata nilai budaya dari daerah lain. Sebagai contoh, kemiripan tutur kata pada daerah tertentu belum tentu mempunyai arti yang sama pada tutur kata pada daerah lain. Suatu contoh ” kata nggih ” dalam Bahasa Jawa penggalan dari inggih bisa mempunyai arti ”iya”, akan tetapi dalam Bahasa Gayo, Aceh Tengah ini ” kata nggih ” bukan kepanjangan dari kata inggih dan mempunyai arti ”tidak”. Perbedaan ini kalau kita mampu meresapi dan mensyukuri merupakan suatu anugerah dari Allah yang sangat nikmat. Ini adalah contoh kecil, banyak contoh lain yang tidak kami sebutkan yang semua itu akan membuktikan betapa Besar dan Indahnya Indonesia. Dawan Rahardjo dengan merujuk pendapat Talcott Parsons dalam teori tentang masyarakat menjelaskan bahwa dalam kehidupan masyarakat yang serba diliputi oleh tindakan individu yang mempunyai sifat fisik dan realitas akan selalu kait terkait sehingga dalam kehidupan sosial masyarakat akan mampu mengkaitkan dengan suatu tata hukum dan akan berkembang dalam masyarakat. Menurut Dawam, nilai budaya ini mempunyai fungsi primer untuk mempertahankan pola yang telah berkembang dalam masyarakat yang akan menghubungkan fungsi sosial dan nilai budaya sehingga kehidupan masyarakat akan menjadi bermakna. Keterkaitannya fungsi ini akan

Page 18: Jurnal April 2009

Wukir Ragil

14

menciptakan suatu tata nilai atau kebudayaan bagi masyarakat setempat. Lantas bagaimana halnya dengan kondisi dan konsep pengembangan budaya pada lembaga pendidikan (satuan pendidikan)?. Prof. Muhaimin MA dalam tulisannya yang berjudul Pengembangan Budaya Agama dalam Komunitas Sekolah mengulas secara panjang lebar tentang pentingnya pengembangan Pendidikan Agama sebagai Budaya Sekolah (Religiusitas 4 September 2007 hal, 14-29) antara lain dikatakan bahwa Budaya Sekolah merupakan perpaduan nilai-nilai, keyakinan, asumsi, pemahaman, dan harapan yang diyakini oleh para warga sekolah dan dijadikan sebagai pedoman bagi perilaku dan pemecahan masalah yang mereka hadapi. Dengan perkataan lain bahwa budaya sekolah merupakan semangat, sikap atau pola perilaku serta kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh para warga sekolah secara konsisten dalam memecahkan masalah (hal, 16). Lebih lanjut dikatakan bahwa seluruh implementasi kebijakan sekolah, kondisi, layanan sekolah akan membentuk budaya sekolah yang semuanya akan membentuk pola nilai, sikap, kebiasaan dan perilaku peserta didik. Dengan demikian organisasi satuan pendidikan (sekolah/perguruan tinggi) dan seluruh warga belajarnya (pendidik, wali/orangtua, masyarakat sekitar, dan seluruh pemangku kepentingan pendidikan) dengan seluruh kebijakan operasionalnya, adalah sangat berperan besar dalam membentuk pola perilaku, semangat bertindak, sikap dan kebiasaan para peserta didiknya yang pada akhirnya nanti akan membentuk dan mengembangkan semangat dan sikap hidupnya.

Perubahan Tata Nilai dalam Kehidupan Masyarakat Indonesia.

Dalam kehidupan masyarakat akan terjadi proses sosialisasi antara tata nilai dan kaidah hukum. Hukum adalah suatu sistim norma yang berlaku dalam suatu kehidupan bermasyarakat, bernegara dan berbangsa. Hukum bermakna untuk mendisiplinkan tingkah tingkah laku manusia. Kajian masalah hukum akan memberikan makna yang tegas bahwa hukum harus bebas dari kontradiksi-kontradiksi. Perbuatan individu merupakan suatu kelakuan dalam hukum yang seharusnya dijalaninya sesuai dengan aturan hukum yang diharuskan. Adat istiadat atau kebiasaan sebagai hal yang dianggap mewakili kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat fungsinya mempertahankan pola kehidupan itu sendiri. Nilai nilai yang dipertahankan adalah sangat jelas dan dari sudut antropologi sifat adat istiadat lebih statis dibandingkan dengan hukum (Bohannan, 1967; 43-56). Perbedaannya pada tingkat perkembangannya. Dapat dikatakan bahwa hukum bersumber pada adat istiadat. Masyarakat melembagakan adat istiadat karena masyarakat memerlukan perubahan. Pelembagaan adat istiadat ini membutuhkan sistem manajemen yang

Page 19: Jurnal April 2009

Makna Pendidikan

15

lebih teratur yang lazim disebut lembaga hukum yang dilengkapi dengan peraturan hukum yang dalam masyarakat disebut adat istiadat.

Dengan demikian masyarakat dalam memberlakukan adat istiadat dan tata nilai membutuhkan norma-norma yang berlaku di masyarakat setempat agar adat istiadat dapat efektif bekerja. Dengan demikian hukum memiliki fungsi yang berbeda dengan fungsi adat istiadat atau tata nilai dalam masyarakat. Menurut Hoebel, (1967; 275) fungsi hukum adalah; 1) merumuskan hubungan-hubungan antara anggota-anggota masyarakat dengan menunjukkan perbuatan yang dilarang dan yang boleh dilakukan, 2) mengalokasikan dan menegaskan siapa yang boleh menggunakan kekuasaan atas siapa, dan mekanisme serta prosedur penggunaan; 3) penyelesaian sengketa-sengketa, dan 4) mempertahankan adaptasi masyarakat dengan cara mengatur kembali hubungan-hubungan dalam masyarakat yang berubah. Jadi fungsi hukum disini mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, antara penguasa/pemerintah dengan manusia, sebagai wasit yang netral dalam setiap ada sengketa dalam masyarakat, dan mempertahankan setiap norma dengan menyesuaikan dalam perubahan masyarakat, dan menjaga agar norma tersebut tetaf efektif dalam setiap kehidupan bermasyarakat.

Peran Pendidikan dalam Menegakkan Nilai-Nilai Luhur Budaya dan Kepatuhan Terhadap Hukum.

Pendidikan nasional yang berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Undang undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Dengan demikian Undang undang ini menetapkan bahwa akhlak mulia sebagai tujuan pendidikan nasional yang bermakna dalam kehidupannya sebagai individu, peserta didik harus memiliki sikap, perilaku, dan tindakannya yang mengacu pada norma kehidupan sesama individu, kehidupan dalam keluarga, dan kehidupan dalam bermasyarakat, yang lebih jauh lagi akhirnya dalam kehidupan berbangsa dan kehidupan bernegara. Muhaimin menyatakan bahwa tujuan pendidikan dimaksud memiliki kekuatan spirituil keagamaan bagi peserta didik dalam pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, serta ketrampilan yang diperlukan oleh masyarakat, bangsa dan negara (Prof Muhaimin MA, halaman 17).

Page 20: Jurnal April 2009

Wukir Ragil

16

Berbagai sumber menyatakan bahwa perkembangan akhlak mulia dari ajaran agama, falsafah hidup bangsa, lingkungan dan perubahan alam sekitar, perkembangan tradisi yang tumbuh dalam suatu kelompok masyarakat. Sistem pendidikan nasional ini berfungsi sebagai mengubah/mereformasi sistem pendidikan baik secara formal, nonformal, maupun secara informal, dengan menghargai dan mempertahankan proses pembelajaran yang telah berlangsung selama ini, dengan tegas mengatur tanggungjawab pendidikan, dan disamping itu mempertahankan kemajemukan bangsa.

Achmad Mubarok, dalam Jurnal Religiusitas 3 September 2008) menyatakan bahwa kualitas manusia ditentukan dalam dua hal yaitu faktor hereditas, faktor keturunan (teori nativisme) dan faktor lingkungan dan pendidikan (teori empirisme). Kedua teori tersebut saling mempengaruhi terhadap perkembangan kualitas manusia. Lebih lanjut dikatakan bahwa, Bangsa Indonesia memasuki dunia global dimana arus informasi dan keterbukaan tak bisa dihindari, maka masyarakat Indonesia mengalami keterkejutan budaya. Mubarok mengibaratkan sebagai sekumpulan orang yang telah 32 tahun dikurung dalam penjara yang gelap gulita dan tiba-tiba penjara itu dirobohkan sehinga mereka bisa keluar melihat dunia baru yang terang benderang dan terlihat aneh akan tapi mengasyikkan. Sehingga mereka berpesta pora menikmatinya dengan melakukan apa saja yang sebelumnya mustahil dapat dilakukan. Dinyatakan pula bahwa itu adalah gambaran masyarakat Indonesia pasca jatuhnya Presiden Soeharto yang sedang mencari jati dirinya kembali, akan tetapi dalam proses yang masih kebingungan karena masalah yang dihadapi sangat komplikatif antara kerinduan kepada demokrasi, kebebasan, kemakmuran dan kehormatan yang ternyata tidak sinkron.

Dengan demikian, dalam masyarakat yang baru mendapat kebebasan dalam melihat dunia ”baru” dan kemudian mencoba untuk memaknai apa arti dunia ”baru” tersebut dengan suatu tindakan sesuai dengan harapannya, mereka dihadapkan pada suatu kebingungan karena mendapatkan suatu kondisi yang tidak cocok menurut pandangan mereka sebelumnya. Sebagian mereka mengimplementasikan kebebasan sebagai perbuatan yang berlebihan tanpa batas atau koridor norma dan hukum. Memang Pemerintah tidak lagi menerapkan paradigma stabilitas nasional secara mutlak dalam mengatur kehidupan warganya, akan tetapi menghargai perubahan dan perbedaan sebagai anugerah yang harus disyukuri oleh bangsa ini adalah suatu keniscayaan sepanjang dilaksanakan dalam koridor norma dan kepatuhan terhadap hukum. Harapan ini belum sepenuhnya dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat, sehingga beberapa kali kita lihat dalam menyampaikan inspirasinya dibumbui

Page 21: Jurnal April 2009

Makna Pendidikan

17

dengan perbuatan oknum-oknum pengunjuk rasa yang melakukan perbuatan melanggar hukum maupun melanggar hak orang lain dalam menikmati ketenangan dalam aktifitasnya. Seolah-olah tanpa adanya sedikit kekerasan dan pemaksaan kehendak, penyampaian inspirasi tersebut kurang afdol. Atau mungkin kelompok masyarakat itu menganggap bahwa penyampaian inspirasi dengan cara tenang dan tertib tidak akan didengar oleh yang berwenang. Dalam hal efektifitas hukum ini Achmad Mubarok menyatakan bahwa, hukum bermakna sebagai mengatur kehidupan manusia sebagai makhluk yang beradap yang membedakannya dengan hewan. Penerapan hukum untuk membela manusia agar mereka tetap terhormat sebagai manusia, menjamin setiap hak dan keberadaannya pada jalan kebenaran dan keadilan. Dikatakan, dengan hukum manusia hidup, bergaul, bersaing antar sesamanya secara fair dan adil, dan memberikan peluang yang sama bagi mereka.

Oleh karena itu apabila penegakkan hukum oleh negara secara adil tanpa pandang bulu, menurut Mubarok, hal itu berarti akan memberikan rasa aman, adil dan sejahtera terhadap masyarakat.

Dengan demikian apabila penegakan hukum dalam masyarakat dirasa tidak adil, maka hal ini akan mengusik rasa keadilan pada akhirnya dapat menimbulkan aksi protes. Demikian pula falsafah hidup suatu bangsa ikut mempengaruhi perilaku masyarakat dalam negara itu. Falsafah hidup suatu negara, apabila akan dijadikannya sebagai pedoman bagi bangsanya untuk berperilaku maka kedamaian suatu bangsa tersebut akan dapat terwujud. Indonesia memiliki falsafah Pancasila yang apabila dihayati dalam kehidupan sebagai masyarakat yang ber Ketuhanan yang menganggap bahwa diatas langit masih ada langit lagi, diatas penguasa ada yang Maha Kuasa, apabila kita mampu meramu dan merasakan kebinekaan dalam rasa persatuan dan kesatuan, apabila kita menganggap bahwa sebagai manusia yang memiliki keadilan yang beradap, apabila kita mampu menjadikan pola kehidupan bermusyawarah untuk mufakat adalah jalan yang terbaik dalam menentukan pilihan bersama serta memiliki jiwa keadilan dan jiwa sosial yang tinggi dalam kehidupannya maka ketentraman, kesejahteraan yang berkeadilan dalam kebinekaan ini akan segera dirasakan dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia.

Dodi Nandika (14 Juni 2008) mengatakan bahwa, Pendidikan bukan sekedar proses pengayaan intelektual, tetapi juga menumbuh-kembangkan nilai-nilai luhur insani bagi kemajuan peradaban bangsa, termasuk penguatan akhlak mulia, karakter unggul, dan wawasan kebangsaan.

Sedangkan akhlak mulia menurut Dodi Nandika dikatakan sebagai suatu keadaan yang melekat pada jiwa manusia, yang daripadanya, setiap kali lahir

Page 22: Jurnal April 2009

Wukir Ragil

18

manifes hal-hal yang mulia, dengan mudah, tanpa melalui pertimbangan atau proses penalaran yang berat dan lama. Dalam kaitan itu, menurut Dodi Nandika, Departemen Pendidikan Nasional menaruh harapan besar yang nanti pada tahun 2015 akan tercipta manusia Indonesia sebagai Insan Indonesia Komprehensif dan Kompetitif (insan kamil/insan paripurna) yaitu insan Indonesia yang memiliki kecerdasan emosional dan sosial, memiliki kecerdasan intelektual dan memiliki kecerdasan kinestika.

Dengan demikan, pada tahun 2015 nanti diharapkan akan terwujud suatu kondisi di Indonesia yang memiliki Insan yang berkemampuan olah hati untuk menumbuhkan dan memperkuat keimanan dan ketakwaan dan akhlak mulia termasuk budi pekerti, memiliki insan yang berkemampuan olah rasa, memiliki Insan yang berkemampuan olah pikir, dan berkemampuan olah raga.

Untuk mewujudkan cita-cita luhur tersebut langkah pertama yang harus dilakukan adalah dimulai dari perumusan kebijakan dalam kegiatan belajar mengajar pada satuan pendidikan yaitu dengan kebijakan kurikulum.

Pada program pendidikan dasar dan menengah di masa otonomi daerah dan penerapan manajemen berbasis sekolah maka kebijakan Kurikulum Pada Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan salah satu langkah yang dianggap tepat. Depdiknas menetapkan kerangka dasar dan model-model kurikulum yang dapat dijadikan rambu-rambu dan satuan pendidikan yang akan menyusunnya sesuai dengan kebutuhannya sendiri dengan memperhatikan pada peningkatan iman dan takwa, peningkatan akhlak mulia, peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik, perkembangan ilmu pengetahunan, teknologi, dan seni, dinamika perkembangan global, agama, persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan (UU No. 20 tahun 2003), dan dengan semangat Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kurikulum di setiap satuan pendidikan ini akan bercorak keragaman potensi daerah dan lingkungan, sesuai dengan tuntutan pembangunan daerah dan nasional. Lebih lanjut ditegaskan dalam pasal 37 ayat (1) UU Sisdiknas, mewajibkan pengaturan kurikulum pada pendidikan dasar dan menengah meliputi:

1) pendidikan agama, 2) pendidikan kewarganegaraan, 3) bahasa, 4) matematika, 5) ilmu pengetahuan alam, 6) ilmu pengetahuan sosial, 7) pendidikan jasmani dan olahraga, 7) keterampilan/kejuruan, dan 8) muatan lokal, dan 9) pengembangan diri (Permendiknas No. 2 tahun 2006). Demikian juga kurikulum pada pendidikan tinggi wajib memuat: 1) pendidikan agama, 2) pendidikan kewarganegaraan, dan 3) bahasa, disamping kurikulum yang menjadi ciri pada

Page 23: Jurnal April 2009

Makna Pendidikan

19

setiap jurusan, fakultas dan/atau perguruan tinggi tersebut yang merupakan hak otonomi kampus.

Menyikapi perubahan perilaku masyarakat yang menjurus pada perubahan tata nilai luhur budaya bangsa, Prof, Dr. Ir Dodi N Nandika, MS, Sekretaris Jenderal Depdiknas pada acara Rembug Penguatan Nilai-nilai dan Budaya Luhur dalam rangka peningkatan Akhlak Mulia di Perguruan Tinggi di Universitas Muhammadiyah Surakarta beberapa waktu yang lampau, dengan merujuk pendapat mantan presiden dari negara maju, menyatakan bahwa ada tujuh academic duty. Tujuh kewajiban akademik dipundak perguruan tinggi yang merupakan rukun direkomendasikan untuk dilaksanakan oleh perguruan tinggi sehingga terjadi keseimbangan antara pendidikan yang bersifat membangun kemampuan iptek dan seni dan pendidikan yang bersifat pendidikan moral, empati (IQ, EQ, SQ, dan RQ) sebagai alat dan bekal untuk Hijrah dari budaya yang sangat tidak beradab menjadi budaya santun, budaya membaca, budaya respect to others. Yaitu; Pertama, to teach, `mengajar` mentrasfer ilmu dan pengetahuan dari seorang sumber kepada mahasiswa, Kedua, to mentor, membimbing, Ketiga, to discovery, mencari, menggali, mengkaji, meneliti, menguak tabir kegelapan, mengangkat temuan ilmiah dan sekaligus menyibak kegelapan secara terus menerus sehingga almoust everyday discovery, keempat, adalah to publish, mensiarkan kedunia, bukan to report atau bukan buat repot. Lebih lanjut dikatakan bahwa penelitian adalah suatu kegiatan problem solving, kita belum berbudaya menulis, belum berbudaya mem-publish, tapi masih berbudaya lisan, kemudian Kelima to reach beyond the wall, menjangkau, melayani masyarakat, melayani bagaimana sampah-sampah berserakan, melayani bagaimana kemiskinan, dan buta aksara yang merupakan kesenjangan dapat dihabisi. Keenam to change, merubah, dan ketujuh to tell the truth mengatakan kebenaran. Ini yang berat karena apabila satu rukun belum dilaksanakan maka batal. Lebih lanjut dikatakan bahwa kalau perguruan tinggi tidak mengatakan kebenaran maka akan batal. Tapi caranya. Critis Yes, Anarchis No, karena dibalik proses belajar mengajar tadi ada mandat untuk berbudaya luhur, berakhaqul karimah. Lebih lanjut dikatakan bahwa misi yang paling utama dalam kegiatan di perguruan tinggi bukan hanya mengajar, tapi menghimpun, memelihara, dan mentrasfer nilai-nilai budaya.

Demontrasi mahasiswa meneriakkan kebenaran ingin merubah sesuatu adalah hal yang wajar dan perlu didukung. Mahasiswa ingin menyampaikan perubahan, hal ini perlu ditumbuhkan sifat empati dan simpati. Yang kurang baik diluruskan dan

Page 24: Jurnal April 2009

Wukir Ragil

20

seluruh pengajar menjadi transmitter yang memancarkan akhlak mulia didepan kelas.

Dengan demikian peranan pengajar/pendidik bukan hanya menyampaikan target pembelajaran saja, akan tetapi juga menumbuh-kembangan potensi peserta didik dalam mengekspresikan ide dan gagasannya setelah mereka melihat keadaan yang tidak sesuai dengan harapan dan teori yang dipelajari. Mereka harus peka melihat ketimpangan dalam kehidupan masyarakat sekitar. Semangat untuk mengadakan perubahan ini perlu “dibimbing” agar sesuai dengan harapan masyarakat luas dengan tidak mengesampingkan kepentingan masyarakat lainnya. Benturan yang terjadi dalam menyampaikan pendapat dapat dijadikan pola evaluasi dalam kegiatan yang lain sehingga kita tidak membiarkan rekan-rekan mengalami duakali kesalahan yang sama namun tetap dalam semangat menuju suatu perubahan.

Samsul Wahidin (hal, 54-55) memandang bahwa kebebasan mengeluarkan pendapat merupakan sesuatu yang asasi. Hak asasi merupakan hak yang melekat pada manusia yang wajib dihormati oleh siapapun, dijunjung tinggi, dilindungi oleh negara, hukum, dan Pemerintah (UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM). Menurut Samsul Wahidin (dalam M Solly Lubis) menyatakan bahwa kebebasan merupakan syarat mutlak untuk mencapai suatu hak. Dengan demikian dalam menjamin pelaksanaaan hak asasi tersebut, para penguasa, pendidik, pengambil kebijakan, dan pejabat yang berwewenang perlu memiliki suatu kearifan sosial, kearifan lokal dan semangat nasional agar energi anggota masyarakat yang ingin menyampaikan pendapat dapat disalurkan dengan efektif dan efesien, dan pemerintah mendapat suatu masukan yang sangat berharga.

KESIMPULAN

Beberapa hal yang perlu kita sadari bersama adalah Bangsa Indonesia memiliki suatu konsep menuju suatu bangsa yang besar yang mempunyai jati diri sendiri walaupun kita belum mampu mewujudkannya. Kita harus mempunyai tekad bahwa Bangsa Indonesia bisa melepaskan diri dari masa-masa yang sulit setelah kita semua sudah ”dewasa” dengan belajar dari kesalahan masa lalu dan terus bekerja keras saling bahu membahu dengan menatap kedepan dengan penuh keyakinan bahwa dengan perbedaan tapi penuh makna kebersamaan akan merupakan kekayaan yang tiada tara nilainya bagi kejayaan bangsa Indonesia. Hanya kita yang bisa mengatur bangsa kita sendiri menuju kearah yang lebih baik.

Page 25: Jurnal April 2009

Makna Pendidikan

21

Dari uraian ringkas tersebut diatas dapat ditarik suatu benang merah bahwa:

a. Penyampaian pendapat oleh warga belajar setelah melihat keadaan yang dianggap tidak sesuai dengan harapan dan teori yang pelajarinya adalah suatu yang wajar dan bukanlah merupakan penyimpangan terhadap nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia sepanjang penyampaian pendapat tersebut tidak mengganggu hak asasi orang lain dan melanggar norma yang berlaku dan hukum posistif, disampaikan dengan dengan enak, nyaman dipandang, suasana yang sejuk, menarik perhatian secara positif, efektif dan efisien, serta berhasil menyentuh para pejabat yang berwenang untuk segera mengambil tindakan yang diperlukan.

b. Sifat kegotongroyongan, santun, ramah, dan menjunjung nilai luhur budaya bangsa masih ada dan melekat disanubari masyarakat Indonesia yang memiliki falsafah Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa ini;

c. Pola ini harus dimanfaatkan oleh seluruh pemangku kepentingan pendidikan dalam merumuskan kebijakan maupun dalam proses pembelajaran;

d. Perubahan sikap, perilaku, dan ekspresi dalam segala tindakan terjadi oleh masyaraakat karena adanya perubahan paradigma dari semula pemerintah sangat yakin dengan pola stabilitas akan dapat mewujudkan suatu kehidupan masyarakat yang tentram, sejahtera, aman dan damai. Kini Pemerintah sangat menghargai adanya perbedaan, kebinekaan, keanekaragaman dan kemajemukan serta kebebasan menyampaikan pendapat yang direspon dengan sangat bersemangat oleh masyarakat;

e. Satuan pendidikan memegang peranan penting dalam membimbing/mendampingi peserta didik, mengawal, dan menumbuhkan nilai budaya luhur berakhlaqul karimah dalam proses belajar mengajar;

f. Melalui pendidikan dan keteladanan akan ditumbuh-kembangkan dan ditingkatkan komitmen untuk menjunjung nilai-nilai budaya luhur bangsa bagi peserta didik dalam bersikap, berperilaku, membentuk dan mengembangkan watak dan kebiasaannya.

g. Sangat erat kaitan antara tata nilai kehidupan/budaya dalam masyarakat dengan norma-norma/ kaidah hukum di Indonesia ini akan selalu berkembang mengikuti perkembangan global dan kehendak masyarakat;

h. Hukum sebagai perangkat aturan yang paling dominan akan memberi makna bahwa sesuatu boleh dilakukan dan sesuatu tidak boleh dilakukan akan dapat berlaku efektif apabila terdapat keteladan dan tegas dalam menegakkannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara;

Page 26: Jurnal April 2009

Wukir Ragil

22

i. Pendidikan sebagai penguatan akhlak mulia membentuk karakter unggul dalam peningkatan wawasan kebangsaan memiliki sifat dinamis sesuai dengan perkembangan tata nilai dalam masyarakat;

j. Sebagai bangsa yang besar, kita akan dapat melepaskan masa lalu yang pahit dan menuju masa sejahtera dan damai dimasa mendatang apabila kita mampu memaknai perbedaan;

k. Masyarakat dalam menyampaikan pendapat akan lebih bermakna dan tepat sasaran apabila dilakukan dengan arif dan sekaligus menghindari terganggunya hak orang lain;

l. Pada masa lampau, masyarakat mengalami pelakuan yang dirasakan tidak sesuai dengan harapannya. Mereka merasa selalu dikekang dan tiada kebebasan berekspresi, kini setelah mengalami perubahan maka masyarakat kurang siap dengan perubahan itu, sehingga terjadi penyimpangan dari koridor hukum maupun norma kehidupan dalam bermasyarakat.

m. Perubahan dalam kebebasan ini dirasa oleh masyarakat sangat fantastis, sehingga sebagian menganggap bahwa perubahan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah yang dirasa tidak sesuai harus dilawan dengan ketidaksetujuan dengan memfaatkan hak dan caranya sendiri tanpa mengindahkan jalur hukum yang harus ditempuh;

n. Semangat masyarakat ini merupakan potensi, sehingga Pemerintah perlu melakukan pembinaan agar kehidupan berbangsa dan bermasyarakat yang selama ini sudah baik dapat ditingkatkan lagi atau setidak-tidaknya dipertahankan serta perlu ditumbuhkan sifat kritis yang konstruktif kepada masyarakat luas dalam mensikapi terhadap seluruh proses kebijakan pembangunan bangsa, pelaksanaan kebijakan, dan pengawasannya.

DAFTAR RUJUKAN Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Nomor 165 Tahun 1999, dan Tambahan Lembaran Negara

Nomor 3886). Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. (Lembaran Negara Nomor Tahun 2003 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor

4301)

Page 27: Jurnal April 2009

Makna Pendidikan

23

Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

(Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 42, dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4496)

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006 tentang Kurikulum

Tingkat Satuan Pendidikan. Teropong Pendidikan Kita; Departemen Pendidikan Nasional, Antologi, Artikel

2005-2006. Nandika, N Dodi, Prof Dr, Ir: Pendidikan Akhlak Mulia, (sebuah Introspeksi).

Bahan Paparan pada Rembug Penguatan Nilai-nilai dan Budaya Luhur, Unversitas Muhammadiyah Surakarta tanggal 14 Juni 2008.

Mubarok, Achmad, Prof, Dr, MA. Membangun Keluarga Bangsa dalam Prespektif

Psikologi Islam. Religiusitas, Jurnal Transformasi Kependidikan dan Keagamaan. Vol. I, 3 September 2008 hal, 2).

Muhaimin, Prof, MA. Pengembangan Budaya Agama dalam Komunitas Sekolah.

Religiusitas, Jurnal Transformasi Kependidikan dan Keagamaan, Vol. I, 4 September 2007, hal 16).

Sukanto Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta:

Raajawali, 1986, hal 15. Cetakan 2). Wahidin Samsul H, Prof, Dr, SH, MS. Hukum Pers, Pustaka Pelajar. Tahun 2006.

Page 28: Jurnal April 2009

Jurnal Tenaga Kependidikan Vol. 4, No. 1, April 2009

24

KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DALAM ERA OTONOMI DAERAH DAN BEBERAPA FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

(Suatu Pendekatan Teoritis)

Moh. Suryadi Syarif Kepala SMA Budi Mulia Ciledug Tangerang, dan Dosen PPs UHAMKA Jakarta

Abstrak

Kepemimpinan kepala sekolah dalam era otonomi daerah adalah kepemimpinan yang mengutamakan pemberian kesempatan, dan atau mendorong semua unsur dalam struktur organisasi sekolah untuk bekerja atas dasar sistem nilai yang luhur, sehingga semua unsur yang terlibat (guru, siswa, pegawai, orangtua siswa, masyarakat, dan sebagainya) bersedia tanpa paksaan untuk berpartisipasi secara optimal dalam mendukung komitmen organisasi sekolah dalam pencapaian tujuannya. Karakteristik kepemimpinan tersebut ditunjukkan oleh indikator-indikator: 1) Idealized Influence, seorang pemimpin bertindak dan memberi contoh melalui perilaku kepada bawahannya; 2) Inspirational Motivation, pemimpin memberi inspirasi kepada bawahannya dengan cara berkomunikasi secara jelas untuk menyampaikan tujuan serta harapan; 3) Intellectual Stimulation, pemimpin menciptakan iklim yang kondusif bagi perkembangan inovasi dan kreativitas; 4) Individualized Consideration, pemimpin memberi perhatian khusus pada kebutuhan setiap individu untuk berpartisipasi dan berkembang dengan jalan bertindak seperti pelatih atau penasehat. Jabatan kepala sekolah merupakan jabatan yang tidak bisa diserahkan kepada setiap guru tanpa melihat apakah guru tersebut memenuhi kompetensi dan akuntabilitas yang dipersyaratkan. Kompetensi dan akuntabilitas kepala sekolah merupakan perpaduan antara komitmen terhadap standar keberhasilan, hak dan kewajiban, serta harapan bagi yang berkepentingan terhadap keberhasilan pendidikan di sekolah. Keefektifan kedua komponen ini akan memberikan keyakinan bahwa sumber daya yang dimiliki sekolah dikelola sesuai dengan kebijakan yang telah ditentukan. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan jika mungkin untuk menyajikan informasi mengenai apa yang telah dikerjakan Kata Kunci: Otonomi sekolah, kepala sekolah, kepemimpinan,

manajemen, kompetensi, dan akuntabilitas

Page 29: Jurnal April 2009

Kepemimpinan Kepala Sekolah

25

PENDAHULUAN

Pendidikan mempunyai peranan yang sangat strategis dalam mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas. Terutama untuk menciptakan insan-insan pembangunan yang ahli, terampil, kreatif, dan inovatif. Kualifikasi sumber daya seperti ini sangat diperlukan jika Indonesia ingin menjadi negara yang berhasil dalam menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan industrialisasi sehingga mampu menghadapi persaingan global. Hal ini bahkan telah menjadi amanat rakyat sebagaimana disebutkan dalam Ketetapan MPR-RI Nomor IV/MPR/1999 tentang GBHN yang menyebutkan bahwa salah satu visi pembangunan bangsa adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk mewujudkan visi tersebut dalam GBHN 1999 telah dinyatakan bahwa salah satu arah kebijakan dalam pembangunan pendidikan adalah melakukan pembaharuan dan pemantapan sistem pendidikan nasional berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan dan manajemen.

Sejalan dengan amanat tersebut, Depdiknas saat ini tengah melaksanakan desentralisasi pendidikan yang di dalamnya terlaksana manajemen berbasis sekolah. Pelaksanaan desentralisasi pendidikan dalam era otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang No.25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan Peraturan Pemerintahan No.25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonomi. Desentralisasi pendidikan merupakan terobosan besar dalam pembangunan bangsa yang selama ini memakai paradigma top-down berubah menjadi paradigma bottom-up. Sesuai dengan PP. No. 25 tahun 2000 maka sejumlah kewenangan dalam bidang pendidikan yang selama ini berada di pusat dilimpahkan kepada institusi penyelenggara pendidikan dalam bingkai pemerintah daerah.

Manajemen berbasis sekolah merupakan bentuk alternatif sekolah dalam rangka desentralisasi pendidikan, yang ditandai adanya otonomi luas di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat yang tinggi, tetapi masih dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Otonomi diberikan agar sekolah dapat leluasa mengelola sumber daya dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan serta agar sekolah lebih tanggap terhadap kebutuhan masyarakat setempat. Masyarakat dituntut partisipasinya agar mereka lebih memahami pendidikan, membantu, serta mengontrol pengelolaan pendidikan. Sedangkan kebijakan nasional yang menjadi prioritas pemerintah harus pula dilakukan oleh sekolah. Dalam manajemen berbasis

Page 30: Jurnal April 2009

Moh. Suryadi Syarif

26

sekolah, kepala sekolah dituntut untuk memiliki "accountability" baik kepada masyarakat maupun kepada pemerintah.

Pada tingkat paling operasional, kepala sekolah adalah orang yang berada di garis terdepan yang mengkoordinasikan upaya meningkatkan pembelajaran yang bermutu. Kepala sekolah diangkat untuk menduduki jabatan yang bertanggunggugat (accountability) mengkoordinasikan upaya bersama mencapai tujuan pendidikan pada level sekolah masing-masing. Dalam praktek di Indonesia, kepala sekolah adalah guru senior yang dipandang memiliki kualifikasi menduduki jabatan itu. Jadi, seorang guru dapat berharap bahwa jika "beruntung" suatu saat kariernya akan berujung pada jabatan kepala sekolah. Biasanya guru yang dipandang baik dan cakap sebagai guru diangkat menjadi kepala sekolah. Dalam kenyataan, banyak di antaranya yang tadinya berkinerja bagus sebagai guru, menjadi tumpul setelah menjadi kepala sekolah. Umumnya mereka tidak cocok untuk mengemban tanggung jawab manajerial. Guru-guru seperti ini tentunya telah terperosok ke suatu jabatan yang mereka sendiri tidak memiliki kompetensi untuk itu, dan akan tetap menjalaninya sampai pensiun. Dapat dibayangkan, bagaimana nasib sekolah-sekolah kita jika dipimpin oleh orang-orang yang tidak kompeten.

Tentu saja kepala sekolah bukan satu-satunya determinan bagi efektif tidaknya suatu sekolah karena masih banyak faktor lain yang perlu diperhitungkan. Ada guru yang dipandang sebagai faktor kunci yang berhadapan langsung dengan para peserta didik dan masih ada lagi sejumlah masukan instrumental dan masukan lingkungan yang mempengaruhi proses pembelajaran. Namun, kepala sekolah memainkan peran yang termasuk sangat menentukan. Misalnya, studi yang dilakukan oleh Lightfoot seperti dikutip oleh Dharma (2004: 2), melalui pendekatan sosiologi tentang efektivitas sekolah menengah menunjukkan bahwa kepemimpinan kepala sekolah memainkan peran yang sangat penting. Demikian pula dalam telaahan mutakhir tren dan isu manajemen pendidikan yang dikompilasi dalam ERIC (2002: 1-3), bahwa kepala sekolah bukan manajer sebuah unit produksi yang hanya menghasilkan barang mati, seperti manajer pabrik yang menghasilkan sepatu. Lebih dari para manajer lainnya, ia adalah pemimpin pendidikan yang bertanggung jawab menciptakan lingkungan belajar yang kondusif yang memungkinkan anggotanya mendayagunakan dan mengembangkan potensinya seoptimal mungkin. Dalam lingkungan seperti itu, para guru dan peserta didik termotivasi untuk saling belajar, saling memotivasi, dan saling memberdayakan. Suasana seperti ini memberi ruang untuk saling belajar melalui keteladanan, belajar bertanggung jawab, serta belajar mengembangkan kompetensi sepenuhnya, bukan sekadar kompetensi kognitif.

Page 31: Jurnal April 2009

Kepemimpinan Kepala Sekolah

27

Kepala sekolah seharusnya berada di gardu paling depan dalam hal peneladanan, pemotivasian, dan pemberdayaan itu. Apakah ini barang baru? Sama sekali tidak karena jauh sebelumnya Ki Hadjar Dewantara telah berujar dengan pernyataannya yang terkenal: “ing ngarso sung tulodo”, “ing madyo mangun karso”, “tutwuri handayani.”

Uraian singkat di atas telah menunjukkan betapa tidak ringannya tanggung jawab seseorang sebagai kepala sekolah. Sebenarnya pekerjaan kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan di sekolahnya tidak pernah ringan. Sudah sekian lama birokrasi pemerintahan negara kita tidak banyak membantu kepala sekolah mengatasi kerumitan itu. Sudah sejak lama pula para kepala sekolah berhadapan dengan situasi di mana mereka lebih banyak tergantung pada konteks dan periferal pekerjaannya. Mereka sering berada pada posisi nirdaya dalam situasi ketika kepemimpinan mereka benar-benar diperlukan. Oleh sebab itu, diperlukan paradigma baru untuk menanggalkan ketergantungan yang selama ini telah merugikan para kepala sekolah yang sebagian sebenarnya mungkin telah bekerja dengan serius. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dipandang banyak pihak dapat memberi ruang gerak lebih longgar bagi kepala sekolah untuk meningkatkan mutu sekolahnya. Konsepnya bagus karena MBS adalah strategi untuk meningkatkan kemandirian para pengelola pendidikan dengan memindahkan wewenang pengambilan keputusan penting dari pemerintah pusat dan daerah ke level paling operasional, yaitu sekolah. Hasilnya masih belum jelas karena penerapannya ternyata juga masih harus menunggu kerelaan birokrasi pendidikan untuk mendelegasikan kekuasaannya. Sejalan dengan itu maka dalam studi ini akan dikaji kepemimpinan kepala sekolah dalam era otonomi daerah yang ditinjau dalam aspek kompetensi, dan akuntabilitas kepala sekolah berkaitan dengan pelaksanaan manajemen berbasis sekolah dalam rangka desentralisasi pendidikan pada era otonomi daerah.

Manfaat dari kajian ini adalah untuk memberikan bahan masukan bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan institusi sekolah dalam pelaksanaan desentralisasi pendidikan dalam konsep manajemen berbasis sekolah pada tingkat pendidikan menengah.

OTONOMI SEKOLAH

Dalam era desentralisasi sekarang ini, di mana sektor pendidikan juga dikelola secara otonom oleh pemerintah daerah, praktis pendidikan harus ditingkatkan ke arah yang lebih baik dalam arti relevansinya bagi kepentingan daerah maupun

Page 32: Jurnal April 2009

Moh. Suryadi Syarif

28

kepentingan nasional. Manajemen sekolah saat ini memiliki kecenderungan ke arah school based management (manajemen berbasis sekolah). Dalam konteks ini, sekolah harus meningkatkan keikutsertaan masyarakat dalam pengelolaannya guna meningkatkan kualitas dan efisiensinya. Meskipun demikian, otonomi pendidikan dalam konteks MBS harus dilakukan dengan selalu mengacu pada manfaat pendidikan bagi masyarakat, orangtua, siswa, maupun pemerintah pusat dan daerah.

Agar penerapan desentralisasi dan otonomi pendidikan berhasil dengan baik, maka kepemimpinan kepala sekolah perlu diberdayakan. Pemberdayaan yang dimaksudkan adalah peningkatan kemampuan secara fungsional, sehingga kepala sekolah mampu berperan sesuai dengan tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya. Kepala sekolah harus bertindak sebagai manajer dan pemimpin yang efektif. Sebagai manajer ia harus mampu mengatur agar semua potensi sekolah dapat berfungsi secara optimal. Hal ini dapat dilakukan jika kepala sekolah mampu melakukan fungsi-fungsi manajemen dengan baik, yang meliputi: 1) perencanaan; 2) pengorganisasian; (3) pengarahan; dan (4) pengawasan.

Dalam implementasi MBS fungsi-fungsi dan tugas-tugas kepala sekolah berubah dari manajer tingkat menengah ke pimpinan sekolah, untuk itu maka sekolah-sekolah yang MBS-nya aktif seharusnya mempunyai kepala sekolah yang memainkan peranan kunci dalam mengendalikan dan meningkatkan komitmen belajar siswa, mendorong para guru untuk aktif dalam menyelesaikan tugas-tugas sekolah dalam mengumpulkan informasi tentang belajar, dan memberikan ganjaran kepada siswa. Peranan utama kepala sekolah dalam hal ini adalah memotivasi, membimbing, dan mengarahkan seluruh staf sekolah untuk bekerja dan bertanggungjawab atas tugasnya masing-masing.

Esensi MBS adalah otonomi sekolah dan pengambilan keputusan partisipatif. Otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri dan berdasarkan pada aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Pengambilan keputusan partisipatif adalah cara mengambil keputusan yang melibatkan kelompok-kelompok yang berkepentingan, terutama yang melaksanakan keputusan dan yang terkena dampak keputusan. Tujuan MBS adalah untuk memandirikan dan memberdayakan sekolah. Tahap-tahap pelaksanaan MBS meliputi: mensosialisasikan konsep MBS, melakukan analisis sasaran, merumuskan sasaran, mengidentifikasi fungsi-fungsi yang diperlukan untuk mencapai sasaran, melakukan analisis SWOT, menyusun rencana sekolah,

Page 33: Jurnal April 2009

Kepemimpinan Kepala Sekolah

29

mengimplementasikan rencana sekolah, melakukan evaluasi, dan merumuskan sasaran baru.

Dari segi implementasi MBS, seorang kepala sekolah perlu mengadopsi kepemimpinan transformasional, agar semua potensi yang ada di sekolah dapat berfungsi secara optimal. Kepemimpinan transformasional didefinisikan sebagai kepemimpinan yang mengutamakan pemberian kesempatan, dan atau dorongan kepada semua unsur yang ada dalam struktur organisasi sekolah agar dapat bekerja atas dasar sistem nilai (values system) yang luhur, sehingga semua unsur yang terlibat (guru, siswa, pegawai, orangtua siswa, masyarakat, dan sebagainya) bersedia tanpa paksaan untuk berpartisipasi secara optimal dalam mencapai tujuan sekolah. Kepemimpinan transformasional lahir sebagai upaya untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan eksternal yang berlangsung cepat, sehingga menimbulkan persaingan yang semakin ketat. Kepemimpinan transformasional mampu membangun komitmen organisasi terhadap tujuan-tujuannya, sekaligus memberdayakan anggota organisasi untuk meraih tujuan-tujuan itu. Pemimpin dituntut untuk mampu mengubah budaya organisasi agar konsisten dengan strategi manajemen.

Kepemimpinan transformasional menganggap kepemimpinan sebagai proses kerjasama antara pemimpin dan pengikutnya untuk mencapai tingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi. Menurut Bass empat karakteristik kepemimpinan transformasional, adalah: 1) Idealized Influence, seorang pemimpin bertindak dan memberi contoh melalui perilaku bagi yang bawahannya; 2) Inspirational Motivation, pemimpin memberi inspirasi kepada bawahannya dengan cara berkomunikasi secara jelas untuk menyampaikan tujuan serta harapan; 3) Intellectual Stimulation, pemimpin menciptakan iklim yang kondusif bagi berkembangnya inovasi dan kreativitas; 4) Individualized Consideration, pemimpin memberi perhatian khusus pada kebutuhan setiap individu untuk berpartisipasi dan berkembang dengan jalan bertindak seperti pelatih atau penasihat (Rusdiyanta, 2004: 5). Keempat karakteristik kepemimpinan transformasional ini diyakini mampu menciptakan organisasi yang lebih tangguh dan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan baru.

Berdasarkan konsep dasar yang telah diuraikan di atas, maka perlu dilakukan penyesuaian dari pola lama manajemen pendidikan menuju pola baru manajemen pendidikan masa depan yang bernuansa otonomi yang demokratis. Dimensi-dimensi perubahan pola manajemen dari yang lama menuju yang baru tersebut, secara konseptual maupun secara praktek tertera dalam MBS. Perubahan dimensi pola

Page 34: Jurnal April 2009

Moh. Suryadi Syarif

30

manajemen pendidikan dari yang lama ke yang baru menuju MBS dapat ditunjukkan dalam tabel 1.

Tabel 1. Perubahan Pola Manajemen Pendidikan

Pola lama Menuju Pola baru

- Subordinasi ------> - Otonomi

- Pengambilan keputusan terpusat ------> - Pengambilan keputusan partisipasi

- Ruang gerak kaku ------> - Ruang gerak luwes

- Pendekatan birokratik ------> - Pendekatan Profesional

- Sentralistik ------> - Desentralistik

- Diatur ------> - Motivasi diri

- Overregulasi ------> - Deregulasi

- Mengontrol ------> - Mempengaruhi

- Mengarahkan ------> - Memfasilitasi

- Menghindar Resiko ------> - Mengelola resiko

- Gunakan uang semuanya ------> - Gunakan yang seefisien mungkin

- Informasi terpribadi ------> - Informasi terbagi

- Pendelegasian ------> - Pemberdayaan

- Organisasi herarkis ------> - Organisasi datar

Sumber: Eman Suparman, Manajemen Pendidikan Masa Depan (http://www.pendidikan.net/., 2004), p. 2.

Mengacu pada dimensi-dimensi tersebut di atas, maka kepala sekolah dalam era otonomi sekolah memiliki wewenang lebih besar dalam pengelolaan lembaganya. Pengambilan keputusan akan dilakukan secara partisipatif dengan mengikutsertakan pihak-pihak yang berpentingan sebesar-besarnya.

KEPEMIMPINAN

Kepemimpinan berasal dari bahasa Inggris leader yang berarti pemimpin dan leadership berarti kepemimpinan. Pemimpin adalah orang yang menempati posisi sebagai pimpinan, sedangkan kepemimpinan adalah kegiatan atau tugasnya sebagai pemimpin. Kepemimpinan merupakan kemampuan untuk mempengaruhi sekelompok orang dan mengarahkannya untuk mencapai tujuan tertentu.

Nanus dan Dobbs (1999: 7) mengutip beberapa definisi pemimpin atau kepemimpinan, yaitu: 1) seorang pimpinan adalah seorang penyalur harapan

Page 35: Jurnal April 2009

Kepemimpinan Kepala Sekolah

31

(Napoleon Bonaparte); 2) pemimpin adalah seseorang yang secara signifikan mempengaruhi pikiran, perilaku, dan atau perasaan orang lain (Howard Gardner); 3) pemimpin adalah orang yang mengetahui apa yang dibutuhkan, apa yang benar, bagaimana mengendalikan manusia dan sumber daya untuk mencapai tujuan (Thomas E. Croin); 4) pimpinan adalah orang yang bertanggungjawab membangun organisasi di mana orang-orang secara berkesinambungan mengembangkan kemampuan untuk memahami kerumitan, memperjelas visi, dan meningkatkan bentuk-bentuk mental kerjasama, serta selalu berusaha untuk meningkatkan kemampuannya (Peter M. Senge); 5) Kepemimpinan adalah proses persuasi atau membujuk sekelompok orang untuk mengikuti tujuan yang ditetapkan oleh pimpinan atau bekerjasama dengan pimpinan dan para pengikutnya (John W. Gardner).

Terlihat bahwa acuan untuk mendefinisikan kepemimpinan bervariasi bagi masing-masing pakar kepemimpinan. Namun inti dari definisi-definisi tersebut adalah mempengaruhi atau mengendalikan sekelompok orang untuk mentaati aturan, melaksanakan tugas tertentu, melakukan koordinasi kegiatan, bekerjasama dan berinteraksi untuk mencapai tujuan tertentu. Kepemimpinan dapat dijelaskan melalui dua sudut pandang, yaitu: (1) sudut proses, yang berarti penggunaan pengaruh yang tidak memiliki kekuasaan memberikan sanksi untuk membentuk tujuan kelompok-kelompok atau organisasi, mengarahkan perilaku mereka untuk mencapai tujuan, dan membantu menciptakan budaya kelompok atau organisasi; dan (2) sifat yang dimiliki, yang diartikan sebagai seperangkat ciri-ciri yang menjadi atribut seseorang yang dipersepsikan sebagai seorang pemimpin. Dalam upaya mencapai keberhasilan dalam mempengaruhi orang lain, maka pimpinan harus memiliki tiga dasar kepemimpinan, yaitu: (1) diagnosa, (2) adaptasi, dan (3) komunikasi. Kompetensi diagnosa merupakan kemampuan kognitif untuk memahami situasi sekarang dan harapan pada masa mendatang; kompetensi adaptasi adalah kemampuan menyesuaikan perilaku dengan lingkungan, dan kompetensi komunikasi terkait dengan kemampuan menyampaikan pesan-pesan agar dapat dipahami orang lain

Ciri-ciri seorang pemimpin dapat dijelaskan melalui tiga pendekatan yaitu: (1) kepemimpinan bawaan; (2) kepemimpinan perilaku, dan (3) kepemimpinan situasional Pendekatan pertama, memandang kemampuan memimpin sebagai bawaan sejak lahir, yakni hanya orang-orang yang berbakat memimpin yang mampu menjadi pimpinan. Pendekatan kedua, kepemimpinan berperspektif perilaku, yaitu mempelajari kepemimpinan berdasarkan keterampilan yang dimiliki.

Page 36: Jurnal April 2009

Moh. Suryadi Syarif

32

Kepemimpinan perilaku secara garis besarnya dapat dibagi dalam tiga kategori, yakni keterampilan 1) teknik; 2) manusiawi, dan 3) konseptual. Pendekatan ketiga, kepemimpinan situasional dibangun berdasarkan asumsi bahwa tidak ada satu cara apapun yang dapat mengarahkan manusia untuk bekerja pada semua situasi, dengan demikian pemimpin harus memiliki perilaku yang fleksibel, mampu mendiagnosa gaya kepemimpinan sesuai dengan situasi yang dihadapinya, serta mampu menerapkannya dalam situasi kepemimpinan sebenarnya.

Dalam menerapkan kepemimpinan sesuai dengan situasi yang di hadapi, seorang pemimpin harus memperhatikan tiga faktor utama, yaitu: (1) perhatian terhadap bawahan, yang berarti kepedulian pimpinan atas keahlian, pengalaman, kemampuan, pengetahuan tentang tugasnya, tingkat hirarkis, dan karakteristik psikologis; (2) perhatian terhadap atasan, yang mencerminkan derajat pelaksanaan pengaruhnya, ataupun kesamaan sikap dan perilakunya dengan orang-orang yang di atasnya; (3) perhatian terhadap tugas, yang mencerminkan derajat pentingnya waktu yang dimiliki, bahaya secara fisik yang mungkin terjadi, standar kesalahan yang ditolerir, derajat kebebasan, luas bidang pekerjaan, dan derajat kekaburan pelaksanaan tugas.

Tabel 2. Perbedaan manajemen dan kepemimpinan

Aspek Manajemen Kepemimpinan

Menciptakan agenda

Perencanaan dan penganggaran: menetapkan rincian langkah-langkah dan rencana waktu untuk mencapai hasil yang diperlukan, kemudian mengalokasikan sumber daya yang diperlukan untuk mencapai hal tersebut

Menentukan arah: mengembangkan visi masa depan, sering masa depan yang panjang, dan strategi untuk menghasilkan perubahan-perubahan untuk mencapai visi

Mengem-bangkan jaringan untuk mencapai agenda

Pengorganisasian: menetapkan stuktur organisasi untuk mencapai persyaratan rencana, mensetafi struktur tersebut dengan individu-individu, mendelegasikan tanggung jawab dan wewenang untuk

Mempersatukan orang: mengkomunikasikan arah dengan kata-kata dan tindakan-tindakan kepada mereka yang turut bekerjasama untuk menciptakan tim dan koalisi yang memahami visi dan strategi dan menerima kinerja

Page 37: Jurnal April 2009

Kepemimpinan Kepala Sekolah

33

melaksanakan rencana, menyediakan kebijakan dan prosedur untuk membantu mengarahkan orang, menciptakan metode untuk memonitor pelaksanaan rencana.

mereka.

Eksekutif Pengontrolan dan Penyelesaian masalah: memonitor hasil vs. rencana secara rinci dan kemudian merencanakan dan mengorganisasi untuk menyelesaikan masalah tersebut

Memotivasi dan Menginspirasi: mengenerji orang untuk memecahkan rintangan politik, birokrasi untuk merubahnya untuk memuaskan kebutuhan manusia yang sangat mendasar tapi sering tidak terpenuhin.

Keluaran Menghasilkan sesuatu yang dapat diramalkan, dan mempunyai potensi secara konsisten mencapai hasil-hasil tertentu yang diharapkan oleh berbagai stakeholder (misalnya pelanggan selalu tepat waktu; untuk stakeholder lainnya sesuai dengan anggaran).

Menghasilkan perubahan, sering bersifat dramatik, dan mempunyai potensi menghasilkan perubahan yang sangat berguna (misalnya produk baru yang diinginkan pelanggan, pendekatan baru yang membuat perusahaan lebih kompetetif).

Sumber: John P. Kotter (1990) dalam Wirawan (2003: 22).

Kepemimpinan dan manajemen berbeda menurut sasarannya masing-masing, manajemen berhubungan dengan benda, misalnya manajemen keuangan, persediaan, dan atau program; sedangkan kepemimpinan berhubungan dengan manusia. Manajer adalah orang yang mengerjakan sesuatu secara benar, sedangkan pimpinan adalah orang yang mengerjakan suatu kebenaran. Untuk jelasnya perbedaan antara manajemen dan kepemimpinan dapat dirujuk dari pendapat Kotter, seperti terlihat pada Tabel 2.

Sehubungan dengan fungsi-fungsi manajemen, Steers (1985: 29), berpendapat bahwa manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengaturan dan pengawasan aktivitas anggota organisasi yang berhubungan dengan sumber daya

Page 38: Jurnal April 2009

Moh. Suryadi Syarif

34

untuk mencapai tujuan. Manajemen sebagai suatu cara untuk melaksanakan fungsi eksekutif seperti perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengontrolan, dan pengawasan setiap kegiatan yang mengharuskan tanggung jawab untuk mencapai suatu hasil. Perencanaan mengindikasikan bagaimana tujuan organisasi akan dicapai. Pengorganisasian meliputi pengembangan tujuan, desain mengembangkan organisasi, pembagian tugas dan otoritas sehubungan dengan tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Sedangkan pengawasan meliputi tiga elemen penting yaitu standar kinerja, informasi, deviasi terhadap standar kinerja, dan koreksi terhadap standar kinerja.

Manajerial memiliki fungsi-fungsi yang berbeda namun saling berhubungan, yang secara bersama-sama merupakan proses manajemen. Pada dasarnya keseluruhan fungsi-fungsi manajerial dapat dikelompokkan atas fungsi organik (merupakan penjabaran kebijaksanaan dasar atau strategi organisasi yang telah ditetapkan dan harus digunakan sebagai dasar tindakan) dan fungsi penunjang (kegiatan yang diselenggarakan oleh orang-orang atau satuan-satuan kerja dalam organisasi, yang dimaksudkan untuk mendukung semua fungsi organik).

KOMPETENSI

Istilah “competent” sinonim dengan kata “sufficient” dan “adequate” yang berarti mampu, cukup, dan atau memadai. Di sekolah, berkompeten berarti menjadi sedikit memuaskan dan baik, sedangkan sangat baik dan baik sekali merupakan kategori yang lebih tinggi. Jika menyebutkan seseorang yang “incompetent” selalu berarti “incapable” atau “unqualified” yang berarti tidak mampu mengerjakan tugas tertentu atau tidak memiliki kemampuan yang dipersyaratkan.

Seseorang disebut kompeten untuk mengerjakan sesuatu berarti orang tersebut benar-benar dapat melakukan pekerjaan yang dimaksud. Dengan demikian maka kompetensi adalah karakteristik pokok dari seseorang yang memungkinkannya untuk mencapai kinerja standar dalam tugas, jabatan, atau situasi tertentu. Kompetensi tidak hanya berhubungan dengan tugas saja, tetapi juga kemampuan pokok yang dipersyaratkan oleh pekerjaan tersebut. Dijelaskan dalam New Zealand Qualifications Authority (Curfis dan Thorp, 2004: 1) bahwa kompetensi mencakup tidak hanya pengetahuan atau keahlian tetapi juga terapannya dalam usaha memenuhi kinerja standar yang dipersyaratkan; dan kompetensi lebih tertuju pada aksi atau hasil daripada proses belajar mengajar, untuk itu dibutuhkan kemampuan untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilan dalam lingkungan atau situasi baru.

Page 39: Jurnal April 2009

Kepemimpinan Kepala Sekolah

35

Kompetensi mempunyai dua pengertian yang relevan: 1) Definisi langsung, yaitu kemampuan seseorang untuk bekerja secara efektif dalam pekerjaan yang ditekuninya. Contoh kompetensi dalam definisi langsung adalah: bekerja sama dengan orang lain, meningkatkan kinerja seseorang dan kinerja orang lain dengan membangun, menggunakan, dan memelihara hubungan antara pribadi secara efektif. Melayani pelanggan dengan cara bekerja sama dengan para pelanggan secara efektif untuk mencapai tujuan usaha sendiri dan pelanggan. 2) Definisi elemen kunci, yaitu kemampuan individu untuk mencapai kinerja yang efektif dan bekerja secara efektif untuk mencapai tujuan pekerjaan secara efisien. Contoh kompetensi yang didefinisikan dengan menggunakan pendekatan unsur kunci adalah: mengelola informasi dan materi untuk memudahkan dalam memperolehnya; menggunakan fasilitas untuk mendorong usahanya dan memaksimalkan kualitas dan efisiensi hasil kerjanya; menggunakan pengetahuan hubungan informasi dan kepekaan politis dalam organisasi untuk menciptakan keputusan yang efektif; menetapkan skala prioritas untuk memastikan bahwa batas waktu kritis dapat dicapai; mengumpulkan informasi secara terstruktur dan terorganisir dan menggunakan pendekatan sistematis untuk memastikan pengumpulan informasi secara kolektif.

Seorang kepala sekolah yang efektif diperlukan adanya kompetensi dan keterampilan administrasi berikut: (1) Keterampilan teknis; (2) Keterampilan hubungan manusia; (3) Keterampilan membuat konsepsional; (4) Keterampilan pendidikan dan pengajaran; (5) Keterampilan kognitif. Di samping keterampilan ini kepala sekolah juga diwajibkan untuk memenuhi atau memiliki kompetensi sebagai seorang kepala sekolah, yaitu: (1) Komitmen terhadap misi sekolah; (2) Orientasi kepemimpinan proaktif; (3) Ketegasan; (4) Sensitif terhadap hubungan interpersonal dan organisasi; (5) Mengumpulkan informasi dan menganalisis pembentukan konsep; (6) Fleksibilitas intelektual. (7) Persuasif dan memanajemeni interaksi; (8) Kemampuan beradaptasi secara taktis; (9) Motivasi dan perhatian terhadap pengembangan; (10) Kontrol dan evaluasi; (11) Kemampuan berorganisasi dan pendelegasian; (12) Komunikasi.

Kompetensi Kepala Sekolah adalah kemampuan atau kecakapan yang diperlihatkan oleh seorang kepala sekolah ketika mengerjakan tugas-tugasnya, dalam hal ini memahami visi dan misi serta memiliki integritas yang baik saja belum cukup. Agar berhasil, kepala sekolah harus memiliki kompetensi yang disyaratkan untuk dapat mengemban tanggung jawabnya dengan baik dan benar. Setidaknya ada kesepakatan bahwa kepala sekolah perlu memiliki sejumlah kompetensi berikut: 1) Memfasilitasi pengembangan, penyebarluasan, dan pelaksanaan visi pembelajaran

Page 40: Jurnal April 2009

Moh. Suryadi Syarif

36

yang dikomunikasikan dengan baik dan didukung oleh komunitas sekolah. 2) Membantu, membina, dan mempertahankan lingkungan sekolah dan program pengajaran yang kondusif bagi proses belajar peserta didik dan pertumbuhan profesional para guru dan staf. 3) Menjamin bahwa manajemen organisasi dan pengoperasian sumber daya sekolah digunakan untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman, sehat, efisien, dan efektif. 4) Bekerja sama dengan orang tua murid dan anggota masyarakat, menanggapi kepentingan dan kebutuhan komunitas yang beragam, dan memobilisasi sumber daya masyarakat. 5) Memberi contoh tindakan berintegritas. 6) Memahami, menanggapi, dan mempengaruhi lingkungan politik, sosial, ekonomi, dan budaya yang lebih luas.

Dengan demikian maka disimpulkan bahwa 25 kompetensi yang harus dimiliki oleh kepala sekolah lanjutan, yaitu: 1) memiliki landasan dan wawasan pendidikan; 2) memahami sekolah sebagai sistem; 3) memahami manajemen berbasis sekolah; 4) merencanakan pengembangan sekolah; 5) mengelola kurikulum; 6) mengelola tenaga kependidikan; 7) mengelola sarana dan prasarana; 8) mengelola kesiswaan; 9) mengelola keuangan; 10) mengelola hubungan sekolah-masyarakat; 11) mengelola kelembagaan; 12) mengelola sistem informasi sekolah; 13) memimpin sekolah; 14) mengembangkan budaya sekolah; 15) memiliki dan melaksanakan kreativitas, inovasi dan jiwa kewirausahaan; 16) mengembangkan diri; 17) mengelola waktu; 18) menyusun dan melaksanakan regulasi sekolah; 19) memberdayakan sumberdaya sekolah; 20) melakukan koordinasi; 21) mengambil keputusan secara terampil; 22) melakukan monitoring dan evaluasi; 23) melaksanakan supervisi; 24) menyiapkan, melaksanakan dan menindaklanjuti hasil akreditasi; dan 25) membuat laporan akuntabilitas sekolah.

AKUNTABILITAS

Akuntabilitas mencakup isu-isu profesionalisme, moralitas, kinerja organisasi, dan keterwakilan semua kebutuhan dan harapan pihak pemangku kepentingan pada umumnya. Akuntabilitas merupakan kewajiban nyata dalam organisasi yang tidak mencari keuntungan, bukan hanya sekedar budaya organisasi atau gaya kepemimpinan yang diharapkan. Istilah accountability serupa dengan istilah responsibility (tanggung jawab). Accountability didefinisikan sebagai kemauan untuk mengakui kewajiban dan keinginan orang lain untuk menerima tanggung jawab sepenuhnya atas tindakannya dan akibat-akibatnya. Sedangkan responsibility adalah tugas yang dibebankan kepada seseorang sebagai akibat dari wewenang yang dimiliki.

Page 41: Jurnal April 2009

Kepemimpinan Kepala Sekolah

37

Tanggung jawab merupakan sesuatu yang ditugaskan, wewenang merupakan sesuatu yang didelegasikan, dan akuntabilitas tidak dapat didelegasikan. Tanggung jawab merupakan kewajiban untuk melaksanakan sesuatu karena menerima tugas (Schermerhorn, 1999: 6-8). Dan terminologi tanggung jawab itu sendiri juga biasanya berhubungan dengan moral, khususnya yang berkenaan dengan konsep tanggung jawab pribadi. Akuntabilitas adalah suatu keterhubungan mendasar dalam kewajiban untuk mendemonstrasikan, memeriksa, dan tanggung jawab atas kinerja, sehubungan dengan hasil-hasil yang dicapai dan cara-cara yang digunakan untuk mencapai tujuan (Barrados, 2004: 1).

Definisi akuntabilitas ini konsisten dengan pengelolaan hasil, terutama untuk akuntabilitas antara rekan kerja yang mungkin setara atau independen, dan mencakup kewajiban untuk semua kelompok dalam hubungan akuntabilitas. Perlu dicatat bahwa akuntabilitas yang efektif tidak hanya mencakup laporan kinerja, tetapi juga mencakup pemeriksaan, tindakan korektif secara tepat, dan konsekuensinya terhadap perorangan. Akuntabilitas adalah suatu usaha untuk membantu para bawahan agar dapat melakukan aktivitas sesuai dengan yang telah didelegasikan dan secara pribadi bertanggungjawab atas pekerjaannya (Martin, 2004: 1). Dalam hal ini, akuntabilitas menggambarkan aturan-aturan permainan dan harapan bagi manajemen. Sebagai manajer, seseorang harus mencoba memenuhi harapan yang diuraikan oleh akuntabilitas.

Accountability (pertanggungjawaban) mencakup bagaimana sumber daya yang diterima dapat dikelola dengan sebaik-baiknya untuk kegiatan-kegiatan yang menunjang pencapain tujuan yang dinyatakan (state goals). Pertanggungjawaban tersebut antara lain menyangkut derajat efisiensi dan kesesuaian dengan norma dan peraturan yang berlaku umum termasuk pertanggungjawabannya. Bagi manajemen sekolah, akuntabilitas seyogianya menjadi acuan dasar dalam mengembangkan perangkat peraturan, pengaturan, dan kesepakatan yang mengikuti seluruh sivitas akademika dalam mengupayakan peningkatan mutu berkelanjutan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat .

Akuntabilitas adalah suatu dasar hubungan antara kewajiban untuk mendemonstrasikan, memeriksa, dan bertanggungjawab atas hasil yang dicapai, berdasarkan tujuan yang telah ditetapkan dan sumber daya yang digunakan. Definisi ini mencakup sejumlah ide yang dapat diterapkan dalam bidang hubungan akuntabilitas yang luas, misalnya antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, dan/atau antara Depdiknas pusat dengan daerah. Setiap hubungan ini bersifat khusus dan mempunyai tingkat formalitas dan kompleksitas tersendiri.

Page 42: Jurnal April 2009

Moh. Suryadi Syarif

38

Definisi akuntabilitas di atas memberikan beberapa perbaikan terhadap akuntabilitas tradisional, yaitu: 1) akuntabilitas antara para sekutu; definisi ini memungkinkan saling hubungan akuntabilitas antara para sekutu yang setara dan/atau indepeden, sehingga tidak hanya digunakan dalam hubungan hirarkis; 2) akuntabilitas resiprokal; menitikberatkan pada kewajiban antara semua sekutu dalam hubungan akuntabilitas, tidak hanya antara bawahan dengan atasan seperti dalam konsep akuntabilitas tradisional; 3) keduanya penting dan berarti; setiap kelompok bertanggungjawab tidak untuk mencapai hasil tetapi juga bagaimana mencapai hasil tersebut; 4) membutuhkan pemeriksanaan dan penyesuaian; akuntabilitas mencakup tidak hanya laporan kinerja tetapi juga analisis dan refleksi terhadap kinerja tersebut menimbulkan perubahan yang tepat untuk perbaikan dan memberi konsekuensi yang tepat agar dapat membantu individu tersebut, seperti penguatan dan atau sanksi.

Proses akuntabilitas berdasar pada prinsip-prinsip yang efektif. Dalam penerapan prinsip-prinsip tersebut perlu memperhatikan dua aspek proses akuntabilitas, yaitu: 1) kerangka kerja akuntabilitas, dalam hal ini apakah tersedia kerangka kerja akuntabilitas untuk mendukung hubungan akuntabilitas yang kuat; 2) membantu pelaporan, dalam hal ini apakah terdapat laporan yang efektif, pemeriksaan, dan penyesuaian laporan. Kerangka kerja yang tepat adalah sangat penting untuk menciptakan akuntabilitas yang efektif. Hal ini biasanya direfleksikan dalam dokumen-dokumen yang memuat susunan pokok-pokok akuntabilitas. Dokumentasi ini dapat membantu memperjelas hubungan akuntabilitas, menetapkan suatu dasar untuk penilaian dan tidak merubahnya sebelum individu dalam pengaturan tersebut berubah.

Kerangka kerja akuntabilitas mempunyai empat elemen yang berdasarkan pada prinsip-prinsip akuntabilitas yang efektif, yaitu: 1) Tugas dan tanggung jawab. Hal ini diperlukan untuk memberikan pemahaman yang jelas atas tugas dan tanggung jawab, kewajiban, dan otoritas yang berhubungan dengan pelaku-pelaku organisasi dalam suatu hubungan akuntabilitas. Tanggung jawab dapat didelegasikan dari atasan kepada bawahan atau dalam hubungan kerjasama dapat didelegasikan kepada mitra kerja. 2) Kinerja yang diharapkan. Jika harapan tidak jelas, akuntabilitas dari kinerja sulit dicapai. Saling memahami dan harapan yang diterima termasuk kontribusi apa yang diharapkan dari masing-masing bagian dan sejauhmana ketepatan penggunaannya akan dapat memperkuat hubungan akuntabilitas. 3) Persyaratan pelaporan. Bagian-bagian dari suatu hubungan akuntabilitas perlu dijelaskan terutama tentang informasi apa yang akan dilaporkan, untuk siapa, dan kapan dilaporkan. 4) Mekanisme pemeriksaan dan penyesuaian.

Page 43: Jurnal April 2009

Kepemimpinan Kepala Sekolah

39

Akhirnya, kejelasan diperlukan atas bagaimana dan siapa yang akan melakukan pemeriksaan dan penyesuaian, bagaimana perbaikan harus dilaksanakan untuk meningkatkan kinerja.

Kepala sekolah dituntut untuk memiliki akuntabilitas kepada sekolah, masyarakat, dan pemerintah. Hal ini merupakan perpaduan antara komitmen terhadap standar keberhasilan dan harapan bagi yang berkepentingan. Akuntabilitas ini bertujuan untuk meyakinkan bahwa sumber daya yang dimiliki sekolah dikelola sesuai dengan kebijakan yang telah ditentukan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan dan jika mungkin untuk menyajikan informasi mengenai apa yang telah dikerjakan. Setiap kepala sekolah harus memberikan laporan pertanggungjawaban dan mengkomunikasikannya kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah, dan melaksanakan kaji ulang secara komprehensif terhadap pelaksanaan program prioritas sekolah dalam proses peningkatan mutu.

KESIMPULAN

Kepemimpinan kepala sekolah dalam era otonomi daerah adalah kepemimpinan yang mengutamakan pemberian kesempatan, dan atau mendorong semua unsur dalam struktur organisasi sekolah untuk bekerja atas dasar sistem nilai yang luhur, sehingga semua unsur yang terlibat (guru, siswa, pegawai, orangtua siswa, masyarakat, dan sebagainya) bersedia tanpa paksaan untuk berpartisipasi secara optimal dalam mendukung komitmen organisasi sekolah dalam pencapaian tujuannya. Karakteristik kepemimpinan tersebut ditunjukkan oleh: 1) Idealized Influence, seorang pemimpin bertindak dan memberi contoh melalui perilaku kepada bawahannya; 2) Inspirational Motivation, pemimpin memberi inspirasi kepada bawahannya dengan cara berkomunikasi secara jelas untuk menyampaikan tujuan serta harapan; 3) Intellectual Stimulation, pemimpin menciptakan iklim yang kondusif bagi perkembangan inovasi dan kreativitas; 4) Individualized Consideration, pemimpin memberi perhatian khusus pada kebutuhan setiap individu untuk berpartisipasi dan berkembang dengan jalan bertindak seperti pelatih atau penasehat.

Terdapat beberapa hal pokok yang diperhatikan berkaitan dengan kepemimpinan kepala sekolah, di antaranya adalah kompetensi dan akuntabilitas. Kompetensi yang dimaksud adalah pola perilaku yang dibutuhkan oleh kepala sekolah dalam melaksanakan tugasnya agar dapat berfungsi sesuai dengan kemampuan atau kecakapan yang diperlihatkan ketika mengerjakan tugas-tugasnya. Sedangkan akuntabilitas yang dimaksud adalah keterhubungan mendasar antara

Page 44: Jurnal April 2009

Moh. Suryadi Syarif

40

kewajiban untuk mendemonstrasikan, memeriksa, dan tanggung jawab atas kinerja, pencapaian tujuan, dan penggunaan sumber daya tertentu, sesuai dengan kewenangan dan kemampuannya dalam rangka mewujudkan tujuan organisasi sekolah.

Kompetensi dan akuntabilitas kepala sekolah adalah merupakan perpaduan antara komitmen terhadap standar keberhasilan, hak dan kewajiban, serta harapan bagi yang berkepentingan terhadap keberhasilan pendidikan di sekolah. Keefektifan kedua komponen ini akan memberikan keyakinan bahwa sumber daya yang dimiliki sekolah dikelola sesuai dengan kebijakan yang telah ditentukan. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan jika mungkin untuk menyajikan informasi mengenai apa yang telah dikerjakan. Untuk itu terefektifkannya ketiga komponen tersebut dalam kepemimpinan maka diharapkan akan dapat meningkatkan kinerja kepala sekolah. Dengan demikian maka berdasarkan penalaran ini diduga bahwa terdapat hubungan positif antara kompetensi, kesejahteraan, akuntabilitas secara bersama-sama dengan kepemimpinan kepala sekolah.

DAFTAR RUJUKAN

Barrados, M, et. al., 2004. Modernizing Accountability in the Public Sector (Report of the Auditor General of Canada: http://www.oag-bvg.gc.ca/domino/aogbvg. nst/htm.,

Comstock, T. W. 1994. Fundamentals of Supervision: The First Line Manajemen at

Work. New York: Delmar Publishers, inc. Curfis, G. & Thorp, D. 2004. Defining Competency (New Zealand, July 1993:

http://www.defining%20.measuring/%20competency.pdf., Dharma, Agus. 2004. Standar Kompetensi Kepala Sekolah. Pendidikan Network:

http://pendidikan.net/., 2004. ERIC, 2002. Clearinghouse: Educational Manajemen Trend and Issues: the Role of

School Leader. ERIC: http://www.eric.uoregon.edu., Nanus, B. & Dobbs, S.M. 1999. Leaders Who Make a Difference: Essential

Strategies for Meeting the Nonprofit Challenge. San Fransisco: Jossey-Bass Publisher.

Schermerhorn, J. R. Jr.1999. Management. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Page 45: Jurnal April 2009

Kepemimpinan Kepala Sekolah

41

Steers, R.M. 1985. Managing Effective Organization. USA: Kent Publishing

Company. Suparman, Eman. 2004. Manajemen Pendidikan Masa Depan. http://www.

pendidikan.net/. Wirawan. 2003. Kapita Selekta Teori Kepemimpinan: Pengantar untuk Praktek dan

Penelitian. Jakarta: Yayasan Bangun Indonesia dan Uhamka Press.

Page 46: Jurnal April 2009

Jurnal Tenaga Kependidikan Vol. 4, No. 1, April 2009

42

PERILAKU TENAGA ADMINISTRASI SEKOLAH DALAM PELAYANAN PUBLIK DI TINGKAT SATUAN

PENDIDIKAN

Ali Imron Universitas Negeri Malang

Abstrak

Dalam perspektif total quality management (TQM), sekolah dipandang sebagai institusi publik yang harus dapat memuaskan customer-nya. Perspektif TQM ini, mendapatkan momentum tepat ketika reformasi di berbagai bidang digulirkan di negeri ini, termasuk di dalamnya adalah reformasi pelayanan publik di bidang pendidikan. Paradigma pelayanan publik di tingkat satuan pendidikan sekolah patut digeser dari yang konvensional menuju ke kondisi yang senantiasa ter-update, agar ketika dibutuhkan berada dalam keadaan on-service. Tenaga administrasi sekolah haruslah menunjukkan perilaku sebagai seorang pelayan publik yang pro aktif, responsif dan antisipatif terhadap berbagai kebutuhan, aspirasi dan harapan stake holders sekolah sesuai Permendiknas Nomor 24 Tahun 2008 tentang Standar Tenaga Administrasi Sekolah/Madrasah. Oleh karena itu, selain harus menguasai berbagai hard skill, yang berupa ketrampilan teknis, juga menguasai berbagai shoft skill yang senantiasa ditampilkan pada saat memberikan pelayanan prima sekaligus memuaskan kepada customer-nya. Kata kunci: Perilaku, tenaga adminsitrasi, pelayanan publik, dan

satuan pendidikan sekolah. PENDAHULUAN

Lembaga pendidikan dalam berbagai jenis dan tingkatannya diselenggarakan pada hakekatnya bukan untuk melayani dirinya sendiri, melainkan melayani kepentingan publik. Pelayanan publik, termasuk di bidang pendidikan, sering menjadi sorotan terutama kalau sudah menyangkut aspek kecepatan pelayanannya, memuaskan-tidaknya, dan sesuai harapan-tidaknya. Pada hal, dalam perspektif total quality management (TQM), publik di bidang pendidikan adalah customer yang harus ditingkatkan kepuasannya.

Temuan kurang baiknya sistem pelayanan publik, termasuk dalam institusi pendidikan sedikitnya disebabkan dua hal. Pertama, bahwa publik sekarang telah mengalami perubahan sejalan dengan gerakan reformasi secara nasional, sehingga publik yang semula tidak berdaya (powerless) menjadi berdaya, bahkan sangat

Page 47: Jurnal April 2009

Perilaku Tenaga Administrasi Sekolah

43

berdaya (powerfull). Kedua, kenyataan di lapangan menunjukkan SDM institusi pendidikan belum memberikan pelayanan publik yang memuaskan. Pada latar institusi persekolahan, kedua alasan tersebut jika diruntut akan berujung pada persoalan tenaga kependidikan di sekolah. Salah satu dari tenaga kependidikan di sekolah yang banyak terkait langsung dengan pelayanan adalah tenaga administrasi sekolah. Ketatausahaan sendiri, dalam keseluruhan manajemen pendidikan di sekolah, adalah supporting system yang sangat menentukan keberhasilan sekolah secara keseluruhan.

Dalam perspektif yuridis, setidaknya menurut Undang-undang nomor 20 tahun 2003 beserta peraturan perundangan-undangan turunannya, tenaga kependidikan (termasuk di dalamnya adalah tata administrasi sekolah), adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan. Tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan. Pendidik dan tenaga kependidikan (termasuk tenaga administratisi sekolah) berkewajiban: menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis; mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan; dan memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Guna melaksanakan tugas-tugas administrasi sekolah, menurut Permendiknas Nomor 24 Tahun 2008 tentang Standar Tenaga Administrasi Sekolah/Madrasah, dilakukan oleh tenaga administrasi sekolah/madrasah, yang terdiri atas kepala tenaga administrasi sekolah/madrasah, pelaksana urusan, dan petugas layanan khusus.

KONDISI IDEAL PELAYANAN PUBLIK

Menurut Lembaga Administrasi Negara (2000), pelayanan publik (public service) adalah pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah, termasuk institusi sekolah, baik dalam upaya memenuhi kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelayanan publik merupakan salah satu perwujudan dari fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat disamping sebagai abdi negara. Pelayanan publik juga merupakan pelaksanaan dari peraturan pemerintah atau pihak lain yang terkait. Pelayanan publik juga dimaksudkan untuk mensejahterakan masyarakat, karena dengan pelayanan publik yang baik, diharapkan masyarakat dapat memenuhi kebutuhannya.

Page 48: Jurnal April 2009

Ali Imron

44

Pelayanan publik pada dasarnya merupakan kombinasi dari berbagai fungsi yang titik tekannya tergantung lembaga dan personel yang menerapkannya. Fungsi-fungsi yang harus dikombinasikan dalam penerapan pelayanan publik yang handal meliputi fungsi instrumental, politik, katalis, public interest, dan entrepreneurial (Sunaryo, 2005).

Fungsi instrumental berkenan dengan menjabarkan perundang-undangan dan kebijakan publik ke dalam kegiatan rutin. Hal ini terkait dengan sosialisasi kebijakan yang berlaku bagi kegiatan tertentu yang berkaitan dengan pelayanan publik. Masyarakat butuh kejelasan kebijakan untuk urusan-urusan yang menyangkut dirinya. Semakin jelas kebijakan apa yang diterapkan untuk menyelesaikan urusan tertentu bagi masyarakat, maka semakin baik pula pelayanan publik tersebut. Tenaga administrasi sekolah memegang peranan penting dalam fungsi instrumental ini, karena lalu lintas informasi yang terkait dengan undang-undang dan peraturan pemerintah senantiasa melewati mereka.

Fungsi politik pelayanan publik berarti memberikan input yang dapat berupa saran dan informasi. Berarti bahwa dalam pelayanan publik diperlukan tambahan informasi kepada masyarakat untuk memperjelas sistem pelayanan publik yang diberikan. Tenaga administrasi sekolah banyak berperan sebagai informan berbagai kebijakan sekolah kepada stake holders-nya.

Pelayanan publik tidak boleh meninggalkan interes dan aspirasi masyarakat yang memerlukan pelayanan. Hal ini sesuai dengan fungsi katalis public interest. Interes dan aspirasi masyarakat diintegrasikan dengan kebijakan dan keputusan pemerintah atau pihak lain pembuat kebijakan pelayanan publik, dan diimplementasikan dalam bentuk layanan konkret oleh tenaga administrasi. Fungsi entrepreneurial, yang berkenaan dengan memberi inspirasi bagi kegiatan-kegiatan inovatif dan non-rutin. Dalam pelayanan publik diupayakan ada ruang untuk melakukan pembaharuan-pembaharuan agar mempermudah, mempermurah dan mempercepat serta memperakurat data/informasi dalam pelayanan publik. Jika perlu, boleh menyimpang dari kelaziman asal tidak keluar dari koridor aturan dan misi sekolah. Di sinilah peran strategis tenaga administrasi ditantang, bagaimana agar lembaganya tetap akuntabel secara administratif.

Birokrasi publik (termasuk birokrasi sekolah dikatakan profesional) manakala dalam pelayanan publik menunjukkan perilaku bertanggungjawab. Konsep tanggungjawab dibedakan menjadi 3, yaitu responsibilitas (responsibility), akuntabilitas (accountability), dan responsivitas (responsiveness) para pemberi layanan (Widodo, 2004). Responsibilitas diartikan sebagai kemampuan untuk

Page 49: Jurnal April 2009

Perilaku Tenaga Administrasi Sekolah

45

melaksanakan apa yang menjadi tugas pokok, fungsi, kewenangan, dan tanggungjawab yang diberikan kepadanya. Tanggungjawab berarti capable to do atau professionality dan rasa tanggungjawab (sense of responsibility). Profesional berarti bahwa tatausahawan dituntut memiliki kecakapan teknis yang memadai dalam menjalankan tugas pokok, fungsi, kewenangan, dan tangungjawab dalam pelayanan publik. Dengan memiliki kecakapan teknis, mereka dapat menjalankan tugas dan tanggungjawab secara efektif, efisien, dan produktif. Rasa tanggungjawab berarti tenaga administrasi sekolah melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya secara serius meskipun tidak ada pihak lain yang mengawasinya. Tenaga administrasi tetap menjaga keberpihakan kepada kepentingan publik, meskipun untuk melakukan penyelewengan bagi mereka cukup terbuka.

Akuntabilitas merupakan kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban atau menjawab dan menerangkan kinerja atas tindakan seseorang/pimpinan/badan hukum suatu organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau kewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban. Untuk kepentingan ini, tenaga administrasi sekolah hendaknya bersikap transparan (transparency) dan terbuka (openness) atas apa yang ditanyakan publik. Tenaga administrasi dinyatakan akuntabel manakala mereka dinilai secara obyektif oleh masyarakat telah dapat mempertanggungjawabkan segala macam perbuatan, sikap, dan sepakterjangnya kepada publik.

Responsivitas diartikan sebagai daya tanggap tenaga administrasi terhadap apa yang menjadi permasalahan, kebutuhan, keluhan, dan aspirasi publik yang dilayaninya. Dengan demikian, tenaga administrasi sekolah dikatakan responsif (cepat tanggap dan cepat menanggapi) yang tinggi jika tanggap terhadap permasalahan, kebutuhan, keluhan, dan aspirasi stake holders sekolah yang dilayani.

Sunarto (2005) menyatakan bahwa prinsip-prinsip dalam pelayanan publik meliputi: berdayakan masyarakat, yang dapat berupa penciptaan iklim kebebasan untuk berprakarsa dan berkreasi bagi masyarakat; optimalkan pelayanan publik, yakni pelayanan masyarakat yang efisien, adil, mudah dan mendekatkan unit pelayanan ke masyarakat; buka ruang partisipasi publik, dimana dalam manajemen di lembaga pendidikan sedapat mungkin (jika perlu) melibatkan masyarakat dalam merencanakan, pengorganisasikan, melaksanakan, dan mengevaluasi kegiatan; dan ubah gaya kerja personel lembaga pendidikan, yang semula ingin dilayani menjadi pelayan bagi masyarakat yang memerlukan.

Page 50: Jurnal April 2009

Ali Imron

46

KONDISI RIIL PELAYANAN PUBLIK

Menurut hasil survey yang dilakukan UGM pada tahun 2002, sebagaimana dikedepankan oleh Imron (2007), bahwa secara umum stakeholders menilai bahwa kualitas pelayanan publik mengalami perbaikan setelah diberlakukannya otonomi daerah. Namun jika dilihat dari sisi efisiensi dan efektivitas, responsivitas, dan kesamaan perlakuan (tidak diskriminatif) masih jauh dari yang diharapkan.

Temuan Mohamad, bahwa pelayanan yang dilakukan oleh institusi publik paling tidak ditunjukkan dengan kondisi sebagai berikut. Pertama, masih kurang responsif. Kondisi ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur pelayanan, mulai pada tingkatan petugas pelayanan (front line) sampai dengan tingkatan penanggungjawab institusi. Respon terhadap berbagai keluhan, aspirasi, maupun harapan masyarakat seringkali lambat atau bahkan diabaikan sama sekali. Kedua, masih kurang informatif. Berbagai informasi yang seharusnya disampaikan kepada masyarakat, lambat atau bahkan tidak sampai kepada mereka. Keempat, kurang accessible. Berbagai unit pelaksana pelayanan terletak jauh dari jangkauan masyarakat, sehingga menyulitkan bagi mereka yang memerlukan pelayanan tersebut. Kelima, kurang koordinasi. Berbagai unit pelayanan yang terkait satu dengan lainnya sangat kurang berkoordinasi. Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih ataupun pertentangan kebijakan antara satu instansi pelayanan dengan instansi pelayanan lain yang terkait. Keenam, masih terlalu birokratis. Pelayanan pada umumnya dilakukan dengan melalui proses yang terdiri dari berbagai level, sehingga menyebabkan penyelesaian pelayanan yang terlalu lama. Dalam kaitan dengan penyelesaian masalah pelayanan, kemungkinan tenaga administrasi untuk dapat menyelesaikan masalah sangat kecil, dan di lain pihak kemungkinan masyarakat untuk bertemu dengan penanggungjawab pelayanan, dalam rangka menyelesaikan masalah yang terjadi ketika pelayanan diberikan, juga sangat sulit. Akibatnya, berbagai masalah pelayanan memerlukan waktu yang lama untuk diselesaikan. Ketujuh, kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat. Pada umumnya aparat pelayanan kurang memiliki kemauan untuk mendengar keluhan/saran/aspirasi dari masyarakat. Akibatnya, pelayanan dilaksanakan dengan apa adanya, tanpa ada perbaikan dari waktu ke waktu. Kedelapan, masih menunjukkan inefisien. Berbagai persyaratan yang diperlukan (khususnya dalam pelayanan perijinan) seringkali tidak relevan dengan pelayanan yang diberikan.

Page 51: Jurnal April 2009

Perilaku Tenaga Administrasi Sekolah

47

MENGGESER PARADIGMA PELAYANAN PUBLIK DI SEKOLAH

Sekolah (terutama yang berstatus negeri) adalah ujung tombak terdepan dalam pelayanan publik di lingkungan Depdiknas. Dalam persoalan pendidikan anak, orang tua dan masyarakat selalu menginginkan agar anaknya mendapatkan pendidikan terbaik dan mendapatkan pelayanan yang prima. Oleh karena itu, sekolah haruslah responsif dalam menyikapi kemauan masyarakat tanpa mengorbankan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan sekolah.

Salah satu cara yang dapat digunakan sekolah agar dapat melayani masyarakat dengan prima adalah kemauan untuk menggeser paradigma birokrasi yang lebih sibuk dengan urusan internal, menjadi berorientasi pada pelanggan sekolah. Sekolah diharapkan memposisikan pelanggan sebagai hal yang paling depan. Oleh sebab itu, pelanggan dipakai sebagai sasaran pencapaian tujuan. Sekolah selalu mendengar suara pelanggan, memperhatikan kebutuhan dasar dan keinginan pelangggan, dan memperhatikan hukum pelanggan (termasuk dalam hal ini hak-hak pelanggan sekolah) (Ramalia dalam LAN, 2001).

Dalam meningkatkan daya saing sekolah, perlu perubahan paradigma birokrasi di sekolah. Yang semula sekolah lebih banyak melayani kebutuhan birokrasi yang lebih tinggi dan kemungkinan sekolah sendiri minta dilayani masyarakat, maka diubah agar sekolah lebih responsif dalam memberikan pelayanan yang bersifat memenuhi kebutuhan pelanggan atau masyarakat yang memerlukan.

Pelayanan pelanggan sekolah diartikan sebagai proses yang secara sadar dan terencana yang dilakukan oleh sekolah melalui pemberian pelayanan kepada pelanggan agar pelanggan mencapai kepuasan secara optimal. Untuk dapat menjalankan fungsi yang memuaskan pelanggan, bagi sekolah tidak lepas dari kreatifitas tata usahawannnya. Tenaga administrasi sekolah perlu kreatif mengidentifikasi masalah-masalah yang sedang maupun yang akan dihadapi dalam praktik pemberian layanan sehari-hari. Hal ini sebagai upaya untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi dan upaya mengantisipasi pemecahan masalah yang kemungkinan akan dihadapi pada masa yang akan datang.

Untuk mewujudkan dan mempertahankan kepuasan pelanggan sekolah, dapat dilakukan 4 hal sebagaimana pendapat Ramalia (2001). Petama, mengidentifikasi kembali siapa pelanggan sekolah tersebut. Di sini peran personel hubungan masyarakat, dengan bantuan staf tata usaha haus dilakukan. Stakeholder dalam arti luas dilibatkan dalam pembuatan keputusan utamanya berkenaan dengan kepuasan pelayanan publik di sekolah. Kedua, perlunya memahami tingkat harapan pelanggan sekolah atas kualitas pelayanan. Harapan tingkat kepuasan pelanggan, penting

Page 52: Jurnal April 2009

Ali Imron

48

diketahui sebagai acuan untuk menentukan tujuan dan tolak kepuasan pelanggan. Tanpa tolak ukur yang jelas, maka kepuasan pelanggan atau pengguna jasa pelayanan di sekolah sulit diketahui.

Ketiga, memahami strategi kualitas layanan pelanggan yang terwujud dalam standar pelayanan prima. Standar pelayanan yang dipakai sebagai tolak ukur adalah standar pelayanan prima. Hal ini dapat dicapai melalui strategi yang dapat menjamin kualitas pelayanan prima yang didukung pula oleh personel pelayanan yang prima. Keempat, memahami siklus pengukuran dan umpan balik dari kepuasan pelanggan. Umpan balik penting untuk mekanisme perencanaan dan pelaksanaan pelayanan berikutnya. Dengan umpan balik akan dapat diketahui hal-hal mana yang perlu diperbaiki dan mana yang perlu dipertahankan atau ditingkatkan.

Lebih lanjut Ramalia (2001) mengemukakan bahwa layanan pelanggan sekolah yang baik memperhatikan sembilan aspek keinginan pelanggan sebagai berikut: (1) bebas membuat keputusan; (2) memperoleh hasil sesuai dengan keinginan; (3) mempertahankan harga diri; (4) mendapatkan perlakuan secara adil; (5) diterima dan disambut secara baik; (6) diberitahukan segala sesuatu yang terjadi; (7) merasa aman dan dilindungi haknya; (8) didudukkan sebagai orang penting; dan (9) menuntut keadilan.

Perubahan paradigma yang disikapi oleh sekolah dalam hal ini cukup banyak. Diantaranya, bahwa sekolah hendaknya mengikutsertakan pembuatan keputusan bagi pelanggannya. Pelanggan perlu diikutsertakan dalam perencanaan hal-hal penting bagi keberlanjutan pelaksanaan pendidikan anak-anak di sekolah, antara lain penentuan pelaksanaan kurikulum sekolah, proses belajar mengajar, kegiatan ekstrakurikuler, dan pendidikan moral. Peranan staf tata usaha sebagai supporting system di sekolah sangatlah penting.

POSISI STRATEGIS TENAGA ADMINISTRASI SEKOLAH

Berdasarkan ketentuan dalam Standarisasi Nasional Pendidikan, jenis tenaga kependidikan (termasuk tenaga administrasi atau tenaga asministratif) diatur menurut jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Pada pasal 35-37 dinyatakan sebagai berikut:

Tenaga kependidikan pada:

a. TK/RA atau bentuk lain yang sederajat sekurang-kurangnya terdiri atas kepala TK/RA dan tenaga kebersihan TK/RA.

Page 53: Jurnal April 2009

Perilaku Tenaga Administrasi Sekolah

49

b. SD/MI atau bentuk lain yang sederajat sekurang-kurangnya terdiri atas kepala sekolah/madrasah, tenaga administrasi, tenaga perpustakaan, dan tenaga kebersihan sekolah/madrasah.

c. SMP/MTs atau bentuk lain yang sederajat dan SMA/MA, atau bentuk lain yang sederajat sekurang-kurangnya terdiri atas kepala sekolah/madrasah, tenaga administrasi, tenaga perpustakaan, tenaga laboratorium, dan tenaga kebersihan sekolah/madrasah.

d. SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat sekurang-kurangnya terdiri atas kepala sekolah/madrasah, tenaga administrasi, tenaga perpustakaan, tenaga laboratorium, dan tenaga kebersihan sekolah/madrasah.

e. SDLB, SMPLB, dan SMALB atau bentuk lain yang sederajat sekurang-kurangnya terdiri atas kepala sekolah, tenaga administrasi, tenaga perpustakaan, tenaga laboratorium, tenaga kebersihan sekolah, teknisi sumber belajar, psikolog, pekerja sosial, dan terapis.

f. Paket A, Paket B dan Paket C sekurang-kurangnya terdiri atas pengelola kelompok belajar, tenaga administrasi, dan tenaga perpustakaan.

Agar pelayanan publik yang dilakukan oleh tenaga administrasi sekolah dapat optimal, ada beberapa kriteria, yakni kesederhanaan, kejelasan dan kepastian, keamanan, keterbukaan, efisiensi, ekonomis, keadilan, ketepatan waktu dan kuantitatif. Kesederhanaan, artinya bahwa pelayanan publik dilaksanakan secara mudah, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami, dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang memerlukan pelayanan. Sistem pelayanan publik dengan sederhana perlu dilaksanakan, mengingat sebagian besar masyarakat Indonesia (penerima layanan) masih berpendidikan rendah.

Kejelasan dan kepastian tentang prosedur/tata cara pelayanan, persyaratan pelayanan, unit kerja atau personel yang bertanggungjawab memberikan pelayanan, rincian biaya dan tata cara pembayaran pelayanan (jika ada), dan jadwal waktu penyelesaian pelayanan. Tentang hal ini perlu diinformasikan secara jelas kepada masyarakat luas, utamanya yang memerlukan pelayanan publik.

Keamanan, dimana proses dan hasil pelayanan dapat memberikan keamanan dan kenyamanan bagi masyarakat yang dilayani. Faktor keterbukaan, artinya segala hal yang berkenaan dengan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat diberitahukan secara terbuka kepada masyarakat yang dilayani. Kriteria lain adalah efisiensi, dimana persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan, dan tidak boleh ada pengulangan persyaratan.

Page 54: Jurnal April 2009

Ali Imron

50

Kriteria ekonomis, berarti biaya pelayanan harus ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan nilai barang dan jasa pelayanan, kondisi/kemampuan masyarakat, dan ketentuan perundangan yang berlaku. Faktor keadilan dan merata, dimana jangkauan pelayanan diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan diberlakukan secara adil bagi seluruh lapisan masyarakat. Faktor ketepatan waktu, artinya pelayanan kepada masyarakat harus tepat waktu sesuai yang ditentukan dan diinformasikan kepada masyarakat. Yang terakhir adalah faktor kuantitatif, yakni jumlah masyarakat yang dilayani naik atau turun, rata-rata lamanya waktu pelayanan, penggunaan perangkat teknologi modern untuk memperlancar pelayanan, dan frekuensi keluhan dan pujian dari masyarakat yang diberi layanan; semua itu terdata secara kuantitatif sebagai upaya terus menerus mengembangkan pelayanan kepada masyarakat.

PERILAKU TENAGA ADMINISTRASI SEKOLAH

Agar pelayanan publik di sekolah bisa memuaskan customer, sejumlah perilaku pelayanan haruslah dapat diinternalisasikan dan bahkan ditunjukkan oleh tenaga administrasi dalam memberikan layanan kepada customer-nya. Sejumlah perilaku pelayanan tersebut, menyangkut waktu, kecermatan, helpful dan friendly, responsif, proaktif, profesionalitas, kapabel dan cakap (Imron, 2007). Terkait dengan waktu, perilaku berikut haruslah dapat ditunjukkan, yaitu:

1. Tenaga administrasi sekolah memahami ketepatan waktu sangat penting diperhatikan dalam memberikan layanan kepada customer.

2. Tenaga administrasi sekolah mengetahui target waktu yang diperlukan untuk memberikan layanan kepada customer.

3. Tenaga administrasi sekolah selalu mengusahakan memberikan layanan kepada customer lebih cepat dari batasan waktu yang ditetapkan.

4. Tenaga administrasi sekolah, jika dirasakan perlu, meluangkan waktu melebihi dari waktu yang ditetapkan dalam memberikan layanan administrasi kepada customer.

Terkait dengan relevansi layanan, perilaku berikut haruslah dapat ditunjukkan:

1. Tenaga administrasi sekolah dapat memposisikan diri sesuai dengan TUPOKSI dalam memberikan layanan kepada customer.

2. Tenaga administrasi sekolah menyadari keterkaitan TUPOKSI dengan keseluruhan layanan administrasi di dalam maupun di luar unit kerja.

Page 55: Jurnal April 2009

Perilaku Tenaga Administrasi Sekolah

51

3. Tenaga administrasi sekolah memahami dan mampu mempraktikkan TUPOKSI-nya dalam rangka pemberian layanan administrasi kepada customer.

4. Tenaga administrasi sekolah mendahulukan kepentingan customers, sehingga mereka merasakan kepuasan dari layanan yang diterimanya.

Agar tenaga administrasi bisa cermat dalam memberikan pelayanan, perilaku berikut haruslah memainkan peranan sebagai berikut:

1. Tenaga administrasi sekolah memahami langkah-langkah kerja yang harus dilalui sebelum memberikan layanan.

2. Tenaga administrasi sekolah menggunakan peralatan bantu untuk kecepatan dan ketepatan proses dalam memberikan layanan kepada customer.

3. Tenaga administrasi sekolah berupaya melakukan check and recheck atas hasil layanan yang diberikan kepada customer.

4. Tenaga administrasi sekolah memiliki sense perfective atas segala layanan yang dilakukannya.

5. Tenaga administrasi sekolah memiliki inisiatif untuk melakukan upaya pencegahan terhadap kesalahan/kelemahan/hambatan dari layanan kepada customer.

Seorang tenaga administrasi sepatutnya juga helpful dan friendly. Oleh karena itu, perilaku demikian akan ditunjukkan manakala:

1. Tenaga administrasi sekolah menyadari, bahwa keberadaan dirinya sangat banyak ditentukan oleh keberadaan customer-nya.

2. Tenaga administrasi sekolah menyadari, bahwa tanpa ada customer, sesungguhnya dirinya tidak akan punya fungsi dan peran apapun dalam lingkup pekerjaannya.

3. Tenaga administrasi sekolah menyadari, bahwa customer adalah segalanya, karena itu ia senantiasa berpikir bahwa keberadaaan dirinya adalah untuk membantu mereka.

4. Tenaga administrasi sekolah merasa bangga dan senang, jika persoalan yang dimiliki oleh customer sedikit banyak telah terpecahkan melalui bantuan dan pekerjaan yang ia lakukan.

5. Tenaga administrasi sekolah menyadari, bahwa yang menjadi pelayan adalah dirinya, karena itu ia tidak pernah berpikir bahwa customer-lah yang harus melayani dirinya.

6. Ketika memberikan layanan, tenaga administrasi sekolah melakukannya dengan sungguh-sungguh.

Page 56: Jurnal April 2009

Ali Imron

52

7. Dalam memberikan layanan, tenaga administrasi sekolah melakukannya dengan senang hati.

8. Dalam memberikan layanan, tenaga administrasi sekolah menunjukkan wajah yang ramah, menyenangkan, smile, tidak sangar.

9. Dalam memberikan pelayanan, tenaga administrasi sekolah memperlakukan pihak yang dilayani sebagai customer (pelanggan).

10. Jika tenaga administrasi sekolah mempunyai persoalan (pribadi, sosial, pekerjaan), tidak dibawanya ke tempat kerja, apa lagi sampai berpengaruh terhadap cara memberikan layanan kepada customer-nya.

Responsiveness dan pro-aktif juga akan dapat ditunjukkan, manakala:

1. Tenaga administrasi sekolah senantiasa berpikir dan berangan-angan, kapan ia harus melayani customer-nya. Bukan sebaliknya, kapan ia berhenti tidak memberikan pelayanan kepada customer.

2. Tenaga administrasi sekolah menyadari, bahwa pekerjaan melayani customer adalah tanggungjawab dirinya sepenuhnya. Karena itu, ketika memberikan pelayanan tidak menunggu perintah dari atasannya.

3. Tenaga administrasi sekolah senantiasa berpikir, bahwa yang harus ia utamakan dalam memberikan layanan adalah customer. Karena itu, ia selalu berusaha untuk mengutamakan kepentingan customer dalam setiap memberikan pelayanan.

4. Tenaga administrasi sekolah berusaha agar customer yang dilayani tidak usah menunggu lama untuk mendapatkan pelayanan dari dirinya.

5. Ketika ada customer yang kebingungan saat berproses mendapatkan pelayanan, tenaga administrasi sekolah menawarkan bantuan, dengan menanyakan: apa yang dapat saya bantu?

6. Tenaga administrasi sekolah senantiasa berpikir dan berusaha bagaimana agar customer menjadi mudah dalam urusannya, dan bukan sebaliknya, bagaimana agar mereka mendapatkan kesukaran.

7. Tenaga administrasi sekolah berusaha agar persoalan yang dihadapi oleh klien terkait layanan yang ia dapatkan, secepatnya dapat dituntaskan.

8. Tenaga administrasi sekolah berusaha untuk mengetahui alur kerja sejawatnya, agar ketika sejawatnya berhalangan, ia akan dapat menggantikan dalam memberikan pelayanan.

9. Ketika customer tidak mengerti cara mengakses pelayanan, tenaga administrasi sekolah berusaha secepatnya untuk memberikan bantuan, tanpa terus menunggu perintah dari atasan langsungnya.

Page 57: Jurnal April 2009

Perilaku Tenaga Administrasi Sekolah

53

10. Ketika ia punya persoalan dan kesulitan dalam setiap memberikan pelayanan, ia tanya kepada atasannya atau sejawatnya, dan tidak justru menunggu kapan sejawat dan atasannya bertanya kepada dirinya.

Profesionalitas, kapabilitas dan kecakapan juga akan dapat ditunjukkan, manakala:

1. Tenaga administrasi sekolah menyusun schedule secara pribadi untuk penyelesaian pekerjaannya, sehingga seluruh pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya, benar-benar terencana (by design).

2. Tenaga administrasi sekolah memahami prosedur dan alur kerja beserta dengan jiwa yang dikandung oleh prosedur dan alur kerja tersebut.

3. Dalam setiap memberikan pelayanan kepada customer, tenaga administrasi sekolah senantiasa berpedoman kepada alur kerja yang telah ditetapkan oleh atasannya.

4. Dalam setiap memberikan pelayanan, tenaga administrasi sekolah selalu mencari cara-cara yang tercepat, tertepat dan terakurat, tanpa keluar dari koridor dan jiwa prosedur yang telah ditetapkan.

5. Dalam melaksanakan setiap pekerjaannya, tenaga administrasi sekolah bertindak tenang dan tidak panik meskipun ketika berada dalam tekanan.

6. Dalam menyelesaikan pekerjaan, tenaga administrasi sekolah mengutamakan ketuntasan pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya, dan tidak semata-mata mengacu kepada waktu dan jam kerja.

7. Terhadap berbagai persoalan terkait dengan pekerjaannya, tenaga administrasi sekolah selalu mencari alternatif solusi yang terbaik, tanpa harus melanggar koridor aturan dan prosedur beserta dengan jiwa yang dikandung oleh aturan dan prosedur tersebut.

8. Terhadap pekerjaan yang harus ia selesaikan, tenaga administrasi sekolah tidak menunda-nunda (menggampangkan), karena jika menumpuk, akan memperendah mutu pelayanan yang dapat ia berikan.

9. Ketika ada sejawat yang mengalami masalah terkait dengan pekerjaannya, Tenaga administrasi sekolah akan membantu memecahkannya, sehingga pekerjaan sejawatnya tidak terbengkalai, dan bisa memuaskan customernya.

10. Tenaga administrasi sekolah selalu berusaha melakukan perbaikan terus menerus mutu pelayanan (kaizen) yang ia berikan sehingga kepuasan customer-nya makin lama makin meningkat.

Page 58: Jurnal April 2009

Ali Imron

54

KESIMPULAN

Sekolah adalah institusi yang tidak hanya bermaksud untuk melayani diri sendiri, melainkan melayani publik, atau stake holders sekolah, yang sepatutnya diposisikan sebagai pelanggan (customer). Konsekuensi logisnya, sekolah harus menggeser paradigma pelayanan publik yang konvensional menjadi pelayanan publik yang pro aktif, responsif, cepat, tanggap, berbiaya rendah, sederhana, dan efektif sehingga memuaskan customer. Birokrasi sekolah, dengan demikian, berada dalam keadaaan senantiasa on-service.

Guna mewujudkan birokrasi yang senantiasa on-service dan memuaskan pelanggan, maka posisi tenaga administrasi sekolah, karena posisinya yang secara langsung bersentuhan dengan layanan publik, sangatlah penting. Ia tidak saja hanya dituntut menguasai hard skill dan shoft skill sebagai tenaga yang berada pada posisi supporting system dalam keseluruhan aspek substantif sekolah, melainkan juga menunjukkan perilaku yang mendukung terhadap kepuasan customer sekolah. Perilaku tersebut terkait dengan pengunaan waktu, kecermatan, helpful dan friendly, responsif, proaktif, profesionalitas, kapabel dan cakap.

Berdasarkan keseluruhan uraian tersebut, rekomendasi yang dapat diberikan adalah, perlunya peningkatan hard skill dan shoft skill yang terkait dengan perilaku tenaga administrasi oleh institusi yang bertangungjawab dalam peningkatan kualitas SDM Pendidikan, dalam hal ini adalah Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota atau Badan Kepegawaian Daerah di tingkat Kabupaten Kota.

Sekolah sebagai organisasi pembelajar, juga patut selalu membelajarkan tenaga kependidikan (termasuk tata usahawannya) agar selalu meng-update berbagai cara yang dilakukan dalam pelayanan publik, karena keberdayaan pengguna layanan memungkinkan mereka makin meningkatkan tuntutannya terhadap pelayanan publik yang diberikan oleh institusi sekolah.

DAFTAR RUJUKAN

Imron, Ali. 2007. Jaminan Layanan Mutu Administrasi di Sekolah. Makalah Disampaikan pada Pelatihan Administrasi Sekolah pada Staf Administrasi Sekolah. Malang: Universitas Negeri Malang.

Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan

Pembangunan. 2000. Akuntabilitas dan Good Govermance. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara.

Page 59: Jurnal April 2009

Perilaku Tenaga Administrasi Sekolah

55

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2008 tentang Standar Tenaga Administrasi Sekolah/Madrasah. Ramalia, M. 2001. Etika Pelayanan Masyarakat (Pelanggan): Upaya Membangun

Citra Birokrasi Modern. Bunga Ramapai Wacana Administrasi Publik: Menguak Peluang dan Tantangan Administrasi Publik. Jakarta: Lembaga Administtasi Negara.

Sunaryo. 2005. Swantanisasi Alternatif Reformasi Birokrasi Pelayanan Publik.

Surabaya: Adipura. Widodo, J. 2004. Reformasi Sistem Pelayanan Publik. Surabaya: Badan Diklat

Propinsi Jawa Timur.

Page 60: Jurnal April 2009

Jurnal Tenaga Kependidikan Vol. 4, No. 1, April 2009

56

PROBLEMATIKA PERPUSTAKAAN SEKOLAH PADA PENDIDIKAN DASAR DAN

ALTERNATIF SOLUSINYA

Sri Marmoah Universitas Batanghari Jambi

Abstrak

Eksistensi perpustakaan sekolah seharusnya dapat dijadikan tempat atau sarana untuk membantu menggairahkan semangat belajar, menumbuhkan minat baca, dan mendorong membiasakan siswa belajar secara mandiri. Fakta yang ada di tiap-tiap sekolah adalah banyaknya sekolah-sekolah pada pendidikan dasar yang belum memiliki perpustakaan. Sementara sekolah yang memiliki perpustakaan juga belum sepenuhnya dapat memenuhi harapan tersebut. Hal ini disebabkan oleh berbagai kendala di lapangan. Tulisan ini akan membahas tentang segala problematika perpustakaan sekolah yang selama ini kurang diminati dan kurang diberi makna oleh sekolah dan stakeholdersnya.

Kata Kunci: Problematika Perpustakaan Sekolah, alternatif

solusinya.

PENDAHULUAN

Ketika orang menyebut kata perpustakaan maka pikiran orang yang mendengar akan tertuju kepada sebuah tempat atau bangunan yang berisi banyak buku. Walaupun demikian, orang awam sekalipun tentu paham bahwa perpustakaan sangatlah berbeda dengan gudang buku walaupun terdapat banyak kesamaannya. Kemiripan dari keduanya terletak pada sama-sama memiliki gedung, di dalamnya terdapat buku-buku yang jumlahnya banyak, di sana ada pembukuannya, ada yang mengaturnya, ada securitinya dan ada organisasi yang mengaturnya, ada aturan mainnya, bahkan ada birokrasi di dalamnya. Gudang buku mungkin bisa dikategorikan menjadi beberapa jenis atau tipe, misalnya tipe A, B, C, dan seterusnya dan perpustakaanpun demikian. Itulah kesamaannya, namun demikian gudang buku dan perpustakaan sangatlah berbeda, baik dalam jenis, fungsi, manfaat dan tujuan serta aktifitas di dalamnya. Gudang buku identik dengan toko buku, jelas bernuansa bisnis, sementara perpustakaan berorientasi sosial bukan untuk dijual. Tentang perpustakaan itu sendiri, tidak terlalu banyak orang yang berminat untuk mengkajinya, baik itu secara konsep atau teori maupun secara empirikal. Jurnal,

Page 61: Jurnal April 2009

Problematika Perpustakaan Sekolah

57

masmedia dan sejenisnya juga tidak terlalu peduli dengan keberadaannya. Memang perpustakaan sekolah menjadi objek yang kurang diminati di negeri ini. Kita tidak tahu apa alasannya dan mengapa hal demikian itu yang terjadi.

Mengapa yang diteropong adalah perpustakaan sekolah, bahwa perpustakaan sekolah sebagai perangkat pendidikan di sekolah merupakan bagian integral dari sistem kurikulum sekolah bersama dengan sumber belajar yang lain. Perpustakaan Sekolah bertujuan mendukung proses kegiatan belajar mengajar demi tercapainya tujuan pendidikan sekolah yang bersangkutan. Pada dasarnya keprihatinan kita akan kondisi perpustakaanlah yang membuat kita merasa perlu untuk melangkah secara serius dan lebih sistematis. Dengan adanya perpustakaan sekolah diharapkan dapat memenuhi harapan sebagai tempat/sarana untuk menggairahkan semangat belajar, menumbuhkan minat baca, dan mendorong membiasakan siswa belajar secara mandiri.

Mengapa pada pendidikan dasar, pertama karena siswa pada pendidikan dasar untuk mendapatkan pengetahuan itu harus banyak membaca, untuk dapat membaca perlu sarana, salah satunya adalah perpustakaan sekolah, karena ada buku, majalah. Kedua, pembinaaan intelektual, sikap, spiritual, harus dimulai dari anak pada tingkat pendidikan dasar. Karena dasar awal anak yang diperoleh dari pembelajaran di kelas juga di perpustakaan. Ketiga, dikaitkan dengan pengembangan budaya baik budaya daerah maupun nasional siswa pada pendidikan dasar itu dapat diperoleh melalui perpustakaan. Keempat, dikaitkan dengan pengembangan ketrampilan berbahasa baik membaca, menulis, dan berbicara maka peran dari perpustakaan sekolah itu sangat penting. Contoh guru memberi tugas ke perpustakaan kemudian siswa disuruh merangkum, membuat karangan baru, cerita, puisi termasuk membaca, menulis. Tugas siswa lainnya mencakup bercerita, berpidato, kutbah yang dapat mengembangkan kemampuan berbicara.

Fakta yang ada di tiap-tiap sekolah adalah banyaknya sekolah-sekolah yang belum memiliki perpustakaan. Jikapun ada, kondisinya belum sepenuhnya dapat memenuhi harapan sebagai tempat/sarana untuk menggairahkan semangat belajar, menumbuhkan minat baca, dan mendorong membiasakan siswa belajar secara mandiri. Hal ini disebabkan oleh berbagai kendala, antara lain lokasinya kurang nyaman/kondusif, jam buka yang sangat terbatas, koleksi buku terbatas, fasilitas kurang memadai, dan dana yang terbatas. Perpustakaan tidak dianggap penting. Pengelolaannya tidak profesional yang disebabkan oleh ketiadaan tenaga pengelola (pustakawan) yang profesional.

Page 62: Jurnal April 2009

Sri Marmoah

58

Tulisan kecil ini akan membahas tentang segala problematika perpustakaan sekolah yang selama ini kurang diminati dan kurang diberi makna oleh sekolah dan stakeholdersnya. Saya yakin bahwa tulisan ini akan kembali mengingatkan kita tentang betapa besarnya peran perpustakaan sekolah dalam upaya mendukung keberhasilan pendidikan di lembaga itu dan tentunya mendukung tujuan pendidikan nasional. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan sumbangan konsep pemikiran tentang alternatif solusi dari segala problematika perpustakaan sekolah yang terjadi di lapangan selama ini. Ruang lingkup penulisan ini mencakup tentang manajemen perpustakaan ditinjau dari fungsi dan unsur-unsurnya, kondisi riil perpustakaan sekolah di lapangan, idealnya perpustakaan sekolah ke depan, alternatif solusi mengefektifkan peran perpustakaan sekolah.

PEMBAHASAN

Fungsi Manajemen Perpustakaan Sekolah

Menurut Agus Sutoyo dan Joko Santoso (2001:189) “Manajemen perpustakaan adalah suatu proses kegiatan yang dilaksanakan perpustakaan untuk mencapai sasaran seefisien mungkin dengan mendayagunakan semua sumber daya yang ada, meliputi SDM, sarana, metode, serta dana”. Dengan demikian manajemen perpustakaan sekolah juga melaksanakan hal-hal tersebut disertai dengan pencapaian tujuan pendidikan maupun tujuan sekolah. melalui jasa layanannya dan kegiatan perpustakaan lainnya yang menunjang kurikulum dan kegiatan belajar mengajar di sekolah, sehingga perpustakaan memang merupakan salah satu sarana sumber belajar yang harus dikelola dengan manajemen terbaiknya.

Sedangkan menurut Sutarno (2006:20), manajemen perpustakaan adalah pengelolaan perpustakaan yang didasarkan kepada teori dan prinsip-prinsip manajemen. Teori manajemen adalah suatu konsep pemikiran atau pendapat yang dikemukakan mengenai bagaimana ilmu manajemen untuk diterapkan dalam suatu organisasi. Sedangkan prinsip-prinsip manajemen adalah dasar atau asas kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir dalam manajemen. Dikaitkan dengan pendapat tersebut, dapat dijelaskan bahwa manajemen perpustakaan tidak semata-mata berdasarkan teoritis tetapi bagaimana mengimplementasikan teori tersebut dalam praktek operasionalnya. Dalam kenyataannya tidak semua teori dapat diterapkan sepenuhnya, tetapi perlu modifikasi dan penyesuaian diantara keduanya.

Manajernen perpustakaan (Abdul Rahman Saleh dan Fahidin, 1995) maupun perpustakaan sekolah (Soelistia, dkk, 1995) melaksanakan fungsi manajemen sebagai dasar pengelolaannya, yaitu planning (perencanaan), organizing

Page 63: Jurnal April 2009

Problematika Perpustakaan Sekolah

59

(pengorganisasian), staffing (pengaturan staf), directing (pengarahan), dan controlling (pengendalian). Lebih lanjut Soelistia, dkk (1995-26-3-21) menjelaskan tentang manajemen perpustakaan sekolah yang berpedoman pada lima aspek tersebut, intisari penulisannya berikut ini:

1. Perencanaan (Planning)

Perencanaan merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam proses pengelolaan perpustakaan sekolah. Ada beberapa hal penting yang harus dipikirkan dalam tahap perencanaan, yaitu:

a. Menentukan tujuan perpustakaan sekolah

Dalam menentukan tujuan, pustakawan sekolah dapat bekerjasama dengan guru untuk menentukan materi atau bahan-bahan yang sesuai dengan tingkat pendidikan, untuk menentukan keterampilan yang dibutuhkan oleh siswa, untuk membantu dalam penyediaan bahan sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan.

b. Mengidentifikasi pemakai perpustakaan sekolah yang akan dilayani, dan mengelola perpustakaan untuk memenuhi kebutuhan para pemakainya.

Bahan-bahan atau sumber informasi yang ada di perpustakaan perlu diatur sebaik mungkin sehingga guru maupun siswa yang memerlukannya dapat memperoleh dengan cepat, tepat, dan akurat.

2. Pengorganisasian (Organizing)

Pengorganisasian atau pengaturan perpustakaan sekolah merupakan tanggung jawab pustakawan sekolah. Organizing merupakan aspek manajemen yang menyangkut penyusunan organisasi manusia dan bahan atau materi. Kegiatan ini meliputi:

a. Pengaturan pelayanan peminjaman yang efisien kepada staf pengajar maupun siswa;

b. Menyediakan sistem yang efisien mengenai pelayanan pemesanan bahan atau koleksi yang ada di sekolah;

c. Memberikan sistem yang fleksibel bagi siswa baik perorangan maupun kelompok, serta staf pengajar untuk menggunakan perpustakaan sekolah sebagai tujuan proses belajar mengajar;

d. Menjalankan suatu sistem yang memungkinkan sumber-sumber informasi dalam bentuk perangkat keras (jika dipusatkan);

e. Mengatur produksi sumber belajar dalam perpustakaan sekolah (jika

Page 64: Jurnal April 2009

Sri Marmoah

60

ada); dan

f. Mengawasi dan mengatur pekerjaan bagi pustakawan atau staf perpustakaan yang lain.

3. Pengaturan Staf (Staffing)

Staffing adalah kegiatan pengaturan, pemantauan, dan pembinaan staf sesuai tugas dan tanggung jawab yang diberikan berdasarkan kemampuan dan bidang keterampilan yang dimiliki. Dalam kegiatan staffing ini, seorang pustakawan sekolah harus mengetahui teknik dan proses yang diperlukan dalam seleksi dan penerimaan staf (staff recruitment), training atau pelatihan staf, berkomunikasi dengan staf, dan pelayanan kepada staf.

4. Pengarahan (Directing)

Dalam konteks perpustakaan sekolah, pengarahan merupakan tanggung jawab pimpinan perpustakaan. Dengan kata lain peran seorang pimpinan benar-benar diperlukan dalam mendorong staf yang dipimpinnya sehingga mereka dapat bekerja seoptimal mungkin untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

5. Pengendalian (Controlling)

Pustakawan sekolah harus menyadari pentingnya kontrol di suatu organisasi, termasuk perpustakaan. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam aspek kontrol di perpustakaan sekolah diantaranya adalah: (1) selalu menyadari tujuan yang sedang dilaksanakan, (2) menghindari kegiatan yang tidak efisien, (3) evaluasi terhadap pelayanan yang telah dilakukan.

Unsur-Unsur Manajemen Perpustakaan

1. Manusia (Man)

Pada dasarnya maju atau mundurnya sebuah perpustakaan akan sangat ditentukan oleh manusia-manusia yang mempunyai ide, gagasan, dan konsep yang brilian, cemerlang, dan mempunyai semangat untuk mengabdikan dirinya kepada kemajuan organisasi. Oleh karena itu, perpustakaan sebaiknya memiliki tenaga-tenaga ahli pemikir, perencana, dan pelaksana yang handal, bermental dan bermoral jujur, disiplin, mau berkurban dan bermotivasi bekerja. Sementara itu untuk pengawasan dapat dilakukan, baik dari dalam atau pengawasan melekat (built in control) maupun pengawasan dari luar (pengawasan fungsional). Perpustakaan sekolah sebagai salah satu sarana sumber belajar yang merupakan bagian dari organisasi sekolah memerlukan sumber daya manusia (SDM) sebagai pengelola perpustakaan, dalam rangka

Page 65: Jurnal April 2009

Problematika Perpustakaan Sekolah

61

menjaga eksistensinya, memberikan layanan terbaik kepada para pengguna jasanya, dan berkontribusi terhadap peningkatan prestasi belajar siswa dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah. Dalam hal ini sumber daya manusia (SDM) diartikan sebagai “potensi manusia yang dapat dikembangkan untuk proses produksi” (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1995:973). Proses produksi di sini berlangsung dalam suatu organisasi termasuk perpustakaan sekolah yang merupakan bagian integral dari organisasi pendidikan (sekolah), sebab “Everything that happens in an organization is the result of a process. A process is a series of steps designed to produce an effect. All processes share a common pattern. They- consume resources, and they generate a product or a service ... “ (Jac Fitz-enz, 11-000:6 1). (Segala sesuatu yang terjadi dalam organisasi adalah merupakan hasil dari proses. Proses adalah rangkaian langkah-langkah yang dirancang untuk menghasilkan suatu akibat. Semua proses merupakan bagian pola umum. Mereka memerlukan sumber-sumber dan menghasilkan suatu produk atau layanan). Dengan kata lain manusia merupakan salah satu sumber daya utama dalam menggerakkan proses produksi pada suatu organisasi yang menghasilkan produk dan layanan, atau produk dapat berupa barang, sedangkan layanan dapat berupa jasa.

Demikian pula halnya dengan perpustakaan sekolah yang menghasilkan jasa layanan dalam bidangnya, antara lain layanan peminjaman buku dan layanan referensi. Layanan dalam bentuk jasa tersebut merupakan suatu proses produksi yang diberikan oleh sumber daya manusia (SDM) pengelola perpustakaan sekolah kepada para pengguna jasanya, yaitu para siswa, guru, tenaga kependidikan di lingkungan sekolah dan bahkan masyarakat sekitarnya. Dalam hal ini sumber daya manusia (SDM) pengelola perpustakaan sekolah adalah staf yang bekerja di perpustakaan, dan “Staf perpustakaan sekolah dapat terdiri staf yang profesional, non profesional, teknisi, dan juga siswa pembantu ... “ (Soelistia, et.al, 1995:19).

Lebih lanjut Soelistia, et.al (1995:121-122) menjelaskan tentang keempat posisi staf (SDM) perpustakaan sekolah berikut ini:

a. Pustakawan Sekolah

Pustakawan adalah seseorang yang melaksanakan kegiatan perpustakaan dengan jalan memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan tugas lembaga induknya berdasarkan ilmu perpustakaan, dokumentasi dan informasi yang dimilikinya melalui pendidikan. Seyogyanya

Page 66: Jurnal April 2009

Sri Marmoah

62

pustakawan sekolah berasal dari guru yang qualified atau memiliki pendidikan perpustakaan. Pustakawan sekolah harus mempunyai kualifikasi dalam bidang pendidikan dan perpustakaan. Dari segi tingkatan kualifikasi pustakawan dimasukkan ke dalam tingkat profesional.

b. Asisten pustakawan

Sebagian besar tugas asisten pustakawan adalah “membantu” tugas pustakawan, terutama untuk jenis pekerjaan yang bersifat profesi. Dari segi tingkatan kualifikasi, asisten pustakawan dimasukkan ke dalam tingkat semi profesional.

c. Teknisi

Teknisi adalah tenaga perpustakaan yang sepenuhnya bertugas mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat non profesi, misalnya: pengagendaan, pengetikan kartu-kartu, pelabelan, penggandaan, pelayanan peminjaman dan pengembalian bahan pustaka, dan sebagainya.

d. Sukarelawan Murid

Murid-murid dapat dilibatkan dalam kegiatan perpustakaan sebagai petugas sukarela dan senantiasa berada di bawah tanggung jawab petugas perpustakaan. Manfaat yang diperoleh tentu saja ada pada kedua belah pihak, bagi murid dapat memiliki pengalaman bekerja dengan berbagai bahan pustaka, menumbuhkan kesadaran dan kecintaannya terhadap buku serta rasa tanggung jawab yang besar. Sukarelawan murid ini sebaiknya diperbantukan di bagian pelayanan pembaca, baik di pelayanan sirkulasi, referensi maupun pelayanan lainnya secara bergiliran, sehingga mereka dapat memiliki pengalaman keterampilan informasi. Sedangkan bagi staf perpustakaan lainnya dapat meringankan beban tugas/kerja di perpustakaan.

2. Sumber Pembiayaan (Money)

Prinsip-prinsip anggaran atau biaya perpustakaan itu antara lain:

a. Sumbernya pasti b. Penggunaannya menurut rencana c. Orientasinya berdasarkan program (budget based on program) d. Pengelolaannya akuntabel dan responsible e. Pertangggungjawabannya menurut aturan tertentu

Page 67: Jurnal April 2009

Problematika Perpustakaan Sekolah

63

f. Jumlah anggaran diusahakan terus meningkat g. Pelaksanaannya selalu dapat dikontrol dengan baik h. Menerapkan sistem efektif efisien i. Tidak terjadi penyalahgunaan dan pemborosan anggaran

3. Mesin-mesin (Machine)

Pada dasarnya perangkat alat-alat yang berupa mesin-mesin yang tepat guna dan memadai, baik spesifikasinya maupun jenisnya dan dipergunakan dengan baik dapat membantu meringankan tugas-tugas dan menunjang pekerjaan perpustakaan. Mesin-mesin yang biasanya diperlukan di perpustakaan antara lain mesin tik, mesin foto kopi, mesin pres, mesin fax, mesin jilid, komputer. Semua jenis mesin tersebut dimaksudkan untuk:

a. mempermudah dan menyederhanakan pekerjaan b. memperingan beban dan tugas, mempercepat proses waktu kerja c. menghemat tenaga manusia (manual) d. menghemat biaya e. menghasilkan produk yang berkualitas f. memperbanyak hasil (luaran) g. meningkatkan performa dan kinerja perpustakaan

4. Benda dan Barang Inventaris (Materials)

Perpustakaan memiliki banyak sekali barang dan benda (materials) baik berupa inventaris, maupun perlengkapan dan perabot serta sarana prasarana yang lainnya. Benda-benda tersebut antara lain: (a) gedung dan ruangan, (b) perabot dan perlengkapan, (c) koleksi bahan pustaka, (d) mesin-mesin, (e) sarana komunikasi dan transportasi. Benda dan barang-barang tersebut harus diurus dan dipergunakan dengan baik.

5. Metode (Methodes)

Setiap perpustakaan tentu mempunyai suatu metode tertentu yang dipergunakan untuk menjalankan aktivitasnya. Metode yang diterapkan di perpustakaan adalah untuk menghimpun, mengolah, mengemas, menyimpan dan menyajikan serta memberdayakan informasi. Metode tersebut harus jelas, dapat dipahami dan dilaksanakan serta dipergunakan, baik oleh petugas maupun pemakai perpustakaan. Lebih daripada itu, sebuah metode yang dipilih untuk diterapkan di perpustakaan harus dapat membantu mempercepat waktu dan proses, dan mempermudah cara, memperingan biaya (murah), dan memperluas akses informasi. Sebuah metode yang dipilih jangan

Page 68: Jurnal April 2009

Sri Marmoah

64

memperlama waktu, mempersulit akses, dan mempermahal biaya. Dengan istilah lain, sebuah metode dapat terdiri atas sebuah sistem, mekanisme, atau prosedut dan tata cara guna meningkatkan kinerja penyelenggaraan kegiatan. Sistem biasanya terdiri atas beberapa sub sistem, yang antara satu dan lainnya saling berhubungan, terkait, mempengaruhi dan bahkan saling menentukan. Apa yang disebut sistem yang baik bagi sebuah perpustakaan? Hal ini sifatnya relatif, karena sangat tergantung kepada kebijakan dan pilihan masing-masing perpustakaan. Oleh sebab itu, suatu sistem yang baik untuk satu perpustakaan, belum tentu baik untuk perpustakaan yang lain.

Sistem, mekanisme, prosedur, metode dan tata cara lainnya yang dipergunakan di perpustakaan harus baku (standar). Perpustakaan sebagai suatu pusat informasi, tidak dapat berjalan baik, mana kala tidak diselenggarakan dengan suatu sistem atau mekanisme kerja yang tersusun dan terpola baik. Yang dikategorikan metode atau sistem dalam perpustakaan mencakup:

a. Pengadaan yang dimulai dari perencanaan kebutuhan koleksi bahan pustaka, proses seleksi berdasarkan alat-alat seleksi (selection tools), penyiapan anggaran (untuk yang dibeli), dan proses akuisisinya sendiri.

b. Pengolahan, yang dikerjakan dengan beberapa buku pedoman seperti dalam klasifikasi, katalogisasi, dan penentuan tajuk subjek dan lain-lain.

c. Layanan misalnya menggunakan sistem terbuka atau tertutup, bagaimana persyaratan keanggotaan, dan peminjaman, dan seterusnya.

d. Promosi, sangat diperlukan dalam rangka mempublikasikan perpustakaan sekolah.

6. Pasar (Pemakai, Pelanggan)/Customers

Unsur yang keenam di dalam manajemen perpustakaan adalah pasar atau tempat di mana suatu transaksi (informasi) dapat dilangsungkan. Yang dimaksudkan dengan pasar di sini adalah bahwa perpustakaan memenuhi syarat-syarat dan sifat-sifat yang memungkinkan terjadinya transaksi informasi, antara lain:

a. Sirkulasi atau peminjaman dan pengembalian koleksi bahan pustaka. b. Kunjungan orang-orang ke perpustakaan untuk membaca/belajar, dan

menikmati hiburan batin dengan bacaan yang menyenangkan. c. Terpenuhinya kebutuhan informasi bagi pengunjung. d. Terjadinya akses informasi. e. Tersebarnya informasi dan termanfaatkannya informasi.

Page 69: Jurnal April 2009

Problematika Perpustakaan Sekolah

65

f. Terselenggaranya layanan perpustakaan.

Unsur pasar (market) di perpustakaan harus memenuhi kriteria antara lain:

a. Ada permintaan dan penawaran atau supplay and demmand informasi. b. Ada tempat (perpustakaan). c. Ada unsur penyedia informasi (penerbit, toko buku, agen). d. Ada staf layanan sebagai “penjual”. e. Ada “pembeli” (pemakai perpustakaan). f. Ada “perjanjian” (kesepahaman) atau ketaatan aturan layanan dan sanksi

bagi mereka yang terlibat di dalamnya.

Fungsi Perpustakaan Sekolah

Perpustakaan adalah sumber informasi yang menyediakan segala keperluan bagi masyarakat pemakainya. Fungsi perpustakaan sekolah tidak hanya sebagai sumber kegiatan belajar mengajar, tapi juga pusat penelitian sederhana, dan rekreasi. Perpustakaan adalah suatu unit kerja dari suatu badan atau lembaga tertentu yang mengelola bahan-bahan pustaka, baik berupa buku-buku maupun bukan berupa buku (non book material) yang diatur secara sistematis menurut aturan tertentu sehingga dapat digunakan sebagai sumber informasi oleh setiap pemakainya. Sedangkan Soetopo (2002), mengatakan perpustakaan sekolah adalah perpustakaan yang diselenggarakan di sekolah yang bermaksud menunjang program belajar mengajar di lembaga pendidikan formal. Perpustakaan adalah suatu unit kerja yang menyelenggarakan pengumpulan, penyimpanan dan pemeliharaan berbagai jenis bahan pustaka, dikelola secara sistematis untuk digunakan sebagai informasi bagi pemakai perpustakaan.

Kalau perpustakaan sekolah dipandang sebagai unit organisasi itu maka harus memiliki unsur-unsur sebagaimana layaknya sebuah organisasi. Unsur-unsur itu meliputi: 1) Bentuk atau konfigurasi berupa bagan atau skema, misalnya jalur atau lini, staf, lini dan staf, fungsional, dan organisasi dewan atau panitia. 2) Struktur atau kerangka, yakni bentuk pembagian tugas, wewenang dan tanggung jawab. 3) Jabatan-jabatan, yakni formasi jabatan yang harus diisi oleh orang-orang yang tepat sesuai dengan persyaratan yang ditentukan. 4) Prinsip-prinsip dan aturan permainan.(Sutarno 2006: 46). Perpustakaan sekolah dipandang sebagai unit organisasi karena perpustakaan sekolah merupakan bagian dari organisasi yang bernaung di bawah lembaga atau sekolah tersebut. Sebuah perpustakaan sebagai

Page 70: Jurnal April 2009

Sri Marmoah

66

salah satu unit kerja memiliki unsur-unsur seperti organisasi. Dalam surat keputusan pendiriannya harus memuat secara jelas tentang tugas, fungsi, garis wewenang dan tanggung jawab, serta struktur organisasinya. Formasi jabatan, dan petugas atau pengisian karyawan, pedoman pengadaan anggaran dan ruang lingkup bidangnya. Perpustakaan sebagai sebuah unit kerja atau unit organisasi perlu memiliki visi, misi, dan program kerjanya yang semuanya berorientasi kepada pelayanan yang memuaskan.

Penerapan suatu sistem layanan di perpustakaan sekolah adalah dimaksudkan agar proses pemberian jasa layanan dapat berjalan dengan tertib, teratur, cepat, dan memuaskan. Bagi perpustakaan sekolah yang mempunyai sarana layanan yang masih terbatas dan konvensional maka diupayakan agar dapat memberikan pelayanan minimal kepada pengunjungnya. Yang dimaksudkan adalah pelayanan yang berlangsung secara mudah, sederhana, cepat, tepat, murah serta bermanfaat. Sedangkan bagi sekolah yang sudah modern dengan teknologinya maka hendaknya memberikan pelayanan prima. Sistem pelayanan prima ini tentunya didukung oleh teknologi industri seperti computer, situs, atau on line. Oleh karena dunia ini sudah sangat inclusive maka system pelayanan minimal dianjurkan untuk berangsur-angsur ditinggalkan dan semua perpustakaan sekolah hendaknya menggunakan system pelayanan prima agar bisa mencapai sasaran pelayanannya yakni kepuasan pelanggan (customer satisfaction) dalam hal ini adalah guru dan siswa. Unsur-unsur yang terkait dengan system layanan perpustakaan yaitu: kesiapan petugas layanan, baik fisik, mental, kemauan, kemampuan, pengalaman dan keterampilan; kesiapan peralatan dan perlengkapan sebagai penunjang; keharmonisan komunikasi, kerja sama, persamaan persepsi antara petugas dan pelanggan; peraturan dan tata tertib perpustakaan yang singkat, jelas, mudah dipahami dan dilaksanakan baik oleh petugas maupun oleh pelanggan; dan pedoman standar dibidang layanan perpustakaan yang berlaku umum sehingga mudah dipelajari untuk dipraktekkan.

Gambaran mekanisme sebagai suatu system layanan yang memuaskan akan terlihat jelas melalui suatu formasi layanan yang jelas diantaranya: pertama, meja informasi. Meja informasi ini merupakan tempat pengunjung memperoleh informasi tentang alur layanan perpustakaan dari petugas, baik secara lisan maupun melalui brosur dan media lainnya yang disediakan. Tempat ini merupakan customer service yang terdepan diperpustakaan. Petugas yang ada pada meja terdepan ini sangat diharapkan agar lincah, terampil, ramah dan berjiwa membimbing (users friendly). Kedua, meja sirkulasi, adalah tempat pelaksanaan transaksi peminjaman dan pengembalian buku atau bahan pustaka lainnya serta penyelesaian administrasi.

Page 71: Jurnal April 2009

Problematika Perpustakaan Sekolah

67

Ketiga, administrasi keanggotaan, adalah pengurusan keanggotaan perpustakaan, bagi yang menerapkan sistim anggota. Semua prosedur, persyaratan dan proses keanggotaan dilaksanakan menurut ketentuan yang berlaku. Keempat, lemari (laci) catalog, kartu catalog sebagai wakil dari koleksi untuk ditelusuri, sebelum mencari ke tempat penyimpanan buku-bukunya. Kelima, peraturan dan tata tertib layanan, adalah ketentuan-ketentuan tentang syarat menjadi anggota, peminjaman, sangsi atas pelanggaran, dan pengaturan agar suasana diperpustakaan selalu tertib dan tenang. Keenam, kemudahan akses informasi. Kemudahan akses informasi dan system temu kembali informasi agar pemanfaatan koleksi bisa optimal dan efisien. Semua itu merupakan alat atau media untuk memanfaatkan informasi diperpustakaan.

Sistem pelayanan prima dengan menggunakan teknologi informasi, computer, internet yang dipergunakan untuk memberikan layanan perpustakaan perlu didukung oleh petugas layanan yang mampu menggunakannya agar dapat memandu pengunjung yang belum mahir menggunakannya. Sarana pendukung dan mekanisme layanan perpustakaan sangatlah tergantung pada kompleksitasnya perpustakaan itu. Jika jumlah pengunjung setiap tahun kecenderungannya meningkat maka upaya perbaikan, peningkatan dan pengembangan baik untuk sarana pendukung maupun system pelayanan tentunya selalu mengalami penyesuaian. Perpustakaan yang jumlah pengunjungnya masih terbatas perlu diupayakan mencapai standar pelayanan minimal, sedangkan perpustakaan yang jumlah pengunjungnya relative banyak maka haruslah diupayakan mencapai standar pelayanan prima.

Kondisi Riil Perpustakaan Sekolah di Lapangan

Eksistensi perpustakaan sekolah seharusnya dapat dijadikan tempat atau sarana untuk membantu menggairahkan semangat belajar, menumbuhkan minat baca, dan mendorong membiasakan siswa belajar secara mandiri. Statement ini cukup beralasan karena perpustakaan sekolah berfungsi sebagai sarana edukatif, informatif, riset, dan rekreatif bagi komunitas sekolah. Namun fungsi ini belum berjalan sebagaimana yang diharapkan karena tidak semua sekolah mempunyai perpustakaan, sementara sekolah yang mempunyai perpustakaan juga belum sepenuhnya dapat memenuhi harapan tersebut.

Dari pernyataan di atas dapat digarisbawahi bahwa keadaan perpustakaan sekolah masih belum berkembang dan memerlukan penanganan segera. Bagaimana dengan perpustakaan sekolah pada pendidikan dasar di SD dan SMP ?. Perpustakaan sekolah pada jenjang pendidikan dasar ini sangat diperlukan terutama untuk membantu keberhasilan proses belajar mengajar di sekolah. Tugas utama

Page 72: Jurnal April 2009

Sri Marmoah

68

perpustakaan jenis ini adalah menunjang kurikulum, sehingga bahan-bahan pustaka harus dikaitkan dengan kurikulum sekolah. Hal ini sesuai dengan UU RI No.43 tahun 2007 tentang perpustakaan pada pasal 23 ayat 1, yaitu setiap sekolah/madrasah menyelenggarakan perpustakaan yang memenuhi standar nasional pendidikan, dan ayat 3 yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki koleksi lain yang mendukung pelaksanaan kurikulum pendidikan.

Ada banyak hal yang menyebabkan munculnya berbagai permasalahan pada perpustakaan sekolah. Permasalahan ini dapat kita lihat dengan menganalisis dengan SWOT (Strenghness, Weakness, Opportunity, Treath). SWOT merupakan singkatan dari kata Strengths (kekuatan), Weaknesses (kelemahan), Opportunities (peluang), dan Threats (ancaman). Menurut Sihombing (2000), kata Threats mengandung unsur yang negatif, sehingga lebih cenderung menggunakan kata yang mengandung unsur positif yaitu tantangan (Challenges). Pengubahan ancaman menjadi tantangan karena dia melihat bahwa ancaman kalau dikelola dengan tepat dapat berubah menjadi peluang, sedangkan tantangan selalu berisi peluang. Sehingga pendekatannya menjadi SWOC. Pertama, Kekuatan. Maksud kekuatan dalam analisis ini adalah faktor-fakor yang mendukung penyelenggaraan program, serta diakui eksistensinya oleh semua pihak (masyarakat). Contohnya kekuatan-kekuatan yang ada pada program perpustakaan sekolah antara lain dapat menggunakan fasilitas-fasilitas yang ada tanpa harus memenuhi persyaratan tertentu/ ketat, yang tidak mungkin dipenuhi oleh sekolah. Perpustakaan sebagai sumber belajar di sekolah. Perpustakaan juga berfungsi untuk menggairahkan semangat belajar, menumbuhkan minat baca, mendorong siswa untuk belajar mandiri, sebagai sumber pengetahuan, gudang ilmu, dan pengembangan potensi siswa serta pengembangan sosial budaya siswa. Selain itu yang merupakan kekuatan adalah adanya koleksi buku yang memadai, sumber daya manusia yang berkompeten, dan didukung oleh kebijakan pemerintah.

Kedua, Kelemahan. Maksud kelemahan dalam analisis ini adalah permasalahan yang timbul dari penyelenggaraan program dan hasilnya. Permasalahan merupakan kelemahan yang dapat berubah menjadi tantangan kelancaran pelaksanaan tugas / program. Sebagai contoh disebutkan bahwa lokasi perpustakaan di sekolah yang kurang strategis, kecil, tidak nyaman. Sarana perpustakaan yang tidak lengkap, waktu kunjungan terbatas, koleksi buku yang terbatas, sumber daya perpustakaaan yang rendah, dukungan dari kepala sekolah kurang dan keuangan yang sangat minim. Ada beberapa hal yang sering menghambat fungsi perpustakaan sekolah. Pertama, terbatasnya ruang perpustakaan

Page 73: Jurnal April 2009

Problematika Perpustakaan Sekolah

69

di samping letaknya yang kurang strategis. Banyak perpustakaan yang hanya menempati ruang sempit, dengan tanpa memperhatikan kesehatan dan kenyamanan. Kedua, keterbatasan bahan pustaka, baik dalam hal jumlah, variasi maupun kualitasnya. Ketiga, terbatasnya jumlah petugas perpustakaan (pustakawan). Keempat, kurangnya promosi penggunaan perpustakaan menyebabkan tidak banyak siswa yang mau memanfaatkan jasa layanan perpustakaan. Kurangnya ajakan untuk mengunjungi perpustakaan menjadikan anak asing terhadap perpustakaan.

Ketiga, Peluang. Maksud peluang dari analisis ini adalah hal-hal atau faktor-faktor dari luar program yang kalau dicermati dan dimanfaatkan dengan baik dapat menjadi tumpuan harapan dimasa depan. Sebagai contoh adanya dasar hukum yang kuat yakni dengan adanya UU No. 43 Tahun 2007 dan adanya kebijakan dari Dinas Pendidikan tentang wajib adanya perpustakaan sekolah di setiap sekolah.

Keempat, Tantangan. Maksud tantangan dalam analisis ini adalah hal-hal yang harus diatasi, direbut, diperbaiki dan ditingkatkan untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas dalam usaha mencapai tujuan. Tantangan bukan penghambat, tetapi perangsang untuk mendorong perencana pendidikan luar sekolah untuk lebih kreatif dan dinamis. Tantangan dapat berubah menjadi peluang bagi perencana yang tidak berperilaku apatis, statis dan mudah puas. Contoh perpustakaan sekolah swasta relatif lebih bagus daripada sekolah negeri.

Idealnya Perpustakaan Sekolah ke Depan

Perpustakaan yang ideal harus memenuhi pedoman-pedoman diantaranya adalah lokasi, tata ruang, administrasi, pelayanan terhadap anggotanya dan koleksi buku-buku perpustakaan. Sedangkan menurut Rachmananta, perpustakaan dikatakan ideal apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: berani memantapkan keberadaan lembaga perpustakaan sesuai dengan jenisnya, selalu meningkatkan mutu melalui pelatihan-pelatihan bagi tenaga pustakawan, melakukan promosi dan menyelenggarakan jaringan kerja sama baik dalam negeri maupun luar negeri, melakukan upaya-upaya pengembangan dan pembinaan perpustakaan terus menerus dari segi sistem manejemen dan teknis operasional.

Sedangkan menurut Sudarmono (2004) dalam pengembangan perpustakaan sekolah sebagai sumber belajar, kriteria dari perpustakaan sekolah yang ideal adalah: adanya status kelembagaan yang kuat, struktur organisasi perpustakaan jelas dan berjalan baik, memiliki ruangan yang memadai, memiliki tempat baca yang memadai, memiliki perabot yang memadai, partisipasi pemakainya baik dan aktif, jenis koleksinya komposisinya 40% buku teks, 30% buku pengayaan, 30% buku

Page 74: Jurnal April 2009

Sri Marmoah

70

fiksi, serta judul buku bervariasi, koleksi sesuai dengan kebutuhan kurikulum, memiliki tenaga pengelola dengan kompetensi yang memadai, pengorganisasian koleksinya teratur, didukung dengan teknologi informasi dan komunikasi, administrasi perpustakaannya tertib, memiliki sarana penelusuran informasi yang baik, memiliki peraturan perpustakaan, memiliki program pengembangan secara jelas dan terarah, memiliki program keberaksaraan informasi (literasi informasi), memiliki program pengembangan minat membaca di kalangan siswa, memiliki program mitra perpustakaan, melakukan kegiatan promosi dan pemasyarakatan perpustakaan, memiliki anggaran perpustakaan secara tetap, adanya kerjasama dengan sekolah lain, pelayanannya menyenangkan, dan adanya jam perpustakaan yang terintegrasi dalam kurikulum.

Perpustakaan yang ideal harus mengacu kepada standar nasional perpustakaan. Dalam Undang-Undang RI nomor 43 tahun 2007 pada bab III pasal 11 ayat 1 dijelaskan bahwa standar nasional perpustakaan terdiri atas: standar koleksi perpustakaan, standar sarana dan prasarana, standar pelayanan perpustakaan, standar tenaga perpustakaan, standar penyelenggaraan, dan standar pengelolaan. Mengacu kepada Undang-undang tersebut sudah semestinya agar perpustakaan sekolah menjadi ideal dan mampu menjawab tantangan masa depan harus memenuhi kriteria tersebut.

Perpustakaan yang ideal dan tetap survive dengan perkembangan zaman, seharusnya memenuhi kriteria berikut: pertama, sumber daya yang mengelola di perpustakaan adalah benar-benar seorang pustakawan bukan guru, penjaga sekolah, atau seorang honorer yang diberi tugas tambahan untuk mengelola perpustakaan. Kedua, agar perpustakaan sekolah lebih efektif dan efisien dalam pengembangan perpustakaan harus menggunakan manajemen perpustakaan yang benar. Manajemen ini juga tergantung pada SDM dalam perpustakaan tersebut. Jika SDM-nya cukup berkompeten untuk membuat perpustakaan maju, maka perpustakaan akan cepat berkembang. Ketiga, koleksi yang dimiliki oleh perpustakaan harus terus ditingkatkan baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Sudah saatnya perpustakaan tidak hanya berisi buku-buku paket, tetapi berupa buku-buku bacaan yang menarik minat siswa untuk membacanya. Hal keempat, yaitu berhubungan dengan dana dan untuk menambah pemasukan dapat mengembangkan entrepreneurship di perpustakaan. Cara yang ditempuh banyak sekali, diantaranya selain menjadikan tempat peminjaman buku pada masyarakat, perpustakaan juga membuka usaha lain seperti fotokopi, menjual peralatan sekolah, bahkan makanan dan minuman, serta souvenir.

Page 75: Jurnal April 2009

Problematika Perpustakaan Sekolah

71

Alternatif Solusi Mengefektifkan Peran Perpustakaan Sekolah.

Memperhatikan problematika yang ada serta memperhatikan kondisi riil dan yang ideal maka penulis menawarkan beberapa solusi untuk memperbaiki kondisi yang ada.

a. Perlunya perpustakaan di setiap sekolah. b. Diperlukan SDM/pustakawan yang profesional. c. Perlu partisipasi dari semua pihak yang terlibat untuk memajukan

perpustakaan sekolah. d. Perlu adanya kebijakan dari sekolah dan pemda untuk mengembangkan

perpustakaan sekolah, pengembangan termasuk pendanaan, pengembangan SDM, dll.

e. Komite sekolah dan stakeholder harus memikirkan eksistensi perpustakaan sekolah agar dapat berhasil, berdaya guna bagi siswa.

f. Guru-guru harus mendukung pengembangan perpustakaan sekolah dengan wujud contoh gemar membaca dan menulis makalah, jurnal, untuk dikumpulkan dan dijadikan koleksi perpustakaan.

g. Kepala sekolah sebagai manajer atau pimpinan perlu menjadwalkan secara khusus kunjungan ke perpustakaan.

h. Masyarakat sekitar perlu mendukung perpustakaan sekolah misalnya dengan memberikan bantuan buku-buku dan dana.

i. Siswa akhir di sekolah kelas VI (SD), dan kelas IX (SMP), diwajibkan untuk memberikan hibah berupa buku-buku ke sekolah, hal ini dalam rangka membudayakan peninggalan kenang-kenangan untuk sekolah.

j. Guru-guru yang penataran, pelatihan, kursus, setelah selesai diwajibkan untuk memberikan copian baik berupa softcopi maupun berupa buku-buku.

k. Guru wajib memberikan contoh kepada para siswa dengan rajin membaca di perpustakaan.

l. Guru-guru sampai penjaga sekolah dilibatkan secara aktif untuk mengelola perpustakaan, hal ini akan sangat membantu mendorong dan mengembangkan minat kemampuan serta kebiasaan membaca yang pada gilirannya dapat membentuk sikap siswa untuk belajar mandiri.

m. Perpustakaan sekolah dapat bekerjasama dengan perpustakaan umum/daerah, dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan layanannya kepada siswa. Kerjasama dapat dilakukan dengan study visit untuk mengetahui koleksi apa saja yang sesuai untuk siswa pada usia anak-anak atau remaja, serta layanan apa saja yang ada di sana.

Page 76: Jurnal April 2009

Sri Marmoah

72

Selain itu dengan pengelolaan (manajemen) perpustakaan yang baik akan dapat menarik para siswa senang berkunjung dan memanfaatkan sarana tersebut. Sebagai contoh yaitu dengan menerapkan teknologi informasi dan komunikasi. Pemanfaatan ICT sebagai sarana dalam meningkatkan kualitas layanan dan operasional telah membawa perubahan yang besar di perpustakaan. Perkembangan dari penerapan ICT dapat diukur dengan telah diterapkannya/ digunakannya sebagai sistem informasi manajemen (SIM) perpustakaan dan perpustakaan digital (digital library). Sedangkan alternatif solusi bagi perpustakaan sekolah pemula, atau yang belum memadai, dapat dicari solusinya dengan tiga hal yang disarankan yaitu: pertama, perpustakaan cukup melayani peminjaman buku kepada siswa untuk dibawa ke rumah dalam beberapa lama sesuai ketentuan. Kedua, pelayanan sebaiknya dilakukan saat istirahat dan atau setelah keluar sekolah. Ketiga, sebaiknya perpustakaan dikunjungi oleh siswa sebagai tempat belajar setelah keluar sekolah, untuk itu pelayanannya juga disesuaikan dengan kebutuhan siswa.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kesimpulan

Dari pembahasan yang telah diuraikan, maka dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Perpustakaan sebagai sumber informasi di sekolah memiliki peran yang penting dalam menunjang kegiatan belajar mengajar.

2. Eksistensi perpustakaan sekolah seharusnya dapat dijadikan tempat atau sarana untuk membantu menggairahkan semangat belajar, menumbuhkan minat baca, dan mendorong membiasakan siswa belajar secara mandiri.

3. Perpustakaan sekolah yang ideal harus mengacu kepada standar nasional perpustakaan.

4. Alternatif solusi dalam pemecahan problematika perpustakaan sekolah dengan memberdayakan unsur-unsur manajemen yang ada pada lembaga sekolah. Agar efektif dan efisien dalam mencapai tujuan perpustakaan sekolah, harus mengacu kepada fungsi manajemen yang mencakup perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pengaturan staf (staffing), pengarahan (directing), dan pengendalian (controlling).

5. Dengan pengelolaan (manajemen) perpustakaan yang baik akan dapat menarik para siswa senang berkunjung dan memanfaatkan sarana tersebut. Sebagai contoh yaitu dengan menerapkan teknologi informasi dan komunikasi.

Page 77: Jurnal April 2009

Problematika Perpustakaan Sekolah

73

Rekomendasi

Saran yang dapat dikemukakan dalam rangka mencari solusi dari problematika perpustakaan sekolah, adalah :

1. Pengelola perpustakaan dan tenaga kependidikan hendaknya saling berkoordinasi sebagai sarana untuk meningkatkan pemanfaatan perpustakaan sebagai pusat sumber belajar yang menyenangkan.

2. Kepala Sekolah sebagai manajer atau pimpinan sekolah perlu menjadwalkan secara khusus kunjungan ke perpustakaan.

3. Guru dan tenaga kependidikan lainnya hendaknya mengarahkan peserta didik untuk lebih memanfaatkan perpustakaan sebagai pusat sumber belajar untuk memperoleh informasi yang mereka inginkan.

4. Perlu adanya kebijakan dari sekolah dan pemda untuk mengembangkan perpustakaan sekolah, pengembangan termasuk pendanaan, pengembangan SDM, dan lain-lain.

5. Komite sekolah dan stakeholder harus memikirkan eksistensi perpustakaan sekolah agar dapat berhasil dan berdaya guna bagi siswa.

DAFTAR RUJUKAN Ali Lukman, et.al., 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Darmono, 2002. Menjadi Pintar: Memanfaatkan Perpustakaan Sekolah sebagai

Sumber Belajar. Malang: UM Press. ------------, 2004. Manajemen dan Tata Kerja Perpustakaan Sekolah. Cetakan ke-2

Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Fitz-enz, Jac, 2000. The ROI of Human Capital (Measuring the Economic Value of

Employee Performance). New York: AMACOM (American Management Association).

Perpustakaan Nasional RI, 1992. Perpustakaan Sekolah, Petunjuk untuk Membina,

Memakai, dan Memelihara Perpustakaan di Sekolah. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI.

Soelistia, dkk, 1995. Manajemen Perpustakaan Sekolah. Jakarta: Universitas

Terbuka, Depdikbud.

Page 78: Jurnal April 2009

Sri Marmoah

74

Sutarno, NS, 2006. Manajemen Perpustakaan, Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Sagung Seto.

Sutoyo, dkk, 2001. Strategi dan Pemikiran Perpustakaan Visi Hernandono. Jakarta:

Sagung Seto. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan.

Page 79: Jurnal April 2009

Jurnal Tenaga Kependidikan Vol. 4, No. 1, April 2009

75

PERILAKU KEPEMIMPINAN ENTREPRENEURSHIP KEPALA SEKOLAH

Rokhmaniyah

Universitas Negeri Jakarta

Abstrak Tugas pokok Kepala Sekolah adalah mengelola kegiatan pendidikan dan pembelajaran di sekolah. Untuk mendukung pelaksanaan tugas pokok, seorang kepala sekolah harus dapat melaksanakan fungsinya sebagai pendidik (educator), pemimpin (leader), pengelola (manager), administrator (administrator), penyelia (supervisor), wirausahawan (entrepreneur), dan pencipta iklim kerja (climator). Perilaku kepemimpinan entrepreneurship kepala sekolah adalah ilmu dan seni mempengaruhi warga sekolah agar mau dan mampu bertindak sebagai intrapreneurship. Kepala Sekolah dimaksud terbukti telah mampu memasarkan lulusannya, mampu membaca peluang tenaga kerja di dunia usaha dan industri (dui), kreatif dan inovatif dalam membekali lulusan dengan keterampilan yang dibutuhkan masyarakat. Selain itu, ia mampu bekerja keras dan berani menanggung risiko. Kata kunci: perilaku kepemimpinan, entrepreneurship, kepala

sekolah. PENDAHULUAN

Tugas pokok Kepala Sekolah adalah mengelola (memanaj) penyelenggaraan kegiatan pendidikan dan pembelajaran di sekolah. Untuk mendukung pelaksanaan tugas pokok, seorang kepala sekolah harus dapat melaksanakan fungsinya sebagai pendidik (educator), pemimpin (leader), pengelola (manager), administrator (administrator), penyelia (supervisor),wirausahawan (entrepreneur), dan pencipta iklim kerja (climator). Keefektifan suatu sekolah dalam menggapai visi, mengemban misi, dan menjalankan aktifitas pendidikan mempersyaratkan adanya seorang kepala sekolah yang efektif, yaitu seorang kepala sekolah yang mampu mengelola sumber daya manusia maupun nonmanusia secara efektif dan efisien. Budaya kita adalah budaya paternalistik. Oleh karena itu, entrepreneurship harus dicontohkan oleh guru-guru dan kepemimpinan kepala sekolahnya. Kepala sekolah adalah orang kunci yang menentukan sukses atau gagalnya sekolah dalam mencapai tujuannya.

Pengamatan sekilas di lapangan, selama ini menunjukkan bahwa sebagian Kepala Sekolah agaknya masih belum memainkan peranannya secara optimal. Hal ini ditunjukkan sebagai educator, ia belum mampu membimbing guru dan staf tata

Page 80: Jurnal April 2009

Rokhmaniyah

76

usaha dalam melaksanakan tugas-tugasnya, memberikan pendidikan yang bermutu bagi lulusannya sehingga dunia usaha dan industri mengeluh terhadap rendahnya mutu lulusan SMK. Sebagai manager; ia belum memiliki kemampuan manajerial seperti memenej sekolah, motivasi guru dan siswa agar memiliki komitmen yang tinggi terhadap tugas, mengkoordinasikan tugas-tugas stafnya, mengambil keputusan, membuat rencana strategik, mengelola konflik dan stres, dan mengelola waktu. Sebagai Supervisor, ia lebih disibukkan pada penyelesaian tugas administratif daripada edukatif. Sebagai leader, ia belum mampu memenuhi kriteria sukses, memiliki sifat-sifat pemimpin, menggunakan kekuasaannya dengan baik, membangun memotivasi guru bekerja, memotivasi siswa belajar, dan memiliki perilaku pemimpin. Sebagai entrepreneur, ia belum mampu bertindak kreatif dan inovatif, membaca peluang sekolah dalam meningkatkan minat calon siswa masuk ke sekolahnya, bekerja sama dengan pengusaha, mengembangkan unit produksi sekolah, memperbaiki sistem insentif, dan memasarkan hasil unit produksi sekolah dan lulusannya. Sebagai climator, ia belum mampu menciptakan budaya sekolah, dan menciptakan suasana Pembelajaran yang Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM).

Sebagian Kepala Sekolah kita masih berperilaku lebih mengutamakan kuantitas daripada kualitas lulusannya. Masih lebih mementingkan pencapaian target kurikulum daripada kualitas daya serap siswanya. Belum memiliki perencanaan program sekolah yang mantap dengan pelaksanaan yang belum tepat. Selain itu, kepala sekolah belum mampu melaksanakan pengawasan secara ketat sehingga hasil praktik siswanya belum bernilai ekonomis dalam arti belum hemat biaya, mutu, dan waktu (belum BMW). Akibatnya, hasil pembelajaran belum mampu menumbuhkan rasa percaya diri dan pengalaman kewiraswastaan bagi siswanya. Pada hal di era globalisasi sekarang ini secara khusus lebih dibutuhkan kepemimpinan enterprneurship agar lulusannya mampu menciptakan lapangan kerja bukan mencari pekerjaan. Dengan demikian, dapat mengurangi pengangguran bukan menambah pengangguran.

Dalam rangka pemberdayaan Kepala Sekolah, penulis ingin menyoroti perilaku entrepreneushipr kepala sekolah. Hal ini jelas sebagai dampak dari perilaku kepemimpinan entrepreneurship kepala sekolah, lulusan akan memiliki life skill dan out come. Kepala Sekolah dimaksud terbukti telah mampu memasarkan lulusannya, mampu membaca peluang tenaga kerja di dunia usaha dan industri (dui), kreatif dan inovatif dalam membekali lulusan dengan keterampilan yang dibutuhkan masyarakat.

Page 81: Jurnal April 2009

Perilaku Kepemimpinan Entrepreneurship Kepala Sekolah

77

PEMBAHASAN

Perilaku Kepemimpinan

Perilaku (KBBI, 2002) adalah tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan. Adapun kepemimpinan secara sederhana dapat didefinisikan sebagai keseluruhan proses mempengaruhi, mendorong, mengajak, menggerakkan, dan menuntun orang lain dalam proses kerja agar berfikir, bersikap, dan bertindak sesuai dengan aturan yang berlaku dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Hakikat kepemimpinan adalah kegiatan seseorang menggerakkan orang lain agar orang lain berkenan melaksanakan tugas-tugasnya. Berdasarkan definisi dan hakikat kepemimpinan di atas dapat disimpulkan bahwa proses kepemimpinan pada hakikatnya dapat muncul kapan dan dimanapun, apabila ada unsur-unsur:

a. Orang yang memimpin b. Orang-orang yang dipimpin c. Kegiatan atau tindakan penggerakkan untuk mencapai tujuan d. Tujuan yang ingin dicapai bersama

Jadi, kepemimpinan merupakan motor penggerak bagi sumber daya yang dimiliki lembaga. Oleh karena itu kepemimpinan disebut sebagai fungsi organik dalam proses manajemen.

Entrepreneurship

Entrepreneurship atau kewirausahaan atau kewiraswastaan merupakan kata benda dari entrepreneur. Kata entrepreneur berasal dari bahasa Prancis, entreprendre yang artinya mengusahakan. Selanjutnya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi entrepreneur yang artinya pengusaha, wirausaha, atau wiraswasta.

Menjelang pertengahan abad ke-18, Richard Cantillon (1730) adalah seorang yang disebut-sebut sebagai pencetus istilah entrepreneur untuk pertama kalinya. Menurut Richard Cantillon dalam Leo-Paul Dana(1997), entrepreneur berfokus pada seseorang dan untuk 200 tahun yang akan datang, para peneliti masih akan mendiskusikan apakah entrepreneur yang sukses merupakan bakat yang dibawa lahir atau tidak. Awal tahun 1934, Joseph A. Schumper dalam Peggy A Lambing & Charles R. Kuehl (2003) menggambarkan entrepreneur sebagai seorang yang membuat produk baru dan memasarkannya.

Page 82: Jurnal April 2009

Rokhmaniyah

78

Pendapat Joseph A. Schumper di atas dikembangkan oleh Peggy A. Lambing dan Charles R. Kuehl yang menyatakan bahwa seorang entrepreneur tidak hanya memproduksi barang dan jasa baru tetapi juga sebagai pencetus ide (gagasan) atau konsep baru. Gifford Pinchot (1988) mengatakan bahwa Entrepreneur adalah orang yang mengintegrasikan bakat rekayasa dan pemasar dengan menciptakan proses dan jasa baru. Menurut Gifford Pinchot, pertama-tama yang perlu dimiliki oleh seorang entrepreneur adalah bakat memasarkan produk barang dan jasa. Apalah artinya banyak barang dan jasa yang dihasilkan tetapi tidak laku dijual di pasaran. Barang akan menumpuk dan akhirnya usaha akan bangkrut. Oleh sebab itu, Gifford Pinchot menyarankan sebelum seseorang memutuskan akan membuka usaha, maka pertama-tama yang harus diperhatikan adalah pemasarannya.

Rodney Overton (2002) mendefinisikan enterpreneur sebagai, ”One who reforms or revolutionises the pattern of production by exploiting an invention or, more generally, an untried technological a new coomudity or producing either an old in a new way.” (Seseorang yang membentuk kembali atau mengubah dengan cepat bentuk produksi melalui penggalian penemuan atau, lebih umum, menggunakan teknologi sebagai sebuah komoditi baru atau memproduksi yang lama dengan cara baru). Adapun, John J. Kao(1991) mendefinisikan, “Entrepreneur both innovator and creator.

Selanjutnya, Ciputra dalam Andreas Harefa (2006) mengatakan bahwa sedikitnya ada tiga ciri-ciri utama seorang entrepreneur. Pertama, seorang entrepreneur mampu melihat peluang bisnis yang tidak dilihat atau diperhitungkan oleh orang lain, ia melihat kemungkinan dan memiliki visi untuk menciptakan sesuatu yang baru yang memicu semangatnya untuk bertindak. Kedua, seorang entrepreneur adalah orang yang betindak untuk melakukan inovasi, mengubah keadaan yang tidak/kurang menyenangkan menjadi keadaan yang diinginkan. Tindakanlah yang membuat entrepreneur menjadi inovator. Ketiga, seorang entrepreneur adalah pengambil risiko, baik risiko yang bersifat finansial (baca: rugi), maupun yang bersifat mental (baca: dianggap gagal).

Menurut beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa enterpreneurship ialah seseorang yang berusaha secara mandiri; berani mengambil risiko; senang berpetualang; senang menghadapi tantangan; inovator dengan memperhatikan nilai waktu dan usaha, memperkirakan keuangan, psikis, keuntungan finansial, kepuasan pribadi, kebebasan; dan kreator. Sebenarnya di dalam kreator sudah termasuk inovator. Karena inovatif adalah salah satu gaya dari kreatif. Alan J. Rowe(2008), kreatif memiliki empat gaya: (1) intuitif yang berfokus pada hasil pengalaman masa

Page 83: Jurnal April 2009

Perilaku Kepemimpinan Entrepreneurship Kepala Sekolah

79

lampau yang mengarahkan untuk bertindak; (2) inovatif yang berkonsentrasi pada pemecahan masalah, sistematika, dan berdasarkan data; (3) imajinatif yang dapat menggambarkan peluang, keindahan, senang menulis, dan berpikir di luar kebiasaan; dan (4) inspiratif berfokus pada perubahan sosial dan memberikan ilham.

Kepala Sekolah yang Berperilaku Enterpreneurship

Berdasarkan pengertian perilaku kepemimpinan dan entrepreneurship di atas, maka yang dimaksud dengan perilaku kepemimpinan entrepreneurship kepala sekolah adalah ilmu dan seni mempengaruhi warga sekolah agar mau dan mampu bertindak sebagai intrapreneurship. Sebagai intrapreneur, kepala sekolah adalah seorang inspirator bagi munculnya ide-ide kreatif dan inovatif dalam mengelola sekolah. Berani menanggung risiko. Pandai membaca peluang dan mau bekerja keras.

Mengingat Kepala Sekolah bukanlah seorang entrepreneur sejati karena ia tidak bekerja mandiri tetapi didukung oleh warga sekolah dan stakeholders-nya apalagi semua keuangan disiapkan oleh pemerintah atau yayasan untuk sekolah swasta; maka ia bekerja untuk sekolahnya sehingga semua tindakannya dibatasi oleh aturan-aturan sekolah. Oleh sebab itu, lebih tepat disebut sebagai intrapreneurship. Singkatan dari intrasekolah dan preneurship. Kepala Sekolah tidak bebas mengatur dirinya sendiri tetapi masih diatur oleh sekolah, bukan modal sendiri tetapi modal sekolah, bukan bekerja untuk sendiri tetapi untuk sekolah.

Sebagai seorang kepala sekolah yang entrepreneurship harus memiliki pribadi yang kreatif yang harus mau belajar mendisiplinkan dirinya untuk berurusan dengan tugas dan kewajibannya. Walaupun dalam kesehariannya seorang kepala sekolah menghadapi tugas rutin yang tidak menyenangkan, tetapi sebagai seorang entrepreneur harus mampu menemukan jalan untuk menyelesaikannya. Refleksi atau menilai diri sendiri adalah menjadi kebiasaan. Bila telah merasa mendapat nilai tinggi dalam disiplin diri, berarti dapat dikatakan telah mampu berkonsentrasi dan melihat hal-hal secara lengkap baik itu berupa tugas-tugas sekolah maupun tugas pribadi.

Renungkan, apakah sebagai seorang kepala sekolah telah menciptakan sesuatu yang berguna bagi pengembangan sekolah dan belum pernah ada sebelumnya. Howard Morhaim dalam Kathleen L. Hawkins (1993) memperingatkan dengan berkata,” Seseorang dapat membawa gaya kreatifnya sendiri pada suatu usaha dan tindakan itu bukan saja akan membuat usahanya berjalan lancar bahkan kelancaran usaha itu akan dapat terjadi disebabkan karena adanya kreativitas Anda tersebut.”

Page 84: Jurnal April 2009

Rokhmaniyah

80

Selanjutnya, Morhaim menambahkan,” kebanyakan agen yang berhasil dalam usaha mereka ialah orang-orang yang tenang dan mempunyai pikiran tajam yang tahu bagaimana melakukan sesuatu, berlaku sopan, dan teguh dalam perundingan kontrak.” Artinya, sebagai kepala sekolah yang berjiwa entrepreneurship harus mau mengembangkan dirinya dan menajamkan pikirannya sehingga mampu membaca peluang serta mampu menyelesaikan tugas sesuai dengan tujuan yang diharapkan.

Kepala sekolah yang entrepreneurship haruslah dapat bersifat luwes, dapat menyesuaikan diri, dan mampu melihat berbagai cara pemecahan masalah. Richardon menerangkan,” Jika jangkauan perilaku Anda lebih luas dibandingkan orang lain, Anda mempunyai cukup banyak variasi untuk mengendalikan dan mengarahkan situasi menurut kesukaan Anda.” Dalam hal ini kepala sekolah dapat menerapkan kepemimpinan situasional.

Berani menanggung risiko sangat baik dibandingkan sibuk mencari pembelaan diri. Bila dalam usaha atau tidakan yang telah direncanakan mengalami ketidakberhasilan maka secara tulus segera meminta maaf dengan berusaha untuk memperbaikinya. Tindakan mengambil risiko berkaitan dengan pertumbuhan, perubahan, pengendalian diri, dan kesadaran akan harga diri. Dengan demikian, kepercayaan bawahan terhadap kepala sekolah tetap terjaga.

Menjalin kerja sama dengan dunia industri atau dunia usaha adalah penting bagi kepala sekolah. Penguasaan kemampuan yang baik untuk berhubungan dengan orang-orang perlu dimiliki. Untuk memperlancar kegiatan pembelajaran yang memusatkan pada life skill diperlukan dukungan dari orang lain / masyarakat / wali siswa / dunia industri / dunia usaha. Program sekolah tidak akan tercapai bila sekolah tidak pandai menjalin komunikasi baik dengan stakeholders.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kesimpulan

Kepala sekolah adalah orang kunci yang menentukan sukses atau gagalnya sekolah dalam mencapai tujuannya. Seorang kepala sekolah harus dapat melaksanakan fungsinya sebagai pendidik(educator), pemimpin(leader), pengelola(manager), administrator(administrator), penyelia(supervisor), wirausahawan(entrepreneur), dan pencipta iklim kerja(climator). Perilaku kepemimpinan entrepreneurship kepala sekolah adalah ilmu dan seni mempengaruhi warga sekolah agar mau dan mampu bertindak sebagai intrapreneurship. Sebagai intrapreneur, kepala sekolah adalah seorang inspirator bagi munculnya ide-ide

Page 85: Jurnal April 2009

Perilaku Kepemimpinan Entrepreneurship Kepala Sekolah

81

kreatif dan inovatif dalam mengelola sekolah. Berani menanggung risiko. Pandai membaca peluang dan mau bekerja keras.

Rekomendasi

Untuk Kepala Sekolah

Kepala sekolah hendaknya selalu meningkatkan kompetensi kepala sekolah khususnya kompetensi wirausahawan (intrapreneur) sehingga dapat memberi contoh dan motivasi terhadap warga sekolah. Refleksi diri sangat penting dilakukan secara rutin sehingga dapat melihat tingkat keberhasilan dalam mengelola sekolah. Kerja sama dengan stakeholders harus senantiasa dibina dengan baik demi menghasilkan lulusan yang berkualitas.

Untuk Dinas Pendidikan dan Kebudayaan

Pendidikan dan latihan kepemimpinan entrepreneurship sangat penting diadakan untuk meningkatkan perilaku kepemimpinan entrepreneurship kepala sekolah. Pengawasan terhadap peningkatan kompetensi kepala sekolah hendakanya dilakukan secara rutinitas sehingga kepala sekolah termotivasi untuk selalu meningkatkan kinerjanya.

DAFTAR RUJUKAN

Andreas Harefa dan Eben Ezer Siadari. 2006. The Ciputra Way: Praktik Terbaik Menjadi Entrepreneur Sejati. Jakarta: PT Alex Media Komputindo.

Hawkins, K. L. & Turla, P. A. 1993. Ujilah Tingkat Kecerdasan Anda sebaga

Seorang Wirausaha. (Diterjemahkan oleh Dabar Publisshers). Solo: DABARA, 1993

Kao, J. 1991. The Enterpreneur. Englewood Cliftts, Upper Saddle River, New

Jersey: Prentice Hall. Lambing, P.A. & Kuehl, C.R. 2003. Enterpreneurship. Upper Sadle River, New

Jersey: Prentice Hall., 2003. Overton, R. 2002. Are You An Entrepreneur? Singapore: Wharton Books, Pte, Ltd . Rowe, A. J. 2008. Creative Intelegence Discovering the Innovative Potential in

Ourselves and Others, Upper Saddle River, New Jersey: Prentice Hall

Page 86: Jurnal April 2009

Jurnal Tenaga Kependidikan Vol. 4, No. 1, April 2009

82

KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH PADA SMPN 115

JAKARTA SEBAGAI SALAH SATU RINTISAN SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL (RSBI)

Ujang Didi Supriadi

Direktorat SMP Ditjen. Mandikdasmen Depdiknas

Abstrak Kepemimpinan kepala sekolah merupakan salah satu aspek penting dalam komponen input pada sistem pendidikan nasional. Kebijakan pemerintah dalam RSBI ditetapkan bahwa kualifikasi seorang kepala sekolah harus memiliki tingkat pendidikan S2 dari perguruan tinggi yang program studinya terakreditasi A dan memiliki kemampuan berbahasa Inggris secara aktif. Selain itu terdapat pula 16 kriteria seorang kepala sekolah yang memimpin RSBI. Penetapan standar dan kriteria tersebut diarahkan untuk mewujudkan tujuan sebuah sekolah yang memiliki daya saing pada tingkat nasional dan internasional. Kata Kunci: Kebijakan Pemerintah, Kepemimpinan Kepala Sekolah

dan RSBI.

PENDAHULUAN

Dalam upaya meningkatkan mutu, efisiensi, relevansi, dan peningkatan daya saing secara nasional dan sekaligus internasional pada tingkat pendidikan dasar dan menengah, maka Pemerintah telah menetapkan pentingnya penyelenggaraan pendidikan yang bertaraf internasional, baik untuk sekolah negeri maupun swasta. Selanjutnya, berkaitan dengan upaya peningkatan kualitas pendidikan yang bertaraf internasional tersebut, maka upaya yang dilakukan oleh Pemerintah, seperti yang tertuang dalam Panduan Pelaksanaan SMP SBI (2008) adalah:

1. Pendidikan bertaraf internasional yang bermutu adalah pendidikan yang mampu mencapai standar mutu nasional dan internasional;

2. Pendidikan bertaraf internasional yang efisien adalah pendidikan yang menghasilkan standar mutu lulusan optimal (berstandar nasional dan internasional) dengan pembiayaan yang minimal;

3. Pendidikan bertaraf internasional juga harus relevan, yaitu penyelenggaraan pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik, orang tua, masyarakat, kondisi lingkungan, kondisi sekolah, dan kemampuan pemerintah daerahnya (kabupaten/kota dan provinsi);

Page 87: Jurnal April 2009

Kajian Atas Kebijakan Pemerintah

83

4. Pendidikan bertaraf internasional harus memiliki daya saing yang tinggi dalam hal hasil-hasil pendidikan (output & outcome), proses, dan input baik secara nasional dan internasional.

Menurut Panduan Pelaksanaan SMP SBI (2008), beberapa alasan yang melatarbelakangi perlunya pendidikan bertaraf internasional yang selanjutnya disebut sebagai Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), diantaranya adalah:

1. Era globalisasi yang menuntut kemampuan daya saing yang kuat dalam teknologi, manajemen dan sumber daya manusia.

2. Dalam upaya peningkatan mutu, efisien, relevan, dan daya saing yang kuat, maka dalam penyelenggaraan SBI, kebijakan yang dijadikan landasan oleh pemerintah adalah:

a. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, terutama pada Pasal 50 ayat 3;

b. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan;

c. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Nasional Pendidikan;

d. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 menetapkan skala prioritas utama dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ke-1 tahun 2004-2009 untuk meningkatkan kualitas dan akses masyarakat terhadap pelayanan pendidikan.

3. Penyelenggaraan SBI didasari oleh filosofi eksistensialisme dan esensialisme. Filosofi eksistensialisme berkeyakinan bahwa pendidikan harus menyuburkan dan mengembangkan eksistensi peserta didik seoptimal mungkin melalui fasilitasi yang dilaksanakan melalui proses pendidikan yang bermartabat, pro-perubahan, menumbuhkan dan mengembangkan bakat, minat, dan kemampuan peserta didik. Sedangkan filosofi esensialisme menekankan bahwa pendidikan harus berfungsi relevan dengan kebutuhan, baik kebutuhan individu, keluarga, maupun kebutuhan berbagai sektor dan sub sektornya, baik lokal, nasional, maupun internasional.

4. Dalam mengaktualisasikan kedua filosofi di atas, empat pilar pendidikan yaitu learning to know, learning to do, learning to live together, and learning to be merupakan patokan berharga bagi penyelarasan praktek-praktek penyelenggaraan pendidikan Indonesia, yang dimulai dari kurikulum, guru, proses belajar mengajar, sarana dan prasarana, hingga sampai penilaiannya.

Page 88: Jurnal April 2009

Ujang Didi Supriadi

84

Beberapa hal yang telah disampaikan di atas, terlihat bahwa Pemerintah memiliki komitmen yang sangat tinggi dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan Indonesia. Peningkatan kualitas tersebut tidak lagi berujung pada standar kualitas nasional, namun berujung pada kualitas yang lebih tinggi lagi yaitu standar internasional. Komitmen tersebut telah dituangkan ke dalam kebijakan pemerintah dalam pendidikan nasional seperti yang disampaikan di atas.

Salah satu aspek yang menjadi penting dalam upaya pemenuhan kualitas pendidikan yang berstandar internasional tersebut, peran kepemimpinan kepala sekolah merupakan salah satu aspek yang menjadi aspek yang paling penting. Hal ini dikarenakan, sebuah sekolah yang berstandar internasional, maka tentunya akan dipimpin oleh seorang kepala sekolah dengan kemampuan berstandar internasional. Di dalam Panduan Pelaksanaan SMP SBI (2008) telah dituliskan bahwa kualifikasi seorang kepala sekolah yang memimpin SBI adalah kepala sekolah dengan tingkat pendidikan S2 dari perguruan tinggi yang program studinya terakreditasi A dan memiliki kemampuan berbahasa Inggris secara aktif.

Kepala sekolah sebagai penanggungjawab dalam penyelenggaraan pendidikan pada sekolah bertaraf internasional memiliki fungsi yang strategis. Menurut Slamet PH (2004) seperti yang dikutip dalam Panduan Pelaksanaan Pembinaan SMP SBI diungkapkan bahwa kepala sekolah SBI harus memiliki karakteristik sebagai berikut:

1. Memiliki visi, misi, dan strategi; 2. Kemampuan dalam mengkoordinasikan menyerasikan sumberdaya dengan

tujuan; 3. Kemampuan mengambil keputusan secara terampil; 4. Tolerasi terhadap perbedaan pada setiap orang, tetapi tidak toleran terhadap

orang-orang yang meremehkan kualitas, standar prestasi, dan nilai-nilai; 5. Memobilisasi sumber daya; 6. Menggunakan sistem sebagai cara berpikir, mengelola dan menganalisis

sekolah; 7. Menggunakan input manajemen; 8. Menjalankan perannya sebagai manajer, pemimpin, pendidik, wirausahawan,

regulator, penyelia, pencipta iklim kerja, administrator, pembaharu, dan pembangkit motivasi;

9. Menjalankan dimensi-dimensi tugas, proses, lingkungan, dan keterampilan personal;

Page 89: Jurnal April 2009

Kajian Atas Kebijakan Pemerintah

85

10. Menjalankan gejala empat serangkai, yaitu merumuskan sasaran, memilih fungsi-fungsi yang diperlukan untuk mencapai sasaran, melakukan analisis SWOT dan mengupayakan langkah-langkah untuk meniadakan persoalan;

11. Menggalan teamwork yang cerdas dan kompak; 12. Mendorong kegiatan-kegiatan yang kreatif; 13. Menciptakan sekolah belajar; 14. Menerapkan manajemen berbasis sekolah; 15. Memusatkan perhatian pada pengelolaan proses belajar mengajar; dan 16. Memberdayakan sekolah.

Beberapa kriteria yang disampaikan di atas bahwa Pemerintah melalui kebijakan peningkatan kualitas pendidikan yang bertaraf internasional telah membuktikan bahwa kepala sekolah merupakan salah satu komponen dalam sistem pendidikan yang menjadi faktor penentu tercapainya kualitas pendidikan bertaraf internasional tersebut.

Salah satu sekolah yang telah terpilih menjadi Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) adalah SMP Negeri 115 sejak tahun 2007. Sebagai upaya peningkatan mutu internasional, pada bulan Maret 2008 SMPN 115 telah melakukan kerja sama kepada Queensway Secondary School Singapore (QSS). Penandatanganan ini dilakukan oleh Kepala Sekolah Semabel's, Bpk. Adi Dasmin dan Mr. Herman Cher Ma'in (Wakil Kepala Sekolah QSSS) dan disaksikan oleh 3 guru dari QSSS (Mr. Justin sebagai guru Bahasa Inggris, Mr. Gary sebagai guru ICT dan Mr. Ivan sebagai Pupil Development), selanjutnya dari Dinas Pendidikan Nasional DKI Jakarta diwakili oleh Dr. Hj. Sylviana Murni, SH, MSi selaku Kepala Dinas, para pejabat Kodya Jakarta Selatan, dan dihadiri pula oleh seluruh Kepala Sekolah SMPN RSBI se-DKI Jakarta.

Peran kepemimpinan kepala sekolah dalam menjadikan SMPN 115 sebagai RSBI merupakan salah satu aspek penting untuk disampaikan pada makalah ini. Dimana bila ditelaah melalui kebijakan pemerintah, telah ditetapkan bahwa kualifikasi seorang kepala sekolah merupakan salah satu komponen input yang turut menentukan tercapainya kualitas pendidikan bertaraf internasional.

Page 90: Jurnal April 2009

Ujang Didi Supriadi

86

LANDASAN TEORI

Kepemimpinan Kepala Sekolah

Setiap organisasi selalu dipimpin oleh seorang pemimpin. Keberhasilan sebuah organisasi sangat bergantung dari keberhasilan peran pemimpin, sehingga kepemimpinan menjadi sangat penting perannya dalam sebuah organisasi. Kepemimpinan menurut Northouse (2003:3) merupakan suatu proses dimana individu mempengaruhi kelompok untuk mencapai tujuan umum. Selain itu menurut Dubrin (2001:3) bahwa kepemimpinan itu adalah kemampuan untuk menanamkan keyakinan dan memperoleh dukungan dari anggota organisasi untuk mencapai tujuan organisasi.

Kepemimpinan itu ada pada diri pemimpin/manajer. Dari aspek karakteristik dibedakan antara karakteristik pemimpin (leader) dengan karateristik manajer. Luthans (2002: 576) menegaskan bahwa karakteristik pemimpin di Abad XXI adalah: Innovates (menciptakan sesuatu yang baru); An original (asli dari pemimpin); Develops (mengembangkan); Focuses on people (terkonsentrasi pada manusia); Inspires trust (menghidupkan rasa percaya); Longrange perspective (memiliki prespektif jangka panjang); Asks what and why (ia menanyakan apa dan mengapa); Eye on the horizon (berpandangan sama pada sesamanya); Originates (memiliki keaslian); Challenges the Status quo (menentang kemapanan); Own person (mengakui tanggung jawab ada pada pemimpin); Does the right thing (mengerjakan yang benar).

Pemimpin memiliki karakteristik selalu memiliki upaya untuk menciptakan hal yang baru (selalu berinovasi). Gagasan-gagasan yang dimiliki oleh pemimpin merupakan gagasan sendiri tidak meniru ataupun mencontoh gaya kepemimpinan orang lain. Pemimpin selalu berupaya untuk mengembangkan apa yang ia lakukan. Ia percaya pada bawahan, dan selalu menyalakan api kepercayaan pada anggota organisasi. Gagasannya memiliki prespektif jangka panjang. Ia bertanya pada bawahannya dengan pertanyaan apa dan mengapa?. Ia menentang status quo, ia tidak puas dengan apa yang ada. Ia bertanggung jawab atas apa yang dilakukan oleh bawahannya, dan ia mengerjakan yang benar.

Setiap pemimpin memiliki gaya kepemimpinan, melalui gayanya tersebut, seorang pemimpin ada kalanya pemimpin tidak memberi kesempatan pada bawahannya untuk bertanya ataupun minta penjelasan (Authoritarian), ada kalanya pemimpin memberi kesempatan bawahan untuk berdiskusi, bertanya (Democratic), dan ada kalanya pemimpin itu membiarkan kondisi yang ada terserah pada bawahan (Laissez -fair) (The Iowa Leadershi Study) (Luthans, 2002: 577).

Page 91: Jurnal April 2009

Kajian Atas Kebijakan Pemerintah

87

Studi dilakukan oleh The Ohio State Leadership Study, dimana pada akhir Perang Dunia ke 2, didapatkan temuan penelitian yang menunjukkan bahwa kepemimpinan ditujukan pada penyelesaian tugas atau orientasi pada sasaran (Initiating Structure), dan pengakuan terhadap kebutuhan individu dan hubungan (Consideration). Selanjutnya penelitian dilanjutkan oleh The Early Michigan Leadership Study menunjukkan bahwa kepemimpinan itu adalah perhatian terhadap karyawan (employee-centered) dan juga perhatiannya terhadap proses produksi (production-centered). Kajian terhadap teori kepemimpinan terus berkembang pada teori Sifat (Trait Theories), teori Kelompok dan Tukar Menukar (Group and Exchanges Theories), teori Contingency, teori Jalur dan Tujuan (Path-Goal Leadership Theory), toeri Kepemimpinan Karismatik (Charismatic Leadership Theories), teori Kepemimpinan Transformasional (Transformational Leadership Theory) (Luthans, 2002: 579-589). Pembahasan kepemimpinan juga dikaji tentang gaya kepemimpinan (Leadership Style). Studi klasik tentang teori kepemimpinan telah mengembangkan gaya kepemimpinan yang kontinum Boss-Centered dan Employee Centered. Komponen dari Boss-Centered (meliputi: Theory X, Autocratic, Production Centered, Close, Initiating Structure, Task-directed, Directive). Sedangkan Employee Centered memiliki komponen: Theory Y, Democratic, Employee-Centered, General, Consideration, Human relations, Supportive, Participative. Gaya kepemimpinan tersebut telah mendasari teori Tannebaum and Schmidt Continuum of Leadership Behavior.

Gaya kepemimpinan yang mendasarkan pada dua dimensi yaitu perhatian terhadap tugas (Concern for Task) dan perhatian terhadap karyawan (Concern for People) telah melahirkan teori gaya kepemimpinan yang terkenal dengan The Blake and Mouton Managerial Grid. Berikutnya berkembang pula gaya kepemimpinan situasional yang dikembangkan oleh Harsey dan Blanchard yang kemudian dikenal dengan Harsey dan Blanchard’s Situational Leadership Model. Sebagai pemimpin, manajer ataupun pimpinan memiliki peran (role), kegiatan, dan skill. Pimpinan memiliki peran Interpersonal Roles, Informational Roles, Decisional Roles. Sedangkan kegiatan mereka adalah: Routine Communication, Traditional Management, Networking, dan Human Resource Management. Serta skill bagi pemimpin adalah: (1) komunikasi verbal, (2) mengelola waktu dan stress, (3) mengelola pengambilan keputusan, (4) mengakui, menjelaskan, dan memecahkan permasalahan, (5) memotivasi dan mempengaruhi orang lain, (6) mendelegasikan wewenang, (7) menetapkan tujuan dan menjelaskan visi, (8) memiliki kesadaran diri, (9) membangun kerja tim, dan (10) mengelola konflik (Luthans, 2002: 619-627).

Page 92: Jurnal April 2009

Ujang Didi Supriadi

88

Kebijakan Pendidikan

Pengertian kebijakan publik menurut Thomas R. Dye dalam Parson (2005) adalah : “public policy is whatever governments choose to do or not to do”, atau dengan kata lain kebijakan publik merupakan studi tentang apa yang dilakukan pemerintah, mengapa pemerintah mengambil tindakan tersebut, dan apa akibat dari tindakan tersebut. Sedangkan menurut Lasswell (1951b), seperti yang dikutip oleh Parson (2005), kata kebijakan umumnya dipakai untuk menunjukan pilihan terpenting yang diambil baik dalam kehidupan organisasi atau privat. Sehingga kebijakan bebas dari konotasi yang dicakup dalam kata politis yang sering kali diyakini mengandung makna keberpihakan dan korupsi.

Atas dasar pengertian di atas, maka pengertian dari kebijakan pendidikan merupakan sebuah pilihan stratejik yang dilakukan pemerintah karena berkaitan dengan kepentingan masyarakat banyak di bidang pendidikan.

Kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan diungkapkan oleh Alisjahbana (2000) memiliki dua jenis desentralisasi pendidikan, yaitu: pertama, desentralisasi kewenangan di sektor pendidikan dalam hal kebijakan pendidikan dan aspek pendanaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (propinsi dan distrik), dan kedua, desentralisasi pendidikan dengan fokus pada pemberian kewenangan yang lebih besar di tingkat sekolah. Konsep desentralisasi pendidikan yang pertama terutama berkaitan dengan otonomi daerah dan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan dari pusat ke daerah, sedangkan konsep desentralisasi pendidikan yang memfokuskan pada pemberian kewenangan yang lebih besar pada tingkat sekolah dilakukan dengan motivasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

Menurut Alisjahbana (2000), tujuan dan orientasi dari desentralisasi pendidikan sangat bervariasi berdasarkan pengalaman desentralisasi pendidikan yang dilakukan di beberapa negara Amerika Latin, Amerika Serikat dan Eropa. Jika yang menjadi tujuan adalah pemberian kewenangan di sektor pendidikan yang lebih besar kepada pemerintah daerah, maka fokus desentralisasi pendidikan yang dilakukan adalah pada pelimpahan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah lokal atau kepada Dewan Sekolah. Implisit ke dalam strategi desentralisi pendidikan yang seperti ini adalah target untuk mencapai efisiensi dalam penggunaan sumber daya (school resources; dana pendidikan yang berasal yang pemerintah dan masyarakat). Dilain pihak, jika yang menjadi tujuan desentralisasi pendidikan adalah peningkatan kualitas proses belajar mengajar dan kualitas dari hasil proses belajar mengajar tersebut, maka desentralisasi pendidikan lebih difokuskan pada reformasi

Page 93: Jurnal April 2009

Kajian Atas Kebijakan Pemerintah

89

proses belajar-mengajar. Partisipasi orang tua dalam proses belajar mengajar dianggap merupakan salah satu faktor yang paling menentukan. Dalam kenyataannya, desentralisasi pendidikan yang dilakukan di banyak negara merupakan bagian dari proses reformasi pendidikan secara keseluruhan dan tidak sekedar merupakan bagian dari proses otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Desentralisasi pendidikan akan meliputi suatu proses pemberian kewenangan yang lebih luas di bidang kebijakan pendidikan dan aspek pendanaannya dari pemerintah pusat kepemerintah lokal dan pada saat yang bersamaan kewenangan yang lebih besar juga diberikan pada tingkat sekolah

Selanjutnya menurut Alisjahbana (2000), tipologi komponen-komponen sektor pendidikan yang dapat dipertimbangkan untuk didesentralisasikan dapat dilihat dalam Tabel 1 berikut:

Tabel 1.

Tipologi Kewenangan-kewenangan Pendidikan yang Dapat Didesentralisasikan

Sumber: Alisjahbana (2000)

Page 94: Jurnal April 2009

Ujang Didi Supriadi

90

PEMBAHASAN

Kepemimpinan Kepala Sekolah SMP N 115 dalam Membangun RSBI

SMP Negeri 115 Jakarta merupakan sekolah yang berdiri sejak tahun 1978. Sekolah ini berlokasi di Jalan Tebet Utara III Jakarta Selatan. Setelah berjalan 20 tahun gedung yang ditempati SMP Negeri 115 Jakarta akhirnya direnovasi oleh Pemda DKI Jakarta yaitu pada tahun 2001. Selama dua setengah tahun renovasi gedung itu berjalan, dan pada awal tahun 2005 renovasi selesai dan mulai menempati gedung baru yang megah.

SMP Negeri 115 Jakarta atau sering disebut SMABELS, telah tercatat berbagai prestasi yang telah diraih oleh siswa-siswinya, bahkan SMP Negeri 115 Jakarta ini merupakan pemasok terbesar siswa-siswi SMA Negeri 8 Jakarta yang merupakan sekolah SMA unggulan di DKI Jakarta. Hal ini tentu tak terlepas dari pembinaan para guru dan kepemimpinan kepala sekolah. Dari tahun-ke tahun hingga kini banyak lulusan SD se-DKI Jakarta yang berlomba-lomba ke SMP Negeri 115 Jakarta

Sejak tahun 2008, Pemerintah menetapkan SMPN 115 Jakarta sebagai salah satu Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), maksudnya adalah sekolah ini memiliki kelas berstandar pendidikan internasional yang ditunjukan dengan penyelenggaraan pendidikan beserta segala aspek intensitas dan kualitas layanan yang ditata secara efektif, profesional untuk mencapai keunggulan mutu pendidikan baik nasional maupun internasional dengan karakteristik seperti penggunaan bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya sebagai bahasa pengantar secara aktif dan penggunaan ICT (Information and Communication Technology) dalam pembelajaran.

Kombinasi prestasi akademik dan non akademik, ditambah konsep pembelajaran berwawasan global yang bertujuan mengembangkan potensi diri peserta didik, telah menempatkan Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 115 Jakarta sebagai 'prototype' Rintisan Sekolah Bertaraf International (RSBI).

Prestasi yang diraih adalah sebagai sekolah dengan rata-rata nilai UAN tertinggi di DKI Jakarta selama 3 tahun terakhir. Selain itu prestasi lainnya seperti di Olimpiade Sains Nasional maupun ajang kompetisi lokal dan internasional telah memotivasi sekolah ini menjadi SBI.

Tekad kepemimpinan kepala sekolah berserta seluruh komponen sekolah untuk menjadikan SMPN 115 sebagai sekolah bertaraf international tidak saja direalisasikan dalam pengadaan berbagai fasilitas, sarana dan prasarana. Tapi juga diimplementasikan dalam manajemen sekolah (pendidikan) yang di dalamya

Page 95: Jurnal April 2009

Kajian Atas Kebijakan Pemerintah

91

mencakup kurikuluin, metode, SDM (guru dan tenaga kependidikan) pemanfaatan fasilitas.

Kepemimpinan Kepala Sekolah memiliki visi bahwa konsep SBI sesungguhnya telah sejalan dengan visi dan misi SMPN 115 yaitu menjadikan peserta didik yarig cerdas dan kompetitif di tingkat nasional maupun international, unggul dalam prestasi akademik dan non akademik melalui peningkatan ketaqwaan, moral, pengembangan diri dan kemampuan menguasai iptek di era globalisasi.

Guna mencapai visi tersebut, kepemimpinan kepala sekolah mencoba melakukan pendekatan kepada seluruh siswa selama di sekolah dengan menempatkan wali kelas dan guru pendamping untuk memantau proses belajar mengajar. Selaku kepala sekolah, pemberdayaan peran guru sangat dimaksimalkan dimana para guru harus memahami situasi dan prestasi anak didik sehingga semua permasalahan yang muncul di kelas harus segera ditangani secara bersama.

Untuk mendukung prestasi sekolah, kepemimpinan kepala sekolah sangat menekankan pada kelengkapan fasilitas belajar dan mengajar. Sejak berdiri 1978 sebagai sekolah reguler, SMPN 115 telah menyelenggarakan proses pembelajaran dengan orientasi prestasi, misalnya pengadaan laboratorium IPA, laboratorium bahasa, sarana olahraga dan kreativitas seni, perpustakaan, termasuk memberikan dukungan penuh kepada siswa dalam upaya meraih 2 medali di Olimplade Sains Nasional 2007 di Surabaya Jawa Timur.

Selain itu, untuk menuju sekolah internasional juga diimplementasikan melalui penerapan Kelas Bilingual dan Kelas Internasional yang diisi oleh siswa-siswi pilihan dan dalam proses belajar mengajar dominan menggunakan bahasa asing.

Seluruh siswa dan siswi memiliki kesempatan sama besarnya untuk berprestasi baik di dalam dan di luar pelajaran. Untuk prestasi di luar pelajaran (ekstra kurikuler) seperti lewat pentas seni (band, tari, orkestra & paduan suara) telah mencapai juara I Pop Song Interasional. Selain itu pula telah berhasil dalam kejuaraan olahraga yang membawa SMPN 115 juara lomba renang tingkat regional di Thailand.

Berdasarkan penjelasan yang telah disampaikan di atas, terlihat bahwa kepemimpinan kepala sekolah yang memiliki visi prestasi hingga mencapai tingkat internasional akan mampu mendorong sekolah untuk mewujudkan visi tersebut. Hal ini sesuai yang diungkapkan oleh Luthans (2002: 576) bahwa salah satu karakteristik pemimpin di Abad XXI adalah memiliki prespektif jangka panjang (Longrange perspective). Artinya, kepemimpinan kepala sekolah SMP N 115 tidak

Page 96: Jurnal April 2009

Ujang Didi Supriadi

92

hanya ingin mencapai prestasi di tingkat nasional, namun visi membangun prestasi sekolah yang unggul telah diinspirasikan untuk jangka panjang jauh sebelum pemerintah mengeluarkan kebijakan SBI. Sehingga adanya kebijakan baru tentang SBI telah memudahkan SMP N 115 dalam meraih predikat tersebut.

Upaya pencapaian visi tersebut tidak hanya terbatas dalam prestasi akademik dan non-akademik. Untuk mendukung kualitas sekolah, kepemimpinan kepala sekolah telah pula menjalankan fungsi Networking dengan melakukan kerja sama kepada sekolah internasional yang berbasis di Singapura, yaitu Queensway Secondary School Singapore (QSS). Kerja sama ini dilakukan sebagai upaya untuk saling tukar-menukar informasi dalam menjalankan manajemen pendidikan, sehingga kedua sekolah dapat saling belajar keunggulan-keunggulan yang dimiliki.

Kebijakan Pemerintah dalam Mengembangkan Kepemimpinan Kepala Sekolah pada Sekolah Bertaraf Internasional

Kebijakan pemerintah dalam kualifikasi kepemimpinan kepala sekolah pada SBI diterangkan pada Panduan Pelaksanaan SMP SBI (2008) telah dituliskan bahwa kualifikasi seorang kepala sekolah yang memimpin SBI adalah kepala sekolah dengan tingkat pendidikan S2 dari perguruan tinggi yang program studinya terakreditasi A dan memiliki kemampuan berbahasa Inggris secara aktif. Persyaratan ini telah dipenuhi oleh Kepala Sekolah SMPN 115 Jakarta yang telah menempuh pendidikan pasca sarjana (S2) dan kemampuanya dalam berbahasa Inggris. Sehingga melalui kemampuannya dalam berbahasa Inggris tersebut, kepemimpinan kepala sekolah dapat menjalin komunikasi dan kerja sama kepada sekolah berskala internasional di Singapura.

Pada Panduan Pelaksanaan SMP SBI (2008) juga disampaikan bahwa di semua sekolah yang telah bertarafkan internasional, memiliki kewajiban dalam upaya meningkatkan kapasitas kepala sekolahnya melalui berbagai kegiatan, diantaranya adalah pelatihan, melakukan kerja sama dengan lembaga lain, magang, dan sebagainya. Adapun materi pengembangan kapasitas tersebut diantaranya dalam hal kemampuan intelektualitas, menajemen, kepribadian, keterampilan dalam berbagai bidang, bahasa Inggris, manajemen ISO 9000:2001, komunikasi, penguasaan teknologi informasi dan telekomunikasi, dan sebagainya. Sehingga karakteristik kepala sekolah yang tangguh dan berwawasan internasional dapat tercapai secara bertahap dan berkelanjutan. Di dalam hal tingkat pendidikan yang harus ditempuh, kepala sekolah yang bertaraf internasional harus memiliki tingkat pendidikan minimal S2 dari perguruan tinggi yang program studinya terakreditasi A.

Page 97: Jurnal April 2009

Kajian Atas Kebijakan Pemerintah

93

Selain itu, peran Dinas Pendidikan Kabupaten dan Provinsi dalam meningkatkan kapasitas kepala sekolah dapat dilakukan sebagai pembinaan, penempatan/pengangkatan, pembimbingan, dan pengarahan. Peran tersebut harus mengedepankan aspek profesionalitas dan kualitas dalam pengembangan kepemimpinan kepala sekolah bertaraf internasional.

Seperti yang telah diungkapkan oleh Alisjahbana (2000), dalam kebijakan di bidang pendidikan memiliki dua jenis desentralisasi pendidikan, yaitu: pertama, desentralisasi kewenangan di sektor pendidikan dalam hal kebijakan pendidikan dan aspek pendanaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (propinsi dan distrik). Pada dimensi ini peran pemerintah (baik pusat maupun daerah) memberikan kebijakan sebagai arah masa depan pendidikan sehingga format pendidikan secara nasional memiliki keseragaman yang akan dicapai. Selanjutnya pada dimensi kedua, adalah desentralisasi pendidikan dengan fokus pada pemberian kewenangan yang lebih besar di tingkat sekolah. Dalam hal ini peran kepemimpinan kepala sekolah sangat dominan dalam membawa sekolah menuju prestasi internasional, seperti yang telah dijalankan oleh SMPN 115 Jakarta.

KESIMPULAN

Kepemimpinan memiliki peran yang paling strategis dalam mencapai tujuan organisasi. Demikian halnya dalam mencapai tujuan organisasi pendidikan yang diarahkan memiliki taraf kualitas internasional. Kebijakan pemerintah dalam memberikan kualifikasi kepemimpinan kepala sekolah dalam memimpin sebuah sekolah yang bertarafkan internasional telah mendukung percepatan pencapaian tujuan yang ingin dicapai.

Di dalam penerapannya, kebijakan pendidikan dalam upaya mewujudkan sekolah yang berstandarkan internasional melalui peningkatan peran kepemimpinan kepala sekolah, maka dapat dilakukan dengan menerapkan kebijakan desentralisasi. Desentralisasi pendidikan tersebut telah membagi dua peran yang saling menunjang, yaitu peran pemerintah sebagai payung kebijakan pengembangan pendidikan bertarafkan internasional, dan peran sekolah melalui kepemimpinan kepala sekolah dalam menjalankan kebijakan sekolah bertaraf internasional.

Page 98: Jurnal April 2009

Ujang Didi Supriadi

94

DAFTAR RUJUKAN

Alisjahbana, Armida S. 2000. Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan. Makalah untuk disampaikan pada Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran Bandung.

Dubrin, A. J. 2001. Leadership: Research Findings, Practices, and Skills, Third

Edition. Boston: Houghton Mifflin Company. Luthans, Fred. 2002. Organizational Behavior, Ninth Edition. Singapore: McGraw-

Hill International Editions Northouse, P.G. 2003. Leadership: Theory and Practice, Third Edition. New Delhi:

Response Book. Parsons, Wayne. 2005.Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis

Kebijakan. Jakarta: Penerbit Kencana.

Dokumen:

Panduan Pelaksanaan Pembinaan Rintisan Sekolah Menengah Pertama Bertaraf Internasional (SMP-SBI). Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama, Tahun 2008.

Page 99: Jurnal April 2009

Jurnal Tenaga Kependidikan Vol. 4, No. 1, April 2009

95

PEMIMPIN KOMUNITAS PEMBELAJARAN

Zainun Misbah Direktorat Tenaga Kependidikan Ditjen. PMPTK Depdiknas

Abstrak

Kajian tentang Professional Learning Community (PLC) atau Komunitas Pembelajaran Profesional (KPP) telah dilakukan oleh peneliti pendidikan dan dipublikasikan dalam beberapa jurnal ilmiah. Selama tiga puluh tahun belakangan ini kajian tentang KPP terus dilakukan sebagai upaya pengembangan dan inovasi sekolah. Meski demikian penelitian tentang efek KPP terhadap nilai siswa belum banyak dilakukan. Dari beberapa kajian tersebut karakteristik KPP yang mendukung keberhasilan pembelajaran adalah adanya reflective dialogue, de-privatization of practice, collective focus on student learning, collaboration dan shared norms and values. Karenanya, peran kepala sekolah sebagai pemimpin pembelajaran di sekolah cukup strategis dalam mengembangkan KPP sekaligus mengembangkan kompetensi sesuai tuntutan peraturan dan tuntutan perubahan zaman.

Kata Kunci: Komunitas pembelajaran profesional, pemimpin

pembelajaran, inovasi sekolah. PENDAHULUAN

Sekolah merupakan tempat transaksi pembelajaran berlangsung. Siswa, guru, tenaga administrasi dan seluruh warga sekolah sudah seharusnya terus belajar dan mengembangkan diri menjadi pembelajar agar keberhasilan sekolah terwujud. Siswa belajar ilmu-ilmu pelajaran untuk bekal hidup, guru-guru belajar dari kegiatan mengajarnya (teaching for learning), dan kepala sekolah belajar dalam memimpin pembelajaran (leading in learning). Kepala sekolah dituntut untuk menjadi pemimpin pembelajaran dalam artian bahwa semua warga sekolah dipimpin untuk terus meningkatkan mutu pembelajaran mereka.

Berbagai kajian telah dilakukan untuk menilai keberhasilan sekolah baik dari prestasi siswa maupun pengembangan profesi guru dan tenaga kependidikan yang ada di dalamnya. Kajian tentang school effectiveness berkembang cukup pesat sebagai usaha mengkaji keefektifan sekolah. Hasil-hasil kajian sekolah telah banyak digunakan pengambil kebijakan untuk menentukan arah pembangunan pendidikan

Page 100: Jurnal April 2009

Zainun Misbah

96

baik di tingkat individu peserta didik, level kelas, level sekolah ataupun lingkup nasional. Kajian ini menyimpulkan berbagai karakteristik proses sekolah efektif meliputi: (1) perencanaan dan pengembangan sekolah, (2) iklim dan budaya sekolah, (3) pemantauan terhadap kemajuan siswa, (4) kepemimpinan kepala sekolah, (5) pengembangan guru dan staf, (5) pengembangan siswa, (7) pemberdayaan orang tua dan masyarakat, (8) penghargaan dan insentif, (9) tata tertib dan kedisiplinan, (10) pengelolaan kurikulum, dan (11) akuntabilitas sekolah. Ke-11 karakteristik tersebut saling mendukung dalam mendorong terselenggaranya proses pembelajaran yang efektif di sekolah (Direktorat Tenaga Kependidikan, 2008).

Pada beberapa tahun belakangan ini, kajian tentang Professional Learning Community (PLC) atau Komunitas Pembelajaran Profesional (KPP) secara kualitatif dan kuantitatif terus dilakukan. KPP dipandang sebagai salah satu proses dalam pengembangan sekolah yang dapat memperbaiki sistem pengajaran di kelas, demikian juga mengembangkan profesionalisme guru dan tenaga kependidikan lainnya. Hord (1997) menyatakan bahwa “professional learning communities can be a significant force for empowering staff that leads to school change and improvement and increased student outcomes.”

Tulisan ini dimaksudkan untuk mengkaji tentang komunitas pembelajar professional dari beberapa literatur dan dipublikasikan dalam jurnal ilmiah. Lebih lanjut, tulisan ini juga mencoba menggali peran kepala sekolah yang cukup strategis dalam mewujudkan KPP dan memimpin organisasi pembelajar. Diharapkan dengan semakin banyaknya referensi tentang komunitas pembelajar profesional dapat meningkatkan upaya inovasi pendidikan di Indonesia sehingga terjadi akselerasi peningkatan mutu pendidikan dengan mempertimbangkan perluasan dan pemerataan akses pendidikan, peningkatan mutu, relevansi dan daya saing pendidikan, serta penguatan tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan publik.

PENGERTIAN PROFESSIONAL LEARNING COMMUNITIES

Ada banyak definisi yang berbeda tentang Professional Learning Community (PLC). Wenger (2000, 229) menyatakan bahwa ‘that professional communities share cultural practices reflecting their collective learning process’. Louis, Marks, and Kruse (1996) mengemukakan ada dua hal penting dalam komunitas professional, yakni deprivatized practice and reflective dialogue (dalam Grodsky & Gamoran, 2003). Newman dan Wehlage (dalam Oden, Borman & Fermanich, 2004) menjelaskan professional community sebagai : “possessing three general traits in which teachers pursue a shared sense of purpose for student learning, engage in

Page 101: Jurnal April 2009

Pemimpin Komunitas Pembelajaran

97

collaborative activities to achieve this purpose, and take collective responsibility for student learning”. Stoll dkk (2005) menyatakan bahwa ‘komunitas pembelajaran profesional adalah komunitas terbuka yang melibatkan semua orang, yang didorong oleh motivasi pembelajaran yang sama, yang mendukung dan bekerjasama satu sama lain, menemukan solusi, baik di dalam dan di luar lingkungan terdekat mereka, mencari tahu mengenai praktek-praktek pembelajaran mereka dan bersama-sama mempelajari pendekatan yang baru dan yang lebih baik yang akan meningkatkan pembelajaran seluruh siswa’. Dengan demikian dalam suatu KPP terdapat tanggung jawab bersama dalam meningkatkan pembelajaran siswa, adanya budaya kerjasama, adanya kesamaan nilai dan norma yang berlaku, adanya refleksi dalam kegiatan pembelajaran yang dilakukan, serta kerterbukan dan sharing terhadap praktek-praktek pembelajaran yang dilakukan untuk evaluasi dan peningkatan dan penjaminan mutu. Kesemuanya itu bermuara pada memfasilitasi siswa belajar dengan lebih baik.

Stoll dkk (2005) mengidentifikasi karakteristik dari KPP yang dapat meningkatkan proses pembelajaran adalah sebagai berikut:

1. Kesamaan visi dan nilai

• Adanya fokus yang sama terhadap pembelajaran siswa dan keterlibatan mereka.

• Ada pernyataan mengenai nilai-nilai yang dikembangkan bersama dan dipahami oleh semua.

• Staf mempunyai harapan yang tinggi terhadap siswa. • Ada budaya peningkatan yang tampak jelas.

2. Tanggung jawab bersama atas pembelajaran siswa. • Staf secara bersama-sama bertanggung jawab atas pembelajaran siswa.

• Ada tekanan dari teman sebaya pada mereka yang tidak mengerjakan bagiannya dengan baik.

3. Kerjasama yang bertujuan pada pembelajaran.

• Perencanaan tim dan kerjasama tim adalah suatu hal yang biasa terjadi. • Adanya pengajaran secara berkelompok yang terjadi • Adanya kerjasama yang terjadi diantara berbagai peran yang berbeda

(contohnya guru dengan staf pendukung), jadi tidak hanya pada peran yang sama.

• Adanya kolaborasi yang terjadi di seluruh sekolah dan juga kerjasama antar bidang pelajaran yang diperlukan.

Page 102: Jurnal April 2009

Zainun Misbah

98

4. Terdapat pembelajaran kelompok dan individual yang profesional

• Semua staf termasuk staf pendukung terlibat dan menghargai pembelajaran profesional

• Ada sejumlah kegiatan pembelajaran professional dan perkembangan berkesinambungan yang berlangsung, contohnya tutor sebaya, demonstrasi pembelajaran, forum pembelajaran, lokakarya, proyek penelitian dan pengembangan, memandu pembelajaran siswa dan lain-lain.

• Staf mengambil tanggung jawab bersama untuk mempromosikan dan mendukung pembelajaran satu sama lain.

5. Pencarian profesional yang penuh pemikiran

• Refleksi terhadap praktek-praktek dihargai • Penelitian dan inkuiri mempengaruhi pengajaran dan pembelajaran.

Contohnya: pengamatan timbal balik, evaluasi diri, dan penelitian tindakan.

• Data dianalisis dan digunakan sebagai bahan refleksi dan pengembangan, contohnya hasil penilaian, nilai tambah (value-added), dan penilaian untuk pembelajaran (assessment for learning).

• Masukan (input) dari siswa sangat dihargai. 6. Keterbukaan, jaringan dan kemitraan

• Inisiatif dari luar digunakan untuk menganalisa apa yang terjadi di dalam • Semua orang terbuka akan perubahan

• Staf secara aktif terlibat dalam kemitraan dengan pihak eksternal dan jaringan pembelajaran dengan sekolah, pusat pelatihan, institusi pendidikan yang lebih tinggi dan badan-badan lainnya.

• Pemikiran yang inovatif, kreatif dan berani mengambil resiko sangat didukung.

• Latihan yang penuh pemikiran sangat dihargai. • Penelitian dan pencarian mempengaruhi pengejaran dan pembelajaran

sebagai contoh pengamatan mutual, evaluasi diri, dan penelitian tindakan.

• Data dianalisa dan digunakan sebagai bahan pemikiran dan perkembangan, contohnya hasil penilaian, pertambahan nilai dan penilaian untuk pembelajaran.

• Masukan dari siswa sangat dihargai.

Page 103: Jurnal April 2009

Pemimpin Komunitas Pembelajaran

99

7. Keanggotaan yang inklusif

• Staf pendukung dihargai sebagai anggota yang memberi kontribusi kepada KPP.

• Pengawas atau anggota komite sekolah terlibat dalam KPP. • Ada satu kumunitas besar yang melibatkan seluruh staf disekolah, pusat,

atau koles, bukan hanya komunitas-komunitas kecil yang banyak. 8. Rasa percaya, rasa hormat, dan dukungan yang mutual

• Hubungan kerja bersifat positif. • Ada rasa percaya dan hormat yang mutual.

• Upaya terbaik dari pada staff dan guru sangat dihargai • Staf merasa kompeten.

MANFAAT KOMUNITAS PEMBELAJARAN PROFESIONAL BAGI SEKOLAH

Stoll dkk (2005) menyatakan bahwa komunitas pembelajaran professional yang efektif mempunyai kemampuan untuk mendorong dan mempertahankan pembelajaran dari semua profesional di komunitas sekolah dengan tujuan bersama untuk meningkatkan pembelajaran siswa. Sebagai inti dari konsep komunitas pembelajaran professional adalah berasal dari asumsi pada premis meningkatkan kualitas belajar siswa dari kualitas pengajaran di kelas. Sumber daya sekolah dapat secara sinergis bekerjasama dan berkolaborasi menuju cita-cita yang sama dengan merefleksikan dan mendiskusikan masalah-masalah dan mencari solusi secara bersama-sama. Karenanya, manfaat yang bisa diperoleh dengan terciptanya komunitas pembelajaran di sekolah diantaranya terciptanya iklim pembelajaran yang kondusif, adanya upaya inovasi sekolah dalam perbaikan pembelajaran, adanya peningkatan kompetensi kepemimpinan, fasilitasi pembelajaran peserta didik yang lebih baik, dan lain sebagainya yang masih terus dikaji oleh para peneliti pendidikan.

Manfaat adanya komunitas pembelajaran profesional tersebut akan dirasakan jika tahapan-tahapan dalam mengembangkan KPP dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Stoll dkk (2005) menyarankan langkah-langkah untuk mengembangkan KPP adalah sebagai berikut:

1. Mengoptimalisasikan sumber daya dan struktur untuk mempromosikan KPP

• Waktu, ruang dan pendanaan digunakan untuk mendukung pengembangan KPP.

Page 104: Jurnal April 2009

Zainun Misbah

100

• Gagasan mengenai KPP disertakan dalam dokumem-dokumen kebijakan dan rencana-rencana pengembangan.

• Ruangan staf, ruang kerja staf dan ruang belajar digunakan untuk pembinaan dan pembelajaran masyarakat.

• ICT digunakan untuk meningkatkan komunikasi yang lebih efektif. 2. Mempromosikan pembelajaran yang profesional

• Perkembangan yang professional dikoordinasikan untuk mempromosikan pembelajaran semua staf.

• Manajemen atau penilaian kinerja, induksi, profil perkembangan professional, dan mentoring bersifat konsisten dengan nilai-nilai untuk menggembangkan KPP.

• Ada penekanan terhadap latihan dan pemahaman bersama. • Ada dukungan yang diberikan untuk membantu mengembangkan strategi

dan keahlian pembelajaran dan pengajaran. 3. Mengevaluasi dan Mempertahankan KPP

• Pengembangan dan kemajuan KPP diawasi secara teratur.

• Adanya pembahasan yang jelas mengenai KPP beserta tujuan dan pengembangannya.

• Nilai-nilai KPP dipertimbangkan saat membuat pilihan untuk merekrut dan memberhentikan staf.

• Perhatian diberikan terhadap masalah-masalah yang menghalangi pengembangan KPP.

• Teman-teman yang kritis diundang untuk memberikan masukan/pandangan dari luar.

4. Memimpin dan Mengelola untuk mempromosikan KPP

• Pemimpin memusatkan perhatian pada pembelajaran untuk semua. • Pembinaan kepercayaan dan merayakan keberhasilan menjadi prioritas. • Pemimpin selalu melakukan pencarian pengetahuan dan mendorong hal

ini pada yang lain.

• Pemimpin memberikan contoh pembelajaran dan melatih rekan-rekannya.

• Kepemimpinan dalam pembelajaran disebarkan di seluruh sekolah, pusat pelatihan atau institusi pendidikan.

Dengan mengembangkan KPP, kepala sekolah dapat menemukan kepuasan yang mendalam karena seluruh warga sekolah memiliki tanggungjawab kolektif untuk keberhasilan siswa dan keberhasilan sekolah. Setiap warga sekolah memiliki

Page 105: Jurnal April 2009

Pemimpin Komunitas Pembelajaran

101

kesadaran bahwa mereka memiliki pengaruh yang signifikan terhadap hasil kerja siswa dan juga sadar atas peran mereka dalam membantu siswa mencapai harapannya. Kepala sekolah juga dapat terus mengembangkan kompetensinya dalam mengelola administrasi dan komunitas sekolah, memperbaiki sistem pembelajaran di kelas, dan juga mengembangkan kompetensi kepribadian dan kompetensi sosialnya secara terintegrasi.

Kepala sekolah memiliki peran penting dalam mengembangkan KPP, utamanya dalam mendorong perubahan agar senantiasa terdapat kesempatan refleksi dalam pembelajaran baik oleh siswa, guru maupun kepala sekolah; meningkatkan budaya kolaborasi dan kerjasama warga sekolah, semakin memfokuskan pada pembelajaran siswa, dan kesamaan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di sekolah. Inovasi sekolah juga akan lebih cepat berkembang dengan adanya KPP karena salah satu karakteristik KPP adanya shared vision dan value. Sejalan dengan Gladwell (2002), bahwa komunitas akan merubah nilai dan pandangan individu, “karena ketika orang dimintai pendapat tentang suatu kejadian atau harus membuat keputusan dalam suatu kelompok, mereka cenderung memberikan kesimpulan-kesimpulan sangat berbeda dibanding ketika pertanyaan serupa diajukan kepada tiap orang sesudah tidak bersama kelompoknya lagi. Begitu kita menjadi bagian sebuah kelompok, kita semua rentan terhadap tekanan dan norma-norma sosial serta bermacam-macam pengaruh lain yang dapat berperan penting dalam proses awal perubahan (sekolah).”

KOMUNITAS PEMBELAJARAN PROFESIONAL DI INDONESIA

Budaya organisasi dan berkumpul dan bekerja secara bersama-sama ini cukup kental di Indonesia. Dalam konteks dunia pendidikan di Indonesia, komunitas pembelajaran kepala sekolah terlihat dalam wadah semisal Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS), Kelompok Kerja Kepala Sekolah (KKKS) dan lain-lain. Para kepala sekolah dalam satu wilayah mengadakan pertemuan dan merefleksikan peran dan tanggung jawab mereka, dan masalah-masalah yang dihadapi dalam melaksanakan peran tersebut. Namun demikian banyak pihak yang menganggap forum tersebut belum dapat dioptimalkan dan diberdayakan dengan baik karena diantaranya permasalahan dana, terbatasnya kemauan dan kemampuan sumberdaya manusia, kurangnya pemahaman pentingnya jejaring dan komunitas pembelajaran profesional, dan lain sebagainya.

Page 106: Jurnal April 2009

Zainun Misbah

102

MKKS & KKKS, sebagai contoh KPP di Indonesia, perlu diefektifkan lagi agar manfaat yang diperoleh semakin nyata. Stoll dkk (2005) menunjukkan tiga cara menentukan keefektifan dari KPP adalah sebagai berikut:

1. KPP mempunyai dampak pada pembelajaran siswa dan pengembangan sosial 2. KPP mempunyai dampak pada semangat dan tindakan staf, dengan potensi

untuk mengembangkan kemampuan memimpin. 3. Semua karakteristik KPP ada pada tempatnya dan semua proses berjalan

lancar yang merupakan bagian dari ’cara kami melakukan sesuatu’. Selain aktif dalam komunitas pembelajaran profesional dalam skala distrik (district based level) seperti dalam MKKS dan organisasi kepala sekolah, kepala sekolah perlu membangun komunitas pembelajaran profesional di sekolahnya. Kepala sekolah memimpin warga sekolah untuk mengidentifikasi apa yang kurang di sekolahnya, dan apa yang perlu ditingkatkan. Kegiatan dilanjutkan dengan melakukan refleksi dan berbagi dengan warga sekolahnya sehingga semua warga sekolah mempunyai rasa memiliki dan tanggung jawab terhadap mutu sekolah. Namun perlu disadari bahwa membangun KPP diperlukan waktu yang cukup lama untuk membangun keterbukaan, kepercayaan, fokus yang sama dan karenanya tidak bisa dilakukan secara instant. Kepala sekolah perlu ’mempelajari proses dan manejemen perubahan’, tidak hanya mengharapkan sekolah berubah ke arah yang lebih baik, tetapi terus ’berusaha dan mencari’. KESIMPULAN DAN SARAN

Pemerintah telah berupaya memfasilitasi peningkatan mutu pendidikan melalui peningkatan kompetensi tenaga kependidikan dengan berbagai upaya. Komunitas Pembelajaran Profesional untuk meningkatkan mutu sekolah perlu terus diupayakan baik di tingkat sekolah maupun antar sekolah. Kalaupun sudah terbentuk wadah-wadah pertemuan untuk jejaring kerja pendidik dan tenaga kependidikan seperti MKKS, MGMP, MKPS dan asosiasi profesi tenaga kependidikan, perlu kiranya ditingkatkan dan diberdayakan lagi dengan mengingat konsep dan karakteristik-karakteristik KPP.

Komunitas Pembelajaran Profesional pada level sekolah juga perlu diupayakan, dan tentunya peran kepala sekolah sangat penting dan strategis dalam mengimplementasikan konsep KPP di sekolahnya. Pengambil kebijakan sudah semestinya mendukung dan mendorong upaya sekolah mewujudkan KPP. Kajian tentang KPP pun perlu terus dilakukan dan disebarluaskan agar percepatan peningkatan mutu pendidikan di Indonesia dapat segera terlihat dan terukur.

Page 107: Jurnal April 2009

Pemimpin Komunitas Pembelajaran

103

DAFTAR RUJUKAN DuFour, R. (2004). What is professional learning community? In: Schools as

learning communities, 6-11. Available at http://schools.fsusd.k12.ca.us/education/PLC/Prof_Lrng_Community.pdf

Direktorat Tenaga Kependidikan (2008). Kumpulan Materi Pembekalan Fasilitator

Program Kemitraan Kepala Sekolah Angkatan VI Tahun 2008. Depdiknas : Jakarta.

Gladwell, M.. (2002). Tipping Point. Gramedia : Jakarta. Hirsh, S. & Hord, S.M. (2008). Leader and Learning, Principal Leadership,

December 26 – 30. Stoll, dkk. (2005). Creating and Sustaining Effective Professional Learning

Communities, DfES Research Report RR367, University of Bristol. Available at www.dfes.gop.uk/research/data/uploadfiles/RR637.pdf�

Wenger, E. (2000). Communities of practice and social learning systems. Organization: the interdisciplinary journal of organization, theory and society, Organization articles, 7 (2), 225 – 246).

Page 108: Jurnal April 2009

104

PETUNJUK BAGI PENULIS ARTIKEL 1. Artikel yang ditulis untuk Jurnal Tenaga Kependidikan meliputi hasil

pemikiran dan hasil penelitian di bidang tenaga kependidikan. Naskah diketik dengan huruf Times New Roman, ukuran 12 pts, dengan spasi 1,5, dicetak pada kertas A4 maksimal 20 halaman, diserahkan dalam bentuk print-out sebanyak 2 eksemplar beserta disketnya atau dibuat dalam bentuk file dengan Microsoft Word (MS) dan dikirimkan ke alamat e-mail: [email protected]

2. Nama penulis artikel dicantumkan tanpa gelar akademik dan ditempatkan di bawah judul artikel. Jika penulis empat orang atau lebih, yang dicantumkan cukup penulis utamanya saja, sedangkan penulis lainnya dicantumkan pada bagian bawah halaman pertama artikel.

3. Penulis disarankan menuliskan alamat e-mail dan nomor telepon atau handphone pada halaman terakhir artikel untuk memudahkan komunikasi.

4. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris dengan format esai, disertai judul pada masing-masing bagian artikel, kecuali bagian pendahuluan disajikan tanpa judul bagian.

5. Judul artikel dicetak tebal dan huruf besar semua, di tengah-tengah dengan huruf Times New Roman, ukuran 14 pts.

6. Peringkat judul bagian dinyatakan dengan huruf Times New Roman, ukuran 12 pts dan dicetak tebal. Pada judul bagian tidak menggunakan sistem angka/nomor. Peringkat 1 (huruf besar semua, tebal, rata tepi kiri. Peringkat 2 (Hanya awal kata huruf besar, cetak tebal, rata tepi kiri. Peringkat 3 (Hanya awal kata huruf besar, cetak tebal, miring (italic) dan rata tepi kiri.

7. Sistematika artikel hasil pemikiran: judul, nama penulis (tanpa gelar), abstrak (maksimal 100 kata), kata kunci maksimal enam kata. Pendahuluan (tanpa judul) berisikan latar belakang, tujuan penulisan, dan ruang lingkup penulisan. Bahasan utama (dapat dibagi ke dalam beberapa subbagian). Penutup atau Kesimpulan. Daftar rujukan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk saja).

8. Sistematika artikel hasil penelitian: judul, nama penulis (tanpa gelar), abstrak (maksimal 100 kata) yang berisikan tujuan penelitian, metode penelitian, hasil penelitian, dan kata kunci maksimal enam kata. Pendahuluan (tanpa judul) berisikan latar belakang, sedikit tinjauan pustaka, dan tujuan penelitian.

Page 109: Jurnal April 2009

105

Metode penelitian. Hasil penelitian dan pembahasan. Kesimpulan dan saran. Daftar rujukan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk saja).

9. Daftar rujukan disusun dengan tata cara seperti contoh berikut ini dan diurutkan secara alfabetis dan kronologis. Satu spasi. Buku Hughes, R.L., Ginnett, R.C. & Curphy, G.J. 2004. Leadership Enchancing the

Lessons of Experience.New York: McGraw-Hill Irwin. Buku dalam Kumpulan Artikel Leitwood, K.A. 2007. Transformation School Leadership in a Transactional

Policy World. Dalam M. Fullan (Editor), The Jossey-Bass Reader on Educational Leadership (hlm. 183-196).

Artikel dalam Jurnal Surya Dharma. 2006. Kepemimpinan Pengawas Sekolah: Mengembangkan

Budaya Tanggung Jawab dalam Jurnal Tenaga Kependidikan, Vol. 1, No. 2, Agustus:1-13.

Artikel dalam Majalah Surya Dharma. 2007. Fatal Jika Tenaga Kependidikan Bermutu Rendah

dalam Forum Tenaga Kependidikan. Edisi 1, Vol. 1. April: 14-16. Artikel dalam Koran Bro. Februari, 2007. Mobil untuk Kepala Sekolah. Kompas, hlm 22. Artikel dalam Koran (tanpa nama pengarang) Kompas, 3 Mei 2005. Tajuk Rencana Pendidikan Sangat Penting untuk

Bangsa. Dokumen Resmi Peraturan Pendidikan Nasional Nomor 12 Tahun 2007 tentang Standar

Pengawas Sekolah/Madrasah. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Buku Terjemahan Kouzes, J.M. & Posner, B.Z.1999. Tantangan kepemimpinan. Terjemahan

oleh Anton Adiwiyoto. 1999. Jakarta: Interaksara.

Page 110: Jurnal April 2009

106

Skripsi, Tesis, Disertasi, dan Laporan Penelitian Husaini Usman dan Darmono. 2007. Model Pendidikan Kecakapan Hidup

Berbasis Masyarakat Pedesaan sebagai Usaha Pengentasan Kemiskinan di Wilayah Kabupaten Kulon Progo DIY. Laporan Penelitian Hibah Bersaing Tahap II. Tidak Diterbitkan. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.

Internet (artikel dalam jurnal online) Surya Dharma & Husaini Usman. 2007. Kemitraan sinerjis Perguruan Tinggi,

Pemda, dan Masyarakat. Jurnal Ilmu Pendidikan. (Online), Jilid 16, No. 1, (http://www.malang.ac.id, diakses 8 Januari 2008).

10. Tata cara mengutip langsung kurang dari lima baris, kalimat dikutip sesuai

dengan aslinya diberi tanda petik di awal dan diakhir bagian yang dikutip. Tuliskan sumber dan tahunnya di awal atau diakhir kutipan. Contoh: Menurut Hunsaker (2001), ”Managers can be leaders, but leaders do not have to be manager.” atau Hunsaker (2001) menyatakan, ”Managers can be leaders, but leaders do not have to be manager.” atau ”Managers can be leaders, but leaders do not have to be manager.” (Hunsaker, 2001).

11. Tata cara mengutip langsung empat baris atau lebih, dibuat alinia baru, menjorok ke dalam lima ketukan, satu spasi, dan tanpa tanda petik. Tuliskan sumber dan tahunnya di awal atau diakhir kutipan. Contoh: Menurut Wiles & Bondi (2007), The role of supervisor has many dimensions or facets, and for this reason supervision often overlaps with administrative, curricular, and instructional functions. Because supervision is a general leadership role and a coordinating role among all school activities concerned with learning, such overlap is natural and should be perceived as an asset in a school setting. atau Wiles & Bondi (2007) menyatakan:

Page 111: Jurnal April 2009

107

The role of supervisor has many dimensions or facets, and for this reason supervision often overlaps with administrative, curricular, and instructional functions. Because supervision is a general leadership role and a coordinating role among all school activities concerned with learning, such overlap is natural and should be perceived as an asset in a school setting. atau The role of supervisor has many dimensions or facets, and for this reason supervision often overlaps with administrative, curricular, and instructional functions. Because supervision is a general leadership role and a coordinating role among all school activities concerned with learning, such overlap is natural and should be perceived as an asset in a school setting (Wiles & Bondi, 2007).

12. Cara mengutip tidak langsung, kalimat yang dikutip langsung ditulis dalam kalimat penulis tanpa tanda petik. Tuliskan sumber dan tahunnya di awal atau diakhir kutipan. Contoh: Menurut Wiles & Bondi (2007), ada delapan kompetensi pengawas yaitu pengawas sebagai: (1) pengembang peserta didik, (2) pengembang kurikulum, (3) spesialis pembelajaran, (4) pekerja hubungan manusiawi, (5) pengembang personil sekolah, (6) administrator, (7) manajer perubahan, dan (8) evaluator. atau Wiles & Bondi (2007) menyatakan bahwa ada delapan kompetensi pengawas yaitu pengawas sebagai: (1) pengembang peserta didik, (2) pengembang kurikulum, (3) spesialis pembelajaran, (4) pekerja hubungan manusiawi, (5) pengembang personil sekolah, (6) administrator, (7) manajer perubahan, dan (8) evaluator. atau Ada delapan kompetensi pengawas yaitu pengawas sebagai: (1) pengembang peserta didik, (2) pengembang kurikulum, (3) spesialis pembelajaran, (4) pekerja hubungan manusiawi, (5) pengembang personil sekolah, (6) administrator, (7) manajer perubahan, dan (8) evaluator (Wiles & Bondi, 2007).

13. Semua artikel ditelaah secara anonim oleh mitra bestari (reviewers) yang ditunjuk. Penulis artikel diberi kesempatan untuk memperbaiki artikelnya atas dasar saran dari mitra bestari.

14. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.

Page 112: Jurnal April 2009

108

15. Artikel yang tidak dimuat akan dikembalikan jika ada permintaan tertulis dari penulis.

16. Artikel yang dimuat, kepada penulis diberikan satu eksemplar dan penghargaan.

17. Semua kata asing diketik miring (italic)