jurnal analisis k ebijakan v olume 1 nomor 1 t ahun 2016

130
Volume 1 2016 1 Diterbitkan Oleh: DEPUTI BIDANG KAJIAN KEBIJAKAN LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA REPUBLIK INDONESIA Jl. Veteran no. 10 Jakarta 10110 Regionalisme dan Pengaruhnya Terhadap Kebijakan Domestik Negara Anggota: Bagaimana ASEAN Terhadap Indonesia? Kebijakan Pemekaran Daerah Dalam UU No. 23 Tahun 2014 Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDES): BUMDES Karangrejek Gunungkidul Yogyakarta Potret Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945 dan Penyelesaian Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara Inovasi Pelayanan Publik: Praktik Penyelenggaraan Otonomi Daerah Moratorium Daerah Otonomi Baru: Sebuah Konsep Pematangan Menuju Efektivitas Daerah Otonom Mendorong Inovasi Pelayanan Publik di Pemerintah Daerah Sayfa Auliya Achidsti Suryanto Tony Murdianto Hidayat Frenky Kristian Saragi Harditya Bayu Kusuma Sabilla Ramadhiani Firdaus P. Pieter Djoka Analisis Kebijakan Volume 1 Nomor 1 Halaman 1-122 2016 ISSN : 2528-6757 Jurnal Analisis Kebijakan Volume 1 Nomor 1 Tahun 2016

Upload: truongthien

Post on 30-Jan-2017

292 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

Volume 1

2016

1

Diterbitkan Oleh:

DEPUTI BIDANG KAJIAN KEBIJAKAN

LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Jl. Veteran no. 10 Jakarta 10110

RegionalismedanPengaruhnyaTerhadapKebijakanDomestikNegaraAnggota:BagaimanaASEANTerhadapIndonesia?

KebijakanPemekaranDaerahDalamUUNo.23Tahun2014

PengelolaanBadanUsahaMilikDesa(BUMDES):BUMDESKarangrejekGunungkidulYogyakarta

PotretKelembagaanNegaraPascaAmandemenUUD1945danPenyelesaianSengketaKewenanganAntarLembagaNegara

InovasiPelayananPublik:PraktikPenyelenggaraanOtonomiDaerah

MoratoriumDaerahOtonomiBaru:SebuahKonsepPematanganMenujuEfektivitasDaerahOtonom

MendorongInovasiPelayananPublikdiPemerintahDaerah

SayfaAuliyaAchidsti

Suryanto

TonyMurdiantoHidayat

FrenkyKristianSaragi

HardityaBayuKusuma

SabillaRamadhianiFirdaus

P.PieterDjoka

Analisis Kebijakan Volume 1 Nomor 1 Halaman 1-122 2016

ISSN : 2528-6757

Jurn

alA

nalisisK

ebija

kanVolume1Nomor1

Tahun2016

Page 2: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

i

ISSN : 2528-6757

Jurnal Analisis KebijakanVol. 1 No. 1 Tahun 2016

Redaksi :Pengarah : Sri Hadiati WK SH, MBAPenanggung Jawab/Pemimpin Redaksi

: Dr. Ridwan Rajab, M.Si

Dewan Redaksi : Dr. Ridwan Rajab, M.SiAni Suprihartini, SE, MMWidhi Novianto, S.Sos, M.SiDr. Edy Sutrisno, SE, M.SiSuryanto, S.Sos, M.Si

Mitra Bestari : Dr. Tri Widodo Wahyu Utomo, MA (Kebijakan Publik)Dr. Mohammad Faisal (Ekonomi Kebijakan Publik)Moh. Ilham A. Hamudy, S.IP., M.Soc.Sc (Politik dan Pemerintahan)Imam Radianto ASP, ST, MM (Administrasi Publik)

Redaktur Pelaksana : Tony Murdianto Hidayat, S.SiRedaksi : Muhamad Imam Alfie Syarien, S.Sos, MPA

Rico Hermawan, SIPRusman Nurjaman, S.FilMaria Dika Puspita Sari, SIAFrenky Kristian Saragi, SHMuhammad Syafiq SIP

Desain Cover : Sulistio Satrio Firdaus S.Pd

Diterbitkan oleh:Deputi Bidang Kajian Kebijakan

(Deputi Chairman For Policy Studies)Lembaga Administrasi Negara

(National Institute Of Public Administration)Jl. Veteran No. 10 Jakarta 10110

Telp. (021) 3688201-05 Ext 114, 115, Fax (021) 3865102Website : www.lan.go.id/web/dkk/

Email : [email protected]

UNDANGAN MENULIS:Redaksi menerima naskah hasil penelitian, kajian maupun pemikiran kritis isu-isu dalam lingkup bidang Sistem dan Hukum Administrasi Negara, Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Reforma-si Administrasi serta Analis Kebijakan. Naskah diketik dalam Ms Word menggunakan Bahasa Indonesia sepanjang 15-20 halaman, ukuran kertas A4, huruf Times New Roman ukuran 12, dan spasi tunggal. Judul, Abstrak, dan kata kunci ditulis dalam dwi bahasa (Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia) masing-masing sepanjang 100-200 kata. Naskah bisa dikirim langsung ke Redaksi, melalu pos atau email, dan untuk naskah yang dicetak di atas kertas harus disertakan soft file copy. Redaksi berhak melakukan penilaian dan penyuntingan terhadap naskah yang ma-suk. Naskah yang lolos seleksi oleh Redaksi, akan direview oleh Mitra Bestari (Reviewer). Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imbalan yang menarik.

Page 3: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

ISSN : 2528-6757

Daftar Isi

Editorial iii-ivREGIONALISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBIJAKAN DOMESTIK NEGARA ANG GOTA: Bagaimana ASEAN terhadap Indonesia?Sayfa Auliya Achidsti

1-15

KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAH DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014Suryanto

17-32

PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DESA: BUMDES Desa Karangrejek Gunungkidul YogyakartaTony Murdianto Hidayat

33-50

POTRET KELEMBAGAAN NEGARA PASCA AMANDEMEN UUD 1945 DAN PENYELESAI-AN SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARAFrenky Kristian Saragi

51-67

INOVASI PELAYANAN PUBLIK: Praktik Penyelenggaraan Otonomi DaerahHarditya Bayu Kusuma

69-88

MORATORIUM DAERAH OTONOM BARU: Sebuah Konsep Pematangan Menuju Efek-tifitas Daerah OtonomSabilla Ramadhiani Firdaus

89-104

MENDORONG INOVASI PELAYANAN PUBLIK DI PEMERINTAH DAERAHP. Pieter Djoka

105-122

Petunjuk Penulisan 123-124

ii JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

Page 4: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

Jurnal Analisis Kebijakan merupakan jur-nal yang diterbitkan oleh Deputi Bidang Kajian Kebijakan Lembaga Administrasi Negara RI. Jurnal ini menjadi wadah penyampaian ide, gagasan, pemikiran, dan analisis kebijakan, terutama di bidang Sistem dan Hukum Ad-ministrasi Negara, Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Reformasi Administrasi dan Analis Kebijakan.

Edisi perdana Jurnal Analsis Kebijakan ini menyajikan sejumlah tulisan yang mere-fleksikan sejumlah gagasan sebagai respon atas dinamika yang berkembang dalam bidang sistem dan hukum administrasi nega-ra, desentralisasi dan otonomi daerah, refor-masi administrasi dan analisis kebijakan. Melalui tulisan berju dul “Regionalisme dan Pengaruhnya Terhadap Kebijakan Domestik Negara Anggota: Bagaimana ASEAN Terha-dap Indonesia?”, Sayfa Auliya Achidsti meng-angkat topik keikutsertaan Indonesia dalam kerjasama regional ASEAN. Menurutnya kei-kutsertaan Indonesia dalam forum kerjasama regional (ASEAN) belum mampu meningkat-kan kepentingan domestik Indonesia ke ling-kup Asia Tenggara.

Dalam studi perbandingan regulasi me-ngenai kebijakan pemekaran daerah, melalu artikelnya “Kebijakan Pemekaran Daerah da-lam UU No. 23 Tahun 2014”, Suryanto meng-garisbawahi bahwa aturan-aturan yang mem-perketat syarat melakukan pemekaran di UU pemda yang baru ini bisa menjadi jalan keluar untuk menekan laju derasnya permintaan pe-mekaran di daerah selama ini. Adanya syarat harus menjadi daerah persiapan terlebih da-hulu selama 3 tahun merupakan salah satu langkah strategis sebelum memutuskan apa-kah daerah yang akan mekar tersebut layak untuk berdiri sendiri menjadi wilayah anyar yang mampu membawa kesejahteraan rakyat.

Melalui pembahasannya mengenai penge-lolaan badan usaha milik desa dengan studi kasus di Desa Karangrejek, Gunungkidul, Yog-yakarta”, Tony Murdianto Hidayat melakukan identifikasi faktor-faktor kunci yang melanda-si keberhasilan pengelolaan BUMDes di desa tersebut. Menurutnya ada 5 kunci keberha-s ilan yaitu kearifan lokal; kuatnya dukungan masyarakat, pemerintah (pusat maupun daerah) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM); kepemimpinan kepala desa; pemilihan usaha yang tepat berbasis potensi desa, dan;

pengelolaan usaha.Frenky Kristian Saragi membahas tentang

Potret Kelembagaan Negara dan Penyelesai-an Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara. Melalui artikel yang berjudul “Potret Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945 dan Penyelesaian Sengketa Ke-wenangan Antara Lembaga Negara”, penulis menyoroti perubahan sistem ketatanegaraan pasca amandemen UUD 1945. Selain itu, mayoritas perkara dinyatakan tidak dapat diterima oleh MK karena permohonan perkara sengketa kewenangan lembaga negara terse-but tidak memenuhi kriteria objectum litis dan subjectum litis.

Tulisan berikutnya mengambil tema inova-si pelayanan publik dan otonomi daerah. Da-lam tulisan yang bertajuk “Inovasi Pelayanan Pu blik: Praktik Penyelenggaraan Otonomi Da-erah”, Harditya Bayu Kusuma mengungkap-kan bahwa otonomi daerah memberikan ru-ang mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat serta peningkatan daya saing. Inovasi yang telah dilakukan oleh beberapa daerah mem-berikan harapan menjanjikan adanya arah ke-cenderungan yang positif dalam peningkatan kualitas pelayanan publik.

Artikel selanjutnya mengambil topik ke-bijakan moratorium Daerah Otonomi Baru (DOB). Melalui tulisannya yang berjudul “Mor-atorium Daerah Otonom Baru: Sebuah Kon-sep Pematangan Menuju Efektifitas Da erah Otonom”, Sabilla Ramadhiani Firdaus me-nekankan bahwa keberhasilan efektifitas DOB sangat bergantung pada komitmen seluruh stakeholders memenuhi indikator dan langkah strategis yang dirancang untuk memba ngun dan menciptakan penyelenggaran daerah yang dinamis.

Tulisan terakhir, P. Pieter Djoka mengang-kat topik inovasi pelayanan publik di pemerin-tah daerah dengan mengambil studi kasus di Kota Kupang. Dalam tulisan yang berju-dul “Mendoriong Inovasi Pelayanan Publik di Daerah”, ia menguraikan tiga hal yang bisa mendorong inovasi pelayanan publik di da-erah, yaitu, perubahan mindset dan cultural set, optimalisasi Pelayanan Terpadu Satu Pin-tu (PTSP), dan kerjasama Pemerintah Daerah dengan swasta.

iii

Editorial

JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

Page 5: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

Redaksi menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan serta apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Mitra Bestari selaku reviewer yang memberikan masukan yang berharga atas seluruh naskah yang masuk. Tak lupa ucapan terima kasih juga ditujukan kepada semua penulis yang telah berupaya keras dan tidak putus asa telah melakukan

revisi dan perbaikan naskahnya sesuai ko-reksi dan masukan dari mitra bestari. Kepada sidang pembaca budiman, kami haturkan se-lamat membaca. Komentar dan masukan dari pembaca mengenai isi, topik, dan pengem-bangan jurnal ke depan juga sangat kami nantikan. Semoga bermanfaat.

**********

iv JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

Page 6: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

REGIONALISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBIJA-KAN DOMESTIK NEGARA ANGGOTA:

Bagaimana ASEAN terhadap Indonesia?

Abstrak: Kajian berfokus pada pandangan bahwa kebijakan negara adalah bentuk “kepu blikan” dari sebuah rezim pemerintahan. Kebijakan adalah produk hukum yang mengikat setiap tindakan masyarakat, dan negara itu sendiri, sebagai sebuah atu ran. Namun, penguatan pasar me-munculkan ketidakseimbangan dan kebutuhan pencapaian tujuan tertentu antarnegara. Hal ini menimbulkan kebutuhan untuk kerjasama antara negara-negara. Regionalisme merupa-kan fenomena yang mulai berkembang di dunia sebagai kesepakatan antara negara-negara berdasar kewilayahan. Kajian melakukan analisis dalam konteks regionalisme dan pengaruh-nya terhadap kepublikan (kebijakan) negara, yang diwujudkan dalam kebijakan-kebijakan-nya.Kata Kunci: Kebijakan, Regionalisme, Kepublikan, Investasi, ASEAN.Abstract:This paper focuses on state policy as a form of “publicness” of a particular regime. Policy is a legal product that binds public action, and the state itself. However, the growing market triggered imbalances and needs to attain shared objectives of countries within a region. It raises the needs to cooperate between countries. Regionalism, a phenomenon that is emer-ging in the international relations, is an agreement between countries based on territory. In this paper, the author analyses regionalism and its influence to state publicness, which is manifested in its policies.Keywords: Policy, Regionalism, Publicness, Investment, ASEAN.

REGIONALISM AND ITS INFLUENCE TO MEMBER COUN-TRY’S DOMESTIC POLICIES:

Study on ASEAN and IndonesiaSayfa Auliya Achidsti

Alumnus Pasca sarjana Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gajah Mada

A. PENDAHULUANBelakangan, perkumpulan para

pemim pin negara di kawasan Asia Tenggara dia da kan lebih sering untuk melakukan kese pakatan-kese pakatan multilateral antara pe me rin tahan. Da-lam konteks regional Asia Tenggara, organisasi ASEAN menjadi lembaga yang mena ungi dan bertindak sebagai semacam forum yang membicarakan persoalan di berbagai sektor, terutama ekonomi, sosial-politik, dan sebagai penengah dalam konflik baik yang mungkin terjadi maupun potensial.

Agenda terakhir dari ASEAN, mi-

salnya, adalah pencapaian ASEAN Economic Community (AEC) yang ber-komitmen membentuk kawasan Asia Tenggara sebagai sebuah kesatuan pasar tunggal. Dalam tingkat tertentu, regionalisme ASEAN menampilkan ben tuk lembaga supranasional, yang memiliki kekuatan mempengaruhi ke-bijakan domestik negara ang gotanya. Pada tingkat paling sederhana, ASEAN sebagai lembaga supranasional me-lakukan pe ngaruhnya paling ti dak da-lam tindakan komunikasi a n tarnegara, yang termapankan dalam bentuk hubungan diplomasi itu sendiri.

1JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

Artikel

Page 7: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

B. ASEAN SEBAGAI REGIONA LIS-ME: Aspek Historis Non-Blok.Persoalan yang lebih penting se-

benarnya adalah dalam hal pengaruh ASEAN sebagai lembaga luar nega-ra yang dapat mempengaruhi nega-ra anggotanya dalam dua konteks. Per tama, terkait dengan sifat negara sebagai lembaga tertinggi secara le-gal-formal terhadap penduduk dalam wilayahnya. Hal ini jelas berimplikasi pada konsep “tidak ada lembaga yang lebih tinggi di atas negara terhadap rakyat dalam batas-batas teritorial-nya”. Di sisi lain, ASEAN sebagai se-buah lembaga selalu melakukan re-definisi mengenai posisinya terhadap negara-negara anggota melalui konfe-rensi atau pertemuan-pertemuan yang dilakukan untuk membentuk kebijakan atau kesepakatan antarnegara. Kedua, posisi negara yang menempatkan diri sebagai anggota ASEAN yang meng-hasilkan kebijakan domestik dalam ber bagai sektor.

Dalam hal ini, artikel ini akan me-nge sampingkan perbincangan me nge -nai bagaimana penerapan lapang an atas kebijakan-kebijakan tersebut; me lainkan akan lebih fokus secara konseptual, di mana negara anggota menerima posisi nya sebagai anggo-ta dan menerima pengaruh lembaga supranasional tersebut dengan pro-duk-produk kebijakannya dan tindakan politis berkaitan dengan diplomasinya.

Association of South-East Asia Na-tions (ASEAN) didirikan pada 8 Agus-tus 1967 dengan anggota pertamanya Indonesia (diwakili Adam Malik), Ma-laysia (Tun Abdul Razak), Filipina (Nar-cisco Ramos), Singapura (S. Rajarat-nam), dan Thailand (Thanat Koman). Pertemuan pertamanya melahirkan Deklarasi Bangkok, dengan tujuan peningkatan pertumbuhan ekonomi, sosial, kebudayaan, perdamaian, dan stabilitas negara anggota. Anggota

berikutnya adalah Brunei Darussalam (resmi terdaftar pada 7 Januari 1984), Vietnam (28 Juli 1995), Myanmar (23 Juli 1997), Laos (23 Juli 1997), dan Kamboja (16 Desember 1998) yang menyusul bergabung.

Prinsip-prinsip utama ASEAN da-lam pembentukannya mencakup be-berapa hal, antara lain: Menghormati kemerdekaan, kedaulatan, kesamaan, integritas wilayah nasional, dan iden-titas nasional setiap negara; Hak un-tuk setiap negara untuk memimpin kehadiran nasional bebas daripada campur tangan, subversif atau koersi pihak luar; Tidak mencampuri urusan domestik sesama negara anggota; Penyelesaian perbedaan atau perde-batan dengan damai; Menolak peng-gunaan kekuatan yang mematikan; dan Kerjasama efektif antara anggota.

Pembentukan ASEAN yang di atas kertas mencoba menjalankan fungsi koordinatif, bagaimanapun menjadi bentuk dari regionalisme dalam ka-wasan Asia Tenggara. Regionalisme di Asia Tenggara yang mendapat-kan bentuknya melalui ASEAN pada 1967 berawal dari kekhawatiran ne-gara-negara di kawasan ini menge-nai isu stabilitas: ini adalah periode awal negara yang baru merdeka saat itu. Regionalisme ini juga —langsung maupun tidak langsung— dipengaruhi kondisi Perang Dingin yang sedang terjadi.

Apa yang terjadi saat itu adalah adanya pengaruh bipolar dan adanya kepentingan Indonesia untuk tidak me rapat kepada satu poros politik du-nia (blok Barat dengan pasukan sekutu dan NATO, dan blok Komunis de ngan Uni Soviet dan aliansinya). Perang Di-ngin sendiri berlangsung sejak pasca Perang Dunia II (PD II) antara periode 1947-1991.

Uni Soviet dengan negara-negara di kawasan Eropa Timur yang didudu-

2 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

REGIONALISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBIJAKAN DOMESTIK NEGARA ANGGOTA: Bagaimana ASEAN terhadap Indonesia?Sayfa Auliya Achidsti

Page 8: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

kinya membentuk Blok Timur. Di sisi lain, agenda pembangunan Amerika Serikat (AS) pasca PD II di kawasan Eropa Barat membawa Rencana Mar-shall (Marshall Plan); sedangkan Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet membentuk agenda Council of Mutual Economic Assistance (Comecon) yang berkegiatan pada sekitaran periode Perang Dingin 1949-1991. Kubu AS membentuk aliansi militer NATO pada 1949 dan Uni Soviet membentuk Pakta Warsawa pada 1955. Beberapa negara lain yang memilih untuk tidak memi-hak kedua blok tersebut membentuk Gerakan Non-Blok.

Perang Dingin berpengaruh ter-hadap adanya konsep regional-isme pada periode tersebut. Negara baru dan negara yang memilih tidak memihak, tidak bisa berdiri sendiri. Gerakan Non-Blok adalah cara me-reka menempatkan diri (positioning) sekaligus pe ngamanan politik dan diplomasinya. Hal yang kurang-lebih sama terjadi pada sebab-sebab mun-culnya regionalisme Asia Tenggara ini. Isu konflik dan keamanan nega-ra-negara berkembang muncul se-bagai pertimbangan. Memang aliansi di bawah kedua blok tersebut bukan negara-negara yang memiliki pengala-man dalam aksi militer untuk perang lapangan. Namun, ketegangan muncul sebab masing-masing kubu memiliki senjata nuklir sebagai potensi perang dengan kehancuran yang besar.

Periode selanjutnya pada saat Perang Dingin berlangsung menyebab-kan adanya krisis di berbagai negara, misalnya konflik militer regional dalam Blokade Berlin (1948-1949), Perang Korea (1950-1953), Krisis Suez (1956), Krisis Berlin (1961), Krisis Rudal Kuba (1962), Perang Vietnam (1959-1975), Perang Yom Kippur (1973), Perang Af-ghanistan (1979-1989), dan peristiwa pe nembakan penerbangan Korean Air

007 oleh Soviet (pada 1983).Di lapangan, ketidakstabilan tidak

hanya terjadi akibat adanya ketegang-an antarblok. Ketidakstabilan dalam ne geri mengakibatkan pula jatuhnya banyak korban dan kerugian ekonomi negara. Penolakan terhadap peme-rintahan berkuasa, aksi demonstra-si, hingga upaya-upaya menjatuhkan rezim menjadi rangkaian gerakan yang muncul pada periode ini.1

Kemunculan Perang Dingin itu sendiri ditandai dengan perubahan drastis dalam budaya politik di bebe-rapa negara, tidak terkecuali negara besar seperti AS. Dalam politik luar negeri—yang begitu mempengaruhi perspektif masyarakat AS di dalam negeri—terlahir persepsi paranoid terhadap komunisme sebagai musuh yang kejam yang berniat untuk men-dominasi dunia.2 Beberapa fenomena dalam negeri akibat Perang Dingin seperti suasana ancaman, proyek in-vestigasi, tes kesetiaan, dan kebijakan anti-subversi muncul sebagai respon pemerintah negara-negara yang terli-bat dalam ketegangan tersebut.

Dengan adanya perubahan kons-telasi politik internasional dan kondi-

1. Lihat Philip G. Altbach (Ed.), Politik dan Ma-hasiswa, terj. (Jakarta: PT Gramedia, 1995). Dalam buku ini terdapat beberapa tulisan mengenai gerakan mahasiswa dan sosial di beberapa negara yang melakukan tuntutan perubahan kebijakan pemerintahan hingga aksi radikal dalam penolakan pemerintahan.

2. Ori Landau, “Cold War Political Culture and the Return of the Systems Rationality”, dalam Human Relations 59.5 (May, 2006); G.M. Lyons, The Uneasy Partnership: Social Science and the Federal Government in the Twentieth Century (New York: Russell Sage Foundation, 1969); R. Polenberg, One Nation Divisible (Harmondsworth: Penguin, 1980); P. Boyer, By the Bomb’s Early Light (New York: Pantheon Books, 1985); J.P. Dig-gins, The Proud Decades (New York: W.W. Norton, 1988); S.J. Whitfield, The Culture of the Cold War (Baltimore, MD: Johns Hopkins University Press, 1991).

3JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

REGIONALISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBIJAKAN DOMESTIK NEGARA ANGGOTA:

Bagaimana ASEAN terhadap Indonesia?Sayfa Auliya Achidsti

Page 9: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

si konflik tersebut, beberapa bentuk regi onalisme yang terbentuk ber awal dari sebab-sebab ketidakstabilan glo-bal yang dikhawatirkan akan berpe-ngaruh dalam kestabilan domestik. Paling tidak terdapat tiga faktor yang menjadi sebab terjadinya regionalisme di kawasan Asia Tenggara.

Pertama, adanya kesamaan kondi-si negara-negara di kawasan ini yang mayoritas adalah negara baru pas-ca-kolonialisme. Pada kurun waktu di sekitar PD II yang mengakibatkan banyak negara kolonial mengalami ketidakstabilan, banyak negara jajah-an memerdekakan diri.

Kedua, kesamaan bahwa nega-ra-negara di kawasan ini bukan men-jadi sentrum penyebar ideologi, me-lainkan lebih sebagai arena perebutan pengaruh ideologi. Secara umum, be-berapa negara memilih menjauh dari blok komunis. Terutama Indonesia se-bagai salah satu inisiator yang memi-liki sejarah yang menempatkan Par-tai Komunis Indonesia (PKI) sebagai pihak yang dikambinghitamkan pada Peristiwa G30S 1965. Paling tidak, lima negara pendiri ASEAN pertama merupakan negara yang menjauh dari blok komunis.

Ketiga, persamaan kondisi bahwa negara-negara di kawasan Asia Teng-gara relatif memiliki persamaan etnis. Walau demikian, alasan pertama dan terutama alasan kedualah yang men-jadi sebab ide regionalisme ASEAN dilaksanakan di Asia Tenggara.C. POLITIK GLOBAL TERHADAP

REGIONALISMEPada periode awal terbentuknya

ASEAN, gagasan mengenai kestabilan di tengah kondisi Perang Dingin dan ide tentang persamaan etnisitas cukup kuat. Namun, dengan semakin berku-rangnya ketegangan kondisi Perang Dingin dan rangkaian protes sosial di dalam negeri, isu kerjasama ekonomi

mulai dijadikan pertimbangan dalam regionalisme. Tahun 1980-an adalah masa di mana proyek regionalisme di-pandang dengan kekurangpercayaan publik dengan fungsi hanya sebagai “penjaga keamanan” di satu wilayah kawasan.

Doktrin Washington Consensus oleh Ronald Wilson Reagan (Presiden AS 1981-1989) dan Margaret Tatcher (PM Britania Raya 1979-1990) membuat konsep regionalisme lama ditinggal-kan.3 Hal ini ditandai dengan hancur-nya Pakta Warsawa dan melemah-nya NATO. “Regionalisme lama” yang dilandasi pada keamanan regional pada kondisi Perang Dingin, beralih menjadi “regionalisme baru” yang le-bih bertolak pada hubungan diplomasi dalam kepentingan ekonomi.

Beralihnya “regionalisme lama” pa da “regionalisme baru” ini sendiri memiliki proses yang tidak sederha-na. Di awal dekade 1980-an, banyak negara berkembang mengalami kri-sis ekonomi sebab faktor eksternal

3. Washington Consensus pertama kali diperke-nalkan oleh John Williams pada 1989 yang menjelaskan mengenai kebijakan ekonomi yang perlu dijadikan standar reforma-si di negara berkembang. Rekomendasi Washington Consensus tersebut antara lain adalah: 1) Disiplin anggaran pemerintah; 2) Pengarahan pengeluaran pemerintah dari subsidi ke belanja sektor publik, terutama di sektor pendidikan, infrastruktur, dan kesehatan, sebagai penunjang pertumbuhan dan pelayanan masyarakat kelas menengah ke bawah; 3) Reformasi pajak, dengan memperluas basis pemungutan pajak; 4) Tingkat bunga yang ditentukan pasar dan harus dijaga positif secara riil; 5) Nilai tukar yang kompetitif; 6) Liberalisasi pasar dengan menghapus restriksi kuantitatif; 7) Penerapan perlakuan yang sama antara investasi asing dan investasi domestik se-bagai insentif untuk menarik investasi asing langsung; 8) Privatisasi BUMN; 9) Deregulasi untuk menghilangkan hambatan bagi pelaku ekonomi baru dan mendorong pasar agar lebih kompetitif; dan 10) Keamanan legal bagi hak kepemilikan

4 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

REGIONALISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBIJAKAN DOMESTIK NEGARA ANGGOTA: Bagaimana ASEAN terhadap Indonesia?Sayfa Auliya Achidsti

Page 10: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

(kondisi global) dan internal (keku-rangan modal). Hal ini mengakibat-kan adanya tren utang luar negeri yang meningkat pada negara-negara baru. Negara-negara di Amerika La-tin, Asia, dan Afrika melakukan respon krisis dengan mengubah kebijakan domestik secara struktural: dari sen-tralisasi menjadi desentralisasi. Dalam pengaruh wacana global, tren desen-tralisasi semacam ini dapat memiliki kaitan dengan konsep yang diusung Washington Consensus, misalnya pada kebijakan substitusi impor, pembukaan kran mekanisme pasar, dan liberalisasi aset negara.

Berakhirnya Perang Dingin memun-culkan berbagai bentuk regionalisme di berbagai kawasan. Penerimaan Vietnam, Kamboja, dan Laos sebagai anggota baru ASEAN meskipun nega-ra-negara tersebut memiliki kedeka-tan dengan komunisme adalah bukti bahwa “regionalisme lama” ASEAN telah ditinggalkan, dan beralih pada kepentingan ekonomi. Pembentukan ASEAN Economic Community 2015 (yang kemudian direvisi targetnya menjadi tahun 2015 dalam AEC Blue-print 2025) yang bertumpu pada tiga konsep besar (keamanan, ekonomi, dan sosial-budaya) menyisakan sek-tor ekonomi menjadi fokus riil dalam agenda-agendanya.

Di awal terbentuknya ASEAN, fokus pembahasan berada dalam isu poli-tik dan stabilitas keamanan dengan pendekatan “ASEAN Way”, memben-tuk identitas bersama sebagai dasar pemecahan masalah antarnegara ASE-AN. Beberapa perjanjian yang kemu-dian muncul dan diterapkan seperti Zone of Peace, Freedom, and Neutrali-ty (ZOPFAN) pada 1971, Treaty of Ami-ty and Cooperation (TAC) yang dikenal sebagai Bali Concord I adalah bentuk kebijakan dari ide “regionalisme lama” ASEAN.

Deklarasi ZOPFAN ditandatangani pada 27 November 1971 sebagai ke-se pakatan ASEAN sebagai kawasan damai dan netral menggagas adanya pembentukan Southeast Asia Nuclear Weapon Free Zone (SEANWFZ) un-tuk “mengamankan” wilayah ASEAN dari adanya nuklir. Pada 29 Juli 2007 akhirnya ASEAN bersepakat untuk mengadopsi gagasan SEANWFZ untuk pembentukan kawasan bebas nuklir. Protokol ini juga terbuka bagi pena-nda tanganan oleh RRC, Perancis, Ru-sia, Inggris, dan AS.

Walaupun kemudian alasan-alasan “regionalisme lama” ASEAN seperti kekhawatiran terhadap perang du nia dan rangkaian protes pada Perang Dingin telah usai, pada kenyataannya banyak kesepakatan yang dilakukan ASEAN merupakan pengaruh dari tun-tutan tren negara maju. Terlebih per-soalan ekonomi, reformasi kebijakan negara adalah salah satu fokus yang pada akhirnya menjadi perhatian dari perjanjian-perjanjian yang melibatkan negara-negara anggota ASEAN.

Kontradiksinya adalah, ASEAN Way merupakan manifestasi dari regiona-lisme gaya lama yang mencoba mem-buat demarkasi identitas dengan poros kekuatan global lain. Perjanjian yang telah disebut di atas pada kenyataan-nya lebih memunculkan perdebatan konseptual daripada menyelesaikan masalah lintasnegara ASEAN. Lebih jauh, ASEAN Way yang dibentuk se-bagai penyadaran identitas bersama (collective identity recognition) ti-dak mampu memunculkan implikasi ekonomi-politik dalam dunia global. Perjanjian ekonomi dan investasi asing yang masuk ke kawasan ASEAN ma-sih berupa aktivitas yang tidak mem-bentuk industrialisasi dan perputaran modal dalam lingkup regional ini.

Krisis ekonomi Asia pada 1997/1998 memberikan pengaruh langsung pada

5JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

REGIONALISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBIJAKAN DOMESTIK NEGARA ANGGOTA:

Bagaimana ASEAN terhadap Indonesia?Sayfa Auliya Achidsti

Page 11: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

ASEAN, dengan fokus kerjasama an-tara negara anggota pada peningka-tan “competitiveness” kawasan untuk menarik investasi. Pada 1972, ASEAN membentuk Preferential Trade Agree-ment (PTA) yang mengalami kegaga-lan.4 Dengan adanya krisis ekonomi Asia tahun 1997/1998, peran organi-sasi internasional seperti International Monetary Fund (IMF) menguat dalam kaitannya dengan organisasi regio nal. ASEAN menarik IMF untuk percepa-tan perbaikan ekonomi, yang pada akhir nya berimplikasi pada perubahan model integrasi ASEAN. Pembentu-kan ASEAN plus 3 (APT) dan ASEAN Vision 2020 adalah reaksi atas krisis. Pelaksanaan berikutnya adalah penan-datanganan Hanoi Plan of Action yang berjalan selama enam tahun sebagai rangkaian ASEAN Vision 2020 terse-but.

Kegiatan ASEAN dikoordinasikan oleh Sekretariat ASEAN, yang ber-basis di Jakarta, Indonesia. Pada perkembangannya, para pemimpin ASEAN mengatakan bahwa AEC berni-at melakukan integrasi populasi lebih dari 566 juta penduduk dan produk domestik bruto lebih dari 1,1 triliun dolar AS. Landasan AEC adalah ASEAN di Area Perdagangan Bebas (ASEAN Free Trade Area/AFTA) yang merupa-kan skema tarif umum eksternal pre-ferensial untuk mempromosikan aliran bebas barang dalam ASEAN.5 Un-

4. Lihat Gerald Tan, ASEAN Economic Devel-opment and Cooperation (Singapore: Times Media Pvt., Ltd., 2003).

5. Kesepakatan AEC ditandatangani pada No-vember 2007 dengan tujuan adanya sebuah pasar tunggal, tetapi hal ini terkendala persoalan ketiadaan eksekutif pusat yang kuat atau badan yang berkembang dengan hukum. Namun demikian, oleh Suppanunta Romprasert, hal ini disebutkan sebagai kega-galan untuk mengintegrasikan pasar ASEAN beragam berarti hilangnya investasi dan peluang ekonomi untuk pesaing regional, seperti China dan India. Sebagai dampak

sur-unsur lain dari integrasi ekonomi, seperti arus bebas investasi dan jasa dan penghapusan hambatan non-tarif telah ditambahkan.6

Menarik untuk mencermati bagai-ma na dampak lanjutan adanya AEC bagi negara-negara anggota ASEAN. Dalam tulisan Romprasert mengenai keberlanjutan ekonomi makro ne-gara ASEAN, dikatakan bahwa ketika AEC diaktifkan, Thailand dan anggota ASEAN lainnya akan menghadapi pe-rubahan besar dalam keuntungan dan kerugian. Thailand sendiri merupakan salah satu negara pengekspor besar di dunia. Dalam hal ini, ekspor dijadi-kan ukuran untuk melihat pengaruh perubahan kondisi makro ekonomi di sebuah negara. Disebut bahwa kese-pakatan AEC yang diturunkan dalam bentuk kebijakan ekonomi pemerintah Thailand menimbulkan peningkatan nilai pendapatan domestik bruto (PDB) dan ekspor. Di samping itu, laporan menunjukkan AEC memiliki pengaruh dalam penurunan tingkat penganggu-ran di Thailand.7

Hampir seperti European identi-ty pada regionalisme Uni Eropa (UE), ASEAN Way menjadi semacam satu kode formal dalam mengarahkan kese-pakatan-kesepakatan negara ang gota ASEAN dalam kebijakan yang akan dilakukan. Dengan adanya latar be-lakang pembentukan ASEAN yang le-bih pada landasan diplomasi tersebut,

dari pembentukan AEC telah meningkatkan ekspor, yang merupakan faktor yang paling penting yang berkontribusi terhadap PDB, dan kemudian dihubungkan bersama-sama dengan variabel ekonomi makro lainnya seperti tingkat pengangguran, nilai tukar riil. Lihat Suppanunta Romprasert, “Asian Eco-nomic Community with Selected Macroeco-nomic Variables for Exports Sustainability”, dalam International Journal of Economics and Financial Issues, Vol. 3, No. 3/2013.

6. ASEAN Annual Report 2008-2009 (2009).7. Romprasert (2013).

6 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

REGIONALISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBIJAKAN DOMESTIK NEGARA ANGGOTA: Bagaimana ASEAN terhadap Indonesia?Sayfa Auliya Achidsti

Page 12: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

kebijakan yang diadakan kurang ber-dasar pada kepentingan dasar negara anggota.8 Perbedaan antara UE de-ngan ASEAN dalam regionalisme pada persoalan ini memang jelas. Seperti, bahwa UE menerapkan regionalisme institusional dan ASEAN lebih dalam bentuk yang cair. Sifat kebijakan ASE-AN secara organisasional masih lebih cenderung sebagai reaksi atas kondisi global.

UE secara kelembagaan memiliki pengaruh yang relatif mengikat dalam kebijakan di kawasan Eropa. Hal ini karena sifat dari lembaga, yang ter-utama bergerak dalam kepentingan ekonomi-politik. Beberapa hal dapat menjelaskan perbedaan model antara ASEAN dan UE.

Pertama, UE memiliki negara de-ngan kekuatan ekonomi yang dapat mempengaruhi ekonomi internasional, sedangkan ASEAN merupakan organi-sasi dengan anggota negara-negara baru yang terpengaruh global.

Kedua, pembentukan UE awalnya adalah motif ekonomi, yaitu kebutu-han adanya otoritas administrasi ber-sama untuk mengurus industri batu bara dan baja yang dimiliki Perancis dan Jerman. Pada perkembangan-nya, negara yang bergabung adalah negara dengan kepentingan ekonomi yang relatif sama. Pada “peresmian” organisasi UE, negara-negara ber-gabung untuk kepentingan ekonomi di mana forum ekonomi yang telah ada sebelumnya semakin menguat dalam diplomasi. Sedangkan, ASEAN diben-tuk dengan kepentingan taktis (jangka pendek dan reaktif) dengan adanya ketegangan dua blok negara besar saat itu.

8. Lihat tulisan Gillian Goh, “The ‘ASEAN Way’: Non Intervension and ASEAN’s Role in Con-flict Management”, dalam Stanford Journal of East Asian Affairs, Vol. 3, No. 1 (2003).

Ketiga, hal yang sekaligus menjadi kelemahan ASEAN adalah adanya visi yang mengasumsikan bahwa ASEAN dapat bergerak dalam sektor kebu-dayaan dengan melihat persamaan relatif kebudayaan negara-negara ang gota. Dalam hal ini mungkin per-samaan akan dapat ditemukan secara parsial.9 Namun, dalam konteks regio-nalisme, hal ini menjadi masalah kare-na kebudayaan yang dimiliki antarne-gara berbeda. Belum lagi bahwa selain persoalan perbedaan kebudayaan,10 visi ASEAN sebagai organisasi regio nal yang mengusung tema kebudayaan akan sulit menemukan indikator pen-capaian dalam kegiatan integrasi bu-daya ini. D. KEPUBLIKAN DIPLOMASI D A -

LAM KEBIJAKAN NASI ONALSeperti yang telah dijelaskan, dalam

perkembangan ASEAN, perjanjian dan kesepakatan yang dilakukan dalam forum regional tersebut telah dapat mempengaruhi munculnya kebijakan domestik, bahkan beberapa telah mempengaruhi pola kebijakan domes-tik. Dalam konteks Indonesia sendiri, terdapat beberapa kebijakan menarik terkait dengan pengaruh diplomasi negara-negara di kawasan Asia Teng-gara—yang pada perkembangannya sangat mempengaruhi pembangunan Indonesia hingga hari ini.

Salah satu contohnya adalah ke-bijakan yang melibatkan beberapa negara dalam program Revolusi Hijau. Program ini menggambarkan peruba-han yang sangat fundamental dalam penggunaan teknologi pertanian yang dimulai pada 1950-an hingga 1980-an. Program ini diterapkan di banyak

9. Oleh karena itu, saya menyebut dengan “persamaan relatif” (dalam tanda kutip).

10. Lihat Shaun Narine, Explaining ASEAN: Re-gionalism in Southeast Asia (London: Lynne Rienner Publishers Inc., 2002).

7JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

REGIONALISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBIJAKAN DOMESTIK NEGARA ANGGOTA:

Bagaimana ASEAN terhadap Indonesia?Sayfa Auliya Achidsti

Page 13: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

ne gara berkembang, terutama di Asia sebagai daerah dengan pertanian yang masih dilakukan sebagai peker-jaan mayoritas penduduk dengan cara tra disional. Target program ini adalah kecukupan bahan pangan di nega-ra-negara yang mengalami kekurang-an pangan, seperti di Bangladesh, Cina, Vietnam, India, Indonesia, dan beberapa negara lain.

Revolusi Hijau sendiri pada a khirnya menjadi program paradigmatik, de-ngan perubahan pola pikir dan pola kebijakan pemerintah terkait dengan pertanian melalui empat pilarnya, ya-itu: sistem irigasi, penggunaan pupuk kimia, pestisida, dan varietas unggu-lan. Program ini diinisiasi oleh dua or-ganisasi donor internasional, Ford dan Rockefeller Foundation. Kedua organi-sasi ini pun telah mengembangkan gandum di Meksiko (pada 1950) dan padi di Filipina (1960). Istilah Revolu-si Hijau digunakan pertama kali pada 1968 oleh mantan direktur USAID, Wil-liam Gaud, yang menggunakan kon-sep ini sebagai instrumen kebijakan multinasional. Walaupun tidak secara langsung dilakukan kerjasama atas nama perjanjian institusional melalui ASEAN, pada kenyataannya Revolusi Hijau merupakan program yang diikuti Indonesia oleh karena pengaruh diplo-masi dan kondisi ekonomi-politik yang mengharuskan pemerintah Indonesia mengikutinya.

Hal yang menarik di sini adalah penerapan Revolusi Hijau yang mulai dilakukan pada pemerintahan Presiden Soeharto. Rezim Orde Lama ini mene-rapkan konsep “Pembangunanisme” dalam sistem kebijakannya. Pada ta-hun 1984-1989, Indonesia mencapai swasembada beras. Namun, terdapat fakta bahwa Revolusi Hijau ini tidak kompatibel diterapkan sebagai kebi-jakan pertanian di Indonesia. Alih-alih membawa dampak positif dan

berkelanjutan, Revolusi Hijau justru membawa pengaruh yang tidak me-nguntungkan secara jangka panjang. Adanya kedekatan pemerintahan Soeharto dengan Barat mengarahkan kebijakan ke arah akomodasi modal asing, berikut dengan beberapa ke-bijakan struktural yang turut berubah mengikuti adanya kekuatan modal tersebut.11 Hal ini menjadi persoalan yang lebih kompleks mengingat bahwa pada latar belakang sejarah ASEAN, In-donesia menempatkan diri pada posisi depan sebagai inisiator. Tercatat bah-wa dampak negatif yang justru terjadi berkelanjutan dengan adanya Revolusi Hijau adalah: 1) penurunan produksi pangan protein, karena pengembang-an pangan karbohidrat tidak diimbangi dengan penguatan pangan ternak; 2) berkurangnya keanekaragaman haya-ti dengan drastis dengan adanya ke-harusan penggunaaan bibit yang te-lah disepakati; 3) ketidakseimbangan alam dengan pemakaian pupuk kimia; dan 4) munculnya hama jenis baru dengan pemakaian pestisida.

Dampak lanjutan setelahnya, jus tru menjadi persoalan struktural dalam negeri yang rumit untuk dipecahkan. Dengan penerapan kebijakan paradig-matik adanya Revolusi Hijau ini, masa pemerintahan Presiden Soeharto lebih tampak sebagai penyeragaman bahan pangan pokok (beras) di seluruh In-donesia. Hasilnya, kebutuhan pang an pokok yang sebelumnya tidak menja-di masalah karena beragamnya tradisi terkait pertanian dan penyediaan pa-ngan lokal, berubah menjadi kebutu-

11. Untuk lebih jelas melihat hubungan an-tara modal asing yang masuk dan pen-garuhnya pada pola kebijakan dan aspek ekonomi-politik Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, lihat Jefrey A. Winters, Power in Motion: Capital Mobility and the Indonesian State (AS: Cornell Uni-versity Press, 1996).

8 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

REGIONALISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBIJAKAN DOMESTIK NEGARA ANGGOTA: Bagaimana ASEAN terhadap Indonesia?Sayfa Auliya Achidsti

Page 14: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

han akan satu jenis pangan meningkat. Ujungnya, pasca program pendampi-ngan dan donasi Revolusi Hijau, terjadi kekurangan bahan pa ngan dan impor bahan pangan pokok di Indonesia.

Dapat dilihat bahwa pola kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah In-donesia lebih cenderung sebagai reak-si terhadap kepentingan-kepentingan negara lain yang diinstitusionalkan sebagai kesepakatan regional mau-pun kondisi global. Hal ini lebih terlihat pasca pemerintahan Presiden Soekar-no berakhir dan digantikan dengan Presiden Soeharto yang memilih un-tuk mendekatkan diri pada blok Barat. Implikasinya, mekanisme pasar adalah pilihan kebijakan yang lebih banyak digunakan oleh pemerintah, terma-suk dengan adanya regionalisme yang mulai menguat sebagai representasi kepentingan ekonomi melalui ASEAN.

Dalam konteks program Revolu-si Hijau, pola pembangunan dengan gaya pendampingan pada akhirnya berkembang hingga sekarang. Adanya beberapa program yang coba diterap-kan belakangan ini merupakan model yang dilakukan sejak adanya keterbu-kaan pemerintah Indonesia pada lem-baga donor yang mengajukan skema pendampingan tersebut.

Masih terdapat beberapa kesepa-katan yang melibatkan ASEAN secara institusional dalam kebijakan domes-tik secara langsung. Hal ini memang kemudian dapat dipahami dalam per-soalan bagaimana menjalin hubung-an antarnegara (diplomasi). Namun, diplomasi yang dibangun pemerintah Indonesia agaknya mengarah pada pengaruh eksternal (luar negeri) yang dibawa ke dalam. Menarik jika melihat tesis Rajesh Kumar bahwa diplomasi yang dilakukan Indonesia merupa-kan partisipasi aktif dan mandiri dari kepentingan nasional Indonesia yang

terwujud sebagai politik non-blok.12 Namun, hal yang lebih tampak pada akhirnya adalah pengaruh kepenti-ngan dari negara-negara maju dengan paradigma yang disebarkan melalui ins trumen kebijakan pendampingan dan program penyesuaian struktural-nya. ASEAN sendiri, jika dilihat dalam struktur besar ekonomi-politik ini, me-ru pakan hasil dari konstelasi yang ter-bentuk dari kepentingan negara ma-ju.13

Perubahan paradigma pembangu-nan yang tampak pada pola kebi-jakan pemerintah Indonesia, dapat ditelusuri dengan pilihan konsep Pembangunanisme yang diterapkan pemerintahan Soeharto dengan meli-hat Barat sebagai model ideal tujuan pembangunan, yang secara mendasar terkait dengan aspek ekonomi. Dalam konteks ASEAN, hal ini membawa pe-ngaruh langsung secara diplomasi dengan paradigma “good neighbour-hood policy” (kebijakan yang mewa-jahkan negara tetangga yang baik).

Melihat beberapa perjanjian melalui ASEAN, ZOPFAN dan SEANWFZ misal-nya, lebih tampak sebagai bentuk dari model diplomasi good neighbourhood policy dengan tidak adanya program

12. Pendapat Kumar tentang diplomasi Indone-sia ini dapat dilihat dalam bukunya, dalam Rajesh Kumar, Non-Alignment Policy of Indonesia (Jakarta: Centre for Strategic and International Studies, 1997).

13. Terdapat artikel mengenai kontestasi antara AS dan Cina dalam kawasan Asia Pasifik melalui adanya perdagangan bebas. Dalam artikel yang berfokus pada bagaimana AS dan Cina melakukan persaingan dalam mendapatkan pengaruh pada kerjasama perdangangan tersebut, dapat dilihat bahwa ASEAN merupakan satu bagian yang kurang memiliki pengaruh aktif dalam kontrol dan pengarahan perdagangan bebas antar-negara. Lihat Ling Ling He dan Razeen Sappideen, “Free Trade Agreements and the US-China-Australia Relationship in the Asia-Pacific Region”, dalam Asia Pacific Law Review 21.1 (2013).

9JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

REGIONALISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBIJAKAN DOMESTIK NEGARA ANGGOTA:

Bagaimana ASEAN terhadap Indonesia?Sayfa Auliya Achidsti

Page 15: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

lebih lanjut yang konkrit. Dalam kon-teks kebutuhan publik, ZOPFAN (dite-rapkan ASEAN pada 1971) dan SE-ANWFZ (yang dikenalkan Indonesia pada 1983) bukan merupakan cermi-nan dari kebutuhan publik Indonesia saat itu. Situasi krisis ekonomi dengan tergesernya pembangunan ekonomi riil non-migas pada periode tersebut justru lebih mengharuskan Indonesia melakukan proteksi pada produk da-lam negeri dan menerapkan proteksi pada produk luar negeri. Pembentu-kan AFTA, normalisasi hubungan In-donesia-Cina, dan aktivitas Indonesia dalam OPEC (Organization of the Pe-troleum Exporting Countries) adalah beberapa kebijakan diplomatis paling penting pada masa Presiden Soeharto. Sedangkan, pasca Reformasi, kebija-kan-kebijakan seperti Millenium De-velopment Goals (MDG’s) dan Protokol Kyoto menjadi kesepakatan antarne-ga ra yang sangat mempengaruhi kebi-jakan nasional Indonesia.

Dalam hal ini, menarik dilihat bah-wa konsep kepublikan yang masuk dari luar justru lebih mendominasi paradigma kebijakan nasional yang seharusnya lebih berdasarkan pada kepentingan dan kebutuhan nasional Indonesia. Secara konseptual, kepu-blikan sendiri merupakan kajian yang terus berkembang. Dalam perdebatan akademis di lingkungan kampus, ke-publikan masih menjadi hal yang be-lum disepakati pemaknaannya. Perta-ma, apakah kepublikan merupakan konsep yang lebih terkait pada per-soalan manajemen dan partisipasi warga.14 Atau, Kedua, persoalan aktor

14. Beberapa artikel mengenai kepublikan dalam perspektif manajemen diutarakan, misalnya pada Jocelyne Bourgon, “Responsive, Re-sponsible, and Respected Government: To-wards a New Public Administration Theory”, dalam International Review of Administrative Sciences 2007; 73; 7; Sanjay K. Pandey,

(apakah kepublikan berurusan dengan siapa aktornya, negara atau swasta).15

Namun, agaknya dua perspektif tersebut belum cukup kontekstual dalam menjelaskan kondisi Indonesia dalam hal kepentingan nasionalnya pada struktur besar ekonomi-politik dunia. Dalam pengaruh regionalisme, misal nya, “kepublikan nasional” belum dapat menemukan bentuknya.E. KOMPATIBILITAS STRUKTUR

EKONOMI-POLITIK INDONE-SIA D A LAM REGIONALISME ASEAN Secara normatif, AEC Blueprint

2025 menjadi komitmen terlembaga yang berawal dari KTT ASEAN ke-27 pada 22 November 2015 di Kuala Lum-pur, Malaysia, memberikan arah yang luas melalui langkah-langkah strategis untuk AEC dari tahun 2016 ke tahun 2025. Melalui komitmen antarnega-ra ini, AEC Blueprint 2025 bertujuan untuk mencapai sistem yang integrasi dan terpadu, kompetitif, inovatif, dina-mis, dan konektivitas kerjasama sek-toral untuk visi persaingan global.

AEC membayangkan bahwa melalui langkah deregulasi dan peniadaan kuota serta hambatan-hambatan per-dagangan re gi onal, maka anggotanya akan meningkat kapasitasnya dalam persaingan ekonomi global. Memang,

“Cutback Management and the Paradox of Publicness”, dalam Public Administration Review (Jul/Aug, 2010); dan Udo Pesch, “Publicness of Pubic Administration”, dalam Administration & Society, Vol. 40,2 (2008).

15. 15 Lihat M. Shamsul Haque, “The Diminish-ing Publicness of Public Service under the Current Mode of Government”, dalam Public Administration Review (Jan/Feb, 2001); Jonathan G.S. Koppell, “Administration With-out Borders”, dalam Public Administration Review (December 2010); dan Stephanie Moulton, “Putting Together the Publicness Puzzle a Framework for Realized Publicness”, dalam Public Administration Review (Sept/Oct, 2009).

10 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

REGIONALISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBIJAKAN DOMESTIK NEGARA ANGGOTA: Bagaimana ASEAN terhadap Indonesia?Sayfa Auliya Achidsti

Page 16: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

Tabel 1.Perkembangan Penerapan Integrasi Ekonomi di ASEAN menurut Sektor *

Tariffs Non-tariff Measures Trade Procedures Services Tariffed goods

Tariffed amount

Standards & regulations

Other non-tariff

measures **

Single window status

Single window trade

Customs Trade speed

Trade cost

Services restrictive-

ness

FDI restrictions

Labor mobility

Average Lowest

Agriculture-fisheries

91 88 57 70 71 75 57

Rubber 93 98 98 96 71 82 58Wood 94 99 96 75 68 80 58Textiles 96 99 99 73 81 82 58Auto 94 94 94 39 81 77 39Electronics 98 99 57 62 81 76 57Consumer 94 99 60 56 81 76 56Resources ***

84 93 79 89 70 58 61 85 94 61 78 58

Air travel 71 61 66 61e-ASEAN ****

60 47 n/a**** 54 47

Health care 33 83 10 42 10Tourism 72 90 30 64 30Logistics 46 94 70 46Finance 59 64 62 59Telecom 60 47 n/a**** 54 47Average 93 96 80 70 70 58 61 85 94 57 72 20 69 20

Sumber: McKinsey Global Institute (2014)* Berdasar pada perhitungan pada Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam. Sedangkan Brunei Darussalam, Kamboja, Lao People’s Democratic Republic, dan Myanmar tidak termasuk.** Termasuk biaya administratif, perijinan,. lisensi impor, quantity control, pajak internal, and pembatasan-pembatasan.*** Termasuk pertambangan dan migas.**** Kesiapan konektivitas digital, local content, e-commerce, pasar untuk ICT and layanannya, pengembangan skill, and e-governance.***** Sektor-sektor yang tidak tercakup pada perjanjian atau kesepakatan.

11JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

REGIONALISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBIJAKAN DOMESTIK NEGARA ANGGOTA:

Bagaimana ASEAN terhadap Indonesia?Sayfa Auliya Achidsti

Page 17: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

Tabel. 2Total Arus Masuk FDI ASEAN 2013-2014 Berdasar Komoditas (juta USD)

12

Commodities 2013 2014Agriculture, forestry, and fishing 2,346.0 4,492.6Mining and quarrying 8,042.2 7,295.1Manufacturing 33,342.1 22,215.4Electricity, gas, steam and air conditioning supply 1,156.8 460.4Water supply; sewerage and waste management 602.2 98.2Construction 825.0 1,187.9Wholesale and retail trade; repair of motor vehicles and cycles 13,946.6 17,055.2Transportation and storage 2,802.5 2,612.8Accomodation and food service activities 260.4 158.0Information and communication 2,196.5 2546.9Financial and Insurance activities 28,263.7 43,052.2Real estate activities 9,821.5 10,040.0Professional, scientific and technical activities 711.8 1,048.3Administrative and support service activities 294.9 216.7Education 66.5 61.6Human health and social work activities 127.7 210.5Arts, entertainment and recreation 218.8 (47.4)Other services 9,010.3 19,311.3Other memorandum 3,692.0 4,165.3

Total 117,687.1 136,181.3

secara tekstual, AEC Blueprint 2025 memiliki komitmen dalam memben-tuk integrasi “pasar tunggal” dan “ba-sis produksi tunggal”.16 Namun, pada kenya taannya, hal yang disebut per-tama lebih ditekankan dalam aktivitas AEC, belum pada pembentukan hal yang kedua.

Fakta bahwa AEC Blueprint 2025 belum seluruhnya kompatibel dengan struktur ekonomi-politik negara-nega-ra anggotanya, membuat fungsi dasar AEC mengalami ketimpangan. Pilar pertama AEC bertujuan untuk men-ciptakan pasar dan basis produksi tunggal dan terdiri dari lima unsur: 1) aliran bebas barang, 2) aliran bebas jasa, 3) aliran bebas investasi, 4) ali-ran bebas modal, dan 5) arus bebas tenaga kerja terampil. Pilar pertama tersebut dasarnya merupakan inti dari AEC, dan ada sejumlah prestasi yang patut dicatat di bawah pilar ini. Analisis

16 Lihat ASEAN Investment Report 2015; ASEAN Services Integration Report (2015); dan ASEAN Integration Report 2015

terbaru oleh McKinsey Global Institute (MGI, 2014) menunjukkan bahwa ke-berhasilan di lima unsur tersebut telah sangat tidak merata.

Selain itu, survei yang dilakukan oleh MGI mengungkapkan bahwa 38 per sen dari perusahaan multinasio-nal yang beroperasi di Asia Tenggara, prosedur kepabeanannya yang tidak seragam di seluruh wilayah. Sementa-ra, lebih dari banyak yang tidak mera-sakan terciptanya kemajuan dalam perapian lintas peraturan yang menga-tur komoditas (terutama jasa) yang diperdagangkan. Survei yang sama juga mengungkapkan 5 sektor yang dianggap memiliki tingkat terendah dari harmonisasi lintas batas ASEAN adalah: 1) media dan pemasaran, 2) properti dan konstruksi, 3) komoditas dan energi, 4) barang konsumsi, dan 5) perawatan kesehatan dan obat-obatan.17

17. Jayan Menont & Anna Cassandra Mellendez, “Realizing in ASEAN Economic Community: Progress and Remaining Challenges”, se-

JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

REGIONALISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBIJAKAN DOMESTIK NEGARA ANGGOTA: Bagaimana ASEAN terhadap Indonesia?Sayfa Auliya Achidsti

Page 18: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

AEC Blueprint 2025 berdiri dengan pondasi dalam dua fungsi utama, yaitu ekonomi ke luar (outwards economic) dan sekaligus ekonomi ke dalam (in-wards economic). Keduanya tidak bisa berjalan sendiri-sendiri, melainkan dua hal yang harus terkondisikan dalam satu paket. Regionalisme ASEAN dalam ske-ma ekonomi AEC berada dalam kerangka penguatan ekonomi dan meminimalisir ketimpangan kapasitas ekonomi anta-ranggotanya (capacity levelling). Dengan adanya penguatan kapasitas, komitmen integrasi yang disepakati dalam visi AEC Blueprint 2025 adalah menyediakan ASE-AN sebagai kesatuan pasar dan kesatuan basis produksi. Artinya, rantai ekonomi global dapat melakukan investasi di ne-gara-negara ASEAN dalam satu kesatu-an, serta dapat menerima hasil produksi dari ASEAN dalam satu kesatuan pula.

Mulai pada 2010, ASEAN membuku-kan perolehan tertinggi input investasi dari luar (foreign direct investment/FDI) ASEAN dengan 75,8 milyar USD. Hal ini dalam disebabkan karena tiga faktor utama. Pertama, posisi geografis ASE-AN yang berada pada jalur lintas per-dagangan. Kedua, kondisi bahwa mayo-ritas negara ASEAN merupakan negara berkembang. Ketiga, ASEAN mendapat-kan keuntungan dari kondisi ekonomi global dan arah minat modal para inves-tor. Dengan adanya faktor tersebut, arus intraregional ASEAN mencapai lebih dari 12 miliar USD untuk pertama kalinya se-

bagai ADB Economics Working Paper Series No. 432 (May 2015).

jak 1997. Di ASEAN, belum seluruhnya nega-

ra anggota mempersiapkan perce-patan pembangunan infrastruktur ekonomi-politiknya dalam perubahan skema ekonomi regional ini. Menurut data Bank Dunia, Vietnam dan Myanmar adalah dua negara yang tergolong dapat beradaptasi dengan peluang ekonomi global dan perubahan skema ekonomi regional ini. Kedua negara tersebut meng ubah kebijakan perekonomian dan investasinya sebagai bagian dari sistem global supply chain, dalam industri pelengkap komponen elektronik dan in-dustri otomotif. Pada 2015, di Vietnam, 72 persen modal investasi langsungnya berada dalam sektor manufaktur dan pengolahan (ASEAN Investment Re-port, 2015). Dalam struktur regulasi, perundangan baru tentang investasi di Vietnam dibentuk pada 2014, yang men-gatur tentang sektor-sektor yang dibuka dan didukung dalam investasi asing ma-suk ke dalam.

Melihat dari jumlah terbesar investasi masuk ke ASEAN, terdapat tiga komodi-tas yang menarik jumlah investasi di atas 10 miliar USD, yaitu manufaktur, per-baikan alat industri, dan kredit/asuran-si. Namun, jika dilihat, ketiganya bukan termasuk sebagai komoditas strategis Indonesia.

Memang, dalam sistem ranking, In-donesia termasuk menempati posisi atas di ASEAN diukur dari besaran investasi asing langsung yang masuk. Namun, jika dicermati, target investasi masih berada dalam komoditas yang komposisinya timpang dan tidak menyebar. Pada sek-

Tabel. 3Realisasi FDI di Indonesia Berdasar Lokasi (Q3 2015)

Location Quarter 1 Quarter 2 Quarter 3Project Invest Project Invest Project Invest

Sumatera 417 979,2 525 984,9 461 860,8Jawa 2.155 3.340,8 3.050 4.318,2 2.858 3.781,Bali, NTT, NTB 136 184,8 378 413,0 401 407,2Kalimantan 214 1.205,5 204 962,4 299 1.729,7Sulawesi 147 506,8 206 284,0 218 194,7Maluku 30 32,5 33 17,7 20 165,2Papua 44 313,9 64 392,5 53 261,9

sumber: BPKM 2015

13JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

REGIONALISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBIJAKAN DOMESTIK NEGARA ANGGOTA:

Bagaimana ASEAN terhadap Indonesia?Sayfa Auliya Achidsti

Page 19: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

tor sekunder sebagai sektor yang pro-porsi FDI-nya terbesar, masih dalam ka-tegori industri berat, di mana Indonesia dijadikan tempat investasi produksi yang menyasar pemasaran domestik di Indo-nesia. Sedangkan, sektor tersier yang paling beragam varian komoditasnya, masih terpusat pada investasi di bidang real estate dan properti pendukungnya. Bidang ini pun lebih pada konsumsi dari masyarakat domestik Indonesia. Pada sektor yang diharapkan mampu untuk tumbuh dan mendatangkan profit bagi Indonesia, masih terpusat pada per-tambangan. Artinya, lebih pada industri ekstraktif yang hasilnya dibawa ke luar negeri dalam bentuk mentah dengan nilai ekonomi rendah. Distribusi penana-man investasi, sebagai salah satu ukuran paling jelas dalam melihat distribusi in-frastruktur, di Indonesia masih mengala-mi pemusatan di Jawa.

Hampir di seluruh aspek yang dijadi-kan fokus pada AEC, Indonesia masih lemah. IMD World Talent Report 2015 menunjukkan kondisi SDM Indonesia anjlok dari ke peringkat ke-25 menjadi ke-41 (dari 61 negara), jauh di bawah Si-ngapura, Malaysia, dan Thailand. Kondisi infrastruktur belum memenuhi stan-dar bahkan dalam persaingan regional. Global Competitiveness Index 2014-2015 menempatkan kapasitas kompeti-si Indonesia pada peringkat ke-34 (dari 144 negara) dengan peningkatan yang lambat.

Dengan kondisi demikian, pemerintah Indonesia pada berbagai kesempatan justru merilis kebijakan yang memperli-hatkan paradigma defensif dalam meres-pon adanya AEC. Peniadaan hambatan perdagangan dalam skema regionalisme ini belum mampu disikapi dengan para-digma ekspansif, sebagaimana yang dilakukan Vietnam dan Myanmar.F. PENUTUP

Regionalisme dewasa ini merupakan agenda yang marak diterapkan dalam kompetisi global terkait sektor ekonomi dan tren global lain (seperti kemiskinan, iklim, gender, dan hal lain). ASEAN se-

bagai lembaga regional di kawasan Asia Tenggara muncul dengan latar belakang kondisi global Perang Dingin yang mem-bagi dua blok besar. Indonesia yang se-cara geopolitik berada di tengah blok, sedang melakukan transisi pemerintah-an dan konsekuensi sejarah pasca 1965. Namun, pada perkembangannya, ASEAN lebih tampak sebagai forum yang men-jalankan agenda global, berikut dengan kesepakatan-kesepakatan di dalamnya yang merupakan hasil dari inisiatif lem-baga internasional yang lebih besar se-cara modal dan pengaruh ekonomi-poli-tiknya.

Dalam konteks keberadaan regional-isme bagi Indonesia, kecenderungan yang ada adalah bahwa ASEAN tidak menjadi wadah untuk menaikkan kepen-tingan domestik Indonesia ke lingkup Asia Tenggara, melainkan sebaliknya. Skema yang dilakukan dalam komitmen AEC misalnya, masih belum menempat-kan negara anggota dalam basis produk-si yang berangkai. Selebihnya, memang ma sing-masing pemerintah negara ang-gota (termasuk Indonesia) belum mem-posisikan diri dalam peran sebagai stake-holder pada kegiatan ekonomi, terbatas pada kepentingan diplomasi regional.

DAFTAR PUSTAKAAltbach, Philip G. (Ed.), 1995. Politik

dan Mahasiswa, terj. Jakarta: PT Gramedia.

ASEAN. 2015. ASEAN Annual Report 2008-2009 (2009).

_____. 2015. ASEAN Integration Report 2015.

_____. 2015. ASEAN Investment Report 2015.

_____. 2015. ASEAN Services Integra-tion Report (2015).

Bourgon, Jocelyne. 2007. “Responsive, Responsible, and Respected Gov-ernment: Towards a New Public Administration Theory”, dalam In-ternational Review of Administra-tive Sciences 2007; 73; 7.

Boyer, P. 1985. By the Bomb’s Early Light. New York: Pantheon Books.

14 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

REGIONALISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBIJAKAN DOMESTIK NEGARA ANGGOTA: Bagaimana ASEAN terhadap Indonesia?Sayfa Auliya Achidsti

Page 20: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

Diggins, J.P. 1988. The Proud Decades. New York: W.W. Norton.

Haque, M. Shamsul. 2001. “The Dimin-ishing Publicness of Public Service under the Current Mode of Gov-ernment”, dalam Public Adminis-tration Review (Jan/Feb, 2001).

He, Ling Ling & SAPPIDEEN, Razeen. 2013. “Free Trade Agreements and the US-China-Australia Relation-ship in the Asia-Pacific Region”, da-lam Asia Pacific Law Review 21.1 (2013).

Koppell, Jonathan G.S. 2010. “Adminis-tration Without Borders”, dalam Public Administration Review (De-cember 2010).

Kumar, Rajesh. 1997. Non-Alignment Policy of Indonesia. Jakarta: Cen-tre for Strategic and International Studies.

Landau, Ori. 2006. “Cold War Political Culture and the Return of the Sys-tems Rationality”, dalam Human Relations 59.5 (May, 2006).

Lee, Ashley. 2015. “Vietnam Builds Hopes on FDI Reforms”, dalam In-ternational Financial Law Review (Jul 14 2015).

Lyons, G.M. 1969. The Uneasy Partner-ship: Social Science and the Fed-eral Government in the Twentieth Century. New York: Russell Sage Foundation.

Menont, Jayan & Mellendez, Anna Cas-sandra. 2015. “Realizing in ASEAN Economic Community: Progress and Remaining Challenges”, dalam ADB. 2015. ADB Economics Work-ing Paper Series No. 432 (May 2015).Phillippiness: Asian Devel-

opment Bank.Moulton, Stephanie. 2009. “Putting To-

gether the Publicness Puzzle a Framework for Realized Public-ness”, dalam Public Administration Review (Sept/Oct, 2009).

Narine, Shaun. 2002. Explaining ASEAN: Regionalism in Southeast Asia. London: Lynne Rienner Publishers Inc.

Pandey, Sanjay K. 2010. “Cutback Man-agement and the Paradox of Pub-licness”, dalam Public Administra-tion Review (Jul/Aug, 2010).

Pesch, Udo. 2008. “Publicness of Pubic Administration”, dalam Administra-tion & Society, Vol. 40,2 (2008).

Polenberg, R. 1980. One Nation Divisi-ble. Harmondsworth: Penguin.

Romprasert, Gillian. 2003. “The ‘ASEAN Way’: Non Intervension and ASE-AN’s Role in Conflict Management”, dalam Stanford Journal of East Asian Affairs, Vol. 3, No. 1 (2003).

Romprasert, Suppanunta. 2013. “Asian Economic Community with Selected Macroeconomic Variables for Exports Sustainability”, dalam International Journal of Economics and Financial Issues, Vol. 3, No. 3/2013.

Tan, Gerald. 2003. ASEAN Economic De-velopment and Cooperation. Singa-pore: Times Media Pvt., Ltd.

Whitfield, S.J. 1991. The Culture of the Cold War. Baltimore, MD: Johns Hop-kins University Press.

Winters, Jefrey A. 1996. Power in Mo-tion: Capital Mobility and the Indo-nesian State. AS: Cornell University Press.

15JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

REGIONALISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBIJAKAN DOMESTIK NEGARA ANGGOTA:

Bagaimana ASEAN terhadap Indonesia?Sayfa Auliya Achidsti

Page 21: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

16 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

REGIONALISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBIJAKAN DOMESTIK NEGARA ANGGOTA: Bagaimana ASEAN terhadap Indonesia?Sayfa Auliya Achidsti

Page 22: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAH DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014

Abstrak: Hasil kajian dan evaluasi pemekaran daerah yang telah dilakukan menunjukkan bahwa tujuan pemekaran masih jauh dari harapan. Regulasi tentang pemekaran daerah selalu berupaya meningkatkan bobot persyaratan dari waktu ke waktu. Persyaratan pemekaran dalam PP No. 78/2007 lebih berat dibandingkan persyaratan pemekaran yang ada dalam PP No. 129/2000. Demikian pula, per syaratan yang tertuang dalam UU No. 23/2014 lebih berat ketimbang per-syaratan yang ada dalam PP No. 78/2007. Pemekaran daerah hanya dilakukan melalui satu yakni pintu Pemerintah/eksekutif. Daerah yang diusulkan tidak serta merta menjadi daerah otonom baru, tetapi menjadi Daerah Persiapan yang ditetapkan dengan PP. Selanjutnya, apabila hasil penilaian setelah 3 tahun menjadi Da erah Persiapan dinyatakan layak barulah menjadi daerah otonom definitif/daerah baru dan apabila dinilai tidak layak maka akan diga-bungkan ke daerah induknya.Kata kunci: otonomi daerah, pemekaran daerah, perketat persyaratan, desain be-

sar penataan daerah.Abstract: Past studies on local government proliferation found that the results of local governments proliferations are far below expectation. Hence, the government tried to make the requisites for proliferation heavier, as shown by the Government Regulation Number 78/2007 that set up more difficult requirements for proliferation that the previous Regulation (Number 129/2000). Similarly, the new Local Government Law (Number 23/2014) has heavier provision than those listed on the Government Regulation Number 78/2007. The proliferation can only be done through the government/executive initiative. The proposed area does not necessarily become a new autonomous region but became the Preparatory Region, which stipulated through a government regulation. The region will then be evaluated after three years and the result will determine whether or not it is eligible to become an autonomous one.Keywords: regional autonomy, local government proliferation, heightened re-

quirements, local governance system grand design.

LOCAL GOVERMENT PROLIFERATION UNDER THE LAW NUMBER 23/2014

SuryantoStaf Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah

Lembaga Administrasi Negara

A. PENDAHULUANFokus perhatian publik terhadap

pengaturan dan implementasi pem-bentukan daerah (pemekaran dan penggabungan daerah) masih cukup mendominasi dalam kaitan pelaksa-naan kebijakan desentralisasi dan oto-nomi daerah di Indonesia. Faktanya, sejumlah pi m pinan daerah masih saja menyampaikan usul pemekaran da-erah di wilayahnya. Saat ini terdapat

132 usul pemekaran daerah, dari jumlah tersebut sebanyak 88 usulan sedang dibahas Pemerintah dengan DPR RI (sindonews.com, 26/02/2016). Sejumlah alasan di sampaikan untuk memuluskan ja lan agar isu peme-karan dae rah dapat dikabulkan oleh Pemerintah dan DPR RI, salah satu nya mendekatkan pelayanan publik kepa-da masyarakat daerah. Akan tetapi benarkah “mendekatkan pelayanan

17JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

Artikel

Page 23: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

publik” yang menjadi alasan daerah melakukan pemekaran daerah? Atau-kah sesungguhnya terdapat alasan lain yang mendorong para tokoh di berbagai daerah untuk memekarkan daerahnya?

Hasil kajian Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah Lembaga Admin-istrasi Negara (PKKOD LAN, 2006 – sejak tahun 2013 berganti nama menjadi Pusat Kajian Desentralisa-si dan Otonomi Daerah/PKDOD LAN) menyimpulkan sejumlah alasan yang mendasari pelaksanaan pemekaran daerah yaitu: 1) alasan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, ini menjadi alasan utama karena adanya kendala geografis, infrastruktur dan prasarana perhubungan yang min-im (contoh: Provinsi Bangka Belitung dengan Provinsi Sulawesi Selatan), 2) alasan historis, pemekaran da-erah dilakukan karena alasan sejarah yaitu bahwa daerah hasil pemekaran memiliki nilai historis tertentu (con-toh: Provinsi Maluku Utara pernah menjadi ibukota Irian Barat), 3) alasan kultural (budaya) dimana pemekaran terjadi karena menganggap adanya perbedaan budaya antarda erah yang bersangkutan dengan daerah induk-nya (contoh: pemekaran Provinsi Gorontalo dari Provinsi Sulawesi Utara, bahwa masyarakat Gorontalo mera-sa berbeda budaya/adat istiadat de-ngan masyarakat Manado), 4) alasan ekonomi, pemekaran daerah diharap-kan dapat mempercepat pembangu-nan di daerah (contoh: pemekaran Provinsi Papua Barat dari Provinsi Pa-pua), 5) alasan anggaran, pemekaran daerah dilakukan untuk mendapatkan insentif anggaran dari pemerintah (contoh: seluruh daerah pemekaran), dan 6) alasan keadilan, pemekaran daerah diharapkan akan menciptakan keadilan dalam hal pengisian jabatan publik dan pemerataan pembangunan (contoh: pemekaran Provinsi Kepri dari

Provinsi Riau).Tulisan ini akan membahas euforia

pemekaran daerah pada dasawarsa kedua terutama setelah terbitnya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemekaran Daerah. Bagaimana potret animo publik dalam melakukan pemekaran daerah setelah terbitnya undang-un-dang tersebut, karena sesungguhnya persyaratan yang tercantum dalam undang-undang baru ini lebih berat dibandingkan persyaratan yang tertu-ang dalam peraturan perundangan se-belumnya, dalam hal ini PP No. 129 Ta-hun 2000 dan PP No. 78 Tahun 2007. Lalu, bagaimana sebaiknya agar de-sain besar penataan daerah (Desarta-da) disusun nantinya mampu menjadi semacam dashboard untuk memonitor penambahan jumlah daerah otonom di Indonesia ke depan? B. KONSEP OTONOMI DAERAH:

Urgensi Kebijakan Otda di In-do nesiaOtonomi daerah (atau sering diper-

tukarkan dengan desentralisasi) dapat diartikan dalam berbagai cara bergan-tung pada kepentingan-kepentingan dan perspektif dari masing-masing pengamat (Conyers, 1984:147, Smith, 1985:2-7, Smoke, 2003:8 dalam Said, 2005:5). Rondinelli dan Cheema (1983) mendefinisikan otonomi da-erah sebagai “the transfer of planning, decisión making, or administratif au-thority from the central government to its field organizations, local administra-tif units, semi-autonomous and paras-tatal organization, local government or non-governmental organization” (pelimpahan wewenang perencanaan, pengambilan keputusan atau peme-rintahan dari pemerintah pusat kepada organisasi-organisasi pelaksana, unit-unit pelaksana di daerah, organisasi semi otonom dan parastatal, ataupun kepada pemerintah daerah atau or-ganisasi non peme rintah).

18 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAHDALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014

Suryanto

Page 24: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

Menurut Laporan Tahunan Bank Dunia (1999:107-124, ibid: 6), oto-nomi daerah didefinisikan sebagai “the transfer of authority and respon-sibility for public functions from the central government to subordínate or quasi-independent government orga-nizations and or the prívate sector” (pelimpahan wewenang dan tanggung jawab untuk menjalankan fungsi-fung-si publik dari pemerintah pusat kepada organisasi-organisasi pemerintah yang menjadi bawahannya atau yang bersi-fat semi-independen dan/atau kepada sector swasta).

Konsep otonomi daerah bukan me-rupakan konsep yang baru, akan tetapi otonomi daerah dapat digunakan pada situasi modern dimana konsep tersebut sejalan dengan ketersediaan kerangka hukum pada badan-badan sosial dan kebebasan aktual yang dimilikinya. Konsep otonomi daerah juga mampu memberikan kontribusi kepada feoda-lisme dengan esensi penekanan pada perjanjian dan norma, sejalan dengan pertumbuhan kapasitas legislatif dan administratif yang dapat menjamin asosiasi-asosiasi tersebut berhubung-an secara damai dalam situasi yang lebih banyak atau lebih sedikit diatur oleh negara (Muttalib, 1982:234).

Dengan kata lain, penerapan kon-sep otonomi daerah bagi sebuah ne-gara modern masih tetap relevan. Saat ini berbagai negara di dunia telah dan sedang menerapkan kebijakan oto-nomi daerah, dengan berbagai pertim-bangan (alasan) yang mendasarinya. Said (2005:78) menyatakan sejum-lah alasan mendasar otonomi daerah di Indonesia yaitu: 1) alasan sejarah dan kesepakatan para pendiri bangsa (founding fathers), dan alasan ada-nya hasil akhir dari perdebatan-per-debatan historis yang berlangsung sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI Tahun 1945, 2) alasan kondisi geogra-

fis Indonesia yang terdiri dari daerah kepulauan yang sangat luas, 3) alasan pertimbangan politik yaitu hasrat me-misahkan diri (separatisme), 4) alasan respons terhadap globalisasi, OECD (Organization for Economic Coopera-tion and Development) mengungkap-kan bahwa logika yang mendukung otonomi daerah sangat dekat dengan prinsip subsidiaries financial system (Dana Alokasi Umum) dalam konteks pemerintahan dan merupakan hasil dari proses globalisasi dan semakin meningkatnya internasionalisasi inter-aksi ekonomi, 5) alasan keperluan ad-ministrasi publik, pembangunan akan menghadapi semakin banyak tantang-an saat negara semakin maju. Secara teoretis, sentralisme merendahkan po-sisi masyarakat daerah dalam arti bah-wa pemerintah pusat andai pun bisa menghargai apa yang diinginkan pu-blik secara umum, akan menghadapi kesulitan dalam melakukan pendekat-an sesuai dengan “selera daerah” (lo-cal tastes).

Otonomi daerah era reforma-si yang telah disiapkan mulai tahun 1999-2001, dilaksanakan mulai tahun 2001-2003, konsolidasi mulai tahun 2003-2007, dan tahap penerapan mu-lai tahun 2007 ternyata tidak berjalan “mulus” sebagaimana yang diharap-kan. Pada 2004 yang seharusnya me-rupakan tahap konsolidasi pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1999 ternyata pada tahap tersebut justru terbit UU No. 32 Tahun 2004 sebagai pengganti UU No. 22 Tahun 1999 tentang Peme rintahan Daerah. Kini, UU No. 32 Tahun 2004 juga tidak berlaku lagi karena Peme-rintah dan DPR RI telah menerbitkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Peme-rintahan Da erah.

Berkaitan dengan implementasi otonomi daerah di Indonesia sebe-narnya terbagi dalam dua perspektif yaitu perspektif positif dan perspektif

19JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAHDALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014

Suryanto

Page 25: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

negatif. Perspektif positif meliputi: 1) bahwa otonomi daerah adalah sarana untuk demokratisasi, 2) bahwa oto-nomi daerah membantu meningkatkan kualitas dan efektivitas pemerintah-an, 3) bahwa otonomi daerah dapat mendorong stabilitas dan kesatuan nasional, 4) bahwa otonomi daerah memajukan pembangunan daerah. Adapun perspektif yang negatif terdiri dari: 1) otonomi daerah lekat dengan perspektif fragmentasi dan keterpeca-han, 2) otonomi daerah dan merosot-nya kualitas pemerintahan, 3) otonomi daerah dan kesenjangan antardaerah, 4) otonomi daerah dan pengingkaran terhadap demokrasi (Ibid: 22).

Terlepas dari besarnya dukungan terhadap konsep dan implementasi otonomi daerah, tentu perhatian lebih banyak diberikan kepada kondisi atau fenomena rendahnya dukungan ter-hadap pelaksanaan otonomi daerah itu sendiri. Penulis berasumsi bahwa euforia pemekaran daerah yang terjadi pada dasawarsa pertama (1996-2005), yang terus berlanjut pada dasawarsa kedua (2006-2015) pelaksanaan oto-nomi daerah di era reformasi, ternyata belum sesuai dengan tujuan dilaku-kannya pemekaran daerah. Hal ini di-buktikan dengan hasil kajian PKKOD LAN bekerjasama dengan Kemente-rian Dalam Negeri, bahwa kebijakan pembentukan DOB belum memberi-kan dampak yang signifikan bagi per-wujudan kesejahteraan masyarakat, pelayanan publik, dan daya saing daerah (Adi Suryanto, 2008:119). Ha-sil evaluasi Kemendagri dan Tim Pakar dari berbagai perguruan tinggi (2010) menyimpulkan bahwa sebanyak 80% daerah otonom baru hasil pemekaran (DOHP) berada dalam kondisi yang berkinerja rendah, artinya hanya 20% yang dinyatakan berkinerja cukup tinggi dan tinggi (Tim EDOHP, 2010).

Dengan berpegang teguh dari data

dan fakta tersebut di atas, menurut pendapat penulis, kebijakan peme-karan daerah memang diperbolehkan dalam undang-undang tetapi pelak-sanaannya harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan memperhatikan seluruh persyaratan yang diminta. Apabila pemekaran daerah memang menjadi satu-satunya strategi untuk mencapai tujuan otonomi daerah di wilayah itu dan secara regulasi juga memenuhi persyaratan-persyaratan, maka keputusan memekarkan daerah menjadi suatu kewajiban. Artinya, ur-gensi otonomi daerah yang dimaksud disini tidak harus dilakukan melalui pe-mekaran daerah.C. UPAYA MEMPERKETAT PER-

SYARATAN PEMEKARAN DA -ERAHGuna melaksanakan prinsip ke hati-

hatian dalam melakukan pe me karan daerah, Pemerintah me lalui regulasi terbaru telah menetapkan sejumlah klausul per syaratan yang dapat dika-takan”lebih ketat” daripada peratu-ran sebelumnya. Hal ini dimaksudkan untuk mengerem agar penambahan daerah otonom baru (DOB) tidak ter-lalu bertambah secara cepat seperti yang terjadi pada masa lalu.

Penambahan jumlah daerah oto-nom baru (DOB) atau daerah otonom hasil pemekaran (DOHP) selama 1999-2014 sebanyak 223 DOB yang terdiri dari 8 provinsi, 182 kabupaten, dan 33 kota sehingga total Daerah Oto-nom menjadi 542 yaitu terdiri atas 34 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota (Kemendagri, 2015 dalam www.otda.kemendagri.go.id). Dengan kata lain, laju pemekaran daerah selama hampir dua dasawarsa terakhir sangat ting-gi terutama penambahan kabupaten (dari 233 kabupaten menjadi 415 ka-bupaten atau sebesar 178%). Adapun untuk penambahan provinsi sebanyak 8 daerah yaitu dari 26 menjadi 34

20 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAHDALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014

Suryanto

Page 26: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

provinsi (31%), sedangkan penam-bahan kota sebanyak 30 daerah yakni dari 60 menjadi 93 daerah (55%).

Dari data tersebut timbul per-tanyaan besar, mengapa penambahan jumlah DOB tersebut tetap berlan-jut padahal regulasi telah memberi-kan rambu-rambu atau persyaratan yang cukup berat. Sebagai contoh, pada saat berlakunya UU No. 22/1999 mengga riskan bahwa pembentukan suatu daerah harus memenuhi minimal 6 syarat yaitu kemampuan ekonomi, potensi daerah, kesamaan sosial bu-daya, jumlah penduduk, luas daerah, keamanan dan rentang kendali da-erah yang akan dimekarkan. Penjaba-ran tentang persyaratan pemekaran daerah diatur dalam PP No. 129/2000, yang dirinci di dalam 19 indikator dan 43 sub indikator.

Euforia pemekaran daerah terus berlangsung di banyak daerah, meski-pun Pemerintah telah mengeluarkan himbauan berupa pemberhentian sementara (moratorium) pada era pemerintahan SBY. Sebagai contoh, jumlah daerah provinsi bertambah dari 26 provinsi menjadi 34 provinsi atau bertambah 8 provinsi baru (31%). Kedelapan provinsi tersebut meliputi:1. Provinsi Maluku Utara, provinsi

dengan ibukota di Kota Sofifi ini terbentuk pada tanggal 4 Oktober 1999. Provinsi yang merupakan ha-sil pemekaran dari Provinsi Maluku ini merupakan provinsi di Indonesia yang ke-27.

2. Provinsi Banten, provinsi dengan ibukota di Kota Serang ini terben-tuk pada tanggal 17 Oktober 2000. Provinsi yang merupakan hasil pe-mekaran Provinsi Jawa Barat ini merupakan provinsi di Indonesia yang ke-28.

3. Provinsi Kepulauan Bangka Be-litung, provinsi dengan ibukota di Kota Pangkal Pinang ini terbentuk

pada tanggal 4 Desember 2000. Provinsi ini dimekarkan dari Provin-si Sumatera Selatan dan menjadi provinsi ke-29.

4. Provinsi Gorontalo, provinsi dengan ibukota di Kota Gorontalo ini ter-bentuk pada tanggal 22 Desember 2000. Provinsi yang merupakan ha-sil pemekaran dari Provinsi Sulawesi Utara ini adalah provinsi ke-30 In-donesia.

5. Provinsi Papua Barat, provinsi yang beribukota di Kota Manokwari ini terbentuk tanggal 21 November 2001. Provinsi yang merupakan ha-sil pemekaran dari Provinsi Papua ini merupakan provinsi di Indonesia ke-31.

6. Provinsi Kepulauan Riau, provinsi dengan ibukota Tanjung Pinang itu terbentuk pada tanggal 25 Oktober 2002. Provinsi yang merupakan ha-sil pemekaran dari Provinsi Riau ini menjadi provinsi yang ke-32 di In-donesia.

7. Provinsi Sulawesi Barat, provinsi yang ibukotanya di Kota Mamuju ini terbentuk tanggal 5 Oktober 2004. Provinsi yang terbentuk dari peme-karan Provinsi Sulawesi Selatan ini merupakan provinsi ke-33 Indone-sia.

8. Provinsi Kalimatan Utara, pro vin si dengan ibukotanya Tanjung Selor ini terbentuk pada tanggal 25 Ok-tober 2012. Provinsi ini merupakan hasil pemekaran dari Provinsi Kali-mantan Timur dan menjadi provinsi ke-34 Indonesia.Dari 8 provinsi hasil pemekaran

tersebut sebanyak 7 provinsi merupa-kan hasil pemekaran pada 10 tahun pertama, dan hanya 1 provinsi yang merupakan pemekaran pada 10 tahun kedua (otda.kemendagri.go.id). Fakta tersebut nampaknya relevan dengan persyaratan yang semakin berat sesuai peraturan perundangan. Secara lebih

21JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAHDALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014

Suryanto

Page 27: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

rinci, perbandingan persyaratan pem-bentukan Daerah dapat dilihat pada tabel 1 di halaman berikut.

Dari tabel tersebut dijelaskan bah-wa pada saat berlaku PP 129/2000 dan PP 78/2007, usul pemekaran di-sampaikan melalui dua pintu yaitu pin-tu Kementerian Dalam Negeri (peme-rintah/eksekutif) daerah pintu DPR RI (legislatif). Pada kondisi tersebut dapat dibayangkan ‘suasana’ yang melingku-pi usul pembentukan daerah otonom baru. Inisiatif pembentukan DOB bu-kan hanya datang dari pihak eksekutif tetapi juga dari legislatif, yang memiliki kewenangan setara dengan Pemerin-tah dalam perumusan dan penetapan undang-undang.

Di dalam pengaturan UU No. 23/2014 hal seperti itu tidak terjadi. Usulan DOB dilakukan melalui satu pintu yakni Kementerian Dalam Negeri atas nama Presiden. Persyaratan-per-syaratan yang harus dipenuhi oleh daerah pengusul meliputi persyaratan dasar dan persyaratan administratif. Persyaratan dasar terdiri dari persya-ratan dasar kewilayahan dan per-syaratan dasar kapasitas Daerah. Persyaratan dasar kewilayahan me-liputi luas wilayah minimal, jumlah penduduk minimal, batas wilayah, ca-kupan wilayah, dan batas usia minimal daerah provinsi, daerah kabupaten/kota, dan kecamatan.

Mengenai batas minimal usia da-erah, hal ini penting guna menghi-ndari terjadinya pemekaran daerah yang ”prematur” sebagaimana yang pernah terjadi pada saat berlakunya PP 129/2000 dan PP 78/2007, dimana suatu daerah yang baru dimekarkan kemudian mengalami pemekaran kem-bali. Kabupaten Boalemo di Provinsi Gorontalo misalnya, kabupaten ini be-lum genap berumur 3 tahun setelah dimekarkan dari Kabupaten Gorontalo. Daerah pemekaran Kabupaten Boale-

mo ini bernama Kabupaten Pohuwato, yang beribukota di Marisa. Dalam UU 23/2014 disebutkan batas usia mini-mal provinsi 10 tahun sejak pemben-tukan, batas usia minimal kabupaten/kota 7 tahun sejak pembentukan, dan batas usia minimal kecamatan 5 tahun sejak pembentukan.

Luas wilayah dan jumlah penduduk minimal ditentukan berdasarkan pe-ngelompokan pulau dan kepulauan. Batas wilayah dibuktikan dengan titik koordinat pada peta dasar. Saat ini masih banyak permasalahan tapal ba-tas antara daerah satu dengan daerah lain, karena pada saat pembentukan daerah penentuan batas tidak meng-gunakan titik koordinat pada peta dasar. Ke depan, bukti titik koordinat pada peta dasar – bukan hanya sket peta wilayah – ini akan mengeliminir terjadinya konflik perbatasan antar-daerah yang selama ini terjadi.

Persyaratan dasar kapasitas Da-erah adalah kemampuan daerah untuk berkembang dalam mewujudkan kese-jahteraan masyarakat. Persyaratan da-sar kapasitas Daerah didasarkan pada parameter geografi, demografi, kea-manan, sosial politik, adat, dan tradisi, potensi ekonomi, keuangan Daerah, dan kemampuan penyelenggaraan pe-merintahan.

Persyaratan administratif disusun dengan tata urutan sebagai berikut: a) untuk Daerah provinsi meliputi per-setujuan bersama DPRD kabupaten/kota dengan bupati/wali kota yang akan menjadi Cakupan Wilayah Da-erah Persiapan provinsi dan persetu-juan bersama DPRD provinsi induk dengan gubernur Daerah provinsi in-duk, b) untuk Daerah kabupaten/kota meliputi keputusan musyawarah Desa yang akan menjadi Cakupan Wilayah Daerah kabupaten/kota, c) persetu-juan bersama DPRD kabupaten/kota induk dengan bupati/wali kota Daerah

22 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAHDALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014

Suryanto

Page 28: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

23

PP No. 129/2000 PP No. 78/2007 UU No. 23/2014 Keterangan

Kemampuan Daerah, diukur dengan Product Regional Domestic Bruto (PDRB) dan penerimaan daerah sendiri

Syarat administratif, Syarat administratif pem-bentukan Daerah provinsi terdiri dari: a. Keputusan masing-masing DPRD kabu-

paten/kota yang akan menjadi cakupan wilayah calon provinsi tentang persetujuan pembentukan calon provinsi berdasarkan hasil Rapat Paripurna,

b. Keputusan bupati/walikota ditetapkan de-ngan keputusan bersama bupati/walikota wilayah calon provinsi tentang persetujuan pembentukan calon provinsi,

c. Keputusan DPRD provinsi induk tentang persetujuan pembentukan calon provinsi berdasarkan hasil Rapat Paripurna,

d. Keputusan gubernur tentang persetujuan pembentukan calon provinsi, dan

e. Rekomendasi Menteri, dalam hal ini Men-teri Dalam Negeri.

Syarat administratif pembentukan daerah kabupaten/kota meliputi: a. Keputusan DPRD kabupaten/kota induk

tentang persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota,

b. Keputusan bupati/walikota induk tentang persetujuan pembentukan calon kabupa-ten/kota,

c. Keputusan DPRD provinsi tentang persetu-juan pembentukan calon kabupaten/kota,

d. Keputusan gubernur tentang persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota, dan

e. Rekomendasi Menteri Dalam Negeri.

Persyaratan dasar dan persyaratan administratif.

Persyaratan dasar terdiri dari persya ratan dasar kewilayahan dan persya ratan dasar kapasitas Daerah.

Persyaratan dasar kewilayahan meliputi luas wilayah minimal, jumlah penduduk minimal, batas wilayah, cakupan wilayah, dan batas usia minimal daerah provinsi, daerah kabupaten/kota, dan kecamatan.

Persyaratan dasar kapasitas Daerah didasarkan pada parameter geografi, demografi, keamanan, sosial politik, adat, dan tradisi, potensi ekonomi, keuangan Daerah, dan kemampuan penyelengga-raan pemerintahan.

Pada waktu PP No. 129/2000 dan PP No/ 78/2007, pemekaran daerah dapat dilakukan melalui dua pintu, Kemen da-gri (Pemerintah/Eksekutif) dan DPR RI. Menurut UU No. 23/2014 usulan pemekaran disampaikan hanya melalui Kemendagri (Pemerintah/Eksekutif)

Dalam UU No. 23/2014 terdapat pengaturan batas usia minimal daerah dapat dimekarkan yaitu untuk provinsi minimal 10 tahun sejak pembentukan, kabupaten/kota minimal 7 tahun sejak pembentukan, dan kecamatan minimal 5 tahun sejak pembentukan.

Batas usia minimal ini untuk meng-hindari terjadinya pemekaran daerah yang ”prematur” sebagaimana yang pernah terjadi pada saat berlakunya PP 129/2000 dan PP 78/2007, dimana suatu daerah yang baru dimekarkan kemudian mengalami pemekaran kembali. Kabupaten Boalemo di Gorontalo misal-nya, belum genap 3 tahun dimekarkan dari Kabupaten Gorontalo kemudian dimekarkan lagi dengan lahirnya Kabu-paten Pohuwato (ibukota kabupaten di Marisa).

JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAHDALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014

Suryanto

Page 29: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

24

PP No. 129/2000 PP No. 78/2007 UU No. 23/2014 Keterangan

Potensi daerah diukur dari lembaga keuangan, sarana ekonomi, sarana pendidikan, sarana kesehatan, sarana transportasi dan komunika-si, sarana pariwisata, dan. ketenagakerjaan.

Syarat teknis pembentukan Daerah meliputi faktor yaitu kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kepen-dudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan rentang kendali penyeleng-garaan pemerintahan daerah. Faktor-faktor tersebut dinilai berdasarkan hasil kajian daerah terhadap indikator sebagaimana tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah tentang pemekaran daerah yaitu PP No. 78/2007.

Parameter geografi meliputi lokasi ibu kota, hidrografi, dan kerawanan bencana. Parameter demografi meliputi kualitas sumber daya manusia dan distribusi penduduk. Parameter keamanan meliputi tindakan kriminal umum dan konflik sosial. Parameter sosial politik, adat, dan tradisi meliputi partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum, kohesivitas sosial, dan organisasi kemasyarakatan. Parameter potensi ekonomi meliputi per-tumbuhan ekonomi dan potensi unggulan Daerah. Parameter keuangan Daerah meliputi kapasitas pendapatan asli Daerah induk, potensi pendapatan asli calon Daerah Persiapan, dan pengelolaan keuangan dan aset Daerah. Parameter kemampuan penyelenggaraan pemerintahan meliputi aksesibilitas pelayanan dasar pendidikan, aksesibilitas pelayanan dasar kesehatan, aksesibilitas pelayanan dasar infrastruk-tur, dan jumlah pegawai aparatur sipil negara di Daerah induk, dan rancangan rencana tata ruang wilayah Daerah Persiapan.

Sosial budaya diukur dari tempat peribadatan, tempat/kegiatan institusi sosial dan budaya, dan sarana olah raga.

Syarat fisik kewilayahan meliputi cakupan wilayah, lokasi calon ibukota, sarana dan prasarana pemerintahan.• Cakupan wilayah untuk pembentukan

provinsi paling sedikit 5 (lima) kabupaten/kota, pembentukan kabupaten paling sedikit 5 (lima) kecamatan, dan pemben-tukan kota paling sedikit 4 kecamatan.

Syarat jumlah cakupan wilayah ini “lebih berat” dibandingkan pengatur-an pada PP sebelumnya yang hanya mensyaratkan 3 kabupaten/kota untuk pemekaran provinsi, 3 kecamatan untuk pemekaran kabupaten, dan 3 kecamatan pula untuk pemekaran kota.

Sosial politik diukur dari partisipasi masyarakat dalam berpolitik dan organisasi kemasyarakatan.

Persyaratan administratif disusun dengan tata urutan sebagai berikut:a. untuk Daerah provinsi meliputi per-

setujuan bersama DPRD

JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAHDALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014

Suryanto

Page 30: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

25

PP No. 129/2000 PP No. 78/2007 UU No. 23/2014 Keterangan

• Cakupan wilayah pembentukan provinsi digambarkan dalam peta wilayah calon provinsi.

• Peta wilayah dilengkapi dengan daftar nama kabupaten/kota dan kecamatan yang menjadi cakupan calon provinsi serta garis batas wilayah calon provinsi dan nama wilayah kabupaten/kota di provinsi lain, nama wilayah laut atau wilayah neg-ara tetangga yang ber-batasan langsung dengan calon provinsi.

• Peta wilayah dibuat berdasarkan kaidah pemetaan yang difasilitasi oleh lembaga teknis dan dikoordinasikan oleh Menteri.

• Cakupan wilayah pembentukan kabupat-en/kota digambarkan dalam peta wilayah calon kabupaten/kota.

• Peta daerah kabupaten/kota dilengkapi dengan daftar nama kecamatan dan desa/kelurahan atau nama lain yang menjadi cakupan calon kabupaten/kota serta garis batas wilayah calon kabupaten/kota, nama wilayah kabupaten/ kota di provinsi lain, nama wilayah kecamatan di kabupaten/kota di provinsi yang sama, nama wilayah laut atau wilayah negara tetangga, yang berbatasan langsung dengan calon kabu-paten/kota.

• Peta wilayah kabupaten/kota dibuat ber-dasarkan kaidah pemetaan yang difasilitasi oleh lembaga teknis dan dikoordinasikan oleh gubernur

kabupaten/kota dengan bupati/wali kota yang akan menjadi Cakupan Wilayah Daerah Persiapan provinsi dan persetujuan bersama DPRD provinsi induk dengan gubernur Da-erah provinsi induk,

b. untuk Daerah kabupaten/kota me-liputi keputusan musyawarah Desa yang akan menjadi Cakupan Wilayah Daerah kabupaten/kota,

c. persetujuan bersama DPRD kabu-paten/kota induk dengan bupati/wali kota Daerah induk, dan

Jumlah penduduk diukur dari jumlah tertentu penduduk suatu Daerah.

Pembentukan Daerah dapat dilakukan dengan alasan kepentingan strategis nasional. Maksudnya, pembentukan Daerah ini dilakukan khusus untuk daerah per-batasan, pulau-pulau terluar, dan Daerah tertentu untuk menjaga kepentingan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Luas daerah diukur dari luas tertentu suatu Daerah.

Pertimbangan lain yang me-mungkinkan terselenggaranya Otda diukur dari keamanan dan ketertiban, ketersediaan sarana dan prasarana pe-merintahan, rentang kendali, Provinsi yang akan dibentuk minimal telah terdiri dari 3 (tiga) Kabupaten dan/atau Kota, Kabupaten yang akan dibentuk minimal telah terdiri dari 3 (tiga) kecamatan, dan Kota yang akan dibentuk mini-mal telah terdiri dari 3 (tiga) kecamatan

JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAHDALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014

Suryanto

Sumber: PP No. 129/2000, PP No. 78/2007, dan UU No. 23/2014 Tabel 1.Perbandingan Persyaratan Pemekaran Daerah

Page 31: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

induk, dan d) persetujuan bersama DPRD provinsi dengan gubernur dari Daerah provinsi yang mencakupi Da-erah Persiapan kabupaten/kota yang akan dibentuk.

Selain harus memenuhi berbagai persyaratan di atas, dalam UU No. 23/2014 disebutkan bahwa pemben-tukan Daerah dapat dilakukan de-ngan alasan kepentingan strategis nasio nal. Maksudnya, pembentukan Daerah ini dilakukan khusus untuk da-erah perbatasan, pulau-pulau terluar, dan Daerah tertentu untuk menjaga kepentingan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Upaya memperketat persyaratan pembentukan daerah, sebagaimana telah disebutkan beberapa ulasan di atas, sebenarnya telah diawali pada saat berlakunya UU No. 32/2004 jo PP No. 78/2007. Di dalam PP No. 78/2007 disebutkan bahwa berdasar-kan rekomendasi usulan pembentukan daerah, Menteri Dalam Negeri me-minta tanggapan tertulis para Anggota DPOD pada sidang DPOD. Masalahnya memang, selama ini lembaga DPOD ini dianggap kurang memerankan di-rinya secara optimal sehingga pada praktiknya kurang dapat memberi-kan “catatan kritis” terhadap kepu-tusan menolak atau menerima usul pembentukan daerah otonom baru. Mengapa peran lembaga ini menjadi penting, karena saran dan pertimba-ngan DPOD akan disampaikan kepada Presiden, dan jika Presiden menyetu-jui maka Pemerintah akan menyusun rancangan undang-undang (RUU) ten-tang pembentukan daerah, selanjut-nya usul inisiatif ini akan disampaikan kepada DPR RI untuk dibahas dan disepakati menjadi undang-undang. Namun kelemahan utama pada saat berlaku nya undang-undang ini, selain lemahnya lembaga DPOD itu sendiri juga terbukanya dua pintu pemekaran daerah dimaksud.

D. ARAH BARU: Pemberian Status Awal DOBKebijakan melakukan pemekaran

daerah semakin diperketat terutama dengan terbitnya UU No. 23/2014. Salah satunya adalah pemekaran da-erah tidak dapat lagi dilakukan secara langsung menjadi daerah definitif se-bagaimana pada saat sebelumnya ke-tika berlaku PP No. 129/2000 dan PP No. 78/2007. Penetapan suatu daerah menjadi daerah otonom yang defini-tif dilakukan setelah daerah tersebut dianggap layak menjalankan otonomi daerah secara mandiri. Penilaian se-bagai daerah persiapan dilakukan se-lama 3 tahun.

Di dalam UU No. 23/2014 me-kanisme pembentukan daerah persia-pan dilakukan melalui tahap sebagai berikut: a) Pembentukan Daerah Persiapan diusulkan oleh gubernur kepada Pemerintah Pusat, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indone-sia, atau Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia setelah memenuhi persyaratan dasar kewilayahan dan persyaratan administratif, b) Berdasar-kan usulan tersebut, Pemerintah Pusat melakukan penilaian terhadap pe-menuhan persyaratan dasar kewilaya-han dan persyaratan administratif, dan c) Hasil penilaian terhadap daerah persiapan disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Daerah Repu-blik Indonesia. Disini terlihat jelas bah-wa mekanisme pembentukan daerah otonom baru dimulai dari Pemerintah yang artinya melalui satu pintu yakni pemerintah pusat (Kemendagri atas nama Presiden).

Perubahan mekanisme usulan pe-mekaran daerah dari dua pintu men-jadi satu pintu sebagaimana tersebut di atas, diharapkan akan memberikan nilai positif bagi penataan daerah ke depan. Maksud “satu pintu” disini bu-

26 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAHDALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014

Suryanto

Page 32: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

kan berarti mengabaikan posisi dan peran DPR RI dan DPD RI sebagai wakil rakyat, namun peran tersebut tetap dilakukan setelah urusan di ling-kup eksekutif dianggap selesai. Setelah berkas usulan pemekaran masuk ke Pemerintah dan diproses sebagaimana mestinya, selanjutnya berkas tersebut diteruskan kepada DPR RI dan DPD RI untuk mendapatkan persetujuan.

Hal tersebut dinyatakan dalam UU No. 23/2014 sebagai berikut: bahwa dalam hal usulan pembentukan Da-erah Persiapan dinyatakan memenuhi persyaratan dasar kewilayahan dan persyaratan administratif, dengan per-setujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Per-wakilan Daerah Republik Indonesia, Pemerintah Pusat membentuk tim kaji-an independen. Tim kajian independen bertugas melakukan kajian terhadap persyaratan dasar kapasitas Daerah. Hasil kajian disampaikan oleh tim kaji-an independen kepada Pemerintah Pu-sat untuk selanjutnya dikonsultasikan kembali kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia. Hasil konsultasi menjadi pertimbangan Pemerintah Pusat dalam menetapkan kelayakan pembentukan Daerah Per-siapan. Penetapan menjadi daerah persiapan dituangkan dalam bentuk peraturan pemerintah (PP), bukan un-dang-undang (UU) sebagaimana yang telah terjadi selama ini.

Selama masa penilaian, Daerah induk memiliki kewajiban terhadap Daerah Persiapan, yaitu: a) membantu penyiapan sarana dan prasarana pe-merintahan, b) melakukan pendataan personil, pembiayaan, peralatan, dan dokumentasi, c) membuat pernyata-an kesediaan untuk menyerahkan personil, pembiayaan, peralatan, dan dokumentasi apabila Daerah Per-siapan ditetapkan menjadi Daerah

baru, dan d) menyiapkan dukungan dana. Sebaliknya, Daerah Persiapan memiliki kewajiban sebagai berikut: a) menyiapkan sarana dan prasarana pemerintahan, b) mengelola personil, peralatan, dan dokumentasi, c) mem-bentuk perangkat Daerah Persiapan, d) melaksanakan pengisian jabatan aparatur sipil negara pada perangkat Daerah Persiapan, dan e) mengelola anggaran belanja Daerah Persiapan, dan f) menangani pengaduan ma-syarakat.E. TUJUH FORMULASI DESAIN

BESAR PENATAAN DAERAH (DE SAR TADA)Secara makro, penataan daerah

didasarkan atau berpedoman pada desain besar penataan daerah (De-sartada). Dokumen ini disusun oleh Pemerintah Pusat sebagai pedoman melaksanakan penataan Daerah. De-sain Besar Penataan Daerah memuat perkiraan jumlah pemekaran Daerah pada periode tertentu.

Dalam konteks pemekaran da-erah, Negara Indonesia telah memi-liki kebijakan penataan daerah yaitu Desartada 2010-2015. Namun dalam dokumen tersebut terdapat sejumlah kelemahan sebagai berikut: 1) Secara epistemologis desain kebijakan sangat kental dengan pola pikir yang inward looking, sehingga konsep penataan daerah semata-mata ditekankan pada pemekaran daerah atau pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB). Demiki-an juga dengan parameter-parameter yang ditetapkan sebagai syarat pem-bentukan daerah, baik persyaratan administratif, teknis maupun kewilaya-han, 2) Masih bersifat parsial, di mana kepentingan daerah per daerah men-jadi acuan utama. Hal ini tampak dari diterapkannya pendekatan bottom up planning dalam tata cara pembentu-kan daerah (Pasal 14 s/d Pasal 21 PP No. 78 Tahun 2007), 3) Implementasi

27JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAHDALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014

Suryanto

Page 33: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

desain yang ada masih terfragmentasi secara sektoral, sehingga upaya pe-nataan daerah tidak dapat dilakukan secara optimal sementara beban pe-merintah semakin bertambah (Part-nership, 2011).

Menurut data yang dirilis Kemen-dagri, sampai tahun 2015 terdapat sebanyak 132 usulan daerah oto-nom baru yang terdiri atas 22 usulan Provinsi, 96 usulan Kabupaten, dan 14 usulan Kota. Terkait hal tersebut, sesungguhnya berapa provinsi, kabu-paten, dan kota yang perlu dibentuk dalam menjalankan pemerintahan In-donesia?

Pada tahun 2011 yang lalu, Part-nership mengusulkan tujuh formulasi penataan daerah yang mewakili tu-juh sudut pandang berbeda yakni: 1) formulasi dari sudut pandang admi-nistrasi publik, 2) formulasi dari sudut pandang manajemen pemerintahan, 3) formulasi dari sudut pandang ma-najemen keuangan, 4) formulasi dari sudut pandang demografi, 5) formula-si dari sudut pandang geografi, 6) for-mulasi dari sudut pandang pertahanan dan keamanan, dan 7) formulasi dari sudut pandang sosial ekonomi.

Dari tabel 2 dapat dijelaskan bah-wa pembentukan provinsi baru dapat didekati dengan 7 formulasi. Pada for-mula administrasi publik penambahan provinsi sampai tahun 2025 sebanyak 0-14 provinsi, sedang perkiraan jum-lah provinsi antara 33-47 provinsi. Administrasi publik merupakan suatu fenomena pemerintahan mo dern. Da-lam rangka penyediaan fungsi-fung-si pengaturan dan pelayanan bagi masyakat, administrasi publik adalah penggunaan teori dan proses mana-jerial, politik dan hukum untuk melak-sanakan mandate pemerintahan di bidang legislatif, eksekutif dan yudika-tif.

Berdasarkan pandangan bah-

wa administrasi publik berkaitan dengan pelaksanaan fungsi pe-ng aturan dan pelayanan, maka keberadaan daerah otonomi da-lam perspektif administrasi pu-blik bertujuan untuk lebih menja-min bahwa fungsi pengaturan dan pelayanan tersebut berlangsung secara lebih efisien, efektif dan berkesinambungan.

Pada formula manajemen pe-merintahan penambahan provinsi sampai tahun 2025 sebanyak 27-55 provinsi, sedang perkiraan jum-lah provinsi antara 70-88 provinsi. Daerah otonom dibentuk dalam rangka desentralisasi. Desentra-lisasi memiliki 3 tujuan yaitu tu-juan politik, tujuan admi nistrasi, dan tujuan sosial ekonomi. Tujuan politik di antaranya untuk men-ciptakan suprastruktur dan in-frastruktur politik yang demokra-tis berbasis pada kedaulatan rakyat. Diwujudkan dalam bentuk pemilihan kepala daerah, pengi-sian keanggotaan DPRD secara langsung oleh rakyat. Tujuan Ad-ministrasi yaitu agar pemerintahan daerah yang dipimpin oleh kepala daerah dan bermitra dengan DPRD dapat menjalankan fungsinya un-tuk memaksimalkan nilai-nilai 4E, yakni efektivitas, efisiensi, equity/kesetaraan, dan ekonomi. Tujuan sosial ekonomi adalah bagaimana modal masya rakat yang berwu-jud modal sosial, modal intelek-tual, dan mo dal finansial dapat didayagunakan untuk mewujud-kan terciptanya kesejahteraan masyarakat secara luas. Gejala yang terlihat dalam pembentukan daerah otonom di Indonesia pasca reformasi lebih banyak didasarkan pada tujuan/pertimbangan politik. Sementara itu, kriteria dasar dari aspek manajemen pemerintahan penentuan ideal yang ditawar-

28 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAHDALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014

Suryanto

Page 34: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

Tabel 2.Estimasi Pertambahan Provinsi Berdasarkan Berbagai Formulasi

Formulasi Penambahan Hingga 2025 Estimasi Jumlah Propinsi 2025

Administrasi Publik 0 - 14 Propinsi 33 - 47 PropinsiManajemen Pemerintahan 27 - 55 Propinsi 70 - 88 PropinsiManajemen Keuangan 2 - 6 Propinsi 31 - 39 PropinsiDemografi 6 - 31 Propinsi 39 - 64 PropinsiGeografi 15 Propinsi 48 PropinsiPertahanan Keamanan 9 Propinsi 43 Propinsi

Sumber: Partnership Policy Paper No. 1/2011

kan untuk pembentukan daerah termasuk untuk pembentukan provinsi adalah mencakup 3 varia-bel utama, yaitu jumlah penduduk bersifat dinamis, luas wilayah ber-sifat statis, dan rentang kendali (span of control) pemerintahan.

Pada formula manajemen keuangan penambahan provinsi sampai tahun 2025 sebanyak 2-6 provinsi, sedang perkiraan jum-lah provinsi antara 31-39 provinsi. Indikator yang dapat digunakan sebagai indikator ukuran optimal pemerintahan daerah dari aspek keuangan daerah adalah hanya variabel jumlah penduduk. Kondi-si dari indikator ini meningkat dari waktu ke waktu, sehingga ukuran dan jumlah pemerintahan daerah dimungkinkan selalu ersifat dina-mis. Ukuran pemerintahan daerah kabupaten/kota dan provinsi juga berbeda antar wilayah di Indone-sia. Jumlah penduduk yang ber-beda antar wilayah juga berakibat pada jumlah pemerintahan daerah provinsi yang berbeda-beda antar wilayah. Jumlah provinsi yang ide-al pada tahun 2025 diperkirakan berjumlah 39 provinsi.

Pada formula demografi penam-bahan provinsi sampai tahun 2025 sebanyak 6-31 provinsi, sedang perkiraan jumlah provinsi an-tara 39-64 provinsi. Pada formu-la geografi penambahan provinsi sampai tahun 2025 sebanyak 15

provinsi, sedang perkiraan jumlah provinsi antara 48 provinsi. Pen-duduk Indonesia pada tahun 2005 berjumlah 219 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk seti-ap tahunnya sebesar 1,34. Hingga saat ini penduduk Indonesia ter-konsentrasi di Pulau Jawa Proses pemekaran daerah masih meng-hadapi berbagai kendala dian-taranya, ketersediaan pelayanan umum yang sangat terbatas se-perti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Distribusi pelayanan dikaitkan dengan luas wilayah dan jumlah penduduk. Jumlah pen-duduk yang besar menjadi salah satu alasan kecenderungan suatu kabupaten atau kota dimekarkan. Jumlah penduduk dan luas wilayah menjadi variabel ukuran kelayakan pemekaran wilayah karena secara langsung terkait dengan perma-salahan penyediaan pelayanan publik. Dari sisi kependudukan tidak hanya jumlah penduduk na-mun juga faktor kepadatan pen-duduk, persebaran dan masalah etnis. Yang juga menjadi perha-tian adalah berapa jumlah staf pemerintahan lokal yang optimal untuk bisa memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Pada formula geografi, penam-bahan provinsi hingga 2025 se-banyak 15 provinsi. Faktor yang dominan di dalam aspek geografi dalam pembagian wilayah ada-

29JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAHDALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014

Suryanto

Page 35: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

lah parameter berikut: hidrologi, perairan kepulauan, geo-ekonomi, topografi, ekologi dan geo-hazard, geo-sosbud, dan geopolitik. Pa-rameter tersebut merupakan as-pek geografi yang telah dipertim-bangkan dalam rangka melakukan pengkajian berbasis data geo-spa-sial untuk memperoleh jumlah ide-al pemekaran daerah otonom baru pada tingkat provinsi.

Pada formula pertahanan ke-ama nan penambahan provinsi sam pai tahun 2025 sebanyak 9 provinsi, sedang perkiraan jumlah provinsi antara 43 provinsi. Ada-pun pada formula sosial ekonomi penambahan provinsi sampai ta-hun 2025 tidak tersedia data, demikian pula perkiraan jumlah provinsi tidak tersedia datanya.

Hasil kajian Partnership terse-but dilaksanakan pada tahun 2011, setahun setelah dokumen Desartada 2010-2015 diterbit-kan, jumlah penambahan provinsi (8 provinsi) telah sesuai dengan sudut pandang yang dikemuka-kan khususnya sudut pandang administrasi publik (0-14 provin-si), sudut pandang manajemen keuang an (2-6), dan sudut pan-dang demografi (6-31). Penamba-han pada sudut pandang geografis pun terwujud dengan pengesahan UU No. 20 Tahun 2012 tentang Pembentukan Provinsi Kalimantan Utara. Pada bagian menimbang butir b disebutkan:

“bahwa sehubungan de ngan hal tersebut di atas dan mem-perhatikan kondisi wilayah yang secara geogra fis ber-batasan dengan negara lain baik di darat maupun di laut, dengan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, politik, jumlah penduduk, luas daerah dan pertimbangan lain-

nya di Kabupaten Bulungan, Kota Tarakan, Kabupaten Nu-nukan, Kabupaten Malinau, dan Kabupaten Tana Tidung serta meningkatnya beban tu-gas dan volume kerja di bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan di Provin-si Kalimantan Timur, perlu dibentuk Provinsi Kalimantan Utara” (Klausul Menimbang, butir b UU No. 12 Tahun 2012).

Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit mengenai ala-san pertahanan keamanan, na-mun dengan mengingat kondisi daerah perbatasan yang rawan terhadap perubahan pertahanan keama nan, maka pembentukan Provinsi Kaltara dapat dilihat dari sudut pandang pertahanan kea-manan. Persoalannya kemudian setelah daerah tersebut menjadi daerah otonom, apakah mereka dapat memperjuangkan daerah-nya agar menjadi daerah otonom yang mandiri dan sejahtera(?) Hal ini perlu menjadi renungan bersa-ma antara Pemerintah dan DPR RI memutuskan – berdasarkan hasil penilaian – bahwa Daerah Persia-pan XYZ layak untuk ditetapkan menjadi Daerah Otonom Definitif. F. PENUTUP

Kehendak melakukan peme-karan daerah dilandasi berbagai alasan dan argumentasi, yang dibungkus dengan pemenuhan seluruh persyaratan yang telah diatur dalam peraturan perun-dang-undangan. Terbitnya PP No. 129/2000, dan PP No. 78/2007 yang mengatur persyaratan pe-nataan daerah (pemekaran dan penggabungan daerah) masih menjadi tanda tanya besar dalam konteks mewujudkan efektivitas penataan daerah di Indonesia.

Fakta dan data telah mem-

30 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAHDALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014

Suryanto

Page 36: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

buktikan bahwa pembentukan DOB ternyata belum memberikan dampak signifikan terhadap pen-capaian tujuan otonomi daerah yaitu kesejahteraan masyarakat, pelayanan publik, dan daya saing daerah yang semakin baik. Bah-kan, rilis evaluasi EDOHP oleh Ke-mendagri menyatakan hanya 20% DOB yang berkinerja cukup ting-gi dan tinggi, selebihnya sebesar 80% DOB berkinerja buruk.

Berbagai persyaratan yang se-benarnya sudah cukup berat se-lalu dapat dipenuhi oleh pihak pengusul, sehingga usul peme-karan daerah dikabulkan oleh Pemerintah dan DPR RI. Sampai tahun 2014, penambahan daerah pemekaran sebanyak 223 daerah, yang terdiri dari 8 provinsi, 182 kabupaten, dan 33 kota sehing-ga total Daerah Otonom menjadi 542, yang meliputi 34 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota (Ke-mendagri, 2015 dalam www.otda.kemendagri.go.id). Laju pemeka-ran daerah selama hampir dua dasawarsa terakhir sangat tinggi terutama penambahan daerah ka-bupaten (dari 233 kabupaten men-jadi 415 kabupaten atau sebesar 178%). Adapun untuk penamba-han provinsi sebanyak 8 daerah yaitu dari 26 menjadi 34 provinsi (31%), sedangkan penambahan kota sebanyak 30 daerah yakni dari 60 menjadi 93 daerah (55%). Lalu, ini salah siapa? Sebenarnya tidak ada yang perlu disalahkan apabila daerah yang dimekarkan tadi memang memenuhi ‘janji-jan-ji’ sesuai dengan alasan melaku-kan pemekaran daerah.

Berdasarkan uraian tersebut, penulis mengusulkan hal-hal se-bagai berikut: Pertama, perubah-an mindset Pemerintah dan DPR

RI bahwa penataan daerah tidak lagi sekedar pemenuhan persya-ratan formal, tetapi perlu dilihat pula persyaratan substansial apa-kah memang daerah yang diusul-kan tersebut layak/tidak menja-di daerah persiapan. Perubahan mindset tersebut dapat dilakukan melalui pendidikan dan pelati-han bagi calon pimpinan (peserta Diklatpim) dan pimpinan puncak di lingkup Pemerintah, melakukan kunjungan ke DOB yang dianggap “sukses” dan “gagal”, dan semi-nar/lokakarya/diskusi terbatas yang memberikan pembelajaran ba gi semua pihak akan sejumlah kerugian pemekaran yang cen de-rung kontraproduktif. Selanjut-nya, dengan perubahan pintu ma-suk (entry point) usul pemekaran daerah yaitu melalui satu pintu Pemerintah/eksekutif, maka Pe-merintah dan DPR RI diharapkan saling “legowo” apabila terjadi pe-nolakan terhadap penetapan suatu daerah menjadi daerah baru. Kedua, perlu dilakukan pembinaan dan pengawasan yang lebih ketat lagi melalui pembinaan kepada wilayah-wilayah yang selama ini merasa terpinggirkan dari pusat pemerintahan, pengawasan terha-dap self assessment oleh tim inde-penden terkait penilaian kelayakan suatu daerah yang akan diusulkan, dan sebagainya guna menghindari terjadinya bias dalam pembuatan keputusan pemekaran daerah oleh Pemerintah dan DPR RI.

Ketiga, pengetatan persyaratan pemekaran daerah menurut UU No. 23/2014 sudah cukup kompre-hensif, namun hendaknya dapat dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah-nya nanti. Sampai saat ini belum diterbit-kan satu pun peraturan pelak-sana UU No. 23/2014, semoga

31JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAHDALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014

Suryanto

Page 37: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

dengan masih tersisa waktu ku-rang lebih 3 bulan ke depan, Tim perumus RPP Pemekaran Daerah dapat menyelesaikan pekerjaan-nya sehingga dapat menerbitkan PP pengganti PP No. 78/2007 te-pat pada tanggal 2 Oktober 2016 sesuai amanat Pasal 410 UU No. 23/2014: “Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Un-dang ini diundangkan”. Keempat, mempercepat pembahasan RPP mengenai desain besar penataan daerah (Desartada) sebagai salah satu landasan dalam melakukan penataan daerah. Kelima, perlu konsistensi dalam melaksanakan penataan daerah, Pemerintah dan DPR RI tidak perlu takut melak-sanakan penggabungan daerah apabila menurut hasil penilaian, DOB tersebut tidak layak menjadi daerah baru. Dampak penggabu-ngan ini tidak hanya memenuhi aspek formal perundangan, na-mun sekaligus akan memberikan ‘pelajaran’ bagi daerah lain atau pengusul lain yang akan memekar-kan daerahnya.

DAFTAR PUSTAKADjadijono, M., I Made Leo Wirat-

ma, dan T.A. Legowo. 2006. Membangun Indonesia dari Daerah. Jakarta: CSIS.

Kaho, Josef Riwu. 2002. Prospek Otonomi Daerah di Negara Re-publik Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Perkasa.

Said, M. Mas’ud. 2005. Arah Baru Otonomi Daerah di Indonesia. Malang: UMM Press.

Suryanto, Adi dkk., 2008. Evalua-si Kinerja Daerah Otonom Baru.

Jakarta: PKKOD LAN.__________________., 2009.

Evaluasi Pembentukan, Pe-mekaran, Penggabungan dan Penghapusan Daerah. Jakarta: PKKOD LAN.

Kementerian Dalam Negeri dan Tim Pakar, 2010. Evaluasi Daer-ah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP), Jakarta: Kemendagri.

Kementerian Dalam Negeri, 2010. Desain Besar Penataan Daer-ah 2010-2015, Jakarta: Ditjen Otda Kemendagri.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 tentang Pers-yaratan Pembentukan dan Kri-teria Pemekaran Penghapusan dan Penggabungan Daerah.

Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah.

http://www.kemitraan.or.id/sites/default/files/20110510101702.Po l i c y%20Br i e f%20PSG%201-2011.pdf diunduh tanggal 14 Juni 2016.

http://www.Republika.co.id/beri-ta/dpd-ri/berita-dpd/16/02/26/o35tp5219-dpd-r i-bahas-rpp-desain-besar-penataan-daerah-bersama-dpr-dan-pemerintah diunduh tanggal 14 Juni 2016.

http://otda.kemendagri.go.id/in-dex.php/2014-10-27-09-15-39 diunduh tanggal 14 Juni 2016.

http://nasional.s indonews.com/read/1088640/12/dpr-pemer-intah-sepakat-lanjutkan-peme-karan-88-daerah-1456494002 diunduh tanggal 16 Juni 2016.

32 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAHDALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014

Suryanto

Page 38: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DESA:BUMDES Desa Karangrejek Gunungkidul Yogyakarta.

Abstrak: Maraknya pendirian BUMDes yang dilakukan pemerintah ternyata belum diimbangi dengan kualitas BUMDes yang terbentuk. Dari belasan ribu BUMDes hanya sedikit BUMDes yang dianggap sukses dan berhasil dalam pengelolaannya. Keberhasilan suatu BUMDes dalam menjalankan usahanya tentu bisa menjadi panutan desa lain untuk bisa mendapatkan hasil serupa. Salah satunya adalah BUMDes Desa Karangrejek. BUMDes tersebut mampu menjadi pilar pengembangan ekonomi, penopang berbagai kegiatan masyarakat serta berperan serta dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tulisan ini bertujuan mengidentifikasi faktor apa yang membuat BUMDes Karangrejek bisa berhasil mengembangkan usahanya dan bertahan hingga sekarang. Pendekatan studi yang digunakan adalah kualitatif, dengan metode yang digunakan adalah deskriptif. Data primer diperoleh dari wawancara dengan kepala desa dan direksi serta pengurus BUMDes Karangre-jek sedangkan data sekunder terkait BUMDes Karangrejek diperoleh dari pengurus BUMDes dan penelusuran di internet. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada 5 faktor yang menjadi kunci keberhasilan BUMDes Karangrejek. Pertama, kearifan lokal; Kedua, kuatnya dukungan masyarakat, pemerintah (pusat maupun daerah) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM); Ketiga, kepemimpinan kepala desa; Keempat, pemilihan usaha yang tepat berbasis potensi desa; Kelima, pengelolaan usaha.Kata Kunci: BUMDes, Karangrejek, TeladanAbstract: The rise of Village-owned enterprises (BUMDes) apparently does not matched by the quality of BUMDES management. Out of tens of thousands BUMDeses, few deemed successful. A successful BUMDES will be looked up by other BUMDeses, as shown by the case of BUMDeses Karangrejek. The BUMDES is able to become a pillar of economic development, to support various community activities and to participate in improving the welfare of the community.This paper aims to identify what makes BUMDes Karangrejek successfully managed their business sustainability. The study used descriptive, qualitative study. The primary data ob-tained from interviews with village heads and directors and administrators BUMDes Karan-grejek while secondary data obtained from the relevant BUMDes Karangrejek BUMDes board and other internet-based sources. The results showed that there are five factors that are key to the success story of BUMDes Karangrejek, namely local wisdom; strong support from the public, the government (central and local) and the Non Governmental Organizations (NGOs); the leadership of the village head; the selection of appropriate business line based on the potential of the village; and the management of the business.Keywords: BUMDes, Karangrejek, role model

MANAGING VILLAGE-OWNED ENTERPRISE (BUMDES): Study on BUMDES Karangrejek Gunungkidul Yogyakarta

Tony Murdianto HidayatPeneliti Pertama Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah

Lembaga Administrasi Negara

A. PENDAHULUANSalah satu program nawacita Presi-

den Jokowi adalah membangun In-donesia dari pinggiran dengan mem-

perkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Melalui program tersebut, pemerintah Jokowi ingin membangun Indonesia

33JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

Artikel

Page 39: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

melalui pendekatan bottom up. Di satu sisi daerah akan menjadi pilar dalam pembangunan dan di sisi lain peme-rintah pusat lebih banyak menjalani peran mengarahkan. Diharapkan de-ngan penguatan daerah dan desa akan membuat Indonesia menjadi se-makin kuat.

Upaya tersebut selaras dengan pro-gram pengembangan ekonomi desa yang telah lama digulirkan pemerintah. Sudah cukup banyak kebijakan atau program pemerintah yang telah diim-plementasikan untuk pemberdayaan dan kemandirian desa baik yang ber-kaitan dengan sosial, politik maupun ekonomi. Dahulu kita mengenal pro-gram Kredit Usaha Tani (KUT), Pro-gram Pengembangan Wilayah (PPW), Pengembangan Kawasan Terpadu (PKT), Inpres Desa Tertinggal (IDT), Jaring Pengaman Sosial (JPS), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Program Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Program Pengembangan Infrastruktur Perde-saan (PPIP), Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP), Kredit Usaha Rakyat (KUR), Pembinaan Pen-ingkatan Pendapatan Petani-Nelayan Kecil ((P4K), Kelompok Usaha Bersa-ma Ekonomi (KUBE), Kredit Koperasi dan Usaha Kecil menengah (UKM), Program Nasional Pemberdayaan Mas-yarakat (PNPM) dan sebagainya. Na-mun tampaknya pelaksanaan berbagai program tersebut belum memberikan hasil yang diharapkan.

Kebijakan lain yang dicanangkan pemerintah dalam upaya mewujudkan kemandirian desa adalah Badan Usa-ha Miliki Desa (BUMDes). Ketentuan mengenai BUMDes mulai diatur dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah daerah. BUMDes merupakan wadah usaha desa yang memiliki semangat kemandirian, ke-bersamaan, dan kegotong-royongan

antara pemerintah desa dan masya-rakat untuk mengembangkan aset-aset lokal, memberikan pelayanan dan meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat dan desa. Sebelum kebi-jakan tersebut muncul beberapa desa sudah mendirikan BUMDes meskipun dengan nama yang berbeda-beda. Je-nis usaha yang dilakukan pada umum-nya adalah simpan-pinjam (keuang-an mikro) meskipun ada juga yang menyelenggarakan usaha lain, mi-salnya pelayanan air bersih bagi ma-sya rakat.

Perkembangan jumlah BUMDes sangat pesat dalam dua tahun ter-akhir ini. Data Kementerian Desa, Pemba ngunan Daerah Tertinggal dan Transimigrasi (Desa dan PDT) men-catat pada tahun 2014 terdapat 1.022 BUMDes, naik menjadi 12.115 di tahun 2016. Menurut Menteri Desa dan PDT Marwan Jafar sebagaimana dikutip re-publika online tanggal 22 Mei 2016, perkembangan tersebut tidak terle-pas dari kontribusi Dana Desa Tahun 2015. Ketentuan dalam pasal 9 Pera-turan Menteri Desa PDT dan Transmi-grasi Nomor 21 Tahun 2015 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2015 menyebutkan bah-wa salah satu prioritas dalam peman-faatan dana desa adalah pendirian dan pengembangan BUMDes. Pada awalnya Kementerian Desa dan PDT hanya menargetkan pembentukan 5000 BUMDes, tapi seiring berjalannya waktu BUMDes yang terbentuk sudah melebihi target. Keberadaan BUMDes diharapkan akan memunculkan se-mangat masyarakat dalam memba-ngun dan mengembangkan perekono-mian desa. Selain itu BUMDes juga diyakini akan mampu menjadi sarana penyerapan tenaga kerja di desa, pe-ningkatan kreatifitas masyarakat desa dan membuka peluang usaha ekonomi produktif di desa. Dengan demikian, BUMDes akan hadir menjadi tulang

34 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DESA:BUMDES Desa Karangrejek Gunungkidul Yogyakarta

Tony Murdianto Hidayat

Page 40: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

punggung perekonomian desa dalam rangka mewujudkan kemandirian desa dan mencapai cita-cita pembangunan, yakni peningkatan kesejahteraan war-ganya.

Semangat untuk mendirikan BUM-Des yang dilakukan pemerintah tentu harus mendapat respon positif. Se-bagai salah satu sarana untuk mewu-judkan kemandirian desa, BUMDes memang diharapkan menjadi salah satu pondasi pelaksanaan pembangu-nan di desa. Namun, upaya pendirian BUMDes secara masif tentu harus di-cermati secara kritis. Jangan sampai karena dalih pencapaian target men-jadikan pendirian BUMDes tanpa per-hitungan yang matang. Bila demikian, alih-alih akan bermanfaat BUMDes tersebut justru akan menjadi beban bagi desa karena dana desa menjadi salah satu modal BUMDes.

Hasil kunjungan lapangan tim Pu-sat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah (PKDOD) ke Kabupaten Ban-taeng di Propinsi Sulawesi Selatan beberapa waktu lalu mendapatkan informasi bahwa pendirian BUMDes secara masif yang diprakarsai oleh Bu-pati ternyata tidak memberikan hasil yang diharapkan. Meskipun telah ba-nyak BUMDes di Kabupaten Bantaeng yang didirikan, tetapi hanya sedikit BUMDes yang bisa dikatakan tumbuh dan mampu menjaga keberlangsung-an usahanya. Tampaknya pendirian BUMDes dengan pendekatan dari atas, cenderung seragam dan tidak banyak melibatkan masyarakat desa sehing-ga sulit untuk menghasilkan BUMDes yang berhasil dan berkelanjutan.

Upaya pendirian BUMDes secara masif oleh pemerintah tentu harus dibarengi upaya pengembangan dan pengelolaan BUMDes agar dapat ter-cipta BUMDes-BUMDes yang mampu tumbuh dan berkembang secara berke-lanjutan. Di Yogyakarta, ada beberapa

BUMDes yang dinilai telah berhasil dalam pengelolaannya. Salah satun-ya adalah BUMDes Desa Karangrejek. BUMDes tersebut telah menjadi ruju-kan bagi desa lain yang ingin mendiri-kan dan mengembangkan BUMDes di desanya. BUMDes Karangrejek sudah cukup lama berdiri, dan hingga seka-rang masih mampu bertahan bahkan semakin berkembang. Kontribusi BUM-Des kepada desa dan pemerintah desa Karangrejek cukup besar, kontinyu dan stabil dari tahun ke tahun.

Pada tahun 2012, Desa Karangre-jek menjadi juara 2 nasional dalam lomba antar desa yang diadakan pe-merintah pusat. Salah satu penyebab berhasilnya Desa Karangrejek men-jadi juara adalah karena keberadaan BUMDes Karangrejek. BUMDes Ka-rangrejek dipandang mampu mewu-judkan kemandirian Desa Karangre-jek dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. BUMDes Karangre-jek menjadi salah satu pilot project pengembangan BUMDes di Kabupaten Gunung Kidul.

Tulisan ini bertujuan mengidentifi-kasi faktor kunci keberhasilan BUMDes Desa Karangrejek dalam mengem-bangkan usahanya secara berkelan-jutan. Pendekatan yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Data pri-mer diperoleh dalam kegiatan diskusi dengan kepala desa, direksi BUMDes dan pengelola unit usaha Pengelola Air Bersih (PAB) BUMDes Karangrejek. Data sekunder digunakan untuk me-lengkapi uraian dan analisis bersum-ber dari kebijakan Pemerintah Daerah dan berbagai sumber di internet. Data yang diperoleh kemudian diklasifikasi, dikelompokkan dan ditabulasi menurut jenisnya. Data yang telah diperoleh kemudian digunakan dalam analisis.B. KONSEP DAN KEBIJAKAN BUM-

DESBadan Usaha Milik Desa (BUMDes)

35JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DESA:BUMDES Desa Karangrejek Gunungkidul Yogyakarta

Tony Murdianto Hidayat

Page 41: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

adalah lembaga usaha desa yang dike-lola oleh masyarakat dan pemerintah-an desa dalam upaya memperkuat perekonomian desa dan dibentuk berdasarkan kebutuhan dan potensi desa. BUMDes diharapkan menjadi pi-lar dalam menggerakkan perekonomi-an desa sekaligus sebagai salah satu kontributor peningkatan Pendapat Asli Desa (PADesa).

Berbeda dengan lembaga ekonomi pada umumnya, ada dua peran yang dimiliki BUMDes yaitu sebagai lem-baga sosial dan lembaga komersil. Sebagai lembaga sosial, keberadaan BUMDes ditujukan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat desa. Oleh karena itu, jenis usaha BUMDes biasanya terkait langsung dengan ke-butuhan masyarakat desa. Sebagai lembaga komersil, BUMDes didiri-kan untuk mencari keuntungan guna meningkatkan kesejahteraan masya-rakat desa. Terdapat 10 (sepuluh) ciri utama yang membedakan BUMDes dengan lembaga ekonomi komersial pada umumnya yaitu:1. Badan usaha ini dimiliki oleh desa

dan dikelola secara bersama;2. Modal usaha bersumber dari desa

(51%) dan dari masyarakat (49%) melalui penyertaan modal (saham atau andil);

3. Dijalankan dengan berdasarkan asas kekeluargaan dan kego-tongroyongan serta berakar dari tata nilai yang berkembang dan hidup dimasyarakat (local wis-dom);

4. Bidang usaha yang dijalankan didasarkan pada pengemba ng-an potensi desa secara umum dan hasil informasi pasar yang menopang kehidupan ekonomi masyarakat;

5. Tenaga kerja yang diberdayakan dalam BUMDes merupakan tenaga kerja potensial yang ada di desa;

6. Keuntungan yang diperoleh ditu-jukan untuk meningkatkan kese-jahteraan masyarakat desa dan atau penyerta modal;

7. Pengambilan keputusan dan penyelesaian masalah dilakukan melalui musyawarah desa;

8. Peraturan-peraturan BUMDes di-jalankan sebagai kebijakan desa (village policy);

9. Difasilitasi oleh Pemerintah, Pem-prov, Pemkab, dan Pemdes;

10. Pelaksanaan kegiatan BUMDes di-awasi secara bersama (Pemdes, BPD, anggota).

Pengelolaan BUMDes didasarkan pada semangat gotong royong dan kebersamaan. Dengan demikian par-tisipatif dan inisiatif masyarakat desa sangat diharapkan karena merekalah yang mengetahui secara pasti dan detil tentang semua potensi desa dan sumber daya desa. Maryunani (2008) mengemukakan ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam pem-bentukan BUMDes yaitu:a. Logika pembentukan BUMDesa

didasarkan pada kebutuhan, po-tensi, dan kapasitas desa, sebagai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat di desa.

b. Perencanaan dan pembentukan BUMDesa adalah atas prakarsa (inisiasi) masyarakat desa, serta mendasarkan pada prinsip-prinsip ko-operatif, partisipatif & emansi-patif (user-owned, user-benefited, and user-controlled) dengan me-kanisme member-based dan self-help.

c. Pengelolaan BUMDesa harus dilakukan secara profesional, ko-operatif, dan mandiri.

d. Bangun BUMDesa dapat beragam di setiap desa di Indonesia.

Maksud pembentukan BUMDes adalah: (1) Menumbuhkembangkan

36 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DESA:BUMDES Desa Karangrejek Gunungkidul Yogyakara

Tony Murdianto Hidayat

Page 42: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

per ekonomian desa; (2) Meningkat-kan Sumber Pendapatan Asli Desa; (3) Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan jasa bagi peruntukan hajat hidup masyarakat desa; (4) Sebagai perintis bagi kegia-tan usaha di desa. Sedangkan tujuan pembentukan BUMDes antara lain: (1) Meningkatkan peranan masyarakat desa dalam mengelola sumber-sumber pendapatan lain yang sah; (2) Menum-buhkembangkan kegiatan ekonomi masyarakat desa, dalam unit-unit usa-ha desa; (3) Menumbuhkembangkan usaha sektor informal untuk dapat menyerap tenaga kerja masyarakat di desa; (4) Meningkatkan kreatifitas berwira usaha masyarakat desa yang berpenghasilan rendah.

Prinsip kebersamaan menjadi kekuatan tersendiri dalam menge-lola BUMDes. Dengan berusaha se-cara bersama-sama diharapkan akan membangkitkan kemandirian dalam diri masyarakat, sehingga tidak meng-harapkan lagi jenis-jenis bantuan dari pemerintah baik yang bersifat hibah ataupun pinjaman. Maryunani (2008) mengatakan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan BUMDes yaitu:1. Sebagai pengelola adalah semua

masyarakat desa yang memiliki orientasi melakukan usaha ber-sama dibantu aparat pemerintah desa sebagai fasilitator dan pe-nyambung komunikasi dengan pe-merintah daerah.

2. Bentuk kegiatan harus bersifat ke-mitraan dan memiliki kontrak.

3. Pembinaan bisa langsung dari pemerintah daerah atau dari lem-baga-lembaga non profit, seperti LSM, perguruan tinggi, organisasi masyarakat, dan lain-lain.

4. Wilayah cakupan tidak harus satu desa. Jika beberapa desa memiliki orientasi yang sama maka dapat

melakukan usaha secara bersa-ma-sama dalam satu wadah BUM-Des (kluster). Apalagi jika bahan mentah dan produk disebarkan di beberapa desa.

5. Bentuk badan usaha harus bersi-fat kebersamaan dan mandiri.

6. Bentuk usaha bisa berbentuk pembiyaan seperti usaha simpan pinjam, ataupun berbentuk riil seperti usaha kerajinan, pertani-an, peternakan, pasar, wisata dan lain-lain.

7. Keanggotaan adalah semua masyarakat desa yang memiliki kepentingan yang sama dalam ber usaha, selain itu aparat pe-merintah desa juga akan mem-fasilitasi, dan bisa juga pihak ke-tiga (investor) yang menanamkan modalnya untuk dikembangkan dan menjadi usaha bersama.

Kebijakan tentang BUMDes dimulai pada tahun 2004 dengan diterbitkan-nya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Dalam undang-undang tersebut pa-sal 213 ayat 1 disebutkan bahwa desa dapat mendirikan badan usaha sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa. Pengaturan lebih lengkap mengenai BUMDes diberikan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 72 Tahun 2005 tentang Desa. Dalam kebijakan terse-but, yaitu Bagian Kelima, pasal 78-81 diatur tentang ketentuan mengenai pendirian BUMDes, kewajiban BUMDes untuk memiliki dasar hukum, pemodal-an, ketentuan tentang kepengurusan BUMDes, hak BUMDes untuk melaku-kan pinjaman dan amanat bagi Pemda untuk menerbitkan Perda tentang Tata Cara Pembentukan dan Pengelolaan BUMDes.

Ketentuan yang lebih khusus me-ngenai BUMDes dituangkan dalam Permendagri No. 39 Tahun 2010 ten-tang Badan Usaha Milik Desa. Dalam

37JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DESA:BUMDES Desa Karangrejek Gunungkidul Yogyakarta

Tony Murdianto Hidayat

Page 43: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

Gambar 1.Berbagai kebijakan pemerintah yang terkait dengan BUMDes

38 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DESA:BUMDES Desa Karangrejek Gunungkidul Yogyakara

Tony Murdianto Hidayat

Sumber: Data diolah

Page 44: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

peraturan tersebut diatur tentang di-gunakannya Peraturan Desa sebagai dasar hukum pembentukan BUMDes. Selain itu, dalam pasal 5 dijelaskan syarat dan mekanisme pembentukan BUMDes. Ketentuan mengenai organ-isasi pengelolaan BUMDes dijelaskan pada pasal 6-11, sedangkan jenis us-aha dan permodalan BUMDes diatur dalam pasal 12-16.

Kebijakan mengenai BUMDes yang terbaru dituangkan Undang-undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, pada Bab X pasal 87-90. Ada beberapa hal yang diatur dalam kebijakan tersebut yaitu ketentuan bahwa pendirian BUM-Des harus disepakati melalui Musdes. Selain itu undang-undang tersebut mengatur alokasi pendapatan usa-ha BUMDes. Pemerintah baik pusat, propinsi dan kabupaten berkewajiban mendorong pengembangan BUMDes dengan memberi akses modal, pen-dampingan teknis dan akses pasar serta memprioritaskan BUMDes da-lam pengelolaan sumber daya alam di desa.

Untuk operasionalisasi implementa-si Undang-undang No. 6 Tahun 2014 Pemerintah mengeluarkan PP No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelak-sanaan Undang-undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. PP tersebut pada dasarnya melengkapi dan merinci ber bagai ketentuan tentang BUMDes yang telah ada sebelumnya. Beberapa hal yang diatur dalam PP tersebut ada-lah mekanisme pendirian dan penge-lola organisasi pengelola (Pasal 132), mo dal dan kekayaan desa, anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, pengembangan usaha dan termasuk mekanisme pendirian BUMDes bersa-ma.

Saat ini landasan hukum mengenai keberadaan dan tata kelola BUMDes semakin diperjelas oleh pemerintah dengan ditetapkannya Peraturan Men-

teri Desa dan PDT (Permendes) No. 4 Tahun 2015 tentang BUMDes. Meski-pun sebelumnya Menteri Dalam Negeri juga mengeluarkan Peraturan Ment-eri Dalam Negeri (Permendagri) No. 113 Tahun 2014 tentang pengelolaan Keuangan desa, namun Permendagri tersebut tidak menyinggung menge-nai BUMDes. Permendes No. 4 Tahun 2015 menjelaskan secara lebih terper-inci mengenai proses pendirian BUM-Des, siapa saja yang berhak me ngelola BUMDes, permodalan BUMDes, je-nis usaha yang diperbolehkan, sam-pai dengan pelaporan dan pertang-gungjawaban pelaporan BUMDes di atur dalam Permen ini. Ketentuan ini menjadi panduan bagi desa-desa yang akan mendirikan dan mengelola serta mengembangkan BUMDes.C. BERKAH BUMDES BAGI MAS-

YARAKAT DESA KARANGREJEKBUMDes Karangrejek sudah ter-

bentuk pada tahun 2009 dan bernama BUMDes Tirta Kencana, dengan dasar hukum pembentukannya adalah Pera-turan Desa Karangrejek No. 5 Tahun 2009 tanggal 1 Juli 2009. Seiring ber-jalannya waktu, BUMDes Tirta Kencana mengalami berbagai pembahasan dan perubahan termasuk dalam hal pem-bahasan Anggaran Dasar BUMDes. Pada tahun 2010 terbit Peraturan Desa Karangrejek No. 6 Tahun 2010 tentang perubahan atas Peraturan Desa No 5 Tahun 2009 tentang Pembentukan Badan Usaha Milik Desa. Berdasarkan ketentuan ini BUMDes Tirta Kencana berubah nama menjadi BUMDes Ka-rangrejek. Hal ini untuk menindak-lanjuti Peraturan Daerah Kabupaten Gunung Kidul No. 5 tahun 2010 ten-tang perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Gunung Kidul No. 5 tahun 2008 tentang BUMDes. Pada tahun 2014 terbitlah Peraturan Desa Ka-rangrejek No. 6 Tahun 2014 sebagai penyempurnaan dari Peraturan Desa

39JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DESA:BUMDES Desa Karangrejek Gunungkidul Yogyakarta

Tony Murdianto Hidayat

Page 45: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

Karangrejek No. 10 Tahun 2010.Maksud pembentukan BUMDes Ka-

rangrejek adalah untuk menampung dan mendorong seluruh kegiatan ekonomi masyarakat, baik yang tum-buh dan berkembang menurut adat istiadat, budaya setempat maupun kegiatan perekonomian yang diserah-kan untuk dikelola oleh masyarakat melalui program Pemerintah, Peme-rintah Provinsi, Pemerintah Daerah, dan Pemerintahan Desa. Sedangkan tujuan pembentukannya adalah: 1). mendorong perkembangan perekono-mian masyarakat desa; 2). mening-katkan kreatifitas dan peluang usaha ekonomi produktif masyarakat desa; 3). mendorong tumbuh dan berkem-bangnya usaha mikro sektor informal; 4). meningkatkan pendapatan dan ke-se jahteraan masyarakat desa; dan 5). meningkatkan pendapatan asli desa.

Saat ini BUMDes Desa Karangrejek memiliki beberapa unit usaha yang telah berjalan yaitu jasa pelayanan air bersih dengan nama Pengelolaan Air Bersih Tirta Kencana (PAB TK), jasa simpan pinjam dengan nama Unit Kredit Mikro (UKM) Tirta Kencana, dan UKMA Amrih Ngrembaka (pertanian). Kepengurusan BUMDes terdiri dari unsur Pemerintah Desa, BPD, LPMD, dan/atau tokoh masyarakat dengan masa bakti selama-lamanya 4 tahun. BUMDes Desa Karangrejek telah ber-jalan dengan cukup baik dan mampu memberikan kontribusi keuntungan kepada pemerintah Desa Karangrejek sebesar 20 % dari sisa hasil usaha.

Pengembangan BUMDes Karang-re jek melibatkan peran serta masya-rakatnya. Pemerintah desa berusaha melibatkan masyarakat untuk berpe-ran aktif dalam pembangunan di de-sanya. Keterlibatan masyarakat ini di mulai dari perencanaan, pelaksa-naan, hingga pengelolaan dan evalu-asi. Pengambilan keputusan dalam

perencanaan pembangunan dilakukan dengan melibatkan stakeholder dalam masyarakat. Kepala dusun dan tokoh masyarakat memegang peran penting untuk mendistribusikan ide, gagasan, manfaat pembangunan ini kepada warga sehingga muncul komitmen seluruh warga untuk terlibat dalam gotong royong pembangunan sarana dan prasarananya. Partisipasi masya-rakat saat pelaksanaan pembangunan infrastruktur sarana dan prasarana air bersih dilakukan dengan bergotong royong di lingkungan RT mereka. Ben-tuk partisipasi masyarakat setelah air mengalir adalah dengan turut serta menjadi konsumen PAB TK.

Kondisi masyarakat Desa Karangre-jek sebelum berdirinya BUMDes jauh dari sejahtera dan termasuk dalam kategori desa miskin. Pendapatan Asli Desa (PADes) juga masih tergolong rendah. Selain rendahnya penge-tahuan, kendala lain adalah kurang memadainya sarana dan prasarana umum, perkantoran, transportasi dan pertanian. Kondisi demikian menjadi-kan Desa Karangrejek termasuk dalam kategori sebagai desa tertinggal dan masuk dalam program Inpres Desa Tertinggal.

Permasalahan lain yang dihadapi Desa Karangrejek adalah sulitnya air bersih. Kondisi tersebut menyebabkan masyarakat mengandalkan air sungai untuk dijadikan air minum, mandi, cuci dan bahkan untuk mandi hewan ternak. Untuk mencapai belik atau kubangan yang berada di sisi sungai, masyarakat harus rela menempuh ja-rak sekitar 1,5-3 km. Bagi mereka yang mampu, tersedia layananan air bersih dari mobil tanki swasta dengan harga Rp. 20.000,00/m3. Selain pasokan dari mobil tanki, pasokan air bisa diperoleh dari pembuatan sumur bor dengan kedalaman 25 m, yang bisa bertam-bah dalam hingga 40 m bila musim ke-

40 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DESA:BUMDES Desa Karangrejek Gunungkidul Yogyakara

Tony Murdianto Hidayat

Page 46: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

marau tiba. Pelayanan air bersih yang dikelola PDAM Kabupaten Gunung Kidul masih kurang optimal, aliran air ke warga sering terhambat dan belum meratanya distribusi air ke warga.

Kehadiran BUMDes perlahan namun pasti mulai mengubah kondisi yang ada. Masyarakat yang sebelumnya se-lalu mengalami kekeringan dan keku-rangan air bersih sehingga menyebab-kan gangguan kesehatan, sekarang mampu tercukupi kebutuhan air. Tidak ada lagi masyarakat yang rela berjalan kaki jauh untuk mendapatkan air. Pada musim kemarau panjang pun, masya-rakat tetap masih bisa mendapatkan air. Air tetap mengalir di rumah mere-ka. Kebutuhan untuk minum, me-masak, mandi pun sudah tercukupi. Hewan ternak pun telah tercukupi ke-butuhan air dan makanannya.

Berkembangnya BUMDes Karangre-jek juga turut menggerakkan ekonomi desa. Keberadaan BUMDes tersebut telah membuka peluang usaha bagi masyarakat. Industri rumah tangga (home industry) seperti tahu, tempe, toge, dan usaha perikanan mulai ber-diri. Kehadiran industri tersebut telah membuka lapangan kerja bagi masya-rakat Desa Karangrejek. Tercatat lebih dari 800 warga masyarakat Karangre-jek yang bekerja pada home indus-try tersebut. Angka pengangguran di Desa Karangrejek berkurang, ekonomi tumbuh dan kesejahteraan masyarakat pun mengalami peningkatan.

Selain untuk air minum, PAB BUM-Des karangrejek juga memberikan pelayanan air bersih untuk pertanian dalam bentuk penyediaan air irigasi yang dikelola kelompok tani. Musim kemarau pun tetap tersedia air untuk menanam tanaman. Ketersediaan dan pasokan air yang cukup telah menum-buhkan peluang usaha berbasis air. Masyarakat desa Karangrejek meman-faatkan ketersediaan air dengan mem-

buka usaha berbasis air seperti laun-dry, cucian motor dan mobil, budi daya lele dan budidaya sayur mayur dengan memanfaatkan lahan di pekarangan.

Jumlah pelanggan air bersih BUM-Des Karangrejek mencapai sekitar 1200 Kepala Keluarga (KK). Kapasitas pipa terpasang saat ini mampu me-layani pelanggan sebanyak 1500 KK. Oleh karena itu BUMDes Karangrejek membuka pelayanan air bersih bagi masyarakat desa lain di sekitar Desa Karangrejek. Tercatat dua desa lain yang saat ini juga menikmati layanan air bersih BUMDes Karangrejek yaitu Desa Baleharjo dan Sirawan. Selain memberikan pendapatan bagi pe-merintah Desa Karangrejek, BUMDes Karangrejek juga mengalokasikan se-bagian pendapatannya kepada peme-rintah desa sekitar Karangrejek yang warganya menjadi pelanggan air bersih BUMDes Karangrejek. Besarnya aloka-si ditentukan berdasarkan persentase pelanggan di desa tersebut.

Secara tidak langsung, masyarakat telah merasakan dampak dari pem-bangunan lingkungan pemukiman di pedesaan yang berasal dari dana BUMDes yang 20% dari keuntungan-nya dialokasikan kepada pendapatan desa. Melalui dana inilah sarana dan prasarana di pedesaan bisa dibangun, seperti pembangunan pengaspalan jalan desa, drainase, pagar peka-rangan, gapura pintu masuk, gardu ronda, sanitasi, pembangunan jarin-gan air bersih, pembangunan balai padukuhan dan balai desa. Selain itu, untuk berbagai kegiatan sosial desa seperti penyelenggaraan acara bu-daya, menyumbang masjid disisihkan juga dana dari pendapatan BUMDes. Kegiatan lain yang juga terlaksana berkat dana BUMDes adalah kegiatan bersih desa, kegiatan 17-an, keseha-tan masyarakat, syawalan dan pem-bangunan masjid. Masyarakat kurang

41JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DESA:BUMDES Desa Karangrejek Gunungkidul Yogyakarta

Tony Murdianto Hidayat

Page 47: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

mampu pun masih bisa menikmati layanan air bersih. Adanya penurunan tarif untuk pemakaian air 0-10 m3 turut meringan kan beban masyarakat kurang mampu karena pada umumn-ya mereka pengguna air bersih kurang dari 10 m3 per bulan. BUMDes sangat berarti bagi desa karena selain mem-berikan kontribusi juga menjadi motor penggerak kegiatan lainnya.

Penggunaan dana BUMDes yang lain adalah untuk pendidikan. Penge-lola menyisihkan 2,5 % dari pendapa-tan BUMDes untuk membantu warga masyarakat yang kurang mampu da-lam bentuk beasiswa, memberikan alat tulis (tas, buku, bolpoin dan se-bagainya). Perhatian yang sama juga diberikan kepada karyawan BUMDes yang ingin meningkatkan kapasitas-nya. Karyawan yang ingin meningkat-kan ketrampilannya dalam mengope-rasikan komputer, dikirim pengelola BUMDes untuk mengikuti kursus kom-puter. Biaya kursus tersebut ditang-gung oleh BUMDes yang bersumber dari pendapatan BUMDes.D. TELADAN DARI BUMDES KA-

RANGREJEKPendapatan BUMDes Karangrejek

memang tidak sebanyak dibanding-kan dengan BUMDes desa lain, mi-salnya BUMDes Desa Ponggok yang pendapatannya di tahun 2015 men-capai Rp. 4 Milyar. Namun demikian, BUMDes Karangrejek memiliki fondasi

pengelolaan yang solid guna keber-lanjutan usaha. Selama 5 tahun ter a-khir kontribusi yang diberikan BUMDes Karangrejek kepada Pemerintah Desa Karangrejek cenderung meningkat seperti terlihat pada tabel di bawah. Sejak tahun berdirinya di tahun 2009 hingga sekarang, BUMDes Karangrejek telah mengalami pergantian pengurus dan kepala desa. Pergantian tersebut ternyata tidak mempengaruhi keber-lanjutan usaha BUMDes Karangrejek. BUMDes Karangrejek hingga kini ma-sih eksis dan tetap menjalankan usa-hanya. Pengembangan usaha juga tengah dilakukan pengelola BUMDes Karangrejek dengan membentuk unit usaha baru.

Unit usaha yang akan dibentuk BUMDes Karangrejek adalah desa bu-daya. Desa budaya merupakan desa yang menyediakan tempat pertunju-kan seni budaya. Pernak-pernik kam-pung seperti joglo juga turut didirikan di beberapa tempat di desa. Acara yang mulai rutin diadakan adalah bersih dusun, sebuah agenda tahunan yang biasa digelar Bulan September. Dalam acara tersebut juga digelar ki-rab dengan mengambil rute seputar Desa Karangrejek. Keberadaan infra-struktur desa budaya tersebut tidak terlepas dari bantuan Ibu Tirto Utomo, istri pendiri Aqua. Salah satu wujud bantuannya adalah membangun tem-pat pertunjukan untuk penyelengga-ran acara budaya.

No. Tahun Jumlah Kontribusi (Rp)

1. 2010 29.067.5352. 2011 36.841.8083. 2012 44.839.1624. 2013 55.735.4905. 2014 68.947.2586. 2015 64.651.095

Jumlah 300.082.348

Tabel 1. Kontribusi BUMDes Karangrejek kepada Desa Karangrejek

42 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DESA:BUMDES Desa Karangrejek Gunungkidul Yogyakara

Tony Murdianto Hidayat

Sumber: Data diolah

Page 48: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

Kondisi alam Desa Karangrejek menjadi penyebab mengapa warga Desa Karangrejek selalu mengalami kesulitan air. Namun sekarang kebu-tuhan air warga masayarakat Desa Karengarejek mampu tercukupi melalui PAB Tirta Kencana BUMDes Karangre-jek. Kontribusi yang diberikan BUMDes Karangrejek kepada Desa Karangrejek juga cenderung makin meningkat. Apa yang telah dilakukan BUMDes Karan-grejek tentu merupakan suatu prestasi yang patut menjadi teladan desa lain yang akan mendirikan dan mengem-bangkan BUMDes. Apa saja teladan yang bisa diambil dari pengelolaan BUMDes Karangrejek? Uraian di bawah ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut.1. Kearifan Lokal

Semboyan Desa Karangrejek adalah guyup rukun, bandol ngrom-pol, golong gilig, maju bareng dan bangun desa, yang bila diterjemah-kan dalam bahasa Indonesia berarti rukun dan damai, bersatu padu, da-lam tekad yang bulat, maju bersama dan membangun desa. Sebagaima-na masyarakat desa pada umum-nya, rasa kebersamaan masyarakat Desa Karangrejek juga cu kup ting-gi. Masyarakat Desa Karang rejek sudah terbiasa melakukan gotong royong dalam melakukan kegia-tan untuk kepentingan warga desa Karangrejek. Tidak hanya tenaga, masyarakat Desa Karangrejek juga menyediakan material yang dibu-tuhkan dalam pembangunan infra-struktur tersebut.

Kebiasaan lain juga dimiliki warga desa adalah penggalangan dana dalam bentuk jimpitan. Jimpi-tan biasanya dalam bentuk beras, yang nantinya setelah terkumpul, beras yang diperoleh dijual untuk mendapatkan uang. Kebiasaan masyarakat untuk menggalang

dana dalam bentuk mempermu-dah BUMDes dalam menarik biaya layanan air bersih BUMDes Karang-rejek. Cara BUMDes dalam mena-rik iuran kepada pengguna layanan mengadopsi sistem jimpitan. Warga diperkenankan untuk mengangsur dalam membayar tunggakan biaya layanan air bersih BUMDes.

Salah satu karakteristik yang dimiliki masyarakat desa Karang-rejek adalah gotong royong. Hal ini pula yang dilakukan warga desa Karangrejek pada saat awal pembangunan infrastruktur penge-lolaan air bersih. Masyarakat ba-hu-membahu melakukan kerja bak-ti untuk memasang pipa-pipa air yang kelak akan digunakan untuk mengalirkan air dari sumber air ke rumah-rumah warga. Kepedulian warga Desa Karangrejek yang me-rantau (sudah tidak berdomisili di Desa Karangrejek) masih sangat tinggi yang ditandai dengan ada-nya paguyupan-paguyupan seperti Sekarwoghan (Sedulur Karangrejek Wonosari Gunungkidul) yang ru-tin menyisihkan penghasilan untuk disumbangkan bagi kemajuan Desa Karangrejek.

BUMDes Karangrejek dalam menjalankan dan mengembangkan usahanya sangat memperhatikan kearifan lokal. Dengan kearifan lo-kal, BUMDes mampu menghemat biaya pengembangan infrastruktur pengelolaan air bersih. Di sisi lain, masyarakat merasa dilibatkan da-lam pengembangan BUMDes Ka-rangrejek. Dengan demikian lama kelamaan tumbuh rasa memiliki BUMDes Karangrejek di kalangan masyarakat Desa Karangrejek. Rasa memiliki ini akan membuat masyarakat turut menjaga dan me-melihara aset BUMDes Karangrejek demi keberlangsungan usaha BUM-

43JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DESA:BUMDES Desa Karangrejek Gunungkidul Yogyakarta

Tony Murdianto Hidayat

Page 49: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

Des Karangrejek.2. Dukungan Pemda, Masyarakat

dan Lembaga Swadaya Mas-yarakat.

Pemda Kabupaten Gunung Ki-dul sangat mendukung keberadaan BUMDes di desa-desa. Tidak ha-nya pada saat pendirian desa akan mendapat pendampingan, dalam proses pengembangan usaha BUM-Des pun Pemda tetap mengawal. Pemda memberikan pelatihan bagi pengelola BUMDes untuk mengem-bangkan usaha BUMDes. Selain itu, pelatihan jiwa kewirausahaan juga diberikan kepada calon pengelo-la BUMDes agar mereka memiliki mental yang tangguh dan kesung-guhan dalam mengelola BUMDes.

Dukungan dalam bentuk dana juga diberikan Pemda Kabupaten Gunung Kidul bagi desa yang akan mendirikan BUMDes. Dana sebesar Rp. 25 juta dimaksudkan sebagai pemicu bagi desa untuk segera mendirikan BUMDes. Dana terse-but akan diberikan secara bertahap selama 2 tahun bagi desa terpilih yang akan mendirikan BUMDes. Be-sarnya dukungan Pemda juga diakui oleh Marjana Kepala Desa Karang-rejek saat ini. Meskipun BUMDes Karangrejek sudah relatif maju, na-mun pendampingan dari Pemda tak pernah berhenti. Pemda selalu siap memberikan fasilitasi bagi BUMDes Karangrejek.

Tidak hanya dari Pemda Ka-bupaten, Pemerintah Propinsi DI Yogyakarta juga memberikan dukungan. Bentuknya adalah me-ngadakan pelatihan bagi desa yang akan mendirikan BUMDes dan un-tuk pengelola BUMDes. Selain itu Pemerintah Propinsi juga menye-diakan narasumber bagi pelatihan sejenis yang diadakan instansi lain. Jenis pelatihan yang diberi-

kan adalah pembukuan, pengelo-laan keuangan dan pelatihan untuk pengembangan usaha BUMDes.

Warga Desa Karangrejek juga sangat mendukung keberadaan BUMDes Karangrejek. Secara ber-kala pengurus BUMDes melakukan tilik warga secara berkala yang antara lain membahas permasala-han-permasalahan yang dihadapi BUMDes, termasuk adanya tungga-kan pembayaran iuran air oleh be-berapa warga. Dalam kesempatan tersebut warga juga turut menyu-arakan aspirasinya dalam pemilihan pengurus BUMDes dan ikut meng-u sulkan mekanisme pemilihan pe-ngurus BUMDes.

Bentuk partisipasi warga yang lain adalah melaporkan permasala-han seputar air bersih seperti ada-nya pipa bocor kepada pengurus BUMDes. Adanya laporan tersebut membuat BUMDes bisa menangani permasalahan yang timbul secara dini dan mengurangi kerugian yang muncul akibat lambatnya penanga-nan masalah yang timbul seperti kehilangan air karena kebocoran pipa. Warga juga melaporkan ke-pada pengurus bilamana terdapat kesalahan pengurus dalam menen-tukan beban biaya pemakaian air warga.

Komitmen masyarakat untuk ke-giatan desa sangat tinggi. Warga juga secara sukarela mengumpul-kan dana bagi kegiatan desa Ka-rangrejek seperti pembuatan balai desa Karangrejek. Menurut Marja-na, dana swadaya masyarakat ka-rangrejek termasuk tinggi, pernah mencapai Rp. 3 Milyar. Pembuatan tugu Desa juga murni swadaya masyarakat, baik dana, material maupun tenaga kerja.

Pemerintah desa Karangrejek juga sangat mendukung pengem-

44 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DESA:BUMDES Desa Karangrejek Gunungkidul Yogyakara

Tony Murdianto Hidayat

Page 50: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

bangan BUMDes Karangrejek. Ke pa la desa Karangrejek tak se-gan-segan turun tangan membantu mengatasi permasalahan BUMDes yang melibatkan warga. Pemerintah desa juga menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan BUM-Des dalam kegiatan sehari-hari. Kantor BUMDes Karangrejek me-nempati salah satu ruangan di kan-tor pemerintah desa Karangrejek. Ruangan tersebut adalah milik pe-merintahan desa Karangrejek yang digunakan BUMDes untuk aktivitas pelayanan BUMDes kepada masya-rakat desa Karangrejek.

Tak hanya dari dukungan dari masyarakat dan pemerintah daerah, dukungan lain juga diberikan oleh Institut for Research and Empower-ment (IRE), sebuah lembaga swa-daya masyarakat yang mengkhu-suskan diri pada pemberdayaan desa. IRE terlibat aktif melakukan pendampingan terhadap BUMDes dalam pengelolaan dan pengem-bangan usaha. Pengurus BUMDes melakukan konsultasi tentang ber-bagai permasalahan dalam penge-lolaan BUMDes dan mendiskusikan solusi apa yang tepat untuk menga-tasi masalah tersebut dengan IRE. Selain itu IRE juga menyediakan narasumber dalam kegiatan pela-tihan yang diadakan dalam rangka peningkatan kapasitas perangkat desa maupun pengelola BUMDes Karangrejek.

Dukungan berbagai pihak se-perti masyarakat, LSM, pemerintah daerah (kabupaten, propinsi) mau-pun pemerintah pusat (Balai PMD Yogyakarta), tidak hanya diberikan pada awal pendirian dan pengem-bangan BUMDes, namun terus berlanjut hingga kini. Pemerintah daerah maupun pemerintah pusat tidak memberikan intervensi kepa-

da BUMDes dalam pengelolaan dan pengembangan usahanya namun BUMDes diberi kesempatan untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan kemampuannya sendiri. Sinergitas yang berhasil diba ngun antar berbagai pihak tersebut mem-buat BUMDes Karangrejek mampu mandiri dan mengembangkan usa-hanya secara berkelanjutan hingga mencapai keberhasilan seperti se-karang ini.

3. Kepemimpinan Kepala DesaKeberhasilan BUMDes Karang-

rejek tidak terlepas dari kepemim-pinan Kepala Desa Karangrejek. Hal ini diungkapkan oleh Edi Siswadi, Kepala Balai PMD Yogyakarta dalam diskusi dengan LAN. Menurutnya, pada awal pengembangan BUMDes Karangerjek, Kasdi, kepala desa Ka-rangrejek saat itu itu sangat berse-mangat dalam mengembangkan BUMDes Karangrejek. Semangat itu pula yang diteruskan oleh Marjana, kepala desa pengganti Kasdi. Per-lahan namun pasti, BUMDes Karan-grejek mulai tumbuh dan berkem-bang.

Senada dengan penjelasan terse-but, menurut Sujoko, Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perem-puan dan Keluarga Berencana Ka-bupaten Gunung Kidul, inisiatif kepala desa juga sangat berpenga-ruh dalam keberhasilan BUMDes Karangrejek. Gaya kepemimpinan kepala desa membawa hal posi-tif dalam pengembangan BUMDes Karangrejek. Kepemimpinan kepa-la desa dalam hal pengembangan BUMDes Karangrejek sudah tercer-min dalam visi dan misi yang di-sampaikan dalam masa kampanye pemilihan kepala desa.

Salah satu visi yang disampaikan Marjana dalam kampanye saat pencalonan dirinya sebagai kepala

45JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DESA:BUMDES Desa Karangrejek Gunungkidul Yogyakarta

Tony Murdianto Hidayat

Page 51: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

desa adalah menghapus rangkap jabatan pengurus BUMDes. Sudah menjadi hal yang lazim, jabatan dalam kepengurusan BUMDes diisi oleh perangkat desa maupun dari lembaga desa. Menurut Marjana, kebijakan tersebut diambil agar pengurus dapat berkonsentrasi penuh dan mencurahkan perha-tiannya seluruhnya bagi pengem-bangan BUMDes. Lebih lanjut di-tambahkan Marjana, dihapusnya rangkap jabatan dimaksudkan agar terjadi pemberdayaan terhadap masyarakat desa dan sekaligus pe-merataan.

Marjana juga memiliki perhatian yang sangat besar terhadap masa-lah yang dihadapi BUMDes. Kades tidak segan-segan turun lapangan untuk menyelesaikan permasalah-an yang ada. Menurut Sigit, Direksi BUMDes Karangrejek, Kades men-dampingi langsung petugas BUM-Des yang akan memutus aliran air bagi pelanggan yang menunggak. Marjana juga menjadi anggota tim percepatan penyelesaian tungga-kan warga terhadap BUMDes Ka-rangrejek.

Keberhasilan BUMDes Karang-rejek juga tidak terlepas dari gaya kepemimpinan kepala desa (kades) Karangrejek. Kades Karangrejek sangat peduli dan memberikan perhatian yang besar terhadap perkembangan BUMDes. Kades siap turun tangan untuk memban-tu menyelesaikan permasalahan BUMDes terutama yang berkaitan dengan warganya. Kades bersedia turut menjadi anggota tim per-cepatan pelunasan tunggakan air bersih. Gaya kepemimpinan kades dan kemampuannya dalam mem-bangun sinergi antara pemerintah desa dengan BUMDes turut menja-di faktor penting keberhasilan dan

berlangsungan usaha BUMDes Ka-rangrejek.

4. Pemilihan Usaha yang Tepat Berbasis Potensi Desa

Keberhasilan BUMDes Karang-rejek tidak terlepas dari pemilihan usa ha yang tepat dengan meman-faatkan potensi desa. Desa Ka-rangrejek sejatinya adalah salah satu desa yang selalu mengalami kekurangan air. Namun sebagai daerah yang berbukit-bukit, desa Karangrejek menyimpan potensi air permukaan yang tidak sedikit. Dengan bantuan dari Pemerintah pusat berupa mesin pompa untuk mengambil air permukaan, BUM-Des mengembangkan unit usaha layanan air bersih bagi warga Desa Karangrejek.

Keberadaan BUMDes juga tidak mengusik berbagai usaha yang sebelumnya telah tumbuh di Desa Karangrejek. Bidang usaha yang dikelola unit usaha BUMDes sifat nya lebih mengarah pada kebutuhan masyarakat banyak (basic need), sehingga menjadikan BUMDes ti-dak mengalami pergesekan dengan pengusaha di sana. Bahkan ke-beradaan BUMDes turut menopang usaha yang dilakukan warga desa seperti budidaya perikanan.

Pemilihan usaha yang tepat ber-basis potensi desa menjadi salah satu faktor penting yang membuat BUMDes Karangrejek bisa maju dan berkembang seperti sekarang. Pa-ling tidak ada dua hal yang menjadi alasannya. Pertama, ketersediaan bahan baku melimpah dan mudah diperoleh dengan harga yang relatif murah. Potensi Desa Karangrejek adalah ketersediaan air permukaan yang melimpah. Dengan mendirikan usaha berbasiskan air permukaan, BUMDes tidak mengalami kesulitan dalam mendapatkan bahan baku

46 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DESA:BUMDES Desa Karangrejek Gunungkidul Yogyakara

Tony Murdianto Hidayat

Page 52: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

air. Kedua, produk yang dihasilkan sangat dibutuhkan masyarakat. Dengan demikian pasar bagi pro-duk BUMDes sudah tersedia, BUM-Des tidak perlu kesulitan menjual produknya. Layanan air bersih me-rupakan salah satu layanan yang sangat dibutuhkan masyarakat Desa Karangrejek mengingat Desa Karangrejek sudah lama mengalami kesulitan air bersih.

5. Pengelolaan UsahaPengurus BUMDes Karangre-

jek berasal dari perwakilan warga dusun yang berada di desa Karang-rejek. Proses pemilihan pengurus tersebut melibatkan partisipasi warga. Pemerintah desa Karangre-jek meminta warga dusun untuk memilih wakil mereka duduk da-lam kepengurusan BUMDes. Model seleksi tersebut mampu menjaring calon yang berintegritas karena warga dusun tidak mau mengirim-kan calon pengurus yang dianggap bermasalah baik dalam hal perilaku maupun kejujuran.

Calon yang diusulkan dusun ma-sih harus menjalani seleksi di ting-kat desa. Dari para calon nantinya dipilih orang yang mampu beker-ja sama dengan kepala desa dan perangkat desa. Menurut Marjana, hal itu dilakukan supaya tidak terja-di perselisihan yang mungkin timbul antara pengurus BUMDes dengan pemerintah desa dan agar tercipta sinergi antara BUMDes dan peme-rintah desa.

Untuk meningkatkan pelayanan dan pengelolaan BUMDes Karang-rejek, pengurus BUMDes memiliki program peningkatan kualitas SDM. Dana dari hasil pe ngelolaan BUM-Des sebagian dialokasikan untuk meningkatkan kapasitas SDM BUM-Des. Pengurus bersama dengan pemerintah desa melakukan pem-

bekalan bagi calon pengurus BUM-Des sebelum mereka mulai bertu-gas. Untuk peningkatan kompetensi teknis pengurus BUMDes, diadakan pelatihan bagi para pengurus de-ngan mendatangkan pengajar dari perguruan tinggi. Pelatihan jiwa ke-wirausahaan juga diberikan kepada pengurus untuk membina mental dan sema ngat u saha para pengurus dalam mengembangkan BUMDes.

Sebagai lembaga yang tidak hanya mementingkan sisi komer-sial, BUMDes Karangrejek juga mengemban misi sosial. Oleh kare-na itu, pelayanan menjadi satu hal yang dikedepankan. Salah satu bentuknya adalah penurunan tarif untuk 10 m3 pertama dari Rp. 3.000 menjadi Rp.2.500. Meskipun ini ber-imbas pendapatan yang nantinya diperoleh, hal itu tidak menjadi ma-salah. Menurut Marjana, memang ada sedikit penurunan pendapatan namun pendapatan dari sisi lain mampu menutupi defisit tersebut. Penurunan tarif dilakukan untuk meringankan beban warga yang kurang mampu, yang pemakaian air bersihnya tidak melebihi dari 10 m3 per bulan.

Dalam mengatasi masalah tunggakan air oleh warga, BUM-Des melakukan pendekatan secara kekeluargaan. Bagi mereka yang tidak mampu, BUMDes memberi-kan keringanan kepada warga un-tuk mencicil tunggakan. Besar dan lamanya waktu cicilan disesuaikan dengan kemampuan warga. Meski-pun BUMDes juga merupakan lembaga yang komersial, namun BUMDes juga merupakan lembaga sosial. Cara BUMDes menangani masalah tunggakan tidak menim-bulkan gejolak di masyarakat dan tidak membuat masyarakat antipati terhadap BUMDes.

47JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DESA:BUMDES Desa Karangrejek Gunungkidul Yogyakarta

Tony Murdianto Hidayat

Page 53: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

Kualitas air bersih BUMDes juga menjadi salah satu perhatian pengurus dalam memberikan pe-layanan air kepada masyarakat. Untuk menjaga kualitas air bersih yang dihasilkan, BUMDes selalu mengadakan pembersihan tempat penampungan air setiap bulan. Selain itu, BUMDes mengirimkan sampel air ke laboratorium Fakul-tas Teknik Universitas Gajah Mada (UGM) setiap 6 bulan sekali untuk dilakukan pengujian terhadap kuali-tas air. Hasilnya, kualitas air bersih BUMDes Karangrejek memenuhi ketentuan standar mutu baku air, bahkan air bersih BUMDes Karang-rejek dapat langsung dikonsumsi.

Untuk mendukung pengelolaan BUMDes, pengelola BUMDes juga telah menggunakan komputer dan memanfaatkan aplikasi teknologi informasi. Salah satu keunggulan aplikasi yang dimiliki BUMDes ada-lah aplikasi tersebut bisa langsung membuat laporan neraca keuangan setiap bulanan. BUMDes menggan-deng pihak ketiga dalam penga daan aplikasi sistem informasi. Menurut Direksi BUMDes bila ada masalah maupun gangguan terhadap sistem tersebut, pihak rekanan akan datang untuk memperbaiki. De-ngan demikian, penggunaan sistem informasi di BUMDes Karang rejek tetap bisa berjalan optimal.

Pengeloaan BUMDes Karang-rejek merupakan salah satu fak-tor penting dalam keberhasilan pengembangan usaha BUMDes Karangrejek. Minimal ada tiga hal yang menjadi alasannya. Perta-ma, Sumber Daya Manusia (SDM) pe ngelola memiliki kompetensi dan jiwa wirausaha yang tinggi. Pengembangan usaha BUMDes jelas memerlukan pengelola yang kompeten, memiliki mental tang-

guh dan jiwa wirausaha yang kuat. Kompetensi pengelola yang tinggi turut membawa BUMDes Karangre-jek bisa mengembangkan usahanya seperti sekarang ini. SDM pengelola yang memiliki mental tangguh dan jiwa wirausaha yang kuat mampu menjadi pilar dalam keberlanjutan dan kelangsungan usaha BUMDes. Kedua, pendekatan BUMDes ter-hadap masyarakat yang fleksibel dan tidak kaku. Dalam mengatasi berbagai permasalahan yang tim-bul dengan warga, pengelola BUM-Des melakukan pendekatan secara kekeluargaan. BUMDes tidak hanya dilihat sebagai lembaga usaha yang hanya mencari keuntungan, teta-pi juga lembaga sosial yang ber-fungsi memberi pelayanan. Antara BUMDes dan masyarakat tumbuh hubungan timbal balik yang saling membutuhkan dan menguntung-kan. BUMDes memerlukan masya-rakat desa Karangrejek, demikian pula masyarakat desa Karangrejek membutuhkan pelayanan BUMDes. Kondisi ini melapangkan jalan bagi kelangsungan dan keberlanjutan usaha BUMDes Karangrejek. Keti-ga, penggunaan aplikasi berbasis teknologi informasi. Teknologi infor-masi saat ini sudah menjadi bagian yang tak bisa terpisahkan di ke-hidupan sehari-hari. Implementasi aplikasi berbasis teknologi informasi membuat pembukuan dan penge-lolaan keuangan BUMDes menjadi lebih lancar dan lebih rapi. Neraca keuangan BUMDes bisa dibuat de-ngan cepat sehingga pengurus bisa memantau kesehatan keuangan BUMDes dengan lebih dini. Kondisi ini berperan penting dalam keber-lanjutan usaha BUMDes Desa Ka-rangrejek.

F. PENUTUPKeberhasilan BUMDes Karangrejek

48 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DESA:BUMDES Desa Karangrejek Gunungkidul Yogyakara

Tony Murdianto Hidayat

Page 54: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

menjadi pembuka jalan bagi pengem-bangan ekonomi desa dan terwujud-nya kemandirian desa. Kehadiran BUMDes Karangrejek tidak hanya menjadi ber kah bagi masyarakat desa Karangrejek, tetapi juga masyarakat sekitar desa Karangrejek. Melalui u sa ha pelayanan air bersih, BUMDes menjadi pemantik pengembangan ekonomi masyarakat Karangrejek. Berbagai usaha yang berbasis air se-perti cuci motor dan mobil, laundry dan usaha budidaya perikanan tawar mulai dikembangkan masyarakat Desa Karangrejek untuk memanfaatkan ke-tersediaan air. Kontribusi pendapatan yang diberikan BUMDes Karangrejek mampu menjadi penopang berbagai kegiatan kemasyarakatan warga Desa Karangrejek. BUMDes Karangrejek menjadi salah satu pilar dan lokomotif penggerak roda pembangunan Desa Karangrejek.

Semangat kemandirian tampak jelas terwujud dalam pengembangan BUMDes Karangrejek. Kelangsungan usaha BUMDes Karangrejek sepenuh-nya ditopang sumber daya yang dimi-liki oleh Karangrejek, seperti kearifan lokal dan potensi sumber daya alam serta dukungan masyarakat. Peran kepala desa Karangrejek lebih banyak sebagai penggerak dan pembangun sinergi sumber daya yang dimiliki Desa Karangrejek dalam pengembangan u saha BUMDes. Dukungan maupun kebijakan dari Pemerintah baik pusat maupun daerah tentang pengem-bangan BUMDes turut memperkuat pengembangan BUMDes Karangrejek.

Apa yang dilakukan Desa Karang-rejek dalam mengembangkan BUM-Desnya sebenarnya tidak mustahil dilakukan desa lain. Pada umumnya, struktur dan kondisi masyarakat desa di tanah air tidak jauh berbeda. Poten-si yang dimiliki desa untuk dikembang-kan menjadi usaha BUMDes maupun

kearifan lokal sebagai salah satu sendi kehidupan bermasyarakat di desa ten-tu juga dimiliki desa lain meskipun da-lam ragam dan bentuk yang berbeda. Semua hal tersebut bisa menjadi mo-dal dalam keberhasilan pengembang-an usaha BUMDes. Bila sumber daya tersebut dikelola dan dikembangkan dengan baik, tentu diharapkan akan muncul BUMDes yang bisa sukses dan berhasil seperti BUMDes Karangrejek.

DAFTAR PUSTAKA:Maryunani. 2008. Pembangunan Bum-

des dan Pemberdayaan Pemerintah Desa. Bandung: CV Pustaka Setia.

Raharja, Pratama. 2008. Teori Ekonomi Makro Suatu Pengantar. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Purnomo. 2004. Pembangunan Bum-des dan Pemerdayaan Masyarakat Desa, Makalah, BPMPD, Lombok Timur.

Badrudin, Rudy. 2012. Ekonomika Oto-nomi Daerah. Yogyakarta: UPP STM YKPN.

Seyadi. 2003. Bumdes sebagai Alter-natif Lembaga Keuangan Desa. Yo-gyakarta: UPP STM YKPN.

Suparmoko. 2000. Pokok - Pokok Ekonomika. Yogyakarta: BPFE-YO-GYAKARTA.

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Me-nengah

Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

Peraturan Pemerintah Nomor 72 Ta-hun 2005 tentang Desa

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Ta-hun 2014 tentang Petunjuk Pelak-

49JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DESA:BUMDES Desa Karangrejek Gunungkidul Yogyakarta

Tony Murdianto Hidayat

Page 55: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

sana Undang-undang Nomor 6 Ta-hun 2014.

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Ta-hun 2014 tentang Dana Desa.

Permendagri Nomor 39 Tahun 2010 tentang BUMDes.

Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Keuangan Desa.

Permendesa Nomor 4 Tahun 2015 ten-tang BUMDes

www.keuangandesa.com/2015/09/pe ran -peme r i n t ah - kabupa t -en-dan-pemer in tah-desa-da-lam-pengelolaan-bumdes/

www.ensiklo.com/2015/02/inilah-un-dang-undang-desa-nomor-6-tahun-

2014/#Badan_Usaha_Milik_De-sa_8211BUMDes

www.karangrejek.net/bumdes/ dan http://karangrejek.net/bumdes/

www.forumdesa.org/?pilih=news&-mod=yes&aksi=lihat&id=11

www.academia.edu/10212509/mem-bangun_ekonomi_pedesaan_melalui_strategi_konvensional

www.desamembangun.or.id/2014/04/strategi-pengembangan-bum-des-sebagai-pilar-ekonomi-desa/

http://nas ional . republ ika.co. id/berita/nasional/desa-memban-gun/16/05/22/o7l4km368-jumlah-bumdes-naik-12-kali-lipat.

50 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DESA:BUMDES Desa Karangrejek Gunungkidul Yogyakara

Tony Murdianto Hidayat

Page 56: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

POTRET KELEMBAGAAN NEGARA PASCA AMANDEMEN UUD 1945 DAN PENYELESAIAN SENGKETA KEWENA NG-

AN ANTAR LEMBAGA NEGARA

Abstrak: Perubahan atau amandemen atas Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah pondasi penting penataan sistem ketatanegaraan dan administrasi negara Indonesia. Format kelembagaan negara mengalami redesain struktural sebagai akibat ada nya perubahan fungsi dan we-wenang lembaga negara yang lama dan pembentukan lembaga-lembaga negara yang baru. Di bawah UUD 1945 pasca-perubahan, semua lembaga negara yang disebut di dalamnya memiliki kedudukan yang sederajat dan setara dalam bingkai checks and balances. Mahka-mah Konstitusi bertugas dan berwenang memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang ditunjuk oleh UUD 1945 pasca-perubahan. Mayoritas perkara dinyatakan tidak dapat diterima oleh MK karena permohonan perkara sengketa kewenangan lembaga negara terse-but tidak memenuhi kriteria objectum litis dan subjectum litis.Kata Kunci: Amandemen UUD 1945, redesain struktur kelembagaan, seng keta

kewenanganAbstract: Changes or amendments to the Constitution of 1945 is an important foundation of the ar-rangement of Indonesia’s constitutional system and public administration. State agencies ex-perienced structural redesign as a result of changes in the functions and authority of the old state agencies and the establishment of the new state agencies. Under the amended 1945 Constitution, all state agencies have equal position to ensure the principles of checks and balances. Constitutional Court has the duty and authority to decide authority dispute between state agencies as stipulated by the amended 1945 Constitution. Nevertheless, the majority of cases cannot be accepted by the Constitutional Court because the court petition of authority dispute of state agenciess did not fulfill objectum litis and subjectum litis criteria.Keywords: Amendment of the 1945 Constitution, redesigning institutional struc-

tures, authority dispute

THE PORTRAIT OF STATE INSTITUTIONS POST AMAN-DEMENT OF 1945 CONSTITUTION AND RESOLUTION OF AUTHORITY DISPUTE BETWEEN STATE INSTITUTIONS

Frenky Kristian SaragiPeneliti Pertama Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara

Lembaga Administrasi Negara

A. PENDAHULUANEra Reformasi yang muncul sejak

tahun 1998 mendorong dinamisasi cukup pesat perjalanan sejarah Ne-gara Kesatuan Republik Indonesia. Era Reformasi telah membuka jalan berbagai perubahan penting dalam sistem ketatanegaraan dan adminis-trasi negara Indonesia sesuai de ngan semangat zaman (zeitgeist) yang menghendaki reformasi sistem keta-tanegaraan dan administrasi negara. Penataan sistem ketatanegaraan dan

administrasi negara hingga kini belum tuntas, namun reformasi sistem keta-tanegaraan dan administrasi negara harus diakui telah mencapai kemajuan signifikan. Perkembangan dan perma-salahan baru yang senantiasa muncul mendorong munculnya kebutuhan baru untuk terus meningkatkan pem-baruan sistem ketatanegaraan dan ad-ministrasi negara tersebut.

Fondasi penting penataan sistem ketatanegaraan dan administrasi ne-gara Indonesia adalah perubahan

51JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

Artikel

Page 57: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

atau amandemen atas UUD 1945. Sejak Era Reformasi bergulir, Indone-sia telah melakukan perubahan UUD 1945 sebanyak empat kali secara ber-turut-turut dari tahun 1999 hingga tahun 2002. Akibatnya, terjadi pem-baruan secara fundamental terhadap sistem ketatanegaraan dan adminstra-si negara Indonesia. Dari aspek caku-pan substansi isinya, perubahan UUD 1945 telah menyentuh hal yang sa-ngat luas dan mendasar. Sebagaimana dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie1, perubahan UUD 1945 meliputi lebih dari 300% jika dibandingkan dengan UUD 1945 sebelum perubahan. Butir-butir ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945 versi Proklamasi (sebe-lum perubahan) berjumlah sebanyak 71 butir ketentuan dalam 37 pasal. Setelah perubahan pertama hingga perubahan keempat UUD 1945, ha-nya 25 butir saja butir-butir ketentuan asli yang tidak diubah, 46 butir keten-tuan lainnya telah diubah dan ditam-bah dengan ketentuan-ketentuan baru sehingga kini jumlah totalnya menjadi 199 butir ketentuan. Artinya, kini ter-dapat sebanyak 174 butir ketentuan baru dalam UUD 1945. Sasaran peru-bahan pertama UUD 1945 pada tahun 1999 yaitu mengurangi kekuasaan Presiden. Sasaran perubahan kedua UUD 1945 pada tahun 2000 yaitu mewujudkan penyelenggaraan nega-ra yang demokratis, transparan, dan menjunjung hak asasi manusia. Sasa-ran perubahan ketiga UUD 1945 pada tahun 2001 yaitu meliputi: (1) pelak-sanaan kedaulatan rakyat oleh rakyat; (2) pemilihan Presiden dan Wakil Pre-si den secara langsung oleh rakyat; (3) proses pemakzulan (impeachment) terhadap Presiden dan Wakil Presiden; (4) pembentukan Dewan Perwakilan

1. Jimly Asshiddiqie, 2007. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer

Daerah; (5) pembentukan Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Sasaran dalam perubahan keempat UUD 1945 adalah menghapus Pasal 2 ayat (2) tentang masa sidang MPR dan Pasal 2 ayat (3) tentang cara pengambilan pu-tusan MPR, serta Pasal 16 UUD 1945 tentang Dewan Pertimbangan Agung.2

Menurut Bagir Manan,3 semua Peru-bahan UUD 1945 yang dilakukan dalam empat tahap itu dapat dikategorikan sebagai berikut: (1) perubahan terha-dap isi (substansi) ketentuan yang su-dah ada; (2) penambahan ketentuan yang sudah ada; (3) pengembangan materi muatan yang sudah ada men-jadi bab baru; (4) penambahan sama sekali baru; (5) penghapusan ketentu-an yang sudah ada; (6) memasukkan dan memindahkan beberapa isi Pen-jelasan ke dalam Batang Tubuh UUD 1945; (7) perubahan struktur UUD 1945 dan menghapus Penjelasan UUD 1945 sebagai bagian dari UUD 1945.

Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 itu sendiri, sebagaima-na dielaborasi secara kritis oleh Bagir Manan,4 masih menyisakan keku-rangsempurnaan baik dalam substansi butir ketentuan maupun teknis bahasa perundang-undangan. Meskipun de-mikian, reformasi konstitusi tersebut merupakan tonggak sejarah penting bagi perubahan struktural ketatanega-raan dan administrasi negara Indone-sia. UUD 1945 pasca-amandemen mu-lai memperkuat bangunan demokrasi konstitusional Indonesia karena telah memperjelas pembatasan dan pemi-

2. Mochamad Isnaeni Ramdhan, dalam R. Sri Soemantri M., 2006. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi. Bandung: Alumni: edisi kedua, cetakan pertama

3. Jimly Asshiddiqie, 2005. Format Kelem-bagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945. Yogyakarta: FH UII Press, cetakan kedua

4. Jimly Asshiddiqie, 2007. Pokok-Pokok... Op. Cit.

52 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

POTRET KELEMBAGAAN NEGARA PASCA AMANDEMEN UUD 1945 DAN PENYELESAIAN SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARAFrenky Kristian Saragi

Page 58: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

sahan kekuasaan lembaga-lembaga negara, mempertegas mekanisme mengawasi dan mengimbangi (checks and balances) antara lembaga-lemba-ga negara, dan memperluas cakupan jaminan hak-hak konstitusional. Ini secara prinsipil yang membedakan substansi isi UUD 1945 pra-Perubahan dan UUD 1945 pasca-Perubahan.

Perubahan UUD 1945 yang cu-kup drastis itu menciptakan format kelembagaan negara yang baru dalam sistem ketatanegaraan dan adminis-trasi negara Indonesia. Format kelem-bagaan negara mengalami redesain struktural sebagai akibat adanya peru-bahan fungsi dan wewenang lembaga negara yang lama dan pembentukan lembaga-lembaga negara yang baru.5 Perkembangan ketatanegaraan dan administrasi negara di Indonesia juga ditandai oleh bermunculan banyak lembaga negara baru yang biasa dise-but sebagai state auxiliary organs atau independent agencies yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-un-dangan yang berbeda.6 Ada lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UUD 1945, Undang-Undang, Keputu-san Presiden, Keputusan Menteri, dan lain-lain. Beberapa lembaga negara ini ada yang memiliki lingkup wewenang yang sama atau mirip dengan lemba-ga negara lainnya sehingga tampak meng alami tumpang-tindih kewenan-gan. Menurut Jimly Asshiddiqie,7 yang perlu dilakukan saat ini adalah kon-solidasi dan penataan kelembagaan negara secara menyeluruh mulai dari tingkat paling tinggi hingga ke tingkat pa ling rendah agar menjadi lebih efek-

5. Jimly Asshiddiqie, 2005. Format... Op. Cit.6. Ni’matul Huda, 2007. Lembaga Negara dalam Masa

Transisi Demokrasi. Yogyakarta: UII Press;7. Jimly Asshiddiqie, 2006. Perkembangan

dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan NKRI

tif, efisien, dan fungsional.Format kelembagaan negara yang

baru itu menciptakan pola hubungan antarlembaga negara yang baru pula. Saat ini sistem ketatanegaraan Indo-nesia tidak lagi mengenal pembedaan lembaga tertinggi negara dan lemba-ga tinggi negara. Kedudukan MPR kini sederajat dengan lembaga tinggi ne-gara lain seperti DPR, DPD, Presiden, MA, MK, dan BPK. Sebagai akibatnya, ini potensial menimbulkan sengketa antarlembaga negara karena ma sing-masing lembaga negara merasa memi-liki kedudukan sederajat. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 telah mengantisipasi ini dengan membentuk lembaga negara bernama Mahkamah Konstitusi yang salah satu wewenang-nya adalah memutus sengketa antar-lembaga negara yang keberadaan dan wewenangnya disebut oleh UUD 1945. Artinya, subyek hukum yang memi-liki kedudukan hukum (legal stand-ing) untuk mengajukan permohonan sengketa kewenangan konstitusional antarlembaga negara adalah hanya lembaga-lembaga negara yang eksis-tensi dan wewenangnya disebut dalam UUD 1945.8

Kajian ini mencoba mencari jawa-ban atas permasalahan: a. bagaimana perkembangan lembaga

negara di Indonesia pasca amande-men UUD 1945?

b. bagaimana penyelesaian seng keta kewenangan antarlembaga ne gara pasca amandemen UUD 1945?Tujuan kajian ini yaitu:

a. memaparkan perkembangan lem-baga negara di Indonesia pasca amandemen UUD 1945.

b. memaparkan penyelesaian seng ke-ta kewenangan antarlembaga ne-

8. Jimly Asshiddiqie, 2005. Sengketa Ke-wenangan Antarlembaga Negara. Jakarta: Konstitusi Press

53JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

POTRET KELEMBAGAAN NEGARA PASCA AMANDEMEN UUD 1945 DAN PENYELESAIAN SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA

NEGARAFrenky Kristian Saragi

Page 59: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

gara pasca amandemen UUD 1945.B. METODOLOGI PENELITIAN

Kajian ini pada dasarnya bersifat policy oriented dengan menggunakan pendekatan yuridis. Metode kajian ini adalah kualitatif, yang memaparkan, menganalisis, dan menafsirkan perma-salahan kajian secara deskriptif. Kajian deskriptif berupaya mencari deksripsi yang tepat dan cukup terkait dengan objek kajian.9 Dalam pengertian yang luas, kajian kualitatif adalah kajian yang menghasilkan data deskriptif dengan melihat dari berbagai pers-pektif dan menekankan validitas.10 Kajian ini juga menggunakan metode deskriptif analitis karena kajian ini ti-dak hanya terbatas pada deskripsi mengenai objek kajian, tetapi juga menganalisisnya.

Karena kajian ini bersinggungan dengan aspek normatif-yuridis, maka kajian ini juga menggunakan ba-han-bahan hukum yang bersumber dari bahan hukum primer dan bahan sekunder. Bahan hukum primer dipero-leh dari UUD 1945 hasil amandemen dan peraturan perundang-undangan yang relevan, sedangkan bahan hu-kum sekunder diperoleh dari bahan bacaan berupa buku, artikel, laporan, dan lain-lain yang relevan.11

C. HASIL DAN PEMBAHASAN1. Lembaga Negara Menurut UUD

1945 Hasil AmandemenBerdasarkan UUD 1945 pasca-Pe-

rubahan, struktur kelembagaan nega-ra Indonesia memiliki delapan organ

9. Sulistyo-Basuki, 2010. Metode Penelitian. Jakarta: Penaku, cetakan kedua.

10. Steven J. Taylor dan Robert Bogdan, 1984. Introduction to Qualitative Research Methods: The Search for Meanings, Second Edition. New York: John Wiley & Sons. hal. 5-7.

11. Zainuddin Ali, 2009. Metode Penelitian Hu-kum. Jakarta: Sinar Grafika. hal. 105-106.

lembaga tinggi negara yang masing-ma sing mempunyai kedudukan yang se de rajat dan menerima kewenang-an konstitusional langsung dari UUD 1945. Lembaga-lembaga tinggi ne-gara tersebut yaitu: Majelis Permusya-waratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial. Khusus menyangkut lembaga-lembaga negara yang telah ada di dalam UUD 1945 pra-Peruba-han (MPR, DPR, Pre si den, BPK, dan MA), kini telah me ngalami pergeseran kekuasaan sebagai akibat hasil dari Perubahan UUD 1945.a. Majelis Permusyawaratan R a k-

yat (MPR)UUD 1945 pra-Perubahan me-

nganut prinsip supremasi MPR se-bagai lembaga negara tertinggi. UUD 1945 pasca-Perubahan telah menghilangkan prinsip suprema-si MPR. Kedudukan MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara, tetapi sebagai lembaga tinggi nega-ra yang berkedudukan sederajat dengan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya. Dengan adanya pe-rubahan ketentuan ini, supremasi MPR telah digantikan oleh suprema-si konstitusi, dan MPR tidak lagi memonopoli sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat. Semua lem-baga tinggi negara dapat disebut sebagai pelaku kedaulatan rakyat sesuai dengan bidang tugas dan wewenang nya masing-masing.12 Se lain itu, Perubahan UUD 1945 juga telah mengubah wewenang yang dimiliki MPR. MPR tidak lagi membuat Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) karena sudah ditia-dakan di dalam UUD 1945 pasca-Pe-

12. Jimly Asshiddiqie, 2005. Format... Op. Cit

54 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

POTRET KELEMBAGAAN NEGARA PASCA AMANDEMEN UUD 1945 DAN PENYELESAIAN SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARAFrenky Kristian Saragi

Page 60: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

rubahan. MPR tidak lagi memilih Presiden dan Wakil Presiden kare-na kini telah dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Ke-wenangan MPR antara lain:13

1. memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden jika kedua jabatan ini mengalami kekosongan

2. memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD, yaitu berdasarkan usulan dari DPR dan setelah mempero-leh pendapat dari Mahkamah Konstitusi melalui putusannya

3. mengubah dan menetapkan UUD4. melantik Presiden dan/atau Wakil

Presiden, meskipun sifatnya ha-nya seremonial.

b. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

Perubahan UUD 1945 telah menggeser kekuasaan membentuk undang-undang dari Presiden kepa-da DPR. Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 Perubahan Pertama menegaskan bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Namun, Presiden masih tetap terlibat dalam urusan legislasi, yaitu berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR (Pasal 5 UUD 1945), memberi persetujuan bersama dengan DPR atas rancangan undang-undang (Pasal 20 ayat 2 UUD 1945), dan Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetu-jui bersama. Untuk mencegah agar jangan sampai terjadi undang-un-dang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden kemudian tidak disahkan oleh Presiden, maka dibuat ketentuan jika Presiden ti-dak mengesahkan rancangan un-dang-undang dalam waktu 30 hari

13 Ibid.

maka rancangan undang-undang itu sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan (Pasal 20 ayat 5 UUD 1945).

Perubahan UUD 1945 telah mem-perkuat kedudukan dan wewenang DPR. Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 secara eksplisit menyebut fungsi DPR sebagai lembaga legislatif, ya-itu memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Untuk melaksanakan fungsinya itu, DPR secara tegas dijamin hak-hak-nya oleh UUD 1945, yaitu mempu-nyai hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat (Pasal 20A ayat 2 UUD 1945), hak menga-jukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imu-nitas (Pasal 20 ayat 3 UUD 1945). Lebih jauh, Pasal 20A ayat (4) UUD 1945 menentukan bahwa ketentu-an lebih lanjut tentang hak DPR dan hak anggota DPR diatur dalam Un-dang-Undang.

Perubahan UUD 1945 juga telah memperluas kekuasaan DPR, khu-susnya yang berhubungan dengan kekuasaan Presiden. Kewenangan DPR antara lain:1. memberikan persetujuan kepa-

da Presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain (Pasal 11 ayat 1 UUD 1945)

2. memberikan persetujuan ke-pada Presiden dalam membuat perjanjian internasional dengan negara lain yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang ter-kait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang (Pa sal 11 ayat 2 UUD 1945)

3. memberikan pertimbangan kepa-da Presiden dalam memberi am-

55JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

POTRET KELEMBAGAAN NEGARA PASCA AMANDEMEN UUD 1945 DAN PENYELESAIAN SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA

NEGARAFrenky Kristian Saragi

Page 61: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

nesti dan abolisi (Pasal 14 ayat 2 UUD 1945)

4. memberikan pertimbangan kepa-da Presiden dalam mengangkat duta dan konsul dan menerima penempatan duta negara lain (Pasal 13 ayat 2 dan ayat 3 UUD 1945)

5. memberikan persetujuan ranca-ng an anggaran pendapatan dan belanja negara (ABPN) (Pasal 23 UUD 1945)

6. memilih anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan DPD Pasal 23F ayat 1 UUD 1945)

7. memberikan persetujuan atas pengangkatan dan pemberhen-tian anggota Komisi Yudisial oleh Presiden (Pasal 24B ayat 3 UUD 1945)

8. mengajukan tiga anggota hakim konstitusi di Mahkamah Konstitu-si (Pasal 24C ayat 3 UUD 1945).

9. Dengan kekuasaan lebih besar yang kini dimiliki oleh DPR di bawah UUD 1945, dapat dika-takan bahwa bandul kekuasaan kini bergeser dari executive heavy menjadi legislative heavy.

c. Dewan Perwakilan Daerah (DPD)

Ketentuan UUD 1945 menyebut-kan bahwa DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum (Pasal 22C ayat 1 UUD 1945). We-wenang DPD yaitu “dapat meng-a jukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabung-an daerah, pengelolaan sum-ber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkai-tan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah” (Pasal 22D ayat 1 UUD 1945). Selain itu, “DPD ikut

membahas rancangan undang-un-dang yang berkaitan dengan oto-nomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; penge-lolaan sumber daya alam dan sum-ber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan per-timbangan kepada DPR atas ran-cangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendi-dikan, dan agama” (Pasal 22D ayat 2 UUD 1945). Di samping itu, “DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang me-nge nai: otonomi daerah, pemben-tukan, pemekaran dan penggabu-ng an daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama serta me-nyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan per-timbangan untuk ditindaklanjuti” (Pasal 22D ayat 3 UUD 1945).

d. Presiden / Wakil PresidenPerubahan UUD 1945 telah

menggeser pola perimbangan antara kekuasaan eksekutif dan kekuasaan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya. Lembaga ekseku-tif tidak lagi menjadi primus inter pares dalam hubungannya dengan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya. Dalam hubungannya de-ngan lembaga legislatif, lembaga eksekutif harus mendengar pertim-bangan dan mendapat persetujuan dari DPR dalam memutus hal-hal tertentu yang sudah digariskan oleh UUD 1945. Artinya, Presiden tidak dapat lagi bertindak sepihak dengan alasan hak prerogatif Presi-den tanpa perlu mengindahkan

56 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

POTRET KELEMBAGAAN NEGARA PASCA AMANDEMEN UUD 1945 DAN PENYELESAIAN SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARAFrenky Kristian Saragi

Page 62: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

DPR. Dalam hubungannya dengan lembaga yudisial atau yudikatif, Presiden juga harus memperhati-kan pertimbangan dari Mahkamah Agung dalam memberi grasi dan re-habilitasi. Selain itu, periode kekua-saan Presiden telah dibatasi secara tegas, yaitu hanya boleh menjabat selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan (Pasal 7 UUD 1945).

Berdasarkan Perubahan UUD 1945 pula kedudukan Presiden se-makin diperjelas dan diperkuat da-lam bingkai sistem presidensiil atau presidensial. Presiden dan Wakil Presiden kini tidak lagi dipilih oleh MPR, tetapi dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Dengan demikian, Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih memi-liki derajat legitimasi politik yang semakin kuat. Presiden tidak lagi berkedudukan sebagai mandataris MPR. Selain itu, alasan untuk mem-berhentikan (impeachment) Presi-den dan/atau Wakil Presiden dari jabatannya tidak dapat lagi didasar-kan semata-mata pertimbangan politik seperti pada masa sebelum-nya, tetapi harus didasarkan pada alasan adanya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Oleh karena itu, prosedur pemberhentian atau pemakzulan menyertakan lembaga yudisial, dalam hal ini yaitu Mahka-mah Konstitusi.

e. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)

Dalam UUD 1945 pra-Perubah-an, ketentuan mengenai lembaga BPK hanya dimasukkan dalam satu bab tentang keuangan (Bab VIII Hal Keuangan). Ketentuan tentang BPK ini sangat singkat dan sumir. Namun, setelah Perubahan UUD

1945, kini ada satu bab khusus ten-tang lembaga BPK, yaitu Bab VIIIA Badan Pemeriksa Keuangan. Pasal 23E ayat (1) menyebutkan bahwa “Untuk memeriksa pengelolaaan dan tanggung jawab tentang keu-a ng an negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri”. Selanjutnya juga dise-butkan bahwa “Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepa-da Dewan Perwakilan Rakyat, De-wan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah se suai dengan kewenangannya” (Pasal 23E ayat 2 UUD 1945). Juga dise-butkan bahwa “Hasil pemeriksaan tersebut ditindalanjuti oleh lem-baga perwakilan dan/atau badan se suai dengan undang-undang” (Pasal 23E ayat 3 UUD 1945). Se-cara konstitusional, ada penegasan tentang lembaga BPK yang bersifat bebas dan mandiri untuk melaku-kan pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara dan pemeriksaan atas tanggung jawab mengenai keuangan negara. Ini merupakan dasar bagi penguatan kedudukan dan kewenangan BPK.

Lingkup kewenangan BPK se-ma kin luas karena berdasarkan ketentu an Undang-Undang Nomor 17 t a hun 2003 tentang Keuangan Ne ga ra yang dimaksud dengan keu -a ng an negara adalah seluruh unsur keuangan negara. Undang-Undang Nomor 15 tahun 2006 tentang BPK menyebutkan bahwa BPK bertu-gas memeriksa pengelolaaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh: Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lemba-ga Ne gara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan ne-gara.

57JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

POTRET KELEMBAGAAN NEGARA PASCA AMANDEMEN UUD 1945 DAN PENYELESAIAN SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA

NEGARAFrenky Kristian Saragi

Page 63: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

f. Mahkamah Agung (MA), Mah-kamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY)

UUD 1945 pra-Perubahan hanya mengenal satu pelaku kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung (MA) beserta peradilan yang bera-da dalam lingkungan di bawahnya. Pembentukan MA dimaksudkan se-bagai wujud pelaksanaan negara hukum, dan karena itu MA diakui sebagai kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan. Prinsip kemerdekaan kekuasaan ke-hakiman tidak terdapat di dalam Batang Tubuh UUD 1945 pra-Peru-bahan, tetapi terdapat di dalam Pen-jelasan UUD 1945 pra-Perubahan. Setelah dilakukan Perubahan UUD 1945, prinsip negara hukum dan kemerdekaan kehakiman kemudian dimasukkan ke dalam Batang Tu-buh UUD 1945. Sebagaimana hal-nya telah dilakukan penguatan dan penegasan atas kekuasaan lemba-ga legislatif dan eksekutif sebagai akibat dianutnya sistem pemisah-an kekuasaan oleh UUD 1945 pas-ca-Perubahan, kekuasaan lembaga yudisial/yudikatif juga diperkuat dan dipertegas. Hubung an kelem-bagaan negara berdasarkan me-kanisme checks and bal ances an-tara lembaga yudikatif dengan lembaga-lembaga negara lain juga mengalami pergeseran sebagaima-na terjadi pergeseran hubungan antara lembaga eksekutif dan legis-latif. Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa kekuasaan kehakiman saat ini, baik dari segi substansi mau-pun administrasinya, telah ditetap-kan bersifat mandiri dan terpadu di bawah pembinaan Mahkamah Agung, namun pada saat bersa-maan DPR berperan mengontrol MA dalam hal rekrutmen hakim agung dan Komisi Yudisial (KY) berperan mengawasi perilaku para hakim.

Dalam hubungannya dengan Presi-den, MA berwenang memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam memberikan grasi dan re-habilitasi. Ini menunjukkan berlaku mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balanc-es) antara MA, DPR, dan Presiden.

Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan lembaga negara baru produk Perubahan Ketiga UUD 1945 yang melakukan kekuasaan kehakiman bersama Mahkamah Agung dengan kewenangan ma-sing-masing yang berbeda. MA dapat disebut sebagai court of jus-tice, yaitu mewujudkan keadilan bagi setiap warga negara Indone-sia dan badan-badan hukum dalam sistem hukum Indonesia, sedang-kan MK sebagai court of law, yaitu menjaga konstitusionalitas semua produk hukum yang mengikat umum. Dasar pembentukan MK yai-tu Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945. MK berwenang menga-dili dan memutus perkara-perkara pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, pembuba-ran partai politik, dan perselisihan hasil pemilihan umum. Selain itu, MK juga diberi kewajiban memu-tus atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Peradilan di MK adalah peradilan pada ting-kat pertama dan terakhir. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi kemudian dipertegas bahwa putu-san MK bersifat final dan mengikat. Pembentukan MK dapat dikatakan merupakan kebutuhan yang muncul sebagai akibat dianutnya supremasi konstitusi dalam UUD 1945. Dalam

58 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

POTRET KELEMBAGAAN NEGARA PASCA AMANDEMEN UUD 1945 DAN PENYELESAIAN SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARAFrenky Kristian Saragi

Page 64: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

konteks ini, MK berperan sebagai pengawal UUD 1945 (the guardian of the Constitution).

KY merupakan lembaga negara baru yang dibentuk khusus untuk menjadi pengawas dan pengim-bang kekuasaan kehakiman. Meski-pun KY tidak melakukan kekuasaan kehakiman, keberadaannya diatur dalam UUD 1945 Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman, sehingga keberadaannya tidak dapat dipi-sahkan dari kekuasaan kehakiman. Pasal 24B UUD 1945 menyebutkan bahwa “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengu-sulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan mene-gakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”. Meskipun terdapat kata “komisi” dalam nama lembaga Komisi Yudi-sial, status kedudukan KY tidak sama dengan komisi-komisi lain, misalnya Komisi Pemilihan Umum, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Penyiaran Indonesia, dan lain-lain. KY merupakan lembaga tinggi negara yang berkedudukan sejajar dan sederajat dengan lem-baga-lembaga tinggi negara lain seperti Presiden, DPR, DPD, MPR, MA, MK, dan BPK.

2. PembahasanPerubahan/amandemen UUD 1945

yang dilakukan sebanyak empat kali dari tahun 1999 hingga tahun 2002 masih belum memperjelas pengertian tentang lembaga negara. Nomenklatur lama tentang lembaga negara yang terdapat dalam ketetapan MPR pada masa Orde Baru masih berpengaruh kuat dalam penggunaan sehari-hari sebagaimana tercermin dari penyebu-tan istilah lembaga tinggi negara untuk menyebut organ-organ negara yang terdapat di dalam UUD 1945. Sebagai

akibat ketidakjelasan dan inkonsistensi ketentuan dalam UUD 1945 mengenai lembaga negara dan bermunculannya beragam lembaga negara baru pada Era Reformasi, maka konsep tentang lembaga negara menjadi bias dan muncul banyak penafsiran tentang lembaga negara tersebut. Ini menjadi semakin rumit karena tidak ada stan-dar dan kriteria baku mengenai peng-aturan lembaga negara dapat masuk dan tidak dapat masuk dalam konsti-tusi. Berdasarkan UUD 1945, ada lem-baga-lembaga negara yang disebut secara jelas lembaga dan wewenang-nya, ada yang disebut secara jelas we-wenangnya namun tidak disebut se-cara jelas nama lembaganya, dan ada yang sama sekali tidak disebut nama lembaga dan wewenanganya. Selain itu, ada juga lembaga negara yang namanya disebut dengan huruf besar dan huruf kecil. Ini semua semakin menambah kompleksitas pengertian tentang lembaga negara.14

Untuk memperjelas pengertian ten-tang lembaga negara tersebut bebera-pa pakar hukum tata negara menge-mukakan beberapa penafsiran. Ada yang menafsirkan dengan membagi pe ngertian lembaga negara menjadi lembaga negara utama (main state’s organ) dan lembaga negara bantu (auxiliary state’s organ). Yang disebut sebagai lembaga negara utama adalah yang masuk dalam ajaran Trias Politika yang memisahkan kekuasaan lembaga negara menjadi tiga, yaitu eksekutif, le gislatif, dan yudikatif. Melalui pe-ngertian ini, maka yang disebut se-bagai lembaga negara utama di bawah UUD 1945 adalah MPR, DPR, DPD, Presiden, MA, dan MK. Sementara lembaga-lembaga negara lain merupa-

14. Firmansyah Arifin, dkk, 2005. Lembaga Neg-ara dan Sengketa Kewenangan Antarlemba-ga Negara. Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional.

59JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

POTRET KELEMBAGAAN NEGARA PASCA AMANDEMEN UUD 1945 DAN PENYELESAIAN SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA

NEGARAFrenky Kristian Saragi

Page 65: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

kan lembaga negara bantu. Penafsiran lain, yaitu dikemukakan oleh Sri Soe-mantri,15 mengartikan lembaga nega-ra dengan membagi fungsinya, yaitu fungsi perundang-undangan, fungsi pengawasan, dan fungsi pengangka-tan hakim agung. Dalam pengertian ini, maka lembaga negara di bawah UUD 1945 yaitu terdiri dari MPR, DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, MA, MK, dan KY.

Selain itu, untuk memahami lebih jauh tentang kelembagaan negara di bawah UUD 1945, menarik mencerma-ti teori yang digagas oleh Jimly Asshid-diqie,16 yaitu disebutnya sebagai “teori tentang norma sumber legitimasi”. Menurut teori ini, “apa bentuk norma hukum yang menjadi sumber atau yang memberikan kewenangan kepa-da lembaga negara itu berkait dengan siapa yang merupakan sumber atau pemberi kewenangan terhadap lemba-ga negara yang bersangkutan”. Dalam bingkai teori ini, ada empat tingkatan kelembagaan negara di tingkat pusat, yaitu: (1) lembaga yang dibentuk ber-dasarkan Undang-Undang Dasar, (2) lembaga yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang, (3) lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pe-merintah, (4) lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri.

Lebih lanjut Jimly Asshiddiqie17 mengemukakan, di dalam UUD 1945 ada lembaga negara yang disebut secara tegas namanya, bentuk dan susunan organisasinya, dan sekaligus kewenangannya. Misalnya, lembaga negara Presiden, DPR, DPD, MA, MK, dan BPK. Namun, ada juga lembaga negara yang tidak disebut secara eks-plisit namanya tetapi hanya disebut

15 Ibid.16. Jimly Asshiddiqie, 2006. Perkembangan...

Op. Cit.17 Ibid

kewenangannya, kendati tidak begi-tu detail. Misalnya, komisi pemilihan umum (Pasal 22E ayat [5] UUD 1945). Jika dicermati secara saksama, ada lebih dari 34 organ, jabatan, atau lem-baga yang disebut di dalam UUD 1945. Dari 34 lembaga negara ini, ada 28 lembaga negara yang kewenangannya ditentukan baik secara umum maupun secara rinci oleh UUD 1945. Dapat dikatakan bahwa 28 lembaga negara inilah yang merupakan lembaga nega-ra yang mendapat kewenangan kons-titusional secara eksplisit dari UUD 1945. Ke-28 lembaga negara ini yaitu:1. Majelis Permusyawaratan Rak yat2. Presiden3. Wakil Presiden4. Menteri atau Kementerian Ne gara5. Menteri Luar Negeri selaku Men-

teri Triumvirat6. Menteri Dalam Negeri selaku Men-

teri Triumvirat7. Menteri Pertahanan selaku Men-

teri Triumvirat8. Dewan pertimbangan presiden9. Pemerintahan Daerah Provinsi10. Gubernur/Kepala Pemerintahan

daerah provinsi11. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Provinsi12. Pemerintahan Daerah Kota13. Walikota/Kepala Pemerintahan

Daerah Kota14. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kota15. Pemerintahan Daerah Kabupa ten16. Bupati/Kepala Pemerintahan daer-

ah kabupaten17. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten18. Satuan pemerintahan daerah yang

bersifat khusus atau istimewa19. Dewan Perwakilan Rakyat20. Dewan Perwakilan Daerah

60 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

POTRET KELEMBAGAAN NEGARA PASCA AMANDEMEN UUD 1945 DAN PENYELESAIAN SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARAFrenky Kristian Saragi

Page 66: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

21. Komisi pemilihan umum22. Badan Pemeriksa Keuangan23. Mahkamah Agung24. Mahkamah Konstitusi25. Komisi Yudisial26. Bank Sentral27. Tentara Nasional Indonesia28. Kepolisian Negara Republik Indo-

nesiaPenentuan atau penafsiran tentang

lembaga negara mana saja yang ke-wenangannya disebut oleh UUD 1945 akan menentukan lembaga nega-ra mana saja yang dapat berperkara sengketa kewenangan lembaga nega-ra. Maka persoalan tentang sengketa kewenangan lembaga negara harus dilihat secara berkaitan dengan ke-wenangaan lembaga negara menurut UUD 1945.

Sengketa kewenangan lembaga negara merupakan sesuatu yang rela-tif baru dalam praktik ketatanegaraan Indonesia, dan karena itu sebetulnya belum ada pengalaman awal yang te-lah dimiliki sebelumnya. Diadakannya mekanisme penyelesaian sengketa ke-wenangan lembaga negara ini meru-pakan resultan dari tidak dikenalnya lagi pembedaan lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara. Dalam UUD 1945, di bawah UUD 1945 pasca-perubahan, semua lemba-ga negara yang disebut di dalamnya memiliki kedudukan yang sederajat dan setara dalam bingkai checks and balances. Maka tidak ada lagi lemba-ga negara yang lebih berkuasa dan dominan terhadap lembaga-lemba-ga negara lainnya. Keadaan seperti ini potensial menimbulkan sengketa antarlembaga negara, terutama me-nyangkut kewenangan. Karena itulah kemudian pengubah UUD 1945 sepa-kat menyediakan mekanisme penyele-saian sengketa kewenangan lembaga negara sebagai upaya antisipatifnya.

Pasal 24C UUD 1945, hasil Perubah-an Ketiga UUD 1945, secara eksplisit mencantumkan ketentuan tentang lembaga negara yang berwenang un-tuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara tersebut. Lembaga negara yang diberikan tugas dan we-wenang tersebut yaitu Mahkamah Kons titusi. Mengingat Mahkamah Kons titusi adalah lembaga negara se-bagai pelaku kekuasaan kehakiman di samping Mahkamah Agung, diberi-kannya kewenangan ini kepada Mah-kamah Konstitusi menunjukkan bahwa pengubah UUD 1945 menghendaki agar sengketa kewenangan lemba-ga negara diselesaikan secara hukum oleh lembaga yudisial. Diberikannnya kewenangan tersebut kepada MK, dan bukan kepada lembaga negara lain, adalah selaras dengan fungsi yang diemban oleh MK sebagai pengawal konstitusi/UUD 1945 (the guardian of the constitution), sedangkan sifat sengketa kewenangan lembaga nega-ra menurut UUD 1945 yaitu sengketa kewenangan lembaga negara yang wewenangnya diberikan oleh UUD 1945.

Sebagai akibat begitu banyaknya lembaga-lembaga negara yang diben-tuk sejak Era Reformasi, muncul be-ragam penafsiran mengenai lembaga negara yang memiliki kedudukan hu-kum (legal standing) untuk berperka-ra sengketa kewenangan lembaga negara di MK. Ini selanjutnya menga-kibatkan kekaburan tentang lembaga mana saja yang dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan di MK. Munculnya penafsiran yang beragam ini bertolak dari dua pertanyaan pen-ting, yaitu apa sebetulnya yang dapat dikategorikan sebagai lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh

61JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

POTRET KELEMBAGAAN NEGARA PASCA AMANDEMEN UUD 1945 DAN PENYELESAIAN SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA

NEGARAFrenky Kristian Saragi

Page 67: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

UUD 1945.18 Menurut Harjono,19 prin-sip utama yang harus dipegang adalah tidak mendekati persoalan sengketa kewenangan lembaga negara di MK dari pengertian tentang lembaga ne-gara, tetapi terlebih dahulu didekati melalui kewenangan lembaga negara tersebut karena yang menjadi objek sengketa di MK adalah masalah ke-wenangan lembaga negara, bukan lembaga negara apa yang bersengke-ta. Artinya, batu ujian perdananya adalah kewenangan lembaga negara tersebut, menurut UUD 1945, bukan lembaga negaranya.

Ketentuan lebih lanjut tentang sengketa kewenangan konstitusio-nal lembaga negara diatur dalam Un-dang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Keten-tuan-ketentuan ini secara khusus ter-dapat pada Bagian Kesembilan ber-judul Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang Kewenangannya diberi-kan oleh Undang-Undang Dasar dalam UU No. 24 Tahun 2003 itu. Pasal 61 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 secara eksplisit menyebutkan bahwa “Pemo-hon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Un-dang-Undang Dasar Negara Republik Indonesai tahun 1945 yang mempu-nyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan”. Selanjutnya Pasal 61 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2003 menyebutkan pula bahwa “Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya dan menguraikan kewenangan yang dipersengketakan serta menyebutkan dengan jelas lembaga negara yang menjadi termohon”. Di samping ini, yang menarik adalah terdapat keten-tuan yang menegaskan bahwa Mahka-mah Agung tidak dapat menjadi pihak

18. Firmansyah Arifin, dkk, 2005. Lembaga Negara... Op. Cit.

19 Ibid

dalam sengketa kewenangan lembaga negara (Pasal 65 UU No. 24 Tahun 2003).

Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, ada tiga kriteria untuk dapat mengajukan permohonan sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara ke Mahkamah Konstitusi. Per-tama, terkait dengan sengketa kewe-nangan, bukan sengketa yang lain. Kedua, pihak yang dapat berperkara adalah lembaga negara yang kewena-ngannya diberikan oleh UUD 1945. Ke-tiga, lembaga negara tersebut mem-punyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan.20 Maka yang pertama-tama harus dipas-tikan terlebih dahulu adalah menge-nai “sengketa kewenangan” atau ‘apa yang disengketakan”, dan bukan me-ngenai “siapa yang bersengketa”. Pe-nentuan subjectum litis dan objectum litis dalam perkara sengketa kewena-ngan lembaga negara di MK adalah didasarkan pada kewenangan-ke-wenangan yang diberikan oleh UUD 1945, setelah itu barulah penentuan lembaga negara apa yang memiliki kewenangan-kewenangan tersebut.21 Dengan demikian, yang penting ada-lah membuktikan secara jelas apakah lembaga negara pemohon memang memiliki kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945, dan kemudian apa-kah kewenangan konstitusionalnya itu memang dirugikan oleh keputusan tertentu dari lembaga negara termo-hon.22

Dalam sejumlah putusannya, MK telah berupaya memperjelas penger-tian dan status lembaga negara dan menentukan lembaga negara apa

20 Ibid.21. Luthfi Widagdo Eddyono, 2010. Penyelesaian

Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume 7 Nomor 3, hal. 36-38.

22 Jimly Asshiddiqie, 2005. Sengketa... Op. Cit.

62 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

POTRET KELEMBAGAAN NEGARA PASCA AMANDEMEN UUD 1945 DAN PENYELESAIAN SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARAFrenky Kristian Saragi

Page 68: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

yang memiliki legal standing untuk menjadi pihak dalam perkara sengketa kewenangan lembaga negara di MK. Penafsiran yang dikemukakan oleh MK dalam putusan-putusan tersebut sebe-tulnya telah cukup memberi kejelasan pemahaman tentang lembaga negara, meskipun di kalangan Hakim Konstitu-si masih terdapat perbedaan pendapat tentang itu sebagaimana dapat diketa-hui dari perbedaan pendapat (dissent-ing opinion) dalam putusan-putusan tersebut.

Melalui Putusan Perkara Nomor 005/PUU-I/2003 tentang perkara permohonan pengujian Undang-Un-dang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran terhadap UUD 1945 yang dimohonkan oleh Komisi Penyiaran In-donesia, MK mencoba secara sekilas memperjelas tentang status lemba-ga negara. Pertimbangan Putusan itu menyebutkan bahwa makna tentang lembaga negara dalam UUD 1945 dibe-dakan menjadi dua, yaitu penyebutan lembaga negara yang memaki huruf kecil (“l” dan “n”) dan huruf kapital (“L” dan “N”). Karena adanya pembe-daan penyebutan ini, maka status dan konsekuensi “lembaga negara” dan “Lembaga Negara” menjadi berbeda. Menurut MK, dalam sistem ketatane-garaan Indonesia saat ini, istilah lem-baga negara tidak harus selalu diar-tikan sebagai lembaga negara yang hanya disebutkan oleh UUD 1945, namun juga termasuk lembaga nega-ra yang dibentuk berdasarkan pera-turan per undang-undangan di bawah konstitusi, misalnya undang-undang dan sampai keputusan presiden. Lebih lanjut MK mengemukakan, atas dasar prinsip pembatasan kekuasaan dan prinsip checks and balances, lembaga negara manapun tidak boleh melak-sanakan secara bersamaan fungsi le-

gislatif, eksekutif, dan yudisial.23

Dalam Putusan Nomor 004/SK-LN-IV/2006, pertimbangan hukum MK menyebutkan bahwa “yang per-tama-tama harus diperhatikan adalah apakah ada kewenangan-kewenangan tertentu dalam Undang-Undang Dasar (objectum litis) dan baru kemudian kepada lembaga apa kewenangan-ke-wenangan tersebut diberikan (sub-jectum litis)”.24 Ini menjadi kriteria bagi MK untuk menentukan kesahan kedudukan hukum (legal standing) pi-hak-pihak yang berperkara sengketa kewenangan lembaga negara di MK.

Kriteria tersebut diterapkan pula pada putusan-putusan MK dalam per-kara sengketa kewenangan lembaga negara berikutnya. Atas dasar kriteria ini, sangat sedikit perkara sengketa kewenangan lembaga negara di MK yang dikabulkan oleh majelis Hakim Konstitusi. Beberapa perkara tersebut ditolak. Bahkan, umumnya perkara tersebut dinyatakan tidak dapat diter-ima (niet ontvangkelijk verklaard). Artinya, umumnya perkara sengketa kewena ngan lembaga negara di MK kandas di tengah jalan karena dinilai tidak memiliki legal standing yang memenuhi kriteria objectum litis dan subjectum litis. Dengan kata lain, pi-hak terkait dalam perkara sengketa kewenangan lembaga negara tersebut bukanlah pihak yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 sehingga majelis Hakim Konstitusi tidak mener-ima permohonan tersebut dan karena itu tidak memeriksa lebih lanjut pokok perkara yang dimohonkan. Jumlah permohonan perkara yang diterima oleh MK dari tahun 2003 hingga tahun 2015 yaitu hanya 36 perkara. Jumlah ini jauh le bih sedikit dibandingkan

23. Firmansyah Arifin, dkk, 2005. Lembaga Negara... Op. Cit.

24. Luthfi Widagdo Eddyono, 2010. Penyelesa-ian... Op. Cit.

63JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

POTRET KELEMBAGAAN NEGARA PASCA AMANDEMEN UUD 1945 DAN PENYELESAIAN SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA

NEGARAFrenky Kristian Saragi

Page 69: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

permohonan perkara pengujian un-dang-undang dan perselisihan hasil pemilihan umum yang diterima oleh MK selama periode waktu tersebut. Ini dapat dimengerti karena segmen-tasi yang dapat mengajukan perkara sengketa kewenangan lembaga nega-ra memang sangat spesifik dan terba-tas. Tidak seperti perkara pengujian undang-undang yang memungkinkan setiap warga negara dapat mengaju-kan permohonan perkara, yang dapat mengajukan permohonan perkara sengketa kewenangan lembaga nega-ra hanya lembaga nega ra yang jum-lahnya terbatas. Tidak mudah perkara sengketa kewenangan lembaga nega-ra dapat dikabulkan oleh MK. Seba-nyak 25 putusan perkara sengketa ke-wenangan lembaga negara yang telah diputus oleh MK selama periode 2003 sampai 2015, hanya 1 perkara yang dikabulkan. Selebihnya, sebanyak 3 perkara ditolak, 17 per kara tidak diteri-ma, dan 4 perkara dita rik kembali. Me-lihat begitu banyak nya perkara yang dinyatakan tidak dapat diterima oleh MK, ini menunjukkan bahwa pemohon tidak sepenuhnya berangkat dengan keyakinan kuat bahwa ia memiliki le-gal standing yang memenuhi objectum litis dan subjectum litis untuk berper-kara sengketa kewenangan lembaga negara.

Rekapitulasi perkara sengketa ke-wenangan lembaga negara dapat kita lihat pada tabel 1. di halaman beri-kut.25

Berikut ini adalah beberapa contoh putusan perkara sengketa kewenang-an lembaga negara yang telah dijatuh-kan oleh MK yang amar putusannya menyatakan perkara tersebut tidak dapat diterima (niet ontvangkelijk verklaard).

25. http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/in-dex.php?page=web.RekapSKLN&menu=5 di akses 20 Juni 2016

1. Putusan Perkara Nomor 002/SK-LN-IV/2006 tentang Sengketa Kewenangan Lembaga Negara tentang Permohonan Peninjauan Kembali oleh KPUD Kota Depok ke Mahkamah Agung terhadap Kepu-tusan pengadilan Tinggi Negeri Bandung Nomor 01/pilkada/2005/pt.bdg yang dimohonkan oleh Badrul Kamal dan Syihabuddin Ahmad dengan Termohon Komisi Pemilihan Umum Daerah Kota De-pok.

2. Putusan Perkara Nomor 004/SK-LN-IV/2006 tentang Sengketa Kewenangan Lembaga Negara Antara Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Bekasi dengan Presi-den RI, Menteri Dalam Negeri, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

3. Perkara Nomor 027/SKLN-IV/2006 tentang Sengketa Kewenangan Lembaga Negara antara Ketua dan Wakil Ketua DPRD Poso Provinsi Sulawesi Tengah terhadap Guber-nur Provinsi Sulawesi Tengah.

4. Putusan Perkara Nomor 030/SK-LN-IV/2006 tentang Sengketa Kewenangan Lembaga Negara antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terhadap Presiden RI c.q. Menteri Komunikasi dan Informa-tika.

5. Putusan Perkara Nomor 26/SK-LN-V/2007 tentang Sengketa Kewenangan Lembaga Negara antara Komisi Independen Pemi-lihan (KIP) Tingkat Kabupaten Aceh Tenggara, Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Aceh Tengga-ra terhadap Komisi Independen Pemilihan Tingkat Provinsi Nang-groe Aceh Darussalam, Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darus-salam, dan Presiden Republik In-donesia c.q. Menteri Dalam Neg-eri.

6. Putusan Perkara Nomor 1/SK-

64 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

POTRET KELEMBAGAAN NEGARA PASCA AMANDEMEN UUD 1945 DAN PENYELESAIAN SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARAFrenky Kristian Saragi

Page 70: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

Tahun Dalam ProsesYang lalu

Terima Jumlah Amar Putusan JumlahPutusan

Dalam ProsesTahun Ini

2003 0 0 0 Kabul: 0Tolak: 0

Tidak diterima: 0Tarik kembali: 0

0 0

2004 0 1 1 Kabul: 0Tolak: 1

Tidak diterima: 0Tarik kembali: 0

1 0

2005 0 1 1 Kabul: 0Tolak: 0

Tidak diterima: 0Tarik kembali: 0

0 1

2006 1 4 5 Kabul: 0Tolak: 0

Tidak diterima: 2Tarik kembali: 1

3 2

2007 2 2 4 Kabul: 0Tolak: 1

Tidak diterima: 1Tarik kembali: 0

2 2

2008 2 3 5 Kabul: 0Tolak: 0

Tidak diterima: 2Tarik kembali: 2

4 1

2009 1 0 1 Kabul: 0Tolak: 0

Tidak diterima: 1Tarik kembali: 0

1 0

2010 0 1 1 Kabul: 0Tolak: 0

Tidak diterima: 0Tarik kembali: 0

0 1

2011 1 6 7 Kabul: 0Tolak: 0

Tidak diterima: 4Tarik kembali: 0

4 3

2012 3 3 6 Kabul: 1Tolak: 1

Tidak diterima: 3Tarik kembali: 1

6 0

2013 0 3 3 Kabul: 0Tolak: 0

Tidak diterima: 2Tarik kembali: 0

2 1

2014 1 0 1 Kabul: 0Tolak: 0

Tidak diterima: 1Tarik kembali: 0

1 0

2015 0 1 1 Kabul: 0Tolak: 0

Tidak diterima: 1Tarik kembali: 0

1 0

Jumlah 11 25 36 Kabul: 1Tolak: 3

Tidak diterima: 17Tarik kembali: 4

25 -

Tabel 1. Rekapitulasi Perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara

65JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

POTRET KELEMBAGAAN NEGARA PASCA AMANDEMEN UUD 1945 DAN PENYELESAIAN SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA

NEGARAFrenky Kristian Saragi

Page 71: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

LN-VI/2008 tentang Sengketa Kewenangan Lembaga Negara an-tara Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) Bupati dan Wakil Bu-pati Kabupaten Morowali terhadap Komisi Pemilihan Umum Kabupa-ten Morowali.

7. Putusan Nomor 27/SKLN-VI/2008 tentang Sengketa Kewenangan Lembaga Negara antara Komisi Pemilihan Umum Provinsi Maluku Utara terhadap Presiden Republik Indonesia.

Melalui Putusan-Putusan itu, MK menyatakan bahwa KPUD, kewenang-an Bupati, KPI, KIP provinsi/kabupa-ten/kota, Panwaslih, tidak dapat di-kualifikasi sebagai lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Oleh karena itu, tidak memiliki legal standing yang me-menuhi objectum litis dan subjectum litis dalam perkara sengketa kewena-ngan lembaga negara. Berdasarkan Putusan-Putusan MK tersebut, dapat dikatakan bahwa MK melalui penaf-sirannya telah memperjelas tentang pengertian dan status lembaga negara serta kedudukan hukum lembaga ne-gara yang dapat mengajukan permo-honan perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Sepanjang MK tetap konsisten dengan penafsirannnya itu, maka tidak ada peluang bagi lembaga negara yang tidak mampu menunjuk-kan kewenangannya memang disebut oleh UUD 1945 untuk dapat diterima perkaranya di MK. Dengan demikian, tercipta kekosongan hukum atas me-kanisme sengketa kewenangan lemba-ga negara yang kewenangannya tidak disebut di dalam UUD 1945. Sebab sengketa kewenangan lembaga ne-gara seperti ini tidak dapat dibawa ke MK.D. KESIMPULAN

Penyebutan istilah “lembaga nega-ra” secara resmi baru mulai dikenal

setelah adanya perubahan/amande-men UUD 1945. Namun, ini masih ber-sifat sumir dan menyulut munculnya beragam penafsiran tentang “lembaga negara”. Format kelembagaan negara mengalami redesain struktural sebagai akibat adanya perubahan fungsi dan wewenang lembaga negara yang lama dan pembentukan lembaga-lemba-ga negara yang baru. Format kelem-bagaan negara yang baru itu mencip-takan pola hubungan antarlembaga negara yang baru dalam bingkai Check and Balances.

Selain itu, mulai juga dikenal isti-lah dan ketentuan tentang “sengke-ta kewenangan lembaga negara”. Mekanisme penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara harus ditempuh secara yuridis melalui MK yang diberi wewenang oleh UUD 1945 untuk memutus perkara sengketa ke-wenangan lembaga negara. UUD 1945 secara eksplisit dan limitatif menyebut bahwa sengketa kewenangan lembaga negara yang dapat dimohonkan kepa-da MK hanyalah sengketa kewenan-gan lembaga negara yang wewenang-nya diberikan oleh UUD 1945. Dengan demikian, tidak semua sengketa ke-wenangan lembaga negara memiliki legal standing yang memenuhi kriteria objectum litis dan subjectum litis un-tuk dapat dibawa ke MK penyelesaian-nya. Sejauh ini, mayoritas perkara di-nyatakan tidak dapat diterima oleh MK karena permohonan perkara sengketa kewenangan lembaga negara tersebut tidak memenuhi kriteria objectum litis dan subjectum litis.

DAFTAR PUSTAKAAli Zainuddin, 2009. Metode Penelitian

Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.Arifin Firmansyah, dkk, 2005. Lemba-

ga Negara dan Sengketa Kewenan-gan Antarlembaga Negara. Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasi-

POTRET KELEMBAGAAN NEGARA PASCA AMANDEMEN UUD 1945 DAN PENYELESAIAN SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA

NEGARAFrenky Kristian Saragi

66 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

Page 72: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

67JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

POTRET KELEMBAGAAN NEGARA PASCA AMANDEMEN UUD 1945 DAN PENYELESAIAN SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARAFrenky Kristian Saragi

onal.Asshiddiqie Jimly, 2007. Pokok-Pokok

Hukum Tata Negara Indonesia Pas-ca Reformasi. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer.

---------------, 2006. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Nega-ra Pasca Reformasi. Jakarta: Sek-retariat Jenderal dan Kepaniteraan NKRI.

---------------, 2005. Format Kelem-bagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945. Yo-gyakarta: FH UII Press, cetakan kedua.

---------------, 2005. Sengketa Ke-wenangan Antarlembaga Negara. Jakarta: Konstitusi Press.

Eddyono Luthfi Widagdo, 2010. Penyelesaian Sengketa Kewenan-gan Lembaga Negara oleh Mahka-mah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume 7 Nomor 3.

Huda Ni’matul, 2007. Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi. Yo-gyakarta: UII Press;

Mahkamah Konstitusi Republik Indo-nesia, di akses 20 Juni 2016, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.RekapSKL-N&menu=5

Mahfud MD Moh., 2009. Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu. Ja-karta: Rajawali Pers.

Ramdhan Mochamad Isnaeni, dalam R. Sri Soemantri M., 2006. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi. Bandung: Alumni: edisi kedua, ce-takan pertama.

Sulistyo-Basuki, 2010. Metode Pene-litian. Jakarta: Penaku, cetakan kedua.

Steven J. Taylor dan Robert Bogdan, 1984. Introduction to Qualitative Research Methods: The Search for Meanings, Second Edition. New York: John Wiley & Sons.

Tauda Gunawan A., 2012. Komisi Neg-ara Independen. Eksistensi Inde-pendent Agencies sebagai Cabang Kekuasaan Baru dalam Sistem Ketatanegaraan. Yogyakarta: Genta Press.

Page 73: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

68 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

POTRET KELEMBAGAAN NEGARA PASCA AMANDEMEN UUD 1945 DAN PENYELESAIAN SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA

NEGARAFrenky Kristian Saragi

Page 74: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

INOVASI PELAYANAN PUBLIK:Praktik Penyelenggaraan Otonomi Daerah.

Abstrak: Otonomi Daerah mempunyai tujuan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan ma-syarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, ser-ta peningkatan daya saing daerah. Otonomi daerah dapat mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, meningkatkan kesejahteraan rakyat dan menciptakan demokrasi lokal. Otonomi daerah memberikan peluang bagi daerah untuk berkompetisi menciptakan ide-ide secara inovatif dan kreatif dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Tulisan ini mem-punyai tujuan untuk mendeskripsikan kondisi inovasi pelayanan publik sebagai salah satu praktik terbaik dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Inovasi pelayanan publik adalah ide atau gagasan baru yang memberikan manfaat dalam pembaharuan dan perbaikan pe-layanan kebutuhan masyarakat yang sesuai dengan peraturan. Inovasi yang telah dilakukan oleh beberapa daerah memberikan harapan bahwa otonomi daerah menjanjikan adanya arah kecenderungan yang positif dalam peningkatan kualitas pelayanan publik. Prasyarat dalam melakukan inovasi pelayanan publik antara lain: kepemimpinan yang inovatif, perubahan mindset aparatur pemerintah dan masyarakat, mobilisasi sumber daya, orientasi hasil dan manfaat, dan dukungan pemangku kepentingan. Kata Kunci: Pelayanan Publik, Inovasi Pelayanan Publik, Otonomi DaerahAbstract: Regional autonomy has the objective to accelerate the realization of public welfare through the improvement of service, empowerment, and community participation, as well as in-creased regional competitiveness. Regional autonomy can bring public service closer to the community, improve the welfare of the people and create local democracy. Regional autono-my provides an opportunity for the region to compete creating innovative ideas and creative in improving services to the public. This paper has the objective to describe the condition of public service innovation as one of the best practices in the implementation of regional auton-omy. Innovation is the idea of public service or new ideas that provide benefits in the renewal and improvement of the service needs of the community in accordance with the regulations. Innovations that have been made by some areas provide hope that regional autonomy prom-ises a positive trend in the direction of improving the quality of public services. Prerequisites in the innovation of public services, among others: innovative leadership, mindset change apparatus and society, mobilization of resources, results orientation and benefits, and the support of stakeholders.Keywords: Public Service, Public Service Innovation, Regional Autonomy

PUBLIC SERVICE INNOVATION:The Practice of Regional Autonomy

Harditya Bayu KusumaPeneliti Pertama Pusat Inovasi Pelayanan Publik

Lembaga Administrasi Negara

A. PENDAHULUANOtonomi daerah dalam kerangka

regulasi yang termuat di Undang-Un-dang No. 23 Tahun 2014 tentang Pe-merintahan Daerah memiliki penger-tian sebagai suatu hak, wewenang,

dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Uru-san Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Urusan Pemerintahan yang

69JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

Artikel

Page 75: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

diatur dan diurus sendiri oleh peme-rintah daerah terkait upaya untuk me-lindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat. Budiardjo (2008) menjelaskan bahwa penerapan prinsip otonomi dalam ne-gara kesatuan adalah kekuasaan tetap terletak pada pemerintah pusat dan tidak pada pemerintah daerah. Uru-san Pemerintahan yang diserahkan ke daerah berasal dari kekuasaan peme-rintahan yang ada di tangan Presiden. Meskipun Urusan Pemerintahan telah diserahkan ke daerah berdasarkan hak otonom, tetapi kekuasaan tertinggi tetap berada di pemerintah pusat.

Lay (dalam Karim, 2011) menya-takan bahwa pemberian otonomi kepada daerah merupakan jalan ter-baik untuk memecahkan persoalan ketegangan hubungan antar pusat dan daerah, pemberian kekuasan ekonomi dan politik kepada daerah harus di-paralelkan dengan pengembangan demokrasi di tingkat lokal. Pendapat tersebut memperlihatkan bahwa ke-bijakan otonomi daerah cenderung hanya mengarah pada pemekaran da-erah dan pelaksanaan pemilihan kepa-la daerah (pilkada) secara langsung, karena sejak era otonomi daerah se-makin marak pemekaran daerah dan terjadi pemilihan Gubernur, Walikota dan Bupati beserta wakilnya secara langsung.

Penerapan otonomi daerah ternyata bukan hanya sebatas pengemba ngan demokrasi lokal di tingkat da erah, melainkan juga diarahkan untuk pe-ningkatan kualitas pelayanan publik untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut selaras de-ngan pendapat Chalid (2005) yang menyatakan bahwa pelaksanaan de-sentralisasi dan otonomi daerah di In-donesia akan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memupuk

demokrasi tingkat lokal. Kondisi terse-but akan menciptakan peluang bagi setiap daerah untuk mengembangkan potensi yang dimiliki dan berkompetisi positif untuk mewujudkan pelayanan publik yang terbaik demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Sumarsono (2016) dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mempunyai pemikiran yang sama bahwa tujuan otonomi daerah selaras dengan penyeleng-garaan Pemerintahan Daerah yang diarahkan untuk mempercepat ter-wujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pem-berdayaan, dan peran serta masya-rakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah dalam sistem NKRI.

Secara umum pelaksanaan oto-nomi daerah yang telah berlangsung selama lebih dari 1 (satu) dasawarsa telah menunjukkan berbagai perkem-bangan baik dari sisi positif maupun negatif. Utomo (2016) melihat sisi positif dan negatif tersebut dari sudut pandang optimisme dan pesimisme dalam pelaksanaan otonomi daerah. Optimisme teridentifikasi dari semakin bermunculan praktik-praktik dan tokoh inovasi di daerah dalam beberapa ta-hun terakhir. Tetapi pesimisme juga terlihat dari semakin merebaknya ka-sus-kasus yang menjerat para kepala daerah baik dari kasus korupsi, wanita maupun narkoba.

Praktik-praktik inovasi pelayanan publik sebagai bagian optimisme di era otonomi daerah mulai menunjuk-kan gejala positif. Berbagai program dan kegiatan juga telah digiatkan se-bagai upaya untuk menyebarluaskan kesadaran berinovasi bagi instansi pemerintah. Kementerian PAN dan RB menerapkan kebijakan One Agency One Innovation dimana setiap Kemen-

70 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

INOVASI PELAYANAN PUBLIK:Praktik Penyelenggaraan Otonomi Daerah

Harditya Bayu Kusuma

Page 76: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

71JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

terian/Lembaga dan Pemerintah Da-erah diwajibkan menciptakan minimal 1 (satu) inovasi pelayanan publik tiap tahun yang sejalan dengan kewajiban memunculkan Quick Wins sebagai persyaratan pelaksanaan reformasi bi-rokrasi. Lembaga Administrasi Negara juga mulai mengembangkan inovasi di daerah dengan program Laborato-rium Inovasi. Pada tahun 2015 telah dilaksanakan kegiatan tersebut di Kota Yog yakarta, Kabupaten Muara Enim dan Kabupaten Majalengka.

Inovasi pelayanan publik yang dilakukan oleh daerah juga telah mendapatkan pengakuan dari du-nia internasional. 2 (dua) inovasi pe-layanan publik telah memenangkan United Nations Public Service Awards (UNPSA) Tahun 2015 yang diadakan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yaitu Kabupaten Aceh Singkil dan Kabupaten Sragen. Kabupaten Aceh Sing kil meraih juara II (dua) dalam kategori 1 (satu) untuk wilayah Asia dan Pasifik, dengan inovasi “Mengem-bangkan Kemitraan Dukun dan Bidan untuk Mengurangi Angka Kematian Anak dan Ibu Melahirkan”. Sedangkan, Kabupaten Sragen meraih juara II (dua) dalam kategori kategori 3 (tiga) untuk Wilayah Asia dan Pasifik. Pro-gram inovasi dari Kabupaten Sragen adalah “Unit Pelayanan Terpadu Pen-gentasan Kemiskinan (UPT.PK) - Model Jawaban Problematika Kemiskinan”

Berbagai hal tersebut menggam-barkan bahwa inovasi pelayanan pu-blik di era otonomi daerah saat ini se-dang menunjukkan peningkatan dan dapat bersaing di kancah internasional dengan negara lain. Otonomi da erah memberikan peluang bagi daerah untuk berkompetisi menciptakan ide-ide secara inovatif dan kreatif dalam meningkatkan pelayanan kepada ma-syarakat. UU No.23 Tahun 2014 juga mendukung dan lebih mengedepan-

kan pelayanan publik bagi masyarakat. Di dalam UU tersebut, daerah dapat melakukan penyederhanaan jenis dan prosedur pelayanan publik untuk meningkatkan mutu pelayanan dan daya saing daerah. Selain itu, peme-rintah daerah juga diarahkan untuk dapat memanfaatkan teknologi infor-masi dan komunikasi dalam penye-lenggaraan pelayanan publik.

Berdasarkan latar belakang di atas dan maka tulisan ini mempunyai tujuan untuk mendeskripsikan kondisi inovasi pelayanan publik sebagai salah satu praktik terbaik dalam penyelengga-raan otonomi daerah. Pelayanan publik saat ini dibalik kekurangan yang ada telah menunjukkan sisi positif dengan semakin meningkatnya inovasi yang dilakukan di daerah. Keharusan pe-merintah daerah untuk meningkatkan kinerja dan melakukan pembaharuan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara telah memunculkan inovasi di daerah.

Pendekatan dalam tulisan ini adalah dengan deskriptif, yaitu menggambar-kan kondisi inovasi pelayanan publik di era otonomi daerah berdasarkan data dan informasi yang didapat. Berbagai teori yang terkait akan dipergunakan sebagai landasan berpikir mengenai fenomena yang ditemukan melalui literatur dan sumber data sekunder lainnya. Tujuan yang ingin dicapai adalah mengetahui prayarat inovasi pelayanan publik dan tantangan yang akan dihadapi ke depan sehingga menjadi referensi dalam menumbuh-kembangkan inovasi pelayanan publik di era otonomi daerah.B. KONSEP INOVASI PELAYA-

NAN PUBLIKSebelum membahas lebih lanjut

mengenai inovasi pelayanan publik, terlebih dahulu harus memahami me-ngenai inovasi dan pelayanan publik itu sendiri. Kedua konsep yang mem-

INOVASI PELAYANAN PUBLIK:Praktik Penyelenggaraan Otonomi Daerah

Harditya Bayu Kusuma

Page 77: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

punyai pemahaman yang berbeda tetapi disatukan agar mempunyai makna yang lebih mendalam dalam peningkatan kualitas pelayanan publik.

PermenPAN dan RB No. 31 Tahun 2014 tentang Pedoman Inovasi Pe-layanan Publik menyebutkan bahwa inovasi adalah proses kreatif pencip-taan pengetahuan dalam melakukan penemuan baru yang berbeda dan/ atau modifikasi dari yang sudah ada. Sedangkan Dwiyanto (dalam LAN, 2014) menyatakan inovasi adalah se-gala sesuatu yang berkaitan dengan gagasan dan pengetahuan baru dan transformasinya ke dalam hasil (out-come) yang kemudian dapat mencip-takan nilai tambah pada praktik dan proses, barang dan jasa, adopsi teknik dan pendekatan baru dalam pengelo-laan satu organisasi. Lebih lanjut ino-vasi dalam bidang administrasi publik dapat diartikan sebagai suatu bentuk transformasi gagasan dan pengetahu-an baru yang dapat menciptakan nilai tambah dalam satu atau lebih aspek dan atau proses administrasi publik.

Perumusan definisi mengenai pe-la yanan publik diungkapkan da-lam Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang menyebutkan bahwa pelayanan pu-blik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/ atau pe-layanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Ruang lingkup pelayanan publik yang diatur meliputi pelayanan barang pu-blik dan jasa publik serta pelayanan administratif yang diatur dalam peratu-ran perundangan-undangan.

Mahmudi (2015) mengemukakan bahwa pelayanan publik adalah sega-la urusan yang berhubungan dengan

kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya untuk memenuhi kebu-tuhan publik dan melaksanakan keten-tuan peraturan perundang-undangan. Aparatur pemerintah sebagai penye-lenggara pelayanan publik bertanggu-ng jawab memberikan pelayanan yang terbaik dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat berhak untuk mendapatkan pelayanan yang terbaik dari pemerintah karena telah membayar pajak, retribusi, dan berbagai pungutan lainnya. Lebih lan-jut Mahmudi menjelaskan bahwa da-lam memberikan pelayanan publik, instansi penyedia pelayanan publik harus memperhatikan asas pelayanan publik, yaitu:1. Transparansi, pelayanan publik

disampaikan kepada masyarakat secara terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan pelayanan;

2. Akuntabilitas, pelayanan publik harus dapat dipertanggungjawab-kan kepada masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan per-undang-undangan yang berlaku;

3. Kondisional, pelayanan publik ha-rus diberikan sesuai dengan kondi-si dan kemampuan penyelenggara pelayanan dan masyarakat pene-rima pelayanan secara efektif dan efisiensi;

4. Partisipatif, pelayanan publik ha-rus dapat mendorong peran aktif masyarakat dengan selalu mem-perhatikan dan mengakomodasi aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat;

5. Tidak diskriminatif, pemberian pe-layanan publik tidak boleh mem-bedakan suku, ras, agama, golo-ngan, gender, status sosial dan ekonomi; dan

6. Keseimbangan Hak dan Kewa-jiban, penyelenggara pelayanan

INOVASI PELAYANAN PUBLIK:Praktik Penyelenggaraan Otonomi Daerah

Harditya Bayu Kusuma

72 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

Page 78: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

dan masyarakat penerima pe-layanan publik harus selalu mem-perhatikan dan memenuhi hak dan kewajiban masing-masing.

Berdasarkan beberapa definisi tersebut, maka dapat diambil suatu pengertian bahwa inovasi pelayanan publik adalah ide atau gagasan baru yang memberikan manfaat dalam pembaharuan dan perbaikan pe-layanan berdasarkan kebutuhan mas-yarakat yang sesuai dengan pera-turan perundang-undangan. Dalam PermenPAN dan RB No. 31 Tahun 2014 tentang Pedoman Inovasi Pe-layanan Pu blik lebih luas disebutkan bahwa inovasi pelayanan publik ada-lah terobosan jenis pelayanan baik yang merupakan gagasan/ide kreatif orisinal dan/atau adaptasi/modifikasi yang memberikan manfaat bagi ma-syarakat, baik secara langsung mau-pun tidak langsung. Dengan kata lain, inovasi pelayanan publik sendiri tidak mengharuskan suatu penemuan baru, tetapi dapat berupa inovasi hasil dari peengembangan maupun peningkatan kualitas pada inovasi yang ada.

Inovasi pelayanan publik merupa-kan hal nyata yang harus dilakukan dalam rangka mewujudkan sistem penyelenggaraan negara yang baik, dengan adanya sistem pembaharuan dan perbaikan pelayanan publik maka pondasi penyelenggaraan negara akan kuat. Dwiyanto (2014) melihat hal yang sama, bahwa pelayanan publik menjadi titik strategis untuk memulai good governance di Indonesia. Perta-ma, pelayanan publik menjadi ranah dimana Negara yang diwakili oleh pe-merintah berinteraksi dengan lemba-ga-lembaga non-pemerintah. Dalam pelayanan publik terjadi interaksi yang sangat intensif antara pemerintah de-ngan warganya sehingga ketika terjadi perubahan yang signifikan pada ranah pelayanan publik maka manfaatnya

secara langsung akan dirasakan oleh masyarakat secara luas. Kedua, berba-gai aspek good governance dapat di-artikulasikan secara lebih mudah di ranah pelayanan publik. Mewujudkan nilai-nilai praktik good governance dapat dengan mudah dikembangkan parameternya di dalam ranah pe-layanan publik. Ketiga, pelayanan pu-blik melibatkan kepentingan semua unsur governance. Pemerintah sebagai representasi Negara, masyarakat si-pil, dan mekanisme pasar memiliki kepentingan dan keterlibatan dalam pelayanan publik ini.

Sumarto (2009) menyatakan bahwa kunci sukses melakukan perubahan dalam proses governance ditentukan oleh penciptaan dan pemeliharaan pe-rubahan. Kalau semua pihak terlibat, komit dan siap melakukan adaptasi perubahan, maka kondisi yang diha-rapkan akan lebih mudah tercapai. Kalau tidak, maka akan bisa meng-hambat perubahan itu sendiri. Hal ini sejalan dengan apa yang terjadi ke-tika awal mulanya inovasi pelayanan publik digalakkan. Instansi pemerin-tah melihat perlu ada perubahan dan perbaikan dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat di saat stigma pe-layanan publik memburuk. Tetapi di awal-awal langkah ini dilakukan ba-nyak terjadi resistensi di antara apara-tur negara yang menolak adanya peru-bahan karena akan mengganggu zona nyaman mereka dalam bekerja maka diperlukan ketegasan dan panutan pimpinan dalam penerapan inovasi.

Sejalan dengan pendapat Sumarto terkait proses penciptaan dalam peru-bahan governance, Imanuddin (2016) menilai bahwa inovasi pelayanan pu-blik dapat dikatakan sebagai inisiatif terobosan dari instansi/lembaga publik dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik. Inisiatif terobosan dari instansi/lembaga pu blik tersebut

INOVASI PELAYANAN PUBLIK:Praktik Penyelenggaraan Otonomi Daerah

Harditya Bayu Kusuma

73JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

Page 79: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

74 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

terletak pada kebaruan yang ada. Ke-baruan yang dimaksud merupakan proses pengembangan dari inovasi pe-layanan publik yang telah ada, karena inovasi pelayanan publik harus terus diperbaharui dan dikembangkan bah-kan ditiru de ngan cara melakukan re-plikasi inovasi.

Ada beberapa kunci yang terkan-dung dalam pengertian inovasi pe-layanan publik di atas, bahwa inovasi pelayanan publik harus memiliki bebe-rapa unsur antara lain; pertama, ino-vasi pelayanan publik yang diciptakan merupakan sesuatu hal yang baru atau merupakan suatu hasil modifikasi dari inovasi yang sudah ada; kedua, memberikan manfaat yang terukur baik bagi masyarakat maupun instan-si pemerintah terkait; ketiga, inovasi tersebut dilaksanakan secara berke-lanjutan dan sudah dimasukkan dalam keputusan formal; keempat, dapat di-replikasi di instansi lainnya serta dapat dikembangkan lebih lanjut; dan ke-lima, kompatibilitas yaitu selaras dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.C. OTONOMI DAERAH DAN PRAK-TIK INOVASI PELAYANAN PUBLIK

Tingkat kesadaran masyarakat di era otonomi daerah terhadap per-baikan kualitas pelayanan publik yang diberikan semakin tinggi, karena ma-syarakat merasa belum mendapatkan pelayanan publik yang sesuai dengan harapan. Akibatnya bisa dilihat dari semakin meningkatnya tuntutan dan aspirasi masyarakat akan perbaikan kualitas pelayanan publik. Masyarakat semakin mengharapkan pelayanan yang cepat, mudah, murah dan berkualitas dari setiap jenis pelayanan yang diberikan.

Di sisi lain sudah menjadi rahasia umum bahwa tingkat pelayanan yang diberikan masih rendah. Hal ini dikare-nakan kompetensi aparat yang tidak

memadai, rendahnya komitmen jaja-ran aparatur pelayanan publik, uraian tugas kerja yang kurang jelas dan terbatasnya sarana dan prasarana. Melihat kondisi dan isu yang berkem-bang tersebut maka diperlukan lang-kah akselerasi berupa inovasi dalam pelayanan publik yang konsisten dan berkelanjutan. Setiap instansi peme-rin tah harus mendorong pengembang-an inovasi agar kinerja dan kualitas pelayanan yang diberikan semakin meningkat demi kesejahteraan ma-syarakat.

Otonomi daerah sangat memberi-kan peluang yang terbuka bagi ter-wujudnya inovasi pelayanan publik. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah juga memberikan amanah bagi setiap da-erah untuk melakukan inovasi. Su-marsono (2016) menyatakan bahwa UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pe-merintahan Daerah diterbitkan untuk memperbaiki kelemahan Undang-Un-dang No. 32 Tahun 2004 tentang Pe-merintahan Daerah yang sudah ada sebelumnya yaitu memperjelas konsep desentralisasi dalam NKRI dan penga-turan dalam berbagai aspek penye-lenggaraan pemerintahan daerah. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerin-tahan Daerah ini lebih memuat peng-a turan baru sesuai dengan dinamika masyarakat dan tuntutan pelaksanaan desentralisasi, antara lain pengaturan tentang hak warga untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, adanya jaminan terselengga-ranya pelayanan publik dan inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Praktik-praktik inovasi pelayanan publik di era otonomi daerah semakin meningkat beberapa waktu ini, con-tohnya bisa dilihat dari peningkatan peserta kompetisi inovasi pelayanan publik yang diselenggarakan Kemente-

INOVASI PELAYANAN PUBLIK:Praktik Penyelenggaraan Otonomi Daerah

Harditya Bayu Kusuma

Page 80: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

rian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN dan RB) dari tahun ke tahun.

Kompetisi inovasi pelayanan publik pada tahun 2014 hanya diikuti ha nya oleh 515 inovasi dari berbagai instansi pemerintah. Pada tahun 2015 diikuti oleh 1.189 inovasi, berarti terjadi ke-naikan sebesar 130,87 % dari tahun sebelumnya. Sedangkan tahun 2016 terjadi peningkatan signifikan de-ngan diikuti oleh 2.476 inovasi, berar-ti terjadi peningkatan 108,24% bila dibandingkan dengan tahun 2015 atau 480,77 % atau hampir 5 (lima) kali li-pat bila dibandingkan dengan Tahun 2014.

Data di atas menunjukkan bah-wa inovasi yang didaftarkan untuk mengikuti kompetisi inovasi pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Ke-menPAN dan RB dari tahun ke tahun selalu meng alami peningkatan. Hal ini menunjukkan bahwa innovation awareness dari penyelenggara pe-layananan publik mulai menunjukkan perubahan ke arah yang lebih baik. Ke sadaran berinovasi ditunjukkan dengan menciptakan ide dan gagasan baru dalam memberikan pelayanan yang cepat, mudah dan akuntabel. Selain itu, peningkatan jumlah inova-si yang didaftarkan dalam kompetisi inovasi pelayanan publik juga didasari

adanya semangat untuk memperbai-ki perspektif negatif dari masyarakat mengenai aparatur negara yang se-ringkali dipandang berkinerja rendah. Aparatur negara ingin membuktikan diri bahwa saat ini ada suatu peruba-han menuju kinerja yang kreatif dan inovatif. Semakin banyaknya inovasi yang diciptakan maka diharapkan per-spektif masyarakat dapat berubah.

Data kompetisi inovasi pelayanan publik tahun 2016 juga menunjukkan bahwa praktik-praktik inovasi yang ber-asal dari Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) jumlahnya cu-kup banyak yaitu 1.903 inovasi, atau melebihi keseluruhan jumlah inovasi yang didaftarkan pada Kompetisi Ino-vasi Pelayanan Publik tahun 2015 se-jumlah 1.189 inovasi.

Data tersebut memperlihatkan bah-wa era otonomi daerah terbukti bisa membuka peluang bagi daerah untuk menciptakan inovasi pelayanan publik, walaupun tidak bisa dipungkiri salah satu penyebab munculnya inovasi pe-layanan publik tidak lepas dari lam-batnya proses peningkatan kualitas pelayanan publik. Pada kompetisi ino-vasi pelayanan publik tahun 2016 yang diselenggarakan oleh KemenPAN dan RB, inovasi yang didaftarkan oleh pe-merintah daerah sejumlah 1.903 ino-vasi atau mencapai 76,86% dari jum-

INOVASI PELAYANAN PUBLIK:Praktik Penyelenggaraan Otonomi Daerah

Harditya Bayu Kusuma

Tabel 1.Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik

Tahun 2014 – 2016 Tabel 2.Rincian Peserta Kompetisi Inovasi

Pelayanan Publik Tahun 2016

UraianTahun

2014 2015 2016

Terdaftar 515 1.189 2.476

Desk Evaluation 99 99 99

Presentasi/Wawancara

33 40 71

Mistery Shopping 9 25 35

No Instansi Jumlah Inovasi

Masuk Top 99

1. Kementerian 180 11

2. Lembaga 352 5

3. Provinsi 400 25

4. Kabupaten 1.077 40

5. Kota 426 13

6. BUMN 41 5

Jumlah 2.476 99

Sumber: KemenPAN dan RB, 2016

Sumber: KemenPAN dan RB, 2016

75JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

Page 81: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

76 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

lah inovasi yang didaftarkan (2.476 inovasi). Hal ini membuktikan bahwa gelora melakukan inovasi pelayanan publik di era otonomi daerah saat ini semakin hari semakin meningkat. Pe-merintah daerah berkompetisi melaku-kan inovasi untuk membuktikan bahwa pelayanan mereka yang terbaik bagi masyarakat. Pemerintah daerah tidak mau kalah dengan pemerintah pusat untuk bersaing menciptakan ide-ide baru dalam membangun budaya kiner-ja inovatif demi kesejahteraan rakyat. Dampak positif bagi masyarakat ten-tunya terletak pada perbaikan berba-gai kualitas dan pilihan pelayanan pu-blik yang semakin beragam.

Otonomi daerah juga telah mela-hirkan pemimpin-pemimpin inovatif yang berasal dari daerah, dengan le-bih mengenal karakteristik dan poten-si daerahnya maka mereka berhasil mengembangkan inovasi pelayanan publik. Pemimpin daerah inovatif ini secara tidak langsung juga lahir dari proses demokrasi lokal yang berkem-

bang dengan adanya pilkada langsung. Rakyat bisa memilih pemimpinnya sendiri yang dianggap dapat memim-pin birokrasi dan melayani rakyat. Bah kan Presiden Jokowi juga seorang pemimpin inovatif yang lahir dari da-erah berkat pilkada langsung, dimulai dari Kota Surakarta, kemudian Provin-si DKI Jakarta dan puncaknya terpilih oleh seluruh rakyat untuk memimpin Bangsa Indonesia.

Contoh lain pemimpin inovatif yang lahir dari daerah antara lain: Haryadi Suyuti (Kota Yogyakarta), Tri Risma-harini (Kota Surabaya), Nurdin Ab-dullah (Bupati Bantaeng), F.X. Hadi Rudyatmo (Kota Surakarta), Abdullah Azwar Anas (Kabupaten Banyuwa-ngi), Suyo to (Kabupaten Bojonegoro), Ridwan Kamil (Kota Bandung), Yoyok Riyo Sudibyo (Kabupaten Batang), Sutarmidji (Walikota Pontianak), Illiza Sa’aduddin Djamal (Walikota Banda Aceh), I.B. Rai Dharmawijaya (Waliko-ta Denpasar) dan masih banyak lagi pemimpin da erah inovatif lainnya. Ino-

INOVASI PELAYANAN PUBLIK:Praktik Penyelenggaraan Otonomi Daerah

Harditya Bayu Kusuma

Gambar 1.Perubahan Pola Governance untuk Inovasi

Sumber: Eko Prasojo 2016

Page 82: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

vasi pelayanan publik yang berkem-bang di era otonomi daerah tidak bisa dihindari karena adanya peran dan komitmen yang kuat dari pemimpin daerah. Dukungan yang penuh dan keinginan adanya perubahan ke arah yang lebih baik dari pemimpin daerah menjadi modal utama terciptanya ino-vasi pelayanan publik.

Inovasi pelayanan publik di era oto-nomi daerah yang banyak diinisiasi oleh pemimpin inovatif dari berbagai daerah telah membawa berbagai pe-rubahan dalam pola penyelenggaraan negara oleh Pemerintah. Beberapa pe-rubahan tersebut dapat dilihat dalam gambar 1.

Prasojo (2016) melihat bahwa ada suatu pola governance yang berubah pada saat penerapan inovasi dalam pelayanan publik kepada masyarakat. Dimulai dari adanya pelimpahan ke-wenangan yang sebelumnya selalu berjenjang dari atas ke bawah sudah berubah ke arah keterbukaan dan ke terlibatan bagi semua pihak. Pe-ran tunggal seorang pemimpin yang berkuasa menuju ke arah peran pemim-pin yang terbuka dan mende ngar aspi-rasi masyarakat. Kemudian pola sen-tralistik ke arah pola desentralistik. Pembiayaan seluruh penyelenggaraan kebutuhan masyarakat yang selama ini disediakan oleh negara berubah kepa-da pola partnership terutama kerjasa-ma dengan pihak swasta dan lembaga donor. Ego sektoral dari setiap kepenti-ngan pelan-pelan sudah mengarah ke-pada sinergitas dan kolaborasi yang melihat kepentingan rakyat sebagai suatu prioritas. Orientasi pelaksanaan program dan kegiatan yang selama ini berkutat pada proses sudah mulai di-arahkan kepada penciptaan outcome yang nyata dan bisa dirasakan man-faatnya bagi masyarakat. Dan penggu-naan berbagai sarana prasarana yang masih manual dan tradisional sudah

siap digantikan dengan penggunaan teknologi informasi yang modern se-hingga mendukung kemudahan dalam berbagi data secara cepat dan mudah. D. PRAKTIK TERBAIK INOVASI

PELAYANAN PUBLIK DI ERA OTONOMI DAERAH

Sejak diberlakukannya otonomi daerah, banyak sekali pemerintah daerah yang telah berhasil melakukan berbagai pembaruan dan perbaikan dalam kualitas pelayanan publik. Pe-merintah daerah mulai menyadari bahwa pelaksanaan otonomi daerah tidak hanya pemekaran daerah dan pelaksanaan pilkada langsung, tetapi bagaimana mampu berkompetisi da-lam meningkatkan kualitas pelayanan publik demi kesejahteraan masya-rakat. Pramusinto (2016) juga meli-hat bahwa banyak daerah yang sudah mempunyai kesadaran bahwa pelak-sanaan otonomi daerah juga tidak semata-mata hanya terkait pening-katan Pendapatan Asli Daerah (PAD), melainkan bagaimana caranya untuk menarik investor agar mau menanam-kan modalnya ke daerah.

Kota Surakarta merupakan salah satu daerah yang mulai melakukan ino-vasi pelayanan publik di era otonomi daerah, dimulai dari era kepemim-pinan Jokowi pada Tahun 2005 sam-pai kepemimpinan F.X. Hadi Rudyat-mo sampai saat ini. Pemerintah Kota Surakarta selalu menerapkan asas ke-bersamaan dan gotong royong dalam menyelesaikan berbagai permasala-han publik, polanya dengan menga-rahkan seluruh SKPD untuk saling si-nergi dan kolaborasi dalam mencapai tujuan bersama bagi rakyat Surakarta. Pemerintah Kota Surakarta seringkali memperoleh penghargaan atas kiner-janya, pada tahun 2015 menerima 3 (tiga) penghargaan dari Kementeri-an Dalam Negeri atas kinerjanya da-lam penataan kota. Kota Surakarta

INOVASI PELAYANAN PUBLIK:Praktik Penyelenggaraan Otonomi Daerah

Harditya Bayu Kusuma

77JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

Page 83: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

78 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

mendapatkan penghargaan pada kate-gori pemanfaatan ruang, penataan kawasan kumuh dan penataan pasar tradisional. Di kategori pemanfaatan ruang, Kota Surakarta dinobatkan di peringkat pertama. Sedangkan untuk penataan kawasan kumuh di peringkat kedua dan penataan pasar tradisional di peringkat ketiga.

Salah satu inovasi yang cukup menarik yang dilakukan oleh Peme-rintah Kota Surakarta adalah penataan dan pengelolaan Pedagang Kaki Lima (PKL). Penataan PKL di Kota Surakarta merupakan salah satu contoh penata-an pedagang yang dilakukan dengan cukup unik, damai dan disesuaikan dengan karakteristik PKL. Penataan

ini dilakukan karena melihat kondisi lingkungan PKL yang “semrawut” dan tersebar di berbagai tempat sehing-ga mengganggu kebersihan dan ket-ertiban umum. Penataan PKL di Kota Surakarta dilakukan dengan tujuan untuk mengelola dan memberdayakan PKL secara humanis sesuai budaya lo-kal. Inovasi yang dilakukan adalah de-ngan melakukan relokasi PKL melalui pendekatan humanis, yaitu dengan strategi sebagai berikut: 1. “Nguwongke uwong” atau me-

manusiakan manusia, maksudnya adalah menempatkan PKL sebagai manusia sesuai harkat dan marta-batnya;

2. Kemitraan, yaitu penataan PKL

INOVASI PELAYANAN PUBLIK:Praktik Penyelenggaraan Otonomi Daerah

Harditya Bayu Kusuma

Tabel 3.Inovasi di Kota Surakarta

No Nama Inovasi Penggagas Tahun Implementasi

1. Pelayanan KTP 1 Jam Kota Surakarta Joko Widodo 2005

2. Akte Kelahiran Jemput Bola Kota Surakarta Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil

2012

3. Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Kota Surakar ta

Joko Widodo 2008

4. Pelayanan Perijinan Satu Pintu Kota Surakar ta Imam Sutopo dan direvisi kembali oleh Joko Widodo

2005

5. Penanganan Pengemis dan Pengamen dengan pendekatan Kemanusiaan Kota Surakarta

Sutardjo (Kasatpol PP) 2013

6. Penanganan Gelandangan dan Orang Gila dengan pendekatan Kemanusiaan Kota Surakarta

Kasatpol PP 2014

7. Penanganan dan Pencegahan Permasalahan Siswa Kota Surakarta

Sutardjo (Kasatpol PP) 2013

8. Program Penataan dan Pengelolaan Pedagang Kaki Lima (PKL) Kota Surakarta

Joko Widodo 2006

9. Puskemas Ramah Anak Kota Surakarta Muspida Kota Surakarta 2009

10. Night Market Ngarsopuro Kota Surakarta Joko Widodo 2010

11. Perpustakaan Kampung dan Taman Cerdas Kota Surakarta

Bapermas PP, PA dan KB Kota Surakarta

2008

12. Pengembangan Cadangan Pangan Daerah Kota Surakarta

Joko Widodo 2013

13. Kartu Insentif Anak Kota Surakarta Joko Widodo 2009

14. Kota Layak Anak Kota Surakarta Kemen PP dan PA 2009

15. Digital Arsip Kependudukan Kota Surakarta Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil

2008

Sumber: KemenPAN dan RB, 2016

Page 84: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

melibatkan masyarakat, pemerin-tah dan PKL itu sendiri;

3. Hati nurani, bahwa ada rasa saling mengisi antara satu pihak dengan pihak yang lain, dalam hal ini an-tara PKL, masyarakat dan peme-rintah;

4. Saling menghormati, yaitu adanya keseimbangan antara PKL, masya-rakat dan pemerintah. Program ini dapat berjalan berkat strategi yang disebut manajemen “Go-tong Royong”. Strategi ini dite-rapkan dengan cara tiap SKPD saling bekerjasama dengan meng-alokasikan kegiatan yang men-dukung program penataan PKL tersebut (LAN,2014).

Beberapa inovasi lainnya yang dikembangkan oleh Pemerintah Kota Surakarta yang didokumentasikan di Epitome Direktori Inovasi Administrasi Negara LAN RI (2014), antara lain sep-erti pada tabel 3.

Contoh lain adalah Kabupaten Banyuwangi yang mempunyai slogan Sunrise of Java. Di bawah kepemi-mpinan Abdullah Azwar Anas sejak tahun 2010 telah berhasil melakukan berbagai langkah terobosan dalam penyelenggaraan pemerintahan da-erah. Sejak terpilih kembali menjadi Bupati Banyuwangi periode Tahun 2016-2021, beliau memiliki visi “Ter-wujudnya masyarakat Banyuwangi yang semakin sejahtera, mandiri, dan berakhlak mulia melalui peningkatan perekonomian dan kualitas sumber daya manusia”. Kabupaten Banyuwa-ngi merupakan daerah yang berada di ujung timur pulau Jawa dengan jum-lah Penduduk 1.588.082 jiwa. Kabu-paten Banyuwangi mempunyai kebu-tuhan infrastruktur paling luas se-Jawa Timur karena memiliki 24 Kecamatan, 189 Desa, dan 28 Kelurahan.

Bupati Abdullah Azwar Anas mem-punyai prinsip merubah sebuah tanta-

ngan menjadi suatu peluang. Langkah yang dilakukan adalah dengan me-mahami isu strategis sehingga dapat merumuskan rencana pembangunan daerah, isu strategis tersebut antara lain: penyediaan lapangan pekerjaan bagi penduduk, peningkatan stabilitas keamanan publik, disparitas wilayah ketimpangan pertumbuhan ekonomi, pelanggaran tata ruang publik dan image Banyuwangi sebelumnya yang terkenal sebagai Kota Santet. Melihat kondisi tersebut, Bupati Abdullah Az-war Anas melakukan berbagai strategi menghadapi tantangan dan persaing-an seperti:1. Inovasi, birokrasi harus selalu

berinovasi dan tidak boleh sta-tis dalam bekerja. Program yang dilaksanakan harus inovatif, tanpa inovasi program tersebut akan di-hapus pada tahun berikutnya;

2. Terobosan, melakukan berbagai ide dan gagasan baru sehingga salah satunya Kabupaten Banyu-wangi berhasil mendapatkan gold-en share sebesar 10 persen tanpa delusi dari tambang tumpang pitu; dan

3. Networking, Pengembangan ja-ringan kerja dengan semua ele-men untuk kemajuan Kabupaten Banyuwangi (Anas, 2016).

Salah satu inovasi yang dijalankan oleh Kabupaten Banyuwangi dan ber-hasil masuk Top 99 Kompetisi Inova-si Pelayanan Publik Tahun 2016 yang diselenggarakan KemenPAN dan RB adalah PUJASERA (Pergunakan Jam-ban Sehat Rakyat Aman). PUJASERA merupakan salah satu inovasi yang digalakkan di Kabupaten Banyuwa-ngi terutama melihat kondisi keseha-tan secara umum bahwa kepemilikan jamban masih 12,85% dari total KK. Secara keluruhan akses penduduk terhadap jamban juga masih rendah. Dan berdampak pada angka kesakitan

INOVASI PELAYANAN PUBLIK:Praktik Penyelenggaraan Otonomi Daerah

Harditya Bayu Kusuma

79JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

Page 85: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

80 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

akibat sanitasi yang jelek mencapai 35%. Setelah berhasil dilaksanakan, program PUJASERA telah mencapai beberapa hal dalam mengatasi perma-salahan kesehatan seperti: pertama, terwujudnya 2 (dua) desa ODF (Open Defecation Free) dan adanya klinik sanitasi di Puskesmas Tampo; kedua, meningkatnya kepemilikan jamban sehat (meningkat 386% dari 1.034 KK di tahun 2013 menjadi 5.025 KK di tahun 2015); ketiga, meningkatnya akses terhadap jamban dari 960 KK di tahun 2013 menjadi 5600 KK di tahun 2015, meningkat 483%; dan keempat, menurunnya angka kesakitan yang disebabkan oleh pengaruh lingkungan buruk dari 35% di tahun 2013 men-jadi 18% di Tahun 2015 dan adanya Peraturan Desa tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM). Manfaat program PUJASERA yang telah dira-sakan oleh masyarakat antara lain: 1. Terjadinya perubahan perilaku

masyarakat. Kebiasan masyarakat yang mulanya sering membuang BAB di sungai sudah beralih kesa-daran dengan memiliki dan me-makai jamban di rumahnya;

2. Meningkatnya kesehatan masya-rakat. Kebiasaan membuang BAB di jamban akan berkorelasi positif dengan tingkat kesehatan karena kebiasaan lama yang membuang BAB di sungai akan menimbulkan beraneka macam dampak penya-kit;

3. Masyarakat miskin dapat lebih mudah memiliki jamban. Arisan jamban dalam program PUJASERA akan mempermudah warga miskin memiliki jamban, terutama de-ngan iuran perbulan yang ringan;

4. Pelayanan kesehatan di Puskes-mas lebih optimal. Dengan tingkat kesehatan yang semakin mening-kat maka pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh Puskesmas

akan lebih optimal; 5. Terjalinnya koordinasi dan sinkro-

nisasi dari seluruh pemangku kepentingan yang terlibat. Pro-gram ini berhasil karena kerjasa-ma dengan berbagai pihak, misal dengan PNPM Mandiri Pedesaan dan Toko Bangunan. Selain itu kegiatan gotong royong dalam membangun jamban milik war-ga miskin menjadi nilai positif tersendiri dalam program ini; dan

6. Terciptanya lingkungan sehat dan bersih. Sungai yang bersih dari limbah BAB akan menciptakan lingkungan yang terjaga dari sisi kesehatan. (Anas:2016).

Beberapa inovasi lain dari Kabu-paten Banyuwangi yang telah berhasil masuk Top 99 kompetisi inovasi pe-layanan publik diselenggarakan Ke-menPAN dan RB pada tahun 2014 – 2016 antara lain seperti pada tabel 4.

Berikutnya adalah Kabupaten Ban-taeng, yang bisa menjadi referensi daerah inovatif lainnya yang ber asal dari luar Pulau Jawa. Kabupaten Ban-taeng merupakan daerah yang berada di Pulau Sulawesi dengan luas ku-rang lebih 395,83 Km2 dengan jumlah penduduk 192.000 jiwa serta terbagi menjadi 8 Kecamatan, 46 Desa dan 21 Kelurahan. Sejak tahun 2008 sam-pai sekarang, Kabupaten Bantaeng dipimpin oleh Nurdin Abdullah. Beliau terpilih karena adanya aspirasi dari bawah oleh masyarakat yang meng-inginkan dipimpin olehnya.

Awal mula Kabupaten Bantaeng pada tahun 2008 adalah sebuah kabu-paten yang tidak dikenal dan merupa-kan salah satu daerah yang tertinggal di Indonesia. Pada saat itu, Kabupaten Bantaeng memiliki berbagai perma-salahan, misalnya: infrastruktur terba-tas, produktivitas rendah, kemiskinan, penggangguran dan progress Indek Pembangunan Manusia (IPM) yang

INOVASI PELAYANAN PUBLIK:Praktik Penyelenggaraan Otonomi Daerah

Harditya Bayu Kusuma

Page 86: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

rendah. Selain itu ditambah fenome-na alam yaitu musibah banjir di setiap musim hujan yang melanda kawasan perkotaan, pusat layanan publik, pa-sar, dan lahan pertanian. Di sisi lain akses jalan dan kawasan produksi di Kabupaten Bantaeng juga masih buruk (Abdullah, 2016).

Melihat kondisi Kabupaten yang mengalami berbagai keterbatasan, yaitu salah satunya APBD yang sa-ngat minim sehingga perlu dilakukan percepatan inovasi dan terobosan da-lam segala bidang dalam memimpin masyarakat Bantaeng. Perbaikan pe-layanan langsung kepada masyarakat menjadi prioritas utama karena se-bagai pelanggan utama pelayanan oleh Pemerintah Kabupaten Bantaeng. Aparatur pemerintah juga mengalami perubahan mindset agar bisa menja-di pelayan masyarakat yang produktif, terukur dan akuntabel.

Sebagai Bupati yang menguasai ilmu pertanian, Nurdin Abdullah selalu pu-nya inovasi ataupun ide dan terobosan baru dalam rangka mengembangkan potensi pertanian di wilayah Kabupa-ten Bantaeng. Beberapa langkah yang dilakukan dengan melakukan kerjasa-

ma dengan BPPT dalam membangun Pabrik Pupuk Lepas Lambat. Kemudi-an juga mengembangkan penggunaan pupuk SRF (sekali pemupukan sampai panen), pengolahan pupuk organik pa-dat dan pemasarannya, pabrik pupuk hayati dengan bakteri mikorisa untuk pelarut phospat, pola tanam legowo 2 : 1 dengan memperbanyak jumlah populasi tanaman melalui pengaturan jarak tanaman, pengembangan tana-man padi gogo pada lahan termar-ginalisasi yang ditumpangsari dengan tanaman jangka panjang, benih ber-basis teknologi, pengembangan benih padi kurang dari 100 hari bekerjasama dengan BATAN, persilangan jagung manis Jepang dengan jagung ma-nis Bantaeng, budidaya talas safira, pengembangan benih bawang merah, pengembangan agrowisata yang fokus pada buah strawberry, durian, mang-gis, duku, lengkeng dan buah naga (Abdullah:2016).

Selain pengembangan inovasi di bidang pertanian, Nurdin Abdullah juga meningkatkan perekonomian Ka-bupaten Bantaeng dengan inovasi di berbagai sektor lain, seperti terlihat dalam tabel 5 pada halaman berikut ini.

INOVASI PELAYANAN PUBLIK:Praktik Penyelenggaraan Otonomi Daerah

Harditya Bayu Kusuma

Tabel 4.Inovasi Pelayanan Publik di Kabupaten Banyuwangi

No Kegiatan Judul Inovasi

1. Top 99 Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik Tahun 2014

Transparansi Pengelolaan Anggaran Daerah Kab. Banyuwangi

Gerakan Masyarakat Mencintai Lingkungan (Gemilang) wilayah kerja Puskesmas Kertosari, Kab. Banyuwangi

2 Top 99 Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik Tahun 2015

Gebrakan SUSI Turunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB), Kab. Banyuwangi

Lahir Procot Pulang Bawa Akte, Kab. Banyuwangi

SAKINA (Stop Angka Kematian Ibu dan Anak), Banyuwangi

Payment Point Drive Thru PBB-P2, Kab. Banyuwangi

3 Top 99 Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik Tahun 2016

PUJASERA (Pergunakan Jamban Sehat, Rakyat Aman) UPTD. Puskesmas Tampo Dinas Kesehatan Kabupaten Banyuwangi

SIRAMI GIZI (Aksi Ramah Peduli dan Pemulihan terhadap Gizi) UPTD. Puskesmas Singotrunan Dinas Kesehatan Kabupaten Banyuwangi

Sumber: KemenPAN dan RB, 2016

81JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

Page 87: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

82 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

E. PRASYARAT INOVASI PELA YA-NAN PUBLIKOtonomi daerah di Indonesia telah

dilaksanakan sejak digulirkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerin-tahan Daerah, bahkan beberapa kali peraturan tentang pemerintahan da-erah diganti tetapi kondisi pelayanan publik yang ideal sesuai harapan be-lum tercapai. Permasalahan dalam pelayanan publik yang diberikan ke-pada masyarakat masih sering terjadi dikarenakan masih rendahnya kuali-tas pelayanan, prosedur pelayanan yang tidak jelas, penyalahgunaan we-wenang dan kurangnya sumber daya penyelenggara pelayanan.

Berbagai permasalahan pelayanan publik tersebut memerlukan upaya percepatan perbaikan sebagai solusi terbaik agar muara untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat dapat ter-wujud. Utomo (2016) mengemukakan perlunya disusun suatu model inovasi pelayanan publik sebagai solusi terha-dap permasalahan pelayanan publik yang terjadi. Model inovasi pelayanan

publik yang disusun mempunyai krite-ria, yaitu: (1) Integrasi jenis layanan, berbagai jenis pelayanan yang diberi-kan oleh pemerintah perlu digabung-kan sehingga tidak banyak jumlah-nya seperti kondisi saat ini; (2) Public engagement, masyarakat dilibatkan dalam pelaksanaan inovasi pelayanan publik sehingga partisipasi tersebut dapat menjamin proses keberlanjutan; (3) Perluasan public choice, masya-rakat mempunyai banyak pilihan da-lam pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah; (4) Simplifikasi/otomatisasi, melakukan penyederha-naan proses-proses pelayanan teruta-ma dalam bidang perizinan; (5) Per-cepatan prosedur, lambatnya proses pelayanan merupakan keluhan utama masyarakat sehingga perlu dipercepat; dan (6) Peningkatan efektivitas dan efisiensi sumber daya, otonomi daerah mengakibatkan penggunaan seluas-lu-asnya sumber daya yang dimiliki oleh daerah sehingga perlu diatur secara efektif dan efisien melalui inovasi.

Selain adanya model inovasi pe-

INOVASI PELAYANAN PUBLIK:Praktik Penyelenggaraan Otonomi Daerah

Harditya Bayu Kusuma

Tabel 5.Contoh Inovasi di Kabupaten Bantaeng

No Bidang Inovasi Program/Kegiatan

1. Bidang Kesehatan Emergency Rescue (call center 113)

Armada Brigade Siaga Bencana (BSB)

Pembangunan RSUD Bantaeng

2 Bidang Infrastruktur Pembangunan Cekdam Pengendali Banjir

Pembangunan Waduk Tunggu untuk Pengendali Banjir dan Cadangan Air

Perbaikan jalan desa dan jalan poros Bantaeng-Bulukumba

Apartemen Pegawai Negeri Sipil

Pembangunan Rusunawa untuk penduduk kawasan pesisir

Perumahan Khusus Nelayan

Pelabuhan Perikanan Bantaeng

3 Bidang Pariwisata Pengembangan Kawasan Pantai Seruni

Penataan Pantai Marina Korong BatuPembangunan Kr. Pawiloi Swimming Pool

4 Bidang Industri Bantaeng Industrial Park

Sumber: Abdullah, 2016

Page 88: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

layanan publik yang dikemukakan di atas dengan berbagai kriteria di da-lamnya. Ada beberapa hal yang dapat menjadi prasyarat dalam mendorong dan menumbuhkembangkan inovasi pelayanan publik di era otonomi da-erah saat ini. Beberapa prasyarat yang harus dipenuhi dalam menciptakan inovasi pelayanan publik, seperti: kepemimpinan yang inovatif, peru-bahan mindset aparatur pemerintah dan masyarakat, mobilisasi sumber daya, orientasi hasil dan manfaat, dan dukungan pemangku kepentingan.

Pertama, kepemimpinan yang ino-vatif. Widodo (2016) menerangkan bahwa kepemimpinan daerah yang ino vatif memiliki kriteria sebagai beri-kut: (1) memiliki visi yang jelas dan kuat tentang masa depan pembangu-nan daerah; (2) percaya diri yang ting-gi untuk melakukan berbagai peru-bahan dan menjadi role model dalam perubahan tersebut; (3) karakter dan orientasi yang kuat untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, de-ngan tidak memiliki kepentingan yang lain selain bagi kepentingan rakyat; (4) terbuka dan antusias memba-ngun kolaborasi dan hubungan de-ngan stakeholder; dan (5) kesadaran penuh untuk memanfaatkan teknologi dan media sosial demi pengembangan inovasi. Apabila semua hal di atas bisa terpenuhi dalam figur seorang pemim-pin maka inovasi pelayanan publik dapat diciptakan bagi kepentingan masyarakat. Pemimpin itu harus ino-vatif, F.X. Hadi Rudyatmo (Kota Sura-karta), Abdullah Azwar Anas (Kabupat-en Banyuwangi) dan Nurdin Abdullah (Kabupaten Bantaeng) merupakan be-berapa contoh kecil pemimpin daerah yang menerapkan pola kepemimpinan inovatif dalam mendorong perubah-an di daerahnya. Visi yang dibangun juga jelas untuk melakukan perubahan demi masa depan pembangunan da-erah. Ketiga pemimpin daerah terse-

but selalu menempatkan masyarakat sebagai pelanggan utama dan priori-tas dalam pelayanan publik, program yang dicanangkan selalu menempat-kan ke sejahteraan masyarakat sebagai tujuan utama. Selain itu, ketiga tokoh tersebut juga membangun kolaborasi dengan stakeholder dari berbagai pi-hak baik dari internal maupun ekster-nal daerah guna membangun jejaring kerja yang luas dan kuat demi kema-juan daerahnya.

Kedua, perubahan mindset apara-tur pemerintah dan masyarakat. Da-lam mewujudkan aparatur pemerintah yang berintegritas dan profesional per-lu ditumbuhkan kesadaran akan pen-tingnya inovasi dalam melaksanakan tugas dan fungsi melayani masyarakat, bekerja bukan hanya sebagai business as usual melainkan mencoba hal-hal baru bagi kemanfaatan masyarakat. Nurdin Abdullah dari Kabupaten Ban-taeng juga melakukan hal yang sama ketika akan melakukan perubahan di daerahnya yaitu merubah mindset aparatur pemerintah agar bisa menja-di pelayan masyarakat yang produktif, terukur dan akuntabel. Tetapi peruba-han mindset akan pentingnya inovasi bukan hanya terletak dalam lingkup birokrasi, masyarakat juga harus mu-lai menyadarinya. Masyarakat ha-rus selalu mendukung, berpartisipasi bahkan menawarkan berbagai inovasi yang bisa dilakukan dalam bidang pe-layanan publik. Kebersamaan peruba-han mindset antara aparatur peme-rintah dan masyarakat akan menjamin keberlanjutan suatu inovasi. Hal itu sejalan dengan pemikiran Sumarto (2009) bahwa semua pihak harus siap, komitmen dan terlibat dalam pencip-taan inovasi menuju perubahan da-lam proses governance. Pemerintah tidak dapat berjalan sendiri melaku-kan perubahan tanpa didukung oleh ma syarakat, begitupun sebaliknya. Sehi ngga diperlukan perubahan mind-

INOVASI PELAYANAN PUBLIK:Praktik Penyelenggaraan Otonomi Daerah

Harditya Bayu Kusuma

83JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

Page 89: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

84 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

set an tara aparatur pemerintah dan masya rakat demi terwujudnya pemba-ngunan yang berkelanjutan.

Ketiga, mobilisasi sumber daya. Inovasi merupakan hal yang sederha-na bahkan bisa dimulai dengan tan-pa adanya sumber daya, tetapi jika didukung sumber daya maka bisa ter-cipta inovasi yang luar biasa. Ketika inovasi yang diciptakan didukung oleh sumber daya maka diperlukan mobil-isasi yang tepat guna seperti dalam implementasi teknologi, struktur, ma-nusia dan proses. Mobilisasi kolabo-rasi yang tepat guna dalam penggu-naan sumber daya itu akan dapat mendukung pelaksanaan inovasi pe-layanan publik. Kota Surakarta juga melakukan mobilisasi sumber daya yang dimiliki ketika melakukan pena-taan PKL. Seluruh SKPD menyusun berbagai program dan kegiatan untuk mendukung penataan PKL tersebut se-hingga program ini dapat dilaksanakan dan menjadi tanggung jawab bersa-ma. Mobilisasi sumber daya akan lebih menjamin keberhasilan dari penera-pan inovasi karena mobilisasi sumber daya merupakan salah bentuk bentuk dukungan dalam pelaksanaan inovasi.

Keempat, orientasi hasil dan man-faat. Salah satu permasalahan yang di-hadapi instansi pemerintah selama ini adalah hanya melihat program dan ke-giatan yang dilakukan dalam kacama-ta segi proses sehingga belum terlihat hasil dan manfaat yang nyata dan bisa dirasakan oleh masyarakat. Padahal Dwiyanto (2014) menyatakan bahwa perubahan yang signifikan dalam pe-layanan publik akan dapat dirasakan langsung oleh masyarakat secara luas. Masyarakat seharusnya dapat merasakan secara langsung hasil dan manfaat yang telah dicapai dengan adanya perubahan tersebut. Oleh karena itu, inovasi pelayanan publik harus dapat memberikan gambaran

bahwa program dan kegiatan harus diubah orientasi menjadi fokus pada hasil dan manfaat terutama bagi pe-ningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Misalnya program inovasi PUJASERA di Kabupaten Banyuwangi. Program tersebut tidak hanya berori-entasi pada proses bagaimana ino-vasi tersebut dilakukan tetapi sudah terlihat hasil dan manfaat yang nyata dan langsung bagi masyarakat, seper-ti: perubahan perilaku masyarakat, kesehatan masya rakat meningkat, masyarakat miskin mudah memiliki jamban, pelayanan Puskesmas lebih optimal, terjalinnya koordinasi antar stakeholder dan terciptanya lingkung-an bersih dan sehat.

Kelima, dukungan pemangku kepentingan. Dwiyanto (2014) menya-takan bahwa pelayanan publik meli-batkan kepentingan semua unsur go-vernance sehingga ketika melakukan inovasi pelayanan publik seyogyanya harus mendapatkan dukungan dari pemangku kepentingan yang merupa-kan representasi negara, masyarakat dan swasta. Peran pemangku kepenti-ngan sangat penting dalam memberi-kan dukungan bagi pelaksanaan suatu inovasi pelayanan publik. Mendapat-kan dukungan yang kuat dari stake-holder dapat membantu mendapatkan sumber daya yang dibutuhkan dalam menunjang keberhasilan suatu inova-si. Tanpa adanya dukungan stakehol-der maka inovasi yang diciptakan bisa salah arah, muncul potensi konflik dan penggunaan sumber daya yang sia-sia. F. TANTANGAN INOVASI PE-

LAYANAN PUBLIK KE DEPANKondisi inovasi pelayanan publik

di era otonomi daerah saat ini sudah menunjukkan perkembangan yang signifikan, tetapi di sisi yang lain akan semakin banyak tantangan yang diha-dapi terutama dalam mengawal pelak-

INOVASI PELAYANAN PUBLIK:Praktik Penyelenggaraan Otonomi Daerah

Harditya Bayu Kusuma

Page 90: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

sanaan otonomi daerah. Tantangan inovasi pelayanan publik harus bisa dimanfaatkan secara sinergis agar bisa diarahkan pada penciptaan peluang di era otonomi daerah. Tantangan yang ada harus dikelola secara lebih efektif sehingga bisa menjadi stimulan positif dalam memproduksi inovasi pelayanan publik dalam penyelenggaraan peme-rintah. Tantangan yang akan dihadapi tersebut antara lain:

Pertama, kebijakan inovasi. Inovasi pelayanan publik hadir karena adanya suatu gap atau permasalahan yang muncul dari kondisi pelayanan saat ini dengan kondisi pelayanan yang ideal. Melihat adanya gap atau permasala-han tersebut maka diperlukan suatu ide, gagasan ataupun terobosan baru untuk mengatasinya. Hal tersebut memperlihatkan bahwa inovasi ber asal dari kesadaran untuk memecahkan permasalahan pelayanan publik. Keti-ka inovasi itu akan diatur dalam suatu kebijakan seyogyanya tidak mengu-rangi semangat untuk berinovasi itu sendiri. Kebijakan apapun mengenai inovasi harus diarahkan sebagai upa-ya dukungan menumbuhkembangkan inovasi. Kebijakan mengenai inovasi harus lebih difokuskan pada upaya untuk melindungi pemimpin daerah/inovator dari jeratan hukum ketika ber inovasi di daerah. Banyak kalang-an masih ragu melakukan inovasi di da erah karena takut akan melanggar aturan padahal inovasi dan pelangga-ran hukum adalah dua hal yang ber-beda. Inovasi pelayanan publik apa-pun bentuknya ketika dilakukan harus selaras dan sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kedua, sinergitas dan kolaborasi antar instansi pemerintah baik di pu-sat maupun daerah. Inovasi pelayanan publik yang kini hadir di era otonomi daerah memang telah dirasakan dampak positifnya tapi jika ditelaah

lebih lanjut berbagai inovasi tersebut masih parsial dan berdiri sendiri. Se-tiap instansi pemerintah baik di pusat dan daerah belum mempunyai konsep inovasi yang komprehensif yang bisa diarahkan untuk menuju satu tujuan bagi pembangunan Bangsa Indonesia. Oleh karena itu perlu suatu hubungan sinergitas dan kolaborasi antar instansi pemerintah pusat dengan pusat, pusat dengan daerah dan daerah dengan daerah menuju suatu inovasi yang bermuara bagi kepentingan nasional Bangsa Indonesia.

Ketiga, pemerataaan inovasi bagi setiap daerah. Saat ini inovasi menjadi suatu euforia bagi daerah yang terus menerus mengembangkan inovasi, misalnya: Kota Surakarta, Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Bantaeng dan daerah lainnya. Tetapi masih banyak daerah lain di Indonesia yang masih sedikit bahkan belum melakukan ino-vasi apapun. Jangan sampai inovasi hanya dilakukan di beberapa daerah saja tetapi daerah lain miskin inova-si. Di sini dibutuhkan peran bersama untuk melakukan replikasi bagi daerah lain untuk berinovasi. Replikasi akan membantu daerah lain dalam melaku-kan inovasi sehingga inovasi tidak berpusat pada beberapa daerah saja melainkan merata di seluruh Bangsa Indonesia.

Keempat, jaminan keberlanjutan inovasi. Pekerjaan rumah bersama bagi semua pihak untuk menjamin suatu inovasi terus berjalan. Di satu sisi, lumbung inovasi terus mencip-takan inovasi-inovasi baru tetapi di sisi lain inovasi-inovasi yang telah dicip-takan sebelumnya belum terpelihara keberlanjutannya. Inovasi jangan ha-nya dilihat dari segi kuantitas saja me-lainkan juga dari segi kualitas, kualitas bisa dilihat dari kemampuan inovasi untuk bertahan dalam keberlanjutan-nya. Adanya kompetisi dan lomba ino-

INOVASI PELAYANAN PUBLIK:Praktik Penyelenggaraan Otonomi Daerah

Harditya Bayu Kusuma

85JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

Page 91: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

86 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

vasi jangan hanya menjadi semangat di awal dalam penciptaannya tetapi tetap harus dijaga keberlanjutan ino-vasi tersebut.

Kelima, partisipasi masyarakat da-lam keikutsertaan pelaksanaan inova-si. Pada masa pelaksanaan otonomi daerah seperti sekarang ini, partisipasi masyarakat dalam inovasi pelayanan publik merupakan sebuah tuntutan yang harus diwujudkan. Masyarakat jangan hanya terlibat tetapi berperan aktif dalam penciptaan dan pelaksa-naan inovasi yang dilakukan oleh pe-merintah. Masyarakat juga harus se-lalu memberikan kritik dan masukan berupa suatu pengaduan pada inovasi pelayanan publik yang dilakukan agar instansi pemerintah selalu mengem-bangkan inovasi tersebut ke arah ke-berlanjutan yang lebih baik.G. PENUTUP

Inovasi pelayanan publik merupa-kan salah satu bentuk keberhasilan dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Otonomi daerah telah mem-berikan banyak kesempatan bagi pe-merintah daerah untuk melakukan perubahan dalam bentuk inovasi pe-layanan publik. Pembaruan yang telah dilakukan oleh beberapa daerah cukup memberikan harapan bahwa otonomi daerah menjanjikan adanya arah ke-cenderungan yang positif dalam pe-ningkatan kualitas pelayanan publik. Melalui otonomi daerah, pemerintah daerah tidak hanya mampu merespon kebutuhan-kebutuhan warga, tetapi juga mampu mendorong warga untuk memiliki kemauan untuk berpartisipasi dalam mewujudkan inovasi pelayanan publik yang sesuai dengan keinginan mereka. Inovasi pelayanan publik di era otonomi daerah juga telah mem-perlihatkan perubahan dalam penye-lenggaraan negara menjadi lebih par-tisipatif, terbuka dan kolaboratif.

Banyak praktik-praktik dari inovasi

pelayanan publik dari setiap daerah yang bisa dijadikan contoh terbaik da-lam meningkatkan kualitas pelayanan publik, misalnya dari Kota Surakarta, Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Bantaeng dan daerah lainnya. Bebe-rapa daerah tersebut telah mampu mengembangkan inovasi dengan me-maksimalkan sumber daya yang dimi-liki demi kesejahteraan masyarakat. Keberhasilan penerapan inovasi di daerah tersebut juga karena didukung oleh pemimpin yang inovatif. Di era otonomi daerah banyak melahirkan pemimpin daerah inovatif yang bisa menjadi tauladan dan panutan bagi masyarakat. Pemimpin yang inovatif merupakan modal utama bagi daerah dalam mengembangkan inovasi pe-layanan publik.

Selain kepemimpinan yang inova-tif, juga diperlukan perubahan mindset aparatur pemerintah dan masyarakat dalam mengembangkan inovasi pe-layanan publik. Perubahan mindset aparatur pemerintah agar bisa menjadi pelayan masyarakat yang profesional, berkinerja dan akuntabel. Sedangkan perubahan mindset masyarakat akan mendukung penerapan dan keberlan-jutan inovasi. Selain itu, prasyarat lain dalam mewujudkan inovasi pelayanan publik adalah: mobilisasi sumber daya secara tepat guna dalam pelaksanaan inovasi pelayanan publik, orientasi pada hasil dan manfaat yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat bagi peningkatan kualitas pelayanan, dan dukungan pemangku kepenting-an sebagai penunjang keberhasilan inovasi. Ke depan, inovasi pelayanan publik juga akan menghadapi berba-gai tantangan yang dapat diarahkan pada penciptaan peluang di era oto-nomi daerah. Tantangan tersebut an-tara lain: kebijakan inovasi yang dapat menjamin dan melindungi inovator ketika berinovasi di daerah, sinergitas dan kolaborasi inovasi antar instansi

INOVASI PELAYANAN PUBLIK:Praktik Penyelenggaraan Otonomi Daerah

Harditya Bayu Kusuma

Page 92: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

INOVASI PELAYANAN PUBLIK:Praktik Penyelenggaraan Otonomi Daerah

Harditya Bayu Kusuma

pemerintah pusat dan daerah demi tujuan pembangunan bersama Bangsa Indonesia, pemerataan inovasi melalui replikasi bagi setiap daerah, jaminan keberlanjutan melalui peningkatan kualitas inovasi pelayanan publik, dan partisipasi masyarakat yang selalu ak-tif mendukung dan memberikan ma-sukan dalam pengembangan inovasi di daerah.

DAFTAR PUSTAKAAbdullah, Nurdin, 2016, Membangun

Indonesia dari Daerah “Best Practice Otonomi Daerah di Kab. Bantaeng”, Disampaikan pada Seminar Nasion-al Memperingati 20 Tahun Otonomi Daerah dengan Tema “Memperkuat Otonomi Daerah: Membangun In-donesia dari Daerah”, oleh LAN RI, Jakarta, Pada tanggal 19 April 2016.

Anas, Abdullah Azwar, 2016, Pujasera, Disampaikan pada Simposium dan Gelar Inovasi Pelayanan Publik Na-sional Tahun 2016, Surabaya, Pada tanggal 2 April 2016.

Budiardjo, Miriam, 2008, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Chalid, Pheni, 2005, Otonomi Daerah Masalah, Pemberdayaan dan Konf-lik, Jakarta: Kemitraan.

Dwiyanto, Agus, 2014, Mewujudkan Good Governance melalui Pelayan-na Publik, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Imanuddin, Muhammad, 2016, Inovasi Pelayanan Publik: Percepatan Pen-ingkatan Kualitas Pelayanan Publik, Diakses dari http://sinovik.menpan.go.id/index.php/site/article/223, pada tanggal 28 April 2016.

Imanuddin, Muhammad, 2016, Kom-petisi Inovasi Pelayanan Publik, Disampaikan pada Workshop Per-anan Inovator dan Regulator dalam Menumbuhkembangkan Inovasi Pe-

layanan Publik, Jakarta, Pada tang-gal 5 April 2016.

Karim, Abdul Gaffar, 2011, Kompleksi-tas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pe-lajar.

Lembaga Administrasi Negara, 2014, Epitome Direktori Inovasi Adminis-trasi Negara, Jakarta: LAN RI.

Lembaga Administrasi Negara, 2014, Laporan Akhir Direktori Inovasi Ad-ministrasi Negara, Jakarta: LAN RI.

Mahmudi, 2015, Manajemen Kinerja Sektor Publik, Jakarta: UPP STIM YKPN.

Pramusinto, Agus, 2006, Inova-si-Inovasi Pelayanan Publik untuk Pengembangan Ekonomi Lokal: Pengalaman Beberapa Daerah, Makalah disampaikan dalam Semi-loknas “Perda dalam Pencapaian Tujuan Otonomi Daerah: Mening-katkan Akses dan Partisipasi Publik dalam Menelaah Perda untuk Men-jamin Transparansi dan Akuntabil-itas Pengimplementasian Perda”, Jakarta, pada tanggal 26-27 Juli 2006.

Prasojo, Eko, 2016, Membangun dan Mempertahankan Inovasi Pelayanan Publik, Disampaikan pada Simpo-sium dan Gelar Inovasi Pelayanan Publik Nasional Tahun 2016, Sura-baya, Pada tanggal 2 April 2016.

Setiajit, 2016, Berbagi Pengalaman Menumbuhkembangkan Inovasi Pe-layanan Sektor Publik, Pemerintah Provinsi Jawa Timur, Disampaikan pada Workshop Peranan Inovator dan Regulator dalam Menumbuh-kembangkan Inovasi Pelayanan Publik, Jakarta, Pada tanggal 5 April 2016.

Sumarsono, 2016, Dimensi Nawa cita dalam Implementasi Undang-Un-dang Nomor 23 Tahun 2014, Dis-ampaikan pada Acara Seminar Na-

87JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

Page 93: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

88 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

sional 20 Tahun Penyelenggaraan Otda, Jakarta, Pada tanggal 19 April 2016.

Sumarto, Hetifah Sj., 2009, Inovasi, Partisipasi, dan Good Governance, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Utomo, Tri WidodoW., 2016, Labora-torium Inovasi sebagai Scaling-Up Reformasi Sektor Publik, Disam-paikan pada Workshop Peranan Inovator dan Regulator dalam Menumbuhkembangkan Inovasi Pe-layanan Publik, Jakarta, Pada tang-gal 5 April 2016.

Utomo, Tri Widodo W., 2016, Mem-bangun Indonesia dari Daerah Melalui Kepemimpinan Inovatif, Dis-ampaikan pada Seminar Nasional Memperingati 20 Tahun Otonomi Daerah dengan Tema “Memperkuat Otonomi Daerah: Membangun In-donesia dari Daerah”, oleh Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Deputi Kajian Kebijakan LAN – RI, Jakarta, Pada tanggal 19 April 2016.

Halaman situs:(https://m.tempo.co/read/news/2015/

07/10/ 285682930/inovasi-pub-

l i k- i n done s i a - ra i h - pengha r -gaan-pbb).

(http://www.beritasatu.com/nasion-al/256439-solo-raih-tiga-penghar-gaan-manajemen-perkotaan-kem-dagri.html).

h t t p s : / / m . t e m p o . c o / r e a d /news/2015/07/10/285682930/ino-vasi-publik-indonesia-raih-penghar-gaan-pbb, diakses pada tanggal 26 April 2016.

http://www.beritasatu.com/nasion-al/256439-solo-raih-tiga-penghar-gaan-manajemen-perkotaan-kem-dagri.html, diakses pada tanggal 26 April 2016.

h t tp : / /www.menpan.go. id /ber-i t a - t e r k i n i / 4516 - kemen te r i -an-panrb-tetapkan-top-99-ino-vas i -pe layanan-pub l i k-2016 , diakses pada tanggal 27 April 2016.

Peraturan Perundangan:Undang-Undang No. 25 Tahun 2009

tentang Pelayanan PublikUndang-Undang No. 23 Tahun 2014

tentang Pemerintahan DaerahPermenPAN dan RB No. 31 Tahun

2014 tentang Pedoman Inovasi Pe-layanan Publik

INOVASI PELAYANAN PUBLIK:Praktik Penyelenggaraan Otonomi Daerah

Harditya Bayu Kusuma

Page 94: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

MORATORIUM DAERAH OTONOM BARU:Sebuah Konsep Pematangan Menuju Efektivitas Daerah

Otonom

Abstrak: Kebijakan moratorium Daerah Otonomi Baru (DOB) muncul sebagai upaya yang dilakukan pemerintah dalam menghadapi tantangan otonomi daerah dewasa ini: kebijakan persiapan pembentukan DOB dari hasil evaluasi problematika di lapangan dan sejauh mana efektifit-as pelaksanaan kebijakan pembentukan DOB di Indonesia serta seperti apa langkah yang diambil pemerintah dalam upaya peningkatan kualitas penataan daerah. Metode kajian yang digunakan adalah metode kajian pustaka dan telaah peraturan perundang-undangan. Kebi-jakan moratorium pembentukan DOB menjadi tepat sebagai langkah menghentikan laju per-tumbuhan kegagalan pembentukan DOB. Dari hasil kajian ini dapat disimpulkan bahwa ke-berhasilan efektifitas DOB kedepannya dapat diperoleh jika dalam impelementasinya, seluruh stakeholders berkomitmen memenuhi indikator dan langkah strategis yang dirancang untuk membangun dan menciptakan penyelenggaran daerah yang dinamis, dalam hal ini khusus pada pelaksanaan pembentukan DOB.Kata kunci: Daerah Otonomi Baru, pembentukan DOB, efektivitasAbstract: The policy of New Autonomous Region (DOB) moratorium emerged as the government’s ef-forts to face the challenges of today’s regional autonomy: preparation of DOB establishment’s policy based on evaluation results and the effectivity of DOB establishment policies in Indone-sia and what steps are taken by the government in efforts to improve the quality of regional arrangement. Research methods used on this study are literature studies and content analy-sis of relevant legislations. The policy of moratorium of DOB establishment becomes a proper intervention to stop the growth rate of failed DOB. This study concludes that the effectiveness of DOB establishment can be obtain if all of the stakeholders committed to meet the desig-nated indicators and strategic steps for the establishment of the dynamic DOB governance.Keywords: New Autonomous Region, DOB establishment, effectiveness

New Autonomous Region (DOB) Moratorium: A Necessary Intervention to Ensure Regional Autonomy

EffectivenessSabilla Ramadhiani Firdaus

Staf Bagian Hukum dan OrganisasiLembaga Administrasi Negara

A. PENDAHULUANPembentukan daerah merupakan

fenomena yang mengiringi penyeleng-garaan otonomi daerah di Indonesia yang memiliki tujuan untuk mem-perkuat hubungan antara pemerin-tah daerah dan masyarakat lokal da-lam rangka pertumbuhan kehidupan demokrasi. Dalam kurun waktu sejak 2009 sampai dengan saat ini, ter-dapat 87 Rancangan Undang-Undang Pembentukan Daerah Otonomi Baru yang dibahas di DPR RI dan jumlah

usulan baru lainnya terdapat sekitar 128 daerah.1 Namun di dalam proses usulan pembentukan daerah baru ini memiliki banyak sekali hambatan dari mulai proses pembahasan awal pem-bentukan Daerah Otonomi Baru (un-tuk selanjutnya disingkat DOB) seperti terkait masalah anggaran hingga pada

1. Diakses pada tanggal 9 Juni 2016 pada halaman web http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016 /02/26/205645626/Anggaran.Terbatas.Pemerintah.Berlakukan.Moratorium.Pembentukan.Daerah.Otonomi.Baru

89JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

Artikel

Page 95: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

waktu daerah yang baru dibentuk su-lit untuk mengembangkan daerahnya disebabkan oleh pendapatan asli da-erah (PAD) yang masih belum men-cukupi untuk kebutuhannya sendiri hingga pada permasalahan prinsipal lainnya.

Semangat monitoring dan evaluasi atas dasar permasalahan tersebut di atas yang sedang gencar-gencar nya dilakukan, sebanding pula dengan ma-sih banyaknya usulan pembentukan DOB. Banyaknya usulan pemekaran daerah yang terjadi di Indonesia sela-ma ini memiliki beberapa motif terse-bunyi diantaranya:2

1. Penataan daerah menjadi isu penting dalam kebijakan desen-tralisasi dan otonomi daerah di Indonesia.

2. Fragmentasi dan konsolidasi da-erah yang berpengaruh terha dap sistem pemerintahan dan adminis-trasi publik.

3. Dari perspektif ilmu politik dan pemerintahan, pembentukan DOB seringkali didasarkan pada ar-gumentasi untuk membuat jarak fisik dan kejiwaan antara warga dengan pemerintahnya menjadi semakin dekat (reciproxity).

4. Dari sisi kejiwaan, kedekatan war-ga dengan pemerintah dan para pejabatnya akan membuat hubun-gan emosional antara pemerintah dengan warganya akan menjadi semakin mudah dibangun.

5. Fragmentasi daerah sering juga dijadikan alasan untuk memper-baiki akses warga terhadap pe-layanan publik.

6. Pembentukan daerah baru sering juga didorong oleh pertimbangan

2. Disusun oleh Direktorat Jenderal Otonomi Daer-ah Kementerian Dalam Negeri dalam Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP) tahun 2011

keadilan sosial.7. Dalam arah yang berbeda, mun-

cul beberapa pemikiran yang mendorong terjadinya integrasi wilayah, seperti yang terkandung dalam teori-teori new regionalism, new functionalism, hak properti (property right), dan biaya tran-saksi.

8. Perspektif new regionalism men-jelaskan bagaimana integrasi wilayah dapat memperkuat iden-titas wilayah, mendorong mereka untuk fokus pada masalah bersa-ma, dan mengatasi berbagai ma-salah yang muncul karena saling ketergantungan yang terjadi pada wilayah itu.

Tujuan awal adanya pembentukan DOB adalah meningkatnya kualitas pelayanan publik yang berimbas pada peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat. Sejatinya, apabila tinggi-nya usulan permohonan pembentukan DOB berjalan lancar, ataupun dapat mengatasi permasalahan-permasala-han di daerah, tentu berbagai stigma negatif dari berbagai pihak tidak akan mengalir deras. Tajamnya kritik yang diberikan berdasar pada fenomena riil yang dihadapi oleh calon DOB ataupun daerah yang baru dibentuk yang jus-tru menuai persoalan-persoalan baru, yang dapat mempengaruhi stabilitas nasional, daerah induk, dan terutama kelancaran daerah itu sendiri. Atas dasar itulah maka berbagai upaya pengendalian dilakukan oleh pemerin-tah. Salah satu isu yang berkembang dan menjadi sorotan publik adalah mengenai isu moratorium pembentu-kan daerah. Pro dan kontra muncul tatkala menanggapi isu yang hangat berkembang mengenai kebijakan mo-ratorium pembentukan DOB, namun setelah dilakukan konfirmasi menge-nai isu ini, pihak Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam

90 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

MORATORIUM DAERAH OTONOM BARU:Sebuah Konsep Pematangan Menuju Efektivitas Daerah Otonom

Sabilla Ramadhiani Firdaus

Page 96: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

Negeri meluruskan isu tersebut dan menyatakan bahwa tidak ada morato-rium pembentukan DOB, yang ada ha-nyalah tidak ada RUU DOB yang diba-has dan disahkan, yang ada hanyalah pembahasan dan penerbitan Rancang-an Peraturan Pemerintah (RPP) ten-tang Daerah Persiapan (seperti yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah-an Daerah dengan adanya ketentuan mengenai daerah persiapan selama 3 (tiga) tahun sebelum suatu daerah benar-benar mekar atau menjadi da-erah baru) yang mana dalam pemben-tukannya lebih diperhatikan menge-nai persyaratan dan kesiapan daerah calon DOB.3

Kajian dan evaluasi yang dilaku-kan untuk meningkatkan keberhasilan pembentukan daerah terus diupaya-kan pemerintah. Poin besar dari eva-luasi tersebut adalah mengenai kesia-pan dari calon DOB itu sendiri untuk mampu bertahan dan berkembang ditengah penyelenggaraan kegiatan daerah yang akan memiliki hambatan dan rintangan. Berdasarkan hal terse-but, kajian ini akan membahas menge-nai arah kebijakan pemerintah melalui hukum positif yang berlaku di Indone-sia dalam hal kesiapan calon DOB dan efektivitas dari pelaksanaan pemben-tukan daerah, guna makin memper-jelas arah dan posisi pemerintah dalam langkah moratorium yang akan ditem-puh. Seperti apa ketentuan mengenai persiapan pembentukan daerah di In-donesia sebagai suatu bahan evaluasi atas keadaan yang terjadi, sejauhma-

3. Klarifikasi mengenai kebenaran isu moratorium disampaikan oleh Direktur Jenderal Otonomi Daerah, Dr. Soni Sumarsono dalam Rapat Kon-sultasi pembahasan RPP Desain Besar Penataan Daerah (Desartada) dan RPP Penataan Daerah (pengganti PP 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabun-gan Daerah) yang diakses pada tanggal 9 Juni 2016 pada halaman web http://otonomiindone-sia.com/2016/02/29/161/

na efektivitas dari pelaksanaan kebija-kan pembentukan daerah, bagaimana bentuk ideal dari kebijakan pembentu-kan DOB dan seperti apa langkah yang diambil pemerintah melalui kebijakan yang akan menjadi alat untuk mem-perbaiki sistem penataan daerah di era otonom ini.B. METODE KAJIAN

Data dan analisis yang menjadi bagian dari hasil kajian ini berdasar-kan metode kajian pustaka (literally studies) dan telaah peraturan pe-rundang-undangan. Kajian pustaka dilakukan melalui pendekatan isu yang berkembang dengan melakukan analisis dengan teori dan kebijakan peraturan perundang-undangan yang secara legal formal mengikat dan men-jadi acuan dalam pelaksanaan penye-lenggaraan pemerintahan daerah. Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan yang relevan, disku-si serta analisis komparasi peraturan perundang-undangan.

Pendekatan studi kepustakaan da-lam kajian ini berdasar pada konsep pembentukan DOB, konsep kebija-kan moratorium pembentukan DOB, konsep persiapan pembentukan DOB dan teori efektivitas yang dihadapkan dengan problematika yang muncul di daerah. Analisis dilakukan terhadap materi muatan yang tercantum da-lam peraturan perundang-undangan yang berlaku (ius constitutum) dan bagaimana harapan dari kebijakan di masa mendatang (ius constituendum).C. KONSEP PEMBENTUKAN DA-

ERAHKonsep pembentukan daerah

menurut Gabrielle Ferrazzi dapat dili-hat sebagai bagian dari proses penata-an daerah atau territorial reform atau administrative reform, yaitu “manage-ment of the size, shape and hierarchy of local government units for the pur-pose of achieving political and admin-

91JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

MORATORIUM DAERAH OTONOM BARU:Sebuah Konsep Pematangan Menuju Efektivitas Daerah Otonom

Sabilla Ramadhiani Firdaus

Page 97: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

92 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

MORATORIUM DAERAH OTONOM BARU:Sebuah Konsep Pematangan Menuju Efektivitas Daerah Otonom

Sabilla Ramadhiani Firdaus

No Materi Muatan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah

1. Amanat dasar pem-bentukan daerah

Pembentukan daerah dapat dilakukan berdasarkan pertimbangan kepentin-gan strategis nasional.

2. Pembentukan daerah Pembentukan daerah dapat berupa:a. pemekaran daerah; danb. penggabungan daerah

3. Ketentuan pemekaran daerah

Pemekaran daerah dilakukan melalui tahapan Daerah Persiapan provinsi atau Daerah Persiapan kabupaten/kota.

4. Persyaratan pemben-tukan daerah

Pembentukan Daerah Persiapan harus memenuhi: a. persyaratan dasar:

1. persyaratan dasar kewilayahan meliputi:a. luas wilayah minimal;b. jumlah penduduk minimal;c. batas wilayah;d. cakupan wilayah; dane. batas usia minimal daerah provinsi, daerah kabupaten/ kota,

dan kecamatan.2. persyaratan dasar kapasitas daerah merupakan kemampuan daerah

untuk berkembang dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang didasarkan pada parameter:a. geografi;b. demografi;c. keamanan;d. sosial politik, adat, dan tradisi;e. potensi ekonomi;f. keuangan Daerah; dang. kemampuan penyelenggaraan pemerintahan.

b. persyaratan administratifPersyaratan administratif disusun dengan tata urutan sebagai berikut:

1. untuk daerah provinsi meliputi:a. persetujuan bersama DPRD kabupaten/kota dengan bupati/

walikota yang akan menjadi Cakupan Wilayah Daerah Persiapan Provinsi; dan;

b. persetujuan bersama DPRD provinsi induk dengan gubernur daerah provinsi induk;

2. untuk daerah kabupaten/kota meliputi:a. keputusan musyawarah Desa yang akan menjadi Cakupan

Wilayah Daerah kabupaten/kota;b. persetujuanbersama DPRD kabupaten/kota induk dengan bupa-

ti/wali kota Daerah induk; danc. persetujuan bersama DPRD provinsi dengan gubernur dari

Daerah provinsi yang mencakupi Daerah Persiapan kabupaten/kota yang akan dibentuk.

5. Ketentuan mengenai penggabungan daerah

Penggabungan daerah dilakukan dalam hal daerah atau beberapa daerah tidak mampu menyelenggarakan Otonomi Daerah yang mana penilaiannya akan dilakukan oleh pemerintah pusat. Penggabungan daerah berupa:a. penggabungan dua daerah kabupaten/kota atau lebih yang bersanding

dalam satu daerah provinsi menjadi daerah kabupaten/kota baru; danb. penggabungan dua daerah provinsi atau lebih yang bersanding menjadi

daerah provinsi baru.

6. Proses penggabungan daerah

Penggabungan daerah dilakukan berdasarkan:a. kesepakatan daerah yang bersangkutan; ataub. hasil evaluasi Pemerintah Pusat.Keterangan:a. Penggabungan daerah melalui kesepakatan daerah yang bersangku-

tan harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan dasar kapasitas daerah

b. Ketentuan mengenai tahapan penggabungan daerah:1. Penggabungandaerah kabupaten/kota yang dilakukan berdasarkan

kesepakatan daerah yang bersangkutan diusulkan oleh gubernur kepada Pemerintah Pusat, DPR atau DPD setelah memenuhi

Page 98: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

istrative goals”.4 Ferrazzi berpendapat bahwa grand strategy otonomi da erah yang optimal tidak berhenti pada me-nentukan berapa jumlah daerah oto-nom yang ideal di suatu negara, namun lebih dari itu, harus mampu menjawab pertanyaan apa sebenarnya hakekat otonomi daerah di negara bersangku-tan. Baru setelah itu mencari ‘jawaban’ untuk tujuan apa sebenarnya pemben-tukan atau pemekaran daerah (dalam konteks territorial reform) tersebut.5

Konteks pembentukan daerah se-bagaimana dimaksud di atas, tidak bisa terlepas dari tujuan awal pembentukan daerah untuk mencapai kesejahteraan rakyat, upaya pembentukan pola ideal penyelenggaraan otonomi daerah dan sebagai alat untuk memecahkan per-

4. DRSP-USAID. 2006. Stock Taking On Indone-sia’s Recent Decentralization Reforms, Jakarta: DRSP-USAID, Agustus. Hlm. 19;

5. Gabriele Ferrazzi. 2007. International Experienc-es in Territorial Reform - Implications for Indo-nesia, Jakarta: USAID-DRSP, Januari. Hlm.19

masalahan daerah. Dalam kerangka regulasi, pengaturan mengenai pem-bentukan DOB tidak terlepas dari arah dan kebijakan desentralisasi dan oto-nomi daerah itu sendiri, sehingga hal ini menunjukan bahwa pembentukan DOB merupakan salah satu jalan bagi pencapaian otonomi daerah secara umum yakni perbaikan layanan pu-blik dan peningkatan daya saing da-erah yang secara bersama-sama akan memberikan sumbangsih terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat.

Secara legal formal mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pembentukan daerah adalah pene-tapan status Daerah pada wilayah tertentu. Materi muatan yang diatur didalam undang-undang ini memili-ki lingkup dan sifat yang lebih ketat dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Peme-rintah Daerah. Ringkasan mengenai substansi pembentukan daerah yang

93JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

MORATORIUM DAERAH OTONOM BARU:Sebuah Konsep Pematangan Menuju Efektivitas Daerah Otonom

Sabilla Ramadhiani Firdaus

Tabel 1.Materi muatan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Peme-

rintah Daerah berkaitan dengan substansi pembentukan daerah.Sumber: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, diolah

No Materi Muatan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah

persyaratan administratif.2. Penggabungan daerah provinsi yang dilakukan berdasarkan kese-

pakatan daerah yang bersangkutan diusulkan secara bersama oleh gubernur yang Daerahnya akan digabungkan kepada Pemerintah Pusat, DPR atau DPD setelah memenuhi persyaratan administratif.

3. Berdasarkan usulan, Pemerintah Pusat melakukan penilaian terha-dap pemenuhan persyaratan administratif.

4. Hasil penilaian disampaikan kepada DPR dan DPD.5. Dalam hal usulan penggabungan Daerah dinyatakan memenuhi

persyaratan administratif, Pemerintah Pusat dengan persetujuan DPR dan DPD membentuk tim kajian independen.

6. Tim kajian independen bertugas melakukan kajian terhadap pers-yaratan kapasitas daerah.

7. Hasil kajian disampaikan oleh tim kajian independen kepada Pemerintah Pusat untuk selanjutnya dikonsultasikan kepada DPR dan DPD.

8. Hasil konsultasi menjadi pertimbangan bagi Pemerintah Pusat, DPR atau DPD dalam pembentukan undang-undang mengenai pengga-bungan daerah.

9. Dalam hal penggabungan daerah dinyatakan tidak layak, Pemerin-tah Pusat, DPR atau DPD menyampaikan penolakan secara tertulis dengan disertai alasan penolakan kepada gubernur.

Page 99: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

diatur dalam hukum positif yang ber-laku di Indonesia adalah seperti pada tabel 1.

Pembentukan DOB diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah, yang mana dijelaskan bahwa pembentu-kan daerah dapat berupa pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih, atau penggabungan bagian daerah yang bersandingan, atau peng-gabungan beberapa daerah. Proses pembentukan daerah didasari pada 3 (tiga) persyaratan, yakni administratif, teknis, dan fisik kewilayahan.1. Persyaratan administratif didasar-

kan atas aspirasi sebagian besar masyarakat setempat untuk ditin-

daklanjuti oleh pemerintah daerah dengan melakukan kajian daerah terhadap rencana pembentukan daerah.

2. Persyaratan secara teknis didasar-kan pada faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudu-kan, luas daerah, pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Adapun faktor lain tersebut meliputi pertimbang-an kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan.

3. Persyaratan fisik kewilayahan da-lam pembentukan daerah meliputi cakupan wilayah, lokasi calon ibu-

94 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

MORATORIUM DAERAH OTONOM BARU:Sebuah Konsep Pematangan Menuju Efektivitas Daerah Otonom

Sabilla Ramadhiani Firdaus

Faktor Indikator1. Kependudukan 1. Jumlah Penduduk

2. Kepadatan Penduduk

2. Kemampuan ekonomi 1. PDRB non migas per kapita2. Pertumbuhan ekonomi3. Kontribusi PDRB non migas

3. Potensi daerah 1. Rasio bank dan lembaga keuangan non bank per 10.000 penduduk2. Rasio kelompok pertokoan per 10.000 penduduk3. Rasio pasar per 10.000 penduduk4. Rasio sekolah SD per penduduk usia SD5. Rasio sekolah SLTP per penduduk usia SLTP6. Rasio sekolah SLTA per penduduk usia SLTA7. Rasio fasilitas kesehatan per 10.000 penduduk8. Rasio tenaga medis per 10.000 penduduk 9. Persentase rumah tangga yang mempunyai kendaraan bermotor atau

perahu atau kapal motor 10. Persentase pelanggan listrik terhadap jumlah rumah tangga 11. Rasio panjang jalan terhadap jumlah kendaraan bermotor 12. Persentase pekerja yang berpendidikan minimal SLTA terhadap pen-

duduk usia 18 tahun ke atas 13. Persentase pekerja yang berpendidikan minimal S-1 terhadap penduduk

usia 25 tahun ke atas 14. Rasio pegawai negeri sipil terhadap penduduk

4. Kemampuan keuangan 1. Jumlah PDS2. Rasio PDS terhadap jumlah penduduk3. Rasio PDS terhadap PDRB non migas

5. Sosial Budaya 1. Jumlah PDS2. Rasio PDS terhadap jumlah penduduk3. Rasio PDS terhadap PDRB non migas

6. Kependudukan 1. Rasio penduduk yang ikut pemilu legislatif penduduk yang mempunyai hak pilih

2. Jumlah organisasi kemasyarakatan

7. Kemampuan ekonomi 1. Luas wilayah keseluruhan

Page 100: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

kota, sarana, dan prasarana pe-merintahan.

Berikut adalah Faktor dan Indikator Pembentukan Daerah Otonom Baru yang menjadi dasar pembentukan DOB seperti pada tabel 2.

Berdasarkan teori dan kebijakan pembentukan daerah yang tertu-ang dalam regulasi tersebut di atas menunjukkan bahwa pada dasarnya pembentukan daerah erat kaitan nya dengan penambahan ruang politik lokal bagi tumbuhnya partisipasi poli-tik dan demokratisasi di tingkat lokal demi tercapainya cita-cita otonomi daerah. Namun, kebijakan ini juga harus mempertimbangkan konsekuen-si-konsekuensi yang lahir atas penga-turan hal tersebut yang hingga saat ini masih belum jelas atau bahkan belum diatur, diantaranya:1. Kejelasan dan persepsi mengenai

sudut pandang pembentukan DOB berdasarkan urgensi pertimbangan kepentingan strategis nasional.

2. Pembaharuan regulasi sebagai aki-bat dari munculnya undang-undang terbaru mengenai pemerintahan daerah. Peraturan pelaksana yang sekarang masih mengacu pada un-dang-undang pemerintahan daerah yang lama dan ada beberapa materi

muatan yang belum diatur dengan peraturan perundang-undangan se-perti apa yang diamanatkan oleh pe r aturan perundang-undangan yang baru, seperti:a. Daerah persiapan (konsep, me-

kanisme, hasil evaluasi dan tin-dak lanjut)

b. Penataan daerah (konsep, grand design, dan sebagainya)

3. Didalam hal pembentukan DOB, harus lebih dijelaskan mengenai tim pemrakarsa pembentukan DOB beserta struktur timnya, lebih lan-jut dapat dijelaskan pula mengenai bagaimana cara konsensus pem-bentukan DOB tersebut diperoleh. Hal ini menjadi penting sebab da-lam prosesnya, tim inilah yang akan mengawal proses pembentukan DOB dari mulai usulan pembentu-kan hingga pada penetapan DOB apabila memenuhi semua persya-ratan yang telah ditetapkan.

1. Permasalahan DOBHasil evaluasi yang dilakukan oleh

Bappenas, UNDP, LAN, dan Kemen-dagri menyatakan bahwa lebih dari 80%6 daerah hasil pemekaran belum

6. Diakses pada tanggal 9 Juni 2016 pada hala-man web http://www.kemenkeu.go.id/sites/de-

95JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

MORATORIUM DAERAH OTONOM BARU:Sebuah Konsep Pematangan Menuju Efektivitas Daerah Otonom

Sabilla Ramadhiani Firdaus

Tabel 2.Faktor dan Indikator Pembentukan Daerah Otonom Baru berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapu-

san, dan Penggabungan Daerah

Faktor Indikator2. Luas wilayah efektif yang dapat dimanfaatkan

8. Pertahanan 1. Rasio jumlah personil aparat pertahanan terhadap luas wilayah 2. Karakteristik wilayah dilihat dari sudut pandang pertahanan

9. Keamanan Rasio jumlah personil aparat keamanan terhadap jumlah penduduk

10. Tingkat kesejahteraan masyarakat

Indeks Pembangunan Manusia

11. Rentang kendali 1. Rata-rata jarak kabupaten atau kecamatan ke pusat pemerintahan (provinsi atau kabupaten)

2. Rata-rata waktu perjalanan dari kabupaten atau kecamatan ke pusat pemerintahan (provinsi atau kabupaten)

Sumber: Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah, diolah.

Page 101: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

96 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

MORATORIUM DAERAH OTONOM BARU:Sebuah Konsep Pematangan Menuju Efektivitas Daerah Otonom

Sabilla Ramadhiani Firdaus

dapat memperlihatkan peningkatan pembangunan daerah setempat sehi-ngga pelaksanaan pemekaran da-erah belum mencapai tujuan otonomi daerah. Studi Bappenas tahun 2008 mengungkapkan bahwa DOB yang menjadi sampel studi menunjukkan bahwa pada awalnya kondisi daerah hasil pemekaran seperti perekonomian daerah, keuangan daerah, pelayanan masyarakat dan aparatur pemerintah daerah masih lebih buruk dibanding-kan daerah induk pemekaran. Seiring berjalannya waktu sampai dengan 5 (lima) tahun setelah pemekaran, secara umum kinerja indikator yang telah disebutkan sebelumnya masih di bawah kinerja daerah pemekaran. Daerah hasil pemekaran belum mam-pu memanfaatkan masa transisi un-tuk meningkatkan kinerjanya. Hal ini terlihat dari lambatnya pertumbuhan ekonomi di DOB, potensi ekonomi ma-sih bergantung kepada sektor perta-nian, jumlah penduduk miskin masih terkonsentrasi di DOB dan akhirnya belum mampu mengejar keterting-galan dari daerah induk pemekaran. Terbatasnya Sumber Daya Alam (SDA) juga menambah persoalan daerah ha-sil pemekaran. Hampir semua daerah induk keberatan daerah yang kaya dengan SDA masuk ke DOB. Kondisi ini menyebabkan terjadinya berbagai konflik horizontal yang tidak hanya mengganggu stabilitas kehidupan ber-masyarakat, tetapi juga mengancam integrasi nasional.

Daerah yang mengalami kegagalan dalam pemekaran wilayah, dipetakan permasalahan-permasalahan yang m u n cul berdasarkan bidang Politik, Ekonomi, dan Sosial Budaya ditampil-kan pada tabel 3.

Berdasarkan pada kondisi-kondisi di

fault/files/2013_kajian_pkapbn_Mengurai_Reg-ulasi_Pemekaran_APS.pdf

atas, fenomena pembentukan daerah tidak sesuai dengan pendapat J. Ka-loh yang menyatakan bahwa: dalam konteks pemekaran daerah/wilayah tersebut yang lebih dikenal dengan pembentukan DOB, bahwa daerah otonom tersebut diharapkan mampu memanfaatkan peluang yang lebih besar dalam mengurus dirinya sendi-ri, terutama berkaitan dengan penge-lolaan sumber – sumber pendapatan asli daerah, sumber daya alam, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat setempat yang lebih baik.7 Dalam hal peningkatan mutu pelayanan publik, pembentukan daerah pada dasarnya juga dimaksudkan guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masya-rakat di samping sebagai sarana pen-didikan politik lokal.8

Perkembangan daerah dengan adanya otonomi menunjukkan sema-kin banyak daerah yang terlihat lebih maju dan berkembang sejak diberikan otonomi yang lebih besar terutama daerah yang memiliki sumber daya alam cukup besar. Otonomi ternya-ta memberikan kesempatan kepada daerah untuk mengembangkan da-erahnya sesuai dengan kondisi sosial ekonomi, budaya, dan adat masing – masing daerah untuk menunjukkan ke-bhinekaan. Akan tetapi, perlu disadari pula daerah yang kurang berkembang setelah diberikan otonomi. Hasil pe-nelitian menunjukkan terdapat daerah yang terlihat stagnan perkembangan-nya atau bahkan terdapat daerah yang kesulitan memenuhi kebutuhannya se-bagai daerah otonom.9

7. J.Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah, Pen-erbit Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hlm.194.

8. H.A.W. Widjaja, “Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia”, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm 134-135.

9. Hamdi Muchlis, Naskah Akademik Tentang Pembentukan dan Penghapusan Daerah, BPHN DEPKUMHAM RI, Jakarta,2008, hlm 1.

Page 102: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

97JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

MORATORIUM DAERAH OTONOM BARU:Sebuah Konsep Pematangan Menuju Efektivitas Daerah Otonom

Sabilla Ramadhiani Firdaus

Tabel 3.Komparasi Permasalahan Pada Berbagai Bidang

Sebelum dan Setelah Pemekaran

Bidang Sebelum Pemekaran Setelah Pemekaran

Politik a. Sentralisasi kekuasaan oleh Pemerintah Pusat.

b. Konstitusi dan Regulasi yang longgar. c. Dukungan politisi-politisi di DPR/DPD den-

gan mengatasnamakan ’aspirasi rakyat’, ’demokrasi’

d. Presiden, Depdagri dan DPOD yang lemah.

e. ’Gap’ pembangunan Jawa-Luar Jawa.f. Marginalisasi kelompok/suku/ agama

tertentu.g. Gerrymandering (pembelahan daerah

berdasar partai).h. hasrat elit lokal untuk pemberdayaan

daerah pasca Soeharto.

Positif:• terserapnya putra daerah sebagai

tenaga kerja/pegawai pemda sehing-ga memberikan cukup kepuasan pada psikologi lokal.

• adanya kebanggaan lokal bahwa putra-putri daerah dapat memerintah dan membangun daerahnya sendiri.

• adanya rasa relatif kebebasan dari Pusat.

Negatif:• Terjadinya konglomerasi kekuasaan/

oligarki di tangan Bupati/Walikota dan politisi-politisi yang beraliansi dengan pengusaha.

• Birokrasi pemda yang ‘gemuk’ dija-dikan sumber dukungan kekuasaan pemda/ elit-elit lokal.

• Maraknya KKN dalam rekrutmen pegawai daerah; tidak terjadi ’the right men in the right place’.

Ekonomi a. Kemiskinan, ketertinggalan pembangunanb. jarak yang jauh dari ibukota provinsi/

kabupaten/kotac. hasrat mendapat DAUd. rent-seeking motives

Positif: • munculnya kegiatan-kegiatan

ekonomi/pusat-pusat ekonomi baru• kemajuan pembangunan infrastruktur

(jalan, jembatan, gedung-gedung pemerintah, sekolah-sekolah, puskes-mas, dll.)

• mendekatkan jarak ibukota daerah dengan masyarakat, efisiensi pengu-rusan administrasi.

Negatif:• Penyalahgunaan kekuasaan dan

wewenang karena nafsu elit local (termasuk pengusaha) untuk me-maksimalisasi keuntungan ekonomi dengan segala cara karena control masyarakat yang rendah.

• Pembangunan rumah/kantor bupati/mobil dinas yang menguras banyak uang rakyat

• Munculnya perda-perda bermasalah dengan alasan meningkatkan PAD.

Sosial budaya

a. Identitas lokal, adat-isiadatb. daerah bekas kerajaanc. bahasa lokald. perbedaan asal-usul (pantai-gunung;

kepulauan-daratan).

Positif: • Adanya rasa bebas masyarakat dalam

mengembangkan adat-istiadat/bu-daya setempat.

• Terjadinya revitalisasi peran elit-elit tradisional di masyarakat dan pemer-intahan lokal

Negatif:• Egoisme primordial yang kebablasan

di tengah-tengah era globalisasi

Sumber: Sumber: Tri Ratnawati (editor), P2P LIPI, 2009

Page 103: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

Oleh karena itu, pembentukan suatu daerah harus memperhatikan berba-gai aspek pendukung pengembangan daerah terutama aspek sumber daya manusia dan sumber daya alam serta sumber ekonomi suatu daerah. Apabi-la salah satu aspek tersebut tidak di-miliki akan menghambat tujuan utama pembentukan daerah yaitu peningka-tan kesejahteraan dan pelayanan yang lebih baik bagi masyarakatnya. Akh-ir-akhir ini terdapat kecenderungan terjadinya kehendak untuk pemben-tukan daerah baru (khususnya melalui pemekaran). Kecenderungan terse-but seringkali kurang memperhatikan berbagai aspek yang diperlukan untuk kepentingan pembentukan daerah sekaligus dan kemungkinan perkem-bangan di kemudian hari.10

Terkait aspek-aspek yang mem-pengaruhi keberhasilan DOB seperti aspek sumber daya manusia dan sum-ber daya alam serta sumber ekonomi, sudah dirujuk oleh peraturan perun-dang-undangan sebagai indikator atau syarat yang harus dipenuhi oleh calon DOB untuk dilakukan persiapan dan pemantapan. Sebagai contoh, dalam hal sumber daya manusia yang diiden-tifikasi dan ditelaah terlebih dahulu jumlah kependudukan, potensi daerah dalam hal latar belakang pendidikan dan hal-hal yang berkaitan dengan potensi sumber daya manusia. Sama halnya dengan aspek sumber daya alam atau bisa juga disebut sebagai potensi daerah yang akan menunjang pemasukan daerah, diidentifikasi ter-lebih dahulu bagaimana kemampuan ekonomi dan potensi yang ada di da-erah tersebut.

Setelah dilakukan identifikasi, apa-bila sudah memenuhi persyaratan ten-tu akan dilakukan proses persiapan selanjutnya sebagaimana dimaksud

10 Ibid, hlm 3.

dalam proses daerah persiapan yang hingga saat ini rancangannya masih dalam pembahasan. Namun apabila dari hasil identifikasi ditemukan hasil belum memenuhi kelayakan minimal persyaratan, maka akan dilakukan evaluasi dan kebijakan untuk tidak diproses ke tahapan selanjutnya. De-ngan ketatnya persyaratan yang dilihat dari berbagai aspek inilah yang akan menjadi modal awal untuk proses pe-menuhan bentuk ideal daerah yang akan dibentuk.2. Kebijakan Moratorium Pem-

bentukan DOB Kebijakan publik merupakan suatu

keputusan yang diambil untuk meng-hadapi situasi atau permasalahan, mengandung nilai-nilai tertentu, memuat ketentuan tentang tujuan, cara dan sarana untuk mencapainya.11 Suatu kebijakan dalam penyelengga-raan desentralisasi dan otonomi da-erah mengenai penghentian semen-tara pembentukan DOB dimulai sejak tahun 2009 yang masih hangat untuk dibahas dan terus disempurnakan hingga saat ini. Kebijakan penghentian sementara pembentukan DOB atau yang sering disebut sebagai kebija-kan moratorium pembentukan daerah, menurut Kementerian Dalam Negeri memiliki konsep penundaan pem-bentukan DOB dengan adanya suatu proses baru yaitu pembentukan da-erah persiapan menuju DOB. Titik poin dari kebijakan tersebut adalah adanya pembentukan daerah persiapan yang memiliki kebijakan bahwa pembentu-kan DOB didahului dengan masa per-siapan selama 3 (tiga) tahun dengan tujuan untuk penyiapan daerah terse-but menjadi DOB dengan pematang-an seluruh instrumen pembentukan de ngan baik. Apabila setelah 3 (tiga)

11. Pusat Kajian Manajemen Kebijakan Lembaga Administrasi Negara, Pedoman Perumusan Kebijakan, Jakarta: PKMK-LAN, 2010.

98 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

MORATORIUM DAERAH OTONOM BARU:Sebuah Konsep Pematangan Menuju Efektivitas Daerah Otonom

Sabilla Ramadhiani Firdaus

Page 104: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

tahun hasil evaluasi menunjukkan da erah persiapan tersebut tidak me-menuhi syarat untuk menjadi da erah, statusnya dikembalikan ke Daerah induknya. Apabila daerah persiapan setelah melalui masa pembinaan sela-ma tiga tahun memenuhi syarat untuk menjadi DOB, maka daerah persiapan tersebut dibentuk melalui undang-un-dang menjadi DOB.

Dengan bergulirnya wacana atas perlunya moratorium pembentukan DOB, memberikan pesan bahwa, per-masalahan pemekaran wilayah harus disikapi dengan bijak dimulai dari as-pek persiapan, pelaksanaan hingga perlunya evaluasi secara berkala demi tercapainya efektivitas pembentukan DOB. Menurut I Made Suwandi, da-lam membentuk DOB setidaknya ada persyaratan yang sifatnya mutlak atau wajib dipenuhi sebelum suatu da-erah dapat dimekarkan.12 Persyaratan tersebut tertuang dalam ketentuan peraturan perundang-undangan me-nge nai pembentukan daerah di In-donesia. Setiap persyaratan harus dipahami betul-betul oleh calon DOB dalam memahami tujuan, persiapan dasar hingga persiapan administratif yang harus dipenuhi.

Kebijakan moratorium pembentu-kan DOB ini dinilai tepat ketika lang-kah ini diambil untuk menghadapi situ-asi ketidaksiapan usulan calon DOB, ketidaksiapan anggaran dalam rangka pembentukan DOB tersebut, hingga untuk memberikan jeda waktu dan evaluasi bersama dalam rangka menu-ju daerah yang benar-benar mandiri dan sejahtera. Selektifnya kebijakan pemerintah dalam hal penetapan per-syaratan untuk memenuhi kesiapan

12. Suwandi, I Made. 2009. Perubahan Instrumen Pembentukan Daerah Otonom. Dalam Bakry& Andy Ramses. Pemerintahan Daerah di Indone-sia. Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia. hlm164.

daerah menjadi DOB diharapkan dapat membentuk daerah dapat tumbuh, berkembang dan mampu menyeleng-garakan otonomi daerah dalam rangka meningkatkan pelayanan publik yang optimal guna mempercepat terwu-judnya kesejahteraan masyarakat dan dalam memperkokoh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 3. Efektivitas

Pembentukan DOB pada dasar-nya bertujuan untuk peningkatan pe-layanan (service delivery) Pemerintah Daerah (local government) kepada masyarakat, agar lebih efisien dan efektif terhadap potensi, kebutuhan maupun karakteristik di masing-ma-sing daerah. Dengan demikian ada-nya DOB seharusnya akan membuat suatu daerah menjadi semakin terbu-ka, jalur pengembangannya lebih luas, tersebar ke seluruh wilayah.13 Hasil evaluasi mengenai DOB sebagaimana telah disebutkan di awal menunjuk-kan bahwa 80 persen DOB berkinerja buruk, bahkan beberapa di antaranya dianggap gagal. Menurut hasil evalu-asi tersebut, kegagalan disebabkan oleh tidak siapnya daerah pada awal masa transisi, terutama di tiga tahun pertama.

Kegagalan tersebut tentu menjadi tanda tanya besar. Tentu yang menjadi pertanyaan dan bahan evaluasi ada-lah perencanaan pemerintah menge-nai kuantitas dan kualitas calon DOB hingga pelaksanaan penyelenggaraan tahap awal suatu DOB. Pada estima-si jumlah maksimal daerah otonom di Indonesia dan penambahannya melalui pembentukan daerah otonom baru, yang diperhitungkan hingga ta-hun 2025 (11 Provinsi dan 54 Kabu-paten/kota). Dalam konteks ini bukan estimasi jumlah daerah otonom yang

13. Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Peme-karan Wilayah BPHN. hlm 2.

99JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

MORATORIUM DAERAH OTONOM BARU:Sebuah Konsep Pematangan Menuju Efektivitas Daerah Otonom

Sabilla Ramadhiani Firdaus

Page 105: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

menjadi pedoman/acuan pembentu-kan daerah otonom, akan tetapi lebih kepada bagaimana persyaratan ide-alnya suatu daerah otonom. Adapun strategi dasar dalam penataan daerah otonom kedepan harus berpijak pada suatu grand design dengan beberapa evaluasi sebagai berikut: 1. Menempatkan prioritas menguta-

makan pembentukan daerah oto-nom provinsi terutama di wilayah perbatasan antar negara dan da-erah-daerah yang secara geograf-is-wilayahnya sangat luas atau rentang kendali tergolong besar (>30 kabupaten/kota);

2. Menetapkan estimasi jumlah mak-simum daerah otonom provinsi dan jumlah maksimum daerah otonom kabupaten/ kota hingga tahun 2025 berdasarkan pendekatan kombinasi yang rasional (dengan parame ter geografis, demografis, dan kesiste-man) dan realistis (dengan mem-pertimbangkan aspirasi yang se-dang berkembang);

3. Membuat Estimasi Jumlah Maksi-mum Daerah Otonom Provinsi, Ka-bupaten/Kota Tahun 2010 – 2025.Efektivitas adalah ”Komunikasi yang

prosesnya mencapai tujuan yang diren-canakan sesuai dengan biaya yang dianggarkan, waktu yang ditetapkan dan jumlah personil yang ditentukan”. Pengertian diatas mengartikan bahwa indikator efektivitas dalam arti terca-painya sasaran atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya merupakan se-buah pengukuran dimana suatu target telah tercapai sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Berkaitan dengan efektivitas kebijakan pembentukan DOB, bahwa yang dimaksud dengan efektivitas kebijakan pembentukan DOB adalah ukuran pencapaian tujuan yang ditentukan pengaturannya dalam peraturan dan dapat tercapai sesuai dengan apa yang ditentukan di awal.

Pembentukan DOB merupakan ba-gian dari desentralisasi, otonomi, dan demokratisasi pengelolaan pemerin-tahan negara dalam rangka mening-katkan kesejahteraan dan keadilan sosial dimaksud. Efektivitas implemen-tasi kebijakan pembentukan daerah yang dewasa ini diberlakukan terletak pada 3 (tiga) kunci strategis, yaitu: 1. kemampuan dan kesiapan calon

DOB dalam menyusun data me-ngenai potensi dan fakta di da-erahnya sebagai langkah persia-pan matang identifikasi potensi dan informasi daerah;

2. penguatan regulasi dan juga ke-mampuan dalam memahami dan melaksanakan ketentuan pera-turan perundang-undangan yang berlaku mengenai pembentukan DOB; dan

3. komitmen pemerintah pusat, pe-merintah daerah, tim pemrakarsa pembentukan DOB, instansi yang bersinggungan dengan proses pembentukan DOB, elite politik daerah dan masyarakat dalam rangka ikut berpartisipasi pada penyelenggaraan daerahnya.

Kunci strategis tersebut harus di-tuangkan dan memberi semangat se-bagai dasar dan kunci substansi dalam peraturan pelaksana yang akan menja-di acuan dan pedoman dalam menga-wal proses pembentukan da erah. Da-lam rancangan peraturan pelaksana yang akan ditetapkan kemudian seti-dak-tidaknya mengindahkan menge-nai: 1. waktu penetapan rancangan pera-

turan pelaksana yang tidak ter-lambat dan tepat waktu sesuai dengan amanat 2 (dua) tahun ba-tas maksimal pembentukan pera-turan pelaksana dimaksud;

2. kualitas materi muatan kebijakan yang memuat konsep ideal pem-bentukan daerah, kesesuaian dan

100 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

MORATORIUM DAERAH OTONOM BARU:Sebuah Konsep Pematangan Menuju Efektivitas Daerah Otonom

Sabilla Ramadhiani Firdaus

Page 106: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

101JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

MORATORIUM DAERAH OTONOM BARU:Sebuah Konsep Pematangan Menuju Efektivitas Daerah Otonom

Sabilla Ramadhiani Firdaus

masukan yang membangun dari stakeholders); dan

3. sosialisasi peraturan pelakana se-bagaimana dimaksud harus memi-liki jeda waktu yang cukup dengan waktu penetapan peraturan dan penjelasan yang komprehensif mengenai substansi materi yang diatur.

Apabila komitmen bersama terse-but terwujud, maka upaya pemben-tukan DOB yang dilakukan melalui prosedur sesuai dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia, sangat di-mungkinkan akan berimplikasi positif terhadap tujuan yang memang ingin dicapai dalam pembentukan DOB yai-tu untuk meningkatkan pelayanan pu-blik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat disamping sebagai sarana pendidikan politik di tingkat lokal. D. PENUTUP

Pengetatan pembentukan DOB sei-ring dengan kondisi beberapa DOB yang dewasa ini mengalami beberapa permasalahan teknis maupun finansial ketika baru dibentuk, terus diupaya-kan oleh pemerintah demi tercapainya tujuan pembentukan DOB sesuai de-ngan tujuan awal kebijakan tersebut ditetapkan.

Penetapan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang No-mor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah-an Daerah Menjadi Undang-Undang) merupakan salah satu langkah kon-krit yang dilakukan pemerintah dalam rangka ‘menyelamatkan’ DOB yang dinilai kurang berhasil. Berbagai subs-tansi pengaturan yang ditetapkan ha-rus didukung dengan komitmen ber-sama dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yang baik, agar tujuan

kesejahteraan masyarakat dapat ter-capai.

Kesiapan calon DOB merupakan kunci penting keberhasilan pemben-tukan DOB yang berhasil sejalalan dengan komitmen pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam rangka mewujudkan cita-cita bangsa. Kon-sep teoritis pemekaran daerah dan kerangka peraturan perundang-un-dangan idealnya mengawal dan menjadi pedoman yang baik untuk terselenggaranya implementasi kebija-kan pembentukan DOB. Namun ketika dibenturkan dengan realita, ditemukan keadaan yang belum sesuai dengan harapan akibat belum maksimalnya efektivitas pelaksanaan pembentukan DOB. Belum tercapainya efektivitas DOB diakibatkan oleh belum siapnya daerah dan banyaknya permasalahan yang ada, membuahkan suatu kon-sep rekomendasi dan masukan untuk pembenahan sistem yang ada. Pem-benahan tersebut dimulai dengan pe-nguatan dan pembenahan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pijakan pelaksanaan pemben-tukan daerah. Komitmen bersama dari seluruh stakeholder juga sangat ber-pengaruh terhadap kesuksesan DOB. Untuk itulah, komitmen dan langkah nyata berbagai pihak sangat memiliki peran dan menjadi kunci keberhasi-lan untuk menuju DOB yang berhasil membentuk, mengembangkan dan mensejahterakan masyarakatnya.Rekomendasi1. Penyusunan grand design

Perlu adanya kebijakan yang ditu-angkan dalam suatu undang-un-dang mengenai grand design pena-taan daerah yang salah didalamnya tercantum pula kebijakan pemerin-tah mengenai grand design peme-karan daerah sebagai bagian dari langkah penataan daerah. Arah dan tujuan sebagai urgensi dari per-

Page 107: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

102 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

MORATORIUM DAERAH OTONOM BARU:Sebuah Konsep Pematangan Menuju Efektivitas Daerah Otonom

Sabilla Ramadhiani Firdaus

timbangan strategi nasional dalam kurun waktu jangka pendek dan jangka panjang yang akan ditem-puh (termasuk kebijakan mengenai berapa lama moratorium pemben-tukan DOB akan dilaksanakan), se-bagai pondasi mengenai poin yang akan diinternalisasi pemerintah pusat, pemerintah daerah hingga masyarakat yang terus mengawal perkembangan isu-isu daerah.

2. Pemantauan dan penegakan moni-toring dan evaluasi Monitoring dan evaluasi dilakukan dengan transparan atas pelaksa-naan pembentukan DOB sesuai dengan peraturan perundang-un-dangan yang berlaku. Dalam hal ini law enforcement harus menjadi tolak ukur keberhasilan suatu ke-bijakan peraturan perundang-un-dangan. Suatu kebijakan harus memiliki penegakkan implementasi muatan didalamnya. Peran serta stakeholder’s dalam rangka menga-wal penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia juga merupa-kan hal yang sangat penting untuk diingat. Sebaik-baiknya peraturan dibuat apabila tidak dilaksanakan dengan sebagaimana mestinya ti-dak akan mencapai hasil yang di-harapkan.

3. Pembaharuan regulasi Dalam hal ini penyusunan peratu-ran pelaksana dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pe-merintahan Daerah (sebagaima-na telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Un-dang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Un-dang-Undang). Berdasarkan de-ngan amanah yang tertuang dalam

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tersebut bahwa peraturan pelaksanaan harus terbentuk dalam jangka waktu 2 tahun sejak diun-dangkannya peraturan tersebut, yakni pada tahun ini, bulan Sep-tember 2016 sesuai dengan subs-tansi dari undang-undang tersebut maupun hukum positif lainnya dan juga harus memperhatikan hasil monitoring dan evaluasi mengenai implementasi kebijakan pembentu-kan DOB demi tercapainya daerah yang baru dibentuk dapat tumbuh, berkembang dan mampu menye-lenggarakan otonomi daerah dalam rangka meningkatkan pelayanan publik yang optimal guna memper-cepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat dan dalam memperko-koh keutuhan Negara Kesatuan Re-publik Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Buku, Jurnal dan ArtikelAsshiddiqie, Jimly. 2008. Pokok-Pokok

Hukum Tata Negara Indonesia Pas-ca Reformasi. Jakarta: PT. Buana Indah Populer.

Cita Febrianty, Laura. 2013. Disfungsi Otonomi Daerah: Diskursus Peme-karan Wilayah Jawa Timur.

Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri. 2011. Laporan Hasil Evaluasi Daerah Oto-nom Hasil Pemekaran (EDOHP).

DRSP-USAID. 2006. Stock Taking On Indonesia’s Recent Decentralization Reforms. Jakarta: DRSP-USAID.

Effendi, Onong Uchjana. 1989. Kamus Komunikasi. Bandung: CV. Mandar Maju.

Ferrazzi, Gabriele. 2007. International Experiences in Territorial Reform – Implications for Indonesia. Jakarta: USAID-DRSP.

J.Kaloh. 2007. Mencari Bentuk Oto-

Page 108: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

103JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

MORATORIUM DAERAH OTONOM BARU:Sebuah Konsep Pematangan Menuju Efektivitas Daerah Otonom

Sabilla Ramadhiani Firdaus

nomi Daerah. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.

Muchlis, Hamdi. 2008. Naskah Aka-demik Tentang Pembentukan dan Penghapusan Daerah, Jakarta: BPHN DEPKUMHAM RI.

Pratikno. 2008. Usulan Perubahan Ke-bijakan Penataaan Daerah: Peme-karan dan Penggabungan Daerah. Paper USAID.

Pusat Kajian Manajemen Kebijakan Lembaga Administrasi Negara. 2010. Pedoman Perumusan Kebija-kan. Jakarta: PKMK-LAN.

Ratnawati, Tri. 2009. Pemekaran Daer-ah: Politik Lokal dan Beberapa Isu Terseleksi, Yogyakarta: Pustaka Pe-lajar.

Ratnawati, Tri. 2010. Satu Dasa Warsa Pemekaran Daerah Era Reformasi: Kegagalan Otonomi Daerah?. Ja-karta: Jurnal Ilmu Politik AIPI.

Rita Helbra Tenrini. 2013. Pemekaran Daerah: Kebutuhan Atau Euforia Demokrasi? Menyibak Kegagalan Pemekaran.

Suwandi, I Made. 2009. Perubahan In-strumen Pembentukan Daerah Oto-nom. Dalam Bakry& Andy Ramses. Pemerintahan Daerah di Indonesia. Masyarakat Ilmu Pemerintahan In-donesia.

Tim Analisis dan Evaluasi Hukum ten-tang Pemekaran Wilayah BPHN

Widjaja, H.A.W. Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Peraturan Perundang-undanganUndang-Undang Nomor 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indo-nesia Tahun 2004 Nomor 125, Tam-bahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaima-na telah diubah beberapa kali tera-khir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan

Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerin-tahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daer-ah (Lembaran Negara Republik In-donesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Re-publik Indonesia Nomor 5587) se-bagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indo-nesia Tahun 2015 Nomor 58, Tam-bahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679)

Peraturan Pemerintah Republik In-donesia Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 162, Tambahan Lembaran Negara Re-publik Indonesia Nomor 4791)

Halaman WebsiteDiakses pada tanggal 29 Mei 2016

pada halaman web http://otda.ke-mendagri.go.id/

Diakses pada tanggal 8 Juni 2016 pada halaman web http://www.republika.co.id/berita/koran/kesra/16/03/01/o3c jca-pemer intah-morator i -um-pembentukan-daerah-baru

Diakses pada tanggal 9 Juni 2016 pada halaman web http://otonomiindo-nesia.com/2016/02/29/161/

Diakses pada tanggal 9 Juni 2016 pada halaman web http://b isn iskeuangan.kompas.com/read/2016/02/26/205645626/An-ggaran.Terbatas.Pemerintah.Ber-

Page 109: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

lakukan.Moratorium.Pembentukan.Daerah.Otonomi.Baru

Diakses pada tanggal 9 Juni 2016 pada

halaman web http://www.kemen-keu.go.id/sites/default/files/2013_kajian_pkapbn_Mengurai_Regula-si_Pemekaran_APS.pdf

104 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

MORATORIUM DAERAH OTONOM BARU:Sebuah Konsep Pematangan Menuju Efektivitas Daerah Otonom

Sabilla Ramadhiani Firdaus

Page 110: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

MENDORONG INOVASI PELAYANAN PUBLIK DI PEMERINTAH DAERAH

Abstrak: Inovasi dan kreatifitas merupakan dua konsep penting dalam pelayanan publik untuk mening-katkan kualitas pelayanan (pelayanan prima). Secara legal, ketentuan pelayanan publik di-nya takan dalam berbagai kebijakan, termasuk Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 ten-tang Pelayanan Publik, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dan berbagai kebijakan pemerintah sebagai turunan dari Undang-undang Pelayanan Publik dan Pemerintah Daerah. Namun dalam kenyataannya, pelayanan publik yang diberikan jauh dari kata memuaskan. Untuk itu, kita perlu mendorong munculnya inovasi pelayanan publik khususnya di daerah melalui perubahan mindset dan culture set, optimalisasi Pelayanan Ter-padu Satu Pintu dan kerjasama Pemerintah Daerah dengan swasta.Kata kunci: desentralisasi, pelayanan publik, inovasi, pemerintah daerahAbstract:Creativity and innovation are two important concepts in the context of public services in order to improve the quality of service (excellent service). Legally, arrangements regarding public service has been stated in various laws either include Law 25 of 2009 on Public Service, Law 23 Year 2014 on Regional Government, as well as some of the government regulations as a public service law is derived and Local Government Act. But it is unfortunate, because in reality the quality of public services performed by service providers organizations is far from satisfactory. For that, we need a number of efforts to encourage the emergence of innovative public services, especially in Local Government, through a change in the mindset and the cul-ture set, optimization of “Pelayanan Terpadu Satu Pintu”, and local government partnerships with the private sector.Keywords: decentralization, public services, innovation, local government.

ENCOURAGING PUBLIC SERVICES INNOVATION IN LO-CAL GOVERNMENT

P. Pieter DjokaWidyaiswara Madya Badan Diklat

Propinsi Nusa Tenggara Timur

A. PENDAHULUANKeberadaan negara/pemerintah

dan pemerintah daerah beserta apara-turnya selain menjaga keamanan dan ketertiban adalah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya. Dengan kata lain, fungsi negara modern pada saat ini tidak hanya menjadi “watch-dog”, atau penjaga keamanan tetapi menjadi “pelayan” bagi warganya da-lam rangka menciptakan kesejahtera-an mereka. Oleh karena itu tidak ber-lebihan jika dikatakan bahwa tugas

utama atau hakiki dari sosok aparatur sebagai bagian dari Negara/pemerin-tah adalah memberikan pelayanan ke-pada masyarakat (pelayanan publik), dengan pelayanan yang terbaik.

Ruang lingkup pelayanan pu blik (public services) meliputi aspek ke-hidupan masyarakat yang sangat luas, meliputi pelayanan barang, jasa, dan administratif yang diatur dalam peratu r an perundang-undangan. Se-cara spe si fik, ruang lingkup pelayanan pu blik meliputi pendidikan, penga-

105JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

Artikel

Page 111: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

jaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan hidup, kesehatan, jaminan sosial, e nergi, perbankan, perhubu-ngan, sumber daya alam, pariwisata, dan sektor strategis lainnya (Pasal 5 ayat 1 dan 2 UU No. 25 Tahun 2009). Pelayanan public juga sering digam-barkan memiliki lingkup yang sangat luas, sejak lahir sampai meninggal dunia.

Amanat UU No. 25/2009 sangat jelas bahwa setiap organisasi penye-lenggara pelayanan – bersama-sama dengan pembina dan penanggung jawab pelayanan – bertanggung jawab atas ketidakmampuan, pelanggaran, dan kegagalan pelayanan publik. Arti-nya, seluruh pemangku kepentingan yang terkait dengan pelayanan pu-blik berupaya untuk mengatasi keti-dakmampuan (kelembagaan, SDM, anggaran), mengurangi pelanggaran yang terjadi, dan mengatasi kegaga-lan pelayanan yang selama ini terjadi di lapangan.

Pertanyaannya adalah mengapa pelayanan publik tersebut bisa gagal? Lalu sebenarnya pelayanan seperti apa yang dikatakan berhasil? Pelayanan publik gagal disebabkan: 1) tidak adanya kebebasan manajemen, serta campur tangan politik yang berlebihan dalam pengelolaan pelayanan publik (2) peran ganda dalam pelayanan pu-blik yakni antara tujuan komersial dan sosial serta (3) tenaga pelaksana yang kurang cakap dan tidak professional di bidang pelayanan (Saleh, 2004). Adapun pelayanan publik dikatakan berhasil apabila memenuhi ciri-ciri se-bagai berikut: responsifitas, respon-sibilitas, akuntabilitas, produktivitas, dan kepuasan pelanggan. Responsifi-tas adalah kemampuan organisasi un-tuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pe-layanan, dan mengembangkan pro-

gram-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi ma-syarakat. Responsibilitas menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan organi-sasi publik itu dilakukan sesuai de-ngan prinsip-prinsip administrasi yang benar atau sesuai dengan kebijakan organisasi, baik yang eksplisit maupun implisit. Konsep akuntabilitas publik digunakan untuk melihat seberapa be-sar kebijakan dan kegiatan organisasi publik itu konsisten dengan kehendak masyarakat banyak. Konsep produk-tifitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi juga efektivitas pe-layanan. Kepuasan pelanggan terkait apakah kehadiran organisasi publik dapat memenuhi kebutuhan dan me-lindungi kepentingan publik (Sitompul, 2010).

Tuntutan akan pelayanan publik yang semakin baik menjadi ciri ma-syarakat yang makin berkembang. Kondisi perubahan lingkungan strate-gis yang diikuti pergeseran nilai perlu disikapi secara bijak melalui langkah kegiatan yang terus-menerus dan berkesinambungan dalam berbagai aspek pembangunan untuk memba-ngun kepercayaan masyarakat (trust). Organisasi penyelenggara pelayanan publik di daerah perlu melakukan ino-vasi dalam pemberian pelayanan yang lebih cepat, lebih mudah, dan lebih murah, sembari membenahi keleng-kapan organisasinya seperti standar pelayanan, maklumat pelayanan, me-kanisme pengaduan dan sebagainya.

Tulisan singkat ini ditujukan untuk memberikan gambaran pelaksanaan pelayanan publik khususnya me-nyangkut inovasi yang telah dilakukan dalam pemberian pelayanan publik di peme rintah daerah. Dengan de-mikian, penulis dapat memberikan rekomendasi langkah-langkah yang perlu dilakukan ke depan dalam upa-ya mendorong pemberian pelayanan

106 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

MENDORONG INOVASI PELAYANAN PUBLIKDI PEMERINTAH DAERAH

P. Pieter Djoka

Page 112: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

publik yang makin berkualitas di masa depan. Tulisan ini merupakan hasil pe-mikiran penulis terhadap kondisi aktu-al pelayanan di daerah khususnya di Kota Kupang. Metode yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah studi pustaka atau studi dokumen dengan melakukan telaah bahan-bahan yang relevan. Kajian Terdahulu1. Hasil Penelitian tentang Inova-

si Pelayanan Perizinan dalam Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) pada Kantor Pe-layanan Terpadu Satu Pintu di Kota Makassar oleh Dewi Pus-pita Sari Darman (2015).Penelitian dilakukan di Badan Pe-layanan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM) Kota Makassar. Tujuan Penelitian me-liputi: a) mendeskripsikan dan menganalisis bentuk inovasi pe-layanan perizinan di Badan Pe-layanan Terpadu Satu Pintu dan Penanaman Modal Kota Makassar, b) mendeskripsikan dan menganali-sis faktor-faktor yang mendukung dan menghambat pelaksanaan ino-vasi pelayanan perizinan di Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan Penanaman Modal Kota Makas-sar, dan c) Untuk menggambarkan model inovasi pelayanan perizinan dalam peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan Penanaman Modal Kota Makassar.Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Informan kunci (key informan) adalah Kepala Badan dan Sekretaris Pendapatan Daerah, Kepala Badan dan Sekreta-ris Pelayanan Perizinan, costumer service perizinan Pemerintah Kota Makassar, masyarakat berkepenti-ngan dan pelaku usaha. Berdasar-kan penelitian tersebut disimpul-

kan:a. Sejak Badan Perizinan Terpadu

dan Penanaman Modal diben-tuk Tahun 2014, Kepala BPTPM Kota Makassar telah melakukan inovasi kelembagaan yang men-dukung terwujudnya sistem pe-layanan satu pintu. Ada bebera-pa hal yang telah dipersiapkan untuk mewujudkan sistem pe-layanan satu pintu antara lain: penataan ruangan kerja dan ruangan loket pelayanan, opti-malisasi pendayagunaan pega-wai dan standar operasional prosedur (SOP). Namun, untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui retribusi perizinan, ada beberapa inova-si yang harus dilakukan antara lain: Inovasi Prosedur Pelayanan, Inovasi Loket dan tunggu Pe-layanan, Inovasi Fasilitas Pen-dukung, Perilaku dan Sikap Petugas Pelayanan, Pelayanan Berbasis Elektronik.

b. Faktor-faktor yang mendukung dan menghambat pelaksanaan inovasi pelayanan perizinan di Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan Penanaman Modal Kota Makassar, adalah sebagai berikut: Faktor Pendukung inova-si pelayanan perizinan di Badan Pelayanan Terpadu Satu Pin-tu dan Penanaman Modal Kota Makassar: 1). Penataan kelem-bagaan pemerintah daerah agar lebih proporsional berdasarkan kebutuhan nyata daerah. Ber-hubungan BPTPM Kota Makassar disahkan bulan Mei 2014, sejak itu dilakukan renovasi gedung, desain tata ruang kerja admi-nistratif, penataan loket dan ru-ang tunggu pelayanan. 2) Keter-sediaan aparatur pemerintah da erah yang berkualitas secara

107JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

MENDORONG INOVASI PELAYANAN PUBLIKDI PEMERINTAH DAERAH

P. Pieter Djoka

Page 113: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

proporsional sesuai bidang tu-gasnya. Langkah strategis yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Kota Makassar adalah melakukan penataan ulang Sumber Daya Manusia BPTPM berdasarkan kompetensi yang dimilikinya. 3) Peningkatan kapasitas keuangan pemerintah daerah, termasuk pengelolaan keuangan. Selain itu diperlukan insentif khusus bagi petugas pelayanan di loket maupun tim kajian teknis di lapa-ngan. d. Penataan kelembagaan masyarakat sebagai mitra pe-merintah pada semua jenjang pemerintahan. Tugas pelayanan bukan hanya pemerintah tetapi lembaga masyarakat turut me-nentukan terwujudnya kebutu-han masyarakat. Faktor Peng-hambat pelaksanaan inovasi dan kualitas Pelayanan Perizinan, antara lain: 1) Masih terbatas-nya dan rendahnya kapasitas aparatur pemerintah daerah, 2) Pelaksanaan otonomi daerah belum sesuai dengan tujuannya, yaitu kesejahteraan masyarakat, 3) Penataan kelembagaan Pe-merintahan belum didukung dengan penataan kelembagaan masyarakat dalam rangka pem-berdayaan masyarakat sebagai salah satu inti penyelenggaraan otonomi daerah, 4) Pelayanan melalui SMS masih dalam tahap pengkajian perlu tidaknya meng-gunakan pelayanan melalui SMS, 5) Pelayanan dengan meng-gunakan mobil keliling (mobile service) dalam tahap pengkajian untuk lebih detail dapat diketa-hui secara teknis terkait pelaksa-naannya.

c. Untuk meningkatkan Pendapa-tan Asli Daerah Kota Makassar membutuhkan regulasi yang mendorong penguatan Model

Inovasi berbasis pada kepuasan pelanggan (masyarakat penggu-na). Disamping itu percepatan pelayanan dengan dukungan pelayanan berbaisis elektronik dan akses secara online melalui website resmi (sistem informa-si pelayanan perizinan) Kota Makassar yang didukung oleh SMS Gate Way, Mobile Service, Pembayaran Biaya Pengurusan melalui Bank dan SMS Banking. Selain itu dapat dikembangkan pula beberapa model inovasi, yakni: a. Model Inovasi Penata-an Administrasi Kependudukan Hubungannya dengan Berbagai Jenis Pelayanan Publik. b. Ino-vasi Pelayanan Perizinan Berba-sis Elektronik c. Program Pena-tausahaan Perizinan d. Program Peningkatan Pelayanan di Keca-matan dan Kelurahan

Untuk mewujudkan target Pemerin-tah Kota Makassar terhadap peneri-maan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tahun 2015 sebesar 1 Triliun, maka disarankan hal-hal berikut:a. Diperlukan inovasi pelayanan

yang mendorong peningkatan penerimaan dari semua jenis penerimaan daerah berupa pa-jak, non pajak, dan pendapa-tan sah lainnya yaitu: 1) Inovasi penyederhanaan prosedur pela-ya nan, 2) Kepastian waktu, 3) Ke pastian biaya dan, 4) Empati pegawai. Jika keempat prinsip pelayanan dilakukan akan dapat mengembalikan kepercayaan dan kesadaran masyarakat dan pelaku usaha mengurus izin se-hingga iklim usaha semakin baik yang berdampak pada pening-katan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan kesejahteraan masya-rakat.

b. Ada beberapa kebijakan yang

108 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

MENDORONG INOVASI PELAYANAN PUBLIKDI PEMERINTAH DAERAH

P. Pieter Djoka

Page 114: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

per lu diterapkan oleh Kepala Badan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM), an-tara lain: 1) Penerapan pelayanan sistem online dan pelayanan mo-bil keliling (mobile service), opti-malisasi pembayaran di Bank dan SMS Banking, serta optimalisasi SMS Gate Way, 2) Pendayagu-naan sumber daya aparatur yang kompeten di bidang tugasnya, 3) Peningkatan sarana dan prasana yang mendorong peningkatan kinerja petugas pelayanan, 4) Penerapan Standar Operasional Prosedur (SOP) Pelayanan Per-izinan secara konsisten, dan 5) Program diklat teknis dan fung-sional terkait tugas pelayanan perizinan.

2. Hasil Penelitian Inovasi Pe-layanan Publik di Kecamatan Sungai Kunjang Kota Samarin-da oleh Dayang E ra wa ti Djam-rut (2015)Pemerintah dibentuk bukan untuk melayani dirinya sendiri tetapi un-tuk memberikan pelayanan kepada masyarakat di wilayah/daerah yang bersangkutan. Penelitian dilaku-kan di Kecamatan Sungai Kunjang Kota Samarinda. Berdasarkan ha-sil penelitian ini dapat disimpulkan beberapa hal mengenai Inovasi Pe-layanan Publik di Kecamatan Sungai Kunjang maka hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:a. Rehabilitasi Ruang Publik

Bertambahnya loket membuat urusan masyarakat jadi mudah dalam mendapatkan pelayanan. Area Kecamatan juga dibuat dengan tema hijau, bersih dan sehat ada area merokok dan juga ada area taman. Tanggapan masyarakat sangat positif terha-dap rehabilitasi ruang publik ti-dak ada masalah karena sudah

jelas dan tidak membe rikan ke-sulitan kepada ma syarakat.

b. Mempercepat Pelayanan PublikKecamatan sudah memberikan informasi yang jelas kepada masyarakat dan penyampaian in-formasi tersebut juga dilakukan melalui buku pintar (panduan SOP), SMS, telepon dan face-book bahwa pihak Kecamatan sudah memberikan informasi mengenai prosedur pelayanan publik. Tanggapan masyarakat terhadap pelayanan yang diberi-kan oleh Kecamatan Sungai Kunjang sudah baik dan sudah paham ketika berkasnya lengkap maka cepat diselesaikan.

c. Area PermainanDengan adanya area permainan agar menumbuh kembangkan pola pikir anak. Saat orang tua-nya disibukkan dengan urusan, anak bisa bermain di pojok anak untuk bermain serta tidak jenuh atau bosan selama orang tua nya mendapatkan pelayanan dari Kecamatan. Pihak Kecamatan juga memperhatikan kebersihan di sekitar area permainan agar anak-anak sehat. Respon masya-rakat sangat baik terhadap fasil-itas area permainan di Keca-matan Sungai Kunjang karena memberikan nuansa yang berbe-da, bagi kita mungkin hanya bia-sa namun bagi anak akan terasa menyenangkan.

d. Jejaring SosialMenyampaikan Pelayanan Melalui jejaring sosial masyarakat dapat memperoleh berbagai informasi secara mandiri dan gratis tanpa harus antri untuk bertemu petu-gas loket, serta menjadi media bagi masyarakat atau pengguna layanan untuk menyampaikan pengaduan. Masyarakat men-

109JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

MENDORONG INOVASI PELAYANAN PUBLIKDI PEMERINTAH DAERAH

P. Pieter Djoka

Page 115: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

dukung Jejaring Sosial (melalui: Facebook, SMS, dan Telepon) sebagai jalur menyampaikan pelayanan agar memudahkan masyarakat mendapatkan in-formasi meskipun tidak semua masyarakat menggunakan face-book.

e. Faktor yang mempengaruhi Ino-vasi Kecamatan Sungai Kunjang, adalah adanya bangunan ge-dung yang letaknya strategis be-rada di pemukiman masyarakat. Selain itu juga bertambahnya unit Inovasi Pelayanan Publik di Kecamatan Sungai Kunjang Kota Samarinda pelayanan agar mempermudah masyarakat da-lam kelancaran berurusan di Ke-camatan Sungai Kunjang.

Beberapa saran atau rekomendasi yang perlu dilakukan berdasarkan penelitian dimaksud, meliputi: a. Perlu memindahkan papan alur

prosedur pelayanan di dekat loket pelayanan agar dapat dili-hat banyak masyarakat.

b. Diharapkan adanya keaman-an pelayanan yaitu terjaminnya tingkat keamanan lingkungan unit penyelenggara pelayanan ataupun sarana yang digunakan, sehingga masyarakat merasa tenang untuk mendapatkan pe-layanan terhadap resiko-resiko yang diakibatkan dari pelaksa-naan pelayanan.

c. Perlu adanya perhatian kepada salah satu permainan tersebut agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.

d. Diharapkan adanya kelengkapan data/informasi pada aplikasi on-line agar masyarakat mendapat kemudahan dalam mengakses informasi.

B. TINJAUAN KONSEP DAN KEBI-

JAKAN1. Konsep Pelayanan Publik

Dalam Kamus Besar Bahasa Indone-sia dinyatakan bahwa “pelayanan ada-lah: 1) perihal atau cara melayani, 2) usaha melayani kebutuhan orang lain dengan memperoleh imbalan (uang), dan 3) kemudahan yang diberikan sehubungan dengan jual-beli barang atau jasa (kamusbahasaindonesia.org). Sedangkan pengertian service dalam Oxford (2000) didefinisikan se-bagai “a system that provides some-thing that the publik needs, organized by the government or a private com-pany”. Dari pengertian tersebut, maka pelayanan berfungsi sebagai sebuah sistem yang menyediakan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Selanjutnya Nurcholis (2005) secara rinci membagi fungsi pelayanan publik ke dalam bidang-bidang sebagai beri-kut: a) Pendidikan, b) Kesehatan, c) Keagamaan, d) Lingkungan: tata kota, kebersihan, sampah, penerangan, e) Rekreasi: taman, teater, musium, tu-risme, f) Sosial, g) Perumahan, h) Pe-makaman/krematorium, i) Registrasi penduduk: kelahiran, kematian, j) Air minum, dan k) Legalitas (hukum), se-perti KTP, paspor, sertifikat, dll.

Untuk meningkatkan kualitas pe-layanan diperlukan standar pelayanan publik, yang menjadi tolok ukur pe-layanan yang diberikan. Penetapan standar pelayanan publik merupakan fenomena yang berlaku di berbagai negara, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Di Amerika Serikat, misalnya, ditandai dengan dikeluarkannya Executive Order 12863 pada era pemerintahan Clinton, yang mengharuskan semua instansi peme-rintah untuk menetapkan standar pe-layanan konsumen (setting customer service standard). Isi dari executive order tersebut adalah sebagai berikut:

“Identify customer who are, or

110 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

MENDORONG INOVASI PELAYANAN PUBLIKDI PEMERINTAH DAERAH

P. Pieter Djoka

Page 116: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

should be, served by the agency, sur-vey the customers to determine the kind and quality of service they want and their level of satisfaction with ex-isting service, post service standards and measure result against the best bussiness, provide the customers with choice in both sources of services, and complaint system easily accesible, and provide means to adress customer complaints.” (Aswin, e-Journal, 2015).

Di Inggris lebih dahulu dikenal Cit-izen’s Charter. Namun dalam perkem-bangannya (terutama di negara-nega-ra persemakmuran) seringkali jadi salah kaprah, maka dimunculkan isti-lah lainnya yaitu service first. Di Indo-nesia sendiri, Citizen’s Charter kurang lebih diterjemahkan sebagai Kontrak Pelayanan. Ada lima unsur pokok yang tercantum di dalam Kontrak Pe-layanan, yaitu:1. Visi dan misi pelayanan; memuat

rumusan tentang sejauhmana or-ganisasi pelayanan publik telah merujuk pada prinsip-prinsip ke-pastian pelayanan. Harus diingat bahwa visi dan misi pelayanan tidak hanya difahami sebagai slogan atau motto, tetapi harus diaktualisasikan ke dalam tinda-kan konkret. Visi dan misi harus menjadi bagian dari budaya pe-layanan yang tercermin di dalam cara pemberian layanan.

2. Standar pelayanan; berisi penjela-san tentang apa, mengapa dan bagaimana upaya yang diperlu-kan untuk memperbaiki kualitas pelayanan. Standar pelayanan memuat norma-norma pelayanan yang akan diterima oleh penggu-na layanan. Dalam hal ini standar pelayanan harus memuat standar perlakuan terhadap pengguna, standar kualitas produk (output) yang diperoleh masyarakat dan standar informasi yang dapat

diakses oleh pengguna layanan.3. Alur pelayanan; memuat penjelas-

an tentang unit/bagian yang harus dilalui bila akan mengurus sesuatu atau menghendaki pelayanan dari organisasi publik tertentu. Alur pe-layanan harus menjelaskan berba-gai fungsi dan tugas unit-unit da-lam kantor pelayanan sehingga kesalahpahaman antara penyedia dan pengguna jasa pelayanan dapat dikurangi. Bagan dari alur pelayanan perlu ditempatkan di tempat strategis agar mudah di-lihat pengguna layanan. Alangkah baiknya kalau bagan itu didesain secara menarik de ngan bahasa yang sederhana dan gambar-gam-bar yang memudahkan pemaha-man pengguna pelayanan.

4. Unit atau bagian pengaduan ma-syarakat; yaitu satuan, unit atau bagian yang berfungsi menerima segala bentuk pengaduan ma-syarakat. Satuan ini wajib meres-pons dengan baik semua bentuk pengaduan, menjamin adanya keseriusan dari penyedia layanan untuk menanggapi keluhan dan masukan. Ia juga berperan untuk mengevaluasi sistem pelayanan yang ada. Salah satu peran pen-ting dari unit pengaduan masya-rakat ialah dalam riset dan pengembangan sistem pelayanan.

5. Survei pengguna layanan; survey ini kebanyakan masih terbatas dilakukan oleh perusahaan swas-ta dalam bentuk survei pelang-gan (customer survey). Kontrak Pelayanan mengharuskan dilaku-kannya survei pengguna layanan bagi organisasi publik. Tujuannya adalah untuk mengetahui aspira-si, harapan, kebutuhan dan per-masalahan yang dihadapi masya-rakat. Hasil survei digunakan untuk memperbaiki sistem penye-

111JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

MENDORONG INOVASI PELAYANAN PUBLIKDI PEMERINTAH DAERAH

P. Pieter Djoka

Page 117: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

lenggaraan pelayanan publik di masa mendatang sesuai harapan masyarakat. Yang diharapkan dari adanya survei pengguna layanan itu adalah adanya hubungan baik dan tingkat kepercayaan peng-guna terhadap penyedia layanan (Kumorotomo, 2007).

2. Inovasi Pelayanan PublikIstilah inovasi dan kreatifitas ke-

rap diidentikkan satu sama lain. Kedua istilah tersebut memang secara kon-teks mempunyai hubungan kausal se-bab-akibat. Sebuah inovasi biasanya dihasilkan oleh sebuah daya kreatifi-tas. Tanpa kreatifitas, inovasi akan sulit hadir dan diciptakan. Namun de-mikian, dalam kenyataannya, kehadi-ran inovasi juga tidak mutlak mensya-ratkan adanya kreatifitas (Suwarno, 2008). Jadi secara konsep, inovasi berbeda dengan kreatifitas.

Schumpeter (Halvorsen, 2005) yang membatasi pengertian inovasi yaitu “restricted themselves to no-vel products and processes finding a commercial application in the private sector”. Dalam pembatasan ini Schum-peter menekankan 2 (dua) hal penting dari inovasi, yaitu: 1) Sifat kebaruan (novelty) dari sebuah produk. Dengan kata lain inovasi hanya berhubungan dengan produk-produk yang bersifat baru, dan 2) Bahwa inovasi berhubu-ngan dengan proses pencarian aplikasi komersial di sektor bisnis.

Secara sederhana Albury (2003) mendefinisikan inovasi sebagai new ideas that work. Artinya, inovasi ber-hubungan erat dengan ide-ide baru yang bermanfaat atau dengan kata lain inovasi dengan sifat kebaruannya harus mempunyai nilai manfaat. Sifat baru dari inovasi tidak akan berarti apa-apa apabila tidak diikuti dengan nilai kemanfaatan dari kehadirannya. Se-cara rinci, Albury menjelaskan bahwa “successful innovation is the creation

and implementation of new process-es, products, services, and methods of delivery which result in significant improvements in outcomes efficiency, effectiveness, or quality”. Hal ini berar-ti bahwa ciri dari inovasi yang berha-sil adalah adanya bentuk penciptaan dan pemanfaatan proses baru, produk baru, jasa baru dan metode penyam-paian yang baru, yang menghasilkan perbaikan yang signifikan dalam hal efisiensi, efektivitas maupun kualitas.

Menurut Robbins (2007), inovasi merupakan gagasan baru yang dite-rapkan untuk memprakarsai atau memperbaiki suatu produk atau pro-ses, atau layanan. Inovasi melibatkan perubahan, tetapi tidak semua peru-bahan mesti melibatkan gagasan baru atau mengarah ke perbaikan yang signifikan. Inovasi dalam organisasi dapat berkisar dari perubahan kecil, bertahap hingga terobosan yang sifat-nya radikal.

Definisi inovasi menurut Robbins lebih memfokuskan pada tiga hal utama yaitu: 1) gagasan baru, ya-itu adanya gagasan baru (new ideas) dari suatu olah pikir dalam mengama-ti suatu fenomena yang sedang ter-jadi. Gagasan baru ini bisa berupa penemuan (invention) dari suatu ga-gasan pemikiran, ide, sistem, sam-pai pada kemungkinan gagasan yang mengkristal, 2) Produk dan jasa, ya-itu hasil langkah lanjutan dari ada-nya gagasan baru yang ditindaklan-juti dengan berbagai aktivitas, kajian, penelitian, dan percobaan sehingga melahirkan konsep yang lebih konkrit, dalam bentuk produk dan atau jasa yang siap dikembangkan dan diimple-mentasikan, dan 3) Upaya perbaikan, adalah usaha sistematis untuk melaku-kan penyempurnaan dan melakukan perbaikan (improvement) yang terus menerus sehingga buah inovasi itu bisa dirasakan manfaatnya.

112 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

MENDORONG INOVASI PELAYANAN PUBLIKDI PEMERINTAH DAERAH

P. Pieter Djoka

Page 118: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

3. Kebijakan PelayananMenurut Thomas R. Dye (1992) se-

bagaimana dikutip Dwijowijoto (2004) kebijakan publik adalah apa saja yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau untuk tidak dilakukan (“Public policy is whatever govern-ments choose to do or not to do”). Secara lengkap, kebijakan melalui serangkaian proses analisis mulai dari perumusan sampai dengan evalua-si. Menurut William N. Dunn (1994) dalam Mustopadidjaja (2002), proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktifitas dalam proses kegiatan yang bersifat politis. Aktifitas politis tersebut diartikan sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling tergan-tung, yaitu (a) penyusunan agenda, (b) formulasi kebijakan, (c) adopsi ke-bijakan, (d) implementasi kebijakan, dan (e) penilaian kebijakan.

Setelah melalui proses perumusan dan adopsi kebijakan, saatnya melak-sanakan atau mengimplementasikan kebijakan yang telah disusun. Imple-mentasi kebijakan, menurut Dwijowi-joto (op.cit), pada prinsipnya ada-lah cara yang dilakukan agar dapat mencapai tujuan yang dinginkan. Implementasi merupakan prinsip da-lam sebuah tindakan atau cara yang dilakukan oleh individu atau kelompok orang untuk pencapaian tujuan yang telah dirumuskan.

Keputusan Menteri Negara Pendaya-gunaan Aparatur Negara (MenegPAN) Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik merupakan regulasi terlait reformasi pelayanan jauh se-belum gelombang reformasi birokrasi diperkenalkan dan dilaksanakan di In-donesia. Kebijakan ini menjadi mile-stone pemberian pelayanan publik di Indonesia, dengan sejumlah inovasi yang dilakukan. Di dalam Kepmen-

pan ini, pelayanan publik secara garis besar dikelompokkan menjadi: 1) Pe-layanan administratif, 2) Pelayanan ba-rang, dan 3) Pelayanan jasa, dimana tulisan ini hanya akan memfokuskan pada pelayanan jasa, khususnya pe-layanan sektor kesehatan.

Selanjutnya, setelah satu dasa war-sa reformasi berjalan, lahirlah UU Pe-layanan Publik. Dalam Pasal 15 dan Bab V UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik disebutkan bahwa Penyelenggara Pelayanan Publik wajib memenuhi 10 (sepuluh) unsur menge-nai penyelenggaraan pelayanan pu-blik, yang meliputi:a. Standar Pelayanan

Standar pelayanan adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelaya-n an dan acuan penilaian kuali tas pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara kepada masya-rakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjang-kau, dan terukur.

b. Maklumat PelayananMaklumat pelayanan adalah per-nyataan tertulis yang berisi kese-luruhan rincian kewajiban dan janji yang terdapat dalam standar pe-layanan. Maklumat pelayanan wa-jib dipublikasikan secara jelas dan luas. Penyelenggara wajib menyu-sun maklumat pelayanan sesuai dengan sifat, jenis, dan karakte-ristik layanan yang diselenggara-kan dan dipublikasikan secara jelas (Pasal 18).

c. Sistem Informasi Pelayanan PublikSistem informasi pelayanan publik adalah rangkaian kegiatan yang meliputi penyimpanan dan penge-lolaan informasi serta mekanisme penyampaian informasi dari penye-lenggara pelayanan publik kepada masyarakat dan sebaliknya dalam bentuk lisan, tulisan latin, tulisan

113JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

MENDORONG INOVASI PELAYANAN PUBLIKDI PEMERINTAH DAERAH

P. Pieter Djoka

Page 119: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

dalam huruf braile, bahasa gam-bar, dan/atau bahasa lokal, serta disajikan secara manual ataupun elektronik. Sistem informasi pe-layanan publik berisi semua infor-masi pelayanan publik yang berasal dari penyelenggara pelayananan publik pada setiap tingkatan dan sekurang-kurangnya memuat infor-masi yang meliputi: profil penye-lenggara, profil pelaksana, standar pelayanan, maklumat pelayanan, pe ngelolaan pengaduan, dan peni-laian kinerja.

d. Pengelolaan Sarana, Prasarana dan/atau Fasilitas Pelayanan PublikPenyelenggara pelayanan publik wajib mengelola sarana, prasara-na, dan fasilitas pelayanan publik secara efektif, efisien, transparan, akuntabel, dan berkesinambungan serta bertanggung jawab terhadap pemeliharaan dan penggantian sarana, prasarana,dan fasilitas pe-layanan publik. Penyelenggara pe-layanan publik melakukan analisis dan menyusun daftar kebutuhan sarana, prasarana, dan fasilitas pelayanan publik dan melakukan pengadaan sesuai dengan peratu-ran perundang-undangan dengan mempertimbangkan prinsip efektif-itas, efisiensi, transparansi, akunta-bilitas, dan berkesinambungan.

e. Pelayanan KhususPenyelenggara pelayanan pu blik berkewajiban memberikan pela ya-nan dengan perlakuan khusus ke-pada anggota masyarakat tertentu antara lain penyandang cacat, lan-jut usia, wanita hamil, anak-anak, korban bencana alam, dan korban bencana sosial sesuai dengan pera-turan perundang-undangan dan diberikan tanpa tambahan biaya.

f. Biaya/Tarif Pelayanan PublikBiaya/tarif pelayanan publik pada da sarnya merupakan tanggung ja-

wab negara dan/atau masyarakat. Pe nentuan biaya/tarif pelayanan pu blik ditetapkan dengan persetu-juan Dewan Perwakilan Rakyat, De wan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dan ber-dasarkan peraturan perundang-un-dangan.

g. Perilaku Pelaksana dalam PelayananPelaksana pelayanan publik dalam menyelenggarakan pelayanan pu-blik harus berperilaku sesuai para-digma umum yang berlaku di ma-syarakat yang diantaranya: adil dan tidak diskriminatif, cermat, santun dan ramah, tegas, andal dan tidak memberikan putusan yang ber-larut-larut, profesional, tidak mem-persulit, patuh pada perintah atasan yang sah dan wajar, menjunjung tinggi nilai-nilai akuntabilitas dan integritas institusi penyelenggara, tidak membocorkan informasi atau dokumen yang wajib dirahasiakan sesuai dengan peraturan perun-dang-undangan, terbuka dan me-ngambil langkah yang tepat untuk menghindari benturan kepentingan, tidak menyalahgunakan sarana dan prasarana serta fasilitas pelayanan publik, tidak memberikan informa-si yang salah atau menyesatkan da lam menanggapi permintaan in-formasi serta proaktif dalam me-menuhi kepentingan masyarakat, tidak menyalahgunakan informasi, jabatan dan kewenangan yang dimi-liki, sesuai dengan kepantasan dan tidak menyimpang dari prosedur.

h. Pengawasan Penyelenggaraan Pe -layananPengawasan penyelenggaraan pela-yanan publik dilakukan oleh penga-was internal dan pengawas ekster-nal. Pengawasan internal dilakukan oleh atasan langsung pelaksana pe-layanan publik dan oleh pengawas

114 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

MENDORONG INOVASI PELAYANAN PUBLIKDI PEMERINTAH DAERAH

P. Pieter Djoka

Page 120: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

fungsional sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pengawasan eksternal penyelenggara pelayanan publik dilakukan oleh masyarakat (berupa laporan/ pengaduan ma-sya rakat), oleh Lembaga Negara Pengawas Pelayanan Publik (Om-budsman RI), dan oleh DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

i. Pengelolaan PengaduanPenyelenggara berkewajiban me-nye diakan sarana pengaduan dan menugaskan pelaksana yang kom-peten dalam pengelolaan pengadu-an serta berkewajiban menyusun mekanisme pengelolaan pengadu-an dari penerima pelayanan dengan mengedepankan asas penyelesai an yang cepat dan tuntas. Juga penye-lenggara berkewajiban menge lola pengaduan yang berasal dari pene-rima layanan, rekomendasi Om-budsman RI, DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dalam batas waktu tertentu, serta berke-wajiban menindaklanjuti hasil pe-ngelolaan pengaduan tersebut. Pe-nyelenggara pelayanan publik juga berkewajiban mengumumkan nama dan alamat penanggung jawab pe-ngelola pengaduan serta sarana pe-ngaduan yang disediakan.

j. Penilaian KinerjaPenyelenggara pelayanan publik berkewajiban melakukan penilaian kinerja penyelenggaraan pelayanan publik secara berkala dengan meng gunakan indikator kinerja ber-dasarkan standar pelayanan.

Terkait standar pelayanan, Pemerin-tah telah menerbitkan PP No. 15 Ta-hun 2014 tentang Pedoman Standar Pelayanan. Setiap penyelenggara pe-layanan publik wajib menyusun, mene-tapkan, dan menerapkan Standar Pe-layanan serta menetapkan Maklumat Pelayanan dengan memperhatikan ke-mampuan penyelenggara, kebutuhan

masyarakat, dan kondisi lingkungan. Komponen standar pelayanan menurut PP No. 15 Tahun 2014 dibedakan men-jadi dua bagian:a. Komponen Standar Pelayanan yang

terkait dengan proses penyam-paian pelayanan (service delivery), meliputi: persyaratan, sistem, me-kanisme dan prosedur, jangka wak-tu pelayanan, biaya/tarif, produk pelayanan, penanganan pengadu-an, dan saran & masukan.

b. Komponen Standar Pelayanan yang terkait dengan proses pengelolaan pelayanan di internal organisasi (manufacturing), meliputi: dasar hukum, sarana dan prasarana dan/atau fasilitas, kompetensi pelaksa-na, pengawasan internal, jumlah pelaksana, jaminan pelayanan, ja-minan keamanan dan keselamatan pelayanan, dan evaluasi kinerja pelaksana.

C. GAMBARAN PELAYANAN PU-BLIK DI KOTA KUPANG

1. Sekilas Pemerintah Kota KupangKota Kupang merupakan bagian

dari wilayah Negara Indonesia, terletak di Pulau Timor dan juga merupakan Ibukota dari Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kota ini memiliki luas wilayah daratan 47.349,9 km2 atau 2,49% luas Indonesia dan luas wilayah perairan ± 200.000 km2 di luar perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) NTT, jumlah penduduk Kota Kupang pada 2013 sebanyak 378.425 jiwa, yang terbagi atas 192.966 jiwa laki-laki dan 185.429 perempuan.

Secara geografis, Kota Kupang ter-letak antara 10°36’14”-10°39’58” LS dan 123°32’23”–123°37’01”BT; Luas wilayah 260,127 Km2, terdiri dari matra darat seluas 165,337 km2 dan matra laut seluas 94,790 km2. Kota Kupang

115JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

MENDORONG INOVASI PELAYANAN PUBLIKDI PEMERINTAH DAERAH

P. Pieter Djoka

Page 121: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

memiliki batas-batas wilayah adminis-trasi sebagai berikut:• Sebelah utara berbatasan dengan

Teluk Kupang • Sebelah Selatan berbatasan de-

ngan Kecamatan Nekamese dan Kecamatan Taebenu Kabupaten Kupang

• Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Kupang Tengah Kabu-paten Kupang

• Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Kupang Barat Kabu-paten Kupang.

Secara administratif pemerinta han, Kota Kupang terbagi dalam 6 wilayah kecamatan yang meliputi 53 kelurah-an.

Secara sosiologis, Kota Kupang adalah kota yang multi etnis dari suku Timor, Rote, Sabu, Flores, Alor, Lem-bata, Tionghoa sebagian kecil suku pendatang dari Ambon dan beberapa suku bangsa lainnya seperti Bugis, Jawa dan Bali. Tetapi terlepas dari keragaman suku bangsa yang ada, penduduk Kota Kupang akan menye-but diri mereka sebagai “Beta orang Kupang”.

Visi Kota Kupang adalah “Terwu-judnya Kota Kupang sebagai Kota Berbudaya, Modern, Produktif dan Nyaman yang Berkelanjutan”. Adapun misinya meliputi: 1) Meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pember-dayaan ma syarakat, 2) Mewujudkan SDM dan masyarakat Kota Kupang yang berkualitas, 3) Meningkatkan mutu pelayanan publik dan penega-kan supremasi hukum, 4) Mewujudkan tata ruang wilayah dan infrastruktur perkotaan yang berkelanjutan, dan 5) Meningkatkan kesejahteraan so-sial masyarakat (RPJMD Kota Kupang 2013-2017).2. Kinerja Pelayanan Publik Kota

Kupang

Kinerja Kota Kupang dapat dilihat dari dua sisi, baik dari sisi internal maupun eksternal. Dari sisi internal, kinerja suatu daerah salah satunya dapat dilihat dalam hal pengelolaan keuangan daerah. Menurut Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (LHP-BPK RI) Perwakilan Nusa Tenggara Timur terhadap Lapo-ran Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Kota Kupang pada tahun 2015, pengelolaan keuangan Kota Kupang memperoleh predikat Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Opini WDP ber-arti masih terdapat berbagai kekura-ngan secara administrasi sehngga me-merlukan pembenahan.

Capaian kinerja internal juga dapat dilihat dari sisi dokumen Laporan Ki-nerja Instansi Pemerintah (LKIP) Kota Kupang dari tahun ke tahun. LKIP Kota Kupang tahun anggaran 2013 dan 2014 menunjukkan kinerja yang MEMUASKAN, karena seluruh kegiatan yang direncanakan dapat dilaksanakan dengan baik. Seluruh sasaran strategis dapat terlaksana sesuai yang diren-canakan.

Selanjutnya, hasil Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Da-erah (EKPPD) Tahun 2014 menempat-kan Kota Kupang pada peringkat 65 dari 91 kota yang dinilai oleh Tim Nasi-onal EKPPD yang tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Kemendagri No. 120-251 Tahun 2014 tentang Penetapan Peringkat dan Status Kinerja Penye-lenggaraan Pemerintahan Daerah Ta-hun 2012. Kota Kupang berada pada peringkat ke-65 dengan skor 2.1003 (Tinggi). Status kinerja “Tinggi” Kota Kupang tersebut bersama-sama 70 Kota lainnya di Indonesia. Meski-pun sama-sama berkinerja “Tinggi”, peringkat ini lebih baik dibanding Kota Dumai (2.0986), Kota Padang-sidempuan (2.0499), Kota Goronta-lo (2.0471), Kota Palu (2.0021), dan

116 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

MENDORONG INOVASI PELAYANAN PUBLIKDI PEMERINTAH DAERAH

P. Pieter Djoka

Page 122: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

Kota Jambi (2.0018) dengan rentang penilaian 0-4, dimana semakin besar semakin baik.

Sementara itu, sebanyak 21 Kota berada pada status kinerja “Sedang”, antara lain Kota Sorong, Kota Am-bon, Kota Bukittinggi, Kota Sibolga, Kota Singkawang, Kota Baubau, Kota Lhokseumawe, Kota Bengkulu, Kota Sabang, Kota Tual, Kota Tomohon, Kota Pekanbaru, Kota Tidore Kepulau-an, Kota Langsa, Kota Kotamobagu, Kota Kendari, Kota Bima, Kota Pa-langkaraya, Kota Subulussalam, dan Kota Metro. Adapun 10 kota pering-kat teratas meliputi Kota Semarang (3.2950), Kota Madiun (3.2157), Kota Surakarta (3.1805), Kota Probolinggo, Kota Tangerang, Kota Mojokerto, Kota Tegal, Kota Depok, dan Kota Salatiga.3. Inovasi Pelayanan Pu blik

Bidang Kesehatan yang Di-lakukan Kota Kupang

Praktik inovasi pelayanan publik di Kota Kupang terjadi di berbagai sek-tor, salah satunya sektor kesehatan. Inovasi yang pertama adalah apa yang disebut sebagai Brigade Kupang Sehat (BKS). BKS merupakan program tero-bosan Pemerintah Kota Kupang berupa “Layanan Jemput Bola” dimana selama ini pasien datang ke Puskesmas, se-dangkan dalam BKS petugas langsung datang dan melayani masyarakat yang

membutuhkan pelayanan medis.Program BKS melayani pasien 1

X 24 jam terbagi dalam 3 shift yaitu shift pagi, shift siang, dan shift malam. Kelengkapan pelayanan masyarakat dalam satu tim terdiri dari satu buah mobil BKS terdiri dari 1 dokter dan 2 perawat. Bagi pasien yang harus di-rujuk ke Rumah Sakit Daerah di Kota Kupang, BKS membuat surat rujukan. Pelayanan ini gratis, namun apabi-la pasien dirujuk ke RSUD dan harus rawat inap/opname, maka pasien yang bersangkutan dikenakan biaya rumah sakit.

Kedua, Dinas Kesehatan Kota Kupang bekerjasama dengan Peme-rintah Australia yang disebut Austra-lia Indonesia Partnership for Maternal and Neonatal Health/AIPMNH atau Ke-mitraan Indonsia dan Australia untuk Kesehatan Ibu dan Bayi, telah melaku-kan inovasi di antaranya Pojok Ramah Anak. Pojok Ramah Anak tersebut be-rada di Puskesmas dalam rangka men-dukung Program Kota Layak Anak di Kota Kupang. Bentuk inovasinya ada-lah dengan menyediakan karpet dan alat permainan anak yang digunakan sambil menunggu mendapat giliran pelayanan Puskesmas. Penataan pojok ruang ramah anak dilengkapi dengan poster dan pajangan yang membuat anak-anak kerasan untuk bermain di

Gambar 1. Inovasi “Brigade Kupang Sehat/BKS”

117JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

MENDORONG INOVASI PELAYANAN PUBLIKDI PEMERINTAH DAERAH

P. Pieter Djoka

Page 123: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

tempat tersebut. Setelah selesai ber-main, staf Puskesmas yang bertugas merapikan ruangan akan dengan sigap membantu.

Di tempat lain sedang dipersiapkan untuk menuju Puskesmas Ramah Remaja, yakni di Puskesmas Keca-matan Bakunase. Puskesmas Ramah Anak/Pojok Ramah Anak berlokasi di Kecamatan Pasir Panjang. Adapun di Puskesmas Alak terdapat inovasi untuk menyediakan Klinik Khusus Laki – Laki sehingga Puskesmas ini lebih responsif gender, akses lansia juga dipermudah dalam pelayanan di Puskesmas Alak dimana mereka tidak harus antri di loket tapi bisa langsung dilayani di ru-angan khusus bagi lansia.

Beberapa dukungan kebijakan dari Pemerintah Kota untuk pelaksanaan program ini, di antaranya adalah: 1) Adanya RPJMD Kota Kupang 2013 – 2017 yang berperspektif Gender & Perlindungan Anak, 2) Juknis BOK (Bantuan Operasional Kesehatan) 2013 memasukkan kegiatan Refor-masi Puskesmas sebagai paket kegia-

tan, 3) Komitmen Pemko untuk men-dorong dimulainya proses reformasi puskesmas di Sepuluh Puskesmas di Kota Kupang pada tahun 2014, dan 4) Rencana Pendekatan Pelayanan Kese-hatan Kepada Masyarakat Melalui Call Center (0380 82 7777).

Puskesmas reformasi merupakan kegiatan penyelenggaraan pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas yang berorientasi pada kualitas pelayanan dan kepuasan pengguna layanan dengan melibatkan para pihak dalam proses pengembangannya. Perbaikan pelayanan dilakukan secara kompre-hensif di internal Puskesmas maupun melalui pemberdayaan masyarakat di wilayah pelayanan Puskesmas melalui pendekatan multi pihak.

Reformasi dilakukan terhadap pola pikir, budaya kerja dan sistem manaje-men sehingga bermuara pada terwu-judnya pelayanan prima di Puskesmas guna mendukung 3 misi RPJMD Kota Kupang periode 2013-2017 yaitu: 1) Misi 2 Mewujudkan Sumber Daya Ma-nusia dan Masyarakat Kota Kupang

Gambar 2. Inovasi “Pojok Ramah Anak” Puskesmas Pasir Panjang-Kota Kupang

118 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

MENDORONG INOVASI PELAYANAN PUBLIKDI PEMERINTAH DAERAH

P. Pieter Djoka

Page 124: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

yang Berkualitas, dengan sasaran pada Peningkatan kualitas SDM yang memiliki tingkat pendidikan dan dera-jat ke sehatan yang tinggi serta berbu-daya, 2) Misi 3 Meningkatkan Mutu Pe-layanan Publik & Penegakan Supre masi Hukum, penyelenggaraan peme rintah yang baik & bersih sehingga mampu memberikan pelayanan prima kepada masyarakat disertai dengan penega-kan supremasi hukum dan hak asasi manusia, dan 3) Misi 5 Meningkatkan Kesejahteraan Sosial Masya rakat, pe-ningkatan kesejahteraan masyarakat yang memiliki kehidupan layak, ter-penuhinya kebutuhan dasar de ngan titik berat pada penanggula ngan ke-mis kinan, penanganan penyandang masalah kesejahteraan sosial, peng-arusutamaan gender, perlindungan anak serta mitigasi bencana.D. URGENSI MENDORONG INO-

VASI Gambaran pelayanan publik di Kota

Kupang menunjukkan level capaian kinerja pelayanan yang masih rela-tif rendah. Namun demikian, penulis menyadari bahwa pemerintah da-erah Kota Kupang sesungguhnya te-lah bekerja keras untuk mencapai kinerja pelayanan yang makin baik, sebagaimana telah diuraikan pada ba-gian di atas. Ke depan, Kota Kupang masih memerlukan inovasi-inovasi yang terencana dan terlembaga serta berlangsung terus-menerus menyang-kut:1. Perubahan mindset dan culture

setPerubahan mindset dan culture set menjadi prasyarat utama dalam melakukan inovasi pelayanan pu-blik. Mindset dan culture set meru-pakan salah satu area perubahan dari 8 (delapan) area perubahan reformasi birokrasi sebagaimana diatur dalam Perpres No. 81 Tahun 2010. Demikian pentingnya peruba-

han mindset dan culture sehingga menjadi concern pemerintahan Jo-kowi melalui ‘revolusi mental’-nya. Mindset sering dimaknai sebagai pola pikir seseorang, yang akan berpengaruh pada pola kerja dan pola tindakan seseorang. Sedang-kan culture set diartikan sebagai pola budaya, dalam hal ini budaya masyarakat dan aparatur pemerin-tah yang akan mempengaruhi kua-litas pelayanan publik. Perubahan pola pikir ini bukan hanya diwajib-kan bagi pejabat dan petugas pem-beri layanan, namun juga bagi ma-syarakat/penerima layanan publik. Pada tahap awal, perubahan pola pikir dan budaya kerja dapat di-paksakan kepada target groups, dengan memberikan ganjaran dan hukuman (reward and punish-ment). Namun melalui internalisasi yang terus-menerus, sifat paksaan tersebut lambat-laun tidak akan dirasakan karena berganti dengan munculnya kesadaran dari target groups itu sendiri untuk melayani pelanggannya dengan lebih baik. Senada dengan itu, institusi Pemda pun dapat melakukan perubahan mindset and cultur set atau ‘revolu-si mental’ tersebut melalui pendi-dikan dan pelatihan kepemimpinan (Diklatpim), diklat teknis, maupun diklat fungsional bagi aparatur sipil Negara (ASN) di lingkungannya. Da-lam konteks kediklatan, perubahan mindset dapat disampaikan dalam satu mata diklat tersendiri maupun dapat pula ‘disisipkan’ dalam mata diklat lain yang sesuai.

2. Optimalisasi unit PTSP (ke lem-ba gaan) dan SDMDi berbagai daerah sudah mem-bentuk unit organisasi (SKPD) yang menangani pelayanan terpadu satu pintu, termasuk di Kota Kupang. Namun harus diakui, kebijakan ini

119JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

MENDORONG INOVASI PELAYANAN PUBLIKDI PEMERINTAH DAERAH

P. Pieter Djoka

Page 125: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

banyak dihadapkan pada tantangan di antaranya: kurangnya tenaga ker ja terdidik, infrastruktur yang buruk, dan kerangka kerja kebija-kan yang berbelit-belit (World Bank, 2012 dalam Marsono, 2014). Oleh karena itu, upaya mengoptimalkan peran kelembagaan daerah dalam memberikan pelayanan publik men-jadi tugas penting bagi pemerintah daerah. Penataan organisasi perangkat daerah diharapkan akan menghasil-kan organisasi yang ramping, pada gilirannya memberikan dampak nya ta bagi kemajuan penanaman modal di Kota Kupang ke depan. Se bagai contoh, minimnya fak-tor-faktor yang mendukung ke-berhasilan pelayanan kesehatan di Kota Kupang, memerlukan dukung-an penanaman modal seperti penyediaan air bersih, sanitasi, dan sebagainya. Tidak kalah penting, penambahan dokter dan perawat pada RSUD dan Puskesmas di Kota Kupang. Kritik dari anggota DPRD terhadap kiner-ja Program BKS yang selama ini masih dinilai belum optimal dapat menjadi cambuk bagi Pemerintah Kota Kupang untuk berbenah diri dalam upaya meningatkan jum-lah dan kualitas tenaga medis dan paramedis guna mendukung semua program yang menjadi inovasi Kota Kupang.

3. Kemitraan pemerintah da erah dengan pihak lainKerjasama kemitraan Pemda de-ngan pihak lain dapat diwujudkan dengan sesama pemko, pemko de-ngan pemprov, maupun pemko de-ngan kalangan sektor swasta atau private sector. Terkait kerjasama kemitraan dengan sektor swasta, pemko dapat menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga swasta di

dalam maupun di luar negeri sesu-ai prosedur yang telah ditetapkan. Sebagai contoh, apabila akan men-jalin kerjsama kemitraan dengan pi-hak luar negeri, maka pemko harus mengurus perizinan ke Pemerintah agar kerjasama yang dilakukan ti-dak dinilai “liar” dan tidak melang-gar aturan. Beberapa pemerintah daerah telah berhasil menjalin ker-jasama dimaksud, misanya Kabu-paten Bantaeng di Sulawesi Selatan telah berhasil mendapatkan bantu-an berupa mobil ambulans multi-fungsi dari Jepang.

E. PENUTUPOrganisasi sektor bisnis telah me-

nya dari pentingnya inovasi jauh sebe-lum sektor publik menjadikan inovasi sebagai milestone-nya dalam menca-pai keberhasilan. Mereka menjadikan perubahan dan dinamika lingkungan strategis sebagai faktor “peluang or-ganisasi” bukan sebagai “hambatan organisasi” untuk bertarung pada level kompetisi yang semakin berat. Kebu-tuhan akan daya inovasi dalam or-ganisasi menciptakan apa yang dike-nal dengan “intrapreneurship”, yaitu melalui devolving power, membuat unit “pabrik ide” yang bertugas men-cari ide-ide baru, serta mencari dan merekrut pegawai-pegawai yang ino-vatif.

Pada ranah lain, organisasi sektor publik – termasuk Kota Kupang Provin-si NTT – berupaya menerapkan kreati-fitas dan inovasi dalam melaksanakan tugasnya, yang terkait erat dengan pelayanan publik. Namun demikian, inovasi kebijakan dan pelayanan yang dilakukan di sektor publik sering diha-dapkan pada persoalan pelik karena intervensi kebiasaan birokrasi yang cenderung negatif.

Berbagai tantangan pemberian layanan publik – khususnya pelayanan jasa – sering dihadapkan pada minim-

120 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

MENDORONG INOVASI PELAYANAN PUBLIKDI PEMERINTAH DAERAH

P. Pieter Djoka

Page 126: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

nya jumlah dan kualitas pelayan publik (SDM), kurangnya sarana-prasarana, dan peraturan yang kurang men-dukung. Untuk itu, perlu dilakukan perubahan pola pikir & budaya kerja, peningkatan jumlah dan kualitas SDM, penambahan sarpras, penyusunan peraturan perundangan dan memba-ngun kemitraan pemerintah daerah dengan swasta untuk mendukung im-plementasi pelayanan publik yang se-makin baik.

Ke depan perlu dilakukan berba-gai upaya menyangkut: 1) perubah-an mindset and culture set, 2) opti-malisasi unit pelayanan publik satu pintu, dan 3) membangun kemitraan pemerintah daerah dalam hal ini Kota Kupang dengan pihak swasta. Pro-gram reformasi birokrasi yang sedang digencarkan bagi instansi pemerintah pusat, cepat atau lambat pasti dan harus diikuti oleh pemerintah daerah, melalui area perubahan yang pertama dan utama yakni mengubah mental model dan budaya yang kurang men-dukung kinerja pelayanan publik yang makin berkualitas.

DAFTAR PUSTAKAAR. Mustopadidjaya. 2002. Manaje-

men Proses Kebijakan Publik, For-mulasi, Implementasi dan Evaluasi Kinerja, Jakarta: LAN

Aswin, Akbar, 2015. Studi Tentang Strategi Pelayanan Publik Pada Kan-tor UPTD Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Kalimantan Timur di Sama-rinda. E-Journal Magister Ilmu Ad-ministrasi Negara.

Albury, David. 2003. Innovation in the Publik Sector. Discussion paper. The Mall. London.

Darman, Dewi Puspita Sari. 2015. Ino-vasi Pelayanan Perizinan dalam Pen-ingkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) pada Kantor Pelayanan Ter-padu Satu Pintu di Kota Makassar.

Skripsi-Program Studi Ilmu Pemer-intahan Universitas Hasanuddin.

Djamrut, Dayang Erawati. 2015. Ino-vasi Pelayanan Publik di Kecamatan Sungai Kunjang Kota Samarinda. eJournal IlmuPemerintahan Unmul, 3 (3): 1472-1486.

Dwijowijoto, Riant Nugroho. 2004. Kebijakan Publik, Formulasi, Imple-mentasi dan Evaluasi. Jakarta: PT Gramedia.

Fitriana, Nur Diah. 2014. Inova-si Pelayanan Publik BUMN (Studi Deskriptif tentang Inovasi Boarding Pass System dalam Meningkatkan Kualitas Pelayanan Kereta Api PT KAI di Stasiun Gubeng Surabaya. J. Kebijakan dan Manajemen Publik, 2 (1): 1-10.

Halvorsen, Thomas, et al. 2005. On the Differences between Publik and Private Sector Innovations. Publin Report. Oslo.

Kumorotomo, Wahyudi. 2007. Citizen Charter (Kontrak Pelayanan): Pola Kemitraan Strategis Untuk Mewu-judkan Good Governance dalam Pelayanan Publik. Makalah. Yogya-karta: MAP UGM.

Marsono, 2014. Tantangan Inovasi Pe-layanan Publik di Indonesia. LAN: Jakarta.

Nurcholis, Hanif. 2005. Teori dan Prak-tek Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Grasindo: Jakarta.

Publik Interest Resarch and Advocacy Centre (PIRAC). 2014. Studi Efek-tifitas dan Responsivitas Pelayanan Pengaduan (complaint mecha-nism) Masyarakat Berbasis IT pada LAPOR!. www.lapor.ukp.go.id.

Robbins, Stephen P. 2007. Organiza-tional Behavior, 12th edition, Pren-tice Hall: New Jersey.

Saleh, Syafiuddin. 2004. Pelayanan Yang Buruk dan Upaya Perbaikan Pelayanan dan Moral Pegawai/Pe-

121JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

MENDORONG INOVASI PELAYANAN PUBLIKDI PEMERINTAH DAERAH

P. Pieter Djoka

Page 127: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

jabat. Bogor: Makalah Perorangan Semester Ganjil-Sekolah Pasca Sar-jana IPB.

Sitompul, Lamsari. 2010. Konsep Pe-layanan Prima dalam Pelayanan Publik.

Suwarno, Yogi. 2008. Inovasi di Sektor Publik. Sekolah Tinggi Ilmu Admin-istrasi Lembaga Administrasi Nega-ra Press: Jakarta.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daer-ah, Lembaran Negara Republik In-donesia Tahun 2014 Nomor 244.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Lembaran Negara Republik Indone-sia Tahun 2009 Nomor 112.

Peraturan Menteri Pendayagunaan

Aparatur Negara dan Reformasi Bi-rokrasi Nomor 15 Tahun 2014 ten-tang Pedoman Standar Pelayanan.

Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reforma-si Birokrasi Nomor 38 Tahun 2012 tentang Pedoman Penilaian Kinerja Unit Pelayanan Publik.

Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Bi-rokrasi Nomor 66 Tahun 2012 ten-tang Penilaian Kinerja Kementerian/Lembaga, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik.

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik.

122 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

MENDORONG INOVASI PELAYANAN PUBLIKDI PEMERINTAH DAERAH

P. Pieter Djoka

Page 128: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

Petunjuk Penulisan

JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN merupakan jurnal yang diterbitkan oleh Deputi Bidang Kajian Kebijakan-Lembaga Administrasi Negara dengan Kode ISSN 1412-3568. Untuk memperkaya isi jurnal, redaksi mengun-dang para peneliti, dosen, pakar dan praktisi pemerintah atau peng-amat untuk menyumbangkan hasil penelitian dan atau hasil pemikiran

kritis di lingkup bidang Sistem dan Hukum Administrasi Negara, Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Reformasi Administrasi serta Analis Kebijakan. Topik jurnal Analisis Kebijakan mencakup berbagai isu dan permasalahan dalam lingkup bidang tersebut, dengan subs tansi berupa perkembangan konsepsi dan praktiknya.Ketentuan umum penulisan naskah Jurnal Analisis Kebijakan adalah sebagai berikut:1. Naskah merupakan hasil penelitian, kajian maupun pemikiran kritis terhadap isu-

isu di bidang Sistem dan Hukum Administrasi Negara, Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Reformasi Administrasi serta Analis Kebijakan, yang meliputi perkembangan konsepsi dan praktiknya;

2. Naskah diketik dalam Bahasa Indonesia (untuk abstrak/intisari dan keyword/kata kunci diketik dalam dwi bahasa yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris), meng-gunakan kertas ukuran kuarto sepanjang 15-20 halaman (termasuk gambar, tabel dan daftar pustaka). Menggunakan huruf Times New Roman ukuran 12, dan spasi tunggal. Batas tepi kanan 2,5 cm, batas tepi kiri 3 cm, batas atas 3 cm dan batas bawah 3 cm.

3. Setiap tabel dan gambar diberi judul. Posisi judul tabel berada di bawah tabel, se-dangkan posisi judul gambar berada di atas gambar.

4. Format tulisan sekurang-kurangnya terdiri atas:a. Judul tulisan;b. Nama penulis, apabila penulis lebih dari satu orang, maka penulis yang ditulis

pertama adalah penulis utama;c. Institusi dan alamat tempat penulis bekerja, apabila memungkinkan disertakan

nomor telepon dan alamat email penulis;d. Abstrak/intisari ditulis dwi bahasa yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris

masing-masing sepanjang 100-200 kata disertakan keyword/kata kunci;e. Pendahuluan, sebagai pembukaan memuat aspek-aspek atau hal-hal yang mem-

buat tema tulisan tersebut menarik dan mengundang rasa keingintahuan. Penulis dapat mengemukakan fenomena-fenomena menarik terkait dengan topik tulisan dengan disertai data-data pendukung. Dan pada akhir bagian ini perlu diberikan tujuan penulisan tema yang ditulis;

f. Metode penelitian, apabila naskah tersebut merupakan hasil penelitian maka per-lu dituliskan metode penelitian yang digunakan;

g. Bagian analisis dan pembahasan atau bisa menggunakan nama lain yang relevan dengan topik tulisan berisi temuan-temuan, analisis dan pembahasan serta inter-pretasi terhadap data;

h. Penutup, bisa berisi kesimpulan dan saran atau rekomendasi berkaitan dengan tujuan penulisan yang dikemukakan pada bagian pendahuluan;

i. Daftar pustaka, disusun berdasar abjad, ditulis pada bagian akhir tulisan de ngan

123JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

Page 129: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

susunan dimulai dari nama (diawali dengan nama belakang dan dipisahkan de-ngan tanda koma), tahun penerbitan, judul tulisan, kota penerbit dan nama pe-nerbit. Untuk sumber yang diperoleh dari internet harus disertakan tanggal sum-ber tersebut diakses/diunduh. Beberapa contoh penulisan daftar pustaka adalah sebagai berikut:Doherty, Tony L., dan Terry Horne, 2002, Managing Public Services, Implement-

ing Changes: a Thoughtful Approach to The Practice of Management, New York: Routledge.

Nasution, Nur, 2004, Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management), Ja-karta: Ghalia Indonesia.

5. Catatan kaki (footnote) dapat digunakan untuk memberikan penjelasan terhadap bagian isi naskah atau sebagai acuan berkaitan dengan sumber data yang dikutip;

6. Setiap data yang berupa kutipan baik dalam bentuk kalimat langsung maupun tidak langsung, gambar, serta tabel yang diambil dari sumber lain harus dicantumkan sum-bernya, ditulis dalam daftar pustaka;

7. Naskah dapat dikirimkan langsung atau melalui email ke redaksi Jurnal Analisis Ke-bijakan dengan alamat:Redaksi Jurnal Analisis KebijakanPusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi DaerahGedung B Lantai 3Jl. Veteran No. 10 Jakarta Pusat 10110Telp. (021) 3868201-07 Ext. 114, 115Email : [email protected]

Setiap naskah yang masuk ke Redaksi setelah lolos seleksi oleh Redaksi, akan di-review oleh Mitra Bestari, dan terhadap setiap naskah yang dimuat akan diberikan cetak lepas (off-print) dan imbalan yang layak kepada penulis.***

124 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016

Page 130: Jurnal Analisis K ebijakan V olume 1 Nomor 1 T ahun 2016

INTEGRITAS PROFESIONAL INOVATIF PEDULI