jurnal-amancik

Upload: s1mb4h

Post on 30-Oct-2015

31 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 1

    MODEL PEMILIHAN KEPALA DAERAH BERDASARKAN UUD 1945 DALAM

    RANGKA OTONOMI DAERAH

    JURNAL

    Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Meraih

    Gelar Doktor Ilmu Hukum

    Oleh:

    Amancik

    NIM. 0730104201

    Prof. Dr. Sudarsono, S.H.,M.S.

    Dr.Jazim Hamidi, S.H.,M.H.

    Dr. Ibnu Tricahyo,S.H.,M.H>

    PROGRAM STUDI DOKTOR ILMU HUKUM

    FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BRAWIJAYA

    M A L A N G

    2013

  • 2

    MODEL PEMILIHAN KEPALA DAERAH BERDASARKAN UUD 1945 DALAM RANGKA OTONOMI DAERAH

    Olah:

    Amancik, S.H.,M.Hum.1 NIM. 0730104201

    Prof.Dr.Sudarsono,S.H.,M.S. Dr.Jazim Hamidi, S.H.,M.H. Dr.Ibnu Tricahyo,S.H.,M.H.

    Abstrak

    Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, tidak mengatur secara tegas tentang model pemilihan kepala daerah baik sebelum perubahan maupun sesudah perubahan, sehingga menimbulkan multi tafsir. Pembentuk undang-undang menafsirkan model pemilihan kepala daerah sesuai dengan kemauan politik saat itu. Sebelum perubahan UUD 1945 pengaturan tentang pemerintahan daerah antara lain Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, Nomor 22 Tahun 1999, dan sesudah perubahan UUD 1945 diatur dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Pengaturan pemilihan kepala daerah pada undang-undang tersebut terdapat ketidakkonsistenan antara undang-undang yang satu dengan yang lainnya mengatur model pemilihan yang berbeda-beda. Ketidakkonsistenan norma hukum tersebut berimplikasi terhadap penyelenggaraan otonomi daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan desentralisasi maka terbentuk daerah otonom, dengan sistem ini pada dasarnya penyelenggaraan pemerintahan didelegasikan kepada daerah (masyarakat hukum) yang diberi hak untuk mengurus urusan rumahtangga sendiri. Tujuannya agar masyarakat dapat berperanserta dalam penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan sosial di daerah.

    Kata kunci, implikasi, pemilihan kepala daerah, otonomi,

    I. PENDAHULUAN Undang Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional dalam penyelenggaraan

    sistem ketatanegaraan Indonesia. Berlaku dalam periodesasi UUD 1945 periode pertama (UUD Proklamasi), UUD 1945 periode kedua (Dekrit Presiden 5 Juli 1959) dan UUD 1945 perubahan (UUDNRI Tahun 1945). Dalam implementasinya UUD 1945 ditafsirkan sesuai dengan keinginan politik yang berkuasa pada rezim itu. Penyelenggaraan pemerintahan pada orde lama, dan era orde baru yang berdasarkan pada UUD 1945 lebih bersifat otoriter dan sentralistis, sehingga menimbulkan dinamika demokrasi yang tidak stabil mengakibatkan ketidakadilan struktural maupun kemasyarakatan.

    Dikemukakan oleh Abdul Mukthi Fajar2 pada kata pengantar buku Bambang Widjojanto, saldi Isra,Marwan Mas,(editor) bahwa :

    1 Mahasiswa Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

  • 3

    Pengalaman kesejarahan bangsa Indonesia selama lebih setengah abad sebagai bangsa dan negara yang merdeka menunjukkan betapa cumpang campingnya aturan main sistem ketatanegaraan kita yang berlaku atau pernah berlaku, yaitu UUD 1945 periode I (1945-1949),Konstitusi RIS (1949-1950),UUDS (1950-1959),UUD 1945 periode II sejak dekrit Presiden (1959-1999),dan UUD 1945 setelah diamandemen pertama, kedua ketiga (2002) yang selalu berujung pada krisis ketatanegaraan tidak mampu menjamin a sustainable democracy.

    Momentum reformasi ditandai keruntuhan orde baru, dan terjadi perubahan terhadap UUD 1945, yang salah satunya adalah ketentuan tentang pemerintahan daerah. Perubahan ketentuan Pasal 18 UUD 1945 menjadi 18, 18A dan 18B merupakan suatu dimensi baru bagi pengaturan pemerintahan daerah.

    Ketentuan Pasal 18 ayat (5) UUDNRI Tahun 1945 bahwa pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Terjadi pergeseran paradigma pada pemerintahan daerah dari sentralisasi ke desentralisasi, daerah lebih leluasa mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Implikasi dari otonomi seluas-luasnya, termasuk dalam hal menentukan kepala daerah, jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 4 (1)3 UUD 1945 Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan, artinya tidak ada lembaga negara selain Presiden yang ditugasi menyelenggarakan pemerintahan. Presiden memegang kendali pemerintahan dari pusat sampai terendah dan pemerintahan tidak terputus tetapi hierarkhis. Dalam penyelenggaraan management pemerintahan UUD 1945 menentukan asas desentralisasi sehingga melahirkan daerah otonom. Dalam management pemerintahan tersebut apakah presiden memiliki andil dalam menentukan kepala daerah atau tidak sama sekali kecuali fungsi administrasi saja4. Dalam implementasinya tergambar dinamika demokrasi tidak konsisten dalam pengaturan beberapa Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Sebelum amamdemen pemilihan KDH menjadi bagian dari agenda kegiatan pemerintah, dan akibat dominasi pemerintah tersebut, maka timbul ketidakpuasan dan ketidakadilan, timbul keinginan untuk melakukan perubahan melalui perubahan UUD.

    Setelah dilakukan perubahan UUD 1945 pada Pasal 18 ayat (4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. Pemahaman demokratis tersebut menimbulkan multi tafsir, harus dikaji secara mendalam dan komprehensif tentang pengaturan pemilihan kepala daerah sehingga penerapannya dapat memberikan manfaat bagi demokratisasi daerah dan kesejahteraan masyarakat daerah. Menurut Ibnu Tricahyo berdasarkan tafsir sistematis dan historis maka demokratis adalah pemilihan langsung.5 Selain itu dapat dilihat dari tafsir sosiologis bagaimana kemauan dan fakta di masyarakat terhadap persoalan tersebut, sehingga ini dapat dijadikan sebagai sumber hukum dalam membentuk peraturan perundang-undangan khususnya terkait dengan masalah pemilihan kepala daerah.

    Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Dengan demikian terjadi perubahan paradigma dari demokrasi representatif bergeser ke demokrasi partisivatif. Demokrasi secara umum dimaknai dari, oleh dan untuk rakyat, dengan demikian dalam pengambilan keputusan seharusnya

    2 Bambang Widjojanto, saldi Isra,Marwan Mas,(editor), Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi Independen,(Jakarta, Pustaka

    Sinar harapan, 2002), hlm. xxxii 3 Pasal 4 (1) UUD 1945 bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang- Undang Dasar. 4 Ibnu Tricahyo,Menata Managemen Pemilihan Kepala Daerah, Makalah, Pada lokakarya MPR 5 Ibid,

  • 4

    diberikan akses kepada rakyat untuk ikut menentukan. Dengan terwujudnya hubungan yang baik antara kepala daerah dengan rakyat, maka kemungkinan pembangunan akan dapat berjalan dengan baik, namun faktanya tidak demikian, hal ini sangat menghawatirkan terhadap penyelenggaraan otonomi daerah. Maka dapat dirumuskan permasalah sebagai berikut; bagaimana implikasi model pemilihan kepala daerah terhadap otonomi daerah?.

    II. METODE PENELITIAN

    Penelitian ini merupakan penelitian hukum (yuridis normatif) penelitian ini mengkaji bahan hukum yang terkait dengan permasalahan penelitian, yaitu norma hukum dan asas-asas hukum yang berlaku, norma hukum yang pernah berlaku serta norma hukum yang dapat berlaku di masa depan. Untuk menjawab masalah digunakan pendekatan peraturan perundang-undangan, historis, perbandingan hukum, koseptual dan penafsiran hukum dengan menggunakan kerangka teori sebagai pisau analisis adapun teori yang digunakan adalah teori demokrasi, teori desentralisasi (otonomi) dan teori Pemilu.

    Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer Undang-Undang Dasar 1945,Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemerintahan daerah dan pemilihan kepala daerah. Bahan hukum sekunder berupa literatur buku-buku, hasil penelitian, disertasi, artikel. Bahan hukum tersier kamus Bahasa Indonesia dan ensiklopedia dan bahan non hukum yang diperoleh melalui wawancara secara mendalam kepada informan kunci. Bahan non hukum berupa data empiris sebagai data pendukug bahan hukum dalam melakukan analisis terhadap permasalan penelitian yang berjudul model pemilihan kepala daerah berdasarkan UUD 1945 dalam rangka otonomi daerah. Bahan hukum tersebut dilakukan analisis dengan yuridis kualitatif, yang bertitik tolak pada penalaran yuridis yakni berpretensi mewujudkan positivitas, mewujudkan koherensi dan mewujudkan keadilan.

    III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

    1. Pemilihan Kepala Daerah Dalam Konteks Hubungan Pusat Dan Daerah dalam

    Kerangkan NKRI. Pasal 1 (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatur

    bahwa; Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik. Menurut Moh. Yamin6 Jadi bentuk Negara Indonesia yang merdeka-berdaulat itu ialah suatu Republik Indonesia yang tersusun atas faham unitarisme. Unitarisme ini menggambarkan kesatuan yang dibangun melalui komitmen dari elemen-elemen bangsa. Lebih lanjut dikemukakan Yamin7:

    1. Negara Indonesia mempunyai satu kedaulatan yang dijunjung oleh kepala negara, dan oleh daerah dan rakyat Indonesia.

    2. Dalam negara rakyat Indonesia maka kepala negara, pusat pemerintahan, pemerintah daerah dan pemerintahan persekutuan desa (negeri, marga, dll.) dipilih secara timur dalam permusyawaratan yang disusun secara rakyat' negara rakyat Indonesia ialah pemerintahan syuriyah, pemerintahan yang didasarkan atas pemusyawaratan antara orang berilmu dan berakal sehat, yang dipilih atas faham perwakilan.(garis bawah oleh penulis)

    6 Sekretariat Negara, Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI, (Jakarta: Sekneg), hlm. 23. 7 Ibid, hlm. 17.

  • 5

    3. Permusyawaratan, pemilihan dan pembaruan pikiran menjadi dasar pengangkatan dan segala pemutusan urusan negara.

    4. Negeri, desa dan segala persekutuan hukum adat yang dibarui dengan jalan rasionalisme dan pembaharuan zaman, dijadikan kaki susunan negara sebagai bagian bawah.

    5. Pemerintah pusat dibentuk di sekeliling kepala negara, terbagi atas : a. Wakil kepala negara; b. Satu kementerian sekeliling seorang pemimpin kementerian; c. Pusat parlemen balai perwakilan, yang terbagi atas majelis dan balai perwakilan

    rakyat. 6. Antara bagian atas dan bagian bawah dibentuk bagian tengah sebagai pemerintah

    daerah untuk menjalankan pemerintah urusan dalam, pangreh praja. Sekarang memulangkan kekuasaan kepada negara Indonesia dan pemerintah urusan dalam bagi seluruh Indonesia disusun kembali.

    7. Negara rakyat Indonesia menjalankan pembagian pekerjaan negara atas jalan desentralisasi atau dekonsentrasi yang tidak mengenal federalisme atau perpecahan negara.

    Konstitusi tersebut menunjukkan bahwa negara Indonesia bukan negara federal, oleh karenanya pada Pasal 4(1) UUDNRI Tahun 1945 bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut undang-undang dasar. Hal ini memberikan pemahaman bahwa secara konstitusional Presiden yang ditugasi menyelenggarakan pemerintahan, artinya Presiden memegang kendali pemerintahan dari pusat sampai pada level pemerintahan terendah secara hierarkis. Dalam kaitan dengan pemerintahan daerah Pasal 18 UUDNRI Tahun 1945 mengatur adanya pembagian daerah dan pemerintahan dilaksanakan dengan asas otonomi daerah dan tugas pembantuan. Dengan demikian lahir daerah otonom yang berhak mengatur dan mengurus urusan pemerintahan daerah/urusan rumah tangga sendiri.

    Mencermati ketentuan Pasal 18 UUDNRI Tahun1945 tersebut tidak mengatur bagaimana Presiden sebagai pemegang kekuasaan Pemerintahan dalam NKRI, misal dalam menentukan Kepala Daerah. Karena UUD tidak mengaturnya, oleh karenanya Presiden tidak dapat ikut andil menentukan kepala daerah kecuali fungsi administratif saja. Seharusnya dalam kontek negara kesatuan maka presiden pemegang kekuasaan pemerintahan menurut undang-undang dasar, tetapi Pasal 18 tersebut tidak mengaturnya sehingga terputus hubungan wewenang pemerintahan, khususnya dalam hal menentukan kepala daerah. Dengan demikian hubungan antara pemerintah pusat dan daerah menjadi tidak jelas dalam hal menentukan kepala daerah, hanya sebatas fungsi administratif saja. Terkait dengan persoalan tersebut berbeda dengan UUD 1945 sebelum perubahan secara konstitusional tegas diatur dalam Penjelasan UUD 1945; bahwa dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggung jawab adalah di tangan Presiden (concentration of power and responssibility upon the President). 2. Implikasi Model Pemilihan Kepala Daerah Sebelum Perubahan UUD 1945 terhadap

    otonomi daerah. a. Implikasi model pemilihan kepala daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 5

    Tahun 1974. Pemilu Tahun 1971 menghasilkan anggota DPR dan MPR, lembaga ini akan

    membentuk babak baru dalam pengaturan pemerintahan daerah. Pada tahun 1973 MPR mengeluarkan Ketetapan No. II /MPR/1973 tentang GBHN, yang isinya terkait kebijaksanaan

  • 6

    yang akan ditempuh dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah bahwa: dalam rangka melancarkan pelaksanaan pembangunan yang tersebar di seluruh pelosok negara, dan dalam membina kesetabilan politik, serta kesatuan bangsa maka hubungan yang serasi antara pusat dan daerah atas dasar keutuhan negara kesatuan republik Indonesia, diarahkan pada pelaksanaan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab, yang dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah, dan dilaksanakan bersama-sama dengan dekonsentrasi. Sebagai penjabaran ketetapan MPR ini maka dibentuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah.

    Pasal 16 (1) Kepala Daerah Tingkat II dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/Pimpinan faksi-fraksi dengan Gubernur kepala daerah. Ayat (2) hasil pemilihan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur kepala daerah sedikit-dikitnya 2 (dua) orang untuk diangkat salah seorang diantaranya. Dalam pengangkatan tersebut, Presiden atau Menteri Dalam Negeri tidak terikat pada jumlah suara yang diperoleh dalam pemilihan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

    Desentralisasi memberikan kewenangan politik kepada daerah, dengan demikian seharusnya kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam memilih calon Kepala daerah merupakan hak yang melekat pada lembaga lokal tersebut, sehingga apabila mekanisme penjaringan dilakukan dengan mekanisme demokratis. Maka Presiden harus taat asas, dan harus menghargai hasil pemilihan yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rayat Daerah.

    Undang-Undang Nomor 5 Tahun1974, secara yuridis normatif cukup demokratis, tetapi implementasinya tidak demokratis dominasi pemerintah pusat sangat donominan. Hal ini dapat terlihat dengan dicanangkan otonomi nyata dan bertanggung jawab, tetapi dalam implementasinya desentralisasi menjadi dekonsentrasi. Dengan demikian kebijakan desentralisasi pada masa Orde baru dalam implementasinya ke bandul sentralisasi.

    Pemilihan kepala daerah tidak mencerminkan prinsip demokratis diusulkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kadang hanya formalitas saja intervensi pusat sangat kuat, hal ini terlihat dari kebijakan perwira angkatan darat dapat menjadi kepala daerah. Kebijakan ini berimplikasi pada matinya demokratisasi di daerah, masyarakat sipil daerah, tokoh masyarakat tidak memeiliki peluang ketika dihadapkan dengan calon dari ABRI. Maka sering dikenal calon jadi dan calon pendamping. Karena secara normatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah harus mengusulkan dua orang untuk diangkat salah satunya, otoriternya kekuasaan pemerintah pusat dengan tidak memperhatikan jumlah perolehan suara, ini mematikan prinsip demokratis.

    Implikasi konseptual model pemilihan kepala daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 terhadap otonomi daerah yakni: 1. Hubungan pusat dan daerah merupakan hubungan hierarkis, desentralisasi lemah,

    dekonsentrasi kuat. Sulit membedakan apakah desentralisasi atau dekonsentrasi, dalam penyelenggaraan otonomi daerah, karena begitu dominannya pemerintah pusat, semuanya dekonsentrasi, apa yang ada di daerah merupakan kehendak pusat. Tidak jarang pembangunan atau proyek di daerah, kepala daerah setempat tidak tahu, karena pusat yang merencanakan, melaksanakan program tersebut. Hal tersebut tidak jarang proyek yang dibangun tersebut menjadi mubazir, karena tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat daerah setempat.

  • 7

    2. Sangat terbatasnya kewenangan daerah, antara lain dalam hal mengatur keuangan ini merupakan wujud dari sentralisasi, sangat tergantung dari pengaturan pusat, dan inisiatif daerah tidak berkembang. Daerah otonom, mempunyai kesulitan dalam perencanaan, penetapan kebijakan berkenaan dengan urusan rumahtangga daerah. Dalam sistem sentralistis tidak jelas batasan pembagian urusan. Dalam implementasinya kepentingan yang lebih dominan untuk menentukan apakah itu urusan pusat, propinsi, atau kabupaten. Padahal Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 mengatur bahwa titik berat otonomi ada pada daerah tingkat II, dan ketentuan tentang itu diatur dengan peraturan pemerintah. Karena tolok ukur kepentingan maka sampai undang-undang ini hampir dicabut baru dikeluarkan peraturan pemerintah tetang penyelenggaraan titik berat otonomi pada daerah tingkat II.

    3. Peranserta masyarakat tidak aktif, demokratisasi pada tingkat daerah (lokal) tersumbat, padahal desentralisasi secara mendasar termasuk di dalamnya desentralisasi politik, dengan demikian penyelenggaraan pemerintahan daerah dilandasi prinsip demokrasi.

    4. Pengawasan sangat ketat, dilakukan dalam bentuk pengawasan preventif, represif dan pengawasan umum.

    5. Potensi sumber daya alam dikelola oleh pusat, sehingga daerah menjadi miskin struktural.

    6. Otonomi daerah bukan merupakan hak tetapi lebih pada kewajiban,sebagai implementasi kebijakan otonomi nyata dan bertanggung jawab.

    7. Kedudukan Kepala Daerah menjadi sentral dibanding legislatif, karena menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 kepala daerah sebagai administrator pemerintahan, administrator pembangunan dan administrator kemasyarakatan. Kekuasaan yang amat besar tersebut cenderung melakukan abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan), dengan demikian mekanisme demokratis tidak berjalan dan cenderung diabaikan. Terlihat dalam hal pemberian keterangan pertanggungjawaban kepala daerah, pada era ini banyak mendapat sorotan, karena kepala daerah cenderung hanya menyampaikan pada pemerintah pusat atau pemerintah atasannya, dibanding ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Kalaupun disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, ada anggapan bahwa itu hanya sebagai formalitas saja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak dapat membantah atau memberi komentar terhadap Keterangan pertanggungjawaban tersebut. Hal ini karena Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak mempunyai kedaulatan untuk mementukan jabatan kepala daerah, Presiden atau Menteri Dalam Negeri tidak melihat prolehan suara pemilihan hasil pemilihan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

    8. Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sangat lemah, kecenderungan menjadi corong pemerintah dan sebagai pengesah (stempel) segala keputusan yang diambail pemerintah. Akibatnya aspirasi dan kreativitas masyarakat menjadi tidak berkembang, salurannya tersumbat, dinamika demokratisasi di daerah menjadi lumpuh.

    9. Tokoh daerah sulit untuk menjadi pemimpin daerah, ketika tidak masuk pada lingkaran kekuasaan saat itu yang di galang ABRI dan Golkar. Rezim ini sangat kuat, sehingga demokrasi dan kedaulatan rakyat mati, dan hanya ada pada tataran nilai. Tidak jarang pada era ini, rakyat / tokoh masyarakat yang menyuarakan kepentingan rakyat, tetapi bertentangan dengan kebijakan pemerintah, dianggap PKI dan bisa hilang dari peredaran muka bumi ini.

    b. Implikasi model pemilihan kepala daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999.

  • 8

    Mengutip istilah yang diucapkan oleh Presiden Soeharto dalam pidatonya yang memberikan semangat terhadap carut marutnya masalah ketatanegaraan dan masalah pemerintahan beliau mengatakan badai pasti berlalu. Jika dihubungkan dengan badai keotoriteran, belenggu demokratisasi, pasti berlalu ketika memasuki babak baru dinamika demokratisasi mulai menggeliat untuk menuju pemerintahan yang demokratis.

    Bergantinya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah diganti dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, merupakan babak baru pemerintahan daerah yang demokratis dan desentralisasi seutuhnya diserahkan oleh pemerintah pusat, penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan otonomi luas. Dengan demikian desentralisasi ini menyerahkan urusan pemerintahan kepada daerah, maka daerah dalam menjalankan pemerintahan didasarkan pada UUD 1945.

    Kedaulatan rakyat daerah diakui secara penuh oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tersebut. Termasuk dalam hal ini pemilihan kepala daerah diserahkan kepada masyarakat daerah. Pasal 34 (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 mengatur bahwa Pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melalui pemilihan secara bersamaan. Ayat (2) calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melalui tahap pencalonan dan pemilihan.

    Konsekuensi dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, maka berdasarkan Pasal 31 (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tersebut bahwa, dalam menjalankan kewenangan sebagai kepala daerah Gubernur bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi. Tata cara pertanggungjawaban ditetapkan dengan peraturan tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Pemerintah. Selanjutnya Pasal 32 diatur bahwa dalam menjalankan kewenangan Bupati/Walikota sebagai Kepala Daerah bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, tata cara pertanggung jawaban ditetapkan dengan peraturan tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota.

    Jika dicermati ketentuan tersebut cukup demokratis, tetapi ada beberapa kelemahan, sehingga menyebabkan dalam implementasinya menimbulkan banyak masalah. Berdasarkan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang dikoptasi secara mutlak oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, masyarakat menilai model pemilihan kepala daerah melalui sistem Perwakilan tidak demokratis, yang mengakibatkan banyak penyimpangan dan menimbulkan ketidakadilan.

    Implikasi konseptual model pemilihan kepala daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 terhadap otonomi daerah diantaranya: 1. Hubungan pusat dan daerah, tidak efektif, berupa fungsi koordinasi, desentralisasi kuat

    dengan otonomi luas. Presiden tidak dapat menjangkau dan berperanserta dalam menentukan arah kebijakan kepala daerah.

    2. Pengawasan sangat longgar, Pengawasan terhadap peraturan daerah dan Keputusan Kepala daerah dilakukan melalui bentuk pengawasan represif, yakni disampaikan kepada Pemerintah selambat-lambatnya 15 hari sejak ditetapkan. Jika daerah keberatan dengan putusan pembatalan perda tersebut, maka dapat mengajukan ke Mahkamah Agung, sebagaimana diatur dalam pasal 113 dam 114 Undang-Undang Nomo 22 Tahun 1999. Proses legislasi dan regulasi di daerah dalam mengatur dan menyelenggarakan urusan rumah tangga daerah tidak lagi harus disahkan oleh pemerintah pusat. Dalam rangka prinsip efektif dan efisien cukup baik dan demokratis, tetapi tidak diimbangi dengan kesiapan dan profesionalitas anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah saat itu,

  • 9

    sehingga bukan hanya ratusan bahkan ribuan Perda seluruh Indonesia yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Ini menunjukan demokratisasi itu tidak semata-mata dilihat dari sistem dan prosedur saja tetapi harus juga melihat kesiapan SDM yang melaksanakan demokrasi itu sendiri juga harus siap dan mempunyai kemampuan kecerdasan, kebijakan yang cukup dimana kelebihan dan kekurangan saling berimbang inilah keadilan seperti diungkapkan Aristoteles.

    3. Peransarta masyarakat rendah, walaupun adanya pengakuan kedaulatan rakyat daerah untuk menentukan pemimpin secara demokratis. Rekrumen pejabat publik daerah sepenuhnya diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan tidak ada lagi campur tangan pusat. Pencalonan dan perekrutan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sepenuhnya domain Dewan Perwakilan Rakyat Daerah masyarakat tidak dilibatkan. Selain itu prosedur rekrutmen tidak dilakukan secara terbuka/transparan, maka kecenderungan terjadi penyimpangan dan hanya sebatas formalitas dengan melakukan negosiasi melalui intervensi pengurus parpol baik pada level daerah maupun level pusat, dan maraknya terjadinya money politik dalam pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah.

    4. Kewenangan sangat tinggi, dengan otonomi luas maka daerah memiliki kebebasan kewenangan baik dalam perencanaan, keuangan dan pembangunan untuk memunculkan inisiatif daerah. Pelaksanaan otonomi daerah tidak mengenal hierarki daerah provinsi, dan daerah kabupaten/kota. Penekanan otonomi daerah itu pada kabupaten/kota, karena bersentuhan dengan masyarakat. Daerah itu merupakan penjelmaan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah, mempunyai pemerintahan sendiri. Sudah tepat jika otonomi daerah itu pada kabupaten kota. Hal tersebut akan mempengaruhi terpenuhi kepentingan masyarakat, peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam mengurus kepentingan umum dan pelayanan publik, pemanfaatan dan pengelolaan potensi SDA daerah untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan dan berkeadilan. Dalam implementasinya kecenderungan inisiatif daerah yang muncul bertentangan dengan kebijakan Pusat.

    5. Terjadi pergeseran kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Lembaga ini menjadi lembaga yang sangat dominan terhadap kepala daerah. Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan disahkan oleh Presiden. Hal ini menunjukkan legitimasi kepala daerah sangat tergantung pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah karena yang menetapkan kepala daerah adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

    6. Terdapat ketidaksinkronaman sistem pemerintahan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dimana pemerintah pusat menganut sistem presidensiil sementara pemerintahan di daerah menganut sistem parlementer. Secara normatif terlihat dari sistem pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan mengusulkan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah.

    7. Hubungan Kepala Daerah Dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, hubungan vertikal, mengakibatkan Kepala Daerah sangat ketergantungan Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kecenderungan kepala daerah tidak dapat menolak. Ketika permintaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak diikuti risikonya siap untuk mendapat serangan senjata pamungkasnya pada saat laporan pertanggungjawaban kepala daerah pasti ditolak/tidak diterima, ini artinya kepala daerah sudah siap untuk diusulkan berhenti.

    3. Implikasi Model Pemilihan Kepala Daerah sesudah Perubahan UUD 1945 terhadap otonomi Daerah.

  • 10

    Dinamika demokratisasi berjalan seiring dengan perjalanan waktu, yang dipengaruhi dan ditentukan oleh keputusan politik pada saat tertentu. Perjalanan demokrasi dalam sistem pemerintahan daerah menggambarkan dinamika yang begitu dinamis, sehingga demokrasi daerah selalu mengalami perubahan dan selalu mencari bentuk yang ideal. Periodesasi keberlakuan UUD 1945 sebagai landasan konstitusional penyelenggaraan pemerintahan daerah memberikan warna atau bentuk demokrasi yang berbeda, dan mengakibatkan ketidak puasan dan ketidak adilan. Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya keputusan politik untuk melakukan perubahan terhadap UUD 1945.

    Setelah dilakukan perubahan UUD, maka tentang pemerintahan daerah diatur dalam Pasal 18,18A,18B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI Tahun 1945). Pada Pasal 18 ayat (4) mengatur bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Seperti diuraikan di muka demokratis, ditafsir oleh pembentuk undang-undang adalah pemilihan secara langsung, oleh karenanya diimplementasikan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai penggati Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

    Pengaturan Pemerintahan daerah sebagai Penjabaran Pasal 18 ayat (4) UUDNRI Tahun 1945, dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan telah mengalami beberapa kali revisi, terakhir Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan pelaksananya, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 dan juga telah mengalami beberapa kali perubahan yakni Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2005 tentang Perubahan Atas PP.Nomor 6 Tahun 2005, PP.Nomor 25 Tahun 2007 tentang Perubahan atas PP.Nomor 6 Tahun 2005, PP. Nomor 49 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas PP.Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Ketentuan ini mengatur bahwa Kepala daerah dan Wakil Kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat. Pengaturan pemilihan Kepala daerah secara langsung secara konseptual berimplikasi terhadap : a. Hubungan Presiden dengan Kepala Daerah.

    Pemahaman Negara Kesatuan Republik Indonesia harus diartikan secara utuh, tidak hanya melihat secara parsial, oleh karenanya dalam kaitan dengan otonomi daerah juga tetap harus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada negara kesatuan kekuasaan pada hakekatnya satu yaitu pada pusat dan hierarki sampai pada pemerintahan terrendah, tentu pusat dalam hal ini dipimpin oleh Presiden sebagai penangung jawab pemerintahan secara utuh. Karena tidak mungkin dapat melaksanakannya dengan baik maka secara kostitusional dapat dilihat dalam UUD 1945 Pasal 4 ayat (2) dalam melakukan kewajibannya dibantu oleh seorang wakil Presiden. Selanjutnya secara fungsional maka Presiden juga tidak mampu menjalankannya sendiri, maka pada Pasal 17 UUD 19458 dibantu oleh menteri.

    Mencermati ketentuan UUDNRI tahun 1945 secara konsepsional Negara Kesatuan yang diatur dalam UUDNRI tersebut ada mata rantai yang terputus, seharusnya ketika berbicara kesatuan maka tidak ada mata rantai yang terputus. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan pasal tersebut di atas presiden dibantu oleh wakil presiden, dalam menjalankan fungsi bidang-bidang urusan pemerintahan dibantu oleh Menetri tetapi dalam hal

    8 (1) Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. (2) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.(3)Setiap

    menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.(4) Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur

    dalam undang-undang.

  • 11

    penyelenggaraan pemerintahan di daerah tidak dinyatakan dibantu oleh kepala daerah. Artinya menurut penulis pada republik ini terdapat dua lapisan pemerintahan yang tidak ada keterkaitan karena sudah dibagi habis kepada daerah. oleh sebab itu akan sulit bagi Presiden untuk melakukan intervensi ketika daerah melakukan kebijakan yang bertentangan dengan prinsip kebijakan nasional.

    Mencermati ketentuan Pasal 18 tersebut, bahwa negara ini sudah dibagi habis atas daerah propinsi, kabupaten dan kota serta mempunyai pemerintahan daerah, Daerah tersebut menjalankan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Sehingga menurut penulis pola yang dibangun berdasarkan ketentuan UUDNRI Tahun 1945 tersebut hubungan pusat dan daerah adalah pola koordinasi. Padahal dalam konsep negara kesatuan disamping pola koordinasi, pola fungsional tetap ada, karena kewenangan secara makro pemerintahan negara RI menjadi tanggungjawab pemerintah Pusat. Oleh sebab itu harusnya dicantumkan prasa tentang kaitan Presiden dengan kepala daerah dalam ketentuan konstitusi (UUD) bukan pada tingkat UU.

    Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengatur urusan pusat sangat limitatif sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (3),9 sementara daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Tergambar bahwa kewenangan pusat hanya terbatas yang diatur dalam undang-undang artinya di luar itu merupakan kewenangan daerah propinsi10 maupun kabupaten/kota11 yang dibagi dalam kewenangan wajib dan bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.

    Hubungan Presiden dengan Kepala Daerah dalam kontek pemilihan kepala daerah secara langsung seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik, begitu juga Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan UUD 1945 dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Dilihat dari segi legitimasi demokrasi keduanya mendapat legitimasi rakyat. Hal ini dapat memberikan sutu kekuatan sekaligus merupakan suatu kelemahan jika tidak secara tegas dicantumkan dalam konstitusi bahwa kepala daerah pada dasarnya sebagai pembantu presiden di daerah dalam konsep negara kesatuan. Karena jika Presiden dan wakil presiden beserta kepala daerah dan wakil kepala daerah itu dicalonkan oleh partai politik yang sama, maka sinergisitas politik dapat terjamin, tetapi

    9 Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a) politik luar negeri;b)

    pertahanan; c) keamanan; d) yustisi; e) moneter dan fiskal nasional; dan f) agama. 10 Pasal 13 (1) Kewenangan Pemerintahan Propinsi 1.perencanaan dan pengendalian pembangunan;2 perencanaan, pemanfaatan,

    dan pengawasan tata ruang; 3.penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;4. penyediaan sarana dan prasarana umum; 5. penanganan bidang kesehatan; 6. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; 7. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota; 8. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;9. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota;10. pengendalian lingkungan hidup; 11. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota; 12. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; 13. pelayanan administrasi umum pemerintahan; 14. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota; 15. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota; 16. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan

    11 Pasal 14 (1) Kewenangan pemerintahan Kabupaten/kota 1) perencanaan dan pengendalian pembangunan; 2) perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; 3) penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; 4) penyediaan sarana dan prasarana umum; 5) penanganan bidang kesehatan; 6) penyelenggaraan pendidikan; 7) penanggulangan masalah sosial; 8) pelayanan bidang ketenagakerjaan; 9) fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; 10) pengendalian lingkungan hidup; 11) pelayanan pertanahan; 12) pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; 13) pelayanan administrasi umum pemerintahan; 14) pelayanan administrasi penanaman modal; 15) penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan 16) urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

  • 12

    ketika kepala daerah dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang berbeda maka ini akan sulit untuk mensinergikan kebijakan politik dari partai yang berbeda.

    Selanjutnya hubungan antar kepala daerah dengan kepala daerah yang lain dalam satu provinsi, misalnya gubernur dengan bupati/walikota atau antar bupati/walikota tidak mencerminkan suatu bagian yang terintegrasi dalam satu propinsi. Masing-masing karena berpedoman pada pembagian daerah otonom yang diatur dalam UUD 1945 dan yang dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Masing-masing mempunyai domain masing-masing, dan berpegang pada otonomi daerah masing-masing. Koordinasi tidak jalan dengan baik karena ego sektoral yang disebabkan pemahaman demokrasi yang sektoral pula. Bahwa antara Gubernur dan Bupati/Walikota mempeunyai kedudukan yang sama karena sama-sama dipilih oleh rakyat, dengan demikian mempunyai legitimasi yang sama. Sementara seperti telah dikemukakan di muka bahwa payung konstitusinya tidak mengatur secara tegas titik taut Presiden, Gubernur dan Bupati/Walikota dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

    Model pemilihan kepala daerah secara langsung berimplikasi bahwa Presiden tidak dapat ikut berperan dalam menentukan kepala daerah, oleh karena itu Presiden tidak dapat menindak jika kepala daerah melakukan kebijakan bertentangan dengan kebijakan pusat. Karena kondisi tersebut, maka dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 tentang pemberian kewenangan pada Gubernur untuk mengendalikan daerah, dengan demikian bahwa hubungan pusat dengan daerah tidak efektif.

    Pengawasan terhadap peraturan daerah dilakukan secara represif seperti diatur dalam Pasal 145, Perda yang telah ditetapkan jika bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan dapat dibatalkan oleh Pemerintah. Sedangkan dalam hal pengawasan preventif dilakukan terhadap rancangan peraturan daerah APBD seperti diatur dalam Pasal 185 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 bahwa rancangan peraturan daerah provinsi tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Gubernur paling lambat 3 (tiga) hari disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi. Begitu juga terhadap Raperda APBD kabupaten/ kota Pasal 186 sebelum disahkan harus disampaikan kepada Gubernur untuk dievaluasi. Hal ini terlihat bahwa yang seharusnya dievaluasi adalah peraturan daerah yang terkait dengan APBD, tetapi kenyataannya semua perda dievaluasi. Ini menunjukan ada upaya memperkuat pengawasan sehingga pergeseran dari represif ke preventif. b. Hubungan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

    Berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 terjadi perubahan sistem pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, oleh karena itu dalam konteks pemilihan umum kepala daerah, pola kepemimpinan satu paket kalau dulu disebut dwi tunggal artinya memang harus harmonis karena keduanya harus solid. Untuk membentuk hubungan harmonis itu harus dimulai dari proses pencalonan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. misalnya keduanya sama-sama memperkuat basis dukungan mempunyai pengaruh pada kantong-kantong suara untuk merebut perolehan suara semaksimal mungkin dalam pemilihan. Fakta menunjukkan dalam melaksanakan tugas terdapat ketidak jelasan kewenangan apa yang dilakukan oleh wakil kepala daerah. Hal ini menjadi pemicu ketidak harmonisan antara keduanya. Sebagaimana dikemukakan Dede Yusuf12 dalam

    12 Dalam sebuah diskusi rutin di Badan Litbang Depdagri, Wakil Guberaur Jawa Barat, Dede Yusuf, mengemukakan, kewenangan Wakil Kepala Daerah sebagaimana terrnaktub dalam Pasal 26 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dianggap sangat terbatas dan cenderung sumir. Akibatnya, memicu hubungan yang tidak harmonis antara kepala daerah dan wakilnya. Padahal, pemilihan kepala daerah dan wakilnya dilakukan secara satu paket. (http://www.indonesia-monitor.com/main/index.php

  • 13

    diskusi badan litbang Depdagri. ketidakjelasan kewenangan yang dimiliki oleh wakil kepala daerah menjadi salah satu faktor penting terjadinya ketidakharmonisan antara Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

    Menurut Warsito berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan menyebutkan bahwa konflik antara kepala daerah dan wakilnya yang tersebar di 26 daerah Jawa Tengah sebagai sampel. Adapun konflik yang banyak terjadi karena terdapat perbedaan ideologi dalam perencanaan pembangunan. Tetapi konflik itu dibungkus dengan harminis semu, karena budaya jawa yang ewu pakewu.13

    Direktorat Jenderal Otonomi Daerah (Otda) Depdagri Made Suwandi mengatakan, model pencalonan paket calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang diusung partai politik atau sejumlah partai politik dinilainya sebagai sumber konflik antara kepala daerah dengan wakilnya. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang berasal dari partai yang berbeda seringkali membuat keduanya memiliki agenda dan kepentingan yang berbeda. konflik yang terjadi tersebut berpengaruh terhadap aparatur daerah, sehingga membuat birokrasi dan aparatur daerah terkotak-kotak14. c. Tatanan Demokratisasi di Daerah

    Pemahaman Demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, yang sudah dikenal sejak jaman Yunani, hingga sekarang ini selalu mengalami perubahan sesuai dengan kondisi yang diinginkan oleh rakyat itu sendiri. Tentu rakyat yang dapat memberikan warna atau corak terhadap demokrasi itu adalah rakyat yang menduduki tempat secara formal yang dapat mempengaruhi terbentuknya hukum tentang demokrasi itu sendiri.

    Demokrasi lokal yang dicanangkan melalui pimilukada secara langsung, merupakan implementasi desentralisasi politik yang memberikan suatu kemandirian kepada daerah untuk melakukan pengkadera elit-elit politik yang pada akhirnya dapat membangun daerah. Pemilihan kepala daerah langsung, rakyat ikut terlibat secara langsung dalam memilih pemimpinnya. Pemilihan kepala daerah langsung merupakan wahana latihan kepemimpinan bagi elit-elit lokal untuk meningkatkan kemampuan dan profesionalitas dalam merumuskan dan membuat kebijakan, mengantisipasi, mengatasi persoalan-persoalan di masyarakat, komunikasi politik dengan masyarakat. Berdasarkan pengalaman-pengalaman inilah pada gilirannya diharapkan akan dapat dilahirkan politisi-politisi atau pemimpin-pemimpin yang handal yang dapat bersaing di tingkat nasional.15

    Pemilihan kepala daerah langsung juga dapat menciptakan stabilitas politik dan pemerintahan di tingkat lokal. Hal ini karena Kepala Daerah yang terpilih memperoleh legitimasi kuat dari rakyat secara langsung, sehingga tindakan pemberhentian kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat tidak dapat dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah16.

    Untuk mewujudkan pemilihan kepala daerah yang demokratis, seharusnya partai politik melakukan terobosan guna membuka kesempatan bagi orang-orang terbaik. Tetapi berbeda dengan kenyataanya, bahwa kecenderungan itu mulai terlihat karena DPP

    13 Sumber; http://www.fisip.undip.ac.id/index.php?. Diakses tanggal 12 Maret 2010. Survei dilaksanakan dengan wawancara

    mendalam terhadap 114 informan yang terdiri atas 7% kepala daerah/wakil, 32% birokrat, 16% anggota DPRD, 16% penguras parpol, 10% aktivis LSM, 7% pengurus ormas, 10% ketua/anggota KPU di daerah, dan 1% organisasi profesi. Daerah yang diteliti meliputi Kabupaten Kudus, Kabupaten Pati, Kabupaten Demak, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Banjamegara, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Pekalongan, Kota Tegal, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Magelang, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Semarang, Kabupaten Jepara, Kabupaten Sragen, Kota Semarang, Kabupaten Kendal, Kabupaten Brebes, Kota Pekalongan, Kota Salatiga, Kabupaten Blora, Kabupaten Batang, dan Kabupaten Grobogan.

    14 Made swandi, dalam diskusi Mendagri Lontarkan Wacana Model Pilkada, http/www.Radal Tegal.com/index.php. 15 Lili Romli, Pilkada Langsung, Otonomi Daerah dan Demokrasi Lokal, Analisis CSIS, 2005, Vol. 34, No. 3. 16 Suharizal, Implikasi Pemilihan Kepala Daerah Langsung Terhadap Pertumbuhan Demokrasi dan Jalannya Pemerintahan di

    Daerah, (Disertasi Unpad, 2010), hlm. 342.

  • 14

    memaksakan calon kepala daerah, oleh karena itu jika berminat mencalonkan menjadi kepala daerah dan mempunyai uang banyak/modal besar, tidak usah repot, tinggal dekati DPP urusannya cepat selesai.17 Memang tidak semua partai pengusul calon mewajibkan setoran awal modal awal yang besarnya bervariasi. Namun hampir pasti tiket pencalonan itu tidak mungkin diperoleh cuma-cuma18.

    Tak hanya partai politik, pemilih juga mengidap budaya politik pragmatis dan transaksional. Mayoritas rakyat mengartikan pemberian uang sebagai representation of goodness (simbol kebaikan). Padahal, harusnya pemilih menjegal kandidat yang nantinya menyengsarakan mereka19. Cenderung terjadi perubahan prilaku masyarakat menjadi pragmatis, dan mereka berpikir tidak rasionalis lagi, hanya dibayar 50.000 sampai 100.000, kedaulatannya tergadai dan terbelenggu20 selama lima tahun selama masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah tersebut.

    Mencermati penyelenggaraan pemilihan kepala daerah langsung tersebut, yang telah berjalan beberapa tahun ini, memberikan gambaran demokratisasi semu. Disatu sisi harapan yang ingin dicapai dengan rakyat yang memilih langsung pimpinannya akan diperoleh pimpinan yang berkualitas, akuntabilitas, karena itu mengakui dan memberikan hak-hak individu dalam berdemokrasi. Tetapi faktanya terhadap pengakuan hak individu terpenuhi makna dari demokrasi, tetapi dari aspek tujuan, manfaat dan kualitas demokrasi tidak memenuhi sasaran. Demokrasi esensinya disamping peranserta masyarakat, tetapi yang paling utama bagaimana mencapai kesejahteraan rakyat yang berkeadilan sosial.

    Pemilihan kepala daerah langsung rawan konflik, Konflik horizontal mengacu pada kelompok-kelompok dalam masyarakat baik yang terorganisir maupun yang tidak terorganisir. Konflik ini terjadi karena adanya perbedaan kepentingan dan persepsi yang menghasilkan benturan-benturan pendapat, berupa debat, polemik dan sejenisnya)21. Akibat yang paling sering dirasakan ketika terjadi konflik antara masyarakat dengan instansi penyelenggara pemilihan kepala daerah (KPUD) apabila dianggap tidak adil, tidak netral, rekayasa perolehan suara, menjadi target utama yang akan dihancurkan. Sudah banyak terjadi kerugian akibat amuk masa tersebut, misal, di Kaur Bengkulu tahun 2005 berapa fasilitas umum dan pemerintah dibakar. Selain itu di Mamuju, Tanah Toraja, Gowa dan Tuban.22 Akibat amuk masa tersebut tidak sedikit baik aset pemerintah (Pendopo Kabupaten, Kantor KPUD, Sektertariat DPD Golkar Tuban maupun aset pribadi calon kepala daerah yang terbakar misal rumah pribadi, hotel Mustika, dan Gedung 9923. Pemilihan kepala daerah secara mendasar dilihat dari manfaat terhadap otonomi daerah dan kesejahteraan masyarakat. oleh karena itu perlu dikaji dan dipertimbangkan secara bijak dan rasional, tidak semata-mata penekanannya pada pengakuan hak memilih saja, tetapi yang lebih esensi adalah demokrasi muaranya kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. d. Kecenderungan Menghabiskan Anggaran Sangat Besar

    Salah satu alasan ditentangnya sistem pemilihan melalui perwakilan karena maraknya money politics pada lembaga legislatif daerah (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). Setelah berjalan sistem Pemilihan Kepala Daerah secara langsung, pertanyaannya apakah dengan

    17 Moh. Alifuddin, Berdemokrasi Panduan Praktis Perilaku Demokratis, (Jakarta: Magnascript Publishing, 2012), hlm. 171- 172. 18 Moh. Alifuddin, Op.Cit, hlm. 173 19 Y F.Ansy Lema, Pilkada Oleh DPRD, http:/www.kpud-pasuruankab.go.id/idex.php, tgl 17/07.2012 20 Amancik, Kedaulatan Yang Tergadai dan Terbelenggu, Jurnal Konstitusi Vol.IV, No. 1, Juni 2011 21 Syamsuddin Haris, et.al. Desentralisasi dan Otonomi, Naskah akademik dari(Jakarta: LIPI, 2004),hlm. 166 22 Helmy Mochtar, Politik Lokal dan Industrialisasi, (Malang: UB Press, 2011), hlm. 163 23 Ibid

  • 15

    sistem ini tidak lebih besar dan lebih hebat lagi politik uangnya ? seperti pepatah mengatakan lepas dari mulut buaya jatuh kemulut harimau.

    Pelaksanaan demokrasi pemilihan kepala daerah secara langsung, jika dilihat anggaran yang akan dipakai ada dua sumber yaitu anggaran pemerintah24 dan anggaran calon. Anggaran dari pemerintah digunakan untuk membiayai penyelenggaraan yang digunakan oleh KPUD dan Panwaslukada. Selain itu dana yang lebih besar adalah dana dari calon kepala daeah dan wakil kepala daerah untuk pemenangan kompetisi Pemilukada. Sebagai gambaran rekap anggaran pemilukada untuk beberapa daerah Pemilukada tahun 2010 diselenggarakan di 31 (tiga puluh satu) Provinsi, kecuali Provinsi DKI Jakarta dan Daerah Istimewa Aceh. Pemilukada terbanyak dilaksanakan di Provinsi Sumatera Utara yaitu sebanyak 22 Kabupaten/Kota. Sedangkan yang paling sedikit adalah Provinsi Kalimantan Tengah dan Sulawesi Barat masing-masing 2 (dua) Kabupaten/Kota.

    Rekapitulasi Anggaran

    No. Provinsi Jumlah Kab/Kota Pemilukada

    Total Anggaran

    1 Sumatera Utara 22 Rp 326.702.028.688

    2 Papua 21 Rp 172.602.165.242

    3 Jawa Timur 18 Rp 349.941.489.680

    4 Jawa Tengah 17 Rp 236.003.962.114

    5 Sumatera Barat* 13 Rp 174.196.816.278

    6 Sulawesi Selatan 11 Rp 115.098.063.800

    7 Lampung 10 Rp 147.789.382.500

    8 Papua Barat 9 Rp 126.650.000.000

    9 Bengkulu* 9 Rp 126.700.000.000

    10 Nusa Tenggara Timur 8 Rp 89.453.874.208

    11 Maluku Utara 8 Rp 79.509.633.322

    12 Kalimantan Selatan* 7 Rp 146.871.751.050

    13 Sulawesi Utara* 7 Rp 170.276.103.800

    14 Nusa Tenggara Barat 7 Rp 86.931.655.760

    15 Kalimantan Barat 6 Rp 66.386.307.272

    16 Kalimantan Timur 6 Rp 148.550.000.000

    17 Bali 6 Rp 64.413.652.580

    18 Sumatera Selatan 5 Rp 79.600.000.000

    19 Jawa Barat 5 Rp 158.667.460.454

    20 Sulawesi Tengah 5 Rp 51.265.000.000

    21 Sulawesi Tenggara 5 Rp 42.000.000.000

    22 Riau 4 Rp 52.000.000.000

    23 Kepulauan Babel 4 Rp 26.981.079.273

    24 Banten 4 Rp 77.261.890.434

    25 Maluku 4 Rp 32.317.475.360

    26 Jambi* 3 Rp 80.373.761.533

    27 Kepulauan Riau* 3 Rp 65.661.003.800

    24 Pasal 112 UU. No. 32 Tahun 2004, Biaya kegiatan Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dibebankan pada APBD.

  • 16

    28 DIY 3 Rp 43.633.408.088

    29 Gorontalo 3 Rp 33.652.810.000

    30 Kalimantan Tengah* 2 Rp 107.608.400.000

    31 Sulawesi Barat 2 Rp 23.500.000.000

    Pemilukada Provinsi Sumber: Rekapitulasi Alokasi Anggaran Pemilukada Tahun 2010 (Bahan RDP Komisi II DPR RI dengan Mendagri, KPU dan Bawaslu, 31 Mei 2010, diolah).

    Pemilihan umum kepala daerah DKI telah dilaksanakan pada bulan Juli 2012 dana total

    diperkirakan 258 milyar, pada putaran pertama menghabiskan dana sebesar 199 Milyar, dan putaran kedua diperkirakan 59 milyar akan dilaksanakan pada bulan september 2012. Selanjutnya dikemukakan I Gusti Putu Artha25 harus diakui, pemilihan kepala daerah memerlukan biaya amat tinggi. Skor tertinggi agaknya masih dipegang pemilihan kepala daerah Jawa Timur 2008 dengan pemungutan suara ulang mendekati Rp 800 miliar. Saat ini Provinsi Papua mencanangkan biaya mendekati Rp 500 miliar. Jika diasumsikan bahwa angka terendah (berdasarkan pengalaman) untuk pemilihan kepala daerah kabupaten/kota Rp 21 miliar dan untuk pemilihan kepala daerah provinsi Rp 130 miliar, total biaya yang dikeluarkan selama lima tahun penyelenggaraan pemilihan kepala daerah di 497 kabupaten/kota dan 33 provinsi: Rp 11,307 triliun. Belum masuk di sini biaya prabayar dan pascabayar yang juga yang dikeluarkan calon, pendukung, dan simpatisan secara swadaya26.

    Berdasarkan data yang ada begitu besar dana demokrasi untuk pemilihan kepala daerah secara langsung, dana tersebut yang terbuang tidak sebanding dengan pemasukan gaji plus honor-honor yang sah akan diterima oleh seorang Gubernur, Bupati/Walikota. Berdasarkan Informasi didapat menyimak acara di TV one, Gamawan Fauzi mengatakan bahwa Pendapat Resmi seorang Gubernur berkisar Rp. 80 juta rupiah, sedangkan Bupati dan Walikota berkisar 60 juta rupiah. Lalu beliau mengatakan perlu dikaji apakah demokrasi ini mensejahterakan rakyat27. Berdasarkan logika sederhana dana yang dikeluarkan harus dikembalikan, lalu timbul pertanyaan darimana mengembalikan dana sebesar itu dalam waktu 5 tahun. Jika hanya mengharapkan dari gaji apa mungkin bisa tertutupi pengeluaran yang begitu besar dikeluarkan pada saat mencalonkan diri. Selama menjabat berdasarkan pendapatan resmi yakni 60 bulan dikali 60 juta baru 3.600.000.000, (3,6) M sisa kekurangannya dari mana ?, padahal banyak calon yang mengeluarkan dana sampai 30 M.

    Ekses pemilihan kepala daerah langsung dengan politik uangnya sangat mengerikan karena tarikan pusarannya sangat kuat membawa kecenderungan kearah koruptif dan menghalalkan tujuan dengan segala cara. Korelasi besarnya dana yang dikeluarkan oleh calon kepala daerah untuk memenangkan pemilihan kepala daerah, dengan banyaknya jumlah kepala daerah yang tersangkut korupsi sangat signifikan. Seperti data yang dikemukakan oleh Departemen Dalam Negeri sejak 2004 hingga 2011 tercatat 155 Kepala Daerah tersangkut kasus korupsi: 17 di antaranya Gubernur. Angka 173 itu sama dengan 32,6 persen dari 530 (Gubernur, Bupati, dan Walikota) se-Indonesia.

    Model pemilihan kepala daerah langsung telah menyeret bangsa ini pada pusaran bahaya di masa dekat yang akan menghancurkan sendi-sendi atau nilai-nilai kehidupan bangsa Indonesia. Masyarakat sudah berkeyakinan bahwa pemilihan kepala daerah adalah

    25 Anggota KPU 2007-2012 , http://budisansblog.blogspot.com/2012/05/rekonstruksi-sistem-pilkada.html, diundu, jam 5.14 tgl

    29/7/2012 26 Ibid, http://budisansblog.blogspot.com/2012/05/rekonstruksi-sistem-pilkada.html, tgl 29/7/2012 27 Acara TV one, tanggal 29/07/2012

  • 17

    ajang bagi-bagi uang, sehingga demokrasi yang dibangun dalam sistem pemilihan kepala daerah langsung adalah demokrasi formal semata, yang membentuk sikap pemili irasional (irasional vote) dan demokrasi transaksional, bukan didasarkan pada demokrasi subtantif, yang membentuk sikap pemili rasional (rasional vote).

    IV. KESIMPULAN

    a. Implikasi model pemilihan kepala daerah terhadap otonomi daerah sebelum

    Perubahan UUD 1945:

    1. Hubungan pusat dan daerah bersifat heirarkis, daerah kehendak pusat, kecuali pada

    era UU.No.22/1999

    2. Kewenangan daerah sangat terbatas, kecuali era UU.No. 22/1999 lebih longgar.

    3. Pengawasan sangat ketat dilakukan pusat, kecuali era UU.No. 22/1999. Desentralisasi

    urusan pemerintahan cenderung tidak jelas.

    4. Peranserta masyarakat rendah karena dominasi pemerintah dan koptasi Dewan

    Perwakilan Rakyat Daerah.

    5. Pusat menguasai semua sumber daya alam, kecuali era UU.No.22/1999.

    6. Kecenderungan karakter pemerintah bersifat otoriter.

    7. Kepala daerah lebih dominan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kecuali pada era

    UU.No.22/1999 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dominan.

    8. Demokratisasi tersumbat

    b. Implikasi model pemilihan kepala terhadap otonomi daerah sesudah perubahan UUD 1945.

    1. Hubungan pusat dan daerah tercermin pada hubungan kewenangan Presiden dan KHD

    menjadi kabur. Pengawasan represif kearah preventif, kebebasan kewenangan daerah

    kuat, partisipasi masyarakat kuat, bahkan cenderung kebablasan, dan anarkis.

    2. Hubungan Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah cenderung tidak harmonis.

    3. Kecenderungan biaya pemilihan kepala daerah sangat besar.

    4. Kecenderungan timbul konflik dan pergeseran nilai dalam kehidupan masyarakat di

    daerah.

    V. DAFTAR PUSTAKA

    a. Buku dan Hasil Penelitian

    Bambang Widjojanto, saldi Isra,Marwan Mas,(editor), Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi Independen,(Jakarta, Pustaka Sinar harapan, 2002)

    Helmy Mochtar, Politik Lokal dan Industrialisasi, (Malang: UB Press, 2011), Moh. Alifuddin, Berdemokrasi Panduan Praktis Perilaku Demokratis, (Jakarta:

    Magnascript Publishing, 2012), Sekretariat Negara, Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI, (Jakarta: Sekneg), Suharizal, Implikasi Pemilihan Kepala Daerah Langsung Terhadap Pertumbuhan

    Demokrasi dan Jalannya Pemerintahan di Daerah, (Disertasi Unpad, 2010), Syamsuddin Haris, et.al. Desentralisasi dan Otonomi, Naskah akademik (Jakarta: LIPI,

    2004).

  • 18

    b. Jurnal dan makalah Amancik, Kedaulatan Yang Tergadai dan Terbelenggu, Jurnal Konstitusi Vol.IV, No. 1,

    Juni 2011 Ibnu Tricahyo, Menata Management Pemilu Kepala Daerah, Makalah, di sampaikan

    pada lokakarya MPR Lili Romli, Pemilihan kepala daerah Langsung, Otonomi Daerah dan Demokrasi Lokal,

    Analisis CSIS, 2005, Vol. 34, No. 3 c. Internet

    Made swandi, dalam diskusi Mendagri Lontarkan Wacana Model Pemilihan kepala daerah, http/www.Radal Tegal.com/index.php Y F.Ansy Lema, Pemilihan kepala daerah Oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, http:/www.kpud-pasuruankab.go.id/idex.php, tgl 17/07.2012

    d. Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, UUD 1945 Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, tentang Pokok-Pokok

    Pemerintahan di Daerah Indonesia, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan di Daerah Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan di Daerah

    .