jurnal
DESCRIPTION
kesmasTRANSCRIPT
FAKTOR-FALTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN BURNOUT
PERAWAT DI RSUD HAJI MAKASSAR
Ika Kasmita SariJurusan Kesehatan Masyarakat Peminatan Administrasi Rumah Sakit
Jl. Sultan Alauddin No. 36, Samata, Kab. Gowa, Sulawesi Selatan E-mail: [email protected]), [email protected]),
Profesi perawat vital sebagai ujung tombak kesehatan masyarakat, peran perawat sangat stategis menjadi tulang punggung dalam membantu tugas-tugas dokter dan balai pengobatan dalam melayani pasien dan masyarakat pada umumnya. Perawat mengalami kondisi dilematis, di satu sisi pihak rumah sakit cenderung menekan perawat untuk menunjukkan kinerja, namun tanpa diiringi dengan perbaikan kesejahteraan. Di sisi lain pasien selalu menuntut pelayanan maksimal tanpa memperhatikan kondisi perawat. Hal ini dapat berdampak munculnya stres pada perawat. Perawat yang tidak dapat menangani stres dengan segera, maka stres akan berlarut dan mengakibatkan dampak jangka panjang, sehingga muncul kecenderungan burnout pada perawat Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan burnout perawat di RSUD Haji Makassar.
Jenis penelitian ini adalah analisis deskriptif korelasional dengan pendekatan metode cross sectional. Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 56 orang. Pengambilan sampel yang digunakan yaitu dengan tekhnik purposive sampling. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Penelitian ini menggunakan uji Chi-square.
Hasil uji korelasi Chi-square menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara usia dengan burnout perawat (p = 0,002), jenis kelamin dengan dengan burnout perawat (p = 0,000), masa kerja dengan burnout perawat (p = 0,000), pendidikan dengan burnout perawat (p = 0,041), status perkawinan dengan burnout perawat (p = 0,005).
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka peneliti merekomendasikan agar pihak manajemen RSUD Haji Makassar lebih memperhatikan tingkat burnout perawat karena kinerja perawat memegang peranan penting dalam perawatan pasien. Kata Kunci : burnout, jenis kelamin, usia, masa kerja, pendidikan, status perkawinan
Kata kunci: Perawat, Burnout, jenis kelamin, usia, masa kerja, pendidikan, status perkawinan
1. Pendahuluan
Perawat merupakan ujung tombak
baik tidaknya pelayanan kesehatan yang di
berikan kepada pasien. Hal ini disebabkan
karena jumlahnya yang dominan (50-60%
dari seluruh tenaga yang ada), dan
bertugas merawat dan menjaga pasien
selama 24 jam sehari. Pelayanan yang baik
dengan demikian tidak terlepas dari
adanya komitmen dari perawat untuk
memberikan pelayanan yang baik kepada
pasien. Sikap ini akan tumbuh jika perawat
merasa puas bekerja bersama rumah sakit,
tempat dimana individu yang bersangkutan
bekerja (Runtu dan Widyarini, 2009).
Profesi perawat vital sebagai ujung
tombak kesehatan masyarakat, peran
perawat sangat stategis menjadi tulang
punggung dalam membantu tugas-tugas
dokter dan balai pengobatan dalam
melayani pasien dan masyarakat pada
umumnya. Perawat mengalami kondisi
dilematis, di satu sisi pihak rumah sakit
cenderung menekan perawat untuk
menunjukkan kinerja, namun tanpa diiringi
dengan perbaikan kesejahteraan. Di sisi
lain pasien selalu menuntut pelayanan
maksimal tanpa memperhatikan kondisi
perawat. Hal ini dapat berdampak
munculnya stres pada perawat. Perawat
yang tidak dapat menangani stres dengan
segera, maka stres akan berlarut dan
mengakibatkan dampak jangka panjang,
sehingga muncul kecenderungan burnout
pada perawat (Khotimah, 2010).
Pekerjaan perawat memiliki
beberapa karakteristik yang menciptakan
tuntutan kerja yang tinggi, seperti
pekerjaan yang rutin, jadwal kerja yang
ketat, tanggung jawab atas keselamatan
dan kesehatan diri sendiri dan orang lain,
serta dituntut untuk mampu bekerja dalam
tim. Kompleksnya tuntutan pekerjaan dan
tanggung jawab perawat menyebabkan
profesi perawat rentan mengalami burnout
(Lailani 2012).
Dari sebuah studi di Amerika
Serikat, menemukan bahwa 49% dari
perawat yang berusia dibawah 30 tahun
40% perawat berusia diatas 30 tahun yang
berpengalaman mengalami burnout.
Menurut sebuah studi dalam Journal of
American Medical Association, bahwa
setiap penambahan pasien per perawat,
menambah resiko terjadi tingkat kelelahan
sebesar 23%, dan terjadi penurunan
sebesar 15% dalam kepuasan kerja.
(“Departement for Proffesional
Employees”, 2012).
Perawat selalu dituntu dapat
menjadi figur yang dibutuhkan oleh
pasiennya, dapat bersimpati kepada pasien,
selalu menjaga perhatiannya, fokus dan
hangat kepada pasien (Taylor, 1999 dalam
Supriatna, 2011). Sebagian besar tenaga
keperawatan didominasi oleh tenaga kerja
perempuan.
Peran ganda sebagai pekerja
maupun ibu rumah tangga mengakibatkan
tuntutan yang lebih dari biasanya terhadap
wanita karena terkadang para wanita
menghabiskan waktu tiga kali lipat dalam
mengurus rumah tangga dibandingkan
dengan pasangannya yang bekerja pula.
Penelitian yang dilakukan oleh Tera dan
Eko (2009) menunjukkan bahawa wanita
pekerja yang menikah cenderung lebih
tinggi mengalami kelelahan kerja
(burnout) dibanding wanita pekerja yang
masih lajang.
Perawat dengan pengalaman kerja
pendek dan perawat yang mempunyai
kesempatan melanjutkan pendidikan,
mengalami burnout rendah, melanjutkan
pendidikan keperawatan profesional
merupakan salah satu faktor untuk
mencegah burnout (Koivula, Paunonen
dan Laippala, 1999).
Hasil data yang di himpun PPNI
pada Mei 2009 di Makassar menunjukkan
51% perawat mengalami stres kerja,
pusing, lelah, kurang istirahat karena
beban kerja terlalu tinggi. Beberapa rumah
sakit di Makassar menempatkan perawat
tidak sesuai keahlian (Khotimah, 2010).
Fenomena yang telah dijelaskan
sebelumnya juga dialami oleh perawat
wanita yang berkerja di RS Haji Makassar
dimana saat ini mayoritas (85 %) tenaga
perawatnya adalah perawat wanita dan
sebagian besar sudah berkeluarga.
Menurut Dardin (2013), fenomena yang
temukan dari hasil wawancara dengan
kepala seksi keperawatan RS Haji
Makassar, diketahui pada tahun 2012 dari
7 perawat yang pindah ke tugas ke
puskesmas dan poliklinik 2 diantaranya
karena alasan beban kerja yang terlalu
tinggi, 3 orang karena alasan kesulitan
membagi waktu mengurus rumah tangga, 2
orang karena ikut suami yang ditugaskan
ke daerah lain (Dardin, 2013).
Menurut Dardin (2013), dari hasil
wawancara dengan 10 orang perawat
wanita yang dilakukan secara acak
didapatkan informasi bahwa kebanyakan
mengeluh merasakan lelah karena beban
kerja yang terlalu berat, mengeluh sering
sakit kepala dan mudah marah, kesulitan
mengatur jadwal dinas dengan urusan
rumah tangga, sebagian memikirkan untuk
pindah kepoliklinik atau ke puskesmas dan
sebagian mengatakan masih menggunakan
waktu dinas melakukan tugas-tugas
dirumah yang belum tuntas.
Diharapkan, penelitian ini
mampu memberikan manfaat bagi
RSUD Haji Makassar dalam
memberikan informasi terkait burnout
perawat terutama terkait dengan
faktor-faktor yang berhubungan
dengan burnout itu sendiri.
2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif korelasional dengan
menggunakan desain cross sectional.
Penelitian dilakukan di ruang rawat
inap, IGD dan ICU RSUD Haji
Makassar. Penelitian ini akan
dilaksanakan pada bulan November
2015. Jumlah populasi dalam
penelitian ini perawat di ruang ICU
dan UGD RSUD Haji Makassar yang
berstatus PNS berjumlah 133 orang.
Jumlah sampel dalam penelitian ini
adalah 56 orang. Penarikan sampel
dengan menggunakan tekhnik
pengambilan purposive sampling
dengan Kriteria inklusi dalam
penelitian ini adalah :
a. Bersedia menjadi responden
b. Berstatus PNS
c. Pengalaman kerja > 6 bulan
Kriteria eksklusi dalam penelitian ini
adalah:
a. Perawat sedang cuti saat
pelaksanaan penelitian
b. Perawat sakit saat pelaksanaan
penelitian
Pengumpulan data dilakukan dengan
mengajukan pernyataan berupa
kuesioner mengenai karakteristik data
demografi dan tingkat burnout
perawat yang diukur dengan kuesioner
MBI (Maslach Burnout Inventory)
yang terdiri dari 22 pertanyaan.
Berdasarkan tujuan penelitian dan
jenis data yang ada maka metode
statistik yang diungkapkan untuk
analisis data adalah teknik korelasi
Chi-square, teknik ini digunakan
untuk melihat apakah ada hubungan
antara usia, jenis kelamin, pendidikan,
masa kerja dan status pernikahan
dengan Burnout pada perawat di
RSUD Haji Makassar
.
3. HASIL
a. Tingkat burnoutTabel 4.2
Distribusi frekuensi responden berdasarkan tingkat burnout perawat di RSUD Haji
Makassar pada Bulan November 2015 (n=56)Kategori Frekuensi (n) Persentase (%)
Tidak burnout 15 26,8Burnout ringan 27 48,2Burnout sedang 14 25,0Total 56 100
Sumber : Data Primer, 2015
Data burnout perawat dideskripsikan
menggunakan nilai skoring dan digolongkan
menjadi burnout ringan, sedang dan berat.
Hasil pengukuran tingkat burnout pada
perawat menunjukkan bahwa mayoritas
responden mengalami burnout kategori ringan
sebanyak 27 orang (48,2%), responden yang
tidak mengalami burnout sebanyak 15 orang
(26,8%) dan responden yang mengalami
depresi kategori sedang sebanyak 14 orang
(25,0%).
b. Hubungan usia dengan burnout
perawatTabel 4.3
Hubungan antara usia dengan tingkat burnout perawat di RSUD Haji Makassar
pada bulan November 2015
Usia
Tingkat burnoutTotal pTidak Ringan Sedang
n % n % n % n %
Dewasa
awal4 11,4 19 54,3 12 34,3 35 100
0,002Dewasa
tengah 11 52,4 8 38,1 2 9,5 21 100
Total 15 26,8 27 48,2 14 25,0 56 100
*Uji Chi-squareSumber : Data Primer, 2015
Berdasarkan hasil analisis
hubungan usia dengan burnout perawat
menunjukkan bahwa proporsi responden
yang temasuk kelompok dewasa awal
(20-30 tahun) yang mengalami bunout
ringan sebesar 37,9% dan bunout sedang
sebesar 34,3% lebih tinggi daripada
responden yang temasuk dalam kelompok
dewasa tengah (>30-65 tahun) yang
mengalami bunout ringan sebesar 38,1%
dan burnout sedang sebesa 9,5%.
Berdasarkan hasil uji Chi-square
diperoleh nilai p = 0,002, maka dapat
disimpulkan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara usia perawat
dengan burnout yang dialami perawat.
c. Hubungan jenis kelamin dengan burnout perawat
Tabel 4.4Hubungan antara jenis kelamin dengan tingkat burnout perawat di RSUD Haji Makassar pada bulan November 2015
Jenis
kelamin
Tingkat burnoutTotal
Tidak Ringan Sedang
n % n % n % n %
Laki-laki 13 56,5 8 34,8 2 8,7 23 100
Perempuan 2 61,1 19 57,6 12 36,4 33 100
Total 15 26,8 27 48,2 14 25,0 56 100
*Uji Chi-squareSumber : Data Primer, 2015
Berdasarkan hasil analisis
hubungan jenis kelamin dengan burnout
perawat menunjukkan bahwa proporsi
responden yang berjenis kelamin
perempuan yang mengalami burnout
ringan sebesar 57,6% dan burnout sedang
36,4% lebih tinggi daripada responden
berjenis kelamin laki-laki yang
mengalami burnout ringan sebesar 34,8%
dan bunout sedang sebesar 8,7%.
Berdasarkan hasil uji Chi-square
diperoleh nilai p = 0,000, maka dapat
disimpulkan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara jenis kelamin
perawat dengan burnout yang dialami
perawat.
d. Hubungan masa kerja dengan burnout perawat
Tabel 4.5Hubungan antara masa kerja dengan
tingkat burnout perawat di RSUD Haji Makassar pada bulan November 2015
Masa kerja
Tingkat burnoutTotal pTidak Ringan Sedang
n % n % n % n %
1-5 tahun 3 9,4 17 53,1 12 37,5 32 100
0,0016-10 tahun 12 50,0 10 41,7 2 8,3 24 100
Total 15 26,8 27 48,7 14 25,0 56 100
*Uji Chi-squareSumber : Data Primer, 2015
Berdasarkan hasil analisis
hubungan status perkawinan dengan
burnout perawat menunjukkan bahwa
proporsi responden dengan masa kerja
selama 1-5 tahun yang mengalami
burnout ringan sebesar 66,7% dimana
lebih tinggi daripada responden dengan
masa keja 6-10 tahun yang mengalami
burnout ringan sebesar 41,7% dan
burnout sedang sebesar 8,3%.
Berdasarkan hasil uji Chi-square
diperoleh nilai p = 0,001, maka dapat
disimpulkan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara masa kerja dengan
burnout yang dialami perawat.
e. Hubungan pendidikan dengan burnout perawat
Tabel 4.6 Hubungan antara pendidikan dengan tingkat burnout perawat di RSUD Haji Makassar pada bulan November 2015
*Uji Chi-squareSumber : Data Primer, 2015
Berdasarkan hasil analisis
hubungan tingkat pendidikan dengan
burnout perawat menunjukkan bahwa
proporsi responden dengan pendidikan
terakhir D3 yang mengalami burnout
ringan sedang sebesar 65% dimana lebih
tinggi dibandingkan responden dengan
pendidikan S1/Ners yang mengalami
burnout sedang sebesar 2,8%. Sedangkan
responden dengan pendidikan terakhir
S1/Ners dan tidak mengalami burnout
sebesar 36,1% dimana lebih tinggi
dibandingkan dengan responden dengan
pendidikan terakhir D3 yang tidak
mengalami burnout hanya sebesar 10%.
Berdasarkan hasil uji Chi-square
diperoleh nilai p = 0,000, maka dapat
disimpulkan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara tingkat pendidikan
dengan burnout yang dialami perawat.
f. Hubungan status pernikahan dengan burnout perawat
Tabel 4.7Hubungan antara status perkawinan
dengan tingkat burnout perawat di RSUD Haji Makassar pada bulan November 2015
Status
perkawinan
Tingkat burnoutTotal
Tidak Ringan Sedang
n % n % n % n %
Belum
menikah9 40,9 11 50,0
2 9,122 100
0,041menikah 6 17,6 16 47,1 12 35,3 34 100
Total 15 26,8 27 48,2 14 25,0 56 100
*Uji Chi-squareSumber : Data Primer, 2015
Berdasarkan hasil analisis
hubungan status perkawinan dengan
burnout perawat menunjukkan bahwa
proporsi responden yang telah menikah
yang mengalami burnout sedang sebesar
35,3% lebih tinggi dibandingkan
responden yang belum menikah yang
mengalami burnout sedang sebesar 9,1%.
Sedangkan responden yang telah menikah
yang tidak mengalami burnout lebih
rendah dibandingkan responden yang
belum menikah dan tidak mengalami
burnout sebesar 40,9%. Berdasarkan hasil
uji Chi-square diperoleh nilai p = 0,041,
maka dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara status
perkawinan dengan burnout yang dialami
perawat.
4. PEMBAHASAN
a. Tingkat burnout perawat
Berdasarkan hasil penelitian
menunjukkan bahwa mayoritas responden
mengalami burnout ringan (48,2%) dan
sisanya mengalami burnout sedang (25%)
dan tidak mengalami burnout ( 26,8%). Hal
Pendidikan
Tingkat burnoutTotal
pTidak Ringan Sedang
n % n % n % n %
D3 2 10,0 5 25,0 13 65,0 20 65,0
0,000S1/Ners 13 36,1 22 61,1 1 2,9 36 100
Total 15 26,8 27 48,2 14 25,0 56 100
ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan Erlina (2010) di Rumah Sakit
Daerah Dr. Haryoto Lumajang dengan
sampel yakni 32 perawat rawat inap
menunjukkan hasil bahwa 27,78% perawat
memiliki tingkat burnout rendah, 51,85%
dengan tingkat burnout sedang dan 20,37%
memiliki tingkat burnout tinggi.
Penelitian yang dilakukan oleh
Sumarna (2012) di Rumah Sakit Hasan
Sadikin Bandung dengan subyek dalam
penelitian tersebut adalah para perawat di
ruang intensif yang dinilai memiliki tugas
yang kompleks dalam menangani pasien.
Penelitian tersebut menggunakan teknik
total sampel, yaitu berjumlah 104 subyek.
Berdasarkan data yang diperoleh ditemukan
hasil 61 (58,6%) perawat memiliki sindrom
burnout pada kategori ringan, 37 (36,6%)
perawat berada pada kategori sedang, dan
sisanya sebanyak 5,7% atau sekitar 6
perawat mengalami burnout pada kategori
tinggi.
Tingginya perawat yang
mengalami burnout dijelaskan oleh Pines
dan Aronson (dalam Sutjipto, 2001) bahwa
kecenderungan burnout memiliki resiko
tinggi dialami oleh seseorang yang bekerja
dibidang pekerjaan yang berorientasi
melayani orang lain, seperti bidang
pelayanan kesehatan, bidang pelayanan
sosial ataupun bidang pendidikan. Cherniss
(dalam Jaya dan Rahmat, 2005).
Dijelaskan oleh Windayanti dan
Cicilia (2007) bahwa gejala yang dapat
ditunjukkan oleh seseorang yang
mengalami kejenuhan kerja antara lain
resistensi yang tinggi untuk melaksanakan
kegiatan, terdapat perasaan gagal didalam
diri, cepat marah dan sering kesal, rasa
bersalah dan menyalahkan, keengganan dan
ketidakberdayaan, negatifisme, isolasi dan
penarikan diri, perasaan capek dan lelah
setiap hari, sering memperhatikan jam
ketika melaksanakan kegiatan, hilang
perasaan positif terhadap klien, menunda
kontak dengan klien, membatasi telepon
dari klien dan kunjungan dari tempat kerja,
menyamaratakan klien, tidak mampu
menyimak apa yang klien ceritakan, merasa
tidak aktif, sinisme terhadap klien dan
sikap menyalahkan, gangguan tidur atau
sulit tidur, asyik dengan diri sendiri,
mendukung tindakan untuk mengontrol
lingkungan misalnya menggunakan obat
penenang, sering demam dan flu, sering
sakit kepala dan gangguan pencernaan,
kaku dalam berfikir dan resisten terhadap
perubahan, rasa curiga yang berlebihan dan
paranoid, penggunaan obat-obatan yang
berlebihan, atau sangat sering membolos.
b. Hubungan usia dengan burnout perawat
Berdasarkan hasil penelitian
menunjukkan proporsi responden yang
mengalami burnout sedang dan termasuk
dalam kelompok usia dewasa awal (20-30
tahun) (34,3%) lebih tinggi dibandingkan
responden yang mengalami burnout sedang
dan termasuk dalam kelompok usia dewasa
tengah (>30-65 tahun) (9,5%).
Berdasarkan hasil uji Chi-square diperoleh
nilai p = 0,002, maka dapat disimpulkan
bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara usia perawat dengan burnout yang
dialami perawat.
Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Sari (2015) di
RSUP Sanglah dengan sampel yaitu 53 orang
perawat pelaksana Ruang IRD yang
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara variabel usia dengan burnout
syndrome nilai p value sebesar 0,033 (p value
< 0,05). Sebagian besar responden kurang dari
30 tahun cenderung mengalami burnout
syndrome ringan yaitu sebanyak 30 orang
(56,6%) sedangkan usia ≥ 30 tahun cenderung
mengalami burnout syndrome sedang yaitu
sebanyak 5 orang (9,5%).
Perawat yang lebih tua
biasanya lebih menguasai pekerjaan
yang mereka lakukan dan keinginan
agar mencapai kinerja lebih baik
daripada perawat yang berusia lebih
muda juga lebih tinggi.Tuntutan dalam
diri perawat yang berusia lebih tua
cenderung membuat stres hingga
terjadinya kelelahan fisik, emosional
dan psikologi (Sumawidanta, 2013).
Burnout tinggi cenderung
dialami oleh perawat yang berusia
lebih muda. Menurut asumsi peneliti,
hal ini terjadi karena perawat yang
berusia muda merupakan perawat baru
yang bekerja di RSUD Haji Makassar.
Perawat baru mengalami proses
adaptasi dengan pekerjaan dan
lingkungan kerjanya dan proses ini
merupakan suatu penyebab yang
mengakibatkan terjadinya burnout.
Hasil penelitian ini didukung oleh
teori Ericksson dan Grove menemukan
bahwa perawat muda mengalami
tingkat burnout lebih tinggi daripada
rekan – rekan kerja yang lebih tua.
Perawat muda kurang efisien dalam
menghalangi perasaan pribadi dalam
situasi mengendalikan stres sedangkan
perawat yang lebih tua dan lebih
berpengalaman diduga lebih efisien.
Kilfedder et.al (dalam Spooner-Lane,
2004) menemukan bahwa tingkat
depersonalisasi yang lebih tinggi
terkait dengan usia muda atau perawat
baru. Burnout umumnya terjadi pada
karyawan yang lebih muda mungkin
karena belum siap menjalani
pekerjaan, kurangnya adaptasi,
ketidakamanan di lingkungan kerja
ataupun persepsi tentang ambiguitas
peran.
Umur berpengaruh terhadap
kemampuan mengatasi masalah dalam
pekerjaan yang berpengaruh terhadap
birnout seperti yang dikemukakan
oleh Maslach (1982 dalam Caputo
1991) mengatakan orang usia muda
memiliki kemungkinan mengalami
burnout lebih daripada usia di bawah
30 tahun, yang mempunyai
pengalaman pekerjaan yang relatif
sedikit oleh Maslach (1996 dalam
Cooper et al., 2003). Para pekerja
pemberi pelayanan di usia muda
dipenuhi dengan harapan yang tidak
realistik, jika dibandingkan dengan
pertambahan usia pada umumnya
individu menjadi lebih matang, lebih
stabil, lebih teguh sehingga memiliki
pandangan yang lebih realistis.
c. Hubungan jenis kelamin dengan burnout perawat
Berdasarkan hasil analisis hubungan
jenis kelamin dengan burnout perawat
menunjukkan bahwa proporsi responden yang
mengalami burnout sedang dan berjenis
kelamin perempuan (36,4%) lebih tinggi
daripada responden yang mengalami burnout
sedang dan berjenis kelamin laki-laki (8,7%).
Berdasarkan hasil uji Chi-square diperoleh
nilai p = 0,000, maka dapat disimpulkan
bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara jenis kelamin perawat dengan burnout
yang dialami perawat.
Hal yang serupa diungkapkan dalam
penelitian yang dilakukan oleh Prihantoro
(2014) di Rumah Sakit Islam Surakarta dengan
jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak
100 perawat yang menunjukkan hasil bahwa
ada perbedaan kecenderungan burnout Ada
perbedaan kecenderungan burnout antara laki-
laki dan perempuan.
Hal yang serupa diungkapkan
dalam penelitian yang dilakukan oleh
Prihantoro (2014) di Rumah Sakit Islam
Surakarta dengan jumlah sampel dalam
penelitian ini sebanyak 100 perawat yang
menunjukkan hasil bahwa ada perbedaan
kecenderungan burnout Ada perbedaan
kecenderungan burnout antara laki-laki dan
perempuan.
Ivancevich, dkk (2005) menyatakan
bahwa wanita cenderung mengalami
burnout daripada pekerja pria. Wanita yang
telah menikah, tidak mudah untuk
menjalani karier ganda, membagi pikiran,
tenaga dan perhatian pada pekerjaan kantor
dan domestik rumah tangga.
Anoraga (2005) menyatakan bahwa
dalam meniti karier, wanita mempunyai
beban dan hambatan lebih berat dibanding
rekan prianya. Dalam arti, wanita harus
lebih dahulu mengatasi urusan keluarga-
suami, anak dan halhal lain yang
menyangkut domestik. rumah tangganya.
Oleh karena itu tidak jarang seorang yang
telah menikah sekaligus bergelut dalam
dunia kerja mengalami kelelahan fisik,
mental, dan emosional, yang dalam dunia
psikologi disebut sebagai burnout.
d. Hubungan masa kerja dengan burnout perawat
Berdasarkan hasil uji Chi-square
diperoleh nilai p = 0,001, maka dapat
disimpulkan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara masa kerja dengan
burnout yang dialami perawat. Artinya
bahwa perawat yang semakin lama bekerja,
maka semakin merasakan kelelahan dan
kejenuhan dalam menangani pasien.
Hal ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Mandasari, dkk (2014)
bahwa perawat yang masa kerjanya kurang
dari 10 tahun memiliki nilai rata-rata
burnout lebih tinggi dibandingkan dengan
perawat dengan masa kerja lebih dari 10
tahun.
Hal yang sama diungkapkan dalam
penelitian yang dilakukan oleh Sari (2015)
yang menunjukkan bahwa hasil analisis
antara masa kerja dengan burnout
syndrome adalah terdapat hubungan yang
bermakna antar variabel dengan nilai p
value sebesar 0,000 (p value<0,05).
Masa kerja adalah panjangnya
waktu terhitung mulai pertama kali masuk
kerja hingga saat penelitian. Tekanan
melalui fisik (beban kerja) pada suatu
waktu tertentuk mengakibatkan
berkurangnya kinerja otot, gejala yang
ditunjukkan juga berupa pada makin
rendahnya gerakan. Keadaaan ini tidak
hanya disebabkan oleh suatu sebab tunggal
seperti terlalu kerasnya beban kerja, namun
juga oleh tekanan–tekanan yang
terakumulasi setiap harinya pada suatu
masa yang panjang (Anoraga, 2005).
Walaupun dengan masa kerja
yang lama seorang perawat mendapatkan
pengalaman kerja yang banyak, namun pola
pekerjaan perawat yang monoton dan
bersifat human service justru menimbulkan
kelelahan fisik, emosi dan psikologi yang
mengarah pada burnout syndrome
(Pangastiti, 2011). Pendapat lain
mengatakan adanya hubungan antara masa
kerja dengan tingkat stres kerja yaitu
perawat dengan masa kerja 1-3 tahun
mengalami stres yang lebih tinggi karena
selama masa tersebut mereka
membutuhkan waktu yang banyak untuk
upaya pembangunan karir sehingga kadang
kebutuhan personal dan mentalnya
terabaikan (Dimunova, 2012). Perawat
dengan masa kerja yang lebih sedikit lebih
rentan mengalami stres dibandingkan masa
kerja yang lebih lama yang sudah bisa
beradaptasi (Peterson, 2009).
e. Hubungan masa kerja dengan burnout perawat
Berdasarkan hasil uji Chi-square
diperoleh nilai p = 0,000, maka dapat
disimpulkan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara pendidikan dengan
burnout yang dialami perawat.
Hal ini tidak sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Sari (2015) yang
menunjukkan bahwa hasil analisis antara
tingkat pendidikan dengan burnout syndrome
adalah tidak terdapat hubungan yang
bermakna antar variabel dengan nilai p value
sebesar 0,752 (p value>0,05). Tingkat
pendidikan responden didominasi oleh tingkat
pendidikan DIII Keperawatan yaitu sebanyak
52 orang (98,1%) dan hanya 1 orang (1,9%)
dengan tingkat pendidikan S1 Keperawatan.
Tidak adanya hubungan antara tingkat
pendidikan dengan burnout syndrome
kemungkinan disebabkan karena perawat
pelaksana yang menjadi sampel dalam
penelitian tersebut sebagian besar memiliki
tingkat pendidikan yang sama yaitu DIII
Keperawatan sehingga tidak mampu membuat
hasil yang general. Namun, Siagian (2009)
mengemukakan bahwa semakin tinggi tingkat
pendidikan seseorang maka semakin besar
keinginan untuk memanfaatkan pengetahuan
dan keterampilan yang dimilikinya serta
semakin besar pula tuntutan pekerjaan
sehingga berpengaruh terhadap perilaku
kerjanya. Hasil ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh oleh Chakaborty (2012)
yaitu tidak terdapat hubungan antara tingkat
pendidikan dengan burnout syndrome (p
value=0,285, p value>0,05).
Kemampuan kerja seseorang berkaitan
erat dengan tingkat pendidikan yang telah
ditetapkan untuk ditempuh oleh seseorang
sebagai tenaga perawat. Tenaga perawat yang
memiliki tingkat pendidikan yang memadai
sesuai dengan profesinya akan mempunyai
kemampuan yang baik dalam melaksanakan
pelayanan medis atau melakukan tindakan
perawatan terhadap pasien (Astriana, 2014).
Penyesuaian antara pendidikan dengan
tugas yang diberikan perlu diperhatikan.
Tingkat pendidikan yang rendah jika
dihadapkan dengan tugas dan beban kerja yang
melebihi kapabilitasnya cenderung akan
meningkatkan stres dan mengalami burnout.
Teori Pearlman dan Hartman yang
mengatakan hubungan antara persepsi dengan
dampak stres kerja pada karyawan. Teori ini
memprediksi bahwa ketika harapan dan nilai –
nilai karyawan tidak sesuai dengan harapan
dan nilai – nilai organisasi, karyawan tersebut
jauh lebih mungkin untuk meningkatkan gejala
burnout (Mbuthia, 2009).
f. Hubungan masa kerja dengan burnout perawat
Berdasarkan hasil analisis hubungan
status perkawinan dengan burnout perawat
menunjukkan bahwa proporsi responden yang
telah menikah yang mengalami burnout
sedang sebesar 35,3% lebih tinggi
dibandingkan responden yang belum menikah
yang mengalami burnout sedang sebesar 9,1%.
Sedangkan responden yang telah menikah
yang tidak mengalami burnout lebih rendah
dibandingkan responden yang belum menikah
dan tidak mengalami burnout sebesar 40,9%
Berdasarkan hasil uji Chi-square diperoleh
nilai p = 0,029, maka dapat disimpulkan
bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara status perkawinan dengan burnout yang
dialami perawat.
Hasil ini sejalan dengan hasil yang
diungkapkan dalam penelitian Mandasari, dkk
(2014) menunjukkan bahwa perawat yang
belum menikah lebih rentan mengalami
burnout karena nilai rata-rata burnout perawat
yang belum menikah lebih tinggi
dibandingkan dengan perawat yang telah
menikah.
Annual Review of Psychology (dalam
Nurjayadi, 2004) melaporkan bahwa individu
yang belum menikah (khususnya laki-laki)
dilaporkan lebih rentan terhadap sindrom
burnout dibandingkan individu yang sudah
menikah. Namun perlu penjelasan lebih lanjut
untuk status perkawinan. Mereka yang sudah
menikah bisa saja memiliki resiko untuk
mengalami burnout jika perkawinannya
kurang harmonis atau mempunyai pasangan
yang tidak dapat memberikan dorongan sosial
(Nurjayadi, 2004).
Tingkat burnout tinggi yang lebih
banyak perawat yang sudah menikah. Hal ini
dimungkinkan terjadi karena seseorang yang
sudah menikah lebih banyak memiliki
tanggung jawab dan tuntutan daripada
seseorang yang belum menikah, sehingga
orang yang sudah menikah lebih banyak
memiliki beban pikiran. Orang yang sudah
menikah akan memiliki tanggung jawab
terhadap keluarga dan pekerjaan berbeda
dengan seseorang yang belum menikah yang
bisa fokus terhadap pekerjaannya (Prayanto,
2014).
5. KESIMPULAN
Penelitian ini menyimpulkan ada
hubungan antara usia (p=0,002), jenis kelamin
(p=0,000), tingkat pendidikan keperawatan
(p=0,000), masa kerja (p=0,000) dan status
pernikahan (p=0,041) dengan burnout perawat
di RSUD Haji Makassar. Saran untuk RSUD
Haji Makassar adalah agar memperhatikan
tingkat burnout perawat dan faktor-faktor yang
berhubungan dengan burnout sehingga dapat
dilakukan upaya dalam hal pencegahan
maupun perbaikan dalam sistem manajemen
rumah sakit.
DAFTAR PUSTAKA
Anoraga, Pandji. 2005. Psikologi Kerja. Jakarta: Rineka Cipta
Astriana, dkk. 2014. Hubungan Pendidikan, Masa Kerja Dan Beban Kerja dengan Keselamatan Pasien RSUD Haji Makassar. Artikel. Manajemen Rumah Sakit Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
Caputo, J.S. 1991. Stress and Burnout in Library Service. Phoenix : Oryx Press.
Chakraborty, C. (2012). Internal Predictors of Burnout in Psychiatric Nurses: An Indian Study. Industrial Psychiatry Journal, 21(2): 119-124
Dardin. 2013. Hubungan Konflik Peran Ganda, Stress Kerja Dan Beban Kerja dengan Burn Out Perawat Wanita Di RS Haji Makassar Tahun 2013. Tesis. Program Studi Keperawatan Universitas Hasanuddin
Erlina, Qorisa Ifa. 2010. Hubungan Antara Persepsi Beban Kerja dengan Burnout pada Perawat di Rumah Sakit Daerah Dr. Haryoto Lumajang. Skripsi. Program Studi Psikologi Universitas Negeri Malang
Jaya, E.D.G. dan Rahmat I. 2005. Burnout Ditinjau dari Locus of Control Internal dan Eksternal. Majalah Kedokteran Nusantara, 38, (3), 213-218.
Khotimah, Kusnul. 2010. Hubungan antara Persepsi terhadap Lingkungan Kerja Psikologis dengan burn out pada Perawat RSU Budi Rahayu Pekalongan. Semarang: FPUNDIP
Mandasari, Tyagita. 2014. Analisa Beban Kerja Perawat Ugd Menggunakan Maslach Burnout Inventory Dan Modifikasi Heart (Studi Kasus: RSU. X). Jurnal Universitas Brawijaya.
Mbuthia, M. N. (2009). An Investigation Into The Factors that Nurses Working in Critical Care Units Perceive as Leading to Burnout.Dissertation. University Of South Africa
Nurjayadi, D.R. 2004. Kejenuhan Kerja (Burnout) Pada Karyawan. Pronesis. Vol. 6(40-54).
Pangastiti, N.K. (2011). Analisis Pengaruh Dukungan Sosial Keluarga Terhadap Burnout Pada Perawat Kesehatan Di Rumah Sakit Jiwa.Skripsi tidak diterbitkan.Semarang Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro
Runtu, Delon. Y. N & Widyarini, Nilam M.M. 2009. Iklim Organisasi, Stres Kerja, Dan Kepuasan Kerja Pada Perawat. Jurnal Psikologi Volume 2, No. 2, Juni 2009
Sari, Ni Luh Putu Dian Yunita. 2012. Hubungan Beban Kerja, Faktor Demografi, Locus Of Control Dan Harga Diri Terhadap Burnout Syndrome Pada Perawat Pelaksana IRD Rsup Sanglah. Jurnal COPING Ners Jurnal Vo. 3 No.2, Mei-Agustus 2015
Spooner-Lane, R. (2004). The Influence Of Work Stress and Work Support on Burnout in Public Hospital Nurses.Thesis. Queensland University of Technology: School Of Learning And Professional Studies.
Sumarna, Endang. 2012. Gambaran Tingkat Burnout Perawat Ruang Perawatan Intensif Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung.Skripsi. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran.
Sumawidanta, W. 2013.Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kinerja Perawat dalam Pemberian Proses keperawatan di Ruang Rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Badung Tahun 2013. Skripsi tidak diterbitkan. Denpasar Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Windayanti dan Prawasti, Cicilia Yetti. 2007. Burnout Pada Perawat Rumah Sakit Pemerintah dan Perawat Rumah Sakit Swasta. JPS. VoL. 13 No. 02