jurnal

21
FAKTOR-FALTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN BURNOUT PERAWAT DI RSUD HAJI MAKASSAR Ika Kasmita Sari Jurusan Kesehatan Masyarakat Peminatan Administrasi Rumah Sakit Jl. Sultan Alauddin No. 36, Samata, Kab. Gowa, Sulawesi Selatan E-mail: [email protected]), [email protected]), [email protected] ) Profesi perawat vital sebagai ujung tombak kesehatan masyarakat, peran perawat sangat stategis menjadi tulang punggung dalam membantu tugas-tugas dokter dan balai pengobatan dalam melayani pasien dan masyarakat pada umumnya. Perawat mengalami kondisi dilematis, di satu sisi pihak rumah sakit cenderung menekan perawat untuk menunjukkan kinerja, namun tanpa diiringi dengan perbaikan kesejahteraan. Di sisi lain pasien selalu menuntut pelayanan maksimal tanpa memperhatikan kondisi perawat. Hal ini dapat berdampak munculnya stres pada perawat. Perawat yang tidak dapat menangani stres dengan segera, maka stres akan berlarut dan mengakibatkan dampak jangka panjang, sehingga muncul kecenderungan burnout pada perawat Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan burnout perawat di RSUD Haji Makassar. Jenis penelitian ini adalah analisis deskriptif korelasional dengan pendekatan metode cross sectional. Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 56 orang. Pengambilan sampel yang digunakan yaitu dengan tekhnik purposive sampling. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Penelitian ini menggunakan uji Chi-square. Hasil uji korelasi Chi-square menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara usia dengan burnout perawat (p = 0,002), jenis kelamin dengan dengan burnout perawat (p = 0,000), masa kerja dengan burnout perawat (p = 0,000), pendidikan dengan burnout perawat (p = 0,041), status perkawinan dengan burnout perawat (p = 0,005).

Upload: anonymous-4w6t2kj

Post on 14-Jul-2016

34 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

kesmas

TRANSCRIPT

Page 1: JURNAL

FAKTOR-FALTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN BURNOUT

PERAWAT DI RSUD HAJI MAKASSAR

Ika Kasmita SariJurusan Kesehatan Masyarakat Peminatan Administrasi Rumah Sakit

Jl. Sultan Alauddin No. 36, Samata, Kab. Gowa, Sulawesi Selatan E-mail: [email protected]), [email protected]),

[email protected])

Profesi perawat vital sebagai ujung tombak kesehatan masyarakat, peran perawat sangat stategis menjadi tulang punggung dalam membantu tugas-tugas dokter dan balai pengobatan dalam melayani pasien dan masyarakat pada umumnya. Perawat mengalami kondisi dilematis, di satu sisi pihak rumah sakit cenderung menekan perawat untuk menunjukkan kinerja, namun tanpa diiringi dengan perbaikan kesejahteraan. Di sisi lain pasien selalu menuntut pelayanan maksimal tanpa memperhatikan kondisi perawat. Hal ini dapat berdampak munculnya stres pada perawat. Perawat yang tidak dapat menangani stres dengan segera, maka stres akan berlarut dan mengakibatkan dampak jangka panjang, sehingga muncul kecenderungan burnout pada perawat Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan burnout perawat di RSUD Haji Makassar.

Jenis penelitian ini adalah analisis deskriptif korelasional dengan pendekatan metode cross sectional. Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 56 orang. Pengambilan sampel yang digunakan yaitu dengan tekhnik purposive sampling. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Penelitian ini menggunakan uji Chi-square.

Hasil uji korelasi Chi-square menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara usia dengan burnout perawat (p = 0,002), jenis kelamin dengan dengan burnout perawat (p = 0,000), masa kerja dengan burnout perawat (p = 0,000), pendidikan dengan burnout perawat (p = 0,041), status perkawinan dengan burnout perawat (p = 0,005).

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka peneliti merekomendasikan agar pihak manajemen RSUD Haji Makassar lebih memperhatikan tingkat burnout perawat karena kinerja perawat memegang peranan penting dalam perawatan pasien. Kata Kunci : burnout, jenis kelamin, usia, masa kerja, pendidikan, status perkawinan

Kata kunci: Perawat, Burnout, jenis kelamin, usia, masa kerja, pendidikan, status perkawinan

1. Pendahuluan

Perawat merupakan ujung tombak

baik tidaknya pelayanan kesehatan yang di

berikan kepada pasien. Hal ini disebabkan

karena jumlahnya yang dominan (50-60%

dari seluruh tenaga yang ada), dan

bertugas merawat dan menjaga pasien

selama 24 jam sehari. Pelayanan yang baik

dengan demikian tidak terlepas dari

adanya komitmen dari perawat untuk

memberikan pelayanan yang baik kepada

Page 2: JURNAL

pasien. Sikap ini akan tumbuh jika perawat

merasa puas bekerja bersama rumah sakit,

tempat dimana individu yang bersangkutan

bekerja (Runtu dan Widyarini, 2009).

Profesi perawat vital sebagai ujung

tombak kesehatan masyarakat, peran

perawat sangat stategis menjadi tulang

punggung dalam membantu tugas-tugas

dokter dan balai pengobatan dalam

melayani pasien dan masyarakat pada

umumnya. Perawat mengalami kondisi

dilematis, di satu sisi pihak rumah sakit

cenderung menekan perawat untuk

menunjukkan kinerja, namun tanpa diiringi

dengan perbaikan kesejahteraan. Di sisi

lain pasien selalu menuntut pelayanan

maksimal tanpa memperhatikan kondisi

perawat. Hal ini dapat berdampak

munculnya stres pada perawat. Perawat

yang tidak dapat menangani stres dengan

segera, maka stres akan berlarut dan

mengakibatkan dampak jangka panjang,

sehingga muncul kecenderungan burnout

pada perawat (Khotimah, 2010).

Pekerjaan perawat memiliki

beberapa karakteristik yang menciptakan

tuntutan kerja yang tinggi, seperti

pekerjaan yang rutin, jadwal kerja yang

ketat, tanggung jawab atas keselamatan

dan kesehatan diri sendiri dan orang lain,

serta dituntut untuk mampu bekerja dalam

tim. Kompleksnya tuntutan pekerjaan dan

tanggung jawab perawat menyebabkan

profesi perawat rentan mengalami burnout

(Lailani 2012).

Dari sebuah studi di Amerika

Serikat, menemukan bahwa 49% dari

perawat yang berusia dibawah 30 tahun

40% perawat berusia diatas 30 tahun yang

berpengalaman mengalami burnout.

Menurut sebuah studi dalam Journal of

American Medical Association, bahwa

setiap penambahan pasien per perawat,

menambah resiko terjadi tingkat kelelahan

sebesar 23%, dan terjadi penurunan

sebesar 15% dalam kepuasan kerja.

(“Departement for Proffesional

Employees”, 2012).

Perawat selalu dituntu dapat

menjadi figur yang dibutuhkan oleh

pasiennya, dapat bersimpati kepada pasien,

selalu menjaga perhatiannya, fokus dan

hangat kepada pasien (Taylor, 1999 dalam

Supriatna, 2011). Sebagian besar tenaga

keperawatan didominasi oleh tenaga kerja

perempuan.

Peran ganda sebagai pekerja

maupun ibu rumah tangga mengakibatkan

tuntutan yang lebih dari biasanya terhadap

wanita karena terkadang para wanita

menghabiskan waktu tiga kali lipat dalam

mengurus rumah tangga dibandingkan

dengan pasangannya yang bekerja pula.

Penelitian yang dilakukan oleh Tera dan

Eko (2009) menunjukkan bahawa wanita

pekerja yang menikah cenderung lebih

tinggi mengalami kelelahan kerja

Page 3: JURNAL

(burnout) dibanding wanita pekerja yang

masih lajang.

Perawat dengan pengalaman kerja

pendek dan perawat yang mempunyai

kesempatan melanjutkan pendidikan,

mengalami burnout rendah, melanjutkan

pendidikan keperawatan profesional

merupakan salah satu faktor untuk

mencegah burnout (Koivula, Paunonen

dan Laippala, 1999).

Hasil data yang di himpun PPNI

pada Mei 2009 di Makassar menunjukkan

51% perawat mengalami stres kerja,

pusing, lelah, kurang istirahat karena

beban kerja terlalu tinggi. Beberapa rumah

sakit di Makassar menempatkan perawat

tidak sesuai keahlian (Khotimah, 2010).

Fenomena yang telah dijelaskan

sebelumnya juga dialami oleh perawat

wanita yang berkerja di RS Haji Makassar

dimana saat ini mayoritas (85 %) tenaga

perawatnya adalah perawat wanita dan

sebagian besar sudah berkeluarga.

Menurut Dardin (2013), fenomena yang

temukan dari hasil wawancara dengan

kepala seksi keperawatan RS Haji

Makassar, diketahui pada tahun 2012 dari

7 perawat yang pindah ke tugas ke

puskesmas dan poliklinik 2 diantaranya

karena alasan beban kerja yang terlalu

tinggi, 3 orang karena alasan kesulitan

membagi waktu mengurus rumah tangga, 2

orang karena ikut suami yang ditugaskan

ke daerah lain (Dardin, 2013).

Menurut Dardin (2013), dari hasil

wawancara dengan 10 orang perawat

wanita yang dilakukan secara acak

didapatkan informasi bahwa kebanyakan

mengeluh merasakan lelah karena beban

kerja yang terlalu berat, mengeluh sering

sakit kepala dan mudah marah, kesulitan

mengatur jadwal dinas dengan urusan

rumah tangga, sebagian memikirkan untuk

pindah kepoliklinik atau ke puskesmas dan

sebagian mengatakan masih menggunakan

waktu dinas melakukan tugas-tugas

dirumah yang belum tuntas.

Diharapkan, penelitian ini

mampu memberikan manfaat bagi

RSUD Haji Makassar dalam

memberikan informasi terkait burnout

perawat terutama terkait dengan

faktor-faktor yang berhubungan

dengan burnout itu sendiri.

2. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian

deskriptif korelasional dengan

menggunakan desain cross sectional.

Penelitian dilakukan di ruang rawat

inap, IGD dan ICU RSUD Haji

Makassar. Penelitian ini akan

dilaksanakan pada bulan November

2015. Jumlah populasi dalam

penelitian ini perawat di ruang ICU

dan UGD RSUD Haji Makassar yang

berstatus PNS berjumlah 133 orang.

Jumlah sampel dalam penelitian ini

adalah 56 orang. Penarikan sampel

Page 4: JURNAL

dengan menggunakan tekhnik

pengambilan purposive sampling

dengan Kriteria inklusi dalam

penelitian ini adalah :

a. Bersedia menjadi responden

b. Berstatus PNS

c. Pengalaman kerja > 6 bulan

Kriteria eksklusi dalam penelitian ini

adalah:

a. Perawat sedang cuti saat

pelaksanaan penelitian

b. Perawat sakit saat pelaksanaan

penelitian

Pengumpulan data dilakukan dengan

mengajukan pernyataan berupa

kuesioner mengenai karakteristik data

demografi dan tingkat burnout

perawat yang diukur dengan kuesioner

MBI (Maslach Burnout Inventory)

yang terdiri dari 22 pertanyaan.

Berdasarkan tujuan penelitian dan

jenis data yang ada maka metode

statistik yang diungkapkan untuk

analisis data adalah teknik korelasi

Chi-square, teknik ini digunakan

untuk melihat apakah ada hubungan

antara usia, jenis kelamin, pendidikan,

masa kerja dan status pernikahan

dengan Burnout pada perawat di

RSUD Haji Makassar

.

3. HASIL

a. Tingkat burnoutTabel 4.2

Distribusi frekuensi responden berdasarkan tingkat burnout perawat di RSUD Haji

Makassar pada Bulan November 2015 (n=56)Kategori Frekuensi (n) Persentase (%)

Tidak burnout 15 26,8Burnout ringan 27 48,2Burnout sedang 14 25,0Total 56 100

Sumber : Data Primer, 2015

Data burnout perawat dideskripsikan

menggunakan nilai skoring dan digolongkan

menjadi burnout ringan, sedang dan berat.

Hasil pengukuran tingkat burnout pada

perawat menunjukkan bahwa mayoritas

responden mengalami burnout kategori ringan

sebanyak 27 orang (48,2%), responden yang

tidak mengalami burnout sebanyak 15 orang

(26,8%) dan responden yang mengalami

depresi kategori sedang sebanyak 14 orang

(25,0%).

b. Hubungan usia dengan burnout

perawatTabel 4.3

Hubungan antara usia dengan tingkat burnout perawat di RSUD Haji Makassar

pada bulan November 2015

Usia

Tingkat burnoutTotal pTidak Ringan Sedang

n % n % n % n %

Dewasa

awal4 11,4 19 54,3 12 34,3 35 100

0,002Dewasa

tengah 11 52,4 8 38,1 2 9,5 21 100

Total 15 26,8 27 48,2 14 25,0 56 100

*Uji Chi-squareSumber : Data Primer, 2015

Berdasarkan hasil analisis

hubungan usia dengan burnout perawat

menunjukkan bahwa proporsi responden

yang temasuk kelompok dewasa awal

(20-30 tahun) yang mengalami bunout

ringan sebesar 37,9% dan bunout sedang

sebesar 34,3% lebih tinggi daripada

Page 5: JURNAL

responden yang temasuk dalam kelompok

dewasa tengah (>30-65 tahun) yang

mengalami bunout ringan sebesar 38,1%

dan burnout sedang sebesa 9,5%.

Berdasarkan hasil uji Chi-square

diperoleh nilai p = 0,002, maka dapat

disimpulkan bahwa terdapat hubungan

yang signifikan antara usia perawat

dengan burnout yang dialami perawat.

c. Hubungan jenis kelamin dengan burnout perawat

Tabel 4.4Hubungan antara jenis kelamin dengan tingkat burnout perawat di RSUD Haji Makassar pada bulan November 2015

Jenis

kelamin

Tingkat burnoutTotal

Tidak Ringan Sedang

n % n % n % n %

Laki-laki 13 56,5 8 34,8 2 8,7 23 100

Perempuan 2 61,1 19 57,6 12 36,4 33 100

Total 15 26,8 27 48,2 14 25,0 56 100

*Uji Chi-squareSumber : Data Primer, 2015

Berdasarkan hasil analisis

hubungan jenis kelamin dengan burnout

perawat menunjukkan bahwa proporsi

responden yang berjenis kelamin

perempuan yang mengalami burnout

ringan sebesar 57,6% dan burnout sedang

36,4% lebih tinggi daripada responden

berjenis kelamin laki-laki yang

mengalami burnout ringan sebesar 34,8%

dan bunout sedang sebesar 8,7%.

Berdasarkan hasil uji Chi-square

diperoleh nilai p = 0,000, maka dapat

disimpulkan bahwa terdapat hubungan

yang signifikan antara jenis kelamin

perawat dengan burnout yang dialami

perawat.

d. Hubungan masa kerja dengan burnout perawat

Tabel 4.5Hubungan antara masa kerja dengan

tingkat burnout perawat di RSUD Haji Makassar pada bulan November 2015

Masa kerja

Tingkat burnoutTotal pTidak Ringan Sedang

n % n % n % n %

1-5 tahun 3 9,4 17 53,1 12 37,5 32 100

0,0016-10 tahun 12 50,0 10 41,7 2 8,3 24 100

Total 15 26,8 27 48,7 14 25,0 56 100

*Uji Chi-squareSumber : Data Primer, 2015

Berdasarkan hasil analisis

hubungan status perkawinan dengan

burnout perawat menunjukkan bahwa

proporsi responden dengan masa kerja

selama 1-5 tahun yang mengalami

burnout ringan sebesar 66,7% dimana

lebih tinggi daripada responden dengan

masa keja 6-10 tahun yang mengalami

burnout ringan sebesar 41,7% dan

burnout sedang sebesar 8,3%.

Berdasarkan hasil uji Chi-square

diperoleh nilai p = 0,001, maka dapat

disimpulkan bahwa terdapat hubungan

yang signifikan antara masa kerja dengan

burnout yang dialami perawat.

e. Hubungan pendidikan dengan burnout perawat

Tabel 4.6 Hubungan antara pendidikan dengan tingkat burnout perawat di RSUD Haji Makassar pada bulan November 2015

Page 6: JURNAL

*Uji Chi-squareSumber : Data Primer, 2015

Berdasarkan hasil analisis

hubungan tingkat pendidikan dengan

burnout perawat menunjukkan bahwa

proporsi responden dengan pendidikan

terakhir D3 yang mengalami burnout

ringan sedang sebesar 65% dimana lebih

tinggi dibandingkan responden dengan

pendidikan S1/Ners yang mengalami

burnout sedang sebesar 2,8%. Sedangkan

responden dengan pendidikan terakhir

S1/Ners dan tidak mengalami burnout

sebesar 36,1% dimana lebih tinggi

dibandingkan dengan responden dengan

pendidikan terakhir D3 yang tidak

mengalami burnout hanya sebesar 10%.

Berdasarkan hasil uji Chi-square

diperoleh nilai p = 0,000, maka dapat

disimpulkan bahwa terdapat hubungan

yang signifikan antara tingkat pendidikan

dengan burnout yang dialami perawat.

f. Hubungan status pernikahan dengan burnout perawat

Tabel 4.7Hubungan antara status perkawinan

dengan tingkat burnout perawat di RSUD Haji Makassar pada bulan November 2015

Status

perkawinan

Tingkat burnoutTotal

Tidak Ringan Sedang

n % n % n % n %

Belum

menikah9 40,9 11 50,0

2 9,122 100

0,041menikah 6 17,6 16 47,1 12 35,3 34 100

Total 15 26,8 27 48,2 14 25,0 56 100

*Uji Chi-squareSumber : Data Primer, 2015

Berdasarkan hasil analisis

hubungan status perkawinan dengan

burnout perawat menunjukkan bahwa

proporsi responden yang telah menikah

yang mengalami burnout sedang sebesar

35,3% lebih tinggi dibandingkan

responden yang belum menikah yang

mengalami burnout sedang sebesar 9,1%.

Sedangkan responden yang telah menikah

yang tidak mengalami burnout lebih

rendah dibandingkan responden yang

belum menikah dan tidak mengalami

burnout sebesar 40,9%. Berdasarkan hasil

uji Chi-square diperoleh nilai p = 0,041,

maka dapat disimpulkan bahwa terdapat

hubungan yang signifikan antara status

perkawinan dengan burnout yang dialami

perawat.

4. PEMBAHASAN

a. Tingkat burnout perawat

Berdasarkan hasil penelitian

menunjukkan bahwa mayoritas responden

mengalami burnout ringan (48,2%) dan

sisanya mengalami burnout sedang (25%)

dan tidak mengalami burnout ( 26,8%). Hal

Pendidikan

Tingkat burnoutTotal

pTidak Ringan Sedang

n % n % n % n %

D3 2 10,0 5 25,0 13 65,0 20 65,0

0,000S1/Ners 13 36,1 22 61,1 1 2,9 36 100

Total 15 26,8 27 48,2 14 25,0 56 100

Page 7: JURNAL

ini sejalan dengan penelitian yang

dilakukan Erlina (2010) di Rumah Sakit

Daerah Dr. Haryoto Lumajang dengan

sampel yakni  32 perawat rawat inap

menunjukkan hasil bahwa 27,78% perawat

memiliki tingkat burnout rendah, 51,85%

dengan tingkat burnout sedang dan 20,37%

memiliki tingkat burnout tinggi.

Penelitian yang dilakukan oleh

Sumarna (2012) di Rumah Sakit Hasan

Sadikin Bandung dengan subyek dalam

penelitian tersebut adalah para perawat di

ruang intensif yang dinilai memiliki tugas

yang kompleks dalam menangani pasien.

Penelitian tersebut menggunakan teknik

total sampel, yaitu berjumlah 104 subyek.

Berdasarkan data yang diperoleh ditemukan

hasil 61 (58,6%) perawat memiliki sindrom

burnout pada kategori ringan, 37 (36,6%)

perawat berada pada kategori sedang, dan

sisanya sebanyak 5,7% atau sekitar 6

perawat mengalami burnout pada kategori

tinggi. 

Tingginya perawat yang

mengalami burnout dijelaskan oleh Pines

dan Aronson (dalam Sutjipto, 2001) bahwa

kecenderungan burnout memiliki resiko

tinggi dialami oleh seseorang yang bekerja

dibidang pekerjaan yang berorientasi

melayani orang lain, seperti bidang

pelayanan kesehatan, bidang pelayanan

sosial ataupun bidang pendidikan. Cherniss

(dalam Jaya dan Rahmat, 2005).

Dijelaskan oleh Windayanti dan

Cicilia (2007) bahwa gejala yang dapat

ditunjukkan oleh seseorang yang

mengalami kejenuhan kerja antara lain

resistensi yang tinggi untuk melaksanakan

kegiatan, terdapat perasaan gagal didalam

diri, cepat marah dan sering kesal, rasa

bersalah dan menyalahkan, keengganan dan

ketidakberdayaan, negatifisme, isolasi dan

penarikan diri, perasaan capek dan lelah

setiap hari, sering memperhatikan jam

ketika melaksanakan kegiatan, hilang

perasaan positif terhadap klien, menunda

kontak dengan klien, membatasi telepon

dari klien dan kunjungan dari tempat kerja,

menyamaratakan klien, tidak mampu

menyimak apa yang klien ceritakan, merasa

tidak aktif, sinisme terhadap klien dan

sikap menyalahkan, gangguan tidur atau

sulit tidur, asyik dengan diri sendiri,

mendukung tindakan untuk mengontrol

lingkungan misalnya menggunakan obat

penenang, sering demam dan flu, sering

sakit kepala dan gangguan pencernaan,

kaku dalam berfikir dan resisten terhadap

perubahan, rasa curiga yang berlebihan dan

paranoid, penggunaan obat-obatan yang

berlebihan, atau sangat sering membolos.

b. Hubungan usia dengan burnout perawat

Berdasarkan hasil penelitian

menunjukkan proporsi responden yang

mengalami burnout sedang dan termasuk

dalam kelompok usia dewasa awal (20-30

tahun) (34,3%) lebih tinggi dibandingkan

responden yang mengalami burnout sedang

dan termasuk dalam kelompok usia dewasa

tengah (>30-65 tahun) (9,5%).

Berdasarkan hasil uji Chi-square diperoleh

nilai p = 0,002, maka dapat disimpulkan

Page 8: JURNAL

bahwa terdapat hubungan yang signifikan

antara usia perawat dengan burnout yang

dialami perawat.

Hasil penelitian ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Sari (2015) di

RSUP Sanglah dengan sampel yaitu 53 orang

perawat pelaksana Ruang IRD yang

menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang

bermakna antara variabel usia dengan burnout

syndrome nilai p value sebesar 0,033 (p value

< 0,05). Sebagian besar responden kurang dari

30 tahun cenderung mengalami burnout

syndrome ringan yaitu sebanyak 30 orang

(56,6%) sedangkan usia ≥ 30 tahun cenderung

mengalami burnout syndrome sedang yaitu

sebanyak 5 orang (9,5%).

Perawat yang lebih tua

biasanya lebih menguasai pekerjaan

yang mereka lakukan dan keinginan

agar mencapai kinerja lebih baik

daripada perawat yang berusia lebih

muda juga lebih tinggi.Tuntutan dalam

diri perawat yang berusia lebih tua

cenderung membuat stres hingga

terjadinya kelelahan fisik, emosional

dan psikologi (Sumawidanta, 2013).

Burnout tinggi cenderung

dialami oleh perawat yang berusia

lebih muda. Menurut asumsi peneliti,

hal ini terjadi karena perawat yang

berusia muda merupakan perawat baru

yang bekerja di RSUD Haji Makassar.

Perawat baru mengalami proses

adaptasi dengan pekerjaan dan

lingkungan kerjanya dan proses ini

merupakan suatu penyebab yang

mengakibatkan terjadinya burnout.

Hasil penelitian ini didukung oleh

teori Ericksson dan Grove menemukan

bahwa perawat muda mengalami

tingkat burnout lebih tinggi daripada

rekan – rekan kerja yang lebih tua.

Perawat muda kurang efisien dalam

menghalangi perasaan pribadi dalam

situasi mengendalikan stres sedangkan

perawat yang lebih tua dan lebih

berpengalaman diduga lebih efisien.

Kilfedder et.al (dalam Spooner-Lane,

2004) menemukan bahwa tingkat

depersonalisasi yang lebih tinggi

terkait dengan usia muda atau perawat

baru. Burnout umumnya terjadi pada

karyawan yang lebih muda mungkin

karena belum siap menjalani

pekerjaan, kurangnya adaptasi,

ketidakamanan di lingkungan kerja

ataupun persepsi tentang ambiguitas

peran.

Umur berpengaruh terhadap

kemampuan mengatasi masalah dalam

pekerjaan yang berpengaruh terhadap

birnout seperti yang dikemukakan

oleh Maslach (1982 dalam Caputo

1991) mengatakan orang usia muda

memiliki kemungkinan mengalami

burnout lebih daripada usia di bawah

30 tahun, yang mempunyai

pengalaman pekerjaan yang relatif

sedikit oleh Maslach (1996 dalam

Cooper et al., 2003). Para pekerja

pemberi pelayanan di usia muda

dipenuhi dengan harapan yang tidak

realistik, jika dibandingkan dengan

Page 9: JURNAL

pertambahan usia pada umumnya

individu menjadi lebih matang, lebih

stabil, lebih teguh sehingga memiliki

pandangan yang lebih realistis.

c. Hubungan jenis kelamin dengan burnout perawat

Berdasarkan hasil analisis hubungan

jenis kelamin dengan burnout perawat

menunjukkan bahwa proporsi responden yang

mengalami burnout sedang dan berjenis

kelamin perempuan (36,4%) lebih tinggi

daripada responden yang mengalami burnout

sedang dan berjenis kelamin laki-laki (8,7%).

Berdasarkan hasil uji Chi-square diperoleh

nilai p = 0,000, maka dapat disimpulkan

bahwa terdapat hubungan yang signifikan

antara jenis kelamin perawat dengan burnout

yang dialami perawat.

Hal yang serupa diungkapkan dalam

penelitian yang dilakukan oleh Prihantoro

(2014) di Rumah Sakit Islam Surakarta dengan

jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak

100 perawat yang menunjukkan hasil bahwa

ada perbedaan kecenderungan burnout Ada

perbedaan kecenderungan burnout antara laki-

laki dan perempuan.

Hal yang serupa diungkapkan

dalam penelitian yang dilakukan oleh

Prihantoro (2014) di Rumah Sakit Islam

Surakarta dengan jumlah sampel dalam

penelitian ini sebanyak 100 perawat yang

menunjukkan hasil bahwa ada perbedaan

kecenderungan burnout Ada perbedaan

kecenderungan burnout antara laki-laki dan

perempuan.

Ivancevich, dkk (2005) menyatakan

bahwa wanita cenderung mengalami

burnout daripada pekerja pria. Wanita yang

telah menikah, tidak mudah untuk

menjalani karier ganda, membagi pikiran,

tenaga dan perhatian pada pekerjaan kantor

dan domestik rumah tangga.

Anoraga (2005) menyatakan bahwa

dalam meniti karier, wanita mempunyai

beban dan hambatan lebih berat dibanding

rekan prianya. Dalam arti, wanita harus

lebih dahulu mengatasi urusan keluarga-

suami, anak dan halhal lain yang

menyangkut domestik. rumah tangganya.

Oleh karena itu tidak jarang seorang yang

telah menikah sekaligus bergelut dalam

dunia kerja mengalami kelelahan fisik,

mental, dan emosional, yang dalam dunia

psikologi disebut sebagai burnout.

d. Hubungan masa kerja dengan burnout perawat

Berdasarkan hasil uji Chi-square

diperoleh nilai p = 0,001, maka dapat

disimpulkan bahwa terdapat hubungan

yang signifikan antara masa kerja dengan

burnout yang dialami perawat. Artinya

bahwa perawat yang semakin lama bekerja,

maka semakin merasakan kelelahan dan

kejenuhan dalam menangani pasien.

Hal ini sejalan dengan penelitian

yang dilakukan oleh Mandasari, dkk (2014)

bahwa perawat yang masa kerjanya kurang

dari 10 tahun memiliki nilai rata-rata

burnout lebih tinggi dibandingkan dengan

perawat dengan masa kerja lebih dari 10

tahun.

Page 10: JURNAL

Hal yang sama diungkapkan dalam

penelitian yang dilakukan oleh Sari (2015)

yang menunjukkan bahwa hasil analisis

antara masa kerja dengan burnout

syndrome adalah terdapat hubungan yang

bermakna antar variabel dengan nilai p

value sebesar 0,000 (p value<0,05).

Masa kerja adalah panjangnya

waktu terhitung mulai pertama kali masuk

kerja hingga saat penelitian. Tekanan

melalui fisik (beban kerja) pada suatu

waktu tertentuk mengakibatkan

berkurangnya kinerja otot, gejala yang

ditunjukkan juga berupa pada makin

rendahnya gerakan. Keadaaan ini tidak

hanya disebabkan oleh suatu sebab tunggal

seperti terlalu kerasnya beban kerja, namun

juga oleh tekanan–tekanan yang

terakumulasi setiap harinya pada suatu

masa yang panjang (Anoraga, 2005).

Walaupun dengan masa kerja

yang lama seorang perawat mendapatkan

pengalaman kerja yang banyak, namun pola

pekerjaan perawat yang monoton dan

bersifat human service justru menimbulkan

kelelahan fisik, emosi dan psikologi yang

mengarah pada burnout syndrome

(Pangastiti, 2011). Pendapat lain

mengatakan adanya hubungan antara masa

kerja dengan tingkat stres kerja yaitu

perawat dengan masa kerja 1-3 tahun

mengalami stres yang lebih tinggi karena

selama masa tersebut mereka

membutuhkan waktu yang banyak untuk

upaya pembangunan karir sehingga kadang

kebutuhan personal dan mentalnya

terabaikan (Dimunova, 2012). Perawat

dengan masa kerja yang lebih sedikit lebih

rentan mengalami stres dibandingkan masa

kerja yang lebih lama yang sudah bisa

beradaptasi (Peterson, 2009).

e. Hubungan masa kerja dengan burnout perawat

Berdasarkan hasil uji Chi-square

diperoleh nilai p = 0,000, maka dapat

disimpulkan bahwa terdapat hubungan

yang signifikan antara pendidikan dengan

burnout yang dialami perawat.

Hal ini tidak sejalan dengan penelitian

yang dilakukan oleh Sari (2015) yang

menunjukkan bahwa hasil analisis antara

tingkat pendidikan dengan burnout syndrome

adalah tidak terdapat hubungan yang

bermakna antar variabel dengan nilai p value

sebesar 0,752 (p value>0,05). Tingkat

pendidikan responden didominasi oleh tingkat

pendidikan DIII Keperawatan yaitu sebanyak

52 orang (98,1%) dan hanya 1 orang (1,9%)

dengan tingkat pendidikan S1 Keperawatan.

Tidak adanya hubungan antara tingkat

pendidikan dengan burnout syndrome

kemungkinan disebabkan karena perawat

pelaksana yang menjadi sampel dalam

penelitian tersebut sebagian besar memiliki

tingkat pendidikan yang sama yaitu DIII

Keperawatan sehingga tidak mampu membuat

hasil yang general. Namun, Siagian (2009)

mengemukakan bahwa semakin tinggi tingkat

pendidikan seseorang maka semakin besar

keinginan untuk memanfaatkan pengetahuan

dan keterampilan yang dimilikinya serta

semakin besar pula tuntutan pekerjaan

sehingga berpengaruh terhadap perilaku

Page 11: JURNAL

kerjanya. Hasil ini sejalan dengan penelitian

yang dilakukan oleh oleh Chakaborty (2012)

yaitu tidak terdapat hubungan antara tingkat

pendidikan dengan burnout syndrome (p

value=0,285, p value>0,05).

Kemampuan kerja seseorang berkaitan

erat dengan tingkat pendidikan yang telah

ditetapkan untuk ditempuh oleh seseorang

sebagai tenaga perawat. Tenaga perawat yang

memiliki tingkat pendidikan yang memadai

sesuai dengan profesinya akan mempunyai

kemampuan yang baik dalam melaksanakan

pelayanan medis atau melakukan tindakan

perawatan terhadap pasien (Astriana, 2014).

Penyesuaian antara pendidikan dengan

tugas yang diberikan perlu diperhatikan.

Tingkat pendidikan yang rendah jika

dihadapkan dengan tugas dan beban kerja yang

melebihi kapabilitasnya cenderung akan

meningkatkan stres dan mengalami burnout.

Teori Pearlman dan Hartman yang

mengatakan hubungan antara persepsi dengan

dampak stres kerja pada karyawan. Teori ini

memprediksi bahwa ketika harapan dan nilai –

nilai karyawan tidak sesuai dengan harapan

dan nilai – nilai organisasi, karyawan tersebut

jauh lebih mungkin untuk meningkatkan gejala

burnout (Mbuthia, 2009).

f. Hubungan masa kerja dengan burnout perawat

Berdasarkan hasil analisis hubungan

status perkawinan dengan burnout perawat

menunjukkan bahwa proporsi responden yang

telah menikah yang mengalami burnout

sedang sebesar 35,3% lebih tinggi

dibandingkan responden yang belum menikah

yang mengalami burnout sedang sebesar 9,1%.

Sedangkan responden yang telah menikah

yang tidak mengalami burnout lebih rendah

dibandingkan responden yang belum menikah

dan tidak mengalami burnout sebesar 40,9%

Berdasarkan hasil uji Chi-square diperoleh

nilai p = 0,029, maka dapat disimpulkan

bahwa terdapat hubungan yang signifikan

antara status perkawinan dengan burnout yang

dialami perawat.

Hasil ini sejalan dengan hasil yang

diungkapkan dalam penelitian Mandasari, dkk

(2014) menunjukkan bahwa perawat yang

belum menikah lebih rentan mengalami

burnout karena nilai rata-rata burnout perawat

yang belum menikah lebih tinggi

dibandingkan dengan perawat yang telah

menikah.

Annual Review of Psychology (dalam

Nurjayadi, 2004) melaporkan bahwa individu

yang belum menikah (khususnya laki-laki)

dilaporkan lebih rentan terhadap sindrom

burnout dibandingkan individu yang sudah

menikah. Namun perlu penjelasan lebih lanjut

untuk status perkawinan. Mereka yang sudah

menikah bisa saja memiliki resiko untuk

mengalami burnout jika perkawinannya

kurang harmonis atau mempunyai pasangan

yang tidak dapat memberikan dorongan sosial

(Nurjayadi, 2004).

Tingkat burnout tinggi yang lebih

banyak perawat yang sudah menikah. Hal ini

dimungkinkan terjadi karena seseorang yang

sudah menikah lebih banyak memiliki

tanggung jawab dan tuntutan daripada

seseorang yang belum menikah, sehingga

orang yang sudah menikah lebih banyak

memiliki beban pikiran. Orang yang sudah

Page 12: JURNAL

menikah akan memiliki tanggung jawab

terhadap keluarga dan pekerjaan berbeda

dengan seseorang yang belum menikah yang

bisa fokus terhadap pekerjaannya (Prayanto,

2014).

5. KESIMPULAN

Penelitian ini menyimpulkan ada

hubungan antara usia (p=0,002), jenis kelamin

(p=0,000), tingkat pendidikan keperawatan

(p=0,000), masa kerja (p=0,000) dan status

pernikahan (p=0,041) dengan burnout perawat

di RSUD Haji Makassar. Saran untuk RSUD

Haji Makassar adalah agar memperhatikan

tingkat burnout perawat dan faktor-faktor yang

berhubungan dengan burnout sehingga dapat

dilakukan upaya dalam hal pencegahan

maupun perbaikan dalam sistem manajemen

rumah sakit.

DAFTAR PUSTAKA

Anoraga, Pandji. 2005. Psikologi Kerja. Jakarta: Rineka Cipta

Astriana, dkk. 2014. Hubungan Pendidikan, Masa Kerja Dan Beban Kerja dengan Keselamatan Pasien RSUD Haji Makassar. Artikel. Manajemen Rumah Sakit Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin

Caputo, J.S. 1991. Stress and Burnout in Library Service. Phoenix : Oryx Press.

Chakraborty, C. (2012). Internal Predictors of Burnout in Psychiatric Nurses: An Indian Study. Industrial Psychiatry Journal, 21(2): 119-124

Dardin. 2013. Hubungan Konflik Peran Ganda, Stress Kerja Dan Beban Kerja dengan Burn Out Perawat Wanita Di RS Haji Makassar Tahun 2013. Tesis. Program Studi Keperawatan Universitas Hasanuddin

Erlina, Qorisa Ifa. 2010. Hubungan Antara Persepsi Beban Kerja dengan Burnout pada Perawat di Rumah Sakit Daerah Dr. Haryoto Lumajang. Skripsi. Program Studi Psikologi Universitas Negeri Malang

Jaya, E.D.G. dan Rahmat I. 2005. Burnout Ditinjau dari Locus of Control Internal dan Eksternal. Majalah Kedokteran Nusantara, 38, (3), 213-218.

Khotimah, Kusnul. 2010. Hubungan antara Persepsi terhadap Lingkungan Kerja Psikologis dengan burn out pada Perawat RSU Budi Rahayu Pekalongan. Semarang: FPUNDIP

Mandasari, Tyagita. 2014. Analisa Beban Kerja Perawat Ugd Menggunakan Maslach Burnout Inventory Dan Modifikasi Heart (Studi Kasus: RSU. X). Jurnal Universitas Brawijaya.

Mbuthia, M. N. (2009). An Investigation Into The Factors that Nurses Working in Critical Care Units Perceive as Leading to Burnout.Dissertation. University Of South Africa

Nurjayadi, D.R. 2004. Kejenuhan Kerja (Burnout) Pada Karyawan. Pronesis. Vol. 6(40-54).

Pangastiti, N.K. (2011). Analisis Pengaruh Dukungan Sosial Keluarga Terhadap Burnout Pada Perawat Kesehatan Di Rumah Sakit Jiwa.Skripsi tidak diterbitkan.Semarang Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro

Runtu, Delon. Y. N & Widyarini, Nilam M.M. 2009. Iklim Organisasi, Stres Kerja, Dan Kepuasan Kerja Pada Perawat. Jurnal Psikologi Volume 2, No. 2, Juni 2009

Sari, Ni Luh Putu Dian Yunita. 2012. Hubungan Beban Kerja, Faktor Demografi, Locus Of Control Dan Harga Diri Terhadap Burnout Syndrome Pada Perawat Pelaksana IRD Rsup Sanglah. Jurnal COPING Ners Jurnal Vo. 3 No.2, Mei-Agustus 2015

Page 13: JURNAL

Spooner-Lane, R. (2004). The Influence Of Work Stress and Work Support on Burnout in Public Hospital Nurses.Thesis. Queensland University of Technology: School Of Learning And Professional Studies.

Sumarna, Endang. 2012. Gambaran Tingkat Burnout Perawat Ruang Perawatan Intensif Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung.Skripsi. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran.

Sumawidanta, W. 2013.Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kinerja Perawat dalam Pemberian Proses keperawatan di Ruang Rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Badung Tahun 2013. Skripsi tidak diterbitkan. Denpasar Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Windayanti dan Prawasti, Cicilia Yetti. 2007. Burnout Pada Perawat Rumah Sakit Pemerintah dan Perawat Rumah Sakit Swasta. JPS. VoL. 13 No. 02