jurnal
DESCRIPTION
metpenTRANSCRIPT
PENGARUH GETAH JARAK PAGAR (JATROPHA CURCAS L.) TERHADAP
PROSES PENYEMBUHAN STOMATITIS AFTOSA REKUREN (SAR) MINOR
A. Latar Belakang
Sariawan merupakan salah satu keadaan yang sering
terjadi secara berulang pada mukosa mulut seseorang, dapat dikatakan bahwa setiap
orang pasti pernah mengalami sariawan baik yang ringan maupun yang berat sampai
sariawan tersebut mengganggu fungsi fisiologis. Gangguan ini dapat menyebabkan
seseorang penderita mengalami gangguan bicara, mengunyah, menelan bahkan kelainan
ini dapat mengakibatkan menurunnya kondisi tubuh bila terjadi dalam waktu yang lama
dengan frekuensi kejadian yang sering (Fitriana dkk, 2005).
Di kalangan masyarakat terdapat sekelompok orang yang hampir secara rutin
mengalami sakit berupa luka-luka di dalam mulutnya. Kalangan masyarakat awam
menyebutnya dengan nama sariawan atau panas dalam. Sedangkan dari kalangan medis
penyakit ini dikenal dengan nama Stomatitis Aftosa Rekuren atau SAR (Haikal, 2009).
SAR bukanlah suatu penyakit yang baru, akan tetapi merupakan penyakit mulut
yang relatif sering terjadi di masyarakat. Sebenarnya penyakit ini relatif ringan, tidak
membahayakan jiwa, namun dapat menurunkan kualitas hidup penderitanya, terutama
pada penderita yang selalu berulang kejadiannya. Dari penelitian-penelitian
epidemiologi menunjukkan pada umumnya prevalensi SAR berkisar 20-60% pada
setiap jenis SAR, tetapi pada SAR tipe minor berkisar 70-90% dibandingkan SAR tipe
lainnya (Haikal, 2009).
Jarak pagar (Jatropha curcas L.) merupakan tanaman yang sudah lama dikenal oleh
masyarakat Indonesia sebagai tanaman pembatas/pagar, tanaman obat dan penghasil
minyak untuk lampu, bahkan sewaktu zaman penjajahan Jepang minyaknya diolah
untuk bahan bakar pesawat terbang. Tanaman ini diduga berasal dari daerah tropis di
Amerika Tengah dan saat ini telah menyebar diberbagai tempat di Afrika dan Asia.
Jarak pagar merupakan tanaman serbaguna, tahan kering, dan tumbuh dengan cepat.
Tanaman ini dapat digunakan untuk kayu bakar, mereklamasi lahan-lahan tererosi atau
sebagai pagar hidup dipekarangan dan kebun (Ditjenbun, 2007).
Di sisi lain, jarak pagar juga penting bagi kesehatan. Secara tradisional getah jarak
dipakai untuk obat sakit gigi. Selain itu, jarak pagar juga digunakan untuk obat malaria,
rematik, dan nyeri otot. Sedangkan akar jarak dapat digunakan sebagai penawar racun
ular (Anonim, 2010).
Jika dilukai, setiap bagian tanaman mengeluarkan getah yang tempo dulu dimanfaatkan
untuk mencuci. Getah ini mengandung alkaloid disebut jatrophine yang dimanfaatkan
sebagai obat luka, sakit kulit, dan rematik. Getah jarak bersifat antimikroba dan dapat
digunakan untuk mengatasi sakit gigi karena gigi berlubang (Hariyono dan Soenardi,
2005). Selain itu, getah jarak pagar juga dapat digunakan sebagai obat sariawan
(Sudirga, 2008).
Saat ini banyak beredar obat-obatan yang dipromosikan sebagai pencegahan
maupun menyembuhkan sariawan (stomatitis) dengan cepat, sedangkan kita ketahui
bahwa obat-obatan tersebut dijual dengan harga yang relatif' mahal, terutama bagi
masyarakat golongan menengah ke bawah. Selain itu, penggunaan obat-obatan yang
kurang hati-hati atau tidak sesuai dengan dosis yang dianjurkan dapat menimbulkan
efek samping yang tidak diinginkan. Obat tradisional kembali populer dipilih sebagai
obat untuk menyembuhkan berbagai penyakit karena disamping harganya terjangkau,
tetapi juga khasiatnya cukup menjanjikan (Fitriana dkk, 2005).
Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengetahui pengaruh getah jarak pagar
(Jatropha curcas L.) terhadap proses penyembuhan Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR)
Minor.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut :
Apakah getah jarak pagar (Jatropha curcas L.) berpengaruh terhadap proses
penyembuhan Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor ?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan proposal skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengaruh getah jarak pagar (Jatropha curcas L.) terhadap proses
penyembuhan Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor.
2. Untuk mensosialisasikan bahwa ada obat tradisional yang mudah didapat dan murah,
yang dapat digunakan untuk mengobati sariawan (stomatitis) khususnya Stomatitis
Aftosa Rekuren (SAR) Minor.
D. Manfaat
Manfaat dari penulisan proposal skripsi ini adalah :
1. Dapat mengetahui pengaruh getah jarak pagar (Jatropha curcas L.) terhadap proses
penyembuhan Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor.
2. Memberikan informasi dan pengetahuan kepada masyarakat mengenai penggunaan
getah
jarak pagar (Jatropha curcas L.) untuk penyembuhan sariawan (stomatitis)
khususnya Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor, sehingga getah jarak pagar
dapat dimanfaatkan secara maksimal.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR)
Stomatitis Aftosa Rekuren atau yang di kalangan masyarakat awam disebut
sariawan adalah luka yang terbatas pada jaringan lunak rongga mulut. Istilah rekuren
digunakan karena memang lesi ini biasanya hilang timbul. Luka ini bukan infeksi, dan
biasanya timbul soliter atau di beberapa bagian di rongga mulut seperti pipi, di sekitar
bibir, lidah, atau mungkin juga terjadi di tenggorokan dan langit-langit mulut (Anonim,
2009).
Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) adalah salah satu kelainan mukosa rongga mulut yang
paling sering terjadi dan menyerang kira-kira 15-20% populasi masyarakat. Stomatitis
Aftosa Rekuren sering menimbulkan rasa sakit dan perasaan yang tidak nyaman
(Plemons dkk, 1994).
Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) mengenai permukaan mukosa, baik mukosa
berkeratin maupun mukosa yang tidak berkeratin. Berikut ini permukaan mukosa
rongga mulut yang terlibat : mukosa labial dan bukal, unattached gingiva, palatum
lunak, pipi, bibir, atap atau dasar rongga mulut, serta permukaan tengah dari lidah
(Casiglia, 2006).
Pasien penderita Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) ini diklasifikasikan dalam 3
kategori. Kategori ini tergantung pada presentasi klinis dari lesinya, yaitu : ulser minor,
ulser mayor, dan herpetiform ulser. Ulser minor sering terjadi pada mukosa labial dan
bukal serta pada dasar mulut. Ulser ini memiliki diameter yang besarnya kurang dari 1
cm dan sembuh tanpa disertai pembentukan jaringan parut sekitar 7-10 hari (Mcbride,
2007). Ulser mayor biasanya terdapat pada mukosa faring, bibir, palatum lunak. Dimana
diameter ulsernya berukuran lebih dari 1 cm dan akan membentuk jaringan parut setelah
penyembuhannya (Schreiner dkk, 1995). Ulser herpetiform adalah yang paling jarang
terjadi dan biasanya merupakan lesi berkelompok dan terdiri dari ulser berukuran kecil
dengan jumlah banyak. Ulser herpetiform dianggap sebagai suatu gangguan klinis yang
berbeda, yang bermanifestasi sebagai suatu kumpulan yang rekuren sebanyak berlusin-
lusin, dari ulser kecil yang timbuldi seluruh mukosa lunak rongga mulut (Greenberg,
1994).
1. Pengertian Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor
Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor disebut juga dengan nama Mikuliz’s
apthae yang terjadi sekitar 75-85% dari semua lesi Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR).
Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor sering mengenai mukosa rongga mulut yang
tidak mengalami keratinisasi seperti pada mukosa bibir, mukosa bukal, dan dasar mulut.
Ulkus ini tidak lebih dari 8-10 mm, dilapisi membrane fibrous kekuningan dengan tepi
eritematous, umumnya sembuh dalam 10-14 hari tanpa meninggalkan jaringan parut
(Scully, 2007).
Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor mempunyai kecenderungan untuk terjadi
pada mukosa bergerak yang terletak pada jaringan kelenjar saliva minor. Seringkali
terjadi pada mukosa bibir dan pipi, tetapi ulkus jarang terjadi pada mukosa berkeratin
banyak seperti gusi dan palatum keras. Ulkus-ulkus biasanya terdapat disepanjang
lipatan mukobukal dan seringkali tampak lebih memanjang, dimana rasa terbakar adalah
keluhan awal dan diikuti dengan nyeri hebat selama beberapa hari (Langlais dan Miller,
2000).
Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor bersifat kambuhan dan pola terjadinya
bervariasi. Meskipun tidak ada pengobatan yang sukses sepenuhnya untuk Stomatitis
Aftosa Rekuren (SAR) Minor, namun pada beberapa kasus terbukti bahwa pemberian
obat-obatan golongan antibiotik, koagulasi, obat-obat anti keradangan, mouth rinses
yang mengandung enzim aktif dan terapi kombinasi dapat mengurangi rasa sakit,
mempercepat penyembuhan serta menurunkan jumlah dan ukuran ulser (Fernandes dkk,
2007).
Gambar 1. Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor di bibir bawah
2. Etiologi Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor
Walaupun penyebab yang pasti dari Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor belum
diketahui, namun terdapat beberapa faktor pencetus yang diduga memegang peranan
penting dalam timbulnya Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor. Faktor-faktor
tersebut antara lain : faktor lokal, alergi, bakteri, imunologi, hematologi, hormonal, dan
stres psikologis (Borrego dkk, 2002).
a. Faktor Lokal
Trauma rongga mulut dapat berpengaruh cepatnya perkembangan Stomatitis Aftosa
Rekuren (SAR) Minor. Pada studi yang dilakukan oleh Rees terhadap 128 pasien
dimana 20 pasien terbukti mengalami trauma pada mukosa mulutnya yang berlanjut
menjadi Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor. Trauma tersebut disebabkan karena
tergigitnya mukosa rongga mulut, sikat gigi atau makanan yang tajam yang bisa
menyebabkan luka pada mukosa rongga mulut (Rees dan Binnie, 2006).
b. Alergi
Bahan-bahan allergen yang diduga berhubungan dengan Stomatitis Aftosa Rekuren
(SAR) Minor adalah benzoic acid dan cinnamic aldehide yang sering dipakai sebagai
penyedap rasa, kacang kenari, tomat, buah-buahan terutama strawberry, coklat, kacang
tanah, sereal, kacang, keju, tepung terigu atau gandum yang mengandung gluten
(Scully, 2007).
c. Bakteri
L-form streptococcal bakteria juga berperan dalam terjadinya Stomatitis Aftosa
Rekuren (SAR). Jenis bakteri yang juga berperan yaitu Streptococcus sanguis,
Streptococcus mitis, dan Helicobacter pylori (Melamed, 2007).
d. Imunologi
Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor umumnya terjadi pada pasien dengan
imunodefisiensi sel B dan 40% dari pasien-pasien Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR)
Minor mempunyai kompleks sirkulasi imun. Pengendapan imunoglobulin dan
komponen-komponen komplemen dalam epitel dan atau respon umum seluler (cell
mediated immune response) terhadap komponen-komponen imun merupakan peyebab
terjadinya Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor (Lawler dkk, 2002).
e. Hematologi
Lebih dari 15-20% pasien Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor adalah penderita
defisiensi zat besi, vitamin B12 atau folic acid dan mungkin juga terdapat pada
penderita anemia. Penyembuhan Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor seringkali
terjadi sesudah terapi untuk mengatasi defisiensi tersebut (Lawler dkk, 2002).
f. Hormonal
Diduga ada hubungan antara siklus menstruasi dan terjadinya Stomatitis Aftosa
Rekuren (SAR) Minor, yang berhubungan dengan kadar estrogen dan progesterone.
Dimana perkiraan ada hubungan antara produksi estrogen yang rendah waktu
premenstrual dengan kornifikasi mukosa mulut (Hidayanti dan Suyoso, 2006).
g. Stres Psikologi
Studi menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang cukup erat antara stress dan
terjadinya Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor dalam 10-20% dari populasi
masyarakat. Tetapi faktor stress dalam perkembangan Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR)
Minor masih perlu diteliti lebih lanjut (Rees dan Binnie).
3. Patogenesis Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor
a. Stadium Prodormal
Terjadi pada 24-48 jam pertama, muncul perasaan geli pada tempat dimana lesi
berkembang. Bisa disertai gejala demam, malaise, mialgia, athralgia, mual, muntah,
sakit kepala, dan pembesaran kelenjar limfe. Stadium ini disertai dengan peningkatan
rasa nyeri serta lesi berkembang menjadi edema popular lokal yang berhubungan
dengan vakuolisasi keratinosit yang dikelilingi oleh lingkaran eritematus yang
menggambarkan vaskulitis lokal dengan peningkatan infiltrasi sel mononuklear
(Hidayati dan Suyoso, 2006).
b. Stadium Ulseratif
Terjadi ulseratif yang nyeri dan ditutupi membran fibrous, dasar ulkus diinfiltrasi
terutama oleh neutrofil, limfosit, dan sel plasma. Stadium ini terjadi dalam beberapa hari
sampai beberapa minggu (Hidayati dan Suyoso, 2006).
c. Stadium Penyembuhan
Terjadi regenerasi epitel yang mulai menutupi ulkus serta berkurangnya rasa nyeri
yang ditimbulkan (Hidayati dan Suyoso, 2006). Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR)
Minor biasanya sembuh dengan spontan tanpa pembentukan jaringan parut, dalam
waktu 14 hari (Langlais dan Miller, 2000).
4. Diagnosis Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor
Untuk dapat menegakkan diagnosa yang tepat dari SAR dapat dilakukan dengan
cara melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Biasanya pada anamnesis pasien akan
merasakan sakit pada mulutnya, tempat ulser sering berpindah-pindah dan biasanya
kejadiannya selalu berulang-ulang. Pasien biasanya dalam keadaan demam ringan
(Haikal, 2010).
Diagnosa Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor dapat dilihat dengan adanya
ulser rekuren yang simetris, bulat dan tidak terbatas pada mukosa mulut serta sembuh
spontan dengan tidak disertai oleh tanda ataupun gejala-gejala lainnya (Greenberg,
1994).
Selain pemeriksaan visual, pemeriksaan laboratoris diindikasikan bagi pasien yang
menderita SAR di atas usia 25 tahun terutama dengan tipe mayor yang selalu hilang
timbul, atau bila sariawan tidak kunjung sembuh, atau bila ada gejala dan keluhan lain
yang berkaitan dengan faktor pemicu (Anonim, 2009). Pertimbangan adanya defisiensi
hematologi, dan oleh karena itu penderita harus mengalami pemeriksaan hitung darah
lengkap serta perkiraan kadar vitamin B12 (Lewis dan Lamey, 1998).
5. Pengobatan Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor
SAR sebetulnya dapat sembuh sendiri, karena sifat dari kondisi ini adalah self-
limiting. Obat-obatan untuk mengatasi SAR diberikan sesuai dengan tingkat keparahan
lesi (Anonim, 2009).
Banyak obat-obatan, termasuk vitamin, obat kumur antiseptik, steroid topikal dan
imunomodulator sistemik untuk mengatasi Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor.
Walaupun demikian hanya sebagian kecil yang secara ilmiah terbukti efisien.
Kombinasi vitamin B1 (thiamin, 300 mg sehari) dan vitamin B6 (pyridoxine, 50 mg
setiap 8 jam) diberikan selama 1 bulan dianjurkan sebagai penatalaksanaan empiris
tahap awal. Penggunaan terapi anxiolytic atau rujukan hipnoterapi dapat membantu bagi
penderita yang diperkirakan memiliki faktor presipitasi berupa stress. Beberapa pasien
memberikan respon yang baik terhadap obat kumur klorheksidin serta kortikosteroid
topikal, seperti hidrokortison hemisuksinat (pellet, 2,5 mg dilarutkan dalam air dan
digunakan sebagai obat kumur 3 kali sehari) (Lewis dan Lamey, 1998).
B. Jarak Pagar (Jatropha curcas L.)
1. Tinjauan Umum Jarak Pagar (Jatropha curcas L.)
Jatropha Curcas L. adalah tanaman yang berasal dari daerah tropis di Meksiko,
Amerika Tengah. Saat ini Jatropha Curcas L. telah menyebar diberbagai tempat di
Afrika dan Asia (Anonim, 2006).
Tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L.) telah lama dikenal masyarakat Indonesia,
yaitu semasa penjajahan oleh bangsa Jepang pada tahun 1942. Pada masa itu masyarakat
diperintahkan untuk menanam jarak pagar di pekarangannya untuk dimanfaatkan
sebagai bahan bakar kendaraan perang bangsa Jepang. Oleh karena itu tidak mustahil
kalau tanaman jarak pagar memiliki beberapa nama daerah (lokal) antara lain jarak
budeg, jarak gundul, jarak cina (Jawa); baklawah, nawaih (NAD); dulang (Batak); jarak
kosta (Sunda); jarak kare (Timor); peleng kaliki (Bugis); kalekhe paghar (Madura);
jarak pager (Bali); lulu mau, paku kase, jarak pageh (Nusa Tenggara); kuman nema
(Alor); jarak kosta, jarak wolanda, bindalo, bintalo, tondo utomene (Sulawesi); dan ai
huwa kamala, balacai, kadoto (Maluku) (Ditjenbun, 2007).
Sejak Mei 2005, terjadi ”demam Jarak” di Indonesia dan mulai muncul dikenal
dengan sebutan “Jarak Pagar” karena lazim ditanam di Indoenesia sebagai pagar
pembatas tanah lading, pagar batas desa, pagar kuburan, bahkan pengganti nisan
(namaun juga tumbuh liar ditepi-tepi jalan). Digunakan sebagai pagar, karena daunnya
tidak disukai hewan ternak (sapi, kambing) sehingga dapat melindungi tanaman
di”dalam pagar” (Ditjenbun, 2007).
Jarak pagar dapat tumbuh pada semua jenis tanah. Tanaman ini tumbuh baik pada
tanah-tanah ringan atau lahan-lahan dengan drainase dan aerasi tanah yang baik. Pada
lahan-lahan yang subur dimana air tidak tergenang merupakan tempat yang cocok bagi
tanaman ini untuk tumbuh dan berproduksi secara optimal (Heller, 1996).
Tanaman Jarak pagar berbentuk pohon kecil maupun belukar besar yang tingginya
mencapai lima meter. Cabang-cabang pohon ini bergetah dan dapat diperbanyak dengan
biji, stek atau kultur jaringan dan mulai berbuah delapan bulan setelah ditanam
(Ditjenbun, 2007).
Gambar 2. Jarak Pagar (Jatropha curcas L.)
2. Klasifikasi Jarak Pagar (Jatropha curcas L.)
Tanaman jarak pagar termasuk famili Euphorbiaceae, satu famili dengan karet dan
ubi kayu. Klasifikasi tanaman jarak pagar adalah sebagai berikut (Astuti, 2008) :
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Euphorbiales
Famili : Euphorbiaceae
Genus : Jatropha
Spesies : Jatropha curcas L.
3. Morfologi Jarak Pagar (Jatropha curcas L.)
Tanaman jarak pagar berupa perdu dengan tinggi 1-7 m, bercabang tidak teratur.
Batangnya berkayu, silindris, dan bila terluka mengeluarkan getah (Hambali, 2006).
Penggambaran umum morfologi tanaman jarak pagar adalah sebagai berikut (Hariyadi,
2005 ) :
a. Daun
Daunnya berupa daun tunggal, berlekuk, bersudut 3 atau 5, tulang daun menjari
dengan 5–7 tulang utama, warna daun hijau (permukaan bagian bawah lebih pucat
dibanding bagian atas). Panjang tangkai daun antara 4–15 cm.
b. Bunga
Bunga berwarna kuning kehijauan, berupa bunga majemuk berbentuk malai,
berumah satu. Bunga jantan dan bunga betina tersusun dalam rangkaian berbentuk
cawan, muncul di ujung batang atau ketiak daun.
c. Buah
Buah berupa buah kotak berbentuk bulat telur, diameter 2–4 cm, berwarna hijau
ketika masih muda dan kuning jika masak. Buah jarak terbagi 3 ruang yang masing –
masing ruang diisi 3 biji.
d. Biji
Biji berbentuk bulat lonjong, warna coklat kehitaman. Biji inilah yang banyak
mengandung minyak dengan sekitar 30 – 40 % (Hariyadi, 2005 ).
4. Manfaat Jarak Pagar (Jatropha curcas L.)
Dalam dunia kedokteran modern saat ini, banyak sekali mempelajari obat-obat
tradisional yang dalam hal ini adalah tanaman-tanaman berkhasiat obat yang ditelaah
dan dipelajari secara ilmiah (Furnawanthi, 2006). Secara tradisional getah jarak dipakai
untuk obat sakit gigi. Selain itu, jarak pagar juga digunakan untuk obat malaria, rematik,
dan nyeri otot. Sedangkan akar jarak dapat digunakan sebagai penawar racun ular
(Anonim, 2010).
Di daerah pedesaan, getah jarak pagar yang berwarna jernih keputihan sering
digunakan sebagai obat tradisional untuk obat tetes pada telapak kaki yang terkena kutu
air dan bercak. Getah batang atau daunnya dipakai sebagai obat luar, seperti obat kumur
atau salep penyembuh luka, misalnya gigi lubang. Menurut Dr. A.P. Dharma bahwa air
perasan daun jarak pagar yang kental dapat digunakan sebagai peluntur, obat kumur,
sampai pencuci borok (Astuti, 2008).
Ragam penyakit yang dapat ditaklukkan oleh biji tanaman asal Amerika Selatan ini
cukup beragam, antara lain menyembuhkan gatal-gatal, koreng, jamur pada kaki, dan
luka berdarah. Selain itu, tanaman yang diharapkan mampu menjadi penghasil bahan
bakar nabati ini juga bisa dimanfaatkan untuk mengatasi bengkak akibat terpukul,
terkilir, dan rematik. Dengan penggunaan yang hati-hati, daun jarak pagar bahkan dapat
digunakan sebagai obat pencahar ringan (Purwantoro dan Enny, 2007).
5. Kandungan Jarak Pagar (Jatropha curcas L.)
Jika dilukai, setiap bagian tanaman mengeluarkan getah yang tempo dulu
dimanfaatkan untuk mencuci. Getah ini mengandung alkaloid disebut jatrophine yang
dimanfaatkan sebagai obat luka (Hariyono dan Soenardi, 2005). Getah jarak pagar
bersifat antimikroba sehingga dapat mengusir bakteri seperti jenis Staphylococcus,
Streptococcus, dan Escherichia coli. Getah jarak pagar juga mengandung tannin (18%)
yang digunakan sebagai obat kumur dan gusi berdarah serta obat luka. (Ditjenbun,
2007).
BAB III
HIPOTESIS
Jarak pagar (Jatropha curcas L.) dibudidayakan sebagai tanaman obat di negara-
negara tropis dan subtropis. Isolasi lateksnya menghasilkan jatrophidin yang memiliki
sifat antifungi (Carlasabandar, 2010).
Getah jarak pagar (Jatropha curcas L.) mengandung alkaloid disebut jatrophine yang
dimanfaatkan sebagai obat luka (Hariyono dan Soenardi, 2005). Getah jarak pagar
mengandung tannin (18%) yang digunakan sebagai obat kumur dan gusi berdarah serta
obat luka(Ditjenbun, 2007).
Getah jarak pagar pun berkhasiat menghentikan perdarahan akibat luka. Getah jarak
pagar bersifat antimikroba sehingga dapat mengusir bakteri seperti jenis
Staphylococcus, Streptococcus, dan Escherichia coli (Purwantoro dan Enny, 2007).
Berdasarkan beberapa pendapat diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis yaitu getah
jarak pagar (Jatropha curcas L.) berpengaruh terhadap proses penyembuhan Stomatitis
Aftosa Rekuren (RAS) Minor.
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah jenis penelitian
eksperimental dengan pendekatan case control.
4.2 Identifikasi Variabel
a. Variable pengaruh : Getah Jarak Pagar (Jatropha Curcas L.).
b. Variabel terpengaruh : Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor.
4.3 Definisi Operasional
a. Getah Jarak Pagar (Jatropha Curcas L.) adalah cairan bening atau agak jernih
keputihan yang didapatkan
dengan cara melukai batang atau tangkai daun dari tanaman Jarak Pagar (Jatropha
Curcas L.).
b. Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor adalah suatu penyakit rongga mulut yang
ditandai ulser dengan
tepi eritematus, menimbulkan rasa sakit, timbul berulang-ulang, tanpa meninggalkan
jaringan parut.
4.4 Populasi dan Sampel
a. Populasi
Populasi dari penelitian ini adalah masyarakat di Banjar Dangri Kangin Denpasar,
dengan range umur 20-50 tahun.
b. Sampel
1. Besar Sampel
Besar sampel penelitian sebanyak 100 orang dengan perincian sebagai berikut :
- Yang mendapat perlakuan sebanyak : 50 orang
- Yang tidak mendapat perlakuan sebanyak : 50 orang
2. Teknik Pengambilan Sampel
Sampel diambil dengan cara quota random sampling, yaitu jumlah subyek yang akan
dijadikan sampel penelitian telah dijatah sebanyak 100 orang yang kemudian diambil
secara acak.
3. Kriteria Sampel
Adapun kriteria dari orang-orang yang dijadikan sampel dalam penelitian ini yaitu :
a. Kooperatif.
b. Menderita Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor.
4.5 Lokasi Penelitian
Lokasi dari Penelitian ini adalah di lingkungan Banjar Dangri Kangin Denpasar.
4.6 Alat dan Bahan
a. Alat
Alat-alat yang digunakan pada saat melakukan penelitian antara lain : alat diagnosa
(kaca mulut dan nerbeken), handscone, masker, cotton buds/kapas steril, gelas kecil,
form penelitian, dan alat-alat tulis.
b. Bahan
Bahan yang diperlukan pada saat melakukan penelitian adalah getah jarak pagar
(Jatropha Curcas L.) dan alkohol 70%.
4.7 Jalannya Penelitian
a. Persiapan alat dan bahan yang akan digunakan dalam penelitian.
b. Melakukan kunjungan ke rumah masing-masing warga yang dijadikan sampel
penelitian.
c. Dilakukan pembersihan pada daerah ulser dari Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR)
Minor dengan alkohol
70% menggunakan cotton buds/kapas steril pada kelompok kontrol dan kelompok
perlakuan.
d. Dilanjutkan dengan pengobatan terhadap Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor
dengan cara
mengoleskan getah jarak pagar (Jatropha Curcas L.) dengan menggunakan cotton
buds pada kelompok
perlakuan, sedangkan pada kelompok kontrol tidak dilakukan pengobatan atau
dibiarkan.
e. Pengobatan dengan getah jarak pagar (Jatropha Curcas L.) pada kelompok perlakuan
dilakukan 2 kali
sehari sampai Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor sembuh.
f. Melakukan pengamatan setiap hari pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan
hingga Stomatitis
Aftosa Rekuren (SAR) Minor sembuh dan kemudian dicatat lamanya waktu
penyembuhan pada form
penelitian.
g. Data yang telah didapat kemudian diolah dan dianalisis dengan uji parametrik
independent T-test.
DAFTAR PUSTAKA
Adriani, dkk. 2000. The Effectiveness and Acceptance of a Medical Device for the
Treatment of Aphthous
Stomatitis. Clinical Observation : Minerva Pediatric, hlm : 1-5.
Anonim, 2006. Pengembangan dan Pemanfaatan Jarak pagar ( Jatropha curcas L.). Pusat
Penelitian dan
Pengambangan Perkebunan. Bogor.
Anonim. 2009. Stomatitis Aphtous Reccurent/SAR (Sariawan).
Available http://adulgopar.files.wordpress.com/2009/12/sariawan.pdf
Astuti, Yuni. 2008. BUDIDAYA DAN MANFAAT JARAK PAGAR ( Jatropha curcas
L ). FMA-UMB,
Available : http://research.mercubuana.ac.id/proceeding/BUDIDAYA-DAN-
MANFAAT-
JARAK-PAGAR.pdf
Borrego, P., dkk. 2002. Stomatitis Aftosa Recurrent. Rev Cubana Estomatol, Vol. 39,
no. 2, hlm 39.
Casiglia, J. M. 2006. Stomatitis Aphthous Recurrent. Harvard School of Dental
Medicine, hlm : 1-23.
Ditjenbun. 2007. Pedoman Budidaya Tanaman Jarak Pagar. Pusat Penelitian dan
Pengambangan
Perkebunan. Bogor.
Fernandes, dkk. 2007. The Best Treatment for Aphthous Ulcers. American Dental
Journal, hlm : 1-7.
Greenberg, M. S. 1994. Burket : Ilmu Penyakit Mulut. Binarupa Aksara : Jakarta.
Hambali, E. 2006. Jarak Pagar, Tanaman Penghasil Biodiesel. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Heller, Joachim. 1996. Physic Nut (Jatropha curcas 1.). Promoting the conservation and
use of underutilised
and neglected crops. 1. Institute of Plant Genetics and Crop Plant Rescarch.
Gatersleben/International Plant Genetic Resources Institute, Rome.
Hidayanti, A. N. dan Suyoso, S. 2006. Recurrent Aphthous Stomatitis (RAS). Berkala
Penyakit Kulit dan
Kelamin, Vol. 18, no. 2, hlm : 156-164.
Langlais, R. P., dan Miller, C. S. 2000. Atlas Berwarna : Kelainan Rongga Mulut yang
Lazim. Hipokrates :
Jakarta.
Lawler, dkk. 2002. Buku Pintar Patologi untuk Kedoktera Gigi. Penerbit Buku
Kedokteran EGC : Jakarta.
Lewis, M. A. O. dan Lamey, P. J. 1998. Tinjaun Klinis Penyakit Mulut. Widya Medika :
Jakarta.Mcbrige,
D. R. 2007. Management of Aphthous Ulcers. Lynn Community Health Center,
hlm : 40-48.
Melamed, F. 2007. Aphthous Stomatitis. UCLA Medical School Journal, hlm 1-5
Haikal, Mohammad. 2009. Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren. USU Available
:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/8273/1/10E00345.pdf
Plemons, J. M. 1994. Evaluation of Acemannan in the Treatment of Recurrent Aphthous
Stomatitis. Baylor
College of Dentistry, Vol. 6, no. 2, hlm : 40-45.
Rees dan Binnie. 2006. Cancer Sores (Recurrent Aphthous Stomatitis) Cause and
Control. American
Dental Journal, hlm : 1-8.
Scully, C. 2007. Aphthous Ulceration. American Dental Journal, hlm : 1-8.
Shcreiner, C. dan Quinn, F. B., dkk. 1995. Stomatitis. Dept. Otolaryngology, UMTB,
hlm : 53-62.
J Oral Maxillofac Pathol. 2011 Sep-Dec; 15(3): 252–256.
doi: 10.4103/0973-029X.86669
PMCID: PMC3227248
Recurrent aphthous stomatitis
L Preeti, KT Magesh,1 K Rajkumar, and Raghavendhar Karthik
Author information ► Copyright and License information ►
This article has been cited by other articles in PMC.
Go to:
ABSTRACT
Recurrent aphthous ulcers are common painful mucosal conditions affecting the oral
cavity. Despite their high prevalence, etiopathogenesis remains unclear. This review
article summarizes the clinical presentation, diagnostic criteria, and recent trends in the
management of recurrent apthous stomatitis.
Keywords: Diagnostic criteria, recurrent aphthous stomatitis, stress ulcers, ulcer activity
index immunomodulation
Go to:
INTRODUCTION
The term “aphthous” is derived from a Greek word “aphtha” which means ulceration.
Recurrent aphthous stomatitis (RAS) is one of the most common painful oral mucosal
conditions seen among patients. These present as recurrent, multiple, small, round, or
ovoid ulcers, with circumscribed margins, having yellow or gray floors and are
surrounded by erythematous haloes, present first in childhood or adolescence.[1]
Go to:
CLINICAL PRESENTATION
RAS is characterized by recurrent bouts of solitary or multiple shallow painful ulcers, at
intervals of few months to few days in patients who are otherwise well.[2] RAS has
been described under three different clinical variants as classified by Stanley in 1972.[3]
Minor RAS is also known as Miculiz's aphthae or mild aphthous ulcers. It is the most
common variant, constituting 80% of RAS. Ulcers vary from 8 to 10 mm in size. It is
most commonly seen in the nonkeratinized mucosal surfaces like labial mucosa, buccal
mucosa, and floor of the mouth. Ulcers heal within 10–14 days without scarring.
Major RAS is also known as periadenitis mucosa necrotica recurrens or Sutton's disease.
It affects about 10–15% of patients. Ulcers exceed 1 cm in diameter. Most common
sites of involvement are lips, soft palate, and fauces. Masticatory mucosa like dorsum of
tongue or gingiva may be occasionally involved.[4] The ulcers persist for up to 6 weeks
and heal with scarring.
Herpetiform ulceration is characterized by recurrent crops of multiple ulcers; may be up
to 100 in number. These are small in size, measure 2–3 mm in diameter. Lesions may
coalesce to form large irregular ulcers. These ulcers last for about 10–14 days. Unlike
herpetic ulcers, these are not preceded by vesicles and do not contain viral infected cells.
These are more common in women and have a later age of onset than other clinical
variants of RAS.[5]
Predisposing factors
Genetics
A genetic predisposition for the development of apthous ulcer is strongly suggested as
about 40% of patients have a family history and these individuals develop ulcers earlier
and are of more severe nature.[2] Various associations with HLA antigens and RAS
have been reported. These associations vary with specific racial and ethnic origins.
Trauma
Trauma to the oral mucosa due to local anesthetic injections, sharp tooth, dental
treatments, and tooth brush injury may predispose to the development of recurrent
aphthous ulceration (RAU).[1] Wray et al.[6] in 1981 proposed that mechanical injury
may aid in identifying and studying patients prone to aphthous stomatitis.
Tobacco
Several studies reveal negative association between cigarette smoking, smokeless
tobacco and RAS. Possible explanations given include increased mucosal keratinization;
which serves as a mechanical and protective barrier against trauma and microbes.[7–9]
Nicotine is considered to be the protective factor as it stimulates the production of
adrenal steroids by its action on the hypothalamic adrenal axis and reduces production
of tumor necrosis factor alpha (TNF-α) and interleukins 1 and 6 (IL-1 andIL-6).[10]
Nicotine replacement therapy has been suggested as treatment for patients who develop
RAU on cessation of smoking.[11]
Drugs
Certain drugs have been associated with development of RAU; these include
angiotensin converting enzyme inhibitor captopril, gold salts, nicorandil, phenindione,
phenobarbital, and sodium hypochloride. NSAIDS such as propionic acid, diclofenac,
and piroxicam may also cause oral ulceration similar to RAS.[12]
Hematinic deficiency
Deficiencies of iron, vitamin B12, and folic acid predispose development of RAS.
Deficiencies of these hematinics are twice more common in these individuals than
controls. Contrary findings in various studies relating the association of hematinic
deficiency and RAS have been explained as due to varying genetic backgrounds and
dietary habits of the study population.[2,12]
Gluten sensitive enteropathy/celiac disease, inflammatory bowel disease
Gluten sensitive enteropathy (GSE) is an autoimmune inflammatory disease of small
intestine that is precipitated by the ingestion of gluten, a wheat protein in susceptible
individuals. It is characterized by severe malnutrition, anemia, abdominal pain, diarrhea,
aphthous oral ulcers, glossitis, and stomatitis. RAS may be the sole manifestation of the
disease. The use of gluten-free diet in the improvement of RAS is considered uncertain.
It has been suggested that evaluation for celiac disease may be appropriate for RAS
patients.[13] Inflammatory bowel diseases such as Crohn's disease and ulcerative colitis
may present with apthous-like ulceration.[1]
Sodium lauryl sulfate - containing toothpaste
An increased frequency in the occurrence of RAS has been reported on using sodium
lauryl sulfate (SLS)-containing tooth paste with some reduction in ulceration on use of
SLS-free tooth paste. However, because of the widespread use of SLS-containing
dentifrice, it has been proposed that this may not truly predispose to RAS.[1]
Hormonal changes
Conflicting reports exist regarding association of hormonal changes in women and
RAU. Studies state association of oral ulceration with onset of menstruation or in the
luteal phase of the menstrual cycle. Mc Cartan et al.[14] in 1992 established no
association between apthous stomatitis and premenstrual period, pregnancy, or
menopause.
Stress
Stress has been emphasized as a causative factor in RAU. It has been proposed that
stress may induce trauma to oral soft tissues by parafunctional habits such as lip or
cheek biting and this trauma may predispose to ulceration. A more recent study shows
lack of direct correlation between levels of stress and severity of RAS episodes and
suggests that psychological stress may act as a triggering or modifying factor rather than
etiological factor in susceptible RAS patients.[15]
Micro organisms implicated in apthous ulcers
Several micro organisms have been implicated in the pathogenesis of RAS. Several
contrary findings have been reported in the various studies published.
RAS and oral streptococci
Oral streptococci have been considered as microbial agents in the pathogenesis of RAS.
They have been implicated as microorganisms directly involved in the pathogenesis of
these lesions or as agents which serve as antigenic stimuli, which in turn provoke
antibody production that cross-react with oral mucosa. It has been suggested that L form
of α-hemolytic streptococci,Streptococcus sanguis; later identified as Streptococcus
mitis was the causative agent of this disease. Hoover et al.[16] in 1986 demonstrated
low levels of cross-reactivity of oral Streptococci and oral mucosal antigens and
considered the reactivity to be non-specific and clinically insignificant.
RAS and Helicobacter pylori
H. pylori has been implicated as one of the organisms in the etiopathogenesis of
RAS. H. pylori is a gram-negative, S-shaped bacterium that has been associated with
gastritis and in chronically infected duodenal ulcers. H. pylori has been reported to be
present in high density in dental plaque.[17] Porter et al.[18] in 1997 measured the
levels of IgG antibodies againstH. pylori in patients with RAS and showed that no the
frequency of anti-H. pylori seropositivity was not significantly elevated in patients with
RAS and other ulcerative and non-ulcerative oral mucosal disorders.
Viruses as etiologic agents in RAS
Various viruses have been implicated in the etiopathogenesis of recurrent apthous
stomatitis. There have been several suggestive, but as yet there exists inconclusive
evidence toward a viral etiology. Characteristics of aphthous ulcers which are indicative
of infectious etiology include recurrent ulceration, lymphocytic infiltration, perivascular
cuffing, presence of auto-antibodies, inclusion bodies in case of herpetiform ulcers and
similarity of RAU to viral ulcerative diseases in animals.[19] Virtanen et al.[17] in 1995
demonstrated the presence of human cytomegalovirus DNA (HCMV) in biopsies of oral
mucosal ulcers, but they were unable to rule out the presence of this virus which may
have existed as a super infection or co infection from existing HCMV in saliva. Sun et
al.[20] in 1996 demonstrated the presence of HCMV genomes by polymerase chain
reaction in pre-ulcerative oral apthous tissues. They postulated that when viral infection
occurs in oral epithelial cells expressing major histocompatibility complex class II
molecules (MHC-II), an intense T-cell response is elicited against virus containing oral
epithelial cells. They concluded that HCMV may play role in perpetuating local immune
response in genetically predisposed individuals.
Sun et al.[21] in 1998 demonstrated the presence of Epstein-barr virus (EBV) genomes
by polymerase chain reaction in pre-ulcerative oral apthous tissues in RAU patients.
They postulated a possible role of association of EBV in pre-ulcerative oral lesions in
patients of RAU.
Role of tumor necrosis factor alpha in RAS
Tumor necrosis factor alpha (TNF-α) is a pro-inflammatory cytokine and is one of the
most important cytokine implied in the development of new apthous ulcers in patients.
The association of TNF-α in the development of RAS gains credence due to the fact that
immunomodulatory drugs such as thalidomide and pentoxifylline have been found
effective in the treatment of RAS. Thalidomide reduces activity of TNF-α by degrading
its messenger RNA and pentoxifylline inhibits TNF-α production.[22,23] Antigenic
stimulation of oral mucosal keratinocytes results in the production of pro-inflammatory
cytokines such as IL-2 and TNF-α. TNF-α also causes expression of class I major
histocompatability complex, subsequently these cells are targeted for attack by cytotoxic
T cells.[1]
Go to:
INDEX FOR DETERMINING IMPACT OF ORAL ULCER ACTIVITY IN
PATIENTS OF RAS
Mumucu et al.[24] in 2009 proposed a composite index to monitor the clinical
manifestations associated with oral ulcers in patients of RAS and Behcet's disease. They
proposed that such indices serve to provide important information regarding prognosis
of disease and therapeutic effect of medication.
The index evaluated the oral ulcer activity, ulcer-related pain, and functional disability.
Oral ulcer activity was recorded as number of ulcers in the past 1 month. This was
scored zero if there were no ulcers and as one, if the number of ulcer was greater or
equal to than one. The pain status was evaluated on a visual analogue scale (VAS). This
is a 100-mm line with extreme values at either end. The patients have to mark the
intensity of pain on the line.
Functional status evaluation
This involved the evaluation of effects of oral ulcers on tasting, speaking, and
eating/chewing/swallowing. This was evaluated by both Likert-type scale and VAS
scale. Scoring is done as 0, when none of the time; 1, little of the time; 2, some of the
time; 3, most of the time; 4, all of the time and VAS (0–100 mm).
Use of visual analog scale to evaluate the pain caused by ulcers is highly subjective and
is ridden with interpersonal variation. This is a continuous scale with no discrete levels
as would be suggested by grades such as none, mild, moderate, or severe. Further
studies in different population and ethnic groups need to be carried out using this
criteria to validate this index.
Go to:
HISTOPATHOLOGY OF RAS
The microscopic picture of aphthous ulcer is non-specific, and diagnosis must be based
on history and careful clinical examination. The mucous membrane of aphthous ulcer
shows superficial tissue necrosis with a fibrinopurulent membrane covering the
ulcerated area. The necrosis is covered by tissue debris and neutrophils. Epithelium is
infiltrated by lymphocytes and few neutrophils. Intense inflammatory cell infiltration,
predominantly neutrophils present immediately below the ulcer, mononuclear
lymphocytes are seen in adjacent areas. Minor salivary glands commonly present in
areas of aphthae exhibit focal periductal and perialveolar fibrosis and chronic
inflammation.[12,25]
Go to:
DIAGNOSIS
Diagnosis of RAS is based on history, clinical manifestations, and histopathology. Other
causes of recurrent oral ulceration must be ruled out. Systemic diseases which present
with recurrent oral ulcerations are summarized in Table 1. Diagnostic criteria for minor
RAU were proposed by Natah et al.[12] in 2004. They proposed that a diagnosis of
idiopathic RAU and secondary RAU (associated with systemic disease) is established
when four major and one minor criteria are fulfilled. The major and minor criteria for
diagnosis of minor RAU are illustrated in Tables Tables22 and and33.
Table 1
Systemic diseases with recurrent oral ulceration (modified from reference 1)
Table 2
Major criteria for diagnosis of RAU minor (Natah et al.[12] 2004)
Table 3
Minor criteria for diagnosis of RAU minor
Management
There is no definitive curative treatment for RAS. Possible systemic association with
RAS must be ruled out, especially in cases where there is sudden development of
ulceration in adulthood.[2] Laboratory investigations such as complete blood counts, red
cell folate, serum ferritin levels, and vitamin B12 recommended. Screening for GSE
must be done in cases where associated systemic manifestations of GSE are present.
Various topical and systemic agents used in treatment of RAS are summarized in Table
4.
Table 4
Topical and systemic agents used in treatment of RAS
Go to:
CONCLUSION
Recurrent apthous stomatitis is a very common, recurrent painful ulceration occurring in
the oral cavity. The etiopathogenesis of this disease is yet unclear. Treatment strategies
must be directed toward providing symptomatic relief by reducing pain, increasing the
duration of ulcer-free periods, and accelerating ulcer healing.
Go to:
FOOTNOTES
Source of Support: Nil.
Conflict of Interest: None declared.
Go to:
REFERENCES
1. Jurge S, Kuffer R, Scully C, Porter SR. Recurrent aphthous stomatitis. Oral
Dis. 2006;12:1–21.[PubMed]
2. Scully C, Porter S. Oral mucosal disease: Recurrent aphthous stomatitis. Br J Oral
Maxillofac Surg.2008;46:198–206. [PubMed]
3. Stanley HR. Aphthous lesions. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol
Endod. 1972;30:407–16.
4. Cawson RA, Odell EW. Cawson's Essentials of Oral Pathology and Oral
Medicine. 8th ed. Philadelphia: Elseivier; 2008.
5. Scully C, Porter S. Recurrent aphthous stomatitis: Current concepts of etiology,
pathogenesis and management. J Oral Pathol Med. 1989;18:21–7. [PubMed]
6. Wray D, Graykowski EA, Notkins AL. Role of mucosal injury in initiating recurrent
aphthous stomatitis. Br Med J (Clin Res Ed) 1981;283:1569–70. [PMC free
article] [PubMed]
7. Bookman R. Relief of Canker Sores on Resumption of Cigarette Smoking. Calif
Med. 1960;93:235–6.[PMC free article] [PubMed]
8. Shapiro S, Olson DL, Chellemi SJ. The association between smoking and aphthous
ulcers. Oral Surg Oral Med Oral Pathol. 1970;30:624–30. [PubMed]
9. Grady D, Ernster VL, Stillman L, Greenspan J. Smokeless tobacco use prevents
aphthous stomatitis.Oral Surg Oral Med Oral Pathol. 1992;74:463–65. [PubMed]
10. Floto RA, Smith KG. The vagus nerve, macrophages and
nicotine. Lancet. 2003;361:1069–70.[PubMed]
11. Scheid P, Bohadana A, Martinet Y. Nicotine patches for aphthous ulcers due to
Behcet's syndrome. N Engl J Med. 2000;343:1816–17. [PubMed]
12. Natah SS, Konttinen YT, Enattah NS, Ashammakhi N, Sharkey KA, Häyrinen-
Immonen R. Recurrent aphthous ulcers today: A review of growing knowledge. Int J
Oral Maxillofac Surg.2004;33:221–34. [PubMed]
13. Shakeri R, Zamani F, Sotoudehmanesh R, Amiri A, Mohamadnejad M, Davatchi F,
et al. Gluten sensitive enteropathy in patients with recurrent aphthous stomatitis. BMC
Gastroenterol. 2009;9:44.[PMC free article] [PubMed]
14. McCartan BE, Sullivan A. The association of menstrual cycle, pregnancy and
menopause with recurrent oral aphthous stomatitis: A review and critique. Obstet
Gynecol. 1992;80:455–8. [PubMed]
15. Gallo Cde B, Mimura MA, Sugaya NN. Pschological stress and recurrent aphthous
stomatitis. Clinics (Sao Paulo) 2009;64:645–8. [PMC free article] [PubMed]
16. Hoover CI, Olson JA, Greenspan JS. Humoral responses and cross reactivity to
viridians streptococci in recurrent aphthous ulceration. J Dent Res. 1986;65:1101–
4. [PubMed]
17. Leimola-Virtanen R, Happonen RP, Syrjänen S. Cytomegalovirus (CMV)
and Helicobacter pyroli(HP) found in oral mucosal ulcers. J Oral Pathol
Med. 1995;24:14–7. [PubMed]
18. Porter SR, Barker GR, Scully C, Macfarlane G, Bain L. Serum IgG antibodies
to Helicobacter pyroliin patients with recurrent aphthous stomatitis and other oral
disorders. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod. 1997;83:325–
8. [PubMed]
19. Hooks JJ. Possibility of a viral etiology in recurrent aphthous ulcers and Behcet's
syndrome. J Oral Pathol. 1978;7:353–64. [PubMed]
20. Sun A, Chang JG, Kao CL, Liu BY, Wang JT, Chu CT, et al. Human
cytomegalovirus as a potential etiologic agent in recurrent aphthous ulcers and Behcet, s
disease. J Oral Pathol Med. 1996;25:212–8.[PubMed]
21. Sun A, Chang JG, Chu CT, Liu BY, Yuan JH, Chiang CP. Preliminary evidence for
an association of Epstein – Barr virus with pre-ulcerative oral lesions in patients with
recurrent aphthous ulcers or Behcet's disease. J Oral Pathol Med. 1998;27:168–
75. [PubMed]
22. Jacobson JM, Greenspan JS, Spritzler J, Ketter N, Fahey JL, Jackson JB, et al.
Thalidomide for the treatment of oral aphthous ulcers in patients with human
immunodeficiency virus infection. National Institute of Allergy and Infectious Diseases
AIDS Clinical Trials Group. N Engl J Med. 1997;336:1487–93. [PubMed]
23. Zabel P, Schade FU, Schlaak M. Inhibition of endogeneous TNF-α formation by
pentoxifylline.Immunobiology. 1993;187:447–63. [PubMed]
24. Mumcu G, Sur H, Inanc N, Karacayli U, Cimilli H, Sisman N, et al. A composite
index for determining the impact of oral ulcer activity in Behcet's disease and recurrent
aphthous stomatitis. J Oral Pathol Med. 2009;38:785–91. [PubMed]
25. Shafer, Hine, Levy . A Textbook of Oral Pathology. 4th ed. New Delhi: Saunders;
1997.
26. Zhou Y, Chen Q, Meng W, Jiang L, Wang Z, Liu J, et al. Evaluation of penicillin G
potassium troches in the treatment of minor recurrent aphthous ulceration in a Chinese
cohort: A randomized, double-blinded, placebo and no- treatment- controlled,
multicenter clinical trial. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol
Endod. 2010;109:561–6. [PubMed]
27. Nolan A, Baillie C, Badminton J, Rudralingam M, Seymonr RA. Efficacy of topical
hyaluronic acid in the management of recurrent aphthous ulceration. J Oral Pathol
Med. 2006;35:461–5. [PubMed]
Articles from Journal of Oral and Maxillofacial Pathology : JOMFP are provided here
courtesy of Medknow Publications