jurnal

39
PENGARUH GETAH JARAK PAGAR (JATROPHA CURCAS L.) TERHADAP PROSES PENYEMBUHAN STOMATITIS AFTOSA REKUREN (SAR) MINOR A. Latar Belakang Sariawan merupakan salah satu keadaan yang sering terjadi secara berulang pada mukosa mulut seseorang, dapat dikatakan bahwa setiap orang pasti pernah mengalami sariawan baik yang ringan maupun yang berat sampai sariawan tersebut mengganggu fungsi fisiologis. Gangguan ini dapat menyebabkan seseorang penderita mengalami gangguan bicara, mengunyah, menelan bahkan kelainan ini dapat mengakibatkan menurunnya kondisi tubuh bila terjadi dalam waktu yang lama dengan frekuensi kejadian yang sering (Fitriana dkk, 2005). Di kalangan masyarakat terdapat sekelompok orang yang hampir secara rutin mengalami sakit berupa luka-luka di dalam mulutnya. Kalangan masyarakat awam menyebutnya dengan nama sariawan atau panas dalam. Sedangkan dari kalangan medis penyakit ini dikenal dengan nama Stomatitis Aftosa Rekuren atau SAR (Haikal, 2009). SAR bukanlah suatu penyakit yang baru, akan tetapi merupakan penyakit mulut yang relatif sering terjadi di masyarakat. Sebenarnya penyakit ini relatif ringan, tidak membahayakan jiwa, namun dapat menurunkan kualitas hidup penderitanya, terutama pada penderita yang selalu berulang kejadiannya. Dari penelitian-penelitian epidemiologi

Upload: bandaru-ruri-rahmatari

Post on 28-Nov-2015

438 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

metpen

TRANSCRIPT

PENGARUH GETAH JARAK PAGAR  (JATROPHA CURCAS L.) TERHADAP

PROSES PENYEMBUHAN  STOMATITIS AFTOSA REKUREN (SAR) MINOR

A. Latar Belakang

       Sariawan merupakan salah satu keadaan yang sering

terjadi secara berulang pada mukosa mulut seseorang, dapat dikatakan bahwa setiap

orang pasti pernah mengalami sariawan baik yang ringan maupun yang berat sampai

sariawan tersebut mengganggu fungsi fisiologis. Gangguan ini dapat menyebabkan

seseorang penderita mengalami gangguan bicara, mengunyah, menelan bahkan kelainan

ini dapat mengakibatkan menurunnya kondisi tubuh bila terjadi dalam waktu yang lama

dengan frekuensi kejadian yang sering (Fitriana dkk, 2005).

       Di kalangan masyarakat terdapat sekelompok orang yang hampir secara rutin

mengalami sakit berupa luka-luka di dalam mulutnya. Kalangan masyarakat awam

menyebutnya dengan nama sariawan atau panas dalam. Sedangkan dari kalangan medis

penyakit ini dikenal dengan nama Stomatitis Aftosa Rekuren atau SAR (Haikal, 2009).

       SAR bukanlah suatu penyakit yang baru, akan tetapi merupakan penyakit mulut

yang relatif sering terjadi di masyarakat. Sebenarnya penyakit ini relatif ringan, tidak

membahayakan jiwa, namun dapat menurunkan kualitas hidup penderitanya, terutama

pada penderita yang selalu berulang kejadiannya. Dari penelitian-penelitian

epidemiologi menunjukkan pada umumnya prevalensi SAR berkisar 20-60% pada

setiap jenis SAR, tetapi pada SAR tipe minor berkisar 70-90% dibandingkan SAR tipe

lainnya (Haikal, 2009).

Jarak pagar (Jatropha curcas L.) merupakan tanaman yang sudah lama dikenal oleh

masyarakat Indonesia sebagai tanaman pembatas/pagar, tanaman obat dan penghasil

minyak untuk lampu, bahkan sewaktu zaman penjajahan Jepang minyaknya diolah

untuk bahan bakar pesawat terbang. Tanaman ini diduga berasal dari daerah tropis di

Amerika Tengah dan saat ini telah menyebar diberbagai tempat di Afrika dan Asia.

Jarak pagar merupakan tanaman serbaguna, tahan kering, dan tumbuh dengan cepat.

Tanaman ini dapat digunakan untuk kayu bakar, mereklamasi lahan-lahan tererosi atau

sebagai pagar hidup dipekarangan dan kebun (Ditjenbun, 2007).

       Di sisi lain, jarak pagar juga penting bagi kesehatan. Secara tradisional getah jarak

dipakai untuk obat sakit gigi. Selain itu, jarak pagar juga digunakan untuk obat malaria,

rematik, dan nyeri otot. Sedangkan akar jarak dapat digunakan sebagai penawar racun

ular (Anonim, 2010).

Jika dilukai, setiap bagian tanaman mengeluarkan getah yang tempo dulu dimanfaatkan

untuk mencuci. Getah ini mengandung alkaloid disebut jatrophine yang dimanfaatkan

sebagai obat luka, sakit kulit, dan rematik. Getah jarak bersifat antimikroba dan dapat

digunakan untuk mengatasi sakit gigi karena gigi berlubang (Hariyono dan Soenardi,

2005). Selain itu, getah jarak pagar juga dapat digunakan sebagai obat sariawan

(Sudirga, 2008).

       Saat ini banyak beredar obat-obatan yang dipromosikan sebagai pencegahan

maupun menyembuhkan sariawan (stomatitis) dengan cepat, sedangkan kita ketahui

bahwa obat-obatan tersebut dijual dengan harga yang relatif' mahal, terutama bagi

masyarakat golongan menengah ke bawah. Selain itu, penggunaan obat-obatan yang

kurang hati-hati atau tidak sesuai dengan dosis yang dianjurkan dapat menimbulkan

efek samping yang tidak diinginkan. Obat tradisional kembali populer dipilih sebagai

obat untuk menyembuhkan berbagai penyakit karena disamping harganya terjangkau,

tetapi juga khasiatnya cukup menjanjikan (Fitriana dkk, 2005).

       Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengetahui pengaruh getah jarak pagar

(Jatropha curcas L.) terhadap proses penyembuhan Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR)

Minor.

B. Rumusan Masalah

       Berdasarkan latar belakang di atas dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut :

Apakah getah jarak pagar (Jatropha curcas L.) berpengaruh terhadap proses

penyembuhan Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor ?

C. Tujuan

       Adapun tujuan dari penulisan proposal skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui pengaruh getah jarak pagar (Jatropha curcas L.) terhadap proses

penyembuhan Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor.

2. Untuk mensosialisasikan bahwa ada obat tradisional yang mudah didapat dan murah,

yang dapat digunakan untuk mengobati sariawan (stomatitis) khususnya Stomatitis

Aftosa Rekuren (SAR) Minor.

D. Manfaat

       Manfaat dari penulisan proposal skripsi ini adalah :

1. Dapat mengetahui pengaruh getah jarak pagar (Jatropha curcas L.) terhadap proses

penyembuhan Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor.

2. Memberikan informasi dan pengetahuan kepada masyarakat mengenai penggunaan

getah

jarak pagar (Jatropha curcas L.) untuk penyembuhan sariawan (stomatitis)

khususnya Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor, sehingga getah jarak pagar

dapat dimanfaatkan secara maksimal.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR)

         Stomatitis Aftosa Rekuren atau yang di kalangan masyarakat awam disebut

sariawan adalah luka yang terbatas pada jaringan lunak rongga mulut. Istilah rekuren

digunakan karena memang lesi ini biasanya hilang timbul. Luka ini bukan infeksi, dan

biasanya timbul soliter atau di beberapa bagian di rongga mulut seperti pipi, di sekitar

bibir, lidah, atau mungkin juga terjadi di tenggorokan dan langit-langit mulut (Anonim,

2009).

Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) adalah salah satu kelainan mukosa rongga mulut yang

paling sering terjadi dan menyerang kira-kira 15-20% populasi masyarakat. Stomatitis

Aftosa Rekuren sering menimbulkan rasa sakit dan perasaan yang tidak nyaman

(Plemons dkk, 1994).

         Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) mengenai permukaan mukosa, baik mukosa

berkeratin maupun mukosa yang tidak berkeratin. Berikut ini permukaan mukosa

rongga mulut yang terlibat : mukosa labial dan bukal, unattached gingiva, palatum

lunak, pipi, bibir, atap atau dasar rongga mulut, serta permukaan tengah dari lidah

(Casiglia, 2006).

         Pasien penderita Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) ini diklasifikasikan dalam 3

kategori. Kategori ini tergantung pada presentasi klinis dari lesinya, yaitu : ulser minor,

ulser mayor, dan herpetiform ulser. Ulser minor sering terjadi pada mukosa labial dan

bukal serta pada dasar mulut. Ulser ini memiliki diameter yang besarnya kurang dari 1

cm dan sembuh tanpa disertai pembentukan jaringan parut sekitar 7-10 hari (Mcbride,

2007). Ulser mayor biasanya terdapat pada mukosa faring, bibir, palatum lunak. Dimana

diameter ulsernya berukuran lebih dari 1 cm dan akan membentuk jaringan parut setelah

penyembuhannya (Schreiner dkk, 1995). Ulser herpetiform adalah yang paling jarang

terjadi dan biasanya merupakan lesi berkelompok dan terdiri dari ulser berukuran kecil

dengan jumlah banyak. Ulser herpetiform dianggap sebagai suatu gangguan klinis yang

berbeda, yang bermanifestasi sebagai suatu kumpulan yang rekuren sebanyak berlusin-

lusin, dari ulser kecil yang timbuldi seluruh mukosa lunak rongga mulut (Greenberg,

1994).

1. Pengertian Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor

        Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor disebut juga dengan nama Mikuliz’s

apthae yang terjadi sekitar 75-85% dari semua lesi Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR).

Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor sering mengenai mukosa rongga mulut yang

tidak mengalami keratinisasi seperti pada mukosa bibir, mukosa bukal, dan dasar mulut.

Ulkus ini tidak lebih dari 8-10 mm, dilapisi membrane fibrous kekuningan dengan tepi

eritematous, umumnya sembuh dalam 10-14 hari tanpa meninggalkan jaringan parut

(Scully, 2007).

        Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor mempunyai kecenderungan untuk terjadi

pada mukosa bergerak yang terletak pada jaringan kelenjar saliva minor. Seringkali

terjadi pada mukosa bibir dan pipi, tetapi ulkus jarang terjadi pada mukosa berkeratin

banyak seperti gusi dan palatum keras. Ulkus-ulkus biasanya terdapat disepanjang

lipatan mukobukal dan seringkali tampak lebih memanjang, dimana rasa terbakar adalah

keluhan awal dan diikuti dengan nyeri hebat selama beberapa hari (Langlais dan Miller,

2000).

         Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor bersifat kambuhan dan pola terjadinya

bervariasi. Meskipun tidak ada pengobatan yang sukses sepenuhnya untuk Stomatitis

Aftosa Rekuren (SAR) Minor, namun pada beberapa kasus terbukti bahwa pemberian

obat-obatan golongan antibiotik, koagulasi, obat-obat anti keradangan, mouth rinses

yang mengandung enzim aktif dan terapi kombinasi dapat mengurangi rasa sakit,

mempercepat penyembuhan serta menurunkan jumlah dan ukuran ulser (Fernandes dkk,

2007).

       

Gambar 1. Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor di bibir bawah

2. Etiologi Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor

       Walaupun penyebab yang pasti dari Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor belum

diketahui, namun terdapat beberapa faktor pencetus yang diduga memegang peranan

penting dalam timbulnya Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor. Faktor-faktor

tersebut antara lain : faktor lokal, alergi, bakteri, imunologi, hematologi, hormonal, dan

stres psikologis (Borrego dkk, 2002).

a. Faktor Lokal

       Trauma rongga mulut dapat berpengaruh cepatnya perkembangan Stomatitis Aftosa

Rekuren (SAR) Minor. Pada studi yang dilakukan oleh Rees terhadap 128 pasien

dimana 20 pasien terbukti mengalami trauma pada mukosa mulutnya yang berlanjut

menjadi Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor. Trauma tersebut disebabkan karena

tergigitnya mukosa rongga mulut, sikat gigi atau makanan yang tajam yang bisa

menyebabkan luka pada mukosa rongga mulut (Rees dan Binnie, 2006).

b. Alergi

       Bahan-bahan allergen yang diduga berhubungan dengan Stomatitis Aftosa Rekuren

(SAR) Minor adalah benzoic acid dan cinnamic aldehide yang sering dipakai sebagai

penyedap rasa, kacang kenari, tomat, buah-buahan terutama strawberry, coklat, kacang

tanah, sereal, kacang, keju, tepung terigu atau gandum yang mengandung gluten

(Scully, 2007).

c. Bakteri

       L-form streptococcal bakteria juga berperan dalam terjadinya Stomatitis Aftosa

Rekuren (SAR). Jenis bakteri yang juga berperan yaitu Streptococcus sanguis,

Streptococcus mitis, dan Helicobacter pylori (Melamed, 2007).

d. Imunologi

       Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor umumnya terjadi pada pasien dengan

imunodefisiensi sel B dan 40% dari pasien-pasien Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR)

Minor mempunyai kompleks sirkulasi imun. Pengendapan imunoglobulin dan

komponen-komponen komplemen dalam epitel dan atau respon umum seluler (cell

mediated immune response) terhadap komponen-komponen imun merupakan peyebab

terjadinya Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor (Lawler dkk, 2002).

e. Hematologi

       Lebih dari 15-20% pasien Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor adalah penderita

defisiensi zat besi, vitamin B12 atau folic acid dan mungkin juga terdapat pada

penderita anemia. Penyembuhan Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor seringkali

terjadi sesudah terapi untuk mengatasi defisiensi tersebut (Lawler dkk, 2002).

f. Hormonal

       Diduga ada hubungan antara siklus menstruasi dan terjadinya Stomatitis Aftosa

Rekuren (SAR) Minor, yang berhubungan dengan kadar estrogen dan progesterone.

Dimana perkiraan ada hubungan antara produksi estrogen yang rendah waktu

premenstrual dengan kornifikasi mukosa mulut (Hidayanti dan Suyoso, 2006).

g. Stres Psikologi

       Studi menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang cukup erat antara stress dan

terjadinya Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor dalam 10-20% dari populasi

masyarakat. Tetapi faktor stress dalam perkembangan Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR)

Minor masih perlu diteliti lebih lanjut (Rees dan Binnie).

3. Patogenesis Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor

a. Stadium Prodormal

       Terjadi pada 24-48 jam pertama, muncul perasaan geli pada tempat dimana lesi

berkembang. Bisa disertai gejala demam, malaise, mialgia, athralgia, mual, muntah,

sakit kepala, dan pembesaran kelenjar limfe. Stadium ini disertai dengan peningkatan

rasa nyeri serta lesi berkembang menjadi edema popular lokal yang berhubungan

dengan vakuolisasi keratinosit yang dikelilingi oleh lingkaran eritematus yang

menggambarkan vaskulitis lokal dengan peningkatan infiltrasi sel mononuklear

(Hidayati dan Suyoso, 2006).

b. Stadium Ulseratif

       Terjadi ulseratif yang nyeri dan ditutupi membran fibrous, dasar ulkus diinfiltrasi

terutama oleh neutrofil, limfosit, dan sel plasma. Stadium ini terjadi dalam beberapa hari

sampai beberapa minggu (Hidayati dan Suyoso, 2006).

c. Stadium Penyembuhan

       Terjadi regenerasi epitel yang mulai menutupi ulkus serta berkurangnya rasa nyeri

yang ditimbulkan (Hidayati dan Suyoso, 2006). Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR)

Minor biasanya sembuh dengan spontan tanpa pembentukan jaringan parut, dalam

waktu 14 hari (Langlais dan Miller, 2000).

4. Diagnosis Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor

       Untuk dapat menegakkan diagnosa yang tepat dari SAR dapat dilakukan dengan

cara melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Biasanya pada anamnesis pasien akan

merasakan sakit pada mulutnya, tempat ulser sering berpindah-pindah dan biasanya

kejadiannya selalu berulang-ulang. Pasien biasanya dalam keadaan demam ringan

(Haikal, 2010).

       Diagnosa Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor dapat dilihat dengan adanya

ulser rekuren yang simetris, bulat dan tidak terbatas pada mukosa mulut serta sembuh

spontan dengan tidak disertai oleh tanda ataupun gejala-gejala lainnya (Greenberg,

1994).

       Selain pemeriksaan visual, pemeriksaan laboratoris diindikasikan bagi pasien yang

menderita SAR di atas usia 25 tahun terutama dengan tipe mayor yang selalu hilang

timbul, atau bila sariawan tidak kunjung sembuh, atau bila ada gejala dan keluhan lain

yang berkaitan dengan faktor pemicu (Anonim, 2009). Pertimbangan adanya defisiensi

hematologi, dan oleh karena itu penderita harus mengalami pemeriksaan hitung darah

lengkap serta perkiraan kadar vitamin B12 (Lewis dan Lamey, 1998).

5. Pengobatan Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor

       SAR sebetulnya dapat sembuh sendiri, karena sifat dari kondisi ini adalah self-

limiting. Obat-obatan untuk mengatasi SAR diberikan sesuai dengan tingkat keparahan

lesi (Anonim, 2009).

Banyak obat-obatan, termasuk vitamin, obat kumur antiseptik, steroid topikal dan

imunomodulator sistemik untuk mengatasi Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor.

Walaupun demikian hanya sebagian kecil yang secara ilmiah terbukti efisien.

Kombinasi vitamin B1 (thiamin, 300 mg sehari) dan vitamin B6 (pyridoxine, 50 mg

setiap 8 jam) diberikan selama 1 bulan dianjurkan sebagai penatalaksanaan empiris

tahap awal. Penggunaan terapi anxiolytic atau rujukan hipnoterapi dapat membantu bagi

penderita yang diperkirakan memiliki faktor presipitasi berupa stress. Beberapa pasien

memberikan respon yang baik terhadap obat kumur klorheksidin serta kortikosteroid

topikal, seperti hidrokortison hemisuksinat (pellet, 2,5 mg dilarutkan dalam air dan

digunakan sebagai obat kumur 3 kali sehari) (Lewis dan Lamey, 1998).

B. Jarak Pagar (Jatropha curcas L.)

1. Tinjauan Umum Jarak Pagar (Jatropha curcas L.)

       Jatropha Curcas L. adalah tanaman yang berasal dari daerah tropis di Meksiko,

Amerika Tengah. Saat ini Jatropha Curcas L. telah menyebar diberbagai tempat di

Afrika dan Asia (Anonim, 2006).

Tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L.) telah lama dikenal masyarakat Indonesia,

yaitu semasa penjajahan oleh bangsa Jepang pada tahun 1942. Pada masa itu masyarakat

diperintahkan untuk menanam jarak pagar di pekarangannya untuk dimanfaatkan

sebagai bahan bakar kendaraan perang bangsa Jepang. Oleh karena itu tidak mustahil

kalau tanaman jarak pagar memiliki beberapa nama daerah (lokal) antara lain jarak

budeg, jarak gundul, jarak cina (Jawa); baklawah, nawaih (NAD); dulang (Batak); jarak

kosta (Sunda); jarak kare (Timor); peleng kaliki (Bugis); kalekhe paghar (Madura);

jarak pager (Bali); lulu mau, paku kase, jarak pageh (Nusa Tenggara); kuman nema

(Alor); jarak kosta, jarak wolanda, bindalo, bintalo, tondo utomene (Sulawesi); dan ai

huwa kamala, balacai, kadoto (Maluku) (Ditjenbun, 2007).

       Sejak Mei 2005, terjadi ”demam Jarak” di Indonesia dan mulai muncul dikenal

dengan sebutan “Jarak Pagar” karena lazim ditanam di Indoenesia sebagai pagar

pembatas tanah lading, pagar batas desa, pagar kuburan, bahkan pengganti nisan

(namaun juga tumbuh liar ditepi-tepi jalan). Digunakan sebagai pagar, karena daunnya

tidak disukai hewan ternak (sapi, kambing) sehingga dapat melindungi tanaman

di”dalam pagar” (Ditjenbun, 2007).

       Jarak pagar dapat tumbuh pada semua jenis tanah. Tanaman ini tumbuh baik pada

tanah-tanah ringan atau lahan-lahan dengan drainase dan aerasi tanah yang baik. Pada

lahan-lahan yang subur dimana air tidak tergenang merupakan tempat yang cocok bagi

tanaman ini untuk tumbuh dan berproduksi secara optimal (Heller, 1996).

       Tanaman Jarak pagar berbentuk pohon kecil maupun belukar besar yang tingginya

mencapai lima meter. Cabang-cabang pohon ini bergetah dan dapat diperbanyak dengan

biji, stek atau kultur jaringan dan mulai berbuah delapan bulan setelah ditanam

(Ditjenbun, 2007).

Gambar 2. Jarak Pagar (Jatropha curcas L.)

2. Klasifikasi Jarak Pagar (Jatropha curcas L.)

       Tanaman jarak pagar termasuk famili Euphorbiaceae, satu famili dengan karet dan

ubi kayu. Klasifikasi tanaman jarak pagar adalah sebagai berikut (Astuti, 2008) :

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Ordo : Euphorbiales

Famili : Euphorbiaceae

Genus : Jatropha

Spesies : Jatropha curcas L.

3. Morfologi Jarak Pagar (Jatropha curcas L.)

      Tanaman jarak pagar berupa perdu dengan tinggi 1-7 m, bercabang tidak teratur.

Batangnya berkayu, silindris, dan bila terluka mengeluarkan getah (Hambali, 2006).

Penggambaran umum morfologi tanaman jarak pagar adalah sebagai berikut (Hariyadi,

2005 ) :

a. Daun

       Daunnya berupa daun tunggal, berlekuk, bersudut 3 atau 5, tulang daun menjari

dengan 5–7 tulang utama, warna daun hijau (permukaan bagian bawah lebih pucat

dibanding bagian atas). Panjang tangkai daun antara 4–15 cm.

b. Bunga

       Bunga berwarna kuning kehijauan, berupa bunga majemuk berbentuk malai,

berumah satu. Bunga jantan dan bunga betina tersusun dalam rangkaian berbentuk

cawan, muncul di ujung batang atau ketiak daun.

c. Buah

       Buah berupa buah kotak berbentuk bulat telur, diameter 2–4 cm, berwarna hijau

ketika masih muda dan kuning jika masak. Buah jarak terbagi 3 ruang yang masing –

masing ruang diisi 3 biji.

d. Biji

       Biji berbentuk bulat lonjong, warna coklat kehitaman. Biji inilah yang banyak

mengandung minyak dengan sekitar 30 – 40 % (Hariyadi, 2005 ).

4. Manfaat Jarak Pagar (Jatropha curcas L.)

       Dalam dunia kedokteran modern saat ini, banyak sekali mempelajari obat-obat

tradisional yang dalam hal ini adalah tanaman-tanaman berkhasiat obat yang ditelaah

dan dipelajari secara ilmiah (Furnawanthi, 2006). Secara tradisional getah jarak dipakai

untuk obat sakit gigi. Selain itu, jarak pagar juga digunakan untuk obat malaria, rematik,

dan nyeri otot. Sedangkan akar jarak dapat digunakan sebagai penawar racun ular

(Anonim, 2010).

       Di daerah pedesaan, getah jarak pagar yang berwarna jernih keputihan sering

digunakan sebagai obat tradisional untuk obat tetes pada telapak kaki yang terkena kutu

air dan bercak. Getah batang atau daunnya dipakai sebagai obat luar, seperti obat kumur

atau salep penyembuh luka, misalnya gigi lubang. Menurut Dr. A.P. Dharma bahwa air

perasan daun jarak pagar yang kental dapat digunakan sebagai peluntur, obat kumur,

sampai pencuci borok (Astuti, 2008).

       Ragam penyakit yang dapat ditaklukkan oleh biji tanaman asal Amerika Selatan ini

cukup beragam, antara lain menyembuhkan gatal-gatal, koreng, jamur pada kaki, dan

luka berdarah. Selain itu, tanaman yang diharapkan mampu menjadi penghasil bahan

bakar nabati ini juga bisa dimanfaatkan untuk mengatasi bengkak akibat terpukul,

terkilir, dan rematik. Dengan penggunaan yang hati-hati, daun jarak pagar bahkan dapat

digunakan sebagai obat pencahar ringan (Purwantoro dan Enny, 2007).

5. Kandungan Jarak Pagar (Jatropha curcas L.)

       Jika dilukai, setiap bagian tanaman mengeluarkan getah yang tempo dulu

dimanfaatkan untuk mencuci. Getah ini mengandung alkaloid disebut jatrophine yang

dimanfaatkan sebagai obat luka (Hariyono dan Soenardi, 2005). Getah jarak pagar

bersifat antimikroba sehingga dapat mengusir bakteri seperti jenis Staphylococcus,

Streptococcus, dan Escherichia coli. Getah jarak pagar juga mengandung tannin (18%)

yang digunakan sebagai obat kumur dan gusi berdarah serta obat luka. (Ditjenbun,

2007).

BAB III

HIPOTESIS

      Jarak pagar (Jatropha curcas L.) dibudidayakan sebagai tanaman obat di negara-

negara tropis dan subtropis. Isolasi lateksnya menghasilkan jatrophidin yang memiliki

sifat antifungi (Carlasabandar, 2010).

Getah jarak pagar (Jatropha curcas L.) mengandung alkaloid disebut jatrophine yang

dimanfaatkan sebagai obat luka (Hariyono dan Soenardi, 2005). Getah jarak pagar

mengandung tannin (18%) yang digunakan sebagai obat kumur dan gusi berdarah serta

obat luka(Ditjenbun, 2007).

      Getah jarak pagar pun berkhasiat menghentikan perdarahan akibat luka. Getah jarak

pagar bersifat antimikroba sehingga dapat mengusir bakteri seperti jenis

Staphylococcus, Streptococcus, dan Escherichia coli (Purwantoro dan Enny, 2007).

      Berdasarkan beberapa pendapat diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis yaitu getah

jarak pagar (Jatropha curcas L.) berpengaruh terhadap proses penyembuhan Stomatitis

Aftosa Rekuren (RAS) Minor.

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

      Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah jenis penelitian

eksperimental dengan pendekatan case control.

4.2 Identifikasi Variabel

a. Variable pengaruh : Getah Jarak Pagar (Jatropha Curcas L.).

b. Variabel terpengaruh : Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor.

4.3 Definisi Operasional

a. Getah Jarak Pagar (Jatropha Curcas L.) adalah cairan bening atau agak jernih

keputihan yang didapatkan

    dengan cara melukai batang atau tangkai daun dari tanaman Jarak Pagar (Jatropha

Curcas L.).

b. Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor adalah suatu penyakit rongga mulut yang

ditandai ulser dengan

    tepi eritematus, menimbulkan rasa sakit, timbul berulang-ulang, tanpa meninggalkan

jaringan parut.

4.4 Populasi dan Sampel

a. Populasi

      Populasi dari penelitian ini adalah masyarakat di Banjar Dangri Kangin Denpasar,

dengan range umur 20-50 tahun.

b. Sampel

1. Besar Sampel

     Besar sampel penelitian sebanyak 100 orang dengan perincian sebagai berikut :

- Yang mendapat perlakuan sebanyak : 50 orang

- Yang tidak mendapat perlakuan sebanyak : 50 orang

2. Teknik Pengambilan Sampel

     Sampel diambil dengan cara quota random sampling, yaitu jumlah subyek yang akan

dijadikan sampel penelitian telah dijatah sebanyak 100 orang yang kemudian diambil

secara acak.

3. Kriteria Sampel

     Adapun kriteria dari orang-orang yang dijadikan sampel dalam penelitian ini yaitu :

a. Kooperatif.

b. Menderita Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor.

4.5 Lokasi Penelitian

      Lokasi dari Penelitian ini adalah di lingkungan Banjar Dangri Kangin Denpasar.

4.6 Alat dan Bahan

a. Alat

      Alat-alat yang digunakan pada saat melakukan penelitian antara lain : alat diagnosa

(kaca mulut dan nerbeken), handscone, masker, cotton buds/kapas steril, gelas kecil,

form penelitian, dan alat-alat tulis.

b. Bahan

      Bahan yang diperlukan pada saat melakukan penelitian adalah getah jarak pagar

(Jatropha Curcas L.) dan alkohol 70%.

4.7 Jalannya Penelitian

a. Persiapan alat dan bahan yang akan digunakan dalam penelitian.

b. Melakukan kunjungan ke rumah masing-masing warga yang dijadikan sampel

penelitian.

c. Dilakukan pembersihan pada daerah ulser dari Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR)

Minor dengan alkohol

    70% menggunakan cotton buds/kapas steril pada kelompok kontrol dan kelompok

perlakuan.

d. Dilanjutkan dengan pengobatan terhadap Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor

dengan cara

    mengoleskan getah jarak pagar (Jatropha Curcas L.) dengan menggunakan cotton

buds pada kelompok

    perlakuan, sedangkan pada kelompok kontrol tidak dilakukan pengobatan atau

dibiarkan.

e. Pengobatan dengan getah jarak pagar (Jatropha Curcas L.) pada kelompok perlakuan

dilakukan 2 kali

    sehari sampai Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor sembuh.

f. Melakukan pengamatan setiap hari pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan

hingga Stomatitis

    Aftosa Rekuren (SAR) Minor sembuh dan kemudian dicatat lamanya waktu

penyembuhan pada form

    penelitian.

g. Data yang telah didapat kemudian diolah dan dianalisis dengan uji parametrik

independent T-test.

DAFTAR PUSTAKA

Adriani, dkk. 2000. The Effectiveness and Acceptance of a Medical Device for the

Treatment of Aphthous

             Stomatitis. Clinical Observation : Minerva Pediatric, hlm : 1-5.

Anonim, 2006. Pengembangan dan Pemanfaatan Jarak pagar ( Jatropha curcas L.). Pusat

Penelitian dan

             Pengambangan Perkebunan. Bogor.

Anonim. 2009. Stomatitis Aphtous Reccurent/SAR (Sariawan).

             Available http://adulgopar.files.wordpress.com/2009/12/sariawan.pdf

Astuti, Yuni. 2008. BUDIDAYA DAN MANFAAT JARAK PAGAR ( Jatropha curcas

L ). FMA-UMB,

             Available : http://research.mercubuana.ac.id/proceeding/BUDIDAYA-DAN-

MANFAAT-

             JARAK-PAGAR.pdf

Borrego, P., dkk. 2002. Stomatitis Aftosa Recurrent. Rev Cubana Estomatol, Vol. 39,

no. 2, hlm 39.

Casiglia, J. M. 2006. Stomatitis Aphthous Recurrent. Harvard School of Dental

Medicine, hlm : 1-23.

Ditjenbun. 2007. Pedoman Budidaya Tanaman Jarak Pagar. Pusat Penelitian dan

Pengambangan

              Perkebunan. Bogor.

Fernandes, dkk. 2007. The Best Treatment for Aphthous Ulcers. American Dental

Journal, hlm : 1-7.

Greenberg, M. S. 1994. Burket : Ilmu Penyakit Mulut. Binarupa Aksara : Jakarta.

Hambali, E. 2006. Jarak Pagar, Tanaman Penghasil Biodiesel. Penebar Swadaya.

Jakarta.

Heller, Joachim. 1996. Physic Nut (Jatropha curcas 1.). Promoting the conservation and

use of underutilised

              and neglected crops. 1. Institute of Plant Genetics and Crop Plant Rescarch.

              Gatersleben/International Plant Genetic Resources Institute, Rome.

Hidayanti, A. N. dan Suyoso, S. 2006. Recurrent Aphthous Stomatitis (RAS). Berkala

Penyakit Kulit dan

              Kelamin, Vol. 18, no. 2, hlm : 156-164.

Langlais, R. P., dan Miller, C. S. 2000. Atlas Berwarna : Kelainan Rongga Mulut yang

Lazim. Hipokrates :

              Jakarta.

Lawler, dkk. 2002. Buku Pintar Patologi untuk Kedoktera Gigi. Penerbit Buku

Kedokteran EGC : Jakarta.

Lewis, M. A. O. dan Lamey, P. J. 1998. Tinjaun Klinis Penyakit Mulut. Widya Medika :

Jakarta.Mcbrige,

             D. R. 2007. Management of Aphthous Ulcers. Lynn Community Health Center,

hlm : 40-48.

Melamed, F. 2007. Aphthous Stomatitis. UCLA Medical School Journal, hlm 1-5

Haikal, Mohammad. 2009. Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren. USU Available

:

             http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/8273/1/10E00345.pdf

Plemons, J. M. 1994. Evaluation of Acemannan in the Treatment of Recurrent Aphthous

Stomatitis. Baylor

             College of Dentistry, Vol. 6, no. 2, hlm : 40-45.

Rees dan Binnie. 2006. Cancer Sores (Recurrent Aphthous Stomatitis) Cause and

Control. American

             Dental Journal, hlm : 1-8.

Scully, C. 2007. Aphthous Ulceration. American Dental Journal, hlm : 1-8.

Shcreiner, C. dan Quinn, F. B., dkk. 1995. Stomatitis. Dept. Otolaryngology, UMTB,

hlm : 53-62.

J Oral Maxillofac Pathol. 2011 Sep-Dec; 15(3): 252–256.

doi:  10.4103/0973-029X.86669

PMCID: PMC3227248

Recurrent aphthous stomatitis

L Preeti, KT Magesh,1 K Rajkumar, and Raghavendhar Karthik

Author information   ►  Copyright and License information   ►

This article has been cited by other articles in PMC.

Go to:

ABSTRACT

Recurrent aphthous ulcers are common painful mucosal conditions affecting the oral

cavity. Despite their high prevalence, etiopathogenesis remains unclear. This review

article summarizes the clinical presentation, diagnostic criteria, and recent trends in the

management of recurrent apthous stomatitis.

Keywords: Diagnostic criteria, recurrent aphthous stomatitis, stress ulcers, ulcer activity

index immunomodulation

Go to:

INTRODUCTION

The term “aphthous” is derived from a Greek word “aphtha” which means ulceration.

Recurrent aphthous stomatitis (RAS) is one of the most common painful oral mucosal

conditions seen among patients. These present as recurrent, multiple, small, round, or

ovoid ulcers, with circumscribed margins, having yellow or gray floors and are

surrounded by erythematous haloes, present first in childhood or adolescence.[1]

Go to:

CLINICAL PRESENTATION

RAS is characterized by recurrent bouts of solitary or multiple shallow painful ulcers, at

intervals of few months to few days in patients who are otherwise well.[2] RAS has

been described under three different clinical variants as classified by Stanley in 1972.[3]

Minor RAS is also known as Miculiz's aphthae or mild aphthous ulcers. It is the most

common variant, constituting 80% of RAS. Ulcers vary from 8 to 10 mm in size. It is

most commonly seen in the nonkeratinized mucosal surfaces like labial mucosa, buccal

mucosa, and floor of the mouth. Ulcers heal within 10–14 days without scarring.

Major RAS is also known as periadenitis mucosa necrotica recurrens or Sutton's disease.

It affects about 10–15% of patients. Ulcers exceed 1 cm in diameter. Most common

sites of involvement are lips, soft palate, and fauces. Masticatory mucosa like dorsum of

tongue or gingiva may be occasionally involved.[4] The ulcers persist for up to 6 weeks

and heal with scarring.

Herpetiform ulceration is characterized by recurrent crops of multiple ulcers; may be up

to 100 in number. These are small in size, measure 2–3 mm in diameter. Lesions may

coalesce to form large irregular ulcers. These ulcers last for about 10–14 days. Unlike

herpetic ulcers, these are not preceded by vesicles and do not contain viral infected cells.

These are more common in women and have a later age of onset than other clinical

variants of RAS.[5]

Predisposing factors

Genetics

A genetic predisposition for the development of apthous ulcer is strongly suggested as

about 40% of patients have a family history and these individuals develop ulcers earlier

and are of more severe nature.[2] Various associations with HLA antigens and RAS

have been reported. These associations vary with specific racial and ethnic origins.

Trauma

Trauma to the oral mucosa due to local anesthetic injections, sharp tooth, dental

treatments, and tooth brush injury may predispose to the development of recurrent

aphthous ulceration (RAU).[1] Wray et al.[6] in 1981 proposed that mechanical injury

may aid in identifying and studying patients prone to aphthous stomatitis.

Tobacco

Several studies reveal negative association between cigarette smoking, smokeless

tobacco and RAS. Possible explanations given include increased mucosal keratinization;

which serves as a mechanical and protective barrier against trauma and microbes.[7–9]

Nicotine is considered to be the protective factor as it stimulates the production of

adrenal steroids by its action on the hypothalamic adrenal axis and reduces production

of tumor necrosis factor alpha (TNF-α) and interleukins 1 and 6 (IL-1 andIL-6).[10]

Nicotine replacement therapy has been suggested as treatment for patients who develop

RAU on cessation of smoking.[11]

Drugs

Certain drugs have been associated with development of RAU; these include

angiotensin converting enzyme inhibitor captopril, gold salts, nicorandil, phenindione,

phenobarbital, and sodium hypochloride. NSAIDS such as propionic acid, diclofenac,

and piroxicam may also cause oral ulceration similar to RAS.[12]

Hematinic deficiency

Deficiencies of iron, vitamin B12, and folic acid predispose development of RAS.

Deficiencies of these hematinics are twice more common in these individuals than

controls. Contrary findings in various studies relating the association of hematinic

deficiency and RAS have been explained as due to varying genetic backgrounds and

dietary habits of the study population.[2,12]

Gluten sensitive enteropathy/celiac disease, inflammatory bowel disease

Gluten sensitive enteropathy (GSE) is an autoimmune inflammatory disease of small

intestine that is precipitated by the ingestion of gluten, a wheat protein in susceptible

individuals. It is characterized by severe malnutrition, anemia, abdominal pain, diarrhea,

aphthous oral ulcers, glossitis, and stomatitis. RAS may be the sole manifestation of the

disease. The use of gluten-free diet in the improvement of RAS is considered uncertain.

It has been suggested that evaluation for celiac disease may be appropriate for RAS

patients.[13] Inflammatory bowel diseases such as Crohn's disease and ulcerative colitis

may present with apthous-like ulceration.[1]

Sodium lauryl sulfate - containing toothpaste

An increased frequency in the occurrence of RAS has been reported on using sodium

lauryl sulfate (SLS)-containing tooth paste with some reduction in ulceration on use of

SLS-free tooth paste. However, because of the widespread use of SLS-containing

dentifrice, it has been proposed that this may not truly predispose to RAS.[1]

Hormonal changes

Conflicting reports exist regarding association of hormonal changes in women and

RAU. Studies state association of oral ulceration with onset of menstruation or in the

luteal phase of the menstrual cycle. Mc Cartan et al.[14] in 1992 established no

association between apthous stomatitis and premenstrual period, pregnancy, or

menopause.

Stress

Stress has been emphasized as a causative factor in RAU. It has been proposed that

stress may induce trauma to oral soft tissues by parafunctional habits such as lip or

cheek biting and this trauma may predispose to ulceration. A more recent study shows

lack of direct correlation between levels of stress and severity of RAS episodes and

suggests that psychological stress may act as a triggering or modifying factor rather than

etiological factor in susceptible RAS patients.[15]

Micro organisms implicated in apthous ulcers

Several micro organisms have been implicated in the pathogenesis of RAS. Several

contrary findings have been reported in the various studies published.

RAS and oral streptococci

Oral streptococci have been considered as microbial agents in the pathogenesis of RAS.

They have been implicated as microorganisms directly involved in the pathogenesis of

these lesions or as agents which serve as antigenic stimuli, which in turn provoke

antibody production that cross-react with oral mucosa. It has been suggested that L form

of α-hemolytic streptococci,Streptococcus sanguis; later identified as Streptococcus

mitis was the causative agent of this disease. Hoover et al.[16] in 1986 demonstrated

low levels of cross-reactivity of oral Streptococci and oral mucosal antigens and

considered the reactivity to be non-specific and clinically insignificant.

RAS and Helicobacter pylori

H. pylori has been implicated as one of the organisms in the etiopathogenesis of

RAS. H. pylori is a gram-negative, S-shaped bacterium that has been associated with

gastritis and in chronically infected duodenal ulcers. H. pylori has been reported to be

present in high density in dental plaque.[17] Porter et al.[18] in 1997 measured the

levels of IgG antibodies againstH. pylori in patients with RAS and showed that no the

frequency of anti-H. pylori seropositivity was not significantly elevated in patients with

RAS and other ulcerative and non-ulcerative oral mucosal disorders.

Viruses as etiologic agents in RAS

Various viruses have been implicated in the etiopathogenesis of recurrent apthous

stomatitis. There have been several suggestive, but as yet there exists inconclusive

evidence toward a viral etiology. Characteristics of aphthous ulcers which are indicative

of infectious etiology include recurrent ulceration, lymphocytic infiltration, perivascular

cuffing, presence of auto-antibodies, inclusion bodies in case of herpetiform ulcers and

similarity of RAU to viral ulcerative diseases in animals.[19] Virtanen et al.[17] in 1995

demonstrated the presence of human cytomegalovirus DNA (HCMV) in biopsies of oral

mucosal ulcers, but they were unable to rule out the presence of this virus which may

have existed as a super infection or co infection from existing HCMV in saliva. Sun et

al.[20] in 1996 demonstrated the presence of HCMV genomes by polymerase chain

reaction in pre-ulcerative oral apthous tissues. They postulated that when viral infection

occurs in oral epithelial cells expressing major histocompatibility complex class II

molecules (MHC-II), an intense T-cell response is elicited against virus containing oral

epithelial cells. They concluded that HCMV may play role in perpetuating local immune

response in genetically predisposed individuals.

Sun et al.[21] in 1998 demonstrated the presence of Epstein-barr virus (EBV) genomes

by polymerase chain reaction in pre-ulcerative oral apthous tissues in RAU patients.

They postulated a possible role of association of EBV in pre-ulcerative oral lesions in

patients of RAU.

Role of tumor necrosis factor alpha in RAS

Tumor necrosis factor alpha (TNF-α) is a pro-inflammatory cytokine and is one of the

most important cytokine implied in the development of new apthous ulcers in patients.

The association of TNF-α in the development of RAS gains credence due to the fact that

immunomodulatory drugs such as thalidomide and pentoxifylline have been found

effective in the treatment of RAS. Thalidomide reduces activity of TNF-α by degrading

its messenger RNA and pentoxifylline inhibits TNF-α production.[22,23] Antigenic

stimulation of oral mucosal keratinocytes results in the production of pro-inflammatory

cytokines such as IL-2 and TNF-α. TNF-α also causes expression of class I major

histocompatability complex, subsequently these cells are targeted for attack by cytotoxic

T cells.[1]

Go to:

INDEX FOR DETERMINING IMPACT OF ORAL ULCER ACTIVITY IN

PATIENTS OF RAS

Mumucu et al.[24] in 2009 proposed a composite index to monitor the clinical

manifestations associated with oral ulcers in patients of RAS and Behcet's disease. They

proposed that such indices serve to provide important information regarding prognosis

of disease and therapeutic effect of medication.

The index evaluated the oral ulcer activity, ulcer-related pain, and functional disability.

Oral ulcer activity was recorded as number of ulcers in the past 1 month. This was

scored zero if there were no ulcers and as one, if the number of ulcer was greater or

equal to than one. The pain status was evaluated on a visual analogue scale (VAS). This

is a 100-mm line with extreme values at either end. The patients have to mark the

intensity of pain on the line.

Functional status evaluation

This involved the evaluation of effects of oral ulcers on tasting, speaking, and

eating/chewing/swallowing. This was evaluated by both Likert-type scale and VAS

scale. Scoring is done as 0, when none of the time; 1, little of the time; 2, some of the

time; 3, most of the time; 4, all of the time and VAS (0–100 mm).

Use of visual analog scale to evaluate the pain caused by ulcers is highly subjective and

is ridden with interpersonal variation. This is a continuous scale with no discrete levels

as would be suggested by grades such as none, mild, moderate, or severe. Further

studies in different population and ethnic groups need to be carried out using this

criteria to validate this index.

Go to:

HISTOPATHOLOGY OF RAS

The microscopic picture of aphthous ulcer is non-specific, and diagnosis must be based

on history and careful clinical examination. The mucous membrane of aphthous ulcer

shows superficial tissue necrosis with a fibrinopurulent membrane covering the

ulcerated area. The necrosis is covered by tissue debris and neutrophils. Epithelium is

infiltrated by lymphocytes and few neutrophils. Intense inflammatory cell infiltration,

predominantly neutrophils present immediately below the ulcer, mononuclear

lymphocytes are seen in adjacent areas. Minor salivary glands commonly present in

areas of aphthae exhibit focal periductal and perialveolar fibrosis and chronic

inflammation.[12,25]

Go to:

DIAGNOSIS

Diagnosis of RAS is based on history, clinical manifestations, and histopathology. Other

causes of recurrent oral ulceration must be ruled out. Systemic diseases which present

with recurrent oral ulcerations are summarized in Table 1. Diagnostic criteria for minor

RAU were proposed by Natah et al.[12] in 2004. They proposed that a diagnosis of

idiopathic RAU and secondary RAU (associated with systemic disease) is established

when four major and one minor criteria are fulfilled. The major and minor criteria for

diagnosis of minor RAU are illustrated in Tables Tables22 and and33.

Table 1

Systemic diseases with recurrent oral ulceration (modified from reference 1)

Table 2

Major criteria for diagnosis of RAU minor (Natah et al.[12] 2004)

Table 3

Minor criteria for diagnosis of RAU minor

Management

There is no definitive curative treatment for RAS. Possible systemic association with

RAS must be ruled out, especially in cases where there is sudden development of

ulceration in adulthood.[2] Laboratory investigations such as complete blood counts, red

cell folate, serum ferritin levels, and vitamin B12 recommended. Screening for GSE

must be done in cases where associated systemic manifestations of GSE are present.

Various topical and systemic agents used in treatment of RAS are summarized in Table

4.

Table 4

Topical and systemic agents used in treatment of RAS

Go to:

CONCLUSION

Recurrent apthous stomatitis is a very common, recurrent painful ulceration occurring in

the oral cavity. The etiopathogenesis of this disease is yet unclear. Treatment strategies

must be directed toward providing symptomatic relief by reducing pain, increasing the

duration of ulcer-free periods, and accelerating ulcer healing.

Go to:

FOOTNOTES

Source of Support: Nil.

Conflict of Interest: None declared.

Go to:

REFERENCES

1. Jurge S, Kuffer R, Scully C, Porter SR. Recurrent aphthous stomatitis. Oral

Dis. 2006;12:1–21.[PubMed]

2. Scully C, Porter S. Oral mucosal disease: Recurrent aphthous stomatitis. Br J Oral

Maxillofac Surg.2008;46:198–206. [PubMed]

3. Stanley HR. Aphthous lesions. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol

Endod. 1972;30:407–16.

4. Cawson RA, Odell EW. Cawson's Essentials of Oral Pathology and Oral

Medicine. 8th ed. Philadelphia: Elseivier; 2008.

5. Scully C, Porter S. Recurrent aphthous stomatitis: Current concepts of etiology,

pathogenesis and management. J Oral Pathol Med. 1989;18:21–7. [PubMed]

6. Wray D, Graykowski EA, Notkins AL. Role of mucosal injury in initiating recurrent

aphthous stomatitis. Br Med J (Clin Res Ed) 1981;283:1569–70. [PMC free

article] [PubMed]

7. Bookman R. Relief of Canker Sores on Resumption of Cigarette Smoking. Calif

Med. 1960;93:235–6.[PMC free article] [PubMed]

8. Shapiro S, Olson DL, Chellemi SJ. The association between smoking and aphthous

ulcers. Oral Surg Oral Med Oral Pathol. 1970;30:624–30. [PubMed]

9. Grady D, Ernster VL, Stillman L, Greenspan J. Smokeless tobacco use prevents

aphthous stomatitis.Oral Surg Oral Med Oral Pathol. 1992;74:463–65. [PubMed]

10. Floto RA, Smith KG. The vagus nerve, macrophages and

nicotine. Lancet. 2003;361:1069–70.[PubMed]

11. Scheid P, Bohadana A, Martinet Y. Nicotine patches for aphthous ulcers due to

Behcet's syndrome. N Engl J Med. 2000;343:1816–17. [PubMed]

12. Natah SS, Konttinen YT, Enattah NS, Ashammakhi N, Sharkey KA, Häyrinen-

Immonen R. Recurrent aphthous ulcers today: A review of growing knowledge. Int J

Oral Maxillofac Surg.2004;33:221–34. [PubMed]

13. Shakeri R, Zamani F, Sotoudehmanesh R, Amiri A, Mohamadnejad M, Davatchi F,

et al. Gluten sensitive enteropathy in patients with recurrent aphthous stomatitis. BMC

Gastroenterol. 2009;9:44.[PMC free article] [PubMed]

14. McCartan BE, Sullivan A. The association of menstrual cycle, pregnancy and

menopause with recurrent oral aphthous stomatitis: A review and critique. Obstet

Gynecol. 1992;80:455–8. [PubMed]

15. Gallo Cde B, Mimura MA, Sugaya NN. Pschological stress and recurrent aphthous

stomatitis. Clinics (Sao Paulo) 2009;64:645–8. [PMC free article] [PubMed]

16. Hoover CI, Olson JA, Greenspan JS. Humoral responses and cross reactivity to

viridians streptococci in recurrent aphthous ulceration. J Dent Res. 1986;65:1101–

4. [PubMed]

17. Leimola-Virtanen R, Happonen RP, Syrjänen S. Cytomegalovirus (CMV)

and Helicobacter pyroli(HP) found in oral mucosal ulcers. J Oral Pathol

Med. 1995;24:14–7. [PubMed]

18. Porter SR, Barker GR, Scully C, Macfarlane G, Bain L. Serum IgG antibodies

to Helicobacter pyroliin patients with recurrent aphthous stomatitis and other oral

disorders. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod. 1997;83:325–

8. [PubMed]

19. Hooks JJ. Possibility of a viral etiology in recurrent aphthous ulcers and Behcet's

syndrome. J Oral Pathol. 1978;7:353–64. [PubMed]

20. Sun A, Chang JG, Kao CL, Liu BY, Wang JT, Chu CT, et al. Human

cytomegalovirus as a potential etiologic agent in recurrent aphthous ulcers and Behcet, s

disease. J Oral Pathol Med. 1996;25:212–8.[PubMed]

21. Sun A, Chang JG, Chu CT, Liu BY, Yuan JH, Chiang CP. Preliminary evidence for

an association of Epstein – Barr virus with pre-ulcerative oral lesions in patients with

recurrent aphthous ulcers or Behcet's disease. J Oral Pathol Med. 1998;27:168–

75. [PubMed]

22. Jacobson JM, Greenspan JS, Spritzler J, Ketter N, Fahey JL, Jackson JB, et al.

Thalidomide for the treatment of oral aphthous ulcers in patients with human

immunodeficiency virus infection. National Institute of Allergy and Infectious Diseases

AIDS Clinical Trials Group. N Engl J Med. 1997;336:1487–93. [PubMed]

23. Zabel P, Schade FU, Schlaak M. Inhibition of endogeneous TNF-α formation by

pentoxifylline.Immunobiology. 1993;187:447–63. [PubMed]

24. Mumcu G, Sur H, Inanc N, Karacayli U, Cimilli H, Sisman N, et al. A composite

index for determining the impact of oral ulcer activity in Behcet's disease and recurrent

aphthous stomatitis. J Oral Pathol Med. 2009;38:785–91. [PubMed]

25. Shafer, Hine, Levy . A Textbook of Oral Pathology. 4th ed. New Delhi: Saunders;

1997.

26. Zhou Y, Chen Q, Meng W, Jiang L, Wang Z, Liu J, et al. Evaluation of penicillin G

potassium troches in the treatment of minor recurrent aphthous ulceration in a Chinese

cohort: A randomized, double-blinded, placebo and no- treatment- controlled,

multicenter clinical trial. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol

Endod. 2010;109:561–6. [PubMed]

27. Nolan A, Baillie C, Badminton J, Rudralingam M, Seymonr RA. Efficacy of topical

hyaluronic acid in the management of recurrent aphthous ulceration. J Oral Pathol

Med. 2006;35:461–5. [PubMed]

Articles from Journal of Oral and Maxillofacial Pathology : JOMFP are provided here

courtesy of Medknow Publications