jurnal (13)

Upload: devi-christina-damanik-papua-medical-school

Post on 31-Oct-2015

204 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE BAYI Harry Kurniawan Gondo

Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

ABSTRAKPelayanan PMTCT semakin menjadi perhatian dikarenakan epidemi HIV/AIDS di Indonesia meningkat dengan cepat. Infeksi HIV dapat berdampak kepada ibu dan bayi. Dampak infeksi HIV terhadap ibu antara lain: timbulnya stigma sosial, diskriminasi, morbiditas dan mortalitas maternal. Sebagian besar infeksi HIV pada bayi disebabkan penularan dari ibu, hanya sebagian kecil yang terjadi karena proses transfusi. Kecenderungan Infeksi HIV pada Perempuan dan Anak Meningkat oleh karenanya diperlukan berbagai upaya untuk mencegah infeksi HIV pada perempuan, serta mencegah penularan HIV dari ibu hamil ke bayi yaitu PMTCT (Prevention of Mother to Child HIV Transmission). Dengan intervensi yang baik maka risiko penularan HIV dari ibu ke bayi sebesar 25 hingga 45% bisa ditekan menjadi kurang dari 2%. Intervensi tersebut meliputi4 konsep dasar: (1) Mengurangi jumlah ibu hamil dengan HIV positif, (2) Menurunkan viral load serendah-rendahnya, (3) Meminimalkan paparan janin/bayi terhadap darah dan cairan tubuh ibu HIV positif, dan (4) Mengoptimalkan kesehatan dari ibu dengan HIV positif.

PREVENTION OF MOTHER TO CHILD HIV TRANSMISSION, PMTCTHarry Kurniawan GondoLecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma SurabayaABSTRAC

Service of PMTCT progressively become attention because of epidemic of HIV/AIDS in Indonesia mount swiftly. Infection of HIV can affect to baby and mother. Infection impact of HIV to mother for example: incidence of social stigma, discrimination, and morbiditas of mortalitas maternal. Most infection of HIV at baby caused by infection of mother, only some of small that happened because transfusion process. Tendency of Infection of HIV at woman and child mount for the reason needed various effort to prevent infection of HIV at woman, and also prevent infection of HIV of pregnant mother to baby that is PMTCT (Prevention Prevention of Mother to Child HIV Transmission). With good intervention hence risk infection of HIV of mother to baby equal to 25 till 45% can be depressed to become less than 2%. The intervention cover 4 elementary concept: (1) Lessening the amount of pregnant mother with positive HIV, (2) Degrading rock bottom load viral, (3) Minimization fetus presentation/ baby to mother body dilution and blood of HIV positive, and (4) is Optimal [of] health of mother with positive HIVI. Latar Belakang

Pelayanan PMTCT semakin menjadi perhatian dikarenakan epidemi HIV/AIDS di Indonesia meningkat dengan cepat (jumlah kasus AIDS pada akhir triwulan II 2008 adalah 12,686 kasus). Infeksi HIV dapat berdampak kepada ibu dan bayi. Dampak infeksi HIV terhadap ibu antara lain: timbulnya stigma sosial, diskriminasi, morbiditas dan mortalitas maternal. Besarnya stigma sosial menyebabkan orang hidup dengan HIV AIDS (Odha) semakin menutup diri tentang keberadaannya, yang pada akhirnya akan mempersulit proses pencegahan dan pengendalian infeksi. Dampak buruk dari penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dicegah apabila : (1) Terdeteksi dini, (2) Terkendali (Ibu melakukan perilaku hidup sehat, Ibu mendapatkan ARV profilaksis secara teratur, Ibu melakukan ANC secara teratur, Petugas kesehatan menerapkan pencegahan infeksi sesuai Kewaspadaan Standar), (3) Pemilihan rute persalinan yang aman (seksio sesarea), (4) Pemberian PASI (susu formula) yang memenuhi persyaratan, (5) Pemantauan ketat tumbuh-kembang bayi & balita dari ibu dengan HIV positif, dan (6) Adanya dukungan yang tulus, dan perhatian yang berkesinambungan kepada ibu, bayi dan keluarganya. Pelayanan PMTCT dapat dilakukan di berbagai sarana kesehatan (rumah sakit, puskesmas) dengan proporsi pelayanan yang sesuai dengan keadaan sarana tersebut. Namun yang terutama dalam pelayanan PMTCT adalah tersedianya tenaga/staf yang mengerti dan mampu/berkompeten dalam menjalankan program ini.1,2

II. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi (Preventif mother to child transmission)

Sebagian besar (90%) infeksi HIV pada bayi disebabkan penularan dari ibu, hanya sekitar 10% yang terjadi karena proses transfusi. Infeksi yang ditularkan dari ibu ini kelak akan mengganggu kesehatan anak. Padahal dengan intervensi yang mudah dan mampu laksana proses penularan sudah dapat ditekan sampai sekitar 50%nya. Selain itu tindakan intervensi dapat berupa pencegahan primer/ primary prevention (sebelum terjadinya infeksi), dilaksanakan kepada seluruh pasangan usia subur, dengan kegiatan konseling, perawatan dan pengobatan di tingkat keluarga. Sebagai langkah antisipasi maka dalam Strategi Nasional Penanggulangan AIDS 2003-2007 ditegaskan bahwa pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi merupakan program prioritas.1,2

Kecenderungan Infeksi HIV pada Perempuan dan Anak Meningkat oleh karenanya diperlukan berbagai upaya untuk mencegah infeksi HIV pada perempuan, serta mencegah penularan HIV dari ibu hamil ke bayi yaitu PMTCT (Prevention of Mother to Child HIV Transmission)A. Tujuan Program PMTCTProgram Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi bertujuan untuk:

1. Mencegah Penularan HIV dari Ibu ke Bayi.

Sebagian besar infeksi HIV pada bayi disebabkan penularan dari ibu. Infeksi yang ditularkan dari ibu ini kelak akan mengganggu kesehatan anak. Diperlukan upaya intervensi dini yang baik, mudah dan mampu laksana guna menekan proses penularan tersebut.

2. Mengurangi dampak epidemi HIV terhadap Ibu dan Bayi

Dampak akhir dari epidemi HIV berupa berkurangnya kemampuan produksi dan peningkatan beban biaya hidup yang harus ditanggung oleh Odha dan masyarakat Indonesia di masa mendatang karena morbiditas dan mortalitas terhadap Ibu dan Bayi. Epidemi HIV terutama terhadap Ibu dan Bayi tesebut perlu diperhatikan, dipikirkan dan diantisipasi sejak dini untuk menghindari terjadinya dampak akhir tersebut.1,2

B. Sasaran Program PMTCTGuna mencapai tujuan tersebut, Program PMTCT mempunyai sasaran program, antara lain:

1. Peningkatan Kemampuan Manajemen Pengelola Program PMTCT2. Peningkatan akses informasi mengenai PMTCT3. Peningkatan akses intervensi PMTCT pada ibu hamil, bersalin dan nifas

4. Peningkatan akses pelayanan Dukungan Perawatan dan Pengobatan (Care, Support dan Treatment) bagi ibu dan bayi.1,2C. Bentuk-bentuk intervensi PMTCT 1. Intervensi untuk Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi

Dengan intervensi yang baik maka risiko penularan HIV dari ibu ke bayi sebesar 25 45% bisa ditekan menjadi kurang dari 2%. Menurut estimasi Depkes, setiap tahun terdapat 9.000 ibu hamil HIV positif yang melahirkan di Indonesia. Berarti, jika tidak ada intervensi diperkirakan akan lahir sekitar 3.000 bayi dengan HIV positif setiap tahunnya di Indonesia. Intervensi tersebut meliputi4 konsep dasar: (1) Mengurangi jumlah ibu hamil dengan HIV positif, (2) Menurunkan viral load serendah-rendahnya, (3) Meminimalkan paparan janin/bayi terhadap darah dan cairan tubuh ibu HIV positif, dan (4) Mengoptimalkan kesehatan dari ibu dengan HIV positif.2. Mengurangi jumlah ibu hamil dengan HIV positifSecara bermakna penularan infeksi virus ke neonatus dan bayi terjadi trans plasenta dan intrapartum (persalinan). Terdapat perbedaan variasi risiko penularan dari ibu ke bayi selama Kehamilan dan Laktasi, tergantung sifat infeksi terhadap ibu: Infeksi primer ( HSV/ Herpes Simpleks Virus, HIV1), Infeksi Sekunder/ Reaktivasi (HSV, CMV/ Cyto Megalo Virus), atau Infeksi Kronis (Hepatitis B, HIV1, HTLV-I). Mengingat adanya kemungkinan transmisi vertikal dan adanya kerentanan tubuh selama proses kehamilan, maka pada dasarnya perempuan dengan HIV positif tidak dianjurkan untuk hamil. Dengan alasan hak asasi manusia, perempuan Odha dapat memberikan keputusan untuk hamil setelah melalui proses konseling, pengobatan dan pemantauan. Pertimbangan untuk mengijinkan Odha hamil antara lain: apabila daya tahan tubuh cukup baik (CD4 di atas 500), kadar virus (viral load) minimal/ tidak terdeteksi (kurang dari 1.000 kopi/ml), dan menggunakan ARV secara teratur.3. Menurunkan viral load/ kadar virus serendah-rendahnyaObat antiretroviral (ARV) yang ada sampai saat ini baru berfungsi untuk menghambat multiplikasi virus, belum menghilangkan secara total keberadaan virus dalam tubuh Odha. Walaupun demikian, ARV merupakan pilihan utama dalam upaya pengendalian penyakit guna menurunkan kadar virus.4. Meminimalkan paparan janin dan bayi terhadap cairan tubuh ibuPersalinan dengan seksio sesarea berencana sebelum saat persalinan tiba merupakan pilihan pada Odha. Pada saat persalinan pervaginam, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Bayi mungkin juga terinfeksi karena menelan darah atau lendir jalan lahir tersebut (secara tidak sengaja pada saat resusitasi). Beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwa seksio sesarea akan mengurangi risiko penularan HIV dari ibu ke bayi sebesar 50-66% . Apabila seksio sesarea tidak bisa dilaksanakan, maka dianjurkan untuk tidak melakukan tindakan invasif yang memungkinkan perlukaan pada bayi (pemakaian elektrode pada kepala janin, ekstraksi forseps, ekstraksi vakum) dan perlukaan pada ibu (episiotomi).Telah dicatat adanya penularan melalui ASI pada infeksi CMV, HIV1 dan HTLV-I. Sedangkan untuk virus lain, jarang dijumpai transmisi melalui ASI. HIV teridentifikasi ada dalam kolustrum dan ASI, menyebabkan infeksi kronis yang serius pada bayi dan anak . Oleh karenanya ibu hamil HIV positif perlu mendapat konseling sehubungan dengan keputusannya untuk menggunakan susu formula ataupun ASI eksklusif. Untuk mengurangi risiko penularan, ibu HIV positif bisa memberikan susu formula kepada bayinya. Pemberian susu formula harus memenuhi 5 persyaratan AFASS dari WHO (Acceptable= mudah diterima, Feasible= mudah dilakukan, Affordable= harga terjangkau, Sustainable= berkelanjutan, Safe= aman penggunaannya). Pada daerah tertentu dimana pemberian susu formula tidak memenuhi persyaratan AFASS maka ibu HIV positif dianjurkan untuk memberikan ASI eksklusif hingga maksimal 3 bulan, atau lebih pendek jika susu formula memenuhi persyaratan AFASS sebelum 3 bulan tersebut. Setelah usai pemberian ASI eksklusif, bayi hanya diberikan susu formula dan menghentikan pemberian ASI. Sangat tidak dianjurkan pemberian makanan campuran (mixed feeding), yaitu ASI bersamaan dengan susu formula/ PASI lainnya. Mukosa usus bayi pasca pemberian susu formula/ PASI akan mengalami proses inflamasi. Apabila pada mukosa yang inflamasi tersebut diberikan ASI yang mengandung HIV maka akan memberikan kesempatan untuk transmisi melalui mukosa usus. Risiko penularan HIV melalui pemberian ASI akan bertambah jika terdapat permasalahan pada payudara (mastitis, abses, lecet/luka putting susu). Oleh karenanya diperlukan konseling kepada ibu tentang cara menyusui yang baik.

5. Mengoptimalkan kesehatan ibu dengan HIV positifMelalui pemeriksaan ANC secara teratur dilakukan pemantauan kehamilan dan keadaan janin. Roboransia diberikan untuk suplemen peningkatan kebutuhan mikronutrien. Pola hidup sehat antara lain: cukup nutrisi, cukup istirahat, cukup olah raga, tidak merokok, tidak minum alkohol juga perlu diterapkan. Penggunaan kondom tetap diwajibkan untuk menghindari kemungkinan superinfeksi bila pasangan juga Odha, atau mencegah penularan bila pasangan bukan Odha.1,2

III. Mekanisme penularan HIV dari ibu ke bayi

Penularan HIV dari ibu ke bayi memiliki resiko sebesar 15-35%. Terendah dilaporkan di Eropa dan tertinggi di Afrika. Sebuah lembaga International telah mengembangkan standard metode perhitungan rerata angka penularan secara vertical berdasarkan studi prenatal, prosedur pemantauan, criteria diagnosis dan definisi kasus. Hal-hal tersebut lebih mempengaruhi terjadinya penularan disbanding area geografi yang telah dilaporkan. Angka penularan kemungkinan lebih mencerminkan faktor resiko dari ibu ke bayi pada beberapa kelompok dan dapat berubah dengan waktu.3,4,5

A. Faktor virus

1. Karakteristik virus.

Penularan infeksi HIV dari ibu ke bayi dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor utama yang penting adalah jumlah virus (viral load). Adanya faktor antigen p24 secara konsisten mempunyai hubungan terhadap meningkatnya penularan (meningkat 2-3 kali dibanding wanita tidak hamil 4). Beberapa studi berdasarkan data bayi yang terinfeksi dari ibunya menunjukkan tingginya jumlah kuman (viral load) yang dihitung dengan teknik kultur kuantitatif, dan menganalisa plasma RNA dengan polymerase chain reaction (PCR) atau berdasarkan nomer kode DNA, semuanya berhubungan dengan tingginya penularan.3Plasma jumlah virus seorang ibu dengan HIV merupakan prediktor yang kuat sebagai sumber penularan. Peningkatan jumlah penularan pada wanita dengan infeksi HIV primer muncul ketika plasma jumlah virus yang aktif berada pada titik tertinggi (peak). Sedikitnya penularan terjadi pada plasma HIV dengan viral load < 1000 copi/mL, tanpa memperhatikan apakah ibu tersebut sedang atau belum mendapatkan ARV Zidovudine.3,4,122. Antibodi NeutralizingTingginya kadar antibody neutralizing pada loop V3 menunjukkan hubungan menurunnya resiko penularan, tapi tidak ada studi yang membandingkan dengan kelompok control. Variabilitas ikatan antara peptide V3-loop dan antibodi V3, dimana ikatan yang kuat terhadap antibody V3-loop akan bereaksi melawan epitop secara luas sebagai proteksi melawan penularan. Studi tentang inmunisasi pasif HIV dapat menjelaskan mekanisme ini lebih lanjut.3,7Karakteristik penularan dari Human Immunodeficiency Virus Type 1 (HIV-1) adalah kemahiran berpura-pura bersifat homogen. Yang terpenting adalah mengerti tentang mekanisme potensial proteksi penularan secara selektif, memberikan informasi terhadap perkembangan vaksin HIV-1 dan penggunaan mekanisme pertahanan kedepan dengan regimen antibody monoclonal. Sejak antibody dari ibu melewati plasenta hingga masuk ke aliran darah janin, penularan infeksi HIV perinatal memberikan kesempatan yang unik untuk mempelajari efek profilaksis yang potensial dari an autologous neutralizing antibody (aNAB) yang dijumpai pada kedua donor ibu dan bayinya. An autologous neutralizing antibody (aNAB) ibu memiliki sifat pertahanan dan efek selektif pada uterus terutama pada 18 minggu pertama masa kehamilan dan intrapartum, serta kedepan dapat menjadi kerangka pikiran untuk pembuatan vaksin HIV dengan mengevaluasi antibody-mediator imun. 8,9,10,19

3. Infektivitas virus

Perbedaan secara biologi dari retrovirus menghantar perbedaan pada kemungkinan terjadinya penularan. Human Immunodeficiency virus type 2 (HIV-2) jarang menyebabkan penularan dari ibu ke bayinya, lebih sering HIV-1. Pada studi kecil mengatakan wanita dengan multi patner lebih dari 3 kecenderungan untuk menularkan ke bayinya selam masa kehamilan lebih besar dibanding wanita yang dengan satu pasangan terinfeksi HIV, ini terkait dengan potensi tertular oleh karena peningkatan viral load pada vagina atau potensial jenis viral fetotropik dapatan, hal tersebut merupakan informasi yang sangat sempit.4,7

Fenotipe, perbedaan strain pada replikasi in vitro, selular tropism dan induksi sinsitium. Terdapat evidence bahwa strain sinsitium inducing meningkatkan virulensi. Macrophage-specifik tropism telah diteliti pada beberapa strain, belum diketahui secara pasti apakah lebih sering diketemukan pada sekresi cairan genital, air susu ibu atau plasenta. 4,8,9B. Faktor Bayi

1. Prematuritas

Beberapa pusat penelitian telah memaparkan tentang hubungan prematuritas terhadap infeksi HIV. Sebagai contoh status HIV maternal menjembatani prematuritas kehamilan. Ryder dan teman-teman pada tahun 1989 di Zaire, menggaris bawahi tentang prematuritas sebsar 13% pada wanita + HIV dan 3% pada kelompok control. Pengamatan tersebut tidak konsisten pada Negara berkembang, bayi yang lahir premature lebih beresiko terinfeksi HIV dibanding bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV. 4,5,6,19

2. Nutrisi Fetus

Terlepas dari status infeksi HIV, nutrisi prenatal yang buruk dapat menyebabkan retardasi pertumbuhan janin dalam rahim atau intrauterine growth retandation (IUGR) dengan perbandingan pertumbuhan yang tidak sesuai dengan umur kehamilan. Semua akan menyebabkan menurunnya imunitas selular dengan jumlah sel T yang rendah, respon proliferatif yang buruk, pertumbuhan thymus yang terganggu, meningkatkan kecenderungan terserang infeksi, dan menetap selama 5 tahun masa pertumbuhan yang akan terganggu. Direkomendasikan untuk asupan vitamin A, untuk mencegah perburukan gejala diare yang ada baik pada ibu maupun bayinya.4

3. Fungsi Pencernaan

Fungsi pencernaan pada neonatus memegang peranan penting dalam penularan HIV. Sejak infeksi HIV diperkirakan masuk melalui pencernaan saat kelahiran, oleh karena terpapar darah yang terinfeksi, sekresi vagina, cairan amnion dan air susu ibu. Pada system pencernaan bayi memiliki keasaman lambung yang rendah, aktifitas enzyme pencernaan yang rendah, produksi cairan mukosa yang rendah dan sedikit sekresi dari immunoglobulin A (Ig A) yang merupakan system kekebalan pada pencernaan untuk melawan kuman yang masuk. Pada infeksi sekunder akan terjadi diare, pertumbuhan yang terganggu, dan menunjukkan prekembangan perjalanan penyakitnya.64. Respon imun neonatus

Sistem kekebalan tubuh bayi yang baru lahir secara anatomi memiliki defisiensi fungsional, belum terpapar oleh antigen dari luar dan sering mengalami ketidak mampuan dalam mengkopi agen mayor infeksi. Merupakan perkembangan immunologi termasuk dalam menghadapi berbagai virus seperti cytomegalovirus, hepatitis B dan virus herpes simplek. Ketiga infeksi tersebut bersifat kronik, menjadi karier dalam tubuh dan dapat menyebabkan penyakit neonates yang fatal. Pada saat system kekebalan tubuh neonatus tidak matang, menyebabkan system sel T tidakberfungsi dnegan baik terutama terhadap infeksi HIV, peranan antibody dan system makrofag rendah. Sistem antibody pada janin bersifat dorman, digantikan oleh system kekebalan tubuh dari Ig G ibu melalui transplasenta dan sekresi IgA dari air susu ibu. Rendahnya kadar IgG dan IgA dari ibu dengan kehamilan cenderung melahirkan premature danjuga antibody neutralizing yang rendah. Yang paling utama adalah defek selT sehingga berpengaruh pada fungsi nya sebagai produksi sitokin, respon sel T sitotoksik, lambatnya system penolakan terhadap se lasing dan tropism terhadap replikasi virus intraselular. T-helper-1 (TH-1) berperan terhadap respon imun selular, bila terjadi defisiensi akan terjadi pula defisiensi dari interferon (IFN-y). terjadi pula defisiensi respon segala tipe sitotoksik termasuk CDS CTL. Oleh Luzuriaga pada tahun 1991 dikatakan terdapat defisiensi CDS T-sel pada bayi yang terinfeksi HIV di 1 tahun pertama kehidupan.7,19

C. Faktor ibu, kehamilan dan proses persalinan.Seorang ibu yang terinfeksi HIV dengan kehamilan memiliki resiko untuk menularkan HIV ke bayinya, dibagi dalam tiga tahapan waktu yaitu; 7

1. Antepartum:

Viral load dari ibu, apakah sudah mendapat terapi anti retroviral, jumlah CD4+, defisiensi vitamin A, co-reseptor mutasi dari HIV, malnutrisi, sedang dalam terapi pelepasan ketergantungan obat, perokok, korionik villus sampling CVS), amniosintesis, berat badan ibu.

2. Intrapartum:

Kadar maternal HIV-1 cerviko vaginal, proses persalinan, pecah ketuban kasep, persalinan prematur, penggunaan fetal scalp electrode, penyakit ulkus genitalia aktif, laserasi vagina, korioamnionitis, dan episiotomi.

3. Air susu ibu, mastitis.

Telah diketahui air susu ibu degan infeksi HIV mengandung proviral HIV dan virus bebas lainnya, sebagai faktor pertahanan seperti antibody terhadap HIV dan glikoprotein yang menghambat ikatan HIV dengan CD4+. Kebanyakan kasus penulran terjadi pada wanita yang diketahui negative terhadap HIV akan tetapi penularan terjadi saat pemberian air susu ibu. Sebetulnya pada ibu dengan infeksi HIV, pemberian air susu ibu beresiko kecil untuk terjadi penularan oleh karena terdapatnya antibody terhadap HIV, bagaimanapun juga di Negara berkembang, makanan formula menjadikan bayi memiliki resiko tinggi terkena infeksi yang lain, air susu ibu merupakan pilihan terbaik.4Pemilihan pemberian makanan pada bayi dengan 2 strategi sebagai pencegahan penularan dari ibu ke bayinya postnatal, dengan pemberian zidovudine sebagai profilaksis selama 38 minggu. Ternyata didapatkan pemberian air susu ibu dengan zidovudine sebagai profilaksis tidak efektif seperti pemberian susu formula, akan tetapi bermakna dalam menurunkan angka kematian pada 7 bulan pertama kehidupan, disimpulkan bahwa penularan postnatal dari infeksi virus HIV-1 lewat pemberian air susu ibu dapat diturunkan dengan intervensi pemberian ARV saat perinatal .11

Gambar 1 :

Mekanisme penularan dari ibu ke bayinya merupakan proses yang komplek antara virulensi virus, faktor ibu dan faktor janin. (NSI: non-syncytium-inducing, SI: syncytium-inducing).20

4. Kehamilan dan cara melahirkan.

Resiko penularan terjadi pada kondisi korioamnionitis dan penyakit menular seksual. Hal ini berhubungan dengan gangguan pertahanan pada plasenta dan kecenderungan lahir premature, serta dapat meningkatkan viral load pada organ genital. Disamping itu pemilihan cara melahirkan, lamanya persalinan, kapan pecahnya ketuban, dan saat proses kelahiran berjalan seorang bayi dapat terpapar darah sang ibu. Inflamasi pada daerah servik dan uretritis dapat meningkatkan deteksi sel yang terinfeksi HIV-A.4,5,6,7Beberapa studi telah mempelajari penularan secara vertikal dari ibu ke bayinya, penularan melalui plasenta juga telah dipublikasikan. Terdapat beberapa faktor dari sang ibu, diantaranya, viral load, antibody neutralizing, atau aktifitas sel T sitotoksik, peranan plasenta melalui ekpresi FasL atau faktor tumor nekrosis berhubungan dengan kejadian apoptosis menginduksi ligand atau ekspresi Apo2L dan faktor plasenta seperti korioamnionitis, aktifitas supresi HIV, atau faktor fetus seperti natibodi neutralizing atau HIV sel T spesifik sitotoksik.

Faktor plasenta, sitokin plasenta tipe 1 dan 2 menggerakkan ekspresi reseptor kemokin. Sitokin dapat menurunkan atau meningkatkan replikasi HIV. Studi terdahulu mengatakan adanya variasi produksi plasenta tipe 1 dan 2 oleh ekspresi sitokin dan sitokin proinflamatori. Sitokin yang terdapat pada plasenta dan hubungan hormonal-sitokin memegang peranan dalam pencegahan penolakan dari Allograph fetus dan mendukung proses implantasi. Allograph dimediasi oleh sitokin tipe 1 termasuk interferon gamma, TNF-b. produksi dari tipe 2 sitokin (IL4,IL10), sebagai toleransi Allograph dan mempertahankan kehamilan. Pada kondisi terinfeksi oleh HIV, akan menigkatkan rejeksi terhadap janin jadi dapat memicu keguguran melalui jalur sitokin.

Pada wanita hamil yang tidak terinfeksi sitokin milieu plasenta tipe 2, sedangkan pada wania terinfeksi lebih mengekspresikan tipe 1. Adanya perubahan dari tipe 2 ke tipe 1 belum jelan akan tetapi kondisi korioamnionitis dan vilitis mempengaruhi mekanisme penularan. reseptor kemokin CCR5 memegang peranan pada penularan HIV dari ibu ke bayinya. Janin dengan homogenus D32 atau genotype heterozigot menunjukkan pertahanan terhadap infeksi HIV. Pada ibu yang terinfeksi HIV mempunyai rasio CCR5 yang rendah dibanding CXCR4. CXCR4 mRNA oleh IL10 menghantar makrofag dan memediasi progesterone, keduanya CCR5 dan CXCR4 sebagai ekspresi dari makrofag dan limfosit akan tetapi bukan pencerminana trofoblas. Sitokin tipe 2 dan rendahnya ratio CCR5:CXCR4 mencegah replikasi dari virus HIV. Normal plasma sitokin dari plasenta memproduksi hormone b-HCG yang diketahui menghambat replikasi dari virus HIV.13,16IL-16 merupakan ligand CD4 bersama dengan RANTES yangmerupakan ligand dari co-reseptor CCR5 HIV, keduanya menghambat replikasi HIV-1 secara invitro. Kadar IFN-g dan alfa dan sekresi IL10 didapati pada yang terinfeksi dan yang tidak terinfeksi. Akan tetapi IL10 lebih tinggi pada ibu yang tidak terinfeksi HIV. Rendahnya kadar IL8 dan TNF a didapati pada wanita yang terinfeksi HIV. Zidovudine menurunkan kadar ekpresi mRNA TNF-a pada mikroeksplan plasenta.15,16Aktifitas ekspresi transporter ATP-Binding Cassette (ABC) pada plasenta manusia mempengaruhi masuknya obat transplasenta, buruknya transfer obatkedalam plasenta akan mempengaruhi transfer obat antiretroviral selama kehamilan.14IV. Upaya pencegahan penularan dari ibu ke bayinya.

IV.1 Intervensi untuk Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi

Dengan intervensi yang baik maka risiko penularan HIV dari ibu ke bayi sebesar 25 hingga 45% bisa ditekan menjadi kurang dari 2%. Menurut estimasi Depkes, setiap tahun terdapat 9.000 ibu hamil HIV positif yang melahirkan di Indonesia. Berarti, jika tidak ada intervensi diperkirakan akan lahir sekitar 3.000 bayi dengan HIV positif setiap tahunnya di Indonesia.

Intervensi tersebut meliputi4 konsep dasar: (1) Mengurangi jumlah ibu hamil dengan HIV positif, (2) Menurunkan viral load serendah-rendahnya, (3) Meminimalkan paparan janin/bayi terhadap darah dan cairan tubuh ibu HIV positif, dan (4) Mengoptimalkan kesehatan dari ibu dengan HIV positif.1,21. Mengurangi jumlah ibu hamil dengan HIV positif

Secara bermakna penularan infeksi virus ke neonatus dan bayi terjadi trans plasenta dan Intra partum. Terdapat perbedaan variasi risiko penularan dari ibu ke bayi selama Kehamilan dan Laktasi, tergantung sifat infeksi terhadap ibu: Infeksi primer ( HSV/ Herpes Simpleks Virus, HIV1), Infeksi Sekunder/ Reaktivasi (HSV, CMV/ Cyto Megalo Virus), atau Infeksi Kronis (Hepatitis B, HIV1, HTLV-I).1,2

Mengingat adanya kemungkinan transmisi vertikal dan adanya kerentanan tubuh selama proses kehamilan, maka pada dasarnya perempuan dengan HIV positif tidak dianjurkan untuk hamil. Dengan alasan hak asasi manusia, perempuan Odha dapat memberikan keputusan untuk hamil setelah melalui proses konseling, pengobatan dan pemantauan. Pertimbangan untuk mengijinkan Odha hamil antara lain: apabila daya tahan tubuh cukup baik (CD4 di atas 500), kadar virus (viral load) minimal/ tidak terdeteksi (kurang dari 1.000 kopi/ml), dan menggunakan ARV secara teratur 5.1,2

2. Menurunkan viral load/ kadar virus serendah-rendahnya

Obat antiretroviral (ARV) yang ada sampai saat ini baru berfungsi untuk menghambat multiplikasi virus, belum menghilangkan secara total keberadaan virus dalam tubuh Odha. Walaupun demikian, ARV merupakan pilihan utama dalam upaya pengendalian penyakit guna menurunkan kadar virus.1,23. Meminimalkan paparan janin dan bayi terhadap cairan tubuh ibu

Persalinan dengan seksio sesarea berencana (elective) sebelum saat persalinan tiba merupakan pilihan pada Odha. Pada saat persalinan pervaginam, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Bayi mungkin juga terinfeksi karena menelan darah atau lendir jalan lahir tersebut (secara tidak sengaja pada saat resusitasi). Beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwa seksio sesarea akan mengurangi risiko penularan HIV dari ibu ke bayi sebesar 50-66% .

Apabila seksio sesarea tidak bisa dilaksanakan, maka dianjurkan untuk tidak melakukan tindakan invasif yang memungkinkan perlukaan pada bayi (pemakaian elektrode pada kepala janin, ekstraksi forseps, ekstraksi vakum) dan perlukaan pada ibu (episiotomi).

HIV teridentifikasi ada dalam kolustrum dan ASI, menyebabkan infeksi kronis yang serius pada bayi dan anak. Oleh karenanya ibu hamil HIV positif perlu mendapat konseling sehubungan dengan keputusannya untuk menggunakan susu formula ataupun ASI eksklusif. Untuk mengurangi risiko penularan, ibu HIV positif bisa memberikan susu formula kepada bayinya. Risiko penularan HIV melalui pemberian ASI akan bertambah jika terdapat permasalahan pada payudara (mastitis, abses, lecet/luka puting susu). Oleh karenanya diperlukan konseling kepada ibu tentang cara menyusui yang baik.1,24. Mengoptimalkan kesehatan ibu dengan HIV positifMelalui pemeriksaan ANC secara teratur dilakukan pemantauan kehamilan dan keadaan janin. Roboransia diberikan untuk suplemen peningkatan kebutuhan mikronutrien. Pola hidup sehat antara lain: cukup nutrisi, cukup istirahat, cukup olah raga, tidak merokok, tidak minum alkohol juga perlu diterapkan. Penggunaan kondom tetap diwajibkan untuk menghindari kemungkinan superinfeksi bila pasangan juga Odha, atau mencegah penularan bila pasangan bukan Odha.1,2IV.2 Strategi Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi 1,2Menurut WHO terdapat 4 (empat) upaya yang perlu untuk mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu ke bayi, meliputi:

1. Mencegah terjadinya penularan HIV pada perempuan usia reproduksi

2. Mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu HIV positif

3. Mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu hamil HIV positif ke bayi yang dikandungnya. Bentuk intervensi berupa:

Pelayanan kesehatan ibu dan anak yang komprehensif

Layanan konseling dan tes HIV secara sukarela (VCT)

Pemberian obat antiretrovirus (ARV)

Konseling tentang HIV dan makanan bayi, serta pemberian makanan bayi

Persalinan yang aman.

4. Memberikan dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu HIV positif beserta bayi dan keluarganya.

IV.3 Pemberian obat Antiretrovirus sebagai pencegahan penularan ibu ke bayinya.

Perempuan dengan CD4 >250/mm3 memiliki resiko untuk terjadinya hipersensitif terhadap NVP lebih tinggi dengan toksisitas hati yang mungkin fatal. Hal tersebut berlaku pada perempuan yang hamil maupun yang sedang tidak hamil

Tabel 1 :

Rekomendasi untuk memulai Terapi ARV pada perempuan hamil menurut stadium klinis dan ketersediaan penanda imunologis (menurut WHO 2006)17,18

Stadium klinis menurut WHOBila tidak tersedia tes CD4Bila tersedia tes CD 4

1Tidak diobati untuk kepentingan ibu saat ini(rekomendasi tingkat A-III)Obati jika hitung sel CD 4 < 200 sel/mm3 (rekomendasi tingkat A-III)

2Tidak diobati (rekomendasi tingkat A-III)

3Obati (rekomendasi tingkat A-III)Obati jika hitung sel CD 4< 350 sel/mm3 (rekomendasi tingkat A-III)

4Obati (rekomendasi tingkat A-III)Obati tanpa memperhatikan hitung CD 4 ((rekomendasi tingkat A-III)

Tabel 2 : Pemberian obat antiretroviral dalam program PMTCT ditujukan pada situasi klinikNo.Situasi KlinisRekomendasi Pengobatan (Rejimen untuk Ibu)

1Odha dengan indikasi ART dan kemungkinan hamil atau sedang hamil

AZT (d4T) + 3TC + NVP (hindari EFV)

Hindari EFV pada trimester pertama

Jika mungkin hindari ARV sesudah trimester pertama

2Odha sedang menggunakan ART dan kemudian hamil

Lanjutkan rejimen (ganti dengan NVP atau golongan PI jika sedang menggunakan EFV pad atrimester I)

Lanjutkan dgn ARV yg sama selama dan sesudah persalinan

3Odha hamil dan belum ada indikasi ARTAZT mulai 28 minggu + NVP dosis tunggal pada awal persalinan

Alternatif

Hanya AZT mulai 28 minggu

AZT + 3TC mulai 36 minggu, selama persalinan, 1 minggu sesudah persalinan

NVP dosis tunggal pada awal persalinan

4Odha hamil dengan indikasi ART, tetapi belum menggunakan ARV

AZT mulai 28 minggu + NVP dosis tunggal pada awal persalinan

Alternatif

Hanya AZT mulai 28 minggu

AZT + 3TC mulai 36 minggu, selama persalinan, 1 minggu sesudah persalinan

NVP dosis tunggal pada awal persalinan

5Odha hamil dengan tuberkulosis aktif

OAT yg sesuai tetap diberikan

Rejimen untuk ibu

Bila pengobatan mulai trimester III:

AZT (d4T) + 3TC + EFV

Bila belum akan menggunakan ARV:

disesuaikan dengan skenario 3

6Bumil dalam masa persalinan dan tidak diketahui status HIV

Tawarkan konseling dan testing dalam masa persalinan; atau konseling dan testing setelah persalinan (ikuti skenario 8)

Jika hasil tes positif maka dapat diberikan :

NVP dosis tunggal

Bila persalinan sudah terjadi maka ikuti skenario 8; atau

AZT + 3TC pada saat persalinan dilanjutkan 1 minggu setelah persalinan

7Odha datang pada masa persalinan dan belum mendapat ART NVP dosis tunggal ditambah

AZT + 3TC pada saat persalinan dilanjutkan 1 minggu setelah persalinan

IV.4 Persalinan yang aman

Tujuan persalinan yang aman bagi ibu dengan HIV adalah : Tidak terjadi penularan HIV :

ke janin/bayi ke tim penolong (medis dan non medis) ke pasien lainnya Kondisi ibu baik sesudah melahirkan

Efektif dan efisien

Sebagian besar penularan HIV dari ibu ke bayi terjadi pada saat persalinan. Hal ini terjadi akibat :

Tekanan pada plasenta meningkat menyebabkan terjadinya sedikit percampuran antara darah ibu dan darah bayi.

Lebih sering terjadi jika plasenta meradang atau terinfeksi.

Bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir.

Bayi mungkin juga terinfeksi karena menelan darah ataupun lendir ibu.

IV.5 Pilihan asupan bagi bayi yang lahir dari ibu dengan HIV positif.

1. Ibu dengan status HIV negatif atau status HIV tak diketahui

ASI eksklusif untuk usia 6 bulan pertama

Makanan padat yang aman, sesuai, dan ASI diteruskan hingga 2 tahun.

Dorong ibu untuk relaktasi bila ibu belum menyusui.

2. Ibu dengan status HIV positif

Tersedia pengganti ASI yang memenuhi syarat AFASS (affordable, feasible, acceptable, sustainable, safe).

Bila kondisi AFASS tidak terpenuhi, maka dapat dipertimbangkan pemberian ASI eksklusif yang jangka pemberiannya singkat atau alternatif ASI lainnya, yaitu:

Pasteurisasi/memanaskan ASI perah ibu.

Mencari Ibu Susu (perempuan lain untuk menyusui bayinya) yang telah dibuktikan HIV negatif.

Pemberian ASI bagi bayi dari ibu dengan HIV positif . Ibu dengan HIV positif dapat memilih menyusui bayinya bila:

Pengganti ASI tidak dapat memenuhi syarat AFASS.

Kondisi sosial ekonominya tidak memungkinkan untuk mencari Ibu Susu atau memanaskan ASI perahnya sendiri.

Memahami teknik menyusui yang benar untuk menghindarkan peradangan payudara (mastitis) dan lecet pada puting yang dapat mempertinggi resiko bayi tertular HIV.

Cara Menyusui yang dianggap aman :

ASI eksklusif selama 6 bulan pertama atau hingga tercapainya AFASS.

Jangka waktu laktasi singkat 6 bulan dengan penghentian cepat

Safe sex practices selama laktasi untuk mencegah infeksi atau re-infeksi

Manajemen laktasi yang baik (pelekatan dan posisi menyusui yang benar serta semau bayi/tidak dijadwal) untuk mencegah mastitis. Usahakan proses menyusui sedini mungkin begitu bayi lahir untuk mencegah teknik pelekatan yang salah sehingga puting ibu lecet.

Hanya bagi ibu dengan hitung CD4 tinggi

Ibu tidak boleh menyusui bila terdapat luka/lecet pada puting, karena akan menyebabkan HIV masuk ke tubuh bayi. . Teknik menyusui yang benar, ibu harus diajarkan teknik menyusui yang benar untuk menghindarkan terjadinya mastitis dan lecet pada payudara. Teknik menyusui terdiri dari posisi menyusui, dan cara pelekatan bayi pada payudara. Untuk menghindari lecet puting, dianjurkan menggunakan pelindung putting (nipple shield). Posisi Menyusuin yang benar sebagai berikut ini: 1. Kepala dan badan bayi berada dalam satu garis lurus.

2. Wajah bayi harus menghadap payudara dengan hidung berhadapan dengan puting.

3. Ibu harus memeluk badan bayi dekat dengan badannya.

4. Jika bayi baru lahir, ibu harus menyangga seluruh badan bayi - bukan hanya kepala dan bahu.

Daftar pustaka

1. Depkes RI. 2008. Modul Pelatihan Pencegahan Penularan dari Ibu ke Bayi

2. Chris W. Green. Seri Buku Kecil, HIV, Kehamilan dan Kesehatan Perempuan. Yayasan Spiritia, Juli 2005

3. Catherine Peckham, Diana Gibb. Mother-to-child Transmission of the Human Immunodeficiency Virus. New England Journal of Medicine 1995;333(5):298-302

4. Grace C. John, Joan Kreiss. Mother-to-child Transmission of Human Immunodeficiency Virus Type 1. Epidemiologic Reviews 1996;18(2):149-157

5. Joseph P. Mc.Gowan, Sanjiv S. Syah. Prevention of Perinatal HIV Transmission During Pregnancy. Journal of Antimicrobial Chemotherapy, 2000;46:657-68

6. Richard Stiehm. Newborn Factors in Maternal-Infant Transmission of Padiatrie HIV Infection. Journal of Nutrition 1998;22:3166

7. Ruth E. Dickover, Eileen M., et al. Perinatal Transmission of Major, Minor, and Multiple Maternal Human Immunodeficiency Virus Type 1 Variants In Utero and Intrapartum. Journal of Virology, 2001;75(5):2194-203

8. Rajesh Ramakrishnan, Roshni Mehta, et al. Characterization of HIV-1 envelope gp41 genetic diversity and functional domains following perinatal transmission. Journal of Retrovirology, 2006;3:42.

9. Ruth E. Dickover, Eileen M., et al. Role of Maternal Autologous Neutralizing Antibody in Selective Perinatal Transmission of Human Immunodeficiency Virus, Type 1 Escape Variants. Journal of Virologi, 2006;80(13):6525-33.

10. Xueling Wu, Adam B. Parast, et al. Nautralization Escape Variants of Human Imunodeficiency Virus Type 1 Are Transmitted from Mother to Infant. Journal of Virology, 2006;80(2):835-44.

11. Ibou Thyor, Shahin Lockman, et al. Breastfeeding Plus Infant Zidovudine Prophylaxix for 6 Months vs Formula Feeding Plus Infant Zidovudine for 1 month to Reduce Mother to Child HIV Transmission in Bostwana, 2006;296(7):794-805.

12. Patricia M. Gracia, Leslie A. Kalish, Jane Pitt, et al. Maternal Levels of Plasma Human Immunodefisiency Virus Type 1 RNA and The Risk of Perinatal Transmission. N Engl J Med 1999;341:394-402.

13. Homira Behbahani, Edwina Popek, Patricia Garcia, et al. Up- regulation of CCR5 Expression in the Placenta Is Associated with Human Immunodeficiency Virus-1 Vertical Transmission. American Journal of Pathology 2000;157(6):1811-7

14. Abhishek Gulati, Philip M. Gerk. Role of Placental ATP-Binding Cassette (ABC) Transporter in Antiretroviral Therapy During Pregnancy. J Pharm Sci, 2009;98(7):2317-35.

15. Faye A., Pomprasert S., Mary J-Y. Characterization of the main placenta cytokine profiles from HIV-1 infected pregnant women treated with anti-retroviral drugs in France. Journal Compilation, 2007;149:430-9.

16. Usha K. Sharma, Jorge Trujillo, Hai Feng Song. A Novel Factor Produced by Placental Cells with Activity Against HIV-1. The Journal of Immunilogy, 1998;161:6406-12.

17. Depkes RI. In: Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral, dengan panduan tatalaksana klinis infeksi HIV pada orang dewasa dan remaja, 2009. ed II .

18. WHO. In: Antiretroviral Drugs for Treating Pregnant Women and Preventing HIV Infection in Infants, Rekomendations for a public health approach, 2010.

19. Vera Bongertz. Vertical Human Immunodeficiency Virus Type 1-HIV-1-Transmission. A Review. Mem Inst Oswaldo Cruz, Rio de Jainero, 2001;96(1):1-14.

20. Stephen A. Spector. Motherto-infant transmission of HIV-1; The placenta Fights Back. The Journal of Clinical Investigations,2001;107(3):287-94.

21. WHO. In: HIV AND INFANT FEEDING, Principles and recommendations for infant feeding in the context of HIV and a summary of evidence,2010.PEMERIKSAAN MIKROBIOLOGIS FESESAkhmad SudibyaDosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma SurabayaAbstrak:

Ada banyak metode pada pemeriksaan mikrobiologi tinja. Metode mencakup pemeriksaan mikroskopis, kultur p ada media mikrobiologi, pemeriksaan imunologi, pemeriksaan mikrobiologi molekul, dan uji sensitivitas antibiotik. Metode yang digunakan tergantung pada mikroba yang diduga sebagai penyebab penyakit tertentu.Kata Kunci : pemeriksaan mikrobiologis feses, pemeriksaan mikroskopis, penanaman pada media, pemeriksaan imunologis, pemeriksaan mikrobiologi molekuler, uji kepekaan antibiotika

FECAL MICROBIOLOGICAL EXAMINATIONAkhmad Sudibya

Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya

Abstract: There are many methods on the fecal microbiological examination. The methods include microscopical examination, culturing on the microbiological media, immunological examination, molecular microbiology examination, and antibiotic sensitivity test. The methods used depend on microbe that is suspected as the culprit of a certain diseaseKeywords: microbiological stool examination, microscopic examination, cultivation on the media, immunological examination, examination of molecular microbiology, antibiotic sensitivity testPendahuluanPemeriksaan Mikrobiologis Feses berarti mencari mikroba pada feses. Yang dimaksud mikroba adalah bakteri, virus, jamur, dan parasit. Tentang deteksi parasit pada feses sudah tersedia topik tersendiri yaitu Pemeriksaan Parasitologis Feses. Spesimen Feses

Selain spesimen feses yang diperoleh secara langsung (stool specimen) dapat pula dipergunakan spesimen yang diperoleh melalui usapan dubur/rektal (rectal swab). Usapan dubur sangat cocok diterapkan pada bayi dan manusia lanjut usia. Usapan dubur lebih efektif daripada feses untuk perburuan Shigella spp., Clostridium difficile, dan Neisseria gonorhoeae (Koneman dkk., 1997 ; Winn dkk, 2006).

Feses dan usapan dubur merupakan spesimen untuk mencari penyebab infeksi pada saluran pencernaan bagian bawah. Sementera itu, untuk menemukan penyebab infeksi pada saluran pencernaan bagian atas dapat dipergunakan muntahan (vomitus material), hasil bilasan lambung (gastric washings), hasil aspirasi isi duodenum (aspiration of duodenal contents), dan hasil biopsi lmbung (Koneman dkk., 1997 ; Winn dkk, 2006).

Tempat Menampung Feses

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, tempat menampung feses harus bersih, bermulut lebar, dan dapat ditutup rapat. Bersih tidak berarti harus steril. Kedua, tempat menampung feses harus bebas pengawet, deterjen, dan ion logam. Ketiga, tempat menampung feses tidak boleh terkontaminasi urin. Keempat, feses harus diberi bahan pengawet seandainya tidak langsung diperiksa. Contoh bahan pengawet yang digunakan adalah kombinasi natrium/kalium fosfat + gliserol (Koneman dkk., 1997 ; Winn dkk, 2006).

Pengiriman Feses

Feses harus ditempatkan di dalam wadah yang tertutup dengan baik. Pada etiket wajib dicantumkan identitas pasien, informasi yang diinginkan, dan keadaan klinis pasien (Koneman dkk., 1997 ; Winn dkk, 2006). Obat yang telah diberikan kepada pasien terutama antibiotika wajib dicantumkan.

Media Transpor

Prinsip pemilihan media transpor adalah mikroba yang dicari harus tetap hidup atau lebih baik lagi apabila bertambah banyak dan mikroba yang tidak diburu tidak tumbuh berlebihan atau lebih bagus lagi apabila tidak tumbuh. Oleh karena itu, pilihan media transpor yang dipakai harus selalu berdasarkan mikroba yang dicurigai.

Media transpor dibagi menjadi dua, yaitu media transpor umum dan media transpor khusus. Contoh media transpor umum adalah kaldu pepton, medium Stuart, buffer glycerol saline, dan Cary & Blair. Teladan untuk media transpor khusus adalah kaldu selenite cystine, Kaufmann, dan alkali pepton. Kaldu selenite cystine (SC) dipergunakan untuk deteksi Salmonella. Kaufmann lazim dipakai untuk pengejaran bakteri Shigella. Alkali pepton sangat bagus dimanfaatkan untuk pelacakan Vibrio (Atlas, 1997 ; Supardi dan Warsa, 1998).

Metode Pemeriksaan

Metode pemeriksaan dalam bidang mikrobiologi klinik meliputi pemeriksaan mikroskopis, penanaman pada media perbenihan, uji kepekaan, pemeriksaan imunologis, dan pemeriksaan mikrobiologi molekuler.

Pemeriksaan mikroskopis dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan mikroskopis tanpa pengecatan dan pemeriksaan mikroskopis dengan pengecatan.

Penanaman dalam media perbenihan bertujuan memperoleh isolat murni. Media yang dipergunakan ada dua macam, yaitu media umum dan media khusus. Prinsip pemilihan media didasarkan pada mikroba yang akan dicari.

Uji kepekaan bertujuan memperoleh obat yang paling tepat untuk mikroba tertentu. Obat yang paling tepat untuk mikroba tertentu terkenal dengan istilah drug of choice.

Contoh pemeriksaan imunologis dalam bidang mikrobiologi adalah Uji Widal dan Uji Wassermann. Uji Widal berdasarkan prinsip reaksi aglutinasi. Uji Wassermann berdasarkan prinsip uji fiksasi komplemen (complement fixation test) (Winn dkk, 2006).

Pemeriksaan mikrobiologi molekuler memanfaatkan prinsip-prinsip biologi molekuler. Contoh pemeriksaan mikrobiologi molekuler adalah polymerase chain reaction (PCR) (Winn dkk, 2006).

Flora Komensal dan Bakteri Patogen pada Saluran Pencernaan Bagian Bawah

Flora komensal pada saluran pencernaan bagian bawah meliputi Staphylococcus saprophyticus, Staphylococcus epidermidis, Enterococcus, Escherichia coli, Pseudomonas, berbagai bakteri anaerob, dan sebagainya (Winn dkk, 2006).

Bakteri patogen pada saluran pencernaan bagian bawah mencakup Staphylococcus aureus, ETEC, EPEC, Yersinia enterocolitica, Salmonella, Shigella, Vibrio cholerae, Campylobacter, Clostridium difficile, dan sebagainya (Winn dkk, 2006).

Tipe-Tipe Diare

Diare dibagi menjadi tiga tipe. Tipe-tipe tersebut adalah diare noninflamatori (noninflammatory diarrhea), diare inflamatori (inflammatory diarrhea), dan diare pada penyakit sistemik. Istilah lain untuk diare noninflamatori adalah diare sekretori (secretory diarrhea) dan diare encer (watery diarrhea). Sinonim diare inflamatori adalah diare berdarah (bloody diarrhea) dan disenteri (dysentery) (Winn dkk, 2006).

Diare Noninflamatori

Diare Noninflamatori melibatkan usus halus proksimal. Penyebab Diare Noninflamatori adalah Norovirus, Rotavirus, Adenovirus Enterik, Astrovirus, ETEC, EAggEC, Vibrio cholerae, Clostridium perfringens, Bacillus cereus, Staphylococcus aureus, Giardia lamblia, Cryptosporidium parvum, Isospora belli, Cyclospora cayetensis, dan mikrosporidia (Winn dkk, 2006).

Diare Inflamatori

Diare Inflamatori melibatkan usus besar. Mikroba yang menyebabkan Diare Inflamatori bersifat invasif terhadap usus (enteroinvasive microorganisms). Penyebab Diare Inflamatori adalah Entamoeba histolytica, Shigella spp., EIEC, EHEC, Salmonella enteridis, Campylobacter jejuni, Vibrio parahaemolyticus, dan Clostridium difficile. Sampai saat ini, virus belum terbukti sebagai penyebab Diare Inflamatori (Winn dkk, 2006).

Diare Pada Penyakit Sistemik

Salah satu contoh Diare Pada Penyakit Sistemik adalah Demam Enterik. Istilah lain untuk Demam Enterik adalah Demam Tifoid. Diare Pada Penyakit Sistemik melibatkan usus halus distal. Penyebab Diare Pada Penyakit Sistemik adalah Salmonella typhi, Slamonella non-typhi, Yersinia enterocolitica, dan Campylobacter spp.. Virus dan parasit belum terbukti secara empiris sebagai penyebab Diare Pada Penyakit Sistemik (Thomas, 1985 ; Taylor, 1988; Winn dkk, 2006).

Kondisi Khusus dan Agen Infeksius

Agen infeksius yang terlibat dapat diprediksi dari kondisi khusus yang mendahului. Misalnya, diare setelah makan nasi goreng sangat mungkin melibatkan Bacillus cereus. Contoh lain, diare sesudah menyantap telur paling mungkin disebabkan oleh Salmonella spp.. Contoh lain lagi, Vibrio spp., Norovirus, dan Virus Hepatitis A sering sekali ditemukan pada pasien diare yang sebelumnya menikmati kerang-kerangan (Winn dkk, 2006).

Kesimpulan

Pemeriksaan mikrobiologis feses bertujuan menemukan mikroba yang dianggap sebagai biang keladi suatu penyakit tertentu. Metoda yang dipergunakan tergantung pada mikroba yang akan dibidik. Secara umum, metoda yang dipakai meliputi pemeriksaan mikroskopis, penanaman pada media perbenihan, pemeriksaan imunologis, pemeriksaan mikrobiologi molekuler, dan uji kepekaan.

Daftar Pustaka

Anonim. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang

Disempurnakan. Jakarta : Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan, 1996.

Atlas RM. Handbook of Microbiological Media. Edisi II. Boca Raton :

CRC Press, 1997. h. 12441245.

Koneman EW dkk.. Color Atlas and Textbook of Diagnostic

Microbiology. Edisi V. Philadelphia : Lippincott Williams &

Wilkins, 1997. h. 121170.

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Pedoman Umum

Pembentukan Istilah. Jakarta : Penerbit PT Gramedia

Widiasarana Indonesia, 1993.

Supardi I, Warsa UC. Mikrobiologi Klinis. Dalam : Nurhasan, penyunting.

Standar Pelayanan Medis Volume 3. Edisi I. Jakarta : Depkes RI

& IDI, 1998. h. 245263.

Thomas CL. Tabers Cyclopedic Medical Dictionary.Edisi XV. Singapore

: PG Publishing Pte Ltd, 1985, h. 551.

Taylor EJ. Dorlands Illustrated Medical Dictionary. Edisi XXVII.

Philadelphia : W.B. Saunders Company, 1988. h. 620.

Winn WC dkk.. Konemans Color Atlas and Textbook of Diagnostic

Microbiology. Edisi VI. Philadelphia : Lippincott Williams &

Wilkins, 2006. h. 67110.

SPINA BIFIDA

Ernawati

Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Abstrak:

Spina bifida berarti terbelahnya arcus vertebra yang bisa melibatkan jaringan saraf di bawahnya atau tidak. Penyebabnya adalah kegagalan penutupan tube neural dengan sempurna sehingga mempengaruhi neural dan struktur kutaneus ectodermal yang terjadi pada hari ke 17-20 kehamilan.

Spina bifida dapat dideteksi dengan pemeriksaan AFP (alfa feto protein) pada cairan amnion atau AFP yang diperiksa pada darah ibu hamil dan bisa juga dideteksi dengan pemeriksaan ultrasonografi. Resiko seseorang secara spesifik dapat diketahui berdasarkan perbandingan usia kehamilan dan level AFP. Pencegahan dapat dilakukan dengan pemberian suplemen folic acid 400 microgram / hari sebelum hamil dan 800 microgram / hari selama kehamilanSPINA BIFIDA

ErnawatiLecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma SurabayaAbstrack:

Spina bifida means the parting of arcus vertebrae that may involve nerve tissue beneath it or not. The reason is the failure of neural tube closure perfectly so that influence the neural and cutaneous ectodermal structures that occur on days 17-20 of pregnancy.Spina bifida can be detected by examination of the AFP (alpha feto protein) on amniotic fluid AFP examined or in blood of pregnant women and can also be detected by ultrasound examination. Specifically a person's risk can be identified based on comparison of gestational age and AFP level. Prevention can be done by giving 400 micrograms of folic acid supplements daily before pregnancy and 800 micrograms / day during pregnancyPENDAHULUAN

Spina bifida adalah kelainan neural tube ( neural tube defect ) yang terjadi akibat kegagalan neural tube untuk menutup dengan sempurna. Angka kejadian 1 per 1000 kelahiran. Spina bifida terdiri dari sebuah hiatus yang biasanya terletak dalam vertebra lumbosakralis, dan lewat hiatus ini menonjol sakus meningus sehingga terbentuk meningokel. Jika sakus tersebut juga berisi medulla spinalis, anomali tersebut dinamakan meningomielokel. Dengan adanya rakiskisis total, medulla spinalis tergambar sebagai pita jaringan yang berwarna merah serta menyerupai spons dan terletak dalam suatu sulkus yang dalam. Dalam keadaan ini, bayi segera meninggal saat lahir. Pada kasus-kasus lainnya, defek yang terjadi mungkin sangat ringan seperti spina bifida okulta. Malformasi yang menyertai, khususnya hidrosefalus, anansefalus dan clubfoot umum terdapat. Jika bagian otak mengalami protrusion ke dalam sakus, terjadi meningoensefalokel. Pada kasus defek neural tube aperta, kadar alfa feto protein mendekati pertengahan kehamilan mungkin tinggi tidak seperti biasanya baik dalam plasma maternal maupun dalam cairan amnion.

Beberapa program skrining dapat dilakukan pada ibu-ibu hamil, yaitu pemeriksaan skrining alfa feto protein serum maternal untuk mengetahui adanya defek neural tube dan bisa juga dilakukan penelitian sitogenetik terhadap sel-sel janin yang diperoleh melalui amniosintesis atau pengambilan sampel vili korialis dari wanita yang hamil pada usia diatas 35 tahun. Program ini menimbulkan banyak permasalahan sosial, etis, ekonomi serta hukum, diluar permasalahan stigmata psikologis yang kemungkinan timbul setelah seseorang mengetahui kalau dirinya membawa gen yang jelek. Hal yang sama pentingnya dengan keberhasilan program skrining tersebut adalah program penyuluhan intensif bagi orang-orang yang menjalani tes.

Program skrining neonatal juga merupakan program yang populer dan banyak dilakukan di negara bagian Amerika yang memiliki undang-undang bagi pemeriksaan skrining neonatus untuk menemukan kelainan tertentu.

DEFINISI

Spina bifida berarti terbelahnya arcus vertebrae dan bisa melibatkan jaringan saraf di bawahnya atau tidak. Spina bifida disebut juga myelodisplasia, yaitu suatu keadaan dimana ada perkembangan abnormal pada tulang belakang, spinal cord, saraf-saraf sekitar dan kantung yang berisa cairan yang mengitari spinal cord. Kelainan ini menyebabkan pembentukan struktur yang berkembang di luar tubuh.

KLASIFIKASI

Ada berbagai jenis spina bifida. antara lain :

Spina bifida okulta

Menunjukkan suatu cacat yang lengkung-lengkung vertebranya dibungkus oleh kulit yang biasanya tidak mengenai jaringan saraf yang ada di bawahnya. Cacat ini terjadi di daerah lumbosakral ( L4 S1 ) dan biasanya ditandai dengan plak rambut yang yang menutupi daerah yang cacat. Kecacatan ini disebabkan karena tidak menyatunya lengkung-lengkung vertebra ( defek terjadi hanya pada kolumna vertebralis ) dan terjadi pada sekitar 10% kelahiran Spina bifida kistika

Adalah suatu defek neural tube berat dimana jaringan saraf dan atau meningens menonjol melewati sebuah cacat lengkung vertebra dan kulit sehingga membentuk sebuah kantong mirip kista.

Kebanyakan terletak di daerah lumbosakral dan mengakibatkan gangguan neurologis, tetapi biasanya tidak disertai dengan keterbelakangan mental.

Spina bifida dengan meningokel

Pada beberapa kasus hanya meningens saja yang berisi cairan saja yang menonjol melalui daerah cacat.

Meningokel merupakan bentuk spina bifida dimana cairan yang ada di kantong terlihat dari luar ( daerah belakang ), tetapi kantong tersebut tidak berisi spinal cord atau saraf.

Spina bifida dengan meningomielokel

Merupakan bentuk spina bifida dimana jaringan saraf ikut di dalam kantong tersebut. Bayi yang terkena akan mengalami paralisa di bagian bawah.

Spina bifida dengan mielokisis atau rakiskisis

Merupakan bentuk spina bifida berat dimana lipatan-lipatan saraf gagal naik di sepanjang daerah torakal bawah dan lumbosakral dan tetap sebagai masa jaringan saraf yang pipih.

Kelainan-kelainan di atas biasanya timbul di daerah cervical dan atau lumbar dan dapat menyebabkan gangguan neurologis pada ekstremitas bawah dan gangguan kandung kemih. Defek neural tube ini dapat dideteksi melalui pemeriksaan kadar alfa feto protein ( AFP ) pada sirkulasi fetus setelah perkembangan empat minggu.

PEMBENTUKAN NEURAL TUBE

Pembentukan system saraf pusat dimulai sejak bulan pertama perkembangan janin, dimulai dari notocord kemudian terbentuk neuroectoderm dan berkembang menjadi bentukan seperti pita pipih yang dinamakan neural plate, kemudian masuk ke dalam ke bagian belakang embrio yang dinamakan neural groove.

Bagian samping dari neural groove akan melengkung ke atas ( neural fold ) dan menyatu membentuk suatu tabung yang dinamakan neural tube, penyatuan / fusi dari neural fold dimulai dari bagian tengah dari embrio dan bergerak ke arah atas ( cranial ) dan bawah ( caudal ).Bagian atas dinamakan anterior ( rostral ) neuropore dan bagian bawah dinamakan posterior ( caudal ) neuropore. Anterior neuropore menutup pada hari 26 atau sebelumnya sedangkan caudal neuropore akan menutup pada akhir minggu ke empat. Jika bagian dari tabung neural ( neural tube ) tidak menutup, tulang belakang juga tidak menutup akan menyebabkan terjadinya spina bifida.

STADIUM PERKEMBANGAN- 21 hari: neural groove dan dimulainya pembentukan neural tube

- 25 hari: penutupan neural groove kecuali bagian akhir anterior dan posterior

- 30 hari : neuropores menutup, pengenalan fore, mid dan hind brain.

Diferensiasi 3 lapis neural tube

- 5 minggu : pembentukan otak dan pembentukan lensa mata

- 6 minggu: dimulainya perkembangan cerebellum

- 7 minggu: corpus striatum dan thalamus, bertemunya komponen glandula pituitary

- 8 minggu : meningens, diferensiasi cortex cerebral

- 3 4 bulan: otak mulai menyerupai otak dewasa, terbentuknya corpus calosum dan

konmponen yang lain

- 4 bulan-lahir: timbulnya cerebral sulkus dan gyrus, myelinisasi dimulai.

Ada 3 kategori perkembangan system saraf yang abnormal :

1. Kelainan struktural : kesalahan dalam organogenesis

2. Gangguan dalam organisasi

3. Gangguan metabolisme

ETIOLOGI

Bahan bahan teratogen yang dapat menyebabkan terjadinya defek neural tube adalah :

Carbamazepine

Valproic acid

Defisiensi folic acid

Sulfonamide

Seorang wanita yang mengkonsumsi valproic acid selama kehamilan mempunyai resiko kemungkinan melahirkan bayi dengan defek neural tube sebesar 1-2%, maka dari itu seorang wanita hamil yang mengkonsumsi obat-obat anti epilepsi selama kehamilannya disarankan untuk melakukan pemeriksaan AFP prenatal rutin.

Faktor maternal lain yang dapat menyebabkan defek neural tube meliputi :

Riwayat keluarga dengan defek neural tube

Penggunaan obat-obat anti kejang

Overweight berat

Demam tinggi pada awal kehamilan

Diabetes mellitus

PATOGENESIS

Defek neural tube disini yang dimaksud adalah karena kegagalan pembentukan mesoderm dan neurorectoderm. Defek embriologi primer pada semua defek neural tube adalah kegagalan penutupan neural tube, mempengaruhi neural dan struktur kutaneus ectodermal. Hal ini terjadi pada hari ke 17 -30 kehamilan.

Selama kehamilan , otak, tulang belakang manusia bermula dari sel yang datar, yang kemudian membentuk silinder yang disebut neural tube. Jika bagian tersebut gagal menutup atau terdapat daerah yang terbuka yang disebut cacat neural tube terbuka. Daerah yang terbuka itu kemungkinan 80% terpapar atau 20% tertutup tulang atau kulit.

90% dari kasus yang terjadi bukanlah faktor genetik / keturunan tetapi sebagian besar terjadi dari kombinasi faktor lingkungan dan gen dari kedua orang tuanya.

DIAGNOSA

Defek neural tube dapat dideteksi dengan pemeriksaan AFP ( alfa feto protein ) pada cairan amnion atau AFP yang diperiksa dari darah ibu hamil. AFP adalah protein serum utama yang terdapat pada awal kehidupan embrio dan 90% dari total globulin serum dari fetus. AFP dapat mencegah rejeksi dari fetal imun dan pertamakali dibuat di yolk sac dan kemudian di sistem gastro intestinal dan hepar fetus. Dimulai dari sirkulasi darah fetus menuju traktus urinarius kemudian diekskresi ke dalam cairan amnion.

AFP juga dapat bocor ke dalam cairan amnion melalui defek neural tube yang terbuka seperti pada anencephaly dan myelomeningocele, dimana sirkulasi darah fetus berhubungan langsung dengan cairan amnion. Langkah pertama dari prenatal skrining adalah pemeriksaan serum AFP pada ibu hamil antara minggu ke 15 dan 18 kehamilan.

Seseorang dikatakan beresiko secara spesifik berdasarkan perbandingan usia kehamilan dan level AFP. Misalnya, pada usia kehamilan 20 minggu konsentrasi AFP serum pada ibu hamil lebih tinggi dari 1.000 ng/mL mempunyai indikasi terjadinya defek neural tube terbuka. Kadar AFP serum normal pada ibu hamil biasanya lebih rendah dari 500 ng/mL.

Penentuan ketepatan usia kehamilan sangatlah penting karena level AFP mempunyai hubungan yang spesifik dengan usia kehamilan dan dapat meningkat mencapai puncak pada fetus normal pada kehamilan 12-15 minggu. Pemeriksaan AFP melalui cairan amnion merupakan pemeriksaan yang akurat, terutama pada usia kehamilan 15-20 minggu dan dapat mendeteksi kurang lebih 98% pada semua defek neural tube yang terbuka. Defek neural tube juga dapat dideteksi dengan USG.

Beberapa kelainan fetus lain yang dapat dideteksi dari peningkatan AFP meliputi :

Anencephaly

Spina bifida kistika

Encephalocele

Omphalocele

Turner syndrome

Gastroschisis

Oligohydrmnions

Sacrococcygeal teratoma

Kelainan ginjal polikistik

Kematian janin intra uteri

Obstruksi traktus urinarius

TERAPI

Pembedahan

PENCEGAHAN

Penggunaan suplemen Folic acid 400 micrograms ( 0,4 mg ) / hari sebelum hamil dan 800 micrograms / hari selama kehamilan. Penggunaan suplemen folic acid ini penting untuk menurunkan resiko terjadinya defek neural tube seperti spina bifida.

Folic acid ( folinic acid, folacin, pteroyglutamic acid ) terdiri dari bagian-bagian pteridin, asam para aminobenzoat dan asam glutamat.

Dari penelitian terbukti bahwa yang memiliki arti biologik adalah gugus PABA dan gugus asam glutamat. PmGA bersama-sama dengan konjugat yang mengandung lebih dari satu asam glutamat, membentuk satu kelompok zat yang dikenal sebagai folat.

Folat terdapat dalam hampir setiap jenis makanan dengan kadar tertinggi dalam hati, ragi dan daun hijau yang segar. Folat mudah rusak dengan pengolahan ( pemasakan ) makanan.

Dipandang dari sudut biologik, defisiensi folat terutama akan memperlihatkan gangguan pertumbuhan akibat gangguan pembentukan nukleotida purin dan pirimidin. Gangguan ini akan menyebabkan kegagalan sintesis DNA dan hambatan mitosis sel.

KESIMPULANSpina bifida termasuk dalam defek neural tube yang berarti terbelahnya arcus vertebrae dan bisa melibatkan jaringan saraf di bawahnya atau tidak. Angka kejadian 1 per 1000 kelahiran.

Macam-macam spina bifida :

Spina bifida okulta

Spina bifida kistika

Spina bifida dengan meningokel

Spina bifida dengan mielokisis atau rakiskisis

Spina bifida dapat didiagnosis prenatal dengan :

Pemeriksaan kadar AFP di dalam serum ibu hamil dan cairan amnion

Ultrasonografi

Penyebabnya kebanyakan multifaktorial, ada kemungkinan mendapatkan anak dengan cacat seperti ini meningkat banyak begitu salah satu keturunan yang dilahirkannya sudah mengalami cacat ini. Bukti baru menunjukkan bahwa asam folat dapat menurunkan insidens terjadinya defek neural tube.

DAFTAR PUSTAKA1. Beck, F., Moffat, D.B., Davies, D.P. ( 1985 ). Human Embryology.

2. ORahilly Ronan., Muller Fabiola. ( 1992 ). Human Embryology & Teratology.

3. Wardhini, S., Rosmiati Hedi. ( 1995 ). Farmakologi dan Terapi.

4. Cunningham, MacDonald, Gant. ( 1995 ). Obstetri Williams.

5. Sjamsuhidajat, R., Wim de Jong. ( 1997 ). Buku Ajar Ilmu Bedah.

6. Kurtzweil Paula., ( 1999 ). How folate can help prevent birth defects. Article FDA Consumer, Diambil 13Juni 2008, dari http;//www.fda.gov/Fdac/features/796 fol.html

7. Sadler, T.W. ( 2000 ). Embriologi Kedokteran Langman.

8. Pantanowitz Liron, Sur Monalisa. ( 2004 ). Malformations Associated With Spina Bifida. The Internet Journal of Pediatrics and Neonatology.

9.Larsen, Hans R., ( 2005 ) Folic acid. Diambil 13 Juni 2008, dari http;//www.pinc.com/healthnews/folate.RESISTENSI SERANGGA TERHADAP DDT

Kartika Ishartadiati

Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma SurabayaABSTRAK

Dichloro Diphenyl Trichloroethane (DDT) adalah insektisida organik sintetik yang termasuk golongan organoklorin (chlorinated hydrocarbon). DDT disintesis oleh Othmar Zeidler pada tahun 1873, namun efek insektisidanya baru ditemukan oleh Paul Muller pada tahun 1939. Oleh karena efikasinya yang sangat baik, DDT menjadi sangat terkenal di bidang pertanian dan bidang kesehatan masyarakat, dan digunakan secara luas sejak tahun 1945. Namun pada tahun 1948 sudah mulai dilaporkan terjadinya resistensi DDT pada nyamuk dan lalat.

Kata kunci: resistensi, serangga, DDT (Dichloro Diphenyl Trichloroethane)

INSECT RESISTANCE TO DDT

Kartika Ishartadiati

Lecturer Faculty of Medicine University of Wijaya Kusuma Surabaya

ABSTRACT

Dichloro Diphenyl Trichloroethane (DDT) is a synthetic organic insecticide which belongs to organochlorine (chlorinated hydrocarbon). DDT was synthesized by Othmar Zeidler in 1873, but the insecticide effect discovered by Paul Muller in 1939. Because of its strong efficacy, DDT became very popular in the field of agriculture and public health fields, and has been widely used since 1945. But the occurrence of DDTs resistance in mosquitoes and flies has been already reported in 1948.

Keywords: resistance, insect, DDT (Dichloro Diphenyl Trichloroethane)PENDAHULUAN

Berkembangnya resistensi berbagai jenis serangga terhadap insektisida pada 50 tahun terakhir, merupakan masalah paling serius yang kita hadapi sejak digunakannya secara luas insektisida organik sintetik di seluruh dunia pada akhir Perang Dunia II. Meskipun resistensi serangga terhadap insektisida anorganik telah diketahui sejak tahun 1910-an, namun kasus ini meningkat nyata sejak ditemukannya insektisida organik sintetik. Resistensi serangga terhadap insektisida merupakan fenomena global yang dirasakan baik di negara-negara maju maupun negara-negara berkembang, seperti Indonesia.DDT (Dichloro Diphenyl Trichloroethane) XE "DDT (Dichloro Diphenyl Trichlorethane)" adalah insektisida organik sintetik yang pertama kali ditemukan, dan digunakan secara luas sejak tahun 1945. DDT pernah disanjung setinggi langit karena jasa-jasanya dalam penanggulangan berbagai penyakit yang ditularkan vektor serangga (Untung, 2004). Di India, pada tahun 1960 kematian oleh malaria mencapai 500.000 orang turun menjadi 1000 orang pada tahun 1970. World Health Organization memperkirakan bahwa DDT selama Perang Dunia II telah menyelamatkan sekitar 25 juta jiwa terutama dari ancaman malaria dan tifus (Tarumingkeng, 2007). Namun pada tahun 1948 sudah mulai dilaporkan terjadinya resistensi DDT pada nyamuk dan lalat (Untung, 2004).

Pada tahun 1954 Anopheles sundaicus dinyatakan resisten terhadap DDT (Hoedojo & Zulhasril, 2000). Uji kerentanan Anopheles aconitus yang dilakukan secara intensif di Jawa Tengah dan Jawa Timur, hasil yang didapat menerangkan bahwa daerah An. Aconitus resisten DDT dari tahun ke tahun makin meluas, sehingga pada tahun 1985 semua daerah yang diuji kerentanan menunjukkan bahwa An. Aconitus telah resisten terhadap DDT, meskipun derajat resistensinya berbeda-beda (Kirnowardoyo, 1989).

Sebagian besar peningkatan resistensi insektisida disebabkan oleh tindakan manusia dalam mengaplikasikan insektisida tanpa dilandasi oleh pengetahuan yang menyeluruh tentang sifat-sifat dasar insektisida kimia termasuk pengembangan populasi resisten (Untung, 2004).

SEJARAH DICHLORO DIPHENYL TRICHLOROETHANE

Pencarian senyawa-senyawa sintetik secara sistematik baru dimulai sejak ditemukannya efek insektisida dari DDT (singkatan dari nama trivialnya; 4,4-Dichloro Diphenyl Trichloroethane). Penemuan DDT juga merupakan awal dari pengembangan senyawa kimia dari kelompok atau kelas hidrokarbon berklor (chlorinated hydrocarbon) (Djojosumarto, 2006). Dichloro Diphenyl Trichloroethane disintesis oleh Othmar Zeidler pada tahun 1873. Namun, efek insektisidanya baru ditemukan oleh Paul Muller pada tahun 1939 di Swiss (Djojosumarto, 2006; Tarumingkeng, 2007). Pada tahun 1946, untuk pertama kalinya resistensi DDT pada lalat rumah diteliti di Swedia.

Sebelum diuji secara resmi di Research Station for Fruit Growing, Viticulture, and Horticulture di Wadenswil (Jerman), uji efikasi DDT telah dilakukan oleh Paul Muller terhadap Calliphora vomitoria dan beberapa spesies serangga lainnya. Selanjutnya, DDT dikembangkan oleh R. Weismann dari perusahaan J.R. Geigy.

Oleh karena efikasinya yang sangat baik, DDT menjadi sangat terkenal di bidang pertanian dan bidang kesehatan masyarakat. Dichloro Diphenyl Trichloroethane sempat dijuluki the wonder chemical, bahan kimia ajaib yang menyelamatkan ribuan hektar tanaman dari serangan hama serangga (Djojosumarto, 2006).

Dichloro Diphenyl Trichloroethane adalah insektisida paling ampuh yang pernah ditemukan dan digunakan manusia dalam membunuh serangga, tetapi juga paling berbahaya bagi umat manusia, sehingga dijuluki The Most Famous and Infamous Insecticide.

Pada tahun 1962, Rachel Carson XE "Carson, Rachel" dalam bukunya yang terkenal, Silent Spring menjuluki DDT sebagai obat yang membawa kematian bagi kehidupan di bumi. Demikian berbahayanya DDT bagi kehidupan di bumi, sehingga atas rekomendasi EPA (Environmental Protection Agency XE "EPA (Environmental Protection Agency" ) Amerika Serikat pada tahun 1972, DDT dilarang digunakan terhitung 1 Januari 1973. Pengaruh buruk DDT terhadap lingkungan sudah mulai tampak sejak awal penggunaannya pada tahun 1940-an, dengan menurunnya populasi burung elang sampai hampir punah di Amerika Serikat. Dari pengamatan ternyata elang terkontaminasi DDT dari makanannya (terutama ikan sebagai mangsanya) yang tercemar DDT. Dichloro Diphenyl Trichloroethane menyebabkan cangkang telur elang menjadi sangat rapuh sehingga rusak jika dierami. Dari segi bahayanya, oleh EPA DDT digolongkan dalam bahan racun PBT (persistent, bioaccumulative, and toxic) material XE "PBT (persistent, bioaccumulative, and toxic) material" .

Walaupun di negara-negara maju (khususnya di Amerika Utara dan Eropa Barat) penggunaan DDT telah dilarang, di negara-negara berkembang terutama India, RRC, dan negara-negara Afrika dan Amerika Selatan, DDT masih digunakan. Banyak negara telah melarang penggunaan DDT kecuali dalam keadaan darurat terutama jika muncul wabah penyakit seperti malaria, demam berdarah, dsb. (Tarumingkeng, 2007). Ijin untuk menggunakan DDT dalam keadaan darurat oleh karena insektisida alternatif lebih mahal, lebih toksik, dan tidak seefektif DDT (Sadasivaiah et al., 2007). Departeman Pertanian RI telah melarang penggunaan DDT di bidang pertanian, sedangkan larangan penggunaan DDT di bidang kesehatan dilakukan pada tahun 1995. Komisi Pestisida RI juga sudah tidak memberi perijinan bagi penggunaan pestisida golongan hidrokarbon berklor (chlorinated hydrocarbon) atau organoklorin (golongan insektisida di mana DDT termasuk) (Tarumingkeng, 2007).

PENGGOLONGAN INSEKTISIDA

Insektisida adalah bahan yang mengandung persenyawaan kimia yang digunakan untuk membunuh serangga. Menurut Hoedojo (2000) dan Tarumingkeng (2001), insektisida berdasarkan macam bahan kimianya dibagi dalam:

1. Insektisida sintetik

1) Anorganik: garam-garam beracun seperti arsenat, flourida, tembaga sulfat, dan garam merkuri.

2) Organik:

a. Organoklorin:

a) Seri DDT: DDT, DDD, metoksiklor.

b) Seri klorden : klorden, dieldrin, aldrin, endrin, heptaklor, toksafen.

c) Seri BHC: BHC, linden.

b. Heterosiklik:kepone, mirex, dll.

c. Organofosfat: malathion, biothion, diazinon, dll.

d. Karbamat: furadan, sevin, dll.

e. Dinitrofenol: dinex, dll.

f. Thiosianat: lethane, dll.

g. Sulfonat, sulfida, sulfon.

h. Lain-lain:methylbromide, dll.

2. Hasil alam: nikotinoida, piretroida, rotenoida, dll.

Sumber: Hoedojo & Zulhasril (2000); Tarumingkeng (2001).

SIFAT KIMIAWI DAN FISIK DDT XE "Sifat kimiawi dan fisik DDT" Senyawa yang terdiri atas bentuk-bentuk isomer dari 1,1,1-trichloro-2,2-bis-(p-chlorophenyl) ethane yang secara awam disebut juga Dichloro Diphenyl Trichloroethane (DDT) diproduksi dengan menyampurkan chloralhydrate (CCl3CHO) dengan chlorobenzene (C6H5Cl), yang dikatalisasi oleh asam belerang (WHO, 1979; Tarumingkeng, 2007). Nama dagang DDT yang pernah ada di pasaran antara lain Anofex, Cezarex, Chlorophenothane, Clofenotane, Dicophane, Dinocide, Gesarol, Guesapon, Guesarol, Gyron, Ixodex, Neocid, Neocidol, dan Zerdane (WHO, 1979).

Struktur kimia DDT XE "Struktur kimia DDT" .

Dichloro Diphenyl Trichloroethane terdiri atas campuran tiga bentuk isomer DDT (65-80% p,p'-DDT, 15-21% o,p'-DDT, dan 0-4% o,o'-DDT), dan dalam jumlah yang kecil sebagai kontaminan juga terkandung DDE [1,1-dichloro-2,2- bis(p-chlorophenyl) ethylene] dan DDD [1,1-dichloro-2,2-bis(p-chlorophenyl) ethane]. Dichloro Diphenyl Trichloroethane ini berupa tepung kristal putih, tak berasa dan tak berbau. Daya larutnya sangat tinggi dalam lemak dan sebagian besar pelarut organik, tak larut dalam air, tahan terhadap asam keras dan tahan oksidasi terhadap asam permanganat.

Menurut Tarumingkeng (2007), dua sifat buruk yang menyebabkan DDT sangat berbahaya terhadap lingkungan hidup adalah:

1. Sifat apolar DDT: ia tak larut dalam air, tetapi sangat larut dalam lemak. Makin larut suatu insektisida dalam lemak (semakin lipofilik) semakin tinggi sifat apolarnya. Hal ini merupakan salah satu faktor penyebab DDT sangat mudah menembus kulit. 2. Sifat DDT yang sangat stabil dan persisten. Ia sukar terurai sehingga cenderung bertahan dalam lingkungan hidup, masuk rantai makanan (foodchain) XE "rantai makanan (foodchain)" melalui bahan lemak jaringan mahluk hidup. Itu sebabnya DDT bersifat bioakumulatif dan biomagnifikatif.

Karena sifatnya yang stabil dan persisten, DDT bertahan sangat lama di dalam tanah, bahkan DDT dapat terikat dengan bahan organik dalam partikel tanah.

CARA KERJA DDT

Toksisitas DDT adalah sedang, dengan LD50 oral (tikus) 113 mg/kg (WHO, 2005). Insektisida ini bekerja melalui kontak kulit terhadap berbagai jenis serangga (Soedarto, 2008). Dichloro Diphenyl Trichloroethane mempengaruhi keseimbangan ion-ion K dan Na dalam neuron (sel saraf) dan merusak selubung saraf sehingga fungsi saraf terganggu (Tarumingkeng, 2001). Serangga dengan mutasi tertentu pada gen kanal sodiumnya resisten terhadap DDT dan insektisida sejenis lainnya (Denholm et al., 2002).

PROSES TERJADINYA RESISTENSI DAN MEKANISME RESISTENSI

Serangga dikatakan telah resisten terhadap suatu insektisida jika dengan dosis yang biasa digunakan, serangga tersebut tidak dapat dibunuh (Soedarto, 2008). Resistensi yang kadangkala diindikasikan oleh menurunnya efektivitas suatu teknologi pengendalian tidak terjadi dalam waktu singkat (Untung, 2004). Lamanya proses resistensi pada serangga terhadap insektisida sangat bervariasi, dari hanya satu sampai dua tahun, hingga puluhan tahun. Sebagai contoh, senyawa arsenik yang digunakan untuk mengendalikan kumbang kolorado pada kentang di Long Island (Amerika Serikat) sejak tahun 1880, baru menampakkan gejala resistensi pada tahun 1940-an, tetapi fenvalerat telah menyebabkan resistensi hanya dalam waktu tiga tahun, bahkan karbofuran tidak lagi efektif setelah dua tahun digunakan (Djojosumarto, 2006). Resistensi insektisida berkembang setelah adanya proses seleksi yang berlangsung selama banyak generasi. Resistensi merupakan suatu fenomena evolusi yang diakibatkan oleh seleksi pada serangga yang diberi perlakuan insektisida secara terus menerus.

Di alam frekuensi alel individu rentan lebih besar dibandingkan frekuensi alel individu resisten, dan frekuensi alel homosigot resisten (RR) berkisar antara 10-2 sampai 10-13. Karena adanya seleksi yang terus menerus jumlah individu yang peka dalam suatu populasi semakin sedikit. Individu resisten kawin satu dengan lainnya, sehingga menghasilkan keturunan yang resisten pula. Populasi yang tetap hidup pada aplikasi insektisida permulaan akan menambah proporsi individu yang tahan terhadap senyawa dan meneruskan sifat ini pada keturunan mereka (Untung, 2004).

Beberapa serangga telah resisten terhadap DDT. Setelah DDT ditemukan, serangga yang tidak memiliki resistensi bawaan dan terkena zat kimia ini akan punah dari populasinya. Sejalan dengan waktu, serangga resisten yang sebelumnya sedikit menjadi bertambah banyak. Akhirnya, seluruh spesies tersebut menjadi populasi dengan anggota-anggota yang resisten terhadap DDT. Ketika ini terjadi DDT menjadi tidak efektif lagi terhadap spesies serangga tersebut (Yahya, 2004).

Pengguna insektisida sering menganggap bahwa serangga yang tetap hidup belum menerima dosis letal, sehingga mereka meningkatkan dosis dan frekuensi aplikasi. Tindakan ini yang mengakibatkan semakin menghilangnya proporsi serangga yang peka dan meningkatkan proporsi serangga yang tahan dan tetap hidup. Dari generasi ke generasi proporsi individu resisten dalam suatu populasi akan semakin meningkat dan akhirnya populasi tersebut akan didominasi oleh individu yang resisten. Resistensi tidak akan menjadi masalah sampai suatu populasi didominasi oleh individu-individu yang resisten, sehingga pengendalian serangga menjadi tidak efektif lagi.

Salah satu faktor yang mempengaruhi laju perkembangan resistensi adalah tingkat tekanan seleksi yang diterima oleh suatu populasi serangga. Pada kondisi yang sama, suatu populasi yang menerima tekanan yang lebih keras akan berkembang menjadi populasi yang resisten dalam waktu yang lebih singkat dibandingkan populasi yang menerima tekanan seleksi yang lemah.

Menurut Untung (2004), mekanisme resistensi suatu serangga terhadap insektisida dapat dibagi menjadi 3 yaitu:

1. Peningkatan detoksifikasi insektisida oleh karena bekerjanya ensim-ensim tertentu.

Dichloro Diphenyl Trichloroethane didetoksifikasi menjadi DDE, DDA, atau kelthane oleh karena bekerjanya ensim dehidroklorinase (Beament & Treherne, 2003).

2. Penurunan kepekaan tempat sasaran insektisida pada tubuh serangga.

Diperkirakan bahwa kepekaan terhadap DDT di tempat sasaran dapat berubah oleh karena perubahan suhu. Pada penelitian menggunakan neuron sensori pada kaki lipas menunjukkan bahwa DDT lebih efektif merangsang sel sensori pada suhu rendah (160C) dari pada suhu tinggi (300C) (Beament & Treherne, 2003).

3. Penurunan laju penetrasi insektisida melalui kulit atau integumen.

Dalam bentuk suspensi, DDT bekerja lebih kuat terhadap larva nyamuk pada suhu rendah dari pada suhu tinggi. Namun, jika diinjeksikan pada larva, DDT bekerja lebih kuat pada suhu tinggi dari pada suhu rendah. Berdasarkan pengamatan tersebut, disimpulkan bahwa DDT diabsorbsi lebih banyak pada suhu rendah dari pada suhu tinggi (Beament & Treherne, 2003).

Selain faktor-faktor tersebut di atas, faktor lain yang dapat mempengaruhi terjadinya resistensi serangga terhadap insektisida adalah stadium serangga, generation time serangga dan kompleks genetik (genetic complex) serangga. Insektisida yang bekerja terhadap semua stadium serangga, artinya dapat membunuh stadium telur, larva, pupa, maupun dewasa, akan lebih cepat terjadi resistensi terhadapnya dibandingkan dengan insektisida yang hanya bekerja terhadap satu stadium dari serangga. Serangga-serangga yang mempunyai siklus hidup pendek sehingga dalam setahun terdapat banyak generasi, akan lebih cepat menjadi resisten terhadap insektisida dibandingkan dengan serangga-serangga yang hanya mempunyai satu generasi dalam setahun (siklus hidupnya panjang). Dalam hal kompleksitas dari gen, semakin banyak gen yang mengatur kemampuan resistensi serangga terhadap insektisida, semakin lambat terjadi resistensi. Jika jumlah gen pengatur resistensi sedikit, serangga cepat resisten terhadap insektisida (Soedarto, 2008).

PEMBAGIAN RESISTENSI

Menurut Soedarto (2008), resistensi dibagi menjadi resistensi bawaan (natural resistancy) dan resistensi yang didapat (acquired resistancy).

1. Resistensi bawaan

Serangga yang secara alami sensitif terhadap suatu insektisida akan menghasilkan secara alami keturunan yang juga sensitif terhadap insektisida tersebut. Sedangkan serangga yang secara alami sudah resisten terhadap suatu insektisida, keturunannya juga akan resisten terhadap insektisida bersangkutan. Selain itu, serangga yang sensitif terhadap suatu insektisida jika mengalami mutasi (yang terjadi satu kali setiap beberapa ratus atau ribu tahun) dapat berkembang menjadi serangga yang resisten terhadap insektisida tersebut.2. Resistensi didapat

Akibat pemberian dosis insektisida yang di bawah dosis lethal dalam waktu yang lama, serangga target yang sebelumnya sensitif dapat menyesuaikan diri berkembang menjadi resisten terhadap insektisida tersebut.

Berdasar atas jenis insektisida yang tidak lagi peka terhadap serangga, resistensi dibedakan menjadi resistensi silang (cross resistance) dan resistensi ganda (double resistance) (Hoedojo & Zulhasril, 2000; Soedarto, 2008).

3. Cross resistance

Resistensi serangga yang terjadi terhadap dua insektisida yang satu golongan atau satu seri, misalnya resisten terhadap malathion dan diazinon (satu golongan) atau kebal terhadap DDT dan metoksiklor (satu seri).

4. Double resistance

Resistensi serangga yang terjadi terhadap dua insektisida yang berbeda golongannya atau serinya, misalnya resisten terhadap malathion dan DDT (beda golongan) atau DDT dan dieldrin (beda seri).

Jika satu jenis serangga telah resisten terhadap suatu insektisida, maka dosis insektisida harus dinaikkan. Jika dosis insektisida terus-menerus dinaikkan, maka pada dosis tertentu akan dapat membahayakan kesehatan manusia dan hewan serta berdampak buruk pada lingkungan hidup. Karena itu, insektisida harus diganti dengan jenis atau golongan lain atau diciptakan insektisida baru untuk memberantas serangga tersebut (Soedarto, 2008). Saat ini laju penemuan insektisida baru sangat lambat, hal ini dapat disebabkan antara lain: 1) peningkatan biaya penelitian untuk menemukan insektisida baru yang memenuhi syarat, 2) peningkatan biaya dan persyaratan registrasi insektisida yang semakin ketat, 3) peningkatan biaya produksi, serta 4) semakin ketatnya kompetisi antar produsen insektisida (Untung, 2004).

KESIMPULAN DAN SARAN

Saat ini terjadi resistensi beberapa serangga terhadap DDT yang disebabkan oleh ulah pengguna DDT yang tidak mengerti akan mekanisme terbentuknya populasi serangga yang resisten. Penggunaan insektisida untuk pengendalian atau pemberantasan serangga, sebaiknya tidak terus menerus menggunakan satu jenis atau satu golongan insektisida tertentu saja, tetapi diselingi dengan penggunaan insektisida dari jenis atau golongan lainnya, sehingga menghambat atau memperlambat terjadinya resistensi serangga terhadap insektisida tertentu..

DAFTAR PUSTAKA

Beament, J.W.L., Treherne, J.E., 2003. Advances in Insect Physiology, Volume 8. Academic Press.

Denholm, I., Devine, G.J., Williamson, M.S., 2002. Evolutionary genetics. Insecticides resistance on the move. Science 297 (5590): 2222-3.

Djojosumarto, P.,2006. Pestisida & Aplikasinya. Agromedia, Jakarta.

Hoedojo, Zulhasril, 2000. Insektisida dan resistensi. Dalam: Parasitologi Kedokteran, Edisi Ketiga. Balai Penerbit FKUI, Jakarta, hlm. 248-255.

Kirnowardoyo, S., 1989. Tinjauan Penyelidikan Entomologi Malaria yang Dilakukan oleh Dit. P2B2, Dit Jen PPM & PLP, Dep. Kes. R.I. Maj. Cermin Dunia Ked. 54: 16-18.

Sadasivaiah, S., Tozan, Y., Breman, J.G., 2007. Dichlorodiphenyltrichloroethane (DDT) for Indoor Residual Spraying in Africa: How Can It Be Used for Malaria Control?. Am. J. Trop. Med. Hyg. 77 (Suppl 6): 249-263.

Soedarto, 2008. Parasitilogi Klinik. Airlangga University Press, Surabaya, hlm. 288-291.

Tarumingkeng, R.C., 2001. Pestisida dan Penggunaannya. http://tumoutou.net/TOX/PESTISIDA.htm, diakses pada tanggal 26 Desember 2008.

Tarumingkeng, R.C., 2007. DDT dan Permasalahannya di abad 21. http://tumoutou.net/dethh/9_DDT_and_its_problem.htm, diakses pada tanggal 26 Desember 2008.

Untung, K., 2004. Manajemen Resistensi Pestisida Sebagai Penerapan Pengelolaan Hama Terpadu. http://kasumbogo.staff.ugm.ac.id/?satoewarna=index&winoto=base&ac..., diakses pada tanggal 26 Desember 2008.

WHO, 1979. Environmental Health Criteria 9: DDT and its derivatives. http://www.inchem.org/documents/ehc/ehc009.htm, diakses pada tanggal 26 Desember 2008.

WHO, 2005. The WHO Recommended Classification of Pesticides by Hazard. http://www.who.int/ipcs/publications/pesticides_haza, diakses pada tanggal 26 Desember 2008.

Yahya, H., 2004. Keruntuhan Teori Evolusi. http://www.harunyahya.com, diakses pada tanggal 26 Desember 2008.

EFEK PEMAKAIAN PIL KONTRASEPSI KOMBINASI

TERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH

F. Y. Widodo

Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma SurabayaAbstrakKontrasepsi oral adalah suatu cara kontrasepsi yang sangat luas dipakai untuk menghambat kehamilan, baik di Indonesia maupun di seluruh dunia, mengingat efektifitasnya serta cara pemakaian yang sangat mudah.

Namun, pil kontrasepsi ini juga memiliki beberapa efek samping yang tidak diinginkan, salah satunya dapat menimbulkan abnormalitas dari tes toleransi glukosa. Hal tersebut disebabkan adanya kandungan progesteron pada pil kontrasepsi tersebut. Sampai saat ini masih banyak dilakukan kegiatan penelitian lebih lanjut untuk menemukan suatu kontrasepsi oral yang mempunyai daya guna tinggi dan dengan efek samping yang sekecil mungkin terhadap kadar glukosa darah.Kata Kunci : Kontrasepsi oral, progesteron, tes Toleransi glukosa

EFFECT OF COMBINED USE OF CONTRACEPTIVES PILCONTENT OF BLOOD GLUCOSEF. Y. WidodoLecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma SurabayaAbstract

Oral contraceptives are one of the very widely used contraception to prevent pregnancy, both in Indonesia and around the world, given its effectiveness and use of a very easy way. However, the contraceptive pill also has some undesirable side effects, one of which can cause abnormalities of glucose tolerance tests. This is due to the content of progesterone on the contraceptive pill. Until now there are many activities carried out further research to find an oral contraceptive that has high efficiency and with the least possible adverse effects on blood glucose levels.Keywords: Kontrasepsi oral, progesteron, tes toleransi glukosaPENDAHULUAN

Kontrasepsi oral, merupakan salah satu alat kontrasepsi yang banyak disukai oleh para perserta Keluarga Berencana. Hal ini terungkap dari data yang disampaikan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada bulan Maret 2011, yang menyatakan bahwa Peserta KB Baru secara nasional pada bulan Maret 2011 sebanyak 739.500 peserta, apabila dilihat per mix kontrasepsi maka persentasenya adalah sebagai

berikut : 48.891 peserta IUD (6,61%), 9.634 peserta MOW (1,30%), 2.508 peserta MOP (0,34%), 47.824 peserta Kondom (6,47%), 50.781 peserta Implant (6,87%), 373.154 peserta Suntikan (50,46%), dan 206.708 peserta Pil (27,94%). Dari data tersebut dapat dilihat bahwa peserta Pil menduduki peringkat kedua setelah peserta Suntikan. (1).

Sedangkan di Jawa Timur, angka peserta KB yang menggunakan Pil tidak jauh berbeda dengan angka nasional, yaitu sebesar 23.53%, menduduki peringkat kedua setelah peserta Suntikan, sebesar 60.13%. Untuk jumlah peserta KB lain adalah IUD 5.84%, MOW 1.73 %. MOP 0.40%, Kondom 4.04% dan Implant 4.32% (1).

Diseluruh dunia, jumlah wanita yang menggunakan alat kontrasepsi oral mencapai lebih dari 100 juta jiwa. Di Amerika Serikat, pil kontrasepsi disetujui untuk digunakan sejak tahun 1960, dan saat ini penggunanya hampir mencapai 12 juta jiwa (2,3). Data yang ada menunjukkan bahwa pemakaian pil kontrasepsi mencapai 30% dari keseluruhan cara KB yang dipakai, dan ini lebih banyak apabila dibandingkan dengan pemakai alat kontrasepsi lain, seperti misalnya MOW (20%), kondom (13%), MOP (15%), IUD (6%), sedangkan sisanya memakai cara KB yang lain (4).

Namun, ternyata alat kontrasepsi yang paling banyak dipakai ini juga memiliki beberapa efek samping yang tidak diinginkan, yang berpengaruh pada pemakainya. Salah satu efek samping yang dianggap paling berbahaya adalah gangguan pada sistem kardiovaskuler, dimana dapat menimbulkan penyakit jantung koroner (5, 6).

Dari data-data yang ada, pada awalnya menyebutkan, bahwa peningkatan resiko kematian diantara wanita yang pernah memakai pil kontrasepsi, terutama disebabkan adanya gangguan pembuluh darah pada para pemakai yang usianya lebih tua dan mempunyai kebiasaan merokok. Sedangkan laporan yang lebih baru menyebutkan, setelah dilakukan penelusuran lebih dari 25 tahun, diketahui bahwa efek pil kontrasepsi yang paling meningkatkan mortalitas terjadi pada pemakai baru dan yang sedang menggunakan. Efek ini menetap dalam jangka 10 tahun setelah penghentian pemakaian (7, 8).

Faktor risiko lain yang dapat memicu timbulnya penyakit jantung koroner adalah abnormalitas dari tes glukosa darah . Seperti diketahui, pemakaian pil kontrasepsi juga dapat meningkatkan kadar glukosa darah pada pemakainya, sehingga pada peserta KB yang memakai kontasepsi dalam bentuk pil, resiko terjadinya penyakit kardiovaskuler ini akan menjadi semakin lebih besar (4, 9)

Efek pemakaian kontrasepsi oral terhadap metabolisme karbohidrat ini diperkirakan oleh karena komponen estrogen pada preparat kontrasepsi oral tersebut (4). Namun, penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa gangguan estrogen terhadap metabolisme karbohidrat adalah kecil. Pernyataan ini juga ditunjang oleh penelitian yang dilakukan Berenson dan kawan-kawan , para sarjana tersebut meneliti preparat ethinyl estradiol and desogestrel, yang ternyata juga me