jurding kulit ks

21
Penggunaan Kortikosteroid Sistemik dalam Dermatologi: Mendefinisikan, Memperinci, dan Memperjelas Kortikosteroid memainkan peran utama dalam terapi pengobatan penyakit kulit. Pertama digunakan untuk inflamasi berhubungan dengan kelainan kulit pada tahun 1951, dan tetap menjadi andalan terapi dermatologi karena berguna sebagai anti-inflamasi dan imunosupresif. Dermatology Round kali ini mengulas farmakologi, dosis, dan efek samping agen umum ini. Kortikosteroid (CS) telah lama menjadi pengobatan farmakologi pilihan utama dalam berbagai gangguan dan kondisi untuk menekan inflamasi dan sistem imunitas. Penelitian yang dilakukan pada tahun 1929 menyebabkan perkembangan kortison sebagai senyawa baru di 1935. Dalam bidang dermatologi, CS secara luas diresepkan baik dalam bentuk topikal maupun sistemik yang memiliki potensi beragam untuk dirancang sebagai terapi sesuai dengan keparahan kondisi yang mendasarinya, aplikasi berdasarkan lokasi anatomis, area yang terlibat, dan usia pasien. Namun demikian kortikosteroid sering dikaitkan dengan sejumlah efek samping, terutama dengan penggunaan jangka panjang. Oleh karena itu agar penggunaan golongan agen ini aman dan efektif dibutuhkan pengetahuan tentang 1

Upload: kevin-ardiansyah

Post on 15-Nov-2015

16 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

sdfsdf

TRANSCRIPT

Penggunaan Kortikosteroid Sistemik dalam Dermatologi:Mendefinisikan, Memperinci, dan Memperjelas

Kortikosteroid memainkan peran utama dalam terapi pengobatan penyakit kulit. Pertama digunakan untuk inflamasi berhubungan dengan kelainan kulit pada tahun 1951, dan tetap menjadi andalan terapi dermatologi karena berguna sebagai anti-inflamasi dan imunosupresif. Dermatology Round kali ini mengulas farmakologi, dosis, dan efek samping agen umum ini.

Kortikosteroid (CS) telah lama menjadi pengobatan farmakologi pilihan utama dalam berbagai gangguan dan kondisi untuk menekan inflamasi dan sistem imunitas. Penelitian yang dilakukan pada tahun 1929 menyebabkan perkembangan kortison sebagai senyawa baru di 1935. Dalam bidang dermatologi, CS secara luas diresepkan baik dalam bentuk topikal maupun sistemik yang memiliki potensi beragam untuk dirancang sebagai terapi sesuai dengan keparahan kondisi yang mendasarinya, aplikasi berdasarkan lokasi anatomis, area yang terlibat, dan usia pasien. Namun demikian kortikosteroid sering dikaitkan dengan sejumlah efek samping, terutama dengan penggunaan jangka panjang. Oleh karena itu agar penggunaan golongan agen ini aman dan efektif dibutuhkan pengetahuan tentang mekanisme kerja dan faktor-faktor yang berpotensi sebagai penyulit.

Konsep Dasar Kortikosteroid SistemikStruktur dasar dari semua kortikosteroid adalah cincin cyclopentano-perhydrophenantrin, terdiri dari 3 cincin heksana dan 1 cincin pentana. Modifikasi dari struktur steroid ini menghasilkan agen-agen sintetik dengan berbagai potensi anti-inflamasi, efek mineralokortikoid, dan lama kerja obat (Tabel 1). Molekul-molekul aktif, seperti kortisol dan prednisolon, memiliki grup hidroksil esensial pada gugus 11. Prednison dan kortison harus menjalani konversi oleh enzim 11 hidroksilasi dalam hati agar teraktifasi. Prednisolon atau kortisol sebaiknya diberikan kepada pasien dengan penyakit hati yang berat karena tidak mampu memetabolisme prednisone atau kortison.

Penyerapan dan DistribusiLebih dari 50% kortikosteroid yang diberikan diserap di jejunum bagian atas. Pemberian bersama makanan tidak mempengaruhi penyerapan, tetapi mungkin dapat sedikit memperlambat. Kadar plasma puncak dicapai dalam 30-100 menit. Metabolized terutama oleh hati, hasil metabolit diekskresikan oleh ginjal dan hati. Sekitar 90% -95% dari kortikosteroid endogen terikat dengan cortisol-binding protein (transcortin) atau albumin dalam sirkulasi. 5% lainnya adalah kortisol bebas yang tidak terikat; ini merupakan bentuk aktif. Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah cortisol-binding protein (CBP) yang beredar. CBP meningkat pada kehamilan, terapi estrogen, dan hipertiroidisme. Namun, kondisi seperti penyakit hati kronis, gagal ginjal, dan hipotiroidisme menurunkan kadar CBP sehingga dapat meningkatkan toksisitas obat. Glukokortikoid sintetik kurang mengikat CBP (diperkirakan 70%) dan, dengan demikian, memiliki profil efek samping lebih tinggi.

Mekanisme KerjaSebuah representasi skematis dari aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA) ditunjukkan pada Gambar 1. Aksis HPA adalah mekanisme umpan balik yang mencakup hipotalamus, hipofisis dan kelenjar adrenal. Hipotalamus menghasilkan corticotropin-releasing hormone (CRH) yang dilepaskan ke kelenjar hipofisis anterior. Hormon adrenocorticotropin (ACTH) yang kemudian disekresikan ke dalam sirkulasi sistemik yang, pada gilirannya, merangsang sintesis dan pelepasan sistemik kortikosteroid oleh kelenjar adrenal. Mekanisme menjadi lengkap dengan umpan balik negatif kortisol ke hippocampus, hipotalamus, dan kelenjar hipofisis. Jumlah terbesar dari kortisol dilepaskan selama pagi hari sebelum bangun tidur. Tingkat basal produksi kortisol adalah 20-30 mg sehari, namun dapat terjadi peningkatan hingga 10 kali lipat apabila dalam keadaan stres.

Tabel 1. Farmakologi kortikosteroid sistemikDosis EquivalenPotensi Mineralo-kortikoidWaktu paruh plasma (menit)Lama Kerja (jam)

Kerja Cepat

Cortisone251608-12

Hydrocortison200,8908-12

Kerja Sedang

Prednisone50,256024-36

Prednisolone50,2520024-36

Methylprednisolone4018024-36

Triamcinolone4030024-36

Kerja Lama

Dexamethasone0,75020036-54

Betamethasone0,6020036-54

Kortisol memasuki sitoplasma sel dan berikatan dengan reseptor kortikosteroid. Kompleks reseptor yang teraktifasi ini kemudian mengalami translokasi ke nukleus untuk mencetuskan ataupun menghambat ekspresi gen-gen target dengan 2 mekanisme independen. Pada mekanisme tahap awal, ikatan langsung antara kompleks reseptor glukokortikoid yang teraktivasi dengan sekuens asam deoksiribonukleat (DNA) spesifik, yang dikenal sebagai respon elemen glukokortikoid, pada bagian promoternya menginduksi transkripsi annexin I dan mitogen-activated protein kinase (MAPK) phosphatase. Hal ini membatasi pembentukan prostaglandin dan leukotrien. Dalam tahap kedua, komleks reseptor berikatan dengan activator protein 1 (AP1) dan nuklear factor kB (NF-kB), sehingga dapat dihambat. Hasil akhirnya adalah inaktivasi sitokin, interleukins (ILS), molekul adhesi, dan protease, yang mencapai penurunan derajat inflamasi.

Indikasi dan Kontraindikasi DermatologisKortikosteroid digunakan untuk mengobati secara luas kondisi dermatologis yang akut dan kronis kondisi dermatologis; cakupan kategori tercantum dalamTabel 2. Kontraindikasi absolut terhadap steroid sistemik adalah infeksi jamur sistemik, herpes simplex keratitis, dan hipersensitivitas. Kontraindikasi relatif meliputi TB aktif (TB) atau uji tuberkulin positif (turunan protein yang dipurifikasi [PPD]), penyakit ulkus peptikum aktif (PUD), atau setelah baru operasi anastomotic, hipertensi, depresi atau psikosis, diabetes mellitus (DM), osteoporosis, katarak, dan glaukoma.

Interaksi ObatSebagian besar interaksi obat terjadi dalam penggunaan deksametason dan methylprednisolone, sedangkan prednison dan prednisolon memiliki interaksi yang lebih sedikit. Obat-obatan yang mungkin meningkatkan kadar serum kortikosteroid adalah antibiotik golongan makrolid dan antijamur golongan azol melalui inhibisi sitokrom P (CYP) 3A4, dan kontrasepsi hormonal yang menyebabkan penurunan clearance obat. Demikian pula, induksi CYP 3A4 oleh rifampisin dan antikonvulsan seperti fenitoin dan fenobarbital dapat menurunkan kadar serum kortikosteroid. Efek lainnya dipengaruhi potensiasi intrinsik dari efek samping dibanding interaksi yang sesungguhnya. Yang perlu diperhatikan adalah peningkatan toksisitas gastrointestinal (GI) dengan obat anti-inflamasi non steroid (NSAID), peningkatan efek imunosupresi bila diberikan bersama obat imunosupresan lainnya, penurunan efektivitas obat antidiabetes karena hiperglikemia terinduksi oleh kortikosteroid, dan memperburuk hipokalemia bila diberikan dengan obat diuretik. Hipokalemia juga berhubungan dengan peningkatan aritmia setelah pemberian bersama dengan digoxin dan fluroquinolones.

Dosis dan Pemberian di Bidang DermatologiGlukokortikoid dibedakan dalam efek antiinflamasi relatif dan efek mineralokortikoid serta durasi penekanan terhadap ACTH. Kortikosteroid dengan efek mineralokortikoid minimal biasanya dipilih untuk mengurangi retensi natrium. Ditambah lagi kortikosteroid dengan waktu paruh menengah lebih disukai untuk mengurangi efek samping. Prednison biasanya merupakan pilihan obat oral karena memiliki lama kerja yang cukup panjang untuk memastikan efektivitas berkelanjutan dalam dosis tunggal harian dan aktivitas mineralokortikoid minimal. Dosis harian prednison bervariasi tergantung pada tingkat keparahan kondisi dermatologi dengan rentang 0,5-3 mg /kg /hari. Dosis awal yang paling umum diberikan adalah 40-60 mg/hari untuk ukuran individual rata-rata. Rejimen pengobatan dapat dibagi dalam dosis rendah ( 20 mg per hari). Dosis fisiologis setara dengan sekitar 5-7 mg prednison.

Kortikosteroid dapat diberikan sebagai dosis tunggal harian, dosis terbagi, atau sebagai dosis hari alternatif. Ketika memulai terapi, dosis tunggal harian lebih banyak dipilih, mengingat di pagi hari ketika sekresi kortisol adrenokortikal mencapai maksimal. Pada saat ini, aksis HPA yang paling sedikit ditekan oleh obat-obatan sejak penekanan maksimal umpan balik oleh sekresi ACTH terjadi dari produksi endogen. Untuk pengendalian dengan cepat dalam penyakit yang lebih berat, dosis terbagi (membagi dosis harian sampai dengan 4 dosis) dapat mempertahankan stabilitas konsentrasi dalam plasma. Hal ini meningkatkan keberhasilan pengobatan, tetapi juga meningkatkan penekanan aksis HPA. Oleh karena itu, konversi ke dosis tunggal harian sebaiknya dilakukan sesegera mungkin.

Tabel 2. Indikasi Kutaneus untuk Terapi Kortikosteroid

Dermatosis Bulosa Pemfigus vulgaris Pemfigoid bulosa Pemfigoid sikatrisial Linear immunoglobulin A bullous dermatosis Epidermolisis bullosa akuisita Herpes gestationis Eritema multiforme Nekrolisis Epidermal Toksis (Sindrom Stevens-Johnson)

Penyakit Autoimun Jaringan Konektif Dermatomyositis Lupus eritematosus sistemik Mixed connective-tissue disease Eosinophilic fasciitis Relapsing polychondritis

Dermatosisi Netrofilik Pyoderma gangrenosum Acute febrile neutrophilic dermatosis (Sweet syndrome) Penyakit Behet

Dermatosis Papuloskuamosa dan Eczematosa Dermatitis kontak Dermatitis Atopik Photodermatitis Dermatitis eksfoliativa Eritroderma Liken planus

Vaskulitis Kutaneus and sistemik

Lain-lain Sarcoidosis Urtikaria/angioedema Androgen excess (acne, hirsutism) Reaktif leprosum tipe I Problematic hemangiomas of infancy Sindrom Kasabach-Merritt Panniculitis

Rejimen hari alternatif digunakan ketika penyakit sudah terkontrol, yakni dua kali lipat dosis harian yang biasa diberikan setiap hari kedua. Alasannya adalah bahwa keberhasilan lebih ditentukan oleh mekanisme anti-inflamasi transkripsi intraseluler dibandingkan dengan jumlah obat yang sebenarnya berada di sirkulasi. Dalam rejimen ini, pasien tidak terpapar dengan konsentrasi glukokortikoid harian yang tinggi dan, dan dngan begitu, lebih sedikit penekanan terhadap aksis HPA. Konversi dari dosis harian ke regimen hari alternatif harus dilakukan bertahap. Tujuan metode tersebut adalah menurunkan dosis harian secara progesif, namun meninglatkan dosis pada hari berikutnya.Penggunaan kortikosteroid dapat dibagi menjadi terapi jangka pendek dan jangka panjang. Jangka pendek didefinisikan sebagai pengobatan untuk durasi 3 minggu dan biasanya diperuntukkan untuk kondisi akut (seperti, dermatitis kontak alergika). Terapi jangka panjang didefinisikan sebagai durasi > 4 minggu. Dalam terapi jangka panjang, kortikosteroid-sparing agent biasanya ditambahkan ke dalam terapi, yang memungkinkan pasien dapat terlepas dari penggunaan steroid.

TaperingTapering kortikosteroid diperlukan untuk menghindari efek samping dermatalogis dan mencegah gejala withdrawal karena penekanan persisten aksis HPA. Kurang terdapat bukti klinis untuk mendukung rejimen tertentu, dan berbagai jangka waktu tapering telah dipelajari. Dua penelitian mengungkapkan bahwa tidak ada perbedaan hasil yang signifikan secara klinis antara durasi 2 hingga 5 bulan tapering. Terapi glukokortikoid jangka pendek, bahkan dengan dosis tinggi, dapat berhenti tanpa tapering karena penekanan HPA tidak akan menetap dan konsekuensinya jarang. Namun dalam terapi jangka panjang, tapering harus dilakukan dengan pengurangan dosis dari 10% sampai 20% setiap 1 sampai 2 minggu, dengan mempertimbangkan penyakit yang mendasari, kelemahan pasien, dan respon individu. Untuk prednison, secara kasar diterjemahkan menjadi penurunan dosis: 10 mg/hari setiap 1-2 minggu untuk dosis awal >60 mg 5 mg/hari untuk 1-2 minggu dengan dosis antara 20-60 mg/hari 2.5 mg/hari untuk 1-2 minggu untuk dosis antara 10-20 mg/hari 1 mg/hari untuk 1-2 minggu untuk dosis antara 5-10 mg/hari 0.5 mg/hari setiap 1-2 minggu untuk dosis < 5 mg/hari

Terapi intravena (IV) Kortikosteroid intravena diberikan dalam 2 situasi: untuk mencegah stres pada pasien pengguna kortikosteroid jangka panjang dan penekanan aksis HPA, dan pada penyakit parah atau yang mengancam jiwa agar dapat dengan cepat terkendali. Dua metode pemberian yang tersedia: methylprednisolone, menghindari aktivitas mineralokortikoid, dapat diberikan dengan dosis 2 mg/kg dibagi 4 kali sehari atau sebagai pulse therapy 500-1000 mg setiap hari selama 1-5 hari. Pulse therapy biasanya diberikan dalam pengawasan karena potensi efek samping serius (yaitu, kematian mendadak, fibrilasi atrium, anafilaksis, dan ketidakseimbangan elektrolit). Pemberian lambat pulse steroid lebih dari 2 jam, bersamaan dengan infus kalium dan elektrolit perlu dikontrol sebelum dan setelah terapi, membantu menghindari efek samping.

Terapi Intramuskular (IM) Terapi kortikosteroid IM tidak banyak digunakan di dermatologi. Satu keuntungan ialah kepatuhan terjamin karena pemberian dosis dilakukan oleh dokter. Namun, setelah dosis diberikan, terdapat kelemahan termasuk variabilitas interpersonal yang tinggi terhadap penyerapan yang tak menentu, kurangnya kontrol terhadap dosis harian, dan tidak ada variasi diurnal. Oleh karena itu, dengan pemberian cara ini dianggap kurang fisiologis. Tapering hanya terjadi melalui biotransformasi dari obat. Komplikasi yang unik lainnya adalah lipoatrofi dan pembentukan abses steril di tempat suntikan.

Efek Samping yang Berkaitan dengan KortikosteroidTerapi kortikosteroid berhubungan dengan berbagai efek samping. Penggunaan jangka pendek biasanya dapat ditoleransi dengan baik dan lebih sedikit efek samping.

Tabel 3. Efek samping berkaitan dengan terapi kortikosteroidBaseline (Pre-treatment)Follow upPenghentian pengobatan

Selama 1 bulan kemudian setiap 3 bulanTiap Tahun

AnamnesaRiwayat pribadi dan keluarga: diabetes, hipertensi, dislipidemia, glaukomaPoliuriaPolidipsiaEfek psikologiGangguan tidurNyeri sendiNyeri abdomen

Pemeriksaan FisikTekanan DarahTinggi badanBerat badanTekanan DarahTinggi badanBerat badan

LaboratoriumGula Darah PuasaProfil lipidElektrolitGula Darah PuasaProfil lipidElektrolitKortisol pagi hari

RadiologiX-Foto ToraksDEXA (pasien berisiko)DEXA

Uji KhususTuberculin skin test (PPD)Slit lamp testSlit lamp examination

DEXA = dual-energy x-ray absorptiometry; PPD = purified protein derivative

Efek samping biasanya berhubungan dengan dosis dan peningkatan secara signifikan pada dosis yang lebih tinggi. Namun, bahkan dengan dosis rendah untuk waktu yang lama berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas. Dokter perlu benar-benar mengevaluasi dan memantau (Tabel 3) pasien pada awal dan selama perawatan ketika terapi kortikosteroid dalam jangka panjang diperlukan. Sehubungan dengan banyaknya jumlah efek samping pada penggunaan kortikosteroid, artikel ini berfokus pada efek samping yang lebih umum dan dapat dicegah.

SkeletalOsteoporosis merupakan salah satu yang paling lazim dan merupakan efek samping serius pada terapi kortikosteroid berkepanjangan. Prevalensi osteoporosis yang diinduksi kortikosteroid dapat setinggi 30% - 50% jika tidak ada tindakan pencegahan yang dilakukan. Pasien dengan resiko yang lebih tinggi adalah orang tua, wanita pascamenopause, perokok, pecandu alkohol, dan mereka yang sebelumnya osteoporosis atau patah tulang, gaya hidup lebih sering duduk statis, indeks masa tubuh yang rendah, hipertiroidisme, dosis kortikosteroid yang lebih tinggi, dan rheumatoid arthritis. Sebagian besar kehilangan tulang terjadi pada 6-12 bulan pertama kortikoterapi; Oleh karena itu, pencegahan harus dimulai dini bila terapi berkepanjangan diharapkan (>5mg prednisone untuk > 4 minggu). Pasien harus menjauhkan diri dari merokok, mengurangi konsumsi alkohol dan kafein, melakukan latihan angkat beban, dan mengambil kalsium 1500 mg dan vitamin D 800 IU per hari (beberapa penulis menyarankan dosis yang lebih tinggi dari vitamin D). Pasien harus menjalani pemeriksaan kepadatan tulang tahunan; berhubung absorptiometry dual-energi x-ray scan tidak semuanya sama, pasien harus melakukan pemeriksaan di tempat yang sama tiap tahun. Terapi pencegahan lini pertama adalah oral bifosfonat; misalnya, alendronate (70 mg sekali dalam 1 minggu) atau risedronate (35 mg sekali seminggu atau 150 mg sekali sebulan). Diskusi mengenai terapi pencegahan lini kedua lainnya (raloxifen, calcitonin) dan molekul yang lebih baru (teriparatide dan denosumab) di luar akupan artikel ini. Osteonekrosis, juga dikenal sebagai avaskular atau aseptik nekrosis caput femoral, adalah salah satu komplikasi yang paling ditakuti dari terapi kortikosteroid. Biasanya terjadi setelah 6-12 bulan terapi kortikosteroid dan berhubungan dengan faktor-faktor risiko seperti trauma, penyalahgunaan alkohol, merokok, transplantasi ginjal, lupus eritematosus sistemik (SLE), dan hipertrigliseridemia. Nyeri lokal pada pergerakan berkembang menjadi nyeri saat istirahat, dan karena temuan pada foto x-ray membutuhkan waktu 6 bulan hingga tampak, MRI lebih dianjurkan karena sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi. Pengelolaan konservatif terdiri dari menghentikan obat, istirahat, dan menghindari menahan beban. Kasus yang lebih lanjut memerlukan rujukan ke ahli bedah ortopedi untuk core decompression dan fibular grafting. Dalam kebanyakan kasus, total hip arthroplasty akhirnya diperlukan.

Gastrointestinal Banyak dokter meresepkan bersamaan dengan antagonis reseptor histamin atau proton pump inhibitor dengan kortikosteroid untuk menghindari ulkus lambung dan ulkus duodenum; namun, terdapat kontroversi dalam literatur tentang topik ini. Kortikosteroid secara independen meningkatkan risiko PUD, tetapi peningkatan ini bersifat marginal (perkiraan risiko relatif 1,1-1,5) yang mana lebih kecil dari risiko yang berhubungan dengan NSAID. Namun demikian, kombinasi kortikosteroid dan NSAID meningkatkan efek samping secara sinergis. Penelitian telah mengungkapkan 2 kali lipat peningkatan risiko efek samping GI pada pasien yang menggunakan CSS dan NSAID dibandingkan dengan yang hanya memnggunakan NSAID saja dan peningkatan risiko 4 kali lipat komplikasi GI bila dibandingkan dengan bukan pengguna kedua golongan obat tersebut. Pasien yang mengkonsumsi kombinasi kortikosteroid dengan asam asetilsalisilat atau NSAID lainnya atau yang dengan faktor risiko terhadap PUD membutuhkan profilaksis; namun, sitoproteksi masih diperdebatkan pada pasien yang hanya menggunakan glokokortikoid. Gejala awal PUD tersamarkan oleh efek antiinflamasi dari kortikosteroid, di mana menjelaskan kemungkinan lebih besar terjadi perforasi.

OkularGlaukoma, sebagian besar terkait dengan preparat topikal steroid oftalmikal, telah didokumentasikan dengan kortikosteroid sistemik pada dosis > 10 mg/hari. Katarak biasanya terjadi bilateral setelah penggunaan kortikosteroid berkepanjangan dan dapat dibedakan dari katarak senilis oleh lokasi subcapsular posteriornya. Anak-anak lebih rentan daripada orang dewasa. Pembentukan katarak biasanya disebabkan oleh dosis > 10 mg/hari terus menerus selama > 1 tahun. Katarak dapat distabilkan jika dosis kortikosteroid secara signifikan diturunkan atau dihentikan. Evaluasi oftalmologi harus dilakukan setiap tahun untuk mendeteksi dan mengobati komplikasi ini.

KardiometabolikEfek samping metabolik dan kardiovaskular yang terkait dengan kortikosteroid cukup banyak terjadi. Peningkatan tekanan darah (BP) dapat terjadi sekunder untuk meningkatan natrium dan retensi cairan, khususnya di antara kortikosteroid dengan efek mineralokortikoid yang tinggi (fludrocortisone dan hidrokortison). Pasien harus dipantau setiap 2-3 bulan untuk peningkatan BP. Abnormalitas lipid, terutama hipertrigliseridemia, adalah umum; mekanismenya mungkin berhubungan dengan insufisiensi insulin dan supresi ACTH. Semua pasien yang menggunakan kortikosteroid berkepanjangan harus mengikuti diet kalori terbatas dan rendah lemak jenuh. Hiperglikemia merupakan potensi lain terhadap efek samping metabolik. Mekanisme penyebab termasuk peningkatan glukoneogenesis hepatik, penurunan uptake glukosa perifer, dan resistensi insulin melalui perubahan fungsi reseptor. Perkembangan dari DM de novo jarang terjadi jika pasien sebelumnya memiliki toleransi glukosa normal; kebanyakan pasien kembali ke status glikemik mereka sebelumnya dalam beberapa bulan setelah penghentian kortikosteroid. Pasien yang sebelumnya sudah menderita DM atau intoleransi glukosa umumnya mengalami hiperglikemia yang signifikan dan kesulitandalam mengontor status glikemik selama terapi kortikosteroid. Sering dibutuhkan pemantauan glukosa darah diperlukan dan pasienperlu untuk ditangani secara farmakologi sebagai penderita diabetes tipe II umumnya. Pasien sudah menggunakan agen hipoglikemik oral sering membutuhkan terapi insulin.

KutaneusBerbagai efek terhadap kulit dapat terjadi dengan terapi sistemik kortikosteroid, termasuk purpura, telangiektasis, atrofi, striae, pseudoscars, acneiform atau erupsi yang menyerupai rosacea, hirsutisme, alopecia, hiper/hipopigmentasi, akantosis nigrikans, facial plethora, dan redistribusi lemak menyebabkan buffalo hump pada punggung atas. Acne yang diinduksi oleh kortikosteroid atau folikulitis secara khas disertai dengan papulopustules uniformis di dada dan punggung. Terapi kortikosteroid sistemik dapat mengganggu penyembuhan luka dengan cara menghambat angiogenesis, fungsi fibroblas, dan produksi kolagen. Beberapa dari efek samping tersebut bersifat permanan, maka diperlukan kewaspadaan untuk mencegahnya.

Imunologi Kortikosteroid terkait dengan beberapa efek pada sistem imunitas (kekebalan). Ada peningkatan kerentanan terhadap bakteri, virus, jamur, dan parasit, dalam infeksi kulit tertentu oleh staphylococcus dan infeksi jamur superfisial. Perlu dicurigai apabila terdapat demam dan tanda-tanda peradangan yang mungkin tersamarkan. Terapi alternatif-hari dan dosis rendah mengurangi kemungkinan infeksi oportunistik. Karena reaktivasi TB masih menjadi perhatian pada terapi jangka panjang, riwayat terperinci mengenai paparan perlu diperoleh sebelum terapi dimulai. PPD harus dilakukan dan, jika positif, x-foto thoraks dasar. Terapi Isoniazid 9 bulan dianjurkan untuk pasien dengan TB laten. Pasien dengan Human immunodeficiency virus, Wegener granulomatosis, SLE, atau agen imunosupresif lainnya harus menerima pengobatan dengan trimetoprim-sulfametoksazol atau dapson sebagai profilaksis untuk mencegah infeksi Pneumocystis jiroveci.

Supresi AdrenalKortikosteroid eksogen dapat mempengaruhi seluruh aksis HPA dan menyebabkan supresi adrenal dalam waktu 4 minggu, bahkan pada dosis rendah. Hal ini dapat diatasi dengan menggunakan dosis tunggal pagi hari atau intermediate acting agent pada hari alternatif. Hipotalamus tersupresi terlebih dahulu; namun merupakan yang pertama untuk pulih, sedangkan adrenal yang paling lambat untuk pulih. Setelah lama tersupresi, kadar ACTH mungkin tidak kembali ke normal selama berbulan-bulan dan kadar kortisol dapat membutuhkan > 1 tahun untuk pulih. Penekanan pada aksis HPA dapat diverifikasi dengan mengukur kadar kortisol serum pagi hari. Dosis kortikosteroid pagi harus ditentukan pada hari pengukuran. Kadar kortisol yang rendah (< 10 g/dL) mengkonfirmasi gangguan pada fungsi aksis HPA. Fungsi adrenal dapat diuji dengan uji stimulasi ACTH, di mana 250 g ACTH diberikan dan kadar kortisol diukur pada 30 menit dan 1 jam setelah pemberian; kadar kortisol> 16 g / dL mengindikasikan fungsi adrenal yang normal. Dengan penekanan pada aksis HPA, tubuh tidak dapat meningkatkan respon stres. Gejala awal krisis adrenal adalah kelemahan, kelelahan, anoreksia, mual, dan demam. Kortikosteroid intravenadiperlukan sebelum dilakukan operasi besar atau pada penyakit berat untuk menghindari shock. Dosis pagi seperti biasa digunakan dengan tambahan 100 mg hidrokortison intravena pada diinduksi anestesi dan 25 mg hidrokortison setiap 8 jam untuk 24 jam. Prosedur bedah minor dengan anestesi lokal tidak memerlukan terapi pengganti.Masalah yang lebih umum adalah sindrom putus obat (withdrawal)di mana pasien mengalami arthralgia, sakit kepala, perubahan suasana hati, lethargy, dan mual pada tapering cepat terapi kortikosteroid jangka panjang. Tapering yang dilakukan perlahan mencegah terjadinya masalah ini.

Pertimbangan KhususPenggunaan kortikosteroid pada anak-anak dapat menyebabkan retardasi pertumbuhan, bahkan pada dosis rendah dari 5 mg/hari. Pemberian dengan cara hari alternatif meminimalkan retardasi pertumbuhan. Pertumbuhan kompensasi dapat terjadi pada penghentian terapi kecuali diberikan pada masa remaja dan sudah terjadi penutupan epifisis. Pemantauan dasar dan rutin terhadap tinggi dan berat badan selama kunjungan harus dilakukan. Pemberian dosis tinggi kortikosteroid selama trimester pertama kehamilan telah dikaitkan dengan bibir sumbing pada penilitian hewan; namun, risiko ini tidak tampak pada manusia. Prednisone diklasifikasikan sebagai kategori C untuk kehamilan.

Kesimpulan Kortikosteroid merupakan molekul yang sangat berguna molekul dalam pengobatan berbagai kondisi dermatologis. Kortikosteroid sering memberikan respon cepat; namun, penting untuk memiliki pengetahuan mendalam tentang mekanisme kerja agar dapat dengan nyaman menggunakannya dan untuk menghindari atau mengurangi dampak buruk efek samping. Dalam era fobia steroid, dokter perlu untuk menyampaikan manfaat dari obat-obatan ini, begitu juga dengan pentingnya kepatuhan dan pemantauan untuk mencegah komplikasi serius.

1