july - agustus 2011 tataruang · pdf file · 2014-09-29listra pramadwita, st, mt,...

44
BKPRN BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG NASIONAL ta taru ang BKPRN | BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG NASIONAL buletin BARCODE Pembangunan Berkelanjutan: Penerapan Masa Lalu, Saat ini dan Ke Masa Datang Kota Blitar Mewujudkan Harmoni Kota Mewujudkan Kota Pesisir Indonesia yang Berkelanjutan Melalui Penyediaan Infrastrukur Berbasis Penataan Ruang From Integrated Coastal Management to Sustainable Coastal Planning Kebijakan Transportasi Berkelanjutan Suatu Penerapan Metodologi yang Komprehensif Most Liveable City Index Pendekatan Baru dalam Mengukur Tingkat Kenyamanan Kota Karlskrona: Konsisten, Kunci Keberhasilan Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan Percepatan Penyelesaian RTRW Tantangan Pembangunan Perumahan dan Permukiman Perkotaan Agenda Kerja BKPRN JULY - AGUSTUS 2011 Prof. DR. Dorodjatun Kuncoro PROFIL

Upload: vuque

Post on 28-Mar-2018

228 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: JULY - AGUSTUS 2011 tataruang · PDF file · 2014-09-29Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc Ayu A. Asih, S.Si M. Refqi, ST Marissa Putri Barrynanda, ST Heri Khadarusno, ST KOORDINASI PRODUKSI

BKPRNBADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG NASIONAL

tataruangBKPRN | BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG NASIONAL

buletin

BARCODE

Pembangunan Berkelanjutan:

Penerapan Masa Lalu, Saat inidan Ke Masa Datang

Kota Blitar Mewujudkan Harmoni Kota

Mewujudkan Kota Pesisir Indonesiayang Berkelanjutan Melalui Penyediaan

Infrastrukur Berbasis Penataan Ruang

From Integrated Coastal Managementto Sustainable Coastal Planning

Kebijakan Transportasi BerkelanjutanSuatu Penerapan Metodologi

yang Komprehensif

Most Liveable City IndexPendekatan Baru dalam Mengukur

Tingkat Kenyamanan Kota

Karlskrona: Konsisten, Kunci Keberhasilan Mewujudkan

Pembangunan Berkelanjutan

Percepatan Penyelesaian RTRW

Tantangan PembangunanPerumahan dan Permukiman Perkotaan

Agenda Kerja BKPRN

JULY - AGUSTUS 2011

Prof. DR. DorodjatunKuncoro

PROFIL

Page 2: JULY - AGUSTUS 2011 tataruang · PDF file · 2014-09-29Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc Ayu A. Asih, S.Si M. Refqi, ST Marissa Putri Barrynanda, ST Heri Khadarusno, ST KOORDINASI PRODUKSI

2 buletin tata ruang | July - Agustus 2011 July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

sekapur sirih‘Assallamu’alaikum warrahmatullah wabarakatuh

Puji sukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa kita panjatkan atas kesempatan yang selalu diberikan kepada kita, sehingga Bulletin Tata Ruang Edisi Juli-Agustus 2011 ini masih bisa hadir ditengah-tengah kita semua.

Isu Lingkungan saat ini dirasa semakin krusial dan menjadi concern banyak pihak, sehingga sosialisasi pemahaman pembangunan berkelanjutan harus terus dilaksanakan dan dikembangkan. Pembangunan Berkelanjutan merupakan suatu tantangan yang sangat besar bagi seluruh negara di dunia, terlebih lagi bagi negara berkembang seperti Indonesia. Pada dasarnya pembangunan berkelanjutan berangkat dari satu tujuan yang mulia yaitu mencapai kualitas hidup yang lebih baik bagi semua, untuk saat ini, esok dan generasi mendatang. Kondisi ini dapat tercipta apabila kita dapat meningkatkan kualitas kehidupan ekonomi, sosial dan lingkungan secara berimbang. Dengan mempertimbangkan ketiga aspek tersebut, pembangunan akan dirasakan manfaatnya oleh seluruh masyarakat secara inklusif, tentunya diikuti dengan penggunaan sumberdaya alam yang lebih efisien.

Pada pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) II 2010 - 2014, sudah tidak dapat dipungkiri bahwa dalam perkembangannya akan dihadapkan dengan tantangan terjadinya degradasi kualitas lingkungan yang saat inipun telah mulai dirasakan dampaknya oleh masyarakat. Oleh karenanya, kebijakan pembangunan kedepan harus mampu mendorong peningkatan kualitas lingkungan, baik dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pengoperasian maupun dalam proses pemeliharaan. Infrastruktur pekerjaan umum harus memenuhi karakteristik keseimbangan dan kesetaraan, berpandangan jangka panjang dan sistemik. Kebijakan pembangunan tersebut diantaranya adalah menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan; mempertahankan dan mendorong peningkatan presentase Ruang Terbuka Hijau (RTH) terhadap kawasan budidaya lainnya; mempertahankan kwasan konservasi terutama di kawasan perkotaan; mewujudkan ecocity; serta meningkatkan pengawasan dan pengendalian lingkungan dalam setiap aspek penyelenggaraan konstruksi.

Rencana Tata Ruang Wilayah dapat menjadi fungsi koordinasi dan pengendalian dengan munculnya pemahaman bersama mengenai orientasi dan paradigma pembangunan perkotaan masa depan, dan dalam upaya mengurangi fragmentasi sektoral dan fungsional. Penataan Ruang ditujukan untuk menyerasikan peraturan penataan ruang dengan peraturan lain yang terkait, harmonisasi pembangunan antar wilayah, mengendalikan pemanfaatan ruang yang efektif, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang dan mewujudkan sistem kelembagaan penataan ruang.

Lebih lanjut, penataan ruang memiliki peranan penting dalam penyelenggaraan pembangunan demi terwujudnya pembangunan berkelanjutan. Harapan kami, penataan ruang bisa memberikan kontribusi yang nyata dalam pengembangan wilayah dan kota yang berkelanjutan, sehingga keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia dapat tercapai.

Direktur Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan UmumSelaku Sekretaris Tim Pelaksana BKPRN

Ir. Imam S. Ernawi, MCM, M.Sc

buletin tata ruang

PELINDUNG Ir. Imam S. Ernawi, MCM, M.Sc.

Dr. Eko Luky Wuryanto Dr. Ir. Max Pohan Drs. Imam Hendargo Abu Ismoyo, MA Drs. Syamsul Arif Rivai, M.Si, MM.

PENANGGUNG JAWABIr. Iman Soedradjat, MPM.

Ir. Deddy Koespramoedyo, M.Sc. Ir. Heru Waluyo, M.Com Drs. Sofjan Bakar, M.Sc.

DR. Ir. Abdul Kamarzuki, MPM Ir. Basuki Karyaatmadja

PENASEHAT REDAKSIDR. Ir. Ruchyat Deni Dj. M.Eng

Ir. Iwan Taruna Isa M. Eko Rudianto, M.Bus (IT)

PEMIMPIN REDAKSIAria Indra Purnama, ST, MUM.

WAKIL PEMIMPIN REDAKSIAgus Sutanto, ST, M.Sc

REDAKTUR PELAKSANAIr. Melva Eryani Marpaung, MUM.

SEKRETARIS REDAKSIIndira P. Warpani, ST., MT., MSc

STAf REDAKSIIr. Dwi Hariawan, MA

Ir. Gunawan, MA Ir. Nana Apriyana, MT

Wahyu Suharto, SE, MPAIr. Dodi S Riyadi, MT Ir. Indra Sukaryono

Endra Saleh ATM, ST, MSc Hetty Debbie R, ST.

Tessie Krisnaningtyas, SP Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc

Ayu A. Asih, S.Si M. Refqi, ST

Marissa Putri Barrynanda, STHeri Khadarusno, ST

KOORDINASI PRODUKSIAngger Hassanah, SH

STAf PRODUKSI Alwirdan BE

KOORDINASI SIRKULASISupriyono S.Sos

STAf SIRKULASIDhyan Purwaty, S.Kom

Penerbit: Sekretariat Tim Pelaksana BKPRNAlamat Redaksi: Gedung Penataan Ruang dan SDA,

Jl. Patimura 20, Kebayoran Baru, Jakarta 12110Telp. (021) 7226577, fax. (021) 7226577Website BKPRN:http://www.bkprn.orgEmail:[email protected]

dan redaksi [email protected]

Page 3: JULY - AGUSTUS 2011 tataruang · PDF file · 2014-09-29Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc Ayu A. Asih, S.Si M. Refqi, ST Marissa Putri Barrynanda, ST Heri Khadarusno, ST KOORDINASI PRODUKSI

buletin tata ruang | July - Agustus 2011 3July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

dari redaksiSalam hangat bagi pembaca setia

Hingga saat ini Buletin Tata Ruang 2011 telah sampai pada edisi ke-empat. Dalam Topik Utama edisi kali ini, redaksi mengangkat tema Pembangunan Berkelanjutan yang fokus kepada pembangunan kota dan infrastruktur kota-kota pesisir.

Belajar dari pengalaman negara-negara lain, sudah saatnya Indonesia untuk serius melaksanakan pembangunan berkelanjutan. Meskipun kita sadari bahwa untuk mewujudkannya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi sebagai negara berkembang, yang masih dihadapkan pada isu-isu seperti kemiskinan, ledakan populasi dan pengangguran. Isu-isu tersebut seringkali justru menjadi masalah utama kerusakan lingkungan itu sendiri, dan harus diakui pula masih menjadi maslaah yang harus dihadapi negara kita. Meskipun negara kita masih harus menyelesaikan agenda untuk menuntaskan angka kemiskinan dan tingkat pengangguran, kita tetap harus bersama-sama memulai dan terus belajar untuk mengimplementasikan pembangunan berkelanjutan.

Trade off antara mengedepankan kepentingan jangka pendek (kepentingan generasi sekarang) dengan kepentingan jangka panjang (kepentingan generasi mendatang) harus segera diambil keputusannya. Sudah saatnya kita hidup bukan hanya untuk kepentingan jangka pendek, namun harus memperhatikan kepentingan generasi mendatang. Oleh karena itu harus ada perubahan paradigma dalam pengelolaan ekonomi agar supaya keputusan apapun yang diambil akan menggunakan perspektif jangka panjang, mengedepankan pembangunan yang berkelanjutan yaitu dengan mengharmonikan infrastruktur dan dan bangunan dalam jaringan dan lingkup yang lebih luas, terkait aspek-aspek iklim, sumber daya alam/lingkungan, ekonomi serta sosial dan budaya.

Disamping mengangkat Profil Wilayah kota Blitar dengan judul Mewujudkan Harmoni Kota, Buletin edisi ini juga mengangkat tulisan seorang pemerhati masalah Perubahan Iklim dan Pembangunan Wilayah Pesisir dari Australia. Sedangkan profil Tokoh kali ini menampilkan Prof. Dr. Dorodjatun Kuncoro yang akan mengungkapkan berbagai pemahaman dan perspekttif yang lebih luas tentang upaya perwujudan pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Juga ditampilkan Kota Warisan Dunia Karlskrona di Swedia sebagai salah satu contoh kota yang konsisten dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Pada rubrik wacana kali ini, akan dilontarkan sebuah pandangan tentang tantangan pembangunan permukiman dan perumahan di perkotaan.

Tulisan dalam Butaru ini ditulis oleh para penulis yang memiliki pengalaman yang panjang dibidangnya dengan tema-tema yang menarik, sehingga diharapkan pembaca dapat memperkaya wawasan.

Selamat membaca

Redaksi

PROFIL TOKOHProf. DR. Dorodjatun Kuncoro

PROFIL WILAYAHKota BlitarMewujudkan Harmoni KotaOleh: Redaksi Butaru

TOPIK UTAMAMewujudkan Kota Pesisir Indonesiayang Berkelanjutan Melalui Penyediaan Infrastruktur Berbasis Penataan RuangOleh: Ir. Joessair Lubis

TOPIK UTAMAFrom Integrated Coastal Managementto Sustainable Coastal PlanningOleh: Barbara Jean Norman, Phd

TOPIK UTAMAKebijakan Transportasi BerkelanjutanSuatu Penerapan Metodologiyang Komprehensif Oleh: R. Aria Indra P.

TOPIK LAINMost Livable City IndexPendekatan Baru dalam MengukurTingkat Kenyamanan KotaOleh: Elkana Catur Hardiansah & Dhani M.M

TOPIK LAINKarlskrona:Konsisten, kunci keberhasilan mewujudkan Pembangunan BerkelanjutanOleh: Redaksi Butaru

TOPIK LAINPercepatan Penyelesaian RTRWOleh: Redaksi Butaru

WACANATantangan PembangunanPerumahan dam Permukiman PerkotaanOleh: Redaksi Butaru

AGENDAAgenda Kerja BKPRN Juli - Agustus 2011

04

10

14

19

24

28

32

35

39

43

daftar isi

Page 4: JULY - AGUSTUS 2011 tataruang · PDF file · 2014-09-29Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc Ayu A. Asih, S.Si M. Refqi, ST Marissa Putri Barrynanda, ST Heri Khadarusno, ST KOORDINASI PRODUKSI

4 buletin tata ruang | July - Agustus 2011 July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

Prof. DR.Dorodjatun

KuncoroKata sustainability (keberlanjutan) saat ini banyak dikaitkan dengan masalah lingkungan dan perencanaan wilayah dan kota. Akan tetapi Prof. DR. Dorodjatun, dengan latar belakang ekonomi dan keterlibatannya dalam banyak lembaga nasional, memiliki perspektif yang lebih luas dari itu.

Prof. DR. Dorodjatun yang saat ini aktif menjadi penasehat lembaga ekonomi dan bank swasta nasional serta memberi kuliah di beberapa universitas seperti UI, pernah menjabat Menko Perekonomian pada Kabinet Gotong-Royong RI yang juga menjadi Ketua BKPRN (pada masa itu bernama BKTRN).

Profesor yang mendapatkan gelar doktor di bidang Ekonomi Politik dari Universitas of California, Berkley, pada tahun 1980 ini lahir di Rangkasbitung pada 25 November 1939. Beliau adalah salah satu lulusan terbaik fEUI tahun 1964 dengan spesialisasi Moneter dan Keuangan Negara. Kemudian gelar MA-nya di bidang financial Administration ia raih pada tahun 1969 di University of California di Berkeley.

Mantan Dekan fEUI periode 1994-1997 ini sempat menjadi Dutabesar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk Amerika Serikat pada periode 1998 – 2001 pada masa kepresidenan Presiden Soeharto, Presiden B.J. Habibie dan Presiden Abdurrachman Wahid.

Lalu bagaimana pandangan beliau tentang pengertian sustainability? Dalam wawancara berikut, ia menguraikan permasalahan rencana tata ruang yang terkait erat dengan kapasitas organisasi, dan perlunya imajinasi dalam mewujudkan pembangunan wilayah dan perkotaan yag berkelanjutan di Indonesia.

Menurut Bapak, seperti apakah pengertian sustainable dalam konteks wilayah/regional ?

Sustainability merupakan suatu hal yang maknanya terus menerus diperluas. Pada awalnya, sustainability itu banyak dikaitkan dengan mengendalikan pertumbuhan penduduk, yaitu melalui program Keluarga Berencana (KB), yang diinisiasi oleh Presiden Soeharto. Program KB ini hasilnya cukup spektakuler. Kita berhasil mengerem laju pertumbuhan penduduk dari rata-rata 2,5% per tahun pada tahun 1950’an, lalu menjadi sekitar 1,3% per tahun pada saat ini. Ternyata untuk mencapai hal tersebut kita memerlukan waktu hampir satu generasi.

Pada waktu itu mulai timbul kesadaran bahwa dengan mengendalikan jumlah penduduk, maka sumber-sumber terbatas yang kita miliki bisa dipergunakan untuk melaksanakan hal-hal yang lain di luar keperluan untuk mengurus penduduk, seperti yang secara historis kita lihat di negara-negara yang telah lebih dahulu berkembang seperti di Inggris dan di Eropa. Laju pertumbuhan penduduk di kawasan kelompok negara berkembang secara rata-rata lebih cepat dari negara di kawasan Eropa Barat pada saat mereka melakukan gerakan awal untuk pembangunan ekonomi yang berlandaskan industrialisasi.

Pada waktu itu, PBB merasa, hal pertama yang harus dilakukan adalah pengendalian penduduk. Selanjutnya adalah pangan, maka hasilnya adalah green revolution. Jadi sustainability juga harus dilihat dari kemampuan suatu negara

profil tokoh

Sustainability merupakan suatu hal

yang maknanya terus menerus diperluas dan pada awalnya

banyak dikaitkan dengan mengendalikan

pertumbuhan penduduk yaitu melalui program

Keluarga Berencana.

Pembangunan Berkelanjutan:Penerapan Masa Lalu, Saat inidan Ke Masa Datang

Page 5: JULY - AGUSTUS 2011 tataruang · PDF file · 2014-09-29Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc Ayu A. Asih, S.Si M. Refqi, ST Marissa Putri Barrynanda, ST Heri Khadarusno, ST KOORDINASI PRODUKSI

buletin tata ruang | July - Agustus 2011 5July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

profil tokoh

untuk meningkatkan produksi pangan yang mampu mengimbangi kecepatan laju pertumbuhan penduduk. Baru sesudah dua hal itu, kemudian kami melihat – walaupun pertumbuhan penduduk sudah direm – tetap saja laju pertumbuhan akan menimbulkan persoalan lain misalnya environmental atau lingkungan.

Persoalan lain seperti apa kira-kira, pak?

Begini, awalnya yang menarik perhatian kita adalah kekhawatiran tentang ketersediaan air. Karena seperti yang kita ketahui, peradaban umat manusia itu bergantung pada air. Sementara peradaban modern itu berdasarkan listrik. Repotnya, ternyata listrik perlu energi dan energi perlu air, yaitu PLTA. Lama-lama kita mulai sadar kalau lingkungan tidak diurus maka dampaknya akan langsung tampak.

Waktu itu kita belum tahu tentang global climate change. Hal yang kami khawatirkan ialah urbanisasi makin cepat, yang bisa mengakibatkan krisis di kota-kota menengah, karena jasa penyediaan air yang disiapkan 50 tahun yang lalu itu ternyata didasarkan pada perhitungan penduduk yang sangat konservatif. Walau sudah direm, pertumbuhan penduduk tetap relatif cepat dibandingkan yang terjadi di Eropa dan Amerika. Kota-kota negara berkembang umumnya terus-menerus tertekan oleh masalah urbanisasi, yang mengakibatkan timbulnya masalah air.

Dan akhirnya, sesudah dipelajari, kita terpaksa belajar tata ruang, khan? Karena air akan berjalan sampai ke wilayah yang jauh sampai ke hulu sungai. Kita baru menyadarinya saat bicara soal kerusakan sungai dan sebagainya, seperti managemen dari delta. Kemudian perhatian kita semakin terfokus kepada watershed area (daerah resapan hujan).

Pada waktu itu, saya perhatikan, masalah tata ruang ini mulai muncul khususnya setelah terbukti selain akibat urbanisasi, kita juga terpaksa membuka hutan untuk bahan pangan. Pangan bukan hanya karbohidrat, tapi juga minyak goreng. Contohnya kita harus membuka lahan pertanian untuk kelapa sawit. Jadi kalau kita perhatikan, masalah tata ruang walau terakhir datangnya, tapi sangat terasa dampaknya.

Kalau kita tidak mulai dengan mengerem laju pertumbuhan penduduk, coba bayangkan seperti apa keadaan sekarang? Pada saat ini mungkin kita sudah kehilangan puluh juta orang Indonesia yang seharusnya lahir karena keberhasilan kita mengerem pertumbuhan penduduk tadi. Toh, pada akhirnya, penduduk

revolution dengan hasil ton-tonan per hektar itu memang peningkatan yang signifikan. Pencapaian Orde Baru ada di dua hal itu. Yang pertama adalah KB dan yang ke dua adalah swasembada pangan. Tapi akhirnya semua terkendala masalah air dan air itu akhirnya menyangkut tata ruang.

Jadi kita lihat perkembangannya di Jawa saja. Carrying capacity wilayah Pulau Jawa ini semakin lama semakin menurun, dan saya perhatikan makin kritis. Terlihat antara lain dari hilangnya (mungkin hampir) satu juta hektar atau lebih di Pantura dan tanah-tanah irigasi kelas satu yang sebagian pembangunannya didanai dengan pinjaman uang dari World Bank dan ADB. Lahan-lahan itu sekarang dilanda perluasan kota, kawasan industri, jalan tol, dan sebagainya.

memerlukan pangan. Dan semakin modern suatu negara, kebutuhannya bukan hanya karbohidrat, tapi juga protein. Artinya kita perlu air lagi. Jadi peternakan itu sama seperti perkebunan yang dibangun untuk memenuhi kebutuhan, seperti kelapa sawit untuk minyak goreng.

Karena semuanya memerlukan air, maka akhirnya air muncul di tiga bidang persoalan. Pertama adalah untuk penduduk, yang di undang-undang kita hal itu diutamakan. Yang ke dua adalah untuk pertanian. Ke tiga, untuk perkotaan dan perindustrian di sektor modern. Terlihatlah jika hal ini menyangkut tata ruang. Akibat pembukaan lahan dan sebagainya, watershed mengalami kerusakan, begitu pula daerah-daerah resapan hujan dari hilir sampai hulu. Inilah yang mengancam keberlanjutan.

Kembali ke perkataan saya di awal, kalau tidak disertai pengereman laju pertumbuhan penduduk, peningkatan produktivitas pertanian lewat green

Persoalan awal yangmemicu perhatian

kita adalahkekhawatiran tentang

ketersediaan air

Sustainability juga harus dilihat dari kemampuansuatu negara untuk betul-betul meningkatkanproduksi pangan yang mampu mengimbangikecepatan dari laju pertumbuhan penduduk

Jadi kalau Anda perhatikan, masalah carrying capacity di Jawa itu sudah sangat akut karena di hulu hutan ditebangi. Orang makin jauh bertanam ke daerah atas. Jadi di sekitar Jawa Barat bagian Selatan, kebon kubis dan sebagainya telah merambah ke atas gunung sehingga hutan pinus yang dulu ada di sana pun habis. Jadi akhirnya datanglah masalah tata ruang ini. Tapi itu merupakan pertemuan dari berbagai faktor yang saya bicarakan tadi.

Permasalahan lahan kritis, apa penyebab utamanya dan apa yang seharusnya dilakukan?

Sebenarnya ada dua persoalan yang saya lihat. Pertama adalah tata ruang yang kita warisi dari zaman kolonial, yang relatif masih tertata baik pada waktu itu. Kenapa? Karena memang jumlah penduduk dan pemanfaatan dari lahan itu belum seakut seperti yang kita hadapi di Jawa sekarang. Pada saat itu keseimbangan antara jumlah penduduk dan pemanfaatan

Page 6: JULY - AGUSTUS 2011 tataruang · PDF file · 2014-09-29Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc Ayu A. Asih, S.Si M. Refqi, ST Marissa Putri Barrynanda, ST Heri Khadarusno, ST KOORDINASI PRODUKSI

6 buletin tata ruang | July - Agustus 2011 July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

lahan masih berjalan dengan baik, dibandingkan dengan sekarang dimana jumlah penduduk sudah demikian besar dan pemanfaatan lahan yang sangat beragam dengan berbagai kepentingannya.

Jadi kalau saya perhatikan itu wajar. Yang harus kita sayangkan adalah tanpa kita sadari kerusakan tata ruang di Jawa itu menyangkut lahan-lahan yang paling subur di Indonesia, apabila dibandingkan dengan di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, yang tingkat kesuburannya itu hanya sepersekian saja dari Jawa. Hal lain yang juga kurang diperhatikan ialah petani Jawa yang biasa bekerja di lahan pertanian, yang sekarang ini makin menghilang. Para petani itu merupakan tenaga kerja yang paling paham di dalam segala hal yang terkait dengan pertanian. Mereka bisa bekerja di perkebunan, perikanan darat, peternakan sampai tanaman pekarangan, gabah bahkan sampai membuat anyaman-anyaman. Sekarang kita sudah mulai kehilangan generasi petani yang serba bisa ini.

Saya lihat hingga sekarang ini, usaha membuka lahan-lahan baru di luar Jawa tidak serius pelaksanaannya, dan memang tidak mudah. Karena bagaimana kita bisa membuka lahan, meskipun tata ruangnya mengijinkan, jika tidak didukung Infrastruktur jalan. Tanpa infrastruktur jalan kita tidak bisa membuat infrastruktur lainnya seperti irigasi.

Yang menyebabkan pembangunan irigasi di Jawa relatif cepat antara lain adalah karena secara historis satu-satunya kerajaan di Indonesia yang membangun jalan raya adalah Mataram. Sedangkan yang lainnya merupakan kerajaan pantai. Buktinya Sultan Agung bisa menyerbu Batavia dua kali. Tidak mungkin beliau membawa ratusan ribu tentara dari

Jawa Tengah maupun Jogja dan daerah di antaranya tanpa keberadaan jalan.

Kita juga tahu jika sawah-sawah di sepanjang koridor dari Jogja sampai ke Batavia, yang melewati Karawang, dibuka oleh Sultan Agung. Dapat dipastikan tanpa jalan tak mungkin ada irigasi, karena untuk membuka lahan kita harus memakai alat besar. Untuk mudahnya, kita bisa menghitung dari “berapa panjang jalan raya per seratus kilometer persegi”. Kalau di Jawa mungkin sudah sekitar 20-30 kilometer per seratus kilometer persegi, termasuk selatan Jawa. Tetapi kalau di Papua atau Kalimantan mungkin cuma sekitar 10 kilometer per seratus kilometer persegi saja sudah bagus. Sehingga dapat dimengerti bagaimana sulitnya membuka lahan pertanian di wilayah itu. Di luar Jawa, diperlukan pembangunan irigasi yang lebih maju daripada di Jawa yang relatif subur karena tanahnya tanah vulkanik.

Jadi seyogyanya tata ruang itu tidak hanya melihat data geografi saja, tapi juga harus melihat geomorfologi atau geofisikanya. Makanya tiap kali melihat laporan pembukaan sistem irigasi zaman Belanda, selain mempelajari water level, juga ada penelitian soal mekanik, geomorfologi maupun geofisika. Saya mengetahui hal ini karena ayah saya pernah menjadi Kepala PU di Banten dan saya mengikuti ayah pada ada saat membuka sawah-sawah di Banten Selatan.

Menurut Bapak, adakah hal-hal penting yang perlu diperhatikan untuk menjaga keberlanjutan?

Kalau belajar ilmu ekonomi, kita akan memahami bahwa setiap kali kita mencoba untuk mengatur hal yang rumit seperti tata ruang, kita akan berhubungan dengan tiga dimensi persoalan, yaitu :

Pertumbuhan institusi itu tidak garis lurus, tidak linier tapi merupakan sebuah huruf

‘S’ tadi. Ada lead time-nya, ada ketika akselerasi dan ada perlambatannya.

profil tokoh

Pertama, dana yang berhubungan dengan financial resources; Ke dua, kemampuan mengorganisir (organization resources). Apakah RTRW kita mempunyai kemampuan untuk mengatur? Untuk dapat memiliki kemampuan itu diperlukan institution building. Sedangkan sebagaimana kita ketahui, proses pembangunan kelembagaan itu tidak mudah. Lihat saja dari mereka yang ahli dalam irigasi. Berapa dasawarsa kita perlukan untuk membangun sistem irigasi dari primer sampai tersier di Jawa? Diperlukan waktu yang sangat lama. Kalau kita lihat dari umpakan-umpakan sawah, satu umpakan, katakanlah, 10 tahun. Sehingga saat kita menghadapi umpakan sawah sebanyak 30, kita bisa membayangkan berapa lama.

Jadi, ini semua tersangkut pada pembangunan institusi tadi itu. Maka organisasi itu sangat penting. Ke tiga, political resources. Apa kita bisa menghimbau rakyat? Kalau bisa berarti Anda tidak perlu insentif. Apa pada zaman sekarang Anda bisa melakukan non-price insentif? Saya rasa agak sulit.

Lebih konkritnya pak?

Jadi sebenarnya, ketiga unsur ini adalah tiga dimensi dan setiap upaya untuk mengatur tata ruang memerlukan waktu yang lama. Dalam ilmu ekonomi kita tahu kalau segalanya mengikuti rumus bunga kumulatif. Pertumbuhannya merupakan suatu garis seperti huruf ‘S’. Tidak ada yang melonjak-lonjak lewat garis lurus. Di dalam ilmu ekonomi tidak ada garis linier. Semua itu dimulai dengan lambat dulu baru kemudian ada semacam akselerasi. Apabila sudah cocok dari ketiga resources itu, maka akhirnya pasti akan melambat kembali. Perlambatan itu memang bisa terjadi karena organisasinya sudah sampai ke batas kemampuan atau memang lahan sudah tidak ada. Sehingga harus pindah dari yang boros penggunaan lahan ke kegiatan yang semakin intensif penggunaan lahannya.

Dulu, pada 1800, penduduk Jawa masih jarang, sehingga dalam keadaan

Page 7: JULY - AGUSTUS 2011 tataruang · PDF file · 2014-09-29Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc Ayu A. Asih, S.Si M. Refqi, ST Marissa Putri Barrynanda, ST Heri Khadarusno, ST KOORDINASI PRODUKSI

buletin tata ruang | July - Agustus 2011 7July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

Di Indonesia tanah itu komoditi bukan alat produksi, harusnya tanah itu dipaksa menjadi

alat produksi. Kita lihat tanah itu banyak dipakai sebagai bahan spekulasi.

profil tokoh

di nagari itu kemudian mati. Karena mereka kemudian merasa, buat apa? Menggantungkan diri saja ke APBN dari pusat. Jadi kemampuan organisasi itu bisa berubah-ubah. Kita inginnya bertambah kuat. Tapi di tengah jalan karena perubahan-perubahan sistem pemerintahan, malah terjadi kemerosotan bukan peningkatan. Kelemahannya sebenarnya ada di organization capacity.

Bagaimana pendapat bapak, apakah tata ruang bisa menjadi solusi?

Rencana Tata Ruang yang ada selama ini menurut saya terlalu normatif, lebih seperti dokumen saja. Kalau kita lihat dalam kegiatan nyata di lapangan, susah sekali jadi acuan. Dalam hal ini

kita harus belajar. Dulu, waktu zaman transisi dari Bung Karno ke Pak Harto ada program KB. Pembangunan infrastruktur sosialiasi KB diperlukan waktu lebih dari 10 tahun. Kemudian program Swasembada Beras. Itu juga memerlukan waktu yang lama. Mulai dari melakukan percontohan, lalu petani-petani yang mulai mengerti mulai dipekerjakan, selanjutnya dilakukan program pertanian (BIMAS, INMAS). Itu yang saya maksud. Nampaknya kemampuan kita untuk mengorganisasi – yang sebenarnya pernah sangat bagus pada program KB maupun, BIMAS, INMAS – sekarang semakin minim. Karena masyarakat tidak lagi bisa dihimbau, jadi tidak berhasil dengan non-price insentive. Hampir semua membicarakan insentif dalam bentuk financial resources. Mungkin karena zamannya sudah berubah.

Jadi menurut Bapak, itu hanya formalitas saja?

Ya, makanya sekarang banyak yang lari ke public private partnership misalnya.

Karena yang punya uang dan kapasitas berorganisasi itu kebanyakan swasta. Jadi jangan kaget kalau ada rencana mau membuka sekitar puluhan ribu hektar sawah di Merauke misalnya. Atau tentang pengurusan air yang tidak lagi oleh PDAM sendiri tapi juga ditemani oleh swasta. Bahkan sekarang sudah mulai banyak PDAM yang dilelangkan dengan mengikutsertakan swasta sebagai investornya. Jadi ke depannya, tata ruang akan diurus oleh mereka yang memiliki kapasitas organisasi yang tidak lagi non-price.

Artinya, pak?

Terpaksa Anda berbicara mengenai tarif, atau return on investment. Banyak yang protes karena yang akan terjadi adalah komersialisasi air. Jadi mengalirkan air ke sawah atau ke kebun sekarang ada harganya. Air bukan lagi sumber daya alam yang bebas seperti dulu. Apalagi dengan harga beras yang terus naik. Dan sebagai catatan, hari-hari ini kita melihat bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, harga beras lebih mahal dari harga bensin premium. Jadi bagaimana tidak terjadi kompetisi di dalam penggunaan lahan? Maka semua menuntut karena lahan hanya bisa dipakai kalau air dapat dituntut sesuai dengan kebutuhannya. Dan hal itu menjadi persoalan karena air yang dipakai untuk taman bunga (cut flower/buah) misalnya, tidak sama dengan padi dan kebutuhan lainnya.

Menurut Bapak, adakah solusi alternatif untuk hal-hal tersebut ?

Contohnya sudah banyak. Yang saya perhatikan adalah sistem perpajakan tanah, misalnya untuk orang yang memiliki lahan tetapi tidak tinggal di situ (absentee level). Di Taiwan atau Korea, pajak tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan pajak yang dikenakan pada petani yang sungguh-sungguh tinggal di daerah itu. Sehingga tanahnya dapat dibeli murah oleh pemerintah untuk diberikan kepada petani yang betul-betul membutuhkan. Pembedaan itu di Indonesia belum dilakukan.

Meskipun diberikan dana dari Jakarta lewat DAU/DAK atau dana otonomi khusus seperti Papua dan Aceh, tetap kemampuan organisasinya tidak ada. Apalagi seperti Papua. Kecamatan saja belum ‘jalan’, karena mereka masih merupakan suku-suku sehingga tidak mudah. Ada kasus yang bagus sekali yang namanya nagari di Minangkabau, Sumatera Barat. Sayangnya apa yang terjadi pada sistem sentralisasi, dengan segala eksesnya waktu Orde Baru, beserta prakarsa yang sering muncul

semacam itu kita bisa meramalkan kenaikan produksi pangan hanya sekadar dengan menambah areal. Sekarang hampir tidak mungkin karena tanah harus digunakan sepanjang tahun. Akan tetapi air yang menjadi persoalan.

Jadi pertumbuhan institusi itu tidak garis lurus, tidak linier, tapi merupakan sebuah huruf ‘S’ tadi. Ada lead time-nya, ada ketika akselerasi dan ada perlambatannya. Saya khawatir tata ruang kalau tidak dapat diselesaikan dalam lima tahun, akhirnya tidak bisa sama sekali. Apalagi daerah-daerah yang dulunya hanya kecamatan tapi sekarang menjadi kabupaten karena pemekaran. Kemampuan organisasinya, khan, tidak ada.

Jembatan Penghung Gedung di Jepang

Page 8: JULY - AGUSTUS 2011 tataruang · PDF file · 2014-09-29Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc Ayu A. Asih, S.Si M. Refqi, ST Marissa Putri Barrynanda, ST Heri Khadarusno, ST KOORDINASI PRODUKSI

8 buletin tata ruang | July - Agustus 2011 July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

Menurut Bapak, bagaimana keadaan kota-kota di Indonesia sekarang ini?

Saya tidak tahu berapa lama sustainability kota-kota di Indonesia tanpa air. Sekarang mulai terlihat, orang-orang yang di hulu semakin sadar bahwa daerah perkotaan mempunyai kebutuhan air yang semakin meningkat, dan air yang mereka kirim itu dilihat dari patokan harga sebotol air mineral. Ini, khan terlalu murah. Saya mengantisipasi bahwa kota-kota atau kabupaten-kabupaten yang di hulu itu akan memasang tarif air yang dikirim ke Jakarta untuk ledeng sesuai dengan harga komersial yang tadi atas dasar kelangkaan. Bisa kita bayangkan berapa harganya nanti di Jakarta? Karena pendapatan mereka dari situ. Jadi kota-

profil tokoh

kota atau kabupaten-kabupaten yang di hulu, suatu hari akan betul-betul memanfaatkan ketergantungan kota terhadap air, dengan mempenalti kota dengan harga komersial.

Jadi untuk ke depan dengan otonomi daerah dan pemekaran kabupaten ini, daerah-daerah yang berada di hulu sumber air itu tidak akan lagi melepas air semurah seperti sekarang ini dan akan menuju kepada harga kelangkaannya. Maka seharusnya kota-kota sadar. Seperti kota-kota di Amerika mempunyai reservoir penampungan air hujan sebagai tempat persediaan air. Jakarta harusnya bisa mempunyai tempat penampungan-penampungan air hujan (embung) seperti itu. Di kota kita, yang terjadi justru sebaliknya. Situ-situ yang harusnya diperluas malah ditimbun. Jadi sustainability kota sangat tergantung kepada manajemen tata ruang. Antara lain karena tanpa air tidak ada peradaban manusia yang namanya kota. Itu kenapa banyak kota yang dibangun di pinggir sungai. Jadi kalau saya lihat ke depan, komersialisasi itu sudah tidak bisa dihentikan. Karena semakin air susah dicari, akan terjadi komersialisasi di situ.

Salah satu contoh adalah Kepulauan Riau dengan teluk-teluk kecil (cove) di setiap pulaunya. Di teluk itu bisa dibuat DAM, kemudian air lautnya dikeluarkan, tapi bukit yang di belakangnya tidak boleh ditebang. Jadi kalau hujan, air tawar akan masuk ke dalam teluk kecil itu, dan lama-kelamaan akan menjadi estuary reservoir. Di Indonesia banyak sekali kemungkinan seperti itu.

Jadi di masa depan, yang akan menjadi persoalan bukan hanya energi. Sekarang kita membuat kota-kota yang

Uang pengganti untuk pemilik lahan kosong tidak seluruhnya berbentuk cash, sebagian juga berbentuk deposito perbankan, kadang-kadang berupa surat obligasi negara. Ketika orang memerlukan uangnya, misalkan untuk membuat pabrik, pemerintah kemudian memberikan matching fund sesuai kebutuhannya. Jadi dia dipaksa menjadi industrialis. Karena itulah industri kecil banyak muncul di Korea dan Taiwan, sehingga pertanian dan industri (industri kecil) sama-sama maju.

Di Indonesia, tanah adalah komoditas bukan alat produksi. Seharusnya tanah dipaksa menjadi alat produksi. Kita lihat tanah banyak dipakai sebagai bahan spekulasi. Mungkin puluhan ribu hektar dibiarkan saja menunggu harganya naik, tapi selama itu tidak dipakai.

Jadi sebetulnya pajak dan subsidi di sektor pertanian, kalau dilakukan secara baik lewat perhitungan yang baik, dengan sendirinya akan menimbulkan tata ruang yang teratur. Kenapa? Karena dikelola oleh mereka yang benar-benar mempunyai kepentingan untuk mengelola tanah itu secara produktif dan itu adalah petani. Sehingga terjadi komersialisasi untuk keuntungan petani, bukan komersialisasi yang dikuasai sistem distribusi oleh pedagang monopoli.

Soal tata ruang bisa didekati dari berbagai cara. Salah satunya dengan memberikan insentif bagi mereka yang bersungguh-sungguh mau menggunakan lahan itu untuk kegiatan produktif dan bukan untuk spekulasi lewat sistem perpajakan dan subsidi. Hal itu mulai terjadi di daerah yang dekat dari kota.

Seperti kita lihat, tanah di Jakarta sudah banyak yang beralih fungsi, padahal banyak sekali yang sebetulnya masih bisa digunakan untuk pertanian karena sistem irigasinya masih baik. Tanah tersebut dibiarkan begitu saja karena petaninya sudah tidak tinggal di situ lagi. Petani tidak tahan dengan peningkatan harga kebutuhan pangan akibat ekspansi kota ke tanah pertanian.

Sistem perpajakan dan subsidi harusnya

diupayakan juga sebagai alat yang memberikan

insentif bagi mereka yang bersungguh-sungguh

mau menggunakan lahan kegiatan produktif

Kalau kita lihat di Jepang, mengubah penggunaan lahan itu sangat susah. Hal ini karena mereka betul-betul melihat kemandirian produksi padi sebagai sesuatu yang bersifat strategis di dalam perekonomian Jepang. Karena itu Jepang sering dijadikan isu di fAO dan forum internasional karena mereka menutup pasar pangannya, terutama beras sehingga harga beras mereka jauh lebih tinggi dari harga internasional. Karena pertanian bukan menjadi kebudayaan lagi, jadi Jepang larinya ke situ. Hal ini dibahas di dalam perundingan WTO. Di Jepang, tanah itu dicadangkan. Tanah yang dipakai untuk perkotaan dan industri hanya sekitar 20%. Hal ini juga dilakukan di Singapura. Sepertiga dari Pulau Singapura adalah watershed, dan mereka membangun deposit air di dalam tanah dari beton (cistern). Di Jakarta kita punya di Tanjung Priok yang dibuat oleh Belanda.

Pertanian Modern di Taiwan

Page 9: JULY - AGUSTUS 2011 tataruang · PDF file · 2014-09-29Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc Ayu A. Asih, S.Si M. Refqi, ST Marissa Putri Barrynanda, ST Heri Khadarusno, ST KOORDINASI PRODUKSI

buletin tata ruang | July - Agustus 2011 9July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

profil tokoh

berenergi efisien. Misalnya kita tidak perlu lagi terlalu sering menggunakan kendaraan bermotor di dalam kota. Hal ini sudah dilaksanakan di Hongkong dan Singapura, dimana gedung-gedung disambung dengan jembatan-jembatan yang tertutup dan ber-AC. Coba lihat di Jakarta. Sepanjang Jalan Thamrin-Sudirman malah memecah Jakarta menjadi dua. Tidak ada satupun jembatan penghubung, khan? Kalau kita pergi ke Houston atau Minnesota, semua sudah dibangun seperti itu. Sehingga jika misalnya kita berkantor di Landmark lalu ingin makan di BNI city. Kita bisa jalan kaki lewat jembatan penghubung yang indah tadi itu. Dengan demikian penggunaan kendaraan bermotor semakin sedikit. Atau misalnya kita masuk ke parking lot di daerah Gambir, dengan sistem seperti tadi, kita bisa jalan kaki lewat jembatan ke mana-mana.

Selain efisiensi penggunaan air, kota pun harus efisien dalam penggunaan energi. Jadi kunci keberlanjutan adalah efisiensi. Ini baru dua aspek selain penggunaan lahan tadi. Persoalan abad ke-21 adalah 80% penduduk dunia akan tinggal di kota. Maka ke depannya, perlu banyak imajinasi yang diimplementasikan. Yang merepotkan adalah banyak orang yang tidak tahu bahwa imajinasi itu lebih mahal dari knowledge. Yang paling mahal di dunia itu imajinasi, seperti membuat jembatan penghubung antar gedung tadi. Sebenarnya kita tahu permasalahannya tapi yang mati adalah imajinasinya.

Saya khawatir kalau begini terus maka kota-kota yang ada di Indonesia menjadi unliveable, bukan hanya un-sustainable: semakin tidak nyaman

sebagai tempat kerja atau tempat tinggal. Sudah ada kota-kota di dunia yang unliveable, contohnya (hampir saja) Bangkok. Sekarang sudah bagus ada subway dan monorel di sana. Manila juga. Kalau diperhatikan Jakarta mirip Manila, tapi saya masih lebih senang di Jakarta. Mexico city, Buenos Aires juga tidak ada penghubung. Jalan rayanya bisa mencapai delapan sampai 10 lane, tapi akibatnya kota itu pecah. Yang liveable banyak yang kita contoh, misalnya Bogota. Busway-nya kita contoh.

Menurut Bapak bagaimana keterkaitan sustainability dengan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025?

Pembangunan yang direncanakan tanpa peduli terhadap perkembangan yang sungguh-sungguh terjadi di masyarakat tidak akan bisa kelar dan terwujud dalam 20 tahun. Hal ini dikarenakan masyarakat mempunyai dinamismenya sendiri. Saya khawatir, perencanaan yang dibuat tidak didasarkan pada kenyataan, dan ini banyak terjadi saat ini.

Jadi sebetulnya konsep membangun yang paling bagus itu, meskipun idenya koridor tapi harus tetap mengikuti apa yang berkembang di lapangan dan masyarakat. Bukan memaksakan ide baru di atasnya. Kalau membangun di atas wilayah yang tidak ada apa-apa akan susah. Sebaiknya harus tetap ada jangkarnya. Contohnya jembatan Balerang yang dibuat sebagai sebagai penghubung dari Batam ke Rempang dan Galang. Hingga hari ini, khan, tidak terjadi apa-apa di sana. Demikian juga Lapangan terbang Hang Nadim. Walaupun landasannya paling panjang di Indonesia, tetap saja tidak bisa menyaingi Changi. Bahkan kalau kita mau ke Singapura tetap saja naik ferry. Jadi keberadaan lapangan terbang itu mubazir.

Akan tetapi konsep koridor ekonomi itu, khan, membangun daerah yang sudah berkembang yang diharapkan

menjadi pendorong pertumbuhan wllayah sekitarnya?

Memang seperti itu, tapi beberapa saya lihat ada yang dipaksakan. Takutnya akan seperti seperti KAPET (Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu) yang hingga saat ini tetap tidak berjalan. Sekarang ini banyak rencana pembangunan yang terlalu visioner dan mencari-cari, sehingga menjadi tidak realistis. Menurut saya, MP3EI sebagian besar harus ditinjau kembali dan sebaiknya dilandaskan pada yang ditemui di lapangan.

Buat saya lebih masuk akal, misalnya membangun jalan raya sepanjang Sumatera dengan tiga jenis kelas jalan. Pertama adalah Tol Road (misalnya dari Tebing Tinggi sampai ke Binjai). Kemudian ada highway yang dibuat empat lajur (walaupun sekarang baru dibuat dua jalur), tapi di beberapa tempat ada yang sudah perlu empat jalur. Selanjutnya, ada jalan biasa yang hanya dua jalur tapi dibuat tiga untuk passing. Jadi kalau itu dibuka efeknya seperti Northsouth Highway-nya Malaysia. Apalagi kalau disambung dengan jembatan, misalnya, yang menghubungkan Dumai dengan Johor. Menurut saya dicari yang benar-benar sudah menunjukkan potensi. Kalau dibuat di daerah yang belum ada apa-apa, akan sia-sia seperti yang kita sudah lihat Barelang contohnya.

Harapan Bapak ke depan tentang pembangunan wilayah dan perkotaan di Indonesia?

Pembangunan wilayah dan perkotaan di Indonesia harus lebih realistis, karena saya melihat sebagian besar rencana tata ruang dan city planning di Indonesia itu tidak berjalan, karena tidak mengikuti dinamika yang sesungguhnya ada di masyarakat. Saya lebih senang dengan pendekatan ad-on, perubahan-perubahan marjinal, yaitu melakukan di atas kenyataan yang ada. Jadi pendekatannya lebih kepada bisnis, karena orang bisnis selalu berpikir pasar harus ada terlebih dahulu. (mem/hd)

Page 10: JULY - AGUSTUS 2011 tataruang · PDF file · 2014-09-29Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc Ayu A. Asih, S.Si M. Refqi, ST Marissa Putri Barrynanda, ST Heri Khadarusno, ST KOORDINASI PRODUKSI

10 buletin tata ruang | July - Agustus 2011 July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

  KOTA BLITARMewujudkanHarmoni Kota

profil wilayah

Oleh: Redaksi Butaru

Di balik kesunyiandan ketenangannya, Kota Blitar menyimpan sejarah bagiBangsa Indonesia

Tak lama setelah memasuki Kota Blitar, seketika kita akan merasakan rasa tenang, damai, dan udara segar yang jauh dari polusi – yang biasa kita rasakan pada kota-kota besar Indonesia yang penuh dengan gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, pemerintahan, asap kendaraan dan aktivitas industri.

Di balik kesunyian dan ketenangannya, Kota Blitar menyimpan sejarah bagi Bangsa Indonesia. Kota kecil di Jawa Timur ini merupakan tempat awal mula perlawanan Bangsa Indonesia terhadap Jepang di bawah kepemimpinan Suprijadi, yang kemudian meluas ke wilayah lainnya. Untuk tetap mengenang sejarah dan jasa pahlawan tersebut, maka Kota Blitar memiliki sebutan sebagai Kota PETA (Pembela Tanah Air) dan lebih dikenal dengan Kota Patria.

Di Kota Patria ini jugalah lahir calon pemimpin Indonesia. Pada tanggal 6 Juni 1901 lahirlah seorang putra bangsa yaitu, Ir. Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia. Melalui kepemimpinannya, beliau melepaskan Bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan dan mengantarkan Bangsa Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan.

Empat puluh tahun kemudian, tepatnya 25 februari 1942, kembali lahir calon pemimpin negara yaitu Prof.Dr. Boediono, M.Ec yang saat ini menjadi wakil presiden RI. Wakil presiden bukan jabatan kenegaraan pertama yang pernah Budiono raih selama perjalanan hidupnya. Beberapa posisi di dalam kabinet pernah didudukinya, juga prestasinya, membuat banyak orang yang menjulukinya dengan The Man To Get The Job.

Kota Patria yang menyimpan banyak sejarah dan melahirkan pemimpin bangsa tentunya tidak hanya sekedar cerita, julukan, atau sejarah yang cukup dikenang saja. Tonggak sejarah tersebut dapat dijadikan sebagai titik awal dan pemicu pembangunan Kota Blitar yang lebih baik dengan pimpinan yang membimbing pembangunan Kota Blitar ke arah pembangunan yang berkelanjutan.

 

Patung Presiden I RI Di dalam Museum Ir. Soekarno

Museum Ir. Soekarno

Page 11: JULY - AGUSTUS 2011 tataruang · PDF file · 2014-09-29Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc Ayu A. Asih, S.Si M. Refqi, ST Marissa Putri Barrynanda, ST Heri Khadarusno, ST KOORDINASI PRODUKSI

buletin tata ruang | July - Agustus 2011 11July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

 

Secara general pembangunan berkelanjutan merupakan perubahan positif sosial dan ekonomi dengantidak mengabaikan lingkungantempat manusia hidup di dalamnya.

Museum Ir. Soekarno

Ada berbagai macam pemahaman mengenai pembangunan berkelanjutan. Secara umum pembangunan berkelanjutan merupakan perubahan positif sosial dan ekonomi dengan tidak mengabaikan lingkungan tempat manusia hidup di dalamnya. Dengan kata lain terjadinya keseimbangan pembangunan dari aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Pemahaman tersebut senada dengan definisi pembangunan berkelanjutan yang terdapat di dalam UU No.23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana dalam proses pembangunan, berbasis lingkungan hidup untuk menjamin mutu hidup generasi masa kini, meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang merupakan tolok ukur keberhasilan suatu pembangunan dan generasi masa depan.

Saat ini, pembangunan yang berkelanjutan merupakan suatu tuntutan dan perhatian Penataan Ruang seluruh wilayah di Indonesia, mengingat pembangunan akan terus berjalan tetapi ketersediaan ruang semakin terbatas. Pembangunan yang berkelanjutan merupakan salah satu amanat di dalam UU 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, yang menyebutkan “Penyelenggaraan Penataan Ruang bertujuan untuk menujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan.”

Mengingat pentingnya konsep pembangunan berkelanjutan sebagaimana yang telah diamanatkan di dalam UU 26

Pembangunan berkelanjutan telah membawa Blitar menjadi peringkat pertama di dalam Penghargaan Penilaian Kinerja Perangkat Daerah Pekerjaan Umum (PKPD PU) Bidang Penataan Ruang Yang Berkelanjutan pada 2010. Penilaian yang dilakukan oleh para juri ini meliputi aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan yang saling terkait erat.

Terdapat suatu keunikan di dalam sistem perekonomian Kota Blitar, Pemerintah Kota Blitar menggunakan sistem ekonomi mikro untuk menggerakan perekonomian kota dengan menjadikan masyarakat sebagai pelaku utama perekonomian. Bentuk dukungan pemerintah kota ini antara lain penyediaan lokasi dan tenda untuk pedagang kaki lima. Selain itu pemerintah kota juga membatasi calon investor yang akan membangun mal, swalayan besar, dan pewara lab, dengan tujuan untuk tetap menghidupkan aktivitas perdagangan masyarakat setempat. Di beberapa wilayah perkotaan, sejak berdirinya hypermart atau sejenisnya, banyak masyarakat lebih memilih untuk berbelanja di hypermart dengan faktor kelengkapan dan kenyamanan. Hal ini mengakibatkan penurunan pendapatan bagi pedagang kaki lima dan para pedagang di pasar tradisional. Kondisi ini merupakan suatu ancaman bagi para pedagang kecil, bahkan dapat mematikan usaha mereka.

Sistem ekonomi mikro yang dipilih oleh Pemerintah Kota Blitar merupakan pilihan yang tepat bagi masyarakat Kota Blitar. Dengan adanya sistem ini, masyarakat secara tidak langsung dididik pemkot setempat untuk dapat berusaha mandiri. Selain itu, sistem ini juga diyakini dapat menekan jumlah pengangguran kota.

Tahun 2007 di atas, Pemerintah Kota Blitar telah menjadikan pembangunan berkelanjutan sebagai latar belakang penyusunan RPJM Kota Blitar Tahun 2005-2025.

Di dalam RPJM ini disebutkan bahwa pembangunan yang berkelanjutan diawali suatu komitmen dan konsistensi dari berbagai pemangku kepentingan dalam menggunakan dan menjaga keberlanjutan sumber daya alam yang digunakan untuk keberlangsungan hidup saat ini dan untuk generasi yang akan datang. Untuk menjaga keberlangsungan jalannya pembangunan berkelanjutan, maka Pemerintah Kota Blitar menggunakan manajemen pembangunan berkelanjutan yang dijadikan sebagai pegangan untuk pelaksanaannya. Manajemen ini mengedepankan perencanaan cermat yang melihat kebutuhan saat ini dan yang akan datang, dan dilaksanakan secara efektif, efisien, konsisten sebagaimana yang telah ditetapkan, serta dilakukan evaluasi secara berkala dan insidental berdasarkan indikator sasaran dan batas waktu yang telah ditentukan.

Limbah Yang Berasal Dari Pabrik Tahu dan Tempe

Page 12: JULY - AGUSTUS 2011 tataruang · PDF file · 2014-09-29Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc Ayu A. Asih, S.Si M. Refqi, ST Marissa Putri Barrynanda, ST Heri Khadarusno, ST KOORDINASI PRODUKSI

12 buletin tata ruang | July - Agustus 2011 July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

profil wilayah

Konsep ekonomi mikro yang digunakan di Kota Blitar ini dapat dikatakan unik. Mengapa demikian? Karena tidak semua kota di Indonesia dapat mencontoh dan menggunakan konsep ini, khususnya kota di Indonesia yang identik dengan pusat perbelanjaan dan perdagangan kelas (cenderung) menengah ke atas. Semakin besar pusat dan aktivitas perdagangan di dalam kota tersebut, dapat mencerminkan keberhasilan di sektor perekonomian.

Paradigma tersebut tentunya sangat sangat bertolak belakang dengan Kota Blitar. Akan tetapi batasan penetrasi investor hanya berlaku untuk mendirikan hypermart dan pewara laba saja. Kota Blitar juga memerlukan calon investor yang menanamkan modalnya di kota ini dalam rangka meningkatkan dan menjaga kestabilan pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 2011 pemerintah kota menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 10% dengan merencanakan pembangunan pabrik gula.

Jika melihat perkembangan PDRB Kota Blitar tahun 2004-2008, sektor perdagangan, hotel dan restoran memberikan paling kontribusi yang besar jika dibandingkan dengan sektor lainnya. Bahkan berdasarkan prediksi di dalam RPJM Kota Blitar Tahun 2005-2025, disebutkan bahwa sektor perdagangan masih berperan besar di dalam PDRB Kota Blitar.

Jika melihat prediksi PDRB Kota Blitar hingga tahun 2025, tergambar bila perekonomian Kota Blitar menunjukan perkembangan yang positif dan tiap tahunnya selalu meningkat. Akan tetapi ada beberapa hal yang harus diwapadai untuk ke depannya yaitu, ancaman perubahan iklim yang merupakan isu global yang hingga saat ini masih terus berkembang dan sulit dikendalikan.

Perubahan iklim mengakibatkan peralihan musim semakin sulitnya diprediksi. Tentunya kondisi ini sangat berpengaruh terhadap penyediaan bahan baku industri, terutama kerajinan bubut kayu yang merupakan salah satu produk andalan. Isu global ini mendorong pemerintah kota untuk mengambil langkah antisipatif yang dituangkan di dalam kebijakan dan dilanjutkan dengan program kerja yang juga merupakan bentuk dari pembangunan berkelanjutan dari aspek lingkungan, sebagaimana yang telah dilakukan di lingkup Nasional bahkan Internasional.

Program Kampung Iklim, atau yang disingkat dengan Proklim merupakan suatu program yang diluncurkan Kementerian Lingkungan Hidup dalam rangka mengurangi

gas emisi nasional sebesar 26% sampai dengan tahun 2020 sebagaimana amanat Presiden SBY dalam pertemuan G-20 pada tahun 2009 di Pittsburgh. Proklim ini melibatkan pertisipasi aktif masyarakat dalam melakukan langkah adaptasi dan mitigasi perubahan iklim secara terintegrasi, yang mempertimbangkan kearifan lokal dan mencakup serangkaian kegiatan perencanaan sosialisasi, fasilitasi, pengawasan, evaluasi, dan penilaian.

Sebagaimana yang telah dikatakan di atas, Kota Blitar merupakan kota yang jauh dari pencemaran udara. Akan tetapi untuk pencemaran dan polusi udara akibat dari aktivitas industri rumah tangga tidak dapat dihindari, walaupun masih tergolong kecil.

Konsep ekonomi mikro yang digunakan di

Kota Blitar ini dapat dikatakan unik,karena

menjadikan masyarakat sebagai pelaku utama

perekonomian.

Fasilitasi Pemkot Kepada Pedagang Kaki Lima

Page 13: JULY - AGUSTUS 2011 tataruang · PDF file · 2014-09-29Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc Ayu A. Asih, S.Si M. Refqi, ST Marissa Putri Barrynanda, ST Heri Khadarusno, ST KOORDINASI PRODUKSI

buletin tata ruang | July - Agustus 2011 13July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

 

Kelurahan Pakunden yang terletak di Kecamatan Sukorejo, contohnya, memiliki berbagai macam masalah pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas industri rumah tangga tahu dan tempe, aktivitas peternakan. Sanitasi yang tidak baik juga menambah pencemaran lingkungan. Dengan dilatarbelakangi permasalahan lingkungan tersebut maka terpilihlah Kelurahan Kapunden menjadi salah satu daerah percontohan untuk proklim untuk tahun 2011 ini.

Di dalam rencana kerja proklim ini ada beberapa langkah yang bertujuan mewujudkan Kelurahan Pakunden yang ramah lingkungan. Diawali dengan pembangunan talud untuk perlindungan Mata Air Sumberwayuh dan Sumberjaran, kemudian dilakukan pula pembangunan tempat pengolahan limbah tahu akhir di aliran Sumberwayuh, program bakti sosial pembersihan sungai, sampai dengan penanaman bibit pohon rambutan, bibit suren, dan bibit buah kelengkeng.

Untuk memperbaiki sistem sanitasi, masyarakat diberikan bantuan berupa pembagian gerobak di masing-masing RW, tong sampah, pembangunan tempat pengolahan akhir tahu, perlindungan mata air, dan penghijauan kota. Diharapkan kegiatan proklim ini dapat berjalan optimal, sesuai dengan rencana dan target, sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu daerah yang berhasil menanggapi isu perubahan iklim. Selain itu, kegiatan ini dapat dikatakan sebagai wujud pembangunan berkelanjutan Kota Blitar yang tetap memperhatikan keseimbangan lingkungan di dalam kegiatan pembangunan.

Dalam rangka mewujudkan Kota Blitar yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, pemerintah kota memiliki beberapa tantangan dan target yang hendaknya dapat diwujudkan, yaitu peningkatan pelayanan sanitasi, pemantapan sistem lingkungan yang aman, lestari, dengan mewujudkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebesar 30 persen sesuai dengan amanat UU No 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang yang saat ini telah tertuang di dalam Raperda RTRW Kota Blitar. Selain melibatkan masyarakat setempat, tidak menutup kemungkinan pemerintah kota untuk melakukan kerja sama dengan pihak swasta dalam rangka mewujudkan Kota Blitar yang lestari.

Upaya menjadikan Kota Blitar juga terlihat pada sector pariwisata. Peningggalan bersejarah Bangsa Indonesia di Kota Blitar yang dikelola pemkot bahkan Negara. ini sangat menarik untuk dikunjungi sebagai tempat rekreasi. Tempat bersejarah seperti kawasan situs Kota Blitar, yang meliputi makam, museum, rumah sang Proklamator, Candi Panataran yang telah didaftarkan ke UNESCO pada tahun 1995, merupakan potensi pariwisata yang dapat memberikan kontribusi terhadap PDRB Kota Blitar.

Dengan adanya aktivitas pariwisata, maka terbentuklah lapangan usaha yang dapat menyejahterakan masyarakat Kota Blitar. Kondisi ini mendukung kegiatan pemerintah kota dalam rangka menuntasan kemiskinan masyarakat Kota Blitar. Adapun usaha yang dilakukan dalam rangka penuntasan kemiskinan antara lain dengan membentuk Tim Koordinasi Penuntasan Kemiskinan (TKPK), gerakan perang melawan kemiskinan (GPMK), menyediakan lapangan pekerjaan, program anggaran satu milyar untuk kelurahan yang telah dilaksanakan secara bertahap dimulai pada awal tahun 2011. Diharapkan dengan program tersebut mampu menurunkan angka kemiskinan sebesar dua hingga tiga persen. Maka jelas kegiatan pariwisata memberikan dampak yang sangat positif bagi keberlanjutan perekonomian dan sosial di Kota Blitar. Karena pada akhirnya, keberlangsungan sebuah kota dilihat dari kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakatnya. (mpb)

Diharapkan kegiatan proklim ini dapat berjalan dengan optimal,

sesuai dengan rencana dan target, sehingga dapat dijadikan

sebagai salah satu daerah yang berhasil dalam menanggapi isu

perubahan iklim.

 

Candi Panataran

Rumah tingga Ir. Soekarno

Page 14: JULY - AGUSTUS 2011 tataruang · PDF file · 2014-09-29Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc Ayu A. Asih, S.Si M. Refqi, ST Marissa Putri Barrynanda, ST Heri Khadarusno, ST KOORDINASI PRODUKSI

14 buletin tata ruang | July - Agustus 2011 July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

Kondisi Geografis Kota-kota Indonesia

Kota-kota di Indonesia memiliki beragam karakter geografis sesuai bentang alam negeri ini yang mencakup pegunungan hingga pesisir dan kepulauan.Keragaman bentang alam tersebut menghasilkanpola interaksi yang berbeda-beda antara manusia dengan alam sehingga pada akhirnya memunculkan karakteristik masyarakat yang beragam pula.Keragaman pola interaksi tersebut melahirkan berbagai bentuk interaksi sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang beragam pula antar daerah.Dalam perkembangannya, setiap kota akan menghadapi isu, masalah, maupun kebutuhan yang berbeda-beda dalam memenuhi tujuan pembangunannya. Dalam mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan di seluruh kota di Indonesia diperlukan suatu pendekatan pembangunan yang peka terhadap keragaman karakteristik berbagai kota tersebut.

Dari 94 kota otonom di Indonesia, 47 di antaranya memiliki karakteristik geografis berupa kawasan pesisir. Dominasi jumlah kota pesisir di Indonesia merupakan suatu hal yang sangat wajar mengingat morfologi NKRI yang berupa kepulauan dengan sekitar 17.480 pulau dan dengan 95.181 Km bentang garis pantai dari seluruh pulau tersebut. Gambaran keadaan tersebut mencerminkan bahwa diperlukan suatu pendekatan berwawasan kepesisiran yang komprehensif mencakup dinamika interaksi berbagai aspek/sektor dalam kota-kota di kawasan pesisir tersebut.Berikut ini adalah ilustrasi sebaran kota-kota pesisir di Indonesia.

MEWUJUDKAN PEMBANGUNANKOTA PESISIR DI INDONESIA

yang Berkelanjutan Melalui Penyediaan Insfrasturktur Berbasis Penataan Ruang

topik utama

Oleh: Ir. Joessair LubisDirektur Perkotaan, Ditjen Penataan Ruang,

Kementerian Pekerjaan Umum

Keragaman bentang alam menghasilkanpola interaksi yang berbeda-beda antara manusia dengan alam sehingga pada akhirnya memunculkan karakteristik masyarakat yang beragam pula

Sebaran Kota Pesisir di Indonesia

Membangun sebuah pendekatan pembangunan kepesisiran yang tepat tentunya perlu mempertimbangkan dinamika interaksi kegiatan maupun masyarakat dalam kota tersebut. Dinamika interaksi kegiatan dapat didekati dengan memahami proses pembentukan kota pada kawasan pesisir tersebut. Proses pembentukan kota-kota pesisir di Indonesia pada umumnya terjadi sejak awal perkembangan kerajaan tradisional di nusantara. Kegiatan utama berbagai kerajaan tersebut antara lain adalah perdagangan, jasa, dan pusat pemerintahan (militer). Beberapa kerajaan yang berkembang di kawasan pesisir antara lain adalah Kerajaan Salakanagara di Teluk Lada – Banten (150M), Kerajaan Tarumanagara dengan pelabuhan utama di Sunda Kelapa – Jakarta (400M), Kerajaan Sriwijaya dengan pelabuhan utama di Ligor – Selat Malaka (700M), Kesultanan Tidore (1200M), Kesultanan Ternate (1300M), Samudera Pasai (1300M), Aceh Darussalam (1600M), Kesultanan Gowa-Tallo di sekitar Kota Makassar (1700M), dan berbagai kerajaan lainnyadi Nusantara (Tjandrasasmita, 2000). Berikut ini adalah ilustrasi sebaran beberapa kerajaan di kawasan pesisir Nusantara.

Keterikatan akan budaya masyarakat Indonesia yang dekat dengan kawasan pesisir dan bukan semata-mata dalam kegiatan primer berupa kegiatan pengumpulan hasil laut, namun juga mencakup kegiatan tersier berupa kegiatan perdagangan dan jasa seperti pelayanan kepelabuhanan, pusat transaksi ekonomi lintas wilayah bahkan lintas Negara, serta sebagai pusat pemerintahan negara. Berdasar kenyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa sejak dulu kawasan pesisir merupakan beranda dari kegiatan masyarakat di Indonesia yang umumnya menjadi pusat aglomerasi ekonomi kawasan sekitarnya (hinterland) dalam bentuk pelabuhan sebagai ‘pasar’ atau lokasi transaksi ekonomi.

Page 15: JULY - AGUSTUS 2011 tataruang · PDF file · 2014-09-29Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc Ayu A. Asih, S.Si M. Refqi, ST Marissa Putri Barrynanda, ST Heri Khadarusno, ST KOORDINASI PRODUKSI

buletin tata ruang | July - Agustus 2011 15July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

Secara teoritis, perkembangan kota-kota memang memiliki kecenderungan terjadi sepanjang perairan baik di laut maupun sungai (EPA, 2001 dalam Vollmer, 2009).Pada proses selanjutnya, kota-kota tersebut beralih menjadi pusat pemerintahan yang berperan sebagai pusat koleksi-distribusi komoditas dari dan menuju kawasan sekitarnya. Hal ini menunjukkan kedekatan masyarakat perkotaan Indonesia dengan kawasan pesisir maupun sektor kelautan. Sebagai wujud konkret kedekatan ini masih dapat kita temukan artikulasi budaya lokal berbentuk ritual persembahan di kawasan pesisir yang dilakukan sebagai rasa syukur atas hasil laut yang diperoleh masyarakat setempat seperti upacara Mappanre Tasi di Pantai Pagatan – Kalimantan Selatan, upacara Nadran di Indramayu – Jawa Barat, upacara Bakar Tongkang di Bagansiapiapi – Riau, dan upacara Rebo Buntung di Lombok Timur – Nusa Tenggara Barat.

Perkembangan kegiatan pada kota-kota pesisir di masa kini telah mengalami pergeseran dominasi kegiatan usaha yang terkait dengan kelautan menjadi kegiatan sektor perdagangan dan jasa yang tidak berorientasi kelautan.Sejak tahun 2004 hingga 2009 jumlah prosentase kegiatan yang berkaitan secara langsung dengan kelautan di kawasan

Pergeseran pandangan kawasan pesisir sebagai ‘kawasan terbelakang’ mengakibatkan penataan ruang kawasan pesisir menjadi terbengkalai dan luput dari perhatian

Sebaran Kerajaan di Pesisir Nusantara

Pesisir pantai kota Jayapura

pesisir seperti sektor angkutan kepelabuhanan dan perikanan hanya berkisar 3 – 3.5% dari keseluruhan PDRB. Kondisi ini menggambarkan pergeseran kegiatan utama di kota-kota pesisir Indonesia dari masa tradisional (awal masa sejarah nusantara) hingga ke masa modern saat ini.Efek samping dari terjadinya pelepasan kegiatan masyarakat kota pesisir dengan laut ini adalah terjadinya pergeseran nilai dari pandangan kawasan pesisir sebagai ‘beranda’ menjadi kawasan pesisir sebagai ‘kawasan belakang’. Pergeseran pandangan tersebut mengakibatkan penataan ruang kawasan pesisir menjadi terbengkalai dan luput dari perhatian.

Terlepas dari terjadinya pemisahan kegiatan masyarakat dengan kelautan secara langsung,kegiatan ekonomi secara umum di kawasan pesisir secara umum masih memberikan kontribusi secara signifikan secara nasional.Diperkirakan aktivitas di kawasan pesisir menyumbang 25 persen Pendapatan Domestik Bruto dan menyerap 15 persen tenaga kerja secara nasional MoE dalam Tumiwa, 2010).Berdasarkan proyeksi kenaikan permukaan air laut setinggi 1,1 meter pada tahun 2100 akan mengakibatkan hilangnya 90.260 Km2 kawasan pesisir dengan potensi kerugian ekonomi sebesar US$ 25,56 Miliyar (Susandi dalam Tumiwa, 2010).

Perkembangan Kota Pesisir di Indonesia

Page 16: JULY - AGUSTUS 2011 tataruang · PDF file · 2014-09-29Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc Ayu A. Asih, S.Si M. Refqi, ST Marissa Putri Barrynanda, ST Heri Khadarusno, ST KOORDINASI PRODUKSI

16 buletin tata ruang | July - Agustus 2011 July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

Ilustrasi perubahan komponen keterkaitan kota dengan pelabuhan

topik utama

Perlu dilakukan pembenahan orientasi penataan kota di kawasan pesisir menjadi berbasis kualitas lingunganpesisir kota.

Seiring dengan perubahan zaman terjadi pergeseran antara keterkaitan kota pesisir tersebut dengan peranannya sebagai pelabuhan. Pergeseran tersebut telah terjadi pada 3 (tiga) komponen keterkaitan kota dengan pelabuhan (Basset dan Hoare, 1996) sebagaimana diilustrasikan pada gambar di bawah. Pertama, Pelabuhan dengan kota pesisir tidak lagi menjadi sinergi sebagaimana diilustrasikan pada gambar 3 di atas. Kedua, hubungan kausalitas antara pertumbuhan intensitas kegiatan pelabuhan sebagai pendorong pertumbuhan kota sudah tidak relevan karena pertumbuhan kota saat ini terjadi dari proses urbanisasi kota berorientasi kualitas lingkungan kota pesisir (waterfront city). Ketiga, kota

pesisir sebagai pusat produksi barang dan jasa telah bergeser menjadi kota sebagai pusat konsumsi. Perubahan dinamika interaksi sektor dalam ruang pada masa awal pembentukan kota-kota kerajaan di masa lalu dengan perkembangan kota saat ini telah mengalami suatu pergeseran yang cukup jauh pada saat ini, namun demikian pergeseran yang terjadi saat ini tidak serta merta menjadikan kita sama sekali meninggalkan proses maupun sejarah pembentukan kota-kota Nusantara di masa lalu karena saratnya nilai budaya yang terkandung pada proses pembentukan kota di masa lalu merupakan suatu aset yang hanya dimiliki oleh bangsa Indonesia.

Berdasar pemikiran di atas, perlu dilakukan pembenahan orientasi penataan kota-kota di kawasan pesisir dari penataan berbasis ekonomi (pelabuhan) menjadi berbasis kualitas lingkungan pesisir kota. Proses penataan kota-kota pada kawasan pesisir dapat dilakukan melalui rehabilitasi kawasan sebagai upaya revitalisasi peran kota-kota tersebut sebagai beranda depan dari keseluruhan wilayah. Terdapat beberapa tantangan yang perlu diantisipasi dalam mewujudkan hal tersebut. Beberapa aspek yang berkompetisi pada kota-kota kawasan pesisir tersebut, yaitu aspek sosial, aspek ekonomi, dan aspek lingkungan.Pada umumnya, pemenang dari persaingan ini adalah faktor ekonomi sebagai aspek yang mudah dikuantifikasi dan dirasakan keuntungannya dalam waktu dekat.Dalam mengantisipasi hal ini, partisipasi publik dari masyarakat kota-kota pesisir menjadi penting. Pemahaman pemangku kepentingan (masyarakat, swasta, dan pemerintah) dalam memahami urgensi rehabilitasi kawasan berikut kemanfaatannya akan meningkatkan kesediaannya untuk memberi kesempatan pelaksanaan proses rehabilitasi bahkan dapat mendorong kesediaannya untuk berpartisipasi mengeluarkan sumberdaya dalam proses rehabilitasi tersebut (Loomis, 2000 dalam Vollmer, 2009). Partisipasi komunitas dalam kegiatan rehabilitasi kawasan pesisir merupakan suatu kebutuhan yang tidak dapat ditawar (findlay dan Taylor, 2006 dalam Vollmer 2009).Hal tersebut penting mengingat sangat mungkin terjadinya proses relokasi berbagai kegiatan di kawasan pesisir tersebut yang membutuhkan kerjasama dan kesediaan dari masyarakat setempat. Dalam mengantisipasi hal ini, terdapat salah satu insentif yang dapat ditawarkan kepada masyarakat yaitu peluang peningkatan nilai ekonomi lahan pasca rehabilitasi yang dapat diperoleh masyarakat karena peningkatan peluang investasi sebagai dampak dari peningkatan kualitas kawasan pesisir secara keseluruhan (Vollmer 2009).

Dimensi Waktu Keterkaitan Geografis Arus Pengaruh Karakteristik Kota Pesisir

Dahulu

Kini

Pelabuhan ≈ kota

Pelabuhan ≠ kota

PelabuhanMenumbuhkan kota

Kualitas Lingkunganmenumbuhkan kota

Berorientasi Produksi

Berorientasi Konsumsi

Page 17: JULY - AGUSTUS 2011 tataruang · PDF file · 2014-09-29Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc Ayu A. Asih, S.Si M. Refqi, ST Marissa Putri Barrynanda, ST Heri Khadarusno, ST KOORDINASI PRODUKSI

buletin tata ruang | July - Agustus 2011 17July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

topik utama

Terdapat beberapa aspek dalam penataan kota-kota pesisir yang akan

mengalami dampak positif

Dalam memahami potensi yang terdapat dalam implementasi rehabilitasi kota-kota pesisir berbasis kualitas lingkungan, terdapat beberapa aspek dalam penataan kota-kota pesisir yang akan mengalami dampak positif yang perlu dibahas. Pertama, aspek keamanan dari bencana. Dari 41 kota pesisir di Indonesia terdapat32 kota yang rawan terhadap banjir, terdapat 29 kota yang rawan terhadap tsunami, dan terdapat 15 kota yang rawan terhadap gelombang pasang (BNPB, 2010). Berdasar kondisi tersebut dalam proses rehabilitasi kota pesisir perlu dibangun pemahaman, penataan ruang, dan pembangunan infrastruktur yang sensitif terhadap kerawanan bencana tersebut. Hal ini merupakan amanat yang telah ditetapkan dalam Pasal 6 dan 28 UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang dan dalam Pasal 35 dan Pasal 51 PP No. 15/2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang.

Kedua, Aspek kenyamanan dalam ruang kota. Tuntutan kenyamanan pada beberapa kelompok masyarakat muncul pada komponen perumahan, komponen rekreasi, kebudayaan, dankawasan pusaka (Bassett dan Hoare, 1996).Tuntutan kenyamanan tersebut tidak semata-mata terbatas pada fasilitas unit rumah sendiri, namun mencakup pula kualitas lingkungan yang terdiri atas kualitas visual (pemandangan), kualitas sosial lingkungan perumahan (keeratan komunitas), dan berbagai unsur asbtrak lainnya. Pemenuhan hal ini dapat dilakukan dengan penataan kawasan pesisir kota sehingga dapat mengakomodasi kebutuhan rekreasi warga melalui penyediaan RTH maupun RTNH serta alokasi kegiatan pelayanan/jasa di kawasan pesisir yang mendukung fungsi rekreasi tersebut. Tuntutan identitas kebudayaan dan kawasan pusaka pada suatu kota pesisir merupakan suatu komponen yang perlu dipenuhi. Masyarakat membutuhkan suatu keterikatan budaya yang menjadi tata nilai yang berlaku dalam lingkup komunitasnya.Pemugaran/revitalisasi kawasan pusaka melalui penyediaan prasarana dan sarana penunjang kawasan tersebut akan membantu menumbuhkan keterikatan emosional warga dengan kota dan tata nilai budayanya.

Ketiga, aspek produktivitas kota pesisir yang dipenuhi dengan adanya lapangan kerja. Berbagai tuntutan masyarakat tersebut di atas akan membuka lapangan kerja pada berbagai sektor dari bidang konstruksi hingga sektor perdagangan dan jasa. Efektivitas penyerapan tenaga kerja ini perlu diimbangi dengan adanya pengembangan kapasitas masyarakat dalam memenuhi kebutuhan yang mengemuka di atas.Atas dasar hal inilah maka partisipasi masyarakat menjadi vital dalam segenal proses penataan kota pesisir dari perencanaan hingga penerapan dan pengendalian pemanfaatan ruangnya.

Keempat, aspek kualitas lingkungan hidup.Demi menjamin keberlanjutan kota pesisir perlu dibangun suatu kesadaran dan tanggung jawab masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup. Proses ini dapat dilakukan dengan penyediaan prasarana dan sarana pengendali pembangunan hingga penegakkan sanksi bagi setiap pelanggaran penataan ruang yang mengancam kelestarian lingkungan hidup. Kunci utama dari terbangunnya pemahaman dan dan tanggung jawab masyarakat dalam memelihara berkelanjutannya lingkungan kota pesisir adalah dengan suatu proses pendidikan yang rutin dan intensif dengan memberdayakan kolompok swadaya masyarakat yang memiliki kapasitas dan semangat yang baik dalam mewujudkan hal ini.

Aspek terakhir adalah ketahanan terhadap perubahan iklim. Dampak perubahan iklim yang mencakup ancaman angin siklon, kenaikan muka air laut, bajir, dan kekeringan perlu diantisipasi melalui pendekatan struktur maupun non-struktur dalam pengembangan perkotaan. Pendekatan struktur antara lain mencakup pembangunan prasarana dan sarana penahan gelombang laut, pengolahan air, waduk/bendungan dan sebagainya. Sementara upaya non-struktur mencakup di antaranya penataan ruang melalui pengaturan zonasi pesisir, pengalokasian kegiatan berdasar tingkat risiko bencana, penghutanan pantai dengan bakau, penghutanan kawasan resapan air, serta pembentukan perilaku masyarakat yang ramah lingkungan dan adaptif terhadap perubahan iklim.

Pertimbangan dalam Menata Pembangunan Kawasan Pesisir

Salah satu aktivitas penduduk pesisir

Page 18: JULY - AGUSTUS 2011 tataruang · PDF file · 2014-09-29Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc Ayu A. Asih, S.Si M. Refqi, ST Marissa Putri Barrynanda, ST Heri Khadarusno, ST KOORDINASI PRODUKSI

18 buletin tata ruang | July - Agustus 2011 July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

Pendekatan dalam penyediaan infrastruktur

pada kawasan pesisir harus didasari konsep penataan

ruang kawasan pesisir yang berkelanjutan.

RTH Hutan Bakau di Kota Tarakan

Penataan Ruang sebagai Basis Pengembangan Infrastruktur Kawasan Pesisir yang Berkelanjutan

topik utama

Berdasar berbagai pertimbangan di atas, pendekatan dalam penyediaan infrastruktur pada kawasan pesisir harus didasari konsep penataan ruang kawasan pesisir yang berkelanjutan. Hal ini mutlak karena “kualitas kehidupan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi yang baik tidak akan bertahan dalam lingkungan yang secara ekologis menurun” (Royal Commission on The future of Toronto`s Waterfront dalam Laidley, 2005). Penempatan kualitas ekologis pada prioritas utama dalam pembangunan menuntut pergeseran pandangan dari perlunya pembangunan mega-infrastructuredi kawasan pesisir menjadi penyediaan infrastruktur ramah lingkungan sesuai karakteristik ekologisnya.

Pengembangan infrastruktur berkelanjutan berarti perlunya mengedepankan keseimbangan dan integrasi aspek fisik-lingkungan, sosial-budaya, dan ekonomi (Madiasworo, 2011). Pemenuhan ketiga prinsip tersebut dapat dilakukan melalui penataan ruang kawasan dilakukan dengan membangun kegiatan pada beberapa lokasi di jalur sekitar kawasan pesisir yang memiliki kualitas visual yang baik terhadap lansekap kota sehingga kawasan pesisir ini dapat kembali menjadi ‘beranda’ bagi kota di pesisir yang menawarkan nilai estetis kawasan pesisir (Bischof, 2007). Dalam mewujudkan rancangan tersebut dapat dilakukan melalui pembangunan jalur pejalan kaki di sepanjang pesisir serta pembangunan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Ruang Terbuka Non-Hijau (RTNH) pada berbagai lokasi pada sekitar pantai. Penyediaan RTH dapat memenuhi ketiga aspek berkelanjutan di atas melalui fungsinya pada dimensi ekologis, sosial, bahkan ekonomi.

Selain pembangunan ruang terbuka perlu dibangun pula berbagai infrastruktur permukiman lainnya sebagai penunjang kegiatan masyarakat seperti penyediaan energi, pengelolaan sampah, penyediaan air, dan transportasi (Gaffney dkk, 2007). Penyediaan energi pada kawasan pesisir perlu mulai dilakukan dengan mempertimbangkan sumber daya yang melimpah di kawasan pesisir tersebut seperti penggunaan panel surya dan tenaga angin. Pengelolaan sampah pada kawasan pesisir perlu dilakukan secara seksama dengan menjaga sebaik mungkin agar rembesan cairan di TPA tidak mencapai laut sehingga perlu dillakukan penempatan dan penentuan sistem TPA yang baik secara ekologis. Pengelolaan air minum di kawasan pesisir perlu dilakukan dengan menampung semaksimal mungkin limpasan (run-off) air hujan yang digunakan sebagai pasokan bagi pengolahan air minum dan sedapat mungkin membatasi penggunaan air tanah. Pengelolaan transportasi pada kawasan pesisir harus dilakukan dengan berorientasi transportasi masal. Penyediaan transportasi masal di kawasan pesisir perlu dilakukan terintegrasi antara sarana darat dan laut. Perlu dibangun sarana sistem penyeberangan laut seperti kapal cepat maupun feri yang terintegrasi dengan bus umum melalui penyediaan terminal antar moda terpadu (interchange).

RTNH di Kota Makassar

REfERENSI1. Norcliffe, Glen, Keith Basset, Tony Hoare (1996). The emergence of postmodernism on the urban waterfront. Great Britain: Pergamon.2. Vollmer, Derek (2009). Urban waterfront rehabilitation: can it contribute to environmental improvements in the developing world?. Washington DC: IOP Publishing.3. Laidley, Jennefer (2005). Constructing a foundation for Change: The Ecosystem Approach and The Global Imperative on Toronto`s Central Waterfront. Ontario: York University.4. Madiasworo, Taufan (2011). Penataan Ruang Sebagai Basis Pengembangan Infrastruktur Perkotaan Berkelanjutan. Jakarta: KIPRAH

Page 19: JULY - AGUSTUS 2011 tataruang · PDF file · 2014-09-29Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc Ayu A. Asih, S.Si M. Refqi, ST Marissa Putri Barrynanda, ST Heri Khadarusno, ST KOORDINASI PRODUKSI

buletin tata ruang | July - Agustus 2011 19July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

Pendekatan baru dalam Penguatan Pengelolaan Wilayah Pesisiryang Terintegrasi

Oleh: Barbara Jean Norman, Phdfaculty Business and Goverment Univ. of Cambera Australia

From integrated coastal management (icm)

to sustainablecoastal planning

Kontribusi Pengelolalaan (Manajemen) Wilayah Pesisir yang Terintegrasi (ICM) dalam 30 tahun terakhir, sudah berhasil menangani permasalahan dasar wilayah pesisir di Australia .

Namun, menurut laporan dari The National State of Environment dan beberapa laporan lainnya,tekanan urbanisasi tetap kian meningkat.

topik utama

Pesisir Australia sedang mengalami tekanan yang besar oleh manusia. Menurut data statistik, 86% penduduk Australia tinggal di daerah pesisir (Natural Resource Management Ministerial Council 2006, hal.44). Tekanan-tekanan ini termasuk meningkatnya jumlah penduduk dan pergeseran demografis, industri pariwisata dan berkembangnya industri baru, termasuk akuakultur, penurunan jumlah habitat di air dan kualitas air dan perkiraan dampak dari perubahan iklim (Natural Resource Management Ministerial Council 2006, CES 2008a).

Diambil dari National State of Environment Reports (DEST 1996, Environment Australia 2001, DEH 2006), semakin jelas bahwa tekanan ini menambah beban di wilayah pesisir. The Australian State of the Environment Committee menyatakan, “Tidak ada isu baru sejak tahun 2001. Namun ada kebutuhan yang mendesak untuk mencegah penurunan kualitas lingkungan yang walaupun sangat kecil namun bersifat menerus dan kumulatif,” (DEH 2006, hal.49). Maka dapat disimpulkan bahwa diperlukan adanya ‘pembaruan dalam sistem pemerintahan, dari pendekatan yang jangka pendek dan sektoral menuju pendekatan yang lebih sistematik, terintegrasi, dan terencana dalam pengelolaan dan pemantauan’ (DEH 2006, hal.102).

Urbanisasi Wilayah Pesisir Australia

Wilayah pesisir Australia telah mengalami pertumbuhan urbanisasi yang signifikan yang menyebabkan perubahan dalam demografi spasial dan bentuk lingkungan hidup. State of the Environment Report tahun 2006 (DEH 2006) memperkirakan lebih dari 86 persen penduduk Australia tinggal di wilayah pesisir dan meramalkan akan terjadi migrasi internal yang telah terjadi selama 10 tahun belakangan (2001 – 2011) (lihat Peta 1). Seperti yang tergambar pada Peta 1, pertumbuhan penduduk terdapat pada pantai timur Australia antara Sydney dan Brisbane, juga pada kota-kota satelit Melbourne dan bagian selatan Perth di Australia Barat.

Migrasi penduduk ke daerah pesisir telah menciptakan ‘perubahan muka laut’ dan telah menjadi topik diskusi publik dan akademik (Salt 2001, Burnley & Murphy 2004, Hugo 2004, Smith & Doherty 2006, Gurran et al. 2008). Burney & Murphy (2004) menyatakan, “The movement of Australians from metropolitan cities to non-metropolitan parts of the country has been the focus by social scientists since the mid 1970s. Around then, for the first time in the 20th century, the demographic dominance of the large cities appeared to be on the wane and country areas seemed to be on the verge of a demographic and economic renaissance. We refer to this as a ‘sea change’.” (Burnley & Murphy 2004, p.ix)

Namun pernyataan di atas tidak hanya tertuju pada kawasan pesisir, tapi juga berlaku untuk semua perubahan pemanfaatan ruang. Ditekankan pula bahwa perubahan di Australia sebagian besar terjadi di pesisir timur bagian selatan, pada kota-kota satelit, dan sebagian di pesisir Australia Selatan dan Australia Barat.

Page 20: JULY - AGUSTUS 2011 tataruang · PDF file · 2014-09-29Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc Ayu A. Asih, S.Si M. Refqi, ST Marissa Putri Barrynanda, ST Heri Khadarusno, ST KOORDINASI PRODUKSI

20 buletin tata ruang | July - Agustus 2011 July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

topik utama

Perlu diketahui bahwa migrasi ke wilayah pesisir tidak hanya datang dari kota-kota metropolitan, namun juga pada kota-kota nonmetropolitan. Smith & Doherty (2006) pada latar belakang makalah untuk National State of Environment Report 2006 mempelajari lebih jauh tentang konsep perubahan muka laut dengan menitikberatkan kepada ‘tekanan-tekanan’ yang ada seperti: pertumbuhan penduduk pesisir, pariwisata, perubahan dan variasi iklim, dan pengaturan tata kelola pemerintahan. Smith & Doherty (2006, hal.10) menyatakan bahwa suburbanisasi wilayah pesisir menimbulkan dua jenis tekanan, yang pertama tekananan ‘langsung’ yang terjadi pada lingkungan hidup sebagai akibat pembangunan pesisir dan, yang ke dua, tekanan ‘terus-menerus’ akibat pengelolaan pengembangan kota seperti air pembuangan.

Tekanan Dampak Isu

• Urbanisasi wilayah pesisir

• Perkiraan dampak perubahan iklim; proyeksi kenaikan

permukaan air laut, gelombang badai, kenaikan

temperature, dan berkurangnya curah

hujan

• Jenis pemanfaatan lahan baru untuk

wilayah pesisir seperti pohon

desalinasi dan wind farm

• Tuntutan untuk meningkatkan

partisipasi masyarakat

• Perubahan sosial dan demografis

• Pemberdayaan dan perlindungan terhadap adat dan

budaya

• Meningkatnya pengembangan wilayah pesisir

• Bergesernya garis pasang-surut

• Meningkatnya suhu permukaan

laut yang berdampak

pada ekosistem laut dengan

bertambahnya tingkat oksidasi

• Proyeksi dampak perubahan

iklim di pesisir Victoria termasuk

kekeringan, kebakaran lahan,

gelombang badai, dan peningkatan

permukaan air laut

• Degadrasi lingkungan secara

kontinyu pada wilayah pesisir,

estuari, dan laut

• Perencanaan untuk pertumbuhan urbanisasi wilayah pesisir, termasuk infrastruktur, karakteristik wilayah urban pesisir, dampak terhadap

lingkungan dan perubahan iklim

• Tidak adanya kesepahaman mengenai obyektif dan keluaran

• Hubungan antara manajemen pesisir dan kebijakan penataan kota dan perencanaan menurut undang-

undang

• Partisipasi masyarakat yang menimbulkan kekecewaan dan

kepenatan

• Kemungkinan perencanaan relokasi kawasan permukiman pesisir

masyarakat adat dan warisan budaya

• Studi, pelatihan dan pendidikan mengenai perencanaan pesisir, terutama di tingkat pemerintah

daerah

• Peran dan kewajiban dari masing-masing level pemerintahan (pusat dan daerah) sehubungan dengan

perencanaan dan tata kelola pesisir

• Implementasi dari strategi dan kebijakan; peran serta kementerian

terkait

• Pendanaan untuk manajemen pesisir

• Perubahan perilaku pasca bencana/kejadian cuaca ekstrim termasuk di dalamnya respon awal (emergency

response) dibandingkan dengan perencanaan jangka panjang

• Permasalahan tata kelola pesisir termasuk dewan pesisir

yang independen, tidak adanya pengetahuan untuk berkerjasama

dan manajemen regional yang terintegrasi

Tekanan dan Dampak terhadap Wilayah Pesisir

Seperti yang sudah diketahui, tekanan sudah terjadi di wilayah pesisir. The National State of Environment Report menegaskan bahwa tekanan terhadap pengembangan pesisir terus meningkat. Karena itu, diadakan tiga studi kasus dan dua focus group yang menyoroti: urbanisasi wilayah pesisir akibat perubahan demografis dan sosial (wilayah Geelong); perubahan iklim di Pesisir Victoria dengan perkiraan kenaikan permukaan laut, gelombang badai (storm surge), berkurangnya curah hujan, serta meningkatnya suhu udara (Gippsland dan wilayah Geelong) dan perubahan penggunaan tanah pesisir termasuk pohon desalinasi dan wind farm (lihat table).

Selain dampak-dampak yang sudah disebutkan di atas, The Victorian State of the Environment Report juga menemukan banyak dampak terhadap lingkungan lainnya, termasuk: pertumbuhan penduduk rata-rata yang pesat di pesisir Victoria (mendekati dengan laju pertumbuhan Melbourne); modifikasi ektensif terhadap vegetasi dan estuari, yang berdampak terbesar kepada lahan di atau dekat dengan permukiman pesisir; sulitnya mendapatkan data yang akurat dan konsisten karena wilayah pesisir sudah banyak yang berubah; dan perubahan iklim yang berdampak serius pada wilayah dan masyarakat pesisir (CES 2008a, hal.46).Dampak-dampak ini juga disorot pada studi kasus (Geelong, Gippsland, Point Nepean) dan diungkapkan di dalam diskusi kelompok terarah (focus group discussion/fGD) (CD 2007, rear cover). Victorian Commissioner for Environmental Sustainability. Ketidakmampuan penulis makalah dalam menyimpulkan dampak pada kasus Geelong, Gippsland dan Point Nepean, secara tidak langsung sudah membuktikan kerusakan pesisir.

Suburbanisasi wilayah pesisir menimbulkan tekanan langsung dan tekanan terus menerus.

Tabel Tekanan, Dampak, dan Isu Wilayah Pesisir dari Temuan Penelitan

Salah satu pengembangan daerah pesisir di Australia

Page 21: JULY - AGUSTUS 2011 tataruang · PDF file · 2014-09-29Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc Ayu A. Asih, S.Si M. Refqi, ST Marissa Putri Barrynanda, ST Heri Khadarusno, ST KOORDINASI PRODUKSI

buletin tata ruang | July - Agustus 2011 21July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

topik utama

The Regional Seas Program involves nearly 150 countries including a wide range of European, African and Asian nations.

Perencanaan Pesisir di Australia

Perencanaan pesisir di Australia telah berkembang menjadi satu sistem pengaturan pemerintahan yang kompleks dan melibatkan semua tingkat pemerintahan. Tekanan ‘kembar’ dari pertumbuhan perkotaan dan proyeksi dampak perubahan iklim sedang menguji sistem ini dengan cara yang belum ada presedennya. Pada level nasional, the EPBC Act 1999 menyediakan penilaian regional untuk area tertentu termasuk pertumbuhan perkotaan di wilayah pesisir. Perkembangan terbarunya adalah penyusunan kerangka kebijakan nasional (National Resources Management Ministerial Council 2006) yang menunjukkan langkah awal pemerintah Australia dalam menangani masalah tekanan ‘kembar’ ini. Namun, kebijakan tersebut kurang tepat karena tidak menangani masalah adaptasi terhadap perubahan iklim untuk pengelolaan pertumbuhan urbanisasi yang pesat.

Perencanaan laju pertumbuhan perkotaan di Australia adalah wewenang pemerintah daerah dengan delapan sistem perencanaan yang berbeda di masing-masing negara bagian. Perencanaan pesisir hanya berdasarkan riset setempat dan pengembangan dari agenda riset nasional.

Hubungan antara perencanaan untuk urbanisasi pesisir di tingkat lokal dan perencanaan untuk proyeksi dampak perubahan iklim masih lemah dan membutuhkan kebijakan yang lebih banyak perhatian dan penelitian di masa depan. Hal ini dikarenakan perbedaan perencanaan dan manajemen tanah publik dan swasta, perbedaan pendekatan disiplin ilmu untuk perencanaan perkotaan dan pengelolaan sumber daya alam yang rumit, yang sampai pada batas tertentu, menjadi signifikan jika diatur oleh antar institusi pemerintah.

Contohnya adalah, Pemerintah Australia memiliki departemen terpisah untuk menangani masalah pengelolaan sumber daya, perubahan iklim dan permukiman perkotaan. Ini juga terjadi pada tingkat negara bagian karena tidak adanya kebijakan nasional tentang perencanaan pesisir dan perkotaan yang meliputi semua dimensi, dan sampai saat ini belum ada kebijakan yang layak untuk pengelolaan pesisir yang terintegrasi di Australia.

Pengelolaan Pesisir yang Terintegrasi

Pengelolaan pesisir yang terintegrasi telah menjadi dasar dari pengelolaan pesisir di Australia sejak tahun 1970-an. Pengelolaan pesisir yang terintegrasi (ICM) telah mendapatkan respon yang lebih terkoordinasi untuk pengelolaan sumber daya melalui program manajemen sumber daya. Tantangan Australia selanjutnya adalah pendekatan ICM yang lebih holistik untuk rencana pesisir Australia yang strategis (meliputi sosial, ekonomi, dan lingkungan) dalam mempertimbangkan dan melintasi batas yuridiksi tradisional seperti kepemilikan lahan, pemanfaatan lahan, dan kewajiban pemerintah.

Namun, bukan berarti penerapan konsep ICM ini tidak memiliki keterbatasan. Beberapa kritik menyatakan tata kelola pemerintahan dan keterlibatan masyarakat masih fokus pada proses manajemen adaptif lainnya. Ada beberapa kata kunci yang muncul dari kedua literatur tersebut dalam hal kebijakan publik utama, yang terus menghambat keberhasilan ICM, yaitu:

tidak adanya proses perencanaan jangka panjang untuk wilayah pesisir; tidak terintegrasinya kebijakan nasional dan regional juga aksi lokal; ketidakmampuan untuk menanggapi dampak lingkungan akibat pertumbuhan perkotaan wilayah pesisir; adanya tantangan baru perubahan iklim yang membutuhkan kebijakan perkotaan dan pesisir yang terintegrasi; dan tidak adanya komitmen politik dalam penerapan ICM ketika ada tekanan pengembangan yang signifikan.

Sementara itu, pada skala nasional, ada tiga batasan yang perlu diperhatikan, yaitu: tidak adanya koordinasi manajemen pesisir antara tiga level pemerintahan dan antar negara bagian; tidak adanya kebijakan nasional yang efektif untuk perlindungan pesisir dan perencanaan perkotaan; dan tidak adanya sistem yang terintegrasi untuk perencanaan penggunaan lahan (baik lahan publik maupun swasta) yang terfokus dalam pengelolaan lingkungan di wilayah pesisir.

Paradise Point, kota terbesar ke-10 di Australia

Page 22: JULY - AGUSTUS 2011 tataruang · PDF file · 2014-09-29Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc Ayu A. Asih, S.Si M. Refqi, ST Marissa Putri Barrynanda, ST Heri Khadarusno, ST KOORDINASI PRODUKSI

22 buletin tata ruang | July - Agustus 2011 July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

topik utama

Temuan dalam Studi Kasus

Dalam studi kasus yang dilakukan, ditemukan beberapa isu yang menjadi isu utama dalam penataan ruang wilayah pesisir. Isu-isu ini, jika ditangani dengan tepat, akan menjadi kunci sukses pelaksanaan perencanaan wilayah pesisir. Isu yang pertama adalah partisipasi masyarakat, yang ke dua adalah warisan budaya dan masyarakat adat, yang ke tiga adalah pengelolaan lahan public yang terintegrasi, dan yang terakhir adalah pendidikan mengenai lingkungan hidup.

Isu pertama atau partisipasi masyarakat ialah hal terpenting dan menjadi kunci keberhasilan segala perencanaan wilayah termasuk wilayah pesisir. Namun jika tidak ditangani dengan tepat, partisipasi masyarakat dapat menjadi faktor penghambat. Pada tahap awal perencanaan, partisipasi masyarakat terkesan seperti penghambat jalannya proses penyusunan rencana tata ruang. Kerap kali masyarakat tidak percaya dengan pengembangan baru karena khawatir akan merusak lingkungan. Maka dengan partisipasi masyarakat, pihak perencana (dalam hal ini pemerintah) berkesempatan untuk menjelaskan rencana jangka panjang dari pengembangan wilayah tersebut, dan sebaliknya masyarakat setempat berkesempatan untuk terlibat langsung dalam proses perencanaan itu. Dengan demikian, masyarakat merasa memiliki dan berkewajiban untuk mendukung rencana tersebut. Dalam perencanaan pesisir ditemukan perlunya perubahan signifikan dalam sistem pengelolaan pesisir yang dapat memfasilitasi masyarakat sekitar dan membantu secara positif guna mendapatkan hasil yang berkelanjutan.

Perlindungan dan pengelolaan warisan budaya dan masyarakat adat menjadi isu yang ke dua. Perencanaan di wilayah pesisir menitikberatkan pada perlindungan warisan budaya dan hak-hak masyarakat adat di wilayah tersebut. Perlindungan warisan budaya dan hak-hak masyarakat adat menjadi salah satu isu penting dalam perencanaan wilayah pesisir.

Selanjutnya adalah isu yang ke tiga, yaitu tentang pengelolaan lahan yang terintegrasi. Kerjasama yang terintegrasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sangat dibutuhkan dalam pengelolaan lahan publik. Namun dalam penerapan hal ini ada dua isu utama, yaitu: pertama, integrasi kebijakan atas kepemilikan lahan dan batas pasang-surut air laut, dan yang ke dua adalah dukungan kepada pemerintah daerah dalam menangani tekanan sosio-ekonomi. Selanjutnya adalah bagaimana mengintegrasikan rencana pesisir dalam rencana tata ruang yang lain. Hal ini sangat penting, terutama dari aspek pengelolaan lingkungan.

Pendididkan lingkungan hidup, isu ke empat, juga merupakan hal penting dalam penyusunan tata ruang pesisir. Hal ini penting dalam pelibatan pemangku kepentingan terutama dengan masyarakat suku asli, karena dengan pendidikan lingkungan hidup yang baik, dapat dipastikan penerapan rencana tata ruang pesisir bisa maksimal.

Penerapan Teori ICM dalam Perencanaan

Wilayah pesisir dikelola oleh banyak pihak, termasuk pemerintahan yang multilevel (pusat/nasional dan daerah; provinsi dan kabupaten) karena wilayah pesisir tidak mutlak berada dalam suatu wilayah administratif. Dalam proses perencanaan tata ruang Point Nepean, terjadi banyak masalah kompleks yang melibatkan multilevel dan multisektor dalam pemerintahan. Maka diperlukan political will yang kuat dari pemerintah terlibat, dan harus dipastikan bahwa political will ini “diwariskan” kepada pemerintahan yang akan dating, karena rencana tata ruang berlaku jangka panjang, maka dari itu dibutuhkan komitmen jangka panjang.

Pada pelaksanaannya, dibentuk tim ad-hoc untuk memantau jalannya proses penyusunan rencana pesisir. Namun tim pemantau ini tidak boleh berhenti hanya dalam proses perencanaan. Harus ada lembaga yang kuat dan legal dalam pemantauan penerapan perencanaan pesisir. Lembaga ini harus berupa lembaga lintas sektor dan terdiri dari perwakilan masyarakat.

Pengembangan daerah pesisir di Gold Coast, Australia

Page 23: JULY - AGUSTUS 2011 tataruang · PDF file · 2014-09-29Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc Ayu A. Asih, S.Si M. Refqi, ST Marissa Putri Barrynanda, ST Heri Khadarusno, ST KOORDINASI PRODUKSI

buletin tata ruang | July - Agustus 2011 23July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

topik utama

Kesimpulan dari Studi Kasus

Dari proses perencanaan pesisir pada studi kasus di atas, ada beberapa kesimpulan yang bias kita pelajari, antara lain: kerjasama antar pemerintah pusat dan daerah sangatlah penting dalam kesuksesan penataan ruang pesisir terintegrasi; proses partisipasi masyarakat adalah hal yang sangat penting dalam proses penyusunan perencanaan pesisir, karena dengan demikian masyarakat memiliki rasa kepemilikan yang tinggi terhadap rencana tata ruang tersebut; pelibatan masyarakat adat dan penyertaan kebijakan lokal dalam perencanaan dapat memastikan keberlanjutan dan kesuksesan penerapan perencanaan; pemanfaatan ruang publik yang terintegrasi menjadi komponen utama untuk pengertian dampak potensial dalam urbanisasi, turisme, dan perubahan iklim dalam wilayah pesisir; pendidikan lingkungan hidup menjadi sangat penting untuk keberlanjutan dan penerapan rencana penataan ruang; dan yang tearkhir, kerjasama antar level pemerintahan dapat meningkatkan kesuksesan implementasi rencana tata ruang pesisir.

Selain itu, dari diskusi kelompok juga ditemukan beberapa implikasi dalam penerapan ICM. Beberapa yang harus dicermati adalah: (1) Harus adanya kesepakatan hasil. Hal ini dapat dilihat jika ada rencana jangka panjang dalam pengelolaan wilayah pesisir. Walaupun ada kerjasama nasional untuk pendekatan yang terintegrasi dalam rangka pengelolaan wilayah pesisir dan strategi wilayah pesisir Victoria dan pernyataan strategi wilayah setempat, tidak pernah ada kesepakatan resmi antar pemerintah pusat, negara bagian dan lokal dalam urbanisasi dan perubahan iklim wilayah pesisir. Dalam kata lain, tidak ada perencanaan wilayah pesisir. (2) Harus ada peningkatan dalam proses partisipasi masyarakat. Peserta diskusi kelompok menyatakan bahwa masyarakat merasa kecewa karena tidak maksimalnya pelibatan masyarakat. (3) Adanya kebutuhan untuk lebih menghubungkan perencanaan pesisir dan manajemen dengan sistem perencanaan kota dan regional. (4) Harus adanya tata kelola wilayah pesisir. (5) Peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan monev dalam jangka panjang.

Menuju Perencanaan Pesisir yang Berkelanjutan

Dari temuan penelitian tadi, maka perencanaan pesisir yang berkelanjutan didasarkan pada lima langkah dan enam prinsip yang dapat mendukung kesepakatan antar pemerintah untuk perencanaan pesisir di Victoria dan (diharapkan) nasional. Temuan-temuan dampak, isu, dan implikasi ICM juga perlu dinyatakan.

Lima langkah ini termasuk memperluas teori ICM menjadi berbasis hasil dan wilayah dalam pendekatannya untuk pengelolaan dan perencanaan wilayah pesisir. Dalam konteks perubahan iklim, pendekatan yang lebih adaptif dan sistematis telah terbentuk. Sementara dibutuhkan partisipasi masyarakat yang lebih intensif pada proses penyusunan rencana tata ruang pesisir.

Instrumen utama untuk perubahan adalah kesepakatan antar tiga level pemerintahan pada perencanaan pesisir yang berkelanjutan yang didukung oleh enam prinsip. Prinsip-prinsip ini termasuk: hasil yang disepakati dan pembagian lingkungan pesisir untuk memfasilitasi integrasi horisontal dan vertikal; pendekatan sistematis dan adaptif untuk mengintegrasikan ilmu pengetahuan dan perencanaan perkotaan serta menarik kesimpulan dari pengalaman dan pengetahuan dari dua disiplin ilmu tersebut; memasukan hasil kesepakatan bersama dan pendekatan adaptif terhadap implementasi perencanaan perkotaan dan wilayah; tata kelola pemerintahan wilayah untuk mengintegrasikan hasil kebijakan dan partisipasi masyarakat; peningkatan kapasitas sumber daya manusia untuk perencanaan pesisir yang berkelanjutan termasuk di dalamnya riset antar disiplin ilmu dan pendidikan masyarakat dan monitoring dan evaluasi jangka panjang.

Maka dapat disimpulkan bahwa kombinasi dari pengembangan jaringan pesisir dan dampak perubahan iklim akan menjadi kontributor utama untuk memfasilitasi komitmen politik yang kuat untuk mengimplementasikan perencanaan pesisir yang berkelanjutan. Tapi kembali lagi, keseriusan parlemen nasional saat ini dalam menanggapi perubahan iklim dan dampak lingkungan pada masyarakat pesisir, akan menjadi ujian terpenting komitmen tersebut.

Page 24: JULY - AGUSTUS 2011 tataruang · PDF file · 2014-09-29Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc Ayu A. Asih, S.Si M. Refqi, ST Marissa Putri Barrynanda, ST Heri Khadarusno, ST KOORDINASI PRODUKSI

24 buletin tata ruang | July - Agustus 2011 July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

topik utama

Suatu Penerapan Metodologi yang Komprehensif

Oleh: R. Aria Indra PKasubdit Lintas Sektor dan Lintas Wilayah,Dit. Wilayah Tarunas, Ditjen Taru, Kemen PU

KebiJaKan transportasi

berKelanJutan :

- Emisi Gas Buang- Perubahan Iklim- Keanekaragaman hayati- Perlindungan habitat- Estetika

- Produktivitas- Aktivasi ekonomi- Tenaga Kerja

EKONOMI SOSIAL

LINGKUNGAN

- Pemerataan- Kesehatan- Nilai - nilai budaya- Peranserta Masyarakat

SUSTAINABILITY ATAU KEBERLANJUTAN merupakan konsep yang telah berkembang dan banyak dipergunakan untuk menyelesaikan suatu permasalahan secara menyeluruh, yang menyangkut aspek lingkungan, ekonomi maupun sosial. Aspek-aspek tersebut merupakan integrasi dari berbagai kegiatan manusia sehingga memerlukan koordinasi antar sektor maupun wilayah.

Keberlanjutan kadangkala didefinisikan secara sempit yang hanya ditekankan kepada permasalahan lingkungan seperti penurunan kualitas sumber daya alam dan permasalahan polusi. Tetapi sesungguhnya, konsep keberlanjutan telah berkembang ke dalam berbagai isu lain secara komprehensif (lihat gambar 1). Penerapan kebijakan transportasi dan penurunan kadar emisi akan berdampak pada permasalahan ekonomi, sosial dan lingkungan. Karena itulah diperluakan analisis komprehensif yang memperhatikan seluruh aspek yang ada, agar menghasilkan strategi menyeluruh dan optimal.

Contoh pola pikir sustainable dapat dijelaskan sebagai berikut. Jika suatu kebijakan dilihat hanya dari satu sisi, misalnya dari sisi lingkungan, maka kebijakan untuk mengurangi konsumsi energi dan polusi udara bisa diterjemahkan menjadi kebijakan pemilihan penggunaan kendaraan yang efisien dan bersih lingkungan. Kebijakan pemilihan kendaraan hybrid merupakan suatu contoh kendaraan dengan karakteristik tiga kali lebih efisien dan kadar emisinya sangat rendah. Tetapi penggunaan kendaraan tersebut tidak akan mengurangi permasalahan kemacetan lalu lintas, kebutuhan jalan dan parkir. Kebijakan ini tidak mempengaruhi biaya konsumen, tingkat kecelakaan lalu lintas, aksesibilitas, atau dampak lingkungan dari jalan dan urban sprawl.

Inilah mengapa penting untuk mempertimbangkan seluruh aspek secara komperehensif. Karena strategi untuk memperbaiki sistem transportasi secara keseluruhan akan berdampak pula kepada pengaturan tata guna lahan, bukan hanya mengurangi jumlah kendaraan bermotor. Langkah ini lebih efektif karena memperhatikan faktor-faktor sustainability.

Di samping itu, analisis komperehensif juga dapat dipergunakan untuk menentukan sampai berapa besar suatu strategi dapat diimplementasikan. Sebagai contoh, kenaikan tarif (kenaikan pajak bahan bakar, retribusi parkir, kenaikan kepemilikan pajak kendaraan bermotor, dll.). Secara ekonomi dan lingkungan, hal ini sangat bermanfaat, tetapi berpengaruh negatif terhadap aspek sosial karena akan mengusik rasa keadilan masyarakat. Dengan

Page 25: JULY - AGUSTUS 2011 tataruang · PDF file · 2014-09-29Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc Ayu A. Asih, S.Si M. Refqi, ST Marissa Putri Barrynanda, ST Heri Khadarusno, ST KOORDINASI PRODUKSI

buletin tata ruang | July - Agustus 2011 25July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

topik utama

SOSIAL

demikian, dalam penentuan kebijakan, perlu adanya klasifikasi dalam pengenaan target kenaikan tarif, kompensasi terhadap kualitas sarana transportasi bagi kalangan berpenghasilan rendah dan penggunaan hasil pemasukan dari kenaikan tarif tersebut.

Berdasarkan hal tadi, hasil kenaikan tarif perlu dikompensasikan dengan pemberian potongan tarif bagi yang tidak mampu, juga

dengan memperbaiki fasilitas angkutan umum sehingga efek kenaikan tarif akan lebih bermanfaat bagi semua pihak dan terasa adil.

Dalam pola pikir keberlanjutan (sustainability), indikator-indikator yang ada dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori utama, yaitu indikator ekonomi, indikator sosial, dan indikator lingkungan.

Indikator EkonomiIndikator Ekonomi adalah indikator yang ditujukan kepada kesejahteraan masyarakat yang biasanya berkaitan dengan kenaikan penghasilan, kesejahteraan, tenaga kerja, produktivitas dan kesejahteraan sosial. Kebijakan ekonomi pada dasarnya adalah untuk memaksimalkan tingkat kesejahteraan, meskipun hal tersebut sangat sulit diukur secara langsung. Biasanya, ukuran yang dipergunakan adalah pemasukan keuangan atau Produk Domestik Bruto (PDB). Tetapi ada beberapa kritik mengenai indikator tersebut, di antaranya ialah pandangan bahwa PDB hanyalah mengukur kesejahteraan yang terdapat di pasar, sementara faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat seperti kesehatan, kepercayaan diri, kemasyarakatan, kemerdekaan, dan sebagainya tidak tersentuh. Di samping itu, indikator tersebut tidak menggambarkan distribusi kesejahteraan.

Maka indikator perekonomian ini juga perlu dilihat secara komperehensif terutama yang berhubungan dengan aspek transportasi. Dalam Tabel 1 dapat dilihat kemungkinan-kemungkinan yang termasuk indikator ekonomi dalam kaitannya dengan transportasi yang berkelanjutan.

INDIKATOR KETERANGAN TINGKAT NILAIUser Rating Tingkat Kepuasan Pelanggan dari sistem

TransportasiNilai lebih tinggi lebih baik

Waktu Tempuh Rata-rata waktu tempuh penumpang dalam mencapai tujuan

Nilai lebih rendah lebih baik

Akesibilitas tenaga kerja

Jumlah kesempatan kerja dan pelayanan komersial yang dapat dicapai 30 menit dari

tempat tinggal

Nilai lebih tinggi lebih baik

Land Use Mix Jumlah rata-rata pelayanan umum dasar (Sekolah dasar, kesehatan, toko, dll) yang

terdapat pada jarak tempuh jalan kaki

Nilai lebih tinggi lebih baik

Komunikasi Elektronik Proporsi penduduk yang menggunakan fasilitas internet

Nilai lebih tinggi lebih baik

Vehicle travel Jumlah kendaraan per kapita per km, terutama pada waktu sibuk

Nilai lebih rendah lebih baik

Variasi Penggunaan Kendaraan

Variasi dan kulitas moda trasportasi yang tersedia di masyarakat

Nilai lebih tinggi lebih baik

Mode Split Proporsi penggunaan kendaraan non mobil seperti sepeda, jalan kaki, dll

Nilai lebih tinggi lebih baik

Kemacetan Kemacetan lalu lintas per kapita Nilai lebih rendah lebih baik

Biaya Perjalanan Bagian biaya rumah tangga yangdidasarkan pada trasportasi

Nilai lebih rendah lebih baik

Efisiensi Biaya Perjalanan

Biaya perjalanan sebagai bagian dari aktivitas ekonomi dan per unit ODP

Nilai lebih tinggi lebih baik

Biaya fasilitas Pengeluaran per kapita untuk jalan, parkir, dan biaya lalulintas lainnya

Nilai lebih rendah lebih baik

Efisiensi Biaya Bagian dari biaya jalan dan parkir lang-sung dari pemakai

Nilai lebih tinggi lebih baik

Efisiensi Muatan Kecepatan dan kehandalan angkutan barang Nilai lebih tinggi lebih baik

Pelayanan kiriman Kualitas dan kuantitas pelayanan kiriman (internasional/antar kota)

Nilai lebih tinggi lebih baik

Transport Komersial Kualitas dari pelayanan trasport untuk kebutuhan komersial

Nilai lebih rendah lebih baik

Biaya Kecelakaan Biaya kecelakaan per kapita Nilai lebih tinggi lebih baikKualitas Perencanaan Comprehensiveness dari rencana tersebut Nilai lebih tinggi lebih baik

Land use Planning Mengaplikasi konsep smart growth Nilai lebih tinggi lebih baik

Strategi untuk memperbaiki sistem transportasi secara

keseluruhan akan lebih efektif karena memperhatikan

faktor- faktor sustainability.

Salah satu usaha Sustainable Transportation

Tabel 1. Indikator Ekonomi

Page 26: JULY - AGUSTUS 2011 tataruang · PDF file · 2014-09-29Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc Ayu A. Asih, S.Si M. Refqi, ST Marissa Putri Barrynanda, ST Heri Khadarusno, ST KOORDINASI PRODUKSI

26 buletin tata ruang | July - Agustus 2011 July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

topik utama

Indikator SosialIndikator sosial dalam hal ini umumnya meliputi isu pemerataan, kesehatan (yang merupakan dampak ekonomi jika gangguan kesehatan berdampak kepada finansial atau menurunkan produktivitas), kemasyarakatan (kualitas lingkungan yang dirasakan oleh masyarakat dan kualitas interaksi kehidupan bermasyarakat yang berdampak pada sejarah dan budaya), serta faktor estetika.

Aspek pemerataan dalam transportasi perlu dilihat dari berbagai perspektif dan dampaknya. Pertimbangan aspek tersebut umumnya meliputi kualitas pelayanan, dampak antar kelompok, terutama dampak terhadap masyarakat yang secara sosial, ekonomi maupun fisik tidak diuntungkan.

Dampak kesehatan dalam transportasi umumnya meliputi akibat-akibat dari kecelakaan lalulintas, gangguan kesehatan akibat polusi dan permasalahan kesehatan yang diakibatkan oleh ketidaktersedianya prasarana transportasi. Contohnya adalah kebijakan untuk memperbaiki sarana pedestrian untuk orang-orang cacat. Upaya untuk meningkatkan kesehatan merupakan kebijakan yang menunjang transportasi yang berkelanjutan.

Aspek kemasyarakatan dapat diukur dari survey lapangan, antara lain untuk mengetahui seberapa jauh fasilitas transportasi dan efektivitasnya mempengaruhi lingkungan dan seberapa jauh dampaknya mempengaruhi interaksi masyarakat. Unsur budaya tradisional dan benda-benda kesejarahan dapat dievaluasi melalui survey dengan melihat nilai-nilai yang berlaku pada tempat tersebut. Beberapa indikator sosial yang mungkin dapat digunakan dalam transportasi yang berkelanjutan bias dilihat pada tabel 2.

Indikator LingkunganDampak transportasi terhadap lingkungan meliputi polusi udara (termasuk polutan gas yang mempengaruhi perubahan cuaca), polusi suara, polusi air, penurunan penggunaan sumber daya “non-renewable” dan degradasi lingkungan (meliputi penurunan produktivitas lahan, kerusakan lingkungan, dll.)

Ada beberapa perhitungan dalam mengukur dampak lingkungan dan dilihat secara parsial. Sebagai contoh, kita menghitung biaya polusi udara hanya dari jenis emisi berbahaya yang diakibatkan oleh kendaraan bermotor. Sebaiknya biaya tersebut dinilai dari hal kesehatan, dampak ekologi maupun dalam estetika. Ada beberapa indikator lingkungan yang dapat dipergunakan dalam menganalisis kebijakan transportasi yang berkelanjutan, antara lain: emisi perubahan cuaca, polusi udara, polusi suara, dampak terhadap guna lahan, perlindungan hábitat, dan efisiensi sumber daya (lihat tabel 3).

INDIKATOR KETERANGAN TINGKAT NILAIUser Rating Nilai Kepuasan sistem transportasi Nilai lebih tinggi lebih baikKemananan Angka kecelakaan Nilai lebih rendah lebih baik

Kesehatan Proporsi masyarakat yang menggunakan sepeda dan berjalan kaki secara regular

Nilai lebih tinggi lebih baik

Tingkat Kehidupan Masyarakat

Tingkat trasportasi yang mendukung tingkat kehidupan masyarakat

Nilai lebih tinggi lebih baik

Memelihara Budaya Setempat

Tetap memelihara nilai-nilai budaya lokal dalam penyusunan kebijakan

transportasi

Nilai lebih tinggi lebih baik

TingkatKeterjangkauan

Proporsi biaya yang dikeluarkan untuk trasportasi untuk golongan ekonomi

berpenghasilan rendah

Nilai lebih rendah lebih baik

Kemudahan untuk orang cacat

Kualitas fasilitas transportasi untuk mel-ayani golongan cacat

Nilai lebih tinggi lebih baik

Tabel 2. Indikator Sosial

Polusi Udara sebagai salah satu indikator

Sepeda, salah satu kendaraan alternatif

Page 27: JULY - AGUSTUS 2011 tataruang · PDF file · 2014-09-29Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc Ayu A. Asih, S.Si M. Refqi, ST Marissa Putri Barrynanda, ST Heri Khadarusno, ST KOORDINASI PRODUKSI

buletin tata ruang | July - Agustus 2011 27July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

topik utama

Tak hanya itu, dalam pemilihan indicator kinerja – yang sesuai dengan kebutuhan kebijakan transportasi – ada hal-hal yang perlu diperhatikan. Yang petama adalah komprehensif, yaitu pemilihan indikator perlu merefleksikan keseluruhan aspek yang meliputi aspek ekonomi, aspek sosial, maupun aspek lingkungan. Ke dua adalah kebutuhan, yaitu pemilihan indicator harus disesuaikan dengan kebutuhan, baik dalam perencanaan maupun evaluasi. Ke tiga adalah mudah dimengerti, yaitu pemilihan indicator harus mudah dimengerti baik oleh kalangan pakar maupun kalangan umum. Ke empat adalah ketersediaan data dan biaya, yaitu pemilihan indikator seyogyanya sesuai dengan ketersediaan data yang ada dan biaya yang tersedia. Ke lima adalah komparabel, artinya jika memungkinkan, pemilihan indikator dan data dapat digunakan pula oleh wilayah dan waktu yang lain. Lalu yang treakhir adalah target kinerja, yaitu pemilihan indikator harus sesuai dengan target kinerja yang akan ditetapkan.

Sehubungan dengan hal tersebut maka terdapat indikator-indikator yang dapat dipergunakan untuk menganalisis suatu kebijakan transportasi yang bersifat berkelanjutan (lihat tabel 4).

Kebutuhan akan hasil indikator-indikator tersebut dapat diperoleh dari survey primer maupun sekunder. Data primer biasanya digunakan untuk mengetahui tingkat preferensi suatu kasus. Sedangkan untuk data sekunder dapat merupakan hasil dari suatu studi maupun data dan informasi dari instansi-instansi terkait dengan transportasi.

Masing-masing indikator tersebut dapat diterjemahkan ke dalam kriteria-kriteria yang terukur sehingga akan dapat menjadi dasar dalam mengevaluasi kinerja suatu kebijakan transportasi. Kriteria terukur tersebut selanjutnya dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan sesuai dengan kondisi dan ketersediaan data yang ada melalui parameter-parameter untuk setiap indikator yang terpilih. Kesimpulannya, kebutuhan untuk menentukan parameter yang menyeluruh tersebut bertujuan agar penilaian terhadap kebijakan yang telah disusun dapat lebih terukur dan dipertanggungjawabkan.

Indikator-indikator dalam pola pikir keberlanjutan, dapat digunakan untuk menganalisis suatu kebijakan transportasi yang bersifat berkelanjutan.

INDIKATOR KETERANGAN TINGKAT NILAIEmisi perubahan

cuacaPenggunaan BBM Per kapita dan emisi

CO2 dan unsur-unsur lainnya yang dapat mengubah nilai emisi perubahan cuaca

Nilai lebih rendah lebih baik

Polusi udara Ambang batas polusi udara Nilai lebih rendah lebih baik

Polusi suara Ambang batas polusi suara Nilai lebih rendah lebih baik

Polusi air Ambang batas polusi air Nilai lebih rendah lebih baik

Dampak tehadap guna lahan

Lahan per kapita yang diperuntukan untuk fasilitas transportasi

Nilai lebih rendah lebih baik

Perlindungan habitat Preservasi terhadap habitat Nilai lebih tinggi lebih baik

Efisiensi sumber daya Penggunaan sumber daya non-renewa-ble dalam penggunaan kendaraan dan

fasilitas trasnportasi

Nilai lebih rendah lebih baik

Ekonomi Sosial LingkunganPaling Penting

(biasanya sangat dibutuhkan)

- Mobilitas per kapita(orang-km atau

jumlah perjalanan)- Mode Split

- Rata-rata waktu perjalanan

- Biaya kemacetan per kapita

- Proporsi biaya yang dikeluarkan untuk

transportasi- eksternal cost dari transport per kapita

- Kualitas aksesibilitas untuk orang cacat

- Angka kecelakaan- Dampak terhadap

masyarakat- Proporsi pengeluaran golongan penghasilan

rendah untuk transportasi

- Keterbukaan saat proses penyusunan

kebijakan

- Konsumsi energi per kapita

- Emisi polusi udara per kapita

- Kebutuhan lahan per kapita atas sarana

transportasi- Kualitas analisis lingkungan dan

perencanaan

Berguna (dapat dipergunakan jika memungkinkan)

- Derajat kebijakan transportasi terhadap

pasar- Kualitas kendaraan

non-motor- Lokasi kerja pelay-

anan hanya sekitar 30 menit

- Mempertimbangkan faktor budaya dalam

perumusan kebijakan- Angka kepuasan

seluruh masyarakat terhadap sistem

transportasi- Universal

(Memperhatikan kebutuhan

penyandang cacat)

- Tingkat kualitas lingkungan hidup- Emisi Polusi air

Tabel 4. Indikator Ekonomi, Sosial, Lingkungan sebagai Alat Analisa

Tabel 3. Indikator Lingkungan

Page 28: JULY - AGUSTUS 2011 tataruang · PDF file · 2014-09-29Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc Ayu A. Asih, S.Si M. Refqi, ST Marissa Putri Barrynanda, ST Heri Khadarusno, ST KOORDINASI PRODUKSI

28 buletin tata ruang | July - Agustus 2011 July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

topik lain

MostLivable

CityIndex Pendekatan Baru dalam Mengukur

Tingkat Kenyamanan Kota Oleh: Elkana Catur Hardiansah & Dhani M.M

Memasuk dekade kedua abad 21, kota-kota indonesia mengalami berbagai persoalan yang berujung pada menurunnya kualitas lingkungan perkotaan. Permasalahan lingkungan, sosial, kependudukan, infrastruktur, lapangan kerja, dan lain sebagainya merupakan isu perkotaan yang seringkali bermunculan di ruang publik, baik dalam bentuk media ataupun diseminasi publik. Selain-selain persoalan yang bersifat fisik, kota-kota indonesia juga menghadapai persoalan tata kelola manajemen perkotaan yang tidak efisien. Banyak kota mengalami permasalahan tidak memadainya kualitas tata kelola kawasan perkotaaan yang disebabkan oleh minimnya kapasitas kelembagaan dan SDM pengelola kota di indonesia.

Dalam rangka turut mewujudkan kondisi kawasan perkotaan yang nyaman. Ikatan ahli perencanaan sebagai organisasi profesi di bidang perencanaan wilayah dan kota melaksanakan survey Most Livable City Index (MLCI) yang telah diselenggarakan pada tahun 2009 dan 2011.

Indeks ini merupakan “Snapshot” yang Simple dan Aktual mengenai persepsi warga kota yang menunjukan tingkat kenyamanan sebuah kota berdasarkan persepsi warga yang hidup sehari-hari di kota tersebut.

Data diperoleh melalui survey primer yang dilakukan kepada masing-masing warga kota. Survey Yang telah dilaksanakan selama dua tahun terakhir baru terbatas kepada ibukota dari 15 provinsi di indonesia. Ke depan, IAP memiliki keinginan besar untuk menambah jumlah kota yang disurvey, yang mencakup beberapa kota menengah. Hal ini dimaksudkan untuk memotret lebih luas dari karakteristik kota indonesia.

Banyak kotadi Indonesia mengalami

permasalahan antara lain tidak memadainya

kualitas tata kelola kawasan perkotaaan

yang disebabkan oleh minimnya kapasitas

kelembagaan dan SDM pengelola kota

di indonesia.

Pembahasan mengenai peningkatan kualitas kawasan perkotaan sangatlah relevan dewasa ini, karena sejak tahun 2008, jumlah penduduk perkotaan secara global sudah lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penduduk di kawasan pedesaan. Dekade kedua abad 21 merupakan awal dari sebuah abad baru, abad perkotaan.

Dekade kedua dari abad 21 juga merupakan tonggak 1 dekade

pelaksanaan desentralisasi mulai dilaksanakan secara penuh di indonesia melalui efektifnya UU 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dilaksanakannya desenaliasi secara langsung maupun tidak langsung mengubah tata kelola pembangunan kota yang awalanya top down, sentralistik, growth oriented akhirnya bertransformasi menjadi, people minded, transparan, demokratis dan consenssus oriented. Trend positif pembangunan kota ini diharapkan pada

MLCI tahun 2011: menghadapi tantangan dekade kedua abad 21

Page 29: JULY - AGUSTUS 2011 tataruang · PDF file · 2014-09-29Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc Ayu A. Asih, S.Si M. Refqi, ST Marissa Putri Barrynanda, ST Heri Khadarusno, ST KOORDINASI PRODUKSI

buletin tata ruang | July - Agustus 2011 29July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

topik lain

Adapun yang menghitung emisi adalah lembaga internasional yang telah diakui, dan dilakukan secara intensif. Hal itu bisa di detailkan misalnya dengan menggunakan satelit, dan lain-lain.

akhirnya berkontribusi besar pada usaha sebuah kota untuk menjadi kompetitif dan layak huni.

MLCI tahun 2011 berupaya untuk dapat memotret persepsi warga kota memasuki dekade kedua abad 21 ini. Diharapkan melalui upaya memotret kondisi pembangunan kota, IAP mampu memberikan gambaran permasalahan-permasalahan strategis yang dihadapi masing-masing kota dari kacamata warganya serta mengusulkan rekomendasi dan solusi praktis yang harus dilaksanakan untuk meningkatkan kuaitas hidup perkotaan.

Survei persepsi ini dilakukan terhadap 26 indikator yang dikelompokkan kedalam 9 kriteria utama : i. Aspek Tata Ruang (Tata Kota, RTH); ii. Aspek Lingkungan (Kebersihan, Polusi); iii. Aspek Transportasi (Jalan, Angkutan); iv. Aspek fasilitas Kesehatan; v. Aspek fasilitas Pendidikan; vi. Aspek Infrastruktur – Utilitas (Listrik, Air, Telekomunikasi); vii. Aspek Ekonomi (Lapangan Kerja, Lokasi Kerja; viii. Aspek Keamanan; dan ix. Aspek Sosial (Kebudayaan, Interaksi Warga).

Hasil Survei MLCI 2011Berdasarkan survey yang dilakukan di 15 kota besar, diketahui bahwa nilai rata-rata (mean) indeks kenyamanan kota adalah 54,26. Indeks dengan persepsi tingkat kenyamanan tertinggi di Kota Yogyakarta (66,52) dan Kota Denpasar (63.63). Sedangkan dan persepsi kenyamanan warga yang paling rendah adalah Kota Medan (46,67) dan Kota Pontianak (46.92).

Kota – kota dengan indeks diatas rata–rata adalah : Yogyakarta, Denpasar, Makassar, Menado, Surabaya dan Semarang. Sedangkan kota – kota dengan indeks dibawah rata-rata adalah Banjarmasin, Batam, Jayapura, Bandung, Palembang, Palangkaraya, Jakarta, Pontianak dan Medan.

 

Most Livable City Index 2011

Index Rata-Rata Kota di Indonesia Tahun 2011 : 54, 26%

No KOTA MLCI 2009 MLCI 20111 Yogyakarta 65,34 66,522 Denpasar 63,633 Makasar 56,52 58,464 Manado 59,90 56,395 Surabaya 53,13 56,386 Semarang 52,52 54,637 Banjarmasin 52,61 53,168 Batam 52,609 Jayapura 53,86 52,56

10 Bandung 56,37 52,3211 Palembang 52,1512 Palangkaraya 52,04 50,8613 Jakarta 51,90 50,7114 Pontianak 43,65 46,9215 Medan 52,28 46,67

Page 30: JULY - AGUSTUS 2011 tataruang · PDF file · 2014-09-29Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc Ayu A. Asih, S.Si M. Refqi, ST Marissa Putri Barrynanda, ST Heri Khadarusno, ST KOORDINASI PRODUKSI

30 buletin tata ruang | July - Agustus 2011 July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

topik lain

Beberapa temuan yang cukup menarik dari MLCI 2011, diantaranya adalah :

1. Kota Paling Nyaman Kota dengan persepsi warga paling nyaman adalah Kota Yogyakarta dengan indeks 66,52%. Hampir pada semua kriteria, persepsi warga Kota Yogyakarta selalu diatas 30 %, kecuali untuk kriteria ketersediaan lapangan kerja (29%).

Kota lainnya yang dianggap cukup nyaman oleh warganya adalah Kota Denpasar dengan indeks 63.63. Sebagai kota pariwisata, Denpasar dirasakan cukup nyaman oleh warganya kecuali untuk variabel tingkat pencemaran lingkungan, dimana warga kota merasakan adanya pencemaran lingkungan yang cukup tinggi.

2. Kota Paling Tidak NyamanKota Medan dan Kota Pontianak memiliki persepsi kenyamanan warga yang rendah hampir pada semua kriteria. Kota Medan dipersepsikan warganya memiliki kondisi tata kota dan kualitas lingkungan yang buruk, kualitas pedestrian yang buruk, perlindungan bangunan bersejarah yang buruk dan tingginya tingkat kriminalitas kota.

Kota Pontianak dipersepsikan warganya memiliki tata kota yang buruk, biaya hidup yang tinggi, kesempatan kerja yang rendah, kualitas air bersih yang kurang. Dari aspek fisik dapat dilihat bahwa Kota Pontianak memiliki lahan gambut yang sangat luas, hal ini berdampak pada keterbatasan areal pengembangan kota, limitasi bagi pengembangan infrastruktur dan ketersediaan air bersih.

3. Kriteria Penataan KotaUntuk Kriteria Penataan Kota, Kota Palangkaraya memiliki angka prosentase tertinggi dipersepsikan oleh warganya memiliki penataan kota yang baik, yaitu sebanyak 60 %. Kota Palangkaraya meskipun masih jauh dari ukuran ideal, namun memiliki kondisi penataan kota yang cukup baik. Akomodasi ruang Kota Palangkaraya terhadap pertumbuhan penduduk dinilai masih memadai.

Hal yang sebaliknya terjadi dengan Kota Bandung dan Kota Medan. Kota dengan persepsi terendah untuk aspek tata kota adalah Kota Bandung dimana hanya 3 % responden warga Kota Bandung dan 5% warga Kota Medan yang menganggap kualitas penataan kotanya baik. Angka 3 % ini merupakan angka terendah dari semua kriteria di semua kota, dan itu ada di Kota Bandung.

Pada dasarnya, kepentingan umum seperti perasaan keteraturan, kenyamanan dan keamanan dapat terwujud dengan penataan yang terarah, teratur dan berkualitas. Sehingga dengan demikian kriteria penataan kota ini berdampak besar terhadap aspek kehidupan perkotaan lainnya.

4. Aspek Penentu Kenyamanan KotaDari hasil survey juga diketahui beberapa kriteria yang dianggap oleh warga kota sebagai aspek utama penentu tingkat kenyamanan kota, yaitu :1. Aspek ekonomi (27,97%)2. Aspek tata ruang (19,66%)3. Aspek fasilitas pendidikan (13,29%)4. Aspek keamanan (11,08%)5. Aspek kebersihan (10,80%)

MLCI 2011 : Masukan dalam Penyusunan Kebijakan dan Program Pembangunan Perkotaan

Sesuai harapannya dalam menyusun MLCI, maka IAP berharap indeks ini dapat menjadi salah satu informasi positif bagi para pelaksana pembangunan perkotaan baik di tingkat daerah ataupun Pusat.

Pada dasarnya kenyamanan hidup berkota adalah hak setiap warga kota, maka pemerintah kota sebagai pihak yang diberi mandate oleh warga harus berusaha untuk merencanakan, membangun dan mengendalikan kawasan perkotaan demi terciptanya lingkungan perkotaan yang nyaman untuk dihuni. Begitupun pihak warga harus paham, mengerti dan menjalankan kewajiban sebagai warga kota yang baik, tidak sekedar menjadi masyarakat kota saja tetapi benar-benar menjadi warga kota (citizen) yang turut mewujudkan kenyamanan kota.

Berdasarkan pemahaman tersebut, maka sudah selayaknya Pemerintah dan masyarakat berpadu dan bekerjasama dalam mewujudkan sebuah kota yang layak huni. Tanpa ada kolaborasi positif antar pihak, maka cita-cita akan sebuah kota yang layak huni tidak pernah akan terwujud dan menjadi jargon abadi Pemerintah tanpa pernah terlaksana.

Pada dasarnya, kepentingan umum seperti perasaan

keteraturan, kenyamanan dan keamanan dapat terwujud

dengan penataan yang terarah, teratur dan berkualitas.

Page 31: JULY - AGUSTUS 2011 tataruang · PDF file · 2014-09-29Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc Ayu A. Asih, S.Si M. Refqi, ST Marissa Putri Barrynanda, ST Heri Khadarusno, ST KOORDINASI PRODUKSI

buletin tata ruang | July - Agustus 2011 31July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

topik lain Persepsi Warga Kota Untuk Setiap Aspek

 

- Informasi lebih lengkap mengenai Most Livable City Index (MLCI) dapat di unduh di www.iap.or.id- Manajer Media dan Komunikasi Publik, Ikatan Ahli Perencanaan (IAP)- Direktur Eksekutif Ikatan Ahli Perencanaan (IAP)

Page 32: JULY - AGUSTUS 2011 tataruang · PDF file · 2014-09-29Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc Ayu A. Asih, S.Si M. Refqi, ST Marissa Putri Barrynanda, ST Heri Khadarusno, ST KOORDINASI PRODUKSI

32 buletin tata ruang | July - Agustus 2011 July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

Kota Warisan Budaya DuniaNamanya, yang diambil dari nama Raja Karl XI, memang tak banyak disebut. Karlskrona, sebuah kota tua di sebelah selatan Scandinavia terpilih sebagai salah satu World Heritage dari UNESCO karena dinilai sebagai contoh terbaik kota pelabuhan abad ke-17 di Eropa. Ibukota Wilayah Blekinge ini dibangun pada tahun 1670-an. Dulu daerah ini merupakan pangkalan angkatan laut utama Swedia, ketika negara tersebut menjadi salah satu negara maritim terkuat di Eropa Utara.

Oleh: Redaksi Butaru

Karlskrona:Konsisten, kunci keberhasilan mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan

topik lain

32 buletin tata ruang | Juli - Agustus 2011

 

Sebagai salah satu kota pangkalan maritim terpenting di Swedia pada masa itu, kota ini mengalami pembangunan wilayah dan kota yang cukup pesat hingga tahun 1970-an. Akan tetapi, seperti juga kota-kota lainnya di dunia, pada akhir tahun 1980 kota ini juga mengalami krisis yang diakibatkan krisis ekonomi dunia dan ditutupnya salah satu industri suksesi terbesar di negara ini. Meski begitu, secara kasat mata, kondisi sulit itu seakan-akan tidak pernah menimpa kota ini. Lalu apa yang telah dilakukan kota ini, sehingga berhasil mewujudkan pembangunan berkelanjutan?

Kota Karlskrona membangun dirinya dengan empat citra: lingkungan hunian yang menarik; perekonomian yang tumbuh pesat; pendidikan terbaik; juga keramahan dan keterbukaan. Salah satu indikasinya yang terasa adalah setiap kawasan permukiman wilayah kota mempunyai akses yang sangat baik ke fasilitas kota, seperti tempat perbelanjaan, rekreasi dan pendidikan serta akses ke sistem transportasi yang terpadu dan modern.

Salah satu sudut Karlskrona

Page 33: JULY - AGUSTUS 2011 tataruang · PDF file · 2014-09-29Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc Ayu A. Asih, S.Si M. Refqi, ST Marissa Putri Barrynanda, ST Heri Khadarusno, ST KOORDINASI PRODUKSI

buletin tata ruang | July - Agustus 2011 33July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

Arsitektur kuno dengan instalasi berbau kelautan

menjadi daya tarik pariwisata utama di

Karlskrona.

topik lain

buletin tata ruang | Juli - Agustus 2011

Dalam mengembangkan ekonomi kota, kegiatan ekonomi di kota ini lebih difokuskan kepada kegiatan yang mendukung kota sebagai kota warisan budaya yaitu mengembangkan soft industry dan perdagangan/retail yang mendukung fungsi kota seperti pariwisata, pendidikan dan teknologi informasi. Hal ini terlihat dari suburnya tujuan wisata yang menarik seperti museum dan galeri seni dengan fasilitas yang nyaman dan lengkap. Penyediaan akomodasi untuk wisatawan yang datang ke kota tersebut sangat terkelola dengan baik.

Kegiatan Ekonomi mendukung fungsi Utama Kota Kegiatan perdangan seperti pertokoan, restoran dan lain-

lain di sepanjang jalan dan tersebar di seluruh wilayah kota disesuaikan dengan kondisi kota sebagai kota warisan budaya. Jadi akan sulit menemukan mal modern yang tidak sesuai dengan kondisi kota tua ini. Hal ini memberi kesan kuat bahwa kota ini merupakan kota tua bersejarah yang layak menjadi salah satu tujuan wisata dunia. Lebih lanjut lagi, dalam upaya mengukuhkan dirinya sebagai tempat tinggal dan bekerja yang menarik dan nyaman, kota ini juga berusaha menyelaraskan pengelolaan kegiatan industri, pendidikan, dan retail, menuju pembangunan berkelanjutan.

Pusat pendidikan yang mendukung sektor utama kotaThe Blekinge Institute of Technology, pendidikan tinggi presitisius di Swedia, terdapat di kota ini. Yang menarik lagi, institut ini sebagai bangunan pendidikan dan penelitian, fokus pada teknologi informasi dan pembangunan berkelanjutan. Hal ini sangat ideal mengingat kota ini juga rumah dari sejumlah perusahaan telekomunikasi dan perusahaan perangkat lunak (software) yang besar yang meliputi Telenor, Ericsson AB dan Wireless Independent Provider (WIP). Akhirnya, terjadilah kerjasama yang baik dan saling mendukung antara universitas dengan industri telekomunikasi di wilayah ini, yang membuat universitas tersebut akan selalu terdepan dalam hal pengetahuan dan inovasi. Mahasiswa juga dapat melakukan praktik langusng di perusahaan tersebut dan setelah tamat mendapat peluang langsung bekerja di sana. Tentu saja kondisi ini akan sangat mendukung keberadaan industri teknologi informasi dan telekomunikasi di wilayah ini.telekomunikasi di wilayah ini.

Pariwisata menjadi Sektor PrimadonaKenyamanan tempat-tempat wisata kota inilah yang menjadikannya sebagai salah satu tujuan wisata dunia. Suasana yang nyaman, teratur dan bersih di setiap lokasi wisata dengan ruang terbuka yang aman dan mudah dicapai mengakibatkan kota ini layak disebut kota wisata dunia. Hal ini tentu akan sulit kita temui di kota tua di Jakarta misalnya,

yang suasanya jauh dari nyaman, kurang teratur, kumuh dan semrawut, khususnya pada malam hari. Jalur pedestrian yang sangat nyaman untuk berjalan kaki dan adanya tempat duduk untuk beristirahat di kota ini juga sulit ditemui di Kota Tua Jakarta, dimana jalur pedestrian malah sering digunakan sepeda motor untuk menghindari kemacetan.

Bangunan-bangunan tua di Kota Karlskrona, hampir dipastikan terawat dengan baik karena adanya komitmen tinggi dewan kota untuk mempertahankan Karlskrona sebagai kota warisan budaya dan upaya untuk meningkatkan kegiatan pariwisata.

Sangat berbeda bila dibandingkan dengan Kota Tua Jakarta. Kebanyakan bangunan tua yang seharusnya menjadi daya tarik wisata berada dalam kondisi tidak terawat. Hal ini karena gedung tersebut merupakan milik swasta, sehingga pemerintah sulit untuk melakukan pemugaran. Sementaran di Karlskrona, gedung bersejarah dimiliki pemerintah untuk memudahkan proses pemugaran, dan peruntukannnya bisa disesuaikan dalam mendukung fungsi wilayah kota tersebut.

Salah satu sudut Karlskrona

Page 34: JULY - AGUSTUS 2011 tataruang · PDF file · 2014-09-29Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc Ayu A. Asih, S.Si M. Refqi, ST Marissa Putri Barrynanda, ST Heri Khadarusno, ST KOORDINASI PRODUKSI

34 buletin tata ruang | July - Agustus 2011 July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

fasilitas dan Events yang mendukungGedung-gedung tua yang menyimpan sejarah kota dan negara Swedia di kota ini terawat baik dan didukung oleh ruang terbuka yang sangat nyaman. Inilah yang membuat pengujung betah menikmati tujuan wisata tersebut. Demikian juga keberadaan museum-museum dan galeri seni yang unik, yang tidak hanya memamerkan The Swedish Royal Navy, tetapi juga berbagai hal seperti mobil tua dan porselen dan karya seniman ternama da Vinci, yang ditata secara modern. fasilitas pendukung yang lengkap membuat museum berhasil menjadi sumber pendapatan kota yang signifikan karena tingginya wisatawan baik lokal dan international.

Untuk menarik wisatawan ke kota ini, terdapat banyak pagelaran budaya dan hiburan yang ditawarkan setiap tahunnya, anta lain acara “leaf market” dan Sail festivals yang diiringi budaya lokal kota tersebut seperti musik, tarian dan lagu-lagu.

Kota ini juga dikenal sebagai kota seminar dan konferensi, serta tempat peluncuran produk dan tempat pertemuan produktif lainnya yang sangat profesional. Hal ini terlihat dari fasilitas untuk kegiatan tersebut seperti tempat pertemuan dan akomodasi yang unik, ditambah suasana yang sangat mendukung yaitu laut yang tenang dan aroma jalan. Kesiapan fasilitas informasi kota dan pariwisata sangat mendukung kegiatan produktif di kota ini.

Dari sini kita bisa melihat bagaimana Kota Karlskrona sebagai World Heritage City, konsisten dengan fungsi dan perannya sebagai kota pariwisata yang mendukung sejarah, bagaimana kegiatan ekonomi dikaitkan dengan pariwisata dan soft industry, bagaimana aktivitas kota yang berkaitan dengan pariwisata, industri dan retail tidak terpusat tapi menyebar ke seluruh wilayah kota dan hinterland, atau wilayah sekitar dan kawasan pendukungnya.

Hal ini semakin nyata dengan langkah pemerintah untuk memperjelas kepemilikan gedung-gedung tua dan aset wisata untuk memudahkan proses pemugaran dan tindakan lainnya. Ruang terbuka hijau yang nyaman tanpa pagar yang dilengkapi fasilitas memadai seperti parkir, pedestrian dan jalur pejalan kaki ikut menguatkan kota tersebut sebagai kota warisan budaya dan pariwisata yang mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Konsistensi, mungkin ini yang hilang pada Kota Tua Jakarta yang sebagian besar bangunan-bangunan di dalamnya milik swasta dan individu.

topik lain

The city has a pleasant atmosphere and is one of the highlights of south-east Sweden.

Outside the city lies the archipelago of Karlskrona, the most southern of the

Swedish archipelagos. Several islands are connected to the city by ferries.

PERCEPATANPENYELESAIAN

RTRW

Dengan mengenal lebih jauh Karlskrona, kita belajar bagaimana sebuah kota mewujudkan ide dasar menjadi tindakan nyata: Kota yang berkelanjutan secara sosial, lingkungan dan pembiayaan; Kota yang menjadi tempat pertemuan yang alami untuk semua kalangan; Kota yang mudah dicapai oleh semua; Kota yang dapat menyediakan kesempatan kerja, pendidikan, pagelaran budaya, komersial, aktivitas hiburan dan leisure; Kota yang menawarkan kondisi berkelanjutan dan menguntungkan untuk pembangunan dan pelaksanaan untuk semua jenis kegiatan.

Akhirnya, institusi atau organisasi kota terkait pembangunan, baik pemerintah maupun swasta, serta administrasi kota yang kreatif dan efektif serta terkoordinasi dapat mewujudkan ini semua. Dalam upaya revitalisasi dan mewujudkan pembangunan berkelanjutan kota-kota warisan budaya di Indonesia, mungkin ada satu hal yang bisa kita pelajari dari kota Karlskrona ini, yakni: konsistensi. (mem)

Page 35: JULY - AGUSTUS 2011 tataruang · PDF file · 2014-09-29Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc Ayu A. Asih, S.Si M. Refqi, ST Marissa Putri Barrynanda, ST Heri Khadarusno, ST KOORDINASI PRODUKSI

buletin tata ruang | July - Agustus 2011 35July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

Proses penyusunan RTRW, baik Propinsi, Kabupaten dan Kota terus berjalan sampai saat ini. Sejauh ini progress penyusunan RTRW mulai menunjukkan kemajuan yang cukup signifikan, dan tiap tahapan dalam proses penyusunan RTRW terdata dengan baik pada Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN).

Menurut UU Penataan ruang No.26/2007 pada pasal 1 ayat 5, Penataan Ruang didefinisikan sebagai suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Pada pengertian tersebut terdapat suatu kalimat perencanaan tata ruang , yang artinya adalah suatu proses menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan Rencana Tata Ruang.

Perencanaan tata ruang ini dilakukan dengan klasifikasi wilayah administratif yakni wilayah nasional, provinsi, kabupaten dan kota. Selain itu juga terdapat klasifikasi perencanaan tata ruang pada kawasan khusus dan wilayah yang memiliki nilai strategis yang memiliki kepentingan nasional. Dari masing-masing perencanaan tersebut, selanjutnya dikeluarkanlah sebuah produk berupa Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang disusun dan diselenggarakan oleh Pemerintah sesuai dengan kewenangan masing-masing terhadap wilayahnya.

Namun, walau disadari RTRW ini sangat penting bagi masing-masing wilayah, sering kali penyusunan RTRW ini berjalan dengan agak tersendat, seperti yang terjadi pada kondisi sebelumnya. Presentase status RTRW sampai saat ini membuktikan bahwa masih banyak RTRW, baik propinsi, kabupaten ataupun kota, yang jauh dari tahap selesai (lihat tabel). Sebagai contoh, menurut UU 26/2007 pasal 78 ayat 4b, RTRWP harus selesai dalam kurun waktu 2 tahun setelah undang-undang diberlakukan. Tapi faktanya, sampai saat ini, kurang lebih baru 27% Perda Provinsi yang terealisasi.

topik lain

Perencanaan tata ruang ini dilakukan dengan klasifikasi wilayah administratif yakni wilayah nasional, provinsi, kabupaten dan kota.

PERCEPATANPENYELESAIAN

RTRW

Oleh: Redaksi Butaru

 

 

Peta RTRWN

Contoh RTRWP

(Rencana Tata Ruang Wilayah)

Page 36: JULY - AGUSTUS 2011 tataruang · PDF file · 2014-09-29Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc Ayu A. Asih, S.Si M. Refqi, ST Marissa Putri Barrynanda, ST Heri Khadarusno, ST KOORDINASI PRODUKSI

36 buletin tata ruang | July - Agustus 2011 July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

topik lain

Mengingat waktu yang tersisa sampai akhir 2011 sudah semakin sedikit, maka dibutuhkan upaya-upaya percepatan penyelesaian rencana tata ruang dari pemerintah pusat dan daerah yang terkoordinasi.

“Target besar Direktorat Jenderal (Ditjen) Penataan Ruang di tahun 2011 ini tidak hanya sampai persetujuan substansi Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), tetapi juga perlu dikawal sampai RTRW tersebut diperdakan,”

Imam S Ernawi , Dirjen Penataan Ruang

STRATEGI PERCEPATAN

Dalam rangka percepatan penyelesaian penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi, kabupaten dan kota, Direktorat Jenderal Penataan Ruang bekerja sama dengan BKPRN membuat beberapa program percepatan baik dalam segi adminsitrasi, pendampingan dan penguatan kolaborasi sebagai upaya mengejar target sekaligus tantangan dari masyarakat dan DPR agar seluruh Pemda segera menetapkan Perda tentang RTRW-nya. Kegiatan tersebut antara lain: Pendampingan Konsultan Manajemen Regional (KMR) dan Tim pendamping daerah (TPD); Membuat mekanisme managemen waktu yang baik melalui Project Management Unit (PMU), Melakukan koordinasi melalui Rapat Penguatan di Daerah, dan Sosialisasi Penataan Ruang.

Pembentukan Konsultan Manajemen Regional (KMR) dan Tim Pendamping Daerah (TPD) diharapkan dapat membantu direktorat, sehingga menjadi bagian yang tidak terpisahkan. KMR dan TPD ini berada di bawah naungan KMP yang berada di pusat. Adapun tugas KMR adalah memberikan penasehatan substansi teknis, pendampingan rekomendasi Gubernur, pendampingan persetujuan substansi dan pelaporan kepada Konsultan Manajemen Pusat, Konsultan Manajemen Evaluasi dan Konsultan Manajemen Data Informasi. Sedangkan tugas TPD adalah mendampingi proses penyusunan RTRW, menunjang manajemen percepatan penyusunan RTRW dan menghubungkannya ke KMR, serta membuat quality control laporan RTRW dan melaporkannya ke KMR.

Terkait masalah bobot substansi RTRW, pendampingan ini menitikberatkan pada penyelesaian permasalahan yang sering ditemui dalam proses persetujuan substansi. Salah satu contohnya adalah penyelesaian masalah kawasan hutan.

Diperlukan suatu interface perbantuan antara unit-unit kerja Ditjen Penataan Ruang dengan rangkaian kegiatan konsultan tersebut melalui pembentukan PMU.

 

Rapat besar PMU-KMR

No PROSES PENYELESAIAN JUMLAHPROPINSI KABUPATEN KOTA

1 Proses Revisi 1 144 202 Proses Rekomendasi Gubernur 0 40 223 Sudah Pembahasan BKPRN 4 60 14 Sedang Persetujuan Substansi 14 48 05 Pembahasan DPRD 4 74 306 Perda 10 32 10

Keterlambatan ini terjadi karena alasan yang cukup kuat, yakni adanya kebingungan normatif akibat benturan-benturan dari peraturan hukum masing-masing sektor yang belum maupun sedang mengalami proses paduserasi. Selain itu, terdapat pula beberapa faktor penghambat RTRW, antara lain kurangnya tenaga teknis pada beberapa daerah terkait elaborasi kebutuhan pemanfaatan ruang antar kabupaten dan kota dalam provinsi yang memang kompleks dan rumit.

Page 37: JULY - AGUSTUS 2011 tataruang · PDF file · 2014-09-29Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc Ayu A. Asih, S.Si M. Refqi, ST Marissa Putri Barrynanda, ST Heri Khadarusno, ST KOORDINASI PRODUKSI

buletin tata ruang | July - Agustus 2011 37July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

topik lain

  ”Seluruh mitra kerja di lingkungan Direktorat Pembinaan Penataan Ruang Daerah Wilayah II harus dapat mengikuti setiap aturan main yang telah ditentukan demi kelancaran pelaksanaan pekerjaan”

(Direktur Pembinaan Daerah Wil. 2, Ditjen Penataan Ruang)

Di dalam pelaksanaannya, KMR dan TPD diharapkan memahami dengan dengan baik mengenai tugas dan tanggung jawabnya. Karena jika tidak, maka panduan yang sudah disusun tidak akan mencapai target yang diinginkan. Jika itu yang terjadi, maka diperlukan suatu bagan besar yang kemudian dijelaskan persatu secara rinci, dan diberi urutan lengkap berdasarkan tahapan-tahapan penyelesaian yang dilakukan secara berkesinambungan.

Dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendampingan di atas, diperlukan suatu interface perbantuan antara unit-unit kerja Ditjen Penataan Ruang dengan rangkaian kegiatan konsultan tersebut. Dari sinilah maka Project Management Unit (PMU) dibentuk.

PMU bertugas melaksanakan koordinasi kegiatan pendampingan percepatan penyusunan/revisi Raperda RTRW Kabupaten dan Kota. Berdasarkan World Bank, PMU dapat didefinisikan sebagai unit perbantuan teknis dan administrasi ketika pegawai negeri sipil telah terbebani sepenuhnya dengan tugas-tugas rutin yang sudah ada. Struktur Tim PMU Kegiatan Pendampingan Percepatan Penyusunan/Revisi Raperda RTRW Kabupaten/Kota terdiri atas Tim Pengarah, Narasumber, Tim Pelaksana, dan Tim Sekretariat.

Tugas Project Management Unit (PMU) adalah memastikan 285 Kabupaten/Kota disetujui RTRW. Untuk menjamin hal tersebut, syarat yang diperlukan adalah tepat waktu, sehingga diperlukan target waktu. Jadi, jelas bahwa tugas utama PMU adalah managemen waktu (time management) yang dikawal oleh KMP (sebagai badan yang mempunyai komando ke KMR dan TPD) dan Quality Management yang dikawal oleh KMR (dari daerah sampai Provinsi) dan KME (di pusat).

Melalui pemantauan online ini seluruh stakeholder penataan

ruang dapat melihat sudah sampai sejauh mana progress

masing-masing daerah serta target penyelesaian berupa

tanggal-tanggal pelaksanaan setiap tahapannya.

Diperlukan suatu bagan besar yang kemudian di blow up satu persatu secara rinci serta diberi urutan lengkap berdasar tahapan penyelesaian yang dilakukan secara berkesinambungan.

Kegiatan pemantauan rencana tata ruang wilayah seluruh Indonesia dilakukan melalui situs resmi penataan ruang. Melalui pemantauan online ini, diharapkan seluruh stakeholder penataan ruang dapat melihat sudah sampai sejauh mana kemajuan masing-masing daerah beserta target penyelesaiannya yang dipresentasikan bersamaan dengan tanggal-tanggal pelaksanaan setiap tahapannya.

Kegiatan lain yang dilakukan adalah koordinasi melalui Rapat Penguatan di Daerah. Kegiatan koordinasi ini khususnya dilakukan di daerah yang masih bermasalah dan terhambat dalam penyusunan bermasalah. Daerah-daerah seperti ini terus mendapatkan bimbingan teknis dari pusat, yang sampai saat ini masih dilakukan oleh Direktorat Wilayah. Diskusi bersama dalam bentuk rapat penguatan ini dilakukan dengan tujuan mengetahui dengan jelas permasalahan-permasalahan yang dialami oleh daerah saat menyusun rencana tata ruangnya. Dari sini kemudian dicari sebuah solusi bersama untuk mempercepat proses penyusunan RTRW tersebut. Hal ini sesuai dengan komitmen pemerintah

  Rapat DJPR – KMR TPD

Rapat besar PMU-KMR

Page 38: JULY - AGUSTUS 2011 tataruang · PDF file · 2014-09-29Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc Ayu A. Asih, S.Si M. Refqi, ST Marissa Putri Barrynanda, ST Heri Khadarusno, ST KOORDINASI PRODUKSI

38 buletin tata ruang | July - Agustus 2011 July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

topik lain

TANTANGAN DAN HAMBATANDi dalam upaya percepatan penyelesaian rencana tata ruang, terdapat pula tantangan dan hambatan. Hal-hal yang menjadi tantangan antara lain adalah : (1) Target Besar Ditjen Penataan Ruang di tahun 2011. Pendampingan penyelesaian rencana tata ruang yang tidak hanya sampai pada persetujuan substansi, tetapi sampai rencana tata ruang tersebut di-Perda-kan merupakan tantangan terbesar yang menegaskan program percepatan penyelesaian ini sangat dibutuhkan. (2) Rencana tata ruang juga sudah harus mengakomodasi program MP3EI yang sudah mulai berjalan, sehingga di dalam rencana tata ruangnya, sektor-sektor unggulan harus terinformasi dan terakomodir dengan baik di dalam perencanaan tata ruangnya. (3) Tercapainya keterpaduan pengembangan wilayah dengan keterpaduan antar sektor dan keterpaduan rencana tata ruang wilayah dengan RTRWN. Sebagai alat keterpaduan pembangunan lintas sektor, maka rencana tata ruang ke depannya akan menjadi sangat penting. Karena itu di dalam penyusunannya harus mempertimbangkan peraturan masing-masing sektor yang terkait, agar proses persetujuan substansi di pusat tidak menghambat keluarnya perda RTRW provinsi/kabupaten/kota.

Sedangkan hambatan yang ditemui dalam upaya percepatan ini antara lain permasalahan pelepasan atau perubahan fungsi kawasan hutan yang tertuang dalam Ranperda RTRW. Beberapa daerah masih mengalami permasalahan pada penetapan kawasan hutan dimana proses tim terpadu masih berjalan. Hambatan yang terakhir – yang paling mendasar tetapi merupakan hambatan terbesar– adalah masih kurangnya pemahaman akan pentingnya rencana tata ruang di dalam pengembangan wilayah. (eq)

pusat, yakni akan terus berupaya membantu Pemerintah Daerah semaksimal mungkin melalui kegiatan bimbingan teknis, sosialisasi dan diseminasi.

Selain dua kegiatan sebelumnya, Ditjen Penataan Ruang juga melakukan sosialisasi tentang RTRW, agar setiap stakeholder penataan ruang baik di pemerintah nasional maupun di pemerintah daerah paham mengenai urgensi rencana tata ruang terhadap pengembangan dan pembangunan wilayahnya. Diharapkan melalui kegiatan ini daerah-daerah yang belum selesai menyusun rencana tata ruang akan terdorong untuk segera menyelesaikan rencana tata ruangnya. Jumlah Kabupaten/Kota yang akan ditangani oleh program percepatan meliputi 230 Kabupaten dan 49 Kota yang tersebar di 32 Propinsi di Indonesia, dengan target penyeselesaian akhir 2011, atau minimal selesai persetujuan substansinya.

 

Komitmen pemerintah pusat adalah akan terus berupaya membantu Pemerintah Daerah semaksimal

mungkin melalui kegiatan bimbingan teknis, sosialisasi dan diseminasi.

Hambatan terbesar dalah masih kurangnya pemahaman akan pentingnya rencana tata ruang di dalam pengembangan wilayah.

Page 39: JULY - AGUSTUS 2011 tataruang · PDF file · 2014-09-29Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc Ayu A. Asih, S.Si M. Refqi, ST Marissa Putri Barrynanda, ST Heri Khadarusno, ST KOORDINASI PRODUKSI

buletin tata ruang | July - Agustus 2011 39July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

topik lain

Oleh: Redaksi Butaru

TANTANGANPEMBANGUNAN

Perumahan dan Permukiman di Perkotaan

Dalam pembukaan UUD 1945, tiap-tiap warga negara berhak atas penghidupan yang layak. Dalam perjalanannya, kita hampir melupakan aspek pemerataan atau cita-cita keadilan sosial yang begitu mendasar dalam falsafah berkehidupan bangsa. Salah satu aspek mendasar dalam kehidupan yang layak dan sesuai dengan martabat kemanusiaan adalah setiap warga negara harus memiliki rumah tempat berteduh dan bermukim. Oleh karena itulah, perumahan dan permukiman amat mendasar hakikatnya bagi upaya pembangunan yang berjiwa pemerataan dan berkeadilan.

Cita-cita mulia preamble UUD 1945 menyatakan, kebutuhan sandang, pangan dan papan tiap warga wajib terpenuhi. Namun demikian, faktanya saat ini kita melihat masih banyak masyarakat yang tinggal dan bermukim di bantaran sungai, tepian rel kereta api, kolong jembatan dan lahan-lahan kosong yang tidak layak huni karena sejatinya tidak diperuntukkan untuk permukiman dan tidak dilayani infrastruktur secara memadai seperti air bersih, listrik dan sanitasi.

Masyarakat kesulitan mengakses rumah yang murah, sehat dan layak huni hingga akhirnya muncullah permukiman kumuh. Semua itu bermula karena merajalelanya unsur spekulasi, over investment pada arah kegiatan yang tidak produktif dan prorakyat, dan maraknya perkembangan daerah-daerah perumahan mewah yang tidak mencerminkan kondisi dari negara yang sedang membangun, yang masih banyak warganya yang hidup di bawah garis kemiskinan. Belum lagi, masih adanya ego sektoral dan perilaku birokrasi mekanisme penyediaan rumah yang rumit dan berbelit-

belit. Hal ini menyebabkan penyalahgunaan wewenang oleh oknum-oknum birokrasi dari proses pengadaan tanah, administrasi perizinan, proses lelang pembangunan, hingga pengelolaannya. Demikian disampaikan Ginandjar Kartasasmita, mantan Ketua Bappenas.

Persoalan inilah yang kemudian mendasari pembiayaan hunian menjadi tinggi sehingga mengakibatkan harga perumahan pun ikut tinggi dan akhirnya sulit diakses oleh masyarakat menengah ke bawah atau masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Pemerataan pembangunan perumahan dan permukiman tidak boleh diserahkan kepada mekanisme pasar begitu saja karena hanya yang berpenghasilan tinggi yang dapat membeli tanah perkotaan yang semakin tinggi. Diperlukan upaya memberdayakan masyarakat berpenghasilan rendah dalam pembangunan perumahan dan permukiman dengan perencanaan penataan ruang yang strategis demi mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.

Salah satu aspek mendasar dalam kehidupan yang layak dan sesuai dengan martabat kemanusiaan adalah setiap warga negara harus memiliki rumah tempat berteduh dan bermukim.

topik lain wacana

Page 40: JULY - AGUSTUS 2011 tataruang · PDF file · 2014-09-29Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc Ayu A. Asih, S.Si M. Refqi, ST Marissa Putri Barrynanda, ST Heri Khadarusno, ST KOORDINASI PRODUKSI

40 buletin tata ruang | July - Agustus 2011 July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

Terlalu banyak batasan yang dibuat oleh Pemda,

sehingga pengembang tidak tertarik untuk

membangun Rusunamidi Jakarta.

Saat ini kebutuhanrumah tinggal diDKI Jakarta setiap tahunnya mencapai sekitan 70 - 80 ribu unit.

Hasil sensus 2010 Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah penduduk Indonesia berjumlah 237,7 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk 1,49% per tahun. Dengan jumlah penduduk yang sedemikian besar ini, adalah tanggung jawab pemerintah untuk menjamin setiap warganya hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang merupakan kebutuhan dasar manusia dan yang mempunyai peran sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa sebagai salah satu upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri dan produktif, seperti yang tertuang dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Namun demikian, faktanya perimbangan peraturan perundangan ini belum tercapai seutuhnya.

Keinginan pemerintah menjamin setiap warganya memiliki rumah dan bermukim dengan layak dilakukan dengan rencana membangun 1.000 tower hunian murah bagi warga pun gagal direalisasikan. Dari 1000 target, yang berhasil dibangun hanya 78 menara. Dan dari 78 menara itu, 74 diantaranya terlantar karena keterbatasan infrastruktur pendukungnya seperti air, listrik, sarana pendidikan dan akses transportasi. Sebanyak 78 menara yang terdiri dari 40.000 unit itu tersebar di Jabodetabek sebanyak 67 menara, tiga menara di Surabaya, tiga di Batam dan lima di Bandung. Padahal saat ini, kebutuhan rumah tinggal di DKI Jakarta saja, setiap tahunnya sekitar 70-80 ribu unit.

Kegagalan rencana pembangunan 1000 menara yang pertama kali dicetuskan oleh Jusuf Kalla saat menjadi Wakil Presiden terkendala pada rumitnya pengurusan pencairan dana dan subsidi serta harga bahan baku material dan harga tanah yang mahal. Kendala tersebut dapat mengakibatkan harga dasar pembangunan sebuah unit hunian akan menjadi terlalu tinggi dan sangat sulit untuk diakses oleh masyarakat menengah ke bawah. Dari sekian banyak unit, yang dijual sebagai rumah susun sederhana milik (rusunami) tidak sampai 100 unit. Sisanya dijual sebagai apartemen sederhana milik (apnami) dengan harga yang tinggi maupun dijangkau dengan kredit yang yang hanya bisa diakses oleh masyarakat yang berpenghasilan tetap atau masyarakat menengah ke atas. Padahal, masyarakat menengah ke bawah atau masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) inilah yang sebenarnya merupakan sasaran utama pembangunan rumah susun yang ditetapkan pemerintah.

“Terlalu banyak batasan yang dibuat oleh Pemda, sehingga pengembang tidak tertarik membangun Rusunami di Jakarta. Akhirnya, pengembang lebih melirik proyek properti dengan sasaran middle up yang pasarnya ada”, kata pengamat properti Panangian Simanungkalit. Batasan yang dimaksud, seperti kepastian hukum terkait aturan insentif perpajakan dan koefisien luas bangunan yang dinilai terlalu tinggi.

PERSENTASE JUMLAH PENDUDUK YANG TINGGI,VERSUS LAHAN YANG TERBATAS

topik lain

Page 41: JULY - AGUSTUS 2011 tataruang · PDF file · 2014-09-29Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc Ayu A. Asih, S.Si M. Refqi, ST Marissa Putri Barrynanda, ST Heri Khadarusno, ST KOORDINASI PRODUKSI

buletin tata ruang | July - Agustus 2011 41July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

topik lain

Perkembangan Perkotaan: Magnet bagi Kaum UrbanBelum selesai persoalan penduduk alami perkotaan yang sulit mengakses hunian, ditambah lagi dengan tingginya laju urbanisasi di Indonesia. Dikutip dari halaman detik.com tanggal 17 Juni 2011, Direktur Perkotaan dan Pedesaan Bappenas, Hayu Parasati, menyebutkan saat ini komposisi penduduk masih didominasi penduduk desa sebesar 56% dan perkotaan sebesar 44% dengan kontribusi kota besar dan metropolitan terhadap pertumbuhan mencapai 32%. Sedangkan kontribusi kota menengah dan kecil hanya 7% terhadap pertumbuhan. Hampir separuh penduduk tinggal di perkotaan. Badan Pusat Statistik memproyeksikan persentase penduduk yang tinggal di perkotaan menjadi 68% pada tahun 2025.

Urbanisasi dipengaruhi setidaknya oleh tiga faktor yaitu pertumbuhan alami penduduk daerah perkotaan, migrasi dari daerah pedesaan ke perkotaan, reklasifikasi desa pedesaan menjadi desa perkotaan. Perkembangan ekonomi, pembangunan infrastruktur, political will antara perkotaan dan pedesaan yang tidak seimbang telah lama memicu masyarakat untuk pindah dari desa ke kota untuk sekedar mencari penghidupan yang lebih baik.

Perbedaan pertumbuhan atau ketidakmerataan fasilitas pembangunan mengakibatkan wilayah perkotaan menjadi magnet yang menarik bagi penduduk untuk berdatangan mencari pekerjaan dan bertempat tinggal. Dengan demikian,

arus urbanisasi juga berperan menambah kompleksitas permasalahan pembangunan perumahan dan permukiman kota.

Zulfi Syarif Koto, Ketua Lembaga Pengkajian Pengembangan Perumahan dan Perkotaan Indonesia (LPP3I) dan juga mantan Deputi Menteri Perumahan Rakyat Bidang Perumahan formal, dalam bukunya yang berjudul Pembangunan Perumahan Rakyat di Era Reformasi, Siapa Mendapat Apa? mengatakan bahwa masih banyak terjadi disorientasi antara politik pembangunan perumahan rakyat dengan permasalahan manajemen pembangunan rakyat.

Perencanaan pembangunan perumahan dan permukiman dengan segala permasalahan di dalamnya sebagai akibat konsentrasi penduduk yang berlebihan, sarana prasarana pendukung yang tidak memadai, perencanaan dan proses birokrasi yang lambat dan tidak tanggap serta disorientasi pembangunan merupakan permasalahan pelik yang dapat berimplikasi negatif pada timbulnya spot-spot atau kawasan kumuh yang berpotensi menimbulkan penurunan kualitas lingkungan dan berkurangnya ruang terbuka hijau.

Permasalahan-permasalahan perumahan dan permukiman tersebut harus segera diatasi untuk membangun sebuah perkotaan berkelanjutan yang aman dan nyaman dihuni bagi masyarakat.

Urban Renewal?Di beberapa kawasan metropolitan di Indonesia, dimana jumlah dan harga lahan yang terbatas dan begitu tinggi, warga secara alami diarahkan untuk tinggal dan menempati vertical housing seperti apartemen dan rumah susun. Peremajaan kota dilakukan dengan menggusur permukiman kumuh dan menggantinya dengan kegiatan perkotaan lainnya seperti membangun pusat perbelanjaan ataupun apartemen. Menggusur, tindakan konvensional yang paling sering diambil pemimpin di daerah, hanyalah memindahkan kemiskinan dari satu lokasi ke lokasi yang baru. Hunian vertikal yang berada di tengah kota ini tidak dapat dijangkau oleh mayoritas penduduk. Permasalahannya kemudian muncul. Wajah kekumuhan pun muncul di bantaran sungai, tepian rel, kolong jembatan dan areal publik lainnya.

Di Amerika Serikat, pendekatan peremajaan kota sering digunakan pada 1950 dan 1960-an. Pada saat itu, permukiman masyarakat miskin di pusat kota digusur dan diganti dengan kegiatan perkotaan yang dianggap lebih baik. Hal ini memang menciptakan kondisi fisik perkotaan yang baik namun sarat dengan masalah lingkungan, sosial dan kriminalitas karena masyarakat miskin yang tergusur semakin sulit keluar dari kemiskinan karena akses mereka terhadap pekerjaan kian susah. Menyadari kesalahannya, pada awal 1990-an kota-kota di Amerika serikat lebih banyak melibatkan masyarakat dalam pembangunan perkotaannya dan tidak lagi menggusur untuk menghilangkan kemiskinan dan kekumuhan perkotaan.

Dengan melihat pengalaman seperti itu, urban renewal dengan cara menggusur permukiman dan membangun hunian vertikal yang tidak dapat dijangkau

Peremajaan kota dilakukan dengan menggusur

permukiman kumuh dan menggantinya dengan

kegiatan perkotaan lainnya seperti membangun pusat

perbelanjaanataupun apartemen

Page 42: JULY - AGUSTUS 2011 tataruang · PDF file · 2014-09-29Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc Ayu A. Asih, S.Si M. Refqi, ST Marissa Putri Barrynanda, ST Heri Khadarusno, ST KOORDINASI PRODUKSI

42 buletin tata ruang | July - Agustus 2011 July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

masyarakat ekonomi lemah tidak dapat memecahkan masalah pembangunan perumahan dan permukiman. Berbagai macam konflik pun muncul akibat semakin lebarnya disparitas sosial dan menurunnya kemampuan ekonomi masyarakat. Belum lagi menurunnya kualitas lingkungan akibat ketidakmampuan daya dukung kota mengantisipasi pertambahan penduduk.

Pemberdayaan masyarakat dengan menumbuhkan inisiatif warga untuk sama-sama pemerintah membangun dan menjaga apa yang telah mereka usahakan untuk memajukan lingkungan sekitarnya. Pendekatan pembangunan permukiman dengan tiga sasaran pemberdayaan sebagai satu kesatuan upaya, yaitu pemberdayaan masyarakat, pemberdayaaan lingkungan, dan pemberdayaan kegiatan usaha.

Masyarakat menjadi subjek dan tidak hanya menjadi objek pembangunan. Pola pembangunan pada dasarnya tidak hanya menyangkut masalah fisik saja tetapi juga menyangkut pemberdayaan karakter dan budaya masyarakat. Masyarakat diajak untuk bersama membangun, merawat dan melestarikan lingkungan di sekitar mereka. PU memiliki program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) yang tidak hanya berusaha bertanggung jawab untuk membangun sarana dan prasarana fisik tetapi juga bina sosial kemasyarakatan dan bina lingkungan. Lewat program pemberdayaan ini, dana yang diberikan kepada masyarakat melalui fasilitator-fasilitator dapat dikembangkan dan menunjukkan hasil serta jumlah yang lebih besar dari dana awal yang diberikan.

“Perkembangan perkotaan hendaknya menganut konsep better urban development, menciptakan kesempatan yang sama untuk berkontribusi dan mengakses perumahan yang sehat.” kata Menteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto, saat memberikan kata sambutan pada pembukaan Musyawarah Nasional II Masyarakat Peduli Perumahan dan Permukiman Indonesia (MP3I) di Bandung, Jumat 6 Mei 2011.

Pada dasarnya pembangunan perumahan dan permukiman merupakan kegiatan yang menggunakan ruang yang luas sebagai unsur pokoknya. Penataan ruang pada prinsipnya mengatur, mengendalikan dan mengawasi penggunaan lahan. Tata ruang harus menjaga agar benturan kepentingan tidak terjadi yang nantinya dapat mengganggu kelestarian lingkungan dan arah perkembangan perkotaan. Oleh sebab itulah rencana tata ruang harus menjamin pengalokasian lahan perumahan dan permukiman yang adil dan merata antara kepentingan pemerintah, dunia usaha, serta masyarakat dengan berbagai karakter dan tingkat ekonominya. Tata ruang menjadi alat untuk dapat memberdayakan masyarakat mendapatkan kemudahan kredit, perizinan, serta keadilan pelayanan umum.

Indonesia telah berkomitmen untuk mencapai target Millenium Development Goals (MDGs) yang diantaranya dengan mengurangi jumlah penduduk yang tinggal di permukiman kumuh, memudahkan akses terhadap air bersih dan akses sanitasi kepada masyarakat miskin. Untuk mencapai target ini, perlu penguatan peran stakeholders, peningkatan kerjasama antara pemerintah-swasta, memaksimalkan koordinasi teknis dan sosiologis antara pemangku kepentingan.

Melalui tridaya pendekatan pembangunan permukiman ini, masyarakat berpenghasilan rendah yang menjadi prioritas pembangunan perumahan dan permukiman diharapkan dapat mengakses rumah yang murah, sehat dan layak huni sehingga kualitas hidup masyarakat dan lingkungan perkotaan akan menjadi lebih baik, dan zona permukiman kumuh juga akan berkurang secara signifikan.(hk)

Tridaya Perencanaan Strategis Pembangunan Berbasis Penataan Ruang

Pola pembangunan pada dasarnya tidak hanya menyangkut masalah fisik saja tetapi juga menyangkut permberdayaan karakter dan budaya masyarakat.

topik lain

Pembangunan Rusunawa di Jakarta

Page 43: JULY - AGUSTUS 2011 tataruang · PDF file · 2014-09-29Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc Ayu A. Asih, S.Si M. Refqi, ST Marissa Putri Barrynanda, ST Heri Khadarusno, ST KOORDINASI PRODUKSI

buletin tata ruang | July - Agustus 2011 43July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

JULY - AGUSTUS 2011

agenda KerjabKprnPada bulan Juni 2011 diadakan pertemuan penting BKPRN, yaitu Breakfast Meeting Eselon I yang dipimpin oleh Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Bappenas, dan dihadiri oleh beberapa Eselon 1, yaitu Direktur Jenderal Penataan Ruang Kemen-PU, Kepala Badan Geologi-Kementerian ESDM, Dirjen Planologii Kehutanan-Kemenhut, Deputi Menteri Lingkungan Hidup Bidang Tata Lingkungan-KLH, dan beberapa Eselon II dan III dari Kementerian dan Lembaga terkait.

Adapun hal-hal pokok yang akan ditindak lanjuti untuk menjadi Agenda Utama BKPRN bulan Juli-Agustus 2011: • Ditargetkan sebelum pelaksanaan Rakernas 2011 di Manado, RTR Pulau Sulawesi dan RTR KSN Mamminasata sudah dapat dilegalkan. Hal ini sesuai dengan momentum diadakannya Rakernas di Manado, walaupun ada penundaan Rakernas yang direncanakan semula tanggal 26-28 Juli 2011 diundur hingga tanggal 25-27 Oktober 2011.• Dalam rangka percepatan penyelesaian Raperda RTRW, yang perlu didorong adalah waktu diperdakannya. Oleh karena itu perlu ada upaya BKPRN untuk memfasilitasi beberapa Raperda yang telah mendapatkan persetujuan substansi. Lebih lanjut, dalam upaya percepatan diperlukan penambahan Tim Khusus dalam pembahasan Raperda RTRW Kabupaten/Kota.• Terkait dengan Perpres N0. 54/2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabek telah disepakati untuk dilakukan revisi dari masing-masing anggota BKPRN akan memberikan masukan tentang hal-hal yang perlu direvisi.

agenda

Dalam Penyelesaian RTRW, terhitung 14 Agustus 2011, kegiatan pemantauan terhadap penyelesaian rencana tata ruang wilayah seluruh Indonesia dilakukan melalui website resmi penataan ruang, yang disusun oleh Ditjen Penataan Ruang. BKPRN dan Direktorat Jenderal Penataan Ruang dalam program time management mengatur pembagian hari pelaksanaan forum BKPRN berdasarkan wilayah, dan menetapkan mekanisme pelaksanaan BKPRN menjadi dua sesi dengan dua kabupaten/kota di setiap sesinya.

Hal ini dilakukan dengan harapan bahwa pelaksanaan Rapat Persetujuan Substansi Ranperda RTRW di forum BKPRN sesuai jadual yang telah ditetapkan (lihat Tabel) menjadi lebih efektif dan efisien.

topik lain

Jadual Pembahasan bulan July dan Agustus 2011

TGL JULY TGL18 Kab. Talaut 2 Kab. Pasaman Barat 18 Kab. Magetan

Kab, Jember19 Kab. Lampung

TimurKab. Lampung

Selatan

3 Kab. CianjurKota Sawahlunto

18 Kab. Nias BaratKab. Nias Utara

Kab. Pesawaran 4 Kab. Bone BolangoKab. Gorontalo

19 Kab. BanyuwangiKab. Tegal

20 Kab. BuolKab. Gorontalo

5 Kota Batam 19 Kab. Toba SamosirKab. Samosir

21 Kab. SukabumiKab. Indramayu

10 Kota TidoreKepulauan

22 Kab. Lombok BaratKab. Lombok Timur

22 Kab. Trenggalek 10 Kab. DeiyaiKab. Yalimo

22 Kab. Sumbawa BaratKab. Barru

28 Kab. Sijunjung 11 Kota Tanjung PinangKota Surakarta

23 Kab. Banggai Kepu-lauan

Kab. Morowali28 Kab. Belitung 12 Kab. Purworejo

Kab. Temanggung23 Kab. Bantaeng

Kab. Mulukumba28 Kab. Belitung Timur 12 Kab. Ogan Ilir

Kab. Musi Rawas24 Kota Cirebon

Kota Tasikmalaya28 Kab. Bengkulu

Tengah15 Kab. Maybrat

Kab. Tambrauw24 Kota Pekalongan

15 Kab. Raja AmpatKab. Sorong Selatan

25 Kab. PurwakartaKab. Sleman

16 Kab. Teluk BintuniKab. Teluk Wondama

16 Kab. fak fakKab. Kaimana

AGUSTUS

Page 44: JULY - AGUSTUS 2011 tataruang · PDF file · 2014-09-29Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc Ayu A. Asih, S.Si M. Refqi, ST Marissa Putri Barrynanda, ST Heri Khadarusno, ST KOORDINASI PRODUKSI

“We know the problems.... and we knowthe solution; sustainable development.The issue is the political will”(Tony Blair : 2002)