judul proposal

41
Langsa, 6 Nopember 2015 Kepada Yth ; Bapak/Ibu : Ka.Prodi S.1 Keperawatan STIKes Langsa Di. Tempat Dengan hormat, Saya yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : ASMARA NPM : 12.1.0236 Semester : VIII Prodi : S1 Keperawatan Alamat : Jl. Panglima Polem Asrama Gajah II No. 127 Gp. Jawa Langsa Kota Bersama ini saya mengajukan judul skripsi kepada Bapak/Ibu Ka. Prodi S.1 Keperawatan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana keperawatan di STIKes Langsa. Adapun judul skripsi yang saya ajukan sebagai berikut : 1. Hubungan Pengetahuan Penderita Tentang Tuberculosis Paru Dengan Perilaku Kepatuhan Minum Obat di Wilayah Kerja Puskesmas Manyak Payed. 2. Hubungan Status Gizi Dengan Pola Asuh Ibu Terhadap Status Gizi Anak Balita di Wilyah Kerja Puskesmas Manyak Payed. 3. Tingkat Pengetahuan Ibu Menyusui Tentang ASI Eksklusif di Puskesmas Manyak Payed.

Upload: dedek-ahmadi

Post on 12-Apr-2016

52 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Pengjun Judul Skripsi Stikes Ummi

TRANSCRIPT

Langsa, 6 Nopember 2015

Kepada Yth ;

Bapak/Ibu : Ka.Prodi S.1 Keperawatan

STIKes Langsa

Di.

Tempat

Dengan hormat,

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : ASMARA

NPM : 12.1.0236

Semester : VIII

Prodi : S1 Keperawatan

Alamat : Jl. Panglima Polem Asrama Gajah II No. 127 Gp. Jawa Langsa Kota

Bersama ini saya mengajukan judul skripsi kepada Bapak/Ibu Ka. Prodi S.1 Keperawatan

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana keperawatan di STIKes Langsa.

Adapun judul skripsi yang saya ajukan sebagai berikut :

1. Hubungan Pengetahuan Penderita Tentang Tuberculosis Paru Dengan Perilaku

Kepatuhan Minum Obat di Wilayah Kerja Puskesmas Manyak Payed.

2. Hubungan Status Gizi Dengan Pola Asuh Ibu Terhadap Status Gizi Anak Balita di

Wilyah Kerja Puskesmas Manyak Payed.

3. Tingkat Pengetahuan Ibu Menyusui Tentang ASI Eksklusif di Puskesmas Manyak

Payed.

Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga Bapak/Ibu dapat mengabulkan salah satu

judul diatas sebagai judul skripsi saya.

Hormat Saya

ASMARA

HUBUNGAN PENGETAHUAN PENDERITA TENTANG TUBERCULOSIS PARU DENGAN PERILAKU KEPATUHAN MINUM OBAT DI WILAYAH KERJA

PUSKESMAS MANYAK PAYED

A. Latar Belakang

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB

(Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat

juga mengenai organ tubuh lainnya (Kemenkes RI, 2012).

Menurut Kemenkes RI (2012) penularan TB pada saat penderita bersin/batuk,

penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak) oleh

orang dihirup ke saluran pernafasan. Kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar

dalam beberapa jam. Menurut Pharmaceutical care tuberculosis memiliki gejala seperti

batuk berdahak selama 3 minggu atau lebih, batuk darah atau pernah batuk darah, nafsu

makan dan berat badan menurun, demam meriang lebih dari satu bulan, berkeringat

malam. Prinsip pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan, mencegah, dan

menurunkan tingkat penularan.

Pengobatan TB diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis dalam

jumlah cukup dan tepat selama 6-8 bulan. Untuk menjamin kepatuhan penderita minum

obat, pengobatan perlu dilakukan dengan pengawasan langsung DOTS oleh PMO.

Pengobatan melalui 2 fase, yakni fase intensif dan fase lanjutan

Keberhasilan pengobatan tuberculosis tergantung pada pengetahuan pasien, dan

dukungan dari keluarga. Tidak ada upaya dari diri sendiri atau motivasi dari keluarga

yang kurang memberikan dukungan untuk berobat secara tuntas akan mempengaruhi

kepatuhan pasien untuk mengkonsunsi obat. Apabila ini dibiarkan, dampak yang akan

muncul jika penderita berhenti minum obat adalah munculnya kuman tuberculosis yang

resisten terhadap obat, jika ini terus terjadi dan kuman tersebut terus menyebar

pengendalian obat tuberculosis akan semakin sulit dilaksanakan dan meningkatnya angka

kematian terus bertambah akibat penyakit tuberculosis (Sholikhah, 2012).

Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan global utama dengan tingkat kejadian

9 juta kasus per tahun di seluruh dunia dan kasus kematian hampir mencapai 2 juta

manusia (Atif et al ,2012). Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), pada

tahun 2011 kasus TB baru terbanyak terjadi di Asia sekitar 60% dari kasus baru yang

terjadi diseluruh dunia. Akan tetapi Afrika Sub Sahara memiliki jumlah terbanyak kasus

baru perpopulasi dengan lebih dari 260 kasus per 100000 populasi pada tahun 2011.

(WHO, 2013) Jumlah kasus TB terbanyak adalah region Asia Tenggara (35%), Afrika

(30%), dan region Pasifik barat (20%). Berdasarkan data World Health Organization pada

tahun 2009, lima Negara dengan insiden kasus TB terbanyak yaitu, India (1,6-2,4 juta),

China (1,1-1,5 juta), Afrika selatan (0.4-0.59 juta), Nigeria (0.37-0.55 juta) dan Indonesia

(0.35-0.52 juta) (PDPI, 2011)

Di Indonesia, diperkirakan prevalensi TB di Indonesia untuk semua tipe TB

adalah 505.614 kasus per tahun, 244 per 10.000 penduduk dan 1.550 per hari. Insidensi

penyakit TB 528.063 kasus per tahun, 228 kasus per 10.000 penduduk dan 1.447 per

hari.Indisdensi kasus baru 236.029 per tahun, 102 kasus per 10.000 penduduk, dan 647

per hari.Insidensi kasus TB yang mengakibatkan kematian 91.369 per tahun, 30 kasus per

10.000 penduduk, dan 250 per hari (DepKes, 2010). Sedangkan pada tahun 2013,

prevalensi TB di Indonesia ialah 297 per 100.000 penduduk dengan kasus baru setiap

tahun mencapai 460.000 kasus (Kemenkes RI, 2014).

Di Provinsi Aceh, penemuan kasus baru terdapat 1 4.158 per tahun (Profil

Kesehatan Indonesia, 2011). Sementara, Case Detection Rate TB paru Provinsi Aceh

41,44 per Juni 2012 dengan Success rate 89 % dengan target keberhasilan 87%

(Kemenkes RI, 2013).

Berdasarkan data jumlah kasus dan angka penemuan kasus TB paru BTA+ di

Puskesmas Manyak Payed pada tahun 2014 dapat diketahui bahwa jumlah suspek TB

paru sebanyak 160 orang, BTA+ sebanyak 16 orang. Keseluruhan pasien tuberkulosis ada

PMO nya, yaitu sebagian besar PMO tersebut adalah dari keluarga penderita TB, dan

sebagian kecil tetangga dekat rumah penderita.

Menurut Viney (2011), penyebab paling penting peningkatan jumlah penderita TB

di seluruh dunia adalah pengetahuan mengenai penyakit dan ketidakpatuhan terhadap

program, selain itu diagnosis dan pengobatan yang tidak adekuat. Kegagalan proses

pengobatan akibat ketidaktaatan penderita pada instruksi dan aturan minum obat yang

meliputi dosis, cara, waktu minum obat dan periode. Hal inilah yang membuat penulis

tertarik untuk mengkajinya lebih dalam dan mengangkatnya dalam sebuah skripsi yang

diberi judul “Hubungan Pengetahuan Penderita Tentang Tuberculosis Paru Dengan

Perilaku Kepatuhan Minum Obat Di Wilayah Kerja Puskesmas Manyak Payed”.

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN POLA ASUH IBU TERHADAP STATUS GIZI

ANAK BALITA DI WILYAH KERJA PUSKESMAS MANYAK PAYED

1.1 Latar Belakang

Balita adalah anak yang telah menginjak usia diatas 1 tahun atau lebih terkenalnya

usia anak dibawah lima tahun. Pada usia balita pertumbuhan seorang anak sangat pesat

sehingga memerlukan asupan gizi yang sesuai dengan kebutuhannya (Khomsan, 2012).

Menurut Nursalam (2011), tumbuh dan kembang anak secara optimal dipegaruhi oleh

hasil interaksi atara faktor geetis, herediter, dan konstitusi degan faktor lingkungan.Agar

faktor lingkungan memberikan faktor positif bagi tumbuh kembang anak, maka diperlukan

pemenuhan atas kebutuhan dasar tertentu. Kebutuhan ini dapat di kelompokan menjadi tiga,

yaitu asuh, asah, dan asih. Pola Asuh adalah mendidik, membimbing dan memelihara anak,

mengurus makanan, minuman, pakaian dan kebersihannya.

Menurut Lubis (2008) ibu sebagai tokoh sentral dan sangat penting untuk

melaksanakan kehidupan khususnya pada balita. Anak masih membutuhkan bimbingan

seorang ibu dalam memilih makanan agar pertumbuhan tidak terganggu. Bentuk

perhatian/dukungan ibu terhadap anak meliputi perhatian ketika anak makan dan sikap orang

tua dalam memberi makan. Seiring bertambahnya usia anak ragam makanan harus bergizi

lengkap dan seimbang yang mana penting untuk menunjang tumbuh kembang dan status gizi

anak.

Gizi (nutrition) adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang

dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi, penyimpanan,

metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan

kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari organ-organ serta menghasilkan energi.

Keadaan gizi adalah keadaan akibat dari keseimbangan antara konsumsi dan penyerapan zat

gizi dan penggunaaan zat-zat gizi tersebut, atau keadaan fisiologik akibat dari tersedianya zat

gizi dalam seluler tubuh (Supariasa, Bakri, Fajar, 2012).

Soetjiningsih (2012) mengemukakan bahwa pada saat mempersiapkan makanan,

kebersihan makanan dan peralatan yang dipakai harus mendapatkan perhtian khusus.

Makanan yang kurang bersih dan sudah tercemar dapat menyebabkan diare atau cacingan

pada anak.

Status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu

atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu. Malnutrisi adalah keadaan

patologis akibat kekurangan atau kelebihan secara relatif maupun absolute satu atau lebih zat

gizi. Malnutrisi terdiri dari 4 bentuk yaitu Under Nutrition, Specific Deficiency, Over

Nutrition, dan Imbalance (Supariasa, Bakri, Fajar, 2012).

Anak balita yang mendapatkan kualitas pengasuhan yang lebih baik besar

kemungkinan akan memiliki angka kesakitan yang rendah dan status gizi yang relatif lebih

baik. Hal ini menunjukkan bahwa pengasuhan merupakan faktor penting dalam status gizi

dan kesehatan anak balita. Status gizi selain berpengaruh terhadap pertumbuhan dan

perkembangan balita, juga berpengaruh pada kecerdasannya. Balita dengan gizi kurang atau

buruk akan memiliki tingkat kecerdasan yang lebih rendah, yang nantinya mereka tidak

mampu bersaing. Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian

mengenai Hubungan Status Gizi Dengan Pola Asuh Ibu Terhadap Status Gizi Anak Balita Di

Wilyah Kerja Puskesmas Manyak Payed.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PENGETAHUAN IBU

MENYUSUI TENTANG ASI EKSKLUSIF DI PUSKESMAS MANYAK PAYED

1. Latar Belakang

Menurut Strategi Nasional Peraturan Pemerintah mengenai Air Susu Ibu (PP-ASI)

yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2013, ASI

merupakan nutrisi terbaik pada awal usia kehidupan bayi. Pemberian ASI yang baik

adalah apabila ASI diberikan secara eksklusif. ASI eksklusif menurut World Health

Organization (WHO) adalah pemberian ASI saja (tanpa tambahan cairan lain, seperti

susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih, maupun makanan lain, seperti pisang, bubur

susu, biskuit, bubur nasi, nasi tim, dan lain-lain), hingga bayi berusia 6 bulan.1 Konvensi

Hak-hak Anak tahun 1990 antara lain menegaskan bahwa tumbuh kembang secara

optimal merupakan salah satu hak anak. ASI selain merupakan suatu kebutuhan juga

menjadi hak azasi bayi yang yang harus dipenuhi oleh orang tuanya. Hal ini telah

dipopulerkan pada Pekan ASI sedunia tahun 2000 dengan Tema : “Memberi ASI adalah

hak azasi ibu; Mendapat ASI adalah hak azasi bayi”

Pada Pekan ASI sedunia Agustus 2008, The World Alliance For Breast Feeding

Action (WABA) memilih tema Mother Support: Going For the Gold. Makna tema

tersebut adalah suatu gerakan untuk mengajak semua orang meningkatkan dukungan

kepada ibu untuk memberikan bayi-bayi mereka makanan yang berstandar emas yaitu

ASI yang diberikan eksklusif selama enam bulan pertama dan melanjutkan ASI bersama

makanan pendamping ASI lainnya yang sesuai sampai bayi berusia dua tahun atau lebih

(Saleha, 2009).

Keuntungan pemberian ASI diantaranya adalah ASI meningkatkan daya tahan

tubuh bayi yaitu merupakan cairan hidup yang mengandung zat kekebalan yang akan

melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi bakteri, virus, parasit dan jamur. Zat

kekebalan yang terdapat pada ASI akan melindungi bayi dari penyakit menceret (diare),

juga akan menurunkan kemungkinan bayi terkena infeksi telinga, batuk, pilek dan

penyakit alergi lainnya (Suradi, 2008).

Melihat manfaat ASI yang sedemikian besar sangat disayangkan jika bayi tidak

mendapat ASI eksklusif dengan optimal. Berbagai penelitian menyebutkan akibat atau

kerugian dari ketidak optimalan tersebut sangat besar. Apabila bayi di bawah enam bulan

telah diberi makanan tambahan maka bayi akan sulit tidur di malam hari. Selain itu bayi

akan mengalami gangguan-gangguan lain seperti sakit perut, mencret, sembelit, infeksi,

kurang darah, dan alergi. Pengetahuan ibu tentang keunggulan ASI dan cara pemberian

ASI yang benar dapat menunjang keberhasilan ibu dalam menyusui. Hal ini karena

ketidaktahuan ibu tentang keunggulan ASI dan resiko pemberian makanan tambahan

lebih awal dapat memberi pengaruh buruk pada bayi yaitu bayi rentan terhadap penyakit

infeksi dan diare. Pada saat ini angka pemberian ASI cenderung menurun karena ASI

sudah banyak diganti dengan susu botol. Hal tersebut tidak perlu terjadi bila ibu cukup

mengetahui keunggulan ASI sebagai makanan terbaik bayi dan bahaya yang dapat timbul

akibat mengganti ASI dengan makanan tambahan lainnya (Purwanti, 2012).

Berdasarkn penelitian yang dilakukan oleh Meiyana Dianning Rahmawati (2010)

terdapt beberap faktor yang mempengaruhi pemberian ASI eksklusif pada ibu menyusui,

antara lain usia ibu, status pekerjaan ibu, urutan kelahiran bayi dan dukungan petugas

kesehatan. Sedangkan faktor yang paling berpengaruh terhadap pemberian ASI eksklusif

pada ibu menyusui adalah status pekerjaan ibu dimana responden yang tidak bekerja

berpeluang untuk memberikan ASI eksklusif kepada bayinya 4 kali dibanding responden

yang bekerja.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh DY Gultom (2010) menunjukkan bahwa

mitos dan sosial budaya mempengaruhi tingkat pengetahuan ibu menyusui tentang ASI

eksklusif. Penelitian lain yang dilakukan I. Agam (2013) menunjukkan bahwa

pengalaman, sikap, umur dan pendidikan mempengaruhi tingkat pengetahuan ibu

menyusui tentang ASI eksklusif. Dan faktor yang paling dominan adalah pengalaman.

Ibu harus mempunyai pengetahuan yang baik tentang pemberian ASI kepada bayi

terutama ASI eksklusif karena dengan memberikan ASI secara eksklusif berarti ibu telah

memberikan kekebalan bayi terhadap berbagai macam penyakit. Hal inilah yang melatar

belakangi penulis ingin mengangkat judul Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat

Pengetahuan Ibu Menyusui Tentang ASI Eksklusif Di Puskesmas Manyak Payed.

Langsa, 10 Nopember 2015

Kepada Yth ;

Bapak/Ibu : Ka.Prodi S.1 Keperawatan STIKes Langsa

Di.

Tempat

Dengan hormat,

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Cut Wanradiah

NPM : 12.1.0206

Semester : VIII

Prodi : S1 Keperawatan

Alamat : Jl. Petua Bayeun No. 139 Mtg Seulimeng Langsa Barat

Bersama ini saya mengajukan judul skripsi kepada Bapak/Ibu Ka. Prodi S.1 Keperawatan

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana keperawatan di STIKes Langsa.

Adapun judul skripsi yang saya ajukan sebagai berikut :

1. Hubungan Pola Makan Dengan Kejadian Dyspepsia Pada Lansia di Puskesmas Langsa

Barat Tahun 2015.

2. Pengaruh Senam Lansia Terhadap Pasien Hypertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Langsa

Barat.

3. Gambaran Pengetahuan Tentang Manfaat Minum Obat Cacing secara berkala di Wilayah

Kerja Puskesmas Langsa Barat.

Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga Bapak/Ibu dapat mengabulkan salah satu judul

diatas sebagai judul skripsi saya.

Hormat Saya

Cut Wanradiah

Judul I

HUBUNGAN POLA MAKAN DENGAN KEJADIAN DYSPEPSIA PADA LANSIA DI

PUSKESMAS LANGSA BARAT TAHUN 2015

Latar Belakang

Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2013), pada tahun 2000 Umur

Harapan Hidup (UHH) di Indonesia adalah 64,5 tahun (dengan persentase populasi lansia

adalah 7,18%). Angka ini meningkat menjadi 69,43 tahun pada tahun 2010 (dengan

persentase populasi lansia adalah 7,56%) dan pada tahun 2011 menjadi 69,65 tahun (dengan

persentase populasi lansia adalah 7,58%). Diperkirakan proporsi penduduk lanjut usia (lansia)

yang berusia 60 tahun ke atas menjadi dua kali lipat dari 11% di tahun 2006 menjadi 22%

pada tahun 2050. Populasi lansia di dunia yang pada tahun 2006 sekitar 650 juta, akan

mencapai 2 miliar pada tahun 2050. Untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, pada saat

itu akan ada lebih banyak orang tua dari pada anak-anak usia 0-14 tahun di populasi. Negara-

negara berkembang akan mengalami tingkat penuaan yang jauh lebih cepat dari negara-

negara maju.

Upaya peningkatan kesejahteraan lanjut usia, yang antara lain meliputi: 1) Pelayanan

keagamaan dan mental spiritual seperti pembangunan sarana ibadah dengan pelayanan

aksesibilitas bagi lanjut usia; 2) Pelayanan kesehatan melalui peningkatan upaya

penyembuhan (kuratif), diperluas pada bidang pelayanan geriatrik/gerontologik; 3) Pelayanan

untuk prasarana umum, yaitu mendapatkan kemudahan dalam penggunaan fasilitas umum,

keringanan biaya, kemudahan dalam melakukan perjalanan, penyediaan fasilitas rekreasi dan

olahraga khusus; 4) Kemudahan dalam penggunaan fasilitas umum, seperti pelayanan

administrasi pemerintah (Kartu Tanda Penduduk seumur hidup), pelayanan kesehatan,

pelayanan dan keringanan biaya untuk pembelian tiket perjalanan, akomodasi, pembayaran

pajak, pembelian tiket rekreasi, penyediaan tempat duduk khusus, loket khusus,

mendahulukan para lanjut usia (Kemenkes RI, 2013).

Pada umumnya untuk lansia dalam pola makannya masih salah. Pola makan yang

dimaksud adalah tepat jumlahnya, tepat jadwalnya dan tepat jenis-jenis makanannya

(Almatsier, 2010). Perubahan pola makan yang tidak teratur, obat-obatan yang tidak jelas,

zat-zat seperti nikotin dan alkohol serta adanya kondisi kejiwaan stres, pemasukan makanan

menjadi kurang sehingga lambung akan kosong, kekosongan lambung dapat mengakibatkan

erosi pada lambung akibat gesekan antara dinding-dinding lambung, kondisi demikian dapat

mengakibatkan peningkatan produksi HCL yang akan merangsang terjadinya kondisi asam

pada lambung, sehingga rangsangan di medulla oblongata membawa impuls muntah

sehingga intake tidak adekuat baik makanan maupun cairan. Beberapa perubahan dapat

terjadi pada saluran cerna atas akibat proses penuaan, terutama pada ketahanan mukosa

lambung. Kadar lambung lansia biasanya mengalami penurunan hingga 85%. Hal inilah yang

dapat menyebabkan seorang lansia terkena penyakit dyspepsia.

Dispepsia berasal dari bahasa Yunani (Dys) berarti sulit dan Pepse berarti pencernaan.

Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak enak/sakit di

perut bagian atas yang menetap atau mengalami kekambuhan keluhan refluks gastroesofagus

klasik berupa rasa panas di dada (heartburn) dan regurgitasi asam lambung kini tidak lagi

termasuk dispepsia (Mansjoer, 2008).

Dispepsia atau sakit maag adalah sekumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri

atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, rasa penuh atau cepat

kenyang, dan sering bersendawa. Biasanya berhubungan dengan pola makan yang tidak

teratur, makanan yang pedas, asam, minuman bersoda, kopi, obat-obatan tertentu, ataupun

kondisi emosional tertentu misalnya stress. Dispepsia merupakan kumpulan gejala klinis

(sindrom) yang terdiri dari rasa tidak enak/sakit di perut bagian atas yang dapat pula disertai

dengan keluhan lain, perasaan panas didada di daerah jantung (heartburn), regurgitasi,

kembung, perut terasa penuh, cepat kenyang, bersendawa, anoreksia, mual, muntah, dan

beberapa keluhan lainnya. (Warpadji, 2012).

Komplikasi dispepsia yaitu luka didinding lambung yang dalam atau melebar

tergantung berapa lama lambung terpapar oleh asam lambung. Bila keadaan dispepsia ini

terus terjadi luka akan semakin dalam dan dapat menimbulkan komplikasi pendarahan

saluran cerna yang ditandai dengan terjadinya muntah darah, dimana merupakan pertanda

yang timbul belakangan. Awalnya penderita pasti akan mengalami buang air besar berwarna

hitam terlebih dulu yang artinya sudah ada perdarahan awal. Tapi komplikasi yang paling

dikhawatirkan adalah terjadinya kangker lambung yang mengharuskan penderitanya

melakukan operasi.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, penulis tertarik untuk

mengangkatnya dalam suatu penelitian ilmiah yang akan diberi judul Hubungan Pola

Makan Dengan Kejadian Dyspepsia Pada Lansia Di Puskesmas Langsa Barat Tahun

2015.

Judul II

PENGARUH SENAM LANSIA TERHADAP PASIEN HYPERTENSI DI WILAYAH

KERJA PUSKESMAS LANGSA BARAT

Latar Belakang

Diperkirakan proporsi penduduk lanjut usia (lansia) yang berusia 60 tahun ke atas

menjadi dua kali lipat dari 11% di tahun 2006 menjadi 22% pada tahun 2050. Populasi lansia

di dunia yang pada tahun 2006 sekitar 650 juta, akan mencapai 2 miliar pada tahun 2050.

Negara-negara berkembang akan mengalami tingkat penuaan yang jauh lebih cepat dari

negara-negara maju. Pada tahun 2005 sekitar 60% lansia di dunia tinggal di negara-negara

berkembang. Dalam lima dekade mendatang kondisi ini akan meningkat menjadi lebih dari

80%. Penuaan penduduk dunia, di negara berkembang dan negara maju sebenarnya

merupakan indikator meningkatnya kesehatan global (Depkes RI, 2012).

Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) terjadi peningkatan Umur Harapan

Hidup (UHH). Pada tahun 2000 UHH di Indonesia adalah 64,5 tahun (dengan persentase

populasi lansia adalah 7,18%). Angka ini meningkat menjadi 69,43 tahun pada tahun 2010

(dengan persentase populasi lansia adalah 7,56%) dan pada tahun 2011 menjadi 69,65 tahun

(dengan persentase populasi lansia adalah 7,58%) (Kemenkes RI, 2013).

Berdasarkan Profil Pembangunan Provinsi Aceh Tahun 2013 dapat diketahui bahwa

AHH Provinsi Aceh tahun 2011 mencapai 68,60. Sementara untuk perbandingan AHH antar

kabupaten/kota tahun 2011 di Provinsi Aceh, AHH tertinggi berada di Kabupaten Bireuen

sebesar 72,39 tahun lebih tinggi dari AHH provinsi dan nasioanl, dan terendah di Kabupaten

Simeulue (63,05 tahun).

Menjadi tua merupakan suatu fenomena alamiah sebagai akibat proses menua.

Fenomena ini bukanlah suatu penyakit, melainkan suatu keadaan yang wajar yang bersifat

universal. Proses menua bersifat regresif dan mencakup proses organobiologis, psikologik

serta sosio budaya. Pada lansia akan mengalami kemunduran fisik, mental, dan sosial. Salah

satu contoh kemunduran fisik pada lansia adalah rentannya lansia terhadap penyakit,

khususnya penyakit degeneratif. Penyakit degeneratif yang umum di derita lansia salah

satunya adalah hipertensi (Nugroho, 2012).

Hipertensi merupakan masalah besar dan serius di seluruh dunia karena prevalensinya

tinggi dan cenderung meningkat di masa yang akan datang. Hipertensi dapat menyerang

hampir semua golongan masyarakat di dunia. Jumlah lansia yang menderita hipertensi terus

bertambah dari tahun ke tahun. Di Indonesia sendiri hipertensi merupakan penyebab

kematian nomor 3 setelah stroke dan tuberkulosis, yakni 6,7% dari populasi kematian pada

semua umur (Arora, 2011).

Hipertensi merupakan faktor resiko dari penyakit kardiovaskuler. Hipertensi dapat

meningkatkan lima kali resiko terkena penyakit jantung koroner. Menurut data dari hasil

studi pendahuluan di Puskesmas Langsa Barat tahun 2015, jumlah kunjungan pasien dengan

hipertensi mencapai angka 599 orang diantaranya 340 orang merupakan lansia.

Tingginya angka kejadian hipertensi pada lansia menuntut peran tenaga kesehatan

untuk melakukan pencegahan dan upaya promosi kesehatan. Ada beberapa cara pencegahan

yang dapat dilakukan oleh lansia agar terhindar dari penyakit hipertensi dengan semboyan

SEHAT yaitu Seimbangkan gizi, Enyahkan rokok, Hindari stres, Awasi tekanan darah, dan

Teratur berolahraga. Teratur berolahraga dapat dilakukan dengan cara latihan fisik yang

sesuai dengan lansia diantaranya berjalan-jalan, bersepeda, berenang, melakukan pekerjaan

rumah dan senam (Maryam dkk, 2008).

Latihan fisik seperti senam yang teratur juga membantu mencegah keadaan-keadaan

atau penyakit kronis, seperti tekanan darah tinggi (hipertensi) (Once, 2011). Senam dapat

meningkatkan aktivitas metabolisme tubuh dan kebutuhan oksigen. Jenis latihan fisik yang

dapat dilakukan oleh lansia adalah senam. Senam lansia sangat penting untuk para lanjut usia

untuk menjaga kesehatan tubuh mereka.

Dari hasil pengamatan yang dilakukan, dapat diketahui bahwa hanya sebagian lansia

(35%) yang mengikuti kegiatan senam lansia. Dari keseluruhan lansia yang mengikuti senam

lansia, 45% diantaranya mengatakan tubuh lebih bugar setelah melakukan senam. Sedangkan

selebihnya mengatakan biasa saja (tidak ada perubahan). Hasil pengukuran tekanan darah

rata-rata normal. Dari sebagian lansia yang mengatakan biasa saja (tidak ada perubahan)

terdapat beberapa lansia yang mengalami hipertensi.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas penulis tertarik untuk

mengetahui lebih dalam apakah senam memberikan kontribusi besar terhadap penurunan

bahkan pencegahan penyakit hipertensi khususnya untuk lansia di wilayah kerja Puskesmas

Langsa Barat dan hasil studi ini nantinya akan dituangkan dalam sebuah script skripsi yang

akan diberi judul Pengaruh Senam Lansia Terhadap Pasien Hypertensi Di Wilayah Kerja

Puskesmas Langsa Barat.

Judul II

GAMBARAN PENGETAHUAN TENTANG MANFAAT MINUM OBAT CACING

SECARA BERKALA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS LANGSA BARAT

Latar Belakang

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.

424/MENKES/SK/VI/2006 tentang Pedoman Pengendalian Cacingan, cacingan dapat

mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan. gizi, kecerdasan dan produktifitas

penderitanya sehingga secara ekonomi banyak menyebabkan kerugian, karena menyebabkan

kehilangan karbohidrat dan protein serta kehilangan darah, sehingga menurunkan kualitas

sumber daya manusia.

Infeksi cacingan dapat berkontribusi untuk terjadinya anemia, kekurangan vitamin A,

kekurangan gizi, gangguan pertumbuhan, perkembangan tertunda, dan penyumbatan usus.

Infeksi ini disebabkan oleh tiga jenis cacing antara lain: cacing gelang, cacing cambuk, dan

cacing tambang, yang menginfeksi lebih dari 1 miliar orang di seluruh dunia. World Health

Organization (WHO) tahun 2012, memperkirakan lebih dari 1,5 miliar orang, atau 24% dari

populasi dunia terinfeksi dengan cacing yang ditularkan melalui tanah. lebih dari 270 juta

anak usia prasekolah dan lebih dari 600 juta anak usia sekolah tinggal di daerah di mana

parasit ini ditularkan secara intensif, dan membutuhkan pengobatan dan intervensi

pencegahan (WHO, 2015).

Upaya penanggulangan kecacingan belum menunjukkan hasil yang maksimal, hal

tersebut dapat dilihat pada sebagian besar propinsi di Indonesia yang menunjukkan bahwa

angka prevalensi kecacingan saat ini masih di atas target nasional yang ingin dicapai pada

tahun 2010 (<10%). Perlu dilakukan intervensi yang tepat dan sesuai dengan kondisi daerah

untuk menurunkan prevalensi kecacingan. Menghindari faktor risiko merupakan cara efektif

sebelum melakukan intervensi penanggulangan kecacingan (Rahayu, 2013).

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

424/MENKES/SK/VI/2006 tentang Pedoman Pengendalian Cacingan disebutkan bahwa

penyakit ini merupakan neglected disease (penyakit yang kurang diperhatikan), meskipun

tidak berakibat fatal tapi sangat memengaruhi status kesehatan masyarakat, terutama bagi

anak usia sekolah yang merupakan sumber daya manusia di masa depan. Anak-anak

merupakan kelompok umur yang terbanyak menderita cacingan. Hal ini disebabkan karena

keterlibatan anak secara langsung dengan lingkungan tempat bermain (tanah) dan anak-anak

merupakan kelompok rawan infeksi mengingat sulitnya menjaga kebersihan diri. Kebersihan

diri anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitar termasuk orangtua dan lingkungan

keluarga yang mengasuhnya. Orangtua dapat memutus mata rantai penularan penyakit

cacingan dengan mengajarkan dan mengingatkan anak untuk menjaga dan memelihara

kebersihan diri serta memberikan obat cacing tiap 6 bulan sekali (2 kali dalam setahun)

(Kemenes RI, 2010).

Yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah memastikan apakah benar atau tidak

anak cacingan dengan cara memeriksakan tinja anak apakah mengandung telur cacing. Jika

ternyata benar maka pemberian obat cacing secara berkala merupakan langkh yang efektif

untuk pengobatan. Keputusan yang kurang tepat, karena kalau ternyata tidak ada cacingnya,

sia-sia saja sudah menelan obat cacing. Selain penghamburan secara ekonomis, tubuh anak

menanggung efek samping obat yang sebetulnya tidak ia perlukan. Cacingan merugikan

proses tumbuh-kembang anak. Maka tidak boleh membiarkan anak “beternak” cacing di

perutnya. Bila pertumbuhan anak terhambat, tampak pucat, selera makan terganggu, dan

mungkin perutnya membuncit, pikirkan kemungkinan cacingan. Segera konsultasikan anak

ke dokter, bawa juga tinjanya ke laboratorium, dan diperiksa , adakah telur cacing yang

berkembang biak di dalamnya (sahabatnestle, 2015).

Sangat dianjurkan untuk mencari perawatan medis yang tepat agar gangguan

kesehatan penyakit kecacingan tidak menular pada anggota keluarga lainnya. Oleh karena itu

masyarakat hrus mengetahui dan dapat mencegah terjadinya penyakit kecacingn. Berdasarkan

hal tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai penyakit kecacingan dan

menuliskannya dalam sebuah skripsi yang akan diberi judul Gambaran Pengetahuan Tentang

Manfaat Minum Obat Cacing Secara Berkala Di Wilayah Kerja Puskesmas Langsa Barat.

Langsa, 5 Nopember 2015

Kepada Yth ;

Bapak/Ibu : Ka.Prodi S.1 Keperawatan

STIKes Langsa

Di.

Tempat

Dengan hormat,

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Sry Wahyuni

NPM : 12.1.0247

Semester : VIII

Prodi : S1 Keperawatan

Alamat : Desa Bukit Drien Kecamatan Sungai Raya Kab. Aceh Timur

Bersama ini saya mengajukan judul skripsi kepada Bapak/Ibu Ka. Prodi S.1 Keperawatan

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana keperawatan di STIKes Langsa.

Adapun judul skripsi yang saya ajukan sebagai berikut :

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di SD Negeri 1

Bukit Drien Sungai Raya.

Hubungan Sosial Ekonomi dan Lingkungan Terhadap Infeksi Soil Transmitted

Helminths Pada Anak SD Negeri 1 Bukit Drien Sungai Raya

Hubungan Antara Pengetahuan Orang Tua Mengenai Pemberian Makanan Kepada

Anak Dengan Kejadian Obesitas Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Langsa

Baro Tahun 2015.

Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga Bapak/Ibu dapat mengabulkan salah satu

judul diatas sebagai judul skripsi saya.

Hormat Saya

Sry Wahyuni

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di SD Negeri 1

Bukit Drien Sungai Raya

A. Latar Belakang

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) bukan hal yang baru bagi masyarakat.

PHBS adalah semua perilaku yang dapat menjadikan kita hidup sehat. Hidup sehat tidak

terbatas dengan melaksanakan sepuluh indikator saja. Tetapi indikator dengan sepuluh

perilaku adalah yang dipilih sebagai penilaian apakah masyarakat sudah berperilaku

hidup bersih dan sehat dan perlu dikembangkan di tengah masyarakat kita. Dari sepuluh

Indikator PHBS yang dicanangkan Departemen Kesehatan Republik Indonesia,

pentingnya bersalin menggunakan tenaga kesehatan, program ASI Eksklusif apalagi

Inisiasi Menyusui Dini, jamban keluarga, kesesuaian lantai dengan jumlah penghuni dan

pentingnya olah raga serta makanan bervitamin dan berserat masih merupakan hal baru

bagi masyarakat.

PHBS di Sekolah adalah sekumpulan perilaku yang dipraktikkan oleh peserta

didik, guru dan masyarakat lingkungan sekolah atas dasar kesadaran sebagai hasil

pembelajaran, sehingga secara mandiri mampu mencegah penyakit, meningkatkan

kesehatannya, serta berperan aktif dalam mewujudkan lingkungan sehat. Ada beberapa

indikator yang dipakai sebagai ukuran untuk menilai PHBS di sekolah yaitu (1) Mencuci

tangan dengan air yang mengalir dan menggunakan sabun (2) Mengkonsumsi jajanan

sehat di kantin sekolah (3) Menggunakan jamban yang bersih dan sehat (4) Olahraga

yang teratur dan terukur (5) Memberantas jentik nyamuk (6) Tidak merokok di sekolah

(7) Menimbang berat badan dan mengukur tinggi badan setiap 6 bulan dan (8) Membuang

sampah pada tempatnya.

Perilaku kesehatan, ada tiga teori yang sering menjadi acuan dalam penelitian-

penelitian kesehatan masyarakat. Menurut Lawrence Green (1980) dalam Notoatmodjo

(2012), perilaku manusia dalam hal kesehatan dipengaruhi oleh dua faktor pokok yaitu

faktor perilaku (behavioral factors) dan faktor non-perilaku (non behavioral factors).

Lawrence Green menganalisis bahwa faktor perilaku sendiri ditentukan oleh tiga faktor

utama, yaitu:

1. Faktor Predisposisi (predisposing factors), yaitu faktor-faktor yang mempermudah

atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan,

sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi dan sebagainya.

2. Faktor-faktor pemungkin (enabling factors), yaitu faktor-faktor yang

memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan. Yang dimaksud

dengan faktor pemungkin adalah sarana dan prasarana atau fasilitas untuk

terjadinya perilaku kesehatan.

3. Faktor-faktor penguat (reinforcing factors), adalah faktor-faktor yang mendorong

dan memperkuat terjadinya perilaku.

Pada saat promosi kesehatan digencarkan aksinya melalui pemberdayaan

masyarakat bahwa petugas kesehatan membekali sasaran kesehatan (masyarakat) dengan

pengetahuan/informasi yang bermanfaat bagaimana untuk sehat, dan walau ketersediaan

sarana kesehatan memadai, tetapi tetap diperlukan dukungan dari masyarakat itu sendiri.

Ada lima determinan perilaku, yaitu:

1. Adanya niat, (intention) seseorang untuk bertindak sehubungan objek atau

stimulus diluar dirinya.

2. Adanya dukungan dari masyarakat sekitarnya (social support). Di dalam

kehidupan di masyarakat, perilaku seseorang cenderung memerlukan legitimasi

dari masyarakat sekitarnya. Apabila perilaku tersebut bertentangan atau tidak

memperoleh dukungan dari masyarakat, maka ia akan merasa kurang atau tidak

nyaman, paling tidak untuk berperilaku kesehatan tidak menjadi gunjingan atau

bahan pembicaraan masyarakat.

3. Terjangkaunya informasi (accessibility of information), adalah tersedianya

informasi-informasi terkait dengan tindakan yang akan diambil seseorang.

4. Adanya otonomi atau kebebasan pribadi (personal autonomy) untuk mengambil

keputusan.

5. Adanya kondisi dan situasi yang memungkinkan (action situation). Untuk

bertindak apapun memang diperlukan kondisi dan situasi yang tepat.

Sekolah selain berfungsi sebagai tempat pembelajaran juga dapat menjadi

ancaman penularan penyakit jika tidak dikelola dengan baik. Lebih dari itu, usia sekolah

bagi anak juga merupakan masa rawan terserang berbagai penyakit. Jika tiap sekolah

memiliki 20 kader kesehatan, maka ada 5 juta kader kesehatan yang dapat membantu

terlaksananya dua strategi utama Departemen Kesehatan yaitu: “Menggerakan dan

memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat” serta “Surveilans, monitoring dan

informasi kesehatan”. Hal inilah yang membuat peneliti tertarik memilih judul Faktor-

Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di SD Negeri 1 Bukit

Drien Sungai Raya sebagai judul Skripsi.

Hubungan Sosial Ekonomi dan Lingkungan Terhadap Infeksi Soil Transmitted

Helminths Pada Anak SD Negeri 1 Bukit Drien Sungai Raya

A. Latar Belakang

Perilaku Penyakit kecacingan atau helminthiasis, merupakan penyakit yang

disebabkan oleh cacing atau helminth. Penyakit kecacingan merupakan salah satu

penyakit infeksi yang terabaikan/Neglected Infectious Disease (NIDs). Penyakit

kecacingan juga dapat mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan

dan produktivitas. Secara ekonomi banyak menyebabkan kerugian, karena menyebabkan

kehilangan karbohidrat, protein dan kehilangan darah, sehingga menurunkan kualitas

sumber daya manusia. Efek yang serius terjadi bila cacing menggumpal dalam usus

sehingga terjadi obtruksi usus atau ileus (Susanto et al., 2008).

World Health Organization (WHO) tahun 2012, memperkirakan lebih dari 1,5

miliar orang, atau 24% dari populasi dunia terinfeksi dengan cacing yang ditularkan

melalui tanah. Lebih dari 270 juta anak usia prasekolah dan lebih dari 600 juta anak usia

sekolah tinggal di daerah di mana parasit ini ditularkan secara intensif, dan membutuhkan

pengobatan dan intervensi pencegahan.

Infeksi cacingan dapat berkontribusi untuk terjadinya anemia, kekurangan vitamin

A, kekurangan gizi, gangguan pertumbuhan, perkembangan tertunda, dan penyumbatan

usus. Infeksi ini disebabkan oleh tiga jenis cacing antara lain: cacing gelang, cacing

cambuk, dan cacing tambang, yang menginfeksi lebih dari 1 miliar orang di seluruh dunia

(CDC, 2012).

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

No.424/Menkes/SK/VI/2006, penyakit cacingan tersebar luas baik di pedesaan maupun di

perkotaan. Di Indonesia masih banyak penyakit yang merupakan masalah kesehatan,

salah satu diantaranya adalah cacing usus yang ditularkan melalui tanah.

Di antara nematoda usus terdapat sejumlah spesies yang ditularkan melalui tanah

disebut Soil Transmitted Helminths (STH). Cacing yang terpenting bagi manusia adalah

Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Necator americanus dan Ancylostoma

duodenale. Indonesia merupakan salah satu negara tropis sehingga mempunyai

lingkungan yang cocok untuk perkembangan nematoda usus yang ditularkan melalui

tanah. Anak-anak merupakan kelompok umur yang terbanyak menderita infeksi STH. Hal

ini disebabkan karena keterlibatan mereka secara langsung dengan lingkungan tempat

bermain sangat tinggi. Sementara itu anak-anak merupakan kelompok rawan infeksi

mengingat sulitnya menjaga kebersihan peorangan mereka. Status higienis seorang anak

sangat dipengaruhi oleh status sosial ekonomi dan lingkungan, lingkungan sekitar

termasuk orang tua dan lingkungan keluarga yang mengasuhnya. Faktor-faktor yang

dapat menyebabkan masih tingginya angka kejadian penyakit kecacingan ini adalah

kondisi sanitasi lingkungan yang belum memadai, kebersihan diri yang buruk, tingkat

pendidikan dan kondisi sosial ekonomi yang rendah, pengetahuan, sikap dan perilaku

hidup sehat yang belum membudaya, serta kondisi geografis yang sesuai untuk kehidupan

dan perkembangbiakan cacing (Marlina, 2012).

Sosial ekonomi adalah kedudukan atau posisi seseorang dalam kelompok

masyarakat yang ditentukan oleh jenis aktivitas ekonomi, pendidikan serta pendapatan.

Dalam pembahasannya sosial dan ekonomi sering menjadi objek pembahasan yang

berbeda. Dalam konsep sosiologi manusia sering disebut dengan makhluk sosial yang

artinya manusia tidak dapat hidup wajar tanpa adanya bantuan dari orang lain, sehingga

arti sosial sering diartikan sebagai hal yang berkanaan dengan masyarakat. Ekonomi

barasal dari bahasa Yunani yaitu oikos yang berarti keluarga atau rumah tangga dan

nomos yang berarti peraturan (Wikipedia, 2014).

Lingkungan adalah kombinasi antara kondisi fisik yang mencakup keadaan

sumber daya alam seperti tanah, air, energi surya, mineral, serta flora dan fauna yang

tumbuh di atas tanah maupun di dalam lautan, dengan kelembagaan yang meliputi ciptaan

manusia seperti keputusan bagaimana menggunakan lingkungan fisik tersebut.

Lingkungan juga dapat diartikan menjadi segala sesuatu yang ada di sekitar manusia dan

mempengaruhi perkembangan kehidupan manusia. Lingkungan terdiri dari komponen

abiotik dan biotik. Komponen abiotik adalah segala yang tidak bernyawa seperti tanah,

udara, air, iklim, kelembaban, cahaya, bunyi. Sedangkan komponen biotik adalah segala

sesuatu yang bernyawa seperti tumbuhan, hewan, manusia dan mikro-organisme (virus

dan bakteri).

Oleh karena soaial ekonomi dan lingkungan diduga berpengaruh terhadap infeksi

soil transmitted helminths pada anak, maka peneliti tertarik untuk mendapatkan

pembuktian tersebut dengan melakukan penelitian yang akan dituliskan dalam skripsi

yang berjudul Hubungan Sosial Ekonomi dan Lingkungan Terhadap Infeksi Soil

Transmitted Helminths Pada Anak SD Negeri 1 Bukit Drien Sungai Raya.

Hubungan Antara Pengetahuan Orang Tua Mengenai Pemberian Makanan Kepada

Anak Dengan Kejadian Obesitas Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Langsa

Baro Tahun 2015

A. Latar Belakang

Obesitas (obesity) menurut Freitag (2010) asal katanya dari bahasa latin yaitu ob yang

artinya “akibat dan” dan esum yang artinya “makan”. Orang yang mengalaminya disebut

obes. Obesitas adalah suatu keadaan dimana terjadi penimbunan jaringan lemak secara

berlebihan pada tubuh seseorang. Obesitas biasa disebut dalam bahasa awam sebagai

kegemukan atau berat badan yang berlebih menurut Tim Penulis Poltekkes Depkes Jakarta I

(2010, hal 20) sebagai akibat penimbunan lemak tubuh yang berlebihan. Permasalahan ini

terjadi hampir di seluruh dunia dengan prevalensi yang semakin meningkat, baik di negara-

negara maju ataupun negara berkembang, termasuk Indonesia. Obesitas sebagai salah satu

faktor risiko dari resistens insulin, merupakan penyakit multifaktoral yang terjadi akibat

penimbunan lemak yang berlebihan di dalam tubuh, sehingga dapat mengganggu kesehatan.

Obesitas yang terjadi pada anak bila kemudian berlanjut hingga dewasa akan sulit di

atasi secara konvensional (diet dan olahraga). Selain itu, obesitas pada anak tidak hanya

menjadi masalah kesehatan di kemudian hari, tetapi juga membawa masalah bagi kehidupan

sosial dan emosi yang cukup berarti. Beberapa komplikasi yang ditimbulkan oleh obesitas

pada adalah : Gangguan pernafasan, Gangguan tidur, Gangguan kulit, Ortopedi, Hipertensi,

Penyakir jantung coroner, Diabetes, Maturitas seksual lebih awal, Menstruasi tidak teratur,

Sindroma Pickwickian (obesitas disertai wajah kemerahan, underventilasi dan ngantuk) dn

Gangguan psikologi.

Pengetahuan orang tua mengenai pemberian makanan kepada anak dapat mencegah

terjdinya obesitas. Orang yang kegemukan lebih responsif dibanding dengan orang berberat

badan normal terhadap syarat lapar eksternal, seperti rasa dan bau makanan, atau saatnya

waktu makan. Orang yang gemuk cenderung makan bila ia merasa ingin makan, bukan

makan pada saat ia lapar. Pola makan berlebih inilah yang menyebabkan mereka sulit untuk

keluar dan kegemukan jika sang individu tidak memiliki kontrol diri dan motivasi yang kuat

untuk mengurangi berat badan. Pengetahuan sangat erat hubungannya dengan pendidikan,

dimana diharapkan bahwa dengan pendidikan yang tinggi maka orang tersebut akan semakin

luas pula pengetahuannya. Akan tetapi perlu ditekankan, bukan berarti seseorang yang

berpendidikan rendah mutlak berpengaruh rendah pula. Hal ini mengingat bahwa

peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh dari pendidikan formal saja, akan tetapi

dapat diperoleh melalui pendidikan non formal. Pengetahuan itu sendiri dipengaruhi oleh

faktor pendidikan formal.

Manusia pada dasarnya selalu ingin tahu yang benar. Untuk memenuhi rasa ingin tahu

ini, manusia sejak zaman dahulu telah berusaha mengumpulkan pengetahuan. Pengetahuan

pada dasarnya terdiri dari sejumlah fakta dan teori yang memungkinkan seseorang untuk

dapat memecahkan masalah yang dihadapinya. Pengetahuan dapat diperoleh melalui

pengalaman langsung maupun pengalaman orang lain (Notoatmodjo, 2010).

Pengetahuan menurut Notoatmodjo (2010) adalah hasil pengindraan manusia, atau

hasil tahu seorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya dengan sendirinya pada

waktu pengindraan sehingga pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas

perhatian dan persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh

melalui indra pendengaran, dan indra penglihatan. Pengetahuan seseorang tentang suatu

objek mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan aspek negatif. Kedua aspek ini yang

akan menentukan sikap seseorang semakin banyak aspek positif dan objek yang diketahui

maka akan menimbulkan sikap makin positif terhadap objek tertentu. Dalam hal ini

pengetahuan orang tua mengenai pemberian makanan kepada anak adalah hal-hal yang

diketahui orang tua mengenai makanan yang seharusnya dikonsumsi oleh anak, karena

pemberian makanan yang berlebihan (jumlah) akan menyebabkan obesits dan akan

menimbulkan komplikasi.

Pengetahuan orang tua mengenai pemberian makanan kepada anak merupakan hal

penting yang harus diketahui oleh orang tua agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara

optimal sesuai yang diharapkan. Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk melakukan

penelitian yang akan diberi judul Hubungan Antara Pengetahuan Orang Tua Mengenai

Pemberian Makanan Kepada Anak Dengan Kejadian Obesitas Pada Balita Di Wilayah

Kerja Puskesmas Langsa Baro Tahun 2015, setelah dilakukan penelitian, diharapkan dapat

memberikan dan menambah pengetahuan semua pihak terutama orang tua akan pentingnya

menjaga keseimbangan asupan makanan pada anak.

Langsa, 4 Nopember 2015

Kepada Yth ;

Bapak/Ibu : Ka.Prodi S.1 Keperawatan

STIKes Langsa

Di.

Tempat

Dengan hormat,

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Marlina

NPM : 12.1.0225

Semester : VIII

Prodi : S1 Keperawatan

Alamat : Jl. T. Umar Gp. Blang Pase Langsa Kota

Bersama ini saya mengajukan judul skripsi kepada Bapak/Ibu Ka. Prodi S.1 Keperawatan

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana keperawatan di STIKes Langsa.

Adapun judul skripsi yang saya ajukan sebagai berikut :

1. Karakteristik Ibu yang mempunyai balita dalam membawa anak ke posyandu di

Puskesmas Langsa Barat.

2. Hubungan pola asuh ibu dengan perilaku sulit makan pada anak usia pra sekolah.

3. Hubungan bimbingan orang tua saat menonton film kartun di televisi dengan

perilaku anak di Gampong Sungai Pauh Kecamatan Langsa Barat Kota Langsa.

Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga Bapak/Ibu dapat mengabulkan salah satu

judul diatas sebagai judul skripsi saya.

Hormat Saya

Marlina

KARAKTERISTIK IBU YANG MEMPUNYAI BALITA DALAM MEMBAWA

ANAK KE POSYANDU DI PUSKESMAS LANGSA BARAT

Latar Belakang

Memiliki anak dengan tumbuh kembang yang optimal adalah dambaan setiap ibu.

Untuk mewujudkannya tentu saja ibu harus selalu memperhatikan, mengawasi, dan merawat

anak secara seksama. Proses tumbuh kembang anak dapat berlangsung secara alamiah.

Periode penting dalam tumbuh kembang anak adalah masa balita. Karena pada masa ini

pertumbuhan dasar akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan anak selanjutnya.

Pada masa balita ini perkembangan kemampuan berbahasa, kreativitas, kesadaran sosial,

emosional, dan intelegensia berjalan sangat cepat dan merupakan landasan perkembangan

berikutnya. Perkembangan moral serta dasar-dasar kepribadian juga dibentuk pada masa ini.

Pada masa periode kritis ini, diperlukan rangsangan atau stimulasi yang berguna agar

potensinya berkembang. Perkembangan anak akan optimal bila interaksi diusahakan sesuai

dengan kebutuhan anak pada berbagai tahap perkembangannya, bahkan sejak bayi masih

dalam kandungan (Kania, 2014).

Pertumbuhan (growth) berkaitan dengan masalah perubahan dalam besar, jumlah,

ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu, yang dapat diukur dengan ukuran

berat (gram, pound, kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur tulang dan keseimbangan

metabolik (retensi kalsium dan nitrogen tubuh). Perkembangan (development) adalah

bertambahnya kemampuan (skill) dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks

dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan

(Dompas, 2010).

Pemantauan pertumbuhan balita bersumber dari data Berat Badan (BB) dan Tinggi

Badan (TB). Tujuan pengukuran BB/TB adalah untuk menentukan status gizi anak, apakah

anak termasuk normal, kurus, kurus sekali atau gemuk. Jadwal pengukuran BB/TB

disesuaikan dengan jadwal deteksi dini tumbuh kembang balita (Dewi, 2011).

Penimbangan balita yang dilakukan di Posyandu dimaksudkan untuk memantau

pertumbuhan dan perkembangan setiap bulan mulai umur 1 tahun sampai 5 tahun di

Posyandu. Hal ini diperlukan untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan balita

termasuk deteksi dini gangguan tumbuh kembangnya. Setelah balita ditimbang, hasilnya

dicatat pada Buku KIA atau Kartu Menuju Sehat (KMS). Pada buku tersebut akan telihat

berat badannya naik atau tidak (Dinkes Aceh, 2012)

Cakupan penimbangan berat badan balita (D/S) merupakan indikator yang berkaitan

dengan cakupan pelayanan gizi pada balita, cakupan pelayanan kesehatan dasar khususnya

imunisasi, tingkat partisipasi masyarakat serta prevalensi gizi kurang. Semakin tinggi

cakupan D/S, semakin tinggi cakupan vitamin A, semakin tinggi cakupan imunisasi dan

semakin rendah prevalensi gizi kurang (Kemenkes RI, 2012).

Manfaat membawa anak setiap bulan ke Posyandu adalah untuk mengetahui apakah

balita tumbuh sehat. Untuk mengetahui dan mencegah gangguan pertumbuhan balita. Untuk

mengetahui balita yang sakit, (demam/batuk/pilek/diare), berat badan dua bulan berturut-turut

tidak naik, balita yang berat badannya BGM (Bawah Garis Merah) dan dicurigai gizi buruk

sehingga dapat segera dirujuk ke Puskesmas. dan untuk mengetahui kelengkapan Imunisasi

serta mendapatkan penyuluhan gizi (Dinkes Aceh, 2012).

Dari data cakupan kunjungan balita ke posyandu di Wilayah Kerja Puskesmas Langsa

Barat dapat diketahui bahwa cakupan kunjungan balitanya masih rendah. Hal ini sangat

mengkhawatirkan. Ibu yang tidak membawa balitanya ke posyandu, dapat menyebabkan

tidak terpantaunya pertumbuhan dan perkembangan balita. Balita yang tidak ditimbang

berturut-turut beresiko keadaan gizinya memburuk sehingga mengalami gangguan

pertumbuhan dan perkembangan.

Ibu adalah orang terdekat anak, oleh karena itu diharapkan ibu dapat membawa anak

secara teratur ke posyandu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia karakteristik adalah ciri-

ciri khusus atau mempunyai sifat khas sesuai dengan perwatakan tertentu. Karakteristik

adalah ciri-ciri dari individu yang terdiri dari data demografi seperti jenis jenis kelamin, umur

serta status sosial seperti, tingkat pendidikan, pekerjaan, ras, status ekonomi dan sebagainya.

demografi berkaitan dengan stuktur penduduk, umur, jenis kelamin dan status ekonomi

sedangkan data kultural mengangkat tingkat pendidikan, pekerjaan, agama, adat istiadat,

penghasilan dan sebagainya (Kemenkes RI, 2014).

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut, penulis tertarik melakukan

penelitian mengenai “Karakteristik Ibu yang mempunyai balita dalam membawa anak ke

posyandu di Puskesmas Langsa Barat”.

HUBUNGAN POLA ASUH IBU DENGAN PERILAKU SULIT MAKAN PADA

ANAK USIA PRA SEKOLAH

Latar Belakang

Ibu adalah tempat perkembangan awal seorang anak, sejak saat kelahirannya sampai

proses perkembangan jasmani dan rohani berikutnya. Pola stimulasi kemandirian oleh ibu

merupakan bentuk perilaku ibu dalam memberikan stimulasi kepada anak yang dapat

dipengaruhi faktor predisposisi (predisposising factor) termasuk pengetahuan, sikap,

kepercayaan dan konsep diri dan faktor pendukung (enabling factor) terwujud dalam

lingkungan fisik, ketersediaan fasilitas dan sumber daya (Notoatmodjo, 2010).

Banyak ahli mengatakan pengasuhan anak adalah bagian penting dan mendasar,

menyiapkan anak untuk menjadi masyarakat yang baik. Terlihat bahwa pengasuhan anak

menunjuk kepada pendidikan umum yang diterapkan bedasarkan nilai-nilai keluarga, karena

pola asuh anak sangat berhubungan terhadap nilai-nilai yang dimiliki dalam suatu kekuarga.

Pengasuhan terhadap anak berupa suatu proses interaksi antara orang tua dengan anak. Peran

pengasuhan atau perawatan anak lebih banyak dipegang oleh ibu meskipun mendidik anak

merupakan tanggung jawab bersama. Dalam hal pengasuhan, proses yang utama diberikan

oleh keluarga kepada anak adalah pendidikan yang dapat menumbuhkan kemandirian anak

(Apisah, 2009).

Tugas orang tua adalah melengkapi anak dengan memberikan pengawasan yang dapat

membantu anak agar dapat menghadapi kehidupan dengan sukses. Pola asuh pada dasarnya

diciptakan oleh adanya interaksi antara orang tua dan anak dalam hubungan sehari-hari yang

berevolusi sepanjang waktu, sehingga orang tua akan menghasilkan anak-anak sealiran,

karena orang tua tidak hanya mengajarkan dengan kata-kata, contoh-contoh tetapi juga

dengan nasehat-nasehat yang mudah dimengerti oleh anak (Hidayat, 2008). Pola asuh orang

tua terdiri atas 3 karakter, yaitu pola asuh otoriter, pola asuh demokratis dan pola asuh

permisif.

Pada usia prasekolah, anak mengalami perkembangan psikis menjadi balita yang lebih

mandiri, autonom, dapat berinteraksi dengan lingkungannya, serta dapat lebih

mengekspresikan emosinya. Luapan emosi yang biasa terjadi pada anak berusia 3-5 tahun

berupa temper tantrum, yaitu mudah meletup-letup, menangis, atau menjerit saat anak tidak

merasa nyaman. Di samping itu, anak usia tersebut juga cenderung senang bereksplorasi

dengan hal-hal baru. Sifat perkembangan khas yang terbentuk ini turut mempengaruhi pola

makan anak. Hal tersebut menyebabkan anak terkadang bersikap terlalu pemilih, misalnya

balita cenderung menyukai makanan ringan sehingga menjadi kenyang dan menolak makan

saat jam makan utama. Anak juga sering rewel dan memilih bermain saat orangtua menyuapi

makanan. Gangguan pola makan yang terjadi jika tidak segera diatasi dapat berkembang

menjadi masalah kesulitan makan (Soetjiningsih, 2010).

Masalah makan pada anak berbeda dengan masalah makan pada orang dewasa dan

dewasa muda. Masalah perilaku makan yang timbul dapat bervariasi dari memilih makan-

makanan tertentu, membatasi jumlah asupan makanan, makan berlebihan, sampai terjadinya

gangguan makanan yang berimbas pada gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Keluhan

mengenai anak yang sulit makan menjadi masalah yang sering diungkapkan oleh orangtua

ketika membawa anaknya ke dokter. Keluhan ini terjadi hampir merata tanpa membedakan

jenis kelamin, etnis, dan status sosial ekonomi. Beberapa masalah makan yang sering muncul

antara lain: rewel, muntah, terlalu pemilih, fobia makan, makan lambat, dan penolakan

makanan. Menurut Depkes RI (2010) kesulitan makan yang berat dan berlangsung lama

berdampak negatif pada keadaan kesehatan anak, keadaan tumbuh kembang dan aktifitas

sehari-harinya. Dampak kesulitan makan pada umumnya merupakan akibat gangguan zat gizi

yang terjadi. Beberapa macam gizi, berapa berat kekurangannya, jangka waktu singkat atau

lama. Oleh karena itu, bila prilaku sulit makan dibiarkan begitu saja maka diprediksikan

generasi penerus bangsa akan hilang karena keadaan gizi masyarakat merupakan salah satu

unsur utama dalam penentuan keberhasilan pembangunan Negara atau yang lebih dikenal

sebagai Human Development Indeks (HDI).

Kesulitan makan pada anak dapat disebabkan oleh faktor organik dan non-organik.

Faktor organik disebabkan antara lain, kelainan organ bawaan dan abnormalitas fungsi

saluran pencernaan. Faktor non-organik disebabkan, antara lain, peran orangtua atau

pengasuh, keadaan sosial ekonomi keluarga, jenis dan cara pemberian makanan, kepribadian,

serta kondisi emosional anak (Marmi, 2013).

Berdasarkan permasalahan diatas peneliti tertarik untuk mengetahui lebih lanjut

mengenai hubungan pola asuh ibu dengan perilaku sulit makan dan mengangkatnya dalam

sebuah skripsi yang akan diberi judul Hubungan Pola Asuh Ibu Dengan Perilaku Sulit Makan

Pada Anak Usia Pra Sekolah.

HUBUNGAN BIMBINGAN ORANG TUA SAAT MENONTON FILM KARTUN DI

TELEVISI DENGAN PERILAKU ANAK DI GAMPONG SUNGAI PAUH

KECAMATAN LANGSA BARAT KOTA LANGSA

Latar Belakang